Pencarian

Asmara Berdarah 6

Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 6


ar.
"Tentu saja! Hidup haruslah bebas, baru dapat menikmati hidupnya!" kata kakek jembel.
"Huh! Hidup tanpa adanya sesuatu yang mengikat, lalu apa artinya" Tiada isi, hampa
belaka!" kata kakek tinggi besar.
"Itu pendapatmu! Hidup harus bebas dari pendapat..."
"Ha-ha, jembel mabok! Ucapanmu itu-pun merupakan suatu pendapat, bukan?"
Wajah kakek jembel itu berobah merah dan sejenak dia seperti kebingungan. "Sudahlah!" dia mengetukkan tongkat bambunya di atas lantai. "Kita bukan nenek-nenek bawel yang suka berdebat. Kalau engkau ingin mengadu kepandaian, hayoh! Di manapun dan kapanpun akan kulayani. Sudah lama tongkatku tidak pernah menggebuk anjing tinggi besar dari gunung!"
Akan tetapi kakek tinggi besar yang disindir itu hanya tertawa. "Engkau tahu bahwa
ucapanmu itu hanya gertak sambal! Akupun tahu bahwa aku takkan mudah mengalahkan engkau jembel busuk. Kita sudah semakin tua, tiada gunanya membuang tenaga sia-sia. Mari kita berlomba membuktikan kebenaran filsafat lemah pengecut dari orang she Cia ini!"
"Baik, bagaimana caranya?"
"Kita didik murid menurut cara masing-masing, engkau boleh mencontoh filsafatnya dan
aku sebaliknya. Tiga tahun kemudian kita adu murid kita!"
"Baik!"
Kedua orang kakek itu lalu berkelebat lenyap! Cia Han Tiong cepat menjura dan mencoba menahan. "Ji-wi locianpwe, harap duduk dulu...!"
"Ha-ha!" Terdengar suara kakek jembel. "Kau mau tahu. Aku hanya jembel tua Ciu-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Arak)!"
"Dan aku adalah Go-bi San-jin (Orang Gunung Gobi)!" terdengar suara kakek tinggi besar. Suara mereka terdengar dari jauh sekali, dan dari dua jurusan!
Cia Han Tiong duduk kembali, menarik napas panjang dan menghapus keringatnya.
"Suhu, siapakah dua orang aneh itu?" tanya seorang murid.
Han Tiong menarik napas panjang dan mengerutkan alisnya. "Sungguh aku seorang yang harus malu melihat kepandaian sendiri tiada artinya dibandingkan mereka itu. Melihat sin-kang mereka, agaknya mereka memiliki tingkat yang tak kalah tingginya dibandingkan tingkat mendiang ayahku sendiri! Dan mereka itu jauh lebih lihai daripada Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo! Namun, baik kedua Lo-mo dan Lo-bo maupun kedua kakek tadi, sama sekali tak terkenal di dunia kang-ouw! Terbuktilah kini bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat orang pandai, jauh lebih pandai daripada orang yang terke-nal!"
"Apakah maksud kedatangan mereka itu, suhu?"
"Entahlah. Entah ada hubungannya dengan kemunculan Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo itu atau tidak. Akan te-tapi, kalau orang-orang sakti seperti me-reka muncul, biasanya tentu akan terjadi hal-hal yang penting."
Setelah mengubur peti-peti jenazah itu, Han Tiong lalu membubarkan Pek-liong-pang! Dia mengambil keputusan un-tuk mengundurkan diri. Peristiwa yang terjadi baru-baru ini membuka matanya bahwa memperkuat diri sendiri dan kelompoknya berarti mengundang datangnya lawan yang tak mau kalah kuat.
"Kalian jalanlah sendiri-sendiri dan peganglah teguh semua ajaran yang te-lah kalian peroleh di sini. Akan teetapi jangan lagi sebut-sebut namaku atau Pek-liong-pang. Pek-liong-pang sudah bubar dan segala perbuatan kalian adalah urus-an pribadi yang harus kalian pertanggungkan sendiri. Kalau ada yang bertemu de-ngan Cia Sun, beritahukan segalanya dan suruh dia pulang. Selanjutnya, aku tak mau diganggu dengan persoalan-persoalan dunia lagi."
Tentu saja para murid menjadi berdu-ka. Akan tetapi mereka mengenal watak suhu mereka yang keras. Beberapa hari kemudian, Lembah Naga menjadi sunyi ditinggalkan semua murid Pek-liong-pang. Cia Han Tiong hidup menyendiri sebagai seorang pertapa!
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Sui Cin yang menyamar sebagai se-orang pemuda jembel, merasa cocok dan senang sekali melakukan perjalanan bersama Hui Song. Pemuda ini berandalan, jenaka, gembira dan nakal, suatu sifat yang cocok dengan wataknya sendiri. Ke-tika ia melakukan perjalanan bersama Sim Thian Bu menuju ke telaga setelah gagal nonton pertemuan para pendekar yang urung diadakan, mula-mula iapun merasa cocok. Sim Thian Bu seorang pemuda ganteng pesolek yang pandai memikat hati. Akan tetapi, baru sehari melakukan perjalanan bersama, ia sudah melihat bahwa keramahan pemuda itu pura-pura dan pandang matanya, tutur sapanya, semakin berani mengarah cabul. Maka, pada malam harinya ketika mereka bermalam di rumah penginapan, diam-diam Sui Cin meninggalkan tanpa pamit. Ia lalu menyamar sebagai pemuda jembel yang merantau sendirian, bebas gembira sampai ia bertemu dengan Hui Song.
Seperti telah kita ketahui, Sui Cin yang menyamar sebagai pemuda jembel melakukan perjalanan dengan Hui Song menuju ke kota raja. Ia mengatakan hendak mencari encinya! Dan Hui Song juga pergi ke kota raja dengan dalih hendak menyelidiki Hwa-i Kai-pang yang bekerja sama dengan pasukan pemerintah. Padahal sesungguhnya dia ingin sekali berkenalan dengan enci dari pemuda jembel itu yang ternyata adalah dara yang pernah dijumpainya dan yang amat menarik hatinya itu.
Di sepanjang perjalanan, keduanya merasa cocok sekali. Akan tetapi setiap kali malam tiba, Sui Cin tidak pernah mau diajak bermalam di rumah penginapan, melainkan mengajak bermalam di kolong-kolong jembatan atau di emper-emper toko! Ketika Hui Song memprotes, Sui Cin menjawab.
"Song-twako, engkau tahu bahwa aku sudah biasa hidup sebagai pengemis. Maka, akupun lebih leluasa tidur di kolong jembatan daripada di kamar hotel. Kalau engkau mau tidur di hotel, silakan. Aku di emper toko sini saja."
Hui Song terpaksa menurut biarpun dia mengomel karena dia tahu bahwa pemuda ini bukan jembel aseli melainkan putera Pendekar Sadis yang kaya raya dan suka membagi-bagi uang pada para jembel! Dia tidak tahu bahwa Sui Cin sendiri jarang tidur di tempat kotor itu. Kalau sekarang ia memilih tidur di emper adalah untuk menghindari tidur sekamar dan seranjang dengan Hui Song!
Pada suatu malam mereka terpaksa tidur di bawah pohon dalam sebuah hutan. Kota raja sudah dekat dan hawa udara malam itu dingin sekali. Melihat betapa pemuda jembel itu tidur meringkuk kedinginan, Hui Song membesarkan api unggun. Akan tetapi agaknya masih belum cukup dapat mengusir dingin, bahkan dalam tidurnya Sui Cin agak menggigil. Karena khawatir kalau-kalau pemuda jembel itu jatuh sakit, Hui Song melepaskan jubahnya dan menyelimuti tubuh Sui Cin yang sudah tidur nyenyak.
Akan tetapi, pemuda jembel itu masih kelihatan meringkuk kedinginan se-dangkan Hui Song sendiri setelah menanggalkan jubahnya juga merasa dingin se-kali. Maka dia lalu merebahkan dirinya dekat Sui Cin dan untuk mengurangi rasa dingin bagi mereka berdua, dia lalu merangkul tubuh Sui Cin merapatkan diri. Benar saja, dia merasa hangat dan nya-man. Juga Sui Cin mengeluarkan suara lega. Akan tetapi hanya sebentar saja karena tiba-tiba Sui Cin meronta dan si-ku lengannya menyodok ke belakang.
"Hekk...!" Hui Song merasa dadanya sesak karena tersodok siku dan dia memandang terbelalak kepada Sui Cin yang sudah meloncat berdiri. Pemuda jembel itu bertolak pinggang dan memandang kepadanya dengan marah sekali.
"Apa... apa yang kaulakukan tadi?" bentaknya.
Hui Song bangkit duduk termangu-mangu, keheranan. "Apa..." Mengapa..." Aku tidak apa-apa..." jawabnya bingung.
"Kenapa engkau... memelukku tadi?"
Hui Song mengangkat alis dan pundaknya. "Agar kita berdua tidak kedinginan. Cin-te, engkau sungguh aneh, apa salah-nya kalau aku memelukmu?"
Baru Sui Cin sadar akan keadaannya, akan penyamarannya. Iapun duduk dekat api unggun. "Maaf, Song-twako. Engkau mengagetkan aku yang sedang tidur dan... dan engkau mengingatkan aku akan pengalaman tidak enak beberapa bulan yang lalu ketika tadi engkau merangkul aku."
"Pengalaman apakah, Cin-te" Kurasa tidak ada salahnya dua orang laki-laki yang sudah bersahabat saling merangkul." Hui Song mengomel karena dadanya ma-sih terasa memar.
"Ada seorang pria yang juga merangkulku... ihh, aku masih jijik dan ngeri membayangkan perbuatannya itu!"
"Aih, engkau seperti wanita saja, Cin-te. Apa salahnya laki-laki itu merangkul-mu kalau memang dia sahabatmu?"
"Dia bukan hanya merangkul, akan tetapi... hendak... mencium dan mengajakku melakukan... hal yang tidak senonoh..." Sui Cin tidak membohong ketika menceritakan ini karena memang dalam penyamarannya sebagai seorang pemuda jembel, pernah ada seorang jembel pria lainnya yang berbuat seperti itu kepadanya sehingga ia menjadi marah, menghajar jembel itu sampai babak belur dan pingsan baru meninggalkannya.
"Ahh...!" Kini Hui Song terbelalak, kemudian menepuk pahanya sambil tertawa geli. Sui Cin melirik dengan hati mendongkol.
"Kenapa kau mentertawakan aku?" bentaknya.
"Aku tidak mentertawakan kau, Cin-te. Aku hanya merase geli sendiri. Aku sudah pernah mendengar tentang pria yang suka berjina dengan pria lain, juga ten-tang wanita yang lebih suka bercinta de-ngan sesama wanita. Akan tetapi, wah, sialan benar! Apakah engkau menyamakan aku dengan pria itu?"
"Bukan begitu, akan tetapi pengalam-an itu membuat aku merasa geli setiap kali ada pria
memelukku. Itulah sebabnya mengapa aku tadi terkejut sekali."
"Maaf... maaf... aku tidak tahu dan tidak sengaja..."
"Sudahlah, asal mulai sekarang engkau jangan sekali-kali lagi mengulang perbuatan itu."
"Aku tidak berani...!" Hui Song tertawa.
"Awas kalau kauulangi lagi, aku akan bilang kepada enciku bahwa engkau ada-lah soorang pemuda kurang ajar yang su-kanya kepada sesama pria."
"Wah, gawat! Sungguh mati, aku tidak berani lagi. Eh, Cin-te, siapakah nama encimu itu?"
Sui Cin tidak segera menjawab, mem-besarkan nyala api unggun. "Enci akan marah kalau aku lancang memperkenal-kan namanya. Engkau tanya sendiri saja kalau sudah bertemu dengannya."
Pada keesokan harinya, mereka memasuki pintu gerbang kota raja. Ketika Hui Song bertanya di mana adanya enci sahabatnya itu, Sui Cin menjawab, "Soal enciku mudah. Akan tetapi aku ingin sekali mengikutimu dan melihat bagaimana caranya engkau menyelidiki Hwa-i Kai-pang itu."
Terpaksa Hui Song mengajak Sui Cin melakukan penyelidikan. Setelah mereka mendapat keterangan di mana adanya gedung perkumpulan Hwa-i Kai-pang, me-reka segera menuju ke sana. Gedung itu besar den megah, sungguh tidak pantas menjadi pusat perkumpulan para penge-mis. Dan di pintu gerbang nampak pengemis-pengemis muda yang bertampang se-rem melakukan penjagaan dengan lagak seperti pasukan tentara menjaga pintu gerbang saja. Dan nampak pula beberapa kali orang-orang berpakaian seperti pejabat pemerintah naik kereta memasuki halaman gedung itu sebagai tamu.
Sui Cin sudah tidak sabar dan hendak menyerbu saja, akan tetapi Hui Song mencegahnya. "Kita datang bukan untuk menyerbu, melainkan untuk menyelidiki rahasia mereka. Nanti malam saja kita kembali dan melakukan pengintaian."
Malam itu sunyi dan dingin. Setelah makan malam Hui Song dan Sui Cin berangkat menuju ke gedung perkumpulan pengemis Hwa-i Kai-pang. Gedung itu megah den besar, dikelilingi tembok tinggi dan satu-satunya pintu masuk peka-rangan hanya pintu gerbang yang terjaga ketat siang malam itu. Akan tetapi, ti-dak sukar bagi Hui Song dan Sui Cin un-tuk memasuki pekarangan belakang dengan meloncati pagar tembok bagian belakang. Agaknya Hwa-i Kai-pang begitu percaya akan kebesaran nama dan penga-ruh mereka sehingga menganggap musta-hil ada orang yang bosan hidup berani memasuki pekarangan mereka tanpa ijin, maka bagian belakang tidak dijaga.
