Asmara Berdarah 8
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 8
pi setiap jurus mengandung kehebatan yang sukar ditahan atau ditandingi lawan. Kalau tidak berada dalam kesulitan, mendiang Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong sendiripun jarang mempergunakan ilmu dahsyat itu. Juga Cia Han Tiong hampir tidak pernah mempergunakannya dalam perkelahian. Sekali ini, Cia Sun yang berada dalam keadaan sedih dan sakit hati, tak dapat menahan dirinya dan sudah mempergunakan ilmu simpanan terakhir yang paling hebat di antara ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari ayahnya.
"Wuuuttt... singgg...!" Angin yang amat kuat menyambar dan suara berdesing terdengar ketika tangan pemuda itu menyambar ke depan. Kakek itu mengeluarkan suara kaget dan tidak berani main-main lagi, segera mengerahkan tenaga dan menyambut dorongan kedua telapak tangan pemuda itu dengan kedua tangannya sendiri. Dia maklum bahwa serangan sedahsyat itu tidak mungkin dielakkan tanpa membahayakan nyawanya. Satu-satunya jalan adalah menyambu pukulan dahsyat itu.
"Plak! Plak!" Tubuh Cia Sun terdorong ke belakang dan dia merasa betapa tenaganya bertemu dengan sesuatu yang lembut, kedua tangannya bertemu dengan telapak tangan lawan yang amat lunak akan tetapi dia merasa seolah-olah semua tenaganya masuk ke dalam air sehingga hilang kekuatannya, namun ternyata di balik kelembutan itu ada tenaga yang sedemikian halus dan kuatnya sehingga tubuhnya yang terdorong ke belakang. Dan begitu dia berhasil menghentikan tubuhnya yang terdorong, tiba-tiba saja kedua kakinya gemetar dan lemas sehingga dia hampir terguling.
Sebaliknya, kakek itupun membelalakkan kedua matanya yang melotot lebar. "Ihh, ilmu setan apakah itu" Setahuku Pendekar Lembah Naga adalah seorang pendekar gagah yang tidak pernah tersesat, akan tetapi bagaimana cucunya mempunyai ilmu sesat macam itu tadi?" Berkata demikian, kakek itu lalu menubruk maju dan jubahnya yang lebar itu berkembang. Cia Sun merasa seolah-olah dia diserang oleh seekor kelelawar raksasa yang terbang den menyambar ke arahnya. Dia masih merasa lemas kedua kakinya, maka kini diapun mengerahkan Thian-te Sin-ciang untuk melindungi dirinya, menangkis ke depan dari samping sambil mengerahkan tenaga sin-kang.
"Desss...!" Dan kini, pertemuan antara lengan mereka membuat tubuh Cia Sun terpelanting! Belum hilang rasa kaget pemuda itu, kakek yang amat lihai itu sudah menubruk dengan cengkeraman kedua tangannya ke arah kepala dan dada Cia Sun.
"Heh!" Cia Sun yang masih terpelanting itu terkejut melihat dua buah lengan yang besar dan panjang menyambar dengah cengkeraman maut. Dia menggulingkan tubuhnya mengelak lalu meloncat bangun. Ternyata kedua tangan kakek itu masih melanjutkan serangannya secara aneh dan dahsyat. Akan tetapi Cia Sun cepat memainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-ciang untuk membela dan melindungi dirinya sehingga semua serangan kakek itu dapat dielakkan atau ditangkis!
"Bagus!" Kakek itu memuji. "Thai-kek Sin-ciang yang baik sekali!" Akan tetapi biarpun mulutnya memuji, kakek itu melanjutkan serangan-serangannya yang ternyata selain aneh sekali gerakannya, juga amat cepat dan kuat sehingga Cia Sun menjadi repot dibuatnya. Pemuda ini segera merobah gerakannya, berturut-turut dia memainkan San-in Kun-hoat dan semua ilmu yang pernah dipelajarinya. Akan tetapi kakek itu dapat mengenal semua gerakannya dan memuji-muji setengah mengejek!
"Ha-ha, ilmu-ilmu silat yang tinggi dan hebat, akan tetapi masih mentah. Mana Thi-khi-i-beng" Hayo keluarkan, biar kucoba kelihaiannya!"
Cia Sun kini merasa yakin bahwa lawannya benar-benar amat lihai dan telah mengenal ilmu-ilmunya, kecuali Hok-mo Cap-sha-ciang tadi. Hal ini membuatnya merasa gugup dan ketika kakek itu me-nerjangnya dengan tendangan- tendangan berputar yang amat dahsyat, pahanya ke-na tendangan dan diapun terguling lagi. Dan sekali ini, sebelumdia sempat bangun, tahu-tahu kakek itu telah menempelkan jari-jari tangannya ke ubun-ubun kepalanya! Cia Sun memejamkan mata, menanti datangnya maut karena dia yakin bahwa kalau kakek itu menggerakkan jari-jari tangannya, dia tidak akan tertolong lagi. Akan tetapi jari-jari tangan itu tak kunjung terasa oleh kepalanya dan diapun membuka mata. Dilihatnya bahwa jari-jari tangan itu masih menempel di ubun-ubunnya, akan tetapi kakek itu hanya memandang sambil menyeringai.
"Iblis busuk, kalau engkau hendak membasmi kelurga kami, lakukanlah. Bunuhlah, aku tidak takut mati!"
"Ha-ha-ha!" kakek itu menarik tangannya dan melangkah mundur. "Orang muda, kalau aku ini Hek-hiat Lo-mo, apa kaukira engkau masih hidup sekarang ini?"
Sadarlah Cia Sun bahwa kakek ini sesungguhnya bukanlah musuh, melainkan seorang aneh yang agaknya tadi sengaja hendak menguji ilmu kepandaiannya. Dia tahu bahwa banyak sekali orang pandai di dunia ini yang berwatak aneh dan agaknya kakek inipun seorang di antara orang-orang aneh itu yang tidak dikenalnya. Maka tanpa ragu-ragu lagi diapun lalu bangkit duduk dan berlutut menghadap kakek itu.
"Maaf kalau saya keliru menilai orang. Siapakah locianpwe sebenarnya?" tanyanya dengan sikap hormat.
"Orang muda, siapa adanya aku tidaklah begitu penting dan baru akan kujawab satelah engkau mau menjawab pertanyaan-pertanyaanku."
Kini sudah hilang rasa marah di hati Cia Sun terhadap orang aneh yang dia percaya adalah seorang sakti ini. "Silakan bertanya, locianpwe."
"Engkau adalah putera keluarga gagah perkasa yang selalu mengutamakan kebaikan. Ibumu adalah seorang wanita gagah yang berhati mulia, dan murid-murid Pek-liong-pai adalah pendekar-pendekar yang baik hati. Akan tetapi pada suatu hari, malapetaka datang menimpa. Dua orang manusia berhati iblis telah menyebar maut, membunuh ibumu dan para suhengmu, yang sama sekali tidak bersalah terhadap dua orang itu. Nah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu. Apakah engkau ingin membiarkan saja kejahatan itu, sama sekali tidak mendendam dan tidak ingin mencari dan membunuh kedua orang itu untuk membalas dan juga untuk membasmi orang-orang yang demikian jahatnya?"
Cia Sun mengepal tinju, hatinya terasa seperti api disiram minyak, semangatnya semakin berkobar. "Tentu saja, locianpwe! Saya akan berusaha mencari dan membunuh kedua iblis jahat itu!"
Kakek itu mengangguk-angguk. "Benarkah itu" Bukankah ayahmu, ketua Pek-liong-pai yang berhati mulia dan suka mengalah itu tidak menghendaki demikian?"
Diam-diam Cia Sun terkejut. Orang aneh ini agaknya tahu segala-galanya, bukan hanya yang menimpa keluarganya, akan tetapi juga tahu akan watak ayahnya. Tentu saja hatinya memberontak dan dia ingin mempertahankan kehormatan dan nama ayahnya, ingin membenarkan dan membela pendirian ayahnya. Akan tetapi, pada saat itu batinnya sudah terlalu panas oleh dendam sehingga pertanyaan itu bahkan membut dia melihat lebih jelas lagi akan kesalahan dalam pendapat ayahnya itu.
"Mungkin ayah berpendapat demikian, akan tetapi saya tidak! Saya tidak ingin menjadi orang selemah itu dan membiarkan kejahatan berlangsung tanpa memberi hukuman dan tanpa membalas!"
"Jadi engkau ingin membelas dendam" Tahukah engkau siapa pembunuh ibumu?"
"Mereka adalah Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo."
"Tahukah pula engkau di mana adanya mereka?"
Cia Sun memandang bingung dan menggeleng kepala. "Saya tidak tahu, locianpwe. Akan saya cari mereka sampai dapat!"
"Orang muda, semangatmu cukup besar, akan tetapi jangan mengira akan mudah saja mencari mereka. Mereka itu adalah pendatang dari Sailan dan kini menyembunyikan diri. Pula, andaikata dapat bertemu, belum tentu engkau dapat mengalahkan mereka. Sekarang begini. Aku tertarik kepadamu, kagum akan kelihaianmu dan kegagahanmu. Ilmu silatmu sudah hebat dan jarang ada yang akan dapat menandingimu kalau ilmu-ilmu yang kaumiliki itu sudah dapat kaukuasai sampai matang. Ibarat buah engkau masih belum matang benar, dan ibarat batu giok engkau belum digosok. Maukah engkau menjadi muridku dan membiarkan aku membimbingmu selama satu tahun kemudian kutunjukkan kepadamu di mana adanya dua orang musuh besarmu itu?"
Bukan main girangnya hati Cia Sun. Tanpa banyak sangsi lagi dia lalu memberi hormat sambil berlutut dan menjawab. "Saya bersedia dan saya mau, locianpwe!"
"Nah, kalau begitu, ketahuilah bahwa aku adalah Go-bi San-jin, seorang pertapa usil yang tidak terkenal dan mulai sekarang engkau harus ikut bersamaku tanpa memberi tahu ayahmu."
"Baik, suhu. Teecu mentaati perintah suhu," kata Cia Sun dan malam hari itu juga dari makam ibunya dia langsung saja pergi mengikuti gurunya tanpa memberitahukan ayahnya! Dendamnya sudah sedemikian besarnya sehingga dia bersedia melakukan apa saja untuk dapat membalas kematian ibunya dan para suhengnya.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Rumah besar di Ta-tung itu tentu akan dianggap sebagai rumah seorang hartawan atau setidaknya rumah bangsawan oleh orang-orang yang baru datang di kota itu. Penduduk Ta-tung juga hanya mengetahui bahwa rumah besar itu adalah milik seorang hartawan kaya raya bershe (marga) Siangkoan. Akan tetapi hartawan yang kabarnya usianya sudah amat lanjut dan sakit-sakitan itu jarang kelihatan orang, kabarnya selalu bersembunyi di dalam kamarnya dan dilayani oleh belasan orang pelayan! Hanya kadang-kadang saja orang melihat kakek hartawan ini keluar rumah memasuki sebuah kereta yang mewah, entah pergi ke mana. Pendeknya, pemilik rumah besar itu diketahui orang sebagai Siangkoan-wangwe (Hartawan Siangkoan) yang sudah tidak kelihatan aktip berdagang lagi, agaknya seorang kakek pensiunan yang menghabiskan sisa hidupnya dengan harta kekayaannya. Akan tetapi kalau saja orang dapat melihat tembus tembok tebal itu dan menyaksikan apa yang seringkali terjadi di dalam rumah itu, orang akan terheran-heran dan terkejut bukan main. Kiranya kakek hartawan yang kabarnya sakit-sakitan ini sebetulnya adalah seorang datuk kaum sesat yang ditakuti hampir semua anggauta dunia hitam. Juga para pendekar di dunia kang-ouw merasa serem kalau mendengar namanya. Dia adalah Siangkoan Lo-jin (Kakek Siangkoan) yang lebih terkenal dengan julukan Iblis Buta! Dengan menyamar sebagai seorang hartawan tua renta yang sakit-sakitan, Siangkoan Lo-jin dapat terbebas dari gangguan, dan lolos dari pengamatan para pendekar dan juga dari pemerintah yang pada waktu itu sedang sibuk mencarinya sehubungan dengan aksi gerakan pembersihan yang dilakukan oleh para petugas pemerintah atas perintah dari kaisar sendiri. Siangkoan Lo-jin dikenal sebagai pemimpin semua gerakan rahasia, persekutuan yang bekerja untuk kepentingan Liu-thaikam yang sudah ditangkap dan dijatuhi hukuman mati itu. Akan tetapi, alat pemerintah tidak berhasil menemukannya, bahkan tidak berhasil pula menemukan para tokoh sesat Cap-sha-kui yang menjadi para pembantu utama dari Siangkoan Lo-jin. Pemerintah hanya mampu membasmi anak buah penjahat saja seperti perkumpulan pengemis Hwa-i Kai-pang dan lain-lain.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Pada suatu malam setelah gerakan pembersihan dari pasukan pemerintah agak mereda di kota Ta-tung yang dekat dengan kota raja, di sebelah dalam rumah besar itu terjadi kesibukan. Para komandan keamanan di kota Ta-tung bisa mati berdiri kalau tahu apa yang terjadi di dalam rumah besar itu. Kiranya pada malam hari itu, seluruh tokoh pemberontak yang dicari-cari pemerintah telah berkumpul di rumah itu. Di malam gelap itu, seperti iblis-iblis gentayangan, berturut-turut datang berkelebatan bayangan-bayangan hitam memasuki rumah besar. Mereka ini adalah tokoh-tokoh sesat dari Cap-sha-kui yang terilbat dalam pemberontakan di bawah pimpinan Liu-thaikam yang datang untuk memenuhi panggilan Siangkoan Lo-jin yang mereka anggap sebagai pemimpin mereka dalam persekutuan itu.
Menjelang tengah malam, di waktu kota Ta-tung menjadi sunyi dan sebagiab besar penduduknya sudah tidur nyenyak, lengkaplah para tamu aneh yang berdatangan ke rumah besar menghadap Siangkoan Lo-jin. Di dalam ruangen di belakang, sebuah ruangan luas, mereka berkumpul, duduk menghadapi meja besar panjang dengan berkeliling. Para pelayan Siangkoan Lo-jin yang sesungguhnya bukan orang-orang biasa melainkan anak buah yang rata-rata memiliki ilmu silat tangguh, kini mengadakan penjagaan ketat walaupun mereka yakin bahwa rumah itu aman dan tidak pernah dicurigai orang.
Ruangan itu luas dan terang sehingga nampak jelas wajah mereka yang duduk mengelilingi meja besar panjang. Di kepala meja duduk Siangkoan Lo-jin sendiri, seorang kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi kurus dengan pakaian hitam sederhana, pakaiannya sebagai Si Iblis Buta, berbeda dari pakaian hartawan yang dikenakannya kalau dia kebetulan keluar sebagai pemilik rumah. Kini pakaian hitamnya amat sederhana dan longgar. Kedua matanya mengerikan, nampak putihnya saja dan tak pernah berkedip. Di tangan kirinya terdapat sebuah tongkat kayu cendana hitam yang selain menjadi pembantunya dalam meraba-raba mencari jalan, juga merupakan sebuah senjatanya yang ampuh sekali. Sebetulnya kakek buta ini memiliki sebuah rumah di Pao-ci, di Propinsi Shen-si, akan tetapi semenjak kegagalan persekutuannya yang mengabdi kepada Liu-thaikam, terpaksa dia bersembunyi di Ta-tung ini, di mana dia dikenal sebagai seorang hartawan yang tidak melakukan kegiatan apa-apa lagi.
Di sebelah kirinya duduk seorang pemuda, yaitu Siangkoan Ci Kang, putera tunggalnya. Ci Kang tidak dapat mengingat ibu kandungnya dengan baik. Seingatnya, ketika masih kecil pernah dia diasuh oleh seorang wanita yang menurut ayahnya adalah ibunya yang tewas ketika dia masih kecil. Dia hidup bersama ayahnya, digembleng oleh ayahnya yang buta dan harus diakuinya bahwa ayahnya amat mencintanya, walaupun dengan caranya sendiri yang aneh. Seluruh ilmu kepandaian ayahnya diwariskan kepadanya dan karena memang dia amat berbakat, biarpun kini usianya baru delapan belas tahun lebih, namun dia telah dapat mewarisi kepandaian itu. Siangkoan Ci Kang duduk seperti arca, diam dan wajahnya membayangkan hati yang dingin dan tidak perdulian. Pakaiannya seperti ayahnya, amat sederhana, bahkan jubahnya terbuat dari kulit harimau yang kuat. Usianya baru delapan belas tahun, akan tetpi tubuhnya tinggi tegap. Pada saat itu dia duduk dengan sepasang alis berkerut seolah-olah ada sesuatu yang mengganjal hatinya dan membuat dia merasa tidak gembira. Dan memang sesungguhnya demikianlah. Sejak semula, dia sudah tidak setuju mendengar ayahnya memimpin Cap-sha-kui dan para tokoh sesat untuk menjadi antek pembesar korup Liu-thaikam. Dia tidak setuju, akan tetapi betapapun juga, sebagai seorang anak yang mencinta ayahnya, dia selalu membantu ayahnya, walaupun bantuan itu lebih merupakan perlindungan karena dia tidak pernah mau membantu kalau teman-teman ayahnya melakukan kejahatan. Dia tahu bahwa ayahnya adalah seorang datuk sesat, akan tetapi diapun tahu, bahkan merasa yakin, bahwa sesungguhnya ayahnya bukanlah orang jahat, melainkan orang yang diracuni dendam setelah kedua matanya menjadi buta. Ayahnya hanya ingin menonjol, ingin menjadi orang nomor satu dalam dunia sesat, dan dia merasa kasihan melihat ayahnya yang buta, juga kagum bahwa ayahnya yang buta itu ternyata masih mampu menguasai dan memimpin orang-orang sesat yang jahat seperti iblis macam gerombolan Cap-sha-kui itu.
Berturut-turut mereka datang dan kini sudah berkumpul di situ dengan lengkap. Semua tokoh Cap-sha-kui yang pernah bekerja sama dengan Siangkoan Lo-jin. Mereka adalah Koa-i Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, Kiu-bwe Coa-li, Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo, dan Tho-tee-kwi Si Setan Bumi. Memang hanya enam orang ini saja dari Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis) yang tersangkut dalam gerakan membantu Liu-thaikam yang dipimpin oleh Siangkoan Lo-jin. Sebenarnya Cap-sha-kui bukan merupakan suatu gerombolan dari tiga belas orang datuk sesat, akan tetapi mereka itu masing-masing memiliki nama besar dan keistimewaan sehingga dunia kang-ouw mengenal mereka sebagai Tiga Belas Iblis. Karena nama sebutan ini maka mereka, tiga belas orang tokoh sesat, merasa seolah-olah ada sesuatu yang mengikat mereka satu sama lain, yaitu nama itulah. Sedikit banyak nama sebutan Tiga Belas Iblis itu mendatangkan semacam perasaan setia-kawan dalam hati mereka. Akan tetapi, kecuali yang enam orang ini, yang lain dari mereka tidak tertarik dan tidak mau mencampuri urusan pemberontakan itu.
Mereka sedang bercakap-cakap dengan wajah muram dan lesu, membicarakan kegagalan mereka dan hancurnya persekutuan mereka dengan ditangkap dan dihukum matinya Liu-thaikam yang merupakan sumber uang dan harapan mereka untuk dapat meraih kedudukan. Terutama sekali Siangkoan Lo-jin menjadi kecewa dan penasaran sekali.
"Brakkk!" Dia menggebrak meja sampai ruangan itu tergetar oleh hawa pukulan yang keluar dari gerakannya. "Sungguh membuat orang bisa mati penasaran! Bagaimana untuk pekerjaan membunuh dua orang pejabat saja sampai gagal, bukan saja gagal, bahkan membuat usaha kita hancur dan Liu-thaikam sampai terhukum mati. Kegagalan itu sendiri tidaklah begitu menyedihkan, akan tetapi telah menyeret nama kita ke dalam lumpur. Masa kita, yang sudah dikenal sebagai tokoh-tokoh utama, sampai gagal dan hancur dalam usaha membunuh dua orang pejabat saja?"
Kui-kok Lo-mo yang mewakili teman-temannya berkata dengan suara lirih, jelas bahwa diapun jerih terhadap kakek buta itu. "Lo-jin, harap maafkan kami. Bukan sekali-kali karena kami kurang hati-hati. Semua rencana sudah kami atur sebaik-baiknya, bahkan kami dibantu oleh tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang. Akan tetapi sungguh menjemukan pemuda Cin-ling-pai itu! Dia pula yang menggagalkan rencana kita. Dia yang dahulu menyamar sebagai Menteri Liang, dan dia pula yang menylamatkan Jenderal Ciang dari dalam pesta Ang-kaumu. Dan ternyata bahwa pesta itupun agaknya telah diatur oleh pemuda itu untuk menjebak dan memancing kami. Kalau tidak ada pemuda itu, tentu tugas kami telah berhasil dengan baik semua."
Pemuda keparat itu pula yang telah menyelamatkan ketua Kang-jiu-pang Song Pak Lun ketika aku dan Hwa-hwa Kui-bo menyerbu!" kata Koai-pian Hek-mo dengan suara lantang dan marah.
"Bukan hanya pemuda putera ketua Cin-ling-pai, bahkan juga anak setan puteri Pendekar Sadis itu yang menghalangi pekerjaan kita!" Suara Kiu-bwe Coa-li melengking ketika ia ikut bicara. Semua orang menengok kepadanya dan ada yang terkejut.
"Anak Pendekar Sadis" Yang mana?" tanya Kui-kok Lo-bo, terkejut mendengar disebutnya nama Pendekar Sadis oleh rekannya itu. Juga suaminya nampak kaget.
"Hi-hik, sungguh lucu kalau sampai ketua Kui-kok-pang dapat dikibuli dah tidak mengenalnya. Aku sudah menyelidiki dan aku tahu rahasianya. Ia adalah pute-ri atau anak tunggal Pendekar Sadis, kadang-kadang ia memakai pakaian wa-nita biasa, kadang-kadang menyamar sebagai seorang pemuda jembel. Ilmu ke-pandaian gadis itu tinggi sekali, agaknya telah mewarisi semua kepandaian ayah ibunya," kata Kiu-bwe Coa-li, agaknya gembira karena suami isteri Kui-kok-san itu tidak tahu akan rahasia itu sehingga ia yang tahu berarti lebih waspada dan lebih cerdik daripada mereka.
"Aihh, perempuan setan itukah yang kaumaksudkan?" Hwa-hwa Kui-bo berseru kaget. "Apakah ia yang pernah kita jum-pai di kuil Dewi Laut di Ceng-tao?" Ia memandang kepada rekannnya, Koai-pian Hek-mo dengan mata terbelalak dan re-kannya itu mengangguk-angguk, merasa ngeri. Kakek iblis ini bersama Hwa-hwa Kui-bo pernah bertemu dan bertanding melawan seorang gadis yang luar biasa lihainya sehingga mereka berdua kalah. Kiranya gadis itu adalah puteri Pendekar Sadis! Memang, di antara para tokoh se-sat yang dijuluki Cap-sha-kui, dua orang tokoh ini memiliki tingkat kepandaian yang paling rendah maka biarpun mengeroyok, mereka itu masih belum mampu menandingi Sui Cin.
"Brakkk!" kembali Siangkoan Lo-jin menggebrak meja. Diam-diam dia menyesal sekali mengapa kedua matanya buta sehingga biarpun dia lihai akan tetapi dia tidak dapat menyaksikan sendiri semua itu dan tidak dapat mengenal kedua orang muda yang telah menggagalkan semua usahanya. Kini Liu-thaikam telah dihukum mati semua hartanya telah disita dan ini berarti bahwa usahanya yang dipupuknya selama ini berantakan sama sekali. "Sungguh amat menjemukan! Campur tangan dua orang muda saja telah membuat semua usaha kita gagal. Ci Kang, apakah engkau juga tidak mampu menandingi orang-orang muda itu?" tiba-tiba ayah itu menoleh ke kiri, bertanya kepada puteranya.
Sejak tadi Ci Kang mendengarkan percakapan mereka dengan alis berkerut. Mendengar pertanyaan ayahnya, diapun menarik napas panjang. "Aku sudah pernah bertemu dengan mereka, dan menurut penglihatanku, biarpun mereka itu merupakan dua orang muda yang memiliki kepandaian tinggi, namun tidaklah luar biasa!"
"Kalau begitu, mengapa usaha kita sampai gagal?" bentak ayahnya.
"Karena mereka berada di pibak benar dan di belakang mereka terdapat pasukan pemerintah!" jawab pemuda itu dengan singkat.
"Keparat! Tanpa sebab Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis memusuhi kita. Kita tidak boleh tinggal diam saja. Kita harus membalas dendam atas gangguan mereka ini!"
Enam orang tokoh Cap-sha-kui itu mengangguk-angguk, akan tetapi, tiba-tiba Tho-tee-kwi yang sejak tadi diam saja mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya. Raksasa yang tinggi besar dengan ukuran satu setengah kali orang biasa ini biarpun kasar dan liar, akan tetapi cerdik dan cukup berpengalaman sehingga dia tidak mau melakukan hal-hal yang sembono tanpa perhitungan.
"Heh, bukan aku takut menghadapi mereka, akan tetapi memusuhi ketua Cin-ling-pai dan terutama sekali Pendekar Sadis tanpa perhitungan, bukankah itu sama saja dengan menabrak batu karang dan kita mencari mati konyol!" Suaranya itu membuat para rekannya saling pandang dengan muka berobah agak pucat. Memang, bagaimanapun juga mereka sudah mendengar akan kehebatan tokoh-tokoh yang hendak mereka gempur itu, dan terutama sekali nama besar Pendekar Sadis membuat mereka harus menghitung sampai seratus kali sebelum turun tangan memusuhinya.
"Dalam hal ini, nama Cap-sha-kui tersangkut. Kalau kalian semua sebanyak tiga belas orang maju, apakah masih takut juga" Dan aku sendiripun tidak akan tinggal diam. Setidaknya, anakku Ci Kang akan mewakili aku untuk menghadapi anak-anak ketua Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis."
"Tidak, ayah, aku tidak mau!"
Ucapan Ci Kang ini membuat semua orang terkejut dan para tokoh Cap-sha-kui memandang dengan mata terbelalak kepada pemuda yang berani membantah ayahnya itu. Suasana menjadi sunyi sekali selama beberapa detik setelah Ci Kang mengeluarkan bantahannya, kesunyian yang mendebarkan hati.
"Apa..." Apa kau bilang tadi, Ci Kang?" Akhirnya terdengar suara Siangkoan Lo-jin, lambat dan lirih, akan tetapi penuh dengan kemarahan yang ditahan-tahan.
Siangkoan Ci Kang tetap tenang saja walaupun dia tahu bahwa ayahnya dan sekutu ayahnya itu tentu akan marah menghadapi pembangkangannya. "Aku tidak mau mewakili ayah untuk memusuhi Cin-ling-pai dan keluarga Pendekar Sadis."
