Pencarian

Asmara Berdarah 16

Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 16


kan sebatang pedang yang tadi terselip di punggungnya dan suaranya menjadi keren dan ganas ketika ia ber-kata, "Tidak, sekali ini dia tidak boleh lolos. Pekerjaanku di Ceng-tek hampir saja gagal karena campur tangannya."
Kang-thouw Lo-mo juga sudah meng-ambil guci araknya dan membuka tutup guci, minum araknya sambil menyeringai. Hui Song maklum bahwa dia kini meng-hadapi tiga orang musuh besarnya yang pernah hampir menewaskannya di dalam Guba Iblis Neraka. Selain maklum akan kelihaian dan kecurangan mereka, juga dia ingin sekali membalas kelicikan mereka ketika di dalam guha dahulu itu. Sekali ini dia harus dapat membasmi ti-ga orang iblis ini, karena kalau tidak, mereka ini hanya akan menimbulkan kekacauan-kekacauan saja di dalam dunia. Maka, diapun segera menurunkan anak perempuan itu, melepaskannya di bawah sebatang pohon tidak jauh dari situ. "A-dik yang baik, kau duduklah di sini dulu, dan jangan pergi ke manapun," katanya. Anak itu berhenti menangis dan duduk sambil memeluk batang pohon, seolah-o-lah hendak mencari perlindungan pada sebatang pohon yang kokoh kuat itu. Sete-lah melepaskan anak itu, Hui Song mera-sa lega dan dia lalu dengan senyum di bibir, sikapnya tenang dan tabah sekali, menghampiri tiga orang musuh yang su-dah siap mengeroyoknya itu.
"Hui-to Cin-jin, Kang-thouw Lo-mo dan Gui Siang Hwa, kalian ini tiga orang manusia berhati iblis, jangan harap akan dapat melakukan kecurangan lagi kepadaku. Sekali ini aku akan menghajar dan menghukum kalian yang sudah terlalu banyak melakukan dosa!" Pendekar ini me-mang tidak pernah membawa pedang dan sudah biasa menghadapi lawan yang tangguh dengan tangan kosong saja. Bagi se-orang pendekar seperti Hui Song yang sudah mewarisi ilmu-ilmu dari keluarga Cin-ling-pai, bertangan kosongpun tidak kurang berbahayanya daripada kalau dia bersenjata dan setiap benda bisa saja menjadi senjata baginya.
Tiga orang lawan yang sudah meme-gang senjata andalan mereka masing-masing itu melihat Hui Song melangkah maju tanpa senjata, diam-diam merasa gen-tar juga. Orang yang sudah berani maju bertangan kosong, apalagi dengan sikap sedemikian tenangnya, tentu memiliki il-mu silat yang amat tinggi. Dan mereka-pun sudah pernah menguji kehebatan ilmu silat pemuda ini, maka kini mereka bertiga bersikap hati-hati dan diam-diam mereka mempersiapkan senjata rahasia masing-masing. Namun, gerakan mereka itu sudah diketahui oleh Hui Song. Apa-lagi pemuda ini sudah mengenal kecurangan mereka. Kalau dia teringat kepada gadis yang menjadi pujaan hatinya, Sui Cin, yang sekarang entah berada di ma-na, yang mengalami gegar otak dan ke-hilangan ingatannya, bahkan nyaris tewas ketika terkena sambitan batu yang dilon-tarkan oleh Kang-thouw Lo-mo, dia me-rasa sakit hati sekali. Sekali ini dia harus mampu membalaskan penderitaan Sui Cin dan dia sendiri, juga melenyapkan tiga orang manusia jahat ini dari permu-kaan bumi berarti mengurangi terjadinya kejahatan yang timbul dari perbuatan mereka.
"Bocah sombong, bersiaplah untuk mampus!" Tiba-tiba Hui-to Cin-jin menyerang dengan kedua pisaunya. Gerakannya memang cepat dan lengannya yang pan-jang itu bergerak dari atas bawah dan kanan kiri, ujung pisaunya yang runcing tajam menyambar-nyambar seperti patuk-an maut. Namun, dengan lincahnya Hui Song mengelak dan menangkis hantaman Kang-thouw Lo-mo yang sudah menyusul pula dengan serangan hantaman ciu-ouw di tangannya.
"Dess...!" Tangkisan Hui Song membuat tubuh gendut itu terhuyung dan pa-da saat itu nampak sinar berkelebat dan tahu-tahu pedang di tangan Siang Hwa telah menyambar ke arah leher Hui Song.
"Mampuslah kau!" bentak Siang Hwa dan pedangnya mengeluarkan suara ber-desing ketika menyambar lewat karena dengan mudah saja Hui Song dapat meng-elak dengan merendahkan dirinya sedang-kan kaki kanan pemuda itu sudah melun-cur ke kanan, menghantam ke arah pe-rut gendut Kang-thouw Lo-mo. Kakek ini terkejut dan menangkis dengan tangan kirinya yang dimiringkan sambil menge-rahkan tenaganya.
"Dukkk...!" Kembali kakek itu terhuyung. Terkejutlah kakek gendut ini. Dia adalah seorang tokoh Cap-sha-kui, yang terkenal memiliki tenaga besar, akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja sudah dua kali dia terhuyung karena terdorong oleh kekuatan besar sekali dalam pertemuan tenaga itu. Hal ini tidaklah mengherankan. Hui Song telah mewarisi tenaga sakti Thian-te Sin-ciang dari ayahnya dan ketika dia digembleng selama tiga tahun oleh Dewa Kipas Siang-kiang Lo-jin, tenaganya itu bertambah kuat saja.
Terjadilah perkelahian yang amat seru antara Hui Song dengan ketiga orang pengeroyoknya. Biarpun tiga orang lawannya mempergunakan senjata, Hui Song sama sekali tidak nampak terdesak. Dengan mudahnya dia dapat mengelak dari semua seranan, atau kadang-kadang menangkis dengan lengannya yang tidak kalah kuatnya dibandingkan dengan senjata lawan. Bahkan jari-jari tangan pemuda ini berani menangkis pedang di tangan Siang Hwa, membuat gadis itu terpekik kagum dan kaget karena jari-jari tangan pemuda itu kalau menangkis pedang, membuat pedangya terpental dan mengeluarkan suara berdencing seolah-olah pedangnya bertemu dengan baja. Hui Song sama sekali tidak terdesak, bahkan diapun dapat membagi-bagi pukulan atau tendangan sebagai balasan. Badan pemuda itu kadang-kadang dilindungi ilmu kekebalan yang luar biasa kuatnya, yaitu ilmu kebal Tiat-po-san yang membuat kulitnya tidak tembus oleh bacokan senjata tajam. Karena ini, biarpun beberapa kali pisau atau pedang mengenai tubuhnya karena dia memang tidak merasa perlu untuk menghindarkan diri, senjata-senjata tajam itu bertemu dengan kulit dan membalik. Hanya baju pemuda itu saja yang robek oleh senjata-senjata tajam itu. Dan permainan ilmu silat sakti Thai-kek Sin-kun yang mempunyai daya tahan amat kuat itu membingungkan tiga orang la-wannya, membuat mereka sukar sekali mencari tempat lowong, seolah-olah selu-ruh tubuh pemuda itu dilindungi oleh bayangan lengan yang merupakan benteng yang kokoh kuat.
Hui-to Cin-jin menjadi penasaran dan tidak sabar. Dia mengeluarkan pekik nyaring dan ada tiga sinar berkelebat ter-bang ke arah Hui Song. Itulah tiga ba-tang pisau terbang yang dilepasnya kepa-da pemuda itu.
"Tring-tring-tringg...!" Jari-jari tangan Hui Song menyambut dengan sentilan-sentilan dan tiga batang pisau terbang itu membalik ke arah pemlliknya! Nyaris leher Hui-to Cin-jin terkena pisaunya sendiri kalau dia tidak cepat merendahkan tubuhnya. Akan tetapi pada saat dia merendahkan tubuh, tiba-tiba tubuh Hui Song berkelebat datang dan sebuah tendangan kaki kiri pendekar muda itu tidak mampu dihindarkan oleh si kakek yang berpakai-an tosu itu, walaupun dia mencoba meng-elak dengan miringkan tubuhnya.
"Dess...!" Pinggulnya disambar kaki Hui Song dan kakek ini terlempar dan terbanting jatuh. Dia menyeringai karena merasa pinggulnya nyeri sekali dan keti-ka dia bangkit bangun dan berjalan, langkahnya terpincang-pincang. Hanya kema-rahan dan rasa malu yang membuat dia nekat menyerang lagi dengan sepasang pisaunya.
Guci arak di tangan si gendut Kang-thouw Lo-mo menyambar ke arah dada Hui Song. Pemuda ini tidak ingin berke-lahi terlalu lama karena kalau dia tidak cepat merobohkan mereka ini mungkin teman-teman mereka akan datang atau andaipun tidak, dia akan berada dalam ancaman bahaya kalau sampai ada pengejaran dari pasukan anak buah Ji-ciangkun.
Maka, melihat datangnya guci arak yang menyambar ke dadanya, dia cepat mengerahkan tenaga Tiat-po-san melindungi da-danya. Pada saat guci itu menghantam dadanya, dia membarengi tamparan ta-ngan kanannya dengan tenaga Thian-te Sin-ciang ke arah perut gendut itu.
"Bunggg...!" Terdengar perut itu berdengung ketika terkena hantaman dan tubuh si gendut itu terjengkang dan terguling-guling sampai jauh. Akan tetapi, ternyata dia juga memiliki kekebalan bukan hanya di kepalanya, melainkan juga di perutnya. Perutnya itu kuat seperti bola karet yang penuh hawa, maka ketika kena hantaman Thian-te Sin-ciang, isi perut itu tidak terluka hanya tubuhnya saja yang terlempar dan hanya terasa nyeri karena babak-belur saja terguling-guling. Kakek berbaju hwesio ini bangkit dan mukanya berobah merah karena malu dan marah. Dia tertatih-tatih maju lagi mengayun-ayun guci araknya di atas kepala.
Sementara itu, melihat betapa dua o-rang pembantunya sempat dirobohkan Hui Song, Siang Hwa menjadi marah. Gerakan pedangnya semakin gencar dan ia mener-jang ke depan bagaikan kesetanan dan ti-ba-tiba tangan kirinya mengebutkan sa-putangan merah yang mengandung racun pembius itu. Akan tetapi sekali ini, Hui Song sudah bersiap-siap. Dia menahan napas dan meniup ke arah debu yang mengepul dari sapu tangan dan buyarlah debu itu, bahkan membalik ke arah Siang Hwa sendiri.
"Keparat!" Siang Hwa berteriak marah.
Pada saat itu terdengar bentakan nyaring Hui-to Cin-jin, "Cia Hui Song, hentikan perlawananmu atau anak ini akan kusembelih!"
Hui Song terkejut bukan main. Dia meloncat mundur dan ketika menengok ke arah suara itu, mukanya berobah pucat. Kiranya Hui-to Cin-jin sudah menjambak rambut anak perempuan itu dengan ta-ngan kiri sedangkan tangan kanannya yang memegang pisau tajam berkilauan itu ditempelkan di leher anak kecil yang mulai menangis ketakutan itu!
"Jahanam busuk! Lepaskan anak itu dan mari kita bertanding sampai satu di antara kita roboh tewas!" Hui Song membentak marah akan tetapi tosu itu menyeringai.
"Kau menyerah atau anak ini kusembelih lebih dulu... aihhhh...!" Tiba-tiba tosu itu menjerit dan terhuyung, dari lambungnya bercucuran darah segar dan diapun terguling roboh dan berkelojotan. Kiranya diam-diam muncul seorang pria yang menggunakan pedang menusuk lambung kakek berpakaian tosu itu. Gerakannya demikian aneh dan cepat sehingga tosu itu tidak sempat mengelak dan kini dia menyelipkan pedangnya di sarung pedang, kemudian menyambar tubuh Kok Hui Lian dengan lengan kanannya lalu dia melompat pergi dari situ tanpa mengeluarkan sepatahpun kata.
"Ciang-suheng...!" Hui Song berseru, kaget dan juga girang. Dia mengenal orang yang lengan kirinya buntung itu karena orang itu adalah Ciang Su Kiat, bekas murid Cin-ling-pai yang membuntungi lengan kiri sendiri karena dipersalahkan oleh ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi, laki-laki buntung sebelah lengannya itu tidak menjawab, menolehpun tidak, bahkan berlari semakin cepat. Larinya cepat sekali sehingga mengagetkah hati Hui Song yang dapat menduga bahwa bekas suhengnya itu kini memiliki kepandaian tinggi.
Tentu saja Kang-thouw Lo-mo dan Siang Hwa terkejut sekali melihat betapa kawan mereka tewas secara tidak terduga-duga, hanya karena serangan satu kali saja dari orang buntung tadi. Akan tetapi mendengar Hui Song menyebut "suheng" kepada orang itu, tentu saja mereka terkejut dan gentar. Baru Hui Song sudah begini lihai, apalagi suhengnya! 0rang-orang yang berwatak kejam biasanya berjiwa pengecut. Tanpa banyak kata lagi, dua orang itu lalu membalikkan tubuhnya dan lari!
Melihat ini, Hui Song mengejar, "Keparat, kalian hendak lari ke mana?" bentaknya dan diapun mengerahkan gin-kangnya melakukan pengejaran. Semenjak berlatih di bawah bimbingan Si Dewa Kipas, ilmu meringankan tubuh pemuda ini memang meningkat dengan hebat. Belum lama dia mengejar, dia sudah dapat menyusul Kang-thouw Lo-mo yang larinya tidak secepat Siang Hwa.
"Iblis tua, engkau hendak lari ke mana?" Hui Song membentak.