Bagaikan dua ekor kucing, Hui Song dan Sui Cin menyelinap dan naik ke atas genteng bangunan bersembunyi di balik wuwungan. Tak lama kemudian mereka sudah membuka genteng mengintai ke bawah, ke dalam sebuah ruangan di bagian belakang gedung itu. Ruangan itu luas dan melihat gambar-gambar orang bersilat yang berada di atas dinding, juga adanya rak penuh bermacam senjata di sudut, mudah diduga bahwa ruangan itu tentu sebuah lian-bu-thia (ruangan berlatih silat). Di sebuah sudut ruangan nampak empat orang duduk seenaknya di atas lantai. Keadaan empat orang kakek itu menyeramkan. Keempatnya mengenakan baju tambal-tambalan dan berkembang-kembang seperti baju pengemis akan tetapi kainnya masih baru. Yang menyeramkan adalah wajah dan sikap mereka. Seorang yang duduk hampir rebah bertubuh gendut dengan perut seperti gentong, kepala botak dan rambutnya dikuncir lucu seperti ekor babi. Alisnya tebal, mata hidung dan mulutnya besar-besar. Orang kedua di sebelah kirinya adalah seorang kakek tinggi kurus yang rambutnya panjang riap-riapan, kepalanya memakai kopyah pendeta, tangan kanan memegang pipa tembakau berbentuk ular. Dia nampak kurus sekali bersanding kakek pertama yang kegerahan membuka bajunya, atau mungkin juga karena perutnya terlalu gendut, kancing bajunya tak dapat ditutup. Orang ketiga lebih menyeramkan lagi. Tubuhnya tinggi besar nampak kuat. Mata kirinya ditutup dengan penutup mata berwarna hitam. Rambutuya sedikit, hampir gundul dan wajah yang bermata satu ini membayangkan kebengisan yang kejam. Orang keempat berwajah buruk, dengan mulut yang moncong bentuknya, punggungnya bongkok dan dia memegang sebatang tongkat bulat. Agaknya mereka sedang bercakap-cakap dengan santai, menghadapi arak wangi dan sepiring ayam panggang utuh berada di antara mereka.
Hui Song dan Sui Cin yang mengintai merasa heran. Melihat pakaian mereka berempat itu, agaknya tak salah lagi bahwa empat orang itu tentu tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang. Akan tetapi sikap dan wajah mereka sama sekali tidak pantas menjadi tokoh jembel. Lebih patut kalau menjadi kepala-kepala rampok!
"Kurang ajar sekali, kini di Cin-an muncul dua orang muda yang berani menentang kita!" si perut gendut, berkata sambil mengembangkan lengan kanan.
"Kalau mereka tidak lari dan kuketahui tempatnya, tentu keduanya takkan kuampuni lagi, akan kupatahkan kaki tangan mereka dan kukeluarkan isi perut mereka!" kata si mata satu dengan suara penuh geram.
Kakek yang mengisap huncwenya mengepulkan asap sehingga tercium bau yang harum memuakkan. "Hemm, sebaliknya diselidiki benar-benar siapa pemuda jembel yang membagi-bagi uang itu. Sungguh kedengaran aneh sekali."
"Kalian tak perlu khawatir," kini kakek buruk rupa yang memegang tongkat berkata. "Kewajiban kita hanyalah menjaga kota raja dan sekitarnya, bekerjasama dengan pasukan pemerintah, mencegah pengaruh buruk mendekati sri baginda. Peristiwa di Cin-an itu membuktikan adanya kerja sama yang baik antara anak buah kita dengan pasukan pemerintah. Itu sudah cukup menguntungkan kita. Rakyat melihatnya dan kita tentu semakin ditaati sebagai pembantu pemerintah."
"Akan tetapi, Lo-eng (Pendekar Tua), dua pemuda itu kabarnya lihai sekali. Kalau tidak dicari dan dibasmi, bisa berbahaya, kelak hanya akan mendatangkan kesulitan," kata si gendut.
Mendengar percakapen itu, Sui Cin mengepal tinju. Ingin ia turun dan mengamuk, menghajar mereka, terutama si perut gendut. Akan tetapi agaknya Hui Song dapat merasakan gerakannya. Pemuda itu menyentuh tangannya dan berbisik, "Hati-hati ada orang datang!"
Tiba-tiba ada dua bayangan berkelebat. Sui Cin terkejut bukan main karena bayangan itu memiliki gerakan yang amat cepat dan ringan, tanda bahwa mereka mempunyai kepandaian yang cukup tinggi. Untung Hui Song telah mengetahui kedaaan mereka lebih dulu sehingga ia tak jadi turun tangan.
Bagaikan dua ekor burung, bayangan dua orang itu sudah melayang turun memasuki
ruangan itu. Empat orang yang sedang bercakap-cakap itu terkejut dan berlompatan bardiri, siap menggempur musuh. Sepasang orang muda yang mengintai di atas melihat betapa gerakan mereka hebat, membayangkan kepandaian tinggi. Akan tetapi ketika empat orang itu mengenal kakek dan nenek yang muncul seperti iblis itu, wajah mereka menjadi girang. Kakek bertongkat yang menjadi ketua Hek-i Kai-pang, yaitu yang menamakan diri Hwa-i Lo-eng, cepat menjura dengan hormat.
"Aih, kiranya Kui-kok Pang-cu berdua yang datang berkunjung! Selamat datang dan silakan duduk!" Juga tiga orang kakek yang menjadi pembantu-pembantunya memberi hormat.
Kakek dan nenek itu adalah Kui-kok Lo-mo dan isterinya Kui-kok Lo-bo, sepasang
suami isteri yang berpakaian putih-putih dan bermuka pucat seperti mayat itu. Mereka adalah tokoh-tokoh Cap-sha-kui dan karena Cap-sha-kui juga sudah diperalat oleh Liu-thaikam, seperti halnya Hwa-i Kai-pang, maka tentu saja mereka terhitung rekan dan saling me-ngenal.
Melihat betapa kakek dan nenek yang bermuka putih pucat itu masih berdiri saja, ketua Hwa-i Kai-pang kembali mempersilakan mereka duduk. "Ji-wi, silakan duduk."
"Nanti dulu, Kai-pang-cu, kami menanti munculnya tamu lain!" Lalu Kui-kok Lo-bo melambaikan tangan ke atas sambil membentak, "Apakah kau masih juga belum mau turun?"
Sui Cin terkejut sekali, mengira bahwa ialah yang disuruh turun karena ne-nek bermuka pucat itu memandang ke a-rah tempat ia bersembunyi. Tentu saja ia tidak takut dan hendak turun. Akan teta-pi kembali Hui Song mencegahnya dan memegang lengannya. Dan pada saat itu terdengarlah bunyi ledakan cambuk disusul melayangnya seorang nenek bongkok kurus ke dalam ruangan itu. Kiranya Kui-bwe Coa-li, satu di antara Cap-sha-kui yang dimaksudkan oleh kakek dan nenek iblis itu!
"Hi-hik, matamu masih tajam sekali Lo-bo?" Kui-bwe Coa-li berkata dengan nada mengejek.
"Coa-li, untuk mengetahui kehadiran-mu, tak memerlukan ketajaman mata, cukup mencium bau yang amis seperti ular itupun cukuplah, ha-ha-ha!" Kui-kok Lo-mo mengejek.
"Huh! Hidung kerbau ini masih besar kepala juga!" Nenek iblis itu balas me-maki. Tidaklah aneh sikap antara para iblis Cap-sha-kui ini. Memang mereka a-dalah datuk-datuk sesat yang kasar.
Akan tetapi Hwa-i Lo-eng girang se-kali kedatangan tamu-tamu lihai ini. De-ngan hormat dia mempersilakan mereka duduk di ruangan tanpa kursi itu. Lantai mengkilap bersih, maka mereka lalu du-duk di lantai begitu saja. Ketua penge-mis itu membunyikan genta kecil dan muncullah lima orang gadis cantik me-nyuguhkan arak dan daging.
"Ha-ha! Para pelayanmu cantik-cantik, Lo-eng!" kata Kui-kok Lo-mo sambil mencolek pinggul seorang di antara mereka.
Hui Song dan Sui Cin memandang de-ngan heran. Perkumpulan pengemis akan tetapi mempunyai pelayan-pelayan yang terdiri dari gadis-gadis cantik yang berpakaian indah seperti perkumpulan orang-orang bangsawan atau hartawan saja! Akan tetapi sepasang orang muda ini tetap mengintai dengan hati-hati karena mereka kini maklum bahwa datuk-datuk sesat dari Cap-sha-kui ternyata bersekongkol dengan Hwa-i Kai-pang dan agaknya mereka diperalat oleh pemerintah! Betapapun aneh kedengarannya, namun agaknya kenyataannya begitulah karena bukankah tadi ketua Hwa-i Kai-pang menyebut tentang adanya kerja sama antare mereka dan pemerintah"
Sambil makan minum, Kui-kok Lo-mo menceritakan maksud kedatangannya. "Sebagai sesama rekan, kami membuka rahasia kami. Kami menerima tugas untuk membunuh Jenderal Ciang."
"Ah...! Beliau adalah panglima kedua di kota raja! Bukan hal mudah untuk mendekatinya, apalagi membunuhnya!" kata kakek yang mengisap pipa tembakau.
Hui Song dan Sui Cin juga kaget bukan main! Dan mereka merasa bingung. Para datuk sesat int bekerja sama dengan pemerintah, akan tetapi mengapa iblis muka pucat mendapat tugas membunuh Jenderal Ciang, panglima kedua dari kerajaan" Sungguh sukar dimengerti. Akan tetapi mereka mendengarkan terus.
"Kami mengerti akan beratnya tugas kami, karena itulah kami datang ke sini mengharapkan bantuan kawan-kawan yang tentu lebih tahu akan kebiasaan-kebiasaan panglima itu sehingga kami dapat turun tangan pada saat yang tepat," kata Kui-kok Lo-bo.
"Sebaiknya, kalau kita bekerja sama!" Tiba-tiba Kui-bwe Coa-li berseru. "Kalian
membantuku Menteri Kebudayaan Liang, baru kemudian aku membantu kalian menyingkirkan Ciang-goanswe. Dengan majunya kita bertiga, mustahil kita takkan berhasil membunuh jenderal itu!"
Suami isteri itu saling pandang dan mengangguk setuju. Membunuh Menteri Liang merupakan pekerjaan amat mudah kalau dibandingkan dengan tugas mereka membunuh Jenderal Ciang. Dan bantuan Kiu-bwe Coa-li tentu saja amat berhar-ga.
"Bagus, kami setuju dengan kerja sama itu," kata Kui-kok Lo-mo.
"Nah, sekarang kita minta bantuan kawan-kawan dari Hwa-i Kai-pang bagai-mana sebaiknya untuk dapat menyerang Menteri Liang!" kata Kui-bwe Coa-li.
"Mencari kesempatan baik untuk menyerang Menteri Liang jauh lebih mudah daripada Jenderal Ciang!" kata Hwa-i Lo-eng yang tentu saja lebih banyak me-ngenal keadaan para pembesar di kota raja. Apalagi dia sudah banyak menerima tugas mengamati dan memata-matai pa-ra pembesar yang menjadi lawan Liu-thaikam termasuk Jenderal Ciang dan Men-teri Liang.
"Ceritakan yang jelas, pang-cu," kata Kiu-bwe Coa-li dengan girang karena merasa betapa tugasnya akan menjadi ri-ngan setelah mendapat bantuan rekan-rekannya.
"Begini : Menteri Liang mempunyai suatu kegemaran, yaitu berlayar dan memancing ikan di Telaga Emas di sebelah selatan kota raja. Sebulan dua tiga kali dia pergi ke telaga itu dan saat itulah terbaik untuk turun tangan. Pertama, dia berada di luar kota raja dan kedua, bia-sanya dia tidak disertai banyak pengawal. Nah, cu-wi tinggal bersiap-siap saja, ka-lau dia pergi ke telaga itu, cu-wi turun tangan. Kami sendiri sudah banyak dike-nal, tentu saja tidak mungkin dapat membantu turun tangan sendiri. Akan tetapi, di sini ada saudara Bhe Hok ini yang merupakan tokoh baru dan belum banyak di-kenal di daerah telaga itu, maka dialah yang akan membantu cu-wi mengamati dan memata-matai lebih dahulu sehingga akan tahu keadaan pembesar itu kalau sampai di telaga." Ketua perkumpulan pengemis itu menunjuk kepada kakek berperut gendut yang ikut hadir di situ dan kakek gendut ini mengangguk-angguk sambil terkekeh girang menerima tugas penting ini.
Ketua Hwa-i Kai-pang itu bicara li-rih ketika mengatur siasatnya, sama se-kali tidak tahu bahwa semua percakapan itu didengarkan oleh Hui Song dan Sui Cin!
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Pagi itu amat indahnya di tepi telaga. Masih sunyi karena hari masih amat pagi, belum ada orang datang ke tempat itu. Sui Cin sejak tadi sudah berada di tepi telaga seorang diri dan ia terpesona oleh keindahan pemandangan pagi hari itu. Pagi yang cerah. Sinar matahari masih lemah, kuning emas membentuk garis-garis mengkilap di permukaan air telaga yang tenang dan halus seperti sutera kehijauan berkeriput. Kicau burung-burung di antara daun-daun pohon menambah meriahnya suasana. Langit bersih, hanya ada awan putih berkelompok-kelompok membentuk beraneka macam mahluk khayali. Indah sekali awan-awan itu, tak pernah diam mati melainkan setiap detik berobah dengan halus, seperti permukaan air telega yang selalu bergerak menimbulkan perobahan-perobahan. Seperti mengalirnya air kehidupan yang setiap saat berobah.