Terdengar suara keras disusul meluncurnya sinar hitam dan tahu-tahu dinding di belakang tempat Ci Kang duduk berlubang disambar ujung tongkat kayu cendana. Kalau bukan Ci Kang, agaknya bukan dinding yang berlubang, melainkan tubuh orang yang telah berani membantah dan membangkang terhadap kehendak Si Iblis Buta itu. Melihat betapa tongkat itu menyambar cepat sukar diikuti pandang mata dan betapa besar bahaya maut mengancam kalau diserang oleh kekek buta itu, enam orang Cap-sha-kui diam-diam bergidik. Hebat bukan main kepandaian kakek buta itu dan mereka merasa gentar untuk menghadapinya sebagai lawan, walaupun mereka juga tahu bahwa dengan majunya mereka berenam, apalagi kalau lengkap tiga belas orang, kakek buta itupun belum tentu akan mampu melawan mereka.
"Ci Kang, apa artinya ucapanmu itu" Apakah engkau akan menjadi anak durhaka, mengkhianati ayahmu sendiri?"
"Tidak, ayah. Akan tetapi sejak dahulupun aku sudah tidak setuju dengan persekutuan ini. Ayah bermain api terlalu besar dan berbahaya dan kegagalan yang sudah semestinya menjadi peringatan agar ayah menghentikan semua kegiatan yang tidak sehat itu. Aku tidak suka melihat ayah melakukan kejahatan dan mengumpulkan orang-orang jahat untuk bekerja sama."
"Brakkk!" Ujung tepi meja itu hancur luluh dicengkeram tangan Siangkoan Lo-jin, sedangkan tangan sebelah yang memegang tongkat nampak gemetar. Kakek buta ini marah bukan main.
"Ci Kang, aku sudah tua dan aku sudah mempunyai rencana untuk mengundurkan diri dan mengangkat engkau sebagai penggantiku, memimpin para rekan di dunia hitam. Engkau harus lebih berhasil daripada aku, anakku, dan..."
"Maaf, ayah. Aku tidak sanggup, dan aku tidak mau melumuri hidupku dengan kejahatan dalam bentuk apapun juga. Aku tidak mau mengganggu orang lain..."
"Tutup mulutmu! Kau kira selama ini engkau makan apa kalau tidak hasil pekerjaan ayahmu" Kaukira dari mana kita memperoleh semua harta kekayaan..." Kakek itu menahan diri karena baru dia teringat bahwa di situ terdapat orang--orang lain yang mendengarkan sehingga tidak semestinya dia membuka semua ra-hasia keluarganya.
"Ayah, aku tidak menghendaki semua harta itu. Aku lebih baik hidup miskin dan tidak mempunyai apa-apa daripada harus mendapatkan harta kekayaan melalui kejahatan."
"Sombong engkau! Katakan saja eng-kau jerih dan takut terhadap Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis, engkau takut meng-hadapi manusia-manusia sombong yang menamakan diri mereka kaum bersih, go-longan putih atau para pendekar. Engkau pengecut, penakut..."
"Aku tidak takut kepada siapa juga, ayah. Akan tetapi kurasa penghidupan para pendekar itu jauh lebih bersih dari- pada penghidupan kaum sesat..."
"Anak durhaka...!" Tongkat hitam itu kini berkelebat menyambar ke arah kepala Ci Kang dengan pukulan maut yang amat dahsyat. Akan tetapi pemuda itu sudah mampu mengelak dan melempar diri ke belakang sehingga dia terjengkang, akan tetapi dengan berjungkir balik dia sudah meloncat bangun dan berdiri kembali. Akan tetapi ayahnya yang menjadi semakin marah karena serangan-nya gagal, telah menerjangnya lagi dengan tongkatnya, kini melakukan serangan yang lebih hebat lagi. Biarpun buta, namun Siangkoan Lo-jin memiliki pende-ngaran yang luar biasa tajamnya, jauh lebih tajam daripada orang lain, sehingga dalam menghadapi lawan, dia sepenuhnya bergantung kepada pendengarannya untuk mengikuti gerakan lawan dan mengetahui di mana lawan berada! Melihat ayahnya sudah nekat dan menyerangnya mati-matian, kembali Ci Kang mengelak dan me-loncat agak jauh dekat pintu.
"Ayah!" teriak Ci Kang penasaran. "Ayah sendiri dahulu menentang kejahatan dan karena dibikin buta, ayah lalu berubah dan menjadi pemimpin para datuk sesat. Kalau ayah hendak memaksaku menjadi penjahat, tidak cukup ayah mem-bikin buta, akan tetapi harus lebih dulu membunuhku!"
"Keparat, kalau begitu aku akan membunuhmu!" Siangkoan Lo-jin yang merasa kecewa dan menjadi marah sekali itu sudah meloncat ke arah puteranya dan menusukkan tongkatnya. Akan tetapi Ci Kang sudah menguasai semua ilmu ayahnya, maka diapun tahu akan kehebatan serangan itu, dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke kiri dan ketika dia turun ke atas lantai, kedua kakinya tidak menge-luarkan bunyi. Pemuda ini telah mempergunakan gin-kang yang paling hebat sehingga tubuhnya menjadi ringan sekali dan di situ dia berdiri tegak, sama seka-li tidak bergerak, bahkan pernapasannyapun ditahan dan diatur sehingga tidak mengeluarkan bunyi. Dia tahu akan kelemahan ayahnya yang hanya mengandalkan pendengaran, maka kini, setelah dia tidak mengeluarkan bunyi, ayahnya juga berdiri bingung, tidak tahu ke mana perginya Ci Kang!
"Anak durhaka, jangan lari kau! Di mana engkau" Kurang ajar! Heii, kalian ini apakah sudah berobah menjadi patung semua" Hayo bantu aku menangkap dan membunub anak durhaka itu!" Teriakan ini ditujukan kepada enam orang Cap-sha-kui yang sejak tadi hanya duduk diam saja dengan penuh perhatian dan kegembiraan melihat bentrokan antara ayah dan anak itu. Kini, mendengar bentakan Siangkoan Lo-jin mereka serentak bangkit. Akan tetapi mereka merasa ragu-ragu. Mereka mengenal Ci Kang, den selalu mereka segan kepada pemuda remaja putera Iblis Buta yang selain amat lihai juga pen-diam dan tidak banyak cakap itu. Kini pemuda itu memandang kepada mereka dengan wajah dingin dan mata berkilat membuat mereka menjadi gentar juga. Kalau mereka maju, kemudian ayah dan anak itu bersatu, mereka tentu akan ma-ti konyol.
"Lo-jin, puteramu berada di sebelah kananmu, dekat pintu keluar!" tiba-tiba Kui-kok Lo-mo berseru dan teman-te-mannya menjadi lega. Memang mereka tadi ragu-ragu dan kini mereka hendak melihat sikap anak dan ayah itu sebelum mereka turun tangan membantu Siangko-an Lo-jin. Begitu mendengar ucapan ini, tiba-tiba Siangkoan Lo-jin meloncat ke kanan dengan kecepatan luar biasa tong-katnya diputar dan dihantamkan ke arah kepala puteranya. Ketika Siangkoan Ci Kang mengelak, gerakannya terdengar oleh ayahnya dan ayah yang sudah marah ini lalu mengulur tangan kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala putera-nya. Suatu serangan yang amat berbaha-ya dan cepat, mengandung maut! Meng-elak dari serangan ini selagi tongkat itu mengancam dari lain jurusan, amat ber-bahaya dan jalan satu-satunya hanyalah menangkis, pikir Ci Kang. Dia sebetulnya tidak ingin menghadapi ayahnya dengan kekerasan, akan tetapi untuk melindungi dirinya dari tangan maut yang menceng-keram, terpaksa dia harus mengerahkan tenaganya menangkis.
"Dukk...!" Dua tenaga besar itu ber-temu dan akibatnya, Siangkoan Lo-jin be-rusaha meloncat ke belakang untuk mema-tahkan tenaga yang membuat dia terdorong ke belakang, sedangkan Ci Kang sendiri terlempar keluar pintu ruangan itu! Melihat betapa Siangkoan Lo-jin benar-benar hendak membunuh puteranya, enam orang Cap-sha-kui itu menjadi berani dan merekapun melakukan pengejaran keluar ruangan.
"Orang muda, perlahan dulu!" teriak Kui-kok Lo-mo yang melompat paling depan sambil mengirim serangan dengan kedua tangannya. Angin keras menyambar disertai uap tipis putih keluar dari kedua telapak tangan ketua Kui-kok-pang ini ketika dia menyerang ke arah Ci Kang.
"Jangan kalian mencampuri urusan pribadiku!" bentak Ci Kang dan diapun mengerahkan tenaganya, membalik dan mendorong untuk menyambut serangan lawan.
"Desss...!" Keduanya terpental dan Kui-kok Lo-mo terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa tenaga pemuda remaja itu benar-benar amat hebat dan mampu membuat dirinya terpental. Juga isterinya yang datang menyusul di belakangnya, terkejut melihat suaminya sampai terpental. Karena suami isteri ini kelihatan tercengang dan ragu-ragu, para tokoh sesat lainnya yang memiliki tingkat lebih rendah, menjadi ragu-ragu sehingga Ci Kang memperoleh kesempatan untuk meloncat keluar rumah dan melarikan diri.
Marahlah hati Siangkoan Lo-jin ketika memperoleh kenyataan bahwa puteranya berhasil lolos. "Kalian ini sungguh seke-lompok orang tak berguna. Kalian mem-biarkan anak durhaka itu lolos begitu sa-ja, tanpa mengejar?"
"Jangan salah mengerti, Lo-jin. Kami masih ragu-ragu untuk mengejar, karena bagaimanapun juga, dia adalah putera tunggalmu, kami masih belum yakin benar -apakah engkau hendak melihat dia terbunuh oleh kami," kata Kui-kok Lo-mo dengan cerdik.
"Bodoh! Siapa main-main! Daripada melihat anakku sendiri durhaka dan me-nentangku, lebih baik melihat dia mam-pus. Sekarang kuperintahkan kepada kalian, semua anggauta Cap-sha-kui, untuk selain memusuhi Cin-ling-pai dan Pende-kar Sadis, juga mencari dan menyeret a-nak durhaka itu ke depan kakiku agar a-ku dapat menghukumnya sendiri! Nah, pergilah kalian, aku tak ingin diganggu lagi!"
Enam orang itu lalu berkelebatan pergi dan kakek buta itu kini berada seorang diri di dalam ruangan. Dia berdiri seperti patung, termenung, dan dia membayangkan puteranya sebagai seorang pemuda yang gagah perkasa, yang menentang kejahatan sehingga namanya dipuja dan dikagumi semua pendekar di dunia kang-ouw. Tak terasa lagi, bibirnya yang kering itu tersenyum. Teringatlah dia akan dirinya sendiri. Menjadi seorang gagah yang dikagumi seluruh dunia adalah cita-citanya, dan karena cita-cita itu tidak terlaksana melalui kebaikan, dia hendak mengejar nama besar itu melalui kejahatan dengan memimpin kaum sesat dan menjadi orang jahat nomor satu! Kalau puteranya bisa menjadi orang yang paling menonjol dan terkenal, tidak perduli sebagai penjahat nomor satu atau pendekar nomor satu, dia akan merasa bangga!
Akan tetapi dia telah memerintahkan Cap-sha-kui untuk memusuhi anaknya! Ti-dak apa, memang seharusnya begitu. Ka-lau anakku itu ingin menjadi pendekar nomor satu, dia harus mampu mengha-dapi Cap-sha-kui, bahkan dia harus mam-pu membasmi Cap-sha-kui! Kalau anaknya yang tidak mau menjadi penjahat nomor satu itu tidak bisa menjadi pendekar nomor satu, biar anaknya mati saja daripada menjadi manusia yang tidak terkenal sama sekali!
Pemikiran seperti yang berada dalam batin Siangkoan Lo-jin itu mungkin akan kita anggap gila dan tidak lumrah. Akan tatapit kalau kita mau membuka mata mengamati kehidupan di sekeliling kita, akan kita temui bahwa hampir setiap orang tidak jauh bedanya dengan Siangkoan Lo-jin ini.
Kita semua ini haus akan kehormatan, haus akan penonjolan diri, bahkan watak ini sudah mendarah daging sehingga tidak terasa lagi oleh kita. Lihatlah betapa banyaknya orang yang dengan nada suara penuh kebanggaan menceritakan betapa kakeknya dahulu adalah seorang maling terbesar, seorang jagoan terbesar, seorang penjudi terbesar dan sebagainya" Mereka ini bercerita dengan nada suara sama bangganya dengan mereka yang menceritakan betapa kakek mereka dahulunya seorang yang paling terhormat, terkaya atau tertinggi kedudukannya. Juga, hampir semua orang menceritakan dengan bangga bahwa anaknya adalah yang paling nakal, paling bandel, dan sebagainya, sama bangganya dengan mereka yang menceritakan dengan suara malu-malu den rendah hati bahwa anak mereka adalah yang paling patuh, paling pintar dan sebagainya. Kita sudah berwatak ingin menonjolkan diri, diri sendiri atau perkembangan dari diri sendiri yang menjadi anakku, keluargaku, bangsaku dan selanjutnya.
Membayangkan betapa puteranya akan menjadi seorang yang amat terkenal, kakek itu terkenang akan keadaan dirinya sendiri yang serba gagal, dan dia lalu meraba-raba dengan tongkatnya, menemukan sebuah kursi, menjatuhkan dirinya di atas kursi dan menutupi muka dengan kedua tangan untuk menyembunyikan dua tetes air mata yang jatuh ke atas pipi.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Restoran itu cukup ramai dan besar dan malam hari itu restoran ini dikunjungi banyak tamu. Restoran Ban Lok memang merupakan sebuah restoran yang terkenal mempunyai masakan enak, paling terkenal di seluruh kota Cin-an. Ketika Ci Kang memasuki restoran itu, untung baginya dia masih kebagian meja yang paling sudut. Dia memasuki restoran, tidak perduli akan pandangan orang kepadanya, memang agak menyolok pakaian pemuda ini, tidak mewah seperti pakaian para tamu lain. Pakaian Ci Kang yang sederhana, dengan jubah kulit harimau, membuatnya nampak sebagai seorang pemburu, tidak ada keduanya di restoran itu. Ketika dia melewati serombongan orang yang duduk mengelilingi meja bundar besar, ada empat pasang mata yang memandangnya dengan senyum mengejek dan hidung agak dikembang-kempiskan seperti orang mencium bau busuk, akan tetapi ada dua pasang mata halus yang memandang kepadanya, ke arah wajahnya, dengan pandang mata kagum. Empat pasang mata yang terutama memandang kepada bajunya itu adalah mata empat orang laki-laki berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Mereka berpakaian mewah, akan tetapi sekali pandang saja tahulah Ci Kang bahwa mereka adalah orang-orang yang ter-golong penjahat yang suka melakukan hal-hal yang tidak baik untuk mencari uang. Dan dua pasang mata halus itu adalah mata dua orang wanita yang juga berpa-kaian mewah. Mereka itu adalah dua o-rang wanita muda yang usianya antara dua puluh tahun, cantik manis akan te-tapi melihat sikap mereka yang genit dengan gaya yang dibuat-buat untuk me-mikat hati orang, Ci Kang juga menge-nal sifat berandalan pada dua orang wa-nita itu dan dapat menduga bahwa me-reka tentu pelacur-pelacur yang dibawa ke restoran untuk pesta oleh empat o-rang itu yang agaknya baru saja mem-peroleh hasil banyak dari pekerjaan ko-tor mereka. Akan tetapi Ci Kang tidak perduli dan duduk memesan nasi, sayur dan air teh panas. Sudah menjadi watak-nya untuk tidak mencampuri urusan o-rang dan tidak memperhatikan orang lain. Sekali pandang saja dia sudah dapat melihat keadaan dan kalau tadi dia me-mandang ke arah enam orang itu hanyalah karena kewaspadaan saja, bukan ka-rena ingin tahu.
Setelah hidangan yang dipesannya datang, diantar oleh seorang pelayan, pada saat Ci Kang mengangkat muka untuk menerima hidangan itu, kembali dia melihat betapa dua orang wanita cantik yang genit-genit itu memandang kepadanya sambil tersenyum-senyum dan melempar kerling. Bahkan keduanya cekikikan sambil saling berbisik dan memandang kepadanya, jelas sekali mereka itu sedang membicarakan dirinya. Melihat ini, Ci Kang cepat menundukkan muka dan menghindarkan pertemuan pandang mata dengan mereka. Hatinya sedang murung dan sikap kedua orang wanita cantik itu menambah kemurungan hatinya. Dia masih belum dapat melupakan peristiwa yang terjadi di dalam pertemuan antara ayahnya dengan para tokoh Cap-sha-kui itu. Dia sungguh menyesali sikap ayahnya yang demikian keras dan kejam, bahkan tega hendak membunuhnya. Dia yakin benar akan napsu membunuh ayahnya ketika ayahnya menyerang dalam keadaan marah dan hal ini sungguh amat menya-kitkan hatinya. Dia merasa benar betapa ayahnya amat mencintanya, amat sayang kepadanya dan telah mencurahkan kasih sayangnya itu sejak dia kecil. Akan tetapi dia juga tahu bahwa ayahnya me-ngejar ambisi dan untuk itu, ayahnya da-pat bersikap dan berbuat kejam, seperti yang telah diperlihatkannya dengan cara hendak membunuhnya, putera kandung-nya sendiri.
"Heii, kalian melihat siapa sih" Kena-pa lirak-lirik dan senyam-senyum saja kepada orang itu?" terdengar seorang di antara empat pria itu menegur. Ci Kang mendengar ini dan sudah dapat menduga bahwa yang ditegur tentulah dua orang pelacur itu dan yang dimaksudkan dengan "orang itu" tentulah dia sendiri. Akan te-tapi dia terus makan minum dan tidak perduli.
"Percuma kami keluarkan banyak uang kalau kalian main mata dengan pria lain!" tegur suara kedua.
"Apakah pelacur-pelacur masih mata keranjang melihat orang muda dan tampan?" orang ketiga berkata.
"Uhh, biar muda dan tampan, kalau kotor seperti itu, sungguh menjijikkan. Agaknya tak
pernah berganti pakaian dan siapa tahu makanan itu takkan dibayarnya!" ejek orang keempat dan mereka berempat tertawa-tawa. Dua orang pelacur itupun ikut tertawa walaupun suara ketawa mereka itu paksaan atau terdorong oleh kegenitan mereka.
Tentu saja Ci Kang mendengar itu semua dan tahu bahwa mereka molontarkan hinaan-hinaan kepada dirinya, bahkan mendengar suara mereka meludah-ludah ketika orang keempat mengatakan dia kotor dan menjijikkan. Akan tetapi di dalam batin Ci Kang tersenyum, mentertawakan orang-orang itu karena dari sikap mereka itu mereka seperti memperlihatkan kepada umum orang-orang macam apa adanya mereka. Dia tidak mau melayani dan melanjutkan makan nasi dan sayur dengan cepat, lalu minum sedikit arak dan teh. Setelah selesai, diapun cepat membayar harga makanan dan hendak meninggalkan restoran yang masih banyak pengunjungnya itu.
Empat orang itu memang jagoan-jagoan yang terkenal bengis dan ditakuti orang di Cin-an. Maka, biarpun semua orang juga mendengar ucapan-ucapan mereka yang menghina orang, tidak ada yang mau mencampuri karena mencampuri urusan empat orang itu berarti mencari penyakit. Sedangkan empat orang jagoan itu memang tadi sengaja melontarkan kata-kata untuk menghina dan memancing kemarahan Ci Kang. Pemuda itu makan di restoran tidak mengganggu siapapun juga, bahkan tidak pernah menoleh kepada mereka, maka tidak ada alasan bagi mereka untuk mengganggu Ci Kang. Maka, karena hati mereka panas melihat betapa dua orang pelacur yang mereka bawa itu nampaknya tertarik kepada Ci Kang, mereka lalu melontarkan kata-kata hinaan untuk memancing agar pemuda itu marah-marah sehingga mereka mempunyai alasan untuk menghajarnya. Siapa kira, pemuda itu sama sekali tidak mau menyambut atau saking tolol atau takutnya tidak berani menjawab. Melihat betapa pemuda itu sudah bangkit dan hendak pergi, dan kini dua orang pelacur memperoleh kesempatan untuk memandang wajah pemuda itu dengan kagum, empat orang itu tidak dapat menahan kemarahan dan iri hati mereka. Setelah saling pandang dan mengangguk, mereka bangkit dari kursi mereka dan berloncatan menghadang Ci Kang yang hendak keluar dari restoran. Melihat ini, para tamu yang sudah mengenal empat orang jagoan itu menjadi ketakutan dan sebagian cepat menyingkir ke tempat yang agak jauh sambil memandang dengan hati khawatir.
Melihat empat orang itu berdiri menghadangnya, Ci Kang mengerutkan alisnya. Jelaslah bahwa empat orang yang menyeringai ini sengaja mencari keributan. Dia masih mencoba untuk menghindar dan mencari jalan keluar lain, akan tetapi gerakan ini oleh empat orang itu dianggap sebagai tanda takut, maka mereka lalu mengurungnya sambil tersenyum lebar. Ci Kang kehabisan jalan dan terpaksa dia mengangkat muka memandang mereka satu demi satu. Empat orang itu terkejut melihat sinar mata mencorong itu, akan tetapi karena sikap pemuda itu yang sejak tadi tidak pernah memperli-hatkan perlawanan membuat hati mereka menjadi besar. Mereka sengaja hendak berlagak di depan dua orang pelacur itu dan ingin membikin malu kepada pemuda yang agaknya telah menarik hati dan di-kagumi oleh dua orang pelecur yang me-reka sewa.
"Ha-ha-ha, bocah petani busuk, ber-sihkan dulu sepatu kami baru engkau bo-leh pergi dari sini!" kata seorang di an-tara mereka yang berkumis lebat. Tiga orang temannya tertawa sambil bertolak pinggang dengan sikap angkuh dan me-mandang rendah.
Ci Kang tidak marah, hanya merasa muak dengan sikap mereka. Tanpa mem-perdulikan mereka, dia lalu melangkah maju dan ketika si kumis tebal yang berada di depannya itu mengangkat tangan hendak memukul, dia tidak perduli den melangkah terus hendak menabrak tubuh si kumis tebal. Tentu saja si kumis tebal menjadi marah dan melanjutkan pukulannya ke arah kepala Ci Kang dan melihat ini, tiga orang kawannya juga sudah menggerakkan tangan menyerang Ci Kang da-ri kanan kiri dan belakang. Sekaligus, pemuda remaja itu diserang oleh empat orang dari empat jurusan, akan dipukuli begitu saja tanpa salah apa-apa.
Sejenak empat orang itu mengira bahwa pemuda itu takkan melawan dan akan mandah saja mereka pukuli karena tubuh Ci Kang same sekali tidak nampak bergerak atau bersiap melawan. Akan tetapi, ketika tangan empat orang itu sudah tiba dekat tubuhnya, tiba-tiba Ci Kang menggerakkan tubuhnya, mengangkat kedua tangan sambil memutar tubuh menggeser kaki dan terdengarlah suara tulang patah berturut-turut dan empat orang itu mengaduh-aduh sambil terpelanting ke belakang, jatuh dan memegangi tangan yang dipakai menyerang tadi karena lengan tangan itu telah patah-patah tulangnya ketika disambar tangan pemuda itu. Ci Kang sama sekali tidak memperdulikan mereka lagi. Seperti tidak pernah terjadi sesuatu, pemuda ini dengan wajah dingin dan langkah tenang meninggalkan restoran itu, diikuti pandang mata semua orang yang terbelalak penuh keheranan dan kekaguman. Empat orang itu seperti empat orang anak kecil yang karena tololnya memukul benda keras sehingga tangan mereka sakit sendiri. Akan tetapi merekapun maklum bahwa pemuda berwajah dingin yang hendak mereka jadikan korban penghinaan mereka itu ternyata adalah seorang pemuda yang sakti, maka merekapun hanya berani memandang dengan muka pucat karena gentar dan karena menahan rasa nyeri dan tidak berani mengejar.
Peristiwa di dalam restoran itu tentu saja menjadi buah bibir para tamu setelah mereka meninggalkan restoran, akan tetapi karena Ci Kang tidak pernah memperkenalkan nama, bahkan tidak pernah mengeluarkan sepatahpun kata dalam peristiwa itu, orang-orang hanya dapat menduga-duga siapa gerangan pemuda remaja berwajah dingin yang amat lihai itu.
Sementara itu, Ci Kang terus melanjutkan perjalanannya meninggalkan Cin-an pada malam hari itu juga karena dia tidak ingin dirinya terlibat lagi dalam keributan lain sebagai lanjutan dari peristiwa dalam restoran tadi. Sebagai putera seorang datuk sesat yang sudah banyak mengenal watak para penjahat, Ci Kang mengerti bahwa orang-orang macam penjahat-penjahat kecil seperti yang beraksi di restoran tadi, tentu mempunyai kepala atau pemimpin dan orang-orang semacam itu tidak pernah mau mengenal kelemahan sendiri. Mereka tentu tidak mau sudah begitu saja, melapor kepada kepala mereka atau mengumpulkan kawan-kawan mereka kemudian mencarinya untuk melakukan pembalasan. Orang-orang seperti itu tidak memiliki kejantanan sedikitpun juga, tidak malu-malu untuk mengandalkan pengeroyokan dan kecurangan lain. Oleh karena dia tidak ingin direpotkan oleh urusan tetek bengek macam itu, maka lebih baik dia pergi meninggalkan Cin-an malam itu juga, bukan karena takut melainkan karena segan berurusan dengan penjahat-penjahat kecil itu.
Ci Kang tidak pernah menduga bahwa urusan kecil di rumah makan itu memang tidak berhenti sampai di situ saja, melainkan mendatangkan akibat yang amat besar. Peristiwa itu menjadi buah bibir orang di Cin-an karena disebar oleh para tamu restoran yang menyaksikan keributan itu dan terdengar pula oleh enam orang tokoh Cap-sha-kui yang kebetulan pada keesokan harinya tiba di kota itu.
"Heh, tak salah lagi, pemuda berjubah kulit harimau itu tentulah Siangkoan Ci Kang," kata Kiu-bwe Coa-li.
"Benar, dan kita harus cepat mengejarnya!" kata Kui-kok Lo-mo.
"Mengapa" Apa perlunya kita mengejarnya?" tanya Tho-tee-kwi dengan suara tak acuh. Yang lain-lain juga memandang kepada kakek jubah putih itu. Selain tingkat kepandaiannya paling tinggi, juga Kui-kok Lo-mo selain berdua dengan isterinya yang juga amat lihai sehingga suami isteri ini dianggap sebagai pemuka oleh empat orang rekannya.
"Apa perlunya" Tentu saja untuk menangkapnya dan menyeretnya kepada Siangkoan Lo-jin, hidup atau mati." jawab Kui-kok Lo-mo.
"Mengapa kita harus mencampuri urusan ayah dan anak itu?"
