Bara Naga 10
Bara Naga Karya Yin Yong Bagian 10
ekilas lirik Siang Cin sudah melihat jala yang menyambar dirinya ini dihiasi ribuan
benda runcing bergantol mirip pancing, sebat sekali ia menggeser mundur, lalu
dengan gerakan yang lebih cepat pula ia mendesak maju pula, sekali bergerak, sepuluh jurus
pukulannya secara berantai telah dilancarkan.
Begitu cepat pukulannya, ganas dan keji, semuanya mengincar tempat yang
mematikan. Kaget si nyonya baju hitam dan melompat menyingkir dengan menjerit heran.
Segera Sebun Tio-bu doyong ke samping, ke dada seorang yang menerjang maju
kena dikepruknya remuk, dengan cara yang sama kembali dia merobohkan seorang lawan,
di tengah suara gedebukan gara2 korbannya yang terbanting roboh itu, dia bergelak
tertawa: "Janda hitam, Lo-sat-bong (jala kuntilanak) andalanmu ini jangan harap akan
menjaring sang jejaka ganteng seperti dia."
Wajah si nyonya baju hitam yang kaku menghijau seketika berubah jengah, beruntun
ia mainkan jaringnya, dengan gusar dia membentak: "Kau, siapa kau" Darimana kau
mengenalku'"
Sebun Tio-bu tertawa, katanya: "Siapa yang tidak kenal adik tua perempuan To hayliong
Giam Ciang, tertua Sio-lian-su-coat dari Pek-hoa-kok", Sungguh kasihan, usia
masih begini muda sudah menjadi janda sungguh mengharukan ... . ."
Keruan seruan bersungut wajah si nyonya baju hitam, dengan gemas jalanya segera
diputar kencang hingga menderu, ternyata permainan jalanya ini merupakan
kepandaian khas, jala yang lemas panjang ini kadang2 disabetkan sebagai cambuk, tapi juga
bisa dibuat mengepruk seperi toya, menggubat seperti tali, tiba2 bertebaran pula seperti hendak
menjaring ikan terutama duri2 bergantol seperti pancing itu dengan sinarnya yang
kemilauan membingungkan orang, setiap serangannya cukup keji dan mematikan.
Siang Cin memperlihatkan kegesitannya, ia bergerak pergi datang dengan lincah,
begitu cepat laksana bayangan sehingga sukar diduga ke arah mana dia bakal bergerak,
kelihatan dia hendak melompat ke depan, tapi kenyataan sudah berada di samping, lebih
hebat lagi di 244 tengah gerak geriknya yang sebat itu sering dia melancarkan pukulan gencar, angin
pukulannya se akan2 mendampar dari berbagai arah, malah angin pukulan yang
mendampar ini ber-lapis2 seperti gelombang laut sehingga lawan yang memainkan
jala itu hampir2 tak dapat bergerak.
Napas nyonya itu mulai memburu, keringat telah membasahi wajahnya, kini dia
hanya mampu membela diri atau bertahan melulu, kalau keadaan seperti ini berlangsung
lebih lama lagi, jelas dia tidak kuat bertahan lagi.
Tiga laki2 baju merah yang masih bertahan kelihatan masih berkepandaian lebih
tinggi daripada kawan2nya yang mampus lebih dulu, tapi melawan Sebun Tio bu yang
gagah perkasa segarang harimau mengamuk, dalam sekejap saja dua di antaranya telah
dibinasakan, tinggal seorang lagi mukanya sudah berlepotan darah, cepat dia
berlutut dan minta ampun pada Sebun Tio bu.
Sebun Tio-bu ter-gelak2, orang yang terluka dan dijinjingnya sejak tadi itu dia
serahkan kepada laki2 yang berlutut di depannya, lalu dengan kereng dia berkata: "Temanmu
ini terluka karena berani melawan tuan besarmu, tapi dia jauh lebih baik daripada kau
yang gentong nasi ini, lekas panggul dia pergi dan diobati, ingat selanjutnya jangan
bertingkah sebagai orang gagah kalau kau memang tidak becus. Nah, lekas menggelinding
pergi, jangan bikin tuan besarmu marah melihat tampangmu."
Laki2 yang sudah pucat dan kaki tangan gemetar itu dengan ter-gopoh2 pondong
temannya terus ngeloyor pergi hingga lupa mengucapkan terima kasih lagi cepat
bayangannya lenyap di balik batu di luar sana.
Sebun Tio bu menghela napas lega, katanya sambil menarik alis: "Siang-heng, kini
boleh kau robohkan perempuan genit ini, buat apa kau main2 saja dengan dia?"
Di tengah pembicaraan itulah, tampak kedua bayangan orang yang lagi bertempur
mendadak seperti merapat, tapi cepat sekali terpisah lagi, "wut", jala si nyonya
tampak menyambar lewat di alas kepala Siang Cin, dalam sekejap ini terdengar nyonya itu
mengeluh tertahan, tubuhnya berputar terus roboh terbanting.
Dengan tajam Siang Cin tatap lawannya yang meringis kesakitan dengan butiran
keringat di dahinya. jengeknya: "Bila kulihat kau lagi pada kesempatan lain, nasibmu
takkan sebaik sekarang ini biasanya aku tidak sudi melabrak kaum perempuan, tapi
hanya sekali ini saja aku memberi kelonggaran."
Sebun Tio-bu mengulap tangan sambil berteriak: "Hayolah pergi, bantuan musuh
245 telah tiba." Memang bunyi tambur dan gembrengan yang gencar terdengar ber-talu2 di luar
sana, suara senjata serta teriakan dan derap langkah mereka yang berlari tengah
memburu ke arah
sini. Baru saja Siang Cin hendak beranjak, nyonya baju hitam yang duduk mendeprok di
lantai itu mendadak berseru dengan mengertak gigi: "Bajingan tengik, kau kalau
berani, sebutkan namamu."
Mencorong sorot mata Siang Cin, jawabnya dengan dingin: "Akulah si Naga Kuning
Siang Cin."
"O," teriak si nyonya tertahan sambil mendekap mulut, mukanya yang pucat tampak
semakin pucat, dengan kaget dan bingung ia pandangi Siang Cin, seperti tidak
percaya pada pendengarannya sendiri..
Sebun Tio-bu tertawa lebar, katanya: "Genduk ayu, tak usah takut, Siang-heng ini
takkan tega membunuh kau, mungkin kau ingin juga tahu nama julukan tuan
besarmu ini"
Haha, tapi takkan kuberitahu, biarlah kau menduga2 saja."
Habis berkata kedua orang terus lari ke arah undakan batu di sebelah kamar kanan,
sekali membelok ke sana jejaknya lantas lenyap.
Habis menaiki tangga batu, di atas adalah sebuah panggung datar, dari tempat
ketinggian ini terlihat jelas puluhan obor bagai rantai memanjang dengan kerlipan
senjata yang tengah bergerak mengikuti bayangan orang banyak menuju ke bangunan
gedung di sini suara caci maki, teriakan dan bentakan bercampur-aduk, suasana tampak kacau
balau. Ada sepuluh bayangan orang yang melambung ke atas, dengan tangkas menubruk
ke arah kamar batu itu, dari gerak gerik mereka yang gesit, jelas semuanya memiliki
Ginkang tinggi, belasan orang ini terang adalah tokoh2 silat kelas tinggi.
Sebun Tio-bu menyeringai, katanya lirih: "Sebetulnya ingin aku melabrak mereka,
apa boleh buat, sekarang bukan waktunya."
Siang Cin mengangguk, katanya: "Hayolah kita tempuh arah yang berlawanan" Maka
bayangan kedua orang segera melenting tinggi ke depan, di tengah udara keduanya
membelok terus meluncur lebih cepat lagi, begitu cepat serta indah gaya mereka,
dalam sekejap saja telah lenyap di telan kegelapan . .. . . . "
Toa ho-tin sudah berada di depan pula. Sebun Tio bu dan Siang Cin yang berlari
246 kencang bagai terbang mengerahkan langkahnya, akhirnya keduanya menghela
napas lega, kata Sebun Tio bu: "susah juga semalam ini, sayang tak berhasil menolong
seorangpun, tapi jelas ada beberapa anggota Bu-siang-pay yang masih hidup sejak kekalahan
mereka di Pi-ciok-san tempo hari."
"Betul," ucap Siang Cin, "entah bagaimana nasib mereka kini?"
Sebun Tio-bu mengusap keningnya katanya: "Kupikir nasib mereka takkan seburuk
anjing yang dijagal."
Siang Cin menggeleng dan berkata: "Menurut dugaanku, mereka akan menyandera
beberapa orang itu, bila pihak mereka terdesak, para tawanan itu akan dijadikan
jaminan untuk menyelamatkan diri."
"Dugaan tepat," sera Sebun Tio bu, "pasti begitulah, tapi kita tidak tinggal diam,
harus gagalkan maksud mereka itu."
Siang Cin tidak menanggapi, ia sedang menatap ke arah pohon cemara di sebelah
kiri jalan berlumpur sana, sebagai kawakan Kangouw yang sudah berpengalaman
Sebun Tio-bu bisa lihat gelagat, dirasakan adanya gejala yang tidak sehat di sebelah sana, dengan
tertawa dia mendahului melangkah ke depan, ia sengaja berseru keras: "Sia2 berjerih payah
semalam suntuk, hasilnya nihil dan jiwa nyaris melayang, sungguh menjengkelkan."
sembari bicara dia merogoh saku, tapi sebelum dia menarik tangannya, dari arah
hutan cemara di sebelah kiri terdengarlah gelak tertawa lantang, sesosok bayangan
tampak melayang keluar.
Sekilas melengak segera Sebun Tio bu menggerutu: "Neneknya, kiranya Kin Jin."
Pendatang ini memang Kim-lui-jiu Kin Jin, agaknya diapun sudah kepayahan, rona
mukanya menampilkan rasa letih dan lesu, begitu berhadapan dengan Sebun Tio bu
dan Siang Cin, dengan gerak ke-malas2an dia mengulap tangan kepada Sebun Tio bu,
katanya: "Sebun-heng, Thi-mo-pi (lengan besi iblis) yang tersimpan di sakumu itu jangan kau
keluarkan, dari kejauhan kulihat kau merogoh saku, segera aku tahu niat apa yang
hendak kau lakukan . . . . "
Sambil ngakak Sebun Tio-bu keluarkan tangannya, katanya: "Kukira keparat mana
yang belum kapok, berani main cegat dan main sergap di sini, tak tahunya kau."
Sambil menggeliat malas, Kin Jin berkata: "Sejak tadi Cayhe main kucing2an dengan
mereka supaya ada peluang untuk kalian lolos keluar beraksi di belakang, ternyata
mereka 247 menyangka hanya aku seorang saja penyatronnya, bukan saja pendopo itu dikepung
berlapis2, jago merekapun semua dikerahkan ke sana, terpaksa seorang diri aku
melawan tujuh belas jago mereka, bicara terus terang, aku sudah kepayahan dan tak kuat bertahan
lama lagi, untunglah pada detik2 genting itu seorang berlari masuk dari luar, entah apa
yang dilaporkan, tapi sebagian besar jago yang mengerubut diriku segera menjadi ribut
serta mengundurkan diri, kupikir pasti kalian sudah mulai bereaksi, setelah kulabrak
mereka beberapa kejap lagi aku lantas menerjang keluar kepungan, untung lawan sudah
berkurang sehingga dengan leluasa aku dapat meloloskan diri."
Setelah menghela napas, ganti Sebun Tio-bu menceritakan pengalamannya secara
ringkas, lalu dia menambahkan: "Berjerih payah semalam suntuk, tapi hasilnya nihil,
cuma pihak musuh dapat kita bikin porak-poranda, terhibur juga hatiku."
Hening sejenak akhirnya Kin Jin berkata pula: "Biarlah masih banyak waktu buat kita
bergerak lagi."
Memandang cuaca Siang Cin berkata: "Sekali gebrak tak berhasil berarti sudah bikin
musuh waspada, untuk pergi lagi ke sana jelas takkan membawa hasil apa2, maka
menurut hematku, mari sekarang kita menuju ke Liok-sun-ho saja."
Mendadak Sebun Tio bu berkata sambil gosok2 tangannya: "Siang heng, bila kita
bertindak sesuatu, apakah pihak Bu-siang pay tidak akan merasa di langkahi?"
"Coba Tangkeh terangkan dulu urusan apa?" tanya Siang Cin.
"Kalau kukerahkan Jian ki-bing untuk membantu bagaimana?" ucap Sebun Tio-bu.
Lama Siang Cin tatap muka orang, katanya kemudian dengan nada terharu:
"Tangkeh, sekali bertemu kita seperti saudara sendiri, engkau sudi membantuku, aku sangat
berterima kasih, demi hubunganku dengan pihak Bu-siang-pay, kau rela mengerahkan seluruh
kekuatanmu, sungguh tidak tahu apa yang harus kuucapkan. Tapi untuk kali ini,
betapapun Cayhe tidak bisa membenarkan bila jiwa anak buahmu harus ikut dipertaruhkan."
Lama Sebun Tio-bu mengawasi Siang Cin, akhirnya dia menghela napas, katanya:
"Lalu bagaimana menurut pendapat Siang-heng . .. . . . ."
Tenang suara Siang Cin: "Kali ini Bu-siang-pay mengerahkan seluruh kekuatannya,
apa yang mereka perlukan sekarang kukira lebih mengutamakan bantuan jago2 seperti
kita ini, pertempuran yang akan terjadi, kekuatan pasukan memang juga mengesankan, tapi
kemampuan individu lebih diutamakan lagi, entah bagaimana pendapat "Tangkeh?"
248 Kata Sebun Tio-bu sambil angkat pundak: "Kau lebih tahu Siang-heng, terserah
bagaimana keputusanmu saja."
Tiba2 Kin Jin menyela: "Sebun-tangkeh, apa yang dikatakan Siang-heng memang
betul, tugas ini biarlah kita bertiga saja yang melakukan, kalau terlalu banyak tenaga
bukan mustahil akan banyak jatuh korban, boleh diputuskan begitu saja, sekarang marilah
kita berangkat ke Liok-sun-ho."
"Khabarnya pihak Bu-siang-pay telah menyeberangi sungai," ucap Sebun Tio bu.
Berpikir sejenak Siang Cin berkata: "Aku heran, konon Liok-sun-ho amat dalam dan
berbahaya untuk di seberangi, musim dingin airpun tidak membeku, sepanjang tahun
arus air selalu deras, tempat itu merupakan daerah yang berbahaya, kenapa pihak Hek jiu
tong dan Jik-san-tui tidak-pasang perangkap atau mengatur jebakan di sana untuk
membendung serbuan Bu-siang-pay dikala mereka menyeberang sungai?"
Kin Jin tersenyum, katanya: "Arus Liok-sun-ho memang sangat deras, kedua tepi
sungai dipasang rantai sebagai peluncur rakit, batu karang memenuhi pinggir sungai
sehingga tiada tempat datar, bahwa di sana tidak leluasa untuk melakukan
pertempuran terbuka, hanya orang2 yang berkepandaian tinggi saja yang mampu berjaga di sana,
kukira pihak Hek-jiu-tong dan Jik san-tui juga sudah memikirkan keadaan yang serba sulit
itu sehingga mereka tidak berpikir untuk mengatur perangkap di sana." .
Sebun Tio-bu menggeleng, katanya: "Analisa Kin-heng yang pertama memang betul,
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tapi perkiraanmu selanjutnya kukira kurang tepat. Kekuatan Hek jiu-tong dan Jik-san
tui di daerah sini sangat besar, urusan sekecil apapun takkan luput dari pengawasan
mereka, apalagi gerakan besar2an dari Bu siang-pay?"
"Ya, betul," sela Siang Cin, "kecuali Liok-sun-ho, adakah tempat lain yang berbahaya
untuk menyergap musuh?"
Sekilas Sebun Tio bu tertegun, akhirnya dia berteriak: "Pertanyaan bagus. Kin-heng,
empat puluh li di sebelah timur Toa ho-tin bukankah ada suatu tempat yang
dinamakan Ceciok-
giam" Di sana bisa dipendam pasukan besar, tempatnya mudah dipertahankan
dan leluasa untuk menyerang, daerah itu merupakan tempat penting yang harus dilalui
bila hendak menuju ke Toa-ho tin lewat Liok-sun-ho. Bukan mustahil musuh sedang
menghimpun seluruh kekuatannya di sana?"
Siang Cin dan Kin Jin manggut bersama, Siang Cin bertanya pula: "Kecuali Ce ciokgiam,
adakah tempat lain yang berbahaya pula?"
"Kecuali Ce ciok giam, sampai dengan Toaho tin adalah tanah ladang yang datar."
249 "Baiklah, sekarang kita lewat Ce-ciok giam langsung menuju ke Liok-sun-ho, sambil
lalu memeriksa keadaan di sana apakah ada sesuatu yang mencurigakan, supaya
pihak Busiang- pay bisa mempersiapkan diri."
Sebun Tio-bu manggut2, katanya: "Siang-heng, di Pau-hou-ceng, pemimpin utama
dan kedua mereka tidak keluar, sementara Sio-lian-su-coat dari Pek-hoa-kok yang
datang juga hanya Kui-kok khek Pa Cong si saja yang keluar, pihak Toa to-kau juga cuma Han
mo siang-kiu saja yang tampil ke muka, sedang Jit ho hwe hanya Ciang Heng si setan
tua itu saja, pentolan utama mereka boleh dikatakan tiada yang hadir di sana . . . . . . "
"Betul, belakangan pihak Toa-to-kau memang datang lagi empat Kiu-thau,
sementara Losu (orang ke empat) dari Sio lian-su-coat, Tang-bong Se Siau juga tiba, tapi
tokoh2 penting mereka tetap tidak tampak, menurut hematku, mereka pasti sedang
mengatur perangkap . . . . . "
Menepuk paha Sebun Tio bu berseru: "Siangheng, tunggu apalagi sekarang?"
Dengan tenang Siang Cin berkata: "Tangkeh, kau lapar tidak?"
Sebun Tio-bu tertawa, katanya: "Memang, baru sekarang cacing pita dalam perutku
minta diberi makan, cuma tidak bawa rangsum, ke mana kita cari makan?"
"Kira2 tiga li di depan ada sebuah warung," demikian ucap Kin Jin "disana ada bubur
kacang dan wedang tahu, marilah sekedarnya isi perut di sana."
Lalu dia, mendahului melesat ke depan, Siang Cin dan Sebun Tio-bu segera
menyusul di belakangnya, tiga bayangan orang berkelebat laksana gumpalan kabut, cepat
sekali lenyap di telan kegelapan bayang2 pohon.
Fajar sudah hampir menyingsing, entah apa pula yang akan terjadi setelah terang
tanah" Kedua ekor kuda dibedal kencang keluar hutan sebelah sana, tampak Siang Cin
bersama Kin Jin menunggang seekor kuda, sementara Sebun Tio bu menunggang
kudanya sendiri. Cepat sekali tanpa terasa padang lalang yang memagari kedua sisa jalan berlumpur
ini sudah tertinggal jauh di belakang. Pada ujung tanah belukar di depan sana
terbentang sebuah sungai yang sudah kering, sungai kering ini melingkar dari selatan ke utara
membelah padang lalang ini. Di tengah sungai berserakan banyak sekali batu2 besar
250 kecil yang beraneka ragamnya, anehnya batu2 di sini semuanya berwarna coklat, begitu
luas dan tak terhitung banyaknya batu2 coklat itu, bertumpuk dan malang melintang tidak
keruan. Siang Cin mengawasi sungai kering ini dengan terkesiap, katanya: "Tempat ini
memang berbahaya."
"Kalau tidak, berbahaya takkan dinamai Ce Ciok-giam," ucap Kin Jin.
Sebun Tio-bu yang berada di depan berteriak sambil menoleh: "Sudah sampai,
Siangheng sudah kau saksikan bukan" Selokan ini panjangnya ratusan li, lebarnya hampir
setengah li, selokan ini merupakan peninggalan sungai besar di jaman purba, bila dia
mau mencaplok manusia, meski laksaan jiwa juga bisa dilalapnya sekaligus."
Siang Cin tersenyum, katanya: "Belum terlihat tanda mencurigakan, Tangkeh mari
coba putar ke arah lain."
Mereka terus membelok ke kanan, setelah beberapa kali lompatan, akhirnya kedua
kuda tiba pada sebuah tanah lekukan, kecuali ada tiga batang pohon yang setengah
gundul, tiada rumput atau pepohonan lain yang tumbuh di sini.
Sebelum kuda berhenti berlarinya, Siang Cin segera melayang turun ke pinggir tanah
lekukan itu, lalu ia melompat ke sana dan berhenti di belakang sepotong batu cadas
besar warna coklat. Segera Sebun Tio-bu dan Kin Jin juga menyusul tiba, dalam jarak ratusan langkah,
tepi Ceciok-giam sudah berada di depan mereka.
Dengan mengerut kening Sebun Tio bu berkata, ke mana saja kawanan anak kura2
itu bersembunyi" Memangnya kita yang salah arah" Tapi sepanjang jalan ini tidak
terlihat adanya sesuatu yang tidak benar" Memangnya Hek-jiu tong dan Jik-san-tui bernyali
kecil dan cuma bersembunyi di Pau-hou-ceng atau Toa-ho tin?"
"Tidak akan salah, disinilah tempatnya," ucap Siang Cin.
Kin Jin juga berkata dengan tertawa: "Em betul, ada beberapa batu besar itu
kelihatan ber-gerak2 . . . . . ."
Lekas Sebun Tio-bu mengawasi dengan seksama, memang benar, di dekat pinggir
selokan memang dilihatnya sebuah batu bisa bergerak merambat, meski pelahan
gerakannya, bila tidak diperhatikan orang takkan tahu akan kepalsuan dari batu itu.
251 Sebun Tio bu berseru: "Keparat, permainan macam apa ini?"
"Tangkeh," ucap Siang Cin sambil bersandar pada sebuah batu besar di sampingnya,
"Jian-ki-beng pimpinanmu biasanya bergerak secara terang2an, dalam
menyelesaikan urusan juga suka blak2an, bila urusan bisa didamaikan pasti pantang angkat senjata,
sebaliknya kalau bertempur akan berjuang sampai titik darah terakhir. Sepak terjang
ini jelas jauh berbeda dengan orang2 Hek-jiu-tong serta Jik-san-tui, tak heran laki2 yang
gagah berani seperti kau juga mudah dikelabui oleh kelicikan musuh."
Sebun Tio- bu tertawa, katanya: "Batu, besar yang aneh2 bentuknya itu berwarna
sama, di antaranya memang banyak yang tiruan . . . . ..."
Setelah mengawasi sebentar akhirnya Kin Jin menanggapi pelahan: "Batu2 tiruan itu
semuanya terbuat dari kulit binatang yang keras serta diwarnai, di dalamnya
bersembunyi manusia, sayang batu yang berserakan dan bertumpuk tindih itu sangat banyak
sehingga sulit juga membedakan mana yang tulen dan mana yang palsu, batu2 tiruan itu
memang dibikin oleh tangan ahli, kalau tidak diteliti memang mudah dikelabui . . . . ".
Siang Cin mengangguk, katanya: "Jangan sampai musuh tahu akan jejak kita, kini
waktu sudah mendesak, hayolah berangkat."
Setelah mengawasi sekian lamanya pula batu2 yang berserakan di kejauhan sana,
Kin Jin berkata: "Terpaksa kita harus putar balik saja supaya tidak menimbulkan curiga
mereka, bukan mustahil kedatangan kita sudah diketahui mereka."
Mendadak Sebun Tio-bu mendekam serta ber-kata dengan suara tertahan: "Awas,
ada serombongan orang."
Lekas Siang Cin dan Kin Jin ikut berjongkok, lalu mereka mengintip, kira2 lima
ratusan langkah disana, tampak dua puluhan orang Jik-san tui yang bersenjata
kampak dengan memanggul busur dan panah dengan sikap tegang dan waspada sedang
merunduk maju seperti tengah menghadapi musuh. Sambil membungkuk menggeremet maju,
tapi arah mereka sedikit melenceng, maka mereka terus lewat di sebelah Siang Cin
bertiga sehingga jejak mereka tidak sampai konangan.
Sambil menahan napas mereka mengawasi orang2 Jik-san tui ini turun ke selokan,
diam2 Sebun Tio-bu mendengus: "Untung mereka tidak kemari, kalau tidak, cukup
sekali gebrak, saja tanggung seluruhnya akan kubereskan."
252 "Malah semuanya akan mampus dengan leher berlubang," demikian goda Siang Cin
tertawa. Sebun Tio bu tertawa dan berkata: "Darimana kau tahu, Siang-heng?"
"Bagi insan persilatan yang berkecimpung di Kangouw, siapa yang tidak tahu cara
khas Cap-pi kun cu melukai orang" Sepuluh korban sepuluh lubang di tenggorokan
mereka," merandek sejenak lalu Siang Cin menambahkan, "semula Cayhe masih berpikir,
kenapa waktu di Pau-hoa-ceng sasaran Tangkeh sedikit meleset" Kini tahulah aku . . . . . "
Sebun Tio-bu tertawa, ucapnya: "Bila sebelum mereka tahu akupun terlibat dalam
pertikaian ini, selain bakal menambah kesukaran bagi kita, tentu juga tiada manfaat
yang dapat kita peroleh."
"Memang begitulah, hayo berangkat," kata Siang Cin. . .
Lekas mereka cemplak kuda terus membelok dan mengitari selokan ini.
Kuda terus dibedal menyusuri jalanan kecil di pinggir selokan yang menonjol
menyerupai tanggul yang sempit
Dengan cepat mereka sudah hampir mencapai seberang selokan di depan sana. Kin
Jin menoleh dan berkata: "Tidak meleset perhitunganku, untunglah mereka tidak
mencegat."
Siang Cin menjawab: "Terlalu kencang lari kuda kita, bukan saja sukar dirintangi, tapi
mereka sendiri juga tidak ingin rahasianya diketahui orang lain"
Setelah membelok ke kiri mereka terus menyusur tegalan, suasana di sini amat sepi,
padang tegalan masih diliputi kabut, tapi cepat sekali akhirnya menembus ke jalan
raya. Dikatakan jalan raya karena tanah yang berlapis salju tipis kini sudah tampak bekas
jalur roda kereta dan tapak kaki orang, sementara hutan yang lebat masih memagari
kedua sisi jalan. Sebun Tio bu membuka jalan di depan, tiba2 ia menarik kendali, kudanya berjingkrak
sambil meringkik panjang. Cepat Kin Jin juga menghentikan lari kudanya, segera
Siang Cin bertanya: "Ada apa?"
Sebun Tio-bu menunduk sambil memejamkan mata, mendadak dia terbeliak dan
berkata: "Di sini terasa ada sesuatu yang tidak beres Siang-heng, indera ke enamku
merasakan sesuatu yang tidak enak, menurut pengalaman, bila timbul perasaan
begini tentu akan terjadi sesuatu yang tidak menguntungkan diriku."
Siang Cin menjelajah keadaan sekelilingnya, katanya: `"Aku percaya perasaan
Tangkeh 253 itu, kadang2 perasaan begitu timbul tepat pada waktunya."
Dengan sorot tajam Kin Jin juga sedang menyapu pandang sekitarnya, katanya
tenang: "Suasana di sini memang rada ganjil . . . . . terlampau sunyi . . . ."
Benar juga, tanpa mengeluarkan suara, di antara gundukan salju yang meninggi di
kedua sisi jalan raya sama pelahan2 berjalan keluar sebarisan orang2 berbaju putih,
pakaian putih mereka mirip warna salju, sampaipun muka mereka juga ditutupi kedok kain
putih, bilamana barisan ini tidak bergerak, sungguh orang takkan mengetahui kehadiran
manusia2 serba putih ini.
Barisan orang2 berbaju putih ini ternyata tampil ber-turut2, semuanya berbaris
teratur, posisi mereka setengah lingkaran, setiap orang memegang tiga batang bumbung
bundar warna hitam, pangkalnya dipasangi suatu benda aneh yang berbentuk seperti sayap
tapi melengkung laksana busur, lubang kecil pada bumbung bundar hitam itu mengincar
dan ditujukan ke arah Siang Cin bertiga.
Sebun Tio-bu mendengus, pelan2 dia merogoh saku, Kin Jin juga siap, tiba2 Sebun
Tio-bu berseru tertahan: "Mari terjang kepungan mereka, Kin-heng jaga kuda
kesayangan kita." Belum lagi Kin Jin menjawab, tiba2 Siang Cin menghela napas lega, lekas dia
memberi tanda dan berkata: "Jangan bergerak, coba perhatikan gelang emas di atas kepala
mereka yang kemilau itu."
Memang benda yang melingkari kain kerudung orang2 berbaju putih adalah gelang
kuning kemilau.
Dengan bergelak tertawa Sebun Tio-bu berkata: "Para kawan Bu-siang-pay, sudah
lama kukagumi dan ingin bertemu."