Hening sekali. Keheningan yang agung menyelimuti seluruh telaga dan sekitarnya, keheningan total di mana Sui Cin juga termasuk. Keheningan yang terasa benar pada saat itu oleh Sui Cin. Keheningan yang menenteramkan, sama sekeli bukan rasa kesepian yang menggelisahkan. Dara itu sejak tadi berdiri tak bergerak, seperti patung, memiliki keindahan tersendiri walaupun ia menjadi bagian dari keindahan total itu. Seorang dara yang menjelang dewasa, cantik jelita dan manis dalam kesederhanaannya. Pakaiannya sederhana, bersahaja dan lebih diutamakan sebagai pelindung tubuh daripada sebagai hiasan seperti kebanyakan wanita. Rambutnya yang hitam panjang itu terurai ke belakang hanya diikat sutera hijau, agak awut-awutan karena tak diminyaki dan kurang sisiran, juga karena dipermainkan angin pagi sejak tadi. Anak rambut terjuntai di dahi dan pelipis menjadi penambah manis. Wajah yang berkulit halus dan berbentuk ayu itu tidak dilapisi bedak. Akan tetapi kulit muka itu sudah halus putih dan kedua pipinya se-gar kemerahan.
Tiba-tiba patung cantik jelita itu bergerak, menggerakkan kepalanya dan dua gumpalan rambut itu bergerak pula, yang satu pindah dari punggung ke dada. Terdengar tawa kecil dan sekilat deretan gigi rapi berkilauan tertimpa cahaya matahari, mata yang jelita itu agak menyipit ketika ia tertawa kecil. Yang memancingnya tertawa kecil sehingga sadar dari lamunannya adalah tingkah dua ekor burung gereja yang sedang berkasih-kasihan. Yang jantan selalu mengejar, yang betina lari, jinak-jinak merpati seperti menggoda tapi akhirnya menyerah dan ketika yang jantan hinggap di atas punggungnya, yang betina terpeleset sehingga keduanya jatuh tunggang-langgang ke bawah. Akan tetapi sebagai burung yang memiliki sayap dengan indahnya mereka dapat menghindarkan diri dari kejatuhan itu dan di lain saat sudah berkejaran lagi sambil berteriak-teriak bersendau-gurau dalam bahwa mereka.
Sui Cin sama sekali tidak tahu bahwa selagi ia terpesona oleh keindahan pemandangan di telaga, ada sepasang mata orang lain juga terpesona, bukan o-leh keindahan telaga melainkan keindahan dirinya. Seorang pria yang sejak tadi me-nyembunyikan diri di balik semak-semak sambil mengamati setiap gerak-geriknya.
Setelah memperoleh banyak keterang-an penting dalam pengintaian mereka di Hwa-i Kai-pang, Hui Song dan Sui Cin lalu mengadakan perundingan. Mereka bersepakat untuk mencegah usaha jahat kaum sesat yang hendak membunuh Menteri Liang dan Jenderal Ciang. Juga da-lam percakapan rahasia antara para da-tuk sesat itu mereka tahu bahwa para kaum sesat itu diperalat oleh Liu-thai-kam. Dua orang pembesar yang hendak dibunuh adalah musuh-musuh Liu-thaikam karena mereka merupakan pembesar-pem-besar jujur yang dapat membahayakan kedudukannya. Juga kini Hui Song dan Sui Cin tahu mengapa kaum sesat melin-dungi kaisar. Bukan karena kesetiaan Liu-thaikam, melainkan karena pembesar ko-rup ini merasa aman dengan berkuasanya kaisar muda yang mempercayanya itu. Melindungi dan mempertahankan kaisar muda ini berarti melindungi dan mem-pertahankan kedudukannya sendiri. Semua ini mereka ketahui dari percakapan an-tara para datuk sesat malam itu.
Hui Song lalu membagi pekerjaan. Dia minta agar Sui Cin yang dikenalnya se-bagai pemuda jembel lihai itu melakukan pengamatan di telaga yang disebut Tela-ga Emas, sedangkan Hui Song sendiri a-kan menghubungi Menteri Liang dan Jen-deral Ciang. Mereka lalu berpisah. Sui Cin yang sudah merasa bosan menyamar sebagai pemuda jembel setelah kini ber-pisah dari Hui Song lalu berganti pakaian menjadi dara cantik sederhana seperti biasa dan pagi itu ia sudah menikmati keindahan alam di tepi telaga. Kini ia mengerti mengapa telaga itu dinamakan Telaga Emas. Memang tiap pagi sinar matahari merobah air telaga menjadi ke-emasan. Ia tidak perlu melakukan pengamatan sambil bersembunyi. Kini ia merupakan seorang gadis perantau yang se-dang berkelana dan melancong ke telaga ini. Cukup wajar dan ia dapat pesiar sambil memasang mata. Andaikata Kiu-bwe Coa-li muncul dan nenek iblis ini menye-rangnya, iapun tidak takut!
Akan tetapi ketika pagi itu ia datang ke tepi telaga, keadaan di situ amat sepi dan yang muncul bukan Kiu-bwe Coa--li atau tokoh sesat lainnya, melainkan seorang pemuda tampan pesolek yang su-dah dikenalnya, yaitu Sim Thian Bu! Ia sama sekali tidak tahu bahwa pemuda i-ni sejak tadi telah mengamati semua gerak-geriknya dari tempat tersembunyi.
Sim Thian Bu tiba-tiba muncul dan dengan ramah berseru gembira, "Nona Ceng! Aih, akhirnya kita saling berjumpa juga. Memang kita ada jodoh! Aku me-mang tempo hari mengajakmu pesiar ke telaga ini, akan tetapi di tengah perja-lanan engkau pergi. Tak kusangka kita justeru saling jumpa di Telaga Emas ini. Bukankah ini jodoh namanya?"
Tentu saja Sui Cin merasa kaget melihat munculnya pemuda ini dan iapun agak tertegun mengingat bahwa ia pernah meninggalkan pemuda ini malam-malam tanpa pamit. Akan tetapi iapun ter-ingat akan sikap kurang ajar pemuda i-ni, bahkan sekarangpun pemuda ini ber-kali-kali bicara tentang jodoh!
"Saudara Sim, pergilah dan jangan ganggu, aku ingin sendirian," katanya singkat.
Akan tetapi pemuda tampan pesolek itu tersenyum dan memandang ke kanan kiri. Tempat itu sangat sepi pada saat itu. Permukaan telagapun masih sunyi, hanya ada sebuah perahu kecil nampak jauh di tengah telaga dengan seorang saja di dalamnya, agaknya seorang nelayan yang kesiangan. Sim Thian Bu sama sekali tidak memperdulikan nelayan dengan perahunya yang jauh itu.
"Nona Ceng, kenapa sikapmu begitu terhadapku" Bukankah kita sudah berke-nalan dan menjadi sahabat baik" Perte-muan yang tidak kita sangka-sangka ini tandanya bahwa kita berjodoh. Marilah kita pelesir dan bersenang-senang ber-dua, nona. Jangan kautinggalkan aku lagi. Aku... sejak pertemuan pertama itu, aku sudah tergila-gila padamu, nona..."
"Tutup mulutmu!" Sui Cin membentak marah.
"Ahhh...! Salahkah kalau seorang pemuda seperti aku tergila-gila dan jatuh cinta kepada seorang gadis sepertimu" Engkau yang salah, siapa suruh engkau begini cantik manis menggairahkan?"
Wajah Sui Cin yang putih halus itu menjadi merah. Belum pernah selama hi-dupnya ada laki-laki bicara seperti itu kepadanya. Rasa malu dan marah, membuatnya sukar bicara. Akan tetapi sebagai seorang gadis bebas yang jujur, harus diakuinya bahwa ucapan pemuda itu tak dapat disebut kurang ajar. Bukankah Sim Thian Bu mengeluarkan isi hatinya seca-ra jujur" Pendapat ini menyabarkan hatinya dan iapun tersenyum.
"Saudara Sim, pergilah dan jangan menggangguku kalau kau tidak ingin ku-anggap sebagai musuh."
Thian Bu tersenyum lebar, dan mata-nya dipicingkan, memandang dengan gaya lucu memikat, kemudian dia bertepuk tangan tertawa. "Ha-ha! Aku mengerti se-karang. Engkau belum dapat menerima cintaku karena engkau belum mengenal kepandaianku, bukan" Seorang dara pendekar tentu hanya mau bergaul dengan seorang pembda yang lihai pula ilmu silatnya. Nah, di sini merupakan tempat yang baik sekali untuk menguji kepandaian, nona Ceng. Silakan!" Pemuda itu memasang kuda-kuda dengan gaya dibuat-buat.
Sui Cin tersenyum mengejek. Bagaimanapun juga, terasa olehnya ketidakwajaran dalam sikap Thian Bu. Hui Song juga nakal dan jenaka, akan tetapi selalu menjaga kesopanan dan tidak pernah menyinggung perasaan. Sebaliknya, dalam kata-kata, pandang mata dan senyum Sim Thian Bu terkandung suatu sikap cabul dan kurang ajar yang membuat Sui Cin merasa ngeri dan juga marah.
"Aku tidak ingin mengujimu melainkan menghajarmu!" hardiknya dan Sui Cin sudah menerjang maju dengan tamparan-tamparan kedua tangannya.
"Heiittt... perlahan dulu...! Wah, jangan galak-galak, nona manis!" Thian Bu mengelak, bahkan berusaha menangkap pergelangan tangan Sui Cin.
Tentu saja Sui Cin tidak sudi ditangkap dan ia menarik kembali tangannya lalu menerjang dengan dahsyat mempergunakan pukulan dan tendangan.
"Aih, engkau bersungguh-sungguh, manis?" Thian Bu mengejek dan diapun mengelak, menangkis dan membalas tak kalah dahsyatnya.
Sim Thian Bu sudah tahu bahwa dia berhadapan dengan puteri Pendekar Sadis yang lihai sekali, maka dia tidak berani memandang ringan dan segera mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Sebaliknya, baru sekarang Sui Cin benar-benar berkenalan dengan ilmu kepandaian pemuda itu dan diam-diam ia terkejut karena ternyata Thian Bu amat lihai! Melihat ketangguhan lawan, Sui Cin lalu mainkan Ilmu Silat Hok-mo Sin-kun (Silat Sakti Penakluk Iblis) dari ibunya. Ilmu silat ini amat cepat dan ganas dan jarang ada orang mampu menandinginya. Akan tetapi ternyata Thian Bu dapat melawan dengan baik, bahkan keceriwisan pemuda itu membuat Sui Cin merasa malu, kikuk dan gugup.
"Ha-ha, manis. Bagaimanapun, engkau harus menyerahkan diri padaku!" Pemuda itu menyerang sambil main colek ke arah dada dan dagu Sui Cin secara kurang ajar sekali.
Kini barulah dara itu sadar dengan orang macam apa ia berhadapan. Seorang pemuda cabul yang agaknya biasa menggoda, mempermainkan dan menghina wanita. Ia sudah mendengar tentang seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) den kini ia menduga bahwa tentu pemuda yang disangkanya pendekar ini sebetulnya adalah seorang penjahat cabul!
"Bangsat jai-hwa-cat!" Sui Cin memaki.
"Heh-heh, baru sekarang engkau tahu" Ha-ha-ha!" Thian Bu tidak marah dimaki begitu, malah tertawa-tawa dan mempercepat gerakannya.
Kini Sui Cin benar-benar kaget. Kiranya pemuda tampan yang tadinya dianggap seorang pendekar yang berkunjung pada pertemuan para pendekar di Bukit Perahu itu, ternyata benar seorang jai-hwa-cat seperti pengakuannya tadi. Seorang penjahat cabul! Berarti kaki tangan kaum sesat yang menyusup dan kini muncul pula di tepi telaga. Tentu ada hubungannya dengan usaha pembunuhan Menteri Liang.
"Jahanam busuk, manusia palsu! Engkau tentu kaki tangan kaum sesat!" bentaknya dan dengan tenaga sakti Thian-te Sin-ciang ia menerjang. Kemarahan membuat tenaga dara ini menjadi berlipat ganda. Sim Thian Bu memang berwatak sombong dan selalu memandang rendah orang lain. Maka dia kurang waspada dan terjangan dahsyat Sui Cin itu ditangkis seenaknya saja.
"Dess...!" Akibatnya, tenaga Thian-te Sin-ciang yang dahsyat itu melanda ke arah Thian Bu dan membuatnya terlempar ke belakang dan terbanting keras!
Akan tetapi pada saat Sui Cin berhasil membuat lawan terjengkang, pada saat itu ada angin keras menyambar dari arah kiri. Sui Cin yang tadinya siap menyusulkan pukulan pada Thian Bu, cepat memutar tubuh hendak menangkis.
"Plakk!" Tongkat itu tertangkis, akan tetapi bukan mental malah meluncur ke samping dan menotok punggung Sui Cin.
"Tukk!" Dara itu merasa betapa tubuhnya menjadi lemas dan iapun roboh terkulai.
Sejak tadi, perahu kecil yang nampak dari jauh tadi sudah bergerak menuju ke pantai itu. Kakek sendirian yang duduk di perahu kecil itu bukan nelayan karena dia duduk sambil memainkan sebuah alat yang-kim (semacam siter). Ketika kakek itu melihat robohnya Sui Cin, dia menghentikan permainan musiknya.
Kakek penabuh yang-kim ini adalah Shan-tung Lo-kiam. Seperti telah kita ketahui, kakek sasterawan pendekar ini pernah muncul pula dalam pertemuan antara para datuk sesat. Dia ikut mendengar rencana kaum sesat untuk membunuh Menteri Liang yang sejak lama menjadi sahabat baiknya, maka dia selalu mengamati. Hari itu dia mendengar bahwa Menteri Liang akan pesiar di Telaga Emas. Oleh karena itulah maka dia menanti di situ untuk ikut melindunginya. Ketika pagi hari itu dia melihat seorang gadis yang tidak dikenalnya dirobohkan orang, tentu saja pendekar tua ini tidak tinggal diam dan segera mendayung perahunya ke pantai.