Kembali yang bertanya itu adalah Tho-tee-kwi. Di antara empat orang rekan suami isteri dari Kui-kok-san itu, hanya raksasa inilah yang kelihatan tidak gentar menentangnya dan sikapnya selalu kasar, liar dan tak acuh. Tiga orang rekan yang lain menanti jawaban pertanyaan ini yang mereka anggap mewakili keraguan hati mereka sendiri untuk mencampuri urusan keluarga Siangkoan.
"Begitu bodohkah engkau maka hal itu saja engkau tidak mengerti" Apakah kalian merasa senang selalu diperkuda oleh Siangkoan Lo-jin" Cap-sha-kui yang selama ini merajalela dan merajai dunia persilatan, kini harus tunduk kepada seorang kakek buta! Lihat, di antara kita tiga belas orang, hanya kita berenam saja yang tolol dan mau saja diperkuda olehnya. Kalau kita tempo hari merendahkan diri dan mau membantunya, hal itu adalah karena harapan imbalannya yang amat besar, selain harta benda juga mungkin kedudukan tinggi yang akan kita terima dari Liu-thaikam. Akan tetapi sekarang" Liu-thaikam sudah tidak ada, untuk apa kita masih terus merendahkan diri di bawah kekuasaan kakek buta itu lagi?"
"Nah, kalau begitu, mengapa sekarang kita masih harus mentaati perintahnya untuk menyeret pemuda itu ke depan kakinya?" Hwa-hwa Kui-bo bertanya heran.
"Kakek buta itu tentu tidak akan mengampuni kita kalau mendengar bahwa kita menentangnya. Dan kakek itu sendiri sebetulnya hanya seorang tua bangka buta, betapapun lihainya. Yang membuat dia kuat adalah puteranya itu. Kalau dia dan puteranya maju bersama sungguh sukar untuk ditundukkan. Sekarang mereka itu saling bentrok. Kita harus dapat mempergunakan kesempatan yang baik ini untuk menghancurkan kekuatan ayah dan anak itu. Kalau kita sudah dapat membunuh anaknya, apa sukarnya bagi kita untuk menghadapi tua bangka buta itu" Dia telah menyeret kita ke dalam persekutuan itu, berarti telah merugikan kita, dan sudah cukup lama dia meremehken dan merendahkan kita sebagai pembantu-pembantunya. Sekaranglah tiba saat pembalasan kita!"
Kehidupan para kaum sesat sepenuhnya dipengaruhi oleh nafsu angkara murka dan dendam kebencian, maka pendapat Kui-kok Lo-mo ini segera mendapatkan persetujuan para rekannya dan berangkatlah mereka bergegas untuk mencari jejak Siangkoan Ci Kang dan melakukan pengejaran.
Tidak mengherankan kalau pada keesokan harinya, selagi Ci Kang berjalan sendirian di luar sebuah dusun yang sunyi, di bawah terik matahari, tiba-tiba saja dia mendengar orang-orang berteriak memanggil namanya dan ketika dia berhenti, dia tersusul oleh enam orang tokoh Cap-sha-kui yang kini berdiri di depannya dan setengah mengepungnya.
Ci Kang memandang heran dan mengerutkan alisnya. Sejak pertama kali orang-orang ini membantu ayahnya, dia memang sudah tidak suka kepada mereka. Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo amat menjemukan hatinya karena kedua orang kakek dan nenek ini seakan-akan berlomba untuk memikatnya. Kiu-bwe Coa-li adalah seorang nenek kejam yang mengerikan dengan tubuh dan wajahnya yang buruk, ditambah lagi suka bermain-main dengan ular, menjijikkan. Suami isteri dari Kui-kok-san itupun menimbulkan rasa muak karena mereka berdua itu seperti mayat hidup saja. Adapun Tho-tee-kwi yang suka makan daging manusia itu menjemukan hatinya.
"Ada keperluan apakah cu-wi memanggil-manggil dan menyusulku?" tanyanya singkat.
Yang menjawab adalah Kui-kok Lo-mo, mewakili rekan-rekannya, "Siangkoan Ci Kang, kami disuruh ayahmu untuk membawamu pulang."
Ci Kang mengangkat muka memandang kakek itu dan tahu akan adanya perubahan karena kakek itu biasanya tidak memanggil namanya begitu saja. Biasanya, mereka itu menyebutnya Siangkoan kongcu atau Siangkoan sicu dengan sikap dan nada menghormat.
"Kalau aku tidak mau?" tanyanya sebagai jawaban.
"Kami telah diberi wewenang untuk memaksamu dan membawamu pulang, hidup atau mati. Kalau engkau menolak, kami akan menggunakan kekerasan!"
Tanpa menanti jawaban Ci Kang, begitu Kui-kok Lo-mo berkata demikian, isterinya telah menerjang pemuda itu dengan tamparan tangannya yang mengandung hawa panas. Serangan ini dilakukan oleh Kui-kok Lo-bo dari samping kiri dan tangan kanannya menyambar ke arah pelipis kiri Ci Kang. Pemuda ini maklum betapa ampuhnya tamparan nenek itu, maka cepat diapun mengelak, dengan menggeser kaki ke belakang dan menarik tubuh atasnya ke belakang. Tamparan itu luput dan lewat di depannya sehingga terasa hawa panas menyambar mukanya. Pada saat itu, Kui-kok Lo-mo yang melihat isterinya sudah mulai menyerang, juga menerjang ke depan dan melakukan serangan yang tidak kalah ampuhnya. Ci Kang menangkis dan segera pemuda itu dikeroyok dua oleh suami isteri dari Kui-kok-san itu. Terjadilah perkelahian yang amat seru.
Tak dapat disangkal lagi bahwa Siangkoan Ci Kang adalah seorang pemuda re-maja yang istimewa, bakatnya menonjol sekali sehingga dalam usia delapan belas tahun dia telah berhasil menguasai semua ilmu ayahnya. Akan tetapi, dibandingkan dengan suami isteri itu tentu saja dia kalah pengalaman dan kalah latihan, ka-lah matang ilmu silatnya. Dan mengingat bahwa Kui-kok Lo-mo den Kui-kok Lo-bo adalah tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang tinggi ilmunya, tentu saja dikeroyok dua Ci Kang menjadi repot dan terdesak hebat. Andaikata suami isteri itu maju satu de-mi satu, agaknya tidak akan mudah bagi mereka untuk dapat mengalahkan Ci Kang. Akan tetapi begitu maju bersama, suami isteri yang tentu saja dapat beker-ja sama dengan baik sekali dalam serangan-serangan mereka, Ci Kang terdesak hebat dan lewat lima puluh jurus saja dia sudah terus mundur dan hanya mam-pu mengelak ke sana-sini sambil kadang-kadang menangkis, tidak mempunyai kesempatan untuk balas menyerang. Bahkan tubuhnya sudah menerima beberapa han-taman den tendangan yang berkat keke-balannya membuat dia belum juga dapat dirobohkan. Ci Kang yang keras hati itu tidak pernah mengeluh dan sama sekali tidak berniat untuk melarikan diri. Dia bertekad untuk melawan sampai mati. Pula, apa gunanya lari" Di situ terdapat enam orang tokoh Cap-sha-kui sehingga laripun, dalam keadaan terluka-luka, akan percuma saja. Dan diapun tahu bahwa ti-dak ada harapan baginya untuk lolos. Ba-ru suami isteri Kui-kok-san saja sudah begini hebat, apalagi kalau empat orang tokoh lain itu maju mengeroyok.
Melihat cara kedua orang suami isteri itu menyerang, dengan pukulan-pukulan maut, tahulah Ci Kang bahwa mereka itu menghendaki kematiannya, make diapun membela diri sebaik mungkin dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya, mengerahkan seluruh tenaganya. Hebat bukan main sepak terjang pemuda ini. Biarpun terdesak hebat, namun tidak mudah bagi suami isteri itu untuk merobohkannya. Lengah sedikit saja pemuda itu akan membalas serangan maut yang berbahaya.
Pada saat itu, entah dari mana da-tangnya, tiba-tiba saja di belakang Ci Kang berdiri seorang kakek tinggi kurus. Kakek ini bajunya tambal-tambalan, ta-ngan kanan memegang sebatang tongkat bambu kuning dan di punggungnya nam-pak sebuah ciu-ouw (guci arak). Kakek yang usianya kurang lebih enam puluh li-ma tahun ini memandang perkelahian sambil mengelus jenggotnya, lalu mengomel, "Terlalu, terlalu...! Suami isteri tua bangka mengeroyok seorang bocah ingusan. Sungguh terlalu...!"
Kemudian tiba-tiba dia menggerakkan tubuhnya sambil terus bicara, "Nah, anak baik, bagus begitu! Lawanlah, jangan mau kalah terhadap sepasang mayat itu. Pukul, nah, bagus, begitu haittt... begini... bagus!" Kakek jembel ini, seperti orang gila, lalu meniru-niru gerakan Ci Kang bersilat, akan tetapi karena tangannya memegang tongkat maka tongkatnya bergerak pula dengan lucunya. Dia bukan mengajari Ci Kang, melainkan menirukan gerakan Ci Kang yang berloncatan ke sana-sini mengelak dari serangan suami isteri itu.
Dan... terjadilah hal yang luar biasa sekali. Tiba-tiba saja suami isteri itu merasa betapa tangkisan tangan Ci Kang menjadi sedemikian kuatnya sehingga mereka merasa lengan mereka nyeri dan tubuh mereka terpelanting! Ada angin pukulan dahsyat keluar dari kedua tangan Ci Kang. Pemuda ini sendiri merasa heran, akan tetapi dia dapat menduga bahwa kakek jembel aneh itu telah membantunya dengan tenaga sakti yang luar biasa.
Sementara itu, empat orang tokoh Cap-sha-kui yang lain bukan orang-orang tolol. Kemunculan kakek jembel yang aneh ini dan terdesaknya suami isteri Kui-kok-san tentu ada hubungannya, pi-kir mereka. Tanpa banyak cakap lagi mereka berempat lalu maju menyerang kakek jembel yang masih mencak-mencak menirukan gerakan Ci Kang karena kini suami isteri itu sudah menyerang lagi.
Hwa-hwa Kui-bo menyerang dengan pedangnya yang beracun, ditemani Koai-pian Hek-mo yang menggerakkan senjata-nya, yaitu sebatang pecut baja yang ujungnya berpaku. Kiu-bwe Coa-li meledakkan cambuk hitam ekor sembi-lan, menyerang dari depan bersama Thio-tee-kui yang menggerakkan kedua lengan-nya sehingga dua buah gelang emas yang berat di kedua lengannya itu saling ber-adu mengeluarkan bunyi nyaring. Dike-pung empat orang tokoh sesat yang lihai ini, kakek jembel itu malah tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, bagus, bagus!" Dan tiba-ti-ba saja tubuhnya sudah berkelebatan di antara sinar senjata empat orang penge-royoknya yang bergulung-gulung itu. Ten-tu saja empat orang pengeroyok itu ter-kejut bukan main. Tak pernah mereka sangka bahwa kakek jembel itu sedemi-klan lihainya dan seperti pandai menghi-lang saja saking cepatnya dan ringannya gerakan tubuhnya. Ternyata kakek ini bu-kan hanya mampu menghindarkan diri da-ri sambaran senjata-senjata ampuh itu, bahkan dengan gerakan-gerakannya seper-ti tadi masih dapat pula membantu Ci Kang sehingga kini pemuda itu dapat membalas serangan kedua orang penge-royoknya karena setiap serangan kedua suami isteri itu selalu tertumbuk pada tenaga yang tidak nampak akan tetapi yang kuat sekali.
"Ha-ha-ha, menggembirakan sekali!" kakek itu menari-nari ketika senjata-sen-jata lawan berobah menjadi sinar bergu-lung-gulung dan menyambar-nyambar.
"Tar-tar-tarrr...!" Senjata cambuk hitam ekor sembilan dari Kiu-bwe Coa-li meledak-ledak, diselingi ledakan satu-satu dan nyaring dari cambuk baja di tangan Koai-pian Hek-mo.
"Singggg... tring-tringgg...!" Suara pedang di tangan Hwa-hwa Kui-bo dan sepasang gelang emas di lengan Tho-tee-kui juga terdengar nyaring membuat kakek jembel yang dikeroyok itu menjadi semakin girang seperti seorang anak kecil melihat permainan yang menarik.
"Tar-tar-tarr...!" Cambuk ekor sembilan di tangan Kiu-bwe Coa-li meledak-ledak di atas kepala kakek itu. Sembilan ekor cambuk itu seperti hidup, seperti sembilan ekor ular yang menyambar-nyambar turun. Akan tetapi kakek itu meng-gunakan jari tangannya menyentil setiap kali ujung cambuk menyambar. Tiga kali dia menggunakan telunjuk tangannya me-nyentil dan ekor cambuk itu menyeleweng dan melesat amat cepatnya ke a-rah tiga orang pengeroyok lain. Hal ini sama sekali tidak diduga-duga dan tahu-tahu Hwa-hwa Kui-bo, Koai-pian Hek-mo, dan Tho-tee-kwi berteriak kaget dan tu-buh mereka terpelanting berturut-turut karena tahu-tahu tubuh mereka sudah tertotok oleh ujung cambuk Kiu-bwe Coa-li yang disentil menyeleweng tadi. Melihat robohnya tiga orang itu, kakek jembel tertawa dan mengangkat kedua tangan depan dada, menjura ke arah Kiu-bwe Coa-li.
"Terima kasih, engkau baik sekali te-lah menolongku dengan cambukmu!" Kiu-bwe Coa-li masih terbelalak saking ka-getnya melihat betapa ujung cambuknya malah menotok dan merobohkan tiga orang kawannya sendiri, tiba-tiba merasa ada sambaran angin dari depan ketika kakek itu menjura. Dengan cepat ia hen-dak mengelak, akan tetapi tidak keburu dan ketika ia mengerahkan tenaga untuk melawan, tubuhnya terjengkang dan dada-nya terasa sesak, seperti telah dipukul o-rang dengan keras! Empat orang itu me-rangkak bangun dengan mata terbelalak. Mereka adalah tokoh-tokoh Cap-sha-kui, bagaimana mungkin dapat dirobohkan se-mudah itu oleh kakek jembel ini" Si ka-kek jembel tertawa-tawa.
"Ha-ha-ha, kalian memang amat baik hati, pantas kusuguhi arak!" Dan diapun menurunkan guci araknya, mendekatkan bibir arak ke mulutnya, minum beberapa teguk kemudian dia menyemburkan arak di mulutnya itu ke arah empat orang bekas lawan. Empat orang datuk itu terkejut dan berusaha menghindar, akan tetapi masih terasa oleh mereka betapa kulit tubuh mereka yang terkena percikan air yang disemburkan terasa nyeri seperti ditusuk-tusuk jarum. Bahkan percikan arak itu menembus baju mereka dan mengenai kulit.
Sementara itu, memperoleh kenyataan bantuan rahasia dari kakek aneh, kini Ci Kang mendesak kedua lawannya dan akhirnya dialah yang berada di pihak menyerang. Tiba-tiba terdengar suara kakek itu, "Tendang pantat mereka! Tendeng pantat mereka!" Aneh sekali, di dalam suara itu seperti terkandung tenaga mujijat yang membuat Ci Kang tak dapat menahan diri lagi dan kakinyapun menyambar dan menendang berturut-turut ke arah pinggul dua orang lawannya. Hebatnya, dua orang suami isteri itu tidak kuasa mengelak seolah-olah tubuh mereka terhalang sesuatu.
"Bukk! Bukk!" Dua kali kaki Ci Kang menendang dan dua orang suami isteri itupun terbanting ke atas tanah. Mereka berloncatan bangun sambil meringis dan setelah saling pandang dengan rekan-rekannya, mereka lalu melarikan diri tanpa berani mengeluarkan kata-kata lagi. Peristiwa itu terlampau hebat bagi mereka. Belum pernah selama hidup mereka dikalahkan orang secara ini. Akan tetepi, ketika kakek tadi menyembur dengan arak, wajah mereka pucat karena mereka teringat akan nama seorang yang selama ini dikabarkan sudah mati atau telah menjadi dewa, yaitu Ciu-sian Lo-kai (Jembel Tua Dewa Arak). Memang orang sakti ini tidak pernah muncul di dunia kang-ouw, akan tetapi ada beberapa orang tokoh kang-ouw pernah melihat kesaktiannya sehingga namanya dikenal sebagai seorang di antara tokoh-tokoh rahasia yang amat sakti. Maka, enam orang datuk sesat itu segera mengambil langkah seribu. Biarpun mereka itu sudah menjadi datuk yang berkedudukan tinggi, akan tetapi karena mereka adalah golongan sesat, maka melarikan diri bukanlah hal yang dipantang oleh mereka.
Ci Kang berdiri memandang sambil bertolak pinggeng, sama sekali tidak bergerak untuk melakukan pengejaran.
"Orang muda, kenapa engkau tidak mengejar mereka?"
Ci Kang menoleh kepada kakek jembel itu. "Kenapa aku harus mengejar mereka?" dia balas bertanya sambil memandang tajam kepada kakek jembel yang sakti itu, yang entah mengapa telah mencampuri urusannya dan membantunya. Harus diakuinya dalam hati bahwa kakek ini telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut dikeroyok orang-orang Cap-sha-kui tadi.
"Lhoh! Bukankah mereka tadi mati-matian hendak membunuhmu?"
"Benar, akan tetapi aku tidak ingin membunuh mereka."
Kakek jembel itu melangkah dekat dan memandang sambil tersenyum lebar, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar. "Orang muda, apakah engkau tidak menaruh dendam kepada mereka yang hendak membunuhmu?"
"Tidak, mereka suka kekerasan dan suka membunuh, aku tidak."
"Bagus! Andaikata mereka itu mem-bunuh ayahmu, apakah engkau juga tidak sakit hati dan mendendam?"
Ci Kang teringat akan ayahnya yang hidup sebagai datuk sesat. Kalau ayahnya terbunuh orang, hal itu hanya terjadi ka-rena kesalahan ayahnya sendiri. Orang yang suka bermain dengan api seperti ayahnya, kalau sekali waktu terbakar, ti-dak perlu penasaran lagi. Maka diapun menggeleng kepala.
Kakek jembel itu kelihatan semakin girang. "Wah, inilah orangnya yang kucari selama ini. Orang muda, engkau bernama Siangkoan Ci Kang, bukan" Engkau putera tunggal Siangkoan Lo-jin?"
Pemuda itu menjadi semakin heran dan dia mengangguk.
"Heh-heh, bagus! Ayahnya menjadi pimpinan kaum sesat mengumbar nafsu, puteranya malah bebas dari nafau den-dam. Siangkoan Ci Kang, baru saja kalau tidak ada aku, engkau tentu sudah mati di tangan badut-badut itu. Nah, untuk membalas budi itu, apa yang ingin kaula-kukan untukku?"
Ci Kang mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Locianpwe, walaupun locianpwe telah mengusir orang-orang yang mengeroyokku dan menyelamatkan aku, hendaknya locianpwe ingat bahwa aku tidak pernah minta tolong kepadamu. Jadi aku tidak berhutang budi atau apapun kepada locianpwe."
Orang lain tentu akan merasa pena-saran dan marah sekali mendengar jawab-an orang yang pernah diselamatkan nya-wanya seperti itu, akan tetapi sungguh kakek itu berwatak aneh. Dia malah ter-tawa senang! "Ha-ha-ha, cocok! Bagus! Tidak pernah hutang budi, tidak pernah menghutangkan budi, berarti tidak pula pernah mendendam. Ha-ha, orang muda, engkaulah orang yang kucari-cari!"
Ci Kang merasa semakin heran. Kakek ini sungguh luar biasa, tidak saja menge-tahui keadaannya, akan tetapi juga omongannya aneh dan sikapnya luar biasa.
"Mengapa locianpwe berkata demiki-an" Mengapa locianpwe mencari-cari a-ku?"
"Aku mencari murid dan engkaulah o-rangnya yang paling cocok. Orang muda, tidak kusangkal bahwa engkau telah memiliki ilmu silat yang tinggi dan jarang ada orang dapat menandingimu. Akan tetapi sayang, ilmu-ilmumu masih mentah. Tadipun andaikata ilmumu sudah matang, tanpa kubantu sekalipun engkau akan menang menghadapi para pengeroyokmu."
Ci Kang menggeleng kepala. "Tidak mungkin, locianpwe. Mereka itu adalah tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang berilmu tinggi. Bahkan ayah sendiripun agaknya tidak akan kuat kalau menghadapi pengeroyokan mereka."
"Ha-ha, engkau sudah melihat betapa dengan mudah aku menghadapi mereka. Siangkoan Ci Kang, mari kau ikut bersa-maku setahun saja dan aku akan mama-tangkan ilmumu."
Ci Kang mengerutkan alisnya, mempertimbangkan. Tentu saja dia yang sejak kecil belajar silat, merasa girang kalau sampai dapat menjadi murid kakek yang dia tahu memiliki kepandaian hebat ini. Akan tetapi diapun memiliki watak yang bebas, tidak mau terikat.
"Apakah locianpwe hendak mengambil murid kepadaku sebagai balas budi?"
"Ha-ha-ha, akupun seorang yang suka bebas dari pada segala macam hutang budi seperti
engkau. Aku ingin mengambil murid karena kulihat engkau berbakat sekali, dan karena aku merasa cocok dengan watakmu."
Giranglah rasa hati Ci Kang mendengar ucapan ini. Tanpa ragu-ragu lagi diapun menjatuhkan diri berlutut di depan kakek jembel itu. "Baiklah, suhu, teecu terima dengan gembira sekali."
Kakek itu juga merasa gembira bukan main. Sambil tertawa-tawa dia lalu menarik tangan Ci Kang dan diajaklah pemuda itu pergi dari situ untuk mulai menggemblengnya sebagai murid. Kakek itu adalah Ciu-sian Lo-kai, tokoh sakti aneh yang tak pernah muncul di dunia kang-ouw dan yang pernah mengunjungi Lembah Naga tempo hari. Seperti kita ketahui, Ciu-sian Lo-kai berbeda pendapat dan berbantahan dengan Go-bi San-jin tentang sikap Pendekar Cia Han Tiong mengenai dendam dan ikatan. Dan karena mereka meran sudah terlalu tua untuk saling gempur, keduanya lalu berjanji untuk mencari murid dan mendidik murid itu menurut pandangan hidup masing-masing, tentu saja dengan maksud untuk kemudian diuji siapa yang lebih berhasil. Go-bi San-jin lalu berhasil membujuk Cia Sun yang sedang dicekam dendam karena kematian ibu dan para suhengnya, sedangkan Ci Kang yang jemu dengan dunia hi-tam dan kejahatan, kini menjadi murid kakek jembel itu.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Pulau Teratai Marah merupakan sebuah di antara pulau-pulau kecil yang berada di Lautan Tiongkok Timur, beberapa li jauhnya dari pantai. Kalau dilihat dari pantai, hanya nampak bintik-bintik kecil di sebelah timur yang tidak menarik perhatian. Bahkan para nelayan hanya mengenal pulau-pulau kecil itu sebagai pulau-pulau kosong dan sebagian besar hanya merupakan pulau-pulau batu karang yang tiada gunanya karena tidak memiliki tanah subur, tidak memiliki air tawar. Akan tetapi ada beberapa buah pulau yang ditumbuhi pohon-pohon liar dan di antara pulau-pulau inilah yang dinamakan Pulau Teratai Merah. Pulau ini mempunyai tanah yang cukup subur, bahkan ada sumber airnya, dan ada bukit kecilnya. Dahulu, puluhan tahun yang lalu, pulau inipun hanya dilewati saja oleh para nelayan karena hanya terisi pohon-pohon liar dan binatang-binatang berba-haya. Akan tetapi, pulau ini telah dipi-hh oleh Pangeran Toan Su-ong, pangeran pelarian yang meninggalkan kota raja, seorang bangsawan yang menentang ke-luarga kaisar sendiri, dan seorang ahli silat yang amat pandai. Di pulau inilah Pangeran Toan Su-ong bersembunyi, hidup bersama isterinya yang tercinta, yang bernama Ouwyang Ci. Isterinya itu me-miliki kitab pusaka peninggalan Panglima The Hoo yang terkenal dan di tempat sunyi ini, Pangeran Toan Su-ong dan Ouwyang Ci yang menjadi isterinya, te-kun memperdalam ilmu silat, bahkan berhasil menciptakan Ilmu Hok-mo Sin-kun yang hebat. Di tempat itu pula mereka mempunyai seorang anak perempuan yang diberi nama Toan Kim Hong yang kemu-dian menjadi datuk selatan Lam-sin dan akhirnya menjadi isteri Pendekar Sadis (baca cerita Pendekar Sadis). Pangeran bersame isterinya itu membabat hutan di pulau itu, menanami tanah pulau itu de-ngan pohon-pohon yang berguna, sayur-sayuran, bahkan akhirnya mereka berdua menanam bunga-bunga, membuat telaga kecil dari air sumber yang dialirkan ke situ dan sebentar saja mereka dapat memperkembangbiakkan bunga teratai merah. Pulau itu berobah menjadi tem-pat yang indah dan subur dan mereka memberi nama Pulau Teratai Merah.
Demikianlah riwayat singkat Ang-lian-to (Pulau Teratai Merah) itu yang kini menjadi tempat tinggal Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya, Lam-sin Toan Kim Hong. Setelah Pendekar Sadis dan isterinya yang memang ahli waris pulau itu tinggal di situ, pulau itu menjadi semakin indah dan terawat baik. Apalagi karena pendekar ini mempergunakan belasan orang pelayan untuk merawat pulau, tempat itu menjadi sebuah pulau yang mewah. Ceng Thian Sin telah menjadi seorang yang kaya raya, memiliki sebuah bangunan gedung seperti istana di atas pulau. Para pembaca cerita serial Pendekar Sadis tentu maklum, be-tapa suami isteri pendekar ini telah memperoleh harta karun Jenghis Khan yang amat besar nilainya dan yang membuat suami isteri itu menjadi kaya raya.
Biarpun sudah lama suami isteri pendekar ini tidak mencampuri urusan dunia kang-ouw, melainkan hidup makmur dan tenteram di Pulau Teratai Merah, namun hal ini bukan berarti mereka mengasingkan diri dari pergaulan. Sama sekali tidak, karena keluarga Ceng ini mengadakan hubungan dengan kota Ning-po, kota pelabuhan terbesar di daratan yang terdekat dengan Pulau Teratai Merah. Para penghuni kota Ning-po, dari pembesar sampai kepada para pelayannya, tahu di mana letaknya pulau itu dan siapa keluarga yang tinggal di sana. Bahkan Pangeran Can Seng Ong yang menjadi gubernur di Propinsi Ce-kiang dan daerah selatan, berkenan datang berkunjung beberapa hari ke pulau indah itu dan menjadi tamu kehormatan keluarga Ceng. Terjalin persahabatan antara keluarga Ceng dan keluarga Can, apalagi setelah pangeran yang masih berdarah keluarga kaisar di kota raja itu mengetahui bahwa isteri Pendekar Sadis adalah keturunan Pangeran Toan Su-ong yang amat terkenal itu. Bagaimanapun juga, masih ada hubungan keluarga, biarpun jauh, antara keluarga Can Seng Ong dan isteri Pendekar Sadis. Selain itu, sudah beberapa kali suami isteri majikan Pulau Teratai Merah itu berjasa dengan beberapa kali mengusir dan membasmi penjahat-penjahat yang berani merajalela di Ning-po dan sekitarnya, yang tidak dapat ditanggulangi oleh para petugas keamanan.