Karena maklum bahwa lari tiada gunanya, Kang-thouw Lo-mo menjadi nekat. Dia membalik dan menghantamkan guci araknya ke arah muka Hui Song. Pemuda yang sudah marah ini tidak mengelak, bahkan menggunakan tangan kanan yang terbuka memapaki pukulan itu dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang.
"Prokkk...!" Guci arak itu pecah berantakan dan isinya, setengahnya masih berisi arak, berhamburan memercik ke mana-mana dan terciumlah bau arak yang sangat menyengat hidung. Melihat senjatanya yang amat disayangnya itu pecah, Kang-thouw Lo-mo marah bukan main. Dia lalu melangkah mundur dan menundukkan kepalanya, tubuhnya direndahkan dan seperti seekor kerbau mengamuk, dia lalu lari ke depan, menggunakan kepalanya yang botak itu untuk menyeruduk ke arah perut Hui Song! Hebat bukan main serangan ini dan agaknya ka-kek yang sudah putus harapan dan nekat ini mempergunakan senjatanya yang terakhir, yaitu kepalanya. Kepalanya me-mang sudah terlatih, dapat membentur pecah batu karang, kuat bukan main.
Hui Song belum tahu sampai di mana kekuatan yang berada dalam kepala itu, maka diapun tidak mau sembrono mene-rima serudukan itu begitu saja. Cepat dia miringkan tubuhnya dan ketika kepala botak itu meluncur lewat dekat perutnya, dia menggerakkan tangan kanannya, me-ngerahkan Thian-te Sin-ciang dan tangan kanannya itu seperti sebatang golok atau sebuah palu godam menyambar turun dari atas, tepat ke arah tengkuk di bela-kang kepala botak besar itu.
"Ngekkk...!" Tengkuk itu besar dan kuat seperti tengkuk kerbau, akan tetapi kekuatan yang berada di tangan Hui Song amat hebat. Maka sekali pukul saja, kakek itu mengeluh dan terpelanting roboh dan matanya mendelik, nyawanya putus bersama dengan patahnya tulang tengkuknya! Tewaslah Kang-thouw Lo-mo.
Hui Song sejenak meragu. Siapakah yang harus dikejar" Siang Hwa ataukah bekas suhengnya" Siang Hwa sudah tidak nampak lagi dan dia tahu betapa lihai-nya wanita itu. Kalau sampai wanita itu mendahuluinya mencapai guru-gurunya, dia akan celaka. Bagaimanapun lihainya, dia masih ragu-ragu apakah dia akan da-pat menandingi Raja dan Ratu Iblis yang dia tahu sakti bukan main itu. Dan diapun mengkhawatirkan keselamatan puteri gubernur, maka dia mengejar ke arah la-rinya Ciang Su Kiat. Akan tetapi, iapun kehilangan jejak bekas suhengnya ini dan akhirnya dia menghibur hatinya sendiri bahwa puteri gubernur itu tentu selamat berada di tangan Ciang Su Kiat yang dia yakin memiliki jiwa pendekar yang gagah perkasa. Maka diapun lalu kembali ke San-hai-koan untuk melihat bagaimana perkembangan di kota benteng itu. Akan tetapi, dia tidak dapat masuk. San-hai-koan sudah jatuh ke tangan pasukan Ji-ciangkun yang memberontak! Dan pintu gerbang dijaga ketat. Juga di atas tembok-tembok benteng terdapat barisan anak panah yang siap menyerang siapa saja yang berani naik.
Apa gunanya lagi memasuki San-hai-koan, pikirnya. Keluarga gubernur telah terbasmi dan dari para pengungsi dia mendengar bahwa gubernur sekeluarganya telah tewas dalam gedungnya yang terbakar habis. Sebagian dari pasukan pengawal menyerah kepada pasukan Ji-ciangkun dan pembersihan masih terus dilakukan. Siapapun juga yang mencurigakan ditangkap, dan yang condong memihak Kok-taijin dibunuh. Kekacauan terjadi di kota San-hai-koan dan karena dia sudah dikenal sebagai pengawal pribadi Kok-taijin, tentu saja Hui Song tidak begitu bodoh untuk memasuki kota itu. Dia lalu mengambil keputusan untuk kembali ke Ceng-tek dan mengabarkan jatuhnya San-hai-koan ke tangan pemberontak itu kepade Bhe-ciangkun yang kini menjadi komandan sementara di Ceng-tek menggantikan kepalanya yang telah tewas. Mendengar tentang jatuhnya San-hai-koan itu, Bhe-ciangkun tidak berani sembarangan turun tangan dan segera mengutus anak buahnya untuk cepat menunggang kuda ke kota raja dan mengirimkan berita ke kota raja, menanti keputusan dan perintah selanjutnya dari pusat pemerin-tahan mengenai pemberontakan Ji-ciangkun itu.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Pemuda yang berjalan seorang diri di luar Tembok Besar itu amatlah gagahnya. Usianya masih muda, paling banyak dua puluh dua tahun, akan tetapi tubuhnya tinggi tegap dan wajahnya tenang serius sehingga dia nampak jauh lebih dewasa daripada usia yang sebenarnya. Rambutnya yang hitam dan lebat itu dikuncir tebal dan panjang, dikalungkan ke lehernya yang nampak kokoh kuat itu. Pakaiannya amat sederhana, terbuat dari kain kasar saja, namun bersih dan di sebelah luarnya dia mengenakan jubah pendek terbuat dari kulit harimau. Dandanan sederhana dan gagah ini memberi kesan bahwa dia adalah seorang pemuda yang gagah, seorang pendekar muda atau setidaknya seorang pemburu, atau orang yang biasa hidup menghadapi kesukaran dan kekeras-an. Sinar matanya tajam mencorong dan membayangkan kekerasan hati, walaupun terdapat kelembutan dan kejujuran, ter-utama pada bentuk dagu dan tarikan mulutnya.
Pemuda tinggi tegap yang gagah per-kasa ini adalah Siangkoan Ci Kang yang pada waktu itu sudah berusia dua puluh satu tahun. Seperti telah kita ketahui, pemuda ini adalah putera tunggal dari mendiang Siangkoan Lo-jin yang berjuluk Iblis Buta yang merupakan seorang datuk kaum sesat yang amat ditakuti. Akan te-tapi, datuk sesat ini tewas di tangan Ra-tu Iblis. Dan sebelumnya, seperti telah diceritakan di bagian depan, Ci Kang melarikan diri dari ayahnya setelah antara anak dan ayah ini terdapat bentrokan pa-ham, bahkan oleh para tokoh Cap-sha-kui pemuda itu dianggap musuh yang harus ditangkap atau dibunuh. Kemudian, pemu-da ini bertemu dengan Ciu-sian Lo-kai, tokch sakti yang berpakaian pengemis i-tu, dan digembleng sebagai muridnya. Di bawah bimbingan Ciu-sian Lo-kai, bakat dan watak yang baik dan gagah pemuda ini berkembang, bahkan Ciu-sian Lo-kai, seperti telah diadakannya perjanjian dan perlombaan mendidik murid dengan Go-bi San-jin, telah menanamkan pandangan hidup Cia Han Tiong, ketua Pek-liong-pang di Lembah Naga, kepada muridnya itu. Maka, biarpun Ci Kang terlahir di kalangan sesat dan sejak kecil bergaul dengan datuk-datuk sesat, melihat segala macam tindakan yang kejam, ganas dan curang, kini dapat melihat dengan jelas betapa buruknya kehidupan di antara te-man-teman ayahnya itu. Jiwa kependekerannya semakin bangkit dan biarpun dia tetap ingin menentang segala bentuk kejahatan, namun dia sudah berjanji kepada diri sendiri untuk meluruskan yang bengkok, menyadarkan yang sesat, dan bukan-nya mematahkannya atau membunuhnya, sesuai dengan pesan-pesan Ciu-sian Lo-kai yang mentrapkan pandangan hidup Cia Han Tiong kepada muridnya ini.
Setelah lewat tiga tahun, Ciu-sian Lo-kai menyuruh muridnya untuk pergi ke Benteng Jeng-hwa-pang di luar Tembok Besar. Gurunya itu memberi tahu kepadanya bahwa di tempat ini akan diadakan pertemuan para pendekar untuk membicarakan tentang bangkitnya para datuk sesat yang hendak mengadakan gerakan bemberontakan dan pemuda itu ditugaskan oleh gurunya untuk ikut pula menentang usaha para datuk sesat.
Berangkatlah Ci Kang meninggalkan gurunya akan tetapi bagaimanapun juga, dia teringat akan ayahnya yang sudah tua dan buta. Biarpun ayahnya menjadi seorang datuk sesat, akan tetapi kasih sayangnya sebagai seorang anak terhadap ayahnya membuat Ci Kang lebih dahulu pergi mengunjungi ayahnya di Po-hai, Sen-si, sebelum dia melakukan perjalanan keluar Tembok Besar di utara. Akan tetapi, dia tidak dapat bertemu dengan ayahnya, bahkan dia mendengar berita bahwa ayahnya telah tewas di tangan Raja dan Ratu Iblis, datuk sesat baru yang kini menguasai seluruh datuk sesat ketika terjadi pertemuan antara para datuk di lereng Pegunungan Tapie-san. Dia hanya menarik napas panjang, tahu bahwa kematian ayahnya di tangan datuk sesat itu hanyalah akibat daripada sikap dan perbuatan ayahnya sendiri. Dia akan menentang para datuk sesat, terutama Raja Iblis, akan tetapi bukan karena dendam terhadap kematian ayahnya, melainkan karena sudah menjadi kewajiban seorang pendekar untuk menentang kejahatan. Andaikata ayahnya masih hidup sekalipun, dia akan menentang kejahatan yang dilakukan ayahnya dan anak buahnya.
Ketika pada pagi hari itu dia berjalan seorang diri di luar Tembok Besar di wilayah yang dahulu pernah dikuasai oleh Jeng-hwa-pang, tempat itu masih nampak sunyi. Pemuda ini tidak tahu bahwa dia datang terlalu pagi. Waktu yang ditentukan oleh para pendekar untuk mengadakan pertemuan di tempat itu masih satu bulan lagi. Akan tetapi, akhirnya dia tiba juga di bekas benteng Jeng-hwa-pang yang tembok-temboknya masih kokoh kuat akan tetapi kini hanya menjadi sebuah dusun kecil yang dihuni oleh orang-orang yang biasa melakukan pekerjaan sebagai pemburu dan juga menjadi tempat persinggahan para pedagang atau mereka yang sering berlalu-lalang melalui Tembok Besar.
Hatinya agak tegang dan berdebar karena dia merasa gembira. Biarpun dia dahulu selalu bergaul dengan datuk sesat, akan tetapi dia selalu menentang perbuatan-perbuatan mereka yang tidak baik dan dia merasa tidak pernah suka bergaul dengan mereka. Akan tetapi kini, dia da-tang ke tempat itu sebagai seorang pen-dekar yang menghadiri pertemuan antara kauni pendekar! Hatinya merasa gembira sekali karena dia akan bertemu dan berkenalan dengan orang-orang gagah yang menurut gurunya akan berkumpul di tem-pat ini dan di antara mereka terdapat o-rang-orang sakti yang berilmu tinggi. Sungguh merupakan pertemuan yang akan membuka matanya dan menambah penga-laman dan meluaskan pengetahuannya.
Ketika dia tiba di tempat itu, dia pertama-tama melihat serombongan orang gagah, terdiri dari tujuh orang lima pria dua wanita. Usia mereka antara dua puluh lima sampai tiga puluh lima tahun dan sikap mereka nampak gagah sekali dengan pedang di punggung mereka. Karena dari sikap mereka saja Ci Kang sudah dapat menduga bahwa mereka adalah pendekar-pendekar yang datang menghadiri pula pertemuan maka diapun menghampiri mereka. Mereka bertujuh sedang duduk di bawah pohon, di luar bekas benteng itu dan tujuh ekor kuda yang baik ditambatkan di batang pohon itu. Di atas sebuah di antara sela-sela kuda, dia melihat berkibarnya sebuah bendera kecil berwarna kuning yang bertuliskan tiga buah huruf Hoa-kiam-pang (Perkumpulan Pedang Bunga) dan ada gambar sepasang pedang melintang. Ci Kang belum pernah mendengar tentang nama perkumpulan itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa tentu ini nama sebuah perkumpulan pendekar pedang yang tangguh. Dia semakin gembira dan cepat menjura kepada mereka dengan sikap hormat dan wajah ramah.
"Selamat berjumpa, cu-wi-enghiong (para pendekar sekalian)! Cu-wi tentu tokoh-tokoh dari Hoa-kiam-pang yang terkenal."
Seorang di antara mereka, seorang laki-laki jangkung yang kurus dan paling tua di antara mereka, agaknya menjadi pemimpin rombongan, bersama yang lain membalas penghormatan itu dan si jangkung kurus menjawab, "Selamat bertemu, sobat. Kami hanyalah murid-murid Hoa-kiam-pang yang diutus oleh para pemimpin kami untuk melihat-lihat keadaan. Selamat berkenalan! Bolehkah kami mengenal siapa adanya sobat yang gagah ini?"
Ci Kang tersenyum ramah. "Saya bernama Siangkoan Ci Kang dan saya diutus oleh suhu untuk menghadiri pertemuan para pendekar yang akan diadakan di tempat ini. Bukankah cu-wi juga datang untuk keperluan itu?"
Si jangkung kurus memandang tajam. "Pertemuan itu akan diadakan sebulan lagi. Engkau datang terlalu pagi, sobat. Kami sendiri datang hanya untuk melihat-lihat keadaan, apakah tempat ini aman untuk pertemuan itu dan selain kami, ada pula belasan orang sahabat dari berbagai perkumpulan pendekar yang juga datang, melihat keadaan."