"Siancai...! Di tempat hening seperti ini masih saja ada kejahatan!" Shan-tung Lo-kiam meloncat naik ke darat sambil membawa alat musik yang-kim yang tadi ditabuhnya.
Melihat munculnya seorang kakek tua renta membawa yang-kim, orang yang
merobohkan Sui Cin dengan totokan itu memandang galak. Dia adalah seorang kakek yang perutnya gendut sekali. Dan kakek ini pernah dilihat oleh Sui Cin ketika ia mengintai di gedung Hwa-i Kai-pang bersama Hui Song. Kakek inilah yang bernama Bhe Hok, tokoh Hwa-i Kai-pang baru yang menjadi pembantu ketua perkumpulan pengemis ini. Dia cukup lihai dengan tongkatnya dan juga licik sehingga ketika Sui Cin lengah tadi karena berhasil membuat Sim Thian Bu terjengkang, dara itu berhasil ditotoknya.
"Hemm, tua bangka bosan hidup dari mana berani mencampuri urusan kami?" bentak kakek berperut gendut itu.
"Bhe-lopek, dia adalah Shan-tung Lo-kiam, musuh kita!" Tiba-tiba Sim Thian Bu berseru. Ternyata pemuda ini tidak terluka parah, tadi hanya terjengkang karena dahsyatnya tenaga dara itu.
Mendengar nama ini, kakek perut gendut terkejut dan cepat dia menyerang dengan tongkatnya, menghantam ke arah kepala lawan. Shan-tung Lo-kiam mengangkat alat musiknya menangkis.
"Trang... cringg...!" Terdengar suara nyaring ketika tongkat bertemu yang-kim. Dua orang kakek itu lalu berkelahi dengan seru. Sementara itu, sambil tersenyum licik, Sim Thian Bu menyambar tubuh Sui Cin yang lemas, memanggulnya dan membawanya lari dari situ.
Perkelahian antaya dua orang kakek itu terjadi cepat dan seru, akan tetapi si gendut segera mengerti bahwa kakek yang menjadi lawannya itu terlalu kuat baginya. Melihat Sim Thian Bu sudah melarikan gadis tadi, diapun meloncat dan melarikan diri memasuki hutan di tepi telaga. Kakek pemegang yang-kim itu tidak mengejar, melainkan mencari-cari dengan pandang matanya. Ketika dia tidak melihat ke mana dara tadi dilarikan, dia hanya menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang, kemudian diapun melompat kembali ke dalam perahunya dan mendayung perahunya ke tengah telaga. Dia memiliki tugas yang dianggapnya lebih penting daripada mencari dara yang dilarikan orang itu.
Orang-orang mulai berdatangan ke tepi telaga. Nelayan dan pelancong. Keadaan tenang dan biasa saja seolah-olah tidak pernah dan tidak akan terjadi sesuatu yang luar biasa di tempat itu.
Kemudian, saat yang ditunggu-tunggu dengan hati tegang oleh orang-orang yang bersembunyi, tibalah. Sebuah kereta yang dikawal enam orang perajurit datang ke tepi telaga. Dengan pengawalan ketat, seorang laki-laki berpakaian pembesar bergegas menuruni kereta dan masuk ke dalam sebuah perahu besar yang memang sudah siap di pantai itu. Itulah Menteri Kebudayaan Liang, pejabat tinggi yang gemar memancing ikan di telaga itu. Perahu itu berlayar ke tengah telaga. Peristiwa ini tidak menarik perhatian orang yang asyik dengan kesibukan masing-masing dan sebentar saja perahu besar yang kini berada di tengah telaga itu sudah dilupakan orang.
Sementara itu, kesibukan-kesibukan rahasia terjadi di sekitar tempat itu. Sebuah perahu hitam dengan bilik tertutup didayung cepat oleh dua orang, meluncur ke tengah telaga menuju perahu besar Menteri Liang. Setelah perahu hitam tiba dekat perahu besar, mendadak tiga orang berlompatan naik ke atas perahu besar dengan kecepatan luar biasa. Mereka itu adalah Kiu-bwe Coa-li, Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo! Serentak mereka menyerbu pembesar yang asyik duduk memegang tangkai pancing itu.
"Tar-tar-tar...! Pembesar Liang, bersiaplah engkau untuk mampus!" Kiu-bwe Coa-li yang memegang tugas membunuh pembesar itu menerjang sambil menggerakkan cambuknya yang berekor sembilan. Sinar hitam menyambar ke arah pembesar itu dari belakang. Kakek dan nenek Kui-kok itupun sudah berhantam melawan enam orang perajurit pengawal dan terkejutlah mereka ketika mendapatkan kenyataan bahwa pera pengewal itu ternyata rata-rata memiliki ilmu silat tinggi. Dan terjadilah perkelahian hebat antara suami isteri Kui-kok-pang itu melawan pengeroyokan enam orang pengawal istimewa.
Akan tetapi yang paling kaget adalah Kiu-bwe Coa-li. Ketika cambuknya menyambar, tiba-tiba Menteri Kebudayaan Liang itu menggerakkan tangkai pancingnya ke belakang.
"Wuuuttt...! Ayaaaa... aduuuhh...!" Kiu-bwe Coa-li berteriak kesakitan. Tali pancing yang panjang itu menangkis dan membelit cambuk, membuat sembilan ekor cambuk itu lumpuh dan ujung tali kail masih menyambar dan mengait pangkal lengan kiri nenek iblis itu, masuk ke dalam daging tua! Bukan main nyerinya, kiut-miut rasanya dan nenek itu cepat mencengkeram dan membikin putus tali pancing sehingga mata kail itu tertinggal di daging pangkal lengannya. Pembesar itu sudah bangkit berdiri dan membalik-kan tubuh. Kiranya dia seorang pemuda tampan yang tertawa gembira, dengan nada mengejek.
"Wah, tak kusangka pancingku men-dapat seekor ikan siluman ekor sembi-lan!"
Kiu-bwe Coa-li memandang dengan mata mendelik dan kemarahannya me-muncak ketika ia melihat bahwa orang yeng memakai pakaian pembesar ini ada-lah seorang pemuda, sama sekali bukan Menteri Kebudayaan Liang. Ia dan teman-temannya telah tertipu dan terjebak. Ada orang yang sengaja menyamar den meng-gantikan pembesar itu untuk menyambut serangan mereka.
"Kita tertipu!" teriaknya mengingatkan dua orang kawannya. "Dia bukan Menteri Liang!" Kemudian ia menggerak-kan senjatanya dan menyerang pemuda itu dengan ganas.
Pemuda itu adalah Hui Song. Seperti kita ketahui, pemuda ini membagi tugas dengan Sui Cin. Dia sendiri mengunjungi Menteri Liang dan melaporkan bahaya yang mengancam keselamatan menteri itu. Lalu diatur jebakan. Hui Song me-nyamar dan menggantikan sang menteri dalam kereta menuju ke perahu di telaga, dikawal oleh enam orang jagoan yang menyamar sebagai perajurit-perajurit bia-sa. Padahal mereka adalah perwira-per-wira pilihan!
Akan tetapi enam orang pengawal itu masih kewalahan menghadapi amukan ka-kek dan nenek Kui-kok-pang, sedangkan Hui Song sendiri mendapat kenyataan be-tapa lihainya nenek bercambuk ekor sem-bilan ini. Dia dapat menduga bahwa nenek ini tentulah seorang tokoh Cap-sha-kui yang berjuluk Kiu-bwe Coa-li. Diam-diam dia harus mengakui kelihaian nenek ini. Masih untung mereka berkelahi di atas perahu, bukan di darat. Kabarnya nenek ini pandai memanggil dan menge-rahkan ular-ular untuk mengeroyok lawan.
Kedua pihak yang berkelahi mengha-rapkan bantuan masing-masing. Para pe-nyerbu tentu saja merasa heran sekali mengapa dua orang kawan yang boleh mereka andalkan itu tidak juga muncul. Mereka telah bertemu dengan Sim Thian Bu yang sudah berjanji membantu, bahkan pemuda cabul itu hendak melakukan pengamatan bersama seorang tokoh Hwa-i Kai-pang yang bernama Bhe Hok itu. Tentu saja para ibli Cap-sha-kui tidak tahu bahwa Bhe Hok tidak kuat menandingi Shan-tung Lo-kiam sehingga melarikan diri sedangkan Sim Thian Bu setelah memperoleh mangsa, lupa akan janjinya.
Di lain pihak, Hui Song juga terheran-heran mengapa pemuda jembel yang menjadi sahabatnya itu, Sui Cin, tak kunjung muncul untuk membantunya. Tiba-tiba terdengar suara yang-kim dan muncullah seorang kakek lihai yang bukan lain adalah Shan-tung Lo-kiam. Begitu naik ke atas perahu di mana sedang terjadi perkelahian itu, kakek ini segera membentu enam orang pengawal yang terdesak.
Melihat betapa para penjahat itu terjebak oleh seorang pemuda perkasa yang menyamar sebagai Menteri Liang yang dibantu oleh enam orang pengawal pilihan, kakek ini tertawa. "Ha-ha-ha! Para tokoh Cap-sha-kui terjebak seperti tiga ekor tikus dalam perangkap, ha-ha-ha." Dan diapun menggerakkan senjatanya yang sesungguhnya, yaitu sebatang pedang sedangkan yang-kim di tangan kiri-nya hanya dipergunakan sebagai perisai. Dan ternyata, sesuai dengan julukannya, yaitu Lo-kiam (Pedang Tua), begitu me-mainkan pedangnya, kakek ini memperlihatkan kelihaiannya.
Tiga orang tokoh Cap-sha-kui merasa terkejut bukan main melihat munculnya Shan-tung Lo-kiam yang sudah mereka ketahui kelihaiannya. Munculnya kakek ini tentu saja menambah kekuatan lawan dan membahayakan diri mereka. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara berdesir nyaring dan segera terasa getaran perahu disusul teriakan para anak buah perahu besar, "Perahu terbakar...!"
Hui Song, enam orang pengawal dan Shan-tung Lo-kiam terkejut melihat be-tapa ujung perahu terbakar. Mereka meloncat ke tepi dan melihat sebuah perahu kecil tak jauh dari situ. Ada dua orang yang berada di dalam perahu itu, seorang kakek kurus memegang tongkat dan seorang pemuda remaja yang berdiri tegak di atas perahu. Pemuda ini memegang sebuah busur dan dialah yang tadi melepaskan anak panah berapi yang membakar perahu besar.
Melihat peristiwa ini, tiga orang datuk Cap-sha-kui bergerak cepat. Merekapun meloncat meninggalkan lawan dan melihat perahu kecil itu mereka lalu berlompatan turun dari perahu besar menuju ke perahu kecil itu. Kui-kok Lo-mo dan Lo-bo dapat hinggap di atas perahu kecil itu. Perahu terguncang dan lompatan Kiu-bwe Coa-li tidak tepat. Nenek ini tentu terjatuh ke air kalau saja pemuda itu tidak cepat mengulur tangan kiri menyambar ujung baju si nenek dan sekali tarik dengan sentakan, tubuh nenek itu tertahan dan dapat turun ke atas perahu dengan selamat! Gerakan pemuda yang memegang busur ini sungguh cekatan dan amat kuatnya sehingga diam-diam Hui Song harus mengakui bahwa pemuda itu merupakan lawan yang amat tangguh.
Ketika para pengawal dan Hui Song hendak mengejar, tiba-tiba pemuda di atas perahu kecil itu kembali meluncurkan dua buah anak panah berapi yang tepat mengenai layar dan bilik perahu besar sehingga terjadi kebakaran besar. Sementara itu tiga orang tokoh Cap-sha-kui sudah bergerak mendayung perahu tanpa diperintah lagi sehingga perahu kecil itu meluncur pergi dengan cepatnya.
Terpaksa Hui Song, para pengawal dan Shan-tung Lo-kiam sibuk membantu para anak buah perahu memadamkan api dan membiarkan perahu kecil yang membawa lima orang sesat itu melarikan diri. Dengan kecepatan luar biasa, perahu kecil yang didayung oleh orang-orang kuat itu sebentar saja lenyap. Hui Song kecewa sekali. Dia tadinya mengharapkan untuk dapat menangkap seorang di antara mereka agar rahasia kejahatan Liu-thaikam dapat terbongkar. Tanpa adanya bukti, sukar untuk menjatuhkan pembesar korup yang amat dipercaya oleh kaisar itu. Kalau ada bukti dan saksi, barulah kejahaten pembesar itu dapat terbongkar dan diketahui oleh kaisar.
Para pengawal dan anak buah perahu besar ternyata sudah mengenal baik ka-kek pembawa yang-kim itu dan mereka semua bersikap hormat. Memang kakek ini tidak asing bagi para pembantu dan keluarga Menteri Liang yang menjadi sahabat baiknya. Hui Song segera maju memberi hormat kepada Shan-tung Lo-kiam.
"Terima kasih atas bantuan locianpwe."
Kakek itu tersenyum dan memandang kagum kepada pemuda itu. "Orang muda, aku Shan-tung Lo-kiam, sejak dahulu adalah sahabat baik Menteri Liang maka ti-dak aneh kalau aku membela beliau. A-kan tetapi engkau seorang muda sudah berani menghadapi para datuk sesat dari Cap-sha-kui, sungguh amat mengagumkan. Siapakah engkau, orang muda?"
Mendengar bahwa kakek ini adalah Shan-tung Lo-kiam yang terkenal sebagai seorang pendekar angkatan tua, Hui Song menjadi kagum. Dia menjura dan mem-perkenalkan diri, "Saya bernama Cia Hui Song, locianpwe."
"She (marga) Cia" Adakah hubungan-nya dengan keluarga Cia dari Cin-ling-pai?"
Hui Song agak meragu. Akan tetapi ketika dia menghadap Menteri Liang, terpaksa dia memperkenalkan diri sehing-ga enam orang pengawal itu telah me-ngetahui keadaan dirinya. Kini seorang da-ri mereka menyela, "Locianpwe, Cia-tai-hiap ini adalah putera ketua Cin-ling-pai."
