Pencarian

Dendam Iblis Seribu Wajah 2

Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Bagian 2


erlu diketahui, bahwa di dunia Bulim ada sebuah peraturan yang amat keras, yakni
tidak boleh mengkhianati guru sendiri. Tidak perduli siapapun orangnya, hukumannya
tetap kematian. Dosa ini lebih berat dari pada membangkang terhadap orangtua sendiri.
Dalam keadaan panik, Kiau Hun langsung turun tangan menyelamatkan Tan Ki, namun
dirinya sudah melanggar dosa yang paling berat di mana dia harus menebusnya dengan
kematian. Yang lainnya menjadi tertegun akan perubahan yang mendadak ini. Sebaliknya sikap
Kiau Hun justru demikian tenang seakan tidak pernah terjadi apapun. Penampilannya yang
acuh tak acuh membuat rasa amarah Ciu Cang Po semakin meluap.
Apa yang kau lakukan?" bentaknya kesal.
Tampaknya Kiau Hun agak menyesal juga. Perlahan-lahan dia menundukkan kepalanya
dan tidak berani mengucapkan sepatah kata pun. Begitu marahnya Ciu Cang Po sampaiTiraikasih
Website http://kangzusi.com/ sampai rambutnya yang berwarna putih berjingkrakan ke atas. Mulutnya mengeluarkan
suara tertawa dingin. "Bagus" muridku yang baik juga berani menentang aku sekarang." katanya.
Hati Kiau Hun terasa pedih. Air matanya langsung mengalir dengan deras membasahi
pipi. Dalam keadaan terdesak, seseorang pasti akan membayangkan banyak persoalan.
Terlebih-lebih masa lalunya. Saat itu juga, berbagai ingatan melintas di benak gadis itu. Sejak kecil, dia sudah yatim
piatu. Dia menjual dirinya kepada keluarga Liu sebagai seorang budak. Sejak kanak-kanak
dia sudah biasa mendengar omelan dan berbagai caci maki. Dia tidak mempunyai hak
untuk berbicara ataupun kebebasan sama sekali.
Setelah dewasa, Siocia menerimanya sebagai pendamping. Kehidupannya berubah lebih
layak. Mei Ling sangat baik kepadanya. Gadis itu juga menganggapnya seperti saudara
sendiri. Dari seorang budak yang bekerja serabutan, dia mengganti profesi menjadi
sahabat karib nonanya. Sebetulnya dia sudah harus merasa cukup puas. Hatinya menuntut
lebih. Dia masih terus merasa ti-dak ada sedikitpun kebebasan. Perasaan rendah diri
menyelimuti hatinya. Entah pada tahun berapa, Ciu CangPo yang berwatak aneh dan keras menerima Mei
Ling sebagai murid. Dia mengatakan bahwa baik Mei Ling maupun Kiau Hun samasama
memiliki bakat yang tinggi untuk belajar silat.
Tetapi dia hanya menerima Mei Ling sebagai murid. Sedangkan dirinya tidak. Mengapa"
Mengapa harus pilih kasih" Tentu saja. Dirinya hanyalah seorang pelayan yang berkedudukan rendah, sedangkan
Mei Ling adalah nona besar. Kedudukan mereka sudah jauh berbeda. Apalagi Mei Ling
merupakan putri tunggal Bu Ti Sin-kiam seorang pendekar yang namanya sudah terkenal
di mana-mana. Semuanya itu merupakan kelebihan sang nona. Dia sendiri, tidak ada yang
dapat dibanggakannya. Setelah dia memohon terus menerus, akhirnya Ciu Cang Po bersedia juga menerimanya
sebagai murid yang tidak diangkat secara resmi. Hal ini justru membuat perasaan rendah
dirinya semakin mendalam. Tetapi selama ini dia memendamnya dalam hati. Dia tidak
menunjukkannya di hadapan siapapun.
Saat ini, hanya karena sepatah ucapan Ciu Cang Po yang membuatnya teringat akan
nasib dan riwayat hidupnya, untuk sesaat hatinya digelayuti keperihan yang tidak
terkirakan. Tanpa dapat di tahan lagi air matanya mengucur dengan deras.
Perlahan-lahan Kiau Hun mendongakkan kepalanya. Di pipinya masih terlihat bekas air
mata. "Tecu belum mengenal orang ini secara mendalam. Tetapi hati Tecu tidak rela
melihatnya terluka ataupun mati di tangan Suhu. Hal ini disebabkan semacam perasaan
yang aneh. Tecu tidak dapat menerangkannya?"
Mendengar ucapannya, Ciu Cang Po terkejut sekali. Hatinya tergetar. Diam-diam dia
berpikir: "Rupanya kau sudah jatuh cinta kepada orang ini, tapi dirimu sendiri masih tidak
menyadarinya" Tanpa sadar, dia mengangkat tangannya dan mengelus wajahnya sendiri.
Wajah yang sangat buruk dan menyebalkan"
Siapa yang sangka kalau tiga puluh tahun yang lalu, wajahnya itu tidak kalah cantiknya
dengan wajah Kiau Hun maupun Mei Ling sekarang" Siapa yang nyana kalau wajahnya
dulu pernah membuat puluhan laki-laki tergila-gila"
Memang benar, dahulunya dia adalah seorang gadis yang cantik jelita. Banyak sekali
tokoh-tokoh Bulim yang menaruh hati kepadanya. Kemudian, dia mencurahkan seluruh
cinta kasihnya kepada seorang pemuda. Tetapi pemuda itu mengkhianatinya.
Orang itu bukan saja merenggut kesucian dirinya, tetapi juga membuat wajahnya
menjadi rusak seperti sekarang ini. Dari seorang wanita yang cantik jelita, dia berubah
seperti seorang nenek sihir yang menyeramkan. Perasaan sakit dalam hatinya tidak
teruraikan oleh kata-kata! Setiap kali teringat akan hal ini, ingin rasanya dia membunuh habis seluruh laki-laki
yang ada di dunia ini. Justru karena hal ini pula, ketika Tan Ki berjalan keluar sampai di
halaman dan tanpa sengaja membentur tubuhnya, dia menjadi kalap. Yang satu berwatak
keras dan tinggi hati. Yang seorang lagi menderita sakit di hati dan membenci kaum lakilaki.
Karena beberapa patah ucapan yang tidak menyenangkan, mereka langsung
berkelahi. Ciu Cang Po merenungi masa lalunya. Dia seakan tidak mendengarkan kata-kata
selanjutnya yang diucapkan oleh Kiau Hun. Tiba-tiba terdengar suara Mei Ling yang
lembut" "Hun moay, kau tidak boleh kurang ajar kepada Suhu. Cepatlah minta maaf kepada dia
orangtua." Kiau Hun menundukkan kepalanya dalam-dalam. Air matanya masih terus mengalir.
"Tecu menolong orang ini sehingga tanpa sadar menyalahi Suhu. Biar bagaimanapun
Tecu menjelaskan, dosa ini sudah tidak terelakkan. Tecu bersedia menerima hukuman dari
Suhu." Wajah Ciu Cang Po dingin sekali. "Sejak hari ini, kau bukan muridku lagi. Pergilah!" Ciu
Cang Po mengangkat tongkat di tangannya dan mengarahkannya ke ubun-ubun Kiau Hun.
Tentu saja nenek itu bermaksud memusnahkan seluruh ilmu silat yang dimilikinya.
Tiba-tiba terdengar suara bentakan yang memekakkan telinga. Serangkum tenaga yang
dahsyat menyusul setelah suara bentakan dan terhantam ke arah Ciu Cang Po. Perubahan
ini memang terjadi secara mendadak, tetapi Ciu Cang Po seakan telah menduganya.
Dengan marah dia membentak" "Bocah busuk, kau benar-benar ingin mati?" tongkatnya segera bergeser dan disapukan
ke samping. Kekuatan tenaganya mengandung kekejian yang tidak terkirakan. Tan Ki menarik
kembali jurus serangannya dan mundur beberapa langkah. Dia mengerti keadaannya
sekarang sangat lemah. Tenaga dalamnya hampir musnah. Mana mungkin dia berani
mengadu kekerasan dengan nenek tua itu"
Namun gerakannya tadi sudah menyelamatkan Kiau Hun dari kecacatan tubuh yang
akan dialaminya apabila ilmu silatnya dimusnahkan oleh Ciu Cang Po. Keadaan semakin
menegangkan. Mei Ling melihat keadaan semakin lama semakin kacau. Ingin rasanya dia mencegah,
tetapi tidak tahu harus berbuat bagaimana. Dia masih berdiri di sudut dengan mata
jelalatan dan hati cemas. Begitu pandangannya beralih, dia melihat Tan Ki dan Ciu Cang Po sudah mulai
bergebrak. Dalam sesaat, suara sapuan tongkat dan hantaman telapak tangan terdengar
silih berganti. Tenaga dalam Tan Ki masih terpaut jauh dengan Ciu Cang Po. Dengan tangan kosong
menghadapi tongkat nenek kurus, dia semakin terjepit keadaannya. Setelah belasan jurus,
dia mulai terdesak dan kondisinya mulai membahayakan.
Waktu merayap dengan perlahan-lahan. Hawa kematian semakin terasa. Secara
menyolok dapat terlihat jelas, bahwa yang akan kalah dalam pertarungan ini pasti Tan Ki.
Air mata Kiau Hun mengalir semakin deras. Dia berdiri mematung tanpa bergerak
sedikitpun. Pikirannya seperti melayang-layang. Kadang-kadang bibirnya tersenyum.
Kadang-kadang wajahnya kembali muram. Ada kalanya dia mengangguk seorang diri.
Tampaknya dia masih belum menyadari bahwa Tan Ki dan Ciu Cang Po sudah mulai
bergebrak. (Bersambung ke Jilid 3) Jilid : 3 Dia sedang membayangkan kehidupannya di masa mendatang. Bencana"
Keberuntungan" Kesedihan yang menggerogoti seumur hidup" Atau kebahagian yang
abadi" Dia tidak tahu. Dia juga tidak dapat menduganya, tetapi dia rela
membayangkannya dengan khayalannya sendiri.
Hanya Mei Ling yang berdiri sambil meremas-remas jari tangannya. Matanya terpaku
memandangi perkelahian di antara kedua orang tersebut. Dia khawatir gurunya akan
dikalahkan, namun dia juga tidak ingin melihat pemuda itu terluka.
Tidak ada perasaan yang istimewa dalam hatinya. Dia hanya merasa siapapun yang
terluka atau berdarah, tetap bukan hal yang menyenangkan.
Tiba-tiba terdengar Ciu Cang Po mengeluarkan suara tertawa dingin. Tongkatnya
langsung dihantamkan ke depan. Kekuatannya, sapuannya, mengandung kekejian yang
dahsyat. Dia melihat Tan Ki tidak mempunyai kesempatan untuk menghindarkan diri lagi.
Dalam sekejap mata anak muda itu pasti akan terluka parah. Hatinya terkejut sekali.
Tanpa sadar Tan Ki mengeluarkan seruan terkejut" "Aduh"!"
Suara teriakannya membuat Kiau Hun tersentak dari lamunannya. Cepat-cepat dia
menolehkan kepalanya memandang. Kejadiannya terlalu cepat!
Terdengar suara jeritan dari mulut Tan Ki. Lengan kirinya memutar di udara dan tibatiba
telapak tangannya menghantam. Jurus Tian Ping Tiang Ciang (Prajurit dan Jenderal
Langit) yang dikerahkan sangat aneh. Telapak tangannya meluncur dengan gerakan yang
berubah-ubah. Kadang-kadang seperti menepuk, kadang-kadang seperti mencengkram.
Ciu Cang Po merasa jurus yang dilancarkannya berbeda dengan orang lain. Seumur
hidup dia belum pernah melihat jurus seaneh ini. Bayangan tangannya berubah menjadi
puluhan. Dia sendiri tidak mengerti bagian tubuh sebelah mana yang diincar oleh anak
muda itu. Hatinya menjadi tercekat. Cepat-cepat dia menarik kembali serangannya.
Dia tidak tahu bahwa ilmu yang digunakan oleh Tan Ki adalah salah satu jurus dari Tian
Si Sam-sut. Dia hanya merasa kekuatan serangan ini kuat bukan main dan benar-benar di
luar dugaannya. Kenyataan ini membuatnya kebingungan bagaimana harus mengelakkan
diri ataupun menangkis. "Ternyata anak muda ini mempunyai beberapa macam kepandaian yang dapat
diandalkan," pikirnya dalam hati.
Begitu pikirannya tergerak, perasaan memandang ringan lawannya tersapu bersih
dalam hati. Dia memusatkan perhatian dengan sungguh-sungguh dan menyerang dengan
tongkatnya kembali. Serangannya ini lebih hebat dari yang pertama. Dia telah melipatgandakan tenaga
dalamnya. Dalam sekejap mata saja Tan Ki sudah terdesak sampai mengucurkan keringat
dingin. Dia hampir kehabisan tenaga untuk membalas serangan. Dalam keadaan yang
genting, kembali dia melancarkan jurus Tian Si Sam-sut yang lain yakni Tian Lo-te Bang
(Jerat Langit dan Bumi). Jurus ini tidak kalah aneh dengan yang sebelumnya. Lagi-lagi Ciu
Cang Po menjadi kelabakan dan terpaksa menarik kembali serangannya.
Beberapa jurus berlalu lagi. Semakin lama hati Ciu Cang Po semakin cemas.
"Kalau begini terus, sampai kapan aku bisa mengalahkannya" Jangan kata
membunuhnya, untuk menyentuh ujung lengan bajunya saja tidak ada peluang sama
sekali." katanya dalam hati. Tiba-tiba sebuah ingatan melintas di benaknya. Dia seperti sudah menemukan akal
yang baik. Di wajahnya tersirat hawa pembunuhan yang tebal. Cepat-cepat dia himpun
tenaga dalamnya dan menanti kesempatan yang baik. Ketika telapak tangan Tan Ki
meluncur ke arahnya, tiba-tiba tubuhnya berkelebat ke bagian punggung anak muda itu.
Sambil meraung terdengar raungan yang keras dan sebuah dengusan berat dalam waktu
yang hampir bersamaan. Tampak Tan Ki memuntahkan darah segar dua kali berturut-turut kemudian tubuhnya
terhempas di atas tanah. Rupanya ketika Ciu Cang Po bergerak dengan cepat, hatinya
sudah curiga. Dia segera memutar tubuhnya dan menghantamkan telapak tangannya.
Dengan meraung keras, Ciu Cang Po menggerakkan tangannya dan telapak tangannya
menghantam dengan kekuatan penuh yang telah dihimpun sebelumnya. Tenaga dalam
kedua orang itu memang terpaut terlalu jauh. Dengan cara mengadu pukulan
mengandalkan keras lawan keras, otomatis Tan Ki yang mendapat kerugian besar. Itulah
sebabnya dia langsung memuntahkan darah segar sebanyak dua kali.
Baik Kiau Hun maupun Mei Ling terkejut setengah mati. Keduanya langsung menjerit
kaget. Kiau Hun terlebih-lebih tidak dapat menahan perasaan hatinya. Air matanya yang
sudah mengering mulai mengalir lagi.
Dikiranya Tan Ki sudah mati. Tanpa berpikir panjang lagi, dia berlari menghambur ke
samping anak muda itu dan memeluknya sambil menangis meraung-raung. Suara
tangisannya lebih mirip ratapan kepiluan hatinya.
Mei Ling tidak tahu bahwa cinta kasih Kiau Hun sudah tercurah pada anak muda
tersebut. Senjata atau golok yang setajam apapun tidak akan bisa memutuskan benang
kasih yang ada dalam hatinya. Dia malah mengira Kiau Hun merasa berhutang budi karena
anak muda itu tadi telah menolongnya.