Pada suatu siang yang panas, sebuah perahu kecil meluncur meninggalkan Pan-tai Ning-po menuju ke timur, ke arah pulau-pulau kecil yang nampak seperti titik-titik hitam itu. Perahu itu didayung gadis berpakaian sederhana dan setelah agak ke tengah, gadis itu me-ngembangkan layar yang segera menang-kap angin dan meluncurlah perahu itu dengan lajunya, dikemudikan tangan-ta-ngan kecil halus dengan sikap cekatan. Jelaslah bahwa gadis ini tidak asing dengan lautan dan perahu. Hal ini bukanlah aneh kalau diketahui bahwa gadis itu lahir dan dibesarkan di Pulau Teratai Merah. Gadis itu adalah Ceng Sui Cin!
Setelah peristiwa pembongkaran rahasia Liu-thaikam di istana selesai dan pembesar korup itu tertangkap dan dihukum mati, Sui Cin bersama Cia Hui Song meninggalkan kota raja. Tadinya Hui Song hendak mengantar Sui Cin sampai ke Pulau Teratai Merah karena pemuda yang sudah jatuh cinta ini selain ingin memperpanjang perjalanannya bersama dara itu, juga ingin berkunjung ke pulau itu bertemu dengan Pendekar Sadis dan isterinya yang sudah lama dia kagumi namanya itu. Akan tetapi Sui Cin mencegahnya.
"Twako, harap kau jangan dulu berkunjung ke rumah kami. Ayah ibuku akan marah kepadaku kalau membawa teman tanpa memberi tahu lebih dahulu. Tidak begitu mudah untuk mendatangi Pulau Teratai Merah tanpa mendapat perkenan ayah ibu. Aku sudah lama merantau meninggalkan mereka. Kalau aku pulang membawa teman tanpa lebih dahulu mendapat ijin, aku tentu akan kena marah. Lain kali saja engkau datang kalau aku sudah menceritakan tentang dirimu kepada mereka."
Hui Song merasa kecewa akan tetapi tidak berani memaksa. "Cin-moi, akupun tidak berani lancang mengunjungi Pulau Teratai Merah tanpa ijin orang tuamu. Biarlah aku mengantarmu sampai ke pantai dan engkau lebih dahulu menyeberang ke pulau dan melaporkan kepada orang tuamu. Kalau mereka setuju, baru aku akan ke sana. Bagaimana?"
Tentu saja tidak ada alasan bagi Sui Cin untuk menolak. Apalagi ia memang suka kepada pemuda yang jenaka dan lincah akan tetapi gagah perkasa dan berbudi ini. Ia tahu benar bahwa Hui Song mencintanya dan hal ini mendatangkan rasa senang di dalam hatinya, walaupun ia sendiri tidak tahu pasti apakah iapun mencinta pemuda ini. Ia suka kepada Hui Song, sebagai seorang sahabat, hal ini sudah jelas. Senang bekerja sama dengan pemuda yang gagah perkasa itu, melakukan perjalanan bersama, bersendau-gurau dan bicara tentang ilmu silat. Dan bagaimanapun juga harus diakuinya bahwa cintanya pemuda itu kepadanya menda-tangkan semacam rasa bangga dalam hatinya.
Mereka lalu melakukan perjalanan ke selatan dan setelah mereka tiba di kota Ning-po, Sui Cin berkata, "Song-twako, harap engkau suka menanti di kota ini lebih dulu. Paling lambat tiga hari aku pasti akan memberi kabar kepadamu, entah aku datang sendiri atau menyuruh pelayan, mengabarkan kepadamu apakah engkau sudah boleh menyeberang ke pu-lau ataukah tidak."
"Baik, Cin-moi. Aku menanti di peng-inapan ini, mudah-mudahan orang tuamu berkenan menerima kunjunganku. Selamat jalan, Cin-moi."
"Selamat tinggal, sampai jumpa kembali."
Sui Cin meninggalkan pemuda itu dan berlayar seorang diri menuju ke Pulau Teratai Merah. Wajahnya gembira sekali, berseri-seri dan senyum menghias bibirnya. Hatinya terasa nyaman dan gembira karena begitu ia berlayar menuju ke pulaunya, barulah terasa betapa sebetulnya ia merasa amat rindu kepada ayah bundanya, kepada pulaunya, bahkan rindu kepada air laut di mana ia biasa bermain-main semenjak ia kecil. Kini, setelah ia mangemudikan perahunya yang ngebut menuju ke timur, hatinya riang sekali. Dalam keriangannya itu teringatlah ia akan sajak yang dibuat ibunya dan yang dihafalnya ketika ia masih kecil. Kini, tak terasa lagi bibirnya bergerak dan terdengarlah alunan suaranya yang nyaring merdu di antara suara percikan air pecah dibelah ujung perahunya.
"Laut! Hidupmu penuh rahasia
airmu luas tak terjangkau mata
bergerak berobah tiada hentinya
tak berdaya namun penuh kuasa!
Kadang marah liar mengganas
kadang lembut halus dan lemas
kadang riang gembira penuh tawa
kadang meraung menangis penuh duka!
Laut! Penuh sgala
kemungkinan rahasia
cermin batin setiap manusia!
Dahulu, di waktu ia masih kecil, biarpun ia hafal akan kata-kata nyanyian itu, namun ia tidak mengerti apa yang termaksud dalam sajak itu. Memang penggambaran lautan itu dapat dimengerti. Lautan selalu berobah. Kalau sedang tenang halus, amat mentakjubkan karena indahnya, bagaikan sutera biru terhampar, atau bagaikan padang rumput segar tertiup angin, seolah-olah melambai mengajak orang menikmati keindahannya. Akan tetapi ada kalanya laut membuat ia berlari menjauh, bersembunyi aman di dalam rumah karena laut mengamuk, mengganas, mengeluarkan suara yang mengerikan, gelombang menderu meraung-raung, kadang-kadang menangis mendesis-desis, menggelegar menghantam batu karang di pantai, demikian perkasa dan menyeramkan. Akan tetapi hanya sampai di situ saja batas kemampuannya untuk menyelami arti sajak buatan ibunya itu. Bahkan setahun yang lalu ketika ia meninggalkan pulau, ia masih tidak perduli akan isi sajak itu, tidak berminat untuk menyelami artinya lebih mendalam. Akan tetapi sekarang, pada saat ia bernyanyi, artinya meresap ke dalam kalbu dan ia mengerti sepenuhnya akan isi kalimat terakhir dari sajak itu. "Laut! Penuh segala kemungkinan rahasia, cermin batin setiap manusia!"
Memang ada gerakan tiada hentinya dalam batin manusia, seperti lautan. Kadang-kadang manusia dapat bersikap lembut, terkadang ganas dan kejam, dan selama ini ia sudah melihat betapa banyaknya manusia melakukan kekejaman-kekejaman dan kebuasan yang lebih mengerikan daripada kebuasan lautan!
Baru saja Sui Cin menghentikan nyanyiannya, perhatiannya tertarik oleh beberapa buah perahu yang agaknya baru saja meninggalkan Pulau Teratai Merah. Sebuah perahu besar mewah dikawal oleh empat buah perahu kecil. Begitu melihat perahu besar itu, Sui Cin tersenyum. Tentu saja ia mengenal perahu mewah yang berbendera besar itu. Perahu siapa lagi kalau bukan perahu Pangeran Can Seng Ong yang menjadi gubernur atau Raja Muda dan mempunyai rumah di Ning-po itu! Ia mengenal keluarga itu, juga me-ngenal putera tunggal raja muda itu, se-orang yang usianya lima enam tahun lebih tua daripada usianya dan yang disukainya karena pemuda bangsawan yang bernama Can Koan Ti itu wataknya ceriwis, suka menggodanya dengan sikap yang kurang ajar! Akan tetapi dalam pergaulan biasa, tentu saja ia tidak me-nyatakan sikap tidak senang itu, karena ia maklum bahwa orang tuanya adalah sahabat baik keluarga Can. Agaknya yang membuat ia tidak suka adalah kemewahan yang terlalu berlebihan itu. Ibunya sendiri seorang wanita cantik jelita yang pesolek dan suka mengenakan pakaian-pakaian indah, demikian pula ayahnya. Dan keluarga Can itu seolah-olah berlomba dalam menonjolkan kekayaan mereka. Hal-hal inilah yang tidak disukai Sui Cin. Entah bagaimana, ia tidak suka bersolek, tidak suka menonjolkan kekayaan dan kadang-kadang selagi ia kecil, ia ngambek kalau oleh ibunya dipaksa mengenakan pakaian-pakaian indah. Ia lebih mengutamakan keenakan pakaian yang menempel di tubuh daripada keindahannya. Karena ini-lah maka Sui Cin seringkali memakai pakaian yang aneh-aneh dan nyentrik, semata-mata dilakukan bukan untuk menarik perhatian, melainkan karena ia mengutamakan keenakan pada pakaian yang dipa-kainya itu.
"Haiii... Ceng Siocia...!" Tiba-tiba terdengar seruan dari perahu besar dan seorang laki-laki menjenguk dari atas pagar besi di tepi geladak perahu. Orang itu berusia kurang lebih dua puluh dua tahun. Wajahnya tidak berapa tampang akan tetapi karena dia pesolek, dengan kulit muka biasa dibedaki, rambut tersisir rapi dan mengkilat karena minyak, pakaiannya mewah sekali, maka dia nampak sebagai seorang pria yang ganteng. Sui Cin segera mengenalnya karena pemuda itu bukan lain adalah Can Koan Ti, putera tunggal Raja Muda Can Seng Ong atau gubernur Ce-kiang itu. Bertemu dengan orang yang sudah dikenalnya setelah lebih dari setahun berpisah mendatangkan kegembiraan. Sui Cin segera melupakan sifat-sifat yang tidak disukanya pada diri putera pembesar itu dan iapun melambaikan tangan.
"Heiii, Cong-kongcu... selamat berjumpa!" teriaknya riang.
Pemuda itu melambaikan tangan dengan gembira, lalu terdengar suaranya nyaring dan sengaja dinyaringkan karena perahu mereka sudah meluncur berpapasan, "Haiii... engkau semakin cantik saja..."
Sui Cin cemberut. Kiranya belum sembuh juga penyakit laki-laki itu, pikirnya. Ia hendak memaki dan sudah mengerahkan khi-kang untuk berteriak agar terdengar dari perahu besar yang sudah jauh, akan tetapi pada saat itu, banyak kepala nongol di tepi perahu itu sehingga ia melirihkan suaranya agar tidak terdengar banyak orang, "Engkau... ceriwis dan brengsek...!"
Karena gadis itu tidak mempergunakan khi-kang ketika berteriak, tentu saja suaranya tidak dapat mencapai perahu besar yang sudah lewat agak jauh. Can Koan Ti merasa penasaran tidak mendengar apa yang diucapkan dara jelita itu, maka diapun berteriak, "Apaaaa..." Kau bicara apa, nona...?"
Akan tetapi Sui Cin hanya memoncongkan mulut mencibirkan bibir saja. Melihat ini, pemuda bangsawan itu menjadi gemas. Awas kau, pikirnya, kalau sudah menjadi milikku, kugigit bibirmu itu!
Sui Cin tertawa-tawa kecil, senang hatinya sudah dapat menggoda pemuda bangsawan itu. Aneh, kenapa aku menjadi marah karena dipuji cantik" Ah, bukan pujiannya yang membuatnya marah, melainkan sikap pemuda itu, dan mungkin juga tergantung dari siapa yang memujinya. Kalau memang hati sudah tidak suka, biar dipujipun mungkin saja dianggap melakukan kekurangajaran. Sebaliknya kalau hati suka, biar dikurangajari sekalipun mungkin akan dianggap sebagai pujian yang menyenangkan!
Sui Cin sengaja memutar perahunya dan menghampiri Pulau Teratai Merah dari arah selatan karena di bagian sela-tan dari pulau itu terdapat sebuah taman laut yang amat indah. Di waktu air laut sedang tenang, dari atas perahu dapat nampak ikan-ikan di bawah permukaan air yang tidak begitu dalam dan dasar laut itupun penuh dengan batu dan bunga karang yang amat indah dan beraneka warna. Ketika tiba di tempat ini, Sui Cin tidak dapat menahan keinginan hatinya untuk menikmati tempat itu. Ia menoleh ke kanan kiri. Sunyi. Memang tidak ada nelayan berani mendekat Pulau Teratai Merah tanpa seijin orang tuanya, dan a-yah bundanya melarang para nelayan mendatangi taman laut itu. Setelah merasa yakin bahwa di situ tidak terdapat orang lain, Sui Cin lalu membuang jangkar, menggulung layar, menanggalkan pakaian luarnya kemudian juga pakaian dalamnya. Dengan bertelanjang bulat ia mengikat rambutnya di atas kepala dan terjunlah ia ke dalam air. Ia menyelam dan segera ia memasuki keadaan yang hanya dapat dibayangkan dalam mimpi. Sebuah alam yang amat indah, beraneka warna, ada bintang-bintang berwarna, ada bunga-bu-nga raksasa dengan warna menyolok, ada ikan-ikan yang warnanya berkilauan dan bentuknya beraneka macam, ada yang teramat aneh dan menyeramkan. Ia menye-lam, hanya timbul untuk berganti napas dan menyedot hawa murni sebanyaknya, menyelam lagi dan tanpa dirasakan telah satu jam lebih ia bermain-main di tem-pat itu, suatu kebiasaan yang dahulu menjadi kesukaannya sebelum ia pergi me-rantau. Setelah ia merasa lelah dan puas, baru ia naik ke perahunya, mengeringkan tubuh dan rambut, lalu mengenakan lagi pakaiannya. Dan hatinya kini menjadi semakin riang, wajahnya semakin cerah ke-tika ia mengemudikan perahunya menuju ke Pulau Teratai Merah.
Biarpun Pulau Teratai Merah tidak pernah dijaga ketat karena keluarga Ceng tidak takut akan ancaman bahaya, namun para pelayan mereka yang rata-rata me-miliki kepandaian silat lumayan itu sela-lu bersikap waspada. Oleh karena itu, ti-dak mengherankan apabila mereka sudah tahu akan kedatanan nona mereka dan hal ini segera mereka laporkan kepada majikan mereka. Itulah sebabnya ketika Sui Cin muncul di ruangan depan rumah gedung keluarganya, ayah ibunya telah berdiri menyambut dengan senyum gembira.
"Ayah...!" Sui Cin berlari dan memeluk ayahnya, sejenak menempelkan mukanya di dada yang bidang itu. Jari-jari tangan ayahnya mengelus rambutnya, mendatangkan rasa senang dan tenteram di hati. Ia lalu mengangkat mukanya, memandang wajah ayahnya yang masih ganteng itu sambil tersenyum.
"Engkau baik saja, bukan?" Ayahnya bertanya halus.
Sui Cin mengangguk, lalu melepaskan dirinya dan menghampiri ibunya, terus merangkulnya, "Ibu...!"
Toan Kim Hong memeluk anaknya dan menciumi pipinya. "Anak bengal, terlalu lama kau pergi, membuat kami merasa rindu sekali."
Sui Cin juga menciumi muka ibunya yang amat cantik itu.
"Ihh, rembutmu basah! Bau air laut pula! Dan pakaianmu... hemm, kenapa engkau memakai pakaian seperti... seperti jembel...!" Wanita itu menegur dan alisnya berkerut. Sebagai seorang ibu yang suka akan pakaian indah, tentu saja hati nyonya ini merasa kecewa melihat puteri tunggalnya berpakaian yang dianggapnya jorok dan terlalu sederhana, pantasnya pakaian wanita petani miskin.
Sui Cin melepaskan rangkulannya, melangkah mundur tiga tindak dan memandang ayah ibunya. Baru sekarang ia melihat betapa pakaian orang tuanya amat mewah, lebih indah daripada biasanya den teringatlah ia bahwa tentu ayah ibunya belum berganti pakaian setelah tadi menerima tamu agung, yaitu keluarga Raja Muda Can itu. Timbul rasa tidak senangnya akan kemewahan ayah bundanya dan ia berkata dengan nada mengejek dan senyum dibuat-buat.
"Wah, pakaian ibu dan ayah indah sekali, baru dan mewah seperti pakaian kaum bangsawan saja!" Memang pakaian yang dikenakan suami isteri itu indah dan mewah. Ceng Thian Sin yang telah berusia empat puluh enam tahun itu ma-sih nampak muda dan gagah, tubuhnya tegap dan sehat, wajahnya berseri dan kepalanya memakai sebuah topi yang ba-gus, dihias bulu. Pakaiannya dari sutera halus biru dan putih, rapi dan mewah se-perti pakaian seorang hartawan aseli, se-patunya mengkilap dan baru. Toan Kim Hong lebih mewah lagi. Rambutnya di-sanggul di atas, dihias emas dan permata berbentuk sebuah mainan naga kecil, ke-dua telinganya dihias anting-anting mu-tiara besar, juga kalung batu-batu per-mata tergantung di luar bejunya yang amat indah. Gaun itu disulam gambar se-ekor burung hong dari benang emas, se-suai dengan namanya "Kim Hong" yang berarti burung hong emas! Wajah wanita yang sebetulnya dua tahun lebih tua dari suaminya ini masih nampak seperti wanita tiga puluh tahunan saja, cantik manis dan kulitnya putih halus. Sungguh sukar dipercaya bahwa wanita yang begini cantik jelita pernah menjadi Lam-sin, datuk selatan yang ditakuti semua golongan hitam.
Toan Kim Hong merasakan nada suara mengandung ejekan itu. Sepasang alisnya berkerut ketika ia berkata, "Sui Cin! Tidak pantas engkau mengejek orang tuamu! Tidak pantas pula engkau mengenakan pakaian semacam ini! Engkau tentu tahu siapa ayahmu, dan dari mana datangnya nama keluarga Ceng. Ayahmu masih berdarah keluarga kaisar! Kakek ayahmu adalah mendiang Kaisar Ceng Tung, maka memang sudah sepatutnya kalau keluarga kita adalah keluarga bangsawan. Dan ayahku sendiri adalah seorang pangeran yang tidak rendah kedudukannya. Keluarga Toan adalah keluarga bangsawan pula. Maka, tidak perlu engkau mengejek."
Thian Sin memegang lengan isterinya dan merangkul pundak puterinya. "Sudah-lah, masa anak baru datang dimarahi. Dan engkau, Cin, tidak baik bersikap se-perti itu kepada ibumu. Mari kita bicara di dalam. Kami ingin menyampaikan be-rita penting sekali mengenai dirimu."
Mereka bertiga lalu berjalan masuk dan suasana antara ibu dan anak itu sudah pulih kembali. Mereka masuk ke ruangan dalam di mana tidak ada pelayan yang berani masuk tanpa dipanggil dan duduklah keluarga yang terdiri dari tiga orang itu.
"Dalam perjalanan pulang tadi, di tengah lautan aku bertemu dengen perahu Raja Muda Can. Agaknya dia berkunjung ke sini, benarkah, ayah?" Sui Cin bertanya, teringat akan perjalanannya tadi.
"Benar," jawab ayahnya. "Memang keluarga Can tadi berkunjung ke sini dan justeru urusan dengan mereka itu yang ingin kami ceritaken kepadamu!"
Sui Cin mengerutkan alis. "Tadi ayah bilang akan menyampaikan berita penting mengenai diriku...?"
"Ada hubungannya dengan kunjungan keluarga Raja Muda Can..." kata ibunya.
Sui Cin memandang kepada ayah ibunya yang kelihatannya ragu-ragu untuk bicara. "Apakah yang terjadi" Apa hubunganku dengan keluarga Can" Ayah, katakanlah!"
Suami isteri itu saling pandang dan dalam pertemuan pandang mata itu tahulah Pendekar Sadis bahwa isterinya dalam keadaan terharu dan menghendaki agar dia yang menyampaikan berita itu kepada anak mereka.
"Anakku, tahukah engkau berapa usiamu tahun ini?" tanyanya, ingin menyampaikan berita itu secara halus dan memutar.
"Usiaku?" Sui Cin memandang heran. "Ayah tentu tahu, usiaku hampir enam belas tahun..."
"Hemmp, sudah dewasa anakku sekarang," Toan Kim Hong berkata.
"Apa hubungannya aku dan usiaku dengan keluarga Raja Muda Can" Ahhh... aku tahu... ahh, si keparat, agaknya mereka datang untuk meminang aku, begitu-kah ayah dan ibu?"
"Sui Cin, hati-hati dengan mulutmu itu!" Ibunya menghardik. "Keluarga Can adalah keluarga bangsawan dan pembesar yang terhormat dan mereka datang meminangmu merupakan suatu kehormatan besar bagi kita, bagaimana engkau berani mengeluarkan kata makian?"
"Sui Cin, bersikaplah tenang dan hadapi segalanya dengan pikiran yang matang, jangan terlalu mudah menurutkan perasaan suka atau tidak suka dan dengarkan kata-kata kami." Suara Pendekar Sadis terdengar tegas dan Sui Cin menunduk.
"Maafkan, ayah." Iapun insyaf bahwa sikapnya memang tidak sepatutnya. Ia sudah dewasa, bukan anak kecil lagi dan ia harus dapat menghadapi segala sesuatu dengan tenang seperti yang dimaksudkan ayahnya.
"Sui Cin, keluarga Can memang datang berkunjung untuk mengajukan pinangan atas dirimu. Engkau tahu bahwa keluarga itu adalah keluarga yang terhormat, seorang wakil kaisar untuk daerah selatan, seorang pangeran yang menjadi raja muda, selain berdarah bangsawan tinggi, juga kaya raya dan kedudukannya tinggi terhormat. Dan puteranya, Can-kongcu adalah seorang pemuda yang terpelajar dan halus budi. Tak perlu kuceritakan banyak karena engkaupun sudah mengenalnya."
"Dan ayah ibu sudah menerimanya?" tanya Sui Cin, jantungnya berdebar te-gang.
"Kami menyambutnya dengan baik dan biarpun di dalam hati kami merasa setuju sekali, akan tetapi kami ingin menanti sampai engkau pulang, jadi kami belum mengambil keputusan menerimanya. Keluarga Can yang bijaksana mengerti keadaan kami karena engkau tidak berada di rumah dan mereka menanti sampai engkau pulang."
"Terima kasih, ayah dan ibu, dan memang tidak perlu diterima pinangan itu karena aku tidak mau."
"Apa?" Ceng Thian Sin bangkit berdiri. "Engkau tidak mau" Mengapa?"
Sui Cin menentang pandang mata ayahnya yang kelihatan tidak senang. "Tidak apa-apa, hanya aku tidak suka dan tidak disuka menjadi isteri Can Koan Ti yang ceriwis itu!"
"Sui Cin, jangan sesombong itu engkau!" Kini ibunya bangkit berdiri dengan sikap marah. "Can-kongcu orangnya baik hati dan ramah, dan engkau memakinya ceriwis! Kami hendak mengangkatmu menjadi seorang yang terhormat dan mulia, akan tetapi engkau menolaknya mentah-mentah! Apakah engkau ingin menjadi perawan tua" Apakah engkau ingin membikin malu orang tua dengan penolakan ini, padahal kami sudah bersikap menerima dan setuju terhadap mereka?"
Melihat ayah ibunya bangkit berdiri dengan sikap marah, Sui Cin juga bangkit berdiri menghadapi mereka. Hatinya terasa panas dan ia merasa dipojokkan. "Ibu sekarang sudah berusia empat puluh tahun lebih dan aku baru enam belas tahun, berarti bahwa ibupun tentu bukan berusia muda ketika menikah dengan ayah. Mengapa hendak memaksa menikah dalam usia enam belas tahun dan khawatir aku menjadi perawan tua?"
"Jangan bawa-bawa masa muda ibumu!" Kini Toan Kim Hong menudingkan telunjuknya dengan sikap marah. "Memang aku telah berusia dua puluh tiga tahun ketika menjadi isteri ayahmu, akan tetapi justeru kami tidak ingin melihat engkau seperti kami di masa muda. Kami ingin melihat engkau kembali kepada kedudukan yang wajar dan pantas bagi seorang keturunan bangsawan seperti engkau, menjadi orang terhormat dan mulia. Dan menjadi mantu Raja Muda Can adalah kedudukan yang paling baik yang akan pernah dapat kaumiliki, kecuali kalau engkau dapat menjadi mantu kaisar yang takkan mungkin terjadi!"
Sui Cin menjadi semakin tak senang. Perut dan dadanya terasa panas dan darahnya bergolak. Iapun bertolak pinggang dan alisnya berkerut ketika ia memandang ayah ibunya. "Jadi... ayah dan ibu hendak memaksaku?"
Melihat ketegangan memuncak, Thian Sin melerai. "Bukan sekali-kali kami hendak memaksamu, anakku. Kami hanya minta agar engkau suka memikirkan secara mendalam semua kata-kataku dan kata-kata ibumu. Engkau tentu tahu betapa besar cinta kami terhadap dirimu, dan kami hanya berusaha untuk membuatmu berbahagia," kata-katanya halus menghibur, membuat Sui Cin rasanya ingin menangis.
"Kalau ayah dan ibu ingin melihat a-ku berbahagia, janganlah memaksaku ka-win dengan
siapapun juga. Tunggu sam-pai aku berusia dua puluh tahun lebih, seperti ibu dahulu. Aku tidak suka, ayah, aku tidak mau menikah dengan orang she Can itu. Pendeknya, aku tidak suka menikah dengan orang bangsawan."
"Ehh...?" Toan Kim Hong berseru marah. Ia sendiri adalah puteri seorang pangeran, walaupun pangeran buangan atau pengasingan, dan sejak kecil ia sudah merindukan kemuliaan itu yang kini hampir tercapai kalau puterinya menjadi mantu Raja Muda Can. Dan kini puterinya itu malah mengatakan tidak suka menikah dengan orang bangsawan! "Kenapa engkau tidak suka menikah dengan orang bangsawan" Kenapa" Hayo jawab, tentu ada alasannya."
"Karena aku benci! Aku benci pada o-rang-orang bangsawan. Mereka itu tinggi hati,
sombong dan korup! Aku benci ke-pada pembesar-pembesar yang korup, ma-cam Liu-thaikam sehingga aku membantu para penentangnya sampai akhirnya dia jatuh."
