Asmara Berdarah 7
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 7
dalam penyamaran itu dan berkenalan, tentu saja aku terpaksa menyamar terus."
Tiba-tiba Hui Song tertawa bergelak. Sui Cin mengerutkan alisnya, merasa ditertawakan dan ia menjadi marah. "Mau apa kau tertawa-tawa seperti gila?"
Hui Song menahan ketawanya. "Aku teringat akan ceritamu tentang banci itu... ha-ha, bisa saja engkau mencari alasan mengapa engkau marah-marah ketika aku mendekatimu. Ingat ketika aku merangkulmu karena kuanggap biasa antara laki-laki dan kau marah-marah dan..."
Wajah dara itu menjadi merah sekali. "Sudahlah, tak perlu diungkit-ungkit kembali. Sekarang, mau apa sih engkau mengejarku?"
Hui Song bersikap sungguh-sungguh walaupun kini wajahnya cerah dan gembira sekali.
Memang harus diakuinya bahwa sejak berpisah dari Sui Cin si pemuda jembel, dia merasa kehilangan dan kesepian. "Sebenarnya aku tidak mengejarmu, melainkan mencari jejak Sui Cin pemuda itu."
"Mau apa?"
Hui Song tersenyum malu-malu. "Pertama... eh, untuk bertanya bagaimana dia tidak muncul di pantai telaga, dan kedua... anu... aku ingin menagih janji karena dia berjanji hendak memperkenalkan aku kepada encinya."
"Mata keranjang!"
"Bukan begitu, Sui Cin. Janji tetap janji! Sekarang katakanlah, mengapa engkau tidak muncul di pantai" Aku mendengar penuturan Shantung Lo-Kiam bahwa ada seorang gadis diculik penjahat. Entah bagaimana, aku teringat akan encinya Sui Cin, maka akupun lalu melakukan pengejaran dan pencarian. Dan ternyata aku beruntung sekali, menemukan Sui Cin sahabatku bersama encinya sekaligus. Sui Cin, benarkah engkau yang dikabarkan oleh Shantung Lo-kiam itu?"
Sui Cin mengangguk. "Benar. Aku melakukan pengamatan di pantai seperti yang telah kita rencanakan, dan karena aku sudah berpisah darimu, aku mengenakan pakaian wanita kembali agar lebih mudah mengamati. Di situ aku bertemu dengan Sim Thian Bu yang tadinya tidak kusangka seorang penjahat karena dia pernah mau ikut menghadiri pertemuan antara para pendekar tempo hari. Kiranya dia seorang jai-hwa-cat dan kami segera ber-kelahi. Aku lengah ketika muncul seorang di antara tokoh Hwa-i Kai-pang itu, yang perutnya gendut, dan aku tertotok roboh. Lalu muncul kakek itu, yang membawa yang-kim..."
"Shan-tung Lo-kiam..."
"Kakek itu menyerang si gendut dan mereka berkelahi. Aku yang sudah terto-tok lalu dilarikan oleh jahanam Sim Thian Bu. Aku dilarikan menuju ke sebuah guha tersembunyi dan... dan... si jahanam keparat itu hampir saja menggangguku!"
Hui Song mengepal tinju. "Keparat! Lalu bagaimana?"
"Untung muncul seorang pemuda... anehnya, pemuda itu adalah suheng dari Sim Thian Bu walaupun usianya paling banyak delapan belas tahun sedangkan Sim Thian Bu sudah dua puluh lima ta-hun lebih. Pemuda itu melarang, akan tetapi jahanam itu membantah dan akhirnya jahanam itu dihajar babak-belur oleh pemuda yang amat lihai itu. Kemudian aku dibebaskan dan begitu kaki tanganku bebas, tentu saja aku menyerang Sim Thian Bu yang sudah dihajar parah. Akan tetapi pemuda itu menangkit dan ternyata dia amat kuat..."
Hui Song terbelalak heran. "Nanti du-lu, apakah pemuda itu wajahnya masih amat muda akan tetapi matanya mencorong, pakaiannya sederhana den tubuhnya tinggi tegap?"
"Benar jubahnya kasar belang-belang agaknya dari kulit harimau..."
"Ah, benar dia! Menurut dugaan Shan-tung Lo-kiam, dia tentu putera Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta!"
"Apa" Datuk itu?" Sui Cin bertanya kaget. "Kalau begitu, Sim Thian Bu adalah murid Si Iblis Buta?"
"Mungkin sekali, dan itulah sebabnya dia menyebut suheng kepada pemuda itu, karena kalah tingkat."
"Tapi kalau pemuda itu putera Iblis Buta, kenapa dia menolongku dan meng-hajar sutenya sendiri?"
Hui Song termenung. "Entahlah, sung-guh teka-teki yang membingungkan."
Hening sejenak. Kemudian Sui Sin yang mulai merasa biasa berhadapan dengan Hui Song sebagai seorang wanita, bertanya, "Bagaimana dengan usahamu menyelamatkan Menteri Liang?"
"Berhasil dengan baik," katanya dan diapun lalu menceritakan bahwa dia telah menemui Menteri Liang, menceritakan semua rencana kaum penjahat dan betapa dia lalu pada saat yang ditentukan menyamar sebagai Menteri Liang dan menggantikan menteri itu pergi ke telaga. Diceritakan betapa yang muncul ada-lah Kui-kok Lo-mo, Kui-kok Lo-bo dan Kiu-bwe Coa-li yang menyerangnya akan tetapi dia dan para pengawal istimewa dapat menanggulangi, bahkan sudah hampir berhasil dibantu oleh Shan-tung Lo-kiam untuk mengalahkan mereka.
"Sayang muncul pemuda aneh itu bersama kakek kurus yang menurut dugaan Shan-tung Lo-kiam adalah Si Iblis Buta bersama puteranya. Pemuda itu lihai sekali, menggunakan panah api membakar perahu dan dia berhasil menyelamatkan tiga tokoh Cap-sha-kui itu sehingga kami tidak berhasil mencegah mereka me-loloskan diri."
Sui Cin mendengarkan dengan heran dan kagum. Sungguh tokoh muda yang menolongnya itu amat aneh. Membantu para penjahat, akan tetapi juga menen-tang kejahatan sute sendiri.
"Dan selanjutnya, apa yang akan keu-lakukan, Song-ko?"
"Masih banyak yang hendak kulaksa-nakan, akan tetapi aku ingin melakukan-nya bersamamu, Sui Cin, karena itulah maka aku mengejar dan mencarimu."
"Aku baru saja terlepas dari bencana dan aku ingin pulang, sudah terlalu lama meninggalkan ayah ibu."
"Ah, betapa inginku ikut bersamamu pergi menghadap dan berkenalan dengan orang tuamu, secara langsung bertemu muka dengan Pendekar Sadis yang nama-nya sudah kukenal sejak kecil! Akan te-tapi, tugas masih mengikatku, Sui Cin. Engkau tentu tahu bahwa keselamatan Menteri Liang masih terancam..."
"Engkau bukan pegawai negeri dan perlindungan terhadap seorang menteri dapat dilakukan oleh pasukan keamanan!"
"Engkau benar. Akan tetapi kita tahu bahwa juga Jenderal Ciang terancam. Kalau kita tidak membantu, padahal sum-ber keterangan itu dari kita, tentu pihak pemerintah aken merasa curiga akan ke-benaran berita itu. Apalagi kalau di be-lakang para penjahat itu terdapat pembe-sar yang amat berpengaruh den berkua-sa. Kita harus membongkar semua keja-hatan itu dan menentang kelaliman, be-rulah tidak percuma kita belajar silat se-jak kecil dan menjadi keturunan para pendekar."
"Uwaahhh! Agaknya engkau hendak membanggakan kedudukanmu sebagai putera pendekar, putera ketua Cin-ling-pai, ya?" Sui Cin mengejek sambil tersenyum. "Tidak demikian, adikku yang baik. Akan tetapi, kalau orang tua kita sudah berjuang sebagai pendekar dan memper-oleh nama harum, bukankah sudah menjadi kewajiban kita anak-anak mereka untuk menjunjung tinggi nama itu dengan perbuatan gagah dan baik pula" Selain itu, bukankah di lubuk hati kite sudah terdapat perasaan menentang kejahatan?"
Sui Cin mengibaskan tangan kirinya. "Sudahlah, cukup dengan kuliahmu itu. Sekarang apa kehendakmu setelah engkau bertemu denganku di sini?"
"Cin-moi, aku merasa berbahagia sekali bertemu denganmu di sini, baik sebagai pemuda jembel maupun sebagai seorang gadis. Bagaimanapun juga, di antara kita masih terdapat ikatan yang amat dekat, setidaknya ikatan saudara seperguruan. Ingat bahwa ayahmu juga merupakan seorang murid Cin-ling-pai yang amat membanggakan, dan engkaupun menguasai banyak ilmu-ilmu tingkat tinggi dari Cin-ling-pai."
"Sudahlah jangan memuji-muji, maksudmu bagaimana?"
"Kita masih saudara seperguruan, dan kita bardua sudah mengalami bersama kejahatan yang dilakukan oleh komplotan busuk antek-antek pembesar lalim itu. Maka, jika engkau tidak keberatan, Cin-moi-, marilah kita lanjutkan kerja sama ini untuk menentang mereka. Setidaknya, sampai urusan ini selesai dan aku akan menemanimu kembali ke tempat tinggal orang tuamu, memberi kesempatan kepadaku untuk belajar kenal dengan mereka."
Sui Cin termenung. Bagaimanapun juga, ia merasa suka kepada pemuda ini dan sudah menikmati perjalanan bersama yang penuh petualangan itu. Rasanya tidak enak juga kalau kini membiarkan Hui Song bekerja sendiri menempuh bahaya besar menghadapi komplotan yang lihai itu.
Akhirnya ia mengangguk. "Baiklah, aku akan membantumu sampai usaha pembunuhan terhadap Jenderal Ciang itu digagalkan."
Wajah yang cerah itu makin berseri dan sepasang mata pemuda itu bersinar-sinar ketika dia meloncat bangun dengan girang. "Wah, terima kasih, Cin-moi! Aku memang tahu bahwa engkau adalah seo-rang pendekar wanita sejati!"
"Simpan pujian-pujianmu untuk lain kali, jangan dihabiskan sekarang. Yang penting,
sekarang apa yang harus kita la-kukan?"
"Untuk sementara ini, Menteri Liang sudah dapat diselamatkan dan tentu akan selalu dikawal ketat."
"Dan kalau engkau memberi tahu kepada Jenderal Ciang lalu pembesar itu selalu dikawal pasukan-pasukan yang kuat, penjahat-penjahat itu mampu berbuat apakah" Perlu apa kita harus bersusah payah lagi, Song-ko?"
"Engkau tahu, urusan ini bukan seke-dar kejahatan biasa, melainkan komplotan yang menjadi antek dari Liu-thaikam, pembesar dalam istana yang korup dan jahat itu. Aku sudah menemui Jenderal Ciang dan beliau tidak merasa heran mendengar beritaku bahwa ada tokoh-tokoh sesat yang hendak membunuhnya, karena dia tahu betapa Liu-thaikam membenci-nya. Liu-thaikam harus ditumbangkan ke-kuasaannya, demikian kata Jenderal Ciang. Kalau tidak, pembesar keji itu akan se-makin berani dan mungkin saja kesela-matan kaisar sendiri kelak akan teran-cam oleh kejahatan Liu-thaikam dan an-tek-anteknya."
"Apa susahnya" Laporkan saja kejahatan Liu-thaikam kepada sri baginda kaisar agar dia ditangkap dan dihukum, habir perkara."
"Enak saja kau bicara, Cin-moi! Ketahuilah, menurut penuturan Jenderal Ciang, kedudukan thaikam itu amat ting-gi dan celakanya, kaisar amat percaya kepadanya. Bahkan dia merupakan orang pertama yang dipercaya sri baginda kaisar. Melaporkannya begitu saja kepada kaisar bahkan akan mencelakakan si pelapor karena kaisar tidak akan percaya. Karena itulah, maka Ciang-goanswe minta bantuan dan kerja samaku untuk menghadapi para penjahat itu, memancing mereka agar turun tangan dan kita akan menghadapi mereka sehingga tidak sampai gagal seperti ketika para penjahat menyerbu Menteri Liang. Kita harus dapat menangkap hidup-hidup agar para penjahat itu dapat membuat pengakuan di depan kaisar sebagai saksi. Hanya dengan demikian maka kaisar akan percaya betapa jahat dan palsunya kepala thaikam itu dan dapat menjatuhkan hukuman. Nah, maukah engkau membantu agar usaha penting ini berhasil?"
"Bagaimana rencana jenderal itu?"
"Ciang-goanswe diam-diam memerin-tahkan agar seorang sahabatnya yang menjadi guru silat di kota Pao-fan, merayakan hari ulang tahunnya dan mengundangnya, juga mengundang para tokoh persilatan, baik dari golongan sesat mau-pun dari golongan bersih. Sebagai seorang bekas piauwsu dan juga sebagai guru silat, tidak terlalu menyolok kalau dia memberi kesempatan kepada para tokoh silat untuk menghadiri pestanya. Akan disiarkan berita bahwa pesta itu di-hadiri oleh Jenderal Ciang sehingga komplotan itu tentu akan mendengarnya dan dapat dipastikan bahwa mereka akan turun tangan menyerang Jenderal itu di tempat pesta. Nah, di sinilah kita turun tangan pula menentang den menangkap mereka, bersama dengan pada pengawal yang diam-diam diselundupkan ke tempat itu."
"Bagus sekali, mari kita berangkat!" kata Sui Cin penuh semangat. Gadis ini memang sejak kecil suka berkelahi, apalagi berkelahi menghadapi para penjahat dan dalam urusan menentang kejahatan, ia tidak pernah mengenal takut.
Sui Cin menunggang kudanya lagi, me-makai payung karena panas matahari ma-sih menyengat. Hui Song berjalan di samping kuda, wajahnya berseri dan sema-ngatnya berkobar. Setelah kini didampingi Sui Cin, semangat pemuda ini semakin besar dan diapun tahu bahwa dia telah jatuh cinta kepada gadis ini, bahkan mungkin cintanya itu sudah bersemi ketika dia menganggap gadis ini seorang pemuda jembel.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Ang-kauwsu (guru silat Ang) memang mempunyai banyak kenalan. Sebelum menjadi guru silat yang tinggal di kota Pao-fan, di waktu mudanya dia pernah bakerja sebagai kepala piauwau (pengawal barang) yang cukup terkenal di kota raja. Sebagai piauwau, tentu saja dia banyak mengenal dunia hitam, mengenal para penjahat karena hal ini amat penting bagi pekerjaannya. Karena bersahabat dan suka memberi hadiah, maka para penjahat tidak akan mengganggu kiriman barang-barang di bawah bendera piauw-kiok yang dipimpinnya. Kini usianya sudah enam puluh tahun dan ketika dia diundang oleh Jenderal Ciang yang sudah dikenalnya dan diberitahu tentang komplotan yang hendak membunuhi para pembesar yang setia, dia segera menyatakan kesetiaannya untuk membantu jenderal itu menumpas para penjahat. Tentu saja hanya dengan cara mengadakan pesta ulang tahun ke enam puluh dan mengundang semua golongan sebagai pancingan agar para penjahat itu melihat kesempatan hadirnya Ciang-goanswe di situ dan berani turun tangan. Dia sendiri tidak berani mencampuri karena begitu mendengar bahwa komplotan itu terdiri dari orang-orang Cap-sha-kui, nyali guru silat ini sudah terbang dan mukanya menjadi pucat ketakutan. Siapa orangnya takkan ngeri mendengar nama Cap-sha-kui"
Berita tentang pesta ulang tahun Ang-kauwsu telah tersiar luas. Diberikan bahwa Ang-kauwsu mengadakan pesta besar-besaran dan meriah, bahkan mengundang orang-orang penting, juga Jenderal Ciang dari kota raja akan hadir dalam pesta itu. Juga diberitakan bahwa Ang-kauwsu membuka kesempatan kepada se-mua kawan di rimba raya untuk datang tanpa adanya surat undangan karena sukar menyampaikan surat undangan kepada mereka. Berita ini cukup bagi kaum se-sat bahwa Ang-kauwsu tidak melupakan mereka dan bahwa semua orang tokoh sesat akan diterima sebagai tamu ter-hormat kalau menghadiri pesta itu. Tentu saja yang dimaksudkan dengan tokoh adalah mereka yang memiliki kepandaian cukup tinggi untuk menjadi tamu kehor-matan Ang-kauwsu.
Sejak pagi pada hari yang ditentukan, ruangan besar yang merupakan tempat darurat, yaitu halaman depan rumah yang dibangun untuk tempat pesta, mulai dibanjiri tamu dari berbagai golongan. Tidaklah sukar untuk menduga siapakah tamu-tamu dari golongen bersih dan siapa pula tamu dari golongan sesat karena sebagian besar dari para kaum sesat itu bersikap kasar dan congkak, juga aneh-aneh pakaian dan sikap mereka. Karena para undangan itu terdiri dari orang-orang dari kaum persilatan, maka tidak diadakan penggolongan tempat duduk bagi wanita dan pria.
Biarpun wanita, kalau wanita kang-ouw, tidak merasa canggung duduk di antara kaum pria. Ada belasan orang wanita di antara para undangan itu yang duduknya berpencaran. Di antara mereka terdapat seorang gadis yang sikapnya menonjol karena selain wajahnya angker dan galak, juga dara ini amat cantik dan datangnya sendirian saja ke dalam pesta itu. Akan tetapi ketika ia memperkenalkan diri kepada tuan rumah sebagai seorang murid yang mewakili Cin-ling-pai, ia menjadi pusat perhatian orang di sekitarnya. Cin-ling-pai, nama yang sudah amat terkenal. Akan tetapi banyak pula yang merasa heran mengapa Cin-ling-pai diwakili oleh seorang gadis yang masih begitu muda, cantik jelita dan halus pula gerak-geriknya. Yang dapat menunjukkan bahwa ia seorang ahli silat hanyalah sepasang pedang yang tergantung di punggung dan wajahnya yang angker itu.
Dara itu berusia sembilan belas tahun, pakaiannya ringkas namun cukup mewah dan bersih, sepatunya mengkilap, wajahnya manis sekali, dengan mulut yang kecil dan dagu yang meruncing, matanya tajam galak dan rambutnya hitam dan lebat sekali, digelung ke atas merupakan sanggul yang besar dan diikat sutera kuning. Kalau rambut itu dilepas sanggulnya, mungkin panjangnya sampai ke lutut. Sepasang pedang panjang tipis melintang di kanan kiri pundak, tergantung pada punggung dan ini menambah kegagahannya. Ketika Ang-kauwsu mendengar bahwa gadis cantik ini adalah wakil Cin-ling-pai yang memberi selamat kepadanya, dia lalu mengantar tamu ini ke sebuah meja di mana telah duduk tiga orang tamu lain, dua wanita dan seorang pria yang menjadi kenalan baiknya karena mereka itu adalah keluarga piauwsu di kota Pao-fan. Dara Cin-ling-pai itu dipersilakan duduk dan gadis itu nampak lega karena memperoleh teman duduk yang cukup sopan dan yang usianya sekitar tiga puluhan, belum tua benar. Ia memperkenalkan diri sebagai Tan Siang Wi dan segera bercakap-cakap dengan tiga orang semeja itu.
Tak jauh dari meja di mana Tan Siang Wi duduk, terdapat pula tiga orang pria sedang duduk bercakap-cakap. Sukar dikatakan apakah mereka itu golongan sesat ataukan golongan bersih. Pakaian mereka cukup rapi, dan jelas menunjukkan pakaian ahli-ahli silat karena ringkas dan sikap merekapun gagah. Seorang di antara mereka sudah tua, jenggot kumis dan alisnya sudah putih namun tubuhnya masih tegap dan nampak kuat. Dua orang lainnya yang duduk di kanan kirinya berusia empat puluh tahun lebih, rambut mereka dikuncir tebal dan wajah mereka nampak gagah dengan jenggot terpelihara rapi. Akan tetapi, sikap tiga orang ini agak congkak dan hal ini dapat nampak pada pandang mata mereka yang ditujukan kepada para tamu yang hadir. Bah-kan setiap kali ada tamu datang, teruta-ma tamu yang menunjukkan bahwa mereka ini datang dari golongan hitam, me-reka bertiga bicara dan tertawa-tawa. Pandang mata mereka yang ditujukan ke-pada tamu baru itu ketika tertawa-tawa menunjukkan bahwa tentu tamu baru itu yang menjadi bahan ketawa mereka.
Demikian pula ketika Tan Siang Wi muncul, mereka berbisik-bisik dan meli-rik ke arah gadis itu, tersenyum-senyum menyeringai dengan sikap kurang ajar se-kali. Karena Siang Wi tidak mendengar apa yang mereka bicarakan, dara inipun tidak perduli. Akan tetapi setelah ia du-duk bersama tiga orang tamu dan kebe-tulan duduknya menghadap ke arah meja tiga orang itu, mulailah Siang Wi menge-rutkan alisnya. Ia melihat betapa tiga o-rang itu, terutama dua orang termuda, selalu memandang kepadanya dan sengaja mainkan mata mereka seperti lagak la-ki-laki yang hendak menggoda wanita. Tentu saja Siang Wi menjadi mendongkol dan mula-mula ia memang membuang muka saja dan tidak mau balas meman-dang. Akan tetapi, telinganya mulai da-pat menangkap percakapan mereka itu di antara berisiknya suara para tamu lain. Marahlah gadis ini.
Tan Siang Wi adalah murid tunggal dari Bin Biauw, isteri ketua Cin-ling-pai. Seperti kita ketahui, Bin Biauw atau nyo-nya Cia Kong Liang ini adalah puteri bekas datuk sesat Tung-hai-sian, seorang Bangsa Jepang. Setelah berbesan dengan ketua Cin-ling-pai, Tung-hai-sian mencu-ci tangan dan tidak lagi berkecimpung di dalam dunia sesat. Puterinya, Bin Biauw, biarpun puteri seorang datuk sesat, adalah seorang gadis yang baik sehingga dapat menjatuhkan hati Cia Kong Liang. Akan tetapi setelah kini mempunyai se-orang murid, ternyata muridnya ini sedi-kit banyak mewarisi watak Tung-hai-sian. Tan Siang Wi ini berwatak keras sekali, tidak pernah mau mengalah, agak tinggi hati dan angkuh walaupun ia selalu ber-tindak gagah dan menentang kejahatan. Selain mewarisi ilmu dari Bin Biauw, ia juga menerima petunjuk-petunjuk dan ilmu silat dari ketua Cin-ling-pai sendiri maka dapat dibayangkan betapa lihainya Siang Wi. Kelihaiannya membuat dara ini semakin tinggi hati, terutama terhadap golongan sesat yang dianggap musuhnya. Tangannya berobah ganas kalau ia berurusan dengan kaum sesat dan sedikitpun ia tidak mau mengalah atau memberi ha-ti. Maka, selama satu dua tahun saja me-masuki dunia kang-ouw, gadis ini telah dijuluki orang Toat-beng Sian-li (Dewi Pencabut Nyawa) karena ganasnya terha-dap musuh-musuhnya. Agaknya karena kenyataan yang sudah didengarnya bahwa sukongnya, yaitu Bin Mo To di Ceng-to, adalah seorang bekas datuk sesat, gadis ini hendak membuktikan kepada semua orang di dunia bahwa dia adalah murid isteri ketua Cin-ling-pai, jadi seorang pendekar, bukan orang sesat!
Terdapat kecondongan hati kita untuk selalu menutupi kekurangan dan menon-jolkan kelebihan kita. Kita selalu ingin disebut baik. Keinginan seperti ini selalu timbul karena kenyataan yang kita lihat bahwa keadaan kita adalah sebaliknya daripada baik. Hanya orang yang berkulit hitam sajalah yang selalu ingin disebut putih. Hanya orang yang bodoh sajalah yang selalu ingin dianggap pintar, dan hanya orang yang melihat betapa kotor dirinya sajalah yang selalu ingin dianggap bersih dan baik. Kita lupa bahwa justeru keinginan-keinginan untuk dianggap lain daripada kenyataan ini yang seringkali mendorong kita untuk melakukan hal-hal yang buruk dan bodoh. Kalau kita sadar akan kekotoran kita, maka kita akan ber-usaha membersihkannya, bukan dengan cara menyembunyikan atau menutupinya. Kalau kita sadar bahwa kita bersih, ma-ka kita akan menjaga agar kebersihan i-tu tidak ternoda kekotoran, bukan lalu menjadi tinggi hati dan merasa bersih dan baik sendiri karena perasaan demiki-an itu sudah menodai kebersihan itu sendiri. Mengapa kita kadang-kadang merasa ngeri untuk menghadapi dan melihat ke-nyataan apa adanya, betapa buruk dan kotor sekalipun kenyataan itu" Menutupi kenyataan, melarikan diri dari kenyataan, jelas tidak akan dapat merobah keadaan itu.
"Ha-ha-ha!" Seorang di antara tiga pria itu tertawa lagi sambil menyumpit dan makan kue yang mulai dihidangkan. Wajah mereka mulai merah oleh arak. "Agaknya Cin-ling-pai sudah kehabisan jago jantan maka mengeluarkan jago betina, heh-heh!"
Ucapan itu sebenarnya lebih merupakan kelakar di antara mereka sendiri karena diucapkan perlahan dan dimaksudkan untuk mereka dengar sendiri, dan ketiganya tertawa bergelak sambil melontarkan pandang ke arah meja Siang Wi. Akan tetapi karena mencurahkan perhatian ke arah mereka, Siang Wi dapat menangkap kata-kata itu dan marahlah gadis ini. Ia tidak mampu lagi mengendalikan dirinya dan sekali melompat, ia telah meloncati mejanya dan tahu-tahu, seperti seekor burung saja ia sudah hinggap di atas lantai dekat meja tiga orang itu!
"Kalian tadi bilang apa?" bentaknya sambil berdiri dengan kedua tangan bertolak pinggang dan mata tajam penuh kemarahan menatap mereka.
Tiga orang itu terkejut. Tak mereka sangka bahwa gadis itu akan dapat men-dengar ucapan yang menghina Cin-ling-pai tadi, juga mereka terkejut melihat gadis itu demikian gesitnya meloncati meja dan kini berdiri di depan mereka dengan sikap mengancam.
"Eh, kami bilang apa" Tidak ada sangkut-pautnya denganmu!" seorang di anta-ra mereka menjawab dan melanjutkan jepitan sumpitnya pada kue di atas pi-ring.
"Bagus! Kalian menghina Cin-ling-pai dan masih berani bilang tidak ada sang-kut-pautnya denganku" Biarpun Cin-ling-pai diwakili seorang wanita setidaknya jauh lebih gagah daripada kalian ini ban-ci-banci pengecut yang tidak berani me-ngakui perbuatannya!"
Para tamu yang duduk di sekitar tempat itu menjadi kaget dan merekapun menoleh dengan penuh perhatian dan wa-jah mereka tertarik sekali. Dalam perte-muan antara para orang-orang kang-ouw sudah lumrah apabila terjadi keributan dan perkelahian. Mereka bahkan sebagian besar mengharapkan terjadinya hal ini, karena dalam pertemuan para ahli persi-latan, terasa kurang sedap dan kurang bumbu kalau tidak terjadi keributan dan perkelahian.