Ciu Cang Po berdiri tanpa bergeming sedi-kitpun. Wajahnya kelam dan tidak enak di
lihat. Tiga puluh tahun yang lalu, dia juga pernah menangis meratap sedemikian rupa. Dia
tidak menyangka kalau tiga puluh tahun kemudian, dia akan menyaksikan pemandangan
yang serupa di depan matanya. Malam semakin larut. Di luar jendela yang terlihat hanya kegelapan. Seakan sedang
meratapi nasib manusia yang demikian tragis dan menyayat hati. Tanpa sadar Ciu Cang Po
menarik nafas panjang. "Nasib yang dialami Hun Ji hampir sama dengan apa yang kualami tiga puluh tahun
yang lalu. Dia sudah cukup menderita. Mana boleh aku menepuk ubun-ubunnya untuk
memusnahkan ilmu silatnya. Bukankah hal ini berarti menambah penderitaan yang telah ia
rasakan sekarang?" pikirnya dalam hati.
Sembari berpikir, matanya melirik ke arah gadis itu. Kiau Hun sudah menghentikan
ratapannya. Wajahnya yang cantik saat itu seperti tidak memiliki perasaan apa-apa. Dia
sudah memastikan apa yang akan dilakukannya dan tidak ada seorangpun yang bisa
menghalangi. Kemudian, tampak gadis itu mengulurkan tangannya dan membopong tubuh Tan Ki.
Perlahan-lahan dia berjalan keluar dari ruangan tersebut. Langkah kakinya terasa demikian
berat. Lentera yang tergantung bergoyang-goyang. Seperti sedang menggelengkan kepala
melihat cinta kasih kedua pemuda-pemudi itu yang demikian mengenaskan"
*** (file google dokumen published by Saiful Bahri ...situbondo seletreng )***
Bagian 4 "Mau ke mana kau?" bentak Ciu Cang Po.
Kiau Hun yang baru sampai di depan pintu segera menghentikan langkah kakinya.
"Tecu akan mencari tabib yang sakti untuk mengobatinya?" kata-katanya berhenti.
Sinar matanya beralih sekilas ke arah Mei Ling. "Di dalam rumah Siocia, Tecu masih
merupakan murid engkau orangtua. Tetapi setelah melangkah keluar dari pintu ini, kita
tidak mempunyai hubungan apa-apa lagi" terhadap perhatian dan kasih sayang yang
telah Suhu curahkan, Tecu tidak akan melu-pakannya seumur hidup."
Perlahan-lahan dia membalikkan badan dan melangkah pergi.
Kata-katanya itu diucapkan dengan nada yang datar, dia seolah sudah tidak perduli lagi
terhadap mati hidupnya sendiri. Meskipun Ciu Cang Po sudah cukup berpengalaman di
dunia Kangouw, tetapi menghadapi urusan seperti ini, dia juga tidak tahu bagaimana
harus menyelesaikannya. Mei Ling segera maju beberapa langkah.
"Hun Moay, tunggu dulu!" panggilnya.
Kiau Hun memalingkan kepalanya. Bibirnya mengulum seulas tertawa yang sumbang.
"Suhu sudah tidak menginginkan aku, untuk apa lagi Siocia memanggilku?"
"Tidak, tidak. Suhu hanya sedang emosi karena perbuatanmu. Maka dia mengucapkan
kata-kata yang menyakitkan hatimu. Nanti kalau hawa amarahnya sudah padam, pasti dia
masih menganggap kau sebagai muridnya." kata Mei Ling gugup.
"Maksud baik Siocia, budak hanya dapat mengenangnya dalam hati. Tapi watak Suhu
bukannya kau tidak tahu. Apa yang sudah diucapkannya, selamanya tidak pernah di tarik
kembali?" Mei Ling menarik nafas panjang. "Sebetulnya, kau tidak perlu memukul Suhu hanya untuk menolong orang itu."
Kembali Kiau Hun tertawa sumbang. "Demi dirinya, aku rela berkorban apa saja."
Mei Ling jadi tertegun mendengar ucapannya. Dia merasa heran sekali.
"Kenapa" Kau toh tidak ada hubungan apa-apa dengannya?" nada suaranya seakan
tidak mempercayai kata-kata Kiau Hun.
Kiau Hun tertawa getir. Dia tidak mengatakan apa-apa. Perlahan-lahan dia
membalikkan tubuhnya dan meneruskan langkah kakinya. Tiba-tiba terlihat sesosok
bayangan berkelebat dan Ciu Cang Po sudah menghadang di depan pintu.
"Letakkan anak muda itu!" katanya tegas.
"Suhu, dia sudah terluka sedemikian parah. Apakah kau benar-benar menginginkan
kematiannya baru merasa puas?"
"Aku bilang letakkan!" bentak Ciu Cang Po.
Watak orang ini keras sekali. Kata-kata yang telah diucapkannya tidak pernah bisa
dirubah oleh siapapun. Mei Ling mengerti sekali sifat gurunya. Tampak dia menarik nafas
panjang. "Hun Moay, letakkan orang itu."
Kiau Hun merasa bimbang sejenak. Tadinya dia sudah hampir meletakkan tubuh Tan Ki
di atas tanah, tapi tiba-tiba dia menggertakkan giginya erat-erat.
"Tidak!" sahutnya tegas. "Bagus sekali, kau juga berani membantah apa yang akan kulakukan!" kata Ciu Cang
Po. Di wajahnya mulai tersirat hawa pembunuhan.
Kiau Hun seakan sudah dapat menduga bahwa sebentar lagi pasti akan terjadi sesuatu
yang mengerikan, namun penampilannya demikian datar dan tenang. Tidak tampak
sedikitpun ketakutan menjelang kematian.


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitu paniknya Mei Ling sampai-sampai dia terus menggigit bibirnya sendiri. Hatinya
terkejut sekali tetapi dia tidak tahu harus berbuat apa.
Tendengar suara dengusan dingin dari hidung si nenek kurus. Tongkat di tangannya
langsung dikibaskan ke kepala Kiau Hun. Hati Mei Ling tercekat melihat keadaan itu.
Tanpa sadar mulutnya mengeluarkan suara seruan terkejut.
Kiau Hun sama sekali tidak menghindar. Dia hanya memejamkan sepasang matanya
rapat-rapat dan menunggu datangnya dewa kematian. Sebetulnya hati gadis ini sadar
sekali, biarpun dia berusaha menghindar, tetapi tetap saja dia bukan tandingan Suhunya.
Dari pada dia melanggar dosa melawan guru, lebih baik dia menghadapi kematian dengan
perasaan tenang. Tampak tongkat Ciu Cang Po dengan gerakan yang cepat serta keji menyapu datang.
Tiba-tiba" Terdengar suara tertawa yang panjang berkumandang memenuhi seluruh ruangan.
Sesosok bayangan berkelebat di depan mata dan melewati bahunya. Kumandang suara itu
datangnya begitu mendadak. Gerakan tubuh orang itu tidak terduga-duga. kembali
terdengar suara benturan yang tidak seberapa keras, dan tahu-tahu Ciu Cang Po bersuit
marah sambil mundur tiga langkah. Hatinya tergerak, dia tahu di tempat itu telah
kedatangan seorang tokoh berilmu tinggi.
Pandangan matanya beralih, di hadapannya telah berdiri seseorang, rambutnya riapriapan.
Sebelah lengan bajunya koyak sebagian. Dia adalah seorang pengemis, pakaiannya
penuh tambalan. Tetapi karena dia berdiri membelakangi Ciu Cang Po, nenek kurus itu
tidak dapat melihat bagaimana tampang orang itu.
Ciu Cang Po memperhatikan orang itu lekat-lekat. Hatinya terkejut sekali. Serangan
yang dilancarkannya tadi paling tidak mengandung kekuatan sebesar ribuan kati. Tetapi
dengan mudah orang ini dapat menahan serangannya sehingga buyar begitu saja.
Pengalamannya mengatakan bahwa orang ini bukan tokoh sembarangan dan bukan lawan
yang dapat dipandang ringan. "Siapa kau?" bentaknya dengan suara keras.
"Pengemis tua! Orang-orang biasa memanggilku si lengan koyak. Lengan bajuku yang
koyak inilah yang menjadi lambang diriku."
Timbul sedikit perasaan tegang dalam hati Ciu Cang Po.
"Rupanya salah satu dari dua tokoh sakti di dunia. Nenek tua benar-benar beruntung
dapat berjumpa denganmu di tempat ini!"
Cian Cong mengibas-ngibaskan tangannya.
"Sudahlah, sudahlah. Tidak usah berbasa basi?" dia memperhatikan sejenak tongkat
aneh di tangan si nenek kurus. "Apakah kau yang dipanggil Ciu Cang Po?"
"Tidak salah!" "Sebetulnya apa kesalahan kedua bocah cilik ini sehingga kau ingin membunuh
mereka" Si pengemis tua sudah hidup sampai setua ini. Kecuali makan dan minum,
apapun tidak ada yang bisa kukerjakan. Tadi aku mendengar suara ribut-ribut, aku masih
mengira pasangan pengantin baru sedang bertengkar maka sengaja aku menyelinap ke
tempat ini untuk menyaksikan keramaian. Tidak tahunya seekor kucing tua sedang
menghina dua ekor tikus kecil. Malah tampaknya bangga sekali. Si pengemis tua paling
tidak biasa melihat pemandangan seperti ini. Oleh karena itu, aku terpaksa untuk
menanyakan persoalannya sampai jelas." kata Cian Cong panjang lebar.
Ciu Cang Po tertawa dingin. "Ini merupakan urusan pribadi keluarga kami, kau tidak perlu turut campur!" sahutnya
ketus. "Biar bagaimanapun si pengemis tua tetap ingin mencampuri urusan ini. Tidak bisa
tidak, harus ikut campur!" teriak Cian Cong.
Tampaknya dia seperti mengerti sekali kebiasaan Ciu Cang Po yang aneh dan angkuh.
Sengaja dia mengeluarkan kata-kata yang membuat amarahnya meluap. Benar saja! Ciu
Cang Po sampai menjingkrakkan kakinya berkali-kali saking jengkelnya.
"Bagaimana kalau aku tidak mengijinkannya?"
"Kalau perlu, kita tentukan lewat perkelahian." sahut Cian Cong.
Watak orangtua yang satu ini agak angin-anginan. Urusan main tinju atau pukul
baginya merupakan pekerjaan yang ringan. Atau mungkin semacam rekreasi yang
menyenangkan. Selesai berkata, wajahnya masih tetap tersenyum simpul seperti orang
yang tidak serius menantang lawannya. Tidak tampak sedikitpun kecemasan tersirat pada
mimik wajahnya. Pandangan Kiau Hun terpusat pada diri orangtua tersebut. Sinar matanya menyorotkan
perasaannya yang kagum sekali. "Kalau aku mempunyai setengah dari sikapnya yang tenang dan santai saja, apabila
bertemu dengan musuh tangguh kelak, berarti aku sudah menang satu langkah," pikirnya
dalam hati. Baru saja pikirannya tergerak, tiba-tiba dia merasa tubuh yang digendongnya bergeliatgeliat.
Rupanya Tan Ki sudah siuman dari pingsannya. Tampaknya dia sama sekali tidak
membayangkan kalau dirinya tersadar dari pingsan bisa berada dalam bopongan seorang
gadis. Begitu matanya memandang, wajahnya merah padam seketika. Perlahan-lahan ia
berusaha memberontak dan kemu-dian turun dari gendongan Kiau Hun.
Dalam keadaan panik, dia terlupa akan luka dalam yang dideritanya. Ketika sepasang
kakinya menginjak tanah, dia merasa dadanya sakit sekali. Hampir saja dia terjungkal ke
atas tanah. Untung saja jarak Mei Ling tidak jauh dengannya. Begitu melihat keadaan Tan Ki,
tangannya bergerak dengan cepat. Dia mengulurkan pergelangan tangannya dan
mencekal anak muda itu, meskipun demikian, Tan Ki sudah kesakitan sehingga
mengucurkan keringat dingin. Kepalanya berdenyutdenyut.
Tiba-tiba Mei Ling tersadar bahwa dirinya adalah seorang gadis suci, tentu tidak pantas
memeluk laki-laki seperti itu, wajahnya berona merah, cepat-cepat dia melepaskan
tangannya dan mundur setengah langkah.
Meskipun dia masih polos, tetapi segulungan perasaan jengah sebagaimana layaknya
seorang gadis tetap saja ada dan hal ini membuat wajahnya jadi tersipu-sipu.
Dengan santai Kiau Hun berjalan menghampiri. Dia memegang tangan Tan Ki dan
berdiri berendengan. Walaupun di sekitarnya terdapat beberapa orang tetapi dia tidak
merasa malu sedikitpun. Selamanya dia selalu beranggapan, seorang gadis atau wanita
juga mempunyai hak untuk menunjukkan rasa senangnya. Apa yang ingin dilakukan
kontan dilakukannya tanpa berpikir dua kali. Ia merasa tidak perlu berpura-pura, yang
akhirnya menyesal sendiri. Asal perbuatan yang tidak melanggar hukum Thian, boleh saja
dilakukan sesuka hati. Kedua gadis itu tumbuh besar bersama sejak kanak-kanak, tapi cara dan sikap dalam
melakukan sesuatu jauh berlainan. Kalau Mei Ling pemalu dan takut-takut dalam
bertindak, maka Kiau Hun supel serta romantis.
Tiba-tiba terdengar suara yang menggelegar!
Di antara Cian Cong dan Ciu Cang Po telah beradu tenaga dalam. Begitu kerasnya
sehingga meja dan kursi dalam kamar itu beterbangan ke mana-mana. Kedua orang ini
telah beradu keras lawan keras. Ciu Cang Po merasa telapak tangannya menjadi panas,
lambat laun terasa nyeri yang berdenyut-denyut. Serangkum tenaga berarus deras
menerpa datang dan tanpa dapat menahan diri lagi, dia tergetar mundur setengah
langkah. Sedangkan di pihak Cian Cong, sepasang alisnya mengerut. Tubuhnya bergoyanggoyang
sejenak. Begitu keduanya mengadu telapak tangan, kalah menang sudah dapat
ditentukan. Ilmu silat kedua orang ini sebetulnya hampir seimbang. Hanya Cian Cong lebih
tinggi segaris. Untuk sesaat keduanya berdiri terpaku dengan mata saling pandang. Mereka tidak
bergeming sedikitpun. Keduanya terpana oleh kehebatan ilmu silat yang dikuasai masingmasing
lawannya. Tentu saja mereka sadar telah bertemu dengan lawan yang setanding. Tampak kedua
pasang mata mereka menyorotkan sinar tajam bagai kilatan cahaya dan menatap lekatlekat
pada lawannya. Mata mereka mendelik tanpa berkedip sama sekali.
Apabila tokoh silat kelas tinggi saling bergebrak, kejadiannya berlangsung dengan
cepat. Begitu telapak tangan beradu, diri mereka segera berpencar kembali. Dalam
sekejap mata, mati hidup sudah dapat ditentukan.
Mereka berdua merupakan tokoh kelas tinggi yang sudah sulit dicari tandingannya di
dunia ini. Mereka sadar kelihaian masing-masing. Maka dari itu, setelah memencarkan diri,
mereka segera menghimpun tenaga kembali dan bersiap-siap untuk melancarkan
serangan. Awan bergerak dan angin berhembus. Pertandingan yang hebat segera akan
berlangsung. Setelah gelombang tegang yang pertama, kali ini malah terasa suasana sunyi
mencekam. Tidak ada seorangpun yang membuka suara.
