Bara Naga 11
Bara Naga Karya Yin Yong Bagian 11
ng menjadi kau sekarang, apa kaupun mau
melepaskan aku?"
Biji leher Pek Wi-bing tampak turun naik, ia meratap: "Jangan begitu Siang Cin,
mohon ampunilah diriku, aku akan berterima kasih, aku takkan lupa pada
kebaikanmu . . . .
. . " Diam sebentar, akhirnya Siang Cin berkata "Kalau kau ingin hidup boleh, tapi
beberapa pertanyaanku harus kau jawab sejujurnya, setelah menjawab pertanyaanku boleh
kau pergi." Setelah menarik napas panjang, akhirnya Pek Wi-bing mengangguk, katanya rawan:
"Baik, kau boleh tanya, akan kujawab seluruhnya. . ."
"Di Ce ciok-giam ini, perangkap dan muslihat apa yang telah kalian rancang?"
Dengan menggertak gigi Pek Wi-bing menerangkan: "Empat ratus orang2 Hek jiu
tong dan dua ribu anak buah Jik-san tui dipendam tersebar di seluruh dasar Ce ciok giam
ini, Hek jin tong langsung dipimpin oleh sang ketuanya bersama ke tujuh thau-ling, pihak
Jiksan- tui di bawah komandoku bersama dua puluhan Jong-tai, di samping itu pihak
Hek jiutong dibantu pula oleh kedua Hwi ki su, sedang akupun menyertakan Toan-san je
Ting Bu ...." Berpaling ke arena pertempuran sana Siang Cin bertanya pula: "Hwi ki su adalah
kedua orang itu" Sedang Toan-san-je adalah orang yang telah mampus itu?"
Pek Wi-bing mengangguk dengan lesu. Siang Cin bertanya lebih lanjut: "Jadi, kecuali
menggunakan parit dan memasang jaring, kapur dan panah, perangkap apa pula
yang telah kalian rencanakan?"
287 Bimbang sejenak, akhirnya Pek Wi-bing berkata: "Dua ribu batu tiruan yang dibuat
dari kulit2 tebal tersebar di dasar Ce-ciok-giam, algojo kami bersembunyi di dalam batu2
tiruan itu, mereka akan keluar dan beraksi bila tiba saatnya ."
Lekas Siang Cin menukas: "Hal ini sudah ku ketahui, maksudku adakah muslihat
lainnya?" Kembali Pek Wi-bing ragu2 sekian lamanya. Dengan suara kereng Siang Cin
mengancam: "Bila kau tidak menepati janji, Pek Wi bing, aku juga boleh ingkar janji "
Terpaksa Pek Wi-bing menerangkan pula: "Di tepi Ce-ciok-giam di seberang sana
sudah terpendam banyak obat peledak, bila situasi tidak menguntungkan pihak kami,
setelah pasukan kami mundur seluruhnya, sumbu akan di sulut . . . . . . . . "
"Lalu siapa yang berkuasa memberikan perintah di sini?" dengus Siang Cin.
"Aku atau Can-lomo (ketua Hek jiu tong )" sahut Pek Wi-bing lesu.
Berpikir sebentar, Siang Cin bertanya pula: "Di luar Ce-ciok-giam, masih ada
perangkap keji apa yang telah kalian rancang?"
Kali ini cukup lama Pek Wi bing berdiam, uap mengepul dari deru napasnya,
pakaiannya yang basah kuyup lengket dengan badannya, kulit mukanya tampak
berkerut, wajah yang pucat menampilkan rona yang mengerikan .. . .. .."
Seperti menyadari sesuatu Siang Cin mendesak: "Pek Wi-bing, waktu tidak banyak
lagi." Menatap Siang Cin dengan bola mata membara, penuh rasa dendam dan kebencian
Pek Wi-bing mendesis gemas: "Siang Cin, apa yang kubocorkan sudah cukup parah bagi
pihakku, sudah cukup aku menjual sekian banyak jiwa raga kawan2 ku, kau tetap
tidak memberi kelonggaran kepadaku, dengan keji kau masih memaksaku . . .
"Kan mending daripada mampus," jengek Siang Cin.
Dengan menyeringai sedih Pek Wi-bing berkata: "Caramu ini jauh lebih kejam
daripada kau membunuhku, kau ingin bikin aku mampus dan tak tenteram di alam
baka, kau ingin supaya kawanku menggali liang kuburku, mencacah lebur jasadku ....." "
Tanpa mengunjuk perasaan apa2 Siang Cin berkata: "Memangnya kau punya cara
lain yang lebih sempurna untuk menghindari kematian?"
Tiba2 Pek Wi-bing mendelik beringas, gelang baja yang terpegang di tangan kanan
tiba2 ditimpukkan sekuatnya ke leher Siang Cin, begitu cepat dan mendadak
serangan ini, dikala sinar gemerdap berkelebat, gelang baja yang tajam itupun sudah
meluncur tiba di depan leher Siang Cin.
Jilid 15 288 Siang Cin tidak berkelit atau mengegos dia tetap berdiri tenang kedua tangannya
mendadak bergerak naik, dengan punggung tangan menyongsong ke atas, "trang!",
gelang baja yang tajam berputar itu tahu-tahu mencelat melampaui batu raksasa dan
entah jatuh di mana. Sorot mata Siang Cin semakin mencorong sadis, tapi dengan
beringas Pek Wi-bingpun tetap mendelik kepadanya, badan yang sudah setengah
jongkok pelahan-lahan ambruk, darah merembes dari ujung bibirnya, dia telah bunuh
diri dengan menusuk ulu hati sendiri.
Rasa heran dan penyesalan timbul dalam hati Siang Cin, sekian lama dia melongo
mengawasi jenasah Pek Wi-bing, ketika suara Sebun Tio-bu berkumandang di
belakangnya baru dia tersentak sadar dan pelan-pelan berpaling kesana.
Sebun Tio-bu tengah menyeka keringat dijidatnya, katanya: "Kenapa kau melongo"
Keparat she Pek itu bunuh diri?"
Dengan termangu-mangu Siang Cin berkata: "Sebetu lnya dia tidak perlu bertindak
nekat begini, mestinya aku tidak akan membunuhnya. . ."
"O, kau akan membebaskan dia?" seru Sebun Tio bu heran, "bukankah berarti kau
menyusahkan dirimu sendiri" Keparat, menangkap harimau lebih mudah dari pada
melepaskannya, walau keparat she Pek ini bukan tokoh yang harus disegani, tapi dia
cukup licik dan jahat, syukur kalau dia sudah bunuh diri."
Waktu Siang Cin menoleh ke sana, kedua Hwi ki su, Hek jiu-tong tadi sudah
menggeletak mampus dalam keadaan yang mengerikan, leher keduanya berlubang
besar. Sambil menenteng Thi-mo-pi Sebun Tio-bu berkata dengan tertawa: "Kedua keparat
ini boleh juga, kalau mereka tidak gugup, mungkin masih kuasa bertahan beberapa
kejap lagi."
Lalu Siang Cin ceritakan rahasia yang berhasil dia korek dari mulut Pek Wi-bing.
Sebun Tio-bu mengumpat "Keparat, keji amat, Siang-heng, urusan tidak boleh
lambat, lekas kita beritahukan kepada pihak Bu-siang-pay."
Maka kedua orang lantas berlari ke sana, pertempuran sementara itu sudah
berkobar ke seberang, jelas pihak Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui sudah mulai terdesak
mundur, kiranya pasukan inti Bu-siang-pay yang langsung dibawah komando
Congtong dan tepat pada waktunya sehingga situasi segera berubah.
Kini para pahlawan baju putih dari padang rumput dengan golok panjang
melengkung ke lihatan memburu dan membabati musuh yang berusaha melarikan
diri, Bagai air bah yang tak terbendung, orang-orang Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui
sama mundur dan sembunyi di antara celah-celah batu, mayat bergelimpangan,
darah mengalir bagai air sungai, keadaan sungguh amat mengerikan.
Secepat terbang Siang Cin dan Sebun Tio bu memburu ke depan, belum lagi mereka
terjun ke tengah rombongan besar Bu-siang-pay, sesosok bayangan kurus kecil
tampak melayang tiba dari arah samping.
Sembari memutar, mata Siang Cin yang tajam sudah melihat jelas pendatang ini,
serunya: "Ho-toahoucu . . ."
289 Pendatang ini memang Yu hun-kou-cay Ho Siang gwat si kakek kurus kecil ini
tertawa, golok sabit ditangannya segera disarungkan, katanya sambil menggosok
telapak tangan: "Betul tidak, kalian sudah bentrok dengan jago-jago kosen mereka?"
Mengawasi jubah putih Ho Siang-gwat yang berlepotan darah, Siang Cin menjawab
pelahan: "Ya."
"Bagaimana keempat orang itu?" tanya Ho Siang Gwat.
"Sudah kuganyang semua," sahut Sebun Tio-bu, "memangnya Toahoucu mau
memelihara mereka?"
Memandang medan pertempuran di depan sana, Siang Cin bertanya: "Toahoucu,
bagaimana hasil pertempuran ini?"
Dengan gagah Ho Siang-gwat menengadah katanya: "Sebelum tengah hari, kuyakin
sudah dapat menghancurkan musuh, paling tidak pasti akan mendesak mereka
keluar dari Ce-ciok-giam ini."
Maka Siang Cin lantas menjelaskan rahasia yang berhasil dia korek dari Pek Wi-bing
kepada Ho Siang-uwat, Keruan Ho Siang-gwat berjingkat kaget, serunya: "Wah, bisa
celaka." Cepat dia memanggil seorang murid Bu-siang-pay serta berpesan: "Lekas laporkan
kepada lh-cuncu, katakan ada perintah penting dari Siang-susiok, setelah memukul
mundur musuh, dalam jarak seratus langkah dari tepi seberang dilarang mengejar
lebih lanjut, barang siapa melanggar perintah ini akan dihukum pancung."
Murid Bu-siang-pay itu mengiakan terus berlari pergi, Ho Siang-gwat menyeka
keringat sambil menyatakan syukur kepada Siang Cin.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba di seberang Ce-ciok-giam sana terdengar suara
tambur ditabuh keras-keras, begitu gencar suara tambur ini menyebabkan orang
merasa tegang dan panik, keruan orang-orang Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui yang lagi
berhantam itu lantas putar tubuh dan melarikan diri.
Pasukan yang kalah dan mundur ini sungguh laksana air bah yang tak terbendung
lagi, Memangnya anggota Hek-jiu-tong biasanya sebuas serigala dan selincah
harimau, kejahatan apa saja yang tak pernah mereka lakukan" Kini demi mencari
selamat sendiri, yang di belakang mendorong yang di depan terdesak roboh dan di
injak-injak kawan sendiri, maka terjadilah saling injak dan saling dorong, keadaan
menjadi semakin kacau dan ribut.
Mengawasi keadaan yang kemelut itu, Sebun Tio-bu mendadak menoleh dan
bertanya: "Siang-heng, tahukah di mana letak sumbu peledak musuh?"
Siang Cin maklum maksud Sebun Tio-bu, namun dia menggeleng sahutnya: "Tadi
tak sempat kutanyakan."
Dengan gegetun Sebun Tio-bu berkata pu la: "Bila tahu tentu menguntungkan kita
bisa mendahului pasukan musuh yang mundur ini, bila sumbu kita sulut sekarang
pihak mereka sendiri yang bakal menjadi korban malah, tapi kini sudah terlambat . .
." 290 "Tempatnya pasti amat dirahasiakan, kalau tidak, ini memang cara yang setimpal
untuk membalas kelicikan mereka."
Tatkala mana keadaan orang-orang Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui tampak runyam
sekali, banyak yang merangkak-rangkak berebut mencapai tepi Ce ciok-giam,
pahlawan-pahlawan Bu-siang-pay terus mengudak dan membabat musuh seperti
membabat rumput, kira-kira dua puluhan tombak mendekati seberang Ce-ciok-giam,
pada saat genting itulah, tiba-tiba lengking suara tiupan tanduk yang mengalun
panjang berirama sendu bergema di angkasa Ce ciok-giam.
Maka pahlawan-pahlawan Bu-siang-pay yang tengah mengamuk di tengah-tengah
musuh sama berhenti dan melongo, jelas kelihatan mereka teramat heran dan
menyesal, wajah mereka yang sudah beringas seperti binatang buas yang mencium
darah tampak penasaran dan gusar, tapi mereka teramat berdisiplin dan patuh pada
perintah atasan, meski tak boleh menyerbu lebih lanjut, tapi tombak bersu la di
tangan mereka segera ditimpukkan musuh, maka musuh yang lagi lari sipat kuping
dan merambat naik ke atas tanggul itu banyak pula yang menjadi korban, tombak
menghujam punggung, leher, pinggang atau kaki tangan, ada pula yang batok
kepalanya pecah, lebih mengenaskan lagi ada orang yang tubuhnya terpantek
tombak pendek yang berat itu.
Di kejauhan sana lh Ce tampak berdiri di atas sepotong batu besar, di sampingnya
berdiri tiga anak buahnya yang gagah perkasa, tak jauh di sebelah sana Kim-lui-jiu
Kin Jin tampak berdiri dengan santai, gagah dan berwibawa.
Thong Yang-seng yang sekujur badannya berlepotan darah tampak masih berada di
dalam rombongan orang banyak entah apa yang sedang dia bicarakan dengan Coan
jit kek Mo hiong.
Sisa orang-orang Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui sementara itu sudah naik ke atas
tanggu l, syukur pahlawan-pahlawan Bu-siang-pay tidak mengganyang mereka lebih
lanjut, maka semuanya ngelesot di tanah, ada yang duduk, ada yang rebah
celenteng, semuanya lemah lunglai dengan napas tersenga l, yang terluka sibuk
membalut luka, ada pula yang merintih dan meraung, yang tersisa tiada seorangpun
kuat berdiri lagi.
Melihat keadaan Ce-ciok-giam yang penuh bergelimpangan mayat dan orang yang
terluka parah, lama juga Siang Cin termenung, kalanya kemudian: "Yang gugur dan
terluka dari kedua pihak ternyata tidak sedikit jumlahnya."
Hong Siang-gwat menghela napas, katanya: "lni kan petempuran, kalau tidak
membunuh tentu dibunuh, jumlah orang-orang yang gugur dan terluka sebentar lagi
akan ada laporan yang jelas."
Dari depan sana bayangan seorang yang kurus kecil tengah berlari datang, sekilas
pandang Siang Cin melihat yang datang ini adalah si Lutung putih Siang Kong.
Ho Siang-gwat terbelalak heran, teriaknya: "Lo Siang, kenapa kau tergesa-gesa?"
Muka Siang Kong basah penuh keringat, dengan napas, tersengal dia memberi
hormat kepada Siang Cin serta Sebun Tio-bu, lalu berkata kepada Ho Siang-gwat:
"Lapor Toahoucu, Cuncu bertanya bagaimana tindakan selanjutnya?"
291 Ho Siang-gwat berpaling ke arah Siang Cin. Dengan tenang Siang Cin berkata: "Bagi
menjadi beberapa kelompok dan siap siaga setiap saat, untuk sementara boleh
istirahat tolong dulu yang terluka adalah tugas utama."
Siang Kong mengiakan terus berlari balik ke sana, Ho Siang-gwat memanggil
seorang murid serta berpesan: "Laporkan kepada Toaciangbun, katakan bahwa Ceciok-
giam sudah kita duduki, karena musuh menanam bahan peledak di atas tanggul
sana, maka sementara kedua pihak mengadakan gencatan senjata tidak resmi,
jangan lupa secepatnya suruh barisan penolong kemari."
Murid itu mengiakan terus berlari pergi bagai terbang, Ho Siang-gwat berpikir
sejenak, lalu berkata kepada seorang murid Bu-siang-pay tak jauh di sampingnya:
"Sampaikan kepada Pau-suheng, katakan kuperintahkan mereka tetap bertahan di
luar Ce ciok-giam, sebelum ada perintah tak boleh sembarang beraksi."
Murid inipun pergi dengan langkah cepat, Ho Siang gwat menghela napas, katanya
dengan nada heran: "Eh, hujan salju sudah berhenti. Kapan sih berhei'tinya?"
"Dikala kita mulai terjun ke medan laga tadi," ucap Siang Cin dengan tertawa.
Dalam pada itu dua murid Bu-siang pay telah membentang dua selimut yang tebal di
antara batu krikil, maka Siang Cin, sebun Tio-bu dan Ho Siang-gwat sama duduk
istirahat. "Menurut perhitunganku," demikian ucap Siang Cin, "Yang gugur dan terluka dari
kedua pihak mungkin melebihi tiga ribu orang."
"Ya, kira-kira sebesar itu," kata Siang gwat, "Barusan Loh lh beritahu kepadaku,
bahwa anak buah Say-ji-bun yang dipimpinnya ada separo yang gugur dan terluka,
murid-murid yang dikuasai Congtong juga gugur dua tiga ratusan."
Menghela napas, Siang Cin berkata "Pertempuran besar-besaran begini, akibatnya
sudah tentu serba kejam."
Dengan rasa dongko l Sebun Tio bu melirik Siang Cin, katanya: "Memangnya si
Naga Kuning juga bicara persoalan kekejaman?"
"Kan aku juga manusia biasa, hatiku tidak sekejam seperti yang tersiar di luaran,
betapapun harkat manusia masih kuhargai, cuma dalam menghukum orang jahat,
caraku turun tangan memang keji, adalah jamak mereka yang pernah kutindas sama
menggambarkan diriku bagai iblis laknat. Yang betul, akupun punya kasih sayang
sesama manusia, aku menghargai orang lain seperti aku menghargai diriku sendiri,
ini terbukti jumlah manusia yang pernah kutolong, dari macam-macam kesulitan
yang jauh lebih banyak daripada korban yang pernah kubunuh, kecuali kejahatannya
memang sudah kelewat takaran, biasanya pasti kupertimbangkan dulu apakah patut
orang itu kubunuh."
Ho Siang-goat manggut-manggut, katanya: "Untuk ini akupun bisa merasakab, aku
setuju dan bisa menerima penjelasan ini. . ."
"Akupun setuju," kata Sebun Tio-bu, "Hendaklah Siang heng jangan salah paham. .
." 292 "Persahabatan harus dilandasi kejujuran serta kebajikan, Tangkeh, masakah aku
gampang dibuat salah paham?" ucap Siang Cin sambil menatap Sebun Tio-bu."
Lalu dia kerkata pula kepada Ho Siang-gwat: "Toahoucu, untuk kali ini apakah kalian
ada membawa senjata api?"
"Ada, Liat yam-kiu dan Hwe-piau buatan khas kami sendiri," sahut Ho Siang-gwat.
"Bian-hok-ti-cu juga kalian bawa bukan?" tanya Siang Cin pula.
"Sudah tentu," sahut Ho Siang-gwat tergelak. "pusaka ini pasti selalu kami bawa."
Berpikir sejenak lalu Siang Cin berkata: "Kalau tidak dipelihara orang di musim
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sedingin ini, berapa lama binatang ini kuat dan bertahan hidup?"
"Bian-hok-ti-cu (labah2 perut sutera) ini biasanya kami pelihara dalam kotak batu
kemala yang hangat, jika tidak dipelihara dan berada musim sedingin ini, mungkin
hanya kuat bertahan setengah hari, daya hidup labah-labah macam ini sebetulnya
amat kuat, bila labah-labah jenis lain, begitu musim dingin akan datang, mungkin
siang-siang sudah menggali liang sembunyi dan tak berani bergerak lagi."
Lalu dia bertanya: "Apakah kau ada akal baik, Lote?"
"Biarlah kupikirkan sebentar, supaya rencanaku lebih sempurna. . ."
Maka Ho Siang-gwat tidak mengganggu pula konsentrasi Siang Cin, sementara
Sebun Tio-bu sudah merebahkan diri, Thi-mo-pi dia jadikan bantal. Tak lama
kemudian, lima ekor kuda mencongklang kencang mendatangi tiba di pinggir parit
lantas berhenti, lima orang dengan langkah cepat tampak menyeberangi Sin-siok-iuh
menuju ke sini.
Ho Siang gwat berkata pelahan: "ltulah Tay-ciangbun telah datang."
Dengan tertawa Siang Cin berdiri, demikian juga Sebun Tio-bu melompat bangun.
Memang betul Thi Tok-heng dibawah pengawalan Jik tan-su-kiat tengah mendatangi
mereka. Jelas pada saat pertempuran berlangsung tadi, Thi Tok-heng sendiri tidak pernah
istirahat. Melihat Siang Cin bertiga, dia mempercepat langkah dengan tersenyum,
dengan erat dia pegang lengang Siang Cin dan Sebun Tio-bu, katanya dengan suara
terharu: "Lote, tentunya kalian sudah lelah."
"Tidak apa-apa, mungkin Tay ciangbun yang terlalu banyak berpikir . . ."
"Tayciangbun," sela Sebun Tio-bu "mukamu kelihatan kurang sehat, mungkin terlalu
tegang. Memang, dalam saat2 seperti ini siapapun pasti tegang."
"Untunglah ...." ucap Thi Tok-heng dengan tertawa, "sementara ini situasi boleh
dikatakan aman, dalam gebrak pertama ini kita sudah unggul, tapi untuk maju lebih
lanjut tidak sedikit aral melintang yang harus kita hadapi, pihak musuh jelas takkan
berpeluk tangan."
"Sudah tentu," kata Siang Cin.
293 Thi Tok-heng berkata pula: "Siang-lote, menurut pendapatmu, bagaimana
melanjutkan serbuan seterusnya?"
Berpikir sebentar Siang Cin berkata: "Di atas tanggul diseberang Ce-ciok-giam
musuh memasang bahan peledak dalam jumlah besar, maka langkah pertama kita
harus menghancurkan peledak yang terpendam itu, lalu perintahkan Say-ji-bun
berjagadi sini, supaya Ce-ciok-giam kita jadikan benteng yang kukuh untuk maju
atau mundur bila perlu di samping kekuatan inti kita terus maju ke depan beberapa
kelompok yang lain harus terus gempur pertahankan musuh secara bergiliran
supaya musuh tidak ada waktu ganti napas, dengan cara demikian bukan saja
tenaga kita bisa dipertahankan semangat juang tetap berkobar, bila perlu seluruh
kekuatan masih dapat dikerahkan sekaligus. . ."
"Analisa yang tepat," Ucap Thi Tok-heng, "apa yang diuraikan Lote memang sudah
menjadi rancangan dalam benakku, tahap pertama Say-ji-bun memang harus
berjaga di Ce-ciok-giam..sementara pasukan Hwi-ji-bun kujadikan pasukan inti dan
pasukan Bong-ji-bun sebagai cadangan, kini yang perlu segera diputuskan adalah
bagaimana langkah kita selanjutnya . . ."
"Menurut penilaianku." demikian Siang Cin berkata, "musuh hanya mengerahkan
sebagian kecil saja dari seluruh kekuatannya dalam pertempuran di Ce-ciok-giam ini,
kekuatan inti mereka belum dikerahkan, menurut pengakuan Pek Wi-bing, Jik-san-tui
hanya mengerahkan dua ribu orang dan empat ratus orang Hek jiu-tong, kukira
jumlah ini memang tidak salah, dari hasil penyelidikanku di Pau-hou-ceng dan Toaho-
tin tempo hari, Jik-san-tui memang kira-kira mempunyai kekuatan dua ribuan
orang, seielah pertempuran tadi, berarti jumlah mereka sudah sisa separo saja."
Berhenti sebentar, lalu Siang Cin meneruskan "Sementara pihak Hek jui-tong yang
hijrah kemari dan Pi ciok-san, seluruhnya ada seribu lebih, di antaranya ada yang
terluka parah dan ringan, kini mereka mengerahkan empat ratusan orang di Ce-ciokgiam
ini, berarti separo dari jumlah yang mereka miliki. Maka mulai dari sini dan
seterusnya sampai di Tao ho tin, musuh pasti sudah mengatur banyak perangkap
dan jebakan, setiap langkah kita pasti ada bahaya dan kekuatan selanjutnya yang
bakal kita hadapi jelas adalah orang-orang dari Toa-to-kau, Jit-to hwe, malah
mungkin juga dibantu orang dari Ceng siong-san-ceng, menurut penilaianku, anak
buah Hek jan kong yang bercokol di Ji-gi-hu tentu sudah menguasai seluruh Toa-hotin,
sementara sisa-sisa dari kekuatan Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui paling-paling
hanya dijadikan kekuatan samping yang tidak seberapa di sekeliling Ji gi-hu."
Tiba-tiba Sebun Tio-bu menimbrung: "Kalau demikian, bukankah Jik-san-tui dan
Hek-jiu-tong merosot derajatnya?"
Siang Cin mengangguk, katanya: "Betul, sejak lari ke Toa-ho-tin, Hek jiu-tong
memang tidak segarang dahulu, pamornya sudah runtuk habis-habisan, sementara
Jik-san-tui biasanya memang menuruti segala petunjuk Hek-jan kong, bahwa Hek jiu
tong mencari perlindungan di tempat Jik san-tui, mau-tidak-mau mereka harus
tunduk juga, maka nasib sudah menentukan demikian, gembong-gembong Hek jiutong
yang masih hidup tentu menyesal setengah mati, tapi lahirnya mereka akan
tetap unjuk senyum, padahal batin mereka amat menderita.
Dengan tersenyum Thi Tok-heng berkata: "Analisa Siang-lote, memang jelas dan
tepat, sungguh amat kagum, Siang-lote, menurut pikiranmu, cara bagaimana kita
harus melancarkan serbuan selanjutnya?"
294 Dengan kalem Siang Cin berkata: "Gunakan kekuatan Hwi ji-bun untuk menyerbu
secara langsung dari depan, sementara kekuatan Bong ji bun dipendam di kiri,
mereka akan dikerahkan menurut keadaao. Seluruh kekuatan Congtong
dipersiapkan setiap saat menunggu perintah, bila perlu secara langsung merekalah
yang harus menerjang masuk ke Toa ho tin, sebelum musuh yang dipendam
sepanjang jalan Ce-ciok-giam sampai di Toa-ho-tin tersapu bersih, Cayhe, Sebuntangkeh
dan Kin-heng dengan beberapa jago pilihan Bu-siang-pay akan
menyelundup masuk lebih dulu ke jantung musuh,tugasnya sekaligus mencari jejak
puteri Tayciangbun."
Pelahan Thi Tok-heng berkata: "Baik, boleh dilaksanakan sesuai rencana Siangheng,
bila ketemu Yang-yang, kalau dia masih bandel, tak usah ragu-ragu, Sianglote
boleh meringkusnya dan bawa kemari, mati atau hidup tidak menjadi soal . . ."
Lama Siang Cin menatap Thi Tok-heng, orang tua yang berhati mulia, Tayciangbun
dan Bu-siang-pay, bagaimana perasaan orang sekarang, Siang Cin dapat
menyelaminya, katanya dengan tertawa: "Taycangbun tak usah kuatr, Cayhe pasti
bekerja melihat gelagat bila kutemukan dia, kesempatan untuk melarikan diri pasti
takkan kuberikan."
Tiba-tiba Sebun Tio-bu berteriak: "Betul, dengan kekuatan kami kalau tidak mampu
membekuk genduk cilik itu, memangnya ke mana pamor kami akan ditaruh?"
Terpancar rasa terima kasih yang tak terhingga pada sorot mata Thi Tok heng,
katanya: "Betapa syukur dan terima kasih hatiku, budi kebaikan kalian kepada Busiang-
pay sungguh tak terukur besarnya . . ."
Lekas Sebun Tio-bu berkata: "jangan Tay-ciangbun sesungkan ini, berkecimpung di
kalangan Kangouw, yang di utamakan adalah "satya", demi kesatyaan, meski awak
sendir harus berkorban juga tidak jadi soal, apalagi cuma urusan sekecil ini".
"Sudahlah," ujar Siang Cin, "Tayciangbun tak usah sangsi dan sungkan. Sekarang
menurut Tay-ciangbun kapan kiranya akan dimulai serbuan terbuka?"
Berpikir sejenak Thi Tok heng berkata: "Kira-kira satu jam lagi bagaimana?"
"Baik, sekarang perintahkan supaya semua pasukan istirahat dan mengisi perut
sekenyangnya," ucap Siang Cin.
Thi Tok-heng mengangguk kepada Ho Siang-gwat di sebelahnya, lalu dia berpaling
dan berkata kepada To Wan kang, salah satu dari Jik-tan-su-kiat: "Wan-kang, biarlah
aku makan di sini bersama Susiok berdua."
To Wan-kang mengiakan terus berlalu bersama rekannya menyiapkan hidangan,
baru saja mereka pergi, dari arah Ce-ciok-giam sebelah depan sana berlari datang
seorang laki tinggi besar mirip kerbau.
Begitu melihat Thi Tok-heng orang itu lantas menjura serta berkata: "Siang-toa-cui Jit
Lip dari Say ji-bun menghadap Tayciangbun, semoga Tayciangbun sehat selalu . . ."