Tiga orang itu sebenarnya bukan o-rang-orang sembarangan. Kakek yang ber-jenggot putih itu adalah seorang tokoh kang-ouw yang terkenal yang berjuluk Huang-ho Lo-eng (Pendekar Tua Sungai Kuning) bernama Pui Tek. Adapun dua o-rang laki-laki gagah di sampingnya adalah dua orang muridnya, juga amat ter-kenal sebagai Huang-ho Siang-houw (Se-pasang Harimau Sungai Kuning). Mereka bukan penjahat dalam arti kata memiliki pekerjaan jahat seperti perampok atau bajak, akan tetapi karena orang-orang takut kepada mereka, maka dengan mu-dah mereka memperoleh hasil dari ha-diah yang mereka terima dari para peda-gang demi keselamatan dan keamanan. Mereka adalah semacam tukang-tukang pukul yang disegani. Guru mereka, Huang-ho Lo-eng Pui Tek pernah dalam suatu perkelahian dikalahkan oleh Cia Kong Liang ketua Cin-ling-pai. Walaupun bukan merupakan permusuhan pribadi dan tidak ada dendam secara terbuka, namun kekalahan itu membuat Pui Tek mendongkol dan tidak suka kepada Cin-ling-pai, menganggap ketua Cin-ling-pai yang memang keras wataknya itu terlalu sombong. Dengan sendirinya, kedua orang muridnya juga tidak suka kepada Cin-ling-pai, maka tidak heranlah kalau mereka tadi mengeluarkan kata-kata yang nadanya tidak bersahabat terhadap Cin-ling-pai sehingga membuat Siang Wi menjadi marah sekali.
Kini, di depan meja mereka berdiri seorang gadis Cin-ling-pai yang bertolak pinggang dan memaki mereka banci pengecut di depan begitu banyak orang. Tentu saja wajah tiga orang itu menjadi merah sekali dan kemarahan mulai memenuhi hati mereka. Akan tetapi, bagaimanapun juga mengingat akan julukan Pui Tek yang masih memakai Lo-eng (Pendekar Tua), dua orang harimau itu tentu saja lebib condong merasa diri mereka pendekar dari golongan bersih daripada sebagai golongan hitam, maka ada rasa harga diri pada mereka yang membuat mereka merasa malu kalau ha-rus ribut-ribut dan berkelahi melawan se-orang gadis yang masih remaja, yang usianya tentu belum ada dua puluh tahun. Mereka adalah jagoan-jagoan di sepanjang Sungai Kuning, tentu memalukan kalau harus berkelahi melawan seorang dara remaja. Akan tetapi didiamkan sajapun tidak mungkin setelah gadis itu memaki mereka sebagai banci pengecut.
"Bocah perempuan kurang ajar, makanlah ini!" Bentak orang yang menyumpit kue itu dan sekali tangan kanan yang memegang sumpit bergerak, kue sepotong yang disumpitnya itu meluncur ke arah muka Siang Wi dengan kecepatan kilat!
"Capp!" Dara itu menggerakkan ta-ngan kanan dan menjepit ke arah kueh itu. Dengan tepat sekali telunjuk dan ja-ri tengah tangan kanannya telah menje-pit kueh itu dan ia melakukan ini sam-bil tersenyum mengejek.
"Makanlah sendiri!" Dara itu membentak dan tiba-tiba tangannya bergerak. Kueh itu meluncur cepat ke arah muka orang yang menyambit tadi. Orang itu cepat menggerakkan sumpit untuk menjepit kembali, akan tetapi begitu bertemu sumpit, kue itu hancur dan tentu saja hancuran kue itu menyambar dan mengenai muka orang itu. Ternyata sebelum membalas dengan timpukan, Siang Wi telah lebih dulu menggunakan tenaga jari tangan membikin kue itu remuk bagian dalamnya. Hancurnya kue menyerang mata, hidung dan mulut, membuat orang itu repot membersihkan mukanya sambil memaki-maki!
Orang kedua yang melihat saudaranya mendapat malu, sudah bangkit dan mem-bentak marah, "Bocah perempuan, berani kau menghina orang?" Dan sekali kepala-nya bergerak, rambut yang dikuncir te-bal itu menyambar ke depan, mengeluar-kan suara bersuitan dan memukul ke a-rah leher Siang Wi. Sungguh merupakan serangan yang aneh akan tetapi juga ber-bahaya karena thouw-cang (kuncir) yang digerakkan dengan tenaga sin-kang ini tak kalah ampuhnya dibandingkan dengan senjata keras.
Orang itu sungguh terlalu memandang rendah kepada Siang Wi maka dia berani selancang itu menyerang dengan kuncirnya. Kalau tidak begitu tentu dia tidak berani bergerak secara sembrono seperti itu.
"Wuuuuttt...!" Kuncir itu meluncur lewat ketika Siang Wi merendahkan tubuh mengelak dan begitu kuncir menyambar lewat, tangan kiri Siang Wi mencuat dan tahu-tahu kuncir itu sudah dapat dicengkeramnya! Sekali sentakan, terpaksa kepala orang itu tertunduk dan Siang Wi sudah mengangkat lututnya untuk menghajar muka orang! Tentu sedikitnya hidung orang itu akan berdarah kalau saja saudaranya tidak cepat menubruk dengan pukulan tangan ke arah punggung Siang Wi.
"Huh, pengecut curang!" bentak Siang Wi yang terpaksa melepaskan orang per-tama dengan mendorongnya mundur, ke-mudian sambil meloncat dara itu mem-balik dan menangkis pukulan orang ke-dua.
"Dukk!" Dua tenaga besar bertemu dan akibatnya, orang berjenggot itu menyeringai kesakitan dan meloncat ke be-lakang. Tak disangkanya pertemuan le-ngan itu membuat lengannya kesakitan dan seperti lumpuh saking kuatnya lengan kecil milik nona itu. Kini tahulah dua o-rang Harimau Sungai Kuning itu bahwa lawannya, biarpun wanita, biarpun masih muda sekali, ternyata memiliki ilmu kepandaian yang cukup hebat.
Kini para tamu menjadi semakin gem-bira, dan tuan rumah, yaitu Ang-kauwsu yang juga melihat pertikaian itu diam saja karena diapun ingin melihat kesudahannya. Guru silat ini juga memiliki pe-nyakit yang sama dengan orang-orang dari kalangan persilatan, yaitu suka melihat adu silat. Pula, diam-diam diapun merasa tidak senang melihat sikap para jagoan Huang-ho yang terkenal kasar dan banyak lagak itu tadi menghina utusan Cin-ling-pai. Dia mengharapkan jagoan-jagoan sombong itu menemui batunya walaupun hatinya khawatir melihat bahwa di situ terdapat pula Huang-ho Lo-eng yang dia tahu amat lihai sekali.
"Budak perempuan kurang ajar! Berani engkau menghina kami di tempat umum" Hayo cepat berlutut minta maaf kalau tidak ingin menerima hajaran kami!" ben-tak seorang di antara dua jagoan yang mukanya terkena hancuran kue tadi. Ba-gaimanapun juga, dia dan kawannya ma-sih sungkan melawan seorang gadis, apa-lagi sekarang mereka berdua telah memegang senjata andalan mereka, yaitu sebatang tombak besar gagang panjang. Kalau dara itu mau minta maaf, berarti muka mereka telah tercuci, atau kalau dara itu tetap hendak melawan, berarti mereka sudah memberi kesempatan kepa-danya untuk minta maaf.
Seorang seperti Siang Wi, mana me-ngenal minta maaf" Hatinya terlalu ke-ras untuk mau mengalah, apalagi terhadap orang-orang yang sudah berani meng-hinanya dan menghina Cin-ling-pai.
Ia tersenyum mengejek dan mukanya menjadi semakin dingin, sepasang mata-nya mengeluarkan sinar kilat. "Dua mo-nyet busuk, dengarlah baik-baik. Kalian yang telah menghina Cin-ling-pai dan kalau kalian kini berlutut minta ampun, barulah nonamu hendak mempertimbangkan apakah kalian dapat diampunkan. Ka-lau tidak, aku akan menghajar kalian!"
Ucapan ini sungguh amat hebat. Bu-kan hanya menantang terang-terangan di depan orang banyak itu, bahkan menghina. Mana bisa Huang-ho Siang-houw, dua jagoan itu mau menerima begitu saja"
"Bocah setan, engkau bosan hidup!" teriak seorang di antara mereka dan go-lok besar bergagang panjang itu menyam-bar dahsyat ke leher Siang Wi. Tentu sa-ja dara perkasa itu tidak sudi lehernya dibabat begitu saja. Ia cepat mengelak sambil membalikkan tubuh menendang meja di depannya. Kakek Huang-ho Lo-eng yang duduk di belakang meja itu ce-pat menghindar dengan loncatan gesit ke kanan sehingga dia tidak sampai terkena tumpahan makanan dan arak. Akan teta-pi dia bukan hanya meloncat begitu saja, melainkan cepat meraih dan dia sudah berhasil menangkap kaki meja dan mena-ruh meja itu di samping. Gerakan ini sa-ja membuktikan kecepatan dan kelihaian jago tua ini. Kini terdapat ruang agak luas bagi Siang Wi yang menghadapi dua orang lawannya. Dua orang harimau itu mulai menyerang dengan golok gagang panjang mereka. Semua orang meman-dang dengan tegang dan juga agak kha-watir karena Siang Wi tidak mau mem-pergunakan pedangnya. Dara ini tadi me-mang melolos sepasang pedangnya, akan tetapi bukan dicabut untuk melawan, me-lainkan ia letakkan di atas mejanya sen-diri agar sepasang senjata itu tidak mengganggu gerakannya, kemudian ia kembali ke hadapan dua orang lawannya, mela-wan dengan tangan kosong.
"Anak itu terlalu sembrono!"
"Terlalu sombong bisa merugikannya."
"Tapi, ia kelihatan lihai sekali."
Demikianlah para penonton saling ber-bisik melihat betapa dara itu menghadapi Huang-ho Siang-houw dengan tangan ko-song, padahal kedua orang lawan itu menggunakan senjata tajam yang berga-gang panjang. Dua orang jagoan itu sen-diri merasa kikuk dan sungkan.
"Bocah gila, hayo pergunakan pedangmu!" bentak mereka.
"Melawan dua ekor monyet tua ma-cam kalian tidak perlu pakai pedang!" jawab Siang Wi
yang memang tinggi ha-ti.
Dua orang itu tak dapat lagi menahan kemarahan hati mereka. Keduanya lalu menyerang dengan golok mereka. Senjata itu mengeluarkan suara bercuitan dan berdesing-desing, dan terbentuk dua gu-lungan sinar lebar yang menyambar-nyambar. Akan tetapi, para tamu menjadi be-ngong ketika mereka melihat betapa da-ra itu menggerakkan tubuhnya dan se-perti seekor burung walet saja gesitnya beterbangan di antara sambaran kedua golok itu! Bukan main indahnya gerakan dara itu dan tak terasa lagi keluar puji-an dari mulut para tamu yang sudah tinggi ilmunya.
Hui Song dan Sui Cin baru saja menyelinap ke dalam rombongan tamu, me-milih tempat di sudut. Mereka mempergunakan kesempatan selagi keadaan men-jadi kacau karena perkelahian itu, di mana semua tamu mencurahkan perhatiannya ke arah perkelahian untuk menyelinap masuk dan tanpa menemui tuan ru-mah mereka sudah mengambil tempat duduk di sudut yang agak tersembunyi o-leh satu di antara tiang-tiang penyangga bangunan darurat itu. Mereka juga terta-rik menonton ke arah perkelahian.
"Hemm, berani benar gadis itu meng-hadapi pengeroyokan dua orang lawan yang bersenjata panjang dengan tangan kosong saja." kata Sui Cin setelah meli-hat dengan teliti dan mendapat kenyata-an bahwa dua orang bersenjata golok panjang itu tak boleh dipandang ringan.
"Sumoi takkan kalah," kata Hui Song lirih dan Sui Cin terkejut.
"Sumoimu...?" Ia memandang lebih te-liti dan kini iapun mengenal gerakan ka-ki dan tangan gadis itu, walaupun ka-dang-kadang gerakan itu berobah aneh. Masih ada dasar-dasar ilmu silat Cin-ling-pai dalam gerakan silat gadis itu, akan tetapi sudah bercampur dengan il-mu silat lain yang tidak dikenalnya. Me-mang sesungguhnyalah. Setelah menikah dengan Cia Kong Liang, Bin Biauw men-dapat banyak petunjuk dari suaminya dan iapun mempelajari dasar-dasar ilmu silat Cin-ling-pai yang kokoh kuat. Maka, ketika ia melatih Siang Wi, tentu saja dasar-dasar ilmu silat Cin-ling-pai juga diajarkan, bahkan Siang Wi juga menerima gemblengan dari ketua Cin-ling-pai sendiri.
"Ya, namanya Tan Siang Wi," jawab Hui Song sederhana. Dia tidak merasa girang bertemu dengan sumoinya. Pemuda ini tahu benar bahwa sumoinya itu sudah sejak lama sekali menaruh perhatian ke-padanya dan dalam sikap dan gerak-ge-rik dara yang pendiam itu terdapat tanda-tanda bahwa Siang Wi mencintanya. Hal inilah yang membuat dia merasa ti-dak enak kalau bertemu dengan sumoinya. Diapun menyayang sumoinya ini, a-kan tetapi sumoinya berwatak keras, ter-lalu berani dan agak angkuh. Dia tidak mencinta sumoinya, maka merasa sema-kin tidak enak setelah tahu bahwa sumoinya itu jatuh cinta kepadanya.
"Hemm, ia cantik dan gagah!" Sui Cin memuji. Memang gadis itu manis sekali, terutama pinggangnya amat ramping.
"Ya, tapi keras hati dan galak."
Sui Cin menahan senyum dan menger-ling ke arah wajah pemuda itu, akan te-tapi Hui Song tidak sedang bergurau me-lainkan memandang ke arah perkelahian dengan wajah serius dan tegang. Bagai-manapun juga, memang Sui Cin benar. Terlalu sembrono menghadapi dua lawan tangguh yang bersenjata panjang itu de-ngan tangan kosong.
"Haaaiiiittt...!" Tiba-tiba Siang Wi memekik, tangan kanan memukul gagang tombak lawan yang menyerang dari kanan sedangkan kaki kiri mendahului lawan kedua, menendang ke arah dada.
"Bukk... plakkk!" Lawan pertama terpental goloknya sedangkan lawan kedua tidak mampu menghindar. Serangan atau gerakan Siang Wi memang hebat, seperti seekor burung rajawali mementang sayap, kedua lengannya berkembang dan kaki kirinya menendang ke depan selagi tubuhnya masih melayang. Orang yang kena tendang dadanya itu terbanting roboh dan sebelum orang kedua hilang kagetnya, kaki kanan menggantikan kaki kiri yang turun untuk menyambar ke depan.
"Desss...!" Orang kedua juga terbanting karena perutnya dicium ujung sepatu Siang Wi.
Dua orang itu meringis kesakitan dan merayap bangun, sementara itu Huang-ho Lo-eng yang melihat betapa dua orang muridnya dirobohkan seorang gadis muda, mukanya berobah merah sekali. Dia sudah bangkit berdiri, mengebutkan ujung jubahnya dan melangkah maju menghampiri Siang Wi. Akan tetapi sebelum guru dan dua orang muridnya ini sempat bicara atau bergerak, tiba-tiba muncul seorang pemuda tampan yang segera menghadapi tiga orang itu sambil menjura.
"Sam-wi-eng-hiong, saya mewakili tuan rumah menyampaikan permohonan maaf, harap sam-wi menyudahi urusan ini sampai di sini agar tidak mengganggu jalannya pesta." Kemudian pemuda itu membalik dan menghadapi Siang Wi sambil menjura pula, "Nona, harap suka mundur dan mengakhiri keributan ini." Tanpa setahu orang, pemuda itu berkedip. Sejenak Siang Wi terbelalak. Tentu saja dia mengenal suhengnya! Akan tetapi sebeium dia menegur, Hui Song mengedipkan ma-ta, dan Siang Wi yang cukup cerdik itu maklum bahwa suhengnya tidak ingin di-kenal orang. Maka iapun mengangguk dan kembali ke mejanya, menggantung kembali siang-kiamnya di punggung dan du-duk tenang, bersikap seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
Tentu saja Huang-ho Lo-eng masih penasaran. Dua orang muridnya diroboh-kan seorang anak perempuan di tempat pesta, hal ini sungguh amat menyakitkan hati dan menjatuhkan pula martabat dan nama besarnya, maka dia harus turun ta-ngan membersihkan noda itu. Akan teta-pi, kini muncul pemuda yang mewakili tuan rumah minta agar keributan jangan dilanjutkan. Selagi kakek ini merasa ser-ba salah, tiba-tiba terdengar seruan di luar.
"Paduka Jenderal Ciang telah tiba...!"
Mendengar ini, semua orang menengok keluar dan Ang-kauwsu sendiri bersama beberapa orang penyambut bergegas lari keluar untuk menyambut datangnya tamu agung ini. Seorang jenderal adalah seorang perwira yang berpangkat tinggi, apa lagi datang dari kota raja, maka tentu saja merupakan seorang tamu agung yang paling terhormat.
Hui Song dan Sui Cin sudah duduk kembali dan mereka berdua menandang penuh kewaspadaan. Seperti sudah mere-ka rencanakan ketika keduanya pergi menghadap Jenderal Ciang, mereka ber-dua bersama belasan orang pengawal pilihan menyelundup ke tempat pesta dan akan berjaga-jaga kalau ada orang mela-kukan serangan gelap. Sementara itu sang jenderal sendiri datang dikawal enam o-rang pengawal pilihan yang dipercaya. A-gaknya belum puas dengan semua ini, Jenderal Ciang juga mengenakan lapisan baja di balik baju kebesarannya sehingga tubuhnya akan kebal terhadap serangan senjata tajam.
Saat yang sudah dinanti-nantikan ba-nyak orang ini tiba! Tentu saja terjadi ketegangan hebat di dalam dada mereka yang memiliki kepentingan dengan keda-tangan jenderal ini. Seperti telah mereka sepakati, Sui Cin memasang mata memandang ke kiri dan Hui Song ke kanan, siap untuk turun tangan kalau melihat orang yang hendak melakukan serangan gelap kepada jenderal itu. Tadipun mereka sudah memasang mata mencari-cari, akan tetapi mereka tidak melihat adanya tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang mereka kenal, walaupun ada beberapa orang dari Hwa-i Kai-pang mereka lihat menyelinap dalam pakaian biasa atau menyamar sebagai orang biasa, bukan pengemis. Mereka merasa yakin bahwa di antara banyak tamu itu terdapat tokoh-tokoh kaum sesat yang lihai.
Akan tetapi, tidak terjadi sesuatu ketika jenderal itu datang sampai diantar oleh tuan rumah menuju ke kursi kehormatan di panggung yang agak tinggi. Sementara itu, Siang Wi yang tadi memandang ke arah suhengnya, merasa heran dan alisnya berkerut ketika ia melihat suhengnya berbisik-bisik dengan seorang gadis yang cantik jelita! Mereka berbisik-bisik demikian akrabnya dan perasaan tidak senang memenuhi hati gadis yang jatuh cinta ini. Perasaan cemburu membakar dadanya dan biarpun tadi ia mengerti akan isyarat suhengnya dan iapun berdiam diri, kini perasaan cemburu membuat ia cepat bangkit berdiri, meninggalkan teman-teman semeja dan langsung saja menghampiri Hui Song dan Sui Cin yang duduk di sudut, di belakang tiang.
"Suheng, siapakah ia ini?" tanyanya menuding ke arah muka Sui Cin dengan alis berkerut dan mulut cemberut mata menantang.
"Ssttt... diamlah, sumoi..." Hui Song berbisik kaget, lalu menarik tangan sumoinya sehingga gadis itu terduduk di kursi kosong dekatnya. "Kau ikut menjaga keselamatan jenderal itu, jangan banyak tanya..."
"Tapi... tapi siapa perempuan ini...?" Siang Wi masih berbisik dan matanya mengerling ke arah Sui Cin dengan wajah membayangkan ketidakpuasan.
"Diam kau, cerewet!" Sui Cin balas menghardik dengan suara berbisik. Siang Wi terkejut setengah mati dan mukanya menjadi pucat lalu merah seperti dibakar. Hatinya panas mendengar ada orang berani bersikap seperti itu menghardiknya dengan kasar. Tentu saja ia hendak membalas akan tetapi pada saat itu terdengar ledakan-ledakan keras dan apipun berkobar!
"Kebakaran! Kebakaran...!" Para tamu menjadi panik dan semua orang bangkit berdiri, ada yang mulai lari ke sana-sini, berdesak-desakan dan keadaan menjadi semakin kacau-balau ketika terjadi perkelahian di sana-sini.
Sui Cin dan Hui Song sudah meloncat ke tengah, mendekati Jenderal Chiang. Ternyata para pengawal sudah mulai berkelahi melawan beberapa orang di antara tamu dan kini dari luar bermunculan tokoh-tokoh Cap-sha-kui! Sui Cin mengenal Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, Kiu-bwee Coa-li, Kui-kok Lo-mo, Kui-kok Lo-bo dan Tho-tee-kwi. Mereka ini tadi menerjang maju seperti berlomba hendak membunuh Jenderal Ciang. Akan tetapi para pengawal, baik yang enam orang maupun yang belasan orang yang penyamar, menyambut mereka. Betapapun juga, saking lihainya para penyerang, masih ada senjeta rahasia menyambar dan mengenai dada sang jenderal, akan tetapi karena pembesar itu memakai perisai di balik bajunya, senjata itu mental kembali. Sebelum para penyerang yang jumlahnya ada dua puluh orang itu dapat mengepung sang jenderal, Hui Song, Sui Cin dan diikuti pula oleh Siang Wi sudah tiba di situ.
Hui Song dan Sui Cin yang bertangan kosong mengamuk melindungi Jenderal Ciang yang juga sudah mencabut pedang panjangnya.
"Goanswe, mari keluar!" Hui Song berteriak sambil menggandeng tangan jenderal itu dengan tangan kirinya. "Sui Cin, engkau di sebelah kirinya." Dara itupun menggamit tangan kiri jenderal itu dengan tangan kanannya.
"Sumoi, kaulindungi kami keluar!" teriak pula Hui Song kepada sumoinya. Siang Wi tidak tahu apa yang terjadi, akan tetapi dengan patuh ia mentaati perintah suhengnya. Ia mencabut sepasang pedangnya melindungi mereka berdua yang berusaha untuk membawa Jen-deral Ciang keluar dari tempat itu.
Akan tetapi, Huang-ho Lo-eng sudah meloncat menghadapi Siang Wi. "Hemm, bocah sombong, sekarang tiba saatnya a-ku membalas kekalahan dua muridku!" katanya dan kakek ini menerjang ke de-pan.
Melihat ini, Hui Song menjadi marah. Kakek ini tidak perduli akan keributan dan hanya mengingat keperluan sendiri saja, keperluan dendam! Demikian pula Sui Cin juga marah melihat lagak kakek ini. Mereka berdua seperti telah bersepa-kat saja, tiba-tiba menerjang maju dan menampar ke arah Huang-ho Lo-eng. Ka-kek itu terkejut ketika merasa ada angin menyambar dari kanan kiri, maklum bah-wa dia diserang oleh dua orang secara hebat sekali.
"Uhhhh!" Dia mengerahkan tenaga ke dalam dua lengannya dan menangkis sambil mendorong.
"Desss...!" Akibatnya, tubuh kakek itu terjengkang dan menimpa meja kursi. Dia memandang dengan bengong, melongo melihat bahwa yang merobohkan dia ada-lab seorang pemuda dan seorang gadis lain yang kini kembali menggamit Jende-ral Ciang untuk keluar, dilindungi oleh Siang Wi yang memutar sepasang pedangnya. Beberapa orang penjahat, agaknya anggauta Hek-i Kai-pang karena di antaranya terdapat Bhe Hok si gendut, hen-dak mencegah Hui Song membawa jende-ral itu keluar. Siang Wi menyerang me-reka dan dara inipun dikeroyok.
Maklum akan besarnya bahaya bagi sang jenderal kalau tidak cepat-cepat ke-luar, Hui Song dan Sui Cin cepat mena-rik tangan jenderal itu menyelinap di an-tara banyak orang, menangkis semua se-rangan dan akhirnya merekapun berhasil keluar. Setelah tiba di luar, Jenderal Ciang mengeluarkan terompet dan ditiup-nya terompet itu berkali-kali. Bagaikan datangnya air bah, bermunculanlah barisan pendam yang memang sudah sejak ta-di dipasang oleh jenderal yang berpenga-laman itu di sekeliling tempat itu dan tempat itupun sudah terkurung rapat!
Jenderal Ciang dengan dikawal oleh Hui Song dan Sui Cin, kini berdiri di atas batu besar, berteriak dengan suara lan-tang, "Hentikan semua perkelahian di dalam! Semua penyerbu agar menyerah!"
Akan tetapi, para penjahat yang tadi menyerbu dan hendak membunuh jenderal itu, malah semakin mengamuk karena mereka merasa penasaran sekali bahwa rencana yang sudah mereka atur dengan rapi itu menemui kegagalan. Dan karena tempat itu penuh dengan orang-orang du-nia persilatan, maka begitu terjadi per-tempuran, orang-orang itupun banyak pu-la yang terseret dan berkelahi sendiri! Tentu saja orang-orang dari golongan sesat membantu rekan-rekan mereka tan-pa mereka ketahui sebab-sebab perkelahi-an, dan orang-orang yang merasa dirinya pendekar atau yang menentang kaum se-sat segera pula melawan mereka. Hal ini membuat tokoh-tokoh lihai seperti Cap-sha-kui itu memperoleh kesempatan ba-nyak untuk merobohkan dan membunuh orang.
"Kalian sudah dikepung ratusan orang pasukan! Kalau tidak menyerah dan melempar senjata, akan diambil tindakan kekerasan!" Kembali terdengar suara jen-deral itu.
Ketika para tokoh sesat yang meng-amuk di dalam itu tidak mau juga men-taati perintahnya, Jenderal Ciang lalu mengeluarkan aba-aba memerintahkan pasukannya menyerbu ke dalam. Hui Song, Sui Cin, dan Siang Wi juga ikut menyerbu bersama pasukan karena Hui Song ingin menangkap hidup-hidup bebe-rapa orang tokoh sesat untuk dijadikan saksi tentang pengkhianatan Liu Kim atau Liu-thaikam.
Ketika para perajurit menyerbu, sua-sana menjadi semakin kacau dan geger. Dan pada saat itu, terdengar suara me-lengking panjang dari luar tempat pesta yang berobah menjadi tempat pertempur-an itu. Suara lengkingan panjang dari luar ini disusul oleh ledakan-ledakan ben-da yang dilempar dari luar. Begitu mele-dak, benda-benda yang dilempar dari luar itu mengeluarkan asap hitam yang tebal sehingga suasana menjadi semakin kacau.
