Pencarian

Harta Karun Jenghis Khan 2

Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang sukar dicari bandingannya. Akan tetapi karena mereka itu maju berlima dan membentuk barisan golok yang amat tangguh itu, Kim Hong yang bertangan kosong mengalami kesulitan juga untuk menundukkan mereka. Ia tetap tidak mau mengeluarkan pedangnya, karena merasa bahwa ia belum terdesak, hanya belum mampu merobohkan mereka.
"Heh, bandel, kenapa tidak menggunakan siang-kiammu itu?" berkali-kali Thian Sin berseru, akan tetapi Kim Hong hanya tersenyum saja.
"Darah lima ekor tikus ini terlalu busuk untuk mengotori pedang-pedangku!" akhirnya ia menjawab dan jawaban ini membuat Siang-to Ngo-houw menjadi semakin marah.
"Perempuan sombong!" Si jangkung berteriak marah dan memimpin adik-adik seperguruannya untuk mendesak semakin ganas. Akan tetapi tiba-tiba teriakannya itu yang disusul dengan tusukan golok ke arah dada Kim Hong, berobah menjadi teriakan kesakitan ketika tiba-tiba ada sinar hitam berkelebat dan terdengar suara meledak kecil yang diakibatkan oleh lecutan ujung rambut Kim Hong yang menotok pergelangan tangan yang memegang golok.
"Aduhhh...!" Golok itu terlepas dari pegangan tangan yang tiba-tiba terasa lumpuh dan sebelum si jangkung dapat memperbaiki posisinya, sebuah tendangan kaki kiri Kim Hong mengenai pahanya.
"Dess...!" Si jangkung terlempar dan menyeringai kesakitan, berusaha bangkit, akan tetapi jatuh terduduk lagi karena bekas tendangan pada pahanya itu membuat pahanya memar, matang biru dan rasa nyeri menusuk-nusuk sampai ke jantung!
Empat orang yang lain menjadi terkejut dan marah. Mereka bergerak cepat dan memang ilmu barisan Lima Teratai mereka itu sudah terlatih baik, bahkan sudah terlatih kalau-kalau ada di antara mereka yang terluka. Barisan itu memang berlima, akan tetapi mereka telah melatih sedemikian rupa sehingga dapat mereka mainkan berempat, bertiga, atau bahkan berdua tanpa menjadi kaku dan canggung. Kini, empat orang itu berkelebatan dan gerakan mereka berbeda dari gerakan ketika mereka berlima tadi, akan tetapi tidak mengurangi ketangguhan mereka.
Bagaimanapun juga, kini Kim Hong tidak hanya menghadapi mereka dengan kaki tangan kosong, melainkan ia telah mempergunakan senjatanya yang ampuh, yaitu rambutnya! Senjata ini bahkan lebih ampuh dari pada senjata lain, karena selain tidak terduga-duga datangnya, digerakkan oleh kepala, juga senjata ini dapat menjadi kaku atau lemas tergantung penggunaan tenaga sin-kang yang dikerahkan oleh gadis perkasa itu. Empat orang itu biarpun telah lama berkecimpung di dunia persilatan dan telah banyok menghadapi lawan tangguh, akan tetapi baru sekaranglah mereka bertemu lawan seperti itu, dan melihat betapa suheng mereka telah roboh, maka merekapun menjadi panik. Hal ini dapat terasa oleh Kim Hong, terasa dalam gerakan kerja sama yang tidak serapi tadi. Banyak terdapat lowongan-lowongan dan gadis perkasa itupun segera merempergunakannya.
"Hiaaaattt...!" Ia melengking dan tubuhnya menerjang ke depan, melompat ke atas dan kaki kirinya meneadang ke arah sepasang golok yang menyambutnya. Pemegang golok itu berteriak kesakitan dan sepasang goloknya terlempar, akan tetap sebelum dia dapat mengelak, kaki kanan Kim Hong sudah tiba.
"Bukkk!" Orang itu terlempar ke belakang dan terbanting keras, terjengkang dan napasnya terasa sesak, dadanya terasa jebol. Sampai lama dia hanya dapat terengah-engah sambil menekan dadanya.
"Haiiitttt...!" Kim Hong melengking lagi, rambutnya menyambar seperti seekor ular hitam, tepat menotok pundak seorang pengeroyok yang tiba-tiba saja berobah menjadi patung, tidak mampu bergerak dengan tangan kanan mengacungkan golok ke atas dan tangan kiri menusukkan golok ke depan. Kim Hong yang berhasil menotoknya dengan ujung rambutnya, segera menggerakkan tangan kiri menampar. "Plakkk!" Tubuh orang ke tiga inipun terpelanting dan sepasang goloknya terlempar, matanya menjadi juling dan dia duduk dengan kepala bergoyang-goyang karena bumi terasa berpusing di depannya.
"Hyaaaaattt...!" Kembali Kim Hong mengeluarkan suara lengkingan panjang, tubuhnya sudah melayang ke atas. Dua orang lawannya yang sudah menjadi gentar sekali itu menyambut tubuhnya dengan tusukan dan bacokan golok. Akan tetapi tiba-tiba tubuh yang ramping itu membuat gerakan salto di udara dan tahu-tahu dua orang itu kehilangan lawan mereka! Sebelum mereka sadar bahwa lawan yang amat lincah seperti burung walet itu berada di belakang mereka, tahu-tahu rambut kepala mereka dijambak oleh sepasang lengan yang kecil halus namun kuat.