"Sudah, jangan banyak peradatan,." ucap Thi Tok-lheng tersenyum.
295 Siang-toa-cui (sepasang gada garuda) Jit Lip ini agaknya pemalu, dia menegakkan
badan sambil menyengir lucu, katanya setelah menyeka keringat: "Lapor
Tayciangbun, Tecu diutus oleh lh-Cuncu kemari untuk melaporkan tentang para
saudara yang gugur, luka parah dan ringan . . ."
"Baik, boleh kau laporkan," ucap Thi Tok-heng.
"Kawanan kura-kura Hek-jiu-tong mampus dua ratusan orang, yang luka-luka ada
tujuh puluhan, korban Jik san-tui lebih besar lagi, yang mati ada seribu dua ratus,
yang terluka lima ratus lebih, sisa yang berhasil melarikan diri, menurut perhitungan
lh cuncu, orang-orang Jik san-tui masih ada empat ratusan orang, sedang Hek jiutong
paling hanya dua ratusan, betapa mengenaskan keadaan mereka sehingga
kawan-kawan mereka yang terluka tak terhiraukan lagi . . ."
Setelah, menelan air liur, Jit Lip berkata pula: "Karena teramat dekat pihak kita
melakukan pengejaran, maka menurut lh-cuncu musuh ngacir seperti . . . seperti . . ."
"Seperti anjing mencawat ekor." sambung Sebun Tio-bu.
Jit Lip menghela napas lega, katanya sambil menyeka keringat: "Ya, ya betul. ngacir
seperti anjing mencawat ekor . . ."
"Lalu berapa besar korban pihak kita" Kukira cukup parah juga bukan?" ucap Thi
Tok heng. Jit Lip diam sejenak, wajahnya yang merah kasar mengunjuk rasa sedih,
senyum yang menghias wajahnya tadi seketika sirna.
"Katakanlah," ucap Thi Tok-heng dengan tenang, "darah seorang ksatria memang
pantas menyiram pasir, gugur di medan laga, semua ini adalah akhir dari kehidupan
seorang pahlawan sejati, tiada sesuatu yang harus dibuat sedih, malah sebaliknya
kita harus merasa bangga akan keberanian dan jasa-jasa mereka Jit Lip, katakan,
berapa besar korban yang kita alami" Apakah lebih parah dari pada mereka?"
Gemetar bibir Jit Lip, suaranyapun berubah serak: "Empat ratus dua puluh saudara
Sau ji bun gugur, yang luka parah dan ringan ada dua ratusan lebih, anak buah di
bawah komando Congtong gugur seratus lima puluh orang, yang luka parah dan
ringan ada lima puluhan, jadi jumlah seluruhnya ada tujuh ratusan. Kini yang lukaluka
sedang ditolong, enam belas tabib sedang bekerja keras menolong mereka.
Tapi saudara-saudara kita memang gagah perkasa, keras hati lagi, dalam keadaan
separah itu mereka tetap bertahan, tiada satupun yang mengeluh atau merintih."
Dengan memejamkan mata Thi Tok-heng berkata pelahan dan mantap: "Korban
yang gugur dalam pertempuran kali ini, pihak musuh satu kali lipat lebih banyak
daripada kita, jangan karena kerugian yang kita alami cukup parah lantas patah
semangat dan bersedih hati, bawalah kepedihan kembali ke padang rumput, waktu
itu, akan diberi kesempatan untuk menangis, akupun akan menyertai kalian,
sekarang Jit Lip. . ."
Jit Lip menunduk untuk menyembunyikan air mata yang sudah berkaca-kaca
dikelopak matanya, dengan tersendat dia mengiakan.
Dengan suara lantang Thi Tok-heng berpesan: "Sampaikan kepada mereka, yang
gugur segera dikebumikan di tempat itu juga, yang terluka harus ditolong dengan
296 segala daya upaya, tapi korban dari lawanpun harus dirawat, mereka harus juga
menerima pelayanan yang sama dengan murid-murid kita . . ."
"Tayciangbun," seru Jit Lip penasaran "para kura-kura itu . . . . "
"ltulah putusanku," tenang dan berwibawa kata-kata Thi Tok heng, "sampaikan
pesanku ini kepada lh cuncu dan harus dilaksanakan, jangan lupa orang-orang
itupun seperti kita, manusia biasa yang diiahirkan oleh ayah-bundanya . . ."
Jit Lip tak berani membantah lagi, setelah mengiakan lekas dia mengundurkan diri.
Mengawasi bayangan orang yang gede berlari pergi Siang Cin menghela napas.
katanya: "Tay-ciangbun, putusanmu memang betul dan bijaksana."
Thi Tok-heng tertawa getir katanya: "lnilah yang dinamakan "peri kemanusiaan"
kehidupan kaum persilatan memang serba mengenaskan, serba kejam . . ."
Dalam pada itu Jik-san su-kiat sudah datang dengan membawa beberapa kotak
kayu yang berisi berbagai macam masakan, seru Sebun Tio-bu sambil berjingkrak
senang: "ini dia, perut memang sudah keroncongan, hayolah isi perut dulu, kalau
perut kenyang baru punya tenaga untuk berkelahi."
Siang Cin tertawa, katanya: "Di mana dan kapan saja tangkeh tidak pernah
melupakan soal makan."
Sebun Tio-bu berkata: "Sudah tentu, makan kan soal pokok bagi setiap manusia,
apalagi setelah mengalami pahit getir seperti ini, selera makan pasti besar dan
penting sekali artinya."
"Nanti sebentar," ucap Thi Tok~heng, "aku ingin menyuguh beberapa cangkir arak
kepada kalian."
Sebun Tio-bu tertawa, katanya: "Tayciangbun, kiranya ada arak juga?"
Kata Thi Tok-heng manggut-manggut: "lnilah Say to-ciu nomor satu."
"Say-to-ciu?" teriak Sebun Tio-bu kegirangan sambil menelan ludah, "Bagus sekali,
hayolah tenggak dulu setiap orang delapan cangkir, kalau sudah makan hidangan
rasanya tentu kurang sedap."
Dengan tulus hati Thi Tok-heng berkata: "Setelah urusan di sini selesai, akan
kuundang kalian ke padang rumput, kita akan makan-minum sepuas-puasnya di
sana, cuma apakah Sebun tangkeh sudi memenuhi undanganku ini."
"Pasti kuterima," teriak Sebun Tio-bu, "cuma, ai, makan minum dengan menganggur,
apa tidak membosankan."
Tiba-tiba Siang Cin menuding ke depan, katanya: "Kin heng sedang mengawasi
gerak-gerik musuh di garis depan bersama lh-cuncu."
Lekas Thi Tok-heng berpaling, serunya: "Wan-kang, lekas panggil Kin-susiok untuk
makan bersama."
297 Tidak lama Kin Jin tampak berlari datang, ia memberi hormat sambil mohon maaf:
"Terlambat selangkah, bikin kalian menunggu. makan di sana sebenarnya juga sama
saja." Tidak terlalu lama mnkan siangpun usai, sambil menepuk perut Sebun Tio-bu
berkata dengan muka merah: "Puas minum makan kenyang, tibalah saatnva
berjuang di medan laga pula."
Kin Jin menyeka mulut, katanya: "Siang-heng, bahan peledak musuh di atas tanggul
itu, bagaimana cara menyelesaikannya?"
"Tak usah kuatir, ada akal untuk memusnahkannya," ucap Siang Cin dengan
tersenyum, lalu dia berpaling kepada Thi Tok-heng, katanya: "Tayciang-bun,
menurut Ho-toahoucu, untuk meluruk kemari pihak kalian juga membawa serta
senjata api?"
"Betul," sahut Thi Tok-heng, "akhir-akhir ini kami berhasil menciptakan berbagai alat
senjata api, di antaranya Liat-yam-kiu (bola api, granat) dan Hwe-piau."
Dengan bersemangat Siing Cin berkata: "Nah, sekarang harap perintahkan
menggempur pinggir tanggul itu dengan gencar, pertama untuk memukul mundur
musuh, supaya kami punya peluang masuk ke jantung musuh dan mungkin dapat
pula menyulut sumbu bahan peledak musuh."
Thi, Tok-heng manggut-manggut, Siang Cin lantas menambahkan: "Bila serbuan
dimulai, Cayhe akan pimpin beberapa utusan kalian menyelinap keluar dan menuju
ke Toa-ho-tin untuk mencari jejak puteri Ciangbunjin."
Dengan kereng Thi Tok-heng lantas berseru: "Wan- kang, panggil Toacuncu
Tiangsun Ki dari Hwi-ji-bun dan Toacuncu Utti Han-poh dari Bong-ji-bun kemari."
Hanya sebentar saja tiga bayangan orang tampak lari mendatangi. Seorang
setengah-umur berperawakan tinggi kurus bermuka pucat kehijauan. Dibelakangnya
adalah seorang tua berbadan gemuk buntak seperti guci, berkepala botak, mukanya
bundar mirip patung Mi-lek-hud (Budha) di kelenteng yang selalu tertawa. Mereka
datang hanya terpaut selangkah belaka, Sedang To Wan-kang jauh ketinggalan di
belakang. Thi Tok-heng tertawa ramah, laki-laki muka hijau segera menjura, suaranya berat
serak: "Tiangsun Ki menghadap Ciangbun Toasuheng."
Kakek buntak tertawa, k.itanya: "Losuko, ada tugas apa pula yang hendak
diserahkan kepada Bong-ji-bun kami?"
Thi Tok-heng mengangguk pada si tua buntak ini, lalu dia perkenalkan kepada Siang
Cin bertiga, Laki-laki kurus muka hijau ini bukan lain adalah Toa-cuncu Hwi-ji bun
yang tersohor dengan julukan Ceng-tuo-kun (iblis muka hijau) Tiangsun Ki, sedang
laki-laki tua buntak adalah Toacuncu Bong-ji-bun Kian-kun-it-Jiin Uiti Han-poh.
Setelah basa basi saling mengucapkan kekaguman, Thi Tok-heng berkatn:
"Tiangsun-sute, dalam gerakan selanjutnya, anak buahmu akan diserahi tugas
sebagai penyerbu utama, sementara anak murid Utti sute sebagai pendukung."
298 Mantap suara Tiangsun Ki, sahutnya: "Hal itu sudah kudengar dari Ho-toahoucu
tadi." "Baiklah," ucap Thi Tok-heng kemudian, "segera bentuklah barisan, biarlah anak
buah lh-sute dan Ho-houcu membersihkan bahan peledak musuh, kalian harus
menunggu aba-aba untuk segera menyerbu."
Sampai di sini nadanya menjadi kereng berwibawa: "Pada serbuan pertama harus
langsung menembus jantung musuh, dilarang berhenti atau membuang waktu, bila
terhambat sedetik saja, korban dipihak kita akan lebih banyak, hal ini kalian harus
mengerti."
Tiangsun Ki dan Utti Han-poh sama mengangguk, Thi Tok-heng berkata lebih lanjut:
"Di samping itu kita pilih Tang-haii (rantai panjang) Le Tang dari Hwi-ji-bun dengan
Heng-cia Loh Hou dari Bong-ji-bun untuk ikut Siang-lote menyelundup ke Toa-ho-tin
agar menyambut serbuan kita di sana nanti."
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa cukup dua orang saja?" tanya Tiangsun Ki "Cukup," lekas Siang Cin menyahut.
Tanpa bicara lagi Tiangsun Ki dan Utti Han-poh memberi hormat kepada Thi Tokheng
serta Siang Cin dan lain-lain, seperti datangnya tadi, cepat sekali mereka
sudah berlari pergi.
Thi Tok-heng menghela napas, katanya: "Tiang-sun Ki adalah Cuncu yang memiliki
Lwekang paling tinggi di antara enam yang lain, cerdik pandai dan banyak akalnya,
keberaniannya luar biasa, usianya sudah lima puluh lebih, namun wataknya tetap
berangasan, itulah cirinya yang paling jelek."
Sebun Tio-bu tertawa, katanya: "Lahirnya kok tidak kelihatan."
"Memang tabiatnya jelek sekali, meski menghadapi kematian tetap tak mau tunduk,
tapi lahirnya memang tidak kentara, lahirnya dia kelihatan pendiam dan penurut tapi
begitu sifat sejatinya kumat, bagaikan hujan badai yang tak terkendali lagi,
Umpamanya dalam perjalanan kcmari, bila aku tidak berulang kali mengendalikan
dia, mungkin sejak lama dia sudah meluruk langsung ke Toa-hoa-tin untung
reaksinya cukup cekatan meski dalam keadaan murka dan dirundung emosi dia
tetap tak pernah bingung atau gugup, oleh karena itulah selama dia berkecimpung
dalam dunia persilatan belum pernah dia mengalami kerugian."
"Sungguh sulit mencari orang seperti dia, umumnya orang yang bertabiat
berangasan otaknyapun tumpul, gagah berani tapi tidak punya akal, apa lagi bila
menghadapi urusan besar dan penting akan menjadi kelabakan dan mati kutu, bila
seseorang dapat menguasai diri dengan tenang serta bisa mundur-maju secara
teratur, dalam keadaan murka akal sehatnya tak pernah pudar, inilah yang membuat
kagum," demikian Siang Cin memberikan komentarnya
Dikala mereka bicara itulah, dua orang berperawakan tinggi tujuh kaki, pinggang
besar dan kekar tampak berlari datang.
Yang disebelah kiri bermuka lebar, mata besar, hidung pesek, mulut tebal kulit
badannya coklat mengkilap, lengan besar melebihi paha seorang laki-laki biasa
dengan otot daging merongkol.
299 Orang di sebelahnya juga raksasa alisnya tebal, leher besar, rambut hitam, gondrong
terurai di pundak, bersenjata toya baja, mukanya memancarkan cahaya penuh
semangat, giginya putih tapi dengan dua taring besar yang menonjol.
Thi Tok-heng memperkenalkan: "Siang-lote, dia bernama Le Tang, salah satu murid
Hwi-ji bun yang paling hebat." Lalu ia menuding laki-laki raksasa yang memegang
pentung: "Dia ini Loh Hou, jago yang tak terkalahkan dari Bong-ji bun."
Siang Cin menjura kepada kedua orang, sapanya tertawa: "Dapat berkenalan dan
kerja sama dengan kalian, sungguh bangga hatiku."
Kedua laki-laki besar dan kasar ini ternyata lugu dan tak pandai bicara, sekian lama
mereka hanya menyengir saja sambil garuk-garuk kepala, akhirnya yang bernama
Le Tang dapat menguasai diri serta berkata: "Ah, jangan sungkan, kami orang
bodoh. . ."
Thi Tok-heng tertawa geli, katanya: "Sudahlah, kalian akan ikut bernama Siangsusiok,
apapun petunjuk dan perintahnya harus kalian patuhi, demikian pula kalian
harus tunduk pada petunjuk Sebun-tangkeh dan Kin-tayhiap, jangan ragu-ragu dan
membangkang, tahu tidak?"
"Sudah tahu, kami pasti patuh." kedua laki-laki kasar itu menyahut.
Siang Cin mendongak melihat cuaca, baru saja dia mau bicara, dari kiri-kanan Ce
ciok giam mendadak bergema lengking suara tiupan terompet yang mengalun sedih
memilukan, nyaring dan tinggi suara trompret ini sampai terdengar juga ke seberang,
ditengah suara trompret yang melengking tajam itu, terdengarlah suara serta derap
tapal kuda yang gemuruh, bentakan orang yang berlari kian kemari, kiranya anak
murid Hwi ji-bun dan Bong ji bun tengah mempersiapkan diri.
Thi Tok-heng memberi tanda kepada To Wan-kang yang berdiri tak jauh di
sebelahnya, bergegas To Wan-kang segera berlari pergi, ditengah Ce-ciok giam
sana segera bergemalah suara trompet yang gagah dan mengalun panjang.
"Kini kalian bisa saksikan kehebatan senjata api kita," demikian kata Thi Tok-heng.
"Pasti mengejutkan," ujar Siang Cin dengan tertawa.
Tersenyum Thi Tok-heng, dia tidak menanggapi pujian Siang Cin, sementara
bayangan orang dan kuda tampak bergerak di tengah Ce-ciok-giam, senjata di lolos
dan berdering, dalam sekejap anak murid Say-ji-bun yang berada digaris depan
sudah mulai bergerak, sementara anak murid di bawah komando Cong-tong berada
dibarisan belakang teratur rapi dalam formasi yang sudah ditentukan.
Jauh di seberang sana, bayangan merah dan hitam tampak bergerak kalang kabut,
satu dengan yang lain tengah berlomba berdiri dan merangkak mencari posisi dan
perlindungan. Sekarang Siang Cin tengah memperhatikan murid-murid Bu siang pay yang ada di
garis depan, semuanya memegang tiga batang bumbung hitam yang terikat jadi
satu, pangkal bumbung berbentuk lebar seperti sayap, sementara ujungnya terarah
ke depan mengincar musuh, murid2 yang dipimpin Cong-tong dalam waktu singkat
300 telah memasang puluhan kerangka besi berbentuk segi empat, ke empat kaki
kerangka ini terbenam ke dalam tanah.
Tepat di tengah kerangka besi terpasang satu jalur pegas dan pada ujung pegas
baja ini ada dipasang sebuah mangkuk, di dalam mangkuk inilah ditaruh sebuah bola
warna hitam sebesar kepala manusia.
Kini semua pegas atau per itu sudah ditarik, bila gantolan pada per itu dilepas, pegas
itu akan bekerja serta melemparkan bola di dalam mangkuk itu ke depan.
Setiap kerangka itu dijaga empat murid Bu-siang-pay seragam putih, sekitar mereka
tampak tersedia puluhan bola yang siap ditembakkan.
Bumbung atau pipa hitam bersayap itu Siang Cin pernah melihatnya, tapi kerangka
baja dengan pegas dan mainan bola itu masih asing baginya, tapi entah itu senjata
ampuh atau mainan belaka, bila dikerjakan akibatnya tentu fatal, jiwa manusia dapat
dihancurkan dalam beberapa detik saja.
Thi Tok-heng tertawa lebar. katanya: "Siang-lote, bumbung hitam yang dipegang
murid-murid Say-ji-bun itu dinamakan Hwe piau, daya bidiknya bisa mencapai
seratusan langkah, panah yang terdapat di dalam bumbung itu panjang kecil dan
runcing, dilumuri minyak dan pospor, begitu kena angin lantas menyala, bagi yang
daya tarikannya kuat, malah dapat mencapai dua ratusan langkah jauhnya."
Berhenti sebentar lalu ia melanjutkan "peralatan yang dipasang di sebelah belakang
itu dinamakan Ki-nu (busur raksasa) setiap kali kerja dapat menembakkan sebutir
peluru berapi (Liat-yam tan), daya ledak nya kuat dan merupakan alat penghancur
yang amat ditakuti Dalam radius sepuluh tombak, rumput dan pepohonan, binatang
atau manusia tiada satupun yang bisa selamat, daya tembak Ki-hu bisa mencapai
enam puluh tombak, karenanya penghancurnya jaug hebat dan terlampau keji, maka
jarang kita menggunakan bila tidak terpaksa dan dipandang perlu." Sampai di sini dia
menarik napas lalu menyambung "Sekurang oiang2 Hek jiu-tong dan Jik-san-tui
yang bakal menjadi sasaran utama."
Siang Cin tertawa, tanyanya: "Boleh mulai?"
"Sudah tentu," ucap Thi Tok-heng. Maka Tay-ciangbun Bu siang-pay ini pelahanlahan
angkat tangan kanannya, lalu mendadak mengayunnya turun dengan cepat.
Ho Siang gwat yang sejak tadi telah menunggu di jarak sepuluhan tonibak di atas
batu tinggi di pinggir sana segera berteriak: "Tembak!"
Sepuluh murid Bu-siang-pay yang berjaga di sekitar kerangka baja itu itu seketika
bergerak serempak, gerak gerik mereka tampak lincah, rapi dan terlalih, sebat sekali
kaki menyepak gantolan ujung pegas, maka suara jepretan berbunyi hampir dalam
waktu yang sama."
"Ssiiuuttt blummm"
Suara ledakan menggetar bumi. Pegas terpasang pula, pelorpun ditembakkan lagi
secara beruntung cuma arah sasarannya saja yang sedikit di ubah.
301 Tapi semua di tujukan unggul atau belakangnya, di mana orang2 Hek-jiu-tong dan
Jik-san-tui beruban mati-matian.
Asap tebal tampak mengepul disertai percikan api, lebih mengenaskan lagi, manusia
yang menjadi korban pemboman ini ikut hancur-lebur, tiada korban yang mati dalam
keadaan utuh. Hampir dalam waktu yang sama dengan bombardir yang menggoncangkan bumi ini
murid-murid Say-ji-bun yang berada di garis depan segera menarik pelatuk, disertai
suara jepretan yang keras secara beruntun ribuan jalur api sama menyembur
kencang ke depan, api segera berkobar semakin besar disertai asap tebal
bergulung-gulung ke angkasa, dalam beberapa detik ini, tanggul Ce ciok giam
diseberang sana sudah menjadi lautan api.
Hawa udara terasa pengap dan berbau mesiu, diantara lelatu api dan bergulungnya
asap tebal, batu pasir serta tanah sama terlempar ke tengah udara, batu-batu
gunung yang berserakan di Ce ciok giam porak-poranda.
Ternyata ledakan dahsyat ini masih terus disusul ledakan-ledakan dahsyat lainnya,
satu ledakan lebih keras dan dahsyat dari ledakan yang terdahulu, ledakan-ledakan
dahsyat lainnya, satu ledakan lebih keras dan dahsyat dari ledakan yang terdahulu,
batu-batu besarpun terlempar ke angkasa, siapa saja bila kejatuhan batu-batu ini
kalau tidak terluka, patah tulang, pasti kepala pecah dan binasa.
Di tengah ledakan dahsyat dan hujan batu dan pasir itulah, Siang Cin, Thi Tok-heng,
Sebun Tio-bu, Kin-Jin dan Jik tan-su-kiat sama merebahkan diri mencari
perlindungan, demikian pula seluruh murid Bu-siang-pay sama mendekam di tanah,
untung tiada seorangpun yang terluka, debu pasir masih terus berhamburan, badan
semua orang sama kotor seperti baru saja menerobos keluar dari dalam liang tanah.
Ledakan terus berlangsung, bumi bergoncang sedemikian kerasnya, sampai kuping
mengiang seperti mau pecah, banyak murid Bu-siang-pay yang pucat mukanya,
betapa tak ngeri bila membayangkan andaikan pasukan mereka yang terjebak oleh
ledakan dahsyat bahan-bahan peledak yang dipendam musuh ini.
Siang Cin menggeleng kepala, suaranya terdengar serak, "Ledakan yang hebat
sekali . . ."
Tiba-tiba bayangan orang berkelebat, Ho Siang-gwat melompat tiba dengan gerakan
tangkas, sambil mengusap debu dimukanya dia berteriak gelisah "Tayciangbun,
Tayciangbun. .."
Cepat Tbi Tok-heng berseru: "Apakah Ho houcu di sana?"
Legalah hati Ho Siang-gwat, serunya "Syukurlah Tayciangbun dan para saudara
tiada yang terluka."
"Ho-houcu," kata Thi Tok-heng "getaran ledakan-ini memang hebat, lekas suruh
beberapa orang memeriksa ke depan, apakah pasukan Say-ji-bun di depan ada
yang menjadi korban?"
"Hentikan dulu beberapa kejap, jika tiada ledakan lagi, segera perintahkan anak
buahmu, membuka jalan, biar pasukan Hwi ji bun yang membuka serbuan.
302 Dalam pada itu, orang tadi diutus pergi mencari berita telah berlari balik dengan
napas tersengal-sengal, dia berkata dengan terputus-putus: "Lapor. . ..Tay-ciangbun.
. .orang-orang kita . . . semuanya baik saja, hanya dua puluhan saudara kita terluka
oleh cipratan batu dan terbakar kulit badannya. . ."
Menghela napas lega,Thi Tok-heng lantas berseru kepada Ho Siang-gwat-yang
sementara itu masih menunggu: "Ho-houcu, perintahkan mulai maju!"
Ho Siang-gwat segera melompat ke atas sebuah
batu besar serta bersiul nyaring, cepat sekali siulan yang tidak kalah kerasnya
daripada suara sempritan ini mendapat sambutan di depan, yaitu bunyi trompet yang
berkumandang lagi.
Dengan kereng Thi Tok-heng melepas pandang ke depan, tampak asap tebal masih
bergulung-gulung di tiup angin, bayangan orang berbaju putih terus bergerak, dia
menarik napas panjang secercah senyuman menghias wajahnya, katanya terhibur
sambil menoleh ke arah Siang Cin: "Siang-lote, pasukan Say-ji-bun ternyata tidak
kurang suatu apapun."
"Reaksi mereka cukup cepat menghadapi perubahan, keadaan memang berbahaya
juga," ucap Siang Cin tertawa.
Tengah bicara jauh di belakang terdengar suara meringkik kuda yang ramai disertai
derap langkahnya yang teratur. Waktu Siang Cin menoleh tampak barisan dengan
gelang mas melingkar di kepala telah berjalan turun memasuki Ce-ciok-giam, sambil
menuntun kuda mereka, hati-hati tapi cepat, mereka bergerak ke depan
memencarkan diri dalam formasi tertentu, pada setiap punggung kuda tampak
tergantung sebuah tameng warna perak mengkilat elang terbang yang gagah dan
keren Ceng-Wo-kun Tiangsun Ki, berada di depan barisan-ini, tak hentinya dia
memberi petunjuk dan berkaok-kaok mendesak anak buahnya supaya bergerak lebih
cepat lagi. Menunjuk pasukan yang menuju kemedan pertempuran, dengan suara rendah Thi
Tok-heng menerangkan: "Hwi-ji-bun dengan tameng elang khusus diciptakan sendiri
oleh Tiangsun sute."
"Siang Cin mengangguk, katanya: "Amat gagah dan perkasa, besar sekali kegunaan
tameng itu Hwi-ji-bun pasti merupakan pasukan inti dari seluruh kekuatan yang
dikerahkan ini?"
Sebun Tio-bu bergelak tertawa, katanya: "Sudahlah Siang-toaya, tak usah banyak
komentar lagi, sekarang kita harus lekas menyusup ke Toa-ho-tin, mumpung anak
kura-kura itu sedang ribut dan kacau-balau, hayolah mau tunggu kapan lagi?"
"Baik," sahut Siang Cin mengangguk, "mari berangkat." Lalu dia membalik ke arah
Thi Tok-heng, katanya: "Tayciangbun. sekarang kita berpisah untuk sementara
waktu kami tunggu kedatanganmu di Toa-ho tin."
Thi Tok-heng maju selangkah memegang kedua lengan Siang Cin serta
menggenggamnya kencang, katanya dengan penuh haru: "Siang lote, semua ku
percayakan kepadamu, Semoga sukses!"
303 Dia menoleh ke arah Sebun Tio-bu dan Kin Jin, katanya: "Sebun-lote, Kin-lote,
kuharap kalian hati-hati juga."
Tertawa lebar dan gagah Sebun Tiobu berkata. "Tayciangbun tak usah kuatir, kami
akan menantimu di Toa-ho tin dengan segar bugar."
Kin Jin juga tertawa, ujarnya dengan tekad besar dengan keyakinan yang teguh.
"pasti akan hati-hati, Tayciangbun, kami pasti dapat melaksanakan tugas dengan
baik." Maka beberapa orang saling menjura berpisah, tak lupa Thi Tok-heng memberi
pesan beberapa patah kata kepada Le Tang dan Loh hou. Kejap lain, lima bayangan
orang segera berjalan menuju ke seberang.
Masih terendus bau mesiu yang tebal menyesakkan napas, di antara celah-celah
batu dan gundukan tanah yang turun naik, lima orang dipimpin Siang Cin berjubah
kuning terus berjalan, bayangan elmaut, rasa ketakutan meliputi setiap orang.
Suatu ketika Sebun Tio-bu berkata dengan suara tertahan: "Siang heng, kita lewat
jalan kecil yang memutar saja."
Siang Cin menganguk, sahutnya: "Betul!"
Begitulah mereka semakin jauh meninggalkan Ce-ciok-giam, tugas mereka ini
pantang diketahui oleh musuh, tak boleh terlibat dalam pertempuran sebelum
berhasil memasuki Toa-ho-tin.
Padahal di sebelah kiri sana, di Ce-ciok-giam, pihak Bu-siang-pay tengah melakukan
serbuan besar-besaran, sementara pihak Jik-san-tui dnn Hek-jiu tong dengan
seluruh kekuatan intinya pasti juga dikerahkan untuk menyambut serbuan musuh,
jika mereka tidak jalan memutar mungkin bisa kepergok musuh.
Kalau Siang Cin yang membuka jalan di depan diam saja, Sebun Tio-bu yang
memang banyak omong terus ajak Kin Jin ngobrol apa saja meski sambil lari.