"Hemm, jadi engkaukah satu di antara mereka yang berhasil menjatuhkan o-rang she Liu itu?" Toan Kim Hong yang tadinya marah-marah kini berkata lunak karena hatinya merasa girang dan bangga sekali. Berita tentang kejatuhan Liu-thai-kam sudah mereka dengar dari keluarga Can yang memuji-muj
pi setiap jurus mengandung kehebatan yang sukar ditahan atau ditandingi lawan. Kalau tidak berada dalam kesulitan, mendiang Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong sendiripun jarang mempergunakan ilmu dahsyat itu. Juga Cia Han Tiong hampir tidak pernah mempergunakannya dalam perkelahian. Sekali ini, Cia Sun yang berada dalam keadaan sedih dan sakit hati, tak dapat menahan dirinya dan sudah mempergunakan ilmu simpanan terakhir yang paling hebat di antara ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari ayahnya.
"Wuuuttt... singgg...!" Angin yang amat kuat menyambar dan suara berdesing terdengar ketika tangan pemuda itu menyambar ke depan. Kakek itu mengeluarkan suara kaget dan tidak berani main-main lagi, segera mengerahkan tenaga dan menyambut dorongan kedua telapak tangan pemuda itu dengan kedua tangannya sendiri. Dia maklum bahwa serangan sedahsyat itu tidak mungkin dielakkan tanpa membahayakan nyawanya. Satu-satunya jalan adalah menyambu pukulan dahsyat itu.
"Plak! Plak!" Tubuh Cia Sun terdorong ke belakang dan dia merasa betapa tenaganya bertemu dengan sesuatu yang lembut, kedua tangannya bertemu dengan telapak tangan lawan yang amat lunak akan tetapi dia merasa seolah-olah semua tenaganya masuk ke dalam air sehingga hilang kekuatannya, namun ternyata di balik kelembutan itu ada tenaga yang sedemikian halus dan kuatnya sehingga tubuhnya yang terdorong ke belakang. Dan begitu dia berhasil menghentikan tubuhnya yang terdorong, tiba-tiba saja kedua kakinya gemetar dan lemas sehingga dia hampir terguling.
Sebaliknya, kakek itupun membelalakkan kedua matanya yang melotot lebar. "Ihh, ilmu setan apakah itu" Setahuku Pendekar Lembah Naga adalah seorang pendekar gagah yang tidak pernah tersesat, akan tetapi bagaimana cucunya mempunyai ilmu sesat macam itu tadi?" Berkata demikian, kakek itu lalu menubruk maju dan jubahnya yang lebar itu berkembang. Cia Sun merasa seolah-olah dia diserang oleh seekor kelelawar raksasa yang terbang den menyambar ke arahnya. Dia masih merasa lemas kedua kakinya, maka kini diapun mengerahkan Thian-te Sin-ciang untuk melindungi dirinya, menangkis ke depan dari samping sambil mengerahkan tenaga sin-kang.
"Desss...!" Dan kini, pertemuan antara lengan mereka membuat tubuh Cia Sun terpelanting! Belum hilang rasa kaget pemuda itu, kakek yang amat lihai itu sudah menubruk dengan cengkeraman kedua tangannya ke arah kepala dan dada Cia Sun.
"Heh!" Cia Sun yang masih terpelanting itu terkejut melihat dua buah lengan yang besar dan panjang menyambar dengah cengkeraman maut. Dia menggulingkan tubuhnya mengelak lalu meloncat bangun. Ternyata kedua tangan kakek itu masih melanjutkan serangannya secara aneh dan dahsyat. Akan tetapi Cia Sun cepat memainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-ciang untuk membela dan melindungi dirinya sehingga semua serangan kakek itu dapat dielakkan atau ditangkis!
"Bagus!" Kakek itu memuji. "Thai-kek Sin-ciang yang baik sekali!" Akan tetapi biarpun mulutnya memuji, kakek itu melanjutkan serangan-serangannya yang ternyata selain aneh sekali gerakannya, juga amat cepat dan kuat sehingga Cia Sun menjadi repot dibuatnya. Pemuda ini segera merobah gerakannya, berturut-turut dia memainkan San-in Kun-hoat dan semua ilmu yang pernah dipelajarinya. Akan tetapi kakek itu dapat mengenal semua gerakannya dan memuji-muji setengah mengejek!
"Ha-ha, ilmu-ilmu silat yang tinggi dan hebat, akan tetapi masih mentah. Mana Thi-khi-i-beng" Hayo keluarkan, biar kucoba kelihaiannya!"
Cia Sun kini merasa yakin bahwa lawannya benar-benar amat lihai dan telah mengenal ilmu-ilmunya, kecuali Hok-mo Cap-sha-ciang tadi. Hal ini membuatnya merasa gugup dan ketika kakek itu me-nerjangnya dengan tendangan- tendangan berputar yang amat dahsyat, pahanya ke-na tendangan dan diapun terguling lagi. Dan sekali ini, sebelumdia sempat bangun, tahu-tahu kakek itu telah menempelkan jari-jari tangannya ke ubun-ubun kepalanya! Cia Sun memejamkan mata, menanti datangnya maut karena dia yakin bahwa kalau kakek itu menggerakkan jari-jari tangannya, dia tidak akan tertolong lagi. Akan tetapi jari-jari tangan itu tak kunjung terasa oleh kepalanya dan diapun membuka mata. Dilihatnya bahwa jari-jari tangan itu masih menempel di ubun-ubunnya, akan tetapi kakek itu hanya memandang sambil menyeringai.
"Iblis busuk, kalau engkau hendak membasmi kelurga kami, lakukanlah. Bunuhlah, aku tidak takut mati!"
"Ha-ha-ha!" kakek itu menarik tangannya dan melangkah mundur. "Orang muda, kalau aku ini Hek-hiat Lo-mo, apa kaukira engkau masih hidup sekarang ini?"
Sadarlah Cia Sun bahwa kakek ini sesungguhnya bukanlah musuh, melainkan seorang aneh yang agaknya tadi sengaja hendak menguji ilmu kepandaiannya. Dia tahu bahwa banyak sekali orang pandai di dunia ini yang berwatak aneh dan agaknya kakek inipun seorang di antara orang-orang aneh itu yang tidak dikenalnya. Maka tanpa ragu-ragu lagi diapun lalu bangkit duduk dan berlutut menghadap kakek itu.
"Maaf kalau saya keliru menilai orang. Siapakah locianpwe sebenarnya?" tanyanya dengan sikap hormat.
"Orang muda, siapa adanya aku tidaklah begitu penting dan baru akan kujawab satelah engkau mau menjawab pertanyaan-pertanyaanku."
Kini sudah hilang rasa marah di hati Cia Sun terhadap orang aneh yang dia percaya adalah seorang sakti ini. "Silakan bertanya, locianpwe."
"Engkau adalah putera keluarga gagah perkasa yang selalu mengutamakan kebaikan. Ibumu adalah seorang wanita gagah yang berhati mulia, dan murid-murid Pek-liong-pai adalah pendekar-pendekar yang baik hati. Akan tetapi pada suatu hari, malapetaka datang menimpa. Dua orang manusia berhati iblis telah menyebar maut, membunuh ibumu dan para suhengmu, yang sama sekali tidak bersalah terhadap dua orang itu. Nah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu. Apakah engkau ingin membiarkan saja kejahatan itu, sama sekali tidak mendendam dan tidak ingin mencari dan membunuh kedua orang itu untuk membalas dan juga untuk membasmi orang-orang yang demikian jahatnya?"
Cia Sun mengepal tinju, hatinya terasa seperti api disiram minyak, semangatnya semakin berkobar. "Tentu saja, locianpwe! Saya akan berusaha mencari dan membunuh kedua iblis jahat itu!"
Kakek itu mengangguk-angguk. "Benarkah itu" Bukankah ayahmu, ketua Pek-liong-pai yang berhati mulia dan suka mengalah itu tidak menghendaki demikian?"
Diam-diam Cia Sun terkejut. Orang aneh ini agaknya tahu segala-galanya, bukan hanya yang menimpa keluarganya, akan tetapi juga tahu akan watak ayahnya. Tentu saja hatinya memberontak dan dia ingin mempertahankan kehormatan dan nama ayahnya, ingin membenarkan dan membela pendirian ayahnya. Akan tetapi, pada saat itu batinnya sudah terlalu panas oleh dendam sehingga pertanyaan itu bahkan membut dia melihat lebih jelas lagi akan kesalahan dalam pendapat ayahnya itu.
"Mungkin ayah berpendapat demikian, akan tetapi saya tidak! Saya tidak ingin menjadi orang selemah itu dan membiarkan kejahatan berlangsung tanpa memberi hukuman dan tanpa membalas!"
"Jadi engkau ingin membelas dendam" Tahukah engkau siapa pembunuh ibumu?"
"Mereka adalah Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo."
"Tahukah pula engkau di mana adanya mereka?"
Cia Sun memandang bingung dan menggeleng kepala. "Saya tidak tahu, locianpwe. Akan saya cari mereka sampai dapat!"
"Orang muda, semangatmu cukup besar, akan tetapi jangan mengira akan mudah saja mencari mereka. Mereka itu adalah pendatang dari Sailan dan kini menyembunyikan diri. Pula, andaikata dapat bertemu, belum tentu engkau dapat mengalahkan mereka. Sekarang begini. Aku tertarik kepadamu, kagum akan kelihaianmu dan kegagahanmu. Ilmu silatmu sudah hebat dan jarang ada yang akan dapat menandingimu kalau ilmu-ilmu yang kaumiliki itu sudah dapat kaukuasai sampai matang. Ibarat buah engkau masih belum matang benar, dan ibarat batu giok engkau belum digosok. Maukah engkau menjadi muridku dan membiarkan aku membimbingmu selama satu tahun kemudian kutunjukkan kepadamu di mana adanya dua orang musuh besarmu itu?"
Bukan main girangnya hati Cia Sun. Tanpa banyak sangsi lagi dia lalu memberi hormat sambil berlutut dan menjawab. "Saya bersedia dan saya mau, locianpwe!"
"Nah, kalau begitu, ketahuilah bahwa aku adalah Go-bi San-jin, seorang pertapa usil yang tidak terkenal dan mulai sekarang engkau harus ikut bersamaku tanpa memberi tahu ayahmu."
"Baik, suhu. Teecu mentaati perintah suhu," kata Cia Sun dan malam hari itu juga dari makam ibunya dia langsung saja pergi mengikuti gurunya tanpa memberitahukan ayahnya! Dendamnya sudah sedemikian besarnya sehingga dia bersedia melakukan apa saja untuk dapat membalas kematian ibunya dan para suhengnya.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Rumah besar di Ta-tung itu tentu akan dianggap sebagai rumah seorang hartawan atau setidaknya rumah bangsawan oleh orang-orang yang baru datang di kota itu. Penduduk Ta-tung juga hanya mengetahui bahwa rumah besar itu adalah milik seorang hartawan kaya raya bershe (marga) Siangkoan. Akan tetapi hartawan yang kabarnya usianya sudah amat lanjut dan sakit-sakitan itu jarang kelihatan orang, kabarnya selalu bersembunyi di dalam kamarnya dan dilayani oleh belasan orang pelayan! Hanya kadang-kadang saja orang melihat kakek hartawan ini keluar rumah memasuki sebuah kereta yang mewah, entah pergi ke mana. Pendeknya, pemilik rumah besar itu diketahui orang sebagai Siangkoan-wangwe (Hartawan Siangkoan) yang sudah tidak kelihatan aktip berdagang lagi, agaknya seorang kakek pensiunan yang menghabiskan sisa hidupnya dengan harta kekayaannya. Akan tetapi kalau saja orang dapat melihat tembus tembok tebal itu dan menyaksikan apa yang seringkali terjadi di dalam rumah itu, orang akan terheran-heran dan terkejut bukan main. Kiranya kakek hartawan yang kabarnya sakit-sakitan ini sebetulnya adalah seorang datuk kaum sesat yang ditakuti hampir semua anggauta dunia hitam. Juga para pendekar di dunia kang-ouw merasa serem kalau mendengar namanya. Dia adalah Siangkoan Lo-jin (Kakek Siangkoan) yang lebih terkenal dengan julukan Iblis Buta! Dengan menyamar sebagai seorang hartawan tua renta yang sakit-sakitan, Siangkoan Lo-jin dapat terbebas dari gangguan, dan lolos dari pengamatan para pendekar dan juga dari pemerintah yang pada waktu itu sedang sibuk mencarinya sehubungan dengan aksi gerakan pembersihan yang dilakukan oleh para petugas pemerintah atas perintah dari kaisar sendiri. Siangkoan Lo-jin dikenal sebagai pemimpin semua gerakan rahasia, persekutuan yang bekerja untuk kepentingan Liu-thaikam yang sudah ditangkap dan dijatuhi hukuman mati itu. Akan tetapi, alat pemerintah tidak berhasil menemukannya, bahkan tidak berhasil pula menemukan para tokoh sesat Cap-sha-kui yang menjadi para pembantu utama dari Siangkoan Lo-jin. Pemerintah hanya mampu membasmi anak buah penjahat saja seperti perkumpulan pengemis Hwa-i Kai-pang dan lain-lain.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Pada suatu malam setelah gerakan pembersihan dari pasukan pemerintah agak mereda di kota Ta-tung yang dekat dengan kota raja, di sebelah dalam rumah besar itu terjadi kesibukan. Para komandan keamanan di kota Ta-tung bisa mati berdiri kalau tahu apa yang terjadi di dalam rumah besar itu. Kiranya pada malam hari itu, seluruh tokoh pemberontak yang dicari-cari pemerintah telah berkumpul di rumah itu. Di malam gelap itu, seperti iblis-iblis gentayangan, berturut-turut datang berkelebatan bayangan-bayangan hitam memasuki rumah besar. Mereka ini adalah tokoh-tokoh sesat dari Cap-sha-kui yang terilbat dalam pemberontakan di bawah pimpinan Liu-thaikam yang datang untuk memenuhi panggilan Siangkoan Lo-jin yang mereka anggap sebagai pemimpin mereka dalam persekutuan itu.
Menjelang tengah malam, di waktu kota Ta-tung menjadi sunyi dan sebagiab besar penduduknya sudah tidur nyenyak, lengkaplah para tamu aneh yang berdatangan ke rumah besar menghadap Siangkoan Lo-jin. Di dalam ruangen di belakang, sebuah ruangan luas, mereka berkumpul, duduk menghadapi meja besar panjang dengan berkeliling. Para pelayan Siangkoan Lo-jin yang sesungguhnya bukan orang-orang biasa melainkan anak buah yang rata-rata memiliki ilmu silat tangguh, kini mengadakan penjagaan ketat walaupun mereka yakin bahwa rumah itu aman dan tidak pernah dicurigai orang.
Ruangan itu luas dan terang sehingga nampak jelas wajah mereka yang duduk mengelilingi meja besar panjang. Di kepala meja duduk Siangkoan Lo-jin sendiri, seorang kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi kurus dengan pakaian hitam sederhana, pakaiannya sebagai Si Iblis Buta, berbeda dari pakaian hartawan yang dikenakannya kalau dia kebetulan keluar sebagai pemilik rumah. Kini pakaian hitamnya amat sederhana dan longgar. Kedua matanya mengerikan, nampak putihnya saja dan tak pernah berkedip. Di tangan kirinya terdapat sebuah tongkat kayu cendana hitam yang selain menjadi pembantunya dalam meraba-raba mencari jalan, juga merupakan sebuah senjatanya yang ampuh sekali. Sebetulnya kakek buta ini memiliki sebuah rumah di Pao-ci, di Propinsi Shen-si, akan tetapi semenjak kegagalan persekutuannya yang mengabdi kepada Liu-thaikam, terpaksa dia bersembunyi di Ta-tung ini, di mana dia dikenal sebagai seorang hartawan yang tidak melakukan kegiatan apa-apa lagi.
Di sebelah kirinya duduk seorang pemuda, yaitu Siangkoan Ci Kang, putera tunggalnya. Ci Kang tidak dapat mengingat ibu kandungnya dengan baik. Seingatnya, ketika masih kecil pernah dia diasuh oleh seorang wanita yang menurut ayahnya adalah ibunya yang tewas ketika dia masih kecil. Dia hidup bersama ayahnya, digembleng oleh ayahnya yang buta dan harus diakuinya bahwa ayahnya amat mencintanya, walaupun dengan caranya sendiri yang aneh. Seluruh ilmu kepandaian ayahnya diwariskan kepadanya dan karena memang dia amat berbakat, biarpun kini usianya baru delapan belas tahun lebih, namun dia telah dapat mewarisi kepandaian itu. Siangkoan Ci Kang duduk seperti arca, diam dan wajahnya membayangkan hati yang dingin dan tidak perdulian. Pakaiannya seperti ayahnya, amat sederhana, bahkan jubahnya terbuat dari kulit harimau yang kuat. Usianya baru delapan belas tahun, akan tetpi tubuhnya tinggi tegap. Pada saat itu dia duduk dengan sepasang alis berkerut seolah-olah ada sesuatu yang mengganjal hatinya dan membuat dia merasa tidak gembira. Dan memang sesungguhnya demikianlah. Sejak semula, dia sudah tidak setuju mendengar ayahnya memimpin Cap-sha-kui dan para tokoh sesat untuk menjadi antek pembesar korup Liu-thaikam. Dia tidak setuju, akan tetapi betapapun juga, sebagai seorang anak yang mencinta ayahnya, dia selalu membantu ayahnya, walaupun bantuan itu lebih merupakan perlindungan karena dia tidak pernah mau membantu kalau teman-teman ayahnya melakukan kejahatan. Dia tahu bahwa ayahnya adalah seorang datuk sesat, akan tetapi diapun tahu, bahkan merasa yakin, bahwa sesungguhnya ayahnya bukanlah orang jahat, melainkan orang yang diracuni dendam setelah kedua matanya menjadi buta. Ayahnya hanya ingin menonjol, ingin menjadi orang nomor satu dalam dunia sesat, dan dia merasa kasihan melihat ayahnya yang buta, juga kagum bahwa ayahnya yang buta itu ternyata masih mampu menguasai dan memimpin orang-orang sesat yang jahat seperti iblis macam gerombolan Cap-sha-kui itu.
Berturut-turut mereka datang dan kini sudah berkumpul di situ dengan lengkap. Semua tokoh Cap-sha-kui yang pernah bekerja sama dengan Siangkoan Lo-jin. Mereka adalah Koa-i Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, Kiu-bwe Coa-li, Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo, dan Tho-tee-kwi Si Setan Bumi. Memang hanya enam orang ini saja dari Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis) yang tersangkut dalam gerakan membantu Liu-thaikam yang dipimpin oleh Siangkoan Lo-jin. Sebenarnya Cap-sha-kui bukan merupakan suatu gerombolan dari tiga belas orang datuk sesat, akan tetapi mereka itu masing-masing memiliki nama besar dan keistimewaan sehingga dunia kang-ouw mengenal mereka sebagai Tiga Belas Iblis. Karena nama sebutan ini maka mereka, tiga belas orang tokoh sesat, merasa seolah-olah ada sesuatu yang mengikat mereka satu sama lain, yaitu nama itulah. Sedikit banyak nama sebutan Tiga Belas Iblis itu mendatangkan semacam perasaan setia-kawan dalam hati mereka. Akan tetapi, kecuali yang enam orang ini, yang lain dari mereka tidak tertarik dan tidak mau mencampuri urusan pemberontakan itu.
Mereka sedang bercakap-cakap dengan wajah muram dan lesu, membicarakan kegagalan mereka dan hancurnya persekutuan mereka dengan ditangkap dan dihukum matinya Liu-thaikam yang merupakan sumber uang dan harapan mereka untuk dapat meraih kedudukan. Terutama sekali Siangkoan Lo-jin menjadi kecewa dan penasaran sekali.
"Brakkk!" Dia menggebrak meja sampai ruangan itu tergetar oleh hawa pukulan yang keluar dari gerakannya. "Sungguh membuat orang bisa mati penasaran! Bagaimana untuk pekerjaan membunuh dua orang pejabat saja sampai gagal, bukan saja gagal, bahkan membuat usaha kita hancur dan Liu-thaikam sampai terhukum mati. Kegagalan itu sendiri tidaklah begitu menyedihkan, akan tetapi telah menyeret nama kita ke dalam lumpur. Masa kita, yang sudah dikenal sebagai tokoh-tokoh utama, sampai gagal dan hancur dalam usaha membunuh dua orang pejabat saja?"
Kui-kok Lo-mo yang mewakili teman-temannya berkata dengan suara lirih, jelas bahwa diapun jerih terhadap kakek buta itu. "Lo-jin, harap maafkan kami. Bukan sekali-kali karena kami kurang hati-hati. Semua rencana sudah kami atur sebaik-baiknya, bahkan kami dibantu oleh tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang. Akan tetapi sungguh menjemukan pemuda Cin-ling-pai itu! Dia pula yang menggagalkan rencana kita. Dia yang dahulu menyamar sebagai Menteri Liang, dan dia pula yang menylamatkan Jenderal Ciang dari dalam pesta Ang-kaumu. Dan ternyata bahwa pesta itupun agaknya telah diatur oleh pemuda itu untuk menjebak dan memancing kami. Kalau tidak ada pemuda itu, tentu tugas kami telah berhasil dengan baik semua."
Pemuda keparat itu pula yang telah menyelamatkan ketua Kang-jiu-pang Song Pak Lun ketika aku dan Hwa-hwa Kui-bo menyerbu!" kata Koai-pian Hek-mo dengan suara lantang dan marah.
"Bukan hanya pemuda putera ketua Cin-ling-pai, bahkan juga anak setan puteri Pendekar Sadis itu yang menghalangi pekerjaan kita!" Suara Kiu-bwe Coa-li melengking ketika ia ikut bicara. Semua orang menengok kepadanya dan ada yang terkejut.
"Anak Pendekar Sadis" Yang mana?" tanya Kui-kok Lo-bo, terkejut mendengar disebutnya nama Pendekar Sadis oleh rekannya itu. Juga suaminya nampak kaget.
"Hi-hik, sungguh lucu kalau sampai ketua Kui-kok-pang dapat dikibuli dah tidak mengenalnya. Aku sudah menyelidiki dan aku tahu rahasianya. Ia adalah pute-ri atau anak tunggal Pendekar Sadis, kadang-kadang ia memakai pakaian wa-nita biasa, kadang-kadang menyamar sebagai seorang pemuda jembel. Ilmu ke-pandaian gadis itu tinggi sekali, agaknya telah mewarisi semua kepandaian ayah ibunya," kata Kiu-bwe Coa-li, agaknya gembira karena suami isteri Kui-kok-san itu tidak tahu akan rahasia itu sehingga ia yang tahu berarti lebih waspada dan lebih cerdik daripada mereka.
"Aihh, perempuan setan itukah yang kaumaksudkan?" Hwa-hwa Kui-bo berseru kaget. "Apakah ia yang pernah kita jum-pai di kuil Dewi Laut di Ceng-tao?" Ia memandang kepada rekannnya, Koai-pian Hek-mo dengan mata terbelalak dan re-kannya itu mengangguk-angguk, merasa ngeri. Kakek iblis ini bersama Hwa-hwa Kui-bo pernah bertemu dan bertanding melawan seorang gadis yang luar biasa lihainya sehingga mereka berdua kalah. Kiranya gadis itu adalah puteri Pendekar Sadis! Memang, di antara para tokoh se-sat yang dijuluki Cap-sha-kui, dua orang tokoh ini memiliki tingkat kepandaian yang paling rendah maka biarpun mengeroyok, mereka itu masih belum mampu menandingi Sui Cin.
"Brakkk!" kembali Siangkoan Lo-jin menggebrak meja. Diam-diam dia menyesal sekali mengapa kedua matanya buta sehingga biarpun dia lihai akan tetapi dia tidak dapat menyaksikan sendiri semua itu dan tidak dapat mengenal kedua orang muda yang telah menggagalkan semua usahanya. Kini Liu-thaikam telah dihukum mati semua hartanya telah disita dan ini berarti bahwa usahanya yang dipupuknya selama ini berantakan sama sekali. "Sungguh amat menjemukan! Campur tangan dua orang muda saja telah membuat semua usaha kita gagal. Ci Kang, apakah engkau juga tidak mampu menandingi orang-orang muda itu?" tiba-tiba ayah itu menoleh ke kiri, bertanya kepada puteranya.
Sejak tadi Ci Kang mendengarkan percakapan mereka dengan alis berkerut. Mendengar pertanyaan ayahnya, diapun menarik napas panjang. "Aku sudah pernah bertemu dengan mereka, dan menurut penglihatanku, biarpun mereka itu merupakan dua orang muda yang memiliki kepandaian tinggi, namun tidaklah luar biasa!"
"Kalau begitu, mengapa usaha kita sampai gagal?" bentak ayahnya.
"Karena mereka berada di pibak benar dan di belakang mereka terdapat pasukan pemerintah!" jawab pemuda itu dengan singkat.
"Keparat! Tanpa sebab Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis memusuhi kita. Kita tidak boleh tinggal diam saja. Kita harus membalas dendam atas gangguan mereka ini!"
Enam orang tokoh Cap-sha-kui itu mengangguk-angguk, akan tetapi, tiba-tiba Tho-tee-kwi yang sejak tadi diam saja mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya. Raksasa yang tinggi besar dengan ukuran satu setengah kali orang biasa ini biarpun kasar dan liar, akan tetapi cerdik dan cukup berpengalaman sehingga dia tidak mau melakukan hal-hal yang sembono tanpa perhitungan.
"Heh, bukan aku takut menghadapi mereka, akan tetapi memusuhi ketua Cin-ling-pai dan terutama sekali Pendekar Sadis tanpa perhitungan, bukankah itu sama saja dengan menabrak batu karang dan kita mencari mati konyol!" Suaranya itu membuat para rekannya saling pandang dengan muka berobah agak pucat. Memang, bagaimanapun juga mereka sudah mendengar akan kehebatan tokoh-tokoh yang hendak mereka gempur itu, dan terutama sekali nama besar Pendekar Sadis membuat mereka harus menghitung sampai seratus kali sebelum turun tangan memusuhinya.
"Dalam hal ini, nama Cap-sha-kui tersangkut. Kalau kalian semua sebanyak tiga belas orang maju, apakah masih takut juga" Dan aku sendiripun tidak akan tinggal diam. Setidaknya, anakku Ci Kang akan mewakili aku untuk menghadapi anak-anak ketua Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis."
"Tidak, ayah, aku tidak mau!"
Ucapan Ci Kang ini membuat semua orang terkejut dan para tokoh Cap-sha-kui memandang dengan mata terbelalak kepada pemuda yang berani membantah ayahnya itu. Suasana menjadi sunyi sekali selama beberapa detik setelah Ci Kang mengeluarkan bantahannya, kesunyian yang mendebarkan hati.
"Apa..." Apa kau bilang tadi, Ci Kang?" Akhirnya terdengar suara Siangkoan Lo-jin, lambat dan lirih, akan tetapi penuh dengan kemarahan yang ditahan-tahan.
Siangkoan Ci Kang tetap tenang saja walaupun dia tahu bahwa ayahnya dan sekutu ayahnya itu tentu akan marah menghadapi pembangkangannya. "Aku tidak mau mewakili ayah untuk memusuhi Cin-ling-pai dan keluarga Pendekar Sadis."
