Pencarian

Bentrok Para Pendekar 3

Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Bagian 3


t Long kelihatan seperti amat sayang dan sedih"
* * * * * Siau-song bercerita, "Kusir kereta itu orang aneh, waktu kuajak mengobrol, dia selalu bersungut, disapa
diam saja diajak bicara tak menjawab, seperti hutang tiga ratus tahil perak pada bapaknya."
Itulah penjelasan Siau-song tentang kusir kereta yang dinaiki Hoa Ji-giok. Apa yang dijelaskan tak lebih
banyak dari yang diketahui Pin-pin.
Siau Cap-it Long terlihat rada kecewa, mendadak Siau-song menambahkan, "Selama tiga hari ini, pagi-pagi
mereka sudah datang ke sini, malam baru pulang, seperti menunggu seseorang."
"Beruntun tiga hari mereka datang?"
"Ya, pelayan restoran menceritakan padaku."
"Kondisi mereka sudah menarik perhatian orang, beruntun datang tiga hari. Pemilik retoran mungkin tahu
asal-usul mereka."
VII. TRAGEDI BOK-TAN-LAU
Pemilik Bok-tan-lau she Lu.
Lu-ciangkui bertutur, "Dua nona bercadar hitam itu memang tiga hari beruntun telah datang, minta hidangan
semeja penuh, tapi tiada yang mau makan, setelah restoran kami nyatakan mau tutup mereka baru pulang."
"Uang yang mereka bayarkan cukup banyak, maka semua pelayanku senang melayani mereka."
"Yang bayar rekening siapa?" tanya Pin-pin.
"Lelaki muda yang ikut datang itu," sahut Lu-ciangkui.
"Kau tahu selama tiga malam ini mereka bermalam dimana?"
"Konon mereka menyewa villa di hotel Lian-hun, malah sudah bayar tunai untuk sepuluh malam"
"Keteranganmu dapat dipercaya?"
"Pasti dapat dipercaya, pemilik hotel Lian-hun adalah kakak isteriku."
Pemilik hotel Lian-hun she Gu.
Gu-ciangkui bertutur, "Dua nona yang mengenakan cadar itu memang aneh, siang hari terus berada di
kamar, makan minum harus diantar ke kamar. Begitu magrib sudah siap-siap berangkat ke Bok-tan-lau. Tiga
hari berada di sini, orang-orang yang berada di sini tiada seorang pun pernah mendengar mereka bicara."
"Mereka menempati kamar yang mana?"
"Di pojok timur sana, villa itu khusus untuk tamu-tamu kelas tinggi, seluruh komplek villa itu disewa
semuanya."
"Malam ini mereka sudah pulang?"
"Baru saja tiba," ujar Gu-ciangkui sambil menggeleng kepala, "seharian mereka berada di Bok-tan-lau,
restauran besar, tentu makan minum serba kenyang. Begitu tiba di kamar kembali pesan satu meja penuh
hidangan dan arak."
"Hidangan semeja yang dipesan itu mungkin diperuntukkan bagi kita," ujar Pin-pin tertawa riang.
"Mereka tahu kalian akan datang?"
"Tidak tahu."
Gu-ciangkui mengawasinya dengan pandangan kaget, seperti mendadak merasa tamu-tamu yang datang
dan menginap di hotelnya adalah orang-orang aneh misterius.
Dalam kamar terang benderang, meja bundar dilembari taplak meja serba merah darah, dipenuhi hidangan
dan botol arak.
Pemuda ganteng yang tadi di belakang seperti kacung itu, kini sudah berganti pakaian, baju ramping serba
baru dan mahal, duduk memandang meja penuh hidangan itu, ia sedang menuang arak, beruntun mengisi
tiga cawan, tiba-tiba menoleh ke jendela dan berkata sambil tertawa, "Kalian sudah datang, kenapa tidak
silakan masuk untuk minum dan makan bersama?"
Siau Cap-it Long memang berada di luar jendela, "Ada yang mentraktir minum arak, tidak pernah aku
menolaknya."
Jendela tidak dipalang, tiga kursi masih kosong.
"Silakan duduk!" sambut Hoa Ji-giok membungkuk badan.
Dengan tajam Siau Cap-it Long mengawasi muka orang, "Nona Sim datang ikut kau, apa kau tidak pernah
mengundangnya untuk makan bersama?"
"Aku tidak mempersiapkan kursi untuk mereka, sebab mereka kini sudah tiada di sini."
Berubah muka Siau Cap-it Long. Biasanya tidak semudah itu air mukanya berubah, tapi mukanya kini
tampak menakutkan, "Apa mereka sudah pergi?"
"Ya, baru saja berangkat."
"Kau biarkan mereka pergi?"
Hoa Ji-giok tertawa ewa, "Cayhe bukan berandal, bukan polisi, mereka mau pergi, mana bisa aku menahan
mereka." Siau Cap-it Long menyeringai dingin.
Hoa Ji-giok berkata, "Agaknya Siau-tayhiap tidak percaya?"
"Agaknya kau memang bukan berandal, tapi menilai orang bukan dari mukanya, kukira kau paham akan hal
ini?" "Berdasar apa Cayhe harus berbohong pada Siau-tayhiap?"
"Karena kau tidak senang aku bertemu mereka."
"Kalau aku tidak senang Siau-tayhiap bertemu mereka, kenapa aku kembali ke hotel ini lagi" Buat apa
kupesan hidangan sebanyak ini untuk menyambut kehadiran Siau-tayhiap?"
Mulut Siau Cap-it Long terkunci.
"Sengaja Cayhe menunggu di sini, maksudku akan kujelaskan salah paham tadi."
"Apa ada salah paham?"
"Belakang ini nona Sim selalu dikawal oleh Ing dan Liu ber-dua cianpwe."
Terangkat kepala Siau Cap-it Long, "Ang-ing-lok-liu?"
Hoa Ji-giok memanggut, "Kalau Siau-tayhiap tidak percaya, kapan saja silakan tanya mereka, kedua
Cianpwe itu pasti tidak berbohong!"
"Lalu kenapa bisa ikut engkau ke tempat ini?" tanya Siau Cap-it Long.
Hoa Ji-giok bimbang, seperti serba salah untuk menjelaskan.
"Kau tidak mau menjelaskan?" desak Siau Cap-it Long.
"Bukan Cayhe tidak mau menjelaskan, hanya saja ...."
"Hanya saja apa?"
"Cayhe hanya takut setelah mendengar penjelasanku, Siau-tayhiap tidak senang hati."
"Kalau tidak kau jelaskan aku justru marah. Ketahuilah, kalau marah aku ini orang yang tidak kenal
kompromi."
Agak lama Hoa Ji-giok kelihatan ragu, katanya kemudian, "Berita yang tersiar di Kangouw mengatakan
bahwa Lian Shia-pik juga berada di daerah ini, nona Sim mendengar berita ini, lalu mendesak Cayhe
membawanya kemari."
Berubah air muka Siau Cap-it Long, penjelasan Hoa Ji-giok ibarat sebilah pisau tajam menusuk sanubarinya.
Mendadak ia merasa sekujur badan menjadi dingin. Kalau Sim Bik-kun berubah karena orang lain, ia masih
bisa menerima, tapi Lian Shia-pik....
Hoa Ji-giok menghela napas gegetun, seperti merasa simpati, "Biar orangnya sudah pergi, arak masih
banyak, silakan Siau-tayhiap menikmati beberapa cawan sambil menghabiskan waktu malam ini!"
"Baik, mari habiskan tiga cawan!"
"Silakan."
"Cawan ini tidak bisa dipakai," kata Siau Cap-it Long.
"Kenapa tidak bisa dipakai?" tanya Hoa Ji-giok.
"Cawan ini terlalu kecil," mendadak ia raih satu mangkuk besar berisi bakso kakap, semangkuk kaldu sirip
ikan hiu, dan semangkuk sup sarang burung, semua dia tuang di lantai, tiga mangkuk yang sudah kosong ia
tuangi arak yang tersedia, "Kusuguh untukmu, silakan minum!"
Dengan sikap apa boleh buat Hoa Ji-giok menggeleng kepala. "Baiklah," katanya kemudian, "aku minum."
Meski lambat, tiga mangkuk besar arak itu dia tenggak habis seluruhnya.
Siau Cap-it Long juga menghabiskan tiga mangkuk besar arak, "Kini giliranmu menyuguh padaku. Sebagai
tuan rumah, kau minum dahulu."
"Minum tiga mangkuk lagi?" seru Hoa Ji-giok, "Cayhe mungkin tidak mampu lagi."
Melotot mata Siau Cap-it Long, "Aku menghormatimu, kau tidak menghargaiku, kau meremehkan aku?"
"Baiklah, aku balas suguhkan tiga mangkuk," dengan menyengir ia habiskan tiga mangkuk arak itu. Anehnya
setelah menghabiskan mangkuk kedua, cara minumnya malah lebih cepat dan tuntas, mangkuk ketiga
dlminum seperti minum teh saja.
Setelah Siau Cap-it Long menghabiskan tiga mangkuk lagi, Hoa Ji-giok tertawa, "Hayo habiskan tiga
mangkuk lagi, Siau-tayhiap silakan!"
Siau Cap-it Long melotot, katanya dengan suara mendesis, "Ada dua hal perlu kuberitahu padamu."
"Cayhe siap mendengarkan."
"Pertama aku ini bukan Tayhiap, selamanya belum pernah jadi Tayhiap. Kedua, kalau kutemukan
omonganmu ternyata bohong, akan kupotong lidahmu, mengerti?"
Hoa Ji-giok manggut-manggut, "Aku mengerti, tapi kurasa ada yang tidak ku mengerti?"
"Soal apa yang kau tidak mengerti?"
"Bahwa dia datang karena Lian Shia-pik, kurasa dia pergi lagi juga lantaran Lian Shia-pik, kenapa tidak kau
cari mereka, malah menumpahkan kekesalanmu kepadaku?" Habis bicara tubuhnya melorot jatuh
mendengkurdi lantai.
Wajah Siau Cap-it Long membesi hijau, dengan taplak meja yang lebar warna merah, dia bungkus seluruh
hidangan yang ada di atas meja, "Sengaja kau ingin menjamu aku, hidangan tidak habis ini biar aku bawa
pulang saja."
Hoa Ji-giok diam saja, karena begitu rebah di lantai langsung tidur pulas karena mabuk berat.
Siau Cap-it Long mengakak tiga kali sambil menengadah, buntalan besar itu ia panggul di punggung, tangan
Pin-pin ditarik terus turun loteng.
Setelah bayangan mereka pergi jauh, dari balik kerai bambu seorang menyingkap masuk sambil mengomel,
"Tamu segarang itu sungguh jarang aku melihatnya." Yang keluar ternyata adalah Sim-sim, mengawasi Hoa
Ji-giok yang rebah di lantai, lanjutnya, "Tamu jahat itu sudah pergi, hayo lekas bangun!"
Hoa Ji-giok segera membuka mata terus berdiri, katanya sambil menggeleng kepala, "Orang itu lihai betul,
hampir saja aku dibuatnya mabuk sungguhan."
Sim-sim tertawa manis, "Sayang dia tidak tahu ukuran minummu ternyata jauh lebih banyak dari dugaannya
semula." "Satu hal yang nyata adalah pribadiku ini yakin jauh lebih bejat dibanding perkiraannya."
Sim-sim berkata, "Kalau di Kangouw muncul lagi Cap-toa-ok-jin, satu di antaranya pasti engkau."
"Lalu engkau?"
"Jelas aku juga masuk hitungan."
"Apakah Sim Bik-kun betul sudah pergi?"
"Sudah kusuruh Pek-losam membawanya pergi, pesanmu juga sudah kusampaikan kepadanya."
"Perempuan gila itu?"
"Kuatir lelaki garang itu mencarinya ke belakang, maka kupersilakan dia istirahat di kolong ranjang."
"Sekarang boleh kau persilakan dia keluar!"
"Lalu akan kau suruh apa dia?"
"Kupersilakan dia mandi, lalu tugasmu mendandani dia!"
"Pernah kudengar bahwa seorang yang akan dimasukkan peti mati harus dirias dan didandani."
"Siapa bilang akan memasukkan dia ke dalam peti mati?"
"Kenapa tidak?"
"Sebab dia amat berharga."
"Memangnya engkau ingin menjualnya?"
"Ya."
"Dijual kepada siapa?" berbinar bola mata Sim-sim. Hoa Ji-giok tersenyum lebar, "Tentu kujual kepada
bangkotan tua yang kepincut paras cantik, sudah lama bangkotan tua ini amat merindukan dia."
Sim-sim cekikikan, katanya mengawasi, "Memang pantas kalau kau jadi penjahat besar."
"Memangnya siapa bilang bukan?"
"Muslihat apa yang engkau rancang, yakin mimpi pun Siau Cap-it Long takkan menduga ...."
* * * * * Siau Cap-it Long tidak pernah mau berpikir, yang dirasakan hanya kepalanya seperti kosong, hati hampa
pikiran melompong, berjalan di jalan raya, rasanya seperti berjalan di tengah gumpalan mega.
Ia berkukuh tidak mau naik kereta, ingin berjalan kaki saja, maka kereta disuruh pulang lebih dulu, terpaksa
Pin-pin menemaninya berjalan. Setelah melewati simpang jalan di depan, mendadak ia bertanya, "Perutmu
lapar tidak?"
Pin-pin geleng kepala.
Menggoyang buntalan besar di tangan, Siau Cap-it Long berkata, "Aku hanya mengingatkan kau, dalam
buntalan ini ada masakan enak dan mahal. Kalau perutmu lapar, silakan pilih bermacam masakan yang ada
di sini." Mengawasi buntalan besar yang basah oleh kuah dan sebagainya, Pin-pin ingin tertawa, tapi tak bisa
tertawa. Pin-pin bisa merasakan perasaan Siau Cap-it Long saat itu, begitu sedih, pilu dan rawan hatinya, tapi tak
bisa menangis. Mendadak Siau Cap-it Long mendeprok duduk di pinggir jalan, kepala mendongak
mengawasi taburan bintang di langit dengan termangu-mangu, sesaat kemudian mulutnya mendesis,
"Mestinya tadi kucomot seguci arak, minum arak di tempat ini sungguh menyenangkan."
Pin-pin hanya mendengarkan saja, kembali Siau Cap-it Long berkata sambil menyengir, "Tak apalah,
dimana saja pasti ada arak dan bisa minum sepuasnya."
Tawanya tidak mirip tawa, orang yang melihat tawanya malah terharu ingin ikut menangis.
Kalau dia datang demi Lian Shia-pik, sekarang tentu pergi mencari Lian Shia-pik.