Payah juga Le Tang dan Loh Hou yang mengintil di belakang, mereka tidak memiliki
kemampuan setinggi ketiga tokoh silat di depannya, meski napas sudah ngosngosan
mereka tidak berani ketinggalan jauh dan terpaksa berlari sekuat tenaga.
Kini mereka tiba di sebuah hutan, bila mereka tiba di pinggir hutan, Toa-ho-tin, kota
yang menjadi tempat tujuan merekapun akan tertampak. Dipandang dari atas pohon,
Toa-ho-tin kelihatan sepi dan lengang, rasanya aneh bahwa kota sebesar itu dengan
penduduk yang padat kini dalam keadaan sesunyi ini seperti kota mati belaka, tak
terdengar suara, tidak kelihatan bayangan manusia, sampai suara anjing atau ayam
juga tidak terdengar.
Suasana sepi yang luar biasa ini membuat Sebun Tio-bu menggerutu: "Keparat."
Siapapun merasakan adanya firasat yang tidak baik.
Hening sejenak, akhirnya Siang Cin berkata. "Lebih baik kita berhenti sejenak, bila
jejak kita diketahui musuh, untuk bekerja tentu amat sukar, tugas ini memerlukan
kecerdikan dan kecepatan bertindak."
304 Setelah menerawang keadaan sekitarnya Kin Jin ikut berbicara:"Dari hutan ini ada
kira-kira berjarak dua puluh tombak dan sekitarnya tanah datar dan lapang, sekarang
cara bagaimana kita akan menyusup ke sana tanpa diketahui?"
Sesaat lamanya Siang Cin mondar-mandir sambil berpikir,katanya kemudian:
"Biarlah aku mencobanya."
Sebun Tio bu tidak mengerti. "Siang-heng, bagaimana kau-akan mencobanya"!"
"Aku akan bergerak dengan kecepatan luar biasa, sehingga kabur pandangan
musuh, disangkanya melihat setan atau melihat sesuatu yang khayal belaka, mereka
tidak tahu bahwa yang di-lihatnya adalah bayangan manusia."
Kata Sebun Tio-bu dengan penuh kepercayaan "Aku tahu kau mampu
melakukannya Siang-heng, Naga Kuning menggetarkan dunia karena
kecepatannya."
"Jangan memuji Tangkeh," ucap Siang Cin. "Kin-heng, harap kalian tunggu saja di
sini bersama Loh dan Le berdua, aku akan segera kembali."
Semua sama mengangguk, maka sebelum yang lain memberikan reaksi apa-apa,
bayangan Siang Cin yang tinggi itu mendadak melambung ke udara seperti roket
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang lepas dari landasan, karena cepat daya luncurnya, kelihatannya seperti
bayangan kuning berkelebat, semakin lama semakin cepat sehingga bentuk
aslinyapun tak kelihatan lagi.
Sebun Tio-bun berkata dengan melongo: "Hebat, kecepatan Naga Kuning memang
top. Bukankah itu gerakan yang dinamakan Liong-ih-toa-pat-sek."
"Betul," sahut Kin Jin "Setelah menyaksikan gerakannya, siapapun akan merasa
kagum dan merasakan dirinya kecil sekali, biasanya kita suka mengagulkan ginkang
sendiri yang dianggapnya tiada bandingan lagi di Kangouw, hari ini baru sadar
bahwa aku ini hanya merupakan secomot pasir di tengah gurun pasir.
Dalam pada itu bayangan Siang Cin sudah tidak kelihatan, tanpa konangan dia
berhasil menyusup ke Toa-ho tin, kini dia sedang tiarap di atas sebuah rumah,
dengan tenang ia mengawasi keadaan, sekelilingnya.
Dengan ketajaman mata Siang Cin, dilihatnya dua puluhan tombak luasnya tanah
diluar batas kota Toa-ho tin ada dipasang cagak besi dengan ujung serupa tanduk
menjangan, serta diberi kawat berduri dan berbagai macam rintangan lainnya.
Lalu sepuluh tombak kemudian terdapat karung yang membukit, apa yang berada
dalam gundukan karung tak diketahui tapi dibelakana gundukan karung adalah
barisan bambu runcing yang ujungnya dibungkus kain, semua jebakan ini
mengelilingi To hoa tin dengan rapat.
Dengan cermat Siang Cin memeriksa sekelilingnya pula, jangankan manusia,
bayangan setan pun tidak kelihatan dalam kota ini, entah itu penduduk kota atau
orang Hek-jiu-tong serta Jik san tui, entah kemana mereka, tiada satupun yang
menongolkan kepalanya, seolah-olah kota mati, kota kosong.
305 Dengan hati-hati Siang Cin menggeremet maju di-atas genting, mendadak dia
menemukan sepasang bola mata, bola mata yang sedang mengintip di balik celahcelah
jendela yang terbuka sedikit di atas loteng sebelah depan, hanya sekilas saja
bola mata itupun telah lenyap.
Tapi penemuan ini justru membuat girang Siang Cin dan terbangun semangatnya,
maka mulailah dia memeriksa setiap rumah dan setiap loteng, sampaipun rumah di
pojok gang juga tidak lepas dari perhatiannya, tembok melintang juga diperiksanya
dengan teliti. akhirnya dia tersenyum puas.
Lalu memejamkan mata menenangkan hati dan pikiran, kejap lain dia sudah
merayap ke atap rumah sebelah sana, ia memegang daun jendela, sedikit
mendorongnya, tanpa mengeluarkan suara segera dia menyelinap masuk ke dalam.
Kini dia berada di sebuah kamar tidur yang besar, entah semula dihuni siapa,
pajangannya sederhana, kecuali sebuah meja empat kursi, hanya ada sebuah
ranjang kayu besar, di tepi ranjang terdapat sebuah tungku yang masih menganga
apinya. Tampak oleh Siang Cin di ranjang kayu besar itu rebah dengan berbagai gaya empat
laki-laki kasar, ranjang kayu ini sebetulnya untuk tidur suami isteri pemilik rumah ini,
tapi kini berdesakan empat orang itu sekaligus, terasa sesak juga sehingga cara tidur
mereka tampak menggelikan.
Siang Cin tersenyum geli mengawasi orang-orang yang mendengkur bagai babi itu,
belum lagi dia mengambil sikap, tiba-tiba didengarnya seseorang menaiki loteng
sambil bernyanyi-nyanyi kecil.
Sekali berkelebat Siang Cin menyelinap ke belakang ranjang, kebetulan keempat
laki-laki yang tidur di ranjang itu mengalingi dirinya. Kejap lain pintu kamarpun
didorong dengan mengeluarkan keriut dan tampak seorang laki-laki gede gemuk
menjinjing guci arak melangkah masuk dengan sempoyongan mukanya merah
setengah mabuk.
Laki-laki gemuk ini memang kekar perawakannya, pakaian biru yang dipakainya
setengah terbuka sehingga dadanya telanjang, begitu masuk, kamar golok yang
tergantung dipinggangnya dia tanggalkan terus dilempar ke meja dengan suara
gedubrakan, guci diangkat terus ditenggaknya dengan lahap, habis minum mulutnya
kembali nyanyi-nyanyi lagu yang bersifat porno, memangnya dia sudah setengah
mabuk, maka lagu yang dinyanyikan pun tidak kenal batas kesopanan lagi.
Laki-laki yang tidur paling pinggir sebelah kanan tampak membalik tubuh sambil
membuka matanya yang merah ngantuk, agaknya dia terjaga dalam mimpinya
karena suara gaduh yang dibuat laki-laki gemuk itu, keruan dia memaki gusar:
"Maknya, memangnya kau sudah makan kenyang dan puas minum, lalu berkaokkaok
di sini seperti di sarang pelacur" Tuan besarmu ini semalam tidak tidur, baru
saja pulas lantas kau bikin ribut di sini?"
Laki-laki gemuk tampak sempoyongan sempro(nya: "Ribut, ribut apa" Kau keparat
ini, bapakmu hanya bernyanyi dua lagu, memangnya kau lantas iri" Kau tidak tidur
semalam, memangnya bapakmu ini sudah tidur?"
Laki-laki di atas ranjang semakin gusar, mendadak dia berduduk, teriaknya sambil
melotot: "Kek-losam, kalau kau tidak ingin tidur, lekas menggelinding keluar, jangan
306 jual lagak di sini, memangnya berapa sih harganya lagakmu" Di sini bukan tempat
untuk pamer kepalan."
Sudah tentu tiga orang yang lain lantas terjaga bangun pula karena keributan ini,
terdengar seorang berseru dan coba meredakan suasana.
Tak terduga, Kek-losam, si gemuk, malah tepuk dada dan semakin garang, sudah
tentu laki-laki di ranjang itupun semakin naik pitam, keduanya lantas hendak saling
terjang, untung ketiga teman yang lain segera m.iju memisah.
"Blang", memukul dada sendiri Kek-losam lantas meraung gusar "Kunyuk yang tidak
punya mata, berani kau menepuk lalat di kepala Kek-losam" Memangnya kau kira
Kek-losam boleh dibuat main-main".
"Anjing buduk!"
"Babi mampus, memangnya kau kira aku takut pada congormu" pergilah
mendengkur saja dalam pelukan bini mudamu," sambil berbalik pinggang laki-laki itu
mencak-mencak di atas ranjang.
Sambil berteriak aneh, Kek-losam segera menerjang maju. Keruan ketiga orang
yang lain menjadi kelabakan, tarik sana seret sini, keadaan kamar menjadi morat
marit dan kacau.
Disaat keributan mencapai puncaknya inilah, dengan tenang Siang Cin beranjak
keluar dan belakang ranjang, sambil geleng-geleng kepala dia tersenyum, katanya:
Sudahlah, jangan ribut begini rupa, memangnya tidak malu ditertawakan orang?"
Kelima orang itu sedang saling dorong dan tarik, ketika tiba-tiba mendengar suara
orang yang tak dikenal, keruan semuanya sama terperanjat, tanpa di suruh lagi
semuanya berhenti dan menoleh ke sana, kelima orang jadi melongo.
Siang Cin mengebas lengan jubahnya yang berwarna kuning angsa itu, air mukanya
yang semula tersenyum simpul mendadak menjadi kaku dingin, katanya: "Beginikah
orang-orang Toa-to-kau kalian bertingkah di Toa-ho-tin" Keterlaluan, tidak tahu tata
tertib, sekarang satu persatu perkenalkan nama anjing kalian."
Sudah tentu kelima orang ini semakin kaget, sebagian mereka memang utusan pihak
Toa-to-kau yang diperbantukan di Toa- ho-tin, sudah enam hari mereka tiba di sini,
sebelum berangkat Kaucu mereka sudah berpesan bahwa di Toa-ho tin bakal
berkumpul orang dari berbagai kalangan dan aliran, sekali-kali dilarang membuat
malu dan melakukan kesalahan, apalagi menurunkan derajat Toa-to-kau.
Setiba di sini keadaan yang campur aduk di sini memang agak membingungkan
mereka, kini belum apa-apa mereka sudah ribut antar kawan sendiri, betapapun
mereka merasa malu"
Sesaat kemudian barulah Kek-losam menyeringai, sapanya: "Numpang tanya, Toako
ini dari dermaga mana" Supaya kami. . ."
Belum habis dia bicara, Siang Cin sudah mendamprat: "Tutup mulut, terhadapku,
berani kau membahasakan Toako segala" Berani kau angkat dirimu sejajar dengan
aku?" 307 Keruan berdetak jantung Kek-losam, tersipu dia menjura serta mohon maaf: "Tidak
berani, hamba tidak berani, maksudku hanya ingin mohon tanya siapakah she dan
nama besarmu."
Siang Cin mendengus: "Hm, mau selidik asal usulku" Tanya nama segala. Setiap
kaum keroco ini belum setimpal, Han-nio-siang-kui saja akan munduk-munduk
dihadapanku, memangnya kalian sudah setingkat dengan kedua orang itu?"
Sudah tentu kelima orang dalam kamar tak berani bercuit lagi, mereka percaya apa
yang dikatakan Siang Cin. Maklumlah sikap tindak tanduk, tutur kata Siang Cin yang
berwibawa telah membikin ciut nyali mereka, apalagi mereka tahu bahwa Toa-ho-tin
sudah menjadi kota terlarang, luar-dalam kota sudah diatur banyak jebakan dan
perangkap, setiap jengkal tanah dalam kota boleh dikatakan ada perangkap.
Seluruh tenaga pihak sendiri juga sudah diatur dengan kilat, penduduk kotapun telah
dimasukkan ke karantina serta diawasi, jangankan mata-mata musuh, umpama
seekor burungpun jangan harap bisa terbang masuk, kini orang ini berlenggang
dengan sikapnya yang kereng, tahu-tahu naik loteng dan masuk kamar, tutur
katanyapun amat berwibawa, kecuali orang punya jabatan tinggi setingkat Cuncu,
memangnya siapa berani bertingkah begini"
Sudah tentu kelima orang itu semakin gelisah, Kek-losam yang setengah mabukpun
sadar dan mandi keringat dingin, sambil menunduk dia hanya mengiakan saja
dengan muka merah padam, kedua tangan lurus ke bawah.
Mengebas lengan bajunya, Siang Cin berkata pula: "Barusan aku dari bawah,
kenapa tidak kelihatan bayangan seorangpun."
Kek-losan menyeka keringat, lahutnya tersipu-sipu "Ada, ada, cuma sekarang
mereka tidak di tempat karena semuanya dikerahkan untuk menggali lorong bawah
tanah." "Gali lorong apa?" tanya Siang Cin. Kek-losan juga melenggong, katanya tergagap:
"Masa Toako tidak tahu" Bukankah setiap barisan menugaskan beberapa orang
secara giliran untuk menggali lorong" Loteng ini ditempati tiga puluh orang, kecuali
kami berlima yang masih ketinggalan, yang lain dikerahkan di bawah pimpinan Tamhay-
bak " Otak bekerja cepat, segera sikap Siang Cin tampak kereng pula: "Kemarin malam
bukankah orang Jit-ho-hwe sudah selesai menggali lorong yang terletak di depan
kota itu" Menggali lorong apa lagi" jangan kau membual."
"Toako memang tidak salah," lekas Kek-losan menerangkan "Lorong itu memang
sejak lama sudah digali, sekarang yang digali adalah lorong yang terletak di bawah
jalan raya di depan kota, baru dua hari ini mulai kerja, kira-kira sampai nanti tengah
malam baru akan selesai, Betapapun aku yang kecil ini tak berani bohong pada
Toako, kalau tidak percaya boleh Toako pergi memeriksanya."
Siang Cin berkata pula: "Kapan mereka akan kembali?"
Kek-losan menghitung-hitung lalu menjawab: "Baru setengah jam mereka pergi,
mungkin setelah magrib baru akan kembali."
308 Siang Cin manggut-manggut katanya: "Baik, biar aku istirahat di sini dulu, sebentar
aku masih harus memeriksa tempat lain."
Tanpa disuruh Kek-losam, empat orang yang lain segera berebut memindah kursi
dan membetulkan meja.
Tanpa terima kasih Siang Cin terus duduk sambil angkat kedua kakinya ke atas
meja, ia memeriksa keadaan kamar besar ini, katanya kemudian dengan suara
kereng: "Barisan Te-ji-heng dari Toa-to-kau sudah lama datang, kalian dari barisan
yang mana?"
Kek-losam menjura, sahutnya: "Kami dari "Pui-ji-heng", hanya terpaut beberapa
waktu saja kedatangan kami dengan Te ji-heng, sementara para saudara dari Ui-ji
heng sudah lama berada di sini." "jadi tinggal barisan Thian-ji-heng saja yang tetap
bercokol di sarang sendiri. apakah tenaga mereka tidak terlalu lemah?"
Kek-losam yang bermuka tambun tampak mengunjuk tawa lucu, katanya: "Tiada
yang perlu dikuatirkan, situasi dalam Kati kami cukup aman, sementara kalangan
persilatan di sekitar markas kami selalu memberi muka kepada kami, jadi yakin
takkan terjadi apa-apa di sana, Apalagi Kaucu sendiri tetap berada dalam tampuk
pimpinannya, jumlah barisan Tlnan-ji-heng juga lebih banyak, kepandaian
merekapun serba pilihan, kalau dibanding kami yang diutus kemari, terlampau jauh
bedanya." "Berapa banyak orang kalian yang dikerahkan kemari?" tanya Siang Cin pula. "Ai,
terlalu banyak kerja, sampai otakku terasa bebal, kalau tidak salah ada seribu lebih
atau tujuh ratusan orang, betul tidak?"
Terkekeh Kek-losam, jawibnya: "Toako salah ingat, jumlah seluruhnya ada seribu
dua ratusan, setiap barisan terdiri dari empat ratus orang, dibawah pimpinan sepuluh
Thaybak, sementara keenam Kauthau ketiga barisanpun datang."
Siang Cin tertawa tawar, katanya: "Kek-losam, apa kau tahu cara untuk keluarmasuk
Toa-ho-tin?"
Kek-losam melenggong ditanya begitu, katanya: "Hamba tidak tahu, Apakah Toako
sendiri juga tidak tahu?"
Siang Cin tergelak-gelak, katanya: "O, bagus sekali, dari sini dapat kusimpulkan
bahwa mereka memang amat ketat merahasiakan hal ini, kalau sampai kaupun tahu,
terhitung rahasia macam apa."
Lalu dia berbangkit terus menggeliat serta menghela napas seperti orang keletihan
sehabis bekerja berat.
Kek losam bersikap seperti memperhatikan, katanya: "Toako mau pergi" Silakan
istirahat lagi sebentar, cuaca sedingin ini, kau orang tua harus menunaikan tugas
sepayah ini, sungguh terlalu berat . . ."
Berkelebat sinar mata Siang Cin. katanya tenang: "Betul, aku mau pergi, malah
sekarang juga."
Lekas Kek-losam berkata: "Kalau begitu hamba . . . . "
309 Siang Cin berseru "Ambilkan jubah luar milik mereka semua."
"Mengambil jubah luar?" seru Kek-losam kebingungan, "Toako, kau . . ."
"Lekas, jangan cerewet," bentak Siang Cin.
Tak berani tanya lagi, lekas Kek-losam mengerjakan apa yang diminta, dengan sikap
hati-hati dia taruh empat jubah di atas meja. Empat laki-laki pemilik jubah itu hanya
berdiri melenggong dengan muka pucat dan tak berani bertindak apa-apa.
Baru saja Kek-losam hendak buka suara pula, seketika dia mengkeret karena ditatap
Siang Cin, kata Siang Cin: "Jubahmu juga lekas kau copot."
Kek-losam melenggong serunya: "Aku" Jubahku ini?"
"Ya, kenapa" Tidak boleh?" ancam Siang Cin. Keruan Kek-losam ketakutan, lekas
dia copot jubahnya. Baru sekarang dia menyadari meski dirinya gemuk, badannya
penuh gumpalan daging, tapi setelah telanjang badan, hawa sedingin ini, mau-tidakmau
menggigil juga.
Meraih kelima jubah itu. Siang Cin mendengus: "Sekarang, kalian berbaris
menghadap dinding."
Tanpa berani membangkang lelima orang membalik tubuh serta berdiri sejajar,
semuanya gemetar ketakutan juga kedinginan.
"Bukankah kalian kurang tidur dan masih ngantuk" Biarlah kubuat kalian tidur lagi
lebih nyenyak," Belum sempat mereka tahu apa yang akan terjadi, semuanya
merasa tubuh menjadi kejang, pelahan empat dari kelima orang ini roboh terus
mendengkur nyenyak, Tinggal seorang lagi yang tidak roboh, ialah Kek-losam.
Keruan Kek-losam menjadi panik, kedua tangannya menggenggam kencang baju
dalam sendiri, saking ketakutan lutut terasa lemas, tanpa kuasa dia terjengkang dan
menumbuk meja, golok-besarnya jatuh dan menemukan suara berkelontangan.
Pelahan Siang Cin menghampiri, katanya: "Jangan panik dan tegang, kawan."
Mendengar orang menggunakan istilah "kawan", baru Kek-losam sadar, ia bciteriak:
"Kau. . . kau orang mereka. . ."
Siang Cin mengangguk, katanya: "Betul, aku orang mereka, orang yang berdiri di
pihak Bu siang-pay."
Lunglai tubuh Kek-losam, dia tahu nasib apa yang bakal menimpa dirinya setelah
terjatuh di tangan musuh, dengan lemah dia berkata: "Kau. . . apa kehendakmu?"
"Asal kau tunduk pada perintahku, kau akan tetap hidup, kalau sebaliknya, kau akan
mampus seketika."
Kek-losam melirik ke arah empat kawannya sahutnya: "Baik, aku aku menurut."
"Bagus, sekarang jawab pertanyaanku. Untuk keluar-masuk kota, adakah
menggunakan kode rahasia" Atau ada jalan khusus yang lain?"
310 "Aku tidak tahu, agaknya tiada, kami baru enam hari di sini, selama ini dilarang
keluyuran diluar, dimana-mana terdapat larangan, ada pula tempat-tempat yang
terlarang bagi siapapun."
Siang Cin perhatikan mimik dan nada bicara Kek-losam, dia yakin bahwa orang tidak
berdusta, setelah merenung sejenak, Siang Cin tidak membuang-buang waktu lagi,
tanyanya: "Kek-losam, pada tanah seratusan tombak di sebelah kiri Toa-ho-tin,
tegalan yang dekat hutan itu, rombongan siapa yang bertugas di sana."
Tanpa pikir Kek-sam segera menjawab: "Mereka adalah barisan Hian- ji heng dan
Toa-to kau kami."
"Kau kenal mereka semuanya?" tanya Siang Cin.
Sambil menyengir, Kek-losam menyahut: "Kebanyakan kukenal."
"Untuk keluar-masuk Toa ho tin kalian tidak perlu menggunakan kode rahasia apaapa,
tapi di dalam kota, untuk lewat dari satu daerah ke daerah lain tentunya
menggunakan kode rahasia?"
Bimbang sejenak, akhirnya Kek-losam menjawab: "Ya, ada. . ."
"Apa kodenya?" tanya Siang Cin.
"Kalau siang memakai selempang merah mengikat golok, kalau malam sebaliknya,
golok memutus selempang merah."
Tersenyum geli Siang Cin, katanya: "Amat lucu dan menarik, sampai di mana
kegunaan dari tanda-tanda ini?"
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kek-losam menelan ludah, pelan-pelan dia menerangkan: "Pada setiap daerah yang
dikuasai orang-orang Toa to-kau kita boleh mondar mandir sesuka hati dengan
menggunakan tanda tadi, kalau daerah lain entahlah."
Sampai di mana daerah yang dikuasai Toa to-kau kalian?"
Melengos dari tatapan orang yang tajam, Kek-losam menerangkan dengan kebat
kebit: "Separo dari daerah jalan raya Toa-ho to."
"Orang-orang dari golongan lain, mereka berkuasa di mana saja?"
"Entahlah, biasanya kami dilarang keluar, kalau mau keluar harus minta izin dan
diantar orang Ji gi-hu. Kauthau kami sudah memperingatkan siapapun dilarang main
sembarangan, salah-salah kepala bisa dipenggal, maka tiada yang berani lengah di
sini." Siang Cin lantas menghampiri serta menepuk pundaknya, lalu dia membisiki apaapa
sekian lama, agaknya Siang Cin harus mengulangi beberapa kali pesannya baru
kemudian laki-laki tambun itu mengangguk tanda mengerti.
Maka Siang Cin meninggalkan jubah biru milik Kek-losam dan mengambil empat
jubah yang lain, seperti datangnya tadi, bagai segulung angin lesus tahu-tahu ia
melayang pergi.
311 Dengan cepat tanpa menemui rintangan ia telah kembali ke tempat menunggu
Sebun Tio-bu dan Kin Jin tadi.
Sebun Tio-bu lantai menggerutu pnnjang pendek, Siang Cin minta maaf bahwa
mereka harus menunggu sekian lama, lalu dia ceritakan pengalamannya terakhir dia
menjelaskan rencananya untuk menyerbu ke Toa-ho-tin menurut apa yang telah dia
selidiki tadi. Kin Jin bertanya: "Laki-laki gemuk bernama Kek-losam itu apakah takkan
mengingkar janji?"
Siang Cin tertawa, katanya. "Kukira dia tidak berani, bila dia berani bertingkah
akibatnya akan fatal bagi dirinya sendiri."
"Hayolah lekas berangkat," seru Sebuo Tio-bu tak sabaran, maka Siang Cin bagikan
keempat jubah tadi.
Empat orang segera meringkaskan pakaian mereka terus mengenakan jubah biru
tua itu di bagian luar.
Mengawasi empat orang itu, Siang Cin berkata: "Perhatikan, Tangkeh dan Kin-heng
harus lompat sekeras mungkin, demikian pula Le heng dan Loh-heng diharap
mengikuti sepenuh tenaga, cuacu sudah mulai gelap, ini menguntungkan kita,
semoga kita bisa menyelundup masuk tanpa konangan."
Lalu dia memberi tanda, segera ia mendahului melayang pergi.
Terpaksa juga Le Tang dan Loh Hou mengerahkan sepenuh tenaganya. Dalam
keremangan senja tampak lima bayangan berkelebat, begitu pesat gerakan mereka,
ditambah cuaca memang sudah mulai gelap, dipandang dari kejauhan orang akan
menyangka adanya bayangan burung atau gumpalan mega yang lagi bergerak.
Hanya sekejap Siang Cin sudah tiba di tempat tujuan, kini jubah kuningnya
dipakainya secara terbalik, jadi warna ungu bagian dalam kini berada di luar dengan
ikat pinggang warna kuning, tempat di mana sekarang dia berdiri adalah bawah
loteng di mana Kek-losan berada.
Kek losan telah berdiri di sebelahnya, dengan suara tegang dia berkata: "Agaknya
mereka telah melihat adanya tanda mencurigakan sebentar pasti ada orang akan
memeriksa kemari."
Sementara itu tampak bayangan orang berkelebat pula, tahu-tahu Sebun Tio-bu dan
Kin Jin sudah melayang turun di kedua sisi mereka.
Siang Cm segera memberi kedipan mata kepada mereka, kedua orang maklum dan
lekas menyingkir ke sana, di samping pintu tampak menggeletak empat golok tebal
bcsar, mereka masing-masing memungut sebatang serta mengatur pernapasan.
Dalam pada itu Le Tang dan Loh Hou baru mencapai dua puluhan tombak, agaknya
mereka telah menemukan perangkap yang berlapis-lapis itu, maka dengan gerakan
gesit dan hati-hati mereka berlompatan kian kemari terus maju ke arah sini.
312 "Kuk, kuk", dua suara keras seperti dengkur burung tiba-tiba berkumandang di
tengah kegelapan, suaranya seperti datang dari sebuah loteng kecil tak jauh di
sebelah sana, begitu lenyap suara "kuk, kuk" ini, mendadak muncul belasan laki-laki.
Siang Cin tertawa, katanya: "Kek-losam, tibalah saatmu untuk naik pentas."
Dengan nekat terpaksa Kek-losam memburu maju, baru saja beberapa langkah,
orang-orang Toa-to-kau yang berlari tiba itu sudah melihatnya, seorang yang
berhidung pesek sebagai pimpinan rombongan segera berteriak: "Kukira siapa,
kiranya kau Kek-losam, kenapa tidak lekas kau panggil teman-temanmu, untuk apa
berdiri melenggong disitu?"
Kek losam bergelak tertawa, segera dia tarik suaranya yang serak: "Jangan gembargembor,
mungkin kalian sudah pusing tujuh keliling, masa orang sendiri juga
dicurigai."
Si hidung pesek melenggong, dia tidak menghiraukan Kek-losam. tapi dia menoleh
ke arah Le Tang dan Loh Hou yang lagi lari mendatangi, hardiknya: "Berdiri,
selempang merah mengikat golok."
Le Tang dan Loh Hou terpaksa berhenti dan berdiri sambil bertolak pinggang, tanpa
sangsi mereka berseru juga: "Golok niemutus selempang merah. Hari sudah gelap,
saudara-saudara masih giat bekerja juga?"
Keruan si hidung pesek kebingungan, serunya menoleh ke arah Kek-losam: "Keklosam,
apakah mereka juga orang kita sendiri?"
Kek- losam mendengus, segera dia maju mendekat serta berkata dengan lagak
misterius "Bukan saja orang sendiri, malah mereka adalah orang-orang Ji-gi-hu yang
pegang peranan di sini."
Kembali melenggong si hidung pesek berkata dengan nada curiga. "Ada orang Ji-hi
hu yang pegang peranan" Kenapa tidak lewat jalan rahasia malah keluyuran di
daerah perangkap, Herannya, kami tidak diberi tahu sebelumnya."
