Pencarian

Asmara Berdarah 21

Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 21


a, tentu dia bukan putera ketua Cin-ling-pai atau semua itu hanya fitnah belaka."
"Fitnah" Orangku ini menyaksikan dengan kepala sendiri dan masih dianggap fitnah" Kalian pendekar-pendekar selatan tentu saja membela!" kata Lam-nong dan dia menyuruh pembantunya menceritakan kembali semua yang telah terjadi. Kakek Mancu itu menceritakan sejak terjadinya penyerbuan pasukan pemberontak sampai ketika dia tertawan dan dia dilepas karena mirip wajah pemimpin pasukan pemberontakg dan betapa dia menyaksikan Hui Song berjina dengan empat orang isteri Lam-nong yang tertawan, betapa wanita-wanita lainnya menjadi korban perkosaan yang biadab.
Mendengar penuturan ini, Thian Sin dan isterinya saling pandang dan pendekar ini menggeleng-geleng kepalanya, "Sungguh sukar untuk dipercaya!" serunya.
"Sungguh membingungkan!" kata pula Toan Kim Hong. Mereka sudah mendengar dari puteri mereka akan nama Cia Hui Song itu yang oleh puterinya dipuji-puji sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa. Akan tetapi menurut penuturan dua orang Mancu ini, ternyata Hui Song adalah seorang mata keranjang yang cabul den berwatak busuk dan palsu. Tentu saja mereka belum mau percaya sepenuhnya hanya dengan mendengar penuturan dua orang ini walaupun jelas bahwa dua orang yang keadaannya seperti itu, kehilangan semua kawan yang terbunuh habis, kiranya tidak akan sempat lagi untuk berbohong-bohong. Tidak mungkin mereka ini menceritakan fitnah, akan tetapi besar kemungkinannya pendekar yang menjadi sahabat mereka itu bukan putera Cin-ling-pai yang sebenarnya, melainkan akuan saja. Betapapun juga, di dalam lubuk hatinya, suami istri ini kurang begitu suka kepada ketua Cin-ling-pai yang mereka anggap berwatak angkuh.
"Kami akan menyelidiki kebenaran keterangan kalian itu," akhirnya Thian Sin berkata. "Kalau benar orang itu melakukan hal yang demikian jahat, kami akan menghajarnya. Akan tetapi, dapatkah kalian menolong kami menceritakan di mana adanya nenek yang bernama Yelu Kim?"
Mendengar pertanyaan ini, sepasang alis Lam-nong berkerut dan diapun memandang penuh kecurigaan dan ejekan. "Hemm, kiranya kalian ini pendekar-pendekar dari selatan yang ingin mengabdi kepada nenek Yelu Kim untuk memberontak terhadap pemerintah kalian di selatan?"
"Tutup mulutmu dan jangan menduga yang bukan-bukan!" Toan Kim Hong membentak marah.
Akan tetapi Thian Sin tersenyum dan dia maklum mengapa kepala suku ini demikian penuh dendam dan benci kepada para pendekar dari selatan. "Sobat Lam-nong, mengapa kau menduga demikian?"
"Karena petualang-petualang dari selatan itu berkeliaran di sini hanya untuk mencari kedudukan atau kekayaan. Nenek Yelu Kim sendiripun sekarang telah dibantu oleh seorang pendekar wanita dari selatan..."
"Ah, pendekar wanita itulah yang kami cari!" Toan Kim Hong berseru. "Bukankah ia masih muda sekali, cantik dan lihai, dan namanya Ceng Sui Cin?"
Lam-nong menggeleng kepala. "Aku tidak mengenal namanya, akan tetapi memang ia muda, cantik dan lihai bukan main. Aku hanya mendengar bahwa ia menjadi murid dan pembantu nenek Yelu Kim, bahkan ialah yang memenangkan sayembara pemilihan jagoon sehingga kemenangannya membuat nenek Yelu Kim diangkat menjadi pimpinan para kepala suku."
"Ah, tentu ia itu puteri kami Ceng Sui Cin!" Toan Kim Hong berseru dan suaranya agak gemetar.
"Putert kalian" Ah, menarik sekali!" kata Lam-nong.
"Saudara Lam-nong, berlakulah baik kepada kami dan tolonglah tunjukkan di mana adanya nenek Yelu Kim agar kami dapat mencari puteri kami," kata Thian Sin, suaranya halus membujuk.
"Hemm, mengingat betapa kalian tadi baru saja menyelamatkan kami dari tangan pasukan pemberontak sudah cukup untuk kubalas dengan pertolongan apapun. Akan tetapi apakah arti pertolonganmu tadi sebagai pendekar dari selatan dibandingkan dengan kekejian yang dilakukan lain pendekar selatan kepada kami" Oleh karena itu, aku mau membantumu, bahkan bukan hanya menunjukkan melainkan mengantarmu ke sana kalau engkau mau berjanji bahwa engkau akan membantuku pula menangkap dan menyeret si jahanam Cia Hui Song ke depan kakiku! Bagaimana?"
Thian Sin saling pandang dengan isterinya. Janji yang berat. Bagaimana kalau ternyata bahwa pendekar itu benar-benar putera ketua Cin-ling-pai" Bukankah itu berarti bahwa mereka akan berhadapan sebagai lawan dan musuh dengan keluarga Cin-ling-pai" Demikian Thian Sin berpikir.
"Baik, kami setuju!" Tiba-tiba Toan Kim Hong berseru. "Siapapun juga adanya pendekar itu, kalau benar dia melakukan kekejian seperti itu, tentu akan kami hadapi sebagai lawan dan musuh!" Ucapan ini menyadarkan Thian Sin akan kewajibannya sebagai seorang gagah, yaitu menentang siapa saja tanpa pilih bulu, menentang siapa saja yang melakukan perbuatan jahat.
"Benar, kami setuju. Mari antar kami kepada tempat kediaman nenek Yelu Kim!" katanya.
Lam-nong nampak gembira. Janji ini merupakan sinar terang dalam kegelapan hatinya. Dia baru akan merasa puas kalau dapat membalas dendam kepada Cia Hui Song, atas perbuatannya yang biadab kepada isteri-isterinya!
Memang kelihatannya aneh sikap Lam-nong ini, akan tetapi memang sudah demikianlah sifat dendam yang mengotori batin kita semua. Perbuatan merugikan kita yang dilakukan oleh orang yang dekat dengan kita terasa jauh lebih menyakitkan daripada kalau dilakukan oleh orang lain yang asing bagi kita. Inilah sebabnya mengapa kebencian yang menyelinap dalam batin terhadap seorang bekas teman baik atau keluarga jauh lebih mendalam daripada kebencian terhadap orang asing. Lam-nong seolah-olah melupakan parbuatan para pemberontak yang telah membasmi keluarga dan rombongannya, juga seperti lupa akan cerita kakek pembantunya betapa selir-selirnya yang lain diperkosa secara biadab oleh mereka. Yang diingatnya dengan penuh rasa sakit hati hanyalah perbuatan Hui Song yang berjina dengan empat orang isterinya!
"Baiklah, akan kuantar sampai ke depan nenek Yelu Nim. Bahkan aku akan mintai pertanggungan jawabnya atas pertstiwa yang menimpa rombonganku, karena bukankah ia telah menamakan dirinya pemimpin para kepala suku" Mari, mari kita pergi. Tapi, siapakah ji-wi" Aku belum mengenal nama ji-wi."
Thian Sin tersenyum. "Namaku Ceng Thian Sin dan ini adalah isteriku."
Lam-nong mengangguk-angguk, baru sekarang teringat dia betapa lihainya suami isteri ini ketika tadi membubarkan pasukan pemberontak. "Mari, taihiap dan toanio, mari kita berangkat."
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Bagaimana dengan Cia Hui Song" Pemuda ini merasa marah dan mendongkol sekali ketika dalam keadaan tertotok dan tidak berdaya, dia melihat empat orang isteri sahabatnya memasuki kamarnya itu dalam keadaan hampir telanjang bulat. Dia melihat betapa wajah mereka pucat, rambut mereka kusut dan pandang mata penuh takut dan duka. Dia tahu bahwa mereka itu ketakutan dan menangis ketika mereka memeluknya seperti hendak minta perlindungan, bahwa mereka itu dipaksa oleh Sim Thian Bu untuk merayunya. Dia tidak marah kepada wanita-wanita ini melainkan merasa kasihan, akan tetapi apa yang dapat dilakukannya" Dia tidak berdaya sama sekali.
Untung baginya, hanya sebentar saja wanita-wanita itu disuruh merayu atau menemaninya. Dan dia melihat wajah orang Mancu itu ketika pintu dibuka, melihat betapa orang Mancu tua itu terbelalak lalu menyumpah dan pintu ditutup lagi. Agaknya hanya untuk keperluan memperlihatkan adegan itu kepada orang Mancu tadilah maka empat orang wanita itu disuruh naik tempat tidurnya. Tak lama kemudian mereka disuruh keluar lagi, entah dibawa ke mana oleh Thian Bu.
Pada keesokan harinya, Sim Thian Bu muncul pula di dalam kamarnya. Totokan pada tubuhnya sudah bebas, akan tetapi malam tadi Thian Bu mengikat tangannya dengan tali sutera yang amat kuat sehingga percuma saja ketika Hui Song berusaha melepaskan diri dengan cara menariknya putus.
"Aha, Cia-taihiap. Engkau nampak segar pagi ini. Bagaimana, apakah usulku semalam sudah kaupertimbangkan?"
"Aku tidak sudi bersekutu dengan pemberontak. Biar akan kaubunuh sekalipun, aku tidak perduli. Akan tetapi ingat, kalau aku sampai dapat lolos dari sini, aku akan mengejar dan mencarimu, dan akan kupaksa engkau bertanding sampai mampus!"
"Aih, mengapa galak amat" Bukankah aku telah memperlakukanmu dengan amat baik" Bahkan telah kusuguhkan wanita-wanita cantik. Sayang engkau yang bodoh tidak mau menerimanya. Cia-taihitip, ketahuilah bahwa aku bersikap baik kepadamu bukan tanpa sebab. Tahukah engkau bahwa ayah ibumu, juga kakekmu, kini telah berada bersama kami dan bekerja sama dengan kami, bahkan ayahmu kini mengepalai pasukan keamanan di Ceng-tek?"
"Bohong! Siapa sudi percaya omongan busukmu?" bentak Hui Song. "Sim Thian Bu, aku tidak tahu mengapa engkau memusuhiku, akan tetapi yang jelas engkau adalah tokoh pemberontak rendah. Jangan mencoba-coba untuk membujukku. Perbuatanmu semalam dengan memaksa empat orang isteri Lam-nong dalam keadaan tak tahu malu itu ke sini saja sudah melampaui batas dan untuk itu, mau rasanya aku membunuhmu sampai tujuh kali! Sekarang, kauapakan mereka itu?"
"Ha-ha-ha, karena mereka tidak berhasil membujukmu, mereka kuhadiahkan kepada orang-orangku dan kau dapat membayangkan apa jadinya kalau empat orang wanita itu harus melayani ratusan orang perajurit..."
"Jahanam keparat kau!" Hui Song membentak dan wajahnya berobah merah sekali, hatinya perih membayangkan nasib para isteri Lam-nong.
Sim Thian Bu sama sekali tidak tahu bahwa semua percakapannya dengan Hui Song itu ada yang mendengarkan. Seorang laki-laki yang berpakaian seragam perajurit berdiri di luar kamar itu, dengan sikap bertugas jaga, akan tetapi sebenarnya dia sedang mendengarkan dengan teliti apa yang sedang dibicarakan di dalam kamar. Perajurit ini bertubuh tinggi tegap dan memiliki sepasang mata yang mencorong tajam.
Perajurit ini adalah Siangkoan Ci Kang! Seperti telah kita ketahui, Ci Kang terancam bahaya maut di tangan Raja Iblis Pangeran Toan Jit Ong, akan tetapi secara kebetulan dan tiba-tiba muncul Pendekar Sadis dan isterinya yang menyelamatkannya dan setelah dia memberi tahu kepada mereka tentang Sui Cin, suami isteri yang sakti itu lalu meninggalkannya untuk mencari puteri mereka.
Setelah berpisah dari suami isteri yang sakti itu, yang membuat Ci Kang merasa semakin nelangsa karena mereka itu adalah ayah bunda Sui Cin yang dicintanya, membuat dia merasa semakin kecil dan rendah, pemuda ini lalu mengambil keputusan untuk mencari Raja Iblis yang melarikan Hui Cu. Dia harus dapat menyelamatkan gadis itu dari tangan ayah kandungnya sendiri yang jahatnya melebihi iblis. Gadis itu sudah dua kali menyelamatkannya, pertama kali ketika dia bersama Cia Sun terjeblos ke dalam guha bawah tanah dan kedua kalinya ketika dia hampir celaka di tangan murid Raja Iblis, Gui Siang Hwa. Sekarang, dia tahu bahwa gadis itu berada dalam cengkeraman iblis yang membahayakan keselamatannya, maka dia harus berusaha untuk menolongnya, biarpun untuk itu keselamatan nyawanya sendiri akan terancam.
