Bara Naga 12
Bara Naga Karya Yin Yong Bagian 12
h Siang Cin sesuatu yang menarik. Rupanya lantai serambi panjang itu terdiri dari ubin dua
warna, putih dan kelabu. Anehnya langkah kedua orang tadi selalu berpijak pada
ubin putih yang agak menonjol, sedangkan ubin kelabu yang agak ambles ke bawah
sama sekali tidak disentuhnya. Jelas ini bukan secara kebetulan saja.
Sementara itu. kedua orang tadi sudah sampai di depan pintu, daun pintu itu sangat
besar dan terbuat dari kayu Tho yang berat. Kedua orang itu tidak mengetuk pintu,
tapi pintu lantas terbuka sendiri, di balik pintu berdiri seorang lelaki kekar sedang
membungkuk tubuh memberi hormat kepada kedua orang.
Sesudah pintu tertutup pula, segera Siang Cin memeras otak dan mulai mencari tahu
sebab musababnya.
Kedua orang tadi berjalan tanpa bersuara, juga tidak memberikan sesuatu tanda
rahasia apa2, tapi orang di balik pintu seperti sudah tahu siapa yang datang.
Mengapa bisa begini"
Jawabnya cuma satu, yakni sepanjang perjalanan kedua orang itu, baik bangun
tubuh dan wajah mereka sudah dapat diketahui oleh pesawat rahasia yang tepasang
di tempat tersembunyi, dengan lain perkataan, yang datang ini kawan atau lawan
sudah diketahui sebelum tiba di pintu sana.
Lalu berada di manakah alat rahasia itu dipasang" Benda apakah itu"
322 Pelahan, sejengkal demi sejengkal Siang Cin terus menggremet maju dan
memeriksanya dengan sangat teliti. Akhirnya, hampir saja ia berteriak gembira. Aha,
kiranya permainan begini!
Rupanya di bawah atap serambi panjang itu, pada setiap sepuluh langkah tentu
bergantung sebuah lampu kaca yang besar. Cahaya lampu sangat terang sehingga
sepanjang serambi inipun terang benderang Sedangkan di sepanjang lankan (pagar)
serambi, setiap pilar dan setiap belandar atap serambi, banyak terhias kepingan
tembaga berbentuk bulat sebesar baskom. Tembaga ini kuning mengkilap dan
seperti diberi bergambar, kalau dipandang sepintas lalu akan disangka sebagai
benda hiasan belaka. Tempat kepingan tembaga kuning gilap itupun aneh, jarak dan
urutannya tidak teratur, namun didasarkan pada sudut pantulan sinar yang dapat
dicapai. Jadi kepingan kuningan itu serupa sebuah cermin saja, asalkan ada orang lalu di
bawahnya, bayangannya akan tercermin ke dalam kepingan tembaga itu terus
dipantulkan ke arah kepingan tembaga yang lain, lalu dari kepingan tembaga
berikutnya dipantulkan lagi lebih lanjut dan begitu seterusnya. Dengan demikian,
maka penjaga yang tersembunyi akan dapat mengetahui dengan jelas pendatang ini
kawan atau lawan.
Siang Cin tersenyum memandangi kepingan tembaga yang terpaku di tepi jendela di
atas loteng sana. Ia sangat kagum kepada pencipta alat rahasia yang hebat ini,
sungguh jenius si pencipta ini. Cuma sayang, bakat yang sukar dicari itu bisa jadi
akan hancur dalam semalam ini.
Selagi Siang Cin hendak mencari akal untuk maju ke sana, tiba2 terdengar pula
suara orang berjalan di belakang, yaitu di balik gunung2an palsu tempat
sembunyinya tadi, tahu2 dari sana muncul belasan bayangan orang, agaknya
sedang mencari jejaknya dengan memeriksa tanah yang dilaluinya tadi.
Terdengar seorang di antaranya mengomel: "Keparat, jelas2 ada bayangan orang
berkelebat di sini, mengapa tidak kelihatan sekarang?"
"Jangan banyak curiga, mungkin matamu sudah lamur, tapi lagakmu seperti orang
yang paling awas," gerutu temannya.
"Ya, mana ada bayangan orang?" sambung yang lain. "Bayangan setan saja tidak
ada. Di depan Kin bing tian ( (istana kaca emas) terdapat tujuh genta dan 16 batang
pipa pengintai, para penjaganya saja tidak melihat apa2, masa matamu lebih awas
daripada puluhan orang lain?"
Begitulah setelah olok berolok, lalu orang2 itupun meninggalkan tempat itu dan
lenyap dalam kegelapan.
Berdasarkan ucapan orang2 tadi, Siang Cin mulai men cari2 pula di halaman situ,
benar juga ditemuinya belasan batang pipa yang terjulur ke arah yang ber beda2,
pipa itu cuma menonjol beberapa senti di permukaan tanah dan entah menembus ke
mana. Mungkin inilah yang disebut pipa pengintai"
Tadi Siang Cin tidak tahu ada pipa2 begini, tapi mengapa jejaknya belum diketahui
musuh" Mungkin saking cepat gerakannya, alasan lain tidak ada.
323 Setelah berpikir sejenak, dengan kecepatan kilat Siang Cin melayang ke pipa
pengintai yang terletak di ujung kiri sana. Setiba di situ, secara iseng ia gunakan
telapak tangannya untuk menutup mulut pipa, dengan santai ia menunggu reaksinya.
Benar juga, tidak seberapa lama terdengarlah suara gempar di bawah. meski teraling
oleh selapis tanah juga dapat didengar Siang Cin suara seorang sedang meraung
gusar: "Dirodok, siapa yang berani bergurau dengan menutup mata pipa" . . . . . .
Poa Keng, coba naik sana, periksalah apa yang terjadi. Besar kemungkinan si
keparat Co Liang . . . . . "
Terdengar suara seorang mengiakan dengan samar2, lalu di belakang pipa pengintai
ini, permukaan tanah seluas tiga kaki mulai ber gerak2, dengan cepat tertampaklah
celah2 lubang dan sebuah kepala lantas menongol keluar.
Belum lagi melihat jelas apa yang terdapat di luar, lebih dulu ia sudah mencaci maki:
"Hei, Co Liang, kau keparat, apakah kau cari mampus" Kaukira ini waktunya
bergurau, mengapa kau tutup mata pipa" Jika terjadi sesuatu kepalamu bisa
berpisah dengan tuanmu"!".
Siang Cin tertawa, "sret", sekali telapak tangannya terayun, kontan orang itu terkulai
ke bawah tanpa mengeluarkan suara, tubuhnya terus terperosot jatuh ke bawah.
Menyusul Siang Cin lantas menyusup juga ke dalam liang tanah itu.
Liang di bawah tanah itu luasnya kira2 dua tombak dan diberi tangga tanah ke
lubang liang, penutup lubang liangnya terbuat dari batu, di tepi tangga tanah itu ada
sebuah lubang kecil, sebuah pipa besi menembus masuk dari situ, seorang tampak
memicingkan sebelah mata sedang mengintai ke atas. Selain itu ada pula belasan
orang sedang bertiduran seperti babi mampus.
Orang yang dihantam mati oleh Siang Cin tadi terperosot jatuh ke bawah dan
meringkuk di samping tangga, namun teman2nya tiada yang ambil pusing, seorang
yang berhidung besar malah mendamperat: "Keparat, Poa Kong, barangkali kau
sudah terlalu banyak menenggak air kencing makanya tangga setinggi itu saja tidak
mampu mendakinya, biarlah kau mampus terjatuh."
Dengan pelahan Siang Cin menutup lubang itu, lalu melangkah turun dengan lagak
kawan sendiri, katanya dengan tersenyum: "Memang, dia benar2 telah mampus
terjatuh."
Si hidung besar hanya mendengus saja sambil mengomel: "Biarkan mampus, peduli
amat!" Tapi mendadak ia terus berbangkit dan memandang Siang Cin dengan
terbelalak, sejenak kemudian baru menegur: "Kau . .. . kau siapa?"
"Kudatang untuk mencabut nyawa anjing kalian!" jawab Siang Cin dengan tak acuh.
Seketika si hidung besar seperti disengat tawon, ia melompat bangun sambil
berteriak: "Ada mata2 musuh!"
Dengan tenang Siang Cin mengangguk, ia membalik tubuh, sekali hantam ia bikin
orang yang sedang mengintai itu terkapar, menyusul si hidung besar juga terpental
kena ditendang olehnya. Hanya sekejap saja belasan orang telah dibinasakan
seluruhnya. 324 Tanpa ayal Siang Cin membelejeti seragam kulit salah seorang dan dipakainya
sendiri, lalu ia keluar dari lubang itu, Setiba di ujung serambi tadi dengan
berlenggang lenggok ia terus menuju ke pintu gerbang sana melalui ubin putih tadi.
Ketika hampir sampai di depan pintu, tanpa diminta pelahan2 daun pintu lantas
terbuka. Seorang lelaki berusia tiga puluhan menatapnya dengan dingin serta
menegur dengan ketus: "Ada urusan apa, saudara?"
Siang Cin balas menatap dengan tidak kurang dinginnya, jawabnya dengan nada
galak: "Ada berita pertempuran penting harus dilaporkan!"
Orang itu mengamat amati Siang Cin sejenak, katanya pula: "Saat ini Jan kong
sedang rapat dengan para pimpinan, mungkin tiada waktu menerima kau. Pula,
mana kaupunya Ji ih long (lencana)?" "
Seketika jantung Siang Cin berdetak, tapi lahirnya ia tetap tenang2 saja, ia malahan
berlagak kurang senang dan menjawab: "Apakah tanpa Ji ih long aku dapat masuk
ke sini" Masa saudara mengira aku ini palsu?"
"Aku tidak peduli kau tulen atau palsu," jengek orang itu. "Yang penting peraturan
harus kita pegang teguh. Tanpa Ji ih leng, maaf kecuali Jan kong sendiri, siapapun
dilarang masuk."
Diam2 Siang Cin mengeluh, tapi di mulut ia tetap keras, katanya: "Saudara,
hendaklah ingat, ini urusan maha penting, jika ada persoalan, kau harus
bertanggung jawab."
Orang itu melirik Siang Cin sekejap, katanya kemudian: "Tapi kalau mata2 musuh
yang masuk, tanggung jawab ini lebih2 tak dapat kupikul. Pokok nya Ji ih leng harus
kau perlihatkan padaku."
Siang Ciu pura2 menunduk dengan lagak sukar untuk menjelaskan persoalannya,
katanya kemudian: "Toako, bicara terus terang, Ji ih leng tidak ku bawa saat ini,
soalnya . . . . . . . "
"Habis siapa kau?" jengek orang itu.
Siang Cin menggeser maju selangkah. lalu bisiknya dengan suara tertahan: "Terus
terang, tadi kami datang berdua. Tapi temanku itu . . . . , Ai, aku menjadi sukar untuk
bicara. Soalnya dia ada main dengan si Melati di gedung sebelah itu, tapi untuk
kesana kan juga diperlukan Ji ih leng, maka terpaksa kupinjamkan Ji ih lengku
kepadanya. Eh, Toako, demi kepentingan teman, kan pantas kalau kita berkorban . .
. . . " "Si Melati?" demikian lelaki itu mengulang nama itu dengan ragu.
"Ya, Melati, itulah, pelayan genit Kiu ih thay (selir kesembilan) yang memang manis
itu." "Di gedung yang mana?" tanya orang itu pula dengan menarik muka.
"Itu," sekenanya Siang Cin menuding ke belakang.
325 Orang itu mengamat amati Siang Cin pula, lalu bertanya dengan bengis: "Kau anak
buah siapa?"
"Gui Kong, Gui toako," jawab Siang Cin tanpa pikir.
"Gui Kong?" orang itu mengulang pula nama itu.
Siang Cin pura2 menghela napas kesal, katanya: "Ya, Gui toako itulah yang
ditugaskan mencari berita, di bawah pimpinannya, anggota regu kami benar2
kenyang makian, maklumlah, wataknya keras dan bicaranya kasar . . . . ." selagi
orang masih ragu2, cepat Siang Cin menambahkan pula: "Toako, tolonglah, urusan
kawan kita ini jangan kau katakan kepada orang lain, bilamana sampai diusut, tentu
kawanku itu bisa celaka, bahkan aku sendiripun akan ikut kena getahnya."
Akhirnya orang itu mengangguk dan berkata: "Baiklah, kuberi kelonggaran sekali ini,
setelah masuk nanti jangan kau sembarangan menerobos, di atas loteng ada rapat,
kau harus melihat gelagat."
Begitulah Siang Cin lantas masuk ke dalam gedung megah itu.
Ia rada kesima melihat ruangan itu sedemikian luasnya dengan macam2 perabotnya
yang gemilapan, lantainya diberi permadani tebal, ada sebuah meja panjang di
tengah ruangan dengan barisan kursinya yang indah. Dinding sekeliling dihiasi
lukisan dengan bingkai emas, langit2 diberi ukiran Liong dan Hong yang sangat
hidup tampaknya. Belasan lampu kristal menyorotkan cahayanya yang gemilang.
sungguh suatu ruangan pendopo yang indah dan megah.
Siang Cin memandang sekelilingnya sejenak, lalu mulai melangkah ke sebuah jalan
tembus samping berdekatan dengan tangga. Baru saja ia hampir lewat, tahu2
sesosok bayangan orang menuruni tangga batu itu tanpa bersuara.
Dengan kepala tertunduk Siang Cin bermaksud percepat langkahnya agar tidak
menimbulkan kerewelan lagi. Tak tecduga mendadak suara nyaring dingin seorang
telah membentaknya: "Berhenti, kau!"
Siang Cin pura2 tidak mendengar dan melangkah maju pula, tapi segera terendus
bau harum, suara nyaring garang tadi sudah berkumandang pula, di samping
telinganya: "Kubilang berhenti! Kaudengar tidak?"
Terpaksa Siang Cin berhenti dan berpaling, ia menjadi terkejut. Kiranya orang yang
berdiri di depannya adalah seorang perempuan berumur tiga puluhan, ia kenal
perempuan ini pernah bergebrak dengan dia di Pau hou ceng tempo hari, yaitu Lo
sat li Hek kwa hu, si janda hitam, adik perempuan tertua Sok lian su coat dari Pek
hoa kok yang sudah janda itu.
Sedapatnya Siang Cin bersikap tenang, ia pandang orang dan diam2 berdoa
semoga macan betina yang terkenal cantik tapi ganas ini tidak mengenalnya lagi,
kalau tidak perjalanannya ini pasti akan sia2 belaka.
Lo sat li mengamat amati Siang Cin, wajahnya yang cukup cantik itu sedingin es,
selang sejenak baru mendengus: "Kau hendak ke mana" Kukira tempat ini boleh
sembarangan berkeliaran bagimu?"
326 "O, Toasoh ini . . . . . "
"Sialan, siapa Toasohmu?" damperat Lo sat li dengan melotot.
"O, ya, Toaci ini . . . . . . . . "cepat Siang Cin ganti panggilan.
Tapi kembali Lo sat li mngomel dengan marah2: "Persetan, siapa pula Toacimu"!"
Untuk sejenak Siang Cin melengak, tapi segera ia paham kehendak orang, cepat ia
berucap pula: "Ya, ya, nona . . . . . nona."
Baru sekarang air muka Lo sat li tampak berubah senang, lalu mendengus pula:
"Pertanyaanku tadi belum lagi kau jawab."
Cepat Siang Cin menyambung: "O, ya. Cayhe diperintahkan Gui toako agar
melaporkan berita pertempuran. Konon Jan loyacu sedang rapat, maka Cayhe tidak
berani naik ke atas dan terpaksa mencari suatu tempat istirahat dulu "
"Cari tempat istirahat?" omel Lo sat li dengan mengerut kening. "Tahukah kau siapa
yang tinggal di kamar serambi sana?"
"O, Caybe tidak tahu," jawab Siang Cin dengan lagak gugup.
"Di sana tempat tinggalku bersama nona Bwe, masa boleh sembarangan dibuat
keliaran orang macam kau?" jengek Lo sat li pula. "Untung kulihat, kalau tidak, lalu
bagaimana jadinya bila dilihat orang lain?"
"Ya, sesungguhnya Cayhe memang tidak tahu, mohon nona memberi maaf," kata
Siang Cin dengan memberi hormat.
Kembali Lo sat li mendengus, lalu bertanya: "Siapa namamu?"
"Go Ji," jawab Siang Cin pelahan.
"Go Ji?" Lo sat li mengulang nama itu sambil mengernyitkan kening. Kembali ia
pandang Siang Cin lekat2, sampai lama barulah ia bergumam: "Tampaknya seperti
sudah kenal, cuma lupa entah di mana?"
Siang Cin menunduk lebih rendah lagi, diam2 ia berdoa semoga orang tidak ingat
kejadian tempo hari. Diam2 iapun siap siaga, bila perlu segera lawan akan
dirobohkan lebih dulu.
"Eh, Go Ji, tampaknya pernah kulihat kau" Apakah kau ingat pernah bertemu
denganku sebelum ini!" tanya Lo sat li.
Cepat Siang Cin menjawab: "Mungkin dalam sesuatu pertemuan di sini. Akhir2 ini
Cayhe selalu dinas luar. Situasi pertempuran cukup genting, Cayhe sendiri kuatir
entah bagaimana kesudahannya nanti . . . . . ?"
"Masa kau kuatir, sudah tentu kita pasti menang," ujar Lo sat li penuh keyakinan. "Bu
siang pay mengerahkan pasukannya ke tempat jauh, ini jelas tidak menguntungkan
mereka. Di Ce ciok giam mereka sudah mengalami kerugian besar, dari Ceciok giam
327 ke sini masih banyak rintangan dan jebakan, mungkin sebelum tiba di Toa ho tin ini
pasukan Bu siang pay sudah dihancur leburkan pasukan kita."
"Perkiraan nona pasti tidak jauh dari kenyataan, semoga dalam waktu singkat musuh
dapat kita hancurkan," tukas Siang Cin untuk membesarkan hati orang.
Mendadak Lo sat li menatap Siang Cin lekat2, lalu bertanya: "Eh, Go Ji, kau tahu
siapa diriku!"
Siang Cin berlagak seperti kikuk, jawabnya: "Cayhe . ti . . . tidak tahu."
"Hm, masa tidak tahu," jengek Lo sat li. "Aku bernama Giam Ciat, adik perempuan
To hay long Giam Ciang, itu tokoh utama Sok lian su coat dari Pek hoa kok, orang
memberi julukan Lo sat li padaku."
"Dan alias Hek kwa hu (si janda hitam)," demikian batin Siang Cin, sudah tentu tak
diucapkannya, sebaliknya ia malah menyanjung: "Ya, nama harum nona sudah lama
kudengar, sungguh beruntung sekarang dapat bertemu dengan nona yang cantik
dan anggun."
Lo sat li tertawa senang, tapi tidak urung ia pura2 mengomel "Ah, tampaknya
mulutmu juga pintar mengumpak. Eh rapat mereka pasti akan berlangsung lama,
tidak leluasa kita berdiri saja di sini, marilah duduk dulu ke tempatku."
Tergerak hati Siang Cin, tapi akhirnya ia pura pura serba rikuh, jawabnya: "Wah, kan
tidak baik kalau dilihat orang, nona Giam" kedudukan Cayhe terlalu rendah, mana
boleh masuk tempat nona yang terhormat situ?"
"Eh, apa2an kau ini?" omel Giam Ciat. "Sesama orang Kangouw, masa kita pakai
aturan tetek bengek begitu" Apalagi aku yang mengundang kau dan bukan kau yang
sembarangaa masuk ke tempatku, kita bertindak secara terang2an, takut apa?"
Diam2 Siang Cin bergirang, tapi di luar ia pura2 kikuk, katanya: "Jika . . . . jika
demikian, terpaksa Cayhe menurut saja."
Giam Ciat lantas mendahului melangkah ke sana dengan gaya yang gemulai, Siang
Cin ikut di belakangnya, tercium bau harum semerbak teruar dari tubuh Giam Ciat
dan membuat pikirannya rada terguncang.
Setelah menyusuri serambi dan menembus sebuah pintu bundar, benar juga di sana
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terdapat petak kamar yang indah.
Pelahan Giam Ciat mendorong pintu sebuah kamar sambil menuding kamar yang
lain, katanya: "Itu tempat tinggal nona Bwe, dia sangat sibuk dan sedang pergi ke
Pau hou ceng"
Sembari bicara iapun menyilakan Siang Cin masuk kamar. Ruangan kamar dibatasi
tabir kain sutera kembang yang indah, mungkin di balik tabir itulah tempat tidur si
nona. Kamar inipun sangat indah dengan macam2 hiasannya, asap cendana wangi
mengepul memenuhi ruangan kamar.
328 Giam Ciat lantas merapatkan pintu, habis itu ia menyingkap tabir pemisah sehingga
kelihatan sebuah tempat tidur yang mentereng. Dengan pandangan sayu genit Giam
Ciat menatap Siang Cin, katanya dengan suara lembut: "Go Ji . . . . . . . "
Siang Cin mengiakan dengan lurus tegak.
Giam Ciat tersenyum genit, dengan suara yang lembut menggetar sukma ia berkata
pula: "Go Ji, coba kemari, ingin kulihat . . .. . . "
Meski Siang Cin juga seorang lelaki normal, tapi untuk mengekang diri, dalam hal
seperti sekarang ini bukan soal baginya. la mendekati Giam Ciat dengan tertawa,
tanyanya pelahan: "Ada petunjuk apa, nona?"
Giam Ciat menepuk sisi tempat tidurnya dan berkata dengan pandangan sayu: "Sini,
duduklah di sini. . . ."
Tapi Siang Cin tetap berdiri saja, jawabnya sambil menggeleng: "Ah, Cayhe tidak
berani." Mata Giam Ciat setengah terpicing, ucapnya dengan suara genit: "Duduklah, turutlah
perkataanku, takkan kubikin susah padamu."
Tapi Siang Cin tetap berdiri tegak, ucapnya: "Apakah takkan merusak nama baik
nona nanti?"
Agaknya ucapan ini menyinggung perasaan Giam Ciat, ia menjadi marah, omelnya:
"Go Ji, apa maksudmu" Kaupandang nonamu ini orang macam apa?"
Lekas2 Siang Cin memberi hormat dan menjawab: "O, mana berani Cayhe
bermaksud buruk terhadap nona. Soalnya Cayhe ini orang kecil, kuatir membikin
susah nona sendiri, makanya bicara terus terang, mohon nona maklum."
Karena ucapannya cukup beralasan, mau tak mau Giam Ciat menjadi kikuk sendiri.
diam2 iapun menaruh simpatik terhadap "keroco" yang tahu diri ini. Segera ia
berduduk tegak dengan berkata: "Betul juga ucapanmu, Go Ji. Sesungguhnya aku
cuma bersimpatik padamu karena kau kelihatan lain daripada yang lain, makanya
kuajak kau mengobrol, tak tersangka kau terlalu banyak pikir . . . . . Eh, Go Ji,
apakah susah bertugas di garis depan?"
Seketika Siang Cin membusungkan dada dan menjawab: "Ah, susah apa, ini kan
tugas, Mana dapat dikatakan susah. Demi kejayaan Ji ih hu di Toa ho tin, demi
kebesaran nama Jan kong, adalah pantas jika kita bersusah sedikit. Eh, nona Giam,
menurut pandanganmu, apakah pertempurun ini dapat kita atasi?"
"Melihat gelagatnya, seharusnya kemenangan pasti di pihak kita," ujar Giam Ciat
dengan tersenyum genit. "Keempat kakakku sudah maju juga ke garis depan.
sebagian besar pasukan Toa to kau juga sudah dikerahkan, begitu pula Jit ho hwe,
sedangkan Jik san tui dan Hek jiu tong seluruhnya bertahan di Pau hoa ceng . . . . "
dia merandek sejenak, lalu menyambung pula: "Konyol juga Hek jiu tong itu, ada
ribuan orang sisa kekuatan mereka dari Pi ciok san, kecuali yang terluka dan cacat,
yang dapat bertempur cuma delapan ratus orang. Sudah separo kekuatan mereka
dikirim ke Ce ciok-giam, tapi hampir satupun tiada yang kembali dengan hidup.
Kedua ribu prajurit Jik san tui juga kocar kacir seluruhnya, konon karena terjebak
329 oleh bahan peledak yang sebenarnya ditanam kita sendiri. Malahan pemimpin ketiga
Jik san tui, Pek Wi-bing juga gugur, begitu pula dua jagoan Hek jiu tong juga mati
konyol di sana .
Siang Cin mendengarkan saja dengan tenang, katanya kemudian: "Menurut Can
lomo dari Hek jiu tong, katanya perajurit pihak lawan juga musnah sebagian besar.
Jika betul begini, kan kita belum rugi."
"Can lomo memang lari pulang dalam keadaan mengenaskan, siapa berani bilang
keterangannya itu benar atau tidak?" jengek Giam Ciat. "Eh, Go Ji, tentunya kau
tahu, kabarnya si Naga Kuning dan gerombolannya yang memimpin pertempuran di
Ce ciok giam, apa betul?"
Diam2 Siang Cin merasa geli, tapi iapun membenarkan dengan mengangguk.
Gam Ciat termenung sejenak katanya kemudian: "Di Pau hoa ceng pernah kugebrak
satu kali dengan Naga Kuning itu . . . . ."
"Apa?" Siang Cin berlagak melengak "Nona pernah bergebrak dengan Naga
Kuning?" .
"Betul," jawab Giam Ciat dengan gemas. "Keparat ini sangat menjemukan, mulut
tajam dengan keji, tapi Kungfunya memang benar2 menakutkan orang . . . . " seperti
membayangkan apa yang terjadi dahulu, sejenak kemudian ia menyambung pula:
"Empat jago Jik san tui yang tinggi besar, hanya sekejap saja telah dirobohkan,
sampai2 cara bagaimaka turun tangannya tak terlihat jelas. Konon sejak muncul di
Kangouw orang ini hanya menggunakan kedua tangan kosong untuk menghadapi
siapapun juga, banyak tokoh ternama yang telah terjungkal di bawah telapak
tangannya."
Siang Cin hanya ber kedip2 saja tanpa menanggapi. Dalam keadaan demikian,
seorang nona cantik sedang bercerita mengenai dirinya, betapapun terasa rada lucu.
Setelah menghela napas gegetun, Giam Ciat bercerita pula: "Biasanya kuanggap
kepandaianku sudah tergolong kelas satu, siapa tahu sekali kebentur si Naga
Kuning, hampir saja aku terjungkal habis2an, yang lebih menyakitkan hati adalah
olok2nya yang tajam itu. Waktu itu dia memakai baju seragam Jik san-tui, rambut
kusut masai, muka kotor dan habis membobol penjara Pau-hou ceng yang termashur
kuat . . . . . sampai saat ini aku sendiri tidak tahu bagaimana wajahnya yang
sesungguhnya, konon dia sangat cakap ."
Dengan agak canggung Siang Cin menanggapi: "Lain kali kalau kepergok lagi harus
hajar adat padanya." .
"Huh, bicara mudah, kalau benar sudah bertemu baru kautahu rasa," ujar Giam Ciat.
"Jika tiada si Naga Kuning, mana bisa pihak Hek jiu tong mengalami kekalahan
besar begini" Mana mungkin Jik san tui mengalami kehancuran total dan penuh
borok" Terus terang, biarpun pasukan Bu siang-pay juga sangat kuat, tapi tidak sulit
untuk dihadapi, yang menakutkan ialah si Naga Kuning ini. Dia banyak tipu akalnya,
tindak tanduknya sukar diraba, kepandaian sejatinya juga sangat tinggi, dia benar2
merupakan suatu penyakit bagi kita . . . . . " setelah merandek sejenak, lalu ia
menyambung: "Cuma, sekarang Jan kong sedang rapat membicarakan siasat
selanjutnya, salah satu soal yang diperbincangkan adalah cara bagaimana
330 menghadapi si Naga Kuning. Setahuku, pihak kita sudah khusus menyiapkan
beberapa tokoh terkemuka untuk menghadapi dia."
"O, siapa2 saja?" tanya Siang Cin.
"Akupun tidak jelas, mungkin tugas ini akan diserahkan kepada orang2 Tiang hong
pay dan Ceng-siong san ceng."
"Tiang hong pay?" Siang Cin menegas.
"Ya, nona Bwe di sebelah adalah tokoh Tiang-hong pay," tutur Giam Ciat. "Jangan
kau kira dia masih muda belia, mungkin dua Giam Ciat juga bukan tandingannya."
"Tokoh Tiang hong pay kan terdiri dari tujuh orang lelaki, darimana bisa timbul
scorang perempuan?" ujar Siang Cin heran.
"None Bwe adalah puteri angkat ketua Tiang-hong pay, dengan sendirinya Tiang
hong pay yang dikenal umum tidak termasuk dia. Cuma, kepandaiannya memang
sangat tinggi dan tidak di bawah beberapa paman gurunya itu."
"O, jika begitu, ketujuh tokoh Tiang hong-pay telah datang semua?"
"Ya, sudah datang semua, masa kau tidak tahu" Kan tempo hari Jan loyacu sendiri
yang menyambut kedatangan mereka dengan upacara besar."
