Bara Naga 13
Bara Naga Karya Yin Yong Bagian 13
"Tidak apa2, Tecu masih sanggup bertahan, Siang susiok, jangan kuatir."
"Bikin susah padamu, Loh heng." kata Siang Cin dengan tersenyum. "Dengan
barang apa engkau menyalakan api di sana?"
Loh Hou menyeringai sehingga kelihatan taringnya, katanya: "Selalu kubawa dua biji
Liu hung tan (granat) pada saat kejar mengejar, aku menjadi gemas dan nekat,
kedua biji nanas itu kulemparkan ke sebuah gedung yang berdekatan dan seketika
terjadilah ledakan dan kebakaran hebat,"
"Hah, tentu saja musuh menjadi kelabakan dan mengira kemasukan pasukan
musuh," ujar Siang Cin.
"Eh, apakah orang2 Bu siang pay yang tertawan itu sudah kau bebaskan?" tiba2
Sebun Tio bu ingat pada salah satu tugas Siang Cin itu.
Sambil menghela napas menyesal Siang Cin menggeleng, katanya: "Belum, tempat
tahanan mereka belum kutemukan. Selagi hendak kucari lebih lanjut, tahu2 aku
kepergok beberapa musuh tangguh dan terjadi pertarungan sengit."
"Tentunya Siang heng berhasil menjatuhkan mereka?" ajar Sebun Tio bu.
358 "Kalau tidak, masakah dapat bicara lagi dengan kalian di sini?" jawab Siang Cin
dengan tertawa.
"Siapakah lawan Siang heng?" tanya Sebun Tio bu.
"Ada Suma Eng, orang keenam dari Tiang-hong pay dan orang ketujuhnya yang
bersama Ni They lalu seorang lagi mengaku bernama Mo biancu Ciong Hu.
Semuanya kubinasakan."
"Bagus," kata Sebun Tio bu. "Biasanya Tiang hong pay sok memandang rendah
pihak lain, setelah dua di antara mereka mati terbunuh baru mereka tahu di kolong
langit ini masih banyak orang kosen. Keparat Ciong Hu itupun pernah kebentrok
denganku dahulu, tapi sebegitu jauh kami belum pernah bertemu lagi."
"Dan sekarang telah kutumpas seorang lawanmu yang tangguh, cara bagaimana
kau akan berterima kasih padaku?" demikian Siang Cin berseloroh.
"Baik, bagaimana kalau hadiah tiga cewek cantik?" jawab Sebun Tio bu dengan
memicingkan sebelah mata.
"Busyet!" seru Siang On dengan suara tertahan. "Kau tahu, selamanya aku tidak
gemar urusan perempuan, jangan kau jebloskan diriku."
"Eh, ya, bicara tentang cewek, aku menjadi teringat kepada puteri kesayangan Thi
ciangbun dari Bu siang pay itu" Bagaimana, sudah kau temukan?" tanya Sebun Tio
bu. "Ya, memang sudah berhasil kubawa keluar."
"Sudah kaubawa keluar" Di mana orangnya" Memangnya kau sembunyikan?"
"Anak dara itu memang sudah ter gila2 kepada Khang Giok tek, mereka sudah hidup
bersama sebagai suami isteri dan tidak ingin kembali lagi kepada ayahnya."
"Sialan! Kenapa ada anak perempuan yang tidak tahu malu begitu. Sia2 Thi Tok
beng berusaha mati2an, tak tahunya anak dara itu lebih suka terjerumus ke dalam
lumpur. Sungguh muka ayahnya telah tercoreng moreng."
"Itulah cinta, cinta memang buta . . . . . Tapi biarlah kita serahkan kepada
kebijaksanaan Thi-ciangbun sendiri, kukira beliau akan membereskan urusan rumah
tanggannya dengan baik, orang luar tidak pantas ikut campur."
Mereka lantas terdiam semua, suasana di gudang yang cukup luas itu menjadi
hening, sampai suara langkah penjaga yang mondar mandir di luar juga bisa
terdengar. Akhirnya Sebun Tio bu menjadi tidak sabar, ia tanya Le Tang: "Le laute, kira2 waktu
apa sekarang ini?"
Agaknya Le Tang memang seorang ahli menghitung cuaca, ia menengadah sejenak,
lalu mengendus2 dengan hidungnya yang pesek, kemudian menjawab: "Sndah
hampir terang tanah, Sebun-tangkeh."
359 Pada saat itulah, seperti menjawab pertanyaan Sebun Tio bu tadi, terdengarlah
suara gemuruh dua kali, suara ledakan yang mengguncangkan di kejauhan dari arah
Toa ho tin sana.
Le Tang tertegun sejenak, tapi lantas bersorak tertahan, serunya: "Itulah suara
ledakan Liat yam-tan kita. Siang susiok, pasukan kita sudah mulai menggempur
kemari." Siang Cin mengangguk, tapi dia memberi tanda agar jangan bersuara keras2.
Menyusul lantas terdengar pula suara gemuruh yang lebih keras, debu pasir gudang
sama rontok karena guncangan ledakan itu.
Mencorong sinar mata Sebun Tio bu, katanya girang: "Hah, Bu siang pay benar2
mulai menggempur Toa ho-tin pada pagi hari ini. Hebat, sungguh hebat, perbawa
mereka ini sanggup bertempur dengan pasukan resmi bentuk apapun. Dan
sekarang, apalagi yang kita tunggu di sini?"
"Sabar dulu, Sebun tangkeh," ucap Siang Cin dengan tenang dan tersenyum.
"Segera kita juga akan bergerak Sebentar bila pasukan Bu siang pay sudah
menyerbu masuk Toa ho tin, hendaklah engkau pergi ke sana untuk menuntun
mereka menggempur Ji ih hu melalui sebelah timur, yaitu melalui .hutan tempat kita
menyusup kemari itu."
Sebun'Tio bu mengiakan dan siap2 untuk berangkat.
"Dan Le heng tinggal saja di sini bersamaku, kita akan mengawasi gerak gerik
musuh, bilamana melihat mereka menggiring keluar tawanan orang2 kalian, dengan
gerak kilat kita akan menerjang untuk menyelamatkan mereka dan membuat musuh
kelabakan. Cuma tindakan kita ini sangat besar risikonya, mungkin harus
mempertaruhkan nyawa, maka Le tang hendaknya hati2."
Le Tang membusungkan dada dan menjawab: "Jangan kuatir, Siang susiok, pasti
akan kulakukan tugasku dengan sekuat tenaga dan takkan memalukan Bu siang pay
dan kehormatan Siang susiok."
"Bagus," kata Siang Cin, lalu dipandangnya pula Loh Hou yang terluka itu, katanya:
"Loh-heng terluka, sebaiknya tetap istirahat saja di sini, setelah semuanya sudah
beres akan kujemput kau ......."
"Tidak, Siang susiok," sela Loh Hou dengan rasa penasaran, "aku tidak mau
mengeram di sini. Sedikit luka ini tiada artinya bagiku, aku masih sanggup, harap
Siang susiok mengizinkan aku ikut serta . . . . . . . "
Siang Cin menatapnya dengan tajam, lalu berkata pula dengan ramah: "Loh heng,
semangat perjuanganmu sungguh sangat mengharukan aku, tapi engkau terluka.
Aku diserahi tugas oleh Bu siang-pay memimpin kalian ke sini, maka aku harus
menjaga keselamatanmu. Ketahuilah, hidup manusia tidak melulu untuk bertempur di
medan tempur saja, tapi masih banyak pekerjaan lain yang lebih berarti. Kesetiaan
dan keberanian seseorang tidak melulu ditandai dengan cucuran darah.
Pertempuran yang akan datang, sekalipun kau tidak ikut serta, bagiku, bagi Bu siang
pay, kau tetap sudah memenuhi kewajiban dan tidak perlu merasa malu atau
menyesal. Tentunya Loh heng dapat memahami maksudku."
360 "Tapi. . . . . tapi, aku masih sanggup, Siang-susiok. Aku tidak mau mengeram di sini,
aku ingin ikut Siang susiok . . ... . ."
Dalam pada itu, suara gemuruh ledakan bertambah kerap dan keras, gudang inipun
terasa berguncang Dengan gelisah Loh Hou dan Le Tang memandang Siang Cin.
Sebun Tio bu juga tidak dapat memberi saran.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya Siang Cin berkata: "Baiklah, kau ikut, tapi harus
hati2 dan menurut petunjuk."
Loh Hou kegirangan dan mengucapkan terima kasih.
"Hayolah kita berangkat," seru Sebun Tio bu dengan suara tertahan.
"Kita menerobos keluar melalui jendela, harus hati2," kata Siang Cin, berbareng ia
terus tarik Loh Hou dan dilempar keluar melalui lubang jendela itu, menyusul Siang
Cin sendiri juga menerobos keluar.
Di bawah jendela gudang saat itu ada dua penjaga berseragam kulit, mereka
mendongak terkejut ketika mendengar sesuatu suara. Tapi sebelum mereka sempat
bertindak apa2, Siang Cin sudah menubruk tiba, kedua tangannya menabas ke
kanan dan ke kiri, kontan leher kedua orang itu patah dan terguling.
Pada saat itu barulah Sebun Tio bu dan Le Tang menyusul tiba. Le Tang
mengangsurkan toya Loh Hou yang belum sempat dibawa tadi.
Sementara itu di jurusan Toa ho tin tampak terang benderang, api berkobar
menjulang tinggi ke langit disertai suara gemuruh.
Waktu Siang Cin memandang sekeliling Ji ihhu, suasana tetap sunyi dan tiada setitik
cahayapun, bahkan lampu yang menempel di dinding benteng sana juga
dipadamkan, semuanya tenggelam dalam kegelapan.
Siang Cin dapat merasakan suasana yang tegang ini, jelas musuh di Ji ih hu telah
siap siaga dan sedang menantikan datangnya badai serangan.
"Sekarang juga aku akan menyelundup keluar, Siang heng," kata Sebun Tio bu.
"Nanti dulu," kata Siang Cin. "Tunggu isyarat serbuan Bu siang pay . . . . . . . . "
Mereka berempat sama berjongkok di kaki tembok gudang dan menunggu
perkembangan lebih lanjut.
Lama2 Sebun Tio bu menjadi tidak sabar, katanya dengan suara tertahan: "Mengapa
belum ada tanda, entah bagaimana perkembangan di luar sana" Sungguh tidak
enak hanya menunggu saja di sini."
"Jangan gelisah, Tangkeh," ujar Siang Cin sambil menepuk bahu kawan ini.
"Sebentar lagi pasti ada kabar, bila sudah begitu, mungkin tiada waktu lagi bagimu
uutuk istirahat seperti sekarang ini."
"He, dengar, coba dengarkan!" mendadak Le Tang menegas.
361 Mereka lantas pasang kuping, terdengar suara "tut tut" bunyi terompet kulit keong
bergema di kejauhan sana, suaranya mengharukan, tapi juga membangkitkan
semangat. Di tengah suara "tut tut" itu terseling pula suara ledakan keras yang tiada
hentinya dan suara gemuruh lari be ribu2 pasukan berkuda. Itulah pasukan Bu siang
pay dari padang rumput.
Menyusul dengan bergemanya suara "tut tut" tadi, serentak berpuluh jalur berapi
menjulang tinggi ke langit dan suara gemuruh pasukan besarpun menuju ke arah Ji
ih hu sini. Le Tang dan Loh Hou sangat bersemangat, keduanya berjingkrak girang dan siap
menyambut kedatangan pasukan Bu siang pay itu.
Dengan tenang Siang Cin lantas berkata: "Tangkeh, sekarang bolehlah kita mulai
bergerak."
Tanpa ayal lagi Sebun Tio bu memberi salam terus melayang pergi dan menghilang
dalam kegelapan.
"Dan selanjutnya adalah tugas kita untuk beraksi," kata Siang Cin pula.
Dengan menggenggam toyanya Loh Hou siap2 untuk bertindak, serunya: "Siang
susiok, kami tidak gentar."
Lebih dulu Siang Cin mengawasi sekeliling sana lalu berkata: "Kita akan merunduk
melalui gunung gunungan sana dan sembunyi dulu, hati2 supaya jejak kita tidak
ketahuan musuh."
Setelah memberi pesan, segera Siang Cin mendahului melayang ke sana.
Gunung2an itu kira2 berjarak lima puluhan langkah dari undak2an batu di pintu
gerbang Kim bin tian. Setiba di samping gunung2an itu, Siang Cin memberi tanda
agar kedua kawannya mendekam ke bawah la sendiri lantas mengintai ke balik
gunung2an ini, benar juga, diantara lekukan gunung2an ini, ada lubang gua dan
kelihatan wajah manusia yang sedang mengintip keluar dengan gelisah. Jelas di
dalam gunung-gunungan ini ada jalan tembus di bawah tanah.
Sementara itu ufuk timur sudah mulai kelihatan larikan putih, fajar sudah
menyingsing, cuma gumpalan awan tampak tebal memenuhi langit, suasana menjadi
remang2, anginpun meniup kencang. agaknya akan turun salju pula.
Setelah berpikir. Siang Cin mengambil keputusan akan menyerempet bahaya sekali
lagi. Ia coba memeriksa dengan cermat, akhirnya dapat diketemukan jalan masuk ke
gunung2an itu. Jalan masuk itu terdiri dari sepotong batu yang dapat diangkat, di
bawah gunung2an itu, kini ada seorang sedang menggeser batu penutup itu dan
menongolkan kepalanya untuk menghirup hawa segar.
Secepat kilat Siang Cin menubruk maju dan mencengkeram kuduk orang itu,
menyusul leher orang itu dipencet pula dengan tangan lain. Hanya sekejap saja,
orang itu tak dapat lagi menghirup hawa segar untuk selamanya.
Sambil mengangkat mayat orang itu, Siang Cin terus menerobos ke dalam
gunung2an. Jalan lorong di bawah sangat sempit dan cekak, cuma beberapa meter
panjangnya. Pada ujung lorong sana ada ruangan bulat kecil dan cukup dibuat
362 tempat istirahat beberapa orang, dari ruangan bulat ini masih ada lorong2 sempit lain
yang menembus ke tempat lain. Mungkin di sinilah tempat pengintaian dan terdapat
alat2 tanda bahaya yang segera dapat dibunyikan bilamana pengintai di sini melihat
sesuatu yang tidak beres.
Siang Cin membanting mayat itu ke tanah hingga menimbulkan suara gedebug.
Maka terdengarlah seorang mengomel dari lorong sana: "Ong Moa cu, keparat kau,
orang lagi ngantuk, kau ganggu dengan suara keras begitu, memangnya kau terlalu
iseng dan minta mampus?"
Sekilas pandang Siang Cin dapat melihat ada tujuh lorong yang menembus ke
ruangan bulat, kecuali sebuah lorong yang dilaluinya barusan, keenam lorong lain
masing2 ada seorang sedang berbaring dengan kedua kaki selonjor ke jurusan sini.
Dengan gerakan cepat dan cekatan, dalam sekejap saja Siang Cin sudah berhasil
menyeret keluar dua orang di antaranya dan dihabisi. Keempat orang lainnya
mendengar sesuatu yang tidak beres, tapi sebelum mereka sempat berbuat apa2,
Siang Cin berhasil menutuk Hiat to mereka dari angin pukulan jarak jauh.
Tanpa bersuara keempat orang itu roboh terkulai di tempat masing2, semuanya
tertutuk Hiat to lumpuh dan bisunya.
Dengan bengis lalu Siang Cin berkata: "Nah kawan, ke enam temanmu sudah
menyusul kakek moyangnya di akhirat, tertinggal kau sendiri yang hidup. rebahlah
kau di situ dan akan kutanyai kau, bila kau mau bekerja sama dengan baik, jiwamu
akan kuampuni, kalau tidak, kawan2mu adalah contohnya."
Baru sekarang orang2 yang tertutuk itu menyadari apa yang terjadi, diam2
merekapun bersyukur jiwa mereka belum lagi melayang. Karena mereka masing2
rebah di lorong sendiri2, lorong batu sempit, hakikatnya mereka tidak dapat melihat
teman di sebelahnya, apalagi hendak saling memberi isyarat maka mereka sama2
mengira cuma tinggal dirinya sendiri yang hidup, selebihnya sudah terbunuh,
keempat orang itu sama2 merasa beruntung bagi dirinya sendiri. Demi
menyelamatkan nyawa sendiri, andaikan mengaku apa yang diketahuinya juga
takkan ketahuan.
Begitulah, dalam waktu singkat Siang Cin telah memanggil masuk Le Tang dan Loh
Hou. Setiba di ruangan bulat itu, Siang Cin menyuruh mereka masing2 bertiarap di
salah satu lorong yang kosong itu.
Habis itu Siang Cin menyeret keluar salah seorang yang telah tertutuk tadi, lebih dulu
ia gampar muka orang dua tiga kali hingga mata orang itu ber kunang2 dan kepala
puling tujuh keliling. Hiat-to yang tertutuk tadipun serentak terbuka.
Dengan darah mengucur keluar dari ujung mulut dan muka bengkak, cepat orang itu
berlutut di depan Siang Cin dan memohon ampun.
"Pasukan Bu siang pay sudah menyerbu ke Toa ho tin, kau tahu tidak kejadian ini?"
tanya Siang Cin dengan kereng.
Orang berseragam kulit itu menyembah berulang2, jawabnya dengan gemetar:
"Tahu, tahu, sebelum Toa ho tin digempur, ber ulang2 pimpinan sudah mendapat
laporan yang tidak menguntungkan, maka sejak kemarin Ji ih hu sudah dijadikan
pertahanan terakhir dan siap menghadapi datangnya musuh . . . . "
363 "Bagaimana keadaan di Toa ho tin sana, ceritakan menurut apa yang diketahui
olehmu?" bentak Siang Cin.
Dengan ter gagap2 orang itu menjawab: "Pihak Bu siang pay sedang menggempur
Toa ho tin dengan senjata api, kota itu sudah menjadi lautan api, menurut . . . . . .
menurut teman yang bertugas kurir garis depan, katanya pasukan berkuda Bu siang
pay telah membanjir ke dalam kota dan pertahanan di Toa ho tin telah mulai runtuh
dan sukar dipertahankan lagi. Konon senjata api , pihak Bu siang pay sangat lihay
dan keji, ada yang berbentuk bola, sekali dilemparkan lantas meledak dan
mengobarkan api, mereka juga menggunakan Iabah2 beracun, menurut laporan
terakhir, katanya barisan pelopor Bu siang pay sudah menyerbu masuk Toa ho tin,
beberapa garis pertahanan kami di Toa ho tin telah dihancurkan oleh senjata api
musuh . . . . "
Bara Naga Jilid 18 "Setelah membobol Toa-ho-tin, langkah selanjutnya yang dituju Bu-siang pay
tentunya Ji-ih-hu dan Pau-hou-san ceng!" kata Siang Cin dengan tersenyum puas,
"Dan apalagi yang kau ketahui?"
"Hamba adalah orang kecil, itupun sudah cukup banyak yang kukatakan, yang Iainlain
hamba tidak tahu," jawab orang itu.
"Bohong!" bentak Siang Cin, teringat olehnya batu-batu padat kelabu yang menonjol
disekitar gunung-gunungan ini, ia tanya puIa: "Tidakkah kaupernah melihat kawankawanmu
mengusung sesuatu benda, misalnya peti dan karung yang diberi bertali
dan dihubungkan ke dalam Ji ih-hu?"
Setelah termenung sejenak, kemudian orang itu berseru pelahan: "Ah, benar, baru
sekarang hamba ingat. Tiga hari yang lalu memang kulihat banyak kawan yang
keluar masuk istana di waktu malam, setiap orang memanggul peti yang berbungkus
kertas minyak, pengawasan tampak ketat, sampai setengah malaman baru
pekerjaan itu rampung.
Kemudian, menjelang fajar, ada belasan kawan membawa gulungan warna putih
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berlari keluar dengan terburu-buru. Kalau tidak salah gulungan warna putih itu
berbentuk tali sebesar jari, Tapi. . . tapi hambapun tak berani memastikan betul atau
tidak, sebab waktu itu keadaan remang-remang, hamba juga sudah mengantuk
berjaga semalaman, bisa jadi salah lihat."
"Kau omong sesungguhnya, tidak berdusta?" tanya Siang Cin.
Kembali orang itu menggigil ketakutan, jawabnya: "Masa . . . masa hamba berani
berdusta . . .. semua sudah hamba katakan sejujurnya . .. mohon ampun . . ."
Belum habis ucapan orang itu, dengan cepat Siang Cin telah menutuk Hiat to bisu
dan lumpuhnya, lalu tubuh orang itu diangkat dan dimasukkan lagi ke lorong semula.
"Nah, Loh heng dan Le heng sudah dengar sendiri pengakuannya tadi?" kata Siang
Cin kepada kedua kawannya.
364 Loh Hou dan Le Tang yang berbaring di dalam lorong masing-masing tidak dapat
membalik tubuh, terpaksa mereka menjawab dengan kuatir: "Ya, sudah kudengar,
Lantas bagaimana baiknya, Siang-susiok?"
"Sudah kupesan kepada Kin Jin agar memperhatikan soal ini, tentu dia akan
berunding cara mengatasinya dengan Thi-ciangbun kalian." kata Siang Cin dengan
tenang. Loh Hou tampak agak cemas, katanya: "Tapi. . . . tapi kalau kawan-kawan kita
kurang cermat dan main terjang saja, bisa jadi mereka akan celaka semua, Siangsusiok,
apakah barang yang dikatakannya itu benar-benar bahan peledak?"
"Kita jangan berharap bukan, tapi menganggapnya benar," kata Siang Cin.
"Siang-susiok, betapapun kita harus mencari akal untuk membantu kawan-kawan
kita," kata Le Tang, "Saat ini mereka sedang menerjang pintu neraka. . ."
Dengan tegas Siang Cin berkata: "Tapi tugas kita sekarang juga cukup penting dan
berat, Kita harus berusaha menolong kawan-kawanmu yang tertawan musuh, kita
harus membantu mengacau bagian dalam sini apabila mereka sudah mulai
menyerbu kemari. Kalau sekarang kita membagi tenaga untuk urusan lain, lalu siapa
yang akan melaksanakan tugas yang kusebut tadi, padahal untuk mencari musuh
yang siap memasang bahan peledak di tempat tersembunyi juga bukan pekerjaan
yang mudah."
Loh Hou dan Le Tang menjadi bungkam walaupun dalam hati sangat gelisah.
Mendadak Le Tang berseru puIa: "Tapi, Siang-susiok, sedikitnya kita kan harus
menyampaikan peringatan kepada mereka."
"Kan sudah dikerjakan oleh Kin-heng dan Sebun-tangkeh?" jawab Siang Cm dengan
tertawa, Maka Le Tang berdua menjadi bungkam puIa. Sejenak kemudian,
mendadak Siang Cin menggertak kaki dan berkaya: "Baiklah, biar ku pergi sendiri,
Selain menyampaikan peringatan, sekaligus akan kulihat cara bagaimana musuh
mengatur sumbu bahan peledak, Urusan sudah mendesak, terpaksa kulakukan
menurut keadaan, apapun juga segera kukembali lagi secepatnya Harap kalian
berjaga di sini, kecuali dipergoki musuh, kalau tidak, jangan sekali-sekali
sembarangan bertindak bila aku belum kembali ke sini,"
Serentak Le Tang berrdua mengiakan. Setelah memeriksa lagi sekeliling, habis itu
baru Siang Cin menerobos keluar melalui lorong tadi. Di luar tetap sunyi senyap,
suasana Ji ih-hu tetap hening, keheningan yang menegangkan. Tapi keheningan di
sini justeru berlawanan dengan suasana hiruk pikuk di Toa-ho-tin sana, terdengar
suara ledakan masih bergemuruh disertai api yang berkobar dan suara ambruknya
bangunan, dan tentu saja bercampur dengan suara jeritan orang yang sedang
bergulat dengan elmaut ditambah derap kaki kuda yang berlari kian kemari.
Siang Cin menyelinap ke samping gunungan sana, ia dapat melihat penjaga-penjaga
yang tersebar di tempat sembunyinya.
Dari pengalamannya tadi, Siang Cin dapat memperkirakan kapan dan di mana
tempat yang aman, ia incar baik-baik tempat yang dituju, mendadak ia melayang ke
sana secepat terbang. Baru saja bayangannya mencapai tembok benteng,
terdengarlah desiran angin tajam berhamburan dari berbagai arah. Akan tetapi
gerakan Siang Cin benar-benar cepat Iuar biasa, sebelum senjata rahasia itu
365 mencapai titik sasarannya, lebih dulu Siang Cin sudah melintasi tembok benteng dan
berlari ke Toa-ho tin.
Saat itu Toa ho-tin sudah serupa neraka, api tampak berkobar-kobar di mana-mana.
Siang Cin menyusuri hutan, baru saja ia keluar hutan di tanah yang landai sana,
segera dilihatnya dari berbagai penjuru gelombang manusia sedang membanjir ke
arah Ji-ih-hu sini, Ada anak buah Toa to kau yang berseragam biru, ada anggota Jitho
hwe yang bermantel kelabu, ada pasukan Ceng siong-san ceng yang berbaju
hijau, dan ada juga orang-orang Ji ih~hu sendiri yang berseragam kulit semuanya
lari balik ke arah Ji-ih-hu dalam keadaan konyol.
Siang Cin menggeleng, tanpa ayal ia menerjang ke arah Toa-ho-tin.
Kini pihak perserikatan Ji ih hu sudah runtuh, tapi pertempuran sengit di Toa-ho-tin
masih belum berakhir, bahkan tambah seru tanpa kenal ampun. Maklum, dalam
keadaan gaduh begitu, kalau tidak membunuh tentu dibunuh.
Beberapa rombongan musuh telah dilalui Siang Cin, sekarang ia sudah melihat pura
pejuang Bu-siang-pay yang bergelang emas di kepala dan berseragam putih,
semuanya sedang bertempur dengan gagah berani.
Di tengah pertempuran seru itu, Siang Cin melihat ada sesuatu yang tidak beres,
Dilihatnya pihak perserikatan Ji-ih-hu ada tanda-tanda mengundurkan pasukannya
secara berturut-turut, agaknya mereka mempunyai rencana tertentu dan tidak ingin
bertempur habis-habisan dengan Bu-siang-pay di medan Toa-ho-tin.
Siang Cin melihat di sebelah sana ada seregu anggota Jit-ho-hwe sedang bertempur
sambil mengundurkan diri. Secepat kilat ia melayang ke sana, kedua tangannya
bekerja naik-turun, sekaligus ke-tujuh orang itu disikat habis, Ketika ia membalik
tubuh, tiga penunggang kuda tahu-tahu sudah menerjang tiba.
Ketiga penunggangnya berseragam putih dan bergelang kepala emas, dengan golok
sabit dan perisai mereka terus menerjang ke arah Siang Cin.
"Berhenti! Naga Kuning di sini!" bentak Siang Cin dengan suara menggelegar.
"Naga Kuning", nama ini seperti bunyi guntur disiang bolong yang mengalutkan
ketiga anggota Bu-siang-pay itu, serentak mereka menahan kuda sehingga ketiga
kuda itu berjingkrak sambil meringkik.
Siang Cin lantas memburu maju sambil berseru: "Di mana Tiangsun-cuncu?"
Serentak ketiga orang itu memberi hormat. satu di antaranya menjawab: "Lapor
Siang-susiok, Cuncu mendapat tugas menyerang Pau-hou-san-ceng."
Terbayang betapa jarak Pau-hou-san-ceng dengan Toa-ho tin, maka legalah hati
Siang Cin. Katanya: "Dan siapa yang pegang pimpinan di sini?"
"Pimpinan dipegang Toasuheng Giam Sok dibantu Thio Kong, Thio-suheng, yang
bertugas mengepung Ji-ih-hu, bilamana semua pasukan sudah berkumpul, segera
sarang induk musuh akan diserbu.
366 Menurut perintah Ciangbunjin, garis pertahanan musuh harus diserbu dan bertempur
berhadapan, sedikitpun musuh tidak diberi kesempatan untuk mengundurkan diri,
menurut perintah Ciangbunjin ada kemungkinan di balik mundurnya pasukan musuh
ada tersembunyi muslihat keji tertentu."
"Memang tidak salah, musuh memang sudah mengatur muslihat di Ji ih-bu sana,"
kata Siang Cin dengan tertawa. "Tapi semangat tempur mereka memang juga sudah
runtuh, Nah, pergilah kalian, ingat, kejar musuh dengan ketat, jangan sampai
tertinggal jauh."
Ketiga orang itu memberi hormat, lalu menerjang pula ke depan sana.
Siang Cin merasa lega setelah mendapat keterangan itu, Nyata Kin Jin dan Sebun
Tio bu sudah menyampaikan beritanya kepada Thi Tok-heng, pihak Bu-siang-pay
sudah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Tentu Thi Tok-heng sudah menduga pihak Ji-ih hu akan menarik pasukannya bila
Toa-ho-tin boboI, pada saat pasukan induk Bu-siang-pay berkumpuI di dalam kota,
segera sumbu peledak akan dipasang dan meledaklah seluruh Toa-ho tin.