"Benarkah" Ah, saya ingin sekali belajar kenal dengan para pendekar itu."
"Mereka berkumpul di sebelah dalam bekas benteng, di sebuah kedai arak kecil yang dibuka oleh penduduk tempat ini. Mari, saudara Siangkoan Ci Kang, mari kita perkenalkan." Tujuh orang itu lalu mengajak Siangkoan Ci Kang memasuki bekas benteng Jeng-hwa-pang dan ketika mereka menghampiri sebuah kedai arak, beberapa orang yang nampaknya gagah-gagah dan yang duduk minum arak di kedai itu memandang penuh perhatian.
"Cu-wi-enghiong!" kata murid Hoa-kiam-pang yang jangkung kurus itu memperkenalkan, "ini seorang pendatang baru, seorang pendekar muda bernama Siangkoan Ci Kang...!"
"Dia tokoh sesat!" Tiba-tiba terdengar suara orang dan seorang pemuda tampan gagah meloncat keluar kedai dan menghadapi Ci Kang dengan mata mencorong penuh kemarahan. Ci Sang terkejut dan memandang. Dia tidak lupa. Pemuda ini adalah seorang di antara para pendekar yang dahulu membela Jenderal Ciang di dalam perayaan pasta ulang tahun Ang-kauwsu di kota Pao-fan! Pemuda ini se-lalu bersama Ceng Sui Cin, gadis cantik gagah puteri Pendekar Sadis itu. Ah, be-nar. Pemuda ini adalah putera ketua Cin-ling-pai seperti yang diketahuihya dari para tokoh Cap-sha-kui!
Tentu saja seruan yang dikeluarkan oleh Hui Song ini mengejutkan semua pendekar yang berkumpul di situ. Seperti kita ketahui, Hui Song tidak depat kembali ke San-hai-koan yang sudah diduduki oleh pemberontak dan diapun pergi ke benteng Jeng-hwa-pang di mana dia ber-temu dengan beberapa orang pendekar dan dia bercerita tentang gerakan para pem-berontak kepada mereka. Ketika tujuh orang murid Hoa-kiam-pang itu muncul bersama Ci Kang, dia segera mengenal pemuda berbaju kulit harimau ini dan tentu saja dia menjadi marah.
"Dia ini tokoh pemberontak sesat, tentu datang untuk memata-matai kita!" Hui Song berseru lagi sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Ci Kang.
Ci Kang menjura dengan sikap hormat dan gagah, akan tetapi juga tenang, walaupun ucapan putera ketua Cin-ling-pai itu seperti pedang menusuk jantung. "Maaf, saya datang sebagai utusan suhu yang berjuluk Ciu-sian Lo-kai, harap cu-wi tidak salah sangka."
Nama Ciu-sian Lo-kai tidak terkenal di dunia kang-ouw karena memang kakek ini, seperti juga kakek-kakek sakti lain yang baru bermunculan setelah dunia kang-ouw dikacau oleh Cap-sha-kui dan terutama sekali karena munculnya Raja dan Ratu Iblis. Oleh karena itu, nama ini tidak mendatangkan kesan di hati pendekar muda yang berkumpul di situ. A-kan tetapi, Hui Song juga bukan seorang pemuda sembrono dan dia mau yakin du-lu apakah benar pemuda ini yang pernah dilihatnya membantu Cap-sha-kui lolos dari kepungan beberapa tahun yang lalu.
"Hemm, namamu Siangkoan Ci Kang, engkau putera tunggal dari datuk sesat Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta, bukan?"
"Benar, akan tetapi saya tidak pernah mencampuri semua perbuatan jahat dunia sesat," jawab Ci Kang dengan jujur dan gagah.
"Hemm, bukankah engkau pernah be-berapa kali menggunakan anak panah membantu para tokoh Cap-sha-kui lolos dari tangkapan?" Hui Song mendesak la-gi.
Siangkoan Ci Kang terlalu jujur dan gagah untuk menyangkal. Dia mengangguk. "Benar..."
"Nah, mau bicara apa lagi" Engkau mata-mata kaum sesat, terimalah ini!" Hui Song menerjang sambil mengirim tamparan dengan tenaga Thian-te Sin-ciang yang amat dahsyat. Tamparannya itu mendatangkan angin bersiut menyam-bar ke arah muka Siangkoan Ci Kang. Pemuda ini tidak mempunyai kesempatan lagi untuk membantah dan melihat beta-pa serangan Hui Song demikian hebatnya, diapun menggerakkan lengan menangkis.
"Dukkk...!" Keduanya mengeluarkan seruan kaget karena pertemuan lengan itu membuat kedua orang pemuda itu terdorong ke belakang seolah-olah bertemu dengan gelombang tenaga yang amat kuat. Mereka saling pandang dan tahulah mereka bahwa keduanya menemukan lawan yang amat tangguh. Sementara itu, para pendekar yang berada di situ semua mengenal Hui Song sebagai putera ketua Cin-ling-pai yang berkepandaian tinggi. Tentu saja mereka lebih percaya kepada Hui Song. Apalagi, pemuda berjubah kulit harimau itu sudah mengaku sebagai pu-tera Si Iblis Buta. Hal ini saja sudah cu-kup membuat mereka semua memusuhi-nyai, dan serentak mereka lalu mencabut senjeta dan menerjang maju. Dihujani senjata, Ci Kang cepat berloncatan de-ngan amat gesitnya mengelak ke sana-si-ni. Dia tahu bahwa percuma saja mem-bantah dan bicara untuk membersihkan dirinya dan tidak baik kalau sampai dia bentrok dengan para pendekar ini, maka sambil mengeluh panjang dia lalu melon-cat dan melarikan diri dari tempat itu.
"Aku datang hendak membantu kalian menentang kejahatan, sayang kalian tidak percaya!" teriaknya dan tubuhnya sudah berkelebat cepat sakali meninggalkan benteng itu. Hui Song tidak melakukan pe-ngejaran dan para pendekar itupun tidAk karena mereka maklum betapa lihainya putera Si Iblis Buta itu. Hui Song sendiri tentu saja dapat mengimbangi kecepatan gerakan Ci Kang dan dapat melakukan pengejaran kalau dia mau, akan tetapi dia teringat bahwa bagaimanapun juga Siangkoan Ci Kang itu pernah menyela-matkan Sui Cin den biarlah kini dia ber-laku murah untuk membalas budi Ci Kang terhadap gadis pujaan hatinya itu.
Ci Kang berlari cepat sekali dengan hati murung. Dia lari ke barat dan tidak tahu harus pergi ke mana. Dia telah datang terlalu pagi dan dia tidak dapat menghadiri pertemuan para pendekar itu tanpa adanya gurunya. Kalau ada Ciu-sian Lo-kai di situ, baru dia akan dapat hadir karena tentu gurunya yang akan dapat memberi kesaksian akan kebersihan dirinya. Dia tidak menyalahkan Cia Hui Song putere ketua Cin-ling-pai itu, melainkan hanya merasa mendongkol sekali. Bagaimanapun juga, memang pemuda Cin-ling-pai itu pernah melihat dia memban-tu den menyelamatkan orang-orang Cap-sha-kui bersama ayahnya. Sudah tentu saja Hui Song curiga kepadanya. Dan satu-satunya orang yang akan dapat me-nanggung dirinya agar dipercaya oleh pa-ra pendekar hanyalah gurunya, Ciu-sian Lo-kai yang belum nampak ada di tem-pat itu.
Hatinya murung sekali dan ketika dia memasuki sebuah desa kecil di mana terdapat sebuah kedai arak, diapun mema-suki kedai itu. Kedai yang cukup besar, bahkan terlalu besar untuk sebuah dusun yang penghuninya sedikit dan agaknya hanya terdiri dari crang-orang miskin atau pemburu-pemburu. Agaknya kedai ini dibuka orang belum begitu lama dan agaknya dibuka untuk menjadi pemberhentian orang-orang yang melakukan per-jalanan dan lewat di tempat ttu. Bagai-manapun juga, bau arak yang sedap menarik perhatian Ci Kang dan diapun yang diganggu rasa mendongkol perlu beristi-rahat menenangkan hatinya.
Ci Kang mengambil tempat duduk di atas kursi yang kasar buatannya, meng-hadapi sebuah meja yang kasar pula. Seorang pelayan cepat menghampirinya dan dengan membungkuk-bungkuk penuh se-nyum menjilat pelayan itu menyapanya. "Selamat siang, tuan. Tuan hendak makan dan minum apakah?"
"Bawakan aku seguci besar arak!" kata Ci Kang. Pemuda ini setelah menjadi murid Ciu-sian Lo-kai, mewarisi kebiasaan gurunya, suka minum arak. Tentu saja dia tidak minum terlalu banyak walaupun banyaknya arak dapat dilawannya dengan kepandaiannya sehingga dia tidak akan terpengaruh, akan tetapi saat itu hatinya sedang mendongkol dan dia hendak minum sebanyaknya!
"Seguci besar..." Apakah tuan menunggu datangnya banyak teman?"
"Tidak, aku hanya seorang diri..."
"Tapi, arak seguci beser cukup untuk sepuluh orang..."
"Jangan cerewet! Bawa arak itu dan aku akan membayarnya!" bentak Ci Kang marah. Hatinya yang sedang kesal itu tidak sabar lagi mendengar kerewelan si pelayan. Pelayan itu membungkuk-bung-kuk pergi dan Ci Kang mendengar pela-yan itu berbisik-bisik dengan teman-temannya dalam bahasa sandi yang menge-jutkan hatinya. Bahasa rahasia seperti itu hanya dipergunakan orang-orang dari go-longan hitam! Dan pelayan itu berkata kepada teman-temannya agar berhati-hati karena tamu yang datang ini tentulah seorang pendekar. Ci Kang melirik sam-bil lalu dan dia melihat bchwa pelayan i-tu berbisik-bisik dengan teman-temannya. Jumlah mereka semua ada enam orang! Heran dan curigalah hatinya. Sebuah kedai arak begini besar di dalam sebuah dusun miskin kecil! Dan dibukanya tentu masih baru pula. Lebih lagi, dilayani oleh enam orang! Dan mereka mengguna-kan kata-kata sandi, bahasa rahasia dari golongan hitam.
Ci Kang duduk dengan wajah muram. Kenyataan bahwa dia duduk di warung golongan hitam membuat hatinya semakin kesal. Keadaan dirinya membuat dia me-raaa mendongkol dan juga murung dan sedih. Dia dilahirkan di tengah keluarga sesat, walaupun mendiang ayahnya dahulu bukanlah orang jahat. Dia dibesarkan di antara para datuk sesat. Dia tidak me-nyukai cara hidup demikiann sehingga dia menentang ayahnya sendiri, bahkan ham-pir dibunuh ayahnya karena tidek menu-ruti kehendak ayahnya. Di dunia golongan kotor, dia tidak dapat hidup dan dimusuhi. Kemudian, setelah digembleng se-lama tiga tahun oleh Ciu-sian Lo-kai dan dia mulai hidup baru, di antara golongan bersih, diapun dihina dan diserang, tidak diterima! Hati siapa takkan merasa murung"
Pada saat itu muncul tiga orang ber-pakaian seperti orang dusun. Tubuh mereka kurus-kurus dan melihat pakaian mereka yang kotor, mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang miskin yang kekurangan makan kekurangan pakaian. Melihat mereka, pemilik atau kua-sa kedai yang bertubuh gendut dan ber-muka ramah itu segera menghampiri dan menyambut ke depan pintu.
"Eh, kalian bertiga ada keperluan apakah?" tegur pemilik kedai dengan ramah.
"Maaf, twako, kami datang mengganggu lagi..." kata seorang di antara mereka.
"Kalian butuh apa lagi" Bukankah kemarin dulu kami sudah menyumbangkan tiga karung beras untuk dibagi-bagi antara kalian penduduk dusun ini" Apakah beras itu sudah habis?"
"Belum, toako dan terima kasih atas segala pertolongan twako yang dilimpahkankan kepada kami para penduduk dusun selama ini. Akan tetapi, kamipun bukan orang-orang yang hanya mengandalkan hi-dup dari minta-minta saja. Kemi ingin bercocok tanam, akan tetapi tanah itu perlu digarap dan kami tidak mempunyai alat-alatnya. Kalau twako sudi menolong kami untuk sekali ini dan kami dapat mengerjakan tanah, selanjutnya kami tentu akan mampu mencukupi diri sendiri..." Si gendut itu meraba jenggotnya yang agaknya baru beberapa pekan dicukur dan kini mulai tumbuh dengan liar. Dia mengangguk-angguk dan melirik ke arah para tamu yang kebetulan sedang duduk minum arak dan makan di kedal itu, seolah-olah dia ingin agar semua percakapan itu didengar oleh mereka. Dan memang, percakapan yang cukup keras itu didengarkan oleh mereka, juga Ci Kang memperhatikan.
"Baiklah, kami akan membantu dan membelikan alat-alat pertanian untuk kalian. Nah, pulanglah dulu, dan malam nanti saja kita rundingkan kembali kalau kedaiku sedang sepi."
"Baik, twako, dan terima kasih, twako, sungguh engkau merupakan tuan penolong kami." Dan tiga orang itu memberi hormat sampai hampir berlutut, kemudian pergi dengan wajah berseri-seri. Dari percakapan dan melihat sikap para penduduk dusun miskin itu saja mudah diketahui bahwa pemilik kedai ini adalah seorang yang dermawan dan baik hati. Akan tetapi sikap ini justeru membuat Ci Kang mengerutkan alisnya. Mereka itu jelas golongan hitam yang menggunakan kata-kata sandi, akan tetapi mengapa kini mereka bersikap begitu dermawan terhadap para penduduk miskin" Sungguh suatu keadaan yang amat aneh dan tidak sewajarnya!