Buru2 Siang Cin lompat turun dari kuda dan mendekat dengan langkah cepat,
serunya lantang: "Apakah kalian anak murid Bu siang-pay yang datang dari padang rumput."
Orang2 berbaju putih menggeremet maju dengan formasi mengepung itu kelihatan
sama melengak dan bingung, tapi sorot mata mereka yang tajam tetap menatap
dengan curiga. Siang Cin mendekat beberapa langkah lagi, katanya dengan keras: "Murid Bu-siangpay
dengarkanlah, kami adalah teman2 kalian, kedatangan kami khusus untuk
254 bergabung dengan kalian . . . . . "
Dari lingkaran orang2 berbaju putih itu tampil seorang yang berperawakan kekar,
sembari maju dia menarik kain kedoknya, maka tertampaklah seraut wajah yang
lebar dengan mimik kaku dingin, sesaat dia berdiri mengawasi Siang Cin, suaranya tenang
dan
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mantap: "Tuan ini siapa?"
Dengan tenang Siang Cin berkata: "Ada seorang yang berjuluk Naga Kuning Siang
Cin, apakah pernah tuan mendengarnya?"
Bergetar tubuh si baju putih, ia terbelalak kagum, namun nadanya masih curiga:
"Kau, kau inikah Naga Kuning?"
Siang Cin berkata dengan tertawa: "Benar, memang Cayhe adanya."
Si baju putih lantas maju lebih mendekat, serunya gugup: "Jadi tuanlah yang
sekaligus menjagal enam gembong Hek jiu tong di Pi-ciok-san" Ratusan orang2 Hek jiu tong
mampus di tanganmu" Tuan pula yang membantu dan ikut berjuang bahu membahu
dengan saudara kita dari Bu-siang-pay?"
"Hanya kebetulan bersua di tengah jalan, bantuan itu bukan apa2 . .. . ."
Terunjuk sikap kagum, hormat dan penyesalan pada wajah si baju putih, tiba2 dia
berlutut terus menyembah, serunya: "Murid tertua Say-cu-bun Siang Goan-kan dari
Busiang- pay menyampaikan sembah hormat kepada Siang susiok yang berbudi."
Hal ini betul berada di luar dugaan Siang Cin, sekilas melengak lekas dia menyingkir,
sembari memapah bangun Siang Goan kan, serunya gugup: "Siang heng. usiamu
sebaya denganku, bolehlah membahasakan saudara saja, kau menjunjung tinggi diriku
seperti ini sungguh tak berani kuterima."
Tanpa kuasa Siang Goan-kan kena dipapah berdiri oleh Siang Cin, katanya: "Bukan
maksud Tecu ingin menjunjung tinggi Siang-inkong, soalnya Ciangbunjin ada
perintah, seluruh murid Bu-siang pay untuk selanjutnya harus menghormati Siang-inkong
sebagai susiok yang telah menolong kebesaran nama kita, memang betul Siang-inkong
bukan sealiran dengan Bu siang pay, namun sebutan `In-susiok` (paman guru berbudi)
adalah pantas untuk menandakan bahwa Siang-inkong ada hubungan yang karib dengan
Bu-siangpay kita." Dengan sikap kikuk Siang Cin menjawab: "Ini . . . wah Cayhe menjadi serba susah
255 dan tidak berani terima kehormatan besar ini . . . . Ciangbunjin kalian sungguh terlalu
sungkan . . . ." "Tiga hari yang lalu," ucap Siang Goan kan pula, "laskar kita telah duduki Liok sun-ho
dan menyeberang dengan selamat kecuali menemui beberapa rombongan orang
yang patut dicurigai, sepanjang jalan ini belum pernah mengalami kesulitan apapun, kini barisan
sudah disebar, mata2 kita juga telah diutus menyelidiki daerah yang cukup berbahaya di
sebelah depan, tadi waktu Siang-inkong dan kedua teman ini mendekati daerah sini, tecu
sudah lantas memperoleh berita, sungguh mimpipun tidak terpikir oleh kami bahwa Sianginkong
sendiri bakal kemari . . . . "
Dengan prihatin Siang Cin bertanya: "Untuk kali ini, berapa banyak jumlah pasukan
yang dikerahkan Bu-siang pay kalian?"
Siang Goan kan menjawab dengan pelahan: "Hwi cu-bun, Say cu-bun dan Bong-cubun
serta murid2 yang langsung dipimpin oleh Cengtong (pusat) kali ini dikerahkan
seluruhnya, jumlah seluruhnya ada tiga ribu lima ratus orang lebih."
Mendengar jumlah yang besar ini, Siang Cin merasa kaget, belum lagi dia
menunjukkan sikapnya Siang Goan kan sudah menambahkan: "Sementara anak
buah Thi, Hiat dan Wi ji-bun karena kehilangan pimpinan, dikuatirkan dalam kesedihan karena
gugurnya para saudara yang lain sehingga bekerja diburu emosi, maka mereka tidak
diizinkan ikut datang, untuk sementara waktu Lan cian tong diserahi tugas untuk
menguasai keadaan di padang rumput."
Siang Cin menarik napas, katanya: "Jadi Ciang bunjin kalian Thi-cianpwe juga
datang?" Siang Goan kan mengangguk hormat. Siang Cin berkata pula dengan terharu: "Dari
padang rumput jauh di kaki Kiu-jin-san pasukan besar kalian berbondong kemari,
betapa besar dan kekuatan barisan ini, apalagi kalau sampai enam Bun dan satu Tong
dikerahkan seluruhnya, mungkin kekuatan besar Bu-siang-pay mampu menggetar bumi dan
menggoncang langit."
"Ya," ucap Siang Goon-kan, "jumlah seluruhnya mendekati selaksa orang."
Siang Cin menoleh ke belakang, Kin Jin dan Sebun Tio-bu masih bercokol di atas
kuda dan mengunjuk senyum. Kata Slaug Cin kemudian: "Ayolah kalian turun, marilah
temui Ciangbunjin Bu siang-pay."
256 Cepat Siang Goan-kan memberi pesan kepada anak murid Bu-siang-pay, dalam
waktu singkat sebuah suara sempritan yang melengking tinggi berkumandang sampai jauh,
baru saja suara sempritan tajam di sini berhenti, suara sempritan yang sama terdengar
melengking ditempat kejauhan, begitulah dari satu tempat kelain tempat suara
sempritan ini terus bersahutan.
Siang Cin amat kagum dan menyenangi cara mengirim berita dengan suara
sempritan khusus dari orang2 padang rumput ini, suara nyaring ini sekaligus membawakan
suasana yang hidup bebas penuh gairah perjuangan di pedang rumput.
Dalam pada itu Siang Cin telah perkenalkan Sebun Tio-bu dan Kin Jin dengan Siang
Goan-kan, lalu Siang Cin dengan tetap setunggangan dengan Kin Jin, sedang Siang
Goankan lantas setunggangan dengan Sebun Tio-bu, empat orang dua kuda segera kabur
ke arah timur dengan kecepatan yang luar biasa.
Di tengah tegalan yang masih remang2 itu, derapan kaki kuda berdetak memecah
kesunyian. Meski di atas kuda yang berlari sekencang itu, tapi Sebun Tio-bu tetap waspada
memeriksa sepanjang jalan yang dilalui, dia berharap dengan ketajaman matanya
dapat menemukan orang2 Bu-siang-pay yang disebar sekitar sini untuk mendirikan
perkemahan atau pos penjagaan tertentu. Tapi hasilnya nihil, ia rada kecewa, sejauh ini dia tidak
melihat adanya tanda atau bekas apa2.
Sementara Kin Jin yang mencongklang kudanya di sebelah belakang telah
membisiki Siang Cin: "Siang-heng, betapapun licik dan licin orang2 Hek-jiu-tong, tapi Bu-siang
pay dengan peralatan perangnya yang serba lengkap, dengan semangat juang yang
tinggi serta terlatih pula, tentu bukan lawan yang enteng."
"Betul, mereka sudah biasa hidup dalam semangat yang tinggi di padang rumput,
jujur dan sederhana di samping kecerdikan otak dan kecermatan kerja, maka tidaklah
heran kalau gelang emas dan baju putih orang2 Bu-siang-pay terkenal di manapun."
Jilid 14 257 Tiba-tiba Sebun Tio-bu membelok ke arah kiri terus menerjang ke semak2 rumput
dan berlari di jalanan kecil yang sudah lama tak pernah dilalui manusia, langsung menuju
ke sebuah pohon cemara di kejauhan sana.
Kin Jin terus menguntit dengan kencang, sekejap saja mereka sudah tiba di pinggir
hutan. Di luar hutan ternyata sudah menunggu belasan orang berbaju putih dengan
gelang emas melingkar di kepala, mereka adalah pahlawan2 padang rumput dari Bu-siangpay,
semuanya menyambut dengan meluruskan kedua tangan.
Setelah berputar kedua kuda itu segera berhenti. Empat orang penunggang kuda
terus melompat turun, Siang Goan kan memberi hormat lalu mereka di bawa masuk ke
dalam hutan, belasan laki2 baju putih itu berdiri di dua sisi dan membungkuk memberi
hormat. Kira2 puluhan langkah memasuki hutan, Siang Cin yang bermata tajam sudah
melihat banyak kemah kecil yang tersebar di bawah pohon, tempat sembunyi macam orang2
Bu-siang-pay ini sudah cukup dikenalnya dengan baik, sekian banyak kemah2 itu
menandakan betapa banyak pula jumlah orangnya, tapi tiada seorangpun yang kelihatan malah
kalau tidak memasuki hutan, dari luar orang jangan harap beritahu bila di dalam hutan ini
bersembunyi sekian ribu orang, kiranya Bu-siang-pay memang mahir mencari tempat
yang strategis untuk dijadikan sebagai markas darurat.
Cukup lama juga mereka putar kayun di dalam hutan lebat ini, akhirnya tiba di depan
tiga pucuk pohon cemara yang tua dan besar, waktu Siang Cin bertiga angkat kepala,
kiranya diantara ketiga pohon cemara raksasa yang kebetulan berposisi segi tiga
telah dibangun sebuah gubuk kayu, jadi gubuk kayu ini seperti bergantung di tengah2
pohon, jelas gubuk yang cukup besar ini baru dibangun, karena bau kayu cemara masih
terasa merangsang hidung. Kira2 lima belas langkah di depan gubuk itulah Siang Goan-kan
lantas berhenti, belum lagi dia buka suara, pangkal batang pohon cemara sebelah kanan
tiba2 bergerak dan terbentanglah kulit pohonnya, tampak empat orang berpakaian putih
dengan langkah gesit muncul dari dalam batang pohon raksasa yang kosong itu.
Dengan suara rendah Siang Goan-kan berkata: "Harap laporkan kepada Tayciangbun
258 bahwa ada tamu agung yang datang."
Ke empat laki2 itu segera menarik golok serta mundur selangkah, kata seorang yang
berada di kanan: "Barusan sudah diperoleh berita sempritan akan kedatangan tamu
agung, Tay-ciangbun sudah berpesan agar ditanyakan tamu agung dari mana, harap Siangsuheng
menerangkan."
"Harap sampaikan kepada Tay-ciangbun, katakan bahwa Napa Kuning Siang Cin
telah datang beserta dua sahabatnya."
Begitu mendengar nama Naga Kuning Siang Cin, ke empat orang itu melengak,
serentak mereka menoleh dengan pandangan kagum dan hormat, sikap mereka
menampilkan perasaan "beruntung dapat berhadapan dengan tokoh besar".
"Para saudara," kata Siang Goan-kan kurang sabar, "kalian masih tunggu apalagi?"
Paras wajah ke empat orang itu, pemimpinnya lantas menjura dan berkata: "Ya,
segera kami laporkan ke atas...."
Tapi sebelum orang2 ini bergerak lebih lanjut, daun pintu rumah di atas pohon itu
telah terbuka, muncul seorang laki2 pertengahan umur berpakaian ala pelajar, muka putih
cakap bersih, sorot matanya tajam, tiga untai jenggot menjuntai di bawah dagunya, jubah
panjang yang dipakainya juga berwarna putih, di bagian pinggang mengenakan sabuk lebar
dengan hiasan batu permata, sikapnya wajar dan santai, tapi menampilkan wibawa
kebesaran . . . . "
Begitu melihat orang ini, segera Siang Goan-kan bersama ke empat laki2 baju putih
tadi bertekuk lutut memberi hormat, serunya bersama: "Sembah hormat kepada Tayciangbun."
Laki2 yang agung berwibawa ini memang pentolan yang paling berkuasa di padang
rumput di luar perbatasan, Ciangbunjin Bu-siang-pay yang disanjung puji, tokoh yang
mirip dongeng dalam setiap pembicaraan orang, yaitu Pek-ih coat-to (si golok sakti
berbaju putih) Thi Tok-heng.
Sudah lama Siang Cin bertiga mendengar nama Thi Tok-heng, kini terasa bahwa
wibawa laki2 ini memang jauh lebih besar dan angker daripada apa yang pernah
didengarnya, sikapnya yang agung membuat orang akan tunduk dan patuh.
Sambil menjura, dengan suara mantap Siang Cin berkata: "Naga Kuning Siang Cin
bersama Siang-liong thau dari Jian-ki beng, Cap-pi kuncu Sebun Tio-bu, beserta Kim
luijiu Kin Jin dari Tan ciu, menyampaikan selamat bertemu kepada Tay-ciangbun."
Cepat Thi Tok heng balas menjura, katanya dengan suara lantang: "Tidak tahu bakal
kedatangan tamu2 agung, Thi Tok-heng tidak mengadakan penyambutan yang layak,
259 harap kalian suka memberi maaf,"
"Mana berani membikin repot Tay-ciangbun," kata Siang Cin tertawa, "Bahwa Tayciangbun
sudi membuka pintu dan keluar menyambut, ini sudah merupakan
kehormatan besar bagi kami bertiga. Terima kasih!"
Thi Tok-heng tertawa nyaring dan berkata: "Orang bilang Jon-ciang si Naga Kuning
betapa hebat dan mengejutkan kepandaiannya, tampaknya memang betul, tapi
mereka tidak tahu bahwa betapa tajam ucapannya ternyata tidak lebih lemah dari pada Kungfu
yang dimilikinya."
"Ah, Tay-ciangbun terlalu memuji," ucap Siang Cin dengan rendah hati.
Thi Tok-heng berkata lebih lanjut: "Gubuk ini di bangun di tengah2 pohon, karena
letak dan bangunannya yang serba sederhana, maka tidak menggunakan tangga atau tali
gantung untuk naik turun, untuk kekurangan ini, Tok heng mohon maaf, silahkan kalian loncat
ke atas saja."
Siang Cin lebih dulu mengucapkan terima kasih kepada Siang Goan-kan dan murid2
Bu-siang-pay lainnya, lalu dia memberi tanda kepada Sebun Tiobu dan Kin Jin,
bertiga mereka melompat ke atas dengan ringan.
Setelah basa-basi ala kadarnya mereka dipersilahkan masuk ke dalam rumah.
Rumah ini terdiri dari dua ruangan, ruangan depan cukup besar, di sini lantainya dilembari
babut yang terbuat dari kulit binatang, demikian pula dindingnya dipajangi kulit beruang, di
tengah terdapat sebuah meja kayu, sebuah lilin besar yang tertancap ditatakan
tembaga terletak di atas meja, sebuah badik tertancap di sebelahnya, di samping itu terdapat
delapan buah kursi kayu pula, semua kursi dilapisi kulit binatang yang berbulu tebal, kecuali
itu tiada pajangan apapun lagi. Sementara ruangan di sebelah dalam yang lebih kecil
adalah kamar tidur Thi Tok-heng.
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Baru saja mereka berduduk, lantai yang dilembari kulit biruang di pojok sana tiba2
tersingkap, dari bawah menongol keluar kepala seorang terus beranjak naik, kedua
tangannya membawa sebuah baki dengan empat cangkir porselin yang berisi teh
wangi, setelah menekuk lutut memberi hormat orang ini menyuguhkan teh di atas meja
terus mengundurkan diri. Siang Cin melihat jelas bahwa batang ketiga pohon cemara
raksasa ini 260 sudah dikorek kosong bagian tengahnya, di sana dibuatkan tangga dan ruangan
khusus tempat tinggal para tamu pembantu pribadi Thi Tok-heng.
Setelah menyilakan para tamunya minum, dengan sikap serius Thi Tok-heng berkata:
"Siang-tote sudi berjerih payah demi kepentingan Pay kami, beberapa kali harus
mengalami pertempuran antara hidup dan mati, badan terluka dan mencucurkan
darah, untuk semua itu dengan setulus hati aku menyatakan terima kasih dan selalu akan
mencatat budi kebaikan yang luhur ini."
Siang Cin bersoja, katanya: "Tidak berani, Cayhe hanya berbakti demi kawan
sehaluan, Tay-ciangbun, menurut Siang-heng murid kalian, khabarnya pasukan besar kalian
yang dikerahkan kemari sekali ini ada tiga ribu lima ratus lebih banyaknya?"
Thi Tok heng mengangguk, sahutnya: "Betul, tepatnya tiga ribu lima ratus empat
puluh orang." "Bagaimana kekuatan pihak Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui, apakah Tay-ciangbun telah
memperoleh bahan2 yang perlu diketahui?"
"Hanya beberapa berita yang masuk secara tersendiri dan seluruhnya belum pasti
lagi, oleh karena itu kami berdiam diri, belum bergerak sebelum persoalannya menjadi
terang, pahlawan2 padang rumput menempuh perjalanan sejauh ini bersama Tok-heng,
betapapun aku tak boleh gegabah bertindak, setiap urusan harus diselidiki dan diperhatikan
dengan seksama, supaya murid2 Bu-siang pay tidak gugur menjadi korban kelalaianku
sendiri.. ...."
Merandek sebentar lalu ia melanjutkan: "Waktu menyeberangi Liok sun ho, pihak
kami menggunakan Sin-siok-kiu ( jembatan gantung ) khusus ciptaan orang2 padang
rumput, jadi tidak menggunakan rakit, perahu atau peralatan lain, sebelum pasukan bergerak,
lebih dulu dikirim tujuh murid Say-cu-bun dengan dua ratus anak buahnya menyelundup
ke seberang, di luar dugaan mereka tidak menemui rintangan apapun, maka dengan
mudah enam buah Sin siok-kiu segera kami pasang sehingga seluruh pasukan besar
menyeberang melalui jembatan darurat ini dengan selamat, setelah itu kami bagi pasukan menjadi
lima kelompok dan maju lebih lanjut, kemudian berhenti di sini, mata2 sudah kami sebar
untuk 261 mencari berita, cuma laporan yang kami terima satu sama lain masih merupakan
berita sendiri2 sehingga sukar dianalisa menjadi suatu rumusan, memangnya Tok-heng
sedang gelisah, syukurlah Thian telah mengirimkan Siang- lote bertiga kemari"
Sebun Tio-bu dan Kin Jin yang sejak tadi diam saja, baru sekarang sempat bicara,
kata Sebun Tiobu dengan tertawa: "Tay-ciangbun, kami bertiga semalam suntuk telah
mengobrak-abrik Pau-hou ceng, sayang usaha menolong anak murid Bu-siang-pay
kalian tidak membawa hasil apapun."
Lalu secara ringkas Siang Cin menceritakan kejadian semalam, dijelaskan pula
keadaan pihak musuh yang. mereka ketahui, akhirnya dia menambahkan: "Seratus li di
sebelah depan adalah Ceciok-giam, tempat itu amat berbahaya dan strategis, jelas pihak
Hek-jiutong dan Jik-san tui telah mengatur perangkap di sana menunggu kedatangan kita,
bahwa mereka tidak pasang perangkap di Liok sun- ho mencegah pasukan kalian, tapi
memilih Ce ciok giam, pasti di balik hal ini ada rahasia yang perlu diperhatikan."
Thi Tok-heng berpikir, jarinya mengetuk meja, katanya kemudian: "Jit ho-hwe dan
Toa to kau terjun juga ke dalam barisan mereka, hal ini sudah kudengar sebelumnya,
bagaimana sepak terjang Siolian-su-cuat dari Pek-hoa kok belum pernah kudengar, tapi laporan
mengatakan mereka telah menunjang kejahatan. Hek-jan-kong dari Ji-gi-hu jelas
adalah tulang punggung Jik san-tui, dia menunjang Jik-san-tui adalah logis, bahwa Tianghongpay
juga memusuhi kita hal ini sungguh di luar dugaanku. Mereka punya hubungan
baik dengan Kun-lun-pay, karena pertikaian ini, urusan pasti akan menjalar dan berbuntut
panjang . . . . . " setelah mengelus jenggot, lalu ia menyambung: "Bahwa di Ce giok
giam nanti bakal berhadapan dengan musuh memang sudah kuduga, cuma belum berani
kupastikan, karena menurut penyelidikan orang2 kita, tiada gerak-gerik apapun yang
mencurigakan di sana, beruntung kini memperoleh keterangan dari kalian, kalau
tidak mungkin kami akan meremehkan tempat penting ini, Siang-lote . . . . . . .".
"Ada petunjuk apa?" tanya Siang Cin.
"Kecuali Jit-ho hwe, Toa-to-kau, Sio-lan-sucoat dan Tiang-hong- pay, apakah kalian
tahu ada pihak lain lagi yang membantu pihak lawan"
Siang Cin menggeleng, katanya: "Sejauh ini hanya itu yaag kami ketahui, tapi kita
harus tetap waspada dan ber-jaga2, pandanglah musuh lebih kuat daripada
262 meremehkannya."
"Betul," ucap Thi Tok-heng. "Siang-lote, kalian tahu Jik-san-tui telah menyekap
beberapa orang Bu siang-pay di Pau-hou-ceng, apa kalian tahu siapa2 kiranya yang
ditahan di sana?" "Hal itu belum sempat kami selidiki . . ., . . " sela Sebun Tio-bu.
Kin Jin menghela napas, katanya: "Kami maklum kalau Tay-ciangbun menguatirkan
keselamatan para saudara yang tertawan musuh."
Thi Tok-heng tertawa ewa, katanya: "Kin-hiante, setiap murid Bu-siang-pay tumbuh
dewasa di padang rumput, hati mereka terjalin erat dengan sanubariku, hubungan
kami bagai saudara atau anak kandung sendiri dan mirip sebuah keluarga besar, dua kali
kami meluruk kemari, tapi semua ini hanya menyangkut urusan pribadiku dalam keluarga.
Tunas muda yang gagah berani terkubur di negeri orang, mereka juga punya anak bini, tapi
demi urusan pribadiku mereka harus ikut mempertaruhkan jiwa raga, setiap kali
merenungkan hal ini, sungguh seperti disayat hatiku."
Setelah menghela napas Thi Tok-hong berkata, pula dengan nada semakin berat:
"Kekalahan di Pi-ciok-san boleh dikatakan kegagalanku pula, sesungguhnya kami
menilai rendah kekuatan musuh dengan mengutus sejumlah pasukan kecil untuk menyerbu
sarang musuh yang kuat, sebaliknya aku tetap berada di padang rumput dan anggap Busiang
pay sanggup menaklukan siapapun juga. Kenyataan tiga ratus anak buah telah gugur di
Pi-cioksan, jago2 kosen kita banyak yang menjadi tawanan musuh pula, kalau dipikirkan
sungguh bertambah besar dosaku seorang, betapa aku ada muka untuk berhadapan dengan
anak didikku .. . .. "
Bola mata Siang Cin yang hening menampilkan cahaya lembut, katanya: "Tayciangbun,
untuk hal ini pandanganku justeru berbeda dengan Tay-ciangbun.
Seorang ketua adalah simbol kekuasaan dan kewibawaan sesuatu ikatan, secara langsung
menyangkut mati hidup perkumpulannya, persoalan Tayciangbun adalah persoalan seluruh
perkumpulan pula, oleh karena itu urusan yang menimpa nama baik Ciangbunjin harus dibela
mati2an oleh seluruh anggota perkumpulan, demi mencuci noda dan menolong puteri
kandung sendiri, adalah jamak kalau mengerahkan seluruh kekuatan perkumpulan, jadi tidak
seharusnya tanggung jawab ini dipikul oleh Ciangbunjin sendiri, umpama utusan
serupa 263 menimpa pada anggota yang lain juga harus ditempuh cara yang sama. Maklumlah
jiwa ksatria kaum persilatan se-kali2 pantang ternoda, janji setia insan persilatan tidak
boleh diingkari, demi keadilan dan kebenaran, meski harus mempertaruhkan jiwa juga
setimpal, untuk ini Tay-ciangbun boleh melegakan hati saja."
Dengan rasa haru Thi Tok-hang menatap Siang Cin, katanya kemudian dengan
menghela napas: "Lote, meski baru pertama kali ini Tok-heng bertemu dengan kau,
tapi sudah kurasakan adanya ikatan batin . . . . "
"Untuk ini Cayhe sungguh merasa beruntung dan bersyukur . . . . " ucap Siang Cin
sambil merangkap kedua tangan.
Thi Tok-heng angkat cangkir mengajak minum tamunya, setelah menghabiskan tiga
cangkir, lalu dia menghela napas panjang, katanya dengan suara serak: "Yang-yang
adalah putriku satu2nya, ibunya sejak terkena penyakit lumpuh, sepanjang tahun rebah di
ranjang dan tak pernah keluar dari kamarnya, demi kasih sayangku terhadap putriku ini aku
tidak menikah lagi, seluruh kasih sayangku dan perhatianku ku tumplek pada dirinya,
sejak kecil memang terlalu kumanjakan, segala permintaannya tidak pernah kutolak, sungguh
tak nyana sikapku yang terlalu memanjakan dia ini menjadikan sifatnya binal dan liar,
sampai bibinya yang biasa mengurusi segala keperluannya sering dibuat jengkel olehnya.
Sebagai ayah selalu ku anggap anak ini masih terlalu kecil, masih kanak2, jenaka dan
menyenangkan, oleh karena itu meski sering ada orang memperingatkan aku, tapi
aku tidak tega untuk memarahinya. Tak terduga justeru lantaran dia terlalu bebas inilah urusan
menjadi terlanjur dan tak terkendali lagi. Entah bagaimana bayangan iblis seorang
laki2 telah menyusup dalam hatinya, entah cara bagaimana Khong Giok tek si keparat itu
memikatnya sehingga dia rela minggat meninggalkan ayah-ibunya yang amat
mengasihinya, maka dapatlah dibayangkan betapa marah, penasaran dan kecewaku
atas kejadian yang memalukan ini "
Tertekan juga perasaan Sebun Tio-bu bertiga, katanya: "Tay-ciangbun, menurut
pendapatku, urusan belum sampai separah itu" Asalkan puterimu dapat direbut
kembali, Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui kita hancurkan, kalian ayah dan anak pasti akan berkumpul
kembali" Dengan tertawa getir Thi Tok-heng berkata: "Puteriku itu kini mungkin sudah ternoda,
kudengar dia sudah melangsungkan pernikahan dengan Khong Giok-tik secara
264 sukarela, dari sini dapatlah dimengerti bahwa laki2 keparat itu telah mengisi hatinya
menggantikan kedudukan ayah-bundanya, perduli apakah dapat kita merebutnya kembali, yang
terang dia tidak akan bersyukur dan berterima kasih kepadaku ayahnya, malah sebaliknya dia
merasa benci dan dendam karena kami akan menghancurkan kebahagiaannya bersama
kekasih yang dicintainya itu ......."
Melongo juga Sebun Tio-bu mendengar uraian ini, analisa Thi Tok-heng memang
mendekati kebenaran dan kenyataan, tapi juga bernada dingin dan kejam, urusan
sudah terlanjur, demi mempertahankan gengsi dan melampiaskan penasaran, jiwa boleh di
sabung, raga boleh dipertaruhkan, tapi apa yang akan dihasilkan dari pertempuran
besar ini" . Entah sejak kapan bunga salju beterbangan di angkasa, embusan angin barat
menderu kencang terasa dingin Hujan salju semakin lebat, derap kaki kuda yang tak terhitung
jumlahnya itu berdetak di tanah berlumpur, rombongan demi rombongan orang
berbaju putih dengan gelang emas melingkar di kepala tengah menuntun kuda masing2
keluar dari hutan belukar sana, gerak-gerik mereka tampak cekatan dan lincah.
Pek-ih coat-to Thi Tok heng tampak bertengger di punggung seekor kuda yang
gagah kekar dan tinggi, kuda ini berwarna hitam dengan bulunya mengkilap.
Sungguh kuda yang hebat, kepalanya besar, telinga panjang berdiri, keempat
kakinya panjang dengan bulu putih menghiasi ke empat tapalnya, sikapnya yang gagah
sungguh mempesona. Thi Tok-heng memandang ke arah Siang Cin dengan senyuman lebar. Kini Siang
Cin sudah berganti naik seekor kuda coklat yang besar dan kekar pula, sementara
Sebun Tiobu, Kin Jin masing2 tetap menunggang kuda kesayangannya sendiri.