Terdengar suara keras disusul meluncurnya sinar hitam dan tahu-tahu dinding di belakang tempat Ci Kang duduk berlubang disambar ujung tongkat kayu cendana. Kalau bukan Ci Kang, agaknya bukan dinding yang berlubang, melainkan tubuh orang yang telah berani membantah dan membangkang terhadap kehendak Si Iblis Buta itu. Melihat betapa tongkat itu menyambar cepat sukar diikuti pandang mata dan betapa besar bahaya maut mengancam kalau diserang oleh kekek buta itu, enam orang Cap-sha-kui diam-diam bergidik. Hebat bukan main kepandaian kakek buta itu dan mereka merasa gentar untuk menghadapinya sebagai lawan, walaupun mereka juga tahu bahwa dengan majunya mereka berenam, apalagi kalau lengkap tiga belas orang, kakek buta itupun belum tentu akan mampu melawan mereka.
"Ci Kang, apa artinya ucapanmu itu" Apakah engkau akan menjadi anak durhaka, mengkhianati ayahmu sendiri?"
"Tidak, ayah. Akan tetapi sejak dahulupun aku sudah tidak setuju dengan persekutuan ini. Ayah bermain api terlalu besar dan berbahaya dan kegagalan yang sudah semestinya menjadi peringatan agar ayah menghentikan semua kegiatan yang tidak sehat itu. Aku tidak suka melihat ayah melakukan kejahatan dan mengumpulkan orang-orang jahat untuk bekerja sama."
"Brakkk!" Ujung tepi meja itu hancur luluh dicengkeram tangan Siangkoan Lo-jin, sedangkan tangan sebelah yang memegang tongkat nampak gemetar. Kakek buta ini marah bukan main.
"Ci Kang, aku sudah tua dan aku sudah mempunyai rencana untuk mengundurkan diri dan mengangkat engkau sebagai penggantiku, memimpin para rekan di dunia hitam. Engkau harus lebih berhasil daripada aku, anakku, dan..."
"Maaf, ayah. Aku tidak sanggup, dan aku tidak mau melumuri hidupku dengan kejahatan dalam bentuk apapun juga. Aku tidak mau mengganggu orang lain..."
"Tutup mulutmu! Kau kira selama ini engkau makan apa kalau tidak hasil pekerjaan ayahmu" Kaukira dari mana kita memperoleh semua harta kekayaan..." Kakek itu menahan diri karena baru dia teringat bahwa di situ terdapat orang--orang lain yang mendengarkan sehingga tidak semestinya dia membuka semua ra-hasia keluarganya.
"Ayah, aku tidak menghendaki semua harta itu. Aku lebih baik hidup miskin dan tidak mempunyai apa-apa daripada harus mendapatkan harta kekayaan melalui kejahatan."
"Sombong engkau! Katakan saja eng-kau jerih dan takut terhadap Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis, engkau takut meng-hadapi manusia-manusia sombong yang menamakan diri mereka kaum bersih, go-longan putih atau para pendekar. Engkau pengecut, penakut..."
"Aku tidak takut kepada siapa juga, ayah. Akan tetapi kurasa penghidupan para pendekar itu jauh lebih bersih dari- pada penghidupan kaum sesat..."
"Anak durhaka...!" Tongkat hitam itu kini berkelebat menyambar ke arah kepala Ci Kang dengan pukulan maut yang amat dahsyat. Akan tetapi pemuda itu sudah mampu mengelak dan melempar diri ke belakang sehingga dia terjengkang, akan tetapi dengan berjungkir balik dia sudah meloncat bangun dan berdiri kembali. Akan tetapi ayahnya yang menjadi semakin marah karena serangan-nya gagal, telah menerjangnya lagi dengan tongkatnya, kini melakukan serangan yang lebih hebat lagi. Biarpun buta, namun Siangkoan Lo-jin memiliki pende-ngaran yang luar biasa tajamnya, jauh lebih tajam daripada orang lain, sehingga dalam menghadapi lawan, dia sepenuhnya bergantung kepada pendengarannya untuk mengikuti gerakan lawan dan mengetahui di mana lawan berada! Melihat ayahnya sudah nekat dan menyerangnya mati-matian, kembali Ci Kang mengelak dan me-loncat agak jauh dekat pintu.
"Ayah!" teriak Ci Kang penasaran. "Ayah sendiri dahulu menentang kejahatan dan karena dibikin buta, ayah lalu berubah dan menjadi pemimpin para datuk sesat. Kalau ayah hendak memaksaku menjadi penjahat, tidak cukup ayah mem-bikin buta, akan tetapi harus lebih dulu membunuhku!"
"Keparat, kalau begitu aku akan membunuhmu!" Siangkoan Lo-jin yang merasa kecewa dan menjadi marah sekali itu sudah meloncat ke arah puteranya dan menusukkan tongkatnya. Akan tetapi Ci Kang sudah menguasai semua ilmu ayahnya, maka diapun tahu akan kehebatan serangan itu, dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke kiri dan ketika dia turun ke atas lantai, kedua kakinya tidak menge-luarkan bunyi. Pemuda ini telah mempergunakan gin-kang yang paling hebat sehingga tubuhnya menjadi ringan sekali dan di situ dia berdiri tegak, sama seka-li tidak bergerak, bahkan pernapasannyapun ditahan dan diatur sehingga tidak mengeluarkan bunyi. Dia tahu akan kelemahan ayahnya yang hanya mengandalkan pendengaran, maka kini, setelah dia tidak mengeluarkan bunyi, ayahnya juga berdiri bingung, tidak tahu ke mana perginya Ci Kang!
"Anak durhaka, jangan lari kau! Di mana engkau" Kurang ajar! Heii, kalian ini apakah sudah berobah menjadi patung semua" Hayo bantu aku menangkap dan membunub anak durhaka itu!" Teriakan ini ditujukan kepada enam orang Cap-sha-kui yang sejak tadi hanya duduk diam saja dengan penuh perhatian dan kegembiraan melihat bentrokan antara ayah dan anak itu. Kini, mendengar bentakan Siangkoan Lo-jin mereka serentak bangkit. Akan tetapi mereka merasa ragu-ragu. Mereka mengenal Ci Kang, den selalu mereka segan kepada pemuda remaja putera Iblis Buta yang selain amat lihai juga pen-diam dan tidak banyak cakap itu. Kini pemuda itu memandang kepada mereka dengan wajah dingin dan mata berkilat membuat mereka menjadi gentar juga. Kalau mereka maju, kemudian ayah dan anak itu bersatu, mereka tentu akan ma-ti konyol.
"Lo-jin, puteramu berada di sebelah kananmu, dekat pintu keluar!" tiba-tiba Kui-kok Lo-mo berseru dan teman-te-mannya menjadi lega. Memang mereka tadi ragu-ragu dan kini mereka hendak melihat sikap anak dan ayah itu sebelum mereka turun tangan membantu Siangko-an Lo-jin. Begitu mendengar ucapan ini, tiba-tiba Siangkoan Lo-jin meloncat ke kanan dengan kecepatan luar biasa tong-katnya diputar dan dihantamkan ke arah kepala puteranya. Ketika Siangkoan Ci Kang mengelak, gerakannya terdengar oleh ayahnya dan ayah yang sudah marah ini lalu mengulur tangan kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala putera-nya. Suatu serangan yang amat berbaha-ya dan cepat, mengandung maut! Meng-elak dari serangan ini selagi tongkat itu mengancam dari lain jurusan, amat ber-bahaya dan jalan satu-satunya hanyalah menangkis, pikir Ci Kang. Dia sebetulnya tidak ingin menghadapi ayahnya dengan kekerasan, akan tetapi untuk melindungi dirinya dari tangan maut yang menceng-keram, terpaksa dia harus mengerahkan tenaganya menangkis.
"Dukk...!" Dua tenaga besar itu ber-temu dan akibatnya, Siangkoan Lo-jin be-rusaha meloncat ke belakang untuk mema-tahkan tenaga yang membuat dia terdorong ke belakang, sedangkan Ci Kang sendiri terlempar keluar pintu ruangan itu! Melihat betapa Siangkoan Lo-jin benar-benar hendak membunuh puteranya, enam orang Cap-sha-kui itu menjadi berani dan merekapun melakukan pengejaran keluar ruangan.
"Orang muda, perlahan dulu!" teriak Kui-kok Lo-mo yang melompat paling depan sambil mengirim serangan dengan kedua tangannya. Angin keras menyambar disertai uap tipis putih keluar dari kedua telapak tangan ketua Kui-kok-pang ini ketika dia menyerang ke arah Ci Kang.
"Jangan kalian mencampuri urusan pribadiku!" bentak Ci Kang dan diapun mengerahkan tenaganya, membalik dan mendorong untuk menyambut serangan lawan.
"Desss...!" Keduanya terpental dan Kui-kok Lo-mo terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa tenaga pemuda remaja itu benar-benar amat hebat dan mampu membuat dirinya terpental. Juga isterinya yang datang menyusul di belakangnya, terkejut melihat suaminya sampai terpental. Karena suami isteri ini kelihatan tercengang dan ragu-ragu, para tokoh sesat lainnya yang memiliki tingkat lebih rendah, menjadi ragu-ragu sehingga Ci Kang memperoleh kesempatan untuk meloncat keluar rumah dan melarikan diri.
Marahlah hati Siangkoan Lo-jin ketika memperoleh kenyataan bahwa puteranya berhasil lolos. "Kalian ini sungguh seke-lompok orang tak berguna. Kalian mem-biarkan anak durhaka itu lolos begitu sa-ja, tanpa mengejar?"
"Jangan salah mengerti, Lo-jin. Kami masih ragu-ragu untuk mengejar, karena bagaimanapun juga, dia adalah putera tunggalmu, kami masih belum yakin benar -apakah engkau hendak melihat dia terbunuh oleh kami," kata Kui-kok Lo-mo dengan cerdik.
"Bodoh! Siapa main-main! Daripada melihat anakku sendiri durhaka dan me-nentangku, lebih baik melihat dia mam-pus. Sekarang kuperintahkan kepada kalian, semua anggauta Cap-sha-kui, untuk selain memusuhi Cin-ling-pai dan Pende-kar Sadis, juga mencari dan menyeret a-nak durhaka itu ke depan kakiku agar a-ku dapat menghukumnya sendiri! Nah, pergilah kalian, aku tak ingin diganggu lagi!"
Enam orang itu lalu berkelebatan pergi dan kakek buta itu kini berada seorang diri di dalam ruangan. Dia berdiri seperti patung, termenung, dan dia membayangkan puteranya sebagai seorang pemuda yang gagah perkasa, yang menentang kejahatan sehingga namanya dipuja dan dikagumi semua pendekar di dunia kang-ouw. Tak terasa lagi, bibirnya yang kering itu tersenyum. Teringatlah dia akan dirinya sendiri. Menjadi seorang gagah yang dikagumi seluruh dunia adalah cita-citanya, dan karena cita-cita itu tidak terlaksana melalui kebaikan, dia hendak mengejar nama besar itu melalui kejahatan dengan memimpin kaum sesat dan menjadi orang jahat nomor satu! Kalau puteranya bisa menjadi orang yang paling menonjol dan terkenal, tidak perduli sebagai penjahat nomor satu atau pendekar nomor satu, dia akan merasa bangga!
Akan tetapi dia telah memerintahkan Cap-sha-kui untuk memusuhi anaknya! Ti-dak apa, memang seharusnya begitu. Ka-lau anakku itu ingin menjadi pendekar nomor satu, dia harus mampu mengha-dapi Cap-sha-kui, bahkan dia harus mam-pu membasmi Cap-sha-kui! Kalau anaknya yang tidak mau menjadi penjahat nomor satu itu tidak bisa menjadi pendekar nomor satu, biar anaknya mati saja daripada menjadi manusia yang tidak terkenal sama sekali!
Pemikiran seperti yang berada dalam batin Siangkoan Lo-jin itu mungkin akan kita anggap gila dan tidak lumrah. Akan tatapit kalau kita mau membuka mata mengamati kehidupan di sekeliling kita, akan kita temui bahwa hampir setiap orang tidak jauh bedanya dengan Siangkoan Lo-jin ini.
Kita semua ini haus akan kehormatan, haus akan penonjolan diri, bahkan watak ini sudah mendarah daging sehingga tidak terasa lagi oleh kita. Lihatlah betapa banyaknya orang yang dengan nada suara penuh kebanggaan menceritakan betapa kakeknya dahulu adalah seorang maling terbesar, seorang jagoan terbesar, seorang penjudi terbesar dan sebagainya" Mereka ini bercerita dengan nada suara sama bangganya dengan mereka yang menceritakan betapa kakek mereka dahulunya seorang yang paling terhormat, terkaya atau tertinggi kedudukannya. Juga, hampir semua orang menceritakan dengan bangga bahwa anaknya adalah yang paling nakal, paling bandel, dan sebagainya, sama bangganya dengan mereka yang menceritakan dengan suara malu-malu den rendah hati bahwa anak mereka adalah yang paling patuh, paling pintar dan sebagainya. Kita sudah berwatak ingin menonjolkan diri, diri sendiri atau perkembangan dari diri sendiri yang menjadi anakku, keluargaku, bangsaku dan selanjutnya.
Membayangkan betapa puteranya akan menjadi seorang yang amat terkenal, kakek itu terkenang akan keadaan dirinya sendiri yang serba gagal, dan dia lalu meraba-raba dengan tongkatnya, menemukan sebuah kursi, menjatuhkan dirinya di atas kursi dan menutupi muka dengan kedua tangan untuk menyembunyikan dua tetes air mata yang jatuh ke atas pipi.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Restoran itu cukup ramai dan besar dan malam hari itu restoran ini dikunjungi banyak tamu. Restoran Ban Lok memang merupakan sebuah restoran yang terkenal mempunyai masakan enak, paling terkenal di seluruh kota Cin-an. Ketika Ci Kang memasuki restoran itu, untung baginya dia masih kebagian meja yang paling sudut. Dia memasuki restoran, tidak perduli akan pandangan orang kepadanya, memang agak menyolok pakaian pemuda ini, tidak mewah seperti pakaian para tamu lain. Pakaian Ci Kang yang sederhana, dengan jubah kulit harimau, membuatnya nampak sebagai seorang pemburu, tidak ada keduanya di restoran itu. Ketika dia melewati serombongan orang yang duduk mengelilingi meja bundar besar, ada empat pasang mata yang memandangnya dengan senyum mengejek dan hidung agak dikembang-kempiskan seperti orang mencium bau busuk, akan tetapi ada dua pasang mata halus yang memandang kepadanya, ke arah wajahnya, dengan pandang mata kagum. Empat pasang mata yang terutama memandang kepada bajunya itu adalah mata empat orang laki-laki berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Mereka berpakaian mewah, akan tetapi sekali pandang saja tahulah Ci Kang bahwa mereka adalah orang-orang yang ter-golong penjahat yang suka melakukan hal-hal yang tidak baik untuk mencari uang. Dan dua pasang mata halus itu adalah mata dua orang wanita yang juga berpa-kaian mewah. Mereka itu adalah dua o-rang wanita muda yang usianya antara dua puluh tahun, cantik manis akan te-tapi melihat sikap mereka yang genit dengan gaya yang dibuat-buat untuk me-mikat hati orang, Ci Kang juga menge-nal sifat berandalan pada dua orang wa-nita itu dan dapat menduga bahwa me-reka tentu pelacur-pelacur yang dibawa ke restoran untuk pesta oleh empat o-rang itu yang agaknya baru saja mem-peroleh hasil banyak dari pekerjaan ko-tor mereka. Akan tetapi Ci Kang tidak perduli dan duduk memesan nasi, sayur dan air teh panas. Sudah menjadi watak-nya untuk tidak mencampuri urusan o-rang dan tidak memperhatikan orang lain. Sekali pandang saja dia sudah dapat melihat keadaan dan kalau tadi dia me-mandang ke arah enam orang itu hanyalah karena kewaspadaan saja, bukan ka-rena ingin tahu.
Setelah hidangan yang dipesannya datang, diantar oleh seorang pelayan, pada saat Ci Kang mengangkat muka untuk menerima hidangan itu, kembali dia melihat betapa dua orang wanita cantik yang genit-genit itu memandang kepadanya sambil tersenyum-senyum dan melempar kerling. Bahkan keduanya cekikikan sambil saling berbisik dan memandang kepadanya, jelas sekali mereka itu sedang membicarakan dirinya. Melihat ini, Ci Kang cepat menundukkan muka dan menghindarkan pertemuan pandang mata dengan mereka. Hatinya sedang murung dan sikap kedua orang wanita cantik itu menambah kemurungan hatinya. Dia masih belum dapat melupakan peristiwa yang terjadi di dalam pertemuan antara ayahnya dengan para tokoh Cap-sha-kui itu. Dia sungguh menyesali sikap ayahnya yang demikian keras dan kejam, bahkan tega hendak membunuhnya. Dia yakin benar akan napsu membunuh ayahnya ketika ayahnya menyerang dalam keadaan marah dan hal ini sungguh amat menya-kitkan hatinya. Dia merasa benar betapa ayahnya amat mencintanya, amat sayang kepadanya dan telah mencurahkan kasih sayangnya itu sejak dia kecil. Akan tetapi dia juga tahu bahwa ayahnya me-ngejar ambisi dan untuk itu, ayahnya da-pat bersikap dan berbuat kejam, seperti yang telah diperlihatkannya dengan cara hendak membunuhnya, putera kandung-nya sendiri.
"Heii, kalian melihat siapa sih" Kena-pa lirak-lirik dan senyam-senyum saja kepada orang itu?" terdengar seorang di antara empat pria itu menegur. Ci Kang mendengar ini dan sudah dapat menduga bahwa yang ditegur tentulah dua orang pelacur itu dan yang dimaksudkan dengan "orang itu" tentulah dia sendiri. Akan te-tapi dia terus makan minum dan tidak perduli.
"Percuma kami keluarkan banyak uang kalau kalian main mata dengan pria lain!" tegur suara kedua.
"Apakah pelacur-pelacur masih mata keranjang melihat orang muda dan tampan?" orang ketiga berkata.
"Uhh, biar muda dan tampan, kalau kotor seperti itu, sungguh menjijikkan. Agaknya tak
pernah berganti pakaian dan siapa tahu makanan itu takkan dibayarnya!" ejek orang keempat dan mereka berempat tertawa-tawa. Dua orang pelacur itupun ikut tertawa walaupun suara ketawa mereka itu paksaan atau terdorong oleh kegenitan mereka.
Tentu saja Ci Kang mendengar itu semua dan tahu bahwa mereka molontarkan hinaan-hinaan kepada dirinya, bahkan mendengar suara mereka meludah-ludah ketika orang keempat mengatakan dia kotor dan menjijikkan. Akan tetapi di dalam batin Ci Kang tersenyum, mentertawakan orang-orang itu karena dari sikap mereka itu mereka seperti memperlihatkan kepada umum orang-orang macam apa adanya mereka. Dia tidak mau melayani dan melanjutkan makan nasi dan sayur dengan cepat, lalu minum sedikit arak dan teh. Setelah selesai, diapun cepat membayar harga makanan dan hendak meninggalkan restoran yang masih banyak pengunjungnya itu.
Empat orang itu memang jagoan-jagoan yang terkenal bengis dan ditakuti orang di Cin-an. Maka, biarpun semua orang juga mendengar ucapan-ucapan mereka yang menghina orang, tidak ada yang mau mencampuri karena mencampuri urusan empat orang itu berarti mencari penyakit. Sedangkan empat orang jagoan itu memang tadi sengaja melontarkan kata-kata untuk menghina dan memancing kemarahan Ci Kang. Pemuda itu makan di restoran tidak mengganggu siapapun juga, bahkan tidak pernah menoleh kepada mereka, maka tidak ada alasan bagi mereka untuk mengganggu Ci Kang. Maka, karena hati mereka panas melihat betapa dua orang pelacur yang mereka bawa itu nampaknya tertarik kepada Ci Kang, mereka lalu melontarkan kata-kata hinaan untuk memancing agar pemuda itu marah-marah sehingga mereka mempunyai alasan untuk menghajarnya. Siapa kira, pemuda itu sama sekali tidak mau menyambut atau saking tolol atau takutnya tidak berani menjawab. Melihat betapa pemuda itu sudah bangkit dan hendak pergi, dan kini dua orang pelacur memperoleh kesempatan untuk memandang wajah pemuda itu dengan kagum, empat orang itu tidak dapat menahan kemarahan dan iri hati mereka. Setelah saling pandang dan mengangguk, mereka bangkit dari kursi mereka dan berloncatan menghadang Ci Kang yang hendak keluar dari restoran. Melihat ini, para tamu yang sudah mengenal empat orang jagoan itu menjadi ketakutan dan sebagian cepat menyingkir ke tempat yang agak jauh sambil memandang dengan hati khawatir.
Melihat empat orang itu berdiri menghadangnya, Ci Kang mengerutkan alisnya. Jelaslah bahwa empat orang yang menyeringai ini sengaja mencari keributan. Dia masih mencoba untuk menghindar dan mencari jalan keluar lain, akan tetapi gerakan ini oleh empat orang itu dianggap sebagai tanda takut, maka mereka lalu mengurungnya sambil tersenyum lebar. Ci Kang kehabisan jalan dan terpaksa dia mengangkat muka memandang mereka satu demi satu. Empat orang itu terkejut melihat sinar mata mencorong itu, akan tetapi karena sikap pemuda itu yang sejak tadi tidak pernah memperli-hatkan perlawanan membuat hati mereka menjadi besar. Mereka sengaja hendak berlagak di depan dua orang pelacur itu dan ingin membikin malu kepada pemuda yang agaknya telah menarik hati dan di-kagumi oleh dua orang pelecur yang me-reka sewa.
"Ha-ha-ha, bocah petani busuk, ber-sihkan dulu sepatu kami baru engkau bo-leh pergi dari sini!" kata seorang di an-tara mereka yang berkumis lebat. Tiga orang temannya tertawa sambil bertolak pinggang dengan sikap angkuh dan me-mandang rendah.
Ci Kang tidak marah, hanya merasa muak dengan sikap mereka. Tanpa mem-perdulikan mereka, dia lalu melangkah maju dan ketika si kumis tebal yang berada di depannya itu mengangkat tangan hendak memukul, dia tidak perduli den melangkah terus hendak menabrak tubuh si kumis tebal. Tentu saja si kumis tebal menjadi marah dan melanjutkan pukulannya ke arah kepala Ci Kang dan melihat ini, tiga orang kawannya juga sudah menggerakkan tangan menyerang Ci Kang da-ri kanan kiri dan belakang. Sekaligus, pemuda remaja itu diserang oleh empat orang dari empat jurusan, akan dipukuli begitu saja tanpa salah apa-apa.
Sejenak empat orang itu mengira bahwa pemuda itu takkan melawan dan akan mandah saja mereka pukuli karena tubuh Ci Kang same sekali tidak nampak bergerak atau bersiap melawan. Akan tetapi, ketika tangan empat orang itu sudah tiba dekat tubuhnya, tiba-tiba Ci Kang menggerakkan tubuhnya, mengangkat kedua tangan sambil memutar tubuh menggeser kaki dan terdengarlah suara tulang patah berturut-turut dan empat orang itu mengaduh-aduh sambil terpelanting ke belakang, jatuh dan memegangi tangan yang dipakai menyerang tadi karena lengan tangan itu telah patah-patah tulangnya ketika disambar tangan pemuda itu. Ci Kang sama sekali tidak memperdulikan mereka lagi. Seperti tidak pernah terjadi sesuatu, pemuda ini dengan wajah dingin dan langkah tenang meninggalkan restoran itu, diikuti pandang mata semua orang yang terbelalak penuh keheranan dan kekaguman. Empat orang itu seperti empat orang anak kecil yang karena tololnya memukul benda keras sehingga tangan mereka sakit sendiri. Akan tetapi merekapun maklum bahwa pemuda berwajah dingin yang hendak mereka jadikan korban penghinaan mereka itu ternyata adalah seorang pemuda yang sakti, maka merekapun hanya berani memandang dengan muka pucat karena gentar dan karena menahan rasa nyeri dan tidak berani mengejar.
Peristiwa di dalam restoran itu tentu saja menjadi buah bibir para tamu setelah mereka meninggalkan restoran, akan tetapi karena Ci Kang tidak pernah memperkenalkan nama, bahkan tidak pernah mengeluarkan sepatahpun kata dalam peristiwa itu, orang-orang hanya dapat menduga-duga siapa gerangan pemuda remaja berwajah dingin yang amat lihai itu.
Sementara itu, Ci Kang terus melanjutkan perjalanannya meninggalkan Cin-an pada malam hari itu juga karena dia tidak ingin dirinya terlibat lagi dalam keributan lain sebagai lanjutan dari peristiwa dalam restoran tadi. Sebagai putera seorang datuk sesat yang sudah banyak mengenal watak para penjahat, Ci Kang mengerti bahwa orang-orang macam penjahat-penjahat kecil seperti yang beraksi di restoran tadi, tentu mempunyai kepala atau pemimpin dan orang-orang semacam itu tidak pernah mau mengenal kelemahan sendiri. Mereka tentu tidak mau sudah begitu saja, melapor kepada kepala mereka atau mengumpulkan kawan-kawan mereka kemudian mencarinya untuk melakukan pembalasan. Orang-orang seperti itu tidak memiliki kejantanan sedikitpun juga, tidak malu-malu untuk mengandalkan pengeroyokan dan kecurangan lain. Oleh karena dia tidak ingin direpotkan oleh urusan tetek bengek macam itu, maka lebih baik dia pergi meninggalkan Cin-an malam itu juga, bukan karena takut melainkan karena segan berurusan dengan penjahat-penjahat kecil itu.
Ci Kang tidak pernah menduga bahwa urusan kecil di rumah makan itu memang tidak berhenti sampai di situ saja, melainkan mendatangkan akibat yang amat besar. Peristiwa itu menjadi buah bibir orang di Cin-an karena disebar oleh para tamu restoran yang menyaksikan keributan itu dan terdengar pula oleh enam orang tokoh Cap-sha-kui yang kebetulan pada keesokan harinya tiba di kota itu.
"Heh, tak salah lagi, pemuda berjubah kulit harimau itu tentulah Siangkoan Ci Kang," kata Kiu-bwe Coa-li.
"Benar, dan kita harus cepat mengejarnya!" kata Kui-kok Lo-mo.
"Mengapa" Apa perlunya kita mengejarnya?" tanya Tho-tee-kwi dengan suara tak acuh. Yang lain-lain juga memandang kepada kakek jubah putih itu. Selain tingkat kepandaiannya paling tinggi, juga Kui-kok Lo-mo selain berdua dengan isterinya yang juga amat lihai sehingga suami isteri ini dianggap sebagai pemuka oleh empat orang rekannya.
"Apa perlunya" Tentu saja untuk menangkapnya dan menyeretnya kepada Siangkoan Lo-jin, hidup atau mati." jawab Kui-kok Lo-mo.
"Mengapa kita harus mencampuri urusan ayah dan anak itu?"
