Pencarian

Bara Naga 15

Bara Naga Karya Yin Yong Bagian 15


o bu. "Utang darah!" jawab Pau Seh hoa dengan perasaan pedih. "Di dalam utang
 darah ini masih harus ditambah lagi penghinaan dan kehormatan."
 Sebun Tio bu jadi teringat kepada cerita Siang Cin tentang sengketanya dengan
 Jeng siong san ceng, tapi tak tersangka begini mendalam permusuhannya. Maka ia
 coba tanya lagi lebih jelas seluk beluk permusuhan itu. Dengan ringkas Pau She-hoa
 lantas menuturkan apa yang terjadi dahulu.
 "Pantas kesepuluh jari Siang heng belum hilang bekas lukanya," teriak Sebun Tio
 bu setelah mengetahui kekejaman Jeng siong san ceng. "Pernah juga kulihat Siang
 heng berganti pakaian dan tampak dadanya penuh bekas luka. Kiranya di balik
 bekas luka itu tersimpan dendam kesumat sedalam ini. Sungguh keji dan rendah
 perbuatan Jeng siong san-ceng dengan setan tua she Ha itu. Baiklah, bilakah kita
 berangkat?"
 "Berangkat ke mana" tanya Siang Cin heran.
 "Ke mana" Jeng siong san ceng tentunya!" teriak Sebun Tio bu.
 "Kau, kaupun ikut pergi ke sana?" dengan Siang Cin menatap Sebun Tio bu.
 "Memangnya kenapa?" tanya Sebun Tio bu dengan mendongkol. "Apakah Siang
 heng menganggap orang the Sebun ini tidak memenuhi syarat untuk ikut menghajar
 kawanan bangsat di Jeng-siong san ceng sana?"
 Siang Cin tersenyum, jawabnya: "Jangan salah paham Tangkeh, yang kupikirkan
 adalah persoalan ini adalah urusan pribadiku dengan Lo Pau, tidaklah pantas jika
 ikut menyeret kau terjun ke lumpur ... ."
 ?"Apa katamu?" sela Sebun Tio bu dengan penasaran. "Coba jawab, persoalan
 antara Bu siang pay dan Ji ih hu kan juga urusan pribadi mereka, tapi mengapa kau
 membela Bu siang pay mati2an?"
 "Tiada alasan lain, hanya demi keadilan belaka" jawab Siang Cin.
 "Itu dia!" seru Sebun Tio bu. "Lalu, apakah kau anggap aku Sebun Tio bu ini tidak
 tahu keadilan, tidak kenal persahabatan, tidak tahu perasaan" Apakah persahabatan
 kita ini belum cukup erat dibandingkan hubunganmu dengan Bu siang pay."
 430 Siang Cin bergelak tertawa sambil menggeleng-geleng akhirnya ia berkata:
 "Sungguh aku sangat berterima kasih atas perhatianmu Sebun tangkeh, terpaksa
 mesti bikin repot kau juga."
 "Nah, kan seharusnya begini, lalu apa artinya persahabatan jika tidak saling
 membantu?" ujar Sebun Tio bu dengan tertawa.
 "Baiklah, kukira tidak perlu lagi kita ribut," sela Pau Seh hoa. "Yang penting
 sekarang harus kita rundingkan dulu, bilakah kiranya kita akan berangkat dan cara
 bagaimana harus bertindak?"
 "Petang nanti juga kita boleh berangkat dan langsung menuju Jeng siong san
 ceng," ujar Siang Cin.
 "Kita menyampaikan kartu dan menantang secara terang2an atau dengan cara
 lain?" tanya Sebun Tio bu.
 "Tidak," kata Siang Cin. "Kita takkan memberi kesempatan bersiap bagi mereka,
 lebih2 takkan memberi keuntungan bagi mereka dengan cara main kerubut. Tapi kita
 gunakan gerakan kilat, kita serbu ke dalam perkampungan mereka, siapapun yang
 kepergok segera kita bereskan tanpa ampun"
 "Setuju!" seru Pau Seh hoa. "Sudah terlalu banyak kejahatan dan perbuatan
 kotor yang dikerjakan anak kura2 itu, dengan mereka tiada persoalan tentang moral
 dan perikemanusiaan lagi. Begitu menyerbu ke dalam kita lantas gempur dan obrakabrik
 mereka hingga habis2an."
 "Ya, terhadap penjahat seperti kawanan bangsat Jeng siong san-ceng itu
 memang tiada istilah perikemanusiaan," kata Siang Cin, "Memang di dunia ini ada
 sementara orang yang sok bicara tentang perikemanusiaan, tapi coba kalau mereka
 sudah mengalami bagaimana "perikemanusiaan" yang berlaku di kalangan penjahat,
 maka barulah mereka akan tahu rasa dan mata akan terbuka. Bagiku,
 perikemanusiaan memang mutlak harus dihormati, tapi perlu juga dilihat kepada
 siapa perkemanusiaan itu ditujukan. Terhadap kawanan penjahat sendiri yang tidak
 pernah lagi tahu apa artinya perikemanusiaan kukira diperlukan tindakan tangan
 besi, tindakan keras yang setimpal. Pada hakikatnya kawanan penjahat yang sudah
 berakar itu tiada harapan untuk diperbaiki, mereka adalah parasit masyarakat,
 bagiku akan lebih baik korbankan seorang penjahat daripada mesti si penjahat
 sendiri akan mengambil korban seorang, atau mungkin puluhan orang yang baik dan
 tak berdosa."
 "Betul," tukas Sebun Tio liu. "Setiba di Jeng-siong san ceng segera akan
 kulepaskan panah bulu merah. Bilamana mereka tidak menggubris panah tanda
 pengenal Jian ki beng kami, maka berarti mereka sengaja memusuhi Jian ki beng
 dan akupun cukup alasan untuk mengerjai mereka."
 "Haha, cara Tangkeh ini bukankah pernah kau gunakan terhadap Kim lui jiu, tapi
 akhirnya engkau dan Kin heng telah menjadi sahabat baik," kata Siang Cin dengan
 tertawa. "Betul, tapi sekali ini jelas takkan mendatangkan kawan baik lagi," jawab Sebun
 Tio bu dengan tertawa.
 431 Mereka bicara dengan gembira dan bersemangat, tapi di samping sana Kun Sim
 ti tampak murung.
 "Jangan kuatir, Ci," kata Siang Cin ketika mengetahui kekuatiran si nona. "Adalah
 menjadi pedoman hidup Naga Kuning selama ini, budi dan dendam selamanya
 kubedakan dengan tegas. Budi harus kubalas dan dendam harus ku tuntut. Utang
 darah harus bayar darah. Terhadap Jeng-siong san ceng rasanya tiada pemecahan
 lain kecuali melabraknya dengan kekerasan, demi sakit hatiku, demi keselamatan
 umat manusia yang pernah mengalami penganiayaan mereka, aku harus bertindak
 dan menghancurkan mereka."
 "Ucapanmu memang betul, dik, cuma ... ... . cuma apakah tidak berbahaya
 ........."
 "Jangan kuatir, kami pasti akan pulang dengan selamat, takkan kurang sesuatu
 apapun," hibur Siang Cin dengan tersenyum. "Dan setelah kami pulang, segera kita
 akan berangkat ke tempat Sebun tangkeh. Harap menunggu saja dengan tenang."
 "Adik Kun, janganlah kau kuatir, kujamin Kongcu-ya akan pulang tanpa kurang
 seujung rambutpun," sela Pau Seh hoa.
 000 000 Tempat itu di perbatasan propinsi Soa-say. Pada tanah yang agak membukit di
 tengah itu membentang sebuah jalan yang tertimbun salju menjulur ke depan
 dengan berliku-liku seperti ular yang panjang.
 Jeng siong san ceng hanya berjarak tujuh atau delapan li saja dari sini.
 Sebun Tio bu tetap menunggang kudanya yang berbulu putih mulus dan Siang
 Cin juga menunggang kuda loreng, Pau Seh boa dapat membeli seekor kuda hitam
 yang dibelinya di Tay goan hu sebelum berangkat.
 Ketiga ekor kuda itu lama menghembuskan napas yang menguap menjadi
 seperti kabut tipis dan masih terus berlari di jalanan yang licin itu, akhirnya mereka
 melambatkan lari kuda di jalan bersalju itu.
 "Sudah dekat, Siang heng," ucap Sebun Tio-bu sambil menguap Wah.
 Siang Cin mengangguk, jawabnya: "Ya, tinggal beberapa li lagi."
 Pau Seh hoa menengadah memandang cuaca, ucapnya: "Tepat pada waktunya
 dan akan kita bereskan mereka satu persatu."
 "Pau heng, kedua keping kayu andalanmu tentunya kau bawa bukan?" tanya
 Sebun Tio bu dengan tertawa.
 Pau Seh hoa menepuk bajunya, lalu berkata dengan menyesal: "Memang sudah
 kubawa, cuma bila mengingat kedua keping kayu lama, sungguh aku menjadi sedih.
 Keparat, kedua keping itu sudah hampir 20 tahun kugunakan, buatan dari kayu
 kurma yang keras. Kedua keping kayu itu sudah tergosok licin dan cocok dengan
 432 tanganku, saking lamanya warna kayu dari ke coklat2an berubah menjadi ke
 hitam2an. Akan tetapi, ketika terjebak di Jeng siong san ceng amblaslah dirampas
 mereka. Ai, sungguh sayang . . . . . Adapun kedua keping kayu baru ini kubuat dua bulan
 yang lalu, lumayan juga, tapi kalau dibandingkan kepingan yang lama akan terasa
 jauh bedanya."
 Sebun Tio bu mengangguk setuju, ucapnya: "Memang betul. Bagi orang
 persilatan seperti kita ini, senjata lama yang kita pakai memang lebih baik, senjata
 lama bagi kita adalah seperti sahabat lama, sepatu butut sekalipun akan terasa
 terlebih enak dipakai daripada sepatu baru. Senjata adalah jiwa kita yang kedua,
 bilamana hilang tentu akan terasa sedih. Andaikan mendapat ganti yang baru juga
 akan terasa agak canggung."
 Siang Cin yang berjalan di depan tiba2 menoleh, katanya dengan tertawa:
 "Makanya selama ini aku lebih suka menghadapi musuh dengan bertangan kosong,
 meski tersedia juga senjataku, tapi tak pernah kugunakan. Dengan demikian
 senjataku takkan pernah hilang, andaikan hilang tentu juga tidak perlu menyesal lagi,
 sebab itu berarti tamatnya permainan dan habisnya riwayat ....."
 "Keparat, memangnya dalam hal kekuatan tangan, siapa yang mampu
 menandingi kau" Huh, tidak perlu kau berolok-olok, orang kehilangan senjata, kau
 bersorak malah," omel Pau Seh hoa.
 Selagi Siang Cin hendak berseloroh pula, tiba2 Sebun Tio bu menyela: "O, ya,
 tempo hari Siang-heng pernah berkata padaku bahwa Ih Keng hok dari Ang tong
 leng bisa jadi juga berada di Jeng-siong san ceng."
 "Memang betul," jawab Siang Cin dengan prihatin.
 Setelah termenung sejenak, lalu Sebun Tio bu berkata pula: "Keparat itu
 memang cukup tangguh, namanya juga cukup besar, hampir tidak lebih kecil
 daripada namamu. Bila mendengar nama Im bing-long kun hampir setiap orang
 persilatan pasti mengernyitkan kening ."
 "Ah, Locu justeru tidak perduli siapa dia, bila mana dia memusuhi kita, biarpun
 jiwa tua ini harus melayang juga akan ku labrak dia," jengek Pau Seh hoa.
 "Bicara terus terang, akupun rada was-was terhadap lh Keng hok, sedapatnya
 ingin kuhindari permusuhan dengan dia," kata Siang Cin. "Tapi kalau dia berkeras
 ingin membela si tua she Ha dari Jeng siong san ceng, terpaksa harus kuhadapi
 dengan segenap kemampuanku. Apapun juga belum tentu dan mampu melalap
 diriku." "Tepat," tukas Sebun Tio bu. "Paling2 jiwa melayang seperti apa yang dikatakan
 Pau heng tadi. Padahal kalau jiwa kita melayang, maka segenap penghuni Jeng
 siong san ceng juga jangan harap akan dapat lolos satupun."
 "Bila Ih Keng hok betul berada di sana, kebetulan akan ku tentukan dia yang
 akan merajai Bulim atau aku yang akan menjagoi Kangouw," kata Siang Cin.
 "Bagus!" seru Sebun Tio bu.
 433 Begitulah ketiga ekor kuda mereka terus melintasi jalanan berliku itu secara
 berurutan. Suasana sunyi senyap, bumi raya ini se olah2 tenggelam dalam
 kelelapan. Se konyong2. .. . . . . Siang Cin menghentikan kudanya dan mendesis: "Ada
 orang!" Sebun Tio bu juga lantas menahan kudanya dan pasang kuping dengan cermat,
 segera iapun mengangguk: "Ya, betul, juga tiga penunggang kuda, sedang menuju
 kemari menyusuri lereng bukit sana."
 "Di depan tiada rumah penduduk lain kecuali Jeng siong san ceng," kata Pau
 Seh boa. "Kukira beberapa orang ini besar kemungkinan datang dari sana"
 Ia menyeringai, lalu menyambung pula: "Jika betul dugaanku, maka anggaplah
 nasib mereka yang lagi apes, Biarlah kita menggunakan mereka sebagai tanda
 pembukaan."
 "Setuju!" kata Sebun Tio bu.
 "Tapi sebaiknya kita menentukan dulu apakah pihak lawan benar2 orang Jeng
 siong san ceng agar tidak salah sasaran," ujar Siang Cin sambil memandang jauh ke
 depan sana. "Bila anak kura2 dari Jeng siong san ceng, kukira tidak sukar untuk mengenali
 mereka, sebab di dahi mereka se olah2 terukir satu huruf, yaitu: jahat!" kata Pau Seh
 hoa sambil tertawa.
 "Itu dia sudah muncul!" desis Siang Cin.
 Sesaat Sebun Tio bu dan Pau Seh hoa memandang ke lereng sana, betul juga,
 tiga penunggang kuda dengan seragam jubah hijau, berkopiah kulit domba dan
 hampir menutupi mukanya. Agaknya merekapun merasakan licinnya jalan bersalju
 itu, maka perhatian mereka tercurahkan kepada kuda mereka yang berjalan dengan
 hati2 sehingga tidak tahu bahwa di atas sana sudah menanti tiga malaikat elmaut.
 Siang Cin terus mengawasi ketiga orang itu, akhirnya tersenyumlah dia, Kiranya
 seorang di antaranya dikenalnya sebagai Yu Hoat, yaitu kepala perkampungan
 belakang Jeng siong san ceng yang pernah juga bergebrak beberapa jurus dengan
 Siang Cin dahulu. Sungguh kebetulan sekarang kepergok lagi di sini.
 Dua orang lagi tidak dikenal Siang Cin, tapi dapat diduga pasti juga bukan
 manusia baik2, jelas mereka adalah antek Jeng siong san ceng, melihat lagaknya
 bisa jadi juga mempunyai kedudukan lumayan, mungkin sebangsa pelatih.
 "Siang heng, adakah yang kau kenal?" tanya Sebun Tio bu.