"Dukkk...!" Keduanya mengeluh dan roboh, di kepala mereka tumbuh sebutir telur angsa dan kepala mereka terasa nanar dan pandang mata terasa berkunang!
Terdengar tepuk tangan dan Kim Hong menoleh sambil tersenyum memandang kepada kekasihnya yang bertepuk tangan memujinya. Bulan sudah naik tinggi dan sinarnya semakin cerah. Langit bersih sekali sehingga cuaca menjadi semakin terang.
"Bagus sekali cara engkau menjatuhkan mereka, Kim Hong." kata Thian Sin memuji.
Yang dipuji girang sekali dan bangga. "Ah, latihan yang menyenangkan. Tubuh terasa enak sekali!" kata Kim Hong sambil menggeliat seperti seekor kucing malas, muka diangkat seperti memandangi bulan, dada yang sudah membusung itu makin dibusungkan, pinggang ditekuk, kedua lengan yang masih tersingsing lengan bajunya itu diangkat ke atas dan ke belakang, menyanggul rambut yang tadi terlepas.
Di antara semua keindahan gerakan wanita, satu di antaranya yang paling mempesonakan hati pria adalah kalau wanita itu membereskan rambut kepalanya dengan mengangkat kedua lengan ke atas dan ke belakang! Gerakan ini mengandung kelembutan, keindahan dan kehalusan wanita sepenuhnya, bahkan nampak pada saat itu seperti gerakan yang penuh gairah yang menantang. Thian Sin merasa betapa bulu tengkuknya meremang dan ini tandanya bahwa dia telah terangsang memandang kekasihnya seperti itu. Diapun melangkah maju dan dipeluknya pinggang yang ramping dan sedang meliuk itu, ditariknya tubuh itu dan didekapnya kuat-kuat, lalu diciumnya mulut yang agak terbuka itu. Terdengar Kim Hong mengeluarkan suara seperti seekor kucing dan kedua lengan yang sedang menyanggul rambut itupun melingkar di leher Thian Sin, membuat rambut yang belum selesai disanggul itu terlepas dan terurai lagi. Mereka berdua tidak memperdulikan lagi lima orang yang telah dirobohkan tadi, tenggelam dalam buaian asmara, saling berangkulan, saling berciuman. Bahkan kesempatan itu dipergunakan oleh lima orang Siang-to Ngo-houw untuk bangkit perlahan-lahan, menahan keluhan sambil menyeringai, kemudian perlahan-lahan merekapun melarikan diri dari tempat itu.
"Eh, kita harus menangkap seorang!" Tiba-tiba Thian Sin melepaskan ciumannya. Akan tetapi Kim Hong menahan dengan rangkulannya, lalu gadis itu menggunakan tangan kiri melepas sebuah tusuk konde di atas telinga, mengayun tangannya. Terdengar jerit kesakitan dan seorang di antara Siang-to Ngo-houw terjungkal roboh dan tidak mampu bangkit lagi. Empat orang temannya melarikan diri dan agaknya melupakan seorang kawan mereka yang roboh. Sedangkan Kim Hong sudah menarik muka Thian Sin lagi, melanjutkan permainan mereka yang tertunda tadi, tenggelam dalam kemesraan dan pencurahan kasih sayang.
Bagi yang belum mengenal kedua orang muda ini tentu akan merasa heran melihat keadaan mereka. Akan tetapi, bagi pembaca yang sudah mengikuti perjalanan hidup mereka dalam cerita Pendekar Sadis, tentu tidak akan merasa heran. Latar belakang kehidupan mereka demikian suram dan gelapnya, pengalaman-pengalaman pahit getir telah membuat hati kedua orang muda ini terasa hambar akan segala peraturan yang dibuat oleh manusia, termasuk pernikahan. Mereka berdua itu saling menyinta, cinta yang tidak dibuat-buat, cinta yang memang timbul dari dalam hati mereka, bebas dari ikatan peraturan-peraturan umum. Mereka mengenal watak dan cacat masing-masing. Mereka saling mencinta dengan mata terbuka. Mereka tidak mau mengikat diri dengan pernikahan, walaupun di dalam hati mereka terdapat kasih sayang mendalam yang agaknya tidak memungkinkan mereka tertarik kepada orang lain. Kemesraan bisa saja timbul di antara mereka, di manapun juga, di saat apapun juga dan mereka tidak akan menyembunyikan perasaan mesra itu. Mereka berani bermesraan di manapun karena mereka berdua sudah tidak begitu mau memperdulikan lagi soal-soal peraturan dan hukum yang mereka anggap palsu dan pura-pura. Kalau mereka saling menyayang dan timbul gairah untuk saling memperlihatkan kasih sayang, untuk saling meraba memeluk dan mencium, mengapa harus disembunyi-sembunyikan" Mereka menganggap hal itu wajar dan tidak merugikan orang lain! Inilah sebabnya, maka biarpun sudah beberapa tahun hidup bersama di pulau kosong, sebagai suami isteri, mereka belum pernah menikah dalam arti kata disaksikan upacaranya oleh orang-orang lain, baik berdasarkan hukum agama, tradisi atau umum.