Cepat Siang Cin berkata: "O, barangkali waktu itu Cayhe sedang dinas luar . . . . "
Giam Ciat menguap ke-malas2an, katanya dengan tertawa: "Ehm, ngantuk rasanya."
Siang Cin tahu waktu sudah mendesak, sudah sekian lama ia menyusup ke Ji ih hu,
berita yang dapat dikoreknya juga tidak sedikit. Tapi bagaimanapun akibatnya, dua
hal penting perlu juga diselidiki.
Maka dengan lagak prihatin Siang Cin lantas berkata dengan suara tertahan: "Nona
Giam, bahwa Hek jiu tong mengalami kekalahan besar, Jik san-tui juga hancur,
konon persoalannya hanya karena menyangkut seorang nona cantik saja."
"Hm, memang," jengek Giam Ciat. "Siapa lagi kalau bukan puteri kesayangan ketua
Bu siang-pay, namanya Thi Yang yang."
"Ah, perempuan benar2 air bencana." ujar Siang Cin dengan menyesal.
"Hm, dasar perempuan murahan," jengek Giam Ciat. "Ayahnya sedang
mengerahkan pasukan dan bertempur mati2an baginya, tapi sepanjang hari dia
cuma berdekapan melulu dengan Khang Giok tek, sungguh aku menjadi gemas bila
melihat mereka. Kita sedang jual nyawa, apa tujuannya" Coba kalau tidak ingat Jan
loyacu serta saudara2 Jik san tui dan karena urusan sudah meluas begini, orang
Kangouw harus mengutamakan setia kawan. Kalau tidak, untuk apa kita melibatkan
diri di dalam persengketaan adu nyawa ini?"
"Apakah kedua orang itu berani bertingkah secara terbuka begitu di Pau hou ceng?"
tanya Siang Cin.
331 "Mana di Pau hou ceng," jawab Giam Ciat "Mendingan kalau mereka berada di sana,
mereka justeru tinggal di Hwe im kok di sebelah sana, seperti pengantin baru saja."
Diam2 Siang Cin meng ingat2 tempat yang di sebut itu, lalu ia bertanya pula:
"Apakah nona Giam pernah melihat Thi Yang yang itu?"
"Pernah dua kali, memang boleh juga wajahnya, tapi juga tidak luar biasa, hanya
matanya yang bening2 basah itu memang rada2 menggiurkan," tutur Giam Ciat.
"Apakah Khang Giok tek cuma ngendon di Hwe im kok melulu?"
"Ya, barangkali kedua orang itu sudah buta cinta sehingga kegemparan yang terjadi
di luar tak tergubris oleh mereka. Beberapa hari akhir2 ini mungkin Khang losam itu
diomeli kakaknya, maka terkadang juga keluar. Padahal, hm, sisa Hek jiu-tong
tinggal beberapa ratus orang, kukira cepat atau lambat pasti juga akan tamat di
tangan Khang-losam."
"Nona Giam, menurut pendapatku, kemungkinan kalah bagi kita juga tidak perlu di
cemaskan."
"Memangnya apa maksudmu?" tanya Giam Ciat.
"Bukankah kita masih ada suatu langkah terakhir, langkah mematikan ini kalau kita
keluarkan, betapa lihaynya Bu siang pay juga pasti akan mati kutu. Tentunya nona
tahu, di Pi ciok san tempo hari pihak Hek jiu tong telah menawan beberapa pentolan
Bu siang pay. Orang2 ini berkedudukan tinggi di Bu siang pay, jika keadaan kepepet,
kita menggunakan sandera ini sebagai tameng."
"Ya, betul juga, hal ini memang sudah kita atur, sebab itulah maka tadi kubilang Bu
siang pay tidak perlu ditakuti. Tentunya merekapun tahu orang2 di Ji ih hu ini bukan
manusia yang kenal belas kasihan, dalam keadaan kepepet, biarlah kita bikin
habis2an. Tempo hari si Naga Kuning telah salah hitung dan bermaksud membobol
penjara Pau hou-ceng, ia tidak tahu bahwa beberapa tawanan itu oleh Hek jiu tong
sudah dikirim ke sini!"
"Tapi tempat tahanan mereka apakah cukup kuat?" Siang Cin berlagak kuatir, "Kalau
mereka sampai lolos, sungguh kerugian besar bagi kita."
"Aku cuma tahu mereka ditahan di Ji ih hu sini, di mana tempatnya akupun tidak
jelas. Bahkan Toako juga ttdak tahu, hanya Jan loyacu dan beberapa orang tertentu
saja yang tahu. Mungkin Kiau lotoa dari Jik san tui dan pentolan Hek jiu-tong juga
tahu." Sebenarnya Siang Cin ingin tanya pula keadaan pertahanan di benteng ini, tapi
sukar mencari alasannya untuk bertanya. Maklum, sekarang ia menyamar sebagai
orang Ji ih hu, jika keadaan benteng sendiri juga tidak tahu, kan bisa mencurigakan.
Sedang bimbang, tiba2 Giam Ciat menegurnya:. "Eh, Go Ji, kau mengelamun apa?"
Siang Cin terkesiap, cepat ia menjawab dengan menyengir: "O, entah mengapa,
selama beberapa hari ini rasanya lesu, pikiran seperti tertekan . . . ."
"Hal inipun lumrah," ujar Giam Ciat. "Suasana setegang ini, setiap orang merasa
kesal dan tertekan."
332 Baru Siang Cin mau bicara apa lagi, tiba2 terdengar suara orang berjalan pelahan
mendatangi, setiba di depan pintu lalu terdengar suara ketokan pelahan beberapa
kali. "Siapa?", bentak Giam Ciat dengan suara tertahan.
"Bwe Sim," sahut suara nyaring di luar. "Sudah tidur, Giam cici?"
Giam Ciat tertawa, katanya: "Kiranya nona Bwe. Silakan masuk. aku belum tidur."
"Cayhe . . . . " Siang Cin menjadi serba susah.
"Tidak soal," ujar Giam Ciat. "Kita tidak berbuat apapun, apa yang harus ditakuti"
Pula nona Bwe cukup akrab dengan diriku, dia pasti percaya padaku."
Tengah bicara, daun pintu sudah didorong terbuka, seorang gadis jelita melangkah
masuk. Sungguh cantik nona ini, matanya yang jeli, hidungnya yang mancung,
mulutnya yang mungil berpadu dengan raut wajah potongan daun sirih, sungguh
serasi dan sangat menarik. Potongan tubuhnya juga menggiurkan, kulit badannya
putih mulus, apabila ada yang perlu dicela, mungkin cuma alisnya yang agak tebal
sedikit, terlalu tebal sehingga kelihatan agak garang.
Begitu masuk, nona bernama Bwe Sim itupun melenggong, tak disangkanya di
kamar Giam Ciat bisa terdapat seorang lelaki, Bahkan lelaki yang gagah dan
tampan. Seketika Bwe Sim merasa kikuk, dengan muka merah ia berkata: "O, ma . . . . .
maaf, Giam cici, aku tidak tahu engkau ada tamu . . . ."
Giam Ciat lantas berbangkit dan menarik tangan Bwe Sim. katanya dengan tertawa:
"Tidak apa2, Go Ji inipun orang kita sendiri, dia baru pulang dari tugas, maka
kutanyai dia."
Siang Cin lantas memberi hormat kepada Bwe Sim. Dengan likat nona itupun balas
menghormat sambil melirik sekejap.
Dengan tertawa Giam Ciat lantas menarik Bwe Sim berduduk di tepi tempat tidur dan
bertanya: "Bukankah kau pergi ke Pau hou ceng" Bagaimana keadaan di sana?"
Air muka Bwe Sim tampak gelap demi mendapat pertanyaan itu, ia pandang Siang
Cin sekejap. Giam Ciat tahu maksudnya, cepat ia berkata pula: "Ceritakanlah, orang sendiri, Go Ji
anak buah Gui Kong."
Diam2 Siang Cin merasa geli. .
Tapi Bwe Sin tampaknya merasa lega setelah mendapat keterangan dari Giam Ciat,
ia menghela napas pelahan. lalu berkata: "Kekuatan Hek jiu-tong sekarang hanya
lima ratusan orang terdiri dari barisan berani mati Hiat hun ciang, petang tadi mereka
sudah bersumpah darah dan bertekad akan bertempur sampai titik darah
penghabisan, kusaksikan adegan yang mengharukan itu. Pasukan Jik-san tui juga
hancur di Ce ciok giam, sisa kekuatan nya juga cuma dua tiga ratus orang saja.
333 Merekapun berkumpul di Pau hou ceng dan siap bertempur mati2an dengan pihak
Bu siang pay."
"Masa suasana begitu gawat?" tanya Giam Ciat.
"Berita dari gadis depan yang baru diterima jelas cukup gawat, meski Bu siang pay
juga banyak jatuh korban, tapi mereka masih terus mendesak maju, apalagi mereka
membawa senjata api yang ampuh, semuanya bertempur dengan nekat. Pasukan Jit
ho hwe yang bertahan di garis pertama sudah runtuh dan mundur, kini barisan
tameng Ceng-siong san ceng dan pasukan berkudanya sedang bertahan . . . ."
Ia merandek sejenak, setelah melirik sekejap pada Siang Cin, lalu melanjutkan: "Ji ih
hu juga telah mengerahkan kekuatan intinya sambil menghimpun kembali sisa anak
buah Jit ho hwe untuk melancarkan serangan balasan. Melihat gelagatnya
pertempuran besar2an segera akan berkobar pula."
"Masih berapa jauh jika pihak Bu siang pay ingin mencapai Toa ho tin?" tanya Giam
Ciat. "Antara 30 li," jawak Bwe Sim.
"Apakah kakak2ku baik saja?" tanya Giam Ciat.
"Mereka tidak mengalami cidera apapun, tapi yang lain ada ribuan yang terluka berat
dan ringan,"
"Sekarang cara bagaimana Jan loyacu akan bertindak?".
"Tampaknya sedang dirundingkan dalam rapat," kata Bwe Sim. "Ai, sudah sekian
lama hidup tegang, pedih juga rasanya ."
Siang Cin hanya mendengarkan saja di samping. Tiba2 Giam Ciat bertanya: "He, Go
Ji, apa yang kau pikirkan?"
Siang Cin menyengir, jawabnya: "Cayhe pikir, makan nasi Kangouw memang tidak
mudah, harus dilakukan dengan cucuran darah dan bila perlu mengorbankan nyawa,
hari depan suram, hidup ini hari belum tentu bisa hidup esok pagi."
Tampaknya Bwe Sim rada tertarik oleh komentar Siang Cin yang lain daripada lain
itu, dengan kikuk ia bertanya: "Go Ji, kau . . . . . kau bernama Go Ji?"
"Ya, itulah namaku," jawab Siang Cin.
"Akhir2 ini kalian tentu sangat lelah bukan?" kata Bwe Sim pula dengan agak malu2.
"Ah, kan sudah sepantasnya begitu?" ujar Siang Cin dengan membusungkan dada.
"Apalagi kalau para nona seperti kalian juga ikut mencurahkan tenaga dan pikiran,
bagi orang seperti kami ini kan bukan apa2."
"Manis amat mulutmu," Giam Ciat berseloroh. "Go Ji, tentunya banyak anak gadis
terpikat oleh mulutmu yang manis ini."
334 "Nona, selamanya Cayhe jarang bergaul dengan jenis lain," jawab Siang Cin dengan
sungguh2.
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Giam Ciat mengangguk, katanya pula dengan tertawa: "Wah, tampaknya kau
seorang ksatria sejati, entah nona keluarga mana yang beruntung mendapatkan
suami seperti kau . . . . "
Mendadak wajah Bwe Sim tampak merah jengah dan menunduk. Giam Ciat lantas
mendorongnya pelahan dan mengomel: "Nona Bwe, kenapa malu" Ai, apapun juga
kau masih terlalu muda. Maklum pada usia sebayamu sekarang akupun malu malu
begitu, tapi setelah mengalami macam2 gemblengan, hidup ini bagiku menjadi
hambar, sejak si pemabukan itu mampus, hidupku bertambah dingin . . . . "
Bwe Sim masih gadis suci, di depan seorang lelaki asing pula, ia menjadi kikuk
mendengar ucapan Giam Ciat itu cepat ia menyela: "Giam cici ....."
"Ya, baiklah, aku tidak bicara lagi," kata Giam Ciat dengan tertawa. Lalu ia berpaling
dan berkata kepada Siang Cin: "Eh, Go Ji, mungkin rapat Jan loyacu sudah selesai,
apakah kau tidak jadi memberi laporan?"
"O, ya, sekarang juga Cayhe mohon diri," cepat Siang Cin menjawab.
Tapi sebelum dia melangkah keluar, tiba2 terdengar suara gaduh di luar sana. Tentu
saja Giam Ciat dan Bwe Sim melengak.
"Biar kulihat keluar, beberapa hari ini memang macam2 urusan yang selalu
membikin tegang saja," kata Bwe Sim sambil berbangkit.
Giam Ciat termenung menyaksikan kepergian Bwe Sim itu, gumamnya: "Kehidupan
tegang begini sungguh bisa membikin gila orang. Hanya urusan kecil saja bisa jadi
akan menimbulkan kegegeran, hati menjadi kesal dan jiwa tertekan . . . . . ."
"Betul, Cayhe sendiri merasakannya," tukas Siang Cin.
"Eh, Go Ji," tiba2 Giam Ciat berkata dengan lembut, "bilamana urusan di sini sudah
selesai, maukah kau berkunjung ke Pek hoa kok, kau akan menjadi tamuku yang
terhormat."
Siang Cin tertawa dan menjawab: "Bilamana hamba diberi umur panjang, Cayhe
pasti akan penuhi undangan ini."
"Ai, kenapa kau bicara begini?" ujar Giam Ciat, "Menurut ilmu nujum, tampangmu
yang cerah ini pasti akan panjang umur."
"Terima kasih, semoga nona juga panjang umur," jawab Siang Cin.
"Ah, hatiku terasa semakin kesal dan dibakar, jangan2 . . . . alamat tidak baik . . . . . .
. " Belum habis ucapan Giam Ciat, mendadak pintu kamar terbuka pula. Bwe Sim
melangkah masuk dengan muka pucat. setelah merapatkan pintu, segera ia berkata:
"Giam cici, urusan rada gawat . . . ."
335 "Urusan apa?" tanya Giam Ciat dengan tegang. Dengan suara gugup Bwe Sim
menutur: "Menurut laporan, ada beberapa pos penjagaan disergap oleh penyusup,
juga sebuah liang rahasia di depan Kim bin tian telah dihancurkan, belasan penjaga
terbunuh. Sekarang di luar sedang sibuk mencari mata2 musuh serta memberi lapor
kepada Jan-kong . . . "
Untuk sejenak Giam Ciat tertegun, tanyanya kemudian: "Jadi maksudmu ada . . . . . .
ada mata2 musuh menyusup ke Ji ih hu?"
"Begitulah menurut laporan," jawab Bwe Sim
"Wah, berani amat orang ini"!" gumam Giam Ciat.
Siang Cin sedang memeras otak, ia pikir sekarang saat yang tepat untuk angkat
kaki. Segera ia berkata: "Kedua nona, suasana cukup gawat, keadaan agak kacau,
demi tugas, Cayhe tidak boleh tinggal lebih lama di sini, sekarang juga kumohon
diri." Seperti merasa berat Giam Ciat berkata: "Go Ji, meski baru kenal, rasanya kita bisa
saling cocok. Bila ada tempo luang silakan datang untuk mengobrol lagi."
Ber ulang2 Siang Cin mengiakan. Diam2 ia merasa geli, jangankan tempo luang,
mungkin dalam waktu singkat Ji ih hu akan hancur lebur. Segera iapun melangkah
ke pintu, tapi belum lagi dia membuka pintu, terdengar Bwe Sim berseru: "Tunggu
sebentar, Go Ji .. . . . "
Siang Cin melengak, jawabnya sambil menoleh: "Ada petunjuk apa, nona Bwe?" "
Muka Bwe Sim tampak merah, dengan likat ia menjawab: "O, sebentar . . . . . .
sebentar akupun dinas ronda malam, kupikir engkau lebih paham keadaan sekeliling
istana ini, bila engkau tiada urusan lain, dapatkah . . . . . dapatkah engkau mengiringi
aku . . . ."
Melengak juga Siang Cin oleh permintaan orang. Agaknya Giam Ciat juga
tercengang. Tapi ia lantas berkata dengan tertawa: "He, Go Ji, jika kujadi kau, tentu
berjingkrak kegirangan dapat mengiringi nona Bwe . . . . . . "
"Giam cici," sela Bwe Sim dengan muka merah.
Giam Ciat tertawa, katanya: "Baiklah, Giam-cici hanya bergurau saja. Nah, Go Ji,
lekas kau pergi dulu dan lekas kau kembali, nona Bwe akan menunggu kau di sini."
Dalam pada itu Siang Cin telah putar otak dan mengambil keputusan. Ia memberi
hormat dan berkata: "Baik, Cayhe menurut saja, setelah laporan selesai segera
Cayhe kembali ke sini."
Habis berkata, cepat ia melangkah keluar kamar itu. Sudah tentu ia tidak menuju ke
ruangan pendopo sana, tapi melalui serambi samping, lalu menyelinap ke atas
belandar gudang kecil di ujung serambi. Di sinilah dia duduk santai menghimpun
tenaga. Kira2 setanakan nasi lamanya, lalu ia meninggalkan tempat itu, dia mendatangi pula
kamar Giam Ciat dan rnengetok pelahan.
336 Ketika pintu terbuka, Bwe Sim berdiri di depannya. Melihat Siang Cin, nona ini
menjadi jengah dan jantung berdebur keras.
Giam Ciat telah mendekat dan mendorong Bwe Sim, desisnya: "Baiklah, lekas
berangkat, jika tidak cepat2, sebentar Go Ji mungkin harus menunaikan tugas juga.
Nah, Go Ji, jagalah nona Bwe dengan baik."
Habis berkata, ia dorong Bwe Sim keluar pintu sambil memicingkan sebelah mata,
lalu pintu dirapatkan kembali.
Sejenak Bwe Sim terdiam, lalu berkata: "Kita mengambil jalan tengab atau melalui
pintu samping, Go Ji?"
Siang Cin pura2 berpikir, jawabnya kemudian: "Kukira lebih baik pintu samping saja."
Tanpa sangsi lagi Bwe Sim lantas membawa Siang Cin menuju ke serambi samping
sana. Keluar lagi adalah halaman berpagar tembok, empat penjaga tampak mondar
mandir di situ.
Rupanya Bwe Sim sudah cukup dikenal di situ, para penjaga hanya menyapa
sekadarnya dan tidak bertanya lebih lanyut meski melihat di samping si nona ada
seorang yang tidak dikenal, namun mereka tak berani menegur mengingat
kedudukan Bwe Sim yang tidak perlu diragukan.
Setelah membuka sebuah pintu besi kecil di pojok halaman, keluarlah mereka
dengan pelahan. Siang Cin sengaja mengintil sedikit di belakang si nona.
Tampaknya sebagai tanda hormatnya, tapi sebenarnya ia sengaja menggunakan
Bwe Sim sebagai perisai, baik menghadapi penjaga maupun ketemu jebakan yang
diatur di mana2 tanpa kelihatan itu, tentu akan dapat diatasi si nona.
Ketika sampai di samping Kim bin tian, Bwe Sim menunjuk halaman di depan istana
dan berkata pelahan: "Go Ji, di liang pengintai sana, belasan penjaga telah disergap
mata2 musuh."
"Ya, Cayhe tahu di sana ada pipa pengintainya," jawab Siang Cin.
Bwe Sim semakin percaya karena Siang Cin dapat menanggapi persoalannya
dengan jitu. Mereka lantas berjalan ke depan, sambil berjalan si nona berkata pula:
"Di sini boleh dikatakan penuh perangkap, kalau tidak hati2 mungkin senjata akan
makan tuan sendiri . . . . . . Eh, Go Ji, mengapa kau bernama Go Ji, tidak cocok
dengan orangnya"
Siang Cin berlagak malu dan bingung, jawabnya: "Mengapa tidak cocok, nama ini
pemberian orang tua, karena aku nomor dua, maka aku diberi nama Ji. Aku sendiri
merasa nama ini sangat baik."
"Kulihat tampangmu lain daripada yang lain, gerak-gerikmu juga menarik, kukira kau
pantas mendapat kedudukan yang lebih baik. Eh, Go Ji, apa tugasmu di Ji ih hu
sini?" "Masa ada tugas lain kecuali pesuruh, ikut Gui-toako," jawab Siang Cin.
337 "Ah, seharusnya kau mendapatkan tugas yang sesuai," ujar Bwe Sim. "Eh, Go Ji,
apakah . . . . . apakah kau mau ber ... . . . berkawan denganku?"
Siang Cin berlagak kaget dan takut2 girang, jawabnya dengan ter gagap2: "Ber . . . .
. . berkawan dengan nona" Aku . . . . . aku . . . . . dapat bicara dengan nona saja
sudah beruntung, mana-mana . . . . ."
"Go Ji, mcngapa kau ketakutan begini" Masa seorang lelaki lebih penakut daripada
seorang perempuan, kita kan sama2 sudah dewasa, masa tiada kebebasan sama
sekali dalam hal berkawan" Eh, baiklah, kita coba memeriksa di sana, mungkin
waktumu sudah tidak banyak lagi."
"Nona Bwe, apakah kita juga akan melongok tembok benteng sana?" tanya Siang
Cin.. Bwe Sim memandang Siang Cin dengan rada heran, katanya: "Tembok benteng"
Kenapa kau menyebutnya tembok benteng" Bukankah setiap orang di Ji ih hu ini
menyebutnya tembok istana?"
Berdetak juga hati Siang Cin karena salah omong ini, tapi sedapatnya ia tenangkan
diri, sahutnya dengan tak acuh: "Ya, tapi aku sendiri biasanya menyebutnya tembok
benteng, bukankah tembok itu memang sekukuh benteng?"
"Ya, memang betul juga," ujar Bwe Sim dengan tersenyum, Ia memandang
sekelilingnya, lalu berkata: "Baiklah, boleh juga kita longok keadaan disana."
Begitulah kedua orang lantas menuju ke tembok benteng.
Dapat jalan berjajar dengan Siang Cin yang gagah, betapapun timbul semacam
perasaan suka ria dalam hati Bwe Sim. Dia mengira Siang Cin sudah tidak merasa
rendah harga diri lagi dan mau lebih berdekatan dengan dia.
Ia tidak tahu bahwa Siang Cin justeru menggunakan kelemahannya itu untuk
mencapai maksud tujuannya, yaitu memancing Bwe Sim membawanya ke tempat
yang dituju, tempat yang paling dekat dengan persembunyian Sebun Tio bu dan
lain2. Sambil membicarakan suasana yang menegangkan itu, tidak lama kemudian mereka
sudah mencapai undakan batu yang menuju ke atas tembok benteng, malam yang
sunyi dan dingin menambah seramnya keadaan.
Memandangi si nona yang dikenalnya tanpa sengaja tapi tampaknya jatuh hati
kepadanya ini, samar2 timbul semacam perasaan haru dan sayang dalam benak
Siang Cin. la menyesal bahwa pertempuran yang kejam ini harus melibatkan nona
cantik seperti ini.
"Nona Bwe," kata Siang Cin kemudian dengan pelahan, "apakah kau pernah . . . .
pernah membunuh orang?"
Tercengang Bwe Sim, jawabnya kemudian "Mengapa mendadak kau bertanya hal
ini?" 338 Kata Siang Cin dengan tertawa: "Sebab kau sangat cantik, lemah lembut, seperti
tidak tahan ditiup angin, se-akan2 seekor tikus saja dapat membuat kau ketakutan.
Tapi, engkau ternyata orang persilatan, pula kudengar ilmu silatmu sangat tinggi."
Bwe Sim tertawa manis, katanya: "Janganlah kau nilai orang dari bentuk luarnya.
Ketahuilah, seorang yang tinggi besar tidak berarti dia pasti pemberani, seorang
perempuan kurus kecil tidak berarti nyalinya kecil. Jangan kaukira tubuhku ini lemah
dan meremehkan diriku, hm, bilamana aku sudah gregeten, aku bisa berubah
menjadi sangat.. sangat kejam .. . . . "
"Apa betul" Jadi kau pernah membunuh orang?" kata Siang Cin dengan tertawa.
Bwe Sim mengangguk, katanya: "Ya, pernah tiga orang."
"Wah, tiga orang macam apakah itu?" tertarik Juga Siang Cin.
Sementara itu mereka sudah sampai di atas tembok benteng, sudah berada di
jalanan melingkar di atas tembok, mereka mulai berjalan ke depan.
Bara Naga Jilid 17 "Kejadian itu sudah cukup lama . . . . " demikian Bwe Sim berkisah, "yaitu pada
waktu aku berusia 17, kurang lebih empat tahun yang lalu. Seorang diri kucari
semacam rumput obat di belakang gunung, di sanalah mendadak aku disergap tiga
orang lelaki yang tak kukenal, dalam keadaan panik, terpaksa aku membela diri
sedapatnya, tak terduga hanya sekali gebrak saja telah dapat kurobohkan mereka.
Darah segar mancur dari tubuh mereka. Aku menjadi ketakutan dan lari pulang.
Ayah angkat dan ketiga pamanku menjadi heran dan bertanya apa yang terjadi,
kuceritakan pengalamanku dan mereka menjadi gusar, serentak mereka memburu
ke tempat kejadian, tapi sepulangnya mereka lantas tertawa dan memuji
kehebatanku, kemudian baru kuketahui bahwa ketiga orang itu sudah kubinasakan
seluruhnya."
Dia merandek sejenak, lalu bertanya: "Apakah kau ingin tahu dengan cara
bagaimana kubunuh mereka?"
"Ya, coba ceritakan," jawab Siang Cin.
Bwe Sim lantas menjulurkan kedua tangannya dan tertawa misterius terhadap Siang
Cin, se konyong2 terdengar suara "creng creng" dua kali, sinar dingin berkelebat,
tahu2 dua bilah pedang pandak yang sepanjangnya tiada dua kaki melentik keluar
dari lengan bajunya dan tepat tergenggam di tangannya.
"Pedang bagus!" puji Siang Cin dengan tersenyum.
Waktu Bwe Sim sedikit mengangkat tangannya, kedua bilah pedang pandak lantas
meluncur balik ke tengah lengan bajunya. Terdengar "klik klik" dua kali, semuanya
telah kembali asal seperti semula.
Rupanya kedua bilah pedang itu tersimpan di dalam pipa yang berpegas sebingga
dapat mulur dan mengkeret menurut kehendak pemakainya. Menghadapi musuh,
339 bilamana pedang pandak itu mendadak menjeplak keluar, betapapun lihaynya
musuh pasti takkan menduga dan sukar menghindar.
"Sungguh hebat senjata rahasia ini," puji Siang Cin. Sementara itu mereka sudah
sampai di tembok benteng yang tepat berdekatan dengan tempat Sebun Tio bu dan
kawan2nya. Bwe Sim hendak melanjutkan perjalanan kedepan, tapi Siang Cin lantas
berhenti di situ dan berkata: "Nona Bwe, apakah kita tidak perlu memeriksa
penjagaan kamar rahasia di bawah?"
Bwe Sim tampak heran, katanya: "Mengapa kau membikin istilah sendiri, kamar
penjaga di bawahkan bernama liang panah, mengapa kau menyebutnya kamar
rahasia" Ji ih hu kalian ini memang diatur dan dirancang sedemikian rapinya
sehingga tidak perlu kuatir akan digempur musuh dengan cara bagaimanapun.
Sepanjang tembok benteng penuh `liang panah`, bila pasukan musuh berani
menyerbu tiba, sekali aba2, serentak beribu panah akan berhamburan, betapapun
kuatnya pasukan musuh juga akan terbasmi."
Diam2 Siang Cin merasa ngeri juga mendengar betapa kuatnya pertahanan Ji ih hu
ini. Pantas pihak mereka tidak gentar meski di gadis depan sana ber ulang2
mengalami kekalahan, rupanya inti pertahanan mereka yang sebenarnya terletak di
Ji ih hu sini. "He, Go Ji, kau mengelamun apa?" tegur Bwe Sim ketika melihat Siang Cin berdiri
diam di situ. "O, kupikir . . . . aku sedang membayangkan betapa menariknya bilamana pasukan
Bu siang pay dijungkir balikkan oleh hujan panah nanti," jawab Siang Cin dengan
rada gelagapan. "Tapi, kalau pertahanan kita sudah jelas sedemikian kuatnya,
mengapa nona Bwe kelihatan cemas pula?"
Bwe Sim terdiam sejenak, jawabnya kemudian: "Entahlah, aku sendiripun tidak tahu,
aku seperti mempunyai firasat yang tidak enak, batinku serasa tertekan, aku merasa
kuatir . .. .. ."
"Ah, kukira nona Bwe tidak perlu kuatir, betapapun Bu siang pay pasti akan mengalami
kehancuran di sini, yang penting kita harus waspada," kata Siang Cin. "Bicara
tentang kewaspadaan, aku menjadi ingin menjenguk liang panah di bawah ini.