Dalam perjalanannya mencari Hui Cu inilah secara kebetulan Ci Kang di dusun itu. Dia hanya melihat bekas-bekas kejahatan pasukan pemberontak yang dipimpin Sim Thian Bu itu, yang telah membasmi puluhan orang anak buah suku Mancu Timur di bawah pimpinan Lam-nong. Hatinya menjadi panas oleh kemarahan ketika dia mendengar dari penyelidikannya betapa sutenya itu telah sedemikian jahatnya membunuhi orang-orang yang tidak berdosa, bahkan menganiaya dan memperkosa wanita-wanitanya. Akan tetapi kedatangannya terlambat dan dia tidak sempat lagi mencegah perbuatan sutenya. Pula, Ci Kang tidaklah begitu bodoh untuk langsung menemui Thian Bu dan menegurnya. Bagaimanapun juga, jalan hidup antara mereka telah terpisah, mereka telah bersimpang jalan, bahkan saling menentang. Sutenya itu, setelah kini memimpin ratusan orang perajurit, mana mungkin mau mentaatinya" Tentu tidak takut kepadanya dan dia akan dianggap musuh dan dikeroyok. Karena itulah, Ci Kang diam-diam lalu menculik seorang perajurit yang perawakannya seperti dia, membawa perajurit itu ke dalam sebuah hutan yang cukup jauh, mengikat kaki tangannya setelah melucuti pakalannya, dan dengan berpakaian perajurit dia kembali ke dalam dusun. Dengan mudah dia menyelinap di dntara perajurit yang seribu orang banyaknya itu dan dia berhasil masuk ke dalam pondok di mana Sim Thian Bu sedang mengunjungi Hui Song yang tertawan. Dengan muka geram dia mendengarkan semua percakapan itu dan tahulah dia bahwa pendekar putera ketua Cin-ling-pai itu sedang dibujuk oleh sutenya untuk membantu pemberontak. Sutenya, Sim Thian Bu, telah membantu Raja Iblis. Padahal, ayahnya, Siangkoan Lo-jin, guru sutenya itu tewas di tangan Raja Iblis. Sungguh seorang murid murtad. Dia sendiri memang tidak mendendam atas kematian ayahnya yang dianggapnya tewas karena ulah sendiri, akan tetapi dia tidak akan sudi diperalat oleh pemberontak. Dan biarpun Hui Song pernah memperlihatkan sikap bermusuh dengannya, ketika dia muncul di bekas benteng Jeng-hwa-pang dan ketika dia berada dalam kamar bersama Sui Cin, namun dia tahu bahwa pemuda itu adalah seorang pendekar sejati. Diapun sudah mendengar tentang ketua Cin-ling-pai yang membantu gerakan para pemberontak, maka diam-diam dia merasa kasihan kepada Hui Song. Sedikit banyak ada persamaan antara dia dan pemuda ini. Biarpun ayah pemuda ini seorang pendekar besar, ketua Cin-ling-pai, akan tetapi sekarang menyeleweng dan membantu pemberontak, padahal puteranya mati-matian menentang pemberontak dan lebih memilih mati daripada harus menjadi kaki tangan pemberontak seperti yang diperlihatkan ketika dibujuk oleh Sim Thian Bu itu. Dan agaknya Hui Song belum tahu akan penyelewengan ayahnya.
"Hui Song, engkau sungguh orang yang tidak tahu akan kebaikan orang!" Akhirnya Sim Thian Bu menjadi marah dan tidak menyebutnya taihiap lagi. "Melihat muka orang tuamu yang kini menjadi rekanku, aku bersikap baik kepadamu dan tidak membunuhmu walaupun engkau telah membantu suku bangsa liar. Bahkan aku telah menyuguhkan empat orang wanita tawanan untuk menghiburmu, akan tetapi engkau menolak. Baiklah, agaknya engkau baru akan mau percaya kalau sudah kubawa ke Ceng-tek dan bertemu dengan ayah ibumu." Dia mendengus marah. "Karena engkau masih tidak mau tunduk, terpaksa harus kubelenggu terus sampai ke Ceng-tek. Hari ini juga kita berangkat ke sana!" Dengan uring-uringan Thian Bu meninggalkan Hui Song dalam kamar itu. Tadinya dia berniat untuk membujuk Hui Song agar dapat membantu dan ikut dengannya secara suka rela agar dia dapat berbangga memamerkan jasanya di Ceng-tek. Tak disangkanya Hui Song demikian keras hati sehingga terpaksa dia akan membawanya sebagai tawanan, hal yang amat tidak enak terhadap ketua Cin-ling-pai.
"Jaga dia, awasi terus jangan sampai dia dapat meloloskan diri!" perintah Sim Thian Bu kepada dua orang pengawal yang berada di luar pintu kamar. Dua orang pengawal itu mengangguk dan masuk ke dalam kamar, berdiri dekat pembaringan dengan tombak di tangan.
Akan tetapi, tidak lama kemudian setelah Sim Thian Bu meninggalkan kamar itu, sesosok bayangan berkelebat masuk ke dalam kamar itu. Hui Song yang masih rebah tak mampu berkutik itu melihat betapa dengan gerakan yang amat ringan, bayangan ini menyergap ke arah dua orang penjaga yang tidak sempat berteriak atau mempertahankan diri. Dua kali totokan membuat mereka itu roboh pingsan. Dengan cekatan Ci Kang, bayangan itu, menyambar dua batang tombak agar tidak mengeluarkan bunyi keras ketika terbanting ke atas lantai.
Hui Song terbelalak ketika mengenal siapa adanya perajurit tinggi tegap yang merobohkan dua orang pengawal itu.
"Hemmm...kau...?" gumamnya, sama sekali tidak girang mtlihat kedatangan penolong ini, bahkan matanya mengandung sinar kemarahan. Andaikata dia tidak dalam keadaan terbelenggu, tentu dia sudah bergerak menerjang Ci Kang! Ci Kang dapat melihat kebencian terpancar dari mata putera ketua Cin-ling-pai itu dan diapun maklum. "Sobat Cia Hui Song, sebaiknya engkau tahan kemarahanmu dan kita simpan dulu urusan pribadi. Yang jelas engkau tertawan..."
"Benar, dan yang menawan adalah murid ayahmu!" Hui Song mengejek.
"Simpan ejekanmu itu, sobat! Biarpun dia suteku, akan tetapi jalan hidup kami tidak sejalur. Biarpun mendiang ayahku seorang datuk sesat, akan tetapi tak dapat kausamakan aku dengan mereka, seperti juga berbedanya jalur hidupmu dengan ayahmu yang kini mengabdi pemberontak..."
"Tutup mulut! Kalian pembohong...!" Hui Song membentak.
"Sstttt kita tunda dulu perselisihan ini. Yang penting kita harus dapat lari dari tempat ini," berkata demikian Ci Kang cepat melepaskan ikatan kaki tangan Hui Song. Biarpun bekas ikatan pada kaki dan tangan itu masih membuat kaki tangannya terasa kesemutan dan setengah lumpuh, namun Hui Song memaksa diri meloncat turun dari pembaringan dan langsung dia menyerang Ci Kang!
"Jahanam busuk, aku harus membunuhmu untuk membalaskan penghinaanmu terhadap Sui Cin!" Serangan Hui Song tentu saja hebat sekali dan Ci Kang yang sudah mengenal kelihalan lawan ini cepat mengelak.
"Sabar dulu, sobat. Masih banyak waktu dan kesempatan bagi kita untuk bertanding. Sekarang yang penting kita herus meloloskan diri dari dusun ini!" Ci Kang berseru, akan tetapi semua seruannya percuma saja karena Hui Song yang sudah marah sekali teringat akan perbuatan pemuda ini memeluk den mencium Sui Cin, sudah menerjang lagi kalang kabut. Tentu saja Ci Kang menjadi bingung sekali dan sikap Hui Song ini membuat dia naik darah juga, maka setelah mengelak dan menangkis, diapun mulai balas menyerang! Terjadilah perkelahian yang amat hebat di dalam kamar itu dan tentu saja, hal ini menarik perhatian para pengawal yang cepat datang melihat. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati mereka melihat tawanan itu telah bebas dan kini sedang berkelahi melawan seorang rekan perajurit sedangkan dua orang perajurit pengawal sudah roboh tak bergerak di atas lantai. Melihat ini, para perajurit itu yang mengira bahwa Ci Kang adalah seorang di antara kawan mereka cepat menerjang dan membantu Ci Kang sehingga Hui Song kini dikeroyok!
Pemuda yang sudah mempunyai perasaan benci terhadap Ci Kang ini, rasa benci yang bukan hanya karena Ci Kang putera datuk sesat Iblis Buta, akan tetapi terutama sekali karena rasa cemburu yang hebat, kini menjadi semakin marah dan semakin yakin bahwa Ci Kang tentu bekerja sama dengan sutenya, Sim Thian Bu yang licik itu.
"Huh, Siangkoan Ci Kang, majulah bersama semua antekmu! Aku tidak takut!" Dan diapun mengamuk merobohkan empat orang perajurit dengan sekali serang! Pada saat itu, Sim Thian Bu yang diberi tahu oleh anak buahnya datang dan diapun terkejut bukan main ketika mengenal perajurit tinggi tegap itu yang ternyata adalah Siangkoan Ci Kang! Sebaliknya, melihat Sim Thian Bu, Ci Kang juga marah sekali. Kalau tadi ketika dia mendengar Thian Bu membujuk Hui Song dia masih mempertahankan kemarahannya karena perlu membebaskan Hui Song lebih dulu, kini setelah ketahuan dan dikeroyok, kemarahannya terhadap sutenya itu makin berkobar.
"Sim Thian Bu, engkau semakin gila dan jahat saja!" bentaknya dan tiba-tiba saja dia menyerang Sim Thian Bu!
Thian Bu maklum akan kelihaian putera suhunya ini. Maka cepat dia menangkis dengan lengan kanannya.
"Dukkk...!" Dan tubuh Thian Bu terlempar sampai bergulingan. Terkejutlah dia dan baru dia tahu bahwa suhengnya itu ternyata telah menjadi semakin lihai saja. Maka diapun berteriak kepada para perajuritnya.
"Dia perajurit palsu! Kepung dan bunuh dia juga!"
Tadi para perajurit bingung melihat pimpinan mereka berkelahi melawan perajurit itu, bahkan mereka kaget melihat betapa dalam segebrakan saja komandan mereka yang biasanya amat lihai itu terlempar sampai bergulingan. Akan tetapi begitu mendengar teriakan Thian Bu mengertilah mereka bahwa perajurit itu adalah seorang musuh yang menyamar, maka tentu saja segera mereka mengeroyok Ci Kang!
Hui Song sendiri juga dihujani senjata dan kini melihat betapa Ci Kang dikeroyok, tadinya dia masih bingung dan ragu, mengira bahwa Ci Kang bersandiwara. Akan tetapi melihat betapa Ci Kang mengamuk dan merobohkan banyak perajurit seperti juga dia, dan betapa para pengeroyoknya itu juga menyerang dengan sungguh-sungguh, baru dia pereaya bahwa Ci Kang benar-benar dimusuhi oleh Sim Thian Bu dan pasukannya! Dia masih bingung, akan tetapi tidak mendapat kesempatan untuk berpikir lebih lama lagi. Para pengeroyok terlalu banyak dan melihat betapa Ci Kang mendesak para pengeroyok dan berhasil keluar dari dalam kamar yang sempit, diapun menerjang dan membuka jalan darah. Segera dua orang pemuda perkasa ini dikeroyok di luar pondok yang lebih luas dan terjadilah pertempuran yang amat seru. Akan tetapi, baik Ci Kang maupun Hui Song maklum bahwa mereka berdua saja tidak akan mungkin dapat menandingi pengeroyokan perajurit yang jumlahnya hampir seribu orang itu. Mereka tentu akan kehabisan tenaga. Oleh karena itu, seperti telah berunding lebih dulu saja keduanya menyerang ke depan dan menyelinap lalu meloncat jauh dan melarikan diri. Beberapa orang perajurit yang berusaha mengejar, mereka robohkan dengan pukulan jarak jauh. Melihat ini, para perajurit lainnya menjadi gentar dan ragu-ragu untuk mengejar.
Thian Bu yang marah sekali melihat dua orang itu lolos, cepat berteriak memerintahkan anak buahnya untuk mengejar. Karena mengandalkan jumlah banyak pasukan itu melakukan pengejaran, akan tetapi dua orang pemuda perkasa itu telah lari jauh dan tidak nampak lagi bayangannya sehingga terpaksa para perajurit mencari ke sana-sini di bawah pimpinan Sim Thian Bu yang menyumpah-nyumpahi mereka karena pengejaran itu gagal sama sekali. Sim Thian Bu cukup maklum bahwa perajurit-perajurit itu tidak dapat disalahkan karena memang kedua orang pemuda itu amat lihai, akan tetapi karena kegagalan ini amat menjengkelkan hatinya, maka untuk melampiaskan kemarahannya itu dia memaki-maki para perajuritnya.
Biarpun tidak berjanji lebih dulu, akan tetapi kenyataannya Ci Kang dan Hui Song lari ke satu jurusan. Agaknya mereka itu keduanya tidak mau mengambil jalan lain atau memisahkan diri, khawatir kalau disangka takut atau sengaja melarikan diri menghindarkan perkelahian.
Dan setelah mereka lari jauh dan pasukan pemberontak tidak mengejar lagi, di sebuah tanah datar di lereng sebuah bukit, keduanya berhenti tanpa kencan dan berdiri saling berhadapan.
"Cia Hui Song, masih tidak percayakah kau kepadaku" Aku juga menentang kaum pemberontak!"
"Boleh jadi engkau menentang pemberontak, akan tetapi aku tidak mungkin dapat mengampunimu atas kebiadabanmu menghina Sui Cin!" bentak Hui Song dan diapun sudah menyerang dengan dahsyatnya. Ci Kang merasa betapa pemuda ini keterlaluan sekali mendesaknya. Biarpun ada dorongan aneh dalam dirinya ketika dia menjadi terangsang dan timbul berahinya sehingga dia melakukan hal yang tidak patut terhadap Sui Cin, namun dia tidak mau mencari alasan untuk membela diri. Dia diam saja dan menangkis, bahkan lalu membalas sehingga dua orang muda itu terlibat dalam suatu perkelahian yang amat seru dan mati-matian, walaupun Hui Song lebih banyak menyerang karena Ci Kang masih merasa enggan untuk menyerang. Dia tidak membenci Hui Song, tidak ada alasan baginya untuk membenci pemuda ini, maka diapun hanya membela diri dan menghadapi seorang lawan selihai Hui Song, kalau hanya membela diri dengan menangkis atau mengelak saja sungguh amat berbahaya dan tidak cukup aman. Serangan balasan yang dilakukannya, yang tidak kalah dahsyatnya, hanya dilakukan untuk membendung gelombang serangan yang dilakukan Hui Song terhadap dirinya.
