Pencarian

Dendam Iblis Seribu Wajah 22

Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Bagian 22


kasih sayang. Tan Ki adalah seorang pemuda yang cerdas, tentu saja dia mengerti maksud hati
pamannya. Biar bagaimana sekarang kedudukannya merupakan Bulim Bengcu. Yibun Siu
San khawatir kalau dia sempat terluka parah di tangan Hua Pek Cing. Diam-diam Tan Ki
merasa terharu sekali. Setelah menarik nafas panjang-panjang. Dia segera menghentikan
langkah kakinya. Hatinya sendiri sedang gundah. Mana mungkin dia tidak paham bahwa sebagai seorang
Bulim Bengcu, pertama kali bergebrak melawan musuh, apabila dirinya sampai mengalami
kekalahan, tentu nama besarnya akan hancur seketika. Kepercayaan yang diberikan oleh
para anggotanya juga sirna begitu saja. Dan yang paling parah, justru bisa mempengaruhi
seluruh Bulim di daerah Tionggoan yang pasti akan dihina secara habis-habisan. Tetapi
baru beberapa jurus ilmu yang dipamerkan oleh Hua Pek Cing, sudah membuktikan bahwa
kepandaiannya sudah mencapai taraf sedemikian tinggi sehingga sulit dibayangkan. Begitu
kuatnya sehingga di luar dugaan orang-orang dari kedua belah pihak.
Kalau ditilik dari kekuatan kedua belah pihak, hanya si pengemis sakti Cian Cong, Yibun
Siu San dan Tian Bu Cu yang ilmunya paling tinggi, sedangkan orang-orang seperti Ciong
San Suang Siu, Goan Siang Fei atau mertua Tan Ki sendiri, hanya termasuk pendekar
pedang tingkat delapan. Kalau Liu Seng tidak sanggup menghadapi Hua Pek Cing.
Mungkin hanya mengorbankan nyawa secara sia-sia apabila dipaksakan juga. Tetapi
Yibun Siu San dan Cian Cong merupakan angkatan tua bagi Tan Ki, sedangkan Tian Bu Cu
malah seorang tamu yang hadir atas kehendaknya sendiri. Tentu saja dia merasa tidak
enak hati meminta ketiga orang Cianpwe tersebut maju ke depan menghadapi musuh.
Setelah dipikir bolak-balik, mungkin kalau dirinya sendiri yang tampil menghadapi lawan,
baru bisa mencegah jatuhnya korban yang lebih banyak lagi.
Hati Tan Ki sudah bertekad, apabila memang tidak ada harapan untuk memenangkan
pertarungan ini, paling tidak dia harus mati sebagai seorang pendekar sejati dan
meninggalkan nama yang harum bagi negaranya sendiri.
Justru ketika Tan Ki ingin maju menghadapi lawan dicegah oleh Yibun Siu San, tampak
Ciong San Suang Siu dan Mei Ling menghambur ke depan. Mei Ling segera mengangkat
tubuh ayahnya untuk memberikan pertolongan, sedang kedua orang Ciong San Silang Siu
langsung menerjang ke arah Hua Pek Cing. Baik telapak tangan maupun kipas yang
digunakan sebagai senjata oleh Yi Siu bergerak dalam waktu yang bersamaan.
Hua Pek Cing langsung memperdengarkan suara tertawa yang dingin.
"Apakah kalian ingin menggunakan cara bergiliran agar tenaga lawanmu terkuras
habis?" Sembari berkata, tubuhnya bergeser ke samping. Dengan gesit dia menghindarkan diri
dari pukulan Cu Mei. Pergelangan tangan kanannya dalam waktu yang bersamaan
menjulur keluar, langsung terlihat bayangan jari tangan yang tidak terhitung jumlahnya. Yi
Siu menjadi terdesak sedemikian rupa sehingga terpaksa menarik kembali serangan
kipasnya, kemudian mencelat mundur sejauh tiga langkah.
Kali ini tampaknya Hua Pek Cing tidak sungkan lagi, tubuhnya bergerak ke depan,
tangan kanannya diangkat ke atas sedikit dan dilancarkannya sebuah totokan ke arah
teng-gorokan Yi Siu. Si pendek gemuk Cu Mei melihat keadaan mulai tidak beres, cepat-cepat dia
mengeluarkan suara bentakan keras lalu menerjang ke punggung Hua Pek Cing. Lengan
kirinya berputar dan telapak tangan kanannya menghantam. Ternyata dalam satu jurus,
dia melancarkan dua buah serangan yang berbeda. Namun Hua Pek Cing seperti tidak
menyadari datangnya bahaya. Serangan yang ditujukan kepada Yi Siu masih tetap
meluncur. Ketika rangkuman angin yang terpancar dari pukulan Cu Mei mulai terasa,
lengan kirinya tiba-tiba ditarik kembali tanpa memalingkan kepalanya sedikitpun atau
melirik sekilaspun, seakan di punggungnya tumbuh sepasang mata saja. Dia dapat
mengetahui jarak Cu Mei dengan tepat. Kedua jari telunjuk dari jari tengahnya langsung
dijulurkan ke depan. Dalam waktu yang bersamaan, dia menundukkan kepalanya sedikit
sehingga pukulan yang dilancarkan Cu Mei lewat di atas kepalanya.
Tetapi Cu Mei sendiri justru terdesak sedemikian rupa sehingga terpaksa mencelat
mundur ke belakang. Perubahan jurus yang dilancarkan sudah termasuk cepat, tetapi ternyata gerakan Hua
Pek Cing terlebih cepat lagi. Tangannya baru terlihat diangkat ke atas, ternyata urat darah
Yi Siu telah tertotok, dan hampir dalam waktu yang bersamaan, kakinya menindak mundur
setengah langkah kemudian berputar satu kali. Tubuh Cu Mei baru berdiri dengan mantap,
tahu-tahu dia melihat Hua Pek Cing sudah mendesak ke arahnya. Telapak kanan anak
muda itu langsung menepuk jalan darah yang terdapat di pundak Cu Mei. Tangan kirinya
membentuk cakar serta mencengkeram ke bawah pusar orang gemuk pendek itu.
Cu Mei langsung terdesak hebat oleh dua buah serangan yang dilancarkannya
sekaligus. Hatinya tercekat bukan kepalang, cepat-cepat dia mencelat mundur. Tetapi
gerakan tangan kanan Hua Pek Cing yang lambat tiba-tiba berubah menjadi cepat. Dalam
sekejap mata sudah mengejar di belakangnya. Kejadiannya berlangsung secepat kilat,
baru saja Cu Mei bermaksud mengundurkan diri tetapi tidak keburu lagi. Tahu-tahu dia
merasa pundaknya seperti kesemutan dan tenaganya lenyap seketika. Kontan tubuhnya
terjengkang ke belakang kemudian rubuh di atas tanah.
Dalam beberapa gebrakan saja ternyata Hua Pek Cing sanggup mengalahkan dua orang
pendekar pedang tingkat delapan. Semua orang yang hadir di tempat itu merasa terkejut
setengah mati. Bahkan kedua orang Bun Bu-siang dan ketiga orang tongcu dari Lam Hay
Bun sendiri sampai memandangnya dengan terpana. Perasaan merendahkan dan tidak
senang yang tadinya masih tersisip di sudut hati sekarang sirna seketika. Mereka malah
merasa malu, kagum dan aneh bukan kepalang.
Pada saat itu, orang yang paling merasa serba salah sudah tentu Tan Ki. Maju salah,
tidak maju salah. Dari awal hingga akhir hatinya terus dilanda kebimbangan. Melihat Hua
Pek Cing yang setelah mengalahkan Ciong San Suang Siu masih berdiri dengan
mengulumkan seulas senyuman, perasaannya semakin gundah. Pihak lawannya masih
begitu muda, ilmunya sudah mencapai taraf yang demikian tinggi. Setelah bertarung dua
kali, orangnya masih keren dan berwibawa. Tidak tampak wajahnya menyiratkan perasaan
lelah. Bahkan saat itu Hua Pek Cing sedang menatapnya sembari tersenyum simpul.
Hal ini membuat hawa amarah dalam dada :Tan Ki jadi meluap. Dia menolehkan
kepalanya menatap Yibun Siu San sambil berkata dengan suara lirih.
"Keponakan tidak sanggup menahan kesabaran lagi. Harap Siok-siok mewakili aku
mengatur anggota yang lainnya." sembari berkata, dia langsung melangkahkan kakinya
lebar-lebar dan dengan membusungkan dada berjalan keluar. Sebetulnya dia khawatir
Yibun Siu San akan mencegahnya lagi, oleh karena itu tanpa menunggu jawaban dari
pamannya itu, dia langsung berjalan ke depan. Terdengar suara tarikan nafas panjang dari
belakang punggungnya. Sudah tentu Yibun Siu San sedang menyesalkan dirinya sendiri
yang tidak keburu mencegah tindakan Tan Ki.
Hati Tan Ki jadi tertekan, sekonyong-konyong dia merasakan kegagahannya surut
secara tidak terduga. Oleh karena itu, dia segera mendongakkan wajahnya dan menarik
nafas dalam-dalam agar hatinya dapat tenang kembali.
Biar bagaimana dia merupakan seorang Bulim Bengcu. Pertarungan yang akan
dihadapinya ini, meskipun merupakan persoalan harga dirinya seorang, tetapi sebetulnya
menyangkut kesejahteraan dunia Bulim yang sudah berlangsung selama ribuan tahun.
Tampak wajah Tan Ki serius dan berwibawa. Perlahan-lahan dia melangkah ke depan.
Otomatis pandangan mata orang-orang dari kedua belah pihak segera terpusat pada
dirinya. Suasana semakin tegang dan mencekam.
Hua Pek Cing langsung tertawa lepas.
"Kalau saudara lebih cepat sedikit turun ke tengah arena, tentu mengurangi jumlah
anggotamu yang terluka. Cayhe sudah lama sekali mendengar kehebatan ilmu silat dari
daerah Tionggoan. Justru ingin sekali melihat dengan mata kepala sendiri seorang tokoh
yang benar-benar sakti!" Tan Ki tidak menyahut sepatah katapun. Terhadap ucapan yang congkak itu, dia seperti
tidak mendengarnya sama sekali. Ketika jarak keduanya kurang lebih tinggal tujuh
langkah, tiba-tiba dia menghentikan langkah kakinya. Sepasang matanya menyorotkan
sinar yang berkilauan dan menatap Hua Pek Cing lekat-lekat.
Melihat sikapnya yang keren dan penuh wibawa, tanpa dapat ditahan lagi hati Hua Pek
Cing dilanda perasaan tegang. Kurang lebih sepeminuman teh mereka saling menatap tanpa mengucapkan sepatah
ka-tapun. Hal ini malah membuat suasana yang hening semakin mencekam. Rasanya
udara begitu pengap sehingga nafas orang-orang yang berkumpul di tempat itu menjadi
sesak. Bahkan keringat dingin telah membasahi kening mereka.
Setelah menunggu beberapa saat, tampak kesabaran Hua Pek Cing mulai habis. Kaki
kirinya maju ke depan satu langkah. Perlahan-lahan dia mengangkat sepasang lengannya,
dia menggenggam gagang sepasang pedangnya yang disampirkan di belakang punggung.
Tetapi dia masih belum menghunusnya, matanya menatap Tan Ki sembari
mengembangkan seulas senyuman. "Tampang saudara kurang segar, apakah semalam tidak dapat tidur dengan nyenyak?"
Untuk sesaat Tan Ki sempat tertegun. Tetapi tangan kanannya tetap menggenggam
pedang Penghancur Pelangi, tubuhnya tidak bergerak sedikitpun.
Kembali terdengar suara Hua Pek Cing berkata, "Pada saat ayahmu menemukan kematiannya
secara mengenaskan malam itu, mungkin kau sudah tahu gerak-gerik ibumu,
rasanya tidak perlu Cayhe menceritakannya lagi secara panjang lebar. Tetapi sebetulnya
ada orang yang pernah melihat ibumu bersandar dalam pelukan seorang laki-laki?"
Mendengar kata-katanya, tanpa dapat ditahan lagi sepasang alis Tan Ki menjungkit ke
atas. Baru saja dia ingin membantah kata-kata Hua Pek Cing, tiba-tiba suatu ingatan
melintas di benaknya. Dia teringat tulisan yang pernah dibacanya dalam sebuah kitab ilmu
silat: Apabila berhadapan dengan seorang musuh tangguh, biar lawanmu mengatakan hal
yang bagaimana menyakitkan hati, kau sama sekali tidak boleh menyahutnya. Kalau tidak,
begitu emosi dalam dadamu terbangkit, pasti lawanmu akan mempergunakan kesempatan
baik tersebut untuk melakukan penyerangan yang tidak terduga-duga!
Pikirannya tergerak, Tan Ki langsung mendengus dingin. Sepasang kakinya bagai
terpantek di atas tanah, sikapnya tetap menunggu dengan tenang dan perhatian serta
kewaspadaannya dibangkitkan. Secara berturut-turut Hua Pek Cing mengeluarkan ucapan yang menyakitkan hati.
Tetapi sejak awal hingga akhir, Tan Ki tidak menyahut sepatah katapun. Bahkan dia tidak
menunjukkan reaksi apa-apa. Melihat Tan Ki tidak terpengaruh oleh kata-katanya, hati
Hua Pek Cing malah berbalik jadi tidak tenteram. Keringatnya mengucur deras bagai
curahan hujan. Rupanya sikap Tan Ki yang berdiri tegak dengan menggenggam pedangnya erat-erat,
merupakan pembukaan jurus dari Kiam-sut tingkat tertinggi. Hal ini membuat orang yang
melihatnya merasa sikapnya itu demikian angker dan tidak mudah ditaklukkan.
Dalam suasana yang tegang dan mencekam, kedua orang itu masih saling menunggu
beberapa saat. Tetapi waktu yang tidak seberapa lama ini justru bagai berabad-abad bagi
keduanya. Serasa menit demi menit panjang sekali berlalunya.
Dalam keheningan, tiba-tiba Hua Pek Cing mengeluarkan suara bentakan keras,
sepasang pedangnya dihunus, tampak cahaya melesat bagai pelangi, serentak
dikirimkannya serangan ke depan. Justru ketika dia mulai bergerak dari lambat berubah menjadi cepat, lengan kanan Tan
Ki tiba-tiba bergerak. Langsung terlihat kilatan cahaya berkilauan yang melesat keluar
dengan kecepatan tidak terkirakan, namun orangnya sendiri hampir dalam waktu yang
bersamaan, mencelat mundur ke belakang kurang lebih setengah kaki.
Serangan yang dilancarkan Tan Ki ini mengandung kecepatan yang sulit diuraikan
dengan kata-kata, begitu melancarkan serangan orangnya langsung mencelat ke
belakang. Dia berdiri tegak kembali dengan tangan menggenggam pedang Penghancur
Pelanginya erat-erat. Orang lain sama sekali tidak sempat melihat jurus apa yang
digunakannya barusan. Kedua orang itu baru bergebrak satu jurus tiba-tiba memencar kembali, tetapi orangorang
yang hadir di tempat itu sudah dapat melihat bahwa mereka sama-sama
mengerahkan ilmu pedang tingkat tertinggi. Dan mereka saling melancarkan sebuah
serangan kepada lawannya masing-masing.
Begitu pandangan mata dialihkan, tampak pedang di tangan kiri Hua Pek Cing
merentang di depan dada, sedangkan pedang di tangan kanannya terangkat di atas
kepala. Nafasnya mulai tersengal-sengal, namun di kening sebelah kirinya justru terlihat
luka sepanjang jari tengah orang dewasa. Baik keringat dan darah mengucur deras dalam
waktu yang bersamaan. Melihat keadaan yang berlangsung, terdengar Tian Bu Cu menarik nafas panjang.