Keparat2 ini biasanya suka teledor, bila tidak ada pengawas, mereka lantas minum
arak, berjudi atau tidur sesukanya . . . . . . "
"Wah, tampaknya kau sendiri biasanya juga sering begitu?" Bwe Sim berseloroh.
"Sering sih tidak, jelek2 anak buahku juga ada likuran orang, kan harus jaga gengsi,"
ujar Siang Cin dengan tertawa.
Selagi Bwe Sin hendak mengaraknya ke bawah, mendadak tiga sosok bayangan
orang melayang tiba, berbareng lantas menegur: "Siapa itu?"
Berdebar juga hati Siang Cin, segera ia bersiap2 menghadapi segala kemungkinan.
Tapi Bwe Sim tetap tenang2 saja, jawabnya ketus: "Bwe Sim di sini!"
Ketiga pendatang itu tampaknya cukup lihay, belum lagi mereka melompat ke atas
tembok benteng, ketiganya lantas berpencar dan melayang ke atas dari tiga arah.
340 Seorang tampak bermuka hitam dan berhidung pesek, kedua temannya yang satu
tinggi besar dan berjenggot, orang ketiga bermuka pucat dan bertubuh kurus
sehingga mirip mayat hidup.
Bwe Sim memberi salam kepada orang pertama tadi dan berkata: "Kiranya Toh
toako, adakah sesuatu yang kau temukan dalam tugasmu?"
Sikap orang she Toh yang mula2 kelihatan garang itu lantas berubah ramah, ia
tertawa sambil membalas hormat Bwe Sim, katanya: "Ah, rupanya nona Bwe juga
sedang ronda. Cuma . . . . . . . cuma kita sama2 menunaikan tugas masing2,
betapapun peraturan . . . . . . "
Bwe Sim tahu maksud orang di balik ucapannya itu, dengan tenang ia berkata: "O,
tidak apa2 memang seharusnya begitu. Tentu yang dimaksudkan Toh toako adalah
Kim koan leng?"
Sembari bicara Bwe Sim lantas mengeluarkan sebentuk lencana emas, besar
lencana ini cuma beberapa senti persegi, berukir kopiah jago silat, buatan nya
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sangat indah. Melihat Kim koan leng atau lencana mahkota emas ini, cepat orang she Toh berkata
dengan tertawa: "O, maaf, harap nona jangan marah, hanya sekadar memenuhi
kewajiban saja . . . . . . "
"Memang harus begini, tak perlu Toh toako sungkan," ujar Bwe Sim dengan tertawa.
"Apakah saudara ini ikut datang bersama nona?" tanya orang itu sambil melirik
sekejap Siang Cin yang berdiri di belakang Bwe Sim.
"Ya," jawab Bwe Sim sambil mengangguk. Mestinya dia hendak bilang Siang Cin
adalah anak buah "Gui Kong", tapi lantaran mendongkol atas sikap orang she Toh
itu, ia jadi malas untuk bicara lebih banyak.
Orang she Toh itu lantas berpesan kepada Siang Cin dengan lagak orang besar:
"Kau harus melayani nona Bwe dengan baik, tahu?"
Siang Cin sengaja mengiakan dengan munduk2.
Maka setelah menyalami lagi Bwe Sim, ketiga orang itu lantas menghilang pula di
bawah tembok benteng sana.
"Hm, dasar budak, sok berlagak," omel Bwe Sim setelah ketiga orang tadi pergi.
"Tidak heran," ujar Siang Cin. "Mandor selamanya lebih galak daripada majikan."
Setelah menyimpan kembali Kim hoan leng, Bwe Sim berkata kepada Siang Cin:
"Go Ji, marilah kita melongok ke bawah, habis itu kitapun pulang saja."
Mereka lantas mendekati pojok tembok benteng sana, Bwe Sim memilih sepotong
ubin tembok itu dan mengetuknya beberapa kali dengan tungkak kakinya. Tidak
lama kemudian, ubin itu lantas bergeser dan terbukalah sebuah lubang, sebuah
kepala menongol keluar sambil bertanya: "Siapa?"
341 "Aku, dari Sing ci sit (kamar piket), pemeriksaan biasa," desis Bwe Sim.
Orang itu menengadah dan memandang Bwe Sim, tanyanya pula: "Apakah . . . . . "
"Pakai apa segala, dinas pemeriksaan, kau rewel apalagi?" segera Siang Cin
mendahului membentak.
Agaknya orang itu jadi keder, cepat ia menjawab: "O, ya, silakan, silakan turun!"
Lalu ia mengkeret masuk ke bawah. Ber turut2 Bwe Sim dan Siang Cin lantas
merambat turun melalui lubang itu.
Rupanya "Liang panah" yang dikatakan itu adalah sebuah ruangan sempit, ada
sebuah tangga yang menembus ke lubang keluar masuk tadi. Di depan dinding yang
menghadap keluar ada sebuah kerangka besi, sepuluh pasang busur ber turut2
terpasang di situ dan siap dibidikkan. Namun tembok yang mengalingi barisan panah
itu agaknya harus disingkirkan lebih dulu bilamana hendak melepaskan panah,
hanya pada kedua sisi ada beberapa lubang kecil yang ditutup dengan kain hitam,
agaknya sebagai lubang hawa dan juga untuk mengintai.
Di dinding lain menempel sebuah lampu minyak dengan cahayanya yang guram.
Lantai hanya dilapisi tikar. Ada lima penjaganya, kecuali orang yang menongol keluar
tadi masih ada lagi empat orang sedang bertiduran, lima buah golok tampak
tergeletak di pojok ruangan sana.
Melihat seorang nona cantik masuk ke situ, serentak keempat orang itu merangkak
bangun, seketika mereka cengar cengir dan segera ada yang mau menggoda, tapi
keburu dikedipi oleh kawannya dan dibentak: "Awas, pengawas dari Sing ci sit!"
Mendengar itu, seketika mereka melenggong, lekas2 mereka berdiri dengan sikap
hormat dan tidak berani bersikap bangor lagi.
Sebelum menuruni tangga tadi, Siang Cin sempat merapatkan kembali tutup lubang
itu, setiba di bawah, segera ia menegur: "Kalian cuma berlima di sini" Mengapa
malas2 begini, tidur melulu! Tentunya kalian mabuk2an lagi."
Kelima orang itu tidak berani menjawab, akhirnya orang pertama tadi berkata dengan
takut2: "Lapor Toako, kami . . . . kami terlalu iseng dan cuma . . . . cuma minum satu
dua ceguk, sekedar menghilangkan dahaga saja."
?"Keparat, damperat Siang Cin. "Satu ceguk saja tidak boleh. Jika pada saat yang
sama musuh merayap masuk, dalam keadaan limbung apakah kalian
mengetahuinya" Hm, dasar tak becus semuanya."
Kelima orang itu benar2 tidak berani menjawab lagi, mereka sama menunduk.
"Lain kali bila ketahuan kalian tidak patuh pada tugas masing2, awas kepala kalian
bisa berpisah dengan tuannya," kata Bwe Sim.
Mendadak Siang Cin membentak: "Tidak ada lain kali lagi!"
Selagi kelima orang itu dan juga Bwe Sim melengak heran, tahu2 Siang Cin sudah
menubruk maju, kontan salah seorang di antaranya roboh terkulai.
342 Belum lagi yang lain tahu apa yang terjadi, mendadak terdengar suara gedebugan
ramai, empat sosok tubuh telah tertumbuk dinding dan satu persetu roboh terkapar.
Dengan sorot mata dingin Siang Cin memandangi kelima sosok mayat itu, sikapnya
tenang seperti tidak terjadi apa2.
Sesudah tenangkan diri, Bwe Sim menjadi gusar dan rada gemetar, katanya dengan
suara terputus2: "Go Ji, kau. . . . kau begini kejam" Dengan . . . . dengan hak apa
kau bunuh mereka" Kesalahan mereka tidak sampai harus dihukum mati . .. ."
Siang Cin pura2 gugup dan melangkah maju, katanya: "Ya, nona Bwe, aku terburu
nafsu dan . . .."
"Jangan mendekat aku, kau setan . . . . " belum habis teriakan Bwe Sim, se
konyong2 nona cantik ini merasakan pinggangnya kesemutan, baru dia menyadari
gelagat jelek, tahu2 tubuhnya sudah lumpuh dan roboh terkulai.
Dengan cemas ia pandang Siang Cin, teriaknya: "Ap . . . . apa yang kaulakukan"
Berani amat kau ...."
"Jangan ber teriak2 nona Bwe," jengek Siang Cin dengan pandangan dingin.
"Hendaklah kautahu, aku sama sekali bukan oaang yang kenal belas kasihan,
akupun tidak kenal ampun pada orang perempuan, sebaiknya kita harus
menghadapi dengan kepala dingin."
Bwe Sim berkeringat dingin, dengan melotot ia menjerit: "Apa yang akan kaulakukan
terhadap diriku" Go Ji, kau . . . . "
"Namaku bukan Go Ji," kata Siang Cin dengan ketus. "Akupun bukan orang Ji ih hu,
aku tidak ingin berbuat sesuatu apa2 terhadapmu, kau tidak perlu kuatir. Cuma saja,
kaupun takkan beruntung sebagaimana pengalanaanmu empat tahun yang lalu itu."
Bingung dan kejut Bwe Sim di samping gusar pula, teriaknya cemas: "Habis siapa . .
. . . . . siapa kau?"
Pelahan Siang Cin menanggalkan seragam kulitnya, lalu membalik jubah yang
dipakainya, tertampak warna jubahnya yang kuning telur mencorong itu. "Nah,
sekarang tentunya kautahu siapa diriku bukan?"
Terbelalak lebar mata Bwe Sim, terbayang lukisan seorang sebagaimana pernah
didengarnya dari cerita orang lain dengan tanda2nya yang khas. Seketika tubuhnya
menggigil, mukanya menjadi pucat, serunya kejut: "Naga Kuning?"
"Betul, itulah diriku!" kata Siang Cin dengan tersenyum tenang.
Seketika Bwe Sim merasa dirinya terjeblos ke jurang yang tak terkira dalamnya, rasa
takut, bingung dan putus asa disertai murka memenuhi rongga dadanya. Tamat,
habislah segala harapannya, segala masa depannya, seluruhnya runtuh di tangan si
Naga Kuning yang terkutuk ini. Saking gemas air matapun bercucuran.
"Nona, kita berdiri di dua pihak yang berlawanan, jangan kausalahkan tindakanku
yang licik dan kejam, kukira perbuatan orang Ji ih hu akan berlipat ganda lebih kejam
daripadaku," kata Siang Cin kemudian sambil mengintip keluar melalui lubang kecil
343 di pojok dinding sana. Lalu sambungnya: "Kawanku yang berada di luar segera akan
menyusup masuk kemari, pasukan berkuda Bu siang pay juga akan segera
menyerbu datang. Nona Bwe, kukira firasatmu memang tidak keliru, pertempuran ini
pasti akan bikin tamat riwayat Ji ih hu seluruhnya."
Dengan air mata berlinang Bwe Sim melototi Siang Cin, ucapnya dengan penuh rasa
dendam: "Siang Cin, boleh kau . . . . kaubunuh saja diriku, kalau tidak, kapan dan di
manapun, pada suatu saat pasti akan kubunuh kau . . . ."
Siang Cin memandangnya dengan sorot mata yang menghina, ucapnya sambil
mencibir: "Hah, sudah sekian lama aku berkecimpung di dunia Kangouw, orang yang
pernah terjungkal di tanganku sudah tak terhitung jumlahnya, kata2 seperti
ucapanmu inipun sudah kenyang kudengar. Terserah padamu, asalkan malam ini
tidak kubunuh kau, hari selanjutnya adalah milikmu, terserah apa yang akan
kaulakukan, siapapun tiada yang akan merintangimu . . . . Cuma, kukira usahamu
hanya akan sia2 belaka."
Dengan menggreget Bwe Sim berkata: "Tunggu saja kau!"
Siang Cin tersenyum tak acuh, kembali ia mengintai keluar melalui lubang kecil itu,
dari situ iapun menyiarkan suara "kuk kuk" seperti bunyi burung hantu.
Habis bersuara begitu, ketika ia berpaling pula, mendadak sikapnya berubah kereng,
ucapnya dengan bengis: "Bwe Sim, ingat, jangan bersuara, jangan sembarangan
berbuat apapun, hatiku cukup kejam apapun dapat kulakukan. Sebaliknya, tentu
kauingin hidup lebih lama lagi bukan?"
Bibir Bwe Sim tampak ber kerut2, ia menyeringai dan berkata dengan bandel:
"Segera kuberteriak minta tolong . . . . " tapi belum habis ucapannya, tahu2 angin
mendesir, Hiat to bisu di tubuh Bwe Sim terusap, kontan mulutnya membungkam
dan tak dapat bersuara lagi.
"Ingat, satu kali ini saja dan tiada lain kali. bila terjadi lagi jiwamu pasti melayang!"
jengek Siang Cin.
Sembari bicara ia mengintai pula melalui lubang kecil tadi. Dilihatnya beberapa
sosok bayangan orang telah menyelinap keluar dari hutan sana dan secepat terbang
melayang ke kaki tembok benteng sini.
Hampir pada saat yang sama, tiba2 Siang Cin mendengar dinding kanan kiri
tempatnya berada itu bergema suara "duk duk duk", tiga kali cepat dan tiga kali
lambat, ia menoleh dan tanya kepada Bwe Sim: "Apa artinya itu?"
Dengan gemas Bwe Sim melototinya dan memejamkan mata, tampaknya dia sudah
nekat takkan memberi keterangan apapun andaikan jiwanya harus melayang
sekalipun. Mendadak tergerak pikiran Siang Cin, cepat ia menerobos keluar ruangan itu, lebih
dulu ia menuju sebelah kanan, ia menirukan cara Bwe Sim tadi dan mengetuk ubin
batu pada pojok tembok yang lain.
Suasana sunyi senyap, tapi dengan cepat ubin batu itu lantas bergerak, namun
sehelum ada orang mengnongol keluar, secepat kilat Siang Cin menerobos ke
344 dalam, hanya sekejap ia menghilang di dalam lubang itu, menyusul lantai terdengar
suara gedebukan beberapa kali disertai suara jeritan tertahan. Sekejap kemudian
Siang Cin sudah melompat naik lagi ke atas, jubahnya yang kuning tampak
berlepotan darah.
Lalu ia mengetuk lagi ubin batu sebelah kiri, baru saja sebuah kepala hendak
menongol keluar, kontan dia tabok batok kepala orang itu hingga terjungkal ke
bawah, menyusul iapun menerobos masuk, selagi orang2 di siru terkejut oleh
jatuhnya kawan mereka, tangan Siang Can terus bekerja dan serentak tiga orang
telah dibinasakan pula. Sampai ajalnya keempat orang itu sama sekali tidak tahu
siapa yang membunuh mereka.
Sisa seorang lagi kaget setengah mati dan berdiri melenggong seperti patung. Siang
Cin tidak lantas membunuhnya lagi, tapi ia gampar muka orang dua kali sehingga
orang itu megap2 dan darah mengucur keluar dari ujung mulutnya.
Gamparan itu se akan2 menyadarkan orang itu dari impian, cepat ia berlutut dan
menyembah sambil memohon: "Ampun ... . . ampun hohan . . . . . ."
"Apa yang kalian lihat barusan" Apa artinya ketukan dinding tiga kali cepat dan tiga
kali lambat itu?" tanya Siang Cin dengan bengis.
Dengan muka pucat dan menggigil ketakutan orang itu menjawab: "Tadi . . . . . tadi Li
Gun seperti . . . . . seperti melihat beberapa bayangan orang, dia, ragu2 pada . . . . .
pada pandangannya sendiri dan tidak . . . . . . tidak berani rnenyiarkan tanda bahaya,
maka . . . . . . maka lebih dulu menggunakan tanda rahasia untuk bertanya jawab
dengan liang panah yang lain, tapi. . . . . tapi sebelum ada suara jawaban apa2,
tahu2 hohan sudah . . . . . sudab datang. . . . ."
Diam2 Siang Cin menghela napas lega, sekali tendang ia bikin orang itu pingsan,
lalu ia keluar lagi dan merapatkan kembali kedua liang itu, ia melongok keluar
tembok benteng dan mengeluarkan suara "kuk kuk" pula. Maka beberapa sosok
bayangan yang mendekam di kaki tembok lantas melayang ke atas bagai burung
raksasa. Nyata orang2 ini adalah Sebun Tio bu, Kin Jin, Loh Hou dan Le Tang.
Tanpa banyak omong Siang Cin menuding liang panah tempat sembunyinya tadi dan
berkata: "Turuh ke sana!"
Dengan cepat mereka berlima lantas menghilang ke dalam liang itu. Mereka merasa
lega setelah berada di dalam.
"Apa gunanya ruangan sesempit ini, Siang-susiok?" tanya Le Tang.
"Mereka menyebut ruangan ini `liang panah", tutur Siang Cin dengan tertawa. "Di
sekeliling Ji-ih hu seluruhnya ada ratusan tempat panah begini, asalkan mendapat
aba2, serentak akan terjadi hujan panah, perancangan busur panah ini sangat bagus
dan caranya juga sangat keji . . . . . . " begitulah secara ringkas ia lantas
menceritakan apa yang diketahuinya dengan macam2 perangkap yang terpasang di
Ji ih hu ini, selain itu iapun menyatakan pendapatnya bahwa bukan mustahil di sini
juga ada bahan peledak terpendam seperti apa yang terdapat di Ce ciok giam, hal ini
harus mendapat perhatian sepenuhnya.
345 Lebih jauh Siang Cin menyatakan salah satu di antara mereka harus menyusup
keluar kembali untuk memberi laporan kepada Thi Tok heng dan pimpinan Bu siang
pay yang lain. "Bagaimana kalau bikin capai Kin beng?" katanya terhadap Kim lui jiu Kin Jin dengan
tersenyum. "Baik," jawab Kin Jin tanpa pikir.
"Tapi Kin heng harus selalu ingat suatu hal pokok, yakni tugasmu ini maha penting
dan menyangkut keselamatan be ribu2 orang Bu siang pay, sepanjang jalan
hendaklah engkau jangan terlibat dalam pertempuran dengan musuh, tujuanmu ialah
lolos dan mencapai tempat tujuan."
"Jangan kuatir, kalau dikejar, aku akan lari, kuyakin kepandaianku ini cukup dapat
diandalkan," ujar Kin Jin dengan tertawa.
"Baiklah, urusan jangan tertunda, sekarang juga silakan Kin heng berangkat," kata
Siang Cin. "Nah, selamat jalan!"
"Selamat tinggal! Sampai bertemu pula!" jawab Kin Jin sambil memberi salam
kepada semua orang.
Setelah merapatkan kembali tutup lubang itu, Siang Cin melihat Loh Hou sedang
mengintai keluar melalui lubang kecil di samping sana dan sedang berkata: "Ha,
sungguh cepat gerak tubuh Kin-tayhiap, ia meluncur seperti anak panah cepatnya
...." Baru saja Siang Cin hendak menjawab, terdengar Sebun Tio bu berseru heran
sambil mennding Bwe Sim yang menggeletak di atas tikar itu, katanya: "He. di sini
masih ada seorang betina" Busyet, boleh juga mukanya . . . . "
"Dia ini anak angkat ketua Tiang hong pay," kata Siang Cin dengan hambar.
"Mengapa dia berada di sini dan kena kau kerjai?" tanya Sebun Tio bu.
Dengan kikuk Siang Cin menjawab: "Kupancing dia ke sini, lalu kututuk roboh dia."
Sebun Tio bu yang lebih berumur sudah dapat menduga apa yang terjadi, ucapnya:
"Hebat, jika aku yang menjadi kau, matipun mungkin dia tidak sudi ikut ke sini. Haha,
Naga Kuning memang unggul dalam segala hal, kagum, aku benar2 menyerah."
"Tangkeh, pujianmu hendaklah diberi sisa sedikit," cepat Siang Cin menimpali.
"Sekarang sudah waktunya bergerak, hayolah agar tidak terlambat."
"Baik, silakan memberi penjelasan," jawab Sebun Tio bu.
Dengan kereng Siang Cin lantas menutur: "Tindakan kita yang pertama adalah
menghancurkan liang panah Ji ih hu ini, di sekeliling benteng ini ada 120 tempat
panah, sekilas tadi sudah kuperiksa, pada setiap pilar tembok adalah sebuah liang
panah. Jika mau menyerbu, sebaiknya pasukan Bu-siang pay menyerbu melalui
hutan tempat sembunyi kita tadi. Dengan perkataan lain, liang panah yang
menghadap ke hutan ini harus dibasmi seluruhnya. Ji ih hu ini berbentuk persegi,
346 120 liang panah terbagi empat berarti satu sisi ada 30 tempat. Kita sudah
menghancurkan tiga tempat, jadi bagian sini tertinggal 27 tempat lagi. Ke 27 tempat
ini harus kita hancurkan sebelum pasukan Busiang pay tiba."
Setelah berhenti sejenak, dengan prihatin Siang Cin menyambung pula: "Dan tugas
menghancurkan ke 27 liang panah ini kuserahkan Sebun tangkeh dan Loh heng
untuk melaksanakannya. Le heng hendaklah melakukan sergapan kilat kepada ka 90
liang panah yang lain, hancurkan sedapatnya, berapa banyak bisa d)hancurkan
boleh dikerjakan sebisanya. Bunuh dan bakar, laksanakan dengan cara apapun
juga.. Sebun Tio bu bertiga sama mengangguk. Lalu Siang Cin menyambung pula: "Setiap
liang panah ini dijaga lima orang, semuanya kaum keroco, asalkan dilakukan dengan
gerak cepat, jangan sampai memberi kesempatan pada mereka untuk menyiarkan
tanda bahaya, kukira pekerjaan ini tidak sulit dilaksanakan . . . . . . ."
"Nanti dulu," tiba2 Sebun Tio bu menyela, "sejak tadi agaknya belum kaujelaskan
cara bagaimana inenggunakan barisan panah ini, padahal teraling oleh dinding,
melalui mana panah mereka akan dibidikkan?"
Siang Cin menunjuk sebuah pegangan pada pojok dinding sana, katanya: "Menurut
dugaanku, bisa jadi pegangan itu ditarik dan segera dinding di depan akan bergeser,
mungkin ke atas atau ke bawah sehingga ada peluang untuk jalan panah,"
"Ya, kukira begitu," ujar Sebun Tio bu, berbareng iapun melirik sekejap Bwe Sim
yang masih menggeletak tak bisa berkutik itu.
Dengan gemas nona itu melengos ke sana. Maka Siang Cin berkata pula dengan
tertawa: "Setelah kita berpencar nanti, ada tiga urusan penting harus kukerjakan.
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pertama aku akan menuju ke loteng yang bernama Hwe im kok itu untuk mencari
puteri Thi ciangbun, sudah tentu bila kepergok Khang Giok tek, bocah itu pasti juga
takkan kulepaskan. Kedua, sudah kuketahui tempat tahanan orang Bu siang pay
yang tertawan itu, mereka harus kubebaskan dengan cepat. Ketiga, sedapatnya
akan kuhanaurkan berbagai perangkap yang tersebar di Ji ih-hu ini."
"Wah, semuanya tugas berat, apakah kau dapat melaksanakannya sendirian?" tanya
Sebun Tio bu. "Siang heng, kukira salah satu satu diantara kami bertiga ini ikut
membantumu . . . . . .. "
"Tidak perlu," sela Siang Cin. "Sendirian akan lebih leluasa bertindak, andaikan
gagal juga tak perlu kukuatirkan terkepung musuh. Tambah orang tentu akan
menambah beban pikiranku malah."
"Tapi dengan demikian, bukankah akan menggegerkan selurah Ji ih hu?" tanya
Sebun Tio bu. "Ya, terpaksa dan sukar dihindarkan," kata Siang Cin. "Menurut perkiraanku, besok
pagi Bu siang pay sudah dapat mulai menyerbu Toa ho tin, jadi sudah dekat
waktunya."
"Lalu bagaimana tindakan kita selanjutnya setelah urusan di sini sudah beres?"
347 "Sederhana, kacaukan suasana di Ji ih hu sini dan menyambut penyerbuan Bu siang
pay," kata Siang Cin dengan tertawa. "Cuma ingat, jangan terlibat dalam
pertempuran terbuka melainkan main gerilya saja."
"Dan bagaimana dengan betina itu?" tanya Sebun Tio bu sambil melirik Bwe Sim
yang masih meringkuk di pojokan sana.
"Menurut pendapat Sebun tangkeh .
"Tutuk saja Hiat tonya dan ampuni jiwanya, anak perempuan, kukira bukan orang
jahat yang tak terampunkan."
"Tepat, terus terang, aku memang tidak bermaksud membunuhnya."
Lalu Siang Cin mendekati Bwe Sim, katanya dengan pelahan: "Nona Bwe, kami tidak
ingin membunuh kau, tapi rencana gerakan kami sudah kau dengar semua, bila kami
tinggaikan kau di sini, jangan2 setelah kau temukan mereka, rahasia gerakan kami
akan kau laporkan kepada mereka, kan bisa susah buat kami. Maka akan kututuk
Hiat to tidurmu dengan caraku yang khas, setengah hari kemudian kau akan sadar
dengan sendirinya. Nah, silakan istirahat dulu, selamat tidur, selamat bermimpi."
Bwe Sim ingin meronta, tapi percuma karena tak bisa berkutik sama sekali, secepat
kilat Siang Cin menutuk Hiat to yang membuatnya tidur pulas dengan caranya yang
khas. Lalu katanya kepada Sebun Tio bu bertiga: "Nah, sekarang silakan kalian
mulai melakukan tugas masing2."
"Baik, kami segera berangkat, Siang heng sendiri diharap hati2," jawab Sebun Tio bu
sambil memberi hormat.
Cepat mereka menerobos keluar ruangan tembok benteng itu dan terpencar pergi
melaksanakan tugas masing2.
Siang Cin juga lantas menyelinap kembali ke sisi Kim bian tin, ia ragu2 sejenak, lalu
merunduk maju menyusuri serambi yang menghubungkan antar gedung itu.
Lantaran sudah tahu perangkap2 apa yang teratur di Ji ih hu, maka dengan selamat
dapatlah ia menghindari beberapa regu patroli dan melintasi beberapa gedung.
Sekarang telah dilihatnya sebuah loteng kecil yang terletak di belakang gedung
ketujuh, di sebelahnya ada sebatang pohon Siong raksasa.
Dengan gesit ia terus cnenyelinap ke depan, dengan cepat ia sudah mendekati
loteng pojok itu, beberapa kali hampir saja ia tersangkut oleh tali sutera yang
melintang di bagian2 tertentu.
Sesudah di bawah loteng itu, ia mendongak, hampir Siang Cin berjingkrak
kegirangan, ternyata di atas pintu ada sebuah papan kecil dengan tulisan "Hwe im
kok". Inilah tempat yang dicari, di sinilah Thi Yang yang, puteri ketua Bu siang pay itu
berada. Belum lagi dia menemukan jalan untuk naik ke atas loteng, se konyong2 terdengar
orang membentak: "Siapa itu?"
Cepat Siang Cin mendekam di tempatnya tanpa bergerak, ia pasang kuping
mengikuti keadaan tempat datangnya suara itu. Untuk sejenak suasana menjadi
348 sunyi, lalu ada suara omelan seperti beberapa orang sedang bertengkar. Suara itu
ternyata datang dari atas pohon Siong di samping Hwe-im kok ini.
Siang Cin tetap bertiarap tanpa bergerak, tempat sembunyinya sekarang berada di
tengah semak2 rumput kering. Sambil mendekam di situ iapun mendengar apa yang
diributkan orang2 itu.
Jarak tempat sembunyi Siang Cin dengan pohon itu ada 30 an langkah jauhnya, tapi
suara bisik2 orang itu dapat didengarnya meski cuma sepotong sepotong, terdengar
seorang sedang berkata: " . . . . jelas barang putih2 itu cuma seonggok rumput kering
. . . . Keparat, hanya bikin kaget saja . . . . persetan kau . . . . "
"Tapi semula kan tiada benda begitu, kulibat benda itu bergerak . . . . "
"Coba kau dekati dan periksa sendiri . . . . cuma nyap nyap melulu di sini, apa
gunanya . . . . "
Begitulah para penjaga itu rupanya merasa sangsi pada apa yang dilihatnya
sehingga bertengkar sendiri.
Sekilas Siang Cin sudah dapat memperkirakan jarak puncak poison Siong itu, diam2
ia menghimpun tenaga, ia pikir setiap tindakannya harus berhasil dengan sekali
gempur, kalau tidak urusan bisa runyam.
Setelah incar baik2 tempat yang dituju, mendadak ia mengapung ke atas laksana
burung raksasa, dengan ringan ia hinggap di pucuk pohon, ia lihat sedikit
dibawahnya, di antara dahan pohon yang bercabang dibuat sebuah panggung kayu
beratap dan diberi pagar pengaman, tiga orang berseragam kulit sedang ribut mulut.
Ketika mendadak mendengar suara kresekan daun pohon, mereka sama
mendongak, tapi sebelum tahu apa yang terjadi, tahu2 dada setiap orang telah kena
ditonjok laksana digodam, sama sekali tidak sempat bersuara, tiga sosok tubuh
lantas terkapar.
