Pencarian

Golok Halilintar 4

Golok Halilintar Karya Khu Lung Bagian 4


sukkan ujung pedangnya mengarah mata kiri Siangkoan Hong. Syukurlah pada saat itu Hoa Kie Lian menangkis ujung
pedangnya, sambil berkata: "Sucie, Siangkoan Hosiang ini memang berkepala batu,
Andaikata kau bunuhpun, tidak ada gunanya."
"la memaki guru kita, berhati keji dan bertangan gapah.
Karena itu, biarlah aku tunjukkan kekejian dan kegapahan
tanganku!" sahut Kwee Lian Cie dengan suara berkobarkobar,
"Manusia siluman aliran iblis ini, kalau dibiarkan hidup
akan merusak peradaban manusia saja, Kalau aku bisa
membunuhnya, artinya aku bisa sekedar memberi sedekah
kepada angkatan mendatang." "Tetapi, sucie, Meskipun ia anggauta aliran sesat, akan
tetapi nyatanya dia seorang pendekar sejati. Menurut
pendapatku, ampunilah jiwanya!" bujuk Hoa Kie Lian.
"Tetapi rekan kita dari Siauw-lim yang berada disini mati
seorang, dan yang lainnya menderita luka parah. lihatlah, Sie
Cu Leng dan Tee Kun Eng, dan juga yang lainnya, Mereka
semuanya menderita luka berat. Masakan dengan
membutakan kedua matanya, aku berlaku keji terhadapnya?"
teriak Kwee Lian Cie, Setelah berkata demikian, secepat kilat
pedangnya kembali menusuk mengarah mata kiri Siangkoan
Hong. Namun dengan cepat pula, Hoa Kie Lian menangkis
tikaman pedangnya. Katanya membujuk:
"Sucie, orang ini sudah tidak lagi berdaya, Menganiaya
secara demikian kalau tersiar didalam masyarakat, nama Gobie
pay akan tercemar." 206 Kwee Lian Cie gusar bukan kepalang karena kehendaknya
selalu dirintangi adik seperguruannya, Dengan sepasang alis
berdiri tegak, ia membentak: "Minggir! Kau minggir atau Tidak" jangan perdulikan
diriku!" "Sucie, kau..." "Apa?" potong Kwee Lian Cie dengan cepat. "Kau
memanggilku sebagai "sucie?" Bagus, kalau kau memanggilku
dengan sebutan sucie, maka kau harus patuh kepada
perkataanku. Hah, minggirlah !"
"Baiklah, sucie," sahut Hoa Kie Lian dengan suara
merendah. Pedang Kwee Lian Cie bergerak lagi mengarah ke mata
kiri Siangkoan Hong, akan tetapi lagi-lagi Hoa Kie Lian
menangkisnya. Karena melihat tikaman Kwee Lian Cie kali ini sangat
ganas dan berbahaya, maka Hoa Kie Lian menangkisnya
dengan sungguh-sungguh pula, ia menggunakan tenaga tujuh
bagian. pada saat itu terdengarlah suara gemerincing dan
lelatu meletik dari perbenturan itu, Dan kedua-duanya tergetar
mundur dua langkah. Keruan saja Kwee Lian Cie gusar bukan kepalang.
Bentaknya dengan sengit: "Sumoay! Kenapa berulangkali kau melindungi jiwa
pendekar iblis ini" Apakah maksudmu sesungguhnya?"
"Aku tidak mempunyai maksud apa-apa. Aku hanya
berharap agar kau tidak menyiksanya dengan cara demikian."
207 sahut Hoa Kie Lian, "Bukankah kita mengejarnya semata-mata
hendak memperoleh keterangan dimana beradanya Siu Lan"
Nah, kita tanyakan kepadanya dengan perlahan-lahan dan
sabar." "Hemm... apa kau kira aku tidak tahu, apa yang berkutik
didalam pikiranmu?" tiba-tiba Kwee Lian Cie mengalihkan
pembicaraan secara tidak langsung. "Beberapa kali Tan Bun
Kiat dari Boe-tong pay mendesak kau menikah dengannya,
mengapa kau selalu menolak dengan memberikan berbagai
alasan" Waktu ayahmu turut mendesak, mengapa kau kabur dari
rumahmu?" "Sucie, itulah urusan siauwmoay pribadi." kata Hoa Kie
Lian, "Mengapa, sucie menyebut-nyebut hal itu?"
Sang kakak seperguruan mengeluarkan suara dihidung,
"Kita sama-sama mengetahui," katanya, "Dihadapan orang
luar, memang kurang baik jika aku membuka topengmu, Huh!
Badanmu berada di Go-bie pay, tetapi hatimu dipihak Beng
kauw!" Mendengar perkataan itu, Hoa Kie Lian gusar bukan main,
sehingga paras mukanya berubah pucat.
"Aku selalu menghormati kau sebagai seorang kakak, dan
belum pernah aku melakukan kesalahan terhadapmu,"
katanya dengan suara gemetar. "Tetapi mengapa hari ini kau
menghina aku?" "Kalau benar hatimu tidak berpihak kepada Beng-kauw,
sekarang buktikanlah, Kau wakili diriku, menusuk mata kiri
pendekar iblis itu!" "Sumoay!" kata Hoa Kie Lian dengan suara tegas. "Aku
belajar ilmu pedang bukan untuk membunuh orang yang tidak
208 berdaya, atau menyiksa orang yang lemah. Karena itu aku
menolak permintaanmu !" Mendengar jawaban Kie Lian, maka Kwee Lian Cie tertawa
tinggi. Katanya dengan mencemoh: "Bagus, Didengar sepintas lalu kata-katamu bernilai besar,
yang pantas diucapkan seorang pendekar yang bernama
kosong melompong. Maka dengan sangat menyesal aku
membeberkan rahasia hatimu sepatah kata demi sepatah
kata, didepan para orang-orang gagah yang berada disini."
Mendengar ancaman itu, Kie Lian kelihatan tidak berani
berkeras lagi. "Sucie," katanya dengan suara perlahan. "aku mohon,
dengan mengingat kecintaan antara sesama saudara
seperguruan jangan kau mendesak aku terlalu hebat."
"Sebenarnya bukan aku yang mendesakmu, akan tetapi
kau sendiri yang minta kudesak," ujar Kwee Lian Cie dengan
tertawa menang, suhu memberi perintah kepada kita berdua,
agar mencari jejak dimana beradanya Siu Lan, anaknya Thio
Kim San yang dibawa lari oleh iblis itu, sekarang iblis yang
berada didepan matamu itu sudah tidak berdaya lagi, tinggal
kita mendengar pengakuannya. Akan tetapi mengapa kau melindungi" Lihatlah dengan
matamu yang terang! Lima orang rekan kita kena dilukai berat,
entah jiwanya tertolong atau tidak. Kalau aku hanya
membutakan kedua matanya, bukankah aku sudah berlaku
murah terhadapnya?" "Tetapi ingat, sucie, Bukankah dia tadi menyelamatkan jiwa
kita berdua" Andaikata dia tadi melepaskan pukulannya
terhadap kita berdua, pastilah jiwa kita sudah melayang sejak
tadi." Kie Lian memperingatkan.
209 "Hmm..." dengus Kwee Lian Cie, "Sering sekali suhu
memuji ilmu pedangmu yang hebat. watakmu dipujinya jujur
pula, karena berani terus terang menghadapi segala hal.
Karena itu suhu hendak mengangkat kau sebagai
ahliwarisnya. Kenapa sekarang kau berhati selemah cacing
begini?" Sejak tadi semua orang yang berada disitu termangu
menyaksikan pertengkaran mereka yang tak keruan
juntrungannya, Mereka mencoba menebak-nebak, apakah
latar belakang sesungguhnya" setelah Kwee Lian Cie
menyinggung sikap guru mereka terhadap Hoa Kie Lian,
barulah mereka dapat menduga-duga sebagian, Agaknya
Kwee Lian Cie dengki dan iri hati terhadap Kie Lian karena
oleh guru mereka dicalonkan sebagai ahliwaris.
Sebagai seorang ahliwaris Go-hie pay dikemudian hari,
Hoa Kie Lian tidak hanya akan memiliki ilmu kepandaian yang
tinggi, tetapi juga kedudukannya sebagai Ciang-bunjin Go-bie
Pay. Oleh perhitungan itu, sekarang Kwee Lian Cie bermaksud
menggeser kedudukan Hoa Kie Lian dengan membuka
boroknya didepan para pendekar yang menjadi rekan
seperjalanan mereka. Dengan demikian, kecuali mencoreng muka Hoa Kie Lian
didepan rekan-rekannya itu, juga untuk mengangkat diri
sebagai orang yang gigih menunaikan tugas dari gurunya.
Pembawaan jiwa Thio Sin Houw meletakkan nilai budi
diatas segala-galanya, ia mempunyai kesan baik terhadap
Hoa Kie Lian, tatkala Hoa Kie Lian berkunjung ke Boe-tong
san. itulah sebabnya menyaksikan betapa gadis itu kena
didesak oleh Kwee Lian Cie,hatinya ikut menjadi panas. ingin
sekali ia melompat dan menghantam kepala Kwee Lian Cie
sepuas-puas hati. 210 "Sumoay, tiga tahun yang lalu tatkala suhu mengumpulkan
semua murid-muridnya dipuncak Kim-teng, dengan maksud
mengajarkan ilmu pedang Tiat-kiam dan Kie-kiam, kenapa kau
tidak hadir dalam pertemuan itu" Mengapa suhu jadi sangat
marah, sehingga suhu mematahkan pedangnya sendiri dan
mengatakan bahwa dunia tak akan mengenal kedua ilmu
pedang itu?" kata Kwee Lian-Cie dengan suara ditekan-tekan.
"Waktu itu aku sedang sakit di suatu tempat, sehingga
tidak dapat hadir." jawab Kie Lian dengan suara agak merasa
takut. "Hmm," dengus Kwee Lian Cie dengan mulut mengulum
ejekan. "Suhu memang sangat sayang kepadamu, sehingga
alasanmu tidak direntangnya panjang. Akan tetapi aku,
mempunyai pendapat lain, Baiklah aku akan membatasi diri
tidak mengajukan sebuah pertanyaan lagi kepadamu, tetapi
asal saja kau sekarang membutakan mata kiri pendeta iblis
itu!" Hoa Kie Lian menundukkan kepalanya, tampaklah ia
berada dalam keadaan serba susah. Akhirnya dengan suara
perlahan ia berkata: "Sucie, benar-benarkah kau memaksa diriku untuk
melakukan pekerjaan hina itu?"
"Kau mau menusuk atau tidak?" dengan suara kaku Kwee
Lian Cie membentak. "Sudahlah, begini saja." ujar Hoa Kie Lian dengan suara
mengalah. "Aku berjanji dan bersumpah kepadamu, meski pun
suhu hendak mengangkatku sebagai ahliwarisnya, aku tidak
akan menerimanya." "Apa kau bilang" Bagus sekali!" berteriak Kwee Lian Cie
dengan muka merah padam. ia nampak makin mendongkol
211 dan gusar bukan main, Meneruskan dengan kata-kata sengit:
"Jadi kau mengira aku beririhati kepadamu" Heh! Apanya
yang kuirikan" Apakah karena kau diangkat menjadi ahliwaris
suhu" sekalipun aku ini bukan murid kesayangan suhu, akan
tetapi bila aku mau dengan sepatah kakaku, akan bisa
menggiurkan kedudukanmu. Hayo, kau mau mencukil mata
kiri iblis ini atau tidak?" Hoa Kie Lian agaknya tidak sudi melayani lagi. ia memutar
tubuhnya dengan sekonyong-konyong, terus melarikan diri,
Akan tetapi Kwee Lian Cie sudah menduga demikian. Cepat ia
mencegat dengan pedang dilintangkan di depan dadanya.
Katanya pula: "Aku tadi sudah bilang, Lebih baik kau tusuk mata kiri iblis
itu! Kalau tidak, pastilah rahasiamu akan kubeber dengan
terang-terangan didepan para pendekar gagah yang hadir
disini, Baiklah, karena kau terus-menerus membangkang,
maka terpaksalah aku bertanya kepadamu, Pada tiga tahun
yang lalu, apakah benar-benar kau menderita sakit di Kamciu"
padahal aku tahu benar, kau bukan menderita sakit
sebaliknya kau melahirkan anak!"
Mendengar perkataan Kwee Lian Cie, tak dapat lagi Kie
Lian menyabarkan diri terus saja ia mengibaskan pedangnya
sambil membentak: "Minggir!" Akan tetapi Kwee Lian Cie tidak mengacuhkan.
Dengan ujung pedang menuding ke dadanya, ia membentak
pula: "Hoa Kie Lian, akh sayang. Semua orang mengira bahwa
kau seorang gadis yang suci bersih, tak tahunya setelah
bertunangan dengan Tan Bun Kiat, kau mengandung dan
melahirkan anak dari benih laki-laki lain, Sayang, seribu
sayang ..." ***** 212 UCAPAN Kwee Lian Cie itu bagaikan bumi tergoncang
oleh suatu gempa bumi, Tidak hanya Hoa Kie Lian saja yang
terkejut, tetapi semua orang yang mendengar tercekat hatinya,
Benarkah tuduhan Kwee Lian Cie yang keji itu"
Usia Thio Sin Houw belum duabelas tahun penuh, sudah
barang tentu seorang bocah seperti dia belum mengenal
masalah penghidupan laki-laki dan perempuan. ia hanya bisa
merasakan secara naluriah belaka, bahwa kejadian demikian
itu sangat tercela, Akan, tetapi mengingat kesan baiknya
terhadap Hoa Kie Lian, ia membantah segala tuduhan Kwee
Lian Cie didalam hati, Karena tak dapat mengambil suatu
sikap, ia jadi bingung sendiri. Akan tetapi sesungguhnya yang menjadi bingung dan
heran tidak hanya Thio Sin Houw seorang, bahkan Siangkoan
Hong dan Cie Siang Gie dan lain-lainnya demikian pula.
Tatkala itu wajah Hoa Kie Lian nampak pucat. Dengan
membungkam mulut ia menerjang kedepan dengan maksud
hendak meninggalkan persoalan. Sama sekali tak terduga,
bahwa ancaman Kwee Lian Cie bukan merupakan gertakan
belaka, Dengan sungguh-sungguh ia menggerakkan
pedangnya, menikam lengan kanan Kie Lian, "Crett!" Hebat
tikaman itu, sampai menembus ketulang.
Kena tikaman tak terduga itu, Hoa Kie Lian kehilangan
kesabarannya, Tangan kirinya segera menghunus pedangnya,
katanya mengancam: "Sucie! Jika kau terlalu mendesak - jangan persalahkan
aku sampai berani melawanmu!" Semenjak tadi Kwee Lian Cie sadar akan perbuatannya, ia
sudah terlanjur membuka rahasia adik seperguruannya di
hadapan umum. Dan seseorang yang telah kena bongkar
213 rahasianya didepan umum, pastilah akan membunuh
sipenuduh untuk menghilangkan saksi. Tentu saja pekerti


Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

demikian itu diukur dengan cara berpikirnya sendiri. ia tahu,
ilmu kepandaian Kie Lian berada diatasnya, itulah sebabnya
selagi Kie Lian tidak bersiaga, ia menikam lengan kanannya.
Setelah berhasil melukai lengan Kie Lian, ia menikam lagi
empat kali berturut-turut dengan tertawa menang.
Memang, ilmu kepandaian Kie Lian menang setingkat
dengan Kwee Lian Cie, Akan tetapi lengan kanannya telah
tertikam, maka terpaksa ia membela diri dengan tangan
kirinya. Menghadapi serangan Kwee Lian Cie yang kejam itu, hati
Kie Lian tercekat. Dengan memusatkan seluruh
kepandaiannya segera ia mempertahankan diri dan
menyerang. Begitu menggerakkan pedangnya, serangmenyerang
lantas terjadi dengan cepat sekali. Dalam sekejap
mata saja telah berlangsung dua-puluh jurus lebih.
Mereka yang menonton, kecuali Thio Sin Houw - adalah
jago-jago terkemuka, Diam-diam mereka kagum menyaksikan
ilmu pedang Hoa Kie Lian dan Kwee Lian Cie, Pikir mereka
dengan berbareng: "Akh, benar-benar golongan Go-bie pay bukan nama
kosong belaka, pantaslah ilmu pedangnya merajai kalangan
rimba persilatan!" Sebagai jago-jago terkemuka, sudah barang tentu mereka
tahu belaka bahaya yang saling mengancam mereka berdua,
Akan tetapi mereka semua terluka parah, sehingga tak dapat
berdaya untuk melerai. Juga merekapun tak dapat membantu
salah seorangnya, Dan terpaksalah mereka hanya
menyaksikan belaka dengan mata terbelalak.
Kedua saudara seperguruan itu mengenal akan
214 kepandaian masing-masing, pada saat menyerang dan
bertahan mereka bergerak sangat cepat dan gesit. Maka tak
mengherankan, pertarungan mereka makin lama makin
menjadi seru. Sayang, lengan kanan Hoa Kie Lian terluka dan
mengalirkan darah terus menerus. Makin ia menggerakkan
pedangnya, darahnya makin mengucur deras.
Sadar akan kelemahan itu, ia segera melontarkan tipu-tipu
serangan yang mematikan dengan maksud mendesak Kwee
Lian Cie kepinggir, setelah itu ia bermaksud meninggalkan
gelanggang secepat mungkin. Akan tetapi karena ia terpaksa
menggunakan tangan kirinya, apalagi sudah terluka parah,
kemampuannya menggerakkan pedangnya tinggal sebagian
saja. Bahwasanya sudah sekian jurus lamanya, masih belum
tertikam lagi adalah karena Lian Cie masih segan
terhadapnya, Tak berani ia terlalu mendesak, karena takut
adik seperguruannya itu masih mempunyai simpanan tipu
muslihat yang belum diketahuinya, Dalam usahanya untuk
memenangkan pertempuran itu, ia melihat Kie Lian terus
menerus, agar menjadi letih karena darahnya terus mengucur
dengan sangat derasnya, Apabila Kie Lian kehilangan darah
terlalu banyak, pasti ia akan roboh dengan sendirinya.
Perhitungan itu memang benar belaka, Beberapa saat
kemudian langkah kaki Hoa Kie Lian nampak tak tetap lagi,
gerakan-gerakan pedangnya mulai kacau, Teranglah sudah,
bahwa ia tak tahan lagi. Menyaksikan itu Kwee Lian Cie girang bukan kepalang,
dengan penuh semangat ia melancarkan serangan-serangan
berantai. Yang dibidik adalah lengan kanan Kie Lian yang
berlumuran darah. Keruan saja Kie Lian sangat sukar
mempertahankan diri. "Hoa kouvnio!" tiba-tiba Siang-koan Hong berteriak,
215 "Silahkan butakan saja mataku! Terima kasihku tak terhingga
kepadamu!" Betapa sulit kedudukan Kie Lian, dapat disadari Siangkoan
Hong. Karena membela dirinyalah Kie Lian terpaksa menerima
fitnah-fitnah yang menodai namanya sebagai seorang gadis
yang suci bersih. Akan tetapi meskipun Hoa Kie Lian
meluluskan permintaan Siangkoan Hong untuk membutakan
mata-nya, pastilah Kwee Lian Cie tidak akan mengampuni
juga. Dan menyaksikan gerakan gerakan pedang Lian Cie yang
makin lama makin keji dan tak kenal ampun itu, Siangkoan
Hong menjadi gusar. Dengan suara menggeledek ia memaki
kalang kabut: "Hei, Kwee Lian Cie! Kau perempuan tak tahu malu!
Pantas saja orang-orang gagah menyebutmu sebagai sundal!
sekarang dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan
betapa keji dan kejam hatimu, melebihi ular berbisa, sudah
mukamu Jelek, persegi dan kasar, untunglah wanita di seluruh
dunia ini tiada yang mirip dengan mukamu yang persegi itu.
seumpama demikian, pastilah laki-laki di seluruh muka bumi
rela menjadi pendeta terkebiri, Hihihi ..!"
Padahal wajah Kwee Lian Cie meskipun belum terhitung
cantik, akan tetapi lumayan juga, Namun Siangkoan Hong
yang sudah kenyang makan garam, mengetahui kelemahan
jiwa kaum wanita umumnya. Tak peduli dia cantik atau
memang jelek wajahnya, apabila kena maki demikian -
pastilah akan timbul dengkinya, ia berharap, terdorong oleh
rasa gusar dan dengki itu, Kwee Lian Cie akan mengalihkan
perhatian kepadanya, Dalam keadaan kalap gadis kejam itu
pasti akan membunuhnya. Dengan demikian Kie Lian
memperoleh kesempatan untuk melarikan diri, atau setidaktidaknya
bisa membalut lukanya lebih dahulu.
Sama sekali tak terduga, bahwa Kwee Lian Cie bukan
216 gadis bodoh. Pada saat itu ia berpikir, bahwa yang terpenting
ialah membunuh Hoa Kie Lian terlebih dahulu. Bukankah
pendeta yang jahil mulut itu sudah terluka berat"
Hendak lari kemana lagi dia" itulah sebabnya, ia berlagak
tuli dan tidak menggubris makian Siangkoan Hong.
Akan tetapi Siangkoan Hong bukan sembarang pendeta,
Selain gagah, ia licin pula, Merasa pancingannya yang
pertama gagal, ia segera berseru lantang:
"Hoa kouvnio terkenal sebagai seorang gadis suci bersih,
Sebaliknya, tidak demikian dengan kau yang bermuka persegi
dan berbulu itu, Kau adalah seorang sundal benar-benar,
Umurmu sudah duapuluh delapan tahun, hatimu menjadi kecut
dan takut pada masa depanmu, Maka setiap kali bertemu
dengan laki-laki, kau segera berusaha memancing dan
menjilatnya. Demikian pula terhadap pendekar muda Tan Bun Kiat,
murid Tie-kong tianglo yang termashur itu, Biasanya dengan
menawarkan tubuhmu yang berbulu itu, tiap laki-laki iseng
akan menerima tawaranmu, Tetapi kali ini kau menumbuk
batu, pendekar muda Tan Bun Kiat tidak menggubris bahkan
menolak dengan kasar. Oleh karena itu kau lantas menjadi
irihati terhadap Hoa kouwnio yang berhati suci bersih, dan kau
hendak membunuhnya,..! Eh, Kwee Lian cie yang bermuka
persegi dan berbulu. cobalah! Sekali-kali kau bercermin yang
terang! Lihat yang terlihat dengan kedua ,matamu! Bukankah
selain wajahmu persegi, juga berbulu dan hitam seperti serabi
hangus...." Ha-ha-ha ...!"
Mendengar ejekan dan olok-olok Siangkoan Hong, benarbenar
dada Kwee Lian Cie hampir-hampir meledak. Oleh rasa
gusar, tubuhnya sampai bergetaran, tetapi masih saja ia
berusaha menguasai diri, sebaliknya mata Siangkoan Hong
yang berpengalaman, segera mengetahui hal itu. Terus saja ia
mementang mulutnya lagi dan berpidato kepada orang-orang
217 gagah yang berada dikiri-kanannya, serunya lantang:
"Saudara-saudara! saudara tadi menyebut aku sebagai
iblis. Memang aku ini iblis, bahkan raja iblis! Kegemaranku
berpesta diantara perempuan perempuan cantik. Pada suatu
hari, aku melihat Kwee kouwnio yang bermuka persegi dan
berbulu itu, lagi memancing pendekar muda Tan Bun Kiat.
Dengan mata-kepalaku sendiri, aku melihat betapa ia sakit hati
tatkala ditolak pendekar muda itu. Dengan uring-uringan ia menghunus pedangnya dan
memasangkan langkah hendak mencari Kie kouwnio untuk
melampiaskan rasa sesalnya, Karena uring-uringan ia kurang
waspada, Didekat tikungan jalan, ia kusergap dari belakang.
Kemudian kuperkosa sampai empat kali berturut-turut.
Hahaha..." Tentu saja olok-olok Siangkoan Hong itu bualan kosong
belaka, akan tetapi keterlaluan. Betapa cerdik dan sabar
seseorang, pasti akan meledak dadanya begitu mendengar
olok olok yang beracun itu, Demikian pula Kwee Lian Cie.
Dengan menjerit tinggi ia meninggalkan Hoa Kie Lian, dan
melompat menikamkan pedangnya kemulut Siangkoan Hong
yang jahil itu! Melihat Kwee Lian Cie keluar gelanggang, masih sempat
Siangkoan Hong tertawa syukur. Memang itulah harapannya,
Dengan demikian ia memberi kesempatan kepada Hoa Kie
Lian untuk melarikan diri, atau membalut terlebih dahulu untuk
mengadakan balasan, itulah sebabnya ia menunggu ujung
pedang Kwee Lian Cie dengan dada terbuka dan hati ikhlas.
Hanya saja, pada saat itu peristiwa diluar dugaan siapapun
segera terjadi. Dari rumpun belukar melompatlah seseorang, secepat kilat
sambil membentak nyaring. perawakan tubuhnya pendek
bulat, ia menghadang di depan tubuh Siangkoan Hong
218 menunggu datangnya tikaman. Oleh gerakannya yang cepat
dan datangnya tidak terduga duga, Kwee Lian Cie tak dapat
membatalkan tikamannya. Dengan ,cepat sekali pedangnya menikam dan menancap
dijidat orang itu. pada detik yang bersamaan, orang
berperawakan pendek bulat itupun, melontarkan pukulan yang
tepat mengenai dada Kwee Lian Cie. "Blukkk!" Tanpa ampun lagi , Kwee Lian Cie terpental dan terbanting
ditanah dan memuntahkan darah segar. Dari dengan
berbareng pula, orang itu roboh ke tanah berkelojotan,
pedangnya Kwee Lian Cie masih membenam dijidatnya!
"Sie Ah Piang! Hei, bukankah dia Sie Ah Piang!" teriak See
Cu Leng dan yang lain dengan berbareng.
Memang benar. Orang berperawakan pendek bulat itu
adalah Sie Ah Piang, kacungnya Siangkoan Hong yang setia.
Semenjak tadi ia bersembunyi di belakang belukar,
menyaksikan majikannya dikeroyok delapan orang. Ia
percaya, majikannya yang sekaligus juga merupakan gurunya,
pasti bisa memenangkan pertempuran itu. Tatkala gurunya
terluka parah, hampir saja ia keluar dari persembunyiannya.
Tetapi ia melihat perkembangan baru tatkala Kwee Lian Cie
bertempur melawan adik seperguruannya, ia menunggu.
Dan begitu gurunya menghadapi bahaya, dengan cepat ia
keluar dan mewakili menerima tikaman pedang Kwee Lian
Cie, walaupun ilmu kepandaiannya terpaut jauh dengan
gurunya, akan tetapi ia memiliki pukulan dahsyat. Begitu
mengenai dada Kwee Lian Cie, beberapa tulang iga gadis itu
patah. Setelah menenangkan diri, Hoa Kie Lian menyobek kain
219 bajunya dan membalut luka di lengannya. Kemudian
menolong melepaskan tali pengikat Siangkoan Hong pada
kaki-tangannya, dan tanpa berkata sepatah katapun ia
memutar tubuh hendak pergi. "Tunggu, Hoa kouwnio! Terimalah hormatku!" seru
Siangkoan Hong sambil merangkapkan sepasang telapak
tangannya. Dengan cepat Hoa Kie Lian mengelakkan pemberian
hormat pendeta itu, sedangkan Siangkoan Hong lalu
memungut pedang See Cu Leng yang tadi jatuh ketanah,
Katanya: "Hoa kouwnio, Kwee kouwnio tadi memfitnah namamu
yang suci bersih. Karena itu sebaiknya ia tidak dibiarkan hidup
terus!" setelah berkata demikian pedangnya lantas menikam
leher Kwee Lian Cie, tetapi dengan cepat Hoa Kie Lian
menangkisnya, Katanya: "Dia kakak seperguruanku. Meskipun budinya tercela,
tetapi aku tak sampai hati menghianatinya."
"Urusan sudah begitu jauh. Kalau dia tak dibunuh,
dikemudian hari pasti akan merugikan nama pribadimu." ujar
Siangkoan Hong. Hoa Kie Lian mengucurkan air mata dan berkata:
"Aku memang gadis ma1ang. Mungkin pula akan
membawa alamat jelek, tetapi biarlah aku menerima nasibku.
Siang-koan Hosiang, jangan kau mencelakainya."
Siangkoan Hong menghela napas. Berkata:
"Baiklah, jika demikian keinginanmu , aku akan mematuhi."
"Sucie." kata Hoa Kie Lian dengan suara haru kepada
220 kakak seperguruannya, "Harap kau menjaga dirimu baik-baik."
Setelah berkata demikian ia memasukkan pedangnya
kedalam sarungnya, kemudian meninggalkan gelanggang
pertempuran dengan seorang diri. Setelah Hoa Kie Lian hilang dari penglihatan, Siangkoan
Hong berkata kepada sekalian jago-jago yang
mengeroyoknya, Katanya dengan suara tegas:
"Aku, Siangkoan Hong - sebenarnya tidak mempunyai
dendam sakit hati kepada kalian. Andaikata tayhiap Thio Kim
San hidup kembali, beliaupun tidak akan menaruh dendam
pula kepada kalian, sebab ia tahu bahwa kalian hanya
begundal begundal belaka, Akan tetapi pada malam ini kalian
mendengar perempuan she Kwee itu memfitnah Hoa kownio
begitu keji, kalau hal itu kalian siarkan - nasib Hoa kouwnio
yang berhati suci bersih akan menjadi gelap dikemudian hari.
itulah sebabnya, terpaksa aku meniadakan saksi-saksi hidup,
aku mohon maaf kepada kalian. Kelak apabila kalian
menghadapi malaikat-malaikat yang akan mengantar kalian ke
sorga, tolong katakan kepadanya bahwa aku membunuh
kalian karena terpaksa saja." Setelah selesai berkata demikian, ia tidak menunggu
reaksi mereka. seorang demi seorang dibunuhnya dengan
tangannya sendiri. Setelah itu ia mendekati Kwee Lian Cie,
dan wajah muka Kwee Lian cie digarisnya dengan ujung
pedang lima sampai tujuh kali. Dengan demikian wajah Kwee
Lian Cie yang tadinya agak lumayan, kini menjadi cacad


Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seumur hidupnya, Hati gadis itu hampir hampir pecah, akan
tetapi dalam keadaan luka parah tak dapat ia mengadakan
perlawanan, ia hanya bisa memaki kalang-kabut, serunya
lantang: "Bangsat gundul! janganlah kau menyiksaku dengan cara
begini. Kalau mau bunuh, bunuhlah dengan segera!"
221 Siangkoan Hong tertawa lebar. sahutnya:
"He-he-he! perempuan jelek semacammu ini, setanpun
enggan mendekati. sebaliknya kalau kini kau kubunuh hmm,
mungkin setan-setan jahat dan roh roh yang tidak karuan
dosanya akan lari kalang kabut karena ketakutan melihat
tampangmu. Boleh jadi malaikat Jibril akan lari ketakutan
pula!" (Malaikat Jibril ~ Giam Lo Ong). Berkata demikian, ia tertawa gelak beberapa kali.
Kemudian melemparkan pedangnya dan mendukung jenazah
Sie Ah Piang, setelah menangis menggerung-gerung
beberapa saat lamanya, dengan mendukung jenazah itu ia
berjalan perlahan-lahan meninggalkan gelanggang
pertarungan tadi. Kwee Lian Cie berusaha menolong diri, dengan napas
tersengal-sengal ia mencoba merayap bangun. Dan dengan
bertongkat pedangnya, ia berjalan perlahan-lahan keluar
hutan. Pertempuran yang menggoncangkan hati itu,
mendebarkan jantung Thio sin Houw berdua Cie Siang Gie,
setelah Kwee Lian Cie tiada nampak bayangannya lagi,
barulah mereka menghela napas merasa lega.
"Cie toako," kata Sin Houw kemudian, "Belum pernah aku
berbicara dengan bibi Hoa Kie Lian, aku hanya melihatnya
ketika ia mendaki gunung Boe-tong, Nampaknya ia menaruh
perhatian besar kepada susiok-ku, Tan Bun Kian karena
katanya mereka telah bertunangan. Tetapi ... tetapi ... apa...
apakah menurut pendapatmu, benar-benar bibi Hoa Kie Lian
pernah melahirkan seorang anak diluar perkawinan?"
"Hmmml perempuan she Kwee itu mengacau-balau tak
222 keruan, janganlah kau percaya!" sahut Cie Siang Gie.
Mendengar jawaban Cie Siang Gie, hati Sin Houw
bergembira, Katanya: "Benar! Benar! Biar kelak kuadukan fitnahan ini kepada
susiok Tan Bun Kiat, agar dihajarnya dia. Aku benci pada
mulutnya yang kotor!" "Jangan! Jangan!" cegah Cie Siang Gie cepat, "Sekali-kali
jangan kau ceritakan peristiwa yang kau lihat pada malam ini,
Wah, kelak bisa jadi runyam malah !"
"Apa sebab begitu?" tanya Sin Houw heran.
"Kata-kata kotor yang tak sedap didengar ini, janganlah
kau ceritakan kepada siapapun juga!" ujar Cie Siang Gie.
"Oh!" sahut Sin Houw. Meskipun dia baru berumur belasan
tahu, tetapi otaknya sangat cerdas. setelah berenung sejenak,
segera ia berkata: "Cie toako, apakah... apakah kau merasa bahwa fitnahan
perempuan busuk itu benar-benar terjadi" Tidak, bukan?"
"Entahlah, aku sendiri tidak tahu ..." sahut Cie Siang Gie.
***** SETELAH terang tanah, jalan darah Cie Siang Gie menjadi
lancar kembali. ia segera menggendong Thio Sin Houw
meneruskan perjalanan. Dengan perlahan lahan ia melintasi
mayat-mayat yang bergelimpangan. Timbullah suatu
pertanyaan besar dalam hatinya: "Mereka bertempur mati-matian, hanya karena persoalan
seorang gadis yang bernama Thio Siu Lan. sesungguhnya apa
223 latar belakang gadis itu?" Sebaliknya Thio Sin Houw yang berada digendongannya,
berpikir pula: "Ayah dan ibu sendiri belum tahu pasti tentang golok
mustika itu, akan tetapi mereka bersedia mengorbankan
nyawa demi memperoleh keterangan tentang golok itu,
Nampaknya golok itu merupakan sumber bencana, entah
berapa orang lagi yang akan mati bergelimpangan..."
Setelah beristirahat satu malam tanpa bergerak didalam
rimba itu, tenaga Cie Siang Gie menjadi pulih kembali.
Langkahnya cekatan, akan tetapi karena perjalanannya
terpotong oleh kejadian semalam, ia menjadi tersesat. tiba-tiba
saja, dibawah bukit nampak tergelar lembah ngarai yang
berpenduduk, Pikir Siang Gie didalam hati:
"Supeh Ouw Gie Coen bertempat tinggal disebuah
perkampungan Ouw-tiap kok, tempatnya sangat terpencil.
Mengapa justru disini nampak tergelar beberapa dusun" Apa
aku tersesat?" Cie Siang Gie lalu memasuki perkampungan itu,
maksudnya hendak mencari penduduk untuk minta
keterangan, Tiba-tiba ia mendengar derap suara kuda riuh
dibelakangnya. Empat tentara Mongolia datang mengaburkan
kudanya, mereka nampak bersenjata lengkap, Terdengar
mereka membentak-bentak: "Hayoo, pergi dari sini! Cepat!"
Sewaktu berada duapuluh langkah dibelakang Cie Siang
Gie, mereka mencabut pedangnya dan mengancam punggung
pemuda itu Diam-diam Cie Siang Gie mengeluh dalam hati:
224 "Celaka! Baru saja lolos dari bahaya, kini bertemu dengan
bencana lain lagi, Yang terancam bukan hanya aku seorang,
tetapi Sin Houw pula." Ia merasa ilmu kepandaiannya telah punah, jangan lagi
bertempur melawan empat orang, meskipun menghadapi
seorang rasanya tidak mampu lagi, Maka melihat ancaman
bahaya itu, terpaksa ia menyerahkan dirinya kepada nasib.
Selagi meneruskan perjalanan dengan menyerahkan diri
kepada nasib, tiba-tiba ia melihat beberapa tentara Mongolia
mengganas terhadap penduduk kampung. Melihat hal itu, Cie
Siang Gie mempunyai setitik harapan, Pikirnya:
"Rupanya tentara penjajah itu sedang mengumpulkan
penduduk desa, dan tidak bermaksud menangkap aku."
Tahulah Cie Siang Gie apa sebab tentara Mongolia itu
mengumpulkan penduduk, mereka hendak merampok barang
milik penduduk, Karena merasa diri tak mampu melawan,
segera Cie Siang Gie menggabungkan diri dengan penduduk
yang dikumpulkan itu. Ketika tiba disimpang tiga, ia melihat seorang perwira
Mongolia memimpin tentaranya. jumlah mereka kira-kira enam
puluh orang. Mereka semua menghunus pedang dan golok.
Perwira itu lantas berseru kepada semua penduduk, dengan
suaranya yang lantang: "Hey! Kalian manusia atau binatang" Kalian kalau
manusia, lekas berlutut dihadapan kami!"
Penduduk desa yang ketakutan itu segera mematuhi
perintah tersebut. Mereka menjatuhkan diri berlutut. Melihat
hal itu, Thio Sin Houw yang berpengalaman segera membisiki
telinga Cie Siang Gie: "Toako, lekas lemparkan pedangmu! pastilah tentara itu
225 akan menggeledah mereka, dan biasanya siapa yang
bersenjata akan dibunuhnya!" Sian Gie seperti diingatkan, segera ia berpura-pura
tergelincir sambil melemparkan senjatanya ke dalam semak
belukar. setelah itu dengan merintih-rintih ia berjalan tertatihtatih.
"Hey, kau yang berberewok!" teriak perwira itu kepada Cie
Siang Gie, "Mengapa kau tidak berlutut?"
Cie Siang Gie seorang pemuda angkuh hati, Meskipun
ayahnya menjadi abdi Ciu Kong Bie, akan tetapi dia sendiri
tidak. ia seorang pemuda yang hidup dengan bebas. ia ikut
kelompok Beng-kauw, itulah sebabnya terhadap penjajah
Mongolia ia benci bukan main. sekarang ia mendengar
perintah agar berlutut, keruan saja ia berontak. Da-lam hati ia
sudah mengambil keputusan, lebih baik mati dari pada berlutut
di hadapan kaum penjajah! Melihat Cie Siang Gie membangkang, seorang tentara
menghampiri dan mendupak lututnya, Karena ilmu kepandaian
Cie Siang Gie telah punah, ia roboh begitu kena dupak
serdadu itu. Dengan sendirinya pula ia jadi berlutut.
"Kau siapa?" bentak tentara itu.
"Kami berdua hidup mengemis, ini abangku, ia tuli. itu
sebabnya ia tidak mendengar perintah toaya," sahut Thio Sin
Houw cepat. "Bangsat!" bentaknya lagi, Kaki tentara itu dilayangkan dan
Cie Siang Gie kena dupak untuk yang kedua kalinya. ia roboh
terjungkal, dengan sendirinya Sin Houw ikut terbanting pula.
Keruan saja Cie Siang Gie gusar bukan main, tetapi sadar
bahwa dirinya tak sanggup melawan. ia hanya dapat
226 memakinya didalam hati, pada detik itu pula bersumpahlah ia
didalam hati: "Aku bersumpah, demi bumi dan langit akan
menghabiskan setiap tentara penjajah beserta begundalnya,
seorang demi seorang sampai mereka lenyap dari buka bumi,
Kalau aku tak sanggup menghabiskan mereka, aku bukan
seorang laki-laki sejati!" Karena mereka dianggap pengemis, maka Cie siang Gie
dan Thio Sin Houw dapat melanjutkan perjalanannya, selagi
mendekati bukit yang berada di depan mereka, tiba-tiba
mereka mendengar pekik teriak yang menyayatkan hati,
Ternyata penduduk kampung itu di sembelih tentara Mongolia
seorang demi seorang. Pada waktu itu perjuangan Thio Su Seng sangat
termashur, ia dibantu oleh sekalian penduduk. Tak
mengherankan, seringkali dalam peperangan tentara penjajah
Mongolia menderita kekalahan total, Karena sudah tiga tahun
lamanya tidak dapat menangkap Thio Su Seng yang dianggap
menjadi biang keladi kerusuhan, maka pihak penjajah
menjadikan penduduk sebagai sasaran kini.
Setiap kali mereka melakukan perondaan, segera
mengumpulkan penduduk kampung dengan dalih mencari
para pemberontak. Apabila maksud mereka tidak tercapai,
maka mereka mengadakan pembunuhan masal.
Menyaksikan hal itu, dendan dan rasa gusar Cie Siang Gie
kian membara. ia mengeluh mengapa menyaksikan peristiwa
demikian, justru ilmu kepandaiannya dalam keadaan punah,
seumpama ilmu kepandaiannya belum punah, sudah sejak
tadi ia melabrak tentara penjajah itu meskipun jumlahnya
cukup besar . Cie Siang Gie memangnya seorang pemuda yang gagah
perkasa, akan tetapi pada saat itu ia merasa diri tidak berdaya.
227 itulah sebabnya setelah mengeluh sambil membanting-banting
kakinya, ia lalu melanjutkan perjalanan.
Menjelang tengah hari ia bertemu dengan seorang
penebang kayu. ia segera menghampiri dan minta keterangan
dimanakah letak dusun Ouw-tiap kok tempat tinggal
pamannya, Ouw Gie Coen, Tetapi penebang kayu itu
menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya:
"Selama hidupku belum pernah mendengar nama dusun
tersebut." Dan mendengar keterangan penebang kayu itu, sejenak
Cie Siang Gie tergugu. Tetapi ia yakin, bahwa dusun
pamannya tentu tidak jauh lagi, Dengan sabar ia melanjutkan
perjalanan kembali . Pemandangan seberang-menyeberang, jalan sangat indah
kini, Bunga- bungasedang bermekaran dan mahkota
dedaunan hijau meresapkan penglihatan. Tetapi Cie Siang Gie
maupun Thio Sin Houw masih belum bisa melepaskan diri dari
penglihatan yang disaksikan tadi, itulah penglihatan tentara
penjajah menyembelih penduduk kampung. Karena itu, betapa
mereka berdua dapat menikmati pemandangan yang
bagaimanapun indahnya. Kata Sin Houw kemudian:
"Cie toako, tempat kediaman pamanmu bernama Ouw-tiap
kok. Kalau tak salah, Ouw-tiap kok adalah selat kupu-kupu.
Menurut cerita ibuku, tempat itu sangatlah indahnya, sekarang
kita melihat seberang-menyeberang jalan ini sangat indah
pula, apakah tidak mungkin pamanmu itu bertempat tinggal di
sekitar sini?" Mendengar perkataan Thio Sin Houw benar-benar Cie
Siang Gie sangat kagum, pikirnya didalam hati:
"Sungguh! Anak ini cerdas luar biasa! Mengapa aku tidak
dapat berpikir demikian sejak tadi?"
228 Ia segera menyeberang ke dalam gerombolan bunga,
setelah berjalan selintasan timbullah setitik harapan, serunya
kepada Sin Houw: "Dugaanmu agaknya benar. Bunga-bunga ini seperti ada
yang mengatur." Dengan menuruti jalan pegunungan yang berliku-liku,
mereka menuju ke utara. Selagi melayangkan pandangnya,
mereka melihat suatu tebing di sebelah barat. Disitu nampak
seorang tua sedang mencangkul. Mereka segera mendekati
Dengan sekali pandang, tahulah mereka bahwa orang itu
berusia hampir mencapai limapuluh tahun. perawakan
tubuhnya jangkung kurus. Entah apa sebabnya, melihat orang itu hati Thio Sin Houw
berdebar debar Katanya didalam hati:
"Apakah dia yang bernama Ouw Gie Coen?"
Selagi ia hendak minta keterangan kepada Cie Siang Gie,
pemuda itu telah menghampiri dan berkata dengan
membungkuk hormat: "Aku bernama Cie Siang Gie, dapatkah aku mohon
petunjuk dari lopeh, jalan manakah yang harus kami tempuh
agar dapat bertemu dengan tabib sakti Ouw Lo-cianpwee"
Kami berdua ingin sekali bertemu, untuk mohon pertolongan.
Mendengar pertanyaan Cie Siang Gie, tahulah Sin Houw
bahwa orang itu bukan Ouw Gie Coen. Maka dengan penuh
perhatian ingin ia mendengar jawaban orang itu, Sama sekali
tak terduga orang tua itu tetap menundukkan kepalanya dan
terus memacul, Beberapa kali Cie Siang Gie membuka
mulutnya untuk mohon keterangan, akan tetapi agaknya orang
tua itu tuli. 229

Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

SELAGI Thio Sin Houw hendak membantu bertanya pula,
tiba-tiba Cie Siang Gie mencubit pahanya. Maka ia segera
mengurungkan niatnya, Dan Cie Siang Gie yang biasanya
mudah tersinggung serta mudah bergusar, kali ini tidaklah
demikian, ia melanjutkan berjalan dengan langkah sabar, kirakira
beberapa lie jauhnya barulah ia berkata:
"Sute, pamanku mempunyai tabiat yang aneh sekali, ia
mempunyai murid dan pengikut yang setia, dan tabiat
pengikut-pengikutnya mirip majikannya pula. Kita telah
memasuki wilayahnya, karena itu tidak boleh gegabah. sekali
kita melanggar pantangannya tiada lagi harapan. sekarang
tiada jalan lagi selain mencari tempat kediaman pamanku,
dengan menyerahkan nasib kepada Tuhan."
Sesudah menikung beberapa kali, tiba-tiba mereka melihat
sebidang taman bunga yang terpisah beberapa puluh meter
dari pinggir jalan. Di tengah ladang itu tampak seorang gadis
dusun mengenakan pakaian hijau, sedang merawat
tetanaman bunga sambil membungkuk. Thio Sin Houw berada
diatas punggung Cie Siang Gie, karena itu ia memperoleh
penglihatan lebih luas dari pada Siang Gie. Nampak gadis itu
membelakangi tiga rumah atap berdiri berjajar, dan disekitar
rumah itu sunyi sepi. Dengan masih menggendong Thio Sin Houw, Cie Siang
Gie menghampiri gadis dusun itu, sambil membungkuk hormat
ia berkata: "Adik ... eh, kakak. Bolehkah kami bertanya kepadamu"
jalan manakah yang harus kami tempuh agar dapat bertemu
dengan paman Ouw Ceng Goe?" Gadis itu mengangkat kepalanya, memandang Cie siang
Gie dan Thio Sin Houw dengan kedua matanya yang jernih.
Melihat pandang matanya yang bersinar tajam luar biasa itu,
baik Cie siang Gie maupun Thio Sin Houw terkejut.
230 "Akh!" kata Thio Sin Houw dan Cie Siang Gie didalam hati,
"Mengapa sinar matanya begitu luar biasa?"
Thio Sin Houw menatap paras muka gadis dusun itu,
Dibandingkan dengan Kwee Lian Cie dan Hoa Kie Lian , gadis
dusun ini kalah cantik. Kulitnya kering, kuning. Mukanya pucat, seperti
kekurangan makan. Rambutnya jarang dan berwarna
kekuningan, sedangkan pundaknya tinggi dan tubuhnya kurus.
Hal itu menunjukkan bahwa dia seorang gadis dusun yang
miskin. Dilihat dari paras muka gadis itu, kira-kira berumur enam
belas atau tujuh belas tahun. Tetapi karena tubuhnya kuruskering
dan kecil, nampaknya seperti kanak-kanak berumur tiga
belas atau empat belas tahun, Meskipun demikian, oleh rasa
hati-hati Cie siang Gie tidak berani berlaku semberono, ia
memanggil adik dan kakak dengan berbareng, karena takut
menyinggung kehormatannya. "Adik, eh, kakak," ulang Cie siang Gie lagi. "Numpang
tanya, di manakah letak lembah Ouw-tiap kok" Apa kami
harus ke timur atau ke barat, ataukah ke utara?"
Dengan suara dingin gadis dusun itu menjawab:
"Tidak tahu!" Setelah menjawab demikian, ia menundukkan kepalanya
lagi. Melihat sikap yang agak sombong dan kasar itu, hati Cie
siang Gie mendongkol, Tetapi mengingat tempat itu sangat
berdekatan dengan Ouw-tiap kok, sedapat-dapatnya ia
menahan rasa mendongkolnya . Katanya kepada Thio Sin
Houw: 231 "Sute, hayolah kita berangkat. Ouw-tiap kok adalah sebuah
lembah yang sangat terkenal, biar bagaimana juga kita pasti
akan dapat mencari sendiri." Tetapi Thio Sin Houw tidak sependapat dengan Cie siang
Gie. Menimbang bahwa matahari sudah condong ke barat, ia
harus menemukan petunjuk yang pasti. Rasanya akan
mengalami kejadian yang tidak enak apabila sampai tersesat
diwaktu malam hari. Maka dengan sabar ia bertanya:
"Suci, apa ayah dan ibumu ada di rumah " Mereka tentu
tahu jalan yang menuju ke lembah Quw-tiap kok."
Akan tetapi gadis itu tetap saja tidak melayani, ia terus
mencabuti rumput sambil menundukkan kepalanya.
Hati Cie siang Gie yang gampang tersinggung, jadi
semakin panas. Dengan membuang muka ia melanjutkan
perjalanan Hati Cie siang Gie tidak jahat, tetapi ia kasar. oleh
rasa mendongkolnya ia berjalan menyeberang taman bunga
itu dan menginjak-injak beberapa rumpun tanaman.
Menyaksikan hal itu, buru-buru Thio Sin Houw berseru:
"Cie toako, hati-hati!" Oleh peringatan Thio sin Houw, Cie siang Gie tersadar
akan kesembronoannya, Cepat-cepat ia menghindarkan
kakinya agar jangan sampai menginjak rumpun tanaman
bunga di depannya. "Sute, gadis itu rupanya tuli, Buat apa kita bicara
berkepanjangan dengan dia" Hayolah berangkat." kata Cie
siang Gie sambil ia melompat ke pengempangan dan
meneruskan perjalanan dengan langkah panjang.
Semenjak kanak-kanak Thio Sin Houw hidup dalam
232 kemiskinan dan penuh bahaya, itulah sebabnya hatinya cepat
menaruh iba terhadap orang-orang miskin seperti dirinya,
Diperlakukan gadis itu dengan sikap dingin, ia tidak menjadi
gusar. ia malah merasa iba kepadanya, ia menduga bungabunga
itu merupakan mata pencarian keluarga gadis itu, Maka
tak henti-hentinya ia memberi peringatan kepada Cie siang
Gie, apabila kaki pemuda itu hendak menginjak tanaman.
Tiba-tiba diluar dugaan, gadis itu mengangkat kepalanya
dan berseru: "Hai! untuk apa kalian pergi ke Ouw-tiap kok?"
Cie siang Gie menahan langkah kakinya, dan menjawab:
"Adikku ini lumpuh terkena racun, karena itu kami hendak
menghadap 0uw-sinshe untuk mohon pertolongan"
"Aku hanya pernah mendengar namanya saja, tetapi belum
pernah bertemu dengan orangnya," kata gadis itu, "Apa kau
kenal dengannya?" "Belum!" jawab Thio Sin Houw di atas punggung Cie siang
Gie, sambil ia memijit pundak pemuda itu, perlahan gadis itu
menegakkan badannya, dan menatap wajah Thio Sin Houw
dengan sinar mata yang sangat tajam.
"Bagaimana kau yakin, bahwa dia sudi mengobati dirimu?"
tanyanya. wajah Thio Sin Houw lantas saja menjadi suram, jawabnya
dengan berduka: "Ya, sebenarnya akupun hanya berdoa saja," setelah
menjawab demikian, dengan tidak disadarinya Thio Sin Houw
menghela napas. Tiba-tiba suatu ingatan menusuk benaknya,
pikirnya didalam hati: 233 "Gadis ini nampaknya kenal tabiat dan perangai sinshe
Ouw Ceng Goe, Kalau begitu, tempatnya di Ouw-tiap kok tidak
jauh lagi dari sini." Memperoleh pikiran demikian, segera ia membisiki Cie
siang Gie agar menghampiri gadis itu lagi, Kemudian berkata
dengan hormat. "Itulah sebabnya, aku mohon petunjuk-petunjukmu!"
Thio Sin Houw adalah seorang bocah yang memiliki otak
cerdas luar biasa. Dengan istilah petunjuk itu, ia mempunyai
dua maksud. Yang pertama mohon keterangan kepada gadis
itu di mana letak Ouw-tiap kok, sedang yang kedua mohon
petunjuk tentang cara-cara mengobati lukanya. Akan tetapi
gadis itu tidak menyahut. Dengan pandang tajam, ia
mengamat-amati Cie siang Gie dan Thio Sin Houw dari kaki
sampai ke kepalanya. seberapa saat kemudian tiba tiba ia
menuding dua buah pasu berisi kotoran binatang, katanya
memerintah. "Disebelah sana, ada kolam berisi kotoran binatang. Ada
beberapa pasu pula ditepinya, penuhilah dua pasu dengan
kotoran binatang itu, lalu siram-lah tanaman ini dengan
kotoran binatang itu!" Setelah memberi perintah demikian, gadis itu membungkuk
lagi dan ia meneruskan pekerjaannya mencabuti rumput.
Baik Cie siang Gie maupun Thio Sin Houw, terkesiap
hatinya. Mereka berdua meskipun selisih umur, tetapi memiliki
pengalaman-pengalaman hidup yang hebat. seringkali mereka
menjumpai manusia-mamisia yang aneh lagak-lagunya, akan
tetapi kata-katanya tidak ada yang melebihi anehnya dengan
kata-kata gadis itu, Betapa tidak" Gadis itu terang seorang
dusun yang miskin, akan tetapi kata-katanya seolah-olah
perintah majikan terhadap kulinya. 234 Meskipun melarat, sejak kanak-kanak baik Thio Sin Houw
maupun Cie siang Gie belum pernah mengerjakan pekerjaan
menyiram tanaman dengan kotoran binatang.
Syukurlah Thio Sin Houw seorang anak yang kenyang
digembleng pengalaman hidup pahit. setelah hilang kagetnya,
dalam hati lantas saja timbul rasa kasihan. Katanya didalam
hati: "Dia begitu kurus-kering, meskipun berkemauan besar -
betapa sanggup menyirami tanaman bunga diseluruh ladang
ini dengan seorang diri." Tepat pada saat itu, ia melihat wajah
Cie siang Gie merah padam, Buru-buru ia berkata:
"Toako, seorang laki-laki yang kuat memang harus
menolong yang lemah. Biarlah kita membantunya."
"Kau berkata apa?" seru Cie siang Gie dengan
mendongkol. "Kita bantu dia!" sahut Thio Sin Houw dengan tenang.
Tentu saja Cie siang Gie tahu maksud Thio Sin Houw,
Dialah sesungguhnya yang disuruh membantu pekerjaan
gadis itu. selama dalam perjalanan dia merasakan kecerdikan
adikkecilnya ini, Maka sekali ini, ia percaya Sin Houw
mempunyai rencana tertentu, Maka dengan menggelengkan
kepalanya , ia menurunkan Sin Houw ke atas tanah, kemudian
dengan berdiam diri ia mencari kolam kotoran binatang.
Setelah mengisi dua pasu penuh air kotoran binatang," Cie
siang Gie segera kembali dan menyirami tanaman dengan
menggunakan gayung. Tetapi baru saja ia menyiram satu-dua
kali, tiba-tiba gadis itu berseru: "Salah! Terlalu kental! Pohon bunga itu bisa mati nanti ...!"
235 Menuruti tabiatnya, Cie siang Gie pasti akan mendamprat
gadis itu, yang berani menegurnya demikian. Akan tetapi
mengingat bahwa Thio Sin Houw mempunyai rencana
tertentu, ia menguasai gejolak hatinya sedapat mungkin. justru
demikian, ia menjadi tertegun. sejenak kemudian ia
mengerling kepada Thio Sin Houw, bocah itu memberi isyarat
agar ia patuh, oleh isyarat itu segera ia balik lagi ke kolam dan
melakukan perintah si gadis dusun. selagi hendak menyiram
tanaman, lagi-lagi gadis itu menegur.
"Awas! jangan sampai daun dan bunganya kena tersiram."
Dengan sikap mengalah, Cie siang Gie menyahut.
"Baik!" Setelah berkata demikian, ia menyiram tanaman itu
dengan hati-hati. Justru demikian, ia dapat memperhatikan warna bunga itu,
Bentuknya sedang, warnanya biru tua dan harus luar biasa -
bunga apa ini" selama hidupnya belum pernah ia melihat.
Tidak lama kemudian kedua pasunya telah kosong kembali.
"Bagus!" kata gadis dusun itu,
"Coba tolong satu pikul lagi!"
Mendengar perintah itu, Thio Sin Houw yang duduk di
pengempangan berseru dengan suara halus:
"Kakakku ini harus segera berangkat, malam ini juga kita
harus menghadap sinshe 0uw. Baiklah begini saja, sepulang
kami dari Ouw-tiap kok kami akan singgah kembali untuk
membantumu !" "Lebih baik kalian tinggal saja disini menyiram bunga!" kata
gadis itu, "Karena kulihat kalian berdua baik-baik, maka aku
236 minta agar kalian menyiram tanamanku."
Mendengar alasan gadis itu, baik Cie siang Gie maupun
Thio Sin Houw makin menjadi heran, Mereka berdua saling
memandang, Thio Sin Houw kembali memberi isyarat. Dan
pada saat itu, Cie siang Gie berpikir di dalam hati:
"Apa boleh buat, sudah terlanjur membantu, maka harus
membantu sampai selesai ..." Demikianlah ia memikul dua pasu berisi air kotoran
binatang, dan dengan teliti ia menyiram tanaman bunga
diseluruh ladang. Dalam pada itu matahari telah turun dibalik gunung.
sinarnya yang kuning keemas-emasan masih menyoroti
bunga-bunga biru itu, sehingga memberikan penglihatan yang
indah sekali. Cie siang Gie seorang pemuda kasar, tetapi melihat
keindahan itu di dalam hati ia berkata: Benar-benar indah
bunga-bunga ini ... Dalam pada itu Thio Sin Houw yang duduk
dipengempangan berseru lagi kepada gadis dusun itu:
"Cici, sekarang perkenankan kami meneruskan
perjalanan." Sambil berkata demikian, ia menatap wajah gadis itu
dengan pandang mohon belas kasihan.
Mendadak saja wajah gadis dusun itu berubah angker,
katanya: "Kalian telah membantuku. Kalian-pun minta petunjukku,
bukan?" 237 Mendengar perkataan gadis dusun itu, Cie siang Gie
berdua Thio Sin Houw berkata didalam hati:
"Memang, memang aku membutuhkan petunjukmu, Akan
tetapi bantuan menyirami tanamanmu terbersit dari hati
menaruh belas kasihan kepadamu, sudahlah, rasanya jika kini
mohon bantuannya agar menunjukkan tempat paman Ouw,
agaknya seperti orang menagih budi."
Pada saat itu Cie siang Gie tertawa lebar. Katanya:
"Akh, indah benar bungamu ini."
Setelah berkata demikian, pemuda berewok itu
menghampiri Thio Sin Houw, selagi hendak meneruskan


Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perjalanan dengan menggendong Thio Sin Houw, tiba tiba
gadis itu berseru memanggil: "Tahan!" Cie siang Gie mulai tak sabar, Dengan pandang gelisah ia
menatap gadis itu, ia melihat gadis tersebut membungkuk
memetik dua kuntum bunga. Katanya: "Kau tadi berkata, bunga ini indah sekali. Nah, kuberi
kalian dua tangkai bunga!" setelah berkata demikian, ia
memberikan dua tangkai bunga itu. "Terima kasih!" kata Thio Sin Houw dan Cie siang Gie, Cie
siang Gie membungkuk dan dimasukkan kedalam sakunya.
"Sebetulnya siapa nama kalian...?" tanya gadis dusun itu.
"Aku Thio Sin Houw, dan kakakku ini Cie siang Gie." jawab
Sin Houw. 238 Gadis dusun itu mengangguk dan berkata lagi:
"Jika kalian hendak ke Ouw-tiap kok, lebih baik ambil jalan
mengarah ke timur laut!" Sebenarnya dalam hati Cie siang Gie mendongkol
terhadap gadis dusun itu, tetapi begitu mendengar
petunjuknya lantas saja hilang, Bisiknya kepada Sin Houw
sambil tertawa: "Sute, benar-benar kau bisa memandang jauh, Coba, kalau
aku tadi menuruti kekasaranku, pastilah aku akan tersesat
dipinggang gunung ini." Tetapi sebaliknya, hati Sin Houw bercuriga, pikirnya
didalam hati: "Jika tempat kediaman Ouw sinshe berada di sebelah timur
laut, sebenarnya ia dapat menerangkan dengan tegas.
Kenapa ia menggunakan kata-kata: lebih baik mengambil jalan
ke timur laut?" Thio Sin Houw meskipun baru berumur belasan tahun,
akan tetapi pengalamannya terhadap manusia lebih banyak
dari pada Cie siang Gie. Maklumlah selama beberapa tahun ia
dikejar musuh-musuh ayahnya terus-menerus, dan semua
musuh-musuh ayahnya seringkali kalau bicara menggunakan
tipu muslihat jebakan-jebakan tertentu, Karena itu setiap kali
hendak mengambil keputusan, keluarganya dipaksa untuk
memecahkan teka-teki atau menduga-duga tata muslihat
lawan terlebih dahulu. Tetapi kali ini meskipun ia menaruh curiga, namun segan
mendesak lebih jauh lagi, segera ia memberi isyarat kepada
Cie siang Gie agar meneruskan perjalanan.
Baru saja mereka melintasi gundukan tanah tinggi,
239 dihadapannya menghadang sebuah telaga yang sangat luas,
jalan satu-satunya yang nampak di depan matanya, mengarah
ke jurusan barat dengan demikian, petunjuk gadis dusun tadi
sangat bertentangan. "Kurang ajar perempuan itu!" maki Cie siang Gie, "Kalau
tak sudi memberi petunjuk, sebenarnya kita juga tidak akan
memaksa, Biarlah, kalau kelak kita lewat di dusunnya lagi aku
akan menghajarnya!" Thio Sin Houw merasa heran. Baik Cie siang Gie maupun
dirinya, tadi telah berbuat baik terhadap gadis itu, Apa sebab
balasannya demikian buruk" "Toako!" kata Sin Houw, "Kurasa perempuan itu
mempunyai hubungan dengan Ouw sinshe."
"Apa kau melihat tanda-tanda yang mencurigakan?" sahut
Cie siang Gie. "Kedua matanya bersinar luar biasa," kata Thio Sin Houw,
"Aku merasa bahwa ia bukan seorang perempuan dusun yang
belum pernah melihat dunia." "Benar!" kata Cie Siang Gie. "Kalau begitu, ku buangnya
saja dua tangkai bunga pemberiannya ini."
Cie siang Gie segera mengeluarkan dua tangkai bunga
dari sakunya, Melihat bunga itu berwarna sangat indah, hingga
Thio Sin Houw merasa sayang. Katanya:
"Perempuan itu memang patut kita sesali, akan tetapi
bunga pemberiannya ini sangat indah. Belum tentu bunga ini
akan mencelakakan kita." Setelah berkata demikian, ia segera mengambil dua
tangkai bunga itu dari tangan Cie siang Gie dan
dimasukkannya ke dalam kantongnya sendiri. Kemudian
240 memberi isyarat kepada Cie Siang Gie, agar meneruskan
perjalanannya menuju ke barat. "Hai! Hati-hati sedikit. Jalan ini nampaknya licin sekali!" ia
memberi ingat dari punggung Cie siang Gie, tetapi Cie siang
Gie nampaknya sudah uring-uringan karena mendongkol
terhadap gadis dusun tadi, ia berjalan dengan langkah
panjang, makin lama makin cepat. Waktu itu magrib telah tiba, sejak tadi hati mereka sudah
khawatir, pada siang hari, meskipun andaikata perjalanan
sangat berbahaya, semuanya dapat dilihat dengan terang
benderang, sebaliknya apabila malam hari tiba, suasana alam
menjadi gelap pekat. Teringat pengalamannya kemarin malam hati mereka
berdebaran, setelah berjalan setengah jam lagi, suasana alam
berubah dengan mendadak. Pohon-pohon dan rumput-rumput
yang tumbuh dikiri-kanan jalan makin berkurang, Akhirnya
mereka tiba pada suatu tempat yang gundul sama sekali. Dan
melihat pemandangan demikian, jantung Thio Sin Houw
maupun Cie siang Gie memukul keras.
Kata Sin Houw dengan suara cemas: "Toako, coba lihat! selembar rumputpun tiada tampak
tumbuh di sini, sungguh mengherankan I"
"Benar." jawab Cie siang Gie. "Andaikata semua tumbuhtumbuhan
yang berada di sini dibabat manusia, setidaktidaknya
masih nampak bekas-bekasnya, Jangan-jangan inilah
akibat tanah gamping atau lahar gunung ..." ia tidak
menyelesaikan kata-katanya, sebaliknya setelah berdiam
sejenak, ia berbisik kepada Thio Sin Houw:
"Sesungguhnya, sute, Belum pernah aku singgah
ditempatnya paman Ouw, Tetapi aku yakin, bahwa tempat
241 paman Ouw sudah berada dekat sekali, Mungkin dialah yang
menebari racun, hingga tanah disini tidak dapat ditumbuhi seonggok
rumputpun." Thio Sin Houw mengangguk. Teringat kelumpuhan
jasmaninya disebabkan karena racun pula, ia jadi ketakutan
begitu mendengar kata-kata racun. Tiba tiba saja ia
mengeluarkan dua potong saputangan, setelah menutupi
pernapasannya dengan saputangan itu, ia memberikan
saputangan lainnya kepada Cie siang Gie, Katanya:
"Kau tutuplah hidungmu dengan saputangan, mungkin
sekali disini kita akan menghisap asap beracun, Kalau toako
mempunyai sehelai kain yang agak panjang, bebatlah kedua
kakimu agar tidak menginjak tempat-tempat yang beracun!"
Cie siang Gie mendengarkan peringatan Thio Sin Houw
dengan perasaan kagum, ia memuji sikap hati-hati sang adik
itu, Segera ia menutupi pernapasannya dengan sehelai
saputangan pemberian Thio Sin Houw, kemudian mengambil
sehelai kain dan dibebatkan pada kedua kakinya.
Dengan waspada mereka melanjutkan perjalanan Tak
lama kemudian kembali mereka melihat sebuah bangunan
atau sebuah rumah yang bentuknya aneh sekali. Rumah itu
bentuknya seperti sebuah kuburan besar tanpa pintu dan
tanpa jendela, sedangkan warnanya hitam mulus sehingga
kelihatannya menyeramkan sekali. sepuluh meter disekitar
rumah itu berdiri pohon-pohon pendek yang daunnya
berwarna merah darah. Cie Siang Gie seorang pemuda yang tidak pernah
mengenal takut menghadapi segala kejadian-kejadian yang
menyeramkan, pengalamannya pun banyak sekali. seringkali
ia menghadapi lawan yang bersenjata racun jahat, dan kerap
kali pula ia melintasi wilayah-wilayah yang berbahaya, Akan
tetapi pada saat itu, dia yang mempunyai keberanian besar,
tak urung mengeluarkan keringat dingin juga, begitu
242 menyaksikan penglihatan yang aneh dan menyeramkan itu.
Bisiknya kepada Thio Sin Houw: "Sute, bagaimana pikiranmu?"
"Apakah rumah itu kira-kira tempat bersemayannya Ouw
sinshe?" Thio Sin Houw menduga, "Jika rumah tersebut
memang tempatnya Ouw sinshe, kita mohon dengan sopansantun.
Lalu kita mempertimbangkan perkembangan
selanjutnya." Cie siang Gie sudah percaya akan kecerdasan Sin Houw,
maka dengan hati-hati ia maju terus. Kemudian dengan sikap
sangat hormat ia berseru: "Tecu, Cie siang Gie, Keponakan paman, hari ini datang
bersama seorang sahabat bernama Thio Sin Houw, Kami
berdua menghaturkan selamat kepada Ouw pekhu ..."
Meskipun ilmu kepandaian Cie siang Gie punah, akan
tetapi tidak berarti tenaganya benar-benar hilang. Masih
sanggup ia berseru dengan nyaring sekali, suaranya tajam
dan jelas. Apa-lagi ia berteriak ditengah alam yang sunyi-sepi,
Suara demikian dapat di tangkap limapuluh atau seratus meter
dengan jelas. Akan tetapi rumah itu tetap sunyi-sepi, Tak
terdengar suara apapun juga. Sekali lagi Ouw siang Gie berteriak, tetapi tetap saja tidak
memperoleh jawaban, pemuda itu jadi agak mendongkol,
segera ia berteriak untuk yang ketiga kalinya dengan sekuat
tenaga. Katanya: "Aku kena pukulan hebat, dan adikku ini terkena racun
jahat. Entah siapa yang melakukan penganiayaan terhadap
kami berdua, kami sendiri tidak jelas, itulah sebabnya, kami
datang kemari mohon pertolongan supek!"
243 Akan tetapi, tetap saja ia tidak memperoleh jawaban.
Dalam pada itu, cuaca semakin gelap, Thio Sin Houw
menjadi gelisah, tanyanya minta pertimbangan kepada Cie
siang Gie: "Toako, apak kau pernah bertemu dengan Ouw supekmu?"
Cie siang Gie mengangguk, sahutnya:
"Tiga kali aku pernah bertemu dengannya."
"Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan?"
Cie Siang Cie tertegun-tegun, Tak berani ia mengambil
keputusan. Rupanya ia terlalu mengenal tabiat pamannya,
sehingga apabila kurang hati-hati jerih payahnya itu akan
menjadi sia-sia belaka. "Apa kita pulang saja, dan menyerahkan nasib kepada
Tuhan?" ujar Thio Sin Houw lagi, "Kalau demikianlah
keputusanmu, biar aku menunggu nasibku saja, percayalah,
aku tidak akan menyesali siapapun juga."
Mendengar perkataan Thio Sin Houw itu, hati Cie Siang
Gie menjadi terharu. Dengan penuh semangat ia menyahut:
"Aku sudah berjanji kepada kakek-gurumu, Tie-kong
tianglo.Meskipun tiba-tiba pamanku menjadi raja iblis yang
paling kejam dijagad ini, aku tidak akan mundur, Coba kau
tunggu disini, biarlah aku sendiri memasuki halamannya.
Mungkin pula dia enggan memberi jawaban kepadaku karena
melihat kehadiranmu " Sehabis berkata demikian, tanpa menunggu jawaban ia
menurunkan Thio Sin Houw dari punggungnya. Kemudian
seorang diri ia memasuki halaman rumah yang aneh itu,
Dalam hatinya ia sudah mengambil keputusan tetap, hendak
244 menggunakan kekerasan apabila perlu.
Meskipun pernah menyaksikan kemampuan Ouw Ceng
Gie, namun ia percaya bahwa pamannya itu hanya pandai
mengobati orang sakit saja, Dia yakin, dalam hal berkelahi
kepandaiannya tidak begitu tinggi. Pohon-pohon berdaun merah itu ternyata mempunyai
cabang yang lebat sekali, demikian pula daunnya, sehingga
merupakan sebuah mahkota yang rimbun. Begitu lebat
cabang, ranting-ranting dan daunnya, sehingga mencapai
tanah. Maka tidaklah mudah untuk melintasi dengan begitu
saja. Tanpa berpikir panjang lagi, Cie siang Gie segera
mengambil keputusan hendak melompati pagar pohon itu saja,
selagi badannya masih berada ditengah udara, tiba-tiba ia
mencium bau wangi. pada saat itu juga kedua matanya
menjadi gelap, kepalanya pusing. Dan ia roboh terbanting
diantara rimbun pohon. Peristiwa itu sudah tentu mengejutkan hati Thio Sin Houw,
segera ia hendak menyusul, akan tetapi kaki dan tangannya
tidak dapat digerakkan. setiap kali berusaha akan berdiri,
tubuhnya bergemetaran dan terasa lemah lunglai, Akan tetapi
Ihio Sin Houw adalah anak yang keras hati, segera timbullah
keputusannya hendak mencoba menghampiri. Hati-hati, ia
bertiarap kemudian merangkak-rangkak maju dengan
mengisutkan tubuhnya, ia dapat melakukan gerakan tersebut,
akan tetapi tentu saja sangat lambat.
Baru saja ia me rangkak beberapa meter jauhnya, tenaga
jasmaninya terasa habis. Keringat membasahi seluruh
tubuhnya, namun dengan menguatkan diri ia terus maju sedikit
demi sedikit. Sekarang ia telah memasuki halaman rumah berbentuk
aneh itu, seperti Cie siang Gie, segera ia mencium bau wangi
245 dan dadanya lantas saja menjadi sesak. Karena tadi
menyaksikan robohnya Cie siang Gie, dapatlah ia berlaku
lebih hati-hati. Dengan menguatkan diri, kerapkali ia menahan
napas. Ke-mudian dengan menundukkan kepalanya ia maju
terus mendekati tubuh Cie siang Gie yang tergolek diatas
tanah dalam keadaan tidak berkutik lagi, segera ia memeriksa
kedua mata Cie siang Gie ternyata tertutup rapat. Tangan dan
mukanya dingin, akan tetapi napasnya masih berjalan dengan
baik. Thio Sin Houw menjadi bingung berbareng juga khawatir.
Katanya di dalam hati: "Akh! Dia datang kemari dengan maksud mulia sekali
untuk menolong diriku. Akan tetapi belum lagi ia bertemu
dengan pamannya, sudah terbanting roboh terkena racun. Aku
sendiripun sudah menghisap hawa beracun dan tinggal
menunggu waktu saja, Tak apalah bila aku yang mati, tetapi
dia" Dia harus hidup! Ouw sinshe adalah pamannya.


Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seumpama dia datang seorang diri, pastilah tidak akan
mengalami bencana demikian ini."
Oleh pikiran itu, ia menjadi nekad, Lalu mendekati rumah
aneh itu, "Ouw sinshe!" ia berteriak. "Dengan tangan kosong kami
datang ke mari untuk memohon pertolongan, sama sekali kami
tidak mengandung maksud kurang baik, Jika Ouw sinshe tetap
tak sudi menemui kami, maka kami terpaksa tak dapat
menghargai anda lagi!" Sambil berteriak, ia mengamati-amati bangunan rumah itu,
Tatawarna rumah itu hitam seluruhnya, sehingga seolah-olah
bukan terbuat dari kayu. Kesannya tak ubah sekapan gerombolan liar yang berada
di atas gunung, walaupun demikian, sekitar rumah tersebut
246 bersih luar biasa, Tak ada sepotong kayupun atau selembar
daun di kiri kanannya, bahkan sebutir batu juga tidak nampak.
Beberapa saat lamanya ia berdiri tertegun sambil mengasah
otak. Setelah menghampiri rumah itu - tak berani ia menyentuh
karena takut terkena racun. Tiba-tiba teringatlah dia, di dalam sakunya terdapat
beberapa potong uang perak. segera ia mengeluarkan se
potong uang perak dan dipergunakan untuk mengetuk dinding
rumah tersebut. Ia heran, tatkala terdengar suara "tring", Maka jelaslah
sudah, bahwa bangunan tersebut dibuat dari logam, setelah
memasukkan uang peraknya ke dalam saku kembali, ia
menundukkan kepala hendak menyelidiki. Tiba-tiba bau wangi
menyambar hidungnya, dan begitu mencium bau wangi itu
dadanya terasa lega dan otaknya menjadi lebih terang. Heran
dan terkejut ia menundukkan kepalanya lagi, Dan sekali lagi ia
mencium bau wangi yang menyegarkan dadanya.
Ternyata bau wangi itu, meruap dari kuntum bunga biru
pemberian gadis dusun tadi, Katanya didalam hati:
"Akh! Kalau begitu, bunga ini mempunyai khasiat penolak
racun, sekarang terbuktilah bahwa gadis itu tidak bermaksud
buruk, bahkan dengan diam-diam ia memberi pertolongan."
Memperoleh keyakinan demikian, timbullah keberanian
Thio Sin Houw, Dengan merangkak-rangkak ia maju
mendekati rumah aneh itu, Benar-benar ajaib! Rumah tersebut
tidak mempunyai jendela maupun pintu, bahkan lubang
kecilpun tidak terdapat di sana, pikirnya:
"Apakah rumah ini tidak ada penghuninya" Kalaupun ada
penghuninya, bagaimana bisa hidup didalam bangunan yang
tidak berhawa sama sekali?" 247 Sebenarnya besar keinginannya ia hendak mengadakan
penyelidikan lebih lanjut, akan tetapi ia sudah tidak bertenaga
lagi, setelah menimbang-nimbang sejenak, ia menghampiri
Cie siang Gie dan menempelkan bunga birunya pada lubang
hidungnya. Begitu Cie siang Gie mencium harum bunga biru
itu, ia bersin dan tersadarlah. Thio Sin Houw girang bukan kepalang, Dan lantas saja
mengambil keputusan untuk kembali kepada gadis dusun
yang dijumpainya petang tadi, dengan maksud memohon
nasehat dan petunjuk-petunjuknya. Setangkai bunga biru lalu ditancapkan pada dada Cie
siang Gie sedang yang lainnya digenggamnya erat-erat,
seolah-olah jimat dari sorga, Kemudian ia menunggu sampai
tenaga Cie Siang Gie pulih kembali.
Tak usah menunggu terlalu lama, Cie siang Gie telah dapat
berdiri tegak. Karena pemuda ini semakin percaya kepada
Thio Sin Houw, ia tidak membantak tatkala di ajaknya kembali
kedusun untuk mencari sigadis pemilik bunga biru.
Demikianlah sambil mendukung Thio Sin Houw, segera ia
melompati pohon-pohon merah yang ternyata sangat beracun
itu, Tetapi baru saja kedua kakinya hinggap diatas tanah,
mendadak terdengarlah bentakan datang dari dalam rumah
aneh itu: "Hai!" Suara itu terdengar menyeramkan dan mengandung rasa
gusar yang bergolak hebat. Dan mendengar bentakan itu, Thio
Sin Houw menolehkan kepalanya, serunya:
"Ouw sinshe! Apa kau sekarang sudi menerima kami?"
Pertanyaan itu tidak memperoleh jawaban, dan tetap tak
248 terjawab meskipun ia mengulangi seruannya beberapa kali
lagi. Tiba-tiba kesunyiam malam itu di pecahkan oleh suara
gedubrakan seolah-olah benda berat jatuh keatas tanah.
Dengan berbareng, Cie siang Gie dan Thio Sin Houw
memalingkan kepalanya, Hati mereka terkesiap, tatkala kesiur
angin tajam menyambar dirinya, sebelum dapat berbuat
sesuatu, mereka telah terbanting roboh ketanah...
Entah berapa lamanya mereka terkapar diatas tanah.
setelah menyenakkan mata, mereka ternyata berada di tengah
tegalan bunga tanaman si gadis dusun. Malam hari pada
waktu itu sunyi senyap, Diantara kesunyian malam.
Bunga-bunga biru yang sedang berkembangan
menyiarkan bau yang sangat kuat. Dan mencium harum bunga itu, dada Cie Siang Gie dan
Thio Sin Houw menjadi lega dan semangatnya menjadi pulih
kembali. Mereka berdua masing-masing menderita luka, Thio Sin
Houw sejak turun Siauw-sit san boleh dikatakan lumpuh tidak
bertenaga, sedangkan Cie siang Gie kecuali menderita luka
parah akibat pukulan-pukulan beracun, kakinya menginjak
racun di halaman rumah aneh itu pula.
Maka dapatlah dibayangkan, bahwa penderitaan mereka
kian menjadi hebat. Akan tetapi aneh! Benar-benar aneh!
setelah sadar penuh-penuh, baik Cie Siang Gie maupun Thio
Sin Houw, dapat menggerakkan kaki dan tangannya dengan
leluasa, walaupun terasa agak lemas.
Thio Sin Houw nyaris tak percaya kepada perubahannya
sendiri. Berkali-kali ia mencoba mencoba berjalan pula,
249 semuanya berjalan lancar. "Hai! Bukankah aku sedang bermimpi?" serunya.
Dan berbareng dengan seruannya, Cie siang Gie pun
berteriak kagum penuh sukacita: "Sute! Kau bisa berjalan?"
"Benar! Aku bisa berjalan. Benar-kah ini" ini bukan mimpi,
bukan?" Cie siang Gie tertawa sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. serunya cepat. "Bukan! Bukan mimpi! Benar-benar terjadi! Kau bisa
berjalan, sute!" Mereka berdua lantas berpelukan hangat, setelah puas,
mereka memutuskan untuk bermalam dirumah si gadis dusun,
agar memperoleh pertolongan dan petunjuknya. sekonyongkonyong
rumah gubuk yang berada didepannya terbuka
jendelanya, dan muncullan sinar pelita.
"Brak!" pintu terbuka dan gadis dusun itu kelihatan berdiri
diambang pintu. "Silahkan kalian masuk! gadis itu mengundang, "Dusunku
sangat melarat, dan aku sendiri sangat miskin pula, Tak dapat
aku menyuguhkan santapan yang pantas kepada kalian,
silahkan kalian minum teh hangat dan nasi kasar."
Dengan bergandengan tangan, Thio Sin Houw dan Cie
siang Gie memasuki rumah. setelah itu cepat-cepat Thio Sin
Houw membungkuk hormat, dan berkata dengan suara
merendah: "Kami berdua sungguh merasa malu, karena ditengah
250 malam buta begini telah mengganggu ketenteraman cici."
Gadis itu tersenyum dan berdiri disamping pintu,
mempersilahkan kedua tamunya masuk. Begitu masuk, baik
Thio Sin Houw maupun Cie siang Gie melihat bahwa perabot
gubuk itu sangat sederhana. Tiada bedanya dengan rumahrumah
gubuk orang miskin. Tetapi suatu hal yang aneh,
seluruh ruangan luar biasa bersihnya seolah-olah tidak
melekat debu. Menyaksikan hal itu, jantung Sin Houw
memukul keras. Kebersihan gubuk ini, mirip benar dengan
kebersihan rumah aneh yang berpagar pohon pohon beracun!
"Kalian duduklah!" kata gadis itu lagi, mempersilahkan
kedua tamunya, ia masuk ke dalam dan beberapa saat
kemudian ia keluar dengan membawa dua mangkok kosong,
sepanci nasi, sepiring sayur dengan kuah berikut air teh yang
masih hangat. Hidangan yang disajikan sangat sederhana,
akan tetapi masih mengepulkan asap panas. Begitu uap asap
hidangan tercium hidung, Sin Houw dan siang Gie lantas
tergugah rasa laparnya. Tak usah dikatakan lagi, setelah mengarungi perjalanan
yang begitu jauh mereka berdua sangat lapar.
"Terima kasih!" kata Thio Sin Houw sambil tertawa. segera
ia mengisi mangkok kosongnya dengan nasi putih yang masih
mengepul-ngepulkan asap hangat. setelah menaruhkan sayur
serta kuahnya - segera ia makan dengan bernapsu sekali.
Sebaliknya tidaklah demikian dengan Cie siang Gie,
Pemuda bermuka berewokan ini tidak berani bergerak karena
hatinya menaruh curiga, Katanya didalam hati:
"Semua makanan ini tentunya sudah disiapkan terlebih
dahulu. Kalau tidak masakan masih begini hangat. Aku tadi
jatuh pingsan tidak sadarkan diri, mengapa dia bisa menduga
dengan tepat bahwasanya aku tersadar pada jam begini" Akh,
aku harus hati-hati dan waspada terhadap penduduk sekitar
251 tempat ini. Biarlah aku menderita lapar daripada mampus kena
racun." Memperoleh pikiran demikian, tatkala si gadis masuk ke
dalam ia segera berbisik kepada Thio Sin Houw :
"Sst! Lebih baik kau jangan makan apa-apa disini, Dusun
ini sangat berdekatan dengan lembah Ouw-tiap kok, dan
paman Ouw bertabiat aneh sekali. Apa kau lupa" Janganjangan
semuanya ini beracun ..." Akan tetapi Thio Sin Houw berpendapat lain, ia mengira
gadis dusun ini tidak mengandung maksud kurang baik,
Apabila bermaksud jahat, apa sebab tadi menghadiahkan dua
kuntum bunga kepada mereka berdua" Dan ternyata sangat
besar faedahnya, Disamping itu, jikalau hidangan yang
disajikan ini tidak dimakan, gadis itu tentu merasa tersinggung,
selagi ia hendak menyatakan pendapatnya itu, sigadis sudah
keburu keluar dari dapur, Kali ini ia membawa sebuah nampan
kayu, dan di atas nampan itu terdapat sepanci nasi yang
masih mengepulkan asap hangat. Thio Sin Houw bangkit dari
duduknya, berkata: "Terima kasih atas budi baik cici, dapatkah kami berdua
menyampaikan hormat kepada ayah dan ibumu?"
"Kedua orang tuaku sudah meninggal dunia," jawabnya.
"Aku hidup sebatang kara disini."
"Akh!" Thio Sin Houw berseru tertahan. Terus saja ia jadi
teringat kepada nasibnya sendiri, pada hari ini dia pun hidup
sebatang kara pula. Tetapi dia tidak berkata sesuatu apa,
setelah kembali duduk ia meneruskan makannya.
Hidangan yang disajikan berupa sayur-mayur segar yang
rasanya lezat sekali. Dengan tidak sangsi lagi, Sin Houw
menyapu semua hidangan yang di suguhkan kepadanya.
252 Untuk menyenangkan hati gadis itu, sambil makan tidak
hentinya ia memuji lezatnya santapan. Keruan saja Cie siang
Gie tambah prihatin. Dengan menghela napas perlahan ia
mengawasi Sin Houw, yang terus menjejali mulutnya dengan
tidak mengenal bahaya. Katanya didalam hati:
"Baiklah, jika kau tidak mendengarkan nasihatku, Akupun
tidak dapat berbuat apa-apa. Bagaimanapun juga kita berdua
tidak boleh mati berbareng karena racun.
Walaupun kasar, Cie siang Gie mempunyai pengalaman
pergaulan yang luas dalam masyarakat. Maka agar tidak
menyinggung hati gadis itu, ia berkata:
"Kouwnio, harap kau memaafkan aku, tatkala aku
mendekati rumah aneh itu aku kena racun sehingga perutku
terasa tidak enak sekali. Napsu makanku lenyap sama sekali
..." Mendengar perkataannya, si gadis lantas menuangkan teh
pada mangkok kosong dan diangsurkan kepada Cie siang Gie,
Katanya: "Kalau begitu, minumlah air teh ini saja."
Cie siang Gie menerima pemberian air teh yang dituang ke
dalam mangkok tadi, Dengan sudut matanya, ia menjenguk ke
dalam mangkok. Warna air teh ternyata kehijau-hijauan,
sebenarnya ia haus sekali, akan tetapi begitu melihat
warnanya - napsunya lantas hilang, seperti orang yang punah
tenaganya, ia menaruh mangkok teh ke atas meja dengan
lemah lunglai, Si gadis tidak merasa tersinggung, sikapnya
tenang-tenang saja. Sama sekali ia tidak menunjukkan rasa kesal atau jengkel.
Melihat Sin Houw menyapu habis semua hidangan yang
disajikan seperti macan kelaparan, ia menjadi girang, sinar
matanya lantas berseri-seri. 253 Thio Sin Houw meskipun bocah yang baru berumur
belasan tahun, sesungguhnya memiliki otak cerdas luar biasa,
sekali melirik, pandang mata gadis itu tak luput dari
perhatiannya, ia makan sekenyang-kenyangnya, karena sudah
diperhitungkan untung ruginya. Sejak meninggalkan kuil Siauw-lim sie, hatinya sudah
menjadi putus asa terhadap hidup dan kehidupan. seluruh
tubuhnya sudah berlumuran racun berbahaya, itulah sebabnya
ia tak takut lagi menghadapi segala macam racun di dalam
dunia ini, Dan apabila hidangan yang disajikan kepadanya itu
mengandung racun, makan sedikit ataupun banyak akibatnya
sama saja. Maka ia malah membuka perutnya sebesar-besarnya dan
menghabiskan empat mangkok nasi, serta menyikat semua
santapan yang berada diatas meja. Setelah selesai, gadis itu lalu bergerak hendak
mengundurkan bekas-bekas hidangan. Akan tetapi Sin Houw
telah mendahuluinya, Dengan rapi ia menyusun perabot
makan minum di atas nampan, dan dibawanya ke dapur.


Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian dicucinya sekali, setelah bersih, perabotan itu
lalu dimasukkan ke dalam lemari, Melihat persediaan air
dalam tempayan yang tinggal sedikit, segera ia mengambil
tahang dan mengambil air diselokan yang berada disamping
rumah. Dalam pada Itu, gadis pemilik rumah menyapu sisasisa
makanan yang tercecer di tanah. Sebenarnya Thio Sin Houw tidak boleh bergerak terlalu
banyak. Betapapun juga tenaganya yang datang tiba-tiba
sehingga bisa menggerakkan kaki-tangannya itu, adalah untuk
sementara saja, ia sadar akan hal itu, justru demikian, ia mau
menggunakan kesempatan sebaik-baiknya untuk membuat
jasa. 254 Demikianlah, setelah mengisi tempayan itu penuh-penuh,
ia kembali ke ruangan depan. Cie siang Gie ternyata sudah
tidur sangat nyenyak, mendekam di tepi meja.
"Maaf, adik." kata gadis itu. "Aku tidak mempunyai kamar
tamu, untuk pelepas lelah, adik hanya bisa merebahkan diri
diatas bangku panjang itu. "Terima kasih atas segala budimu ini," jawab Thio Sin
Houw sambil tertawa, "janganlah cici bersegan-segan lagi
terhadapku." Gadis dusun itu tidak berkata apa-apa lagi, setelah
menutup pintu depan, ia segera masuk ke dalam. Ternyata
pintu itu tidak dikuncinya, Diam-diam Thio Sin Houw kagum terhadap sikap gadis
itu,Meskipun hidup seorang diri ditempat yang begini sepi,
namun masih berani ia menerima dua tetamu laki-laki semua,
per-lahan-lahan ia mendorong pundak Cie siang Gie, dan
membisik: "Toako, pindahlah ke bangku panjang itu."
Diluar dugaan, begitu kena dorong Thio Sin Houw - badan
Cie siang Gie miring dan terguling diatas tanah.
Kaget Sin Houw meraih dan mencoba membangunkannya.
Begitu tangannya menyentuh paras siang Gie, hatinya
tercekat. Ternyata paras muka Cie siang Gie sangat panas
seperti api, Dengan suara tertahan ia mencoba menyadarkan:
"Toako, kau kenapa?" Ia menjadi bingung. Buru-buru ia mengambil pelita dan
menyelidiki keadaan siang Gie. Muka siang Gie nampak
merah membara, ia mirip seseorang yang tertidur karena
255 mabuk. Anehnya, mulutnya menebarkan uap arak pula,
pikirnya didalam hati: "Anehl Kapan ia minum arak" jangan lagi arak, air tehpun
yang disuguhkan ia tidak berani menyentuhnya. Tetapi,
apabila ia tidak minum arak kenapa mulutnya bau arak begini
keras" iapun mabuk pula..."
Dalam keadaan tak sadar, Cie siang Gie mengigau:
"Tidak! Aku tidak mabuk! Mari, mari! Mari kita minum tiga
mangkok lagi!" Thio Sin Houw jadi prihatin, Besar dugaannya bahwa
mabuknya pemuda itu disebabkan perbuatan si gadis yang
mungkin tersinggung hatinya, Bukankah Cie siang Gie
menolak makanan dan minuman yang dihidangkan tadi" ia
berkhawatir dan heran, tidak tahu ia apa yang harus dilakukan.
Harus membangunkan si gadis untuk memohon
pertolongan..." Atau membiarkan saja Cie siang Gie sampai
tersadar sendiri" sekonyong-konyong ia mempunyai pikiran:
"Akh, apakah benar begitu" Cie toako takut kena racun,
justru demikian, gadis itu malah meracunnya, karena hatinya
tersinggung, Ya, benar begitu. Nampaknya Cie toako bukan
mabuk sewajarnya, pastilah ia telah terkena racun..."
Selagi hatinya berbincang bimbang, dikejauhan tiba-tiba
terdengar salak binatang liar yang sangat menyeramkan.
Ditengah kesunyian malam suara itu membangunkan bulu
roma. Salak itu memekik tinggi, seolah-olah jeritan seseorang
yang kena aniaya, Teringatlah dia akan tutur kata ayah ibunya,
bahwa jeritan demikian adalah salak srigala kelaparan. Tetapi
masakan di pinggang gunung Ouw-tiap san ini ada kawanan
srigala" Andaikata memang ada, mestinya hanya satu-dua
ekor saja, Dan tidak merupakan rombongan besar.
Dengan hati berdebaran, Sin Houw memasang telinganya.
256 semakin lama salak itu semakin dekat, Kadang kadang
diselingi dengan jeritan kambing hutan yang kesakitan. Selagi
hendak menengok keadaan Cie siang Gie, tiba-tiba pintu
ruang dalam terbuka dan nampak sigadis membawa lentera,
wajahnya nampak ketakutan, katanya:
"ltulah kawanan srigala ..."
Thio Sin Houw mengangguk. ia mengawasi gadis itu, dan
berkata sambil menunjuk Cie siang Gie:
"Cici ..." Sebenarnya ia hendak minta pertolongan, akan tetapi pada
saat itu salak kawanan srigala terdengar makin dekat.
Mendengar hiruk-piruk salak srigala, hati Thio Sin Houw
tergoncang. Tak dikehendaki sendiri, wajahnya menjadi pucat.
Cie siang Gie sedang dalam keadaan tak sadarkan diri,
sedang sikap gadis itu masih meragukan, Apakah dia kawan
atau lawan" Thio Sin Houw belum dapat menentukan. Apa
yang harus di lakukannya" Selagi dalam keadaan kebingungan, ia mendengar bunyi
derap kaki kuda di antara salak anjing yang kacau balau,
Derap kaki kuda itu terdengar cepat luar biasa.
***** BURU-BURU Thio Sin Houw membungkuk dan menyeret
Cie siang Gie kebawah bangku panjang, ia sendiri lantas
melompat ke dapur mencari golok. Tetapi karena gelap gulita,
golok itu tidak mudah dicarinya. Bahkan untuk memperoleh
sebilah pisau dapurpun tidak dapat.
257 "Apakah kau orang suruhan dari keluarga Tan Liang
Peng?" terdengar suara gadis dusun itu membentak. "Apa
perlunya kau datang ditengah malam buta ?"
Mendengar bentakan gadis itu yang sangat angker, hati
Thio Sin Houw menjadi lega. sekarang, sedikitnya ia
mengetahui bahwa penunggang kuda itu bukan kawan si
gadis. Dengan cepat ia menerobos keluar, dan masuk
kedalam pekarangan belakang, setelah mencari batu-batu
kecil, ia segera melompat ke atas pohon dan memanjatnya
tinggi-tinggi. Seperti kemarin malam, malam itu bulan muncul di langit,
Hanya kali ini sinarnya nampak guram. Di bawah sinar bulan
remang-remang itu, ia mengamat-amati penunggang kuda
yang tiba-tiba berada di depan pintu.
Dia seorang laki-laki, pakaiannya abu-abu, Mungkin warna
abu-abu itu disebabkan oleh sinar bulan yang remang-remang.
Ia diikuti belasan srigala yang selalu menyalak dan menjerit
menyeramkan. Terang sekali binatang-binatang itu sedang
kelaparan. Sepintas lalu, orang itu seperti lagi diuber binatang
buas itu, Tetapi setelah diamat-amati, ternyata si penunggang
kuda menyeret seekor kambing putih yang diikatkan pada
tunggangannya, Karena terseret kuda yang berlari-lari sangat
cepat, kambing putih itu mengembik-embik kesakitan.
Menyaksikan kejadian itu, Thio Sin Houw heran bukan
main. Apakah dia seorang pemburu yang lagi memberi umpan
pada belasan srigala yang memburu dibelakangnya"
Mendadak ia memutar kudanya dan mengaburkan
memasuki kebun bunga, Dengan diubar kawanan srigala, ia
melarikan kudanya dari timur ke barat dan dari barat ke timur,
dalam sekejab mata saja seluruh tanaman bunga itu rusak
terinjak-injak, orang itu benar-benar pandai menunggang
kuda, sekian kali ia membawa kudanya lari berputaran, tetap
saja kawanan srigala itu tidak dapat menerkam kambing putih
258 yang terseret dibelakangnya. "Akh!" Thio Sin Houw tersadar. "Nampaknya orang itu
sengaja hendak merusak kebun bunga ini. Kalau begitu tak
dapat aku berpeluk tangan saja."
Segera ia mempersiapkan batu-batu yang digenggamnya,
akan tetapi sebelum ia dapat berbuat sesuatu, terdengar suara
erangan. "Aduhhh!" Berbareng dengan suara mengaduh itu, sipenunggang
kuda mengaburkan kudanya kearah utara dan kambing yang
tadi diseretnya itu ditinggalkan di tengah-tengah kebun.
Keruan saja kambing putih itu lantas menjadi mangsa
belasan srigala yang kelaparan, Dengan menggeram,
menyalak dan menggerung, belasan srigala lapar itu
menerkam dan merobek-robek perut kambing putih itu.
"Jahat benar orang itu" pikir Thio Sin Houw sambil
menimpukkan dua butir batu. Oleh timpukan itu dua ekor
anjing serigala roboh terguling. Sekali lagi Thio Sin Houw
menyambitkan dua butir batunya, kali ini batu yang
disambitkan agak kecil. Yang satu mengenai perut seekor serigala dan yang lain
menghajar kaki depan serigala yang sedang merobek-robek
perut kambing putih. Meskipun tak sampai mati, kedua serigala itu lantas
memekik-mekik kesakitan. Kawanan binatang buas itu agaknya mengerti, bahwa
musuh mereka berada di atas pohon. Mereka mendongak dan
menggeram sambil memperlihatkan taringnya. Pandang
matanya berapi-api seperti bara yang menyala dan
259 menyaksikan keganasan binatang buas itu, tak terasa Thio Sin
Houw jadi bergidik. Tanpa memegang senjata, ia merasa tak ungkulan
melawan kawanan serigala ganas itu. Apa lagi sesungguhnya
tenaga yang diperoleh hanya untuk sementara saja.
Sekali lagi ia mengayunkan tangannya untuk menimpuk
serigala jantan yang paling besar. Bagaikan kilat batunya menyambar tenggorokan serigala
jantan itu. Terkena sambitannya, binatang itu terguling-guling
dengan mengiang-ngiang kemudian kabur sekencangkencangnya.
Sedang serigala lain yang perutnya sudah kenyang, lantas
turut kabur. Lantas yang ketiga menyusul, kemudian yang berikutnya
dan begitu seterusnya. Dalam sekejap mata saja, mereka semua lenyap dari
penglihatan. Akan tetapi kebun bunga itu sudah gugur hancur.
Thio Sin Houw segera turun dari pohonnya. Ia
mendongkol, dengki dan mengutuk. Katanya berulangkali:
"Sayang, sayang! sungguh sayang!"
Betapa tidak?" Jerih payah gadis dusun itu, hilang musnah
dalam beberapa saat saja, pastilah gadis itu gusar bukan
kepalang, menyaksikan kebun bunganya hancur terinjak-injak
kawanan serigala, Syukurlah, kalau hanya ber-gusar saja,
Kalau sampai turun semangat, pastilah ia tidak sudi lagi
menanam bunga-bunga yang sangat berkhasiat itu.
Tetapi diluar dugaan, gadis itu sama sekali tidak
260 menyebut-nyebut tentang kerusakan kebunnya, Malahan ia
tertawa sambil berkata: "Adik! Terima kasih atas bantuanmu tadi."
"Aku sungguh sangat malu," jawab Thio Sin Houw, "Aku
sangat menyesal. Beradanya aku disini ternyata tiada
gunanya, seumpama aku ini seorang perkasa, sejak tadi tentu
telah kurobohkan penunggang kuda yang biadab itu. Jika dia
dapat kurobohkan,tanaman bunga ini tentu dapat
diselamatkan." Gadis itu tersenyum manis. Berkata dengan suara tenang:
"Andaikata tidak dirusak oleh kawanan anjing liar itu,
beberapa hari lagi bunga-bunga itupun akan layu sendiri..."
Mendengar kata-kata gadis itu, Thio Sin Houw heran
berbareng bercekat hatinya, Gadis dusun yang sederhana ini
seolah-olah mengerti segalanya. Keakhliannya terdengar
melebihi gadis-gadis yang hidup dikota. Karena itu, ia jadi
tertarik hatinya, Dengan membungkuk hormat, Thio Sin Houw
minta keterangan: "Cici, budimu sangat besar terhadapku, Bolehkah aku
mengetahui namamu ?" Wajah gadis itu lantas berubah menjadi angker, jawabnya:
"Orang memanggilku "si Jelek" ... tetapi dihadapan orang
lain, janganlah kau sekali-kali memanggil "si jelek kepadaku!"
Karena dia berbicara seperti kepada anggauta keluarganya
sendiri. - hati Thio Sin Houw menjadi girang dan bersyukur bukan
main, ia maju selangkah lagi, bertanya:
"Kalau aku tidak boleh memanggil cici "si Jelek", lantas aku
261 harus memanggil bagaimana" Tak sudikah cici
memperkenalkan namamu sebenarnya?"
"Kau sangat baik, adik." ujar gadis itu dengan tersenyum
manis. "Maka baiklah, karena sudah terlanjur biarlah aku
memperkenalkan namaku kepadamu, Nama lengkapku Lie
Hong Kiauw." "Kalau begitu, aku akan memanggil cici sebagai cici Hong
saja." kata Thio Sin Houw dengan tertawa.
Lie Hong Kiauw tertawa pula, Menyahut :
"Kau sungguh ramah ..." dan oleh kata-kata itu, entah apa
sebabnya jantung Thio Sin Houw berdebar. Lie Hong Kiauw
bukan seorang gadis cantik, juga bukan gadis kota yang
mengerti tentang kemajuan jaman. Namun demikian, lagu
kata-kata dan suara tertawanya sangat manis dan
meresapkan hati, Kedua modal ini merupakan daya tarik luar
biasa baginya. Selagi Thio Sin Houw hendak membicarakan keadaan Cie
siang Gie, Lie Hong Hong Kiauw sudah mendahului. Katanya
dengan acuh tak acuh: "Sebenarnya, siapakah kalian berdua ini?"
"Aku sendiri bernama Thio Sin Houw, dan teman
seperjalananku itu bernama Cie Siang Gie." jawab Thio Sin
Houw dengan cepat. "Oh, begitu" Keadaan Cie siang Gie sama sekali tidak
berbahaya. sekarang aku ingin menemui beberapa orang,
apakah kau mau ikut?" Sekali lagi Thio Sin Houw heran. siapakah yang hendak


Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

262 dijumpainya pada larut malam begini" Meskipun ia ingin
memperoleh keterangan, namun tak berani ia membuka mulut.
Satu hal ia merasa pasti, bahwa tindakan Lie Hong Kiao tentu
mempunyai maksud yang penting sekali. Maka tanpa berpikir
panjang lagi ia menyahut: "Baik, aku ikut!" "Tetapi sebelum berangkat, kau harus berjanji tiga hal,
Yang pertama, kau tidak boleh berbicara kepada lain orang."
"Setuju!" sahut Thio Sin Houw cepat, "Aku akan berlagak
bisu." "ltupun tak usah," ujar Lie Hong Kiauw dengan tertawa
lebar. "Apakah kau akan berlagak bisu pula terhadapku" Kau
boleh berbicara secara wajar kepadaku, hanya terhadap orang
lain kau kularang membuka mulut. Dan yang kedua, kau tak
boleh bertempur serta tak boleh melepaskan senjata macam
apa pun juga, Juga kau tidak boleh memukul orang. pokoknya,
semuanya tak boleh! Ketiga, kau tak boleh berpisah lebih dari
tiga langkah dari sampingku!" *** THIO SIN HOUW merasa mendapat kepercayaan. Dengan
sangat girang ia mengiyakan, ia yakin bahwa gadis itu akan
membawanya kepada sinshe Ouw Gie Coen, Terus saja ia
bertanya: "Apakah kita berangkat sekarang juga?"
"Sebentar! Kita harus membawa barang sedikit." ujar Lie
Hong Kiauw. Dan gadis itu lantas masuk ke dalam,
263 Kira-kira setengah jam kemudian, ia keluar dengan
membawa dua keranjang bambu yang tertutup rapat, sehingga
tak dapat diketahui apa isinya. "Biarlah aku yang memikulnya..." kata Thio Sin Houw
menyambut. Gadis itu tersenyum, tetapi tidak menolak kehendak Sin
Houw, ia meletakkan kedua keranjang beserta pikulannya ke
atas tanah. Thio Sin Houw sebenarnya masih termasuk kanak-kanak,
meskipun bertahun-tahun ikut ayah-bundanya hidup merantau
dari satu tempat ke tempat yang lainnya, akan tetapi selama
itu belum pernah ia memikul sesuatu, Hanya terdorong oleh
rasa sopan-santun belaka, ia menawarkan diri. padahal
tenaganya belum pulih seluruhnya, ia tahu bahwa keadaan
dirinya yang kini bisa menggerakkan tangan dan kaki, semata
mata suatu keajaiban belaka, Bukankah Tie-kong tianglo yang
terkenal maha sakti menyatakan putus asa tentang
keadaannya" Begitulah, ia mencoba mengangkat kedua keranjang
bambu tersebut, ia jadi sempoyongan tatkala mencoba
memikulnya, karena berat sebelah, Yang sebelah seberat
tujuhpuluh kilo sedang yang lainnya ringan sekali. ia heran,
akan tetapi tidak berkata sepatah katapun.
Melihat Thio Sin Houw sempoyongan - Lie Hong Kiauw
lantas meraihnya, Katanya dengan tersenyum mengerti:
"Biarlah aku yang memikulnya, Kesehatanmu belum pulih
seperti sedia-kala, bukan?" Menghadapi kenyataan demikian, meskipun Thio Sin Houw
ingin menyenangkan hati gadis itu, tak berani ia menolak. ia
menyerahkan keranjang dan pikulan itu kembali kepada
pemiliknya. 264 Lie Hong Kiauw mengunci pintu dari luar, Thio Sin Houw
masih sempat menengok kearah Cie siang Gie yang terus
menggeros, sedang mulutnya masih menebarkan ruap arak,
Kemudian ia berjalan mengikuti Lie Hong Kiauw.
"Hong cici," kata Thio Sin Houw setelah mendampingi Lie
Hong Kiauw, "Bolehkah aku menanyakan sesuatu hal
kepadamu?" Tanpa menoleh, gadis itu menjawab: "Boleh saja, asal aku dapat menjawabnya."
"Jikalau cici tak dapat menjawab, didalam dunia ini tiada
seorang pun yang dapat memberikan jawaban." kata Thio Sin
Houw lagi, "Kau sendiri tahu bahwa Cie toako tidak minum air
setetespun, dan juga tidak makan sebutir nasipun, Tetapi
mengapa ia sampai mabok begitu rupa?"
Lie Hong Kiauw tertawa geli, jawabnya :
"Dia mabuk, justru karena tak makan dan tak minum!"
Jawaban ini sangat diluar dugaan Thio Sin Houw, sehingga
bocah itu jadi sangat heran, Katanya tak mengerti:
"Akh! inilah benar-benar suatu kejadian yang sama sekali
tak ku mengerti, Cie toako seorang pejoang yang banyak
pengalamannya, ia berkepandaian tinggi pula. Bertahun-tahun
lamanya ia berada didalam laskar perjuangan yang dipimpin
oleh Cu Goan Ciang, Di dalam segala hal, ia cukup
berwaspada dan berhati-hati. sebaliknya aku, anak kemarin
sore yang belum pandai beringus, Kepandaianku sangat
dangkal. Apa sebab Cie toako yang selalu berwaspada dan bersikap
hati-hati, justru ia .... " Thio Sin Houw tak meneruskan
265 perkataannya. "Bicaralah terus terang!" kata Lie Hong Kiauw, "Kau tentu
ingin mengatakan bahwa ia roboh ditanganku, meskipun telah
bersikap waspada dan hati-hati , bukan" Apakah kau mengira
bahwa yang berhati-hati selalu selamat" justru orang seperti
dirimulah, yang jarang sekali mendapat celaka."
"Kenapa begitu?" tanya Thio Sin Houw, semakin heran.
"Karena kau penurut. Disuruh memikul kotoran binatang,
kau tak menolak . Disuruh makan, kau makan dengan lahap,
selesai makan, kau bersihkan pula, Kau isi jambangan kosong
meskipun tidak ada yang memerintah, kau ingin bantu pula
memikul keranjang, meskipun tenagamu tidak mengijinkan."
jawab Lie Hong Kiauw dengan tertawa lebar.
"Terhadap bocah yang begitu penurut , masakan ada
orang yang tega menurunkan tangan jahat kepadamu?"
"Oh! Kalau begitu, manusia hidup di dunia ini sebaiknya
menjadi seorang penurut," ujar Thio Sin Houw sambil tertawa,
"Tetapi, bagaimana cara cici mencelakakan dia" Benar-benar
luar biasa! sampai sekarang aku belum bisa menduga."
Gadis itu tidak segera menjawab. sejenak kemudian
barulah ia berkata: "Baiklah, biarlah rahasia ini kukatakan kepadamu, Apa kau
melihat kembang putih kecil yang berada di ruang tengah?"
Thio Sin Houw mengernyitkan dahinya, ia mengingat-ingat
kembali keadaan ruang tengah di rumah Lie Hong Kiauw,
Memang, disamping meja makan, terdapat sebuah meja kecil.
Dan diatas meja kecil itulah, terdapat jambangan kembang
dengan sekuntum kembang putih. Karena kembang itu tidak
menyolok mata - ia menganggap hanya sebagai perhiasan
266 belaka. "Orang menamakan kembang itu, kembang Layar Mega."
kata Lie Hong-Kiauw, "Kembang itu dapat membikin mabuk
orang, karena baunya yang sangat harum, Barang siapa
mengisap harum bau nya, pasti akan roboh dengan tandatanda
seperti orang mabuk minuman keras. Aku telah
mencampurkan obat pemunahnya didalam air teh dan nasi
putih yang aku hidangkan untuk kalian."
Mendengar keterangan Lie Hong Kiauw, Thio Sin Houw
menjadi kagum berbareng takut. Biasanya, seseorang yang
hendak meracuni seseorang lainnya akan menaruh racunnya
didalam minuman atau mengaduknya dalam makanan yang
disajikan, Akan tetapi cara gadis itu diluar dugaan siapapun
juga, sehingga Cie siang Gie yang senantiasa bersikap
waspada masih kena dirobohkan oleh gadis dusun itu!
"Tetapi kau tak usah cemas, adik, Begitu pulang, aku akan
memberi obat pemunahnya," ujar Lie Hong Kiauw dengan
suara menghibur. Mendengar ujar Lie Hong Kiauw tiba-tiba timbullah suatu
pikiran di dalam hati Thio Sin Houw:
"Kalau begitu, kecuali pandai menggunakan racun - ia
pandai pula mengobati orang yang keracunan. Apakah
kesembuhanku dengan mendadak ini oleh pertolongannya
pula" jika benar demikian, maka tak usah lagi aku bersusah
payah menemui sinshe Ouw Gie Coen."
Memperoleh pikiran demikian, lantas saja ia bertanya
mencoba: "Hong cici, dapatkah kau menyembuhkan orang yang kena
racun dingin Hian-beng sin-ciang?"
"Hmm," dengus gadis itu. "Hal itu rasanya sulit kukatakan."
267 Mendengar jawaban Lie Hong Kiauw, maka Thio Sin Houw
tak berani mendesak lagi. jelas sangat besar kepercayaannya,
bahwa kesembuhannya ini hanya untuk sementara saja,
sambil berjalan mengikuti, ia kini memperhatikan hal-hal yang
luar biasa baginya, Tubuh Lie Hong Kiauw kurus kering,
meskipun demikian dengan langkah kaki yang ringan sekali ia
berjalan sambil memikul keranjangnya, sedangkan gerakan
gerakan tubuhnya bukan berdasarkan ilmu sakti.
Dengan sekejap mata saja, mereka berdua telah
melampaui tujuh kilometer lebih. Arah perjalanan mereka
mengarah ke timur dan bukan ke jurusan lembah Ouw-tiap
kok, Mendadak saja, suatu ingatan menusuk ke dalam benak
Thio Sin Houw, Lantas saja ia menanya:
"Hong cici, bolehkah aku menanyakan satu pertanyaan
lagi" Petang tadi tatkala aku dan Cie toako hendak ke Ouwtiap
kok, kau berkata bahwa lebih baik kami berdua mengarah
ke timur laut, Ternyata kau menyesatkan perjalanan kami,
sehingga kami harus berjalan memutar. Artinya kami terpaksa
melampaui jarak perjalanan dua puluh kilometer lebih jauh,
Kenapa kau berbuat begitu" Aku masih belum mengerti
maksudmu." Mendengar pertanyaan Thio Sin Houw itu, Lie Hong Kiauw
tertawa geli, jawabnya: "Sudahlah! janganlah kau bertanya melit-melit, Kau ingin
berkata bahwa rumah Ouw sinshe terletak di barat daya,
sedang kita berdua kini mengarah-ke timur. Bukankah
perjalanan ini yang membuatmu bertanya demikian?"
Keadaan hati Thio Sin Houw kena tebak gadis itu, dan
mukanya lantas saja bersemu merah. untunglah pada saat itu
malam hari, sehingga perubahan air muka itu tak nampak si
gadis - sahutnya dengan suara perlahan:
268 "Benar! Kau menebak tepat sekali."
"Jalan yang kita lalui ini, bukan mengarah ke tempatnya
Ouw sinshe. Karena kitapun tidak bermaksud menemui Ouw
sinshe." kata Lie Hong Kiauw. Thio Sin Houw terkejut, karena jawaban gadis itu diluar
dugaan. Tak terasa ia berseru tertahan:
"Akh!" "Apakah kau tahu apa sebab siang tadi aku minta
kepadamu, untuk menyiram tanaman bungaku?" tiba-tiba Lie
Hong Kiauw berkata, "Sesungguhnya aku lagi menguji
kepadamu, Pertama, ingin aku mengetahui nilai hati kalian
berdua, Kedua, aku sengaja memperlambat perjalanan kalian
dan sengaja pula aku menyesatkan kalian. Dengan mengarah
ke timur-laut, jarak perjalanan kalian menjadi bertambah.
Dengan sengaja aku hendak memperlambat perjalanan kalian
agar kalian tiba di Ouw-tiap kok pada waktu malam hari."
"Kenapa begitu?" Thio Sin Houw minta keterangan.
"Karena pohon-pohon merah itulah! Pohon-pohon merah
itu yang memagari rumahnya Ouw sinshe, kurang daya
racunnya pada waktu malam hari, Dengan demikian, bunga
biru yang kuberikan ke pada kalian masih sanggup melawan."
Mendengar keterangan Lie Hong Kiauw, bukan main
kagumnya Thio Sin Houw, sekarang ia merasa takluk
berbareng terima kasih kepada gadis dusun itu, Ternyata Lie
Hong Kiauw bermaksud menolong dirinya dengan sesungguh
hati - kini hatinya yakin sepenuhnya, maka tanpa berkata lagi
ia mengikuti terus perjalanan Lie Hong Kiauw dengan hati
mantap. Setelah berjalan lebih lama lagi, mereka masuk ke dalam
269 hutan yang lebat, tiba-tiba Lie Hong Kiauw berkata:
"Nah, sekarang kita sudah sampai. Tetapi ternyata mereka
belum datang, Biarlah kita menunggu disini, Maukah kau
menolong meletakkan keranjang ini dibawah pohon itu?"
sambil berkata demikian, ia menuding sebuah pohon besar,
Thio Sin Houw lantas saja mengerjakan apa yang dipinta
gadis itu. Setelah Thio Sin Houw meletakkan keranjang dibawah
pohon, Lie Hong Kiao menghampiri semak belukar yang
berumput tinggi, terpisah kira-kira lima belas langkah jauhnya,
Kemudian berkata sambil memasuki belukar itu:
"Tolong, bawakan keranjang yang satu kemari!"
Tanpa berkata sepatah katapun, Thio Sin Houw membawa
keranjang lainnya ke dalam belukar menyusul Lie Hong Kiauw.
Ia mendongak menatap udara, dan mengamat-amati bulan
yang kini sudah doyong ke barat. Teranglah sudah, bahwa hari
telah larut malam. Keadaan hutan itu sunyi senyap, yang
terdengar hanyalah suara margasatwa dengan bunyi burung
hantu sebagai selingan. Kemudian Lie Hong Kiauw memberi sebutir obat pulung
sebesar telur burung, sambil berbisik:
"Kulum ini, tapi jangan kau telan !"
Tanpa ragu-ragu Thio Sin Houw memasukkan obat itu ke
dalam mulutnya, Rasanya sangat pahit.
Dengan menahan napas mereka menunggu. Hanya entah
apa yang sedang di tunggu, Thio Sin Houw sama sekali tidak
mengetahui dan tidak dapat menduga-duga. Alangkah ajaib
pengalamannya, se lama berada dipinggang gunung Ouw-tiap
san. 270 Hanya dalam waktu satu hari satu malam saja, ia
memperoleh pengalaman-pengalaman luar biasa. Dalam
kesunyian itu, teringatlah ia kepada Ciu Sin Lan yang
mengikuti kakek gurunya, Tanpa terasa ia menghela napas.
Katanya di dalam hati: "Aku mendaki gunung Ouw-tiap san, karena mengikuti Cie
toako. Dan sementara itu ia ikut Thay-suhu kembali ke Boetong


Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

san, Akh! pada saat inir entah apa kira-kira yang sedang
dilakukan ?" Memperoleh pikiran demikian, tanpa disadari ia
memasukkan tangannya, kedalam saku meraba-raba
saputangan yang bersulamkan bunga melati sebagai
pemberian dari Ciu Sin Lan. Kurang lebih setengah jam kemudian, tiba-tiba Lie Hong
Kiauw menarik ujung baju Thio Sin Houw, ia menuding kearah
barat laut, serentak Thio Sin Houw berpaling kearah itu, dan di
kejauhan ia melihat sinar lentera. Aneh warna sinar lentera itu,
Biasanya sinar lentera berwarna kuning kemerah-merahan,
tetapi kali ini tidak. sinarnya hijau.
Lentera itu bergerak cepat sekali, dalam sekejap saja telah
berada belasan langkah didepannya, oleh pantulan cahaya
rembulan dan sinar lentera itu, Thio Sin Houw dapat melihat
dengan jelas bahwa pembawanya seorang wanita bongkok,
jalannya terpincang-pincang dan diikuti seorang laki-laki
dibelakangnya. Dan melihat mereka, hati Thio Sin Houw
memukul keras. Teringatlah dia, Ouw-tiap kok terletak di baratdaya,
Dan mereka berdua datang dari barat-daya pula, Maka
kuat dugaannya, mereka ini adalah suami-isteri Ouw Gie
Coen! Oleh dugaan itu, Thio Sin Houw berpaling kepada Lie Hong
Kiauw untuk memperoleh keyakinan. Akan tetapi di malam
hari, tak dapat ia melihat kesan wajah Lie Hong Kiauw dengan
271 jelas. Apa yang dilihat hanyalah sepasang mata Lie Hong
Kiauw tiba-tiba nampak berkilat-kilat. Dengan penuh perhatian
ia mengawasi kedatangan kedua orang itu.
Terasa sekali hatinya menjadi tegang.
Menyaksikan hal itu, timbullah rasa ksatria dihati Thio Sin
Houw, Meskipun hanya memiliki kepandaian yang dangkal
namun hatinya berkata: "Jika Ouw sinshe sampai mengganggu Hong cici,
meskipun harus mati aku akan menolong sedapat-dapatnya!"
Kedua orang itu berjalan semakin dekat. sekarang jelaslah,
walaupun wanita itu bercacad, namun parasnya cantik. Tetapi
laki-laki yang berada dibelakangnya, beroman buruk dan
agaknya bersifat ganas. Usia mereka sebaya kira-kira empat
puluh tahun. Oleh pengalaman hidupnya belum pernah Thio Sin Houw
berdebar hatinya menghadapi segala hal yang mengancam
dirinya. Akan tetapi menghadapi mereka berdua, entah apa
sebabnya tiba-tiba hatinya menjadi ciut, jantungnya
berdebaran dan hatinya ikut terasa berguncang, Nalurinya
berkata bahwa dia lagi menghadapi sepasang suami isteri
yang aneh dan gerak-gerik mereka sukar diduga-duga, Kurang
lebih delapan langkah didepan persembunyian Lie Hong
Kiauw, tiba-tiba mereka berdua membelok kekiri dan berjalan
lagi belasan langkah jauhnya. Kemudian berulah mereka
menghentikan langkah kakinya. Laki-laki yang berada di belakang wanita bongkok itu,
lantas berseru dengan suara nyaring:
"Bu toako! Menurut suratmu, kami suami-isteri pada malam
ini harus datang ke sini untuk berjumpa denganmu. Hayolah
keluar!" 272 Seruan itu tak memperoleh jawaban - karena itu beberapa
saat kemudian wanita bongkok itu berseru nyaring pula:
"Bu toako! Jika kau tak sudi ke luar, terpaksa kami berlaku
kurang ajar terhadapmu!" juga kali ini tak mendapat jawaban.
Mendengar seruan yang tak berjawab itu, hati Thio Sin
Houw menjadi geli sendirinya, Katanya didalam hati:
"Nah, rasakan sekarang! inilah yang dinamakan balas
membalas. Tadi kau tidak melayani aku, sekarang kau tak
digubris oleh orang yang kau panggil !"
Mereka berdua menunggu kira-kira seperempat jam lagi.
wanita bongkok itu meraba sakunya, kemudian mengeluarkan
seikat rumput yang segera di nyalakan dengan api lentera.
Dalam sekejap mata saja, sekeliling tempat itu penuh dengan
asap putih yang menebarkan bau wangi.
Teringat akan kata-kata: "terpaksalah kami berkurang ajar",
maka Thio Sin Houw segera menyadari bahwa asap itu
tentulah asap beracun. iapun mengerti pula, apabila tidak
memperoleh obat pemunah racun dari Lie Hong Kiauw,
tentulah ia kena akibatnya, ia mengerling kepada Lie Hong
Kiauw yang kebetulan sedang mengerling pula kepadanya,
Sin Houw sangat berterima kasih kepadanya, ia bersenyum
dan memanggut beberapa kali. sebaliknya pandang mata
gadis itu berkesan mengandung rasa cemas.
Semakin lama asap itu semakin tebal, sekonyong-konyong
terdengarlah seseorang bersin dari arah bawah pohon besar,
atau tepatnya dari dalam keranjang. Mendengar suara bersin
itu, hati Thio Sin Houw terkesiap, Barulah ia tahu, bahwa isi
keranjang tersebut adalah orang hidup. Bahwasanya ia tidak
mengerti soal racun adalah wajar, akan tetapi ia tetap tak
mengerti bahwa di dalam keranjang itu tersekap seseorang -
benar-benar mengherankan dirinya sendiri. sekian lamanya ia
273 berjalan mengikuti gadis itu, mengapa ia tak mendengar
pernapasannya sama sekali. Sementara itu orang yang berada di dalam keranjang
bersin beberapa kali lagi, kemudian tutup keranjang itu terbuka
dan keluarlah orang itu. Ternyata dia seorang laki-laki
mengenakan jubah panjang serta berikat kepala, umurnya
kurang-lebih limapuluh tahun. Dan dialah orang tua yang
terlihat oleh Cie siang Gie berdua Thio Sin Houw sedang
memacul ditengah tegalan. Begitu kakinya menginjak bumi, dengan pandang melotot,
ia menatap suami-isteri itu, Bentaknya mengguruh:
"Bagus! Kiranya kau, Kim Sun Bo dan Kim Popo, Telah
lama kita tak bertemu, kiranya tanganmu makin lama makin
kejam ...!" Suami-isteri itu mengawasi si orang tua yang berpakaian
tak rapih dan berikat kepala miring.
"Bu toako! Kau menuduh kami sangat kejam," kata Kim
Sun Bo dengan suara dingin. "Siapa tahu, kau justru
bersembunyi di dalam keranjang, Bu toako."
Baru saja ia berkata demikian, laki-laki yang disebut "Bu
toako" mengendus-endus udara beberapa kali.
Kemudian dengan wajah berubah buru-buru ia
mengeluarkan sebutir obat ramuan yang lalu dikulumnya. Kim
Popo, wanita bongkok itu, lalu memadamkan rumput
beracunnya, yang lantas dimasukkan kedalam sakunya
kembali. Katanya: "Sayang tak ... tak keburu lagi, Sudah terlambat ..."
Wajah "Bu toako" atau yang sebenarnya bernama Bu Teng
Kun, lantas nampak pucat bagaikan mayat. Tiba-tiba ia lalu
274 duduk di tanah dan beberapa saat berselang, barulah ia
berkata: "Baiklah, aku kalah. Mulai sekarang tak lagi aku
membuntuti kalian berdua." Kim Sun Bo, laki-laki yang beroman sangat jelek itu segera
mengeluarkan sebuah botol kecil berwarna merah. ia
mengangsurkan botol kecil itu seraya katanya:
"lnilah obat pemunah racun rumput Cin-su cay, Anakku
telah kau celakakan dengan racunmu, maka dari itu kalau kau
menghendaki bebas dari akibat racunku, berilah obat
pemunah racunmu pula, Tegasnya, marilah kita saling
menukar obat pemunah!" "Fitnah!" bentak Bu Teng Kun.
"Kau maksudkan aku meracuni anakmu Kim Cin Nio"
Sudah lima-enam belas tahun aku tak bertemu dengan dia,
jangan memfitnah sembarangan!"
Wanita bongkok itu terbatuk-batuk - berkata dengan suara
gusar: "Jadi kau meminta kami menemui..."
hanya untuk mendengarkan ocehanmu itu saja?" setelah
berkata demikian, ia berpaling kepada suaminya, Berkata lagi:
"Sun Bo! Hayolah kita pulang saja!" berbareng dengan
perkataannya ia memutar badan dan segera hendak berlalu
dari tempat itu. Akan tetapi Kim Sun Bo tidak bergerak dari tempatnya, ia
masih nampak bersangi-sangsi. Katanya tak jelas:
275 "Tetapi ... Cin Nio ... Cin Nio bagaimana?"
Wanita bongkok itu menghentikan langkahnya, menengok
sambil menyahut: "Bu toako sangat membenci kita berdua, dia agaknya lebih
suka mati daripada mengampuni Cin Nio, Apakah kau belum
sadar juga akan hal itu?" Masih juga Kim Sun Bo belum bergerak dari tempatnya, ia
menatap BuTeng Kun beberapa saat lamanya, Kemudian
berkata setengah me Bukit Pemakan Manusia 1 Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Bentrok Rimba Persilatan 6
^