Tentu banyak orang yang akan mengernyitkan hidung dan mencibirkan bibir melihat keadaan mereka itu. Tentu banyak yang memberi komentar : tak tahu malu, tidak sopan, jorok dan cabul, kotor dan sebagainya. Di samping itu, mungkin ada pula yang membenarkan. Akan tetapi, bukan di situlah letaknya kebenaran. Bukan di dalam sehelai surat nikah, di dalam upacara agama, di dalam upacara tradisi, atau di dalam kesaksian para handai taulan letaknya kebahagiaan perjodohan. Melainkan di dalam cinta kasih! Apa artinya memiliki surat-surat lengkap, dengan upacara yang megah, dengan perayaan yang meriah, dengan penghormatan yang berlebihan, kalau di dalam sebuah pernikahan tidak terdapat cinta kasih" Bahkan banyak sekali suami isteri yang saling tidak merasa cocok, namun memaksa diri untuk hidup bersama karena adanya ikatan berupa surat atau upacara atau hukum-hukum itu. Akibatnya, biarpun pada lahirnya, oleh orang-orang lain, mereka nampak sebagai suami isteri yang hidup serumah dan rukun sampai kakek nenek, namun pada hakekatnya batin keduanya menderita hebat! Mau terbang menghindar, kaki sudah terikat oleh segala hukum dan pendapat umum.
Karena itu, tidak begitu penting mempertimbangkan benar tidaknya orang menjadi suami isteri dengan surat, dengan upacara, dan sebagainya. Yang terpenting adalah bahwa perjodohan merupakan pendekatan antara dua orang, pria dan wanita, untuk hidup bersama dan hal ini baru benar kalau dilakukan dengan dasar saling mencinta! Hanya ini syarat utamanya, yang lain-lain itu hanya embel-embel yang tidak begitu penting bagi kebahagiaan bersuami-isteri. Syarat utama itu, yalah cinta kasih kedua fihak, harus dipenuhi lebih dahulu, baru orang boleh memikirkan syarat-syarat lain yang umum.
Antara Thian Sin dan Kim Hong kadang-kadang terdapat ketidakcocokan karena memang keduanya memiliki kekerasan hati yang membuat mereka kadang-kadang tidak mau saling mengalah dan terjadi bentrokan. Namun, pada hakekatnya, di dasar atau lubuk hati mereka, kedua orang ini saling mencinta dengan amat mendalam sehingga pertentangan-pertentangan yang ada selalu dapat dikalahkan oleh rasa saling menyayang itu. Dan selain cinta kasih kedua pihak, juga di antara keduanya sudah terdapat suatu kepekaan bersama sehingga hanya dengan saling pandang saja mereka dapat menjenguk isi hati masing-masing.
Setelah mencurahkan kasih sayang yang timbul pada saat itu, keduanya menjadi lebih tenang dan Kim Hong melepaskan diri dari pelukan kekasihnya, lalu menengok, memandang ke arah seorang di antara Siang-to Ngo-houw yang dirobohkarmya dengan tusuk konde tadi. "Akan kita apakan dia itu?"
"Dia penting sekali untuk membawa kita kepada kepalanya, kepada yang mengutusnya, atau kepada pemilik atau pemegang peta itu." kata Thian Sin dan keduanya lalu menghampiri orang itu.
Sambitan tusuk konde tadi menembus paha dan orang itu tidak mampu bangkit berdiri, hanya duduk sambil memijit-mijit pahanya, menggigit bibir menahan rasa nyeri. Dia menyumpah-nyumpahi empat orang saudaranya yang meninggalkannya begitu saja. "Bedebah! Pengkhianat mereka itu! Tidak mempunyai setia kawan sama sekali, keparat!" demikian dia menyumpah-nyumpah akan tetapi dia memandang dengan cemas ketika melihat Thian Sin dan Kim Hong menghampirinya. Baru sekarang dia tahu bahwa dua orang muda itu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian hebat sekali. Baru gadis itu saja sudah mampu merobohkan mereka berlima, belum lagi pemuda itu! Mulailah dia menduga-duga siapa gerangan pasangan muda mudi yang demikian lihainya.
"Nah, engkau sudah membuktikan kelihaian kami?" Kim Hong mengejek. "Sekarang lebih baik engkau mengaku terus terang!"
"Aku telah kalah dan telah ditinggalkan teman-temanku, kalian mau bunuh, terserah. Mengaku apa lagi?" Orang itu mencoba untuk menutupi rasa takutnya dengan sikap gagah. Siang-to Ngo-houw terkenal sebagai orang gagah, maka diapun harus bersikap gagah.
"Sobat, kalian Siang-to Ngo-houw datang dan berusaha membunuh kami, berusaha merampas kunci emas yang ada padaku," kata Thian Sin. "Akan tetapi kami masih menaruh kasihan, tidak membunuh kalian. Maka, ceritakaniah, siapa yang mengutus kalian" Siapakah yang telah menguasai peta rahasia itu" Katakan dan kami akan membebaskanmu."
Wajah yang sudah pucat itu kelihatan semakin ketakutan. Orang itu menoleh ke kanan kiri, sikapnya ngeri dan ketakutan, lalu dia menggelengkan kepala keras-keras. "Tidak! Tidak ada yang mengutus kami. Aku tidak tahu!"
Thian Sin dan Kim Hong sudah cukup berpengalaman untuk dapat mengerti bahwa orang ini amat takut kepada yang mengutusnya. Lalu Thian Sin berkata kembali, "Sobat, engkau tentu tidak asing dengan Hwa-i Kai-pang, bukan?"
Orang itu nampak terkejut dan memandang kepada wajah Thian Sin dengan mata terbelalak. "Bagaimana engkau tahu?" dia balas bertanya.