"Cepat lolos dari atas...!" Terdengar teriakan suara yang nyaring, mengatasi suara kegaduhan itu. Mendengar seruan ini, enam orang tokoh Cap-sha-kui berloncatan naik ke atas atap yang sudah dibuka dari atas.
Hui Song, Sui Cin dan Siang Wi melihat pula hal ini dan melihat bahwa di atas berdiri bayangan dua orang, seorang kakek tinggi kurus bertongkat den seorang pemuda tinggi tegap. Pemuda itulah yang membantu enam orang Cap-sha-kui lolos dengan menyambar tangan mereka dan menariknya ke atas setelah mereka itu berloncatan dan hampir tidak mencapai tempat yang amat tinggi itu. Apalagi atap itu adalah atap darurat terbuat dari bambu sehingga tidak begitu kuat dan ada bahayanya mereka akan terjeblos lagi ke bawah. Untung ada pemuda itu yang menyambut mereka den menarik mereka keluar.
"Kejar...!" Hui Song yang merasa penasaran itu lalu berlompatan keluar diiringkan sumoinya den Sui Cin dan dari luar mereka lalu berloncatan naik ke atas atap, Hui Song tidak begitu bodoh untuk menyusul naik dari lubang atap itu selagi musuh-musuh yang lihai itu berada di luar lubang karena tentu mereka itu akan mudah menyambutnya dengan serangan berbahaya.
Ketika tiga orang muda perkasa itu tiba di atas atap, sebagian dari tokoh-tokoh Cap-sha-kui berloncatan ke atas genteng rumah-rumah lain, sedangkan di atas atap itu masih terdapat kekek kurus, pemuda itu dan Kiu-bwe Coa-li bersama ketua Kui-san-kok dan isterinya.
"Penjahat-penjahat keji, kalian hendak lari ke mana?" Hui Song membentak den segera menyerang ke arah pemuda tinggi tegap itu.
"Kau..." Kau seorang tokoh sesat...?" Sui Cin juga berseru ketika ia mengenal pemuda itu sebagai pemuda yang pernah menyelamatkannya dari malapetaka ketika ia akan diperkosa Sim Thian Bu. Akan tetapi ia hanya meloncat mendekat, tidak berani menyerang seperti yang dilakukan Hui Song.
Sementara itu, Siang Wi juga sudah mencabut sepasang pedangya kembali dan menyerang Kiu-bwe Coa-li. "Sing-... singg... tarrr...!" Sepasang pedang yang menyambar-nyambar itu tertahan oleh ledakan pecut ekor sembilan di tangan nenek ular yang lihai itu.
Sementara itu, pemuda yang ternyata adalah Siangkoan Ci Kang, menyambut serangan Hui Song dengan tenang, menangkisnya dari samping.
"Dukk!" Tangkisan itu tepat menyambut pukulan Hui Song dan akibatnya, keduanya terjeblos ke dalam atap yang menjadi jebol di bawah kaki mereka! Hui Song terkejut bukan main dan cepat melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik beberapa kali baru dia dapat mencegah tubuhnya terjatub ke bawah, ke dalam ruangan di mana masih terjadi pertempuran. Dan ketika Siangkoan Ci Kang terjeblos dan tubuhnya terjatuh ke bawah, tiba-tiba saja kakek tinggi kurus itu menggerakkan tongkatnya dan tongkat itu dapat mengait kaki pemuda itu dan menempelnya sehingga pemuda itu terhindar dari jatuh ke bawah.
Bukan main cepatnya gerakan kakek tinggi kurus itu ketika tiba-tiba dia menggerakkan tongkat lagi. Tongkatnya menyelonong di antara Kiu-bwe Coa-li dan Siang Wi dan ketika sebatang pedang di tangan kiri Siang Wi bertemu tongkat, gadis ini berteriak kaget karena ada getaran, hebat membuat tangannya hampir saja melepaskan pedang. Terpaksa iapun melangkah mundur dan kesempatan ini dipergunakan oleh kakek itu untuk berseru, "Kita pergi!"
Hui Song menahan napas dan tidak mau mengejar ketika melihat kakek tinggi kurus, pemuda perkasa, Kiu-bwe Coa-li dan sepasang suami isteri Kui-san-kok itu berloncatan pergi. Dia tahu betapa lihainya mereka itu, terutama pemuda dan kakek tinggi kurus. Mereka berdua itu ditambah tiga orang tokoh Cap-sha-kui sungguh merupakan lawan yang terlalu berat bagi dia, Sui Cin dan Siang Wi. Juga Sui Cin diam saja karena ia masih tertegun melihat betapa pemuda yang pernah menyelamatkannya itu ternyata adalah seorang tokoh sesat dan agaknya tepat seperto yang pernah diceritakan Hui Song kepadanya. Kakek tinggi kurus yang matanya terbuka tanpa berkedip itu tentulah yang bernama Siangkoan Lo-jin alias Si Iblis Buta dan pemuda itu tentulah puteranya.
Akan tetapi Siang Wi yang sudah hilang kagetnya, melihat mereka melarikan diri, segera berseru, "Iblis-iblis busuk, kalian hendak lari ke mana?" Dan iapun meloncat ke depan dan melakukan pengejaran.
"Sumoi, jangan kejar...!" Hui Song berseru sambil meloncat ke depan untuk mencegah sumoinya. Mendengar suara suhengnya yang setengah membentak, Siang Wi terkejut dan menahan kakinya. Pada saat itu, serombongan perajurit yang berada di bawah melepaskan anak panah ke arah para penjahat yang melarikan diri. Akan tetapi, mereka itu hanya mengebutkan tangan dan semua anak panah runtuh ke bawah! Sebentar saja, para penjahat itu telah berhasil meloloskan diri. Dengan bantuan pemuda itu dan ayahnya yang buta, kembali enam orang tokoh Cap-sha-kui dapat lolos dari kepungan pasukan yang kuat!
Hui Song merasa kecewa, akan tetapi dia teringat bahwa di bawah masih terdapat banyak penjahat, terutama orang-orang Hwa-i Kai-pang yang menyamar. Merekapun dapat dijadikan saksi, pikirnya, maka dia lalu mengajak Sui Cin dan Siang Wi untuk kembali ke dalam ruangan di mana masih terjadi pertempuran hebat.
Akan tetapi, tanpa adanya para tokoh Cap-sha-kui, akhirnya para penjahat itu dapat dirobohkan dan ditangkap. Sui Cin, Hui Song dan Siang Wi masing-masing berhasil menangkap seorang penjahat anggauta Hwa-i Kai-pang, bahkan Hui Song menotok roboh Bhe Hok, tokoh Hwa-i Kai-pang gendut bertongkat yang cukup lihai itu. Sui Cin juga menampar seorang anggauta Hwa-i Kai-pang sehingga roboh pingsan dan Siang Wi yang berpedang itu merobohkan seorang tokoh sesat dengan membacok pahanya sampai hampir buntung.
Jenderal Ciang memerintahkan agar semua tawanan itu dikumpulkan untuk dibawa ke kota raja. Gerobak-gerobak tawanan dipersiapkan dan semua tawanan, kecuali Bhe Hok si gendut, dijebloskan ke dalam gerobak-gerobak kerangkeng dengan dibelenggu kaki tangan mereka. Hui Song yang menemui Jenderal Ciang dan minta agar tawanan yang satu ini tidak dimasukkan gerobak kerangkeng, melainkan hendak dikawalnya sendiri ke kota raja. Usul ini timbul dalam hati Hui Song ketika membayangkan kemungkinan tokoh sesat akan berusaha membebaskan para tawanan. Padahal, para tawanan itu merupakan saksi-saksi penting sekali, terutama Bhe Hok yang tahu akan semua persekutuan busuk di istana, seperti yang pernah dia dengar bersama Sui Cin ketika di gedung Hwa-i Kai-pang diadakan pertemuan dan percakapan antara para tokohnya, termasuk Bhe Hok itu.
"Sumoi, kalau engkau lebih dahulu pergi ke Cin-ling-san, tolong beritahukan ayah bahwa setelah selesai urusan di kota raja, aku akan pergi berkunjung ke Pulau Teratai Merah, baru akan pulang ke Cin-ling-san." Hui Song berkata kepada sumoinya. Wajah yang manis itu nampak semakin keruh dan matanya mengerling ke arah Sui Cin. Ia belum tahu siapa adanya dara yang bersama suhengnya ini, akan tetapi dari pertempuran tadi ia melihat bahwa Sui Cin adalah seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian tinggi pula.
"Akan tetapi, aku..." Ia merasa sungkan dan malu untuk menyatakan keinginannya agar dapat selalu bersama suhengnya.
"Engkau pergilah lebih dulu dan aku akan menyelesaikan tugas kami berdua yang sudah melibatkan diri kami sejak lama."
Kembali Siang Wi memandang kepada Sui Cin dengan alis berkerut. Hui Song cukup mengenal watak sumoinya dan ia kini tahu pula betapa hati sumoinya tidak senang karena dia melakukan perjalanan berdua dengan seorang gadis lain.
"Sumoi, engkau belum berkenalan. Nona ini adalah nona Ceng Sui Cin, puteri dari Pendekar Sadis Ceng Thian Sin."
Sepasang mata itu terbelalak, akan tetapi lalu menyipit kembali dan sang alisnya berkerut lebih dalam, wajah-nya dibayangi kekhawatiran yang lebih besar. Kiranya gadis cantik dan lihai ini adalah puteri pendekar yang namanya sudah amat dikenalnya itu. Sungguh merupakan saingan yang amat kuat! Akan tetapi, sebagai murid isteri ketua Cin-ling-pai, iapun cukup tahu akan peraturan, maka cepat ia menjura ke arah Sui Cin.
"Kiranya enci adalah puteri Ceng-locianpwe yang terkenal itu. Maaf kalau aku bersikap
kurang hormat karena belum mengenalmu."
Sui Cin tertawa geli dan mengibaskan tangannya. "Wah, sudahlah, di antara kita tidak perlu banyak memakai sungkan-sungkan lagi."
Hui Song juga tersenyum, lega melihat sikap Siang Wi yang menghormat dan geli melihat sikap wajar Sui Cin. Diapun tertawa. "Sumoi, nona Ceng ini baru berusia enam belas tahun, jadi, sebaiknya kalau engkau menyebutnya adik, bukan enci."
Setelah berpamit dari sumoinya dan juga dari Jenderal Ciang yang sibuk mengatur sendiri pasukannya membawa para tawanan, Hui Song lalu mengajak Sui Cin pergi sambil menggiring si gendut Bhe Hok pergi ke kota raja melalui jalan memotong. Sui Cin tetap menunggang kudanya, Bhe Hok berjalan di belakang kuda dan Hui Song berjalan di belakangnya. Sui Cin dan Hui Song tidak merasa khawatir kalau-kalau tawanan itu akan lari atau akan memberontak karena Hui Song sudah monotok jalan darah di kedua pundaknya yang membuat kedua lengan si gendut itu tidak dapat digerakkan lagi, tergantung lumpuh di kanan kiri tubuhnya.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Hui Song dan Sui Cin membawa tawanan itu ke markas Jenderal Ciang begitu mereka tiba di kota raja dengan selamat. Para perwira di markas itu sudah mengenal Hui Song, maka mereka me-nyambut pemuda itu dan dengan gembira mendengarkan penuturan Hui Song ten-tang peristiwa pertempuran di rumah Ang-kauwsu. Si gendut Bhe Hok dimasuk-kan delam kamar tahanan dan dijaga de-ngan ketat. Sesuai dengan permintaan Hui Song, si gendut yang menjadi tawan-an penting ini diperlakukan dengan baik. Hui Song sendiri mengancam bahwa kalau si gendut tidak mau membuat pengakuan di depan kaisar nanti apabila dibutuhkan, dia akan disiksa. "Terutama, engkau akan -dibiarkan kelaparan sampai satu bulan la-manya, akan tetapi kalau engkau mengaku, aku akan mintakan ampun untukmu, dan engkau akan mendapatkan makan enak, mungkin dibebaskan."
Tidak ada siksaan yang lebih menakutkan bagi si gendut Bhe Hok daripada ke-laparan! Baginya, makan enak sekenyang-nya merupakan kenikmatan nomor satu di dunia dan tanpa itu, hidup tidak ada ar-tinya lagi. Maka, mendengar ancaman Hui Song itu, dia sudah mengangguk-angguk seperti burung kakak tua diberi hidangan.
Kemudian, tepat seperti yang sudah dikhawatirkan oleh Hui Song, datang berita mengejutkan bahwa pasukan Jenderal Ciang yang membawa rombongan tawanan menuju ke kota raja, di tengah perjalanan pada senja hari itu telah dihadang dan diserang oleh gerombolan penjahat, namun sebagian besar para tawanan dapat dibebaskan oleh para penyerang, sedangkan yang tidak dapat dibebaskan, telah kedapatan mati di dalam gerobak masing-masing! Tidak ada sisa seorangpun! Ternyata para penjahat yang lihai itu telah membunuh teman-teman sendiri yang tertawan, tentu dengan maksud agar tawanan-tawanan itu tidak sampai membocorkan rahasia. Rahasia besar bahwa Liu-thaikam yang berada di balik semua kejahatan ini!
Begitu memasuki benteng dengan wa-jah muram, Jenderal Ciang lalu menemui Hui Song dan hatinya menjadi lega mendengar bahwa Bhe Hok, satu-satunya ta-wanan yang tinggal, kini sudah aman berada di dalam kamar tahanan.
"Harus dijaga keras agar dia jangan sampai mendengar bahwa tidak ada tawanan lain kecuali dia, bahwa dialah satu-satunya saksi di depan sri baginda kaisar." kata jenderal itu kepada Hui Song. "Kalau dia mendengar akan nasib para tawanan yang tidak sempat dibebaskan, tentu dia akan ketakutan den tidak mau mengaku."
Hui Song lalu mendatangi Bhe Hok. Dengan sikap tenang dan wajar dia menanyakan bagaimana perlakuan para penjaga tahanan terhadap dirinya. "Engkau adalah tawananku, maka akulah yang bertanggung jawab atas dirimu. Tawanan-tawanan lain yang ditawan oleh pasukan dipisahkan dan keadaan mereka tidaklah begitu menyenangkan dibandingkan dengan keadaanmu."
"Apakah... apakah Hwa-i Lo-eng juga... tertangkap?" Bhe Hok bertanya dengan penuh keinginan tahu.
Hui Song sudah mendengar berita mengejutkan lain bahwa ketua Hwa-i Kai-pang itu ternyata telah kedapatan tewas di dalam gedung perkumpulan itu, tidak lama setelah rombongan Jenderal Ciang tiba. Dan dia tahu apa artinya itu. Agaknya para tokoh jahat, tentu saja atas perintah Liu-thaikam, telah melakukan persiapan agar rahasianya tidak terbuka, dengan jalan membunuhi semua tawanan, juga ketua Hwa-i Kai-pang dibunuh agar pemerintah tidak akan menangkap dan memaksanya mengaku!
"Dia" Tentu saja dia ditangkap karena anak buahnya banyak yang terlibat. Akan tetapi, pemeriksaan akan dilakukan secara terpisah dan satu-satu. Maka engkau tidak perlu khawatir, mengakulah saja seperti apa adanya. Kalau engkau menyesali pengkhianatanmu dan mengaku terus terang tentang persekongkolan di bawah pimpinan Liu-thaikam, tentu engkau akan mendapat keringanan."
"Apa" Apa... Liu-thaikam..." Aku tidak... tidak mengerti..."
Hui Song tersenyum. "Ah, tidak perlu engkau berpura-pura lagi. Kami sudah mendengar semua tentang persekutuan itu, tentang bagaimana Hwa-i Kai-pang dipergunakan oleh Liu-thaikam, juga tentang Cap-sha-kui menjadi antek-antek pembesar itu di bawah pimpinan seorang datuk yang bernama Siangkoan Lo-jin berjuluk Iblis Buta. Kami sudah tahu semua, dan engkau hanya tinggal membuat pengakuan saja sejujurnya. Ingat, kalau engkau membohong dan tidak mau mengaku, kamipun sudah mengetahui persoalannya dan akibatnya engkau akan disiksa."
Bhe Hok mengangguk-angguk meyakinkan sehingga legalah hati Hui Song. Pengakuan si gendut ini di depan sri baginda kaisar berarti berhasilnya tugasnya membongkar persekutuan jahat di dalam istana yang dikepalai oleh Liu-thaikam.
Sementara itu, Jenderal Ciang mengadakan hubungan dengan dua orang menteri yang pandai dan yang termasuk sebagai menteri-menteri setia yang juga dianggap sebagai saingan dan ditentang oleh Liu-thaikam. Mereka adalah Menteri Ting Hoo dan Cang Ku Ceng. Di dalam sejarah tercatat bahwa dua orang menteri ini kelak akan menjadi pembantu-pembantu yang amat setia dan pandai dari Kaisar Cia Ceng pengganti Kaisar Ceng Tek. Jenderal Ciang mengadakan perundingan dengan dua orang menteri ini dan pada keesokan harinya, dengan usaha kedua orang menteri ini, sri baginda kaisar berkenan menerima Jenderal Ciang yang diikuti pula oleh Menteri Liang dan kedua orang menteri Ting dan Cang itu.
Tentu saja sri baginda kaisar menjadi terkejut sekali ketika mendengar pelaporan Jenderal Ciang tentang persekutuan yang hendak membunuh Menteri Liang dan Jenderal Ciang apalagi ketika dengan terus terang jenderal itu mengatakan bahwa persekutuan itu dipimpin oleh Liu-thaikam sendiri!
"Mustahil!" Sri baginda kaisar berseru sambil menepuk lengan kursi. "Dia adalah seorang pembantuku yang paling setia. Dan apa sebabnya dia hendak membunuh kalian berdua" Tentu ada permusuhan pribadi!"
Ketika mendengar betapa kaisar agaknya malah berpihak kepada thaikam itu, Jenderal Ciang menjadi pucat wajahnya. Menteri Liang yang berlutut itu lalu berkata, "Mohon beribu ampun, sri baginda. Sesungguhnya, tidak terdapat permusuhan apapun antara hamba dan Liu-thaikam, akan tetapi sebenarnya dia menganggap hamba dan Jenderal Ciang dan banyak hamba paduka yang lain sebagai saingannya karena hamba sekalian tidak mau tunduk kepadanya. Itulah sebabnya mengapa dia hendak membunuh hamba."
"Dan sudah banyak pembesar dibunuhnya, sri baginda. Dia tidak segan-segan mempergunakan para penjahat sebagai antek-anteknya. Ketika hendak membunuh Menteri Liang dan hamba, dia malah memperalat datuk-datuk sesat seperti Cap-sha-kui, dan juga mempergunakan orang-orang Hwa-i Kai-pang yang juga ikut bersekongkol dan menjadi anteknya."
Alis Sri Baginda Kaisar Ceng Tek berkerut, hatinya tidak senang. "Jenderal Ciang, kami tahu bahwa engkau adalah seorang jenderal yang gagah dan setia, dan juga Menteri Liang adalah seorang menteri lama yang setia. Tahukah kalian betapa hebat dan berbahayanya semua cerita kalian ini" Kalau tidak benar, ini merupakan fitnah yang akan dapat membuat kalian terpaksa harus dihukum seberat-beratnya!"
"Hamba bersedia dihukum kalau pelaporan hamba tidak benar, sri baginda!" kata sang jenderal.
"Hamba juga bersedia menyerahkan nyawa kalau hamba menjatuhkan fitnah kepada siapapun juga," sambung Menteri Liang dengan suara tegas. Mulailah Kaisar Ceng Tek merasa bimbang. Sebetulnya, sudah lama banyak pembesar yang mencoba untuk menyadarkannya akan kepalsuan Liu-thaikam, akan tetapi karena thaikam itu selalu bersikap baik dan menyenangkan hatinya, juga karena tidak pernah ada bukti penyelewengannya, kaisar merasa terlalu sayang kepada pembantu itu untuk melakukan penyelidikan secara mendalam. Pula, kaisar yang masih amat muda itu, baru sembilan belas tahun usianya, merasa banyak dibantu oleh Liu-thaikam. Sewaktu dia melakukan perjalanan keluar dari istana secara diam-diam, thaikam itulah yang membantunya, dan urusan dalam istana dapat diselesaikan semua oleh thaikam itu dengan baik, "Bagaimana kalian dapat memastikan bahwa laporan kalian ini bukan fitnah belaka?" kaisar mendesak.
"Penyerangan terhadap Menteri Liang di telaga disaksikan banyak orang, dan penyerangan terhadap hamba di dalam pesta Ang-kauwsu lebih banyak saksinya," jawab Jenderal Ciang.
"Kalian adalah pejabat-pejabat pemerintah. Tidak aneh kalau dimusuhi oleh kaum penjahat. Akan tetapi apa buktinya bahwa Liu-thaikam yang berdiri di bela-kang semua itu?"
Inilah pertanyaan yang dinanti-nanti o-leh Jenderal Ciang. Dengan suara lan-tang namun tetap hormat dia menjawab. "Sri baginda, hamba telah menangkapi sebagian dari para penjahat, akan tetapi ketika hamba menggiring para penjahat itu ke kota raja, di tengah perjalanan para datuk sesat menghadang, merampas tawanan dan membunuh mereka yang ti-dak dapat mereka rampas. Akan tetapi, masih ada seorang tokoh Hwa-i Kai-pang yang berhasil hamba bawa sebagai saksi. Kalau paduka berkenan, hamba dapat menyuruhnya membuat pengakuan di depan paduka." Jenderal itu berhenti sebentar, kemudian menyambung, "Selain itu, juga hamba dibantu oleh seorang pendekar muda yang pernah menyelamatkan paduka ketika paduka diserang oleh orang-orang Kang-jiu-pang, yaitu putera ketua Cin-ling-pai bersama seorang te-mannya, pendekar wanita Ceng Sui Cin."
"Hemm, bawa mereka semua mengha-dap!" Kaisar memerintah, Jenderal Ciang lalu memberi isyarat kepada para penja-ga di luar dan tak lama kemudian muncul Hui Song dan Sui Cin mengiring-kan Bhe Hok sebagai tawanan. Mereka menjatuhkan diri berlutut dan tubuh Bhe Hok gemetar ketakutan.
Jenderal Ciang memperkenalkan dua orang muda pendekar itu dan kaisar masih ingat kepada Hui Song yang gagah. "Hai, engkau orang muda yang gagah perkasa itu! Urusan apalagi yang membawa-mu terlibat dan kini dihadapkan di siin?" Kaisar menegur, suaranya ramah.
"Ampun, sri baginda. Hamba melihat persekutuan busuk mengancam para pem-besar setia, dan kerena persekutuan itu membahayakan pula keselamatan paduka, maka hamba berdua nona Ceng ini mem-bantu Jenderal Ciang untuk membuka rahasia ini dan menghaturkannya kepada paduka."
Kaisar teringat lagi akan tuduhan terhadap thaikam yang disayangnya, maka alisnya berkerut lagi, hatinya kesal dan diapun berkata kepada Jenderal Ciang. "Nah, suruhlah saksi bercerita. Awas, kalau dia berbohong, kalian semua takkan bebas dari hukuman!"
Ucapan kaisar itu untuk mengancam mereka yang memusuhi Liu-thaikam, a-kan tetapi malah membuat si gendut Bhe Hok semakin ketakutan dan tidak berani berbohong. Dia berlutut dan tidak berani berkutik sampai dihardik oleh Jenderal Ciang.
"Penjahat Bhe, lekas membuat peng-akuan apa adanya dan jangan berbohong."
"Hamba... hamba bernama Bhe Hok dan hamba menjadi seorang di antara para pembantu Hwa-i Lo-eng ketua Hwa-i Kai-pang. Bersama rekan-rekan dari Cap-sha-kui, hamba menjadi anggauta kelompok yang dipimpin oleh Siangkoan Lo-jin dan hamba semua bekerja untuk Liu-taijin. Hamba menerima tugas untuk membantu tokoh-tokoh Cap-sha-kui, per-tama-tama untuk membunuh Menteri Liang, kemudian membunuh Jenderal Ciang. Hamba membuat pengakuan sebenarnya, berani disumpah dan berani mempertanggungjawabkan kebenaran pengaku-an hamba."
Wajah kaisar sudah menjadi merah sekali. Haruskah dia mempercaya pengakuan seorang penjahat macam ini" "Tangkap dan seret ketua Hwa-i Kai-pang ke sini!" bentaknya.
"Ampun sri baginda. Hwa-i Lo-eng telah dibunuh oleh tokoh-tokoh sesat, mungkin karena mereka takut kalau-kalau ketua Hwa-i Kai-pang itu akan mem-buat pengakuan dan membuka rahasia kejahatan Liu-thaikam."
"Hemm, kalau begitu tangkap dan bawa Liu-thaikam ke sini!" perintah kaisar.
"Hamba akan melaksanakan perintah paduka. Akan tetapi tanpa adanya leng--ki (bendera tanda utusan kaisar), tentu dia tidak akan percaya dan akan melawan.
"Nih, bawa tanda dari kami!" Berkata demikian kaisar muda itu melepaskan pedangnya dan menyerahkan pedang itu kepada Jenderal Ciang. Benda itu adalah pusaka tanda kekuasaan kaisar, maka tentu saja sudah merupakan bukti kekua-saan yang cukup. Dengan girang sekali Jenderal Ciang menerima pedang, kemu-dian membawa pasukan pengawal pergi menuju ke gedung tempat tinggal Liu-thaikam dan menangkapnya. Melihat pe-dang di tangan jenderal itu, Liu-thaikam tidak berkutik lagi dan dengan muka pu-cat tak lama kemudian dia sudah menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki kaisar.
"Mohon paduka sudi mengampuni se-mua kesalahan hamba, akan tetapi sung-guh hamba merasa terkejut sekali mene-rima panggilan paduka seperti ini. Apa-kah yang telah terjadi" Apakah yang dapat hamba lakukan untuk paduka?" Thaikam kami itu hanya pura-pura saja tentunya. Dia sudah mendengar akan semua yang telah terjadi, akan kegagalan-kegagalan para anteknya dan dialah yang memerintahkan agar semua tokoh Hwa-i Kai-pang dibunuh, dan para tawanan yang tidak sempat dibebaskan juga dibunuh. Biarpun demikian, hatinya masih selalu dalam keadaan was-was maka dia sudah bersiap untuk melarikan diri, walaupun dia masih percaya akan pengaruhnya terhadap kaisar. Kedatangan Jenderal Ciang yang menangkapnya sama sekali tidak disangkanya.
"Orang she Liu, apakah yang telah kaulakukan selama ini" Mengapa engkau memperalat orang-orang jahat dan menyuruh orang-orang jahat mencoba untuk membunuh Menteri Liang dan Jenderal Ciang?" Kaisar membentak.
Dengan mimik muka yang pandai, thaikam itu terbelalak dan memprotes dengan sikap wajar orang yang merasa difitnah. "Ampun, sri baginda! Itu sama sekali tidak benar! Hamba telah difitnah orang! Banyak sekali orang yang merasa iri dan ingin menjatuhkan hamba karena paduka telah melimpahkan kepercayaan yang besar kepada hamba. Ini merupakan fitnah penasaran! Hamba berani bersumpah bahwa hamba setia terhadap paduka sampai mati!"
"Hemm, setia dan memelihara penjahat-penjahat sebagai kaki tanganmu?"