Lian Shia-pik diagulkan sebagai Kuncu, lelaki sejati yang welas asih dan bajik, mestinya mereka berdua
memang pasangan suami isteri yang setimpal, saling cinta, umpama salah langkah dan ada salah paham,
setelah dipikir dan dijelaskan, urusan tidak perlu ditarik panjang. Akhirnya tentu disadari oleh Sim Bik-kun,
hanya Lian Shia-pik seorang yang patut, kepada siapa ia bersandar hidup selanjutnya.
Dari buntalan kain kembali Siau Cap-it Long mencomot keluar paha ayam, setelah diamati mendadak
dilempar ke pinggir.
Kini Pin-pin ikut duduk, mengawasinya dengan pandangan serba salah, tak tahan ia bertanya, "Kau percaya
apa yang dikatakan orang itu?"
"Satu patah kata saja aku tidak percaya," sahut Siau Cap-it Long.
"Kalau tidak percaya, kenapa harus menyingkir dari sana?"
"Memangnya aku harus ikut dia tidur di lantai?"
"Kenapa tidak kau cari dia di belakang?"
"Dicari juga belum tentu ketemu."
"Belum dicari bagaimana tahu tidak ketemu?"
"Orang macam itu, kalau tidak mau bertemu, apa gampang ditemukan, bagaimana aku harus mencarinya?"
"Kau tahu dia seorang yang licik lagi licin?"
Siau Cap-it Long manggut-mangut, "Pertama aku melihatnya, aku lantas ingat seseorang."
"Siapa?"
"Siau-kongcu, Siau-kongcu yang seratus kali lebih beracun dibanding ular beracun." Tiap kali menyinggung
nama Siau-kongcu, tampak kengerian di matanya, tanpa sadar ia bergidik ngeri.
"Orang itu jelas bukan Siau-kongcu."
Siau Cap-it Long mengangguk, "Dia seorang lelaki."
Siau-kongcu adalah samaran gadis, seorang perempuan, mirip merpati jinak, tapi juga mirip elang ganas
yang siap menerkam mangsanya. Sampai sekarang Sim Bik-kun masih merasa ngeri, dalam mimpi sering
bertemu, walau gadis ini sudah meninggal, mati di bawah pedang Lian Shia-pik.
Siau Cap-it Long berkata, "Lelaki yang satu ini memang bertingkah mirip cewek, tapi pasti dia seorang lelaki
tulen." "Kau yakin?"
"Peduli dia perempuan menyamar lelaki, atau lelaki menyamar perempuan, aku punya cara menentukan dia
lelaki atau perempuan."
"0, bagaimana caranya?"
"Caraku ini resep tunggal perguruan, tiap kali praktek tiap kali berhasil, seratus persen betul, belum pernah
meleset sekalipun."
"Caranya bagaimana?"
"Merabanya sekali."
Merah jengah selebar muka Pin-pin.
"Tadi waktu kau tidak perhatian, aku sudah merabanya."
Dengan muka jengah Pin-pin berkata, "Kulihat kau mabuk."
"Siapa bilang aku mabuk." Melotot mata Siau Cap-it Long, "aku sadar sesadar-sadarnya."
"Kalau tidak mabuk, ucapanmu tidak pernah sekotor itu."
Sejenak Siau Cap-it Long mengawasinya mendelong, akhirnya tertawa sambil memperlihatkan barisan
giginya, "Apa benar kau kira aku ini orang baik?"
Pin-pin menghela napas, suaranya lembut, "Aku tidak peduli bagaimana orang menilaimu, hanya aku yang
tahu, kau adalah ...."
Belum habis ia bicara, dari sana berkumandang derap lari kuda menarik kereta. Sebuah kereta besar warna
hitam cepat sekali melesat di jalan raya di depan mereka.
Pin-pin berteriak, "He, itulah kereta yang dinaiki orang tadi."
"O, apa iya?"
"Tengah malam buta rata, mereka menempuh perjalanan sekencang itu, untuk keperluan apa?"
"Mungkin kereta itu kosong."
"Pasti ada penumpangnya."
"Kau melihat penumpangnya?"
"Ada banyak kepulan debu di belakang kereta, aku tahu apakah kereta itu berpenumpang."
"O, ternyata sepasang matamu jauh lebih lihai dari begal besar Siau Cap-it Long."
Pin-pin tertawa geli, "Ya, sedikit lihai dibanding begal besar Siau Cap-it Long yang mabuk."
"Bagaimana kalau kita menyusulnya?" kata Siau Cap-it Long. "Ingin aku tahu bocah itu sedang memerankan
tokoh apa?"
Padahal kereta itu dilarikan kencang dan telah lenyap ditelan kegelapan, di tengah malam hening suaranya
pun tidak terdengar lagi. Siau Cap-it Long sudah melompat berdiri, tapi pelan-pelan duduk kembali.
Kalau sudah menyusul memangnya mau apa" Bukankah dengan tegas dia telah menolak uluranku"
Dari buntalan taplak meja, Siau Cap-it Long merogoh keluar sepotong daging bebek, dengan rakus ia
gerogoti daging itu seperti orang kelaparan. Makan kadang memang bisa mengendalikan emosi seseorang,
menenangkan pikiran menenteramkan gejolak hati.
Dengan merenung Pin-pin berkata, "Aku yakin mereka tidak melihat kita, pasti menyangka kita sudah pergi
naik kereta."
Siau Cap-it Long sedang sibuk mengunyah daging bebek. Biasanya dia memang makan bebek panggang,
tapi daging yang dikunyah dalam mulut terasa seperti arang kayu layaknya.
"Kusir yang mengendaikan kereta, kulihat bukan lagi kusir kereta yang tadi," kata Pin-pin lebih jauh, urusan
sekecil ini ternyata juga masuk perhatiannya. "Kereta itu jelas berpenumpang, tapi hanya satu orang saja."
Siau Cap-it long mulai merasa aneh, "Kenapa hanya seorang?"
Pin-pin juga sedang keheranan. Mendadak ia berkata, "Bagaimana kalau kita kembali ke hotel Lian-hun?"
Sudah tentu setuju. Apa yang disarankan Pin-pin, Siau Cap-it Long jarang menolak apalagi menentangnya.
* * * * * Lampu-lampu masih menyala, tapi orangnya sudah pergi. Rumah itu kosong, di ruangan tiada orang, di
kamar juga senyap. Bukan saja tiada penghuni, barang-barang bawaan juga tiada.
"Mereka sudah pergi semua," ujar Siau Cap-it Long.
"Tapi kereta itu jelas hanya ada satu orang."
"Mungkin mereka berpencar?"
"Kalau datang bersama, kenapa tidak pulang berbareng?"


Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berputar bola mata Siau Cap-it Long, dengan tertawa ia berkata, "Mungkin mereka tahu kita bakal balik,
diam-diam bersembunyi di bawah ranjang."
Mendadak ia melompat ke sana, dengan sebelah tangan ia angkat pinggir ranjang hingga tersingkap miring.
Kosong melompong, kecuali debu tiada benda lain, rasanya seperti mengumbar tenaga belaka.
Pin-pin malah melihat sebuah benda, benda yang warnanya mirip debu. Pin-pin maju mendekat memungut
benda itu, ternyata sebuah tusuk kondai kayu warna hitam mengkilap. Mendadak diserobot Siau Cap-it Long,
Sekali lihat berubah air mukanya. Tiada persoalan genting apapun yang bisa merubah air mukanya.
"Kau pernah melihat tusuk kondai ini?" tanya Pin-pin.
"Hm, ya."
"Di tempat mana kau pernah melihatnya?"
"Di sanggul seseorang."
"Sanggul siapa" Nona Sim?"
Sambil geleng kepala Siau Cap-it Long menghela napas, "Selamanya kau takkan bisa menebak siapa dia."
Berputar biji mata Pin-pin, "Apa bukan Hong Si-nio?"
Siau Cap-it Long menarik napas, "Tebakanmu benar."
"Wanita tak mampu berjalan itu, apa mungkin Hong Si-nio?"
Baru sekarang menyadari persoalan ini, langsung ia berjingkrak gugup, "Ya, benar pasti dia, dia tadi ada di
sini." Warna tusuk kondai sudah kusam, sudah lama tak dipakai, tapi Hong Si-nio amat menyayangi benda itu,
sebab benda itu adalah kenang-kenangan hadiah Siau Cap-it Long.
"Harta benda seperti mutiara atau perhiasan mahal lain miliknya malah lebih banyak tapi tusuk kondai kayu
ini tak pernah tanggal dari sanggul kepalanya selama bertahun-tahun, kalau bukan karena dia ditawan,
mungkin ditutuk jalan darahnya hingga tidak mampu bergerak, tak mungkin membiarkan benda kesayangan
ini jatuh di bawah ranjang."
"Tusuk kondai ini ada di bawah ranjang, berarti badannya juga disembuyikan di situ."
"Betul, waktu kami meluruk datang tadi, Hong Si-nio pasti disembunyikan di bawah tempat tidur."
"Tapi bawah ranjang hanya cukup untuk bersembunyi satu orang saja."
"Di kereta itu juga hanya ada satu penumpang."
"Lalu mereka berada di mana?"
Siau Cap-it Long menjadi gemas, "Apapun yang akan terjadi, yang penting sekarang kita temukan dulu
bocah itu."
"Bila bisa menemukan kereta itu, pasti dapat menemukan dia."
"Sekarang juga kita cari," ucap Siau Cap-it Long, mendadak ia buang buntalan taplak meja. Waktu
mengangkat kepala ia melihat seorang berdiri melongo di ambang pintu.
Gu-ciangkui baru saja beranjak masuk, ia mengawasi sisa hidangan yang berserakan di lantai, matanya
mendelong. Terpaksa Siau Cap-it Long tertawa menyengir, "Kami orang kikir, suka berhemat, hidangan yang tidak habis
dimakan biasanya kami bungkus dan bawa pulang."
Teipaksa Gu-ciangkui tertawa sambil manggut-manggut. Sebetulnya dia sedang mengerahkan anak
buahnya untuk bersih-bersih, sekaligus mencari keuntungan dari sisa hidangan yang dipesan para tamu.
Sungguh tak pernah terpikir olehnya rombongan ini pergi, rombongan lain balik lagi.
Siau Cap-it Long jadi sungkan sendiri, ia tarik tangan Pin-pin terus diajak pergi. Mendadak Gu-ciangkui
berkata, "Apa kalian tidak ingin membungkus kembali sisa makanan di lantai ini untuk diantar ke seberang?"
Berhenti langkah Siau Cap-it Long, Pin-Pin malah menoleh, "Seberang" Seberang itu tempat apa?"
"Lho kalian belum tahu" Dua nona tadi sudah dipindah di halaman belakang di seberang situ."
Bersinar mata Siau Cap-it Long, ia tepuk pundak Gu-ciangkui, "Kau orang baik, aku senang mengenalmu.
Hidangan ini semua kuserahkan padamu untuk makan tengah malam, tak usah sungkan."
Mengawasi hidangan yang sudah campur aduk di lantai, Gu-ciangkui melenggong sekian lama, mimiknya
menjadi aneh, mau tertawa seperti juga ingin menangis, waktu ia mengangkat kepala, dua orang itu sudah
lenyap entah kemana. Kebetulan seorang pelayannya masuk, siap membersihkan ruang ini, Gu-ciangkui
tepuk-tepuk pundaknya dan berkata padanya, "Sisa hidangan ini kuberikan padamu untuk makan malam di
rumah, semuanya ambil, jangan sungkan."
VIII. GOLOK JAGAL RUSA
Suasana di pekarangan barat sunyi senyap, gelap gulita, betulkah di sini tiada orang" Pohon waru yang
besar itu berdiri kokoh di tengah pekarangan, ditimpa sinar rembulan yang redup, bayang-bayang daunnya
bergerak gemulai di daun jendela yang ditutup kertas. Jendela ditutup rapat, demikian pula pintu kamarnya.
Sambil menarik tangan Siau Cap-it Long, Pin-pin berbisik, "Dalam kamar begitu gelap, awas ada
perangkap."
Siau Cap-it Long memanggut.
"Apa kita akan menerjang masuk begitu saja?" tanya Pin-pin.
Siau Cap-it Long kipatkan tangan orang, dengan gerakan lincah ia melompat ke depan, di mana tinjunya
bergerak, "blang", pintu di jotosnya jebol.
Di tengah kegelapan sana seorang berkata dingin, "Berdirilah di situ jangan bergerak, atau kubunuh dia."
Siau Cap-it Long malah tertawa, katanya, "Kau berani membunuhnya" Memangnya kau sendiri ingin
mampus?" Dalam situasi yang makin berbahaya, Siau Cap-it Long malah suka tertawa, sebab ia tahu, tertawa bukan
saja bisa menenteramkan hati, bisa mengendalikan diri, lawan juga sukar menebak keadaannya. Yang pasti
orang di tengah kegelapan itu tidak berani bereaksi, jelas nada tawanya yang wajar justru memberi tekanan
batin baginya. Tapi ia sendiri juga tidak berani gegabah, diam di tempat tak berani bertindak sembarangan.
Mendadak kamar itu menjadi terang oleh cahaya dian. Seorang muncul sambil mengangkat sebuah dian,
cahaya dian menyinari wajahnya.
Sebuah wajah yang molek penuh senyum nakal, rambut gilap dikuncir dua, tawanya mekar seperti bunga di
musim semi. Hong Si-nio duduk di sebelahnya, berdandan mirip seorang pengantin, tapi duduk mematung seperti
golekan. Awalnya Sim-sim ingin membawanya pergi, sayang ia tidak mampu membuka tutukan jalan darahnya,
menggendongnya pergi juga tidak kuat. Umpana kuat juga takkan mampu lari jauh, akhirnya toh terkejar,
berarti sia-sia usahanya.
Akhirnya Hong Si-nio melihat Siau Cap-it Long, Siau Cap-it Ling juga melihat Hong Si-nio.
Hong Si-nio tidak kelihatan tua, kelihatannya malah lebih muda dibanding dua tahun lalu. Bola matanya
masih cemerlang, dengan tajam ia mengawasi Siau Cap-it Long, sorot matanya menampilkan rona yang
berbeda dan berubah-ubah, entah senang, duka atau lega" Entah terharu atau mungkin gegetun"
Siau Cap-it Long tersenyum lebar, cukup lama mengawasi, mulutnya menggumam, "Orang ini kenapa justru
makin muda saja" Memangnya dia siluman perempuan?"
Siau Cap-it Long kembali menampilkan gayanya yang lama. Penampilannya lebih ganteng cakap, pakaian
yang membungkus tubuhnya jelas dari bahan pilihan, harganya tidak kurang seratus tahil perak, sikapnya
yang kemalas-malasan, senyum nan mempesona, sepertinya langit ambruk juga tidak peduli.