"Aku mengenal dasar-dasar gerakan Ngo-lian Pang-hoat dalam ilmu golok kalian. Tentu kalian masih mempunyai hubungan dengan Hwa-i Kai-pang, atau lebih tepat lagi dengan Lo-thian Sin-kai tokoh utama Hwa-i Kai-pang itu."
"Dia adalah mendiang suheng kami! Siapa... siapakah engkau?"
Thian Sin maklum bahwa orang yang amat takut kepada kepalanya ini perlu dibuat gentar agar suka mengaku. "Aku adalah kenalan lama Hwa-i Kai-pang, dahulu aku dikenal sebagai Pendekar Sadis..."
"Ahhhh...!" Orang itu terbelalak dan berusaha menjauh seperti tiba-tiba melihat seekor ular yang amat berbabaya. "Pendekar... Sadis...?"
Diam-diam Thian Sin merasa girang melihat ketakutan terbayang di wajah itu. "Benar, dan engkau mengerti bahwa sebaiknya mengaku dari pada harus merasakan tanganku!" Dia sengaja mengancam.
"Tapi... tapi... aku takut..."
"Dan tidak takut kepada Pendekar Sadis?" kembali Thian Sin menghardik.
"Ahhh... ampunkan nyawaku... kami... kami disuruh..." Tiba-tiba terdengar suara berdesing-desing dan dua orang pendekar itu cepat meloncat untuk menghindarkan diri dari sambaran anak panah kecil yang meluncur dengan kecepatan kilat ke arah dada mereka tadi. Akan tetapi, pada saat itu terdengar pekik mengerikan dan orang yang mereka tanyai tadi terjengkang, berkelojotan dengan anak panah menembus dadanya!
"Setan...!" Kim Hong yang memiliki gerakan cepat itu sudah melayang ke arah dari mana datangnya anak panah tadi, akan tetapi ia tidak dapat menemukan orang. Selain cuaca remang-remang yang menjadi penghalang, juga agaknya pelepas anak panah itu memiliki kecepatan yang hebat pula, maka secepat itu telah menghilang. Ketika Kim Hong kembali lagi, ia melihat Thian Sin melepaskan tubuh yang tadi diperiksanya itu. Tubuh itu terkulai lemas tanda tidak bernyawa lagi.
"Orangnya sudah pergi, terlalu gelap untuk dapat mengejarnya. Kaukira siapa yang melakukannya" Teman-temannya tadi?"
Thian Sin menggelengkan kepala. "Tentu orang lain. Anak panah itu menembus jantung, bahkan mematahkan tulang iga. Jelas bahwa tenaga orang yang melepaskannya amat kuat, lebih kuat dari pada tenaga bekas-bekas lawanmu tadi. Dan ini membuktikan bahwa yang mengutus Siang-to Ngo-houw tadi, atau orang yang menguasai peta rahasia itu, bukanlah orang sembarangan. Kita berhadapan dengan penjahat besar yang mempunyai banyak pembantu lihai, maka kita harus berhati-hati."
Kim Hong menarik napas panjang, menyesal. "Akan tetapi ke mana kita harus mencarinya" Satu-satunya orang yang dapat menghubungkan kita kepadanya telah dibunuh."
"Tiada jalan lain kecuali menunggu. Dia telah mengirim Siang-to Ngo-houw dan gagal, kurasa seorang penjahat besar seperti dia tentu tidak mudah putus asa dan akan mengutus pembantu lain yang lebih cakap dan lebih kuat. Kita menanti saja. Umpan kunci emas masih ada pada kita dan tentu kakap-kakap besar akan berdatangan. Kita hanya tinggal waspada saja melihat ikan macam apa yang akan menyambar umpan."
Thian Sin dan Kim Hong meninggalkan mayat itu dan kembali ke rumah penginapan mereka. Karena tahu akan lihai dan berbahayanya musuh, ada sedikit ketegangan dalam hati mereka. Akan tetapi ketegangan ini membuat mereka menjadi semakin akrab, merasa semakin dekat dan harus saling melindungi. Semua ini membuat mereka akhirnya menumpahkan perasaan masing-masing dalam keadaan amat mesra, sehingga malam itu mereka sama sekali sudah melupakan ketegangan dan ancaman bahaya, hanyut dalam kemesraan.
Selama dua hari tidak terjadi sesuatu dan hal ini membuat Thian Sin dan Kim Hong merasa kecewa dan tidak sabar. Ikan yang dinanti-nanti tak kunjung muncul! Thian Sin tidak percaya bahwa kepala penjahat itu menjadi jerih. Perbuatannya membunuh seorang di antara Siang-to Ngo-houw itu saja sudah membuktikan bahwa kepala penjahat itu tidak menjadi jera dan jerih. Pasti akan muncul, pikirnya penuh keyakinan.
Malam itu mereka berdua pergi ke rumah makan terbesar di kota raja. Rumah makan ini terkenal sekali dengan masakan ikan-ikan laut. Rumah makan besar itu sudah setengah penuh ketika Thian Sin dan Kim Hong memasukinya, disambut oleh seorang pelayan dengan ramah dan pelayan itu menyodorkan daftar masakan.
Thian Sin dan Kim Hong tersenyum-senyum gembira membaca daftar masakan itu. Daftar yang sungguh luar biasa dan amat berbeda dengan yang terdapat di restoran-restoran lainnya. Selain terbuat dari kain yang indah, juga tulisannya amat indah, daftar itu memuat nama-nama masakan yang aneh-aneh.
"Jantung ular laut?" Kim Hong membaca sambil terbelalak. "Benarkah itu?"