"Tidak, sama sekali tidak benar. Hamba bersumpah..."
"Apakah persekutuan penjahat-penjahat Hwa-i Kai-pang dan Cap-sha-kui yang dipimpin oleh datuk bernama Siangkoan Lo-jin itu bukan antek-antekmu?"
"Tidak, hamba sama sekali tidak pernah mendengar nama-nama itu, hamba tidak mengenalnya. Memang hamba merasa tidak suka kepada Menteri Liang dan Jenderal Ciang karena hamba melihat bahwa mereka itu menentang paduka, tidak taat..."
Kaisar menghardiknya dan berkata kepada Bhe Hok. "Hai, kamu! Katakan apakah ini orangnya yang memimpin seluruh persekutuan busuk itu!"
Bhe Hok memandang kepada Liu-thaikam dengan muka pucat. Tadi dia mendengar betapa Hwa-i Lo-eng sudah dibunuh dan sekarang tinggal dia agaknya yang harus berani menjadi saksi. Akan tetapi dia tadi sudah mengucapkan pengakuannya, tidak mungkin mengingkarinya kembali, maka diapun berkata dengan suara gemetar, "Benar, sri baginda. Dia adalah Liu-taijin yang dibantu oleh kelompok hamba semua..."
Liu-thaikam menengok dan begitu melihat wajah Bhe Hok, dia terkejut dan marah bukan main. "Kau... kau...!" Bentaknya sambil menudingkan telunjuknya. "Engkau pengkhianat busuk! Berani engkau membawa-bawa namaku di sini" Akan kusuruh cincang hancur kepalamu..."
"Cukup!" Kaisar membentak. "Tangkap pengkhianat ini dan seret ke pengadilan tinggi!"
Para pengawal maju dan menangkap Liu-thaikam yang berteriak-teriak dan meronta-ronta, memaki-maki Bhe Hok, Menteri Liang, Jenderal Ciang dan akhirnya memaki-maki kaisar pula sehingga para pengawal membungkam mulutnya dan menyeretnya keluar.
Dengan wajah murung lalu mengucapkan terima kasihnya kepada Jenderal Ciang, Menteri Liang, juga kepada Hui Song dan Sui Cin, kemudian kaisar membubarkan persidangan darurat itu.
Pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepada Liu-thaikam dan ketika diadakan pemeriksaan dan penggeledahan, kaisar sendiri tertegun melihat tumpukan harta hasil korupsi dan penindasan yang dilakukan bekas pembantunya yang tadinya amat disayang dan dipercayanya itu. Harta benda yang ditumpuk oleh Liu Kim atau Liu-thaikam itu sungguh amat besar jumlahnya. Menurut catatan sejarah, emas dan perak yang didapatkan sebanyak 251.583.600 tail, batu permata sebanyak sepuluh kilo lebih, dua stel pakaian perang dari emas, 500 piring emas, 300 pasang gelang dan cincin emas, 4000 ikat pinggang emas permata. Dan istananya di kota raja bahkan melebihi kemewahan istana kaisar sendiri! Memang luar biasa sekali penumpukan harta yang dilakukan oleh Liu-thaikam melalui korupsi dan penindasannya itu. Tiada keduanya dalam sejarah. Kerakusannya dalam hal menumpuk harta sukar dicari bandingannya dan menjadi buah bibir rakyat sampai sepanjang sejarah. Padahal, sebelum menjadi thaikam, Liu Kim adalah seorang anak dari keluarga yang miskin dan rendah.
Setelah komplotan itu berhasil dibongkar, barulah Kaisar Ceng Tek menjadi panik dan kaisar ini lalu melakukan pembersihen di antara para pejabat tinggi. Juga dia memerintahkan Jenderal Ciang untuk mengerahkan pasukan membasmi para penjahat yang tadinya menjadi antek Liu-thaikam. Hwa-i Kai-pang diserbu, para anggautanya ditangkap dan dihukum, gedungnya dirampas pemerintah. Akan tetapi tidak mudah bagi Jenderal Ciang untuk dapat mencari tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang bergerak seperti setan. Dengan tertangkapnya Liu-thaikam dan hancurnya komplotan itu, berulah pemerintahan Kaisar Ceng Tek yang muda itu menjadi bersih dan barulah kaisar muda itu mulai memperhatikan roda pemerintahan.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Pemuda itu menangis sampai tersedu-sedu sambil berlutut. Dia mengepal tinju dan ingin dia meraung-raung, akan tetapi ditahannya sehingga dia hanya tersedu dan terisak. Laki-laki setengah tua yang duduk bersila di depannya membuka mata memandang dan menghela napas panjang, lalu berkata dengan suara halus namun mengandung wibawa.
"Hentikan tangismu, hapus air matamu. Tidak layak membiarkan perasaan dipengaruhi pikiran menimbulkan kelemahan. Tidak ada gunanya semua itu."
Pemuda itu berhenti terisak dan mengusap air matanya dengan ujung lengan baju, lalu dia memandang wajah ayahnya dengan sinar mata penuh tanya dan penasaran. Pemuda itu adalah Cia Sun, sedangkan yang bersila di depannya adalah ayahnya, Cia Han Tiong. Baru saja Cia Sun pulang ke Lembah Naga setelah melakukan perantauan ke selatan. Ketika pagi hari itu dia tiba di lembah, dia merasa heran mengapa keadaan demikian sunyinya dan mengapa pula pandang mata para petani gunung kepadanya demikian ganjil den penuh rasa iba. Hetinya merasa tidak enak dan dia menghampiri seorang kakek petani dan bertanya mengapa mereka memandangnya seperti itu.
"Kakek Phoa, aku adalah Cia Sun, apakah kakek dan saudara sekalian telah lupa" Ha-ha, baru saja aku pergi merantau setahun dan kalian memandangku seperti aku ini orang asing bagi kalian."
Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat beberapa orang petani wanita menangis dan pergi meninggalkannya. Juga kakek itu memandang kepadanya dengan mata basah air mata.
"Kakek Phoa, apakah yang telah terjadi?" Dia memegang lengan kakek itu dan bertanya dengan mata terbelalak, hatinya gelisah sekali.
Dan kakek itulah yang bercerita. Betapa orang tuanya didatangi penjahat, betapa banyak murid Pek-liong-pai tewas oleh para penjahat, juga ibunya tewas. Ibunya! Tewas di tangan orang jahat! Mendengar ibunya tewas, Cia Sun tidak menanti sampai kakek itu melanjutkan ceritanya. Dia sudah meloncat dan lari menuju ke pondok orang tuanya. Didapatkannya rumah itu sunyi dan kotor dan ketika dia masuk, ayahnya duduk bersila di dalam kamar. Ayahnya nampak menjadi tua dan kurus. Maka dia lalu menjatuhkan diri berlutut dan menangis sampai ayahnya menyuruhnya berhenti menangis.
"Ayah, siapakah yang membunuh ibu?" Hanya itu yang dapat dikatakan setelah tangisnya dihentikannya.
Ayahnya tidak menjawab, hanya memandang kepadanya. Sejenak ayah dan anak ini saling pandang.
"Anakku, apakah maksudmu dengan pertanyaan itu" Hanya sekedar ingin tahu, apakah di baliknya tersembunyi dendam sakit hati?"
Cia Sun sudah mengenal watak ayahnya, bahkan sejak kecil dia bukan hanya digembleng ilmu silat dan sastera, akan tetapi juga tentang filsafat kehidupan. Akan tetapi pada saat itu hatinya terlampau sakit dan sedih mendengar bahwa ibunya tewas oleh musuh, maka dia tidak mampu lagi mengendalikan perasaannya.
"Akan tetapi, ayah. Sebagai seorang anak, aku mendengar bahwa ibuku dibunuh orang. Apakah aku harus diam saja menerima nasib" Lalu menjadi anak macam apakah aku ini" Mana kebaktianku terhadap ibu kandungku, ayah?"
"Hemm, dengan lain kata-kata, engkau menanyakan pembunuh ibumu untuk dapat mencarinya lalu membalas dendam, membunuhnya untuk membalas sakit hatimu?"
"Bukankah hal itu sudah wajar saja, ayah" Kalau sebagai anak ibu aku tidak mencari pembunuhnya dan membalas sakit hatinya, apakah ibu tidak akan menjadi setan penasaran?"
"Cia Sun!" Ayahnya membentak dan dalam suara pendekar ini terkandung wibawa yang kuat. Nadanya bukan kemarahan, melainkan memperingatkan dan tegas sekali. "Dengarlah baik-baik, buang dulu semua nafsu yang memenuhi batinmu. Cia Sun, bukalah mata dan lihatlah. Apakah engkau mengira bahwa ibumu yang telah meninggal dunia itu kini menjadi setan penasaran yang haus darah, yang akan menyeringai kegirangan melihat anak kandungnya menjadi pembunuh" Serendah itukah engkau menilai ibumu?"
Tentu saja Cia Sun terkejut sekali dan dia mengangkat muka memandang wajah ayahnya dengan mata terbelalak. "Tidak...! Tentu saja tidak! Bukan begitu maksudku, ayah!"
"Kalau bukan begitu maksudmu, maka jangan membawa-bawa nama ibumu jika engkau berniat membunuh orang! Apa yang akan kaulakukan itu tidak ada sangkut-pautnya dengan ibumu, melainkan keluar dari gejolak batinmu yang diracuni dendam kebencian! Engkau hanya akan menodai dan mengotorkan jiwa ibumu kalau engkau menyeret ibumu ke dalam alam pikiranmu yang penuh dendam kebencian itu."
Getaran dalam suara ayahnya meredakan kemarahan yang tadi berkobar di dalam batin Cia Sun. Sejenak dia termenung, diam-diam mengakui bahwa memang kemarahannya itu timbul karena dia merasa kehilangan ibunya yang tercinta, jadi dialah yang sakit hati, dialah yang mendendam karena orang merenggutkan sesuatu yang mendatangkan rasa senang di hatinya.
"Baiklah, ayah. Akan kucoba untuk mengerti apa yang ayah maksudkan. Akan tetapi apakah yang telah terjadi" Apakah kesalahan ibu maka ia sampai dibunuh orang?"
Cia Han Tiong menarik napas panjang. "Dendam... dendam... balas-membalas, baik membalas budi maupun membalas sakit hati, dendam dan kebencian telah mengotorkan batin manusia dan membuat dunia menjadi sekeruh ini. Mereka datang karena dendam kepada keluarga kita, dendam kepada kakekmu dan kamilah yang menerima akibatnya. Mereka datang menyebar maut karena dendam, ibumu dan belasan orang muridku menjadi korban. Nah, bagaimana pendapatmu tentang mereka itu, anakku" Bukankah mereka itu merupakan orang-orang tersesat yang mabok dendam kebencian yang hanya ingin memuaskan nafsu kebencian hati mereka saja dengan melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang sama sekali tidak mereka kenal?"
Cia Sun mengepal tinju dan mengangguk. "Mereka itu orang-orang jahat!" jawabnya.
"Bagus!" kata ayahnya. "Dan sekarang engkaupun ingin menjadi seperti mereka, hendak mencari orang-orang yang tidak kaukenal untuk kaubunuh hanya untuk memuaskan nafsu kebencianmu?"
Cia Sun terkejut, tak mengira bahwa ke situ maksud ayahnya. "Tapi, ibu telah mereka bunuh, juga para suheng!"
"Rasa penasaran dalam pemikiran seperti itulah yang menimbulkan dendam mendendam
dan bunuh-membunuh, menciptakan lingkaran setan dari mata rantai karma. Apakah engkau menghendaki dirimu terikat oleh rantai itu, sampai ke cucumu, terbelenggu rantai karma, terus-menerus dicekam dendam balas-membelas tiada akhirnya" Mata rantai itu kini berada di tanganmu, mau kaupatahkan ataukah mau kausambung, terserah kepadamu. Kalau engkau hendak menyambungnya, engkau mendendam, mencari pembunuh ibu dan para suhengmu, kemudian engkau membunuh mereka. Apakah kaukira sudah selesai sampai di situ saja" Kalau murid atau keturunan mereka mempunyai batin yang sama denganmu, merekapun akan mendendam dan akhirnya mencarimu untuk membalas dendam kepada muridmu atau keturunanmu. Terus-menerus begitu, tiada habisnya. Sebaliknya, kalau engkau hendak membebaskan diri dari lingkaran setan karma itu, engkau diam dan menghapus dendam sekarang juga dan rantai belenggu itupun patah."
Cia Sun termenung, lalu menarik napas panjang. "Ayah, dari ajaran ayah yang lalu, aku dapat mengerti akan penjelasan ayah tadi. Akan tetapi bagaimanapun juga, aku yang masih muda ini, hanyalah seorang manusia biasa ayah, yang tidak terlepas dari perasaan senang susah malu marah dan takut. Menghadapi kematian ibu dan para suheng seperti ini, melihat orang-orang menyebar maut di dalam keluarga kita, bagaimana mungkin aku melupakannya dan mendiamkannya begitu saja?"
"Andaikata engkau berada di sini ketika peristiwa itu terjadi dan engkau membela ibumu dan suheng-suhengmu, seperti yang kulakukan juga, hal itu adalah wajar. Akan tetapi, menanam kebencian dalam hati merupakan racun bagi batin sendiri, anakku."
"Biarkan aku melihat kenyataan yang tumbuh dalam batin sendiri, ayah. Harap ayah suka
menceritakan bagaimana peristiwa ini dapat terjadi, bagaimana asal mulanya."
"Mereka yang datang menyerbu itu berjuluk Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo. Mereka adalah cucu murid dari mendiang mendiang Hek-hiat Mo-li, seorang datuk sesat yang dahulu tewas di tangan kakekmu. Mereka berdua datang jauh dari negeri Sailan untuk mencari mendiang ayah Cia Sin Liong, untuk membalas den-dam. Akan tetapi karena ayah yang mereka cari-cari telah meninggal dunia, mereka lalu menimpakan dendam mereka kepada keturunan ayah yaitu aku seke-luarga. Dan dalam perkelahian itu, para suhengmu dan ibumu jatuh sebagai kor-ban dan tewas."
"Dan kedua iblis itu?"
"Mereka telah pergi dalam keadaan luka."
"Tapi kenapa mereka tidak membunuh ayah" Bukankah ayah merupakan musuh utama, sebagai putera kong-kong" Meng-apa mereka hanya membunuh ibu dan pa-ra suheng, dan melepaskan ayah?"
Cia Han Tiong menghela napas. "Mereka tidak mampu melakukan hal itu ka-rena mereka terluka olehku dan tidak mampu melawan lagi."
Cia Sun memandang dengan mata terbelalak. "Ayah telah mengalahkan mereka?"
Ayahnya mengangguk. "Mereka itu lihai bukan mainm akan tetapi aku berhasil mengalahkan mereka."
"Dan melukai mereka?"
"Kalau mereka kalah dan terluka... bagaimana mereka dapat lolos dan pergi dari sini?"
"Aku telah melepaskan mereka dan membiarkan mereka pergi."
"Apa?" Cia Sun terlonjak berdiri, me-mandang kepada ayahnya dengan muka pucat. "Ayah telah mengalahkan dan melukai mereka, akan tetapi ayah... membiarkan mereka pergi begitu saja selagi jenazah ibu dan para suheng masih menggeletak di depan kaki ayah?"
Ayahnya mengangguk. "Aku sendiripun hanya seorang manusia biasa, anakku, dan akupun tidak luput daripada nafsu amarah dan sakit hati. Akan tetapi aku melihat dengan jelas betapa aku sekeluarge akan terperosok semakin dalam kalau aku menuruti nafsu kebencian, ma-ka aku sengaja membiarkan mereka per-gi."
"Dan dengan perbuatan itu ayah me-rasa yakin bahwa ikatan dendam itu akan putus" Bagaimana kalau dua iblis itu masih penasaran karena ayah dan aku masih belum tewas dan mereka berusaha untuk membunuh kita" Apakah kitapun harus diam saja menyerahkan nyawa untuk dibunuh?" Dalam pertanyaan pemuda ini masih terkandung rasa penasaran yang amat besar.
Mendengar pertanyaan puteranya itu, Cia Han Tiong menahan senyum, menghela napas dan menggeleng kepala. "Aku percaya bahwa merekapun telah insyaf akan kebodohan mereka dan merasa menyesal sekali. Dan andaikata benar seperti yang kaukatakan tadi, andaikata mereka itu pada suatu hari datang dan berusaha untuk menyerang dan membunuh kita tentu saja kita akan melawan mereka."
"Hemm, bukankah itu sama saja namanya, ayah" Kitapun akan menggunakan kekerasan apabila diserang dan kalau mereka itu lihai, berarti mereka atau kita yang akan tewas dalam perkelahian itu?"
"Tidak, anakku. Hal itu sudah menjadi berbeda dan lain lagi. Kalau kita diserang orang, berarti kita terancam bahaya den sudah menjadi hak dan kewajiban kita untuk melindungi dan membela diri berusaha melepaskan diri daripada ancaman bahaya. Dalam pembelaan diri ini tidak terkandung kebencian."
Han Tiong menatap tajam wajah puteranya dan merasa prihatin karena dia dapat melihat betapa rasa penasaran yang amat besar mencekam hati puteranya dan bahwa dendam masih meracuni hati puteranya.
"Ingat, anakku. Kegagahan sejati berarti mengalahkan cengkeraman hawa nafsu diri sendiri yang meracuni batin. Tidak ada orang lain yang akan dapat membersihkan batin sendiri dari cengkeraman beracun nafsu dendam kalau bukan kewaspadaan dan kesadaran sendiri."
Cia Sun tidak membantah lagi, akan tetapi dia masih merasa penasaran dan untuk melapangkan hatinya, dia lalu barpamit dan meninggalkan ayahnya untuk menghirup udara segar di luar rumah yang kini kehilangan keindahan dan daya tariknya baginya itu. Dia pergi ke kuburan ibunya dan di depan kuburan yang masih baru itu dia tidak dapat menahan lagi kesedihannya dan menangislah pemuda yang biasanya tabah ini tersedu-sedu. Mengingat betapa ibunya masih segar bugar dan bergembira ketika dia meninggalkannya setahun yang lalu dan kini telah tiada, apalagi mengingat betapa ibunya yang dianggapnya sebagai seorang wanita paling lembut, paling baik dan paling mulia di dunia ini tewas terbunuh oleh orang jahat, hatinya terasa sakit sekali dan dendam semakin tumbuh dalam hatinya.
Memang, kedukaan, kemarahan yang menimbulkan kebencian, semua itu muncul dalam batin apabila pikiran mengingat-ingat segala hal yang telah lewat, menghidupkan segala peristiwa dan pengalaman yang lalu itu dalam ingatan, memperbesar rasa iba diri melalui penonjolan si aku yang dibikin susah atau tidak disenangkan. Makin mendalam pikiran mengingat-ingat, makin berkobarlah nafsu kedukaan dan amarah, membuat kebencian menjadi semakin subur pula. Kebencian timbul dari ingatan. Kebencian adalah ingatan itu sendiri yang disalahgunakan oleh si aku. Tanpa adanya ingatan, tanpa adanya si aku yang mengingat-ingat, takkan ada kebencian.
Sampai hari berganti malam, Cia Sun belum meninggalkan makam ibunya dan para suhengnya yang tewas dalam tangan musuh. Dia duduk bersila, tidak menangis lagi akan tetapi hatinya diliputi penuh duka dan dendam. Makin dia membayangkan kehidupan yang lalu di samping ibunya, makin dia mengingat akan kematian orang yang disayangnya, semakin besar pula penderitaan batinnya. Dia tidah tahu bahwa sore tadi ayahnya menjenguknya dan memandangya dari jauh tanpa mengganggunya. Orang tua itu hanya memandang dengan sinar mata terharu, kemudian Cia Han Tiong meninggalkan puteranya, kembali ke dalam kamarnya di mana diapun duduk bersamadhi dengan tenang. Dia harus membiarkan puteranya itu sadar sendiri dan dia dapat menduga bahwa pada saat itu sedang terjadi perang batin dalam diri puteranya.
Malam itu langit tak berbintang, akan tetapi bulan purnama menerangi permukaan bumi dengan cahayanya yang lembut. Cia Sun masih tetap duduk di depan makam ibunya. Hatinya terasa seperti ditusuk ketika secara tiba-tiba dia teringat akan Sui Cin, gadis yang telah menjatuhkan hatinya, membuatnya mengalami perasaan cinta untuk pertama kali dalam hidupnya. Ketika dia melakukan perjalanan pulang, sudah terkandung rencana dalam hatinya bahwa ibunya akan merupakan orang pertama yang akan diberi tahu tentang rahasia hatinya itu. Dia hendak menceritakan tentang Sui Cin kepada ibunya dan minta nasihat ibunya, bahkan mengharapkan ibunya akan dapat mengatur dan menyampaikan kepada ayahnya tentang hasrat hatinya terhadap puteri Pendekar Sadis. Dia percaya bahwa ayah ibunya akan merasa girang dan akan menyetujui kalau dia minta dilamarkan Sui Cin. Bukankah di antara ayahnya dan Pendekar Sadis terdapat pertalian batin yang amat erat" Teringat akan semua itu, hatinya menjadi hancur. Kini ibunya telah tiada dan dia merasa malu kalau harus bicara tentang gadis itu kepada ayahnya. Dengan kematian ibunya, dia kehilangan banyak sekali.
Selagi Cia Sun tenggelam ke dalam lamunannya sendiri, tiba-tiba terdengar suara orang di belakangnya, "Uh-uhh, membiarkan diri tenggelam dalam duka hanya dilakukan oleh orang-orang lemah. Kalau seorang pemuda selemah ini batinnya, tidak dapat diharapkan lagi!"
Cia Sun melompat berdiri sambil membalikkan tubuhnya. Dia terkejut sekali mendengar suara orang itu dan kini dia terbelalak memandang kepada seorang kakek yang tahu-tahu telah berdiri di depannya. Seorang kakek yang menyeramkan, dengan tubuhnya yang tinggi besar, mukanya hitam penuh cambang bauk dan matanya melotot galak, pakaiannya jubah pendeta yang nampak bersih bahkan mewah, sepatunya baru mengkilap. Diam-diam Cia Sun merasa heran melihat betapa kakek tinggi besar ini tahu-tahu berada di belakangnya tanpa dia mendengar sama sekali. Hal ini saja membuktikan bahwa tentu kakek ini memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi keheranannya tidak mengurangi kemarahannya. Hatinya sedang dipenuhi kemarahan dan dendam, maka kemunculan orang asing yang begitu saja mencelanya membuat pandang mata pemuda ini mengandung api berkilat.
"Iblis dari mana berani datang mengganggu ketenteramku?" bentaknya marah.
"Ha-ha-ha!" Kakek itu tertaa mengejek. "Kiranya masih ada juga sisa api dalam hatimu. Siapa mengganggu ketenteramanmu" Hatimu jelas tidak tenteram. Apakah kalau engkau menangis seperti itu yang mati akan dapat bangkit kembali" Biar engkau menangis sampai mengeluarkan air mata darah sekalipun, ibumu tetap saja akan tinggal di dalam kuburnya, tidak akan dapat bangkit hidup kembali, ha-ha-ha!"
Tentu saja Cia Sun menjadi marah mendengar kata-kata yang kasar dan na-danya mengejek ini. Andaikata dia tidak sedang diracuni kemarahan dan kebenci-an, tentu kata-kata ini masih dapat diterimanya. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, ucapan kakek ini membuatnya marah sekali.
"Orang asing, pergilah dan jangan ganggu aku. Apa hubunganmu dengan u-rusan kematian ibuku?"
"Ha-ha, engkau belum tahu siapa pem-bunuh ibumu, hanya mendengar nama sa-ja. Siapa tahu pembunuhnya itu adalah orang macam aku, ha-ha!"
Cia Sun terbelalak. Menurut ayahnya, pembunuh ibunya ada dua orang yang berjuluk Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo. "Apakah engkau berjuluk Hek-hiat Lo-mo?" tanyanya dengan suara memben-tak.
"Ha-ha, aku boleh saja disebut Lo-mo (Iblis Tua), akan tetapi apakah aku me-miliki Hek-hiat (Darah Hitam) ataukah tidak, haruslah dibuktikan dulu. Akan tetapi aku tahu benar bahwa engkau adalah pu-tera seorang pendeker yang berhati lemah, yang tidak mmiliki kegagahan, membiarkan diri dihina dan diinjak-injak orang lain. Engkaupun seorang pemuda yang lemah dan tidak dapat diharapkan."
"Iblis tua, engkau terlalu menghina orang!" Cia Sun marah sekali dan dia sudah mengepal kedua tinjunya dan siap untuk menerjang.
"Ha-ha, engkau hendak menyerangku" Engkau memiliki keberanian itu" Cobalah, orang muda, memang aku ingin sekali melihat sampai di mana kehebatan keturunan Pendekar Lembah Naga!"
Mendengar ini, semakin besar kecurigaan hati Cia Sun. Siapa tahu kakek ini benar-benar musuh besar keluarganya yang datang lagi, untuk menyempurnakan pekerjaannya yang terkutuk itu, yakni membasmi habis keluarga Pendekar Lembah Naga. Maka dengan kemarahan meluap, Cia Sun sudah menerjang ke depan dan menyerang kakek berjubah pendeta itu. Karena dia sudah dapat menduga bahwa lawan ini tentu lihai sekali, diapun tidak bersikap sungkan lagi dan begitu menyerang, Cia Sun sudah mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang dan begitu tangannya meluncur dia sudah meluruskan telunjuknya yang menjadi kaku seperti baja melakukan totokan bertubi-tubi ke arah tujuh jalan darah utama di bagian depan tubuh lawan. Terdengar bunyi bercuitan ketika tangannya bergerak dan totokan-totokan itu sungguh amat dahsyat!
Biarpun tubuhnya tinggi besar, namun ternyata kakek itu dapat bergerak dengan amat cepat. Tubuhnya bergerak ke sana-sini mengelak dari sambaran jari tangan Cia Sun dan mulutnya mengeluarkan kata-kata seruan, "Ah, inikah yang disebut totokan It-sin-ci (Satu Jari Sakti)" Hebat, akan tetapi masih mentah!" Dan ucapannya ini bukan hanya sekedar membual karena tujuh kali totokan itu lewat dan tidak satupun dapat mengenai tubuh kakek itu.
Diam-diam Cia Sun terkejut. Jurus-jurus serangannya tadi adalah jurus-jurus simpanan. Lawan mungkin dapat menangkisnya, akan tetapi menghindarkan diri dari tujuh kali totokan bertubi-tubi itu hanya dengan cara mengelak, sungguh amat luar biasa! Selain resikonya terlalu besar, juga gerakan tangannya amat cepat sehingga kalau tidak ada orang yang sudah matang ilmunya sehingga gerakannya sudah otomatis dan mendarah daging, kiranya tidak akan mungkin menghindarkan diri semudah itu dari serangkaian totokannya. Dia juga merasa penasaran dan kini mendesak dan menyerang lagi dengan Hok-mo Cap-sha-ciang! Inilah ilmu yang paling dirahakakan dari ayahnya. Hok-mo Cap-sha-ciang (Tiga Belas Jurus Penakluk Iblis) adalah ilmu yang amat luar biasa dan mujijat. Biarpun hanya tiga belas jurus, akan teta
dalam penyamaran itu dan berkenalan, tentu saja aku terpaksa menyamar terus."