Darah di sekujur badan Hong Si-nio justru sedang bergolak, rasa hati ingin berontak berdiri, lalu berlari
menubruk ke dalam pelukannya, saking gemas ingin rasanya ia menggigit pundak orang serta
menempeleng mukanya dengan keras. Entah, ia sendiri tidak bisa menjelaskan, kenapa tiap kali berhadapan
dengan perjaka yang satu ini, ia hampir sukar mengendalikan diri, apakah itu gejolak cinta" Atau benci"
Hong Si-nio tidak bisa membedakan.
Bola mata Sim-sim juga membulat besar, dengan tajam mengawasi Siau Cap-it Long, setelah menghela
napas ia berkata, "Siau Cap-it Long eh Siau Cap-it Long, tak heran banyak cewek kepincut kepadamu, tapi
tidak sedikit pula yang membencimu" Aku sendiri pun gemas."
Sekilas tadi Siau Cap-it Long sudah mengawasi orang ini, hanya sekilas pandang, tapi ia sudah melihat jelas
dari kepala hingga kaki.
Sim-sim berkata lagi, "Bola matamu itu sungguh membuatku gemas sekali. Saat kau mengawasi orang,
sepertinya orang yang kau pandang itu telanjang bulat di depanmu."
Siau Cap-it Long menghela napas, "Sayang kau masih anak-anak, atau...."
Sim-sim membusungkan dada malah, katanya sambil melirik, "Atau apa?"
Siau Cap-it Long menarik muka, suaranya kereng, "Sebetulnya kau sudah mampus tiga kali."
Berubah muka Sim-sim, kejap lain sudah tertawa lebar, "Sayang sekali, sebelum kau maju ke depan. Hong
Si-nio juga sudah mampus tiga kali."
Siau Cap-it Long menyeringai, "Kau juga berani membunuh orang?"
"Aku tidak berani," ujar Sim-sim, "aku takut gemuk, daging saja aku tidak berani makan, tapi kondisi
sekarang memaksa aku tiap hari harus makan daging."
"O, jadi kau pernah membunuh orang?"
"Belum banyak orang yang kubunuh, sampai hari ini belum genap delapan puluh."
Siau Cap-it Long malah tertawa, "Aku suka orang yang pernah membunuh."
"Kau suka?" tanya Sim-sim melengong.
"Ya, hanya orang yang pernah membunuh orang, baru bisa merasakan bagaimana deritanya dibunuh
orang." "Ya, memang menderita, sering kulihat mereka yang terbunuh celananya basah kuyup."
"Syukur kau mengerti, maka jangan kau paksa aku membunuhmu."
Senyum Sim-sim makin lebar malah, "Siapa pun yang ingin membunuhku, pasti menimbulkan duka dalam
hatiku. Terhadapmu pun demikian."
"Kalau begitu coba kita berunding."
"Berunding bagaimana?" tanya Sim-sim.
"Kalau sekarang kau mau menyingkir, aku tidak akan menahanmu. Siapa tahu kau bisa hidup lama sampai
umur delapan puluh."
"Sepertinya anjuranmu cukup adil."
"Adil seadil-adiinya."
"Tapi aku juga ingin berunding dengan kau."
"O, coba jelaskan."
"Kalau sekarang kau ingin minggat, aku juga tidak akan merintangimu. Siapa tahu Hong Si-nio juga bisa
berumur panjang, hidup sampai sembilan puluh tahun."
Siau Cap-it Long bergelak tawa, "Agaknya usulmu ini juga amat adil."
"Jelas adil seadil-adilnya."
Siau Cap-it Long bergelak tawa panjang, seperti ingin bicara lagi, tapi gelak tawanya mendadak sirna. Kejap
lain dari luar jendela seseorang berkata dengar kalem, "Agaknya di sini sedang ada barter, setiap barter
akan kuberi potongan tiga puluh persen." Suaranya tidak keras, di alam nan sunyi, umpama dia hersuara
dengan nada rendah juga bisa didengar orang sekelilingnya, apalagi tawarannya cukup menarik perhatian.
Diam-diam Siau Cap-it Long menarik napas panjang, hatinya maklum, kini ia harus berhadapan dengan
orang yang sukar dihadapi.
Dandanan dan tindak-tanduk orang ini kelihatannya bukan orang yang sukar dihadapi, usianya belum tua,
jelas juga tidak muda, pakaiannya tidak begitu mewah, tapi jelas dia bukan orang rudin, badannya tidak
gemuk tapi bukan lelaki yang kurang makan, kalau bicara penuh sopan santun, sikapnya ramah lagi sabar.
Di setiap kota besar yang banyak penduduknya, tidak sukar kau berhadapan dengan orang seperti ini, ya,
orang biasa yang tiada beda dengan manusia umumnya. Pedagang yang biasa mondar-mandir dalam
kalangannya, setelah punya kedudukan, setelah punya tabungan, punya bini yang bijak dan arif, ada tigaempat
anak, di rumah dibantu dua-tiga babu, bukan mustahil dia adalah juragan kain yang buka toko di kota,
mungkin juga juragan pemilik hotel terkenal.
Yang pasti tampang dan penampilan orang ini lebih juragan dibanding juragan Lu pemilik Bok-tan-lou atau
juragan Gu pemilik hotel di tempat ini.
Awal bicara orang ini masih berada di luar jendela kecil di bilik belakang sana, tapi begitu selesai bicara,
tahu-tahu orangnya sudah melangkah masuk. Langkahnya tidak teramat cepat, tapi juga tidak lambat,
setelah berada di samping Siau Cap-it Long, lalu berhenti.
Dengan senyum lebar ia bersoja, "Aku she Ong, Ong Ban-seng."
Ong Ban-seng, nama yang sering dan biasa terdengar dimana saja, nama yang juga mudah dilupakan
orang. Dengan senyum lebar Ong Ban-seng berkata, "Yakin anda semua tidak pernah mendengar nama yang satu
ini di kalangan Kangouw."
Siau Cap-it Long mengangguk.
"Tapi aku justru sudah kenal kalian," ujar Ong Ban-seng, "kalian tokoh-tokoh terkenal. Terutama Siau Cap-it
Long dan Hong Si-nio."
Mendadak Sim-sim menyeletuk, "Kau tahu berhadapan dengan Siau Cap-it Long, kini sedang bicara hitung
dagang, berani kau hendak mengambil keuntungan tiga puluh persen."
Makin lebar senyum Ong Ban-seng, "Umpama baginda raja sedang jual beli di sini, aku juga akan memungut
pajak tiga puluh persen."
Berkedip bola mata Sim-sim, "Tempat ini daerah kekuasaanmu?"
"Bukan."
"Lha kenapa kau harus menarik pajak tiga puluh persen?"
"Tiada alasan apa pun, yang pasti aku memungut tiga puluh persen."
"Awalnya kukira kau ini lelaki yang tahu tata krama, ternyata bertindak seperti perampok."
Bentrok Para Pendekar 06
Karya Gu Long - Gan K.H.
Bagian 6 "Yang pasti aku bukan perampok, kalau perampok merampas seluruhnya, aku hanya menarik tiga puluh
persen." "Kau tahu jual beli apa yang sedang kami bicarakan?" tanya Sim-sim.
Ong Ban-seng memanggut, "Tentang Hong Si-nio bukan?"
"Persoalan begini juga kau tarik pajak tiga puluh persen?"
"Ya, tiga puluh persen yang kumaksud adalah salah satu pahanya, setengah dada dan sebuah mata."
Sim-sim cekikikan, "Kau anggap Hong Si-nio seekor ayam?"
"Kalau betul dia seekor ayam, aku tidak mau mata, aku senang lehernya."
Bola mata Sim-sim berputar, mendadak ia berseru, "Baiklah, apa yang kau inginkan silakan ambil saja."
"Nah, kan begitu, yang kuminta tidak banyak."
"Eh, aku ingin bertanya," seru Sim-sim, "yang kau minta paha kiri atau paha kanan?"
"Kiri kanan tidak jadi soal."
"Umumnya daging paha kiri lebih kencang, kalau paha kiri yang kau pilih, aku boleh memheri bonus telinga
kiri juga."
"Tidak, terima kasih."
"Kau membawa pisau," tanya Sim-sim
"Tidak."
"Siau Cap-it Long pasti bawa, boleh kau pinjam pisaunya."
Ong Ban-seng berpaling ke arah Siau Cap-it Long, dengan tertawa ia berkata, "Setelah kupakai pasti
kukembalikan."
Siuw Cap-it Long diam mendengarkan, rona mukanya membeku sejak tadi, baru sekarang ia berkata tawar,
"Siapa pun yang ingin pinjam golokku, harus ada anggunannya."
"Anggunan apa yang kau minta?" tanya Ong Ban-seng.
"Hanya sepasang tangan dan setengah kepalamu," jawab Siau Cap-it Long.
Ong Ban-seng tetap tenang, katanya tersenyum, "Kau juga harus menggunakan golok untuk memotongnya."
"Yang pasti golok milikku."
"Kenapa tidak kau potong saja,"
"Bagus," tangan Siau Cap-it Long sudah menggenggam gagang golok.
Pada saat itulah mendadak juragan Gu menorobos masuk seraya berteriak, "Nanti dulu tuan-tuan, kalau
ingin potong memotong, jangan di hotelku ini, pindahlah ke tempat lain, kalau terjadi pembunuhan di sini,
memangnya siapa mau datang dan menginap di hotelku?" Sembari bicara ia menghadang di depan Siau
Cap-it Long sambil membungkuk badan seperti ingin menyembah layaknya, "Mohon tuan-tuan berbuatlah
baik, jangan bentrok dengan senjata di tempatku ini."
Belum habis bicara, di saat badannya membungkuk ke depan, dari balik baju di punggungnya mendadak
melesat tiga batang panah pendek, dari lengan baju kanan kiri juga meluncur tiga papah berbulu, menyusul
pergelangan tangan membalik, tangan kiri manimpukkan tiga mata uang, tangan kanan meluncurkan tiga
batang Hwi-hong-ciok.
Lima belas batang senjata rahasia serempak menyerang berbareng, yang diincar lima belas Hiat-to di tubuh
Siau Cap-it Long.
Jarak mereka tidak lebih tiga kaki, serangan senjata rahasia yang telak dan kencang, untuk menghindari
sergapan mematikan ini, rasanya sesukar memanjat ke langit.
Siau Cap-it Long tidak berusaha berkelit atau menghindar, hakikatnya memang tidak mungkin berkelit.
Dimana sinar golok berkelebat, tiga batang panah, tiga Kim-ci-piau, tiga Hwi-hong-ciok, enam batang panah
berbulu, sakaligus ditabasnya putus berhamburan. Dimana sinar golok menukik turun ke bawah, tahu-tahu
tenggorokan juragan Gu sudah terancam di ujung goloknya, mukanya seketika membesi hijau ketakutan.
Terdengar seorang berkata dingin, "Golokku ini memang tidak sebanding Keh-lo-to, kalau hanya menggorok
leher orang, gampangnya seperti membalik tangan."
Itulah suara juragan Lu, juragan Lu pemilik hotel Bok-tan-lau. Sebilah golok berada di tangannya,
mengancam leher Pin-pin.
Pin-pin mematung pucat, berdiri kaku tak berani bergerak.
Sementara itu Ong Ban-seng sudah berada di belakang Hong Si-nio, katanya tersenyum lebar, "Tanpa pakai
golok aku juga bisa membunuh orang, membunuh orang aku tidak biasa pakai golok."
Kelihatannya Siau Cap-it Long juga mematung kaku, badannya berkerut dingin, Sim-sim mengawasinya,
katanya gegetun, "Kali ini kurasa kau benar-benar terjungkal."
"Dan kau?" tanya Siau Cap-it Long.
"Aku juga kalah, tapi aku kalah dengan rela."
"O?" dengus Siau Cap-it Long.
Sim-sim menghela napas, "Sudan lima hari aku berada di sini, sedikitpun tidak tahu kalau dua juragan ini
ternyata orang kosen, biarpun terjungkal, aku mengaku kalah dengan tulus, ya, apa boleh buat."
Ong Ban-seng berkata, "Sekarang pihakku yang menang, hanya pemenang saja yang berhak bicara."
"Aku sedang mendengarkan," sahut Siau Cap-it Long.
"Kau ingin mereka hidup?" tanya Ong Ban-seng.
"Ya, ingin sekali," sahut Siau Cap-it Long.
"Nah, lepaskan dulu juragan Gu."
"Boleh", hanya sepatah kata, kejap lain goloknya sudah kembali ke dalam sarung.
"Serahkan pula golokmu."
"Boleh," tanpa sangsi Siau Cap-it Long menanggalkan golok jagal rusanya terus diangsurkan ke depan,
lekas sekali juragan Gu menerima golok itu, matanya bersinar membundar.
Golok inilah yang pernah membuat banyak orang gagah kabat-kebit, entah berapa banyak pula darah
manusia pernah diisap golok itu.
Menggenggam golok sakti itu, perasaan juragan Gu bergolak, badan gemetar karena emosi, hampir tidak
percaya akan kenyataan ini. Sorot matanya menampilkan perasaan rakus, setelah menelan ludah, dengan
gemetar ia berkata, "Kalau ada orang demi diriku rela berkorban untuk golok sakti ini, umpama aku harus
mati untuknya juga rela."
Ong Ban-seng bergelak tertawa, serunya, "Siapa nyana Siau Cap-it Long adalah orang yang banyak
menanam cinta dan mengagungkan kebenaran." Sembari bicara, matanya menatap ke arah golok di tangan
juragan Gu. Sejenak ragu-ragu juragan Gu baru beringsut sambil memegang golok.
"Eh, tunggu sebentar," mendadak Siau Cap-it Long berseru.
Juragan Gu mana mau menunggu, gerak tubuhnya dipercepat melompat ke belakang, pada saat itulah
sebuah tangan mendadak diulur datang, dengan enteng menyentil di siku tangannya. Tanpa kuasa
badannya mencelat mumbul ke atas, waktu ia berjumpalitan turun dan berdiri kembali, golok di tangannya


Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah lenyap. Golok sakti itu ternyata sudah bergda di tangan Siau Cap-it Long kembali.
Seenaknya ia menyerahkan golok, seenteng capung terbang, serta dengan gerakan apa, tahu-tahu goloknya
telah direbut kembali, seperti orang main sulap saja.
Ong Ban-seng mengerut kening, jengeknya, "Rasanya kau tidak rela?"
Siau Cap-it Long tertawa lebar, "Golok ini bukan milikku, kenapa tidak rela?"
"Kalau rela, kenapa direbut kembali?"
"Aku bisa memberi juga bisa merebut kembali, setelah kurebut kembali bisa kuserahkan kembali."
"Baiklah," seru Ong Ban-seng.
"Nanti dulu, ingin kutanya satu hal," ujar Siau Cap-it Long.
"Kau boleh bertanya."
"Konon belakangan ini di Kangouw muncul seorang yang menakutkan, bernama Hamwan Sam-seng."
Ong Ban-song diam mendengarkan.