Panggung penjaga yang dibangun di atas pohon itu ternyata sangat baik untuk batu
loncatan menuju ke loteng Hwe im kok. Diam2 Siang Cin bergirang, cepat ia
melayang keemper jendela loteng itu.
Daun jendela ternyata dipalang dari dalam. la mengerahkan tenaga dalamnya dan
mendorong pelahan. Palang jendela tergetar patah dan terbukalah jendela itu.
Meski cuma menerbitkan suara yang sangat pelahan karena patahnya palang
jendela, tapi hal itu sudah cukup membuat terkejut orang di dalam. Terdengar suara
nyaring halus bertanya dengan terkejut: "Siapa itu?"
Pelahan Siang Cin mendorong daun jendela dan menyelinap ke dalam, ia rapatkan
kembali jendelanya, lalu dengan gerak cepat ia melayang ke depan tempat tidur
yang tertutup oleh kelambu indah itu. Tanpa ragu2 ia menyingkap kain kelambu,
sekali tarik ia seret seorang perempuan muda dari dalam selimut.
Di bawah cahaya lampu yang cukup terang kelihatan wajah perempuan muda yang
terkejut ini memang cantik, putih mulus tubuhnya. Pada detik sebelum dia diseret
meninggalkan tempat tidurnya itu, sebelah tangannya sudah hampir menyentuh tali
349 sutera yang terikat di samping pembaringannya. Itulah tali pembunyi genta tanda
bahaya. "Kau . . . . . siapa kau"!" tanya perempuan muda itu dengan kejut dan takut2, kedua
tangannya bersilang menutupi dadanya yang setengah terbuka itu.
Siang Cin tiddk lantas menjawab, dengan tajam ia memandang gadis itu, mendadak
ia pegang dagunya dan didongakkan ke atas, maka tertampaklah sebuah tahi lalat
merah di samping bawah dagu gadis itu.
"Kau Thi Yang yang bukan?" tanya Siang Cin.
Gadis itu terbelalak, jawabuya dengan ragu2: "Ya, siapa kau?"
"Ehm," Siang Cin manggut2. "Memang kau yang kucari."
"Kau mencari diriku" Apakah . . . . . apakah ayah yang menyuruhmu ke sini?"
"Betul," kata Siang Cin. "Lantaran kau, banyak orang Bu siang pay yang
bergelimpangan di Pi-ciok can, sekarang Hek jiu tong teldh bergabung pula dengan
Jik san tui, Toa to kau, Jit ho bwe, Tiang hong pay, Ji ih hu serta Ceng siong san
ceng untuk menghadapi Bu siang pay, Setelah gagal di Pi ciok san, di bawah
pimpinan langsung ayahmu kini Bu siang pay akan menyerbu kemari, pertempuran
sudah berlangsung selama dua tiga hari. Semua hanya gara2 dirimu seorang. Khang
Giok tek itu lebih2 tak terampunkan, sikapmu juga sangat mengecewakan ayahmu."
Thi Yang yang termenung sejenak, ucapnya hemudian dengan rawan: "Aku . . . . aku
sendirilah yang rela ikut pergi bersama Giok tek, kini aku sudah menjadi milik Giok
tek, harap engkau suka menyampaikan kepada ayah agar beliau anggaplah tidak
pernah mempunyai anak seperti diriku ini ........"
Siang Cin menjadi gusar, katanya dengan mendongkol: "Kau dibesarkan orang tua,
disayang dan dimanjakan, akhirnya kau kabur bersama orang begitu saja?"
Dengan air mata berlinang Thi Yang yang berkata: "Aku sudah cukup dewasa . . . . .
aku berhak memilih cara hidupku sendiri, aku cinta Giok tek, dia juga cinta padaku . .
. . . . Kami sudah terikat menjadi suami isteri, mengapa . . . . . mengapa ayah hendah
memisahkan kami?"
Siang Cin mendengus, katanya dengan menahan rasa gusarnya: "Hm, Khang Giok
tek membalas air susu dengan air tuba, ditolong malah mentung. Dia juga membawa
minggat kau, inilah kesalahan pertama. Dia juga mencuri harta pusaka ayahmu. satu
kotak Ci giok cu, inilah dosa kedua. Tanpa lain ayahmu dia menggagahi kau, inilah
dosa ketiga. Belum lagi wibawa ayahmu yang tercemar, kehormatan Bu siang pay
yang dirusak serta tata adat yang di langgarnya, semua ini tidak kalian hiraukan lagi,
apalagi sekarang telah banyak menimbulkan korban jiwa, dendam berdarah ini
menjadikan dosa kalian bertambah besar."
Dengan ter guguk2 Thi Yang yang berkata pula: "Kami berbuat begini karena kami
kuatir ayah tidak menyetujui kehendak kami . . . . . tentang sekotak Ci-giok cu itupun
aku sendiri yang membawanya sekadar biaya perjalanan, sebab . . . . . . . "
350 "Sudahlah, kukira sekarang sudah terlambat uutuk berbicara hal2 ini," ujar Siang Cin
dengan hambar. "Habis bagaimana . . .. . . bagaimana kebendak ayah?" tanya si nona dengan
menangis. "Dendam berdarah harus dituntut dengan darah pula, semua ini kini sudah
berlangsung," jawab Siang Cin.
"Dan akan . . . . . akan kau apakan diriku?" tanya Yang yang sambil menyurut
mundur. "Akan ku serahkan dirimu kepada ayahmu," jawalk Siang Cin tegas, berbareng
tangannya rnenjulur, secepat kilat ia tutuk si nona sehingga roboh terkulat.
"Maaf nona Thi, kukira kita harus berangkat sekarang," bisik Siang Cin sambil meraih
selimut di tempat tidur itu untuk membungkus tubuh Thi Yang yang.
Pada saat ia hendak memanggul si nona, tiba2 di luar pintu kamar ada orang
bertanya: "Ada kejadian apa nyonya muda?"
karena tidak mendapat jawaban, orang di luar mulai mengetuk pintu dan bertanya
pula: "Nyonya muda, apakah . . . . apakah engkau mengigau. . . ."
Siang Cin mendekati pintu, mendadak ia membuka daun pintu, kedua tangan bekerja
sekaligus, terdengarlah suara gemuruh, dua lelaki baju hitam terguling ke bawah
loteng. Sekilas kelihatan lencana di dada mereka, kiranya anggota Hiat hun-tong,
barisan berani mati dari Hek jiu tong.
Karena suara gemuruh itu, seketika seluruh Hwe im tong menjadi geger, terdengar
orang banyak memburu ke sini.
Siang Cin merapatkan kembali daun pintu, ia harus cepat meninggalkan tempat ini.
Dia ambil lampu minyak dan dilemparkan ke atas tempat tidur, hanya sekejap saja
api lantas berkobar menjilati kelambu dan kasur terus menjalar sekitarnya.
Di tengah gelak tertawanya Siang Cin memanggul tubuh Thi Yang yang, berbareng
ia depak meja besar di depan tempat tidur dan tepat memapak empat lelaki yang
sementara itu telah menerjang masuk dengan mendobrak pinto. Pada saat lain
Siang Cin lantas menjebol daun jendela dan melayang keluar.
Sementara itu Ji ih hu telah diliputi suasana sibuk dan tegang, walaupun begitu tidak
menjadi kacau, terdengar suara bende ber talu2 diseling suara genta yang nyaring.
Dalam kegelapan bayangan orang berlarian kian kemari dengan senjata terhunus.
Setelah melayang keluar Hwe im kok, Siang Cin tidak lantas kabur jauh, ia melompat
ke panggung penjaga yang berada di atas pohon Siong itu, dari situ ia dapat
memandang keadaan sekelilingnya.
Sementara itu ia telah tutup Hiat to tidur Thi Yang yang sehingga nona itu tak
sadarkap diri. la memilih suatu tempat, lalu melayang turun ke sana, yaitu di samping
sebuah sumur yang berada di kaki dinding.
351 Ia pasang telinga dan merasa tiada suara orang di sekitarnya, cepat ia mulai
menggali tanah dengan kedua taagannya. Karena diselimuti salju, maka tanah di situ
tidak keras, tanpa banyak buang tenaga Siang Cin dapat menggali sebuah lubang
yang cukup untuk membujur sesosok tubuh manusia.
Dengan pelahan Siang Cin membaringkan Thi Yang yang di liang panjang itu, lalu
diuruk sedikit tanah bersalju, bagian mukanya yang tertutup selimut disingkapnya
kemudian ditutupnya dengan seonggok rumput kering. Di sekelilingnya diberi pula
beberapa potong batu agar rumput kering itu tidak tersingkit oleh tiupan angin atau
kena diinjak kaki orang.
Tanpa ayal ia melayang ke arah lain, kini Kim-bin tian yang langsung dituju, kini
iapun tidak perlu menyembunyikan jejaknya lagi.
Jalan yang ditempuhnya adalah jalur aman yang telah dikenalnya. Sesudah dekat
dengan tempat tujuan, diketahuinya ada beberapa bayangan yang memiliki Ginkang
tinggi sedang memburu datang.
Pada saat itu juga, se konyong2 di belakang Kim bin tian berkobar cahaya terang,
api menjulang tinggi, entah gedung mana yang tertimpa bencana lagi.
Suasana menjadi panik, terdengar suara jerit kaget di sana sini, dua di antara kelima
bayangan orang yang mengejar Siang Cin itu memburu ke arah berkobarnya api,
tiga yang lain tetap mengejar ke arah Siang Cin.
Diam2 Siang Cin mendengus, ia sengaja memilih ke tempat yang sepi dan sampai di
suatu gardu di tepi sebuah kolam yang kering, di situlah ia berdlri tegak menantikan
datangnya musuh.
Dengan kencang ketiga orang itu memburu tiba, ketika melihat orang yang mereka
kejar berbalik berhenti menunggu kedatangan mereka, keruan mereka jadi
melengak. Tapi merekapun jago kawakan, meski terkejut tidak menjadi gentar.
Sekali bersuit, serentak ketiga orang menghadapi Siang Cin dari tiga arah.
Siang Cin merasa sudah pernah melihat satu di antaranya, yaitu si kurus pucat
seperti mayat hidup yang datang bersama orang she Toh menegur Bwe Sim di
tembok benteng itu.
Dua orang lagi berjubah kelabu, rambut terikal di atas kepala seperti dandanan Tosu,
semuanya setengah baya. Wajah mereka putih bersih dan cukup tampan, tapi air
mukanya sangat dingin se akan2 langit ambruk juga tidak peduli.
Si mayat hidup juga terkejut setelah mengenali Siang Cin, tapi ia lantas mendengus:
"Hm, mirip benar penyamaranmu, sahabat!"
"Ah, hanya main2 saja," jawab Siang Cin dengan tersenyum.
"Apakah kau ini si Naga Kuning?" dengus pula orang itu.
"Ehm, tajam juga padanganmu!" dengan angkuh Siang Cin mengangguk.
Kedua orang yang berjubah kelabu saling pandang sekejap, yang sebelah kanan
lantas melangkah maju setindak dan menjengek: "Siang Cin, sombong benar kau!"
352 Siang Cin memandangnya sekejap, jawabnya dengan tertawa: "Dan kau ini lepasan
dari mana?"
Kedua orang berjubah kelabu itu tidak menjawab, sebaliknya si mayat hidup lantas
tertawa terkekeh2, katanya kemudian: "Naga Kuning, percuma namamu sedemikian
tenarnya, tapi matamu ternyata kurang awas, masa Tiang hong jit coat tak kau
kenal?" Siang Cin mencibir dan menjawab: "Tiang hong-jit coat itu orang macam apa"
Kenapa aku harus kenal mereka?"
Si mayat hidup tenang2 saja, ia memberi tanda untuk mencegah kedua orang
berjubah kelabu yang sudah tidak tahan itu, lalu ia mendengus pula: "Siang Cin,
sudah lama kami menguntit kau . ... .. ."
"Ini kan bukan rahasia, sejak tadi juga kutahu," jawab Siang Cin dengan angkuh.
"Berapa banyak pula begundalmu yang kau bawa, Siang Cin?" tanya orang itu.
"Hm, kaukira aku ini tawananmu dan harus mengaku" Hm, kau sungguh ke
kanak2an, kawan. Memangnya dengan hak apa kautanya padaku?" dengus Siang
Cin. "Dengan hak untuk mencabut nyawamu, kawan?" oraug itupun balas mendengus.
?"Hah, hanya orang macam kau juga berani main gila padaku" Hm, kukira mah
selisih jauh," ujar Siang Cin dengan tertawa geli.
Dengan dingin orang itu berkata: "Haha, sebaliknya aku "Mo bin cu" (si muka iblis)
Ciong Hu apakah dapat kau gertak?"
"jika demikian, hayolah boleh kita coba2 beberapa jurus," tantang Siang Cin. "Kedua
kawan dari Tiang hong pay ini bila tidak mau kesepian, boleh silakan maju sekalian."
Tidak kepalang gemas kedua orang berbaju kelabu itu. Belum lagi mereka
menanggapi ejekan Sang Cin itu, secepat kilat Mo bin cu Ciong Hu, sudah
menerjang maju, sekaligus ia melancarkan beberapa kali pukulan. Namun seperti
bayangan setan saja, tahu2 Sang Cin sudah menyelinap ke tempat lain, berbareng
iapun melontarkan beberapa kali hantaman kepada kedua orang berbaju kelabu.
Cepat kedua orang itu berkelit, mereka terkejut tak terduga oleh mereka bahwa
Siang Cin sedemikian tangkasnya, mau tak mau merekapun balas menyerang.
Tapi cuma beberapa gebrak saja, ketiga orang itu mulai kelabakan karena digoda
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
oleh serangan Siang Cin yang tidak menentu. Meski belum kelihatan kalah, tapi jelas
mereka merasa malu.
Wajah Mo bin cu Ciong Hu tetap pucat dingin tanpa mengunjuk sesuatu perasaan,
tapi di dalam hati tidak kepalang gemasnya. Sekali berputar, tahu2 ia telah
memegang sejenis senjata aneh, seperti keris yang berlekuk sembilan tapi ujungnya
bercabang seperti lidah ular.
353 Pada saat itu Siang Cin sempat menghindarkan gernpuran kedua orang berbaju
kelabu, menyusul ia balas menghantam si mayat hidup sambil berseru: "Coa kak
kiam ( pedang tanduk ular) yang bagus!"
Cepat Ciong Hu mengelak, berbareng ia balas menusuk dengan kerisya. Hanya
sekejap saja belasan jurus sudab berlalu pula.
"Krek", se konyong2 terdengar suara tulang patah, salah seorang berjubah kelabu
telah beradu tangan dengan Siang Cin, air muka orang itu seketika berubah pucat
seperti mayat, kedua tangannya lantas melambai ke bawah, lemas sepertr tak
bertulang lagi.
Sedikit peluang itu digunakan Mo bin cu Ciong Hu untuk menyergap, kerisnya terus
menikam. Namun Siang Cin sempat berputar ke samping sehingga tikaman lawan
mengenai tempat kosong. Pada saat yang sama terasa angin pukulan yang dahsyat
menyambar tiba dari belakang, cepat Siang Cin meloncat ke atas, berbareng kedua
tangannya menabas untuk memaksa mundur Ciong Hu.
Diam2 Siang Cin sudah ambil keputusan akan tumpas dulu si muka iblis ini,
Sementara itu dilihatnya si baju kelabu yang tangannya patah tadi sedang bersandar
di pohon di tepi kolam sana dengan napas memburu dan butiran keringat menghias
jidatnya. Tangannya yang patah tulaug itu tampak membengkak.
Mendadak Siang Cin menubruk maju lagi, kedua kakinya beruntung menendang
dagu Ciong Hu. Terpaksa Ciong Hu melompat mundur. Pada saat itu juga si baju
kelabu satunya juga mendesak maju dengan pukulan dahsyat.
Akan tetapi Siang Cin telah perlihatkan kelihayannya, sekaligus ia tahan serangan
kedua lawan tangguh ini. Sebelah tangan menabas Ciong Hu sehingga si muka iblis
ini terpaksa melompat mundur pula, sedang tangan lain tepat menabas di dada si
kelabu. Terdengar suara "bluk" yang keras dan jeritan tertahan, si jubah kelabu tumpah
darah dan berputar2 beberapa kali untuk kemudian lantas jatuh terkapar.
Si jubah kelabu yang patah tulang tangan menjadi kalap, tanpa pikir lagi iapun
menerjang ke arah Siang Cin. Pada saat yang sama Ciong Hu juga menubruk maju
pula dengan beringas.
Siang Cin bergelak tertawa dan berdiri tegak, mendadak kedua telapak tangannya
bergerak, memotong dan menabas, telapak tangan setajam mata golok bergerak
cepat dan tepat, terdengar serentak suara "blak buk" ber ulang2. Si baju kelabu
sekeligus kena dihantam empat kali dan ter guling2 ke sana dengan darah
berhamburan. Sedangkan Ciong Hu sempat mengelak dan melompat mundur, tapi segera ia
menubruk maju lagi dan balas menyerang. Siang Cin sendiri juga rada payah setelah
mengadu pukulan beberapa kali dengan kedua orang berjubah kalabu itu. Akan
tetapi tidak menjadi alangan baginya untuk menyambut serangan si muka iblis ini,
belum lagi Ciong Hu melihat jelas apa yang terjadi, tahu2 Siang Cin mendesak maju,
kerisnya jelas ambles ke tubuh Siang Cin, tapi tahu2 terlibat oleh jubah kuning Siang
Cin dan sukar ditarik kembali.
354 Keruan Ciong Hu terkejut, tak terpikir lagi olehnya tentang gengsi segala, ia meraung
keras, keris dilepaskan dan dia melompat mundur.
Akan tetapi sudah terlambat, mendadak jubah Siang Cin yang melibat ternyata lawan
itu mengebas, selagi Ciong Hu kerepotan menghadapi sambaran jubah yang mirip
segumpal awan itu, tahu2 ulu hatinya kena ditendang oleh Siang Cin, tanpa ampun
lagi ia terpental dan ter guling2 tak bangun lagi.
Untuk sejenak Siang Cin berdiri di tempatnya, ia mengerling sekejap ketiga
korbannya, habis itu barulah menghela napas panjang dan mengusap keringatnya
dengan lengan baju. Baru sekarang ia melihat kedua tangan sendiripun rada
bengkak. Ia kebaskan keris musuh yang terlibat di jubahnya itu, lalu memutar balik
menuju ke arah datangnya tadi.
Tiba2 ia merasa suara ribut di Ji ih hu telah padam, sekeliling terasa sunyi senyap,
tenang tapi seram, mungkin inilah ketenangan sebelum badai tiba.
Dengan cerdik Siang Cin menyusur ke samping taman dan memandang ke sana,
dilihatnya Kim bin tian sana terang benderang dan banyak bayangan orang yang
berlari kian kemari. Api yang berkobar di belakang Kim bin tian sana tampaknya
sudah kecil tapi masib berkobar, di tembok benteng sana samar2 kelihatan penjaga2
berseragam kulit sibuk mondar manair, semua ini entah alamat apa yang akan
terjadi. Tengah Siang Cin berpikir bagaimana tindakannya, mendadak dilihatnya belasan
orang berlari ke arah kolam kering, tempatnya bertempur dengan Ciong Hu tadi,
sejenak kemudian orang2 itupun berlari balik. Terdengar seorang yang bersuara
bengis serak mengomel: "Keparat, sudah mati semua, keji amat, satupun tidak ada
yang hidup."
Habis itu lantas terdengar suara bentakan orang memerintah, sejenak kemudian
seorang lagi yang bersuara melengking bertanya: "Tian Hiong, apakah kau lihat ada
orang bertempur di sini tadi?"
Suara seorang menjawab dengan gugup: "Ya, baru saja hamba bersama Cin Wi dan
dan Tan Sian bertiga ronda ke sini, dari jauh kami sudah dengar suara berisik, ketika
kami mengintai dari kejauhan, kelihatan Ciong ya bertiga sedang mengerubut
seorang musuh, maka cepat2 hamba berlari kembali melapor kepada Nyo ya . . .. . "
Suara melengking tadi berseru pula: "Sialan, kan sudah kukatakan sejak mula agar
regu patroli harus diperbanyak, sekarang sudah telanjur terjadi baru ribut2, lalu apa
gunanya?" Lalu suara parau tadi berkata pula: "Nyo heng, apakah kau dapat menilai betapa
tinggi kepandaian panyatron ini" Lo-liok (keenam) dari Tiang hong jitcoat Suma Eng
sarta Lojit (ketujuh) Ni Thay sudah cukup kita kenal kemampuannya, biarpun Lo
Ciong si muka iblis juga tergolong tokoh utama Ji ih hu kita. Sekarang mayat ketiga
orang ini sama terkapar di sini, luka merekapun akibat pukulan dahsyat. Dengan
perkataan lain mereka terbunuh oleh pukulan tangan kosong lawan. Coba kalian
pikir, dengan tenaga gabungan mereka bertiga, siapa di dunia ini yang mampu
membinasakan mereka dengan bertangan kosong?"
355 Setelah terdiam sejenak, mendadak si suara melengking tadi scperti ingat sesuatu
dan berteriak: "Naga Kuning! Ya, yang kaumaksudkan pasti Naga Kuning Siang
Cin"!"
"Hai," si suara serak tadi mendengus. "Kecuali dia kukira sekalipun Kim lui jiu Kin Jin
yang terkenal ilmu pukulan yang dahsyat juga tak mampu melakukannya."
"Bangsat she Siang itu pasti masih mengeram di sekitar sini," si suara melengking
meraung murka. "Sungguh keji amat, betapapun Locu tak bisa mengampuni dia."
"Hm, asalkan dia berani keluar, asalkan kita dapat mempergoki dia, utang darah ini
harus kita tagih kembali," demikian si serak menambahkan.
Si suara melengking tadi meraung: "Apalagi yang kau tunggu, Tian Hiong, keparat!
Lekas singkirkan mayat2 itu."
Maka terdengar seorang mengiakan, menyusul lantas terdengar suara orang banyak
sedang bekerja.
Si suara serak berkata pula: "30 tempat panah di sebelah timur hancur, tiga sisi lain
juga rusak hampir 50 tempat, banyak busur dan panah dihancurkan . . . . .. Selain
penjaga2 yang terbunuh, diketemukan pula mayat nona Bwe. Sungguh konyol, baru
kemasukan tiga mata2 musuh sudah diobrak-abrik begini, lalu cara bagaimana kita
dapat menghadapi pasukan musuh yang sudah dekat itu?"
"Ya, kulihat gelagat memang agak gawat," demikian si suara melengking
menanggapi. "Lo Tong, menurut laporan, pasukan perisai Ceng siong sanceng dan
pasukan berkudanya juga terdesak mundur oleh pasukan musuh, mungkin tidak
sampai terang tanah Bu siang pay akan sampai di Toa ho tin, tampaknya Jan loyacu
juga rasa gelisah, sedangkan bini Khang losam juga telah dibawa lari orang,
sebelum kabur malahan kamarnya dibakar, kuyakin pasti perbuatan orang she Siang
itu. Juga Co lociangbun dari Tiang hong pay tainpak sedih melihat puteri
kesayangannya sudah menjadi mayat"
Sejenak suasana menjadi hening, lalu si suara serak berkata pula: "Hayolah
berangkat, cari orang she Siang itu dan begundalnya, jangan sampai kawan kita ada
yang dikerjai lagi. Apa boleh buat, terima duit orang terpaksa harus menjual nyawa."
Lalu terdengar suara tindakan orang banyak dan makin menjauh. Sejenak pula baru
Siang Cin berdiri. Diam2 ia merasa lega, ia tahu Sebun Tio-bu bertiga telah
melaksanakan tugasnya dengan baik. Berbareng iapun ingat pada Bwe Sim yang
pingsan tertutuk itu dan disangka sudah mati oleh orang2 Tiang hong pay dan Ji ih
hu, bisa jadi saat ini tubuhnya ditaruh di suatu tempat yang tak terurus mungkin di
tengah2 tumpukan mayat yang lain. Diam2 ia menghela napas menyesal. Tapi apa
boleh buat, keadaan memaksanya harus begitu, kalau tidak membunuh tentu akan
dibunuh, tiada persoalan moral lagi yang perlu dipikirkan.
Tugas Siang Cin sekarang adalah membebaskan orang2 Bu siang pay yang
tertawan. Cuma di mana mereka dikurung, inilah yang belum diketahui. Padahal
untuk menyelidikinya jelas sekarang tidak mudah lagi.
356 Setelah berpikir, terpaksa Siang Cin merunduk lagi ke arah Kim bin tian. Ia tahu
pihak lawan saat ini sedang memperketat pencarian dirinya, sebab itulah dia harus
bertambah waspada.
Beberapa regu patroli musuh dapat dilalui pula, dengan mandi keringat akhirnya
Siang Cin dapat mendekati sebuah rumah batu yang mirip gudang. Di depan rumah
batu ini jelas kelihatan belasan bayangan orang mondar mandir dengan senjata
terhunus. Di ujung rumah sebelah sini, sebuah jendela setinggi dua tombak tampak terbuka,
lubang jendela sebesar satu dua kaki, jadi cukup diterobos oleh tubuh manusia,
mungkin jendela itu hanya jalan hawa belaka.
Siang Cin tertarik oleh rumah batu yang dijaga ketat ini, betapapun ia ingin
menyelidiki. Segera ia menggunakan cara yang paling kuna dan juga paling mudah
memancing perhatian oang, dia melempar sepotong batu ke arah sana, waktu kedua
penjaga di bawah jendela itu berlari ke sana, secepat burung terbang Siang Cin
lantas melayang ke atas.
Begitu mencapai ambang jendela, sebelah tangannya lantas meraih kusen jendela
dan menerobos ke dalam, tapi tangannya lantas terasa meraba cairan berbau anyir.
Tanpa memandangpun Siang Cin tahu barang apakah itu. Sungguh aneh, mengapa
di tempat begini ada darah"
Setelah direnungkan sejenak, ia jadi tertawa sendiri, segera sorot matanya yang
tajam mulai menjelajahi sekitarnya untuk mencari.
Rumah batu ini memang betul sebuah gudang. Karung goni bertimbun seperti
gunung, dari baunya yang memenuhi seluruh gudang dapat diketahui timbunan
barang ini pasti sebangsa beras dan bahan rangsum lain. Gudang sebesar ini hanya
pada samping pintu gerbang yang tertutup rapat itu terdapat sebuah lampu minyak
dengan cahayanya yang guram sehingga menambah suasana seram di dalam
gudang. Setelah jelas kelihatan tiada bayangan orang di dalam gudang, dengan pelahan
Sang Cin lantas mengeluarkan suara suitan lirih, setelab berhenti sejenak, lalu
bersuit pula tiga kali.
Mulai terdengar ada suara kresekan di balik tumpukan karung sana, sejenak
kemudinn sebuah muka orang tampak menongol dengan sorot matanya yang tajam.
Hah, siapa lagi dia kalau bukan saudagar kita, Sebun Tio bu.
Siang Cin lantas mendesis pula sehingga Sebun Tio hu dapat melihatnya. Tentu saja
pemimpin besar "Serikat pasukan berkuda" yang termashur itu kegirangan, segera ia
memberi tanda kepada Siang Cin, lalu menuding belakang.
Dengan enteng Siang Cin melayang ke sana dan turun di samping Sebun Tio bu.
Gudang ini benar2 suatu tempat sembunyi yang baik, sekelilingnya tumpukan karung
belaka, malahan pada suatu tumpukan di bagian tengahnya mereka kosongkan, lalu
tempat yang mendekuk itu digunakan sebagai tempat sembunyi. .
357 Loh Hou dan Le Tang tampak meringkuk di situ, baju Loh Hou berdarah, bagian
dada dan perut terbalut, agaknya dia terluka.
Segera Sebun Tio bu menarik Siang Cin ke tempat sembunyinya, tanyanya pelahan:
"Siang heng, bagaimana hasil pekerjaanmu" Tampaknya kalang kabut, tentu mereka
telah kau kerjai. Engkau sendiri tidak apa2 bukan?"
Siang Cin tersenyum, jawabnya dengan suara tertahan: "Lumayan, tidak sampai
terjungkal . . . .
Kutahu kalian telah berhasil menghancurkan sebagian besar liang panah, sungguh
hasil yang bagus! Api yang berkobar di belakang Kim bin tian itu tentu juga kerja
kalian?" "Kim bin tian?" tanya Sebun Tio-bu bingung. "Tempat apakah itu?"
"Yalah gedung tengah yang termegah itu . . . . Itulah pusat pimpinan Ji ih hu . . . . "
"Betul, itulah hasil kerja Loh lote, justeru lantaran menyalakan api itulah, di situ dia
dilukai oleh dua lawannya."
Dengan prihatin Siang Cin memandang Loh Hou sekejap dan bertanya:
"Bagaimana" Apakah parah?"
"Bagian dada tergores, untung cuma tersayat saja, kalau tertusuk langsung, wah,
mungkin sudah tamat," tutur Sebun Tio bun. "Selain itu pundaknya juga kena dua
kali hantaman, untung tulangnya tidak retak, namun menjadi bengkak juga."
"Apakah dapat kergerak dengan leluasa?" tanya Siang Cin pula.