Oleh sebab itulah Thi Tok-heng sengaja menbagi sebagian pasukannya
meninggalkan tempat bahaya ini untuk menyerbu Pau-hou sao-ceng, hanya
sebagian kecil saja pasukannya diperintahkan bertempur dengan musuh, dengan
demikian musuh akan sia-sia bilamana benar-benar meledakkan seluruh Toa-ho-tin.
Malahan pihak sendiri yang akan rugi besar.
Dengan pikiran senang Siang Cin lantas berlari pula ke depan, pada ujung sebuah
persimpangan jalan, dilihatnya tiga lelaki berseragam kulit sedang berlari datang, tapi
belum lagi mereka membelok ke arah lain, dari belakang sana sebarisan pasukan
berkuda berseragam putih telah membidikkan anak panah sehingga beberapa
anggota Ji-ih-hu terjungkal binasa.
Siang Cin berlari ke depan pula, mendadak sebuah rumah bersusun ambruk hingga
debu pasir berhamburan. Di mana-mana memang api belaka, mayat bergelimpangan
memenuhi jalanan, rumah runtuh menjadi puing.
Kejar mengejar antara pasukan pihak Bu-siang pay dan Ji ih-hu sudah mulai
meninggalkan pusat kota. Kini pertarungan terjadi secara berkelompok.
Siang Cin ikut berlari mundur ke arah Ji-ih-hu. tidak jauh di sebelah sana, dilihatnya
seorang ksatria Bu-siang-pay berperawakan tinggi kurus dan bermuka kemerahmerahan
sedang menempur sengit dua orang berjubah biru yang juga berperawakan
tinggi. Kedua orang berjubah biru itu jelas sangat lihay, mereka masing-masing
menggunakan senjata tongkat, dengan mati-matian mereka mengerubi lawannya.
Di sebelah lain ada belasan anggota Bu-siang-pay sedang mengepung empat orang
berewok dan berwajah bengis, keempat lelaki kekar setengah baya ini sama
memakai mantel kulit warna kelabu, jelas mereka adalah jago Jit-ho-hwe. Meski
belasan orang mengeroyok empat orang, namun keempat orang itu tidak menjadi
gentar sedikitnya.
367 Di sana lain lagi, ada seorang berbaju putih dan bergelang kepala sedang melayani
tiga orang, Si baju putih ini agak luar biasa, bermata juling, hidung besar tapi pesek,
mulut tebal seperti moncong babi.
Biarpun jelek mukanya, tapi kepandaiannya boleh diuji, Dengan satu lawan tiga ia
malah lebih banyak menyerangnya daripada diserang.
Padahal salah satu dari ketiga pengerubutnya itu adalah orang ketiga dari So-liansu-
coat, yaitu Pah Cong-ju.
Di samping si baju putih bermuka buruk itupun ada seorang temannya lagi, juga
berwajah luar biasa, alis tebal mata besar, hidung lebur dan mulut besar,
perawakannya tegap, bersenjata godam di tangan kiri dan tangan kanan memegang
golok sabit, iapun bertempur dengan gagah berani.
Lawannya adalah seorang kakek, orang ketiga dari Jit-ho-hwe, "Tin-pan-thian" Ciang
Heng, tampaknya Ciang Heng sudah kewalahan, sebentar lagi mungkin akan angkat
tangan dan minta ampun.
Situasi sekarang sudah jelas, meski dalam hal jumlah pihak Bu-siang-pay jauh lebih
sedikit, tapi semangat tempur mereka menyala, bersatu hati, ditambah lagi
kemenangan berturut-turut, semangat tempur mereka tambah berkobar.
Sebaliknya pihak Ji-ih-hu meski berjumlah lebih banyak, namun kekalahan yang
terus menerus sejak dari Ce giok-giam membuat runtuh semangat tempur mereka.
Mereka menjadi jeri dan takut mati.
Segera Siang Cin ikut terjun ke tengah medan tempur, sebatang gada menyambar
lewat di sampingnya, tapi tanpa berkedip tangan Siang Cin terus menampar, orang
yang membokong itu kena dihantam terpental dan menumbuk kawan-kawannya.
Siang Cin terus menubruk maju, kedua tangannya bekerja cepat naik-turun, kembali
lima jago Ceng-siong-san-ceng terkapar.
Dalam pada itu si baju putih yang beralis tebal dan bermata besnr itu sedang
mencecar Ciang Heng hingga jago Jit-ho-hwe ini hampir tidak sempat bernapas.
Sembari menyerang si baju putih juga memperhatikan Siang Cin yang mulai
mendekat itu serunya: "Apakah di situ Siang-susiok adanya"!"
"Terima kasih, memang betul aku! Dan anda"!" jawab Siang Cin dengan tertawa.
Sambil mendesak musuh, orang itu menjawab dengan hormat. "Tecu Giam Siok,
anggota Hui-ji bun Bu-siang-pay."
"Ehm, memang sudah kuduga pasti kau," ujar Siang Cin sambil mengangguk Lalu ia
melirik Ciang Heng sekejap, katanya: "Ciang-Ioyacu, buat apa susah-susah kau"
Menjual nyawa percuma bagi Ji-ih-hu?"
Tempo hari Ciang Heng sudah terluka ketika mengadu pukulan dengan Kin Jin di
Pau-hou-san-ceng, dengan sendirinya kesehatannya belum pulih seluruhnya. Tapi
mau-tak-mau dia harus mengadu nyawa karena Jit-ho hwe harus pegang janji.
368 Butiran keringat tampak menghiasi wajah Ciang Heng yang sudah berkeriput dan
pucat itu, dengan napas terengah-engah ia berseru: "Apa. . . apakah kau si Naga
Kuning?" "Ehm, tepat juga tebakanmu," jawab Siang Cin. Mendadak Giam Siok membentak,
golok dan godamnya bekerja sekaligus, golok menyambar Ciang Heng, berbareng
godamnya menyampuk belasan orang berseragam kulit terdengar jerit ngeri di
tengah muncratnya darah, belasan orang tersapu menggeletak sekali pun Ciang
Heng yang paling kuat juga tak bisa berkutik.
Siang Cin hanya menggeleng saja, katanya kemudian dengan suara tertahan:
"Giam-heng, ingat, jangan terlalu jauh ditinggali musuh, kejar dengan rapat agar
tidak terjebak."
"Tecu paham," jawab Giam Siok dengan tersenyum. "Kin tayhiap dan Sebun-tangkeh
sudah memberitahu."
"Bagus," seru Siang Cin, "Selamat berjuang, sekarang aku akan kembali ke
tempatku lagi."
Kini hati Siang Cin benar-benar merasa lega, beban pikirannya telah lenyap. Dengan
gerak cepat ia berlari kembali ke arah Ji ih-hu. Seperti caranya keluar tadi, iapun
melintasi tembok benteng secepat terbang. Ketika melintasi tembok benteng itu,
sekilas dilihatnya banyak orang berseragam kulit sibuk naik turun, ada yang
membawa palu dan paku, ada yang memangguI gulungan kawat, ada pula yang
menggotong kerangka besi.
Siang Cin melayang ke atas pohon yang rimbun, tiba-tiba ia ingat kerangka-kerangka
besi itu, Betul, itulah kerangka besi tempat busur, rupanya Ji-ih hu sedang
memperbaiki kerangka busur yang telah dirusak oleh Sebun Tio-bu dan lain-lain.
Belum lagi Siang Cin mendapatkan cara baik untuk menghadapi musuh, tiba-tiba
terdengar suara teriakan ramai di sebelah sana, Siang Cin terkejut, jelas arah suara
ramai itu berdekatan dengan gunung-gunungan tempat sembunyi Le Tang dan Loh
Hou itu. Terkesiap Siang Cin, tanpa pikir ia terus melayang turun ke sana, Sebelum tiba di
tempat tujuan, sekilas dilihatnya bayangan orang memenuhi sekitar gununggunungan
itu. Tanpa melihat lagi Siang Cin sudah tahu apa yang terjadi. Jelas jejak
Le Tang berdua diketahui musuh.
Cepat ia menerjang maju, belum lagi orang-orang Ji-ih-hu itu melihat jelas siapa
pendatang ini, tahu-tahu beberapa orang di antaranya telah mencelat. Kedua tangan
Siang Cin bekerja cepat, dalam sekejap beberapa musuh terkapar lagi, ia berkelit ke
kanan lalu mengegos ke kiri, beberapa kali bacokan golok lawan dihindarkannya,
menyusul kedua tangannya memotong dan menghantam dua orang berseragam kulit
terguling pula dengan kepala pecah dan darah muncrat.
Seketika teriakan kaget berjangkit di sana-sini, menyusul terjadilah hujan senjata dari
berbagai penjuru, namun Siang Cin dapat menyelinap kian kemari dengan
kecepatan luar biasa. Berbareng kedua telapak tangannya menabas dengan
dahsyat, belasan anak buah Ji-ih-hu tunggang-langgang lagi.
369 Mendadak tiga sosok bayangan orang menubruk tiba dan serentak berhenti di depan
Siang Cin dalam posisi mengepung dari tiga jurusan.
Siang Cin berdiri tegak dan tenang, sorot matanya yang tajam mengerling ketiga
musuh, dilihatnya satu di antaranya adalah orang tua tinggi besar berjenggot yang
pernah ditemui di tembok benteng bersama Bwe Sin itu.
Di samping orang tua berjenggot merah ini berdiri seorang Suseng ( pelajar ) cakap
berbaju biru dengan ikat kepala yang sama warna.
Di sebelahnya lagi adalah seorang bermuka merah dengan mata liar dan hidung
lebar, buruk amat muka orang ini, tapi tampaknya dia adalah kepala dari ketiga
orang ini. Di tengah suasana yang ramai itu, si muka merah berseru: "Jika tidak
salah lihat, sobat yang berhadapan denganku ini tentunya si Naga Kuning Siang Cin
bukan?" Siang Cin mendengus jawabnya tak acuh: "memang benar!"
Si muka merah tampak beringas, matanya melotot, dengan gregetan ia bertanya
puIa: "Suma dan Ni Thay dari Tiang-hong-pay serta Mo-bin-Ciong hu, semuanya
terbunuh olehmu, orang Siang?"
"BetuI," jawab Siang Cin tegas.
"Dan sarang panah itupun dirusak olehmu?" tanya pula si muka merah dengan
murka. "Ya, pokoknya semua kejadian si sini adalah perbuatanku, baik pembakaran Hweim-
kok maupun perampasan puteri Thi ciangbun, semuanya pekerjaanku, Nah, jelas
dan puas sekarang?"
Setelah menyeringai, Siang Cin menyambung pula: "Akupun tahu siapa kau, setelah
kukerjai Ciong Hu bertiga, bukankah kau sudah pernah memeriksa ke sana. Di tepi
kolam kering sana kudengar suaramu yang serak sehingga sukar terlupakan. Kutahu
kau pasti sangat dendam padaku dan ingin menuntut balas bagi kawan-kawanmu,
begitu bukan?"
"BetuI!" si muka merah meraung murka.
"Dan sekarang sudah terbuka kesempatan itu bagimu," ujar Siang Cin sambil
melangkah maju.
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tepat, aku Jik-gan-thi-pi (muka merah tangan besi) Toan Kiau memang sudah lama
ingin menghadapi kau," dengus si muka merah dengan marah.
Baru sekarang Siang Cin tahu-lawannya adalah tokoh Ji ih-hu yang terkemuka.
Diam-diam ia menghimpun tenaga, ia tahu ketiga lawan di depan ini adalah tokoh
kelas tinggi, untuk membereskan mereka rasanya tidak mudah.
Belum lagi Siang Cin bertindak, ternyata si tua berjenggot merah sudah mulai
menubruk lebih dulu sambiI membentak, dia menggunakan pedang punggung
sempit, tajam luar biasa, segera ia menusuk.
370 Toan Kiau juga tidak tinggal diam, tangan kiri menabas, tangan kanan dengan
senjata gurdi lantas menikam batok kepala Siang Cin, si Suseng setengah baya juga
lantas menubruk maju, dengan cepat ia menghantam.
Dikerubut dari tiga jurusan, Siang Cin tetap tenang-tenang saja Mendadak ia
mendoyong ke belakang. "plak", ia sambut pukulan si Suseng setengah baya, dan
saat yang sama, dengan getaran pukulan itu Siang Cin mengapung ke atas.
Maka tusukan pedang si muka merah dan tikaman gurdi si tua berjenggot juga
kehilangan sasaran.
Karena adu tangan tadi, si Suseng tergetar mundur dua-tiga tindak, ia menjadi
murka, sambil membentak kedua lengan bajunya yang komprang terus menyabet.
Melihat sabetan lengan baju yang lihay ini, tahulah Siang Cin siapa lawan ini, ia
berputar di udara untuk kemudian melayang turun kembali, jengeknya: "Hm, Siangsiu-
jiau-hun (memburu sukma dengan kedua lengan baju) Toh Goan, kiranya kau!"
Si Suseng setengah baya itu memang betul bernama Toh Goan, dengan lengan
bajunya yang komprang itu ia dapat menyerang musuh dari jauh dan dekat, sekali
leher lawan terlibat lengan bajunya, jangan harap akan dapat terlepas lagi. Setelah
tergetar mundur tadi, segera ia menubruk maju pula.
Di samping lain si tua berjenggot dan Toa Kiau juga menubruk maju berbareng. Di
bawah kerubutan tiga jago kelas tinggi, dengan gerak cepat "Liong-ih-tay-pat-sik"
yang lincah Siang Cin mengapung ke atas dan menubruk ke bawah, menyelinap ke
kanan dan menyusup ke kiri, dengan gesit ia berseliweran di tengah kerubutan
musuh, berbareng iapun batas menyerang dengan berbagai tipu serangan.
Hanya sekejap saja tiga puluhan jurus sudah berlalu, Siang Cin merasa ketiga
lawannya sekarang yang berbeda dengan Mo-bin-cu Ciong Hu dan gembong dari
Tiang-hong-pay, untuk merobohkan mereka mungkin harus menggunakan akal.
Beberapa jurus pula, sekonyong-konyong terdengar suara raungan di dalam gununggunungan
sana: "Siang-susiok, biar kami menerjang keluar untuk membereskan
kawanan keparat itu."
Itulah suara Le Tang, Siang Cin tahu mungkin kedua orang itu melihat dia dikerubut
tiga orang, maka ingin menerjang keluar membantunya.
Secepat kilat Siang Cin melancarkan beberapa kali serangan untuk mendesak
mundur musuh, berbareng iapun berteriak: "Tidak, jangan keluar, jaga disitu."
Gurdi Toan Kiau menikam dan menusuk pula beberapa kali sambil berteriak-teriak:
"Nyalakan api, bakar mereka!"
Angin pukulan menderu-deru, sekaligus Siang Cin menghalau serangan Toan Kiau
dan juga kebasan lengan baju si Suseng, Tapi pada saat yang sama, dengan
meraung kalap pedang sempit si tua berjenggot merah juga menyambar tiba.
Siang Cin sudah memperkirakan pertarungan ini hanya ada dua pilihan. Dia tetap
melabrak Toan Kiau dari depan dengan risiko terserang pula oleh pedang dan
371 lengan baju dua lawan lainnya atau dia segera menyelinap keluar dari seranga Toan
Kiau itu. Namun keadaan sudah mendesak, ia menyadari bila pertempuran berlangsung lama
tentu akan banyak rugi daripada untungnya iapun tahu untuk menyelesaikan
pertarungan sengit ini, imbalannya mungkin juga mahal, terpaksa juga harus
mengadu jiwa. Dengan nekat mendadak Siang Cin mengegos, sekaligus ia hindarkan libatan lengan
baju Toh Goan, tapi lengan baju yang lain sempat menyabat pundaknya, "cret", tahutahu
pedang sempit si tua menyambar tiba dan menancap di betis Siang Cin.
Pada saat yang sama gurdi Toan Kiau juga menyerempet lewat di depan hidung
Siang Cin. Maka tibalah kesempatan yang di nantikan Siang Cin ini. Telapak tangan
kanan menabas sekuatnya, "blang", kontan tubuh Toan Kiau mencelat dua-tiga
tombak jauhnya.
Pada saat tubuh Toan Kiau terpental ituIah, Siang Cin terus menarik kakinya yang
terluka, berbareng tangan yang lain juga memotong ke leher si tua berjengot yang
bermaksud menarik kembali pedangnya itu.
Dengan cepat Siang Cin terus melompat mundur, kini yang dihadapinya tinggal Toh
Goan saja, tubuh Toan Kiau sudah menggeletak si tua berjenggot merah juga
berkelejetan sambil memegangi leher sendiri, darah tampak merembes keluar dari
sela jarinya. Pedang sempit itu masih menancap di betis Siang Cin. Dengan muka kepucatpucatan
ia pandang Toh Goan yang rada terengah-engah itu, ia tersenyum
mendadak ia angkat kakinya, "Sret", pedang yang tadinya menancap di betisnya itu
tahu-tahu sudah menembus dada seorang lelaki berseragam kulit di sebelah sana,
menjerit saja tidak sempat, tahu-tahu orang itu roboh terkulai bermandikan darah.
Siang Cin menyeringai seperti binatang buas yang terluka, sorot matanya tajam
menyayat, ia pandang sekelilingnya sekejap, tanpa terasa anak buah Ji-ih hu yang
berdekatan di situ sama menyurut mundur dengan ketakutan.
Di sekitar gunung-gunungan itu ternyata sudah banyak tertumpuk kayu bakar,
bahkan sudah disiram minyak. Namun para penjaga yang berseragam kulit itu
tampak melongo jeri dan lupa pada tugasnya menyaksikan pertarungan sengit dan
kematian beberapa pimpinannya itu.
"Nah, Toh Goan, kini tinggal kau saja, majulah, kita selesaikan sekalian!" kata Siang
Cin dengan nada ketus, ia tersenyum dan mendadak berteriak: "Le Tang, Loh Hou,
sekaranglah waktunya menerjang keluar!"
Baru habis Stang Cin berteriak, sekonyong-konyong di pintu gerbang Ji-ih~hu sana
berkumandang suara hiruk-pikuk, menyusul lantas terdengar suara gemuruh
membanjir tibanya manusia dan derap kaki kuda. Sekilas melirik, dapatlah dilihat
Siang Cin apa yang terjadi, kiranya pihak Ji-ih-hu telah membuka pintu gerbang
benteng dan memasukkan sisa pasukannya yang mundur dari Toa-ho tin itu.
Hampir pada saat yang sama dengan banjir orang yang berduyun-duyun masuk ke
Ji-ih-hu ini, di arah Toa-ho-tin sana mendadak terdengar suara gemuruh ledakan
372 yang amat dahsyat disertai api yang membubung tinggi ke langit, bumi serasa
guncang, asap tebal bergulung-gulung memenuhi angkasa.
Suara ledakan ini kedengaran cukup dekat, seperti tidak jauh di depan Ji-ih hu,
melihat gelagatnya, mungkin seluruh bahan peledak yang terpendam telah
diledakkan. Siang Cin berdiri tertegun, diam-diam menghela napas panjang, ia menguatirkan
para pahlawan Bu-siang-pay yang sedang bertempur, bukan mustahil ledakan
dahsyat ini akan menelan korban pasukan kedua pihak yang sedang bertempur itu.
"Brakk", sepotong batu karang gunung-gunungan itu hancur terhantam, di tengah
jerit kaget orang banyak, dua sosok bayangan yang tangkas menerjang keluar.
Seorang memakai rantai, sekali sabat, kontan tiga orang berseragam kulit tersampuk
jatuh dan binasa.
Toya yang diputar Loh Hou juga bekerja cepat, terdengar suara denging nyaring,
beberapa golok musuh tersapu jatuh, beberapa orang mencelat mundur. Kelihatan
Le Tang dan Loh Hou menerjang dengan kalap dan tangkas. Baru sekarang para
penjaga berseragam kulit itu terkejut dan tersadar dari melenggong mereka tadi,
beramai-ramai mereka lantas mengepung.
Segera Siang Cin bergerak pula, sekali hantam, batok kepala dua orang yang paling
dekat dihancurkan. Cepat Toh Goan menubruk maju, ia pimpin tiga puluhan orang
berseragam dan mengepung rapat Siang Cin bertiga. Namun begitu Siang Cin dan
Le Tang serta Loh Hou tidak menjadi gentar, mereka semakin bersemangat,
bukannya kewalahan, bahkan pihak musuh yang kelabakan, beberapa orang
kembali roboh terkapar pula.
Pada saat ituIah, dari arah pintu gerbang Ji ih-hu sana berlari datang lima sosok
bayangan orang. Hanya sekejap saja sudah berhadapan. Sekilas pandang Siang Cin
mengenali tiga di antaranya, Yang dua orang adalah Han-mo-siang ciu, kedua tokoh
Toa to-kau Dua orang lagi bermantel kulit kelabu, yang satu pendek gemuk seperti
gentong, kepala besar tangan panjang, yang satu lagi bermuka hitam hidung pesek
dan mulut lebar, mukanya sangat buruk, sedangkan orang kelima dikenalnya
sebagai Lo sat-li Giam Ciat, sang janda genit.
Kecuali Giam Ciat, keempat orang lainnya tampaknya berlepotan darah, rambut
kusut muka berminyak dan penuh keringat tampaknya mereka habis bertempur
sengit sehingga kelihatan lelah, lesu dan juga kesal.
Melihat bala bantuan sudah datang, semangat Toh Goan terbangkit, ia menyerang
mati-matian sambil berteriak: "Kebetulan kedatangan kalian, disinilah mata-mata
musuh yang kita cari tadi!"
Seketika Giam Ciat yang juga siap hendak menerjang maju itu merandek dan berdiri
seperti patung, sorot matanya menatap tajam kepada Siang Cin yang sedang
bertempur dengan gagah perwira itu, dia hampir-hampir tidak percaya kepada
matanya sendiri, ia melongo dan tidak dapat bersuara.
"Kau kenapa, nona Giam?" si muka hitam yang berdiri di sebelahnya bertanya.
Giam Ciat tersadar, tanyanya: "Sia... siapa dia ini?"
373 "Naga Kuning! Dia inilah Siang Cin keparat!" teriak si pendek gemuk seperti gentong
itu. Seketika wajah Giam Ciat berubah pucat pasi, keringat dingin membasahi tubuhnya,
seperti habis sakit berat, gumamnya kemudian: "Naga . . . . Naga Kuning" Dia dia
Siang Cin" Di. . . di Pau-hou-san-ceng pernah kulihat dia. Ya, dia memang Naga
Kuning." Dalam pada itu Siang Cin telah beraksi pula, sekali menyapu dengan kakinya,
kontan empat orang berseragam kulit menjerit terjungkal. Sekali hantam ia desak
mundur Toh Goan pula, lalu ia berseru dengan tertawa "Selamat bertemu lagi, nona
Giam" Go Ji menyampaikan salam padamu!"
Saking dongkol dan gemas tubuh Giam Ciat sampai gemetar, jeritnya penuh benci:
"Bagus kau Siang Cin . . . . kau jahanam . . . . "
Siang Cin bergelak tertawa, sambil melancarkan beberapa kali serangan, ia berseru:
"Kita berlawanan, Giam Ciat perang antara dua negara tidak pantang menggunakan
tipu muslihat dan agen rahasia bukan?"
Saking gemasnya hampir saja Giam Ciat jatuh semaput. Dengan tergagap ia
berteriak pula: "Dan kau. . . kau pula yang membunuh nona Bwe?"
Belum lagi Siang Cio nienjawab, terdengar suara mendesingnya benda-benda yang
melayang dari luar Ji- ih hu, benda hitam bulat, begitu jatuh di tanah lantas
menimbulkan ledakan keras itulah "Liat-yam-tan", granat buatan Bu siang pay.
Seketika suasana menjadi kacau bulau, api berkobar dan asap berhamburan.
Para pengerubut Siang Cin bertiga menjadi kelabakan menghadapi suasana yang
luar biasa in", dengan kalap Toh Goan menyerang pula sambil berteriak: "Hayo
saudara-saudara, tunggu apa!agi" Suasana sudah gawat, apa yang kalian ragukan
pula?" Sambil meraung, Ham-mo-siang-ciu mendahului menerjang ke tengah kalangan,
keduanya menggunakan pedang pendek, serentak mereka mengerubuti Siang Cin.
Dengan gregeten Giam Ciat juga menubruk maju, senjatanya yang berbentuk jaring
terus terpentang iapun ikut menggempur dengan sengit.
Si gendut tadi segera menerjang Loh Hou, sedang kawannya menandingi Le Tang,
pertarungan sengit kembali berkobar pula.
Ji-ih-hu kini sudah berubah menjadi neraka, di mana-mana api berkobar dan asap
bergulung-gulung ke angkasa, batu pasir betebaran di tengah ambruknya bangunan,
suara ledakan masih terus terdengar di sana-sini, bayangan orang lari kian kemari
disertai jerit ketakutan. Namun dari udara masih terus hujan granat yang
dihamburkan oleh Bu-siang-pay dari luar benteng.
Hawa di tengah Ji ih hu penuh bau mesiu, bau yang sangat menusuk hidung,
pertempuran antara Siang Cin bertiga dengan para pengerubutnya juga tambah
sengit. 374 "Labrak dan bunuh tanpa ampun, Le-heng dan Loh heng, cepat selesaikan!" teriak
Siang Cin sambil melancarkan beberapa pukulan sehingga Han-mo-siang cin
terdesak mundur, berbareng ia mengelakkan serangan Toh Goan, ketika kakinya
mendepak, kontan dua orang berseragam kulit terjungkal pula.
"Hm, mungkin tidak semudah harapanmu, Siang Cin!" jengek Toh Goan sambil
menubruk maju puIa, kedua lengan bajunya yang kuat terus mengebut.
"Hehe, boleh coba saja!" kata Siang Cin sambil menyeringai, Berbareng ia hantam
sana dan sodok sini sehingga musuh terpaksa melompat mundur.
Diam-diam Siang Cin merasakan keadaan rada gawat, untuk merobohkan para
pengerubutnya jelas sukar berlangsung dalam waktu singkat, padahal dia masih
mengemban tugas lain yang penting. Melihat gelagatnya sebentar lagi Bu siang pay
akan menyerbu besar-besaran, pada waktunya yang tepat ia harus membereskan
tugas itu. Dan sekarang adalah kesempatan baik baginya untuk menerjang keluar
kepungan. Mendadak ia menghantam sekuatnya ke depan, ketika Toh Goan terpaksa melompat
mundur, segera Siang Cin melayang ke sana, ia terjang salah seorang Han-mosiang-
ciu yang cacat telinga itu.
Cepat orang itu mengelak ke samping, tapi baru setengah jalan mendadak Siang Cin
berganti arah dan menabas Siang-ciu yang kedua.
Gerakannya secepat kilat, serangannya sangat ganas, anggota Han-mo-siang-ciu ini
tidak keburu mengelak lagi, dengan mata melotot dan mengertak gigi ia malah
memapak maju, tumbaknya mendadak menusuk dari samping, telapak tangan kiri
juga menghantam.
Pada saat yang sama, tanpa bersuara Toh Goan juga menubruk maju, kedua lengan
bajunya yang lemas sebagai ular terus menyabet punggung Siang Cin.
Namun dengan sedikit mendak ke bawah sambil menggeser langkah, serangan
lawan terhindar, berbareng ia menyikut, kontan salah seorang Han-mo-siang-ciu itu
mencelat. Ketika ia membalik tubuh, dengan tepat berhadapan dengan Toh Goan.
Keruan Toh Goan terkejut, belum lagi sempat ia bertindak lebih lanjut, secepat kilat
pukulan Siang Cin sudah menyambar tiba dan tepat mengenai dadanya, "Brek", Toh
Goan terhuyung-huyung dan tumpah darah dan tak bisa berkutik lagi.
Mendadak Han-mo-sian-ciu yang cacat telinga itu menggerung kalap, dia tidak
menerjang Siang Cin untuk menuntut balas bagi kawannya, tapi seperti kerbau gila
terus menubruk ke sana, di sana Loh Hou sedang menempur si gendut dan anak
buah Ji-ih-hu. Cepat Siang Cin bertindak, ia desak mundur Giam Ciat yang menyerang dengan
kalap, lalu ia memburu ke sana sambil berseru: "Awas, Loh-heng!"
Loh Hou tampak sudah mandi keringat dan napas terengah-engah, di sekitarnya
menggeletak beberapa mayat, toyanya juga berlepotan darah. Akan tetapi lukanya
yang belum sembuh menjadi kambuh lagi, sakitnya merasuk tuIang, ditambah lagi si
375 gendut yang ikut mengerubutnya itupun tidak rendah ilmu silatnya, serangannya
dahsyat dan tidak kenal ampun, tentu saja Loh Hou semakin payah.
Demi mendengar seruan Siang Cin, segera Loh Hou merasakan angin kencang
menyambar tiba, sambil meraung toyanya terus menyapu ke samping, seorang
berseragam kulit menjerit ngeri dan terpental, sementara itu orang yang cacat telinga
juga sudah menerjang tiba.