"Jual beli dari golongan hitam atau putih, peduli siapa saja, bila ia mendengar kabar dan tahu tempatnya, dia
pasti datang dan menarik keuntungan tiga puluh persen. Siapa berani menentang kehendaknya, dalam tiga
hari, jiwa melayang jenazah pun lenyap tidak keruan parannya."
"Wah, hebat benar orang itu!" seru Ong Ban-seng.
"Konon bukan saja lihai, kepandaiannya banyak ragamnya, jejaknya sukar dilacak, hanya sedikit orang yang
pernah tahu siapa dia sebenarnya."
"Jadi kau ingin bertemu dengan dia?"
"Konon dia paling senang bertamasya di Koh-soh, apalagi di musim rontok di waktu perayaan Tiong-ciu, tiap
tahun dia pasti berada di tempat ini."
"Maka engkau juga berada di sini."
"Aku juga ingin kontrak dagang dengan dia."
"Kontrak dagang apa?"
"Betapa banyak kontrak dagang diteken di kalangan Kang-ouw, kalau setiap kontrak dagang ditarik pajak
tiga puluh persen, hanya sehari saja, hasilnya bisa menjadi jaminan hidup sepanjang abad. Yang kutahu, dia
sudah menarik pajak selama dua tahun."
"Maksudmu kau akan memaksanya memberimu tiga puiuh persen, begitu?"
"Bukan tiga puluh," tawa suara Siuw Cap-it Long, "aku minta tujuh puluh persen."
"Hah, tujuh puluh persen?"
"Kalau dia hanya minta tiga puluh persen, akan kusisakan tiga puluh persen untuknya."
"Apa dia setuju?"
"Kalau tidak setuju, aku juga akan membuatnya mampus tanpa bekas dalam waktu tiga hari."
Ong Ban-seng tertawa besar, "Untung aku bukan Ham wan Sam-seng, aku adalah Ong Ban-seng."
"Tapi aku yakin kau adalah orang kepercayaannya."
"Apa kau tidak keliru?"
"Tidak, karena kau juga hanya menarik tiga puluh persen."
Akhirnya Ong Ban-seng menghela napas, "Dalam segala hal rasanya sukar mengelabui dirimu."
"Ya, jangan harap."
"Maksudmu minta aku mengajakmu bertemu dengan dia?" tanya Ong Ban-seng.
Siau Cap-it Long manggut-manggut.
"Kau pikir aku akan mengajakmu ke sana?"
"Kalau menolak, sekarang juga aku bisa membuatmu mampus tanpa bekas."
Ong Ban-seng tertawa lebar, "Kau tidak kuatir aku membunuh mereka lebih dulu?"
"Aku tidak kuatir."
Ong Ban-seng menarik muka, "Potong dulu sebelah kuping nona Pin-pin. Coba dia bisa berbuat apa?"
Juragan Gu tertawa lebar, "Golokku ini memang tidak setajam jagal rusanya, tapi untuk mengiris kuping
rasanya mudah sekali." Sembari bicara ia membalik golok terus mengiris kuping kiri Pin-pin.
Sejak tadi Pin-pin berdiri kaku tak bergerak, mirip itik yang sudah ditelikung akan disembelih. Pada saat yang
menentukan itulah mendadak sebelah kakinya beringsut ke samping berbareng tangan kiri menyanggah siku
juragan Gu. Tanpa kuasa mendadak juragan Lu terangkat badannya ke udara, tahu-tahu golok di tangannya
sudah direbut Pin-pin. Dimana sinar golok berkelebat, sebuah kuping berdarah jatuh di lantai. Di kala badan
juragan Lu melorot turun berdiri kembali di tempatnya, golok kembali diangsurkan Pin-pin ke tangannya,
darah tampak berlepotan di ujung golok.
Kuping yang jatuh bukan kuping Pin-pin, tapi kuping juragan Lu. Baru sekarang ia merasa kepalanya perih,
sementara darah segar meleleh membasahi pakaiannya sambil mengeluh kesakitan, mendadak ia jatuh
pingsan. Di sebelah sana muka juragan Gu mulai membesi hijau. Seorang kalau ketakutan, bukan lagi pucat pias, tapi
menghijau kelam.
Muka Sim-sim juga berubah, "Sungguh tak nyana, gadis jelita yang kelihatan lemah lembut ternyata seorang
kosen yang lihai, rasanya bola mataku harus dikorek."
Pin-pin mengawasinya, suaranya lembut, "Kau pun mau kukorek matamu?"
"Tidak," seru Sim-sim menggeleng kepala.
Pin-pin menarik muka, "Aku tidak suka mendengar orang berbohong."
Tanpa bicara mendadak Sim-sim berlari sipat kuping, seperti kelinci yang kena panah menerjang keluar.
Ong Ban-seng menggeleng kepala, "Selama ini aku beranggapan hanya Hong Si-nio seorang perempuan
yang paling ganas di Kangouw, ternyata kau tidak kalah dibanding dia."
"Kau masih ingin menyuruh orang memotong telingaku?"
"Tidak, batal saja."
"Kau mau mengajak kami bertemu dengan Hamwan Sam-seng tidak?"
"Tidak mau."
"Lalu apa kehendakmu?"
"Masih ada satu taruhan, aku ingin bertaruh dengan kalian."
"Apa taruhanmu?"
"Hong Si-nio," kata Ong Ban-seng tertawa, "kalau kubunuh Hong Si-nio, kau tidak akan sedih, tapi Siau Capit
Long ... kau kan tahu Siau Cap-it Long adalah perjaka yang romantis."
Pin-pin tidak menyangkal.
"Kalau kau membunuh Hong Si-nio, kau pun akan mampus di sini."
"Nah, itulah. Tidak akan kubunuh dia, tapi dia akan kupertaruhkan dengan kau."
"Baik, taruhan apa?"
"Taruhan golokmu."
"Bertaruh cara apa?"
"Dalam tiga jurus dia mampu mengalahkan Pek-tiong-siang-hiap, mestinya dalam tiga jurus bisa
mengalahkan aku, aku kan hanya seorang keroco."
Seorang kalau mengaku dirinya keroco, pasti bukan orang sembarangan, Siau Cap-it Long maklum akan hal
ini, tapi keadaan menyudutkan dirinya tiada pilihan lain.
"Kalau aku menang," demikian seru Ong Ban-seng. "Hong Si-nio dan golokmu itu akan kubawa pergi."
"Kalau kalah?"
"Hong Si-nio kubebaskan, lalu membawamu mencari Ham-wan Sam-seng."
"Omonganmu boleh dipercaya?"
Ong Ban-seng menghela napas, "Kalau aku kau kalahkan, memangnya ucapanku tidak kau percaya?" Lalu
dengan senyum lebar menambahkan, "yang pasti aku percaya kau adalah orang yang dapat dipercaya."
"Tiga jurus?"
"Golok masih di tanganmu, kau boleh memakai golok."
"Kau pakai senjata apa?"
"Senjata apa di dunia ini yang mampu menandingi golok jagalmu itu, kenapa aku harus pakai senjata?"
"Bagus, sepatah kata, akur."
"Sepatah kata, akur"
"Siau Cap-it Long," mendadak sebuah suara menyeletuk, "kali ini kau pasti kalah." Yang bicara ternyata Hoa
Ji-giok adanya.
Sambil menggendong tangan, dengan helaan napas panjang ia beranjak masuk, sikap dan mimiknya seperti
amat yakin, Siau Cap-it Long pasti kalah dalam duel nanti.
"Berdasar apa kau bilang dia pasti kalah?" seru Pin-pin.
"Hanya satu," ujar Hoa Ji-giok.
"Satu apa?" seru Pin-pin.
"Belakangan ini di Kangouw beruntun muncul empat-lima tokoh yang sukar dilayani. Hamwan Sam-seng
adalah satu di antaranya."
"Aku tahu" jengek Pin-pin.
Hoa Ji-giok mendelik, "Tahukah kau bahwa orang ini adalah Hamwan Sam-seng."
Orang yang dimaksud adalah Ong Ban-seng, Ong Ban-seng adalah Hamwan Sam-seng.
Pin-pin menghela napas, "Sebetulnya sudah kuduga hal ini."
"Sayang sekali, kelihatannya dia bukan tokoh yang menakutkan itu."
"Karena tidak mirip itulah, yakin dia betul adalah Hamwan Sam-seng."
Hoa Ji-giok bertepuk tangan, "Ya, masuk akal." Mendadak ia bertanya, "tahukah kau tadi aku berada
dimana" Pin-pin geleng-geleng.
"Tadi aku pergi mencarinya," ujar Hoa Ji-giok.
"Mencari Hamwan Sam-seng maksudmu?"
Hoa Ji-giok memanggut, "Dia mengundangku, sebab ada rezeki ingin dibicarakan denganku ."
"Rezeki apa?"
"Dia minta supaya Hong Si-nio dijual kepadanya."
"Dia mengundangmu membicarakan rezeki, tapi dia berada di sini, setelah kau kembali ke sini, Hong Si-nio
sudah jatuh di tangannya, bukan mustahil nona cantikmu itu juga jatuh di tangannya, kau justru harus keluar
uang untuk membelinya."
Hoa Ji-giok menghela napas, "Ya, baru sekarang aku paham, orang inilah manusia paling licik dan licin di
dunia." "Ya, wajah kelihatan jujur, padahal hati sejahat ular berbisa, wajah malaikat, tapi hati bangsat, sungguh
orang yang paling menakutkan di dunia."
"Pernah kau dengar dahulu di Kangouw ada orang yang di-juluki Cap-toa-ok-jin?"
Pin-pin tahu, insan persilatan pasti tahu.
"Tahukah kau di antara sepuluh orang jahat itu, ada seorang bergelar Ok-to-kui Hamwan Sam-kong."
Pin-pin tahu. Dia juga tahu masih ada Put-ciak-jin-thau Li Toa-jui, Jio-li-cang-to Ha-ha-ji, Poan-jin-poan-kui
Im Kiu-yu dan Put-lam-put-li To Kiau, kecuali itu masih ada Kian-jin-put-le-ki Pek Khay-sim, Bit-si-lang Siau
Mi-mi, Hiat-jiu To Sat dan kakak beradik Ting-tong yang selamanya tidak mau dirugikan. Setiap insan
parsilatan yang punya mata pasti pernah mendengar nama julukan mereka.
"Syukur mereka sudah mati semua. Aku tidak perlu kuatir bakal bertemu dengan mereka."
"Tapi kali ini kau akan bertemu dengan Hamwan Sam-seng."
"Apa hubungan Hamwan Sam-seng dengan Hamwan Sam kong?"
"Tiada hubungan apa-apa," sahut Hoa Ji-giok. "Dalam hal berjudi Hamwan Sam-seng jelas lebih ganas,
lebih berani dibanding Hamwan Sam-kong."
"0, begitu?"
"Hamwan Sam-kong memang adalah Ok-tu-kui, tapi setiap kali berjudi pasti harus habis, orangnya habis dan
uangnya habis. Maka setiap kali berjudi setelah kalah total baru berhenti."
"Benar," ucap Pin-pin, "kabarnya dia memang suka berjudi, padahal dia seorang yang lapang dada berjiwa
terbuka." "Tapi Hamwan Sam-seng bukan orang yang terbuka apalagi lapang dada, kalau tidak yakin sukses dia tidak
akan sembarang berjudi."
Pin-pin tahu apa yang diucapkan Hoa Ji-giok bukan bualan belaka. Kalau Hamwan Sam-seng tidak memiliki
kepandaian hebat, mana mungkin orang rela memberinya rabat tiga puluh persen.
Lebih jauh Hoa Ji-giok berkata, "Kalau dua orang ini berduel satu lawan satu, kepandaian Hamwan Samseng
mungkin bukan tandingan Siau Cap-it ong. Tapi kalau hanya tiga jurus Siau Cap-it Long hendak
mengalahkan dia ...."
"Maksudmu sesukar memanjat ke langit?" sindir Pin-pin.
"Sepuluh lipat lebih sukar dari memanjat ke langit," tegas jawaban Hoa Ji-giok.
"Bagus sekali," mendadak Siau Cap-it Long berseru lantang.
"Bagus sekali?" tanya Hoa Ji-giok.
"Selama hidup," demikian jawab Siau Cap-it Long tegas, "yang paling senang kukerjakan adalah perkara
yang sepuluh lipat lebih sukar dari memanjat ke langit itu."
IX. BERSUA KEMBALI
Malam telah larut, pertengahan musim rontok.
Angin malam berhembus lembut, daun-daun pohon bergontai seperti seorang yang sedang meresapi hidup
yang mengesankan.
Siau Cap-it Long berdiri tegak di bawah pohon. Perlahan-lahan akhirnya Hamwan Sam-seng muncul dan
beranjak ke depan.
Orang awam yang paling biasa ini, dalam pandangan mata orang lain mendadak menjadi orang yang luar
biasa, bukan sembarang orang. Karena, dia adalah Hamwan Sam-seng.
Dari dalam rumah ia memindahkan sebuah kursi, bergegas juragan Gu membimbing Hong Si-nio duduk di
kursi itu. Pandangan Hong Si-nio menampilkan rasa kuatir, prihatin dan takut.
Selama kenal Siau Cap-it Long, entah berapa kali dia membenci Siuw Cap-it Long, kenapa keadaannya
sekarang berubah begitu rupa. Membencinya kenapa bersikap baik dan menurut terhadap Pin-pin" Kenapa
ingkar terhadap Sim Bik-kun" Tapi di kala ia tahu Siau Cap-it Long menghadapi bahaya, entah kenapa
sikapnya berubah menjadi kuatir dan prihatin.
Sejenak Hoa Ji-giok mengawasinya, lalu barpaling mengawasi Siau Cap-it Long, katanya setelah menghela
napas, "Siau Cap-it Long oh Siau Cap-it Long. Kalau duel kali ini kau kalah, selama hidup Hong Si-nio akan
membencimu sampai mati. Maka kau tidak boleh kalah, tapi keadaan jelas memutuskan kau bakal kalah
total." Malam nan gelap masih ada cahaya bintang, muka Hamwan Sam-seng nan biasa sepertinya mulai berubah
menjadi luar biasa, nampak sekali perubahan rona mukanya. Terutama sorot matanya, pandangannya
begitu tenang kukuh seperti batu cadas di pucuk gunung.
Siau Cap-it Long mengawasinya, "Kau dulu yang turun tangan" Atau aku dulu yang menyerang."
"Silakan kau dulu," sahut Hamwan Sam-seng.
"Berarti kau menunggu seranganku?" tanya Siau Cap-it Long.
"Aku tidak akan meniru pengalaman Auyang-hengte yang konyol itu."
"Kelihatannya kau lebih tabah dibanding mereka."
"Sebetulnya aku ingin menggunakan caraku sendiri untuk menghadapi mereka, mengobral omongan untuk
mengganggu konsentrasimu."
"Kenapa tidak, silakan kau putar bacot."