Waktu merayap perlahan-lahan" Kedua tokoh kelas tinggi itu masih tidak bergerak sedikitpun. Siapapun di antara
keduanya tidak ada yang sudi mendahului lawannya melancarkan serangan. Mereka bagai
mengadu tingkat kesabaran dalam hati masing-masing.
Diam-diam Kiau Hun melirik Tan Ki. Pemuda itu sedang menatap Mei Ling dengan
terpesona. Matanya sampai tidak berkedip. Dari sinar matanya menyorot cahaya yang
aneh. Hati gadis itu menjadi tertegun. Harapannya yang bergairah menjadi mendatar
setengahnya. Dia tidak habis mengerti, dia sudah dua kali menempuh bahaya untuk menolong
pemuda ini, tetapi mengapa perhatiannya kepada Siocia lebih besar dan kesannya lebih
dalam" Kenapa" Apakah pemuda, ini juga belum paham, walaupun dia sudah mencetuskan perasaannya
lewat perbuatan dengan terang-terangan" Rasanya mustahil kalau dia tidak mengerti!
Kalau dikatakan bahwa pemuda itu merasa dia menyebalkan, mengapa dia membiarkan
tangannya dipegang" Akh" betul, Siocia adalah keturunan orang yang berada dan tokoh terkenal, sedangkan
aku hanya seorang pelayan yang menjual dirinya pada keluarga tersebut"
Dengan membawa pikiran demikian, hatinya langsung merasa pedih dan hancur
seketika. Akhirnya dia mengerti, pandangan orang di dunia ini hanya berdasarkan kulit
luarnya saja. Dengan menempuh bahaya, Kiau Hun telah menyelamatkan Tan Ki sebanyak
dua kali. Tetapi kesan yang ditimbulkannya toh masih kalah dengan asal-usul Mei Ling.
Padahal kesohoran dan kekayaan baginya hanya merupakan nama kosong saja.
Riwayat hidup Kiau Hun sangat mengenaskan. Perasaan rendah diri di dalam hatinya
otomatis lebih hebat daripada orang lain. Dengan membawa pikiran demikian, tanpa sadar
dia melepaskan pegangannya pada tangan Tan Ki. Perlahan-lahan dia melangkah mundur
dua tindak. Barusan dia sudah membayangkan hal-hal yang indah. Dia bersedia melewati hidup ini
dengan Tan Ki selama-lamanya. Berdua sampai tua dan tidak terpisahkan lagi"
Tetapi pada saat ini, ketika dia melepaskan genggaman tangannya dan melangkah
mundur, hatinya pun hancur berkeping-keping. Tan Ki tidak bergeming sedikitpun. Tadinya
dia bersandar pada diri Kiau Hun. Tetapi waktu ini, matanya sedang terpaku menatap Mei
Ling. Dia malah tidak merasakan ketika Kiau Hun melepaskan genggamannya.
Kiau Hun merasa hatinya dilanda serangkum kepedihan. Air mata sebesar kacang
kedelai menetes turun membasahi pipinya. Dia merasa kedudukannya lebih rendah
daripada orang lain. Nasib juga seakan dipermainkan oleh kedudukannya"
Otaknya melintas banyak penderitaan yang dialaminya, tanpa sadar dia tertawa
sumbang. Tawa di sudut bibirnya melambangkan ratusan kuntum bunga yang berguguran.
Pilu dan sendiri" Perlahan-lahan dia mengangkat lengan bajunya untuk menghapus air mata yang
berderai di pipinya. "Selamat tinggal, kekasih pujaanku?" ratapnya dalam hati. Pinggangnya yang kecil
melenggok, sebentar saja dia sudah menghambur keluar dari kamar tersebut. Dalam
sekejap mata bayangan tubuhnya sudah menghilang.
Seorang gadis yang malang telah pergi. Kepergiannya tanpa menimbulkan suara
sedikitpun. Juga tidak seorangpun yang menahan kepergiannya. Seumur hidup dia belum
pernah mencelakai siapapun. Tetapi, ketika dia pergi secara diam-diam, hatinya yang
hancur berkeping-keping pun mengikuti langkah kakinya yang berat.
Sementara itu, di dalam kamar berkumandang dua kali suara yang menggelegar!
Cian Cong dan Ciu Cang Po sudah mengadu pukulan lagi. Keduanya merupakan tokoh
kelas tinggi dunia Bulim. Kehebatan serangan maupun kekuatan tenaga dalam serta cara
memukul maupun menahan diri, tidak ada satu pun yang dapat dipandang ringan dan
semuanya mengandung kekejian yang mengerikan.
Suara pukulan menghempas-hempas. Bayangan tongkat membuat mata berkunangkunang,
tampak bayangan kedua orang itu kadang melesat ke udara dan kadang
melayang turun kembali. Kadang berputaran dengan cepat dan kadang berjungkir balik
membuat salto di udara. Mei Ling terpesona sekali memandang pertandingan tersebut.
Berkali-kali tanpa sadar dia bertepuk tangan dan berseru. Bagus!
Pandangan mata Tan Ki masih terpusat pada wajahnya. Seakan dia sedang mencari
sesuatu yang masih belum ditemukannya sejak tadi. Tiba-tiba Mei Ling memalingkan
wajahnya dan menatap ke arahnya. Saat itu juga dua pasang mata bertemu. Mereka
berdua merasa hatinya tergetar. Cepat-cepat keduanya memalingkan wajah ke arah yang
lain. Dalam waktu yang bersamaan, mereka berdua merasakan wajahnya menjadi panas dan
rona merah menjalar sampai ke leher. Mereka bagaikan baru meminum beberapa cawan
arak dan hatipun berdebar-debar. Sampai saat itu, Tan Ki. baru menyadari kepergian Kiau Hun. Mulutnya mengeluarkan
suara seruan terkejut dan dia segera membalikkan tubuhnya meninggalkan tempat
tersebut. Dia sadar isi perutnya terluka cukup parah. Itulah sebabnya dia tidak berani
berlari namun berjalan perlahan-lahan.
Mei Ling tidak tahu untuk apa dia keluar dari ruangan tersebut. Hatinya menjadi
penasaran dan dia pun membuntuti dari belakang. Toh Suhunya sedang bertanding
dengan Cian locianpwe. Ilmu silat keduanya hampir seimbang. Dalam waktu yang singkat,
tentu sulit menentukan siapa yang akan kalah dan siapa yang akan meraih kemenangan.
Di bagian depan, Tan Ki melangkah dengan perlahan-lahan. Dalam sekejap mata dia
sudah sampai di taman bunga. Tampak cahaya keperakan berkilauan, ratusan bintang
bertaburan di langit. Sungguh malam yang indah.
Segulungan angin yang lembut membawa keharuman bunga yang berlainan jenis. Di
dalam taman itu ditanami bermacam-macam jenis bunga yang indah. Pemandangannya
membuat orang terlena. Tan Ki seperti tidak tertarik dengan keindahan pemandangan yang terbentang di hadapannya.
Dia hanya ingin menemukan Kiau Hun secepatnya. Dia berjalan lagi beberapa
depa. Ehem! Begitu matanya memandang, tampak sesosok bayangan hitam berdiri
mematung di bawah sebatang pohon yang rimbun. Dia adalah seorang gadis yang berdiri
memunggunginya. Badannya langsing. Tampaknya usia orang ini tidak lebih dari delapan
belas atau sembilan belas tahunan. "Cen kouwnio"!" panggil Tan Ki sambil menghambur ke arahnya. Dia tidak berani
berteriak terlalu keras karena takut akan mengejutkan Bu Ti Sin-kiam Liu Seng. Kalau
sampai asal-usulnya terbongkar, tentu akan datang banyak kesulitan bagi dirinya. Oleh
karena itu sapaanya hanya lirih saja.
Mendengar panggilannya, gadis itu membalikkan tubuh. Begitu Tan Ki memandang, dia
menjadi tertegun. Pinggangnya memang ramping dan kecil. Pakaiannya berwarna hitam.
Di punggungnya terselip sebatang pedang panjang. Sepasang matanya menatap Tan Ki
dengan curiga. Tapi dia bukan Kiau Hun yang dicari oleh anak muda tersebut.
Setelah tertegun beberapa saat, lambat laun Tan Ki mengundurkan langkah kakinya.
"Tunggu dulu!" terdengar suara bentakan gadis itu yang dingin dan berat.
Hati Tan Ki tergetar. Namun dia segera menghentikan langkah kakinya. Tampaknya
nyali gadis berpakaian hitam itu sangat besar. Dia langsung melangkahkan kakinya
menghampiri. Dalam jarak kira-kira tiga empat cun, dia berhenti.
"Apa hubunganmu dengan keluarga Liu?" tanyanya ketus.
"Tidak ada hubungan apa-apa." sahut Tan Ki.
Perlahan-lahan bibir gadis itu mengembangkan seulas senyuman.
"Bagaimana caranya membuktikan bahwa kata-katamu itu bukan dusta belaka?"
Tan Ki menjadi termangu-mangu. "Mengapa harus dibuktikan" Aku dan engkau toh tidak saling mengenal?" dia berhenti
sejenak, kemudian melanjutkan kembali. "Aku sedang mencari seseorang."
Tiba-tiba gadis itu tertawa dingin.
"Seumur hidupku, paling jarang aku sembarangan berbicara dengan orang lain. Malam
ini aku melanggar pantangan dan berbicara agak banyak denganmu. Lebih baik kau
tinggalkan tempat ini secepatnya. Jangan sampai menempuh bahaya yang tidak
diinginkan. Aku lihat usiamu masih muda, tidak tampak seperti orang Kangouw. Itulah
sebabnya aku menasehatimu. Urusan malam ini sangat berbahaya dan lain dari
biasanya?" "Benar?" mendengar ucapannya, Tan Ki terkejut sekali.
"Kemungkinan iblis yang gemar membunuh orang itu akan datang kembali. Aku justru
sedang menantikannya di sini." sahut gadis itu.
"Apakah yang Kouwnio maksudkan adalah Cian bin mo-ong?"
"Tidak salah." Diam-diam Tan Ki menghela nafas lega. Mimiknya yang tegang pun rada mengendur.
"Aku justru sedang berdiri di hadapanmu." katanya dalam hati.
Sementara itu, gadis berpakaian hitam mengibaskan tangannya perlahan-lahan.
"Cepat pergi, jangan mengoceh sembara-hgan di sini."
Tampaknya watak gadis ini sangat tidak sabaran. Malah terkesan agak angkuh. Ketika
berbicara wajahnya sudah mulai tampak garang. Kalau saat itu Tan Ki masih tidak pergi
juga, kemungkinan akan mendapat gebukan darinya.
Oleh karena itu, Tan Ki segera mengembangkan seulas senyuman dan membalikkan
tubuh meninggalkan tempat tersebut. Tujuannya hanya ingin mencari Kiau Hun, dia tidak
ingin ada masalah lain yang timbul. Lagipula luka dalamnya masih belum sembuh.
Tenaganya pun masih belum dapat dikerahkan sepenuhnya.
Tampaknya dia masih belum sadar kalau Mei Ling masih membuntutinya dari belakang.
Setelah mencari kurang lebih sepeminuman teh lamanya, akhirnya dia melihat bayangan
hitam seorang gadis.

Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gadis itu terus mondar-mandir di bawah tembok pekarangan. Dia memang Kiau Hun
adanya. Tampangnya mengenaskan sekali. Perasaannya bagaikan tertekan. Tiba-tiba Tan
Ki merasa jantungnya berdebar-debar. Hatinya tegang sekali. Setelah bimbang sejenak,
akhirnya dia melangkah perlahan-lahan mendekati.
"Cen Kouwnio." panggilnya lembut.
Mulut gadis itu mengeluarkan suara desahan dan tubuhnya seperti bergetar. Hatinya
merasa terharu. Banyak sekali kata-kata yang ingin diucapkannya, tetapi tidak ada
sepatahpun yang keluar dari mulutnya.
Tan Ki juga memandanginya dengan termangu-mangu. Dia tidak tahu harus bagaimana
memulai percakapan. Di bawah sorotan cahaya rembulan, dua bayangan tubuh rebah di
atas rerumputan tanpa bergeming sedikitpun.
Sinar mata keduanya saling tatap menatap. Mereka seakan sedang mengukir wajah
lawan jenisnya agar terlekat di dalam hati. Sampai lama tidak ada seorangpun yang
membuka suara. Dalam keheningan" saat ini suasana menjadi mencekam. Begitu
sunyinya sehingga terdengar desahan nafas dan degupan jantung kedua orang tersebut.
Perasaan kaum perempuan biasanya memang lebih peka. Mei Ling yang bersembunyi di
balik gunung-gunung buatan mendadak mengerti apa yang sedang berlangsung di
hadapannya. Dia merasa bergairah menghadapi situasi seperti ini. Juga merasa penasaran.
Tetapi hatinya sangat baik dan sifatnya polos, maka dia seperti samar-samar mengerti
tentang urusan hati laki-laki dan perempuan. Dia tidak pernah membayangkan yang
bukan-bukan. Lama"! Lama sekali" Tan Ki mencoba membangkitkan keberaniannya.
"Cen Kouwnio, atas budi pertolonganmu tadi, suatu hari pasti akan kubalas?"
"Apakah hanya beberapa patah kata itu yang ingin kau ucapkan kepadaku?"
Tan Ki mendongakkan kepalanya. Dia tiba-tiba merasa bahwa dalam pancaran sinar
mata Kiau Hun terkandung perasaan yang hangat dan penuh harapan. Hatinya perlahanlahan
mulai tergetar. Cepat-cepat dia palingkan wajahnya ke tempat lain dan tidak berani
memandang lagi ke arah Kiau Hun. Setelah hening sesaat lagi, tiba-tiba telinganya mendengar suara yang lembut namun
mengenaskan. "Tan Siangkong, kau kira mengapa aku menempuh bahaya kematian untuk menolong
dirimu?" "Atas perhatian Kouwnio yang dalam, Cayhe pasti akan membalasnya." sahut Tan Ki.
Kiau Hun tahu dia sengaja mengalihkan diri dari pokok pertanyaannya. Yang
dijawabnya malah urusan yang lain. Tanpa sadar dia mengembangkan seulas senyuman
yang pilu. Perlahan-lahan dia menarik nafas panjang.
Dia mengerti bahwa Tan Ki tidak mempunyai perasaan apapun terhadap dirinya. Tentu
saja, hal ini karena riwayat hidupnya yang hina dan membuat orang lain menganggapnya
rendah. Tapi bagaimanapun dia tidak habis pikir mengapa dirinya bisa mencintai pemuda
itu demikian dalam" Kenapa"
Apakah percintaan antara seorang pemuda dan pemudi demikian rumitnya dan begitu
anehnya sehingga dia sendiri tidak sanggup memberi penjelasan kepada dirinya sendiri"
"Orang dulu sering mengatakan jatuh cinta pada pandangan pertama, mungkin hal
inilah yang terjadi pada diriku sekarang." pikirnya dalam hati.
Mengingat hal itu, kembali dia tertawa getir. Tampangnya menjadi muram tanpa
semangat sedikitpun. Tiba-tiba dia seperti mengingat suatu hal, bibirnya tersenyum.
"Tan Siangkong, kau mengatakan bahwa kau kelak akan membalas budiku. Entah
bagaimana cara kau membalasnya?" tanyanya.
Tan Ki benar-benar merasa di luar dugaan bahwa dia akan mengajukan pertanyaan
seperti itu. Dia tertegun beberapa saat.
"Satu budi dibalas satu kali. Ini sudah pasti. Tetapi bagaimanapun harus dilihat dari
situasi yang akan dihadapi kelak. Sekarang ini apabila Cayhe disuruh menjelaskan, tentu
saja belum bisa." sahutnya kemudian.