Untunglah pada saat itu Siang Cin memburu datang, ia mendahului menghantam.
Rupanya orang yang cacat telinga itu sudah nekat, sama sekali tak memusingkan
serangan dari belakang itu, tombaknya tetap menusuk Loh Hou.
Pada detik yang sama, si gendut juga menusuk maju, senjatanya berbentuk kampak
lantas membacok Loh Hou. Keruan Siang Cin kelabakan, teriaknya: "Rebahkan
dirimu Loh Hou!"
Serang menyerang itu datangnya terlalu cepat, sembari berteriak pukulan Siang Cin
tetap dilancarkan, kontan si telinga cacat terpental, namun saat itu tumbaknya juga
sempat menancap di iga kiri Loh Hou.
Wajah Loh Hou tampak beringas, toyanya serapat berputar sehingga kampak si
gendut tertangkis, tapi dua orang berseragam kulit sempat menubruk tiba, golok
mereka terus mampir di punggungnya.
Pada saat itu bayangan Siang Cin juga menubruk tiba, kedua tangannya
menghantam sekaligus, batok kepala kedua orang itupun hancur. Habis itu
bayangan kuning lantas melayang lagi ke arah si gendut.
Segera ia disambut oleh cahaya kampak, namun Siang Cin tidak berkelit dan
menghindar, tangan terangkat, sekali raih dan betot, tertangkaplah senjata musuh.
Tentu saja si gendut kaget, sekuatnya ia menarik, namun kaki Siang Cin tahu-tahu
sudah melayang tiba, kontan dia terpental. Tendangan Siang Cin tepat mengenai
perutnya. Selagi si gendut terguling dan menjerit ngeri, terdengar pula jeritan yang ngeri di
sebelah sana. Cepat Siang Cin berpaling, dilihatnya Le Tang sedang bergulat
dengan si muka hitam, rantai Le Tang terlibat di leher lawan dan sedang dijirat
sekuatnya sehingga muka si hitam semakin gelap, tapi golok si muka hitam juga
bersarang di perut Le Tang.
Selain itu ada lagi beberapa lelaki berseragam kulit sedang membacok punggung Le
Tang sehingga daging luluh dan darah muncrat.
Menyaksikan itu, mata Siang Cin merah membara, ia meraung murka dan menerjang
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ke sana. Tiga orang berseragam kulit hendak merintanginya, tapi hanya sekali dua gebrak
saja ia telah robohkan orang-orang itu. Seorang lagi menyergap dari belakang
dengan sebuah bacokan, tanpa menoleh Siang Cin menyampuk ke belakang, golok
orang itu mencelat, bahkan mukanya hancur separo.
376 Setiba di samping Le Tang, ia mengamuk dengan kalap, hanya sekejap saja
beberapa orang yang menghujani bacokan pada punggung Le Tang itu telah
dihancurkan kepalanya.
Le Tang belum tewas, sorot matanya yang buram masih sempat menyaksikan Siang
Cin menghabisi nyawa beberapa pengeroyoknya, maka terembuslah napas
kepuasan pahlawan Bu-siang-pay ini, makin erat dia menjirat rantainya sehingga
lidah lawan bermuka hitam itu terjuIur dengan kedua mata melotot. Namun orang
itupun tetap memegangi goloknya yang bersarang di perut Le Tang.
Siang Cin menahan perasaan pedihnya dan berseru parau: "Maaf, Le heng,
kudatang terlambat selangkah."
Le Tang tidak sanggup bicara lagi, terdengar suara "krak-krok" di tenggorokannya,
napas sudah habis, tersembul senyuman terima kasih dan iklas pada ujung
mulutnya. Mendadak ia menggreget dan menarik rantainya lebih keras, habis itu ia
berkejang, lalu melepaskan tangannya dan roboh terkulai untuk tak bangun lagi
selamanya. Beberapa puluh anak buah Ji-ih-hu seperti kesima menyaksikan ketangkasan Siaog
Cin tadi sehingga tidak berani menerjang maju, Ketika mendadak Siang Cin
membalik tubuh, seketika mereka mundur dengan ketakutan, Giam Ciat juga berdiri
di sebelah sana, senjatanya yang berwujut jaring itu terurai di tanah, wajahnya yang
cantik tampak pucat, jelas iapun gelisah dan takut.
Sementara itu Ji ih-hu sudah terjilat api, asap nembubung tinggi disertai suara
letusan yang memekak telinga, Bayangan orang tampak berlari serabutan, tiada
orang lagi yang memperhatikan keadaan di sini.
Siang Cin mengusap darah di tangannya di jubah kuningnya, ditatapnya Giam Ciat,
lalu katanya dengan hambar: "Nona Giam, setiap orang harus berani menyadari
kesalahannya sendiri, hendaklah kaupun dapat membedakan antara yang salah dan
benar. Nah, silakan kau pergi saja, aku takkan menganggu kau."
Giam Ciat tidak menjawab, entah mengapa air mata lantai bercucuran. Dilihatnya
Siang Cin telah melayang pergi.
Di tengah kekacauan itu, secepat kilat Siang Cin melayang ke tembok benteng
sebelah timur sana, sesuai rencana semuIa, dilihatnya pasukan Bu-siang-pay
sedang menerjang tiba melalui jurusan ini.
Siang Cin bersembunyi di suatu tempat yang tidak menyoIok, dilihatnya di atas
tembok benteng telah penuh penjaga-penjaga yang terdiri dari berbagai kelompok
ada yang berseragam kulit, ada yang bermantel kelabu, ada yang berbaju hijau dan
ada yang berjubah biru, suasana berisik dan sibuk, tegang dan mencemaskan.
Di antara pemimpinnya Siang Cin melihat Toh Cong, ialah satu dari "Su-Coat", selain
itu tampak pula Pah Cong-ju yang sebelah tangannya terluka. Ada lagi seorang yang
suaranya melengking tajam.
Dari suaranya yang khas ini Siang Cin lantas mengenalnya sebagai orang yang
berteriak-teriak semalam. Orang ini berkepala besar dan botak, tapi pelipisnya
tumbuh rambut yang panjang, matanya kecil, mulut lebar.
377 Siang Cin ingat semalam orang ini seperti disebut-sebut sebagai "Nyo-ya", janganjangan
dia ini gembong Ji-ih-hu yang bernama Nyo To.
Belum lagi Siang Cin tahu apa yang harus dilakukannya, sekonyong-konyong suara
berisik yang memenuhi seluruh tembok benteng yang mengelilingi Ji-ih hu menjadi
sepi, berubah menjadi hening seperti kuburan.
Siang Cin menjadi heran, ia coba mengintip keluar benteng, maka tersenyumlah dia,
Nyata darah yang teralir, korban yang jatuh, pengalaman sulit yang terjadi selama
satu hari satu malam itu telah mendapatkan imbalan yang pantas.
Di sana, di hutan yang pernah digunakan sebagai tempat sembunyi itu, kini kelihatan
barisan-barisan berkuda, kuda-kuda itu berbulu putih, penunggangnya juga
berseragam putih, bahkan tampak gemerlapnya warna emas gelang kepala mereka.
Golok sabit terhunus dan tangan lain membawa perisai.
Jelas itulah pasukan berkuda Bu-siang pay, inilah pasukan induk Bu-siang-pay
dikenal sebagai pasukan "Hui ji~bun". Tapi jumlahnya kelihatan cuma li baris, tiap
baris antara 30 orang, jadi cuma tiga ratusan orang saja dan dibawa pimpinan hulu
balangnya yang gagah berani, yaitu Giam Siok.
Diam-diam Siang Cin jadi kuatir entah bagaimana kesudahan Toa cuncu Hui-ji-bu
Tiangsun Ki yang membawa sebagian anak buahnya menyerbu ke Pau-hou-sanceng
itu. Tapi kalau melihat semangat pasukan Bu-siang-pay sekarang, agaknya
pihak Bu siang-pay tidak mengalami kesukaran apa-apa.
Di sebelah sana pasukan Bu siang-pay yang lain, yaitu "Bong-ji bun" juga kelihatan
bersiap-siap hanya menunggu komando saja. Suaiana terasa mencekam.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba keheningan itu di pecahkan oleh suara letusan di
arah Toa-ho-tin sana. MenyusuI mana terlihatlah benda-benda hitam bulat kecil
melayang cepat dari sana ke sini, dari kecil menjadi besar dan tahu-tahu sudah
dekat, benda hitam itupun seperti bermata, dengan jitu menggempur tembok
benteng Ji ih-hu.
Maka terdengarlah suara ledakan gemuruh susul menyusul disertai berkobarkan api
dan bergulungnya asap yang menyesakkan napas. Dahsyat sekali ledakan itu
sehingga batu kerikil berhamburan bila mengenai badan manusia, seketika daging
robek dan darah muncrat.
Seketika para penjaga di atas tembok benteng menjadi kacau dan sama berlari kian
kemari, sebagian terperosot ke bawah, ada yang terinjak-injak, sebaliknya granat
dari pihak Bu-siang-pay masih terus berhamburan bagai hujan dan meledakan
tembok benteng Ji-ih-hu.
Ngeri juga Siang Cin tusukan ledakan dahsyat yang menimbulkan korban tidak
sedikit tanpa kenal ampun itu, ia menggeleng kepala, tapi apa yang dapat dikatakan
memang beginilah kejamnya peperangan, kalau tidak membunuh tentu akan
dibunuh. Selagi Siang Cin memikirkan cara bagaimana harus bertindak membukakan pintu
gerbang benteng bilamana pasukan Bu siang-pay sudah mulai menyerbu, mendadak
hujan granat tadi berhenti sama sekali, Seketika suasana hening kembali.
378 Cepat Siang Cin mengintai pula keluar sana, dilihatnya pasukan "Bong-ji-bun" Busiang-
pay di sayap kanan sana telah mulai bergerak cepat mendekati hutan di timur
Ji-ih-hu itu. Sedang pasukan "Hui-ji-bun" juga serentak mendesak maju.
Baju putih dan gelang emas bergerak-gerak memancarkan cahaya yang
menyilaukan, derap kaki kuda diseling gemerincingnya senjata, suara lain tidak ada
sama sekali. Makin dekat dan makin dekat, suasana bertambah mencekam.
Pada saat kedua pihak sudah hampir mengadakan kontak pertama, sekonyongkonyong
di tembok benteng yang berdekatan dengan hutan sini timbul sedikit
kegemparan. Belum lagi Siang Cin tahu apa yang terjadi, terdengar suara seorang
lantang berseru: "Wahai kaum celurut Bu-siang-pay, dengarlah, di sini ada Toacuncu
Thi-ji-bun kalian Siang Kong ceng, Toacuncu Hiat ji-bun Lok Bong bu, ada pula tokoh
andalan kalian Tian Pek-yang, Te Yau dan Khu Hu-kui, semuanya tertawan oleh
kami, jika kalian masih sayang kepada jiwa mereka, maka sekarang juga pasukan
kalian harus berhenti bergerak, kalau tidak, jangan kalian menyalahkan kekejaman
kami yang tidak kenal ampun, segera kepala kelima orang ini akan kami penggal."
Suara orang ini sangat keras dan lantang laksana bunyi genta sehingga
berkumandang jauh, meski pasukan Bu-siang-pay masih terpisah sekian jauhnya,
tapi dapat mendengar seruan itu dengan jelas, pasukan Bu siang pay yang sudah
mulai mendesak maju itu tampak panik sejenak, berpasang mata yang cemas dan
murka juga memandang ke arah benteng. Yang paling dikuatirkan mereka memang
tindakan musuh yang keji ini dan sekarang hal ini ternyata benar-benar terjadi.
Di tembok benteng sini mendadak terlihat muncul serombongan orang, ketika
rombongan itu menyingkir, dengan jelas kelihatan Siang Kong-ceng, Lok Bong bu,
Te Yau, Tian Pek-yang dan Khu Hu-kui berlima telah digiring ke tepi tembok
benteng, kelima orang itu tampak kurus kering, rambut semerawut dan tidak
berbentuk manusia lagi, pakaian sekujur badan juga compang-camping, matanya
celong, berdiri saja tampaknya tidak kuat.
Malahan tangan mereka diborgoI, kakipun dirantai dan diberi bola besi yang cukup
besar. Ada seutas kawat pula yang menembus tulang pundak mereka, darah yang
pernah keluar dari pundak itu tampak sudah mengering, luka bagian pundak itupun
sudah benjoI hitam.
Meski kelima orang itu tersiksa sedemikian rupa, tapi para pahlawan Bu-siang-pay
dan Siang Cin masih tetap mengenali mereka meski kelima wajah itu sudah berubah
sama sekali daripada wajah mereka semula.
Kelima orang itu berdiri sejajar, masing-masing di pegangi dua orang berseragam
kulit, golok mengancam pula di kuduk mereka, sedangkan Nyo To serta seorang
yang bermata satu dan berwajah kehijauan yang bersuara tadi berdiri mengawasi di
samping, Si mata satu itu berperawakan pendek kecil, wajahnya menakutkan, sikapnya dingin,
iapun memakai baju kulit warna coklat yang penuh dihiasi paku perak, senjatanya
yang berbentuk potlot dan berwarna merah gemerlap terpanggul di bahunya, di
sebelah kiri mereka berdiri iima orang kakek yang berjubah kelabu dan berwajah
kereng, sedangkan sebelah kanan adalah seorang lelaki kekar bermuka kemerahmerahan
dan berjenggot panjang sebatas dada.
379 Orang tua ini tampak angker, sorot matanya tajam, kerlingan matanya membuat
orang merasa segan, hidungnya besar lurus dan di atas batang hidung ada tahi lalat
sebesar kacang, alisnya tebal seperti sikat, tidak memakai baju kulit, tapi berjubah
komprang warna keemasan yang bertuliskan dua huruf "Hok" dan "Siu", yakni
lambang rejeki dan panjang umur.
Kaki mengenakan sepatu kulit menjangan, sambil menggendong tangan ia pandang
reaksi dari pihak Bu-siang-pay setelah seruan si muka hijau tadi.
Benar juga, setelah pihak Bu siang pay melihat jelas kelima orang yang diperlihatkan
memang betul adalah Cuncu dan kawan mereka yang tertawan musuh, gerakan
pasukan yang mulai maju itu lantas diperlambat.
Berbareng itu dari pasukan Bong ji bun lantas berkibar panji yann bertanda tujuh
gelang emas yang kait-mengait, panji itu diayun tiga kali, lalu seorang penunggang
kuda tampil ke depan dan membedal cepat ke arah pasukan Hui-ji bun.
Pimpinan pasukan Hui ji-bun, Giam Siok, lantas menyongsong maju, sesudah kedua
orang bergabung dan berhenti sejenak, lalu dua-duanya maju ke arah tembok
benteng Ji-ih-hu. Kiranya penunggang kuda yang satu itu adalah Toacuncu Utti Han
po. Kira-kira belasan tombak di depan benteng berhentilah mereka.
Dari ujung tembok tempat sembunyinya Siang Cin dapat mengikuti kejadian itu.
Sukar baginya untuk meramalkan apa yang terjadi.
Terlihat Utti Han-po dan Giam Siok bertengger di atas kudanya dengan air muka
bersungut, keduanya menengadah ke atas benteng dengan sorot mata berapi.
Si kakek berjenggot panjang dan berjubah warna keemasan tadi tersenyum, lalu
pelahan mengangguk kepada si muka hijau di sisinya,
Setelah berdehem, si muka hijau lantas buka suara pula: "Apakah pendatang itu
adalah Toa Cuncu Utti Han-po dan gembong Hui-ji bun, Giam Siok?"
Utti Han-po yang berpotongan gendut itu menjawab: "BetuI, apa yang perlu
dibicarakan silakan omong saja dan tidak perlu berputar-putar."
"Hahaha!" si muka hijau berseru pula dengan lantang, "Pertama ingin kutanya,
apakah kalian sudah lihat jelas kelima pahlawan kalian yang berdiri di sini ini?"
"Ya tentu," jawab Utti Han- po dengan mendongkol.
Mendadak Giam Siok mendamperat: "Hm, kiranya begitulah cara kalian
memperlakukan tawanan, sungguh keji!"
"Hahaha, apakah terhadap tawanan kami harus menjamunya setiap hari," jengek si
muka hijau, "Hrn, barangkali kau sudah lupa apa sebabnya sampai mereka
tertawan"!"
"Sudahlah," dengan menahan gusar Uiti Han-po menyela, "dalam keadaan demikian,
tiada perlunya kita adu mulut singkatnya saja, cara bagaimana supaya kalian mau
membebaskan rnereka?"
380 Si muka hijau memandang sekejap kepada si kakek berjubah keemasan Kakek itu
tidak memperlihatkan perasaan apa-apa, ia cuma mengangguk pelahan saja.
Maka si muka hijau lantas berteriak "Pertama, pasukan Bu-siang-pay harus segera
ditarik mundur dari sini, sedikitnya ttga puluh li dari Toa-ho-tin, setelah syarat ini
dilaksanakan lalu kami akan membebaskan Khu Hu-kui."
Tidak kepalang gusar Utti Han-po, tapi sedapatnya ia menahan perasaannya dan
bertanya "Lalu"!:"
"Lalu, di bawah pengawasan kami pihak kalian harus mundur lagi seratus li Iagi,
habis itu akan kami bebaskan bocah she Te itu," seru si muka hijau.
"Seterusnya?" jengek Utti Han-po, "Ya, seterusnya segenap pasukan Bu-siang-pay
kalian harus mengumpulkan semua senjata yang kalian bawa dan ditaruh di suatu
tempat yang akan kami tunjuk serta akan kami musnahkan, bila hal ini sudah
dilaksanakan segera kami membebaskan Tian Pek-yang," ia berhenti sejenak, lalu
menyambung puIa: "Dan keempat Thi Tok-heng harus menulis suatu pernyataan
bahwa Bu-siang-pay seterusnya takkan mengganggu dan merecoki Ji-ih-hu beserta
anggota serikatnya, jika syarat ini telah di penuhi, segera Lok Bong-bu juga dapat
kami lepaskan"
"Oan masih ada lagi?" jengek Utti Han-po "Dan akhirnya, tiga bulan setelah kalian
pulang ke padang rumput sana, bila sudah jelas kalian tiada niat sembarangan
bergerak lagi, lalu Siang Kong-ceng juga akan kami puIangkan dengan selamat"
"Hm, tidakkah terlalu melampaui batas per-mintaan pihakmu ini?" jengek Utti Hanpo,
"Apakah memang begitu kehendak Ang Siang-Iong?"
Belum lagi si muka hijau menjawab, mendadak si orang tua berjenggot panjang dan
berjubah keemasan itu berseru lantang: "Ya, memang itulah kehendakku!"
Kiranya orang tua yang gagah dan angker inilah tokoh yang termasyhur, pimpinan
tertinggi Ji-ih-hui, Hek-jan-kong Ang Siang-Iong.
Seketika sorot mata Utti Han-po dan Giam Siok mencorong terang, penuh rasa
gemas dan dendam Teriak Utti Han-po: "Ang Siang-Iong, tentunya kautahu tidak
nanti kami menerima syaratmu itu."
Dengan ketus Hek-jang kong Ang Siang-long menyela: "Terima atau tidak adalah
urusan Bu-siang-pay kalian apabila kalian tidak dapat memutuskan persoalan ini,
silakan lapor dulu kepada ciangbunjin kalian Kuberi tempo setengah jam, setelah itu
tawanan akan kami hukum mati tanpa. . ."
Sekonyong-konyong Lok Bong-bo yang berwajah pucat kurus itu berteriak serak:
"Utti heng, ser . . . . serbu lah kemari dan , . . . dan cincang binatang tua ini. . . .
jangan urus diri kami . - . . sudah cukup kami. . . ."
Belum habis teriakannya, kontan dua lelaki yang memegangnya membentak dan
mengetuk dengan punggung golok, "brek", punggung Lok Bong-bu terhantam
dengan keras, suaranya jelas dan seakan-akan mengetuk hati Utti Han po dan Giam
Siok. 381 "Berhenti, kalian binatang . . ." bentak Giam Siok dengan beringas.
Hek-jan-ong Ang Siang-long memberi tanda, segera kedua lelaki tadi menyeret
mundur Lok Bong-bu yang sudah terkulai pingsan itu.
"Nah, cukup dengan sedikit hukuman ini saja kawanmu sudah tidak tahan, bilamana
lima buah kepala sudah terpenggal, tentu akan tambah ngeri tampaknya, kukira
kalian tentu tidak ingin menyaksikannya. Nah, pikirkan bagaimana keputusanmu Utti
Han po, kutunggu jawabanmu," demikian Ang Siang-long berseru pula dengan
tertawa. Pada saat itulah Siang Kong-ceng yang sejak tadi menunduk lemas itu mendadak
menengadah, dengan beringas ia berteriak: "Utti Han-po, jangan kau lupakan
semangat pahlawan padang rumput dan merusak nama baik Bu~siang pay, apakah
kau lupa pada amanat ciangbun Toasuheng kita waktu hendak berangkat ke tempat
tujuan" Apakah kau menghendaki kami menjadi orang berdosa dan menanggung
malu bagi Bu-siang pay" ingatlah saudara-saudara kita yang telah menjadi korban,
darah saudara kita yang sudah tercecer, sakit hati mereka belum terbalas, dendam
Ciangbun-suheng juga belum terbalas, dengarkanlah gema tangis saudara kita di
padang rumput . . ."
Belum habis ucapannya, kembali punggung golok penjaganya telah menggebuki
tulang punggungnya hingga membuat Siang Kong-ceng jatuh terkapar.
Tapi Tian Pek-yang lantas menyambung teriakan kawannya: "Ya, saudara dari
padang rumput, tuntut utang darah ini . . . biarlah kita gugur sebagai jantan, mati
sebagai pahlawan padang rumput, jangan..."
Seperti nasib kedua kawannya, Tian Pek-yang juga mengalami hantaman keras di
punggungnya dari tak sanggup bersuara lagi.
Segera Te Yau dan Khu Hu-kui juga ingin berteriak, tapi lebih dulu mereka sudah
digampar dan terlebih dulu oleh para penjaganya.
Hek-jan-kong Ang Siang-long mendengus, serunya puIa: "Nah, Utti Han-po, kukira
kau harus lekas ambil keputusan atau laporkan dulu kepada ciangbunjin kalian."
"Kau tua bangka," teriak Utti Han-po dengan murka, "Bicara terus terang, sudah ada
perintah tegas dari Ciangbun Toasuheng, tidak ada kompromi, tidak peduli betapa
korban yang akan timbuI, Bu-,siang-pay pasti akan menghancurkan Ji-ih-hu kalian,
membakar ludes ketujuh gedungmu, betapapun Bu-siang-pay bukan pengecut yang
dapat kaugertak dan peras, jangan kau mimpi lagi."
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"O, jadi kalian tidak kenal kompromi lagi?" tanya Ang Siang long, "Baik, Oh Kek,
penggal Khu Hu-kui."
Si muka hijau yang bernada Oh Kek itu mengiakan, segera ia berseru. "Seret maju
Khu Hu-kuj dan penggal kepalanya, gantung kepalanya di tiang benteng sana."
Si hitam Khu Hu-kui segera diseret ke depan secara kasar, dalam keadaan babak
belur Khu Hu-kui berjalan dengan terhuyung-huyung, namun dia masih cukup bandel
untuk tidak mau tekuk lutut meski dipaksa.
382 "Binasakan dia!" bentak Oh Kek dengan murka.
Segera salah seorang penjaga angkat golok terus hendak menabas kuduk Khu Hukui.
Akan tetapi sebelum golok menyambar ke bawah mendadak algojo yang bermuka
bopeng itu menjerit ngeri, tubuhnya yang besar itu seperti kena di sodok sesuatu
terus terjungkal keluar tembok benteng.
Kejadian mendadak ini sungguh mengejutkan semua orang dari kedua pihak, lebihlebih
orang-orang pihak Ji ih-hu, mereka menjadi bingung dan tidak tahu apa yang
terjadi. Di samping terkejut merekapun ngeri dan takut.
Bayangkan, di tengah pengawasan orang sendiri sekian banyaknya, bahkan
disaksikan sendiri oleh Hek jan-kong Ang Siang long sendiri, tapi ada orang berani
melakukan sergapan, kepala si pesakitan tidak terpenggal sebaliknya algojonya
malah mati lebih dulu. Kejadian ini benar-benar mengejutkan dan juga memalukan.
Di tengah suara jerit kaget dan panik itu, cepat Hek jan kong juga berpaling,
tampaknya ia tetap tenang-tenang saja, serentak ia memberi perintah: "Kelima
sahabat Tiang-hong pay silakan tetap berjaga di sini dan jangan sembarangan
meninggalkan tempat itu. Nyo To dan Oh Kek mengawasi sekitar sini, hati-hati bila
musuh menyerbu untuk merampas tawanan, Kim-thaubak hendaknya segera
memberi perintah agar segenap jagoan dari berbagai aliran dikerahkan untuk
mencari mata-mata musuh."
Kelima kakek berjubah kelabu yang sejak tadi hanya bungkam saja sama
mengangguk, Nyo To dan Oh Kek juga mengiakan. Lalu seorang berseragam kulit
yang berdiri di sebelah sana juga memberi hormat, lalu mengundurkan diri dan
berlari pergi dengan cepat.
Selagi di sini Hek-jan-kong mengatur sini, di sebelah sana pasukan Bu-siang-pay
sedang bersorak sorai bergemuruh. Mereka menyaksikan apa yang terjadi, mereka
tahu ada orang bersembunyi diam-diam melindungi pahlawannya. Mereka bersorak
gembira dan mengacungkan golok dan perisai
Utti Han-po dan Giam Siok saling pandang dengan tersenyum, segera mereka
memutar kuda dan kembali ke pasukan masing-masing.
Sejenak kemudian suara "tut-tut" yang haru dan membakar semangat mulai
bergema, pasukan Bu-siang-pay mulai bergerak, berbondong-bondong membedal ke
depan. "Terjang! Serbu!"
Semakin mendekat pasukan Bu-siang-pay yang menerjang tiba. Segera Hek-jankong
memberi perintah: "Oh Kek, perintahkan lepas panah!"
Dengan suara lantang Oh Kek lantas berteriak meneruskan perintah itu. Serentak
dinding benteng yang mengaling liang panah itu sama anjlok ke bawah dan
tertampaklah belasan kerangka besi yang penuh terpasang busur dan panahnya.
Sementara itu jarak pasukan Bu-siang-pay dengan tembok benteng tinggal dua-tiga
puluh tombak saja. Sekali aba-aba diberikan, serentak tali jepretan ditarik dan
terhamburlah beratus-ratus anak panah.
383 Perajurit Bu-siang-pay sudah terlatih sejak kecil, kepandaian menunggang kuda
mereka boleh dikatakan sangat gesit tangkas, sebelumnya merekapun sudah
diperingatkan kemungkinan hujan panah dari pihak musuh. Maka begitu kelihatan
hujan panah tiba, serentak mereka memasang perisai di depan kepala kuda untuk
melindungi binatang tunggangan dan mengalingi kepala dan tubuh sendiri,
sedangkan barisan belakang lantas memencar ke samping serta balas
menyambitkan senjata rahasia.
Sudah tentu masih juga ada yang terkena panah dan terjungkal, seketika berjangkit
jeritan ngeri di sana sini. Tapi sejenak kemudian pasukan Hui-ji bun itupun
mendesak sampai di kaki tembok benteng, Menyusul pasukan Bong-ji-bun juga
menerjang maju dan balas menghujam musuh dengan sambitan senjata rahasia.
Suasana di atas tembok benteng menjadi kacau, bukan saja para pemanah di liang
panah itu banyak yang terbunuh, juga anak buah Ji-ih-hu di atas tembok juga banyak
yang terluka. Rada cemas juga Hek-jan-kong menyaksikan situasi yang tidak menguntungkan itu,
cepat ia berteriak puIa: "Penggal kepala Siang Kong-ceng!"
Tapi Siong Kong-ceng lantas menengadah dan bergelak tertawa, serunya dengan
suara parau: "Ang Siang-Iong, kalau kumati sekarang, sebentar lagi kaupun akan
menyusuI, akan kutunggu kau dipintu akhirat."
"Penggal!" bentak Hek-jan-kong dengan bengis, Segera kedua pengawal di belakang
Siong Kong-ceng mengangkat golok mereka terus menabas.
Tapi keajaiban kembali terjadi, Mendadak golok yang terpegang mereka itu bergetar
keras dan berganti arah, "crat", bukannya kepala Siong Kong-ceng yang terpenggal,
tahu-tahu golok bersarang di perut kedua orang itu sendiri. Sambil menjerit kedua
orang itu terus terguling ke bawah tembok sana.
Rupanya dalam kekacauan itu Siang Cin telah menggeser tempat sembunyinya
sehingga semakin dekat dengan tempat pimpinan Ji-ih-hu sini. Dia yaog telah
menyelamatkan jiwa Khu Hu-kui dan Siong Kong-ceng dengan tenaga pukulan jarak
jauh. Sudah tentu ia tahu caranya itu sangat besar resikonya, tapi apa boleh buat,
keadaan sadah memaksa.