Hamwan Sam-seng tertawa lebar, "Omongan yang ingin kubicarakan tadi sudah diucapkan Hoa Ji-giok."
Sambil menggendong tangan ia berputar, "Yakin kau juga mengerti bahwasanya dia tidak prihatin akan
dirimu, maksudnya jelas supaya hatimu gundah dan akulah yang menang."
"Aku mengharap kau menang?" tanya Hoa Ji-giok.
"Sebab untuk menghadapiku lebih gampang daripada kau manghadapi Siau Cap-it Long. Kalau aku menang
kau masih ada kesempatan membawa Hong Si-nio dan golok jagal itu, namun sayang..."
"Sayang apa?" tanya Hoa Ji-giok
"Sayang keadaan Siau Cap-it Long sekarang hakikatnya tidak Seperti orang gundah, maka ku anjurkan
lekaslah kau minggat saja," demikian ejek Hamwan Sam-seng.
"Kenapa aku harus minggat?" desak Hoa Ji-giok.
"Sebab kalau dia yang menang, seumur hidupmu jangan harap kau bisa keluar dari pekarangan ini."
"Yang pasti aku yakin dia tidak akan menang," jengek Hoa Ji-giok.
"Berdasar apa kau bilang begitu?"
"Jadi kau sendiri tidak yakin?"
"Ada, hanya tiga puluh persen."
Hoa Ji-giok berjingkat kaget, matanya terbelalak, mendadak berkata keras, "Ya, aku sudah mengerti, aku
sudah mengerti, kau ...." Belum habis ia bicara, Hamwan Sam-seng yang tadi mempersilakan Siau Cap-it
Long turun tangan lebih dulu justru mendahului menyerang dengan jurus yang amat ganas.
Hoa Ji-giok mengerti soal apa" Bahwasanya Hamwan Sam-seng akan bisa menghindari tiga jurus serangan
Siau Cap-it Long dengan tipu daya tenang mengatasi gerakan. Kenapa sekarang justru menyerang lebih
dulu" Bahwasanya Hamwan Sam-seng adalah orang biasa yang bertabiat kalem, tapi sergapannya kali ini betulbetul
ganas, dahsyat dan telengas, gerak tangannya mengandung banyak perubahan yang susah ditebak,
bagitu bergerak, beruntun ia melancarkan empat jurus serangan. Sayang dia melupakan satu hal.
Serangan ganas lagi dahsyat kadang malah melupakan pertahanan, demikian halnya dalam serangan jurus
tipu yang banyak mengandung perubahan, sering kali justru sukar menghindari kecerobohan, berarti
memberi peluang lawan melihat sisi lubang pertahanan yang lemah itu. Apalagi kali ini ia menyerang hanya
dengan sepasang tangan kosong, sementara Siau Cap-it Long memakai gaman golok sakti yang tajam luar
biasa. Hanya satu jurus, satu bacokan.
Hamwan Sam-seng menyurut mundur sambil memegang pundak, badannya gemetar menempel dinding,
napasnya tersengal, desisnya lirih, "Bagus, golok kilat yang bagus."
Golok kembali ke sarung. Dengan tenang, tegar Siau Cap-it Long berdiri di tempatnya, mengawasinya, rona
matanya membayangkan rasa heran.
Hamwan Sam-seng tertawa getir, "Aku mengaku kalah. Silakan kau bawa Hong Si-nio."
Wajah Hoa Ji-giok lebih pucat dibanding orang yang kalah dan terluka itu, mendadak ia berseru keras, "Kau
sengaja dikalahkan olehnya. Sejak awal aku sudah mengerti, jangan harap kau bisa menipuku."
"Kenapa aku harus mengalah kepadanya" Memangnya aku ini edan" Sudah pikun?" jengek Hamwan Samseng.
"Sebab kau ingin Siau Cap-it Long menghadapiku, sebab kau takut aku membuat perhitungan terhadapmu."
"O, masakah begitu?"
"Obrolanmu tadi sengaja mengagulkan kemampuan Siau Cap-it Long, sengaja menyerang lebih dulu supaya
kau dikalahkan. Sebab kau paham, jika dia kalah, kau malah akan menghadapi banyak perkara."
"Kau kira aku tidak menginginkan Hong Si-nio, tidak mau golok jagal itu," semprot Hamwan Sam-seng.
"Aku tahu kau ingin sekali. Tapi kau juga sadar setelah kau memiliki keduanya, mereka pasti tidak akan
memberi peluang kepadamu, apalagi Hong Si-nio kan bukan milikmu. Walau duel kali ini kau dikalahkan, kau
tidak menderita rugi sedikitpun."
Hamwan Sam-seng tertawa, "Bagaimanapun urusan sudah terjadi, yang pasti aku dikalahkannya."
Hal ini memang kenyataan, siapa pun tak bisa menyangkal. Hamwan Sam-seng berkata, "Hong Si-nio sudah
kukembalikan, sekarang kalian juga sudah melihat dan berhadapan langsung dengan Hamwan Sam-seng."
Lalu ia mengawasi Siau Cap-it Long dan menambahkan, "Setiap patah kata yang pernah kuucapkan pasti
kutepati."
Siau Cap-it Long manggut-manggut.
"Sekarang aku sudah kalah dan terluka," kata Hamwan Sam-seng, "kau takkan mencari perkara lagi
terhadapku, umpama ada persoalan penting, kau bisa bersabar menunggu lukaku ini sembuh. Aku yakin kau
lelaki jantan yang boleh dipercaya, bukan orang yang biasa mengambil keuntungan." Setelah menarik napas
panjang ia melanjutkan, "Maka sekarang lekas kalian memapahku pulang untuk istirahat." Kalian yang
dimaksud jelas adalah juragan Gu dan juragan Lu. Bergegas kedua orang ini memapah Hamwan Sam-seng
meninggalkan tempat itu.
Hoa Ji-giok hanya mendelong membiarkan mereka pergi. Tidak mengejar juga tidak merintangi, sebab ia
maklum Siau Cap-it Long takkan membiarkan dirinya pergi. Sepasang bola mata nan tajam memang sedang
menatap dirinya.


Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hoa Ji-giok menghela napas, katanya dengan seringai kecut, "Hamwan Sam-seng yang lihai, hari ini kau
membiarkan dia pergi. Akan datang satu hari kau pasti menyesal."
Siau Cap-it Long tetap diam tak memberi reaksi.
"Pernah aku menyaksikan kiprahnya menghadapi orang lain," demikian oceh Hoa Ji-giok.
"Ehm," Siau Cap-it Long bersuara dalam mulut.
"Dia adalah penggemar barang antik, terutama karamik kuno. Suatu hari Oh-samya yang tinggal di Po-khing
tanpa sengaja mendapatkan botol kembang yang dinamakan 'Hi-kwe-thian-jing', botol ini termasuk salah
satu barang antik buatan dinasti Tang yang mahal harganya. Dia minta Oh-samya menjual kepadanya, tapi
Oh-samya menolak, sampai mati pun takkan menjual barang itu."
"Akhirnya Oh-samya mampus," kata Siau Cap-it Long. Hoa Ji-giok manggut-manggut, "Padahal Oh-samya
adalah teman lamanya, karena keinginannya ditolak lima puluh tujuh anggota keluarga Oh-samya
seluruhnya dibabat bersih, tiada satu pun yang ketinggalan hidup, semuanya dibakar jadi abu termasuk
harta bendanya."
"Pernah aku mendengar cerita itu, tiap kali membunuh musuh, Hamwan tidak pernah segan, seluruh
keluarga dibantai habis."
"Kecuali benda-benda antik, dia juga senang perempuan yang romantis, perempuan seksi," demikian tutur
Hoa Ji-giok lebih jauh, "menurut apa yang aku tahu, Hong Si-nio adalah jenis perempuan yang paling
disukainya."
"Kelihatnya dia ahli di bidang ini."
"Barang yang dia incar, dengan akal apa saja secara halal atau dengan kekerasan, harus menjadi miliknya,"
kata Hoa Ji-giok gegetun, "seperti halnya dia menginginkan Hong Si-nio." Siau Cap-it Long hanya
menyeringai getir. "Maka ingat peringatanku ini. Hari ini kau melepasnya pergi, akan datang saatnya hari itu
dia pasti tidak memberi ampun kepadamu."
Siau Cap-it Long menggeram dengan melotot.
"Kalau aku jadi kau, tadi sudah kubabat mampus dia." Siau Cap-it Long berkata dingin, "Kalau kau menjadi
aku, mungkin tidak kubabat mampus Hoa Ji-giok?"
Hoa Ji-giok ternyata cukup tabah, tanpa bereaksi, sikapnya tetap tawar, katanya tersenyum, "Tidak pantas
kau membunuh Hoa Ji-giok."
"Kenapa?"
"Karena Hong Si-nio adalah sahabat karibmu. Memangnya kau tega membuat temanmu menjadi janda?"
Siau Cap-it Long tidak mengerti, "Kalau aku membunuhmu, dia bakal jadi janda?"
Maka Hoa Ji-giok mengoceh lebih jauh, "Memangnya kau belum tahu bahwa dia sudah menjadi biniku?"
"Lelaki di dunia ini belum mampus seluruhnya, kenapa dia harus kawin dengan banci?"
Dengan tetap tersenyum lebar Hoa Ji-giok terus mengoceh, "Aku maklum kau tidak percaya, padahal
pernikahanku dengan dia memang kenyataan."
"Kenyataan bagaimana?" desak Siau Cap-it Long.
"Orang-orang Kangouw sudah banyak yang tahu tentang perjodohan ini. Kau tidak percaya, boleh tanya
lansung kepadanya, dia pasti tidak menyangkal."
Mau tidak mau Siau Cap-it Long harus percaya. Orang sepintar Hoa Ji-giok pasti tidak akan mengobral cerita
bohong yang justru akan membongkar kedok sendiri. Tapi hal ini harus dibuktikan. Maka dia membebaskan
tutukan Hiat-to di badan Hong Si-nio. Sekarang tiada orang yang bisa mencegah dia bicara.
"Apa benar kau sudah menikah dengan orang ini," tanyanya. Hong Si-nio tetap tidak bergerak, hanya
menatapnya lekat, sorot matanya yang semula prihatin, kuatir dan takut kini berubah resah dan murka.
Demi dirimu entah betapa aku menderita, disalahkan dan dicerca, dianggap seongok barang dijejalkan ke
kolong ranjang, kini aku disiksa begini, bertanya saja tidak, sepatah kata perhatian pun tiada.
Demi kepentinganmu, Sim Bik-kun banyak menderita dan sengsara, jejaknya pun sekarang tidak diketahui,
kau pun tidak bertanya kepadaku, sepatah kata perhatian pun tidak kau ucapkan.
Dua tahun kita tidak bertemu, yang kau tanyakan hanya kentut belaka.
Memangnya kau tidak tahu isi hatiku" Kau percaya kalau aku telah menikah dengan dia"
Hong Si-nio mengertak gigi, sekuat tenaga berusaha mengendalikan emosi, menahan air mata.
Siau Cap-it Long malah bertanya lagi, "Betulkah kau sudah menikah dengan orang ini" Kenapa kau menikah
dengannya?"
Hong Si-nio masih menatapnya, tak bersuara.
Kalau kau percaya padaku, seperti aku percaya kepadamu, kalau aku harus menikah dengan orang ini jelas
karena terpaksa atau dipaksa.
Pantasnya kau merasa simpati pada nasibku, membelaku dan melampiaskan sakit hatiku.
Ternyata semua itu kau abaikan, malah mengobral pertanyaan menyebalkan.
Mendadak Hong Si-nio menggerakkan tangan, "Plang", dengan keras ia gampar muka Siau Cap-it Long.
Siau Cap-it Long melenggong. Sungguh tak pernah terpikjr olehnya, setelah dua tahun tak bertemu,
perbuatan pertama yang dilakukan Hong Si-nio adalah menggampar mukanya.
Hong Si-nio berjingkrak berdiri, pekiknya keras, "Kenapa aku tidak boleh kawin dengannya" Senang kawin
dengan siapa, aku kawin dengan dia, peduli amat dengan dirimu" Kau tidak perlu mengurus diriku."
Kembali Siau Cap-it Long dibuat menjublek di tempatnya.
"Aku kawin dengan dia, memangnya kau tidak terima?" damprat Hong Si-nio, "memangnya kau kira seumur
hidupku ini tidak laku kawin?"
Siau Cap-it Long tertawa getir.
"Hoa Ji-giok," teriak Hong Si-nio pula, "beri tahu padanya ...." Suaranya tiba-tiba berhenti, baru sekarang ia
sadar, secara diam-diam Hoa Ji-giok telah minggat.
Memangnya Hoa Ji-giok adalah manusia usil yang suka memanfaatkan setiap kesempatan.
Hong Si-nio berjingkrak pula, dengan sengit ia renggut baju dada Siau Cap-it Long.
"Kau ... kau ... kenapa kau biarkan dia pergi?"
"Bukan aku membiarkan dia pergi. Dia sendiri yang melarikan diri," sahut Siau Cap-it Long.
"Kenapa tidak kau bekuk dia" Kenapa tidak kau bunuh dia?" pekik Hong Si-nio.
"Membunuhnya" Bukankah dia suamimu, kau ingin aku membunuhnya?"
"Siapa bilang dia suamiku?"
"Barusan kau sendiri yang bilang."
Hong Si-nio berjingkrak pula, "Kapan aku pernah bilang demikian?"
"Barusan."
"Aku hanya bilang terserah aku senang menikah dengan siapa, lalu siapa yang pernah menikah dengan dia,
itu pertanyaan kepadamu, kenapa aku tidak boleh menikah dengannya" Aku tidak bilang kalau dia
suamiku?" "Dua macam pertanyaanmu tadi apa ada bedanya?"
"Jelas berbeda, malah jauh bedanya."
Siau Cap-it Long bungkam dibuatnya, sungguh tak habis mengerti dan sukar membedakan dimana
perbedaannya. Syukur lekas ia sudah paham tentang satu hal.
Kalau Hong Si-nio bilang antara dua persoalan itu ada bedanya, tentu dan pasti berbeda, kalau Hong Si-nio
bilang mentari itu persegi, maka matahari itu betul adalah persegi.
Kalau kau terus berbantah dengan dia, ibaratnya kau menumbukkan batok kepala sendiri ke tembok.
Hong Si-nio masih melotot sekian lama, akhirnya bertanya, "Kenapa kau tidak bicara?"
Siau Cap-it Long menghela napas sambil mengelus pipi, "Aku hanya menutup mulut saja, bukan tidak
bicara." "Tutup mulut dan tidak mau bicara apa ada bedanya?"
"Tentu saja berbeda, malah besar bedanya."
Dengan gemas Hong Si-nio masih melotot sekian lama, akhirnya cekikikan geli malah.
