Pencarian

Tragedi Perempuan Kampung 1

Warok Ponorogo 5 Tragedi Perempuan Kampung Bagian 1


*****

Tragedi Perempuan Kampung

Karya Sabdo Dido Anditoru

Jilid 5 Seri Ceritera Warok Ponorogo

Penerbit Pt Golden Terayon Press Jakarta 1996

Gambar ilustrasi : Syamsudin

******

Buku Koleksi : Gunawan AJ

Edit teks dan pdf : Saiful Bahri Situbondo

Team Kolektor E-Book

*****



PENGEMBARAAN ANAK ADIPATI.

PADUKUHAN Bubadan yang terletak tepat di bagian utara ibukota Kadipaten Ponorogo, di situ tinggal seorang bekas punggawa Kerajaan Bantaran Angin dahulu kala, bernama Warok Wirodigdo.

Gelar kehormatan sebagai Warok itu diberikan oleh penduduk di Padukuhan Bubadan kepada laki-laki yang bertubuh tinggi kekar itu.

Dalam pengembaraannya mencari ilmu ia termashur tekun berguru ilmu kanuragan kepada pendekar-pendekar di berbagai perguruan silat di pelosok tanah Jawa.

Mulai dari ujung kolon di daerah Banten, sampai ujung timur di daerah Banyuwangi.

Warok Wirodigdo adalah sosok seorang punggawa kerajaan yang memutuskan lebih baik menyingkir dari haru-birunya perebutan pangkat di Kadipaten Ponorogo daripade harus mengabdikan diri kepada kekuasaan yang menurut keyakinannya harus berasal dari turun raja, bukan berasal dari rintisan urutan jenjang kepangkatan yang diperolehnya lantaran prestasinya selama mengabdi kepada kerajaan Majapahit di Trowulan sana.

Ia termasuk orang yang tidak sehaluan dengan perubahan kedudukan daerah Ponorogo yang semula merupakan kerajaan sekarang diganti menjadi daerah Kadipaten itu.

Dalam usianya yang sudah menginjak lanjut.

Ia agaknya lebih memilih untuk tinggal di rumah bambu yang berhalaman luas di kampung halamannya daripada harus tinggal di istana yang gemerlapan seperti halnya ketika waktu dahulu masih menjad? punggawa kerajaan .Sejak ia tidak lagi menjadi punggawa kerajaan, kini ia hidup dari hasil mengolah sawah dan mencari kayu bakar di hutan yang terletak tidak jauh dari pedukuhan Bubadan ini..

Dalam kedudukannya yang berumur kakek-kakek itu, ia tercatat sebagai orang yang beluum pernah punya isteri. Sejak menekuni ilmu kedigdayan itu, ia nampaknya tidak pernah menyentuh perempuan secara sengaja.

Ia memiliki banyak gemblakan, laki-laki muda yang berwajah tampan, dipeliharanya untuk teman tidur, bercengkerama, dan berfungsi seperti layaknya "isterinya. Selama keberadaan Warok Wirodigdo itu, Pedukuhan Bubadan dalam keadaan aman-tenteram.

Tidak ada seorang perampok pun yang berani membuat onar memasuki dukuh itu.

Nama Warok Wirodigdo sudah sangat dikenal di antara para jagoan di sekeliling dukuh itu. Penduduk pun sangat menghormatinya sebagaimana layaknya menghormati seorang tokoh pelindung yang baik hati.

Ia menjadi tokoh yang tidak mempunyai pangkat resmi.

Namun para penggede dari Kadipaten kalau mau mengambil pajak penduduk dukuh Babadan terlebih dahulu terbiasa meminta kemufakatan dari Warok Wirodigdo sebagai satu-satunya orang yang disegani di Padukuhan itu.

Setelah para penduduk dikumpulkan diminta keikhlasannya, barulah petugas Kadipaten itu menjalankan tugasnya memungut upeti kepada penduduk.

Akan tetapi kalau dirasakan kurang adil, maka Warok Wirodigdo tanpa basa-basi minta kepada Kanjeng Adipati penguasa Kadipaten Ponorogo untuk menurunkan penetapan upetinya bagi rakyat Padukuhan Bubadan itu.

Dan biasanya para penggede yang diutus Bupati itu tidak dapat berbuat banyak. Mereka segan menghadapi kearifan dan keluhuran budi Warok Wirodigdo yang banyak menguasai ilmu-ilmu kesaktian itu.

Pada suatu hari, datang rombongan dari Kadipaten.

Rupanya ada kekhilafan yang dilakukan oleh para punggawa Kadipaten, kedatangan Putra Mahkota Adipeati itu tidak diberitahu terlebih dahulu kepada rakyat setempat.

Oleh karena itu, pada saat kedatangan rombongan dari Kadipaten ke pedukuhanitu, tidak ada rakyat yang menyambutnya.

Putra Mahkota, anak sulung dari Kanjeng Adipati yang bernama Raden Mas Sumboro itu nampak tersinggung melihat sikap penduduk Dukuh Bubadan yang acuh tak acuh saja ketika melihat kedatangannya itu.

Raden Mas Sumboro kemudian memerintahkan kepada kepala punggawa untuk menghadapkan siapa kepala dukuh ini kepadanya.

Setelah ditanya kepada orang-orang yang dijumpai, semua menjawab dukuh ini tidak ada kepalanya.

Semua rakyat di sini sama kedudukannya .Tidak ada yang memimpin.

Hanya sempat disinggung nama Warok Wirodigdo seorang sakti yang kerjanya seharian berada di sawah mengolah ladang atau di tengah hutan mencari kayu bakar.

Lalu putra mahkota Raden Mas Sumboro itu memerintahkan kepada Kepala Punggawa untuk segera mencari orang yang disebut-sebut namanya tadi untuk menghadapnya. Sudah hampir malam, matahari tinggal tenggelam sebagian, para punggawa yang diperintahkan mencari Warok Wirodigdo itu belum ada yang kembali.

Kemudian, Raden Mas Sumboro memerintahkan kepada segenap punggawa yang masih tinggal, segera mencarikan rumah penduduk yang paling bagus untuk, tempat bermalam.

Akhirnya ditemukan sebuah rumah yang begitu besar dan terkesan bersih, sehingga kemudian dipilih untuk bermalam Putra Mahkota Kadipaten itu bersama rombongannya.

Pemilik rumah itu segera menyiapkan diri.