Sudah tentu Hek-jan-kong tidak tinggal diam, serentak ia melompat ke tempat
sembunyi Siang Cin, sekali hantam ia hancurkan ujung tembok yang mengalingi
tubuh Siang Cin itu.
Di tengah gelak tertawanya Siang Cin terus melambung ke atas, berbareng ia
melancarkan pukulan dan depakan, Cepat Hek-jan tong menyurut mundur, tapi
lantas terdengar suara jeritan ngeri, dua-tiga orang anak buahnya telah menjadi
korban dan terpental.
Sorot mata Hek jan kong seakan-akan membara, teriaknya murka: "Naga Kuning,
bagus sekali perbuatanmu!"
384 "Haha, Ang Siang-Iong, kiranya kau masih kenal padaku!" jengek Siang Cin sambil
menghindarkan tabasan golok seorang seragam kulit, berbareng sebelah tangannya
halus menampar, kontan orang itu terkapar tanpa sempat bersuara.
Ang Siang-Iong melangkah maju pula dan membentak: "Siang Cin, berturut-turut kau
membunuh empat pembantuku, harus kuhancur-leburkan tubuhmu, akan kukorek
hatimu!" "Hah, silakan coba jika kaumampu!" jengek Siang Cin dengan angkuh.
"Keparat, jika berani, hayolah turun ke bawah sana, kita bertempur sampai mati satu
lawan satu!" tantang Hek-jan-kong.
"Aku bukan anak kecil, Ang Siang-Ioog, takkan terjebak oleh kelicikanmu, masih
banyak pekerjaanku, siapa ingin main-main dengan kau."
"Huh, tak tersangka Siang Cin si Naga Kuning yang termashur adalah tikus yang
penakut begini," ejek Hek-jan-kong.
"Ang Siang long," jawab Siang Cin. "Tidak perlu kau pancing diriku, Kematianmu
sudah di depan mata, jangan kau harap kau ada kesempatan untuk meloloskan diri."
Selagi Hek-jan-kong hendak bicara pula, tiba-tiba terdengar suara menderu aneh di
udara, waktu ia menengadah, terlihat berpuluh-puluh jalur hitam kulit kerbau yang
ujungnya terikat besi cengkeram telah hinggap di tembok benteng, Menyusul
beratus-ratus anak buah Bu-siang-pay yang sudah siap di kaki tembok terus
merembet ke atas melalui tali kulit itu.
Ang Siang-long menjadi nekat melihat suasana bertambah gawat, teriakoya: "Bunuh
semua tawanan itu!"
Dalam pada itu, lima sosok bayangan mendadak melompat tiba. Kiranya kelima
kakek berjubah kelabu dari Tiang-hong-pay serentak mereka mengepung Siang Cin
di tengah dan menatapnya dengan penuh rasa dendam.
Salah seorang kakek yang bermata kecil dan berhidung betet, agaknya dia tertua
daripada jago-jago Tiang-hong-pay itu, serunya dengan suara bengis: "Ang-toako,
silakan engkau membereskan kelima tawanan itu, orang she Siang ini serahkan saja
kepada kami, utang darah Loliok dan Lojit harus kami tagih dari dia."
Hek jan-kong merasa kebetulan jika kelima orang itu mau mewakilkan dia
menghadapi Siang Cin, segera ia melayang ke sana dan berteriak puta: "Habisi
tawanan itu!"
Dalam pada itu kelima kakek berjubah kelabu sudah menyerang serentak, akan
tetapi Siang Cin sempat mengapung ke atas sehingga serangan mereka yang
dahsyat itu mengenai tempat kosong.
Siang Cin ternyata menerjang ke arah Hek-jan-kong, maksudnya hendak menolong
Siong Bong-bu berlima. Cepat Hek-jan-kong mengadang dan melancarkan suatu
pukulan dahsyat, Tapi sekali menggeser dan berkelebat tahu-tahu Siang Cin sudah
meleset lewat ke sana, Dengan murka Hek-jan-kong lantas mengejar
385 Akan tetapi Siang Cin sudah tiba lebih dulu di depan kelima tawanan itu. Saat itu Nyo
To, Oh Kek dan para penjaga sudah angkat senjata hendak melaksanakan perintah
Hek jan-kong tadi.
Namun tahu-tahu Siang Cin sudah melayang tiba, di tengah berkelebatnya bayangan
pukuIan, kontan beberapa penjaga berseragam kulit itu tunggang lenggang dan
tumpah darah disertai jerit ngeri.
Nyo To dan Oh Kek juga tergetar mundur, malah pundak Nyo To juga terluka, hanya
Oh Kek saja yang tidak terluka, tapi mukanya yang memang hijau itu bertambah
pucat. Dalam sekejap itu kelima pahlawan Bu-siang pay yang merana itu sudah mengenali
Siang Cin, semangat mereka terbangkit, dengan kegirangan Lok Bong-bu berteriak:
"Kau, Siang heng!"
Siang Cin tidak sempat menjawab, sebab saat itu Hek-jan-kong Ang Siang-long juga
sudah menubruk tiba. Tanpa pikir Siang Cin mendorong ke lima orang tawanan itu
sehingga terperosot ke luar tembok benteng, padahal kelima orang itu sama
terbelenggu, tulang pundak merekapun ditembus oleh kawat, kini terjatuh ke bawah
tembok benteng, akibatnya dapatlah dibayangkan namun apa boleh buat Siang Cin
merasa tiada jalan lain.
Habis itu ia mendahului menabos ke dada Hek-jan-kong yang menubruk tiba itu,
sedangkan tangan lain lantas menanggalkan jubah kuning yang dipakainya, jubah itu
terus dilemparkan ke sana sehingga mirip segumpal awan yang meluncur cepat ke
bawah dan sempat menahan di bawah tubuh kelima orang yang jatuh itu.
Meski jubah itu tidak dapat menahan bobot kelima orang itu, tapi cukup menahan
daya luncur yang berat itu dan dapat menyelamatkan jiwa mereka.
Kejadian itu berlangsung secepat kilat, menyerang, menanggal jubah dan melempar
jubah, semua ini seakan-akan dilakukan dalam sekejap oleh Siang Cin. Dalam pada
itu Hek-jan-kong sempat mengelakkan serangan Siang Cin tadi, ia berjingkrak murka
hingga mukanya beringas dan buas.
"Apalagi yang kalian tunggu, maju semua!" bentak Hek jan-kong kepada Nyo To dan
Oh Kek. Rupama kedua orang itu masih belum hilang kagetnya karena gempuran
Siang Cin yang hampir merenggut jiwa mereka tadi.
Karena bentakan pimpinannya ini, segera mereka racngcrubut dari samping. Dalam
pada itu kelima kakek berjubah kelabu Tiang-hong-pay juga sudah menyusul tiba.
Segera Hek-jan-kong berteriak pula: "Hayo, kerubut mereka! Terhadap orang licik
yang suka main sembunyi-sembunyi begini tiada soal peraturan Kangouw lagi,
mampuskan dia!"
Mau-tak-mau agak kewalahan juga Siang Cin menghadapi delapan jago kelas tinggi,
namun dia masih terus menyelinap kian kemari dan bertahan mati-matian.
Syukurlah, mendadak teriakan serbuan telah bergema di atas tembok benteng Ji-ihhu.
Waktu Ang Siang-Iong melirik kesana sungguh celaka, entah sejak kapan di atas
tembok benteng sudah muncul bayangan baju putih dan gemilapnya gelang kepala,
jelas itulah pasukan Bu siang pay.
386 Tidak kepalang kaget Hek-jan-kong Ang Siang long, cemas dan gelisah, ia tahu
situasi sangat tidak menguntungkan pihaknya, pasukan musuh sudah berhasil
membobol pertahanan bentengnya yang kukuh diri mulai menyerbu ke sayap kanan
dan kiri. Seorang pahlawan berseragam putih menerjang ke sini hendak menbantu Siang Cin,
golok sabitnya membacok, namun dengan gesit Oh Kek dapat mengegos, berbareng
senjatanya yang berbentuk potlot terus menikam, kontan perut jago Bu-siang-pay itu
tertembus selagi ia menjerit dan terhuyung-huyung, salah seorang kakek jubah
kelabu menambahi sekali pukulan sehingga tubuhnya mencelat keluar tembok
benteng. "Keparat, kaupun rasakan seranganku!" bentak Siang Cin dengan murka, berbareng
iapun menabas muka Oh Kek.
Akan tetapi Hek-jan-kong telah menghantam pula dari jurusan lain sehingga Siang
Cin terpaksa harus tarik kembali serangannya untuk menangkis pukulan gembong Jiih-
hu itu, keadaan Siang Cin jadi semakin gawat.
Pada saat itulah, sekonyong-konyong terdengar suitan nyaring berkumandang dari
jauh, hanya sekejap saja suara itu sudah mendekat lalu suara seorang yang kasar
memaki: "Keparat, anak kura-kura yang tidak tahu malu, main kerubut! ini tuanmu
Sebun Tio-bu akan mengiringi main-main dengan kalian!"
Dari jauh orang itu lantas menghantam, terpaksa Hek-jan-kong menggeser dan
menyambut pukulan dahsyat itu. Benturan keras terjadi, orang itu tertawa sambil
melayang ke samping, berbareng jarinya mencengkeram, seorang berseragam kulit
yang berada di samping lantas menjerit dan terjungkal ke bawah benteng dengan
kepala pecah. Hek-jan-kong meraung murka, segera ia hendak menerjang maju, pada saat itulah di
belakangnya seorang berseru pula dengan sopan: "Jangan kuatir, Jan-Ioyacu,
marilah bermesraan sedikit dengan Kim lui jiu Kin Jin."
Cepat Hek-jan-kong berpaling, dilihatnya seorang berdandan sastrawan setengah
baya sudah berdiri di depannya.
Kiranya Sebun Tio-bu dan Kin Jin telah muncul semua.
Setelab merobohkan anggota Jit ho-hwe yang berseragam kulit tadi, segera Sebun
Tio-bu menubruk pula ke sana sambil berseru: "Itu dia, Siang-heng, kudatang
membantu kau!"
"Bagus, Sebun tangkeh!" sambut Siang Cin dengan girang sambil menghindari
beberapa serangan pengerubutnya.
"Wutt", mendadak Thi mo-pi atau lengan besi iblis, menyambar dan samping, keruan
Nyo To terkejut dan cepat berkelit. Tapi tangan besi itu lantas mencengkeram pula
ke arah Oh Kek.
Terpaksa kedua jagoan Ji-ih-hu ini meIompat mundur, mau-tak-mau mereka harus
menghadapi "Sip-pi-kuncu" Sebun Tio bu dan meninggalkan Siang Cin.
387 Rada longgarlah Siang Cin setelah berkurang dua lawan tangguh, tapi kelima tokoh
Tiang-hong-pay menjadi nekat, mereka mencecar terlebih kalap.
Di sebelah lain terdengarlah angin menderu-deru dengan dahsyat, rupanya Kim lui
jiu, si tangan geledek, Kin Jin juga telah mulai bergebrak dengan Hek jan kong Ang
Siang-Iong. Di sekitar sana keadaan juga kacau balau, anak murid Bu-siang-pay yang
berseragam putih dan bergelang kepala emas sudah muncul di mana-mana,
sebagian besar sudah menuruni tembok benteng dan menyerbu ke bangunan induk
Ji-ih-hu seperti air bah yang tak tertahankan lagi.
Dengan baju berlepotan darah Siang Cin menyelinap kian kemari di antara
kerubutan kelima tokoh Tiang-hong-pay, Ginkangnya memang tiada taranya
sehingga musuh sukar meraba ke mana dia akan berkelit.
Sekonyong-konyong, terdengarlah sorak gemuruh orang menyerbu sehingga seluruh
Ji-ih-hu seolah-olah tenggelam di tengah suara gegap gempita itu. Sekilas Hek-jankong
melirik ke sana, sungguh celaka, kiranya pintu gerbang benteng Ji-ih-hu telah
dibuka oleh anak buah Bu-siang-pay yang sudah menyusup ke dalam itu sehingga
pasukan seragam putih lantas menerjang ke dalam.
Sesaat itu bumi serasa guncang, langit seakan-akan ambruk, ratusan dan ribuan
kuda dengan perajuritnya yang gagah perkasa menyerbu masuk tak terbendung lagi.
"HabisIah aku!" keluh Hek-jan-kong Ang Siang-long, mukanya tambah beringas,
jenggotnya seakan-akan berdiri, urat hijau tampak jelas di jidatnya, ia benar-benar
kalap seperti singa yang sudah gila.
Kim-lui-jiu Kin Jin juga tergolong tokoh di dunia persilatan saat ini. meski tidaklah
mudah baginya untuk mengalahkan Hek-jan-kong, tapi untuk kalah juga sulit. Tapi
sekarang Hek-jan-kong dalam keadaan kalap dan bertempur mati-matian, mau-takmau
Kin Jin menjadi rada kewalahan dan terdesak mundur.
Syukur pada saat itulah sesosok bayangan putih gendut mendadak menubruk tiba,
begitu datang golok sabitnya terus membabat pinggang Hek-jan-kong.
Pendatang ini ternyata Utti Han-po adanya, Toacuncu Bong-ji-bun Bu-siang-pay
yang disegani. "Terima kasih, Utti-cuncu!" seru Kin Jin sambil tertawa, berbareng ia melancarkan
suatu pukulan balasan kepada Hek-jan-kong.
Dengan gabungan Kin Jin dan Utti Han-po, betapapun tongkatnya Hek-jan-kong juga
tidak mampu berbuat apa-apa lagi, kini dia cuma mampu bertahan dan tidak
sanggup menyerang lagi.
Sementara itu kelima kakek Tiang-hong-pay masih mengerubuti Siang Cin dengan
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kencang, tapi Siang Cin selalu dapat memberosot pergi di tengah kepungan lawan,
ia tidak mau terjebak di tengah kepungan musuh, tapi senantiasa mencari peluang
untuk menghindarinya, kelima kakek itu berusaha mendesaknya selalu dapat
dielakkan oleh Siang Cin.
388 Mendadak sesosok bayangan putih melayang tiba puIa, golok sabit lantas menyabet,
godam di tangan lain juga menghantam, sekali serang dua macam, kontan tiga
kakek di antaranya didesak mundur.
-----------------------------------------
Bagaimana nasib Hek jan-kong Ang Siang-Iong, pimpinan Ji ih-hu yang telah runtuh
diserbu pasukan Bu siang pay ini"
Ke mana perginya Khang Giok tek, biangkeladi yang menimbulkan malapetaka ini"
BARA NAGA Karya Gan K.L Jilid 19 "Bagus kedatanganmu, Giam-heng!" seru Siang Cin dengan tertawa.
Pendatang ini memang pentolan Hui-ji-bun Bu-siang-pay, Giam Siok dengan
gagah berani ia menerjang maju pula sambil berseru: "Siang-susiok, benteng musuh
sudah bobol!"
Sambil melancarkan serangan pada seorang kakek jubah kelabu, Siang Cin
menjawab dengan tertawa:. "Ini kan sudah dalam rencana kita!"
Setelah mengelakkan suatu serangan seorang kakek jubah kelabu, mendadak
Siang Cin berteriak: "Nah, kawan2 Tiang-hong-pay, sudah tiba saatnya sekarang kita
menentukan mati dan hidup, boleh kalian rasakan cara Naga Kuning merenggut
nyawa kalian!"
Sambil bicara, ia sambut pukulan seorang kakek dengan keras lawan keras, "
krek", terdengar suara tulang patah, tulang tangan kakek lawannya patah sebatas
pergelangan. Belum sempat ia menarik diri, kaki Siang Cin sudah melayang tiba dan
membuatnya terpental ke bawah tembok benteng.
Dalam pada itu Giam Siok telah menerjang tiba dan cepat mengadang di depan
seorang kakek jubah kelabu yang hendak menyergap Siang Cin dari belakang.
Selagi si kakek kelabu terpaksa harus mengalihkan perhatiannya untuk menghadapi
Giam Siok, mendadak Siang Cin memutar balik dan menabaskan sebelah tangannya
yang merah bengkak itu.
Si kakek jubah kelabu tidak berani ayal, cepat ia menangkis, tapi tangan Siang
Cin yang hampir beradu dengan tangan musuh mendadak menyambar ke bawah
dan menyerempet lewat di leher lawan. Kontan darah berhamburkan, si kakek jubah
kelabu ter-huyung2 dan akhirnya terjungkal.
Ketujuh kakek Tiang-hong-pay kini tinggal tiga orang saja, mata mereka tampak
merah membara menyaksikan kematian saudara2-nya, mereka menjadi nekat. Akan
tetapi tembok benteng ini tidak terlalu luas, sukar bagi mereka untuk menerjang
bersama dan main kerubut, apalagi Giam Siok juga menghadapi mereka dengan
golok melintang:
389 Mendadak salah seorang di antaranya berteriak nekat terus menerjang ke arah
Giam Siok. Kontan golok sabit Giam Siok menahan dengan cepat dan godam
menghantam. Tapi kakek itu same sekali tidak berkelit, ia tetap menubruk maju, kedua kakinya
menendang secara berantai sehingga godam musuh dapat dipaksa tergeser ke
samping, menyusul ia tetap menubruk maju dan menghamtam muka Giam Siok.
Tapi sekali ini dia benar2 ketemu batunya, Giam Siok juga nekat, iapun tidah
menghindarkan hantaman lawan, tapi goloknya tetap menabas, maka terdengarlah
."crat, bluk" beberapa kali, Giam Siok terpukul hingga tergetar mundur, darah hampir
saja tersembur keluar. Tapi tubuh si kakek juga tertabas kutung menjadi dua potong.
Belum lagi Giam Siok tenang kembali, sisa kedua kakek jubah kelabu telah
menerjang tiba pula dari kanan dan kiri. Cepat godam Giam Siok menghantam,
kontan kepala kakek di sebelah kiri hancur, tapi dada Giok Siok sendiri juga terpukul,
ia jatuh terduduk dengan darah tersembur dari mulutnya.
Pada saat itu Siang Cin telah memburu maju sekuatnya kakek itu membaliki
tangan dan menghantam, "blang", terjadi adu tangan yang keras, kontan tubuh
kakek itu mencelat kebawah tembok benteng sana, Siang Cin jnga tergetar mundur
dan tumpah darah. Dengan kuatir dua anggota Bu-siang-pay memburu maju hendak
menolongnya, tapi Siang Cin telah mengatur kembali pernapasannya sehingga
darah tidak sampai tertumpah pula, lalu katanya: "Lekas rawat dulu Toa-suheng
kalian . . . . . . . "
Tapi Giam Siok yang jatuh terduduk tadi telah merangkak bangun dengan
bantuan, golok sabit sebagai tongkat, dengan muka pucat ia mendekati Siang Cin.
"Silahkan Giam lote istirahat dulu di sini. Aku masih harus membantu Sebun
tangkehdan Kin heng disana," kata Siang Cin sambil mengusap darah di ujung
mulutnya. Tidak jauh di lorong sana Sebun Tio-bu sedang memperlihatkan
ketangkasannya, ia terus menerjang maju. Lawan yang bernama Oh Kek itu sudah
terluka, mukanya berlumuran darah. tidak perlu ditanya lagi pasti terluka oleh
"tangan iblis besi" Sebun Tio bu itu. Satu lagi yang bernama Nyo To itupun kelihatan
kepayahan, melihat gelagatnya mereka tak mampu bertahan lebih lama lagi.
Seluruh Ji ih-hu kini hampir menjadi dunianya Bu-siang pay, hanya beberapa
jagonya saja yang masih kelihatan bertempur mati2an, selain itu orang2 Jit ho-hwe,
Toa-to-kau, Ceng-siong-san-ceng dan lain2 sudah hampir tidak kelihatan. Di mana2
hanya kelihatan seragam putih dengan sinar golok sabit yang gemilapan.
Utti Han-po dan Kin Jin berdua sedang mengerubut Hek-jan-kong Ang Sianglong,
namun Hek jan kong sedikitpun pantang mundur, ia seperti sudah kalap, setiap
serangannya ganas tanpa kenal ampun, bila perlu siap gugur bersama lawan.
Pentolan utama Ji-ih-hu ini memang tangguh, tenaga dalamnya kuat,
serangannya keji, di bawah kerubutan Kin Jin dan Utti Han-po masih lebih banyak
menyerangnya daripada bertahan.
Pelahan2 Siang Cin mendekati mereka. Di belakangnya Giam Siok juga ikut
mendekat, muka ke dua orang sama pucat dan badan lemas.
390 Di tempat lain tiba2 terdengar suara orang menjerit. terlihat "lengan besi" Sebun
Tio bu berputar di udara dengan berlumuran darah, Ok Kek tampak memegangi
kepalanya dan terkapar. Entah sejak kapan dada Nyo To juga sudah robek dan
bermandi darah, di bawah ancaman lengan besi Sebun Tio-bu, berulang ia terdesak
mundur ke tepi tembok benteng.
Kejadian mengerikan ini sama sekali tidak dihiraukan Hek-jan-kong, dengan
beringas ia tetap menghantam kedua lawannya.
Lama2 Kin Jin menjadi nekat, mendadak ia melompat maju, sekuat tenaga kedua
tangan menghantam sekaligus.
Di tengah gelak tertawa Hek jan-kong sambut pukulan dengan pukulan. "Blang",
terdengar suara benturan keras, tubuh Kim-lui-jiu mencelat dan terbanting jatuh.
Dalam pada itu Utti Han-po juga tidak tinggal diam, golok sabitnya membabat
beberapa kali secepat kilat, Karena harus adu pukulan dengan Kin Jin, Hek-jan kong
tidak sempat menghindar, pada saat Kin Jin terpental itulah tubuh gembong Ji-ih-hu
inipun menghamburkan darah. Namun begitu ia sempat membalik tubuh dan
melancarkan serangan terakhir sepenuh tenaga.
Sementara itu Siang Cin sudah mendekat, melihat Utti Han-po pasti tidak
sanggup menahan pukulan dahsyat lawan, segera ia menubruk maju ke samping
Hek-jan-kong, dan menghujani beberapa pukulan kilat ke iga musuh. Pada saat yang
sama tubuh Hek jan-kong juga terkena tabasan golok sabit Utti Han po, namun iapun
sempat balas menghantam dua kali sehingga Utti Han- po terpental ke belakang,
golok sabitpun terlepas dari tangan.
Habis itu Hek-jan-kung Ang Siang long lantas terkapar dengan mata mendelik
dan tanpa bersuara lagi. Rupanya ia telah binasa dengan luka tabasan golok yang
silang menyilang, darah melumuri jubahnya. Tulang iganya sedikitnya patah belasan
biji oleh pukulan Siang Cin tadi.
Keruan Nyo To ketakutan setengah mati melihat pemimpinnya sudah mati,
segera ia bermaksud kabur, namun lengan besi Sebun Tio-bu menyambar lebih
cepat daripada larinya, "cret", perut Nyo To terobek sehingga isi perut berhamburan
keluar, tubuhnya juga terlempar keluar tembok benteng.
Melihat Siang Cin bermuka pucat dan jalannya sempoyongan, cepat Sebun Tiobu
mendekatinya dan bertanya: "Apakah kaupun terluka, Siangheng" Duduklah
dulu!" "Aku tidak apa2, lekas kau periksa keadaan Kin-heng," jawab Siang Cin.
Sebun Tio-bu lantas memburu ke arah Kin Jin sana. Dilihatnya Kin Jin dan Giam
Siok sama2 menggeletak di situ, belasan anak buah Bu-siang pay mengerumuni
mereka. Dan anggota Bu-siang-pay juga memayang Utti Han-po, Toa-cuncu Bu -
siang pay yang gagah perkasa ini kini mukanya juga pucat seperti mayat.
391 Dengan langkah yang berat ia mendekati Siang Cin, ia melirik sekejap mayat
Hek-jan-kong, katanya dengan parau: "Siang-lote, apa . . . . . apakah orang she Ang
ini sudah. . . . . sudah beres!?"
"Ya, beres untuk selamanya," jawab Siang Cin sambil mengangguk pelahan.
"Dan bagaimana keadaan luka Utti cuncu?"
"Mendingan" kata Utti Han-po dengan suara serak. "Untung setelab mengadu
pukulan dengan Kin tayhiap barulah aku terpukul keparat ini, jelas ten. . . . .
tenaganya sudah banyak berkurang, kalau . . . . kalau tidak, bisa jadi jiwaku sudah
melayang."
Sambil menggerutu kelihatan Sebun Tio-bu mendekat lagi dengan cemas.
Tergetar hati Siang Cin, cepat ia bertanya: "Bag . . . . . bagaimana keadaan Kinheng?"
Sebun Tio-bu berkerut kering, jawabnya: "Siangheng, me . . . . . melihat
gelagatnya, Kin-heng . . . . "
"Apakah parah," sela Utti Han-po.
Dengan menghela napas sedih Sebun Tio bu menyambung: "Kin-heng te!ah
mengadu pukulan sekuatnya dengan keparat she Ang tadi, bagian dalamnya terluka
parah, denyut nadinya lemah, darah bergolak, keadaannya agak gawat. Tampaknya
andaikata jiwanya dapat diselamatkan, sedikitnya juga harus istirahat ber-tahun2 . . .
. " Tanpa bicara Siang Cin lantas mendekati Kin Jin. Segera Utti Han po juga
memberi perintah kepada seorang anak buahnya agar lekas memanggil tabib
pasukan Bu-siang-pay.
Tidak lama kemudian datanglah seorang berseragam putih setengah baya
bersama Toa-cuncu Ih Kiat dari Say-cu-bun.
Lelaki setengah baya ini langsung mendekati tempat menggeletak Giam Siok
dan Kin Jin, setelah mendapat keterangan sekadarnya dari Siang Cin, orang itu
mulai memeriksa keadaan luka Kin Jin berdua, seorang murid Bu-siang- pay lantas
membuka peti obat dan siap meladeni segala keperluan sang tabib.
Ih Kiat sendiri kelihatan berkeringat, jubahnya juga robek di sana sini, dia
mendekati Utti Hanpo dan berseru: "Keparat Khang Giok tek itu tidak ditemukan di
Ji-ih-hu, sudah kita cari di segenap pelosok tetap tak terlihat bayangannya, mungkin
sudah kabur ke Pau-hou san-ceng. Utti tua, kabarnya Ang Siang long sudah
dibereskan" Kupikir . . . . " mendadak ia lihat jubah Utti Han-po juga berlumuran
darah, cepat ia tanya: "He, kaupun terluka, Utti tua?" .
Utti Han-po menghela napas, jawabnya: "Ya, kalau tidak ada Siang lote dan Kintayhiap.
mungkin jiwaku ini sudah melayang sejak tadi2. Keparat she Ang ini
sungguh lihay luar biasa."
"Dan bagaimana keadaan Siang-heng dan Kin-heng?" tanya Ih Kiat kuatir.
392 "Aku tidak apa2 Ih-toa-cuncu," seru Siang Cin dari belakang.
Cepat Ih Kiat membalik tubuh dan memegangi pundak Siang Cin, serunya:
"Sungguh besar amat jasa Siang-hang bertiga, kalau tidak, bukan mustahil pihak Busiang-
pay akan banyak jatuh korban, bahkan Ji-ih hu mungkin sukar dibobol. Yang
paling menggembirakan adalah kawan2 kami yang tertawan musuh Sekarang telah
dapat diselamatkan.. Ketika menerima berita ini, Tay-ciangbun sampai meneteskan
air mata saking terharunya. Siang-heng, sudah puluhun tahun baru sekali ini kulihat
hall Tay-ciangbun kami benar2 tergetar oleh kejadian ini . . . ." "ia lihat keadaan
Siang Cin agak lesu, cepat ia bertanya: "Siang-heng, apakah lukamu juga parah?"
Siang Cin tersenyum, jawabnya parau: "Ah, tidak apa2, cuma luka ringan saja,
kukira luka Kin-heng yang harus dikuatirkan . . . . . . . "
"Akan kujenguk dia," sera Ih Kiat.
"Sudahlah, tabib pasukan kalian sedang memeriksanya, untunglah dasar Kinheng
memang kuat, maka jiwanya kukira tidak menjadi soal, apakah ilmu silatnya
akan punah atau tidak sukar untuk dikatakan, agaknya dia perlu istirahat yang lama."
"O, syukurlah bahwa jiwa Kin-tayhiap tidak menjadi soal, sungguh Bu-siang-pay
kami entah cara bagaimana harus berterima kasih atas pengorbanan Siang-heng
bertiga," kata Ih Kiat.
"Ah, mengapa In cuncu bicara begini," ujar Sebun Tio-bu. "Apa yang kami
lakukan ini hanya demi membela keadilan, adalah tugas orang persilatan seperti kita
ini. Jika terjadi sedikit cidera juga bukan sesuatu yang perlu dirisaukan."