Kira2 setengah tanakan nasi, di tegalan belukar itu sudah terkumpul sekitar delapan
ratus penunggang kuda yang semuanya berpakaian putih, tanpa banyak suara
mereka bergerak ke barisan masing2, semuanya berdiri di tempat yang telah ditentukan.
Saat itu adalah pagi hari kedua sejak kedatangan Siang Cin bertiga.
Lima penunggang kuda tampak tampil dari tengah barisan dan menuju ke depan Thi
265 Tok-heng, pemimpin kelima penunggang kuda ini adalah seorang tua kecil kurus,
karena tubuhnya betul kurus kerempeng, perawakannya kecil lagi, seragam putih yang
dipakai orang lain kelihatan gagah dan kereng, baginya jadi kelihatan komprang dan lucu.
Dalam perundingan semalam, Siang Cin bertiga sudah melihat laki2 tua kurus kecil
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini diundang hadir, dia adalah kepala pengawal pusat, Yu-hun-kou cay ( si sukma
gentayangan berjari satu ) Ho Siang-gwat.
Empat penunggang kuda di belakangnya, seorang yang berkepala besar dengan
muka merah berbadan gemuk, ialah pahlawan utama di bawah Ho Siang-gwat, namanya
Soanpoh- jiu (si kampak) Tong Yang-seng. Sementara laki2 yang bermuka kuning seperti
orang sakit adalah Ping-long (serigala gering) Pau Thay-kik, orang ketiga berbibir merah
bergigi putih, berwajah cakap, berusia masih muda, dia adalah Pek-ma-gih-cui (si gurdi
berkuda putih) Kang Siu-sin, sedang orang ke empat yang berperawakan besar kekar adalah
Koanjit- khek (si kilat) Mo Hiong.
Keempat orang ini semalam Siang Cin sudah melihatnya, Ho Siang gwat yang berbiji
mata besar itu lantas berseru lantang: "Ciangbun Suheng, segalanya sudah beres
dipersiapkan, tinggal menunggup perintah untuk bergerak."
Thi Tok-heng mengangguk, katanya kereng:
"Ke empat pasukan yang lain, apa sudah kau hubungi mereka?" .
Ho Siang-gwat tertawa, katanya: "Sejak tadi sudah kukirim kabar kepada mereka,
merekapun sudah mempersiapkan diri, malah setengah jam lebih dini dari pada kami,
sekarang mungkin sudah hampir sampai di tempat yang ditentukan, memangnya
siapa yang berani main2 dengan keputusan rapat semalam?" Sampai di sini Ho Siang-gwat
menoleh ke arah Siang Cin dan menambahkan: "lote, hari ini kami ingin menyaksikan dengan
mata kepala sendiri akan kehebatan Kungfumu, betapa cepatkah gerakanmu . . . . "
"Mungkin Toa-houcu akan kecewa nanti," ucap Siang Cin dengan tertawa.
Ho Siang gwat tergelak, katanya.: "Lote, jangan, jangan sungkan . . . . "
"Toahoucu," sela Thi Tok-heng, "Orang2 Siang Goan-kan sudah ditarih kembali,
apakah pasukan Say cu-bun juga sudah kembali ke pasukan induknya?"
"Sudah ditarik kembali sebelum kita berkumpul tadi," sabut Ho Siang-gwat.
Segera Thi Tok-heng menggentak kudanya dan berseru: "Hayo berangkat!"
266 Ho Siang-gwat mengiakan sambil mundur, ia memberi tanda, maka suara tanduk
lantas berbunyi menggema angkasa, barisan berkuda dengan dengan penunggang serba
putih mulai bergerak dalam formasi yang teratur.
Thi Tok-heng mengulap tangan, katanya: "Kalian juga silahkan."
Maka Siang Cin bertiga lantas mengiringi Thi Tok-heng berada di belakang pasukan
besar, dalam pada itu di bawah pimpinan Ho Siang-gwat, kelima orang tadi sudah
larikan kudanya menuju ke barisannya masing2.
Pasukan berkuda ini hanya dilarikan pelan2 saja, sorot mata Thi Tok-heng
menampilkan cahaya yang aneh mengagumkan, katanya sambil menoleh kepada
Siang Cin: "Lote, waktu semalam kau mengumumkan kematian Siu-cu, semua pimpinan
barisan yang hadir dalam pertemuan itu merasa sedih, dendam serta gegetun, maklumlah Siu Cu
bergelar Thi-tan, tak nyana dia tewas dalam usia muda."
Guram air muka Siang Cin, katanya menyesal: "Waktu itu Cayhe pernah berjanji
kepadanya untuk membawa pulang tulang belulangnya ke padang rumput, tak
terduga karena situasi waktu itu, tak sempat aku menyelamatkan jenazahnya, . . . . Tapi
bahwa aku sudah pernah berjanji, maka pesannya pasti akan kulaksanakan, betapapun sulitnya
aku pantang ingkar janji, kalau tidak, di alam baka juga Ang heng tidak akan
tenteram . . . . "
Setelah menghela napas rawan, Thi Tok-heng berkata: "Begitu berita kekalahan
tempo hari tersiar ke padang rumput, aku lantas merasakan firasat jelek, tapi masih
kuharapkan berita itu hanya kabar angin saja, tak kira murid yang kuutus mencari berita belum
lagi pulang, dua orang murid dengan luka parah sudah pulang ke rumah . . . . Kemudian
It-cohcan Hoan Tam juga kembali dalam keadaan runyam, maka keputusan untuk
mengerahkan pasukan besar Bu-siang-pay kita juga lantas diputuskan . . . . Siang-lote, bicara soal
ini, mau tidak mau aku menjadi gemas, tidak kepalang dendam dan kebencianku . . . ." .
"Tay-ciangbun, sekian tahun Cayhe berkelana di Kangouw, selamanya belum
pernah aku menyiksa diri dengan bara dendam, karena bila Cayhe berkeputusan, maka
pembalasan dendam segera kulaksanakan," berhenti sebentar, Siang Cin menambahkan:
267 "Sekarang Tayciangbun,
tibalah saatnya untuk menuntut balas sakit hati."
Bercahaya mata Thi Tok-beng, seketika ia membusungkan dada serta berkobar
semangat juangnya, serunya dengan tepuk tangan: "Betul, ucapanmu memang betul
saudaraku, kini tibalah saatnya untuk membalas dendam kesumat ini."
Sebun Tio-bu bergelak tertawa, serunya: "Kalau begitu, kenapa Tay-ciangbun tidak
suruh mereka mempercepat lari kuda dan mengadakan serbuan besar2an."
Untuk pertama kalinya Thi Tok-heng tertawa lebar dan segar, serunya: "To Wankang,
perintahkan untuk mempercepat laju barisan"
Salah seorang penunggang kuda yang sejak mula selalu mengikut di belakang
segera membedal kudanya ke depan, dia memutar satu lingkaran dan memberi tanda, maka
barisan besar segera membedal kuda dan berlari kencang ke depan.
Dengan senang Thi Tok-heng berkata: "Empat penunggang kuda yang selalu
mengiringi perjalananku, ini adalah pengawal pribadiku, mereka dinamakan Jik tansu
kiat ( empat pahlawan setia ), yang kusuruh menyampaikan perintah tadi bernama To
Wankang, orang pertama dari Jik tan-su-kiat,"
Siang Cin tertawa, katanya: "Kali ini tiga Bun dan Cong-tong ikut datang di bawah
pimpinan Tay-ciangbun, entah berapa jumlah jago2 kosennya. pertemuan semalam
agaknya mereka belum, hadir seluruhnya?"
Dengan tertawa lebar Thi Tok-heng berkata: "Jago kosen ada dua puluh tiga dengan
anak buah tiga ribu lima ratus lebih, Siang-tote, kalau mereka berjuang mati2an,
kukira musuh akan pusing kepala dan dibikin kocar-kacir."
Belum Siang Cin menanggapi, Sebun Tio-bu sudah bergelak tertawa: "Bukan hanya
kepala pusing saja, malah sukma akan terbang dan nyalipun pecah, melihat barisan
serba putih ini dengan kemilau gelang emas di kepala, golok sabit bagai hutan lebatnya,
derap kuda yang gemuruh, tanggung Hek jiu-tong dan Jik san-tui akan lari ketakutan."
Dengan lantang Thi Tok-heng berkata: "Sebun lote jangan memuji, Jian-ki-beng
pimpinanmu itu bila beraksi mungkin jauh lebih hebat daripada ini . . . . . . . "
Sebun Tio-bu tertawa, katanya: "Ah, hanya sinar kunang2 belaka, mana dapat
dibandingkan dengan cahaya rembulan, hehe . . . . . . . " .
Kin Jin melirik ke arah Sebun Tio-bu, godanya: "Tangkeh, sejak kapan kaupun
pandai merendah diri?"
Di tengah gelak tertawa orang banyak barisan besar ini terus maju sampai hari
menjelang malam baru berhenti dan berkemah.
268 Hari kedua, menjelang terang tanah udara mendung, angin barat daya mengembus
kencang, menyapu segala benda di bumi yang dapat digulungnya, pada menjelang
fajar yang dingin ini, menambah perasaan tegang dan mengobarkan semangat tempur. .
Siang Cin, Thi Tok-heng dan lain2 membungkus diri dengan mantel masing2, kecuali
muka mereka yang kelihatan, seluruh badan terbungkus di dalam mantel tebal,
namun demikian hawa dingin masih membuat badan menggigil.
Pemuda cakap bergelar Pek ma-gin cui Kang Siu-sim sering mondar-mandir
membawa berita, kini dia berlari datang pula dengan gerakan lincah.
Thi Tok-heng lantas bertanya: "Siu-sim ke empat pasukan yang lain apakah sudah
berkumpul?"
Dengan suara serak Kang Siu-sim berkata: "Pasukan Bong ji-bun, di bawah
pimpinan Utti Han-poh Cuncu baru saja tiba, mereka berada di samping kanan Ce-ciok giam,
jadi empat pasukan besar seluruhnya sudah terkumpul?"
Thi Tok heng bertanya pula: "Apakah kurir yang diutus ke Cu ji wa untuk memanggil
Kim cuncu sudah kembali?"
"Belum," sahut Kang Siu sim, "kemungkinan mereka terlambat, tak sempat mengikuti
pertempuran di sini."
Thi Tok-heng berpaling memohon pendapat Siang Cin: "Siang lote, menurut
pendapatmu apa perlu kita menunggu kedatangan Kim cuncu baru mulai bergerak?"
Berpikir sebentar, Siang Cin berkata: "Lebih cepat lebih baik, supaya musuh tidak
bersiaga, kukira biarlah kita bergerak lebih dulu saja."
"Betul," timbrung Sebun Tio bu setelah menguap, "hawa sedingin ini, kalau tidak
melemaskah otot, orang2mu bisa beku di sini. Tay-ciangbun, bila tiba saatnya
menyerbu Pao-hou-ceng, berilah kesempatan kepada Kim-cuncu untuk unjuk kebolehannya."
Cuaca masih gelap, bunga salju bertebaran di angkasa, sekuntum bunga salju
melayang jatuh di muka Thi Tok hong, seketika cair menjadi butiran air terus meleleh ke
dagunya, pelahan mengusap air di mukanya Thi Tok- heng berkata: "Baiklah, Siu-sim,
perintahkan kepada pasukan kita siap menyerbu."
Kang Siu sim mengiakan, setelah memberi hormat, selincah kelinci dia melompat ke
sana melaksanakan tugas. Hujan salju semakin lebat, hawa tambah dingin dan
hening. Pelahan tanpa terasa secercah cahaya kuning mulai terbit di ufuk timur, seperti
diselimuti awan tebal, garis kuning yang mulai tampak itu menjadi remang2.
Thi Tok-heng membuka ikatan sebuah buntalan panjang melengkung yang
269 digenggamnya sambil berkata rawan: "Inilah hari yang menegangkan urat syaraf,
alam semesta se-olah2 jikut prihatin . . . . . ."
Siang Cin tertawa, katanya dengan nada rendah: "Tay-ciangbun, hari yang
mengesankan ini akan selalu terukir dalam sanubari setiap orang, Ce ciok-giam akan
direbut dengan cucuran darah .... . . . "
Thi Tok heng menghela napas, katanya serak: "Sebelum pertempuran berlangsung,
cuaca justeru seburuk ini, memberi alamat situasi yang bakal kita hadapi akan lebih
mengenaskan lagi . ... . .. . Tapi seperti apa yang Siang-lote katakan tadi, hari2 yang
akan datang ini akan terukir dalam sanubari kita, betapa banyak jiwa raga yang akan
terkubur di tegalan ini, membeku di bawah timbunan salju.. . . "
Tengah bicara tampak sesosok bayangan orang melompat datang pula, dia adalah
Kang Siu sim. Dengan kereng Thi Tok-heng berkata: "Siu-sim, sudah siap seluruhnya?"
Wajah Kang Siu-sim yang putih cakap kelihatan merah bersemangat dan berkeringat,
sahutnya cepat: "Seluruh barisan sudah siap melaksanakan penyerbuan ke arah
yang sudah ditentukan, tinggal menunggu perintah Tayciangbun untuk mulai bergerak."
Setelah mengawasi angkasa sesaat, kemudian Thi Tok-heng ambil keputusan dan
mengangguk: "Perintahkan bergerak menurut siasat yang telah direncanakan
semalam." Dengan penuh semangat kembali Kang Siu-sim berlari ke sana, sekejap itu pula
bunyi terompet mengalun tinggi bergema di udara. Belum lagi suara terompet yang satu ini
berhenti, dari berbagai penjuru menyusul bunyi terompet yang sama pula, paduan
suaranya yang keras dan bergelombang terdengar gagah bersemangat, membakar tekad
juang setiap insan yang mendengarnya.
Maka ribuan kuda serentak bergerak, suara lantang seorang lantas berteriak:
"Seluruh anak2 Say-cu-bun dengarkan, tibalah saatnya baju putih Bu-siang-pay dari padang
rumput menyerbu Toa ho tin, gunakanlah darah kita untuk menebus utang musuh terhadap
para saudara yang telah gugur". Ribuan suara serempak menanggapi seruan lantang itu:
"Serbu!"
- Suara yang dihinggapi emosi, penuh rasa dendam dan duka.
Seekor kuda mendahului menerjang ke depan dengan melambaikan mantelnya yang
berkibar, golok melengkung teracung di atas kepalanya, di belakangnya ribuan kuda
segera mengejar dengan kencang menuju ke Ce-ciok-giam, cahaya golok berkilau berpadu
270 dengan kemilau cahaya kuning emas, tapal kuda berderap di tanah bersalju sehingga terasa
bumi seperti bergoncang, raut muka setiap orang tampak merah bersemangat dan tidak
kenal takut. Empat penunggang kuda berjajar di belakang dengan tenang Thi Tok-heng
mengawasi pasukan Say-cu bun bergerak maju, wajahnya tidak memperlihatkan perasaan apa2,
katanya: "Para Lote, yang memimpin barisan pelopor kita itu adalah Seng si-to Ih Ce,
Toacuncu dari Say-cu-bun."
Siang Cin mengangguk dan memuji: "Orang ini gagah berani."
Tengah bicara, pasukan berkuda yang terdepan mendadak terjadi keributan, jeritan,
teriakan, caci maki campur aduk dengan ringkik kuda, barisan kuda yang berderap
ke depan menjadi kacau-balau, berlompatan, saling himpit dan tumbuk, para
penunggangnya tampak berusaha mengendalikan kuda masing2, tapi tidak sedikit yang sudah
terjungkal jatuh, sementara barisan yang di belakang masih terus menerjang maju, kuda sama
berdiri dan saling tindih, tak sedikit pula yang terluka oleh golok sendiri, dalam sekejap mata
belum lagi pertempuran berlangsung, pasukan kuda ini sudah roboh sebagian besar.
Sikap Thi Tok-heng tetap tenang dan tidak terpengaruh sedikitpun oleh perubahan
mendadak ini, tapi Sebun Tio-bu yang berangasan tak tahan lagi dan mencaci:
"Maknya, apa yang terjadi?"
Siang Cin diam saja, perhatiannya tumplek ke arah depan, dilihatnya dari samping
kanan sana seekor kuda tengah dibedal balik ke sini.
Karena ucapannya tidak ditanggapi, Sebun Tiobu berludah, teriaknya: "Thi-ciangbun,
biar aku menerjang ke sana, akan kubeset kulit dan mencacali tubuh para keparat
itu."
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Thi Tok-heng tersenyum, katanya kereng: "Harap tunggu sebentar, Sebun-lote, kalah
atau menang sekarang masih terlalu pagi untuk dikatakan.
Sementara itu si penunggang kuda itu sudah dekat, penunggangnya adalah seorang
laki2 berkepala besar, mukanya berewokan, cuaca sedingin ini tapi keringat tampak
membasahi seluruh badannya sampai pakaian lengket, napasnya memburu, melihat
Thi Tok-heng dia lupa memberi hormat, dengan cepat dan gugup ia berteriak: "Lapor
Tayciangbun, dua puluhan tombak sebelum Ce ciok-giam, musuh menggali perangkap
sepanjang ratusan kaki dengan lebar delapan kaki, dalam lubang jebakan penuh
dipasangi bambu runcing, tiga ratus pasukan pelopor kita ada dua ratusan yang kejeblos
perangkap 271 musuh, dikala mereka terjungkal jatuh itulah, dari atas Ce-ciok-giam beterbangan
ratusan kantong kapur untuk menimbun lubang perangkap, para saudara yang jatuh ke
dalam perangkap mungkin tiada seorangpun yang selamat . . . . . "
"Bagaimana keadaan Ih-cuncu?" tanya Thi Tok-heng dengan suara dingin.
"Cuncu selamat," sahut orang itu.
Thi Tok-heng mengangguk, katanya: "Perintahkan, maju terus!"
Laki2 itu mengiakan dan putar kudanya, tapi baru kudanya mau dibedal, selarik sinar
terang panah berapi mendadak menjulang tinggi ke angkasa. Maka barisan kuda
yang sudah kacau balau itu segera bergerak melebar, lekas sekali mereka membuat
setengah lingkaran, seorang penunggang kuda tampak berdiri di tengah lingkaran, orang ini
bukan lain ialah Seng-si-to Ih Ce. Padahal jaraknya lebih dari satu li, tapi teriakan Ih Ce
yang gagah itu kedengaran lantang: "Serbu! . . . ."
"Serbu! . . . . " serempak pasukan berkuda pun menerjang dengan suara gegap
gempita, laksana air bah dahsyatnya.
Ketika pasukan berkuda yang hebat ini tiba di depan parit galian, mereka tidak
langsung melompat maju dan menyerbu lebih lanjut, barisan yang terdepan segera
menarik kendali membelokkan arah kudanya terus berputar balik dari arah lain, dikala
membelokkan kudanya itu, tampak ratusan larik sinar kemilau beterbangan, tombak2
bersula tampak berseliweran ditimpukkan ke arah Ce-ciok-giam sederas hujan lebat.
Baru saja barisan pertama berkisar pergi, rombongan kedua menerjang maju pula,
kembali hujan lembing meluncut ke atas Ce ciok-giam, begitulah seterusnya sampai tujuh kali,
sementara rombongan pertama yang berputar ke belakang mulai menerjang maju pula terus
melompati parit langsung menerjang ke Ce-ciok-giam.
Jauh di belakang dengan seksama Thi Tok-heng mengawasi medan pertempuran,
pelahan dia berkata: "Kukira urusan tidak semudah ini . . . . . "
Siang Cin manggut, ucapnya. "Ya, pasti masih ada perangkap lagi ... . "
Belum habis dia bicara, suara ribut berkumandang dari depan, ringkik kuda
bercampur jerit dan pekik para penunggangnya. Cepat Siang Cin, dan lain2 memandang ke
depan, kiranya pasukan berkuda yang menerjang ke Ce-ciok-giam semuanya roboh
terjungkal, tiada seekor kudapun yang tetap berdiri tegak, seluruhnya jatuh bergulingan
dipandang dari 272 kejauhan, yang memiliki mata tajam dapat melihat jelas ada dua ratusan orang
berpakaian merah entah muncul dan mana, semuanya tengah menarik jaring yang sejak mula
telah direntang, tidaklah heran bila dua ratusan pasukan berkuda itu sama terjungkir balik
di dalam jaring. Dari balik batu Ce-ciok-giam sana lantas terjadi hujan panah, seluruhnya di arahkan
kepada pasukan berkuda Bu-siang-pay yang sudah bergelimpangan di tengah jaring,
kontan separuh lebih roboh menjadi korban.
Patut dipuji sisa pasukan yang masih hidup, meski ada yang terluka mereka tetap
tenang, ada yang rebah diam saja, ada pula yang sembunyi dibalik kuda yang
berjingkrak, serentak berpuluh batang tombak bersula batas menyerang ke arah musuh yang
masih terus berusaha menjaring mereka.
Dalam sekejap puluhan orang penarik jaring itu sama terjungkat roboh, sambil
berteriak kaget dan panik semuanya lantas kabur, tidak sedikit pula yang terhunjam mampus
oleh tombak bersula.
Thi Tok-heng menghela napas gegetun, katanya: "Tombak itu seluruhnya dilumuri
racun, begitu badan tergores ujung tombak, dalam tujuh langkah jiwa pasti
melayang."
"Bagus, ini baru sedap," sorak Sebun Tio bu.
Serbuan pasukan berkuda be dalam Ce-ciok giam untuk sementara menjadi
terhalang, maklum kuda dan para penunggangnya yang terjaring dan menjadi korban kelicikan
musuh ini, menjadikan penghalang barisan belakang yang hendak menerjang lebih lanjut,
kini pasukan Say-ji-bun sudah terbagi empat baris, sayang dalam waktu dekat sulit bagi
mereka untuk menyerbu lebih lanjut.
Dingin berwibawa sorot mata Thi Tok-heng, katanya sambil menoleh: "Siang-lote,
dalam keadaan seperti ini, kalau menurut pendapatmu, cara bagaimana agar dapat
mengatasi situasi?"
Siang Cin berucap dengan kalem: "Turun dari kuda, menerjang dengan
berjalan . . . ."
Belum lagi berakhir tanggapan Siang Cin, pasukan berkuda yang terbagi menjadi
empat baris itu serempak melompat turun dari kuda masing2, bagai banteng ketaton,
semuanya angkat senjata terus melompati parit dan menyerbu ke dalam Ce-ciok giam.
273 "Pendapat bagus," puji Thi Tok-heng sambil tersenyum.
Dengan tak sabar Sebun Tio-bu berkata: "Tay-ciangbun, kupikir, kini tiba saatnya
kita ikut terjun ke medan laga . . . . "
"Harap tunggu lagi sebentar," kata Thi Tok-heng dengan tersenyum.
Sorak sorai gegap gempita penyerbuan besar2an bergema menggoncang bumi,
orang berbaju merah itu semuanya berwajah bengis, bukan saja pakaian merah ketat, ikat
pinggangnyapun merah, banyak yang bertubuh kuat dan bertelanjang dada dengan
kampak di kedua tangan, bagai orang gila tanpa mengenal, takut merekapun menyambut
serbuan golok sabit murid2 Bu-siang-pay.
Munculnya orang2 Jik san-tui memang terlalu mendadak, jumlahnya juga berlipat
ganda daripada orang Bu-siang-pay, dalam sekejap pertempuran terbuka
berlangsung dengan sengit, Ce-ciok-giam menjadi ajang pertempuran adu jiwa.
Murid2 Say-cu-bun dari Bu-siang-pay menjadi terkepung di tengah orang Jik san tui,
tapi mereka tidak gentar, dengan tabah mereka menerjang sambit mengerjakan
golok sabit, sekuat tenaga dan mengerahkan segala kemampuan untuk melabrak musuh dari
kejauhan tampak jelas, betapa tangkas dan gesit bayangan putih yang berkutet di tengah
musuh yang serba merah, perbedaan warna yang menyolok ini membuat arena pertempuran
dapat disaksikan dengan jelas dari kejauhan, meski menang dalam jumlah, tapi orang2 Jiksan-
tui menjadi kacau-balau diserbu musuhnya yang kesetanan, tak sedikit korban jatuh
dipihak musuh. Thi Tok-heng memejamkan mata sekejap, katanya kemudian: "Baiklah, kini tiba
saatnya kita bergerak."
"Tay-ciangbun," sekilas pikir Siang Cin berkata, "kukira tidak seharusnya Tayciangbun
sendiri terjun ke arena, situasi medan pertempuran ini harus dalam
kekuasaanmu, mereka masih memerlukan petunjukmu, bila pihak kalian kehilangan pegangan,
situasi bisa berbalik menguntungkan musuh."
Berpikir sebentar, akhirnya Thi-Tok heng mengangguk katanya: "Pendapat bagus,
aku memang ceroboh, tapi terpaksa harus menyusahkan kalian bertiga saja." Lalu dia
berputar dan mengangkat sebelah tangannya ke arah Jik-tan-su-kiat yang berjajar di
belakangnya, 274 Tok Wan kang yang tertua segera larikan kudanya, suitan nyaring seketika
berkumandang, suitan disusul suitan terus bersambung ke medan tempur, suaranya semakin
melengking tinggi, dikala suara suitan itu mencapai titik tertinggi di kejauhan, mendadak bergema
balik lalu sirna. Maka pasukan berkuda lain yang sejauh ini bersembunyi serempak bergerak, bunga
salju berhamburan sehingga tanah tegalan yang luas dikejauhan sana seperti
dibungkus kabut tebal, pasukan berkuda serba putih dalam sekejap telah berbaris rapi dengan
gagah perkasa. Memandang ke sana sebentar, mendadak Siang Cin berseru kaget: "Tay-ciangbun,
apakah pasukan yang langsung di bawah komando Cong-tam juga akan diterjunkan
ke medan sana?"
Lekas Thi Tok-heng menjelaskan: "Betul, memang Hwi ji bun sudah kupersiapkan
sebagai pasukan belakang, barisan Bong-ji-bun kujadikan pasukan sayap kanan kiri,
sementara pasukan yang langsung di bawah komando Cong-tam kusimpan untuk
membantu Say-cu-bun sebagai kekuatan inti untuk melabrak musuh, waktu
berkemah tadi Hwi ji-bun sudah kubagi jadi dua kelompok yang berkedudukan di dua tempat, kini
mereka sudah kupendam di dua sisi Ce ciok-giam, bila tidak penting dan diperlukan, kedua
kelompok pasukan ini tidak akan kukerahkan."
"Itu baik sekali. Tay-ciangbun," ucap Siang Cin. "Sekarang kami akan maju. . . !"
Baru saja dia hendak ajak Sebun Tio-bu dan Kin Jin berangkat. tiba2 Thi Tok"heng
berkata "Siang-lote .. .."
"Apakah Tay-ciangbun masih ada petunjuk?" tanya Siang Cin.
Sepasang mata sang pemimpin besar yang bijaksana ini memancarkan rasa
terimakasih, haru dan simpatik, suaranya rendah mantap: "Harap kalian menjaga diri baik2,
seluruh anak murid Bu siang pay yang terjun ke medan laga kuserahkan kepadamu untuk
memerintah mereka."
Bimbang sejenak, akhirnya Siang Cin menjura, katanya: "Dalam waktu segenting ini,
tak perlu Cayhe main sungkan. Tay-ciangbun, biarlah Naga Kuning memberanikan
diri menerima beban berat ini."
Thi Tok-heng balas menjura, katanya: Tok-heng amat berterima kasih."
Bersama Sebun Tio bu dan Kin Jin, Siang Cin segera keprak kudanya ka depan,
tapal kuda berderap maju segencar bunyi tambur ber talu2, di antara lambaian baju2 putih
275 pasukan berkuda yang langsung di bawah komando Cong-tam segera bergerak.
Sebun Tio bu melongok ke arah Ce-ciok giam didepan, lalu berpaling ke belakang ke
arah pasukan berkuda, akhirnya dia menghela napas, katanya dengan nada kagum
"Siangheng,
bahwa Bu-siang- pay terkenal di seluruh jagat, menggetarkan dunia persilatan,
kesuksesan mereka kiranya bukan secara kebetulan, coba kau lihat, dengan
perbawa seperti
ini, gagah berani, setia dan bersemangat tinggi, semua ini menandakan betapa keras
disiplin mereka, sungguh patut dipuji."
Siang Cin sependapat, katanya: "Benar, hari ini baru terbuka mata kita . . . . . . . "
Kin Jin yang jarang bicara kini ikut tertawa, katanya: "Jangan suka mengagulkan
orang lain melulu, Tangkeh perserikatan Jian ki beng (ribuan penunggang kuda) di bawah
pimpinanmu itu kan juga bukan pelita yang remang2."