Dua orang ini memang sama mudanya, sama gemblengan orang-orang pandai, bahkan keduanya pada akhir-akhir ini selama tiga tahun telah digembleng oleh orang-orang sakti yang segolongan. Oleh karena itu, sukar dikatakan siapa yang lebih kuat di antara mereka. Hui Song adalah putera tunggal ketua Cin-ling-pai yang tentu saja mewarisi ilmu-ilmu Cin-ling-pai yang tinggi, dan gemblengan selama tiga tahun yang diterimanya dari Siang-kiang Lo-jin membuat ilmu-ilmunya menjadi matang. Akan tetapi di lain pihak, Ci Kang juga telah mewarisi ilmu-ilmu dari ayah kandungnya, Siangkoan Lo-jin atau Iblis Buta, dan gemblengan selama tiga tahun oleh Ciu-sian Lo-kai juga mematangkan ilmu-ilmunya. Maka pertandingan antara mereka ini sedemikian dahsyatnya bagaikan perkelahian dua ekor naga sakti yang tidak mau saling mengalah.
Setelah perkelahian itu berlangsung seratus jurus tanpa ada yang terdesak, keduanya semakin maklum bahwa lawan masing-masing itu lebih sukar dikalahkan seperti yang mereka sangka semula, oleh karena itu kini bergerak dengan hati-hati sambil mengeluarkan seluruh ilmu silat mereka dan mengerahkan seluruh tenaga.
"Dukkk...!" Kembali terjadi adu tenaga yang amat dahsyat yang mengakibatkan kedua orang muda itu terhuyung ke belakang dan keduanya harus mengatur pernapasan beberapa detik lamanya untuk menghimpun hawa murni melindungi tubuh bagian dalam agar jangan sampai terluka akibat guncangan pertemuan tenaga dahsyat itu. Dan pada saat itu, selagi keduanya siap untuk saling terjang lagi, nampak dua bayangan orang berkelebat. Seorang gadis cantik menghadang di depan Hui Song, dan seorang pemuda perkasa menghadang di depan Ci Kang.
"Suheng, harap jangan berkelahi...!" Gadis itu berteriak.
"Ci Kang, tahan dulu...!" Pemuda itu berseru pula.
Melihat gadis itu yang menghadangnya, Hui Song terpaksa menghentikan serangannya, juga Ci Kang segera menghentikan gerakannya ketika dia mengenal siapa yang menghadang di depannya. Gadis dan pemuda itu adalah Tan Siang Wi dan Cia Sun!
Bagaimanakah dua orang muda ini dapat saling berkenalan dan dapat datang bersama di tempat itu" Seperti kita ketahui, Cia Sun hadir pula dalam pertemuan para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang dan seperti juga yang lain, dia terpaksa melawan sambil berpencar dan akhirnya menyelamatkan diri karena jumlah lawan yang terlampau banyak. Ketika dia sedang melarikan diri tiba-tiba dia melihat seorang gadis yang dikepung dan dikeroyok oleh banyak sekali perajurit yang agaknya hendak menangkap gadis cantik itu hidup-hidup. Akan tetapi, gadis cantik itu memainkan sepasang pedang secara hebat sehingga dua puluh lebih orang perajurit itu sukar dapat menangkapnya, dan hanya mengepung dan menyerang dari jauh dengan tombak mereka untuk menghabiskan tenaga gadis itu agar akhirnya dapat disergap. Gadis itu adalah Tan Siang Wi.
Sejak muda, Tan Siang Wi telah biasa hidup dalam kekerasan sebagai seorang gadis kang-ouw yang disegani. Ia murid Bin Biauw, isteri ketua Cin-ling-pai, bahkan menerima petunjuk pula dari ketua Cin-ling-pai sehingga tentu saja ia amat lihai, terutama sekali Ilmu Silat Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang hebat itu. Karena sifatnya yang keras dan berani, juga karena ia tidak pernah memberi ampun kepada para penjahat, maka di dunia kang-ouw ia dijuluki Toat-beng Sian-li (Dewi Pencabut Nyawa)! Maka, biarpun kini dikepung dan dikeroyok dua puluh orang lebih, ia mengamuk dan sedikitpun tidak menjadi gentar. Gadis ini mendengar tentang adanya pertemuan di antara para pendekar di Jeng-hwa-pang. Selama tiga tahun ini ia merantau dengan hati penuh duka, mencari-cart Hui Song, pemuda yang menjadi pujaan hatinya. Dan seperti telah kita ketahui, ia melihat betapa suheng yang dicintanya itu dirayu dalam kamar oleh Siang Hwa, membuat ia cemburu dan marah sekali. Akan tetapi akhirnya ia tertawan dan yang amat menyedihkan hatinya, suhengnya bersekutu dengan wanita iblis itu dan ia disuruh pergi! Sakit sekali rasa hatinya walaupun ia tahu bahwa Hui Song melakukan hal itu untuk menyelamatkan nyawanya dari ancaman Gui Siang Hwa. Akan tetapi, baginya, rasanya lebih suka mati di tangan wanita itu daripada melihat suhengnya berkawan dengan iblis betina itu dan ia disuruh pergi. Akan tetapi, suhengnya yang menyuruhnya dan ia tidak dapat membantah.
Dengan hati dirundung duka, gadis yang usianya sudah dua puluh dua tahun ini lalu pergi ke utara, hendak menghadiri pertemuan antara pendekar di benteng Jeng-hwa-pang. Hal ini dilakukannya bukan hanya untuk memperluas pengalaman, akan tetapi terutama sekali karena ia mengharapkan akan bertemu dengan suhengnya. Ia percaya bahwa seorang pendekar besar seperti suhengnya itu pasti akan hadir pula di sana.
Demikianlah, ia tiba di antara para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang, menyelinap di antara mereka, tidak berani muncul berterang karena ia tidak mewakili siapa-siapa dan iapun tidak datang atas nama perguruan Cin-ling-pai. Hatinya merasa girang sekali ketika ia melihat Hui Song berada di situ pula, bahkan membuat pelaporan. Ia merasa ikut bangga akan tetapi ia tetap bersembunyi dengan keputusan akan menemui suhengnya itu setelah pertemuan selesai. Hatinya lega karena ia tidak melihat adanya iblis betina yang merayu suhengnya dahulu. Akan tetapi, ada perasaan kecut dan cemburu di dalam hatinya kalau mengingat akan sikap suhengnya yang dingin terhadap dirinya, sikap yang tidak membalas cintanya, teringat pula betapa manis sikap suhengnya terhadap Ceng Sui Cin, kemudian terhadap wanita iblis itu.
Dan ketika pasukan pemberontak yang sangat besar jumlahnya datang menyergap, Siang Wi ikut pula bertempur dan membela diri sambil mencari jalan keluar. Akan tetapi, belum jauh ia lari meninggalkan bekas benteng itu, ia dikepung oleh dua puluh orang lebih perajurit pemberontak dan kembali ia mengamuk membela diri dan sama sekali tidak merasa gentar walaupun pihak lawan terlampau banyak baginya.
Dalam keadaan terancam inilah muncul Cia Sun yang segera turun tangan membantu. Walaupun dia belum mengenal gadis itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa gadis yang dikeroyok para perajurit pemberontak itu tentulah seorang di antara para pendekar yang tadi hadir dalam pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang. Serbuan Cia Sun mengubah keadaan dan dengan kerja sama mereka, dua puluh orang perajurit pemberontak itu kocar kacir dan banyak di antara mereka yang roboh tak dapat bangkit kembali. Selebihnya, hanya beberapa orang saja, melarikan diri.
"Saudara yang gagah, terima kasih atas bantuanmu," kata Siang Wi sambil menjura setelah semua pengeroyok roboh dan pergi.
"Lebih baik kita pergi secepatnya sebelum pasukan lain datang!" jawab Cia Sun tidak memperdulikan ucapan terima kasih orang dan diapun lari dengan cepat, diikuti oleh Siang Wi. Gadis ini tadi merasa kagum sekali melihat kelihaian Cia Sun ketika membantunya, dan kini menjadi semakin kagum karena pemuda itu memiliki ilmu berlari cepat yang hebat, sehingga ia tidak akan mampu menyusulnya kalau saja pemuda itu tidak memperlambat larinya.
Demikianlah, setelah berhasil menyelamatkan diri, mereka saling berkenalan. Keduanya terkejut dan girang setelah mendengar tentang diri masing-masing. Sudah lama Siang Wi mendengar tentang keluarga Cia yang gagah perkasa di Lembah Naga, maka cepat ia memberi hormat ketika mendengar bahwa ia berhadapan dengan Cia Sun, putera Lembah Naga.
"Sungguh beruntung aku dapat bertemu dengan pendekar gagah perkasa dari Lembah Naga! Pantas tadi aku seperti mengenal gerakan silatmu. Bukankah menurut keterangan suhu, ilmu silat keluarga Cia di Lembah Naga masih dekat sekali kaitannya dengan ilmu dari Cin-ling-pai?"
"Benar, nona. Ilmu-ilmu silat keluarga kami memang satu sumber dengan ilmu-ilmu Cin-ling-pai. Dan akupun girang bahwa engkau adalah murid dari ketua Cin-ling-pai. Apakah nona hadir di pertemuan itu bersama dengan putera ketua Cin-ling-pai yang kulihat tadi hadir pula" Ataukah sebagai wakil Cin-ling-pai?"
"Cia-toako, pertama-tama kuharap engkau tidak memanggil nona padaku. Bukankah kalau diselidiki benar, di antara kita ini masih ada ikatan saudara dalam perguruan" Aku tidak datang bersama suheng, juga bukan utusan suhu. Aku datang untuk... mencari suheng yang sudah lama pergi dan untuk meluaskan pengalaman. Toako, apakah engkau melihat ke mana larinya suheng tadi?"
"Maksudmu Cia Hui Song" Entahlah, nona... eh, Wi-moi. Akupun tidak melihatnya. Mana mungkin bisa melihatnya di antara serbuan ribuan orang pasukan pemberontak itu?"
Siang Wi mengepal tinju. "Aku benci pemberontak-pemberontak itu! Apalagi iblis betina yang memimpinnya itu! Sekali waktu aku harus membunuhnya!"
Diam-diam Cia Sun tersenyum. Tidak begitu mudah, nona cilik, betapapun lihaimu. Murid Raja Iblis itu terlalu lihai bagimu, demikian pikirnya. "Siauw-moi, apakah engkau mengenal wanita iblis itu?"
"Tentu saja! Ia adalah Gui Siang Hwa, murid Raja Iblis! Dan ialah wanita cabul yang pernah merayu... suhengku. Aku benci padanya! Dan sekarang, ia mengerahkan pasukan pemberontak untuk menyerang dan banyak kawan kita yang tewas. Dan aku terpisah lagi dari suheng yang kucari-cari, tidak tahu ke mana harus mencarinya sekarang?"
Cia Sun memandang wajah gadis itu. Malam telah terganti pagi dan sinar matahari pagi yang keemasan menyiram wajah yang cantik itu. Wajah yang manis sekali dan sepasang mata yang jeli dan penuh sinar berapi, penuh semangat hidup dan keberanian.
"Wi-moi, benarkah engkau membenci para pemberontak dan engkau hendak menentang mereka?"
"Eh, eh, kenapa engkau masih bertanya" Bukankah aku hampir celaka oleh mereka dan mungkin sekarang aku sudah tewas kalau tidak ada engkau yang menolongku, toako?"
"Begini, Wi-moi. Adanya aku bertanya kepadamu adalah... eh, apakah engkau belum mendengar atau mengerti bahwa suhu dan subomu juga berada di utara sini?"
Siang Wi kaget akan tetapi juga girang. "Aih! Benarkah itu" Di mana mereka sekarang" Apakah toako sudah berjumpa dengan suhu dan subo" Kenapa mereka tidak nampak hadir dalam pertemuan antara pendekar?"
Cia Sun menggeleng kepala dan memandang tajam penuh selidik. "Siauw-moi, agaknya engkau belum tahu atau mendengar tentang suhu dan subomu. Tahukah engkau kenapa mereka berada di daerah ini dan sekarang berada di Ceng-tek?"
Siang Wi memandang bingung. "Aku tidak tahu, toako. Mereka di Ceng-tek" Apa yang terjadi dengan mereka?"
"Mereka... membantu para pemberontak menyerbu Ceng-tek dan kini menjadi tokoh pemberontak di Ceng-tek..."
"Ahh...! Tidak mungkin!" seru gadis itu.
"Aku sendiri ketika mendengar berita itu untuk pertama kalinya, tidak percaya dan merasa penasaran sekali. Aku memang mendengar bahwa gurumu, paman Cia Kong Liang adalah seorang yang keras hati, akan tetapi menurut penuturan ayah, paman Cia Kong Liang selalu menjunjung tinggi kegagahan dan agaknya tidak mungkin kalau sampai beliau begitu rendah menjadi kaki tangan pemberontak. Akan tetapi berita itu sudah kuselidiki kebenarannya dan temyata memang paman Cia Kong Liang bersama isterinya dan ayah mertuanya kini membantu Raja Iblis dan Panglima Ji Sun Ki yang memberontak. Aku tidak dapat menyelidiki mengapa terjadi hal yang mustahil itu."