Sebelum Sebun Tio bu menjawab, dengan suara parau Loh Hou berkata:
h Siang Cin sesuatu yang menarik. Rupanya lantai serambi panjang itu terdiri dari ubin dua
warna, putih dan kelabu. Anehnya langkah kedua orang tadi selalu berpijak pada
ubin putih yang agak menonjol, sedangkan ubin kelabu yang agak ambles ke bawah
sama sekali tidak disentuhnya. Jelas ini bukan secara kebetulan saja.
Sementara itu. kedua orang tadi sudah sampai di depan pintu, daun pintu itu sangat
besar dan terbuat dari kayu Tho yang berat. Kedua orang itu tidak mengetuk pintu,
tapi pintu lantas terbuka sendiri, di balik pintu berdiri seorang lelaki kekar sedang
membungkuk tubuh memberi hormat kepada kedua orang.
Sesudah pintu tertutup pula, segera Siang Cin memeras otak dan mulai mencari tahu
sebab musababnya.
Kedua orang tadi berjalan tanpa bersuara, juga tidak memberikan sesuatu tanda
rahasia apa2, tapi orang di balik pintu seperti sudah tahu siapa yang datang.
Mengapa bisa begini"
Jawabnya cuma satu, yakni sepanjang perjalanan kedua orang itu, baik bangun
tubuh dan wajah mereka sudah dapat diketahui oleh pesawat rahasia yang tepasang
di tempat tersembunyi, dengan lain perkataan, yang datang ini kawan atau lawan
sudah diketahui sebelum tiba di pintu sana.
Lalu berada di manakah alat rahasia itu dipasang" Benda apakah itu"
322 Pelahan, sejengkal demi sejengkal Siang Cin terus menggremet maju dan
memeriksanya dengan sangat teliti. Akhirnya, hampir saja ia berteriak gembira. Aha,
kiranya permainan begini!
Rupanya di bawah atap serambi panjang itu, pada setiap sepuluh langkah tentu
bergantung sebuah lampu kaca yang besar. Cahaya lampu sangat terang sehingga
sepanjang serambi inipun terang benderang Sedangkan di sepanjang lankan (pagar)
serambi, setiap pilar dan setiap belandar atap serambi, banyak terhias kepingan
tembaga berbentuk bulat sebesar baskom. Tembaga ini kuning mengkilap dan
seperti diberi bergambar, kalau dipandang sepintas lalu akan disangka sebagai
benda hiasan belaka. Tempat kepingan tembaga kuning gilap itupun aneh, jarak dan
urutannya tidak teratur, namun didasarkan pada sudut pantulan sinar yang dapat
dicapai. Jadi kepingan kuningan itu serupa sebuah cermin saja, asalkan ada orang lalu di
bawahnya, bayangannya akan tercermin ke dalam kepingan tembaga itu terus
dipantulkan ke arah kepingan tembaga yang lain, lalu dari kepingan tembaga
berikutnya dipantulkan lagi lebih lanjut dan begitu seterusnya. Dengan demikian,
maka penjaga yang tersembunyi akan dapat mengetahui dengan jelas pendatang ini
kawan atau lawan.
Siang Cin tersenyum memandangi kepingan tembaga yang terpaku di tepi jendela di
atas loteng sana. Ia sangat kagum kepada pencipta alat rahasia yang hebat ini,
sungguh jenius si pencipta ini. Cuma sayang, bakat yang sukar dicari itu bisa jadi
akan hancur dalam semalam ini.
Selagi Siang Cin hendak mencari akal untuk maju ke sana, tiba2 terdengar pula
suara orang berjalan di belakang, yaitu di balik gunung2an palsu tempat
sembunyinya tadi, tahu2 dari sana muncul belasan bayangan orang, agaknya
sedang mencari jejaknya dengan memeriksa tanah yang dilaluinya tadi.
Terdengar seorang di antaranya mengomel: "Keparat, jelas2 ada bayangan orang
berkelebat di sini, mengapa tidak kelihatan sekarang?"
"Jangan banyak curiga, mungkin matamu sudah lamur, tapi lagakmu seperti orang
yang paling awas," gerutu temannya.
"Ya, mana ada bayangan orang?" sambung yang lain. "Bayangan setan saja tidak
ada. Di depan Kin bing tian ( (istana kaca emas) terdapat tujuh genta dan 16 batang
pipa pengintai, para penjaganya saja tidak melihat apa2, masa matamu lebih awas
daripada puluhan orang lain?"
Begitulah setelah olok berolok, lalu orang2 itupun meninggalkan tempat itu dan
lenyap dalam kegelapan.
Berdasarkan ucapan orang2 tadi, Siang Cin mulai men cari2 pula di halaman situ,
benar juga ditemuinya belasan batang pipa yang terjulur ke arah yang ber beda2,
pipa itu cuma menonjol beberapa senti di permukaan tanah dan entah menembus ke
mana. Mungkin inilah yang disebut pipa pengintai"
Tadi Siang Cin tidak tahu ada pipa2 begini, tapi mengapa jejaknya belum diketahui
musuh" Mungkin saking cepat gerakannya, alasan lain tidak ada.
323 Setelah berpikir sejenak, dengan kecepatan kilat Siang Cin melayang ke pipa
pengintai yang terletak di ujung kiri sana. Setiba di situ, secara iseng ia gunakan
telapak tangannya untuk menutup mulut pipa, dengan santai ia menunggu reaksinya.
Benar juga, tidak seberapa lama terdengarlah suara gempar di bawah. meski teraling
oleh selapis tanah juga dapat didengar Siang Cin suara seorang sedang meraung
gusar: "Dirodok, siapa yang berani bergurau dengan menutup mata pipa" . . . . . .
Poa Keng, coba naik sana, periksalah apa yang terjadi. Besar kemungkinan si
keparat Co Liang . . . . . "
Terdengar suara seorang mengiakan dengan samar2, lalu di belakang pipa pengintai
ini, permukaan tanah seluas tiga kaki mulai ber gerak2, dengan cepat tertampaklah
celah2 lubang dan sebuah kepala lantas menongol keluar.
Belum lagi melihat jelas apa yang terdapat di luar, lebih dulu ia sudah mencaci maki:
"Hei, Co Liang, kau keparat, apakah kau cari mampus" Kaukira ini waktunya
bergurau, mengapa kau tutup mata pipa" Jika terjadi sesuatu kepalamu bisa
berpisah dengan tuanmu"!".
Siang Cin tertawa, "sret", sekali telapak tangannya terayun, kontan orang itu terkulai
ke bawah tanpa mengeluarkan suara, tubuhnya terus terperosot jatuh ke bawah.
Menyusul Siang Cin lantas menyusup juga ke dalam liang tanah itu.
Liang di bawah tanah itu luasnya kira2 dua tombak dan diberi tangga tanah ke
lubang liang, penutup lubang liangnya terbuat dari batu, di tepi tangga tanah itu ada
sebuah lubang kecil, sebuah pipa besi menembus masuk dari situ, seorang tampak
memicingkan sebelah mata sedang mengintai ke atas. Selain itu ada pula belasan
orang sedang bertiduran seperti babi mampus.
Orang yang dihantam mati oleh Siang Cin tadi terperosot jatuh ke bawah dan
meringkuk di samping tangga, namun teman2nya tiada yang ambil pusing, seorang
yang berhidung besar malah mendamperat: "Keparat, Poa Kong, barangkali kau
sudah terlalu banyak menenggak air kencing makanya tangga setinggi itu saja tidak
mampu mendakinya, biarlah kau mampus terjatuh."
Dengan pelahan Siang Cin menutup lubang itu, lalu melangkah turun dengan lagak
kawan sendiri, katanya dengan tersenyum: "Memang, dia benar2 telah mampus
terjatuh."
Si hidung besar hanya mendengus saja sambil mengomel: "Biarkan mampus, peduli
amat!" Tapi mendadak ia terus berbangkit dan memandang Siang Cin dengan
terbelalak, sejenak kemudian baru menegur: "Kau . .. . kau siapa?"
"Kudatang untuk mencabut nyawa anjing kalian!" jawab Siang Cin dengan tak acuh.
Seketika si hidung besar seperti disengat tawon, ia melompat bangun sambil
berteriak: "Ada mata2 musuh!"
Dengan tenang Siang Cin mengangguk, ia membalik tubuh, sekali hantam ia bikin
orang yang sedang mengintai itu terkapar, menyusul si hidung besar juga terpental
kena ditendang olehnya. Hanya sekejap saja belasan orang telah dibinasakan
seluruhnya. 324 Tanpa ayal Siang Cin membelejeti seragam kulit salah seorang dan dipakainya
sendiri, lalu ia keluar dari lubang itu, Setiba di ujung serambi tadi dengan
berlenggang lenggok ia terus menuju ke pintu gerbang sana melalui ubin putih tadi.
Ketika hampir sampai di depan pintu, tanpa diminta pelahan2 daun pintu lantas
terbuka. Seorang lelaki berusia tiga puluhan menatapnya dengan dingin serta
menegur dengan ketus: "Ada urusan apa, saudara?"
Siang Cin balas menatap dengan tidak kurang dinginnya, jawabnya dengan nada
galak: "Ada berita pertempuran penting harus dilaporkan!"
Orang itu mengamat amati Siang Cin sejenak, katanya pula: "Saat ini Jan kong
sedang rapat dengan para pimpinan, mungkin tiada waktu menerima kau. Pula,
mana kaupunya Ji ih long (lencana)?" "
Seketika jantung Siang Cin berdetak, tapi lahirnya ia tetap tenang2 saja, ia malahan
berlagak kurang senang dan menjawab: "Apakah tanpa Ji ih long aku dapat masuk
ke sini" Masa saudara mengira aku ini palsu?"
"Aku tidak peduli kau tulen atau palsu," jengek orang itu. "Yang penting peraturan
harus kita pegang teguh. Tanpa Ji ih leng, maaf kecuali Jan kong sendiri, siapapun
dilarang masuk."
Diam2 Siang Cin mengeluh, tapi di mulut ia tetap keras, katanya: "Saudara,
hendaklah ingat, ini urusan maha penting, jika ada persoalan, kau harus
bertanggung jawab."
Orang itu melirik Siang Cin sekejap, katanya kemudian: "Tapi kalau mata2 musuh
yang masuk, tanggung jawab ini lebih2 tak dapat kupikul. Pokok nya Ji ih leng harus
kau perlihatkan padaku."
Siang Ciu pura2 menunduk dengan lagak sukar untuk menjelaskan persoalannya,
katanya kemudian: "Toako, bicara terus terang, Ji ih leng tidak ku bawa saat ini,
soalnya . . . . . . . "
"Habis siapa kau?" jengek orang itu.
Siang Cin menggeser maju selangkah. lalu bisiknya dengan suara tertahan: "Terus
terang, tadi kami datang berdua. Tapi temanku itu . . . . , Ai, aku menjadi sukar untuk
bicara. Soalnya dia ada main dengan si Melati di gedung sebelah itu, tapi untuk
kesana kan juga diperlukan Ji ih leng, maka terpaksa kupinjamkan Ji ih lengku
kepadanya. Eh, Toako, demi kepentingan teman, kan pantas kalau kita berkorban . .
. . . " "Si Melati?" demikian lelaki itu mengulang nama itu dengan ragu.
"Ya, Melati, itulah, pelayan genit Kiu ih thay (selir kesembilan) yang memang manis
itu." "Di gedung yang mana?" tanya orang itu pula dengan menarik muka.
"Itu," sekenanya Siang Cin menuding ke belakang.
325 Orang itu mengamat amati Siang Cin pula, lalu bertanya dengan bengis: "Kau anak
buah siapa?"
"Gui Kong, Gui toako," jawab Siang Cin tanpa pikir.
"Gui Kong?" orang itu mengulang pula nama itu.
Siang Cin pura2 menghela napas kesal, katanya: "Ya, Gui toako itulah yang
ditugaskan mencari berita, di bawah pimpinannya, anggota regu kami benar2
kenyang makian, maklumlah, wataknya keras dan bicaranya kasar . . . . ." selagi
orang masih ragu2, cepat Siang Cin menambahkan pula: "Toako, tolonglah, urusan
kawan kita ini jangan kau katakan kepada orang lain, bilamana sampai diusut, tentu
kawanku itu bisa celaka, bahkan aku sendiripun akan ikut kena getahnya."
Akhirnya orang itu mengangguk dan berkata: "Baiklah, kuberi kelonggaran sekali ini,
setelah masuk nanti jangan kau sembarangan menerobos, di atas loteng ada rapat,
kau harus melihat gelagat."
Begitulah Siang Cin lantas masuk ke dalam gedung megah itu.
Ia rada kesima melihat ruangan itu sedemikian luasnya dengan macam2 perabotnya
yang gemilapan, lantainya diberi permadani tebal, ada sebuah meja panjang di
tengah ruangan dengan barisan kursinya yang indah. Dinding sekeliling dihiasi
lukisan dengan bingkai emas, langit2 diberi ukiran Liong dan Hong yang sangat
hidup tampaknya. Belasan lampu kristal menyorotkan cahayanya yang gemilang.
sungguh suatu ruangan pendopo yang indah dan megah.
Siang Cin memandang sekelilingnya sejenak, lalu mulai melangkah ke sebuah jalan
tembus samping berdekatan dengan tangga. Baru saja ia hampir lewat, tahu2
sesosok bayangan orang menuruni tangga batu itu tanpa bersuara.
Dengan kepala tertunduk Siang Cin bermaksud percepat langkahnya agar tidak
menimbulkan kerewelan lagi. Tak tecduga mendadak suara nyaring dingin seorang
telah membentaknya: "Berhenti, kau!"
Siang Cin pura2 tidak mendengar dan melangkah maju pula, tapi segera terendus
bau harum, suara nyaring garang tadi sudah berkumandang pula, di samping
telinganya: "Kubilang berhenti! Kaudengar tidak?"
Terpaksa Siang Cin berhenti dan berpaling, ia menjadi terkejut. Kiranya orang yang
berdiri di depannya adalah seorang perempuan berumur tiga puluhan, ia kenal
perempuan ini pernah bergebrak dengan dia di Pau hou ceng tempo hari, yaitu Lo
sat li Hek kwa hu, si janda hitam, adik perempuan tertua Sok lian su coat dari Pek
hoa kok yang sudah janda itu.
Sedapatnya Siang Cin bersikap tenang, ia pandang orang dan diam2 berdoa
semoga macan betina yang terkenal cantik tapi ganas ini tidak mengenalnya lagi,
kalau tidak perjalanannya ini pasti akan sia2 belaka.
Lo sat li mengamat amati Siang Cin, wajahnya yang cukup cantik itu sedingin es,
selang sejenak baru mendengus: "Kau hendak ke mana" Kukira tempat ini boleh
sembarangan berkeliaran bagimu?"
326 "O, Toasoh ini . . . . . "
"Sialan, siapa Toasohmu?" damperat Lo sat li dengan melotot.
"O, ya, Toaci ini . . . . . . . . "cepat Siang Cin ganti panggilan.
Tapi kembali Lo sat li mngomel dengan marah2: "Persetan, siapa pula Toacimu"!"
Untuk sejenak Siang Cin melengak, tapi segera ia paham kehendak orang, cepat ia
berucap pula: "Ya, ya, nona . . . . . nona."
Baru sekarang air muka Lo sat li tampak berubah senang, lalu mendengus pula:
"Pertanyaanku tadi belum lagi kau jawab."
Cepat Siang Cin menyambung: "O, ya. Cayhe diperintahkan Gui toako agar
melaporkan berita pertempuran. Konon Jan loyacu sedang rapat, maka Cayhe tidak
berani naik ke atas dan terpaksa mencari suatu tempat istirahat dulu "
"Cari tempat istirahat?" omel Lo sat li dengan mengerut kening. "Tahukah kau siapa
yang tinggal di kamar serambi sana?"
"O, Caybe tidak tahu," jawab Siang Cin dengan lagak gugup.
"Di sana tempat tinggalku bersama nona Bwe, masa boleh sembarangan dibuat
keliaran orang macam kau?" jengek Lo sat li pula. "Untung kulihat, kalau tidak, lalu
bagaimana jadinya bila dilihat orang lain?"
"Ya, sesungguhnya Cayhe memang tidak tahu, mohon nona memberi maaf," kata
Siang Cin dengan memberi hormat.
Kembali Lo sat li mendengus, lalu bertanya: "Siapa namamu?"
"Go Ji," jawab Siang Cin pelahan.
"Go Ji?" Lo sat li mengulang nama itu sambil mengernyitkan kening. Kembali ia
pandang Siang Cin lekat2, sampai lama barulah ia bergumam: "Tampaknya seperti
sudah kenal, cuma lupa entah di mana?"
Siang Cin menunduk lebih rendah lagi, diam2 ia berdoa semoga orang tidak ingat
kejadian tempo hari. Diam2 iapun siap siaga, bila perlu segera lawan akan
dirobohkan lebih dulu.
"Eh, Go Ji, tampaknya pernah kulihat kau" Apakah kau ingat pernah bertemu
denganku sebelum ini!" tanya Lo sat li.
Cepat Siang Cin menjawab: "Mungkin dalam sesuatu pertemuan di sini. Akhir2 ini
Cayhe selalu dinas luar. Situasi pertempuran cukup genting, Cayhe sendiri kuatir
entah bagaimana kesudahannya nanti . . . . . ?"
"Masa kau kuatir, sudah tentu kita pasti menang," ujar Lo sat li penuh keyakinan. "Bu
siang pay mengerahkan pasukannya ke tempat jauh, ini jelas tidak menguntungkan
mereka. Di Ce ciok giam mereka sudah mengalami kerugian besar, dari Ceciok giam
327 ke sini masih banyak rintangan dan jebakan, mungkin sebelum tiba di Toa ho tin ini
pasukan Bu siang pay sudah dihancur leburkan pasukan kita."
"Perkiraan nona pasti tidak jauh dari kenyataan, semoga dalam waktu singkat musuh
dapat kita hancurkan," tukas Siang Cin untuk membesarkan hati orang.
Mendadak Lo sat li menatap Siang Cin lekat2, lalu bertanya: "Eh, Go Ji, kau tahu
siapa diriku!"
Siang Cin berlagak seperti kikuk, jawabnya: "Cayhe . ti . . . tidak tahu."
"Hm, masa tidak tahu," jengek Lo sat li. "Aku bernama Giam Ciat, adik perempuan
To hay long Giam Ciang, itu tokoh utama Sok lian su coat dari Pek hoa kok, orang
memberi julukan Lo sat li padaku."
"Dan alias Hek kwa hu (si janda hitam)," demikian batin Siang Cin, sudah tentu tak
diucapkannya, sebaliknya ia malah menyanjung: "Ya, nama harum nona sudah lama
kudengar, sungguh beruntung sekarang dapat bertemu dengan nona yang cantik
dan anggun."
Lo sat li tertawa senang, tapi tidak urung ia pura2 mengomel "Ah, tampaknya
mulutmu juga pintar mengumpak. Eh rapat mereka pasti akan berlangsung lama,
tidak leluasa kita berdiri saja di sini, marilah duduk dulu ke tempatku."
Tergerak hati Siang Cin, tapi akhirnya ia pura pura serba rikuh, jawabnya: "Wah, kan
tidak baik kalau dilihat orang, nona Giam" kedudukan Cayhe terlalu rendah, mana
boleh masuk tempat nona yang terhormat situ?"
"Eh, apa2an kau ini?" omel Giam Ciat. "Sesama orang Kangouw, masa kita pakai
aturan tetek bengek begitu" Apalagi aku yang mengundang kau dan bukan kau yang
sembarangaa masuk ke tempatku, kita bertindak secara terang2an, takut apa?"
Diam2 Siang Cin bergirang, tapi di luar ia pura2 kikuk, katanya: "Jika . . . . jika
demikian, terpaksa Cayhe menurut saja."
Giam Ciat lantas mendahului melangkah ke sana dengan gaya yang gemulai, Siang
Cin ikut di belakangnya, tercium bau harum semerbak teruar dari tubuh Giam Ciat
dan membuat pikirannya rada terguncang.
Setelah menyusuri serambi dan menembus sebuah pintu bundar, benar juga di sana
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terdapat petak kamar yang indah.
Pelahan Giam Ciat mendorong pintu sebuah kamar sambil menuding kamar yang
lain, katanya: "Itu tempat tinggal nona Bwe, dia sangat sibuk dan sedang pergi ke
Pau hou ceng"
Sembari bicara iapun menyilakan Siang Cin masuk kamar. Ruangan kamar dibatasi
tabir kain sutera kembang yang indah, mungkin di balik tabir itulah tempat tidur si
nona. Kamar inipun sangat indah dengan macam2 hiasannya, asap cendana wangi
mengepul memenuhi ruangan kamar.
328 Giam Ciat lantas merapatkan pintu, habis itu ia menyingkap tabir pemisah sehingga
kelihatan sebuah tempat tidur yang mentereng. Dengan pandangan sayu genit Giam
Ciat menatap Siang Cin, katanya dengan suara lembut: "Go Ji . . . . . . . "
Siang Cin mengiakan dengan lurus tegak.
Giam Ciat tersenyum genit, dengan suara yang lembut menggetar sukma ia berkata
pula: "Go Ji, coba kemari, ingin kulihat . . .. . . "
Meski Siang Cin juga seorang lelaki normal, tapi untuk mengekang diri, dalam hal
seperti sekarang ini bukan soal baginya. la mendekati Giam Ciat dengan tertawa,
tanyanya pelahan: "Ada petunjuk apa, nona?"
Giam Ciat menepuk sisi tempat tidurnya dan berkata dengan pandangan sayu: "Sini,
duduklah di sini. . . ."
Tapi Siang Cin tetap berdiri saja, jawabnya sambil menggeleng: "Ah, Cayhe tidak
berani." Mata Giam Ciat setengah terpicing, ucapnya dengan suara genit: "Duduklah, turutlah
perkataanku, takkan kubikin susah padamu."
Tapi Siang Cin tetap berdiri tegak, ucapnya: "Apakah takkan merusak nama baik
nona nanti?"
Agaknya ucapan ini menyinggung perasaan Giam Ciat, ia menjadi marah, omelnya:
"Go Ji, apa maksudmu" Kaupandang nonamu ini orang macam apa?"
Lekas2 Siang Cin memberi hormat dan menjawab: "O, mana berani Cayhe
bermaksud buruk terhadap nona. Soalnya Cayhe ini orang kecil, kuatir membikin
susah nona sendiri, makanya bicara terus terang, mohon nona maklum."
Karena ucapannya cukup beralasan, mau tak mau Giam Ciat menjadi kikuk sendiri.
diam2 iapun menaruh simpatik terhadap "keroco" yang tahu diri ini. Segera ia
berduduk tegak dengan berkata: "Betul juga ucapanmu, Go Ji. Sesungguhnya aku
cuma bersimpatik padamu karena kau kelihatan lain daripada yang lain, makanya
kuajak kau mengobrol, tak tersangka kau terlalu banyak pikir . . . . . Eh, Go Ji,
apakah susah bertugas di garis depan?"
Seketika Siang Cin membusungkan dada dan menjawab: "Ah, susah apa, ini kan
tugas, Mana dapat dikatakan susah. Demi kejayaan Ji ih hu di Toa ho tin, demi
kebesaran nama Jan kong, adalah pantas jika kita bersusah sedikit. Eh, nona Giam,
menurut pandanganmu, apakah pertempurun ini dapat kita atasi?"
"Melihat gelagatnya, seharusnya kemenangan pasti di pihak kita," ujar Giam Ciat
dengan tersenyum genit. "Keempat kakakku sudah maju juga ke garis depan.
sebagian besar pasukan Toa to kau juga sudah dikerahkan, begitu pula Jit ho hwe,
sedangkan Jik san tui dan Hek jiu tong seluruhnya bertahan di Pau hoa ceng . . . . "
dia merandek sejenak, lalu menyambung pula: "Konyol juga Hek jiu tong itu, ada
ribuan orang sisa kekuatan mereka dari Pi ciok san, kecuali yang terluka dan cacat,
yang dapat bertempur cuma delapan ratus orang. Sudah separo kekuatan mereka
dikirim ke Ce ciok-giam, tapi hampir satupun tiada yang kembali dengan hidup.
Kedua ribu prajurit Jik san tui juga kocar kacir seluruhnya, konon karena terjebak
329 oleh bahan peledak yang sebenarnya ditanam kita sendiri. Malahan pemimpin ketiga
Jik san tui, Pek Wi-bing juga gugur, begitu pula dua jagoan Hek jiu tong juga mati
konyol di sana .
Siang Cin mendengarkan saja dengan tenang, katanya kemudian: "Menurut Can
lomo dari Hek jiu tong, katanya perajurit pihak lawan juga musnah sebagian besar.
Jika betul begini, kan kita belum rugi."
"Can lomo memang lari pulang dalam keadaan mengenaskan, siapa berani bilang
keterangannya itu benar atau tidak?" jengek Giam Ciat. "Eh, Go Ji, tentunya kau
tahu, kabarnya si Naga Kuning dan gerombolannya yang memimpin pertempuran di
Ce ciok giam, apa betul?"
Diam2 Siang Cin merasa geli, tapi iapun membenarkan dengan mengangguk.
Gam Ciat termenung sejenak katanya kemudian: "Di Pau hoa ceng pernah kugebrak
satu kali dengan Naga Kuning itu . . . . ."
"Apa?" Siang Cin berlagak melengak "Nona pernah bergebrak dengan Naga
Kuning?" .
"Betul," jawab Giam Ciat dengan gemas. "Keparat ini sangat menjemukan, mulut
tajam dengan keji, tapi Kungfunya memang benar2 menakutkan orang . . . . " seperti
membayangkan apa yang terjadi dahulu, sejenak kemudian ia menyambung pula:
"Empat jago Jik san tui yang tinggi besar, hanya sekejap saja telah dirobohkan,
sampai2 cara bagaimaka turun tangannya tak terlihat jelas. Konon sejak muncul di
Kangouw orang ini hanya menggunakan kedua tangan kosong untuk menghadapi
siapapun juga, banyak tokoh ternama yang telah terjungkal di bawah telapak
tangannya."
Siang Cin hanya ber kedip2 saja tanpa menanggapi. Dalam keadaan demikian,
seorang nona cantik sedang bercerita mengenai dirinya, betapapun terasa rada lucu.
Setelah menghela napas gegetun, Giam Ciat bercerita pula: "Biasanya kuanggap
kepandaianku sudah tergolong kelas satu, siapa tahu sekali kebentur si Naga
Kuning, hampir saja aku terjungkal habis2an, yang lebih menyakitkan hati adalah
olok2nya yang tajam itu. Waktu itu dia memakai baju seragam Jik san-tui, rambut
kusut masai, muka kotor dan habis membobol penjara Pau-hou ceng yang termashur
kuat . . . . . sampai saat ini aku sendiri tidak tahu bagaimana wajahnya yang
sesungguhnya, konon dia sangat cakap ."
Dengan agak canggung Siang Cin menanggapi: "Lain kali kalau kepergok lagi harus
hajar adat padanya." .
"Huh, bicara mudah, kalau benar sudah bertemu baru kautahu rasa," ujar Giam Ciat.
"Jika tiada si Naga Kuning, mana bisa pihak Hek jiu tong mengalami kekalahan
besar begini" Mana mungkin Jik san tui mengalami kehancuran total dan penuh
borok" Terus terang, biarpun pasukan Bu siang-pay juga sangat kuat, tapi tidak sulit
untuk dihadapi, yang menakutkan ialah si Naga Kuning ini. Dia banyak tipu akalnya,
tindak tanduknya sukar diraba, kepandaian sejatinya juga sangat tinggi, dia benar2
merupakan suatu penyakit bagi kita . . . . . " setelah merandek sejenak, lalu ia
menyambung: "Cuma, sekarang Jan kong sedang rapat membicarakan siasat
selanjutnya, salah satu soal yang diperbincangkan adalah cara bagaimana
330 menghadapi si Naga Kuning. Setahuku, pihak kita sudah khusus menyiapkan
beberapa tokoh terkemuka untuk menghadapi dia."
"O, siapa2 saja?" tanya Siang Cin.
"Akupun tidak jelas, mungkin tugas ini akan diserahkan kepada orang2 Tiang hong
pay dan Ceng-siong san ceng."
"Tiang hong pay?" Siang Cin menegas.
"Ya, nona Bwe di sebelah adalah tokoh Tiang-hong pay," tutur Giam Ciat. "Jangan
kau kira dia masih muda belia, mungkin dua Giam Ciat juga bukan tandingannya."
"Tokoh Tiang hong pay kan terdiri dari tujuh orang lelaki, darimana bisa timbul
scorang perempuan?" ujar Siang Cin heran.
"None Bwe adalah puteri angkat ketua Tiang-hong pay, dengan sendirinya Tiang
hong pay yang dikenal umum tidak termasuk dia. Cuma, kepandaiannya memang
sangat tinggi dan tidak di bawah beberapa paman gurunya itu."
"O, jika begitu, ketujuh tokoh Tiang hong-pay telah datang semua?"
"Ya, sudah datang semua, masa kau tidak tahu" Kan tempo hari Jan loyacu sendiri
yang menyambut kedatangan mereka dengan upacara besar."