Ia merasa mendapat kehormatan lantaran rumahnya mau di tempati oleh putra mahkota Kadipaten itu.

Maka rombongan bergegas singgah di rumah milik Pak Kartosentono, nama seorang pedagang beken,, pengusaha hasil tani yang terbiasa pulang balik dari Dukuh Bubadan ke kota Kadipaten untuk menjual dagangan.

Dengan suka cita rombongan Putra Mahkota Kadipaten itu diterima bermalam di rumah Pak Kartosentono yang besar itu dengan mendapatkan suguhan makanan yang lezat hasil olahan yang disajikan oleh isteri Pak Kartosentono, bernama Waijah Sarirupi yang pandai memasak itu.

Pada tengah malam, ketika putra mahkota itu ingin melakukan hajat kecil di balik bilik belakang rumah dengan disertai seorang pengawal yang membuntutinya, sesampai di pintu kamar kakus itu putra mahkota itu tidak mengetok pintu terlebih dahulu, tetapi langsung saja masuk ke dalam, dikiranya tidak ada orang di dalam.

Tiba-tiba, terdengar suara lirih menjerit

"Auh...mengape tidak ketuk pintu dulu," teriak suara perempuan dari balik pintu kakus itu.

Rupanya di dalam kamar kakus itu sedang ada seorang perempuan, isteri Pak Kartosentono yang sedang nongkrong di jongkokan kakus yang menghadap pintu masuk, melepaskan berak

"Maaf Bu...aku tidak tahu kalau ada orang"

Kata Raden Mas Sumboro tersipu-sipu, sambil kembali keluar kamar kakus itu.

Demi diketahui yang masuk kakus itu Putra Mahkota Kadipaten, yang menjadi tamunya, perempuan itu buru-buru menyudahi beraknya walaupun perutnya masih terasa mules.

Dan segera meninggalkan putra mahkota itu, sambil tidak lupa memberi hormat menyembah, terus masuk ke dalam rumah.

Darah muda Raden Mas Sumboro berdesir keras setelah menyaksikan apa yang baru saja dilihat dari kemolekan paras perempuan tadi.

Ia sempat melihat bagian-bagian perempuan tadi yang sedang nongkrong menghadap di depannya ketika ia masuk ke kakus itu.

Semalaman ia tidak bisa tidur.

Akhirnya ia keluar tekadnya meminta pertimbangan kepada penasehat spiritualnya.

Seorang yang berperawakan seperti Durno dalam kisah pewayangan, yang disebut namanya sebagai Empu Tonggreng itu, ternyata mempunyai peranan kuat dalam tiap kali memberikan nasehat-nasehat kepada Putra Mahkota Kadipaten itu.

Menurut nasehat Empu Tonggreng yang dituturkan kepada Putra Mahkota Kadipaten itu.

"Sebaiknya Anak mas Sumboro menyuruh salah seorang punggawa untuk membangunkan Pak Kartosentono." Usul Empu Tonggreng kepada Putra Mahkota Kadipaten. Oleh karena itu, tidak berapa lama muncul Pak Kartosentono tergagap-gagap menghadap putra mahkota di kamarnya itu dalam keadaan setengah mengantuk. Setelah menyembah, ia duduk di bawah bersila sambil kepalanya menunduk menghadap Putra Mahkota Kadipaten itu.

"Hamba menghadap Raden Mas Sumboro," kata Pak Kartosentono takjim sambil bersila sangat sopan.

"Maaf Pak Kartosentono. Saya ingin membuat repot Bapak. Aku baru saja bertemu dengan isteri Bapak.."

Tiba-tiba kata-kata Raden Mas Sumboro berhenti. Dan Pak Kartosentono makin ketakutan hanya menunduk diam, kesalahan apa yang telah diperbuat oleh isterinya.

"Kal...kal...kalau tidak keberatan, apa...ap...apa... apa..Pak Kartosentono...bis..bis...bis...bisa.... Tidak keberatan isteri bapak untuk menemani aku tidur malam ini saja. Aku tidak bisa tidur sejak tadi,"

Tiba-tiba ujar Putra Mahkota Kadipaten itu terbata-bata.

Tidak ada suara.

Semuanya jadi hening, Pak Kartosentono dalam keadaan tersilap, harus menjawab bagaimana.

Hatinya makin kecut.

Apakah sebenarnya yang ingin dimaui putra mahkota itu.

Kalau saja ia harus menyerahkan isterinya, bagaimana mungkin.

Namanya saja sudah isteri yang disayang-sayang dimanja-manja, dan mana mungkin diserahkan begitu saja kepada laki-laki lain .Demikian juga sebaliknya.

Tidak menyerahkan, juga takut akan mendapatkan amarah

"Jangan khawatir Pak Karto, aku akan perlakukan dengan baik isteri Pak Karto...Sudah berapa banyak anak Bapak," sambung Putra Mahkota Kadipaten itu lagi.

"Eh...eh... belum punya anak Den. Itu sebenarnya isteri muda saya. Isteri saya yang pertama saya cerai karena juga tidak punya anak. Ini yang kedua sudah tiga tahun juga belum punya anak," jawab Pak Kartosentono polos.

"Baik kalau begitu kebetulan, siapa tahu dengan kedatanganku ini akan menolong Bapak untuk mendapatkan anak," ujar Putra Mahkota Kadipaten itu nampak lebih bersemangat. Demi mendengar soal anak itu, tiba-tiba pikiran Pak Kartosentono berubah. Inilah barangkali kesempatan baik untuk membalas dendam kepada teman-temannya sesama pedagang yang sering mengejeknya ia sebagai laki-laki mandul. Tidak bisa membuahi isterinya. Tidak bisa punya anak. Maka tanpa pikir panjang lagi ia menyetujui untuk menyerahkan isterinya itu untuk digauli Putra Mahkota Kadipaten itu.

"Kalau demikian. Si...si.silakan saja Den...silakan Aden pakai saja...kalau Aden suka. Hamba tidak apa-apa menyerahkan isteri Hamba demi untuk Aden," kata Pak Kartosentono sambil menunjukkan suasana wajah yang ceria, bahkan hatinya nampak suka cita. Lalu ia memanggil isterinya yang sedari tadi ikut mendengarkan dari balik bilik. Walaupun agak keberatan, namun karena ini dianggap sebagai perintah Putera Adipati, maka akhirnya isterinya pun yang bernama Waijah Sarirupi itu menuruti saja kehendaknya untuk pindah ke kamar yang digunakan bermalam Putra Mahkota Adipati itu.