Siang Wi termenung dengan wajah pucat. Ia dapat menduga. Tentu ini gara-gara kakek Jepang yang menjadi mertua suhunya itu. Bagaimana juga, ia sebagai murid subonya tahu bahwa kakek itu dahulu pernah menjadi datuk sesat di timur. Bukan tidak mungkin kakek itu mempunyai hubungan dengan Raja Iblis dan para datuk sesat yang kini memberontak, dan berhasil membujuk suhunya untuk membantu pemberontak!
"Aku harus mencari mereka... harus menyadarkan mereka...!" Ia berkata berkali-kali seperti kepada dirinya sendiri.
Cia Sun merasa kasihan, juga kagum akan kegagahan gadis ini. Biarpun mendengar betapa suhu dan subonya membantu pemberontak, gadis ini tetap dengan pendiriannya berpihak kepada para pendekar yang menentang pemberontak, bahkan ia hendak menyadarkan suhu dan subonya dari kesesatan itu. "Wi-moi, telah menjadi keputusan rapat bahwa kita terpaksa harus bertindak sendiri-sendiri, dengan cara sendiri menentang para kaum sesat yang temyata kini bersekutu dengan pasukan pemberontak. Dan kita tidak akan berhasil menghadapi mereka kalau tidak bergabung dengan pasukan pula. Oleh karena itu, mari kita melakukan penyelidikan ke Ceng-tek, dan kita bantu gerakan pasukan pemerintah, sekalian menyelidiki paman Cia Kong Liang dan kalau sampai berhasil menyadarkan mereka sehingga mereka membantu kita dari dalam untuk menghancurkan pemberontak, alangkah baiknya."
Siang Wi yang kini merasa suka dan kagum kepada pendekar muda Lembah Naga ini, merasa setuju dan berangkatlah mereka bersama. Dan secara kebetulan sekali mereka tiba di tempat sunyi di lereng bukit di mana Ci Kang sedang berkelahi mati-matian melawan Cia Hui Song. Melihat ini, tentu saja mereka menjadi terkejut sekali.
"Suhengku melawan putera Iblis Buta, aku harus membantunya!" kata Siang Wi, dan ia sudah siap menerjang. Akan tetapi lengannya disentuh Cia Sun.
"Jangan tergesa-gesa! Putera Iblis Buta itu seorang yang gagah perkasa yang juga menentang kaum sesat. Kita hentikan perkelahian itu dan bicara dengan baik!" Setelah berkata demikian, mereka lalu meloncat ke dalam gelanggang perkelahian. Siang Wi menghentikan suhengnya den Cia Sun menahan Ci Kang.
Baik Ci Kang maupun Hui Song terpaksa menghentikan gerakan perkelahian mereka ketika Siang Wi dan Cia Sun melerai, walaupun hati Hui Song masih merasa penasaran sekali.
Cia Sun segera memberi hormat kepada Hui Song. Walaupun usia mereka sebaya, dia hanya satu tahun lebih tua dari Hui Song, akan tetapi menurut "abu" dia jauh lebih muda dan Hui Song masih terhitung pamannya. Kalau pendekar sakti Cia Bun Houw adalah kakek Hui Song, maka baginya kakek sakti itu adalah kakek buyutnya. Kakek Cia Bun Houw adalah ayah kandung Cia Kong Liang dari ibu Yap In Hong, sedangkan kakeknya sendiri, Cia Sin Liong adalah anak kandung Cia Bun Houw dari ibu Liong Si Kwi. Kakeknya itu dengan Cia Kong Liang adalah saudara seayah berlainan ibu.
"Harap paman Cia Hui Song suka bersabar dan maafkan saya yang berani meleral dan menghentikan perkelahian ini," katanya.
Hui Song sudah tahu bahwa pemuda perkasa ini adalah Cia Sun, keturunan Lembah Naga yang masih keluarga Cia juga. Dan biarpun dia terhitung paman paman dari pemuda itu, karena mereka sebaya, diapun cepat membalas penghormatan itu. "Engkau tentu Cia Sun, bukan" Sebetulnya senang sekali dapat berkenalan dengan anggota keluarga sendiri, dan aku sudah melihatmu di bekas benteng Jeng-hwa-pang. Akan tetapi Cia Sun, apakah engkau tidak tahu siapakah jahanam ini?" Dia menuding ke arah Ci Kang. "Kalau engkau sudah tahu dia siapa tentu engkau tidak akan melerai melainkan membantuku membunuhnya. Dan kau juga sumoi, apakah engkau sudah lupa siapa adanya penjahat ini?"
"Aku tidak lupa, suheng, dan tadipun aku sudah hendak membantumu. Akan tetapi Sun-toako mencegah."
"Paman Hui Song, akupun tahu siapa adanya Siangkoan Ci Kang. Aku tahu benar bahwa dia adalah putera mendiang Siangkoan Lo-jin..."
"Putera Si Iblis Buta, datuk sesat yang amat jahat itu!" Hui Song menambahkan.
"Benar, akan tetapi dia tidak boleh disamakan dengan mendiang ayahnya. Saudara Ci Kang ini kukenal benar karena kami sudah sama-sama menentang Raja Iblis dan kami berdua bahkan hampir tewas oleh Raja Iblis dan muridnya yang jahat, Gui Siang Hwa. Saudara Ci Kang ini adalah murid locianpwe Ciu-sian Lo-kai dan dia selalu menentang kejahatan sampai dimusuhi oleh ayahnya sendiri dan oleh para tokoh sesat. Dia adalah seorang gagah dan berjiwa pendekar..."
"Hemm, engkau kena ditipunya, Cia Sun! Engkau tidak tahu siapa dia sebenarnya. Karena dia berkedok domba, engkau tidak tahu bahwa di balik kedok itu adalah seekor harimau yang liar dan buas! Aku dapat membuktikannya sendiri kejahatannya! Ketahullah bahwa kalau tidak ada aku yang mencegahnya, mungkin dia sudah... memperkosa Sui Cin!"
"Ahhh...!" Cia Sun terbelalak dan memandang wajah Ci Kang dengan penuh selidik. Dia sudah tahu sendiri betapa pemuda itu tidak mau menyerah memilih mati ketika dirayu Siang Hwa. Pemuda ini bukan orang yang lemah terhadap nafsu berahi dan agaknya tidak mungkin akan melakukan hal terkutuk itu terhadap Sui Cin! "Ci Kang, benarkah itu...?" tanyanya, masih terkejut dan tidak percaya.
Ci Kang menghela napas panjang. "Pendekar Cia Hui Song terlalu membenciku, terlalu bernafsu memusuhiku sehingga tidak memberi kesempatan kepadaku untuk membela diri. Cia Sun, engkau telah mengenalku, kita sama-sama telah menghadapi ancaman-ancaman maut dan sudah saling mengenal watak masing-masing. Tidak kusangkal bahwa memang aku pernah bersikap kurang ajar terhadap nona Ceng Sui Cin, akan tetapi apa yang kulakukan itu terjadi di luar kehendakku, di luar kekuasaanku untuk menahan. Pada waktu itu aku dikuasai nafsu dan gairah yang tidak wajar, dan aku yakin bahwa aku telah keracunan sehingga melakukan hal-hal di luar kesadaranku. Ketika itu aku terluka dan menerima obat dari nona Ceng Sui Cin. Aku diobati dan dirawat, mana mungkin aku melakukan hal keji" Akan tetapi hal itu terjadi dan aku yakin bahwa racun itu terdapat justeru dalam obat itu!"
"Alasan yang dicari-cari!" Hui Song membentak marah.
"Terserah, akan tetapi kenyataannya demikianlah. Bukan aku mencari alasan untuk membela diri. Tidak, aku cukup tersiksa dan merasa menyesal dan kalau nona Ceng Sui Cin sendiri yang menghukumku, aku akan menyerahkan diri tanpa melawan. Akan tetapi, jangan orang lain yang hendak menghukumku!" kata Ci Kang dengan sikap dingin. Mendengar ini, Hui Song merasa betapa mukanya panas kemerahan. Dia seperti diingatkan bahwa dia tidak berhak marah-marah dan hendak membunuh Ci Kang. Bagaimanapun juga, walau dia amat mencinta Sui Cin, akan tetapi secara resmi gadis itu bukan apa-apanya, bahkan kekasihnyapun bukan karena gadis itu belum pernah menyatakan membalas cintanya! Kalau Sui Cin yang dihina itu tidak apa-apa, mengapa dia ribut-ribut"
"Hemm, sekarang memang tidak dapat kubuktikan bahwa nona Ceng marah dan mendendam, akan tetapi kalau kelak ia mencarimu untuk membuat perhitungan, aku akan membantunya dan kami akan membunuhmu!" katanya menahan kemarahan.
"Sudahlah, paman Hui Song. Kita semua sedang menghadapi keadaan yang amat gawat. Para pemberontak telah merebut Ceng-tek dan semakin merajalela saja. Kalau di antara kita ribut sendiri, bagaimana kita dapat menentang mereka" Seperti telah diputuskan di dalam pertemuan itu, kita harus bergerak sendiri-sendiri untuk membantu pasukan pemerintah yang tentu akan segera menyerbu mereka dari selatan. Kita harus bersiap-siap dan kalau mungkin, sebelumnya kita melakukan gangguan-gangguan untuk melemahkan mereka, atau setidaknya menyelidiki kekuatan mereka, memata-matai mereka agar kita dapat memberi pelaporan kepada pasukan pemerintah kelak."
"Benar, suheng," Siang Wi menyambung. "Urusan pribadi lebih baik dikesampingkan saja dulu, lebih baik kita cepat-cepat pergi ke Ceng-tek."
"Ke Ceng-tek" Ada apa" Bukankah kota itu sudah diduduki musuh?" tanya Hui Song.
"Kita harus cepat pergi ke sana, suheng, karena..." Tiba-tiba Siang Wi menghentikan kata-katanya dan melirik ke arah Ci Kang.
Melihat ini, Cia Sun menoleh kepada Ci Kang, "Ci Kang, mari kita pergi."
Ci Kang mengangguk. "Memang aku sedang mencari nona Hui Cu..."
"Hui Cu" Ada apa dengannya?"
"Ia telah tertawan oleh Raja Iblis..."
"Ahhh...!" Cia Sun merasa terkejut bukan main.
"Cia Sun, kita sudah berhutang budi kepadanya, mari kaubantu aku mencarinya dan menyelamatkannya."
Cia Sun mengangguk dan mereka lalu berpamit kepada Siang Wi dan Hui Song. Setelah dua orang muda itu pergi, Siang Wi berkata, "Suheng, apakah engkau tidak tahu" Suhu dan subo kini berada di Ceng-tek, juga semua saudara anggota Cin-ling-pai."
Sepasang mata Hui Song terbelalak. Dia teringat akan kata-kata Sim Thian Bu tentang orang tuanya. "Ada... ada apakah mereka berada di Ceng-tek?" tanyanya gagap dan gelisah.
Siang Wi dapat menduga bahwa suhengnya belum mendengar tentang hal yang amat mengejutkan mengenai gurunya itu. "Suheng, suhu, subo, dan sukong bersama para murid Cin-ling-pai telah berada di Ceng-tek karena mereka semua membantu pemberontak..."
"Tak mungkin!" Hui Song berteriak. "Sumoi, dari siapa engkau mendengar berita bohong itu?"
"Suheng, ketika pertama kali mendengarnya, akupun terkejut dan tidak percaya, bahkan ingin marah. Akan tetapi... yang memberi tahu kepadaku adalah toako Cia Sun sendiri."
"Ahh...!" Jantung Hui Song berdebar keras. Jadi, benarkah apa yang didengarnya dari Sim Thian Bu" "Bagaimana mungkin itu" Tidak kelirukah Cia Sun ketika bercerita kepadamu?"
"Suheng, kalau saja yang berterita itu orang lain, tentu sudah kuserang dia! Akan tetapi Cia-toako, kiranya tidak mungkin dia berbohong dan aku khawatir sekali suheng. Aku ingin cepat-cepat bertemu dengan subo dan untuk membuktikan kebenaran berita itu."
"Mari kita ke Ceng-tek. Berita itu harus kita selidiki dan kalau memang benar terjadi hal yang luar biasa itu, aku harus menegur dan mengingatkan ayah dan ibu!"
Dengan hati gundah dan gelisah Hui Song dan Siang Wi meninggalkan tempat itu menuju ke Ceng-tek. Mereka berdua mengambil keputusan bahwa kalau memang benar ketua Cin-ling-pai dan para anggotanya membantu pemberontak, mereka akan menegur dan menyadarkan sedapat mungkin.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
"Suhu, teecu merasa sangsi apakah tindakan kita membantu para pemberontak ini sudah tepat," seorang di antara lima pria gagah itu berkata kepada Cia Kong Liang yang duduk bersanding dengan isterinya.
Semenjak pasukan pemberontak, dengan bantuan orang-orang Cin-ling-pai yang lebih dulu menyelundup ke dalam, berhasil menduduki Ceng-tek, ketua Cin-ling-pai itu diangkat oleh Panglima Ji Sun Ki menjadi komandan pasukan penjaga keamanan kota benteng itu. Dia sekeluarga berikut puluhan orang murid Cin-ling-pai mendapat pelayanan yang mewah dan hormat oleh pasukan pemberontak dan dianggap berjasa besar.
Pagi hari itu, ketua Cin-ling-pai duduk dalam ruangan belakang bersama isterinya, di dalam gedungnya yang megah, menerima lima orang murid kepala Cin-ling-pai yang menghadap sebagai wakil semua murid. Mendengar ucapan seorang di antara murid kepala itu, Cia Kong Liang memandang tajam. Dia sendiri pada hari-hari terakhir ini merasa tidak tenang dalam keraguan karena dia melihat betapa pasukan Ji-ciangkun dibantu oleh serombongan orang-orang aneh yang dari sikap mereka menunjukkan kekerasan dan kekejaman golongan hitam. Maka, mendengar ucapan muridnya yang biasanya tentu akan membuatnya marah itu, dia merasa tertarik sekali.