Ketika pesanannya tiba, yaitu seguci besar arak, yang menggotongnya dua o-rang pelayan diantar pula oleh si kuasa kedai yang gendut dan ramah itu. Si gendut ini membungkuk-bungkuk dengan ra-mah, akan tetapi matanya yang tajam itu memandang wajah Ci Kang penuh perhatian, tersenyum-senyum dan berkata, "Harap sicu sudi memaafkan bahwa pela-yan kami agak terlambat karena ganggu-an para petani tadi. Kasihan sekali me-reka itu, memang perlu dibantu dan di-bimbing."
Jelaslah bagi Ci Kang bahwa si gen-dut kuasa kedai ini memang sengaja me-mancing percakapan dengan dia. Dia ti-dak dapat menduga apa maunya, akan tetapi karena hatinya sedang kesal, dia tidak mau menanggapi, bahkan sama sekali tidak mengacuhkan dan segera me-nyambar guci arak dan minum langsung dari bibir guci tanpa cawan atau mang-kok lagi. Dia mau minum sepuasnya, biarpun dia bukan seorang pecandu arak, a-kan tetapi sekali ini dia ingin minum sampai mabok untuk mengusir kekesalan hatinya! Mengingat betapa dia dituduh mata-mata oleh para pendekar dan ham-pir dikeroyok, hatinya merasa panas dan penasaran sekali. Dia kini menjadi orang setengah matang, kepalang tanggung, ma-suk golongan hitam dimusuhi karena dia menentang mereka, masuk golongan pu-tih dimusuhi pula karena tidak diperca-ya.
"Sialan! Manusia tiada guna!" gerutu-nya dalam hati sambil menenggak lagi a-raknya. Melihat pemuda tinggi besar yang bertubuh tegap dan berpakaian seperti seorang pemburu dengan jubah kulit hari-mau, dan melihat caranya minum arak, semua orang yang berada di dalam kedai itu memandang dan mereka semua dapat menduga bahwa pemuda ini tentulah se-orang yang gagah perkasa.
"Saya berani bertaruh apa saja bahwa sicu tentulah seorang pendekar yang me-miliki ilmu kepandaian tinggi dan amal terkenal." Kembali terdengar suara si gendut. Ci Kang merasa semakin kesal dan baru dia melihat bahwa si gendut itu masih berdiri di dekat mejanya. Dia hanya mengerling dengan alis berkerut tan-pa menjawab atau berkata sesuatu. Ka-lau melihat kerut di antara alisnya, se-patutnya si gendut itu mengerti bahwa pemuda itu tidak suka diajak ngobrol. A-kan tetapi agaknya dia tidaklah secerdik itu.
"Tentu tidak salah lagi bahwa sicu a-dalah seorang di antara para pendekar yang hendak mengadakan pertemuan, bu-kan" Sicu, kapankah diadakannya perte-muan itu dan di mana" Saya ingin sekali mengetahui agar dapat membuat persiap-an dagangan saya. Pada hari itu tentu a-kan banyak para pendekar lewat di sini dan..."
"Plakk!" Tangan Ci Kang menyambar ke arah muka orang gendut itu. Si gen-dut ternyata memiliki gerakan cepat untuk ukurannya, dan berusaha mengelak, akan tetapi tangan itu mengejarnya dan akhirnya mengenai pipinya tanpa dia da-pat menghindarkannya lagi.
"Aduhh...!" Si gendut terhuyung dan meraba pipinya yang menjadi merah sekali.
"Eh, kenapa kau memukul orang...?" Dua orang pelayan cepat menghampiri untuk melerai, akan tetapi tanpa bangkit dari kursinya, tangan kanan dan kakinya bergerak menyambut dua orang pelayan itu. Terdengar mereka mengaduh dan dua orang itupun terpelanting roboh. Kini si gendut menjadi marah dan dengan suara menggereng seperti harimau, diapun menubruk dengan kedua tangannya yang membentuk cakar harimau, menyerang ke arah kepala dan dada pemuda yang kini sudah menggerakkan tubuh memutar kursinya sehingga meja yang tadi berada di depannya kini berada di sebelah kirinya.
"Wuuuttt...!" Serangan si gendut itu cukup kuat, mendatangkan angin dan ini membuktikan bahwa dugaan Ci Kang memang benar. Si gendut itu yang nampaknya seorang pengurus kedai arak yang ramah dan murah hati, ternyata memiliki kepandaian silat yang cukup lihai. Akan tetapi, ketika Ci Kang mengangkat tangan kirinya menangkis, menyambut kedua lengan itu, terdengar suara "krekk!" dan lengan kanan si gendut itu patah. Sebelum si gendut sempat menghindar, secepat kilat kaki Ci Kang menendang lutut dan si gendut mengaduh, lalu jatuh berlutut. Tangan kanan Ci Kang mencengkeram rambut orang itu den menekan kepala itu ke bawah.
Dua orang pelayan yang tadi dirobohkan, terkejut bukan main melihat kepala mereka sudah dikalahkan, dan mereka berdua itu dalam keadaan berlutut hanya dapat memandang penuh kekbawatiran. Juga tiga orang lain yang menjadi pengurus kedai itu, berdiri berkelompok di dekat pintu menuju dapur dengan muka ketakutan.
Tiba-tiba seorang di antara para tamu yang sedang duduk menghadapi hidangannya, menggebrak meja dan bangkit berdiri. Orang ini adalah seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, pakaiannya sederhana namun bersih dan gerak-geriknya halus, wajahnya tampan dan dia sejak tadi duduk menghadapi hidangan di depan mejanya, makan dan minum sendirian saja. Pakaiannya serba putih dan dia lebih pantas menjadi seorang sasterawan daripada seorang ahli silat. Akan tetapi ketika dia menggebrak meja, mangkok piring di atas mejanya itu mencelat ke atas dan menimbulkan suara berisik ketika jatuh kembali ke atas mejanya. Pemuda berpakaian putih ini bangkit dan menoleh, memandang kepada Ci Kang yang masih menjambak rambut si gmdut yang hanya mengeluh panjang pendek. Dengan tangan kanan menekan sandaran kursi, pemuda baju putih itu menudingkan telunjuknya ke arah muka Ci Kang.
"Manusia sombong dan kasar! Berani kau menghina orang mengandalkan sedikit kepandaian?"
Sepasang alis hitam tebal yang seperti sayap burung geruda terbentang itu bergerak-gerak dan sepasang mata yang tajam itu mengeluarkan sinar berapi. Hati Ci Kang menjadi semakin panas. Orang berpakaian putih tentulah kawan golongan hitam yang menyamar menjadi pengurus-pengurus kedai ini, pikirnya.
"Habis, kau mau apa?" Diapun membentak sebagai jawaban ucapan pemuda baju putih itu.
Pemuda baju putih itu memandang tajam dan suaranya penuh wibawa. "Hayo lepaskan paman itu dan kau harus mohon maaf atas sikapmu yang kasar dan sombong, baru aku akan melupakan kesombonganmu!"
Ci Kang adalah seorang yang sejak kecil dididik dalam kekerasan. Dasar wataknya jujur dan keras, dan karena sejak kecil hidup di tengah golongan sesat, dia sudah terbiasa dengan sikap dan perbuatan keras dan kasar. Akan tetapi, dia selalu menentang kejahatan, dan setelah dia digembleng selama beberapa tahun oleh Ciu-sian Lo-kai, dia sudah dapat mengatasi kekerasan hatinya. Dia selalu bersikap mengalah dan sabar, sesuai dengan pelajaran yang diterimanya dari kakek Dewa Arak itu. Akan tetapi, penolakan dan penentangan para pendekar terhadap dirinya membuat hatinya kesal dan murung dan mudah marah. Kini, melihat sikap pemuda baju putih yang menentangnya pemuda baju putih yang dianggapnya tentulah kawan dari gerombolan penjahat yang membuka kedai arak ini, dia tidak lagi dapat menahan kemarahannya. Gerombolan penjahat ini harus dihajarnya, demikian dia mengambil keputusan.
"Kau mau membelanya" Nih, terimalah!" Dengan gerakan tangannya yang kuat, Ci Kang bangkit dan melontarkan tubuh gendut yang dicengkeram rambutnya itu ke depan. Tubuh gendut itu terlempar melayang ke arah pemuda baju putih! Kalau mengenai dan menubruk pemuda baju putih itu, tentu dia akan terpelanting pula.
Akan tetapi, pemuda baju putih itu dengan sikap tenang menyambut tubuh itu dengan dua tangannya dan dia sudah berhasil menangkap tubuh itu pada lengan dan pundaknya, lalu menurunkan tubuh gendut itu sehingga tidak sampai jatuh terbanting. Ketika dia memandang, ternyata Ci Kang sudah duduk lagi menghadapi meja dan mengangkat guci arak, menuangkan isinya ke mulut menggunakan tangan kiri, sedangkan lengan kanannya terletak di atas meja.
"Engkau sungguh manusia sombong yang patut dihajar!" Si beju putih itu dengan cepat melangkah maju dan menggerakkan tangannya menotok ke arah leher Ci Kang yang sedeng minum araknya.
Tiba-tiba Ci Kang menurunkan gucinya dan tanpa bangkit dari kursinya, dia menggerakkan tangan kanannya ke atas untuk menangkis tangan lawan. Gerakannya cepat mengandung tenaga amat kuat kerena memang dia mengerahkan sin-kangnya untuk menangkis dengan harapan sekali tangkis akan dapat mengalahkan lawan, sedikitnya mematahkan tulang lengan lawan.
"Dukkk...!"
Akibat benturan dua lengan itu membuat keduanya mengeluarkan teriakan tertahan saking kagetnya. Tubuh pemuda baju putih itu terdorong ke belakang sampai empat langkah, sedangkan sebaliknya, biarpun tubuh Ci Kang tidak terlempar karena dia sedang duduk, namun kursi yang didudukinya pecah berantakan!
Ci Kang sudah meloncat bangun dan alisnya berkerut semakin dalam. Kecurigaannya makin kuat. Orang ini tentu seorang tokoh sesat walaupun belum pernah dia melihatnya. Seorang tokoh muda yang entah datang dari mana dan agaknya diam-diam menjadi pelindung gerombolan penjahat yang menyamar menjadi pengusaha kedai arak. Teringatlah dia betapa si gendut tadi berusaha memancingnya agar dia suka bicara tentang pertemuan para pendekar dan kini diapun menduga bahwa tentu tokoh sesat ini bertugas menyelidiki pertemuan itu!
"Bagus, kiranya engkau seorang yang memiliki kepandaian juga. Sayang, kepandaian itu kaupergunakan untuk kejahatan!" Setelah berkata demikian, Ci Kang melompat ke depan dan menyerang dengan pukulan tangannya yang kuat.
Orang berbaju putih itu sudah mengenal kekuatan tangan lawan, maka diapun bersikap hati-hati sekali. Dengan mudah dia mengelak dari serangan Ci Kang lalu membalas dengan tendangan. Terjadilah perkelahian yang amat hebat dalam restoran itu antara Ci Kang dan pemuda baju putih. Dan para tamu segera meninggalkan meja masing-masing, menjauh akan tetapi menonton perkelahian itu. Dari sikap mereka, hampir semua berpihak kepada baju putih!
"Pemburu dari mana dia?" terdengar orang bertanya-tanya.
"Entah, dia baru datang, akan tetapi dia jahat sekali!"
"Dia telah memukuli Cou-twako, pengurus kedai yang baik hati!"
"Tentu dia penjahat!"
Demikianlah percakapan antara mereka yang sedang menonton perkelahian itu. Ci Kang menjadi semakin heran mendengar semua ini. Kenapa semua orang menganggapnya jahat" Akan tetapi dia tidak perduli karena dia maklum bahwa tentu semua orang telah tertipu oleh sikap penjahat-penjahat yang menyamar menjadi pemilik kedai arak ini. Hanya dia yang tahu bahwa mereka ini adalah orang-orang golongan hitam. Dan diapun merasa penasaran sekali. Pemuda baju putih ini hebat bukan main! Bukan hanya dalam kegesitan dan tenaga si baju putih ini dapat menandinginya, juga dalam ilmu silat pemuda ini agaknya dapat pula mengimbanginya. Gerakannya demikian kuat dan tenang, dan semua serangannya dapat dielakkan atau ditangkisnya dengan baik. Ci Kang yang sedang murung itu masih dapat menenangkan hatinya dan menahan kemarahannya dan ini adalah berkat gemblengan dari Ciu-sian Lo-kai selama ini. Sebelum dia menjadi murid Si Dewa Arak, mungkin saja tadi dia telah membunuh para pengurus kedai itu, dan mungkin kini dia akan mengeluarkan serangan-serangan maut untuk membunuh pemuda baju putih yang disangkanya tentu juga seorang tokoh sesat yang membela para penjahat yang menyamar menjadi pengurus kedai.
"Manusia jahat! Terimalah ini...!" Tiba-tiba si baju putih itu membalas dengan serangan yang amat mengejutkan hati Ci Kang. Pemuda itu menyerangnya dengan pukulan aneh, dengan kedua tangan disilangkan dan didorongkan sambil merendahkan tubuhnya. Akan tetapi dari kedua tangannya itu menyambar hawa pukulan panas yang amat dahsyat, yang menyambar kepadanya seperti badai mengamuk! Tahulah Ci Kang bahwa pemuda itu ternyata memiliki pukulan sakti yang amat berbahaya dan kini menyerangnya dengan ganas sekali. Maka diapun cepat mengerahkan sin-kangnya dan mendorongkan kedua tangannya dengan telapakan terbuka ke depan.