"Pedang terhunus, darah mengalir. Ini benar-benar yang disebut ilmu pedang tingkat
tertinggi. Hari ini pandangan mata pinto mendapat pengalaman baru lagi!"
Si pengemis sakti Cian Cong mengejap-ngejapkan matanya. Mulutnya merekah tertawa
lebar. "Untung barusan Tan Ki yang maju ke depan, kalau digantikan dengan si pengemis tua,
rasanya belum sanggup menghadapi ilmu pedang Hua Pek Cing yang sudah mencapai
taraf demikian tinggi. Apabila sampai turun tangan juga, sudah pasti pihak pengemis
tualah yang mengalami kekalahan. Tampaknya ilmu pedang benar-benar tidak ada
batasnya. Kedua bocah ini baru berusia dua puluhan, tetapi ilmu pedang mereka justru
sudah jauh lebih tinggi dari si pengemis tua."
Sembari berkata, kembali dia menggelengkan kepalanya sambil menarik nafas panjang.
Namun wajahnya justru berseri-seri. Tokoh sakti yang sifatnya angin-anginan ini sangat
memperhatikan diri Tan Ki dan menyayanginya bagai putra kandung sendiri.
Begitu pandangan matanya beralih lagi ke tengah arena, dia melihat kedua orang itu
sudah bertarung kembali dengan sengit. Tampak secarik cahaya berwarna putih yang
berkilau-kilauan serta guratan sinar seperti pelangi yang berwarna kehijauan saling
berkelebat memenuhi angkasa. Demikian terangnya cahaya yang terpancar dari ketiga
batang pedang tersebut, sehingga tubuh keduanya bagai terbungkus rapat-rapat. Hawa
pedang menyelimuti sekitar mereka. Tetapi tidak terdengar suara benturan senjata
mereka sedikitpun. Kurang lebih satu kentungan kemudian, tampak cahaya berwarna hijau semakin lama
semakin melebar. Tiba-tiba terdengar suara benturan logam yang nyaring dan membuat
gendang telinga serasa ngilu. Kemudian disusul dengan tubuh Hua Pek Cing yang rubuh di
atas tanah. Tubuh Tan Ki sendiri terhuyung-huyung. Secara berturut-turut, kakinya tergetar
mundur sejauh lima langkah. Darah segar tampak mengalir dari bahu kirinya, jatuh
menetes membasahi tanah. Bun Bu-siang Cia Tian Lun dan Tong Ku Lu segera menghambur keluar dari barisan
mereka. Dipondongnya tubuh Tocu muda mereka.
Di lain pihak Cian Cong dan Yibun Siu San juga berlari ke depan kemudian memapah
tubuh Tan Ki. Tangan kanan Yibun Siu San langsung terjulur ke depan mengirimkan sebuah totokan
ke pundak Tan Ki agar darah yang mengalir dapat dihentikan. Kemudian dia mengeluarkan
obat luka dari balik pakaiannya dan diborehkannya ke luka Tan Ki. Terdengar dia berkata
dengan suara lirih, "Apakah kau masih sanggup bertahan beberapa saat?"
Tan Ki mengembangkan seulas senyuman yang sendu.
"Kalau aku tidak mempertahankan diri supaya jangan sampai terjatuh, bukan hanya
pamorku yang jatuh, tetapi akan mempengaruhi nama baik dunia Bulim kita. Pokoknya,
biarpun harus kehabisan darah, aku harus mempertahankan diri dan memenangkan babak
final ini!" Yibun Siu San mengulurkan tangannya menggenggam siku Tan Ki erat-erat. Tampak
dia tertawa getir. "Bagus sekali bila kau dapat memahami maksud hati pamanmu ini." nada suara yang
tercetus dari bibirnya terdengar mengandung perhatian dan kasih sayang yang dalam.
Sementara itu, terdengar suara tertawa dingin dari mulut Tong Ku Lu. Dia berjalan keluar
dengan langkah lebar. "Ilmu pedang saudara sungguh hebat sekali. Tenaga dalampun demikian tinggi
sehingga isi perut tocu muda kami sampai tergetar hancur. Biarpun orang she Tong ini
tidak becus, tetapi ingin sekali meminta pelajaran beberapa jurus dari saudara ini!"
"Apakah dia sudah mati?" tanya Tan Ki terkejut.
Tong Ku Lu mendengus satu kali. "Kata-kata yang saudara ucapkan ini, tampaknya seperti sudah tahu tapi masih
bertanya juga. Apakah kau kira kami ini orang-orang bodoh yang tidak tahu apa
maksudmu" Tocu muda kami terkena serangan pedang saudara, meskipun dari luar tidak
terlihat luka yang berarti, tetapi sebetulnya hanya tinggal sedikit nafasnya, rasanya tidak
jauh lagi dari ambang kematian"!"
Tiba tiba saja ucapannya dihentikan. Dia merasa apabila ucapannya diteruskan, toh
hanya mencoreng muka pihak Lam Hay Bun sendiri. Setelah berhenti sejenak, maka dia
tidak meneruskan lagi kata-katanya tadi. Malah dia mengeluarkan suara batuk-batuk kecil,
sepasang pergelangan tangannya berputar. Terdengar suara dentingan logam, cahaya
berkilauan langsung menusuk pandangan mata. Tangannya sudah menggenggam
sepasang gelang baja. Terdengar dia berkata kembali, "Orang she Tong mohon petunjuk!"
Tiba-tiba Yibun Siu San maju ke depan dan menukas, "Jangan khawatir, biar cayhe saja
yang menemani!" pergelangan tangannya bergerak dan tahu-tahu pedang panjangnya
telah terhunus. Dengan cepat dia menyongsong ke depan.
Sepasang lengan Tong Ku Lu telah mengerahkan tenaga dalam, dengan sebuah jurus
yang keji dia melancarkan serangan.
Terdengar suara benturan logam yang memekakkan telinga. Timbul percikan api yang
memenuhi angkasa. Dalam waktu yang bersamaan kedua orang itu mencelat mundur dua
langkah. Bergebrak satu jurus saja, mereka sama-sama menyadari bahwa telah menemukan
lawan yang seimbang. Wajah mereka tampak kelam. Keduanya berdiri tegak dan bersiapsiap
melancarkan serangan berikutnya. Dengan mata saling mendelik, mereka berdiam diri beberapa saat. Sampai sekian lama
masih belum tampak salah seorang akan melakukan serangan. Suasana di sekitar tempat
itu bagai diliputi ketegangan yang tidak terkirakan. Setiap menit yang berlalu bagai
mengandung marabahaya yang tidak terkirakan"
Setelah menunggu lagi beberapa saat, tampaknya Yibun Siu San mulai merasa tidak


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sabar. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara siulan yang panjang dan tubuhnya mencelat ke
udara. Orang berikut pedangnya membentuk cahaya putih yang melingkar, dengan sengit
dilancarkannya serangan dari atas ke bawah.
Melihat serangan yang dilancarkan Yibun Siu San begitu hebat, Tong Ku Lu semakin
waspada, dia tidak berani memandang ringan lawannya. Sepasang gelang bajanya
dibagikan ke tangan kiri dan kanan. Yang satu menangkis datangnya serangan dan yang
satu lagi langsung diluncurkan ke bagian yang penting di tubuh Yibun Siu San. Dalam
waktu yang bersamaan, sepasang gelang bajanya melakukan dua gerakan yang berbeda.
Gebrakan kedua orang itu kali ini saima-saraa menggunakan kecepatan yang tidak
terkirakan dan jurus-jurus maut. Masing-masing mencari peluang untuk mendahului
lawannya. Tampak cahaya pedang membentuk lingkaran dan menyilaukan mata. Semakin lama
pertarungan antara keduanya berlangsung semakin cepat. Setelah belasan jurus, sulit lagi
membedakan sosok tubuh keduanya. Sejak Yibun Siu San dan Tong Ku Lu mulai bergebrak, sebelah tangan kanan Cia Tian
Lun terus menempel di punggung Hua Pek Cing. Dia bahkan tidak melirik sekalipun ke
arena pertarungan di mana rekannya sedang bertempur dengan sengit. Tampaknya
menang atau kalahnya babak pertarungan tersebut, sama sekali tidak ada sangkut
pautnya dengan dirinya sendiri. Diam-diam si pengemis sakti memperhatikan keadaan kedua belah pihak. Dia
menimbang-nimbang kekuatan yang masih ada. Di antara ketiga orang tongcu dari pihak
Lam Hay Bun, sudah ada satu yang terluka. Sudah tentu Ho Tiang Cun tidak dapat
bertempur lagi untuk sementara ini. Sisa yang duanya lagi tidak terlalu mengkhawatirkan.
Sedangkan salah satu dari Bun Bu-siang saat ini sedang bertarung melawan Yibun Siu
San, sisanya yakni Cia Tian Lun sedang mengerahkan hawa murninya untuk
mempertahankan selembar nyawa tocu mudanya. Tentu dia tidak dapat memencarkan
dirinya untuk sementara waktu. Dari pihak lawan, tampaknya hanya sisa Kaucu Pek Kut
Kau yang agak telengas dan perlu dipertimbangkan. Apabila orang yang satu ini dapat
dikuasai, mungkin pihak mereka dapat meraih kemenangan"
Pikirannya bagai kincir angin yang terus berputar. Kemudian tampak dia membisikkan
beberapa patah kata di samping telinga Ceng Lam Hong, setelah itu dia mendongakkan
kepalanya tertawa terbahak-bahak. Dengan langkah lebar dia maju ke depan dan menjura
kepada Kaucu Pek Kut Kau. "Setan keling, bagaimana kalau kita juga bermain-main beberapa jurus?" sembari
berbicara, tangannya sudah mengeluarkan pedang bambu yang terselip di pinggangnya.
Kaucu Pek Kut Kau mendengus dua kali. Tiba-tiba tubuhnya bergerak keluar perlahanlahan.
Wajahnya yang seram sungguh tidak enak dipandang. Dia malah tidak
mengucapkan sepatah katapun. Matanya yang memancarkan sinar dingin menatap Cian
Cong tanpa berkedip sekalipun. Sepasang mata Cian Cong menyorotkan sinar tajam melihat sikapnya yang sedemikian
rupa, dia tahu lawannya secara diam-diam telab. mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya
dan siap melancarkan serangan. Tetapi dia tidak menunjukkan perasaan apa-apa,
mulutnya malah tertawa lebar. "Aku ingat ketika di Pek Hun Ceng tempo hari, si pengemis tua bertarung secara konyol
dengan dirimu sampai kedua-duanya terluka. Saat itu masih belum sempat menentukan
siapa yang lebih unggul diantara kita. Kesempatan ini sulit ditemui, oleh karena itu jangan
sampai terlewatkan. Si pengemis tua ingin meminta petunjuk dari ilmu sakti keluarga
daerah Si Yu kalian!" Sepasang mata Kaucu Pek Kut Kau terus mengejap-ngejap. Tiba-tiba dia mengeluarkan
suara tawa yang aneh dan mengilukan gendang telinga. Suaranya itu lebih mirip ratapan
setan gentayangan di tengah malam. Tanpa terasa hati Cian Cong jadi tergetar.
Perhatiannya jadi terpencar. Justru ketika dia masih termangu-mangu, tiba-tiba Kaucu Pek Kut Kau menggunakan
kesempatan itu untuk melakukan penyerangan. Lengan kanannya diangkat ke atas,
langsung terasa datangnya serangkum angin yang kencang sekali. Dengan gencar
serangannya meluncur ke depan. Cian Cong mengulurkan tangannya menyambut, dalam waktu yang bersamaan, pedang
bambu di tangan kanannya menjulur ke depan. Dengan jurus Kura-Kura Mencari Mutiara,
dia langsung melancarkan tikaman ke bagian dada Kaucu Pek Kut Kau.
Terdengar mulut Kaucu Pek Kut Kau mengeluarkan suara tertawa terkekeh-kekeh
sebanyak dua kali. Tubuhnya memutar setengah lingkaran. Dielakkannya serangan Cian
Cong yang ditujukan ke bagian dada. Sekaligus tangan kanannya bergulung-gulung ke
depan, kadang-kadang menotok, kadang-kadang pula dia menepuk. Secara berturut-turut
dia mengerahkan delapan sembilan jurus.
Cian Cong mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk menahan serangan yang
gencar itu. Hampir dalam waktu yang bersamaan dia melancarkan tiga jurus sebagai
balasan. Meskipun Kaucu Pek Kut Kau mempunyai ilmu yang tinggi, tetapi pedang bambu di
tangan Cian Cong justru dilancarkan dengan tenaga lwekang murni. Setiap kali pedang
Cian Cong melancarkan sebuah serangan, ketajamannya tidak kalah dengan sebatang
pedang pusaka. Dalam sekejap mata, keduanya sudah mengerahkan segenap kepandaian
masing-masing. Serangan yang dilancarkan semakin lama semakin cepat. Tenaga dalam
yang terpancar semakin lama semakin dahsyat. Angin yang kencang segera menerpa
sampai sekitar sepuluh depaan. Tan Ki memperhatikan dengan seksama keempat orang itu terbagi menjadi dua
kelompok dan bertarung dengan sengit. Dalam waktu yang singkat tampaknya sulit
menentukan siapa yang lebih unggul. Diam-diam sepasang alisnya mengerut, sembari
diam-diam dia memperhatikan kekuatan kedua belah pihak. Pikirannya bekerja memikirkan
cara memenangkan pertarungan ini. Justru ketika dia masih termenung-menung, tiba-tiba dari sebelah timur terdengar
langkah kaki mendatangi. Perasaan Tan Ki sangat peka. Cepat-cepat dia menghentikan
lamunannya dan mengalihkan pandangan matanya. Tiba-tiba seluruh tubuhnya bergetar,
darah panas dalam dadanya seperti bergejolak. Hampir saja dia tidak dapat menahan
emosi di hatinya. Perasaannya ingin langsung menerjang ke depan. Tetapi akhirnya dia
menarik nafas panjang-panjang dan berdiri dengan tenang.
Tampak Oey Kang berlari menghampiri tempat itu dengan memondong seorang gadis
berpakaian merah. Di belakangnya mengikuti serombongan laki-laki kekar berpakaian
hitam. Jumlahnya mungkin mencapai tiga puluhan orang. Kalau ditilik dari langkah kaki
mereka yang ringan dan lincah, tampaknya orang-orang berpakaian hitam itu memiliki
ilmu kepandaian yang cukup tinggi. Kalau dilihat dari arah datangnya, mungkin orang-orang itu baru saja keluar dari ruang
pertemuan dan saat ini menghambur ke sini untuk bergabung dengan pihak Lam Hay dan
Si Yu. Menghadapi musuh besar pembunuh ayahnya, hati Tan Ki diliputi kegusaran yang tidak
terkatakan. Emosi dalam dadanya bergejolak. Tetapi dia merupakan seorang Bulim Bengcu
saat ini, biar bagaimana dia harus menjaga sikapnya dan menghadapi persoalan dengan
kepala dingin. Terpaksa cuma matanya saja yang mendelik memperhatikan Oey Kang
yang melewati dua kelompok yang sedang bertarung dengan sengit kemudian berhenti di
hadapan Cian Tian Lun. Untuk sementara dia tidak dapat membalaskan kematian ayahnya
dan menyelesaikan dendam di antara mereka berdua.
