Pencarian

Dendam Iblis Seribu Wajah 23

Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Bagian 23


i Tian Bu Cu. Sikap mereka menunjukkan ketegangan yang tidak
terkirakan. Tian Bu Cu mengeluarkan suara batuk-batuk kecil. Kemudian terdengar dia melanjutkan
kata-katanya dengan perlahan. "Menurut penyelidikan keponakan Sia Hai Cinjin, saat ini pihak Lam Hay dan Si Yu
berkumpul di sebuah lembah yang jaraknya delapan puluh li di sebelah tenggara. Tempat
itu sangat terpencil dan tidak mudah mengadakan penyelidikan. Tetapi kalau ditinjau dari
ilmu yang kau miliki sekarang ini, hal ini pasti tidak menjadi persoalan bagi dirimu. Oleh
karena itu, pinto memberanikan diri mengambil keputusan. Pinto telah memberimu sebutir
pil beracun yang baru akan bereaksi setengah bulan kemudian. Apabila kau ingin menebus
dosamu dengan membuat jasa, maka kau boleh membawa batok kepala pemimpin Lam
Hay Bun itu dan kembali kemari menemui Pinto. Kalau bukan sampai jejakmu yang
kepergok orang, pinto harap kau tidak mati dengan sia-sia. Paling tidak kau harus
membunuh salah seorang tokohnya sebagai temanmu di alam baka nanti!"
Tan Ki belum pernah mendengar Tian Bu Cu mengucapkan kata-kata yang begitu sadis.
Untuk sesaat dia malah jadi termangu-mangu.
Terdengar si pengemis sakti Cian Cong tertawa dingin.
"Entah maksud apa yang terkandung dalam hati si hidung kerbau ini. Kepergian anak Ki
ini sama saja dengan menghadapi musuh seorang diri. Meskipun ia mempunyai
kepandaian membalikkan bumi ini, tetap tidak mungkin kembali dalam keadaan hidup. Si
pengemis tua paling suka menempuh bahaya, biar aku menemani dia pergi!"
Tian Bu Cu tahu adat si pengemis yang angin-anginan. Dia tertawa lebar mendengar
ucapannya. "Kalau urusannya mudah seperti membalikkan tangan sendiri, Pinto juga tidak akan
menyuruh dia pergi. Perlu kau ketahui, kepergiannya yang seorang diri memang
tampaknya menghadapi bahaya yang besar, bisa pergi tidak mungkin kembali lagi. Tetapi
apabila dia bisa bertindak sesuai dengan perkembangan dan kesempatan, mungkin dia
mempunyai peluang besar untuk berhasil. Apalagi dia masih mempunyai waktu setengah
bulan sebelum racun dalam tubuhnya menunjukkan reaksi.
Menang, kalah, hidup atau mati, semua tergantung dari kecerdasan otaknya.
Seandainya Cian-heng menemani dia, secara tidak langsung malah menjadi beban.
Jejaknya lebih mudah dipergoki musuh. Berhasil belum tentu, kalah sudah pasti. Pinto
sama sekali tidak setuju dengan pendapat ini!"
Sembari berkata, dia membalikkan tubuhnya kembali dan membentak dengan suara
keras, "Fu Yong, kau hendak ke mana?"
Liang Fu Yong menyeret tangan Mei Ling dan baru berjalan satu langkah. Niatnya ingin
melarikan diri secara diam-diam. Mendengar suara bentakan gurunya, tampak wajahnya
berubah hebat. Cepat-cepat dia menghentikan langkah kakinya dan menyahut dengan
gugup" "Ti" tidak?"
Mata Tian Bu Cu yang menyorotkan sinar tajam menatap wajahnya lekat-lekat. Hati
Liang Fu Yong jadi tergetar. Terdengar Tian Bu Cu berkata lagi dengan nada berat.
"Kau ingin belajar seperti dulu lagi, meninggalkan pegunungan secara diam-diam dan
membantu Tan Ki" Kau harus tahu bahwa murid Bu Tong Pai harus mengikuti peraturan
yang ketat. Siapa yang berani melanggarnya, harus menerima hukuman berat. Kalau kau
memang tidak takut dituduh sebagai murid murtad, silahkan pergi, tidak apa-apa!"
Isi hatinya tertembus oleh Tian Bu Cu, wajah Liang Fu Yong langsung berubah merah
padam. Tanpa terasa kepalanya tertunduk rendah-rendah dan tidak berani menyahut
sepatah katapun. Setelah memarahi muridnya, pandangan mata Tian Bu Cu kembali beralih kepada Sia
Hai Cinjin. "Kemarikan kantong bekalmu itu. Biar dibawa oleh Tan Ki!"
Orang-orang yang biasa berkelana di dunia Kangouw selalu membawa kantong bekal
dalam perjalanan. Dengan demikian, apabila mereka berjalan di daerah yang terpencil
atau hutan di mana tidak terdapat rumah makan maupun penginapan, mereka mempunyai
persiapan untuk mengisi perut. Sia Hai Cinjin dan anggota para lima partai besarnya
berangkat dari perguruan masing-masing menuju Tok Liong-hong untuk memberikan
bantuan kepada perkumpulan Ikat Pinggang Merah, sudah tentu mereka membawa bekal
dalam jumlah yang cukup banyak, paling tidak untuk seminggu perjalanan. Setelah
mendengar perkataan Tian Bu Cu, dia segera mengeluarkan kantong bekalnya kemudian
menyodorkannya kepada Tan Ki. Dengan membawa sebatang pedang, Ceng Lam Hong menghampiri putranya.
Wajahnya menyiratkan kepedihan hatinya.
"Pedang pendek ini milik Kiau Hun yang digunakan untuk mematahkan pedang
sulingmu tempo hari, bukan senjata biasa. Kau benar-benar tidak tahu kebaikan orang.
Pedang penghancur pelangi yang sudah dihadiahkan kepadamu, malah kau kembalikan
kepada si gadis berpakaian putih. Kalau tidak membawa senjata tajam di sampingmu,
keadaan dirimu semakin berbahaya. Bawa saja pedang pendek ini?"
Biar bagaimanapun, Ceng Lam Hong adalah seorang ibu yang sangat menyayangi
putranya. Walaupun dosa Tan Ki sangat besar karena membunuhi orang-orang yang tidak
berdosa, bahkan menimbulkan kegemparan di dunia Bulim, tetapi menjelang perpisahan
yang entah masih dapat berjumpa lagi atau tidak, tanpa dapat ditahan lagi air matanya
jatuh bercucuran. Berkata beberapa patah, dia tidak sanggup meneruskan lagi, suaranya
tersendat-sendat karena isak tangis yang pilu. Tiba-tiba dia memalingkan kepalanya,
lengan bajunya diangkat ke atas untuk menutupi wajah dan memaksakan dirinya untuk
berkata, "Jaga dirimu baik-baik?" belum lagi suaranya sirna, orangnya sendiri langsung
membalikkan tubuh dan berlari pergi secepat kilat. Tentu saja dia hampir tidak sanggup
menahan kepedihan hatinya mengingat perpisahan kali ini merupakan perpisahan hidup
dan mati. Yibun Siu San menarik nafas panjang.
"Anak Ki, kau bukan tidak punya peluang untuk hidup. Baik-baiklah kau gunakan
kecerdasan serta akal sehatmu dalam melakukan tugas. Bertindak mengikuti keadaan,
harus bisa menahan penderitaan yang bagaimanapun beratnya. Dengan demikian kau
baru pantas disebut orang yang berakal budi. Aku harap kau akan kembali menemuiku
dalam keadaan hidup." selesai berkata, dia tidak menunggu jawaban dari Tan Ki.
Tubuhnya berkelebat mengejar di belakang Ceng Lam Hong.
Kata-kata yang diucapkannya tadi mengandung makna yang dalam. Hati Tan Ki bukan
main terharunya, sepasang matanya menatap bayangan Yibun Siu San dan Ceng Lam
Hong lekat-lekat. Untuk sesaat, seakan ada sesuatu yang dirasakannya. Dia tidak
mengucapkan sepatah katapun, tetapi di sudut bibirnya tersungging seulas senyuman.
Kurang lebih sepeminum teh kemudian, baru dia mengalihkan kembali pandangan
matanya. Tatapannya beredar kepada orang-orang gagah yang berkumpul di sana sekilas.
"Cayhe mohon diri." katanya sambil membungkukkan tubuhnya dalam-dalam, setelah
itu dia membalikkan tubuhnya meninggalkan tempat itu.
Orang-orang yang ada di sana dapat mendengar nada suaranya yang berat. Seperti
ucapan seorang pendekar yang pergi tanpa kembali lagi, diam-diam hati mereka terasa
tertekan" Sementara itu, Mei Ling menghambur ke depan mengejarnya. Sepasang alisnya
mengerut ketat. Wajahnya sendu sekali, air mata berderai membasahi pipi. Dengan suara
yang menyayat hati dia berteriak"
"Tan Koko!" Mendengar panggilannya, langkah kaki Tan Ki terhenti. Dia langsung menolehkan
kepalanya. Dua pasang mata bertemu pandang. Dia melihat sorot kepedihan terpancar
jelas dari mata istrinya. Tiba-tiba saja hatinya seakan dilanda tekanan bathin yang hebat.
Langkah kakinya malah dipercepat dan dalam sekejap mata dia sudah menghambur pergi.
Meskipun sudah menelan pil beracun pemberian Tian Bu Cu, tetapi racun itu tidak
berpengaruh sama sekali terhadap ilmu silatnya. Begitu dia mengerahkan ilmu
ginkangnya, tubuhnya bergerak bagai hembusan angin dan melayang terus ke depan.
"Tan Koko!" dari belakangnya terus berkumandang suara panggilan. Nadanya bagai
ratapan seorang isteri yang ditinggal mati suaminya. Begitu pilu dan mengenaskan.
Kumandangnya bergema di seluruh bukit.
Tan Ki merasa suara panggilan itu bagai beribu batang pedang yang menusuk
jantungnya. Hatinya sakit bukan kepalang. Hampir saja dia menghentikan langkah kakinya
dan melepas rasa rindu dengan isterinya. Namun akhirnya dia menggerakkan giginya eraterat
dan menahan rasa pilu di hatinya. Tanpa memalingkan kepala sekalipun dia terus
berlari sekencang-kencangnya. Angin sejuk berhembus dari depan, menerpa wajahnya
yang penuh dengan air mata" Kurang lebih setengah kentungan kemudian, suara panggilan di belakangnya tidak
terdengar lagi. Tanpa terasa langkah kakinya diperlambat. Pandangan matanya segera
beredar. Rupanya dia sudah sampai di sebuah lembah yang terpencil dekat bukit Tok
Liong-hong. Rumput-rumput tumbuh liar, bunga serta pepohonan membisu. Pemandangan
ini menimbulkan rasa pilu bagi orang yang melihatnya.
Tampak dia menarik nafas dalam-dalam. Kemudian wajahnya mendongak ke atas dan
menghembuskan nafasnya panjang-panjang. Terlihat olehnya cakrawala membentang
tanpa batas. Awan putih berarak, sekonyong-konyong dadanya terasa lapang. Segala
macam kepedihan yang tadi membaur dalam hatinya sirna seketika. Kegagahannya
terbangkit. Setelah menentukan arah yang tepat, dia langsung berlari menuju bagian
tenggara. Tampak padang rumput yang luas dengan tanah kuning berhamparan. Di hadapannya
terlihat sebuah makam baru. Kalau dilihat dari tanahnya yang berserakan, kemungkinan
besar jenazah di dalamnya baru dikubur dan bahkan dilakukan dengan tergesa-gesa.
Pada dasarnya Tan Ki merupakan seorang pemuda yang cerdas. Setelah merenung
sejenak, dia segera dapat menduga asal-usul kuburan itu. Pasti tempat ini dilalui
rombongan Lam Hay dan Si Yu. Tukang kereta yang umum jarang melintasi daerah ini.
Orang mati yang baru dikubur itu, pasti orang dari pihak Lam Hay yang mati dalam
pertarungan tadi. Mereka digebah pergi oleh kehebatan ilmu si gadis berpakaian putih.
Oleh karena itu, orang ini tidak sempat dikubur dengan layak, apalagi pakai upacara
segala macam. Itulah sebabnya mereka mengambil jalan pintas dengan menguburkannya
di tempat ini. Meskipun Tan Ki tidak tahu siapa orang yang dikubur itu, tetapi mengingat kepergiannya
kali ini menempuh bahaya sedemikian besar, pikirnya mungkin dia tidak bisa kembali
lagi dan berubah menjadi mayat seperti orang yang baru dikubur ini"
Melihat pemandangan yang menyedihkan ini, tiba-tiba muncul perasaan senasib dengan
orang yang mati itu. Tanpa terasa dia membungkukkan tubuhnya dalam-dalam memberi
penghormatan terakhir kepada orang mati yang ada di dalam makamnya.
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mendatangi dari belakang punggungnya, tetapi
sekejap kemudian berhenti lagi. Kemungkinan orang itu melihat bayangan punggung Tan
Ki sehingga terkejut dan menghentikan langkah kakinya.
BAGIAN LV Suara langkah kaki itu demikian ringan dan lirih. Kalau bukan orang yang
pendengarannya tajam sekali, pasti tidak akan merasakannya. Hati Tan Ki langsung
tercekat. Cepat-cepat dia menolehkan kepalanya sembari mengerahkan tenaga dalam
secara diam-diam untuk menjaga segala kemungkinan.
Kira-kira enam langkah dari dirinya, berdiri tegak adik seperguruan Kaucu Pek Kut Kau,
Kim Yu. Tampaknya orang itu bermaksud melancarkan sebuah pukulan, lengan kanannya sudah
terangkat ke atas. Tetapi ketika Tan Ki menolehkan kepalanya, cepat-cepat dia
menurunkan tangannya kembali. Wajahnya tersipu-sipu seperti orang yang tertangkap
basah. Saat ini Tan Ki bukan tokoh sembarangan lagi. Sekali lihat saja, dia sudah tahu apa
yang terkandung dalam hati Kim Yu. Oleh karena itu dia mengeluarkan suara tertawa yang
dingin. "Sejak kapan saudara belajar membokong orang dari belakang" Berani-beraninya kau
mencuri kesempatan di saat orang lengah. Kalau memang hebat, coba kau lancarkan
serangan dari depan sekarang juga!"
Kim Yu menaikkan sepasang bahunya sambil tersenyum simpul.
"Bagus sekali, bagus sekali!"
"Hari ini kita mempunyai kesempatan bertemu di sini. Tadi kita belum sempat
bergebrak. Sekarang di sini tidak ada seorangpun. Tempatnya juga tenang, sesuai bagi
kita untuk berkelahi sebanyak tiga ratus jurus dan tidak ada seorangpun yang
menganggu!" Kim Yu tertawa terkekeh-kekeh dua kali.
"Mati hidup dalam sebuah pertarungan adalah hal yang jamak. Apabila saudara
mempunyai kegembiraan seperti itu, seharusnya aku mengiringi kemauanmu. Sayangnya
saat ini aku masih mempunyai tugas yang lain sehingga harus memohon diri terlebih
dahulu. Apabila kita mempunyai jodoh, di lain kesempatan baru kita perhitungkan hutang
piutang di antara kita, bagaimana?"
Wajah Tan Ki langsung berubah mendengar perkataannya. Dari sinar matanya
terpancar hawa pembunuhan yang tebal. Dia memperdengarkan suara tawa yang dingin.
"Kata-kata saudara sungguh enak didengar. Tetapi aku justru tahu bahwa kau hanya
terlihat gagah di luar, namun dalamnya kering kerontang. Sebetulnya hatimu sudah
merasa gentar terhadapku, mungkin karena siang tadi kau sudah melihat kepandaianku
yang sebenarnya, bukan?" "Tidak salah, kepandaianmu memang hebat sekali!"