Serentetan pertanyaan ini membikin Kek-losam gelagapan, baru saja dia hendak
bicara, Sebun Tio-bu telah maju ke depan, dia singkirkan Kek-losam ke samping, lalu
melirik hina pada si hidung pesek, katanya: "Ada apa, kawan" Melihat sikapmu,
agaknya kau tidak pandang sebelah mata kepada kami."
--------------------------------
Cara bagaimana rombongan Siang Cin akan mengerjai pihak musuh"
Adakah perangkap licik dan lihay yang teratur di Toa ho tin" Dapatkah pihak Busiang-
pay membobolnya"
Bara Naga Jilid 16 Sambil mendengus si hidung pesek menghardik bengis: "Siapa kau?"
313 Melotot mata Sebun Tio bu, serunya gusar: "Memangnya kau keparat ini boleh
bertanya seenak udelmu" Aku berdiri di sini, berjajar dengan anak buah Toa to kau
kalian, mengenakan pakaian pinjaman kalian lagi. Keparat, coba katakan siapa
sebetulnya aku ini?"
Seperti disiram air dingin si hidung pesek tersentak mundur, sikapnya yang garang
tadi seketika kuncup, dengan kebingungan dia menoleh ke arah Kek losam.
Lekas Kek losam menghampiri, katanya dengan prihatin: "Bi thaubak, kau harus
hati2 menjaga batok kepalamu, saudara ini adalah pentolan Ji ih hu jagoan yang
paling di sayang oleh Jan kong, bahwa mereka mengenakan pakaian kita hanya
untuk mengelabui orang, tujuannya adalah mencari berita tentang keadaan pihak Bu
siang pay. Baru saja mereka kembali dari menunaikan tugas, mereka sama
mengumpat, soalnya lima orang yang diutus ke sana kini tinggal dua orang saja yang
kembali. Nah itulah mereka, kalian sudah melihatnya, tiga orang temannya sudah
menghadap Giam lo ong. dan kau masih bertingkah di depan orang, apa kau
sengaja mencari penyakit?"
Kek losam ditariknya ke pinggir, lalu si hidung pesek berkata dengan suara tertahan:
"Ucapannya memang masuk diakal, Kek losam, herannya kenapa mereka tidak
menggunakan jalan rahasia itu tapi malah main2 disini mencari kesulitan?"
Kek losam menarik muka, katanya: "Bi thaubak, bicara soal kedudukan di dalam Kau
kita memang kau lebih tinggi, tapi soal pengalaman, kau Bi An bukan apa2 bagiku,
usiaku juga lebih tua. Coba kau pikir, dengan mengenakan pakaian kita, kalau tidak
pulang lewat daerah kekuasaan kita sendiri, lalu mereka akan lewat mana" Meski
mereka tahu kode rahasia yang digunakan di mana2, namun seragam mereka jelas
berbeda, memangnya orang tidak menaruh curiga terhadap mereka" Apalagi Toa-ho
tin boleh dikatakan sudah terjaga ketat, setiap langkah berbahaya, apa betul ada
jalan rahasia khusus seperti apa yang kau maksudkan, itupun urusan pihak atas,
memangnya kau juga harus diberi penjelasan" Lalu jalan rahasia macam apa lagi"
Kan bisa bocor, bukan mustahil pihak Bu siang pay pun akan tahu rahasia ini . . . . . "
Si hidung pesek yang bernama Bi An menggosok telapak tangan, dia memang
sudah percaya akan uraian Kek losam, tapi dia masih belum terima, katanya: "Kek
losam, masih ada yang belum kumengerti, bahwa mereka adalah orang dari Ji ih hu,
kenapa kau yang dicari mereka?"
Kek losam mendengus gusar, semprotnya: "Apa" Memangnya aku Kek Sam ini
keroco, tidak setimpal mengikat hubungan dengan mereka" Hanya Thaubak macam
kau ini yang berbobot bersahabat dengan mereka?"
"E eh, memangnya kenapa kau ini?" lekas Bi An menariknya, "aku hanya tanya
sambil lalu saja, kenapa harus naik pitam" Sedikitnya kau juga harus pikirkan
kepentinganku, kan aku harus memberi laporan pada atasan, suara sempritan tadi
juga sudah kau dengar, pihak atas sudah tahu adanya kejadian, bila aku tidak bisa
memberi laporan lengkap dan jelas, coba hukuman apa yang akan menimpa diriku?"
Melihat mereka bisik2 tak habis2. Kin Jin yang berada di belakang segera
menghampiri, katanya dengan sikap gelisah: "Losam, Toa ah ko dari Ji ih hu
marah2, dia suruh kutanyakan kalian apa maksud kalian sebenarnya, apakah
sengaja hendak mempersulit kerja mereka?"
314 Belum Kek Sam menjawab, Bi An cepat berkata: "Lote, sukalah kau memberitahukan,
katakan kami hanya tanya2 sambil lalu, tiada maksud apa2, sekarang kalian
boleh pergi, kami tidak ada maksud menahan" Lalu dia angkat golok tiga kali serta
diputar satu lingkaran, maka orang2 Toa to kau yang siaga sejak tadi segera
mengundurkan diri. Di atas loteng, di sekeliling tempat itu serempak terdengar suara
daun jendela ditutup, tidak ada suara menggerutu, pedang golok diletakkan, busur
yang sudah terpasang panah juga diturunkan.
Dengan sikap kereng Sebun Tio bu lantas menghampiri, katanya: "Kek Sam, dia
sudah tanya belum" Apa kami hendak di tahan dan diadukan ke Ji ih-hu" Atau
digusur ke hadapan Han mo siang kiu?"
Sudah tentu semakin mengkeret nyali Bi An mendengar omongan ini, kini dia lebih
yakin bahwa beberapa orang ini memang jago2 lihay dari Ji-ih hu, kalau tidak masa
berani bersikap garang seperti ini.
Siang Cin yang sejak tadi diam saja kini ikut bicara juga, malah sikapnya lebih
meyakinkan lagi: "Kalian masih cerewet apa dengan dia, sampai sekarang orang kita
belum juga masuk kemari, kalau terlambat siapa yang akan di marahi Jan kong
nanti" Kiau Hiong dan lain2 juga sedang menunggu"
Lekas Sebun Tio bu berlagak gelisah, katanya: "Ya Toako, urusan sudah selesai,
hanya keparat2 di sini yang bikin ribut ... ..."
Ter sipu2 Bi An menjura, katanya: "Harap Toa-ah ko maafkan kepicikan hamba,
maklumlah menjalankan tugas tidak boleh lalai, tentunya Toa ah-ko juga maklum,
sukalah memberi kelonggaran untuk kali ini."
Sebun Tio bu melirik hina, bentaknya: "Lekas suruh orangmu menyambut kawan
kami itu" Bi An seperti tersadar, lekas dia mengulap ke belakang seraya memaki: "Gui poan
cu, Siau Ian bik, lekas kalian sambut kedua Toako itu, kenapa melongo saja melihat
tontonan apa?"
Dua orang yang disebut namanya segera tampil dari barisan, tanpa diperintah lagi
mereka lari ke sana memberi petunjuk kepada Le Tang dan Loh Hou yang sedang
kelabakan mencari jalan ke sini.
"Bi taubak" ucap Sebun Tio bu tidak sabar, "tanah lapang di depan ini adalah daerah
kekuasaan kalian, perangkap di sini juga kalian yang mengaturnya, kau sendiri apal
tidak akan seluk beluk di sini" Maksudku dari arah mana boleh lewat dan disebelah
mana yang terlarang?"
Bi An unjuk tawa, katanya: "Toa ah ko, bicara terus terang, tempat ini dikerjakan
bersama dengan orang2 Hek jiu tong, keadaan seluruhnya aku sendiri kurang jelas,
tapi bagian yang tidak berbahaya dapat kutunjukkan. Tentunya engkau juga tahu,
kecuali gantolan baja, jala sutera dan tanduk menjangan yang dapat melukai orang
atau merintangi serbuan musuh, yang lain2 adalah benda2 mati, asal sedikit hati2,
pasti takkan terjadi apa2."
Sekilas dia melirik Sebun Tio bu, lalu menyambung dengan lagak sok tahu: "Tapi bila
semua perangkap itu digerakkan, ditambah tenaga manusia kita yang bersembunyi
diberbagai tempat, bila musuh berani terjang kemari, haha, itu berarti mereka
315 menerjang ke neraka, maklumlah, karena kekuatan perangkap yang akan
digerakkan itu terlampau dahsyat."
Sebun Tio bu berkata dengan tidak sabar: "Bi-thaubak, se akan2 kau ini tahu betapa
besar kekuatan perangkap2 itu?"
Bi An menyengir kikuk, katanya: "Ah, hamba memang tidak tahu persis, tapi . . . . tapi
apa yang hamba uraikan rasanya takkan selisih jauh dengan keadaan sebenarnya."
Dalam pada itu Loh Hou dan Le Tang sudah berhasil menyusuri lapangan yang
berbahaya itu meski dengan hati kebat kebit dan mandi keringat.
Melihat kedua orang ini berambut panjang terurai di pundak, Bi An bersuara heran
dan menyatakan rasa sangsinya. Cepat Sebun Tio bu pura2 mendamperat: "Tolol,
kalau mereka tidak menyamar begini, cara bagaimana mereka dapat menyusup ke
Bu siang pay untuk mencari berita" Hayolah, sekarang lekas kita berangkat, jangan
buang2 waktu untuk mengobrol tugas lebih penting."
Lalu ia mengangkat tangan sebagai tanda memberi salam kepada Bi An, segera ia
membawa Le Tang dan Loh Huo serta Ke Sam melangkah ke arah Siang Cin sana.
Diam2 Kin Jin tertawa geli, dengan membusungkan dada ia lantas ikut di belakang
mereka. Ber turut2 mereka masuk ke ruangan loteng, baru saja Kin Jin menutup pintu,
serentak Ke Sam berlutut sambil rneratap: "Mohon betas kasihan tuan2, janganlah
kalian meninggalkan hamba, betapapun hamba harus diikutkan bersama kalian,
kalau tidak, jiwa hamba pasti akan melayang di sini . . . . "
Siang Cin membangunkannya dengan tertawa katanya: "Jangan kuatir, jasamu tidak
kecil, apalagi sudah kujanjikan akan mencarikan jalan hidup bagimu, apa yang
dikatakan Naga Kuning tak pernah dijilat kembali."
"Hah, jadi engkau si Naga Kuning Siang . .. . . Siang toaya?" seru Ke Sam dengan
terkesiap. "Wah, jika demikian, hamba lebih2 harus ikut serta bersama kalian."
"Sekarang kau tidak dapat ikut kami," sela Kin Jin. "Kami masih harus menerjang ke
Ji ih hu."
Ke Sam tampak putus asa, keluhnya: "Wah, jika demikian, jelas jiwa hamba tak . . . .
tak tertolong lagi."
"Tidak, kau takkan mati," kata Siang Cin. "Loteng ini kan ada lagi langit2nya, boleh
kau sembunyi di situ, besok pagi keselamatanmu tidak perlu disangsikan lagi."
"Mak . . . . maksud Siang toaya . . . " dengan bingung Ke Sam memandang Siang
Cin dan mohon penjelasan.
"Besok pagi2 pasukan berkuda Bu Siang pay akan menyerbu ke Toa ho tin sini,"
tutur Siang Cin.
"Tapi . . . . tapi anak buah yang tinggal di loteng ini sebentar lagi akan pulang, bila
mereka mengetahui kejadian di luar sana . . . . "
316 Belum habis ucapan Ke Sam, mendadak Bebun Tio bu mendesis pelahan, segera
Siang Cin juga mendengar suara langkah orang di luar, dari suaranya yang riuh
mungkin ada berpuluh orang banyaknya.
"Me . . . . mereka sudah pulang," Ke Sam menjadi kelabakan dan tampak tegang.
"Kenapa mesti takut, kan sudah dalam dugaan?" ujar Siang Cin dengan tertawa.
Dalam pada itu suara berisik orang bicara kedengaran sudah mendekat, segera
pintu didorong orang, serombongan lelaki berbaju biru terus membanjir masuk.
Begitu masuk, serentak mereka menerjang ke atas loteng, ada sebagian menuju ke
kamar samping semuanya tampak lelah dan kotor sambil mengomel dan
menggerutu be ramai2 mereka mencari air minum sehingga tiada yang
memperhatikan malaikat elmaut sedang menantikan mereka di belakang pintu.
Sudah barang tentu, dengan mudah dan singkat rombongan orang yang naik ke atas
itu disikat habis oleh Siang Cin. Sisanya di serambi bawah juga di bereskan oleh Loh
Hou dan Le Tang.
Sebun Tio bu mengebut baju sambil menggerutu katanya: "Keparat, bikin kotor
tangan melulu." Habis berkata ia memberi tanda, mereka terus menyelinap keluar,
dengan gesit seperti kucing mereka berlima terus menyusur ke depan dalam
kegelapan. Setiba di suatu pengkolan jalan, dengan cepat mereka mendekam ke bawah,
dengan pandangan tajam mereka menyelidiki keadaan sekitarnya. Dengan suara
tertahan Sehun Tio bu bertanya: "Siang heng, apakah kautahu jelas arah letak Ji ih
hu?" "Tidak jelas," Siang Cin menggeleng.
"Ji ih hu pasti sangat mentereng bangunannya, asalkan kita menemukan gedung
yang paling megah di situ, pasti tidak keliru lagi," bisik Kin Jin.
Setelah berpikir sejenak, Siang Cin berkata: "Betul juga. Sekarang kita membagi diri
menjadi tiga kelompok dan maju ke depan secara ber turut2 aku sendiri membuka
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jalan, Sebun tangkeh dan Le Tang satu kelompok, Kin heng dan Loh Hong satu
kelompok. Dengan cara begini jejak kita takkan terlalu menyolok, bila perlu juga
mudah saling membantu."
Keempat orang mengangguk setuju, segera Siang Cin melayang ke depan, hanya
sekali berkelebat saja ia sudah berada beberapa tombak jauhnya. Sebun Tio bu
menepuk pundak Le Tang, segera mereka menyusul ke sana. Habis itu Kin Jin dan
Loh Hou juga ikut melayang maju.
Siang Cin sudah melintasi sebuah jalan melintang, di sebelah sana ada sederetan
barak pendek, di seberang barak sana adalah pepohonan yang lebat. Di balik
rumpun pohon yang rindang sana tampak bayangan sebuah gedung yang megah
dengan kerlipan cahaya lampu yang tak terhitung banyaknya.
Selagi Siang Cin hendak berpaling untuk memberi tanda kepada kawan2nya, tiba2
didengarnya suara langkah orang di balik deretan barak sana, cepat ia
menempelkan tubuhnya ke dinding.
317 Benar juga, segera muncul dua regu lelaki berbaju merah dengan senjata terhunus,
barisan ronda ini kelihatan bertugas dengan tegang, dengan cepat barisan ronda
inipun berlalu ke sana.
Baru saja Siang Cin merasa lega, tiba2 dilihatnya dari arah jalan melintang sana
berlari datang pula satu barisan orang, sayup2 terdengar pula suara pernapasan
binatang yang ter engah2.
Cukup cepat reaksi Siang Cin, begitu mendengar suara itu segera ia tahu gelagat
jelek, suara napas itu jelas suara binatang buas sebangsa anjing pelacak yang
ganas. Karena waktunya sudah mendesak, Siang Cin tidak sempat berpikir panjang
lagi, cepat ia bertepuk tangan dua kali, lalu menyongsong barisan ronda musuh yang
datang itu. Barisan ini berseragam ungu coklat, baik baju maupun celana terbuat dari kulit,
berjumlah 20an orang. Delapan orang di depan masing2 menuntun seekor anjing
belang yang kekar sebesar anak sapi. Kawanan anjing ini cukup menakutkan, kepala
besar hidung pesek, mulut lebar dengan taringnya yang menyeringai, warna bulunya
yang kuning hitam dan ber tutul2 dengan suaranya yang galak, tampaknya menjadi
seperti harimau total.
Dari jauh kawanan anjing itu sudah mencium bau Siang Cin, seketika kawanan
anjing itu meronta, delapan pasang mata terus mengincar ke arah Siang Cin, sambil
menyalak buas. Tampaknya orang2 berseragam baju kulit itupun sudah terlatih baik dan
berpengalaman, begitu melihat tanda2 mencurigakan, serentak mereka
memencarkan diri.
Tapi Siang Cin tidak memberi kesempatan pada mereka untuk bertindak, secepat
kilat ia telah melayang tiba.
Salah seorang lelaki yang bermuka bengis dengan golok terhunus segera memapak
maju sambil membacok, berbareng iapun berseru: "Kepung dia!"
Kedelapan ekor anjing buas itupun segera dilepaskan, serentak kawanan anjing itu
menggonggong dan menubruk maju.
Pada saat itu juga Siang Cin sudah berhasil mengerjai lelaki tadi, sedikit mengegos
ia dapat menghindarkan bacokan musuh, berbareng telapak tangannya menabas,
kontan lelaki itu mencelat dan tak bangun lagi.
Dengan gerak cepat Siang Cin merobohkan beberapa orang pula sebelum kawanan
anjing itu menerjang tiba, Malahan seorang kena dipegangnya terus digunakan untuk
menyerampang kawanan anjing buas itu, anjing pertama mengaing kesakitan dan
terguling, menyusul Siang Cin terus menubruk maju, sekali tangannya menabas, dua
ekor anjing menggeletak pula dengan perut pecah dan usus kedodoran.
Keruan orang2 berseragam baju kulit itu menjadi panik, seorang di antaranya
berteriak: "Lekas siarkan tanda bahaya, ada mata2 ......"
Belum habis ucapannya, orang inipun terguling didepak oleh Siang Cin. Pada saat
lain, seorang yang bermaksud menyergap Siang Cin dari belakang, tak terduga
318 mendadak Siang Cin berputar dan sekali sodok, kontan orang inipun mencelat jauh
dan sekarat. Seketika terdengar jeritan orang dan gonggongan anjing yang ramai, tanpa ampun
Siang Cin masih terus main babat, hanya dalam waktu singkat baik orang2 itu
maupun kawanan anjing itu telah dibereskan seluruhnya.
Pada saat itu jnga baru terdengar di kejauhan ada suara langkah orang sedang
berlari ke arah sini, agaknya peronda di sana telah merasakan sesuatu yang
mencurigakan yang terjadi di sini.
Sekilas Siang Cin memandang kawanan anjing yang sudah menggeletak itu, cakar
anjing2 itu tampak mengkilap. Ia mendengus, cepat ia melayang kembali ke
tempatnya tadi.
"Bagaimana, Siang heng?" terdengar suara Sebun Tio bu bertanya.
"Beres," jawab Siang Cin. "Di balik hutan sana pasti Ji ih hu."
Tetap terbagi menjadi tiga kelompok, segera mereka melintasi deretan barak tadi,
hanya sekejap saja suara bentakan dari bayangan orang di tempat kekacauan tadi
sudah ditinggalkan jauh. Kini mereka sedang mendaki tebing yang menuju ke hutan
sana. Pada ketinggian tebing itu ada beberapa bagian yang mendekuk ke bawah, jelas di
situlah pos penjagaan tersembunyi.
Siang Cin memberi tanda ke belakang, habis itu secepat terbang ia terus melayang
ke atas, sekali melejit lagi di udara ia terus lenyap ke dalam hutan.
Tentu saja penjaga di tanah yang mendekuk itu terkesiap dan sama mendongak,
mereka sama ragu2 barang apakah yang melayang lewat barusan. Pada saat itu
juga Sebun Tio bu dan Le Tang sudah menggeremet tiba, mendadak mereka
menubruk para penjaga itu. Ada tiga orang penjaga di sini, karena sedang melongo
kesima oleh bayangan Siang Cin tadi, tahu2 mereka disergap sehingga sama sekali
tidak sempat bersuara dan berkutik.
Pada saat yang sama Kin Jin dan Loh Hou juga telah membereskan pos penjaga
yang lain. Tempat di tepi hutan di bagian lebih atas sana juga ada sebuah pos jaga. Agaknya
ketiga orang disitu mendengar sesuatu yang tidak beres, satu di antaranya berteriak
menegur: "Siau loji, ada apa di sana?"
Sudah tentu tiada orang menyahut, keruan orang yang bertanya itu merinding
sendiri. Belum lagi ia buka suara pula, tiba2 terdengar orang menjawab dengan
suara tertahan: "Ada makanan enak, kaupun perlu merasakan."
Cepat juga reaksi orang ini, begitu mendengar suara tidak beres, segera ia angkat
golok terus membacok.
Dia memang cepat, tapi Siang Cin terlcbih cepat baru saja golok terangkat, kepalan
Siang Cin sudah mampir dulu di dadanya, Kontan ia tumpah darah dan roboh
319 terkulai. Dua temannya menjadi kaget, sebelum mereka bertindak, yang satu sudah
kepala pecah dan yang lain isi perut berhamburan.
Rupanya setelah Siang Cin memancing munculnya penjaga2 di depan tadi, lalu ia
sendiri menyergap pos penjaga terakhir ini. Selesai ia kerjai musuh, sementara itu
Sebun Tio bu dan lain2 juga sudah memburu tiba.
"Beres?" tanya Kin Jin kepada Siang Cin.
"Kan tidak terlalu sulit?" jawab Siang Cin sambil tersenyum dan mengangguk.
"Langkah berikutnya kukira harus langsung menuju Ji ih hu," ujar Sebun Tio bu.
"Ya, tampaknya bangunan megah di balik hutan sana itulah Ji ih hu." kata Siang Cin.
"Kita tetap terbagi menjadi tiga kelompok dan saling melindungi. Bertindaklah
menurut keadaan."
Tanpa menunggu jawaban, segera Siang Cin mendahului melayang ke sana, hanya
sekali berkelebat saja ia sudah lenyap ke dalam hutan.
Setiba di bawah pohon besar, dari balik pohon Siang Cin mengintai ke sana. Terlihat
bangunan di depan memang sangat besar dan luas. Di depan gedung megah itu ada
sebuah tugu yang terukir tiga huruf besar "Ji ih hu".
Ji ih hu ini berbentuk benteng segi empat, tampaknya sangat kukuh, letaknya di
tanah yang tinggi dan menghadap Toa ho tin yang agak miring di bagian bawah.
Benteng ini jelas sangat strategis, untuk menjebol benteng demikian jelas tidak
mudah kalau tidak terjadi banjir darah lebih dulu. .
Siang Cin berkerut kening melihat betapa kuatnya sarang musuh ini. Sebun Tio bu
dan lain2 juga sudah menyusul tiba. Merekapun terkesiap melihat tcmpat yang luar
biasa itu, Sebun Tio bu lantas menggerutu.
Setelah berpikir sejenak, Siang Cin berkata: ?"Kalau bisa membobol pintu gerbang
atau menjebol beberapa jendela, mungkin keadaan akan mendingan, tapi kalau
harus menyerbu secara terbuka, apalagi cuma tenaga kita beberapa orang ini, jelas
tak berguna."
"Siang heng," kata Sebun Tio bu tiba2, "apa sudah kau perhatikan, sekeliling tembok
benteng Ji ih hu tiada nampak bayangan seorangpun."
"Ya, kukira penjaga mereka pasti bersembunyi pada tempat2 tertentu," ujar Siang
Cin. Sejenak kemudian ia menyambung pula: "Jalan paling baik sekarang agaknya
aku harus menyerempet bahaya sekali lagi. Biar akn sendiri menyusup ke dalam
benteng diam2 akan kusiapkan sebuah tempat luang agar kalian dapat menyusup ke
dalam. Habis itu kita akan memperhitungkan waktu penyerbuan Bu siang pay nanti,
lalu kita berusaha membobol pintu untuk membantu serbuan mereka."
Karena tiada jalan lain, semua orang tentu saja menerima gagasan Siang Cin ini.
"Hendaknya Siangheng bertindak hati2, Ji ih hu bukan tempat sembarangan, lawan2
tangguh juga tak terhitung banyaknya," demikian pesan Sebun Tio bu.
320 "Aku tahu," ujar Siang Cin dengan tersenyum dan penuh keyakinan. Habis bicara,
dengan gesit ia lantas melayang ke depan.
Begitu cepat gerakan Siang Cin, tugu berhuruf emas besar itu telah dilintasinya, dari
situ ia terus melayang ke atas tembok benteng yang tingginya sekitar lima tombak
itu. Baru saja ia hinggap di jalan berlingkar di dalam tembok benteng, segera
didengarnya suara "krek krek" yang pelahan, cepat ia mendekam. Hah, kiranya
beberapa langkah di sebelah sana, sebotong batu lantai mendadak bergeser,
menyusul dua kepala manusia lantas menongol dan celingukan kian kemari, seorang
di antaranya mendesis pelahan: "Keparat apakah kau lihat dengan jelas" Mana ada
bayangan orang segala?"
Temannva tampak ragu2 sejenak, katanya: "Dari balik jendela rahasia kulihat
bayangan berkelebat, lantaran terlalu cepat, akupun tidak berani bilang ..... "
Orang pertama tadi mendengus, omelnya: "Mungkin kau lihat setan."
Habis itu batu tadi lantas merapat kembali. Maka selamatlah Siang Cin. Segera turun
dari tembok benteng dan melayang ke arah beberapa bangunan megah di tengah
sana. Kini Siang Cin sudah dapat memperkirakan keadaan seluruh bangunan Ji ih hu.
Tempat ini memang betul sebuah benteng persegi, di tengah2 ada tanah lapang, di
situ ada tujuh bangunan bersusun, tampaknya ketujuh gedung itu berdiri sendiri, tapi
satu dan lain sebenarnya dihubungkan dengan serambi panjang. Antara loteng satu
dan loteng yang lain juga dihubungi dengan jalan tembus.
Di sekeliling gedung2 ini ada kolam ikan, gunung2an buatan, bunga mekar dengan
indahnya, Siang Cin langsung menuju ke gedung yang paling megah, diam2 iapun
merancang tindakan apa yang akan dilakukannya. Pikirnya: "Hek jan kong yang
mendiami Ji ih hu ini tampaknya tidak cuma tinggi Kungfunya, tapi juga sangat
memperhatikan kenikmatan hidup se-hari2. Melulu dari bangunan bentengnya saja
dapat diperkirakan dia pasti bukan sembarangan tokoh Kangouw."
Sembari berpikir, dengan cepat Siang Cin menyelinap ke balik gerombolan
gunung2an palsu. Sekelilingnya sangat gelap dan sunyi, tiada nampak seorang
perondapun. Sebagai seorang yang sudah belasan tahun berkecimpung di dunia Kangouw, Siang
Cin sudah banyak menghadapi bahaya apapun. Dia tahu, kesunyian yang
dihadapinya ini bukan alamat baik. Lawan jelas bukan orang bodoh, dalam suasana
pertempuran begini mustahil tinggal adem ayem begini. Yang pasti, tentu segala
sesuatu telah diatur secara tersembunyi, dalam kegelapan pasti menanti perangkap2
maut yang setiap saat dapat menjebaknya.
Dari tempat sembunyinya Siang Cin coba meneliti sekitarnya dengan cermat, cukup
lama juga, akhirnya dapatlah dia menemukan sesuatu permainan kecil yang
menarik. Maka tertawalah dia.
rupanya dilihatnya bahwa di tempat2 yang tak menyolok, antara satu dan lain telah
digandeng dengan seutas tali sutera warna ungu. Tempat yang dirintangi tali sutera
itu justeru adalah tempat yang biasa dilalui orang pejalan malam, pada ujung tali
321 sutera itu ada yang tertanam ke dalam tanah, ada yang menghilang di semak2
rumput, ada juga yang lenyap di celah2 gunung buatan.
Siang Cin tahu, bilamana tali sutera itu tersentuh, maka sedikitnya akan
menimbulkan dua akibat. Kalau tidak menimbulkan tanda bahaya, tentu akan
menimbulkan bekerjanya alat perangkap.
Diam2 ia menghela napas lega, untung dia cukup cermat, kalau tidak, bukan
mustahil akan menimbulkan malapetaka.
Setelah mengaso sejenak, mulailah Siang Cin beraksi pula. Dengan hati2 ia
menggremet ke depan, akhirnya ia sudah dekat dengan undak2an batu di depan
gedung besar itu.
Sudah tentu ia tidak berani langsung menerjang ke dalam, maka ia berjongkok di
bawah pagar serambi dan merunduk maju dengan pelahan.
Se konyong2 terdengar suara tindakan orang dari ujung serambi sana. Seketika
Siang Cin berhenti di tempat. Diam2 ia memperhatikan arah datangnya suara.
Sejenak kemudian muncul dua sosok bayangan orang.
Kedua orang ini bertubuh tinggi besar, setengah baya. Yang satu berwajah dingin,
seorang lagi bermuka tirus, keduanya sama bungkam tanpa bersuara, dengan
langkah cepat mereka lalu di tempat sembunyi Siang Cin dan menuju ke pintu
gedung bertingkat di depan sana.
Siang Cin benar2 seorang cermat, dari gerak-gerik kedua orang itu serta cara
mereka melangkah tanpa bersuara, akhirnya dapat diketahui pula ole
ng menjadi kau sekarang, apa kaupun mau
melepaskan aku?"