Kembali dua tenaga raksasa saling bentur dan sekali ini sebelum dua pasang tangan bertemu, lebih dulu hawa pukulan itulah yang saling beradu. Dan sekali ini, Ci Kang merasakan betapa tubuhnya tergetar hebat oleh hawa panas itu dan biarpun dia tidak sampai terhuyung ke belakang, namun pasangan kuda-kuda kakinya tergeser. Terkejutlah dia. Tak disangkanya sama sekali bahwa lawannya sehebat itu. Dan dia yang sudah banyak pengalamannya tentang ilmu-ilmu kaum sesat, tidak dapat mengenal ilmu pukulan apa yang dipergunakan pemuda baju putih ini. Maka mulailah timbul keraguannya. Jangan-jangen pemuda baju putih ini bukan seorang tokoh sesat, melainkan seorang pendekar yang juga tertipu oleh para pengurus kedai dan menganggap para pengurus kedai itu orang baik-baik dan dermawan, dan mengira bahwa dialah yang jahat!
Pemuda baju putih itu agaknya juga terkejut ketika melihat betapa pukulannya yang ampuh tadi dapat ditahan oleh Ci Kang dan hanya membuat pemuda berpakaian pemburu itu bergeser sedikit saja kakinya.
"Seorang pemuda yang berilmu tinggi, akan tetapi mempergunakannya untuk kekejaman dan kejahatan! Orang macam engkau ini harus dibasmi agar tidak menyebar kekejaman lagi!" Pemuda beju putih itu berseru marah dan kini dia menyerang semakin hebat, dengan gerakan-gerakan aneh yang setiap gerakan mengandung daya serang mematikan! Ci Kang terkejut mendengar ucapan itu, apalagi melihat serangan bertubi-tubi yang amat hebatnya dan mendengar pula kata-kata para penonton yang jelas berpihak kepada si pemuda baju putih. Semua orang agaknya menganggap dia yang jahat!
Cepat dia mengelak beberapa kali lalu meloncat ke belakang sambil berteriak, "Kalian semua seperti orang buta saja! Tidak tahukah kalian siapa enam orang pengurus kedai ini" Mereka adalah orang-orang dari golongan hitam, kaum sesat atau penjahat-penjahat yang menyamar! Mereka hanya pura-pura saja dermawan, akan tetapi mereka adalah penjahat-penjahat keji yang memusuhi para pendekar!"
Pemuda baju putih itu agaknya tidak percaya, bahkan semakin marah. "Sudah busuk perbuatannya, busuk pula mulutnya melontarkan fitnah keji!" Dan diapun menyerang lagi dengan pukulan tangan kanan.
"Wuuuttt... dukk!" Kembali Ci Kang menangkis dan keduanya tergetar dan terpaksa melangkah mundur beberapa tindak.
"Sobat, engkau masih belum percaya" Lihat, ke manakah mereka itu" Mereka telah lari setelah aku membuka kedok mereka!" Ci Kang berseru dan pemuda baju putih itu menengok dan diapun tidak melihat seorangpun di antara enam pengurus kedai tadi.
"Kebakaran...! Kebakaran...!"
"Pembunuhan...! Rampok... rampok...!"
Di luar kedai terdengar suara gaduh dan tiba-tiba di bagian belakang kedai itupun dimakan api. Asap sudah masuk ke dalam ruangan itu dan semua orang sudah cerai-berai dalam keadaan panik dan sebentar saja yang tertinggal di da-lam kedai tinggal Ci Kang dan si pemu-da baju putih. Akan tetapi keduanya se-gera sadar bahwa di luar tentu terjadi hal-hal yang membutuhkan pertolongan mereka, maka seperti orang berlomba, ke dua orang muda itu meloncat keluar ke-dai. Dan memang keadaan di dusun kecil itu kacau balau. Kebakaran-kebakaran terjadi di sana-sini dan orang-orang ber-larian simpang siur dengan panik. Ci Kang melihat betapa enam orang pang-urus kedai tadi, dengan belasan orang lain yang jelas terdiri dari golongan se-sat, sedang membakari rumah dan merampoki barang-barang yang mereka angkut keluar. Tentu saja Ci Kang menjadi ma-rah bukan main. Akan tetapi dia sudah keduluan pemuda baju putih yang sudah meloncat dan menerjang orang-orang yang membakari rumah-rumah dan merampoki barang-barang itu. Di beberapa tempat terdapat mayat bergelimpangan, agaknya mayat dari mereka yang hendak melawan keganasan para perampok.
Ci Kang menerjang segerombolan orang yang sedang melakukan pembakaran rumah. Empat orang penjahat yang ber-tubuh tinggi besar dan berwajah kejam mengeroyoknya dengan senjata golok me-reka. Akan tetapi, dengan mudah Ci Kang menyambut serangan mereka de-ngan tamparan dan tendangan yang membuat empat orang itu kocar-kacir dan ja-tuh bangun. Mereka merasa penasaran dan hendak melawan terus, akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja Ci Kang membuat mereka tak berdaya, mematah-kan tulang lengan atau kaki mereka dan akhirnya empat orang penjahat itu lari tunggang-langgang, yang patah tulang kakinya menyeret kaki itu terpincang-pin-cang. Ci Kang tidak mengejar mereka. Gurunya, Si Dewa Arak, selalu menekankan kepadanya betapa tidak baiknya me-lakukan pembunuhan-pembunuhan. Bahkan sedapat mungkin jangan melakukan kekerasan, kata gurunya itu. Andaikata ter-paksa harus menggunakan kekerasan ter-hadap penjahat, cukup kalau menunduk-kan dan sekedar memberi hukuman saja agar mereka tidak berani melanjutkan kejahatan mereka, akan tetapi sama se-kali tidak boleh dibunuh. Ajaran Si Dewa Arak ini sungguh berlawanan sekali de-ngan kebiasaan hidup di lingkungan kaum sesat, akan tetapi Ci Kang menerimanya dengan hati senang dan patuh karena memang cocok sekali dengan pendiriannya sendiri yang tidak suka akan kejahatan dan kekerasan karena dia sudah muak hi-dup di lingkungan yang penuh dengan ke-kerasan.
Tiba-tiba Ci Kang terkejut oleh suara teriakan-teriakan yang mengerikan. Dia cepat menoleh dan wajahnya berobah me-rah. Dia melihat pemuda baju putih itu mengamuk dan sepak terjangnya menggi-riskan sekali. Sudah ada tujuh atau dela-pan orang penjahat termasuk si gendut dari kedai arak dan anak buahnya, ber-serakan menjadi mayat. Pemuda itu me-nurunkan tangan mautnya den tidak memberi ampun kepada para penjahat. Masih ada beberapa orang penjahat yang mengeroyoknya, akan tetapi Ci Kang maklum bahwa mereka semua itu tentu akan te-was di tangan si pemuda baju putih ka-lau dia tidak mencegahnya. Cepat dia meloncat dan ketika tangan pemuda baju putih itu menyambar dengan serangan maut kepada seorang penjahat yang go-loknya sudah terlempar, dia menubruk dan menangkis.
"Dukkk...!" Untuk ke sekian kalinya kembali dua lengan yang mengandung tenaga kuat itu saling bertemu, menggetarkan tubuh kedua pihak.
Pemuda baju putih itu mengerutkan alisnya dan matanya memandang terbela-lak kepada Ci Kang. "Gilakah kau?" ben-tak pemuda itu kepada Ci Kang. "Tadi engkau menyerang mereka dan aku yang tidak mengenal siapa mereka membela mereka. Sekarang, setelah mengetahui bahwa mereka ini adalah penjahat-penjahat terkutuk dan hendak membasmi mereka, engkau muncul melindungi mereka!" Pemuda baju putih itu benar-benar terkejut, heran dan penasaran melihat tingkah Ci Kang yang dianggapnya aneh sekali itu.
"Sobat, engkau memang gagah perkasa, akan tetapi terlalu kejam! Memang sudah menjadi kewajiban seorang pendekar untuk menentang kejahatan, akan tetapi bukan membunuh!"
Pemuda itu mengerutkan alisnya. "Kau perduli apa?" Dan diapun sudah menerjang lagi ke depan, merobohkan seorang penjahat dengan tamparan tangan kirinya yang ampuh. Sekali terkena tamparan itu, golok yang menangkisnya terlempar dan orang itu tidak mampu menghindarkan dirinya lagi, dadanya kena dihantam dan terdengar tulang-tulang iga yang patah-patah dan orang itu menjerit dan roboh berkelojotan.
"Kau kejam...!" Ci Kang menghardik dan ketika orang baju putih itu hendak mengejar para penjahat yang menjadi gentar dan melarikan diri, Ci Kang sudah menghadangnya.
"Kau kini membela mereka" Gila dan biar kubasmi sekalian!" Orang berbaju putih itu membentak dan menyerang Ci Kang. Tentu saja Ci Kang cepat mengelak dan untuk mencegah orang itu menyebar maut lebih banyak lagi, diapun membalas dan kini mereka kembali berkelahi dengan amat serunya. Kerena masing-masing kini sudah yakin akan kelihaian lawan, maka merekapun berkelahi lebih seru dan lebih hebat daripada tadi, masing-masing mengeluarkan ilmu-ilmu silat yang hebat. Kini para penjahat sudah lari semua dan juga para penghuni dusun sudah sejak tadi melarikan diri. Sebagian besar dari rumah-rumah dusun itu terbakar. Namun, dua orang muda itu agaknya lupa akan keadaan sekeliling karena mereka itu asyik berkelahi dan terpaksa harus mencurahkan seluruh perhatian, menggunakan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaga kalau tidak mau kalah! Dan kepandaian keduanya memang hebat, setingkat dan seimbang.
Entah berapa lama perkelahian itu akan berlangsung sampai ada yang kalah. Sudah hampir seratus jurus berlalu dan keduanya masih terus saling hantam dengan gigihnya. Tiba-tiba terdengar suara jerit minta tolong. Suara wanita yang ketakutan! Mendengar suara ini, seketika dua orang muda itu melupakan perkelahian mereka dan meloncat lalu berlari ke arah suara itu seperti orang berlomba. Jerit tangis itu kini semakin jelas, keluar dari sebuah rumah yang sudah terbakar bagian belakangnya.
"Tolong...! Toloooonggg... ahh, tolonglah aku...!" Demikianlah suara itu terdengar dari dalam rumah yang sedang terbakar.
"Brakkkkk...!" Dua tempat pada dinding rumah itu jebol ketika si pemuda baju putih dan Ci Kang secara berbareng menerjang tembok. Keduanya berlari memasuki rumah itu dan melihat seorang gadis yang terbelenggu kedua tangannya pada tiang rumah sedang meronta-ronta ketakutan melihat api mulai membakar dinding kamar itu! Seorang gadis yang cantik sekali, berpakaian sederhana akan tetapi justeru pakaian sederhana itulah yang membuat kecantikannya semakin menonjol. Karena kedua lengannya ditelikung ke belakang dan ia meronta-ronta, maka lekuk lengkung dan tonjolan-tonjolan pada tubuhnya nampak jelas dan amat menggairahkan! Melihat munculnya dua orang itu, sepasang mata yang jeli itu terbelalak ketakutan, akan tetapi agaknya ia dapat menduga bahwa mereka adalah orang orang yang hendak menolongnya, bukan orang-orang jahat yang menyerang dusun itu.
"Ah, tolonglah saya...!" Ia memohon.
Pada saat itu, dinding di bagian belakang kamar itu, yang mulai terbakar, runtuh ke bawah mengancam gadis itu yang tentu akan tertimpa runtuhan dinding tembok! Dua orang muda yang gagah perkasa itu bergerak cepat sekali. Pemuda baju putih itu sudah meloncat dan sekali sambar dia sudah merenggut putus tali yang mengikat gadis itu dengan tiang, lalu meloncat sambil memondong tubuh itu, sedangkan Ci Kang meloncat menggempur dinding yang runtuh itu dengan kedua tangannya.
"Braaakkkk...!" Runtuhan dinding itu pecah berantakan dan diapun cepat meloncat keluar menyusul. Di luar rumah yang terbakar itu, dia melihat pemuda beju putih sudah menutunkan gadis tadi yang kini berdiri kebingungan dan masih menangis. Ketika Ci Kang tiba pula di situ, gadis itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang pemuda itu sambil menangis.
"Sudahlah, jangan menangis dan ceritakan apa yang telah terjadi." kata Ci Kang sambil memandang kepada pemuda baju putih yang berdiri tenang dan menghadapi gadis itu dengan pandang mata penuh selidik.
Gadis itu menyusut air matanya. Usianya tidak sangat muda lagi, kurang lebih dua puluh lima tahun. Akan tetapi usia ini bagi seorang wanita merupakan usia yang sedang masaknya, bagaikan setangkai bunga sedang mekarnya. Pakaiannya sederhana namun rapi, wajahnya cantik dan terutama sekali mulutnya manis sekali.
"Saya menghaturkan terima kasih kepada ji-wi taihiap... yang sudah menyelamatkan nyawa saya yang tidak berharga..."
"Sudahlah," kata pemuda baju putih. "Tak perlu bicara tentang itu. Yang penting sekarang ceritakan apa yang telah terjadi maka kau beraaa dalam rumah terbakar itu dalam keadaan terbelenggu." Pada waktu itu, dusun kecil yang terbakar ini sudah ditinggalkan orang dan agaknya hanya mereka bertiga saja yang masih berada di situ, kecuali mayat-mayat yang menggeletak di sana-sini, korban kekejaman para perampok.