"Ah, paling-paling hanya daging belut laut. Coba lihat ini. Masak Burung Hong Merah! Bukan main! Aku berani bertaruh bahwa ini tentu hanya masak ayam saus tomat, tentu saja kemerahan."
"Wah, ini ada Ca Kaki Biruang, ada Otak Ki-lin goreng, Sup Naga Hitam, dan Panggang Daging Srigala!" Teriak Kim Hong.
"Ha-ha, biruangnya tentu hanya babi, ki-lin itu tak salah lagi tentu babi hutan, naga hitam itu boleh jadi hanya daging ular hitam saja, dan srigala itu, apa lagi kalau bukan anjing?"
Mereka tertawa-tawa dan ketika pelayan datang, mereka bertanya dan memang sebagian besar dugaan Thian Sin tadi benar adanya. "Selain untuk penambah selera, juga untuk menguji kecerdasan tamu yang suka menduga-duga." kata si pelayan sambil tersenyum ramah. Maka sibuklah Kim Hong memillh masakan yang namanya serem-serem dan aneh-aneh itu. Ada yang disebut "siluman laut bongkok" yang ternyata hanyalah udang besar saja! Rajawali leher panjang ternyata hanya bebek! Betapapun juga, setelah hidangan dikeluarkan, sepasang muda mudi ini harus mengakui bahwa masakan di rumah makan itu memang istimewa lezatnya.
Ketika mereka berkelakar tentang nama-nama hebat dari masakan-masakan itu, seorang pemuda yang telah lebih dulu duduk tak jauh dari meja mereka, memandang kepada mereka dengan wajah ramah. Thian Sin melihat ini dan diam-diam dia memuji wajah yang tampan dan sepasang mata yang kelihatan cerdas itu. Akan tetapi, ketika pernah satu kali Kim Hong bertemu pandang mata dengan pemuda itu, ia tersenyum dan kedua pipinya menjadi agak merah. Sebagai wanita, ia segera merasa betapa sinar mata yang ditujukan kepadanya itu penuh dengan kekaguman dan kegairahan yang tidak disembunyikan. Kalau saja si pemandang tidak berkenan di hatinya, tentu Kim Hong sudah marah, akan tetapi, ada sesuatu pada wajah pemuda itu yang menarik hatinya, wajah tampan dan halus, sinar mata tajam dan dagu yang membayangkan kegagahan. Seorang pemuda yang tentu bukan orang sembarangan, pikirnya. Pula, melihat betapa pemuda itu diam-diam memperhatikan mereka dan tersenyum serta bersikap ramah bersahabat terhadap mereka, diam-diam di dalam hati Thian Sin dan Kim Hong sudah timbul kecurigaan. Mereka saling pandang dan tahu akan isi hati masing-masing yang menaruh curiga terhadap pemuda tampan itu. Siapa tahu, itulah ikan kakap yang mereka nanti-nanti selama dua hari ini! Secara sambil lalu, mereka mulai memperhatikan pemuda itu. Seperti juga mereka, pemuda itu memesan beberapa macam masakan dan kelihatannya cukup royal, sungguhpun tidak sangat gembul karena masakan-masakan itu hanya dicicipi sedikit-sedikit saja. Akan tetapi pemuda itu sungguh kuat sekali minum arak. Sudah ada sepuluh cawan diminumnya, dan mukanya masih nampak berseri, sama sekali tidak menjadi pucat atau merah seperti biasanya kalau orang mulai terpengaruh arak.
Pemuda itu berusia kurang lebih duapuluh tiga tahun, pakaiannya seperti pelajar, sederhana walaupun terbuat dari sutera yang cukup halus. Ketika itu, guci kecil araknya sudah kosong dan diapun menggapai kepada seorang pelayan yang lewat dekat. Setelah pelayan mendekat, dengan suara yang cukup lantang sehingga dapat terdengar oleh Thian Sin dan Kim Hong, pemuda itu bertanya, sambil memandang catatan pada daftar makanan, "Bung, selain Arak Bunga Surga seperti yang kausuguhkan tadi, apakah ada Arak Dewa Panjang Usia yang disimpan di dalam kamar pusaka dengan kunci emas?" Suaranya berlagu, terdengar lucu seperti orang membaca sajak sehingga beberapa orang menengok dan tersenyum. Pelayan itu sendiri tertawa.
"Ha-ha-ha-ha, kongcu pandai sekali membuat nama yang bagus. Biar saya usulkan kepada majikan agar menambahkan nama itu. Arak Dewa Panjang Usia! Bagus sekali!" kata si pelayan. "Akan tetapi sayang, arak yang ada di sini, yang terbaik hanyalah Arak BungA Sorga tadi."
"Baiklah, tambah seguci lagi." kata si pemuda yang wajahnya bulat itu. Alisnya yang hitam tebal itu bergerak-gerak, matanya berkilat dan senyumnya berseri. "Awas, jangan keliru mengambilkan Arak Bunga Neraka, ya?"
Beberapa orang tertawa keras atas kelakar pemuda ini. Thian Sin dan Kim Hong saling pandang. Bagi mereka, yang terpenting adalah disebutnya "kunci emas" tadi oleh si pemuda. Tak salah lagi, tentu pemuda ini mempunyai hubungan dengan urusan yang sedang mereka selidiki. Seorang utusan lainkah" Kalau benar demikian, sungguh luar biasa sekali kepala penjahat itu. Bermacam-macam saja pembantunya. Ataukah pemuda ini tidak sengaja dan hanya kebetulan saja menyebut kunci emas tadi" Kelihatannya begitu tenang saja, tidak memperlihatkan tanda-tanda hendak menghubungi mereka. Pemuda itu minum lagi sambil menyumpit hidangan di depannya, kemudian dengan lagak orang mabok, menggoyang-goyang kepala sedikit padahal matanya masih bening, diapun bernyanyi.