"Ah, pantas begini gagah perkasa!" kakek itu memuji kagum, kemudian dia menarik napas panjang. "Sayang para penjahat itu dapat melarikan diri..."
"Siapakah pemuda yang melepas anak panah dan kakek bertongkat dalam perahu kecil tadi, locianpwe" Saya melihat pe-muda itu lihai sekali," tanya Hui Song.
"Aku sendiri belum pernah bertemu dengan kakek itu, akan tetapi aku yakin bahwa tentu dia yang kini memimpin pa-ra tokoh sesat dan dialah agaknya yang bernama Siangkoan Lo-jin dan berjuluk Si Iblis Buta."
"Ahhh...!" Enam orang perwira pengawal itu terkejut mendengar nama ini. Akan tetapi Hui Song tidak mengenalnya.
"Dan pemuda itu?" tanyanya.
"Entahlah," jawab Shan-tung Lo-kiam, "Akan tetapi aku pernah mendengar bahwa dia mempunyai seorang putera yang kabarnya telah mewarisi semua kepandaiannya. Mungkin juga pemuda tadi puteranya. Sayang, kalau kita tadi dapat menawan seorang saja di antara mereka, tentu akan memperoleh banyak keterangan."
Hui Song teringat akan sahabatnya yang tidak pernah muncul. "Locianpwe, saya mempunyai seorang kawan, seorang pemuda jembel yang berada di sini terlebih dulu untuk mengamati. Dia cukup lihai, dan kalau dia tadi membantu, mungkin kita berhasil. Akan tetapi saya merasa heran sekali mengapa dia tidak muncul. Apakah barangkali locianpwe tadi ada melihatnya?"
Kakek itu mengingat-ingat lalu menggeleng kepala. "Seorang pemuda jembel" Tidak ada aku melihatnya. Pagi tadi di sini aku hanya melihat seorang gadis cantik berkelahi melawan seorang pemuda dan seorang tokoh Hwa-i Kai-pang gendut. Aku turun tangan membantunya, akan tetapi iblis Hwa-i Kai-pang itu melarikan diri dan nona itu ditawan dan dilarikan si pemuda. Sayang aku tidak dapat mengejar, karena aku harus menanti datangnya Menteri Liang."
"Siapakah pemuda itu dan siapa pula gadis yang dilarikannya itu, locianpwe?" tanya Hui Song dengan alis berkerut dan hati terasa tidak enak.
"Aku tidak mengenal mereka akan tetapi harus diakui bahwa mereka berdua bukan orang muda sembarangan. Gadis itu lihai dan roboh karena dibokong dan dikeroyok. Pemuda itupun lihai sekali dan melihat gerak-geriknya, sepatutnya dia seorang pendekar. Akan tetapi pandang matanya cabul. Aku sedang menanti Menteri Liang untuk melindunginya, maka menyesal sekali aku tidak sempat melakukan pengejaran terhadap pemuda yang melarikan gadis itu."
Hui Song merasa semakin tidak enak hatinya. Dia teringat akan enci dari Sui Cin. Dia sendiri tidak tahu mengapa dia menghubungkan peristiwa itu dengan encinya Sui Cin. Akan tetapi ketidakmunculan pemuda jembel itu membuat hatinya merasa gelisah.
"Biar saya yang akan mencarinya, locianpwe," katanya sambil menanggalkan jubah menteri yang menutupi pakaiannya sendiri, kemudian diapun meloncat ke atas sebuah perahu nelayan yang berdekatan dan minta kepada nelayan itu untuk mengantarnya ke pantai. Kini banyak perahu mendekati perahu pembesar itu dan Shan-tung Lo-kiam bersama enam orang perwira pengawal tadi tidak berani menahan Hui Song karena mereka maklum bahwa sudah menjadi kewajiban seorang pendekar seperti puteri ketua Cin-ling-pai itu untuk menolong gadis yang diculik penjahat.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Bagaimana dengan nasib Sui Cin" Apakah yang menimpa diri gadis pendekar itu" Ia tidak pingsan ketika roboh tertotok oleh tongkat Bhe Hok tokoh baru Hwa-i Kai-pang, hanya lemas dan ia sama sekali tidak dapat meronta ketika dirinya dipanggul dan dilarikan Sim Thian Bu. Baru sekarang terbukti bahwa pemuda ini sama sekali bukan seorang pendekar gagah perkasa seperti yang disangkanya dalam pertemuan pertama mereka di Bukit Perahu. Sim Thian Bu ini seorang penjahat, seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang cabul den keji. Sui Cin sejak kecil digembleng ayah bundanya menjadi seorang gadis yang selain berilmu tinggi, gagah perkasa juga tidak pernah mengenal rasa takut. Akan tetapi sekali ini ia merasa ngeri juga terjatuh ke dalam tangan seorang jai-hwa-cat dalam keadaan tak berdaya sama sekali. Ia pernah mendengar dari ibunya tentang jai-hwa-cat yang suka memperkosa wanita. Akan tetapi iapun teringat akan pesan den nasihat ibunya bagaimana harus menghadapi bahaya seperti itu. Pertama ia harus tenang dan tidak panik. Dalam keadaan tidak berdaya melakukan perlawanan dengan kekerasan ia harus pura-pura menyerah. Menurut ibunya, jai-hwa-cat akan menjadi lunak hatinya apabila korbannya menyerah dan dalam cengeraman nafsu, penjahat itu akan menjadi lengah. Saat itulah paling tepat untuk tiba-tiba menyerangya. Ia pernah bertanya kepada ibunya bagaimana kalau ia diperkosa dalam keadaan tertotok atau terbelenggu.
Ibunya menjawab bahwa kalau tiada jalan lain menghindarkan malapetaka itu, satu-satunya jalan hanya mematikan rasa dan menutup pikiran. Kelak masih banyak kesempatan untuk membalas perbuatan terkutuk itu berikut bunganya yang berlipat ganda. Bagaimanapun juga, membayangkan betapa ia harus membiarkan dirinya diperkosa orang tanpa dapat melawan, hampir membuat Sui Cin menungis.
Ia diam-diam menghimpun hawa murni. Kalau saja totokan itu dapat ia punahkan, tentu sekali pukul kepala pemuda yang memondongnya ini akan pecah dan ia akan dapat membunuhnya dengan mudah. Sekali ini, ia akan melanggar pesan ayahnya. Ia takkan segan-segan membunuh jai-hwa-cat ini!
Akan tetapi tiba-tiba pemuda itu berhenti berlari, menurunkannya ke atas tanah, kemudian menotok jalan darah di punggungnya, membuat ia terkulai kem-bali dengan lemas dan pemuda itu sam-bil tersenyum-senyum bahkan membeleng-gu kaki tangannya dengan tali sutera ha-lus yang amat ulet dan tidak akan mung-kin terputuskan. Agaknya jai-hwa-cat ini sudah berpengelaman dan sudah memper-siapkan segalanya.
"Ha-ha-ha! Menghadapi seorang gadis lihai sepertimu harus berhati-hati!" kata pemuda itu sambil mencolek dagu Sui Cin yang hanya dapat memandang dengan mata mendelik. Tapi mata itu tak basah dengan air mata. Pemuda itu kini me-mondongnya dan membawa dirinya lari dengan amat cepatnya.
Sambil melarikan gadis itu, di dalam otak pemuda itupun terjadi kesibukan. Sim Thian Bu bukan seorang pemuda ce-roboh dan bodoh yang hanya menurutkan dorongan nafsunya saja. Tidak, dia tidak bodoh karena dia adalah murid utama dari Siang-koan Lo-jin alias Si Iblis Bu-ta! Karena kecerdikannya itulah dia me-rupakan satu-satunya murid datuk itu yang dapat mewarisi hampir semua ilmu kepandaian Si Iblis Buta. Dan karena ke-cerdikannya dia diberi tugas untuk me-nyusup sebagai seorang pendekar ke Bu-kit Perahu. Dia begitu cerdik sehingga selama ini, biarpun dia mempunyai kesu-kaan memperkosa wanita dan membunuhnya, dia tidak dicurigai dan tidak dike-nal kejahatannya. Bahkan dalam pertemu-annya yang pertama dengan Sui Cin dan Cia Sun, Sim Thian Bu begitu cerdiknya mengelabuhi mata mereka. Yang mem-bunuh tiga orang muda dan seorang ga-dis yang lebih dulu diperkosanya adalah dia sendiri. Akan tetapi dengan cerdik dia mampu memaksa seorang laki-laki kasar, seorang penjahat rendahan biasa, untuk mengakui perbuatan itu lalu mem-bunuh diri. Dengan demikian, di dalam pandangan Sui Cin dan Cia Sun dalam pertemuan iiu, dia bukan saja bebas dari tuduhan, bahkan dia menjadi seorang pendekar!
Ketika bertemu Sui Cin yang cantik jelita, jenaka den segar, tentu saja jai-hwa-cat ini merasa tertarik sekali dan bangkitlah nafsunya. Andaikata Sui Cin adalah seorang gadis biasa, tentu pada seat itu juga dia kerjakan! Akan tetapi Sui Cin adelah seorang gadis yang amat lihai, apalagi puteri Pendekar Sadis! Maka Sim Thian Bu mempergunakan siasat lain. Mula-mula dia hendak menjatuhkan hati dara itu dengan rayuannya untuk memikat hatinya, mengandalkan ketampanan wajahnya dan kematangan pengalamannya menghadapi wanita. Akan tetapi Sui Cin adalah seorang dara pendekar yang tidak mudah terpikat rayuan. Usahanya gagal sama sekali ketika dara itu meninggalkannya begitu saja pada suatu malam. Hatinya kecewa, penasaran dan juga marah.
Kedatangannya di Telaga Emas sehu-bungan dengan tugas rahasia yang diteri-ma dari suhunya untuk melakukan pengintaian di telaga itu, bersama seorang tokoh Hwa-i Kai-pang. Maka, bukan main girang hatinya ketika dia melihat Sui Cin di situ. Pertemuan yang sama sekali ti-dak disengaja, bahkan tidak disangka-sangkanya. Dan diapun tidak mau membuang kesempatan baik itu untuk menjumpainya, sampai terjadi perkelahian den akhirnya, dengan bantuan Bhe Hok tokoh gendut Hwa-i Kai-pang, dia berhasil merobohkan dan melarikan Sui Cin.
Tentu saja dia sudah lupa sama sekali akan tugasnya membantu suhunya setelah dia berhasil melarikan dara yang membuatnya tergila-gila itu. Dan kini dia memutar otak mencari akal. Dia tahu ke mana harus membawa gadis itu. Ke dalam sebuah guha rahasia yang menjadi satu di antara tempat-tempat persembunyian suhunya. Tempat itu kosong dan di situ dia takkan terganggu oleh siapapun. Tempat sepi terpencil yang aman bagi-nya.
Dia tidak mungkin memperlakukan gadis ini seperti para korban lainnya, yaitu memperkosa dan mempermainkannya sampai puas lalu membunuhnya un-tuk merahasiakan perbuatannya. Tidak! Gadis ini terlalu penting untuk sekedar dinikmati lalu dibunuh. Dia harus dapat memanfaatkan gadis ini, memperoleh keuntungan sebanyaknya. Gadis ini adalah puteri Pendekar Sadis! Baru mengingat nama ini saja dia sudah merasa ngeri. Kalau dia memperkosa lalu membunuh Sui Cin seperti yang dilakukannya terha-dap wanita-wanita lain, kemudian hal itu terdengar oleh Pendekar Sadis, dia tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya. Terlalu mengerikan! Akan tetapi, kalau dia bisa menjadi sua-mi Sui Cin, mantu Pendekar Sadis" Am-boi...! Betapa hebatnya! Dia akan men-jadi terkenal, ditakuti, dan lebih lagi, dia mendengar bahwa keluarga Pendekar Sadis amat kaya raya, hidup di Pulau Teratai Merah.
Ketika Sim Thian Bu tiba di lembah sunyi itu, di mana guha tempat persem-bunyian
gurunya berada, hari sudah men-jelang senja. Dia berhenti di tepi jurang, merebahkan tubuh Sui Cin di atas tanah berumput, lalu membebaskan totokannya. Sui Cin dapat bergerak kembali akan te-tapi karena kedua kaki tangannya terbelenggu kuat, tetap saja ia tidak berdaya. Ia hanya memandang marah, lalu mema-ki, "Jahanam busuk!"
Thian Bu tersenyum. "Nona Ceng, ke-napa engkau tidak mau melihat kenyataan" Aku cinta padamu, nona. Sungguh, sejak pertemuan kita yang pertama, aku sudah jatuh hati dan tergila-gila kepada-mu. Aku sungguh-sungguh, bukan main-main dan hidupku baru akan berbahagia kalau engkau dapat menjadi isteriku yang sah."
"Lebih baik aku mati!" Sui Cin membentak marah.
"Nona, pikirlah baik-baik. Sekali aku melemparmu ke jurang ini, engkau akan tewas dengan tubuh hancur dan tidak se-orangpun akan dapat menemukanmu. Atau engkau lebih suka diperkosa dan dihina lalu dibunuh" Ingatlah, engkau masih muda. Tidakkah lebih baik engkau men-jadi isteriku yang terhormat" Kurang apakah diriku" Masih muda dan cukup tam-pm, memiliki ilmu silat yang cukup, dan amat mencintamu."
Pura-pura menyerah mencari kelengahannya, pikir Sui Cin. Biarpun dadanya seperti mau meledak saking marahnya, ia menekan kemarahannya dan berkata halus, "Tentu saja aku tidak ingin begitu, akan tetapi beginikah sikapmu yang katanya mencinta" Lepaskan dulu belenggu-belenggu ini, baru kita bicara dan kupertimbangkan usulmu."