Kiau Hun tersenyum. "Tidak usah menunggu sampai kelak. Sekarang juga sudah ada, asal kau bersedia
saja." katanya. "Cayhe bersedia mendengar penjelasan Kouwnio. Asalkan Cayhe dapat melakukannya,
tentu permintaan Kouwnio tidak akan ditolak."
Kiau Hun mengangkat tangannya dan merapikan rambutnya yang terurai angin.
Tampak mimik wajahnya seperti tersipu-sipu.
"Aku tidak menginginkan apa-apa darimu. Hanya" hanya ingin meme"luk dirimu
sekejap." katanya dengan suara lirih.
Wajah gadis itu menjadi merah padam, kepalanya tertunduk dalam-dalam dan seperti
orang yang kemaluan. Tan Ki sama sekali tidak membayangkan bahwa kata-kata seperti
itu dapat terucap dari mulut seorang gadis. Hatinya terkejut sekali. Untuk sesaat dia tidak
sanggup menyahut sepatah katapun. Kiau Hun tetap menunggu. Lama sekali dia tidak mendapat jawaban dari Tan Ki.
Perlahan-lahan dia mendongakkan wajahnya dan bertanya dengan suara yang hampir
tidak terdengar. "Tan Siangkong, apakah kau tidak bersedia memenuhi permintaanku?"
Suaranya demikian pilu, bagai ucapan syair seseorang yang sudah putus asa. Siapa pun
yang mendengarnya pasti turut merasa pilu. Sinar mata Tan Ki bertemu pandang
dengannya sekilas. Tiba-tiba dia menyadari bahwa sorotan matanya mengandung harapan
yang besar. Juga tersirat kepedihan yang tidak terkatakan, hatinya menjadi lemah, dia
tidak tega menyakiti perasaan gadis itu. Oleh karena itu cepat-cepat dia memejamkan
matanya dan menarik nafas panjang. "Baiklah, aku bersedia memenuhi permintaanmu?" belum lagi ucapannya berhenti,
tiba-tiba dia mengendus keharuman yang terpancar dari rambut Kiau Hun.
Matanya dipejamkan rapat-rapat, dia tidak dapat melihat pemandangan apapun.
Namun dia tetap seorang manusia hidup yang mempunyai perasaan peka. Dia merasa di
dadanya menempel sesosok tubuh yang lembut. Yang mana dengan perlahan-lahan
bersandar padanya. Perasaannya bagai dihinggapi kegairahan yang panas dalam waktu
seketika. Dikatupnya rahangnya erat-erat. Hawa murni ia himpun segera. Diam-diam dia
berusaha mengosongkan pikiran agar gairah yang tidak menentu dapat tersapu bersih.
Namun biar bagaimanapun Tan Ki juga seorang perjaka yang belum pernah berpelukan
dengan seorang perempuan. Meskipun dia sudah berusaha sekuat kemampuan, perasaan
aneh itu tidak dapat dihilangkan sampai tuntas. Dia merasa gadis itu memeluknya
demikian erat seperti takut sekali kehilangan dirinya.
Sambil memeluk anak muda itu erat-erat, perlahan-lahan Kiau Hun mendongakkan
wajahnya. Matanya menatap Tan Ki lekat-lekat dengan pandangan sayu dan kelopak
mengembangkan air mata. Dia seakan takut Tan Ki akan lenyap dari pandangannya"
Tetapi, apa yang diharapkannya, pada saat itu juga telah memberinya kepuasan yang
tidak terkirakan. Lambat laun, bibirnya mengembangkan seulas senyuman penuh
penderitaan. Hatinya sadar, kelak dia harus meninggalkan anak muda ini untuk selamalamanya.
Dia berharap dapat memperoleh kelembutan dan kasih sayang sesaat dari pelukan itu.
Kelak, dia tidak mungkin punya harapan dari permohonan lagi, dia ingin menggunakan
waktu yang singkat ini dan menjadikan kenangan yang tidak akan terlupakan olehnya
seumur hidup. Cahaya rembulan yang terang menyoroti bayangan mereka. Satu panjang dan yang
satu pendek" Mei Ling melihat apa yang sedang berlangsung di hadapannya dari tempat persembunyiannya.
Sepasang matanya yang indah membelalak lebar-lebar. Semacam perasaan
yang aneh seperti kehampaan tiba-tiba merasuki hatinya. Lambat laun dia merasa
wajahnya menjadi panas membara. Dia sendiri tidak dapat menguraikan apa yang tersirat di hatinya saat itu. Dia hanya
merasa bahwa yang terpendam dalam hatinya pasti adalah sesuatu hal yang memalukan.
Kemudian, pandangan di depan matanya membuat hatinya berdebar-debar, jantungnya
berpacu dengan cepat. Dia merasa bergairah namun jengah.
Kurang lebih sepeminuman teh kemudian, perlahan-lahan Tan Ki mendorong tubuh
Kiau Hun. "Cen Kouwnio, ke mana tujuanmu setelah ini?" tanyanya lembut.
Kiau Hun tertawa sumbang. "Suhu sudah mengusir aku dari pintu perguruan. Aku sendiri juga tidak tahu ke mana
tujuanku. Pokoknya di mana aku sampai, di sanalah tujuanku." sahutnya pilu.
"Di mana orangtuamu?" "Mereka sudah meninggal."
Tan Ki menarik nafas panjang. "Meskipun kolong langit ini luas sekali, jalanan juga sangat panjang. Tetapi kau tidak
mempunyai rumah untuk kembali?"
Pada saat itu juga, perasaan ibanya terhadap Kiau Hun terbangkit seketika. Setelah
berhenti sejenak dia baru meneruskan kembali kata-katanya. "Sama halnya dengan diriku,
aku juga termasuk yatim piatu. Meskipun aku mempunyai seorang kakak misan yang
menikah di daerah Barat, sayangnya sudah lama sekali aku tidak berjumpa dengannya.
Entah sekarang dia masih hidup atau sudah mati."
"Apakah Tan Siangkong bermaksud mencarinya?" tanya Kiau Hun.
"Betul." Hati Kiau Hun menjadi gembira. "Bagaimana kalau kita jalan bersama?" tukasnya segera.
Watak gadis ini sangat terbuka. Apa yang dipikirkannya dalam hati langsung
dicetuskannya keluar. Lagipula, Tampaknya dia masih belum putus asa mendekati Tan Ki.
Cintanya yang dalam kemungkinan sudah mencapai titik akhir.
Siapa kira, sikapnya yang berani dan terus terang justru membuat Tan Ki merasa tidak
tenang. Dia menggelengkan kepalanya berkali-kali.
"Urusan ini boleh sih boleh saja, tetapi di daerah ini aku masih ada beberapa macam
urusan yang harus diselesaikan?"
Kiau Hun tidak membiarkan dia melanjutkan kata-katanya.
"Aku bisa menunggu." tukasnya cepat.
Mendengar ucapannya, Tan Ki merasa serba salah. Biar bagaimana dia merupakan
wujud asli dari Cian bin mo-ong, mana mungkin dia membiarkan orang tahu identitas
dirinya. Apabila dia berjalan bersama-sama gadis itu, ada kemungkinan rahasianya bisa
terbongkar. Namun melihat tampangnya yang mengenaskan dan penuh harapan, dia
merasa tidak sampai hati menolaknya. Di tundukkannya kepala dalam-dalam sambil
berpikir. Akhirnya dia menarik nafas panjang.
"Boleh juga, sementara ini kau cari penginapan di tengah kota dan tunggu di sana.
Setelah urusanku selesai, aku akan menemuimu di tempat itu."
Kiau Hun segera tersenyum manis. "Baik, aku akan menunggumu. Sehari kau tidak datang, aku menunggumu satu hari.
Sepuluh hari kau belum datang, aku akan menunggumu sepuluh hari. Seumur hidup kau
tidak datang, aku akan menunggumu seumur hidup." sahutnya.
Air matanya yang sebesar kacang kedelaipun menetes turun dengan deras. Tan Ki
mengulurkan tangan kanannya dan dengan lembut mengusap air mata di pipinya.
"Jangan curiga, aku bukan manusia semacam itu." katanya menghibur.
Sembari menangis, Kiau Hun mengembangkan seulas senyuman.
"Aku pergi sekarang, aku akan menunggu di sebelah barat kota setiap hari." dia
membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi. Sekejap saja bayangannya sudah
menghilang dari pandangan. Orangnya memang sudah pergi, tetapi cinta kasihnya yang dalam masih tertinggal. Tan
Ki memandangi bayangan punggungnya sampai menghilang di kejauhan. Dia berdiri
termangu-mangu sesaat. Kemudian dia melangkahkan kakinya yang berat dan kembali ke
rumah Mei Ling. Dia masih tidak sadar bahwa Mei Ling sudah mendahuluinya beberapa saat. Sekejap
mata dia sudah sampai di kamar gadis itu. Begitu mata memandang, dia melihat Cian
Cong dan Ciu Cang Po masih bertarung dengan sengit.
Ini merupakan pertarungan kelas tinggi di antara dua tokoh yang namanya sudah
menggetarkan dunia persilatan! Meskipun dalam hal tenaga dalam Cian Cong masih menang setingkat dari Ciu Cang Po,
tetapi mengenai jurus pukulan ataupun tendangan, sulit membandingkan siapa yang lebih
hebat diantara keduanya. Sampai saat ini, ribuan jurus telah berlalu, namun masih belum tampak pihak mana
yang akan tumbang terlebih dahulu. "Bertarung dengan cara seperti ini, sampai kapan baru ada penyelesaiannya?" kata Tan
Ki dalam hati. Pikirannya masih bertanya-tanya, tiba-tiba"
Ciu Cang Po mengeluarkan suara suitan panjang. Tongkatnya yang aneh melancarkan
tiga jurus berturut-turut, Cian Cong sampai terdesak mundur sejauh dua langkah. Nenek
itu pun segera melesat keluar dari arena.
"Tunggu dulu!" bentaknya.
Cian Cong mendelikkan sepasang matanya lebar-lebar.
"Teriak apa, si pengemis tua masih belum puas berkelahi!" sahutnya kesal.
Wajah Ciu Cang Po semakin kecut. Dia menunjuk ke arah luar jendela.
"Coba kau lihat, sekarang sudah waktu
apa?" Cian Cong mengikuti arah telunjuknya. Tanpa sadar mulutnya berseru terkejut.
"Akh" rupanya sudah pagi. Masa bodoh! Pokoknya kita harus bertarung lagi sebanyak
tiga ratus jurus!" sepasang telapak tangannya memutar, dia sudah bersiap-siap
melancarkan sebuah serangan. Tiba-tiba terdengar suara teriakan yang lantang"
"Locianpwe, harap berhenti sebentar!" kumandang suaranya masih belum sirap, dari
luar kamar telah terdengar suara derap langkah kaki.
Tampak bayangan berkelebat, secara berturut-turut masuk tiga orang ke dalam kamar
itu. Tan Ki menolehkan kepalanya. Pertama-tama masuk Bu Ti Sin-kiam Liu Seng ke dalam
kamar dengan tergesa-gesa. Ciong San Suang-siu, Cu Mei dan Yi Siu mengikuti di
belakangnya. Tenyata Cian Cong mempunyai sikap yang ugal-ugalan. Dia tidak pernah
memperdulikan segala tata krama atau etiket. Seorang diri dia berjalan ke taman bunga
dan kemudian duduk terkantuk-kantuk di tempat tersebut. Tadi malam secara berturutturut
Ciu Cang Po memukul hancur tiang penyangga loteng dan beberapa pot bunga serta
pajangan di dalam kamar Mei Ling. Kegaduhan itu membuat si pengemis sakti yang paling
benci segala macam kejahatan jadi tergugah. Oleh karena itu, dalam keadaan yang
membahayakan, dia keburu muncul sehingga jiwa Kiau Hun dan Tan Ki sempat tertolong
olehnya. Tetapi, meskipun dia sudah lama menggetarkan dunia persilatan serta dikagumi orang
banyak, namun dia mempunyai semacam kebiasaan yang menyebalkan. Yaitu gaya
hidupnya yang santai. Dia boleh tidak tidur atau berkelahi selama tiga hari tiga malam.
Tetapi kalau suruh orangtua ini tidak makan setengah harian saja, dia merasa lebih baik
dibunuh mati. Belum lagi seleranya yang tinggi. Dia tidak dapat makan kalau tidak ada
daging ayam, ataupun arak bagus. Setiap hari menjelang pagi, selera makannya justru
bertambah besar. Secara diam-diam dia menyelinap ke dalam dapur dan makan serta
minum sepuasnya. Dengan demikian dia baru dapat mempertahankan diri dan tidur
nyenyak. Kalau tidak, entah rumah makan besar atau kedai arak mana yang akan tertimpa
kesialan karena dapur mereka kebobolan. Pemilik rumah makan atau kedai tersebut malah
mengira kalau tempat mereka telah digerayangi siluman serigala.
Liu Seng paham sekali kebiasaan orangtua ini, itulah sebabnya setiap malam dia
menyuruh para pelayannya menyiapkan hidangan yang lezat serta arak yang harum di
dapur. Siapa tahu pagi ini ketika dia melongok ke dapur, hidangan dan arak masih belum
tersentuh sedikitpun. Berdasarkan pengalamannya yang luas, Liu Seng segera merasa
telah terjadi sesuatu yang tidak beres. Dengan tergesa-gesa dia mengajak Ciong Sang
Suang-siu mencari ke taman bunga. Kebetulan dia mendengar suara perkelahian dan
segera menuju kamar Mei Ling. Ciu Cang Po melihat pihak lawannya telah kedatangan bala bantuan, langsung tertawa
dingin. Tapi dia tidak mengucapkan sepatah kata pun.
*** (file google dokumen published by Saiful Bahri ...situbondo seletreng )***
BAGIAN V "Hayo jawab, hayo jawab! Nenek pengemis, si pengemis tua sedang menunggu kau
membuka mulut emasmu!" Cian Cong memalingkan wajahnya sambil mendelik lebar-lebar. "Urusan si pengemis
tua kalian jangan ikut campur!" bentaknya.
Sekali lagi Ciu Cang Po tertawa dingin.
"Kentungan ketiga malam ini, aku akan menantikanmu di sebelah Barat kota, tepatnya
di rumah makan Cui Sian Lau!" Mata nenek itu segera beralih pada diri Tan Ki.
"Terlalu enak membiarkan kau hidup sehari lagi!" gumamnya sambil melotot. Tubuhnya
berkelebat dan dalam sekedipan mata dia sudah menghilang dengan menerobos
jendela kamar. Kegesitan dan kecepatan gerakannya membuat para hadirin meleletkan lidah saking
kagumnya. Terdengar Cian Cong bersin satu kali. Dia mengelus-elus perutnya dan
bergumam seorang diri, "Kalau tidak berkelahi, cacing arak si pengemis tua ini mulai bertingkah lagi."
Tentu saja Liu Seng mengerti bahwa ucapan itu ditujukan kepadanya. Dia segera
menjura dalam-dalam. "Sekarang juga Boanpwe akan menyuruh para pelayan menyiapkan." dia langsung
membalikkan tubuh dengan maksud menepati ucapannya. Tiba-tiba terdengar Cian Cong
berkata" "Bagus sekali, si pengemis tua kalau sudah datang malasnya, rasanya sudah tidak
kepingin bergerak sedikitpun. Suruh saja pelayanmu mengantarkan makanan dan arak ke
mari." Liu Seng langsung tertegun mendengar ucapannya. Tingkahnya jadi serba salah. "Ini"
ini kamar peristirahatan putri?" Cian Gong langsung mendelik lebar-lebar.
Dengan tampang tidak senang dia berkata"


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa sih kamar peristirahatan atau kamar tidur, kalau si pengemis tua hatinya senang,
mungkin bocah perempuan ini akan diterima sebagai murid." tanpa memperdulikan yang
lainnya, dia langsung menjatuhkan diri di atas tempat tidur Mei Ling.