"Mengganyang kaki biruang melahap sup naga mengunyah daging srigala minum arah bunga sorga! betapa enak tak terkira akan tetapi biruang naga dan srigala
mengepung diri kita! betapa mengerikan jadinya! Hiiiiiihh!"
Kembali terdengar orang tertawa di sana sini mendengar sajak yang lucu ini. Kim Hong juga memandang dan memang pemuda tampan itu nampak lucu ketika menggoyang-goyang kepala sambil membaca sajak itu. Apa lagi kata terakhir yang membayangkan ketakutan itu, diucapkan dengan mata terbelalak dan muka membayangkan kengerian.
Thian Sin berbisik, "Dia inikah...?"
Kim Hong menggeleng. "Entah, tapi dia lucu."
Pada saat itu nampak seorang gadis muda memasuki rumah makan, disambut dengan penuh kehormatan oleh kepala pelayan sendiri. "Selamat sore, nona. Silahkan duduk. Apakah nona sudah pesan seperti biasa" Untuk beberapa orangkah?"
Gadis itu tersenyum dan jantung Thian Sin berdebar. Gadis yang manis dan memiliki daya pesona yang kuat! Terutama sekali lesung pipit di pipi kiri dan tahi lalat kecil di bawah mata kanan itu. Sungguh menyegarkan mata! Usia gadis itu kurang lebih dua puluh satu tahun dan melihat dandanannya, tentu seorang nona yang kaya raya. Pinggangnya tidak seramping pinggang Kim Hong, akan tetapi dada dan pinggul yang membusung itu mendatangkan gairah. "Kali ini aku sendirian saja, Kwa-lopek. Sediakan masakan kesukaanku, cepatan sedikit karena aku tidak akan lama di sini." jawab gadis itu dan dari percakapan antara gadis itu dan si kepala pelayan, mudah diduga bahwa tentu gadis ini amat dikenal dan merupakan seorang langganan yang baik dari restoran besar ini. Thian Sin juga melihat betapa beberapa orang yang berada di situ, mengangguk dengan hormat kepada si nona manis.
"Lopek, aku ingin duduk di meja ini, tidak begitu panas di sini, memperoleh angin dari luar. Malam ini panas sekali!" katanya sambil mengipasi leher dengan kipasnya. Bau harum menyambar ke arah meja Thian Sin dari gerakan kipas itu.
Meja yang dipilih adalah meja yang berdekatan dengan meja Thian Sin, di antara meja pendekar itu dan meja pemuda yang bersajak tadi. Akan tetapi meja itu dipakai oleh dua orang laki-laki bersama isteri mereka. Ketika mendengar bahwa nona itu memilih meja mereka, empat orang itu cepat-cepat bangkit berdiri dan berkata kepada kepala pelayan, "Biarlah hidangan kami dipindahkan ke meja lain agar meja ini dapat dipakai oleh nona..."
Gadis manis itu hanya memandang kepada mereka dengan anggukan sedikit sebagai pernyataan terima kasih. Mendongkol juga rasa hati Kim Hong melihat ini. "Ini namanya tidak mengenal budi!" katanya agak keras sehingga tentu saja terdengar oleh nona itu, akan tetapi karena ia bicara bukan sebagai penyerang langsung, nona itupun hanya melirik saja. Setelah dua pasangan itu pindah dan meja dibersihkan, nona itu lalu duduk sambil mengipasi lehernya. Kemudian diamblinya sebuah tas kecil, dibukanya dan dibereskan rambutnya sambil memandang sebuah cermin kecil yang berada di dalam tas. Akan tetapi, Thian Sin yang berada di belakang gadis itu agak ke samping, sempat melihat cermin itu dan melihat sepasang mata jeli memandang langsung kepadanya, kemudian sebuah di antara dua mata jeli itu berkedip kepadanya! Kedipan yang disengaja, kedipan yang ada maksudnya! Dan kini nampak sepasang bibir merah di cermin itu tersenyum kepadanya, memperlihatkan deretan gigi putih mengintai dari balik daging merah mulut itu! Sebuah tantangan yang manis!
Akan tetapi, kalau Thian Sin tertarik memandang kepada gadis manis itu melalui cermin di dalam tas yang sengaja diarahkan kepadanya, Kim Hong sebaliknya diam-diam memperhatikan pemuda yang bersajak tadi. Pemuda itupun jelas kelihatan tertarik sekali kepada gadis ini, dun wajah yang tadinya mengandung seri jenaka itu kini berobah serius, akan tetapi tetap saja kekaguman terbuka terpancar dari matanya ketika memandang gadis itu, seperti ketika memandang kepadanya. Diam-diam ada rasa tidak enak di hati Kim Hong, seolah-olah ia merasa bahwa ia telah memperoleh seorang saingan yang cukup berat! Maka ia mengerling ke arah gadis itu dan matanya yang tajam sempat melihat wanita itu mempermainkan cermin kecil di dalam tasnya. Akan tetapi, biarpun ia tahu bahwa melalui cemain itu si gadis manis tentu sedan menyelidiki sesuatu, Kim Hong tidak tahu bahwa wajah Thian Sin-lah yang terpantul di dalam cermin yang dipermainkan oleh jari-jari tangan gadis itu.