Biji leher Pek Wi-bing tampak turun naik, ia meratap: "Jangan begitu Siang Cin,
mohon ampunilah diriku, aku akan berterima kasih, aku takkan lupa pada
kebaikanmu . . . .
. . " Diam sebentar, akhirnya Siang Cin berkata "Kalau kau ingin hidup boleh, tapi
beberapa pertanyaanku harus kau jawab sejujurnya, setelah menjawab pertanyaanku boleh
kau pergi." Setelah menarik napas panjang, akhirnya Pek Wi-bing mengangguk, katanya rawan:
"Baik, kau boleh tanya, akan kujawab seluruhnya. . ."
"Di Ce ciok-giam ini, perangkap dan muslihat apa yang telah kalian rancang?"
Dengan menggertak gigi Pek Wi-bing menerangkan: "Empat ratus orang2 Hek jiu
tong dan dua ribu anak buah Jik-san tui dipendam tersebar di seluruh dasar Ce ciok giam
ini, Hek jin tong langsung dipimpin oleh sang ketuanya bersama ke tujuh thau-ling, pihak
Jiksan- tui di bawah komandoku bersama dua puluhan Jong-tai, di samping itu pihak
Hek jiutong dibantu pula oleh kedua Hwi ki su, sedang akupun menyertakan Toan-san je
Ting Bu ...." Berpaling ke arena pertempuran sana Siang Cin bertanya pula: "Hwi ki su adalah
kedua orang itu" Sedang Toan-san-je adalah orang yang telah mampus itu?"
Pek Wi-bing mengangguk dengan lesu. Siang Cin bertanya lebih lanjut: "Jadi, kecuali
menggunakan parit dan memasang jaring, kapur dan panah, perangkap apa pula
yang telah kalian rencanakan?"
287 Bimbang sejenak, akhirnya Pek Wi-bing berkata: "Dua ribu batu tiruan yang dibuat
dari kulit2 tebal tersebar di dasar Ce-ciok-giam, algojo kami bersembunyi di dalam batu2
tiruan itu, mereka akan keluar dan beraksi bila tiba saatnya ."
Lekas Siang Cin menukas: "Hal ini sudah ku ketahui, maksudku adakah muslihat
lainnya?" Kembali Pek Wi-bing ragu2 sekian lamanya. Dengan suara kereng Siang Cin
mengancam: "Bila kau tidak menepati janji, Pek Wi bing, aku juga boleh ingkar janji "
Terpaksa Pek Wi-bing menerangkan pula: "Di tepi Ce-ciok-giam di seberang sana
sudah terpendam banyak obat peledak, bila situasi tidak menguntungkan pihak kami,
setelah pasukan kami mundur seluruhnya, sumbu akan di sulut . . . . . . . . "
"Lalu siapa yang berkuasa memberikan perintah di sini?" dengus Siang Cin.
"Aku atau Can-lomo (ketua Hek jiu tong )" sahut Pek Wi-bing lesu.
Berpikir sebentar, Siang Cin bertanya pula: "Di luar Ce-ciok-giam, masih ada
perangkap keji apa yang telah kalian rancang?"
Kali ini cukup lama Pek Wi bing berdiam, uap mengepul dari deru napasnya,
pakaiannya yang basah kuyup lengket dengan badannya, kulit mukanya tampak
berkerut, wajah yang pucat menampilkan rona yang mengerikan .. . .. .."
Seperti menyadari sesuatu Siang Cin mendesak: "Pek Wi-bing, waktu tidak banyak
lagi." Menatap Siang Cin dengan bola mata membara, penuh rasa dendam dan kebencian
Pek Wi-bing mendesis gemas: "Siang Cin, apa yang kubocorkan sudah cukup parah bagi
pihakku, sudah cukup aku menjual sekian banyak jiwa raga kawan2 ku, kau tetap
tidak memberi kelonggaran kepadaku, dengan keji kau masih memaksaku . . .
"Kan mending daripada mampus," jengek Siang Cin.
Dengan menyeringai sedih Pek Wi-bing berkata: "Caramu ini jauh lebih kejam
daripada kau membunuhku, kau ingin bikin aku mampus dan tak tenteram di alam
baka, kau ingin supaya kawanku menggali liang kuburku, mencacah lebur jasadku ....." "
Tanpa mengunjuk perasaan apa2 Siang Cin berkata: "Memangnya kau punya cara
lain yang lebih sempurna untuk menghindari kematian?"
Tiba2 Pek Wi-bing mendelik beringas, gelang baja yang terpegang di tangan kanan
tiba2 ditimpukkan sekuatnya ke leher Siang Cin, begitu cepat dan mendadak
serangan ini, dikala sinar gemerdap berkelebat, gelang baja yang tajam itupun sudah
meluncur tiba di depan leher Siang Cin.
Jilid 15 288 Siang Cin tidak berkelit atau mengegos dia tetap berdiri tenang kedua tangannya
mendadak bergerak naik, dengan punggung tangan menyongsong ke atas, "trang!",
gelang baja yang tajam berputar itu tahu-tahu mencelat melampaui batu raksasa dan
entah jatuh di mana. Sorot mata Siang Cin semakin mencorong sadis, tapi dengan
beringas Pek Wi-bingpun tetap mendelik kepadanya, badan yang sudah setengah
jongkok pelahan-lahan ambruk, darah merembes dari ujung bibirnya, dia telah bunuh
diri dengan menusuk ulu hati sendiri.
Rasa heran dan penyesalan timbul dalam hati Siang Cin, sekian lama dia melongo
mengawasi jenasah Pek Wi-bing, ketika suara Sebun Tio-bu berkumandang di
belakangnya baru dia tersentak sadar dan pelan-pelan berpaling kesana.
Sebun Tio-bu tengah menyeka keringat dijidatnya, katanya: "Kenapa kau melongo"
Keparat she Pek itu bunuh diri?"
Dengan termangu-mangu Siang Cin berkata: "Sebetu lnya dia tidak perlu bertindak
nekat begini, mestinya aku tidak akan membunuhnya. . ."
"O, kau akan membebaskan dia?" seru Sebun Tio bu heran, "bukankah berarti kau
menyusahkan dirimu sendiri" Keparat, menangkap harimau lebih mudah dari pada
melepaskannya, walau keparat she Pek ini bukan tokoh yang harus disegani, tapi dia
cukup licik dan jahat, syukur kalau dia sudah bunuh diri."
Waktu Siang Cin menoleh ke sana, kedua Hwi ki su, Hek jiu-tong tadi sudah
menggeletak mampus dalam keadaan yang mengerikan, leher keduanya berlubang
besar. Sambil menenteng Thi-mo-pi Sebun Tio-bu berkata dengan tertawa: "Kedua keparat
ini boleh juga, kalau mereka tidak gugup, mungkin masih kuasa bertahan beberapa
kejap lagi."
Lalu Siang Cin ceritakan rahasia yang berhasil dia korek dari mulut Pek Wi-bing.
Sebun Tio-bu mengumpat "Keparat, keji amat, Siang-heng, urusan tidak boleh
lambat, lekas kita beritahukan kepada pihak Bu-siang-pay."
Maka kedua orang lantas berlari ke sana, pertempuran sementara itu sudah
berkobar ke seberang, jelas pihak Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui sudah mulai terdesak
mundur, kiranya pasukan inti Bu-siang-pay yang langsung dibawah komando
Congtong dan tepat pada waktunya sehingga situasi segera berubah.
Kini para pahlawan baju putih dari padang rumput dengan golok panjang
melengkung ke lihatan memburu dan membabati musuh yang berusaha melarikan
diri, Bagai air bah yang tak terbendung, orang-orang Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui
sama mundur dan sembunyi di antara celah-celah batu, mayat bergelimpangan,
darah mengalir bagai air sungai, keadaan sungguh amat mengerikan.
Secepat terbang Siang Cin dan Sebun Tio bu memburu ke depan, belum lagi mereka
terjun ke tengah rombongan besar Bu-siang-pay, sesosok bayangan kurus kecil
tampak melayang tiba dari arah samping.
Sembari memutar, mata Siang Cin yang tajam sudah melihat jelas pendatang ini,
serunya: "Ho-toahoucu . . ."
289 Pendatang ini memang Yu hun-kou-cay Ho Siang gwat si kakek kurus kecil ini
tertawa, golok sabit ditangannya segera disarungkan, katanya sambil menggosok
telapak tangan: "Betul tidak, kalian sudah bentrok dengan jago-jago kosen mereka?"
Mengawasi jubah putih Ho Siang-gwat yang berlepotan darah, Siang Cin menjawab
pelahan: "Ya."
"Bagaimana keempat orang itu?" tanya Ho Siang Gwat.
"Sudah kuganyang semua," sahut Sebun Tio-bu, "memangnya Toahoucu mau
memelihara mereka?"
Memandang medan pertempuran di depan sana, Siang Cin bertanya: "Toahoucu,
bagaimana hasil pertempuran ini?"
Dengan gagah Ho Siang-gwat menengadah katanya: "Sebelum tengah hari, kuyakin
sudah dapat menghancurkan musuh, paling tidak pasti akan mendesak mereka
keluar dari Ce-ciok-giam ini."
Maka Siang Cin lantas menjelaskan rahasia yang berhasil dia korek dari Pek Wi-bing
kepada Ho Siang-uwat, Keruan Ho Siang-gwat berjingkat kaget, serunya: "Wah, bisa
celaka." Cepat dia memanggil seorang murid Bu-siang-pay serta berpesan: "Lekas laporkan
kepada lh-cuncu, katakan ada perintah penting dari Siang-susiok, setelah memukul
mundur musuh, dalam jarak seratus langkah dari tepi seberang dilarang mengejar
lebih lanjut, barang siapa melanggar perintah ini akan dihukum pancung."
Murid Bu-siang-pay itu mengiakan terus berlari pergi, Ho Siang-gwat menyeka
keringat sambil menyatakan syukur kepada Siang Cin.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba di seberang Ce-ciok-giam sana terdengar suara
tambur ditabuh keras-keras, begitu gencar suara tambur ini menyebabkan orang
merasa tegang dan panik, keruan orang-orang Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui yang lagi
berhantam itu lantas putar tubuh dan melarikan diri.
Pasukan yang kalah dan mundur ini sungguh laksana air bah yang tak terbendung
lagi, Memangnya anggota Hek-jiu-tong biasanya sebuas serigala dan selincah
harimau, kejahatan apa saja yang tak pernah mereka lakukan" Kini demi mencari
selamat sendiri, yang di belakang mendorong yang di depan terdesak roboh dan di
injak-injak kawan sendiri, maka terjadilah saling injak dan saling dorong, keadaan
menjadi semakin kacau dan ribut.
Mengawasi keadaan yang kemelut itu, Sebun Tio-bu mendadak menoleh dan
bertanya: "Siang-heng, tahukah di mana letak sumbu peledak musuh?"
Siang Cin maklum maksud Sebun Tio-bu, namun dia menggeleng sahutnya: "Tadi
tak sempat kutanyakan."
Dengan gegetun Sebun Tio-bu berkata pu la: "Bila tahu tentu menguntungkan kita
bisa mendahului pasukan musuh yang mundur ini, bila sumbu kita sulut sekarang
pihak mereka sendiri yang bakal menjadi korban malah, tapi kini sudah terlambat . .
." 290 "Tempatnya pasti amat dirahasiakan, kalau tidak, ini memang cara yang setimpal
untuk membalas kelicikan mereka."
Tatkala mana keadaan orang-orang Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui tampak runyam
sekali, banyak yang merangkak-rangkak berebut mencapai tepi Ce ciok-giam,
pahlawan-pahlawan Bu-siang-pay terus mengudak dan membabat musuh seperti
membabat rumput, kira-kira dua puluhan tombak mendekati seberang Ce-ciok-giam,
pada saat genting itulah, tiba-tiba lengking suara tiupan tanduk yang mengalun
panjang berirama sendu bergema di angkasa Ce ciok-giam.
Maka pahlawan-pahlawan Bu-siang-pay yang tengah mengamuk di tengah-tengah
musuh sama berhenti dan melongo, jelas kelihatan mereka teramat heran dan
menyesal, wajah mereka yang sudah beringas seperti binatang buas yang mencium
darah tampak penasaran dan gusar, tapi mereka teramat berdisiplin dan patuh pada
perintah atasan, meski tak boleh menyerbu lebih lanjut, tapi tombak bersu la di
tangan mereka segera ditimpukkan musuh, maka musuh yang lagi lari sipat kuping
dan merambat naik ke atas tanggul itu banyak pula yang menjadi korban, tombak
menghujam punggung, leher, pinggang atau kaki tangan, ada pula yang batok
kepalanya pecah, lebih mengenaskan lagi ada orang yang tubuhnya terpantek
tombak pendek yang berat itu.
Di kejauhan sana lh Ce tampak berdiri di atas sepotong batu besar, di sampingnya
berdiri tiga anak buahnya yang gagah perkasa, tak jauh di sebelah sana Kim-lui-jiu
Kin Jin tampak berdiri dengan santai, gagah dan berwibawa.
Thong Yang-seng yang sekujur badannya berlepotan darah tampak masih berada di
dalam rombongan orang banyak entah apa yang sedang dia bicarakan dengan Coan
jit kek Mo hiong.
Sisa orang-orang Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui sementara itu sudah naik ke atas
tanggu l, syukur pahlawan-pahlawan Bu-siang-pay tidak mengganyang mereka lebih
lanjut, maka semuanya ngelesot di tanah, ada yang duduk, ada yang rebah
celenteng, semuanya lemah lunglai dengan napas tersenga l, yang terluka sibuk
membalut luka, ada pula yang merintih dan meraung, yang tersisa tiada seorangpun
kuat berdiri lagi.
Melihat keadaan Ce-ciok-giam yang penuh bergelimpangan mayat dan orang yang
terluka parah, lama juga Siang Cin termenung, kalanya kemudian: "Yang gugur dan
terluka dari kedua pihak ternyata tidak sedikit jumlahnya."
Hong Siang-gwat menghela napas, katanya: "lni kan petempuran, kalau tidak
membunuh tentu dibunuh, jumlah orang-orang yang gugur dan terluka sebentar lagi
akan ada laporan yang jelas."
Dari depan sana bayangan seorang yang kurus kecil tengah berlari datang, sekilas
pandang Siang Cin melihat yang datang ini adalah si Lutung putih Siang Kong.
Ho Siang-gwat terbelalak heran, teriaknya: "Lo Siang, kenapa kau tergesa-gesa?"
Muka Siang Kong basah penuh keringat, dengan napas, tersengal dia memberi
hormat kepada Siang Cin serta Sebun Tio-bu, lalu berkata kepada Ho Siang-gwat:
"Lapor Toahoucu, Cuncu bertanya bagaimana tindakan selanjutnya?"
291 Ho Siang-gwat berpaling ke arah Siang Cin. Dengan tenang Siang Cin berkata: "Bagi
menjadi beberapa kelompok dan siap siaga setiap saat, untuk sementara boleh
istirahat tolong dulu yang terluka adalah tugas utama."
Siang Kong mengiakan terus berlari balik ke sana, Ho Siang-gwat memanggil
seorang murid serta berpesan: "Laporkan kepada Toaciangbun, katakan bahwa Ceciok-
giam sudah kita duduki, karena musuh menanam bahan peledak di atas tanggul
sana, maka sementara kedua pihak mengadakan gencatan senjata tidak resmi,
jangan lupa secepatnya suruh barisan penolong kemari."
Murid itu mengiakan terus berlari pergi bagai terbang, Ho Siang-gwat berpikir
sejenak, lalu berkata kepada seorang murid Bu-siang-pay tak jauh di sampingnya:
"Sampaikan kepada Pau-suheng, katakan kuperintahkan mereka tetap bertahan di
luar Ce ciok-giam, sebelum ada perintah tak boleh sembarang beraksi."
Murid inipun pergi dengan langkah cepat, Ho Siang gwat menghela napas, katanya
dengan nada heran: "Eh, hujan salju sudah berhenti. Kapan sih berhei'tinya?"
"Dikala kita mulai terjun ke medan laga tadi," ucap Siang Cin dengan tertawa.
Dalam pada itu dua murid Bu-siang pay telah membentang dua selimut yang tebal di
antara batu krikil, maka Siang Cin, sebun Tio-bu dan Ho Siang-gwat sama duduk
istirahat. "Menurut perhitunganku," demikian ucap Siang Cin, "Yang gugur dan terluka dari
kedua pihak mungkin melebihi tiga ribu orang."
"Ya, kira-kira sebesar itu," kata Siang gwat, "Barusan Loh lh beritahu kepadaku,
bahwa anak buah Say-ji-bun yang dipimpinnya ada separo yang gugur dan terluka,
murid-murid yang dikuasai Congtong juga gugur dua tiga ratusan."
Menghela napas, Siang Cin berkata "Pertempuran besar-besaran begini, akibatnya
sudah tentu serba kejam."
Dengan rasa dongko l Sebun Tio bu melirik Siang Cin, katanya: "Memangnya si
Naga Kuning juga bicara persoalan kekejaman?"
"Kan aku juga manusia biasa, hatiku tidak sekejam seperti yang tersiar di luaran,
betapapun harkat manusia masih kuhargai, cuma dalam menghukum orang jahat,
caraku turun tangan memang keji, adalah jamak mereka yang pernah kutindas sama
menggambarkan diriku bagai iblis laknat. Yang betul, akupun punya kasih sayang
sesama manusia, aku menghargai orang lain seperti aku menghargai diriku sendiri,
ini terbukti jumlah manusia yang pernah kutolong, dari macam-macam kesulitan
yang jauh lebih banyak daripada korban yang pernah kubunuh, kecuali kejahatannya
memang sudah kelewat takaran, biasanya pasti kupertimbangkan dulu apakah patut
orang itu kubunuh."
Ho Siang-goat manggut-manggut, katanya: "Untuk ini akupun bisa merasakab, aku
setuju dan bisa menerima penjelasan ini. . ."
"Akupun setuju," kata Sebun Tio-bu, "Hendaklah Siang heng jangan salah paham. .
." 292 "Persahabatan harus dilandasi kejujuran serta kebajikan, Tangkeh, masakah aku
gampang dibuat salah paham?" ucap Siang Cin sambil menatap Sebun Tio-bu."
Lalu dia kerkata pula kepada Ho Siang-gwat: "Toahoucu, untuk kali ini apakah kalian
ada membawa senjata api?"
"Ada, Liat yam-kiu dan Hwe-piau buatan khas kami sendiri," sahut Ho Siang-gwat.
"Bian-hok-ti-cu juga kalian bawa bukan?" tanya Siang Cin pula.
"Sudah tentu," sahut Ho Siang-gwat tergelak. "pusaka ini pasti selalu kami bawa."
Berpikir sejenak lalu Siang Cin berkata: "Kalau tidak dipelihara orang di musim
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sedingin ini, berapa lama binatang ini kuat dan bertahan hidup?"
"Bian-hok-ti-cu (labah2 perut sutera) ini biasanya kami pelihara dalam kotak batu
kemala yang hangat, jika tidak dipelihara dan berada musim sedingin ini, mungkin
hanya kuat bertahan setengah hari, daya hidup labah-labah macam ini sebetulnya
amat kuat, bila labah-labah jenis lain, begitu musim dingin akan datang, mungkin
siang-siang sudah menggali liang sembunyi dan tak berani bergerak lagi."
Lalu dia bertanya: "Apakah kau ada akal baik, Lote?"
"Biarlah kupikirkan sebentar, supaya rencanaku lebih sempurna. . ."
Maka Ho Siang-gwat tidak mengganggu pula konsentrasi Siang Cin, sementara
Sebun Tio-bu sudah merebahkan diri, Thi-mo-pi dia jadikan bantal. Tak lama
kemudian, lima ekor kuda mencongklang kencang mendatangi tiba di pinggir parit
lantas berhenti, lima orang dengan langkah cepat tampak menyeberangi Sin-siok-iuh
menuju ke sini.
Ho Siang gwat berkata pelahan: "ltulah Tay-ciangbun telah datang."
Dengan tertawa Siang Cin berdiri, demikian juga Sebun Tio-bu melompat bangun.
Memang betul Thi Tok-heng dibawah pengawalan Jik tan-su-kiat tengah mendatangi
mereka. Jelas pada saat pertempuran berlangsung tadi, Thi Tok-heng sendiri tidak pernah
istirahat. Melihat Siang Cin bertiga, dia mempercepat langkah dengan tersenyum,
dengan erat dia pegang lengang Siang Cin dan Sebun Tio-bu, katanya dengan suara
terharu: "Lote, tentunya kalian sudah lelah."
"Tidak apa-apa, mungkin Tay ciangbun yang terlalu banyak berpikir . . ."
"Tayciangbun," sela Sebun Tio-bu "mukamu kelihatan kurang sehat, mungkin terlalu
tegang. Memang, dalam saat2 seperti ini siapapun pasti tegang."
"Untunglah ...." ucap Thi Tok-heng dengan tertawa, "sementara ini situasi boleh
dikatakan aman, dalam gebrak pertama ini kita sudah unggul, tapi untuk maju lebih
lanjut tidak sedikit aral melintang yang harus kita hadapi, pihak musuh jelas takkan
berpeluk tangan."
"Sudah tentu," kata Siang Cin.
293 Thi Tok-heng berkata pula: "Siang-lote, menurut pendapatmu, bagaimana
melanjutkan serbuan seterusnya?"
Berpikir sebentar Siang Cin berkata: "Di atas tanggul diseberang Ce-ciok-giam
musuh memasang bahan peledak dalam jumlah besar, maka langkah pertama kita
harus menghancurkan peledak yang terpendam itu, lalu perintahkan Say-ji-bun
berjagadi sini, supaya Ce-ciok-giam kita jadikan benteng yang kukuh untuk maju
atau mundur bila perlu di samping kekuatan inti kita terus maju ke depan beberapa
kelompok yang lain harus terus gempur pertahankan musuh secara bergiliran
supaya musuh tidak ada waktu ganti napas, dengan cara demikian bukan saja
tenaga kita bisa dipertahankan semangat juang tetap berkobar, bila perlu seluruh
kekuatan masih dapat dikerahkan sekaligus. . ."
"Analisa yang tepat," Ucap Thi Tok-heng, "apa yang diuraikan Lote memang sudah
menjadi rancangan dalam benakku, tahap pertama Say-ji-bun memang harus
berjaga di Ce-ciok-giam..sementara pasukan Hwi-ji-bun kujadikan pasukan inti dan
pasukan Bong-ji-bun sebagai cadangan, kini yang perlu segera diputuskan adalah
bagaimana langkah kita selanjutnya . . ."
"Menurut penilaianku." demikian Siang Cin berkata, "musuh hanya mengerahkan
sebagian kecil saja dari seluruh kekuatannya dalam pertempuran di Ce-ciok-giam ini,
kekuatan inti mereka belum dikerahkan, menurut pengakuan Pek Wi-bing, Jik-san-tui
hanya mengerahkan dua ribu orang dan empat ratus orang Hek jiu-tong, kukira
jumlah ini memang tidak salah, dari hasil penyelidikanku di Pau-hou-ceng dan Toaho-
tin tempo hari, Jik-san-tui memang kira-kira mempunyai kekuatan dua ribuan
orang, seielah pertempuran tadi, berarti jumlah mereka sudah sisa separo saja."
Berhenti sebentar, lalu Siang Cin meneruskan "Sementara pihak Hek jui-tong yang
hijrah kemari dan Pi ciok-san, seluruhnya ada seribu lebih, di antaranya ada yang
terluka parah dan ringan, kini mereka mengerahkan empat ratusan orang di Ce-ciokgiam
ini, berarti separo dari jumlah yang mereka miliki. Maka mulai dari sini dan
seterusnya sampai di Tao ho tin, musuh pasti sudah mengatur banyak perangkap
dan jebakan, setiap langkah kita pasti ada bahaya dan kekuatan selanjutnya yang
bakal kita hadapi jelas adalah orang-orang dari Toa-to-kau, Jit-to hwe, malah
mungkin juga dibantu orang dari Ceng siong-san-ceng, menurut penilaianku, anak
buah Hek jan kong yang bercokol di Ji-gi-hu tentu sudah menguasai seluruh Toa-hotin,
sementara sisa-sisa dari kekuatan Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui paling-paling
hanya dijadikan kekuatan samping yang tidak seberapa di sekeliling Ji gi-hu."
Tiba-tiba Sebun Tio-bu menimbrung: "Kalau demikian, bukankah Jik-san-tui dan
Hek-jiu-tong merosot derajatnya?"
Siang Cin mengangguk, katanya: "Betul, sejak lari ke Toa-ho-tin, Hek jiu-tong
memang tidak segarang dahulu, pamornya sudah runtuk habis-habisan, sementara
Jik-san-tui biasanya memang menuruti segala petunjuk Hek-jan kong, bahwa Hek jiu
tong mencari perlindungan di tempat Jik san-tui, mau-tidak-mau mereka harus
tunduk juga, maka nasib sudah menentukan demikian, gembong-gembong Hek jiutong
yang masih hidup tentu menyesal setengah mati, tapi lahirnya mereka akan
tetap unjuk senyum, padahal batin mereka amat menderita.
Dengan tersenyum Thi Tok-heng berkata: "Analisa Siang-lote, memang jelas dan
tepat, sungguh amat kagum, Siang-lote, menurut pikiranmu, cara bagaimana kita
harus melancarkan serbuan selanjutnya?"
294 Dengan kalem Siang Cin berkata: "Gunakan kekuatan Hwi ji-bun untuk menyerbu
secara langsung dari depan, sementara kekuatan Bong ji bun dipendam di kiri,
mereka akan dikerahkan menurut keadaao. Seluruh kekuatan Congtong
dipersiapkan setiap saat menunggu perintah, bila perlu secara langsung merekalah
yang harus menerjang masuk ke Toa ho tin, sebelum musuh yang dipendam
sepanjang jalan Ce-ciok-giam sampai di Toa-ho-tin tersapu bersih, Cayhe, Sebuntangkeh
dan Kin-heng dengan beberapa jago pilihan Bu-siang-pay akan
menyelundup masuk lebih dulu ke jantung musuh,tugasnya sekaligus mencari jejak
puteri Tayciangbun."
Pelahan Thi Tok-heng berkata: "Baik, boleh dilaksanakan sesuai rencana Siangheng,
bila ketemu Yang-yang, kalau dia masih bandel, tak usah ragu-ragu, Sianglote
boleh meringkusnya dan bawa kemari, mati atau hidup tidak menjadi soal . . ."
Lama Siang Cin menatap Thi Tok-heng, orang tua yang berhati mulia, Tayciangbun
dan Bu-siang-pay, bagaimana perasaan orang sekarang, Siang Cin dapat
menyelaminya, katanya dengan tertawa: "Taycangbun tak usah kuatr, Cayhe pasti
bekerja melihat gelagat bila kutemukan dia, kesempatan untuk melarikan diri pasti
takkan kuberikan."
Tiba-tiba Sebun Tio-bu berteriak: "Betul, dengan kekuatan kami kalau tidak mampu
membekuk genduk cilik itu, memangnya ke mana pamor kami akan ditaruh?"
Terpancar rasa terima kasih yang tak terhingga pada sorot mata Thi Tok heng,
katanya: "Betapa syukur dan terima kasih hatiku, budi kebaikan kalian kepada Busiang-
pay sungguh tak terukur besarnya . . ."
Lekas Sebun Tio-bu berkata: "jangan Tay-ciangbun sesungkan ini, berkecimpung di
kalangan Kangouw, yang di utamakan adalah "satya", demi kesatyaan, meski awak
sendir harus berkorban juga tidak jadi soal, apalagi cuma urusan sekecil ini".
"Sudahlah," ujar Siang Cin, "Tayciangbun tak usah sangsi dan sungkan. Sekarang
menurut Tay-ciangbun kapan kiranya akan dimulai serbuan terbuka?"
Berpikir sejenak Thi Tok heng berkata: "Kira-kira satu jam lagi bagaimana?"
"Baik, sekarang perintahkan supaya semua pasukan istirahat dan mengisi perut
sekenyangnya," ucap Siang Cin.
Thi Tok-heng mengangguk kepada Ho Siang-gwat di sebelahnya, lalu dia berpaling
dan berkata kepada To Wan kang, salah satu dari Jik-tan-su-kiat: "Wan-kang, biarlah
aku makan di sini bersama Susiok berdua."
To Wan-kang mengiakan terus berlalu bersama rekannya menyiapkan hidangan,
baru saja mereka pergi, dari arah Ce-ciok-giam sebelah depan sana berlari datang
seorang laki tinggi besar mirip kerbau.
Begitu melihat Thi Tok-heng orang itu lantas menjura serta berkata: "Siang-toa-cui Jit
Lip dari Say ji-bun menghadap Tayciangbun, semoga Tayciangbun sehat selalu . . ."