Tiba-tiba Hui Song tertawa bergelak. Sui Cin mengerutkan alisnya, merasa ditertawakan dan ia menjadi marah. "Mau apa kau tertawa-tawa seperti gila?"
Hui Song menahan ketawanya. "Aku teringat akan ceritamu tentang banci itu... ha-ha, bisa saja engkau mencari alasan mengapa engkau marah-marah ketika aku mendekatimu. Ingat ketika aku merangkulmu karena kuanggap biasa antara laki-laki dan kau marah-marah dan..."
Wajah dara itu menjadi merah sekali. "Sudahlah, tak perlu diungkit-ungkit kembali. Sekarang, mau apa sih engkau mengejarku?"
Hui Song bersikap sungguh-sungguh walaupun kini wajahnya cerah dan gembira sekali.
Memang harus diakuinya bahwa sejak berpisah dari Sui Cin si pemuda jembel, dia merasa kehilangan dan kesepian. "Sebenarnya aku tidak mengejarmu, melainkan mencari jejak Sui Cin pemuda itu."
"Mau apa?"
Hui Song tersenyum malu-malu. "Pertama... eh, untuk bertanya bagaimana dia tidak muncul di pantai telaga, dan kedua... anu... aku ingin menagih janji karena dia berjanji hendak memperkenalkan aku kepada encinya."
"Mata keranjang!"
"Bukan begitu, Sui Cin. Janji tetap janji! Sekarang katakanlah, mengapa engkau tidak muncul di pantai" Aku mendengar penuturan Shantung Lo-Kiam bahwa ada seorang gadis diculik penjahat. Entah bagaimana, aku teringat akan encinya Sui Cin, maka akupun lalu melakukan pengejaran dan pencarian. Dan ternyata aku beruntung sekali, menemukan Sui Cin sahabatku bersama encinya sekaligus. Sui Cin, benarkah engkau yang dikabarkan oleh Shantung Lo-kiam itu?"
Sui Cin mengangguk. "Benar. Aku melakukan pengamatan di pantai seperti yang telah kita rencanakan, dan karena aku sudah berpisah darimu, aku mengenakan pakaian wanita kembali agar lebih mudah mengamati. Di situ aku bertemu dengan Sim Thian Bu yang tadinya tidak kusangka seorang penjahat karena dia pernah mau ikut menghadiri pertemuan antara para pendekar tempo hari. Kiranya dia seorang jai-hwa-cat dan kami segera ber-kelahi. Aku lengah ketika muncul seorang di antara tokoh Hwa-i Kai-pang itu, yang perutnya gendut, dan aku tertotok roboh. Lalu muncul kakek itu, yang membawa yang-kim..."
"Shan-tung Lo-kiam..."
"Kakek itu menyerang si gendut dan mereka berkelahi. Aku yang sudah terto-tok lalu dilarikan oleh jahanam Sim Thian Bu. Aku dilarikan menuju ke sebuah guha tersembunyi dan... dan... si jahanam keparat itu hampir saja menggangguku!"
Hui Song mengepal tinju. "Keparat! Lalu bagaimana?"
"Untung muncul seorang pemuda... anehnya, pemuda itu adalah suheng dari Sim Thian Bu walaupun usianya paling banyak delapan belas tahun sedangkan Sim Thian Bu sudah dua puluh lima ta-hun lebih. Pemuda itu melarang, akan tetapi jahanam itu membantah dan akhirnya jahanam itu dihajar babak-belur oleh pemuda yang amat lihai itu. Kemudian aku dibebaskan dan begitu kaki tanganku bebas, tentu saja aku menyerang Sim Thian Bu yang sudah dihajar parah. Akan tetapi pemuda itu menangkit dan ternyata dia amat kuat..."
Hui Song terbelalak heran. "Nanti du-lu, apakah pemuda itu wajahnya masih amat muda akan tetapi matanya mencorong, pakaiannya sederhana den tubuhnya tinggi tegap?"
"Benar jubahnya kasar belang-belang agaknya dari kulit harimau..."
"Ah, benar dia! Menurut dugaan Shan-tung Lo-kiam, dia tentu putera Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta!"
"Apa" Datuk itu?" Sui Cin bertanya kaget. "Kalau begitu, Sim Thian Bu adalah murid Si Iblis Buta?"
"Mungkin sekali, dan itulah sebabnya dia menyebut suheng kepada pemuda itu, karena kalah tingkat."
"Tapi kalau pemuda itu putera Iblis Buta, kenapa dia menolongku dan meng-hajar sutenya sendiri?"
Hui Song termenung. "Entahlah, sung-guh teka-teki yang membingungkan."
Hening sejenak. Kemudian Sui Sin yang mulai merasa biasa berhadapan dengan Hui Song sebagai seorang wanita, bertanya, "Bagaimana dengan usahamu menyelamatkan Menteri Liang?"
"Berhasil dengan baik," katanya dan diapun lalu menceritakan bahwa dia telah menemui Menteri Liang, menceritakan semua rencana kaum penjahat dan betapa dia lalu pada saat yang ditentukan menyamar sebagai Menteri Liang dan menggantikan menteri itu pergi ke telaga. Diceritakan betapa yang muncul ada-lah Kui-kok Lo-mo, Kui-kok Lo-bo dan Kiu-bwe Coa-li yang menyerangnya akan tetapi dia dan para pengawal istimewa dapat menanggulangi, bahkan sudah hampir berhasil dibantu oleh Shan-tung Lo-kiam untuk mengalahkan mereka.
"Sayang muncul pemuda aneh itu bersama kakek kurus yang menurut dugaan Shan-tung Lo-kiam adalah Si Iblis Buta bersama puteranya. Pemuda itu lihai sekali, menggunakan panah api membakar perahu dan dia berhasil menyelamatkan tiga tokoh Cap-sha-kui itu sehingga kami tidak berhasil mencegah mereka me-loloskan diri."
Sui Cin mendengarkan dengan heran dan kagum. Sungguh tokoh muda yang menolongnya itu amat aneh. Membantu para penjahat, akan tetapi juga menen-tang kejahatan sute sendiri.
"Dan selanjutnya, apa yang akan keu-lakukan, Song-ko?"
"Masih banyak yang hendak kulaksa-nakan, akan tetapi aku ingin melakukan-nya bersamamu, Sui Cin, karena itulah maka aku mengejar dan mencarimu."
"Aku baru saja terlepas dari bencana dan aku ingin pulang, sudah terlalu lama meninggalkan ayah ibu."
"Ah, betapa inginku ikut bersamamu pergi menghadap dan berkenalan dengan orang tuamu, secara langsung bertemu muka dengan Pendekar Sadis yang nama-nya sudah kukenal sejak kecil! Akan te-tapi, tugas masih mengikatku, Sui Cin. Engkau tentu tahu bahwa keselamatan Menteri Liang masih terancam..."
"Engkau bukan pegawai negeri dan perlindungan terhadap seorang menteri dapat dilakukan oleh pasukan keamanan!"
"Engkau benar. Akan tetapi kita tahu bahwa juga Jenderal Ciang terancam. Kalau kita tidak membantu, padahal sum-ber keterangan itu dari kita, tentu pihak pemerintah aken merasa curiga akan ke-benaran berita itu. Apalagi kalau di be-lakang para penjahat itu terdapat pembe-sar yang amat berpengaruh den berkua-sa. Kita harus membongkar semua keja-hatan itu dan menentang kelaliman, be-rulah tidak percuma kita belajar silat se-jak kecil dan menjadi keturunan para pendekar."
"Uwaahhh! Agaknya engkau hendak membanggakan kedudukanmu sebagai putera pendekar, putera ketua Cin-ling-pai, ya?" Sui Cin mengejek sambil tersenyum. "Tidak demikian, adikku yang baik. Akan tetapi, kalau orang tua kita sudah berjuang sebagai pendekar dan memper-oleh nama harum, bukankah sudah menjadi kewajiban kita anak-anak mereka untuk menjunjung tinggi nama itu dengan perbuatan gagah dan baik pula" Selain itu, bukankah di lubuk hati kite sudah terdapat perasaan menentang kejahatan?"
Sui Cin mengibaskan tangan kirinya. "Sudahlah, cukup dengan kuliahmu itu. Sekarang apa kehendakmu setelah engkau bertemu denganku di sini?"
"Cin-moi, aku merasa berbahagia sekali bertemu denganmu di sini, baik sebagai pemuda jembel maupun sebagai seorang gadis. Bagaimanapun juga, di antara kita masih terdapat ikatan yang amat dekat, setidaknya ikatan saudara seperguruan. Ingat bahwa ayahmu juga merupakan seorang murid Cin-ling-pai yang amat membanggakan, dan engkaupun menguasai banyak ilmu-ilmu tingkat tinggi dari Cin-ling-pai."
"Sudahlah jangan memuji-muji, maksudmu bagaimana?"
"Kita masih saudara seperguruan, dan kita bardua sudah mengalami bersama kejahatan yang dilakukan oleh komplotan busuk antek-antek pembesar lalim itu. Maka, jika engkau tidak keberatan, Cin-moi-, marilah kita lanjutkan kerja sama ini untuk menentang mereka. Setidaknya, sampai urusan ini selesai dan aku akan menemanimu kembali ke tempat tinggal orang tuamu, memberi kesempatan kepadaku untuk belajar kenal dengan mereka."
Sui Cin termenung. Bagaimanapun juga, ia merasa suka kepada pemuda ini dan sudah menikmati perjalanan bersama yang penuh petualangan itu. Rasanya tidak enak juga kalau kini membiarkan Hui Song bekerja sendiri menempuh bahaya besar menghadapi komplotan yang lihai itu.
Akhirnya ia mengangguk. "Baiklah, aku akan membantumu sampai usaha pembunuhan terhadap Jenderal Ciang itu digagalkan."
Wajah yang cerah itu makin berseri dan sepasang mata pemuda itu bersinar-sinar ketika dia meloncat bangun dengan girang. "Wah, terima kasih, Cin-moi! Aku memang tahu bahwa engkau adalah seo-rang pendekar wanita sejati!"
"Simpan pujian-pujianmu untuk lain kali, jangan dihabiskan sekarang. Yang penting,
sekarang apa yang harus kita la-kukan?"
"Untuk sementara ini, Menteri Liang sudah dapat diselamatkan dan tentu akan selalu dikawal ketat."
"Dan kalau engkau memberi tahu kepada Jenderal Ciang lalu pembesar itu selalu dikawal pasukan-pasukan yang kuat, penjahat-penjahat itu mampu berbuat apakah" Perlu apa kita harus bersusah payah lagi, Song-ko?"
"Engkau tahu, urusan ini bukan seke-dar kejahatan biasa, melainkan komplotan yang menjadi antek dari Liu-thaikam, pembesar dalam istana yang korup dan jahat itu. Aku sudah menemui Jenderal Ciang dan beliau tidak merasa heran mendengar beritaku bahwa ada tokoh-tokoh sesat yang hendak membunuhnya, karena dia tahu betapa Liu-thaikam membenci-nya. Liu-thaikam harus ditumbangkan ke-kuasaannya, demikian kata Jenderal Ciang. Kalau tidak, pembesar keji itu akan se-makin berani dan mungkin saja kesela-matan kaisar sendiri kelak akan teran-cam oleh kejahatan Liu-thaikam dan an-tek-anteknya."
"Apa susahnya" Laporkan saja kejahatan Liu-thaikam kepada sri baginda kaisar agar dia ditangkap dan dihukum, habir perkara."
"Enak saja kau bicara, Cin-moi! Ketahuilah, menurut penuturan Jenderal Ciang, kedudukan thaikam itu amat ting-gi dan celakanya, kaisar amat percaya kepadanya. Bahkan dia merupakan orang pertama yang dipercaya sri baginda kaisar. Melaporkannya begitu saja kepada kaisar bahkan akan mencelakakan si pelapor karena kaisar tidak akan percaya. Karena itulah, maka Ciang-goanswe minta bantuan dan kerja samaku untuk menghadapi para penjahat itu, memancing mereka agar turun tangan dan kita akan menghadapi mereka sehingga tidak sampai gagal seperti ketika para penjahat menyerbu Menteri Liang. Kita harus dapat menangkap hidup-hidup agar para penjahat itu dapat membuat pengakuan di depan kaisar sebagai saksi. Hanya dengan demikian maka kaisar akan percaya betapa jahat dan palsunya kepala thaikam itu dan dapat menjatuhkan hukuman. Nah, maukah engkau membantu agar usaha penting ini berhasil?"
"Bagaimana rencana jenderal itu?"
"Ciang-goanswe diam-diam memerin-tahkan agar seorang sahabatnya yang menjadi guru silat di kota Pao-fan, merayakan hari ulang tahunnya dan mengundangnya, juga mengundang para tokoh persilatan, baik dari golongan sesat mau-pun dari golongan bersih. Sebagai seorang bekas piauwsu dan juga sebagai guru silat, tidak terlalu menyolok kalau dia memberi kesempatan kepada para tokoh silat untuk menghadiri pestanya. Akan disiarkan berita bahwa pesta itu di-hadiri oleh Jenderal Ciang sehingga komplotan itu tentu akan mendengarnya dan dapat dipastikan bahwa mereka akan turun tangan menyerang Jenderal itu di tempat pesta. Nah, di sinilah kita turun tangan pula menentang den menangkap mereka, bersama dengan pada pengawal yang diam-diam diselundupkan ke tempat itu."
"Bagus sekali, mari kita berangkat!" kata Sui Cin penuh semangat. Gadis ini memang sejak kecil suka berkelahi, apalagi berkelahi menghadapi para penjahat dan dalam urusan menentang kejahatan, ia tidak pernah mengenal takut.
Sui Cin menunggang kudanya lagi, me-makai payung karena panas matahari ma-sih menyengat. Hui Song berjalan di samping kuda, wajahnya berseri dan sema-ngatnya berkobar. Setelah kini didampingi Sui Cin, semangat pemuda ini semakin besar dan diapun tahu bahwa dia telah jatuh cinta kepada gadis ini, bahkan mungkin cintanya itu sudah bersemi ketika dia menganggap gadis ini seorang pemuda jembel.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Ang-kauwsu (guru silat Ang) memang mempunyai banyak kenalan. Sebelum menjadi guru silat yang tinggal di kota Pao-fan, di waktu mudanya dia pernah bakerja sebagai kepala piauwau (pengawal barang) yang cukup terkenal di kota raja. Sebagai piauwau, tentu saja dia banyak mengenal dunia hitam, mengenal para penjahat karena hal ini amat penting bagi pekerjaannya. Karena bersahabat dan suka memberi hadiah, maka para penjahat tidak akan mengganggu kiriman barang-barang di bawah bendera piauw-kiok yang dipimpinnya. Kini usianya sudah enam puluh tahun dan ketika dia diundang oleh Jenderal Ciang yang sudah dikenalnya dan diberitahu tentang komplotan yang hendak membunuhi para pembesar yang setia, dia segera menyatakan kesetiaannya untuk membantu jenderal itu menumpas para penjahat. Tentu saja hanya dengan cara mengadakan pesta ulang tahun ke enam puluh dan mengundang semua golongan sebagai pancingan agar para penjahat itu melihat kesempatan hadirnya Ciang-goanswe di situ dan berani turun tangan. Dia sendiri tidak berani mencampuri karena begitu mendengar bahwa komplotan itu terdiri dari orang-orang Cap-sha-kui, nyali guru silat ini sudah terbang dan mukanya menjadi pucat ketakutan. Siapa orangnya takkan ngeri mendengar nama Cap-sha-kui"
Berita tentang pesta ulang tahun Ang-kauwsu telah tersiar luas. Diberikan bahwa Ang-kauwsu mengadakan pesta besar-besaran dan meriah, bahkan mengundang orang-orang penting, juga Jenderal Ciang dari kota raja akan hadir dalam pesta itu. Juga diberitakan bahwa Ang-kauwsu membuka kesempatan kepada se-mua kawan di rimba raya untuk datang tanpa adanya surat undangan karena sukar menyampaikan surat undangan kepada mereka. Berita ini cukup bagi kaum se-sat bahwa Ang-kauwsu tidak melupakan mereka dan bahwa semua orang tokoh sesat akan diterima sebagai tamu ter-hormat kalau menghadiri pesta itu. Tentu saja yang dimaksudkan dengan tokoh adalah mereka yang memiliki kepandaian cukup tinggi untuk menjadi tamu kehor-matan Ang-kauwsu.
Sejak pagi pada hari yang ditentukan, ruangan besar yang merupakan tempat darurat, yaitu halaman depan rumah yang dibangun untuk tempat pesta, mulai dibanjiri tamu dari berbagai golongan. Tidaklah sukar untuk menduga siapakah tamu-tamu dari golongen bersih dan siapa pula tamu dari golongan sesat karena sebagian besar dari para kaum sesat itu bersikap kasar dan congkak, juga aneh-aneh pakaian dan sikap mereka. Karena para undangan itu terdiri dari orang-orang dari kaum persilatan, maka tidak diadakan penggolongan tempat duduk bagi wanita dan pria.
Biarpun wanita, kalau wanita kang-ouw, tidak merasa canggung duduk di antara kaum pria. Ada belasan orang wanita di antara para undangan itu yang duduknya berpencaran. Di antara mereka terdapat seorang gadis yang sikapnya menonjol karena selain wajahnya angker dan galak, juga dara ini amat cantik dan datangnya sendirian saja ke dalam pesta itu. Akan tetapi ketika ia memperkenalkan diri kepada tuan rumah sebagai seorang murid yang mewakili Cin-ling-pai, ia menjadi pusat perhatian orang di sekitarnya. Cin-ling-pai, nama yang sudah amat terkenal. Akan tetapi banyak pula yang merasa heran mengapa Cin-ling-pai diwakili oleh seorang gadis yang masih begitu muda, cantik jelita dan halus pula gerak-geriknya. Yang dapat menunjukkan bahwa ia seorang ahli silat hanyalah sepasang pedang yang tergantung di punggung dan wajahnya yang angker itu.
Dara itu berusia sembilan belas tahun, pakaiannya ringkas namun cukup mewah dan bersih, sepatunya mengkilap, wajahnya manis sekali, dengan mulut yang kecil dan dagu yang meruncing, matanya tajam galak dan rambutnya hitam dan lebat sekali, digelung ke atas merupakan sanggul yang besar dan diikat sutera kuning. Kalau rambut itu dilepas sanggulnya, mungkin panjangnya sampai ke lutut. Sepasang pedang panjang tipis melintang di kanan kiri pundak, tergantung pada punggung dan ini menambah kegagahannya. Ketika Ang-kauwsu mendengar bahwa gadis cantik ini adalah wakil Cin-ling-pai yang memberi selamat kepadanya, dia lalu mengantar tamu ini ke sebuah meja di mana telah duduk tiga orang tamu lain, dua wanita dan seorang pria yang menjadi kenalan baiknya karena mereka itu adalah keluarga piauwsu di kota Pao-fan. Dara Cin-ling-pai itu dipersilakan duduk dan gadis itu nampak lega karena memperoleh teman duduk yang cukup sopan dan yang usianya sekitar tiga puluhan, belum tua benar. Ia memperkenalkan diri sebagai Tan Siang Wi dan segera bercakap-cakap dengan tiga orang semeja itu.
Tak jauh dari meja di mana Tan Siang Wi duduk, terdapat pula tiga orang pria sedang duduk bercakap-cakap. Sukar dikatakan apakah mereka itu golongan sesat ataukan golongan bersih. Pakaian mereka cukup rapi, dan jelas menunjukkan pakaian ahli-ahli silat karena ringkas dan sikap merekapun gagah. Seorang di antara mereka sudah tua, jenggot kumis dan alisnya sudah putih namun tubuhnya masih tegap dan nampak kuat. Dua orang lainnya yang duduk di kanan kirinya berusia empat puluh tahun lebih, rambut mereka dikuncir tebal dan wajah mereka nampak gagah dengan jenggot terpelihara rapi. Akan tetapi, sikap tiga orang ini agak congkak dan hal ini dapat nampak pada pandang mata mereka yang ditujukan kepada para tamu yang hadir. Bah-kan setiap kali ada tamu datang, teruta-ma tamu yang menunjukkan bahwa mereka ini datang dari golongan hitam, me-reka bertiga bicara dan tertawa-tawa. Pandang mata mereka yang ditujukan ke-pada tamu baru itu ketika tertawa-tawa menunjukkan bahwa tentu tamu baru itu yang menjadi bahan ketawa mereka.
Demikian pula ketika Tan Siang Wi muncul, mereka berbisik-bisik dan meli-rik ke arah gadis itu, tersenyum-senyum menyeringai dengan sikap kurang ajar se-kali. Karena Siang Wi tidak mendengar apa yang mereka bicarakan, dara inipun tidak perduli. Akan tetapi setelah ia du-duk bersama tiga orang tamu dan kebe-tulan duduknya menghadap ke arah meja tiga orang itu, mulailah Siang Wi menge-rutkan alisnya. Ia melihat betapa tiga o-rang itu, terutama dua orang termuda, selalu memandang kepadanya dan sengaja mainkan mata mereka seperti lagak la-ki-laki yang hendak menggoda wanita. Tentu saja Siang Wi menjadi mendongkol dan mula-mula ia memang membuang muka saja dan tidak mau balas meman-dang. Akan tetapi, telinganya mulai da-pat menangkap percakapan mereka itu di antara berisiknya suara para tamu lain. Marahlah gadis ini.
Tan Siang Wi adalah murid tunggal dari Bin Biauw, isteri ketua Cin-ling-pai. Seperti kita ketahui, Bin Biauw atau nyo-nya Cia Kong Liang ini adalah puteri bekas datuk sesat Tung-hai-sian, seorang Bangsa Jepang. Setelah berbesan dengan ketua Cin-ling-pai, Tung-hai-sian mencu-ci tangan dan tidak lagi berkecimpung di dalam dunia sesat. Puterinya, Bin Biauw, biarpun puteri seorang datuk sesat, adalah seorang gadis yang baik sehingga dapat menjatuhkan hati Cia Kong Liang. Akan tetapi setelah kini mempunyai se-orang murid, ternyata muridnya ini sedi-kit banyak mewarisi watak Tung-hai-sian. Tan Siang Wi ini berwatak keras sekali, tidak pernah mau mengalah, agak tinggi hati dan angkuh walaupun ia selalu ber-tindak gagah dan menentang kejahatan. Selain mewarisi ilmu dari Bin Biauw, ia juga menerima petunjuk-petunjuk dan ilmu silat dari ketua Cin-ling-pai sendiri maka dapat dibayangkan betapa lihainya Siang Wi. Kelihaiannya membuat dara ini semakin tinggi hati, terutama terhadap golongan sesat yang dianggap musuhnya. Tangannya berobah ganas kalau ia berurusan dengan kaum sesat dan sedikitpun ia tidak mau mengalah atau memberi ha-ti. Maka, selama satu dua tahun saja me-masuki dunia kang-ouw, gadis ini telah dijuluki orang Toat-beng Sian-li (Dewi Pencabut Nyawa) karena ganasnya terha-dap musuh-musuhnya. Agaknya karena kenyataan yang sudah didengarnya bahwa sukongnya, yaitu Bin Mo To di Ceng-to, adalah seorang bekas datuk sesat, gadis ini hendak membuktikan kepada semua orang di dunia bahwa dia adalah murid isteri ketua Cin-ling-pai, jadi seorang pendekar, bukan orang sesat!
Terdapat kecondongan hati kita untuk selalu menutupi kekurangan dan menon-jolkan kelebihan kita. Kita selalu ingin disebut baik. Keinginan seperti ini selalu timbul karena kenyataan yang kita lihat bahwa keadaan kita adalah sebaliknya daripada baik. Hanya orang yang berkulit hitam sajalah yang selalu ingin disebut putih. Hanya orang yang bodoh sajalah yang selalu ingin dianggap pintar, dan hanya orang yang melihat betapa kotor dirinya sajalah yang selalu ingin dianggap bersih dan baik. Kita lupa bahwa justeru keinginan-keinginan untuk dianggap lain daripada kenyataan ini yang seringkali mendorong kita untuk melakukan hal-hal yang buruk dan bodoh. Kalau kita sadar akan kekotoran kita, maka kita akan ber-usaha membersihkannya, bukan dengan cara menyembunyikan atau menutupinya. Kalau kita sadar bahwa kita bersih, ma-ka kita akan menjaga agar kebersihan i-tu tidak ternoda kekotoran, bukan lalu menjadi tinggi hati dan merasa bersih dan baik sendiri karena perasaan demiki-an itu sudah menodai kebersihan itu sendiri. Mengapa kita kadang-kadang merasa ngeri untuk menghadapi dan melihat ke-nyataan apa adanya, betapa buruk dan kotor sekalipun kenyataan itu" Menutupi kenyataan, melarikan diri dari kenyataan, jelas tidak akan dapat merobah keadaan itu.
"Ha-ha-ha!" Seorang di antara tiga pria itu tertawa lagi sambil menyumpit dan makan kue yang mulai dihidangkan. Wajah mereka mulai merah oleh arak. "Agaknya Cin-ling-pai sudah kehabisan jago jantan maka mengeluarkan jago betina, heh-heh!"
Ucapan itu sebenarnya lebih merupakan kelakar di antara mereka sendiri karena diucapkan perlahan dan dimaksudkan untuk mereka dengar sendiri, dan ketiganya tertawa bergelak sambil melontarkan pandang ke arah meja Siang Wi. Akan tetapi karena mencurahkan perhatian ke arah mereka, Siang Wi dapat menangkap kata-kata itu dan marahlah gadis ini. Ia tidak mampu lagi mengendalikan dirinya dan sekali melompat, ia telah meloncati mejanya dan tahu-tahu, seperti seekor burung saja ia sudah hinggap di atas lantai dekat meja tiga orang itu!
"Kalian tadi bilang apa?" bentaknya sambil berdiri dengan kedua tangan bertolak pinggang dan mata tajam penuh kemarahan menatap mereka.
Tiga orang itu terkejut. Tak mereka sangka bahwa gadis itu akan dapat men-dengar ucapan yang menghina Cin-ling-pai tadi, juga mereka terkejut melihat gadis itu demikian gesitnya meloncati meja dan kini berdiri di depan mereka dengan sikap mengancam.
"Eh, kami bilang apa" Tidak ada sangkut-pautnya denganmu!" seorang di anta-ra mereka menjawab dan melanjutkan jepitan sumpitnya pada kue di atas pi-ring.
"Bagus! Kalian menghina Cin-ling-pai dan masih berani bilang tidak ada sang-kut-pautnya denganku" Biarpun Cin-ling-pai diwakili seorang wanita setidaknya jauh lebih gagah daripada kalian ini ban-ci-banci pengecut yang tidak berani me-ngakui perbuatannya!"
Para tamu yang duduk di sekitar tempat itu menjadi kaget dan merekapun menoleh dengan penuh perhatian dan wa-jah mereka tertarik sekali. Dalam perte-muan antara para orang-orang kang-ouw sudah lumrah apabila terjadi keributan dan perkelahian. Mereka bahkan sebagian besar mengharapkan terjadinya hal ini, karena dalam pertemuan para ahli persi-latan, terasa kurang sedap dan kurang bumbu kalau tidak terjadi keributan dan perkelahian.