"Kalau begitu aku akan turun tangan mencabut selembar nyawamu!" selesai berkata,
tanpa memberi kesempatan sedikitpun kepada Kim Yu, dia langsung menjulurkan
tangannya mengirim sebuah pukulan. Kim Yu mengangkat telapak tangannya menyambut, langsung terasa dadanya menjadi
panas. Cepat-cepat dia mencelat mundur sejauh tiga langkah. Ternyata tenaga dalam
yang telah dipupuknya puluhan tahun masih tidak sanggup menahan pukulan lawannya.
Dia merasa ilmu kepandaian Tan Ki seperti mengikuti waktu yang berlalu, semakin hari
semakin hebat" Sedangkan Tan Ki sendiri saat itu merasa bahwa obat beracun yang diberikan Tian Bu
Cu hanya mengandung hawa panas yang memenuhi dadanya. Selain itu tidak ada rasa
aneh sedikitpun yang dia rasakan. Justru pada saat pukulan Tan Ki menggetarkan Kim Yu sehingga mundur beberapa
langkah, dari kejauhan terdengar suara siulan panjang sebanyak dua kali. Sumbernya dari
dua arah yang berlawanan. Diamrdiam Kim Yu merasa senang. Dia mengira-ngira dalam hati. "Bala bantuan sudah
datang!" Begitu pikirannya tergerak, nyalinya pun menjadi besar. Diam-diam dia mengerahkan
tenaga dalamnya kemudian dengan posisi menahan di depan dada, dia menghantamkan
sebuah serangan. Perlahan-lahan sepasang alis Tan Ki menjungkit ke atas. Dia tahu bahwa suara siulan
panjang yang terdengar sebanyak dua kali tadi keluar dari mulut seorang tokoh yang
tenaga dalamnya hebat sekali. Kalau dia tidak menggunakan waktu yang ada sebaikbaiknya
dengan membunuh Kim Yu, bisa-bisa dirinya sendiri yang diringkus oleh musuh.
Hatinya sudah bertekad untuk melakukan pertarungan dalam jangka waktu cepat. Oleh
karena itu, tanpa mempertimbangkan lama-lama, dia langsung mengerahkan jurusjurusnya
yang paling keji. Tampak tubuhnya dengan gesit menghindarkan serangan Kim
Yu. Entah bagaimana caranya, tahu-tahu dia menerobos ke dalam bayangan dan angin
kencang yang terpancar dari pukulan Kim Yu. Tangan kanannya langsung menjulur ke
depan dengan kekuatan dahsyat. Secepat kilat dia menghantam dada lawannya.
Tampaknya Kim Yu sama sekali tidak menyangka kalau Tan Ki memiliki gerakan tubuh
yang begitu aneh sehingga berani menerobos ke dalam bayangan pukulannya. Hatinya
tercekat bukan kepalang! Kejadiannya berlangsung dengan cepat. Meskipun ada niat Kim Yu untuk mengelakkan
diri dari serangan Tan Ki, tetapi tidak keburu lagi. Dia merasa seperti ada sebuah palu
besar yang menghantam dadanya. Saat itu juga aliran darahnya bagai membalik. Dia tidak
sanggup berdiri dengan tegak lagi. Begitu keras getarannya sampai tubuh orang itu
melayang di udara kemudian terhempas jatuh pada jarak satu depaan.
Tan Ki tidak membuang waktu. Dia mengerahkan lagi hawa murninya dan menerjang
ke depan. Dia takut pukulannya tidak cukup kuat sehingga lawannya belum mati, tetapi
hanya terluka parah. Oleh karena itu, orangnya baru sampai di hadapan Kim Yu, kembali
dia melancarkan sebuah pukulan. Ketika rangkuman tenaga yang dahsyat itu sudah mereda, ternyata tubuh Kim Yu tidak
bergerak lagi. Beberapa tetes darah masih mengalir dari sudut bibirnya. Kematiannya
cukup mengenaskan. Meskipun selama hidupnya Tan Ki sudah sering membunuh orang, tetapi melihat
pemandangan di depannya, ternyata dia juga merasa tertekan. Udara di sekitar tempat itu
seperti tiba-tiba menjadi dingin. Tanpa dapat ditahan lagi tubuhnya bergetar dan bulu
kuduknya merinding. Tepat pada saat itu, kembali terdengar suara siulan yang berkumandang datang. Kali
ini sumber suara itu sudah tidak sejauh tadi lagi. Kemungkinan besar jarak orangnya
sudah mendekat. Tan Ki mendongakkan wajahnya kemudian mengedarkan pandangan
matanya ke sekeliling. Setelah yakin tidak ada seorangpun yang memperhatikan gerakgeriknya,
cepat-cepat dia memondong tubuh Kim Yu dan membawanya ke balik sebatang
pohon siong yang besar. Gerakannya sangat cepat. Baru saja dia menyembunyikan dirinya dengan baik. Di atas
padang rumput tersebut secara berturut-turut melayang turun dua sosok bayangan. Orang
yang pertama mengenakan pakaian yang penuh dengan tambalan di sana sini, janggutnya
sudah putih dan panjangnya kira-kira tiga cun. Ditilik dari keadaannya, dapat dipastikan
bahwa dia adalah seorang pengemis. Orang yang kedua merupakan seorang laki-laki setengah baya berpakaian hitam.
Matanya sipit dan mulutnya lebar. Tampangnya angker sehingga timbul kesan yang
menyeramkan. Kedua orang ini bukan lain dari si pengemis sakti Cian Gong dan Kaucu Pek
Kut Kau dari daerah Si Yu. Mulut si pengemis sakti Cian Cong selamanya tidak pernah melewatkan kesempatan
untuk mengejek orang. Ketika melihat Kaucu Pek Kut Kau juga sudah sampai di tempat
itu, dia langsung mendongakkan wajahnya tertawa terbahak-bahak.


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau bukan musuh, justru susah bertemu muka. Sekarang kita justru berjumpa di sini
dengan tidak terduga-duga!" Wajah Kaucu Pek Kut Kau yang hitam legam dari awal hingga akhir selalu terlihat datar
dan dingin. Kalau diperhatikan baik-baik, dia seperti sesosok mayat yang tidak
memperlihatkan perasaan apapun. Entah dia merasa senang atau marah mendengar katakata
Cian Cong. Sikap Cian Cong berangasan. Melihat Kaucu Pek Kut Kau itu tidak menyahut sepatah
katapun, kesabarannya jadi habis. Matanya mendelik lebar-lebar.
"Hei! Apakah kau bertemu dengan pangcu kami?"
Dengan dingin Kaucu Pek Kut Kau malah berbalik bertanya kepadanya, "Aku justru baru
ingin bertanya kepadamu, apakah kau melihat adik seperguruanku?"
Mendengar sahutannya yang bagai sindiran itu, untuk sesaat Cian Cong jadi tertegun.
Dia mengangkat tangannya lalu menggaruk-garuk kulit kepalanya, seakan sedang
memikirkan kata-kata yang harus diucapkan.
Tampak lengan baju Kaucu Pek Kut Kau yang lebar itu berkibar-kibar, sekonyongkonyong
dia maju ke depan tiga langkah. Serangkum angin yang kencang langsung
terpancar keluar dari dalam lengan bajunya itu.
Kedua orang itu merupakan tokoh-tokoh berilmu tinggi yang jarang ada di dunia Kangouw.
Oleh karena itu, terhadap serangannya yang dahsyat ini, Cian Cong sama sekali
tidak berani memandang ringan. Tubuhnya menggeser sedikit ke sebelah kiri kurang lebih
dua langkah. Lengan kanannya terangkat perlahan-lahan, kemudian melancarkan sebuah
serangan balasan. Kemarahan Hua Pek Cing jadi terbangkit. Dia membentak dengan suara keras
kemudian melancarkan beberapa serangan berturut-turut. Setiap jurus yang
dikerahkannya mengandung kekejian yang tidak terkirakan. Serangannya langsung
dilancarkan ke bagian tubuh yang mematikan.
Sementara itu, dari balik sebatang pohon yang besar tiba-tiba muncul sesosok
bayangan. Gerakannya begitu cepat, sehingga dalam sekejap mata sudah sampai di dekat
kedua orang yang sedang bertarung dengan sengit itu. Terdengar dia berteriak dengan
suara lantang" "Suheng, harap mundur! Biar aku yang melawan orang ini!" seraya berkata, dia
langsung melancarkan sebuah pukulan yang dahsyat dan menghantamkannya ke depan!
Cian Cong melihat adik seperguruan Kaucu Pek Kut Kau, Kim Yu muncul secara
mendadak. Hatinya jadi tercekat. "Bagus sekali. Si setan hitam juga sudah bisa mencari bala bantuan!"
Telapak kanannya bergerak, sebuah serangan yang mengandung tenaga dalam hebat
langsung dihantamkan ke depan menyambut serangan Kim Yu.
Dia mengira lawannya itu adalah adik seperguruan Kaucu Pek Kut Kau, tentu saja
tenaga dalam yang dimiliki tidak bisa menandingi suhengnya sendiri. Kekuatan Kaucu Pek
Kut Kau saja hampir seimbang dengan dirinya. Apabila dia menyambut pukulannya ini
dengan kekerasan, walaupun tidak sampai terluka, paling tidak lengannya akan merasa
kesemutan dan tergetar mundur sejauh lima langkah.
Siapa nyana kenyataannya justru jauh berbeda dengan dugaannya. Ketika dua gulung
kekuatan beradu, sepasang alis Cian Cong langsung berkerut. Dia tergetar mundur sejauh
tiga langkah. Rupanya ketika mereka mengadu tenaga dengan kekerasan, dia langsung
sadar bahwa tenaga dalam lawannya masih menang satu tingkat dibandingkan dengan
dirinya. Kejadian ini benar-benar di luar dugaannya. Meskipun Cian Cong mempunyai
pengetahuan yang luas dan pengalaman segudang serta ketenangan yang sulit disamai
oleh orang lain, tetapi peristiwa ini sempat membuatnya termangu-mangu beberapa saat.
Bahkan Kaucu Pek Kut Kau juga terkejut setengah mati sehingga termangu-mangu.
Sepasang matanya yang seram, menatap diri adik seperguruannya tanpa berkedip
sedikitpun. Dia benar-benar tidak mengerti. Mengapa adik seperguruannya yang selama ini selalu
kalah bila mengadu tenaga dalam dengannya, tiba-tiba menjadi demikian kuat hanya
dalam waktu beberapa kentungan saja. Bahkan kekuatannya begitu mengejutkan.
Justru ketika kedua orang itu masih kebingungan, tiba-tiba Kim Yu menggerakkan
tubuhnya menerjang ke depan. Telapak tangannya menghantam, kakinya menendang.
Dalam waktu yang singkat dia memainkan delapan sembilan jurus serangan.
Diam-diam hati Cian Cong tercekat melihat gerakannya yang hebat. Dia segera
membentak, "Siapa kau sebenarnya?" seraya bertanya, sepasang telapak tanganya
menjulur ke depan, dia menangkis sambil mengelak ke sana ke sini. Setelah kalang kabut
beberapa waktu, akhirnya dia baru dapat mempertahankan diri dari serangan Kim Yu yang
gencar. Kim Yu tertawa lebar. "Aku memang Kim Yu!" sahutnya sambil melancarkan sebuah serangan.
Cian Cong mengulurkan telapak tangannya menyambut serangan itu. Tiba-tiba suatu
ingatan melintas di benaknya. Cepat-cepat dia mencelat mundur dan membentak.
"Tunggu sebentar!" Kim Yu masih juga tersenyum simpul.
"Kalau kau mempunyai pesan terakhir yang ingin disampaikan, cayhe bisa memberimu
waktu sedikit." "Soal mati atau hidup, si pengemis tua selamanya tidak pernah ambil hati. Saudara juga
tidak perlu mengucapkan kata-kata yang demikian?" dia merandek sejenak. Kemudian
baru melanjutkan kembali, "Si pengemis tua ingin minta sedikit petunjuk."
"Kalau memang cayhe tahu yang kau tanyakan, pasti cayhe jawab dengan sebenarbenarnya."
sahut Kim Yu sambil tertawa. "Apakah kau pernah bertemu dengan pang-cu perkumpulan kami?"
"Ada." "Di mana dia sekarang?" "Sudah mati!" Hati Cian Cong langsung tergetar. "Betul?" tanyanya dengan nada bimbang. "Cayhe selamanya paling tidak suka berdusta,
apalagi mengoceh sembarangan. Kalau kau tetap tidak percaya, apa boleh buat?"
Mendengar keterangan yang tidak diduga-duganya ini, hatinya lebih sedih daripada
dihina oleh orang. Mengingat Tan Ki adalah seorang pemuda yang gagah dan bermasa
depan cerah, bahkan sudah berhasil merebut kedudukan Bulim Bengcu, berarti sejak
sekarang diri anak muda itu sudah disegani di mana-mana. Siapa sangka Thian sungguh
tidak adil. Belum selesai persoalan yang satu, datang lagi masalah yang lain. Dunia Bulim
benar-benar tidak mempunyai rejeki. Justru di saat namanya mulai menjulang tinggi, dia
malah" hati Cian Cong terasa pilu, air matanya jatuh bercucuran. Dia berdiri dengan
terma-ngu-mangu untuk beberapa saat. Kemudian bertanya lagi dengan suara sendu:
Bagaimana kau bisa tahu?" Dia berharap Kim Yu akan mengakui kata-kata yang diucapkannya tadi hanya gurauan
belaka. Oleh karena itu, meskipun hatinya sedang merasa sedih bukan kepalang, dia tetap
menyelidiki hal ini. Tentu saja dia juga ingin tahu bagaimana Tan Ki menemui kematiannya.
Terdengar Kim Yu mengeluarkan suara tawa yang menyeramkan.
"Cayhe bertaruh dengannya, sama berdiri tanpa bergerak dan saling menyerang
sebanyak tiga kali tanpa boleh bergeser ataupun menangkis. Tetapi aku yang memulai
terlebih dahulu?" Sepasang mata. Cian Cong langsung menyorotkan sinar berapi-api. Dengan marah dia
membentak, "Pengalamannya masih dangkal. Kau justru menjebaknya dengan cara yang
licik dan mengakali dia agar jangan membalas!"
Kim Yu tersenyum simpul. "Kalau tidak begitu, tenaga dalam maupun kepandaian cayhe memang bukan
tandingannya. Apalagi di dalam dunia Kangouw, yang paling penting justru harus licik.
Semakin licik malah semakin baik. Cayhe sadar sampai di mana kemampuan diri sendiri,
terpaksa menggunakan akal untuk mengelabuinya. Kalau kau ingin melihat dia, coba kau
pergi ke belakang pohon besar itu!" sambil berbicara, tangannya menunjuk ke arah pohon
besar dari mana dia muncul tadi. Cian Cong mendelik kepadanya sekilas. Tubuhnya berkelebat menuju pohon besar yang
ditunjuk Kim Yu. Dalam sekejap mata, dia sudah melesat kembali, tampak wajahnya menyiratkan
kegusaran yang tidak terkirakan. Rambut dan jenggotnya seakan berdiri tegak.
Tampangnya seperti ingin menelan lawannya hidup-hidup. Sungguh tidak enak dipandang.
Kaucu Pek Kut Kau tahu kemarahannya sudah benar-benar meluap. Setiap saat orang
ini bisa mengamuk atau menimbulkan kesulitan. Di samping itu dia juga takut sutenya
berhasil dikalahkan oleh Cian Cong. Diam-diam dia mengerahkan tenaga dalam dan maju
setengah langkah. Dia menghadang di depan Kim Yu dengan sikap melindungi.