"Saya bernama Ji Hwa dan tinggal bersama ayah dan ibu di luar dusun, di lereng bukit sana itu... dan saya berada di sini karena mengunjungi paman dan bibi saya, pemilik rumah ini. Ketika tadi para penjahat datang, paman melawan dan bibi entah lari ke mana, dan saya... perampok ganas itu menawan saya, hendak dibawa pergi. Tapi ketika paman melawan, perampok itu mengikat saya di tiang tadi dan dia lalu berkelahi dengan paman di luar rumah... selanjutnya... saya tidak tahu apa yang terjadi, rumah terbakar dan saya ketakutan sekali..."
Ia menengok ke kiri di mana terdapat mayat-mayat bergelimpangan, membuat gadis itu bergidik ngeri.
"Siapakah pemimpin para perampok itu, nona?" Ci Kang bertanya. "Apakah engkau mengenal para pengurus kedai arak itu?" Dia menunjuk ke arah kedai arak yang sudah habis terbakar.
Gadis itu menggeleng kepala dan kelihatan ketakutan. "Saya tidak tahu... akan tetapi... saya merasa yakin bahwa ayah saya tahu akan semua itu. Pernah dia berkata kepada saya bahwa dusun ini terancam kekuasaan para penjahat..."
"Hemm, kalau begitu mari kuantar kau pulang, nona. Aku ingin bicara dengan ayahmu," kata Ci Kang.
"Akupun ingin bertemu dengan ayahmu, nona," kata pula pemuda baju putih itu.
Ci Kang memandang pemuda itu sambil tersenyum mengejek. "Agaknya dalam segala hal engkau tidak mau kalah, sobat. Perlu apa engkau ikut pula dengan kami?"
Pemuda itu tersenyum pahit. "Aku belum tahu benar siapa engkau dan orang macam apa adanya dirimu. Melihat engkau pergi berdua dengan seorang gadis yang tak berdaya ini, sungguh hatiku merasa tidak enak. Aku baru lega kalau melihat ia sudah berkumpul kembali dengan orang tuanya."
"Sialan!" Ci Kang membentak. "Engkau masih tidak percaya kepadaku" Nah, mari kita saling mengenal. Namaku Ci Kang."
"Shemu?" tanya pemuda itu, ingin tahu nama keluarga Ci Kang.
"Tidak perlu kuperkenalkan." Ci Kang memang tidak ingin memperkenalkan nama keluarga ayahnya yang terkenal sebagai Siangkoan Lo-jin atau Si Iblis Buta.
"Namaku Sun," kata pemuda baju putih itu, juga tidak mau menyebutkan shenya melihat betapa Ci Kang menyembunyikan shenya pula. Pemuda ini sesungguhnya she Cia. Ya, dia adalah Cia Sun, putera dari Cia Han Tiong yang tinggal di Lembah Naga! Seperti telah kita ke-tahui, pemuda ini merasa penasaran sekali akan sikap ayahnya. Ibunya tewas di tangan musuh dan ayahnya mengampuni musuh-musuh itu. Dalam keadaan penasaran dan penuh duka dan dendam ini, dia bertemu lalu diambil murid oleh Go-bi San-jin dan digembleng selama tiga ta-hun. Oleh gurunya ini, di dalam batinnya ditanam jiwa kependekaran yang tegas dan keras menentang kejahatan. Gemblengan ini, ditambah oleh rasa dendam atas kematian ibunya, membuat Cia Sun men-jadi seorang pendekar yang tidak mau mengampuni orang-orang jahat dan dia menganggap sebagai tugasnya untuk me-nentang kejahatan dan membasmi para penjahat, membunuh mereka tanpa mengenal ampun lagi!
Seperti juga Ci Kang yang disuruh oleh gurunya, Ciu-sian Lo-kai untuk pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang di luar Tembok Besar untuk mengadakan pertemuan dengan para pendekar, juga Cia Sun diutus oleh Go-bi San-jin untuk pergi ke tempat itu. Munculnya Raja dan Ratu Iblis yang dibantu oleh Cap-sha-kui dan para datuk kaum sesat membuat o-rang-orang sakti dan para pendekar ber-usaha menentangnya dan mereka akan mengadakan pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang.
Setelah memperkenalkan nama masing-masing tanpa menyebut nama keturunan, dua orang muda itu lalu mengawal gadis yang bernama Ji Hwa itu pulang. Mereka keluar dari dusun kecil yang sudah sunyi itu dan menuju ke utara di mana terdapat sebuah bukit yang penuh dengan po-hon-pohon rindang.
"Jauhkah rumahmu dari sini, nona?" tanya Cia Sun yang masih belum percaya benar kepada gadis ini dan selalu tidak meninggalkan kewaspadaannya.
"Tidak jauh, di lereng bukit itu, taihiap. Akan tetapi harap jangan sebut no-na padaku, namaku Hwa dan biasa dise-but Hwa Hwa saja."
Cia Sun mengerutkan alis dan tidak menjawab. Gadis ini baru saja mengalami peristiwa yang menakutkan dan mengejutkan, baru saja terlepas dari maut dan nyaris terbakar hidup-hidup dalam rumah tadi. Akan tetapi sekarang sudah bicara sambil senyum-senyum dan kerling mata gadis ini membuat hatinya terasa tidak enak. Biarpun Cia Sun sampai saat itu belum pernah bergaul rapat dengan wani-ta, namun dia mengenal kerling yang ta-jam memikat, kerling yang membayang-kan kegenitan yang disembunyikan, sikap yang agaknya tidak wajar dan berpura-pura.
Rumah itu besar dan kuno sekali, terletak di lereng bukit. Rumah yang besar dan kuno, terpencil sendiri dan dari jauh tidak nampak karena tersembunyi di ba-lik pohon-pohon dan semak-semak belu-kar. Karena kuno, besar dan sudah rusak tak terpelihara, bangunan itu nampak menyeramkan, pantasnya hanya dihuni o-leh setan-setan dan iblis-iblis saja.
"Di sinikah engkau dan orang tuamu tinggal?" Ci Kang bertanya ketika mere-ka tiba di depan rumah. "Bekerja apakah orang tuamu?" Kiranya diapun, seperti Cia Sun, mulai merasa heran dan curiga melihat betapa gadis itu bersama orang tuanya tinggal di tempat yang serem se-perti ini.
Gadis yang minta disebut Hwa Hwa itu tersenyum memandang Ci Kang. "Ka-lau melihat pakaian taihiap, agaknya pe-kerjaan ayah tidak asing bagi taihiap. Dia seorang pemburu dan karena itu ka-mi memilih tempat di bukit dekat hutan-hutan ini." Dengan sikap ramah dan lincah gadis itu mempersilakan dua orang pemuda itu untuk memasuki gedung ku-no. "Marilah, harap ji-wi taihiap sudi masuk dan menemui ayah dan ibu yang berada di dalam. Saya merasa yakin bah-wa ayah akan dapat bercerita banyak tentang penjahat-penjahat yang tadi menga-cau dusun."
Cia Sun dan Ci Kang saling pandang sejenak. Biarpun mereka masih merasa penasaran dan ada rasa tidak suka satu kepada yang lain, akan tetapi kini mere-ka berada dalam sebuah perahu yang sa-ma. Maka, biarpun hanya sedikit, terda-pat suatu kepentingan bersama di antara mereka dan setelah saling pandang, tahulah mereka bahwa masing-masing tidak akan mau kalah dan merasa malu kalau mundur. Mereka lalu mengikuti gadis itu memasuki bangunan dan ternyata memang bangunan itu kuno dan tidak terawat. Banyak bagian yang sudah rusak, akan tetapi sebagian besar masih kokoh kuat karena memang bangunan kuno itu kuat buatannya.
"Mari silakan, ji-wi taihiap. Saya kira ayah dan ibu sedang bersamadhi di dalam kamar samadhi," kata gadis itu sambil mengajak mereka menuju ke sebuah ruangan yang pintunya kecil. Mendengar ini, kembali Cia Sun dan Ci Kang melirik. Kalau mereka sedang bersamadhi, tentu orang tua gadis ini termasuk orang-orang yang pandai ilmu silat, atau kalau tidak tentu orang-orang yang saleh.
Mereka melewati pintu kecil itu dan memasuki sebuah ruangan yang bentuknya aneh. Kamar itu tidak berjendela, dan bentuknya bundar. Lantainya tertutup babut tipis yang sudah lapuk, dan tidak terdapat perabot rumah, akan tetapi cukup bersih keadaannya. Di dekat dinding nampak seorang kakek dan seorang nenek sedang duduk bersila dalam keadaan bersamadhi. Dan melihat keadaan dua orang kakek dan nenek ini, dua orang pemuda itu merasa heran dan terkejut. Kakek itu berpakaian serba polos putih kuning, rambutnya putih semua riap-riapan, jenggot dan kumisnya pendek terpelihara baik-baik, tubuhnya jangkung dan wajahnya aneh menyeramkan. Wajah itu memang bagus bentuknya, membayangkan ketampanan, akan tetapi wajah itu nampak bekitu dingin, agak kehijauan kulitnya dan matanya terpejam. Sukar ditaksir berapa usianya, akan tetapi tentu sudah enam puluh tahun lebih. Adapun nenek itu juga mempunyai keadaan yang sama, baik pakaiannya yang sederhana kedodoran maupun rambutnya yang juga sudah putih semua dan riap-riapan. Rambutnya lebih panjang ketimbang rambut kakek itu, dan bentuk atau raut wajah wanita inipun menunjukkan bekas kecantikan, hanya nampak begitu dingin seperti topeng.
"Silakan duduk, ji-wi taihiap dan maaf, di sini tidak ada bangku atau kursi, terpaksa kita duduk di atas lantai," kata Hwa Hwa dengan ramahnya. Cia Sun dan Ci Kang yang sudah terlanjut masuk, la-lu duduk di atas lantai berbabut itu, bersila dengan sikap hormat karena mereka berdua meragu orang-orang macam apa adanya kakek dan nenek ini. Yang jelas, bukan orang-orang sembarangan saja, demikian mereka berpikir.
Setelah dua orang pemuda itu duduk, Hwa Hwa lalu keluar dari dalam kamar itu, sampai di ambang pintu menoleh dan berkata sambil tersenyum, "Maafkan, sa-ya akan mempersiapkan minuman untuk ji-wi..."
Sebelum dua orang muda itu menolak, pintu yang sempit itu tiba-tiba sudah di-tutup dari luar oleh Hwa Hwa dan baru nampak oleh dua orang muda itu bahwa pintu itu berbuat daripada besi yang ko-koh kuat! Akan tetapi karena di dalam ruangan itu masih terdapat kakek den nenek tadi, Cia Sun dan Ci Kang bersi-kap tenang saja dan kini mereka berdua memandang kepada kakek den nenek itu dengan penuh perhatian.
Tiba-tiba kakek dan nenek itu mem-buka matanya dan terkejutlah dua orang pendekar muda itu melihat betapa dua pasang mata itu amat tajam, mencorong seperti bukan mata manusia biasa! Mata kakek dan nenek itu mencorong dan ke-hijauan! Terkejutlah Cia Sun dan Ci Kang, tahu bahwa mereka itu ternyata bukan orang sembarangan, melainkan orang-o-rang yang memiliki tenaga sin-kang amat kuat, kalau tidak demikian, tak mungkin mereka memiliki sinar mata seperti itu. Akan tetapi keduanya tetap tenang saja dan menanti apa yang akan terjadi selan-jutnya, tentu saja dengan penuh kewaspadaan karena kini mereka mulai dapat menduga bahwa sikap gadis yang bernama Hwa Hwa tadi hanya pura-pura saja.
Tiba-tiba terdengar suara kakek itu yang bicara seolah-olah tanpa menggerakkan bibir. "Berlutut...!"
Dua orang pemuda itu terkejut dan heran, akan tetapi biarpun mereka men-duga bahwa kakek itu menyuruh mereka berlutut, tentu saja mereka tidak sudi melaksanakan perintah itu. Mereka hanya memandang tajam, menentang dua pasang mata hijau yang mencorong itu. Kini, nenek itulah yang bicara, suaranya lirih akan tetapi mendesis dan menusuk jantung.
"Kalau murid kami sudah membawa kalian ke sini, tentu kalian bukan orang-orang biasa dan ada harganya untuk menjadi pembantu-pembantu kami. Nah, orang-orang muda, berilah hormat kepada Ong-ya!"
Dua orang muda itu kini terkejut bukan main. Mereka berdua sudah mendengar dari guru masing-masing tentang Raja dan Ratu Iblis yang menganggap dirinya raja dan ratu, dan betapa semua tokoh sesat yang takluk kepada mereka menyebut Raja Iblis itu Ong-ya karena memang dia dahulunya seorang pangeran bernama Toan Jit-ong. Kini Cia Sun dan Ci Kang memandang penuh perhatian dan merekapun baru sadar bahwa mereka sebenarnya berhadapan dengan Raja dan Ratu Iblis yang amat ditakuti itu, yang kini kabarnya sedang menggerakkan para datuk kaum sesat termasuk Cap-sha-kui untuk menguasai dunia! Bahkan karena adanya gerakan mereka inilah maka para pendekar dan orang sakti hendak mengadakan pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk merencanakan langkah-langkah untuk menentang gerakan berbahaya itu. Dan kini, tanpa mereka sangka-sangka, mereka telah dipancing oleh seorang gadis cantik yang ternyata murid iblis-iblis ini, dan telah berhadapan dengan mereka, berada di sebuah ruangan tertutup!
"Apakah ji-wi yang berjuluk Raja dan Ratu Iblis?" Dengan hati tabah, sedikitpun tidak gentar suaranya Ci Kang bertanya.
Nenek itu mengeluarkan suara seperti orang tertawa, walaupun mulutnya tidak tertawa.
"Kalau kalian sudah tahu, cepat memberi hormat!" katanya.