Pada saat ini, tiba-tiba dia menyadari, meskipun kedudukan Bulim Bengcu sangat tinggi
dan setiap orang bermimpi untuk mendapatkannya, tetapi begitu berhasil diraihnya,
dirinya bagai dirantai oleh gembok yang besar dan gerak-geriknya jadi tidak bebas. Hal
apapun yang akan dilakukannya harus dipertimbangkan matang-matang"
Berpikir sampai di sini, tiba-tiba dia merindukan kembali kehidupannya di alam bebas.
Untuk sesaat pikirannya jadi melayang-layang. Diam-diam dia berjanji dalam hatinya
apabila dendam kematian ayahnya telah terbalaskan, dia ingin mencari tempat yang
terpencil dan tenang serta hidup mengasingkan diri sampai menjelang akhir hayatnya.
Orang-orang yang berkumpul di tempat tersebut saat ini sedang memperhatikan gerakgerik
Oey Kang, untuk sesaat mereka tidak melihat perubahan di wajah Tan Ki. Gerakan
tubuh Oey Kang bagai awan yang berarak menghambur ke tempat di mana Hua Pek Cing
berada. BAGIAN LIII Hua Pek Cing terkena serangan hawa pedang yang dilancarkan oleh Tan Ki. Hawa
murni dalam tubuhnya membuyar seketika, isi perutnya tergetar. Meskipun lukanya sangat
parah, tetapi setelah mendapat bantuan tenaga dari Cia Tian Lun, orangnya perlahanlahan
siuman dari pingsan. Ketika dia membuka sepasang matanya, dia melihat Oey Kang
berdiri di hadapannya dengan memondong seorang gadis berpakaian merah. Dia segera
mengembangkan seulas senyuman yang tipis.
"Bibikah yang kau pondong itu?" nada suaranya begitu dingin seakan tidak perduli
siapa-pun yang digendong oleh Oey Kang saat itu.
Oey Kang mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Dia sudah mati." sahutnya perlahan.
Hua Pek Cing tidak memberi komentar, matanya malah dialihkan ke arena
pertempuran. Tiba-tiba sikapnya menjadi sendu. Dia menarik nafas panjang sembari
berkata, "Dengan kekuatan yang besar dan nama yang menjulang tinggi menyerbu ke
daerah Tiong-goan, aku selalu beranggapan bahwa rencana ini akan berhasil dengan
gemilang dan wilayah Tionggoan dapat kita kuasai dengan mudah. Tetapi kalau ditilik dari
keadaan sekarang ini, tampaknya kekuatan tokoh-tokoh Tionggoan benar-benar tidak
dapat dipandang ringan. Seandainya kita ingin mencapai keuntungan, mungkin kita
terpaksa harus menggunakan cara yang licik."
Oey Kang tersenyum simpul mendengar kata-katanya.
"Tiga puluh enam Jendral Langit lohu masih belum terjun ke lapangan, bagaimana kau
bisa mengatakan sulit menguasai daerah Tionggoan?"
Hua Pek Cing tertawa sumbang. "Kalau kau tidak mempunyai kesanggupan, terpaksa aku meminta suhu turun tangan
sendiri. Kita persiapkan diri kembali untuk melakukan penyerbuan berikutnya." luka yang
dideritanya sangat parah. Setelah mengucapkan beberapa kalimat, seluruh anggota
tubuhnya terasa lemas, aliran darah dalam tubuhnya bagai tersumbat. Cepat-cepat dia
mempertahankan tubuhnya yang terhuyung-huyung kemudian bersandar pada pundak Cia
Tian Lun. Dengan demikian perasaannya menjadi lebih nyaman.
Diam-diam Oey Kang memaki dalam hatinya: "Mulut bocah ini sungguh sesumbar,
dikiranya siapa Oey Kang itu" Memangnya aku mendapatkan julukan si raja iblis dengan
begitu saja?" tampak dia membalikkan tubuhnya dan meletakkan mayat Kiau Hun di atas
tanah, setelah itu dia berjalan sejauh delapan langkah. Sepasang matanya menyorotkan
sinar yang tajam. Sekonyong-konyong dia menggapai tangannya di atas kepala sebanyak
dua kali. Tiga puluhan laki-laki kekar segera berpencaran keluar, mereka berdiri berbaris di
sudut. Entah sejak kapan, tahu-tahu tangan masing-masing orang itu sudah
menggenggam sebuah tabung emas yang ukurannya kira-kira tiga mistar. Pandangan
mata orang-orang"itu kosong melompong, mereka berdiri dengan kaku dan tidak pernah
mengucapkan sepatah katapun. Diam-diam Tan Ki menghitung jumlah laki-laki kekar berpakaian hitam tersebut. Tidak
lebih tidak kurang, jumlah semuanya ada tiga puluh enam orang. Tampak posisi berdiri
mereka seakan tidak menentu dan tidak kentara perbedaan tinggi rendahnya kedudukan.
Tetapi gerak-gerik mereka begitu gesit dan tampaknya sudah mendapat latihan yang
matang. Di dalam perkampungan Pek Hun Ceng, Tan Ki sudah pernah bertemu dengan
barisan ini. Diam-diam hatinya tergerak: "Ini merupakan barisan Jendral Langit yang dibina
Oey Kang dengan segenap kemampuannya. Tampaknya tabung yang digenggam dalam
telapak tangan mereka merupakan Ban Hua-tong (Tabung selaksa bunga) yang dikatakan
oleh cici Liang?" Pikirannya tergerak, sepasang matanya-pun menyorotkan cahaya yang berkilauan.
Matanya menatap lekat-lekat pada diri Oey Kang dan kewaspadaannya pun segera
ditingkatkan. Oey Kang mengeluarkan suara tawa terbahak-bahak. Mendadak dia berteriak, "Liang Fu
Yong, cepat kau ke mari!" Melihat si raja iblis itu tiba-tiba mengeluarkan suara teriakan, ingatannya, langsung
melayang ke peristiwa menyakitkan yang dialami oleh cici Liangnya. Wajahnya langsung
berubah hebat. Dia menolehkan kepalanya dan membentak, "Cici Liang, tidak usah
digubris ocehannya!" kakinya menghentak di atas tanah, tubuhnya pun melesat di udara.
Ketika dia mendarat kembali, jaraknya dengan Oey Kang tinggal empat lima tindak saja.
Gerakannya begitu pesat seperti lintasan cahaya kilat.
Tampaknya Ceng Lam Hong dan Mei Ling tidak menyangka kalau mendadak Tan Ki
akan menghambur ke depan. Untuk sesaat kedua-duanya jadi termangu-mangu. Mereka
tidak sempat lagi berteriak mencegahnya.
Liang Fu Yong terus berdekatan dengan suhunya. Hatinya tetap saja merasa khawatir.
Tanpa dapat ditahan lagi dia bertanya kepada Tian Bu Cu, "Suhu, coba kau lihat, apakah
Tan Ki sanggup melawan si raja iblis Oey Kang?"
Sepasang mata Tian Bu Cu memperhatikan sikap Tan Ki.
"Apabila Oey Kang bertarung dengannya dengan menggunakan ilmu yang sejati,
walaupun Tan Ki belum tentu menang, tetapi lebih dari cukup untuk menjaga dirinya
sendiri. Tetapi lawannya ini justru seorang manusia yang maha licik. Akal busuknya
banyak sekali. Takutnya dia menggunakan racun dalam menghadapi Tan Ki?"
Terdengar desahan dari mulut Liang Fu Yong. Wajahnya menyiratkan perasaan panik
yang tidak terkirakan. Saat itu kembali Oey Kang memperdengarkan suara tawanya yang terbahak-bahak.
"Kau berhasil merebut kedudukan Bulim Bengcu yang mulia, hatiku ikut merasa
gembira. Apabila ayahmu yang ada di alam baka dapat mengetahui kejadian ini, tentu
arwahnya juga terhibur dan merasa bangga sekali?"
Tan Ki tertawa dingin. Dia segera menukas ucapan Oey Kang yang belum selesai.
"Kalau aku bisa melepaskan kepalamu dari batang lehermu itu, tentu almarhum ayahku
akan merasa lebih senang lagi"!"
Sepasang alis Oey Kang langsung menyiratkan hawa pembunuhan yang tebal. Sejenak
kemudian keadaannya sudah pulih lagi. Mendengar ucapan Tan Ki yang setiap patah
katanya mengandung kebencian yang tidak terkirakan, dia malah tertawa terbahak-bahak.
"Meskipun kita sudah pernah bergebrak, tetapi boleh dibilang belum sempat
mengerahkan kepandaian yang sejati. Seharusnya kita bertarung sengit untuk
menentukan siapa yang berhak hidup dan siapa yang harus terkapar di atas tanah. Saat ini
begitu banyak tokoh-tokoh persilatan yang hadir di tempat ini, bagaimana kalau kita
melanjutkan kembali pertarungan kita yang sempat tertunda tempo hari?"
Tan Ki mengeluarkan suara tertawa bebas. Tangannya bergerak menghunus pedang
penghancur pelanginya. Kemudian dia berkata dengan gagah, "Pertarungan kita hari ini,
kalau bukan jiwaku yang melayang maka engkau yang harus mati di bawah serangan
pedangku." sembari berkata, kakinya melangkah mundur setengah tindak. Sikapnya begitu
angker dan berwibawa. Oey Kang melihat dia berdiri tegak dengan pedang direntangkan di depan dada. Tanpa
dapat ditahan lagi hatinya jadi tergerak. Diam-diam dia berpikir, "Sikap yang
ditunjukkannya ini merupakan pembukaan gerak seorang tokoh pedang berilmu tinggi.
Rasanya aku tidak boleh memandang ringan bocah ini?"
Baru saja pikirannya masih tergerak, tiba-tiba dia melihat cahaya seperti pelangi
melintas di depan matanya, angin yang dingin menerpa wajah. Tiba-tiba Tan Ki
menjulurkan pedangnya melancarkan sebuah serangan. Terasa ada segulung hawa
pedang yang tajam melesat datang dengan gencar.
Kipas di tangan Oey Kang langsung direntangkan, tubuhnya bergerak cepat menerjang
ke depan. Baru setengah jurus dikerahkan, sekonyong-konyong dia menarik kipasnya
kembali. Rupanya mendadak dia ingat bahwa senjata di tangan lawannya menyinarkan
cahaya yang berkilauan. Hal ini membuktikan bahwa pedang anak muda tersebut
merupakan sebatang pedang pusaka. Dia takut kipasnya tidak sanggup beradu dengan
pedang tersebut sehingga ada kemungkinan patah. Oleh karena itu, baru mengerahkan
setengah jurus, mendadak dia menarik kembali kipasnya.
Tenaga dalam Tan Ki bukan saja ajaib, ilmu pedangnyapun demikian aneh sehingga
sulit ditahan. Melihat kesempatan yang baik ini, mana mungkin dia melepaskannya begitu
saja. Dengan demikian dia membentak dengan suara lantang, serangannya langsung
dilancarkan. Sekaligus lima enam tikaman dikerahkannya sehingga Oey Kang terdesak
mundur enam tujuh langkah. Untuk sesaat dia tidak mendapat kesempatan membalas
menyerang. Kedua belah pihak yang berkumpul di tempat itu tidak ada satupun yang tidak
memperhatikan ilmu pedang Tan Ki dengan seksama. Mereka melihat bahwa setiap
perubahan jurus yang dikerahkannya mengandung keajaiban yang tidak terkirakan. Dilihat
sepintas lalu mirip dengan ilmu pedang Go Bi Pai ataupun Kun Lun Pai. Namun setelah
dilihat dengan teliti, ternyata bukan dari aliran keduanya. Ilmu pedang anak muda itu jauh
lebih dahsyat dari ilmu pedang keluaran kedua partai tersebut. Hal ini membuat mereka
hanya dapat meraba-raba dan tidak bisa mendapatkan kepastian. Diam-diam sebagian
besar merasa kagum sekali. Oey Kang menahan serangan Tan Ki yang gencar, sekonyong-konyong dia melancarkan
serangan balasan. Tampak bayangan telapak tangannya bergulung-gulung. Kecepatannya
bagai lintasan kilat. Apabila dalam jangka waktu yang sama orang lain hanya dapat
mengerahkan satu jurus serangan, maka dia sudah melancarkan beberapa jurus.
Serangan yang bukan main gencarnya ini berbalik membuat Tan Ki terdesak dan
gerakan pedangnya jadi lambat. Tiba-tiba jurus yang dikerahkan kipas Oey Kang berubah,
dengan tidak terduga-duga dia melancarkan serangan. Jurus yang dikerahkannya sungguh
keji dan sanggup membunuh lawannya seketika.
Meskipun tangan Tan Ki menggenggam sebatang pedang pusaka, tetapi dia tidak
sanggup merebut kembali peluang untuk melakukan penyerangan terlebih dahulu.
Lagipula jarak mereka sedemikian dekatnya sehingga dirinya terasa kalang kabut dan
banyak jurusnya yang aneh-aneh tidak sempat dimainkan. Dengan susah payah dia
menggerakkan pedangnya dengan sekuat tenaga, dengan demikian bagian dadanya jadi
terlindung dan dia-pun menggunakan kesempatan itu untuk mencelat mundur ke
belakang. Baru saja dia menghindarkan diri sejauh beberapa depa, Oey Kang sudah berdiri tegak


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali di tempatnya semula, dia sama sekali tidak mengejar Tan Ki.
Tiba-tiba mulutnya mengeluarkan suara seperti gerangan, tangannya menjulur ke
depan menghantam. Serangannya kali ini mengandung tenaga dalam yang bukan main
dahsyatnya. Ilmu yang digunakannya justru sengaja diciptakan untuk menyerang musuh
dari jarak beberapa depaan. Diam-diam hati Tan Ki jadi tercekat. Pedangnya digeser ke samping sedikit. Ternyata
dia berhasil menahan serangan Oey Kang yang hebat, tetapi tubuhnya tergetar
sedemikian rupa sehingga terhuyung-huyung kemudian terdesak mundur ke belakang
setengah langkah. Dalam beberapa jurus yang berlangsung, kedua orang itu selalu saling menyerang
kemudian mencelat mundur. Tetapi orang-orang yang hadir di tempat itu dapat
merasakan bahwa dalam pertarungan itu selalu terselip bahaya yang mengintai setiap
saat. Perasaan mereka begitu tegang sehingga setiap orang menyaksikan jalannya
pertarungan dengan menahan nafas. Terdengar Oey Kang berkata dengan suara yang tajam, "Ilmu pedangmu merupakan
hasil curian dari Ti Ciang Pang. Memang sangat hebat dan jarang ditemui. Tetapi kalau
ditilik dari tenaga dalam yang kau miliki, tampaknya kau masih belum sanggup mengadu
jiwa denganku"!" Wajah Tan Ki menyiratkan keangkeran. Dia berdiri tegak dengan pedang merentang di
depan dada. "Manusia she Oey, kau tidak perlu mengangkat-angkat dirimu sendiri. Orang lain boleh
mengatakan bahwa tenaga dalammu sudah mencapai taraf tertinggi, ilmu yang kau kuasai
keji sekali. Tetapi di bawah serangan pedangku yang gencar, suatu ketika keburuk-anmu
pasti akan terlihat!" Mendengar nada kata-katanya yang sombong, Oey Kang mendongakkan wajahnya
tertawa terbahak-bahak. Tiba-tiba tubuhnya mendesak ke depan dan menerjang.datang.
Dengan jurus Pelangi Menghias Angkasa yang hebat, dia melancarkan sebuah totokan.