Tiga orang itu sebenarnya bukan o-rang-orang sembarangan. Kakek yang ber-jenggot putih itu adalah seorang tokoh kang-ouw yang terkenal yang berjuluk Huang-ho Lo-eng (Pendekar Tua Sungai Kuning) bernama Pui Tek. Adapun dua o-rang laki-laki gagah di sampingnya adalah dua orang muridnya, juga amat ter-kenal sebagai Huang-ho Siang-houw (Se-pasang Harimau Sungai Kuning). Mereka bukan penjahat dalam arti kata memiliki pekerjaan jahat seperti perampok atau bajak, akan tetapi karena orang-orang takut kepada mereka, maka dengan mu-dah mereka memperoleh hasil dari ha-diah yang mereka terima dari para peda-gang demi keselamatan dan keamanan. Mereka adalah semacam tukang-tukang pukul yang disegani. Guru mereka, Huang-ho Lo-eng Pui Tek pernah dalam suatu perkelahian dikalahkan oleh Cia Kong Liang ketua Cin-ling-pai. Walaupun bukan merupakan permusuhan pribadi dan tidak ada dendam secara terbuka, namun kekalahan itu membuat Pui Tek mendongkol dan tidak suka kepada Cin-ling-pai, menganggap ketua Cin-ling-pai yang memang keras wataknya itu terlalu sombong. Dengan sendirinya, kedua orang muridnya juga tidak suka kepada Cin-ling-pai, maka tidak heranlah kalau mereka tadi mengeluarkan kata-kata yang nadanya tidak bersahabat terhadap Cin-ling-pai sehingga membuat Siang Wi menjadi marah sekali.
Kini, di depan meja mereka berdiri seorang gadis Cin-ling-pai yang bertolak pinggang dan memaki mereka banci pengecut di depan begitu banyak orang. Tentu saja wajah tiga orang itu menjadi merah sekali dan kemarahan mulai memenuhi hati mereka. Akan tetapi, bagaimanapun juga mengingat akan julukan Pui Tek yang masih memakai Lo-eng (Pendekar Tua), dua orang harimau itu tentu saja lebib condong merasa diri mereka pendekar dari golongan bersih daripada sebagai golongan hitam, maka ada rasa harga diri pada mereka yang membuat mereka merasa malu kalau ha-rus ribut-ribut dan berkelahi melawan se-orang gadis yang masih remaja, yang usianya tentu belum ada dua puluh tahun. Mereka adalah jagoan-jagoan di sepanjang Sungai Kuning, tentu memalukan kalau harus berkelahi melawan seorang dara remaja. Akan tetapi didiamkan sajapun tidak mungkin setelah gadis itu memaki mereka sebagai banci pengecut.
"Bocah perempuan kurang ajar, makanlah ini!" Bentak orang yang menyumpit kue itu dan sekali tangan kanan yang memegang sumpit bergerak, kue sepotong yang disumpitnya itu meluncur ke arah muka Siang Wi dengan kecepatan kilat!
"Capp!" Dara itu menggerakkan ta-ngan kanan dan menjepit ke arah kueh itu. Dengan tepat sekali telunjuk dan ja-ri tengah tangan kanannya telah menje-pit kueh itu dan ia melakukan ini sam-bil tersenyum mengejek.
"Makanlah sendiri!" Dara itu membentak dan tiba-tiba tangannya bergerak. Kueh itu meluncur cepat ke arah muka orang yang menyambit tadi. Orang itu cepat menggerakkan sumpit untuk menjepit kembali, akan tetapi begitu bertemu sumpit, kue itu hancur dan tentu saja hancuran kue itu menyambar dan mengenai muka orang itu. Ternyata sebelum membalas dengan timpukan, Siang Wi telah lebih dulu menggunakan tenaga jari tangan membikin kue itu remuk bagian dalamnya. Hancurnya kue menyerang mata, hidung dan mulut, membuat orang itu repot membersihkan mukanya sambil memaki-maki!
Orang kedua yang melihat saudaranya mendapat malu, sudah bangkit dan mem-bentak marah, "Bocah perempuan, berani kau menghina orang?" Dan sekali kepala-nya bergerak, rambut yang dikuncir te-bal itu menyambar ke depan, mengeluar-kan suara bersuitan dan memukul ke a-rah leher Siang Wi. Sungguh merupakan serangan yang aneh akan tetapi juga ber-bahaya karena thouw-cang (kuncir) yang digerakkan dengan tenaga sin-kang ini tak kalah ampuhnya dibandingkan dengan senjata keras.
Orang itu sungguh terlalu memandang rendah kepada Siang Wi maka dia berani selancang itu menyerang dengan kuncirnya. Kalau tidak begitu tentu dia tidak berani bergerak secara sembrono seperti itu.
"Wuuuuttt...!" Kuncir itu meluncur lewat ketika Siang Wi merendahkan tubuh mengelak dan begitu kuncir menyambar lewat, tangan kiri Siang Wi mencuat dan tahu-tahu kuncir itu sudah dapat dicengkeramnya! Sekali sentakan, terpaksa kepala orang itu tertunduk dan Siang Wi sudah mengangkat lututnya untuk menghajar muka orang! Tentu sedikitnya hidung orang itu akan berdarah kalau saja saudaranya tidak cepat menubruk dengan pukulan tangan ke arah punggung Siang Wi.
"Huh, pengecut curang!" bentak Siang Wi yang terpaksa melepaskan orang per-tama dengan mendorongnya mundur, ke-mudian sambil meloncat dara itu mem-balik dan menangkis pukulan orang ke-dua.
"Dukk!" Dua tenaga besar bertemu dan akibatnya, orang berjenggot itu menyeringai kesakitan dan meloncat ke be-lakang. Tak disangkanya pertemuan le-ngan itu membuat lengannya kesakitan dan seperti lumpuh saking kuatnya lengan kecil milik nona itu. Kini tahulah dua o-rang Harimau Sungai Kuning itu bahwa lawannya, biarpun wanita, biarpun masih muda sekali, ternyata memiliki ilmu kepandaian yang cukup hebat.
Kini para tamu menjadi semakin gem-bira, dan tuan rumah, yaitu Ang-kauwsu yang juga melihat pertikaian itu diam saja karena diapun ingin melihat kesudahannya. Guru silat ini juga memiliki pe-nyakit yang sama dengan orang-orang dari kalangan persilatan, yaitu suka melihat adu silat. Pula, diam-diam diapun merasa tidak senang melihat sikap para jagoan Huang-ho yang terkenal kasar dan banyak lagak itu tadi menghina utusan Cin-ling-pai. Dia mengharapkan jagoan-jagoan sombong itu menemui batunya walaupun hatinya khawatir melihat bahwa di situ terdapat pula Huang-ho Lo-eng yang dia tahu amat lihai sekali.
"Budak perempuan kurang ajar! Berani engkau menghina kami di tempat umum" Hayo cepat berlutut minta maaf kalau tidak ingin menerima hajaran kami!" ben-tak seorang di antara dua jagoan yang mukanya terkena hancuran kue tadi. Ba-gaimanapun juga, dia dan kawannya ma-sih sungkan melawan seorang gadis, apa-lagi sekarang mereka berdua telah memegang senjata andalan mereka, yaitu sebatang tombak besar gagang panjang. Kalau dara itu mau minta maaf, berarti muka mereka telah tercuci, atau kalau dara itu tetap hendak melawan, berarti mereka sudah memberi kesempatan kepa-danya untuk minta maaf.
Seorang seperti Siang Wi, mana me-ngenal minta maaf" Hatinya terlalu ke-ras untuk mau mengalah, apalagi terhadap orang-orang yang sudah berani meng-hinanya dan menghina Cin-ling-pai.
Ia tersenyum mengejek dan mukanya menjadi semakin dingin, sepasang mata-nya mengeluarkan sinar kilat. "Dua mo-nyet busuk, dengarlah baik-baik. Kalian yang telah menghina Cin-ling-pai dan kalau kalian kini berlutut minta ampun, barulah nonamu hendak mempertimbangkan apakah kalian dapat diampunkan. Ka-lau tidak, aku akan menghajar kalian!"
Ucapan ini sungguh amat hebat. Bu-kan hanya menantang terang-terangan di depan orang banyak itu, bahkan menghina. Mana bisa Huang-ho Siang-houw, dua jagoan itu mau menerima begitu saja"
"Bocah setan, engkau bosan hidup!" teriak seorang di antara mereka dan go-lok besar bergagang panjang itu menyam-bar dahsyat ke leher Siang Wi. Tentu sa-ja dara perkasa itu tidak sudi lehernya dibabat begitu saja. Ia cepat mengelak sambil membalikkan tubuh menendang meja di depannya. Kakek Huang-ho Lo-eng yang duduk di belakang meja itu ce-pat menghindar dengan loncatan gesit ke kanan sehingga dia tidak sampai terkena tumpahan makanan dan arak. Akan teta-pi dia bukan hanya meloncat begitu saja, melainkan cepat meraih dan dia sudah berhasil menangkap kaki meja dan mena-ruh meja itu di samping. Gerakan ini sa-ja membuktikan kecepatan dan kelihaian jago tua ini. Kini terdapat ruang agak luas bagi Siang Wi yang menghadapi dua orang lawannya. Dua orang harimau itu mulai menyerang dengan golok gagang panjang mereka. Semua orang meman-dang dengan tegang dan juga agak kha-watir karena Siang Wi tidak mau mem-pergunakan pedangnya. Dara ini tadi me-mang melolos sepasang pedangnya, akan tetapi bukan dicabut untuk melawan, me-lainkan ia letakkan di atas mejanya sen-diri agar sepasang senjata itu tidak mengganggu gerakannya, kemudian ia kembali ke hadapan dua orang lawannya, mela-wan dengan tangan kosong.
"Anak itu terlalu sembrono!"
"Terlalu sombong bisa merugikannya."
"Tapi, ia kelihatan lihai sekali."
Demikianlah para penonton saling ber-bisik melihat betapa dara itu menghadapi Huang-ho Siang-houw dengan tangan ko-song, padahal kedua orang lawan itu menggunakan senjata tajam yang berga-gang panjang. Dua orang jagoan itu sen-diri merasa kikuk dan sungkan.
"Bocah gila, hayo pergunakan pedangmu!" bentak mereka.
"Melawan dua ekor monyet tua ma-cam kalian tidak perlu pakai pedang!" jawab Siang Wi
yang memang tinggi ha-ti.
Dua orang itu tak dapat lagi menahan kemarahan hati mereka. Keduanya lalu menyerang dengan golok mereka. Senjata itu mengeluarkan suara bercuitan dan berdesing-desing, dan terbentuk dua gu-lungan sinar lebar yang menyambar-nyambar. Akan tetapi, para tamu menjadi be-ngong ketika mereka melihat betapa da-ra itu menggerakkan tubuhnya dan se-perti seekor burung walet saja gesitnya beterbangan di antara sambaran kedua golok itu! Bukan main indahnya gerakan dara itu dan tak terasa lagi keluar puji-an dari mulut para tamu yang sudah tinggi ilmunya.
Hui Song dan Sui Cin baru saja menyelinap ke dalam rombongan tamu, me-milih tempat di sudut. Mereka mempergunakan kesempatan selagi keadaan men-jadi kacau karena perkelahian itu, di mana semua tamu mencurahkan perhatiannya ke arah perkelahian untuk menyelinap masuk dan tanpa menemui tuan ru-mah mereka sudah mengambil tempat duduk di sudut yang agak tersembunyi o-leh satu di antara tiang-tiang penyangga bangunan darurat itu. Mereka juga terta-rik menonton ke arah perkelahian.
"Hemm, berani benar gadis itu meng-hadapi pengeroyokan dua orang lawan yang bersenjata panjang dengan tangan kosong saja." kata Sui Cin setelah meli-hat dengan teliti dan mendapat kenyata-an bahwa dua orang bersenjata golok panjang itu tak boleh dipandang ringan.
"Sumoi takkan kalah," kata Hui Song lirih dan Sui Cin terkejut.
"Sumoimu...?" Ia memandang lebih te-liti dan kini iapun mengenal gerakan ka-ki dan tangan gadis itu, walaupun ka-dang-kadang gerakan itu berobah aneh. Masih ada dasar-dasar ilmu silat Cin-ling-pai dalam gerakan silat gadis itu, akan tetapi sudah bercampur dengan il-mu silat lain yang tidak dikenalnya. Me-mang sesungguhnyalah. Setelah menikah dengan Cia Kong Liang, Bin Biauw men-dapat banyak petunjuk dari suaminya dan iapun mempelajari dasar-dasar ilmu silat Cin-ling-pai yang kokoh kuat. Maka, ketika ia melatih Siang Wi, tentu saja dasar-dasar ilmu silat Cin-ling-pai juga diajarkan, bahkan Siang Wi juga menerima gemblengan dari ketua Cin-ling-pai sendiri.
"Ya, namanya Tan Siang Wi," jawab Hui Song sederhana. Dia tidak merasa girang bertemu dengan sumoinya. Pemuda ini tahu benar bahwa sumoinya itu sudah sejak lama sekali menaruh perhatian ke-padanya dan dalam sikap dan gerak-ge-rik dara yang pendiam itu terdapat tanda-tanda bahwa Siang Wi mencintanya. Hal inilah yang membuat dia merasa ti-dak enak kalau bertemu dengan sumoinya. Diapun menyayang sumoinya ini, a-kan tetapi sumoinya berwatak keras, ter-lalu berani dan agak angkuh. Dia tidak mencinta sumoinya, maka merasa sema-kin tidak enak setelah tahu bahwa sumoinya itu jatuh cinta kepadanya.
"Hemm, ia cantik dan gagah!" Sui Cin memuji. Memang gadis itu manis sekali, terutama pinggangnya amat ramping.
"Ya, tapi keras hati dan galak."
Sui Cin menahan senyum dan menger-ling ke arah wajah pemuda itu, akan te-tapi Hui Song tidak sedang bergurau me-lainkan memandang ke arah perkelahian dengan wajah serius dan tegang. Bagai-manapun juga, memang Sui Cin benar. Terlalu sembrono menghadapi dua lawan tangguh yang bersenjata panjang itu de-ngan tangan kosong.
"Haaaiiiittt...!" Tiba-tiba Siang Wi memekik, tangan kanan memukul gagang tombak lawan yang menyerang dari kanan sedangkan kaki kiri mendahului lawan kedua, menendang ke arah dada.
"Bukk... plakkk!" Lawan pertama terpental goloknya sedangkan lawan kedua tidak mampu menghindar. Serangan atau gerakan Siang Wi memang hebat, seperti seekor burung rajawali mementang sayap, kedua lengannya berkembang dan kaki kirinya menendang ke depan selagi tubuhnya masih melayang. Orang yang kena tendang dadanya itu terbanting roboh dan sebelum orang kedua hilang kagetnya, kaki kanan menggantikan kaki kiri yang turun untuk menyambar ke depan.
"Desss...!" Orang kedua juga terbanting karena perutnya dicium ujung sepatu Siang Wi.
Dua orang itu meringis kesakitan dan merayap bangun, sementara itu Huang-ho Lo-eng yang melihat betapa dua orang muridnya dirobohkan seorang gadis muda, mukanya berobah merah sekali. Dia sudah bangkit berdiri, mengebutkan ujung jubahnya dan melangkah maju menghampiri Siang Wi. Akan tetapi sebelum guru dan dua orang muridnya ini sempat bicara atau bergerak, tiba-tiba muncul seorang pemuda tampan yang segera menghadapi tiga orang itu sambil menjura.
"Sam-wi-eng-hiong, saya mewakili tuan rumah menyampaikan permohonan maaf, harap sam-wi menyudahi urusan ini sampai di sini agar tidak mengganggu jalannya pesta." Kemudian pemuda itu membalik dan menghadapi Siang Wi sambil menjura pula, "Nona, harap suka mundur dan mengakhiri keributan ini." Tanpa setahu orang, pemuda itu berkedip. Sejenak Siang Wi terbelalak. Tentu saja dia mengenal suhengnya! Akan tetapi sebeium dia menegur, Hui Song mengedipkan ma-ta, dan Siang Wi yang cukup cerdik itu maklum bahwa suhengnya tidak ingin di-kenal orang. Maka iapun mengangguk dan kembali ke mejanya, menggantung kembali siang-kiamnya di punggung dan du-duk tenang, bersikap seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
Tentu saja Huang-ho Lo-eng masih penasaran. Dua orang muridnya diroboh-kan seorang anak perempuan di tempat pesta, hal ini sungguh amat menyakitkan hati dan menjatuhkan pula martabat dan nama besarnya, maka dia harus turun ta-ngan membersihkan noda itu. Akan teta-pi, kini muncul pemuda yang mewakili tuan rumah minta agar keributan jangan dilanjutkan. Selagi kakek ini merasa ser-ba salah, tiba-tiba terdengar seruan di luar.
"Paduka Jenderal Ciang telah tiba...!"
Mendengar ini, semua orang menengok keluar dan Ang-kauwsu sendiri bersama beberapa orang penyambut bergegas lari keluar untuk menyambut datangnya tamu agung ini. Seorang jenderal adalah seorang perwira yang berpangkat tinggi, apa lagi datang dari kota raja, maka tentu saja merupakan seorang tamu agung yang paling terhormat.
Hui Song dan Sui Cin sudah duduk kembali dan mereka berdua menandang penuh kewaspadaan. Seperti sudah mere-ka rencanakan ketika keduanya pergi menghadap Jenderal Ciang, mereka ber-dua bersama belasan orang pengawal pilihan menyelundup ke tempat pesta dan akan berjaga-jaga kalau ada orang mela-kukan serangan gelap. Sementara itu sang jenderal sendiri datang dikawal enam o-rang pengawal pilihan yang dipercaya. A-gaknya belum puas dengan semua ini, Jenderal Ciang juga mengenakan lapisan baja di balik baju kebesarannya sehingga tubuhnya akan kebal terhadap serangan senjata tajam.
Saat yang sudah dinanti-nantikan ba-nyak orang ini tiba! Tentu saja terjadi ketegangan hebat di dalam dada mereka yang memiliki kepentingan dengan keda-tangan jenderal ini. Seperti telah mereka sepakati, Sui Cin memasang mata memandang ke kiri dan Hui Song ke kanan, siap untuk turun tangan kalau melihat orang yang hendak melakukan serangan gelap kepada jenderal itu. Tadipun mereka sudah memasang mata mencari-cari, akan tetapi mereka tidak melihat adanya tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang mereka kenal, walaupun ada beberapa orang dari Hwa-i Kai-pang mereka lihat menyelinap dalam pakaian biasa atau menyamar sebagai orang biasa, bukan pengemis. Mereka merasa yakin bahwa di antara banyak tamu itu terdapat tokoh-tokoh kaum sesat yang lihai.
Akan tetapi, tidak terjadi sesuatu ketika jenderal itu datang sampai diantar oleh tuan rumah menuju ke kursi kehormatan di panggung yang agak tinggi. Sementara itu, Siang Wi yang tadi memandang ke arah suhengnya, merasa heran dan alisnya berkerut ketika ia melihat suhengnya berbisik-bisik dengan seorang gadis yang cantik jelita! Mereka berbisik-bisik demikian akrabnya dan perasaan tidak senang memenuhi hati gadis yang jatuh cinta ini. Perasaan cemburu membakar dadanya dan biarpun tadi ia mengerti akan isyarat suhengnya dan iapun berdiam diri, kini perasaan cemburu membuat ia cepat bangkit berdiri, meninggalkan teman-teman semeja dan langsung saja menghampiri Hui Song dan Sui Cin yang duduk di sudut, di belakang tiang.
"Suheng, siapakah ia ini?" tanyanya menuding ke arah muka Sui Cin dengan alis berkerut dan mulut cemberut mata menantang.
"Ssttt... diamlah, sumoi..." Hui Song berbisik kaget, lalu menarik tangan sumoinya sehingga gadis itu terduduk di kursi kosong dekatnya. "Kau ikut menjaga keselamatan jenderal itu, jangan banyak tanya..."
"Tapi... tapi siapa perempuan ini...?" Siang Wi masih berbisik dan matanya mengerling ke arah Sui Cin dengan wajah membayangkan ketidakpuasan.
"Diam kau, cerewet!" Sui Cin balas menghardik dengan suara berbisik. Siang Wi terkejut setengah mati dan mukanya menjadi pucat lalu merah seperti dibakar. Hatinya panas mendengar ada orang berani bersikap seperti itu menghardiknya dengan kasar. Tentu saja ia hendak membalas akan tetapi pada saat itu terdengar ledakan-ledakan keras dan apipun berkobar!
"Kebakaran! Kebakaran...!" Para tamu menjadi panik dan semua orang bangkit berdiri, ada yang mulai lari ke sana-sini, berdesak-desakan dan keadaan menjadi semakin kacau-balau ketika terjadi perkelahian di sana-sini.
Sui Cin dan Hui Song sudah meloncat ke tengah, mendekati Jenderal Chiang. Ternyata para pengawal sudah mulai berkelahi melawan beberapa orang di antara tamu dan kini dari luar bermunculan tokoh-tokoh Cap-sha-kui! Sui Cin mengenal Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, Kiu-bwee Coa-li, Kui-kok Lo-mo, Kui-kok Lo-bo dan Tho-tee-kwi. Mereka ini tadi menerjang maju seperti berlomba hendak membunuh Jenderal Ciang. Akan tetapi para pengawal, baik yang enam orang maupun yang belasan orang yang penyamar, menyambut mereka. Betapapun juga, saking lihainya para penyerang, masih ada senjeta rahasia menyambar dan mengenai dada sang jenderal, akan tetapi karena pembesar itu memakai perisai di balik bajunya, senjata itu mental kembali. Sebelum para penyerang yang jumlahnya ada dua puluh orang itu dapat mengepung sang jenderal, Hui Song, Sui Cin dan diikuti pula oleh Siang Wi sudah tiba di situ.
Hui Song dan Sui Cin yang bertangan kosong mengamuk melindungi Jenderal Ciang yang juga sudah mencabut pedang panjangnya.
"Goanswe, mari keluar!" Hui Song berteriak sambil menggandeng tangan jenderal itu dengan tangan kirinya. "Sui Cin, engkau di sebelah kirinya." Dara itupun menggamit tangan kiri jenderal itu dengan tangan kanannya.
"Sumoi, kaulindungi kami keluar!" teriak pula Hui Song kepada sumoinya. Siang Wi tidak tahu apa yang terjadi, akan tetapi dengan patuh ia mentaati perintah suhengnya. Ia mencabut sepasang pedangnya melindungi mereka berdua yang berusaha untuk membawa Jen-deral Ciang keluar dari tempat itu.
Akan tetapi, Huang-ho Lo-eng sudah meloncat menghadapi Siang Wi. "Hemm, bocah sombong, sekarang tiba saatnya a-ku membalas kekalahan dua muridku!" katanya dan kakek ini menerjang ke de-pan.
Melihat ini, Hui Song menjadi marah. Kakek ini tidak perduli akan keributan dan hanya mengingat keperluan sendiri saja, keperluan dendam! Demikian pula Sui Cin juga marah melihat lagak kakek ini. Mereka berdua seperti telah bersepa-kat saja, tiba-tiba menerjang maju dan menampar ke arah Huang-ho Lo-eng. Ka-kek itu terkejut ketika merasa ada angin menyambar dari kanan kiri, maklum bah-wa dia diserang oleh dua orang secara hebat sekali.
"Uhhhh!" Dia mengerahkan tenaga ke dalam dua lengannya dan menangkis sambil mendorong.
"Desss...!" Akibatnya, tubuh kakek itu terjengkang dan menimpa meja kursi. Dia memandang dengan bengong, melongo melihat bahwa yang merobohkan dia ada-lab seorang pemuda dan seorang gadis lain yang kini kembali menggamit Jende-ral Ciang untuk keluar, dilindungi oleh Siang Wi yang memutar sepasang pedangnya. Beberapa orang penjahat, agaknya anggauta Hek-i Kai-pang karena di antaranya terdapat Bhe Hok si gendut, hen-dak mencegah Hui Song membawa jende-ral itu keluar. Siang Wi menyerang me-reka dan dara inipun dikeroyok.
Maklum akan besarnya bahaya bagi sang jenderal kalau tidak cepat-cepat ke-luar, Hui Song dan Sui Cin cepat mena-rik tangan jenderal itu menyelinap di an-tara banyak orang, menangkis semua se-rangan dan akhirnya merekapun berhasil keluar. Setelah tiba di luar, Jenderal Ciang mengeluarkan terompet dan ditiup-nya terompet itu berkali-kali. Bagaikan datangnya air bah, bermunculanlah barisan pendam yang memang sudah sejak ta-di dipasang oleh jenderal yang berpenga-laman itu di sekeliling tempat itu dan tempat itupun sudah terkurung rapat!
Jenderal Ciang dengan dikawal oleh Hui Song dan Sui Cin, kini berdiri di atas batu besar, berteriak dengan suara lan-tang, "Hentikan semua perkelahian di dalam! Semua penyerbu agar menyerah!"
Akan tetapi, para penjahat yang tadi menyerbu dan hendak membunuh jenderal itu, malah semakin mengamuk karena mereka merasa penasaran sekali bahwa rencana yang sudah mereka atur dengan rapi itu menemui kegagalan. Dan karena tempat itu penuh dengan orang-orang du-nia persilatan, maka begitu terjadi per-tempuran, orang-orang itupun banyak pu-la yang terseret dan berkelahi sendiri! Tentu saja orang-orang dari golongan sesat membantu rekan-rekan mereka tan-pa mereka ketahui sebab-sebab perkelahi-an, dan orang-orang yang merasa dirinya pendekar atau yang menentang kaum se-sat segera pula melawan mereka. Hal ini membuat tokoh-tokoh lihai seperti Cap-sha-kui itu memperoleh kesempatan ba-nyak untuk merobohkan dan membunuh orang.
"Kalian sudah dikepung ratusan orang pasukan! Kalau tidak menyerah dan melempar senjata, akan diambil tindakan kekerasan!" Kembali terdengar suara jen-deral itu.
Ketika para tokoh sesat yang meng-amuk di dalam itu tidak mau juga men-taati perintahnya, Jenderal Ciang lalu mengeluarkan aba-aba memerintahkan pasukannya menyerbu ke dalam. Hui Song, Sui Cin, dan Siang Wi juga ikut menyerbu bersama pasukan karena Hui Song ingin menangkap hidup-hidup bebe-rapa orang tokoh sesat untuk dijadikan saksi tentang pengkhianatan Liu Kim atau Liu-thaikam.
Ketika para perajurit menyerbu, sua-sana menjadi semakin kacau dan geger. Dan pada saat itu, terdengar suara me-lengking panjang dari luar tempat pesta yang berobah menjadi tempat pertempur-an itu. Suara lengkingan panjang dari luar ini disusul oleh ledakan-ledakan ben-da yang dilempar dari luar. Begitu mele-dak, benda-benda yang dilempar dari luar itu mengeluarkan asap hitam yang tebal sehingga suasana menjadi semakin kacau.
"Cepat lolos dari atas...!" Terdengar teriakan suara yang nyaring, mengatasi suara kegaduhan itu. Mendengar seruan ini, enam orang tokoh Cap-sha-kui berloncatan naik ke atas atap yang sudah dibuka dari atas.