Tempat tidur itu indah dan kasurnya lembut dengan kelambu yang terbuat dari kain
sulaman yang mahal. Tanpa memperdulikan pakaiannya yang kotor dan koyak, seenak
perutnya dia rebah dan memejamkan mata, kenikmatan. Liu Seng menundukkan
kepalanya sambil merenung tanpa mengucapkan sepatah katapun. Perlahan-lahan Cu Mei
menjawil ujung lengannya sembari memberi isyarat dengan kedipan mata. Akhirnya ketiga
orang itu keluar dari kamar tersebut.
Cian Cong melepaskan kendi arak dari selipan ikat pinggangnya. Mula-mula dia meneguk
arak sebanyak dua tegukan dan kemudian ditutupnya kembali, lalu diletakkan di
belakang kepala sebagai bantal. "Bocah perempuan, ke mari dan tonjokkan paha si pengemis tua yang terasa pegal ini!"
teriaknya. Mendengar permintaannya, Mei Ling segera menghampiri. Dia duduk di tepi tempat
tidur dan memukul paha Cian Cong dengan kepalan tangannya yang mungil secara bergantian.
"Bocah busuk, apakah lenganmu tidak patah terkena pukulan si nenek pengemis tadi?"
teriak Cian Cong dengan nada menggerutu.
Tan Ki mengiakan dengan suara lirih. Dengan tergesa-gesa dia menghampiri. Tapi karena
Mei Ling menghalangi jalannya, dia terpaksa melepaskan sepatu dan naik ke atas
tempat tidur. Dia mengendus serangkum bau harum yang samar-samar. Keletihannya sepanjang
malam bagai sirna dan pikirannya jadi ikut tergetar. Sudah tentu bau harum itu terpancar
dari tubuh Mei Ling. Cian Cong memperhatikan dirinya dari atas kepala sampai ke bawah kaki. Tiba-tiba
sepasang alisnya menjungkit ke atas.
"Bocah cilik, usiamu masih begitu muda, mengapa memakai jubah semacam itu" Mana
lebar mana kedodoran, seperti yang biasa dikenakan oleh orangtua. Ketika pertama kali
melihat dirimu, si pengemis rasanya tidak asing, tetapi sekarang malah lupa siapa yang
memakai jubah seperti ini." Hati Tan Ki tercekat. "Orangtua ini tampaknya ugal-ugalan, tetapi sikapnya teliti seekali. Sekali lihat saja dia
sudah tahu bahwa pakaian ini bukan milikku. Untung saja dia masih belum menyadari
bahwa aku yang menyamar sebagai Tian Tai Tiau-siu. Saat itu aku juga mengenakan
pakaian yang sama." pikirnya dalam hati.
Hatinya tergerak, mulutnya malah tidak berani menyahut sepatah katapun. Dia tidak
ingin Cian Cong sampai memperpanjang masalah itu yang akhirnya rahasia samarannya
mungkin akan terbongkar. Terdengar Cian Cong menghembuskan nafas panjang.
"Si pengemis tua sudah bertahun-tahun tidak pernah merasakan kesenangan seperti
ini. Ah" rasanya nyaman sekali?" tiba-tiba sepasang alisnya mengerut kembali. Dia
seperti teringat akan sesuatu hal. Cepat-cepat dia melanjutkan kata-katanya. "Tadi malam
ketika kau menyelinap pergi, apakah kau bertemu dengan seorang gadis berpakaian hitam
yang dipunggungnya terselip sebatang pedang panjang" Kalau si pengemis tua tidak salah
menerka, kau pasti kena caci makinya."
Tan Ki tidak menyangka bahwa Cian Cong yang sedang bertarung dengan sengit tadi
malam masih sempat melihat dengan jelas apa yang terjadi di sekitarnya. Hatinya terkejut
sekali. "Apa" Locianpwe telah menyaksikan semuanya?"
Cian Cong tertawa lebar. "Kalau si pengemis tua sudah menyaksikan terlebih dahulu baru berbicara, namanya
bukan kepandaian lagi." Tan Ki menganggukkan kepalanya berkali-kali.
"Ketemu sih memang benar, tetapi tidak terkena caci makinya."
"Gadis berpakaian hitam itu, di daerah Utara, Barat dunia Kangouw paling terkenal
sebagai manusia yang tidak kenal aturan. Siapapun yang bertemu dengannya berarti di
timpa kesialan, kalau hanya memaki beberapa patah kata saja masih tidak aneh."
"Kalau mendengar ucapan Locianpwe, tampaknya kena caci maki gadis itu beberapa
patah kata adalah hal yang lumrah. Kalau Boanpwe tidak melihat dia seorang gadis, ingin
rasanya memberi pelajaran sedikit biar jera."
"Gadis itu paling susah dihadapi, lebih baik kau jangan mencari gara-gara dengannya."
kata Cian Cong. "Apakah Locianpwe mengenalnya?"
Cian Cong mengambil hiolo araknya kembali dan meneguk setegukan besar. Bibirnya
tersenyum. "Si pengemis tua tidak takut langit dan bumi, tapi terhadap bocah perempuan ini justru
kepala selalu pusing. Aku saja tidak berani mencari perkara dengannya, kau terlebih-lebih
tidak boleh. Kalau tidak, pasti akan ketemu batunya?"
Sikap Tan Ki pada dasarnya keras kepala dan angkuh. Mendengar nada bicaranya yang
begitu hebat menggembar-gemborkan kegalakan si gadis berpakaian hitam, semangatnya
malah terbangkit dan semakin penasaran.
"Kalau begitu, apabila kelak bertemu dengannya lagi, Boanpwe justru ingin meminta
pelajaran darinya." Cian Cong tertawa terbahak-bahak. "Emosi si bocah busuk ini cepat juga terbangkitnya" oh ya, kita sudah bicara panjang
lebar, si pengemis tua masih belum tahu siapa namamu dan nama gurumu yang mulia?"
"Boanpwe She Tan dengan nama tunggal Ki. Sedangkan nama Suhu" nama Suhu?"
Tan Ki menjadi gagap gugup menjawab pertanyaannya.
Ilmu silat Tan Ki secara keseluruhan didapatkan dari hasil curian di kuburan para ketua
Ti Ciang Pang. Mana mungkin dia mempunyai guru atau nama perguruan yang dapat
disebutkannya" Kalau dia di suruh asal sebut sebuah nama saja, tentunya kebohongannya
pasti bisa terbongkar seketika. Cian Cong hanya mengucapkan sepatah "Oh?" dan tidak mendesaknya lebih lanjut.
Kemudian tampak orangtua itu menundukkan kepalanya seakan ada suatu pikiran rumit
yang melintas di benaknya. Mimik wajahnya itu malah membuat perasaan Tan Ki semakin tidak tenang.
"Beberapa malam yang lalu aku menyamar sebagai Tian Tai Tiau-siu, pakaian inilah
yang kukenakan malam itu. Apakah dia tiba-tiba teringat siapa yang mengenakan pakaian
ini?" tanyanya dalam hati. Pikirannya melayang-layang. Semakin direnungkan rasanya semakin benar. Tanpa
terasa tubuhnya mengeluarkan keringat dingin. Sebelum dirinya terluka saja, dia sudah
bukan tandingan Cian Cong. Saat ini apabila terjadi perkelahian tentu dia tidak bisa
melepaskan diri lagi dari maut. Tiba-tiba terdengar lagi suara langkah kaki yang riuh. Tiga orang pelayan masuk ke
dalam kamar dengan membawa berbagai hidangan. Liu Seng dan Ciong San Suang Siu
mengiringi dari belakang. Tan Ki memperhatikan situasiyang dihadapinya. Diam-diam hatinya berpikir lagi.
"Kalau si pengemis tua itu sudah mengetahui atau curiga dengan identitas diriku, atau
terus mendesak aku dengan berbagai pertanyaan, kemungkinan lama-lama rahasiaku akan
ketahuan juga. Waktu itu apabila aku berniat meloloskan diri, tentu tidak sempat lagi."
Karena mempunyai pikiran seperti itu, cepat-cepat dia berdiri dan menjura dalam-dalam,
"Boanpwe mohon diri." Cian Cong segera meletakkan cawan arak di tangannya dan mendongakkan wajahnya.
"Kau hendak ke mana?" Wajah Tan Ki merah padam. Hatinya tetap merasa tidak tenang, tetapi dia berusaha
untuk tidak menunjukkannya. "Di sebelah Barat kota ada seorang teman yang sedang menunggu aku. Boanpwe
sudah sepanjang malam tidak kembali, tentunya teman itu akan tidak tenang memikirkan
aku?" Cian Cong tertawa lebar. "Rasanya yang tidak tenang bukan temanmu itu."
Hati Tan Ki berdebar-debar. Dia semakin yakin Cian Cong sudah mengetahui identitas
dirinya. Dia mana tahu kalau Cian Cong yang mempunyai mata awas melihat Kiau Hun
pergi dan tidak kembali lagi. Kemudian dia juga melihat Mei Ling yang mengikuti di
belakangnya, kembali dengan wajah, bermuram durja. Orangtua yang berpengalaman luas
itu segera dapat menduga bahwa terjadi sesuatu diantara ketiga orang itu bukan karena
dia telah berhasil mengungkap identitas diri Tan Ki.
Sementara itu, tampak Tan Ki membalikkan tubuh dan bergegas meninggalkan kamar
itu. Liu Seng serta rekan-rekannya mengira dia saling kenal dengan Cian Cong, maka dari
itu mereka tidak menghalangi kepergiannya, malah memberi jalan dengan bergeser agar
dia dapat melewati pintu kamar. Tiba-tiba tubuh Tan Ki yang menghambur keluar dengan tergesa-gesa tadi, mendadak
surut kembali seakan melihat sesuatu yang di luar dugaannya. Orang-orang yang ada di
dalam kamar itu jadi tertegun. Begitu mata memandang, di ambang pintu, entah sejak kapan telah berjalan masuk
seorang gadis berpakaian hitam. Dengan mimik wajah yang datar dan dingin, dia menghampiri
Cian Cong. Bibirnya langsung tersenyum mengejek.
"Hm, sebagai seorang tokoh angkatan tua dunia Bulim, ternyata bisa mengeluarkan
ocehan yang bukan-bukan dengan menceritakan keburukan diriku. Benar-benar orangtua
yang tidak waras!" makinya. Mendengar ucapannya, si pengemis sakti langsung menoleh ke arah Tan Ki dan
menjungkitkan sepasang alisnya. Gadis berpakaian hitam itu juga menoleh ke arah Tan Ki
serta menggerak-gerakkan bibirnya bagai berkata kepada dirinya sendiri, "Sudah sebesar
ini, di belakang punggung orang masih berkicau terus. Seperti tidak rela mengalah kepada
generasi yang lebih muda. Kalau disiarkan keluar, tentu akan menjadi bahan tertawaan."
Kata-katanya ini diucapkan dengan santai dan wajar, tapi orang yang bersangkutan
tentu akan merasa sakit hati. Perlahan-lahan Tan Ki melirik Cian Cong sekilas. Tampak
orangtua itu malah mengalihkan wajahnya ke tempat lain seakan tidak mendengar apa
yang dikatakan oleh gadis berpakaian hitam itu. Melihat keadaannya, Tan Ki segera sadar
bahwa orangtua ini benar-benar enggan berurusan dengan si gadis.
Diam-diam hatinya tergerak. "Dengan kedudukan si pengemis tua sebagai tokoh kelas tinggi dan sikapnya yang ugalugalan,
mengapa terhadap gadis berpakaian hitam ini malah demikian segan dan
mengalah?" pikirnya bingung. Apakah kata-kata Cian Cong tentang gadis ini bahwa dia merupakan orang yang paling
sulit dihadapi benar adanya" Hatinya rada kurang percaya. Tanpa sadar dia menoleh
beberapa kali ke arah gadis tersebut. Tampaknya gadis berpakaian hitam itu juga sangat
memperhatikan Tan Ki. Begitu pemuda tersebut menoleh, dia langsung mendelikkan
matanya lebar-lebar. "Apa yang kau lihat?" bentaknya dengan nada marah.
Mendengar bentakannya, tanpa terasa wajah Tan Ki menjadi merah saking jengahnya.
Tapi dia memang merupakan seorang manusia yang tinggi hati. Kata-kata gadis itu
membuat amarahnya meluap seketika. "Apapun yang ingin kulihat, rasanya tidak ada hubungannya dengan dirimu." sahutnya
ketus. Rupanya si gadis tidak menyangka Tan Ki akan memberi jawaban seperti itu. Dia jadi
tertegun beberapa saat" "Tentunya kau belum tahu siapa aku sehingga berani berbicara dengan aku dengan
nada membentak seperti tadi. Kalau kau sudah tahu, pasti kau tidak akan seberani itu?"
Tan Ki tertawa dingin. "Lihat tampangmu yang begitu sombong dan tidak sopan terhadap angkatan yang lebih
tua. Kalau saja kau seorang laki-laki, aku pasti akan memberi pelajaran yang keras
untukmu." Gadis berpakaian hitam itu seperti tidak percaya. Wajahnya menyiratkan mimik seperti
orang yang sedang tertawa tapi tidak bisa.
"Kau berani?" "Mengapa tidak berani?" bentak Tan Ki kembali.
Gadis berpakaian hitam itu menarik nafas perlahan-lahan. Dia menatap wajah Tan Ki
sampai lama sekali. "Sejak keluar dari rahim ibu, aku belum pernah menerima hinaan apapun. Di seluruh
dunia ini, orang yang berani memaki aku secara terang-terangan, aku rasa kaulah orang
yang pertama?" "Kalau begitu aku malah harus merasa bangga." sahut Tan Ki tenang.
Gadis berpakaian hitam itu mengedarkan pandangannya ke orang-orang di dalam kamar.
Kemudian dia memalingkan wajahnya. "Kau berani memaki aku secara terang-terangan, mungkin karena kau anggap ada
beberapa orang yang dapat kau andalkan. Aku justru ingin melihat sampai di mana
kehebatanmu itu!" begitu bentakannya sirna, tubuhnya yang kecil dan langsing langsung
melesat ke udara dan ketika pergelangan tangannya memutar, secara berturut-turut dia
melancarkan tiga buah serangan dan delapan buah totokan.
Sebetulnya serangan ini berjumlah empat jurus. Kecepatannya bagai cahaya kilat. Meskipun
dia melancarkan serangannya satu per satu, namun begitu cepatnya sehingga
tampak dikerahkan dalam waktu yang bersamaan dan seakan ada empat telapak tangan
yang sedang mengincar diri Tan Ki. Hati anak muda itu sampai tercekat melihat keadaan ini. Dia merasa penasaran.
Usianya masih begitu muda, namun kungfunya sudah demikian hebat. Benar-benar suatu
hal yang jarang terdengar maupun dijumpai. Kalau ia belum terluka, tentu tidak ada hal
yang perlu ditakutinya. Tapi kenyataan yang terpampang di depan mata, justru lukanya
masih belum sembuh. Tentunya dia belum bisa menggunakan anggota tubuh maupun
tenaga dalamnya dengan leluasa. Hatinya menjadi panik. Dengan gugup dia mundur
beberapa langkah. Diam-diam dia merasa heran. "Mengapa ilmu silat gadis ini hampir mirip dengan ilmu yang aku pelajari?" tanyanya
dalam hati. Tampak di wajahnya tersirat perasaan yang tidak tenang. Sementara Cian Cong sedang
merasa cemas sekali. Sepasang alisnya mengerut erat-erat. Mulutnya tidak mengeluarkan
sepatah katapun. Dia takut Tan Ki tidak memperdulikan cara turun tangannya sehingga
gadis berpakaian hitam itu akan terluka. Tapi dia juga sadar bahwa gadis ini sangat licik
serta keji. Sedikit-sedikit selalu main bunuh. Ada kemungkinan Tan Ki yang akan terluka di
tangannya. Matanya perlahan-lahan mengedar, dia melihat Liu Seng dan Ciong San Tiau Siu bertiga
juga menyiratkan perasaan khawatir yang sama dengan dirinya. Wajah mereka tampak
tegang. Tiba-tiba terdengar suara bentakan gadis itu"
"Jangan lari!" pergelangan tangannya bergerak, sekaligus dia melancarkan dua belas
pukulan. Tampak bayangan telapak tangan yang banyak seperti ombak yang
menghempas-hempas. Suara gemuruh angin yang ditimbulkannya berderu-deru. Seluruh
ruangan itu sampai dipenuhi terpaan angin dari telapak tangannya.