Dengan suara terharu Utti Han-po ikut
"Tidak apa2, Tecu masih sanggup bertahan, Siang susiok, jangan kuatir."
"Bikin susah padamu, Loh heng." kata Siang Cin dengan tersenyum. "Dengan
barang apa engkau menyalakan api di sana?"
Loh Hou menyeringai sehingga kelihatan taringnya, katanya: "Selalu kubawa dua biji
Liu hung tan (granat) pada saat kejar mengejar, aku menjadi gemas dan nekat,
kedua biji nanas itu kulemparkan ke sebuah gedung yang berdekatan dan seketika
terjadilah ledakan dan kebakaran hebat,"
"Hah, tentu saja musuh menjadi kelabakan dan mengira kemasukan pasukan
musuh," ujar Siang Cin.
"Eh, apakah orang2 Bu siang pay yang tertawan itu sudah kau bebaskan?" tiba2
Sebun Tio bu ingat pada salah satu tugas Siang Cin itu.
Sambil menghela napas menyesal Siang Cin menggeleng, katanya: "Belum, tempat
tahanan mereka belum kutemukan. Selagi hendak kucari lebih lanjut, tahu2 aku
kepergok beberapa musuh tangguh dan terjadi pertarungan sengit."
"Tentunya Siang heng berhasil menjatuhkan mereka?" ajar Sebun Tio bu.
358 "Kalau tidak, masakah dapat bicara lagi dengan kalian di sini?" jawab Siang Cin
dengan tertawa.
"Siapakah lawan Siang heng?" tanya Sebun Tio bu.
"Ada Suma Eng, orang keenam dari Tiang-hong pay dan orang ketujuhnya yang
bersama Ni They lalu seorang lagi mengaku bernama Mo biancu Ciong Hu.
Semuanya kubinasakan."
"Bagus," kata Sebun Tio bu. "Biasanya Tiang hong pay sok memandang rendah
pihak lain, setelah dua di antara mereka mati terbunuh baru mereka tahu di kolong
langit ini masih banyak orang kosen. Keparat Ciong Hu itupun pernah kebentrok
denganku dahulu, tapi sebegitu jauh kami belum pernah bertemu lagi."
"Dan sekarang telah kutumpas seorang lawanmu yang tangguh, cara bagaimana
kau akan berterima kasih padaku?" demikian Siang Cin berseloroh.
"Baik, bagaimana kalau hadiah tiga cewek cantik?" jawab Sebun Tio bu dengan
memicingkan sebelah mata.
"Busyet!" seru Siang On dengan suara tertahan. "Kau tahu, selamanya aku tidak
gemar urusan perempuan, jangan kau jebloskan diriku."
"Eh, ya, bicara tentang cewek, aku menjadi teringat kepada puteri kesayangan Thi
ciangbun dari Bu siang pay itu" Bagaimana, sudah kau temukan?" tanya Sebun Tio
bu. "Ya, memang sudah berhasil kubawa keluar."
"Sudah kaubawa keluar" Di mana orangnya" Memangnya kau sembunyikan?"
"Anak dara itu memang sudah ter gila2 kepada Khang Giok tek, mereka sudah hidup
bersama sebagai suami isteri dan tidak ingin kembali lagi kepada ayahnya."
"Sialan! Kenapa ada anak perempuan yang tidak tahu malu begitu. Sia2 Thi Tok
beng berusaha mati2an, tak tahunya anak dara itu lebih suka terjerumus ke dalam
lumpur. Sungguh muka ayahnya telah tercoreng moreng."
"Itulah cinta, cinta memang buta . . . . . Tapi biarlah kita serahkan kepada
kebijaksanaan Thi-ciangbun sendiri, kukira beliau akan membereskan urusan rumah
tanggannya dengan baik, orang luar tidak pantas ikut campur."
Mereka lantas terdiam semua, suasana di gudang yang cukup luas itu menjadi
hening, sampai suara langkah penjaga yang mondar mandir di luar juga bisa
terdengar. Akhirnya Sebun Tio bu menjadi tidak sabar, ia tanya Le Tang: "Le laute, kira2 waktu
apa sekarang ini?"
Agaknya Le Tang memang seorang ahli menghitung cuaca, ia menengadah sejenak,
lalu mengendus2 dengan hidungnya yang pesek, kemudian menjawab: "Sndah
hampir terang tanah, Sebun-tangkeh."
359 Pada saat itulah, seperti menjawab pertanyaan Sebun Tio bu tadi, terdengarlah
suara gemuruh dua kali, suara ledakan yang mengguncangkan di kejauhan dari arah
Toa ho tin sana.
Le Tang tertegun sejenak, tapi lantas bersorak tertahan, serunya: "Itulah suara
ledakan Liat yam-tan kita. Siang susiok, pasukan kita sudah mulai menggempur
kemari." Siang Cin mengangguk, tapi dia memberi tanda agar jangan bersuara keras2.
Menyusul lantas terdengar pula suara gemuruh yang lebih keras, debu pasir gudang
sama rontok karena guncangan ledakan itu.
Mencorong sinar mata Sebun Tio bu, katanya girang: "Hah, Bu siang pay benar2
mulai menggempur Toa ho-tin pada pagi hari ini. Hebat, sungguh hebat, perbawa
mereka ini sanggup bertempur dengan pasukan resmi bentuk apapun. Dan
sekarang, apalagi yang kita tunggu di sini?"
"Sabar dulu, Sebun tangkeh," ucap Siang Cin dengan tenang dan tersenyum.
"Segera kita juga akan bergerak Sebentar bila pasukan Bu siang pay sudah
menyerbu masuk Toa ho tin, hendaklah engkau pergi ke sana untuk menuntun
mereka menggempur Ji ih hu melalui sebelah timur, yaitu melalui .hutan tempat kita
menyusup kemari itu."
Sebun'Tio bu mengiakan dan siap2 untuk berangkat.
"Dan Le heng tinggal saja di sini bersamaku, kita akan mengawasi gerak gerik
musuh, bilamana melihat mereka menggiring keluar tawanan orang2 kalian, dengan
gerak kilat kita akan menerjang untuk menyelamatkan mereka dan membuat musuh
kelabakan. Cuma tindakan kita ini sangat besar risikonya, mungkin harus
mempertaruhkan nyawa, maka Le tang hendaknya hati2."
Le Tang membusungkan dada dan menjawab: "Jangan kuatir, Siang susiok, pasti
akan kulakukan tugasku dengan sekuat tenaga dan takkan memalukan Bu siang pay
dan kehormatan Siang susiok."
"Bagus," kata Siang Cin, lalu dipandangnya pula Loh Hou yang terluka itu, katanya:
"Loh-heng terluka, sebaiknya tetap istirahat saja di sini, setelah semuanya sudah
beres akan kujemput kau ......."
"Tidak, Siang susiok," sela Loh Hou dengan rasa penasaran, "aku tidak mau
mengeram di sini. Sedikit luka ini tiada artinya bagiku, aku masih sanggup, harap
Siang susiok mengizinkan aku ikut serta . . . . . . . "
Siang Cin menatapnya dengan tajam, lalu berkata pula dengan ramah: "Loh heng,
semangat perjuanganmu sungguh sangat mengharukan aku, tapi engkau terluka.
Aku diserahi tugas oleh Bu siang-pay memimpin kalian ke sini, maka aku harus
menjaga keselamatanmu. Ketahuilah, hidup manusia tidak melulu untuk bertempur di
medan tempur saja, tapi masih banyak pekerjaan lain yang lebih berarti. Kesetiaan
dan keberanian seseorang tidak melulu ditandai dengan cucuran darah.
Pertempuran yang akan datang, sekalipun kau tidak ikut serta, bagiku, bagi Bu siang
pay, kau tetap sudah memenuhi kewajiban dan tidak perlu merasa malu atau
menyesal. Tentunya Loh heng dapat memahami maksudku."
360 "Tapi. . . . . tapi, aku masih sanggup, Siang-susiok. Aku tidak mau mengeram di sini,
aku ingin ikut Siang susiok . . ... . ."
Dalam pada itu, suara gemuruh ledakan bertambah kerap dan keras, gudang inipun
terasa berguncang Dengan gelisah Loh Hou dan Le Tang memandang Siang Cin.
Sebun Tio bu juga tidak dapat memberi saran.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya Siang Cin berkata: "Baiklah, kau ikut, tapi harus
hati2 dan menurut petunjuk."
Loh Hou kegirangan dan mengucapkan terima kasih.
"Hayolah kita berangkat," seru Sebun Tio bu dengan suara tertahan.
"Kita menerobos keluar melalui jendela, harus hati2," kata Siang Cin, berbareng ia
terus tarik Loh Hou dan dilempar keluar melalui lubang jendela itu, menyusul Siang
Cin sendiri juga menerobos keluar.
Di bawah jendela gudang saat itu ada dua penjaga berseragam kulit, mereka
mendongak terkejut ketika mendengar sesuatu suara. Tapi sebelum mereka sempat
bertindak apa2, Siang Cin sudah menubruk tiba, kedua tangannya menabas ke
kanan dan ke kiri, kontan leher kedua orang itu patah dan terguling.
Pada saat itu barulah Sebun Tio bu dan Le Tang menyusul tiba. Le Tang
mengangsurkan toya Loh Hou yang belum sempat dibawa tadi.
Sementara itu di jurusan Toa ho tin tampak terang benderang, api berkobar
menjulang tinggi ke langit disertai suara gemuruh.
Waktu Siang Cin memandang sekeliling Ji ihhu, suasana tetap sunyi dan tiada setitik
cahayapun, bahkan lampu yang menempel di dinding benteng sana juga
dipadamkan, semuanya tenggelam dalam kegelapan.
Siang Cin dapat merasakan suasana yang tegang ini, jelas musuh di Ji ih hu telah
siap siaga dan sedang menantikan datangnya badai serangan.
"Sekarang juga aku akan menyelundup keluar, Siang heng," kata Sebun Tio bu.
"Nanti dulu," kata Siang Cin. "Tunggu isyarat serbuan Bu siang pay . . . . . . . . "
Mereka berempat sama berjongkok di kaki tembok gudang dan menunggu
perkembangan lebih lanjut.
Lama2 Sebun Tio bu menjadi tidak sabar, katanya dengan suara tertahan: "Mengapa
belum ada tanda, entah bagaimana perkembangan di luar sana" Sungguh tidak
enak hanya menunggu saja di sini."
"Jangan gelisah, Tangkeh," ujar Siang Cin sambil menepuk bahu kawan ini.
"Sebentar lagi pasti ada kabar, bila sudah begitu, mungkin tiada waktu lagi bagimu
uutuk istirahat seperti sekarang ini."
"He, dengar, coba dengarkan!" mendadak Le Tang menegas.
361 Mereka lantas pasang kuping, terdengar suara "tut tut" bunyi terompet kulit keong
bergema di kejauhan sana, suaranya mengharukan, tapi juga membangkitkan
semangat. Di tengah suara "tut tut" itu terseling pula suara ledakan keras yang tiada
hentinya dan suara gemuruh lari be ribu2 pasukan berkuda. Itulah pasukan Bu siang
pay dari padang rumput.
Menyusul dengan bergemanya suara "tut tut" tadi, serentak berpuluh jalur berapi
menjulang tinggi ke langit dan suara gemuruh pasukan besarpun menuju ke arah Ji
ih hu sini. Le Tang dan Loh Hou sangat bersemangat, keduanya berjingkrak girang dan siap
menyambut kedatangan pasukan Bu siang pay itu.
Dengan tenang Siang Cin lantas berkata: "Tangkeh, sekarang bolehlah kita mulai
bergerak."
Tanpa ayal lagi Sebun Tio bu memberi salam terus melayang pergi dan menghilang
dalam kegelapan.
"Dan selanjutnya adalah tugas kita untuk beraksi," kata Siang Cin pula.
Dengan menggenggam toyanya Loh Hou siap2 untuk bertindak, serunya: "Siang
susiok, kami tidak gentar."
Lebih dulu Siang Cin mengawasi sekeliling sana lalu berkata: "Kita akan merunduk
melalui gunung gunungan sana dan sembunyi dulu, hati2 supaya jejak kita tidak
ketahuan musuh."
Setelah memberi pesan, segera Siang Cin mendahului melayang ke sana.
Gunung2an itu kira2 berjarak lima puluhan langkah dari undak2an batu di pintu
gerbang Kim bin tian. Setiba di samping gunung2an itu, Siang Cin memberi tanda
agar kedua kawannya mendekam ke bawah la sendiri lantas mengintai ke balik
gunung2an ini, benar juga, diantara lekukan gunung2an ini, ada lubang gua dan
kelihatan wajah manusia yang sedang mengintip keluar dengan gelisah. Jelas di
dalam gunung-gunungan ini ada jalan tembus di bawah tanah.
Sementara itu ufuk timur sudah mulai kelihatan larikan putih, fajar sudah
menyingsing, cuma gumpalan awan tampak tebal memenuhi langit, suasana menjadi
remang2, anginpun meniup kencang. agaknya akan turun salju pula.
Setelah berpikir. Siang Cin mengambil keputusan akan menyerempet bahaya sekali
lagi. Ia coba memeriksa dengan cermat, akhirnya dapat diketemukan jalan masuk ke
gunung2an itu. Jalan masuk itu terdiri dari sepotong batu yang dapat diangkat, di
bawah gunung2an itu, kini ada seorang sedang menggeser batu penutup itu dan
menongolkan kepalanya untuk menghirup hawa segar.
Secepat kilat Siang Cin menubruk maju dan mencengkeram kuduk orang itu,
menyusul leher orang itu dipencet pula dengan tangan lain. Hanya sekejap saja,
orang itu tak dapat lagi menghirup hawa segar untuk selamanya.
Sambil mengangkat mayat orang itu, Siang Cin terus menerobos ke dalam
gunung2an. Jalan lorong di bawah sangat sempit dan cekak, cuma beberapa meter
panjangnya. Pada ujung lorong sana ada ruangan bulat kecil dan cukup dibuat
362 tempat istirahat beberapa orang, dari ruangan bulat ini masih ada lorong2 sempit lain
yang menembus ke tempat lain. Mungkin di sinilah tempat pengintaian dan terdapat
alat2 tanda bahaya yang segera dapat dibunyikan bilamana pengintai di sini melihat
sesuatu yang tidak beres.
Siang Cin membanting mayat itu ke tanah hingga menimbulkan suara gedebug.
Maka terdengarlah seorang mengomel dari lorong sana: "Ong Moa cu, keparat kau,
orang lagi ngantuk, kau ganggu dengan suara keras begitu, memangnya kau terlalu
iseng dan minta mampus?"
Sekilas pandang Siang Cin dapat melihat ada tujuh lorong yang menembus ke
ruangan bulat, kecuali sebuah lorong yang dilaluinya barusan, keenam lorong lain
masing2 ada seorang sedang berbaring dengan kedua kaki selonjor ke jurusan sini.
Dengan gerakan cepat dan cekatan, dalam sekejap saja Siang Cin sudah berhasil
menyeret keluar dua orang di antaranya dan dihabisi. Keempat orang lainnya
mendengar sesuatu yang tidak beres, tapi sebelum mereka sempat berbuat apa2,
Siang Cin berhasil menutuk Hiat to mereka dari angin pukulan jarak jauh.
Tanpa bersuara keempat orang itu roboh terkulai di tempat masing2, semuanya
tertutuk Hiat to lumpuh dan bisunya.
Dengan bengis lalu Siang Cin berkata: "Nah kawan, ke enam temanmu sudah
menyusul kakek moyangnya di akhirat, tertinggal kau sendiri yang hidup. rebahlah
kau di situ dan akan kutanyai kau, bila kau mau bekerja sama dengan baik, jiwamu
akan kuampuni, kalau tidak, kawan2mu adalah contohnya."
Baru sekarang orang2 yang tertutuk itu menyadari apa yang terjadi, diam2
merekapun bersyukur jiwa mereka belum lagi melayang. Karena mereka masing2
rebah di lorong sendiri2, lorong batu sempit, hakikatnya mereka tidak dapat melihat
teman di sebelahnya, apalagi hendak saling memberi isyarat maka mereka sama2
mengira cuma tinggal dirinya sendiri yang hidup, selebihnya sudah terbunuh,
keempat orang itu sama2 merasa beruntung bagi dirinya sendiri. Demi
menyelamatkan nyawa sendiri, andaikan mengaku apa yang diketahuinya juga
takkan ketahuan.
Begitulah, dalam waktu singkat Siang Cin telah memanggil masuk Le Tang dan Loh
Hou. Setiba di ruangan bulat itu, Siang Cin menyuruh mereka masing2 bertiarap di
salah satu lorong yang kosong itu.
Habis itu Siang Cin menyeret keluar salah seorang yang telah tertutuk tadi, lebih dulu
ia gampar muka orang dua tiga kali hingga mata orang itu ber kunang2 dan kepala
puling tujuh keliling. Hiat-to yang tertutuk tadipun serentak terbuka.
Dengan darah mengucur keluar dari ujung mulut dan muka bengkak, cepat orang itu
berlutut di depan Siang Cin dan memohon ampun.
"Pasukan Bu siang pay sudah menyerbu ke Toa ho tin, kau tahu tidak kejadian ini?"
tanya Siang Cin dengan kereng.
Orang berseragam kulit itu menyembah berulang2, jawabnya dengan gemetar:
"Tahu, tahu, sebelum Toa ho tin digempur, ber ulang2 pimpinan sudah mendapat
laporan yang tidak menguntungkan, maka sejak kemarin Ji ih hu sudah dijadikan
pertahanan terakhir dan siap menghadapi datangnya musuh . . . . "
363 "Bagaimana keadaan di Toa ho tin sana, ceritakan menurut apa yang diketahui
olehmu?" bentak Siang Cin.
Dengan ter gagap2 orang itu menjawab: "Pihak Bu siang pay sedang menggempur
Toa ho tin dengan senjata api, kota itu sudah menjadi lautan api, menurut . . . . . .
menurut teman yang bertugas kurir garis depan, katanya pasukan berkuda Bu siang
pay telah membanjir ke dalam kota dan pertahanan di Toa ho tin telah mulai runtuh
dan sukar dipertahankan lagi. Konon senjata api , pihak Bu siang pay sangat lihay
dan keji, ada yang berbentuk bola, sekali dilemparkan lantas meledak dan
mengobarkan api, mereka juga menggunakan Iabah2 beracun, menurut laporan
terakhir, katanya barisan pelopor Bu siang pay sudah menyerbu masuk Toa ho tin,
beberapa garis pertahanan kami di Toa ho tin telah dihancurkan oleh senjata api
musuh . . . . "
Bara Naga Jilid 18 "Setelah membobol Toa-ho-tin, langkah selanjutnya yang dituju Bu-siang pay
tentunya Ji-ih-hu dan Pau-hou-san ceng!" kata Siang Cin dengan tersenyum puas,
"Dan apalagi yang kau ketahui?"
"Hamba adalah orang kecil, itupun sudah cukup banyak yang kukatakan, yang Iainlain
hamba tidak tahu," jawab orang itu.
"Bohong!" bentak Siang Cin, teringat olehnya batu-batu padat kelabu yang menonjol
disekitar gunung-gunungan ini, ia tanya puIa: "Tidakkah kaupernah melihat kawankawanmu
mengusung sesuatu benda, misalnya peti dan karung yang diberi bertali
dan dihubungkan ke dalam Ji ih-hu?"
Setelah termenung sejenak, kemudian orang itu berseru pelahan: "Ah, benar, baru
sekarang hamba ingat. Tiga hari yang lalu memang kulihat banyak kawan yang
keluar masuk istana di waktu malam, setiap orang memanggul peti yang berbungkus
kertas minyak, pengawasan tampak ketat, sampai setengah malaman baru
pekerjaan itu rampung.
Kemudian, menjelang fajar, ada belasan kawan membawa gulungan warna putih
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berlari keluar dengan terburu-buru. Kalau tidak salah gulungan warna putih itu
berbentuk tali sebesar jari, Tapi. . . tapi hambapun tak berani memastikan betul atau
tidak, sebab waktu itu keadaan remang-remang, hamba juga sudah mengantuk
berjaga semalaman, bisa jadi salah lihat."
"Kau omong sesungguhnya, tidak berdusta?" tanya Siang Cin.
Kembali orang itu menggigil ketakutan, jawabnya: "Masa . . . masa hamba berani
berdusta . . .. semua sudah hamba katakan sejujurnya . .. mohon ampun . . ."
Belum habis ucapan orang itu, dengan cepat Siang Cin telah menutuk Hiat to bisu
dan lumpuhnya, lalu tubuh orang itu diangkat dan dimasukkan lagi ke lorong semula.
"Nah, Loh heng dan Le heng sudah dengar sendiri pengakuannya tadi?" kata Siang
Cin kepada kedua kawannya.
364 Loh Hou dan Le Tang yang berbaring di dalam lorong masing-masing tidak dapat
membalik tubuh, terpaksa mereka menjawab dengan kuatir: "Ya, sudah kudengar,
Lantas bagaimana baiknya, Siang-susiok?"
"Sudah kupesan kepada Kin Jin agar memperhatikan soal ini, tentu dia akan
berunding cara mengatasinya dengan Thi-ciangbun kalian." kata Siang Cin dengan
tenang. Loh Hou tampak agak cemas, katanya: "Tapi. . . . tapi kalau kawan-kawan kita
kurang cermat dan main terjang saja, bisa jadi mereka akan celaka semua, Siangsusiok,
apakah barang yang dikatakannya itu benar-benar bahan peledak?"
"Kita jangan berharap bukan, tapi menganggapnya benar," kata Siang Cin.
"Siang-susiok, betapapun kita harus mencari akal untuk membantu kawan-kawan
kita," kata Le Tang, "Saat ini mereka sedang menerjang pintu neraka. . ."
Dengan tegas Siang Cin berkata: "Tapi tugas kita sekarang juga cukup penting dan
berat, Kita harus berusaha menolong kawan-kawanmu yang tertawan musuh, kita
harus membantu mengacau bagian dalam sini apabila mereka sudah mulai
menyerbu kemari. Kalau sekarang kita membagi tenaga untuk urusan lain, lalu siapa
yang akan melaksanakan tugas yang kusebut tadi, padahal untuk mencari musuh
yang siap memasang bahan peledak di tempat tersembunyi juga bukan pekerjaan
yang mudah."
Loh Hou dan Le Tang menjadi bungkam walaupun dalam hati sangat gelisah.
Mendadak Le Tang berseru puIa: "Tapi, Siang-susiok, sedikitnya kita kan harus
menyampaikan peringatan kepada mereka."
"Kan sudah dikerjakan oleh Kin-heng dan Sebun-tangkeh?" jawab Siang Cm dengan
tertawa, Maka Le Tang berdua menjadi bungkam puIa. Sejenak kemudian,
mendadak Siang Cin menggertak kaki dan berkaya: "Baiklah, biar ku pergi sendiri,
Selain menyampaikan peringatan, sekaligus akan kulihat cara bagaimana musuh
mengatur sumbu bahan peledak, Urusan sudah mendesak, terpaksa kulakukan
menurut keadaan, apapun juga segera kukembali lagi secepatnya Harap kalian
berjaga di sini, kecuali dipergoki musuh, kalau tidak, jangan sekali-sekali
sembarangan bertindak bila aku belum kembali ke sini,"
Serentak Le Tang berrdua mengiakan. Setelah memeriksa lagi sekeliling, habis itu
baru Siang Cin menerobos keluar melalui lorong tadi. Di luar tetap sunyi senyap,
suasana Ji ih-hu tetap hening, keheningan yang menegangkan. Tapi keheningan di
sini justeru berlawanan dengan suasana hiruk pikuk di Toa-ho-tin sana, terdengar
suara ledakan masih bergemuruh disertai api yang berkobar dan suara ambruknya
bangunan, dan tentu saja bercampur dengan suara jeritan orang yang sedang
bergulat dengan elmaut ditambah derap kaki kuda yang berlari kian kemari.
Siang Cin menyelinap ke samping gunungan sana, ia dapat melihat penjaga-penjaga
yang tersebar di tempat sembunyinya.
Dari pengalamannya tadi, Siang Cin dapat memperkirakan kapan dan di mana
tempat yang aman, ia incar baik-baik tempat yang dituju, mendadak ia melayang ke
sana secepat terbang. Baru saja bayangannya mencapai tembok benteng,
terdengarlah desiran angin tajam berhamburan dari berbagai arah. Akan tetapi
gerakan Siang Cin benar-benar cepat Iuar biasa, sebelum senjata rahasia itu
365 mencapai titik sasarannya, lebih dulu Siang Cin sudah melintasi tembok benteng dan
berlari ke Toa-ho tin.
Saat itu Toa ho-tin sudah serupa neraka, api tampak berkobar-kobar di mana-mana.
Siang Cin menyusuri hutan, baru saja ia keluar hutan di tanah yang landai sana,
segera dilihatnya dari berbagai penjuru gelombang manusia sedang membanjir ke
arah Ji-ih-hu sini, Ada anak buah Toa to kau yang berseragam biru, ada anggota Jitho
hwe yang bermantel kelabu, ada pasukan Ceng siong-san ceng yang berbaju
hijau, dan ada juga orang-orang Ji ih~hu sendiri yang berseragam kulit semuanya
lari balik ke arah Ji-ih-hu dalam keadaan konyol.
Siang Cin menggeleng, tanpa ayal ia menerjang ke arah Toa-ho-tin.
Kini pihak perserikatan Ji ih hu sudah runtuh, tapi pertempuran sengit di Toa-ho-tin
masih belum berakhir, bahkan tambah seru tanpa kenal ampun. Maklum, dalam
keadaan gaduh begitu, kalau tidak membunuh tentu dibunuh.
Beberapa rombongan musuh telah dilalui Siang Cin, sekarang ia sudah melihat pura
pejuang Bu-siang-pay yang bergelang emas di kepala dan berseragam putih,
semuanya sedang bertempur dengan gagah berani.
Di tengah pertempuran seru itu, Siang Cin melihat ada sesuatu yang tidak beres,
Dilihatnya pihak perserikatan Ji-ih-hu ada tanda-tanda mengundurkan pasukannya
secara berturut-turut, agaknya mereka mempunyai rencana tertentu dan tidak ingin
bertempur habis-habisan dengan Bu-siang-pay di medan Toa-ho-tin.
Siang Cin melihat di sebelah sana ada seregu anggota Jit-ho-hwe sedang bertempur
sambil mengundurkan diri. Secepat kilat ia melayang ke sana, kedua tangannya
bekerja naik-turun, sekaligus ke-tujuh orang itu disikat habis, Ketika ia membalik
tubuh, tiga penunggang kuda tahu-tahu sudah menerjang tiba.
Ketiga penunggangnya berseragam putih dan bergelang kepala emas, dengan golok
sabit dan perisai mereka terus menerjang ke arah Siang Cin.
"Berhenti! Naga Kuning di sini!" bentak Siang Cin dengan suara menggelegar.
"Naga Kuning", nama ini seperti bunyi guntur disiang bolong yang mengalutkan
ketiga anggota Bu-siang-pay itu, serentak mereka menahan kuda sehingga ketiga
kuda itu berjingkrak sambil meringkik.
Siang Cin lantas memburu maju sambil berseru: "Di mana Tiangsun-cuncu?"
Serentak ketiga orang itu memberi hormat. satu di antaranya menjawab: "Lapor
Siang-susiok, Cuncu mendapat tugas menyerang Pau-hou-san-ceng."
Terbayang betapa jarak Pau-hou-san-ceng dengan Toa-ho tin, maka legalah hati
Siang Cin. Katanya: "Dan siapa yang pegang pimpinan di sini?"
"Pimpinan dipegang Toasuheng Giam Sok dibantu Thio Kong, Thio-suheng, yang
bertugas mengepung Ji-ih-hu, bilamana semua pasukan sudah berkumpul, segera
sarang induk musuh akan diserbu.
366 Menurut perintah Ciangbunjin, garis pertahanan musuh harus diserbu dan bertempur
berhadapan, sedikitpun musuh tidak diberi kesempatan untuk mengundurkan diri,
menurut perintah Ciangbunjin ada kemungkinan di balik mundurnya pasukan musuh
ada tersembunyi muslihat keji tertentu."
"Memang tidak salah, musuh memang sudah mengatur muslihat di Ji ih-bu sana,"
kata Siang Cin dengan tertawa. "Tapi semangat tempur mereka memang juga sudah
runtuh, Nah, pergilah kalian, ingat, kejar musuh dengan ketat, jangan sampai
tertinggal jauh."
Ketiga orang itu memberi hormat, lalu menerjang pula ke depan sana.
Siang Cin merasa lega setelah mendapat keterangan itu, Nyata Kin Jin dan Sebun
Tio bu sudah menyampaikan beritanya kepada Thi Tok-heng, pihak Bu-siang-pay
sudah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Tentu Thi Tok-heng sudah menduga pihak Ji-ih hu akan menarik pasukannya bila
Toa-ho-tin boboI, pada saat pasukan induk Bu-siang-pay berkumpuI di dalam kota,
segera sumbu peledak akan dipasang dan meledaklah seluruh Toa-ho tin.