"Kenapa tidak tepat" Kita bukan sekedar memberontak memperebutkan kedudukan! Kita berjuang menentang pemerintah yang lalim. Ini tugas para pendekar dan patriot, menyelamatkan rakyat dari penindasan pemerintah lalim," katanya memancing pendapat.
"Akan tetapi, suhu," kata murid kedua, "Pasukan pemberontak ini dibantu oleh kaum sesat! Teecu melihat sendiri betapa mereka melakukan pembunuhan-pembunuhan kejam terhadap penduduk dusun yang diserbu, menculik dan memperkosa wanita-wanita, merampok harta benda bahkan hasil sawah ladang dan binatang ternak petani! Apakah benar kalau kita membantu orang-orang seperti itu, suhu?"
Cia Kong Liang meraba jenggotnya dan mengerutkan alisnya. "Hemm, benarkah semua itu" Apalagi yang kalian dengar atau lihat?"
"Teecu tidak berbohong, suhu!" kata orang ketiga. "Selama dalam perantauan teecu dalam dunia kang-ouw, teecu sudah beberapa kali bertemu dengan tokoh-tokoh sesat yang kini nampak berada dalam rombongan mereka yang membantu pasukan dan yang kini berdiam di San-hai-koan. Akan tetapi kadang-kadang ada utusan mereka datang ke Ceng-tek ini dan kalau bertemu dengan teecu, mereka pura-pura tidak mengenal teecu. Teecu yakin, mereka itu adalah dari golongan hitam, kaum penjahat yang kejam!"
"Bukan itu saja, suhu," kata orang keempat, "teecu dahulu pernah bertemu dengan Hwa Hwa Kui-bo, nenek iblis yang menjadi seorang tokoh dari Cap-sha-kui, dan teecu melihat pula nenek iblis itu dalam rombongan mereka! Teecu dapat menduga bahwa rombongan itu tentu dipimpin oleh iblis-iblis dari Cap-sha-kui!"
Mendengar ini, Cia Kong Liang menjadi terkejut sekali. "Cap-sha-kui...?" Pernah dia mendengar nama Tiga Belas Iblis ini walaupun dia belum pernah bertemu dengan mereka. Dia mendengar bahwa Cap-sha-kui pernah merajalela di dunia kang-ouw, dikepalai oleh Si Iblis Buta. Dan kalau benar Cap-sha-kui sekarang membantu pasukan pemberontak, ini merupakan hal yang amat mencurigakan!
"Apalagi yang kalian ketahui?" tanyanya.
"Satu hal lagi yang amat mengejutkan, suhu," kata seorang murid lain. "Teecu... teceu takut mengatakan..." Murid ini memandang ke kanan kiri dengan muka pucat dan mata membayangkan ketakutan.
"Takut apa" Tak usah takut, siapa yang akan mendengar keteranganmu kecuali kita sendiri, dan andaikata ada orang lain mendengar, takut apa" Aku berada di sini!"
Mendengar ucapan guru atau ketuanya itu, murid Cin-ling-pai ini menjadi besar hati dan biarpun demikian, suaranya masih lirih ketika dia melanjutkan keterangannya, "Suhu, teecu mendengar bahwa Pangeran Toan itu, yang memimpin pemberontakan bersama Ji-ciangkun, adalah rajanya kaum sesat yang berjuluk Raja Iblis dan isterinya adalah Ratu Iblis...!"
"Ahhh...!" Untuk kesekian kalinya Cia Kong Liang terkejut akan tetapi yang terakhir lebih hebat lagi sehingga matanya terbelalak dan mukanya pucat. "Benarkah itu" Tidak kelirukah penyelidikanmu?"
"Hati-hatilah kau, jangan sembarangan karena keteranganmu itu kalau tidak benar, amat berbahaya dan engkau telah menjatuhkan fitnah!" kata Bin Biauw yang juga terkejut bukan main mendengar berita yang sama sekali tidak disangkanya ini. Wanita ini maklum bahwa ayahnya membujuk suaminya membantu pemberontak agar suaminya kelak bisa memperoleh kedudukan tinggi, akan tetapi dasar pemberontakan itu adalah perjuangan menentang pemerintahan kaisar sekarang yang dianggap lalim. Akan tetapi sedikitpun ia tidak pernah menduga bahwa pemberontakan itu dipimpin oleh raja kaum sesat! Seperti juga suaminya, biarpun tidak jelas benar, pernah ia mendengar tentang Cap-sha-kui dan Raja Iblis. Nyonya ketua Cin-ling-pai ini, biarpun puteri bekas datuk sesat, sejak muda tidak suka akan kejahatan dan apalagi setelah ia menjadi isteri ketua Cin-ling-pai, jiwa kependekarannya semakin menebal.
"Suhu dan subo, teecu mana berani menyampaikan berita ini kepada suhu berdua kalau teecu tidak lebih dahulu melakukan penyelidikan dengan seksama" Teecu telah bicara dengan beberapa orang anggauta pasukan pemberotak yang sedang mabok dan mereka itu agaknya tidak mampu menyimpan rahasia lagi. Hal itu mungkin karena mereka menganggap teecu sebagai teman atau rekan sepasukan. Bahkan menurut mereka, ada pasukan inti yang biasanya menyerbu ke dusun-dusun, dipimpin oleh seorang tokoh hitam bernama Sim Thian Bu, murid mendiang Iblis Buta. Juga Gui Siang Hwa, wanita cantik yang suka berkeliaran dan memimpin pasukan pengawal itu adalah murid Raja dan Ratu Iblis."
"Sssttt...!" Tiba-tiba Cia Kong Liang memberi isyarat kepada muridnya supaya jangan melanjutkan kata-katanya karena dia mendengar sesuatu di luar. Cepat tubuhnya berkelebat dan ketua Cin-ling-pai ini sudah meloncat keluar, kemudian terus meloncat naik ke atas genteng. Akan tetapi tidak terdapat seorangpun di situ. Betapapun juga, dia yakin bahwa tadi ada seorang yang mengintai atau mendengarkan percakapan mereka. Setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang di situ, ketua Cin-ling-pai segera meloncat turun lagi dan memasuki ruangan, disambut oleh isterinya dan lima orang muridnya yang sudah berdiri dan memandang dengan wajah tegeng. Cia Kong Liang menggeleng kepala sebagai jawaban pertanyaan yang terbayang dalam pandang mata mereka, lalu berkata lirih.
"Mulai sekarang, kalian harus berhati-hati dan melakukan penyelidikan lebih teliti lagi. Kawan-kawanmu semua agar dibisiki agar siap siaga dan menanti perintahku selanjutnya. Nah, masih ada lagi yang hendak kalian laporkan?"
"Ada satu lagi, suhu," kata murid pembicara pertama, "teecu mendengar bahwa serombongan pendekar yang sedang mengadakan pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang, telah disergap oleh pasukan pemberontak dan banyak di antara mereka yang tewas."
Suami isteri itu saling pandang dengan muka pucat dan tahulah mereka bahwa pada saat itu keduanya mengkhawatirkan hal yang sama, yaitu bahwa mungkin sekali putera mereka berada di antara para pendekar yang disergap itu! Cia Kong Liang mengangguk lalu memberi isyarat kepada lima orang murid itu agar mengundurkan diri. Setelah lima orang murid itu meninggalkan mereka berdua di dalam ruangan itu, Cia Kong Liang berkata kepada isterinya. "Sungguh mengejutkan dan menggelisahkan apa yang kita dengar dari para murid tadi. Kalau benar demikian, mengapa gak-hu (ayah mertua) diam saja dan tidak memberi tahu kepadaku" Apakah engkau tidak diberi tahu oleh ayahmu?"
Isterinya menggeleng. "Aku juga hanya mengenal pangeran dan isterinya itu sebagai Pangeran Toan Jit Ong dan isterinya yang hendak menolong negaranya dengan menggulingkan kaisar yang sekarang dianggap lalim. Dan aku tidak pernah bertemu lagi dengan mereka sesudah kita bicara dengan Ji-ciangkun tempo hari. Mereka berada di San-hai-koan dan kita berada di sini, mana aku tahu?"
"Sebaiknya ayahmu harus diberi tahu dan diajak bicara. Panggil dia ke sini, sebaiknya sekarang juga kita bicarakan hal yang amat penting ini. Hatiku merasa khawatir sekali kalau-kalau kita telah keliru membantu kaum sesat yang hendak memberontak bukan untuk mengenyahkan kaisar lalim, melainkan untuk merebut kedudukan."
"Baik, akan kucari dia dalam kamarnya," kata isterinya. Ketika tiba di luar kamar, Bin Biauw melihat berkelebatnya orang di atas genteng. Sebagai seorang isteri ketua Cin-ling-pai yang juga memiliki ilmu silat tinggi, nyonya ini cepat melakukan pengejaran, meloncat ke atas genteng. Akan tetapi setibanya di atas genteng, ia tidak melihat seorangpun dan ia terkejut. Orang tadi benar-benar memiliki gin-kang yang amat hebat, jauh lebih tinggi daripada gin-kangnya sendiri. Maka setelah celingukan dan tidak melihat lagi bayangan itu, iapun turun kembali dan tak lama kemudian ia mengetuk daun pintu ayahnya. Ayahnya belum tidur dan sedang membaca buku. Ketika daun pintu dibuka, puterinya segera memberi tahu bahwa putera mantunya minta agar dia suka memasuki ruangan belakang untuk diajak merundingkan sesuatu yang amat penting. Bin Mo To cepat berpakaian yang pentas dan bersama puterinya pergi ke dalam ruangan.
"Ada keperluan apa sih malam-malam begini suamimu memanggilku?" tanya ayah itu dengan sikap heran.
"Ada urusan penting sekali, ayah. Kita bicarakan saja di dalam nanti," jawab puterinya dan melihat sikap puterinya yang serius itu kakek itupun tidak bertanya-tanya lagi.
Begitu berhadapan dan dipersilakan duduk, kakek itu lalu bertanya. "Ada urusan penting apakah...?" Akan tetapi kata-katanya terhenti karena Bin Biauw yang merasa tegang itu memotongnya dengan menceritakan kepada suaminya bahwa ketika keluar dari kamar tadi ia melihat bayangan orang.
"Tidak kaukejar?" tanya suaminya.
"Sudah, akan tetapi orang itu memiliki gin-kang yang amat hebat. Begitu berkelebat ke atas genteng dan kukejar, dia lenyap dan tidak nampak lagi bayangannya."
"Hemm, makin mencurigakan lagi..." gumam Cia Kong Liang.
"Aih, apakah artinya semua ini" Apa yang telah terjadi?" kakek Bin Mo To bertanya.
Cia Kong Liang memandang wajah ayah mertuanya dengan tajam penuh selidik dan diapun berkata, "Maafkan kami, ayah, kalau kami mengganggu dan mengejutkan ayah dari istirahat. Saya ingin bertanya, apakah ayah mengenal baik Pangeran Toan Jit Ong?"
Ditanya demikian dan dipandang dengan penuh selidik, kakek Bin Mo To maklum bahwa mantunya ini agaknya mulai tahu akan kenyataan sebenarnya, akan tetapi dia masih berpura-pura tidak mengerti. "Tentu saja aku mengenal baik Pangeran Toan Jit Ong. Ada apakah?"
"Maksud saya, apakah sebelum kita datang ke sini ayah sudah mengenalnya?"
Terpaksa kakek itu membohong dan dia menggeleng kepala. "Tidak, aku hanya tahu bahwa komandan pasukan yang memberontak terhadap kekuasaan kaisar lalim adalah Panglima Ji Sun Ki dan setelah tiba di sini kita mendengar bahwa pangeran itu adalah pemimpin kedua setelah dia atau sekutunya."
"Bukan itu, ayah. Akan tetapi pernahkah ayah mendengar bahwa Pangeran Toan itu adalah raja golongan hitam yang berjuluk Raja Iblis dan isterinya adalah Ratu Iblis?"
Kini yakinlah hati kakek itu bahwa mantunya sudah tahu akan rahasia itu. Dengan wajah polos dia berkata, "Benarkah itu" Aku tidak tahu..."
Bin Biauw yang sudah mengenal watak ayahnya itu, yang demikian pandai menguasai dirinya, sehingga apa yang berada dalam hatinya tidak pernah terbayang pada wajahnya, segera berkata, "Harap ayah tidak berpura-pura lagi karena kita bicara antar keluarga. Ayah, aku tidak dapat percaya kalau ayah tidak mengetahui semua ini. Bagaimanapun juga, belasan tahun yang lalu ayah pernah menjadi seorang datuk di timur. Tentu ayah mengenal semua tokoh dalam dunia hitam. Kalau sekarang tokoh-tokoh besar seperti Cap-sha-kui membantu Raja dan Ratu Iblis memimpin pemberontakan ini, mustahil kalau ayah tidak tahu sama sekali!"
Kakek itu menarik napas panjang, merasa tiada gunanya lagi mengelak karena anak dan mantunya ini agaknya telah mengetahui segalanya. "Baiklah, memang aku mengetahui bahwa mereka membantu pemberontak..."
"Kalau ayah tahu mengapa menyeret kami ke sini?" puterinya berseru kaget dan marah.