Kecuali betul-betul keki, dongkol dan penasaran, Hong Si-nio bukan perempuan yang tidak tahu aturan. Bila
dia marah juga tidak bertahan lama, hal ini sering terbentur dengan Siau Cap-it Long.
Siau Cap-it Long juga sedang mengawasinya dengan tertawa, lalu tanyanya, "Tadi pernah aku bilang
sepatah kata, entah kau mendengar tidak?"
"Kau bilang apa?" tanya Hong Si-nio.
"Aku bilang bukan saja kau tidak kelihatan lebih tua, malah kelihatan makin cantik dan lebih muda."
Hong Si-nio menahan geli, katanya, "Aku tidak mendengar, aku hanya mendengar kau bilang aku ini siluman
perempuan."
"Dua tahun kita tidak bertemu, tahu-tahu kau persen aku satu gamparan, ditambah satu tendangan, lima
patah kata aku bilang kepadamu, sepatah kata pun kau tidak mendengar, memakimu sepatah kau
mendengar jelas sekali." Sampai di sini ia menggeleng kepala sambil menarik napas panjang, "Hong Si-nio
oh Hong Si-nio, ku-lihat kau memang tidak berubah."
Mendadak Hong Si-nio menarik muka, "Tapi kau justru berubah."
"O, dalam hal apa aku berubah."
"Kau memang seorang bergajul, bergajulnya bergajul."
"Itu dulu, sekarang bagaimana?"
"Sekarang kau malah terhitung bergajul bangkotan," amarahnya seperti berkobar pula, suaranya juga makin
keras, "Kutanya kau, kenapa kau paksa Cia Thian-ciok mencukil mata sendiri. Begitu pula kau paksa Auyang
bersaudara mencolok mata mereka?"
Siau Cap-it Long menghela napas, "Sudah kuduga, kau akan membela mereka."
"Sudah tentu aku harus membela mereka, kau sendiri pernah bilang lelaki punya mata, memangnya untuk
memandang perempuan cantik, bahwa seorang perempuan cantik molek, apa salahnya buat tontonan kaum
lelaki?" Siau Cap-it Long mengangguk, dia memang pernah bilang begitu, dengan ujung mata Hong Si-nio
mengerling kepada Pin-pin, jengeknya dingin, "Lha kenapa dia justru tidak boleh dipandang" Kenapa orang
memandangnya lebih lama, lalu bola matanya harus dibikin buta?"
"Itu kan hanya alasan belaka."
"Alasan katamu?"
"Umpama mereka tidak mengawasinya, aku tetap akan paksa mereka mencukil bola mata sendiri."
"O, apa alasanmu?"
Mendadak sikap Siau Cap-it Long berubah serius, "Bahwa aku hanya menyuruh mereka mencukil bola
matanya, terhitung hukuman ringan bagi mereka, karena hukuman yang setimpal adalah mati."
"Kenapa mereka harus mati?" tanya Hong Si-nio.
"Sudah tentu aku punya alasan."
"Alasan apa?"
"Apa alasannya, panjang ceritanya, kalau ingin mendengar penjelasanku, tenteramkan dulu hatimu, jangan
marah-marah saja."
Mata Hong Si-nio melirik ke arah Pin-pin lagi, "Amarahku justru akan terus berkobar."
Siau Cap-it Long menarik napas, "Jika kau tahu sebab musababnya, kutanggung kau tidak akan marah."
Hong Si-nio menjengek dingin.
"Bukan saja kau tidak marah, malah akan membantuku mencukil mata mereka."
"Ah yang benar."
"Kapan aku pernah berbohong kepadamu?"
Sesaat Hong Si-nio menatapnya tajam, akhirnya berkata lembut, "Apa yang kau ucapkan hakikatnya aku
tidak percaya, tapi entah kenapa begitu berhadapan dengan kau, tiap patah katamu aku percaya sekali."
"Maka legakan dulu hatimu, dengarkan penjelasanku."
"Betapapun hatiku tidak akan lega."
"Kenapa?"
"Perutku lapar sekali."
"Kau ingin makan apa?"
Sorot matanya makin lembut, dengan gayanya Hong Si-nio berkata, "Mi bakso atau mi pangsit, makanan
yang paling mudah didapat."
* * * * * Di kota-kota besar atau kecil, dimana saja bisa kita cari penjual bakmi, umumnya penjual bakmi tidak kenal
waktu, tengah malam pun masih bisa menghidangkan keinginan pembeli. Maklum di kota mana pun pasti
ada penduduk yang suka keluyuran malam, seperti kucing kelaparan yang memburu makanan.
Para penjual bakmi yang menjajakan dagangannya di pinggir jalan, kebanyakan orang-orang tua yang
berwatak aneh, lagi kolot.
Penjual bakmi di pinggir jalan inipun adalah lelaki tua pincang, sayur asin yang dijual mirip penjualnya, kaku
dingin lagi keras. Tapi semangkuk bakmi pangsit yang disuguhkan masih panas.
Mengawasi bakmi di atas mejanya, mengawasi Siau Cap-it Long yang sedang menuang arak, timbul
perasaan hangat dalam relung hati Hong Si-nio, sehangat kepulan asap bakmi dalam mangkuk. Tapi di
samping Siau Cap-it Long masih ada cewek lain. Pin-pin, gadis ini kelihatan lembut cantik lagi anggun.
Tiap kali memandang gadis ini, perasaan Hong Si-nio selalu keki, katanya menyindir sambil menarik muka,
"Makanan yang dijual seperti ini, memangnya nona ini juga bisa makan."
"Sudah biasa dia makanan seperti ini," yang menjawab malah Siau Cap-it Long.
"Darimana kau tahu dia biasa makan" Memangnya kau cacing dalam perutnya."
Siau Cap-it Long tidak berani berbantah lagi.
Pin-pin hanya menundukkan kepala, tidak berani bersuara. Jelas ia merasakan Hong Si-nio tidak simpati
terhadap dirinya. Yang pasti dia masih bisa tertawa, tiada alasan Hong Si-nio meneruskan sindirannya.
Duduk bertiga mereka sibuk melalap bakmi, tiada pembicaraan, tanpa basa basi. Hong Si-nio menjadi sebal
rasanya. Untung ada, arak, sekaligus Hong Si-nio menghabiskan dua cawan arak, sindirnya lagi, "Arak
macam ini, nona juga biasa minum?"
"Bukannya tidak doyan arak, selama ini dia tidak pernah minum arak," Siau Cap-it Long pula yang
menjawab. "Ya, seorang nona yang agung cantik, mana mau minum arak murahan. Apalagi minum bersama perempuan
liar macamku ini."
Tanpa bicara Pin-pin menuang secawan arak, diangkatnya baru berkata, "Sebetulnya aku tidak biasa
minum, malam ini boleh kulanggar kebiasaan itu."
"Kenapa harus melanggar kebiasaan?"
"Sebab sejak lama kudenggar nama besar Toaci, dalam hati aku selalu berpikir, akan datang suatu hari aku
bisa duduk bersama minum arak dengan Su-toaci yang gagah berani, betapa riang hatiku." Langsung ia
tenggak habis secawan arak itu.
Hong Si-nio mengawasinya, entah kenapa perasaannya menjadi tawar, tidak segemas tadi. Berbeda dengan
sorot mata Siau Cap-it Long, menampilkan rona aneh, seperti kasihan dan mengandung rasa pilu.
Setelah menghabiskan tiga cawan arak dan semangkuk bakmi, perasaan Hong Si-nio sudah wajar kembali,
perlahan ia kunyah kuping babi di mulutnya sambil berkata, "Sekarang aku tidak marah lagi, kenapa tidak
lekas kau bicara."
Siau Cap-it Long menghela napas, "Persoalan ini rumit dan ruwet, entah darimana aku harus mulai?"
Berputar bola mata Hong Si-nio, "Tentu dari duel kali itu."
"Duel yang mana?"
"Duel antara kau dengan Siau-yau-hou."
Duel itu sendiri sudah menggemparkan Kangouw, sayang tiada orang menyaksikan, tiada orang tahu
bagaimana akhir duel itu.
Sejak zaman dahulu, duel antara dua tokoh Bulim tiada yang lebih seru, misterius, lebih aneh dari duel Siau
Cap-it Long melawan Siau-yau-hou.
Siau Cap-it Long menghabiskan dua cawan arak lagi baru menarik napas panjang, katanya, "Hari itu aku
sudah siap menerima kematian. Aku insaf, di dunia sekarang ini tiada tokoh besar mana pun yang mampu
menghadapi lawan setangguh Siau-yau-hou."
"Tapi sekarang kau bisa hidup, tetap segar bugar."
"Ya, aku sendiri tidak tahu dan tidak menyangka."
"Bagaimana Siau-yau-hou?"
"Mungkin sudah mampus."
Bersinar bola mata Hong Si-nio, dengan keras ia menggebrak meja, "Memangnya sudah kuduga kau pasti
bisa mengalahkan dia. Ilmu silatmu mungkin bukan tandingannya, tapi kau memiliki tekad dan keyakinan
yang tidak dimiliki orang lain."
"Sayang sekali, umpama aku punya seribu tekad dan seribu keyakinan, tetapi aku bukan tandingannya."
"Benar kau bukan tandingannya?"
"Pasti bukan," ujar Siau Cap-it Long, "paling banyak aku hanya mampu melawan dua ratus jurus, dua ratus
jurus kemudian aku sudah kehabisan tenaga, napasku sudah senin kamis, kalau dia tidak sengaja mau
mempermainkan aku, aku sudah mampus."
"Tapi sekarang kau masih hidup dan dia telah mati."
"Itu karena di saat aku hampir mati, seseorang mendadak menolongku."
"Siapa penolongmu?" tanya Hong Si-nio mendelik.
"Dia," sahut Siau Cap-it Long. 'Dia' yang dimaksud jelas adalah Pin-pin.
Hong Si-nio terperangah, "Cara bagaimana dia menolongmu?"
"Ujung jalan di pinggir gunung itu adalah ngarai terjal, aku bertarung dengannya di atas ngarai itu."
Hong Si-nio diam, mendengar dengan penuh perhatian.
"Dua sisi ngarai itu tegak lurus, di bawahnya adalah jurang yang tak terukur dalamnya.
"Dia sudah menyiapkan kuburan buatmu."
"Ya, dia juga bilang begitu, dia bilang ngarai itu dinamakan Sat-jin-gai. Ngarai membunuh manusia sungguh
menggiriskan namanya."
"Ngarai itu memang tempat dimana ia sering membunuh orang."
"Ya, setelah membunuh orang dia tidak perlu repot mengubur jenazahnya."
"Entah berapa banyak orang yang telah ia bunuh di sana, di bawah ngarai itu betapa banyak sukma
gentayangan, arwah yang penasaran, maka begitu mendengar suara panggilan dari bawah ngarai, meski
besar nyalinya membunuh orang, mengkirik juga dia."
"Panggilan" Panggilan apa?"
"Di saat ia hendak membunuhku, mendadak mendengar kumandang suara panggilan namanya dari bawah
ngarai." "Dia juga punya nama?"
"Dia bukan she Thian, tapi she Koso, namanya Koso Thian, asalnya keturunan Anso Koso. Dia bukan orang
Han." "Tak heran tiada orang di Kangouw yang tahu nama dan asal-usulnya. Tentunya dia sendiri malu kalau
orang tahu dirinya adalah keturunan suku kerdil yang terbelakang."
Siau Cap-it Long berkata, "Karena selama ini tiada orang tahu nama dan asal-usulnya, saat mendengar
suara panggilan namanya dari bawah ngarai, baru dia benar-benar kaget dan mengkeret nyalinya."
"Arwah-arwah penasaran di bawah ngarai itulah yang menuntut keadilan kepadanya."
"Begitu suara panggilan namanya berkumandang dari bawah ngarai, seketika ia berdiri kaku ketakutan."
"Jelas kau tidak menyia-nyiakan kesempatan baik itu."
"Waktu itu aku sudah kehabisan tenaga, umpama ada kesempatan juga tak mampu aku membunuhnya.
Tapi waktu golokku membacok punggungnya, mendadak dia menjadi gila, sambil meraung kalap melompat
ke dalam jurang."
"Seorang kalau tangannya penuh melakukan kejahatan, akan datang saatnya menjadi gila dan menerima
nasibnya yang tragis," ujar Hong Si-nio dengan gemas, "lalu siapa yang memanggil namanya dari bawah
ngarai?" "Aku," sahut Pin-pin.
Hong Si-nio sudah menduga akan dirinya, "Bagaimana kau bisa berada di bawah ngarai" Darimana kau
tahu nama aslinya?"
"Sudah tentu aku tahu, karena...." wajahnya nan ayu memutih mendadak menampilkan perasaan duka,
perlahan lalu melanjutkan, "karena aku adalah adiknya."
X. SAUDARA KANDUNG
Ternyata Pin-pin adalah adik kandung Siau-yau-hou.
"Saudara kandung?" Hong Si-nio terbelalak.
"Ya, aku adik kandungnya," sahut Pin-pin.
"Lha, kenapa kau berada di bawah ngarai?"


Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sikap Pin-pin tampak menderita, "Kakak kandungku itulah yang mendorongku jatuh."
Hong Si-nio terbelalak kaget, ia sudah menduga di balik peristiwa ini tentu ada rahasianya, rahasia yang
memilukan, peristiwa yang menakutkan. Maka ia tidak ingin bertanya lagi, ia tidak ingin membuat orang
sedih. Tapi Pin-pin balas bertanya malah, "Kau tentu heran, kenapa dia mendorongku ke dalam jurang?"
Hong Si-nio mengangguk.
Maka Pin-pin mulai bercerita tentang rahasia yang menyedihkan lagi misterius itu.
"Aku adalah adiknya yang paling kecil. Waktu aku lahir dia sudah dewasa, sejak aku dilahirkan dia sudah
mulai membenciku."
"Sebab semua engkoh dan ciciku semuanya manusia cebol, kecuali dia seorang, seluruhnya sudah
meninggal dunia."
"Aku terkecil justru tumbuh dengan nornal seperti manusia umumnya, maka dia amat membenciku, iri dan
cemburu, tentu kalian bisa membayangkan bagaimana perasaannya terhadapku."
"Untungnya waktu itu ibuku masih hidup, hingga aku bisa bertahan hidup hingga dewasa."
"Menjelang ajal, wanti-wanti ibuku berpesan kepadanya untuk menjaga dan melindungi aku. Ibu malah
memberitahu dia kalau dia berani menganiaya atau menyakiti aku, di alam baka dia tidak akan memberi
ampun kepadanya.
"Walau membenciku, hakikatnya dia memang tidak menyia-nyiakan hidupku, sebab terhadap siapa pun dia
tidak takut, hanya setan yang amat ditakuti, sejak kecil dia percaya bahwa orang yang sudah mati bisa jadi
setan iblis, ada arwah atau roh gentayangan."
"Hal ini merupakan rahasia, kecuali aku, mungkin tiada orang kedua yang tahu."
Manusia siapa pun dia, bila sering melakukan perbuatan yang melanggar aturan, perbuatan yang merugikan
orang lain, pasti dia seorang yang takut setan. Hong Si-nio mengerti betul akan hal ini.
Setelah menghabiskan dua cawan arak, Pin-pin melanjutkan ceritanya, "Hidupku serba berkecukupan,
sandang pangan tidak pernah kekurangan, tapi dia melarang aku mencampuri atau mencari tahu urusannya.
Biar aku ini adiknya, tentu aku tidak berani bertanya kepadanya."
"Tapi aku tahu, setiap hari raya Toan-ngo, beberapa hari sebelum dan sesudah perayaan, selalu datang
banyak orang mencari dia."
"Tiap orang yang datang semuanya mengenakan tutup muka, gerak-geriknya mencurigakan dan serba
tersembunyi, melihat diriku mereka acuh saja, mungkin disangka aku pelayan engkohku."
"Engkohku sendiri juga tidak ingin orang lain tahu siapa diriku, apalagi punya adik perempuan ayu seperti
diriku." Sampai hari inipun Hong Si-nio juga belum pernah tahu.
Lebih jauh Pin-pin bercerita, "Engkohku juga tidak pernah menjelaskan siapa saja mereka, apalagi
menjelaskan untuk keperluan apa mereka berkumpul di sini."
"Tapi setelah sering melihat mereka berkumpul, lapat-lapat aku rasakan adanya intrik dan gerakan rahasia
mereka. Orang-orang yang datang bertopeng itu tentu adalah kamrat-kamratnya yang sudah dia sogok
menjadi kaki tangannya."
"Aku tahu, selama ini ambisinya teramat besar, tujuannya jelas menguasai jago-jago silat di Kangouw."
"Aku berpendapat gerakannya itu hanya angan-angan yang menggelikan. Tiada tokoh besar mana pun di
Kangouw yang mampu berkuasa di Bulim, para Bengcu yang dahulu pernah terpilih, juga hanya memperoleh
nama kosong belaka."
"Tapi engkohku sangat serius dalam usahanya, malah seperti punya cara khusus yang lain daripada yang
lain. Kanyataan orang-orang yang datang menghadiri pertemuan rahasia itu dari tahun ke tahun jumlahnya
terus bertambah."
"Dua tahun lalu waktu perayaan Toan-ngo, yang datang sungguh luar biasa banyaknya, sikap dan tindaktanduknya
kelihatan amat semangat, gairahnya memuncak, tanpa sengaja pernah kudengar dia
menggumam, katanya sudah setengah orang-orang gagah di kolong langit ini yang sudah masuk dalam
genggamannya."
"Ketika malam tiba, mereka berkumpul di gua yang berada di belakang gunung, letak gua itu amat strategis
dan tersembunyi, sudah menjadi ketentuan mereka, setalah masuk dan berada dalam gua, mereka pasti
tinggal dua tiga hari di sana."
"Mereka adalah manusia, tentu harus makan minum, maka setiap hari pada jam-jam tertentu akan datang
orang-orang yang bertugas mengantar makanan dan minuman, para petugas kasar ini adalah orang-orang
yang dibikin bisu dan tuli."
"Tahun itu, tak tertahan rasa ingin tahuku, ingin aku masuk melihat keadaan di dalam, ingin tahu siapa saja
kamrat-kamratnya yang sudah dibeli olehnya."
"Di kala barisan pengantar makanan masuk ke dalam, aku mengenakan seragam mereka untuk berbaur dan
ikut menyelundup masuk. Aku pernah belajar ilmu tata rias, tak nyana penyamaranku diketahui juga
olehnya." "Syukur aku sempat melihat wajah orang-orang itu, sebab setelah berada dalam gua, mereka menanggalkan
tutup kepala. Aku keluar masuk hanya sebentar, sekilas banyak wajah mereka yang kuingat betul, sejak kecil
aku memang punya bakat yang tidak dimiliki orang lain. Bahwasanya Siau-yau-hou adalah orang yang
cerdik pandai, sekali pandang takkan pernah dilupakan."
Bentrok Para Pendekar 07
Karya Gu Long - Gan K.H.
Bagian 7 Pin-pin bertutur lebih jauh, "Semula aku takut setelah tahu aku mengintip gerak-geriknya, dia akan marah
besar dan memberi hukuman padaku, ternyata dia tidak banyak bicara dan tidak bertindak apa-apa
terhadapku, malah hari kedua dia mengajakku jalan-jalan ke belakang gunung.
"Hatiku gembira, sebab dalam hati kecilku, betul mengharap seperti saudara tua yang lain, dia kasih dan
sayang kepada adiknya yang terkecil, bersikap baik kepadaku."
"Maka hari itu aku berdandan rapi dan bersolek, dengan riang dan langkah ringan ikut dia tamasya ke
belakang gunung. Yaitu ngarai yang dinamakan Sat-jin-gai dimana ia sering membunuh orang-orang yang
tidak dia sukai."
"Setelah berada di sana, mendadak sikapnya berubah, mencaci aku, katanya aku banyak mengetahui
rahasianya, katanya aku usil."
"Kukira dia hanya memarahiku, sebab apa sebenarnya rahasia mereka, aku tidak tahu, umpama mengingat
wajah beberapa orang itu kurasa hanya persoalan kecil saja."
"Terakhir ia memberitahu padaku bahwa orang-orang itu adalah tokoh-tokoh yang punya nama dan
kedudukan di Bulim, kalau bukan pendekar besar yang menggetarkan daerahnya, tentu Ciang-bunjin suatu
partai persilatan yang disegani. Hal ini jelas pantang diketahui orang luar bahwa mereka sudah menjadi
kamratnya, tapi di kala ... di kala aku sedikit lena, tahu-tahu aku didorongnya dengan keras, padahal di
bawah adalah jurang lebar yang dalamnya tak terukur, siapa pun yang terjatuh ke jurang, badannya pasti
hancur lebur. Mimpi pun aku tidak pernah menduga kakak kandungku sendiri tega membunuh adik
kandungnya sendiri." Bercerita sampai di sini, tak kuasa Pin-pin menahan isak tangis.
"Tapi kenyataan kau tidak mati," kata Hong Si-nio setelah menghela napas.
"Karena aku bernasib mujur," kata Pin-pin, "hari itu aku sengaja berdandan, baju yang kupakai adalah gaun
berlengan panjang yang terbuat dari sutra tebal kwalitas terbaik, lingkaran gaun bagian bawah lebar
membundar. Waktu aku melayang turun, gaun panjang itu sedikit menahan angin, hingga tubuhku meluncur
seperti menggunakan parasut, dengan sendirinya daya luncurnya menjadi lamban, hal itu memberi padaku
kesempatan untuk meraih dahan pohon yang tumbuh di dinding gunung."
"Pohon kecil itu tak kuat manahan daya luncur berat badanku, dan akhirnya patah, tapi aku punya
kasempatan berganti napas, dengan sendirinya luncuran ke bawah lebih enteng dan lambat."
"Untung di dinding gunung yang terjal itu tumbuh beberapa pucuk pohon, akhirnya aku berhasil menangkap
dahan pohon lagi. Jarak ketinggianku sudah tidak seberapa lagi dari dalam jurang, kecuali terluka oleh duri
semak belukar, aku jatuh di antara tumpukan tulang belulang manusia yang tak terhitung banyaknya."
"Jurang itu dikelilingi dinding curam dan tinggi, di antara celah-celah batu banyak tumbuh pohon rotan,
umpama kera juga sukar dapat memanjat ke atas untuk menyelamatkan diri."
"Untung di antara tulang belulang para korban itu banyak yang membawa senjata, dengan senjata mereka
aku berusaha menggali lubang sebagai tempat memanjat ke atas."
"Dinding gunung begitu keras, sekeras besi, setiap hari aku hanya mampu membuat buat 20-30 lubang saja,
makin hari daya kekuatanku makin lemah, hasilnya juga semakin sedikit."
"Tiap malam aku harus merambat turun ke dasar jurang yang lembab dan dingin, esok harinya baru
memanjat lagi ke atas membuat lubang, makin tinggi waktu yang dibutuhkan naik turun jelas semakin lama.
Celakanya di dasar jurang tiada barang makanan yang mudah kuperoleh untuk isi perut, air juga kudapat
dari lekuk gunung untuk kuminum, padahal airnya keruh, kondisi yang serba kekurangan makin membuat
tenagaku berkurang."
"Aku kuat bertahan selama dua bulan, lubang yang kugali juga makin banyak lagi tinggi, tapi hasilnya baru
mencapai lamping gunung, masih jauh untuk bisa mencapai pucuk jurang. Kondisiku betul-betul sudah amat
lelah, tak nyana dari tempat kerjaku di lamping gunung, hari itu aku mendengar suara percakapannya, aku
harap dia mau mengingat hubungan saudara, mau menolong aku naik ke atas. Maka sekuat sisa tenagaku,
aku berteriak memanggil namanya ...."
Kejadian selanjutnya tidak ia lanjutkan, tapi Hong Si-nio sudah mengikuti alur ceritanya dan maklum adanya.
Mimpi pun Siau-yau-hou tidak pernah menduga, adik perempuan yang didorong jatuh ke dalam jurang masih
hidup, waktu ia mendengar panggilan adiknya dari bawah jurang, ia mengira arwah adiknya itu yang
menuntut balas padanya.
Setelah Siau-yau-hou terjun ke jurang, dengan kaget dan ingin tahu duduk persoalannya, Siau Cap-it Long
mencari tahu suara panggilan itu datang dari mana, setelah melihat di lamping gunung ada bayangan orang,
segera ia berusaha menolong dan menarik orang itu ke atas.
Dengan nada sendu Siau Cap-it Long berkata, "Waktu aku menolongnya, keadaannya sungguh tidak
menyerupai manusia normal, kondisi tersiksa membuatnya kurus kering tidak mirip manusia, laki atau
perempuan, tua atau muda pun sukar aku bedakan."
Pin-pin menggigit bibir, tak kuasa badannya gemetar seperti orang kedinginan.
"Waktu itu aku hanya tahu satu hal. Jiwaku ditolong oleh suara panggilannya, maka dengan segala daya
upaya aku harus menolong dan mempertahankan hidupnya."
Kondisi Pin-pin saat itu amat mengenaskan, kempas-kempis, tinggal kulit pembungkus tulang, untuk
mempertahankan jiwanya jelas bukan urusan gampang.
"Untuk menolong jiwanya, aku harus mencari seorang tabib, maka aku tidak pulang lewat jalan semula, di
belakang gunung aku mencari jalan simpang untuk turun gunung."
Hong Si-nio menghela napas gegetun, "Maka waktu Sim Bik-kun mencari kau lewat jalan yang kau tempuh,
pantas dia tidak menemukanmu."
Begitukah yang dinamakan nasib" Nasib selalu berakibat aneh, sukar ditebak, sulit diramal, akibatnya sering
terasa kejam. Pin-pin menahan tangis, tiba-tiba ia tersenyum lebar, "Apapun yang telah terjadi, sekarang aku masih hidup,
kau pun masih segar bugar."
Mengawasi nona jelita ini sorot mata Siau Cap-it Long kembali menampilkan rona duka dan simpati, tawanya
dipaksakan, "Orang baik biasanya berumur pendek. Orang macam diriku, ingin mati, eh, tak mati juga."
"Kalau betul orang baik berumur pendek, mungkin kau sudah mati lama," demikian ujar Pin-pin. "Selama
hidupku ini belum pernah aku berjumpa dengan orang sebaik engkau."
Akhirnya Hong Si-nio mengakui, "Kalau demikian, dia memang tidak terlalu jelek."
"Ciangbunjin Tiam-jong-pay yang bernama Cia Thian-ciok adalah salah satu dari orang yang berada di gua
belakang itu."
"Jadi dia juga dibeli oleh Siau-yau-hou?" tanya Hong Si-nio.
"Kutanggung mataku tidak lamur dan tidak salah lihat," Pin-pin menegas.
"Jadi Auyang-hengte juga menjadi anak buah Siau-yau-hou?" tanya Hong Si-nio.
Pin-pin memanggut, "Baru sekarang aku tahu, orang-orang yang kulihat dalam gua adalah para tokoh
Kangouw yang di unggulkan sebagai pendekar, orang baik, orang bijak."
"Ya, tahu orang, tahu muka, tidak tahu hatinya, tidak mudah membedakan seorang baik atau jahat dari
wajah seseorang."
"Engkohku memang sudah mati, tapi organisasi rahasia itu belum bubar."
"Wah, betul begitu?" seru Hong Si-nio
"Tak lama setelah kejadian itu, dari seorang yang menjelang ajal aku memperoleh berita lain."
"Berita apa?"
"Setelah engkohku meninggal, ada seorang menggantikan kedudukannya."
"Siapa dia?"
"Tidak berhasil kutanya dia?"
"Orang mereka sendiri juga tiada yang tahu asal-usulnya."
"Mereka adalah orang-orang yang punya kedudukan dan disegani dalam kelompok masing-masing, kenapa
rela tunduk dan patuh pada perintahnya?"
"Sebab orang ini berilmu tinggi, betapa lihai kungfunya susah diukur, yang penting kunci kelemahan mereka
sudah tergenggam di tangannya."
"Kunci kelemahan apa maksudmu?"
"Yaitu rahasia pribadi mereka diketahui oleh engkohku. Mereka sendiri heran dan tak habis mengerti,
mengapa rahasia pribadinya bisa jatuh ke tangannya."
"Mereka sendiri tidak tahu?"
"Pasti tidak tahu."
"Apa orang ini punya hubungan luar biasa dengan Siau-yau-hou" Apakah sebelum ajal Siau-yau-hou telah
membocorkan rahasia mereka kepadanya?"
Semua pertanyaan itu jelas tidak terjawab, dan tiada orang yang bisa menjawab.
"Aku hanya tahu muslihat yang direncanakan engkohku sampai sekarang masih terus dikembangkan.
Agaknya seperti juga engkohku, orang ini juga punya ambisi mengekang dan menguasai tokoh-tokoh Bulim
itu, seperti malaikat menggenggam nasib hidup mati mereka."
"Maka kau suruh Siau Cap-it Long mencolok mata orang-orang yang pernah kau lihat keberadaan mereka di
dalam gua itu?"
Pin-pin memanggut pula, "Aku berpendapat orang-orang itu pantas mati, kalau komplotan orang jahat ini
semua mampus, orang lain baru bisa hidup tenteram dan damai."
Hong Si-nio mengawasi Siau Cap-it Long, "Maka kau bilang kau tidak salah membunuh mereka."
Siau Cap-it Long mengangguk, "Sekarang kau sudah mengerti duduk perkaranya bukan?"
"Tapi orang lain tidak tahu dan tidak mau tahu, maka mereka menuduhmu sebagai bangsat pembunuh yang
kejam." "Toa-to Siau Cap-it Long memangnya bangsat. Insan persilatan mana yang tidak tahu akan kebenaran
namaku itu?"
"Kenapa tidak kau bongkar rahasia mereka di depan umum, biar orang banyak tahu mereka memang pantas
mampus." "Mereka adalah pendekar besar, aku adalah bangsat durjana, ucapan seorang bangsat siapa mau dengar,
siapa mau percaya?" Lalu dengan tertawa Siau Cap-it Long menambahkan, "Apalagi selama hidup malang
melintang aku tidak butuh pengertian mereka, tidak butuh simpati mereka, Siau Cap-it Long dikenal punya
sepak terjang brutal, tidak peduli pendapat umum, aku bekerja sesuai isi hati dan keinginanku sendiri."
Walau sedang tertawa, namun mimiknya menampilkan betapa sedih dan pilu perasaannya. Mengawasi
wajah orang, Hong Si-nio seperti sedang berhadapan dengan seekor serigala, sebatangkara, kesepian,
kedinginan, kelaparan yang berbuat serigala menjadi ganas, serigala yang berjuang mempertahankan hidup
di tengah hujan salju lebat.
Tiap kali melihat rona muka orang, hati Hong Si-nio ikut sedih seperti ditusuk jarum. Karena ia tahu tiada
seorang pun di dunia ini yang mau mengulur tangan membantunya, yang ada hanyalah mereka yang ingin
menendangnya pergi, menendang sampai ia mati.
Siau Cap it Long tidak pernah berubah, Siau Cap-it Long tetap adalah Siau Cap-it Long.
Serigala sama dengan kambing, sama-sama hidup dan berjiwa, sama-sama punya hak untuk hidup, punya
hak berjuang dan mempertahankan diri untuk bergulat dengan nasib.
Serigala tidak selembut kambing terhadap sesama kelompoknya, serigala lebih loyal dibanding kambing,
malah lebih setia dibanding manusia. Namum dunia seluas ini, mengapa tiada tempat yang layak untuk
mereka mengembang daya hidup dalam habitatnya"
Hong Si-nio meletakkan cawan arak, tiba-tiba ia bertanya, "Masih kau ingat, lagu gembala yang sering kau
dendangkan dulu?"
Sudah tentu Siau Cap-it Long masih ingat, masih hapal.
"Setelah aku menyelami makna lagu itu, baru aku sadar kenapa kau suka lagu itu."
"O.ya?"
"Sebab kau sendiri merasa dirimu mirip seekor serigala," demikian ucap Hong Si-nio, "sebab di dunia ini
tiada orang yang lebih tahu, lebih mengerti akan kehidupan serigala yang kesepian dan terasing."
Siau Cap-it Long tidak bersuara, dia menghirup arak, arak nan getir.
Mendadak Hong Si-nio tertawa, "Umpama benar kau ini seekor serigala tulen, aku yakin bukan serigala
sembarang serigala."
"Serigala macam apa menurut pendapatmu?" tanya Siau Cap-it Long getir.
"Pek-ban-hok-long," seru Hong Si-nio.
"Pek-ban-hok-long?" teriak Siau Cap-it Long tertawa lebar. Nama ini ia rasa lucu dan menggelikan.
Tapi Hong Si-nio tidak tertawa, "Pek-ban-hok-long mungkin punya perbedaan yang amat besar dengan
serigala umumnya."
"Perbedaan apa?" tanya Siau Cap-it Long.
"Pek-ban-hok-long tidak setia terhadap rekannya sendiri," dingin suara Hong Si-nio.
Siau Cap it Long tutup mulut, jelas ia tahu apa yang dimaksud Hong Si-nio.
Mendadak Pin-pin berdiri, katanya dengan tersenyum, "Aku jarang minum arak, kepalaku terasa pusing."
Tawanya seperti dipaksakan, "Kalian teman lama, tentu ingin bercakap-cakap lebih lama, biar aku pulang
istirahat dulu."
"Baiklah," sahut Hong Si-nio. Dia bukan orang yang suka bermuka-muka, memang inilah kesempatan ia
menumpahkan isi hati dan perasaannya kepada Siau Cap-it Long.
Siau Cap-it Long juga manggut-manggut. Mengawasi Pin-pin beranjak pergi ditelan kegelapan, sorot
matanya menampilkan rasa prihatin dan kasihan.
Dingin suara Hong Si-nio, "Tak usah kau kuatir akan dirinya. Adik Siau-yau-hou memangnya tidak bisa
merawat diri sendiri?"
Pin-pin jelas bisa menjaga diri sendiri. Seorang yang telah hidup dua bulan di bawah jurang dengan kondisi
yang serba kekurangan, dimana saja kini ia berada pasti bisa beradaptasi dengan lingkungan. Apalagi di
kota besar ini mereka punya gedung megah, rumah mewah.
Entah kenapa kelihatannya Siau Cap-it Long masih kuatir saja.
Menatap orang dengan muka cemberut, Hong Si-nio berkata, "Dia menolongmu, jelas kau harus membalas
budi baiknya, tapi tidak perlu berlebihan."
"Berlebihan kau bilang?" getir suara Siau Cap-it Long.
"Paling tidak, jangan karena sepatah katanya lantas kau paksa orang menarik antingnya."
"Rasanya memang agak keterlaluan," ujar Siau Cap-it Long, "aku bersikap demikian terhadapnya bukan
tanpa alasan."
"Alasan apa?"
Siau Cap-it Long ingin bicara, tapi ditelannya kembali. Bukan dia tidak mau bicara, tapi lebih baik menahan
diri. "Peduii apapun alasanmu, jangan lantaran dia kau melupakan Sim Bik-kun."
Begitu mendengar nama Sim Bik-kun, hati Siau Cap-it Long seperti ditusuk jarum, "Aku ... tak pernah
melupakan dia."
"Tapi sampai detik ini kau tidak pernah menyapa dirinya."
Siau Cap-it Long menggenggam kencang cawan araknya, mukanya makin pias, agak lama baru bersuara,
"Ada persoalan yang tidak ingin kubicarakan."
"Di hadapanku, masih ada persoalan apa yang tidak bisa kau bicarakan?"
"Tiada, terhadapmu tiada persoalan yang pantang kubicarakan, maka ingin kutanya kepadamu, perbuatan


Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

salah apa yang pernah kulakukan, dia ... kenapa dia bersikap begitu terhadapku?"
"Bersikap bagaimana maksudmu?"
"Memangnya kau tidak tahu" Tidak melihat" Di atas Bok-tan-lau itu, bagaimana sikapnya terhadapku"
Sepertinya aku ini dianggap seekor ular berbisa."
"Prak", cawan arak digenggamnya pecah, pecahan cawan menusuk jari-jari tangannya, menusuk perasaan
hatinya, darah bercucuran. Namun dia seperti tidak merasa sakit, sebab sakit relung hatinya lebih tidak
tertahankan. Mengawasi orang, sorot mata Hong Si-nio menampilkan rasa kejut dan heran, seperti tidak menyangka Siau
Cap-it Long bisa begitu menderita lantaran Sim Bik-kun.
Lama kemudian baru Siau Cap-it Long melanjutkan, "Karena sikapnya itu, bagaimana aku harus memberi
penjelasan?"
"Jadi kau tidak tahu kenapa dia bersikap begitu terhadapmu."
"Aku hanya tahu tiada orang memaksa dia untuk bersikap demikian."
"Memang tiada orang memaksa dia. Tapi kalau kau melihat dia bergandeng tangan dengan seorang pria,
melihat dia melakukan sesuatu demi lelaki itu, seperti apa yang kau lakukan untuk Pin-pin, bagaimana kau
akan bersikap terhadapnya?"
"Tapi sikapku terhadap Pin-pin hanya lantaran ...." Siau Cap-it Long seperti kuatir menyelesaikan katakatanya.
Hong Si-nio justru mendesaknya bicara, "Lantaran apa, coba jelaskan."
Muka Siau Cap-it Long kelihatan sedih, "Dalam segala hal aku mengalah demi dia, apa yang dia suka, aku
berusaha memenuhi keinginannya, karena aku tahu dia tidak akan bisa hidup lama lagi."
Hong Si-nio terperangah.
"Di lembah itu dia mengalami derita yang luar biasa, malah keracunan lagi, sudah kuupayakan dengan
segala akal, belum berhasil memunahkan racun itu, untung masih dapat kuusahakan mendesak racun agar
tidak bekerja lebih cepat, tapi ...." Sepoci arak dia habiskan, lalu sambungnya, "Paling lama ia hanya bisa
bertahan tiga tahun, sekarang sudah lewat dua tahun, usianya paling tinggal tujuh delapan bulan, bila
mendadak gawat, mungkin hanya tinggal tujuh delapan hari...."
"Maksudmu racun di badannya bisa kumat mendadak?" tanya Hong Si-nio.
Siau Cap-it Long memanggut.
Hong Si-nio menjublek sekian lama, hatinya mendelu, entah kenapa timbul simpatinya terhadap cewek yang
satu ini. Gadis cantik jelita yang cerdik pandai, ibarat bunga yang baru mekar, namun tiap waktu harus
menunggu saat layu yang tidak diketahui kapan datangnya.
"Aku tidak peduli bagaimana pandangan kalian, bagaimana keadaan dan jalan pikiran orang lain, yang pasti
hubunganku dengan dia masih putih bersih. Sebab aku tidak ingin melakukan perbuatan yang menyakiti hati
Sim Bik-kun, yakin dia juga ingin aku melakukan."
Hati Hong Si-nio juga seperti ditusuk jarum, kini ia menyesal, tiba-tiba ia insaf tadi tidak semestinya ia
menyindir Pin-pin hingga gadis itu menyingkir.
Kini baru dia betul-betul paham, benar-benar mengerti seluruh perasaan Siau Cap-it Long, meresapi
penderitaan lahir batinnya.
Tiba-tiba ia sadar hanya perempuan macam Sim Bik-kun yang pantas merasa senang bahagia, betapapun
tersiksa jalan hidupnya, ada seorang laki-laki macam Siau Cap-it Long yang mencintainya. Lalu bagaimana
diriku" Hong Si-nio bertanya kepada diri sendiri.
"Kalau aku adalah kau, aku juga akan berbuat demikian," kata Hong Si-nio, "tapi kalau tidak kau jelaskan,
orang lain mana tahu. Bagaimana Bik-kun bisa mengerti?"
"Kalau betul ia mengerti perasaan murniku terhadapnya, tidak pantas dia mencurigai aku, apalagi ..." Jarijarinya
saling genggam, lalu katanya, "Dia kemari kan juga ingin mencari Lian Shia-pik, hanya Lian Shia-pik
saja orang ... orang yang dia kuatirkan, aku ini terhitung apa?"
"Darimana kau tahu dia datang mencari Lian Shia-pik?"
"Aku tahu, ada orang memberitahu aku."
"Siapa" Siapa yang memberitahu kepadamu?"
"Hoa Ji-giok."
Mendadak Hong Si-nio menjengek dingin, "Kau percaya obrolannya" Kalau kau meresapi perasaan Sim Bikkun
terhadapmu, kenapa kau percaya ocehan orang lain, lalu mencurigai dia?"
Giliran Siau Cap-it Long yang melenggong.
"Aku heran kenapa kalian justru memikirkan derita pribadi sendiri, melupakan bahwa dia punya kesulitan
sendiri, kenapa kalian berpikir ke arah yang salah, memikirkan kejelekan orang?"
Mulut Siau Cap-it Long bungkam.
Apakah itu yang dinamakan cinta" Apakah di antara cinta itu salalu ada perasaan yang tak mungkin
dihindarkan antara curiga dan cemburu"
"Aku tidak peduli bagaimana kau berpikir, bagaimana kau memandang persoalan ini, sekarang kuberitahu
kepadamu, dia datang bukan lantaran orang lain, tapi demi engkau, orang yang Benar-benar diperhatikan,
yang dikuatirkan juga adalah engkau."
Bukankah Hong Si-nio datang juga lantaran dia" Kenapa dia memberi penjelasan untuk orang lain.
Kenapa ia tidak limpahkan saja isi hatinya yang selama ini mengeram dalam sanubarinya" Bukankah hal ini
akan membawa derita hidup sepanjang masa"
Hong Si-nio sendiri bingung kenapa ia berbuat demikian, padahal ia maklum dirinya bukan orang yang
diagungkan, bukan orang suci. Tapi ia tahu perasaan murni yang keluar dari hati yang tulus, bukan saja suci
dan agung, ajaran para nabi pun telah ia praktekkan dalam kehidupan ini.
Mendadak Siau Cap-it Long menarik tangannya, tanyanya kuatir, "Tahukah kau dimana dia?"
Hong Si-nio menggeleng kepala, "Aku hanya tahu dia ditolong orang."
"Ditolong siapa?"
"Awalnya orang itu adalah kusir kereta Hoa Ji-giok, kalau tidak salah bernama Pek-losam"
"Kusir kereta Hoa Ji-giok, kenapa menyerempet bahaya menolongnya?"
"Aku tidak tahu. Hanya dengan menemukan dia, segala persoalan akan dapat diselesaikan."
Siau Cap-it Long berjingkrak berdiri, "Hayo, sekarang kita cari dia."
Hong Si-nio menyeringai kecut, "Ya, tapi biar aku habiskan dulu semangkuk bakmi ini."
XI. JIT-SAT-TIN
Bakmi itu sudah dingin, Hong Si-nio tidak peduli, dengan lahap ia gares sampai habis.
Siau Cap-it Long menunggu dengan sabar, mengawasi orang makan ternyata juga membuatnya lega.
Pada saat itulah mendadak berkumandang suara "Trap", yang keras, menyusul tujuh bayangan orang
berpakaian hitam bagai setan gentayangan muncul bersama. Tujuh orang berpakaian hitam yang rambut
kepalanya panjang menyentuh pundak, ternyata mata mereka berlubang kosong. Tujuh orang buta.
Tangan kiri mereka memegang tongkat yang mengkilap putih, tangan kanan memegang kipas. Orang
pertama berwajah hijau membesi, tulang pipinya menonjol, dia bukan lain adalah Cia Thian-ciok yang dahulu
menjadi Ciangbunjin Tiam-jong-pay.
Hong Si-nio tetap menikmati bakminya. Tujuh orang buta mendadak muncul di tempat itu, ternyata ia berlaku
tenang, meski kaget tapi tidak gugup apalagi takut.
Dia tahu siapa ketujuh orang buta ini, juga tahu siapa pimpinannya, yaitu Jin-siang-jin. Ia dapat mengukur
tingkat kepandaian mereka. Siau Cap-it Long seorang cukup mampu menghadapinya.
Selama dua tahun belakangan ini kepandaian Siau Cap-it Long ternya
^