Kembali yang bertanya itu adalah Tho-tee-kwi. Di antara empat orang rekan suami isteri dari Kui-kok-san itu, hanya raksasa inilah yang kelihatan tidak gentar menentangnya dan sikapnya selalu kasar, liar dan tak acuh. Tiga orang rekan yang lain menanti jawaban pertanyaan ini yang mereka anggap mewakili keraguan hati mereka sendiri untuk mencampuri urusan keluarga Siangkoan.
"Begitu bodohkah engkau maka hal itu saja engkau tidak mengerti" Apakah kalian merasa senang selalu diperkuda oleh Siangkoan Lo-jin" Cap-sha-kui yang selama ini merajalela dan merajai dunia persilatan, kini harus tunduk kepada seorang kakek buta! Lihat, di antara kita tiga belas orang, hanya kita berenam saja yang tolol dan mau saja diperkuda olehnya. Kalau kita tempo hari merendahkan diri dan mau membantunya, hal itu adalah karena harapan imbalannya yang amat besar, selain harta benda juga mungkin kedudukan tinggi yang akan kita terima dari Liu-thaikam. Akan tetapi sekarang" Liu-thaikam sudah tidak ada, untuk apa kita masih terus merendahkan diri di bawah kekuasaan kakek buta itu lagi?"
"Nah, kalau begitu, mengapa sekarang kita masih harus mentaati perintahnya untuk menyeret pemuda itu ke depan kakinya?" Hwa-hwa Kui-bo bertanya heran.
"Kakek buta itu tentu tidak akan mengampuni kita kalau mendengar bahwa kita menentangnya. Dan kakek itu sendiri sebetulnya hanya seorang tua bangka buta, betapapun lihainya. Yang membuat dia kuat adalah puteranya itu. Kalau dia dan puteranya maju bersama sungguh sukar untuk ditundukkan. Sekarang mereka itu saling bentrok. Kita harus dapat mempergunakan kesempatan yang baik ini untuk menghancurkan kekuatan ayah dan anak itu. Kalau kita sudah dapat membunuh anaknya, apa sukarnya bagi kita untuk menghadapi tua bangka buta itu" Dia telah menyeret kita ke dalam persekutuan itu, berarti telah merugikan kita, dan sudah cukup lama dia meremehken dan merendahkan kita sebagai pembantu-pembantunya. Sekaranglah tiba saat pembalasan kita!"
Kehidupan para kaum sesat sepenuhnya dipengaruhi oleh nafsu angkara murka dan dendam kebencian, maka pendapat Kui-kok Lo-mo ini segera mendapatkan persetujuan para rekannya dan berangkatlah mereka bergegas untuk mencari jejak Siangkoan Ci Kang dan melakukan pengejaran.
Tidak mengherankan kalau pada keesokan harinya, selagi Ci Kang berjalan sendirian di luar sebuah dusun yang sunyi, di bawah terik matahari, tiba-tiba saja dia mendengar orang-orang berteriak memanggil namanya dan ketika dia berhenti, dia tersusul oleh enam orang tokoh Cap-sha-kui yang kini berdiri di depannya dan setengah mengepungnya.
Ci Kang memandang heran dan mengerutkan alisnya. Sejak pertama kali orang-orang ini membantu ayahnya, dia memang sudah tidak suka kepada mereka. Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo amat menjemukan hatinya karena kedua orang kakek dan nenek ini seakan-akan berlomba untuk memikatnya. Kiu-bwe Coa-li adalah seorang nenek kejam yang mengerikan dengan tubuh dan wajahnya yang buruk, ditambah lagi suka bermain-main dengan ular, menjijikkan. Suami isteri dari Kui-kok-san itupun menimbulkan rasa muak karena mereka berdua itu seperti mayat hidup saja. Adapun Tho-tee-kwi yang suka makan daging manusia itu menjemukan hatinya.
"Ada keperluan apakah cu-wi memanggil-manggil dan menyusulku?" tanyanya singkat.
Yang menjawab adalah Kui-kok Lo-mo, mewakili rekan-rekannya, "Siangkoan Ci Kang, kami disuruh ayahmu untuk membawamu pulang."
Ci Kang mengangkat muka memandang kakek itu dan tahu akan adanya perubahan karena kakek itu biasanya tidak memanggil namanya begitu saja. Biasanya, mereka itu menyebutnya Siangkoan kongcu atau Siangkoan sicu dengan sikap dan nada menghormat.
"Kalau aku tidak mau?" tanyanya sebagai jawaban.
"Kami telah diberi wewenang untuk memaksamu dan membawamu pulang, hidup atau mati. Kalau engkau menolak, kami akan menggunakan kekerasan!"
Tanpa menanti jawaban Ci Kang, begitu Kui-kok Lo-mo berkata demikian, isterinya telah menerjang pemuda itu dengan tamparan tangannya yang mengandung hawa panas. Serangan ini dilakukan oleh Kui-kok Lo-bo dari samping kiri dan tangan kanannya menyambar ke arah pelipis kiri Ci Kang. Pemuda ini maklum betapa ampuhnya tamparan nenek itu, maka cepat diapun mengelak, dengan menggeser kaki ke belakang dan menarik tubuh atasnya ke belakang. Tamparan itu luput dan lewat di depannya sehingga terasa hawa panas menyambar mukanya. Pada saat itu, Kui-kok Lo-mo yang melihat isterinya sudah mulai menyerang, juga menerjang ke depan dan melakukan serangan yang tidak kalah ampuhnya. Ci Kang menangkis dan segera pemuda itu dikeroyok dua oleh suami isteri dari Kui-kok-san itu. Terjadilah perkelahian yang amat seru.
Tak dapat disangkal lagi bahwa Siangkoan Ci Kang adalah seorang pemuda re-maja yang istimewa, bakatnya menonjol sekali sehingga dalam usia delapan belas tahun dia telah berhasil menguasai semua ilmu ayahnya. Akan tetapi, dibandingkan dengan suami isteri itu tentu saja dia kalah pengalaman dan kalah latihan, ka-lah matang ilmu silatnya. Dan mengingat bahwa Kui-kok Lo-mo den Kui-kok Lo-bo adalah tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang tinggi ilmunya, tentu saja dikeroyok dua Ci Kang menjadi repot dan terdesak hebat. Andaikata suami isteri itu maju satu de-mi satu, agaknya tidak akan mudah bagi mereka untuk dapat mengalahkan Ci Kang. Akan tetapi begitu maju bersama, suami isteri yang tentu saja dapat beker-ja sama dengan baik sekali dalam serangan-serangan mereka, Ci Kang terdesak hebat dan lewat lima puluh jurus saja dia sudah terus mundur dan hanya mam-pu mengelak ke sana-sini sambil kadang-kadang menangkis, tidak mempunyai kesempatan untuk balas menyerang. Bahkan tubuhnya sudah menerima beberapa han-taman den tendangan yang berkat keke-balannya membuat dia belum juga dapat dirobohkan. Ci Kang yang keras hati itu tidak pernah mengeluh dan sama sekali tidak berniat untuk melarikan diri. Dia bertekad untuk melawan sampai mati. Pula, apa gunanya lari" Di situ terdapat enam orang tokoh Cap-sha-kui sehingga laripun, dalam keadaan terluka-luka, akan percuma saja. Dan diapun tahu bahwa ti-dak ada harapan baginya untuk lolos. Ba-ru suami isteri Kui-kok-san saja sudah begini hebat, apalagi kalau empat orang tokoh lain itu maju mengeroyok.
Melihat cara kedua orang suami isteri itu menyerang, dengan pukulan-pukulan maut, tahulah Ci Kang bahwa mereka itu menghendaki kematiannya, make diapun membela diri sebaik mungkin dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya, mengerahkan seluruh tenaganya. Hebat bukan main sepak terjang pemuda ini. Biarpun terdesak hebat, namun tidak mudah bagi suami isteri itu untuk merobohkannya. Lengah sedikit saja pemuda itu akan membalas serangan maut yang berbahaya.
Pada saat itu, entah dari mana da-tangnya, tiba-tiba saja di belakang Ci Kang berdiri seorang kakek tinggi kurus. Kakek ini bajunya tambal-tambalan, ta-ngan kanan memegang sebatang tongkat bambu kuning dan di punggungnya nam-pak sebuah ciu-ouw (guci arak). Kakek yang usianya kurang lebih enam puluh li-ma tahun ini memandang perkelahian sambil mengelus jenggotnya, lalu mengomel, "Terlalu, terlalu...! Suami isteri tua bangka mengeroyok seorang bocah ingusan. Sungguh terlalu...!"
Kemudian tiba-tiba dia menggerakkan tubuhnya sambil terus bicara, "Nah, anak baik, bagus begitu! Lawanlah, jangan mau kalah terhadap sepasang mayat itu. Pukul, nah, bagus, begitu haittt... begini... bagus!" Kakek jembel ini, seperti orang gila, lalu meniru-niru gerakan Ci Kang bersilat, akan tetapi karena tangannya memegang tongkat maka tongkatnya bergerak pula dengan lucunya. Dia bukan mengajari Ci Kang, melainkan menirukan gerakan Ci Kang yang berloncatan ke sana-sini mengelak dari serangan suami isteri itu.
Dan... terjadilah hal yang luar biasa sekali. Tiba-tiba saja suami isteri itu merasa betapa tangkisan tangan Ci Kang menjadi sedemikian kuatnya sehingga mereka merasa lengan mereka nyeri dan tubuh mereka terpelanting! Ada angin pukulan dahsyat keluar dari kedua tangan Ci Kang. Pemuda ini sendiri merasa heran, akan tetapi dia dapat menduga bahwa kakek jembel aneh itu telah membantunya dengan tenaga sakti yang luar biasa.
Sementara itu, empat orang tokoh Cap-sha-kui yang lain bukan orang-orang tolol. Kemunculan kakek jembel yang aneh ini dan terdesaknya suami isteri Kui-kok-san tentu ada hubungannya, pi-kir mereka. Tanpa banyak cakap lagi mereka berempat lalu maju menyerang kakek jembel yang masih mencak-mencak menirukan gerakan Ci Kang karena kini suami isteri itu sudah menyerang lagi.
Hwa-hwa Kui-bo menyerang dengan pedangnya yang beracun, ditemani Koai-pian Hek-mo yang menggerakkan senjata-nya, yaitu sebatang pecut baja yang ujungnya berpaku. Kiu-bwe Coa-li meledakkan cambuk hitam ekor sembi-lan, menyerang dari depan bersama Thio-tee-kui yang menggerakkan kedua lengan-nya sehingga dua buah gelang emas yang berat di kedua lengannya itu saling ber-adu mengeluarkan bunyi nyaring. Dike-pung empat orang tokoh sesat yang lihai ini, kakek jembel itu malah tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, bagus, bagus!" Dan tiba-ti-ba saja tubuhnya sudah berkelebatan di antara sinar senjata empat orang penge-royoknya yang bergulung-gulung itu. Ten-tu saja empat orang pengeroyok itu ter-kejut bukan main. Tak pernah mereka sangka bahwa kakek jembel itu sedemi-klan lihainya dan seperti pandai menghi-lang saja saking cepatnya dan ringannya gerakan tubuhnya. Ternyata kakek ini bu-kan hanya mampu menghindarkan diri da-ri sambaran senjata-senjata ampuh itu, bahkan dengan gerakan-gerakannya seper-ti tadi masih dapat pula membantu Ci Kang sehingga kini pemuda itu dapat membalas serangan kedua orang penge-royoknya karena setiap serangan kedua suami isteri itu selalu tertumbuk pada tenaga yang tidak nampak akan tetapi yang kuat sekali.
"Ha-ha-ha, menggembirakan sekali!" kakek itu menari-nari ketika senjata-sen-jata lawan berobah menjadi sinar bergu-lung-gulung dan menyambar-nyambar.
"Tar-tar-tarrr...!" Senjata cambuk hitam ekor sembilan dari Kiu-bwe Coa-li meledak-ledak, diselingi ledakan satu-satu dan nyaring dari cambuk baja di tangan Koai-pian Hek-mo.
"Singggg... tring-tringgg...!" Suara pedang di tangan Hwa-hwa Kui-bo dan sepasang gelang emas di lengan Tho-tee-kui juga terdengar nyaring membuat kakek jembel yang dikeroyok itu menjadi semakin girang seperti seorang anak kecil melihat permainan yang menarik.
"Tar-tar-tarr...!" Cambuk ekor sembilan di tangan Kiu-bwe Coa-li meledak-ledak di atas kepala kakek itu. Sembilan ekor cambuk itu seperti hidup, seperti sembilan ekor ular yang menyambar-nyambar turun. Akan tetapi kakek itu meng-gunakan jari tangannya menyentil setiap kali ujung cambuk menyambar. Tiga kali dia menggunakan telunjuk tangannya me-nyentil dan ekor cambuk itu menyeleweng dan melesat amat cepatnya ke a-rah tiga orang pengeroyok lain. Hal ini sama sekali tidak diduga-duga dan tahu-tahu Hwa-hwa Kui-bo, Koai-pian Hek-mo, dan Tho-tee-kwi berteriak kaget dan tu-buh mereka terpelanting berturut-turut karena tahu-tahu tubuh mereka sudah tertotok oleh ujung cambuk Kiu-bwe Coa-li yang disentil menyeleweng tadi. Melihat robohnya tiga orang itu, kakek jembel tertawa dan mengangkat kedua tangan depan dada, menjura ke arah Kiu-bwe Coa-li.
"Terima kasih, engkau baik sekali te-lah menolongku dengan cambukmu!" Kiu-bwe Coa-li masih terbelalak saking ka-getnya melihat betapa ujung cambuknya malah menotok dan merobohkan tiga orang kawannya sendiri, tiba-tiba merasa ada sambaran angin dari depan ketika kakek itu menjura. Dengan cepat ia hen-dak mengelak, akan tetapi tidak keburu dan ketika ia mengerahkan tenaga untuk melawan, tubuhnya terjengkang dan dada-nya terasa sesak, seperti telah dipukul o-rang dengan keras! Empat orang itu me-rangkak bangun dengan mata terbelalak. Mereka adalah tokoh-tokoh Cap-sha-kui, bagaimana mungkin dapat dirobohkan se-mudah itu oleh kakek jembel ini" Si ka-kek jembel tertawa-tawa.
"Ha-ha-ha, kalian memang amat baik hati, pantas kusuguhi arak!" Dan diapun menurunkan guci araknya, mendekatkan bibir arak ke mulutnya, minum beberapa teguk kemudian dia menyemburkan arak di mulutnya itu ke arah empat orang bekas lawan. Empat orang datuk itu terkejut dan berusaha menghindar, akan tetapi masih terasa oleh mereka betapa kulit tubuh mereka yang terkena percikan air yang disemburkan terasa nyeri seperti ditusuk-tusuk jarum. Bahkan percikan arak itu menembus baju mereka dan mengenai kulit.
Sementara itu, memperoleh kenyataan bantuan rahasia dari kakek aneh, kini Ci Kang mendesak kedua lawannya dan akhirnya dialah yang berada di pihak menyerang. Tiba-tiba terdengar suara kakek itu, "Tendang pantat mereka! Tendeng pantat mereka!" Aneh sekali, di dalam suara itu seperti terkandung tenaga mujijat yang membuat Ci Kang tak dapat menahan diri lagi dan kakinyapun menyambar dan menendang berturut-turut ke arah pinggul dua orang lawannya. Hebatnya, dua orang suami isteri itu tidak kuasa mengelak seolah-olah tubuh mereka terhalang sesuatu.
"Bukk! Bukk!" Dua kali kaki Ci Kang menendang dan dua orang suami isteri itupun terbanting ke atas tanah. Mereka berloncatan bangun sambil meringis dan setelah saling pandang dengan rekan-rekannya, mereka lalu melarikan diri tanpa berani mengeluarkan kata-kata lagi. Peristiwa itu terlampau hebat bagi mereka. Belum pernah selama hidup mereka dikalahkan orang secara ini. Akan tetepi, ketika kakek tadi menyembur dengan arak, wajah mereka pucat karena mereka teringat akan nama seorang yang selama ini dikabarkan sudah mati atau telah menjadi dewa, yaitu Ciu-sian Lo-kai (Jembel Tua Dewa Arak). Memang orang sakti ini tidak pernah muncul di dunia kang-ouw, akan tetapi ada beberapa orang tokoh kang-ouw pernah melihat kesaktiannya sehingga namanya dikenal sebagai seorang di antara tokoh-tokoh rahasia yang amat sakti. Maka, enam orang datuk sesat itu segera mengambil langkah seribu. Biarpun mereka itu sudah menjadi datuk yang berkedudukan tinggi, akan tetapi karena mereka adalah golongan sesat, maka melarikan diri bukanlah hal yang dipantang oleh mereka.
Ci Kang berdiri memandang sambil bertolak pinggeng, sama sekali tidak bergerak untuk melakukan pengejaran.
"Orang muda, kenapa engkau tidak mengejar mereka?"
Ci Kang menoleh kepada kakek jembel itu. "Kenapa aku harus mengejar mereka?" dia balas bertanya sambil memandang tajam kepada kakek jembel yang sakti itu, yang entah mengapa telah mencampuri urusannya dan membantunya. Harus diakuinya dalam hati bahwa kakek ini telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut dikeroyok orang-orang Cap-sha-kui tadi.
"Lhoh! Bukankah mereka tadi mati-matian hendak membunuhmu?"
"Benar, akan tetapi aku tidak ingin membunuh mereka."
Kakek jembel itu melangkah dekat dan memandang sambil tersenyum lebar, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar. "Orang muda, apakah engkau tidak menaruh dendam kepada mereka yang hendak membunuhmu?"
"Tidak, mereka suka kekerasan dan suka membunuh, aku tidak."
"Bagus! Andaikata mereka itu mem-bunuh ayahmu, apakah engkau juga tidak sakit hati dan mendendam?"
Ci Kang teringat akan ayahnya yang hidup sebagai datuk sesat. Kalau ayahnya terbunuh orang, hal itu hanya terjadi ka-rena kesalahan ayahnya sendiri. Orang yang suka bermain dengan api seperti ayahnya, kalau sekali waktu terbakar, ti-dak perlu penasaran lagi. Maka diapun menggeleng kepala.
Kakek jembel itu kelihatan semakin girang. "Wah, inilah orangnya yang kucari selama ini. Orang muda, engkau bernama Siangkoan Ci Kang, bukan" Engkau putera tunggal Siangkoan Lo-jin?"
Pemuda itu menjadi semakin heran dan dia mengangguk.
"Heh-heh, bagus! Ayahnya menjadi pimpinan kaum sesat mengumbar nafsu, puteranya malah bebas dari nafau den-dam. Siangkoan Ci Kang, baru saja kalau tidak ada aku, engkau tentu sudah mati di tangan badut-badut itu. Nah, untuk membalas budi itu, apa yang ingin kaula-kukan untukku?"
Ci Kang mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Locianpwe, walaupun locianpwe telah mengusir orang-orang yang mengeroyokku dan menyelamatkan aku, hendaknya locianpwe ingat bahwa aku tidak pernah minta tolong kepadamu. Jadi aku tidak berhutang budi atau apapun kepada locianpwe."
Orang lain tentu akan merasa pena-saran dan marah sekali mendengar jawab-an orang yang pernah diselamatkan nya-wanya seperti itu, akan tetapi sungguh kakek itu berwatak aneh. Dia malah ter-tawa senang! "Ha-ha-ha, cocok! Bagus! Tidak pernah hutang budi, tidak pernah menghutangkan budi, berarti tidak pula pernah mendendam. Ha-ha, orang muda, engkaulah orang yang kucari-cari!"
Ci Kang merasa semakin heran. Kakek ini sungguh luar biasa, tidak saja menge-tahui keadaannya, akan tetapi juga omongannya aneh dan sikapnya luar biasa.
"Mengapa locianpwe berkata demiki-an" Mengapa locianpwe mencari-cari a-ku?"
"Aku mencari murid dan engkaulah o-rangnya yang paling cocok. Orang muda, tidak kusangkal bahwa engkau telah memiliki ilmu silat yang tinggi dan jarang ada orang dapat menandingimu. Akan tetapi sayang, ilmu-ilmumu masih mentah. Tadipun andaikata ilmumu sudah matang, tanpa kubantu sekalipun engkau akan menang menghadapi para pengeroyokmu."
Ci Kang menggeleng kepala. "Tidak mungkin, locianpwe. Mereka itu adalah tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang berilmu tinggi. Bahkan ayah sendiripun agaknya tidak akan kuat kalau menghadapi pengeroyokan mereka."
"Ha-ha, engkau sudah melihat betapa dengan mudah aku menghadapi mereka. Siangkoan Ci Kang, mari kau ikut bersa-maku setahun saja dan aku akan mama-tangkan ilmumu."
Ci Kang mengerutkan alisnya, mempertimbangkan. Tentu saja dia yang sejak kecil belajar silat, merasa girang kalau sampai dapat menjadi murid kakek yang dia tahu memiliki kepandaian hebat ini. Akan tetapi diapun memiliki watak yang bebas, tidak mau terikat.
"Apakah locianpwe hendak mengambil murid kepadaku sebagai balas budi?"
"Ha-ha-ha, akupun seorang yang suka bebas dari pada segala macam hutang budi seperti
engkau. Aku ingin mengambil murid karena kulihat engkau berbakat sekali, dan karena aku merasa cocok dengan watakmu."
Giranglah rasa hati Ci Kang mendengar ucapan ini. Tanpa ragu-ragu lagi diapun menjatuhkan diri berlutut di depan kakek jembel itu. "Baiklah, suhu, teecu terima dengan gembira sekali."
Kakek itu juga merasa gembira bukan main. Sambil tertawa-tawa dia lalu menarik tangan Ci Kang dan diajaklah pemuda itu pergi dari situ untuk mulai menggemblengnya sebagai murid. Kakek itu adalah Ciu-sian Lo-kai, tokoh sakti aneh yang tak pernah muncul di dunia kang-ouw dan yang pernah mengunjungi Lembah Naga tempo hari. Seperti kita ketahui, Ciu-sian Lo-kai berbeda pendapat dan berbantahan dengan Go-bi San-jin tentang sikap Pendekar Cia Han Tiong mengenai dendam dan ikatan. Dan karena mereka meran sudah terlalu tua untuk saling gempur, keduanya lalu berjanji untuk mencari murid dan mendidik murid itu menurut pandangan hidup masing-masing, tentu saja dengan maksud untuk kemudian diuji siapa yang lebih berhasil. Go-bi San-jin lalu berhasil membujuk Cia Sun yang sedang dicekam dendam karena kematian ibu dan para suhengnya, sedangkan Ci Kang yang jemu dengan dunia hi-tam dan kejahatan, kini menjadi murid kakek jembel itu.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Pulau Teratai Marah merupakan sebuah di antara pulau-pulau kecil yang berada di Lautan Tiongkok Timur, beberapa li jauhnya dari pantai. Kalau dilihat dari pantai, hanya nampak bintik-bintik kecil di sebelah timur yang tidak menarik perhatian. Bahkan para nelayan hanya mengenal pulau-pulau kecil itu sebagai pulau-pulau kosong dan sebagian besar hanya merupakan pulau-pulau batu karang yang tiada gunanya karena tidak memiliki tanah subur, tidak memiliki air tawar. Akan tetapi ada beberapa buah pulau yang ditumbuhi pohon-pohon liar dan di antara pulau-pulau inilah yang dinamakan Pulau Teratai Merah. Pulau ini mempunyai tanah yang cukup subur, bahkan ada sumber airnya, dan ada bukit kecilnya. Dahulu, puluhan tahun yang lalu, pulau inipun hanya dilewati saja oleh para nelayan karena hanya terisi pohon-pohon liar dan binatang-binatang berba-haya. Akan tetapi, pulau ini telah dipi-hh oleh Pangeran Toan Su-ong, pangeran pelarian yang meninggalkan kota raja, seorang bangsawan yang menentang ke-luarga kaisar sendiri, dan seorang ahli silat yang amat pandai. Di pulau inilah Pangeran Toan Su-ong bersembunyi, hidup bersama isterinya yang tercinta, yang bernama Ouwyang Ci. Isterinya itu me-miliki kitab pusaka peninggalan Panglima The Hoo yang terkenal dan di tempat sunyi ini, Pangeran Toan Su-ong dan Ouwyang Ci yang menjadi isterinya, te-kun memperdalam ilmu silat, bahkan berhasil menciptakan Ilmu Hok-mo Sin-kun yang hebat. Di tempat itu pula mereka mempunyai seorang anak perempuan yang diberi nama Toan Kim Hong yang kemu-dian menjadi datuk selatan Lam-sin dan akhirnya menjadi isteri Pendekar Sadis (baca cerita Pendekar Sadis). Pangeran bersame isterinya itu membabat hutan di pulau itu, menanami tanah pulau itu de-ngan pohon-pohon yang berguna, sayur-sayuran, bahkan akhirnya mereka berdua menanam bunga-bunga, membuat telaga kecil dari air sumber yang dialirkan ke situ dan sebentar saja mereka dapat memperkembangbiakkan bunga teratai merah. Pulau itu berobah menjadi tem-pat yang indah dan subur dan mereka memberi nama Pulau Teratai Merah.
Demikianlah riwayat singkat Ang-lian-to (Pulau Teratai Merah) itu yang kini menjadi tempat tinggal Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya, Lam-sin Toan Kim Hong. Setelah Pendekar Sadis dan isterinya yang memang ahli waris pulau itu tinggal di situ, pulau itu menjadi semakin indah dan terawat baik. Apalagi karena pendekar ini mempergunakan belasan orang pelayan untuk merawat pulau, tempat itu menjadi sebuah pulau yang mewah. Ceng Thian Sin telah menjadi seorang yang kaya raya, memiliki sebuah bangunan gedung seperti istana di atas pulau. Para pembaca cerita serial Pendekar Sadis tentu maklum, be-tapa suami isteri pendekar ini telah memperoleh harta karun Jenghis Khan yang amat besar nilainya dan yang membuat suami isteri itu menjadi kaya raya.
Biarpun sudah lama suami isteri pendekar ini tidak mencampuri urusan dunia kang-ouw, melainkan hidup makmur dan tenteram di Pulau Teratai Merah, namun hal ini bukan berarti mereka mengasingkan diri dari pergaulan. Sama sekali tidak, karena keluarga Ceng ini mengadakan hubungan dengan kota Ning-po, kota pelabuhan terbesar di daratan yang terdekat dengan Pulau Teratai Merah. Para penghuni kota Ning-po, dari pembesar sampai kepada para pelayannya, tahu di mana letaknya pulau itu dan siapa keluarga yang tinggal di sana. Bahkan Pangeran Can Seng Ong yang menjadi gubernur di Propinsi Ce-kiang dan daerah selatan, berkenan datang berkunjung beberapa hari ke pulau indah itu dan menjadi tamu kehormatan keluarga Ceng. Terjalin persahabatan antara keluarga Ceng dan keluarga Can, apalagi setelah pangeran yang masih berdarah keluarga kaisar di kota raja itu mengetahui bahwa isteri Pendekar Sadis adalah keturunan Pangeran Toan Su-ong yang amat terkenal itu. Bagaimanapun juga, masih ada hubungan keluarga, biarpun jauh, antara keluarga Can Seng Ong dan isteri Pendekar Sadis. Selain itu, sudah beberapa kali suami isteri majikan Pulau Teratai Merah itu berjasa dengan beberapa kali mengusir dan membasmi penjahat-penjahat yang berani merajalela di Ning-po dan sekitarnya, yang tidak dapat ditanggulangi oleh para petugas keamanan.