Akan tetapi, seperti dikomando saja, Cia Sun dan Ci Kang sudah meloncat berdiri. Mereka berdua sudah banyak mendengar tentang suami isteri iblis ini, dan mereka tahu bahwa sudah menjadi kewajiban mereka untuk menentang dua orang ini. Mereka sama sekali tidak merasa takut, walaupun mereka sudah mendengar betapa lihainya kakek dan nenek ini.
"Inilah penghormatanku!" kata Cia Sun yang sudah menyerang kakek yang duduk bersila itu.
"Dan ini bagianku!" bentak Ci Kang, secepat kilat diapun menyerang ke arah si nenek.
Serangan dua orang muda itu hebat sekali, mendatangkan angin pukulan dahsyat karena mereka berdua yang maklum akan kelihaian kakek dan nenek itu sudah mengerahkan sin-kang dan menyerang sekuat tenaga. Kakek dan nenek itu mendengus dan mengulur tangan menyambut. Mereka hanya mendorong tangan mereka ke depan dan segumpal uap menyambar dan menyambut serangan Cia Sun dan Ci Kang.
"Bresss...!" Tubuh dua orang muda itu terdorong ke belakang dan tanpa dapat mereka cegah lagi, keduanya terbanting pada dinding di belakang lalu terguling ke atas lantai!
Pada saat itu, lantai tertutup babut itu terbuka dan tentu saja dua orang pemuda yang baru saja terguling, cepat meloncat ke depan. Hanya bagian di mana kakek dan nenek itu duduk saja yang tidak terjeblos dan jalan satu-satunya hanyalah mencoba untuk menyerang lagi kakek dan nenek yang masih duduk bersila di atas lantai, bagian yang tidak terbuka.
"Desss...!" Kini empat pasang tangan itu bertemu langsung secara dahsyat sekali dan akibatnya, kakek dan nenek itu mengeluarkan seruan kaget bukan main. Benturan tangan mereka dengan tangan pemuda-pemuda itu membuat tubuh mereka tergetar dan terguncang hebat! Akan tetapi karena mereka duduk di atas lantai, sedangkan tubuh Cia Sun dan Ci Kang melayang, tentu saja kedua orang pemuda itu yang tidak mempunyai landasan, terdorong mundur dan tak dapat dihindarkan lagi tubuh mereka terjatuh ke dalam lubang di bawah mereka.
Mereka mempergunakan gin-kang dan tidak sampai terbanting, juga mereka tiba di dasar lubang itu dengan kaki lebih dulu, dalam keadaan berdiri. Akan tetapi tiba-tiba tempat di mana mereka terjatuh itu menjadi gelap gulita karena lantai dari kamar di atas tadi telah tertutup kembali!
Tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis dan tercium bau harum yang menyengat hidung. "Asap beracun...!" Cia Sun berseru dan keduanya segera menahan napas dan meraba-raba mencari jalan keluar. Akan tetapi kamar di mana mereka tersekap itu ternyata terbuat dari besi dan tidak ada pintunya! Mereka lalu meloncat ke atas dan menghantam ke arah lantai kamar atas yang kini menjadi langit-langit bagi mereka itu.
"Bress! Bress!" Akan tetapi lantai itu terlalu kuat dan tubuh mereka terlempar lagi ke bawah. Mereka seperti dua ekor tikus memasuki perangkap dan kini kamar itu mulai penuh dengan asap wangi beracun. Mereka menahan napas sekuat mungkin, akan tetapi tentu saja kekuatan ini ada batasnya. Betapapun saktinya kedua orang muda itu, jantung mereka harus berdenyut terus dan untuk ini, jantung membutuhkan hawa murni melalui pernapasan.
Akhirnya Cia Sun den Ci Kang tidak kuat bertahan lagi dan merekapun terpaksa menyedot asap itu dan tubuh mereka terguling dan mereka pingsan oleh asap pembius. Sebelum mereka kehilangen kesadaran, mereka mendengar suara ketawa merdu, suara dari Hwa Hwa yang sebetulnya adalah Gui Siang Hwa, murid terkasih dari Raja Iblis atau Pangeran Toan Jit-ong.
Ketika Cia Sun dan Ci Kang siuman kembali, mereka telah saling berpisah, Cia Sun yang siuman mendapatkan dirinya telah berada di atas pembaringan sebuah kamar dalam keadaan terbelenggu dan tertotok jalan darahnya! Dia berusaha membebaskan jalan darahnya ketika terpaksa usaha ini dihentikannya karena ada langkah kaki orang memasuki kamar. Kiranya yang masuk adalah gadis cantik yang telah menjebaknya itu! Tentu saja Cia Sun menjadi marah sekali dan memandang dengan mata melotot.
"Hemm, perempuan hina! Kiranya engkau adalah seorang penjahat betina yang sengaja menjebak kami! Engkau tentu kaki tangan perampok yang mengacau di dusun itu!" bentak Cia Sun.
Siang Hwa tersenyum manis dan menghampiri, lalu duduk di tepi pembaringan dan membelai pundak yang nampak karena baju di bagian pundak Cia Sun robek ketika dia meloncat dan mendobrak lantai atas. Cia Sun merasa betapa bulu-bulu tubuhnya meremang ketika jari-jari tangan yang berkulit halus itu menelusuri pundaknya dengan belaian sayang. Dia menggerakkan pundaknya untuk menolak, akan tetapi karena dia berada dalam keadaan tertotok, pundaknya hanya bergerak sedikit saja, membuat Siang Hwa tertawa geli.
"Hi-hik, pemuda yang gagah dan tampan. Sun-koko, dugaanmu itu terbalik. Bukan aku kaki tangan mereka, akan tetapi mereka adalah kaki tanganku, para pembantuku. Sun-koko, tahukah engkau kenapa suhu dan subo tidak langsung saja membunuhmu" Akulah yang minta ampun. Nyaris aku dibunuh karena mintakan ampun untukmu, koko. Akan tetapi, aku menangis dan meratap minta agar engkau tidak dibunuh..."
"Hemm, apa maksudmu?" Cia Sun bertanya, merasa heran mendengar bahwa murid kedua iblis itu mintakan ampun untuknya.
Tiba-tiba Siang Hwa merangkul leher pemuda yang masih rebah terlentang karena belum dapat bangun itu. Tentu saja Cia Sun terkejut bukan main akan tetapi dia tidak mampu meronta atau mengelak, apalagi memukul. Kedua tangannya ditelikung ke belakang, juga kedua kakinya terikat dan selain itu, kaki tangannya lumpuh oleh totokan.
"Sun-koko, tidak dapatkah engkau menebak" Aku cinta padamu...! Aku cinta padamu, karena itu mati-matian aku mempertahankan nyawamu. Kalau engkau mau membalas cintaku, kita akan hidup bahagia dan menjadi pembantu-pembantu suhu yang amat dipercaya. Ah, koko, marilah kita hidup bahagia bersamaku..."
Siang Hwa mendekatkan mukanya dan siap untuk mencium dengan sikap yang amat memikat. Bau harum semerbak keluar dari rambut dan leher gadis itu, akan tetapi hal ini sama sekali bukan membuat Cia Sun terpikat atau terangsang, sebaliknya mengingatkan dia akan bau harum asap beracun yang membuat dia dan Ci Kang terbius.
"Ci Kang... di mana dia?"
Gadis itu tersenyum manis dan karena mukanya sangat dekat, Cia Sun dapat melihat rongga mulut yang merah, lidah yang meruncing merah dan deretan gigi yang putih bersih. Mulut yang penuh daya pikat, akan tetapi yang mendatangkan rasa jijik dan marah kepadanya karena maklum bahwa di balik kecantikan ini tersembunyi kejahatan yang mengerikan.
"Sun-koko, temanmu itu sudah dibunuh, dan kalau tidak ada aku, engkau tentu dibunuh pula. Karena itu, marilah kita mengecap kebahiagiaan, mari kita menikmati hidup berdua..." Gadis itu kini menunduk dan mencium bibir Cia Sun. Akan tetapi ia terkejut dan mengeluh. "Aihhh...!" Ia merasa betapa bibir itu kaku dan dingin, betapa pemuda itu sama sekali tidak membalas perasaan cintanya, bahkan pemuda itu kini memandang marah.
"Iblis betina, perempuan tak tahu malu, jahanam busuk! Jangan harap aku akan dapat terbujuk olehmu. Bujuk rayumu tiada gunanya dan kalau mau membunuh aku, bunuhlah! Lebih baik seribu kali mati daripada harus tunduk kepada ular betina seperti kamu ini!"
Siang Hwa melepaskan rangkulannya dan memandang dengan alis berkerut. Pandang matanya membayangkan kekecewaan besar. "Sun-koko, pikirlah baik-baik... engkau masih muda, gagah perkasa, haruskah mati konyol begitu saja" Sun-koko, aku cinta padamu dan aku dapat membahagiakanmu..."
"Sudahlah! Sampai mati aku tidak mungkin dapat berbaik dengan iblis-iblis berwajah manusia macam engkau dan Raja Iblis! Kalau aku tidak dijatuhkan dengan kelicikan dan kecurangan, kalau aku bebas, pertama-tama yang akan kulakukan adalah mencekikmu sampai mampus baru kucari kakek dan nenek iblis untuk kubunuh! Jadi tidak perlu engkau membujuk rayu seperti itu. Bunuh saja kalau mau bunuh!"
Tiba-tiba terdengar suara lirih, terde-ngar dari jauh akan tetapi jelas sekali. "Nah, apa kubilang, Siang Hwa. Becah dari Lembah Naga itu mana mau diajak bekerja sama" Bunuh saja, akan teteipi siksa dulu!"
Itulah suara Ratu Iblis yang agaknya diam-diam mengikuti usaha muridaya un-tuk membujuk Cia Sun agar suka menjadi pembantu mereka dengan menggunakan kecantikan gadis itu.
"Baik, subo," kata Siang Hwa dengan suara gemas dan kini pandang matanya kepada Cia Sun berobah kelam, "Akan kusiksa mereka, kubikin mereka mati teng-gelam, mati perlahan-lahan!"
Setelah berkata demikian, kedua ta-ngan gadis yang tadi membelai-belai Cia Sun dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, kini mencengkeram pundak pemu-da itu dan menariknya turun dari pemba-ringan, lalu menyeretnya keluar kamar itu. Cia Sun yang tidak berdaya itu melihat bahwa dia diseret keluar dari dalam bangunan induk menuju ke bangunan be-lakang yang berada di tempat yang agak tinggi, akan tetapi setelah gadis itu me-nyeretnya naik dan memasuki bangunan itu, ternyata di dalam bangunan terdapat sebuah anak tangga yang menurun. Ke-mudian, sesampainya di sebuah ruangan sempit, Siang Hwa melepaskan cengke-ramannya dan dengan pengerahan tenaga, ia memutar sebuah roda besi di sudut. Terdengar suara berkerotokan dan dua buah batu besar persegi empat yang ber-ada di atas lantai bergerak terbuka ke kanan kiri, memperlihatkan sebuah lu-bang.
"Nah, mampuslah kau di situ!" kata Siang Hwa sambil menendang tubuh Cia Sun yang tak mampu melawan dan tubuh pemuda itu terlempar masuk ke dalam sebuah kolam atau sumur yang sempit. Dia hanya mengangkat kepala agar tidak sampai terbanting menimpa dasar sumur. Untung bahwa yang menimpa dasar itu adalah pinggulnya lebih dulu.
"Bukk!" Agak nyeri rasanya akan tetapi dia tidak terluka. Kiranya sumur itu tidak sangat dalam, kurang lebih dua meter saja dan kejatuhannya itu disusul dengan menutupnya kembali dua buah batu persegi yang mengeluarkan suara gaduh.
"Ah, kau juga?" Tiba-tiba terdengar suara teguran. Cia Sun terkejut dan menengok. Matanya sudah agak terbiasa dengan keremangan tempat itu dan dia melihat behwa Ci Kang sudah berada di tempat itu pula, duduk di sudut bersandarkan dinding batu! Cia Sun tidak memperdulikan orang ini. Bagaimanapun juga, dia masih merasa mendongkol dan penasaran. Harus diakuinya bahwa rasa bersaing dengan pemuda inilah yang memaksa dia mengikuti Siang Hwa. Andaikata tidak ada perasaan itu, mungkin dia akan menolak ajakan Siang Hwa. Dia bangkit berdiri dan dengan kedua tangannya yang masih ditelikung ke belakang, dia meraba-raba dinding melakukan penyelidikan, dengan kedua kaki yang juga terbelenggu itu mcloncat-loncat.
"Sobat, tiada gunanya kau mencari jalan keluar. Sudah sejak tadi aku menyelidiki dan semua dinding ini terbuat dari besi kuat, dan lantai ini batu-batu gunung. Jalan keluar satu-satunya hanyalah batu penutup lubang di atas itu, akan tetapi sudah kucoba pula dan kuatnya bukan main."
Cia Sun menghentikan usahanya dan duduk di sudut, memandang pemuda di depannya itu. Ci Kang agaknya sudah kehilangan bajunya karena hanya tubuh bagian bawah sajalah yang tertutup celana. Tubuhnya yang kokoh kuat dengan otot yang melingkar-lingkar itu nampak besar menyeramkan. Dia sendiri masih untung, pikir Cia Sun, hanya robek saja bajunya, akan tetapi orang itu malah setengah telanjang!
"Kenapa mereka ingin membunuhmu juga?" akhirnya Ci Kang bertanya. Cia Sun mengerutkan alisnya.
"Karena mereka mangenalku."
"Hemm, kenapa engkau tidak tinggal di atas saja, hidup bahagia dengan perempuan cabul itu dan menjadi pembantu Raja dan Ratu Iblis?" Ci Kang mengejek.