Tan Ki menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba dia melangkah mundur tiga langkah. Dia
mengerti luka dalamnya masih belum sembuh. Kalau bisa dia tidak ingin menyambut
serangan gadis itu dengan kekerasan.
Siapa tahu sikap gadis itu sungguh bera-ngasan. Dia tidak senang melihat Tan Ki
seakan menghindarkan diri dari serangannya. Secara mendadak dia menarik kembali
sepasang tangannya. Dengan posisi menahan di depan dada, tahu-tahu dia melancarkan
sebuah pukulan. Serangan ini mengandung tenaga yang sepenuhnya. Begitu dilancarkan, kekuatannya
bukan alang kepalang. Terpaan angin yang timbul dari pukulannya bagai badai yang
melanda dan sulit dibendung. Meskipun kamar Mei Ling ini cukup luas, namun besarnya paling-paling dua depaan.
Sedangkan Tan Ki sudah mundur dua kali berturut-turut. Punggungnya sudah menempel
pada meja rias yang terdapat dalam kamar tersebut. Melihat datangnya serangan yang
hebat itu, dia tidak mempunyai tempat untuk melindungi diri lagi. Hawa amarah dalam
hatinya jadi meluap. Dengan menggertakkan gigi erat-erat, dia melancarkan sebuah
pukulan. Dalam sekejap mata" waktu yang sesaat itu begitu cepatnya sehingga mata para
hadirin menjadi berkunang-kunang. Telinga mereka mendengar suara dengusan sebanyak
dua kali yang saling susul menyusul. Bayangan manusia berpencaran ke kiri dan kanan, di
susul dengan sebuah suara yang menggelegar. Gadis berpakaian hitam yang pertamatama
terhem-pas ke atas lantai kamar. Wajah Tan Ki pucat pasi. Di sudut bibirnya terlihat tetesan darah. Tampangnya kusut.
Seperti orang yang sudah tidak tidur selama tiga hari tiga malam. Dia berdiri dengan
tubuh bersandar pada meja rias. Perubahan yang mendadak ini, benar-benar di luar dugaan setiap orang. Penglihatan
Cian Cong sangat tajam. Meskipun dengan jelas dia melihat keduanya beradu pukulan,
tapi walaupun hatinya berniat menolong, namun sudah terlambat. Dia terkejut sekali
melihat kenyataan yang terpampang di depannya.
"Celaka!" serunya sambil menggerakkan tubuh dan melesat ke depan.
Tiba-tiba terlihat wajah Tan Ki berubah hebat. Begitu mulutnya terbuka, dua kali
berturut-turut dia memuntahkan darah segar. Sepasang matanya membelalak dan diapun
terkulai jatuh entah dalam keadaan masih hidup atau sudah mati.
Perubahan yang saling susul menyusul ini terjadinya begitu cepat sehingga sulit diuraikan
dengan kata-kata. Hal ini membuat orang-orang tidak sempat memberi pertolongan.
Walaupun Cian Cong yang memiliki tenaga dalam sangat tinggi juga menjadi kalang kabut
menghadapi situasi seperti ini. Dia tidak tahu pihak mana yang harus ditolongnya terlebih
dahulu. Untuk sesaat, Liu Seng beserta rekannya juga menjadi termangu-mangu. Untung Cian
Cong lebih sigap. Setelah rasa terkejutnya hilang, dia mengatur nafasnya sejenak dan
berpikir matang-matang. Pertama-tama dia menghambur ke arah gadis berpakaian hitam.
Dia membungkukkan tubuh dan mengulurkan tangannya ke arah dada gadis berpakaian
hitam tersebut. Belum lagi tangannya sempat menjamah ke arah yang ditujunya,
tiba-tiba gerakannya terhenti. Tampaknya dia teringat sesuatu hal dan membatalkan


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

niatnya. Sepasang alisnya bertaut erat. Setelah tertegun sesaat, akhirnya dia menolehkan
kepala dan menggapai ke arah Mei Ling.
"Bocah perempuan, coba kau ke mari dan tempelkan telapak tanganmu pada dadanya.
Lihat apakah jantungnya masih berdenyut atau tidak?" perintahnya.
Mei Ling tersenyum simpul. "Begitu baru benar. Aku kira saking paniknya kau ingin menolong orang sehingga bagian
terpenting dari tubuh seorang gadis juga akan kau jamah begitu saja"!" pikirnya
dalam hati. Tiba-tiba wajahnya menjadi merah padam. Diam-diam dia memaki dirinya sendiri lalu
bergegas berjalan menuju ke tempat si gadis berpakaian hitam seperti yang diperintahkan
oleh Cian Cong. Dia mengulurkan tangannya dan menempelkannya ke dada gadis itu.
"Masih berdenyut, namun sudah lemah sekali." sahutnya.
Mendengar ucapannya, Cian Cong sampai menghentak-hentakkan kakinya sambil
menggerutu panjang lebar. "Bocah bagus, tidak perduli pukulan tangan sendiri ringan atau berat malah berani
melukainya sedemikian parah. Nanti kalau kakek moyangnya datang, kita terpaksa harus
mengadu tinju sampai puas!" mendengar nada bicaranya, dia seperti pusing sekali
menghadapi masalah ini. Kepalanya digelengkan berkali-kali.
Baru saja ucapannya selesai, tiba-tiba sebuah suara yang dingin berkumandang dari
depan pintu" "Rupanya Cian Cong masih mempunyai gairah sehebat itu?"
Suara ini datangnya mendadak sekali. Tanpa sadar Cian Cong berseru terkejut. Cepatcepat
dia membalikkan tubuhnya dan mengalihkan pandangan ke depan pintu"
Di ambang pintu, entah sejak kapan telah berdiri seorang laki-laki yang tua dan bertubuh
kurus. Dia mengenakan jubah berwarna hijau, wajahnya bersih dan tenang. Tetapi
penampilannya menimbulkan kesan bahwa dia bukan orang yang mudah didekati, bahkan
agak angkuh. Tampak di ujung lengan baju sebelah kiri, tersembul sebuah telapak tangan yang mengeluarkan
kilauan cahaya yang menyolok mata. Pertama-tama Cian Cong tertegun agak
lama. Kemudian dia tertawa terbahak-bahak.
"Lok Laotao (bapak tua) jangan bergurau, kita sudah lama sekali tidak berjumpa lho!"
Orangtua berjubah hijau itu tertawa dingin.
"Masih lumayan, hengte masih belum masuk liang kubur, akhir-akhir ini Cian heng
rasanya?" begitu matanya beredar, dia langsung mengeluarkan seruan terkejut. Tidak
terlihat bagaimana caranya bergerak, tahu-tahu orangnya sudah sampai di samping gadis
berpakaian hitam. Ketinggian ilmu ginkang yang diperlihatkannya, membuat wajah Liu Seng beserta Ciong
San Tiau Siu berubah hebat. Pandangan mereka sampai berkunang-kunang. Begitu
penglihatan dialihkan kembali, tampak tubuh orangtua berjubah hijau itu bergetar keras.
Dia seperti baru saja mendapat pukulan bathin yang hebat.
Terdengar suara ratapannya yang pilu dengan suara parau dan tersendat-sendat.
"Ingji, oh Ingji, kau pergilah. Setelah kau mati, Kong kong pasti akan membunuh seratus
tokoh Bulim sebagai korban untukmu dan teman di saat penguburanmu."
Hati Cian Cong tercekat sekali. "Hei, Lok laotao, masa nyawa cucu perempuanmu bernilai begitu tinggi?" teriaknya
kesal. Begitu kesal dan sedihnya orangtua berjubah hijau sampai mengeluarkan suara tertawa
yang panjang. "Kau kira siapa dan apa kedudukan cucu perempuanku ini. Biarpun seratus atau seribu
lembar nyawa tokoh Bulim juga hanya pantas dibandingkan dengan selembar bulu kakinya
saja!" Cian Cong ikut-ikutan tertawa dingin.
"Nyawa cucu perempuanmu begitu berharga, apakah nyawa orang lain bukan nyawa
juga, tapi sampah?" sahutnya kesal.
Tampaknya kesedihan orangtua berjubah hijau sudah mencapai puncaknya. Emosi
yang meluap-luap dalam hatinya tiada tempat untuk disalurkan. Oleh karena itu, dia
mengangkat telapak tangannya dan menghantam meja bundar di tengah ruangan yang
terbuat dari kayu. Terdengar suara geprakan yang keras, meja itu pun sompal bagian
ujungnya. Matanya mendelik lebar-lebar. Sinar matanya mengandung api yang berkobar-kobar.
"Siapa yang membunuh cucu perempuanku yang baik?" tanyanya marah.
Nada suaranya melengking tinggi. Bagai ratapan dan tangisan setan-setan di malam
hari. Orang yang ada di dalam ruangan kecuali Cian Cong, tidak ada satupun yang tidak
tergetar. Bulu kuduk mereka seakan merinding semua.
Cian Cong malah tertawa lebar. "Kau datang-datang langsung marah-marah seperti orang gila, bukannya lihat dulu
keadaan dengan jelas. Apakah kau yakin cucu perempuan kesayanganmu itu benar-benar
sudah mati" Hm, tindakanmu yang membabi buta itu, apa pantas menjabat sebagai
pangcu dari Ti Ciang Pang yang tersohor itu?" sindirnya tajam.
Kata-katanya yang terakhir, membuat Liu Seng serta rekan-rekannya terperanjat. Hati
mereka tergetar" Diakah pangcu dari Ti Ciang Pang" Tokoh yang gerak-geriknya bagai naga sakti"
Perlu diketahui bahwa Ti Ciang Pang adalah sebuah perkumpulan yang menjunjung
tinggi keadilan. Beberapa tahun ini kebesaran nama mereka benar-benar ibarat matahari
yang terbit di pagi hari. Kekuasaan mereka sudah tersebar luas. Kehebatan mereka menjadi buah bibir di mana-
mana. Kebesaran nama perkumpulan ini boleh dikatakan malah lebih hebat dari lima
partai besar. Sedangkan pangcu dari Ti Ciang Pang, dalam pandangan tokoh-tokoh Bulim lainnya,
seperti seorang tokoh yang misterius, berwibawa, angker" membuat mereka berperasaan
seakan suatu benda pusaka yang hanya boleh dilihat namun tidak boleh tersentuh.
Justru pada saat ini, ketiga orang itu melihat wajah asli pangcu Ti Ciang Pang ini. Tentu
saja mereka merasa terkejut dan penasaran. Tanpa sadar mereka malah melihat terus
berkali-kali. Sementara itu, tampak pangcu Ti Ciang Pang yang bernama Lok Hong itu membungkukkan
tubuhnya dan memeriksa hembusan nafas dari hidung si gadis berpakaian hitam.
Setelah agak lama, akhirnya dia menghela nafas lega. Tampangnya yang tadi tegang juga
sudah jauh mengendur. Bibirnya tersenyum.
"Kalau bukan disadarkan oleh kata-kata Ciang heng, hengte hampir saja berbuat kesalahan
besar." Cian Cong ikut-ikutan menarik nafas panjang.
"Lok Laotoa, apapun yang kau perbuat selama ini, selalu menerbitkan kekaguman di
hati si pengemis tua ini. Tapi terhadap-cucu perempuanmu ini, tampaknya kasih sayangmu
agak berlebihan. Seandainya dia kehilangan selembar rambutnya saja, mungkin lebih baik
kau kehilangan seluruh janggutmu yang panjang itu." gerutunya.
Lok Hong hanya tersenyum simpul. Dia tidak memperdulikan ocehan Cian Cong. Pa-da
dasarnya sikap orang ini berjiwa lapang. Kalau marah hanya sebentar. Sesudahnya dia
akan kembali seperti biasa lagi. Sekarang tampak dia mengangkat sebelah telapak
tangannya kemudian menempelkannya pada punggung si gadis berpakaian hitam.
Setelah lewat beberapa saat, mula-mula terdengar suara keluhan dari mulut si gadis
berpakaian hitam, perlahan-lahan matanya membuka dan sadarkan diri. Sedangkan luka
yang diderita Tan Ki lebih parah. Oleh karena itu, sadarnya lebih lama daripada sang
gadis. Lok Hong menggendong si gadis berpakaian hitam dan berdiri. Tangannya diselusupkan
ke balik pakaian, lalu dikeluarkannya sebutir pil yang lalu dimasukkan ke dalam mulut si
gadis, bibirnya tersenyum. "Anak baik, yang pintar ya. Biar Yaya menyayangimu." katanya. Tangannya terulur
untuk mengelus-elus kepala gadis itu. Sikapnya lembut sekali, tak terlihat lagi tampangnya
yang garang seperti pembunuh tadi. Gadis berpakaian hitam menatap ke arah kakeknya. Pertama-tama dia agak tertegun
sampai tidak dapat mengucapkan sepatah katapun. Setelah mendengar ucapan kakeknya
yang menyentuh hati, dia langsung membuka mulut dan menangis meraung-raung.
Tangannya menuding Tan Ki yang baru merangkak bangun.
"Dia" dia menghina aku?" katanya.
Lok Hong tersenyum simpul. "Nyali bocah ini sungguh besar. Beraninya dia menghina cucu perempuanku yang baik.
Coba kau lihat, Yaya akan mengajar adat padanya!" begitu kata-katanya selesai, sebelah
tangannya bergerak dan menghantamkan sebuah pukulan.
Kecepatannya bagai kilat" Tan Ki sedang memperhatikan tanya jawab antara kakek dan cucu tersebut. Tiba-tiba
dia merasa pipinya ditempeleng dengan keras. Baru saja dia hendak mengangkat
tangannya untuk menangkis, telapak tangan Lok Hong sudah mendarat di pipi kirinya dan
tahu-tahu orangtua itu sudah kembali mengelus-elus kepala si gadis berpakaian hitam.
Benar-benar datang tanpa wujud, pergi tanpa jejak. Kecepatannya membuat orang
terkesiap. Pukulannya ini menimbulkan suara keras. Tetapi tenaga yang terkandung di
dalamnya justru lembut. Tan Ki meraba pipinya dan termangu-mangu. Dengan adatnya
yang tinggi hati dan keras kepala, ternyata dia tidak berani maju dan melawan orangtua
itu. Rupanya, dia sudah melihat telapak tangan kiri Lok Hong yang mengeluarkan cahaya
berkilauan, dia tahu lambang itu merupakan ciri khas Ti Ciang Pang!
Ilmu silat yang dimilikinya merupakan hasil curian dari perkumpulan orangtua itu. Kalau
sampai dia bergerak, tentu asal-asul ilmunya akan diketahui oleh orangtua tersebut. Kalau
sampai membuat Lok Hong kalap, biarpun Tan Ki mempunyai sepuluh lembar nyawa juga
tidak akan bisa menahan diri terhadap satu hantamannya!