Pada suatu siang yang panas, sebuah perahu kecil meluncur meninggalkan Pan-tai Ning-po menuju ke timur, ke arah pulau-pulau kecil yang nampak seperti titik-titik hitam itu. Perahu itu didayung gadis berpakaian sederhana dan setelah agak ke tengah, gadis itu me-ngembangkan layar yang segera menang-kap angin dan meluncurlah perahu itu dengan lajunya, dikemudikan tangan-ta-ngan kecil halus dengan sikap cekatan. Jelaslah bahwa gadis ini tidak asing dengan lautan dan perahu. Hal ini bukanlah aneh kalau diketahui bahwa gadis itu lahir dan dibesarkan di Pulau Teratai Merah. Gadis itu adalah Ceng Sui Cin!
Setelah peristiwa pembongkaran rahasia Liu-thaikam di istana selesai dan pembesar korup itu tertangkap dan dihukum mati, Sui Cin bersama Cia Hui Song meninggalkan kota raja. Tadinya Hui Song hendak mengantar Sui Cin sampai ke Pulau Teratai Merah karena pemuda yang sudah jatuh cinta ini selain ingin memperpanjang perjalanannya bersama dara itu, juga ingin berkunjung ke pulau itu bertemu dengan Pendekar Sadis dan isterinya yang sudah lama dia kagumi namanya itu. Akan tetapi Sui Cin mencegahnya.
"Twako, harap kau jangan dulu berkunjung ke rumah kami. Ayah ibuku akan marah kepadaku kalau membawa teman tanpa memberi tahu lebih dahulu. Tidak begitu mudah untuk mendatangi Pulau Teratai Merah tanpa mendapat perkenan ayah ibu. Aku sudah lama merantau meninggalkan mereka. Kalau aku pulang membawa teman tanpa lebih dahulu mendapat ijin, aku tentu akan kena marah. Lain kali saja engkau datang kalau aku sudah menceritakan tentang dirimu kepada mereka."
Hui Song merasa kecewa akan tetapi tidak berani memaksa. "Cin-moi, akupun tidak berani lancang mengunjungi Pulau Teratai Merah tanpa ijin orang tuamu. Biarlah aku mengantarmu sampai ke pantai dan engkau lebih dahulu menyeberang ke pulau dan melaporkan kepada orang tuamu. Kalau mereka setuju, baru aku akan ke sana. Bagaimana?"
Tentu saja tidak ada alasan bagi Sui Cin untuk menolak. Apalagi ia memang suka kepada pemuda yang jenaka dan lincah akan tetapi gagah perkasa dan berbudi ini. Ia tahu benar bahwa Hui Song mencintanya dan hal ini mendatangkan rasa senang di dalam hatinya, walaupun ia sendiri tidak tahu pasti apakah iapun mencinta pemuda ini. Ia suka kepada Hui Song, sebagai seorang sahabat, hal ini sudah jelas. Senang bekerja sama dengan pemuda yang gagah perkasa itu, melakukan perjalanan bersama, bersendau-gurau dan bicara tentang ilmu silat. Dan bagaimanapun juga harus diakuinya bahwa cintanya pemuda itu kepadanya menda-tangkan semacam rasa bangga dalam hatinya.
Mereka lalu melakukan perjalanan ke selatan dan setelah mereka tiba di kota Ning-po, Sui Cin berkata, "Song-twako, harap engkau suka menanti di kota ini lebih dulu. Paling lambat tiga hari aku pasti akan memberi kabar kepadamu, entah aku datang sendiri atau menyuruh pelayan, mengabarkan kepadamu apakah engkau sudah boleh menyeberang ke pu-lau ataukah tidak."
"Baik, Cin-moi. Aku menanti di peng-inapan ini, mudah-mudahan orang tuamu berkenan menerima kunjunganku. Selamat jalan, Cin-moi."
"Selamat tinggal, sampai jumpa kembali."
Sui Cin meninggalkan pemuda itu dan berlayar seorang diri menuju ke Pulau Teratai Merah. Wajahnya gembira sekali, berseri-seri dan senyum menghias bibirnya. Hatinya terasa nyaman dan gembira karena begitu ia berlayar menuju ke pulaunya, barulah terasa betapa sebetulnya ia merasa amat rindu kepada ayah bundanya, kepada pulaunya, bahkan rindu kepada air laut di mana ia biasa bermain-main semenjak ia kecil. Kini, setelah ia mangemudikan perahunya yang ngebut menuju ke timur, hatinya riang sekali. Dalam keriangannya itu teringatlah ia akan sajak yang dibuat ibunya dan yang dihafalnya ketika ia masih kecil. Kini, tak terasa lagi bibirnya bergerak dan terdengarlah alunan suaranya yang nyaring merdu di antara suara percikan air pecah dibelah ujung perahunya.
"Laut! Hidupmu penuh rahasia
airmu luas tak terjangkau mata
bergerak berobah tiada hentinya
tak berdaya namun penuh kuasa!
Kadang marah liar mengganas
kadang lembut halus dan lemas
kadang riang gembira penuh tawa
kadang meraung menangis penuh duka!
Laut! Penuh sgala
kemungkinan rahasia
cermin batin setiap manusia!
Dahulu, di waktu ia masih kecil, biarpun ia hafal akan kata-kata nyanyian itu, namun ia tidak mengerti apa yang termaksud dalam sajak itu. Memang penggambaran lautan itu dapat dimengerti. Lautan selalu berobah. Kalau sedang tenang halus, amat mentakjubkan karena indahnya, bagaikan sutera biru terhampar, atau bagaikan padang rumput segar tertiup angin, seolah-olah melambai mengajak orang menikmati keindahannya. Akan tetapi ada kalanya laut membuat ia berlari menjauh, bersembunyi aman di dalam rumah karena laut mengamuk, mengganas, mengeluarkan suara yang mengerikan, gelombang menderu meraung-raung, kadang-kadang menangis mendesis-desis, menggelegar menghantam batu karang di pantai, demikian perkasa dan menyeramkan. Akan tetapi hanya sampai di situ saja batas kemampuannya untuk menyelami arti sajak buatan ibunya itu. Bahkan setahun yang lalu ketika ia meninggalkan pulau, ia masih tidak perduli akan isi sajak itu, tidak berminat untuk menyelami artinya lebih mendalam. Akan tetapi sekarang, pada saat ia bernyanyi, artinya meresap ke dalam kalbu dan ia mengerti sepenuhnya akan isi kalimat terakhir dari sajak itu. "Laut! Penuh segala kemungkinan rahasia, cermin batin setiap manusia!"
Memang ada gerakan tiada hentinya dalam batin manusia, seperti lautan. Kadang-kadang manusia dapat bersikap lembut, terkadang ganas dan kejam, dan selama ini ia sudah melihat betapa banyaknya manusia melakukan kekejaman-kekejaman dan kebuasan yang lebih mengerikan daripada kebuasan lautan!
Baru saja Sui Cin menghentikan nyanyiannya, perhatiannya tertarik oleh beberapa buah perahu yang agaknya baru saja meninggalkan Pulau Teratai Merah. Sebuah perahu besar mewah dikawal oleh empat buah perahu kecil. Begitu melihat perahu besar itu, Sui Cin tersenyum. Tentu saja ia mengenal perahu mewah yang berbendera besar itu. Perahu siapa lagi kalau bukan perahu Pangeran Can Seng Ong yang menjadi gubernur atau Raja Muda dan mempunyai rumah di Ning-po itu! Ia mengenal keluarga itu, juga me-ngenal putera tunggal raja muda itu, se-orang yang usianya lima enam tahun lebih tua daripada usianya dan yang disukainya karena pemuda bangsawan yang bernama Can Koan Ti itu wataknya ceriwis, suka menggodanya dengan sikap yang kurang ajar! Akan tetapi dalam pergaulan biasa, tentu saja ia tidak me-nyatakan sikap tidak senang itu, karena ia maklum bahwa orang tuanya adalah sahabat baik keluarga Can. Agaknya yang membuat ia tidak suka adalah kemewahan yang terlalu berlebihan itu. Ibunya sendiri seorang wanita cantik jelita yang pesolek dan suka mengenakan pakaian-pakaian indah, demikian pula ayahnya. Dan keluarga Can itu seolah-olah berlomba dalam menonjolkan kekayaan mereka. Hal-hal inilah yang tidak disukai Sui Cin. Entah bagaimana, ia tidak suka bersolek, tidak suka menonjolkan kekayaan dan kadang-kadang selagi ia kecil, ia ngambek kalau oleh ibunya dipaksa mengenakan pakaian-pakaian indah. Ia lebih mengutamakan keenakan pakaian yang menempel di tubuh daripada keindahannya. Karena ini-lah maka Sui Cin seringkali memakai pakaian yang aneh-aneh dan nyentrik, semata-mata dilakukan bukan untuk menarik perhatian, melainkan karena ia mengutamakan keenakan pada pakaian yang dipa-kainya itu.
"Haiii... Ceng Siocia...!" Tiba-tiba terdengar seruan dari perahu besar dan seorang laki-laki menjenguk dari atas pagar besi di tepi geladak perahu. Orang itu berusia kurang lebih dua puluh dua tahun. Wajahnya tidak berapa tampang akan tetapi karena dia pesolek, dengan kulit muka biasa dibedaki, rambut tersisir rapi dan mengkilat karena minyak, pakaiannya mewah sekali, maka dia nampak sebagai seorang pria yang ganteng. Sui Cin segera mengenalnya karena pemuda itu bukan lain adalah Can Koan Ti, putera tunggal Raja Muda Can Seng Ong atau gubernur Ce-kiang itu. Bertemu dengan orang yang sudah dikenalnya setelah lebih dari setahun berpisah mendatangkan kegembiraan. Sui Cin segera melupakan sifat-sifat yang tidak disukanya pada diri putera pembesar itu dan iapun melambaikan tangan.
"Heiii, Cong-kongcu... selamat berjumpa!" teriaknya riang.
Pemuda itu melambaikan tangan dengan gembira, lalu terdengar suaranya nyaring dan sengaja dinyaringkan karena perahu mereka sudah meluncur berpapasan, "Haiii... engkau semakin cantik saja..."
Sui Cin cemberut. Kiranya belum sembuh juga penyakit laki-laki itu, pikirnya. Ia hendak memaki dan sudah mengerahkan khi-kang untuk berteriak agar terdengar dari perahu besar yang sudah jauh, akan tetapi pada saat itu, banyak kepala nongol di tepi perahu itu sehingga ia melirihkan suaranya agar tidak terdengar banyak orang, "Engkau... ceriwis dan brengsek...!"
Karena gadis itu tidak mempergunakan khi-kang ketika berteriak, tentu saja suaranya tidak dapat mencapai perahu besar yang sudah lewat agak jauh. Can Koan Ti merasa penasaran tidak mendengar apa yang diucapkan dara jelita itu, maka diapun berteriak, "Apaaaa..." Kau bicara apa, nona...?"
Akan tetapi Sui Cin hanya memoncongkan mulut mencibirkan bibir saja. Melihat ini, pemuda bangsawan itu menjadi gemas. Awas kau, pikirnya, kalau sudah menjadi milikku, kugigit bibirmu itu!
Sui Cin tertawa-tawa kecil, senang hatinya sudah dapat menggoda pemuda bangsawan itu. Aneh, kenapa aku menjadi marah karena dipuji cantik" Ah, bukan pujiannya yang membuatnya marah, melainkan sikap pemuda itu, dan mungkin juga tergantung dari siapa yang memujinya. Kalau memang hati sudah tidak suka, biar dipujipun mungkin saja dianggap melakukan kekurangajaran. Sebaliknya kalau hati suka, biar dikurangajari sekalipun mungkin akan dianggap sebagai pujian yang menyenangkan!
Sui Cin sengaja memutar perahunya dan menghampiri Pulau Teratai Merah dari arah selatan karena di bagian sela-tan dari pulau itu terdapat sebuah taman laut yang amat indah. Di waktu air laut sedang tenang, dari atas perahu dapat nampak ikan-ikan di bawah permukaan air yang tidak begitu dalam dan dasar laut itupun penuh dengan batu dan bunga karang yang amat indah dan beraneka warna. Ketika tiba di tempat ini, Sui Cin tidak dapat menahan keinginan hatinya untuk menikmati tempat itu. Ia menoleh ke kanan kiri. Sunyi. Memang tidak ada nelayan berani mendekat Pulau Teratai Merah tanpa seijin orang tuanya, dan a-yah bundanya melarang para nelayan mendatangi taman laut itu. Setelah merasa yakin bahwa di situ tidak terdapat orang lain, Sui Cin lalu membuang jangkar, menggulung layar, menanggalkan pakaian luarnya kemudian juga pakaian dalamnya. Dengan bertelanjang bulat ia mengikat rambutnya di atas kepala dan terjunlah ia ke dalam air. Ia menyelam dan segera ia memasuki keadaan yang hanya dapat dibayangkan dalam mimpi. Sebuah alam yang amat indah, beraneka warna, ada bintang-bintang berwarna, ada bunga-bu-nga raksasa dengan warna menyolok, ada ikan-ikan yang warnanya berkilauan dan bentuknya beraneka macam, ada yang teramat aneh dan menyeramkan. Ia menye-lam, hanya timbul untuk berganti napas dan menyedot hawa murni sebanyaknya, menyelam lagi dan tanpa dirasakan telah satu jam lebih ia bermain-main di tem-pat itu, suatu kebiasaan yang dahulu menjadi kesukaannya sebelum ia pergi me-rantau. Setelah ia merasa lelah dan puas, baru ia naik ke perahunya, mengeringkan tubuh dan rambut, lalu mengenakan lagi pakaiannya. Dan hatinya kini menjadi semakin riang, wajahnya semakin cerah ke-tika ia mengemudikan perahunya menuju ke Pulau Teratai Merah.
Biarpun Pulau Teratai Merah tidak pernah dijaga ketat karena keluarga Ceng tidak takut akan ancaman bahaya, namun para pelayan mereka yang rata-rata me-miliki kepandaian silat lumayan itu sela-lu bersikap waspada. Oleh karena itu, ti-dak mengherankan apabila mereka sudah tahu akan kedatanan nona mereka dan hal ini segera mereka laporkan kepada majikan mereka. Itulah sebabnya ketika Sui Cin muncul di ruangan depan rumah gedung keluarganya, ayah ibunya telah berdiri menyambut dengan senyum gembira.
"Ayah...!" Sui Cin berlari dan memeluk ayahnya, sejenak menempelkan mukanya di dada yang bidang itu. Jari-jari tangan ayahnya mengelus rambutnya, mendatangkan rasa senang dan tenteram di hati. Ia lalu mengangkat mukanya, memandang wajah ayahnya yang masih ganteng itu sambil tersenyum.
"Engkau baik saja, bukan?" Ayahnya bertanya halus.
Sui Cin mengangguk, lalu melepaskan dirinya dan menghampiri ibunya, terus merangkulnya, "Ibu...!"
Toan Kim Hong memeluk anaknya dan menciumi pipinya. "Anak bengal, terlalu lama kau pergi, membuat kami merasa rindu sekali."
Sui Cin juga menciumi muka ibunya yang amat cantik itu.
"Ihh, rembutmu basah! Bau air laut pula! Dan pakaianmu... hemm, kenapa engkau memakai pakaian seperti... seperti jembel...!" Wanita itu menegur dan alisnya berkerut. Sebagai seorang ibu yang suka akan pakaian indah, tentu saja hati nyonya ini merasa kecewa melihat puteri tunggalnya berpakaian yang dianggapnya jorok dan terlalu sederhana, pantasnya pakaian wanita petani miskin.
Sui Cin melepaskan rangkulannya, melangkah mundur tiga tindak dan memandang ayah ibunya. Baru sekarang ia melihat betapa pakaian orang tuanya amat mewah, lebih indah daripada biasanya den teringatlah ia bahwa tentu ayah ibunya belum berganti pakaian setelah tadi menerima tamu agung, yaitu keluarga Raja Muda Can itu. Timbul rasa tidak senangnya akan kemewahan ayah bundanya dan ia berkata dengan nada mengejek dan senyum dibuat-buat.
"Wah, pakaian ibu dan ayah indah sekali, baru dan mewah seperti pakaian kaum bangsawan saja!" Memang pakaian yang dikenakan suami isteri itu indah dan mewah. Ceng Thian Sin yang telah berusia empat puluh enam tahun itu ma-sih nampak muda dan gagah, tubuhnya tegap dan sehat, wajahnya berseri dan kepalanya memakai sebuah topi yang ba-gus, dihias bulu. Pakaiannya dari sutera halus biru dan putih, rapi dan mewah se-perti pakaian seorang hartawan aseli, se-patunya mengkilap dan baru. Toan Kim Hong lebih mewah lagi. Rambutnya di-sanggul di atas, dihias emas dan permata berbentuk sebuah mainan naga kecil, ke-dua telinganya dihias anting-anting mu-tiara besar, juga kalung batu-batu per-mata tergantung di luar bejunya yang amat indah. Gaun itu disulam gambar se-ekor burung hong dari benang emas, se-suai dengan namanya "Kim Hong" yang berarti burung hong emas! Wajah wanita yang sebetulnya dua tahun lebih tua dari suaminya ini masih nampak seperti wanita tiga puluh tahunan saja, cantik manis dan kulitnya putih halus. Sungguh sukar dipercaya bahwa wanita yang begini cantik jelita pernah menjadi Lam-sin, datuk selatan yang ditakuti semua golongan hitam.
Toan Kim Hong merasakan nada suara mengandung ejekan itu. Sepasang alisnya berkerut ketika ia berkata, "Sui Cin! Tidak pantas engkau mengejek orang tuamu! Tidak pantas pula engkau mengenakan pakaian semacam ini! Engkau tentu tahu siapa ayahmu, dan dari mana datangnya nama keluarga Ceng. Ayahmu masih berdarah keluarga kaisar! Kakek ayahmu adalah mendiang Kaisar Ceng Tung, maka memang sudah sepatutnya kalau keluarga kita adalah keluarga bangsawan. Dan ayahku sendiri adalah seorang pangeran yang tidak rendah kedudukannya. Keluarga Toan adalah keluarga bangsawan pula. Maka, tidak perlu engkau mengejek."
Thian Sin memegang lengan isterinya dan merangkul pundak puterinya. "Sudah-lah, masa anak baru datang dimarahi. Dan engkau, Cin, tidak baik bersikap se-perti itu kepada ibumu. Mari kita bicara di dalam. Kami ingin menyampaikan be-rita penting sekali mengenai dirimu."
Mereka bertiga lalu berjalan masuk dan suasana antara ibu dan anak itu sudah pulih kembali. Mereka masuk ke ruangan dalam di mana tidak ada pelayan yang berani masuk tanpa dipanggil dan duduklah keluarga yang terdiri dari tiga orang itu.
"Dalam perjalanan pulang tadi, di tengah lautan aku bertemu dengen perahu Raja Muda Can. Agaknya dia berkunjung ke sini, benarkah, ayah?" Sui Cin bertanya, teringat akan perjalanannya tadi.
"Benar," jawab ayahnya. "Memang keluarga Can tadi berkunjung ke sini dan justeru urusan dengan mereka itu yang ingin kami ceritaken kepadamu!"
Sui Cin mengerutkan alis. "Tadi ayah bilang akan menyampaikan berita penting mengenai diriku...?"
"Ada hubungannya dengan kunjungan keluarga Raja Muda Can..." kata ibunya.
Sui Cin memandang kepada ayah ibunya yang kelihatannya ragu-ragu untuk bicara. "Apakah yang terjadi" Apa hubunganku dengan keluarga Can" Ayah, katakanlah!"
Suami isteri itu saling pandang dan dalam pertemuan pandang mata itu tahulah Pendekar Sadis bahwa isterinya dalam keadaan terharu dan menghendaki agar dia yang menyampaikan berita itu kepada anak mereka.
"Anakku, tahukah engkau berapa usiamu tahun ini?" tanyanya, ingin menyampaikan berita itu secara halus dan memutar.
"Usiaku?" Sui Cin memandang heran. "Ayah tentu tahu, usiaku hampir enam belas tahun..."
"Hemmp, sudah dewasa anakku sekarang," Toan Kim Hong berkata.
"Apa hubungannya aku dan usiaku dengan keluarga Raja Muda Can" Ahhh... aku tahu... ahh, si keparat, agaknya mereka datang untuk meminang aku, begitu-kah ayah dan ibu?"
"Sui Cin, hati-hati dengan mulutmu itu!" Ibunya menghardik. "Keluarga Can adalah keluarga bangsawan dan pembesar yang terhormat dan mereka datang meminangmu merupakan suatu kehormatan besar bagi kita, bagaimana engkau berani mengeluarkan kata makian?"
"Sui Cin, bersikaplah tenang dan hadapi segalanya dengan pikiran yang matang, jangan terlalu mudah menurutkan perasaan suka atau tidak suka dan dengarkan kata-kata kami." Suara Pendekar Sadis terdengar tegas dan Sui Cin menunduk.
"Maafkan, ayah." Iapun insyaf bahwa sikapnya memang tidak sepatutnya. Ia sudah dewasa, bukan anak kecil lagi dan ia harus dapat menghadapi segala sesuatu dengan tenang seperti yang dimaksudkan ayahnya.
"Sui Cin, keluarga Can memang datang berkunjung untuk mengajukan pinangan atas dirimu. Engkau tahu bahwa keluarga itu adalah keluarga yang terhormat, seorang wakil kaisar untuk daerah selatan, seorang pangeran yang menjadi raja muda, selain berdarah bangsawan tinggi, juga kaya raya dan kedudukannya tinggi terhormat. Dan puteranya, Can-kongcu adalah seorang pemuda yang terpelajar dan halus budi. Tak perlu kuceritakan banyak karena engkaupun sudah mengenalnya."
"Dan ayah ibu sudah menerimanya?" tanya Sui Cin, jantungnya berdebar te-gang.
"Kami menyambutnya dengan baik dan biarpun di dalam hati kami merasa setuju sekali, akan tetapi kami ingin menanti sampai engkau pulang, jadi kami belum mengambil keputusan menerimanya. Keluarga Can yang bijaksana mengerti keadaan kami karena engkau tidak berada di rumah dan mereka menanti sampai engkau pulang."
"Terima kasih, ayah dan ibu, dan memang tidak perlu diterima pinangan itu karena aku tidak mau."
"Apa?" Ceng Thian Sin bangkit berdiri. "Engkau tidak mau" Mengapa?"
Sui Cin menentang pandang mata ayahnya yang kelihatan tidak senang. "Tidak apa-apa, hanya aku tidak suka dan tidak disuka menjadi isteri Can Koan Ti yang ceriwis itu!"
"Sui Cin, jangan sesombong itu engkau!" Kini ibunya bangkit berdiri dengan sikap marah. "Can-kongcu orangnya baik hati dan ramah, dan engkau memakinya ceriwis! Kami hendak mengangkatmu menjadi seorang yang terhormat dan mulia, akan tetapi engkau menolaknya mentah-mentah! Apakah engkau ingin menjadi perawan tua" Apakah engkau ingin membikin malu orang tua dengan penolakan ini, padahal kami sudah bersikap menerima dan setuju terhadap mereka?"
Melihat ayah ibunya bangkit berdiri dengan sikap marah, Sui Cin juga bangkit berdiri menghadapi mereka. Hatinya terasa panas dan ia merasa dipojokkan. "Ibu sekarang sudah berusia empat puluh tahun lebih dan aku baru enam belas tahun, berarti bahwa ibupun tentu bukan berusia muda ketika menikah dengan ayah. Mengapa hendak memaksa menikah dalam usia enam belas tahun dan khawatir aku menjadi perawan tua?"
"Jangan bawa-bawa masa muda ibumu!" Kini Toan Kim Hong menudingkan telunjuknya dengan sikap marah. "Memang aku telah berusia dua puluh tiga tahun ketika menjadi isteri ayahmu, akan tetapi justeru kami tidak ingin melihat engkau seperti kami di masa muda. Kami ingin melihat engkau kembali kepada kedudukan yang wajar dan pantas bagi seorang keturunan bangsawan seperti engkau, menjadi orang terhormat dan mulia. Dan menjadi mantu Raja Muda Can adalah kedudukan yang paling baik yang akan pernah dapat kaumiliki, kecuali kalau engkau dapat menjadi mantu kaisar yang takkan mungkin terjadi!"
Sui Cin menjadi semakin tak senang. Perut dan dadanya terasa panas dan darahnya bergolak. Iapun bertolak pinggang dan alisnya berkerut ketika ia memandang ayah ibunya. "Jadi... ayah dan ibu hendak memaksaku?"
Melihat ketegangan memuncak, Thian Sin melerai. "Bukan sekali-kali kami hendak memaksamu, anakku. Kami hanya minta agar engkau suka memikirkan secara mendalam semua kata-kataku dan kata-kata ibumu. Engkau tentu tahu betapa besar cinta kami terhadap dirimu, dan kami hanya berusaha untuk membuatmu berbahagia," kata-katanya halus menghibur, membuat Sui Cin rasanya ingin menangis.
"Kalau ayah dan ibu ingin melihat a-ku berbahagia, janganlah memaksaku ka-win dengan
siapapun juga. Tunggu sam-pai aku berusia dua puluh tahun lebih, seperti ibu dahulu. Aku tidak suka, ayah, aku tidak mau menikah dengan orang she Can itu. Pendeknya, aku tidak suka menikah dengan orang bangsawan."
"Ehh...?" Toan Kim Hong berseru marah. Ia sendiri adalah puteri seorang pangeran, walaupun pangeran buangan atau pengasingan, dan sejak kecil ia sudah merindukan kemuliaan itu yang kini hampir tercapai kalau puterinya menjadi mantu Raja Muda Can. Dan kini puterinya itu malah mengatakan tidak suka menikah dengan orang bangsawan! "Kenapa engkau tidak suka menikah dengan orang bangsawan" Kenapa" Hayo jawab, tentu ada alasannya."
"Karena aku benci! Aku benci pada o-rang-orang bangsawan. Mereka itu tinggi hati,
sombong dan korup! Aku benci ke-pada pembesar-pembesar yang korup, ma-cam Liu-thaikam sehingga aku membantu para penentangnya sampai akhirnya dia jatuh."
"Hemm, jadi engkaukah satu di antara mereka yang berhasil menjatuhkan o-rang she Liu itu?" Toan Kim Hong yang tadinya marah-marah kini berkata lunak karena hatinya merasa girang dan bangga sekali. Berita tentang kejatuhan Liu-thai-kam sudah mereka dengar dari keluarga Can yang memuji-muj