 Siang Cin mengangguk dan menjawab: "Ada, kepala perkampungan belakang
 Jeng siong san ceng."
 "Ehm, adil juga, tiga lawan tiga," ujar Pau Seh hoa.
 434 Pelahan2 ketiga penunggang kuda itu sudah makin mendekat. Karena jalanan
 berlingkar dan juga tidak rata, maka setelah mengitari sebuah tanjakan barulah
 ketiga penunggang kuda itu muncul di depan mereka.
 Hampir pada saat yang sama dengan munculnya ketiga penunggang kuda itu,
 Siang Cin bertiga terus melayang turun di depan mereka.
 Keruan Yu Hoat bertiga terkejut, namun reaksi merekapun cukup cepat, di
 tengah hardikan Yu Hoat mereka terus melompat turun dari kuda masing-masing
 dan siap tempur.
 Yu Hoat tetap bertangan kosong, sedang kedua temannya sudah melolos
 senjata, yang satu memegang pedang dan yang lain bergolok.
 Yang berpedang menghadapi Pau Seh-hoa dan yang bergolok menghadapi
 Sebun Tio-bu. Yu Hoat sendiri tepat berhadapan dengan Siang Cin.
 Setelah berpisah sekian lama, agaknya Yu Hoat tidak segera mengenali Siang
 Cin. Tapi demi melihat jubah kuning Siang Cin yang cemerlang itu, air mukanya
 lantas berubah hebat.
 "Selamat bertemu, Toa-wancu!" seru Siang Cin dengan ketus.
 Seketika kulit muka Yu Hoat berkerut-kerut, dadanya juga berdebar-debar,
 sejenak ia tertegun, lalu bergumam: "Naga Kuning. . ."
 "Betul!" jengek Siang Cin. "Tak terduga bukan?"
 Sedapatnya Yu Hoat berlagak tenang, ucapnya kemudian: "Ehm, lama juga tak
 bertemu Siang heng. . ."
 "Ya, sudah rindu, makanya sengaja datang menjenguk kalian." jengek pula Siang
 Cin. "Adakah. . .adakah sesuatu petunjuk yang akan kau. . ."
 "Tentu saja ada." sela Siang Cin sambil mengerling sekejap ketiga lawan. "Kukira
 sangat sederhana urusannya, kami hanya ingin meminjam alat makan nasi kalian."
 Yu Hoat menyurut mundur dengan terkesiap, serunya: "Sahabat she Siang,
 selama ini rasanya orang she Yu tidak pernah memusuhi dirimu. Yang akan
 menghadapi kau masih ada orang lain, kami ini hanya makan gaji dan terima tugas.
 Bilamana kau ingin mencari perkara, tujukanlah kepada sasaran yang tepat, untuk
 apa kau recoki kami?"
 "Hm, setiap penghuni Jeng siong san-ceng kalian adalah binatang satu sarang,
 masakah ada perbedaannya antara kalian" Tidakkah kau membikin malu si tua
 bangka she Ha belaka?" ejek Siang Cin.
 "Kongcuya." teriak Pau Seh-hoa dengan tidak sabar. "Apakah kita masih harus
 mengajak obrol padanya, apakah perlu aku mencari keringat lebih dulu?"
 435 Yu Hoat melirik sekejap kepada Pau Seh-hoa dengan mendongkol ia
 membentak: "Kau, siapa pula kau?"
 Pau Seh-hoa mendelik, jengeknya: "Aku bapakmu, masa kau tidak kenal"!"
 Lelaki muka kuning yang berpedang menjadi gusar, teriaknya: "Wancu, perlu apa
 sungkan-sungkan, Apakah kedatangan kita kesini hanya untuk mengundang caci
 maki orang" Beberapa bangsat ini barangkali belum tahu siapa diri kita. . ."
 "Kunyuk." damperat Pau Seh-hoa. "Yang pertama kubereskan justeru kau
 keparat ini."
 Pedang si muka kuning lantas bergetar, teriaknya: "Bagus, boleh kita coba-coba
 apakah aku si kunyuk ini lebih unggul atau asor daripada kau si tikus ini."
 Tapi sebelum dia bergerak, cepat Yu Hoat mencegahnya dan berkata pula
 kepada Siang Cin. "Sahabat Siang, jika kau seorang jantan sejati, hayolah katakan
 hari dan waktunya, boleh kita perang tanding secara terbuka, tapi kalau main cegat
 dan labrak begini, betapapun bukan perbuatan seorang ksatria sejati. . ."
 "Hm, kau ksatria sejati kelas berapa?" jengek Siang Cin. "Pakai hari dan waktu
 segala. Huh, jangan kau mimpi disiang bolong, Yu Hoat. Keledaipun takkan
 kesandung untuk kedua kalinya pada batu yang sama, apalagi aku Siang Cin belum
 menjadi keledai, kau kira aku dapat kau tipu lagi?"
 "Siang heng, bicara apalagi" Apakah kita perlu tunggu pula?" teriak Sebun Tiobu
 tak sabar. "Nanti dulu. . ." seru Yu Hoat dengan keringat memenuhi dahinya.
 Tapi belum lagi lanjut ucapannya, segera "lengan besi" Sebun Tio-bu bergerak,
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kontan dia menyerang lawannya yang kurus dan bergolok itu.
 Pada saat yang sama Pau Seh-hoa juga sudah meraba keluar kedua keping
 kayunya, "pletak", sekali kepingan kayu itu berbunyi, serentak iapun mengetuk batok
 kepala lawan yang berpedang itu. Karena tidak menduga, si muka kuning berpedang
 itu melompat mundur dengan kaget.
 "Dan kitapun boleh mulai!" seru Siang Cin kepada Yu Hoat dengan tersenyum.
 Berbareng ia menggeser ke samping dan telapak tangannya lantas menghantam
 pelipis lawan. Yu Hoat juga tidak kalah cepatnya, dengan sedikit mendoyongkan tubuh ke
 belakang, kedua kakinya sekalian menendang secara berantai. Selagi Siang Cin
 terpaksa harus mengelak, menyusul ia lantas menghantam pula dengan kedua
 telapak tangannya yang bekerja dengan cepat.
 Siang Cin tahu lawan sudah nekat, karena itulah dia tidak terburu-buru
 menundukkan lawan, ia lantas mengegos sini dan berkelit ke sana sambil mencari
 titik kelemahan musuh.
 436 Di sebelah sana Sebun Tio-bu sudah tampak jelas di atas angin. Senjata
 andalannya "Tiat mo pi", lengan besi iblis, terus menyambar kian kemari mengitari
 lawan. Golok orang itu kelihatan sangat berat, tapi bila dibandingkan Thi mo pi yang
 ringan dan lincah, golok itu hampir tak bisa berkutik menghadapi serangan Sebun
 Tio-bu. Kalau Thi mo pi semakin cepat menyambar kian kemari, sebaliknya golok
 orang itu semakin lamban dan semakin kacau permainannya.
 Keadaan si muka kuning yang berpedang juga tidak lebih baik daripada
 kawannya, ia blingsatan menghadapi dua keping kayu Pau Seh-hoa yang berturutturut
 menerbitkan bunyi "pletak pletok" yang membingungkan itu, beberapa kali
 bagian tubuhnya yang fatal hampir terketuk oleh kepingan kayu itu.
 Sedapatnya ia putar pedangnya seperti kitiran, tapi ujung baju Pau Seh-hoa saja
 tak dapat disentuhnya.
 Lama-lama si muka kuning ini menjadi kalap, dengan mandi keringat dia
 menyerang serabutan, akan tetapi dia seperti menghadapi sesosok bayangan saja
 yang tak berwujud, betapapun pedangnya menabas dan menusuk, bayangan tetap
 bayangan dan tak terluka sama sekali.
 Pada saat itulah sekonyong-konyong Siang Cin mengapung ke atas terus
 menukik pula ke bawah, kedua lengannya terpentang untuk segera mengatup pula.
 Di tengah terpentang dan mengatup inilah, telapak tangannya yang keras dan tajam
 menabas dengan dahsyatnya.
 Inilah "Pat goan cam", sabetan melingkar kebanggaan Siang Cin yang ditakuti
 orang. Terdengar Yu Hoat meraung kaget dan sedapatnya miringkan tubuh sambil
 menangkis sekuatnya.
 Akan tetapi Siang Cin terlalu tangguh baginya, juga kecepatan Siang Cin sukar
 baginya untuk mengikutinya. Hanya beberapa gebrak saja Yu Hoat sudah kewalahan
 dan kelabakan. Dengan mandi keringat dan napas tersengal-sengal sekuatnya Yu Hoat
 bertahan, ia meraung kalap dan berusaha balas menyerang, namun selalu gagal dan
 didahului oleh Siang Cin.
 Akhirnya ia menjadi nekat, mendadak ia menubruk maju, dengan jurus "Siang
 liong jut-hay" atau dua naga keluar dari lautan, kedua tangannya menyodok
 sekaligus ke dada Siang Cin.
 Namun secepat kilat Siang Cin mengegos ke samping, berbareng sebelah
 telapak tangannya lantas menabas. Tanpa ampun lagi, badan Yu Hoat segede
 kerbau itu terlempar hingga dua tiga tombak jauhnya dan tidak bangun lagi.
 Pertarungan mereka berlangsung belum lagi genap 20 jurus, namun mati dan
 hidup sudah ditentukan dengan jelas.
 437 Sebun Tio-bu berpekik melihat Siang Cin berhasil merobohkan lawannya, iapun
 tidak mau mengulur waktu lagi, di tengah raungannya yang menggetar sukma, Thi
 mo pi berputar secepat kitiran, tangan kiri juga menghantam dengan tenaga sakti.
 Memangnya si lelaki kurus bergolok itu sudah mulai payah, dicecar lagi lebih
 kencang, tentu saja ia mati kutu.
 "Trang", didahului mencelatnya golok, menyusul tubuhnya juga tersodok mundur
 dua-tiga langkah, selagi sempoyongan, pukulan dahsyat Sebun Tio-bu hinggap pula
 di dadanya sehingga orang itu mencelat jauh.
 Hampir pada saat yang sama, di sebelah sana Pau Seh-hoa juga telah bereskan
 lawannya yang berpedang itu, batok kepala musuh terketuk kepingan kayunya
 hingga hancur, kontan orang itu terkapar.
 Sambil menyimpan kembali Thi mo pi, Sebu Tio-bu menghembuskan napas lega,
 lalu ia menyengir ke arah Siang Cin dan berkata: "Tiga-kosong!"
 "Ya, semuanya sudah mampus, kemenangan mutlak!" seru Pau Seh-hoa, waktu
 itu dia sedang mengusap kepingan kayunya yang berlepotan darah pada baju
 korbannya yang sudah tak berkutik itu.
 "Hayolah kita maju terus!" ajak Siang Cin.
 Cepat mereka melayang ke atas kuda masing-masing.
 "Bila ditengah jalan kepergok lagi beberapa antek Jeng siong san ceng, lamalama
 pekerjaan kita tentu akan lebih ringan kalau sudah sampai di tempat tujuan."
 kata Pau Seh-hoa dengan tertawa.
 "Enak saja perhitunganmu." ujar Siang Cin. "Memangnya kau kira pihak musuh
 adalah kawanan domba yang boleh kau jagal sesukamu?"
 Kuda dilarikan pula ke depan. Hanya sekejap saja Siang Cin lantas mendahului
 menahan kudanya, katanya sambil menunjuk ke depan kanan: "Itu dia, sudah
 sampai!" Waktu Pau Seh-hoa dan Sebun Tio-bu memandang ke arah yang ditunjuk,
 benarlah di sana berdiri sederetan rumah yang besar dengan halaman yang luas.
 Pagar tembok warna merah mengelilingi perkampungan itu sehingga sangat kontras
 tampaknya berpadu dengan bumi sekitarnya yang diliputi salju yang putih bersih.
 Ditambah lagi beberapa pohon Siong yang kelihatan masih menghijau,
 pemandangan perkampungan ini menjadi sangat indah.
 Sebun Tio-bu baru pertama kali ini berkunjung ke sini, melihat pemandangan
 Jeng siong san ceng yang permai itu, mau tak mau iapun memuji: "Sungguh elok
 tempat ini, seperti surga malaikat dewata. . ."
 "Ya, cuma harus disesalkan, surga yang seharusnya dihuni malaikat dewata itu
 ternyata didiami oleh sekumpulan setan iblis." dengus Pau Seh-hoa.
 438 "Jika begitu, kenapa kita tidak mengubah tempat ini agar menjadi tempat
 kediaman yang layak bagi mereka." ujar Siang Cin. "Lo Pau, menurut kau apa
 tempat kediaman yang layak bagi mereka?"
 "Neraka!" jawab Pau Seh-hoa.
 "Baik, jika begitu kehendakmu." kata Siang Cin sambil tertawa.
 Singkat ucapannya, tapi nadanya tegas seakan-akan jatuhnya keputusan sang
 penguasa yang menentukan segalanya.
 "Marilah kita turun di sini saja." kata Siang Cin pula sambil mendahului melompat
 turun dari kudanya.
 Setelah menambat kuda mereka di balik pohon sana, mereka bertiga lantas
 melayang ke perkampungan sana secepat terbang.
 Mereka mengitar ke samping perkampungan itu, baru saja melintasi pagar
 tembok, tahu-tahu kepergok dua orang lelaki kekar berseragam hijau.
 Tentu saja kedua orang itu melengak, tapi sebelum mereka sempat bersuara,
 tahu-tahu Sebun Tio bu sudah menubruk tiba dan secepat itu pula ia melompat balik.
 Kedua orang itu sama sekali tidak melihat jelas bagaimana bentuk
 penyerangnya, cukup sekali pergi datang saja, Sebun Tio bu telah merobohkan
 mereka. "Cepat amat!" puji Pau Seh-hoa.
 "Lumayan!" jawab Sebun Tio bu tertawa.
 Belum habis mereka bicara, kembali tujuh atau delapan orang berseragam jubah
 hijau berlari datang pula. Seorang yang menjadi kepalanya lantas membentak
 dengan bengis. "Siapa kalian berani sembarangan menerobos kemari?"
 Tiba-tiba seorang di belakangnya menjerit kaget, mungkin karena melihat mayat
 kedua orang tadi, teriaknya pula: "Tan suhu, orang-orang ini mata-mata musuh, dua
 saudara kita mati terbunuh."
 Cepat orang yang disebut Tan suhu itu berpaling, ia menjadi kaget juga dan
 segera berteriak: "Ada mata-mata musuh. . ."
 Tapi Pau Seh-hoa telah menubruk maju sambil memaki: "Bangsat, disinilah
 orangnya, apa yang kau teriakkan?"
 Cepat Tan suhu itu berkelit dan segera melolos golok yang terselip di pinggang.
 Beberapa anak buahnya segera pula menerjang maju.
 Di tengah gelak tertawanya Pau Seh hoa menyelinap kian kemari, kedua keping
 kayunya berbunyi "pletak-pletok" beberapa kali dan kontan tiga orang menggeletak
 dengan kepala pecah.
 439 "Seerr" golok musuh menyambar lewat di atas kepala Pau Seh hoa, untung dia
 berkelit tepat pada waktunya, kalau tidak pasti buah kepalanya sudah berpisah
 dengan tuannya.
 Seh hoa menjadi gusar, keping kayu berputar dan hinggap pula di muka dua
 orang, sambil menjerit, muka kedua orang itu seketika penyok dengan darah
 berhamburan. Tanpa ayal ia menubruk maju lagi ke sana, belum lagi sisa dua orang lain itu
 bergerak, tahu-tahu batok kepala merekapun terketuk pecah.
 Tinggal si Tan suhu saja, ketika goloknya sudah terhunus dan hendak menubruk
 maju, tahu-tahu anak buahnya sudah terkapar seluruhnya. Keruan ia ketakutan
 setengah mati, segera ia putar haluan terus hendak kabur.
 Akan tetapi baru saja dia membuka langkah, tahu-tahu sebuah tangan baja
 menyambar tiba, sehingga batok kepalanya terhantam remuk.
 Kiranya dari jarak jauh Sebun Tio bu sempat menyambitkan Thi mo pi yang
 berantai itu, begitu sasarannya roboh segera pula tangan besi iblis itu ditariknya
 kembali. Lalu ia menyengir terhadap Pau Seh hoa, katanya: "Inilah resep Siang heng,
 cepat serang cepat beres!"
 Pau Seh hoa tertawa, ia celingukan sekelilingnya, tapi jejak Siang Cin tidak
 kelihatan lagi, ia menjadi heran dan bertanya: "Kemanakah Kongcu-ya?"
 Sebun Tio bu melirik ke atas pohon Siong yang besar di sebelah sana dan
 berkata: "Naik ke langit!"
 Waktu Pau Seh hoa menengadah, benarlah Siang Cin sedang nongkrong di
 dahan pohon yang bergoyang-goyang itu, malahan mulut mengulum lidi pohon
 cemara itu. "Haha. . ." Pau Seh hoa bergelak tawa. "bisa saja dia. . ."
 Dalam pada itu suara bende terdengar ber-talu2, menyusul lantas terlihat cahaya
 api berkilauan di sana sini disertai suara orang berlari kian kemari dan bentakan
 orang, hampir semua suara itu berbondong-bondong menuju ke arah sini.
 "Pletak", Pau Seh hoe ketuk kedua keping kayunya. Serunya: "Hebat, sebentar
 lagi pasti ramai"
 "Ya, biarkan mereka datang, akan kuperkenalkan panahku, kepada mereka,"
 jengek Sebun Tio bu.
 Hanya sekejap saja, dari balik rumah sana, ujung pagar tembok dan sekitarnya
 be ramai2 membanjir tiba bergerombol-gerombol pasukan berseragam hijau dengan
 golok terhunus. Semuanya berteriak-teriak, entah untuk membangkitkan semangat
 atau untuk menabahkan hati.
 440 "Busyet, tampaknya tiada banyak bedanya dengan adegan di Toa ho tin dan Ji ih
 hu sana," ujar Sebun Tio bu sambil terkekeh. "Marilah kita mendahului kerjai
 mereka!" Pau Seh hoa mengiakan. Berbareng mereka lantas bertindak.
 Sebun, Tio bu mengeluarkan sebatang panah kecil berwarna biru dengan hiasan
 batu merah, segera ia sambitkan panah itu ke angkasa sehingga menimbulkan
 selarik sinar yang berwarna warni, "cret", panah itu lantas menancap di pekarangan
 sana, ambles ke dalam tanah yang bersalju itu.
 Jilid 21 Panah itu menancap ke dalam tanah lebih dari setengahnya dan tepat kelihatan
 batu permata merah yang menghias tangkai panah itu.
 Terdengar suara raungan keras di tengah orang banyak sana, menyusul suara
 itu, orang-orang Jeng siong-san ceng yang menerjang keluar dari berbagai penjuru
 itu sama berhenti dan membentuk garis kepungan suatu lingkaran dan berIapis-lapis.
 "Keparat sedikitnya ada beberapa ratus orang!" omel Pau Seh-hoa dengan suara
 tertahan. "Jangan kuatir, semuanya kaum keroco, ku-tahu!" tukas Sebun Tio-bu.
 Dalam pada itu di pihak sana seorang setengah baya berdandan sebagai kaum
 sastrawan tampak muncul ke depan, Mukanya putih menghijau, sikapnya tenang, di
 atas bibir ada sebuah tahi lalat besar.
 Kira-kira setengah kaki di depan panah Sebun Tio-bu tadi ia berdiri dan
 mengawasi panah itu sejenak, lalu memandang pula ke arah Sebun Tio-bu dan Pau
 Seh hoa. Mendadak air mukanya berubah, katanya kemudian: "Panah bermata merah
 Jian-ki-beng, apakah anda inilah Sip-pi-kun cu Sebun tangkeh?"
 Sebun Tio-bu tertawa, jawabnya tegas: "Betul, inilah Locu (bapakmu) adanya!"
 Lelaki setengah baya itu tampak gusar, damperatnya: "Sebun tangkeh, apa
 maksud kedatanganmu ini adalah urusan nanti, hanya mengenai tutur-katamu,
 hendaklah kau tahu sopan santun sedikit, janganlah kehilangan harga dirimu sebagai
 seorang ketua perserikatan yang termashur."
 "Sialan, bertahun-tahun juga begini watakku dan belum pernah orang mencela
 diriku, Locu tetap Locu siapapun tak dapat melarang kebebasanku," jengek Sebun
 Tio bu. Sinar mata sastrawan setengah baya itu mencorong terang, ucapnya pula:
 "Sebun-tangkeh, di Soasay kau memang ditakuti, nama Jian-ki-beng termasyhur
 hingga jauh, kau boleh malang melintang di wilayah kekuasaanmu, tapi jangan lupa,
 di sini adalah Jeng-siong-san-ceng, betapapun kau harus tahu aturan dan jangan
 temberang."
 441 "Hahaha," Sebun Tio-bu tertawa, "Memangnya kau ini orang macam apa di Jengsiong-
 san-ceng sini" Coba sebutkan namamu, biar Locu belajar kenal."
 "Leng-bin-kim-bong (dun emas bermuka dingin) Han Cing ialah diriku," jawab
 orang itu, "Nah, Sebun tangkeh, mungkin namaku belum cukup berbobot bagimu."
 "Berbobot atau tidak masih harus dinilai nanti," jawab Sebun Tio-bu. "Apakah kau
 yang memutuskan segala sesuatu di sini, orang she Han?"
 Han Cing tidak menjawab, tapi balas menegur: "Sebun-tangkeh, tanpa permisi
 kau menerjang ke perkampungan kami ini dan mencelakai anak buah Jeng-siongsan-
 ceng pula, lalu pamer panah tanda pengenalmu, sesungguhnya apa
 kehendakmu?"
 "Pertanyaan bagus," ucap Sebun Tio-bu, "Locu menerobos ke perkampungan
 kalian ini hanya untuk keperluan menagih utang bagi saudara kami ini. Karena
 perangai saudara kami ini tidak sabaran begitu tiba ada orang menghalangi, segera
 dia main sikat. Anak buah kalian yang tidak tahu sopan santun, ada tamu tidak
 disambut, sebaliknya malah merintangi dan berkaok-kaok, dalam keadaan demikian
 terpaksa kami main hantam, Bila kepalan sudah ikut bicara, akibatnya seperti apa
 yang kau lihat ini."
 Tidak kepalang gusar Han Cing sehingga mukanya yang pucat hijau itu bersemu
 merah, ia mendengus dan berkata pula: "Sebun-tangkeh, tampaknya kaupun mahir
 putar lidah dan pintar memutar-balik persoalan, sekarang coba jelasnya, apa
 kehendak mu?"
 "Sederhana sekali," kata Sebun Tio bu sambil tertawa, "dahulu kalian telah utang
 kepada saudara kita ini, maka sekarang biar dia juga yang membuka nota dan bikin
 perhitungan dengan kalian, Siapa di pihak mu akan maju untuk menandingi dia, kita
 akan menyaksikan di samping tanpa ikut campur, bila mati tinggal dikubur saja, Nah,
 apakah kau terima usulku ini. Jika setuju, akan kucabut panahku, Kalau tidak, hehe,
 orang she Han, boleh kau cabut panah itu dan lemparkan kembali kepadaku, ini
 tandanya Jeng-siong-san-ceng menolak permintaanku dan selanjutnya terpaksa ku
 ikut menghadapi kalian."
 Kulit muka Han Cing tampak berkerut-kerut, bibirnya juga bergerak-gerak,
 agaknya sedapatnya dia menahan rasa gusarnya, katanya kemudian: "Sebun Tiobu,
 kau kira tempat apakah ini dan boleh kau-bicara sesukamu" Sebun Tio bu,
 kedatanganmu bersama orang she Pau yang merupakan ikan yang lolos dari jaring
 Jeng siong-san ceng kami ini boleh dikatakan mencari penyakit sendiri, setelah
 datang jangan harap kalian bisa lolos lagi, Boleh kau lihat nanti apakah Jeng-siong
 san ceng dapat kau datangi dengan sesukamu?"
 Segera Pau Seh-hoa melangkah maju, "pletak", lebih dulu kedua keping kayunya
 bergetar, lalu ia tuding lawan dan meraung: "Han Cing, kiranya kau ini yang bernama
 Han Cing. Bagus, aku ini memang ikan yang Iolos dari jaring, dan kau, kaum maha
 guru, mukamu cakap, mukamu bagus" Dirodok, bicara seenak perutmu! Bahwa
 Locu pernah jatuh di tangan kalian, apakah itu terjadi di medan tempur atau karena
 ketidak becusanku" Hm, kalian menggunakan obat bius dan aku terperangkap,
 sekarang kau berani berkaok-kaok membanggakan diri" Huh, seluruh isi Jeng-siongsanceng
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalian ini adalah binatang seluruhnya, budaknya budak, setannya setan
 Bangsat she Han, Locu akan buktikan padamu apa yang kau sebut ikan yang lolos
 442 dari jaring. Bangsat she Han, bicara terus terang, Jeng-siong-san-ceng kalian pasti
 akan tamat hari ini!"
 "Bagus, makian tepat, cacian bagusl" seru Sebun Tio bu.
 Tidak kepalang gusar Han Cing, ia melangkah maju dan mencabut panah
 bermata merah itu terus dilemparkan kepada Sebun Tio-bu.
 Dengan cekatan Sebun Tio-bu tangkap kembali panahnya itu dan disimpan,
 sambil menyeringai ia berkata: "Han Cing, memang sudah kuduga inilah yang akan
 kau Iakukan. Maka selanjutnya Jeng-siong-san ceng jangan lagi menyalahkan setiap
 langkah Locu."
 Han Cing meraung murka: "Sebun Tio-bu yang pasti hari ini jangan harap kalian
 dapat keluar dari Jeng-siong-san-ceng dengan hidup-hidup, bila kalian sampai lolos,
 aku orang she Han ini bukan manusia lagi "
 "Dirodok, kau memang binatang, siapa bilang kau manusia!" tukas Pau Seh-hoa
 dengan tertawa, "Baiklah, boleh kau coba saja," dengan angkuh Sebun Tio-bu
 menjawab, "Lihat nanti apakah kalian mampu mencaplok kami atau kami yang akan
 sikat habis kalian."
 Pada saat itulah tiba-tiba dari samping sana seorang menanggapi ucapan Sebun
 Tio-bu dengan nada yang dingin berwibawa "Betul, Sebun Tio-bu, kami memang
 ingin mencobanya."
 Waktu mereka berpaling ke sana, belum lagi Sebun Tio-bu bersuara, lebih dulu
 Pau Seh-hoa telah menarik ujung bajunya dan membisikinya: "Inilah juragan
 besarnya sudah muncul, dia inilah gembong Jeng-siong-san-ceng, Ha It-cun, sang
 Cengcu." Ha It-cun memakai jubah berwarna abu-abu tua dengan sulaman huruf "Hok"
 (rejeki) di bagian dada, sikapnya dingin tapi kereng, ia berdiri belasan langkah di
 sebelah sana, dikelilingi belasan orang yang beraneka macam potongan tubuhnya,
 jelas mereka ini jago pilihan Jeng-siong-san-ceng.
 Tepat di sebelah kiri Ha It-cun berdiri seorang yang membuat mata Pau Seh-hoa
 menjadi merah setelah melihatnya. Orang ini adalah Kongsun Kiau-hong, si
 jangkung yang membius mereka dahulu, inilah biangkeladi daripada semua
 persoalan yang mengakibatkan mereka tersiksa dan terhina itu.
 Sedangkan di sebelah kiri Ha It-cun berdiri Sek Kui, musuh yang paling dibenci
 Siang Cin. Di sebelah Sek Kui berdiri pula seorang tinggi kurus dan bermuka hitam,
 lelaki setengah umur ini bermata tajam seperti elang, sorot matanya liar, sekali
 pandang saja dapat diduga orang ini pasti berhati kejam dan culas.
 Terdengar Ha It-cun berkata: "Sebun Tio-bu, selamanya Jeng-siong-ssn-ceng
 tiada persengketaan apapun dengan Jian-ki-beng kalian, tapi berulang-ulang kau
 memusuhi kami, di Ji-ih-hu kau tidak langsung bentrok dengan anak buahku,
 mengingat kita sama-sama membela kawan, maka akupun tidak perlu mengusut
 tindakanmu itu, Tapi kalau kau kira Jeng-siong-san-ceng adalah kaum lemah dan
 443 boleh kau injak-injak sesukamu, maka salah besar kau. Sekarang kau berani
 mengiringi bekas tawanan kami si orang she Pau ini main gila pula ke sini, bisa jadi
 terpaksa harus kubereskan sekalian di sini,"
 Pau Seh-hoa meraung gusar, ia tuding Ha It-cun dan memaki: "Kau kura-kura
 tua, bangsat tak tahu malu, jangan kau kentut sesukamu! Memangnya siapa pernah
 kautawan" Bahwa pernah kujatuh di tangan kalian juga lantaran cara kalian yang
 licik, kau yang tidak tahu malu."
 "Keparat" segera Sek Kui menanggapi dengan gusar, "jago yang sudah keok,
 ikan yang terlepast masih juga berani berkaok-kaok seperti orang gila, Huh, apa
 kemampuanmu" Sungguh menggelikan di dunia Kangouw adalah orang macam kau
 ini." Hampir meledak dada Pau Seh-hoa saking gemasnya, dengan mata melotot ia
 memaki pula: "Kau Sek Kui piaraan biang anjing, kau sendiri terhitung orang macam
 apa" Kau hanya..."
 Cepat Sebun Tio~bu mencegah caci-maki Pau Seh hoa yang melantur itu,
 berkecimpung di dunia Kangouw, siapa yang berani menjamin selama hidupnya
 takkan pernah terjungkal dan kecundang, padahal terjungkal atau kecundang juga
 macam-macamnya, jika pihak lawan menggunakan cara yang rendah..."
 Air muka Sek Kui berubah segera ia menanggapi tapi Sebun Tio bu lantas
 mendengus keras keras, lalu berpaling menghadapi Ha It-cun dan berkata pula:
 "Orang she Ha, apapun juga kau sudah hidup setua ini, di dunia persilatan namamu
 juga cukup terkenal, sungguh tidak kusangka kau bicara seperti anak kecil dan tidak
 tahu malu, Kau bilang tidak mau mengusut perbuatanku" Memangnya berdasarkan
 apa kau akan mengusut diriku" Huh, jika kujeri padamu, tentu siang-siang sudah
 kabur sebelum ikut menghancurkan Ji ih-hu, apalagi sekarang kudatang mencari
 kau. Hehe, beberapa biji tulang igamu cukup kuketahui dengan baik, maka tidak
 perlu kau membual."
 "Sebun Tio-bu, kau terlalu latah!" jengek Ha It-cun dengan merah padam.
 "Kau pun tidak banyak berbeda!" jawab Sebun Tio-bu.
 "Bagus, Sebun Tio bu, agaknya hari ini kita harus menyelesaikan semua urusan,
 baik utang yang lama maupun perhitungan baru boleh kita selesaikan seluruhnya,"
 dengus Ha It-cun.
 "Ya, memang itulah maksud tujuan kedatangan kami ini!" jawab Sebun Tio-bu
 sambil tertawa, Mendadak Pau Seh hoa menimbrung pula: "Setan tua Ha It-cun,
 bukankah kau masih menyimpan jago lainnya" Mana itu Ih Keng-hok, suruh keluar
 saja sekalian. Keparat, boleh kita bereskan saja sekalian, untuk apa bicara berteletele."
 Ha It-cun menyeringai, katanya: "Pau Seh-hoa, tidak perlu kau omong besar Ih
 Keng-hok memang berada di sini, dia sedang menjenguk seorang temannya di luar
 perkampungan tapi sudah kusuruh panggil puIang, bila kalian berhadapan, tentu
 kalian boleh adu kekuatan."
 444 "Sudahlah, orang she Ha, kita tidak perlu adu mulut, biarlah kita tentukan dengan
 kepandaian sejati," seru Sebun Tio-bu. "Apakah kau perlu menunggu datangnya Ih
 Keng-hok atau sekarang juga kita mulai?"
 "Sebun Tio-bu," teriak Sek Kui dengan gemas, "memangnya kau kira Jeng-siongsan-
 ceng hanya mengandalkan dukungan orang luar untuk berdiri tegak selama
 berpuluh tahun ini."
 "Bagus jika begitu," kata Sebun Tio-bu. "Nah, sekarang boleh keluarkan bukti
 kelihayan kalian, marilah kita mulai saja agar tidak membuang waktu percuma."
 "Cengcu, mohon memberi perintah untuk membekuk kedua bangsat ini!" kata
 Sek Kui dengan suara tertahan kepada Ha It-cun.
 Tapi Ha It-cun cukup prihatin dan tidak suka bertindak secara gegabah, ia
 pandang Sebun Tio-bu dan Pau Seh-hoa yang terkepung itu, ia merasa ragu melihat
 sikap kedua orang yang tenang dan mantap itu meski terkepung di tengah musuh,
 sebaliknya iapun yakin akan kekuatan sendiri, di tengah Jeng-siong san-ceng
 masakah tiada jagoan yang tangguh" Apalagi perbandingan jumlahnya terlalu
 menyoIok, anehnya kedua orang lawan tetap tenang-tenang saja seperti tidak gentar
 sedikitpun, jangan-jangan ada udang di balik batu.
 Sek Kui merasa bingung karena sang Cengcu tidak memberi tanggapan atas
 permintaannya, diam-diam iapun merasakan ada sesuatu yang tidak beres.
 Sejenak kemudian barulah Ha It cun membisiki Sek Kui apa yang dipikirnya,
 Dengan sendirinya Sek Kui menjadi waswas juga.
 "Jangan-jangan mereka... mereka masih ada bala bantuan lain" Atau... atau ada
 intrik yang tersembunyi?" kata Sek Kui kemudian.
 "Ya, menurut dugaanku, di belakang mereka pasti masih tersimpan jago lain
 yang lebih lihay." kata Ha It-cun. "Dan orang itu, hm, besar kemungkinan adalah..."
 "Naga Kuning Siang Cin." desis Sek Kui.
 "Benar, kukira dia," kata Ha It cun sambil mengangguk
 Dengan menggigit bibir Sek Kui berkata pula dengan suara tertahan: "Tapi,
 sejauh ini kita belum menemukan jejak Siang Cin, waktu tanda bahaya berbunyi,
 yang kelihatan juga cuma kedua orang ini."
 "Waktu tanda bahaya berbunyi, entah sudah berapa lama kedua orang ini
 menyusup masuk dan cukup bagi Siang Cin untuk bersembunyi. Apakah beberapa
 anak buah kita yang pertama kali memergoki mereka telah melihat Siang Cin berada
 di antara mereka atau tidak, tapi, beberapa anak buah itu sudah menjadi korban
 keganasan mereka lebih dulu dan tiada keterangan yang dapat kita korek lagi."
 Sek Kui menjadi tegang, ia coba memandang sekelilingnya.
 "Tidak perlu dicari," ucap Ha It-cun. "Tiba waktunya dia tentu akan muncul
 sendiri, bilamana kita dapat melihat dia, tentu iapun tidak perlu bersembunyi."
 445 Dalam pada itu terdengar Sebun Tio bu telah menantang pula dengan tidak
 sabar: "Hai, apakah kalian sengaja mengulur waktu, kedatangan kami ini bukan
 untuk mengobrol dengan kalian."
 Alis Ha It-cun menjengkat, tapi sebelum dia bersuara, tiba-tiba seorang berlari
 datang dan memberi lapor: "Cengcu, Ih locianpwe sudah pulang bersama Toakongcu
 . . ." Mendengar laporan itu, tampak Ha It cun tersenyum gembira, hatanya: "Li heng,
 silakan mengundang Ih-cianpwe kemari, katakan aku sedang menghadapi musuh
 dan tidak sempat menyambut beliau."
 Orang she Li yang datang melapor itu segera melayang pergi, gerakannya
 sungguh amat cepat, hanya sekejap saja lantas menghilang.
 "Cepat amat kedua kaki keparat itu?" ujar Sebun Tio bu.
 Sambil menyeringai Pau Seh-hoa lantas berteriak puIa: "Setan tua she Ha,
 tentunya kau senang karena orang she lh sudah pulang, tapi apapun yang akan kau
 kemukakan, orang she Pau siap menandangi,"
 "Jangan latah, Pao Seh-hoa," teriak Ha it cun. "Sebentar akan kupotong lidahmu
 dan kurobek mulutmu untuk umpan anjing."
 "Cis, jika kau tidak mampu, kepalamu yang akan kupenggal dan kutendang
 sebagai bola," jengek Pau Seh-hoa tidak kalah garangnya.
 "Huh, ikan yang berhasil lolos keluar jaring, jago yang sudah pernah keok, sudah
 dekat ajal masih bermulut besar, sungguh tidak tahu malu!" jengek Sek Kui.
 Mendadak Pau Seh hoa berludah ke arah Sek Kui dan mendamperat: "Keparat,
 jangan kau kentut sesukamu, seumpama betul Locu tidak tahu malu juga lebih
 terhormat daripada manusia rendah dan kotor. . ."
 Baru Pau Seh hoa memaki sampai di sini, mendadak Sebun Tio-bu menarik
 ujung bajunya sambil memandang ke belakang Ha lt-cun, desisnya: "Ssst, Pau-heng,
 itu dia Ih Keng-hok datang."
 Waktu Pau Seh-hoa berpaling ke sana, terlihat empat orang sedang datang ke
 arah sini. Yang di depan berusia 60 an, bertubuh tinggi kekar, mukanya agak kurus,
 tapi kereng, sorot matanya tajam, jelas seorang tokoh yang jarang ada
 bandingannya, Dia memakai jubah hitam mengkilap, rambutnya juga hitam dan
 belum beruban, diikat tinggi di atas kepala.
 Tangan kiri membawa suatu gulungan panjang entah benda apa. Dari lagak-
 Iagunya, meski Pau Seh-hoa dan Sebun Tio-bu tidak tahu siapa dia tapi dapat
 diduga orang ini pasti Ih Keng-hok adanya.
 Di belakang Ih Keng-hok ada lagi seorang pemuda jangkung dan ganteng,
 berusia likuran, tampaknya gagah perkasa. Di belakang pemuda ini adalah seorang
 446 perempuan jelas dia ini Kiang Ling yang dahulu bersama Kongsun Kiau-hong pernah
 mencelai Siang Cin dan Pau Seh hoa.
 Masih ada lagi orang keempat, itu orang she Li yang disebut Ha It-cun tadi,
 Orang she Li ini kurus kecil, kepalanya lonjong, mukanya sempit, seperti orang yang
 selalu takut-takut.
 Tapi sekarang dia tidak kelihatan takut, dia sedang bicara dan tuding ini-itu,
 dengan bersemangat ia mengiringi Ih Keng-hok bertiga ke sini.
 Seketika semangat setiap orang Jeng-siong-san-ceng terbangun demi nampak
 datangnya Ih Keng-hok serentak sikap mereka menjadi garang dan siap tempur.
 "Keparat," damperat Pau Seh-hoa dengan suara tertahan "Seperti kedatangan
 kakek moyang saja, coba lihat, betapa gembiranya mereka."
 "Hm, kawanan anjing ini mengira kita dapat dicaplok dengan mudah," jengek
 Sebun Tio-bu. "Sebentar lagi mereka baru tahu rasa."
 Ia merandek sejenak, lalu menambahkan pula: "Jangan terburu-buru turun
 tangan Pau-heng, sebentar lagi, begitu bergerak kita lantas terpencar dan memikat
 mereka, gerak cepat sebagaimana dikatakan Siang-heng."
 "Ku tahu," jawab Pau Seh-hoa sambil mengangguk.
 Dalam pada itu Ha It cun tampak sedang berpaling ke sana dan menyapa si
 jubah hitam yang bermuka kurus itu, katanya: "Sangat kebetulan kedatangan lhheng,
 sedang kuhadapi kedua penyatron ini, makanya tidak kusambut kedatangan
 lh-heng, mungkin Li-heng sudah menjelaskan tadi."
 Sebun Tio-bu dan Pau Seh-hoa saling pandang sekejap, terkaan mereka
 memang betul, si jubah hitam memang Ih Keng hok adanya.
 Tanpa balas hormat, Ih Keng-hok hanya mengangguk pelahan saja, tanyanya
 kemudian dengan angkuh: "Apakah kedua orang yang terkepung itu?"
 Ha lt cun menjawab "Betul, memang kedua keparat itu, belasan anak buah kita
 telah menjadi korban sergapan mereka."
 Ih Keng-hok mendengus, ia melangkah maju ke samping Ha It-cun, baru
 sekarang dia berhadapan dengan Sebun Tio-bu dan Pau Seh-hoa.
 Sejenak ia mengamat-amati kedua orang itu, lalu menuding dan menegur
 dengan ketus: "Sebun Tio-bu, Pau Seh-hoa?"
 "ltulah Locu!" jawab Sebun Tio-bu dengan kepala mendongak pongah.
 Pau Seh-hoa juga menjawab dengan kemalas-malasan: "Hehe, jika dua keping
 kayu dari Koh-keh-san tak kau kenal, maka terhitung orang Kangouw apa kau orang
 she Ih?" 447 Melihat sikap congkak Sebun Tio bu dan Pau Seh-hoa, seketika orang-orang
 Jeng-siong-san ceng meraung gusar, Han-ceng dan Sek Kui berteriak-teriak ingin
 melabrak musuh.
 Tapi Ih Keng-hok telah mengebas lengan jubahnya untuk mencegah caci-maki
 orang banyak, ia melirik hina Sebun Tio-bu dan Pau Seh-hoa, lalu dengan suara
 pelahan dan ketus berkata: "Sebun Tio-bu, Jian ki~beng kalian mungkin dipuja oleh
 orang lain, tapi bagi orang she Ih belum termasuk daftar. Sikap pongahmu tadi
 menandakan pula betapa kau telah malang melintang dan meremehkan orang lain.
 Keparat semacam kau ini biarpun dibunuh juga belum cukup untuk menebus
 dosamu." Tanpa menunggu jawaban Sebun Tio-bu, segera Ih Keng-hok berkata pula
 terhadap Pau Seh hoa: "Sudah beberapa tahun yang lalu kudengar ada seorang
 jembel semacam kau ini di Koh-keh-san, sejak kau mendekam dalam kurungan Ha
 It-cun, mulai saat itu kuanggap orang macam kau ini tiada harganya untuk dicatat.
 Setelah bertemu sekarang, kulihat kau memang manusia rendah dan kotor, palingpaling
 kau hanya cocok untuk pekerjaan menggangsir atau mencuri ayam, masakah
 kau berharga berkecimpung di dunia persilatan?"
 Tidak kepalang murka Sebun Tio-bu dan Pau Seh-hoa, kontan Pau Seh-hoa
 meraung: "lh Keng-hok, jangan kau temberang! Kau sendiri terhitung kelas berapa"
 Locu justeru tidak pandang sebelah mata padamu, dirodok, kau mengoceh seperti
 berhadapan dengan anak buahmu sendiri . . ."
 Dengan muka dingin Sebun Tio-bu juga berteriak: "Bagus sekali kau Ih Kenghok,
 lagakmu seperti raja diraja, seakan-akan dunia ini kau yang kuasa. Huh, bagiku
 kaupun belum masuk hitungan, tidak perlu kau bermulut besar, paling baik kalau kita
 coba-coba saja dahulu . . ."
 Belum lagi Ih Keng-hok menanggapi pemuda gagah bermuka agak hitam di
 belakangnya segera menyelinap maju.
 "Suhu," teriak pemuda ini, "izinkan Tecu melabrak dulu jahanam yang bermulut
 kotor ini!"
 Tapi Ih Keng-hok lantas memberi tanda pada pemuda itu sambil membentak:
 "Mundur kan!"
 Ha It cun juga berseru: "Anak Lin, menyingkirlah ke samping, segala urusan biar
 diatur oleh gurumu."
 Kiranya pemnda ini adalah putera tunggal Ha It-cun, Ha Lin, murid Ih Keng-hok
 pula. Terpaksa dengan rasa murka ia mundur kembali sambil melotot ke arah Sebun
 Tio-bu dan Pau Seh hoa.
 Pelahan-lahan Ih Keng-hok mulai bergerak, selangkah demi selangkah, kukuh
 seperti gunung, tenang dan kereng, ia mendekati lawan sambil mulai membuka
 bungkusan panjang yang dibawanya,
 Suasana menjadi tegang. Pelahan Sebun Tio-bu membisiki Pau Seh-hoa: "Pauheng,
 begitu bergebrak kita terus terpencar dan menerjang ke tengah mereka."
 448 Pau Seh-hoa hanya mengangguk pelahan saja, Dia sudah siap siaga, ia tahu Ih
 Keng hok bukan lawan yang empuk.
 Sementara itu Ih Keng-hok sudah dekat, sekali menggetar, mendadak
 bungkusan panjang itu terbuka, kiranya semacam senjata aneh berbentuk pedang,
 berbatang sempit dan tipis. bersinar mengkilap dan berhawa tajam, inilah Liong-jongnui-
 kiam" atau pedang lemas usus naga, senjata andalan Ih Keng-hok yang
 merontokkan nyali setiap lawannya.
 Kecepatannya juga sukar dibayangkan begitu pedang lemas itu berbahaya,
 jaraknya dengan Sebun Tio-bu yang semula kelihatan masih beberapa meter
 jauhnya, sekonyong-konyong sinar pedang sudah menyambar tiba di depan
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tenggorokan kedua lawan.
 Pau Seh-hoa meraung dan mendak ke bawah, kedua keping kayunya berputar,
 sekaligus iapun menutul beberapa kali ke depan sebaliknya Sebun Tio-bu tidak
 bergeser sama sekali, Tiat-mo-pi, lengan baja iblis, segera juga bekerja, "Trang",
 lelatu api tepercik, tahu-tahu Ih Keng-hok tudah melompat mundur. Meski Tiat-mo-pi
 tidak sampai terkutung, tapi tidak sedikit bubuk baja yang rontok terkupas oleh
 pedang lawan. "Hantam!" teriak Pau Seh-hoa. Di tengah teriaknya itu ia terus memutar ke sana
 dan menerjang ke tengah-tengah kerumunan musuh. Pada saat yang sama Sebun
 Tio-bu juga bertindak serupa.
 Sekali pandang Ih Keng-hok lantas tahu maksud tujuan lawan, secepat terbang
 ia melompat maju ke tengah-tengah antara Sebun Tio-bu berpisah dengan Pau Sehhoa
 itu, pedang lemas panjang itu berputar dan menerbitkan suara mendengung,
 sekaligus ia menyerang ke kanan dan ke kiri.
 Saat itu Pau Seh-hoa sedang mengapung ke depan, tapi pedang musuh tahutahu
 menyambar dari belakang, untung dia sempat menggeliat di udara sehingga
 tidak terluka, namun jubahnya telah tersayat robek.
 Pada waktu yang sama Sebun Tio-bu sempat memutar lengan besinya untuk
 menangkis setiap serangan Ih Keng hok, kembali terdengar suara mendering
 dengan lentikan leIatu.
 Setelah saling gebrak, ketahuilah imbangan kekuatan kedua pihak, Ih Keng-hok
 memang terbukti maha lihay, ilmu pedangnya sudah tergoIong mencapai puncaknya
 dan sukar diukur.
 Jelas Sebun Tio-bu masih kalah setingkat dibandingkan Ih Keng-hok, kalau
 dilawan matian selisihnya tidak terlalu menyolok, Sedang Pau Seh-hoa jelas kalah
 dua tiga tingkat, bila satu-lawan-satu dia pasti akan dilalap lawan.
 Setelah masing-masing tahu kekuatan lawan, Pau Seh-hoa tidak berani gegabah
 lagi, cepat ia menyelinap ke sana dan menerjang anak buah Jeng-siong-san-ceng.
 Ih Keng-hok bersuit panjang terus menyusulnya dengan cepat, dari jauh
 pedangnya lantas menyabas lebih dahulu.
 449 Tapi Sebun Tio bu juga tidak tinggal diam, dari samping lengan besinya lantas
 menyambar ke belakang musuh.
 Terpaksa Ih Keng-hok tidak sempat mengejar Pau Seh-hoa, ia berputar balik,
 pedang lemas balas menyabet Sebun Tio-bu, segera kedua orang terlibat dalam
 perang tanding yang dahsyat.
 Di sebelah sana Pau Seh-hoa sempat menerjang ke depan anak buah Jengsiong-
 san-ceng yang berkerumun di situ, belum lagi orang-orang itu bertindak,
 segera terdengar jeritan ngeri, di tengah bekerjanya kedua keping kayu Pau Seh
 hoa, beberapa orang telah roboh dengan kepala pecah dan jiwa melayang.
 Han Cing terkejut, cepat ia menubruk maju sambil berteriak: "Hadang dia,
 apakah kalian orang mampus semua!?"
 Serentak belasan jago silat Jeng-siong-san-ceng memburu maju, namun Pau
 Seh-hoa lantas menyusup ke arah lain dan kembali beberapa orang Jeng-siong-sanceng
 terguling lagi.
 Tapi belasan Busu atau jago silat Jeng-siong-san-ceng itupun dapat
 membendung Pau Seh-hoa dan mengerubutnya. Seh-hoa mendengus sekali gerak
 serangan pura-pura, cepat ia menerobos pula ke samping lain, kedua keping
 kayunya berputar naik turun, beberapa orang terluka lagi dan malah menyingkir.
 Sekonyong-konyong sebuah tumbak trisuIa menyambar lewat di depan perut
 Pan Seh-hoa, untung dia sempat mengempiskan perut dan menarik tubuh sedikit
 sehingga tumbak itu menyambar lewat di bawah perutnya. Berbareng itu ia
 mendengus, keping kayunya menyampuk ke samping, muka penyerang itu seketika
 hancur dan roboh terkapar
 Pau Seh-hoa terus menerjang ke sana dan menubruk ke sini dengan gesit,
 hanya sekejap beberapa orang menjerit terguling pula.
 Tidak kepalang murka Han Cing, ia terus membuntuti Pau Seh-hoa dan
 bermaksud melabraknya, tapi dengan licin Pau Seh-hoa menyelinap kian kemari dan
 menghindari pertarungan dengan orang she Han ini, yang diterjang adalah anak
 buah Jeng-siong-san-ceng serta jagoan yang berkepandaian agak rendah. Saking
 murkanya Han Cing hanya berkaok-kaok murka saja, seketika ia belum mampu
 melabrak Pau Seh-hoa.
 Melihat keganasan Pau Seh-hoa, anak buah Jeng-siong-san ceng yang lain
 menjadi jeri, tapi ada juga yang menjadi nekat, beramai-ramai mereka lantas
 menerjang maju dan mengepung terlebih ketat.
 Ha Lin, putera tunggal Ha It-cun itu, dengan mendongkol berkata: "Ayah, biarlah
 anak melayani keparat itu."
 Ha It-cun menggeleng, katanya: "Kukira yang lebih penting adalah membereskan
 Sebun Tio-bu itu. Anak Lin, biarpun dia jelas bukan tandingan gurumu, tapi untuk
 waktu singkat sukar kiranya merobohkan dia, hal ini rasanya kurang menguntungkan
 kita, maka kupikir lebih baik minta bantuan paman Li ikut terjun ke sana untuk
 membantu gurumu."
 450 Ha Lin melirik sekejap lelaki kurus setengah baya yang berdiri menonton dengan
 sikap dingin di samping itu, katanya kemudian dengan suara tertahan : "Ayah
 tentunya kenal watak Suhu yang tidak suka dibantu orang luar, hal ini dianggapnya
 sebagai penghinaan baginya, kecuali Suhu sendiri yang minta, kukira tidak baik . . . .
 " "Kukira ucapan Toakongcu memang tepat," tiba-tiba orang setengah baya itu
 menukas, "Ha-ceng-cu juga tahu kedatanganku ini hanya untuk menunggu satu
 orang saja, yaitu orang she Siang."
 Kiranya lelaki setengah baya she Li ini adalah ketua keluarga Li dari Soasay, si
 potlot baja Li Go. Sudah cukup lama dia berada di Jeng siong san ceng, Waktu dia
 menerima berita adik kandungnya, Li Jiang, yang terbunuh oleh Siang Cin, segera ia
 datang ke Jeng-siong-san-ceng untuk mengurus jenazah adiknya itu, sejak itulah dia
 berada di perkampungan ini, ia tahu permusuhan antara Siang Cin dengan Jengsiong-
 san-ceng, ia yakin pasti Siang Cin akan datang lagi, sebab itulah iapun
 bertekad menunggu kedatangannya untuk menuntut balas bagi kematian adiknya.
 Dalam pada itu Ha Lin tampak tidak sabar lagi, katanya pula: "Ayah sudah
 banyak anak buah kita yang menjadi korban keganasan orang she Pau itu, coba
 lihat, dia sangka menghindari kejaran Han-wancu dan . . ."
 "Baiklah, boleh kau maju, cuma harus hati-hati." kata Ha It cun kemudian.
 Sejak tadi Ha Lin memang sudah getol untuk turun tangan, tanpa ayal lagi ia
 terus memburu ke arah Pau Seh-hoa sana.
 Dengan tak sabar Ha It cun mengikuti pertarungan Ih Keng-hok melawan Sebun
 Tio-bu, dilihatnya sinar pedang bergulung-gulung memburu sekeliling Sebun Tio-bu
 yang tetap memutar lengan besinya dengan sama dahsyatnya laksana ular naga
 yang melingkar kian kemari.
 Dalam pada itu Ha Lin dan beberapa anak buahnya juga telah menerjang ke
 barisan Han Cing sana, hanya sebentar saja Pau Seh-hoa sudah berhasil
 merobohkan belasan orang Jeng-siong-san ceng, Tapi datangnya Han Lin seketika
 merepotkan dia.
 Pada saat itu Han Cing sempat mencegatnya dari samping kiri, Han Cing juga
 bersenjata pedang, dengan gregetan ia serang Pau Seh-hoa. Han Lin juga
 menggunakan pedang lemas mirip senjata gurunya, bedanya cuma batang pedang
 agak lebar, namun tajamnya tidak ada bedanya.
 Diam-diam Pau Seh hoa mengeluh, namun dia lantas tambah gesit menyelinap
 kian kemari, setiap kali keping kayunya berbunyi "pletak", kontan batok kepala
 seorang korbannya pecah dan jatuh tersungkur, ia masih terus berputar di antara
 para pengerubutnya, beberapa kali serangan Han Cing dan Han Lin yang berbahaya
 selalu dapat dihindarkan Pau Seh-hoa pada detik terakhir.
 Dengan gelisah Ha It-cun mengikuti pertarungan Ih Keng-hok melawan Sebun
 Tio-bu yang sudah beberapa puluh jurus dan belum lagi nampak akan segera
 berakhir, sedangkan seorang Pau Seh hoa saja dapat mengobrak-abrik barisan anak
 451 buahnya, meski Han Cing dan Han Lin ikut meogejar, tapi tetap sukar mencegah
 pengacauan orang she Pau itu. Sungguh tidak kepalang murkanya.
 "Cengcu, biarlah hamba ikut terjun sekalian?" tiba-tiba Sek Kui membisiki sang
 Cengcu. Ha It-cun menjawab dengan mendongkol: "Tunggu lagi sebentar, ku kuatir kalau
 terjadi apa-apa lagi yang tak terduga."
 Sek Kui melengak, ucapnya kemudian: "Ya memang aneh juga, Yu-wancu
 bagian belakang mengapa sampai sekarang belum kelihatan pulang?"
 "Hm, katanya dia keluar minum arak ke Siau-an, sudah setengah harian kenapa
 belum pulang?" dengus Ha It-cun dengan geram.
 Sek Kui tak berani menanggapi, diam-diam ia sudah merasakan firasat yang
 tidak enak. Dengan sorot mata tajam Ha It-cun berkata pula dengan gemas: "Jika tidak
 menguatirkan keparat Siang Cin itu mungkin akan melakukan sergapan atau
 mengatur tipu muslihat keji, tentu sejak tadi sudah kukerahkan segenap kekuatan
 untuk mencincang kedua jahanam ini, tapi mereka..."
 Belum habis ucapan Ha It-cun, mendadak Sek Kui berteriak: "Celaka, ada
 kebakaran!"
 Ha It-cun terperanjat cepat ia berpaling, benarlah, di tengah dan belakang
 perkampungannya, api tampak berkobar dengan hebatnya dengan asap tebal
 menjulang tinggi ke langit, Tampaknya api mulai menjalar dengan cepatnya.
 "Lekas diperiksa, Sek-wancu, apa yang kau tunggu pula"!" teriak Ha It cun.
 Cepat Sek Kui mengiakan dan berlari ke sana dengan membawa beberapa anak
 buahnya. Dengan mengertak gigi Ha It-cun menyaksikan berkobarnya api yang semakin
 besar itu, terlihat langit seakan-akan merah membara, terdengar suara gemuruh
 ambruknya bangunan dan terbakarnya macam-macam benda, terdengar pula suara
 jerit tangis kaget dan ketakutan orang banyak yang berlari kian kemari dengan
 kacau. Mendadak mata Ha It-cun jadi melotot ketika dilihatnya di kejauhan seorang demi
 seorang terlempar ke udara atau mencelat jatuhnya, jelas nyawa orang-orang itu
 pasti akan melayang.
 Seketika terdengar teriakan ramai: "ltu dia si Naga Kuning . . . . Ah, Thio suhu
 telah menjadi korban pula . . . . Wah, keji amat orang she Siang itu, lekas lari . . . .
 Hai, cepat cegat dia. kerubut dia, jangan sampai lolos . . ."
 Demikian teriakan riuh ramai itu membuat kepala Ha It-cun seakan-akan pecah,
 sedapatnya ia menahan pergolakan perasaannya, ia coba melirik Li Go yang berdiri
 sebelah. 452 Agaknya Li Go menyadari juga apa yang terjadi, segera ia berseru: "Ha-cengcu,
 sudah tiba saatnya!"
 "Baik, kita menyambutnya!" teriak Ha It-cun.
 Kedua orang terus menerjang ke sana dibuntuti berpuluh anak buahnya.
 Yang sedang mengamuk di sebelah sana memang betul si Naga Kuning Siang
 Cin adanya. Bayangan Siang Cin berkelebat kian kemari, setiap kali tiba, di situ pula
 terdengar jeritan ngeri disertai mencelatnya tubuh manusia.
 Semangat Pau Seh-hoa terbangkit seketika, beberapa kali putaran ia berhasil
 mendekati Siang Cin, teriaknya: "Ai, Kongcuya, ke mana kau, kenapa tidak sejak
 tadi-tadi turun tangan, hampir saja aku dikerjai orang, beberapa kerat tulangku yang
 lapuk ini bisa menjadi abu bilamana kau terlambat datang pula!"
 Perawakan Siang Cin yang tinggi kekar itu mendadak melejit maju, sekali
 tendang seorang Busu terguling sambil tumpah darah, waktu kaki lain terayun pula
 ke belakang, secara berturut-turut tiga orang terkapar juga.
 Pada saat itulah Han Cing dan Ha Lin telah memburu tiba, serentak pedang Han
 Cing menabas, tapi sempat dihindarkan Siang Cin, sebelah tangannya menyampuk
 sekalian dan dua orang Jeng-siong-san-ceng pecah pula kepalanya.
 Menyusul Siang Cin meloncat ke atas untuk mengelak beberapa kali sabetan
 pedang lemas Ha Lin, habis itu ia balas melancarkan beberapa pukulan dahsat
 sehingga Ha Lin terdesak mundur.
 "Pletak", di sebelah sana Pau Seh-hoa telah mengetuk roboh pula seorang lelaki
 baju hijau, berbareng ia mendak ke bawah menghindari tabasan golok musuh, belum
 lagi orang itu sempat menarik kembali goloknya, tahu-tahu dadanya sudah ditonjok
 oleh kepingan kayu Pau Seh-hoa dan roboh terjungkal.
 Habis itu, "Trang- tring", sekaligus Pau Seh-hoa tangkis toya dan gada dua lawan
 yang menyergapnya dari samping, sambil menyelinap ke arah lain iapun berseru:
 "Awas, Kongcunya, setan tua she Ha dan begundalnya memburu tiba!"
 "Haiit", sekali Siang Cin berteriak, kakinya menyapu dan kontan tiga orang tak
 bisa bangun lagi. Waktu tubuh Siang Cin menegak kembali, dengan kereng ia
 berseru. "Kebetulan datangnya!"
 Hampir pada saat yang sama iapun melayang ke sana menyongsong
 kedatangan Ha It-cun dan Li Go.
 "Bagus, orang she Siang, ke mana kau akan lari sekali ini"!" teriak Ha It-cun
 dengan murka. Bayangan kuning yang melayang tiba itu hinggap tepat di depan Ha It-cun,
 dengan ketus berkata "Tidak perlu banyak omong, orang she Ha, majulah kalian
 semuanya."
 453 Li Go yang berada di samping Ha It-cun lantas meraung murka, bentaknya:
 "Siang Cin, bayar jiwa saudaraku!"
 Berbareng itu ia terus menubruk maju, potlot baja bercat merah terus menutuk
 dada dan perut Siang Cin, sekaligus ia menutuk beberapa Hiat-to maut di tubuh
 musuh. Namun segesit kucing Siang Cin sempat mengelakkan seluruh serangan itu,
 berbareng iapun balas menghantam beberapa kali, selagi Li Go berkelit, Siang Cin
 mendengus: "Hm, potlot baja keluarga Li apakah dapat menggertak orang she Siang
 ini" Adikmu yang tidak tahu diri, membela pihak yang bersalah dan membantu
 kejahatan, kau tidak tahu mendidik saudara sendiri, sebaliknya malah ikut
 membelanya, apakah kau tidak sayang pada jiwamu sendiri?"
 "Tidak perlu banyak bacot, orang she Siang, pendek kata, jika bukan kau yang
 mampus, biarlah aku yang gugur, tiada sesuatu yang perlu kita persoalkan lagi,"
 teriak Li Go murka, "wut-wut", potlot bajanya sekaIigus menutul pula beberapa kali.
 Namun dengan enteng Siang Cin dapat menghindar menyusul iapun balas
 menabas tiga kali dengan telapak tangannya, jengeknya: "Bagus, sahabat, siapa
 yang kalah dia akan menjadi mayat!"
 Karena pukulan dahsyat Siang Cin, terpaksa Li Go melompat mundur. Namun
 dengan nekad ia menubruk maju pula, potlot bajanya tergolong satu senjata khas di
 dunia persilatan, keluarga Li dari Soasay cukup terkenal di dunia Kangouw, Li Go
 adalah ketua keluarga Li angkatan ke tujuh, kepandaiannya sudah tentu jauh lebih
 tinggi daripada Li Jiang, adiknya yang mati di tangan Siang Cin dahulu itu.
 Akan tetapi kepandaian Li Go masih jauh daripada cukup untuk menandingi
 Siang Cin, di bawah tekanan Siang Cin yang dahsyat, hanya belasan gebrak saja Li
 Go sudah terdesak hingga kelabakan dan mundur setindak demi setindak. Beberapa
 kali ia hampir saja dimakan oleh tabasan telapak tangan Siang Cin.
 Siang Cin memang sudah ambil keputusan memakai siasat "gerak cepat", lekas
 hantam lekas beres, cara keji tanpa kenal ampun Dia tidak perdulikan lagi pihak
 lawan, yang diutamakan ialah cepat merobohkan lawan dan habis perkara.
 Dengan cepat belasan jurus telah lalu pula, ketika potlot baja Li Go menyerang
 lagi, Siang Cin ambil tindakan berbahaya, sedikit mengegos, menyusul ia terus
 meloncat ke atas, belum lagi Li Go sempat putar haluan, dengan cepat dadanya
 terdepak oleh Siang Cin dua kail beruntun.
 Ha It cun melihat gelagat jelek, tapi terlambat meski ingin menoIong. Kontan Li
 Go berseru bertahan dan tubuh terpental beberapa meter jauhnya.
 Selagi tubuh Li Go terguIing-guling ke sana, beberapa Busu Jeng-siong-sanceng
 serentak menghadang di depan Siang Cin dan menyerang dengan golok dan
 pedang mereka. Akan tetapi orang-orang ini terlalu lemah bagi Siang Cin, hanya
 beberapa kali hantam dan tendang saja, tiga orang mencelat dengan tumpah darah
 dan seorang pecah batok kepalanya.
 454 Ha It-cun tidak tahan lagi, ia meraung murka sambil melolos goloknya, "Sianggoan-
 Iiong-bun-to", golok gelang dua berukir naga, ia putar goIoknya, dengan
 kencang dan menghadapi Siang Cin dari depan.
 Kepandaiannya memang tidak lemah, tenang dan mantap terutama permainan
 goloknya tidak dapat dipandang enteng, begitu golok itu berputar, seketika sinar
 perak berhamburan menyilaukan mata, bayangan goloknya bergumpal memburu
 lawan laksana gugur gunung dahsyatnya, Cepat dan keras serangannya, ia labrak
 Siang Cin dari jarak dekat tanpa gentar.
 Menghadapi sambaran golok yang hebat itu, Siang Cin perlihatkan ketangkasan
 dan kelincahannya, tubuhnya melejit naik turun dan melayang kian kemari, sering
 pada detik yang paling berbahaya ia justeru dapat menghindarkan renggutan elmaut,
 bahkan pada saat yang sama iapun melancarkan serangan balasan.
 Berlangsunglah pertarungan sengit dan cepat, belasan gebrak bagi orang lain,
 bagi Siang Cin dan Ha It-cun sekarang sekaligus telah berlangsung tiga empat puluh
 gebrakan. Di tengah pertempuran seru itulah, Li Go yang terluka parah dan menggeletak di
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sana kelihatan siuman kembali dengan muka pucat seperti mayat, ia tahu keadaan
 gawat dirinya sendiri, iapun melihat suasana tegang pertarungan Ha It-cun melawan
 Siang Cin itu, ia menyadari jiwa sendiri tidak tertolong lagi, dengan sisa tenaga yang
 masih ada ia berusaha merangkak bangun, napasnya memburu dan darah segar
 meleleh keluar dari mulutnya.
 Sekuatnya ia merangkak mendekati kalangan pertempuran, potlot baja masih
 tergenggam di tangan sorot matanya mencorong tajam penuh dendam dan benci.
 Pada saat Ha It-cun sedang mengayun goloknya dan membacok beberapa kali
 secara berantai dan selagi Siang Cin terpaksa harus main kelit dan bergeser mundur
 dan kebetulan lebih mendekat ke tempat merangkak Li Go, kesempatan baik itu tidak
 disia-siakan oleh Li Go, sekonyong-konyong Li Go melompat bangun dengan
 segenap sisa tenaga yang masih ada padanya, dengan kedua tangan memegang
 potlot baja terus menikam ke punggung Siang Cin.
 Karena perhatiannya terpusat pada diri Ha It-cun yang sedang menyerang
 dengan gencar, Siang Cin tidak menyangka Li Go yang sudah menggeletak tadi
 masih sanggup menyergapnya pada saat mendekat ajalnya. Ketika dia merasakan
 apa yang terjadi, sementara itu ujung potiot baja musuh sudah beberapa senti di
 belakang punggungnya.
 Pada detik yang berbahaya itulah dia masih berusaha mengelak sedapatnya,
 mendadak ia bergeser secepat terbang, berbareng tangannya terus menyambut
 sekerasnya ke belakang, maka berhamburanlah darah segar disertai jerit ngeri Li Go
 Potlot baja Li Go menggores luka iga kanan Siang Cin, merobek jubah-kuningnya
 dan mengucurkan darah.
 Tapi pada saat yang sama dengan telak hantaman Siang Cin juga mengenai
 dada Li Go sehingga tulang dadanya remuk dan darah tersembur pula dari mulutnya,
 malahan tubuhnya terus mencelat hingga jauh dan kepala terbenam ke dalam
 gundukan salju.
 455 Apa yang terjadi itu hanya berlangsung dalam sekejap saja dan berakhir pula
 dalam waktu singkat, belum lagi tangan Siang Cin yang meremukkan dada Li Go itu
 tertarik kembali, golok Ha It-cun juga sudah menyambar tiba dari atas.
 Terdengar suitan nyaring, seperti banteng ketaton, bukannya mundur, berbalik
 Siang Cin maju, pada detik antara mati dan hidup ini dikeluarkannya salah satu jurus
 "Liong ih-toa pat-sik" yang paling lihay, yaitu "Hoa~Iiong~hui-goat" atau berubah
 menjadi naga menuju ke bulan, secepat kilat, hampir sukar dibayangkan, tahu-tahu
 sesosok bayangan menyambar tiba, "cret", dalam sekejap itu golok Ha It-cun
 menyerempet lewat punggung Siang Cin, dan membuat suatu jalur luka panjang
 dengan kulit tersayat dan darah bercucuran. Belum lagi Ha It-cun sempat menarik
 kembali goloknya, pukulan berantai Siang Cin telah bersarang di dadanya hingga
 belasan kali jumlahnya.
 Rata-rata pukulan Siang Cin adalah pukulan keras, seketika Ha It-cun menjerit
 keras, darah tertumpah dari mulutnya, Gembong Jeng siong-san ceng, In-tiau, si
 rajawali langit, tokoh kalangan hitam yang disegani, kontan jatuh terkulai, goloknya
 mencelat jauh ke sana dan "crat", tepat menabas leher seorang anak buahnya.
 Matinya Ha It cun benar-benar membikin semua orang Jeng-siong-san-ceng
 menjadi geger, panik dan ketakutan. Terdengar jerit kaget orang banyak dan sama
 berlari kalang kabut, suasana menjadi kacau.
 Seperti ular kehilangan kepala, dengan sendirinya orang-orang Jeng-siong-ianceng
 berlari simpang-siur dan saling injak, semuanya ingin menyelamatkan diri.
 Pau Seh-hoa sudah berlepotan darah, dengan rambut kusut dan kelihatan lemas
 sedang berlari ke arah Siang Cin sambil berteriak: "Bagaimana kau, Kongcuya?"
 Tubuh Siang Cin bergeliat sekali, luka di punggung terasa panas seperti dibakar
 mulutpun terasa kering, namun dengan mengertak gigi ia menjawab: "Tidak apa-apa.
 . . " Belum habis ucapannya, mendadak ia berteriak pula: "Awas Lo Pau!"
 Pau Seh-hoa seperti terluka juga, namun gerak-geriknya masih cukup cekatan,
 begitu mendengar teriakan Siang Cin, ia tahu ada yang tidak beres, cepat ia
 menjatuhkan diri ke tanah, hampir pada saat yang sama sinar perak lantas
 menyambar lewat punggungnya dengan membawa robekan bajunya yang tersayat
 dengan percikan darah, rupanya punggung Pau Seh-hoa tetap terserempet oleh
 senjata musuh. Secepat terbang Siang Cin terus memburu maju, belum mendekat ia sudah
 mendahului dua-tiga kali pukulan jarak jauh untuk menahan penyergap Pau Sehhoa,
 yaitu Ha Lin yang kelihatan beringas dan kalap.
 Sama sekali Ha Lin tidak gentar dan mundur, ia terus menyongsong Siang Cin,
 pedang lemasnya berputar, menahan dan membabat serabutan. Agaknya matinya
 Ha It-cun membuat pikiran anak muda itu menjadi kalap.
 456 Kalau ayahnya saja bukan tandingan Siang Cin, apalagi anaknya, Hanya
 beberapa kali gebrak saja, pada suatu kesempatan, tahu-tahu Siang Cin mendesak
 maju, jurus "Hoa-liong-hui-goat" dilontarkan pula untuk kedua kalinya.
 Ha Lin seperti kurang waras lagi, matanya merah membara, bibir tergigit hingga
 berdarab, sama sekali ia tidak menghiraukan serangan Siang Cin, tapi tetap
 menebas dengan pedangnya.
 Di tengah sinar pedang yang memburu disekeliling tubuh Siang Cin, terlihat
 darah muncrat, pundak Siang Cin terluka oleh pedang lemas lawan, akan tetapi pada
 saat yang sama, "blang", tubuh Ha Lin juga mencelat dan terbanting di kejauhan,
 hanya berkelejetan sejenak, lalu tidak bergerak lagi.
 Dengan langkah setengah diseret Pau Seh- hoa mendekati Siang Cin dan
 bertanya dengan cemas: "Kongcuya, apakah lukamu berbahaya?"
 "Luka luar saja, tidak menjadi halangan," jawab Siang Cin tegas, "Kaupun
 terluka, Lo Pau?"
 "Ya, pada saat setan tua she Ha kau binasakan itulah aku rada meleng dan
 tertabas oleh pedang Han Cing, mengenai pahaku, untung lukanya tidak dalam,
 namun cukup membuat kesakitan dan mengganggu gerak-gerikku."
 Sorot mata Siang Cin yang tajam jelilatan kian kemari, dilihatnya tinggal Sebun
 Tio-bu saja yang masih berhantam sengit dengan Ih Keng hok. suasana sudah sepi,
 anak buah Jeng-siong-san-ceng sudah kabur meninggalkan mayat kawannya yang
 bergelimpangan di sana sini serta yang terluka parah sedang merintih sekarat.
 "Mana itu Han Cing"!" tanya Siang Cin.
 "Sabar dulu," jawab Seb hoa, "dia melukai diriku, tapi akupun sempat menyodok
 tulang iganya dengan kepingan kayuku, sedikitnya beberapa batang tulang rusuknya
 pasti patah Selagi aku kesakitan karena paha terluka, keparat itu segera angkat
 langkah seribu, sungguh tak tersangka setelah terluka parah dia masih sanggup
 berlari secepat itu, harus diakui cukup tangkas juga dia."
 "Apakah tiada luka lain kecuali pahamu?" tanya Siang Cin pula.
 "Ada, cuma lecet saja, yaitu terserempet oleh pedang anak kura-kura she Ha
 tadi, tapi tidak beralangan," tutur Seh-hoa.
 Siang Cin merasa lega, ia berpaling pula ke arah Sebun Tio-bu yang sedang
 menempur Ih Keng-hok dengan sengit itu, ia memandang sejenak, lalu mengertak
 gigi dan melangkah ke sana dengan pelahan, katanya: "Lo Pau, hendaklah kau
 menjaga di samping, akan kugantikan Sebun-tangkeh."
 Pau Seh-hoa terkejut, dengan rada pincang ia mengikut di belakang Siang Cin
 dan berkata dengan kuatir "Gila kau, Kongcuya, lukamu tampaknya tidak cuma satudua
 tempat saja, masa kau akan menghadapi Ih Keng-bok, tidaklah kau pikirkan
 keadaanmu sendiri" Marilah kita kerubut dia bersama saja."
 457 "Jangan kuatir, Lo Pau, kutahu apa yang harus kulakukan, tampaknya Sebuntangkeh
 sudah payah dan tidak tahan lagi," ujar Siang Cin dengan tersenyum sambil
 terus melangkah ke depan.
 Sementara itu sudah ratusan jurus Sebun Tio-bu bergebrak dengan Ih Keng-hok,
 kelihatan Sebun Tio-bu sudah mulai kehabisan tenaga, tubuhnya mandi keringat,
 napasnya terengah-engah, jubah putihnya robek di sana-sini dengan luka yang
 mengucurkan darah, rambutpun kelihatan kusut, mukanya beringas menakutkan.
 Ih Keng-hok juga tidak terhindar dari luka, jubah bagian dada kanan terobek dan
 kelihatan bekas luka cengkeram tangan besi Sebun Tio-bu, lengan baju kiri juga
 robek dan darah memenuhi tangannya dengan luka yang menyolok.
 Meski kedua orang sudah sama-sama terluka, tapi jelas luka Sebun Tio-bu
 terlebih parah, keadaannya kelihatan sudah payah, sekuat tenaga ia bertahan.
 Sebaliknya Ih Keng-hok masih terus menyerang dengan lihay, pedang lemas utus
 naga masih terus membura dengan rapat.
 Sebun Tio-bu menjadi nekat, ia putar Iengan besi dengan segenap sisa
 tenaganya untuk bertahan akan tetapi karena lukanya, lambat-laun ia menjadi lemas.
 Pada saat yang gawat itu, syukurlah Siang Cin melayang tiba, baru bayangan
 kuning berkelebat, seperti burung elang menubruk mangsanya, kedua tangan Siang
 Cin terus menghantam secara berturut-turut beberapa kali.
 Namun Ih Keng-hok memang lain daripada yang lain, dia tidak mau menghadapi
 Siang Cin dari jarak dekat, cepat ia melompat mundur dan pedang lantas menabas
 tiga kali. Mendadak Siang Cin melompat ke atas dan melontarkan pukulan jarak jauh
 dengan tenaga dahsyat.
 Namun Ih Keng-hok sempat menggeser ke samping sambil putar pedangnya,
 menabas ke depan dan menyabat ke belakang ia desak mundur Siang Cin dan
 Sebun Tio-bu yang hendak menyergapnya dari samping.
 "Mundur dulu, Sebun-tangkeh!" seru Siang Cin.
 Sebun Tio-bu merasa kondisi sendiri memang sudah lemas, terpaksa ia menurut
 dan menyurut mundur.
 Pau Seh-hoa lantas mendekatinya dan memapahnya ke pinggir, Sebun Tio-bu
 berjalan dengan agak sempoyongan mukanya pucat lesi, "Bagaimana, Tangkeh?"
 tanya Seh-hoa. "Cukup gawat, tapi tidak nanti mampus," jawab Sebun Tio-bu.
 "Keparat ini sungguh lihay," kata Seh-hoa.
 "Ya, terus terang, bila mana Siang-beng tidak datang tepat pada waktunya, saat
 ini mungkin aku sudah bertemu dengan Giam-Io ong (raja akhirat)," ujar Sebun Tio
 bu. "Sejak kumalang melintang di dunia Kangouw, selain beberapa orang tangguh
 seperti Siang heng, baru pertama kali ini kupergoki lawan yang keras, Pau-heng,
 pedangnya yang lemas itu sungguh luar biasa dan sukar diraba arah serangannya,
 Hampir aku mati kutu, untung setiap kali dapat kuhindarkan diri pada detik terakhir."
 458 "Dan sekarang, mau-tak-mau aku berkuatir juga bagi Kongcuya, dia juga
 terluka," tutur Pau Seh-hoa. Di sebelah sana pertarungan antara Siang Cin dan Ih
 Keng-hok sudah memuncak tegang, mereka sudah sama-sama terluka sebelum
 berhadapan, darah masih bertebaran mengikuti gerak tubuh mereka sehingga tanah
 salju yang putih itu penuh bintik merah.
 Wajah Ih Keng-hok yang kaku itu kelihatan seram, pedangnya berputar
 menerbitkan desing angin yang dahsyat, hampir sukar dilihat ke mana pedangnya
 akan mcnyambar, tapi tahu-tahu memburu tiba.
 Siang Cin telah mengerahkan segenap kemampuannya dan sepenuh perhatian,
 dengan ketahanan yang ulet ia hadapi serangan maut musuh tanpa gentar, padahal
 lukanya menimbulkan rasa sakit yang tak terperikan, namun dia tetap bertahan dan
 tidak berani lengah sedikitpun.
 Ia menyadari inilah pertarungan maut, ia selalu menyelinap ke sana dan berkelit
 ke sini pada detik yang paling gawat, namun kedua tangannya juga tidak pernah
 kendur, setiap kesempatan digunakannya untuk balas menyerang dengan pukulan
 dahsyat, bilamana musuh sampai kena serangannya pasti juga tak terampunkan
 lagi. Begitulah kedua orang sama-sama mengeluarkan seluruh kemampuan masingmasing,
 setiap serangan merupakan maut yang tidak kenal ampun, sama-sama
 pantang mundur, membunuh atau dibunuh, pilihan lain tidak ada.
 Seratus dan dua ratus jurus telah berlangsung kedua orang masih terus saling
 labrak dengan sengitnya.
 Di tanah lapang perkampungan Jeng-siong-san-ceng ini, kecuali kedua orang
 yang sedang mengadu jiwa ini, hanya Sebun Tio-bu dan Pau Seh-hoa berdua saja
 yang masih diam di sana.
 Selain mereka, sekeliling sunyi senyap, tiada nampak bayangan seorangpun.
 Kalau masih ada manusia hidup di situ adalah anak buah Jeng-siong-san-ceng yang
 terluka parah dan sedang sakaratul-maut, Anak buah yang lain, para Busu,
 semuanya entah telah lari ke mana. Ditambah lagi asap masih mengepul dengan
 bau sengit yang menusuk hidung.
 Jeng siong san ceng yang semula indah permai dan tenang itu kini telah berubah
 bagaikan suatu kompleks pekuburan, gambaran neraka hidup yang seram.
 Di tengah pertarungan sengit antara Siang Cin melawan Ih Keng-hok itu telah
 bersambung ratusan jurus lagi, kini keduanya sudah sama-sama loyo, lunglai,
 walaupun begitu keduanya tetap pantang menyerah, masih terus berhantam
 menentukan mati atau hidup.
 Akan tetapi, lambat-laun tiba juga saatnya penentuan. Suatu kali, pedang lemas
 Ih Keng-hok menyabat, mungkin saking lemasnya, betapapun terbatas oleh usianya
 yang lebih tua daripada Siang Cin, jelas kelihatan serangannya ini tidak selihay lagi
 seperti tadi. 459 Siang Cin cukup cerdik, sedikit kelemahan musuh segera dilihatnya, walaupun ia
 sendiripun sudah payah, tapi untuk mengerahkan segenap sisa tenaga jelas lebih
 mudah baginya, segera ia mengeluarkan jurus Hoa-liong-hui-goat yang paling lihay
 itu, pada saat pedang lawan menyambar tiba, sekali mendak dan bergeser, kontan
 Siang Cin menabas dengan telapak tangannya.
 Terdengar suara "crat-cret" dua-tiga kali disertai suara "brek" yang keras. Habis
 itu kedua orang lantas berdiri tegak dan saling melotot belaka, muka kedua orang
 sama pucat dan rambut kusut, sekujur badah sama basah kuyup oleh air keringat
 bercampur darah.
 Sampai sekian lamanya kedua orang masih berdiri tegak saling melotot. Keruan
 Sebun Tio-bu dan Pau Seh-hoa sama menahan napas, mereka belum tahu jelas
 siapa yang menang dan siapa kecundang.
 Tapi akhirnya kelihatan Ih Keng-hok mula berjongkok dengan pelahan, sebelah
 tangannya memegang pedang lemas yang menyanggah tanah itu, pedang itu
 tampak mulai melengkung karena tidak kuat menahan bobot tubuh Ih Keng-hok,
 akhirnya terdengar suara nyaring, pedang itu patah, berbareng itu Ih Keng-bok juga
 roboh terkulai.
 "Aha, Kongcuya menang?" seru Pau Sek-hoa sambil berjingkrak girang, ia
 sampai lupa kepada luka sendiri yang tidak ringan.
 Dengan penuh semangat Sebun Tio-bu juga lantas memburu ke arah Siang Cin,
 dilihatnya si Naga Kuning masih berdiri tegak dengan pucat, Sebun Tio-bu menjadi
 ragu-ragu, tanyanya dengan kuatir.
 "Siang-heng, engkau..."
 Terlihat senyuman Siang Cin, ucapnya dengan lemah: "Aku tidak apa-apa, cuma
 punggungku terbeset lagi, mungkin cukup parah."
 Baru sekarang hati Sebun Tio-bu merasa lega, katanya: "Syukurlah luka Siangheng
 tidak berbahaya."
 Dalam pada itu Pau Seh hoa juga sudah menyusul tiba, tanpa disuruh ia lantas
 memeriksa keadaan luka Siang Cin, KuIit daging bagian punggung Siang Cin
 terbeset cukup lebar, lukanya cukup parah tapi tidak membahayakan jiwanya.
 "Bangsat she Ih itu sungguh luar biasa, coba lihat, sudah mampus saja masih
 mendelik," kata Pau Seh-hoa sambil memandang mayat Ih Keng-hok yang
 menggeletak itu.
 "Eh, omong-omong, kan masih ada dua tiga musuh yang berhasil loIos?" seru
 Pau Seh hoa pula.
 "Mereka takkan lolos," kata Siang Cin.
 "Jelas sudah kabur, masa kau bilang takkan lolos?" tanya Seh hoa.
 460 "Tanah bersalju seluas ini, ke mana mereka akan kabur, dalam waktu singkat
 dapat kita bekuk batang lehernya," ujar Siang Cin "Setelah membalut luka, aku akan
 masuk lagi ke tengah perkampungan sana untuk mencari mereka."
 Cepat Pau Seh-hoa membalut luka Siang Cin, begitu juga luka Sebun Tio-bu
 dibubuhi obat seperlunya, kemudian bergilir Sebun Tio-bu membalut luka Pau Sehhoa.
 Sambil membalut luka Sebun Tio-bu berkata:
 "Keparat she lh itu memang hebat, harus diakui aku bukan tandingannya, bila
 berlanjut lebih lama aku bisa mati konyol, syukur Siang heng datang menoIong!"
 "Ah, Ih Keng- hok juga tidak berani meremehkan Sebun-tangkeh," kata Siang
 Cin. "PuIa, bilamana dia tidak dilukai dulu olehmu, mungkin akupun sukar
 menjatuhkan dia."
 Sementara itu Sebun Tio- bu sudah selesai membalut luka Pau Seh hoa, katanya
 kemudian: "Bagaimana, kita mulai lagi sekarang?"
 Siang Cin memandang ke tengah-tengah perumahan Jeng-siong-san-ceng sana,
 lalu menjawab: "Baiklah, coba kita periksa sana duIu."
 Segera ia mendahului menuju ke bagian belakang perkampungan yang terbakar
 itu. Keadaan perumahan itu hampir tidak berwujud rumah lagi, telah menjadi
 tumpukan puing belaka, suasanapun sunyi senyap, tiada bayangan seorangpun.
 "Keparat, jangan-jangan sudah kabur semua?" omel Seh hoa.
 Siang Cin melirik sebuah gedung berloteng yang setengahnya sudah menjadi
 puing dan masih mengepulkan asap, di samping rumah itu adalah hutan dengan
 pohon Siong yang jarang-jarang, di seberang hutan sana api masih berkobar.
 "Di tengah hutan itu mungkin ada sesuatu yang tidak beres," katanya kemudian
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setelah merenung sejenak.
 Tanpa bicara Sebun Tio-bu terus melayang ke sana, sejenak bayangannya
 menyelinap ke tengah hutan, tapi segera ia melayang kembali sambil menggeleng,
 katanya: "Tiada bayangan seorangpun, kecuali bekas kaki yang kacau tiada nampak
 sesuatu jejak lain, Mungkin di dalam hutan semula ada musuh yang disembunyikan
 di situ, tapi kini sudah kabur semua."
 Diam-diam Siang Cin merasa heran, bahwa dalam waktu sesingkat itu anak buah
 Jeng-siong-san-ceng yang beratus-ratus orang itu dapat kabur seluruhnya, tentu
 dalam hal ini ada sesuatu yang belum lagi dipecahkan.
 Pada saat itulah, sekilas ia melihat bayangan orang berkelebat di balik gununggunungan
 sana. Tanpa ayal ia terus menubruk ke sana secepat terbang. Sesudah
 dekat, pada suatu lubang masuk lorong di bawah tanah masih sempat diseretnya
 keluar satu orang-orang ini berbaju hitam dan bermuka pucat, ia gemetar ketakutan
 dan bertekuk lutut minta ampun.
 461 Dalam pada itu Pau Seh hoa dan Sebun Tio-bu juga sudah memburu tiba, tidak
 kepalang gusar Seh-hoa demi mengenali tawanan ini, kontan ia meludah dan
 mendamperat: "Bangsat, akhirnya kau terjatuh juga di tanganku. Hari ini harus
 kubeset kulitmu nntuk melampiaskan dendamku." Habis berkata ia terus
 menengadah dan tertawa terbahak-bahak.
 Siang Cin agak heran, tanyanya: "Lo Pau, kaukenal orang ini?"
 Wajah Seh-hoa tampak beringas, pelahan-lahan ia tenang kembali, timbul
 perasaan dendam dan benci di samping rasa terhina dan malu, ia pandang orang itu
 dengan melotot, katanya kemudian: "Sudah tentu kukenal dia, biarpun dia menjadi
 abu juga tak pernah kulupakan dia. Kongcuya, tentunya kau masih ingat ceritaku
 ketika dahulu kita terjeblos di Jeng siong-san ceng dan aku telah diperlakukan
 secara kejam, dipaksa melakukan sesuatu yang sukar dibayangkan orang berakal
 sehat." Sejenak Siang Cin tertegun, katanya kemudian:
 "O, maksudmu waktu kau dibius dan dicekoki obat perangsang dan disuruh
 melakukan perbuatan tidak senonoh itu?"
 "Ya," jawab Seh-hoa dengan mengertak gigi.
 "Waktu itu aku diseret ke suatu kamar khusus setelah lebih dulu aku dipaksa
 minum obat perangsang, aku dibelejeti hingga telanjang bulat lalu dikumpulkan
 bersama tiga perempuan genit yang juga telah diberi obat perangsang, maka dapat
 kau bayangkan apa yang akan terjadi, aku diperas habis-habisan dan mereka
 menonton di samping . . . . Tatkala itu aku berubah menjadi hewan, lupa malu,
 kehilangan akal, sungguh mereka telah merusak harga diriku, aku diperlakukan
 mereka seperti seekor anjing, seekor babi."
 "Kau tidak salah mengenali orang ini Lo Pau?" tanya Siang Cin.
 "Tidak," jawab Seh hoa dengan gregeten. "Biarpun dia terbakar menjadi abu juga
 kukenal dia. Sekarang tiba saatnya kumampuskan dia. Habis berkata dia terus
 menubruk maju, leher baju orang itu ditarik dan sebelah tangannya hendak
 menghancurkan kepalanya.
 Tapi Siang Cin keburu mencegahnya dan berkata: "Sabar dulu, Lo Pau,
 kematiannya sudah jelas tak dapat diampuni. Cuma, kita perlu menanyai dia dulu
 tentang ke mana kaburnya Sek Kui, Kongsun Kiau hong dan Iain-lain."
 Pau Seh hoa merasa ucapan Siang Cin itu memang tepat, mendadak ia angkat
 leher baju itu lebih tinggi, berbareng muka orang ditamparnya beberapa kali, lalu
 membentak: "Nah, bangsat-kau dengar, lekas katakan ke mana larinya Sek Kui dan
 begundalnya?"
 Orang itu meringis kesakitan dan minta ampun, katanya: "Hamba . . . . hamba
 tidak tahu ke mana larinya Sek wancu . . . . "
 462 Kontan Pau Seh-hoa menambahkan satu tamparan lebih keras lagi dan
 berteriak: "Keparat, jangan kau berlagak linglung, lekas bicara jika tidak ingin
 kumampuskan kau sekarang juga."
 "Hamba benar.... benar-benar tidak tahu," jawab orang itu dengan ketakutan,
 "cuma terlihat Sek-wancu bersama rombongannya menuju ke balik pohon sana, lalu
 . . ." dia menuding ke gerombolan pohon yang terletak di bagian belakang
 perkampungan. Mendadak Siang Cin teringat sesuatu, serunya: "Lo Pau, cukuplah, kutahu
 tempatnya . . ." Seh-hoa berpaling, dilihatnya Siang Cin sedang memandang ke
 pojok belakang perkampungan sana, Rupanya Siang Cin terbayang kembali ketika
 dia ditolong oleh Sek Pin dan dilarikan melalui sebuah terowongan di bawah tanah
 yang menembus ke bukit di belakang perkampungan sana.
 Diam-diam ia tahu apa yang telah terjadi, jelas rombongan Sek Kui telah kabur
 melalui terowongan rahasia itu, atau bisa jadi mereka masih bersembunyi di sana,
 cuma letak mulut terowongan itu tidak diketahui dengan jelas.
 Segera ia memberi tanda kepada Pau Seh-hoa, sambil menyeringai Seh hoa
 mendadak angkat sebelah kakinya, dengan tepat dengkulnya menyodok
 selangkangan tawanannya, kontan orang itu menjerit sambil menunggging,
 menyusul Pau Seh hoa lantas ketuk batok kepalanya, "prak", orang itu roboh terkulai
 dan tak berkutik lagi.
 "Beres Kongcuya!" seru Seh-hoa sambil meludah.
 Siang Cin tertawa, segera ia mendahului menuju ke hutan Siong sana diikuti Seh
 hoa dan Se-bun Tio bu.
 Sampailah mereka di lereng bukit yang penuh batu berserakan itu dengan pohon
 yang jarang-jarang. Mereka memeriksa dengan teliti sekitar tempat itu, jelas banyak
 bekas tapak kaki, akan tetapi belum ada sesuatu tanda nyata yang ditemui.
 "Marilah kita susul terus ke atas, sanggup tidak Lo Pau?" kata Siang Cin, ia lihat
 jalan Pau Seh-hoa berincang-incut dan tampaknya agak payah.
 "Kenapa tidak," jawab Seh hoa, "kalau cuma mendaki bukit begini saja, biarlah
 kaki orang she Pau sudah buntung satu juga masih sanggup."
 Tanpa bicara lagi Siang Cin lantas mendahului mendaki bukit yang penuh
 berbatu berserakan itu. Inilah perjalanan yang tidak mudah, dalam keadaan
 biasapun memakan tenaga, apalagi dalam keadaan terluka seperti Pau Seh hoa dan
 Sebun Tio-bu. Namun Pau Seh hoa tidak mau terlihat lemah, dengan menahan rasa sakit ia
 tetap mendaki ke atas. Begitu pula Sebun Tio bu iapun tidak kalah dan mengintil di
 belakang Siang Cin dengan segenap tenaganya.
 Tidak lama, Siang Cin melihat batu karang raksasa yang menyerupai dinding
 alam itu sudah muncul di depan sana, Di balik dinding batu itulah dahulu mereka
 pernah bersembunyi di sebelah sana lagi ada satu jalan kecil yang menjurus ke
 bawah. 463 Siang Cin memberi tanda agar jangan bersuara dan bergerak perlahan.
 "Kongcuya, apakah kau menemukan sesuatu" Di balik dinding batu sana ada
 orangnya menurut perkiraanmu?" tanya Seh-hoa dengan suara tertahan.
 "Ssst, tampaknya memang ada orang di sana," desis Siang Cin. "Kita
 menggremet saja dengan perlahan, harus kita sergap mereka secara mendadak
 agar mereka tidak sempat kabur lagi."
 Sebun Tio bu dan Pau Seh-hoa mengangguk, mereka merunduk lagi ke atas.
 Sesudah agak dekat, mendadak Siang Cin melayang tinggi ke atas, seperti seekor
 burung raksasa ia meluncur ke dinding batu itu.
 "Bagus!" Sebun Tio bu memuji, berbareng iapun ikut melayang ke atas
 sekuatnya, tapi apapun juga dia tetap ketinggalan jauh di belakang Siang Cin, dia
 harus hinggap lebih dulu pada suatu batu padas untuk kemudian melejit pula ke
 atas. Yang paling konyol adalah Pau Seh-hoa, Ginkangnya tidak setinggi kedua
 temannya, terpaksa iapun berloncat-loncat beberapa kali baru dapat mencapai kaki
 dinding batu itu.
 Dengan jubah kuningnya yang menyolok, Siang Cin memperlihatkan dirinya di
 atas dinding batu itu, keadaan di balik dinding sana segera terpampang jelas, segera
 belasan pasang matapun menatapnya dengan terkejut.
 Nyata, dugaan Siang Cin memang tidak keliru, di sini memang betul perkumpuI
 sisa ikan yang lolos dari jaring di Jeng-siong-san-ceng, di antaranya terdapat Sek
 Kui, Han Cing, Kongsun Kiau-hong dan Kiang Ling selain itu ada pula Sek Pin serta
 pelayannya yang bernama Wan-goat serta belasan anak buah Jeng siong san ceng.
 Munculnya Siang Cin bertiga mungkin sama sekali tak terduga oleh mereka
 sehingga seketika mereka melenggong.
 "Hehe, tentunya tak terduga oleh kalian bahwa dunia ini seakan-akan sedemikian
 sempitnya, ke manapun selalu kepergok, begitu bukan?" ujar Siang Cin dengan
 terkekeh. Mau-tak-mau timbul juga rasa takut pada hati Kongsun Kiau-hong dan Iain-lain,
 tapi sedapatnya mereka bersikap tenang, Han Cing yang buka suara, katanya:
 "Siang Cin, tidak perlu temberang, hari ini tiada yang perlu dibicarakan lagi, hanya
 ada mati atau hidup, Bilamana kau memang jantan sejati, hayolah sebutkan caranya,
 marilah kita satu lawan satu agar ketahuan siapa yang lebih gagah."
 Rupanya menurut perhitungannya, pihak Siang Cin hanya kelihatan datang tiga
 orang, sedangkan di pihaknya ada empat-Iima orang yang cukup kuat untuk
 menghadapi Siang Cin bertiga, belum lagi belasan anak buahnya jika bertempur
 secara bergiliran, hal ini jelas sangat menguntungkan mereka, andaikan harus main
 kerubut, juga pihaknya berjumlah lebih banyak.
 464 "Haha, jangan kau kira Suipoamu dapat kau mainkan sesuai kehendakmu?"
 jengek Pau Seh-hoa. "Satu lawan satu jelas kalian akan mampus, sekalipun kalian
 maju semua juga kami tidak gentar, Apalagi menghadapi kawanan bangsat macam
 kalian ini masakah perlu pakai peraturan Kangouw segala" Pokoknya dosa kalian
 harus ditebus dengan nyawa kalian, tiada pilihan lain."
 "Orang she Pau," Kongsun Kiau hong ikut bersuara, "kau tidak perlu garang,
 bagiku kaupun belum termasuk hitungan. Marilah kita coba-coba."
 "Bangsat," teriak Seh-hoa dengan gusar, "kematian sudah di depan mata, masih
 berani bermulut besar!"
 Mendadak Siang Cin menukas: "Apa gunanya putar lidah dan buang-buang
 waktu belaka, yang harus disesalkan adalah mengapa kalian sampai tersusul oleh
 kami . . ."
 Siang Cin memang tidak suka bicara bertele-tele, begitu menubruk turun, kontan
 dua-tiga Busu Jeng-siong san-ceng yang paling dekat lantas terjungkal berbareng
 sebelah tangannya terus menabas, Sek Kui terkejut dan cepat melompat mundur.
 Sementara itu Sebun Tio-bu dan Pau Seh-hoa serentak juga melancarkan
 serangan, mereka menubruk ke arah Kongsun Kiau-hong dan Han Cing.
 Kiang Ling tidak tinggal diam, segera ia membantu Kongsun Kiau-hong
 mengerubut Pau Seh-hoa. sedangkan Sebun Tio-bu menghadapi Han Cing bersama
 Busu lain. Di antara tiga partai ini, partai Sebun Tio-bu ini paling cepat berakhir, Han Cing
 bukan tandingan Sebun Tio-bu, beberapa Busu itupun tiada artinya bagi gembong
 Jian ki-beng yang perkasa ini. Hanya belasan gebrak, lengan besi Sebun Tio-bu
 mencakar ke depan dan ke samping, tiga Busu hancur mukanya dan terkapar
 sebaliknya lengan besi itu berputar, kembali dua busu lain robek perutnya.
 Han Cing menjadi jeri, tapi belum sempat ia angkat langkah seribu, tahu-tahu
 lengan besi Sebun Tio-bu sudah menyambar tiba, cepat ia menangkis dengan
 pedangnya, tapi Sebun Tio-bu terlebih cepat, sekali berkelebat, tahu-tahu lengan
 besi berputar membalik ke atas, tanpa ampun lagi muka Han Cing hancur tercakar
 oleh jari-jari besi itu, menjerit saja tidak sempat, kontan tubuhnya roboh tersungkur.
 Di sebelah sana pertarungan Siang Cin dengan Sek Kui juga sudah mendekati
 saat berakhirnya. Tapi tampaknya Siang Cin tidak bermaksud membinasakan
 lawannya dengan cepat, seperti kucing mempermainkan tikus saja, ia sengaja
 mengerjai Sek Kui hingga kelabakan dan mandi keringat, ingin balas menyerang
 tidak mampu, mau kaburpun jangan harap.
 Sekilas Siang Cin melihat Pau Seh-hoa rada kewalahan menghadapi kerubutan
 Kongsun Kiau-hong dan Kiang Ling, Siang Cin sengaja menggeser ke sana, pada
 suatu kesempatan, secepat kilat ia menubruk ke sana dan menghantam.
 Tentu saja Kongsun Kiau-hong terkejut, untung dia sempat melompat mundur,
 ketika dilihatnya Siang Cin yang menyergapnya, ia menjadi murka, tongkat
 bambunya yarg runcing terus menusuk, namun Siang Cin sudah lantas melayang
 kembali ke tempatnya semuIa.
 465 Kongsun Kiau-hong penasaran, ia terus memburu dan terpancinglah dia
 mengerubut Siang Cin bersama Sek Kui.
 Kini Pau Seh-hoa hanya berhadapan dengan Kiang Ling sendirian, sudah tentu
 perempuan itu bukan tandingan si "dua keping kayu", kini sambil menyerang sempat
 Pau Seh-hoa melontarkan kata-kata ejekan dan makian.
 Tidak kepalang gusar dan dongkol Kiang Ling, ia menyadari nasib sendiri pasti
 akan konyol bilamana tertawan musuh, ia menjadi lekat, mendadak ia menusuk
 dengan pedangnya, waktu Pau Seh-hoa menyurut mundur, mendadak Kiang Ling
 membalik ujung pedangnya dan menikam ulu hati sendiri dan binasa seketika.
 Pau Seh-hoa melengak, tapi ia lantas meludah dan mengomel kalang kabut.
 Di sebelah sana Sek Kui meski dibantu Kong-sun Kiau-hong tetap bukan ukuran
 bagi Siang Cin. Apalagi setelah mengetahui Han Cing sudah mati dan Kiong Ling
 membunuh diri, mereka tambah panik.
 Siang Cin semakin gencar melancarkan serangannya tanpa kenal ampun. Suatu
 saat, tongkat Kongsun Kiau-hong menyabat dengan kuat, tapi sedikit mendak
 dapatlah Siang Cin menghindarkan serangan itu, ketika dia berputar, sebelah
 kakinya terus mendepak ke belakang secara berantai dua tiga kali "Duk-duk-duk",
 kontan dada Kongsun Kiau-hong termakan, tulang iga patah dan tumpah darah,
 tampaknya biarpun dewa turun dari kayangan juga tidak mampu menghidupkan dia.
 Sekali berputar, tahu-tahu Siang Cin menghadapi pula Sek Kui, dengan cepat
 Sek Kui menghantam, namun gesit sekali Siang Cin menyusup ke samping,
 menyusul sebelah tangannya lantas menabas ke pundak Sek Kui, terdengar jeritan
 ngeri, terkaparlah Sek Kui, meski tidak mati seketika, tapi tulang pundaknya telah
 remuk, selama hidup Kungfunya sudah berguna pula.
 Waktu Siang Siu berpaling, dilihatnya Sebun Tio bu sedang menghadapi Sek Pin
 dan pelayan Wan-goat dan lagi menanyainya, Cepat Siang Cin mendekatinya sambil
 menyapa: "Nona Sek . . . . "
 Sek Pin mendekap mukanya dan menangis sedih, ucapnya dengan terputusputus:
 "Siang Cin, kau bunuh saja sekalian diriku ini. . . "
 "Tidak nona Sek," kata Siang Cm tegas "Ku-tahu kau tidak ikut bertindak sesuatu
 yang tidak baik. kau hanya ikut-ikutan terkena getahnya saja, terutama kakakmu
 yang menimbulkan semua sengketa ini. Malahan aku tidak lupa pada pertolonganmu
 yang menyelamatkan diriku dan kawan-kawanku ketika kami tertawan dahuIu,
 sekarang kakakmu Sek Kui sudah terkena pukulanku dan cacat selama hidup, tulang
 pundaknya remuk, ilmu silatnya punah, selanjutnya kukira kalian dapat hidup lebih
 baik dan aman, sayangilah sesamanya dan tawakallah kepadaNya. Hari depan nona
 masih cerah, kuharap nona menjaga diri baik-baik dan silakan pergi saja
 Sebun Tio-bu mengangguk memuji tindakan Siang Cin yang bijaksana ini. Pau
 Seh-hoa mengangguk setuju.
 Apa mau dikatakan lagi, tiada jalan lain kecuali menurut saja, Sek Pin dan Wan
 goat mendekati Sek Kui dan membangunkannya, dengan langkah berat pergilah
 mereka menuju kehidupan baru . . . .
 466 ooo-o0o-ooo Beberapa hari kemudian, di depan rumah mungil di luar kota Tay-goan-hu itu
 kelihatan Siang Cin, Kun Sim ti, Sebun Tio-bu, Pau Seh hoa, An Lip dan isterinya
 bertengger di atas kuda dan siap-siap untuk berangkat ke Soasay, ke tempat Sebun
 Tio bu, walaupun merasa berat meninggalkan tempat kediaman yang lama, akan
 tetapi demi hari depan, demi kebahagiaan, terutama Siang Cin dan Kun Sim-ti, di
 sanalah sedang menanti masa depan mereka yang bahagia. . .
 - T A M A T -
^