Tertawa Sebun Tio-bu dan berkata: "Bagus, cukup sepatah katamu ini, aku Sebun
Tio bu selama hidup ini akan mengikat kau sebagai sahabat Siang Cin dan Kin Jin hanya
tersenyum saja, pada saat itu Congtong Toa-houcu Ho Siang gwat dari Bu-siang pay
telah memacu kudanya mengejar tiba.
Cepat Sebun Tio-bu berteriak: "Ho-toahoucu, ada apa?"
Ho Siang-gwat ter gelak2, katanya: "Mohon tanya kepada kalian, kita tetap
menggempur dengan pasukan berkuda atau menyerbu berjalan kaki?"
Seperti punya perhitungan yang meyakinkan Siang Cin menjawab: "Serbu dengan
berjalan kaki, tapi tiga ratus pasukan berkuda harus tetap dipertahankan di luar
parit." Ho Siang-gwat tidak banyak bicara lagi, ia memberi tanda ke belakang, maka lima
puluhan anak buahnya di bawah pimpinan Ping long (serigala penyakitan) Pau Thay
ki segera memacu kudanya ke depan, dua puluhan orang penunggang kuda membawa
papan sepanjang setombak lebih dengan lebar lima kaki, kedua sisi papan ini tampak
dipasang gelang besi dan gantolan sebesar jari.
"Toa-houcu," tanya Siang Cin lirih, "apakah itu?"
Ho Siang-gwat tertawa, katanya: "Itulah Sin-siok-kio ciptaan khas Bu-siang-pay kita
yang tiada keduanya di dunia ini."
"O, jadi dengan permainan inilah kalian berhasil menyeberangi Liok-sun-ho tanpa
kurang suatu apapun?"
Ho Siang gwat mengangguk dengan bangga, sahutnya: "Ya, betul."
Dikala mereka bicara Pau Thay ki dan lain2 sudah tiba di depan parit, tampak
sepanjang tanah galian penuh berserakan bambu2 yang patah dan tikar rusak serta
276 rumput2 kering. Pau Thay-ki tahu bambu, tikar dan rumput2 kering inilah yang telah
mengelabui pasukan Say-ji-bun sehingga banyak jatuh korban, tanah galian sedalam dua tombak,
keadaan yang porak-poranda masih mengepulkan debu kapur yang terhembus angin,
sementara jerit rintih serta ringkik kuda masih terdengar dari dalam lubang, bila
diawasi lagi ujung bambu runcing yang dipasang tegak lebat itu banyak berlepotan darah,
manusia
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan kuda sama terhunjam mampus oleh bambu runcing ini, semuanya gugur dalam
keadaan yang mengerikan.
Di gundukan tanah di sepanjang tepi parit ini, mayat bergelimpangan, yang terluka
parah atau enteng, semua dalam keadaan payah, para korban sebagian besar
adalah orang Bu-siang-pay. Betapa ngeri dan pedih hati Pau Thay-ki dan lain2, tapi dengan mengertak gigi
segera dia memberi aba2: "Pasang jembatan!"
Lima puluhan prajurit berkuda serempak melompat turun, mereka tampak sedih, tapi
rasa dendam tampak pula membakar mereka, tanpa bicara dengan cekatan mereka
bekerja secara terlatih, mereka bekerja dengan menahan, rasa pilu dan dendam, dengan
cepat sekali papan2 panjang yang bergantolan itu disambung satu dengan yang lain, ada yang
pasang tiang serta mengayun palu, lembaran papan segera tersambung terus membujur ke
depan, sampai akhirnya papan terdepan menyentuh tanah di seberang sana.
Lekas sekali beberapa buah Sin-siok-kio telah berhasil dipasang, Pau Thay-ki
berpaling ke belakang, sementara itu pasukan besar berkuda juga telah tiba, lima ratusan
murid Busiang- pay sekali mendapat aba2, seluruhnya melompat turun, dengan tenang dan
teratur mereka membentuk dua barisan besar, cepat dan tangkas terus lari ke seberang
melewati jembatan yang telah terpasang.
Di samping itu masih ada tiga ratusan pasukan berkuda berdiri diam dalam tiga
barisan tersendiri. di bawah pimpinan Kang Siu-sim, mereka tetap menunggu perintah lebih
lanjut. Cepat2 Ho siang-gwat mendekati Pau Thay-ki, katanya: ?"Bawalah dua puluhan
anak buahmu, kumpulkan kuda kawan2. Coba lihat, semua lari serabutan, mereka
memang 277 sudah keranjingan membantai musuh hingga kuda masing2 tidak dihiraukan lagi."
Pau Thay-ki mengiakan, dengan suara tersendat dia berkata pula: "Toa-houcu,
saudara2 yang ada di dasar parit . . . . "
Ho Siang-gwat mendengus, omelnya: "Aku sudah tahu, apa yang harus disedihkan".
Begitulah akhir kehidupan seorang pahlawan, memangnya kita harus mati dalam
pelukan perempuan, menangis ter-gerung2 seperti kaum lemah?"
Mata Ho Siang-gwat mendadak mencorong merah, desisnya pula dengan penuh
kebencian:` "Utang darah ini akan kita tagih dengan rentenya. selamanya Bu-siangpay
tegas membedakan budi dan dendam ..... Thay-ki, jangan lupa, tolong para saudara
yang luka2." Hanya sejenak ini sudah lebih dari separuh lima ratusan murid Bu siang-pay itu telah
menyeberangi Sin-siok-kio. Siang Cin yang sejak tadi mengawasi segera
menghampiri, katanya dengan tenang: "Toa-houcu, Sebun-tangkeh dan Kin-heng sudah
menungguku di tepi parit sana, kulihat anak buahmu di bawah pimpinan Thong Yang seng dan Mo
Hiong itu seluruhnya gagah berani, kupikir sekarang juga boleh mulai mengadakan serbuan
besar2an."
Lekas Ho Siang-gwat berkata pula: "Terserah akan putusan Lote saja."
"Sekarang juga ku pergi, setelah seluruh barisan menyeberang Toa-houcu boleh
segera menyusul."
Ho Siang-gwat mengiakan.
Siang Cin menarik napas lega, tanpa kelihatan dia membalik tubuh, tahu2 dia
mumbul ke atas terus melayang ke seberang sana seringan burung terbang.
Sebun Tio-bu yang sudah menunggu di depan sana sampai terpesona, ia berseru
memuji: "Siang-heng, sungguh Ginkang yang hebat."
Siang Cin menanggapi dengan tawar: "Ah, biasa saja."
Kin Jin yang berada di sebelah Sebun Tio bu segera berseru: "Wah, betapa
ramainya di depan sana, hayolah jangan kita buang2 waktu."
Lekas Siang Cin berpaling ke sana, di dasar Ce-gok-giam banyak batu2 besar dan
kecil dengan aneka ragam bentuknya, bentrokan-langsung pasukan kedua pihak ternyata
telah mencapai puncaknya, murid2 Bu-siang-pay bertempur dengan gagah berani bagai
harimau 278 yang haus darah, dengan gigih mereka melabrak musuh yang jumlahnya berlipat
ganda, suara pertempuran menggetar bumi, sinar berbagai senjata menyilaukan mata,
darah muncrat menghiasi salju yang putih, kaki-tangan terkutung, kepala terpenggal, dada
berlubang, isi perut berceceran, korban terus berjatuhan.
Kedua pihak terus berhantam saling merobohkan tanpa ampun se-akan2 mereka
sudah kerasukan setan, tiada perasaan perikemanusiaan, tiada kenal kasihan dan maaf,
setiap insan yang lagi adu jiwa sudah dibakar emosi dendam, suara sudah serak, tapi mulut
mereka tetap berpekik dan mencaci, hanya satu yang terpikir dalam benak mereka,
ganyang musuh sebanyak mungkin sebelum kau sendiri dibunuh musuh.
Semua pahlawan Bu-siang-pay telah menyeberangi Sin-ciok-kio dengan tenang,
tanpa kelihatan sikapnya yang gelisah berderet menjadi lima baris, Swan poh-jiu Thong
Yangseng dan Koan-jit-khek Mo Hiong dengan tidak sabar tengah celingukan ke sana
Thong Yang-seng, memegang kampak raksasa yang lebar melengkung, tangan kiri
menyeret rantai
besi, sementara Koan-jit-khek Mo Hiong membekal senjata tradisi Bu-siang-pay,
yaitu golok sabit, Ho Siang gwat berada di paling belakang.
Siang Cin mengangguk serta bersuara lantang" "Boleh mulai !"
Sebun Tio-bu ter-bahak2, serunya: "Ini dia, saksikan aku orang she Sebun ini
mempelopori kalian menagih jiwa musuh." - Sembari berseru, dia mendahului
menubruk ke depan. Siang Cin memberi tanda, serunya: "Ikuti dia!"
Swan-poh-jiu Thong Yang-seng dan Koan-jit khek Mo Hiong segera ikut melompat
ke depan, keduanya meraung: "Hayolah saudara2, gunakan golok sabit membalas
dendam, sebelum mati takkan berhenti."
Sebun Tio-bu menerjang di paling depan, puluhan musuh telah dirobohkan, di
tengah pertempuran yang gaduh itu, dari arah gundukan batu sebelah kanan, dalam jarak
tiga tombak, mendadak serumbun anak panah selebat hujan memberondong ke arahnya.
Sambil gelak tertawa Sebun Tio-bu tidak menyingkir, dia malah melejit maju, di mana kedua
telapak tangannya di dorong, segulung angin pukulan yang dahsyat terus menderu
kedepan, 279 maka batu2 gunung di dasar Ce-ciok-giam seluas lima tombak sama tersapu remuk
berkeping2. di jengah tebaran batu pasir itu, tujuh-delapan sosok tubuh manusia ikut
terlempar, darahpun muncrat, panah yang menyambar datang itupun tersapu rontok
berjatuhan. Siang Cin melesat lewat sambil menepuk pundak Sebun Tio bu, serunya: "Tay-lik
kim kong-ciang yang hebat!"
Baru terdengar suaranya, tahu2 Siang Cin sudah melesat sejauh belasan tombak, di
tengah udara tubuhnya berputar, mendadak kedua kakinya memancal, maka dua
potong batu besar tiruan dengan dua orang didalamnya belum lagi sempat memberikan
reaksi, keduanya sudah menjerit dan roboh binasa.
Dengan tergelak Sebun Tio-bu memburu maju, mendadak puluhan batu di
sekelilingnya menjeplak terbuka, puluhan orang berbaju hitam segera menyerbu.
Codet dimuka Sebun Tio-bu mendadak bersemu merah, di tengah gerungan
mendadak dia berputar, dikala badan mendak sambil berputar inilah, sebuah senjata panjang
dengan lima jari yang terpentang diujung senjata bewarna hitam ini lantas menyambar,
hampir bersamaan dengan munculnya senjata aneh ini, puluhan orang berbaju hitam yang
menubruk itu sama terjungkal roboh sambil melolong keras darah muncrat, yang
mengerikan adalah leher mereka semuanya tercoblos bolong.
Tanpa berhenti Sebun Tio-bu melompat ke sana, waktu mash terapung di udara,
tangan sedikit menyendal, jari2 tangan yang terbuat dari besi di ujung senjatanya itu kembali
menderu kencang, "Blang". diselingi erangan tertahan, seorang berbaju merah
bertubuh tinggi besar sudah roboh dengan kepala remuk.
Kin Jin tahu2 sudah berada di samping Sebun Tio-bu, dengan tertawa dia berkata:
"Thimo- pi (lengan iblis besi) sungguh mengerikan."
Sementara itu pahlawan Bu-siang-pay di bawah pimpinan Thong Yang-seng dan Mo
Kiong juga telah menyerbu tiba, tanpa menunda waktu terus menerjang musuh,
hanya dalam sekejap saja, ratusan orang berbaju merah telah diganyang habis.
Siang Cin terus berkelebat kian kemari, di mana dia lewat tubuh manusia lantas
beterbangan darahpun berhamburan, jerit para korban yang meregang jiwa berpadu
dengan denging senjata yang riuh rendah.
Ganas sekali Thi-mo pi milik Sebun Tio bu itu, kalau bukan leher bolong pasti kepala
remuk, kembali sepuluh korban telah binasa, sementara Se-bun Tio-bu sudah melejit
tiba di 280 samping Siang Cin, teriaknya: "Siang heng, carikan lawan yang setimpal, hanya
mengganyang kaum keroco beginian rasanya kurang memenuhi selera. Keparat,
memangnya ke mana para pentolan yang biasanya suka tepuk dada, kenyataan kini
menjadi kura2?" Baru saja Siang Can mau menanggapi, tiba2 dilihatnya dua pahlawan Bu-siang-pay
telah roboh, sambil memeluk dada, padahal jelas bagi Siang Cin di mana pahlawan
Busiang pay tadi berada, sekelilingnya tiada kelihatan bayangan musuh, hanya tak jauh
di sebelah sana terdapat sebuah batu besar.
Dengan tertawa dingin Siang Cin berkata: "Tangkeh, batu di depan itu apakah kau
lihat?" Sekilas melirik Sebun Tio-bu sudah mengerti maksudnya, katanya tertawa:
"Memangnya kenapa?"
Siang Cin mendesis: "Gunakan Thi-mo-pi milikmu itu, renggutlah nyawa dari
kejauhan,"
Sebun Tio-bu lantas berputar. "Wut", Thi-mo-pi yang ujungnya terpasang jari2
tangan besi itu mendadak menyambar ke arah batu di depan sana, maka terdengar suara
"Cret", jari
besi itu mendadak ambles ke dalam batu, sekali sendal dan tarik, batu besar itu
terbawa terbang, di bagian bawahnya kelihatan dua kaki manusia tengah mencak2.
Sekuatnya Sebun Tio-bu menyendal pula, seperti main bandulan saja, batu besar itu
dilemparnya lima tombak jauhnya. "Wut", jari2 besi itu tertarik balik, kelima jari
besinya yang masih terpentang tampak berlepotan darah segar dan cuilan daging.
"Bagus, Tangkeh," puji Siang Cin tenang, "mainan tangan besi milikmu entah terbuat
dart bahan apa?"
"Terbuat dari anyaman rambut manusia serta kulit badak," demikian Sebun Tio bu
menerangkan dengan tertawa.
"Bagus," ucap Siang Cin tertawa, "sekarang mari kita cari musuh yang lebih
setimpal."
"Memang begitulah maksudku," seru Sebun Tio-bu bersemangat.
Maka keduanya melayang ke sana, Siang Cin sempat berkata pula: "Lima puluhan
tombak di belakang batu sebelah kanan itulah." - Dia mendahului menubruk ke sana.
Batu raksasa ini tingginya ada dua tombak, lebarnya ada setombak lebih, bentuknya
mirip benteng yang sudah ambruk, di belakang batu adalah sebuah tanah lapang, di
sinilah sedang terjadi pertempuran sengit.
Waktu Siang Cin berkelebat tiba di samping batu raksasa itu, baru dia melihat jelas,
kiranya dua pahlawan Bu-siang-pay dengan pakaian mereka yang khas tengah
melabrak 281 empat jagoan Hek-jiu-tong, kedua pahlawan Bu-siang-pay ini, seorang
berperawakan kekar, dada bidang, jenggotnya pendek kaku seperti sapu lidi, mata besar mulut
lebar, air mukanya kuning, gerak geriknya memperlihatkan betapa gagah perwira dan
garangnya. Seorang lagi berkepala kecil lonjong, tubuh kurus kecil, mata sipit hidung pesek,
kulitnya putih, tapi setiap gerak serangannya ternyata ganas dan keji mematikan, kedua
orang ini sama bersenjata golok sabit, gaman yang menjadi simbol kebesaran pahlawan2
padang rumput. Dua dari ke empat lawannya berpakaian hitam, dua lagi berpakaian serba merah,
jelas mereka dari Jik-san-tui, satu di antara kedua orang baju merah ini sudah pernah di
lihat oleh Siang Cin, dia bukan lain ialah Toh-gwat-coh-jin Pek Wi-bing, Sam-thauling atau
gembong ketiga Jik-san-tui.
Pertempuran kedua pihak sudah mencapai babak yang menentukan, tapi jelas meski
pihak Hek-jiu tong berjumlah lebih banyak, namun mereka justeru tak mampu
memungut keuntungan. Sebaliknya meski pahlawan2 Bu-siang-pay itu dua lawan empat,
mereka justeru berada di atas angin.
Sekilas menerawang, Siang Cin lantas berkata: "Tangkeh, ke empat orang ini
seorang diripun aku mampu menyikat mereka, kupikir biar aku saja tampil untuk
menggantikan kedua pahlawan Bu siang-pay itu . . . . . "
"Jangan " sela Sebun Tio-bu, "biar aku saja yang mencobanya, Lwekang ke empat
keparat ini tidak lemah, tak berani aku mengatakan mampu mengalahkan mereka,
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tapi untuk bertahan beberapa kejap tanggung tidak menjadi soal."
Siang Cin tertawa, katanya: "Baiklah, usaha ini kuserahkan kepadamu."
Setelah membetulkan pakaian, Sebun Tio-bu dan Siang Cin unjuk diri. Sudah tentu
berbeda sikap kedua pihak yang lagi bertempur itu, begitu kedua orang ini muncul,
kedua pahlawan Bu-siang pay itu tertawa kegirangan, semangat tempur mereka semakin
menyala. Sebaliknya ke empat musuh yang berpakaian hitam dan merah itu berubah hebat air
mukanya, semuanya menjadi pucat.
Dengan tertawa. Siang Cin berkata: ?"Saudara dari Bu-siang ini harap sebutkan
nama kalian. Aku Naga Kuning Siang Cin."
282 Laki2 setengah baya berperawakan tinggi kekar dengan berewok pendek itu tergelak2,
serunya: "Sungguh beruntung bertemu di sini, aku yang tak becus ini adalah Seng si-to Ih Ce."
Yang berperawakan kurus itu sekaligus membacok tujuh kali mendesak mundur
musuhnya, lalu berteriak: "Cayhe Pek-wan (lutung-putih) Siang Kong, arak buah
Say-jibun Bu-siang-pay."
Siang Cin menjura, katanya: "Kiranya Ih-cuncu dan Siang-heng, silahkan kalian
mundur dan istirahat, biarkan temanku ini menjajal kemampuan musuh."
Dengan tertawa lebar Ih Ce berkata: "Baiklah!"
Segera Sebun Tio-bu melompat maju, sekali bergerak tahu2 semua senjata lawan
kena disampuknya pergi. Hanya segebrak saja, baik kawan maupun lawan sama berteriak
kaget: "Thi-mo-pi!"
Sebun Tio-bu bergerak pula, Thi-mo-pi menyambar dengan tenaga dahsyat, angin
menderu kencang mendampar ke arah empat musuh.
Di luar arena Siang Cin tengah berkata dengan tertawa: ?"Ih cuncu, pasukan berkuda
di bawah pimpinan Ho-toa-houcu telah menyerbu tiba, silakan Ih cuncu dan Siang-heng
pimpin mereka mengganyang musuh."
"Kalau demikian, biarlah musuh di sini Siang-heng dan Sebun-heng yang
membereskan," demikian ucap Ih Ce, "ke empat orang ini termasuk pentolan musuh,
sekali2 tidak boleh di lepaskan . . . . "
"Cuncu jangan kuatir, kedatangan kami memang untuk mengucurkan darah dan
mencabut nyawa, bagaimana mungkin mereka dilepaskan begini saja?" demikian
ucap Siang Cin. Ih Ce memberi tanda kepada Siang Kong, keduanya lantas melompat ke atas terus
meluncur ke sana. Siang Cin memandang ke arena, dengan santai ia menyaksikan
jagonya berhantam. Tatkala itu Pek Wi-bing tengah putar kencang gelang baja di tangan kanan dan golok
ditangan kiri, deru kedua senjatanya menimbulkan suara yang memekak telinga,
gelang baja dengan golok melengkung pendek itu ternyata dapat menciptakan cahaya
kemilau, indah dan menakjubkan permainan kombinasi kedua senja,ta yang berlainan ini,
pantas dia berjuluk Toh-gwat-coh-jim (menyanggah rembulan dan golok kiri).
Kawannya yang juga berpakaian merah adalah laki2 berusia empat puluhan, pendek
283 gemuk bagai guci, gerak geriknya lincah dan tangkas, gamannya adalah garu yang
bergagang panjang, ternyata permainan senjatanya yang lain dari pada yang lain ini
cukup lihay dan ganas pula, kelihatannya dia sudah nekat dan siap mengadu jiwa.
Kedua laki2 baju hitam sama berperawakan kurus tinggi seperti tonggak, mukanya
yang tirus kehijauan tanpa mengunjuk perasaan, kedua orang sama menggunakan
sepasang Hou than kau (gantolan kepala harimau), maju mundur dan menyerang dapat
mereka bekerja sama dengan baik.
Di antara ke empat orang ini, hanya Pek Wi-bing seorang yang dikenal Siang Cin,
tiga yang lain masih asing baginya, tapi tak perlu diragukan bahwa mereka adalah jago
penting dari Hek-jiu-tong- atau Jik san-tui.
Meski satu menghadapi keroyokan empat musuh, bukan saja tidak gugup atau
terdesak, Sebun Tio-bu yang telah mengembangkan cakar-besinya, malah sering menyerang
daripada bertahan, musuh didesak dan dicecarnya, betapa lihay dan kuat ke empat lawannya,
lambat laun mereka semakin terdesak dan hanya mampu bertahan saja.
Dengan mencibir Siang Cin berkata: "Pek Wi bing, sudah lama kudengar namamu,
bukankah kau pun tak asing akan nama julukanku?"
Keringat sudah bercucuran, sembari putar senjata membendung serangan lawan,
Pek Wi-bing meraung dengan napas tersengal2: "Siang Cin kau membantu kejahatan.
tanpa hiraukan keadilan dan kebenaran kaum persilatan, kali ini kau tidak akan luput dari
tuntutan."
Mendadak Sebun Tio-bu menggentak. "Wut?", Thi-mo pi serta merta menyamber,
lekas Pek Wi-bing menyampuk dengan gelang baja di tangan kanan. "Traang", bunga api
melentik, hampir saja senjatanya mencelat terbang.
Mengawasi tingkah laku Pek Wi-bing yang menahan sakit dengan meringis itu, Siang
Cin tertawa, katanya: "Waktu di Pau-hoa-ceng tempo hari, Pek Wi-bing, seharusnya
kau tahu gelagat serta harus lekas ngacir saja, tapi kau justeru penasaran, sekarang
menyesalpun terlambat."
Beruntun membacok tiga kali, Pek Wi-bing balas menyerang sambil berkelit,
teriaknya: "Siang Cin . . ., dulu kau membantu Bu-siang-pay menyerbu Hek-jiu-tong, lalu bantu
mereka pula menghadapi Jik-san-tui . . . . . . kau, kau sampah persilatan, antek BuBARA
NAGA- Koleksi KANG ZUSI
284 siang pay . . ... .."
"Trang", senjata kedua orang berbaju hitam tersampuk pergi, sementara Thi-mo-pi
menyerempet lewat di atas kepala Pek Wi-bing, samberan anginnya yang keras
hampir saja menyebabkan Sam-thauling Jik-san-tui ini sesak napasnya, dengan wajah pucat
kehijauan, cepat dia melompat mundur dan hampir saja roboh terjengkang.
Menyusul Thi-mo-pi memukul pergi garu lawan yang lain, dengan tertawa Sebun Tiobu
berkata: "Orang she Pek, kau ini paling2 baru terhitung jago kelas tiga, berani
buka mulut menghina sang Naga Kuning yang disegani" Kalau kau dibandingkan dia,
umpama kau diharuskan menjilati telapak sepatunya saja masih belum setimpal."
Saking murka hampir saja Pek Wi-bing mati kaku, dengan nekat dia menerjang maju,
gelang dan golok berputar bersama, seperti harimau gila dia mencecar Sebun Tio-bu.
Thi-mo pi di tangan Sebun Tio-bu mendadak mencengkeram, se-olah2 berubah
menjadi ratusan jumlahnya, cakar tangan besi ini seperti berubah menjadi wajah setan yang
beringas. Inilah jurus ke tujuh yang dinamakan Jian-jiukim-liong (seribu tangan meringkus
naga), salah satu jurus lihay dari Hek-sat cap-it pi Sebun Tio-bu yang termasyhur.
Maka bayangan cakar tangan bertaburan di angkasa mengaburkan pandangan
orang, tampak Pek Wi-bing memutar kedua senjatanya bergetar sekali seperti dipagut ular,
mendadak badannya mencelat dan terbanting puluhan langkah jauhnya. Begitu
keras dia terbanting, tapi dengan bandel dia berusaha melompat bangun, tapi akhirnya dia
terkulai pula dengan lemas, kiranya pundak kiri dan depan dadanya sudah terluka, kulit
dagingnya terkelupas, darah berlumuran, malah tulang pundaknya yang patah itu tak menongol
keluar dari balik bajunya.
Hanya sekejap itu, bagai elmaut membayangi sukma para musuhnya, Sebun Tio-bu
bersiul aneh, dia terus tubruk ketiga musuhnya serta menyerang lebih gencar.
Siang Cin tertawa dingin, serunya: "Tangkeh, hayolah lekas akhiri!"
Terdengar Sebun Tio bu berseru: "Baik, satupun tak boleh ketinggalan hidup."
Selangkah demi selangkah Siang Cin menghampiri Pek Wi bing, sorot matanya
dingin tajam. Merinding Pek Wi-bing, dengan napas tersengal, dia menatap Siang Cin lekat2,
285 sekujur badan terasa dingin, jantung berdetak keras, begitu tegang dan paniknya sampai
luka di pundak dan dadanya tidak terasakan sakit lagi olehnya.
Dengan sikap ramah Siang Cin berhenti di depan Pek Wi-bing, katanya dengan nada
bersahabat: "Pek Wi-bing, dalam keadaan seperti ini, tiada ampun dan tak mengenal
kasihan lagi, bijaksana kepada musuh berarti menyusahkan diri sendiri, betul tidak?"
berhenti sebentar, dia tertawa dan berkata pula: "Aku tidak ingin berlaku kejam
terhadap diriku sendiri, oleh karena itu terhadapmu akupun tak boleh menaruh belas kasihan,
di Pauhou- ceng tempo hari, beruntung kau lolos dari Kim-lui-jiu Kin Jin, tapi hari ini kau
takkan lolos dari Jian-ciang yang kulancarkan."
Rasa ketakutan jelas kelihatan di muka Pek Wi-bing, bibirnya tampak gemetar, bola
matanya terbelalak, gelang bajanya yang kemilau tajam terangkat di depan dada,
dengan suara gemetar ia berkata: "Kau . . . . apa kehendakmu?"
Tertawa penuh arti, Siang Cin berkata: "Kuat hidup kalah mampus, ini adalah hukum
yang berlaku di kalangan kalian, hakekatnya kalian tidak perduli akan harkat
manusia, tanpa peri-kemanusiaan kalian bekerja asal menang untuk hidup, kini biarlah aku
meniru cara yang biasa kalian tempuh, kini aku adalah si kuat dan kau adalah si lemah ....."
Dengan suara serak Pak Wi-bing berteriak: "Kau, kau . . . . Siang Cin, kau hanya
memungut keuntungan di kala orang kesusahan."
"Terserah apa yang hendak kau katakan, tentunya kaupun maklum, sekalipun kau
tidak terluka, kau tetap bukan tandinganku."
Baru saia Pek Wi-bing mau bicara lagi, "cret". sebuah suara berkumandang dari
sana, lekas dia berpaling ke arah datangnya suara, kiranya kawannya yang bersenjata
garu itu tengah sempoyongan dengan kedua tangan memeluk batok kepala yang sudah
mumur dan akhirnya terjungkal binasa.
Dengan tenang Siang Cin menyaksikan urat hijau menonjol di pelipis Pek Wi bing,
katanya dengan santai: "Kau sendiri yang turun tangan atau perlu kulayani?"
Napas semakin memburu, keringat dingin mengucur semakin deras, mata Pek Wibing
seperti hampir melotot keluar, tubuhnya bergetar, berada di antara mati dan hidup,
sekarang baru dia tahu rasanya takut, bahwa dia hakekatnya juga seorang yang takut mati.
Dengan sorot mata tajam Siang Cin berkata pula: "Kalau aku yang turun tangan,
286 cepat saja, kau takkan menderita, karena gerakan tanganku melebihi samberan kilat
cepatnya . . . . " Pek Wi-bing betul2 pecah nyalinya, dia tidak tahan rasa sakit luka2nya, Iebih2 tak
tahan menghadapi ancaman elmaut yang bakal merenggut nyawanya, dengan
lunglai dia berteriak serak: "Siang Cin, aku . . . . aku mohon kepadamu, lepaskan aku pergi . . . .
ini dapat kau lakukan, kenapa kau harus membunuhku" kau kan tidak bermusuhan
dengan aku, semua ini hanya untuk orang lain . . . ."
"Lepaskan kau" Andaikata aku ya
ekilas lirik Siang Cin sudah melihat jala yang menyambar dirinya ini dihiasi ribuan
benda runcing bergantol mirip pancing, sebat sekali ia menggeser mundur, lalu
dengan gerakan yang lebih cepat pula ia mendesak maju pula, sekali bergerak, sepuluh jurus
pukulannya secara berantai telah dilancarkan.
Begitu cepat pukulannya, ganas dan keji, semuanya mengincar tempat yang
mematikan. Kaget si nyonya baju hitam dan melompat menyingkir dengan menjerit heran.
Segera Sebun Tio-bu doyong ke samping, ke dada seorang yang menerjang maju
kena dikepruknya remuk, dengan cara yang sama kembali dia merobohkan seorang lawan,
di tengah suara gedebukan gara2 korbannya yang terbanting roboh itu, dia bergelak
tertawa: "Janda hitam, Lo-sat-bong (jala kuntilanak) andalanmu ini jangan harap akan
menjaring sang jejaka ganteng seperti dia."
Wajah si nyonya baju hitam yang kaku menghijau seketika berubah jengah, beruntun
ia mainkan jaringnya, dengan gusar dia membentak: "Kau, siapa kau" Darimana kau
mengenalku'"
Sebun Tio-bu tertawa, katanya: "Siapa yang tidak kenal adik tua perempuan To hayliong
Giam Ciang, tertua Sio-lian-su-coat dari Pek-hoa-kok", Sungguh kasihan, usia
masih begini muda sudah menjadi janda sungguh mengharukan ... . ."
Keruan seruan bersungut wajah si nyonya baju hitam, dengan gemas jalanya segera
diputar kencang hingga menderu, ternyata permainan jalanya ini merupakan
kepandaian khas, jala yang lemas panjang ini kadang2 disabetkan sebagai cambuk, tapi juga
bisa dibuat mengepruk seperi toya, menggubat seperti tali, tiba2 bertebaran pula seperti hendak
menjaring ikan terutama duri2 bergantol seperti pancing itu dengan sinarnya yang
kemilauan membingungkan orang, setiap serangannya cukup keji dan mematikan.
Siang Cin memperlihatkan kegesitannya, ia bergerak pergi datang dengan lincah,
begitu cepat laksana bayangan sehingga sukar diduga ke arah mana dia bakal bergerak,
kelihatan dia hendak melompat ke depan, tapi kenyataan sudah berada di samping, lebih
hebat lagi di 244 tengah gerak geriknya yang sebat itu sering dia melancarkan pukulan gencar, angin
pukulannya se akan2 mendampar dari berbagai arah, malah angin pukulan yang
mendampar ini ber-lapis2 seperti gelombang laut sehingga lawan yang memainkan
jala itu hampir2 tak dapat bergerak.
Napas nyonya itu mulai memburu, keringat telah membasahi wajahnya, kini dia
hanya mampu membela diri atau bertahan melulu, kalau keadaan seperti ini berlangsung
lebih lama lagi, jelas dia tidak kuat bertahan lagi.
Tiga laki2 baju merah yang masih bertahan kelihatan masih berkepandaian lebih
tinggi daripada kawan2nya yang mampus lebih dulu, tapi melawan Sebun Tio bu yang
gagah perkasa segarang harimau mengamuk, dalam sekejap saja dua di antaranya telah
dibinasakan, tinggal seorang lagi mukanya sudah berlepotan darah, cepat dia
berlutut dan minta ampun pada Sebun Tio bu.
Sebun Tio-bu ter-gelak2, orang yang terluka dan dijinjingnya sejak tadi itu dia
serahkan kepada laki2 yang berlutut di depannya, lalu dengan kereng dia berkata: "Temanmu
ini terluka karena berani melawan tuan besarmu, tapi dia jauh lebih baik daripada kau
yang gentong nasi ini, lekas panggul dia pergi dan diobati, ingat selanjutnya jangan
bertingkah sebagai orang gagah kalau kau memang tidak becus. Nah, lekas menggelinding
pergi, jangan bikin tuan besarmu marah melihat tampangmu."
Laki2 yang sudah pucat dan kaki tangan gemetar itu dengan ter-gopoh2 pondong
temannya terus ngeloyor pergi hingga lupa mengucapkan terima kasih lagi cepat
bayangannya lenyap di balik batu di luar sana.
Sebun Tio bu menghela napas lega, katanya sambil menarik alis: "Siang-heng, kini
boleh kau robohkan perempuan genit ini, buat apa kau main2 saja dengan dia?"
Di tengah pembicaraan itulah, tampak kedua bayangan orang yang lagi bertempur
mendadak seperti merapat, tapi cepat sekali terpisah lagi, "wut", jala si nyonya
tampak menyambar lewat di alas kepala Siang Cin, dalam sekejap ini terdengar nyonya itu
mengeluh tertahan, tubuhnya berputar terus roboh terbanting.
Dengan tajam Siang Cin tatap lawannya yang meringis kesakitan dengan butiran
keringat di dahinya. jengeknya: "Bila kulihat kau lagi pada kesempatan lain, nasibmu
takkan sebaik sekarang ini biasanya aku tidak sudi melabrak kaum perempuan, tapi
hanya sekali ini saja aku memberi kelonggaran."
Sebun Tio-bu mengulap tangan sambil berteriak: "Hayolah pergi, bantuan musuh
245 telah tiba." Memang bunyi tambur dan gembrengan yang gencar terdengar ber-talu2 di luar
sana, suara senjata serta teriakan dan derap langkah mereka yang berlari tengah
memburu ke arah
sini. Baru saja Siang Cin hendak beranjak, nyonya baju hitam yang duduk mendeprok di
lantai itu mendadak berseru dengan mengertak gigi: "Bajingan tengik, kau kalau
berani, sebutkan namamu."
Mencorong sorot mata Siang Cin, jawabnya dengan dingin: "Akulah si Naga Kuning
Siang Cin."
"O," teriak si nyonya tertahan sambil mendekap mulut, mukanya yang pucat tampak
semakin pucat, dengan kaget dan bingung ia pandangi Siang Cin, seperti tidak
percaya pada pendengarannya sendiri..
Sebun Tio-bu tertawa lebar, katanya: "Genduk ayu, tak usah takut, Siang-heng ini
takkan tega membunuh kau, mungkin kau ingin juga tahu nama julukan tuan
besarmu ini"
Haha, tapi takkan kuberitahu, biarlah kau menduga2 saja."
Habis berkata kedua orang terus lari ke arah undakan batu di sebelah kamar kanan,
sekali membelok ke sana jejaknya lantas lenyap.
Habis menaiki tangga batu, di atas adalah sebuah panggung datar, dari tempat
ketinggian ini terlihat jelas puluhan obor bagai rantai memanjang dengan kerlipan
senjata yang tengah bergerak mengikuti bayangan orang banyak menuju ke bangunan
gedung di sini suara caci maki, teriakan dan bentakan bercampur-aduk, suasana tampak kacau
balau. Ada sepuluh bayangan orang yang melambung ke atas, dengan tangkas menubruk
ke arah kamar batu itu, dari gerak gerik mereka yang gesit, jelas semuanya memiliki
Ginkang tinggi, belasan orang ini terang adalah tokoh2 silat kelas tinggi.
Sebun Tio-bu menyeringai, katanya lirih: "Sebetulnya ingin aku melabrak mereka,
apa boleh buat, sekarang bukan waktunya."
Siang Cin mengangguk, katanya: "Hayolah kita tempuh arah yang berlawanan" Maka
bayangan kedua orang segera melenting tinggi ke depan, di tengah udara keduanya
membelok terus meluncur lebih cepat lagi, begitu cepat serta indah gaya mereka,
dalam sekejap saja telah lenyap di telan kegelapan . .. . . . "
Toa ho-tin sudah berada di depan pula. Sebun Tio bu dan Siang Cin yang berlari
246 kencang bagai terbang mengerahkan langkahnya, akhirnya keduanya menghela
napas lega, kata Sebun Tio bu: "susah juga semalam ini, sayang tak berhasil menolong
seorangpun, tapi jelas ada beberapa anggota Bu-siang-pay yang masih hidup sejak kekalahan
mereka di Pi-ciok-san tempo hari."
"Betul," ucap Siang Cin, "entah bagaimana nasib mereka kini?"
Sebun Tio-bu mengusap keningnya katanya: "Kupikir nasib mereka takkan seburuk
anjing yang dijagal."
Siang Cin menggeleng dan berkata: "Menurut dugaanku, mereka akan menyandera
beberapa orang itu, bila pihak mereka terdesak, para tawanan itu akan dijadikan
jaminan untuk menyelamatkan diri."
"Dugaan tepat," sera Sebun Tio bu, "pasti begitulah, tapi kita tidak tinggal diam,
harus gagalkan maksud mereka itu."
Siang Cin tidak menanggapi, ia sedang menatap ke arah pohon cemara di sebelah
kiri jalan berlumpur sana, sebagai kawakan Kangouw yang sudah berpengalaman
Sebun Tio-bu bisa lihat gelagat, dirasakan adanya gejala yang tidak sehat di sebelah sana, dengan
tertawa dia mendahului melangkah ke depan, ia sengaja berseru keras: "Sia2 berjerih payah
semalam suntuk, hasilnya nihil dan jiwa nyaris melayang, sungguh menjengkelkan."
sembari bicara dia merogoh saku, tapi sebelum dia menarik tangannya, dari arah
hutan cemara di sebelah kiri terdengarlah gelak tertawa lantang, sesosok bayangan
tampak melayang keluar.
Sekilas melengak segera Sebun Tio bu menggerutu: "Neneknya, kiranya Kin Jin."
Pendatang ini memang Kim-lui-jiu Kin Jin, agaknya diapun sudah kepayahan, rona
mukanya menampilkan rasa letih dan lesu, begitu berhadapan dengan Sebun Tio bu
dan Siang Cin, dengan gerak ke-malas2an dia mengulap tangan kepada Sebun Tio bu,
katanya: "Sebun-heng, Thi-mo-pi (lengan besi iblis) yang tersimpan di sakumu itu jangan kau
keluarkan, dari kejauhan kulihat kau merogoh saku, segera aku tahu niat apa yang
hendak kau lakukan . . . . "
Sambil ngakak Sebun Tio-bu keluarkan tangannya, katanya: "Kukira keparat mana
yang belum kapok, berani main cegat dan main sergap di sini, tak tahunya kau."
Sambil menggeliat malas, Kin Jin berkata: "Sejak tadi Cayhe main kucing2an dengan
mereka supaya ada peluang untuk kalian lolos keluar beraksi di belakang, ternyata
mereka 247 menyangka hanya aku seorang saja penyatronnya, bukan saja pendopo itu dikepung
berlapis2, jago merekapun semua dikerahkan ke sana, terpaksa seorang diri aku
melawan tujuh belas jago mereka, bicara terus terang, aku sudah kepayahan dan tak kuat bertahan
lama lagi, untunglah pada detik2 genting itu seorang berlari masuk dari luar, entah apa
yang dilaporkan, tapi sebagian besar jago yang mengerubut diriku segera menjadi ribut
serta mengundurkan diri, kupikir pasti kalian sudah mulai bereaksi, setelah kulabrak
mereka beberapa kejap lagi aku lantas menerjang keluar kepungan, untung lawan sudah
berkurang sehingga dengan leluasa aku dapat meloloskan diri."
Setelah menghela napas, ganti Sebun Tio-bu menceritakan pengalamannya secara
ringkas, lalu dia menambahkan: "Berjerih payah semalam suntuk, tapi hasilnya nihil,
cuma pihak musuh dapat kita bikin porak-poranda, terhibur juga hatiku."
Hening sejenak akhirnya Kin Jin berkata pula: "Biarlah masih banyak waktu buat kita
bergerak lagi."
Memandang cuaca Siang Cin berkata: "Sekali gebrak tak berhasil berarti sudah bikin
musuh waspada, untuk pergi lagi ke sana jelas takkan membawa hasil apa2, maka
menurut hematku, mari sekarang kita menuju ke Liok-sun-ho saja."
Mendadak Sebun Tio bu berkata sambil gosok2 tangannya: "Siang heng, bila kita
bertindak sesuatu, apakah pihak Bu-siang pay tidak akan merasa di langkahi?"
"Coba Tangkeh terangkan dulu urusan apa?" tanya Siang Cin.
"Kalau kukerahkan Jian ki-bing untuk membantu bagaimana?" ucap Sebun Tio-bu.
Lama Siang Cin tatap muka orang, katanya kemudian dengan nada terharu:
"Tangkeh, sekali bertemu kita seperti saudara sendiri, engkau sudi membantuku, aku sangat
berterima kasih, demi hubunganku dengan pihak Bu-siang-pay, kau rela mengerahkan seluruh
kekuatanmu, sungguh tidak tahu apa yang harus kuucapkan. Tapi untuk kali ini,
betapapun Cayhe tidak bisa membenarkan bila jiwa anak buahmu harus ikut dipertaruhkan."
Lama Sebun Tio-bu mengawasi Siang Cin, akhirnya dia menghela napas, katanya:
"Lalu bagaimana menurut pendapat Siang-heng . .. . . . ."
Tenang suara Siang Cin: "Kali ini Bu-siang-pay mengerahkan seluruh kekuatannya,
apa yang mereka perlukan sekarang kukira lebih mengutamakan bantuan jago2 seperti
kita ini, pertempuran yang akan terjadi, kekuatan pasukan memang juga mengesankan, tapi
kemampuan individu lebih diutamakan lagi, entah bagaimana pendapat "Tangkeh?"
248 Kata Sebun Tio-bu sambil angkat pundak: "Kau lebih tahu Siang-heng, terserah
bagaimana keputusanmu saja."
Tiba2 Kin Jin menyela: "Sebun-tangkeh, apa yang dikatakan Siang-heng memang
betul, tugas ini biarlah kita bertiga saja yang melakukan, kalau terlalu banyak tenaga
bukan mustahil akan banyak jatuh korban, boleh diputuskan begitu saja, sekarang marilah
kita berangkat ke Liok-sun-ho."
"Khabarnya pihak Bu-siang-pay telah menyeberangi sungai," ucap Sebun Tio bu.
Berpikir sejenak Siang Cin berkata: "Aku heran, konon Liok-sun-ho amat dalam dan
berbahaya untuk di seberangi, musim dingin airpun tidak membeku, sepanjang tahun
arus air selalu deras, tempat itu merupakan daerah yang berbahaya, kenapa pihak Hek jiu
tong dan Jik-san-tui tidak-pasang perangkap atau mengatur jebakan di sana untuk
membendung serbuan Bu-siang-pay dikala mereka menyeberang sungai?"
Kin Jin tersenyum, katanya: "Arus Liok-sun-ho memang sangat deras, kedua tepi
sungai dipasang rantai sebagai peluncur rakit, batu karang memenuhi pinggir sungai
sehingga tiada tempat datar, bahwa di sana tidak leluasa untuk melakukan
pertempuran terbuka, hanya orang2 yang berkepandaian tinggi saja yang mampu berjaga di sana,
kukira pihak Hek-jiu-tong dan Jik san-tui juga sudah memikirkan keadaan yang serba sulit
itu sehingga mereka tidak berpikir untuk mengatur perangkap di sana." .
Sebun Tio-bu menggeleng, katanya: "Analisa Kin-heng yang pertama memang betul,
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tapi perkiraanmu selanjutnya kukira kurang tepat. Kekuatan Hek jiu-tong dan Jik-san
tui di daerah sini sangat besar, urusan sekecil apapun takkan luput dari pengawasan
mereka, apalagi gerakan besar2an dari Bu siang-pay?"
"Ya, betul," sela Siang Cin, "kecuali Liok-sun-ho, adakah tempat lain yang berbahaya
untuk menyergap musuh?"
Sekilas Sebun Tio bu tertegun, akhirnya dia berteriak: "Pertanyaan bagus. Kin-heng,
empat puluh li di sebelah timur Toa ho-tin bukankah ada suatu tempat yang
dinamakan Ceciok-
giam" Di sana bisa dipendam pasukan besar, tempatnya mudah dipertahankan
dan leluasa untuk menyerang, daerah itu merupakan tempat penting yang harus dilalui
bila hendak menuju ke Toa-ho tin lewat Liok-sun-ho. Bukan mustahil musuh sedang
menghimpun seluruh kekuatannya di sana?"
Siang Cin dan Kin Jin manggut bersama, Siang Cin bertanya pula: "Kecuali Ce ciokgiam,
adakah tempat lain yang berbahaya pula?"
"Kecuali Ce ciok giam, sampai dengan Toaho tin adalah tanah ladang yang datar."
249 "Baiklah, sekarang kita lewat Ce-ciok giam langsung menuju ke Liok-sun-ho, sambil
lalu memeriksa keadaan di sana apakah ada sesuatu yang mencurigakan, supaya
pihak Busiang- pay bisa mempersiapkan diri."
Sebun Tio-bu manggut2, katanya: "Siang-heng, di Pau-hou-ceng, pemimpin utama
dan kedua mereka tidak keluar, sementara Sio-lian-su-coat dari Pek-hoa-kok yang
datang juga hanya Kui-kok khek Pa Cong si saja yang keluar, pihak Toa to-kau juga cuma Han
mo siang-kiu saja yang tampil ke muka, sedang Jit ho hwe hanya Ciang Heng si setan
tua itu saja, pentolan utama mereka boleh dikatakan tiada yang hadir di sana . . . . . . "
"Betul, belakangan pihak Toa-to-kau memang datang lagi empat Kiu-thau,
sementara Losu (orang ke empat) dari Sio lian-su-coat, Tang-bong Se Siau juga tiba, tapi
tokoh2 penting mereka tetap tidak tampak, menurut hematku, mereka pasti sedang
mengatur perangkap . . . . . "
Menepuk paha Sebun Tio bu berseru: "Siangheng, tunggu apalagi sekarang?"
Dengan tenang Siang Cin berkata: "Tangkeh, kau lapar tidak?"
Sebun Tio-bu tertawa, katanya: "Memang, baru sekarang cacing pita dalam perutku
minta diberi makan, cuma tidak bawa rangsum, ke mana kita cari makan?"
"Kira2 tiga li di depan ada sebuah warung," demikian ucap Kin Jin "disana ada bubur
kacang dan wedang tahu, marilah sekedarnya isi perut di sana."
Lalu dia, mendahului melesat ke depan, Siang Cin dan Sebun Tio-bu segera
menyusul di belakangnya, tiga bayangan orang berkelebat laksana gumpalan kabut, cepat
sekali lenyap di telan kegelapan bayang2 pohon.
Fajar sudah hampir menyingsing, entah apa pula yang akan terjadi setelah terang
tanah" Kedua ekor kuda dibedal kencang keluar hutan sebelah sana, tampak Siang Cin
bersama Kin Jin menunggang seekor kuda, sementara Sebun Tio bu menunggang
kudanya sendiri. Cepat sekali tanpa terasa padang lalang yang memagari kedua sisa jalan berlumpur
ini sudah tertinggal jauh di belakang. Pada ujung tanah belukar di depan sana
terbentang sebuah sungai yang sudah kering, sungai kering ini melingkar dari selatan ke utara
membelah padang lalang ini. Di tengah sungai berserakan banyak sekali batu2 besar
250 kecil yang beraneka ragamnya, anehnya batu2 di sini semuanya berwarna coklat, begitu
luas dan tak terhitung banyaknya batu2 coklat itu, bertumpuk dan malang melintang tidak
keruan. Siang Cin mengawasi sungai kering ini dengan terkesiap, katanya: "Tempat ini
memang berbahaya."
"Kalau tidak, berbahaya takkan dinamai Ce Ciok-giam," ucap Kin Jin.
Sebun Tio-bu yang berada di depan berteriak sambil menoleh: "Sudah sampai,
Siangheng sudah kau saksikan bukan" Selokan ini panjangnya ratusan li, lebarnya hampir
setengah li, selokan ini merupakan peninggalan sungai besar di jaman purba, bila dia
mau mencaplok manusia, meski laksaan jiwa juga bisa dilalapnya sekaligus."
Siang Cin tersenyum, katanya: "Belum terlihat tanda mencurigakan, Tangkeh mari
coba putar ke arah lain."
Mereka terus membelok ke kanan, setelah beberapa kali lompatan, akhirnya kedua
kuda tiba pada sebuah tanah lekukan, kecuali ada tiga batang pohon yang setengah
gundul, tiada rumput atau pepohonan lain yang tumbuh di sini.
Sebelum kuda berhenti berlarinya, Siang Cin segera melayang turun ke pinggir tanah
lekukan itu, lalu ia melompat ke sana dan berhenti di belakang sepotong batu cadas
besar warna coklat. Segera Sebun Tio-bu dan Kin Jin juga menyusul tiba, dalam jarak ratusan langkah,
tepi Ceciok-giam sudah berada di depan mereka.
Dengan mengerut kening Sebun Tio bu berkata, ke mana saja kawanan anak kura2
itu bersembunyi" Memangnya kita yang salah arah" Tapi sepanjang jalan ini tidak
terlihat adanya sesuatu yang tidak benar" Memangnya Hek-jiu tong dan Jik-san-tui bernyali
kecil dan cuma bersembunyi di Pau-hou-ceng atau Toa-ho tin?"
"Tidak akan salah, disinilah tempatnya," ucap Siang Cin.
Kin Jin juga berkata dengan tertawa: "Em betul, ada beberapa batu besar itu
kelihatan ber-gerak2 . . . . . ."
Lekas Sebun Tio-bu mengawasi dengan seksama, memang benar, di dekat pinggir
selokan memang dilihatnya sebuah batu bisa bergerak merambat, meski pelahan
gerakannya, bila tidak diperhatikan orang takkan tahu akan kepalsuan dari batu itu.
251 Sebun Tio bu berseru: "Keparat, permainan macam apa ini?"
"Tangkeh," ucap Siang Cin sambil bersandar pada sebuah batu besar di sampingnya,
"Jian-ki-beng pimpinanmu biasanya bergerak secara terang2an, dalam
menyelesaikan urusan juga suka blak2an, bila urusan bisa didamaikan pasti pantang angkat senjata,
sebaliknya kalau bertempur akan berjuang sampai titik darah terakhir. Sepak terjang
ini jelas jauh berbeda dengan orang2 Hek-jiu-tong serta Jik-san-tui, tak heran laki2 yang
gagah berani seperti kau juga mudah dikelabui oleh kelicikan musuh."
Sebun Tio- bu tertawa, katanya: "Batu, besar yang aneh2 bentuknya itu berwarna
sama, di antaranya memang banyak yang tiruan . . . . ..."
Setelah mengawasi sebentar akhirnya Kin Jin menanggapi pelahan: "Batu2 tiruan itu
semuanya terbuat dari kulit binatang yang keras serta diwarnai, di dalamnya
bersembunyi manusia, sayang batu yang berserakan dan bertumpuk tindih itu sangat banyak
sehingga sulit juga membedakan mana yang tulen dan mana yang palsu, batu2 tiruan itu
memang dibikin oleh tangan ahli, kalau tidak diteliti memang mudah dikelabui . . . . ".
Siang Cin mengangguk, katanya: "Jangan sampai musuh tahu akan jejak kita, kini
waktu sudah mendesak, hayolah berangkat."
Setelah mengawasi sekian lamanya pula batu2 yang berserakan di kejauhan sana,
Kin Jin berkata: "Terpaksa kita harus putar balik saja supaya tidak menimbulkan curiga
mereka, bukan mustahil kedatangan kita sudah diketahui mereka."
Mendadak Sebun Tio-bu mendekam serta ber-kata dengan suara tertahan: "Awas,
ada serombongan orang."
Lekas Siang Cin dan Kin Jin ikut berjongkok, lalu mereka mengintip, kira2 lima
ratusan langkah disana, tampak dua puluhan orang Jik-san tui yang bersenjata
kampak dengan memanggul busur dan panah dengan sikap tegang dan waspada sedang
merunduk maju seperti tengah menghadapi musuh. Sambil membungkuk menggeremet maju,
tapi arah mereka sedikit melenceng, maka mereka terus lewat di sebelah Siang Cin
bertiga sehingga jejak mereka tidak sampai konangan.
Sambil menahan napas mereka mengawasi orang2 Jik-san tui ini turun ke selokan,
diam2 Sebun Tio-bu mendengus: "Untung mereka tidak kemari, kalau tidak, cukup
sekali gebrak, saja tanggung seluruhnya akan kubereskan."
252 "Malah semuanya akan mampus dengan leher berlubang," demikian goda Siang Cin
tertawa. Sebun Tio bu tertawa dan berkata: "Darimana kau tahu, Siang-heng?"
"Bagi insan persilatan yang berkecimpung di Kangouw, siapa yang tidak tahu cara
khas Cap-pi kun cu melukai orang" Sepuluh korban sepuluh lubang di tenggorokan
mereka," merandek sejenak lalu Siang Cin menambahkan, "semula Cayhe masih berpikir,
kenapa waktu di Pau-hoa-ceng sasaran Tangkeh sedikit meleset" Kini tahulah aku . . . . . "
Sebun Tio-bu tertawa, ucapnya: "Bila sebelum mereka tahu akupun terlibat dalam
pertikaian ini, selain bakal menambah kesukaran bagi kita, tentu juga tiada manfaat
yang dapat kita peroleh."
"Memang begitulah, hayo berangkat," kata Siang Cin. . .
Lekas mereka cemplak kuda terus membelok dan mengitari selokan ini.
Kuda terus dibedal menyusuri jalanan kecil di pinggir selokan yang menonjol
menyerupai tanggul yang sempit
Dengan cepat mereka sudah hampir mencapai seberang selokan di depan sana. Kin
Jin menoleh dan berkata: "Tidak meleset perhitunganku, untunglah mereka tidak
mencegat."
Siang Cin menjawab: "Terlalu kencang lari kuda kita, bukan saja sukar dirintangi, tapi
mereka sendiri juga tidak ingin rahasianya diketahui orang lain"
Setelah membelok ke kiri mereka terus menyusur tegalan, suasana di sini amat sepi,
padang tegalan masih diliputi kabut, tapi cepat sekali akhirnya menembus ke jalan
raya. Dikatakan jalan raya karena tanah yang berlapis salju tipis kini sudah tampak bekas
jalur roda kereta dan tapak kaki orang, sementara hutan yang lebat masih memagari
kedua sisi jalan. Sebun Tio bu membuka jalan di depan, tiba2 ia menarik kendali, kudanya berjingkrak
sambil meringkik panjang. Cepat Kin Jin juga menghentikan lari kudanya, segera
Siang Cin bertanya: "Ada apa?"
Sebun Tio-bu menunduk sambil memejamkan mata, mendadak dia terbeliak dan
berkata: "Di sini terasa ada sesuatu yang tidak beres Siang-heng, indera ke enamku
merasakan sesuatu yang tidak enak, menurut pengalaman, bila timbul perasaan
begini tentu akan terjadi sesuatu yang tidak menguntungkan diriku."
Siang Cin menjelajah keadaan sekelilingnya, katanya: `"Aku percaya perasaan
Tangkeh 253 itu, kadang2 perasaan begitu timbul tepat pada waktunya."
Dengan sorot tajam Kin Jin juga sedang menyapu pandang sekitarnya, katanya
tenang: "Suasana di sini memang rada ganjil . . . . . terlampau sunyi . . . ."
Benar juga, tanpa mengeluarkan suara, di antara gundukan salju yang meninggi di
kedua sisi jalan raya sama pelahan2 berjalan keluar sebarisan orang2 berbaju putih,
pakaian putih mereka mirip warna salju, sampaipun muka mereka juga ditutupi kedok kain
putih, bilamana barisan ini tidak bergerak, sungguh orang takkan mengetahui kehadiran
manusia2 serba putih ini.
Barisan orang2 berbaju putih ini ternyata tampil ber-turut2, semuanya berbaris
teratur, posisi mereka setengah lingkaran, setiap orang memegang tiga batang bumbung
bundar warna hitam, pangkalnya dipasangi suatu benda aneh yang berbentuk seperti sayap
tapi melengkung laksana busur, lubang kecil pada bumbung bundar hitam itu mengincar
dan ditujukan ke arah Siang Cin bertiga.
Sebun Tio-bu mendengus, pelan2 dia merogoh saku, Kin Jin juga siap, tiba2 Sebun
Tio-bu berseru tertahan: "Mari terjang kepungan mereka, Kin-heng jaga kuda
kesayangan kita." Belum lagi Kin Jin menjawab, tiba2 Siang Cin menghela napas lega, lekas dia
memberi tanda dan berkata: "Jangan bergerak, coba perhatikan gelang emas di atas kepala
mereka yang kemilau itu."
Memang benda yang melingkari kain kerudung orang2 berbaju putih adalah gelang
kuning kemilau.
Dengan bergelak tertawa Sebun Tio-bu berkata: "Para kawan Bu-siang-pay, sudah
lama kukagumi dan ingin bertemu."
Buru2 Siang Cin lompat turun dari kuda dan mendekat dengan langkah cepat,
serunya lantang: "Apakah kalian anak murid Bu siang-pay yang datang dari padang rumput."
Orang2 berbaju putih menggeremet maju dengan formasi mengepung itu kelihatan
sama melengak dan bingung, tapi sorot mata mereka yang tajam tetap menatap
dengan curiga. Siang Cin mendekat beberapa langkah lagi, katanya dengan keras: "Murid Bu-siangpay
dengarkanlah, kami adalah teman2 kalian, kedatangan kami khusus untuk
254 bergabung dengan kalian . . . . . "
Dari lingkaran orang2 berbaju putih itu tampil seorang yang berperawakan kekar,
sembari maju dia menarik kain kedoknya, maka tertampaklah seraut wajah yang
lebar dengan mimik kaku dingin, sesaat dia berdiri mengawasi Siang Cin, suaranya tenang
dan
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mantap: "Tuan ini siapa?"
Dengan tenang Siang Cin berkata: "Ada seorang yang berjuluk Naga Kuning Siang
Cin, apakah pernah tuan mendengarnya?"
Bergetar tubuh si baju putih, ia terbelalak kagum, namun nadanya masih curiga:
"Kau, kau inikah Naga Kuning?"
Siang Cin berkata dengan tertawa: "Benar, memang Cayhe adanya."
Si baju putih lantas maju lebih mendekat, serunya gugup: "Jadi tuanlah yang
sekaligus menjagal enam gembong Hek jiu tong di Pi-ciok-san" Ratusan orang2 Hek jiu tong
mampus di tanganmu" Tuan pula yang membantu dan ikut berjuang bahu membahu
dengan saudara kita dari Bu-siang-pay?"
"Hanya kebetulan bersua di tengah jalan, bantuan itu bukan apa2 . .. . ."
Terunjuk sikap kagum, hormat dan penyesalan pada wajah si baju putih, tiba2 dia
berlutut terus menyembah, serunya: "Murid tertua Say-cu-bun Siang Goan-kan dari
Busiang- pay menyampaikan sembah hormat kepada Siang susiok yang berbudi."
Hal ini betul berada di luar dugaan Siang Cin, sekilas melengak lekas dia menyingkir,
sembari memapah bangun Siang Goan kan, serunya gugup: "Siang heng. usiamu
sebaya denganku, bolehlah membahasakan saudara saja, kau menjunjung tinggi diriku
seperti ini sungguh tak berani kuterima."
Tanpa kuasa Siang Goan-kan kena dipapah berdiri oleh Siang Cin, katanya: "Bukan
maksud Tecu ingin menjunjung tinggi Siang-inkong, soalnya Ciangbunjin ada
perintah, seluruh murid Bu-siang pay untuk selanjutnya harus menghormati Siang-inkong
sebagai susiok yang telah menolong kebesaran nama kita, memang betul Siang-inkong
bukan sealiran dengan Bu siang pay, namun sebutan `In-susiok` (paman guru berbudi)
adalah pantas untuk menandakan bahwa Siang-inkong ada hubungan yang karib dengan
Bu-siangpay kita." Dengan sikap kikuk Siang Cin menjawab: "Ini . . . wah Cayhe menjadi serba susah
255 dan tidak berani terima kehormatan besar ini . . . . Ciangbunjin kalian sungguh terlalu
sungkan . . . ." "Tiga hari yang lalu," ucap Siang Goan kan pula, "laskar kita telah duduki Liok sun-ho
dan menyeberang dengan selamat kecuali menemui beberapa rombongan orang
yang patut dicurigai, sepanjang jalan ini belum pernah mengalami kesulitan apapun, kini barisan
sudah disebar, mata2 kita juga telah diutus menyelidiki daerah yang cukup berbahaya di
sebelah depan, tadi waktu Siang-inkong dan kedua teman ini mendekati daerah sini, tecu
sudah lantas memperoleh berita, sungguh mimpipun tidak terpikir oleh kami bahwa Sianginkong
sendiri bakal kemari . . . . "
Dengan prihatin Siang Cin bertanya: "Untuk kali ini, berapa banyak jumlah pasukan
yang dikerahkan Bu-siang pay kalian?"
Siang Goan kan menjawab dengan pelahan: "Hwi cu-bun, Say cu-bun dan Bong-cubun
serta murid2 yang langsung dipimpin oleh Cengtong (pusat) kali ini dikerahkan
seluruhnya, jumlah seluruhnya ada tiga ribu lima ratus orang lebih."
Mendengar jumlah yang besar ini, Siang Cin merasa kaget, belum lagi dia
menunjukkan sikapnya Siang Goan kan sudah menambahkan: "Sementara anak
buah Thi, Hiat dan Wi ji-bun karena kehilangan pimpinan, dikuatirkan dalam kesedihan karena
gugurnya para saudara yang lain sehingga bekerja diburu emosi, maka mereka tidak
diizinkan ikut datang, untuk sementara waktu Lan cian tong diserahi tugas untuk
menguasai keadaan di padang rumput."
Siang Cin menarik napas, katanya: "Jadi Ciang bunjin kalian Thi-cianpwe juga
datang?" Siang Goan kan mengangguk hormat. Siang Cin berkata pula dengan terharu: "Dari
padang rumput jauh di kaki Kiu-jin-san pasukan besar kalian berbondong kemari,
betapa besar dan kekuatan barisan ini, apalagi kalau sampai enam Bun dan satu Tong
dikerahkan seluruhnya, mungkin kekuatan besar Bu-siang-pay mampu menggetar bumi dan
menggoncang langit."
"Ya," ucap Siang Goon-kan, "jumlah seluruhnya mendekati selaksa orang."
Siang Cin menoleh ke belakang, Kin Jin dan Sebun Tio-bu masih bercokol di atas
kuda dan mengunjuk senyum. Kata Slaug Cin kemudian: "Ayolah kalian turun, marilah
temui Ciangbunjin Bu siang-pay."
256 Cepat Siang Goan-kan memberi pesan kepada anak murid Bu-siang-pay, dalam
waktu singkat sebuah suara sempritan yang melengking tinggi berkumandang sampai jauh,
baru saja suara sempritan tajam di sini berhenti, suara sempritan yang sama terdengar
melengking ditempat kejauhan, begitulah dari satu tempat kelain tempat suara
sempritan ini terus bersahutan.
Siang Cin amat kagum dan menyenangi cara mengirim berita dengan suara
sempritan khusus dari orang2 padang rumput ini, suara nyaring ini sekaligus membawakan
suasana yang hidup bebas penuh gairah perjuangan di pedang rumput.
Dalam pada itu Siang Cin telah perkenalkan Sebun Tio-bu dan Kin Jin dengan Siang
Goan-kan, lalu Siang Cin dengan tetap setunggangan dengan Kin Jin, sedang Siang
Goankan lantas setunggangan dengan Sebun Tio-bu, empat orang dua kuda segera kabur
ke arah timur dengan kecepatan yang luar biasa.
Di tengah tegalan yang masih remang2 itu, derapan kaki kuda berdetak memecah
kesunyian. Meski di atas kuda yang berlari sekencang itu, tapi Sebun Tio-bu tetap waspada
memeriksa sepanjang jalan yang dilalui, dia berharap dengan ketajaman matanya
dapat menemukan orang2 Bu-siang-pay yang disebar sekitar sini untuk mendirikan
perkemahan atau pos penjagaan tertentu. Tapi hasilnya nihil, ia rada kecewa, sejauh ini dia tidak
melihat adanya tanda atau bekas apa2.
Sementara Kin Jin yang mencongklang kudanya di sebelah belakang telah
membisiki Siang Cin: "Siang-heng, betapapun licik dan licin orang2 Hek-jiu-tong, tapi Bu-siang
pay dengan peralatan perangnya yang serba lengkap, dengan semangat juang yang
tinggi serta terlatih pula, tentu bukan lawan yang enteng."
"Betul, mereka sudah biasa hidup dalam semangat yang tinggi di padang rumput,
jujur dan sederhana di samping kecerdikan otak dan kecermatan kerja, maka tidaklah
heran kalau gelang emas dan baju putih orang2 Bu-siang-pay terkenal di manapun."
Jilid 14 257 Tiba-tiba Sebun Tio-bu membelok ke arah kiri terus menerjang ke semak2 rumput
dan berlari di jalanan kecil yang sudah lama tak pernah dilalui manusia, langsung menuju
ke sebuah pohon cemara di kejauhan sana.
Kin Jin terus menguntit dengan kencang, sekejap saja mereka sudah tiba di pinggir
hutan. Di luar hutan ternyata sudah menunggu belasan orang berbaju putih dengan
gelang emas melingkar di kepala, mereka adalah pahlawan2 padang rumput dari Bu-siangpay,
semuanya menyambut dengan meluruskan kedua tangan.
Setelah berputar kedua kuda itu segera berhenti. Empat orang penunggang kuda
terus melompat turun, Siang Goan kan memberi hormat lalu mereka di bawa masuk ke
dalam hutan, belasan laki2 baju putih itu berdiri di dua sisi dan membungkuk memberi
hormat. Kira2 puluhan langkah memasuki hutan, Siang Cin yang bermata tajam sudah
melihat banyak kemah kecil yang tersebar di bawah pohon, tempat sembunyi macam orang2
Bu-siang-pay ini sudah cukup dikenalnya dengan baik, sekian banyak kemah2 itu
menandakan betapa banyak pula jumlah orangnya, tapi tiada seorangpun yang kelihatan malah
kalau tidak memasuki hutan, dari luar orang jangan harap beritahu bila di dalam hutan ini
bersembunyi sekian ribu orang, kiranya Bu-siang-pay memang mahir mencari tempat
yang strategis untuk dijadikan sebagai markas darurat.
Cukup lama juga mereka putar kayun di dalam hutan lebat ini, akhirnya tiba di depan
tiga pucuk pohon cemara yang tua dan besar, waktu Siang Cin bertiga angkat kepala,
kiranya diantara ketiga pohon cemara raksasa yang kebetulan berposisi segi tiga
telah dibangun sebuah gubuk kayu, jadi gubuk kayu ini seperti bergantung di tengah2
pohon, jelas gubuk yang cukup besar ini baru dibangun, karena bau kayu cemara masih
terasa merangsang hidung. Kira2 lima belas langkah di depan gubuk itulah Siang Goan-kan
lantas berhenti, belum lagi dia buka suara, pangkal batang pohon cemara sebelah kanan
tiba2 bergerak dan terbentanglah kulit pohonnya, tampak empat orang berpakaian putih
dengan langkah gesit muncul dari dalam batang pohon raksasa yang kosong itu.
Dengan suara rendah Siang Goan-kan berkata: "Harap laporkan kepada Tayciangbun
258 bahwa ada tamu agung yang datang."
Ke empat laki2 itu segera menarik golok serta mundur selangkah, kata seorang yang
berada di kanan: "Barusan sudah diperoleh berita sempritan akan kedatangan tamu
agung, Tay-ciangbun sudah berpesan agar ditanyakan tamu agung dari mana, harap Siangsuheng
menerangkan."
"Harap sampaikan kepada Tay-ciangbun, katakan bahwa Napa Kuning Siang Cin
telah datang beserta dua sahabatnya."
Begitu mendengar nama Naga Kuning Siang Cin, ke empat orang itu melengak,
serentak mereka menoleh dengan pandangan kagum dan hormat, sikap mereka
menampilkan perasaan "beruntung dapat berhadapan dengan tokoh besar".
"Para saudara," kata Siang Goan-kan kurang sabar, "kalian masih tunggu apalagi?"
Paras wajah ke empat orang itu, pemimpinnya lantas menjura dan berkata: "Ya,
segera kami laporkan ke atas...."
Tapi sebelum orang2 ini bergerak lebih lanjut, daun pintu rumah di atas pohon itu
telah terbuka, muncul seorang laki2 pertengahan umur berpakaian ala pelajar, muka putih
cakap bersih, sorot matanya tajam, tiga untai jenggot menjuntai di bawah dagunya, jubah
panjang yang dipakainya juga berwarna putih, di bagian pinggang mengenakan sabuk lebar
dengan hiasan batu permata, sikapnya wajar dan santai, tapi menampilkan wibawa
kebesaran . . . . "
Begitu melihat orang ini, segera Siang Goan-kan bersama ke empat laki2 baju putih
tadi bertekuk lutut memberi hormat, serunya bersama: "Sembah hormat kepada Tayciangbun."
Laki2 yang agung berwibawa ini memang pentolan yang paling berkuasa di padang
rumput di luar perbatasan, Ciangbunjin Bu-siang-pay yang disanjung puji, tokoh yang
mirip dongeng dalam setiap pembicaraan orang, yaitu Pek-ih coat-to (si golok sakti
berbaju putih) Thi Tok-heng.
Sudah lama Siang Cin bertiga mendengar nama Thi Tok-heng, kini terasa bahwa
wibawa laki2 ini memang jauh lebih besar dan angker daripada apa yang pernah
didengarnya, sikapnya yang agung membuat orang akan tunduk dan patuh.
Sambil menjura, dengan suara mantap Siang Cin berkata: "Naga Kuning Siang Cin
bersama Siang-liong thau dari Jian-ki beng, Cap-pi kuncu Sebun Tio-bu, beserta Kim
luijiu Kin Jin dari Tan ciu, menyampaikan selamat bertemu kepada Tay-ciangbun."
Cepat Thi Tok heng balas menjura, katanya dengan suara lantang: "Tidak tahu bakal
kedatangan tamu2 agung, Thi Tok-heng tidak mengadakan penyambutan yang layak,
259 harap kalian suka memberi maaf,"
"Mana berani membikin repot Tay-ciangbun," kata Siang Cin tertawa, "Bahwa Tayciangbun
sudi membuka pintu dan keluar menyambut, ini sudah merupakan
kehormatan besar bagi kami bertiga. Terima kasih!"
Thi Tok-heng tertawa nyaring dan berkata: "Orang bilang Jon-ciang si Naga Kuning
betapa hebat dan mengejutkan kepandaiannya, tampaknya memang betul, tapi
mereka tidak tahu bahwa betapa tajam ucapannya ternyata tidak lebih lemah dari pada Kungfu
yang dimilikinya."
"Ah, Tay-ciangbun terlalu memuji," ucap Siang Cin dengan rendah hati.
Thi Tok-heng berkata lebih lanjut: "Gubuk ini di bangun di tengah2 pohon, karena
letak dan bangunannya yang serba sederhana, maka tidak menggunakan tangga atau tali
gantung untuk naik turun, untuk kekurangan ini, Tok heng mohon maaf, silahkan kalian loncat
ke atas saja."
Siang Cin lebih dulu mengucapkan terima kasih kepada Siang Goan-kan dan murid2
Bu-siang-pay lainnya, lalu dia memberi tanda kepada Sebun Tiobu dan Kin Jin,
bertiga mereka melompat ke atas dengan ringan.
Setelah basa-basi ala kadarnya mereka dipersilahkan masuk ke dalam rumah.
Rumah ini terdiri dari dua ruangan, ruangan depan cukup besar, di sini lantainya dilembari
babut yang terbuat dari kulit binatang, demikian pula dindingnya dipajangi kulit beruang, di
tengah terdapat sebuah meja kayu, sebuah lilin besar yang tertancap ditatakan
tembaga terletak di atas meja, sebuah badik tertancap di sebelahnya, di samping itu terdapat
delapan buah kursi kayu pula, semua kursi dilapisi kulit binatang yang berbulu tebal, kecuali
itu tiada pajangan apapun lagi. Sementara ruangan di sebelah dalam yang lebih kecil
adalah kamar tidur Thi Tok-heng.
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Baru saja mereka berduduk, lantai yang dilembari kulit biruang di pojok sana tiba2
tersingkap, dari bawah menongol keluar kepala seorang terus beranjak naik, kedua
tangannya membawa sebuah baki dengan empat cangkir porselin yang berisi teh
wangi, setelah menekuk lutut memberi hormat orang ini menyuguhkan teh di atas meja
terus mengundurkan diri. Siang Cin melihat jelas bahwa batang ketiga pohon cemara
raksasa ini 260 sudah dikorek kosong bagian tengahnya, di sana dibuatkan tangga dan ruangan
khusus tempat tinggal para tamu pembantu pribadi Thi Tok-heng.
Setelah menyilakan para tamunya minum, dengan sikap serius Thi Tok-heng berkata:
"Siang-tote sudi berjerih payah demi kepentingan Pay kami, beberapa kali harus
mengalami pertempuran antara hidup dan mati, badan terluka dan mencucurkan
darah, untuk semua itu dengan setulus hati aku menyatakan terima kasih dan selalu akan
mencatat budi kebaikan yang luhur ini."
Siang Cin bersoja, katanya: "Tidak berani, Cayhe hanya berbakti demi kawan
sehaluan, Tay-ciangbun, menurut Siang-heng murid kalian, khabarnya pasukan besar kalian
yang dikerahkan kemari sekali ini ada tiga ribu lima ratus lebih banyaknya?"
Thi Tok heng mengangguk, sahutnya: "Betul, tepatnya tiga ribu lima ratus empat
puluh orang." "Bagaimana kekuatan pihak Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui, apakah Tay-ciangbun telah
memperoleh bahan2 yang perlu diketahui?"
"Hanya beberapa berita yang masuk secara tersendiri dan seluruhnya belum pasti
lagi, oleh karena itu kami berdiam diri, belum bergerak sebelum persoalannya menjadi
terang, pahlawan2 padang rumput menempuh perjalanan sejauh ini bersama Tok-heng,
betapapun aku tak boleh gegabah bertindak, setiap urusan harus diselidiki dan diperhatikan
dengan seksama, supaya murid2 Bu-siang pay tidak gugur menjadi korban kelalaianku
sendiri.. ...."
Merandek sebentar lalu ia melanjutkan: "Waktu menyeberangi Liok sun ho, pihak
kami menggunakan Sin-siok-kiu ( jembatan gantung ) khusus ciptaan orang2 padang
rumput, jadi tidak menggunakan rakit, perahu atau peralatan lain, sebelum pasukan bergerak,
lebih dulu dikirim tujuh murid Say-cu-bun dengan dua ratus anak buahnya menyelundup
ke seberang, di luar dugaan mereka tidak menemui rintangan apapun, maka dengan
mudah enam buah Sin siok-kiu segera kami pasang sehingga seluruh pasukan besar
menyeberang melalui jembatan darurat ini dengan selamat, setelah itu kami bagi pasukan menjadi
lima kelompok dan maju lebih lanjut, kemudian berhenti di sini, mata2 sudah kami sebar
untuk 261 mencari berita, cuma laporan yang kami terima satu sama lain masih merupakan
berita sendiri2 sehingga sukar dianalisa menjadi suatu rumusan, memangnya Tok-heng
sedang gelisah, syukurlah Thian telah mengirimkan Siang- lote bertiga kemari"
Sebun Tio-bu dan Kin Jin yang sejak tadi diam saja, baru sekarang sempat bicara,
kata Sebun Tiobu dengan tertawa: "Tay-ciangbun, kami bertiga semalam suntuk telah
mengobrak-abrik Pau-hou ceng, sayang usaha menolong anak murid Bu-siang-pay
kalian tidak membawa hasil apapun."
Lalu secara ringkas Siang Cin menceritakan kejadian semalam, dijelaskan pula
keadaan pihak musuh yang. mereka ketahui, akhirnya dia menambahkan: "Seratus li di
sebelah depan adalah Ceciok-giam, tempat itu amat berbahaya dan strategis, jelas pihak
Hek-jiutong dan Jik-san tui telah mengatur perangkap di sana menunggu kedatangan kita,
bahwa mereka tidak pasang perangkap di Liok sun- ho mencegah pasukan kalian, tapi
memilih Ce ciok giam, pasti di balik hal ini ada rahasia yang perlu diperhatikan."
Thi Tok-heng berpikir, jarinya mengetuk meja, katanya kemudian: "Jit ho-hwe dan
Toa to kau terjun juga ke dalam barisan mereka, hal ini sudah kudengar sebelumnya,
bagaimana sepak terjang Siolian-su-cuat dari Pek-hoa kok belum pernah kudengar, tapi laporan
mengatakan mereka telah menunjang kejahatan. Hek-jan-kong dari Ji-gi-hu jelas
adalah tulang punggung Jik san-tui, dia menunjang Jik-san-tui adalah logis, bahwa Tianghongpay
juga memusuhi kita hal ini sungguh di luar dugaanku. Mereka punya hubungan
baik dengan Kun-lun-pay, karena pertikaian ini, urusan pasti akan menjalar dan berbuntut
panjang . . . . . " setelah mengelus jenggot, lalu ia menyambung: "Bahwa di Ce giok
giam nanti bakal berhadapan dengan musuh memang sudah kuduga, cuma belum berani
kupastikan, karena menurut penyelidikan orang2 kita, tiada gerak-gerik apapun yang
mencurigakan di sana, beruntung kini memperoleh keterangan dari kalian, kalau
tidak mungkin kami akan meremehkan tempat penting ini, Siang-lote . . . . . . .".
"Ada petunjuk apa?" tanya Siang Cin.
"Kecuali Jit-ho hwe, Toa-to-kau, Sio-lan-sucoat dan Tiang-hong- pay, apakah kalian
tahu ada pihak lain lagi yang membantu pihak lawan"
Siang Cin menggeleng, katanya: "Sejauh ini hanya itu yaag kami ketahui, tapi kita
harus tetap waspada dan ber-jaga2, pandanglah musuh lebih kuat daripada
262 meremehkannya."
"Betul," ucap Thi Tok-heng. "Siang-lote, kalian tahu Jik-san-tui telah menyekap
beberapa orang Bu siang-pay di Pau-hou-ceng, apa kalian tahu siapa2 kiranya yang
ditahan di sana?" "Hal itu belum sempat kami selidiki . . ., . . " sela Sebun Tio-bu.
Kin Jin menghela napas, katanya: "Kami maklum kalau Tay-ciangbun menguatirkan
keselamatan para saudara yang tertawan musuh."
Thi Tok-heng tertawa ewa, katanya: "Kin-hiante, setiap murid Bu-siang-pay tumbuh
dewasa di padang rumput, hati mereka terjalin erat dengan sanubariku, hubungan
kami bagai saudara atau anak kandung sendiri dan mirip sebuah keluarga besar, dua kali
kami meluruk kemari, tapi semua ini hanya menyangkut urusan pribadiku dalam keluarga.
Tunas muda yang gagah berani terkubur di negeri orang, mereka juga punya anak bini, tapi
demi urusan pribadiku mereka harus ikut mempertaruhkan jiwa raga, setiap kali
merenungkan hal ini, sungguh seperti disayat hatiku."
Setelah menghela napas Thi Tok-hong berkata, pula dengan nada semakin berat:
"Kekalahan di Pi-ciok-san boleh dikatakan kegagalanku pula, sesungguhnya kami
menilai rendah kekuatan musuh dengan mengutus sejumlah pasukan kecil untuk menyerbu
sarang musuh yang kuat, sebaliknya aku tetap berada di padang rumput dan anggap Busiang
pay sanggup menaklukan siapapun juga. Kenyataan tiga ratus anak buah telah gugur di
Pi-cioksan, jago2 kosen kita banyak yang menjadi tawanan musuh pula, kalau dipikirkan
sungguh bertambah besar dosaku seorang, betapa aku ada muka untuk berhadapan dengan
anak didikku .. . .. "
Bola mata Siang Cin yang hening menampilkan cahaya lembut, katanya: "Tayciangbun,
untuk hal ini pandanganku justeru berbeda dengan Tay-ciangbun.
Seorang ketua adalah simbol kekuasaan dan kewibawaan sesuatu ikatan, secara langsung
menyangkut mati hidup perkumpulannya, persoalan Tayciangbun adalah persoalan seluruh
perkumpulan pula, oleh karena itu urusan yang menimpa nama baik Ciangbunjin harus dibela
mati2an oleh seluruh anggota perkumpulan, demi mencuci noda dan menolong puteri
kandung sendiri, adalah jamak kalau mengerahkan seluruh kekuatan perkumpulan, jadi tidak
seharusnya tanggung jawab ini dipikul oleh Ciangbunjin sendiri, umpama utusan
serupa 263 menimpa pada anggota yang lain juga harus ditempuh cara yang sama. Maklumlah
jiwa ksatria kaum persilatan se-kali2 pantang ternoda, janji setia insan persilatan tidak
boleh diingkari, demi keadilan dan kebenaran, meski harus mempertaruhkan jiwa juga
setimpal, untuk ini Tay-ciangbun boleh melegakan hati saja."
Dengan rasa haru Thi Tok-hang menatap Siang Cin, katanya kemudian dengan
menghela napas: "Lote, meski baru pertama kali ini Tok-heng bertemu dengan kau,
tapi sudah kurasakan adanya ikatan batin . . . . "
"Untuk ini Cayhe sungguh merasa beruntung dan bersyukur . . . . " ucap Siang Cin
sambil merangkap kedua tangan.
Thi Tok-heng angkat cangkir mengajak minum tamunya, setelah menghabiskan tiga
cangkir, lalu dia menghela napas panjang, katanya dengan suara serak: "Yang-yang
adalah putriku satu2nya, ibunya sejak terkena penyakit lumpuh, sepanjang tahun rebah di
ranjang dan tak pernah keluar dari kamarnya, demi kasih sayangku terhadap putriku ini aku
tidak menikah lagi, seluruh kasih sayangku dan perhatianku ku tumplek pada dirinya,
sejak kecil memang terlalu kumanjakan, segala permintaannya tidak pernah kutolak, sungguh
tak nyana sikapku yang terlalu memanjakan dia ini menjadikan sifatnya binal dan liar,
sampai bibinya yang biasa mengurusi segala keperluannya sering dibuat jengkel olehnya.
Sebagai ayah selalu ku anggap anak ini masih terlalu kecil, masih kanak2, jenaka dan
menyenangkan, oleh karena itu meski sering ada orang memperingatkan aku, tapi
aku tidak tega untuk memarahinya. Tak terduga justeru lantaran dia terlalu bebas inilah urusan
menjadi terlanjur dan tak terkendali lagi. Entah bagaimana bayangan iblis seorang
laki2 telah menyusup dalam hatinya, entah cara bagaimana Khong Giok tek si keparat itu
memikatnya sehingga dia rela minggat meninggalkan ayah-ibunya yang amat
mengasihinya, maka dapatlah dibayangkan betapa marah, penasaran dan kecewaku
atas kejadian yang memalukan ini "
Tertekan juga perasaan Sebun Tio-bu bertiga, katanya: "Tay-ciangbun, menurut
pendapatku, urusan belum sampai separah itu" Asalkan puterimu dapat direbut
kembali, Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui kita hancurkan, kalian ayah dan anak pasti akan berkumpul
kembali" Dengan tertawa getir Thi Tok-heng berkata: "Puteriku itu kini mungkin sudah ternoda,
kudengar dia sudah melangsungkan pernikahan dengan Khong Giok-tik secara
264 sukarela, dari sini dapatlah dimengerti bahwa laki2 keparat itu telah mengisi hatinya
menggantikan kedudukan ayah-bundanya, perduli apakah dapat kita merebutnya kembali, yang
terang dia tidak akan bersyukur dan berterima kasih kepadaku ayahnya, malah sebaliknya dia
merasa benci dan dendam karena kami akan menghancurkan kebahagiaannya bersama
kekasih yang dicintainya itu ......."
Melongo juga Sebun Tio-bu mendengar uraian ini, analisa Thi Tok-heng memang
mendekati kebenaran dan kenyataan, tapi juga bernada dingin dan kejam, urusan
sudah terlanjur, demi mempertahankan gengsi dan melampiaskan penasaran, jiwa boleh di
sabung, raga boleh dipertaruhkan, tapi apa yang akan dihasilkan dari pertempuran
besar ini" . Entah sejak kapan bunga salju beterbangan di angkasa, embusan angin barat
menderu kencang terasa dingin Hujan salju semakin lebat, derap kaki kuda yang tak terhitung
jumlahnya itu berdetak di tanah berlumpur, rombongan demi rombongan orang
berbaju putih dengan gelang emas melingkar di kepala tengah menuntun kuda masing2
keluar dari hutan belukar sana, gerak-gerik mereka tampak cekatan dan lincah.
Pek-ih coat-to Thi Tok heng tampak bertengger di punggung seekor kuda yang
gagah kekar dan tinggi, kuda ini berwarna hitam dengan bulunya mengkilap.
Sungguh kuda yang hebat, kepalanya besar, telinga panjang berdiri, keempat
kakinya panjang dengan bulu putih menghiasi ke empat tapalnya, sikapnya yang gagah
sungguh mempesona. Thi Tok-heng memandang ke arah Siang Cin dengan senyuman lebar. Kini Siang
Cin sudah berganti naik seekor kuda coklat yang besar dan kekar pula, sementara
Sebun Tiobu, Kin Jin masing2 tetap menunggang kuda kesayangannya sendiri.
Kira2 setengah tanakan nasi, di tegalan belukar itu sudah terkumpul sekitar delapan
ratus penunggang kuda yang semuanya berpakaian putih, tanpa banyak suara
mereka bergerak ke barisan masing2, semuanya berdiri di tempat yang telah ditentukan.
Saat itu adalah pagi hari kedua sejak kedatangan Siang Cin bertiga.
Lima penunggang kuda tampak tampil dari tengah barisan dan menuju ke depan Thi
265 Tok-heng, pemimpin kelima penunggang kuda ini adalah seorang tua kecil kurus,
karena tubuhnya betul kurus kerempeng, perawakannya kecil lagi, seragam putih yang
dipakai orang lain kelihatan gagah dan kereng, baginya jadi kelihatan komprang dan lucu.
Dalam perundingan semalam, Siang Cin bertiga sudah melihat laki2 tua kurus kecil
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini diundang hadir, dia adalah kepala pengawal pusat, Yu-hun-kou cay ( si sukma
gentayangan berjari satu ) Ho Siang-gwat.
Empat penunggang kuda di belakangnya, seorang yang berkepala besar dengan
muka merah berbadan gemuk, ialah pahlawan utama di bawah Ho Siang-gwat, namanya
Soanpoh- jiu (si kampak) Tong Yang-seng. Sementara laki2 yang bermuka kuning seperti
orang sakit adalah Ping-long (serigala gering) Pau Thay-kik, orang ketiga berbibir merah
bergigi putih, berwajah cakap, berusia masih muda, dia adalah Pek-ma-gih-cui (si gurdi
berkuda putih) Kang Siu-sin, sedang orang ke empat yang berperawakan besar kekar adalah
Koanjit- khek (si kilat) Mo Hiong.
Keempat orang ini semalam Siang Cin sudah melihatnya, Ho Siang gwat yang berbiji
mata besar itu lantas berseru lantang: "Ciangbun Suheng, segalanya sudah beres
dipersiapkan, tinggal menunggup perintah untuk bergerak."
Thi Tok-heng mengangguk, katanya kereng:
"Ke empat pasukan yang lain, apa sudah kau hubungi mereka?" .
Ho Siang-gwat tertawa, katanya: "Sejak tadi sudah kukirim kabar kepada mereka,
merekapun sudah mempersiapkan diri, malah setengah jam lebih dini dari pada kami,
sekarang mungkin sudah hampir sampai di tempat yang ditentukan, memangnya
siapa yang berani main2 dengan keputusan rapat semalam?" Sampai di sini Ho Siang-gwat
menoleh ke arah Siang Cin dan menambahkan: "lote, hari ini kami ingin menyaksikan dengan
mata kepala sendiri akan kehebatan Kungfumu, betapa cepatkah gerakanmu . . . . "
"Mungkin Toa-houcu akan kecewa nanti," ucap Siang Cin dengan tertawa.
Ho Siang gwat tergelak, katanya.: "Lote, jangan, jangan sungkan . . . . "
"Toahoucu," sela Thi Tok-heng, "Orang2 Siang Goan-kan sudah ditarih kembali,
apakah pasukan Say cu-bun juga sudah kembali ke pasukan induknya?"
"Sudah ditarik kembali sebelum kita berkumpul tadi," sabut Ho Siang-gwat.
Segera Thi Tok-heng menggentak kudanya dan berseru: "Hayo berangkat!"
266 Ho Siang-gwat mengiakan sambil mundur, ia memberi tanda, maka suara tanduk
lantas berbunyi menggema angkasa, barisan berkuda dengan dengan penunggang serba
putih mulai bergerak dalam formasi yang teratur.
Thi Tok-heng mengulap tangan, katanya: "Kalian juga silahkan."
Maka Siang Cin bertiga lantas mengiringi Thi Tok-heng berada di belakang pasukan
besar, dalam pada itu di bawah pimpinan Ho Siang-gwat, kelima orang tadi sudah
larikan kudanya menuju ke barisannya masing2.
Pasukan berkuda ini hanya dilarikan pelan2 saja, sorot mata Thi Tok-heng
menampilkan cahaya yang aneh mengagumkan, katanya sambil menoleh kepada
Siang Cin: "Lote, waktu semalam kau mengumumkan kematian Siu-cu, semua pimpinan
barisan yang hadir dalam pertemuan itu merasa sedih, dendam serta gegetun, maklumlah Siu Cu
bergelar Thi-tan, tak nyana dia tewas dalam usia muda."
Guram air muka Siang Cin, katanya menyesal: "Waktu itu Cayhe pernah berjanji
kepadanya untuk membawa pulang tulang belulangnya ke padang rumput, tak
terduga karena situasi waktu itu, tak sempat aku menyelamatkan jenazahnya, . . . . Tapi
bahwa aku sudah pernah berjanji, maka pesannya pasti akan kulaksanakan, betapapun sulitnya
aku pantang ingkar janji, kalau tidak, di alam baka juga Ang heng tidak akan
tenteram . . . . "
Setelah menghela napas rawan, Thi Tok-heng berkata: "Begitu berita kekalahan
tempo hari tersiar ke padang rumput, aku lantas merasakan firasat jelek, tapi masih
kuharapkan berita itu hanya kabar angin saja, tak kira murid yang kuutus mencari berita belum
lagi pulang, dua orang murid dengan luka parah sudah pulang ke rumah . . . . Kemudian
It-cohcan Hoan Tam juga kembali dalam keadaan runyam, maka keputusan untuk
mengerahkan pasukan besar Bu-siang-pay kita juga lantas diputuskan . . . . Siang-lote, bicara soal
ini, mau tidak mau aku menjadi gemas, tidak kepalang dendam dan kebencianku . . . ." .
"Tay-ciangbun, sekian tahun Cayhe berkelana di Kangouw, selamanya belum
pernah aku menyiksa diri dengan bara dendam, karena bila Cayhe berkeputusan, maka
pembalasan dendam segera kulaksanakan," berhenti sebentar, Siang Cin menambahkan:
267 "Sekarang Tayciangbun,
tibalah saatnya untuk menuntut balas sakit hati."
Bercahaya mata Thi Tok-beng, seketika ia membusungkan dada serta berkobar
semangat juangnya, serunya dengan tepuk tangan: "Betul, ucapanmu memang betul
saudaraku, kini tibalah saatnya untuk membalas dendam kesumat ini."
Sebun Tio-bu bergelak tertawa, serunya: "Kalau begitu, kenapa Tay-ciangbun tidak
suruh mereka mempercepat lari kuda dan mengadakan serbuan besar2an."
Untuk pertama kalinya Thi Tok-heng tertawa lebar dan segar, serunya: "To Wankang,
perintahkan untuk mempercepat laju barisan"
Salah seorang penunggang kuda yang sejak mula selalu mengikut di belakang
segera membedal kudanya ke depan, dia memutar satu lingkaran dan memberi tanda, maka
barisan besar segera membedal kuda dan berlari kencang ke depan.
Dengan senang Thi Tok-heng berkata: "Empat penunggang kuda yang selalu
mengiringi perjalananku, ini adalah pengawal pribadiku, mereka dinamakan Jik tansu
kiat ( empat pahlawan setia ), yang kusuruh menyampaikan perintah tadi bernama To
Wankang, orang pertama dari Jik tan-su-kiat,"
Siang Cin tertawa, katanya: "Kali ini tiga Bun dan Cong-tong ikut datang di bawah
pimpinan Tay-ciangbun, entah berapa jumlah jago2 kosennya. pertemuan semalam
agaknya mereka belum, hadir seluruhnya?"
Dengan tertawa lebar Thi Tok-heng berkata: "Jago kosen ada dua puluh tiga dengan
anak buah tiga ribu lima ratus lebih, Siang-tote, kalau mereka berjuang mati2an,
kukira musuh akan pusing kepala dan dibikin kocar-kacir."
Belum Siang Cin menanggapi, Sebun Tio-bu sudah bergelak tertawa: "Bukan hanya
kepala pusing saja, malah sukma akan terbang dan nyalipun pecah, melihat barisan
serba putih ini dengan kemilau gelang emas di kepala, golok sabit bagai hutan lebatnya,
derap kuda yang gemuruh, tanggung Hek jiu-tong dan Jik san-tui akan lari ketakutan."
Dengan lantang Thi Tok-heng berkata: "Sebun lote jangan memuji, Jian-ki-beng
pimpinanmu itu bila beraksi mungkin jauh lebih hebat daripada ini . . . . . . . "
Sebun Tio-bu tertawa, katanya: "Ah, hanya sinar kunang2 belaka, mana dapat
dibandingkan dengan cahaya rembulan, hehe . . . . . . . " .
Kin Jin melirik ke arah Sebun Tio-bu, godanya: "Tangkeh, sejak kapan kaupun
pandai merendah diri?"
Di tengah gelak tertawa orang banyak barisan besar ini terus maju sampai hari
menjelang malam baru berhenti dan berkemah.
268 Hari kedua, menjelang terang tanah udara mendung, angin barat daya mengembus
kencang, menyapu segala benda di bumi yang dapat digulungnya, pada menjelang
fajar yang dingin ini, menambah perasaan tegang dan mengobarkan semangat tempur. .
Siang Cin, Thi Tok-heng dan lain2 membungkus diri dengan mantel masing2, kecuali
muka mereka yang kelihatan, seluruh badan terbungkus di dalam mantel tebal,
namun demikian hawa dingin masih membuat badan menggigil.
Pemuda cakap bergelar Pek ma-gin cui Kang Siu-sim sering mondar-mandir
membawa berita, kini dia berlari datang pula dengan gerakan lincah.
Thi Tok-heng lantas bertanya: "Siu-sim ke empat pasukan yang lain apakah sudah
berkumpul?"
Dengan suara serak Kang Siu-sim berkata: "Pasukan Bong ji-bun, di bawah
pimpinan Utti Han-poh Cuncu baru saja tiba, mereka berada di samping kanan Ce-ciok giam,
jadi empat pasukan besar seluruhnya sudah terkumpul?"
Thi Tok heng bertanya pula: "Apakah kurir yang diutus ke Cu ji wa untuk memanggil
Kim cuncu sudah kembali?"
"Belum," sahut Kang Siu sim, "kemungkinan mereka terlambat, tak sempat mengikuti
pertempuran di sini."
Thi Tok-heng berpaling memohon pendapat Siang Cin: "Siang lote, menurut
pendapatmu apa perlu kita menunggu kedatangan Kim cuncu baru mulai bergerak?"
Berpikir sebentar, Siang Cin berkata: "Lebih cepat lebih baik, supaya musuh tidak
bersiaga, kukira biarlah kita bergerak lebih dulu saja."
"Betul," timbrung Sebun Tio bu setelah menguap, "hawa sedingin ini, kalau tidak
melemaskah otot, orang2mu bisa beku di sini. Tay-ciangbun, bila tiba saatnya
menyerbu Pao-hou-ceng, berilah kesempatan kepada Kim-cuncu untuk unjuk kebolehannya."
Cuaca masih gelap, bunga salju bertebaran di angkasa, sekuntum bunga salju
melayang jatuh di muka Thi Tok hong, seketika cair menjadi butiran air terus meleleh ke
dagunya, pelahan mengusap air di mukanya Thi Tok- heng berkata: "Baiklah, Siu-sim,
perintahkan kepada pasukan kita siap menyerbu."
Kang Siu sim mengiakan, setelah memberi hormat, selincah kelinci dia melompat ke
sana melaksanakan tugas. Hujan salju semakin lebat, hawa tambah dingin dan
hening. Pelahan tanpa terasa secercah cahaya kuning mulai terbit di ufuk timur, seperti
diselimuti awan tebal, garis kuning yang mulai tampak itu menjadi remang2.
Thi Tok-heng membuka ikatan sebuah buntalan panjang melengkung yang
269 digenggamnya sambil berkata rawan: "Inilah hari yang menegangkan urat syaraf,
alam semesta se-olah2 jikut prihatin . . . . . ."
Siang Cin tertawa, katanya dengan nada rendah: "Tay-ciangbun, hari yang
mengesankan ini akan selalu terukir dalam sanubari setiap orang, Ce ciok-giam akan
direbut dengan cucuran darah .... . . . "
Thi Tok heng menghela napas, katanya serak: "Sebelum pertempuran berlangsung,
cuaca justeru seburuk ini, memberi alamat situasi yang bakal kita hadapi akan lebih
mengenaskan lagi . ... . .. . Tapi seperti apa yang Siang-lote katakan tadi, hari2 yang
akan datang ini akan terukir dalam sanubari kita, betapa banyak jiwa raga yang akan
terkubur di tegalan ini, membeku di bawah timbunan salju.. . . "
Tengah bicara tampak sesosok bayangan orang melompat datang pula, dia adalah
Kang Siu sim. Dengan kereng Thi Tok-heng berkata: "Siu-sim, sudah siap seluruhnya?"
Wajah Kang Siu-sim yang putih cakap kelihatan merah bersemangat dan berkeringat,
sahutnya cepat: "Seluruh barisan sudah siap melaksanakan penyerbuan ke arah
yang sudah ditentukan, tinggal menunggu perintah Tayciangbun untuk mulai bergerak."
Setelah mengawasi angkasa sesaat, kemudian Thi Tok-heng ambil keputusan dan
mengangguk: "Perintahkan bergerak menurut siasat yang telah direncanakan
semalam." Dengan penuh semangat kembali Kang Siu-sim berlari ke sana, sekejap itu pula
bunyi terompet mengalun tinggi bergema di udara. Belum lagi suara terompet yang satu ini
berhenti, dari berbagai penjuru menyusul bunyi terompet yang sama pula, paduan
suaranya yang keras dan bergelombang terdengar gagah bersemangat, membakar tekad
juang setiap insan yang mendengarnya.
Maka ribuan kuda serentak bergerak, suara lantang seorang lantas berteriak:
"Seluruh anak2 Say-cu-bun dengarkan, tibalah saatnya baju putih Bu-siang-pay dari padang
rumput menyerbu Toa ho tin, gunakanlah darah kita untuk menebus utang musuh terhadap
para saudara yang telah gugur". Ribuan suara serempak menanggapi seruan lantang itu:
"Serbu!"
- Suara yang dihinggapi emosi, penuh rasa dendam dan duka.
Seekor kuda mendahului menerjang ke depan dengan melambaikan mantelnya yang
berkibar, golok melengkung teracung di atas kepalanya, di belakangnya ribuan kuda
segera mengejar dengan kencang menuju ke Ce-ciok-giam, cahaya golok berkilau berpadu
270 dengan kemilau cahaya kuning emas, tapal kuda berderap di tanah bersalju sehingga terasa
bumi seperti bergoncang, raut muka setiap orang tampak merah bersemangat dan tidak
kenal takut. Empat penunggang kuda berjajar di belakang dengan tenang Thi Tok-heng
mengawasi pasukan Say-cu bun bergerak maju, wajahnya tidak memperlihatkan perasaan apa2,
katanya: "Para Lote, yang memimpin barisan pelopor kita itu adalah Seng si-to Ih Ce,
Toacuncu dari Say-cu-bun."
Siang Cin mengangguk dan memuji: "Orang ini gagah berani."
Tengah bicara, pasukan berkuda yang terdepan mendadak terjadi keributan, jeritan,
teriakan, caci maki campur aduk dengan ringkik kuda, barisan kuda yang berderap
ke depan menjadi kacau-balau, berlompatan, saling himpit dan tumbuk, para
penunggangnya tampak berusaha mengendalikan kuda masing2, tapi tidak sedikit yang sudah
terjungkal jatuh, sementara barisan yang di belakang masih terus menerjang maju, kuda sama
berdiri dan saling tindih, tak sedikit pula yang terluka oleh golok sendiri, dalam sekejap mata
belum lagi pertempuran berlangsung, pasukan kuda ini sudah roboh sebagian besar.
Sikap Thi Tok-heng tetap tenang dan tidak terpengaruh sedikitpun oleh perubahan
mendadak ini, tapi Sebun Tio-bu yang berangasan tak tahan lagi dan mencaci:
"Maknya, apa yang terjadi?"
Siang Cin diam saja, perhatiannya tumplek ke arah depan, dilihatnya dari samping
kanan sana seekor kuda tengah dibedal balik ke sini.
Karena ucapannya tidak ditanggapi, Sebun Tiobu berludah, teriaknya: "Thi-ciangbun,
biar aku menerjang ke sana, akan kubeset kulit dan mencacali tubuh para keparat
itu."
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Thi Tok-heng tersenyum, katanya kereng: "Harap tunggu sebentar, Sebun-lote, kalah
atau menang sekarang masih terlalu pagi untuk dikatakan.
Sementara itu si penunggang kuda itu sudah dekat, penunggangnya adalah seorang
laki2 berkepala besar, mukanya berewokan, cuaca sedingin ini tapi keringat tampak
membasahi seluruh badannya sampai pakaian lengket, napasnya memburu, melihat
Thi Tok-heng dia lupa memberi hormat, dengan cepat dan gugup ia berteriak: "Lapor
Tayciangbun, dua puluhan tombak sebelum Ce ciok-giam, musuh menggali perangkap
sepanjang ratusan kaki dengan lebar delapan kaki, dalam lubang jebakan penuh
dipasangi bambu runcing, tiga ratus pasukan pelopor kita ada dua ratusan yang kejeblos
perangkap 271 musuh, dikala mereka terjungkal jatuh itulah, dari atas Ce-ciok-giam beterbangan
ratusan kantong kapur untuk menimbun lubang perangkap, para saudara yang jatuh ke
dalam perangkap mungkin tiada seorangpun yang selamat . . . . . "
"Bagaimana keadaan Ih-cuncu?" tanya Thi Tok-heng dengan suara dingin.
"Cuncu selamat," sahut orang itu.
Thi Tok-heng mengangguk, katanya: "Perintahkan, maju terus!"
Laki2 itu mengiakan dan putar kudanya, tapi baru kudanya mau dibedal, selarik sinar
terang panah berapi mendadak menjulang tinggi ke angkasa. Maka barisan kuda
yang sudah kacau balau itu segera bergerak melebar, lekas sekali mereka membuat
setengah lingkaran, seorang penunggang kuda tampak berdiri di tengah lingkaran, orang ini
bukan lain ialah Seng-si-to Ih Ce. Padahal jaraknya lebih dari satu li, tapi teriakan Ih Ce
yang gagah itu kedengaran lantang: "Serbu! . . . ."
"Serbu! . . . . " serempak pasukan berkuda pun menerjang dengan suara gegap
gempita, laksana air bah dahsyatnya.
Ketika pasukan berkuda yang hebat ini tiba di depan parit galian, mereka tidak
langsung melompat maju dan menyerbu lebih lanjut, barisan yang terdepan segera
menarik kendali membelokkan arah kudanya terus berputar balik dari arah lain, dikala
membelokkan kudanya itu, tampak ratusan larik sinar kemilau beterbangan, tombak2
bersula tampak berseliweran ditimpukkan ke arah Ce-ciok-giam sederas hujan lebat.
Baru saja barisan pertama berkisar pergi, rombongan kedua menerjang maju pula,
kembali hujan lembing meluncut ke atas Ce ciok-giam, begitulah seterusnya sampai tujuh kali,
sementara rombongan pertama yang berputar ke belakang mulai menerjang maju pula terus
melompati parit langsung menerjang ke Ce-ciok-giam.
Jauh di belakang dengan seksama Thi Tok-heng mengawasi medan pertempuran,
pelahan dia berkata: "Kukira urusan tidak semudah ini . . . . . "
Siang Cin manggut, ucapnya. "Ya, pasti masih ada perangkap lagi ... . "
Belum habis dia bicara, suara ribut berkumandang dari depan, ringkik kuda
bercampur jerit dan pekik para penunggangnya. Cepat Siang Cin, dan lain2 memandang ke
depan, kiranya pasukan berkuda yang menerjang ke Ce-ciok-giam semuanya roboh
terjungkal, tiada seekor kudapun yang tetap berdiri tegak, seluruhnya jatuh bergulingan
dipandang dari 272 kejauhan, yang memiliki mata tajam dapat melihat jelas ada dua ratusan orang
berpakaian merah entah muncul dan mana, semuanya tengah menarik jaring yang sejak mula
telah direntang, tidaklah heran bila dua ratusan pasukan berkuda itu sama terjungkir balik
di dalam jaring. Dari balik batu Ce-ciok-giam sana lantas terjadi hujan panah, seluruhnya di arahkan
kepada pasukan berkuda Bu-siang-pay yang sudah bergelimpangan di tengah jaring,
kontan separuh lebih roboh menjadi korban.
Patut dipuji sisa pasukan yang masih hidup, meski ada yang terluka mereka tetap
tenang, ada yang rebah diam saja, ada pula yang sembunyi dibalik kuda yang
berjingkrak, serentak berpuluh batang tombak bersula batas menyerang ke arah musuh yang
masih terus berusaha menjaring mereka.
Dalam sekejap puluhan orang penarik jaring itu sama terjungkat roboh, sambil
berteriak kaget dan panik semuanya lantas kabur, tidak sedikit pula yang terhunjam mampus
oleh tombak bersula.
Thi Tok-heng menghela napas gegetun, katanya: "Tombak itu seluruhnya dilumuri
racun, begitu badan tergores ujung tombak, dalam tujuh langkah jiwa pasti
melayang."
"Bagus, ini baru sedap," sorak Sebun Tio bu.
Serbuan pasukan berkuda be dalam Ce-ciok giam untuk sementara menjadi
terhalang, maklum kuda dan para penunggangnya yang terjaring dan menjadi korban kelicikan
musuh ini, menjadikan penghalang barisan belakang yang hendak menerjang lebih lanjut,
kini pasukan Say-ji-bun sudah terbagi empat baris, sayang dalam waktu dekat sulit bagi
mereka untuk menyerbu lebih lanjut.
Dingin berwibawa sorot mata Thi Tok-heng, katanya sambil menoleh: "Siang-lote,
dalam keadaan seperti ini, kalau menurut pendapatmu, cara bagaimana agar dapat
mengatasi situasi?"
Siang Cin berucap dengan kalem: "Turun dari kuda, menerjang dengan
berjalan . . . ."
Belum lagi berakhir tanggapan Siang Cin, pasukan berkuda yang terbagi menjadi
empat baris itu serempak melompat turun dari kuda masing2, bagai banteng ketaton,
semuanya angkat senjata terus melompati parit dan menyerbu ke dalam Ce-ciok giam.
273 "Pendapat bagus," puji Thi Tok-heng sambil tersenyum.
Dengan tak sabar Sebun Tio-bu berkata: "Tay-ciangbun, kupikir, kini tiba saatnya
kita ikut terjun ke medan laga . . . . "
"Harap tunggu lagi sebentar," kata Thi Tok-heng dengan tersenyum.
Sorak sorai gegap gempita penyerbuan besar2an bergema menggoncang bumi,
orang berbaju merah itu semuanya berwajah bengis, bukan saja pakaian merah ketat, ikat
pinggangnyapun merah, banyak yang bertubuh kuat dan bertelanjang dada dengan
kampak di kedua tangan, bagai orang gila tanpa mengenal, takut merekapun menyambut
serbuan golok sabit murid2 Bu-siang-pay.
Munculnya orang2 Jik san-tui memang terlalu mendadak, jumlahnya juga berlipat
ganda daripada orang Bu-siang-pay, dalam sekejap pertempuran terbuka
berlangsung dengan sengit, Ce-ciok-giam menjadi ajang pertempuran adu jiwa.
Murid2 Say-cu-bun dari Bu-siang-pay menjadi terkepung di tengah orang Jik san tui,
tapi mereka tidak gentar, dengan tabah mereka menerjang sambit mengerjakan
golok sabit, sekuat tenaga dan mengerahkan segala kemampuan untuk melabrak musuh dari
kejauhan tampak jelas, betapa tangkas dan gesit bayangan putih yang berkutet di tengah
musuh yang serba merah, perbedaan warna yang menyolok ini membuat arena pertempuran
dapat disaksikan dengan jelas dari kejauhan, meski menang dalam jumlah, tapi orang2 Jiksan-
tui menjadi kacau-balau diserbu musuhnya yang kesetanan, tak sedikit korban jatuh
dipihak musuh. Thi Tok-heng memejamkan mata sekejap, katanya kemudian: "Baiklah, kini tiba
saatnya kita bergerak."
"Tay-ciangbun," sekilas pikir Siang Cin berkata, "kukira tidak seharusnya Tayciangbun
sendiri terjun ke arena, situasi medan pertempuran ini harus dalam
kekuasaanmu, mereka masih memerlukan petunjukmu, bila pihak kalian kehilangan pegangan,
situasi bisa berbalik menguntungkan musuh."
Berpikir sebentar, akhirnya Thi-Tok heng mengangguk katanya: "Pendapat bagus,
aku memang ceroboh, tapi terpaksa harus menyusahkan kalian bertiga saja." Lalu dia
berputar dan mengangkat sebelah tangannya ke arah Jik-tan-su-kiat yang berjajar di
belakangnya, 274 Tok Wan kang yang tertua segera larikan kudanya, suitan nyaring seketika
berkumandang, suitan disusul suitan terus bersambung ke medan tempur, suaranya semakin
melengking tinggi, dikala suara suitan itu mencapai titik tertinggi di kejauhan, mendadak bergema
balik lalu sirna. Maka pasukan berkuda lain yang sejauh ini bersembunyi serempak bergerak, bunga
salju berhamburan sehingga tanah tegalan yang luas dikejauhan sana seperti
dibungkus kabut tebal, pasukan berkuda serba putih dalam sekejap telah berbaris rapi dengan
gagah perkasa. Memandang ke sana sebentar, mendadak Siang Cin berseru kaget: "Tay-ciangbun,
apakah pasukan yang langsung di bawah komando Cong-tam juga akan diterjunkan
ke medan sana?"
Lekas Thi Tok-heng menjelaskan: "Betul, memang Hwi ji bun sudah kupersiapkan
sebagai pasukan belakang, barisan Bong-ji-bun kujadikan pasukan sayap kanan kiri,
sementara pasukan yang langsung di bawah komando Cong-tam kusimpan untuk
membantu Say-cu-bun sebagai kekuatan inti untuk melabrak musuh, waktu
berkemah tadi Hwi ji-bun sudah kubagi jadi dua kelompok yang berkedudukan di dua tempat, kini
mereka sudah kupendam di dua sisi Ce ciok-giam, bila tidak penting dan diperlukan, kedua
kelompok pasukan ini tidak akan kukerahkan."
"Itu baik sekali. Tay-ciangbun," ucap Siang Cin. "Sekarang kami akan maju. . . !"
Baru saja dia hendak ajak Sebun Tio-bu dan Kin Jin berangkat. tiba2 Thi Tok"heng
berkata "Siang-lote .. .."
"Apakah Tay-ciangbun masih ada petunjuk?" tanya Siang Cin.
Sepasang mata sang pemimpin besar yang bijaksana ini memancarkan rasa
terimakasih, haru dan simpatik, suaranya rendah mantap: "Harap kalian menjaga diri baik2,
seluruh anak murid Bu siang pay yang terjun ke medan laga kuserahkan kepadamu untuk
memerintah mereka."
Bimbang sejenak, akhirnya Siang Cin menjura, katanya: "Dalam waktu segenting ini,
tak perlu Cayhe main sungkan. Tay-ciangbun, biarlah Naga Kuning memberanikan
diri menerima beban berat ini."
Thi Tok-heng balas menjura, katanya: Tok-heng amat berterima kasih."
Bersama Sebun Tio bu dan Kin Jin, Siang Cin segera keprak kudanya ka depan,
tapal kuda berderap maju segencar bunyi tambur ber talu2, di antara lambaian baju2 putih
275 pasukan berkuda yang langsung di bawah komando Cong-tam segera bergerak.
Sebun Tio bu melongok ke arah Ce-ciok giam didepan, lalu berpaling ke belakang ke
arah pasukan berkuda, akhirnya dia menghela napas, katanya dengan nada kagum
"Siangheng,
bahwa Bu-siang- pay terkenal di seluruh jagat, menggetarkan dunia persilatan,
kesuksesan mereka kiranya bukan secara kebetulan, coba kau lihat, dengan
perbawa seperti
ini, gagah berani, setia dan bersemangat tinggi, semua ini menandakan betapa keras
disiplin mereka, sungguh patut dipuji."
Siang Cin sependapat, katanya: "Benar, hari ini baru terbuka mata kita . . . . . . . "
Kin Jin yang jarang bicara kini ikut tertawa, katanya: "Jangan suka mengagulkan
orang lain melulu, Tangkeh perserikatan Jian ki beng (ribuan penunggang kuda) di bawah
pimpinanmu itu kan juga bukan pelita yang remang2."