Oleh karena itu, meskipun pukulan telapak tangan Lok Hong tadi membuat hawa
amarah di dalam dadanya meluap, tapi dia tetap berusaha menahan emosinya dan tidak
berani mengambil tindakan apa-apa. Melihat kedua kakek dan cucu itu saling menyayangi dan tampak begitu berbahagia,
tiba-tiba hatinya merasa hampa dan pedih. Kenyataannya, dia hanya seorang anak yatim
piatu. Seorang pemuda yang malang! Ayahnya yang baik hati dan mengasihinya telah dibunuh oleh empat puluh delapan
tokoh persilatan dengan senjata rahasia yang berbeda. Kematiannya begitu mengenaskan
dan penuh penderitaan. Sedangkan ibunya" Dia adalah seorang perempuan yang" akh! Dia tidak berani memikirkan lebih lanjut.
Hal itu merupakan peristiwa yang menyakitkan hati!
Tiba-tiba terdengar Cian Cong tertawa terbahak-bahak.
"Lok Laotoa, cucu perempuanmu ini benar-benar berangasan sekali. Si pengemis tua
tidak pernah takut terhadap langit dan bumi tetapi justru pusing kepala kalau menghadapinya."
hatinya seperti mempunyai pertimbangan sendiri sehingga tidak mengatakan
mengapa cucu perempuan Lok Hong sampai berkelahi dengan Tan Ki.
Lok Hong tersenyum lembut. "Cian Heng menyalahkan hengte memang tidak salah.
Tetapi kau juga tahu, sejak kedua orangtuanya menghilang, dia jadi sebatang kara tanpa
tempat berlindung. Sungguh kasihan. Hente sudah hidup sampai setua ini, juga tidak tahu
kapan akan kembali ke sisi-Nya. Kalau tidak menyayanginya, siapa lagi yang akan
menaruh perasaan iba kepadanya?"
Sebetulnya Cian Cong masih ingin berbicara lagi, tapi tiba-tiba dia berpikir.
"Orang ini mempunyai perasaan kasih yang dalam. Hal itu merupakan ungkapan yang
wajar dan sikap seseorang tidak mudah diubah. Untuk apa aku berkata panjang lebar?"
Berpikir demikian, perlahan-lahan dia menarik nafas dalam-dalam. Mulutnya pun tidak
mengeluarkan sepatah kata lagi. Sementara itu, Tan Ki berjalan menghampiri Cian Cong
serta mengucapkan terima kasih atas pertolongannya. Sekalian dia memohon diri.
Tepat sekali dia membalikkan tubuh dan bermaksud meninggalkan ruangan itu, mendadak
terdengar panggilan gadis berpakaian hitam.
"Yaya, suruh dia berhenti dulu."
"Kenapa" Yaya tadi sudah menempelengnya dengan keras, apa kau masih belum merasa
puas?" "Tidak mau, pokoknya aku tidak akan membiarkan dia pergi sekarang." sahut si gadis
berpakaian hitam. Lok Hong tersenyum simpul. "Hati anak perempuan paling sulit ditebak. Tiba-tiba kau ingin menahan seorang
pemuda, sebetulnya apa yang terkandung dalam hatimu?" mulutnya menggerutu tetapi
dia tetap menoleh kepada Tan Ki dan berkata. "Kalau cucu perempuanku sudah berkata
demikian, lebih baik kau jangan pergi dulu untuk sementara. Berdirilah di situ diam-diam."
Nada bicaranya seperti sebuah perintah yang tidak boleh dibantah. Terdengar suara
dengusan dari hidung Tan Ki, namun dia menuruti juga kata-kata Lok Hong dan
menghentikan langkah kakinya. Luka yang dideritanya cukup parah, sedangkan tadi Cian
Cong belum menyembuhkannya sampai tuntas. Oleh karena itu, dia pasti sulit melarikan
diri dari tempat itu. Lagipula dia juga takut kartunya terbuka oleh Lok Hong. Akhirnya dia
terpaksa menahan rasa amarah dan berdiri tanpa bergeming sedikitpun.
Terdengar suara si gadis berpakaian hitam yang datar dan ketus.
"Terimalah, ini adalah obat penyembuh luka dalam. Dengan meminumnya, lukamu
akan lebih cepat sembuh." Sambil berbicara, dia melemparkan sesuatu benda kecil berwarna kehitaman ke arah
Tan Ki. Watak anak muda itu sangat keras. Setelah menyambut obat tersebut, tadinya dia
bermaksud membuangnya agar hati gadis itu menjadi mangkel. Tetapi pikirannya segera
tergerak. Keadaannya sekarang kurang menguntungkan apabila dia tetap berkeras. Oleh
karena itu, setelah tertawa dingin dua kali, dia memasukkan obat itu ke dalam mulut dan
menelannya. Tampang gadis berpakaian hitam sepertinya kurang senang.
"Aku sudah memberikan obat kepadamu, tetapi kau malah kurang senang."
"Tidak salah. Aku memang membencimu, benci sekali!"
"Apa yang kau katakan" Coba ulangi sekali lagi!" bentak si gadis berpakaian hitam.
"Benci!" Si gadis berpakaian hitam marah sekali.
"Bagus! Kau berani memaki aku. Mari kita ulangi lagi perkelahian kita tadi!"
Lok Hong tersenyum simpul. "Lahir sebagai orang dari keluarga Lok, mana boleh menerima hinaan orang begitu
saja. Anak baik, pukullah dia beberapa kali biar hatimu puas. Yaya justru ingin lihat sampai
di mana kehebatan anak muda ini dan berasal dari perguruan mana dia."
Mendengar ucapannya, hati Tan Ki tergetar. Dalam keadaan terkejut, tiba-tiba dia
mendengar suara keplakan sebanyak dua kali. Tahu-tahu kedua belah pipinya telah ditempeleng
oleh si gadis berpakaian hitam. Watak gadis ini sungguh berangasan dan adatnya juga keras kepala. Pertama dia kesal
terhadap kata-kata yang diucapkan oleh Tan
Ki, kedua dia mengira keberanian anak muda itu karena merasa mempunyai tulang
punggung yang kuat. Padahal dia sendiri yang mengandalkan kakeknya sehingga berani
berbuat semena-mena. Sekaligus dua tamparan dia hadiahkan kepada Tan Ki, namun tampaknya dia masih
belum puas. Tangannya bergerak dan dia menampar Tan Ki sekaligus empat lima kali.
Pada saat itu juga, tampak wajah Tan Ki membengkak satu kali lipat. Tampangnya jadi
lucu namun mengenaskan. Bekas-bekas jari tangan tertera nyata di kedua belah pipinya.
Namun Tan Ki tidak mengumpat maupun mendengus sedikitpun. Diam-diam dia berkata
dalam hati: "Baiklah, kau boleh pukul sepuas hatimu. Kelak apabila kau terjatuh ke
tanganku, aku akan menagih hutang ini berikut bunganya sekalian!
Setelah memukul beberapa kali, rasa amarah dalam hati gadis itu agak berkurang, dia
melihat Tan Ki tidak menghindar atau menangkis pukulannya dan wajahnya sudah
menjadi bengkak dan merah. Hatinya terasa tidak tega melanjutkan lagi. Perlahan-lahan
dia menarik nafas panjang. "Kau harus tahu sifatku, lain kali jangan sengaja memanas-manasi hatiku lagi." katanya
menasehati. Tan Ki mendengus dingin. Dia tetap tidak mengucapkan sepatah katapun. Kekerasan
adatnya benar-benar jarang ditemui pada orang lain.
Sementara itu, terdengar Cian Cong bertanya kepada Lok Hong.
"Mengapa kau bisa datang ke tempat ini?"
Lok Hong memperdengarkan segulungan suara tawa yang getir.
"Tidak khawatir ditertawakan oleh Cian Heng, hengte menempuh jarak sejauh ribuan li,
tujuan utamanya adalah untuk mencari cucu perempuanku ini."
"Apa" Jadi dia itu kabur dari rumah?"
"Justru itulah. Sepanjang hari sepanjang malam dia terus ribut ingin mencoba ilmu silat
yang dimiliki oleh Cian bin mo-ong yang namanya menggetarkan rimba persilatan.
Hengte takut terjadi sesuatu di luar dugaan pada dirinya, maka terpaksa melindungi
secara diam-diam. Juga sekalian menggunakan kesempatan ini untuk menjajal kepandaian
Cian bin mo-ong yang katanya hebat sekali itu."
Mendengar sampai di sini, hati Tan Ki merasa terkejut sekaligus senang. Dia tidak
menyangka namanya akan terkenal sampai daerah barat daya di mana terletak pusat
markas Ti Ciang Pang. "Kalau Tia (ayah) sampai tahu urusan ini, di alam baka dia pasti akan merasa bangga
sekali." pikirnya dalam hati. Sayang sekali ayahnya sudah meninggal. Bahkan mati terbunuh dengan cara yang demikian
mengenaskan serta menyayat hati! Begitu pikirannya tergerak ke masalah itu, tanpa terasa kelopak matanya membasah
dan air mata pun hampir menetes turun. Dia menggertakkan giginya erat-erat. Dia tidak
sudi meneteskan air mata di tempat itu. Dia mempunyai kekerasan hati yang hampir tidak
dimiliki oleh orang lain. Baginya orang yang gampang menguraikan air mata adalah orang
yang rendah dan lemah serta tidak sanggup melakukan pekerjaan besar.
Sementara itu, Lok Hong sedang berpamitan kepada Cian Cong. Tan Ki memang berharap
agar kakek dan cucunya itu segera meninggalkan tempat tersebut. Namun tiba-tiba
telinganya mendengar kembali suara Lok Ing.


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yaya, ajak orang ini pergi dengan kita."
Mendengar ucapannya, sukma Tan Ki seperti melayang setengahnya. Tanpa sadar
tubuhnya gemetar. Dia merasa marah sekali.
"Sebetulnya apa yang terkandung dalam hatimu" Mengapa kau memaksa dan mendesak
aku sedemikian rupa?" teriaknya kesal.
Lok Hong tersenyum lebar. "Dia ingin mengajak engkau, tentu tidak bermaksud mencelakaimu. Mengapa harus
takut" Aku rasa Cian Locianpwe juga setuju dengan usul ini, bukankah demikian Cian
Heng?" Cian Cong cepat-cepat menganggukkan kepalanya.
"Betul, betul. Kau bocah cilik ini ikut dengan Lok Kouwnio, pasti akan memperoleh
manfaat yang besar. Pasti tidak mengalami kerugian apapun."
Dengan demikian, kakek dan cucu She Lok itupun meninggalkan tempat tersebut
dengan menyeret Tan Ki. Ketika hendak berangkat, berkali-kali Tan Ki menoleh ke arah
Mei Ling seakan berat berpisah dengan gadis itu. Mei Ling hanya tersenyum simpul dan
tidak menunjukkan reaksi apapun. Tentu saja dia tidak mempunyai perasaan apa-apa terhadap Tan Ki, hanya kesan pemuda
tersebut dalam hatinya tidak terlalu buruk. Diam-diam Tan Ki menarik nafas
panjang. Dia juga tidak mengatakan apa-apa. Dia merasa gadis itu bagai rembulan di atas
langit. Demikian cemerlang dan indah tapi manusia hanya dapat memandang namun tidak
dapat menyentuhnya" sambil berpikir, ketiga orang itu pun meninggalkan gedung
keluarga Liu. Kurang lebih satu kentungan telah berlalu, mereka sampai di sebuah bukit yang tidak
berapa tinggi. Di sana terdapat sebuah pondok yang atapnya dialasi dengan daun rumbia.
Kemungkinan besar merupakan tempat tinggal sementara. bagi kakek dan cucu dari
keluarga Lok tersebut. Gadis berpakaian hitam Lok Ing berusaha memancing pembicaraan dengan Tan Ki sepanjang
perjalanan. Tidak tahunya, pemuda itu tetap berdiam diri. Dia tidak menyahut
sepatah katapun. Saking kesalnya, gadis yang keras hati ini sampai memalingkan
wajahnya ke arah lain dan tidak mau melayani Tan Ki lagi.
Setelah masuk ke dalam pondok tersebut, Lok Ing turun tangan sendiri ke dapur menyiapkan
sarapan pagi untuk Tan Ki. Tampaknya hati gadis itu sedang merencanakan
sesuatu sehingga sikapnya terhadap pemuda itu berubah menjadi lembut dan penuh
perhatian. Gaya bicara maupun tingkah lakunya jauh berbeda dengan tadi malam.
Sudah dua hari satu malam Tan Ki tidak mengisi perutnya dengan air ataupun makanan.
Oleh karena itu dia tidak sungkan lagi. Cepat-cepat dihabiskannya sarapan yang
disediakan oleh Lok Ing. Gadis itu juga menyediakan kamar tidur untuknya bahkan
membawakan sebaskom air hangat untuk membasuh muka.
Benar-benar sebuah penampilan yang meyakinkan. Begitu lembut dan penuh perhatian!
Diam-diam Tan Ki merasa geli, dia tahu gadis itu pasti mempunyai rencana tertentu
atau ada suatu hal yang diinginkan Lok Ing dari dirinya. Tapi dia tidak habis pikir apa itu
dan mengapa" Yang aneh justru sikap Lok Hong terhadap gerak-gerik yang dilakukan oleh cucu
perempuannya seperti orang yang masa bodoh. Kadang-kadang dia malah sengaja keluar
dari pondok tersebut dan membiarkan mereka berdua. Pada saat tengah hari, Lok Hong
mengatakan bahwa ada urusan yang harus diselesaikannya. Dengan tergesa-gesa dia
keluar dari pondok tersebut. Lok Ing juga tidak menanyakan maksud kepergiannya. Dia menunggu sampai Tan Ki
tertidur pulas baru bersedia meninggalkannya. Karena dia sendiri yang memaksakan
kehendaknya agar Tan Ki ikut mereka. Maka dari itu dia khawatir Tan Ki akan melarikan
diri apabila dia tidak menjaga dengan ketat.
Satu hari telah berlalu, akhirnya tiba saat bagi para manusia untuk masuk ke dalam
peraduan. Malam ini kembali tidak terlihat cahaya rembulan, bintang-bintang menjauhkan
diri sehingga yang tampak hanya bekas yang samar-samar. Pemandangan di sekeliling
terselubung oleh kegelapan. Benda-benda yang jaraknya lebih dari tiga depa sudah tidak
tertangkap oleh penglihatan lagi. Dari jauh terdengar suara kentungan diketuk. Hanya berbunyi satu kali. Saat ini berarti
sudah lewat tengah malam. Tiba-tiba sesosok bayangan hitam, dengan kegesitan seekor
kucing mengendap-endap ke arah kamar tidur Tan Ki. Potongan badan orang itu kecil dan
langsing. Tidak usah ditanya sudah pasti ia seorang perempuan.
Angin malam berhembus semilir, keadaan di sekeliling tetap sunyi.
Di tempat ini, ternyata sedang berlangsung peristiwa Fan Jai Hwa. Biasanya kaum lakilaki
yang mengendap-endap ke kamar seorang gadis untuk merusak kesuciannya. Orang
ini umumnya disebut Jai Hwa Cat alias maling pemetik bunga. Tetapi yang akan terjadi
saat ini justru kebalikannya. Seorang perempuan yang mengendap-endap ke kamar
seorang pemuda untuk memperko-sanya. Maka dari itu disebut Fan Jai Hwa yang berarti
kebalikannya. Seorang perempuan mencari kesenangan dari laki-laki dengan cara seperti ini. Sungguh
memalukan! Benar-benar perbuatan yang rendah!
Tidak seharusnya Lok Ing menotok urat darah tidur Tan Ki ketika meninggalkannya.