Hui Song, Sui Cin dan Siang Wi melihat pula hal ini dan melihat bahwa di atas berdiri bayangan dua orang, seorang kakek tinggi kurus bertongkat den seorang pemuda tinggi tegap. Pemuda itulah yang membantu enam orang Cap-sha-kui lolos dengan menyambar tangan mereka dan menariknya ke atas setelah mereka itu berloncatan dan hampir tidak mencapai tempat yang amat tinggi itu. Apalagi atap itu adalah atap darurat terbuat dari bambu sehingga tidak begitu kuat dan ada bahayanya mereka akan terjeblos lagi ke bawah. Untung ada pemuda itu yang menyambut mereka den menarik mereka keluar.
"Kejar...!" Hui Song yang merasa penasaran itu lalu berlompatan keluar diiringkan sumoinya den Sui Cin dan dari luar mereka lalu berloncatan naik ke atas atap, Hui Song tidak begitu bodoh untuk menyusul naik dari lubang atap itu selagi musuh-musuh yang lihai itu berada di luar lubang karena tentu mereka itu akan mudah menyambutnya dengan serangan berbahaya.
Ketika tiga orang muda perkasa itu tiba di atas atap, sebagian dari tokoh-tokoh Cap-sha-kui berloncatan ke atas genteng rumah-rumah lain, sedangkan di atas atap itu masih terdapat kekek kurus, pemuda itu dan Kiu-bwe Coa-li bersama ketua Kui-san-kok dan isterinya.
"Penjahat-penjahat keji, kalian hendak lari ke mana?" Hui Song membentak den segera menyerang ke arah pemuda tinggi tegap itu.
"Kau..." Kau seorang tokoh sesat...?" Sui Cin juga berseru ketika ia mengenal pemuda itu sebagai pemuda yang pernah menyelamatkannya dari malapetaka ketika ia akan diperkosa Sim Thian Bu. Akan tetapi ia hanya meloncat mendekat, tidak berani menyerang seperti yang dilakukan Hui Song.
Sementara itu, Siang Wi juga sudah mencabut sepasang pedangya kembali dan menyerang Kiu-bwe Coa-li. "Sing-... singg... tarrr...!" Sepasang pedang yang menyambar-nyambar itu tertahan oleh ledakan pecut ekor sembilan di tangan nenek ular yang lihai itu.
Sementara itu, pemuda yang ternyata adalah Siangkoan Ci Kang, menyambut serangan Hui Song dengan tenang, menangkisnya dari samping.
"Dukk!" Tangkisan itu tepat menyambut pukulan Hui Song dan akibatnya, keduanya terjeblos ke dalam atap yang menjadi jebol di bawah kaki mereka! Hui Song terkejut bukan main dan cepat melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik beberapa kali baru dia dapat mencegah tubuhnya terjatub ke bawah, ke dalam ruangan di mana masih terjadi pertempuran. Dan ketika Siangkoan Ci Kang terjeblos dan tubuhnya terjatuh ke bawah, tiba-tiba saja kakek tinggi kurus itu menggerakkan tongkatnya dan tongkat itu dapat mengait kaki pemuda itu dan menempelnya sehingga pemuda itu terhindar dari jatuh ke bawah.
Bukan main cepatnya gerakan kakek tinggi kurus itu ketika tiba-tiba dia menggerakkan tongkat lagi. Tongkatnya menyelonong di antara Kiu-bwe Coa-li dan Siang Wi dan ketika sebatang pedang di tangan kiri Siang Wi bertemu tongkat, gadis ini berteriak kaget karena ada getaran, hebat membuat tangannya hampir saja melepaskan pedang. Terpaksa iapun melangkah mundur dan kesempatan ini dipergunakan oleh kakek itu untuk berseru, "Kita pergi!"
Hui Song menahan napas dan tidak mau mengejar ketika melihat kakek tinggi kurus, pemuda perkasa, Kiu-bwe Coa-li dan sepasang suami isteri Kui-san-kok itu berloncatan pergi. Dia tahu betapa lihainya mereka itu, terutama pemuda dan kakek tinggi kurus. Mereka berdua itu ditambah tiga orang tokoh Cap-sha-kui sungguh merupakan lawan yang terlalu berat bagi dia, Sui Cin dan Siang Wi. Juga Sui Cin diam saja karena ia masih tertegun melihat betapa pemuda yang pernah menyelamatkannya itu ternyata adalah seorang tokoh sesat dan agaknya tepat seperto yang pernah diceritakan Hui Song kepadanya. Kakek tinggi kurus yang matanya terbuka tanpa berkedip itu tentulah yang bernama Siangkoan Lo-jin alias Si Iblis Buta dan pemuda itu tentulah puteranya.
Akan tetapi Siang Wi yang sudah hilang kagetnya, melihat mereka melarikan diri, segera berseru, "Iblis-iblis busuk, kalian hendak lari ke mana?" Dan iapun meloncat ke depan dan melakukan pengejaran.
"Sumoi, jangan kejar...!" Hui Song berseru sambil meloncat ke depan untuk mencegah sumoinya. Mendengar suara suhengnya yang setengah membentak, Siang Wi terkejut dan menahan kakinya. Pada saat itu, serombongan perajurit yang berada di bawah melepaskan anak panah ke arah para penjahat yang melarikan diri. Akan tetapi, mereka itu hanya mengebutkan tangan dan semua anak panah runtuh ke bawah! Sebentar saja, para penjahat itu telah berhasil meloloskan diri. Dengan bantuan pemuda itu dan ayahnya yang buta, kembali enam orang tokoh Cap-sha-kui dapat lolos dari kepungan pasukan yang kuat!
Hui Song merasa kecewa, akan tetapi dia teringat bahwa di bawah masih terdapat banyak penjahat, terutama orang-orang Hwa-i Kai-pang yang menyamar. Merekapun dapat dijadikan saksi, pikirnya, maka dia lalu mengajak Sui Cin dan Siang Wi untuk kembali ke dalam ruangan di mana masih terjadi pertempuran hebat.
Akan tetapi, tanpa adanya para tokoh Cap-sha-kui, akhirnya para penjahat itu dapat dirobohkan dan ditangkap. Sui Cin, Hui Song dan Siang Wi masing-masing berhasil menangkap seorang penjahat anggauta Hwa-i Kai-pang, bahkan Hui Song menotok roboh Bhe Hok, tokoh Hwa-i Kai-pang gendut bertongkat yang cukup lihai itu. Sui Cin juga menampar seorang anggauta Hwa-i Kai-pang sehingga roboh pingsan dan Siang Wi yang berpedang itu merobohkan seorang tokoh sesat dengan membacok pahanya sampai hampir buntung.
Jenderal Ciang memerintahkan agar semua tawanan itu dikumpulkan untuk dibawa ke kota raja. Gerobak-gerobak tawanan dipersiapkan dan semua tawanan, kecuali Bhe Hok si gendut, dijebloskan ke dalam gerobak-gerobak kerangkeng dengan dibelenggu kaki tangan mereka. Hui Song yang menemui Jenderal Ciang dan minta agar tawanan yang satu ini tidak dimasukkan gerobak kerangkeng, melainkan hendak dikawalnya sendiri ke kota raja. Usul ini timbul dalam hati Hui Song ketika membayangkan kemungkinan tokoh sesat akan berusaha membebaskan para tawanan. Padahal, para tawanan itu merupakan saksi-saksi penting sekali, terutama Bhe Hok yang tahu akan semua persekutuan busuk di istana, seperti yang pernah dia dengar bersama Sui Cin ketika di gedung Hwa-i Kai-pang diadakan pertemuan dan percakapan antara para tokohnya, termasuk Bhe Hok itu.
"Sumoi, kalau engkau lebih dahulu pergi ke Cin-ling-san, tolong beritahukan ayah bahwa setelah selesai urusan di kota raja, aku akan pergi berkunjung ke Pulau Teratai Merah, baru akan pulang ke Cin-ling-san." Hui Song berkata kepada sumoinya. Wajah yang manis itu nampak semakin keruh dan matanya mengerling ke arah Sui Cin. Ia belum tahu siapa adanya dara yang bersama suhengnya ini, akan tetapi dari pertempuran tadi ia melihat bahwa Sui Cin adalah seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian tinggi pula.
"Akan tetapi, aku..." Ia merasa sungkan dan malu untuk menyatakan keinginannya agar dapat selalu bersama suhengnya.
"Engkau pergilah lebih dulu dan aku akan menyelesaikan tugas kami berdua yang sudah melibatkan diri kami sejak lama."
Kembali Siang Wi memandang kepada Sui Cin dengan alis berkerut. Hui Song cukup mengenal watak sumoinya dan ia kini tahu pula betapa hati sumoinya tidak senang karena dia melakukan perjalanan berdua dengan seorang gadis lain.
"Sumoi, engkau belum berkenalan. Nona ini adalah nona Ceng Sui Cin, puteri dari Pendekar Sadis Ceng Thian Sin."
Sepasang mata itu terbelalak, akan tetapi lalu menyipit kembali dan sang alisnya berkerut lebih dalam, wajah-nya dibayangi kekhawatiran yang lebih besar. Kiranya gadis cantik dan lihai ini adalah puteri pendekar yang namanya sudah amat dikenalnya itu. Sungguh merupakan saingan yang amat kuat! Akan tetapi, sebagai murid isteri ketua Cin-ling-pai, iapun cukup tahu akan peraturan, maka cepat ia menjura ke arah Sui Cin.
"Kiranya enci adalah puteri Ceng-locianpwe yang terkenal itu. Maaf kalau aku bersikap
kurang hormat karena belum mengenalmu."
Sui Cin tertawa geli dan mengibaskan tangannya. "Wah, sudahlah, di antara kita tidak perlu banyak memakai sungkan-sungkan lagi."
Hui Song juga tersenyum, lega melihat sikap Siang Wi yang menghormat dan geli melihat sikap wajar Sui Cin. Diapun tertawa. "Sumoi, nona Ceng ini baru berusia enam belas tahun, jadi, sebaiknya kalau engkau menyebutnya adik, bukan enci."
Setelah berpamit dari sumoinya dan juga dari Jenderal Ciang yang sibuk mengatur sendiri pasukannya membawa para tawanan, Hui Song lalu mengajak Sui Cin pergi sambil menggiring si gendut Bhe Hok pergi ke kota raja melalui jalan memotong. Sui Cin tetap menunggang kudanya, Bhe Hok berjalan di belakang kuda dan Hui Song berjalan di belakangnya. Sui Cin dan Hui Song tidak merasa khawatir kalau-kalau tawanan itu akan lari atau akan memberontak karena Hui Song sudah monotok jalan darah di kedua pundaknya yang membuat kedua lengan si gendut itu tidak dapat digerakkan lagi, tergantung lumpuh di kanan kiri tubuhnya.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Hui Song dan Sui Cin membawa tawanan itu ke markas Jenderal Ciang begitu mereka tiba di kota raja dengan selamat. Para perwira di markas itu sudah mengenal Hui Song, maka mereka me-nyambut pemuda itu dan dengan gembira mendengarkan penuturan Hui Song ten-tang peristiwa pertempuran di rumah Ang-kauwsu. Si gendut Bhe Hok dimasuk-kan delam kamar tahanan dan dijaga de-ngan ketat. Sesuai dengan permintaan Hui Song, si gendut yang menjadi tawan-an penting ini diperlakukan dengan baik. Hui Song sendiri mengancam bahwa kalau si gendut tidak mau membuat pengakuan di depan kaisar nanti apabila dibutuhkan, dia akan disiksa. "Terutama, engkau akan -dibiarkan kelaparan sampai satu bulan la-manya, akan tetapi kalau engkau mengaku, aku akan mintakan ampun untukmu, dan engkau akan mendapatkan makan enak, mungkin dibebaskan."
Tidak ada siksaan yang lebih menakutkan bagi si gendut Bhe Hok daripada ke-laparan! Baginya, makan enak sekenyang-nya merupakan kenikmatan nomor satu di dunia dan tanpa itu, hidup tidak ada ar-tinya lagi. Maka, mendengar ancaman Hui Song itu, dia sudah mengangguk-angguk seperti burung kakak tua diberi hidangan.
Kemudian, tepat seperti yang sudah dikhawatirkan oleh Hui Song, datang berita mengejutkan bahwa pasukan Jenderal Ciang yang membawa rombongan tawanan menuju ke kota raja, di tengah perjalanan pada senja hari itu telah dihadang dan diserang oleh gerombolan penjahat, namun sebagian besar para tawanan dapat dibebaskan oleh para penyerang, sedangkan yang tidak dapat dibebaskan, telah kedapatan mati di dalam gerobak masing-masing! Tidak ada sisa seorangpun! Ternyata para penjahat yang lihai itu telah membunuh teman-teman sendiri yang tertawan, tentu dengan maksud agar tawanan-tawanan itu tidak sampai membocorkan rahasia. Rahasia besar bahwa Liu-thaikam yang berada di balik semua kejahatan ini!
Begitu memasuki benteng dengan wa-jah muram, Jenderal Ciang lalu menemui Hui Song dan hatinya menjadi lega mendengar bahwa Bhe Hok, satu-satunya ta-wanan yang tinggal, kini sudah aman berada di dalam kamar tahanan.
"Harus dijaga keras agar dia jangan sampai mendengar bahwa tidak ada tawanan lain kecuali dia, bahwa dialah satu-satunya saksi di depan sri baginda kaisar." kata jenderal itu kepada Hui Song. "Kalau dia mendengar akan nasib para tawanan yang tidak sempat dibebaskan, tentu dia akan ketakutan den tidak mau mengaku."
Hui Song lalu mendatangi Bhe Hok. Dengan sikap tenang dan wajar dia menanyakan bagaimana perlakuan para penjaga tahanan terhadap dirinya. "Engkau adalah tawananku, maka akulah yang bertanggung jawab atas dirimu. Tawanan-tawanan lain yang ditawan oleh pasukan dipisahkan dan keadaan mereka tidaklah begitu menyenangkan dibandingkan dengan keadaanmu."
"Apakah... apakah Hwa-i Lo-eng juga... tertangkap?" Bhe Hok bertanya dengan penuh keinginan tahu.
Hui Song sudah mendengar berita mengejutkan lain bahwa ketua Hwa-i Kai-pang itu ternyata telah kedapatan tewas di dalam gedung perkumpulan itu, tidak lama setelah rombongan Jenderal Ciang tiba. Dan dia tahu apa artinya itu. Agaknya para tokoh jahat, tentu saja atas perintah Liu-thaikam, telah melakukan persiapan agar rahasianya tidak terbuka, dengan jalan membunuhi semua tawanan, juga ketua Hwa-i Kai-pang dibunuh agar pemerintah tidak akan menangkap dan memaksanya mengaku!
"Dia" Tentu saja dia ditangkap karena anak buahnya banyak yang terlibat. Akan tetapi, pemeriksaan akan dilakukan secara terpisah dan satu-satu. Maka engkau tidak perlu khawatir, mengakulah saja seperti apa adanya. Kalau engkau menyesali pengkhianatanmu dan mengaku terus terang tentang persekongkolan di bawah pimpinan Liu-thaikam, tentu engkau akan mendapat keringanan."
"Apa" Apa... Liu-thaikam..." Aku tidak... tidak mengerti..."
Hui Song tersenyum. "Ah, tidak perlu engkau berpura-pura lagi. Kami sudah mendengar semua tentang persekutuan itu, tentang bagaimana Hwa-i Kai-pang dipergunakan oleh Liu-thaikam, juga tentang Cap-sha-kui menjadi antek-antek pembesar itu di bawah pimpinan seorang datuk yang bernama Siangkoan Lo-jin berjuluk Iblis Buta. Kami sudah tahu semua, dan engkau hanya tinggal membuat pengakuan saja sejujurnya. Ingat, kalau engkau membohong dan tidak mau mengaku, kamipun sudah mengetahui persoalannya dan akibatnya engkau akan disiksa."
Bhe Hok mengangguk-angguk meyakinkan sehingga legalah hati Hui Song. Pengakuan si gendut ini di depan sri baginda kaisar berarti berhasilnya tugasnya membongkar persekutuan jahat di dalam istana yang dikepalai oleh Liu-thaikam.
Sementara itu, Jenderal Ciang mengadakan hubungan dengan dua orang menteri yang pandai dan yang termasuk sebagai menteri-menteri setia yang juga dianggap sebagai saingan dan ditentang oleh Liu-thaikam. Mereka adalah Menteri Ting Hoo dan Cang Ku Ceng. Di dalam sejarah tercatat bahwa dua orang menteri ini kelak akan menjadi pembantu-pembantu yang amat setia dan pandai dari Kaisar Cia Ceng pengganti Kaisar Ceng Tek. Jenderal Ciang mengadakan perundingan dengan dua orang menteri ini dan pada keesokan harinya, dengan usaha kedua orang menteri ini, sri baginda kaisar berkenan menerima Jenderal Ciang yang diikuti pula oleh Menteri Liang dan kedua orang menteri Ting dan Cang itu.
Tentu saja sri baginda kaisar menjadi terkejut sekali ketika mendengar pelaporan Jenderal Ciang tentang persekutuan yang hendak membunuh Menteri Liang dan Jenderal Ciang apalagi ketika dengan terus terang jenderal itu mengatakan bahwa persekutuan itu dipimpin oleh Liu-thaikam sendiri!
"Mustahil!" Sri baginda kaisar berseru sambil menepuk lengan kursi. "Dia adalah seorang pembantuku yang paling setia. Dan apa sebabnya dia hendak membunuh kalian berdua" Tentu ada permusuhan pribadi!"
Ketika mendengar betapa kaisar agaknya malah berpihak kepada thaikam itu, Jenderal Ciang menjadi pucat wajahnya. Menteri Liang yang berlutut itu lalu berkata, "Mohon beribu ampun, sri baginda. Sesungguhnya, tidak terdapat permusuhan apapun antara hamba dan Liu-thaikam, akan tetapi sebenarnya dia menganggap hamba dan Jenderal Ciang dan banyak hamba paduka yang lain sebagai saingannya karena hamba sekalian tidak mau tunduk kepadanya. Itulah sebabnya mengapa dia hendak membunuh hamba."
"Dan sudah banyak pembesar dibunuhnya, sri baginda. Dia tidak segan-segan mempergunakan para penjahat sebagai antek-anteknya. Ketika hendak membunuh Menteri Liang dan hamba, dia malah memperalat datuk-datuk sesat seperti Cap-sha-kui, dan juga mempergunakan orang-orang Hwa-i Kai-pang yang juga ikut bersekongkol dan menjadi anteknya."
Alis Sri Baginda Kaisar Ceng Tek berkerut, hatinya tidak senang. "Jenderal Ciang, kami tahu bahwa engkau adalah seorang jenderal yang gagah dan setia, dan juga Menteri Liang adalah seorang menteri lama yang setia. Tahukah kalian betapa hebat dan berbahayanya semua cerita kalian ini" Kalau tidak benar, ini merupakan fitnah yang akan dapat membuat kalian terpaksa harus dihukum seberat-beratnya!"
"Hamba bersedia dihukum kalau pelaporan hamba tidak benar, sri baginda!" kata sang jenderal.
"Hamba juga bersedia menyerahkan nyawa kalau hamba menjatuhkan fitnah kepada siapapun juga," sambung Menteri Liang dengan suara tegas. Mulailah Kaisar Ceng Tek merasa bimbang. Sebetulnya, sudah lama banyak pembesar yang mencoba untuk menyadarkannya akan kepalsuan Liu-thaikam, akan tetapi karena thaikam itu selalu bersikap baik dan menyenangkan hatinya, juga karena tidak pernah ada bukti penyelewengannya, kaisar merasa terlalu sayang kepada pembantu itu untuk melakukan penyelidikan secara mendalam. Pula, kaisar yang masih amat muda itu, baru sembilan belas tahun usianya, merasa banyak dibantu oleh Liu-thaikam. Sewaktu dia melakukan perjalanan keluar dari istana secara diam-diam, thaikam itulah yang membantunya, dan urusan dalam istana dapat diselesaikan semua oleh thaikam itu dengan baik, "Bagaimana kalian dapat memastikan bahwa laporan kalian ini bukan fitnah belaka?" kaisar mendesak.
"Penyerangan terhadap Menteri Liang di telaga disaksikan banyak orang, dan penyerangan terhadap hamba di dalam pesta Ang-kauwsu lebih banyak saksinya," jawab Jenderal Ciang.
"Kalian adalah pejabat-pejabat pemerintah. Tidak aneh kalau dimusuhi oleh kaum penjahat. Akan tetapi apa buktinya bahwa Liu-thaikam yang berdiri di bela-kang semua itu?"
Inilah pertanyaan yang dinanti-nanti o-leh Jenderal Ciang. Dengan suara lan-tang namun tetap hormat dia menjawab. "Sri baginda, hamba telah menangkapi sebagian dari para penjahat, akan tetapi ketika hamba menggiring para penjahat itu ke kota raja, di tengah perjalanan para datuk sesat menghadang, merampas tawanan dan membunuh mereka yang ti-dak dapat mereka rampas. Akan tetapi, masih ada seorang tokoh Hwa-i Kai-pang yang berhasil hamba bawa sebagai saksi. Kalau paduka berkenan, hamba dapat menyuruhnya membuat pengakuan di depan paduka." Jenderal itu berhenti sebentar, kemudian menyambung, "Selain itu, juga hamba dibantu oleh seorang pendekar muda yang pernah menyelamatkan paduka ketika paduka diserang oleh orang-orang Kang-jiu-pang, yaitu putera ketua Cin-ling-pai bersama seorang te-mannya, pendekar wanita Ceng Sui Cin."
"Hemm, bawa mereka semua mengha-dap!" Kaisar memerintah, Jenderal Ciang lalu memberi isyarat kepada para penja-ga di luar dan tak lama kemudian muncul Hui Song dan Sui Cin mengiring-kan Bhe Hok sebagai tawanan. Mereka menjatuhkan diri berlutut dan tubuh Bhe Hok gemetar ketakutan.
Jenderal Ciang memperkenalkan dua orang muda pendekar itu dan kaisar masih ingat kepada Hui Song yang gagah. "Hai, engkau orang muda yang gagah perkasa itu! Urusan apalagi yang membawa-mu terlibat dan kini dihadapkan di siin?" Kaisar menegur, suaranya ramah.
"Ampun, sri baginda. Hamba melihat persekutuan busuk mengancam para pem-besar setia, dan kerena persekutuan itu membahayakan pula keselamatan paduka, maka hamba berdua nona Ceng ini mem-bantu Jenderal Ciang untuk membuka rahasia ini dan menghaturkannya kepada paduka."
Kaisar teringat lagi akan tuduhan terhadap thaikam yang disayangnya, maka alisnya berkerut lagi, hatinya kesal dan diapun berkata kepada Jenderal Ciang. "Nah, suruhlah saksi bercerita. Awas, kalau dia berbohong, kalian semua takkan bebas dari hukuman!"
Ucapan kaisar itu untuk mengancam mereka yang memusuhi Liu-thaikam, a-kan tetapi malah membuat si gendut Bhe Hok semakin ketakutan dan tidak berani berbohong. Dia berlutut dan tidak berani berkutik sampai dihardik oleh Jenderal Ciang.
"Penjahat Bhe, lekas membuat peng-akuan apa adanya dan jangan berbohong."
"Hamba... hamba bernama Bhe Hok dan hamba menjadi seorang di antara para pembantu Hwa-i Lo-eng ketua Hwa-i Kai-pang. Bersama rekan-rekan dari Cap-sha-kui, hamba menjadi anggauta kelompok yang dipimpin oleh Siangkoan Lo-jin dan hamba semua bekerja untuk Liu-taijin. Hamba menerima tugas untuk membantu tokoh-tokoh Cap-sha-kui, per-tama-tama untuk membunuh Menteri Liang, kemudian membunuh Jenderal Ciang. Hamba membuat pengakuan sebenarnya, berani disumpah dan berani mempertanggungjawabkan kebenaran pengaku-an hamba."
Wajah kaisar sudah menjadi merah sekali. Haruskah dia mempercaya pengakuan seorang penjahat macam ini" "Tangkap dan seret ketua Hwa-i Kai-pang ke sini!" bentaknya.
"Ampun sri baginda. Hwa-i Lo-eng telah dibunuh oleh tokoh-tokoh sesat, mungkin karena mereka takut kalau-kalau ketua Hwa-i Kai-pang itu akan mem-buat pengakuan dan membuka rahasia kejahatan Liu-thaikam."
"Hemm, kalau begitu tangkap dan bawa Liu-thaikam ke sini!" perintah kaisar.
"Hamba akan melaksanakan perintah paduka. Akan tetapi tanpa adanya leng--ki (bendera tanda utusan kaisar), tentu dia tidak akan percaya dan akan melawan.
"Nih, bawa tanda dari kami!" Berkata demikian kaisar muda itu melepaskan pedangnya dan menyerahkan pedang itu kepada Jenderal Ciang. Benda itu adalah pusaka tanda kekuasaan kaisar, maka tentu saja sudah merupakan bukti kekua-saan yang cukup. Dengan girang sekali Jenderal Ciang menerima pedang, kemu-dian membawa pasukan pengawal pergi menuju ke gedung tempat tinggal Liu-thaikam dan menangkapnya. Melihat pe-dang di tangan jenderal itu, Liu-thaikam tidak berkutik lagi dan dengan muka pu-cat tak lama kemudian dia sudah menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki kaisar.
"Mohon paduka sudi mengampuni se-mua kesalahan hamba, akan tetapi sung-guh hamba merasa terkejut sekali mene-rima panggilan paduka seperti ini. Apa-kah yang telah terjadi" Apakah yang dapat hamba lakukan untuk paduka?" Thaikam kami itu hanya pura-pura saja tentunya. Dia sudah mendengar akan semua yang telah terjadi, akan kegagalan-kegagalan para anteknya dan dialah yang memerintahkan agar semua tokoh Hwa-i Kai-pang dibunuh, dan para tawanan yang tidak sempat dibebaskan juga dibunuh. Biarpun demikian, hatinya masih selalu dalam keadaan was-was maka dia sudah bersiap untuk melarikan diri, walaupun dia masih percaya akan pengaruhnya terhadap kaisar. Kedatangan Jenderal Ciang yang menangkapnya sama sekali tidak disangkanya.
"Orang she Liu, apakah yang telah kaulakukan selama ini" Mengapa engkau memperalat orang-orang jahat dan menyuruh orang-orang jahat mencoba untuk membunuh Menteri Liang dan Jenderal Ciang?" Kaisar membentak.
Dengan mimik muka yang pandai, thaikam itu terbelalak dan memprotes dengan sikap wajar orang yang merasa difitnah. "Ampun, sri baginda! Itu sama sekali tidak benar! Hamba telah difitnah orang! Banyak sekali orang yang merasa iri dan ingin menjatuhkan hamba karena paduka telah melimpahkan kepercayaan yang besar kepada hamba. Ini merupakan fitnah penasaran! Hamba berani bersumpah bahwa hamba setia terhadap paduka sampai mati!"
"Hemm, setia dan memelihara penjahat-penjahat sebagai kaki tanganmu?"