Cepat Siang Cin berkata: "O, barangkali waktu itu Cayhe sedang dinas luar . . . . "
Giam Ciat menguap ke-malas2an, katanya dengan tertawa: "Ehm, ngantuk rasanya."
Siang Cin tahu waktu sudah mendesak, sudah sekian lama ia menyusup ke Ji ih hu,
berita yang dapat dikoreknya juga tidak sedikit. Tapi bagaimanapun akibatnya, dua
hal penting perlu juga diselidiki.
Maka dengan lagak prihatin Siang Cin lantas berkata dengan suara tertahan: "Nona
Giam, bahwa Hek jiu tong mengalami kekalahan besar, Jik san-tui juga hancur,
konon persoalannya hanya karena menyangkut seorang nona cantik saja."
"Hm, memang," jengek Giam Ciat. "Siapa lagi kalau bukan puteri kesayangan ketua
Bu siang-pay, namanya Thi Yang yang."
"Ah, perempuan benar2 air bencana." ujar Siang Cin dengan menyesal.
"Hm, dasar perempuan murahan," jengek Giam Ciat. "Ayahnya sedang
mengerahkan pasukan dan bertempur mati2an baginya, tapi sepanjang hari dia
cuma berdekapan melulu dengan Khang Giok tek, sungguh aku menjadi gemas bila
melihat mereka. Kita sedang jual nyawa, apa tujuannya" Coba kalau tidak ingat Jan
loyacu serta saudara2 Jik san tui dan karena urusan sudah meluas begini, orang
Kangouw harus mengutamakan setia kawan. Kalau tidak, untuk apa kita melibatkan
diri di dalam persengketaan adu nyawa ini?"
"Apakah kedua orang itu berani bertingkah secara terbuka begitu di Pau hou ceng?"
tanya Siang Cin.
331 "Mana di Pau hou ceng," jawab Giam Ciat "Mendingan kalau mereka berada di sana,
mereka justeru tinggal di Hwe im kok di sebelah sana, seperti pengantin baru saja."
Diam2 Siang Cin meng ingat2 tempat yang di sebut itu, lalu ia bertanya pula:
"Apakah nona Giam pernah melihat Thi Yang yang itu?"
"Pernah dua kali, memang boleh juga wajahnya, tapi juga tidak luar biasa, hanya
matanya yang bening2 basah itu memang rada2 menggiurkan," tutur Giam Ciat.
"Apakah Khang Giok tek cuma ngendon di Hwe im kok melulu?"
"Ya, barangkali kedua orang itu sudah buta cinta sehingga kegemparan yang terjadi
di luar tak tergubris oleh mereka. Beberapa hari akhir2 ini mungkin Khang losam itu
diomeli kakaknya, maka terkadang juga keluar. Padahal, hm, sisa Hek jiu-tong
tinggal beberapa ratus orang, kukira cepat atau lambat pasti juga akan tamat di
tangan Khang-losam."
"Nona Giam, menurut pendapatku, kemungkinan kalah bagi kita juga tidak perlu di
cemaskan."
"Memangnya apa maksudmu?" tanya Giam Ciat.
"Bukankah kita masih ada suatu langkah terakhir, langkah mematikan ini kalau kita
keluarkan, betapa lihaynya Bu siang pay juga pasti akan mati kutu. Tentunya nona
tahu, di Pi ciok san tempo hari pihak Hek jiu tong telah menawan beberapa pentolan
Bu siang pay. Orang2 ini berkedudukan tinggi di Bu siang pay, jika keadaan kepepet,
kita menggunakan sandera ini sebagai tameng."
"Ya, betul juga, hal ini memang sudah kita atur, sebab itulah maka tadi kubilang Bu
siang pay tidak perlu ditakuti. Tentunya merekapun tahu orang2 di Ji ih hu ini bukan
manusia yang kenal belas kasihan, dalam keadaan kepepet, biarlah kita bikin
habis2an. Tempo hari si Naga Kuning telah salah hitung dan bermaksud membobol
penjara Pau hou-ceng, ia tidak tahu bahwa beberapa tawanan itu oleh Hek jiu tong
sudah dikirim ke sini!"
"Tapi tempat tahanan mereka apakah cukup kuat?" Siang Cin berlagak kuatir, "Kalau
mereka sampai lolos, sungguh kerugian besar bagi kita."
"Aku cuma tahu mereka ditahan di Ji ih hu sini, di mana tempatnya akupun tidak
jelas. Bahkan Toako juga ttdak tahu, hanya Jan loyacu dan beberapa orang tertentu
saja yang tahu. Mungkin Kiau lotoa dari Jik san tui dan pentolan Hek jiu-tong juga
tahu." Sebenarnya Siang Cin ingin tanya pula keadaan pertahanan di benteng ini, tapi
sukar mencari alasannya untuk bertanya. Maklum, sekarang ia menyamar sebagai
orang Ji ih hu, jika keadaan benteng sendiri juga tidak tahu, kan bisa mencurigakan.
Sedang bimbang, tiba2 Giam Ciat menegurnya:. "Eh, Go Ji, kau mengelamun apa?"
Siang Cin terkesiap, cepat ia menjawab dengan menyengir: "O, entah mengapa,
selama beberapa hari ini rasanya lesu, pikiran seperti tertekan . . . ."
"Hal inipun lumrah," ujar Giam Ciat. "Suasana setegang ini, setiap orang merasa
kesal dan tertekan."
332 Baru Siang Cin mau bicara apa lagi, tiba2 terdengar suara orang berjalan pelahan
mendatangi, setiba di depan pintu lalu terdengar suara ketokan pelahan beberapa
kali. "Siapa?", bentak Giam Ciat dengan suara tertahan.
"Bwe Sim," sahut suara nyaring di luar. "Sudah tidur, Giam cici?"
Giam Ciat tertawa, katanya: "Kiranya nona Bwe. Silakan masuk. aku belum tidur."
"Cayhe . . . . " Siang Cin menjadi serba susah.
"Tidak soal," ujar Giam Ciat. "Kita tidak berbuat apapun, apa yang harus ditakuti"
Pula nona Bwe cukup akrab dengan diriku, dia pasti percaya padaku."
Tengah bicara, daun pintu sudah didorong terbuka, seorang gadis jelita melangkah
masuk. Sungguh cantik nona ini, matanya yang jeli, hidungnya yang mancung,
mulutnya yang mungil berpadu dengan raut wajah potongan daun sirih, sungguh
serasi dan sangat menarik. Potongan tubuhnya juga menggiurkan, kulit badannya
putih mulus, apabila ada yang perlu dicela, mungkin cuma alisnya yang agak tebal
sedikit, terlalu tebal sehingga kelihatan agak garang.
Begitu masuk, nona bernama Bwe Sim itupun melenggong, tak disangkanya di
kamar Giam Ciat bisa terdapat seorang lelaki, Bahkan lelaki yang gagah dan
tampan. Seketika Bwe Sim merasa kikuk, dengan muka merah ia berkata: "O, ma . . . . .
maaf, Giam cici, aku tidak tahu engkau ada tamu . . . ."
Giam Ciat lantas berbangkit dan menarik tangan Bwe Sim. katanya dengan tertawa:
"Tidak apa2, Go Ji inipun orang kita sendiri, dia baru pulang dari tugas, maka
kutanyai dia."
Siang Cin lantas memberi hormat kepada Bwe Sim. Dengan likat nona itupun balas
menghormat sambil melirik sekejap.
Dengan tertawa Giam Ciat lantas menarik Bwe Sim berduduk di tepi tempat tidur dan
bertanya: "Bukankah kau pergi ke Pau hou ceng" Bagaimana keadaan di sana?"
Air muka Bwe Sim tampak gelap demi mendapat pertanyaan itu, ia pandang Siang
Cin sekejap. Giam Ciat tahu maksudnya, cepat ia berkata pula: "Ceritakanlah, orang sendiri, Go Ji
anak buah Gui Kong."
Diam2 Siang Cin merasa geli. .
Tapi Bwe Sin tampaknya merasa lega setelah mendapat keterangan dari Giam Ciat,
ia menghela napas pelahan. lalu berkata: "Kekuatan Hek jiu-tong sekarang hanya
lima ratusan orang terdiri dari barisan berani mati Hiat hun ciang, petang tadi mereka
sudah bersumpah darah dan bertekad akan bertempur sampai titik darah
penghabisan, kusaksikan adegan yang mengharukan itu. Pasukan Jik-san tui juga
hancur di Ce ciok giam, sisa kekuatan nya juga cuma dua tiga ratus orang saja.
333 Merekapun berkumpul di Pau hou ceng dan siap bertempur mati2an dengan pihak
Bu siang pay."
"Masa suasana begitu gawat?" tanya Giam Ciat.
"Berita dari gadis depan yang baru diterima jelas cukup gawat, meski Bu siang pay
juga banyak jatuh korban, tapi mereka masih terus mendesak maju, apalagi mereka
membawa senjata api yang ampuh, semuanya bertempur dengan nekat. Pasukan Jit
ho hwe yang bertahan di garis pertama sudah runtuh dan mundur, kini barisan
tameng Ceng-siong san ceng dan pasukan berkudanya sedang bertahan . . . ."
Ia merandek sejenak, setelah melirik sekejap pada Siang Cin, lalu melanjutkan: "Ji ih
hu juga telah mengerahkan kekuatan intinya sambil menghimpun kembali sisa anak
buah Jit ho hwe untuk melancarkan serangan balasan. Melihat gelagatnya
pertempuran besar2an segera akan berkobar pula."
"Masih berapa jauh jika pihak Bu siang pay ingin mencapai Toa ho tin?" tanya Giam
Ciat. "Antara 30 li," jawak Bwe Sim.
"Apakah kakak2ku baik saja?" tanya Giam Ciat.
"Mereka tidak mengalami cidera apapun, tapi yang lain ada ribuan yang terluka berat
dan ringan,"
"Sekarang cara bagaimana Jan loyacu akan bertindak?".
"Tampaknya sedang dirundingkan dalam rapat," kata Bwe Sim. "Ai, sudah sekian
lama hidup tegang, pedih juga rasanya ."
Siang Cin hanya mendengarkan saja di samping. Tiba2 Giam Ciat bertanya: "He, Go
Ji, apa yang kau pikirkan?"
Siang Cin menyengir, jawabnya: "Cayhe pikir, makan nasi Kangouw memang tidak
mudah, harus dilakukan dengan cucuran darah dan bila perlu mengorbankan nyawa,
hari depan suram, hidup ini hari belum tentu bisa hidup esok pagi."
Tampaknya Bwe Sim rada tertarik oleh komentar Siang Cin yang lain daripada lain
itu, dengan kikuk ia bertanya: "Go Ji, kau . . . . . kau bernama Go Ji?"
"Ya, itulah namaku," jawab Siang Cin.
"Akhir2 ini kalian tentu sangat lelah bukan?" kata Bwe Sim pula dengan agak malu2.
"Ah, kan sudah sepantasnya begitu?" ujar Siang Cin dengan membusungkan dada.
"Apalagi kalau para nona seperti kalian juga ikut mencurahkan tenaga dan pikiran,
bagi orang seperti kami ini kan bukan apa2."
"Manis amat mulutmu," Giam Ciat berseloroh. "Go Ji, tentunya banyak anak gadis
terpikat oleh mulutmu yang manis ini."
334 "Nona, selamanya Cayhe jarang bergaul dengan jenis lain," jawab Siang Cin dengan
sungguh2.
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Giam Ciat mengangguk, katanya pula dengan tertawa: "Wah, tampaknya kau
seorang ksatria sejati, entah nona keluarga mana yang beruntung mendapatkan
suami seperti kau . . . . "
Mendadak wajah Bwe Sim tampak merah jengah dan menunduk. Giam Ciat lantas
mendorongnya pelahan dan mengomel: "Nona Bwe, kenapa malu" Ai, apapun juga
kau masih terlalu muda. Maklum pada usia sebayamu sekarang akupun malu malu
begitu, tapi setelah mengalami macam2 gemblengan, hidup ini bagiku menjadi
hambar, sejak si pemabukan itu mampus, hidupku bertambah dingin . . . . "
Bwe Sim masih gadis suci, di depan seorang lelaki asing pula, ia menjadi kikuk
mendengar ucapan Giam Ciat itu cepat ia menyela: "Giam cici ....."
"Ya, baiklah, aku tidak bicara lagi," kata Giam Ciat dengan tertawa. Lalu ia berpaling
dan berkata kepada Siang Cin: "Eh, Go Ji, mungkin rapat Jan loyacu sudah selesai,
apakah kau tidak jadi memberi laporan?"
"O, ya, sekarang juga Cayhe mohon diri," cepat Siang Cin menjawab.
Tapi sebelum dia melangkah keluar, tiba2 terdengar suara gaduh di luar sana. Tentu
saja Giam Ciat dan Bwe Sim melengak.
"Biar kulihat keluar, beberapa hari ini memang macam2 urusan yang selalu
membikin tegang saja," kata Bwe Sim sambil berbangkit.
Giam Ciat termenung menyaksikan kepergian Bwe Sim itu, gumamnya: "Kehidupan
tegang begini sungguh bisa membikin gila orang. Hanya urusan kecil saja bisa jadi
akan menimbulkan kegegeran, hati menjadi kesal dan jiwa tertekan . . . . . ."
"Betul, Cayhe sendiri merasakannya," tukas Siang Cin.
"Eh, Go Ji," tiba2 Giam Ciat berkata dengan lembut, "bilamana urusan di sini sudah
selesai, maukah kau berkunjung ke Pek hoa kok, kau akan menjadi tamuku yang
terhormat."
Siang Cin tertawa dan menjawab: "Bilamana hamba diberi umur panjang, Cayhe
pasti akan penuhi undangan ini."
"Ai, kenapa kau bicara begini?" ujar Giam Ciat, "Menurut ilmu nujum, tampangmu
yang cerah ini pasti akan panjang umur."
"Terima kasih, semoga nona juga panjang umur," jawab Siang Cin.
"Ah, hatiku terasa semakin kesal dan dibakar, jangan2 . . . . alamat tidak baik . . . . . .
. " Belum habis ucapan Giam Ciat, mendadak pintu kamar terbuka pula. Bwe Sim
melangkah masuk dengan muka pucat. setelah merapatkan pintu, segera ia berkata:
"Giam cici, urusan rada gawat . . . ."
335 "Urusan apa?" tanya Giam Ciat dengan tegang. Dengan suara gugup Bwe Sim
menutur: "Menurut laporan, ada beberapa pos penjagaan disergap oleh penyusup,
juga sebuah liang rahasia di depan Kim bin tian telah dihancurkan, belasan penjaga
terbunuh. Sekarang di luar sedang sibuk mencari mata2 musuh serta memberi lapor
kepada Jan-kong . . . "
Untuk sejenak Giam Ciat tertegun, tanyanya kemudian: "Jadi maksudmu ada . . . . . .
ada mata2 musuh menyusup ke Ji ih hu?"
"Begitulah menurut laporan," jawab Bwe Sim
"Wah, berani amat orang ini"!" gumam Giam Ciat.
Siang Cin sedang memeras otak, ia pikir sekarang saat yang tepat untuk angkat
kaki. Segera ia berkata: "Kedua nona, suasana cukup gawat, keadaan agak kacau,
demi tugas, Cayhe tidak boleh tinggal lebih lama di sini, sekarang juga kumohon
diri." Seperti merasa berat Giam Ciat berkata: "Go Ji, meski baru kenal, rasanya kita bisa
saling cocok. Bila ada tempo luang silakan datang untuk mengobrol lagi."
Ber ulang2 Siang Cin mengiakan. Diam2 ia merasa geli, jangankan tempo luang,
mungkin dalam waktu singkat Ji ih hu akan hancur lebur. Segera iapun melangkah
ke pintu, tapi belum lagi dia membuka pintu, terdengar Bwe Sim berseru: "Tunggu
sebentar, Go Ji .. . . . "
Siang Cin melengak, jawabnya sambil menoleh: "Ada petunjuk apa, nona Bwe?" "
Muka Bwe Sim tampak merah, dengan likat ia menjawab: "O, sebentar . . . . . .
sebentar akupun dinas ronda malam, kupikir engkau lebih paham keadaan sekeliling
istana ini, bila engkau tiada urusan lain, dapatkah . . . . . dapatkah engkau mengiringi
aku . . . ."
Melengak juga Siang Cin oleh permintaan orang. Agaknya Giam Ciat juga
tercengang. Tapi ia lantas berkata dengan tertawa: "He, Go Ji, jika kujadi kau, tentu
berjingkrak kegirangan dapat mengiringi nona Bwe . . . . . . "
"Giam cici," sela Bwe Sim dengan muka merah.
Giam Ciat tertawa, katanya: "Baiklah, Giam-cici hanya bergurau saja. Nah, Go Ji,
lekas kau pergi dulu dan lekas kau kembali, nona Bwe akan menunggu kau di sini."
Dalam pada itu Siang Cin telah putar otak dan mengambil keputusan. Ia memberi
hormat dan berkata: "Baik, Cayhe menurut saja, setelah laporan selesai segera
Cayhe kembali ke sini."
Habis berkata, cepat ia melangkah keluar kamar itu. Sudah tentu ia tidak menuju ke
ruangan pendopo sana, tapi melalui serambi samping, lalu menyelinap ke atas
belandar gudang kecil di ujung serambi. Di sinilah dia duduk santai menghimpun
tenaga. Kira2 setanakan nasi lamanya, lalu ia meninggalkan tempat itu, dia mendatangi pula
kamar Giam Ciat dan rnengetok pelahan.
336 Ketika pintu terbuka, Bwe Sim berdiri di depannya. Melihat Siang Cin, nona ini
menjadi jengah dan jantung berdebur keras.
Giam Ciat telah mendekat dan mendorong Bwe Sim, desisnya: "Baiklah, lekas
berangkat, jika tidak cepat2, sebentar Go Ji mungkin harus menunaikan tugas juga.
Nah, Go Ji, jagalah nona Bwe dengan baik."
Habis berkata, ia dorong Bwe Sim keluar pintu sambil memicingkan sebelah mata,
lalu pintu dirapatkan kembali.
Sejenak Bwe Sim terdiam, lalu berkata: "Kita mengambil jalan tengab atau melalui
pintu samping, Go Ji?"
Siang Cin pura2 berpikir, jawabnya kemudian: "Kukira lebih baik pintu samping saja."
Tanpa sangsi lagi Bwe Sim lantas membawa Siang Cin menuju ke serambi samping
sana. Keluar lagi adalah halaman berpagar tembok, empat penjaga tampak mondar
mandir di situ.
Rupanya Bwe Sim sudah cukup dikenal di situ, para penjaga hanya menyapa
sekadarnya dan tidak bertanya lebih lanyut meski melihat di samping si nona ada
seorang yang tidak dikenal, namun mereka tak berani menegur mengingat
kedudukan Bwe Sim yang tidak perlu diragukan.
Setelah membuka sebuah pintu besi kecil di pojok halaman, keluarlah mereka
dengan pelahan. Siang Cin sengaja mengintil sedikit di belakang si nona.
Tampaknya sebagai tanda hormatnya, tapi sebenarnya ia sengaja menggunakan
Bwe Sim sebagai perisai, baik menghadapi penjaga maupun ketemu jebakan yang
diatur di mana2 tanpa kelihatan itu, tentu akan dapat diatasi si nona.
Ketika sampai di samping Kim bin tian, Bwe Sim menunjuk halaman di depan istana
dan berkata pelahan: "Go Ji, di liang pengintai sana, belasan penjaga telah disergap
mata2 musuh."
"Ya, Cayhe tahu di sana ada pipa pengintainya," jawab Siang Cin.
Bwe Sim semakin percaya karena Siang Cin dapat menanggapi persoalannya
dengan jitu. Mereka lantas berjalan ke depan, sambil berjalan si nona berkata pula:
"Di sini boleh dikatakan penuh perangkap, kalau tidak hati2 mungkin senjata akan
makan tuan sendiri . . . . . . Eh, Go Ji, mengapa kau bernama Go Ji, tidak cocok
dengan orangnya"
Siang Cin berlagak malu dan bingung, jawabnya: "Mengapa tidak cocok, nama ini
pemberian orang tua, karena aku nomor dua, maka aku diberi nama Ji. Aku sendiri
merasa nama ini sangat baik."
"Kulihat tampangmu lain daripada yang lain, gerak-gerikmu juga menarik, kukira kau
pantas mendapat kedudukan yang lebih baik. Eh, Go Ji, apa tugasmu di Ji ih hu
sini?" "Masa ada tugas lain kecuali pesuruh, ikut Gui-toako," jawab Siang Cin.
337 "Ah, seharusnya kau mendapatkan tugas yang sesuai," ujar Bwe Sim. "Eh, Go Ji,
apakah . . . . . apakah kau mau ber ... . . . berkawan denganku?"
Siang Cin berlagak kaget dan takut2 girang, jawabnya dengan ter gagap2: "Ber . . . .
. . berkawan dengan nona" Aku . . . . . aku . . . . . dapat bicara dengan nona saja
sudah beruntung, mana-mana . . . . ."
"Go Ji, mcngapa kau ketakutan begini" Masa seorang lelaki lebih penakut daripada
seorang perempuan, kita kan sama2 sudah dewasa, masa tiada kebebasan sama
sekali dalam hal berkawan" Eh, baiklah, kita coba memeriksa di sana, mungkin
waktumu sudah tidak banyak lagi."
"Nona Bwe, apakah kita juga akan melongok tembok benteng sana?" tanya Siang
Cin.. Bwe Sim memandang Siang Cin dengan rada heran, katanya: "Tembok benteng"
Kenapa kau menyebutnya tembok benteng" Bukankah setiap orang di Ji ih hu ini
menyebutnya tembok istana?"
Berdetak juga hati Siang Cin karena salah omong ini, tapi sedapatnya ia tenangkan
diri, sahutnya dengan tak acuh: "Ya, tapi aku sendiri biasanya menyebutnya tembok
benteng, bukankah tembok itu memang sekukuh benteng?"
"Ya, memang betul juga," ujar Bwe Sim dengan tersenyum, Ia memandang
sekelilingnya, lalu berkata: "Baiklah, boleh juga kita longok keadaan disana."
Begitulah kedua orang lantas menuju ke tembok benteng.
Dapat jalan berjajar dengan Siang Cin yang gagah, betapapun timbul semacam
perasaan suka ria dalam hati Bwe Sim. Dia mengira Siang Cin sudah tidak merasa
rendah harga diri lagi dan mau lebih berdekatan dengan dia.
Ia tidak tahu bahwa Siang Cin justeru menggunakan kelemahannya itu untuk
mencapai maksud tujuannya, yaitu memancing Bwe Sim membawanya ke tempat
yang dituju, tempat yang paling dekat dengan persembunyian Sebun Tio bu dan
lain2. Sambil membicarakan suasana yang menegangkan itu, tidak lama kemudian mereka
sudah mencapai undakan batu yang menuju ke atas tembok benteng, malam yang
sunyi dan dingin menambah seramnya keadaan.
Memandangi si nona yang dikenalnya tanpa sengaja tapi tampaknya jatuh hati
kepadanya ini, samar2 timbul semacam perasaan haru dan sayang dalam benak
Siang Cin. la menyesal bahwa pertempuran yang kejam ini harus melibatkan nona
cantik seperti ini.
"Nona Bwe," kata Siang Cin kemudian dengan pelahan, "apakah kau pernah . . . .
pernah membunuh orang?"
Tercengang Bwe Sim, jawabnya kemudian "Mengapa mendadak kau bertanya hal
ini?" 338 Kata Siang Cin dengan tertawa: "Sebab kau sangat cantik, lemah lembut, seperti
tidak tahan ditiup angin, se-akan2 seekor tikus saja dapat membuat kau ketakutan.
Tapi, engkau ternyata orang persilatan, pula kudengar ilmu silatmu sangat tinggi."
Bwe Sim tertawa manis, katanya: "Janganlah kau nilai orang dari bentuk luarnya.
Ketahuilah, seorang yang tinggi besar tidak berarti dia pasti pemberani, seorang
perempuan kurus kecil tidak berarti nyalinya kecil. Jangan kaukira tubuhku ini lemah
dan meremehkan diriku, hm, bilamana aku sudah gregeten, aku bisa berubah
menjadi sangat.. sangat kejam .. . . . "
"Apa betul" Jadi kau pernah membunuh orang?" kata Siang Cin dengan tertawa.
Bwe Sim mengangguk, katanya: "Ya, pernah tiga orang."
"Wah, tiga orang macam apakah itu?" tertarik Juga Siang Cin.
Sementara itu mereka sudah sampai di atas tembok benteng, sudah berada di
jalanan melingkar di atas tembok, mereka mulai berjalan ke depan.
Bara Naga Jilid 17 "Kejadian itu sudah cukup lama . . . . " demikian Bwe Sim berkisah, "yaitu pada
waktu aku berusia 17, kurang lebih empat tahun yang lalu. Seorang diri kucari
semacam rumput obat di belakang gunung, di sanalah mendadak aku disergap tiga
orang lelaki yang tak kukenal, dalam keadaan panik, terpaksa aku membela diri
sedapatnya, tak terduga hanya sekali gebrak saja telah dapat kurobohkan mereka.
Darah segar mancur dari tubuh mereka. Aku menjadi ketakutan dan lari pulang.
Ayah angkat dan ketiga pamanku menjadi heran dan bertanya apa yang terjadi,
kuceritakan pengalamanku dan mereka menjadi gusar, serentak mereka memburu
ke tempat kejadian, tapi sepulangnya mereka lantas tertawa dan memuji
kehebatanku, kemudian baru kuketahui bahwa ketiga orang itu sudah kubinasakan
seluruhnya."
Dia merandek sejenak, lalu bertanya: "Apakah kau ingin tahu dengan cara
bagaimana kubunuh mereka?"
"Ya, coba ceritakan," jawab Siang Cin.
Bwe Sim lantas menjulurkan kedua tangannya dan tertawa misterius terhadap Siang
Cin, se konyong2 terdengar suara "creng creng" dua kali, sinar dingin berkelebat,
tahu2 dua bilah pedang pandak yang sepanjangnya tiada dua kaki melentik keluar
dari lengan bajunya dan tepat tergenggam di tangannya.
"Pedang bagus!" puji Siang Cin dengan tersenyum.
Waktu Bwe Sim sedikit mengangkat tangannya, kedua bilah pedang pandak lantas
meluncur balik ke tengah lengan bajunya. Terdengar "klik klik" dua kali, semuanya
telah kembali asal seperti semula.
Rupanya kedua bilah pedang itu tersimpan di dalam pipa yang berpegas sebingga
dapat mulur dan mengkeret menurut kehendak pemakainya. Menghadapi musuh,
339 bilamana pedang pandak itu mendadak menjeplak keluar, betapapun lihaynya
musuh pasti takkan menduga dan sukar menghindar.
"Sungguh hebat senjata rahasia ini," puji Siang Cin. Sementara itu mereka sudah
sampai di tembok benteng yang tepat berdekatan dengan tempat Sebun Tio bu dan
kawan2nya. Bwe Sim hendak melanjutkan perjalanan kedepan, tapi Siang Cin lantas
berhenti di situ dan berkata: "Nona Bwe, apakah kita tidak perlu memeriksa
penjagaan kamar rahasia di bawah?"
Bwe Sim tampak heran, katanya: "Mengapa kau membikin istilah sendiri, kamar
penjaga di bawahkan bernama liang panah, mengapa kau menyebutnya kamar
rahasia" Ji ih hu kalian ini memang diatur dan dirancang sedemikian rapinya
sehingga tidak perlu kuatir akan digempur musuh dengan cara bagaimanapun.
Sepanjang tembok benteng penuh `liang panah`, bila pasukan musuh berani
menyerbu tiba, sekali aba2, serentak beribu panah akan berhamburan, betapapun
kuatnya pasukan musuh juga akan terbasmi."
Diam2 Siang Cin merasa ngeri juga mendengar betapa kuatnya pertahanan Ji ih hu
ini. Pantas pihak mereka tidak gentar meski di gadis depan sana ber ulang2
mengalami kekalahan, rupanya inti pertahanan mereka yang sebenarnya terletak di
Ji ih hu sini. "He, Go Ji, kau mengelamun apa?" tegur Bwe Sim ketika melihat Siang Cin berdiri
diam di situ. "O, kupikir . . . . aku sedang membayangkan betapa menariknya bilamana pasukan
Bu siang pay dijungkir balikkan oleh hujan panah nanti," jawab Siang Cin dengan
rada gelagapan. "Tapi, kalau pertahanan kita sudah jelas sedemikian kuatnya,
mengapa nona Bwe kelihatan cemas pula?"
Bwe Sim terdiam sejenak, jawabnya kemudian: "Entahlah, aku sendiripun tidak tahu,
aku seperti mempunyai firasat yang tidak enak, batinku serasa tertekan, aku merasa
kuatir . .. .. ."
"Ah, kukira nona Bwe tidak perlu kuatir, betapapun Bu siang pay pasti akan mengalami
kehancuran di sini, yang penting kita harus waspada," kata Siang Cin. "Bicara
tentang kewaspadaan, aku menjadi ingin menjenguk liang panah di bawah ini.
Keparat2 ini biasanya suka teledor, bila tidak ada pengawas, mereka lantas minum
arak, berjudi atau tidur sesukanya . . . . . . "
"Wah, tampaknya kau sendiri biasanya juga sering begitu?" Bwe Sim berseloroh.