"Ayah, mengapa ayah mengajak kami membantu pemberontakan yang dipimpin oleh para datuk kaum sesat" Ini adalah penyelewengan besar sekali bagi seorang pendekar!" kata pula Cia Kong Liang, terkejut bahwa ayah mertuanya sejak belasan tahun telah mencuci tangan tidak lagi mau berkecimpung di dalam dunia kaum sesat, akan tetapi mengapa kini kakek itu malah menyeret keluarganya membantu pemberontakan yang dipimpin para datuk sesat"
Kembali kakek itu menghela napas, lalu memandang mantu dan anaknya dengan sinar mata tajam. "Apakah artinya para datuk sesat itu tanpa adanya pasukan besar" Mereka itupun hanya menjadi pembantu-pembantu pasukan yang dipimpin Ji-ciangkun. Berarti kita membantu Ji-ciangkun dan bukan membantu mereka."
"Akan tetapi hal itu hanya sedikit bedanya. Bagaimanapun juga, berarti kita bekerja sama atau bersekutu dengan para datuk sesat," bantah Cia Kong Liang.
"Apa salahnya?" Mertuanya menjawab. "Bekerja sama untuk menentang kaisar lalim. Kalau kelak perjuangan berhasil dan kita memperoleh kedudukan tinggi, apa sukarnya untuk berbalik menentang mereka kalau mereka itu melakukan kejahatan?"
"TIdak! Tidak mungkin!" Cia Kong Liang bangkit berdiri. "Aku telah melakukan penyelewengan, bersekutu dengan kaum sesat. Ah, perbuatanku ini menyeret nama baik keluargaku, menyeret nama Cin-ling-pai ke lembah kehinaan. Aku harus cepat bertindak!" Berkata demikian, pendekar ini melangkah maju ke pintu.
"Apa yang akan kaulakukan" Ke mana engkau hendak pergi?" Isterinya tiba-tiba memegang lengannya dan memandang dengan wajah khawatir.
Cia Kong Liang berhenti dan menepuk-nepuk pundak isterinya. "Aku harus melakukan penyelidikan sendiri ke San-hai-koan dan menemui Ji-ciangkun. Ini merupakan urusan besar yang menyangkut nama baik keluarga kita, lebih penting daripada sekedar keselamatan nyawa."
"Aku ikut!" kata isterinya sambil memegang lengan suaminya kuat-kuat.
Suaminya menggeleng kepala. "Kita harus membagi tugas, isteriku. Semua anggota Cin-ling-pai berada di sini. Aku menyelidiki ke San-hai-koan dan engkau mengumpulkan semua murid dan mengajak mereka diam-diam melarikan diri keluar dari Ceng-tek. Kita kembali ke Cin-ling-san! Akan tetapi aku harus yakin dulu dan aku akan menemui Ji-ciangkun!"
Isterinya mengenal kekerasan hati suaminya dan membantahpun tidak ada gunanya. Apalagi karena memang apa yang dikatakan suaminya itu tepat. Kalau mereka berdua pergi, lalu siapa yang akan memimpin para murid yang berkumpul di Ceng-tek. Iapun mengangguk lemah menyembunyikan kekhawatirannya terhadap keselamatan suaminya. Setelah sekali lagi menepuk pundak isterinya dengan perasaan kasih sayang besar, Cia Kong Liang lalu meloncat keluar dan sebentar saja sudah lenyap dalam kegelapan malam.
"Ayah, semua ini adalah kesalahan ayah!" Bin Biauw kini menghadapi ayahnya dan menegur marah. Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya.
"Anakku, jangan kau marah-marah dulu. Semua ini kulakukan demi kebahagianmu!"
"Demi kebahagiaanku, ayah" Engkau menyeret aku dan suamiku ke dalam persekutuan kotor ini yang mengancam kebersihan nama baik suamiku dan keluarganya, dan kau mengatakan bahwa engkau melakukannya demi kebahagiaanku" Apa kaukira kebahagiaanku terletak dalam kehancuran nama dan kehormatan suamiku?"
"Tenanglah, dan dengarkan kata-kataku dengan baik. Aku melakukan ini bukan lain hanya dengan maksud untuk memberi kesempatan kepada suamimu agar suamimu mendapatkan sebuah kedudukan yang tinggi kelak. Kalau pemberontakan ini berhasil, tentu suamimu akan memperoleh kedudukan. Sekarangpun sudah nampak hasilnya. Suamimu diangkat menjadi komandan pasukan keamanan di Ceng-tek. Ini baru permulaan. Kelak, kalau gerakan ini berhasil, tentu sedikitnya suamimu akan menjadi seorang panglima besar, berkedudukan tinggi dan mulia, dihormati semua orang dan bukankah dengan demikian nama dan kehormatannya akan terangkat tinggi" Nah, siapa bilang aku hendak menghancurkan nama dan kehormatan mantuku sendiri?"
"Akan tetapi, ayah telah menggunakan cara yang amat kotor, bersekutu dengan orang-orang jahat dari dunia hitam!" bantah puterinya.
Kakek itu tertawa. "Apa artinya cara" Yang penting dan menentukan adalah tujuannya! Tujuanku baik, yaitu mengangkat derajat mantuku sendiri, dengan cara apapun asal untuk tujuan baik, apa salahnya?"
Mendengar bantahan ayahnya, Bin Biauw termenung dan bimbang. Benarkah pendapat ayahnya itu" Selama ini ayahnya sudah mencuci tangan, tidak pernah berkecimpung dalam dunia kejahatan, dan ayahnya selalu kelihatan bangga sekali terhadap mantunya, dan ia tahu bahwa ayahnya amat suka kepada suaminya. Mungkinkah ayahnya mencelakakan keluarga mereka" Agaknya tidak mungkin dan kalau yang dilakukan ayahnya itu demi kebahagiaan keluarganya, bukankah itu benar" Wanita ini menjadi bimbang dan hanya duduk dengan alis berkerut, hatinya gelisah.
"Percayalah, anakku. Ayahmu ini sudah tua, tidak ingin apa-apa lagi. Segala yang ayah lakukan hanya demi kebahagiaanmu dan suamimu. Kalau suamimu kelak berkedudukan tinggi, bukankah kalian berdua menjadi bahagia" Menjadi orang-orang terhormat, mulia dan kaya raya?"
Bin Biauw semakin bingung. Hampir semua orang tua, baik disadari maupun tidak, melakukan hal yang sama seperti dilakukan Bin Mo To itu. Orang-orang tua selalu ingin mengatur anak-anaknya, mengambil keputusan mengenai anak-anaknya dalam hal apa saja, dari pendidikan sampai kepada perjodohan dan pekerjaan. Mereka, orang-orang tua yang berbuat di luar kesadarannya ini, menganggap bahwa apa yang baik baginya tentulah baik bagi anaknya pula. Apa yang dianggapnya menyenangkan baginya tentu menyenangkan anaknya pula. Karena inilah banyak sekali terjadi orang tua memilihkan pendidikan sekolah, agama, bahkan calon jodoh untuk anaknya, bukan hanya memilihkan makanan dan pakaian, bahkan kalau perlu orang-orang tua ini mempergunakan kekuasaannya sebagai orang tua, dengan memaksa anak-anak mereka mentaati kehendak mereka. Tentu saja dengan anggapan bahwa pemilihan mereka itu sudah baik dan benar! Mereka, orang-orang tua kurang pikir ini, hampir tidak ada atau sedikit sekali memperhatikan selera anak mereka, pilihan anak mereka, mencari kesalahan-kesalahan dalam pilihan anak-anak mereka dan menonjolkan kebaikan-kebaikan mereka sendiri, membujuk si anak, baik dengan halus maupun keras. Akibatnya, si anak yang terpaksa mentaati karena takut, karena tergantung, diam-diam merasa tersiksa karena harus mempelajari pelajaran-pelajaran yang tidak disukai, menganut agama-agama yang tidak cocok dengan hati nuraninya, melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tidak cocok dengan dirinya, bahkan hidup berdua dengan jodoh-jodoh yang sama sekali tidak dicintanya. Demi orang tua! Dan siapa yang senang dan lega" Si orang tua itulah! Dengan demikian, sebenarnya orang-orang tua ini hanya mencari kesenangan diri sendiri belaka, mencari kepuasan diri sendiri belaka, dengan melalui anak-anak mereka! Orang-orang tua yang bijaksana tidak akan memperhitungkan selera diri sendiri, melainkan mementingkan selera anak-anaknya, tentu saja bukan berarti melepaskan pengawasan dan pengarahan, melainkan dengan dasar membahagiakan si anak, bukan si diri sendiri! Bukan tidak mungkin selera anaknya bertolak belakang dengan selera diri sendiri, namun demi cinta kasih terhadap anaknya, harus berani mengesampingkan selera dan pendapat diri pribadi.
Juga pendapat Bin Mo To tentang mementingkan tujuan merupakan penyakit yang banyak menghinggapi batin kita. Cara apapun yang dilakukan, dianggap baik kalau saja cara itu dipergunakan untuk TUJUAN BAIK. Betapa kita terlalu sering ditipu oleh istilah "tujuan baik" ini sehingga kita terjebak ke dalam perbuatan-perbuatan yang sama sekali tidak baik atau bersih, dengan alasan bahwa perbuatan itu merupakan cara untuk mencapai tujuan baik tadi! Bagi orang yang dihinggapi penyakit ini, maka pegangannya adalah : Tujuan menghalalkan segala cara!
Sepintas lalu kita mudah terbujuk dan tertipu oleh tujuan baik, cita-cita mulia, dan sebagainya lagi. Maka terjadilah di dunia ini sebuah perang yang dianggap suatu cara terbaik untuk mencegah terjadinya perang, sebuah perang yang dianggap cara terbaik untuk mencapai perdamaian dan sebagainya lagi. Betapa menyesatkan! Mungkinkah kita dapat hidup damai dengan seseorang dengan cara memukuli dan menaklukkan orang itu" Mungkin saja perdamaian di satu pihak, yaitu pihak yang menang, akan tetapi yang dipukul dan ditaklukkan itu hanya mau berdamai karena terpaksa, karena kalah, karena takut. Akan tetapi berilah yang kalah itu suatu kesempatan, suatu ketika maka dia akan memberontak dan membalas dendam!
Tidaklah mungkin sama sekali tujuan baik dicapai dengan cara yang buruk! Kalau caranya kotor, maka yang tercapai tentulah kotor pula. Tujuan hanya suatu gambaran yang kita buat, jadi bukan kenyataan dan sama sekali tidak ada sangkut paut atau hubungannya dengan perbuatan yang kita lakukan dalam kehidupan. Yang terpenting sekali adalah CARA itulah! Cara ini menentukan segalanya, karena cara berarti perbuatan kita sekarang ini, saat ini! Kalau cara ini didikte oleh tujuan, maka cara ini menjadi palsu! Akan tetapi kalau cara atau perbuatan ini tanpa tujuan dan didasari cinta kasih, maka itulah cara hidup yang benar! Tanpa tujuan tertentu, berarti TANPA PAMRIH. Dan hanya cinta kasih sajalah yang menciptakan perbuatan tanpa tujuan, tanpa pamrih.
Bin Mo To, mungkin tanpa disadarinya lagi sebetulnya mementingkan diri sendiri ketika dia menyeret anak dan mantunya untuk bersekutu dengan gerombolan Raja Iblis. Dan hal ini dilakukan dengan keyakinan bahwa tujuannya adalah baik, yaitu mengangkat derajat mantunya sehingga kelak dia boleh membonceng kemuliaan dan kehormatan.
"Aku harus mengumpulkan para murid..."
"Nanti dulu!" Ayahnya mencegah. "hal itu belum perlu, pula kalau kita memanggil mereka semua ke sini, tentu akan menimbulkan kecurigaan saja. Sebaiknya kalau memanggil beberapa orang di antara mereka, sebaiknya para murid kepala..."
Tiba-tiba dua orang murid Cin-ling-pai masuk dengan tergesa-gesa, ke dalam ruangan itu. Muka mereka pucat sekali sehingga Bin Biauw yang tadinya hendak marah melihat mereka berani masuk tanpa dipanggil, berbalik bertanya, "Ada apakah" Mengapa kalian kelihatan begitu takut?"
"Subo... celaka, subo... celaka...!" kata seorang di antara mereka dan agaknya lidahnya menjadi kaku sehingga sukar baginya untuk bicara.
"Tenanglah! Ada apa" Apa yang terjadi?" Bin Mo To membentak tak sabar.
"Celaka... lima orang suheng... mereka... mereka telah tewas...!"
"Apa?" Bin Biauw dan ayahnya berteriak kaget sekali. "Hayo ceritakan apa yang terjadi dengan mereka!"
Dengan suara patah-patah, dua orang murid itu menceritakan betapa lima orang murid kepala itu telah tewas semua, yang tiga orang tewas dalam kamar masing-masing dan dua orang lagi tewas di luar rumah jaga. Tidak ada orang mendengar mereka itu berkelahi.
"Di mana mereka sekarang?"
"Jenazah mereka... kami kumpulkan di ruangan besar markas kami..."
Tanpa membuang waktu lagi, Bin Biauw dan Bin Mo To lari bersama dua orang murid itu menuju ke markas yang menjadi tempat tinggal para anggota Cin-ling-pai yang dianggap oleh pasukan pemberontak sebagai pasukan istimewa yang berjasa dan menjadi tamu terhormat.