"Aha, agaknya engkaupun telah dibujuk rayu oleh perempuan itu!" Cia Sun mengejek. "Agaknya lebih parah, sampai baju atasmu ditanggalkan. Kenapa engkau tidak memilih hidup enak di sana" Dan kenapa mereka juga ingin membunuhmu?"
"Karena merekapun mengenalku, mengenal keadaanku."
"Mengenal ayahmu?" Cia Sun mendesak.
Ci Kang mengangguk dan tiba-tiba wajahnya menjadi muram. "Mereka... telah membunuh ayahku! Dan untuk itu aku harus hidup, aku harus hidup untuk membuktikan kepada mendiang ayah, bahwa aku bukanlah seperti mereka!" Ci Kang berkata dengan suara gemetar penuh perasaan.
Cia Sun menjadi tertarik. "Sobat, kita senasib. Agaknya nasib yang mempertemukan kita dimulai dari kesalahpahaman. Dan ternyata akulah yang salah. Aku tertipu oleh penjahat-penjahat yang menyamar menjadi pengurus-pengurus kedai itu. Sobat, aku she Cia. Namaku Cia Sun dan ayahku tinggal di Lembah Naga, itulah yang menyebabkan mereka hendak membunuhku. Boleh aku mengetahui siapa ayahmu?"
"Aku she Siangkoan, ayahku... ayahku dikenal sebagai Siangkoan Lo-jin..."
"Ahhh...!" Cia Sun terkejut bukan main sampai memandang dengan mata terbelalak. "Maksudmu... maksudmu... yang dijuluki Iblis Buta...?"
Ci Kang mengangguk dan menarik na-pas panjang. "Benar, ayahku dijuluki Iblis Buta dan memang ayahku buta..."
"Tapi... tapi... bukankah ayahmu memimpin para penjahat, bahkan para datuk Cap-sha-kui juga menjadi sekutunya" Kenapa engkau dimusuhi Raja dan Ratu Iblis?"
"Ayah mereka bunuh karena menen-tang mereka, baru kuketahui tadi setelah aku menolak perempuan hina itu dan menghinanya."
"Hemm, jadi karena ayahmu dibunuh maka engkau memusuhi mereka" Akan tetapi mengapa di kedai arak itu engkau memusuhi pula para penjahat yang menyamar?" Kini tahulah Cia Sun mengapa pe-muda ini mengenal penjahat yang menyamar sedangkan ia sama sekali tidak mengenal mereka. Kiranya pemuda ini adalah putera seorang datuk penjahat!
"Sejak lama aku berpisah dari ayahku karena aku tidak cocok dengan cara hidupnya. Aku menentang kejahatan dan karenanya aku dibenci golongan sesat, akan tetapi golongan bersih juga menghina dan menentangku karena aku putera Siangkoan Lo-jin..."
"Kalau ada pendekar menentangmu karena engkau putera Siongkoan Lo-jin, maka dia itu sembrono, Ci Kang. Orang ditentang karena perbuatannya yang jahat, bukan karena keturunannya!"
Ci Kang mengangkat mukanya. Dalam cuaca remang-remang itu sepasang matanya mencorong ketika memandang wajah Cia Sun penuh selidik. "Orang she Cia, benarkah omonganmu itu" Aku baru saja dikecewakan oleh para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang. Ketika aku tiba di sana dan dikenal sebagai putera ayah, aku nyaris celaka karena dikeroyok mereka."
"Ah, mereka itu sembrono. Jadi itukah sebabnya mengapa engkau murung dan mengamuk di kedai arak itu ketika engkau melihat bahwa mereka adalah penjahat-penjahat yang menyamar?"
Ci Kang mengangguk dan diam-diam timbul rasa sukanya kepada Cia Sun, walaupun masih ada rasa tidak puas bahwa dia belum mampu mengalahkan pemuda gagah perkasa ini.
Tiba-tiba terdengar suara mengejek, suara ketawa Siang Hwa. "Hi-hi-hik, kalian ini dua orang laki-laki yang tak tahu diri, berlagak alim dan gagah. Rasakan kini pembalasanku. Kalian akan mampus sebagai dua ekor tikus tenggelam, hi-hik!" Dan tiba-tiba terdengar suara air gemercik dan dari atas, dari celah-celah batu yang menutupi lubang itu, turunlah air dengan derasnya!
"Kita harus dapat keluar dari sini!" kata Cia Sun yang segera mencoba untuk mengerahkan tengga agar ikatan kaki tangannya dapat dipatahkan. Akan tetapi totokan pada jalan darah di tubuhnya mesih menguasainya dan dia tidak memiliki tenaga otot terlalu besar untuk dapat melawan kuatnya tali pengikat itu. Ci Kang juga berusaha. Dia sendiripun baru saja dapat membebaskan totokannya karena memang dia lebih dahulu dilempar ke dalam lubang ini setelah dengan mati-matian Siang Hwa mencoba merayunya tanpa hasil! Kini dia mengerahkan tenaga dan putuslah tali yang membelenggu kaki tangannya! Dia lalu bangkit berdiri dan berusaha mendorong batu yang menutupi lubang dengan kedua tangannya. Otot-otot perut, dada, pundak dan kedua lengannya menggembung besar, akan tetapi ternyata batu penutup itu amat kuatnya sehingga semua usahanya untuk membukanya dari bawah sia-sia belaka! Apalagi batu penutup itu terlalu tinggi sehingga dia tidak dapat mengerahkan seluruh tenaga. Andaikata agak rendah, tentu tenaganya akan lebih besar. Sementara itu, dengan cepat air mulai menggenangi lubang itu, dan Cia Sun melihat betapa air telah mencapal setinggi paha dan terus naik dengan cepatnya.
"Ci Kang, cepat kaulepaskan tali pengikat tanganku agar aku dapat membantumu!" kata Cia Sun sambil menoleh kepada Ci Kang yang masih berusaha sekuat tenaga untuk membuka batu penutup lubang.
Akan tetapi Ci Kang tidak menjawab, menengokpun tidak, seolah-olah tidak perduli kepada Cia Sun dan masih terus berusaha menggunakan tenaganya untuk mendorong membuka batu penutup lubang jebakan itu ke atas. Namun, agaknya batu itu terlalu berat baginya dan air terus naik dengan cepatnya. Dua pendekar muda itu terancam maut dan keadaan mereka amat gawat!
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Seperti telah kita ketahui, sudah beberapa pekan lamanya Raja dan Ratu Iblis berada di daerah utara. Daerah ini sama sekali bukan merupakan daerah asing bagi mereka. Sama sekali tidak. Bahkan ketika Raja Iblis masih menjadi Pangeran Toan Jit-ong, dalam pelariannya dari kota raja, dia bersembunyi di utara. Gedung itu adalah sebuah istana kuno yang dahulu dipergunakan kaisar untuk melepaskan lelah dan bermalam jika mengadakan perjalanan ke utara, yang amat jarang terjadi. Dan kaisar yang masih ingat akan pertalian kekeluargaan dengan Pangeran Toan Jit-ong, diam-diam mengutus orang untuk menyerahkan istana kuno itu kepada Pangeran Toan Jit-ong. Make pangeran pelarian itupun tinggal di dalam istana tua itu. Istana itu selain kokoh kuat juga mempunyai beberapa tempat untuk tahanan, karena para pengawal kaisar selalu siap dengan mereka yang menentang kaisar, mata-mata musuh ataupun pengacau-pengacau. Tempat-tempat ini oleh Pangeran Toan Jit-ong diperbaiki dan disempurnakan menjadi tempat-tempat jebakan yang berbahaya.
Ketika dia meninggalkan kota raja sebagai buronan, Toan Jit-ong sudah berusia tiga puluh tahun lebih, memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi. Dan ketika dia merantau ke utara dan tinggal di dalam istana kuno itu, dia memperdalam ilmu-ilmunya dengan menghubungi pertapa-pertapa dan orang-orang pandai. Pintar sekali pangeran ini mengambil hati orang-orang pandai sehingga dia berhasil mengumpulkan ilmu-ilmu kesaktian yang aneh-aneh. Di dalam perantauan inilah dia bertemu dengan seorang gadis puteri seorang pertapa di Pegunungan Go-bi-san, gadis Thio yang kini menjadi Ratu Iblis. Gadis itu selain cantik juga memiliki kepandaian tinggi dan setelah mereka menjadi suami isteri, mereka lalu mengadakan perjalanan ke seluruh negeri. Dengan kepandaian mereka yang tinggi, mereka mencoba dan menandingi semua datuk sesat dan tak seorangpun di antara para datuk itu ada yang mampu mengalahkannya!
Nama Raja dan Ratu Iblis, demikian mereka dijuluki oleh para datuk sesat, menjadi amat terkenal dan ditakuti di kalangan kaum sesat. Akan tetapi, pangeran ini tinggi hati dan tidak mau merendahkan dirinya untuk bergaul dengan kaum sesat walaupun dia membenci pemerintah dan kaum pendekar pula. Dia dan isterinya hidup terasing, hanya bertapa dan memperdalam ilmu kepandaian mereka di dalam perantauan mereka sampai jauh ke barat.
Dalam usia setengah tua, Raja dan Ratu Iblis baru kembali ke istana di utara itu dan tinggal di situ. Mungkin karena kini merasakan ketenteraman hati setelah tidak merantau lagi, Ratu Iblis yang setengah tua itu mengandung! Hal ini menggirangkan hati Raja Iblis yang kini hidup seperti raja kecil di tempat sunyi, dilayani belasan orang taklukan yang juga rata-rata berkepandaian tinggi. Akan tetapi dasar watak Pangeran Toan Jit-ong aneh dan jahat seperti iblis, bahkan mendekati kegilaan, dia mengatakan kepada isterinya bahwa dia ingin anak laki-laki.
"Awas kalau engkau melahirkan anak perempuan," katanya mengancam, "akan kubunuh anak itu, atau kalau tidak, akan kuambil ia sebagai selirku!"
Biarpun ia sendiri sudah biasa melakukan hal-hal yang menyeramkan dan juga memiliki dasar watak yang liar dan jahat, akan tetapi hati wanita itu khawatir sekali mendengar ucapan suaminya. Dan ia tahu betul bahwa suaminya itu bukan hanya mengancam kosong belaka, akan tetapi tentu akan melaksanakan apa yang diancamkannya. Kalau ia gagal melahirkan seorang putera, kalau yang terlahir itu seorang anak perempuan, tentu akan dibunuh suaminya atau lebih menyakitkan hati lagi, kelak akan menjadi selir suaminya!
Akan tetapi Ratu Iblis bukan seorang bodoh. Sebaliknya, ia cerdik sekali dan dalam keadaan terancam itu, jauh hari sebelumnya ia sudah mengatur siasat dan merencanakan penyelamatan bayinya andaikata bayinya itu lahir perempuan. Ia telah memperoleh seorang pembantu yang akan melaksanakan segala rencananya itu andaikata bayinya terlahir perempuan.
Saat yang dinanti-nantikan itupun tibalah. Dan untung bagi Ratu Iblis, kelahiran itu terjadi tengah malam sehingga amat memudahkan pelaksanaan siasatnya. Siasat yang amat keji karena pembantunya itu telah menyingkirkan bayinya yang ternyata terlahir perempuan dan menaruhkan seorang bayi lain, juga bayi perempuan yang diperolehnya dari dalam dusun yang berdekatan. Menculik bayi itu dan menukarnya dengan bayi yang baru dilahirkan oleh Ratu Iblis! Dan ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Raja Iblis datang menjenguk, dia hanya mendapatkan seorang bayi perempuan yang sudah mati!
"Ia lahir perempuan dan... mati?" ta-nyanya.
"Ya, aku membunuhnya. Lebih baik mati di tanganku daripada di tanganmu," jawab Ratu Iblis sederhana.
Beberapa hari kemudian, setelah Ratu Iblis pulih kembali kesehatannya, secara aneh pembantu itupun tewas pada suatu malam. Tentu saja yang membunuhnya a-dalah Ratu Iblis yang merasa khawatir kalau-kalau rahasianya terbongkar. Sete-lah ia menyelidiki di mana adanya anak yang ditukarkan itu, ia lalu membunuh si pembantu sehingga rahasia itu hanya di-ketahui oleh dirinya sendiri saja.
Demikian besarlah "aku"nya Ratu I-blis yang selalu mementingkan diri sen-diri saja. Demi menyelamatkan nyawa bayinya, ia tidak segan-segan untuk mem-bunuh lain bayi secara kejam sekali! A-kan tetapi, penyakit seperti yang men-cengkeram batin Ratu Iblis inipun agak-nya diderita oleh kita semua pada umumnya. Keakuan yang amat kuat menceng-keram batin kita masing-masing sehingga demi kepentingan sang aku, kita tidak segan-segan melakukan apa saja, kalau perlu merugikan orang lain. Kalau orang dengan mati-matian, dengan memperta-ruhkan nyawa, membela negara, agama, keluarga atau harta dan apapun juga, maka yang dibela dan dipentingkan itu se-sungguhnya adalah aku-nya. Negara-Ku yang kubela, agama-Ku yang kubela, keluarga-Ku, harta-Ku dan selanjutnya. Bu-kan negara yang penting, bukan agama-nya dan sebagainya, melainkan AKU-nya. Negara orang lain" Masa bodoh kalau mau dijajah orang lain! Masa bodoh ka-lau mau dihina, asal jangan agama-Ku. Demikian selanjutnya, yang menunjukkan bahwa semua itu hanyalah merupakan perluasan daripada si aku belaka. Si aku yang penting. Milikku!
Demikian pula dengan Ratu Iblis itu. Ia melindungi bayi, bukan b

^