Paginya, seperti biasa, antara Putra Mahkota Kadipaten dan isteri Pak Kartosentono, nampak tidak pernah terjadi apa-apa semalam. Putra mahkota Adipati beserta para punggawa itu pun kemudian meninggalkan Dukuh Bubadan untuk pergi berburu babi hutan di hutan Gorang-Gareng yang masih lumayan jauh dari Dukuh Bubadan itu.

*****

SELANG tiga bulan dari kejadian bermalamnya putra mahkota Kadipaten, Raden Mas Sumboro, di Dukuh Bubadan, agaknya Waijah Sarirupi, isteri Pak Kartosentono mulai memperlihatkan tanda-tanda kehamilan. Sering muntah-muntah, perutnya nampak mulai agak membuncit, dan jalannya pun mulai kelihatan tertatih- tatih.

"Pak, kayaknya aku mau bunting, Pak," kata Waijah Sarirupi pada suatu sore hari yang cerah kepada suaminya Pak Kartosentono yang duduk tidak jauh darinya sedang menghitung uang hasil penjualan dagangannya hari itu.

"Hah...Apa. Kamu meteng.Sudah bunting"

Kata Pak Kartosentono kelihatan terkejut mendengar ucapan isterinya itu

"Benar Pak,"

Jawab Waijah Sarirupi dengan muka pucat

"Wah, hebat kamu, Nduk.
Ini namanya baru rejeki. Peristiwa ini harus dirayakan dengan hebat. Perlu diperingati besar-besaran. Diadakan selamatan yang meriah.
Kini aku benar-benar jadi laki-laki jantan.
Bisa punya anak.
Aku akan umumkan kepada semua handai- taulan, kerabat karib, teman-teman dagangku.
Aku akan punya anakkkkkkkk...ha...ha.
ha...Tidak ada rejeki yang paling besar kecuali mempunyai anak.
Rejeki uang dapat dicari.
Tetapi rejeki anak, baru kali ini aku dapat merasakan nikmatnya dan bahagianya hati ini..ha..ha..ha" tawa Pak Kartosentono dengan suara riang gembira.

Ketika itu ia sedang menghitung uang dari hasil penjualan dagangannya di kota hari itu.

Uang yang sudah diatur rapi dan sebagian sudah dihitung itu diambilnya ditebarkan ke atas seperti hujan uang.
Warok Ponorogo 5 Tragedi Perempuan Kampung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Wajah Pak Kartosentono pun nampak berseri-seri kegembiraan mengumpulkan kembali uang-uang yang berceceran baru saja ditebarkan ke atas itu.

Perilakunya berubah seperti anak kecil yang sedang kegirangan mendapatkan hadiah.

Sebaliknya muka Waijah Sarirupi kelihatan malah semakin pucat.

Ia tahu benar anak yang dikandungnya itu bukan hasil dari pembuahan suaminya itu.

Akan tetapi dari hasil perhubungan dengan Putra Mahkota Adipati yang berkunjung dan bermalam di rumahnya tempo hari itu.

"Bapak senang, saya dapat bunting begini ?"

Tanya Waijah Sarirupi kemudian.

"Iya. Tentu. Tentu saja. Aku sangat senangggggg. Bagai- mana aku tidak senang wong mau punya anak dari isterinya sendiri kok. Tentu aku sangat senang. Aku sangat beruntung akan mendapatkan anak dari perutmu ini, Nduk "
sambil kegirangan Pak Kartosentono meloncat mendekati isterinya. Kemudian, memeluknya erat-erat isterinya itu yang dianggapnya akan memberikan anugerah bagi hidupnya. Benar-benar membahagiakan Pak Kartosentono yang sudah akan memasuki usia baya itu, lantaran akan datangnya seorang anak dari perut isterinya yang cantik jelita yang selama ini 'dinanti- nantikan kehadiran seorang bayi ditengah-tengah keluarga ini.

"Nduk, engkau memang benar-benar luar biasa. Engkau telah memberikan segalanya bagiku. Aku sangat bersyukur mempunyai isteri seperti kamu ini. Sudah cantik, merak ati, bongoh, sengoh, juga andemenakake,"

Ujar Pak Kartosentono tidak habis-habisnya memuji kelebihan isterinya itu dengan penuh kasih sayang kepada isterinya itu, sambil tangannya dengan lembut mengelus-elus keningnya, membelai rambut isterinya yang berambut mayang sari itu, dan terutama beberapa kali mengelus-elus perut Waijah Sarirupi yang mulai agak membuncit itu.

Waijah Sarirupi, isterinya itu, mukanya terus menjadi pucat pasi, ia hanya bisa menundukkan kepalanya dengan perasaan yang tidak menentu melihat tingkah aneh suaminya itu.

Harus bilang apa.

Mungkin suaminya sudah mulai pikun mengingat usianya yang sudah tergolong lewat tengah baya dan mendekati umur ketuaan.

Hanya saja memang, semangat hidupnya tetap menyala-nyale seperti pemuda yang tidak pernah padam dan tidak pernah merasa dirinya telah tua.

Itulah perwujudan watak Pak Kartosentono, pedagang kaya di Dukuh Bubadan yang telah termashur namanya, baik di kampungnya maupun para pedagang di kota kadipaten Ponorogo banyak mengenal dirinya sebagai seorang pedagang sejati yang ulet berusaha.

******

SETELAH memasuki pada bulan ke tujuh, kandungan Waijah Sarirupi isteri Pak Kartosentono yang nampak makin membesar itu, oleh keluarganya kemudian diadakan acara upacara selamatan Selapanan".

Pada acara ini selain dilakukan upacara adat, juga diadakan perayaan yang meriah.

Sampai diadakan tanggapan wayang kulit tujuh hari tujuh malam dan acara ruwatan segala.

Mendatangkan pertunjukan Reog Ponorogo tujuh hari penuh, para penunggang "kuda* jatilan itu menari di jalanan tidak ada henti-hentinya keliling kampung- kampung pada tiap harinya.

Penduduk dari kampung- kampung tetangga sebelah pun pada berduyun-duyun berdatangan ke Dukuh Bubadan itu ikut meramaikan suasana.

Mereka butuh menghibur diri masing-masing yang sudah lama tidak menyaksikan pertunjukan Reog Ponorogo yang gegap gempita dibawakan oleh para pemainnya yang penuh semangat, suara tetabuhannya berdengung sampai terdengar ke sebelah, kampung-kampung tetangga.