Pedang di tangan Tan Ki mengibas. Dengan keras dia menyambut jurus itu. Terdengar
suara benturan logam, pedang dan kipas sama-sama tergetar dan terhuyung-huyung
sebanyak dua kali. Tan Ki melihat pedang pusaka di tangannya ternyata tidak sanggup mematahkan kipas
Oey Kang. Malah dirinya tergetar sehingga pergelangan tangannya terasa kesemutan serta
kakinya goyah. Hampir saja dia tidak dapat mempertahankan diri. Untuk sesaat dia malah
jadi termangu-mangu. Oey Kang adalah seorang manusia yang bukan main liciknya. Melihat adanya
kesempatan bagus, mana mungkin dia sudi melepaskan begitu saja. Tiba-tiba mulutnya
mengeluarkan suara bentakan keras, tubuhnya merapat maju. Justru ketika pikiran Tan Ki
masih melayang-layang, dia sudah melancarkan serangan. Hatinya yaiig jahat berniat
menggunakan kesempatan itu untuk membunuh Tan Ki.
Tan Ki merasa serangannya yang gencar ini mengandung kekuatan yang dahsyat. Jurus
yang dikerahkan oleh kipasnya begitu ajaib sehingga sulit dihadapi. Dia bagai dikurung
dari delapan penjuru. Hatinya terkejut setengah mati. Terpaksa dia merentangkan
pedangnya untuk melindungi bagian dada dan dalam waktu yang bersamaan mencelat ke
belakang. Kedua orang itu saling menyerang dan menahan. Yang satu maju yang lainnya pasti
mundur. Tampaknya dalam waktu yang singkat sulit menentukan siapa yang lebih unggul
dan siapa yang lebih lemah. Orang-orang yang hadir di tempat itu melihat keduanya saling mengerahkan kelebihan
masing-masing dan menutupi kelemahan mereka. Setelah bergebrak beberapa jurus
kedudukan mereka masih seimbang. Dengan usianya yang masih begitu muda, Tan Ki
berhadapan dengan raja iblis nomor satu di dunia saat itu, keadaannya meskipun agak
terdesak tetapi sama sekali tidak memalukan. Diam-diam mereka bersyukur bahwa kelak
dunia Kangouw ada generasi penerus yang dapat diandalkan.
Tetapi hati Tan Ki justru tidak merasa gembira karena hal ini. Dia selalu mempunyai
pikiran: "Dendam selama berpuluh tahun terus terpendam. Sekarang musuh besar sudah
di depan mata, rasanya ingin sekali menikam jantungnya dalam sekali gerak agar mati
seketika. Tetapi setelah bergebrak beberapa jurus, bukan saja ilmu sejati pihak lawan
sudah terlihat jelas, rasanya dalam ribuan juruspun belum tentu dapat menentukan siapa
yang lebih unggul di antara kami berdua?"
Semakin dipikirkan hatinya semakin tertekan. Perasaannya demikian panik sehingga
keringat dingin mulai membasahi keningnya. Emosi dalam hatinya seakan terus
bergejolak. Entah sejak kapan, tahu-tahu ketiga puluh enam laki-laki kekar berpakaian hitam sudah
mengambil posisi membentuk barisan dan mengurung Tan Ki di tengah-tengah.
Tian Bu Cu yang melihat keadaan itu segera merasakan situasi Tan Ki yang mulai
gawat. Dia langsung berteriak dengan suara lantang.
"Hati kiri kananmu!" Justru ketika suara teriakannya baru terdengar, tiba-tiba bunga api berpijar dan
melesat keluar ke seluruh bagian tubuh Tan Ki.
Rupanya tabung yang digenggam ketiga puluh enam laki-laki bertubuh kekar itu
merupakan Ban Hua Hwe-tong yang tidak pernah ia temui sebelumnya. Tabung api
selaksa bunga itu dapat menyemburkan asap beracun yang keji. Orang-orang yang
melihat api berwarna kehijauan melesat keluar, segera dapat merasakan betapa
berbahayanya senjata semacam itu. Dalam waktu yang bersamaan, mereka mengeluarkan
suara pekikan terkejut dan terasa seluruh bulu kuduk di tubuh mereka merinding.
Dengan segenap kemampuannya Tan Ki mencelat ke atas, jangkauan loncatannya
mungkin mencapai lima kaki lebih. Tetapi dirinya langsung terdesak oleh serangan Oey
Kang sehingga mau tidak mau dia berjungkir balik di udara dan mendarat kembali di atas
tanah. Sepasang alisnya langsung menjungkit ke atas. Matanya menyorotkan sinar yang
berkobar-kobar, mimik wajahnya menunjukkan perasaan yang gusar tidak kepalang.
Hampir saja dia membuka mulut memaki Oey Kang. Tetapi sekejap kemudian dia hanya
mendengus dengan berat dan mencelat ke samping sejauh tujuh tindak.
Baru saja kakinya berdiri dengan tegak, lima carik cahaya kehijauan melesat tiba di
tempatnya berdiri tadi. Seandainya Tan Ki tidak keburu menghindar, sungguh sangat ngeri
membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya.
Panah api itu mengandung kekuatan yang dahsyat. Meskipun Tan Ki berhasil
mengelakkannya, namun percikan apinya mencapai jarak dua depaan, setelah itu baru
padam kembali. Namun tempat di mana api tersebut mendarat, baik rumput maupun
bebatuan langsung terbakar. Saat itu juga terendus bau bunga dan rumput yang terbakar.
Tan Ki berteriak dengan suara lantang, pedangnya digetarkan kemudian dihunjamkan
ke depan. Tampak secarik cahaya berkilauan yang mengiringi percikan darah, disusul
dengan rubuhnya seorang laki-laki berpakaian hitam. Tabung di tangannya menggelinding
di atas tanah dan segera ada beberapa batang panah api yang melesat keluar dan
membakar rerumputan, di mana senjata rahasia itu mendarat. Rumput-rumput yang
terbakar layu menguning seketika. Hati Tan Ki diam-diam tercekat melihatnya. "Rupanya panah api yang menyembur
keluar dari tabung emas itu bukan saja mengandung kekuatan yang dahsyat tetapi juga
mengandung racun yang keji!" Tiba-tiba tampak laki-laki berpakaian hitam itu memancarkan diri mereka. Tabung di
tangan mereka kembali digerakkan. Kali ini melesat keluar asap api berwarna kebirubiruan
yang kemudian bergabung menjadi satu seperti air terjun yang deras meluncur ke
arah Tan Ki. Rupanya di dalam tabung itu tidak hanya terisi panah api beracun, tetapi
berbagai jenis senjata rahasia beracun lainnya. Apabila setiap laki-laki kekar itu memakai
senjata rahasia yang berlainan untuk menghadapinya, entah bagaimana kelabakannya Tan
Ki menghadapi mereka. Tan Ki menggertakkan giginya erat-erat. Sekonyong-konyong dia
menggerakkan pedang penghancur pelanginya lalu menerjang kepada laki-laki berpakaian
hitam yang ada di sebelah kiri. Dalam waktu yang bersamaan, dia mengibaskan
pedangnya ke sana ke mari untuk menangkis panah beracun yang melesat ke arahnya.
Tan Ki sadar panah-panah api yang melesat keluar dari tabung emas di tangan laki-laki
berpakaian hitam itu mengandung racun yang keji. Apabila dirinya sampai terkena, bukan
cuma daging serta kulit tubuhnya yang merasa sakit, sulit pula mencari obat penawarnya.
Oleh karena itu, dia tidak berani lengah sedikitpun. Tubuhnya berkelebat ke sana ke mari.
Tampak asap api dan panah beracun terus berkelebat lewat di samping tubuh dan atas
kepalanya. Dari jauh tampak segulungan asap yang besar membungkus tubuh anak muda
itu. Namun ketiga puluh enam Jendral Langit asuhan Oey Kang ini bukan orang-orang
sembarangan. Mereka terbagi dalam tiga kelompok yang berjumlah masing-masing dua
belas orang. Sedangkan ketiga kelompok itu menggunakan jenis senjata rahasia yang
berlainan. Tan Ki menerjang beberapa kali berturut-turut. Tetapi baru menerjang beberapa depa,
terpaksa dia berhenti lagi. Pedang penghancur pelanginya bergerak sehingga
menimbulkan lingkaran cahaya berkilauan yang mana melindungi seluruh tubuhnya.
Begitu gerakan tubuhnya terhenti, kembali panah beracun, asap beracun dan piau
beracun menyerang dirinya dari segala arah!
Kali ini keadaan dirinya benar-benar gawat, menangkis sulit, melancarkan serangan
tidak mungkin. Kedua belah pihak yang melihat keadaan diri, Tan Ki saat itu, dapat
merasakan bahaya yang mengintai dirinya setiap saat.
Sepasang mata Tian Bu Cu menyorotkan sinar yang berkilauan. Kakinya bergerak maju
setengah langkah. Diam-diam dia telah mengerahkan tenaga dalamnya sebanyak delapan
bagian dan siap dilancarkan apabila situasi sudah mendesak sekali.
Pandangan mata Yibun Siu San dan Cian Cong terus melirik ke sana ke mari, meskipun
sedang berhadapan dengan musuh, mereka tetap memperhatikan situasi di sekitar. Begitu
melihat ke arah Tan Ki, tentu saja mereka paham bahwa Tan Ki saat itu sudah terkurung
rapat dalam barisan Jendral Langit binaan Oey Kang dan sulit meloloskan diri.
Tetapi keadaan mereka sendiri saat ini sedang menghadapi lawan yang tangguh. Sudah
barang tentu Kaucu Pek Kut Kau dan Tong Ku Lu tidak memberi kesempatan kepada
mereka untuk menolong Tan Ki. Melihat keadaan anak muda itu yang sedemikian
berbahaya, tanpa dapat ditahan lagi keringat dingin mengucur membasahi kening kedua
orangtua tersebut. Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Kadang-kadang malah
mereka terdesak oleh lawan masing-masing karena perhatian mereka yang terpencar serta
mengkhawatirkan keadaan Tan Ki. Kedua tokoh ini merupakan orang-orang yang berpengetahuan luas. Mereka sadar
bahwa Ban Hua Hwe-tong yang ada di tangan ketiga puluh enam laki-laki berpakaian
hitam itu mempunyai pengaruh yang hebat. Jangkauannya jauh sekali, bahkan lebih kuat
satu kali lipat dari pukulan seorang pesilat biasa. Dalam waktu setengah kentungan saja
belum tentu apinya dapat dipadamkan. Kecuali kalau daya kerja senjata rahasia itu sendiri
yang sirna dengan sendirinya. Pokoknya hampir tidak ada jalan untuk menolong Tan Ki
keluar dari kesulitan tersebut. Justru ketika kedua orang itu masih mengkhawatirkan keadaan Tan Ki, tubuh anak
muda itu telah dikelilingi kobaran api. Dalam jarak sepuluh depaan seperti terjadi
kebakaran hebat dan boleh dibilang tidak ada tempat kosong lagi bagi Tan Ki untuk
menghindarkan diri. Tiba-tiba terdengar suara ratapan yang menyayat hati"
"Tan Koko! Adik Ki!" Mei Ling dan Liang Fu Yong langsung menghambur ke depan
dengan pipi berderai air mata. Sementara itu, mendadak terdengar suara pekikan burung rajawali yang lantang sekali.
Seekor burung rajawali yang bentuk badannya besar sekali menukik ke bawah dengan
kecepatan yang tidak terkirakan. Timbul serang-kum angin yang kencang laksana badai
topan yang melanda. Demikian hebatnya kepakan sayap rajawali tersebut sehinga kobaran
api padam seketika dan asap putih kebiru-biruan memenuhi angkasa.
Hati Oey Kang langsung curiga. Cepat-cepat dia mendongakkan kepalanya. Tampak
segurat cahaya berwarna keputihan melesat dari punggung rajawali tersebut.
Kecepatannya bagai kilat. Baru saja Oey Kang berniat mengangkat kipasnya ke atas untuk
menangkis, tahu-tahu serangkum angin yang kencang menerpa wajahnya. Kipas di
tangannya sudah terkutung menjadi dua bagian.
Tampak cahaya putih berkelebat, tiba-tiba di samping tubuh Tan Ki telah berdiri
seorang gadis berpakaian putih. Kecantikan gadis ini sungguh luar biasa. Sepasang matanya bening bagai air sungai di
musim semi. Alisnya lebat dan bentuknya indah. Wajahnya bersih terang mempesona.
Orang-orang yang ada di tempat itu seakan terpikat oleh kecantikannya yang bak dewi
kahyangan itu. Apalagi saat ini bibirnya merekah mengulumkan seulas senyuman yang
manisnya sulit diuraikan dengan kata-kata. Hal ini malah membuat sukma orang-orang itu
seperti melayang-layang di awang-awang. Serasa pandangan mata tidak bisa dialihkan ke
tempat lain. Sepasang mata gadis berpakaian putih yang indah itu mengedar ke sekeliling. Melihat
pandangan mata orang-orang di sana sedang menatap diri nya dengan terkesima, tanpa
dapat ditahan lagi pipinya menjadi merah padam. Cepat-cepat dia menundukkan
kepalanya rendah-rendah. Terdengar suara desiran angin, hanya satu kali lalu berhenti. Di belakang gadis
berpakaian putih telah berdiri dua gadis cilik berusia empat belas atau lima belas tahunan.
Keduanya mengenakan pakaian hijau. Hanya yang satu hijau tua, sedangkan yang lainnya
hijau muda. Kedua gadis cilik ini juga mempunyai wajah yang rupawan sekali.
Begitu gadis berpakaian putih itu muncul di samping Tan Ki, boleh dibilang sebagian
besar tokoh daerah Tionggoan tidak ada yang mengenalinya. Tetapi orang-orang dari
pihak Lam Hay Bun serta rombongan Pek Kut Kau justru pada berubah hebat wajah
mereka. Tanpa dapat ditahan lagi kaki mereka tergetar mundur dua langkah. Seperti
mendadak melihat malaikat elmaut sehingga perasaan hati menjadi tidak tenang dan
jantung berdebar-debar. Dalam satu jurus serangan saja, gadis berpakaian putih itu sanggup mematahkan kipas
yang biasa digunakan sebagai senjata oleh Oey Kang. Orangnya sampai berdiri termanguma-
ngu beberapa saat. Sejenak kemudian dia baru pulih kembali. Tetapi tampaknya dia
merasa takut sekali kepada si gadis berpakaian putih, dia tidak mengucapkan sepatah
katapun, hanya tangannya saja yang bergerak memberikan isyarat. Setelah itu dia
membalikkan tubuh dan menghambur pergi secepat kilat. Dalam sekejap mata
bayangannya sudah tidak terlihat lagi.
Melihat perubahan yang tidak terduga-duga ini, Mei Ling dan Liang Fu Yong jadi
tertegun. Beberapa saat kemudian mereka baru mengenali si gadis berpakaian putih.
Tanpa dapat ditahan lagi, bibir mereka mengembangkan senyuman dan tawa terkekehkekeh.
Kemudian keduanya menghambur ke depan untuk mengucapkan terima kasih atas
kedatangannya yang memberi pertolongan kepada Tan Ki.
Gadis berpakaian putih itu hanya tersenyum simpul. Tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan
tahu-tahu sudah menghilang dari pandangan.