Tentu saja, sebasai seorang langganan yang baik, pesanan nona itu memperoleh pelayanan yang cepat sekali. Sebentar saja, semua hidangan yang dipesannya telah datang, diatur di atas meja depan nona itu, mengepulkan uap panas. Karena ia hanya seorang diri saja, maka yang dipesannya hanya empat macam masakan dan meja itu terlalu besar baginya, masih sebagian besar meja yang kosong. Nona itupun mulai makan dengan sikap tenang, sedikitpun tidak merasa canggung biarpun ia tahu bahwa banyak pasang mata pria memandang kepadanya, sebagian besar secara melirik sembunyi-sembunyi, kecuali mata beberapa orang pria, termasuk mata pemuda sastrawan tadi yang duduk berhadapan dengannya, dari mata Thian Sin yang duduk di arah belakangnya.
Thian Sin melihat pula betapa pemuda sastrawan itu menatap wajah orang yang sedang makan dengan asyik sekali. Hemm, agaknya dia akan membuat sajak dari gerakan mulut gadis yang sedang makan itu, pikirnya mendongkol karena tempat duduk pemuda itu lebih "strategis" dibanding dengan tempat duduknya yang hanya memungkinkan dia memandang wajah itu dari samping agak belakang saja.
"Huh, jalangmu kumat pula!" Tiba-tiba terdengar bisikan Kim Hong dan sebuah cubitan pada pahanya hampir membuat Thian Sin menjerit.
"Hushhh..." Bisiknya membalas. "Siapa tahu ia kakap pula..."
"Memang kakap untuk kejalanganmu!" Kim Hong masih panas hatinya. Melihat pemuda sastrawan itu agaknya mengalihkan perhatian, tertarik kepada si gadis yang baru datang saja sudah membuat hatinya panas, merasa tersaing. Apa lagi melihat Thian Sin juga longak longok! Ia mengenal watak Thian Sin yang romantis, yang suka akan kecantikan wanita dan mudah jatuh hatinya terhadap wajah cantik, akan tetapi iapun tahu bahwa di lubuk hatinya, Thian Sin hanya mencinta ia seorang. Dan iapun tahu bahwa ia tidak dapat menyalahkan Thian Sin, karena ia sendiri selalu tertarik dan kagum kalau melihat pria tampan dan gagah, walaupun cintanya hanya untuk Thian Sin seorang.
Tiba-tiba semua orang menengok ketika melihat masuknya seorang laki-laki tinggi besar yang berjalan agak sempoyongan. Jelaslah bahwa laki-laki tinggi besar ini sudah agak mabok, maka sungguh mengherankan sekali. Mengapa orang yang sudah agak mabok, yang berarti sudah terlalu banyak minum arak, sekarang memasuki restoran" Seorang pelayan segera menyambutnya.
"Tuan hendak makan" Silahkan, di sudut belakang masih ada meja kosong." Biarpun di ruangan depan juga masih ada beberapa buah meja yang kosong, akan tetapi pelayan yang cerdik ini sengaja memilihkan di sudut belakang agar orang tinggi besar yang sudah agak mabok dan kelihatannya kasar ini tidak mengganggu tamu-tamu lainnya.
Si tinggi besar yang usianya hampir empat puluh tahun itu melotot. Mukanya kasar dan kumis serta jenggotnya tidak terpelihara, pakaiannya juga kumal akan tetapi keseluruhan tubuhnya membayangkan kekuatan dan kekasaran. "Apa katamu" Di belakang" Tidak. Aku ingin duduk di meja ini!" Sambil berkata demikian, dia menunjuk ke arah meja yang sudah ditempati nona manis yang sedang makan itu.
Pelayan itu terkejut. "Harap tuan tidak membikin ribut, meja ini sudah ditempati oleh nona ini, apakah tuan tidak melihatnya?"
"Peduli apa" Yang dipakai hanya separuh meja juga tidak ada, masih banyak yang kosong! Ia hanya sendirian, dan meja ini untuk delapan orang! Masa hendak diborong sendiri" Pula, tidak baik membiarkan wanita muda dan cantik seperti ia ini duduk makan sendirian saja! Boleh kan aku duduk di sini menemanimu, manis?"
Gadis itu berhenti makan, memandang dengan alis berkerut. "Hemm, siapakah engkau" Tidak kenalkah engkau siapa aku maka berani kurang ajar?" gadis itu bertanya.
Si tinggi besar tertawa bergelak. "Hua-ha-ha-ha, karena belum kenal maka sekarang kita berkenalan! Aku Can Hoa, orang-orang menyebutku Hai-pa-cu (Macan Tutul Laut), di Yen-tai namaku terkenal sekali. Nona siapakah?" Dan si tinggi besar ini mau duduk begitu saja di atas bangku dekat nona itu.
"Pergilah dan jangan ganggu aku!" Nona itu berseru dan tangannya menampar ke arah muka orang itu.
"Plakkk!" Si tinggi besar itu menangkis dan akibatnya, nona itu hampir saja terjatuh dari atas bangkunya! Kiranya si tinggi besar itu menggunakan tenaga keras.
"Ha-ha-ha, nona manis, jangan terlalu galak Hai-pa-cu tidak biasa menghadapi wanita galak karena biasanya semua wanita jinak kepadaku, ha-ha-ha!" Hai-pa-cu Can Hoa itu tertawa bergelak.