Akan tetapi Thian Bu tersenyum dan menggeleng kepala. "Hemm, lihat, bukan-kah di samping semua kelebihanku, ma-sih ditambah kenyataan bahwa aku cerdik sekali dan tidak tertipu muslihatmu" Kecerdikanku membikin aku semakin ber-harga untuk menjadi suamimu. Nona, engkau bersumpahlah dulu bahwa engkau takkan melawan dan menentangku, bahwa engkau akan suka menjadi isteriku, kemudian kita akan bersatu badan sebagai suami isteri, barulah aku akan melepaskan belenggu. Maaf, semua itu hanya un-tuk menjamin den meyakinkan hatiku."
Sui Cin membuang muka, menahan mulutnya yang ingin memaki-maki. Meli-hat sikap gadis itu, Thian Bu melakukan siasatnya yang pertama, yaitu membujuknya dnegan jalan menakut-nakutinya. "Nona, benarkah engkau begitu tega, memilih mati dan menghancurkan hatiku daripada hidup berbahagia bersamaku?"
"Jahanam keparat, tidak perlu banyak cerewet lagi. Mati jauh lebih mulia daripada hidup bersama seorang manusia berwatak iblis macammu ini. Bunuhlah, siapa takut mati?"
"Hemm, perempuan sombong. Hendak kulihat sampai di mana keberanianmu!" Dia lalu memondong tubuh Sui Cin dan dibawanya ke tepi jurang. "Lihat, lihat dasar jurang tak terukur dalamnya yang akan menerima tubuhmu ini!" Dan tiba-tiba dia melepaskan tubuh Sui Cin dengan kepala lebih dulu ke dalam jurang! Tubuh itu melayang ke bawah dan Sui Cin memejamkan mata, menutup mulutnya rapat-rapat agar jangan menjerit. Tiba-tiba tubuhnya berhenti meluncur dan ternyata pemuda itu telah menangkap kedua kakinya sehingga tubuhnya tergantung dengan kepala di bawah. Keadaan ini mengingatkan ia akan latihan samadhi sambil berjungkir balik ketika ia mempelajari ilmu menghimpun tenaga istime-wa dari ayahnya. Maka, begitu tubuhnya tergantung membalik seperti itu, dari pusarnya terhimpun hawa panas dan se-bentar saja aliran darahnya sudah men-jadi lancar dan normal kembali, bekas totokan pemuda jahat itu lenyap sama sekali. Ia percaya bahwa kalau saat itu ia mengerahkan tenaga dan melakukan ilmu Hok-te Sin-kun, tenaganya akan mampu mematahkan belenggu sutera dan sekalian menendang lawan. Akan tetapi, biarpun berhasil, tidak urung tubuhnya akan terjatuh ke dalam jurang dan ini berarti bunuh diri! Tidak, ia tidak sebodoh dan senekat itu.
"Bagaimana, nona" Apakah engkau memilih aku melepaskan kakimu dan tu-buhmu meluncur ke bawah, kepalamu menimpa batu di dasar jurang itu sampai remuk-remuk?" Suara Sim Thian Bu pe-nuh ejekan dan ancaman.
Sui Cin juga searang yang cerdik. Ia tahu bahwa semua ini dilakukan jai-hwa-cat itu hanya untuk menggertaknya. Sa-tu-satunya cara untuk menghentikan siksaan ini hanya memperlihatkan bahwa ia tidak takut.
"Pengecut busuk! Kaukira aku takut" Lepaskan dan aku akan terbebas dari binatang busuk macam kamu ini!"
Thian Bu merasa mendongkol sekali. Kalau dia tidak merasa sayang akan ke-cantikan gadis ini dan mempunyai renca-na yang amat menguntungkan dirinya ter-hadap Sui Cin, tentu sudah dilemparkan-nya tubuh itu ke dalam jurang. Belum pernah selama hidupnya ada wanita be-rani menolaknya, bahkan sebagian besar wanita atau gadis yang diculiknya, dapat ditundukkan dengan rayuan dan ketampanannya. Akan tetapi, gadis puteri Pende-kar Sadis ini tidak mempan dengan dira-yu, dan tidak takut diancam, membuat dia kehilangan akal. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu meloncat dan membawa Sui Cin ke dalam sebuah guha besar yang tertutup semak-semak belukar. Diam-diam Sui Cin memperhatikan tempat ini. Sebuah guha tersembunyi. Tidak mungkin akan ditemukan orang luar karena mulut guha yang tidak berapa besar itu tersembunyi di balik semak-semak belukar yang penuh duri dan pantasnya hanya menjadi sarang ular-ular dan binatang-binatang buas.
Setelah menguak semak-semak belukar den nampak mulut guha, pemuda itu membawa Sui Cin memasuki guha dan menutupkan kembali semak-semak di de-pan guha. Setelah masuk ke dalam guha, ternyata guha itu berlorong lebar yang membawanya ke dalam ruangan yang cu-kup luas. Akan tetapi keadaan di situ kotor dan tidak terawat, tanda bahwa tempat itu sudah lama tidak didatangi o-rang. Ruangan dalam guha itu seperti ruangan rumah saja, di mana terdapat meja-meja tua, bangku-bangku dan juga sebuah dipan kayu yang masih kokoh kuat. Sim Thian Bu menurunkan tubuh Sui Cin dan mengikat kaki dan tangan dara itu, menelentangkannya di atas di-pan.
"Ha-ha-ha, nona manis. Dengar baik-baik, aku mengajakmu hidup bersama se-bagai suami isteri, akan tetapi engkau selalu monolak. Dan engkau bahkan memilih mati daripada hidup sebagai isteriku yang terhormat dan tercinta. Kebandelanmu ini membuat aku bingung dan sebaiknya kalau engkau kupaksa menjadi isteriku, baru kita bicara lagi, ha-ha-ha!"
Sim Thian Bu tersenyum-senyum dan memandang penuh nafsu kepada tubuh gadis yang sudah ditelentangkan di atas dipan dalam keadaan kaki tangan terikat itu. Dia menanggalkan bajunya dan nampaklah dadanya yang bidang. Pemuda ini memang selain memiliki wajah tampan pesolek, juga memiliki bentuk tubuh yang baik. Sayangnya bahwa tubuh yang demikian baik dihuni oleh batin yang bobrok dan kejam.
Melihat betapa pemuda itu mulai membuka baju, Sui Cin menjadi pucat dan ia merasa betapa tengkuknya dingin sekali saking ngeri dan takutnya. Ia dapat menduga apa yang akan dilakukan pemuda bejat ahlak ini kepada dirinya dan mulailah ia meronta-ronta, mengerahkan tenaga untuk melepaskan diri dari ikatan kaki tangannya. Gerakannya ini membuat dipan itu bergoyang-goyang dan keempat kakinya berdetak-detak. Akan tetapi, pada saat itu sambil terkekeh Sim Thian Bu yang menanggalkan bajunya itu menubruk dan memeluknya.
"Aih, jmtung hatiku, engkau hendak lari ke mana sekarang?" Melihat pemuda itu sudah menindihnya dan wajah pemuda itu demikian dekat dengan wajahnya, Sui Cin terbelalak dan menjerit.
"Jangan...! Kau bunuh saja aku...!"
"Ha-ha, bunuh engkau" Aih, sayang dong...! Engkau cantik manis..." Sim Thian Bu hendak mencium akan tetapi Sui Cin mengelak dan miringkan mulutnya, kemudian ia teringat akan akal yang pernah didengarnya dari ibunya. Suaranya terdengar gemetar ketika ia berkata lirih.
"Akan tetapi jangan begini... ah, kalau tiada jalan lain... aku bersedia... tapi jangan begini... lepaskan dulu belenggu ini agar kita dapat melakukannya secara wajar..."
Sim Thian Bu menjadi girang sekali. "Engkau... engkau mau...?" Dia bertanya sambil menatap wajah dara itu. Sui Cin mengeraskan hatinya dan mengangguk.
"Tapi, lepaskan belenggu-belenggu ini... sungguh tidak enak dalam keadaan terbelenggu begini..." Ia sudah siap. Begitu belenggu dibuka, ia akan mengirim serangan kilat yang mematikan kepada pemuda jahanam itu.
"Baik..." kata Sim Thian Bu dengan girang dan pemuda itu turun dari atas tubuh Sui Cin yang ditindihnya. Tangannya meraih ke arah belenggu kaki, dan Sui Cin sudah menanti dengan jantung berdebar tegang. Akan tetapi, jari-jari tangan pemuda itu tidak melepaskan belenggu, melainkan meraba kaki dan kini wajah pemuda itu menoleh, memandangnya dangan tersenyum mengejek. Jari tangan itu kini malah membuka sepatu dari kaki Sui Cin, dan melihat gelagatnya, pemuda itu bukan hendak membuka tali belenggu, melainken hendak melucuti pakaian gadis itu.
"Heh-heh, engkau puteri Pendekar Sadis, sungguh cardik dan licik. Kaukira aku tidak dapat merasakan betapa tubuhmu menegang penuh kekuatan dan betapa engkau akan menyerbu begitu aku membuka kaki tanganmu" Heh-heh, memang hendak kulepaskan, akan tetapi bukan belenggu kaki tanganmu, melainkan saluruh pakaianmu, ha-ha-ha!"
Tangan pemuda itu kini sudah mencengkeram kain celana Bui Cin. "Jangan... ah, jangan...!" Kini gadis itu memohon dengan suara lemah karena hilanglah harapannya dan dia hampir pingsan menghadapi bayangan yang amat mengerikan dari malapetaka yang akan menimpa dirinya.
"Sim Thian Bu! Mundur kau! Apa yang hendak kaulakukan ini?" Tiba-tiba terdengar suara bentakan keras den tahu-tahu di ambang pintu telah muncul seorang pemuda bertubuh tinggi tegap yang melihat wajahnya masih muda sekali, paling banyak berusia delapan belas tahun, akan tetapi wajah itu nampak dingin dan sepasang mata mencorong, sedangkan tubuhnya tinggi tegap melebihi orang dewasa umumnya.
Sim Thian Bu yang tadinya sudah siap untuk merobek dan merenggut pakaian Sui Cin, terkejut den menoleh lalu mundur dua langkah, matanya terbelalak nampak ketakutan akan tetapi mulutnya tersenyum membujuk.
"Ah, kiranya suheng yang datang. Suheng, maafkan aku dan biarkan aku menyelesaikan urusan pribadiku ini dulu, nanti akan kulayani suheng bicara kalau memang suheng datang membewa keperluan yang harus kubantu."
"Sim Thian Bu, aku bertanya tadi. Apa yang akan kaulakukan ini?"
Sim Thian Bu memandang pemuda remaja itu dengan sinar mata mengandung kemarahan, akan tetapi agaknya dia merasa jerih terhadap pemuda remaja itu, dan diapun tersenyum lebar. "Aih, engkau masih terlalu muda untuk mengetahui urusan ini, suheng. Dia ini seorang kekasihku dan kami hendak main-main sebentar. Apakah suheng ingin melihat kami bermain cinta?"
Sui Cin sudah ingin memaki untuk menyangkal ucapan jai-hwa-cat itu, akan tetapi ia diam saja dan memandang heran. Sungguh mengherankan memang keadaan pemuda remaja yang baru tiba. Usianya paling banyak delapan belas tahun, akan tetapi mengapa jai-hwa-cat yang usianya dua puluh lima tahun ini menyebutnya suheng dan bersikap jerih terhadap pemuda remaja itu" Ah, kalau pemuda remaja itu benar suheng dari Sim Thian Bu, tentu ia akan lebih celaka lagi dan tidak mempunyai harapan sama sekeli untuk dapat lolos. Menghadapi Sim Thian Bu yang lihai dan cerdik itu saja ia sudah tidak berdaya dan kini berada di ambang malapetaka yang mengerikan, apalagi kalau kini datang suheng si jahanam itu yang tentu saja lebih jahat dan lebih lihai, walaupun usianya jelas lebih muda. Ia memandang dan mendengarkan penuh perhatian, ingin melihat perkembangan kemunculan pemuda remaja itu dengan waspada. Siapa tahu kemunculan ini bahkan menolongnya.
"Kekasihmu" Dibelenggu?" Pemuda itu berkata dan kulit di antara kedua alisnya yang tebal berkerut, pandang matanya yang tajam mencorong itu ditujukan ke arah tubub Sui Cin, penuh selidik. Kemudian dia berkata lagi, suaranya bernada memerintah, "Lepaskan belenggu kaki tagannya!"
Sim Thian Bu nampak terkejut dan marah. "Akan tetapi, suheng, ia itu punyaku, dan aku berhak melakukan apa saja terhadap dirinya. Aku belum mau membebaskannya, hendak main-main dulu dengan gadis ini..."
"Lepaskan kataku!" Suara itu mengandung wibawa yang amat besar dan terasa pula oleh Sui Cin betapa kuatnya khi-kang terkandung dalam suara itu.
Sim Thian Bu juga meraeakan ini, akan tetapi agaknya dia masih penasaran. "Suheng, engkau keterlaluan mendesakku..."
Sim Thian Bu terpaksa menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba saja pemuda itu sudah menerjangnya. Luar biasa cepatnya gerakan pemuda remaja itu. Seperti terbang saja tubuhnya tahu-tahu menyambar dan meluncur ke arah Sim Thian Bu dan tangannya menampar. Melihat ini Sim Thian Bu terkejut dan cepat mengelak sambil menggerakkan tangan untuk menangkis.
"Plakk!" Entah bagaimana. Walaupun jai-hwa-cat yang tangguh itu sudah mengelak dan menangkis, tetap saja pundaknya terkena tamparan dan tubuhnya terpelanting seperti disambar pukulan yang amat kuat.
"Suheng...!" teriaknya dan diapun meloncat bangun, lalu hendak balas menyerang pemuda remaja itu.