Gerakan tubuhnya itu demikian cepat sehingga orang-orang yang hadir di tempat itu
tidak melihat bagaimana dia tahu-tahu sudah ada di samping Tong Ku Lu. Terdengar
suara gerungan pendek. Tubuh Tong Ku Lu terhuyung-huyung bagai orang mabuk
kemudian tergetar mundur sejauh lima enam langkah. Sebatang kipas di tangannya sudah
terkutung menjadi dua bagian. Begitu terkejutnya orang ini sehingga wajahnya berubah
pucat pasi seketika.. Dalam satu jurus serangan saja, gadis berpakaian putih itu kembali mendesak Cia Tian
Lun hingga mengundurkan diri, kemudian tampak dia berjungkir balik lalu melayang
datang bagai terbang. Tampak cahaya pedang berkilauan, Kaucu Pek Kut Kau yang sejak
tadi terus berkutat dengan si pengemis sakti Cian Cong mendadak mengeluarkan suara
raungan yang aneh. Sebelah tangannya mendekap pundak dan mundur dengan
terhuyung-huyung. Tanah di mana kakinya melangkah terdapat tetesan darah segar yang
mengalir dari pundaknya yang terluka. Wajahnya yang hitam malah berubah merah
padam. Sekali turun tangan si gadis berpakaian putih langsung menyerang tiga tokoh paling
sakti di dunia saat ini. Ilmunya yang begitu ajaib serta gerakan tubuhnya yang demikian
cepat membuat orang-orang yang melihatnya sampai melongo dan mendelikkan mata
mereka lebar-lebar. Sampai sekian lama tidak ada seorangpun yang membuka mulut.
Hua Pek Cing sudah pernah kena batu di tangan pelayannya, Mei Hun. Sekarang dia
melihat gadis berpakaian putih itu menyerang tiga tokoh berilmu tinggi secara berturutturut
tanpa menemui kesulitan sedikitpun. Perasaannya menjadi kecut. Diam-diam dia
berpikir dalam hati: "Meskipun ditilik dari keadaan, pihak kami masih mempunyai jago-jago
yang dapat diandalkan, tetapi ilmu kepandaian gadis ini benar-benar hebat. Mungkin tidak
ada seorang pun yang sanggup menghadapinya."
Begitu pikirannya tergerak, cepat-cepat dia memberi perintah kepada Cia Tian Lun
dengan suara lirih. "Mundur!" Begitu kata-katanya terucapkan, ternyata pengaruhnya masih demikian besar. Para
jago dari Lam Hay dan Si Yu serentak mengundurkan diri turun dari bukit tersebut. Dalam
waktu sekejap mata, semuanya sudah meninggalkan tempat itu. Hawa pembunuhan yang
tadinya menyelimuti seluruh bukit itu, saat ini menjadi buyar seketika.
Tan Ki menatap kepergian orang-orang itu sampai menghilang dari pandangan mata.
Dia tidak memerintahkan anggota perkumpulannya untuk mengejar. Dia tahu pihak Lam
Hay dan Si Yu hanya tergetar oleh ketinggian ilmu yang dimiliki oleh gadis berpakaian
putih. Bukan karena mereka sudah kalah. Kalau tanpa berpikir panjang lagi dia
memerintahkan orang-orangnya untuk mengejar, bisa-bisa pihak Lam Hay dan Si Yu
merasa terdesak sedemikian rupa sehingga nekat mengadu jiwa.
Begitu pandangan matanya dialihkan, dia melihat wajah Yibun Siu San dan Cian Cong
menyiratkan perasaan ingin tahu, mata mereka menatap si gadis berpakaian putih itu
lekat-lekat. Tampaknya banyak perkataan yang ingin mereka ucapkan, namun terpaksa
ditahan. Mereka duduk bersila di atas tanah, kemudian memejamkan matanya rapat-rapat
untuk mengatur pernafasan. Meskipun kedua Cianpwe itu tidak terluka sama sekali namun pertarungan yang
berlangsung tadi cukup membuyarkan hawa murni dalam tubuh mereka. Walaupun di
dalam hati banyak sekali perkataan yang ingin mereka ucapkan, tetapi mereka tidak berani
memencarkan perhatian untuk sementara. Akhirnya keduanya duduk bersila mengatur
pernafasan.

Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitu rombongan musuh meninggalkan tempat itu, para anggota perkumpulan Ikat
Pinggang Merah segera turun tangan membersihkan sisa-sisa pertempuran. Dengan
sepasang tangan menggenggam pedang, Tan Ki maju ke depan dan menjura dalamdalam.
"Pedang pusaka meskipun tajam dan sakti, tetapi hanya sesuai untuk orang yang
cocok. Dalam pertempuran di bukit Tok Liong-hong kali ini, cayhe sudah cukup
mengandalkan pedang ini untuk menghadapi musuh, tetapi cayhe merasa sulit menerima
pemberian dari nona ini." Gadis berpakaian putih tersenyum tipis.
"Barang yang sudah dihadiahkan, tidak mungkin aku tarik kembali. Pedang Penghancur
Pelangi ini memang merupakan sebatang pedang kuno yang luar biasa tajamnya. Tetapi
aku sudah menghadiahkannya kepada Mei Hun. Barang ini sudah menjadi haknya. Kalau
dia ternyata menghadiahkannya lagi kepadamu, hal ini tidak ada sangkut pautnya lagi
dengan diriku." suaranya begitu merdu sehingga orang yang mendengarnya sulit
membantah apapun yang dikatakannya.
Mendengar ucapannya, tanpa terasa sepasang tangan Tan Ki terkulai ke bawah. Tetapi
sesaat kemudian, dia mengangkatnya kembali.
"Apalagi pedang pusaka, seharusnya dimiliki oleh orang yang tepat. Cayhe adalah
seorang desa yang kasar. Seandainya membawa pedang ini, malah membuat orang tidak
percaya kalau pedang ini merupakan sebatang pedang pusaka. Kalau nona berkeras hati
tidak mau menerimanya kembali, namun cayhe juga enggan menggunakannya, lama
kelamaan malah menjadi barang rongsokan. Sebaiknya nona hadiahkan saja kepada orang
lain." Sepasang mata si gadis berpakain putih menatap diri Tan Ki lekat-lekat. Sejak muncul
di tempat itu bibirnya selalu mengembangkan senyuman. Tetapi setelah mendengar katakata
Tan Ki, matanya langsung menyorotkan cahaya seperti kilat. Tetapi sekejap kemudian
sudah pulih kembali. Namun senyuman yang diperlihatkannya sekarang ini tidak semanis
tadi lagi. Sepasang alisnya menyiratkan kemarahan yang terpendam. Perlahan-lahan dia
berkata lagi dengan nada sendu, "Kalau memang begitu kemauan siangkong, tentu aku
tidak enak hati mengatakan apa-apa lagi." dia memalingkan wajahnya kemudian berkata
lagi, "Mei Hun, Ciu Goat, mari kita kembali ke Tian San!"
Ucapan ini seakan dicetuskan dengan tergesa-gesa. Tampaknya dia ingin terbang
meninggalkan tempat itu secepatnya. Mei Hun dan Ciu Goat yang mendengarnya jadi
tertegun. Entah mengapa majikan mereka yang datang dengan kegembiraan yang
meluap-luap, tiba-tiba merubah pendiriannya. Meskipun hati mereka merasa aneh, tetapi
keduanya tidak berani bertanya. Setelah saling" lirik sekilas, mereka melesat naik ke atas
punggung rajawali. Gadis berpakaian putih itu tidak melirik Tan Ki sekilaspun. Tangannya menyambut
pedang Penghancur Pelangi. Tidak terlihat jelas bagaimana tubuhnya bergerak, hanya
terendus serangkum bau harum yang menerpa hidung. Orangnya sendiri sudah melesat ke
atas punggung burung rajawalinya dan berdiri membelakangi Tan Ki.
Dengan termangu-mangu Tan Ki memandangi bayangan punggung ketiga gadis itu. Dia
tidak mengucapkan sepatah katapun. Orang lain juga tidak dapat menebak apa yang
dipikirkannya saat itu. Sebetulnya, bukan Tan Ki tidak mau berbicara, tetapi kedatangan
dan kepergian gadis berpakaian putih itu demikian tergesa-gesa. Meskipun di dalam
hatinya terdapat ribuan kata-kata yang ingin diucapkan, namun dia justru tidak tahu
bagaimana harus memulainya. Untuk sesaat, dia malah berdiri termangu-mangu tanpa
bergerak sedikitpun. Tiba-tiba, kembali terendus serangkum bau yang harum menerpa datang. Tahu-tahu
Mei Hun sudah berdiri di hadapannya. Tampak sepasang alis gadis itu menjungkit ke atas
dan wajahnya menunjukkan perasaan tidak senang.
Tan Ki tertegun sesaat, kemudian menjura dalam-dalam.
"Entah ada petunjuk apa lagi yang ingin nona sampaikan?" tanyanya sopan.
Mei Hun mengeluarkan suara tertawa yang dingin.
"Kau memang pandai sekali menjadi orang!" apa yang dikatakannya malah tidak ada
hubungannya sama sekali dengan pertanyaan Tan Ki.
Mendengar ucapannya, sekali lagi Tan Ki tertegun. Hatinya merasa bingung.
"Harap nona tidak mengucapkan kata-kata yang menyakitkan hati, entah Cayhe
berbuat kesalahan apa?" Mei Hun segera menukas dengan nada yang dingin, "Kalau kau berbuat kesalahan
terhadap diriku, mungkin masih bisa dimaafkan, tetapi menyalahi nona kami, rasanya tidak
mungkin begitu mudah diselesaikan!"
Begitu kata-katanya terucap keluar, Yibun Siu San dan Cian Cong yang sedang
memejamkan mata mereka mengatur pernafasan, saat ini tiba-tiba membuka mata
serentak. Mereka melirik sekilas kepada Mei Hun, seakan ingin mengatakan sesuatu
namun membatalkannya, kemudian tampak mereka memejamkan matanya kembali.
Terdengar Mei Hun berkata lagi perlahan-lahan, "Barang yang aku hadiahkan
kepadamu, sama sekali tidak berniat diambil kembali. Kau justru tidak tahu kebaikan
orang, dengan keras kepala tetap ingin mengembalikannya kepada nona kami?"
Mendengar sampai di sini, perasaan hati Tan Ki semakin bingung. Tanpa dapat ditahan
lagi dia menukas, "Memang apanya yang salah?"
Mei Hun menghentakkan kakinya di atas tanah keras-keras.
"Apanya yang salah" Siapa kau kira nona kami itu" Kau kira dia sudi menjilat kembali
ludah yang telah dikeluarkan dari mulutnya" Meskipun pedang Penghancur Pelangi itu
adalah sebatang pedang pusaka yang harganya tidak ternilai, namun nona kami tidak
memandang sebelah matapun. Kau seenaknya saja mengembalikan barang yang sudah
dihadiahkan kepadamu, harga dirinya benar-benar bagai dicampakkan. Tadinya nona kami
sudah berniat masuk menjadi anggota perkumpulan Ikat Pinggang kalian, sekarang
keinginan itu jadi sirna. Apakah orang seperti dirimu ini pantas menjabat sebagai Bulim
Bengcu" Demi engkau, nona kami sampai?"
Berkata sampai di sini, tiba-tiba dia merasa ucapannya tidak patut diteruskan. Cepatcepat
dia membatalkannya dan membungkam. Melihat sikapnya yang garang itu dan betul-betul marah, tampaknya Mei Hun bukan
sedang bergurau. Diam-diam dia juga mulai merasakan bahwa urusannya jadi tidak beres.
Sepasang tangannya saling meremas dengan gelisah. Hatinya panik sekali.
"Aku betul-betul tidak berniat melukai hati nonamu itu?"
Si budak Mei Hun sejak kecil hidup di pegunungan Ming San yang terpencil. Hatinya
masih polos sekali. Melihat keringat dingin membasahi kening Tan Ki dan bicaranya yang
gagap gugup, hatinya jadi melemah. Perlahan-lahan dia menundukkan kepalanya dan
berusaha memikirkan jalan keluar bagi Tan Ki. Tiba-tiba dia mendengar suara teriakan Ciu
Goat yang tidak henti-hentinya. "Cici Mei Hun, Siocia ingin kita berangkat secepatnya!"
Mei Hun mendongakkan wajahnya menatap sekilas ke arah si gadis berpakaian putih,
tiba-tiba dia menarik nafas panjang.
"Demi urusanmu, tanpa perdulikan segala macam penderitaan, nona kami menempuh
perjalanan jauh dari Ming San ke mari, lagipula dia menunjukkan wajah aslinya. Dia
membantumu menghalau musuh. Perasaan sayang yang begitu dalam, orang lain mungkin
ingin membalasnya masih belum sempat, kau malah mengucapkan kata-kata yang
menyakitkan hatinya. Seandainya dia merasa terhina lalu dengan perasaan kesal
menggabungkan diri dengan pihak musuh, aku benar-benar tidak tahu nasib
mempermainkan manusia atau kau memang sengaja mengharapkan kejadiannya jadi
demikian!" Setelah memaki Tan Ki beberapa patah kata, tampaknya hati gadis cilik itu masih
dilanda kebimbangan. Selesai mengucapkan kata-katanya, dia mendelik sekali lagi kepada
Tan Ki". Tampak pundaknya bergerak sedikit, dengan kecepatan kilat dia sudah naik di atas
punggung burung rajawali. Terdengar kembali suara pekikan burung itu yang memekakkan telinga. Kemudian
angin kencang laksana badai topan kembali memenuhi sekitar tempat tersebut. Debu dan
pasir-pasir beterbangan. Burung rajawali yang besar sekali itu sudah mengepakkan
sayapnya dan terbang ke atas. Dalam sekejap mata saja hanya terlihat sebuah titik hitam
di langit bagian barat daya. Lama kelamaan semakin mengecil dan menghilang dari
pandangan mata. BAGIAN LIV Tan Ki memandang kepergian majikan dan pelayannya yang dalam keadaan marah.
Hatinya seperti kehilangan sesuatu yang berharga. Dengan termangu-mangu dia menatap
ke atas langit dan wajahnya tampak kelam sekali. Untuk sekian lama dia tidak
mengucapkan sepatah katapun. Tiba-tiba dari belakang punggungnya terdengar suara tarikan nafas yang berat.
"Benar-benar seorang gadis sakti yang berwatak tinggi hati dan angkuh!"
Mendengar suara itu, Tan Ki segera menolehkan kepalanya. Entah sejak kapan, Yibun
Siu San dan si pengemis sakti Cian Cong sudah berdiri di belakangnya. Terdengar Cian
Cong melanjutkan kembali kata-katanya"
"Ilmu yang dimiliki gadis ini benar-benar sudah tidak terukur tingginya. Si pengemis tua
kagum bukan main. Tetapi karena sedikit salah paham langsung pergi tanpa berpikir
panjang lagi, tampaknya jiwa gadis ini kurang lapang."
Tan Ki menarik nafas perlahan-lahan.
"Semuanya merupakan kesalahan anak Ki. Karena ulahku, perkumpulan Ikat Pinggang
Merah kembali kehilangan seorang tokoh sakti yang dapat diandalkan. Meskipun paman
dan Cian Locianpwe tidak mengatakannya secara terus terang. Hati anak Ki justru tambah
tertekan dan tahu telah berbuat kesalahan lagi." sembari berkata, sepasang matanya
sudah mulai membasah. Setetes demi setetes air matanya jatuh di atas tanah.
Yibun Siu San segera tertawa lebar.
"Masih lumayan, dalam pertempuran kali ini, pihak kita tidak sampai mendapat kerugian
banyak. Meskipun dia sekarang pergi dalam keadaan marah, tetapi pasti ada saatnya
untuk bertemu lagi. Kau juga tidak perlu merasa menyesal dan menyalahkan dirimu sendiri
terus menerus. Jaga baik-baik sikapmu sebagai seorang Bulim Bengcu. Jangan sedikitsedikit
menangis seperti orang perempuan."