Suasana yang tegang terasa menyelimuti tempat itu. Tiba-tiba Kim Yu berkata kepada
suhengnya dengan suara rendah. "Sekarang si makhluk tua ini hanya seorang diri. Kalau kita bergabung melawannya,
tentu tidak sulit menghabiskan selembar nyawanya. Bagaimana pendapat suheng tentang
usul siaute ini?" Sepasang mata Kaucu Pek Kut Kau memperhatikan lengan Cian Cong lekat-lekat.
"Hal ini mungkin bisa menjatuhkan derajat kita. Menangpun tidak terasa gemilang."
"Kalau begitu, kita tidak perlu bergebrak lagi dengannya. Kita pulang saja!"
Dengan demikian, kedua kakak adik seperguruan membalikkan tubuhnya dengan
maksud meninggalkan tempat itu. Tiba-tiba pada saat itu, Cian Cong mengeluarkan suara
raungan dan menerjang datang. Sekaligus dia melancarkan beberapa buah serangan.
Kekuatannya demikian dahsyat, persis seperti seekor harimau yang mengamuk.
Tubuh Kim Yu berkelebat. Bukannya mundur dia malah maju ke depan. Dengan jurus
Palu Emas Mengetuk Lonceng, dia langsung melancarkan serangan dengan gencar.
Demikian terdesaknya Cian Cong sehingga mau tidak mau dia harus memikirkan
keselamatan dirinya sendiri terlebih dahulu. Kakinya mencelat mundur berkali-kali.
Dua kali Kim Yu menyerang, Cian Cong terus mencelat mundur ke belakang. Melihat
keadaan ini, hati Kaucu Pek Kut Kau semakin dilanda kebingungan. Tiba-tiba dia merasa
bahwa ilmu kepandaian adik seperguruannya secara mendadak maju demikian pesat"
Setelah berhasil mendesak mundur si pengemis sakti Cian Cong, Kim Yu sama sekali
tidak berniat mengejar. Dia seperti orang yang tergesa-gesa karena urusan lain, dengan
menarik tangan Kaucu Pek Kut Kau, keduanya menghambur pergi dari tempat itu.
Di tempat itu hanya tinggal Cian Cong seorang. Dia seperti orang yang kehilangan
sesuatu dan berdiri termangu-mangu sekian lama"
Angin sejuk berhembus semilir, keadaan makam baru dihadapannya masih seperti sedia
kala. Sedangkan mimik wajahnya menyiratkan perasaan pilu yang mengenaskan.
Entah berapa lama telah berlalu, tiba-tiba terdengar dua kali suara tawa panjang dari
balik pohon yang besar. Tampak bayangan manusia berkelebat, secara berturut-turut
muncul dua orang di hadapan Cian Cong. Mereka adalah Yibun Siu San dan si tokoh sakti
Bu Tong San, Tian Bu Cu. Ternyata mereka mengejar jejak Cian Cong sehingga sampai di
tempat tersebut. Tampak Tian Bu Cu tertawa lebar. "Cian-heng berdiri seorang diri di sini, kalau dilihat dari tampangnya seperti orang yang
sedang sedih sekali. Entah apa sebabnya?"
Cian Cong menarik nafas panjang-panjang.
"Anak Ki sudah mati." sahutnya lirih.
Yibun Siu San tertawa lebar. "Yang mati bukan dia, kalau Cian-heng ingin tahu kejadian yang sebenarnya, harap ikut
dengan Hengte." seraya berkata, orangnya sudah membalikkan tubuh, arahnya tetap
pohon yang besar itu. Mendengar nada suaranya yang demikian pasti dan tidak seperti orang yang berdusta,
diam-diam hatinya berpikir: "Mayat yang tadi kulihat terang-terangan Tan Ki adanya,
mengapa sekarang dia malah mengatakan bahwa yang mati bukan Tan Ki?"
Begitu pikirannya tergerak, hatinya semakin bingung. Tanpa terasa langkah kakinya
mengikuti Yibun Siu San dari belakang.
Begitu pandangan matanya memperhatikan dengan seksama, orangtua yang terkenal
sakti ini langsung mengeluarkan suara seruan terkejut. Rupanya mayat yang tergeletak di
balik pohon itu, benar-benar Kim Yu adanya. Hanya wajah bagian depan dan belakang
berlainan, bajunya sendiri tetap milik Tan Ki.
Setelah melihat sekali lagi, untuk sesaat hatinya dilanda kebingungan. Dia mengangkat
tangannya menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Kemudian terdengar dia
menggumam seorang diri, "Benar-benar aneh sekali. Tapi siapa orang yang barusan
bergebrak dengan si pengemis tua?"
"Ada suatu hal yang terlupa oleh Cian-heng."
"Apa yang terlupakan oleh si pengemis tua?"
"Bukankah kau tahu bahwa anak Ki mempunyai sebuah gelar yang lain, yakni Cian Bin
Mo-ong" Dia bisa merubah wajahnya dalam sekejap mata saja. Mungkin karena waktunya
yang tidak cukup, dalam keadaan tergesa-gesa dia hanya mengoleskan obat secara asalasalan
saja pada wajah Kim Yu. Dengan demikian khasiatnya juga hanya bereaksi
sebentar. Namun kau sempat dikelabui olehnya."
Kata-kata itu seakan menyadarkan Cian Cong dari mimpi panjang. Mulutnya
mengeluarkan suara desahan terkejut. Tangannya ditepuk keras-keras. Dia langsung
tertawa terpingkal-pingkal. "Betul, betul! Rupanya begitu! Tidak heran tenaganya begitu kuat sehingga hampir saja
si pengemis tua kalah di tangannya"!"
*** (file google dokumen published by Saiful Bahri ...situbondo seletreng )***
Sementara itu, Tan Ki yang pandai menyamar dan Kaucu Pek Kut Kau terus berlari
berdampingan. Perlu diketahui bahwa ilmu menyamar Tan Ki diperoleh dari seorang tua tanpa nama,
dia sanggup merubah wajahnya dalam sekejap mata saja. Sedangkan samarannya begitu
sempurna sehingga persis dengan orang yang ditirunya.
Meskipun sepasang mata Kaucu Pek Kut Kau sangat tajam, setelah lewat sekian lama,
dia masih tidak menemukan kejanggalan. Tetapi biar bagaimanapun, dia merupakan
seorang tokoh sakti yang perasaannya peka. Pengetahuan maupun pengalamannya luas
sekali. Terhadap ilmu silat adik seperguruannya yang mendadak maju demikian pesat,
sedikit banyaknya dia merasa curiga juga. Setelah berjalan beberapa saat, tiba-tiba Kaucu
Pek Kut Kau melambatkan langkah kakinya.
"Kim Yu, suheng mempunyai sedikit persoalan yang tidak dimengerti, ingin bertanya
kepadamu." Melihat tampangnya yang angker, Tan Ki berusaha bersikap sewajar mungkin.
"Silahkan suheng tanyakan saja." sahutnya.
"Suheng melihat kau melawan si makhluk tua tadi, tampaknya kekuatanmu jauh lebih
hebat dibandingkan sebelumnya. Dengan demikian, hati suheng merasa agak heran."
Hati Tan Ki diam-diam tergetar. "Urusan ini kalau diceritakan panjang sekali?" mulutnya menyahut, dalam waktu yang
bersamaan pikirannya terus berputar mencari alasan yang tepat.
Kaucu Pek Kut Kau melihat matanya terus mengerling ke sana ke mari, hatinya semakin
curiga. Oleh karena itu, wajahnya juga tampak semakin kelam.
"Ada apa dengan dirimu?" tanyanya.
"Suheng, tentu saja kau sudah menduga bahwa siaute menemukan sebuah peristiwa
yang luar biasa. Tetapi kalau harus diceritakan dalam sesaat, rasanya bingung bagaimana
harus memulainya. Oleh karena itu, siaute harus menyusun dulu uraian yang tepat agar
dapat menceritakannya dengan jelas dari awal hingga akhir. Apalagi kau tahu selamanya
siaute tidak pandai berbicara?"
Wajah Kaucu Pek Kut Kau berubah agak lunak mendengar kata-katanya. Dia
menganggukkan kepalanya berkali-kali.
"Cukup beralasan juga kata-katamu itu."
Sementara mereka berbincang-bincang, kedua-duanya sudah berlari sejauh lima
puluhan li. Tiba-tiba terlihat sebuah lekukan di bagian depan. Bentuk tempat itu agak
aneh, di kiri kanan mereka terdapat bukit bebatuan yang tinggi. Keadaan tempat itu pun
sepertinya agak berbahaya. Ada kemungkinan tiba-tiba terjadi tanah longsor. Apabila
benar demikian, tidak ada tempat lagi untuk melarikan diri sehingga mereka bisa terkubur
hidup-hidup di tempat tersebut. Setelah membelok di lekukan tadi, mereka memasuki lembah yang terjal. Di depan
pintu masuk lembah itu, terdapat empat orang laki-laki bertubuh kekar dan bersenjata
tajam menjaga di sana. Melihat keadaan ini, Tan Ki tahu mereka sudah sampai di tempat tujuan. Matanya
mengerling dua kali, tiba-tiba timbul sebuah akal bagus di benaknya.
"Suheng, kita sudah sampai di markas sementara, begitu masuk ke dalam pasti banyak
orang-orang dari Lam Hay Bun. Kalau siaute menceritakan kejadian aneh yang siaute
temui, mungkin akan berpengaruh terhadap nama baik pihak kita. Jangan-jangan mereka
berpikir bahwa para tokoh Si Yu hanya mengandalkan penemuan ajaib saja baru
mempunyai ilmu yang tinggi.. Dengan demikian pamor Pek Kut Kau kita jadi merosot."
Mendengar kata-katanya sepasang alis Kaucu Pek Kut Kau langsung menjungkit ke
atas. "Masa begitu hebat pengaruhnya?"
"Sebelum beristirahat malam nanti, siaute akan menceritakan semuanya sampai jelas.
Suheng nanti pasti akan mengerti sendiri benar tidaknya ucapan siaute ini."
Terhadap kata-kata Tan Ki, Kaucu Pek Kut Kau itu seakan ikut bergairah. Dia percaya
sepenuhnya apa yang diucapkan anak muda tersebut. Oleh karena itu, dia juga tidak
mendesak lebih lanjut. Setelah berjalan kurang sepenanakan nasi, mereka memasuki celah yang sempit,
kemudian masuk ke dalam sebuah jalan berbentuk terowongan. Keadaan langsung
berubah, di hadapan mereka terdapat sebuah ruangan batu yang luas sekali. Di sana
sudah banyak berkumpul orang-orang dari kedua pihak, tetapi melihat munculnya Kaucu
Pek Kut Kau dengan adik seperguruannya, mereka segera membalikkan tubuh dan
menjura dengan hormat. Sembari berjalan, secara diam-diam Tan Ki memperhatikan keadaan di dalam goa itu
dengan seksama. Tempat mana kira-kira yang terdapat alat rahasia atau perangkap.
Semuanya dihapal luar kepala. Seandainya dia gagal dalam tugas, mungkin masih ada
harapan untuk mengundurkan diri.

Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara dia sedang memperhatikan keadaan tempat itu dengan seksama, suasana di
hadapannya jadi berubah. Keadaan di hadapannya terang benderang, rupanya mereka
sudah sampai di sebuah tanah kosong yang cukup luas. Di sekitar tumbuh rumput-rumput
liar dan ada beberapa pondok yang dibangun asal-asalan. Mungkin hanya sebagai tempat
perlindungan untuk sementara. Tetapi siapa yang menyangka bahwa di lembah yang
terpencil ini justru berdiri markas orang-orang Lam Hay Bun.
Sepasang mata Tan Ki memperhatikan dengan seksama pondok yang ada di tengahtengah.
Pondok yang satu ini jauh berbeda dengan pondok-pondok di kiri kanannya.
Tampaknya pondok tersebut jauh lebih kokoh dari yang lainnya. Ukurannya juga jauh lebih
besar. Dia segera menduga bahwa pondok yang satu ini merupakan tempat tinggal
sementara si tocu sakti dari Lam Hay Bun yang belum pernah bertemu muka dengannya,
namun selalu berhasrat mencabut nyawanya itu.
Ternyata dugaannya memang tidak salah. Kaucu Pek Kut Kau langsung mengajaknya
menuju pondok tersebut. Kalau Tan Ki bukan seorang pemuda bernyali besar, pasti hatinya dilanda ketegangan
yang tidak terkirakan masuk ke sarang harimau ini. Tetapi sejak awal hingga akhir,
penampilannya masih begitu tenang dan wajar.
Dulu dia sudah sering menyamar sebagai berbagai tokoh yang berlainan. Tua, muda,
bungkuk, pincang, semua pernah dicobanya. Kali ini menyamar sebagai Kim Yu, hanya
mengulangi apa yang sudah dilakukannya dulu. Pokoknya dia harus bertindak sesuai
perkembangan yang terjadi. Di depan pondok juga terdapat empat orang laki-laki kekar bersenjata tajam yang
menjaga. Sikap mereka seperti orang yang akan menyambut musuh tangguh. Begitu
masuk ke dalamnya, langsung timbul perasaan yang janggal.
Begitu pandangan matanya dialihkan, dia melihat kedua Bun Bu-siang dan ketiga orang
tongcu dari Lam Hay Bun duduk di atas selembar permadani yang tebal. Mereka sedang
memejamkan mata dengan kepala tertunduk tanpa mengucapkan sepatah katapun,
seakan sedang menguras otak memikirkan suatu masalah yang rumit. Sikap mereka juga
seperti menunggu kedatangan seseorang. Tampang mereka semuanya serius. Juga
menunjukkan penampilan yang sopan. Melihat situasi ini, hati Tan Ki sempat bimbang sesaat. Di samping itu dia juga khawatir
kalau terlalu banyak bicara malah mendatangkan bencana. Kemungkinan kedoknya bisa
terbuka. Terpaksa dia mengikuti Kaucu Pek Kut Kau berjalan ke depan tanpa
mengucapkan sepatah kata atau menyapa siapapun. Mereka mencari tempat yang kosong
dan duduk di sana. Setelah menunggu kurang lebih sepenanakan nasi kemudian, tiba-tiba terdengar suara
dentingan logam yang menyusup ke dalam gendang telinga. Sumbernya dari luar pondok
dan semakin lama semakin mendekat. Kemungkinan tujuannya memang pondok yang satu
ini. Mendengar suara dentingan ini, orang-orang yang tadinya duduk di atas permadani dan
beberapa buah kursi di samping langsung berdiri serentak. Mereka menghadap ke depan
pintu. Sikap mereka menunjukkan hormat yang tidak terkirakan.
Meljhat sikap mereka, Tan Ki sempat merasa bingung. Tetapi akhirnya terpaksa dia ikut
berdiri seperti orang-orang lainnya. Terdengar suara lonceng berbunyi sebanyak tiga kali,
sedangkan suara dentingan logam tadi langsung berhenti.
Kemudian terdengar lagi seseorang berteriak dengan lantang, "Toa Tocu tiba!"
Diam-diam Tan Ki memaki dalam hati: "Huh! Sungguh besar lagak si Toa Tocu itu!"
Orang yang berjalan di bagian depan merupakan seorang laki-laki berusia kurang lebih
lima puluh tahun, tubuhnya gemuk pendek, telinganya besar dan matanya bulat. Kalau
ditilik dari penampilannya, kemungkinan dia inilah sang tocu yang misterius itu.
Di samping kirinya mengiringi Hua Pek Cing yang berwajah pucat seperti orang sakit
parah. Sedangkan di samping kanannya berjalan dua orang gadis, mereka adalah kakak
beradik Cin Ying dan Cin Ie. Begitu orang-orang ini masuk ke dalam pondok, suasana semakin hening mencekam.
Tampak anggota Lam Hay Bun berdiri dengan dada membusung, tangan lurus ke
bawah dan bernafas pun tidak berani keras-keras. Menunggu sampai Toa Tocu itu duduk
di atas singgasananya yang terdapat di tengah-tengah, baru mereka duduk kembali di
tempat masing-masing. Tan Ki menggunakan kesempatan ini memperhatikan Toa Tocu tersebut lekat-lekat.
Yang paling ditelitinya justru sinar mata orang itu, karena sampai di mana tingginya
tenaga dalam seseorang biasanya dapat terlihat dari sinar matanya yang menyorot tajam.
Tetapi ketika pandangannya menatap sinar mata Tocu itu, untuk sesaat tanpa dapat
ditahan lagi dia jadi tertegun. Ternyata Tocu yang berambisi besar itu mempunyai sinar
mata yang tidak berbeda dengan orang biasa. Namun bola matanya justru lebih bening
dan berkilauan daripada bola mata seorang gadis.
BAGIAN LVI Sekonyong-konyong" sepasang alis Toa Tocu itu berkerut-kerut, dia berkata dengar
nada suara yang berat, "Aneh sekali, di sini terdapat serangkum hawa pedang yang
tajam!" "Hawa pedang?" Mendengar kata-katanya, tanpa sadar mereka serentak mengulangi kata-kata Toa Tocu
tersebut. Rupanya mereka tercekat oleh ucapan Toa Tocu tadi.
Perlu diketahui bahwa kepandaian Toa Tocu dari Lam Hay ini sudah mencapai taraf
yang tidak terkirakan tingginya. Hawa pedang yang dikatakan olehnya merupakan kiasan
bahwa tempat tersebut mengandung hawa pembunuhan yang tebal!
Oleh karena itu, para hadirin yang ada di dalam pondok itu menjadi tergetar hatinya.
Untuk sesaat mereka malah termangu-mangu. Tampak Toa Tocu itu berdiri dari tempat
duduknya perlahan-lahan. Matanya menyapu ke arah para hadirin.
"Aku bisa mengatakan pada saudara-saudara sekalian, bahwa di dalam pondok ini
terdapat seseorang yang mempunyai niat tidak baik?"
Begitu kata-katanya terucapkan, orang-orang yang ada di dalam pondok itu langsung
saling pandang antara yang satu dengan yang lainnya. Tidak ada seorangpun yang berani
menyahut. Mendadak Tong Ku Lu merangkapkan sepasang kepalan tangannya dan berdiri menjura
dalam-dalam. "Apakah Tocu sudah menemukan siapa adanya orang itu?"
"Untuk sementara ini masih sulit dipastikan. Hawa pedang ini terasa sangat mendesak
dan tajam sekali. Kalau bukan karena aku sudah mempelajari ilmu Kiu Coan Sikang atau
ilmu ketajaman Indera Sembilan Putaran, mungkin aku sendiri juga tidak akan
merasakannya." Mendengar ucapannya, hati Tan Ki malah menjadi lega. Di samping itu otaknya juga
berputar mencari jalan untuk menghadapi musuh agar tugasnya dapat berhasil.
Mendadak sebuah ilham muncul di benak kepalanya, dia teringat suatu cerita legenda
yang pernah dibacanya. Diam-diam dia berpikir dalam hatinya: "Mengapa aku tidak meniru
perbuatannya yang menggunakan kesempatan membunuh kaisar?"
Pikirannya tergerak, perlahan-lahan dia berdiri.
"Mendengar kata-kata Toa Tocu yang mengatakan hawa pedang yang tajam, aku jadi
teringat suatu hal." sembari berkata, dari selipan ikat pinggangnya dia mencabut sebatang
pedang, kemudian terdengar dia melanjutkan kata-katanya. "Pedang ini aku dapatkan dari
tubuh Bulim Bengcu wilayah Tionggoan, Tan Ki. Karena perasaan suka, aku
menyimpannya. Kemungkinan hawa pedang yang Toa Tocu maksudkan terpancar dari
pedang pendek ini." Toa Tocu melirik ke arahnya sekilas. Kemudian terdengar dia mendengus dingin.
"Aku mengenali pedang tersebut sebagai hadiahku untuk Kiau Hun!"
Tan Ki tersenyum simpul. Dia berjalan ke depan dua langkah. Sepasang tangannya
menyandang pedang tersebut dan perlahan-lahan melangkah mendekati Toa Tocu. Tidak
seorangpun yang tahu hatinya saat ini sudah merencanakan suatu kejahatan. Segulung
angin topan sebentar lagi akan melanda"
Tampak sinar mata orang-orang yang ada dalam pondok itu terpusat pada diri Tan Ki.
Mereka tidak mengerti apa maksud perbuatan Tan Ki ini.
Justru ketika hati mereka masih bertanya-tanya, kembali Tan Ki menghentikan langkah
kakinya. Jaraknya dengan Toa Tocu itu hanya tinggal tiga langkah saja.
Setelah tersenyum ramah, dia menggerakkan pedang itu ke depan, tampak segurat
sinar berwarna hijau yang berkilauan, pandangan mata menjadi samar dan serangkum
hawa dingin menyelimuti pondok tersebut. Sembari tertawa Tan Ki berkata, "Mata Toa
Tocu tajam bagai kilat, apakah Toa Tocu dapat melihat kejanggalan yang ada pada
pedang ini?" Sembari berkata, dia menyodorkan pedang itu ke hadapan Toa Tocu, tetapi arahnya
justru dada sang Tocu tersebut. Siapa kiranya Toa Tocu itu" Melihat cara Tan Ki menyodorkan pedangnya, sepasang
alisnya langsung menjungkit ke atas. Cara Tan Ki menyodorkan pedangnya jauh berbeda
dengan cara yang digunakan orang biasa. Justru saat itu di hatinya sudah timbul perasaan
curiga" Mendadak Tan Ki membentak dengan suara keras. Tangannya yang menyodorkan
pedang sekonyong-konyong menjadi cepat. Ca-haya berkelebat, dia langsung melancarkan
sebuah serangan ke bagian urat darah yang mematikan di dada Toa Tocu.
Perubahan yang tidak disangka-sangka ini begitu mengejutkan, sehingga orang-orang
yang hadir dalam pondok itu menjerit kaget. Serentak mereka melonjak berdiri dari
tempat duduk masing-masing. Kejadiannya hanya sekejap mata. Tiba-tiba Toa Tocu menghentakkan tubuhnya ke belakang, orang dengan kursinya
sekaligus menggelinding mundur. Tampak gerakan pedang di tangan Tan Ki mengandung
kecepatan yang tidak terkirakan. Meskipun ilmu Toa Tocu sudah mencapai taraf yang
tinggi sekali, tetapi dia juga tidak sempat menghindar. Secarik cahaya lewat di depan
matanya, pundak kirinya terasa dingin, tahu-tahu terlihat darah segar menetes di atas
tanah. Kaucu Pek Kut Kau yang melihat adik seperguruannya tiba-tiba melancarkan serangan
pada Toa Tocu dari Lam Hay Bun, tanpa dapat ditahan lagi hatinya menjadi tercekat. Dia
segera membentak dengan suara keras, "Kau sudah gila!" sepasang kakinya menutul,
tubuhnya berkelebat ke depan. Sampai saat ini dia masih tidak tahu bahwa adik seperguruannya itu merupakan
samaran orang lain. Ketika dia melesat ke depan, tiba-tiba dia melihat Tan Ki memutar
tangannya dan menikam kepadanya. Angin kencang menderu-deru, bagian wajahnya
terasa diterpa hawa dingin. Rupanya serangan Tan Ki kali ini telah menggunakan tenaga
dalamnya sebanyak tujuh bagian. Terdesak oleh serangan Tan Ki yang begitu hebat, Kaucu Pek Kut Kau terpaksa menarik
kembali serangannya dan mencelat mundur. Untuk sesaat, hatinya merasa kesal juga
marah. Akhirnya dia malah jadi termangu-ma-ngu. Tidak sepatah katapun sanggup
diucapkannya. Keadaan di dalam pondok itu menjadi agak kacau karena perubahan yang mendadak
ini. Hua Pek Cing tergesa-gesa maju ke depan dan membangunkan gurunya. Sedangkan
kedua Bun Bu-siang, Tong Ku Lu dan Cia Tian Lun langsung mengepung Tan Ki.
Sementara itu ketiga Tongcu saling lirik sekilas kemudian berdiri di belakang punggung
Tan Ki. Apabila dia hendak melarikan diri, mereka akan menggunakan serangan secepat
kilat untuk menahannya. Bokongannya yang tidak membawa hasil tadi malah menjerumuskan dirinya dalam
perangkap. Saat ini hati Tan Ki sudah bertekad untuk gugur sebagai pahlawan. Lagipula
racun yang diberikan oleh Tian Bu Cu hanya dapat memperpanjang hidupnya sebentar
lagi. Daripada mati tanpa diketahui oleh seorang-pun, lebih baik mengamuk di markas
musuh. Apabila dapat membunuh beberapa orang jago dari pihak lawan, berarti dia juga
sudah meringankan rekan-rekan Bulim yang lain. Oleh karena pemikiran itulah, gayanya
saat ini begitu tenang serta tidak terlihat kegentaran sedikitpun.
Toa Tocu mengerahkan hawa murninya untuk menghentikan darah yang mengalir.
Setelah itu tampak dia maju ke depan dua langkah dan membentak dengan suara tajam.
"Kau mendapat perintah dari siapa sehingga berani demikian kurang ajar terhadap
diriku?" Tan Ki tertawa lebar. "Aku selamanya bertindak seorang diri. Tidak pernah ada orang yang berani
memerintah diriku, juga belum pernah ada orang_ yang sanggup membuat aku takluk
pada perintahnya!" Toa Tocu itu tertegun sejenak. "Mengapa nada bicaramu jauh berbeda dengan dulu?"
"Tentu saja. Kim Yu adalah Kim Yu, aku adalah aku! Bagaimana dua orang yang
berlainan dapat dibandingkan persamaannya?"
Mendengar ucapannya, sekali lagi Toa Tocu tertegun. Dengan heran dia bertanya, "Lalu
siapa kau sebenarnya?" "Kalau kau ingin tahu boleh saja, tetapi jangan kau kira pikiranku sudah kurang waras!"
sambil berkata, Tan Ki mengangkat tangannya lalu mengulapkan tangan itu ke wajahnya.
Puluhan pasang mata seperti terhipnotis, mata mereka membelalak lebar-lebar.
Semuanya memperhatikan Tan Ki lekat-lekat. Seakan sebentar lagi akan terjadi suatu
keajaiban. Perlahan-lahan" selembar wajah yang tampan dan gagah muncul dalam pandangan
orang-orang yang ada dalam pondok itu. Otomatis hati mereka tergetar, rasa terkejutnya
kali ini tak perlu ditanyakan lagi. Terutama Cin Ying dan Cin Ie, mereka lebih heran dari
pada orang lainnya. Karena mimpipun mereka tidak menyangka bahwa pada saat dan
tempat seperti ini Tan Ki bisa muncul di hadapan mereka.
Pikiran Cin le lebih polos, baru saja pundaknya bergerak sedikit, maksudnya ingin
melesat ke depan, tahu-tahu Cin Ying telah menarik tangannya.
"Jangan gegabah! Dengan seorang diri Tan Siangkong menempuh bahaya seperti ini,
pasti mempunyai alasan tersendiri. Lebih baik kita perhatikan dulu keadaannya baru
mencari jalan. Kalau tidak, begitu kau keluar, mereka pasti akan mengetahui bahwa
selama ini kita ada hubungan dengan orang-orang wilayah Tionggoan!"
Ketika mereka sedang berbicara itulah, tiba-tiba terdengar suara bentakan yang keras.
Serentak mereka memalingkan kepalanya, tampak Tan Ki sudah mulai bergebrak dengan
salah satu Bun Bu-siang, Tong Ku Lu.
Kepandaian kedua orang itu hampir seimbang. Selisihnya tipis sekali. Begitu kekuatan
mereka beradu, tubuh keduanya langsung terhuyung-huyung, kemudian tergetar mundur
sejauh setengah langkah. Hati Tan Ki sudah bertekad untuk mengadu jiwa di markas musuh ini. Pokoknya dia
ingin membunuh lawannya sebanyak mungkin. Oleh karena itu, tanpa mengatur
pernafasannya lagi, dia langsung menerjang kembali. Dengan jurus Kuda Berlari di Tengah
Pegunungan, dia langsung melancarkan -sebuah serangan yang dahsyat.
Miao Fei Siong melihat anak muda ini langsung menerjang ke arah Tong Ku Lu tanpa
memperhatikan sekitarnya. Dia mengira ini merupakan kesempatan yang bagus baginya
untuk membokong. Tanpa bersuara sedikit-pun, dia langsung mendesak dari arah kiri.
Telapak tanan kanannya terangkat dan secepat kilat dia menghantam ke depan.
Sepasang alis Tan Ki perlahan-lahan menjungkit ke atas. Dia menggeser ke kanan
setengah langkah. Dengan jurus Naga Kuning Mengibaskan Ekor, dia menyambut
datangnya serangan Miao Fei Siong dengan kekerasan. Pedang di tangan kanannya masih
tetap pada posisi semula, yakni menikam ke arah Tong Ku Lu.
Jurus yang satu ini dikerahkannya dengan menempuh bahaya, karena perhatiannya
harus terbagi kepada dua orang lawan. Dengan demikian tenaga dalamnya juga harus
diatur agar seimbang. Sembari membalas dengan sebuah serangan, tangannya yang satu
lagi harus menyambut bokongan yang lain pula.
Dalam waktu sekejap mata, benturan tenaga dan senjata langsung terjadi. Terdengar
suara keluhan dan dengusan dingin yang berturut-turut. Bayangan tubuh manusia terus
menerus berkelebat. Tong Ku Lu maupun Miao Fei Siong sama-sama terpental ke
belakang. Tan Ki sendiri masih berdiri tegak bagai gunung yang kokoh. Tubuhnya tidak bergeser
sedikitpun, tetapi di sudut bibirnya terlihat darah mengalir. Sudah barang tentu, meskipun
Tan Ki memiliki tenaga dalam yang hebat, namun menghadapi gabungan tenaga dua
lawan tangguh yang mempunyai kekuatan dahsyat, tubuhnya tergetar sedemikian rupa.
Dia merasa isi perutnya seperti membalik. Telinganya berdengung dan matanya
berkunang-kunang. Pada saat itu dia memang sudah bertekad gugur sebagai pahlawan. Dia tidak
memikirkan keselamatan dirinya lagi. Ia juga sadar, apabila pertarungan ini diteruskan,
kesempatannya untuk hidup tipis sekali. Namun dia tidak putus asa. Teringat akan
harapan si pengemis sakti Cian Cong dan pamannya Yibun Siu San yang besar,
semangatnya jadi semakin berkobar-kobar. Apalagi sebelumnya dia sudah menelan sebutir
pil beracun pemberian Tian Bu Cu. Walaupun dia sanggup meloloskan diri dari tempat ini,
tetap saja tidak sanggup meloloskan diri dari kematian.
Berpikir sampai di sini, tanpa dapat ditahan lagi bibirnya menyunggingkan seulas
senyuman. Tetapi senyuman itu begitu mengenaskan dan pilu.
Tiba-tiba Tan Ki mendongakkan wajahnya mengeluarkan suara siulan yang panjang.
Nadanya melengking tinggi sehingga menggetarkan gendang telinga. Kemudian
pergelangan tangannya berputar. Dengan jurus Bunga-Bunga Berguguran, pedangnya
menimbulkan desiran angin yang bergulung-gulung. Sasarannya kali ini salah satu dari
ketiga Tongcu Lam Hay Bun yang lihai, Ho Tiang Cun. Telapak tangan kirinya memainkan
sebuah jurus yang hebat, yakni Mengais Pasir di Atas Tanah. Dalam waktu yang
bersamaan dia melancarkan sebuah serangan kepada Tio Hui.
Satu jurus dua gerakan, masing-masing menggunakan tenaga dalam yang berlainan.
Hawa pedang dan angin yang terpancar dari pukulannya seperti menuju jalan masingmasing.
Laksana dua orang yang menggunakan jurus berlainan, tetapi melancarkan
serangannya dalam waktu yang bersamaan.
Ho Tiang Cun dan Tio Hui melihat serangannya begitu gencar dan dahsyat. Untuk
sesaat mereka malah tidak berani menyambutnya dengan kekerasan. Pinggang meliuk dan
kaki menggeser. Masing-masing mencelat mundur sejauh tiga langkah.
Sinar mata Tan Ki menyorotkan hawa pembunuhan yang tebal. Secara berturut-turut
kembali dia melancarkan tiga belas jurus serangan. Cahaya berkilauan timbul dari pedang
di tangannya. Pancarannya begitu kuat sehingga memenuhi jarak sekitar satu depaan.


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiga orang tongcu, dua orang Bun Bu-siang dan Kaucu Pek Kut Kau dalam waktu
seketika menjadi kalang kabut karena serangan Tan Ki yang dahsyat. Mereka terdesak
mundur sehingga keadaan di dalam pondok itu menjadi kacau balau.
Tiba-tiba Tan Ki mengeluarkan suara bentakan yang keras. Kakinya bergerak mengejar
Miao Fei Siong dari belakang. Tampak pedang pendek di tangannya meluncur cepat
menikam ke depan. Dalam sekejap mata, dia menarik kembali jurus serangan yang telah
dilancarkannya. Jurus ini dikerahkan dengan kecepatan yang tidak terkirakan. Baru saja
pedangnya bergerak ke depan, tahu-tahu sudah ditarik kembali. Begitu cepatnya sehingga
orang-orang yang ada dalam ruangan itu tidak sempat melihat jelas bagaimana cara
tangannya melakukan gerakan. Justru ketika dia melancarkan pedangnya kemudian menarik kembali, dalam waktu
yang bersamaan terdengar suara jeritan yang menyayat hati. Darah memercik ke manamana.
Tubuh Miao Fei Siong terhuyung-huyung ke belakang seperti orang mabuk,
kemudian terhempas di atas tanah dengan nyawa melayang.
Orang-orang di dalam pondok itu melihat gerakan tubuh dan tangan Tan Ki demikian
hebat sehingga sulit dilukiskan dengan kata-kata. Hati mereka tercekat bukan kepalang.
Wajah mereka menyiratkan perasaan ngeri yang tidak terkirakan.
Toa Tocu dari Lam Hay sendiri juga melihat cara Tan Ki yang begitu cepat sehingga
sanggup membunuh salah seorang jagonya dalam sekejap mata, tetapi dia hanya
mengeluarkan suara tawa yang dingin serta menyaksikan dari samping. Tampaknya dia
menganggap Tan Ki seperti seekor ikan di dalam jala. Tentu saja dia tidak perlu turun
tangan sendiri. Biar bagaimanapun sulit baginya untuk meloloskan diri dari tempat itu.
Oleh karena itu, dia juga tidak perduli melihat salah seorang jagonya dapat terbunuh oleh
Tan Ki dalam seke-japan mata. Sementara itu, gerakan Tan Ki terlihat melemah. Tong Ku Lu segera menggunakan
kesempatan itu untuk membalas menyerang. Biar bagaimana orang ini merupakan salah
satu Bun Bu Siang dari Lam Hay Bun. Ilmunya tinggi sekali. Begitu jurus serangannya
dikerahkan, segera terasa ada serangkum angin kencang yang menimbulkan suara siulan
panjang. Tubuh Tan Ki berkelebat, dia menghindarkan dirinya dari pukulan Tong Ku Lu. Belum
sempat dia membalas menyerang, tanpa menimbulkan suara sedikitpun Ho Tiang Cun
menerjang datang dari sebelah kiri. Pukulan dihantamkan ke depan sekaligus jari
tangannya melancarkan sebuah totokan. Secara berturut-turut dia mengerahkan tiga jurus
serangan. Tio Hui seakan mengimbangi pukulan yang dilancarkan oleh Ho Tiang Cun. Dia
melancarkan dua buah pukulan dan sebuah tendangan.
Menghadapi serangan yang gencar ini, mau tidak mau Tan Ki mencelat mundur berkalikali.
Kesempatannya melancarkan serangan terlebih dahulu hilang, keadaan jadi berbalik.
Dia merasa situasi di hadapannya saat ini bukan main gawatnya. Apalagi saat ini dia tidak
mempunyai peluang lagi untuk membunuh Toa Tocu, diam-diam hatinya merasa panik.
Ketika pikirannya sedang gelisah, tiba-tiba terdengar Tong Ku Lu berteriak dengan
lantang, "Siapkan Tian Si Liok-tou (Enam Bintang Penggetar Langit)!"
Mendengar teriakannya, Tan Ki justru jadi tertegun.
Rupanya setelah bergebrak dengan Tan Ki sebanyak beberapa jurus, Tong Ku Lu sadar
tenaga dalam mereka hampir seimbang. Tetapi jurus serangannya justru kalah aneh dan
keji. Apabila pertarungan ini diteruskan, meskipun mereka dapat menggabungkan tenaga
beberapa orang untuk meringkus Tan Ki, tetapi paling tidak harus melewatkan lima
ratusan jurus. Oleh karena itu, pikirannya segera tergerak. Dia berniat menggunakan
barisan Lam Hay Bun yang terkenal untuk mengepung Tan Ki. Setelah itu mereka tinggal
menggunakan obat bius atau senjata rahasia untuk merubuhkannya.
Mendengar kata-katanya, Cia Tian Lun beserta rekan-rekannya yang lain langsung
duduk bersila di atas tanah. Hua Pek Cing juga mencelat, keluar dan di bagian pusat. Dia
menggantikan kedudukan Miao Fei Siong yang sudah mati terbunuh oleh Tan Ki.
Barisan yang terdiri dari enam orang itu sudah dipersiapkan. Daya kerjanya langsung
dilancarkan. Sebagai pembuka jalan, Kaucu Pek Kut Kau yang pertama-tama
menghantamkan sebuah pukulan ke depan.
Indera penglihatan Tan Ki sangat tajam sekali. Otaknya juga cerdas. Setelah melihat
sekilas, dia segera mengetahui bahwa keenam orang itu membentuk barisan dengan
telapak tangan saling menempel. Seperti orang yang mengerahkan hawa murninya untuk
menyembuhkan luka dalam. Tanpa dapat ditahan lagi hatinya segera tergerak. Dengan
cara saling menempelkan telapak tangan seperti itu, mereka dapat menggabungkan
tenaga enam orang pada satu orang. Setiap serangan yang dilancarkan berarti merupakan
kekuatan enam orang yang tentu saja dapat dibayangkan kehebatannya.
Diam-diam hati Tan Ki tercekat. Di samping itu dia juga ingin membuktikan dugaannya
sendiri. Oleh karena itu dia segera menghimpun hawa murninya dan mendorong telapak
tangannya ke depan menyambut serangan Kaucu Pek Kut Kau.
Begitu kedua telapak tangan saling beradu, Tan Ki langsung merasa jantungnya bagai
dihantam oleh sebuah palu yang besar. Tubuhnya terpental ke atas satu kali, kakinya
goyah dan sepasang pundaknya terhuyung-huyung.
Wajah Tan Ki perlahan-lahan berubah. Diam-diam dia berpikir di dalam hati: "Sungguh
barisan Tian Si Liok-tou yang hebat!"
Sementara pikirannya masih tergerak, tiba-tiba Cian Tian Lun yang posisinya di tengahtengah
kembali melakukan penyerangan. Tenaga dalamnya bagai gunung yang rubuh,
demikian dahsyatnya sehingga membuat hati Tan Ki tergetar.
Anak muda itu tahu, apabila dia menyambut lagi serangan Cia Tian Lun ini, pasti
keadaannya tidak berbeda dengan sebelumnya. Berarti dia mengadu tenaga dalam
dengan enam orang lawan sekaligus. Paling tidak dia akan terluka parah. Oleh karena itu,
untuk sesaat dia tidak berani menyambut dengan kekerasan. Dia menggeser ke sebelah
kiri satu langkah, pedang di tangannya digetarkan. Dengan sebuah jurus yang hebat,
pedang di tangannya menimbulkan lingkaran cahaya dengan ukuran besar kecil.
Serangannya ditujukan kepada salah satu Bun Bu-siang dari Lam Hay Bun, yakni Tong Ku
Lu. Menghadapi serangannya yang begitu dahsyat, Tong Ku Lu malah seperti menganggap
remeh. Dia tetap bersila di tempatnya tanpa bergerak sedikitpun. Justru Ho Tiang Cun dan
Hua Pek Cing yang masing-masing menghantamkan sebuah pukulan menahan serangan
pedang Tan Ki. Hawa amarah dalam dada Tan Ki jadi meluap. Jurus-jurus yang aneh serta keji
dilancarkannya secara gencar. Saat itu juga, kilauan pedang memijar-mijar dan mendesak
kepada enam orang tersebut. Tidak tahunya Tian Si Liok-tou itu merupakan ilmu tingkat tertinggi dalam perguruan
Lam Hay Bun. Ilmu itu merupakan cip-taan tocu sebelumnya, Gin Tong yang
menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk merampungkannya. Orang yang diserang
justru tidak mengelakkan diri ataupun menangkis, tetapi telapak tangannya ditempelkan
pada telapak tangan rekan di sebelahnya dan rekannya itulah yang melancarkan serangan
balasan. Hal ini berarti orang yang pertama itu menerima saluran tenaga dalam dari rekan
lainnya sehingga kekuatannya menjadi dahsyat. Meskipun ilmu pedang Tan Ki aneh dan
dapat menimbulkan hawa pedang yang tajam, tetapi setelah melancarkan serangan
beberapa kali berturut-turut, tetap saja dia tidak sanggup melukai satu orangpun dari
pihak lawan. Diam-diam hatinya menjadi panik, keringat dinginnya terus mengucur
dengan deras. Dia merasa setiap kali melancarkan sebuah serangan, musuh tidak menghindar ataupun
balas menyerang, tetapi malah mempertahankan diri. Lambat laun dirinya sendiri yang
terperangkap dalam barisan itu. Walaupun pedang pendek di tangannya masih bisa
digerakkan ke sana ke mari, tetapi wawasan dirinya sendiri semakin lama semakin simpati.
Setelah lewat beberapa jurus, dia merasa bagian depan belakang kiri atau kanan
tubuhnya bagai ada lingkaran kekuatan tanpa wujud yang mendesak dirinya sehingga
udara terasa pengap. Dengan demikian gerakan tubuhnya juga jadi lambat dan tidak bisa
berputar atau bergeser secara leluasa. Dia pun merasa sulit melangkahkan kakinya.
Walaupun akhirnya dia sanggup menindakkan kakinya satu langkah, namun dia harus
menguras tenaga yang banyak. Hatinya sadar bahwa apabila pertarungan ini diteruskan,
dirinya tentu tidak luput dari bencana.
Begitu pikirannya tergerak, tiba-tiba muncul niatnya untuk melarikan diri"
Siapa nyana baru saja niat itu muncul, tiba-tiba lingkungannya terasa semakin sempit.
Barisan Tian Si Liok-tou itu sudah bergerak sekaligus. Apalagi barisan itu seperti dipimpin
oleh orang yang ada di tengah-tengah. Karena di kiri kanannya ada orang lain yang
melindungi, maka tidak mudah bagi lawan untuk mencari peluang menyerangnya.
Sementara itu gerakan barisan tersebut semakin lama semakin cepat. Baru saja Tan Ki
mengerahkan jurus Cahaya Keperakan di Atas Lautan dengan gerakan seperti
mengundurkan diri, tiba-tiba terdengar suara bentakan Hua Pek Cing yang langsung
melancarkan sebuah serangan. Dia pernah tergetar isi perutnya karena serangan hawa pedang Tan Ki. Sebetulnya
keadaan anak muda itu sudah sedemikian parah, bahkan ilmu silatnya sempat musnah.
Tetapi toa tocu dari Lam Hay bukan hanya seorang yang berilmu tinggi, ilmu
pengobatannya juga hebat sekali. Ke manapun dia pergi, dia selalu membawa Hiang Lianjau
(Rumput teratai harum) yang merupakan keluaran Lam Hay Bun. Setelah dipadu
dengan bantuan saluran tenaga dalam dari beberapa bawahan gurunya, dalam waktu tiga
kentungan saja mereka sudah berhasil menarik Hua Pek Cing dari jurang kematian. Hanya
saja tubuhnya masih lemas dan tenaga dalamnya sudah jauh melemah dibandingkan
dengan sebelumnya. Serangannya kali ini yang merupakan tenaga gabungan dari kelima
orang lainnya, tentu saja tidak dapat dipandang ringan karena memang dahsyat sekali.
Serangan yang dilakukan oleh Hua Pek Cing tepat sekali. Dengan tepat dia
menghadang jalan mundur Tan Ki. Keadaan jadi berbahaya. Begitu terdesaknya Tan Ki
sehingga dia cepat-cepat mengempos semangatnya, kemudian tangannya mendorong ke
depan menyambut serangan tersebut. Terdengar suara benturan kedua telapak tangan yang menggelegar memekakkan
telinga. Bagian atas tubuh Hua Pek Cing bergoyang-goyang, sedangkan Tan Ki yang
terhantam dorongan tenaga demikian dahsyat tidak dapat mempertahankan injakan
kakinya lagi di atas tanah. Akhirnya setelah terhuyung-huyung beberapa kali, kakinya
terpaksa menindak ke depan satu langkah.
Keadaan yang demikian genting ini membuat perasaan hati Cin Ying dan Cin Ie yang
melihatnya sampai terkejut setengah mati. Tanpa terasa mereka maju satu langkah.
Begitu melihat Tan Ki dalam keadaan bahaya, tanpa memperdulikan segalanya mereka
bersiap melesat ke depan memberikan pertolongan.
Tampak bayangan telapak dan hawa pedang bergulung memenuhi sekitar tempat
tersebut. Semakin lama pertarungan mereka berlangsung semakin cepat. Justru ketika dia
tidak tahu bagaimana harus berbuat, tiba-tiba dari luar pondok terdengar sayup-sayup
suara pekikan rajawali. Nadanya melengking tinggi sehingga membuat gendang telinga
menjadi ngilu. Kemudian terdengar suara siulan panjang mengiringi pekikan rajawali tadi. Namun
suara siulan itu demikian lembut seakan mengandung kerinduan hati seorang kekasih
yang sudah lama berpisah" Orang-orang yang ada dalam pondok itu sampai termangu-mangu mendengarkannya.
Mereka seperti terpengaruh oleh suara siulan tadi. Hawa pembunuhan yang menyelimuti
pondok tersebut serasa menyurut cukup banyak.
Tiba-tiba Tan Ki mengeluarkan suara bentakan keras, secara berturut-turut dia
melancarkan tiga serangan. Dia sadar bahwa saat ini merupakan kesempatan emas
baginya. Kalau dia tidak mencari akal menerobos keluar dari barisan tersebut, mungkin dia
terpaksa mati oleh serangan keenam orang yang berilmu tinggi-tinggi itu. Oleh karena itu,
serangannya yang gencar ini mengandung tenaga dalam yang bukan main dahsyatnya.
Dia tidak memberi kesempatan bagi lawan untuk melancarkan serangan balasan. Dengan
jurus "Ikan Lele Melompat-lompat", tubuhnya berjungkir balik di udara kemudian melesat
keluar dari barisan tersebut. Tan Ki tidak pernah membayangkan bahwa dia dapat menerjang keluar tanpa
menemukan kesulitan sedikitpun. Oleh karena itu gerakannya juga tidak terlalu cepat. Di
samping itu secara diam-diam dia juga mengerahkan hawa murninya menghadapi segala
kemungkinan yang akan terjadi. Tetapi urusannya benarbenar di luar dugaan Tan Ki. Baik
Tong Ku Lu maupun Hua Pek Cing tidak ada yang turun tangan mencegahnya.
Begitu pandangan matanya dialihkan, entah sejak kapan, di depan pintu telah berdiri
seorang gadis berpakaian hijau. Rambutnya dikepang dua dan kecantikannya luar biasa.
Gadis ini sama sekali tidak asing dalam pandangan Tan Ki. Dia adalah pelayan si gadis
berpakaian putih yang selalu menunggang burung rajawali, yakni Mei Hun adanya.
Kepala Tan Ki berpaling ke arah yang lain. Pandangan mata orang-orang di dalam
pondok itu seakan terkesima terhadap kecantikan si gadis cilik yang baru muncul ini.
Sekonyong-konyong suatu ingatan melintas di benak Tan Ki. Dia segera berkata kepada
Mei Hun, "Tempat ini merupakan markas sementara golongan sesat, sedangkan kau
berani-beraninya muncul di sarang harimau."
Mei Hun mengerlingkan matanya sebanyak dua kali. Bibirnya tersenyum manis.
"Maksudmu, tempat ini sangat berbahaya bukan?"
"Kalau kedatanganmu ini tidak diiringi majikanmu, sudah tentu berbahaya bagi dirimu!"
Senyum Mei Hun semakin lebar. "Belum tentu." katanya santai.
Orangnya sendiri memang sudah cantik bukan main, begitu tersenyum, otomatis
terlihat semakin menawan. Tampak tubuhnya bergerak dengan lemah gemulai. Selangkah
demi selangkah dia berjalan masuk dan terus menuju tempat Toa Tocu dari Lam Hay Bun.
Kemunculannya yang tidak tersangka-sangka sudah mengejutkan orang-orang yang
ada di dalam pondok tersebut. Ternyata dia malah berani menghampiri Toa Tocu.
Besarnya nyali gadis itu benar-benar sulit disamakan oleh orang lain. Mereka merasa
gerak-gerik gadis ini begitu misterius, maksud kedatangannya membingungkan. Tanpa
dapat ditahan lagi, orang-orang yang ada di di dalam pondok itu merasa tidak paham
sehingga saling menukar pandangan. Hua Pek Cing yang pernah kena batunya, terlebihlebih
merasa gelisah melihat kemunculannya itu.
Sepasang alis Tan Ki menjungkit ke atas. Pedang ditangannya digenggam erat-erat.
Pandangan mata Toa Tocu menyorotkan sinar yang berkilauan. Tiba-tiba wajahnya
menjadi kelam. Dia membentak dengan suara keras, "Untuk apa kau datang ke mari?"
Mei Hun mengembangkan seulas senyuman yang sangat manis.
"Tentu saja untuk mengambil batok kepalamu!"
Mendengar perkatannya, Toa Tocu segera mendongakkan kepalanya dan tertawa
terbahak-bahak. "Sungguh seorang budak cilik yang bermulut tajam! Kau kira siapa aku ini?"
"Aku tidak perduli siapa dirimu. Tetapi karena aku sudah menaksir batok kepalamu,
meskipun tidak sudi menyerahkannya kau juga tidak bisa melarangku."
Toa Tocu mengeluarkan suara tawa yang dingin. Tampangnya seperti orang yang
marah tetapi juga geli mendengar ucapan Mei Hun tadi, sungguh tidak enak untuk
dipandang. Tan Ki melihat di balik senyumnya yang dingin terselip kegusaran. Segurat hawa
kehijauan muncul di wajahnya. Demikian samarnya sehingga tidak dapat terlihat oleh
orang yang pandangan matanya kurang tajam.
Melihat tampangnya yang aneh dan tidak enak dilihat, wajah Mei Hun langsung
berubah. Dia mengeluarkan suara tawa yang dingin.
"Rupanya kau sudah mempelajari ilmu Hawa Sesat dari Mayat yang Seram!"
"Tampaknya kau juga bukan orang tanpa asal-usul. Karena sekali lihat saja kau sudah
dapat menebak dengan tepat rahasiaku. Mengingat usiamu yang demikian muda, yang
mestinya belum mengerti apa-apa, aku juga malas berdebat panjang lebar denganmu.
Cepat katakan asal perguruanmu dan kau boleh segera tinggalkan tempat ini!" kata Toa
Tocu. "Biarpun kau mengusir aku, belum tentu aku bersedia meninggalkan tempat ini."
Sepasang mata Toa Tocu tiba-tiba menyorotkan sinar yang berkilauan. Seperti dua
buah lentera berwarna hijau yang menyeramkan sehingga membuat hati orang tergetar.
Ditambah lagi dengan hawa hijau yang menyelimuti wajahnya, semakin membuat hati
orang menjadi gelisah dan tercekat. Terdengar dia mengeluarkan suara tawa yang seram.
"Kalau aku berniat mengambil nyawamu, mudahnya seperti membalikkan telapak
tangan sendiri"!" Mei Hun tidak memberi kesempatan kepada Toa Tocu tersebut untuk melanjutkan katakatanya,
dia langsung menukas, "Lalu mengapa kau tidak mencobanya" Lihat apakah
membuktikannya mudah atau bicaranya saja yang mudah?"
Toa Tocu adalah seorang pimpinan, di wilayah Lam Hay Bun yang paling disegani.
Mendengar sindirannya yang begitu tajam, tentu saja dia tidak dapat menahan kemarahan
dalam hatinya lagi. Oleh karena itu, dia langsung mendongakkan wajahnya dan
mengeluarkan suara tawa yang mirip dengan pekikan burung hantu di tengah malam.
Tan Ki merasa suara tawa sang tocu tersebut seakan membawa hawa dingin yang
menyusup ke dalam dada. Bukan saja tidak enak didengar, malah membuat tubuh orang
menggigil seperti tiba-tiba saja turun salju yang deras sehingga menutupi seluruh pondok
tersebut. Bulu kuduknya merinding seketika.
Justru di saat Tan Ki merasa gelisah, tiba-tiba suara tawa sang tocu sirap. Dia langsung
maju ke depan sejauh dua langkah. "Aku akan mengalah kepadamu sebanyak tiga jurus?"
Ucapan ini apabila tercetus dari mulut orang lain, tentu orang-orang yang
mendengarnya akan merasa bahwa tocu ini sombongnya bukan main. Tetapi tocu ini
bukan sembarang tocu. Ilmunya sudah mencapai taraf yang demikian tinggi sehingga sulit
diukur lagi. Mereka merasa kata-kata itu wajar sekali terdengar dari mulutnya, tidak
seorangpun yang merasa dia tidak pantas berkata seperti itu.
Tampaknya Mei Hun seperti sengaja mengulur waktu. Ternyata dia tidak langsung
melancarkan serangan. Dengan tampang yang dingin dan datar dia berkata, "Kalau kau
memang berniat mengalah tiga jurus kepadaku, maka kau tidak boleh melancarkan
serangan balasan!" "Tentu saja!" sahut sang Toa Tocu.
"Apakah kau tidak berpikir bahwa tiga jurus ini mungkin dapat membuat kau rubuh di
atas tanah bermandikan darah?"
Wajah Toa Tocu tiba-tiba menjadi serius.
"Aku tidak sudi berdebat terus denganmu! Pokoknya kau lancarkan saja serangan


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

secepatnya!" Mei Hun tersenyum simpul. "Meskipun ilmu sesat yang kau pelajari itu mengandung racun yang ganas serta
pengaruh yang dahsyat, tetapi kau tidak sanggup mempertahankan hawa murnimu dalam
waktu yang terlalu lama. Kalau waktu terus berlalu, kau terpaksa mengendurkan hawa
murni yang kau kerahkan. Begitu ilmu beracun itu buyar, kau akan segera berubah
menjadi orang yang tidak berguna. Seandainya aku mengucapkan beberapa patah kata
lagi untuk mengulur waktu, maka aku akan?"
Toa Tocu mendengar kata-katanya yang semakin lama semakin membuka rahasia yang
ada pada dirinya. Hatinya menjadi marah dan terkejut. Dia langsung membentak dengan
suara keras menukas ucapan Mei Hun, "Tutup mulutmu! Kalau kau masih belum mau
melancarkan serangan, jangan salahkan apabila Toa Tocumu ini menarik kembali katakata
yang sudah diucapkan dan berbalik turun tangan menyerangmu!"
Mei Hun menggerak-gerakkan sepasang kepang di belakang kepalanya. Bibirnya masih
juga tersenyum manis. "Sekarang bukan saatnya mengadakan pertarungan dengan tergesa-gesa.
Kedatanganku ini sebenarnya karena mendapat tugas yang maha berat. Kalau kau berniat
mendengarkannya, maka kau harus memberi waktu agar aku dapat mengatur kata-kata
yang baik dan mengatur pernafasan sejenak."
Toa Tocu melihat gadis itu seperti mengemban tugas penting yang ingin disampaikan.
Tampangnya juga bukan seperti orang yang sedang bergurau. Diam-diam hatinya
tergerak. Tetapi biar bagaimanapun dia merupakan seorang tokoh yang licik. Kemarahan
atau kesenangan yang dirasakannya tidak mudah terlihat dari mimik wajahnya. Meskipun
kedatangan gadis ini begitu misterius dan ia ingin mendengar apa yang akan disampaikan
olehnya. Namun dari luarnya dia justru pura-pura gusar.
"Kalau ada ucapan yang ingin kau sampaikan, harap katakan secepatnya. Aku tidak ada
waktu bersilat lidah denganmu!"
"Baiklah, aku akan mengatakannya?"
Baru mengucapkan beberapa patah kata, tiba-tiba dia berhenti lagi. Sepasang matanya
perlahan-lahan dipejamkan. Seakan sedang merenung bagaimana harus menyampaikan
pesannya. Sampai sekian lama dia tidak berkata-kata lagi.
Orang-orang yang ada di dalam pondok itu merasa apa yang ingin disampaikan oleh
Mei Hun pasti suatu masalah yang serius. Tanpa terasa hampir seluruh pandangan mata
terpusat pada diri gadis itu. Mereka menunggu dengan nafas tertahan dan tidak ada
seorangpun yang membuka suara. Keheningan yang mencekam menyelimuti suasana di dalam pondok tersebut. Kembali
waktu selama sepeminuman teh berlalu. Sekonyong-konyong Tan Ki melihat hawa
kehijauan yang tergurat di wajah Toa Tocu semakin lama semakin samar. Sinar matanya
yang dingin juga tidak menyorotkan sinar setajam tadi lagi. Diam-diam hatinya merasa
bingung. Tetapi tangannya tetap menggenggam pedang erat-erat seakan tidak berani
gegabah menghadapi situasi yang ada.
Tiba-tiba terdengar lagi suara Mei Hun yang merdu"
"Di luar samudera ada empat puluh delapan pulau. Sebelumnya sudah banyak tokohtokoh
dari wilayah ini yang menggemparkan daerah Tionggoan, tetapi tokoh-tokoh ini
mempunyai pikiran yang panjang dan jiwa yang lapang. Mereka tidak berani sembarangan
menginjakkan kakinya ke daerah Tionggoan meskipun hanya satu langkah saja. Selama
ratusan bahkan ribuan tahun, ilmu silat terus berusaha dikembangkan, siapapun ingin
menciptakan ilmu yang paling tinggi di dunia ini. Selama ratusan balikan ribuan tahun,
hubungan antara Lam Hay dengan Tionggoan juga biasa-biasa saja. Boleh dibilang saling
menghargai sehingga tidak ada pihak manapun yang berusaha menguasai pihak lainnya.
Bahkan bekas Bengcu yang lama, yakni Cin Tong juga tidak berani bertindak gegabah.
Meskipun beliau sering menginjakkan kakinya ke wilayah Tiong-goan dan bertukar pikiran
tentang ilmu silat dengan tokoh-tokoh sakti dari wilayah Tiong-goan kami. Tetapi sejak
awal hingga akhir, hubungan mereka bagai sahabat yang hanya saling menjajaki ilmu
masing-masing. Belum pernah terjadi pertikaian atau sengketa yang menyangkut budi
ataupun dendam. Seandainya kau memiliki sepersepuluh dari jiwa besar dari Cin Losiansing,
maka kau tidak mungkin berambisi demikian besar sehingga berniat menguasai
wilayah Tionggoan." Toa Tocu memperdengarkan suara tawa yang dingin.
"Aku mempunyai kelebihan dibandingkan dengan manusia biasa. Ambisiku memang
ingin menyatukan seluruh Bulim agar tunduk di bawah sebuah bendera yang sama,
dengan demikian tidak akan terjadi lagi perebutan kekuasaan antara satu wilayah dengan
lainnya. Mengapa hal ini tidak boleh dilakukan?"
"Apakah kau benar-benar berniat membubarkan setiap partai yang ada dan membuat
mereka takluk di bawah benderamu?" tanya Mei Hun.
"Aku memang mengandalkan kekuatanku dan berusaha menguasai seluruh dunia ini?"
berkata sampai di sini, tiba-tiba dia seperti teringat suatu hal yang serius. Setelah
mendengus dingin satu kali, dia tidak melanjutkan kata-katanya lagi.
Rupanya ketika keduanya terlibat dalam pembicaraan itulah, hawa hijau yang tersirat di
wajahnya lambat laun menjadi sirna.
Kemunculan Mei Hun yang secara tidak terduga-duga di markas pihak Lam Hay ini,
memang menerima tugas dari seseorang. Melihat hawa hijau yang tersirat di wajah Toa
Tocu sebelumnya sekarang sudah lenyap. Dia maklum bahwa hawa racun yang
dikerahkannya juga sudah surut. Apabila dia ingin turun tangan, waktunya justru dalam
beberapa menit ini. Sebab beberapa menit kemudian, hawa murni dalam tubuh Toa Tocu
tersebut bisa dihimpun kembali dan diapun sanggup mengerahkan ilmu beracunnya lagi.
Oleh karena itu, dia segera mengembangkan seulas senyuman yang manis.
"Aku tahu, biar bagaimana kau merupakan seorang tokoh yang paling disegani di
wilayah Lam Hay ini. Kata-kata yang kau ucapkan seberat gunung. Niat yang sudah ada
dalam hatimu sulit diubah. Seandainya ambisimu memang demikian besar, ingin
menguasai seluruh dunia ini di bawah benderamu, aku juga tidak dapat mengatakan apaapa
lagi. Semoga kau dapat mementangkan sayapmu selebar-lebarnya dan berhasil
mendapatkan apa yang kau inginkan. Di sini juga aku memohon diri." dia segera
membalikkan tubuhnya dan menarik tangan Tan Ki, kemudian mengajaknya menghambur
keluar dari ruangan tersebut. Mei Hun datang secara tidak terduga-duga, sekarang malah mau pergi seenaknya.
Seakan tidak memandang sebelah mata kepada orang lain. Toa Tocu itu pada dasarnya
adalah manusia yang tinggi hati, mana mungkin dia sanggup menahan kekesalannya
menghadapi tindak-tanduk Mei Hun ini. Pandangan matanya langsung beralih kepada Cia
Tian Hun dan membentak dengan suara keras, "Tahan dia!" nada suaranya begitu berat
seakan mengandung kegusaran yang tidak terkirakan.
Cia Tian Lun langsung mengiakan. Tubuhnya langsung berkelebat ke depan. Tangan
kirinya menjulur keluar, tangan kanannya membentuk cakar, timbul angin yang menderuderu
dan melanda ke arah Mei Hun dan TanKi.
Meskipun kedudukan orang ini hanya sebagai salah satu dari Bun Bu-siang, tetapi ilmu
silatnya benar-benar tidak dapat dianggap enteng. Mei Hun merasa cengkeraman yang
dilancarkannya mengandung tenaga dalam yang dahsyat. Orangnya belum sampai,
anginnya sudah melanda datang. Tanpa dapat ditahan lagi, hatinya merasa tercekat.
Pergeangan kanannya memutar. Dengan sebuah jurus yang hebat, dia mengibas ke
depan. Siapa sangka Cia Tian Lun memang mengharapkan dia melakukan gerakan tersebut.
Tiba-tiba lengannya membalik dan tenaga yang terpancar pada cengkeramannya langsung
lenyap. Dari lambat gerakannya menjadi cepat. Begitu tangannya bergerak sekali lagi,
tahu-tahu pergelan-gan tangan Mei Hun sudah tercekal olehnya.
Ketika kibasan tangannya menemui kekosongan, Mei Hun merasa ada yang tidak beres.
Niatnya ingin mengibas sekali lagi, tetapi waktunya sudah tidak keburu. Tiba-tiba dia
merasa pergelangan tangannya seperti kesemutan dan bagai dijepit oleh sepasang capitan
besi yang kuat. Seluruh tenaga dalamnya langsung lenyap seketika.
Namun ilmu silat Mei Hun diajarkan langsung oleh si gadis berpakaian putih yang sakti.
Dalam keadaan seperti itu, kesadaran pikirannya tetap terjaga. Diam-diam dia
mengerahkan hawa murni dalam tubuhnya dan langsung menutup seluruh jalan darah
yang ada di pergelangan tangannya. Meskipun dia merasa tulang pada pergelangan
tangannya itu agak sakit, tetapi dalam sekejap mata tenaga dalamnya sudah pulih
sebanyak tujuh bagian. Dia langsung mengeluarkan suara bentakan, tubuhnya agak
membungkuk sedikit dan kaki kirinya menendang depan. Sasarannya jalan darah di bagian
pinggang Cia Tian Lun. Jurus serangannya ini mengandung keajaiban yang tidak terkirakan, lebih-lebih
dilancarkan secara tidak terduga-duga. Cian Tian Lun tidak menduga bahwa pergelangan
tangannya yang sudah tercekal masih bisa mempunyai tenaga untuk melancarkan
serangan balasan. Jarak di antara mereka juga demikian dekat, apabila mengulurkan
tangan ke depan, jalan darah utama pada seluruh tubuh lawan dapat terjangkau. Hal ini
bukan main gawatnya. Tetapi pengetahuan maupun pengalaman Cia Tia Lun sangat luas.
Tentu saja dia sadar betapa bahaya kedudukannya saat itu, terpaksa dia melepaskan
kesempatan yang baik dengan mengendurkan cekalan tangannya kemudian mencelat
mundur. Mei Hun masih berdiri di tempatnya semula. Dia juga tidak mengejar lawannya. Hanya
terdengar dia berkata dengan bibir tersenyum, "Ilmu silatmu belum seberapa hebat."
selesai berkata, dia langsung membalikkan tubuhnya berjalan pergi.
Mungkin ilmu silatnya yang aneh dan ajaib telah membuat orang-orang di dalam
pondok itu merasa terkejut. Ternyata tidak ada seorangpun yang menghadang
kepergiannya. Bahkan Toa Tocu sendiri seperti mempunyai rencana yang lain sehingga
tidak bergerak setengah langkahpun.
Tampaknya Mei Hun sendiri pura-pura gagah di hadapan musuh. Jalannya juga tenang
sekali. Tetapi begitu keluar dari pintu, dia segera berkata kepada Tan Ki dengan suara
yang lirih, "Cepat lari! Kita tidak boleh berlama-lama di sini!"
Tan Ki juga tidak mengerti mengapa tiba-tiba niatnya berubah. Melihat sepasang
alisnya yang indah menjungkit ke atas dan langsung menghambur ke depan secepat kilat,
dia juga segera mengerahkan ilmu ginkangnya dan menyusul dari belakang.
Setelah berlari beberapa saat, keduanya melihat tidak ada orang yang mengejar
mereka. Oleh karena itu, merekapun melambatkan gerakan kakinya. Setelah sampai di
mulut lembah yang sempit, mendadak Tan Ki menghentikan langkah kakinya: Dia segera
merangkapkan sepasang kepalan tangannya dan menjura dalam-dalam kepada Mei Hun.
Dengan perasaan rendah diri dia berkata, "Cayhe sudah berulang kali berbuat kesalahan
terhadap majikan nona, tetapi nona sama sekali tidak menyimpan dendam dalam hati.
Malah membalas kebencian dengan budi. Sekarang Cayhe kembali mendapat bantuan dari
nona, hati ini sungguh-sungguh merasa malu."
"Yang menolong engkau bukan aku, saat ini aku hanya menjalankan perintah saja."
meskipun mulutnya menyahut tetapi gerakan kakinya tidak berhenti sama sekali. Dia terus
melangkah ke depan, tetapi nada suaranya seperti orang yang menahan kekesalan hati.
Mendengar ucapannya, Tan Ki sempat tertegun sejenak. Dia lalu melangkahkan kakinya
mengejar dari belakang. "Apakah nona mendapat perintah dari majikanmu sehingga sengaja datang untuk
menolong aku?" "Kalau kau kira majikanku masih merindukan dirimu, boleh saja kau menganggap
demikian." Hati Tan Ki tergetar. Untuk sesaat dia tidak tahu bagaimana harus menjawab perkataan
Mei Hun." Padahal Tan Ki adalah seorang pemuda yang cerdas, tetapi dalam keadaan ruwet
seperti ini, pikirannya seperti tersumbat.
Suasana menjadi hening. Kedua orang itu berlari lagi beberapa saat. Melihat Tan Ki
terus merenung tanpa mengucapkan sepatah katapun, sepasang alis Mei Hun jadi
mengerut-ngerut. Tiba-tiba dia bertanya, "Mengapa kau tidak berbicara lagi?"
Tan Ki menarik nafas perlahan-lahan.
"Cayhe benar-benar kehabisan kata-kata."
Tampaknya Mei Hun merasa tidak puas dengan jawabannya itu. Wajahnya menyiratkan
mimik yang dingin dan datar. Tiba-tiba langkah kakinya dipercepat dan dia berlari terus ke
depan secepat kilat. Melihat sikap Mei Hun yang kadang-kadang dingin dan kadang-kadang ramah itu, Tan
Ki benar-benar tidak tahu bagaimana tanggapan gadis itu terhadap dirinya. Untuk sesaat
dia jadi serba salah. Mengejar rasanya salah, tidak mengejar juga salah. Dia malah berdiri
termangu-mangu di tempatnya. Gerakan tubuh Mei Hun benar-benar cepat sekali. Dalam sekejap dia sudah membelok
pada sebuah lekukan dan tidak terlihat lagi. Udara yang menyebar di sekitar tempat itu
masih menyebarkan keharuman yang terpancar dari tubuh seorang gadis, tetapi
keharuman yang terendus ini justru membuat hatinya semakin tertekan. Matanya
memandang pemandangan lembah yang sunyi sambil menarik nafas dalam-dalam sekali
lagi. Dia sendiri tidak mengerti mengapa harus menarik nafas panjang. Hatinya seperti
merasa kehilangan sesuatu yang sangat disukainya. Dia merasa dirinya begitu sunyi tiada
teman dan sanak keluarga" Untuk sekian lama dia berdiri termangu-mangu. Rasanya sulit menentukan pilihan.
Tiba-tiba tubuhnya tergetar, urat nadi di pergelangan tangannya yang utama telah dicekal
oleh seseorang. Gerakan orang itu begitu cepat bagai kilat. Meskipun ilmu kepandaian Tan Ki sekarang
sudah tinggi sekali, tetapi karena perhatiannya terpencar dan tidak berjaga-jaga sama
sekali, dia tidak sempat lagi mengelakkan diri, bahkan tidak merasa sama sekali.
Perlu diketahui bahwa urat nadi pergelangan tangan merupakan salah satu dari tiga
puluh enam urat terpenting yang terdapat pada tubuh manusia. Aliran darahnya bagai
tersumbat, sebagian dirinya kesemutan dan tidak bertenaga untuk mengadakan
perlawanan. Telinga Tan Ki mendengar nada suara seorang tua yang berat berkumandang dari
belakang punggungnya, "Meskipun ke ujung langit, lohu tetap akan mencarimu. Siapa
tahu Thian memang mempunyai mata sehingga mempertemukan kita di tempat ini."
Mendengar nada suaranya itu, Tan Ki segera mengetahui siapa adanya orang itu.
Orang itu tak lain adalah Pangcu Tian Ciang Pang, Lok Hong. Tanpa dapat ditahan lagi
hatinya menjadi gusar. Baru saja dia ingin meluapkan kemarahannya, mendadak hati anak
muda ini tergerak. Diam-diam dia berpikir: "Urat nadi pergelangan tanganku sudah tercekal
olehnya. Dengan demikian seluruh tenagapun menjadi lenyap. Kalau aku sampai
mengucapkan kata-kata yang membuatnya marah, sudah pasti dia akan melukai aku."
Begitu pikirannya tergerak, cepat-cepat dia menekan kemarahan dalam hatinya dan
tersenyum ramah. "Cara Locianpwe ini sungguh mengejutkan, entah apa kesalahan Boanpwe?"
Wajah Lok Hong menjadi merah padam. Dia menjawab dengan rasa jengah.
"Selama hidup ini lohu tidak pernah mempunyai niat untuk membokong siapapun.
Tetapi keadaan sekarang jauh berlainan dengan biasanya. Biar bagaimana kau merupakan
seorang pangcu dari perkumpulan Ikat Pinggang Merah. Meskipun belum tentu lohu
merasa gentar terhadapmu, tetapi ilmu silatmu saat ini sudah termasuk jago pedang
tingkat sembilan. Terpaksa aku meringkusmu dengan tidak terduga-duga sehingga dapat
menghemat waktu." seraya berbicara, cekalan tangannya semakin diperkuat.
Tan Ki merasa tulang pergelangan tangannya nyeri sekali. Keringat telah membasahi
seluruh tubuhnya. Tetapi kegagahannya benar-benar tidak dapat disamakan dengan orang
lain. Dia mengkertakkan giginya erat-erat tanpa mendengus sedikitpun.
Lok Hong tahu keberanian Tan Ki besar sekali. Meskipun pergelangan tangannya sudah
tercekal dan menahan sakit tanpa merintih sedikitpun, tetapi apabila perhatiannya
terpencar sedikit saja, dia tidak bisa menjamin kalau Tan Ki tidak akan berbuat macammacam.
Oleh karena itu, dia segera mengulurkan tangannya dan menotok dua jalan darah
pada tubuh Tan Ki. Tubuh anak muda itu terhuyung-huyung sebentar. Dia langsung membentak dengan
nada marah, "Entah apa maksud Locianpwe mendesak orang sedemikian rupa?" walaupun
hiat to alias jalan darahnya telah tertotok sehingga tenaga dalamnya lenyap sama sekali,
tetapi yang ditotok oleh Lok Hong bukan urat bisu, sehingga mulutnya masih dapat
berbicara sebagaimana biasa. Loh Hong memperdengarkan suara tawa yang dingin sekali.
"Nyawa cucu kesayanganku sedang di ambang maut. Rasanya tidak mungkin dapat
diselamatkan lagi. Kalau dia sudah mati, apa artinya hidup lohu di dunia ini" Tetapi
sebelum Ing-ji menghembuskan nafasnya yang terakhir, aku akan mencari seseorang
untuk menemaninya." "Kalau ditilik dari keadaan sekarang, tampaknya orang yang kau maksudkan itu diriku,
bukan?" Sekali lagi Lok Hong tertawa dingin.
"Bencana ini, kalau ingin dicari dalangnya, terpaksa lohu menunjuk dirimu!"
Sepasang alis Tan Ki langsung menjungkit ke atas.
"Orang yang mencari gara-gara engkau sendiri, yang membuat cucumu terluka parah
juga dirimu sendiri. Mengapa Locianpwe menuduh yang bukan-bukan dan menyalahkan
diriku dalam hal ini?" Terhadap sindiran Tan Ki yang tajam, untuk sesaat Lok Hong seperti kehilangan katakata
untuk memberikan jawaban. Sempat dia termangu-mangu cukup lama. Kemudian
perasaan malu dalam hatinya berubah jadi gusar. Tangannya bergerak ke kiri dan kanan.
Secara berturut-turut dia menempeleng sepasang pipi Tan Ki.
"Kalau kau masih berani mengeluarkan kata-kata yang membuat aku marah, jangan
salahkan apabila aku menurunkan tangan keji. Sebelum bertemu dengan cucu
perempuanku, aku akan menyiksa dirimu dulu secara perlahan-lahan." seraya berkata,
lengan kirinya menjulur ke depan. Tahu-tahu tubuh Tan Ki sudah berada dalam
gendongannya. Seperti mengangkat seekor anak ayam, dia langsung mengerahkan ilmu
ginkangnya. Dalam dua kali loncatan saja, dia sudah mencapai jarak sejauh tiga empat
depa. Justru ketika belum lama kedua orang itu pergi dari tempat itu, di mulut lembah tibatiba
melesat keluar dua sosok bayangan. Pakaiannya berwarna hijau dan satunya lagi
merah. Mereka mengedarkan pandangannya ke sekitar. Kedua orang itu adalah gadisgadis
pelayan yang melayani si gadis berpakaian putih yang sakti, yakni Mei Hun dan Ciu


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hiang. Tampang Mei Hun menyiratkan perasaan hatinya yang panik. Matanya celingak-celinguk
ke sana ke mari. Ciu Hiang juga mengedarkan pandangan matanya. Tiba-tiba dia
menghentikan langkah kakinya. "Di sini juga tidak ada. Ke mana dia sebetulnya?"
Mei Hun merasa sedih dan gugup. "Bagaimana aku bisa tahu" Tadi aku merasa jengkel sehingga menyindirnya dua patah
kata. Aku kira biar bagaimana dia akan mengejar aku dan pergi menemui cujin bersamasama.
Tidak tahunya orang ini benar-benar tinggi hati dan angkuh. Ternyata dia pergi
secara diam-diam. Kalau cujin sampai tahu urusan ini dan menyelidiki sebab musababnya,
aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kukatakan." sambil berkata, secara berturutturut
dia menghentakkan kakinya di atas tanah dua kali. Dia merasa panik juga kesal
bukan main. "Urusan toh sudah jadi begini. Terpaksa kita mencari jalan.
Kalau sampai buntu juga, sebaiknya berterus terang saja." sahut Ciu Hiang.
Mei Hun mengiakan dengan lirih. Untuk sesaat dia tidak mengatakan apa-apa. Dia
menundukkan kepalanya merenung sesaat. Tiba-tiba dia membungkukkan tubuhnya dan
menempelkan telinganya di atas tanah. Dia segera mengerahkan ilmu Te Ting-sut (Ilmu
mendengarkan tanah). Ilmu ini merupakan ilmu pendengaran kelas tinggi. Orang yang menguasainya sanggup
mendengarkan gerak-gerik di sekitar dari getaran di atas tanah. Orang yang sudah
berpengalaman dapat mengetahui gerakan musuh dalam jarak sepuluh li. Sejak kecil Mei
Hun tinggal di pegunungan Ming San. Dia sering menggunakan ilmu ini untuk mengincar
binatang-binatang liar. Sekarang dia mengerahkan ilmu yang sama dan mendengarkan
untuk beberapa saat. Ternyata dia menemukan suara langkah pada jarak tiga li di sebelah
tenggara. Ciu Hiang menunggu sejenak. Dia melihat wajah Mei Hun berseri-seri. Tanpa dapat
ditahan lagi dia langsung bertanya, "Bagaimana" Apakah kau menemukan jejaknya?"
Mei Hun mengulurkan jari tangannya menunjuk ke sebelah tenggara.
"Dia menggunakan ilmu ginkang tingkat tinggi dan lari ke sebelah sana!" seraya
berkata, dia melonjak bangun. Dia seakan merasa bahwa bagaimanapun dia harus
menemukan Tan Ki. Tanpa menunggu jawaban dari Ciu Hiang, dia langsung mengerahkan
hawa murninya kemudian melesat ke arah tenggara.
Di bawah sinar mentari yang terik, dua sosok bayangan berlari bagai terbang. Tubuh
keduanya bagai gulungan kabut yang terhembus angin. Namun, biar bagaimana kedua
gadis ini merupakan orang-orang yang kurang pengalaman. Meskipun ilmu mereka sangat
tinggi, tetapi pengetahuan tidak cukup luas. Selama ini mereka memang jarang
berkecimpung di dunia Kangouw. Keduanya hanya berpikir untuk mengejar Tan Ki.
Dengan demikian keadaan di sekitar mereka tidak diperhatikan lagi. Entah sejak kapan, di
belakang mereka ternyata mengikuti dua orang gadis bercadar hitam.
Sementara itu, Lok Hong yang menggendong tubuh Tan Ki terus berlari. Setelah kurang
lebih sepenanakan nasi kemudian, tiba-tiba dia berganti arah. Dia tidak lagi berlari ke arah
tenggara, tetapi menuju sebelah selatan.
Tampak pepohonan seperti mundur ke belakang. Dalam waktu yang singkat dia sudah
melewati tiga turunan yang curam dan sampai di depan sebuah goa alami. Di dalamnya
terlihat remang-remang, sehingga sulit melihat pemandangan yang ada. Kemungkinan goa
ini sangat besar dan dalam. Lok Hong yang memondong tubuh Tan Ki secara berturutturut
melalui tiga buah lekukan, tetapi masih juga belum sampai di tempat tujuan.
Tiba-tiba dia menghentikan langkah kakinya. Di hadapannya terdapat sebuah ruangan
batu yang tinggi dan besar. Tempat ini tertutup oleh sinar mentari. Itulah sebabnya
keadaan di sana jauh lebih gelap daripada di depan tadi. Hawa di dalam ruangan itu pun
terasa lembab sehingga menimbulkan pera-saanyang tidak enak. Sepasang alis Tan Ki
langsung berkerut-kerut. Terdengar dia tertawa dingin.
"Di dalam goa yang gelap dan menyeramkan ini, apabila ingin membunuh seseorang,
pasti sulit diketahui orang dan buktinya mudah dilenyapkan."
"Kalau lohu memang berniat membunuhmu, mudahnya seperti membalikkan telapak
tangan sendiri. Meskipun si pengemis tua yang datang sendiri ke mari, juga harus lihat
dulu suasana hatiku. Melepaskan dirimu atau tidak, pokoknya orang lain tidak berhak
menentukan!" seraya berkata, dia langsung melangkah masuk ke dalam ruangan batu
tersebut. Begitu pandangan matanya dialihkan, tampak seseorang berbaring di atas sebuah
balai-balai yang mungkin dibuat dalam keadaan darurat karena buatannya asal-asalan
saja. Di atas dinding yang terdapat di sampingnya tergantung empat buat obor,
cahayanya mulai suram dan menyoroti wajah orang itu. Dia adalah seorang gadis. Tan Ki
tidak merasa asing terhadapnya. Dia memang cucu kesayangan Lok Hong, yaitu Lok Ing
adanya. Wajahnya begitu pucat, tubuhnya seakan demikian lemah. Meskipun saat ini dia
sedang tertidur pulas, tetapi siapapun yang melihatnya pasti menyadari bahwa gadis itu
sedang sakit parah. Boleh dibilang ia sudah sekarat dan berada di ambang kematian.
Melihat keadaan luka Lok Ing yang ternyata demikian parah, hati Tan Ki menjadi pilu
seketika. Gadis yang selama ini malang melintang di Sai Pak dan tidak ada yang berani
mencari perkara dengannya ini sudah seperti lampu yang hampir kehabisan minyak,
sekarat menunggu datangnya malaikat elmaut"
Pikirannya melayang-layang, tanpa dapat ditahan lagi dia teringat dirinya sendiri yang
juga sudah menelan obat beracun. Bunga api dalam hidupnya juga hanya dapat menyala
selama setengah bulan lagi. Setelah itu, dirinya akan menjadi sama seperti keadaan Lok
Ing sekarang, terbaring di atas tempat tidur, sendirian, tak berdaya menunggu datangnya
kematian. Berpikir sampai di sini, tanpa terasa timbul perasaan iba yang dalam terhadap
gadis ini. Sepasang matanya dipejamkan dan mulutnya mengeluarkan suara tawa yang
getir. Tiba-tiba telapak kakinya terasa menyentuh sesuatu yang keras. Ternyata dia sudah
diturunkan oleh Lok Hong di atas tanah. Kemungkinan orangtua itu takut menimbulkan
suara yang keras sehingga cucu kesayangannya akan tersentak bangun. Oleh karena itu,
ketika menurunkan Tan Ki di atas tanah, dia melakukannya dengan hati-hati sekali.
Menghadapi tindakannya yang menyatakan sampai di mana kasih sayang terhadap Lok
Ing, Tan Ki sempat tertegun juga. Diam-diam dia berpikir dalam hatinya: "Orangtua ini
sangat mementingkan kehidupan cucunya. Terhadapku malah kadang-kadang dingin,
kadang-kadang baik, benar-benar membuat orang tidak mengerti bagaimana perasaan
hati orangtua ini yang sesungguhnya."
Oleh karena itu, Tan Ki pura-pura tenang : menghadapi situasi di hadapannya.
"Entah apa maksud Locianpwe mengajak aku datang ke sini?"
"Kau toh mempunyai mata, mengapa tidak kau lihat saja sendiri?"
"Lihat apa?" tanya Tan Ki pura-pura.
"Kalau Ing-jiku sampai mati, aku akan menyuruh engkau menemaninya!"
Tan Ki tertawa datar. "Begitu juga ada baiknya. Toh, aku sendiri tidak bisa hidup lebih dari setengah bulan
lagi. Tetapi bagaimana kalau Lok Kouwnio mempunyai peruntungan yang bagus sehingga
tidak sampai menemui ajalnya?"
Terhadap pertanyaan ini, Lok Hong malah merasa di luar dugaan sehingga dia
menundukkan kepalanya merenung beberapa saat.
"Tentu saja Lohu akan menarik kembali kata-kata tadi dan menggantikannya dengan
membantu kau melaksanakan tugas sampai berhasil serta membantumu menjadi orang
yang terkenal." Tan Ki menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tertawa datar.
"Tidak ada gunanya. Hidup Cayhe tinggal empat belas hari lagi. Walaupun Locianpwe
berniat membantu aku, kemungkinan tidak akan?" belum lagi kata-katanya selesai
diucapkan, tiba-tiba terdengar suara gesekan selimut, Lok Ing mengeluarkan suara
rintihan perlahan dan mendadak bangun dari tidurnya.
Ketika berhasil melihat wajah Tan Ki dengan jelas, Lok Ing seperti orang yang terkena
pukulan bathin, seluruh tubuhnya bergetar. Matanya yang sayu membelalak lebar-lebar.
Begitu terkejutnya sehingga tidak sanggup mengucapkan sepatah katapun.
Wajah Lok Hong beruban menjadi lembut. Dia berkata dengan suara perlahan, "Ing-ji,
aku telah mengajaknya ke mari menemuimu."
Terdengar suara deheman lirih dari mulut Lok Ing. Lambat-lambat dia memejamkan
matanya. Tetapi dalam sekejap saja, sudut matanya yang menimbulkan perasaan iba itu
telah mengalir butiran air mata yang deras. Tampangnya sungguh mengenaskan, seakan
di dalam hatinya terdapat penderitaan yang tidak terkirakan.
Dengari suara lirih Lok Hong memanggil Lok Ing sebanyak dua kali. Nada suaranya
begitu sendu. Kata-katanya tidak sanggup diteruskan lagi seperti ada sesuatu yang
tercekat di tenggorokannya. Pangcu Ti Ciang Pang yang disegani di dunia Kangouw ini
ternyata belum dapat melepaskan dirinya dari lilitan kasih sayang dengan darah dagingnya
sendiri, meskipun usianya sudah tua sekali. Wajahnya menunjukkan kepiluan hatinya yang
tidak terkirakan. Tiba-tiba terdengar suara Lok Ing yang lirih, "Yaya, aku tidak ingin melihat orang yang
ingin kutemui itu dalam keadaan teringkus seperti ini. Bukalah jalan darahnya."
Mendengar kata-katanya, untuk sesaat Lok Hong merasa bimbang setengah mati.
Matanya menatap Tan Ki kemudian beralih kembali kepada cucu perempuannya. Dia sadar
ilmu silat Tan Ki saat ini tidak dapat disamakan dengan tempo dulu lagi. Apabila
totokannya dilepaskan, belum tentu dia sanggup meringkusnya lagi dalam lima ratus jurus.
Dia menundukkan kepalanya merenung sekian lama. Akhirnya dia mengkertakkan
giginya erat-erat. Dibukanya dua urat nadi Tan Ki yang tertotok, tetapi orangnya sendiri
langsung melesat ke depan dan menghadang di depan balai-balai. Apabila Tan Ki berniat
turun tangan kepadanya, tentu tidak sampai terjadi sesuatu yang membahayakan keadaan
Lok Ing. Seluruh tubuh Tan Ki tergetar. Dia langsung merasa darah dalam tubuhnya mengalir
dengan lancar kembali. Rasa kesemutan juga hilang seketika. Dia segera meliukkan
pinggangnya ke kiri dan kanan untuk mengurangi rasa pegal karena tertotok sekian lama.
Terdengar kembali Lok Ing berkata, "Yaya, keluarlah kau sebentar."
Entah kekuatan apa yang membuat Lok Hong tidak sanggup membantah. Setelah
menganggukkan kepalanya, ternyata dia benar-benar berjalan keluar dari goa tersebut.
Melihat keadaan itu, Tan Ki malah jadi termangu-mangu. Diam-diam hatinya berpikir:
"Entah permainan apa yang sedang berlangsung di antara kedua kakek dan cucu ini?"
Tiba-tiba telinganya kembali menangkap suara Lok Ing yang lemah, "Apa yang sedang
kau pikirkan?" Pikiran Tan Ki menjadi jernih seketika mendengar pertanyaannya.
"Tidak ada." sahutnya lirih.
Lok Ing tertawa getir. "Aku tahu watakmu sangat angkuh dan tinggi hati. Pasti karena kedatanganmu ke mari
dipaksa oleh kakekku sehingga perasaanmu jadi kurang senang bukan" Aku sendiri juga
tidak tahu apa sebabnya. Sebelum ke-matian datang menjemputku, rasanya ingin sekali
aku melihatmu sekali lagi. Meskipun kita tidak dapat duduk bersama dan berbincangbincang
sebagaimana biasanya, paling tidak kita bisa saling pandang. Tidak tahunya Yaya
menganggap serius ucapan yang dicelotehkan oleh orang yang sudah sekarat ini. Rupanya
dia benar-benar meninggalkan goa ini dan mencarimu ke mana-mana. Kalau hatimu
merasa tidak senang, silahkan umbar kemarahanmu pada diriku?"
Berkata sampai di sini, hatinya terasa pedih sekali. Tetapi dia segera memalingkan
wajahnya ke tempat lain dan tidak ingin Tan Ki melihat air matanya yang mengalir dengan
deras. Obor yang mulai meredup di dinding goa itu memancarkan sinarnya sehingga terlihat
rambutnya yang tergerai dan berwarna hitam pekat. Tampak sepasang pundaknya
bergerak-gerak karena menahan isak tangis. Hal ini membuat suasana di dalam ruangan
batu itu semakin pengap dan sumpek sehingga Tan Ki hampir tidak dapat menahannya.
Tetapi di balik semua ini juga terselip kepiluan yang mengenaskan hati.
Keadaan ini menimbulkan perasaan iba di hati Tan Ki, tanpa sadar dia duduk di atas
balai-balai dan perlahan-lahan digenggamnya tangan Lok Ing. Dia merasa tangan gadis itu
demikian lemah dan kurus. Perlahan-lahan dia menarik nafas panjang.
"Baik-baiklah kau menjaga kesehatanmu, aku akan pergi mencari obat?"
Lok Ing menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Luka ini sudah sedemikian parah sehingga menyusup ke jantung. Meskipun ada obat
yang bagaimanapun mujarabnya, jiwaku ini sulit tertolong lagi." tiba-tiba dia memalingkan
wajahnya. Matanya yang sudah kehilangan cahaya berkilauan mengejap-ngejap dan
memandang wajah Tan Ki lekat-lekat. Bibirnya tersenyum. "Apakah kau benar-benar ingin
mencarikan obat buatku atau hanya asal mengatakannya saja karena iba melihat,
keadaanku ini?" "Apapun yang kukatakan, keluar dari hati yang tulus." sahut Tan Ki.
Perlahan-lahan Lok Ing memejamkan matanya kembali.
"Kalau begitu, aku dapat mati dengan tenang. Tidak ada yang kupikirkan lagi."
Ketika mengucapkan kata-kata itu, hatinya benar-benar merasa gembira dan nyaman.
Bibirnya menyunggingkan seulas senyuman yang tipis. Meskipun Tan Ki adalah seorang
pemuda yang berotak cerdas, tetapi dia tidak mengerti bagaimana perasaan Lok Ing saat
ini. Dia juga tidak tahu apa yang harus dikatakannya, sehingga akhirnya dia memilih untuk
membisu. BAGIAN LVII Setelah sama-sama berdiam diri kurang lebih sepenanakan nasi kemudian, tiba-tiba Tan
Ki seakan teringat sesuatu hal yang penting. Matanya bergerak-gerak dan semangatnya
terbangkit seketika. "Walaupun di dunia ini tidak ada obat yang dapat membuat manusia tidak dapat mati,
tetapi aku tetap akan berusaha sekuat tenaga mencoba mencarinya."
Lok Ing tertawa getir. "Seumpamanya kau bisa mengobati luka ini, tetapi kau tetap tidak sanggup
memulihkan sakit di bathinku ini."
Suaranya yang sendu membuat semangat Tan Ki yang baru tergugah menjadi surut
sebagian. Orangnya sendiri jadi tertegun. Dia merasa nada bicara Lok Ing yang sendu tadi
seakan mengandung makna yang dalam. Kalau didengar sepintas l
Bukit Pemakan Manusia 4 Bara Naga Karya Yin Yong Bentrok Rimba Persilatan 19
^