"Sering sih tidak, jelek2 anak buahku juga ada likuran orang, kan harus jaga gengsi,"
ujar Siang Cin dengan tertawa.
Selagi Bwe Sin hendak mengaraknya ke bawah, mendadak tiga sosok bayangan
orang melayang tiba, berbareng lantas menegur: "Siapa itu?"
Berdebar juga hati Siang Cin, segera ia bersiap2 menghadapi segala kemungkinan.
Tapi Bwe Sim tetap tenang2 saja, jawabnya ketus: "Bwe Sim di sini!"
Ketiga pendatang itu tampaknya cukup lihay, belum lagi mereka melompat ke atas
tembok benteng, ketiganya lantas berpencar dan melayang ke atas dari tiga arah.
340 Seorang tampak bermuka hitam dan berhidung pesek, kedua temannya yang satu
tinggi besar dan berjenggot, orang ketiga bermuka pucat dan bertubuh kurus
sehingga mirip mayat hidup.
Bwe Sim memberi salam kepada orang pertama tadi dan berkata: "Kiranya Toh
toako, adakah sesuatu yang kau temukan dalam tugasmu?"
Sikap orang she Toh yang mula2 kelihatan garang itu lantas berubah ramah, ia
tertawa sambil membalas hormat Bwe Sim, katanya: "Ah, rupanya nona Bwe juga
sedang ronda. Cuma . . . . . . . cuma kita sama2 menunaikan tugas masing2,
betapapun peraturan . . . . . . "
Bwe Sim tahu maksud orang di balik ucapannya itu, dengan tenang ia berkata: "O,
tidak apa2 memang seharusnya begitu. Tentu yang dimaksudkan Toh toako adalah
Kim koan leng?"
Sembari bicara Bwe Sim lantas mengeluarkan sebentuk lencana emas, besar
lencana ini cuma beberapa senti persegi, berukir kopiah jago silat, buatan nya
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sangat indah. Melihat Kim koan leng atau lencana mahkota emas ini, cepat orang she Toh berkata
dengan tertawa: "O, maaf, harap nona jangan marah, hanya sekadar memenuhi
kewajiban saja . . . . . . "
"Memang harus begini, tak perlu Toh toako sungkan," ujar Bwe Sim dengan tertawa.
"Apakah saudara ini ikut datang bersama nona?" tanya orang itu sambil melirik
sekejap Siang Cin yang berdiri di belakang Bwe Sim.
"Ya," jawab Bwe Sim sambil mengangguk. Mestinya dia hendak bilang Siang Cin
adalah anak buah "Gui Kong", tapi lantaran mendongkol atas sikap orang she Toh
itu, ia jadi malas untuk bicara lebih banyak.
Orang she Toh itu lantas berpesan kepada Siang Cin dengan lagak orang besar:
"Kau harus melayani nona Bwe dengan baik, tahu?"
Siang Cin sengaja mengiakan dengan munduk2.
Maka setelah menyalami lagi Bwe Sim, ketiga orang itu lantas menghilang pula di
bawah tembok benteng sana.
"Hm, dasar budak, sok berlagak," omel Bwe Sim setelah ketiga orang tadi pergi.
"Tidak heran," ujar Siang Cin. "Mandor selamanya lebih galak daripada majikan."
Setelah menyimpan kembali Kim hoan leng, Bwe Sim berkata kepada Siang Cin:
"Go Ji, marilah kita melongok ke bawah, habis itu kitapun pulang saja."
Mereka lantas mendekati pojok tembok benteng sana, Bwe Sim memilih sepotong
ubin tembok itu dan mengetuknya beberapa kali dengan tungkak kakinya. Tidak
lama kemudian, ubin itu lantas bergeser dan terbukalah sebuah lubang, sebuah
kepala menongol keluar sambil bertanya: "Siapa?"
341 "Aku, dari Sing ci sit (kamar piket), pemeriksaan biasa," desis Bwe Sim.
Orang itu menengadah dan memandang Bwe Sim, tanyanya pula: "Apakah . . . . . "
"Pakai apa segala, dinas pemeriksaan, kau rewel apalagi?" segera Siang Cin
mendahului membentak.
Agaknya orang itu jadi keder, cepat ia menjawab: "O, ya, silakan, silakan turun!"
Lalu ia mengkeret masuk ke bawah. Ber turut2 Bwe Sim dan Siang Cin lantas
merambat turun melalui lubang itu.
Rupanya "Liang panah" yang dikatakan itu adalah sebuah ruangan sempit, ada
sebuah tangga yang menembus ke lubang keluar masuk tadi. Di depan dinding yang
menghadap keluar ada sebuah kerangka besi, sepuluh pasang busur ber turut2
terpasang di situ dan siap dibidikkan. Namun tembok yang mengalingi barisan panah
itu agaknya harus disingkirkan lebih dulu bilamana hendak melepaskan panah,
hanya pada kedua sisi ada beberapa lubang kecil yang ditutup dengan kain hitam,
agaknya sebagai lubang hawa dan juga untuk mengintai.
Di dinding lain menempel sebuah lampu minyak dengan cahayanya yang guram.
Lantai hanya dilapisi tikar. Ada lima penjaganya, kecuali orang yang menongol keluar
tadi masih ada lagi empat orang sedang bertiduran, lima buah golok tampak
tergeletak di pojok ruangan sana.
Melihat seorang nona cantik masuk ke situ, serentak keempat orang itu merangkak
bangun, seketika mereka cengar cengir dan segera ada yang mau menggoda, tapi
keburu dikedipi oleh kawannya dan dibentak: "Awas, pengawas dari Sing ci sit!"
Mendengar itu, seketika mereka melenggong, lekas2 mereka berdiri dengan sikap
hormat dan tidak berani bersikap bangor lagi.
Sebelum menuruni tangga tadi, Siang Cin sempat merapatkan kembali tutup lubang
itu, setiba di bawah, segera ia menegur: "Kalian cuma berlima di sini" Mengapa
malas2 begini, tidur melulu! Tentunya kalian mabuk2an lagi."
Kelima orang itu tidak berani menjawab, akhirnya orang pertama tadi berkata dengan
takut2: "Lapor Toako, kami . . . . kami terlalu iseng dan cuma . . . . cuma minum satu
dua ceguk, sekedar menghilangkan dahaga saja."
?"Keparat, damperat Siang Cin. "Satu ceguk saja tidak boleh. Jika pada saat yang
sama musuh merayap masuk, dalam keadaan limbung apakah kalian
mengetahuinya" Hm, dasar tak becus semuanya."
Kelima orang itu benar2 tidak berani menjawab lagi, mereka sama menunduk.
"Lain kali bila ketahuan kalian tidak patuh pada tugas masing2, awas kepala kalian
bisa berpisah dengan tuannya," kata Bwe Sim.
Mendadak Siang Cin membentak: "Tidak ada lain kali lagi!"
Selagi kelima orang itu dan juga Bwe Sim melengak heran, tahu2 Siang Cin sudah
menubruk maju, kontan salah seorang di antaranya roboh terkulai.
342 Belum lagi yang lain tahu apa yang terjadi, mendadak terdengar suara gedebugan
ramai, empat sosok tubuh telah tertumbuk dinding dan satu persetu roboh terkapar.
Dengan sorot mata dingin Siang Cin memandangi kelima sosok mayat itu, sikapnya
tenang seperti tidak terjadi apa2.
Sesudah tenangkan diri, Bwe Sim menjadi gusar dan rada gemetar, katanya dengan
suara terputus2: "Go Ji, kau. . . . kau begini kejam" Dengan . . . . dengan hak apa
kau bunuh mereka" Kesalahan mereka tidak sampai harus dihukum mati . .. ."
Siang Cin pura2 gugup dan melangkah maju, katanya: "Ya, nona Bwe, aku terburu
nafsu dan . . .."
"Jangan mendekat aku, kau setan . . . . " belum habis teriakan Bwe Sim, se
konyong2 nona cantik ini merasakan pinggangnya kesemutan, baru dia menyadari
gelagat jelek, tahu2 tubuhnya sudah lumpuh dan roboh terkulai.
Dengan cemas ia pandang Siang Cin, teriaknya: "Ap . . . . apa yang kaulakukan"
Berani amat kau ...."
"Jangan ber teriak2 nona Bwe," jengek Siang Cin dengan pandangan dingin.
"Hendaklah kautahu, aku sama sekali bukan oaang yang kenal belas kasihan,
akupun tidak kenal ampun pada orang perempuan, sebaiknya kita harus
menghadapi dengan kepala dingin."
Bwe Sim berkeringat dingin, dengan melotot ia menjerit: "Apa yang akan kaulakukan
terhadap diriku" Go Ji, kau . . . . "
"Namaku bukan Go Ji," kata Siang Cin dengan ketus. "Akupun bukan orang Ji ih hu,
aku tidak ingin berbuat sesuatu apa2 terhadapmu, kau tidak perlu kuatir. Cuma saja,
kaupun takkan beruntung sebagaimana pengalanaanmu empat tahun yang lalu itu."
Bingung dan kejut Bwe Sim di samping gusar pula, teriaknya cemas: "Habis siapa . .
. . . . . siapa kau?"
Pelahan Siang Cin menanggalkan seragam kulitnya, lalu membalik jubah yang
dipakainya, tertampak warna jubahnya yang kuning telur mencorong itu. "Nah,
sekarang tentunya kautahu siapa diriku bukan?"
Terbelalak lebar mata Bwe Sim, terbayang lukisan seorang sebagaimana pernah
didengarnya dari cerita orang lain dengan tanda2nya yang khas. Seketika tubuhnya
menggigil, mukanya menjadi pucat, serunya kejut: "Naga Kuning?"
"Betul, itulah diriku!" kata Siang Cin dengan tersenyum tenang.
Seketika Bwe Sim merasa dirinya terjeblos ke jurang yang tak terkira dalamnya, rasa
takut, bingung dan putus asa disertai murka memenuhi rongga dadanya. Tamat,
habislah segala harapannya, segala masa depannya, seluruhnya runtuh di tangan si
Naga Kuning yang terkutuk ini. Saking gemas air matapun bercucuran.
"Nona, kita berdiri di dua pihak yang berlawanan, jangan kausalahkan tindakanku
yang licik dan kejam, kukira perbuatan orang Ji ih hu akan berlipat ganda lebih kejam
daripadaku," kata Siang Cin kemudian sambil mengintip keluar melalui lubang kecil
343 di pojok dinding sana. Lalu sambungnya: "Kawanku yang berada di luar segera akan
menyusup masuk kemari, pasukan berkuda Bu siang pay juga akan segera
menyerbu datang. Nona Bwe, kukira firasatmu memang tidak keliru, pertempuran ini
pasti akan bikin tamat riwayat Ji ih hu seluruhnya."
Dengan air mata berlinang Bwe Sim melototi Siang Cin, ucapnya dengan penuh rasa
dendam: "Siang Cin, boleh kau . . . . kaubunuh saja diriku, kalau tidak, kapan dan di
manapun, pada suatu saat pasti akan kubunuh kau . . . ."
Siang Cin memandangnya dengan sorot mata yang menghina, ucapnya sambil
mencibir: "Hah, sudah sekian lama aku berkecimpung di dunia Kangouw, orang yang
pernah terjungkal di tanganku sudah tak terhitung jumlahnya, kata2 seperti
ucapanmu inipun sudah kenyang kudengar. Terserah padamu, asalkan malam ini
tidak kubunuh kau, hari selanjutnya adalah milikmu, terserah apa yang akan
kaulakukan, siapapun tiada yang akan merintangimu . . . . Cuma, kukira usahamu
hanya akan sia2 belaka."
Dengan menggreget Bwe Sim berkata: "Tunggu saja kau!"
Siang Cin tersenyum tak acuh, kembali ia mengintai keluar melalui lubang kecil itu,
dari situ iapun menyiarkan suara "kuk kuk" seperti bunyi burung hantu.
Habis bersuara begitu, ketika ia berpaling pula, mendadak sikapnya berubah kereng,
ucapnya dengan bengis: "Bwe Sim, ingat, jangan bersuara, jangan sembarangan
berbuat apapun, hatiku cukup kejam apapun dapat kulakukan. Sebaliknya, tentu
kauingin hidup lebih lama lagi bukan?"
Bibir Bwe Sim tampak ber kerut2, ia menyeringai dan berkata dengan bandel:
"Segera kuberteriak minta tolong . . . . " tapi belum habis ucapannya, tahu2 angin
mendesir, Hiat to bisu di tubuh Bwe Sim terusap, kontan mulutnya membungkam
dan tak dapat bersuara lagi.
"Ingat, satu kali ini saja dan tiada lain kali. bila terjadi lagi jiwamu pasti melayang!"
jengek Siang Cin.
Sembari bicara ia mengintai pula melalui lubang kecil tadi. Dilihatnya beberapa
sosok bayangan orang telah menyelinap keluar dari hutan sana dan secepat terbang
melayang ke kaki tembok benteng sini.
Hampir pada saat yang sama, tiba2 Siang Cin mendengar dinding kanan kiri
tempatnya berada itu bergema suara "duk duk duk", tiga kali cepat dan tiga kali
lambat, ia menoleh dan tanya kepada Bwe Sim: "Apa artinya itu?"
Dengan gemas Bwe Sim melototinya dan memejamkan mata, tampaknya dia sudah
nekat takkan memberi keterangan apapun andaikan jiwanya harus melayang
sekalipun. Mendadak tergerak pikiran Siang Cin, cepat ia menerobos keluar ruangan itu, lebih
dulu ia menuju sebelah kanan, ia menirukan cara Bwe Sim tadi dan mengetuk ubin
batu pada pojok tembok yang lain.
Suasana sunyi senyap, tapi dengan cepat ubin batu itu lantas bergerak, namun
sehelum ada orang mengnongol keluar, secepat kilat Siang Cin menerobos ke
344 dalam, hanya sekejap ia menghilang di dalam lubang itu, menyusul lantai terdengar
suara gedebukan beberapa kali disertai suara jeritan tertahan. Sekejap kemudian
Siang Cin sudah melompat naik lagi ke atas, jubahnya yang kuning tampak
berlepotan darah.
Lalu ia mengetuk lagi ubin batu sebelah kiri, baru saja sebuah kepala hendak
menongol keluar, kontan dia tabok batok kepala orang itu hingga terjungkal ke
bawah, menyusul iapun menerobos masuk, selagi orang2 di siru terkejut oleh
jatuhnya kawan mereka, tangan Siang Can terus bekerja dan serentak tiga orang
telah dibinasakan pula. Sampai ajalnya keempat orang itu sama sekali tidak tahu
siapa yang membunuh mereka.
Sisa seorang lagi kaget setengah mati dan berdiri melenggong seperti patung. Siang
Cin tidak lantas membunuhnya lagi, tapi ia gampar muka orang dua kali sehingga
orang itu megap2 dan darah mengucur keluar dari ujung mulutnya.
Gamparan itu se akan2 menyadarkan orang itu dari impian, cepat ia berlutut dan
menyembah sambil memohon: "Ampun ... . . ampun hohan . . . . . ."
"Apa yang kalian lihat barusan" Apa artinya ketukan dinding tiga kali cepat dan tiga
kali lambat itu?" tanya Siang Cin dengan bengis.
Dengan muka pucat dan menggigil ketakutan orang itu menjawab: "Tadi . . . . . tadi Li
Gun seperti . . . . . seperti melihat beberapa bayangan orang, dia, ragu2 pada . . . . .
pada pandangannya sendiri dan tidak . . . . . . tidak berani rnenyiarkan tanda bahaya,
maka . . . . . . maka lebih dulu menggunakan tanda rahasia untuk bertanya jawab
dengan liang panah yang lain, tapi. . . . . tapi sebelum ada suara jawaban apa2,
tahu2 hohan sudah . . . . . sudab datang. . . . ."
Diam2 Siang Cin menghela napas lega, sekali tendang ia bikin orang itu pingsan,
lalu ia keluar lagi dan merapatkan kembali kedua liang itu, ia melongok keluar
tembok benteng dan mengeluarkan suara "kuk kuk" pula. Maka beberapa sosok
bayangan yang mendekam di kaki tembok lantas melayang ke atas bagai burung
raksasa. Nyata orang2 ini adalah Sebun Tio bu, Kin Jin, Loh Hou dan Le Tang.
Tanpa banyak omong Siang Cin menuding liang panah tempat sembunyinya tadi dan
berkata: "Turuh ke sana!"
Dengan cepat mereka berlima lantas menghilang ke dalam liang itu. Mereka merasa
lega setelah berada di dalam.
"Apa gunanya ruangan sesempit ini, Siang-susiok?" tanya Le Tang.
"Mereka menyebut ruangan ini `liang panah", tutur Siang Cin dengan tertawa. "Di
sekeliling Ji-ih hu seluruhnya ada ratusan tempat panah begini, asalkan mendapat
aba2, serentak akan terjadi hujan panah, perancangan busur panah ini sangat bagus
dan caranya juga sangat keji . . . . . . " begitulah secara ringkas ia lantas
menceritakan apa yang diketahuinya dengan macam2 perangkap yang terpasang di
Ji ih hu ini, selain itu iapun menyatakan pendapatnya bahwa bukan mustahil di sini
juga ada bahan peledak terpendam seperti apa yang terdapat di Ce ciok giam, hal ini
harus mendapat perhatian sepenuhnya.
345 Lebih jauh Siang Cin menyatakan salah satu di antara mereka harus menyusup
keluar kembali untuk memberi laporan kepada Thi Tok heng dan pimpinan Bu siang
pay yang lain. "Bagaimana kalau bikin capai Kin beng?" katanya terhadap Kim lui jiu Kin Jin dengan
tersenyum. "Baik," jawab Kin Jin tanpa pikir.
"Tapi Kin heng harus selalu ingat suatu hal pokok, yakni tugasmu ini maha penting
dan menyangkut keselamatan be ribu2 orang Bu siang pay, sepanjang jalan
hendaklah engkau jangan terlibat dalam pertempuran dengan musuh, tujuanmu ialah
lolos dan mencapai tempat tujuan."
"Jangan kuatir, kalau dikejar, aku akan lari, kuyakin kepandaianku ini cukup dapat
diandalkan," ujar Kin Jin dengan tertawa.
"Baiklah, urusan jangan tertunda, sekarang juga silakan Kin heng berangkat," kata
Siang Cin. "Nah, selamat jalan!"
"Selamat tinggal! Sampai bertemu pula!" jawab Kin Jin sambil memberi salam
kepada semua orang.
Setelah merapatkan kembali tutup lubang itu, Siang Cin melihat Loh Hou sedang
mengintai keluar melalui lubang kecil di samping sana dan sedang berkata: "Ha,
sungguh cepat gerak tubuh Kin-tayhiap, ia meluncur seperti anak panah cepatnya
...." Baru saja Siang Cin hendak menjawab, terdengar Sebun Tio bu berseru heran
sambil mennding Bwe Sim yang menggeletak di atas tikar itu, katanya: "He. di sini
masih ada seorang betina" Busyet, boleh juga mukanya . . . . "
"Dia ini anak angkat ketua Tiang hong pay," kata Siang Cin dengan hambar.
"Mengapa dia berada di sini dan kena kau kerjai?" tanya Sebun Tio bu.
Dengan kikuk Siang Cin menjawab: "Kupancing dia ke sini, lalu kututuk roboh dia."
Sebun Tio bu yang lebih berumur sudah dapat menduga apa yang terjadi, ucapnya:
"Hebat, jika aku yang menjadi kau, matipun mungkin dia tidak sudi ikut ke sini. Haha,
Naga Kuning memang unggul dalam segala hal, kagum, aku benar2 menyerah."
"Tangkeh, pujianmu hendaklah diberi sisa sedikit," cepat Siang Cin menimpali.
"Sekarang sudah waktunya bergerak, hayolah agar tidak terlambat."
"Baik, silakan memberi penjelasan," jawab Sebun Tio bu.
Dengan kereng Siang Cin lantas menutur: "Tindakan kita yang pertama adalah
menghancurkan liang panah Ji ih hu ini, di sekeliling benteng ini ada 120 tempat
panah, sekilas tadi sudah kuperiksa, pada setiap pilar tembok adalah sebuah liang
panah. Jika mau menyerbu, sebaiknya pasukan Bu-siang pay menyerbu melalui
hutan tempat sembunyi kita tadi. Dengan perkataan lain, liang panah yang
menghadap ke hutan ini harus dibasmi seluruhnya. Ji ih hu ini berbentuk persegi,
346 120 liang panah terbagi empat berarti satu sisi ada 30 tempat. Kita sudah
menghancurkan tiga tempat, jadi bagian sini tertinggal 27 tempat lagi. Ke 27 tempat
ini harus kita hancurkan sebelum pasukan Busiang pay tiba."
Setelah berhenti sejenak, dengan prihatin Siang Cin menyambung pula: "Dan tugas
menghancurkan ke 27 liang panah ini kuserahkan Sebun tangkeh dan Loh heng
untuk melaksanakannya. Le heng hendaklah melakukan sergapan kilat kepada ka 90
liang panah yang lain, hancurkan sedapatnya, berapa banyak bisa d)hancurkan
boleh dikerjakan sebisanya. Bunuh dan bakar, laksanakan dengan cara apapun
juga.. Sebun Tio bu bertiga sama mengangguk. Lalu Siang Cin menyambung pula: "Setiap
liang panah ini dijaga lima orang, semuanya kaum keroco, asalkan dilakukan dengan
gerak cepat, jangan sampai memberi kesempatan pada mereka untuk menyiarkan
tanda bahaya, kukira pekerjaan ini tidak sulit dilaksanakan . . . . . . ."
"Nanti dulu," tiba2 Sebun Tio bu menyela, "sejak tadi agaknya belum kaujelaskan
cara bagaimana inenggunakan barisan panah ini, padahal teraling oleh dinding,
melalui mana panah mereka akan dibidikkan?"
Siang Cin menunjuk sebuah pegangan pada pojok dinding sana, katanya: "Menurut
dugaanku, bisa jadi pegangan itu ditarik dan segera dinding di depan akan bergeser,
mungkin ke atas atau ke bawah sehingga ada peluang untuk jalan panah,"
"Ya, kukira begitu," ujar Sebun Tio bu, berbareng iapun melirik sekejap Bwe Sim
yang masih menggeletak tak bisa berkutik itu.
Dengan gemas nona itu melengos ke sana. Maka Siang Cin berkata pula dengan
tertawa: "Setelah kita berpencar nanti, ada tiga urusan penting harus kukerjakan.
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pertama aku akan menuju ke loteng yang bernama Hwe im kok itu untuk mencari
puteri Thi ciangbun, sudah tentu bila kepergok Khang Giok tek, bocah itu pasti juga
takkan kulepaskan. Kedua, sudah kuketahui tempat tahanan orang Bu siang pay
yang tertawan itu, mereka harus kubebaskan dengan cepat. Ketiga, sedapatnya
akan kuhanaurkan berbagai perangkap yang tersebar di Ji ih-hu ini."
"Wah, semuanya tugas berat, apakah kau dapat melaksanakannya sendirian?" tanya
Sebun Tio bu. "Siang heng, kukira salah satu satu diantara kami bertiga ini ikut
membantumu . . . . . .. "
"Tidak perlu," sela Siang Cin. "Sendirian akan lebih leluasa bertindak, andaikan
gagal juga tak perlu kukuatirkan terkepung musuh. Tambah orang tentu akan
menambah beban pikiranku malah."
"Tapi dengan demikian, bukankah akan menggegerkan selurah Ji ih hu?" tanya
Sebun Tio bu. "Ya, terpaksa dan sukar dihindarkan," kata Siang Cin. "Menurut perkiraanku, besok
pagi Bu siang pay sudah dapat mulai menyerbu Toa ho tin, jadi sudah dekat
waktunya."
"Lalu bagaimana tindakan kita selanjutnya setelah urusan di sini sudah beres?"
347 "Sederhana, kacaukan suasana di Ji ih hu sini dan menyambut penyerbuan Bu siang
pay," kata Siang Cin dengan tertawa. "Cuma ingat, jangan terlibat dalam
pertempuran terbuka melainkan main gerilya saja."
"Dan bagaimana dengan betina itu?" tanya Sebun Tio bu sambil melirik Bwe Sim
yang masih meringkuk di pojokan sana.
"Menurut pendapat Sebun tangkeh .
"Tutuk saja Hiat tonya dan ampuni jiwanya, anak perempuan, kukira bukan orang
jahat yang tak terampunkan."
"Tepat, terus terang, aku memang tidak bermaksud membunuhnya."
Lalu Siang Cin mendekati Bwe Sim, katanya dengan pelahan: "Nona Bwe, kami tidak
ingin membunuh kau, tapi rencana gerakan kami sudah kau dengar semua, bila kami
tinggaikan kau di sini, jangan2 setelah kau temukan mereka, rahasia gerakan kami
akan kau laporkan kepada mereka, kan bisa susah buat kami. Maka akan kututuk
Hiat to tidurmu dengan caraku yang khas, setengah hari kemudian kau akan sadar
dengan sendirinya. Nah, silakan istirahat dulu, selamat tidur, selamat bermimpi."
Bwe Sim ingin meronta, tapi percuma karena tak bisa berkutik sama sekali, secepat
kilat Siang Cin menutuk Hiat to yang membuatnya tidur pulas dengan caranya yang
khas. Lalu katanya kepada Sebun Tio bu bertiga: "Nah, sekarang silakan kalian
mulai melakukan tugas masing2."
"Baik, kami segera berangkat, Siang heng sendiri diharap hati2," jawab Sebun Tio bu
sambil memberi hormat.
Cepat mereka menerobos keluar ruangan tembok benteng itu dan terpencar pergi
melaksanakan tugas masing2.
Siang Cin juga lantas menyelinap kembali ke sisi Kim bian tin, ia ragu2 sejenak, lalu
merunduk maju menyusuri serambi yang menghubungkan antar gedung itu.
Lantaran sudah tahu perangkap2 apa yang teratur di Ji ih hu, maka dengan selamat
dapatlah ia menghindari beberapa regu patroli dan melintasi beberapa gedung.
Sekarang telah dilihatnya sebuah loteng kecil yang terletak di belakang gedung
ketujuh, di sebelahnya ada sebatang pohon Siong raksasa.
Dengan gesit ia terus cnenyelinap ke depan, dengan cepat ia sudah mendekati
loteng pojok itu, beberapa kali hampir saja ia tersangkut oleh tali sutera yang
melintang di bagian2 tertentu.
Sesudah di bawah loteng itu, ia mendongak, hampir Siang Cin berjingkrak
kegirangan, ternyata di atas pintu ada sebuah papan kecil dengan tulisan "Hwe im
kok". Inilah tempat yang dicari, di sinilah Thi Yang yang, puteri ketua Bu siang pay itu
berada. Belum lagi dia menemukan jalan untuk naik ke atas loteng, se konyong2 terdengar
orang membentak: "Siapa itu?"
Cepat Siang Cin mendekam di tempatnya tanpa bergerak, ia pasang kuping
mengikuti keadaan tempat datangnya suara itu. Untuk sejenak suasana menjadi
348 sunyi, lalu ada suara omelan seperti beberapa orang sedang bertengkar. Suara itu
ternyata datang dari atas pohon Siong di samping Hwe-im kok ini.
Siang Cin tetap bertiarap tanpa bergerak, tempat sembunyinya sekarang berada di
tengah semak2 rumput kering. Sambil mendekam di situ iapun mendengar apa yang
diributkan orang2 itu.
Jarak tempat sembunyi Siang Cin dengan pohon itu ada 30 an langkah jauhnya, tapi
suara bisik2 orang itu dapat didengarnya meski cuma sepotong sepotong, terdengar
seorang sedang berkata: " . . . . jelas barang putih2 itu cuma seonggok rumput kering
. . . . Keparat, hanya bikin kaget saja . . . . persetan kau . . . . "
"Tapi semula kan tiada benda begitu, kulibat benda itu bergerak . . . . "
"Coba kau dekati dan periksa sendiri . . . . cuma nyap nyap melulu di sini, apa
gunanya . . . . "
Begitulah para penjaga itu rupanya merasa sangsi pada apa yang dilihatnya
sehingga bertengkar sendiri.
Sekilas Siang Cin sudah dapat memperkirakan jarak puncak poison Siong itu, diam2
ia menghimpun tenaga, ia pikir setiap tindakannya harus berhasil dengan sekali
gempur, kalau tidak urusan bisa runyam.
Setelah incar baik2 tempat yang dituju, mendadak ia mengapung ke atas laksana
burung raksasa, dengan ringan ia hinggap di pucuk pohon, ia lihat sedikit
dibawahnya, di antara dahan pohon yang bercabang dibuat sebuah panggung kayu
beratap dan diberi pagar pengaman, tiga orang berseragam kulit sedang ribut mulut.
Ketika mendadak mendengar suara kresekan daun pohon, mereka sama
mendongak, tapi sebelum tahu apa yang terjadi, tahu2 dada setiap orang telah kena
ditonjok laksana digodam, sama sekali tidak sempat bersuara, tiga sosok tubuh
lantas terkapar.