Oleh sebab itulah Thi Tok-heng sengaja menbagi sebagian pasukannya
meninggalkan tempat bahaya ini untuk menyerbu Pau-hou sao-ceng, hanya
sebagian kecil saja pasukannya diperintahkan bertempur dengan musuh, dengan
demikian musuh akan sia-sia bilamana benar-benar meledakkan seluruh Toa-ho-tin.
Malahan pihak sendiri yang akan rugi besar.
Dengan pikiran senang Siang Cin lantas berlari pula ke depan, pada ujung sebuah
persimpangan jalan, dilihatnya tiga lelaki berseragam kulit sedang berlari datang, tapi
belum lagi mereka membelok ke arah lain, dari belakang sana sebarisan pasukan
berkuda berseragam putih telah membidikkan anak panah sehingga beberapa
anggota Ji-ih-hu terjungkal binasa.
Siang Cin berlari ke depan pula, mendadak sebuah rumah bersusun ambruk hingga
debu pasir berhamburan. Di mana-mana memang api belaka, mayat bergelimpangan
memenuhi jalanan, rumah runtuh menjadi puing.
Kejar mengejar antara pasukan pihak Bu-siang pay dan Ji ih-hu sudah mulai
meninggalkan pusat kota. Kini pertarungan terjadi secara berkelompok.
Siang Cin ikut berlari mundur ke arah Ji-ih-hu. tidak jauh di sebelah sana, dilihatnya
seorang ksatria Bu-siang-pay berperawakan tinggi kurus dan bermuka kemerahmerahan
sedang menempur sengit dua orang berjubah biru yang juga berperawakan
tinggi. Kedua orang berjubah biru itu jelas sangat lihay, mereka masing-masing
menggunakan senjata tongkat, dengan mati-matian mereka mengerubi lawannya.
Di sebelah lain ada belasan anggota Bu-siang-pay sedang mengepung empat orang
berewok dan berwajah bengis, keempat lelaki kekar setengah baya ini sama
memakai mantel kulit warna kelabu, jelas mereka adalah jago Jit-ho-hwe. Meski
belasan orang mengeroyok empat orang, namun keempat orang itu tidak menjadi
gentar sedikitnya.
367 Di sana lain lagi, ada seorang berbaju putih dan bergelang kepala sedang melayani
tiga orang, Si baju putih ini agak luar biasa, bermata juling, hidung besar tapi pesek,
mulut tebal seperti moncong babi.
Biarpun jelek mukanya, tapi kepandaiannya boleh diuji, Dengan satu lawan tiga ia
malah lebih banyak menyerangnya daripada diserang.
Padahal salah satu dari ketiga pengerubutnya itu adalah orang ketiga dari So-liansu-
coat, yaitu Pah Cong-ju.
Di samping si baju putih bermuka buruk itupun ada seorang temannya lagi, juga
berwajah luar biasa, alis tebal mata besar, hidung lebur dan mulut besar,
perawakannya tegap, bersenjata godam di tangan kiri dan tangan kanan memegang
golok sabit, iapun bertempur dengan gagah berani.
Lawannya adalah seorang kakek, orang ketiga dari Jit-ho-hwe, "Tin-pan-thian" Ciang
Heng, tampaknya Ciang Heng sudah kewalahan, sebentar lagi mungkin akan angkat
tangan dan minta ampun.
Situasi sekarang sudah jelas, meski dalam hal jumlah pihak Bu-siang-pay jauh lebih
sedikit, tapi semangat tempur mereka menyala, bersatu hati, ditambah lagi
kemenangan berturut-turut, semangat tempur mereka tambah berkobar.
Sebaliknya pihak Ji-ih-hu meski berjumlah lebih banyak, namun kekalahan yang
terus menerus sejak dari Ce giok-giam membuat runtuh semangat tempur mereka.
Mereka menjadi jeri dan takut mati.
Segera Siang Cin ikut terjun ke tengah medan tempur, sebatang gada menyambar
lewat di sampingnya, tapi tanpa berkedip tangan Siang Cin terus menampar, orang
yang membokong itu kena dihantam terpental dan menumbuk kawan-kawannya.
Siang Cin terus menubruk maju, kedua tangannya bekerja cepat naik-turun, kembali
lima jago Ceng-siong-san-ceng terkapar.
Dalam pada itu si baju putih yang beralis tebal dan bermata besnr itu sedang
mencecar Ciang Heng hingga jago Jit-ho-hwe ini hampir tidak sempat bernapas.
Sembari menyerang si baju putih juga memperhatikan Siang Cin yang mulai
mendekat itu serunya: "Apakah di situ Siang-susiok adanya"!"
"Terima kasih, memang betul aku! Dan anda"!" jawab Siang Cin dengan tertawa.
Sambil mendesak musuh, orang itu menjawab dengan hormat. "Tecu Giam Siok,
anggota Hui-ji bun Bu-siang-pay."
"Ehm, memang sudah kuduga pasti kau," ujar Siang Cin sambil mengangguk Lalu ia
melirik Ciang Heng sekejap, katanya: "Ciang-Ioyacu, buat apa susah-susah kau"
Menjual nyawa percuma bagi Ji-ih-hu?"
Tempo hari Ciang Heng sudah terluka ketika mengadu pukulan dengan Kin Jin di
Pau-hou-san-ceng, dengan sendirinya kesehatannya belum pulih seluruhnya. Tapi
mau-tak-mau dia harus mengadu nyawa karena Jit-ho hwe harus pegang janji.
368 Butiran keringat tampak menghiasi wajah Ciang Heng yang sudah berkeriput dan
pucat itu, dengan napas terengah-engah ia berseru: "Apa. . . apakah kau si Naga
Kuning?" "Ehm, tepat juga tebakanmu," jawab Siang Cin. Mendadak Giam Siok membentak,
golok dan godamnya bekerja sekaligus, golok menyambar Ciang Heng, berbareng
godamnya menyampuk belasan orang berseragam kulit terdengar jerit ngeri di
tengah muncratnya darah, belasan orang tersapu menggeletak sekali pun Ciang
Heng yang paling kuat juga tak bisa berkutik.
Siang Cin hanya menggeleng saja, katanya kemudian dengan suara tertahan:
"Giam-heng, ingat, jangan terlalu jauh ditinggali musuh, kejar dengan rapat agar
tidak terjebak."
"Tecu paham," jawab Giam Siok dengan tersenyum. "Kin tayhiap dan Sebun-tangkeh
sudah memberitahu."
"Bagus," seru Siang Cin, "Selamat berjuang, sekarang aku akan kembali ke
tempatku lagi."
Kini hati Siang Cin benar-benar merasa lega, beban pikirannya telah lenyap. Dengan
gerak cepat ia berlari kembali ke arah Ji ih-hu. Seperti caranya keluar tadi, iapun
melintasi tembok benteng secepat terbang. Ketika melintasi tembok benteng itu,
sekilas dilihatnya banyak orang berseragam kulit sibuk naik turun, ada yang
membawa palu dan paku, ada yang memangguI gulungan kawat, ada pula yang
menggotong kerangka besi.
Siang Cin melayang ke atas pohon yang rimbun, tiba-tiba ia ingat kerangka-kerangka
besi itu, Betul, itulah kerangka besi tempat busur, rupanya Ji-ih hu sedang
memperbaiki kerangka busur yang telah dirusak oleh Sebun Tio-bu dan lain-lain.
Belum lagi Siang Cin mendapatkan cara baik untuk menghadapi musuh, tiba-tiba
terdengar suara teriakan ramai di sebelah sana, Siang Cin terkejut, jelas arah suara
ramai itu berdekatan dengan gunung-gunungan tempat sembunyi Le Tang dan Loh
Hou itu. Terkesiap Siang Cin, tanpa pikir ia terus melayang turun ke sana, Sebelum tiba di
tempat tujuan, sekilas dilihatnya bayangan orang memenuhi sekitar gununggunungan
itu. Tanpa melihat lagi Siang Cin sudah tahu apa yang terjadi. Jelas jejak
Le Tang berdua diketahui musuh.
Cepat ia menerjang maju, belum lagi orang-orang Ji-ih-hu itu melihat jelas siapa
pendatang ini, tahu-tahu beberapa orang di antaranya telah mencelat. Kedua tangan
Siang Cin bekerja cepat, dalam sekejap beberapa musuh terkapar lagi, ia berkelit ke
kanan lalu mengegos ke kiri, beberapa kali bacokan golok lawan dihindarkannya,
menyusul kedua tangannya memotong dan menghantam dua orang berseragam kulit
terguling pula dengan kepala pecah dan darah muncrat.
Seketika teriakan kaget berjangkit di sana-sini, menyusul terjadilah hujan senjata dari
berbagai penjuru, namun Siang Cin dapat menyelinap kian kemari dengan
kecepatan luar biasa. Berbareng kedua telapak tangannya menabas dengan
dahsyat, belasan anak buah Ji-ih-hu tunggang-langgang lagi.
369 Mendadak tiga sosok bayangan orang menubruk tiba dan serentak berhenti di depan
Siang Cin dalam posisi mengepung dari tiga jurusan.
Siang Cin berdiri tegak dan tenang, sorot matanya yang tajam mengerling ketiga
musuh, dilihatnya satu di antaranya adalah orang tua tinggi besar berjenggot yang
pernah ditemui di tembok benteng bersama Bwe Sin itu.
Di samping orang tua berjenggot merah ini berdiri seorang Suseng ( pelajar ) cakap
berbaju biru dengan ikat kepala yang sama warna.
Di sebelahnya lagi adalah seorang bermuka merah dengan mata liar dan hidung
lebar, buruk amat muka orang ini, tapi tampaknya dia adalah kepala dari ketiga
orang ini. Di tengah suasana yang ramai itu, si muka merah berseru: "Jika tidak
salah lihat, sobat yang berhadapan denganku ini tentunya si Naga Kuning Siang Cin
bukan?" Siang Cin mendengus jawabnya tak acuh: "memang benar!"
Si muka merah tampak beringas, matanya melotot, dengan gregetan ia bertanya
puIa: "Suma dan Ni Thay dari Tiang-hong-pay serta Mo-bin-Ciong hu, semuanya
terbunuh olehmu, orang Siang?"
"BetuI," jawab Siang Cin tegas.
"Dan sarang panah itupun dirusak olehmu?" tanya pula si muka merah dengan
murka. "Ya, pokoknya semua kejadian si sini adalah perbuatanku, baik pembakaran Hweim-
kok maupun perampasan puteri Thi ciangbun, semuanya pekerjaanku, Nah, jelas
dan puas sekarang?"
Setelah menyeringai, Siang Cin menyambung pula: "Akupun tahu siapa kau, setelah
kukerjai Ciong Hu bertiga, bukankah kau sudah pernah memeriksa ke sana. Di tepi
kolam kering sana kudengar suaramu yang serak sehingga sukar terlupakan. Kutahu
kau pasti sangat dendam padaku dan ingin menuntut balas bagi kawan-kawanmu,
begitu bukan?"
"BetuI!" si muka merah meraung murka.
"Dan sekarang sudah terbuka kesempatan itu bagimu," ujar Siang Cin sambil
melangkah maju.
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tepat, aku Jik-gan-thi-pi (muka merah tangan besi) Toan Kiau memang sudah lama
ingin menghadapi kau," dengus si muka merah dengan marah.
Baru sekarang Siang Cin tahu-lawannya adalah tokoh Ji ih-hu yang terkemuka.
Diam-diam ia menghimpun tenaga, ia tahu ketiga lawan di depan ini adalah tokoh
kelas tinggi, untuk membereskan mereka rasanya tidak mudah.
Belum lagi Siang Cin bertindak, ternyata si tua berjenggot merah sudah mulai
menubruk lebih dulu sambiI membentak, dia menggunakan pedang punggung
sempit, tajam luar biasa, segera ia menusuk.
370 Toan Kiau juga tidak tinggal diam, tangan kiri menabas, tangan kanan dengan
senjata gurdi lantas menikam batok kepala Siang Cin, si Suseng setengah baya juga
lantas menubruk maju, dengan cepat ia menghantam.
Dikerubut dari tiga jurusan, Siang Cin tetap tenang-tenang saja Mendadak ia
mendoyong ke belakang. "plak", ia sambut pukulan si Suseng setengah baya, dan
saat yang sama, dengan getaran pukulan itu Siang Cin mengapung ke atas.
Maka tusukan pedang si muka merah dan tikaman gurdi si tua berjenggot juga
kehilangan sasaran.
Karena adu tangan tadi, si Suseng tergetar mundur dua-tiga tindak, ia menjadi
murka, sambil membentak kedua lengan bajunya yang komprang terus menyabet.
Melihat sabetan lengan baju yang lihay ini, tahulah Siang Cin siapa lawan ini, ia
berputar di udara untuk kemudian melayang turun kembali, jengeknya: "Hm, Siangsiu-
jiau-hun (memburu sukma dengan kedua lengan baju) Toh Goan, kiranya kau!"
Si Suseng setengah baya itu memang betul bernama Toh Goan, dengan lengan
bajunya yang komprang itu ia dapat menyerang musuh dari jauh dan dekat, sekali
leher lawan terlibat lengan bajunya, jangan harap akan dapat terlepas lagi. Setelah
tergetar mundur tadi, segera ia menubruk maju pula.
Di samping lain si tua berjenggot dan Toa Kiau juga menubruk maju berbareng. Di
bawah kerubutan tiga jago kelas tinggi, dengan gerak cepat "Liong-ih-tay-pat-sik"
yang lincah Siang Cin mengapung ke atas dan menubruk ke bawah, menyelinap ke
kanan dan menyusup ke kiri, dengan gesit ia berseliweran di tengah kerubutan
musuh, berbareng iapun batas menyerang dengan berbagai tipu serangan.
Hanya sekejap saja tiga puluhan jurus sudah berlalu, Siang Cin merasa ketiga
lawannya sekarang yang berbeda dengan Mo-bin-cu Ciong Hu dan gembong dari
Tiang-hong-pay, untuk merobohkan mereka mungkin harus menggunakan akal.
Beberapa jurus pula, sekonyong-konyong terdengar suara raungan di dalam gununggunungan
sana: "Siang-susiok, biar kami menerjang keluar untuk membereskan
kawanan keparat itu."
Itulah suara Le Tang, Siang Cin tahu mungkin kedua orang itu melihat dia dikerubut
tiga orang, maka ingin menerjang keluar membantunya.
Secepat kilat Siang Cin melancarkan beberapa kali serangan untuk mendesak
mundur musuh, berbareng iapun berteriak: "Tidak, jangan keluar, jaga disitu."
Gurdi Toan Kiau menikam dan menusuk pula beberapa kali sambil berteriak-teriak:
"Nyalakan api, bakar mereka!"
Angin pukulan menderu-deru, sekaligus Siang Cin menghalau serangan Toan Kiau
dan juga kebasan lengan baju si Suseng, Tapi pada saat yang sama, dengan
meraung kalap pedang sempit si tua berjenggot merah juga menyambar tiba.
Siang Cin sudah memperkirakan pertarungan ini hanya ada dua pilihan. Dia tetap
melabrak Toan Kiau dari depan dengan risiko terserang pula oleh pedang dan
371 lengan baju dua lawan lainnya atau dia segera menyelinap keluar dari seranga Toan
Kiau itu. Namun keadaan sudah mendesak, ia menyadari bila pertempuran berlangsung lama
tentu akan banyak rugi daripada untungnya iapun tahu untuk menyelesaikan
pertarungan sengit ini, imbalannya mungkin juga mahal, terpaksa juga harus
mengadu jiwa. Dengan nekat mendadak Siang Cin mengegos, sekaligus ia hindarkan libatan lengan
baju Toh Goan, tapi lengan baju yang lain sempat menyabat pundaknya, "cret", tahutahu
pedang sempit si tua menyambar tiba dan menancap di betis Siang Cin.
Pada saat yang sama gurdi Toan Kiau juga menyerempet lewat di depan hidung
Siang Cin. Maka tibalah kesempatan yang di nantikan Siang Cin ini. Telapak tangan
kanan menabas sekuatnya, "blang", kontan tubuh Toan Kiau mencelat dua-tiga
tombak jauhnya.
Pada saat tubuh Toan Kiau terpental ituIah, Siang Cin terus menarik kakinya yang
terluka, berbareng tangan yang lain juga memotong ke leher si tua berjengot yang
bermaksud menarik kembali pedangnya itu.
Dengan cepat Siang Cin terus melompat mundur, kini yang dihadapinya tinggal Toh
Goan saja, tubuh Toan Kiau sudah menggeletak si tua berjenggot merah juga
berkelejetan sambil memegangi leher sendiri, darah tampak merembes keluar dari
sela jarinya. Pedang sempit itu masih menancap di betis Siang Cin. Dengan muka kepucatpucatan
ia pandang Toh Goan yang rada terengah-engah itu, ia tersenyum
mendadak ia angkat kakinya, "Sret", pedang yang tadinya menancap di betisnya itu
tahu-tahu sudah menembus dada seorang lelaki berseragam kulit di sebelah sana,
menjerit saja tidak sempat, tahu-tahu orang itu roboh terkulai bermandikan darah.
Siang Cin menyeringai seperti binatang buas yang terluka, sorot matanya tajam
menyayat, ia pandang sekelilingnya sekejap, tanpa terasa anak buah Ji-ih hu yang
berdekatan di situ sama menyurut mundur dengan ketakutan.
Di sekitar gunung-gunungan itu ternyata sudah banyak tertumpuk kayu bakar,
bahkan sudah disiram minyak. Namun para penjaga yang berseragam kulit itu
tampak melongo jeri dan lupa pada tugasnya menyaksikan pertarungan sengit dan
kematian beberapa pimpinannya itu.
"Nah, Toh Goan, kini tinggal kau saja, majulah, kita selesaikan sekalian!" kata Siang
Cin dengan nada ketus, ia tersenyum dan mendadak berteriak: "Le Tang, Loh Hou,
sekaranglah waktunya menerjang keluar!"
Baru habis Stang Cin berteriak, sekonyong-konyong di pintu gerbang Ji-ih~hu sana
berkumandang suara hiruk-pikuk, menyusul lantas terdengar suara gemuruh
membanjir tibanya manusia dan derap kaki kuda. Sekilas melirik, dapatlah dilihat
Siang Cin apa yang terjadi, kiranya pihak Ji-ih-hu telah membuka pintu gerbang
benteng dan memasukkan sisa pasukannya yang mundur dari Toa-ho tin itu.
Hampir pada saat yang sama dengan banjir orang yang berduyun-duyun masuk ke
Ji-ih-hu ini, di arah Toa-ho-tin sana mendadak terdengar suara gemuruh ledakan
372 yang amat dahsyat disertai api yang membubung tinggi ke langit, bumi serasa
guncang, asap tebal bergulung-gulung memenuhi angkasa.
Suara ledakan ini kedengaran cukup dekat, seperti tidak jauh di depan Ji-ih hu,
melihat gelagatnya, mungkin seluruh bahan peledak yang terpendam telah
diledakkan. Siang Cin berdiri tertegun, diam-diam menghela napas panjang, ia menguatirkan
para pahlawan Bu-siang-pay yang sedang bertempur, bukan mustahil ledakan
dahsyat ini akan menelan korban pasukan kedua pihak yang sedang bertempur itu.
"Brakk", sepotong batu karang gunung-gunungan itu hancur terhantam, di tengah
jerit kaget orang banyak, dua sosok bayangan yang tangkas menerjang keluar.
Seorang memakai rantai, sekali sabat, kontan tiga orang berseragam kulit tersampuk
jatuh dan binasa.
Toya yang diputar Loh Hou juga bekerja cepat, terdengar suara denging nyaring,
beberapa golok musuh tersapu jatuh, beberapa orang mencelat mundur. Kelihatan
Le Tang dan Loh Hou menerjang dengan kalap dan tangkas. Baru sekarang para
penjaga berseragam kulit itu terkejut dan tersadar dari melenggong mereka tadi,
beramai-ramai mereka lantas mengepung.
Segera Siang Cin bergerak pula, sekali hantam, batok kepala dua orang yang paling
dekat dihancurkan. Cepat Toh Goan menubruk maju, ia pimpin tiga puluhan orang
berseragam dan mengepung rapat Siang Cin bertiga. Namun begitu Siang Cin dan
Le Tang serta Loh Hou tidak menjadi gentar, mereka semakin bersemangat,
bukannya kewalahan, bahkan pihak musuh yang kelabakan, beberapa orang
kembali roboh terkapar pula.
Pada saat ituIah, dari arah pintu gerbang Ji ih-hu sana berlari datang lima sosok
bayangan orang. Hanya sekejap saja sudah berhadapan. Sekilas pandang Siang Cin
mengenali tiga di antaranya, Yang dua orang adalah Han-mo-siang ciu, kedua tokoh
Toa to-kau Dua orang lagi bermantel kulit kelabu, yang satu pendek gemuk seperti
gentong, kepala besar tangan panjang, yang satu lagi bermuka hitam hidung pesek
dan mulut lebar, mukanya sangat buruk, sedangkan orang kelima dikenalnya
sebagai Lo sat-li Giam Ciat, sang janda genit.
Kecuali Giam Ciat, keempat orang lainnya tampaknya berlepotan darah, rambut
kusut muka berminyak dan penuh keringat tampaknya mereka habis bertempur
sengit sehingga kelihatan lelah, lesu dan juga kesal.
Melihat bala bantuan sudah datang, semangat Toh Goan terbangkit, ia menyerang
mati-matian sambil berteriak: "Kebetulan kedatangan kalian, disinilah mata-mata
musuh yang kita cari tadi!"
Seketika Giam Ciat yang juga siap hendak menerjang maju itu merandek dan berdiri
seperti patung, sorot matanya menatap tajam kepada Siang Cin yang sedang
bertempur dengan gagah perwira itu, dia hampir-hampir tidak percaya kepada
matanya sendiri, ia melongo dan tidak dapat bersuara.
"Kau kenapa, nona Giam?" si muka hitam yang berdiri di sebelahnya bertanya.
Giam Ciat tersadar, tanyanya: "Sia... siapa dia ini?"
373 "Naga Kuning! Dia inilah Siang Cin keparat!" teriak si pendek gemuk seperti gentong
itu. Seketika wajah Giam Ciat berubah pucat pasi, keringat dingin membasahi tubuhnya,
seperti habis sakit berat, gumamnya kemudian: "Naga . . . . Naga Kuning" Dia dia
Siang Cin" Di. . . di Pau-hou-san-ceng pernah kulihat dia. Ya, dia memang Naga
Kuning." Dalam pada itu Siang Cin telah beraksi pula, sekali menyapu dengan kakinya,
kontan empat orang berseragam kulit menjerit terjungkal. Sekali hantam ia desak
mundur Toh Goan pula, lalu ia berseru dengan tertawa "Selamat bertemu lagi, nona
Giam" Go Ji menyampaikan salam padamu!"
Saking dongkol dan gemas tubuh Giam Ciat sampai gemetar, jeritnya penuh benci:
"Bagus kau Siang Cin . . . . kau jahanam . . . . "
Siang Cin bergelak tertawa, sambil melancarkan beberapa kali serangan, ia berseru:
"Kita berlawanan, Giam Ciat perang antara dua negara tidak pantang menggunakan
tipu muslihat dan agen rahasia bukan?"
Saking gemasnya hampir saja Giam Ciat jatuh semaput. Dengan tergagap ia
berteriak pula: "Dan kau. . . kau pula yang membunuh nona Bwe?"
Belum lagi Siang Cio nienjawab, terdengar suara mendesingnya benda-benda yang
melayang dari luar Ji- ih hu, benda hitam bulat, begitu jatuh di tanah lantas
menimbulkan ledakan keras itulah "Liat-yam-tan", granat buatan Bu siang pay.
Seketika suasana menjadi kacau bulau, api berkobar dan asap berhamburan.
Para pengerubut Siang Cin bertiga menjadi kelabakan menghadapi suasana yang
luar biasa in", dengan kalap Toh Goan menyerang pula sambil berteriak: "Hayo
saudara-saudara, tunggu apa!agi" Suasana sudah gawat, apa yang kalian ragukan
pula?" Sambil meraung, Ham-mo-siang-ciu mendahului menerjang ke tengah kalangan,
keduanya menggunakan pedang pendek, serentak mereka mengerubuti Siang Cin.
Dengan gregeten Giam Ciat juga menubruk maju, senjatanya yang berbentuk jaring
terus terpentang iapun ikut menggempur dengan sengit.
Si gendut tadi segera menerjang Loh Hou, sedang kawannya menandingi Le Tang,
pertarungan sengit kembali berkobar pula.
Ji-ih-hu kini sudah berubah menjadi neraka, di mana-mana api berkobar dan asap
bergulung-gulung ke angkasa, batu pasir betebaran di tengah ambruknya bangunan,
suara ledakan masih terus terdengar di sana-sini, bayangan orang lari kian kemari
disertai jerit ketakutan. Namun dari udara masih terus hujan granat yang
dihamburkan oleh Bu-siang-pay dari luar benteng.
Hawa di tengah Ji ih hu penuh bau mesiu, bau yang sangat menusuk hidung,
pertempuran antara Siang Cin bertiga dengan para pengerubutnya juga tambah
sengit. 374 "Labrak dan bunuh tanpa ampun, Le-heng dan Loh heng, cepat selesaikan!" teriak
Siang Cin sambil melancarkan beberapa pukulan sehingga Han-mo-siang cin
terdesak mundur, berbareng ia mengelakkan serangan Toh Goan, ketika kakinya
mendepak, kontan dua orang berseragam kulit terjungkal pula.
"Hm, mungkin tidak semudah harapanmu, Siang Cin!" jengek Toh Goan sambil
menubruk maju puIa, kedua lengan bajunya yang kuat terus mengebut.
"Hehe, boleh coba saja!" kata Siang Cin sambil menyeringai, Berbareng ia hantam
sana dan sodok sini sehingga musuh terpaksa melompat mundur.
Diam-diam Siang Cin merasakan keadaan rada gawat, untuk merobohkan para
pengerubutnya jelas sukar berlangsung dalam waktu singkat, padahal dia masih
mengemban tugas lain yang penting. Melihat gelagatnya sebentar lagi Bu siang pay
akan menyerbu besar-besaran, pada waktunya yang tepat ia harus membereskan
tugas itu. Dan sekarang adalah kesempatan baik baginya untuk menerjang keluar
kepungan. Mendadak ia menghantam sekuatnya ke depan, ketika Toh Goan terpaksa melompat
mundur, segera Siang Cin melayang ke sana, ia terjang salah seorang Han-mosiang-
ciu yang cacat telinga itu.
Cepat orang itu mengelak ke samping, tapi baru setengah jalan mendadak Siang Cin
berganti arah dan menabas Siang-ciu yang kedua.
Gerakannya secepat kilat, serangannya sangat ganas, anggota Han-mo-siang-ciu ini
tidak keburu mengelak lagi, dengan mata melotot dan mengertak gigi ia malah
memapak maju, tumbaknya mendadak menusuk dari samping, telapak tangan kiri
juga menghantam.
Pada saat yang sama, tanpa bersuara Toh Goan juga menubruk maju, kedua lengan
bajunya yang lemas sebagai ular terus menyabet punggung Siang Cin.
Namun dengan sedikit mendak ke bawah sambil menggeser langkah, serangan
lawan terhindar, berbareng ia menyikut, kontan salah seorang Han-mo-siang-ciu itu
mencelat. Ketika ia membalik tubuh, dengan tepat berhadapan dengan Toh Goan.
Keruan Toh Goan terkejut, belum lagi sempat ia bertindak lebih lanjut, secepat kilat
pukulan Siang Cin sudah menyambar tiba dan tepat mengenai dadanya, "Brek", Toh
Goan terhuyung-huyung dan tumpah darah dan tak bisa berkutik lagi.
Mendadak Han-mo-sian-ciu yang cacat telinga itu menggerung kalap, dia tidak
menerjang Siang Cin untuk menuntut balas bagi kawannya, tapi seperti kerbau gila
terus menubruk ke sana, di sana Loh Hou sedang menempur si gendut dan anak
buah Ji-ih-hu. Cepat Siang Cin bertindak, ia desak mundur Giam Ciat yang menyerang dengan
kalap, lalu ia memburu ke sana sambil berseru: "Awas, Loh-heng!"
Loh Hou tampak sudah mandi keringat dan napas terengah-engah, di sekitarnya
menggeletak beberapa mayat, toyanya juga berlepotan darah. Akan tetapi lukanya
yang belum sembuh menjadi kambuh lagi, sakitnya merasuk tuIang, ditambah lagi si
375 gendut yang ikut mengerubutnya itupun tidak rendah ilmu silatnya, serangannya
dahsyat dan tidak kenal ampun, tentu saja Loh Hou semakin payah.
Demi mendengar seruan Siang Cin, segera Loh Hou merasakan angin kencang
menyambar tiba, sambil meraung toyanya terus menyapu ke samping, seorang
berseragam kulit menjerit ngeri dan terpental, sementara itu orang yang cacat telinga
juga sudah menerjang tiba.