Ketika mereka berbincang-bincang itulah, orang-orang gagah yang berkumpul di
tempat itu sudah membersihkan keadaan tempat itu yang kocar kacir. Bekas-bekas darah
disiram sampai bersih. Bekas kebakaran juga dirapikan, rumput-rumput yang hangus dan
layu dicabut sehingga semuanya kembali seperti sedia kala.
Tiba-tiba salah seorang anggota perkumpulan mereka berlari mendatangi dengan
tergesa-gesa. Sesampainya di hadapan Tan Ki, dia segera membungkukkan tubuhnya
dalam-dalam. "Para ketua dari lima partai besar yakni Siau Lim, Bu Tong, Cing Ceng, Kun Lun dan Go
Bi Pai beserta sejumlah anak muridnya sudah hadir di kaki bukit. Mohon tanya
penyambutan bagaimana yang harus kita lakukan?"
Mendengar keterangannya, Tan Ki seperti orang terkena pukulan bathin berat.
Tubuhnya bergetar hebat tetapi sekejap kemudian dia sudah pulih kembali seperti
sebelumnya. Dia segera mengulapkan tangannya sambil berkata, "Lima partai besar
dengan perkumpulan kita sama-sama menegakkan keadilan bagi dunia Bulim. Tentu saja
kita harus menyambut mereka dengan penyambutan tamu agung yang terhormat!"
Liang Fu Yong mendadak menghampiri Tan Ki dan berkata kepadanya dengan suara
rendah. "Adik Ki, tidakkah lebih baik kalau kau mengganti dulu pakaianmu?"
Rupanya dalam pertarungan tadi, Tan Ki diserang dengan gencar oleh tiga puluh enam
Jendral Langit asuhan Oey Kang. Meskipun orangnya sendiri tidak sampai terluka, tetapi
pakaiannya sudah bolong di sana sini terkena percikan api. Biar bagaimana dia adalah
seorang Bulim Bengcu yang disegani. Seandainya mengenakan pakaian yang koyak
menyambut tamu, rasanya kurang pantas. Liang Fu Yong selalu mengkhawatirkan nama
baik Tan Ki. Itulah sebabnya dia menanyakan persoalan itu.
Tan Ki menundukkan kepalanya dan memperhatikan keadaan pakaiannya. Dia langsung
memperlihatkan secercah senyuman yang getir.
"Lima partai besar sudah dalam perjalanan menuju ke sini. Dengan demikian tidak ada
waktu lagi mengganti pakaian menyambut tamu agung. Lagipula saat ini yang kupikirkan
bukan masalah pakaianku yang pantas atau tidak?"
Mendengar nada suaranya yang begitu berat, seakan hatinya masih bimbang dan
terselip kegundahan yang besar, Liang Fu Yong segera teringat keadaannya saat ini.
Matanya menatap Tan Ki lekat-lekat dengan tertawa sendu.
Tan Ki dapat merasakan bahwa tawa yang diperlihatkan Liang Fu Yong seperti hendak
menghibur hatinya yang gelisah. Juga mengandung permintaan maaf yang tidak
terkirakan. Sebab, meskipun dia mengetahui isi hati Tan Ki seperti orang yang mengenali
jari tangannya sendiri, tetapi dia tidak dapat memberikan bantuan apa-apa"
Dalam keadaan yang hening dan mencekam, kedua orang itu saling pandang beberapa
saat. Tan Ki segera membangkitkan keberaniannya, kegagahannya tergugah. Dengan
demikian dia langsung mengibaskan tangannya dan berkata dengan suara lantang.
"Lima partai besar datang lebih awal ke markas kita di puncak bukit Tok Liong-hong ini.
Persahabatan yang tulus ini sungguh tidak mudah ditemukan. Harap saudara-saudara
sekalian menyambutnya sesuai dengan tingkatan masing-masing!"
Kemudian, dengan Tan Ki sebagai pimpinan, Yibun Siu San, Cian Cong dan Tian Bu Cu
mengiringi di belakang. Para anggota perkumpulan Ikat Pinggang Merah langsung
memencarkan diri dan berbaris menjadi dua kelompok. Sikap yang mereka tunjukkan
penuh hormat dan berdiri di tempat masing-masing dengan khidmat.
Kurang lebih sepeminuman teh kemudian, dari batas puncak bukit tampak seseorang
berkepala botak berjalan mendatangi. Kemudian disusul dengan seseorang yang
mengenakan jubah pertapa berwarna abu-abu, lalu seorang laki-laki tinggi besar dan
gagah, serta berusia pertengahan abad. Lambat laun, yang menuju ke tempat mereka
semakin banyak. Sudah tentu yang berkepala pelontos tadi, ketua Siu Lim Pai sendiri,
yakni Pun Sang Taisu. Di belakangnya mengikuti kepala bagian hukuman Pun Bu Taisu
dan ketua pendopo Tat Mo-goan, Pun Sing Taisu dan beberapa murid lainnya dari
angkatan Pun. Di sebelah kiri dipimpin oleh Ciang Bunjin (Ketua perguruan) Bu Tong Pai, Sia Hai Cinjin,
serta beberapa muridnya. Juga ketiga partai lainnya yang membawa sejumlah murid
berjalan mendatangi dengan langkah lebar. Jumlah mereka mencapai tujuh puluhan
orang. Ketika jarak di antara mereka tinggal beberapa depa, serentak mereka
menghentikan langkah kakinya. Gerakan kaki mereka demikian ringan dan berbaris rapi.
Dengan tampang berwibawa Tan Ki melangkah maju ke depan, kemudian
merangkapkan sepasang kepalan tangannya menjura.
"Baru saja terjadi pertempuran besar sehingga keadaan di tempat ini masih kacau
balau. Meskipun perkumpulan kami merupakan wadah bersatunya berbagai tokoh dari
dunia Bulim, tetapi tetap saja merasa kurangnya tenaga sehingga sulit menghadapi musuh
yang tangguh. Sekarang beruntung sekali kami mendapat bala bantuan dari pihak lima
partai besar. Ini yang dinamakan nasib baik bagi kami dan hari kiamat bagi para golongan
sesat." Sepasang alis Pun Sang Taisu yang panjang bergerak-gerak sedikit. Matanya
menyorotkan cahaya tajam dan berkilauan. Dia memperhatikan Tan Ki sejenak kemudian
menyebutkan nama Buddha dengan suara rendah.
"Apakah saudara ini yang menjabat sebagai Bulim Bengcu?"
Tan Ki tertawa lebar. "Jangan sungkan." sahutnya sopan.
Pun Sang Taisu mendadak memejamkan sepasang matanya dan menarik nafas
panjang. "Dalam keadaan dilanda huru hara, apabila dunia Bulim dapat memperoleh seorang
pemimpin seperti saudara ini, persoalan apa lagi yang tidak bisa diatasi dan golongan
sesat mana yang tidak bisa terusir?"
Hwesio tua yang bijaksana dan berilmu tinggi ini sudah lama mendengar kegagaban
Tan Ki. Diapun tahu ilmu kepandaian Tan Ki sudah mencapai taraf sedemikian tinggi
balikan pernah menghalaujago-jago dari Lam Hay dengan sebatang pedang sulingnya.
Setelah bertemu muka, dia semakin merasa bahwa penampilan anak muda ini demikian
gagah. Wajahnya tampan dan tampangnya berwibawa. Hatinya yang sudah lama ingin
menjumpai tokoh muda ini, sekarang malah timbul kesan yang baik dan dalam. Dia benarbenar
kagum terhadap Tan Ki. Tampak Tan Ki tersenyum simpul. "Apabila kita ingin menghindarkan bencana bagi dunia Kangouw serta mengusir musuh
yang berniat menjajah kita, cayhe benar-benar mengharapkan uluran tangan tokoh-tokoh
seperti Taisu yang bersedia merasakan penderitaan bersama-sama."
Pun Sang Taisu tersenyum lembut sembari memperkenalkan keempat Ciang Bunjin
lainnya kepada Tan Ki. Sementara itu, Cian Bunjin dari Bu Tong Pai, sejak bertemu dengan Tan Ki langsung
melangkah maju beberapa tindak. Dia melewati samping anak muda itu kemudian terus
melangkah mendekati Tian Bu Cu. Sepasang tangan Sia Hai Cinjin dirangkapkan di depan dada dan membungkuk sedikit
dengan hormat. Terdengar suaranya yang sopan dan mengandung keseganan yang
dalam. "Semoga Susiok dalam keadaan baik-baik saja."
Tian Bu Cu merasa tidak ada yang harus dikatakannya. Oleh karena itu dia hanya
menganggukkan kepalanya sedikit sambil tersenyum lembut, kemudian membalas
penghormatan yang diberikan sutitnya.
Tiba-tiba Sia Hai Cinjin menekan suaranya rendah-rendah dan berkata lagi, "Apakah
Su-siok tahu riwayat hidup dan asal-usul Bengcu yang baru terpilih ini?"
Tampak Tian Bu Cu tidak menyangkanyangka dia akan mengucapkan pertanyaan
seperti itu. Untuk sesaat dia jadi tertegun. Dia melihat wajah Sia Hai Cinjin kelam sekali,
sikapnya serius dan tidak mungkin mengajukan pertanyaan seperti itu apabila tidak ada
alasan yang kuat. Tanpa dapat ditahan lagi, malah dia balik bertanya"
"Apa maksud ucapan hiantit ini?"
"Pertama kali melihat Bulim Bengcu ini, hati sudah timbul kecurigaan. Sutit merasa
bahwa dia bukan orang yang berjiwa pendekar atau secara kasarnya bukan manusia baikbaik."
Sepasang alis Tian Bu Cu langsung berkerut mendengar ucapannya.
"Kau menjabat sebagai Ciang Bunjin sebuah partai besar. Seharusnya menimbang
segala hal dengan akal sehat dan kebijaksanaan besar. Ditilik dari ucapanmu barusan,


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah terbukti bahwa pandangan matamu demikian dangkal. Menilai seseorang hanya
berdasarkan tampang wajahnya saja, apakah tidak menjadi bahan tertawaan sahabatsahabat
di dunia?" suara pembicaraannya ditekan serendah mungkin, seakan takut
terdengar oleh orang lain. Juga menjaga pamor dari perguruannya. Tetapi nada yang
terkandung di dalamnya seakan menyalahkan Sia Hai Cinjin yang menilai orang secara
sembarangan. Mendengar gerutuan orangtua itu, hati Sia Hai Cinjin merasa kurang senang. Tetapi dia
juga termasuk seorang yang keras kepala dan kukuh pendiriannya. Meskipun emosinya
agak bergejolak, tetapi dari luar dia mempertahankan ketenangannya.
"Kalau hanya menilai orang dari tampangnya, aku juga tidak pantas menjabat sebagai
Ciang Bunjin dari Bu Tong Pai, Bulim Bengcu yang ada di hadapan kita ini, mungkin hanya
murid keponakan partai kita yang dapat mengenali wajah aslinya."
Tian Bu Cu melihat hati keponakannya ini seakan ada yang diandalkan sehingga terus
tidak mau menyudahi masalah ini. Tanpa dapat ditahan lagi dia jadi merenung beberapa
saat. Dia sadar bahwa urusan ini tidak main-main besarnya. Di antara kedua belah pihak
apabila terjadi kesalahan sedikit saja, kalau bukan perkumpulan Ikat Pinggang Merah yang
bubar, mungkin nama besar Bu Tong Pai yang akan tersapu bersih. Malah bisa terjadi
pertumpahan darah besar-besaran. Setelah berpikir bolak-balik, Tian Bu Cu berkata lagi dengan suara rendah.
"Apakah kau benar-benar mempunyai bukti yang kuat" Perlu kau ketahui bahwa urusan
ini tidak boleh dijadikan permainan. Kalau sampai terjadi keributan, kita sama-sama
mendapatkan kesulitan yang tidak kepalang besarnya."
Baru saja Sia Hai Cinjin ingin memberikan jawaban, tiba-tiba terdengar suara tawa yang
panjang. "Bolehkah si pengemis tua ikut mendengarkan sedikit" Entah bukti apa yang
tergenggam dalam tangan si hidung kerbau?"
Sia Hai Cinjin sadar bahwa pembicaraan antara dirinya dengan sang Susiok sudah
tertangkap oleh telinga si pengemis sakti Cian Cong. Tanpa terasa wajahnya jadi merah
padam. Dia memaksakan dirinya untuk mengembangkan seulas senyuman.
"Ternyata Cian Locinpwe juga tertarik dengan urusan ini."
Sepasang mata Cian Cong mendelik lebar-lebar. Dia membentak dengan suara keras.
"Cacing dalam perut si pengemis tua justru sedang kegatalan karena menagih arak.
Siapa yang sempat mencuri dengar pembicaraan orang lain" Siapa suruh kau berkasakkusuk
di samping si pengemis tua" Sekarang kau mengatakan bahwa kau tahu asal-usul
sebenarnya dari Bulim Bengcu kita, telinga si pengemis sakti justru sudah gatal ingin
mendengarkan!" Sia Hai Cinjin mengira bahwa Cian Cong memang sengaja berteriak keras-keras agar
perhatian para anggota perkumpulan Ikat Pinggang Merah serta orang-orang yang hadir di
tempat itu jadi tertarik perhatiannya. Ternyata, orang-orang yang berkumpul di tempat itu,
tidak mengerti apa yang telah terjadi. Wajah mereka segera dipalingkan kepada ketiga
orang tersebut. Sebetulnya bukan karena dia pernah bertarung tiga hari tiga malam dengan Tian Bu
Cu, maka si pengemis sakti ini sengaja mencari gara-gara. Tetapi karena dia terlalu
mengkhawatirkan Tan Ki. Setelah mendengar serentetan pembicaraan antara Susiok dan
Sutit itu, tanpa dapat menahan emosi dalam dadanya lagi, dia mengeluarkan kata-kata
dengan suara yang keras. Dengan sikap panik Tan Ki berdiri di sudut. Kepalanya mendongak ke atas menatap
langit. Dia tidak mengucapkan sepatah katapun. Tampangnya seakan orang yang
mendadak menemukan masalah besar namun tidak dapat dipecahkannya.
Terdengar suara Sia Hai Cinjin yang lantang.
"Ceng Hong, kemarilah!" Dari rombongan Bu Tong Pai, keluar seorang Hwesio yang usianya masih muda.
Terdengar dia mengiakan satu kali kemudian menghambur ke depan. Gerakan tubuhnya
ringan dan gesit. Dalam sekejap mata dia sudah sampai di hadapan Sia Hai Cinjin dan
berdiri dengan sikap hormat. Sia Hai Cinjin melihat pandangan mata orang-orang yang berkumpul di tempat itu
seluruhnya terpusat pada dirinya. Untuk sesaat dia malah dilanda ketegangan yang tidak
terkirakan. Kepercayaan dirinya menyurut. Dan dia bertanya kepada si Hwesio muda
dengan nada suara selirih mungkin. "Coba kau perhatikan lagi baik-baik. Benarkah dia orang yang kau maksudkan?"
Dengan pandangan mata yang mengandung kebencian, Ceng Hong Hwesio melirik ke
arah Tan Ki sekilas. "Meskipun dia sudah berubah menjadi seonggok tulang belulang, tecu masih dapat
mengenalinya?" nada suaranya demikian tegas sehingga tidak dapat diganggu gugat lagi.
Mendengar ucapannya, Sia Hai Cinjin baru sanggup menghembuskan nafas lega.
"Orang ini pandai sekali ilmu menyamar. Dalam waktu yang singkat dia bisa berubah
menjadi orang yang tidak dikenali?"