"Plak! Plak!" Kembali tubuh Sim Thian Bu terjengkang, kini lebih keras lagi. Sui Cin memandang heran den kagum. Dara ini dapat melihat betapa pemuda remaja itu menguasai gerakan jai-hwa-cat, sehingga biarpun Thian Bu yang menyerang, akan tetapi sebaliknya dia yang roboh karena serangannya telah dihadang di tengah jalan dan sebaliknya, balasan pemuda remaja itu tidak mampu dihindarkannya.
Kini pemuda remaja itu agaknya sudah marah. Sejak tadi dia tidak mengeluarkan kata-kata lagi, akan tetapi sinar mata yang mencorong itu kini berapi. Dengan gerakan ringan sekali kedua kakinya melakukan gerakan srat-sret-srat-sret, tubuhnya tahu-tahu sudah berada dekat Thian Bu dan kini kaki tangannya bergerak secara aneh. Hebatnya, setiap sambaran tangan atau kakinya tentu mengenai sasaran! Terdengarlah suara plak-plok dan bak-buk ketika tubuh Thian Bu menjadi sasaran pukulan dan tendangan pemuda remaja itu sehingga tubuh Thian Bu terguling-guling dan tidak sempat bangun karena setiap kali merangkak hendak bangun sudah disambut oleh tamparan atau pukulan lain! Akhirnya terdengar Thian Bu mengeluh.
"Suheng... ampunkan aku..."
Pemuda remaja itu berhenti bergerak, menatap wajah jai-hwa-cat yang sudah bengkak-bengkak dan matang biru itu.
"Kau tahu, aku benci laki-laki yang memperkosa wanita. Lain kali kubunuh kau!" Hanya itu kata-katanya dan tiba-tiba tubuhnya melayang ke dekat dipan dan dua kali dia menggerakkan tangannya dan Sui Cin merasa betapa belenggu kaki tangannya putus semua dan ia dapat bergerak lagi! Tentu saja begitu dapat bergerak, meledaklah semua kemarahan dan ketakutan yang tadi menghimpit di dada dara itu.
"Haiiiiittt...!" Ia mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya sudah meluncur ke depan. Dengan pengerahan sin-kang sekuatnya ia sudah menggerakkan tangannya, menghantam ke arah kepala Sim Thian Bu dalam serangan maut!
"Dukk!" Sim Thian Bu sendiri tidak mampu menghindarkan diri karena tubuhnya masih nyeri semua dan kepalanya pening, akan tetapi tiba-tiba pemuda remaja itu bergerak dan pemuda inilah yang menangkis pukulan Sui Cin tadi.
Tangkisan itu kuat bukan main, terasa oleh Sui Cin dan lengannya tergetar hebat. Ia terdorong mundur tiga langkah dan matanya menatap tajam kepada wajah pemuda remaja yang menangkis pukulannya tadi. Ia menjadi serba salah. Mau marah teringat bahwa pemuda inilah yang telah menyelamatkannya dari malapetaka yang nyaris menimpanya. Tidak marah, ia kecewa dan penasaran karena niatnya membunuh atau setidaknya menghukum Thian Bu dihalangi. Sejenak mereka saling pandang dan di dalam pandang mata pemuda remaja itu kini terdapat kekaguman. Agaknya baru dia tahu bahwa dara yang tadi hendak diperkosa Thian Bu itu adalah seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Hal ini dapat dirasakan ketika dia menangkis dan ternyata pukulan gadis itu mengandung sin-kang yang amat hebat sehingga lengannya sen-diri tergetar delam pertemuen tenaga itu. Jelas bukan gedis sembarangan!
"Aku... aku harus menghajar jahanam busuk itu!" Sui Cin akhirnya berteriak marah.
Pemuda itu menggeleng kepala, sikap-nya tenang dan pandang matanya tetap dingin.
"Suteku sudah kuhajar sendiri." kata-nya singkat saja.
"Tapi... tapi dia hendak memperkosaku, dia penjahat jai-hwa-cat terkutuk!"
Kembali pemuda itu menggeleng ke-palanya. "Baru hendak, tapi belum. Per-gilah, nona."
Sui Cin menjadi bingung, seperti kehilangan akal menghadapi pemuda remaja yang tidak banyak cakap dan bersikap dingin serius ini. Kalau dia berkeras dan sampai ia bentrok dengan pemuda ini, berarti ia yang bo-ceng-li (tak tahu aturan). Bukankah ia baru saja diselamatkan dari bencana yang bahkan melebihi maut" Dan kalau pemuda ini membela Thian Bu, hal itu wajar saja karena memang Thian Bu itu sutenya! Bagaimana ada sute seperti itu dan suheng seperti ini" Bumi dan langit bedanya. Sui Cin mengepal tinju, kehilangan akal, akhirnya ia mendengus dan menyambar sepasang sepatunya, kemudian sekali berkelebat ia sudah meloncat keluar dari dalam guha itu!
Kini pemuda remaja itu menghadapi Thian Bu yang sudah merangkak bangun dan duduk di atas dipan di mana dia ta-di hendak memperkosa Sui Cin. Dia me-nyusuti darah dari ujung bibirnya dan ke-lihatan takut walaupun pada sinar mata-nya terdapat rasa marah dan dendam yang disembunyikan.
"Sute, kuulangi. Sekali lagi aku melihatmu memperkosa wanita, kubunuh engkau! Ada urusan penting engkau ting-galkan di telaga, malah engkau sibuk hendak melakukan perbuatan memalukan. Pergilah!" Pemuda itu menundingkan te-lunjuknya ke pintu guha dengan nada dan sikap mengusir.
Sim Thian Bu mengangkat muka me-mandang sejenak, lalu bangkit dan terta-tih-tatih berjalan keluar tanpa berani membantah. Setelah Thian Bu pergi, pe-muda remaja itu menjatuhkan dirinya di atas dipan, duduk termangu-mangu dan mengepal kedua tangannya. Dia seperti orang berpikir mendalam penuh rasa pe-nasaran, lalu memukulkan tinju kanannya pada telapak tangan kiri sendiri sampai terdengar bunyi nyaring, kemudian dia menutupi muka dengan kedua tangan pe-nuh penyesalan. Siapakah pemuda remaja ini"
Dia adalah pemuda yang muncul di telaga, berperahu bersama seorang kakek kurus bertongkat. Dialah pemuda lihai yang melepas anak panah berapi membakar perahu besar di mana terjadi perke-lahian dan dia yang monolong sehingga tiga orang tokoh Cap-sha-kui dapat lolos. Dialah pemuda yang dikagumi Hui Song yang depat menduga bahwa pemuda itu amatlah tangguh dan lihai. Dan tepat se-perti dugaan Shan-tung Lo-kiam ketika dia bercerita kepada Hui Song, pemuda ini adalah putera tunggal Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta.
Siangkoan Lo-jin mempunyai riwayat yang cukup menarik. Sejak muda, orang she Siangkoan ini memang hidup di ka-langan sesat. Akan tetapi di waktu dia masih muda, dia yang sudah merasa ti-dak suka akan perbuatan jahat yang ke-jam. Seringkali dia menentang para pa-man gurunya, bahkan gurunya sendiri se-hingga akhirnya dia dianggap murtad. Se-bagai hukuman kaum sesat yang kejam, kedua matanya dibikin buta oleh guru dan para paman gurunya sendiri dengan jalan meracuninya. Semenjak itu, baru berusia dua puluh tahun, dia telah men-jadi seorang buta. Biarpun matanya tidak cacat dan masih terbuka seperti orang biasa, namun dia tidak dapst melihat apa-apa lagi.
Hukuman yang membuat cacat ini di-terima dengan sabar dan tabah. Akan te-tapi, di dalam hatinya terkandung rasa penasaran yang amat hebat. Dia berlatih silat terus dengan tekun sehingga kepan-daiannya menonjol, bahkan setelah ber-usia kurang lebih lima puluh tahun, kepandaiannya sudah melampaui para pa-man gurunya! Sementara itu, suhunya te-lah meninggal dunia dan pada suatu hari, dendam yang terpendam selama puluhan tahun itu baru memperoleh pelepasan, Siangkoan Lo-jin memberontak dan lima orang paman gurunya yang dahulu ikut membutakan matanya dibunuhnya semua satu demi satu! Dan di kalangan kaum sesat, siapapun yang berani menentangnya lalu dibunuhnya. Mulailah nama Siangkoan Lo-jin si kakek buta ini ditakuti orang. Dan terjadi perobahan pada diri kakek ini. Kalau di waktu mudanya dia menentang kejahatan para gurunya, setelah kini cacat, dia malah ingin menjadi pemimpin kaum sesat! Hal ini mungkin timbul karena derita batinnya. Dia me-nentang kejahatan dan matanya menjadi buta, maka kini dia bahkan hendak men-jadi kepala semua penjahat!
Setelah berusla setengah abad dan di-akui sebagai seorang jagoan yang amat ditakuti di antara golongan sesat, dia la-lu mengambil seorang gadis dari kalangan sesat pula untuk menyambung keturunan. Dan isterinya itu ternyata dapat memberi keturunan padanya, seorang anak laki--laki yang diberi nama Siangkoan Ci Kang. Tentu saja hati kakek buta ini menjadi girang bukan main. Semenjak lahir, Ci Kang digemblengnya. Bahkan untuk man-di bayi itupun dia beri ramuan obat agar jasmani anak itu menjadi kuat dan kebal. Dan gemblengan penuh ketekunan dari Siangkoan Lo-jin tidak sia-sia. Anak itu ternyata memiliki bakat yang amat he-bat dan setelah berusia delapan belas tahun, anak itu telah mewarisi seluruh il-mu kepandaian ayahnya! Dia bahkan le-bib lihai daripada ayahnya karena dia le-bih muda, menang kuat dan menang daya tahannya, menang cepat.
Ternyata Siangkoan Ci Kang bukan hanya menuruni ilmu kepandaian ayahnya, melainkan juga menuruni wataknya! Sejak kecil, sejak dia belajar membaca dan mulai membaca kitab-kitab kuno, Ci Kang menumbuhkan pendiriannya di batinnya yang berlawanan dengan kenyataan yang ada pada keluarganya. Dia, seperti para pendekar dan para budiman dalam kitab-kitab yang dibacanya, tidak suka akan kejahatan! Dia tahu bahwa ayahnya adalah seorang tokoh kaum sesat yang ditakuti dan disegani, dan hal inilah yang membuatnya seringkali termenung dan merasa penasaran. Bahkan setelah dewasa, dia berani pada suatu hari menyerang ayahnya dengan kata-kata mencela mengapa ayahnya terjun ke dalam dunia hitam dan menjadi pemimpin kaum sesat.
"Hemm, kau tahu apa?" ayahnya menjawab dengan senyum kecut. "Engkau tahu mengapa mata ayahmu menjadi buta" Karena akupun ingin menjadi orang bersih macam engkau sekarang ini! Aku ingin menentang kejahatan dan akibatnya aku kehilangan kedua mataku! Kuharap engkau dapat mengerti bahwa menjadi orang baik hanya mengundang datangnya malapetaka dan kerugian saja. Semenjak kehilangan mata, aku mengambil keputusan untuk menjadi tokoh sesat, akan tetapi tidak kepalang tanggung dan harus menjadi nomor satunya!"
Ci Kang merasa tidak puas akan keterangan ayahnya ini. Dia menyelidiki di antara tokoh sesat dan mendengar bahwa ayahnya dibikin buta oleh guru dan para paman gurunya sendiri karena menentang kaum sesat. Akhirnya setelah lihai, ayahnya membalas dendam, membunuh lima orang susioknya sendiri, kemudian bangkit menjadi pemimpin kaum sesat. Hal ini membuat hati Ci Kang kadang-kadang berduka. Terjadi konflik dalam batinnya antara pendirian dan perasaan hatinya yang menentang kejahatan, terutama sekali kekejaman-kekejaman, dan kenyataan bahwa ayahnya adalah tokoh utama kaum setat! Tentu saja, sebagai putera Siangkoan Lo-jin, dia tidak dapat lari dari kenyataan ini dan beberapa kali dia harus turun tangan membantu ayahnya kalau ayahnya atau teman-teman sekaum bertemu dengan lawan atau kalau sedang melaksanakan tugas, seperti yang dilakukannya di Telaga Emas itu. Akan tetapi selamanya dia sendiri tidak pernah melakukan perbuatan jahat yang berupa kekejaman kepada orang lain. Konflik-konflik batin yang dideritanya se-jak dia mengerti itu membentuk suatu watak yang aneh pada Ci Kang. Dia menjadi seorang pemude yang pendiam, di-ngin, keras seperti baja dan kadang-ka-deng membawa mau sendiri, tak perdu-li, dan aneh!
Ketika Ci Kang diajak ayahnya ke te-laga itu dan dengan kegagahannya dia berhesil
membebaskan tiga orang tokoh Cap-sha-kui, ayahnya memarahi tiga o-rang tokoh itu yang gagal membunuh panglima Liang.
"Kalian sungguh tolol dan harus malu menjadi tokoh Cap-sha-kui kalau melak-sanakan pekerjaan membunuh seorang menteri saja gagal, bahkan digagalkan o-leh seorang pemuda yang menyamar se-bagai menteri itu." Demikian Siangkoan Lo-jin mengomel setelah mereka semua berhasil melarikan diri dan berada di tempat persembunyian. "Bukankah seharysnya lebih dulu melakukan pengamat-an dan pengintaian?"
"Maaf, Lo-jin. Sesungguhnya, kami bertiga sama sekali tidak tahu bahwa Menteri Liang telah diganti oleh seorang pemuda lihai, dan semua ini adalah ke-salahan jembel gendut ini yang bertugas sebagai pengamat. Kami telah dijanji o-leh Hwa-i Kai-pang yang hendak mem-bantu dengan penyelidikan, dan perkum-pulan jembel itu telah mengutus si gen-dut yang tidak teliti ini!" kata Kui-kok Lo-mo dengan nada suara jengkel sambil menuding ke arah Bhe Hok, tokoh Hwa-i Kai-pang yang gendut itu.