"Sudah, jangan banyak peradatan,." ucap Thi Tok-lheng tersenyum.
295 Siang-toa-cui (sepasang gada garuda) Jit Lip ini agaknya pemalu, dia menegakkan
badan sambil menyengir lucu, katanya setelah menyeka keringat: "Lapor
Tayciangbun, Tecu diutus oleh lh-Cuncu kemari untuk melaporkan tentang para
saudara yang gugur, luka parah dan ringan . . ."
"Baik, boleh kau laporkan," ucap Thi Tok-heng.
"Kawanan kura-kura Hek-jiu-tong mampus dua ratusan orang, yang luka-luka ada
tujuh puluhan, korban Jik san-tui lebih besar lagi, yang mati ada seribu dua ratus,
yang terluka lima ratus lebih, sisa yang berhasil melarikan diri, menurut perhitungan
lh cuncu, orang-orang Jik san-tui masih ada empat ratusan orang, sedang Hek jiutong
paling hanya dua ratusan, betapa mengenaskan keadaan mereka sehingga
kawan-kawan mereka yang terluka tak terhiraukan lagi . . ."
Setelah, menelan air liur, Jit Lip berkata pula: "Karena teramat dekat pihak kita
melakukan pengejaran, maka menurut lh-cuncu musuh ngacir seperti . . . seperti . . ."
"Seperti anjing mencawat ekor." sambung Sebun Tio-bu.
Jit Lip menghela napas lega, katanya sambil menyeka keringat: "Ya, ya betul. ngacir
seperti anjing mencawat ekor . . ."
"Lalu berapa besar korban pihak kita" Kukira cukup parah juga bukan?" ucap Thi
Tok heng. Jit Lip diam sejenak, wajahnya yang merah kasar mengunjuk rasa sedih,
senyum yang menghias wajahnya tadi seketika sirna.
"Katakanlah," ucap Thi Tok-heng dengan tenang, "darah seorang ksatria memang
pantas menyiram pasir, gugur di medan laga, semua ini adalah akhir dari kehidupan
seorang pahlawan sejati, tiada sesuatu yang harus dibuat sedih, malah sebaliknya
kita harus merasa bangga akan keberanian dan jasa-jasa mereka Jit Lip, katakan,
berapa besar korban yang kita alami" Apakah lebih parah dari pada mereka?"
Gemetar bibir Jit Lip, suaranyapun berubah serak: "Empat ratus dua puluh saudara
Sau ji bun gugur, yang luka parah dan ringan ada dua ratusan lebih, anak buah di
bawah komando Congtong gugur seratus lima puluh orang, yang luka parah dan
ringan ada lima puluhan, jadi jumlah seluruhnya ada tujuh ratusan. Kini yang lukaluka
sedang ditolong, enam belas tabib sedang bekerja keras menolong mereka.
Tapi saudara-saudara kita memang gagah perkasa, keras hati lagi, dalam keadaan
separah itu mereka tetap bertahan, tiada satupun yang mengeluh atau merintih."
Dengan memejamkan mata Thi Tok-heng berkata pelahan dan mantap: "Korban
yang gugur dalam pertempuran kali ini, pihak musuh satu kali lipat lebih banyak
daripada kita, jangan karena kerugian yang kita alami cukup parah lantas patah
semangat dan bersedih hati, bawalah kepedihan kembali ke padang rumput, waktu
itu, akan diberi kesempatan untuk menangis, akupun akan menyertai kalian,
sekarang Jit Lip. . ."
Jit Lip menunduk untuk menyembunyikan air mata yang sudah berkaca-kaca
dikelopak matanya, dengan tersendat dia mengiakan.
Dengan suara lantang Thi Tok-heng berpesan: "Sampaikan kepada mereka, yang
gugur segera dikebumikan di tempat itu juga, yang terluka harus ditolong dengan
296 segala daya upaya, tapi korban dari lawanpun harus dirawat, mereka harus juga
menerima pelayanan yang sama dengan murid-murid kita . . ."
"Tayciangbun," seru Jit Lip penasaran "para kura-kura itu . . . . "
"ltulah putusanku," tenang dan berwibawa kata-kata Thi Tok heng, "sampaikan
pesanku ini kepada lh cuncu dan harus dilaksanakan, jangan lupa orang-orang
itupun seperti kita, manusia biasa yang diiahirkan oleh ayah-bundanya . . ."
Jit Lip tak berani membantah lagi, setelah mengiakan lekas dia mengundurkan diri.
Mengawasi bayangan orang yang gede berlari pergi Siang Cin menghela napas.
katanya: "Tay-ciangbun, putusanmu memang betul dan bijaksana."
Thi Tok-heng tertawa getir katanya: "lnilah yang dinamakan "peri kemanusiaan"
kehidupan kaum persilatan memang serba mengenaskan, serba kejam . . ."
Dalam pada itu Jik-san su-kiat sudah datang dengan membawa beberapa kotak
kayu yang berisi berbagai macam masakan, seru Sebun Tio-bu sambil berjingkrak
senang: "ini dia, perut memang sudah keroncongan, hayolah isi perut dulu, kalau
perut kenyang baru punya tenaga untuk berkelahi."
Siang Cin tertawa, katanya: "Di mana dan kapan saja tangkeh tidak pernah
melupakan soal makan."
Sebun Tio-bu berkata: "Sudah tentu, makan kan soal pokok bagi setiap manusia,
apalagi setelah mengalami pahit getir seperti ini, selera makan pasti besar dan
penting sekali artinya."
"Nanti sebentar," ucap Thi Tok~heng, "aku ingin menyuguh beberapa cangkir arak
kepada kalian."
Sebun Tio-bu tertawa, katanya: "Tayciangbun, kiranya ada arak juga?"
Kata Thi Tok-heng manggut-manggut: "lnilah Say to-ciu nomor satu."
"Say-to-ciu?" teriak Sebun Tio-bu kegirangan sambil menelan ludah, "Bagus sekali,
hayolah tenggak dulu setiap orang delapan cangkir, kalau sudah makan hidangan
rasanya tentu kurang sedap."
Dengan tulus hati Thi Tok-heng berkata: "Setelah urusan di sini selesai, akan
kuundang kalian ke padang rumput, kita akan makan-minum sepuas-puasnya di
sana, cuma apakah Sebun tangkeh sudi memenuhi undanganku ini."
"Pasti kuterima," teriak Sebun Tio-bu, "cuma, ai, makan minum dengan menganggur,
apa tidak membosankan."
Tiba-tiba Siang Cin menuding ke depan, katanya: "Kin heng sedang mengawasi
gerak-gerik musuh di garis depan bersama lh-cuncu."
Lekas Thi Tok-heng berpaling, serunya: "Wan-kang, lekas panggil Kin-susiok untuk
makan bersama."
297 Tidak lama Kin Jin tampak berlari datang, ia memberi hormat sambil mohon maaf:
"Terlambat selangkah, bikin kalian menunggu. makan di sana sebenarnya juga sama
saja." Tidak terlalu lama mnkan siangpun usai, sambil menepuk perut Sebun Tio-bu
berkata dengan muka merah: "Puas minum makan kenyang, tibalah saatnva
berjuang di medan laga pula."
Kin Jin menyeka mulut, katanya: "Siang-heng, bahan peledak musuh di atas tanggul
itu, bagaimana cara menyelesaikannya?"
"Tak usah kuatir, ada akal untuk memusnahkannya," ucap Siang Cin dengan
tersenyum, lalu dia berpaling kepada Thi Tok-heng, katanya: "Tayciang-bun,
menurut Ho-toahoucu, untuk meluruk kemari pihak kalian juga membawa serta
senjata api?"
"Betul," sahut Thi Tok-heng, "akhir-akhir ini kami berhasil menciptakan berbagai alat
senjata api, di antaranya Liat-yam-kiu (bola api, granat) dan Hwe-piau."
Dengan bersemangat Siing Cin berkata: "Nah, sekarang harap perintahkan
menggempur pinggir tanggul itu dengan gencar, pertama untuk memukul mundur
musuh, supaya kami punya peluang masuk ke jantung musuh dan mungkin dapat
pula menyulut sumbu bahan peledak musuh."
Thi, Tok-heng manggut-manggut, Siang Cin lantas menambahkan: "Bila serbuan
dimulai, Cayhe akan pimpin beberapa utusan kalian menyelinap keluar dan menuju
ke Toa-ho-tin untuk mencari jejak puteri Ciangbunjin."
Dengan kereng Thi Tok-heng lantas berseru: "Wan- kang, panggil Toacuncu
Tiangsun Ki dari Hwi-ji-bun dan Toacuncu Utti Han-poh dari Bong-ji-bun kemari."
Hanya sebentar saja tiga bayangan orang tampak lari mendatangi. Seorang
setengah-umur berperawakan tinggi kurus bermuka pucat kehijauan. Dibelakangnya
adalah seorang tua berbadan gemuk buntak seperti guci, berkepala botak, mukanya
bundar mirip patung Mi-lek-hud (Budha) di kelenteng yang selalu tertawa. Mereka
datang hanya terpaut selangkah belaka, Sedang To Wan-kang jauh ketinggalan di
belakang. Thi Tok-heng tertawa ramah, laki-laki muka hijau segera menjura, suaranya berat
serak: "Tiangsun Ki menghadap Ciangbun Toasuheng."
Kakek buntak tertawa, k.itanya: "Losuko, ada tugas apa pula yang hendak
diserahkan kepada Bong-ji-bun kami?"
Thi Tok-heng mengangguk pada si tua buntak ini, lalu dia perkenalkan kepada Siang
Cin bertiga, Laki-laki kurus muka hijau ini bukan lain adalah Toa-cuncu Hwi-ji bun
yang tersohor dengan julukan Ceng-tuo-kun (iblis muka hijau) Tiangsun Ki, sedang
laki-laki tua buntak adalah Toacuncu Bong-ji-bun Kian-kun-it-Jiin Uiti Han-poh.
Setelah basa basi saling mengucapkan kekaguman, Thi Tok-heng berkatn:
"Tiangsun-sute, dalam gerakan selanjutnya, anak buahmu akan diserahi tugas
sebagai penyerbu utama, sementara anak murid Utti sute sebagai pendukung."
298 Mantap suara Tiangsun Ki, sahutnya: "Hal itu sudah kudengar dari Ho-toahoucu
tadi." "Baiklah," ucap Thi Tok-heng kemudian, "segera bentuklah barisan, biarlah anak
buah lh-sute dan Ho-houcu membersihkan bahan peledak musuh, kalian harus
menunggu aba-aba untuk segera menyerbu."
Sampai di sini nadanya menjadi kereng berwibawa: "Pada serbuan pertama harus
langsung menembus jantung musuh, dilarang berhenti atau membuang waktu, bila
terhambat sedetik saja, korban dipihak kita akan lebih banyak, hal ini kalian harus
mengerti."
Tiangsun Ki dan Utti Han-poh sama mengangguk, Thi Tok-heng berkata lebih lanjut:
"Di samping itu kita pilih Tang-haii (rantai panjang) Le Tang dari Hwi-ji-bun dengan
Heng-cia Loh Hou dari Bong-ji-bun untuk ikut Siang-lote menyelundup ke Toa-ho-tin
agar menyambut serbuan kita di sana nanti."
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa cukup dua orang saja?" tanya Tiangsun Ki "Cukup," lekas Siang Cin menyahut.
Tanpa bicara lagi Tiangsun Ki dan Utti Han-poh memberi hormat kepada Thi Tokheng
serta Siang Cin dan lain-lain, seperti datangnya tadi, cepat sekali mereka
sudah berlari pergi.
Thi Tok-heng menghela napas, katanya: "Tiang-sun Ki adalah Cuncu yang memiliki
Lwekang paling tinggi di antara enam yang lain, cerdik pandai dan banyak akalnya,
keberaniannya luar biasa, usianya sudah lima puluh lebih, namun wataknya tetap
berangasan, itulah cirinya yang paling jelek."
Sebun Tio-bu tertawa, katanya: "Lahirnya kok tidak kelihatan."
"Memang tabiatnya jelek sekali, meski menghadapi kematian tetap tak mau tunduk,
tapi lahirnya memang tidak kentara, lahirnya dia kelihatan pendiam dan penurut tapi
begitu sifat sejatinya kumat, bagaikan hujan badai yang tak terkendali lagi,
Umpamanya dalam perjalanan kcmari, bila aku tidak berulang kali mengendalikan
dia, mungkin sejak lama dia sudah meluruk langsung ke Toa-hoa-tin untung
reaksinya cukup cekatan meski dalam keadaan murka dan dirundung emosi dia
tetap tak pernah bingung atau gugup, oleh karena itulah selama dia berkecimpung
dalam dunia persilatan belum pernah dia mengalami kerugian."
"Sungguh sulit mencari orang seperti dia, umumnya orang yang bertabiat
berangasan otaknyapun tumpul, gagah berani tapi tidak punya akal, apa lagi bila
menghadapi urusan besar dan penting akan menjadi kelabakan dan mati kutu, bila
seseorang dapat menguasai diri dengan tenang serta bisa mundur-maju secara
teratur, dalam keadaan murka akal sehatnya tak pernah pudar, inilah yang membuat
kagum," demikian Siang Cin memberikan komentarnya
Dikala mereka bicara itulah, dua orang berperawakan tinggi tujuh kaki, pinggang
besar dan kekar tampak berlari datang.
Yang disebelah kiri bermuka lebar, mata besar, hidung pesek, mulut tebal kulit
badannya coklat mengkilap, lengan besar melebihi paha seorang laki-laki biasa
dengan otot daging merongkol.
299 Orang di sebelahnya juga raksasa alisnya tebal, leher besar, rambut hitam, gondrong
terurai di pundak, bersenjata toya baja, mukanya memancarkan cahaya penuh
semangat, giginya putih tapi dengan dua taring besar yang menonjol.
Thi Tok-heng memperkenalkan: "Siang-lote, dia bernama Le Tang, salah satu murid
Hwi-ji bun yang paling hebat." Lalu ia menuding laki-laki raksasa yang memegang
pentung: "Dia ini Loh Hou, jago yang tak terkalahkan dari Bong-ji bun."
Siang Cin menjura kepada kedua orang, sapanya tertawa: "Dapat berkenalan dan
kerja sama dengan kalian, sungguh bangga hatiku."
Kedua laki-laki besar dan kasar ini ternyata lugu dan tak pandai bicara, sekian lama
mereka hanya menyengir saja sambil garuk-garuk kepala, akhirnya yang bernama
Le Tang dapat menguasai diri serta berkata: "Ah, jangan sungkan, kami orang
bodoh. . ."
Thi Tok-heng tertawa geli, katanya: "Sudahlah, kalian akan ikut bernama Siangsusiok,
apapun petunjuk dan perintahnya harus kalian patuhi, demikian pula kalian
harus tunduk pada petunjuk Sebun-tangkeh dan Kin-tayhiap, jangan ragu-ragu dan
membangkang, tahu tidak?"
"Sudah tahu, kami pasti patuh." kedua laki-laki kasar itu menyahut.
Siang Cin mendongak melihat cuaca, baru saja dia mau bicara, dari kiri-kanan Ce
ciok giam mendadak bergema lengking suara tiupan terompet yang mengalun sedih
memilukan, nyaring dan tinggi suara trompret ini sampai terdengar juga ke seberang,
ditengah suara trompret yang melengking tajam itu, terdengarlah suara serta derap
tapal kuda yang gemuruh, bentakan orang yang berlari kian kemari, kiranya anak
murid Hwi ji-bun dan Bong ji bun tengah mempersiapkan diri.
Thi Tok-heng memberi tanda kepada To Wan-kang yang berdiri tak jauh di
sebelahnya, bergegas To Wan-kang segera berlari pergi, ditengah Ce-ciok giam
sana segera bergemalah suara trompet yang gagah dan mengalun panjang.
"Kini kalian bisa saksikan kehebatan senjata api kita," demikian kata Thi Tok-heng.
"Pasti mengejutkan," ujar Siang Cin dengan tertawa.
Tersenyum Thi Tok-heng, dia tidak menanggapi pujian Siang Cin, sementara
bayangan orang dan kuda tampak bergerak di tengah Ce-ciok-giam, senjata di lolos
dan berdering, dalam sekejap anak murid Say-ji-bun yang berada digaris depan
sudah mulai bergerak, sementara anak murid di bawah komando Cong-tong berada
dibarisan belakang teratur rapi dalam formasi yang sudah ditentukan.
Jauh di seberang sana, bayangan merah dan hitam tampak bergerak kalang kabut,
satu dengan yang lain tengah berlomba berdiri dan merangkak mencari posisi dan
perlindungan. Sekarang Siang Cin tengah memperhatikan murid-murid Bu siang pay yang ada di
garis depan, semuanya memegang tiga batang bumbung hitam yang terikat jadi
satu, pangkal bumbung berbentuk lebar seperti sayap, sementara ujungnya terarah
ke depan mengincar musuh, murid2 yang dipimpin Cong-tong dalam waktu singkat
300 telah memasang puluhan kerangka besi berbentuk segi empat, ke empat kaki
kerangka ini terbenam ke dalam tanah.
Tepat di tengah kerangka besi terpasang satu jalur pegas dan pada ujung pegas
baja ini ada dipasang sebuah mangkuk, di dalam mangkuk inilah ditaruh sebuah bola
warna hitam sebesar kepala manusia.
Kini semua pegas atau per itu sudah ditarik, bila gantolan pada per itu dilepas, pegas
itu akan bekerja serta melemparkan bola di dalam mangkuk itu ke depan.
Setiap kerangka itu dijaga empat murid Bu-siang-pay seragam putih, sekitar mereka
tampak tersedia puluhan bola yang siap ditembakkan.
Bumbung atau pipa hitam bersayap itu Siang Cin pernah melihatnya, tapi kerangka
baja dengan pegas dan mainan bola itu masih asing baginya, tapi entah itu senjata
ampuh atau mainan belaka, bila dikerjakan akibatnya tentu fatal, jiwa manusia dapat
dihancurkan dalam beberapa detik saja.
Thi Tok-heng tertawa lebar. katanya: "Siang-lote, bumbung hitam yang dipegang
murid-murid Say-ji-bun itu dinamakan Hwe piau, daya bidiknya bisa mencapai
seratusan langkah, panah yang terdapat di dalam bumbung itu panjang kecil dan
runcing, dilumuri minyak dan pospor, begitu kena angin lantas menyala, bagi yang
daya tarikannya kuat, malah dapat mencapai dua ratusan langkah jauhnya."
Berhenti sebentar lalu ia melanjutkan "peralatan yang dipasang di sebelah belakang
itu dinamakan Ki-nu (busur raksasa) setiap kali kerja dapat menembakkan sebutir
peluru berapi (Liat-yam tan), daya ledak nya kuat dan merupakan alat penghancur
yang amat ditakuti Dalam radius sepuluh tombak, rumput dan pepohonan, binatang
atau manusia tiada satupun yang bisa selamat, daya tembak Ki-hu bisa mencapai
enam puluh tombak, karenanya penghancurnya jaug hebat dan terlampau keji, maka
jarang kita menggunakan bila tidak terpaksa dan dipandang perlu." Sampai di sini dia
menarik napas lalu menyambung "Sekurang oiang2 Hek jiu-tong dan Jik-san-tui
yang bakal menjadi sasaran utama."
Siang Cin tertawa, tanyanya: "Boleh mulai?"
"Sudah tentu," ucap Thi Tok-heng. Maka Tay-ciangbun Bu siang-pay ini pelahanlahan
angkat tangan kanannya, lalu mendadak mengayunnya turun dengan cepat.
Ho Siang gwat yang sejak tadi telah menunggu di jarak sepuluhan tonibak di atas
batu tinggi di pinggir sana segera berteriak: "Tembak!"
Sepuluh murid Bu-siang-pay yang berjaga di sekitar kerangka baja itu itu seketika
bergerak serempak, gerak gerik mereka tampak lincah, rapi dan terlalih, sebat sekali
kaki menyepak gantolan ujung pegas, maka suara jepretan berbunyi hampir dalam
waktu yang sama."
"Ssiiuuttt blummm"
Suara ledakan menggetar bumi. Pegas terpasang pula, pelorpun ditembakkan lagi
secara beruntung cuma arah sasarannya saja yang sedikit di ubah.
301 Tapi semua di tujukan unggul atau belakangnya, di mana orang2 Hek-jiu-tong dan
Jik-san-tui beruban mati-matian.
Asap tebal tampak mengepul disertai percikan api, lebih mengenaskan lagi, manusia
yang menjadi korban pemboman ini ikut hancur-lebur, tiada korban yang mati dalam
keadaan utuh. Hampir dalam waktu yang sama dengan bombardir yang menggoncangkan bumi ini
murid-murid Say-ji-bun yang berada di garis depan segera menarik pelatuk, disertai
suara jepretan yang keras secara beruntun ribuan jalur api sama menyembur
kencang ke depan, api segera berkobar semakin besar disertai asap tebal
bergulung-gulung ke angkasa, dalam beberapa detik ini, tanggul Ce ciok giam
diseberang sana sudah menjadi lautan api.
Hawa udara terasa pengap dan berbau mesiu, diantara lelatu api dan bergulungnya
asap tebal, batu pasir serta tanah sama terlempar ke tengah udara, batu-batu
gunung yang berserakan di Ce ciok giam porak-poranda.
Ternyata ledakan dahsyat ini masih terus disusul ledakan-ledakan dahsyat lainnya,
satu ledakan lebih keras dan dahsyat dari ledakan yang terdahulu, ledakan-ledakan
dahsyat lainnya, satu ledakan lebih keras dan dahsyat dari ledakan yang terdahulu,
batu-batu besarpun terlempar ke angkasa, siapa saja bila kejatuhan batu-batu ini
kalau tidak terluka, patah tulang, pasti kepala pecah dan binasa.
Di tengah ledakan dahsyat dan hujan batu dan pasir itulah, Siang Cin, Thi Tok-heng,
Sebun Tio-bu, Kin-Jin dan Jik tan-su-kiat sama merebahkan diri mencari
perlindungan, demikian pula seluruh murid Bu-siang-pay sama mendekam di tanah,
untung tiada seorangpun yang terluka, debu pasir masih terus berhamburan, badan
semua orang sama kotor seperti baru saja menerobos keluar dari dalam liang tanah.
Ledakan terus berlangsung, bumi bergoncang sedemikian kerasnya, sampai kuping
mengiang seperti mau pecah, banyak murid Bu-siang-pay yang pucat mukanya,
betapa tak ngeri bila membayangkan andaikan pasukan mereka yang terjebak oleh
ledakan dahsyat bahan-bahan peledak yang dipendam musuh ini.
Siang Cin menggeleng kepala, suaranya terdengar serak, "Ledakan yang hebat
sekali . . ."
Tiba-tiba bayangan orang berkelebat, Ho Siang-gwat melompat tiba dengan gerakan
tangkas, sambil mengusap debu dimukanya dia berteriak gelisah "Tayciangbun,
Tayciangbun. .."
Cepat Tbi Tok-heng berseru: "Apakah Ho houcu di sana?"
Legalah hati Ho Siang-gwat, serunya "Syukurlah Tayciangbun dan para saudara
tiada yang terluka."
"Ho-houcu," kata Thi Tok-heng "getaran ledakan-ini memang hebat, lekas suruh
beberapa orang memeriksa ke depan, apakah pasukan Say-ji-bun di depan ada
yang menjadi korban?"
"Hentikan dulu beberapa kejap, jika tiada ledakan lagi, segera perintahkan anak
buahmu, membuka jalan, biar pasukan Hwi ji bun yang membuka serbuan.
302 Dalam pada itu, orang tadi diutus pergi mencari berita telah berlari balik dengan
napas tersengal-sengal, dia berkata dengan terputus-putus: "Lapor. . ..Tay-ciangbun.
. .orang-orang kita . . . semuanya baik saja, hanya dua puluhan saudara kita terluka
oleh cipratan batu dan terbakar kulit badannya. . ."
Menghela napas lega,Thi Tok-heng lantas berseru kepada Ho Siang-gwat-yang
sementara itu masih menunggu: "Ho-houcu, perintahkan mulai maju!"
Ho Siang-gwat segera melompat ke atas sebuah
batu besar serta bersiul nyaring, cepat sekali siulan yang tidak kalah kerasnya
daripada suara sempritan ini mendapat sambutan di depan, yaitu bunyi trompet yang
berkumandang lagi.
Dengan kereng Thi Tok-heng melepas pandang ke depan, tampak asap tebal masih
bergulung-gulung di tiup angin, bayangan orang berbaju putih terus bergerak, dia
menarik napas panjang secercah senyuman menghias wajahnya, katanya terhibur
sambil menoleh ke arah Siang Cin: "Siang-lote, pasukan Say-ji-bun ternyata tidak
kurang suatu apapun."
"Reaksi mereka cukup cepat menghadapi perubahan, keadaan memang berbahaya
juga," ucap Siang Cin tertawa.
Tengah bicara jauh di belakang terdengar suara meringkik kuda yang ramai disertai
derap langkahnya yang teratur. Waktu Siang Cin menoleh tampak barisan dengan
gelang mas melingkar di kepala telah berjalan turun memasuki Ce-ciok-giam, sambil
menuntun kuda mereka, hati-hati tapi cepat, mereka bergerak ke depan
memencarkan diri dalam formasi tertentu, pada setiap punggung kuda tampak
tergantung sebuah tameng warna perak mengkilat elang terbang yang gagah dan
keren Ceng-Wo-kun Tiangsun Ki, berada di depan barisan-ini, tak hentinya dia
memberi petunjuk dan berkaok-kaok mendesak anak buahnya supaya bergerak lebih
cepat lagi. Menunjuk pasukan yang menuju kemedan pertempuran, dengan suara rendah Thi
Tok-heng menerangkan: "Hwi-ji-bun dengan tameng elang khusus diciptakan sendiri
oleh Tiangsun sute."
"Siang Cin mengangguk, katanya: "Amat gagah dan perkasa, besar sekali kegunaan
tameng itu Hwi-ji-bun pasti merupakan pasukan inti dari seluruh kekuatan yang
dikerahkan ini?"
Sebun Tio-bu bergelak tertawa, katanya: "Sudahlah Siang-toaya, tak usah banyak
komentar lagi, sekarang kita harus lekas menyusup ke Toa-ho-tin, mumpung anak
kura-kura itu sedang ribut dan kacau-balau, hayolah mau tunggu kapan lagi?"
"Baik," sahut Siang Cin mengangguk, "mari berangkat." Lalu dia membalik ke arah
Thi Tok-heng, katanya: "Tayciangbun. sekarang kita berpisah untuk sementara
waktu kami tunggu kedatanganmu di Toa-ho tin."
Thi Tok-heng maju selangkah memegang kedua lengan Siang Cin serta
menggenggamnya kencang, katanya dengan penuh haru: "Siang lote, semua ku
percayakan kepadamu, Semoga sukses!"
303 Dia menoleh ke arah Sebun Tio-bu dan Kin Jin, katanya: "Sebun-lote, Kin-lote,
kuharap kalian hati-hati juga."
Tertawa lebar dan gagah Sebun Tiobu berkata. "Tayciangbun tak usah kuatir, kami
akan menantimu di Toa-ho tin dengan segar bugar."
Kin Jin juga tertawa, ujarnya dengan tekad besar dengan keyakinan yang teguh.
"pasti akan hati-hati, Tayciangbun, kami pasti dapat melaksanakan tugas dengan
baik." Maka beberapa orang saling menjura berpisah, tak lupa Thi Tok-heng memberi
pesan beberapa patah kata kepada Le Tang dan Loh hou. Kejap lain, lima bayangan
orang segera berjalan menuju ke seberang.
Masih terendus bau mesiu yang tebal menyesakkan napas, di antara celah-celah
batu dan gundukan tanah yang turun naik, lima orang dipimpin Siang Cin berjubah
kuning terus berjalan, bayangan elmaut, rasa ketakutan meliputi setiap orang.
Suatu ketika Sebun Tio-bu berkata dengan suara tertahan: "Siang heng, kita lewat
jalan kecil yang memutar saja."
Siang Cin menganguk, sahutnya: "Betul!"
Begitulah mereka semakin jauh meninggalkan Ce-ciok-giam, tugas mereka ini
pantang diketahui oleh musuh, tak boleh terlibat dalam pertempuran sebelum
berhasil memasuki Toa-ho-tin.
Padahal di sebelah kiri sana, di Ce-ciok-giam, pihak Bu-siang-pay tengah melakukan
serbuan besar-besaran, sementara pihak Jik-san-tui dnn Hek-jiu tong dengan
seluruh kekuatan intinya pasti juga dikerahkan untuk menyambut serbuan musuh,
jika mereka tidak jalan memutar mungkin bisa kepergok musuh.
Kalau Siang Cin yang membuka jalan di depan diam saja, Sebun Tio-bu yang
memang banyak omong terus ajak Kin Jin ngobrol apa saja meski sambil lari.