Tertawa Sebun Tio-bu dan berkata: "Bagus, cukup sepatah katamu ini, aku Sebun
Tio bu selama hidup ini akan mengikat kau sebagai sahabat Siang Cin dan Kin Jin hanya
tersenyum saja, pada saat itu Congtong Toa-houcu Ho Siang gwat dari Bu-siang pay
telah memacu kudanya mengejar tiba.
Cepat Sebun Tio-bu berteriak: "Ho-toahoucu, ada apa?"
Ho Siang-gwat ter gelak2, katanya: "Mohon tanya kepada kalian, kita tetap
menggempur dengan pasukan berkuda atau menyerbu berjalan kaki?"
Seperti punya perhitungan yang meyakinkan Siang Cin menjawab: "Serbu dengan
berjalan kaki, tapi tiga ratus pasukan berkuda harus tetap dipertahankan di luar
parit." Ho Siang-gwat tidak banyak bicara lagi, ia memberi tanda ke belakang, maka lima
puluhan anak buahnya di bawah pimpinan Ping long (serigala penyakitan) Pau Thay
ki segera memacu kudanya ke depan, dua puluhan orang penunggang kuda membawa
papan sepanjang setombak lebih dengan lebar lima kaki, kedua sisi papan ini tampak
dipasang gelang besi dan gantolan sebesar jari.
"Toa-houcu," tanya Siang Cin lirih, "apakah itu?"
Ho Siang-gwat tertawa, katanya: "Itulah Sin-siok-kio ciptaan khas Bu-siang-pay kita
yang tiada keduanya di dunia ini."
"O, jadi dengan permainan inilah kalian berhasil menyeberangi Liok-sun-ho tanpa
kurang suatu apapun?"
Ho Siang gwat mengangguk dengan bangga, sahutnya: "Ya, betul."
Dikala mereka bicara Pau Thay ki dan lain2 sudah tiba di depan parit, tampak
sepanjang tanah galian penuh berserakan bambu2 yang patah dan tikar rusak serta
276 rumput2 kering. Pau Thay-ki tahu bambu, tikar dan rumput2 kering inilah yang telah
mengelabui pasukan Say-ji-bun sehingga banyak jatuh korban, tanah galian sedalam dua tombak,
keadaan yang porak-poranda masih mengepulkan debu kapur yang terhembus angin,
sementara jerit rintih serta ringkik kuda masih terdengar dari dalam lubang, bila
diawasi lagi ujung bambu runcing yang dipasang tegak lebat itu banyak berlepotan darah,
manusia
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan kuda sama terhunjam mampus oleh bambu runcing ini, semuanya gugur dalam
keadaan yang mengerikan.
Di gundukan tanah di sepanjang tepi parit ini, mayat bergelimpangan, yang terluka
parah atau enteng, semua dalam keadaan payah, para korban sebagian besar
adalah orang Bu-siang-pay. Betapa ngeri dan pedih hati Pau Thay-ki dan lain2, tapi dengan mengertak gigi
segera dia memberi aba2: "Pasang jembatan!"
Lima puluhan prajurit berkuda serempak melompat turun, mereka tampak sedih, tapi
rasa dendam tampak pula membakar mereka, tanpa bicara dengan cekatan mereka
bekerja secara terlatih, mereka bekerja dengan menahan, rasa pilu dan dendam, dengan
cepat sekali papan2 panjang yang bergantolan itu disambung satu dengan yang lain, ada yang
pasang tiang serta mengayun palu, lembaran papan segera tersambung terus membujur ke
depan, sampai akhirnya papan terdepan menyentuh tanah di seberang sana.
Lekas sekali beberapa buah Sin-siok-kio telah berhasil dipasang, Pau Thay-ki
berpaling ke belakang, sementara itu pasukan besar berkuda juga telah tiba, lima ratusan
murid Busiang- pay sekali mendapat aba2, seluruhnya melompat turun, dengan tenang dan
teratur mereka membentuk dua barisan besar, cepat dan tangkas terus lari ke seberang
melewati jembatan yang telah terpasang.
Di samping itu masih ada tiga ratusan pasukan berkuda berdiri diam dalam tiga
barisan tersendiri. di bawah pimpinan Kang Siu-sim, mereka tetap menunggu perintah lebih
lanjut. Cepat2 Ho siang-gwat mendekati Pau Thay-ki, katanya: ?"Bawalah dua puluhan
anak buahmu, kumpulkan kuda kawan2. Coba lihat, semua lari serabutan, mereka
memang 277 sudah keranjingan membantai musuh hingga kuda masing2 tidak dihiraukan lagi."
Pau Thay-ki mengiakan, dengan suara tersendat dia berkata pula: "Toa-houcu,
saudara2 yang ada di dasar parit . . . . "
Ho Siang-gwat mendengus, omelnya: "Aku sudah tahu, apa yang harus disedihkan".
Begitulah akhir kehidupan seorang pahlawan, memangnya kita harus mati dalam
pelukan perempuan, menangis ter-gerung2 seperti kaum lemah?"
Mata Ho Siang-gwat mendadak mencorong merah, desisnya pula dengan penuh
kebencian:` "Utang darah ini akan kita tagih dengan rentenya. selamanya Bu-siangpay
tegas membedakan budi dan dendam ..... Thay-ki, jangan lupa, tolong para saudara
yang luka2." Hanya sejenak ini sudah lebih dari separuh lima ratusan murid Bu siang-pay itu telah
menyeberangi Sin-siok-kio. Siang Cin yang sejak tadi mengawasi segera
menghampiri, katanya dengan tenang: "Toa-houcu, Sebun-tangkeh dan Kin-heng sudah
menungguku di tepi parit sana, kulihat anak buahmu di bawah pimpinan Thong Yang seng dan Mo
Hiong itu seluruhnya gagah berani, kupikir sekarang juga boleh mulai mengadakan serbuan
besar2an."
Lekas Ho Siang-gwat berkata pula: "Terserah akan putusan Lote saja."
"Sekarang juga ku pergi, setelah seluruh barisan menyeberang Toa-houcu boleh
segera menyusul."
Ho Siang-gwat mengiakan.
Siang Cin menarik napas lega, tanpa kelihatan dia membalik tubuh, tahu2 dia
mumbul ke atas terus melayang ke seberang sana seringan burung terbang.
Sebun Tio-bu yang sudah menunggu di depan sana sampai terpesona, ia berseru
memuji: "Siang-heng, sungguh Ginkang yang hebat."
Siang Cin menanggapi dengan tawar: "Ah, biasa saja."
Kin Jin yang berada di sebelah Sebun Tio bu segera berseru: "Wah, betapa
ramainya di depan sana, hayolah jangan kita buang2 waktu."
Lekas Siang Cin berpaling ke sana, di dasar Ce-gok-giam banyak batu2 besar dan
kecil dengan aneka ragam bentuknya, bentrokan-langsung pasukan kedua pihak ternyata
telah mencapai puncaknya, murid2 Bu-siang-pay bertempur dengan gagah berani bagai
harimau 278 yang haus darah, dengan gigih mereka melabrak musuh yang jumlahnya berlipat
ganda, suara pertempuran menggetar bumi, sinar berbagai senjata menyilaukan mata,
darah muncrat menghiasi salju yang putih, kaki-tangan terkutung, kepala terpenggal, dada
berlubang, isi perut berceceran, korban terus berjatuhan.
Kedua pihak terus berhantam saling merobohkan tanpa ampun se-akan2 mereka
sudah kerasukan setan, tiada perasaan perikemanusiaan, tiada kenal kasihan dan maaf,
setiap insan yang lagi adu jiwa sudah dibakar emosi dendam, suara sudah serak, tapi mulut
mereka tetap berpekik dan mencaci, hanya satu yang terpikir dalam benak mereka,
ganyang musuh sebanyak mungkin sebelum kau sendiri dibunuh musuh.
Semua pahlawan Bu-siang-pay telah menyeberangi Sin-ciok-kio dengan tenang,
tanpa kelihatan sikapnya yang gelisah berderet menjadi lima baris, Swan poh-jiu Thong
Yangseng dan Koan-jit-khek Mo Hiong dengan tidak sabar tengah celingukan ke sana
Thong Yang-seng, memegang kampak raksasa yang lebar melengkung, tangan kiri
menyeret rantai
besi, sementara Koan-jit-khek Mo Hiong membekal senjata tradisi Bu-siang-pay,
yaitu golok sabit, Ho Siang gwat berada di paling belakang.
Siang Cin mengangguk serta bersuara lantang" "Boleh mulai !"
Sebun Tio-bu ter-bahak2, serunya: "Ini dia, saksikan aku orang she Sebun ini
mempelopori kalian menagih jiwa musuh." - Sembari berseru, dia mendahului
menubruk ke depan. Siang Cin memberi tanda, serunya: "Ikuti dia!"
Swan-poh-jiu Thong Yang-seng dan Koan-jit khek Mo Hiong segera ikut melompat
ke depan, keduanya meraung: "Hayolah saudara2, gunakan golok sabit membalas
dendam, sebelum mati takkan berhenti."
Sebun Tio-bu menerjang di paling depan, puluhan musuh telah dirobohkan, di
tengah pertempuran yang gaduh itu, dari arah gundukan batu sebelah kanan, dalam jarak
tiga tombak, mendadak serumbun anak panah selebat hujan memberondong ke arahnya.
Sambil gelak tertawa Sebun Tio-bu tidak menyingkir, dia malah melejit maju, di mana kedua
telapak tangannya di dorong, segulung angin pukulan yang dahsyat terus menderu
kedepan, 279 maka batu2 gunung di dasar Ce-ciok-giam seluas lima tombak sama tersapu remuk
berkeping2. di jengah tebaran batu pasir itu, tujuh-delapan sosok tubuh manusia ikut
terlempar, darahpun muncrat, panah yang menyambar datang itupun tersapu rontok
berjatuhan. Siang Cin melesat lewat sambil menepuk pundak Sebun Tio bu, serunya: "Tay-lik
kim kong-ciang yang hebat!"
Baru terdengar suaranya, tahu2 Siang Cin sudah melesat sejauh belasan tombak, di
tengah udara tubuhnya berputar, mendadak kedua kakinya memancal, maka dua
potong batu besar tiruan dengan dua orang didalamnya belum lagi sempat memberikan
reaksi, keduanya sudah menjerit dan roboh binasa.
Dengan tergelak Sebun Tio-bu memburu maju, mendadak puluhan batu di
sekelilingnya menjeplak terbuka, puluhan orang berbaju hitam segera menyerbu.
Codet dimuka Sebun Tio-bu mendadak bersemu merah, di tengah gerungan
mendadak dia berputar, dikala badan mendak sambil berputar inilah, sebuah senjata panjang
dengan lima jari yang terpentang diujung senjata bewarna hitam ini lantas menyambar,
hampir bersamaan dengan munculnya senjata aneh ini, puluhan orang berbaju hitam yang
menubruk itu sama terjungkal roboh sambil melolong keras darah muncrat, yang
mengerikan adalah leher mereka semuanya tercoblos bolong.
Tanpa berhenti Sebun Tio-bu melompat ke sana, waktu mash terapung di udara,
tangan sedikit menyendal, jari2 tangan yang terbuat dari besi di ujung senjatanya itu kembali
menderu kencang, "Blang". diselingi erangan tertahan, seorang berbaju merah
bertubuh tinggi besar sudah roboh dengan kepala remuk.
Kin Jin tahu2 sudah berada di samping Sebun Tio-bu, dengan tertawa dia berkata:
"Thimo- pi (lengan iblis besi) sungguh mengerikan."
Sementara itu pahlawan Bu-siang-pay di bawah pimpinan Thong Yang-seng dan Mo
Kiong juga telah menyerbu tiba, tanpa menunda waktu terus menerjang musuh,
hanya dalam sekejap saja, ratusan orang berbaju merah telah diganyang habis.
Siang Cin terus berkelebat kian kemari, di mana dia lewat tubuh manusia lantas
beterbangan darahpun berhamburan, jerit para korban yang meregang jiwa berpadu
dengan denging senjata yang riuh rendah.
Ganas sekali Thi-mo pi milik Sebun Tio bu itu, kalau bukan leher bolong pasti kepala
remuk, kembali sepuluh korban telah binasa, sementara Se-bun Tio-bu sudah melejit
tiba di 280 samping Siang Cin, teriaknya: "Siang heng, carikan lawan yang setimpal, hanya
mengganyang kaum keroco beginian rasanya kurang memenuhi selera. Keparat,
memangnya ke mana para pentolan yang biasanya suka tepuk dada, kenyataan kini
menjadi kura2?" Baru saja Siang Can mau menanggapi, tiba2 dilihatnya dua pahlawan Bu-siang-pay
telah roboh, sambil memeluk dada, padahal jelas bagi Siang Cin di mana pahlawan
Busiang pay tadi berada, sekelilingnya tiada kelihatan bayangan musuh, hanya tak jauh
di sebelah sana terdapat sebuah batu besar.
Dengan tertawa dingin Siang Cin berkata: "Tangkeh, batu di depan itu apakah kau
lihat?" Sekilas melirik Sebun Tio-bu sudah mengerti maksudnya, katanya tertawa:
"Memangnya kenapa?"
Siang Cin mendesis: "Gunakan Thi-mo-pi milikmu itu, renggutlah nyawa dari
kejauhan,"
Sebun Tio-bu lantas berputar. "Wut", Thi-mo-pi yang ujungnya terpasang jari2
tangan besi itu mendadak menyambar ke arah batu di depan sana, maka terdengar suara
"Cret", jari
besi itu mendadak ambles ke dalam batu, sekali sendal dan tarik, batu besar itu
terbawa terbang, di bagian bawahnya kelihatan dua kaki manusia tengah mencak2.
Sekuatnya Sebun Tio-bu menyendal pula, seperti main bandulan saja, batu besar itu
dilemparnya lima tombak jauhnya. "Wut", jari2 besi itu tertarik balik, kelima jari
besinya yang masih terpentang tampak berlepotan darah segar dan cuilan daging.
"Bagus, Tangkeh," puji Siang Cin tenang, "mainan tangan besi milikmu entah terbuat
dart bahan apa?"
"Terbuat dari anyaman rambut manusia serta kulit badak," demikian Sebun Tio bu
menerangkan dengan tertawa.
"Bagus," ucap Siang Cin tertawa, "sekarang mari kita cari musuh yang lebih
setimpal."
"Memang begitulah maksudku," seru Sebun Tio-bu bersemangat.
Maka keduanya melayang ke sana, Siang Cin sempat berkata pula: "Lima puluhan
tombak di belakang batu sebelah kanan itulah." - Dia mendahului menubruk ke sana.
Batu raksasa ini tingginya ada dua tombak, lebarnya ada setombak lebih, bentuknya
mirip benteng yang sudah ambruk, di belakang batu adalah sebuah tanah lapang, di
sinilah sedang terjadi pertempuran sengit.
Waktu Siang Cin berkelebat tiba di samping batu raksasa itu, baru dia melihat jelas,
kiranya dua pahlawan Bu-siang-pay dengan pakaian mereka yang khas tengah
melabrak 281 empat jagoan Hek-jiu-tong, kedua pahlawan Bu-siang-pay ini, seorang
berperawakan kekar, dada bidang, jenggotnya pendek kaku seperti sapu lidi, mata besar mulut
lebar, air mukanya kuning, gerak geriknya memperlihatkan betapa gagah perwira dan
garangnya. Seorang lagi berkepala kecil lonjong, tubuh kurus kecil, mata sipit hidung pesek,
kulitnya putih, tapi setiap gerak serangannya ternyata ganas dan keji mematikan, kedua
orang ini sama bersenjata golok sabit, gaman yang menjadi simbol kebesaran pahlawan2
padang rumput. Dua dari ke empat lawannya berpakaian hitam, dua lagi berpakaian serba merah,
jelas mereka dari Jik-san-tui, satu di antara kedua orang baju merah ini sudah pernah di
lihat oleh Siang Cin, dia bukan lain ialah Toh-gwat-coh-jin Pek Wi-bing, Sam-thauling atau
gembong ketiga Jik-san-tui.
Pertempuran kedua pihak sudah mencapai babak yang menentukan, tapi jelas meski
pihak Hek-jiu tong berjumlah lebih banyak, namun mereka justeru tak mampu
memungut keuntungan. Sebaliknya meski pahlawan2 Bu-siang-pay itu dua lawan empat,
mereka justeru berada di atas angin.
Sekilas menerawang, Siang Cin lantas berkata: "Tangkeh, ke empat orang ini
seorang diripun aku mampu menyikat mereka, kupikir biar aku saja tampil untuk
menggantikan kedua pahlawan Bu siang-pay itu . . . . . "
"Jangan " sela Sebun Tio-bu, "biar aku saja yang mencobanya, Lwekang ke empat
keparat ini tidak lemah, tak berani aku mengatakan mampu mengalahkan mereka,
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tapi untuk bertahan beberapa kejap tanggung tidak menjadi soal."
Siang Cin tertawa, katanya: "Baiklah, usaha ini kuserahkan kepadamu."
Setelah membetulkan pakaian, Sebun Tio-bu dan Siang Cin unjuk diri. Sudah tentu
berbeda sikap kedua pihak yang lagi bertempur itu, begitu kedua orang ini muncul,
kedua pahlawan Bu-siang pay itu tertawa kegirangan, semangat tempur mereka semakin
menyala. Sebaliknya ke empat musuh yang berpakaian hitam dan merah itu berubah hebat air
mukanya, semuanya menjadi pucat.
Dengan tertawa. Siang Cin berkata: ?"Saudara dari Bu-siang ini harap sebutkan
nama kalian. Aku Naga Kuning Siang Cin."
282 Laki2 setengah baya berperawakan tinggi kekar dengan berewok pendek itu tergelak2,
serunya: "Sungguh beruntung bertemu di sini, aku yang tak becus ini adalah Seng si-to Ih Ce."
Yang berperawakan kurus itu sekaligus membacok tujuh kali mendesak mundur
musuhnya, lalu berteriak: "Cayhe Pek-wan (lutung-putih) Siang Kong, arak buah
Say-jibun Bu-siang-pay."
Siang Cin menjura, katanya: "Kiranya Ih-cuncu dan Siang-heng, silahkan kalian
mundur dan istirahat, biarkan temanku ini menjajal kemampuan musuh."
Dengan tertawa lebar Ih Ce berkata: "Baiklah!"
Segera Sebun Tio-bu melompat maju, sekali bergerak tahu2 semua senjata lawan
kena disampuknya pergi. Hanya segebrak saja, baik kawan maupun lawan sama berteriak
kaget: "Thi-mo-pi!"
Sebun Tio-bu bergerak pula, Thi-mo-pi menyambar dengan tenaga dahsyat, angin
menderu kencang mendampar ke arah empat musuh.
Di luar arena Siang Cin tengah berkata dengan tertawa: ?"Ih cuncu, pasukan berkuda
di bawah pimpinan Ho-toa-houcu telah menyerbu tiba, silakan Ih cuncu dan Siang-heng
pimpin mereka mengganyang musuh."
"Kalau demikian, biarlah musuh di sini Siang-heng dan Sebun-heng yang
membereskan," demikian ucap Ih Ce, "ke empat orang ini termasuk pentolan musuh,
sekali2 tidak boleh di lepaskan . . . . "
"Cuncu jangan kuatir, kedatangan kami memang untuk mengucurkan darah dan
mencabut nyawa, bagaimana mungkin mereka dilepaskan begini saja?" demikian
ucap Siang Cin. Ih Ce memberi tanda kepada Siang Kong, keduanya lantas melompat ke atas terus
meluncur ke sana. Siang Cin memandang ke arena, dengan santai ia menyaksikan
jagonya berhantam. Tatkala itu Pek Wi-bing tengah putar kencang gelang baja di tangan kanan dan golok
ditangan kiri, deru kedua senjatanya menimbulkan suara yang memekak telinga,
gelang baja dengan golok melengkung pendek itu ternyata dapat menciptakan cahaya
kemilau, indah dan menakjubkan permainan kombinasi kedua senja,ta yang berlainan ini,
pantas dia berjuluk Toh-gwat-coh-jim (menyanggah rembulan dan golok kiri).
Kawannya yang juga berpakaian merah adalah laki2 berusia empat puluhan, pendek
283 gemuk bagai guci, gerak geriknya lincah dan tangkas, gamannya adalah garu yang
bergagang panjang, ternyata permainan senjatanya yang lain dari pada yang lain ini
cukup lihay dan ganas pula, kelihatannya dia sudah nekat dan siap mengadu jiwa.
Kedua laki2 baju hitam sama berperawakan kurus tinggi seperti tonggak, mukanya
yang tirus kehijauan tanpa mengunjuk perasaan, kedua orang sama menggunakan
sepasang Hou than kau (gantolan kepala harimau), maju mundur dan menyerang dapat
mereka bekerja sama dengan baik.
Di antara ke empat orang ini, hanya Pek Wi-bing seorang yang dikenal Siang Cin,
tiga yang lain masih asing baginya, tapi tak perlu diragukan bahwa mereka adalah jago
penting dari Hek-jiu-tong- atau Jik san-tui.
Meski satu menghadapi keroyokan empat musuh, bukan saja tidak gugup atau
terdesak, Sebun Tio-bu yang telah mengembangkan cakar-besinya, malah sering menyerang
daripada bertahan, musuh didesak dan dicecarnya, betapa lihay dan kuat ke empat lawannya,
lambat laun mereka semakin terdesak dan hanya mampu bertahan saja.
Dengan mencibir Siang Cin berkata: "Pek Wi bing, sudah lama kudengar namamu,
bukankah kau pun tak asing akan nama julukanku?"
Keringat sudah bercucuran, sembari putar senjata membendung serangan lawan,
Pek Wi-bing meraung dengan napas tersengal2: "Siang Cin kau membantu kejahatan.
tanpa hiraukan keadilan dan kebenaran kaum persilatan, kali ini kau tidak akan luput dari
tuntutan."
Mendadak Sebun Tio-bu menggentak. "Wut?", Thi-mo pi serta merta menyamber,
lekas Pek Wi-bing menyampuk dengan gelang baja di tangan kanan. "Traang", bunga api
melentik, hampir saja senjatanya mencelat terbang.
Mengawasi tingkah laku Pek Wi-bing yang menahan sakit dengan meringis itu, Siang
Cin tertawa, katanya: "Waktu di Pau-hoa-ceng tempo hari, Pek Wi-bing, seharusnya
kau tahu gelagat serta harus lekas ngacir saja, tapi kau justeru penasaran, sekarang
menyesalpun terlambat."
Beruntun membacok tiga kali, Pek Wi-bing balas menyerang sambil berkelit,
teriaknya: "Siang Cin . . ., dulu kau membantu Bu-siang-pay menyerbu Hek-jiu-tong, lalu bantu
mereka pula menghadapi Jik-san-tui . . . . . . kau, kau sampah persilatan, antek BuBARA
NAGA- Koleksi KANG ZUSI
284 siang pay . . ... .."
"Trang", senjata kedua orang berbaju hitam tersampuk pergi, sementara Thi-mo-pi
menyerempet lewat di atas kepala Pek Wi-bing, samberan anginnya yang keras
hampir saja menyebabkan Sam-thauling Jik-san-tui ini sesak napasnya, dengan wajah pucat
kehijauan, cepat dia melompat mundur dan hampir saja roboh terjengkang.
Menyusul Thi-mo-pi memukul pergi garu lawan yang lain, dengan tertawa Sebun Tiobu
berkata: "Orang she Pek, kau ini paling2 baru terhitung jago kelas tiga, berani
buka mulut menghina sang Naga Kuning yang disegani" Kalau kau dibandingkan dia,
umpama kau diharuskan menjilati telapak sepatunya saja masih belum setimpal."
Saking murka hampir saja Pek Wi-bing mati kaku, dengan nekat dia menerjang maju,
gelang dan golok berputar bersama, seperti harimau gila dia mencecar Sebun Tio-bu.
Thi-mo pi di tangan Sebun Tio-bu mendadak mencengkeram, se-olah2 berubah
menjadi ratusan jumlahnya, cakar tangan besi ini seperti berubah menjadi wajah setan yang
beringas. Inilah jurus ke tujuh yang dinamakan Jian-jiukim-liong (seribu tangan meringkus
naga), salah satu jurus lihay dari Hek-sat cap-it pi Sebun Tio-bu yang termasyhur.
Maka bayangan cakar tangan bertaburan di angkasa mengaburkan pandangan
orang, tampak Pek Wi-bing memutar kedua senjatanya bergetar sekali seperti dipagut ular,
mendadak badannya mencelat dan terbanting puluhan langkah jauhnya. Begitu
keras dia terbanting, tapi dengan bandel dia berusaha melompat bangun, tapi akhirnya dia
terkulai pula dengan lemas, kiranya pundak kiri dan depan dadanya sudah terluka, kulit
dagingnya terkelupas, darah berlumuran, malah tulang pundaknya yang patah itu tak menongol
keluar dari balik bajunya.
Hanya sekejap itu, bagai elmaut membayangi sukma para musuhnya, Sebun Tio-bu
bersiul aneh, dia terus tubruk ketiga musuhnya serta menyerang lebih gencar.
Siang Cin tertawa dingin, serunya: "Tangkeh, hayolah lekas akhiri!"
Terdengar Sebun Tio bu berseru: "Baik, satupun tak boleh ketinggalan hidup."
Selangkah demi selangkah Siang Cin menghampiri Pek Wi bing, sorot matanya
dingin tajam. Merinding Pek Wi-bing, dengan napas tersengal, dia menatap Siang Cin lekat2,
285 sekujur badan terasa dingin, jantung berdetak keras, begitu tegang dan paniknya sampai
luka di pundak dan dadanya tidak terasakan sakit lagi olehnya.
Dengan sikap ramah Siang Cin berhenti di depan Pek Wi-bing, katanya dengan nada
bersahabat: "Pek Wi-bing, dalam keadaan seperti ini, tiada ampun dan tak mengenal
kasihan lagi, bijaksana kepada musuh berarti menyusahkan diri sendiri, betul tidak?"
berhenti sebentar, dia tertawa dan berkata pula: "Aku tidak ingin berlaku kejam
terhadap diriku sendiri, oleh karena itu terhadapmu akupun tak boleh menaruh belas kasihan,
di Pauhou- ceng tempo hari, beruntung kau lolos dari Kim-lui-jiu Kin Jin, tapi hari ini kau
takkan lolos dari Jian-ciang yang kulancarkan."
Rasa ketakutan jelas kelihatan di muka Pek Wi-bing, bibirnya tampak gemetar, bola
matanya terbelalak, gelang bajanya yang kemilau tajam terangkat di depan dada,
dengan suara gemetar ia berkata: "Kau . . . . apa kehendakmu?"
Tertawa penuh arti, Siang Cin berkata: "Kuat hidup kalah mampus, ini adalah hukum
yang berlaku di kalangan kalian, hakekatnya kalian tidak perduli akan harkat
manusia, tanpa peri-kemanusiaan kalian bekerja asal menang untuk hidup, kini biarlah aku
meniru cara yang biasa kalian tempuh, kini aku adalah si kuat dan kau adalah si lemah ....."
Dengan suara serak Pak Wi-bing berteriak: "Kau, kau . . . . Siang Cin, kau hanya
memungut keuntungan di kala orang kesusahan."
"Terserah apa yang hendak kau katakan, tentunya kaupun maklum, sekalipun kau
tidak terluka, kau tetap bukan tandinganku."
Baru saia Pek Wi-bing mau bicara lagi, "cret". sebuah suara berkumandang dari
sana, lekas dia berpaling ke arah datangnya suara, kiranya kawannya yang bersenjata
garu itu tengah sempoyongan dengan kedua tangan memeluk batok kepala yang sudah
mumur dan akhirnya terjungkal binasa.
Dengan tenang Siang Cin menyaksikan urat hijau menonjol di pelipis Pek Wi bing,
katanya dengan santai: "Kau sendiri yang turun tangan atau perlu kulayani?"
Napas semakin memburu, keringat dingin mengucur semakin deras, mata Pek Wibing
seperti hampir melotot keluar, tubuhnya bergetar, berada di antara mati dan hidup,
sekarang baru dia tahu rasanya takut, bahwa dia hakekatnya juga seorang yang takut mati.
Dengan sorot mata tajam Siang Cin berkata pula: "Kalau aku yang turun tangan,
286 cepat saja, kau takkan menderita, karena gerakan tanganku melebihi samberan kilat
cepatnya . . . . " Pek Wi-bing betul2 pecah nyalinya, dia tidak tahan rasa sakit luka2nya, Iebih2 tak
tahan menghadapi ancaman elmaut yang bakal merenggut nyawanya, dengan
lunglai dia berteriak serak: "Siang Cin, aku . . . . aku mohon kepadamu, lepaskan aku pergi . . . .
ini dapat kau lakukan, kenapa kau harus membunuhku" kau kan tidak bermusuhan
dengan aku, semua ini hanya untuk orang lain . . . ."
"Lepaskan kau" Andaikata aku ya