Panggung penjaga yang dibangun di atas pohon itu ternyata sangat baik untuk batu
loncatan menuju ke loteng Hwe im kok. Diam2 Siang Cin bergirang, cepat ia
melayang keemper jendela loteng itu.
Daun jendela ternyata dipalang dari dalam. la mengerahkan tenaga dalamnya dan
mendorong pelahan. Palang jendela tergetar patah dan terbukalah jendela itu.
Meski cuma menerbitkan suara yang sangat pelahan karena patahnya palang
jendela, tapi hal itu sudah cukup membuat terkejut orang di dalam. Terdengar suara
nyaring halus bertanya dengan terkejut: "Siapa itu?"
Pelahan Siang Cin mendorong daun jendela dan menyelinap ke dalam, ia rapatkan
kembali jendelanya, lalu dengan gerak cepat ia melayang ke depan tempat tidur
yang tertutup oleh kelambu indah itu. Tanpa ragu2 ia menyingkap kain kelambu,
sekali tarik ia seret seorang perempuan muda dari dalam selimut.
Di bawah cahaya lampu yang cukup terang kelihatan wajah perempuan muda yang
terkejut ini memang cantik, putih mulus tubuhnya. Pada detik sebelum dia diseret
meninggalkan tempat tidurnya itu, sebelah tangannya sudah hampir menyentuh tali
349 sutera yang terikat di samping pembaringannya. Itulah tali pembunyi genta tanda
bahaya. "Kau . . . . . siapa kau"!" tanya perempuan muda itu dengan kejut dan takut2, kedua
tangannya bersilang menutupi dadanya yang setengah terbuka itu.
Siang Cin tiddk lantas menjawab, dengan tajam ia memandang gadis itu, mendadak
ia pegang dagunya dan didongakkan ke atas, maka tertampaklah sebuah tahi lalat
merah di samping bawah dagu gadis itu.
"Kau Thi Yang yang bukan?" tanya Siang Cin.
Gadis itu terbelalak, jawabuya dengan ragu2: "Ya, siapa kau?"
"Ehm," Siang Cin manggut2. "Memang kau yang kucari."
"Kau mencari diriku" Apakah . . . . . apakah ayah yang menyuruhmu ke sini?"
"Betul," kata Siang Cin. "Lantaran kau, banyak orang Bu siang pay yang
bergelimpangan di Pi-ciok can, sekarang Hek jiu tong teldh bergabung pula dengan
Jik san tui, Toa to kau, Jit ho bwe, Tiang hong pay, Ji ih hu serta Ceng siong san
ceng untuk menghadapi Bu siang pay, Setelah gagal di Pi ciok san, di bawah
pimpinan langsung ayahmu kini Bu siang pay akan menyerbu kemari, pertempuran
sudah berlangsung selama dua tiga hari. Semua hanya gara2 dirimu seorang. Khang
Giok tek itu lebih2 tak terampunkan, sikapmu juga sangat mengecewakan ayahmu."
Thi Yang yang termenung sejenak, ucapnya hemudian dengan rawan: "Aku . . . . aku
sendirilah yang rela ikut pergi bersama Giok tek, kini aku sudah menjadi milik Giok
tek, harap engkau suka menyampaikan kepada ayah agar beliau anggaplah tidak
pernah mempunyai anak seperti diriku ini ........"
Siang Cin menjadi gusar, katanya dengan mendongkol: "Kau dibesarkan orang tua,
disayang dan dimanjakan, akhirnya kau kabur bersama orang begitu saja?"
Dengan air mata berlinang Thi Yang yang berkata: "Aku sudah cukup dewasa . . . . .
aku berhak memilih cara hidupku sendiri, aku cinta Giok tek, dia juga cinta padaku . .
. . . . Kami sudah terikat menjadi suami isteri, mengapa . . . . . mengapa ayah hendah
memisahkan kami?"
Siang Cin mendengus, katanya dengan menahan rasa gusarnya: "Hm, Khang Giok
tek membalas air susu dengan air tuba, ditolong malah mentung. Dia juga membawa
minggat kau, inilah kesalahan pertama. Dia juga mencuri harta pusaka ayahmu. satu
kotak Ci giok cu, inilah dosa kedua. Tanpa lain ayahmu dia menggagahi kau, inilah
dosa ketiga. Belum lagi wibawa ayahmu yang tercemar, kehormatan Bu siang pay
yang dirusak serta tata adat yang di langgarnya, semua ini tidak kalian hiraukan lagi,
apalagi sekarang telah banyak menimbulkan korban jiwa, dendam berdarah ini
menjadikan dosa kalian bertambah besar."
Dengan ter guguk2 Thi Yang yang berkata pula: "Kami berbuat begini karena kami
kuatir ayah tidak menyetujui kehendak kami . . . . . tentang sekotak Ci-giok cu itupun
aku sendiri yang membawanya sekadar biaya perjalanan, sebab . . . . . . . "
350 "Sudahlah, kukira sekarang sudah terlambat uutuk berbicara hal2 ini," ujar Siang Cin
dengan hambar. "Habis bagaimana . . .. . . bagaimana kebendak ayah?" tanya si nona dengan
menangis. "Dendam berdarah harus dituntut dengan darah pula, semua ini kini sudah
berlangsung," jawab Siang Cin.
"Dan akan . . . . . akan kau apakan diriku?" tanya Yang yang sambil menyurut
mundur. "Akan ku serahkan dirimu kepada ayahmu," jawalk Siang Cin tegas, berbareng
tangannya rnenjulur, secepat kilat ia tutuk si nona sehingga roboh terkulat.
"Maaf nona Thi, kukira kita harus berangkat sekarang," bisik Siang Cin sambil meraih
selimut di tempat tidur itu untuk membungkus tubuh Thi Yang yang.
Pada saat ia hendak memanggul si nona, tiba2 di luar pintu kamar ada orang
bertanya: "Ada kejadian apa nyonya muda?"
karena tidak mendapat jawaban, orang di luar mulai mengetuk pintu dan bertanya
pula: "Nyonya muda, apakah . . . . apakah engkau mengigau. . . ."
Siang Cin mendekati pintu, mendadak ia membuka daun pintu, kedua tangan bekerja
sekaligus, terdengarlah suara gemuruh, dua lelaki baju hitam terguling ke bawah
loteng. Sekilas kelihatan lencana di dada mereka, kiranya anggota Hiat hun-tong,
barisan berani mati dari Hek jiu tong.
Karena suara gemuruh itu, seketika seluruh Hwe im tong menjadi geger, terdengar
orang banyak memburu ke sini.
Siang Cin merapatkan kembali daun pintu, ia harus cepat meninggalkan tempat ini.
Dia ambil lampu minyak dan dilemparkan ke atas tempat tidur, hanya sekejap saja
api lantas berkobar menjilati kelambu dan kasur terus menjalar sekitarnya.
Di tengah gelak tertawanya Siang Cin memanggul tubuh Thi Yang yang, berbareng
ia depak meja besar di depan tempat tidur dan tepat memapak empat lelaki yang
sementara itu telah menerjang masuk dengan mendobrak pinto. Pada saat lain
Siang Cin lantas menjebol daun jendela dan melayang keluar.
Sementara itu Ji ih hu telah diliputi suasana sibuk dan tegang, walaupun begitu tidak
menjadi kacau, terdengar suara bende ber talu2 diseling suara genta yang nyaring.
Dalam kegelapan bayangan orang berlarian kian kemari dengan senjata terhunus.
Setelah melayang keluar Hwe im kok, Siang Cin tidak lantas kabur jauh, ia melompat
ke panggung penjaga yang berada di atas pohon Siong itu, dari situ ia dapat
memandang keadaan sekelilingnya.
Sementara itu ia telah tutup Hiat to tidur Thi Yang yang sehingga nona itu tak
sadarkap diri. la memilih suatu tempat, lalu melayang turun ke sana, yaitu di samping
sebuah sumur yang berada di kaki dinding.
351 Ia pasang telinga dan merasa tiada suara orang di sekitarnya, cepat ia mulai
menggali tanah dengan kedua taagannya. Karena diselimuti salju, maka tanah di situ
tidak keras, tanpa banyak buang tenaga Siang Cin dapat menggali sebuah lubang
yang cukup untuk membujur sesosok tubuh manusia.
Dengan pelahan Siang Cin membaringkan Thi Yang yang di liang panjang itu, lalu
diuruk sedikit tanah bersalju, bagian mukanya yang tertutup selimut disingkapnya
kemudian ditutupnya dengan seonggok rumput kering. Di sekelilingnya diberi pula
beberapa potong batu agar rumput kering itu tidak tersingkit oleh tiupan angin atau
kena diinjak kaki orang.
Tanpa ayal ia melayang ke arah lain, kini Kim-bin tian yang langsung dituju, kini
iapun tidak perlu menyembunyikan jejaknya lagi.
Jalan yang ditempuhnya adalah jalur aman yang telah dikenalnya. Sesudah dekat
dengan tempat tujuan, diketahuinya ada beberapa bayangan yang memiliki Ginkang
tinggi sedang memburu datang.
Pada saat itu juga, se konyong2 di belakang Kim bin tian berkobar cahaya terang,
api menjulang tinggi, entah gedung mana yang tertimpa bencana lagi.
Suasana menjadi panik, terdengar suara jerit kaget di sana sini, dua di antara kelima
bayangan orang yang mengejar Siang Cin itu memburu ke arah berkobarnya api,
tiga yang lain tetap mengejar ke arah Siang Cin.
Diam2 Siang Cin mendengus, ia sengaja memilih ke tempat yang sepi dan sampai di
suatu gardu di tepi sebuah kolam yang kering, di situlah ia berdlri tegak menantikan
datangnya musuh.
Dengan kencang ketiga orang itu memburu tiba, ketika melihat orang yang mereka
kejar berbalik berhenti menunggu kedatangan mereka, keruan mereka jadi
melengak. Tapi merekapun jago kawakan, meski terkejut tidak menjadi gentar.
Sekali bersuit, serentak ketiga orang menghadapi Siang Cin dari tiga arah.
Siang Cin merasa sudah pernah melihat satu di antaranya, yaitu si kurus pucat
seperti mayat hidup yang datang bersama orang she Toh menegur Bwe Sim di
tembok benteng itu.
Dua orang lagi berjubah kelabu, rambut terikal di atas kepala seperti dandanan Tosu,
semuanya setengah baya. Wajah mereka putih bersih dan cukup tampan, tapi air
mukanya sangat dingin se akan2 langit ambruk juga tidak peduli.
Si mayat hidup juga terkejut setelah mengenali Siang Cin, tapi ia lantas mendengus:
"Hm, mirip benar penyamaranmu, sahabat!"
"Ah, hanya main2 saja," jawab Siang Cin dengan tersenyum.
"Apakah kau ini si Naga Kuning?" dengus pula orang itu.
"Ehm, tajam juga padanganmu!" dengan angkuh Siang Cin mengangguk.
Kedua orang yang berjubah kelabu saling pandang sekejap, yang sebelah kanan
lantas melangkah maju setindak dan menjengek: "Siang Cin, sombong benar kau!"
352 Siang Cin memandangnya sekejap, jawabnya dengan tertawa: "Dan kau ini lepasan
dari mana?"
Kedua orang berjubah kelabu itu tidak menjawab, sebaliknya si mayat hidup lantas
tertawa terkekeh2, katanya kemudian: "Naga Kuning, percuma namamu sedemikian
tenarnya, tapi matamu ternyata kurang awas, masa Tiang hong jit coat tak kau
kenal?" Siang Cin mencibir dan menjawab: "Tiang hong-jit coat itu orang macam apa"
Kenapa aku harus kenal mereka?"
Si mayat hidup tenang2 saja, ia memberi tanda untuk mencegah kedua orang
berjubah kelabu yang sudah tidak tahan itu, lalu ia mendengus pula: "Siang Cin,
sudah lama kami menguntit kau . ... .. ."
"Ini kan bukan rahasia, sejak tadi juga kutahu," jawab Siang Cin dengan angkuh.
"Berapa banyak pula begundalmu yang kau bawa, Siang Cin?" tanya orang itu.
"Hm, kaukira aku ini tawananmu dan harus mengaku" Hm, kau sungguh ke
kanak2an, kawan. Memangnya dengan hak apa kautanya padaku?" dengus Siang
Cin. "Dengan hak untuk mencabut nyawamu, kawan?" oraug itupun balas mendengus.
?"Hah, hanya orang macam kau juga berani main gila padaku" Hm, kukira mah
selisih jauh," ujar Siang Cin dengan tertawa geli.
Dengan dingin orang itu berkata: "Haha, sebaliknya aku "Mo bin cu" (si muka iblis)
Ciong Hu apakah dapat kau gertak?"
"jika demikian, hayolah boleh kita coba2 beberapa jurus," tantang Siang Cin. "Kedua
kawan dari Tiang hong pay ini bila tidak mau kesepian, boleh silakan maju sekalian."
Tidak kepalang gemas kedua orang berbaju kelabu itu. Belum lagi mereka
menanggapi ejekan Sang Cin itu, secepat kilat Mo bin cu Ciong Hu, sudah
menerjang maju, sekaligus ia melancarkan beberapa kali pukulan. Namun seperti
bayangan setan saja, tahu2 Sang Cin sudah menyelinap ke tempat lain, berbareng
iapun melontarkan beberapa kali hantaman kepada kedua orang berbaju kelabu.
Cepat kedua orang itu berkelit, mereka terkejut tak terduga oleh mereka bahwa
Siang Cin sedemikian tangkasnya, mau tak mau merekapun balas menyerang.
Tapi cuma beberapa gebrak saja, ketiga orang itu mulai kelabakan karena digoda
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
oleh serangan Siang Cin yang tidak menentu. Meski belum kelihatan kalah, tapi jelas
mereka merasa malu.
Wajah Mo bin cu Ciong Hu tetap pucat dingin tanpa mengunjuk sesuatu perasaan,
tapi di dalam hati tidak kepalang gemasnya. Sekali berputar, tahu2 ia telah
memegang sejenis senjata aneh, seperti keris yang berlekuk sembilan tapi ujungnya
bercabang seperti lidah ular.
353 Pada saat itu Siang Cin sempat menghindarkan gernpuran kedua orang berbaju
kelabu, menyusul ia balas menghantam si mayat hidup sambil berseru: "Coa kak
kiam ( pedang tanduk ular) yang bagus!"
Cepat Ciong Hu mengelak, berbareng ia balas menusuk dengan kerisya. Hanya
sekejap saja belasan jurus sudab berlalu pula.
"Krek", se konyong2 terdengar suara tulang patah, salah seorang berjubah kelabu
telah beradu tangan dengan Siang Cin, air muka orang itu seketika berubah pucat
seperti mayat, kedua tangannya lantas melambai ke bawah, lemas sepertr tak
bertulang lagi.
Sedikit peluang itu digunakan Mo bin cu Ciong Hu untuk menyergap, kerisnya terus
menikam. Namun Siang Cin sempat berputar ke samping sehingga tikaman lawan
mengenai tempat kosong. Pada saat yang sama terasa angin pukulan yang dahsyat
menyambar tiba dari belakang, cepat Siang Cin meloncat ke atas, berbareng kedua
tangannya menabas untuk memaksa mundur Ciong Hu.
Diam2 Siang Cin sudah ambil keputusan akan tumpas dulu si muka iblis ini,
Sementara itu dilihatnya si baju kelabu yang tangannya patah tadi sedang bersandar
di pohon di tepi kolam sana dengan napas memburu dan butiran keringat menghias
jidatnya. Tangannya yang patah tulaug itu tampak membengkak.
Mendadak Siang Cin menubruk maju lagi, kedua kakinya beruntung menendang
dagu Ciong Hu. Terpaksa Ciong Hu melompat mundur. Pada saat itu juga si baju
kelabu satunya juga mendesak maju dengan pukulan dahsyat.
Akan tetapi Siang Cin telah perlihatkan kelihayannya, sekaligus ia tahan serangan
kedua lawan tangguh ini. Sebelah tangan menabas Ciong Hu sehingga si muka iblis
ini terpaksa melompat mundur pula, sedang tangan lain tepat menabas di dada si
kelabu. Terdengar suara "bluk" yang keras dan jeritan tertahan, si jubah kelabu tumpah
darah dan berputar2 beberapa kali untuk kemudian lantas jatuh terkapar.
Si jubah kelabu yang patah tulang tangan menjadi kalap, tanpa pikir lagi iapun
menerjang ke arah Siang Cin. Pada saat yang sama Ciong Hu juga menubruk maju
pula dengan beringas.
Siang Cin bergelak tertawa dan berdiri tegak, mendadak kedua telapak tangannya
bergerak, memotong dan menabas, telapak tangan setajam mata golok bergerak
cepat dan tepat, terdengar serentak suara "blak buk" ber ulang2. Si baju kelabu
sekeligus kena dihantam empat kali dan ter guling2 ke sana dengan darah
berhamburan. Sedangkan Ciong Hu sempat mengelak dan melompat mundur, tapi segera ia
menubruk maju lagi dan balas menyerang. Siang Cin sendiri juga rada payah setelah
mengadu pukulan beberapa kali dengan kedua orang berjubah kalabu itu. Akan
tetapi tidak menjadi alangan baginya untuk menyambut serangan si muka iblis ini,
belum lagi Ciong Hu melihat jelas apa yang terjadi, tahu2 Siang Cin mendesak maju,
kerisnya jelas ambles ke tubuh Siang Cin, tapi tahu2 terlibat oleh jubah kuning Siang
Cin dan sukar ditarik kembali.
354 Keruan Ciong Hu terkejut, tak terpikir lagi olehnya tentang gengsi segala, ia meraung
keras, keris dilepaskan dan dia melompat mundur.
Akan tetapi sudah terlambat, mendadak jubah Siang Cin yang melibat ternyata lawan
itu mengebas, selagi Ciong Hu kerepotan menghadapi sambaran jubah yang mirip
segumpal awan itu, tahu2 ulu hatinya kena ditendang oleh Siang Cin, tanpa ampun
lagi ia terpental dan ter guling2 tak bangun lagi.
Untuk sejenak Siang Cin berdiri di tempatnya, ia mengerling sekejap ketiga
korbannya, habis itu barulah menghela napas panjang dan mengusap keringatnya
dengan lengan baju. Baru sekarang ia melihat kedua tangan sendiripun rada
bengkak. Ia kebaskan keris musuh yang terlibat di jubahnya itu, lalu memutar balik
menuju ke arah datangnya tadi.
Tiba2 ia merasa suara ribut di Ji ih hu telah padam, sekeliling terasa sunyi senyap,
tenang tapi seram, mungkin inilah ketenangan sebelum badai tiba.
Dengan cerdik Siang Cin menyusur ke samping taman dan memandang ke sana,
dilihatnya Kim bin tian sana terang benderang dan banyak bayangan orang yang
berlari kian kemari. Api yang berkobar di belakang Kim bin tian sana tampaknya
sudah kecil tapi masib berkobar, di tembok benteng sana samar2 kelihatan penjaga2
berseragam kulit sibuk mondar manair, semua ini entah alamat apa yang akan
terjadi. Tengah Siang Cin berpikir bagaimana tindakannya, mendadak dilihatnya belasan
orang berlari ke arah kolam kering, tempatnya bertempur dengan Ciong Hu tadi,
sejenak kemudian orang2 itupun berlari balik. Terdengar seorang yang bersuara
bengis serak mengomel: "Keparat, sudah mati semua, keji amat, satupun tidak ada
yang hidup."
Habis itu lantas terdengar suara bentakan orang memerintah, sejenak kemudian
seorang lagi yang bersuara melengking bertanya: "Tian Hiong, apakah kau lihat ada
orang bertempur di sini tadi?"
Suara seorang menjawab dengan gugup: "Ya, baru saja hamba bersama Cin Wi dan
dan Tan Sian bertiga ronda ke sini, dari jauh kami sudah dengar suara berisik, ketika
kami mengintai dari kejauhan, kelihatan Ciong ya bertiga sedang mengerubut
seorang musuh, maka cepat2 hamba berlari kembali melapor kepada Nyo ya . . .. . "
Suara melengking tadi berseru pula: "Sialan, kan sudah kukatakan sejak mula agar
regu patroli harus diperbanyak, sekarang sudah telanjur terjadi baru ribut2, lalu apa
gunanya?" Lalu suara parau tadi berkata pula: "Nyo heng, apakah kau dapat menilai betapa
tinggi kepandaian panyatron ini" Lo-liok (keenam) dari Tiang hong jitcoat Suma Eng
sarta Lojit (ketujuh) Ni Thay sudah cukup kita kenal kemampuannya, biarpun Lo
Ciong si muka iblis juga tergolong tokoh utama Ji ih hu kita. Sekarang mayat ketiga
orang ini sama terkapar di sini, luka merekapun akibat pukulan dahsyat. Dengan
perkataan lain mereka terbunuh oleh pukulan tangan kosong lawan. Coba kalian
pikir, dengan tenaga gabungan mereka bertiga, siapa di dunia ini yang mampu
membinasakan mereka dengan bertangan kosong?"
355 Setelah terdiam sejenak, mendadak si suara melengking tadi scperti ingat sesuatu
dan berteriak: "Naga Kuning! Ya, yang kaumaksudkan pasti Naga Kuning Siang
Cin"!"
"Hai," si suara serak tadi mendengus. "Kecuali dia kukira sekalipun Kim lui jiu Kin Jin
yang terkenal ilmu pukulan yang dahsyat juga tak mampu melakukannya."
"Bangsat she Siang itu pasti masih mengeram di sekitar sini," si suara melengking
meraung murka. "Sungguh keji amat, betapapun Locu tak bisa mengampuni dia."
"Hm, asalkan dia berani keluar, asalkan kita dapat mempergoki dia, utang darah ini
harus kita tagih kembali," demikian si serak menambahkan.
Si suara melengking tadi meraung: "Apalagi yang kau tunggu, Tian Hiong, keparat!
Lekas singkirkan mayat2 itu."
Maka terdengar seorang mengiakan, menyusul lantas terdengar suara orang banyak
sedang bekerja.
Si suara serak berkata pula: "30 tempat panah di sebelah timur hancur, tiga sisi lain
juga rusak hampir 50 tempat, banyak busur dan panah dihancurkan . . . . .. Selain
penjaga2 yang terbunuh, diketemukan pula mayat nona Bwe. Sungguh konyol, baru
kemasukan tiga mata2 musuh sudah diobrak-abrik begini, lalu cara bagaimana kita
dapat menghadapi pasukan musuh yang sudah dekat itu?"
"Ya, kulihat gelagat memang agak gawat," demikian si suara melengking
menanggapi. "Lo Tong, menurut laporan, pasukan perisai Ceng siong sanceng dan
pasukan berkudanya juga terdesak mundur oleh pasukan musuh, mungkin tidak
sampai terang tanah Bu siang pay akan sampai di Toa ho tin, tampaknya Jan loyacu
juga rasa gelisah, sedangkan bini Khang losam juga telah dibawa lari orang,
sebelum kabur malahan kamarnya dibakar, kuyakin pasti perbuatan orang she Siang
itu. Juga Co lociangbun dari Tiang hong pay tainpak sedih melihat puteri
kesayangannya sudah menjadi mayat"
Sejenak suasana menjadi hening, lalu si suara serak berkata pula: "Hayolah
berangkat, cari orang she Siang itu dan begundalnya, jangan sampai kawan kita ada
yang dikerjai lagi. Apa boleh buat, terima duit orang terpaksa harus menjual nyawa."
Lalu terdengar suara tindakan orang banyak dan makin menjauh. Sejenak pula baru
Siang Cin berdiri. Diam2 ia merasa lega, ia tahu Sebun Tio-bu bertiga telah
melaksanakan tugasnya dengan baik. Berbareng iapun ingat pada Bwe Sim yang
pingsan tertutuk itu dan disangka sudah mati oleh orang2 Tiang hong pay dan Ji ih
hu, bisa jadi saat ini tubuhnya ditaruh di suatu tempat yang tak terurus mungkin di
tengah2 tumpukan mayat yang lain. Diam2 ia menghela napas menyesal. Tapi apa
boleh buat, keadaan memaksanya harus begitu, kalau tidak membunuh tentu akan
dibunuh, tiada persoalan moral lagi yang perlu dipikirkan.
Tugas Siang Cin sekarang adalah membebaskan orang2 Bu siang pay yang
tertawan. Cuma di mana mereka dikurung, inilah yang belum diketahui. Padahal
untuk menyelidikinya jelas sekarang tidak mudah lagi.
356 Setelah berpikir, terpaksa Siang Cin merunduk lagi ke arah Kim bin tian. Ia tahu
pihak lawan saat ini sedang memperketat pencarian dirinya, sebab itulah dia harus
bertambah waspada.
Beberapa regu patroli musuh dapat dilalui pula, dengan mandi keringat akhirnya
Siang Cin dapat mendekati sebuah rumah batu yang mirip gudang. Di depan rumah
batu ini jelas kelihatan belasan bayangan orang mondar mandir dengan senjata
terhunus. Di ujung rumah sebelah sini, sebuah jendela setinggi dua tombak tampak terbuka,
lubang jendela sebesar satu dua kaki, jadi cukup diterobos oleh tubuh manusia,
mungkin jendela itu hanya jalan hawa belaka.
Siang Cin tertarik oleh rumah batu yang dijaga ketat ini, betapapun ia ingin
menyelidiki. Segera ia menggunakan cara yang paling kuna dan juga paling mudah
memancing perhatian oang, dia melempar sepotong batu ke arah sana, waktu kedua
penjaga di bawah jendela itu berlari ke sana, secepat burung terbang Siang Cin
lantas melayang ke atas.
Begitu mencapai ambang jendela, sebelah tangannya lantas meraih kusen jendela
dan menerobos ke dalam, tapi tangannya lantas terasa meraba cairan berbau anyir.
Tanpa memandangpun Siang Cin tahu barang apakah itu. Sungguh aneh, mengapa
di tempat begini ada darah"
Setelah direnungkan sejenak, ia jadi tertawa sendiri, segera sorot matanya yang
tajam mulai menjelajahi sekitarnya untuk mencari.
Rumah batu ini memang betul sebuah gudang. Karung goni bertimbun seperti
gunung, dari baunya yang memenuhi seluruh gudang dapat diketahui timbunan
barang ini pasti sebangsa beras dan bahan rangsum lain. Gudang sebesar ini hanya
pada samping pintu gerbang yang tertutup rapat itu terdapat sebuah lampu minyak
dengan cahayanya yang guram sehingga menambah suasana seram di dalam
gudang. Setelah jelas kelihatan tiada bayangan orang di dalam gudang, dengan pelahan
Sang Cin lantas mengeluarkan suara suitan lirih, setelab berhenti sejenak, lalu
bersuit pula tiga kali.
Mulai terdengar ada suara kresekan di balik tumpukan karung sana, sejenak
kemudinn sebuah muka orang tampak menongol dengan sorot matanya yang tajam.
Hah, siapa lagi dia kalau bukan saudagar kita, Sebun Tio bu.
Siang Cin lantas mendesis pula sehingga Sebun Tio hu dapat melihatnya. Tentu saja
pemimpin besar "Serikat pasukan berkuda" yang termashur itu kegirangan, segera ia
memberi tanda kepada Siang Cin, lalu menuding belakang.
Dengan enteng Siang Cin melayang ke sana dan turun di samping Sebun Tio bu.
Gudang ini benar2 suatu tempat sembunyi yang baik, sekelilingnya tumpukan karung
belaka, malahan pada suatu tumpukan di bagian tengahnya mereka kosongkan, lalu
tempat yang mendekuk itu digunakan sebagai tempat sembunyi. .
357 Loh Hou dan Le Tang tampak meringkuk di situ, baju Loh Hou berdarah, bagian
dada dan perut terbalut, agaknya dia terluka.
Segera Sebun Tio bu menarik Siang Cin ke tempat sembunyinya, tanyanya pelahan:
"Siang heng, bagaimana hasil pekerjaanmu" Tampaknya kalang kabut, tentu mereka
telah kau kerjai. Engkau sendiri tidak apa2 bukan?"
Siang Cin tersenyum, jawabnya dengan suara tertahan: "Lumayan, tidak sampai
terjungkal . . . .
Kutahu kalian telah berhasil menghancurkan sebagian besar liang panah, sungguh
hasil yang bagus! Api yang berkobar di belakang Kim bin tian itu tentu juga kerja
kalian?" "Kim bin tian?" tanya Sebun Tio-bu bingung. "Tempat apakah itu?"
"Yalah gedung tengah yang termegah itu . . . . Itulah pusat pimpinan Ji ih hu . . . . "
"Betul, itulah hasil kerja Loh lote, justeru lantaran menyalakan api itulah, di situ dia
dilukai oleh dua lawannya."
Dengan prihatin Siang Cin memandang Loh Hou sekejap dan bertanya:
"Bagaimana" Apakah parah?"
"Bagian dada tergores, untung cuma tersayat saja, kalau tertusuk langsung, wah,
mungkin sudah tamat," tutur Sebun Tio bun. "Selain itu pundaknya juga kena dua
kali hantaman, untung tulangnya tidak retak, namun menjadi bengkak juga."
"Apakah dapat kergerak dengan leluasa?" tanya Siang Cin pula.
Sebelum Sebun Tio bu menjawab, dengan suara parau Loh Hou berkata: