Pencarian

Bentrok Para Pendekar 1

Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Bagian 1


Bentrok Para Pendekar
di http://cerita-silat.mywapblog.com
Huo Bing Xiao Shi Yi Lang
Karya Gu Long - Gan K.H.
*** file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
Lanjutan Anak Berandalan
Jilid 1 : Tujuh Orang Buta
Awal musim rontok, cuaca panas.
Sinar matahari menembus lubang-lubang kertas jendela, menyorot masuk menyinari kulit badan nan putih
halus bagai sutra. Suhu air sedikit lebih hangat dari sinar matahari. Ia sedang rebah santai dalam bak air,
dua kaki yang jenjang mulus diangkat tinggi-tinggi sambil menikmati hangatnya sinar matahari yang tepat
menyorot telapak kakinya. Cahaya nan lembut ibarat tangan kekasih yang mengelus badan.
Hong Si-nio sedang dirundung susah, hatinya gundah.
Setengah bulan ia harus pontang-panting, hari ini sempat mandi air panas, boleh dikata sebagai hari yang
paling bahagia, namun seseorang bila hatinya sedang gundah, banyak pikiran seperti Hong Si-nio saat itu,
rasanya tiada sesuatu persoalan apapun yang dapat menggembirakan hatinya.
Hong Si-nio bukan perempuan yang mau dikendalikan pera-saannya, kelihatannya hari ini ia benar-benar
risau, bimbang dan cemas.
Angin sepoi-sepoi di luar jendela, semilir membawa bau kembang. Di luar sana adalah perbukitan berbatu,
batu-batu berse-rakan.
Dua tahun lalu ia pernah berada di tempat ini.
Dua tahun lalu, seperti sekarang dalam rumah papan yang reyot ini sedang mandi, masih segar dalam
ingatannya, wak.tu itu hatinya amat gembira. Jauh lebih gembira dibanding sekarang.
Keadaannya sekarang rasanya tidak banyak beda dengan keadaan dirinya dua tahun lalu. Dadanya masih
kencang montok, pinggangnya masih ramping, perutnya masih rata mulus, sepasang paha kakinya tetap
mulus, kencang lagi mengkilap. Bola matanya juga masih terang menarik, bila tertawa tetap menawan,
begitu menggiurkan.
Dua tahun ia tetap merawat tubuhnya dengan baik, tidak menyia-nyiakan keindahan tubuhnya, menikmati
kehidupan ini. Ia masih senang menunggang kuda yang dilarikan kencang, memanjat gunung yang tinggi,
makan hidangan yang amat pedas, minum arak yang paling keras, memainkan golok yang tercepat,
membunuh orang yang paling dibenci. Pokoknya menikmati hidup, sepuas-puasnya menikmati kehidupan.
Namun sayang, ia sudah hidup sesuai hasrat hatinya, memburu kesenangan apa saja yang bisa ia lakukan,
namun ia tidak mampu mengusir rasa "sepi" hatinya, rasa sepi yang meresap sumsum, ibarat kayu yang
keropos digerogoti rayap, raga ini seperti menjadi kosong.
Kecuali sepi, lebih parah lagi ia dijangkiti penyakit "rindu". Rindu masa remaja, rindu masa lalu, dari segala
rindu nan rindu, semua bertumpu pada seseorang.
Walau ia tidak ingin mengakui, namun tiada orang lain di dunia ini yang dapat mengisi posisi orang itu di
relung hatinya.
Termasuk Nyo Khay-thay, tiada kesan sama sekali.
Ia sudah menikah dengan Nyo Khay-thay. Tapi malam itu juga ia minggat dari kamar pengantin.
Terbayang muka Nyo Khay-thay yang berbentuk kotak, sikap-nya yang sopan penuh aturan, cinta kasihnya
yang tulus, Hong Si-nio merasa bersalah, tidak semestinya ia mengingkari suami yang baik hati lagi jujur itu,
namun ia sendiri bingung kenapa semua itu ia lakukan.
Satu hal yang ia akui, ia tidak bisa melupakan Siau Cap-it Long.
Tak peduli ia berada di ujung langit, masih hidup atau sudah mati, ia tidak bisa melupakan perjaka itu,
selamanya takkan terlu-pakan.
Seorang perempuan kalau pujaan hatinya tidak berada di sampingnya, umpama tiap hari ia hidup berbaur di
tengah ribuan orang, ia masih akan tetap merasa kesepian.
Apalagi Hong Si-nio sudah berusia tiga puluh lima tahun, rasanya tiada rasa "sepi" dan "rindu" di dunia ini
yang bisa menyiksa hatinya, siksa yang tak tertahankan lagi.
Dengan terlongong ia mengawasi pahanya nan indah mulus, kulit badannya yang halus lembut, tanpa terasa
air mata berkaca-kaca di pelupuk matanya ... "Blang".
Dalam waktu yang sama, jendela, pintu dan dinding papan jebol diterjang dari luar, berlubang tujuh delapan
bagian. Bukannya kaget, Hong Si-nio malah tertawa.
Dua tahun lalu, juga saat ia sedang mandi, terjadi peristiwa yang sama.
Seperti dua tahun lalu, ia sedang rebah menikmati air hangat dalam baskom besar, dengan handuk sedang
menggosok lengan.
Mendadak air mukanya berubah, sungguh hatinya merasa aneh dan bingung. Karena orang-orang yang
mengintip dirinya mandi tenyata semuanya buta.
Dari tujuh lubang besar itu, tujuh orang melangkah masuk. Rambut panjang menghitam gilap, pakaian serba
hitam pula, kelo-pak matanya juga berlubang gelap, tangan kiri mereka memegang sebatang tongkat putih,
tangan kanan memegang kipas.
Begitu melangkah masuk tujuh orang buta berdiri mengelilingi Hong Si-nio yang sedang mandi dalam
baskom besar, wajah mereka tarnpak pucat, memutih tanpa perubahan air muka.
Hong Si-nio cekikikan geli, "Wah, si buta juga menonton aku mandi, memangnya gaya mandiku ini menarik?"
Tujuh orang itu pasti buta, mulut mereka juga bungkam, entah bisu atau tidak. Agak lama kemudian, barulah
seorang di antaranya buka suara, "Kau tidak berpakaian?"
Hong Si-nio masih cekikikan, "Waktu kalian mandi apakah berpakaian?"
"Baik," ujar si buta tadi, "kami tunggu kau berpakaian!"
"Kalian buta, kan tidak bisa melihat aku," jengek Hong Si-nio, "buat apa aku berpakaian." Matanya
mengerling, lalu menyambung, "Terus terang aku merasa sayang bagi kalian, wanita cantik yang sedang
mandi seperti diriku, kalian tidak bisa menyaksikan, sungguh sayang, sungguh kasihan."
"Tidak perlu dibuat sayang," dengus si buta.
"Tidak merasa sayang?" Hong Si-nio menegas.
"Si buta juga orang," kata si buta. "Tidak bisa melihat, tapi bisa meraba, bisa berbuat macam-macam." Si
buta bicara kotor, jelasnya porno, tapi wajahnya kaku, nadanya serius. Sebab dia bicara jujur.
Mendadak Hong Si-nio menggigil meski tidak kedinginan, ia tahu orang macam apa mereka, berani bicara
berani melakukan.
Si buta berkata lagi, "Makanya jangan banyak bertingkah, kusuruh pakai baju, lekas kenakan pakaianmu."
"Kalian mencari aku untuk apa?" tanya Hong Si-nio.
"Kami datang menjemputmu."
"Lho, mataku melek, memangnya ikut orang buta malah?"
"Ya, benar."
"Kemana pun kalian pergi, aku harus ikut?"
"Betul."
"Kalau kalian jatuh ke dalam jumbleng (septic tank), aku juga harus ikut."
"Betul."
Melihat sikap si buta serius, Hong Si-nio tertawa geli malah.
"Omonganku bukan untuk ditertawakan," nada si buta mulai mengancam.
"Tapi aku merasa geli."
"Amat geli?"
"Berdasar apa kalian mengira aku pasti patuh pada omongan-mu."
"Tidak perlu dasar apa-apa."
"Kalian buta tapi tidak tuli. Memangnya kalian tidak pernah mendengar, bila Hong Si-nio sedang mandi,
senjata tajam selalu tersedia dan siap membunuh orang."
"Kami memang pernah mendengar."
"Sepertinya kalian tidak takut?"
"Bagi kami bertujuh, tiada sesuatu di dunia ini yang menakut-kan."
"Mati juga tidak takut?"
"Kami tidak takut mati."
"Kenapa?"
Muka si buta menampilkan mimik yang aneh, suaranya dingin, "Sebab kami pernah mati sekali."
Tidak ada manusia mati dua kali.
Omongan brutaldan ngawur. Tapi kalau yang bicara si buta, pasti tiada orang bilang omongannya brutal,
karena dia bicara jujur, omongan nyata.
Kembali Hong Si-nio menggigil, seperti kedinginan saat rebah dalam air es yang hampir membeku.
Tapi perasaannya berontak, kalau takut digertak dan menurut perintah mengenakan pakaian, cewek ini
bukan Hong Si-nio.
Hong Si-nio menghela napas, "Orang yang mengintip aku mandi, pasti kubuat buta matanya, sayang kalian
sudah buta."
"Ya, sungguh sayang," jengek si buta.
"Untungnya aku tidak bisa membuat kalian buta sekali lagi, tapi aku bisa mernbuat kalian mampus sekali
lagi." Entah bagaimana, jari-jari tangannya menepuk air, di antara air yang muncrat, dari tengah jemari yang lentik,
beterbangan belasan sinar perak gemerdep.
Biasanya Hong Si-nio tidak suka membunuh orang, kalau kepepet dan harus bertindak tegas, tidak segan ia
membunuh lawan.
Jarum peraknya memang tidak selihai dan terkenal seperti jarum emas keluarga Sim, namun jarang gagal
menyerang musuh,
Sekali sambit empat belas batang jarum perak menyebar ke tenggorokan tujuh orang buta yang
mengelilinginya.
Kipas lempit di tangan para orang buta serempak dikem-bangkan, empat belas jarum perak mendadak
lenyap tak keruan parannya.
Di tengah kipas lempit ketujuh buta itu semua bertulis "Siau Cap-it Long harus mampus". Warna merah,
merah darah yang menjijikkan.
"Sungguh kasihan Siau Cap-it Long," kata Hong Si-nio, "kenapa banyak orang ingin kematianmu?"
"Memang dia pantas mati."
"Kalian ada dendam dengannya?"
Muka si buta menampilkan rasa benci dan dendam. Tidak perlu dijawab, di antara mereka jelas ada
permusuhan mendalam.
"Jadi kalian buta lantaran perbuatannya?"
"Sudah kujelaskan, kami pernah mati sekali."
"Begitukah?"
"Sekarang kami sudah bukan orang-orang yang dahulu, sekarang kami hanya orang-orang cacad yang
buta." "Dahulu kalian siapa?"
"Paling tidak kami punya nama yang disegani, sekarang orang-orang buta yang tidak berguna."
"Jadi kalian berusaha membunuhnya."
"Harus mampus!"
Hong Si-nio masih bisa tertawa, "Kalau begitu carilah dia, kenapa melurukku" Aku kan bukan bininya?"
"Kedatanganmu di sini untuk apa?"
"Bukit berbatu di sini adalah sarang penyamun. Kebetulan seorang temanku adalah berandal."
"Kwi-to Hoa Ping maksudmu?"
"Kalian mengenalnya?"
"Pentolan utama dari kawanan berandal di Kwan-tiong, tokoh mana di Kangouw yang tidak mengenalnya?"
Hong Si-nio menghela napas lega, "Kalian tahu seluk-beluknya, nah, pergilah cari dia!"
"Tidak perlu!"
"Tidak perlu" Apa artinya tidak perlu?"
"Maksudnya, kalau kau ingin bertemu dengan dia, kapan saja aku bisa memanggilnya kemari."
Hong Si-nio tertawa lebar, "Apa dia patuh kepada kalian?"
"Sebab dia tahu si buta juga bisa membunuh orang," men-dadak ia mengulap tangan, suaranya kereng,
"Antar Hoa Ping masuk!"
Baru lenyap suaranya, dari luar pintu terbang masuk satu benda, Hong Si-nio mengulur tangan, ternyata
sebuah kotak kayu.
"Kelihatannya hanya sebuah kotak kayu?"
"Ya, sebuah kotak!"
"Kurasa Hoa Ping bukan sebuah kotak?"
"Kenapa tidak kau buka kotak itu!"
"Oh, Hoa Ping bersembunyi dalam kotak ini?" suara Hong Si-nio berubah kecut, ia sudah membuka kotak
kayu itu, isinya bukan orang, tapi sebuah tangan, tangan kanan yang berlepotan darah. Tangan Hoa Ping.
Tangan Hoa Ping buntung.
Gagang golok harus digenggam oleh jari-jari tangan. Seorang yang terkenal karena ilmu goloknya, kalau
tangannya buntung, bagaimana ia mampu mempertahankan hidup.
"Selama hidup aku takkan bisa bertemu orang ini lagi."
"Sekarang kau harus mengerti," tukas si buta, "kalau kau sendiri ingin mati, tidak harus kupenggal
kepalamu."
Hong Si-nio manggut-manggut, ia mengerti, cukup paham.
"Maka kalau kurusak wajahmu, berarti kau juga sudah mati."
"Maka aku harus patuh dan lekas berpakaian, lalu ikut kalian."
"Ya, memang demikian."
Hong Si-nio tertawa, "Kalian kawanan buta bajingan, apa tak salah lihat, kenapa tidak cari tahu dulu, Hong
Si-nio sudah hidup tiga puluh lima tahun, kapan pernah diperintah orang?"
Waktu memaki orang, wajahnya masih tertawa, kawanan buta itu sepertinya tertegun kaku.
"Kalau kalian ingin mengundangku ke suatu tempat, sedikit-nya harus tepuk-tepuk dan menjilat-jilat pantat,
lalu siapkan sebuah tandu, mungkin aku masih mau pikir-pikir." Sampai di sini ia tidak melanjutkan
omongannya. Karena pada saat itu, dari lembah bukit arah selatan berkumandang suara sempritan bambu yang aneh.
Disusul suara "Ting" yang berkumandang di luar pintu.
Kawanan buta mengerut alis, empat orang di antaranya mendadak menggerakkan tongkat putihnya, "Trap",
empat tongkat itu menusuk amblas ke baskom yang terbikin dari kayu, secara silang menyilang mereka
mengangkat baskom gede itu.
Seperti memikul tandu layaknya, empat orang buta ini me-mikul Hong Si-nio yang masih rebah dalam
baskom dan bertindak keluar. Gerak-gerik mereka serempak, kaki tangan berbareng ter-ayun, mendadak
mereka sudah berada di luar pintu.
Di luar pintu ada seorang berdiri menghadap ke bukit dengan batu-batu yang berserakan, tangannya juga
memegang sebatang tongkat pendek. Tapi orang ini tidak buta, namun pincang karena kakinya yang satu
buntung. Tongkat pendek di tangan mengetuk sekali di tanah berbatu, "Ting", dibarengi lelatu api. Tongkat
pendek itu terbuat dari besi. Begitu tongkat menutul tanah., badannya melejit jauh ke sana delapan kaki, dia
tetap menghadap ke sana, seperti malu melihat Hong Si-nio.
Hong Si-nio menghela napas, suaranya seperti mengigau, "Sungguh tak disangka, di sini aku bertemu
seorang Kuncu. Lelaki tulen yang tidak pernah melihat perempuan mandi."
Di tengah semilir angin lalu, pakaian si pincang tampak melambai-lambai. Hanya sekejap bayangannya
sudah meluncur jauh. Seorang cacad yang pincang dengan kaki satu, ternyata dapat berjalan begitu cepat
melebihi orang normal.
Dua orang buta di kanan, dua yang lain di kiri memikul Hong Si-nio yang rebah dalam baskom kayu,
mengikuti si pincang dengan kecepatan tinggi, jalan pegunungan yang tidak rata tidak menjadi halangan, air
dalam baskom sedikit pun tiada yang muncrat keluar.
Tiap kali si pincang menutul tongkat besi di tanah, "Ting", sigap sekali empat orang buta melejit ke sana
tanpa halangan.
Akhirnya Hong Si-nio paham. "Ternyata si pincang sebagai penunjuk jalan!"
Padahal ia tahu cewek cantik yang berendam di air hangat dalam baskom dalam keadaan bugil, jangankan
menoleh dan memandang dirinya, melirik saja tidak. Lelaki macam ini boleh diagulkan sebagai Kuncu yang
susah dicari dalam mayapada. Atau mungkin demi gengsi, tidak sudi melakukan perbuatan yang bisa
mengundang celoteh orang banyak.
Memangnya si pincang tokoh yang punya kedudukan" Mungkin juga dia pernah mati sekali"
Angin pegunungan di pertengahan musim rontok mulai terasa dingin.
Hong Si-nio mulai menyesal mestinya tadi ia berpakaian lebih dulu. Sekarang ia benar-benar kedinginan,
dalam kondisi seperti sekarang memangnya ia harus melompat keluar dari baskom dalam keadaan bugil.
Apalagi ia mulai tertarik dan ingin tahu orang-orang buta yang aneh ini sebetulnya hendak membawa dirinya
kemana" Apa yang akan dilakukan di sana" Minat ingin tahu bergolak dalam sanubarinya. Memangnya
Hong Si-nio suka kejutan, senang me-nempuh mara bahaya.
Orang-orang buta itu berjalan cepat cekatan tanpa bersuara.
Setelah hening sekian lama, Hong Si-nio buka suara pula, "Hei, tuan kaki satu di depan itu, kalau kau
seorang Kuncu tulen, copotlah baju luarmu untuk kupakai!"
Si pincang tetap tidak berpaling, bukan saja pincang, seperti-nya juga tuli. Umpama kepandaian Hong Si-nio
setinggi langit, menghadapi orang-orang buta lagi bisu, pincang lagi tuli, apa boleh buat, tak bisa apa-apa.
Jalan yang ditempuh menjurus turun ke bawah, setelah membelok di tikungan tajam, jalan mulai berputar
naik. Puluhan langkah kemudian mereka tiba di depan sebuah hutan bambu.
Memangnya kewalahan menghadapi orang-orang ini, Hong Si-nio malah tarik suara bersenandung,
"Menghentikan kereta di waktu malam, senang sekali duduk di luar hutan. Daun merah berguguran, bulan
mekar di bulan dua ...."
Mendadak terdengar berkumandang suara tawa merdu dari dalam hutan, suara runcing semerdu kelintingan
berkata, "Hong Si-nio adalah Hong Si-nio, dalam kondisi seperti ini, ternyata masih punya selera
bersenandung segala." Ditilik dari suaranya, yang bicara pasti seorang gadis muda belia.
Si pincang sudah melangkah ke dalam hutan, mendadak tu-buhnya melejit ke atas lalu bersalto balik. "Siapa
di sana?" suaranya berat.
Waktu kakinya menginjak bumi, tubuhnya masih menghadap ke sana membelakangi Hong Si-nio. Entah
tidak berani melihat Hong Si-nio yang bugil atau takut Hong Si-nio mengenali dirinya.
Langkah para orang buta pun ikut berhenti, sikap mereka se-perti tegang.
Diiringi cekikik tawa merdu, dari dalam hutan muncul seorang gadis muda dengan dua kuncir rambut
panjang, langkahnya ringan.
Cahaya mentari menjelang magrib menyoroti wajahnya, wajah putih bulat telur yang rupawan mirip bunga
mekar di musim semi.
"Halo nona cilik yang manis ...." seru Hong Si-nio.
Gadis cilik itu pandai bicara, "Sayangnya dibanding Hong Si-nio, gadis cilik macamku ini menjadi jelek mirip
babi." Mekar senyuman Hong Si-nio, "Gadis cilik yang ayu lagi pintar seperti kamu pasti tidak satu golongan
dengan makhluk-makhluk aneh ini bukan?"
Gadis itu maju ke depan memberi hormat, "Aku bernama Sim-sim, sengaja mengantar pakaian untuk Hong
Si-nio." "Sim-sim, nama yang bagus, seperti orangnya."
Entah kenapa Hong Si-nio mendadak menjadi senang. Sebab tak jauh di belakang Sim-sim muncul pula dua
gadis bersanggul, masing-masing membawa nampan emas, di atas nampan itulah pakaian sutra dengan
warna dan corak yang serba baru.
Sambil mendekat Sim-sim tertawa pula, "Kami tidak tahu ukuran badan Hong Si-nio, namun dilihat potongan
yang semampai, pakaian model apapun rasanya tetap cocok dan pas."
Makin mekar senyuman Hong Si-nio, "Gadis cilik yang baik hati, kelak pasti dapat jodoh orang gagah lagi
ganteng." Merah jengah selebar muka Sim-sim, katanya dengan meng-geleng kepala, "Yang baik hati bukan aku, tapi


Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hoa-kongcu dari keluarga ...."
"Hoa-kongcu?" tukas Hong Si-nio.
"Hoa-kongcu tahu, Hong Si-nio datang tergesa-gesa, tidak sempat berpakaian, apalagi angin pegunungan
kencang lagi dingin, kuatir Si-nio masuk angin, aku sengaja disuruh mengantar pakaian."
"Kelihatannya Hoa-kongcumu itu pemuda yang pengertian."
"Memang pengertian, lemah lembut lagi."
"Rasanya aku belum pernah kenal Hoa-kongcumu itu."
"Sekarang memang belum kenal, sebentar lagi juga akan ber-tatap muka."
Hong Si-nio menepuk paha, "Betul, memangnya siapa bisa kenal kalau belum pernah bertemu. Bisa kenal
pemuda romantis seperti dia, perempuan macam apapun akan merasa senang."
Tawa Sim-sim makin manis, "Memang Hoa-kongcu berharap Si-nio tidak lupa di dunia ini ada pemuda
seromantis dia."
"Pasti tidak akan kulupakan."
Dua gadis pembawa nampan sudah mendekat.
"Berhenti!" mendadak si pincang membentak.
Dua gadis itu berhenti tanpa bersuara, Hong Si-nio melotot ke arahnya, "Berdasar apa kau suruh mereka
berhenti?"
Si pincang tidak menghiraukan ocehan Hong Si-nio, matanya mengawasi Sim-sim, "Hoa-kongcu yang kau
sebut tadi, apakah Hoa Ji-giok?" Suaranya serak lagi rendah, nadanya tidak enak didengar .
"Kecuali Hoa Ji-giok Hoa-kongcu kita, di dunia ini mana ada lagi Hoa-kongcu yang lemah lembut lagi
pengertian?"
"Dia ada dimana?" tanya si pincang.
"Untuk apa kau tanya" Memangnya ingin mencarinya?"
Si pincang seperti kaget, tanpa sadar menyurut mundur dua langkah.
"Cis, mana berani kau mencarinya, buat apa aku memberitahu dimana beliau berada."
Si pincang menarik napas panjang, suaranya beringas, "Baju ini bawa pulang. Barang yang pernah disentuh
Hoa Ji-giok pasti beracun, kami tidak mau."
"Kau tidak mau, aku mau," teriak Hong Si-nio.
"Nah, Si-nio sendiri mau, tidak lekas kalian serahkan baju itu?"
Awalnya bimbang, akhirnya kedua gadis itu tampak takut.
"Takut apa?" tawar suara Sim-sim, "tampangnya saja galak, mereka takkan berani menghalangi ...."
Mendadak si pincang tertawa dingin, tongkat pendek di tangannya mendadak menyodok ke leher Sim-sim.
Jurus serangan ini ganas lagi kencang, yang digunakan seperti jurus pedang yang galak lagi telengas,
kelihatan ilmu pedangnya tinggi, serangan ganas yang mematikan.
Bahwa si pincang menyerang gadis cilik dengan jurus ganas mematikan, menimbulkan amarah Hong Si-nio,
maka si pincang pasti akan menerima akibatnya.
Saat itu si pincang tengah menyodok dengan tongkat pen-deknya, entah bagaimana tahu-tahu Sim-sim
menyelinap turun, se-licin belut menerobos dari bawah ketiak orang, gerak-geriknya gesit lagi lincah.
Hong Si-nio terkejut, sungguh tak pernah terbayang olehnya, gadis belia ini ternyata mampu bergerak
tangkas. Tapi reaksi si pincang juga cepat, badan tidak bergeming, dengan jurus Ta-bak-kim-ciong
(memukul balik lonceng emas), tongkat pendek menyelinap ke belakang lewat ketiak.
"Kau menyerang lebih dulu," jengek Sim-sim, "kalau celaka jangan salahkan aku."
Selama gadis belia bicara, si pincang sudah menyerang lima belas jurus, permainan tongkat berubah
menjadi jurus-jurus pedang, jurus pedang yang telengas, pasti si pincang termasuk jago kelas wahid.
Dengan gaya enteng, mudah sekali Sim-sim meluputkan diri dari serangan ganas lawan, mendadak
tubuhnya berputar-putar, en-tah kapan dan darimana, tahu-tahu tangannya memegang golok pendek yang
gemerdep. Saat si pincang menyerang jurus keenam belas, Sim-sim membalik tangan menangkis, "Tring", tongkat
pendek terbuat dari baja itu tahu-tahu tertabas putus sebagian.
"Bukankah sudah kubilang kau bakal celaka. Sekarang mau percaya tidak."
Tawanya nyaring, gerak goloknya ternyata menakutkan, tu-buhnya seperti dibungkus kilauan sinar golok
yang menari turun naik.
Secepat kilat Hong Si-nio mengenakan jubah baru yang ber-sulam indah. Sementara tongkat si pincang
yang semula panjang tiga kaki, terpapas putus tinggal satu kaki lebih sedikit. Kini sinar golok juga
membungkus dirinya, tiap tusukan atau bacokan golok tajam merupakan serangan mematikan
Awalnya Hong Si-nio menguatirkan keselamatan Sim-sim, sekarang berbalik menguatirkan keselamatan jiwa
si pincang malah. Hong Si-nio tidak suka membunuh orang, juga tidak senang melihat orang lain membunuh
di depannya. Setelah diperhatikan ia merasa ilmu pedang yang dimainkan si pincang seperti amat hapal, ia
yakin dirinya pasti kenal orang ini. Bahwa nona cilik berbaik hati meng-antar pakaian buat dirinya,
memangnya pantas sekarang ia membela si pincang"
Yang aneh, tujuh orang buta itu kelihatan tidak gugup juga tidak tegang. Mereka berdiri mematung saja.
"Cret", suaranya tidak keras dibarengi hamburan darah, tahu-tahu pundak si pincang luka berdarah.
Sim-sim cekikikan, "Berlutut dan panggil aku bibi tiga kali, kuampuni jiwamu!"
Serentak si pincang menyerang tujuh jurus, "Trak", tongkat pendeknya terpapas lagi. Padahal tingkat
kepandaiannya terhitung kelas satu di Kangouw, namun berhadapan dengan gadis belia ini, permainan ilmu
pedangnya jadi merosot turun ke kelas delapan.
Permainan golok pendek di tangan Sim-sim cepat lagi keras, jurus permainannya juga aneh, tiap jurus
serangan membuat lawan merasa ngeri.
Hong Si-nio tidak habis pikir, gadis ini masih semuda itu, ilmu golok itu entah sejak kapan dipelajari, begitu
mahir dan lihai.
"Kutanya lagi sekali, mau tidak memanggilku bibi?" Sim-sim menegas.
Mendadak si pincang meraung keras bagai hewan liar yang terluka, sekuat tenaga sisa tongkat di tangan ia
lontarkan ke depan, menyusul jari-jari tangan yang kurus panjang bagai cakar garuda mencengkeram ke
tenggorokan Sim-sim.
Sim-sim kaget dan tertegun mematung, raung si pincang memang menakutkan, golok di tangan juga lupa
dibuat menusuk ke depan. Cepat sekali cakar tangan yang mengerikan sudah berada di depan mukanya.
Perubahan justru terjadi dalam sekilas itu, di saat jiwa terancam elmaut, Sim-sim malah tertawa manis,
katanya aleman, "Kau tega membunuhku?"
Si pincang terpesona oleh mimik tawa Sim-sim, gerak ta-ngannya sedikit merendek. Pada saat itulah mimik
tawa Sim-sim yang menarik berubah dingin bengis, golok kemilau di tangannya tahu-tahu sudah
mengancam tenggorokan lawan juga.
Bahwa si pincang tidak tega membunuh gadis belia, tapi nona cilik ini tega membunuh dirinya, membunuh
tanpa berkedip.
Pada detik yang hampir menentukan mati hidup, dari arah hutan tiba-tiba timbul angin kencang, sebatang
cambuk panjang lima tombak bagai ular ganasnya mendadak menggulung turun, ujung cambuk tepat
menahan pergelangan tangan Sim-sim, golok pendek di tangan Sim-sim langsung terbang ke angkasa.
Menyusul badannya juga digulung mumbul lalu berjumpalitan lima kali baru meluncur turun di tanah, dengan
bergulingan baru bisa lompat ba-ngun, gerak-geriknya jelas amat susah, pergelangan tangan tampak
bengkak memerah.
Untuk permainan cambuk, Hong Si-nio adalah ahlinya. Ia maklum, makin panjang cambuk makin sulit
dimainkan, makin sulit dipelajari. Selama ini belum pernah ia melihat cambuk sepanjang ini, apalagi
permainan cambuk panjang yang lincah, hidup lagi ganas.
Siapa pun orangnya, bahwa ilmu cambuknya dapat dimainkan selihai itu, pasti ia seorang kosen yang
menakutkan. Mendadak Hong Si-nio mendapat firasat jelek, segala urusan dan persoalan yang dihadapi hari ini seperti
serba konyol, orang-orang yang dihadapi satu lebih lihai lebih aneh dari yang lain, semua menakutkan.
Setelah pemegang cambuk panjang muncul, baru ia benar-benar tahu makhluk aneh lagi kosen itu
bagaimana tampangnya. Orang ini boleh dianggap makhluk aneh, makhluk aneh di antara yang teraneh.
Bagi Sim-sim hari ini jelas adalah hari yang menyebalkan. Dengan jari tangan yang lain ia menopang
pergelangan tangan yang membengkak besar, karena menahan sakit, wajahnya sudah mewek-mewek
hampir menangis. Begitu melihat orang ini, saking ngerinya ia lupa untuk menangis.
Makhluk aneh ini muncul bukan berjalan sendiri, bukan naik kereta atau menunggang kuda, jelas dan pasti
bukan merangkak keluar. Tapi duduk di atas kepala seorang, duduk di atas kepala raksasa. Raksasa ini
tinggi sembilan kaki, bertelanjang dada, me-ngenakan topi besar lagi lebar, topi besar ini juga adalah sebuah
meja, ia duduk anteng di topi besar itu dengan jubah warna-warni yang disulam berbagai bentuk hewan
terbang, lengan kiri melambai turun dan ternyata kosong.
Tampang orang ini sebetulnya tidak aneh, kulitnya yang putih pucat, menampilkan mimik yang berwibawa,
sepasang matanya me-nyorot terang, rambutnya yang gilap digelung ke atas diikat mah-kota mutiara.
Kalau hanya menilai wajah, sebetulnya orang ini terhitung cakap, laki-laki ganteng. Tapi sekilas pandang,
orang akan merasa dari tubuh orang ini seperti mengeluarkan hawa atau bau yang menggidikkan, apalagi
setelah diamati dari dekat, ternyata ia bukan duduk tapi berdiri, sebab kedua kakinya buntung pas di pangkal
pahanya. Jadi kaki tangan orang ini tinggal satu, tangan kanan saja, cambuk lima tombak itu berada di
tangan kanan. Hong Si-nio menarik napas panjang, perasaannya makin ter-tekan bahwa hari ini memang hari yang jelek,
menyebalkan. Wajah Sim-sim putih bagai salju, seperti ingin membela diri, ia berteriak, "Dia menyerangku lebih dulu, boleh
kau tanya pada-nya!"
Dengan dingin orang itu menoleh sekejap, pandangan beralih ke depan, agak lama kemudian baru
mengangguk, suaranya parau, "Aku tahu." Suara keras jelas mengandung daya tarik. Sebelum cacad, orang
ini pasti lelaki yang pandai memikat perempuan.
"Sesuai perintah Hoa-kongcu, aku kemari hanya mengantar pakaian untuk Hong Si-nio," Sim-sim coba
membela diri. "Ya, aku tahu," kata orang itu.
Sim-sim menghela napas lega, sambil menahan sakit ia ter-tawa kecut, "Syukur kau mengerti, apa aku boleh
pergi." "Sudah tentu kau boleh pergi!" sahut orang itu.
Tanpa bicara lagi Sim-sim hengkang dari tempat itu.
Ternyata orang itu diam saja. Hong Si-nio menarik kesim-pulan bahwa orang ini tidak begitu menakutkan
seperti dugaan semula.
Tak nyana baru belasan langkah berlari, Sim-sim putar balik dengan wajah memelas, pergelangan yang
bengkak tadi kini men-jalar naik ke lengan, lengan kanan itu sebesar paha kaki sendiri, selebar mukanya
ditaburi keringat sebesar kacang, suaranya serak, "Cambukmu itu juga beracun?"
"Ya, ada sedikit," sahut orang itu.
"Lalu ... lalu bagaimana?"
"Kau tahu bagaimana kedua paha dan tangan kiriku menjadi buntung?"
Sim-sim menggeleng kepala.
"Aku sendiri membacoknya buntung."
"Hah, kenapa kau membacok buntung kaki tangan sendiri?"
"Karena kaki tanganku terkena racun orang lain."
Seperti kena lecut tajam badan Sim-sim berjingkat di tempat, badannya menjadi lemas, teriaknya terisak,
"Kau ... kau juga ingin aku menjadi cacad?"
"Memangnya kenapa kalau cacad?" dingin suaranya, "bukan-kah orang-orang yang ada di sini banyak yang
cacad?" Sim-sim menuding si raksasa, "Dia tinggi besar kan tidak cacad."
Mendadak si raksasa tertawa lebar sambil membuka lebar mulutnya.
Kembali Sim-sim tertegun.
Raksasa ini memang lengkap kaki tangan, tidak buta bukan tuli, tapi mulutnya tanpa lidah.
Dengan menengadah Sim-sim mengawasi orang itu, air mata bercucuran, katanya, "Kau ingin aku sendiri
memotong lenganku?"
"Tangan keracunan ya tangan dipotong, kaki keracunan ya dikutungi saja."
"Tapi ... tapi aku tidak tega."
"Kalau aku tidak tega, sekarang aku sudah mati tiga kali."
Hong Si-nio jadi simpati akan nasib si gadis, mendadak ia menyeletuk, "Gadis cilik ini mana bisa dibanding
kau, dia gadis muda lagi cantik."
"Memangnya kenapa kalau perempuan, perempuan juga ma-nusia."
Hong Si-nio naik pitam, tangannya menuding, "Dia juga manusia, berdasar apa kau berduduk di kepala
orang?" "Karena aku inilah Jin-siang-jin."
"Apa itu Jin-siang-jin?"
"Yang mampu hidup menderita dalam derita, dialah Jin-siang-jin."
"Kau pernah menderita?"
"Kalau kau potong dua kaki dan satu lenganmu, akan kau rasakan apakah aku pernah menderita dalam
penderitaan."
Hong Si-nio tidak bisa membantah, orang ini memang men-derita dalam penderitaan.
TERANEH DI ANTARA MAKHLUK
Maka sekarang dia adalah Jin-siang-jin. Orang di atas orang.
Golok pendek yang kemilau tapi kini tergeletak di tanah, persis di bawa kaki Sim-sim. Perlahan Sim-sim
membungkuk badan mengambil golok dengan air mata bercucuran. ia pandang Hong Si-nio sambil berkata
memelas, "Kini kau sudah jelas orang macam apa dia sebenarnya."
Hong Si-nio gemas, "Ya, aku jadi curiga, apakah dia itu ma-nusia?"
"Karena dia cacad," kata Sim-sim, "maka dia ingin orang lain juga cacad seperti dia, tapi aku " umpama
harus kutabas lenganku, tidak akan kulakukan di depannya." Mendadak ia putar badan terus lari sipat
kuping. Hong Si-nio membanting kaki, teriaknya, "Gadis belia secan-tik kau, umpama buntung sebelah lenganmu,
orang masih tetap akan menyukaimu, tidak perlu sedih." Orang lain disuruh tidak sedih, padahal mata sendiri
sudah berkaca-kaca.
Jin-siang-jin mengawasinya, suaranya dingin, "Sungguh tak nyana, Hong Si-nio adalah perempuan berhati
lemah." Hong Si-nio menengadah, matanya melotot, "Umpama sisa tanganmu itu kau bacok buntung, aku tidak akan
sedih bagimu."
"O, kau kasihan padanya?"
"Ya."
"Kau tahu siapa dia?"
"Yang pasti dia gadis cantik, aku juga perempuan."
"Baju yang kau pakai sekarang adalah pemberiannya?"
"Betul."
"Lebih baik lekas kau lepas."
"Lepas apanya?"
"Lepas pakaianmu."
"Kau ingin melihat aku melepas pakaian?" Hong Si-nio terse-nyum menggoda.
"Ya, sampai telanjang bulat."
Mendadak Hong Si-nio berjingkrak, "Kau bermimpi?" Suara-nya keras.
Jin-siang-jin menghela napas, "Tidak mau lepas, memangnya perlu kubantu?"
"Coba saja kalau berani."
Jin-siang-jin menarik napas sambil menggeleng kepala, "Ka-lau hanya pakaian perempuan aku tidak berani
melepas, kerja apa yang berani kulakukan?"
Hanya sedikit mengangkat pergelangan tangan, cambuk pan-jang itu mendadak melintir berputar ke arah
Hong Si-nio. Sejak berkecimpung di Kangouw, belum pernah Hong Si-nio melihat permainan cambuk yang begitu
menakutkan, seperti ber-mata saja, ujung cambuk tahu-tahu melilit bajunya. Bagai tangan jahil saja, cambuk
itu bisa melepas pakaian orang. Begitu pakaian Hong Si-nio terlilit ujung cambuk, hanya sekali sendal dan
tarik, jubah panjang bersulam indah yang masih baru itu seketika koyak menjadi dua.
Umpama harus ganti pakaian, selamanya Hong Si-nio melepas pakaiannya sendiri, sepanjang hidupnya
belum pernah ada lelaki di dunia ini yang pernah melepas pakaiannya. Kali ini mungkin ter-kecuali. Untuk
menangkap cambuk itu jelas tidak berani, berkelit juga sudah terlambat.
Pengalaman Sim-sim membuatnya takut melawan cambuk beracun itu. Walau tidak rela orang lain melepas
bajunya, ia pun tak ingin menabas lengan sendiri, "Bret", ujung bajunya mulai koyak.
"Nanti dulu," mendadak Hong Si-nio berteriak, "biar aku sendiri yang melepas."
"Kau mau melepas pakaian sendiri?"
"Pakaian sebagus ini, sayang kan kalau disobek."
"Hong Si-nio juga menyayangi sepotong baju?"
"Hong Si-nio kan juga perempuan, pakaian seindah ini, pe-rempuan mana yang tidak merasa sayang?"
"Baik, sekarang lepas."
Cambuk di tangannya seperti ular yang hidup saja, mau ber-henti ya berhenti, ingin ditarik segera melingkar
balik ke tangan.
Hong Si-nio menghela napas, "Aku ini sudah nenek-nenek, bila telanjang pasti tak enak dipandang, tapi kau
paksa aku, terpaksa aku melepas baju, salahku sendiri tak mampu melawanmu." Sambil bicara ia maju
mendekat, sementara jari-jarinya seperti melepas kancing baju. Mendadak kakinya menendang perut
raksasa yang bertelanjang dada.
Merobohkan lawan, panah dulu kudanya, bila raksasa ini ter-tendang roboh, Jin-siang-jin pasti terjungkal dari
kepalanya, um-pama kepala tidak bocor, paling tidak orang tak punya waktu me-lepas pakaian orang lain.
Ilmu silat Hong Si-nio memang tidak tinggi, tidak menakut-kan, kemampuannya yang menakutkan memang
bukan ilmu silat-nya. Selama ini ia malang melintang seorang diri, puluhan tahun berkecimpung di Kangouw,
kalau hanya mengandalkan ilmu silat, entah berapa kali pakaiannya sudah disobek orang.
Kakinya memang mulus jenjang, tapi kaki ini pernah mengin-jak mati tiga ekor serigala yang kelaparan,
seekor macan tutul. Begal besar Boan Thian-hun yang bercokol di Ki-lian-san juga ditendangnya roboh
terjungkal ke dalam jurang.
Dapat dibayangkan betapa besar kekuatan tendangan ini, "Buk", suaranya mirip tambur pecah, kakinya
cepat menendang perut orang, tapi si raksasa seperti tidak merasa apa-apa, bergeming pun tidak.
Kaki Hong Si-nio justru kesakitan. Meski terkejut, meminjam daya tolak tendangannya, ia melompat jungkir
balik ke belakang.
"Bukan tandingan ya lari", bagi insan persilatan yang sudah puluhan tahun berkecimpung di Bulim,
pengertian dangkal ini jelas dipahami. Tapi Hong Si-nio maklum, kali ini belum tentu dirinya bisa lolos dari
elmaut. Betapa cepat Ginkangnya pasti takkan sece-pat cambuk lawan.
Pada saat genting itulah, didengarnya suara gendewa men-jepret nyaring, dua lajur sinar kemilau meluncur
datang, tepat me-nerjang ujung cambuk. Bagai ular yang terpukul lehernya, cambuk itu melambai lemas ke
bawah. Dari dalam hutan berkumandang suara dingin, "Siang hari bo-long berani menelanjangi perempuan di depan
umum, memangnya kaum persilatan di Koan-tiong tidak kau pandang sebelah mata?"
Sementara itu Hong Si-nio sudah bercokol di pucuk pohon, duduk berayun mengikuti dahan pohon yang
bergontai. Dari atas pohon ia melihat orang yang barusan menolong dirinya.
Orang ini tinggi kekar, berwajah merah, rambut panjang yang memutih perak menjuntai di punggung,
mengenakan mantel merah, tangan menjinjing gendewa panjang warna kuning emas, gemerdep ditingkah
sinar matahari. Sekujur badan orang inipun seperti kemi-lau bercahaya.
Waktu orang itu mengangkat kepala, Hong Si-nio baru melihat jelas wajahnya penuh keriput, ternyata lelaki
ini sudah berusia lanjut. Tapi bila bicara, suaranya masih lantang bergema bagai lonceng, badannya masih
kekar tegap, sekujur badan penuh tenaga, semangat menyala-nyala.
Seumur-umur Hong Si-nio belum pernah melihat lelaki tua yang masih begini perkasa penuh gairah lagi. Dua
larik sinar perak tadi kini masih menggelinding di tanah, ternyata bola perak sebesar kelengkeng.
Jin-siang-jin mengawasi bola perak itu, alisnya berkerut, kata-nya, "Kim-kiong-gin-hoan-jan-hou-to, gendewa


Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

emas pelor perak golok penabas macan."
Lelaki tua berambut perak meneruskan, "Cui-hun-sui-gwat-cui-siang-biau, mengejar nyawa mengusir
rembulan melayang di atas air."
"Le Jing-hong!" seru Jin-siang-jin.
Lelaki tua rambut perak bergelak tawa, "Tiga puluh tahun aku tidak berkelana di Kangouw, tak nyana masih
ada orang mengenal diriku." Gema tawanya bertalu-talu, daun berguguran di tengah hutan.
Hong Si-nio hampir terjungkal dari pucuk pohon. Belum pernah bertemu, namun nama besarnya pernah
mendengar. Kim-kiong-gin-hoan-jan-hou-to, Cui-hun-sui-gwat-cui-siang-biau, waktu Le Jing-hong malang melintang di
Kangouw, Hong Si-nio masih anak kecil.
Ketika ia berkecimpung di Bulim, sudah lama Le Hing-hong mengundurkan diri, hampir tiga puluh tahun
jejaknya tidak diketa-hui, jarang orang bertemu dengarnya.
Hong Si-nio tahu adanya tokoh yang satu ini. Juga tahu begal besar tunggal yang bersih dan paling disegani
kejujurannya di Bulim masa kini.
Belakangan muncul Siau Cap-it Long, namun dalam jangka seratus tahun ke belakang, Le Jing-hong
terhitung begal tunggal yang amat disegani.
Konon pernah ia berada di kotaraja, putra-putri para bangsa-wan di kota itu begitu getol ingin melihat
wajahnya, tak segan mereka menunggu semalam suntuk duduk di ambang jendela menunggu
kedatangannya. Mungkin hanya kabar angin, Hong Si-nio juga tidak percaya akan berita ini. Sekarang ia menjadi percaya.
Lelaki yang sudah berusia kepala enam, masih bersemangat dan gagah tegap, kalau usianya tiga puluh
tahun lebih muda, mungkin Hong Si-nio rela menunggu semalam suntuk di jendela loteng menunggu
kedatang-annya. Seperti yang sering ia lakukan menunggu Siau Cap-it Long di jendela.
Le Jing-hong mendongak, "Kau inikah Hong Si-nio?"
"Tiga puluh tahun tidak berkecimpung di Kongouw, kau tahu adanya Hong Si-nio di Kangouw."
"Bagus," puji Le Jing-hong, "Hong Si-nio memang jempol, kalau sejak dulu aku tahu di Kangouw ada Hong
Si-nio, mungkin sepuluh tahun lebih pagi aku keluar kandang."
"Kalau tahu kau orang tua masih segar bugar, mungkin sepuluh tahun lalu aku sudah mencarimu."
Le Jing-hong tergelak-gelak, "Sayang aku terlambat sepuluh tahun."
"Siapa bilang kau datang terlambat," ucap Hong Si-nio tertawa, "kedatanganmu justru tepat pada waktunya."
Berkilat bola mata Le Jing-hong, "Makhluk ini tadi meng-godamu, sekarang aku sudah ada di sini,
menurutmu apa yang harus kulakukan padanya, jelaskan saja."
Berputar bola mata Hong Si-nio, "Tadi dia suruh aku melepas baju, aku juga ingin melihat dia telanjang."
"Bagus," Le Jing-hong kembali tergelak. "Kau tunggu saja di atas pohon."
Di tengah gelak tawanya, mendadak ia melolos golok penabas macan yang beratnya lima puluh tujuh kati,
sekali ayun ia bacok pohon di depannya. "Clap", dahan pohon sebesar paha dibacoknya roboh.
Untung jarak Hong Si-nio masih jauh, tak tahan ia berseru, "Pohon ini tidak bersalah padamu kenapa kau
tabas sampai roboh?"
"Pohon ini menghadang di depanku."
"Benda apa saja yang menghadang di depanmu, kau babat dengan golok?"
"Betul."
Hong Si-nio menghela napas, "Lelaki sepertimu ini kenapa sudah tiada sekarang ini. Kalau ada aku pasti
sudah menikah sejak sepuluh tahun lalu." Suaranya tidak keras, tapi pasti untuk didengar oleh Le Jing-hong.
Le Jing-hong menyengir aneh, ia menarik napas panjang, sedikitnya seperti merasa sepuluh. tahun lebih
muda, selangkah ia maju ke depan.
Sejak kehadirannya Jin-siang-jin hanya mengawasi saja, kini ia menyindir, "Lelaki setua ini masih suka
berlagak di depan wanita, dunia ini seperti bakal terbalik."
"Kau cemburu?" bentak Le Jing-hong.
"Aku sedang heran, lelaki macammu ini kok masih bisa hidup sampai sekarang."
"Untung baru hari ini kau bertemu aku," semprot Le Jing-hong murka. "Kalau terjadi tiga puluh tahun lalu, kau
sudah mampus di bawah golokku."
"Sekarang kau ingin aku melepas pakaian, lalu pergi bersama Hong Si-nio begitu bukan?"
"Mestinya ingin kutabas buntung tanganmu, sayang tanganmu sudah buntung satu."
"Ya, tangan yang satu ini bukan untuk melepas baju."
"Memangnya tanganmu itu bisa membunuh orang,"
"Tidak banyak yang kubunuh, tiap kali satu nyawa." Begitu tangan menyendal, cambuk panjang itu
menggulung kencang ke arah Le Jing-hong.
Le Ji-hong menyambut serangan orang dengan bacokan keras golok besarnya. Dua jenis senjata yang
berbeda, satu lemas yang lain keras. Begitu goloknya membacok, Le Jing-hong sudah tahu bahwa pihaknya
akan rugi. Cepat sekali ujung cambuk sudah mem-belit golok dengan tujuh delapan lilitan, serempak lelaki
raksasa telanjang dada ikut mendesak maju, tinjunya menggenjot dada Le Jing-hong.
Kelihatannya lelaki gede ini gerak-geriknya lamban, namun jotosan tangannya keras lagi kencang, jurus
serangannya sederhana tanpa pola kembangan, namun kuat dan amat berguna.
Karena golok dibelit cambuk, Le Jing-hong menggunakan gendewa di tangan kiri untuk menahan jotosan si
raksasa. "Tang", keras sekali, telapak tangan si raksasa sobek berdarah. Gendewa emas itu ternyata tajam
bagai pisau. Sambil menggerung si raksasa mengulur tangan merebut gen-dewa lawan, tak nyana Le Jing-hong memutar
pergelangan tangan-nya, pucuk gendewa menutul dada si raksasa.
Tubuh besar si raksasa yang kekar tak kuat menahan tutulan ringan, kakinya sempoyongan mundur dan
ambruk ke belakang, sudah tentu Jin-siang-jin ikut ambruk, sigap sekali Jin-siang-jin me-lejit tinggi
berjumpalitan di udara melewati kepala Le Jing-hong.
Awalnya Le Jing-hong mengira lawannya hanya satu, ke-nyataan ia harus melayani dua serangan bersama,
yang satu di depan yang lain di belakang. Di saat ia mengerut alis, ujung cambuk sudah melilit lehernya.
Sebagai jago kawakan ia tidak menjadi gugup meski ancaman ini serius, goloknya malah diayun ke atas,
cambuk panjang seketika tertarik tegang seperti tali gendewa. Mestinya ujung cambuk membelit golok, kini
berbalik golok menarik cam-buk. Serang menyerang berlangsung cepat, permainan mereka keli-hatannya
tanpa kembangan, namun perubahannya amat ganjil, cepat lagi ganas, tanggap menghadapi serangan. Bila
tidak menyaksikan dari pinggir, pasti susah membayangkan adu kekuatan dua lawan yang berbeda senjata
ini. Sayang yang hadir hanyalah tujuh orang buta yang berdiri kaku, si pincang berdiri di sana membelakangi
arena. Agaknya takut dilihat atau dikenali Hong Si-nio.
Bagaimana dengan Hong Si-nio"
Bentrok Para Pendekar 02
Karya Gu Long - Gan K.H.
Bagian 2 Wanita yang satu ini memang mirip angin, sepak terjangnya sukar diraba, bayangannya ternyata lenyap tak
keruan peran. Sumber air bagai rantai perak mengalir deras dari pucuk gunung.
Cahaya senja memancar benderang menguning emas.
Hong Si-nio duduk di atas batu besar, sepasang kakinya direndam dalam kubangan air sumber nan bening
dingin. Sepasang kakinya dirawat baik, putih mulus tanpa cacad sedikit pun. Bila mengawasi sepasang kaki
sendiri, Hong Si-nio sering merasa bangga, apalagi para lelaki, betapa senang hati mereka mengawasi kaki
ini. Waktu menyingkir tadi, tanpa sengaja kakinya tergores batu-batu runcing dan ranting pohon berduri. Begitu
menyentuh air, luka-luka itu terasa perih, hati ikut terasa mendelu.
Le Jing-hong bukan lelaki yang menyebalkan, tidak bermaksud jahat terhadap dirinya, malah menolong
jiwanya. Tapi juga tidak bermaksud baik. Gelagat menjelaskan bahwa kedatangannya jelas karena dirinya,
mungkin akan membawanya pula. Umpama dia mampu memukul jatuh Jin-siang-jin menjadi Jin-he-jin
(orang di-bawah orang), apa faedahnya bagi dirinya"
Yang pasti Hong Si-nio tidak ingin melihat si cacad itu bertelanjang.
"Bahwa dua orang berhantam itu bukan manusia baik, kenapa tidak kubiarkan mereka cakar-cakaran, gigit
menggigit," demikian batin Hong Si-nio, begitu ada kesempatan diam-diam ia ngacir pergi.
Siapa yang kenal Hong Si-nio pasti yakin bahwa dia adalah perempuan pintar. Belum pernah salah
menganalisa persoalan yang dihadapi, maka sampai usia setua itu, belum pernah ada pria yang mampu
melepas pakaiannya.
Bagi Hong Si-nio hari ini memang serba salah, persoalan yang dihadapi hari ini sungguh menyebalkan,
terasa semua persoalan itu amat aneh.
Dingin air sumber merembes naik lewat telapak kaki, membuat hati ikut menjadi dingin.
Kehadirannya di bukit batu jelas bukan kebetulan, dia juga belum pernah bercerita pada siapa pun bahwa
dirinya akan ke tempat ini. Sepak terjangnya seperti angin lalu, tiada seorang pun dapat menerka pikirannya.
Kenyataan ada tiga pihak, katakan tiga orang yang datang mencari dirinya di sini. Seperti Hoa Ji-giok, Jinsiang-
jin dan Le Jing-hong.
Darimana mereka tahu bahwa dirinya berada di tempat itu" Bagaimana bisa tahu kalau dirinya akan ke sini"
Selama ini Hong Si-nio pintar menikmati hidup, barang apa saja ia makan, hanya tidak kuat makan derita.
Orang yang tidak tahan derita, ilmu silatnya pasti tidak tinggi. Untung dia cerdik pandai, ada kalanya amat
buas, namun sepanjang jalan hidupnya belum pernah menanam permusuhan besar dengan siapa pun.
Di situlah letak kemahirannya, di samping pintar ia cantik, maka ia banyak bersahabat dengan teman yang
punya kekuatan. Bila sedang mengumbar marah, galaknya bukan main, mirip induk anjing beranak. Saat
lembut, sejinak merpati. Kadang jenaka bagai si upik, lain kejap ia bisa selicin rase. Kalau tidak benar-benar
perlu, siapa mau cari perkara kepadanya. Kenyataan ada tiga orang serempak mencari dirinya, tiga orang
berbeda, namun ketiga orang ini amat kosen dan susah dilayani. Dia tahu seorang yang tega membuntungi
kaki dan tangan, bila perlu mencari cewek, pasti bukan hanya ingin menelanjanginya saja.
Begal besar yang sudah tiga puluh tahun menyembunyikan diri, bersikap sontoloyo di hadapan cewek, pasti
bukan lantaran perempuan itu berparas cantik.
Lalu untuk apa mereka serempak mencari dirinya" Setelah dipikir-pikir, Hong Si-nio menarik satu
kesimpulan. Lantaran Siau Cap-it Long.
Ya Siau Cap-it Long yang romantis itu, kenapa selalu mencari gara-gara, mengundang banyak permusuhan"
Melibatkan banyak tokoh persilatan, berseru bukan demi kepentingan pribadi, tidak jarang justru untuk
membela kebenaran. Seolah-olah perjaka ini memang dilahirkan untuk mengundang setori bukan hanya
orang lain mencari setori padanya, kadang ia sengaja mencari setori untuk dirinya sendiri.
Waktu pertama kali Hong Si-nio melihatnya, Siau Cap-it Long justru sedang mencari setori yang melibatkan
diri sendiri. Waktu itu dia masih bocah yang baru tumbuh dewasa, ternyata berani melawan arus kencang,
ingin naik ke atas air terjun, ia coba dan mencoba berulang kali tanpa kenal lelah, gagal berulang bukan
masalah, kepala bocor tulang patah tidak jadi soal, yang pasti ia harus berhasil berenang melawan arus
mencapai puncak. Apa sih yang ingin ia buktikan" Kecuali si dogol, siapa berani melakukan dan melakukan.
Datang ketika Hong Si-nio menarik kesimpulan bahwa pemuda ini goblok, namun kenyataan ia tidak bodoh,
malah pintar luar biasa. Hanya saja sering kali ia melakukan perbuatan yang orang bodoh tidak berani dan
tidak mau melakukan. Jadi ia pintar atau bodoh, penuh kasih sayang atau kebencian. Hong Si-nio sendiri
tidak bisa membedakan, tidak tahu. Ia hanya tahu selama hidup dirinya pasti takkan bisa melupakan pemuda
yang satu ini. Bila datang rasa rindu tak tertahankan, seakan hampir gila, pernah pula ia merasa sebal dan jenuh tak
berani bertemu.
Sudah dua tahun ia tidak pernah melihat apalagi bertemu dengan Siau Cap it Long.
Sejak bersama Siau-yau-hou menempuh perjalanan kematian, hingga kini ia tidak pernah mendengar kabar
beritanya. Putus asa membuat ia berkesimpulan, untuk selanjutnya ia tidak akan pernah bertemu lagi
dengan Siau Cap-it Long.
Sebab banyak tokoh persilatan yang sekarang masih hidup, tiada satu pun yang pernah mengalahkan Siauyau-
hou. Tiada orang yang licin, telengas dan menakutkan dibanding tokoh yang satu ini. Siau Cap-it Long
justru mencarinya dan ditantangnya duel.
Bagaimana akhir duel itu, tiada orang tahu. Orang hanya berkesimpulan Siau Cap-It Long takkan muncul
kembali di Kang-ouw dalam keadaan hidup, Hong Si-nio sendiri juga sudah putus asa.
Di saat sudah pesimis itu, ia justru mendengar berita tentang Siau Cap-it Long. Maka hari itu ia berada di
bukit berbatu itu, hingga kakinya sekarang tergores luka, maka ia mengalami kejadian yang menyebalkan
tadi. Sekarang ia duduk termenung merindukan si perjaka sambil mengelus kaki yang terluka, seperti ingin
mengobati sakit rindunya.
Kini Hong Si-nio terasa amat lapar. Bila sedang merindukan Siau Ca-it Long, biasanya ia tidak merasa lapar.
Maka sekarang ia berkeputusan untuk tidak memikirkan hal ini.
Tempat apakah ini" Berapa jauh dari sarang penyamun" Sama sekali ia tidak tahu. Pakaian, perbekalan dan
senjatanya masih tertinggal di losmen itu, dirinya justru sedang tersesat di hutan pegunungan ini.
Magrib telah datang, saatnya makan malam, sepertinya tempat ini jauh dari kota atau pemukiman penduduk
desa. Umpama tahu jalan, Hong Si-nio tidak akan tolak balik, bukan takut orang-orang itu menggeruduk
dirinya, buat apa mencari kesulitan, yang pasti ia lebih mementingkan sepasang kakinya yang mulus ini,
menahan lapar juga bukan persoalan baginya. Tapi perut ini memang sudah keroncongan, berkerutukan
seperti memprotes saja. Bagaimana cara menenteramkan pemberontakan perut lapar ini"
Hong Si-nio menghela napas, baru saja hendak berbangkit untuk mencari ayam hutan atau kelinci yang bisa
dipanggang. Bukan kelinci yang ditemukan, tapi ia melihat enam orang.
Empat lelaki yang tegap dengan baju terbuka bagian dada memikul sebuah tandu, dua pemuda yang lebih
muda dengan pakaian lebih mentereng mengikut di belakang, dari lereng gunung sana beranjak turun. Jalan
pegunungan tidak rata dan berkelak-kelok, tapi enam orang ini berjalan lewat pegunungan memikul tandu
lagi, sungguh luar biasa.
Siapa yang duduk di dalam tandu" Apakah dia juga gagah" Di tempat seperti ini, masih berani duduk dalam
tandu" Hong Si-nio jarang naik tandu, rasanya sumpek, ia lebih suka naik kuda, ngebut dengan kuda yang berlari
kencang. Tapi ia pernah naik dan duduk dalam tandu pengantin.
Sekilas terbayang kejadian hari itu, saat duduk dalam tandu dengan pakaian pengantin, ia dijemput
mempelai lelaki untuk melakukan upacara sembahyang, di tengah jalan mendadak melihat Siau Cap-it Long
dan Sim Bik-kun, dengan pakaian dan topi pengantin yang serba lengkap melompat keluar dari tandu.
Seluruh petugas dari keluarga Nyo yang ikut menyambut mempelai perempuan hampir mati lemas saking
kagetnya. Sejak peristiwa itu julukannya bertambah satu. 'Mempelai perempuan yang bikin orang semaput'.
Bayangan Siau Cap-it Long terlintas dalam benaknya, teringat pula akan Sim Bik-kun yang cantik manis dan
harus dikasihani, teringat pengalaman mereka yang serba pahit dan menyedihkan. Kalau bukan karena Sim
Bik-kun, Siau Cap-it Long takkan bermusuhan dengan Siau-yau-hou, tidak akan terjadi duel tanding. Kalau
bukan Siau Cap-it Long, Sim Bik-kun tidak akan punya pengalaman menyedihkan.
Seorang perempuan yang paling, dihormati, menjadi panutan kaum persilatan, ternyata mencintai seorang
begal besar yang namanya sudah bejat. Sim Bik-kun lahir dari keluarga besar berpangkat dan punya
kedudukan terhormat di kalangan pemerintah, hampir segala persoalan di dunia ini yang menjadi
kebanggaan orang banyak sudah dimilikinya, apalagi bersanding di samping seorang suami yang gagah
ganteng, serba bisa sastra maupun ilmu silat, sebentar lagi malah akan melahirkan.
Karena Siau Cap-it Long, ia tinggalkan segala dan segalanya, akibatnya banyak orang ikut menderita
karenanya. Siapa yang harus disalahkan"
Yang pasti Hong Si-nio tidak menyalahkan dia. Karena Hong Si-nio adalah juga jenis perempuan yang
sama. Demi hubungan asmara ini, entah betapa pengorbanan mereka, melepas semua dan meninggalkan
segalanya. Kalau bukan lantaran Siau Cap-it Long, apakah dirinya sekarang akan berubah begini"
Mestinya saat ini ia duduk dalam rumah keluarga Nyo berpakaian serba indah, makan serba kenyang dan
puas, duduk di ruang besar keluarga Nyo, serta dilayani babu dan kacung waktu makan malam.
Hong Si-nio menarik napas panjang, dalam hati ia mengambil keputusan untuk tidak memikirkan persoalan
masa lalu. Waktu mengangkat kepala baru ia lihat tandu itu sudah berhenti tak jauh di sebelahnya. Dua
pemuda ganteng di kanan kiri sudah menyingkap kerai. Tandu itu ternyata kosong. Dari dalam tandu kedua
orang itu menarik keluar segulung permadani terus dilemparkan di tanah pegunungan, dikembangkan ke
arah Hong Si-nio.
Mata Hong Si-nio melebar, dengan kaget ia mengawasi kedua orang itu, tak tahan ia bertanya, "Kalian
datang menjemputku?"
Dua pemuda manggut-manggut, tawanya jenaka.
Hong Si-nio bertanya lagi, "Siapa suruh kalian menjemputku?"
"Kim-pou-sat."
Hong Si-nio mengikik geli, mestinya ia dapat menduga hanya Kim-pou-sat seorang yang bisa menyuruh
orang menjemput dirinya. Kecuali Kim-pou-sat siapa punya gaya yang sok begini. Setelah menghela napas,
katanya dengan senang, "Kelihatannya nasibku lagi baik, hari ini aku betul-betul bertemu manusia."
Memangnya orang-orang yang bertempur dan bertengkar tadi bukan manusia"
Hari ini ia merasa seperti berhadapan dengan kawanan setan saja.
Lalu siapa dan macam apa pula Kim-pou-sat itu"
Orang ini gemuk pendek, sehari-hari selalu tersenyum dan tersenyum, mata yang sipit, mulut yang mungil
mirip boneka. Maka orang memanggilnya 'Pou-sat'.
Tiada orang tahu berapa kekayaannya, harta apa saja miliknya, konon dia punya gunung emas, tergantung
hatinya senang atau duka, bila ia mau, bergerobak emas bisa segera dikirim ke rumahmu. Maka orang
memanggilnya pula 'Kim-pou-sat'.
Demi membantu keperluan orang lain, umpama seketika harus membuang ribuan laksa emas juga rela dan
tidak pernah mengerut alis. Tapi di saat minatnya timbul, sekaligus membantai belasan orang juga tidak
pernah berkedip mata.
Kim-pou-sat punya gundik jelita yang amat disayang, bernama Ang-ang, karena suka berpakaian serba
merah. Pernah sekali saat menjamu kehadiran Pok-hay-liong-ong, waktu Ang-ang mengisi cawan arak sang
tamu, entah kenapa, tanpa sebab ia tertawa, tawa yang genit lagi menantang, tawa yang tidak homat.
Dengan tawa yang lucu Kim-pou-sat segera menyuruhnya mundur. Satu jam kemudian, di saat Ang-ang
kembali, pakaiannya masih serba merah, wajahnya masih cantik, tapi kali ini bercokol di atas baki perak
yang amat besar dan dibanting, disuguhkan di atas meja. Ternyata cewek ini sudah matang direbus.
Masih dengan senyum lucu menawan Kim-pou-sat mengangkat pisau dan garpu, dari bagian yang empuk
kenyal ia potong daging Ang-ang serta disuguhkan kepada Pok-hay-liong-ong.
Kedatangan Pok-hay-liong-ong sebetulnya ingin mengajaknya adu kekuatan, adu kekayaan, wibawa dan
pamor. Setelah pesta makan ini berakhir, Pok-hay-liong-ong segera mohon diri, malam itu juga pulang ke
laut timur. Begitulah sepak terjang Kim-pou-sat.
Sudah lama Hong Si-nio kenal Kim-pou-sat, kesannya lumayan, tidak jelek. Sebab selama ini Kim-pou-sat
juga baik terhadapnya. "Kau baik padaku, aku lebih baik padamu". Itulah prinsip hidup Hong Si-nio.
Sebagai perempuan, umumnya punya prinsip yang menunjang kepentingan pribadi, prinsip yang kadang
tidak bisa dimengerti oleh lelaki.
Lalu darimana Kim-pou-sat tahu kehadirannya di sini" Untuk apa pula mendadak ia datang ke tempat ini"
Persoalan ini tidak dipikir Hong Si-nio. Yang dipikir sekarang adalah sepiring Hi-sit yang dimasak dengan
kaldu ayam dengan paha babi.
* * * * * Mata Kim-pou-sat memang sipit, waktu melihat Hong Si-nio turun dari tandu, ia menyambut dengan tawa
lebar, matanya tinggal satu garis. Dengan mimik aneh ia mengawasi Hong Si-nio dari kepala turun ke kaki,
akhirnya menghela napas, "Kelihatannya tidak pantas kuundang kau kemari."
"Kenapa?" tanya Hong Si-nio.
"Tiap kali bertemu, hatiku jadi mendelu."
"Wanita secantik aku juga bisa membuatmu mendelu?"
"Nah, itu sebabnya, karena kau terlalu cantik, makin memandang hatiku makin mendelu."
"Aku tidak mengerti."
"Kau harus mengerti... bukankah kau kelaparan?"
"Hampir gila aku karena lapar."
"Kalau sepiring babi panggang ada di depanmu, tapi tak bisa memakannya, apa kau tidak mendelu?"


Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hong Si-nio tertawa. Di saat berhadapan dengan lelaki yang tidak menyebalkan, kala tertawa gayanya
sungguh amat menawan, cekikik tawanya juga terdengar merdu.
Mendadak Kim-pou-sat bertanya, "Kau belum menikah?"
"Belum."
"Kenapa kau selalu menolak lamaranku?"
Berkedip mata Hong Si-nio, "Karena uangmu terlalu banyak."
"Apa salahnya aku beruang banyak?"
"Lelaki yang banyak uang, lelaki yang amat cakap, aku tidak mau menikah dengannya."
"Kenapa?"
"Karena lelaki jenis ini paling disukai kaum perempuan, aku takut suamiku direbut orang."
"Kalau kau tidak merebut suami orang saja mending, memangnya siapa bisa merebut suamimu?"
"Umpama tiada yang merebut, hidupku akan selalu tegang."
"Ah, aneh. Kenapa?"
"Kalau sedang menikmati sepiring babi panggang, duduk diantara kawanan setan kelaparan, kau tegang
tidak?" Kim-pou-sat terpingkal-pingkal, matanya menyipit.
Sambil berkedip-kedip Hong Si-nio melanjutkan, "Sebetulnya aku amat menyukaimu. Asal gunung emasmu
rela kau berikan padaku, aku segera jadi binimu."
"Setelah punya gunung emas, aku tak bisa mengawinimu. Kalau gunung emas kuberikan pada orang lain,
apakah aku tidak membuatnya celaka?" dengan keras ia menggeleng kepala, lalu menyambung, "Urusan
yang merugikan orang lain, selamanya tidak pernah kulakukan."
Hong Si-nio terawa lebar, "Berapa tahun tidak bertemu, kau tetap jenaka seperti dulu, tak heran aku selalu
ingin bertemu."
"Sayang uangku terlalu banyak."
"Ya, sungguh sayang."
"Baiklah , terpaksa kami jadi kawan saja."
"Bukankah selama ini kita jadi kawan baik?"
"Mendengar perkataanmu, hatiku puas dibanding makan sepiring babi panggang."
Berbutar biji mata Hong Si-nio, "Kita kawan lama bukan", maka ada sebuah hal ingin kutanyakan
kepadamu."
"Memang sedang kutunggu pertanyaanmu itu," sahut Kim-pou-sat.
"Kau sengaja mencari aku" Darimana kau tahu aku berada di sini?"
Kim-pou-sat memicingkan mata, "Kau ingin aku jujur atau berbohong?"
"Mestinya aku senang mendengar lelaki berbohong, sebab berbohong lebih enak didengar daripada
omongan jujur."
Rona mata Kim-pou-sat seperti memuji, katanya menganggukkan kepala, "Kau ini memang wanita pintar,
hanya perempuan paling goblok yang memaksa lelaki bicara jujur."
"Tapi kali ini aku ingin mendengar omongan jujur."
"Hanya saja untuk mendengar omongan jujur, biasanya harus memberi imbalan."
"O, aku tahu."
"Kau masih ingin mendengar?"
"Ya."
Kim-pou-sat menepekur sesaat, kali ini suaranya kalem, "Aku mencarimu lantaran seseorang."
"Lantaran siapa?"
"Siau Cap-it Long."
Lagi-lagi Siau Cap-it Long. Tiap kali mendengar nama yang satu ini, Hong Si-nio susah menjelaskan
bagaimana perasaan hatinya, entah manis" Kecut" Atau getir" Namun rona mukanya malah menampilkan
sikap dingin, suaranya juga dingin, "Jadi karena Siau Cap-it Long kau mencari aku?"
"Kan kau minta aku bicara jujur."
"Memangnya apa hubungannya dengan aku" Aku kan bukan ibunya."
"Kalian teman akrab bukan?"
Hong Si-nio tidak menyangkal, juga tidak bisa menyangkal. Musuh Siau Cap-it Long jauh lebih banyak
dibanding temannya, insan persilatan pasti tahu hubungannya dengan Siau Cap-it Long.
"Dua tahun lalu, waktu dia mengajak Siau-yau-hou berduel, kau juga hadir di sana."
"Dia bukan berduel, tapi mengantar jiwa, mengantar kematian."
"Jadi sejak kejadian itu, orang-orang Kangouw menyangka dia sudah mati."
"Entah berapa banyak kaum persilatan yang menginginkan kematiannya?"
"Tapi justru dia tidak mati."
"Bagaimana kau tahu dia tidak mati" Kau pemah melihatnya?"
"Aku beium melihatnya, aku hanya mendengar beritanya saja."
"Berita apa?"
"Bukan saja belum mati, malah mendapat rezeki."
"Orang sesial dia kapan bisa mendapat rezeki?"
"Bila nasib lagi mujur, tembok kota pun takkan bisa menghalanginya."
"Dia mendapat rezeki apa" Mendapat cewek baru?"
"Teman ceweknya sudah terlalu banyak, maka sering dirundung sial, untung kali ini bukan mujur di bidang
itu." "O, bidang apa?"
"Yang pasti sekarang tidak mudah kau ingin menikah dengan dia."
Hong Si-nio menarik muka, "Biar lelaki di dunia mampus seluruhnya, aku tidak akan menikah dengan dia."
Lahirnya bilang begitu, padahal hatinya seperti ditusuk jarum.
"Aku ngeri kau tidak akan kawin dengan lelaki seperti itu. Dia masih muda belia, cakap ganteng, konon
belakangan ini mendadak dia menjadi orang paling punya duit di dunia ini."
"Lebih kaya darimu?"
"Ya, uangnya lebih banyak dari uangku."
"Memangnya uangnya dapat jatuh dari langit?"
"Uang tak mungkin jatuh dari langit, tapi bisa tumbuh dari bumi."
"Wah, komentar aneh."
"Kaum persilatan tahu, ada tiga harta karun yang amat besar jumlahnya di dunia ini, namun belum ada orang
bisa menemukan."
"Maksudmu dia menemukan harta karun?"
"Kan sudah kubilang, kalau rezeki mau datang, tembok kota juga tidak bisa menghalangi."
"Beberapa tahun lalu, pernah orang bilang dia kaya raya, tapi uang untuk membayar semangkok bakmi saja
tidak punya."
"Aku tahu berita yang menjelek-jelekkan dia memang banyak, tapi yakin berita kali ini memang benar."
"Darimana kau tahu kalau berita itu benar?"
"Seorang pernah menyaksikannya di Kay-hong, sekali bertaruh kalah puluhan laksa perak. Lantakan perak
bercap bank terkenal, katanya dikirim ke sana berpeti-peti banyaknya."
"Memangnya dia setan judi."
"Ada pula yang menyaksikan dia membeli pelacur terkenal di Hangciu, dengan untaian mutiara seharga lima
puluh laksa perak, membeli gedung besar untuk perempuan itu."
Hong Si-nio menggigit bibir, suaranya dingin tawar, "Dia juga mata keranjang."
"Tapi hanya tiga hari ia tinggal di gedung itu, perempuan itu juga dibuangnya."
Berubah pula rona muka Hong Si-nio, suaranya tetap dingin, "Bukan hal aneh, lelaki itu memang tidak
berbudi dan tidak kenal kasihan."
"Orang yang menyaksikan kejadian ini, sebelum ini pernah kenal dia. Yakin tidak salah lihat, umpama salah
lihat, orang lain kan tidak mungkin salah lihat."
"Orang lain, siapa mereka?"
Kim-pou-sat tidak menjawab, malah bertanya, "Bukankah tadi kau bertemu tujuh orang buta?"
Hong Si-nio memanggut.
"Kau tahu siapa mereka sebenarnya?" Hong Si-nio geleng kepala.
"Yang lain aku tidak kenal, aku hanya tahu dua di antaranya adalah orang nomor satu dan tiga dari Kun-lunsu-
kiam. Satu lagi adalah Ciangbunjin baru dari Tiam-jong-pay, pa Thian-ciok."
Kembali Hong Si-nio mengerut alis.
Kemampuan Siau Cap-it Long mencari gara-gara kelihatannya bertambah lihai, urusannya juga makin
gawat. Kim-pou-sat berkata enteng, "Yang pasti, beberapa orang itu tidak salah mengenali orang, apalagi mereka
adalah orang-orang yang dipaksa Siau Cap-it Long untuk menusuk buta mata sendiri, apalagi ...." Sampai di
sini bola matanya seperti mendadak membesar dua kali lipat, suaranya makin lirih lagi lambat, "Umpama
mereka salah mengenali orang, tak mungkin salah mengenali golok di tangannya. Siapa pun takkan salah
mengenali golok itu. "
"Keh-lo-to maksudmu?"
Bercahaya bola mata Kim-pou-sat, "Benar, itulah Keh-lo-to."
"Sebelum ini mereka pernah melihat Keh-lo-to?"
"Belum pernah."
Insan persilatan yang betul-betul pernah melihat Keh-lo-to memang belum banyak.
"Tidak pernah melihat, bagaimana bisa mengenali," tanya Hong Si-nio heran.
"Bentuk Keh-lo-to tidak mirip dengan kebanyakan golok. Apalagi Siong-bun-kiam yang dipakai Cia Thianciok
putus menjadi dua hanya dalam satu gebrakan."
Di kalangan Kangouw, golok yang mampu menabas kutung Siong-bun-kiam memang tidak banyak.
Giliran bola mata Hong Si-nio berputar, "Tapi Keh-lo-to bisa digunakan oleh siapa saja, kalau ada orang
terbunuh dengan Keh-lo-to, apakah pelakunya pasti Siau Cap-it Long?"
"Kalau tampang Siau Cap-it Long sejelek rupaku, wanita tercantik di Bulim pasti tidak jatuh cinta padanya,
berarti kesulitan yang melibatkan dirinya akan banyak berkurang."
Menyinggung Sim Bik-kun membuat perasaan Hong Si-nio sakit seperti ditusuk jarum.
"Apalagi Cia Thian-ciok dahulu pernah melihat Siau Cap-it Long, sebagai pimpinan suatu perguruan, aku
yakin dia tidak membual."
"Karena apa Siau Cap-it Long memaksa dia membutakan mata sendiri?"
"Kabarnya tanpa sengaja Cia Thian-ciok melirik beberapa kali kepada Sim Bik-kun."
"Hanya karena melirik kepada Sim Bik-kun, Siau Cap-it Long lantas mengorek kedua biji matanya?"
"Ya, begitulah."
"Salah, pasti salah. Siau Cap-it Long bukan orang demikian."
"Begitu kenyataannya."
"Pasti bukan."
"Pasti benar."
Mata Hong Si-nio melotot besar, mimik mukanya juga berubah aneh, dengan kencang mengertak gigi,
seperti memaksakan diri menahan rasa sakit, seperti sesak napas hingga tak mampu bicara.
"Duel antara Siau Cap-it Long dengan Siau-yau-hou, siapa menang siapa kalah, sampai sekarang orang
Kangouw tiada yang tahu, tapi kenyataan Siau Cap-it Long tidak mati, hal itu tidak bisa diperdebatkan lagi".
Hong Si-nio masih melotot, bola matanya yang biasa benderang lincah, kini kelihatan buram kaku seperti
mata bangkai ikan.
"Sekarang dia masih hidup, akan datang saatnya dia pasti mampus."
Bibir Hong Si-nio bergerak, mulut terpentang seperti ingin bicara tapi suara tidak keluar dari tenggorokannya.
"Sebab di tubuhnya membawa rahasia tiga harta karun yang diincar setiap insan persilatan, kemana pun ia
pergi, bahaya akan selalu mengancam jiwa."
Jari jemari Hong Si-nio mulai gemetar.
"Kalau aku jadi dia, kemana aku hendak pergi, jejakku tentu kurahasiakan, sungguh aku tidak mengerti,
kenapa dia mengontak kau untuk bertemu di tempat ini" Kenapa berita pertemuan ini ia beritahukan kepada
orang lain" Aku ...."
Belum habis Kim-pou-sat bicara, mendadak Hong Si-nio berjingkrak berdiri, kursi di depannya ia sambar
terus dilempar keluar, lalu menjambak rambut sendiri dan berguling-guling di lantai.
Kim-pou-sat tertegun, sungguh di luar pikirannya bahwa Hong Si-nio bisa berbuat demikian.
Apakah Hong Si-nio menjadi gila"
Mendadak Hong Si-nio berjingkrak bangun, berdiri berkacak pinggang di depan Kim-pou-sat, lalu tertawa
tergelak. Kim-pou-sat ikut tertawa, "Kita kan kawan lama, sahabat baik, urusan apa saja boleh dibicarakan, kenapa
harus marah begitu?" Ia yakin tak mungkin Hong Si-nio bisa mendadak gila, mungkin hanya pura-pura gila.
Tak nyana Hong Si-nio berteriak aneh, mendadak tangannya terulur mencengkeram lehernya, kini Kim-pousat
benar-benar terkejut.
Meski belakangan ini badannya makin tambun, syukur reaksinya masih cepat dan cekatan, sekali
berkelebat, tahu-tahu badannya bergeser tujuh kaki. Tidak berhasil mencengkeram leher orang, Hong Si-nio
malah mencengkeram leher sendiri, cengkeramannya kelihatan amat kuat, otot hijau menonjol di jidatnya,
lidah juga melelet keluar, sungguh mirip setan hidup.
Kim-pou-sat mengawasi dengan kaget, baru sekarang ia sadar Hong Si-nio ternyata memang benar sudah
gila. Wanita secantik Hong Si-nio yang suka kebersihan, senang menjaga gengsi, kalau bukan karena benar
gila, mana mungkin mau bertingkah seburuk itu di depan orang lain. Kini muka sendiri ikut memucat ngeri,
timbul hasrat ingin membujuk atau menghibur. Tak nyana mendadak Hong Si-nio mengejang kaku lalu roboh
telentang tak bergerak lagi.
Tak tahan Kim-pou-sat berseru gugup, "Si-nio, Si-nio ...."
Hong Si-nio tetap rebah kaku tak bergerak, selebar mukanya berubah kelabu, bola matanya juga melotot
keluar. Kini Kim-pou-sat betul-betul kaget, perlahan ia mendekat, tangan diulur meraba hidung, ingin memastikan
apakah masih bernapas atau sudah putus jiwa.
Hong Si-nio sudah gila, malah mati di tempat ini.
Kim-pou-sat melenggong sekian lama, sungguh tak percaya bahwa ini kejadian nyata, ia hanya mematung
tak mampu bicara.
Pada saat itulah didengarnya suara pakaian melambai, tiba-tiba di depannya muncul seorang, rambut
kepalanya terurai panjang memutih perak memegang gendewa emas, siapa lagi kalau bukan Kim-kiong-ginhoan
Le Jing-hong. Menyusul suara derap kaki yang berat, Jin-siang-jin juga tiba.
Begitu Hong Si-nio minggat, tiada alasan mereka terus berkelahi. Mereka bukan lagi pemuda yang berdarah
panas, sedikit-sedikit berhantam serta mengadu jiwa, dalam usia mereka sekarang hal itu jelas takkan
dilakukan. Tujuan mereka mencari dan mengejar Hong Si-nio.
Kini mereka juga muncul di sini, bersama-sama mengawasi Hong Si-nio yang rebah telentang di lantai. "Apa
yang terjadi?" tanya mereka.
Kim-pou-sat menjelaskan, "Tidak terjadi apa-apa, hanya mati seorang."
"Benar dia sudah mati?" Le Jing-hong menegas.
Kim-pou-sat menjawab, "Kelihatannya bukan pura-pura."
"Kau membunuhnya?" mendelik mata Le Jing-hong.
Kim-pou-sat menghela napas, "Apakah aku tega membunuhnya?"
Le Jing-hong mengerti, sebab ucapan orang memang benar. Hong Si-nio yang hidup jelas lebih berguna
daripada mati. "Baru sekarang aku tahu," ujar Kim-pou-sat, "seorang ternyata bisa mati lantaran amarahnya."
"Mati lantaran amarahnya?" Le Jing-hong menegas.
"Kecuali alasan itu, sukar kutemukan bukti lain."
"Kalau kau lepas pakaiannya, tentu dapat kau temukan buktinya," Jin-siang-jin menimbrung.
Le Jing-hong melotot, "Orangnya sudah mampus, kau masih mau menelanjanginya?"
"Kalau sejak awal kau biarkan aku melepas pakaiannya, mungkin dia tidak mati."
Le Jing-hong mengerut kening. Sementara Kim-pou-sat membungkuk menyingkap ujung baju Hong Si-nio,
lalu menarik napas dalam, wajahnya seketika berubah, "Bajunya beracun."
"Baju itu memang bukan miliknya," kata Jin-siang-jin.
"Milik siapa?" tanya Le Jing-hong.
"Seorang yang bernama Hoa Ji-giok. Kau pernah mendengar namanya?" tanya Jin-siang-jin.
"Maksudmu baju ini pemberian Hoa Ji-giok?" tanya Le Jinghong.
Jin-siang-jin memanggut, suaranya dingin, "Sejak awal aku sudah tahu, setiap benda yang pernah disentuh
Hoa Ji-giok pasti beracun."
"Tapi aku maklum, kalau tiada manfaatnya, Hoa Ji-giok takkan kerja percuma."
"Betul."
"Dia membunuh Hong Si-nio, apa pula manfaatnya?"
"Aku tidak tahu," Jin-siang-jin menggeleng kepala.
Le Jing-hong uring-uringan, "Kalau Hong Si-nio hidup pasti berguna bagi dia, apa alasannya turun tangan
sekeji ini?"
"Ada Hong Si-nio pasti ada Siau Cap-it Long," Kim-pou-sat menimbrung, manfaatnya jelas tidak kecil."
Kembali matanya memicing, "Untuk persoalan ini kalian datang kemari, sekarang silakan bawa dia pergi."
"Yang kuinginkan adalah Hong Si-nio hidup, bukan mayatnya," seru Jin-siang-jin.
"Bahwa Si-nio mati di tempatmu ini, selayaknya kau mengurus jenazahnya," Le Jing-hong menambahkan.
Kim-pou-sat menarik muka, "Waktu datang ia sudah keracunan, kalian juga mengikuti jejaknya, sekarang
kalian melimpahkan tanggung jawab padaku, apa begini yang dibilang cengli?"
Mendadak seorang berkata lirih lembut, "Waktu masih hidup kalian memperebutkan dia, jenazahnya belum
dingin, kalian lempar tanggung jawab, perbuatan dan sikap yang tidak kenal budi tidak tahu aturan begini, di
alam baka kalau Hong Si-nio tahu, pasti tidak akan mengampuni kalian."
* * * * * III. BELAS KASIH HOA JI-GIOK
Tabir malam mendatang.
Seorang muncul dari kegelapan di luar dengan langkah gontai, di kepalanya mengenakan mahkota bertahta
jamrut manikam, mengenakan jubah kembang warna-warni, bagian luar ditutup mantel sutra jingga bersulam
emas, pinggangnya dililit sabuk bertahta batu pualam, dihiasai dua puluh empat butir mutiara sebesar
kelengkeng, bundar gemerdep. Wajah nan bulat memutih gilap mirip warna mutiara di sabuknya, hidung
mancung, bola mata bening hitam, bibirnya merah merekah bagai delima matang, tidak tertawa tapi
kelihatan selalu tersenyum. Ditingkah cahaya lampu, gadis cantik muda belia sungguh sangat anggun.
Melihat orang muncul dari kegelapan, semua yang hadir berubah air muka. Hoa Ji-giok biar belum pernah
bertemu atau melihatnya, melihat dandanannya, orang akan lekas mengerti bahwa dialah Hoa Ji-giok. Orang
ini memang bagai batu pualam mirip bunga berkembang, tapi dia bukan perempuan, tapi laki-laki tulen.
Hoa Ji-giok sendiri maklum, tiada lelaki macam dirinya di dunia ini, kalau ada ya cuma satu dua saja.
Sikapnya kelihatan lemah lembut, tapi sorot mata dengan kerut keningnya seperti membayangkan
keangkuhan hatinya.
Sambil tersenyum ia melangkah masuk, melirik pun tidak kepada Kim-pou-sat bertiga, perhatian ditujukan
pada Hong Si-nio yang rebah di lantai, katanya lirih, "Sungguh kasihan, waktu hidup kau jadi rebutan,
setelah mati tiada orang mau mengurus jenazahmu. Semoga dalam perjajanan ke nirwana selamat sampai
tujuan. Mereka tidak kenal budi tidak tahu kasihan, aku Hoa Ji-giok akan mengurus jenazahmu."
"Kau akan mengurusnya?" tiba-tiba Jin-siang-jin menjengek.
"Aku bukan anak bukan kadangnya," kata Hoa Ji-giok, "tapi tak tega melihat jenazahnya telantar di sini."
"Sejak kapan berubah jadi baik hati?" jengek Jin-siang-jin.
"Aku kan menaruh belas kasih terhadap perempuan."
"Ocehanmu enak didengar," sindir Jin-sian-jin, "bukankah dia mati di tanganmu?"
Baru sekarang Hoa Ji-giok mengangkat kepala, tawanya mekar, "Kalau benar dia mati di tanganku,
memangnya kau ingin menuntut balas baginya?"
Terkancing mulut Jin-siang-jin, jelas dia tidak akan bentrok apalagi mengadu jiwa dengan Hoa Ji-giok bagi
orang yang sudah mati.
Hoa Ji-giok tertawa lebar, "Kim-pou-sat seyogianya berhati welas asih, apakah sudi mengurus jenazahnya?"


Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kim-pou-sat diam saja.
Hoa Ji-giok menghela napas, "Kelihatannya kalian ogah mengurus jenazahnya, baiklah, biar aku yang
menyelesaikan." Dia hanya mengulap sebelah tangan, dua orang gadis muda tahu-tahu berkelebat masuk,
mengangkat jenazah Hong Si-nio, lekas sekali diangkat keluar dan lenyap ditelan kegelapan, Hoa Ji-giok
menggumam perlahan, "Panas dingin perasaan manusia, sikap duniawi sungguh merana. Hari ini aku
menyempurnakan janazahnya, kelak kalau giliran aku mati, entah siapa mau mengurus mayatku." Perlahan
ia berjalan keluar, langkahnya kelihatan ringan, tapi kakinya bergerak di lantai meninggalkan tapak kaki yang
dalam. Le-jing-hong siap mengejar keluar, namun demi melihat tapak kaki orang, segera ia batalkan niatnya.
Kim-pou-sat menggeleng kepala, gumamnya pula, "Tampang orang ini secantik kembang semurni pualam,
hatinya ternyata kejam melebihi binatang, sungguh aku tidak mengerti, kenapa dia mau datang mengambil
jenazah Hong Si-nio?"
Jin-sian-jin menanggapi dingin, "Mungkin ingin ganti selera, gegares daging orang mati."
Betulkah Hoa Ji-giok makan daging orang yang sudah mati"
Sudah tentu Hong Si-nio tidak mati, waktu ia membuka mata, dilihatnya Sim-sim berdiri di depannya.
Tangannya tidak putus, dua-duanya masih utuh, bekas luka juga tidak kelihatan. Hong Si-nio melotot kaget,
"Tanganmu ...."
"Tanganku tidak secantik tangan Si-nio," kata Sim-sim dengan tersenyum.
"Tanganmu tetap dua?"
"Sejak lahir tanganku memang dua."
"Kukira kau punya tiga tangan."
"Manusia mana yang punya tiga tangan?"
"Lalu tanganmu yang keracunan tadi yang mana?"
"Kalau racun seringan itu aku tidak tahan, umpama aku punya tiga puluh tangan juga percuma, semua pasti
buntung." "Maksudmu hanya terkena sedikit racun?"
"Ya, sedikit sekali."
"Tapi kau tadi.... "
"Maksudku supaya Si-nio tahu, makhluk apa dia sebenarnya."
Si-nio mengawasi sekian lama, "Tadi sudah kubilang, kelak kau pasti akan mendapat jodoh yang sesuai
sebagai pasanganmu."
"Ehm," Sim-sim bersuara dalam mulut.
Hong Si-nio menghela napas, "Tapi aku malah kuatir bagi pasanganmu kelak bila punya bini sepertimu,
suamimu mana tahan?"
Rumah ini dipajang amat megah lagi mewah. Hong Si-nio menyapu pandang ke sekelilingnya, tak tahan ia
bertanya, "Bagai-mana aku bisa berada di sini?"
"Kami yang menggotongmu ke sini," sahut Sim-sim.
"Menggotongku kemari?"
"Tadi kau sudah mati sekali."
Gemerdep mata Hong Si-nio, "Mati bagaimana?"
"Baju yang kuberikan kepadamu itu beracun."
"Hah, baju itu beracun?"
"Hoa-kongcu menaruh racun di baju itu."
"Kenapa dia meracunku mati?"
"Karena kuatir kau dibeset mampus jadi beberapa bagian."
"Ya, mereka memperebutkan diriku."
"Tapi begitu kau mati, jangan kan mengurus jenazahmu menyentuhmu saja tidak sudi."
"Lalu kalian menggotongku ke sini."
"Kau mati atau hidup, kami tetap akan merawatmu."
"Kalian bisa menolong orang mati kembali hidup?"
"Orang lain tidak bisa, Hoa-kongcu mampu."
"Sepertinya Hoa-kongcu kalian itu orang yang luar biasa."
"Terus terang saja," ujar Sim-sim gegetun, "belum pernah aku melihat seorang yang luar biasa seperti dia."
"Kenapa tidak biarkan aku melihatnya."
"Umpama kularang kau melihatnya, dia pasti tidak setuju."
Dari luar kerai seorang mendadak berkata, "Perintah dari Kongcu, bila Si-nio sudah siuman, dipersilakan ke
ruang depan minum arak."
Ruang depan ini lebih luas, tinggi dan besar, pajangannya jauh lebih mempesona, persisnya seperti dunia
sutra dan mutiara. Di meja penuh bertumpuk belasan macam hidangan.
Sim-sim berkata, "Hidangan hari ini semua aku yang menyiapkan, ada ayam dan angsa panggang, ayam tim
sarang burung, dan lima belas hidangan lain yang dibikin berbahan dari gunung, laut dan tanah perkebunan
yang susah dibeli di pasaran."
Hong Si-nio melenggong mengawasi bermacam hidangan sebanyak itu.
Sim-sim berkata lebih jauh, "Hidangan semeja ini kuatur menurut daftar menu yang diajukan koki istana,
entah cukup tidak untuk disantap."
"Kau tahu hidangan ini cukup dimakan tidak?"
"Ya."
"Memangnya kau kira aku ini siapa" Kau anggap aku ini Bik-lik-hud yang gendut perutnya itu?"
"Yang pasti aku tahu sekarang kau sedang kelaparan."
"Aku memang kelaparan, tapi hidangan sebanyak ini, jangan kata makan, melihat saja perutku sudah
kenyang." Baru saja Hong Si-nio menaruh pantatnya di kursi, dilihatnya seorang menyingkap kerai dan berjalan masuk.
Hong Si-nio sudah malang melintang sekian tahun di Kang-ouw, pemuda-pemuda yang pernah dilihatnya
tidak terhitung jumlahnya, tapi belum pernah melihat lelaki sebagus, seganteng ini.
Hoa-kongcu tersenyum sambil mengangguk, sekilas ia mengerut alis, lalu berkata, "Hidangan hari ini siapa
yang menyiapkan?"
"Akulah," sahut Sim-sim.
"Kau memang terlalu, hidangan ayam, itik, udang dan ikan setumpuk, jangan kata makan, melihat saja
sudah kenyang perut Si-nio."
Hong Si-nio menahan rasa geli, "Ternyata Hoa-kongcu mengerti seleraku."
Hoa Ji-giok berkata, "Bisa berkenalan dengan Si-nio yang perkasa, tidak sia-sia hidup Hoa Ji-giok."
"Hidupmu takkan sia-sia. Orang mati dapat kau hidupkan kembali, mana mungkin kau hidup sia-sia."
"Kukira Sim-sim banyak mulut tadi."
"Tidak, dia tidak memberitahu apa-apa, aku juga tidak tahu sekarang aku di tempat apa."
"Bukankah tujuan Si-nio di tempat ini?"
"Bukit berbatu maksudmu?"
"Ya, di sinilah Loan-ciok-san."
Berputar bola mata Hong Si-nio, "Ada tempat sebagus ini di Loan-ciok-san?"
"Awalnya tidak seindah ini," sela Sim-sim tersenyum, "setelah Kongcu ada di sini, keadaan semua berubah."
"Aku ini tidak suka menyiksa diri sendiri."
"Kurasa Kongcu sudah kenal selera dan kegemaranku juga."
"Bila Si-nio tidak menganggap aku sekomplotan dengan Kim-pou-sat, aku senang bergaul dengan Si-nio."
Lama Hong Si-nio menatapnya, "Betul kau bukan komplotan mereka?"
Hoa Ji-giok tertawa manis, "Sepanjang hidupnya, Kim-pou-sat hanya memikirkan bagaimana memperkaya
diri, Jin-sing-jin dan Le Jing-hong hanya ingin mencelakai jiwa orang. Menurut Si-nio apakah aku ini mirip
orang yang suka merampok dan membunuh orang?"
"Tampangmu tidak mirip penjahat. Lalu mereka ingin merampok harta siapa" Membunuh jiwa siapa pula?"
"Siau Cap-it Long. Pasti Siau Cap-it Long."
"Bukankah kehadiranmu di sini juga ingin bertemu Siau Cap-it Long?"
"Bukan."
"Betul bukan?"
"Jangan kata hanya seorang Siau Cap-it Long, andai ada 10 Siau Cap-it Long, takkan menggerakkan hatiku,
buat apa aku berada di pegunungan yang serba kurang ini?"
"Hasrat apa yang memaksamu ke sini?"
"Ya, memang karena seseorang."
"Siapa?"
"Kau."
Hong Si-nio mengikik tawa, "Aku senang mendengar lelaki berbohong, kalau bicara bisa membuat orang
merasa nikmat."
"Sayang sekali apa yang kuucapkan kali ini bukan bohong."
"O, yang benar saja."
"Kecuali Si-nio, manusia mana di dunia ini yang dapat mendesakku datang ke tempat ini."
"Aku sendiri belum pernah menyuruh kau datang ke tempat seperti ini."
"Ya betul, tapi aku memang terpaksa harus ke sini."
"Datang terpaksa" Kenapa?"
"Seorang suami kalau tahu bininya menghadapi bahaya, pasti dipaksa menyusul dan menolong bininya itu."
"O, Hoa-toako kita ini menyusul ke tempat ini menyusul Hoa-toaso?"
"Ya, begitulah."
"Hoa-toaso kita tentu seorang wanita yang cantik rupawan,"
Hoa Ji-giok manggut-manggut, sepasang matanya mengawasinya tanpa berkedip, akhirnya menghela
napas, "Hoa-toaso memang wanita cantik bagai kembang mekar, aku sendiri tidak tahu betapa besar
rezekiku dapat memperisteri dia."
"Makanya kau harus berhati-hati."
"Hati-hati dalam hal apa?"
"Jagalah sepasang matamu, kalau melihat begitu cara kau menatapku, pasti dia akan cemburu padaku."
"Aku yakin dia tidak akan cemburu."
"Memangnya Hoa-toaso selamanya tidak pernah cemburu?"
"Yakin tidak."
"Betulkan selama hidupnya Hoa-toaso tak pernah cemburu?"
"Cemburu sih jelas, tapi tidak akan cemburu padamu."
"Kok bisa?"
"Karena Hoa-toaso adalah engkau dan engkau adalah Hoa-toaso."
Hong Si-nio tertegun.
"Sebenarnya sejak menikah dengan kau, aku tidak pernah melihat apalagi menyentuh wanita lain. Lelaki
manapun kalau sudah punya bini secantik dan sebaik engkau, pasti dan yakin tidak akan memperhatikan
wanita lain."
Akhirnya Hong Si-nio menarik napas panjang, "Jadi aku sendirilah Hoa-toaso itu."
"Memangnya siapa lagi kalau bukan engkau."
"Memangnya sejak kapan aku menjadi binimu?"
"Lho, masa engkau lupa?"
"Ya, aku lupa."
Hoa Ji-giok menghela napas gegetun, "Mestinya engkau tidak lupa, sebab hari pernikahan kita tepat pada
tanggal lima bulan lima."
"Toan-ngo-coat?"
"Betul," sahut Hoa Ji-giok, "di hari Toan-ngo-coat itulah kita menikah."
Bagai dibenamkan dalam lumpur perasaan Hong Si-nio. Beberapa hari sebelum dan sesudah Toan-ngo-coat
kondisinya sedang gundah, bingung lagi cemas.
Setiap datang hari Toan-ngo-coat, entah kenapa perasaannya selalu begitu, seperti tahun-tahun yang
sudah, ia mencari tempat, menyembunyikan diri.
Beberapa hari itu jelas ia tidak bertemu dengan orang, juga pasti tiada orang pernah melihat dirinya. Hong
Si-nio tahu bahwa dirinya pasti tidak pernah menikah dengan Hoa Ji-giok, tapi selain diri sendiri susah ia
mencari orang lain untuk menjadi saksi dan membuktikan keberadaan dirinya.
Mengawasi kebingungan Hong Si-nio, Hoa Ji-giok tampak gembira, katanya pula, "Pernikahan kita diadakan
tergesa-gesa, namun pestanya cukup meriah, ada bukti mak comblang, umpama kau ingkar tak mungkin
bisa ingkar."
Mendadak Hong Si-nio tertawa lebar malah, "Dapat menikah dengan pemuda pujaan adalah idamanku,
kenapa aku harus ingkar?"
"Kalau benar kau menyukai aku, kenapa di malam pertama yang semestinya penuh bahagia justru minggat
dari kamar pengantin?"
"Sudah biasa, tiap kali kualami malam pertama pernikahan, selalu aku minggat."
"Tapi sekarang sudah kutemukan kau kembali, kuharap engkau tidak minggat lagi."
"Ya, aku tahu," Hong Si-nio menghela napas dengan tertawa getir.
Si-nio maklum, kali ini dirinya susah meloloskan diri. Tahu-tahu hari ini dirinya menjadi bini Hoa Ji-giok,
betapa aneh dan ganjil kejadian ini.
Hoa Ji-giok memang pemuda bagus, ganteng dan enak dipandang, bukan saja muda banyak duit, lemah
lembut sayang istri, perempuan mana yang bisa menikah dengan pemuda seperti ini, pasti akan merasa
senang lagi bahagia. Tapi sekarang Hong Si-nio amat gundah, ingin menangis saja air mata tak bisa
meleleh. Pandangan Hoa Ji-giok manis mesra, rasanya seperti ingin membopong mempelai perempuan masuk ke
kamar. Sebaliknya gemas Hong Si-nio bukan main, rasanya ingin mencekik lehernya biar mampus, tapi ia
tahu untuk mencekik pemuda ini bukan urusan mudah.
Suara Hoa Ji-giok lembut namun penuh gairah, "Ayolah, kamar pengantin sudah kusiapkan."
"O?" "Kalau hidangan ini tidak ingin kau makan, biarlah kita masuk kamar dulu."
Hong Si-nio lihat sana pandang sini sambil berkata, "Hidangan sebanyak dan seenak ini, kalau tidak
dimakan apa tidak sayang?" Tanpa sungkan ia mengambil daging, mencomot udang, lalu dimakan dengan
lahap, makannya lebih banyak dari biasanya. Ia insaf setelah makan kenyang kali ini, entah kapan baru ada
kesempatan makan lagi.
Dengan senyum lebar Hoa Ji-giok menyaksikan dari seberang meja, menunggu dengan sabar.
Hong Si-nio mengerling mata, lalu katanya, "Kawin dengan bini yang suka gegares seperti aku, kau masih
bisa tertawa?"
"Kenapa tidak bisa tertawa?"
"Kau tidak takut menjadi kere (jembel)?"
"Menikah dengan bini seperti engkau yang selalu mengundang rezeki, mana mungkin aku bisa kere?"
Gatal gigi Hong Si-nio, saking gemas, rasanya ingin ia menggigit sekerat daging di badannya. Kini ia sudah
tak kuasa menelan makanan lagi.
"Sudah selesai kau makan?"
"Seleraku hari ini kurang baik, biarlah makan sedikit saja."
"Asyik, sekarang...."
"Sekarang aku ingin minum arak, ayo temani aku minum tiga cawan."
"Tentu kutemani kau minum."
"Berapa cawan aku minum, kau juga minum sebanyak itu?"
"Orang lain tiada yang mencekok aku minum, mempelai sendiri malah yang menganjurkan aku banyak
minum?" Hong Si-nio tersenyum lembut, "Malam pertama di kamar pengantin, bukankah sudah biasa kalau mempelai
pria mabuk?"
Di luar tahunya, pemuda ini kelihatan lemah lembut, bila minum arak perutnya ternyata mirip gentong.
Wanita seperti Hong Si-nio kalau ingin membuat mabuk para lelaki, entah berapa kali mudah dilakukannya,
ukuran minumnya juga cukup luar biasa, kalau tidak, entah sudah berapa kali ia ditelanjangi lelaki. Dalam hal
minum ada kemampuan Hong Si-nio yang luar biasa, orang lain makin banyak minum pandangan bisa makin
kabur, sebaliknya makin banyak minum, bola matanya malah cemerlang, orang jadi susah menebak apakah
dia sudah mabuk atau belum, maka jarang ada orang berani mengadu kekuatan minum padanya.
Ternyata Hoa Ji-giok juga demikian, makin banyak minum makin sadar saja, bola mata Hong Si-nio sudah
benderang mirip lampu, dengan melotot ia mengawasi lalu bertanya, "Kau pernah mabuk tidak?"
"Orang yang minum arak, siapa yang tidak mabuk?"
"Jadi kau pernah mabuk?"
"Aku sering mabuk."
"Kulihat sekarang tiada tanda-tanda kau akan mabuk."
"Siapa bilang. Tahun lalu aku pernah jatuh mabuk."
"Tahun lalu?"
"Lima tahun lalu juga pernah mabuk sekali."
"Selama hidupmu kau hanya pernah mabuk dua kali?"
"Dua kali sudah luar biasa bagiku."
"Ada juga orang yang sehari mabuk dua kali, toh merasa kurang banyak dan tidak pernah kapok."
"Aku sendiri ingin bisa mabuk beberapa kali, sayang araknya yang kurang."
"Berapa banyak yang kau butuhkan?"
"Aku sendiri tidak jelas, yang kuingat tahun lalu aku hanya menghabiskan dua belas guci Tiok-yap-cing, lalu
roboh tak sadarkan diri."
Hong Si-nio melenggong. Dua belas guci Tiok-yap-cing, kalau harus dituang dalam baskom, mungkin harus
dikerjakan selama setengah hari."
Bentrok Para Pendekar 03
Karya Gu Long - Gan K.H.
Bagian 3 "Aku datang tergesa-gesa, arak yang kubawa mungkin hanya dua belas guci, kalau merasa kurang,
sekarang boleh kusuruh orang turun gunung beli di kota."
"Dua belas guci mana mampu kuminum habis, umpama untuk berendam saja mungkin aku bisa mampus
tenggelam."
"Lalu berapa yang ingin kau minum?"
"Sudah cukup, berhenti."
Mata Hoa Ji-giok memicing sipit, suaranya lembut, "Kalau begitu ...."
Mendadak Hong Si-nio berjingkrak berdiri, "Sekarang kita masuk kamar pengantin."
Bersama laki-laki yang masih asing baginya Hong Si-nio masuk kamar pengantin. Untuk kedua kalinya ia
masuk kamar pengantin, waktu berjalan masuk lagaknya seperti pahlawan sedang maju ke medan perang.
Kamar pengantin yang satu ini tidak banyak beda dengan kamar pengantin umumnya, sepasang lilin besar
warna merah menyala benderang, selimut sutra bertumpuk di pinggir ranjang bersulam burung mandarin,
untuk segala keperluan pengantin, dari kepala sampai ujung kaki tersedia di kamar ini. Yang berbeda hanya
mempelai perempuan tidak mirip mempelai.
Di samping Sim-sim cekikikan geli, sambil bertepuk tangan ia bernyanyi, "Hari ini waktu baik suasana
gembira, kembang merah daun rimbun, tahun depan lahirlah si upik nan gemuk lucu, digendong disayang
pergi bertemu ayah bunda."
Mendadak Hong Si-nio juga bertepuk riang, serunya, "Bagus sekali nyanyianmu, ada persen dari mempelai."
"Persen apa?" tanya Sim-sim gembira.
"Persen satu tamparan," tangannya benar-benar menampar ke muka Sim-sim, gadis cilik ini ternyata cukup
cerdik, selicin rase tiba-tiba ia menyelinap ke pinggir terus berlari keluar sambil menutup pintu.
Hoa Ji-giok tertawa lebar, "Tak usah kau mengusirnya, toh dia harus pergi."
"Siapa bilang tidak usah diusir, aku justru sudah tidak sabar lagi."
"Sudah tidak sabar?"
"Memangnya?" mata Hong Si-nio merem melek, seperti mulai mabuk, badan berputar tubuhnya roboh di
ranjang, dengan mata terpicing ia mengawasi Hoa Ji-giok, lalu bertanya, "Berapa umurmu sekarang?"
"Genap dua puluh satu," sahut Hoa Ji-giok.


Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau aku menikah muda, anakku mungkin sudah sebesar engkau."
"Aku memang suka perempuan yang usianya lebih tua, wanita tua makin matang, lebih romantis." Sambil
bicara ia melangkah menghampiri Hong Si-nio.
"Dan kau" Kau romantis tidak?"
"Sebentar lagi kau juga akan tahu."
Wajah Hong Si-nio seperti jengah, perlahan ia memejam mata.
Dengus napas Hoa Ji-giok terasa juga makin mendekat.
Hong Si-nio mengerang perlahan, suaranya lembut, "Adik cilik, kau adalah adik cilik, aku menyayangimu.
Hoa Ji-giok juga seperti terpesona, tawanya seperti mabuk, "Kau sayang apaku?"
"Sayang kau harus mati." bentak Hong Si-nio. Mendadak tubuhnya melejit dari ranjang, hanya sekejap kaki
tangan menyerang berbareng, tujuh pukulan dibarengi tiga tendangan.
Lelaki kalau di mabuk asmara, umumnya lupa daratan, dicecar serangan ganas secepat itu, lumrahnya tak
mungkin menghindar. Tak nyana Hoa Ji-giok berubah tidak mabuk kepayang, sekali sambar ia tangkap kaki
Hong Si-nio, gerakannya begitu cepat. Tahu-tahu Hong Si-nio merasa tubuhnya kaku, tenaga seketika
terkuras habis di ujung kaki.
Dengan kalem Hoa Ji-giok mencopot sepatunya, lalu mengelus telapak kakinya, katanya dengan tersenyum,
"Bagus sekali sepasang kaki ini."
Luluh badan Hong Si-nio, perempuan mana yang tidak takut geli bila telapak kaki digelitik.
Maka terbayang oleh Hong Si-nio waktu memperebutkan Keh-lo-to dulu, waktu dirinya jatuh di tangan
Sugong Siok, makhluk cacad itu pun mencopot sepatunya, malah menggelitik telapak kaki dengan
jenggotnya. Hoa Ji-giok tidak berjenggot, tapi jari-jari tangannya bermain lebih lincah, rasanya lebih mengerikan.
Untung waktu itu ia ditolong Siau Cap-it Long. Untuk kali ini" Hanya Tuhan yang tahu dimana Siau Cap-it
Long sekarang berada"
Saking jengkelnya Hong Si-nio ingin menangis, namun rasa geli juga membuatnya ingin tertawa mengikik,
karena ditahan-tahan akhirnya ia berteriak.
Senyum Hoa Ji-giok makin mekar, "Kau berteriak-teriak, didengar orang di luar, coba bayangkan bagaimana
pikiran mereka?"
Hong Si-nio tidak berani berteriak lagi, dengan menggigit bibir ia berkata, "Anggaplah aku menyerah, lekas
lepaskan aku saja."
"Tidak boleh."
"Kau ... apa maumu?"
"Coba terka!"
Hong Si-nio tidak berani menerka, membayangkan saja tidak berani.
Hoa Ji-giok berkata, "Sebetulnya aku tahu kau akan menyerangku, memangnya aku sudah menunggu, tak
kira kau begitu tahan uji, sampai detik terakhir baru bereaksi." Setelah menghela napas ia menambahkan,
"Sayang sekali, reaksimu juga kuanggap tergesa-gesa."
"Menurutmu harus kutunggu sampai kapan?" Harapannya hanya mengulur waktu saja.
"Sampai aku naik ke ranjang."
Hong Si-nio menghembus napas dari mulut, semula ia sudah berencana demikian, ia tahu kesempatan
waktu itu pasti lebih besar keberhasilannya, sayang ia terlalu takut lagi ngeri, takut diperkosa, maklum
selama ini ia memang belum pernah dipegang-pegang lelaki.
"Dari kejadian ini dapat kusimpulkan," demikian kata Hoa Ji-giok, "Kau ini belum terhitung perempuan yang
lihai." "Kau justru laki-laki yang lihai."
"Memangnya aku bukan lelaki lemah."
"Untuk kejadian ini, sudah lama kau rencanakan."
"Ya, sudah dua tiga bulan."
"Ketahuilah setiap orang merayakan hari-hari raya, hari besar, aku selalu menyembunyikan diri, menyepi
sendiri, maka kau gunakan alasan sudah menikah denganku pada hari raya Toan-ngo."
"Makanya kau tidak boleh ingkar, ingkar juga percuma."
"Kau juga tahu aku minggat dari kamar pengantin."
"Banyak orang tahu kejadian itu, maka kali ini sudah kuduga dan siaga, kepada orang aku bisa bilang kau
melakukan kesalahan lama." Dengan senyum memikat ia melanjutkan, "Aku malah bilang, sejak awal kau
memang ingin kawin dengan aku, tapi begitu mendengar berita Siau Cap-it Long, kau minggat tak keruan
peran." "Ya, betapapun aku menyesal, orang lain pasti tidak percaya."
"Sudah nasib dan takdirmu bakal menjadi biniku."
"Tapi ... kenapa kau mau melakukan perbuatan kotor ini?"
"Karena aku suka padamu."
"Kalau benar menyukaiku, pantasnya tidak kau lakukan cara begini."
"Justru untuk membuktikan aku benar-benar menyukaimu perlu kulakukan cara ini."
"Kau... betulkah kau mau ... mau ...." tak kuasa Hong Si-nio melanjutkan.
Jari-jari Hoa Ji-giok sudah mulai membuka kancing bajunya.
Tak tahan Hong Si-nio menjerit keras.
"Tak heran orang pernah bilang kamar pengantin persis dengan tempat jagal, jeritanmu sungguh mirip orang
menyembelih babi."
"Kau ... benar ingin melucuti pakaianku?"
"Bukan hanya melucuti pakaianmu, akan kubuatkan kau telanjang."
Hong Si-nio sudah tidak mampu menjerit lagi, tiba-tiba ia merasa sekujur badan dari atas sampai bawah
sudah bugil total, saking tegangnya sekujur badan terus merinding.
Hoa Ji-giok tertawa iblis, matanya sungguh kurang ajar, menjelajah seluruh lekuk tubuhnya, desis suaranya
memburu, "Buat apa tegang?"
Hong Si-nio mengertak gigi, tubuhnya gemetar keras.
"Aku tahu dulu ada lelaki mengintip kau mandi, katanya sedikitpun kau tidak setegang ini."
Kondisi waktu itu jelas berbeda, ia juga tahu para lelaki itu hanya mengintip dari lubang kecil, sekarang ia ....
Kata Hong Si-nio geram, "Sekarang kau sudah cukup memandangku, apalagi yang akan kau lakukan?"
"Kau ini pengantin perempuan di kamar pengantin lagi, aku mempelai pria tentu tahu apa tugasku
selanjutnya."
"Benar kau ingin mengawiniku?"
"Memangnya aku main-main?"
"Kau ... bukankah kau melihat aku ini sudah nenek-nenek?"
"Tidak kulihat nenek di sini, kondisimu persis dengan gadis muda belasan tahun."
Mendadak terasa oleh Hong Si-nio tangan orang sudah meraba pahanya, malah terus merambat naik,
ternyata tangan orang halus empuk.
Hong Si-nio merasa sekujur badan menjadi lemas lunglai, Betapapun ia adalah perempuan normal, perawan
ting-ting meski sudah berusia tiga puluh lima.
"Kurasakan kau amat tegang, apa benar selama ini kau belum pernah disentuh lelaki?"
Hong Si-nio mengertak gigi, air mata meleleh di pipi.
Hoa Ji-giok seperti amat terhibur, "Kelihatannya memang belum pernah disentuh lelaki, dapat mengawini
perempuan seperti engkau, rezekiku sungguh amat besar ...." Perlahan ia mulai naik ke ranjang.
Hong Si-nio memejamkan mata, air matanya mengalir makin deras, katanya memelas, "Akan datang
saatnya kau menyesal, ya, datang satu hari ...." Itu ancaman juga peringatan, sayang nada bicaranya sudah
lemah, sekeras apapun watak wanita, dalam posisi seperti itu, akhirnya pasti menjadi lemah dan menyerah.
Betapapun Hoa Ji-giok adalah lelaki ganteng.
* * * * * IV. SEJENGKAL PUN TIDAK PERNAH BERPISAH
Dalam keadaan apa boleh buat, perempuan akan menerima nasibnya yang jelek, demikian keadaannya
sekarang, ia sudah siap menerima
^