Ketika memeriksa keadaan lima jenazah itu, hati Bin Biauw terharu, akan tetapi juga terkejut. Lima orang murid itu adalah murid-murid kepala yang sore tadi masih bicara dengan ia dan suaminya. Dan kini ia merasa yakin bahwa mereka itu dibunuh karena tadi telah melaporkan kepada guru mereka tentang Raja dan Ratu Iblis yang dibantu Cap-sha-kui. Sudah pasti ini sebabnya, dan pembunuhnya tentulah bayangan yang telah dikejarnya dan lenyap tadi, juga yang menimbulkan suara sehingga suaminya mencoba pula untuk mengejar akan tetapi tidak melihat siapapun di atas genteng. Bayangan itu lihai dan lime orang murid inipun tewas oleh orang yang lihai sekali. Lima orang itu adalah murid-murid kepala, tentu saja tingkat kepandaiannya sudah lumayan tingginya. Akan tetapi, mereka tewas tanpa mengeluarkan teriakan dan tubuh mereka tidak terluka parah, hanya di kepala mereka ada bekas telapak jari tangan menghitam! Mereka itu terbunuh dengan tiba-tiba atau lebih dahulu dirobohkan dengan pukulan atau benda beracun. Ini memperkuat dugaannya bahwa musuh yang membunuh lima orang murid ini tentulah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan jelas merupakan seorang tokoh kaum sesat yang biasa mempergunakan racun.
Bin Mo To juga memeriksa dengan teliti dan kakek ini mengerutkan alisnya. "Hemm, benarkah mereka akan melanggar janji?" gumamnya kepada diri sendiri. "Benarkah mereka mengingkari janji kerja sama dan tidak akan mengganggu anak buah Cin-ling-pai" Kita sudah berjasa besar dan mereka masih tega membunuh lima orang murid kepala secara ini?" Kakek itu menjadi marah, mengepal tinju dan mukanya berobah merah.
Melihat sikap ayahnya ini, Bin Biauw berbisik, "Hemm, kiranya ayah memang sudah bersekutu dengan mereka?"
"Anakku, aku bukan ingin berbaik dengan mereka, hanya kulihat kesempatan baik untuk meraih kedudukan bagi suamimu, maka biarlah persekutuan ini dijadikan jembatan untuk mencari kedudukan. Tak kusangka mereka sekeji ini..."
Para anggota Cin-ling-pai sudah mendengar akan adanya kaum sesat yang membantu pemberontakan Ji-ciangkun dan mereka itu yang sejak dahulu digembleng dengan keras oleh Cia Kong Liang untuk menjadi pendekar-pendekar sejati, merasa penasaran sekali. Apalagi melihat tewasnya lima orang saudara tua mereka ini, mereka merasa marah dan ingin mengamuk.
"Subo, apa yang harus kami lakukan?"
"Subo, di mana suhu?"
"Subo, haruskah kita berdiam diri saja?"
Lontaran-lontaran penasaran ini membuat Bin Biauw semakin bingung. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanyanya kepada ayahnya.
Kakek itupun merasa bingung dan gelisah. Baru dia merasa menyesal sekarang telah bermain api, telah menyeret anak dan mantunya, bahkan sebagian besar anggauta Cin-ling-pai yang pada waktu itu dapat dihubungi, untuk bersekutu dengan orang-orang macam Cap-sha-kui dan para datuk yang membantu Raja dan Ratu Iblis. Kesetiaan orang-orang seperti mereka itu memang sama sekali tidek boleh dipercaya. Andaikata pemberontakan berhasil sekalipun, belum tentu mantunya akan bisa memperoleh kedudukan dan kemuliaan tanpa adanya pengkhianatan-pengkhianatan dari orang-orang golongan hitam itu.
"Tidak ada lain jalan kecuali menanti kembalinya suamimu." Jawaban ini cocok dengan pendapat Bin Biauw, maka wanita ini lalu berkata kepada para murid Cin-ling-pai.
"Kuminta kalian jangan bertindak sendiri-sendiri dengan ceroboh. Kita harus menanti sampai suhu kalian pulang, baru kita akan berunding tindakan apa yang selanjutkan akan kita lakukan."
"Akan tetapi, subo. Kelau kita terlambat, mungkin kita semua akan mereka bunuh selagi kita berada di sini."
"Subo, ke manakah perginya suhu?" Kembali suara-suara terdengar di antara para murid Cin-ling-pai yang marah itu.
"Suhu kalian sedang melakukan penyelidikan ke San-hai-koan..."
".... dan menjadi tawanan di sana!" tiba-tiba terdengar suara wanita memotong, "dan kalian orang-orang Cin-ling-pai yang hendak berkhianat, menyerahlah daripada harus kubasmi semua!"
Bin Biauw dan Bin Mo To cepat membalikkan tubuh dan mereka melihat betapa yang bicara itu adalah Gui Siang Hwa dan di sebelahnya berdiri seorang laki-laki tampan pesolek, yaitu Sim Thian Bu!
"Kalian sudah dikepung, melawanpun percuma!" kata Sim Thian Bu dengan suara mengejek.
Wajah Bin Mo To menjadi merah sekali. "Apa maksud kalian?" bentaknya dengan kedua tangan dikepal. "Kami adalah orang-orang yang telah berjasa dalam menduduki Ceng-tek! Kami bukan pengkhianat melainkan pejuang-pejuang gagah berani!"
Sim Thian Bu tertawa."Ha-ha-ha, Tung-hai-sian, mungkin engkau adalah segolongan dengan kami, akan tetapi orang-orang Cin-ling-pai itu jelas bukan! Karena engkau bergabung dengan Cin-ling-pai, engkaupun harus menyerah!"
Tung-hai-sian yang sekarang bernama Bin Mo To dan sudah lama membuang nama julukan ketika dia masih menjadi datuk sesat itu menjadi marah sekali. Dia mengerti bahwa tidak ada gunanya bicara dengan mereka. Dia merasa menyesal sekali mengapa rencananya menjadi berantakan begini. Dan semua ini adalah karena ulahnya. Mantunya yang pergi menyelidiki ke San-hai-koan sudah diketahui musuh dan tentu terjebak. Cin-ling-pai juga sudah dikepung dan menghadapi bahaya besar. Semua ini dia yang menjadi biang keladinya. Oleh karena itu dia pula yang harus berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan orang-orang Cin-ling-pai.
"Serbu keluar! Berpencar dan mencari jalan keluar sendiri-sendiri! Kita kembali ke Cin-ling-san!" teriaknya dengan penuh geram. Suaranya nyaring melengking dan para anggota Cin-ling-pai yang maklum pula akan adanya bahaya yang mengancam lalu tumbuh semangat dan merekapun bergerak mencabut senjata masing-masing dan menyerbu keluar! Bin Mo To dan Bin Biauw sendiri sudah mencabut pedang mereka dan menerjang Gui Siang Hwa dan Sim Thian Bu.
Siang Hwa dan Thian Bu mengelak, dan wanita itu berteriak memberi komando kepada pasukan yang mengepung tempat itu untuk menyergap. Ia sendiripun sudah mencabut pedangnya dan menangkis kuat-kuat ketika Bin Biauw kembali menyerang.
"Cringgg...!" Dan Bin Biauw terkejut bukan main karena merasa betapa lengannya yang memegang pedang tergetar dan pedangnya terpental. Siang Hwa tertawa mengejek dan balas menyerang. Bin Biauw memutar pedangnya melindungi diri dan sebentar saja ia sudah terdesak hebat. Bagaimanapun juga, ia adalah isteri ketua Cin-ling-pai dan sedikit banyak sudah menerima banyak petunjuk suaminya dalam ilmu silat. Maka biarpun tingkat ilmu pedangnya kalah tinggi dan tenaganya kalah kuat dibandingkan Siang Hwa, ia membela diri mati-matian dan terjadilah perkelahian yang amat seru.
Sementara itu, Bin Mo To yang sudah tua sekali itupun mengamuk, akan tetapi amukan pedangnya ditahan oleh pedang di tangan Sim Thian Bu. Bin Mo To pernah menjadi datuk timur yang terkenal sekali dengan ilmu pedangnya dan ilmunya di dalam air. Akan tetapi sudah dua puluh tahun lebih dia tidak pernah mencabut pedang, tidak pernah berkelahi dan ketika pasukan menyerbu Ceng-tek, diapun hanya memberi petunjuk saja dan tidak ikut terjun ke dalam pertempuran. Akan tetapi sekali ini, dia terpaksa bertanding mati-matian dan lawannya adalah murid terkasih mendiang Iblis Buta, maka tentu saja dia merasa kewalahan dan repot sekali. Bukan hanya gerakannya kurang tangkas lagi, juga napasnya pendek dan lewat tiga puluh jurus saja napasnya sudah terengah-engah. Keadaannya tidak lebih baik daripada puterinya yang juga sudah terkurung oleh gulungan sinar pedang di tangan Siang Hwa.
Maklum bahwa keadaannya terhimpit dan sukar untuk meloloskan diri, Bin Biauw berseru keras sekali, "Anak-anak, pergilah kalian dan selamatkan diri! Cepat...!" Suaranya kandas dan tubuhnya terhuyung, pedangnya terlepas dan kedua tangannya mendekap dada di mana terdapat luka yang mencucurkan darah karena ketika ia berteriak tadi, pedang di tangan Siang Hwa telah menembus jantungnya.
"Ayah... lari...!" Bin Biauw masih sempat berteriak sebelum tubuhnya terguling dan tak bergerak lagi.
Bin Mo To terkejut bukan main dan hal ini melemahkan dan membuatnya lengah sehingga dengan mudah pedang di tangan Sim Thian Bu menyambar dan mengenai batang lehernya! Tanpa dapat mengeluarkan suara lagi kakek itu terpelanting dan roboh dengan darah bercucuran dari lehernya. Kakek itu tewas hanya beberapa detik saja sesudah puterinya tewas.
Sementara itu, para murid Cin-ling-pai sejak tadi sudah menerjang keluar dan terjadilah pertempuran yang seru yang berat sebelah, antara puluhan orang Cin-ling-pai melawan ratusan orang perajurit pemberontak, pasukan yang dipimpin oleh Gui Siang Hwa, pasukan istimewa yang rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan.
Biarpun para anak murid Cin-ling-pai melawan dengan gagah berani, namun jumlah lawan terlampau banyak. Setiap orang Cin-ling-pai harus menghadapi pengeroyokan belasan orang lawan, maka tentu saja mereka terdesak hebat. Ketika Bin Biauw berteriak menyuruh mereka lari, ada beberapa orang yang berhasil meloloskan diri dari kepungan dan melarikan diri, dikejar-kejar para perajurit. Keadaan yang kacau timbul dari kejar-kejaran ini memberi kesempatan kepada para murid Cin-ling-pai untuk berusaha meloloskan diri. Akan tetapi, banyak di antara mereka yang gagal dan roboh sebelum berhasil keluar dari kota. Ada belasan orang saja yang akhirnya dapat lolos dari dalam kota, melarikan diri sambil membawa luka-luka di tubuh mereka, sedangkan puluhan orang lainnya tewas. Hanya seperempat bagian saja orang-orang Cin-ling-pai itu selamat dari pembantaian yang terjadi di Ceng-tek!
Bagaimana dengan nasib Cia Kong Liang, ketua Cin-ling-pai itu" Ejekan yang keluar dari mulut Siang Hwa bukan hanya kosong belaka. Memang kedatangan ketua Cin-ling-pai itu ke San-hai-koan sudah diketahui lebih dahulu oleh Raja Iblis! Apa yang terjadi di Ceng-tek telah didengarkan oleh Siang Hwa dan Thian Bu, bayangan-bayangan yang terlihat oleh Bin Biauw dan terdengar oleh Cia Kong Liang. Mendengar percakapan itu, Siang Hwa yang memang sehau memata-matai orang-orang Cin-ling-pai, cepat mengirim utusan ke San-hai-koan memberi tahu kepada gurunya sehingga tentu saja kunjungan ketua Cin-ling-pai itu ke San-hai-koan sudah diketahui lebih dahulu dan kedatangannya itu sudah ditunggu-tunggu!
Cia Kong Liang yang memiliki watak keras dan gagah perkasa itu memasuki San-hai-koan pada keesokan harinya setelah melakukan perjalanan semalam suntuk tak pernah berhenti. Dia langsung masuk saja dan karena dia sudah dikenal oleh para penjaga pintu gerbang, dia diperbolehkan masuk dengan sikap hormat.
Biarpun hari masih amat pagi dan belum pantas untuk sebuah kunjungan, Cia Kong Liang tidak perduli. Kemarahan yang bergejolak di hatinya hampir tak dapat ditahannya lagi dan diapun langsung mengunjungi gedung Panglima Ji Sun Ki yang dijaga ketat oleh pasukan pengawal. Merekapun mengenal Cia Kong Liang dan menyambutnya dengan hormat.
"Aku ingin bertemu dengan Ji-ciangkun," katanya dengan tenang. "Katakan ada urusan penting sekali dan kuharap dia akan suka menerimaku sekarang juga!"
Setelah dilaporkan ke dalam, ketua Cin-ling-pai itu segera dipersilakah masuk ke dalam ruangan tamu yang luas dan ketika dia masuk, di situ telah duduk Panglima Ji Sun Ki seorang diri. Begitu melihat ketua Cin-ling-pai, panglima itu mengangkat tangan kanan sebagai salam dan mempersilakannya duduk.
"Silakan duduk, Cia-pangcu. Pagi sekali pangcu sudah mencariku, ada unusan penting apakah?" tanyanya ramah akan tetapi tegas.
Dengan tenang Cia Kong Liang mengambil tempat duduk berhadapan dengan panglima itu, terhalang sebuah meja besar. Setelah duduk, dia memandang sejenak penuh selidik, baru dia berkata, "Ji-ciangkun, maafkan kalau kedatanganku ini mengganggumu. Akan tetapi sebuah hal yang teramat penting memaksaku malam-malam meninggalkan Ceng-tek dan langsung mengunjungi ciangkun pada pagi hari ini."
Panglima itu tersenyum ramah. "Ah, kalau begitu tentu penting sekali urusan itu. Katakanlah, pangcu, urusan apakah itu?"
Sambil memandang tajam Cia Kong Liang melontarkan pertanyaannya, "Ciangkun, sebenarnya siapakah Pangeran Toan Jit Ong dan isterinya itu?"