Payah juga Le Tang dan Loh Hou yang mengintil di belakang, mereka tidak memiliki
kemampuan setinggi ketiga tokoh silat di depannya, meski napas sudah ngosngosan
mereka tidak berani ketinggalan jauh dan terpaksa berlari sekuat tenaga.
Kini mereka tiba di sebuah hutan, bila mereka tiba di pinggir hutan, Toa-ho-tin, kota
yang menjadi tempat tujuan merekapun akan tertampak. Dipandang dari atas pohon,
Toa-ho-tin kelihatan sepi dan lengang, rasanya aneh bahwa kota sebesar itu dengan
penduduk yang padat kini dalam keadaan sesunyi ini seperti kota mati belaka, tak
terdengar suara, tidak kelihatan bayangan manusia, sampai suara anjing atau ayam
juga tidak terdengar.
Suasana sepi yang luar biasa ini membuat Sebun Tio-bu menggerutu: "Keparat."
Siapapun merasakan adanya firasat yang tidak baik.
Hening sejenak, akhirnya Siang Cin berkata. "Lebih baik kita berhenti sejenak, bila
jejak kita diketahui musuh, untuk bekerja tentu amat sukar, tugas ini memerlukan
kecerdikan dan kecepatan bertindak."
304 Setelah menerawang keadaan sekitarnya Kin Jin ikut berbicara:"Dari hutan ini ada
kira-kira berjarak dua puluh tombak dan sekitarnya tanah datar dan lapang, sekarang
cara bagaimana kita akan menyusup ke sana tanpa diketahui?"
Sesaat lamanya Siang Cin mondar-mandir sambil berpikir,katanya kemudian:
"Biarlah aku mencobanya."
Sebun Tio bu tidak mengerti. "Siang-heng, bagaimana kau-akan mencobanya"!"
"Aku akan bergerak dengan kecepatan luar biasa, sehingga kabur pandangan
musuh, disangkanya melihat setan atau melihat sesuatu yang khayal belaka, mereka
tidak tahu bahwa yang di-lihatnya adalah bayangan manusia."
Kata Sebun Tio-bu dengan penuh kepercayaan "Aku tahu kau mampu
melakukannya Siang-heng, Naga Kuning menggetarkan dunia karena
kecepatannya."
"Jangan memuji Tangkeh," ucap Siang Cin. "Kin-heng, harap kalian tunggu saja di
sini bersama Loh dan Le berdua, aku akan segera kembali."
Semua sama mengangguk, maka sebelum yang lain memberikan reaksi apa-apa,
bayangan Siang Cin yang tinggi itu mendadak melambung ke udara seperti roket
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang lepas dari landasan, karena cepat daya luncurnya, kelihatannya seperti
bayangan kuning berkelebat, semakin lama semakin cepat sehingga bentuk
aslinyapun tak kelihatan lagi.
Sebun Tio-bun berkata dengan melongo: "Hebat, kecepatan Naga Kuning memang
top. Bukankah itu gerakan yang dinamakan Liong-ih-toa-pat-sek."
"Betul," sahut Kin Jin "Setelah menyaksikan gerakannya, siapapun akan merasa
kagum dan merasakan dirinya kecil sekali, biasanya kita suka mengagulkan ginkang
sendiri yang dianggapnya tiada bandingan lagi di Kangouw, hari ini baru sadar
bahwa aku ini hanya merupakan secomot pasir di tengah gurun pasir.
Dalam pada itu bayangan Siang Cin sudah tidak kelihatan, tanpa konangan dia
berhasil menyusup ke Toa-ho tin, kini dia sedang tiarap di atas sebuah rumah,
dengan tenang ia mengawasi keadaan, sekelilingnya.
Dengan ketajaman mata Siang Cin, dilihatnya dua puluhan tombak luasnya tanah
diluar batas kota Toa-ho tin ada dipasang cagak besi dengan ujung serupa tanduk
menjangan, serta diberi kawat berduri dan berbagai macam rintangan lainnya.
Lalu sepuluh tombak kemudian terdapat karung yang membukit, apa yang berada
dalam gundukan karung tak diketahui tapi dibelakana gundukan karung adalah
barisan bambu runcing yang ujungnya dibungkus kain, semua jebakan ini
mengelilingi To hoa tin dengan rapat.
Dengan cermat Siang Cin memeriksa sekelilingnya pula, jangankan manusia,
bayangan setan pun tidak kelihatan dalam kota ini, entah itu penduduk kota atau
orang Hek-jiu-tong serta Jik san tui, entah kemana mereka, tiada satupun yang
menongolkan kepalanya, seolah-olah kota mati, kota kosong.
305 Dengan hati-hati Siang Cin menggeremet maju di-atas genting, mendadak dia
menemukan sepasang bola mata, bola mata yang sedang mengintip di balik celahcelah
jendela yang terbuka sedikit di atas loteng sebelah depan, hanya sekilas saja
bola mata itupun telah lenyap.
Tapi penemuan ini justru membuat girang Siang Cin dan terbangun semangatnya,
maka mulailah dia memeriksa setiap rumah dan setiap loteng, sampaipun rumah di
pojok gang juga tidak lepas dari perhatiannya, tembok melintang juga diperiksanya
dengan teliti. akhirnya dia tersenyum puas.
Lalu memejamkan mata menenangkan hati dan pikiran, kejap lain dia sudah
merayap ke atap rumah sebelah sana, ia memegang daun jendela, sedikit
mendorongnya, tanpa mengeluarkan suara segera dia menyelinap masuk ke dalam.
Kini dia berada di sebuah kamar tidur yang besar, entah semula dihuni siapa,
pajangannya sederhana, kecuali sebuah meja empat kursi, hanya ada sebuah
ranjang kayu besar, di tepi ranjang terdapat sebuah tungku yang masih menganga
apinya. Tampak oleh Siang Cin di ranjang kayu besar itu rebah dengan berbagai gaya empat
laki-laki kasar, ranjang kayu ini sebetulnya untuk tidur suami isteri pemilik rumah ini,
tapi kini berdesakan empat orang itu sekaligus, terasa sesak juga sehingga cara tidur
mereka tampak menggelikan.
Siang Cin tersenyum geli mengawasi orang-orang yang mendengkur bagai babi itu,
belum lagi dia mengambil sikap, tiba-tiba didengarnya seseorang menaiki loteng
sambil bernyanyi-nyanyi kecil.
Sekali berkelebat Siang Cin menyelinap ke belakang ranjang, kebetulan keempat
laki-laki yang tidur di ranjang itu mengalingi dirinya. Kejap lain pintu kamarpun
didorong dengan mengeluarkan keriut dan tampak seorang laki-laki gede gemuk
menjinjing guci arak melangkah masuk dengan sempoyongan mukanya merah
setengah mabuk.
Laki-laki gemuk ini memang kekar perawakannya, pakaian biru yang dipakainya
setengah terbuka sehingga dadanya telanjang, begitu masuk, kamar golok yang
tergantung dipinggangnya dia tanggalkan terus dilempar ke meja dengan suara
gedubrakan, guci diangkat terus ditenggaknya dengan lahap, habis minum mulutnya
kembali nyanyi-nyanyi lagu yang bersifat porno, memangnya dia sudah setengah
mabuk, maka lagu yang dinyanyikan pun tidak kenal batas kesopanan lagi.
Laki-laki yang tidur paling pinggir sebelah kanan tampak membalik tubuh sambil
membuka matanya yang merah ngantuk, agaknya dia terjaga dalam mimpinya
karena suara gaduh yang dibuat laki-laki gemuk itu, keruan dia memaki gusar:
"Maknya, memangnya kau sudah makan kenyang dan puas minum, lalu berkaokkaok
di sini seperti di sarang pelacur" Tuan besarmu ini semalam tidak tidur, baru
saja pulas lantas kau bikin ribut di sini?"
Laki-laki gemuk tampak sempoyongan sempro(nya: "Ribut, ribut apa" Kau keparat
ini, bapakmu hanya bernyanyi dua lagu, memangnya kau lantas iri" Kau tidak tidur
semalam, memangnya bapakmu ini sudah tidur?"
Laki-laki di atas ranjang semakin gusar, mendadak dia berduduk, teriaknya sambil
melotot: "Kek-losam, kalau kau tidak ingin tidur, lekas menggelinding keluar, jangan
306 jual lagak di sini, memangnya berapa sih harganya lagakmu" Di sini bukan tempat
untuk pamer kepalan."
Sudah tentu tiga orang yang lain lantas terjaga bangun pula karena keributan ini,
terdengar seorang berseru dan coba meredakan suasana.
Tak terduga, Kek-losam, si gemuk, malah tepuk dada dan semakin garang, sudah
tentu laki-laki di ranjang itupun semakin naik pitam, keduanya lantas hendak saling
terjang, untung ketiga teman yang lain segera m.iju memisah.
"Blang", memukul dada sendiri Kek-losam lantas meraung gusar "Kunyuk yang tidak
punya mata, berani kau menepuk lalat di kepala Kek-losam" Memangnya kau kira
Kek-losam boleh dibuat main-main".
"Anjing buduk!"
"Babi mampus, memangnya kau kira aku takut pada congormu" pergilah
mendengkur saja dalam pelukan bini mudamu," sambil berbalik pinggang laki-laki itu
mencak-mencak di atas ranjang.
Sambil berteriak aneh, Kek-losam segera menerjang maju. Keruan ketiga orang
yang lain menjadi kelabakan, tarik sana seret sini, keadaan kamar menjadi morat
marit dan kacau.
Disaat keributan mencapai puncaknya inilah, dengan tenang Siang Cin beranjak
keluar dan belakang ranjang, sambil geleng-geleng kepala dia tersenyum, katanya:
Sudahlah, jangan ribut begini rupa, memangnya tidak malu ditertawakan orang?"
Kelima orang itu sedang saling dorong dan tarik, ketika tiba-tiba mendengar suara
orang yang tak dikenal, keruan semuanya sama terperanjat, tanpa di suruh lagi
semuanya berhenti dan menoleh ke sana, kelima orang jadi melongo.
Siang Cin mengebas lengan jubahnya yang berwarna kuning angsa itu, air mukanya
yang semula tersenyum simpul mendadak menjadi kaku dingin, katanya: "Beginikah
orang-orang Toa-to-kau kalian bertingkah di Toa-ho-tin" Keterlaluan, tidak tahu tata
tertib, sekarang satu persatu perkenalkan nama anjing kalian."
Sudah tentu kelima orang ini semakin kaget, sebagian mereka memang utusan pihak
Toa-to-kau yang diperbantukan di Toa- ho-tin, sudah enam hari mereka tiba di sini,
sebelum berangkat Kaucu mereka sudah berpesan bahwa di Toa-ho tin bakal
berkumpul orang dari berbagai kalangan dan aliran, sekali-kali dilarang membuat
malu dan melakukan kesalahan, apalagi menurunkan derajat Toa-to-kau.
Setiba di sini keadaan yang campur aduk di sini memang agak membingungkan
mereka, kini belum apa-apa mereka sudah ribut antar kawan sendiri, betapapun
mereka merasa malu"
Sesaat kemudian barulah Kek-losam menyeringai, sapanya: "Numpang tanya, Toako
ini dari dermaga mana" Supaya kami. . ."
Belum habis dia bicara, Siang Cin sudah mendamprat: "Tutup mulut, terhadapku,
berani kau membahasakan Toako segala" Berani kau angkat dirimu sejajar dengan
aku?" 307 Keruan berdetak jantung Kek-losam, tersipu dia menjura serta mohon maaf: "Tidak
berani, hamba tidak berani, maksudku hanya ingin mohon tanya siapakah she dan
nama besarmu."
Siang Cin mendengus: "Hm, mau selidik asal usulku" Tanya nama segala. Setiap
kaum keroco ini belum setimpal, Han-nio-siang-kui saja akan munduk-munduk
dihadapanku, memangnya kalian sudah setingkat dengan kedua orang itu?"
Sudah tentu kelima orang dalam kamar tak berani bercuit lagi, mereka percaya apa
yang dikatakan Siang Cin. Maklumlah sikap tindak tanduk, tutur kata Siang Cin yang
berwibawa telah membikin ciut nyali mereka, apalagi mereka tahu bahwa Toa-ho-tin
sudah menjadi kota terlarang, luar-dalam kota sudah diatur banyak jebakan dan
perangkap, setiap jengkal tanah dalam kota boleh dikatakan ada perangkap.
Seluruh tenaga pihak sendiri juga sudah diatur dengan kilat, penduduk kotapun telah
dimasukkan ke karantina serta diawasi, jangankan mata-mata musuh, umpama
seekor burungpun jangan harap bisa terbang masuk, kini orang ini berlenggang
dengan sikapnya yang kereng, tahu-tahu naik loteng dan masuk kamar, tutur
katanyapun amat berwibawa, kecuali orang punya jabatan tinggi setingkat Cuncu,
memangnya siapa berani bertingkah begini"
Sudah tentu kelima orang itu semakin gelisah, Kek-losam yang setengah mabukpun
sadar dan mandi keringat dingin, sambil menunduk dia hanya mengiakan saja
dengan muka merah padam, kedua tangan lurus ke bawah.
Mengebas lengan bajunya, Siang Cin berkata pula: "Barusan aku dari bawah,
kenapa tidak kelihatan bayangan seorangpun."
Kek-losan menyeka keringat, lahutnya tersipu-sipu "Ada, ada, cuma sekarang
mereka tidak di tempat karena semuanya dikerahkan untuk menggali lorong bawah
tanah." "Gali lorong apa?" tanya Siang Cin. Kek-losan juga melenggong, katanya tergagap:
"Masa Toako tidak tahu" Bukankah setiap barisan menugaskan beberapa orang
secara giliran untuk menggali lorong" Loteng ini ditempati tiga puluh orang, kecuali
kami berlima yang masih ketinggalan, yang lain dikerahkan di bawah pimpinan Tamhay-
bak " Otak bekerja cepat, segera sikap Siang Cin tampak kereng pula: "Kemarin malam
bukankah orang Jit-ho-hwe sudah selesai menggali lorong yang terletak di depan
kota itu" Menggali lorong apa lagi" jangan kau membual."
"Toako memang tidak salah," lekas Kek-losan menerangkan "Lorong itu memang
sejak lama sudah digali, sekarang yang digali adalah lorong yang terletak di bawah
jalan raya di depan kota, baru dua hari ini mulai kerja, kira-kira sampai nanti tengah
malam baru akan selesai, Betapapun aku yang kecil ini tak berani bohong pada
Toako, kalau tidak percaya boleh Toako pergi memeriksanya."
Siang Cin berkata pula: "Kapan mereka akan kembali?"
Kek-losan menghitung-hitung lalu menjawab: "Baru setengah jam mereka pergi,
mungkin setelah magrib baru akan kembali."
308 Siang Cin manggut-manggut katanya: "Baik, biar aku istirahat di sini dulu, sebentar
aku masih harus memeriksa tempat lain."
Tanpa disuruh Kek-losam, empat orang yang lain segera berebut memindah kursi
dan membetulkan meja.
Tanpa terima kasih Siang Cin terus duduk sambil angkat kedua kakinya ke atas
meja, ia memeriksa keadaan kamar besar ini, katanya kemudian dengan suara
kereng: "Barisan Te-ji-heng dari Toa-to-kau sudah lama datang, kalian dari barisan
yang mana?"
Kek-losam menjura, sahutnya: "Kami dari "Pui-ji-heng", hanya terpaut beberapa
waktu saja kedatangan kami dengan Te ji-heng, sementara para saudara dari Ui-ji
heng sudah lama berada di sini." "jadi tinggal barisan Thian-ji-heng saja yang tetap
bercokol di sarang sendiri. apakah tenaga mereka tidak terlalu lemah?"
Kek-losam yang bermuka tambun tampak mengunjuk tawa lucu, katanya: "Tiada
yang perlu dikuatirkan, situasi dalam Kati kami cukup aman, sementara kalangan
persilatan di sekitar markas kami selalu memberi muka kepada kami, jadi yakin
takkan terjadi apa-apa di sana, Apalagi Kaucu sendiri tetap berada dalam tampuk
pimpinannya, jumlah barisan Tlnan-ji-heng juga lebih banyak, kepandaian
merekapun serba pilihan, kalau dibanding kami yang diutus kemari, terlampau jauh
bedanya." "Berapa banyak orang kalian yang dikerahkan kemari?" tanya Siang Cin pula. "Ai,
terlalu banyak kerja, sampai otakku terasa bebal, kalau tidak salah ada seribu lebih
atau tujuh ratusan orang, betul tidak?"
Terkekeh Kek-losam, jawibnya: "Toako salah ingat, jumlah seluruhnya ada seribu
dua ratusan, setiap barisan terdiri dari empat ratus orang, dibawah pimpinan sepuluh
Thaybak, sementara keenam Kauthau ketiga barisanpun datang."
Siang Cin tertawa tawar, katanya: "Kek-losam, apa kau tahu cara untuk keluarmasuk
Toa-ho-tin?"
Kek-losam melenggong ditanya begitu, katanya: "Hamba tidak tahu, Apakah Toako
sendiri juga tidak tahu?"
Siang Cin tergelak-gelak, katanya: "O, bagus sekali, dari sini dapat kusimpulkan
bahwa mereka memang amat ketat merahasiakan hal ini, kalau sampai kaupun tahu,
terhitung rahasia macam apa."
Lalu dia berbangkit terus menggeliat serta menghela napas seperti orang keletihan
sehabis bekerja berat.
Kek losam bersikap seperti memperhatikan, katanya: "Toako mau pergi" Silakan
istirahat lagi sebentar, cuaca sedingin ini, kau orang tua harus menunaikan tugas
sepayah ini, sungguh terlalu berat . . ."
Berkelebat sinar mata Siang Cin. katanya tenang: "Betul, aku mau pergi, malah
sekarang juga."
Lekas Kek-losam berkata: "Kalau begitu hamba . . . . "
309 Siang Cin berseru "Ambilkan jubah luar milik mereka semua."
"Mengambil jubah luar?" seru Kek-losam kebingungan, "Toako, kau . . ."
"Lekas, jangan cerewet," bentak Siang Cin.
Tak berani tanya lagi, lekas Kek-losam mengerjakan apa yang diminta, dengan sikap
hati-hati dia taruh empat jubah di atas meja. Empat laki-laki pemilik jubah itu hanya
berdiri melenggong dengan muka pucat dan tak berani bertindak apa-apa.
Baru saja Kek-losam hendak buka suara pula, seketika dia mengkeret karena ditatap
Siang Cin, kata Siang Cin: "Jubahmu juga lekas kau copot."
Kek-losam melenggong serunya: "Aku" Jubahku ini?"
"Ya, kenapa" Tidak boleh?" ancam Siang Cin. Keruan Kek-losam ketakutan, lekas
dia copot jubahnya. Baru sekarang dia menyadari meski dirinya gemuk, badannya
penuh gumpalan daging, tapi setelah telanjang badan, hawa sedingin ini, mau-tidakmau
menggigil juga.
Meraih kelima jubah itu. Siang Cin mendengus: "Sekarang, kalian berbaris
menghadap dinding."
Tanpa berani membangkang lelima orang membalik tubuh serta berdiri sejajar,
semuanya gemetar ketakutan juga kedinginan.
"Bukankah kalian kurang tidur dan masih ngantuk" Biarlah kubuat kalian tidur lagi
lebih nyenyak," Belum sempat mereka tahu apa yang akan terjadi, semuanya
merasa tubuh menjadi kejang, pelahan empat dari kelima orang ini roboh terus
mendengkur nyenyak, Tinggal seorang lagi yang tidak roboh, ialah Kek-losam.
Keruan Kek-losam menjadi panik, kedua tangannya menggenggam kencang baju
dalam sendiri, saking ketakutan lutut terasa lemas, tanpa kuasa dia terjengkang dan
menumbuk meja, golok-besarnya jatuh dan menemukan suara berkelontangan.
Pelahan Siang Cin menghampiri, katanya: "Jangan panik dan tegang, kawan."
Mendengar orang menggunakan istilah "kawan", baru Kek-losam sadar, ia bciteriak:
"Kau. . . kau orang mereka. . ."
Siang Cin mengangguk, katanya: "Betul, aku orang mereka, orang yang berdiri di
pihak Bu siang-pay."
Lunglai tubuh Kek-losam, dia tahu nasib apa yang bakal menimpa dirinya setelah
terjatuh di tangan musuh, dengan lemah dia berkata: "Kau. . . apa kehendakmu?"
"Asal kau tunduk pada perintahku, kau akan tetap hidup, kalau sebaliknya, kau akan
mampus seketika."
Kek-losam melirik ke arah empat kawannya sahutnya: "Baik, aku aku menurut."
"Bagus, sekarang jawab pertanyaanku. Untuk keluar-masuk kota, adakah
menggunakan kode rahasia" Atau ada jalan khusus yang lain?"
310 "Aku tidak tahu, agaknya tiada, kami baru enam hari di sini, selama ini dilarang
keluyuran diluar, dimana-mana terdapat larangan, ada pula tempat-tempat yang
terlarang bagi siapapun."
Siang Cin perhatikan mimik dan nada bicara Kek-losam, dia yakin bahwa orang tidak
berdusta, setelah merenung sejenak, Siang Cin tidak membuang-buang waktu lagi,
tanyanya: "Kek-losam, pada tanah seratusan tombak di sebelah kiri Toa-ho-tin,
tegalan yang dekat hutan itu, rombongan siapa yang bertugas di sana."
Tanpa pikir Kek-sam segera menjawab: "Mereka adalah barisan Hian- ji heng dan
Toa-to kau kami."
"Kau kenal mereka semuanya?" tanya Siang Cin.
Sambil menyengir, Kek-losam menyahut: "Kebanyakan kukenal."
"Untuk keluar-masuk Toa ho tin kalian tidak perlu menggunakan kode rahasia apaapa,
tapi di dalam kota, untuk lewat dari satu daerah ke daerah lain tentunya
menggunakan kode rahasia?"
Bimbang sejenak, akhirnya Kek-losam menjawab: "Ya, ada. . ."
"Apa kodenya?" tanya Siang Cin.
"Kalau siang memakai selempang merah mengikat golok, kalau malam sebaliknya,
golok memutus selempang merah."
Tersenyum geli Siang Cin, katanya: "Amat lucu dan menarik, sampai di mana
kegunaan dari tanda-tanda ini?"
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kek-losam menelan ludah, pelan-pelan dia menerangkan: "Pada setiap daerah yang
dikuasai orang-orang Toa to-kau kita boleh mondar mandir sesuka hati dengan
menggunakan tanda tadi, kalau daerah lain entahlah."
Sampai di mana daerah yang dikuasai Toa to-kau kalian?"
Melengos dari tatapan orang yang tajam, Kek-losam menerangkan dengan kebat
kebit: "Separo dari daerah jalan raya Toa-ho to."
"Orang-orang dari golongan lain, mereka berkuasa di mana saja?"
"Entahlah, biasanya kami dilarang keluar, kalau mau keluar harus minta izin dan
diantar orang Ji gi-hu. Kauthau kami sudah memperingatkan siapapun dilarang main
sembarangan, salah-salah kepala bisa dipenggal, maka tiada yang berani lengah di
sini." Siang Cin lantas menghampiri serta menepuk pundaknya, lalu dia membisiki apaapa
sekian lama, agaknya Siang Cin harus mengulangi beberapa kali pesannya baru
kemudian laki-laki tambun itu mengangguk tanda mengerti.
Maka Siang Cin meninggalkan jubah biru milik Kek-losam dan mengambil empat
jubah yang lain, seperti datangnya tadi, bagai segulung angin lesus tahu-tahu ia
melayang pergi.
311 Dengan cepat tanpa menemui rintangan ia telah kembali ke tempat menunggu
Sebun Tio-bu dan Kin Jin tadi.
Sebun Tio-bu lantai menggerutu pnnjang pendek, Siang Cin minta maaf bahwa
mereka harus menunggu sekian lama, lalu dia ceritakan pengalamannya terakhir dia
menjelaskan rencananya untuk menyerbu ke Toa-ho-tin menurut apa yang telah dia
selidiki tadi. Kin Jin bertanya: "Laki-laki gemuk bernama Kek-losam itu apakah takkan
mengingkar janji?"
Siang Cin tertawa, katanya. "Kukira dia tidak berani, bila dia berani bertingkah
akibatnya akan fatal bagi dirinya sendiri."
"Hayolah lekas berangkat," seru Sebuo Tio-bu tak sabaran, maka Siang Cin bagikan
keempat jubah tadi.
Empat orang segera meringkaskan pakaian mereka terus mengenakan jubah biru
tua itu di bagian luar.
Mengawasi empat orang itu, Siang Cin berkata: "Perhatikan, Tangkeh dan Kin-heng
harus lompat sekeras mungkin, demikian pula Le heng dan Loh-heng diharap
mengikuti sepenuh tenaga, cuacu sudah mulai gelap, ini menguntungkan kita,
semoga kita bisa menyelundup masuk tanpa konangan."
Lalu dia memberi tanda, segera ia mendahului melayang pergi.
Terpaksa juga Le Tang dan Loh Hou mengerahkan sepenuh tenaganya. Dalam
keremangan senja tampak lima bayangan berkelebat, begitu pesat gerakan mereka,
ditambah cuaca memang sudah mulai gelap, dipandang dari kejauhan orang akan
menyangka adanya bayangan burung atau gumpalan mega yang lagi bergerak.
Hanya sekejap Siang Cin sudah tiba di tempat tujuan, kini jubah kuningnya
dipakainya secara terbalik, jadi warna ungu bagian dalam kini berada di luar dengan
ikat pinggang warna kuning, tempat di mana sekarang dia berdiri adalah bawah
loteng di mana Kek-losan berada.
Kek losan telah berdiri di sebelahnya, dengan suara tegang dia berkata: "Agaknya
mereka telah melihat adanya tanda mencurigakan sebentar pasti ada orang akan
memeriksa kemari."
Sementara itu tampak bayangan orang berkelebat pula, tahu-tahu Sebun Tio-bu dan
Kin Jin sudah melayang turun di kedua sisi mereka.
Siang Cm segera memberi kedipan mata kepada mereka, kedua orang maklum dan
lekas menyingkir ke sana, di samping pintu tampak menggeletak empat golok tebal
bcsar, mereka masing-masing memungut sebatang serta mengatur pernapasan.
Dalam pada itu Le Tang dan Loh Hou baru mencapai dua puluhan tombak, agaknya
mereka telah menemukan perangkap yang berlapis-lapis itu, maka dengan gerakan
gesit dan hati-hati mereka berlompatan kian kemari terus maju ke arah sini.
312 "Kuk, kuk", dua suara keras seperti dengkur burung tiba-tiba berkumandang di
tengah kegelapan, suaranya seperti datang dari sebuah loteng kecil tak jauh di
sebelah sana, begitu lenyap suara "kuk, kuk" ini, mendadak muncul belasan laki-laki.
Siang Cin tertawa, katanya: "Kek-losam, tibalah saatmu untuk naik pentas."
Dengan nekat terpaksa Kek-losam memburu maju, baru saja beberapa langkah,
orang-orang Toa-to-kau yang berlari tiba itu sudah melihatnya, seorang yang
berhidung pesek sebagai pimpinan rombongan segera berteriak: "Kukira siapa,
kiranya kau Kek-losam, kenapa tidak lekas kau panggil teman-temanmu, untuk apa
berdiri melenggong disitu?"
Kek losam bergelak tertawa, segera dia tarik suaranya yang serak: "Jangan gembargembor,
mungkin kalian sudah pusing tujuh keliling, masa orang sendiri juga
dicurigai."
Si hidung pesek melenggong, dia tidak menghiraukan Kek-losam. tapi dia menoleh
ke arah Le Tang dan Loh Hou yang lagi lari mendatangi, hardiknya: "Berdiri,
selempang merah mengikat golok."
Le Tang dan Loh Hou terpaksa berhenti dan berdiri sambil bertolak pinggang, tanpa
sangsi mereka berseru juga: "Golok niemutus selempang merah. Hari sudah gelap,
saudara-saudara masih giat bekerja juga?"
Keruan si hidung pesek kebingungan, serunya menoleh ke arah Kek-losam: "Keklosam,
apakah mereka juga orang kita sendiri?"
Kek- losam mendengus, segera dia maju mendekat serta berkata dengan lagak
misterius "Bukan saja orang sendiri, malah mereka adalah orang-orang Ji-gi-hu yang
pegang peranan di sini."
Kembali melenggong si hidung pesek berkata dengan nada curiga. "Ada orang Ji-hi
hu yang pegang peranan" Kenapa tidak lewat jalan rahasia malah keluyuran di
daerah perangkap, Herannya, kami tidak diberi tahu sebelumnya."
Serentetan pertanyaan ini membikin Kek-losam gelagapan, baru saja dia hendak
bicara, Sebun Tio-bu telah maju ke depan, dia singkirkan Kek-losam ke samping, lalu
melirik hina pada si hidung pesek, katanya: "Ada apa, kawan" Melihat sikapmu,
agaknya kau tidak pandang sebelah mata kepada kami."
--------------------------------
Cara bagaimana rombongan Siang Cin akan mengerjai pihak musuh"
Adakah perangkap licik dan lihay yang teratur di Toa ho tin" Dapatkah pihak Busiang-
pay membobolnya"
Bara Naga Jilid 16 Sambil mendengus si hidung pesek menghardik bengis: "Siapa kau?"
313 Melotot mata Sebun Tio bu, serunya gusar: "Memangnya kau keparat ini boleh
bertanya seenak udelmu" Aku berdiri di sini, berjajar dengan anak buah Toa to kau
kalian, mengenakan pakaian pinjaman kalian lagi. Keparat, coba katakan siapa
sebetulnya aku ini?"
Seperti disiram air dingin si hidung pesek tersentak mundur, sikapnya yang garang
tadi seketika kuncup, dengan kebingungan dia menoleh ke arah Kek losam.
Lekas Kek losam menghampiri, katanya dengan prihatin: "Bi thaubak, kau harus
hati2 menjaga batok kepalamu, saudara ini adalah pentolan Ji ih hu jagoan yang
paling di sayang oleh Jan kong, bahwa mereka mengenakan pakaian kita hanya
untuk mengelabui orang, tujuannya adalah mencari berita tentang keadaan pihak Bu
siang pay. Baru saja mereka kembali dari menunaikan tugas, mereka sama
mengumpat, soalnya lima orang yang diutus ke sana kini tinggal dua orang saja yang
kembali. Nah itulah mereka, kalian sudah melihatnya, tiga orang temannya sudah
menghadap Giam lo ong. dan kau masih bertingkah di depan orang, apa kau
sengaja mencari penyakit?"
Kek losam ditariknya ke pinggir, lalu si hidung pesek berkata dengan suara tertahan:
"Ucapannya memang masuk diakal, Kek losam, herannya kenapa mereka tidak
menggunakan jalan rahasia itu tapi malah main2 disini mencari kesulitan?"
Kek losam menarik muka, katanya: "Bi thaubak, bicara soal kedudukan di dalam Kau
kita memang kau lebih tinggi, tapi soal pengalaman, kau Bi An bukan apa2 bagiku,
usiaku juga lebih tua. Coba kau pikir, dengan mengenakan pakaian kita, kalau tidak
pulang lewat daerah kekuasaan kita sendiri, lalu mereka akan lewat mana" Meski
mereka tahu kode rahasia yang digunakan di mana2, namun seragam mereka jelas
berbeda, memangnya orang tidak menaruh curiga terhadap mereka" Apalagi Toa-ho
tin boleh dikatakan sudah terjaga ketat, setiap langkah berbahaya, apa betul ada
jalan rahasia khusus seperti apa yang kau maksudkan, itupun urusan pihak atas,
memangnya kau juga harus diberi penjelasan" Lalu jalan rahasia macam apa lagi"
Kan bisa bocor, bukan mustahil pihak Bu siang pay pun akan tahu rahasia ini . . . . . "
Si hidung pesek yang bernama Bi An menggosok telapak tangan, dia memang
sudah percaya akan uraian Kek losam, tapi dia masih belum terima, katanya: "Kek
losam, masih ada yang belum kumengerti, bahwa mereka adalah orang dari Ji ih hu,
kenapa kau yang dicari mereka?"
Kek losam mendengus gusar, semprotnya: "Apa" Memangnya aku Kek Sam ini
keroco, tidak setimpal mengikat hubungan dengan mereka" Hanya Thaubak macam
kau ini yang berbobot bersahabat dengan mereka?"
"E eh, memangnya kenapa kau ini?" lekas Bi An menariknya, "aku hanya tanya
sambil lalu saja, kenapa harus naik pitam" Sedikitnya kau juga harus pikirkan
kepentinganku, kan aku harus memberi laporan pada atasan, suara sempritan tadi
juga sudah kau dengar, pihak atas sudah tahu adanya kejadian, bila aku tidak bisa
memberi laporan lengkap dan jelas, coba hukuman apa yang akan menimpa diriku?"
Melihat mereka bisik2 tak habis2. Kin Jin yang berada di belakang segera
menghampiri, katanya dengan sikap gelisah: "Losam, Toa ah ko dari Ji ih hu
marah2, dia suruh kutanyakan kalian apa maksud kalian sebenarnya, apakah
sengaja hendak mempersulit kerja mereka?"
314 Belum Kek Sam menjawab, Bi An cepat berkata: "Lote, sukalah kau memberitahukan,
katakan kami hanya tanya2 sambil lalu, tiada maksud apa2, sekarang kalian
boleh pergi, kami tidak ada maksud menahan" Lalu dia angkat golok tiga kali serta
diputar satu lingkaran, maka orang2 Toa to kau yang siaga sejak tadi segera
mengundurkan diri. Di atas loteng, di sekeliling tempat itu serempak terdengar suara
daun jendela ditutup, tidak ada suara menggerutu, pedang golok diletakkan, busur
yang sudah terpasang panah juga diturunkan.
Dengan sikap kereng Sebun Tio bu lantas menghampiri, katanya: "Kek Sam, dia
sudah tanya belum" Apa kami hendak di tahan dan diadukan ke Ji ih-hu" Atau
digusur ke hadapan Han mo siang kiu?"
Sudah tentu semakin mengkeret nyali Bi An mendengar omongan ini, kini dia lebih
yakin bahwa beberapa orang ini memang jago2 lihay dari Ji-ih hu, kalau tidak masa
berani bersikap garang seperti ini.
Siang Cin yang sejak tadi diam saja kini ikut bicara juga, malah sikapnya lebih
meyakinkan lagi: "Kalian masih cerewet apa dengan dia, sampai sekarang orang kita
belum juga masuk kemari, kalau terlambat siapa yang akan di marahi Jan kong
nanti" Kiau Hiong dan lain2 juga sedang menunggu"
Lekas Sebun Tio bu berlagak gelisah, katanya: "Ya Toako, urusan sudah selesai,
hanya keparat2 di sini yang bikin ribut ... ..."
Ter sipu2 Bi An menjura, katanya: "Harap Toa-ah ko maafkan kepicikan hamba,
maklumlah menjalankan tugas tidak boleh lalai, tentunya Toa ah-ko juga maklum,
sukalah memberi kelonggaran untuk kali ini."
Sebun Tio bu melirik hina, bentaknya: "Lekas suruh orangmu menyambut kawan
kami itu" Bi An seperti tersadar, lekas dia mengulap ke belakang seraya memaki: "Gui poan
cu, Siau Ian bik, lekas kalian sambut kedua Toako itu, kenapa melongo saja melihat
tontonan apa?"
Dua orang yang disebut namanya segera tampil dari barisan, tanpa diperintah lagi
mereka lari ke sana memberi petunjuk kepada Le Tang dan Loh Hou yang sedang
kelabakan mencari jalan ke sini.
"Bi taubak" ucap Sebun Tio bu tidak sabar, "tanah lapang di depan ini adalah daerah
kekuasaan kalian, perangkap di sini juga kalian yang mengaturnya, kau sendiri apal
tidak akan seluk beluk di sini" Maksudku dari arah mana boleh lewat dan disebelah
mana yang terlarang?"
Bi An unjuk tawa, katanya: "Toa ah ko, bicara terus terang, tempat ini dikerjakan
bersama dengan orang2 Hek jiu tong, keadaan seluruhnya aku sendiri kurang jelas,
tapi bagian yang tidak berbahaya dapat kutunjukkan. Tentunya engkau juga tahu,
kecuali gantolan baja, jala sutera dan tanduk menjangan yang dapat melukai orang
atau merintangi serbuan musuh, yang lain2 adalah benda2 mati, asal sedikit hati2,
pasti takkan terjadi apa2."
Sekilas dia melirik Sebun Tio bu, lalu menyambung dengan lagak sok tahu: "Tapi bila
semua perangkap itu digerakkan, ditambah tenaga manusia kita yang bersembunyi
diberbagai tempat, bila musuh berani terjang kemari, haha, itu berarti mereka
315 menerjang ke neraka, maklumlah, karena kekuatan perangkap yang akan
digerakkan itu terlampau dahsyat."
Sebun Tio bu berkata dengan tidak sabar: "Bi-thaubak, se akan2 kau ini tahu betapa
besar kekuatan perangkap2 itu?"
Bi An menyengir kikuk, katanya: "Ah, hamba memang tidak tahu persis, tapi . . . . tapi
apa yang hamba uraikan rasanya takkan selisih jauh dengan keadaan sebenarnya."
Dalam pada itu Loh Hou dan Le Tang sudah berhasil menyusuri lapangan yang
berbahaya itu meski dengan hati kebat kebit dan mandi keringat.
Melihat kedua orang ini berambut panjang terurai di pundak, Bi An bersuara heran
dan menyatakan rasa sangsinya. Cepat Sebun Tio bu pura2 mendamperat: "Tolol,
kalau mereka tidak menyamar begini, cara bagaimana mereka dapat menyusup ke
Bu siang pay untuk mencari berita" Hayolah, sekarang lekas kita berangkat, jangan
buang2 waktu untuk mengobrol tugas lebih penting."
Lalu ia mengangkat tangan sebagai tanda memberi salam kepada Bi An, segera ia
membawa Le Tang dan Loh Huo serta Ke Sam melangkah ke arah Siang Cin sana.
Diam2 Kin Jin tertawa geli, dengan membusungkan dada ia lantas ikut di belakang
mereka. Ber turut2 mereka masuk ke ruangan loteng, baru saja Kin Jin menutup pintu,
serentak Ke Sam berlutut sambil rneratap: "Mohon betas kasihan tuan2, janganlah
kalian meninggalkan hamba, betapapun hamba harus diikutkan bersama kalian,
kalau tidak, jiwa hamba pasti akan melayang di sini . . . . "
Siang Cin membangunkannya dengan tertawa katanya: "Jangan kuatir, jasamu tidak
kecil, apalagi sudah kujanjikan akan mencarikan jalan hidup bagimu, apa yang
dikatakan Naga Kuning tak pernah dijilat kembali."
"Hah, jadi engkau si Naga Kuning Siang . .. . . Siang toaya?" seru Ke Sam dengan
terkesiap. "Wah, jika demikian, hamba lebih2 harus ikut serta bersama kalian."
"Sekarang kau tidak dapat ikut kami," sela Kin Jin. "Kami masih harus menerjang ke
Ji ih hu."
Ke Sam tampak putus asa, keluhnya: "Wah, jika demikian, jelas jiwa hamba tak . . . .
tak tertolong lagi."
"Tidak, kau takkan mati," kata Siang Cin. "Loteng ini kan ada lagi langit2nya, boleh
kau sembunyi di situ, besok pagi keselamatanmu tidak perlu disangsikan lagi."
"Mak . . . . maksud Siang toaya . . . " dengan bingung Ke Sam memandang Siang
Cin dan mohon penjelasan.
"Besok pagi2 pasukan berkuda Bu Siang pay akan menyerbu ke Toa ho tin sini,"
tutur Siang Cin.
"Tapi . . . . tapi anak buah yang tinggal di loteng ini sebentar lagi akan pulang, bila
mereka mengetahui kejadian di luar sana . . . . "
316 Belum habis ucapan Ke Sam, mendadak Bebun Tio bu mendesis pelahan, segera
Siang Cin juga mendengar suara langkah orang di luar, dari suaranya yang riuh
mungkin ada berpuluh orang banyaknya.
"Me . . . . mereka sudah pulang," Ke Sam menjadi kelabakan dan tampak tegang.
"Kenapa mesti takut, kan sudah dalam dugaan?" ujar Siang Cin dengan tertawa.
Dalam pada itu suara berisik orang bicara kedengaran sudah mendekat, segera
pintu didorong orang, serombongan lelaki berbaju biru terus membanjir masuk.
Begitu masuk, serentak mereka menerjang ke atas loteng, ada sebagian menuju ke
kamar samping semuanya tampak lelah dan kotor sambil mengomel dan
menggerutu be ramai2 mereka mencari air minum sehingga tiada yang
memperhatikan malaikat elmaut sedang menantikan mereka di belakang pintu.
Sudah barang tentu, dengan mudah dan singkat rombongan orang yang naik ke atas
itu disikat habis oleh Siang Cin. Sisanya di serambi bawah juga di bereskan oleh Loh
Hou dan Le Tang.
Sebun Tio bu mengebut baju sambil menggerutu katanya: "Keparat, bikin kotor
tangan melulu." Habis berkata ia memberi tanda, mereka terus menyelinap keluar,
dengan gesit seperti kucing mereka berlima terus menyusur ke depan dalam
kegelapan. Setiba di suatu pengkolan jalan, dengan cepat mereka mendekam ke bawah,
dengan pandangan tajam mereka menyelidiki keadaan sekitarnya. Dengan suara
tertahan Sehun Tio bu bertanya: "Siang heng, apakah kautahu jelas arah letak Ji ih
hu?" "Tidak jelas," Siang Cin menggeleng.
"Ji ih hu pasti sangat mentereng bangunannya, asalkan kita menemukan gedung
yang paling megah di situ, pasti tidak keliru lagi," bisik Kin Jin.
Setelah berpikir sejenak, Siang Cin berkata: "Betul juga. Sekarang kita membagi diri
menjadi tiga kelompok dan maju ke depan secara ber turut2 aku sendiri membuka
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jalan, Sebun tangkeh dan Le Tang satu kelompok, Kin heng dan Loh Hong satu
kelompok. Dengan cara begini jejak kita takkan terlalu menyolok, bila perlu juga
mudah saling membantu."
Keempat orang mengangguk setuju, segera Siang Cin melayang ke depan, hanya
sekali berkelebat saja ia sudah berada beberapa tombak jauhnya. Sebun Tio bu
menepuk pundak Le Tang, segera mereka menyusul ke sana. Habis itu Kin Jin dan
Loh Hou juga ikut melayang maju.
Siang Cin sudah melintasi sebuah jalan melintang, di sebelah sana ada sederetan
barak pendek, di seberang barak sana adalah pepohonan yang lebat. Di balik
rumpun pohon yang rindang sana tampak bayangan sebuah gedung yang megah
dengan kerlipan cahaya lampu yang tak terhitung banyaknya.
Selagi Siang Cin hendak berpaling untuk memberi tanda kepada kawan2nya, tiba2
didengarnya suara langkah orang di balik deretan barak sana, cepat ia
menempelkan tubuhnya ke dinding.
317 Benar juga, segera muncul dua regu lelaki berbaju merah dengan senjata terhunus,
barisan ronda ini kelihatan bertugas dengan tegang, dengan cepat barisan ronda
inipun berlalu ke sana.
Baru saja Siang Cin merasa lega, tiba2 dilihatnya dari arah jalan melintang sana
berlari datang pula satu barisan orang, sayup2 terdengar pula suara pernapasan
binatang yang ter engah2.
Cukup cepat reaksi Siang Cin, begitu mendengar suara itu segera ia tahu gelagat
jelek, suara napas itu jelas suara binatang buas sebangsa anjing pelacak yang
ganas. Karena waktunya sudah mendesak, Siang Cin tidak sempat berpikir panjang
lagi, cepat ia bertepuk tangan dua kali, lalu menyongsong barisan ronda musuh yang
datang itu. Barisan ini berseragam ungu coklat, baik baju maupun celana terbuat dari kulit,
berjumlah 20an orang. Delapan orang di depan masing2 menuntun seekor anjing
belang yang kekar sebesar anak sapi. Kawanan anjing ini cukup menakutkan, kepala
besar hidung pesek, mulut lebar dengan taringnya yang menyeringai, warna bulunya
yang kuning hitam dan ber tutul2 dengan suaranya yang galak, tampaknya menjadi
seperti harimau total.
Dari jauh kawanan anjing itu sudah mencium bau Siang Cin, seketika kawanan
anjing itu meronta, delapan pasang mata terus mengincar ke arah Siang Cin, sambil
menyalak buas. Tampaknya orang2 berseragam baju kulit itupun sudah terlatih baik dan
berpengalaman, begitu melihat tanda2 mencurigakan, serentak mereka
memencarkan diri.
Tapi Siang Cin tidak memberi kesempatan pada mereka untuk bertindak, secepat
kilat ia telah melayang tiba.
Salah seorang lelaki yang bermuka bengis dengan golok terhunus segera memapak
maju sambil membacok, berbareng iapun berseru: "Kepung dia!"
Kedelapan ekor anjing buas itupun segera dilepaskan, serentak kawanan anjing itu
menggonggong dan menubruk maju.
Pada saat itu juga Siang Cin sudah berhasil mengerjai lelaki tadi, sedikit mengegos
ia dapat menghindarkan bacokan musuh, berbareng telapak tangannya menabas,
kontan lelaki itu mencelat dan tak bangun lagi.
Dengan gerak cepat Siang Cin merobohkan beberapa orang pula sebelum kawanan
anjing itu menerjang tiba, Malahan seorang kena dipegangnya terus digunakan untuk
menyerampang kawanan anjing buas itu, anjing pertama mengaing kesakitan dan
terguling, menyusul Siang Cin terus menubruk maju, sekali tangannya menabas, dua
ekor anjing menggeletak pula dengan perut pecah dan usus kedodoran.
Keruan orang2 berseragam baju kulit itu menjadi panik, seorang di antaranya
berteriak: "Lekas siarkan tanda bahaya, ada mata2 ......"
Belum habis ucapannya, orang inipun terguling didepak oleh Siang Cin. Pada saat
lain, seorang yang bermaksud menyergap Siang Cin dari belakang, tak terduga
318 mendadak Siang Cin berputar dan sekali sodok, kontan orang inipun mencelat jauh
dan sekarat. Seketika terdengar jeritan orang dan gonggongan anjing yang ramai, tanpa ampun
Siang Cin masih terus main babat, hanya dalam waktu singkat baik orang2 itu
maupun kawanan anjing itu telah dibereskan seluruhnya.
Pada saat itu jnga baru terdengar di kejauhan ada suara langkah orang sedang
berlari ke arah sini, agaknya peronda di sana telah merasakan sesuatu yang
mencurigakan yang terjadi di sini.
Sekilas Siang Cin memandang kawanan anjing yang sudah menggeletak itu, cakar
anjing2 itu tampak mengkilap. Ia mendengus, cepat ia melayang kembali ke
tempatnya tadi.
"Bagaimana, Siang heng?" terdengar suara Sebun Tio bu bertanya.
"Beres," jawab Siang Cin. "Di balik hutan sana pasti Ji ih hu."
Tetap terbagi menjadi tiga kelompok, segera mereka melintasi deretan barak tadi,
hanya sekejap saja suara bentakan dari bayangan orang di tempat kekacauan tadi
sudah ditinggalkan jauh. Kini mereka sedang mendaki tebing yang menuju ke hutan
sana. Pada ketinggian tebing itu ada beberapa bagian yang mendekuk ke bawah, jelas di
situlah pos penjagaan tersembunyi.
Siang Cin memberi tanda ke belakang, habis itu secepat terbang ia terus melayang
ke atas, sekali melejit lagi di udara ia terus lenyap ke dalam hutan.
Tentu saja penjaga di tanah yang mendekuk itu terkesiap dan sama mendongak,
mereka sama ragu2 barang apakah yang melayang lewat barusan. Pada saat itu
juga Sebun Tio bu dan Le Tang sudah menggeremet tiba, mendadak mereka
menubruk para penjaga itu. Ada tiga orang penjaga di sini, karena sedang melongo
kesima oleh bayangan Siang Cin tadi, tahu2 mereka disergap sehingga sama sekali
tidak sempat bersuara dan berkutik.
Pada saat yang sama Kin Jin dan Loh Hou juga telah membereskan pos penjaga
yang lain. Tempat di tepi hutan di bagian lebih atas sana juga ada sebuah pos jaga. Agaknya
ketiga orang disitu mendengar sesuatu yang tidak beres, satu di antaranya berteriak
menegur: "Siau loji, ada apa di sana?"
Sudah tentu tiada orang menyahut, keruan orang yang bertanya itu merinding
sendiri. Belum lagi ia buka suara pula, tiba2 terdengar orang menjawab dengan
suara tertahan: "Ada makanan enak, kaupun perlu merasakan."
Cepat juga reaksi orang ini, begitu mendengar suara tidak beres, segera ia angkat
golok terus membacok.
Dia memang cepat, tapi Siang Cin terlcbih cepat baru saja golok terangkat, kepalan
Siang Cin sudah mampir dulu di dadanya, Kontan ia tumpah darah dan roboh
319 terkulai. Dua temannya menjadi kaget, sebelum mereka bertindak, yang satu sudah
kepala pecah dan yang lain isi perut berhamburan.
Rupanya setelah Siang Cin memancing munculnya penjaga2 di depan tadi, lalu ia
sendiri menyergap pos penjaga terakhir ini. Selesai ia kerjai musuh, sementara itu
Sebun Tio bu dan lain2 juga sudah memburu tiba.
"Beres?" tanya Kin Jin kepada Siang Cin.
"Kan tidak terlalu sulit?" jawab Siang Cin sambil tersenyum dan mengangguk.
"Langkah berikutnya kukira harus langsung menuju Ji ih hu," ujar Sebun Tio bu.
"Ya, tampaknya bangunan megah di balik hutan sana itulah Ji ih hu." kata Siang Cin.
"Kita tetap terbagi menjadi tiga kelompok dan saling melindungi. Bertindaklah
menurut keadaan."
Tanpa menunggu jawaban, segera Siang Cin mendahului melayang ke sana, hanya
sekali berkelebat saja ia sudah lenyap ke dalam hutan.
Setiba di bawah pohon besar, dari balik pohon Siang Cin mengintai ke sana. Terlihat
bangunan di depan memang sangat besar dan luas. Di depan gedung megah itu ada
sebuah tugu yang terukir tiga huruf besar "Ji ih hu".
Ji ih hu ini berbentuk benteng segi empat, tampaknya sangat kukuh, letaknya di
tanah yang tinggi dan menghadap Toa ho tin yang agak miring di bagian bawah.
Benteng ini jelas sangat strategis, untuk menjebol benteng demikian jelas tidak
mudah kalau tidak terjadi banjir darah lebih dulu. .
Siang Cin berkerut kening melihat betapa kuatnya sarang musuh ini. Sebun Tio bu
dan lain2 juga sudah menyusul tiba. Merekapun terkesiap melihat tcmpat yang luar
biasa itu, Sebun Tio bu lantas menggerutu.
Setelah berpikir sejenak, Siang Cin berkata: ?"Kalau bisa membobol pintu gerbang
atau menjebol beberapa jendela, mungkin keadaan akan mendingan, tapi kalau
harus menyerbu secara terbuka, apalagi cuma tenaga kita beberapa orang ini, jelas
tak berguna."
"Siang heng," kata Sebun Tio bu tiba2, "apa sudah kau perhatikan, sekeliling tembok
benteng Ji ih hu tiada nampak bayangan seorangpun."
"Ya, kukira penjaga mereka pasti bersembunyi pada tempat2 tertentu," ujar Siang
Cin. Sejenak kemudian ia menyambung pula: "Jalan paling baik sekarang agaknya
aku harus menyerempet bahaya sekali lagi. Biar akn sendiri menyusup ke dalam
benteng diam2 akan kusiapkan sebuah tempat luang agar kalian dapat menyusup ke
dalam. Habis itu kita akan memperhitungkan waktu penyerbuan Bu siang pay nanti,
lalu kita berusaha membobol pintu untuk membantu serbuan mereka."
Karena tiada jalan lain, semua orang tentu saja menerima gagasan Siang Cin ini.
"Hendaknya Siangheng bertindak hati2, Ji ih hu bukan tempat sembarangan, lawan2
tangguh juga tak terhitung banyaknya," demikian pesan Sebun Tio bu.
320 "Aku tahu," ujar Siang Cin dengan tersenyum dan penuh keyakinan. Habis bicara,
dengan gesit ia lantas melayang ke depan.
Begitu cepat gerakan Siang Cin, tugu berhuruf emas besar itu telah dilintasinya, dari
situ ia terus melayang ke atas tembok benteng yang tingginya sekitar lima tombak
itu. Baru saja ia hinggap di jalan berlingkar di dalam tembok benteng, segera
didengarnya suara "krek krek" yang pelahan, cepat ia mendekam. Hah, kiranya
beberapa langkah di sebelah sana, sebotong batu lantai mendadak bergeser,
menyusul dua kepala manusia lantas menongol dan celingukan kian kemari, seorang
di antaranya mendesis pelahan: "Keparat apakah kau lihat dengan jelas" Mana ada
bayangan orang segala?"
Temannva tampak ragu2 sejenak, katanya: "Dari balik jendela rahasia kulihat
bayangan berkelebat, lantaran terlalu cepat, akupun tidak berani bilang ..... "
Orang pertama tadi mendengus, omelnya: "Mungkin kau lihat setan."
Habis itu batu tadi lantas merapat kembali. Maka selamatlah Siang Cin. Segera turun
dari tembok benteng dan melayang ke arah beberapa bangunan megah di tengah
sana. Kini Siang Cin sudah dapat memperkirakan keadaan seluruh bangunan Ji ih hu.
Tempat ini memang betul sebuah benteng persegi, di tengah2 ada tanah lapang, di
situ ada tujuh bangunan bersusun, tampaknya ketujuh gedung itu berdiri sendiri, tapi
satu dan lain sebenarnya dihubungkan dengan serambi panjang. Antara loteng satu
dan loteng yang lain juga dihubungi dengan jalan tembus.
Di sekeliling gedung2 ini ada kolam ikan, gunung2an buatan, bunga mekar dengan
indahnya, Siang Cin langsung menuju ke gedung yang paling megah, diam2 iapun
merancang tindakan apa yang akan dilakukannya. Pikirnya: "Hek jan kong yang
mendiami Ji ih hu ini tampaknya tidak cuma tinggi Kungfunya, tapi juga sangat
memperhatikan kenikmatan hidup se-hari2. Melulu dari bangunan bentengnya saja
dapat diperkirakan dia pasti bukan sembarangan tokoh Kangouw."
Sembari berpikir, dengan cepat Siang Cin menyelinap ke balik gerombolan
gunung2an palsu. Sekelilingnya sangat gelap dan sunyi, tiada nampak seorang
perondapun. Sebagai seorang yang sudah belasan tahun berkecimpung di dunia Kangouw, Siang
Cin sudah banyak menghadapi bahaya apapun. Dia tahu, kesunyian yang
dihadapinya ini bukan alamat baik. Lawan jelas bukan orang bodoh, dalam suasana
pertempuran begini mustahil tinggal adem ayem begini. Yang pasti, tentu segala
sesuatu telah diatur secara tersembunyi, dalam kegelapan pasti menanti perangkap2
maut yang setiap saat dapat menjebaknya.
Dari tempat sembunyinya Siang Cin coba meneliti sekitarnya dengan cermat, cukup
lama juga, akhirnya dapatlah dia menemukan sesuatu permainan kecil yang
menarik. Maka tertawalah dia.
rupanya dilihatnya bahwa di tempat2 yang tak menyolok, antara satu dan lain telah
digandeng dengan seutas tali sutera warna ungu. Tempat yang dirintangi tali sutera
itu justeru adalah tempat yang biasa dilalui orang pejalan malam, pada ujung tali
321 sutera itu ada yang tertanam ke dalam tanah, ada yang menghilang di semak2
rumput, ada juga yang lenyap di celah2 gunung buatan.
Siang Cin tahu, bilamana tali sutera itu tersentuh, maka sedikitnya akan
menimbulkan dua akibat. Kalau tidak menimbulkan tanda bahaya, tentu akan
menimbulkan bekerjanya alat perangkap.
Diam2 ia menghela napas lega, untung dia cukup cermat, kalau tidak, bukan
mustahil akan menimbulkan malapetaka.
Setelah mengaso sejenak, mulailah Siang Cin beraksi pula. Dengan hati2 ia
menggremet ke depan, akhirnya ia sudah dekat dengan undak2an batu di depan
gedung besar itu.
Sudah tentu ia tidak berani langsung menerjang ke dalam, maka ia berjongkok di
bawah pagar serambi dan merunduk maju dengan pelahan.
Se konyong2 terdengar suara tindakan orang dari ujung serambi sana. Seketika
Siang Cin berhenti di tempat. Diam2 ia memperhatikan arah datangnya suara.
Sejenak kemudian muncul dua sosok bayangan orang.
Kedua orang ini bertubuh tinggi besar, setengah baya. Yang satu berwajah dingin,
seorang lagi bermuka tirus, keduanya sama bungkam tanpa bersuara, dengan
langkah cepat mereka lalu di tempat sembunyi Siang Cin dan menuju ke pintu
gedung bertingkat di depan sana.
Siang Cin benar2 seorang cermat, dari gerak-gerik kedua orang itu serta cara
mereka melangkah tanpa bersuara, akhirnya dapat diketahui pula ole