Siangkoan Lo-jin mengerutkan alisnya yang putih. Tentu saja dia tidak dapat melihat tudingan telunjuk Kui-kok Lo-mo ke arah orang gendut itu, akan tetapi dia dapat mengerti bahwa orang itu hadir pula di situ.
"Hemm, siapakah engkau utusan Hwa-i Kai-pang?" bentaknya.
Bhe Hok adalah seorang bekas penjahat yang kejam dan tabah, akan tetapi berhadapan dengan kakek buta itu dia merasa gentar sekali. Dia sudah mendengar bahwa kakek buta ini amat lihai dan juga tidak segan-segan membunuh pembantu yang bersalah. Maka, biarpun orang itu tidak dapat melihat, dia segera memberi hormat.
"Saya bernama Bhe Hok, Lo-jin. Dan sayalah yang diutus oleh para pimpinan Hwa-i Kai-pang untuk membantu dalam usaha penyergapan di telaga itu. Saya bertugas mengamati dan memata-matai telaga itu sampai Menteri Liang muncul. Akan tetapi, sebelum menteri itu muncul, secara tak disangka-sangka, saya terlibat dalam perkelahian yang disebabkan oleh... oleh murid Lo-jin sendiri."
Iblis buta itu mendengus. "Hemm, kau maksudkan Thian Sin Bu?"
"Benar, Lo-jin. Ketika saya sedang melakukan pengintaian, di pantai telaga saya melihat Sim-sicu sedang berkelahi melawan seorang gadis yang amat lihai. Karena saya melihat murid Lo-jin itu terdesak, saya lalu muncul dan membantunya, menotok roboh gadis itu. Akan tetapi tiba-tiba muncul Shan-tung Lo-kiam dan saya lalu berkelahi melawan jago pedang itu sedangkan murid Lo-jin pergi melarikan gadis yang sudah roboh tertotok itu! Karena ditinggal sendiri, terpaksa saya juga melarikan diri karena Lo-kiam itu lihai sekali. Kalau saja Sim-sicu tidak muncul berkelahi dengan gadis itu, atau kalau saja dia tidak pergi meninggalkan saya dan melarikan gadis itu, tentu kami berdua akan dapat menjatuhkan Shan-tung Lo-kiam den keadaan akan menjadi lain."
"Hemmm...!" Terpaksa Siangkoan Lo-jin tidak jadi marah kepada orang Hwa-I Kai-pang itu karena ternyata muridnya sendiri yang menjadi biang keladi kegagalan usaha itu. "Ci Kang, engkau hendak ke mana?" Tiba-tiba kakek buta itu menegur ketika telinganya menangkap gerakan orang ke pintu. Dia mengenal gerakan puteranya yang ringan dan menegur.
Akan tetapi Ci Kang sudah tiba di luar tempat itu dan terdengar jawaban-nya dari luar, "Ayah, aku mau mencari angin segar." Dan diapun sudah jauh sekali sehingga ayahnya tidak sempat lagi untuk mencegahnya. Siangkoan Lo-jin me-ngenal keanehan watak puteranya maka diapun lalu melanjutkan percakapannya dengan tiga orang tokoh Cap-sha-kui itu.
"Sudahlah, kegagalan membunuh Men-teri Liang biar menjadi pelajaran baik bagi kalian semua. Lain kali kita dapat mencari jalan lain untuk melenyapkan-nya. Sekarang yang penting bagaimana melaksanakan tugas kedua. Lo-mo dan Lo-bo, bukankah kalian sudah mempunyai rencana untuk membunuh jenderal itu?"
"Sudahlah, Lo-jin. Kami akan melaksana-kannya sebaik mungkin, dibantu oleh Ular Betina ini."
"Dalam melaksanakan tugasku, biarpun kalian membantu, telah mengalami kega-galan. Kalau aku membantu kalian sam-pai berhasil, lain kali kalian harus mem-bantuku pula sampai aku berhasil mem-bunuh menteri itu." Kiu-bwe Coa-li mengomel.
Demikianlah, seperti diceritakan di bagian depan, Siangkoan Ci Kang ternya-ta melakukan pengejaran terhadap murid ayahnya. Biarpun murid ayahnya itu jauh lebih tua dari padanya, namun Sim Thian Bu termasuk murid terakhir sehingga me-nyebut suheng kepadanya. Dia sudah tahu akan kejahatan Thian Bu, sudah mende-ngar bahwa sutenya itu adalah seorang jai-hwa-cat keji. Ingin dia mempergoki sutenya dan menghajarnya, akan tetapi Thian Bu yang cerdik itu selalu dapat lo-los den merahasiakan kejahatannya. Kini, mendengar betapa sutenya telah melari-kan seorang gadis, dia menjadi marah dan segera melakukan pengejaran. Dia tentu saja dapat menduga ke mana sute-nya membawa pergi gadis culikannya i-tu. Ke mana lagi kalau bukan ke dalam guha rahasia tempat persembunyian ayahnya" Hanya di sanalah tempat aman ba-gi sutenya itu untuk melakukan segala macam kejahatan tanpa diketahui orang!
Dan ternyata dugaannya memang be-nar. Dan dia datang pada saat yang te-pat. Kalau Sim Thian Bu tidak berniat memperisteri Sui Cin dan melakukan bujukan-bujukan dan ancaman-ancaman, melainkan langsung saja diperksanya seperti yang biasa dia lakukan, tentu kedatangan Ci Kang terlambat dan gadis itu telah ternoda, mungkin jejaknya telah disingkirkan oleh Thian Bu yang licik. Kemudian, setelah menyelamatkan Sui Cin dan mengusir sutenya sehabis menghajarnya babak belur, Ci Kang duduk sendirian di dalam guha itu sambil termenung. Hatinya semakin sakit den menyesal sekali. Perbuatan keji dari sutenya tadi mengingatkan dia bahwa pria amat cabul den keji itu adalah sutenya, murid ayahnya den bahwa ayahnya adalah seorang gembong penjahat yang kini menjadi antek pemerintah yang lalim. Sedih hatinya. Dia sudah banyak membaca tentang pembesar-pembesar lalim yang mempergunakan penjahat-penjahat, dan dia selalu menganggap, betapa jahatnya pembesar seperti itu dan betapa rendah dan hinanya penjahat yang menjadi anteknya. Akan tetapi kini dia dihadapkan kenyataan bahwa ayah kandungnya sendiri menjadi penjahat antek pembesar lalim! Siapa yang takkan hancur dan sedih hatinya"
Baru setelah guha itu mulai gelap, tanda bahwa senja telah mendatang, Ci Kang keluar dari dalam guha, menutupi lagi mulut guha dengan semak belukar, kemudian melangkah pergi dengan gontai dan hilang semangat. Pemuda ini semakin murung dan wajahnya semakin dingin.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
"Haiii... nona...! Perlahan dulu, nona...!"
Sui Cin sudah tahu bahwa ada seorang pemuda berlari-lari mengejarnya, bahkan dara ini sudah tahu pula siapa pemuda itu. Akan tetapi ia pura-pura tidak dengar atau tidak perduli, melainkan melanjutkan perjalanannya menunggang kuda kecilnya dengan santai. Ia bahkan tidak memegang kendali kuda, dibiarkan kudanya berjalan seenaknya dan ia melindungi kepalanya dengan sebuah payung yang dikembangkan dan dipanggulnya. Iapun duduk miring di atas punggung kuda-nya, seenaknya sambil menikmati keindahan pemandangan alam pegunungan di se-kitarnya. Jalan itu kasar den sunyi, sinar matahari membakar panas, maka terasa nyaman berlindung di bawah payung.
"Prak-plok-prak-plok-prak...!" Suara kaki kuda berirama dan nyaring karena kuda itu mengenakan sepatu atau tapal kaki baru.
Hui Song merasa penasaran sekali. Dari jauh dia mengenal gadis berpayung menunggang kuda itu. Siapa lagi kalau bukan gadis yang pernah membuatnya tak mampu tidur nyenyak, gadis yang mem-buatnya tergila-gila, gadis perkasa yang pernah membantunya ketika dia dikeroyok oleh tiga orang tokoh Cap-sha-kui yang bernama Tho-tee-kui, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo" Maka dia lalu lari mengejar dan bukan main girangnya melihat kenyataan bahwa dugaannya memang benar, terutama sekali karena se-karang gadis itu tidak membalapkan kuda kecil yang lihai itu untuk meninggalkan-nya.
Seperti kita ketahui, Sui Cin telah terlepas dari malapetaka ketika ia terculik Sim Thian Bu dan tortolong oleh Siangkoan Ci Kang. Setelah pergi, ia la-lu kembali ke dusun di mana ia menitipkan kudanya, dan kini ia melakukan per-jalanan berkuda dengan niat pulang ke selatan, ke tempat tinggal orang tuanya di Pulau Teratai Merah. Sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa ia berte-mu dengan Hui Song di tengah perjalanan, atau lebih tepat tersusul oleh pemu-da itu. Ia sengaja membiarkan kudanya berjalan terus dan kini dengan napas agak terengah-engah Hui Song berjalan di se-belah kanan kuda itu sambil tersenyum menoleh dan memandang wajah di bawah payung itu. Sejenak kedua mata pemuda itu terbelalak keheranan, akan tetapi dia lalu tersenyum lagi dan nampak gembira sekali.
"Huh, apa maksudmu teriak-teriak se-perti orang kesurupan dan lari-lari se-perti orang dikejar setan?" Sui Cin me-negur sambil tersenyum mengejek.
"Aku tidak kesurupan, memang gila, tergila-gila dan aku bukan dikejar setan melainkan dikejar ketakjuban. Sungguh tak pernah kusangka sebelumnya bahwa yang bernama Sui Cin adalah seorang gadis yang cantik jelitanya melebihi semua bidadari di kahyangan!"
Kedua pipi itu menjadi merah, dan mata itu mengeluarkan sinar berapi. Entah mana yang lebih besar dan yang lebih memerahkan pipi, kemarahan ataukah kebanggaan mendengar pujian itu. Juga ia merasa terkejut karena ternyata Hui Song dapat menduga bahwa ia adalah Sui Cin si "pemuda jembel" itu. Kini tidak perlu berpura-pura lagi.
"Hemm, baru sekarang engkau tahu?" pancingnya. Ia tidak menghentiken kudanya dan terpaksa Hui Song berjalan-jalan di samping kuda itu yang kelihatan tidak senang kerena ada orang yang mengganggu ketenangannya di tempat sunyi indah itu.
"Memang baru sekarang! Wah, kalau aku tahu sejak dulu..."
"Lalu mau apa?"
"Tidak apa-apa. Sungguh engkau pandai sekali menyamar dan kau bilang mempunyai seorang cici."
"Akulah cicinya!"
"Ha-ha, dan engkau adiknya pula, pe-muda jembel yang membagi-bagi uang kepada para jembel lain. Sungguh luar biasa! Dan engkau menjanjikan kepadaku untuk memperkenalkan aku kepada cici-mu. Nah, sekarang perkenalkan. Kau tahu namaku, akan tetapi apakah namamu ju-ga masih sama" Sui Cin?"
Sui Cin mengangguk. "Eh, bagaimana engkau tiba-tiba saja dapat menduga bahwa aku adalah pemuda jembel itu pula?"
"Nanti dulu, apakah engkau begitu ke-jam membiarkan aku berjalan-jalan ber-sama kudamu yang mempunyai empat ka-ki sedangkan aku hanya mempunyai dua kaki?"
"Hemm, engkaupun boleh mengguna-kan kedua tanganmu sebagai kaki!"
"Sialan! Kau suruh aku merangkak?"
"Kalau kau mau!"
"Sudahlah, kasihanilah padaku. Aku capek dan kepanasan, mari kita berhenti dulu di bawah pohon sana itu, tempatnya teduh dan di situ banyak rumput. Kalau engkau tidak kesihan padaku, sedikitnya engkau kasihan kepada kudamu dan membiarkan dia istirahat dan makan rumput."
Sui Cin tak membantah lagi, lalu menepuk bahu kudanya yang segera membelok ke kiri menuju ke arah pohon rin-dang. Di sini ia turun, menutup payung-nya dan membiarkan kudanya makan rumput sedangkan ia sendiri duduk di a-tas akar pohon yang menonjol di atas tanah, berhadapan dengan pemuda itu. Sejenak mereka saling berpandangan dan sekali ini Hui Song yang menundukkan mukanya karena malu akan tetapi juga girang sekali.
"Nah, engkau belum menjawab pertanyaanku tadi."
"Mengenalimu" Mudah sekali. Ketika aku melihatmu dari jauh, aku segera teringat akan encinya Sui Cin, gadis yang pernah membantuku melawan tiga orang tokoh Cap-sha-kui
itu, maka aku mengejarnya. Begitu tiba di dekat kuda dan melihat wajahmu, aku terkejut dan segera timbul keyakinan di hatiku bahwa engkau adalah Sui Cin pemuda jembel itu."
"Hemm, mengapa begitu yakin" Bagaimana kalau aku encinya?"
"Memang mungkin ada persamaan antara seorang enci dan seorang adiknya, akan tetapi sinar mata dan senyum bibir itu tidak mungkin ada keduanya di dunia ini... eh, maaf, maksudku... aku sudah mengenal benar sinar mata dan senyum itu, jadi begitu melihatnya aku segera mengenalmu, Sui Cin. Maaf, rasanya janggal menyebutmu nona, setelah sekian lamanya menyebutmu Cin-te! Sekarang, agaknya tidak mungkin lagi menyebut Cin-te (adik laki-laki Cin), maka kusebut saja namamu."
"Memang benar, Song-ko. Aku bernama Sui Cin dan tidak mempunyai adik maupun kakak. Memang sudah menjadi kebiasaanku di waktu merantau, aku suka menyamar sebagai seorang pemuda. Kebetulan aku bertemu denganmu

^