Untunglah pada saat itu Siang Cin memburu datang, ia mendahului menghantam.
Rupanya orang yang cacat telinga itu sudah nekat, sama sekali tak memusingkan
serangan dari belakang itu, tombaknya tetap menusuk Loh Hou.
Pada detik yang sama, si gendut juga menusuk maju, senjatanya berbentuk kampak
lantas membacok Loh Hou. Keruan Siang Cin kelabakan, teriaknya: "Rebahkan
dirimu Loh Hou!"
Serang menyerang itu datangnya terlalu cepat, sembari berteriak pukulan Siang Cin
tetap dilancarkan, kontan si telinga cacat terpental, namun saat itu tumbaknya juga
sempat menancap di iga kiri Loh Hou.
Wajah Loh Hou tampak beringas, toyanya serapat berputar sehingga kampak si
gendut tertangkis, tapi dua orang berseragam kulit sempat menubruk tiba, golok
mereka terus mampir di punggungnya.
Pada saat itu bayangan Siang Cin juga menubruk tiba, kedua tangannya
menghantam sekaligus, batok kepala kedua orang itupun hancur. Habis itu
bayangan kuning lantas melayang lagi ke arah si gendut.
Segera ia disambut oleh cahaya kampak, namun Siang Cin tidak berkelit dan
menghindar, tangan terangkat, sekali raih dan betot, tertangkaplah senjata musuh.
Tentu saja si gendut kaget, sekuatnya ia menarik, namun kaki Siang Cin tahu-tahu
sudah melayang tiba, kontan dia terpental. Tendangan Siang Cin tepat mengenai
perutnya. Selagi si gendut terguling dan menjerit ngeri, terdengar pula jeritan yang ngeri di
sebelah sana. Cepat Siang Cin berpaling, dilihatnya Le Tang sedang bergulat
dengan si muka hitam, rantai Le Tang terlibat di leher lawan dan sedang dijirat
sekuatnya sehingga muka si hitam semakin gelap, tapi golok si muka hitam juga
bersarang di perut Le Tang.
Selain itu ada lagi beberapa lelaki berseragam kulit sedang membacok punggung Le
Tang sehingga daging luluh dan darah muncrat.
Menyaksikan itu, mata Siang Cin merah membara, ia meraung murka dan menerjang
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ke sana. Tiga orang berseragam kulit hendak merintanginya, tapi hanya sekali dua gebrak
saja ia telah robohkan orang-orang itu. Seorang lagi menyergap dari belakang
dengan sebuah bacokan, tanpa menoleh Siang Cin menyampuk ke belakang, golok
orang itu mencelat, bahkan mukanya hancur separo.
376 Setiba di samping Le Tang, ia mengamuk dengan kalap, hanya sekejap saja
beberapa orang yang menghujani bacokan pada punggung Le Tang itu telah
dihancurkan kepalanya.
Le Tang belum tewas, sorot matanya yang buram masih sempat menyaksikan Siang
Cin menghabisi nyawa beberapa pengeroyoknya, maka terembuslah napas
kepuasan pahlawan Bu-siang-pay ini, makin erat dia menjirat rantainya sehingga
lidah lawan bermuka hitam itu terjuIur dengan kedua mata melotot. Namun orang
itupun tetap memegangi goloknya yang bersarang di perut Le Tang.
Siang Cin menahan perasaan pedihnya dan berseru parau: "Maaf, Le heng,
kudatang terlambat selangkah."
Le Tang tidak sanggup bicara lagi, terdengar suara "krak-krok" di tenggorokannya,
napas sudah habis, tersembul senyuman terima kasih dan iklas pada ujung
mulutnya. Mendadak ia menggreget dan menarik rantainya lebih keras, habis itu ia
berkejang, lalu melepaskan tangannya dan roboh terkulai untuk tak bangun lagi
selamanya. Beberapa puluh anak buah Ji-ih-hu seperti kesima menyaksikan ketangkasan Siaog
Cin tadi sehingga tidak berani menerjang maju, Ketika mendadak Siang Cin
membalik tubuh, seketika mereka mundur dengan ketakutan, Giam Ciat juga berdiri
di sebelah sana, senjatanya yang berwujut jaring itu terurai di tanah, wajahnya yang
cantik tampak pucat, jelas iapun gelisah dan takut.
Sementara itu Ji ih-hu sudah terjilat api, asap nembubung tinggi disertai suara
letusan yang memekak telinga, Bayangan orang tampak berlari serabutan, tiada
orang lagi yang memperhatikan keadaan di sini.
Siang Cin mengusap darah di tangannya di jubah kuningnya, ditatapnya Giam Ciat,
lalu katanya dengan hambar: "Nona Giam, setiap orang harus berani menyadari
kesalahannya sendiri, hendaklah kaupun dapat membedakan antara yang salah dan
benar. Nah, silakan kau pergi saja, aku takkan menganggu kau."
Giam Ciat tidak menjawab, entah mengapa air mata lantai bercucuran. Dilihatnya
Siang Cin telah melayang pergi.
Di tengah kekacauan itu, secepat kilat Siang Cin melayang ke tembok benteng
sebelah timur sana, sesuai rencana semuIa, dilihatnya pasukan Bu-siang-pay
sedang menerjang tiba melalui jurusan ini.
Siang Cin bersembunyi di suatu tempat yang tidak menyoIok, dilihatnya di atas
tembok benteng telah penuh penjaga-penjaga yang terdiri dari berbagai kelompok
ada yang berseragam kulit, ada yang bermantel kelabu, ada yang berbaju hijau dan
ada yang berjubah biru, suasana berisik dan sibuk, tegang dan mencemaskan.
Di antara pemimpinnya Siang Cin melihat Toh Cong, ialah satu dari "Su-Coat", selain
itu tampak pula Pah Cong-ju yang sebelah tangannya terluka. Ada lagi seorang yang
suaranya melengking tajam.
Dari suaranya yang khas ini Siang Cin lantas mengenalnya sebagai orang yang
berteriak-teriak semalam. Orang ini berkepala besar dan botak, tapi pelipisnya
tumbuh rambut yang panjang, matanya kecil, mulut lebar.
377 Siang Cin ingat semalam orang ini seperti disebut-sebut sebagai "Nyo-ya", janganjangan
dia ini gembong Ji-ih-hu yang bernama Nyo To.
Belum lagi Siang Cin tahu apa yang harus dilakukannya, sekonyong-konyong suara
berisik yang memenuhi seluruh tembok benteng yang mengelilingi Ji-ih hu menjadi
sepi, berubah menjadi hening seperti kuburan.
Siang Cin menjadi heran, ia coba mengintip keluar benteng, maka tersenyumlah dia,
Nyata darah yang teralir, korban yang jatuh, pengalaman sulit yang terjadi selama
satu hari satu malam itu telah mendapatkan imbalan yang pantas.
Di sana, di hutan yang pernah digunakan sebagai tempat sembunyi itu, kini kelihatan
barisan-barisan berkuda, kuda-kuda itu berbulu putih, penunggangnya juga
berseragam putih, bahkan tampak gemerlapnya warna emas gelang kepala mereka.
Golok sabit terhunus dan tangan lain membawa perisai.
Jelas itulah pasukan berkuda Bu-siang pay, inilah pasukan induk Bu-siang-pay
dikenal sebagai pasukan "Hui ji~bun". Tapi jumlahnya kelihatan cuma li baris, tiap
baris antara 30 orang, jadi cuma tiga ratusan orang saja dan dibawa pimpinan hulu
balangnya yang gagah berani, yaitu Giam Siok.
Diam-diam Siang Cin jadi kuatir entah bagaimana kesudahan Toa cuncu Hui-ji-bu
Tiangsun Ki yang membawa sebagian anak buahnya menyerbu ke Pau-hou-sanceng
itu. Tapi kalau melihat semangat pasukan Bu-siang-pay sekarang, agaknya
pihak Bu siang-pay tidak mengalami kesukaran apa-apa.
Di sebelah sana pasukan Bu siang-pay yang lain, yaitu "Bong-ji bun" juga kelihatan
bersiap-siap hanya menunggu komando saja. Suaiana terasa mencekam.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba keheningan itu di pecahkan oleh suara letusan di
arah Toa-ho-tin sana. MenyusuI mana terlihatlah benda-benda hitam bulat kecil
melayang cepat dari sana ke sini, dari kecil menjadi besar dan tahu-tahu sudah
dekat, benda hitam itupun seperti bermata, dengan jitu menggempur tembok
benteng Ji ih-hu.
Maka terdengarlah suara ledakan gemuruh susul menyusul disertai berkobarkan api
dan bergulungnya asap yang menyesakkan napas. Dahsyat sekali ledakan itu
sehingga batu kerikil berhamburan bila mengenai badan manusia, seketika daging
robek dan darah muncrat.
Seketika para penjaga di atas tembok benteng menjadi kacau dan sama berlari kian
kemari, sebagian terperosot ke bawah, ada yang terinjak-injak, sebaliknya granat
dari pihak Bu-siang-pay masih terus berhamburan bagai hujan dan meledakan
tembok benteng Ji-ih-hu.
Ngeri juga Siang Cin tusukan ledakan dahsyat yang menimbulkan korban tidak
sedikit tanpa kenal ampun itu, ia menggeleng kepala, tapi apa yang dapat dikatakan
memang beginilah kejamnya peperangan, kalau tidak membunuh tentu akan
dibunuh. Selagi Siang Cin memikirkan cara bagaimana harus bertindak membukakan pintu
gerbang benteng bilamana pasukan Bu siang-pay sudah mulai menyerbu, mendadak
hujan granat tadi berhenti sama sekali, Seketika suasana hening kembali.
378 Cepat Siang Cin mengintai pula keluar sana, dilihatnya pasukan "Bong-ji-bun" Busiang-
pay di sayap kanan sana telah mulai bergerak cepat mendekati hutan di timur
Ji-ih-hu itu. Sedang pasukan "Hui-ji-bun" juga serentak mendesak maju.
Baju putih dan gelang emas bergerak-gerak memancarkan cahaya yang
menyilaukan, derap kaki kuda diseling gemerincingnya senjata, suara lain tidak ada
sama sekali. Makin dekat dan makin dekat, suasana bertambah mencekam.
Pada saat kedua pihak sudah hampir mengadakan kontak pertama, sekonyongkonyong
di tembok benteng yang berdekatan dengan hutan sini timbul sedikit
kegemparan. Belum lagi Siang Cin tahu apa yang terjadi, terdengar suara seorang
lantang berseru: "Wahai kaum celurut Bu-siang-pay, dengarlah, di sini ada Toacuncu
Thi-ji-bun kalian Siang Kong ceng, Toacuncu Hiat ji-bun Lok Bong bu, ada pula tokoh
andalan kalian Tian Pek-yang, Te Yau dan Khu Hu-kui, semuanya tertawan oleh
kami, jika kalian masih sayang kepada jiwa mereka, maka sekarang juga pasukan
kalian harus berhenti bergerak, kalau tidak, jangan kalian menyalahkan kekejaman
kami yang tidak kenal ampun, segera kepala kelima orang ini akan kami penggal."
Suara orang ini sangat keras dan lantang laksana bunyi genta sehingga
berkumandang jauh, meski pasukan Bu-siang-pay masih terpisah sekian jauhnya,
tapi dapat mendengar seruan itu dengan jelas, pasukan Bu siang pay yang sudah
mulai mendesak maju itu tampak panik sejenak, berpasang mata yang cemas dan
murka juga memandang ke arah benteng. Yang paling dikuatirkan mereka memang
tindakan musuh yang keji ini dan sekarang hal ini ternyata benar-benar terjadi.
Di tembok benteng sini mendadak terlihat muncul serombongan orang, ketika
rombongan itu menyingkir, dengan jelas kelihatan Siang Kong-ceng, Lok Bong bu,
Te Yau, Tian Pek-yang dan Khu Hu-kui berlima telah digiring ke tepi tembok
benteng, kelima orang itu tampak kurus kering, rambut semerawut dan tidak
berbentuk manusia lagi, pakaian sekujur badan juga compang-camping, matanya
celong, berdiri saja tampaknya tidak kuat.
Malahan tangan mereka diborgoI, kakipun dirantai dan diberi bola besi yang cukup
besar. Ada seutas kawat pula yang menembus tulang pundak mereka, darah yang
pernah keluar dari pundak itu tampak sudah mengering, luka bagian pundak itupun
sudah benjoI hitam.
Meski kelima orang itu tersiksa sedemikian rupa, tapi para pahlawan Bu-siang-pay
dan Siang Cin masih tetap mengenali mereka meski kelima wajah itu sudah berubah
sama sekali daripada wajah mereka semula.
Kelima orang itu berdiri sejajar, masing-masing di pegangi dua orang berseragam
kulit, golok mengancam pula di kuduk mereka, sedangkan Nyo To serta seorang
yang bermata satu dan berwajah kehijauan yang bersuara tadi berdiri mengawasi di
samping, Si mata satu itu berperawakan pendek kecil, wajahnya menakutkan, sikapnya dingin,
iapun memakai baju kulit warna coklat yang penuh dihiasi paku perak, senjatanya
yang berbentuk potlot dan berwarna merah gemerlap terpanggul di bahunya, di
sebelah kiri mereka berdiri iima orang kakek yang berjubah kelabu dan berwajah
kereng, sedangkan sebelah kanan adalah seorang lelaki kekar bermuka kemerahmerahan
dan berjenggot panjang sebatas dada.
379 Orang tua ini tampak angker, sorot matanya tajam, kerlingan matanya membuat
orang merasa segan, hidungnya besar lurus dan di atas batang hidung ada tahi lalat
sebesar kacang, alisnya tebal seperti sikat, tidak memakai baju kulit, tapi berjubah
komprang warna keemasan yang bertuliskan dua huruf "Hok" dan "Siu", yakni
lambang rejeki dan panjang umur.
Kaki mengenakan sepatu kulit menjangan, sambil menggendong tangan ia pandang
reaksi dari pihak Bu-siang-pay setelah seruan si muka hijau tadi.
Benar juga, setelah pihak Bu siang pay melihat jelas kelima orang yang diperlihatkan
memang betul adalah Cuncu dan kawan mereka yang tertawan musuh, gerakan
pasukan yang mulai maju itu lantas diperlambat.
Berbareng itu dari pasukan Bong ji bun lantas berkibar panji yann bertanda tujuh
gelang emas yang kait-mengait, panji itu diayun tiga kali, lalu seorang penunggang
kuda tampil ke depan dan membedal cepat ke arah pasukan Hui-ji bun.
Pimpinan pasukan Hui ji-bun, Giam Siok, lantas menyongsong maju, sesudah kedua
orang bergabung dan berhenti sejenak, lalu dua-duanya maju ke arah tembok
benteng Ji-ih-hu. Kiranya penunggang kuda yang satu itu adalah Toacuncu Utti Han
po. Kira-kira belasan tombak di depan benteng berhentilah mereka.
Dari ujung tembok tempat sembunyinya Siang Cin dapat mengikuti kejadian itu.
Sukar baginya untuk meramalkan apa yang terjadi.
Terlihat Utti Han-po dan Giam Siok bertengger di atas kudanya dengan air muka
bersungut, keduanya menengadah ke atas benteng dengan sorot mata berapi.
Si kakek berjenggot panjang dan berjubah warna keemasan tadi tersenyum, lalu
pelahan mengangguk kepada si muka hijau di sisinya,
Setelah berdehem, si muka hijau lantas buka suara pula: "Apakah pendatang itu
adalah Toa Cuncu Utti Han-po dan gembong Hui-ji bun, Giam Siok?"
Utti Han-po yang berpotongan gendut itu menjawab: "BetuI, apa yang perlu
dibicarakan silakan omong saja dan tidak perlu berputar-putar."
"Hahaha!" si muka hijau berseru pula dengan lantang, "Pertama ingin kutanya,
apakah kalian sudah lihat jelas kelima pahlawan kalian yang berdiri di sini ini?"
"Ya tentu," jawab Utti Han- po dengan mendongkol.
Mendadak Giam Siok mendamperat: "Hm, kiranya begitulah cara kalian
memperlakukan tawanan, sungguh keji!"
"Hahaha, apakah terhadap tawanan kami harus menjamunya setiap hari," jengek si
muka hijau, "Hrn, barangkali kau sudah lupa apa sebabnya sampai mereka
tertawan"!"
"Sudahlah," dengan menahan gusar Uiti Han-po menyela, "dalam keadaan demikian,
tiada perlunya kita adu mulut singkatnya saja, cara bagaimana supaya kalian mau
membebaskan rnereka?"
380 Si muka hijau memandang sekejap kepada si kakek berjubah keemasan Kakek itu
tidak memperlihatkan perasaan apa-apa, ia cuma mengangguk pelahan saja.
Maka si muka hijau lantas berteriak "Pertama, pasukan Bu-siang-pay harus segera
ditarik mundur dari sini, sedikitnya ttga puluh li dari Toa-ho-tin, setelah syarat ini
dilaksanakan lalu kami akan membebaskan Khu Hu-kui."
Tidak kepalang gusar Utti Han-po, tapi sedapatnya ia menahan perasaannya dan
bertanya "Lalu"!:"
"Lalu, di bawah pengawasan kami pihak kalian harus mundur lagi seratus li Iagi,
habis itu akan kami bebaskan bocah she Te itu," seru si muka hijau.
"Seterusnya?" jengek Utti Han-po, "Ya, seterusnya segenap pasukan Bu-siang-pay
kalian harus mengumpulkan semua senjata yang kalian bawa dan ditaruh di suatu
tempat yang akan kami tunjuk serta akan kami musnahkan, bila hal ini sudah
dilaksanakan segera kami membebaskan Tian Pek-yang," ia berhenti sejenak, lalu
menyambung puIa: "Dan keempat Thi Tok-heng harus menulis suatu pernyataan
bahwa Bu-siang-pay seterusnya takkan mengganggu dan merecoki Ji-ih-hu beserta
anggota serikatnya, jika syarat ini telah di penuhi, segera Lok Bong-bu juga dapat
kami lepaskan"
"Oan masih ada lagi?" jengek Utti Han-po "Dan akhirnya, tiga bulan setelah kalian
pulang ke padang rumput sana, bila sudah jelas kalian tiada niat sembarangan
bergerak lagi, lalu Siang Kong-ceng juga akan kami puIangkan dengan selamat"
"Hm, tidakkah terlalu melampaui batas per-mintaan pihakmu ini?" jengek Utti Hanpo,
"Apakah memang begitu kehendak Ang Siang-Iong?"
Belum lagi si muka hijau menjawab, mendadak si orang tua berjenggot panjang dan
berjubah keemasan itu berseru lantang: "Ya, memang itulah kehendakku!"
Kiranya orang tua yang gagah dan angker inilah tokoh yang termasyhur, pimpinan
tertinggi Ji-ih-hui, Hek-jan-kong Ang Siang-Iong.
Seketika sorot mata Utti Han-po dan Giam Siok mencorong terang, penuh rasa
gemas dan dendam Teriak Utti Han-po: "Ang Siang-Iong, tentunya kautahu tidak
nanti kami menerima syaratmu itu."
Dengan ketus Hek-jang kong Ang Siang-long menyela: "Terima atau tidak adalah
urusan Bu-siang-pay kalian apabila kalian tidak dapat memutuskan persoalan ini,
silakan lapor dulu kepada ciangbunjin kalian Kuberi tempo setengah jam, setelah itu
tawanan akan kami hukum mati tanpa. . ."
Sekonyong-konyong Lok Bong-bo yang berwajah pucat kurus itu berteriak serak:
"Utti heng, ser . . . . serbu lah kemari dan , . . . dan cincang binatang tua ini. . . .
jangan urus diri kami . - . . sudah cukup kami. . . ."
Belum habis teriakannya, kontan dua lelaki yang memegangnya membentak dan
mengetuk dengan punggung golok, "brek", punggung Lok Bong-bu terhantam
dengan keras, suaranya jelas dan seakan-akan mengetuk hati Utti Han po dan Giam
Siok. 381 "Berhenti, kalian binatang . . ." bentak Giam Siok dengan beringas.
Hek-jan-ong Ang Siang-long memberi tanda, segera kedua lelaki tadi menyeret
mundur Lok Bong-bu yang sudah terkulai pingsan itu.
"Nah, cukup dengan sedikit hukuman ini saja kawanmu sudah tidak tahan, bilamana
lima buah kepala sudah terpenggal, tentu akan tambah ngeri tampaknya, kukira
kalian tentu tidak ingin menyaksikannya. Nah, pikirkan bagaimana keputusanmu Utti
Han po, kutunggu jawabanmu," demikian Ang Siang-long berseru pula dengan
tertawa. Pada saat itulah Siang Kong-ceng yang sejak tadi menunduk lemas itu mendadak
menengadah, dengan beringas ia berteriak: "Utti Han-po, jangan kau lupakan
semangat pahlawan padang rumput dan merusak nama baik Bu~siang pay, apakah
kau lupa pada amanat ciangbun Toasuheng kita waktu hendak berangkat ke tempat
tujuan" Apakah kau menghendaki kami menjadi orang berdosa dan menanggung
malu bagi Bu-siang pay" ingatlah saudara-saudara kita yang telah menjadi korban,
darah saudara kita yang sudah tercecer, sakit hati mereka belum terbalas, dendam
Ciangbun-suheng juga belum terbalas, dengarkanlah gema tangis saudara kita di
padang rumput . . ."
Belum habis ucapannya, kembali punggung golok penjaganya telah menggebuki
tulang punggungnya hingga membuat Siang Kong-ceng jatuh terkapar.
Tapi Tian Pek-yang lantas menyambung teriakan kawannya: "Ya, saudara dari
padang rumput, tuntut utang darah ini . . . biarlah kita gugur sebagai jantan, mati
sebagai pahlawan padang rumput, jangan..."
Seperti nasib kedua kawannya, Tian Pek-yang juga mengalami hantaman keras di
punggungnya dari tak sanggup bersuara lagi.
Segera Te Yau dan Khu Hu-kui juga ingin berteriak, tapi lebih dulu mereka sudah
digampar dan terlebih dulu oleh para penjaganya.
Hek-jan-kong Ang Siang-long mendengus, serunya puIa: "Nah, Utti Han-po, kukira
kau harus lekas ambil keputusan atau laporkan dulu kepada ciangbunjin kalian."
"Kau tua bangka," teriak Utti Han-po dengan murka, "Bicara terus terang, sudah ada
perintah tegas dari Ciangbun Toasuheng, tidak ada kompromi, tidak peduli betapa
korban yang akan timbuI, Bu-,siang-pay pasti akan menghancurkan Ji-ih-hu kalian,
membakar ludes ketujuh gedungmu, betapapun Bu-siang-pay bukan pengecut yang
dapat kaugertak dan peras, jangan kau mimpi lagi."
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"O, jadi kalian tidak kenal kompromi lagi?" tanya Ang Siang long, "Baik, Oh Kek,
penggal Khu Hu-kui."
Si muka hijau yang bernada Oh Kek itu mengiakan, segera ia berseru. "Seret maju
Khu Hu-kuj dan penggal kepalanya, gantung kepalanya di tiang benteng sana."
Si hitam Khu Hu-kui segera diseret ke depan secara kasar, dalam keadaan babak
belur Khu Hu-kui berjalan dengan terhuyung-huyung, namun dia masih cukup bandel
untuk tidak mau tekuk lutut meski dipaksa.
382 "Binasakan dia!" bentak Oh Kek dengan murka.
Segera salah seorang penjaga angkat golok terus hendak menabas kuduk Khu Hukui.
Akan tetapi sebelum golok menyambar ke bawah mendadak algojo yang bermuka
bopeng itu menjerit ngeri, tubuhnya yang besar itu seperti kena di sodok sesuatu
terus terjungkal keluar tembok benteng.
Kejadian mendadak ini sungguh mengejutkan semua orang dari kedua pihak, lebihlebih
orang-orang pihak Ji ih-hu, mereka menjadi bingung dan tidak tahu apa yang
terjadi. Di samping terkejut merekapun ngeri dan takut.
Bayangkan, di tengah pengawasan orang sendiri sekian banyaknya, bahkan
disaksikan sendiri oleh Hek jan-kong Ang Siang long sendiri, tapi ada orang berani
melakukan sergapan, kepala si pesakitan tidak terpenggal sebaliknya algojonya
malah mati lebih dulu. Kejadian ini benar-benar mengejutkan dan juga memalukan.
Di tengah suara jerit kaget dan panik itu, cepat Hek jan kong juga berpaling,
tampaknya ia tetap tenang-tenang saja, serentak ia memberi perintah: "Kelima
sahabat Tiang-hong pay silakan tetap berjaga di sini dan jangan sembarangan
meninggalkan tempat itu. Nyo To dan Oh Kek mengawasi sekitar sini, hati-hati bila
musuh menyerbu untuk merampas tawanan, Kim-thaubak hendaknya segera
memberi perintah agar segenap jagoan dari berbagai aliran dikerahkan untuk
mencari mata-mata musuh."
Kelima kakek berjubah kelabu yang sejak tadi hanya bungkam saja sama
mengangguk, Nyo To dan Oh Kek juga mengiakan. Lalu seorang berseragam kulit
yang berdiri di sebelah sana juga memberi hormat, lalu mengundurkan diri dan
berlari pergi dengan cepat.
Selagi di sini Hek-jan-kong mengatur sini, di sebelah sana pasukan Bu-siang-pay
sedang bersorak sorai bergemuruh. Mereka menyaksikan apa yang terjadi, mereka
tahu ada orang bersembunyi diam-diam melindungi pahlawannya. Mereka bersorak
gembira dan mengacungkan golok dan perisai
Utti Han-po dan Giam Siok saling pandang dengan tersenyum, segera mereka
memutar kuda dan kembali ke pasukan masing-masing.
Sejenak kemudian suara "tut-tut" yang haru dan membakar semangat mulai
bergema, pasukan Bu-siang-pay mulai bergerak, berbondong-bondong membedal ke
depan. "Terjang! Serbu!"
Semakin mendekat pasukan Bu-siang-pay yang menerjang tiba. Segera Hek-jankong
memberi perintah: "Oh Kek, perintahkan lepas panah!"
Dengan suara lantang Oh Kek lantas berteriak meneruskan perintah itu. Serentak
dinding benteng yang mengaling liang panah itu sama anjlok ke bawah dan
tertampaklah belasan kerangka besi yang penuh terpasang busur dan panahnya.
Sementara itu jarak pasukan Bu-siang-pay dengan tembok benteng tinggal dua-tiga
puluh tombak saja. Sekali aba-aba diberikan, serentak tali jepretan ditarik dan
terhamburlah beratus-ratus anak panah.
383 Perajurit Bu-siang-pay sudah terlatih sejak kecil, kepandaian menunggang kuda
mereka boleh dikatakan sangat gesit tangkas, sebelumnya merekapun sudah
diperingatkan kemungkinan hujan panah dari pihak musuh. Maka begitu kelihatan
hujan panah tiba, serentak mereka memasang perisai di depan kepala kuda untuk
melindungi binatang tunggangan dan mengalingi kepala dan tubuh sendiri,
sedangkan barisan belakang lantas memencar ke samping serta balas
menyambitkan senjata rahasia.
Sudah tentu masih juga ada yang terkena panah dan terjungkal, seketika berjangkit
jeritan ngeri di sana sini. Tapi sejenak kemudian pasukan Hui-ji bun itupun
mendesak sampai di kaki tembok benteng, Menyusul pasukan Bong-ji-bun juga
menerjang maju dan balas menghujam musuh dengan sambitan senjata rahasia.
Suasana di atas tembok benteng menjadi kacau, bukan saja para pemanah di liang
panah itu banyak yang terbunuh, juga anak buah Ji-ih-hu di atas tembok juga banyak
yang terluka. Rada cemas juga Hek-jan-kong menyaksikan situasi yang tidak menguntungkan itu,
cepat ia berteriak puIa: "Penggal kepala Siang Kong-ceng!"
Tapi Siong Kong-ceng lantas menengadah dan bergelak tertawa, serunya dengan
suara parau: "Ang Siang-Iong, kalau kumati sekarang, sebentar lagi kaupun akan
menyusuI, akan kutunggu kau dipintu akhirat."
"Penggal!" bentak Hek-jan-kong dengan bengis, Segera kedua pengawal di belakang
Siong Kong-ceng mengangkat golok mereka terus menabas.
Tapi keajaiban kembali terjadi, Mendadak golok yang terpegang mereka itu bergetar
keras dan berganti arah, "crat", bukannya kepala Siong Kong-ceng yang terpenggal,
tahu-tahu golok bersarang di perut kedua orang itu sendiri. Sambil menjerit kedua
orang itu terus terguling ke bawah tembok sana.
Rupanya dalam kekacauan itu Siang Cin telah menggeser tempat sembunyinya
sehingga semakin dekat dengan tempat pimpinan Ji-ih-hu sini. Dia yaog telah
menyelamatkan jiwa Khu Hu-kui dan Siong Kong-ceng dengan tenaga pukulan jarak
jauh. Sudah tentu ia tahu caranya itu sangat besar resikonya, tapi apa boleh buat,
keadaan sadah memaksa.