Panglima itu mengerutkan alisnya dan memandang heran. "Sungguh mengejutkan pertanyaan pangcu ini dan aku tidak mengerti apa yang pangcu maksudkan dengan pertanyaan aneh itu. Pangeran Toan Jit Ong adalah seorang pangeran keluarga keisar yang sudah puluhan tahun meninggalkan kota raja dan hidup bertapa. Sekarang melihat keadaan pemerintah demikian lalim, beliau turun gunung."
"Akan tetapi dia adalah datuk sesat yang berjuluk Raja Iblis dan isterinya adalah Ratu Iblis! Benarkah itu?"
"Ji-ciangkun mengangkat kedua pundaknya. "Aku tidak memperhatikan perkara itu, pangcu, dan andaikata benarpun, apa bedanya?"
"Apa bedanya?" Cia Kong Liang berseru marah, "dia adalah seorang raja datuk sesat dan dia dibantu oleh Cap-sha-kui dan para datuk sesat lain dari golongan hitam! Tak tahukah ciangkun akan hal ini?"
Ji-ciangkun mengerutkan alisnya. "Aku tahu atau memang dapat menduga. Akan tetapi apa salahnya" Yang penting adalah menggulingkan pemerintah yang dipimpin oleh kaisar lemah dan pembesar-pembesar lalim, dan Pangeran Toan adalah seorang pangeran aseli..."
"Ji-ciangkun! Aku... kami dari Cin-ling-pai tidak sudi bekerja sama dengan golongan hitam! Para penjahat itu akan mengotori perjuangan kita. Ji-ciangkun, engkau tidak boleh bersekutu dengan orang-orang jahat dari kaum sesat itu!"
Panglima Ji memandang dengan alis berkerut dan sinar matanya dingin sekali. "Cia-pangcu, sikap dan kata-katamu sungguh aneh. Lalu apa yang akan kaulakukan karena aku bersekutu dengan mereka?"
"Ji-ciangkun, engkau harus mengusir mereka semua dan tidak menggunakan tenaga mereka untuk perjuangan!"
Wajah panglima itu menjadi merah dan sinar matanya mengandung kemarahan. "Cia-pangcu, bicaramu sungguh aneh dan lancang. Ada hak apakah engkau hendak melarang dan mengatur apa yang kulakukan" Kalau aku tetap bekerja sama dengan mereka, engkau mau apa?"
"Brakkk...!" Cia Kong Liang bangkit berdiri dan tangannya menampar meja di depannya sehingga empat kaki meja itu menancap dan masuk ke dalam lantai hampir sejengkal dalamnya!
"Ji-ciangkun, engkau tinggal memilih saja. Mereka yang pergi atau kami yang pergi!"
Panglima itupun bangkit berdiri dan memandang marah. "Orang she Cia, engkau orang yang sombong dun angkuh! Apa sih artinya puluhan orang Cin-ling-pai bagiku" Kalian datang tanpa kuundang dan kalau mau pergi, tidak semudah itu. Kami tidak mau kalian keluar membawa rahasia-rahasia pertahanan kami!"
Tiba-tiba tLrdengar suara dengusan dan disusul suara wanita, "Ketua Cin-ling-pai ini memang besar kepala dan patut menerima hukuman!"
Cia Kong Liang membalikkan tubuhnya dan dia melihat Raja Iblis dan Ratu Iblis sudah berdiri di ambang pintu ruangan itu dengan sikap menakutkan, seperti dua mayat hidup saja wajah mereka yang kehijauan. Dan di belakang mereka nampak puluhan orang perajurit pengawal yang siap dengan tombak dan golok mereka.
Sekilas pandang saja tahulah ketua Cin-ling-pai itu bahwa dia telah terkepung dan tidak mungkin dapat meloloskan diri kecuali harus melawan mereka. Diapun dapat menduga bahwa Raja dan Ratu Iblis ini tentu lihai sekali, apalagt ditambah puluhan orang pasukan pengawal. Mana mungkin dia yang hanya seorang diri melawan musuh yang sekian banyaknya itu" Pikirannya bekerja cepat dan tiba-tiba tubuhnya membalik dan meloncat ke arah Ji-ciangkun! Panglima ini terkejut bukan main, dapat menduga bahwa ketua Cin-ling-pai itu menyerangya, dia lalu menyambutnya dengan pukulan tangan kanan yang keras ke arah dada Cia Kong Liang!
Akan tetapi, dengan mudahnya ketua Cin-ling-pai itu menangkap pergelangan lengan kanan lawan dan sekali menggerakkan jari tangan kanan menotok, tubuh panglima itu menjadi lemas tak mampu melawan lagi! Cia Kong Liang menelikung lengan itu ke belakang tubuh dan sambil mengancam dengan pedangnya. Ketika dia mencabut Hong-cu-kiam, nampak berkelebat sinar emas. Itulah pedang pusaka Hong-cu"kiam yang tipis dan dapat digulung menjadi ikat pinggang! Sambil mwempelkan pedangnya di batang leher Ji-ciangkun, dia menghardik ke depan, "Kalau ada yang menyerangku, panglima ini akan kubunuh lebih dahulu!"
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Ratu Iblis mengejek. "Heh-heh, pangcu, kau boleh bunuh panglima tujuh kali dan kami masih mampu mengangkat yang lain delapan kali. Apa artinya seorang panglima bagi kami" Setiap waktu kami dapat mengangkat penggantinya. Bunuhlah kalau mau bunuh dia, akan tetapi tetap engkau tidak akan mampu lolos dari kami!"
Cia Kong Liang bukan orang bodoh dan dia tahu bahwa apa yang dikatakan Ratu Iblis itu memang benar. Sekarang baru dia menyadari bahwa orang pertama dalam barisan pemberontak itu bukan Ji-ciangkun, melainkan Pangeran Toan Jit Ong atau Raja Iblis yang berdiri diam saja di samping isterinya yang menjadi juru bicara itu. Menyandera Ji-ciangkun tidak ada artinya dan membunuhnyapun tidak ada artinya. Bahkan kalau mungkin dia memanaskan hati Ji-ciangkun. Maka diapun membebaskan totokannya dari tubuh panglima itu.
"Nah, ciangkun, harap jangan bodoh. Lihat sikap dan ucapan mereka! Apakah engkau masih sudi bersekutu dengan iblis-iblis jahat dan palsu macam mereka?"
Setelah terbebas dari totokan, Ji Sun Ki mundur-mundur dan wajahnya nampak merah sekali tanda kemarahan. "Cia-pangcu, engkau sungguh bodoh! Tanpa bimbingan Toan Ong-ya, mana mungkin kita berhasil" Menyerahlah saja!"
Tentu saja Cia Kong Liang menjadi marah. Tak disangkanya bahwa Raja Iblis sudah menguasai Ji-ciangkun seperti itu. Tahulah dia bahwa harapan untuk lolos tidak ada lagi, dan dia menjadi nekat. "Baiklah Raja Iblis, kalau begitu aku akan mengadu nyawa denganmu!"
Cia Kong Liang meloncat dan pedangnya berkelebat menjadi sinar emas yang panjang dan cepat menyambar ke arah Raja Iblis. Akan tetapi, tiba-tiba Ratu Iblis mengeluarkan lengkingan panjang dan pedangnya sudah berada di tangan, bergerak menangkis serangan ketua Cin-ling-pai itu.
"Tranggg...!" Keduanya meloncat ke belakang dan memeriksa pedang masing-masing karena pertemuan kedua batang pedang itu tadi membuat tangan mereka tergetar. Setelah melihat bahwa pedang mereka tidak rusak, Cia Kong Liang menyerang lagi dengan dahsyatnya, disambut oleh Ratu Iblis yang memutar pedangnya dengan cepat. Serang menyerang terjadi akan tetapi semua serangan dapat dialakkan atau ditangkis.
Lewat belasan jurus, tiba-tiba Ratu Iblis membentak nyaring dan kini bukan hanya pedangnya yang menusuk ke arah lambung lawan, akan tetapi rambutnyapun sudah berobah menjadi senjata ampuh menyambar ke arah tenggorokan Cia Kong Liang. Pendekar ini terkejut sekali dan maklum bahwa serangan rambut itu tidak kalah ampuhnya dari serangan-serangan pedang, maka sambil menangkis pedang yang menusuk lambung, diapun mengerahkan tenaga pada telapak tangan kirinya dan kini tenaga Thian-te Sin-ciang yang amat kuatnya menyambar ke arah gumpalan rambut itu.
Rambut itu membuyar dan hilang tenaganya ketika bertemu dengan tenaga Thian-te Sin-ciang, membuat nenek itu terkejut bukan main. Dengan sendirinya ia tidak memandang rendah lawan dan dapat menduga bahwa orang yang telah menjadi ketua Cin-ling-pai tentu lihai sekali, akan tetapi tidak disangkanya selihai itu! Maka iapun mengeluarkan suara memekik nyaring dan kini pedangnya bergerak-gerak aneh dan liar, sedangkan tangan kirinya diputar-putar lalu menyambar-nyambar ke depan dengan telapak tangan terbuka. Terdengar desir angin ketika tangan kiri itu didorongkan ke depan dan Cia Kong Liang merasa betapa angin pukulan yang panas dan kuat menyambar ke arah tubuhnya. Cepat diapun mengerahkan Thian-te Sin-ciang dan melawan pukulan-pukulan itu dengan dorongan telapak tangan kirinya, sedangkan pedangnya masih terus merupakan gulungan sinar emas yang kuat. Pertandingan itu berlangsung semakin seru dan ternyata kedua pihak memiliki tingkat kepandaian dan kekuatan yang seimbang.
Cia Kong Liang merasa penasaran bukan main melihat kenyataan bahwa sampai puluhan jurus dia belum mampu mengalahkan nenek itu. Baru melawan nenek itu saja dia tidak mampu mengalahkan, apalagi kalau Raja Iblis sendiri yang maju! Dia membentak dan kini gerakan pedangnya berobah sama sekali karena dia mainkan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu Harum) yang amat aneh dan hebat. Pedangnya bergerak tanpa mengeluarkan suara dan tahu-tahu pedang itu menghunjam ke arah dada lawan. Nenek itu cepat menangkis, akan tetapi ketika kedua pedang bertemu, pedang Hong-cu-kiam itu membuat gerakan memutar dan tiba-tiba terdengar suara keras ketika pedeng di tangan nenek itu patah menjadi dua potong! Jurus Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut tadi memang hebat dan pedang di tangan ketua Cin-ling-pai itu adalah sebatang pedang pusaka yang lebih ampuh daripada pedang si nenek. Akan tetapi pada saat itu, rambut itu menyambar dan menotok ke arah pergelangan tangan kanan lawan, sedangkan kedua tangan nenek itu sudah menubruk dan mencengkeram. Gerakan ini dilakukan dengan lengking nyaring mengejutkan.
Biarpun Cia Kong Liang sudah mengerahkan Tiat-po-san, semacam ilmu kekebalan, tetap saja lengannya kesemutan ketika terkena totokan rambut dan pada saat pedangnya hampir terampas itu, tiba-tiba menyambar angin pukulan yang amat hebat dari samping dan tahu-tahu pedangnya telah terbang meninggalkan tangannya. Dia cepat meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri dari tubrukan Ratu Iblis dan ketika dia mengangkat muka, ternyata pedangnya telah berada di tangan Raja Iblis yang menimang-nimangnya dan memeriksanya tanpa memperdulikan dirinya. Cara Raja Iblis tadi merampas pedang saja sudah membuktikan betapa saktinya iblis itu. Akan tetapi Cia Kong Liang tidak menjadi gentar, malah merasa penasaran dan marah sekali. Sambil mengerahkan tenaga, diapun meloncat ke depan, menyerang Raja Iblis sambil membentak, "Kembalikan pedangku!"
Akan tetapi, Ratu Iblis yang sudah kehilangan pedang pula, meloncat dan menyambut serangan ketua Cin-ling-pai yang ditujukan kepada suaminya. Dua tubuh itu bertemu di udara dan dua pasang tangan saling bersilang dan berbenturan.
"Desss...!" Tubuh keduanya terlempar ke belakang, akan tetapi tubuh Ratu Iblis terlempar lebih jauh dan ia agak terhuyung ketika kedua kakinya menyentuh tanah, sedangkan tubuh pendekar itu tetap tegak.
"Ji-ciangkun, tangkap dia!" tiba-tiba terdengar suara Raja Iblis memerintah den terdengar Ji Sun Ki memberi aba-aba kepada anak buahnya.
"Kepung dan tangkap pengkhianat ini!" bentaknya.
Mendengar bentaken Ji-ciangkun ini, Cia Kong Liang menjadi marah sekali dan tahulah dia bahwa panglima itu sudah menjadi antek Raja Iblis. Bukan Panglima Ji yang memimpin pemberontakan itu, melainkan Raja Iblis! Betapa bodohnya! Dia telah membawa nama Cin-ling-pai ke dalam lumpur, menyeret Cin-ling-pai menjadi antek-antek Raja Iblis!
"Majulah jangan dikira aku takut!" bentaknya dan diapun mengamuk ketika dikepung oleh banyak sekali perajurit pengawal. Akan tetapi, jumlah mereka banyak sekali dan tiba-tiba lengannya dapat tertangkap oleh seorang perajurit. Dia hendak meronta, akan tetapi tiba-tiba perajurit itu berbisik, suaranya terdengar dekat sekali di telinganya, tanda bahwa perajurit itu menggunakan ilmu mengirim suara yang amat kuat.
"Percuma melawan, menyerah saja untuk saat ini!" Di dalam suara itu terkandung nasihat dan juga bujukan dan Cia Kong Liang dapat menduga bahwa perajurit ini tentu bermaksud ba

^