"Tidak, sama sekali tidak benar. Hamba bersumpah..."
"Apakah persekutuan penjahat-penjahat Hwa-i Kai-pang dan Cap-sha-kui yang dipimpin oleh datuk bernama Siangkoan Lo-jin itu bukan antek-antekmu?"
"Tidak, hamba sama sekali tidak pernah mendengar nama-nama itu, hamba tidak mengenalnya. Memang hamba merasa tidak suka kepada Menteri Liang dan Jenderal Ciang karena hamba melihat bahwa mereka itu menentang paduka, tidak taat..."
Kaisar menghardiknya dan berkata kepada Bhe Hok. "Hai, kamu! Katakan apakah ini orangnya yang memimpin seluruh persekutuan busuk itu!"
Bhe Hok memandang kepada Liu-thaikam dengan muka pucat. Tadi dia mendengar betapa Hwa-i Lo-eng sudah dibunuh dan sekarang tinggal dia agaknya yang harus berani menjadi saksi. Akan tetapi dia tadi sudah mengucapkan pengakuannya, tidak mungkin mengingkarinya kembali, maka diapun berkata dengan suara gemetar, "Benar, sri baginda. Dia adalah Liu-taijin yang dibantu oleh kelompok hamba semua..."
Liu-thaikam menengok dan begitu melihat wajah Bhe Hok, dia terkejut dan marah bukan main. "Kau... kau...!" Bentaknya sambil menudingkan telunjuknya. "Engkau pengkhianat busuk! Berani engkau membawa-bawa namaku di sini" Akan kusuruh cincang hancur kepalamu..."
"Cukup!" Kaisar membentak. "Tangkap pengkhianat ini dan seret ke pengadilan tinggi!"
Para pengawal maju dan menangkap Liu-thaikam yang berteriak-teriak dan meronta-ronta, memaki-maki Bhe Hok, Menteri Liang, Jenderal Ciang dan akhirnya memaki-maki kaisar pula sehingga para pengawal membungkam mulutnya dan menyeretnya keluar.
Dengan wajah murung lalu mengucapkan terima kasihnya kepada Jenderal Ciang, Menteri Liang, juga kepada Hui Song dan Sui Cin, kemudian kaisar membubarkan persidangan darurat itu.
Pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepada Liu-thaikam dan ketika diadakan pemeriksaan dan penggeledahan, kaisar sendiri tertegun melihat tumpukan harta hasil korupsi dan penindasan yang dilakukan bekas pembantunya yang tadinya amat disayang dan dipercayanya itu. Harta benda yang ditumpuk oleh Liu Kim atau Liu-thaikam itu sungguh amat besar jumlahnya. Menurut catatan sejarah, emas dan perak yang didapatkan sebanyak 251.583.600 tail, batu permata sebanyak sepuluh kilo lebih, dua stel pakaian perang dari emas, 500 piring emas, 300 pasang gelang dan cincin emas, 4000 ikat pinggang emas permata. Dan istananya di kota raja bahkan melebihi kemewahan istana kaisar sendiri! Memang luar biasa sekali penumpukan harta yang dilakukan oleh Liu-thaikam melalui korupsi dan penindasannya itu. Tiada keduanya dalam sejarah. Kerakusannya dalam hal menumpuk harta sukar dicari bandingannya dan menjadi buah bibir rakyat sampai sepanjang sejarah. Padahal, sebelum menjadi thaikam, Liu Kim adalah seorang anak dari keluarga yang miskin dan rendah.
Setelah komplotan itu berhasil dibongkar, barulah Kaisar Ceng Tek menjadi panik dan kaisar ini lalu melakukan pembersihen di antara para pejabat tinggi. Juga dia memerintahkan Jenderal Ciang untuk mengerahkan pasukan membasmi para penjahat yang tadinya menjadi antek Liu-thaikam. Hwa-i Kai-pang diserbu, para anggautanya ditangkap dan dihukum, gedungnya dirampas pemerintah. Akan tetapi tidak mudah bagi Jenderal Ciang untuk dapat mencari tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang bergerak seperti setan. Dengan tertangkapnya Liu-thaikam dan hancurnya komplotan itu, berulah pemerintahan Kaisar Ceng Tek yang muda itu menjadi bersih dan barulah kaisar muda itu mulai memperhatikan roda pemerintahan.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Pemuda itu menangis sampai tersedu-sedu sambil berlutut. Dia mengepal tinju dan ingin dia meraung-raung, akan tetapi ditahannya sehingga dia hanya tersedu dan terisak. Laki-laki setengah tua yang duduk bersila di depannya membuka mata memandang dan menghela napas panjang, lalu berkata dengan suara halus namun mengandung wibawa.
"Hentikan tangismu, hapus air matamu. Tidak layak membiarkan perasaan dipengaruhi pikiran menimbulkan kelemahan. Tidak ada gunanya semua itu."
Pemuda itu berhenti terisak dan mengusap air matanya dengan ujung lengan baju, lalu dia memandang wajah ayahnya dengan sinar mata penuh tanya dan penasaran. Pemuda itu adalah Cia Sun, sedangkan yang bersila di depannya adalah ayahnya, Cia Han Tiong. Baru saja Cia Sun pulang ke Lembah Naga setelah melakukan perantauan ke selatan. Ketika pagi hari itu dia tiba di lembah, dia merasa heran mengapa keadaan demikian sunyinya dan mengapa pula pandang mata para petani gunung kepadanya demikian ganjil den penuh rasa iba. Hetinya merasa tidak enak dan dia menghampiri seorang kakek petani dan bertanya mengapa mereka memandangnya seperti itu.
"Kakek Phoa, aku adalah Cia Sun, apakah kakek dan saudara sekalian telah lupa" Ha-ha, baru saja aku pergi merantau setahun dan kalian memandangku seperti aku ini orang asing bagi kalian."
Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat beberapa orang petani wanita menangis dan pergi meninggalkannya. Juga kakek itu memandang kepadanya dengan mata basah air mata.
"Kakek Phoa, apakah yang telah terjadi?" Dia memegang lengan kakek itu dan bertanya dengan mata terbelalak, hatinya gelisah sekali.
Dan kakek itulah yang bercerita. Betapa orang tuanya didatangi penjahat, betapa banyak murid Pek-liong-pai tewas oleh para penjahat, juga ibunya tewas. Ibunya! Tewas di tangan orang jahat! Mendengar ibunya tewas, Cia Sun tidak menanti sampai kakek itu melanjutkan ceritanya. Dia sudah meloncat dan lari menuju ke pondok orang tuanya. Didapatkannya rumah itu sunyi dan kotor dan ketika dia masuk, ayahnya duduk bersila di dalam kamar. Ayahnya nampak menjadi tua dan kurus. Maka dia lalu menjatuhkan diri berlutut dan menangis sampai ayahnya menyuruhnya berhenti menangis.
"Ayah, siapakah yang membunuh ibu?" Hanya itu yang dapat dikatakan setelah tangisnya dihentikannya.
Ayahnya tidak menjawab, hanya memandang kepadanya. Sejenak ayah dan anak ini saling pandang.
"Anakku, apakah maksudmu dengan pertanyaan itu" Hanya sekedar ingin tahu, apakah di baliknya tersembunyi dendam sakit hati?"
Cia Sun sudah mengenal watak ayahnya, bahkan sejak kecil dia bukan hanya digembleng ilmu silat dan sastera, akan tetapi juga tentang filsafat kehidupan. Akan tetapi pada saat itu hatinya terlampau sakit dan sedih mendengar bahwa ibunya tewas oleh musuh, maka dia tidak mampu lagi mengendalikan perasaannya.
"Akan tetapi, ayah. Sebagai seorang anak, aku mendengar bahwa ibuku dibunuh orang. Apakah aku harus diam saja menerima nasib" Lalu menjadi anak macam apakah aku ini" Mana kebaktianku terhadap ibu kandungku, ayah?"
"Hemm, dengan lain kata-kata, engkau menanyakan pembunuh ibumu untuk dapat mencarinya lalu membalas dendam, membunuhnya untuk membalas sakit hatimu?"
"Bukankah hal itu sudah wajar saja, ayah" Kalau sebagai anak ibu aku tidak mencari pembunuhnya dan membalas sakit hatinya, apakah ibu tidak akan menjadi setan penasaran?"
"Cia Sun!" Ayahnya membentak dan dalam suara pendekar ini terkandung wibawa yang kuat. Nadanya bukan kemarahan, melainkan memperingatkan dan tegas sekali. "Dengarlah baik-baik, buang dulu semua nafsu yang memenuhi batinmu. Cia Sun, bukalah mata dan lihatlah. Apakah engkau mengira bahwa ibumu yang telah meninggal dunia itu kini menjadi setan penasaran yang haus darah, yang akan menyeringai kegirangan melihat anak kandungnya menjadi pembunuh" Serendah itukah engkau menilai ibumu?"
Tentu saja Cia Sun terkejut sekali dan dia mengangkat muka memandang wajah ayahnya dengan mata terbelalak. "Tidak...! Tentu saja tidak! Bukan begitu maksudku, ayah!"
"Kalau bukan begitu maksudmu, maka jangan membawa-bawa nama ibumu jika engkau berniat membunuh orang! Apa yang akan kaulakukan itu tidak ada sangkut-pautnya dengan ibumu, melainkan keluar dari gejolak batinmu yang diracuni dendam kebencian! Engkau hanya akan menodai dan mengotorkan jiwa ibumu kalau engkau menyeret ibumu ke dalam alam pikiranmu yang penuh dendam kebencian itu."
Getaran dalam suara ayahnya meredakan kemarahan yang tadi berkobar di dalam batin Cia Sun. Sejenak dia termenung, diam-diam mengakui bahwa memang kemarahannya itu timbul karena dia merasa kehilangan ibunya yang tercinta, jadi dialah yang sakit hati, dialah yang mendendam karena orang merenggutkan sesuatu yang mendatangkan rasa senang di hatinya.
"Baiklah, ayah. Akan kucoba untuk mengerti apa yang ayah maksudkan. Akan tetapi apakah yang telah terjadi" Apakah kesalahan ibu maka ia sampai dibunuh orang?"
Cia Han Tiong menarik napas panjang. "Dendam... dendam... balas-membalas, baik membalas budi maupun membalas sakit hati, dendam dan kebencian telah mengotorkan batin manusia dan membuat dunia menjadi sekeruh ini. Mereka datang karena dendam kepada keluarga kita, dendam kepada kakekmu dan kamilah yang menerima akibatnya. Mereka datang menyebar maut karena dendam, ibumu dan belasan orang muridku menjadi korban. Nah, bagaimana pendapatmu tentang mereka itu, anakku" Bukankah mereka itu merupakan orang-orang tersesat yang mabok dendam kebencian yang hanya ingin memuaskan nafsu kebencian hati mereka saja dengan melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang sama sekali tidak mereka kenal?"
Cia Sun mengepal tinju dan mengangguk. "Mereka itu orang-orang jahat!" jawabnya.
"Bagus!" kata ayahnya. "Dan sekarang engkaupun ingin menjadi seperti mereka, hendak mencari orang-orang yang tidak kaukenal untuk kaubunuh hanya untuk memuaskan nafsu kebencianmu?"
Cia Sun terkejut, tak mengira bahwa ke situ maksud ayahnya. "Tapi, ibu telah mereka bunuh, juga para suheng!"
"Rasa penasaran dalam pemikiran seperti itulah yang menimbulkan dendam mendendam
dan bunuh-membunuh, menciptakan lingkaran setan dari mata rantai karma. Apakah engkau menghendaki dirimu terikat oleh rantai itu, sampai ke cucumu, terbelenggu rantai karma, terus-menerus dicekam dendam balas-membelas tiada akhirnya" Mata rantai itu kini berada di tanganmu, mau kaupatahkan ataukah mau kausambung, terserah kepadamu. Kalau engkau hendak menyambungnya, engkau mendendam, mencari pembunuh ibu dan para suhengmu, kemudian engkau membunuh mereka. Apakah kaukira sudah selesai sampai di situ saja" Kalau murid atau keturunan mereka mempunyai batin yang sama denganmu, merekapun akan mendendam dan akhirnya mencarimu untuk membalas dendam kepada muridmu atau keturunanmu. Terus-menerus begitu, tiada habisnya. Sebaliknya, kalau engkau hendak membebaskan diri dari lingkaran setan karma itu, engkau diam dan menghapus dendam sekarang juga dan rantai belenggu itupun patah."
Cia Sun termenung, lalu menarik napas panjang. "Ayah, dari ajaran ayah yang lalu, aku dapat mengerti akan penjelasan ayah tadi. Akan tetapi bagaimanapun juga, aku yang masih muda ini, hanyalah seorang manusia biasa ayah, yang tidak terlepas dari perasaan senang susah malu marah dan takut. Menghadapi kematian ibu dan para suheng seperti ini, melihat orang-orang menyebar maut di dalam keluarga kita, bagaimana mungkin aku melupakannya dan mendiamkannya begitu saja?"
"Andaikata engkau berada di sini ketika peristiwa itu terjadi dan engkau membela ibumu dan suheng-suhengmu, seperti yang kulakukan juga, hal itu adalah wajar. Akan tetapi, menanam kebencian dalam hati merupakan racun bagi batin sendiri, anakku."
"Biarkan aku melihat kenyataan yang tumbuh dalam batin sendiri, ayah. Harap ayah suka
menceritakan bagaimana peristiwa ini dapat terjadi, bagaimana asal mulanya."
"Mereka yang datang menyerbu itu berjuluk Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo. Mereka adalah cucu murid dari mendiang mendiang Hek-hiat Mo-li, seorang datuk sesat yang dahulu tewas di tangan kakekmu. Mereka berdua datang jauh dari negeri Sailan untuk mencari mendiang ayah Cia Sin Liong, untuk membalas den-dam. Akan tetapi karena ayah yang mereka cari-cari telah meninggal dunia, mereka lalu menimpakan dendam mereka kepada keturunan ayah yaitu aku seke-luarga. Dan dalam perkelahian itu, para suhengmu dan ibumu jatuh sebagai kor-ban dan tewas."
"Dan kedua iblis itu?"
"Mereka telah pergi dalam keadaan luka."
"Tapi kenapa mereka tidak membunuh ayah" Bukankah ayah merupakan musuh utama, sebagai putera kong-kong" Meng-apa mereka hanya membunuh ibu dan pa-ra suheng, dan melepaskan ayah?"
Cia Han Tiong menghela napas. "Mereka tidak mampu melakukan hal itu ka-rena mereka terluka olehku dan tidak mampu melawan lagi."
Cia Sun memandang dengan mata terbelalak. "Ayah telah mengalahkan mereka?"
Ayahnya mengangguk. "Mereka itu lihai bukan mainm akan tetapi aku berhasil mengalahkan mereka."
"Dan melukai mereka?"
"Kalau mereka kalah dan terluka... bagaimana mereka dapat lolos dan pergi dari sini?"
"Aku telah melepaskan mereka dan membiarkan mereka pergi."
"Apa?" Cia Sun terlonjak berdiri, me-mandang kepada ayahnya dengan muka pucat. "Ayah telah mengalahkan dan melukai mereka, akan tetapi ayah... membiarkan mereka pergi begitu saja selagi jenazah ibu dan para suheng masih menggeletak di depan kaki ayah?"
Ayahnya mengangguk. "Aku sendiripun hanya seorang manusia biasa, anakku, dan akupun tidak luput daripada nafsu amarah dan sakit hati. Akan tetapi aku melihat dengan jelas betapa aku sekeluarge akan terperosok semakin dalam kalau aku menuruti nafsu kebencian, ma-ka aku sengaja membiarkan mereka per-gi."
"Dan dengan perbuatan itu ayah me-rasa yakin bahwa ikatan dendam itu akan putus" Bagaimana kalau dua iblis itu masih penasaran karena ayah dan aku masih belum tewas dan mereka berusaha untuk membunuh kita" Apakah kitapun harus diam saja menyerahkan nyawa untuk dibunuh?" Dalam pertanyaan pemuda ini masih terkandung rasa penasaran yang amat besar.
Mendengar pertanyaan puteranya itu, Cia Han Tiong menahan senyum, menghela napas dan menggeleng kepala. "Aku percaya bahwa merekapun telah insyaf akan kebodohan mereka dan merasa menyesal sekali. Dan andaikata benar seperti yang kaukatakan tadi, andaikata mereka itu pada suatu hari datang dan berusaha untuk menyerang dan membunuh kita tentu saja kita akan melawan mereka."
"Hemm, bukankah itu sama saja namanya, ayah" Kitapun akan menggunakan kekerasan apabila diserang dan kalau mereka itu lihai, berarti mereka atau kita yang akan tewas dalam perkelahian itu?"
"Tidak, anakku. Hal itu sudah menjadi berbeda dan lain lagi. Kalau kita diserang orang, berarti kita terancam bahaya den sudah menjadi hak dan kewajiban kita untuk melindungi dan membela diri berusaha melepaskan diri daripada ancaman bahaya. Dalam pembelaan diri ini tidak terkandung kebencian."
Han Tiong menatap tajam wajah puteranya dan merasa prihatin karena dia dapat melihat betapa rasa penasaran yang amat besar mencekam hati puteranya dan bahwa dendam masih meracuni hati puteranya.
"Ingat, anakku. Kegagahan sejati berarti mengalahkan cengkeraman hawa nafsu diri sendiri yang meracuni batin. Tidak ada orang lain yang akan dapat membersihkan batin sendiri dari cengkeraman beracun nafsu dendam kalau bukan kewaspadaan dan kesadaran sendiri."
Cia Sun tidak membantah lagi, akan tetapi dia masih merasa penasaran dan untuk melapangkan hatinya, dia lalu barpamit dan meninggalkan ayahnya untuk menghirup udara segar di luar rumah yang kini kehilangan keindahan dan daya tariknya baginya itu. Dia pergi ke kuburan ibunya dan di depan kuburan yang masih baru itu dia tidak dapat menahan lagi kesedihannya dan menangislah pemuda yang biasanya tabah ini tersedu-sedu. Mengingat betapa ibunya masih segar bugar dan bergembira ketika dia meninggalkannya setahun yang lalu dan kini telah tiada, apalagi mengingat betapa ibunya yang dianggapnya sebagai seorang wanita paling lembut, paling baik dan paling mulia di dunia ini tewas terbunuh oleh orang jahat, hatinya terasa sakit sekali dan dendam semakin tumbuh dalam hatinya.
Memang, kedukaan, kemarahan yang menimbulkan kebencian, semua itu muncul dalam batin apabila pikiran mengingat-ingat segala hal yang telah lewat, menghidupkan segala peristiwa dan pengalaman yang lalu itu dalam ingatan, memperbesar rasa iba diri melalui penonjolan si aku yang dibikin susah atau tidak disenangkan. Makin mendalam pikiran mengingat-ingat, makin berkobarlah nafsu kedukaan dan amarah, membuat kebencian menjadi semakin subur pula. Kebencian timbul dari ingatan. Kebencian adalah ingatan itu sendiri yang disalahgunakan oleh si aku. Tanpa adanya ingatan, tanpa adanya si aku yang mengingat-ingat, takkan ada kebencian.
Sampai hari berganti malam, Cia Sun belum meninggalkan makam ibunya dan para suhengnya yang tewas dalam tangan musuh. Dia duduk bersila, tidak menangis lagi akan tetapi hatinya diliputi penuh duka dan dendam. Makin dia membayangkan kehidupan yang lalu di samping ibunya, makin dia mengingat akan kematian orang yang disayangnya, semakin besar pula penderitaan batinnya. Dia tidah tahu bahwa sore tadi ayahnya menjenguknya dan memandangya dari jauh tanpa mengganggunya. Orang tua itu hanya memandang dengan sinar mata terharu, kemudian Cia Han Tiong meninggalkan puteranya, kembali ke dalam kamarnya di mana diapun duduk bersamadhi dengan tenang. Dia harus membiarkan puteranya itu sadar sendiri dan dia dapat menduga bahwa pada saat itu sedang terjadi perang batin dalam diri puteranya.
Malam itu langit tak berbintang, akan tetapi bulan purnama menerangi permukaan bumi dengan cahayanya yang lembut. Cia Sun masih tetap duduk di depan makam ibunya. Hatinya terasa seperti ditusuk ketika secara tiba-tiba dia teringat akan Sui Cin, gadis yang telah menjatuhkan hatinya, membuatnya mengalami perasaan cinta untuk pertama kali dalam hidupnya. Ketika dia melakukan perjalanan pulang, sudah terkandung rencana dalam hatinya bahwa ibunya akan merupakan orang pertama yang akan diberi tahu tentang rahasia hatinya itu. Dia hendak menceritakan tentang Sui Cin kepada ibunya dan minta nasihat ibunya, bahkan mengharapkan ibunya akan dapat mengatur dan menyampaikan kepada ayahnya tentang hasrat hatinya terhadap puteri Pendekar Sadis. Dia percaya bahwa ayah ibunya akan merasa girang dan akan menyetujui kalau dia minta dilamarkan Sui Cin. Bukankah di antara ayahnya dan Pendekar Sadis terdapat pertalian batin yang amat erat" Teringat akan semua itu, hatinya menjadi hancur. Kini ibunya telah tiada dan dia merasa malu kalau harus bicara tentang gadis itu kepada ayahnya. Dengan kematian ibunya, dia kehilangan banyak sekali.
Selagi Cia Sun tenggelam ke dalam lamunannya sendiri, tiba-tiba terdengar suara orang di belakangnya, "Uh-uhh, membiarkan diri tenggelam dalam duka hanya dilakukan oleh orang-orang lemah. Kalau seorang pemuda selemah ini batinnya, tidak dapat diharapkan lagi!"
Cia Sun melompat berdiri sambil membalikkan tubuhnya. Dia terkejut sekali mendengar suara orang itu dan kini dia terbelalak memandang kepada seorang kakek yang tahu-tahu telah berdiri di depannya. Seorang kakek yang menyeramkan, dengan tubuhnya yang tinggi besar, mukanya hitam penuh cambang bauk dan matanya melotot galak, pakaiannya jubah pendeta yang nampak bersih bahkan mewah, sepatunya baru mengkilap. Diam-diam Cia Sun merasa heran melihat betapa kakek tinggi besar ini tahu-tahu berada di belakangnya tanpa dia mendengar sama sekali. Hal ini saja membuktikan bahwa tentu kakek ini memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi keheranannya tidak mengurangi kemarahannya. Hatinya sedang dipenuhi kemarahan dan dendam, maka kemunculan orang asing yang begitu saja mencelanya membuat pandang mata pemuda ini mengandung api berkilat.
"Iblis dari mana berani datang mengganggu ketenteramku?" bentaknya marah.
"Ha-ha-ha!" Kakek itu tertaa mengejek. "Kiranya masih ada juga sisa api dalam hatimu. Siapa mengganggu ketenteramanmu" Hatimu jelas tidak tenteram. Apakah kalau engkau menangis seperti itu yang mati akan dapat bangkit kembali" Biar engkau menangis sampai mengeluarkan air mata darah sekalipun, ibumu tetap saja akan tinggal di dalam kuburnya, tidak akan dapat bangkit hidup kembali, ha-ha-ha!"
Tentu saja Cia Sun menjadi marah mendengar kata-kata yang kasar dan na-danya mengejek ini. Andaikata dia tidak sedang diracuni kemarahan dan kebenci-an, tentu kata-kata ini masih dapat diterimanya. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, ucapan kakek ini membuatnya marah sekali.
"Orang asing, pergilah dan jangan ganggu aku. Apa hubunganmu dengan u-rusan kematian ibuku?"
"Ha-ha, engkau belum tahu siapa pem-bunuh ibumu, hanya mendengar nama sa-ja. Siapa tahu pembunuhnya itu adalah orang macam aku, ha-ha!"
Cia Sun terbelalak. Menurut ayahnya, pembunuh ibunya ada dua orang yang berjuluk Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo. "Apakah engkau berjuluk Hek-hiat Lo-mo?" tanyanya dengan suara memben-tak.
"Ha-ha, aku boleh saja disebut Lo-mo (Iblis Tua), akan tetapi apakah aku me-miliki Hek-hiat (Darah Hitam) ataukah tidak, haruslah dibuktikan dulu. Akan tetapi aku tahu benar bahwa engkau adalah pu-tera seorang pendeker yang berhati lemah, yang tidak mmiliki kegagahan, membiarkan diri dihina dan diinjak-injak orang lain. Engkaupun seorang pemuda yang lemah dan tidak dapat diharapkan."
"Iblis tua, engkau terlalu menghina orang!" Cia Sun marah sekali dan dia sudah mengepal kedua tinjunya dan siap untuk menerjang.
"Ha-ha, engkau hendak menyerangku" Engkau memiliki keberanian itu" Cobalah, orang muda, memang aku ingin sekali melihat sampai di mana kehebatan keturunan Pendekar Lembah Naga!"
Mendengar ini, semakin besar kecurigaan hati Cia Sun. Siapa tahu kakek ini benar-benar musuh besar keluarganya yang datang lagi, untuk menyempurnakan pekerjaannya yang terkutuk itu, yakni membasmi habis keluarga Pendekar Lembah Naga. Maka dengan kemarahan meluap, Cia Sun sudah menerjang ke depan dan menyerang kakek berjubah pendeta itu. Karena dia sudah dapat menduga bahwa lawan ini tentu lihai sekali, diapun tidak bersikap sungkan lagi dan begitu menyerang, Cia Sun sudah mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang dan begitu tangannya meluncur dia sudah meluruskan telunjuknya yang menjadi kaku seperti baja melakukan totokan bertubi-tubi ke arah tujuh jalan darah utama di bagian depan tubuh lawan. Terdengar bunyi bercuitan ketika tangannya bergerak dan totokan-totokan itu sungguh amat dahsyat!
Biarpun tubuhnya tinggi besar, namun ternyata kakek itu dapat bergerak dengan amat cepat. Tubuhnya bergerak ke sana-sini mengelak dari sambaran jari tangan Cia Sun dan mulutnya mengeluarkan kata-kata seruan, "Ah, inikah yang disebut totokan It-sin-ci (Satu Jari Sakti)" Hebat, akan tetapi masih mentah!" Dan ucapannya ini bukan hanya sekedar membual karena tujuh kali totokan itu lewat dan tidak satupun dapat mengenai tubuh kakek itu.
Diam-diam Cia Sun terkejut. Jurus-jurus serangannya tadi adalah jurus-jurus simpanan. Lawan mungkin dapat menangkisnya, akan tetapi menghindarkan diri dari tujuh kali totokan bertubi-tubi itu hanya dengan cara mengelak, sungguh amat luar biasa! Selain resikonya terlalu besar, juga gerakan tangannya amat cepat sehingga kalau tidak ada orang yang sudah matang ilmunya sehingga gerakannya sudah otomatis dan mendarah daging, kiranya tidak akan mungkin menghindarkan diri semudah itu dari serangkaian totokannya. Dia juga merasa penasaran dan kini mendesak dan menyerang lagi dengan Hok-mo Cap-sha-ciang! Inilah ilmu yang paling dirahakakan dari ayahnya. Hok-mo Cap-sha-ciang (Tiga Belas Jurus Penakluk Iblis) adalah ilmu yang amat luar biasa dan mujijat. Biarpun hanya tiga belas jurus, akan teta