Sepasang mata Ceng Hong Hwesio menyorotkan sinar yang tajam menusuk. Dengan
nada yang pasti terdengar dia berkata kembali, "Urusan ini menyangkut kesejahteraan
seluruh Bulim. Meskipun tecu mempunyai sepuluh nyawa, juga tidak berani bercanda di
hadapan tokoh-tokoh sakti ini. Atau semba-rangan mengoceh yang hanya akan
menjatuhkan nama baik partai kita sendiri."
Sia Hai Cinjin mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali.
"Bagus, kau memang tidak malu menjadi murid Bu Tong Pai?" perlahan-lahan dia
berjalan maju beberapa langkah. Kemudian berhenti di belakang punggung Tan Ki.
Menghadapi peristiwa yang tidak terduga-duga ini, orang-orang yang berkumpul di
tempat itu malah tidak ada yang membuka suara sedikitpun. Beratus pasang mata
tertumpu perhatiannya pada diri Sia Hai Cinjin. Suasana menjadi tegang tidak terkirakan.
Sia Hai Cinjin mengeluarkan suara batukbatuk kecil kemudian berkata dengan perlahanlahan.
"Apakah saudara ini Tan Sauhiap yang sekarang menjabat sebagai Bulim Bengcu?"
"Benar. Entah petunjuk apa yang ingin diberikan oleh Totiang. Silahkan cetuskan saja
semuanya dengan terus terang. Tetapi harap tidak usah bersikap misterius sehingga orang
lain menjadi penasaran." meskipun mulutnya memberikan sahutan, tetapi dia tidak
membalikkan tubuhnya atau menolehkan kepalanya melirik Sia Hai Cinjin sekilas. Sikapnya
begitu dingin dan membawa keangkuhan yang besar.
"Kalau begitu kemauan saudara, pinto terpaksa berterus terang. Dan tidak perlu lagi
berbicara berbelit-belit!" tiba-tiba dia menghentikan kata-katanya. Wajahnya tampak
serius. Kemudian terdengar dia melanjutkan kata-katanya dengan tajam"
"Setengah bulan yang lalu, saudara pernah menolong seorang perempuan siluman di
sebelah tenggara Pek Hun Ceng kurang lebih pada jarak enam puluh li, benar atau tidak?"
suaranya begitu ketus seakan sedang menanya kepada seorang pesakitan.
"Sama sekali tidak salah!"
"Hari itu saudara menunjukkan kehebatan ilmumu dengan seorang diri melawan tiga
orang. Setelah bergebrak beberapa jurus dengan murid Bu Tong Pai kami, kau malah
membunuh salah seorang murid partai kami yang bergelar Ceng Bok Hwesio, benar atau
tidak?" "Kejadian ini memang benar demikian adanya!"
Sia Hai Cinjin melihat Tan Ki terus mendongakkan wajahnya menatap langit. Namun
mengakui semua yang ditanyakan olehnya. Nyalinya jadi besar dan melanjutkan kembali
kata-katanya. "Ilmu saudara sangat tinggi. Dalam waktu yang singkat berhasil membunuh Ceng Bok
Hwesio, pinto hanya dapat menyalahkan murid kami sendiri yang tidak becus, serta tidak
dapat menjaga nama baik Bu Tong Pai kami. Tetapi ucapan yang kau keluarkan tempo
hari, benar-benar membuat pinto terkejut. Urusan ini menyangkut kesejahteraan seluruh
Bulim. Pinto terpaksa mementingkan kepentingan umum dan melupakan sejenak dendam
pribadi. Dengan demikian ingin mengungkit kembali persoalan lama!" dengan katakatanya
ini, dia ingin membuat perhatian para hadirin tergugah pada dirinya. Oleh karena
itu dia segera berkata dengan suara yang keras. Terdengar kumandang suaranya yang
lantang menyusup ke dalam gendang telinga.
Melihat sikap hwesio itu mengajukan pertanyaan demikian serius dan angker, biar
bagaimana Cian Cong merupakan seorang tokoh yang berpengetahuan luas dan sudah
banyak pengalaman. Lambat laun si pengemis sakti mulai merasakan gentingnya urusan
ini. Tetapi perasaan hatinya sangat mengkhawatirkan diri Tan Ki. Tanpa dapat ditahan lagi
dia bertanya: "Ucapan apa sih yang dikatakannya hari itu, sehingga membuat kau begitu penasaran?"
Sia Hai Cinjin tertawa dingin. "Nama Locianpwe sudah terkenal di seluruh dunia, sinar mata pun lebih tajam dari
orang lain. Ternyata selama ini tidak menyadari bahwa ada seorang penjahat atau iblis
yang selalu mendampingi di sisi tubuh. Benar-benar menggelikan!"
Untuk sesaat pikiran si pengemis sakti Cian Cong seakan menjadi buntu. Mendengar
sindirannya yang tajam, dia malah jadi termangu-mangu, tidak tahu apa yang harus ia
ucapkan. Dia sendiri tidak dapat mengatakan apakah saat ini hatinya merasa kesal atau
marah mendengar ucapan Sia Hai Cinjin itu.
Yibun Siu San dan Tian Bu Cu seperti menemukan suatu hal sehingga pandangan mata
mereka menatap diri Sia Hai Cinjin lekat-lekat. Keduanya berdiam diri tanpa ikut campur
dalam masalah ini. Tetapi wajah Tian Bu Cu mulai menyiratkan perasaan paniknya.
Sedangkan hati Yibun Siu San bukan main tegangnya.
Terdengar Sia Hai Cinjin kembali berkata dengan suara lantang.
"Hal yang membuat hati Pinto terkejut setengah mati adalah ucapan saudara tempo
hari yang mengaku diri sendiri sebagai Cian Bin Mo-ong yang tiba-tiba menghilang selama
beberapa bulan terakhir ini. Entah benarkah apa yang pinto ucapkan ini?"
Begitu ucapannya keluar dari mulut, segera timbul reaksi dari orang-orang gagah yang
berkumpul di tempat itu. Wajah mereka menunjukkan mimik terkejut yang tidak kepalang
besarnya. Diam-diam timbul kecurigaan di dalam hati mereka.
Beratus pasang mata terpusat pada diri Sia Hai Cinjin. Sejenak kemudian beralih pada
diri Tan Ki. Setelah itu kembali lagi menatap Sia Hai Cinjin. Demikian mereka mengalihkan
pandangan secara bergantian sampai beberapa waktu. Mereka seakan ingin menyelidiki
kebenaran dari mimik wajah kedua orang itu. Apakah pemuda yang sanggup menaklukkan
hati orang-orang gagah ini benar-benar si raja iblis Cian Bin Mo-ong" Atau Sia Hia Cinjin
yang mengada-ada" Hati mereka diselimuti berbagai pertanyaan, mereka hanya dapat menduga-duga
menurut pandangan masing-masing. Begitu tegangnya suasana yang terasa di tempat itu
sehingga mereka menunggu jawaban Tan Ki dengan menahan nafas.
Dengan tubuh membelakangi orang-orang, Tan Ki seakan sedang memperhatikan
keadaan di sekitarnya secara diam-diam.
Kurang lebih sepeminuman teh kemudian, baru terdengar Tan Ki berkata dengan
perlahan-lahan. "Apa yang totiang katakan semuanya merupakan kenyataan. Cayhe memang Cian Bin
Mo-ong sebagaimana dugaanmu. Apa kiranya yang hendak totiang lakukan sekarang?"
Kata-kata ini diucapkan dengan nada yang panjangnya tidak terkirakan. Setiap kalimat
seakan mengandung kekuatan yang hebat.
Serta tajam bagai pisau. Sia Hai Cinjin yang mendengarnya, tanpa dapat ditahan lagi
meremang semua bulu kuduk di tubuhnya. Kakinya tergetar mundur satu langkah.
Perlu diketahui bahwa bagaimanapun Tan Ki sudah terpilih sebagai Bulim Bengcu saat
ini. Lagipula tokoh-tokoh yang bergabung di bawah benderanya terdiri dari berbagai
kalangan. Tidak sedikit yang berwatak kasar dan garang. Kalau hati merasa kurang
senang, kemungkinan bisa menebas lehermu dengan golok tanpa berpikir panjang lagi.
Pokoknya perintahmu langsung diabaikan oleh mereka. Tetapi apabila hati mereka sudah
takluk kepada seseorang, mereka tidak segan mengorbankan apa saja. Kesetiaan mereka
tidak perlu diragukan lagi. Kalau ditilik dari keadaan di depan mata, setelah mendengar
ucapan Tan Ki, mereka masih berdiri tegak dengan mata memperhatikan mereka berdua.
Bahkan sikap mereka seakan sedang menunggu sesuatu. Seandainya nafsu membunuh
dalam hati Tan Ki terbangkit, sekali menurunkan perintah, pasti dalam sekejap mata akan
terjadi pertumpahan darah besar-besaran.
Oleh karena itu, meskipun hati Sia Hai Cinjin merasa benci sekali kepada anak muda ini,
tetapi mau tidak mau dia harus mempertimbangkan situasi di sekelilingnya. Terdengar dia
mengeluarkan suara tawa yang kering.
"Kalau saudara sadar tanganmu berlumuran dosa, lebih baik kau lepaskan dirimu
secepatnya dari jabatan ini. Biar bagaimana pinto?"
Tiba-tiba tampak sesosok bayangan berkelebat keluar dari rombongan Tan Ki secepat
kilat. Dalam waktu yang bersamaan terendus segulung bau harum yang terpancar dari
tubuh seorang wanita. Begitu dia mengalihkan pandangan matanya, ternyata Ceng Lam Hong yang
menghambur keluar dari rombongan orang banyak itu. Hatinya tercekat, tetapi sesaat
kemudian dia justru merasa lega. Karena Tan Ki adalah seorang pimpinan, kekuasaan di
tangannya besar sekali. Asal dia menurunkan perintah, para anggotanya pasti
berbondong-bondong keluar dengan senjata masing-masing di tangan. Lagipula
kedudukannya sebagai seorang Bulim Bengcu, memang hanya Ceng Lam Hong seorang
yang dapat mengendalikan dirinya"
Tepat ketika pikirannya masih melayanglayang. Tampak Ceng Lam Hong menggerakkan
pergelangan tangannya sambil memaki, "Anak tak tahu diri!" begitu kata-katanya
diucapkan, air matanya pun mengalir dengan deras. Hal ini membuktikan bahwa perasaan
wanita itu sedang dilanda kepedihan yang tidak terkirakan. Emosi dalam dadanya
bergejolak hebat. Tetapi pukulannya kali ini rupanya mengandung kekuatan yang cukup besar. Tampak
pipi kiri Tan Ki merah bengap dan tergetar mundur setengah langkah. Di sudut bibirnya
terlihat bekas darah. Matanya mengejap-ngejap, seakan ada sesuatu yang ingin dikatakannya. Tetapi
akhirnya dia menahan semuanya dalam hati. Sepasang kakinya ditekuk dan dia
menjatuhkan diri berlutut di hadapan Ceng Lam Hong.
Melihat keadaan itu, sepasang alis si pengemis sakti Cian Cong langsung berkerutkerut.
Dengan langkah lebar dia berjalan menghampiri Ceng Lam Hong.
Sementara itu, baik Mei Ling maupun Liang Fu Yong langsung menghambur keluar.
Terdengar yang satu memanggil "Ibu!" dan yang satunya lagi menyebut "Pek Bo!"
keduanya berhenti di hadapan Ceng Lam Hong. Hati kedua perempuan ini sudah barang
tentu memihak kepada Tan Ki. Setelah saling melirik sekilas, keduanya serentak
menjatuhkan diri berlutut di hadapan Ceng Lam Hong.
Liang Fu Yong menggigit bibirnya sendiri perlahan-lahan. Setelah merenung sejenak,
tampak dia mendongakkan wajahnya yang sudah penuh dengan deraian air mata.
Suaranya begitu pilu dan sendu. "Apabila Pek Bo ingin menghukum adik Ki, lebih baik hajar saja keponakanmu ini
sebagai gantinya. Karena keadaan diri adik Ki sudah lama kuketahui, justru karena takut
hal ini akan mempengaruhi masa depan serta namanya yang mulai naik, selama ini aku
selalu ragu-ragu dan belum sanggup menyatakannya di hadapan umum?"
Mei Ling mengeluarkan tawa yang pilu. Dia langsung menukas perkataan Liang Fu
Yong. "Sudah tahu salah tetapi berniat merubah, justru merupakan hal yang sulit dilakukan
orang lain. Meskipun Tan Koko mempunyai dosa yang besar, tetapi karena dia sudah
menyadari kesalahannya sendiri dan dengan berani merubah sikapnya, harap Ibu dapat
memaafkannya kali ini saja." Ceng Lam Hong adalah seorang wanita berhati lembut. Mendengar ucapan kedua
"perempuan itu, hatinya jadi melemah. Perlahan-lahan dia menarik nafas panjang.
Kemudian terdengar dia berkata, "Apa yang kalian pikirkan dalam hati, aku mengerti
semuanya. Sayangnya bukan aku yang berhak memutuskan masalah ini. Apakah anak
yang tidak tahu diri ini harus mati atau dibiarkan hidup, terpaksa menyerahkan
keputusannya pada para sahabat yang hadir di tempat ini."
Sembari berkata, dia membangunkan kedua perempuan itu. Kemudian kepalanya
menoleh kepada Sia Hai Cinjin dan menjura dalam-dalam.
"Totiang merupakan orang pertama yang berhasil mengungkap rahasia diri anak yang
tidak tahu diri ini. Dengan demikian, harap kau juga yang mengambil keputusan. Apapun
hukumannya, aku tidak akan turut campur." selesai berkata, ternyata dia benar-benar
mengundurkan diri tiga langkah ke belakang. Dengan ucapan yang sederhana, dia sudah
menyerahkan seluruh tanggung jawab pada diri Sia Hai Cinjin.
Matahari sudah di atas kepala. Begitu teriknya sehingga udara terasa sesak. Suasana di
tempat itu demikian mencekam. Hanya Tan Ki seorang yang menunggu hukuman dengan
berlutut di atas tanah tanpa bergerak sedikit-pun.
Sepasang mata Sia Hai Cinjin mengedar ke seluruh tempat tersebut. Tiba-tiba dia
tertawa dingin dan berkata dengan nada berat, "Ibumu menyerahkan tanggung jawab ini
kepada diri Pinto, sebetulnya merupakan urusan yang tidak mudah diselesaikan. Harap
saudara jangan melakukan perlawanan apapun. Mengingat kedudukan dirimu sebagai
seorang Bulim Bengcu, pinto hanya akan melenyapkan seluruh ilmu yang kau miliki?"
Belum lagi ucapannya selesai, tiba-tiba terdengar suara bentakan yang keras,
"Walaupun bocah ini bersedia menerima hukuman, tetapi harus lihat dulu apakah si
pengemis tua ini merasa senang atau tidak!"
Telapak tangannya menghantam ke depan, langsung terasa ada serangkum tenaga
yang kuat melanda datang. Sia Hai Cinjin mencelat ke belakang setengah langkah.
Kemudian telapak tangannya mendorong keluar dan menyambut serangan Cian Cong
dengan kekerasan. Begitu kedua gulung tenaga beradu, mereka sama-sama tergetar tubuhnya dan
terhuyung-huyung seperti orang mabok.
"Lwekang yang bagus!" bentak Cian Cong. Sembari berkata, tiba-tiba tubuhnya
mendesak ke depan. Segulung serangan dan tendangan dilancarkan. Secara berturut-turut
dia melancarkan sembilan jurus. Sia Hai Cinjin tidak mengira bahwa si pengemis tua ini benar-benar hendak mengadu
jiwa dengannya. Diam-diam hatinya tercekat sekali. Cepat-cepat dia mengerahkan ilmu Bu
Tong Pai yang hebat, tangan kiri menangkis, tangan kanan menahan. Sembilan jurus telah
berlalu, dirinya sendiri tidak kurang tidak lebih tergetar mundur sejauh sembilan langkah.
Para murid Bu Tong Pai melihat Ciang Bunjin mereka menghadapi musuh tangguh.
Segera terlihat keadaannya yang semakin lama semakin terdesak. Tanpa terasa hati
mereka jadi khawatir. Tampak mereka mengeluarkan senjata masing-masing dan siap


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maju ke depan memberikan pertolongan.
Justru di saat suasana menjadi panas itulah, terdengar suara bentakan seseorang,
"Berhenti!" Suaranya begitu keras, bergema memekakan telinga. Bahkan Cian Cong dan Sia Hai
Cinjin sampai menghentikan gerakan tubuh mereka dan mencelat ke sudut.
Begitu pandangan mata dialihkan, tampak Tian Bu Cu berjalan keluar dengan wajah
kelam. Pada jarak enam langkah dari diri Tan Ki, dia menghentikan langkah kakinya.
Sepasang matanya menyorotkan sinar yang tajam. Pertama-tama dia melirik sekilas
kepada si pengemis sakti Cian Cong, kemudian beralih kepada Sia Hai Cinjin dan terakhir
pandangan matanya berhenti pada diri Tan Ki.
"Apakah kau sudah sadar akan dosamu?" tanyanya dengan nada berwibawa.
Tan Ki menarik nafas panjang. Wajahnya tampak kelam sekali.
"Ketika mula-mula berkecimpung di dunia Kangouw, karena sedikit kesalahpahaman,
serta pandangan yang picik, Boanpwe melanggar pantangan membunuh. Dari awal hingga
akhir, tokoh-tokoh yang mati di tangan Cian Bin Mo-ong, kecuali murid Bu Tong yang
disebutkan tadi, seluruhnya ada dua puluh tujuh orang. Boanpwe sadar pengetahuan diri
sendiri terlalu dangkal, pandangan hidup pun demikian picik, sehingga salah membunuh
orang. Dengan tangan yang berlumuran darah ini, tidak mungkin boanpwe berani
menyandang tanggung jawab berat. Hal ini sering membuat hati boanpwe jadi tidak
tenteram?" berkata sampai di sini, ucapannya terhenti.
Dia melepaskan ikat pinggang merahnya dan menyodorkan ke hadapan Tian Bu Cu
dengan hormat. Kemudian terdengar lagi suaranya yang pilu. "Ilmu silat boanpwe masih
kurang becus, dengan demikian juga tidak pantas memikul tanggung jawab yang berat ini.
Tetapi saat ini, golongan sesat dari luar samudera akan melakukan penyerangan besarbesaran.
Boanpwe terpaksa menyerahkan jabatan ini kepada orang lain. Semoga Bengcu
yang akan terpilih nanti dapat memikirkan kesejahteraan dunia Bulim melebihi
kepentingan dirinya sendiri. Mengenai diri Boanpwe sendiri yang membunuh orang-orang
tidak bersalah dengan nama Cian Bin Mo-ong, memang merupakan suatu dosa yang
besar. Oleh karena itu, boanpwe rela menerima hukuman apapun yang diberikan oleh
para Cianpwe?" selesai berkata, kembali dia menarik nafas panjang-panjang.
Tampangnya saat itu sungguh mengenaskan. Seakan seorang pendekar besar yang
menemui jalan buntu. "Apakah kau ingat bahwa dendam kematian ayahmu masih belum terbalas?"
Mendengar kata-katanya, tubuh Tan Ki langsung tergetar hebat. Dia mendongakkan
wajahnya sambil bertanya, "Pada saat seperti ini Locianpwe tiba-tiba mengajukan
pertanyaan yang menyangkut kematian ayahku, entah maksud apa sebenarnya yang
terkandung dalam hati locianpwe?"
Mata Tian Bu Cu beredar, dia segera melihat orang-orang gagah yang berkumpul itu
sedang berkasak-kusuk dan berdebat di sana sini. Diam-diam dia berpikir di dalam
hatinya: "Kalau ditilik dari keadaan sekarang ini, apabila pinto menjelaskan niat yang
sebenarnya, pasti ada saja orang yang merasa kurang senang. Kemungkinan malah bisa
terjadi kekacauan yang tidak diinginkan. Lebih baik aku menyatakan secara terbuka apa
yang dipesankan oleh Yibun Siu San tadi, mungkin dengan cara demikian, mereka malah
akan terharu terhadap keadaan Tan Ki?"
Dia langsung tersenyum lembut. Tampaknya dia sudah mengambil suatu keputusan.
Tangannya terulur dan dikeluarkannya sebuah botol kecil yang terbuat dari batu kumala.
Dibukanya tutup botol itu kemudian dituangkannya isi berupa pil berwarna kuning dan
merah ke dalam telapak tangan. Kemudian dijumputnya sebutir pil yang berwarna merah
dan lalu tersenyum simpul. "Ini merupakan pil beracun yang reaksinya sangat cepat. Kalau kau merasa menyesal
karena telah membunuh orang-orang yang tidak berdosa, bagaimana kalau kau telan obat
beracun ini?" Mendengar kata-katanya, mula-mula Tan Ki agak tertegun. Kemudian tampak dia
tertawa getir dan menyambut pil berwarna merah tersebut.
Melihat gerak-geriknya ini, tampaknya Tan Ki telah mengambil keputusan yang besar.
Orang-orang gagah yang melihatnya sampai berubah wajah mereka. Otomatis mereka
menyayangkan apabila tokoh yang begini muda dan berilmu tinggi harus mati begitu saja.
Tiba-tiba Mei Ling menghambur keluar dari rombongan Tan Ki. Dia berlutut di samping
suaminya dengan air mata berderai. "Tan Koko, apakah kau benar-benar akan menelan racun itu?"
Sekali lagi Tan Ki menarik nafas panjang.
"Kecuali begini, tidak ada cara lain lagi untuk menyatakan penyesalan hatiku. Selama
hidup ini, aku telah banyak berbuat dosa. Saat ini aku dapat mati di hadapan para orangorang
gagah sedunia, rasanya tidak perlu disayangkan juga!"
Mei Ling mengusap air matanya kemudian tersenyum lembut. Namun orang-orang
dapat merasakan kegetiran yang menyayat hati terselip di balik senyumannya.
"Apakah obat itu benar-benar mengandung racun yang ganas?"
Tan Ki adalah seorang pemuda yang cerdas, tetapi untuk sesaat dia juga tidak
menangkap apa maksud pertanyaan Mei Ling itu. Mendengar pertanyaannya, dia malah
jadi termangu -mangu. "Tentu saja racunnya sangat ganas." sahutnya kemudian.
Mei Ling mengulurkan tangan kanannya sambil tersenyum.
"Berikan setengah dari pil itu kepadaku. Seandainya kau mati, aku toh masih bisa
mendampingi di sisimu!" Nada suaranya begitu datar dan tenang, seakan dia juga sudah bertekad untuk
mengiringi kematian Tan Ki. Tidak setitik gejolak emosipun yang terlihat. Hal ini
membuktikan bahwa keputusannya sudah tidak dapat diganggu gugat.
Hati Tan Ki tercekat mendengar ucapannya. Tubuhnya sampai tergetar. Kemudian dia
menggelengkan kepalanya berkaji-kali. Dikembangkannya secercah tawa yang getir.
"Urusan ini timbul dari diriku sendiri. Sudah sepatutnya aku sendiri yang menanggung
resiko ini!" sembari berkata, dia langsung menggerakkan tangannya, mulutnya terbuka
dan berniat menelan pil beracun itu.
Justru di saat yang genting di mana pil beracun itu hampir masuk ke dalam mulutnya,
tiba-tiba terdengar seseorang menyebutkan "Omitohud!" kemudian membentak, "Tunggu
dulu!" Suaranya sirap, orangnya pun muncul, dia adalah Ciang Bunjin Siau Lim Pai, Pun Sang
Taisu. Matanya menyorotkan sinar yang lembut, begitu kakinya mendarat di atas tanah,
tangannya secepat kilat mencengkeram perge-langan tangan Tan Ki.
Tokoh ini merupakan Cian Bunjin Siau Lim Pai, sekaligus tokoh tersakti dari generasi
Pun. Gerakan yang dilakukannya secepat kilat, orang lain pasti sulit meloloskan diri dari
cengkeramannya. Tetapi Tan Ki bukan tokoh sembarangan. Melihat kedatangannya yang
sekonyong-konyong itu, dia sudah dapat menduga apa maksud hwesio tua ini. Hatinya
saat ini sudah bertekad untuk menebus dosa dengan kematian. Mana mungkin dia
membiarkan Pun Sang Taisu merebut pil beracun itu. Oleh karena itu, dia segera
membentak dengan nada suara yang keras, "Taisu, hati-hati!"
Sembari berkata, lengan kanannya telah mengerahkan tenaga dalam yang dahsyat.
Disambutnya serangan Pun Sang Taisu yang hebat. Dalam waktu yang bersamaan,
telapak tangan kanannya terangkat ke atas dan langsung dimasukkannya pil beracun itu
ke dalam mulut serta menelannya ke dalam perut.
Terdengar suara benturan dua gulung tenaga yang dahsyat. Dalam jarak tujuh langkah,
debu-debu beterbangan. Bahkan orang-orang yang ada di sekitarnya ikut tergetar,
pakaian mereka berkibar-kibar. Timbul serangkum angin yang kencang sekali.
Serangan ini dilancarkan Tan Ki dengan perhatian terpencar. Oleh karena itu kekuatan
yang terkandungnya tidak sehebat biasa. Begitu beradu dengan pukulan Pun Sang Taisu,
kakinya langsung goyah kemudian tampak terhuyung-huyung mundur satu langkah.
Watak Pun Sang Taisu sangat welas asih, tadinya dia hendak mencegah Tan Ki
menelan pil beracun tersebut. Setelah itu dia ingin menyatakan di hadapan umum jasajasa
yang pernah dibuat Tan Ki sehingga timbul belas kasihan mereka, Kemungkinan
dirinya akan lolos dari hukuman mati. Tidak tahunya pikiran Tan Ki sudah bertekad untuk
menebus dosanya dengan kematian. Hatinya merasa tertekan sekali. Wajahnya kelam.
Sepasang telapak tangannya dirangkap di depan dada dan terdengar mulutnya menyebut
nama Bud-dha, "Omitohud!" nada suaranya mengandung penyesalan yang dalam. Tan Ki
tertawa getir. "Kasih sayang Taisu kepada Boanpwe, hanya dapat Boanpwe simpan dalam-dalam di
sanubari ini. Sayangnya dosa yang Boanpwe lakukan terlalu besar sehingga tidak berani
menerima belas kasihan dari Taisu."
Pun Sang Taisu memejamkan sepasang matanya.
"Apapun yang dilakukan oleh Tian Bu Cu, pasti mengandung makna yang dalam. Pinceng
tidak seharusnya bertindak ceroboh dan mengacaukan urusan ini?" tiba-tiba
orangtua ini seakan teringat suatu masalah besar. Kata-katanya pun tidak jadi diteruskan.
Perlahan-lahan dia melangkah mundur tiga tindak dan menyaksikan perkembangan
selanjutnya dari samping. Meskipun dia tidak melanjutkan kata-katanya, tetapi orang-orang gagah yang
berkumpul di tempat itu tahu bahwa hwesio tua ini mempunyai pemikiran yang dalam.
Saat ini dia pasti sedang merenungkan suatu masalah yang besar.
Tan Ki melihat dia mengundurkan diri dengan mata menyorotkan sinar kesenduan.
Diam-diam hatinya merasa terharu. Ingin sekali dia maju ke depan dan menyatakan
terima kasihnya. Tiba-tiba dia merasa sesuatu yang aneh dalam tubuhnya. Serangkum
hawa panas mengalir di seluruh peredaran darahnya. Kemungkinan pil yang ditelannya
tadi mulai menunjukkan reaksinya. Hawa panas semakin lama semakin membara dalam
tubuhnya. Meskipun tenaga dalam Tan Ki sudah mencapai taraf yang tinggi sekali, namun
dia tetap merasakan tenggorokannya menjadi kering sampai menelan ludahpun sulit.
Panasnya hampir tidak tertahankan. Keringat mulai membasahi kening leher bahkan
dadanya. Hatinya terkejut setengah mati. Kakinya yang baru maju beberapa langkah
segera dihentikan. Diam-diam dia mengerahkan hawa murni dalam tubuhnya, tetapi dia
tidak merasa sakit ataupun gatal. Dia pernah mendapat penjelasan dari Yibun Siu San, bahwa obat beracun, semakin
ganas, semakin tidak terasa. Hatinya tergetar. Diam-diam dia berpikir: "Apa yang
dikatakan Tian Bu Cu Locianpwe ternyata tidak salah. Racun yang terkandung dalam obat
ini keji sekali. Tampaknya aku tidak mati secara gagah di bawah ancaman pedang atau
golok, tetapi malah mati dengan sebutir pil beracun. Benar-benar menggelikan!" hatinya
merasa kecewa, tanpa sadar mimik wajahnya menunjukkan perasaan hatinya yang putus
asa. Tiba-tiba telinganya mendengar suara Tian Bu Cu yang bening dan lembut, "Apakah
kau menganggap cara pinto ini terlalu keji?"
Wajah Tan Ki langsung berubah, tampak dia menggelengkan kepalanya.
"Mana mungkin Boanpwe berani mempunyai pikiran seperti itu?"
Tian Bu Cu tertawa lebar. "Aku rasa dalam keadaan seperti ini, kau memang tidak berani mempunyai pikiran yang
bukan-bukan. Tetapi, ada satu hal yang ingin pinto tanyakan kepadamu" kau merasa
lebih baik mati dengan tenang seperti ini, atau lebih baik mati dengan gegap gempita?"
Tan Ki menundukkan kepalanya merenung sejenak.
"Seorang manusia hidup di dunia, apabila tidak dapat melakukan suatu hal yang besar,
setidaknya kehidupan ini dilewatkan dengan berharga. Boanpwe hidup di dunia Bulim yang
keras, sudah tentu memilih mati dengan gegap gempita. Apabila kita sudah mati, tetapi
masih ada sebagian orang yang menarik nafas panjang menyesalkannya, setidak-tidaknya
hidup kitja itu sudah berarti."
Kenyataan di depan mata sekarang ini, dosa yang pernah kau perbuat terlalu besar.
Meskipun harus menerima hukuman mati dengan diseret lima ekor kuda, rasanya masih
pantas. Tetapi keadaan sekarang ini justru sedang gawat-gawatnya. Pihak Lam Hay dan Si
Yu tidak mungkin menyudahi urusan ini begitu saja. Kami sebetulnya membutuhkan orang
yang berilmu tinggi seperti dirimu ini. Oleh karena itu, pinto terpaksa mencari sebuah jalan
keluar. Kalau kau bersedia mengorbankan diri, bukan saja hidupmu menjadi berarti, malah
namamu tetap harum dipandang sebagai pahlawan bangsa!"
Kata-kata yang diucapkannya ini mengandung makna yang dalam. Rasa ingin tahu
orang-orang gagah yang berkumpul di tempat itu jadi tergugah. Beratus-ratus pasang
mata terpusat pada dir Seruling Samber Nyawa 13 Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Seruling Samber Nyawa 16
^