Sekarang dia jadi pulas tidak sadar apapun. Tentu saja dia juga tidak bisa memberikan
perlawanan. Siapa perempuan itu" Mungkinkah Lok Ing yang pura-pura keluar dari kamar dan
masuk lagi dengan mengendap-endap" Mungkinkah dia yang melakukan perbuatan
serendah itu" Tidak! Kakek moyangnya merupakan salah satu dari tokoh sakti di dunia Bulim.
Namanya direndengkan dengan Cian Cong. Kewibawaannya sebagai pangcu dari Ti Ciang
Pang sudah menggemparkan dunia Kangouw. Walaupun ada kemungkinan Lok Ing bisa
melakukan perbuatan demikian, tapi Lok Hong tidak mungkin membiarkan cucu
perempuannya ini merusakkan nama baik keluarga Lok yang telah dipupuk dengan susah
payah selama ini. Kalau begitu siapa" Apakah Mei Ling yang polos dan kekanak-kanakan" Apakah Kiau
Hun yang cintanya berkobar-kobar"
Memang betul, siapapun di antara mereka, kemungkinannya ada. Tetapi kalau ditilik
dari latar belakang kehidupan mereka dan pendidikan yang mereka kenyam selama ini,
rasanya tidak mungkin mereka melakukan perbuatan yang demikian tidak tahu malu.
Siapakah orangnya" Siapa" Hal ini seperti sebuah permainan teka-teki yang membutuhkan
jawaban. BAGIAN VI Malam semakin larut. Di sekitar hening mencekam. Beberapa buah pondok yang
terdapat di daerah itu begitu sunyinya bagai areal pekuburan.
Tampak gerakan perempuan itu begitu lincah dan cepat luar biasa. Begitu kakinya
mendarat di tanah, tidak terdengar suara sedikitpun. Tapi nyalinya juga sangat besar.
Krek! Jendela kamar dibuka, diapun menyelinap ke dalam.
Ketika Lok Ing meninggalkan Tan Ki, sebelumnya dia sudah menotok urat darah tidur
dan gagu pemuda itu. Suara deritan jendela yang didorong oleh perempuan itu cukup
jelas. Tapi tetap saja Tan Ki tidak sadarkan diri.
Sepasang mata perempuan itu jelalatan ke sana ke mari. Dia memperhatikan isi
ruangan tersebut. Dia menyalahkan lampu minyak yang tergantung di dinding. Ruangan
kamar yang tadinya gelap gulita itu, lambat laun menjadi agak terang.
Di bawah sorotan lampu yang remang-remang, masih tertampak raut wajah perempuan
tersebut. Usianya sekitar dua puluh empat tahunan. Tampangnya cantik jelita. Di antara
kedua alisnya terdapat sebuah andeng-andeng berwarna hitam.
Tanda itu seperti melambangkan kegenitan, kegairahan yang bergelora. Ketika dia
melihat Tan Ki, kakinya maju lagi dua langkah, kemudian dia duduk di sisi tempat tidur,
matanya bersinar terang, dia menatap Tan Ki lekat-lekat. Diperhatikannya mulut, hidung,
mata, alis" seluruh raut wajah Tan Ki dengan pandangan yang tidak bosan-bosannya.
Tiba-tiba, terdengar suara tertawanya yang ringan, dia mengulurkan tangannya dan
mengusap wajah Tan Ki sebanyak dua kali. Gerakannya santai, seperti tidak ada perasaan
jengah ataupun malu sedikitpun. Suara tertawanya yang bebas malah membuat hati orang
yang mendengarnya jadi berdebar-debar. Mendadak tangannya menepuk, dia telah
membebaskan urat darah Tan Ki yang tertotok.
Lambat laun, dia tersadar dari totokannya. Begitu mata memandang, ternyata di
hadapannya adalah seorang perempuan, tentu saja dia merasa hal itu di luar dugaan dan
terkejut sekali. "Siapa kau?" bentaknya. Perempuan itu tertawa dengan santai.
"Orang yang datang untuk menolongmu." sahutnya tenang.
"Menolong aku" Kau tidak takut tertangkap basah oleh Lok Locianpwe?"
"Mereka sedang tidak ada."
Tiba-tiba Tan Ki teringat, kentungan ketiga malam ini, Cian Cong dan Ciu Cang Po telah
berjanji untuk bertemu di Cui Sian Lau. Mereka akan bertarung sekali lagi. Tentunya kakek
dan cucu dari keluarga Lok itu ikut menyaksikan keramaian tersebut. Mulutnya segera
mengeluarkan suara, "oh!" satu kali kemudian menundukkan kepalanya merenung.
Kemudian telinganya menangkap lagi suara perempuan itu yang lembut.
"Hengte, kau diringkus oleh Lok Laotao ke tempat ini, mengapa kau tidak berusaha
untuk melarikan diri?" Panggilan Hengte yang keluar dari mulutnya, terdengar demikian mesra. Tampaknya
perempuan ini sangat terbuka dan tidak malu-malu. Tetapi dalam pendengaran Tan Ki
justru menyeramkan dan membuat wajahnya menjadi merah padam. Hatinya menjadi
tidak tenang. Dia tertegun beberapa saat. "Isi perutku terluka sehingga sulit menggerakkan anggota
tubuh dengan leluasa." sahutnya kemudian.
"Hengte, aku mempunyai akal untuk menyembuhkan luka dalammu, tetapi?" dia
sengaja menghentikan kata-katanya di tengah jalan dan membungkam.
"Tetapi apa?" tanya Tan Ki cepat.
Perempuan itu tersenyum misterius. "Aku akan menyembuhkan luka dalammu. Tetapi setelah dirimu sembuh kau harus
melakukan sesuatu hal sebagai imbalannya."
Tan Ki termenung sejenak, kemudian dia menganggukkan kepalanya.
"Baiklah, asal bukan perbuatan membunuh orang atau mencelakakan orang, tetapi
urusan yang masuk akal, aku tentu akan melakukannya dengan sekuat kemampuan."
Baru saja ucapannya selesai, hidungnya mengendus serangkum keharuman yang
samar-samar. Perlahan-lahan membuai perasaannya. Ternyata gadis itu sedang
menggeser tubuhnya agar lebih dekat lagi dengan Tan Ki.
Pada saat itu, musim panas sudah mencapai pertengahannya. Udara memang agak
panas. Perempuan itu mengenakan pakaian tanpa lengah dan agak tipis. Tampak
sepasang lengannya yang putih dan indah. Gulungan angin yang membawa keharuman
langsung menerpa indera penciuman Tan Ki.
Tan Ki merasa kulit tubuh perempuan itu menempel dengan tubuhnya. Sejuk dan
lembut. Sekumpulan perasaan yang sulit diuraikan memenuhi hatinya. Pikirannya seperti
bergelora, wajahnya terasa panas dan dia langsung mengerutkan sepasang alisnya
dengan pikiran yang tidak tenang. "Mengapa urusan yang terjadi beberapa hari ini, selalu ada kaitannya dengan kaum
perempuan dan selalu yang bukan-bukan saja?" pikirnya dalam hati.
Tiba-tiba terlihat perempuan itu tersenyum lembut. Tangannya bergerak dan secara
berturut-turut dia menepuk tiga puluh enam urat nadi Tan Ki. Gerakannya ini tentu saja
mengandung maksud tertentu. Ketika dia selesai menepuk ketiga puluh enam urat nadi di
tubuh Tan Ki, wajahnya langsung menjadi merah padam dan keringatnya yang harum
mengalir dengan deras. Dia mengeluarkan tiga butir pil dari balik sakunya yang kemudian disuapkan ke mulut
Tan Ki. Setelah itu dia mengatur nafasnya sejenak dan tersenyum.
"Hengte, kau boleh menarik nafas beberapa kali. Coba lihat apakah masih merasakan
sesuatu di dalam tubuhmu?" katanya.
Tan Ki menuruti kata-katanya dan menarik nafas beberapa kali. Dia merasa hawa
murninya beredar dengan lancar, begitu pula aliran darah dalam tubuhnya. Ternyata luka
dalamnya sudah sembuh secara tuntas. Hatinya gembira sekali. Dia cepat-cepat turun dari
tempat tidur dan menjura dalam-dalam kepada perempuan tersebut.
"Terima kasih atas budi pertolongan Toa-ci, Siaute tidak tahu bagaimana harus membalasnya."
Perempuan itu mengangkat lengan bajunya untuk menutupi mulutnya. Dia tertawa
terkekeh-kekeh. "Jangan gembira dulu, meskipun pengobatanku ini sangat manjur, tetapi bukan berasal
dari aliran yang lurus. Dalam dua belas kentungan kau tidak boleh sembarangan
menggerakkan hawa murni dalam tubuhmu ataupun bergebrak dengan orang. Kalau tidak,
luka lama akan kambuh kembali bahkan lebih parah dari yang pertama. Kalau sampai hal
ini terjadi, walaupun si tabib sakti Huo To hidup kembali, dia juga tidak dapat memberikan
pertolongan apa-apa." Tan Ki tertegun mendengar ucapannya.
"Benar?" Perempuan itu tersenyum simpul. "Buat apa aku membohongimu?" matanya menyiratkan cahaya yang penuh gairah.
"Udara panas sekali." katanya kemudian.
Terdengar suara, Bret! Tahu-tahu dia telah membuka kancing bajunya. Sesaat
kemudian terlihatlah kutangnya yang berwarna merah menyolok mata. Rupanya dia
benar-benar membuka pakaiannya yang sebelah atas. Wajahnya menghadap cahaya
lampu, terang berkilauan. Membuat gairah dalam hati jadi terbangkit.
Hati Tan Ki berdebar-debar melihatnya, wajahnya yang tampan jadi merah padam.
Sejak dilahirkan, dia belum pernah melihat tubuh seorang perempuan. Bahkan kali ini,
mungkin merupakan pemandangan yang baru baginya.
Serangkum bau yang harum terendus lewat hembusan angin. Dengan berani
perempuan itu mengulurkan tangannya dan memeluk leher Tan Ki. Kulit tubuh saling
bersentuhan, pelukan yang lembut dan menyegarkan. Perasaan di hatipun terasa aneh.
Tan Ki jadi terbuai. Pandangan yang tertangkap oleh matanya hanya semacam kehangatan dan selembar
wajah yang cantik. Dia merasa hampir tidak dapat mempertahankan diri lagi. Segulung
arus birahi seperti mengalir ke atas otaknya.
Nafasnya mulai memburu, matanya mulai memancarkan sinar yang membara!
Telinganya kembali menangkap suara tawa perempuan itu yang genit. Bagai irama
pembetot sukma. Tiba-tiba dengan gerakan yang mendadak dia memeluk pinggang
perempuan tersebut, matanya yang membara menatap wajah perempuan itu lekat-lekat.
Tepat pada saat itu, dia merasa perempuan itu demikian menawan hati dan mempunyai
keistimewaan yang tidak dapat diuraikan dengan katakata.
Dia merasa setiap tetes keringat yang membasahi wajah perempuan itu bagaikan
puluhan bunga yang bermekaran. Hal mana membuat orang yang melihatnya jadi jatuh
hati. Dia jadi termangu-mangu seketika.
Lama-lama sekali, tidak ada sepatah ucapanpun yang keluar dari bibir mereka. Kamar
itu menjadi senggang, tiada suara yang terdengar, udara bagai diselimuti semacam
kegairahan yang tidak terkendalikan!
Tan Ki sudah terbuai oleh pemandangan indah di depan matanya. Pikirannya mulai
kacau. Dia hampir tidak dapat mengendalikan gelombang ombak yang menghempashempas
perasaannya. Tiba-tiba dia mengencangkan pelukannya. Seluruh tubuh perempuan itu yang lembut
dan mungil otomatis terjerembab dalam pelukannya. Gulungan hawa yang harum terus
menerpa hidungnya. Dia merasa aliran darahnya berdesir. Jantungnya memacu lebih
cepat. Ini merupakan suasana yang panas serta merangsang, seorang pemuda yang
masih hijau dan seorang gadis yang kesepian saling berpelukan dengan erat di dalam
kamar. Jurang dosa tengah mengincar keduanya agar jatuh ke dalam perangkap!
Bibir Tan Ki bergerak-gerak seakan sedang bergumam seorang diri" "Siapa kau
sebetulnya" Mengapa kau memperlakukan aku seperti ini?" nada suaranya tidak
mengandung kebencian, malah kegembiraan. Perempuan itu tertawa merdu. "Cici adalah
Siau Yau Sian-li (Dewi pecinta kebebasan) Liang Fu Yong?"
Mendengar keterangannya, Tan Ki terkejut sekali. Pikirannya yang melayang-layang
agak tersentak. "Benar?" serunya dengan hati tergetar. "Benar, Cici tidak ingin membohongimu!"
Mendengar nada suaranya yang tegas, dengan panik Tan Ki mendorong tubuh perempuan
itu. Gairah panas yang memenuhi hatinya langsung surut separuh. Keterangan yang di
luar dugaannya malah membuat dia sedemikian terkejut sehingga untuk sesaat dia
terdiam tanpa sanggup mengeluarkan sepatah katapun.
Setelah tertegun beberapa saat, dia membentak dengan nada marah"
"Perempuan jalang, lihat pukulan!" baru saja ucapannya selesai, tinjunya sudah
melayang ke depan. Tiba-tiba dia merasa serangkum rasa nyeri menyerang dadanya.
Tulang belulang tubuhnya bagai patah berserakan. Seluruh tubuhnya bergetar hebat.
Dengan panik dia menarik kembali pukulannya kemudian memejamkan mata mengatur
pernafasan. Meskipun kejadiannya berlangsung dengan cepat, namun dia sudah kesakitan sampai
meneteskan keringat dingin. Tampaknya dewi pecinta kebebasan Liang Fu Yong sudah
biasa melihat perubahan seperti ini. Dia tidak tampak terkejut malah mencibirkan bibirnya
dan tersenyum mengejek. "Sejak semula aku sudah mengatakan bahwa kau tidak boleh menggerakkan hawa
murni dalam tubuhmu atau bergebrak dengan orang. Kau malah seperti sengaja mencari
kesusahan untuk dirimu sendiri."
Dia segera menghampiri Tan Ki. Tangannya terulur dan mengusap keringat yang
membasahi dahinya. Kemudian dengan gerakan yang lembut dia meraba dada Tan Ki
seakan ingin membantu anak muda itu meringankan penderitaannya.
Tan Ki memandangnya dengan mata menyiratkan hawa amarah.
"Minggir, kau?" dadanya kembali terasa sakit sekali. Dengan panik dia menghentikan
kata-katanya. Matanya dipejamkan kembali untuk mengatur pernafasan.
Liang Fu Yong tersenyum simpul. "Ada apa dengan Cici?"
"Kau lebih rendah dari pelacur-pelacur yang menemani tamu di rumah mesum!" maki
Tan Ki.

Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia sadar apa yang dikatakan perempuan itu memang benar. Apabila dia
menggerakkan hawa murninya, kemungkinan lukanya akan bertambah parah. Tetapi dia
tetap mengucapkan kata-kata itu dengan nada penuh emosi.
Wajah Liang Fu Yong berubah hebat. "Kau menganggap apa yang dilakukan Cici tidak
benar bukan?" tanyanya tetap dengan suara lembut.
Tan Ki mendengus satu kali. Mulutnya mengeluarkan suara tertawa yang dingin.
"Orang-orang mengatakan bahwa kau Sia Yau Sian-li tidak tahu malu dan seorang perempuan
rendah. Ungkapan ini ternyata tidak salah. Aku sudah berkeliaran di seluruh
Kangouw, di mana-mana hanya ada laki-laki yang menjadi Jai Hwa Cat. Tapi seumur hidup
belum pernah mendengar ada perempuan yang melakukan hal yang hina ini?" dia merasa
kata-kata sela Bara Naga 10 Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Bentrok Rimba Persilatan 12
^