Sudah tentu Hek-jan-kong tidak tinggal diam, serentak ia melompat ke tempat
sembunyi Siang Cin, sekali hantam ia hancurkan ujung tembok yang mengalingi
tubuh Siang Cin itu.
Di tengah gelak tertawanya Siang Cin terus melambung ke atas, berbareng ia
melancarkan pukulan dan depakan, Cepat Hek-jan tong menyurut mundur, tapi
lantas terdengar suara jeritan ngeri, dua-tiga orang anak buahnya telah menjadi
korban dan terpental.
Sorot mata Hek jan kong seakan-akan membara, teriaknya murka: "Naga Kuning,
bagus sekali perbuatanmu!"
384 "Haha, Ang Siang-Iong, kiranya kau masih kenal padaku!" jengek Siang Cin sambil
menghindarkan tabasan golok seorang seragam kulit, berbareng sebelah tangannya
halus menampar, kontan orang itu terkapar tanpa sempat bersuara.
Ang Siang-Iong melangkah maju pula dan membentak: "Siang Cin, berturut-turut kau
membunuh empat pembantuku, harus kuhancur-leburkan tubuhmu, akan kukorek
hatimu!" "Hah, silakan coba jika kaumampu!" jengek Siang Cin dengan angkuh.
"Keparat, jika berani, hayolah turun ke bawah sana, kita bertempur sampai mati satu
lawan satu!" tantang Hek-jan-kong.
"Aku bukan anak kecil, Ang Siang-Ioog, takkan terjebak oleh kelicikanmu, masih
banyak pekerjaanku, siapa ingin main-main dengan kau."
"Huh, tak tersangka Siang Cin si Naga Kuning yang termashur adalah tikus yang
penakut begini," ejek Hek-jan-kong.
"Ang Siang long," jawab Siang Cin. "Tidak perlu kau pancing diriku, Kematianmu
sudah di depan mata, jangan kau harap kau ada kesempatan untuk meloloskan diri."
Selagi Hek-jan-kong hendak bicara pula, tiba-tiba terdengar suara menderu aneh di
udara, waktu ia menengadah, terlihat berpuluh-puluh jalur hitam kulit kerbau yang
ujungnya terikat besi cengkeram telah hinggap di tembok benteng, Menyusul
beratus-ratus anak buah Bu-siang-pay yang sudah siap di kaki tembok terus
merembet ke atas melalui tali kulit itu.
Ang Siang-long menjadi nekat melihat suasana bertambah gawat, teriakoya: "Bunuh
semua tawanan itu!"
Dalam pada itu, lima sosok bayangan mendadak melompat tiba. Kiranya kelima
kakek berjubah kelabu dari Tiang-hong-pay serentak mereka mengepung Siang Cin
di tengah dan menatapnya dengan penuh rasa dendam.
Salah seorang kakek yang bermata kecil dan berhidung betet, agaknya dia tertua
daripada jago-jago Tiang-hong-pay itu, serunya dengan suara bengis: "Ang-toako,
silakan engkau membereskan kelima tawanan itu, orang she Siang ini serahkan saja
kepada kami, utang darah Loliok dan Lojit harus kami tagih dari dia."
Hek jan-kong merasa kebetulan jika kelima orang itu mau mewakilkan dia
menghadapi Siang Cin, segera ia melayang ke sana dan berteriak puta: "Habisi
tawanan itu!"
Dalam pada itu kelima kakek berjubah kelabu sudah menyerang serentak, akan
tetapi Siang Cin sempat mengapung ke atas sehingga serangan mereka yang
dahsyat itu mengenai tempat kosong.
Siang Cin ternyata menerjang ke arah Hek-jan-kong, maksudnya hendak menolong
Siong Bong-bu berlima. Cepat Hek-jan-kong mengadang dan melancarkan suatu
pukulan dahsyat, Tapi sekali menggeser dan berkelebat tahu-tahu Siang Cin sudah
meleset lewat ke sana, Dengan murka Hek-jan-kong lantas mengejar
385 Akan tetapi Siang Cin sudah tiba lebih dulu di depan kelima tawanan itu. Saat itu Nyo
To, Oh Kek dan para penjaga sudah angkat senjata hendak melaksanakan perintah
Hek jan-kong tadi.
Namun tahu-tahu Siang Cin sudah melayang tiba, di tengah berkelebatnya bayangan
pukuIan, kontan beberapa penjaga berseragam kulit itu tunggang lenggang dan
tumpah darah disertai jerit ngeri.
Nyo To dan Oh Kek juga tergetar mundur, malah pundak Nyo To juga terluka, hanya
Oh Kek saja yang tidak terluka, tapi mukanya yang memang hijau itu bertambah
pucat. Dalam sekejap itu kelima pahlawan Bu-siang pay yang merana itu sudah mengenali
Siang Cin, semangat mereka terbangkit, dengan kegirangan Lok Bong-bu berteriak:
"Kau, Siang heng!"
Siang Cin tidak sempat menjawab, sebab saat itu Hek-jan-kong Ang Siang-long juga
sudah menubruk tiba. Tanpa pikir Siang Cin mendorong ke lima orang tawanan itu
sehingga terperosot ke luar tembok benteng, padahal kelima orang itu sama
terbelenggu, tulang pundak merekapun ditembus oleh kawat, kini terjatuh ke bawah
tembok benteng, akibatnya dapatlah dibayangkan namun apa boleh buat Siang Cin
merasa tiada jalan lain.
Habis itu ia mendahului menabos ke dada Hek-jan-kong yang menubruk tiba itu,
sedangkan tangan lain lantas menanggalkan jubah kuning yang dipakainya, jubah itu
terus dilemparkan ke sana sehingga mirip segumpal awan yang meluncur cepat ke
bawah dan sempat menahan di bawah tubuh kelima orang yang jatuh itu.
Meski jubah itu tidak dapat menahan bobot kelima orang itu, tapi cukup menahan
daya luncur yang berat itu dan dapat menyelamatkan jiwa mereka.
Kejadian itu berlangsung secepat kilat, menyerang, menanggal jubah dan melempar
jubah, semua ini seakan-akan dilakukan dalam sekejap oleh Siang Cin. Dalam pada
itu Hek-jan-kong sempat mengelakkan serangan Siang Cin tadi, ia berjingkrak murka
hingga mukanya beringas dan buas.
"Apalagi yang kalian tunggu, maju semua!" bentak Hek jan-kong kepada Nyo To dan
Oh Kek. Rupama kedua orang itu masih belum hilang kagetnya karena gempuran
Siang Cin yang hampir merenggut jiwa mereka tadi.
Karena bentakan pimpinannya ini, segera mereka racngcrubut dari samping. Dalam
pada itu kelima kakek berjubah kelabu Tiang-hong-pay juga sudah menyusul tiba.
Segera Hek-jan-kong berteriak pula: "Hayo, kerubut mereka! Terhadap orang licik
yang suka main sembunyi-sembunyi begini tiada soal peraturan Kangouw lagi,
mampuskan dia!"
Mau-tak-mau agak kewalahan juga Siang Cin menghadapi delapan jago kelas tinggi,
namun dia masih terus menyelinap kian kemari dan bertahan mati-matian.
Syukurlah, mendadak teriakan serbuan telah bergema di atas tembok benteng Ji-ihhu.
Waktu Ang Siang-Iong melirik kesana sungguh celaka, entah sejak kapan di atas
tembok benteng sudah muncul bayangan baju putih dan gemilapnya gelang kepala,
jelas itulah pasukan Bu siang pay.
386 Tidak kepalang kaget Hek-jan-kong Ang Siang long, cemas dan gelisah, ia tahu
situasi sangat tidak menguntungkan pihaknya, pasukan musuh sudah berhasil
membobol pertahanan bentengnya yang kukuh diri mulai menyerbu ke sayap kanan
dan kiri. Seorang pahlawan berseragam putih menerjang ke sini hendak menbantu Siang Cin,
golok sabitnya membacok, namun dengan gesit Oh Kek dapat mengegos, berbareng
senjatanya yang berbentuk potlot terus menikam, kontan perut jago Bu-siang-pay itu
tertembus selagi ia menjerit dan terhuyung-huyung, salah seorang kakek jubah
kelabu menambahi sekali pukulan sehingga tubuhnya mencelat keluar tembok
benteng. "Keparat, kaupun rasakan seranganku!" bentak Siang Cin dengan murka, berbareng
iapun menabas muka Oh Kek.
Akan tetapi Hek-jan-kong telah menghantam pula dari jurusan lain sehingga Siang
Cin terpaksa harus tarik kembali serangannya untuk menangkis pukulan gembong Jiih-
hu itu, keadaan Siang Cin jadi semakin gawat.
Pada saat itulah, sekonyong-konyong terdengar suitan nyaring berkumandang dari
jauh, hanya sekejap saja suara itu sudah mendekat lalu suara seorang yang kasar
memaki: "Keparat, anak kura-kura yang tidak tahu malu, main kerubut! ini tuanmu
Sebun Tio-bu akan mengiringi main-main dengan kalian!"
Dari jauh orang itu lantas menghantam, terpaksa Hek-jan-kong menggeser dan
menyambut pukulan dahsyat itu. Benturan keras terjadi, orang itu tertawa sambil
melayang ke samping, berbareng jarinya mencengkeram, seorang berseragam kulit
yang berada di samping lantas menjerit dan terjungkal ke bawah benteng dengan
kepala pecah. Hek-jan-kong meraung murka, segera ia hendak menerjang maju, pada saat itulah di
belakangnya seorang berseru pula dengan sopan: "Jangan kuatir, Jan-Ioyacu,
marilah bermesraan sedikit dengan Kim lui jiu Kin Jin."
Cepat Hek-jan-kong berpaling, dilihatnya seorang berdandan sastrawan setengah
baya sudah berdiri di depannya.
Kiranya Sebun Tio-bu dan Kin Jin telah muncul semua.
Setelab merobohkan anggota Jit ho-hwe yang berseragam kulit tadi, segera Sebun
Tio-bu menubruk pula ke sana sambil berseru: "Itu dia, Siang-heng, kudatang
membantu kau!"
"Bagus, Sebun tangkeh!" sambut Siang Cin dengan girang sambil menghindari
beberapa serangan pengerubutnya.
"Wutt", mendadak Thi mo-pi atau lengan besi iblis, menyambar dan samping, keruan
Nyo To terkejut dan cepat berkelit. Tapi tangan besi itu lantas mencengkeram pula
ke arah Oh Kek.
Terpaksa kedua jagoan Ji-ih-hu ini meIompat mundur, mau-tak-mau mereka harus
menghadapi "Sip-pi-kuncu" Sebun Tio bu dan meninggalkan Siang Cin.
387 Rada longgarlah Siang Cin setelah berkurang dua lawan tangguh, tapi kelima tokoh
Tiang-hong-pay menjadi nekat, mereka mencecar terlebih kalap.
Di sebelah lain terdengarlah angin menderu-deru dengan dahsyat, rupanya Kim lui
jiu, si tangan geledek, Kin Jin juga telah mulai bergebrak dengan Hek jan kong Ang
Siang-Iong. Di sekitar sana keadaan juga kacau balau, anak murid Bu-siang-pay yang
berseragam putih dan bergelang kepala emas sudah muncul di mana-mana,
sebagian besar sudah menuruni tembok benteng dan menyerbu ke bangunan induk
Ji-ih-hu seperti air bah yang tak tertahankan lagi.
Dengan baju berlepotan darah Siang Cin menyelinap kian kemari di antara
kerubutan kelima tokoh Tiang-hong-pay, Ginkangnya memang tiada taranya
sehingga musuh sukar meraba ke mana dia akan berkelit.
Sekonyong-konyong, terdengarlah sorak gemuruh orang menyerbu sehingga seluruh
Ji-ih-hu seolah-olah tenggelam di tengah suara gegap gempita itu. Sekilas Hek-jankong
melirik ke sana, sungguh celaka, kiranya pintu gerbang benteng Ji-ih-hu telah
dibuka oleh anak buah Bu-siang-pay yang sudah menyusup ke dalam itu sehingga
pasukan seragam putih lantas menerjang ke dalam.
Sesaat itu bumi serasa guncang, langit seakan-akan ambruk, ratusan dan ribuan
kuda dengan perajuritnya yang gagah perkasa menyerbu masuk tak terbendung lagi.
"HabisIah aku!" keluh Hek-jan-kong Ang Siang-long, mukanya tambah beringas,
jenggotnya seakan-akan berdiri, urat hijau tampak jelas di jidatnya, ia benar-benar
kalap seperti singa yang sudah gila.
Kim-lui-jiu Kin Jin juga tergolong tokoh di dunia persilatan saat ini. meski tidaklah
mudah baginya untuk mengalahkan Hek-jan-kong, tapi untuk kalah juga sulit. Tapi
sekarang Hek-jan-kong dalam keadaan kalap dan bertempur mati-matian, mau-takmau
Kin Jin menjadi rada kewalahan dan terdesak mundur.
Syukur pada saat itulah sesosok bayangan putih gendut mendadak menubruk tiba,
begitu datang golok sabitnya terus membabat pinggang Hek-jan-kong.
Pendatang ini ternyata Utti Han-po adanya, Toacuncu Bong-ji-bun Bu-siang-pay
yang disegani. "Terima kasih, Utti-cuncu!" seru Kin Jin sambil tertawa, berbareng ia melancarkan
suatu pukulan balasan kepada Hek-jan-kong.
Dengan gabungan Kin Jin dan Utti Han-po, betapapun tongkatnya Hek-jan-kong juga
tidak mampu berbuat apa-apa lagi, kini dia cuma mampu bertahan dan tidak
sanggup menyerang lagi.
Sementara itu kelima kakek Tiang-hong-pay masih mengerubuti Siang Cin dengan
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kencang, tapi Siang Cin selalu dapat memberosot pergi di tengah kepungan lawan,
ia tidak mau terjebak di tengah kepungan musuh, tapi senantiasa mencari peluang
untuk menghindarinya, kelima kakek itu berusaha mendesaknya selalu dapat
dielakkan oleh Siang Cin.
388 Mendadak sesosok bayangan putih melayang tiba puIa, golok sabit lantas menyabet,
godam di tangan lain juga menghantam, sekali serang dua macam, kontan tiga
kakek di antaranya didesak mundur.
-----------------------------------------
Bagaimana nasib Hek jan-kong Ang Siang-Iong, pimpinan Ji ih-hu yang telah runtuh
diserbu pasukan Bu siang pay ini"
Ke mana perginya Khang Giok tek, biangkeladi yang menimbulkan malapetaka ini"
BARA NAGA Karya Gan K.L Jilid 19 "Bagus kedatanganmu, Giam-heng!" seru Siang Cin dengan tertawa.
Pendatang ini memang pentolan Hui-ji-bun Bu-siang-pay, Giam Siok dengan
gagah berani ia menerjang maju pula sambil berseru: "Siang-susiok, benteng musuh
sudah bobol!"
Sambil melancarkan serangan pada seorang kakek jubah kelabu, Siang Cin
menjawab dengan tertawa:. "Ini kan sudah dalam rencana kita!"
Setelah mengelakkan suatu serangan seorang kakek jubah kelabu, mendadak
Siang Cin berteriak: "Nah, kawan2 Tiang-hong-pay, sudah tiba saatnya sekarang kita
menentukan mati dan hidup, boleh kalian rasakan cara Naga Kuning merenggut
nyawa kalian!"
Sambil bicara, ia sambut pukulan seorang kakek dengan keras lawan keras, "
krek", terdengar suara tulang patah, tulang tangan kakek lawannya patah sebatas
pergelangan. Belum sempat ia menarik diri, kaki Siang Cin sudah melayang tiba dan
membuatnya terpental ke bawah tembok benteng.
Dalam pada itu Giam Siok telah menerjang tiba dan cepat mengadang di depan
seorang kakek jubah kelabu yang hendak menyergap Siang Cin dari belakang.
Selagi si kakek kelabu terpaksa harus mengalihkan perhatiannya untuk menghadapi
Giam Siok, mendadak Siang Cin memutar balik dan menabaskan sebelah tangannya
yang merah bengkak itu.
Si kakek jubah kelabu tidak berani ayal, cepat ia menangkis, tapi tangan Siang
Cin yang hampir beradu dengan tangan musuh mendadak menyambar ke bawah
dan menyerempet lewat di leher lawan. Kontan darah berhamburkan, si kakek jubah
kelabu ter-huyung2 dan akhirnya terjungkal.
Ketujuh kakek Tiang-hong-pay kini tinggal tiga orang saja, mata mereka tampak
merah membara menyaksikan kematian saudara2-nya, mereka menjadi nekat. Akan
tetapi tembok benteng ini tidak terlalu luas, sukar bagi mereka untuk menerjang
bersama dan main kerubut, apalagi Giam Siok juga menghadapi mereka dengan
golok melintang:
389 Mendadak salah seorang di antaranya berteriak nekat terus menerjang ke arah
Giam Siok. Kontan golok sabit Giam Siok menahan dengan cepat dan godam
menghantam. Tapi kakek itu same sekali tidak berkelit, ia tetap menubruk maju, kedua kakinya
menendang secara berantai sehingga godam musuh dapat dipaksa tergeser ke
samping, menyusul ia tetap menubruk maju dan menghamtam muka Giam Siok.
Tapi sekali ini dia benar2 ketemu batunya, Giam Siok juga nekat, iapun tidah
menghindarkan hantaman lawan, tapi goloknya tetap menabas, maka terdengarlah
."crat, bluk" beberapa kali, Giam Siok terpukul hingga tergetar mundur, darah hampir
saja tersembur keluar. Tapi tubuh si kakek juga tertabas kutung menjadi dua potong.
Belum lagi Giam Siok tenang kembali, sisa kedua kakek jubah kelabu telah
menerjang tiba pula dari kanan dan kiri. Cepat godam Giam Siok menghantam,
kontan kepala kakek di sebelah kiri hancur, tapi dada Giok Siok sendiri juga terpukul,
ia jatuh terduduk dengan darah tersembur dari mulutnya.
Pada saat itu Siang Cin telah memburu maju sekuatnya kakek itu membaliki
tangan dan menghantam, "blang", terjadi adu tangan yang keras, kontan tubuh
kakek itu mencelat kebawah tembok benteng sana, Siang Cin jnga tergetar mundur
dan tumpah darah. Dengan kuatir dua anggota Bu-siang-pay memburu maju hendak
menolongnya, tapi Siang Cin telah mengatur kembali pernapasannya sehingga
darah tidak sampai tertumpah pula, lalu katanya: "Lekas rawat dulu Toa-suheng
kalian . . . . . . . "
Tapi Giam Siok yang jatuh terduduk tadi telah merangkak bangun dengan
bantuan, golok sabit sebagai tongkat, dengan muka pucat ia mendekati Siang Cin.
"Silahkan Giam lote istirahat dulu di sini. Aku masih harus membantu Sebun
tangkehdan Kin heng disana," kata Siang Cin sambil mengusap darah di ujung
mulutnya. Tidak jauh di lorong sana Sebun Tio-bu sedang memperlihatkan
ketangkasannya, ia terus menerjang maju. Lawan yang bernama Oh Kek itu sudah
terluka, mukanya berlumuran darah. tidak perlu ditanya lagi pasti terluka oleh
"tangan iblis besi" Sebun Tio bu itu. Satu lagi yang bernama Nyo To itupun kelihatan
kepayahan, melihat gelagatnya mereka tak mampu bertahan lebih lama lagi.
Seluruh Ji ih-hu kini hampir menjadi dunianya Bu-siang pay, hanya beberapa
jagonya saja yang masih kelihatan bertempur mati2an, selain itu orang2 Jit ho-hwe,
Toa-to-kau, Ceng-siong-san-ceng dan lain2 sudah hampir tidak kelihatan. Di mana2
hanya kelihatan seragam putih dengan sinar golok sabit yang gemilapan.
Utti Han-po dan Kin Jin berdua sedang mengerubut Hek-jan-kong Ang Sianglong,
namun Hek jan kong sedikitpun pantang mundur, ia seperti sudah kalap, setiap
serangannya ganas tanpa kenal ampun, bila perlu siap gugur bersama lawan.
Pentolan utama Ji-ih-hu ini memang tangguh, tenaga dalamnya kuat,
serangannya keji, di bawah kerubutan Kin Jin dan Utti Han-po masih lebih banyak
menyerangnya daripada bertahan.
Pelahan2 Siang Cin mendekati mereka. Di belakangnya Giam Siok juga ikut
mendekat, muka ke dua orang sama pucat dan badan lemas.
390 Di tempat lain tiba2 terdengar suara orang menjerit. terlihat "lengan besi" Sebun
Tio bu berputar di udara dengan berlumuran darah, Ok Kek tampak memegangi
kepalanya dan terkapar. Entah sejak kapan dada Nyo To juga sudah robek dan
bermandi darah, di bawah ancaman lengan besi Sebun Tio-bu, berulang ia terdesak
mundur ke tepi tembok benteng.
Kejadian mengerikan ini sama sekali tidak dihiraukan Hek-jan-kong, dengan
beringas ia tetap menghantam kedua lawannya.
Lama2 Kin Jin menjadi nekat, mendadak ia melompat maju, sekuat tenaga kedua
tangan menghantam sekaligus.
Di tengah gelak tertawa Hek jan-kong sambut pukulan dengan pukulan. "Blang",
terdengar suara benturan keras, tubuh Kim-lui-jiu mencelat dan terbanting jatuh.
Dalam pada itu Utti Han-po juga tidak tinggal diam, golok sabitnya membabat
beberapa kali secepat kilat, Karena harus adu pukulan dengan Kin Jin, Hek-jan kong
tidak sempat menghindar, pada saat Kin Jin terpental itulah tubuh gembong Ji-ih-hu
inipun menghamburkan darah. Namun begitu ia sempat membalik tubuh dan
melancarkan serangan terakhir sepenuh tenaga.
Sementara itu Siang Cin sudah mendekat, melihat Utti Han-po pasti tidak
sanggup menahan pukulan dahsyat lawan, segera ia menubruk maju ke samping
Hek-jan-kong, dan menghujani beberapa pukulan kilat ke iga musuh. Pada saat yang
sama tubuh Hek jan-kong juga terkena tabasan golok sabit Utti Han po, namun iapun
sempat balas menghantam dua kali sehingga Utti Han- po terpental ke belakang,
golok sabitpun terlepas dari tangan.
Habis itu Hek-jan-kung Ang Siang long lantas terkapar dengan mata mendelik
dan tanpa bersuara lagi. Rupanya ia telah binasa dengan luka tabasan golok yang
silang menyilang, darah melumuri jubahnya. Tulang iganya sedikitnya patah belasan
biji oleh pukulan Siang Cin tadi.
Keruan Nyo To ketakutan setengah mati melihat pemimpinnya sudah mati,
segera ia bermaksud kabur, namun lengan besi Sebun Tio-bu menyambar lebih
cepat daripada larinya, "cret", perut Nyo To terobek sehingga isi perut berhamburan
keluar, tubuhnya juga terlempar keluar tembok benteng.
Melihat Siang Cin bermuka pucat dan jalannya sempoyongan, cepat Sebun Tiobu
mendekatinya dan bertanya: "Apakah kaupun terluka, Siangheng" Duduklah
dulu!" "Aku tidak apa2, lekas kau periksa keadaan Kin-heng," jawab Siang Cin.
Sebun Tio-bu lantas memburu ke arah Kin Jin sana. Dilihatnya Kin Jin dan Giam
Siok sama2 menggeletak di situ, belasan anak buah Bu-siang pay mengerumuni
mereka. Dan anggota Bu-siang-pay juga memayang Utti Han-po, Toa-cuncu Bu -
siang pay yang gagah perkasa ini kini mukanya juga pucat seperti mayat.
391 Dengan langkah yang berat ia mendekati Siang Cin, ia melirik sekejap mayat
Hek-jan-kong, katanya dengan parau: "Siang-lote, apa . . . . . apakah orang she Ang
ini sudah. . . . . sudah beres!?"
"Ya, beres untuk selamanya," jawab Siang Cin sambil mengangguk pelahan.
"Dan bagaimana keadaan luka Utti cuncu?"
"Mendingan" kata Utti Han-po dengan suara serak. "Untung setelab mengadu
pukulan dengan Kin tayhiap barulah aku terpukul keparat ini, jelas ten. . . . .
tenaganya sudah banyak berkurang, kalau . . . . kalau tidak, bisa jadi jiwaku sudah
melayang."
Sambil menggerutu kelihatan Sebun Tio-bu mendekat lagi dengan cemas.
Tergetar hati Siang Cin, cepat ia bertanya: "Bag . . . . . bagaimana keadaan Kinheng?"
Sebun Tio-bu berkerut kering, jawabnya: "Siangheng, me . . . . . melihat
gelagatnya, Kin-heng . . . . "
"Apakah parah," sela Utti Han-po.
Dengan menghela napas sedih Sebun Tio bu menyambung: "Kin-heng te!ah
mengadu pukulan sekuatnya dengan keparat she Ang tadi, bagian dalamnya terluka
parah, denyut nadinya lemah, darah bergolak, keadaannya agak gawat. Tampaknya
andaikata jiwanya dapat diselamatkan, sedikitnya juga harus istirahat ber-tahun2 . . .
. " Tanpa bicara Siang Cin lantas mendekati Kin Jin. Segera Utti Han po juga
memberi perintah kepada seorang anak buahnya agar lekas memanggil tabib
pasukan Bu-siang-pay.
Tidak lama kemudian datanglah seorang berseragam putih setengah baya
bersama Toa-cuncu Ih Kiat dari Say-cu-bun.
Lelaki setengah baya ini langsung mendekati tempat menggeletak Giam Siok
dan Kin Jin, setelah mendapat keterangan sekadarnya dari Siang Cin, orang itu
mulai memeriksa keadaan luka Kin Jin berdua, seorang murid Bu-siang- pay lantas
membuka peti obat dan siap meladeni segala keperluan sang tabib.
Ih Kiat sendiri kelihatan berkeringat, jubahnya juga robek di sana sini, dia
mendekati Utti Hanpo dan berseru: "Keparat Khang Giok tek itu tidak ditemukan di
Ji-ih-hu, sudah kita cari di segenap pelosok tetap tak terlihat bayangannya, mungkin
sudah kabur ke Pau-hou san-ceng. Utti tua, kabarnya Ang Siang long sudah
dibereskan" Kupikir . . . . " mendadak ia lihat jubah Utti Han-po juga berlumuran
darah, cepat ia tanya: "He, kaupun terluka, Utti tua?" .
Utti Han-po menghela napas, jawabnya: "Ya, kalau tidak ada Siang lote dan Kintayhiap.
mungkin jiwaku ini sudah melayang sejak tadi2. Keparat she Ang ini
sungguh lihay luar biasa."
"Dan bagaimana keadaan Siang-heng dan Kin-heng?" tanya Ih Kiat kuatir.
392 "Aku tidak apa2 Ih-toa-cuncu," seru Siang Cin dari belakang.
Cepat Ih Kiat membalik tubuh dan memegangi pundak Siang Cin, serunya:
"Sungguh besar amat jasa Siang-hang bertiga, kalau tidak, bukan mustahil pihak Busiang-
pay akan banyak jatuh korban, bahkan Ji-ih hu mungkin sukar dibobol. Yang
paling menggembirakan adalah kawan2 kami yang tertawan musuh Sekarang telah
dapat diselamatkan.. Ketika menerima berita ini, Tay-ciangbun sampai meneteskan
air mata saking terharunya. Siang-heng, sudah puluhun tahun baru sekali ini kulihat
hall Tay-ciangbun kami benar2 tergetar oleh kejadian ini . . . ." "ia lihat keadaan
Siang Cin agak lesu, cepat ia bertanya: "Siang-heng, apakah lukamu juga parah?"
Siang Cin tersenyum, jawabnya parau: "Ah, tidak apa2, cuma luka ringan saja,
kukira luka Kin-heng yang harus dikuatirkan . . . . . . . "
"Akan kujenguk dia," sera Ih Kiat.
"Sudahlah, tabib pasukan kalian sedang memeriksanya, untunglah dasar Kinheng
memang kuat, maka jiwanya kukira tidak menjadi soal, apakah ilmu silatnya
akan punah atau tidak sukar untuk dikatakan, agaknya dia perlu istirahat yang lama."
"O, syukurlah bahwa jiwa Kin-tayhiap tidak menjadi soal, sungguh Bu-siang-pay
kami entah cara bagaimana harus berterima kasih atas pengorbanan Siang-heng
bertiga," kata Ih Kiat.
"Ah, mengapa In cuncu bicara begini," ujar Sebun Tio-bu. "Apa yang kami
lakukan ini hanya demi membela keadilan, adalah tugas orang persilatan seperti kita
ini. Jika terjadi sedikit cidera juga bukan sesuatu yang perlu dirisaukan."
Dengan suara terharu Utti Han-po ikut