Malam harinya, semaiam suntuk para tamu disuguhi pertunjukan wayang kulit yang amat digemari oleh penduduk setempet, merupakan tanggapan dari keluarga Pak Kartosentono seorang pedagang kaya yang makin tersohor namanya pada zaman tu.

Makanan-makanan yang lezat-lezat, terutama makanan khas masyarakat setempat sate ayam Ponorogo yang amat digemari orang-orang, dan berbagai jenis minuman seperti wedang jahe, kopi nasgitel, dihidangkan sepanjang malam, dan siang hari dawet cendol, kepada tamu-tamu yang datang terus membanjir memenuhi halaman rumah besar keluarga Pak Kartosentono yang diubah seperti layaknya sebuah tonil panggung gembira.

Mereka dengan suka cita menyaksikan acara pementasan wayang kulit itu yang dalangnya didatangkan khusus dari kota Kartosuro yang sudah 'kondang sak onang onang namanya Ki Dalang Dharmo Pendem.

Cara memperagakan urutan ceritera yang nampak tertata apik dan banyak 'guyonannya', terutama saat dilangsungkan acara Goro-Goro pada tengah malam ketika para anak-anak kecil sudah tertidur lelap, banyak orang tertawa terpingkal-pingkal ger-geran tidak ada habis- habisnya ketika Pak Dalang bersaut-sautan dengan jejeran para pesinden yang nampak berdandan menor-menor sedhet banyak menyajikan sindiran-sindiran yang agak berbau cabul mengenai urusan perhubungan birahi antara laki-laki dan perempuan.

Pertunjukan wayang kulit itu sendiri mengambil ceritera, Gatutkoco lahir yang mengisahkan lahirnya seorang satria, cucu Pandu pendiri Dinasti Pandawa dalam kisah pewayangan yang amat terkenal waktu itu.

Sejak peristiwa pesta meriah malam itu di rumah Pak Kartosentono, banyak ceritera burung yang beredar.

Pendek kata, Pak Kartosentono sekarang menjadi buah-bibir pembicaraan masyarakat luas.

Ia dianggap sebagai sosok usahawan sukses.

Selain dikenal sebagai orang kaya, ia juga dianggap sebagai seorang dermawan, dan baik hati suka menolong kesusahan orang lain.

Pendeknya ia menjadi manusia idola di kampungnya dan kampung-kampung tetangganya.

Di samping dikenal mempunyai isteri yang cantik jelita yang pada malam hiburan itu dipamerkan kepada khalayak ramai, masyarakat pengunjung, tamu-tamu yang berjubel menghadiri undangan keluarga Pak Kartosentono malam itu pun ikut menyaksikan mengenai kehamilan isterinya itu yang sudah kelihatan dari perutnya yang menjembul membuncit itu.

Dengan tersenyum lepas, Pak Kartosentono dengan bangga memberikan sambutan mengenai maksud diadakan acara selamatan ini untuk mensyukuri nikmat atas telah mengandungnya isteri tercintanya, Waijah Sarirupi itu.

"Mudah-mudahan anak yang dikandungnya selamat. Dan kelak di kemudian hari mudah-mudahan pula akan lahir jabang bayi laki- laki, seorang satria yang akan berguna bagi masyarakat. Seorang satria yang memiliki Waseso Segoro memiliki wawasan yang luas, Satria Wibowo selalu memperoleh keberuntungan, dan Sumur Sinobo yaitu orang yang selalu suka menolong terhadap sesama."

Demikian kira-kira ringkasan sambutan keluarga Pak Kartosentono yang pada malam hari itu dibawakan secara takjim oleh seorang sahabat karib dekatnya bernama Pak Kardjo Pranyono yang malam itu secara rapi mengenakan pakaian adat, pakaian khas daerah, yang membawa nama kebesaran bagi tradisi Ponorogo yang sangat dibanggakan oleh masyarakat setempat pada waktu itu.

****

SEMINGGU setelah berlangsunganya pesta meriah di rumah keluarga Pak Kartosentono itu, pada suatu malam hari, Warok Wirodigdo sebagai sesepuh dan pelindung Dukuh Bubadan itu, datang bertamu ke rumah keluarga Pak Kartosentono. Keluarga Pak Kertosentono yang dianggapnya juga sebagai seorang dermawan yang banyak membantu orang susah di Padukuhan Bubadan itu sehingga sering mendapatkan simpatik dari banyak orang, termasuk Warok Wirodigdo yang sangat menaruh hormat kepada keluarga Pak Kartosentono ini. Warok Wirodigdo yang berilmu tinggi dan waskita itu, segera dapat membaca apa yang terjadi pada keanehan warga Dukuh Bubadan ini. Terutama terhadap kehidupan keluarga Pak Kartosentono yang terkenal sebagai orang kayanya di Dukuh Bubadan ini. Tiba-tiba isterinya bunting, dan dirayakan pesta ria sampai menanggap wayang kulit semalam suntuk, dan pertunjukan reog yang tiada henti-hentinya tiap hari.

Apakah Pak Kartosentono merasa dihinakan oleh perlakuan yang kurang ajar dari Putra Mahkota Adipati dengan adanya kejadian malam itu. reaksi Warok Wirodigdo menunjukkan muka penuh keprihatinan setelah mendapatkan ceritera panjang-lebar dari Pak Kartosentono mengenal peristiwa yang dilakukan oleh Putra Mahkota Adipati terhadap isterinya, Waijah Sarirupi pada malam hari itu. Pak Kartosentono tidak bisa berbuat apa-apa terhadap kedatangan Warok Wirodigdo malam-malam ini kecuali menceriterakan hal yang sebenarnya terjadi. Tidak berceritera pun, Warok Wirodigdo pun juga pasti sudah tahu dengan hanya melihat dari mata hatinya ia mengerti segala hal yang terjadi terhadap warga Dukuh Bubadan ini.

"Kalau memang merasa dihinakan," lanjut Warok Wirodigdo,

"Aku sanggup untuk berbuat apa saja demi kebaikan keluarga Pak Kartosentono. Aku bersedia menantas perkara ini, bila perlu membela sampai matiku aku menyanggupkan diri. Aku akan meminta seluruh penduduk untuk tidak mau membayar upeti atas imbalan yang menimpa kehormatan keluarga Pak Karto, Dan aku yang akan menjadi tumbalnya dari peristiwa ini. Kalau mendapat amarah dari Kadipaten, aku yang akan menanggungnya sendirian," tegas Warok Wirodigdo sebagai orang yang pernah mengabdikan diri bertahun-tahun ketika masih berdiri kerajaan Bantaran Angin dahulu, dan kemudian keluar ketika kedudukan kerajaan Bantaran Angin berubah menjadi Kadipaten di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit sampai seperti sekarang ini.

"Maafkan saya, Kangmas Wirodigdo. Saya mengucapkan terima kasih banyak atas segala perhatian dan pembelaan Kangmas. Akan tetapi, saya mohon kepada Kangmas Wirodigdo, agar masalah ini Kangmas rahasiakan saja. Hal ini hanya Kangmas yang tahu. Sebaiknya tidak perlu dibuat perkara berkepanjangan, justeru saya yang bangga dengan adanya kehamilan ister?ku itu, lantaran selama hidupku aku belum pernah punya anak, dan kini isteriku telah hamil. Entah apa pun yang menjadi penyebab ini semuanya, saya tidak ambil peduli. Mohon pengertian, Kangmas saja."

"Ohhhh, jadi begitu tho, Pak Karto."

"Benar, Kangmas Wirodigdo. Saya ihklas kok. Biarlah anak dalam kandungan isteriku itu lahir dengan selamat, dan dapat tumbuh dewasa menjadi anakku. Mohon dengan kerendahan hati Kangmas Wirodigdo, sekiranya hal ini jangan sampai diberitahukan kepada siapa pun mengenai rahasia siapa sebenarnya ayah dari anak itu. Saya benar-benar mohon kearifan Kangmas Wirodigdo sebagai orang yang bijaksana dan berilmu tinggi, juga sebagai pelindung penduduk dukuh kita selama ini," pinta Pak Kartosentono menunjukkan wajah memelas.

"Baiklah kalau memang demikian kemauan Pak Karto. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya hanya ingin menegakkan keadilan dan memberantas kesewenangan .Saya akan pegang janji untuk merahasiakan hal ini, kalau itu yang Pak Karto minta,"

Kata Warok Wirodigdo merendah.

"Terima kasih sebesar-besarnya lho, Kangmas Wirodigdo,"

Balas Pak Kartosentono memperlihatkan wajah cerah.

Sejak pertemuan antara Warok Wirodigdo dengan Pak Kartosentono malam itu, agaknya Warok Wirodigdo selama ini lebih baik mengambil sikap diam dan waspada.

Ia telah menepati janjinya untuk tetap merahasiakan mengenai siapa sesungguhnya ayah dari anak yang kini sedang dikandung oleh isteri Pak Kartosentono itu.

*****

KEMELUT KADIPATEN .

Ponorogo sedang dirundung kesedihan, Adipati Nagoro yang bergelar Kanjeng Raden Adipati Sampurnoaji Wibowo Mukti mangkat.

Akhirnya atas persetujuan Prabu Brawijaya, Raja Majapahit yang menguasai daerah Kadipaten Ponorogo, diangkatiah putra mahkota Raden Mas Sumboro menjadi Adipati menggantikan kedudukan ayahandanya, dengan menyandang nama baru Kanjeng Gusti Adipati Raden Mas Sumboro Mukti Wibowo.

Sudah lima tahun menduduki jabatan Adipati, belum ada berita Kanjeng Gusti Adipati mempunyai keturunan anak.

Isterinya yang bernama Raden Ajeng Roro Lestari Kusumadewi belum menunjukkan tanda-tanda kehamilan nya.

Sudah banyak para ahli ketabiban dan kebidanan didatangkan untuk memeriksa kesehatan isterinya, tetapi belum juga berhasil.

Akhirnya Kanjeng Gusti Adipati mengambil isteri lagi.

Dari isteri yang kedua ini pun juga belum punya anak. Kemudian beliau mengawini lagi seorang dayangnya yang kelihatan subur merekah, untuk menjadi selirnya.

Para pujangga Kadipaten menasehati bahwa dayang yang dikawini itu punya garis keturunan yang baik, tetapi sudah tiga tahun dikawini terrnyata juga belum memperlihatkan kehamilan.

Barangkali Sang Hyang Tunggal sedang mencampakkan dirinya yang pernah berbuat salah, atau oleh sebab-sebab lain yang dibuat para dukun yang sedang menghalanginya dengan maksud-maksud tertentu.

Para ahli spiritual keraton kadipaten sudah dikerahkan, tetapi belum juga membawa hasil.

Akhirnya Raden Gusti Adipati, berdiam diri, sudah tiga isteri dimiliki tidak ada satu pun yang dapat memberikan keturunan.

Pada suatu hari ia ingat pada Waijah Sarirupi, perempuan Dukuh Bubadan di pinggir hutan, isteri Pak Kartosentono yang pernah digauli semalam yang konon menurut laporan punggawanya ia waktu itu terus hamil dan punya anak laki-laki.

Maka diam-diam Raden Adipati mengirim utusan untuk menyelidiki.

Begaimana keadaan putranya itu, dan juga bagaimana kondisi ibunya, apakah masih secantik seperti dulu .Laporan para punggawa yang diutus untuk menyelidiki itu pun cukup menggembirakan.

Perempuan itu kini masih tinggal di Dukuh Bubadan itu bersama suaminya yang dulu juga, Pak Kartosentono.

Setelah mendengar semua laporan punggawa kepercayaannya itu dalam benak Raden Gusti Adipati timbul minat untuk mengawininya, dan akan mengambil anaknya dari hubungan gelapnya dulu itu sebagai putra mahkota Kadipaten.

Sikap Adipati ini telah menampar muka Pak Kartosentono yang selama ini merahasiakan mengenai peristiwa itu dan anaknya yang sudah dikenal masyarakat sebagai anak kandung Pak Kartosentono.

Malahan selama ini Pak Kartosentono sangat bangga sebab dapat memamerkan kepada teman-temannya bahwa ia mampu punya anak laki-laki, dan terbukti ia bukan laki-laki mandul yang sering dituduhkan teman-temannya itu, maka dengan terbukanya kedok itu, bahkan akan diambilnya isterinya itu, ia diam-dian menjadi berang dan menyimpan dendam kesumat kepada Kanjeng Gusti Adipati Raden Mas Sumboro Mukti Wibowo karena rasa malu yang tak tertanggungkan itu.

Maka ia pun kemudian menghadap Warok Wirodigdo untuk minta pertimbangan keadilan.

Warok menyanggupi seperti yang dulu pernah diucapkan ia akan membela sampai mati.

Maka kali ini Pak Kartosentono memberikan sikap tegasnya.

Menolak mentah-mentah kemauan Raden Gusti Adipati.

Dalam surat balasan yang disampaikan kepada punggawa Kadipaten itu ia mengatakan.

"Saya telah memberikan pengorbanan kepada Kanjeng Adipati dengan menyerahkan isteri yang saya cintai, demi penghormatan saya kepada Kanjeng Gusti Adipati. Akan tetapi kalau sudah diberi hati jangan merogoh rempela. Itu tidak baik bagi kedudukan Karjeng Adipati Untuk permintaan menyerahkan isteri dan anak itu sama saja saya menyerahkan jiwa raga saya. Mohon ampun, kami tidak bisa menyerahkan."

Setelah membaca surat balasan dari Pak Kartosentono itu terlihat dari mukanya, Raden Kanjeng Adipati marah sekali. Dan tanpa pikir panjang ia menyuruh kepada kepala pengawalan Kadipaten untuk mengirim punggawa perangnya agar memberi pelajaran kepada Pak Kartosentono yang dianggap telah berani menghina kedudukan Kanjeng Gusti Adipati Raden Mas Sumboro Mukti Wibowo. Namun naas nasib para punggawa perang yang dikirim itu. Tidak diduga sebelumnya, ternyata para punggawa itu bukannya berhadapan langsung dengan Pak Kartosentono pedagang hasil tani dari Dukuh Bubadan itu, tetapi harus berhadapan terlebih dahulu dengan Warok Wirodigdo yang terkenal sakti mandraguna itu, yang sudah sejak pagi hari mencegat di pintu masuk gapura Dukuh Bubadan itu.

"Kalau mau saya nasehati, sayangi nyawamu, dan urungkan niatmu mematuhi maksud buruk Kanjeng Gusti Adipati yang mursal itu. Tetapi kalau nekat, jangan salahkan aku kalau sampai ajalmu, kau akan mati sia-sia," begitu sergah Warok Wirodigdo menghadapi pasukan perang utusan dari Kadipaten itu. Akhirnya perkelahian pun tidak bisa dihindarkan. Para punggawa tidak berani pulang kembali ke Kadipaten kalau belum menjalankan tugas yang dilimpahkan kepadanya. Kalau mau nekat berarti berhadapan dengan Warok Wirodigdo yang terkenal perkasa itu. Maka dalam waktu yang tidak lama, tubuh-tubuh para punggawa itu sudah bergelimpangan bercucuran darah ,mereka tergores oleh senjata tajam yang dibawanya sendiri. Sedangkan Warok Wirodigdo hanya menyabetkan kolor putihnya yang panjang itu melingkar-lingkar di udara, satu per satu para punggawa itu roboh kesakitan.

"Aku tidak ingin membunuh kalian. Hayo bangunlah, dan tinggalkan Dukuh Bubadan ini dan laporkan kepada Kanjeng Adipati supaya bisa bertindak adil."

Demi mendengar ucapan Warok Wirodigdo yang masih memberikan kesempatan hidup kepada para punggawa itu, maka seketika para punggawa itu bangkit sempoyongan sambil menahan sakit luka-luka itu berusaha menaiki kuda-kudanya lari kembali ke Kadipaten Ponorogo meninggalkan Warok Wirodigdo yang berdiri gagah di tengah gapura Dukuh Bubadan itu. Rupanya, setelah mendengar laporan para punggawa itu, Kanjeng Gusti Adipati malahan penasaran, dan timbul amarahnya, peristiwa ini dianggap sebagai tamparan terhadap kewibawaan Kadipaten, maka ia bertubi-tubi mengirim parajagoan punggawa yang berilmu kanuragan lebih tinggi untuk menangkap Warok Wirodigdo ,peristiwa itu telah membawa korban banyak punggawa Kadipaten yang dikirim, dan konon ada yang terpaksa menemui ajalnya di tangan warok sakti itu.

Setelah mendengar peristiwa naas itu, para penasehat spiritual Kadipaten turun tangan, ikut urun rembug mencoba memberikan pandangan kepada Kanjeng Gusti Adipati.

"Nuwun Kanjeng Gusti Adipati. Peristiwa naas ini telah menjadi keprihatinan kami para sesepuh Kadipaten Kami mempunyai pandangan, kalau tujuan Kanjeng Gusti Adipati ingin memperisteri perempuan itu, dan mengambil sekaligus anak yang kini telah tumbuh menjadi bocah itu, tentu ada cara lain yang lebih bijaksana."

"Apa itu cara yang lebih bijaksarna, Paman," tanya Kanjeng Adipati yang nampaknya sudah mulai tenang.

"Kita harus lakukan perbaikan hubungan dengan laki- laki, si suami perempuan itu."

"Caranya bagaimana ?.

"Kita kirim utusan untuk memberitahu bahwa kejadian ini adalah kesalahpahaman. Ada kekeliruan di tingkat pelaksana, kekeliruan oleh para punggawa kita. Dan Kanjeng Adipati tidak pernah memerintahkan soal ini. Dan untuk itu, kita mengundang laki-laki itu, Kartosentono untuk datang di pesta Kadipaten sebagai tanda kehormatan atas penyesalan kejadian tragis yang salah oleh para punggawa kita itu."

Atas saran para sesepuh Kadipaten itu, Kanjeng Gusti Adipati, langsung saja menyetujuinya.

Kartosentono, laki-laki malang itu benar juga bersedia diundang pesta.

Dalam pertemuannya dengan seorang penggede Kadipaten yang datang diutus khusus oleh Kanjeng Adipati untuk bertamu ke rumah Karto sentono dikemukan alasan undangan itu bahwa lantaran ingin membalas budi baik di masa lalu yang diberikan Pak Kartosentono, telah bersedia meminjamkan isterinya dipakai Kanjeng Adipati waktu masih muda dahulu, maka Kanjeng Adipati bermaksud akan memberikan imbalan sesuai kedudukan Pak Kartosentono sebagai pedagang.

Pak Kartosentono rupanya benar-benar tergiur oleh penawaran Kanjeng Gusti Adipati yang akan memberikan prioritas sebuah kios di pasar Kadipaten Ponorogo yang bergengsi itu.
Warok Ponorogo 5 Tragedi Perempuan Kampung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Karena pekerjaarnya berdagang, maka penawaran menarik yang akan membawa keuntungan itu telah mendorongnya untuk mengadakan persekutuan dagang dengan Kanjeng Adipati yang nantinya akan dibicarakan langsung dengan Kanjeng Adipati di pesta nanti. Sebelum memberikan jawaban kesediaan untuk hadir pada pesta di Kadipaten itu, Pak Kartosentono menemui terlebih dahulu Warok Wirodigdo yang waskita itu untuk minta pertimbangan.

Warok Wirodigdo menasehati, agar Pak Kartosentono tidak perlu datang di pesta yang akan diadakan itu, karena akan membawa celaka.

Rupanya nasehat warok yang sakti itu, kali ini tidak digubris.

Agaknya Pak Kartosentono lebih menemukan alasan yang lebih masuk akal untuk datang ke pesta sebagai balas budi Kanjeng Gusti Adipati kepadanya yang telah berbaik kepadanya di masa lalu itu tinimbang ada rencana jahat seperti yang dituturkan Warok Wirodigdo itu.

Maka diputuskan untuk menghadiri pesta itu secara diam-diam, tanpa memberitahu Warok Wirodigdo, bahkan ia membawa serta isterinya untuk berangkat mengendarai dokar kudanya yang dikendalikan kusir kepercayaannya Si Trimo.

Laki-laki muda yang pandai bermain pencak-silat itu sekaligus diangkat sebagai pengawal pribadinya untuk menjaga keselamatan diri dan keluarganya di perjalanan.

Malam ini, nampak Pak Kartosentono didampingi isterinya yang cantik jelita Waijah Sarirupi yang mengenakan kebaya lurik coklat, berdua telah duduk berhadapan dengan Kanjeng Gusti Adipati beserta para penggede yang terbatas diundang untuk acara makan malam itu di ruang samping gedung Kadipaten.

Mata Kanjeng Gusti Adipati nampak tidak berkedip setelah menemui perempuan molek itu.
Kelihatan kesengsem, hatinya terpana, terpikat berat.

Timbul sensasi dalam benaknya.

"Inikah perempuan yang dulu tidak pernah aku lihat secara jelas wajahnya karena gelap malam di kampung, dan pagi-pagi buru-buru pergi sebelum matahari terbit, jadi aku tidak pernah memperhatikan secara jelas wajahnya. Hanya tubuhnya lamat-lamat pernah diingat, tapi waktu itu dianggap tidak penting, sebab yang dicari hanya untuk melepaskan nafsu birahinya yang tiba-tiba bergolak, jadi soal tubuh dan wajah tidak perah terlintas. Dan kini baru pertama kali sempat memperhatikan sekujur tubuh perempuan yang dandanannya sangat sederhana itu

"Mari Pak Kartosentono. Silakan makan hidangan ala kadarnya ini," kata Kanjeng Gusti Adipati dengan penuh keramahan memecahkan kesunyian. Dan diikuti oleh semua undangan yang berjumlah hanya enam orang.

Heran juga katanya mengadakan pesta mengapa yang datang hanya kurang dari sepuluh orang, dan tidak ada gamelan penari, atau apa-apa yang selama ini pernah didengar dari penuturan orang pesta Kadipaten biasanya sangat meriah.

Begitu yang berputar dalam benak Pak Kartosentono.

Suasananya pun agak kaku, semua bersantap malam dan berdiam diri kalau tidak ditanya oleh Kanjeng Gusti Adtpati.

Sedangkan Kanjeng Adipati juga berdiam diri, pikirannya sedang terhanyut oleh fantasi perempuan yang dihadapannya itu.

Jadi suasananya benar-benar hening, hanya sekali-sekali terdengar suara sendok beradu dengan piring .Setelah bersantap malam, Kanjeng Gusti Adipati memerintahkan kepada seorang punggawanya mengambilkan surat penggunaan kios pasar yang telah disiapkan untuk diberikan kepada Pak Kartosentono.

"Ini Pak Karto surat pelimpahan wewenang penggunaan kios pasar Kadipaten.
Bapak mulai besuk sudah dapat menggunakan untuk berdagang" kata Kanjeng Gusti Adipati sambil memperlihatkan muka manis, kemudian membubuhkan tanda tangannya, dan lembaran surat itu diserahkan kepada Pak Kartosentono yang menerimanya dengan suka cita.

"Terima kasih Kanjeng Gusti Adipati.
Terima kasih," balas Pak Kartosentono kegirangan sambil mencium telapak tangan Kanjeng Gusti Adipati itu.

"Dan ini seperangkat pakaian ksatria untuk digunakan putra Pak Karto", kata Kanjeng Gusti Adipati sambil mendekati isteri Pak Kartosentono untuk menyerahkan bungkusan itu.

Tangan Kanjeng Gusti Adipati nampak gemetaran ketika menyentuh tangan perempuan itu untuk memberikan jabat tangannya.

"Matur mawun, Ndoro. Terima kasih, Paduka," ucap Waijah Sarirupi, sambil membungkuk menyembah memberi hormat.

"Nah, sekarang kita minum-minum di kursi sebelah sana," kata Kanjeng Gusti Adipati sambil menunjuk deretan meja bundar yang telah siap di sudut ruangan penuh dengan macam-macam minuman. Di tiap kursi sudah ada tanda nama-nama tiap tamu yang hadir. Setiap tamu dipersilahkan mencari tempat sesuai yang telah ditentukan

"Silakan. Hayo diminum ini arak asli dari Majapahit. Rasanya lezat, didatangkan dari negeri daratan Cina," kata Kanjeng Gusti Adipati. Semua mengambil gelas masing-masing. Kartosentono dan isterinya sebenarnya tidak menyukai tuak, dan belum pernah meminumnya, tetapi demi penghormatan kepada Kanjeng Adipati, isi gelas itu diminum sampai habis seperti juga yang dilakukan oleh para tamu yang lain.

"Baiklah bapak-bapak dan ibu, kita telah selesaikan santap malam dan acara minum tuak malam ini. Aku ucapkan terima kasih atas kehadirannya pada pesta keluarga malam ini," sambil berkata demikian, Kanjeng Adipati, terus tangannya menjulurkan ke tiap tamunya untuk berjabat tangan yang semuanya menyambutnya dengan memberikan sungkem. Suatu hal yang jarang dilakukan, Karjeng Adipati sempat mengantarkan kepada semua tamunya sampai di depan pendopo kadipaten ketika kuda-kuda yang menarik dokar itu mendekat ke tangga pendopo itu untuk membawa para penumpang pulang ke rumah masing-masing.

******

TERKENA MUSIBAH.

DALAM perjalanan pulang dari pesta di Kadipaten malam itu, nampak pasangan suami-isteri Kartosentono dan Waijah Sarirupi bersuka cita atas sikap hangat penyambutan yang ditunjukkan oleh Kanjeng Adipati terhadap mereka berdua. Dianggapnya sebagai kebaikan yang sangat ramah dan menghormatinya

"Ini baru namanya kebehagiaan bagi kita, Nduk," kata Pak Kartosentono kepada isteri setianya, yang duduk di sebelahnya di dalam kereta dokar, nampak mereka puas atas pelayanan yang baru saja diterimanya dari pesta di kadipaten itu

"Ya. Kangmas. Kenapa Kanjeng Gusti Adipati bersikap baik sekali yah. Sampai mau-maunya mengadakan pesta makan malam untuk kita, kalau hanya mau menyerahkan surat-surat kios pasar," kata isterinya.

"Yah itu tadi. Karena beliau itu ingin memberikan balas jasa, atas segala pengorbanan kita kepada beliau. Kita telah menyambutnya sebagai tuan rumah yang baik waktu beliau berkunjung ke rumah kita dulu itu. Bahkan sampai engkau memberikan penghormatan yang tidak sepantasnya, dan tidak seharusnya diberikan, tetapi kita pun bersedia memberikan kepantasan yang dirasa perlu untuk menghormati tamu kita seorang Putra Mahkota Adipati pada waktu itu," kata Pak Kartosentono terlihat tersenyum-senyum senang sambil memandangi isterinya yang duduk di sebelahnya.

"Setelah ini kita akan bisa memajukan usaha kita."

Tapi tiba-tiba pembicaraan Pak Kartosentono terhenti, ia memegangi perutnya.

"Kenapa Kangmas..." tanya isterinya yang segera mendekat dan ikut memegangi perut suaminya itu, apa gerangan yang terjadi terhadap suaminya.

"Tidak apa-apa. Saya barangkali mau muntah, mungkin kekenyangan makan tadi. Perut saya terasa mulas, dan tenggorokanku terasa panas,"

Ujar Pak Kartosentono.

"Tapi, mulut Kangmas mengeluarkan busa.
Badan Kangmas tiba-tiba menjadi berkeringat dingin begini..."

kata isterinya nampak kebingungan melihat perubahan keadaan badan suaminya yang begitu cepat.

"Tidak apa-apa.
Hanya perutku saja yang terasa mual. Badan rasanya memang agak lemas.
Coba tolong Trimo, berhenti sebentar di dekat sungai itu, aku mau berak dulu,"

Kata Pak Kartosentono memberi perintah kepada kusir setianya yang bernama Trimo itu.

Dokar itu berhenti di dekat tepi sungai, dan Pak Kartosentono dengan dipapah isterinya berjalan gontai mendekati sungai yang tak jauh dari jalan itu.

Sementara itu Kusir Trimo menunggu Dokar itu di tepi jalan.

Lama juga belum kembali pasangan suami isteri itu.

Lalu, timbul keinginan Trimo untuk menengoknya kalau- kalau terjadi sesuatu, atau ada apa-apa terhadap majikannya yang selama ini selalu berbaik hati kepadanya

"Nduk...badanku jadi lemas sekali,"

Kata-kata Pak Kartosentono kepada isterinya yang sedang memegangi sarung suaminya itu.

Suaranya mulai melemah sambil badannya tertelentang di tepi sungai, ia berusaha berak sambil dipegangi isterinya, tetapi tidak bisa.

Perutnya mules berat.

Pandangan matanya berkunang-kunang.

Mulutnya mengeluarkan busa.

Keringat dingin membasahi seluruh tubuh.

Waijah Sarirupi, isterinya kebingungan di samping suaminya yang sudah lemas itu.

Apa yang harus dilakukan demi melihat keadaan suaminya yang tubuhnya mulai mendingin.

Untung segera muncul Trimo kusirnya itu.

"Trimo, tolong Bapak segera dibawa kembali ke Dokar,"

Kata Waijah Sarirupi kepada Trimo kusir Dokar itu.

"Baik Bu,"

Dengan tergopoh-gopoh Trimo berusaha memapah Pak Kartosentono yang sudah lemas itu. Sesampainya di atas Dokar, Trimo segera memacu dokarnya.

"Langsung pulang, apa kembali ke kota mencari Dukun, Bu,"

Tanya Trimo juga nampak kebingungan. Mau dibawa ke mana Pak Kartosentono yang nampak sudah payah sekali itu.

"Kita ke rumah Mbah Dukun Mantri Jopomontro saja di Sumoroto," jawab Waijah Sarirupi yang nampak cemas.

"Baik, Bu," sambil menjawab, Trimo memacu kudanya itu lebih kencang membelok ke arah barat. Malam itu jalan-jalan terasa sepi, jarang ditemui kendaraan berpapasan dengan mereka. Hanya beberapa terdengar suara kuda yang berjalan lambat di belakang. Kusir Trimo terus memacu kudanya dengan kencang sampai seisi penumpang itu tubuhnya terguncang hebat. Jarak tempuh antara kota Kadipeten dan kota Sumoroto memang cukup jauh, tetapi hanya dukun itu satu-satunya yang dapat dianggap mumpuni untuk mengatasi permasalahan gawat seperti sekarang ini. Sesampai di depan rumah Mbah Dukun Mantri Jopomontro di perbatasan kota Sumoroto, terlihat seorang tua nampak sudah menunggu kedatangan suami-isteri Kartosentono itu di pintu depan rumahnya dengan ditemani seorang pembantu laki-laki muda mungkin masih keluarganya sendiri. Rupanya ia mempunyai ilmu tinggi yang dapat membaca isyarat bakal ada tamu yang akan datang, maka ia telah bersiap diri berdiri di depan rumah yang bercat coklat tua itu begitu dokar yang ditumpangi Pak Kartosentono tiba.

Pendekar Naga Geni 19 Tragedi Di Tengah Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Merivale Mall 04 Senyum Abadi
^