Nona itu terkejut akan tetapi tidak kelihatan takut, bahkan ia menjadi marah dan meloncat turun dari atas bangkunya, alisnya terangkat dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi.
"Bangsat kurang ajar! Berani engkau mengganggu orang di tempat ini?" teriaknya dan iapun sudah siap untuk menyerang si tinggi besar itu. Dari gerak-geriknya, Thian Sin dan Kim Hong maklum bahwa gadis itupun bukan orang sembarangan dan belum tentu kalah kalau hanya oleh penjahat kasar itu saja. Kalau tadi nona itu hampir jatuh dari atas bangkunya ketika si penjahat menangkis, adalah karena nona itu tidak mengira bahwa si penjahat akan menangkis dengan pengerahan tenaga besar.
Akan tetapi sebelum gadis itu bergerak, tiba-tiba terdengar suara nyaring, "Maaf, nona. Saya kira untuk memukul seekor anjing kudisan tidak layak mempergunakan sebatang tongkat gading. Hanya akan mengotori tongkat indah itu saja."
Gadis itu memutar tubuh menengok ke kanan dan ternyata yang bicara itu adalah si sastrawan muda yang makan seorang diri tadi. Kini pemuda itu sudah bangkit dan meninggalkan mejanya, menghampiri nona muda yang cantik manis itu, lalu menjura dengan sikap sopan sekali.
Gadis itu memandang heran karena ia tidak pernah mengenal pemuda itu. Pula, iapun tidak mengerti apa yang dimaksudkannya. "Apa maksudmu?" tanyanya ragu.
Pemuda itu tersenyum dan nampak betapa tampannya wajah itu, sepasang matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan. "Maksudku, nona. Untuk menghajar anjing ini tidak sepatutnya kalau mempergunakan tangan nona. Biarlah aku yang mewakilimu untuk menghajarnya agar dia tahu sopan santun sedikit!"
Tanpa menanti jawaban nona itu, si sastrawan muda lalu membalik dan menghadapi penjahat tinggi besar yang kelihatan agak ragu-ragu melihat ada orang berani campur tangan.
"Hai, kamu Hai-ci-cu (Tikus Laut), apakah kamu tidak pernah sekolah?"
Pertanyaan itu begitu wajar dan akrab terdengarnya sehingga si tinggi besar terbawa hanyut dan otomatis diapun menggeleng kepala. "Tidak..." Akan tetapi diapun sadar dan mukanya menjadi merah, lalu mengepal tinju.
"Bocah lancang! Mau apa engkau mencampuri urusanku?" Dia melangkah maju, mengamangkan tinjunya yang besarnya hampir sama dengan besar kepala pemuda itu. "Apa kau ingin kepalamu pecah?"
Pemuda itu dengan lagak lucu meraba-raba kepalanya. "Kepala pecah" Wah, jangan ah, kepala cuma satu dipecah, lalu ke mana aku harus mencari gantinya?"
"Pemuda gila, pergilah jangan sampai aku marah!" Hai-pa-cu Can Hoa membentak lagi sambil mengamangkan tinjunya ke depan hidung pemuda itu. Si pemuda mengernyitkan hidungnya, lalu menggunakan dua jari tangannya untuk menutup lubang hidung sambil mundur dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Huh, tanganmu bau! Tentu engkau tidak pernah mencuci tangan, tidak pernah mandi!" katanya dan karena hidungnya dijepit jari, maka suaranya menjadi lucu dan bindeng, membuat beberapa orang yang berada di situ tak dapat menahan ketawa mereka. Biarpun semua tamu maklum bahwa si tinggi besar itu adalah seorang penjahat, akan tetapi karena tidak ada yang mengenalnya, maka kesannya tidak begitu menakutkan. Apa lagi mereka semua rata-rata mengenal siapa adanya gadis manis yang diganggu itu maka tentu saja mereka semua berpihak kepada si nona dan semua orang menganggap bahwa si tinggi besar itu sungguh mencari penyakit. Munculnya pemuda sastrawan yang juga tidak dikenal orang itu mendatangkan kegembiraan dan keinginan tahu.
Si Macan Tutul Laut menjadi marah bukan main. Tadi dia sudah dimaki Tikus Laut, dan sekarang dikatakan tangannya bau dan dia tidak pernah mandi. Mukanya yang berkulit kasar hitam itu menjadi semakin hitam.
"Bangsat bermulut lancang! Engkau benar-benar sudah bosan hidup!" Setelah berteriak demikian, si tinggi besar ini sudah menubruk ke depan, kedua lengannya yang panjang itu bergerak ke depan mengirim serangan. Memang serangannya itu cukup dahsyat, yang kanan menghantam ke arah kepala lawan sedangkan yang kiri mencengkeram ke arah dada. Semua serangan ini dilakukan dengan pengerahan tenaga yang besar sehingga membawa angin pukulan yang cukup kuat. Akan tetapi, pemuda yang kelihatan lemah dan lucu itu sama sekali tidak merasa takut atau gentar, juga tidak nampak gugup sedikitpun juga. Menghadapi serangan seperti itu, dengan tenang saja dia melangkah mundur dan menarik kepalanya ke belakang dan kedua tangan lawan yang menyerangnya itu hanya mampu mendekati saja akan tetapi sama sekali tidak sampai mengenai tubuhnya! Dan diapun masih sempat menengok ke arah nona manis itu sambil tersenyum dan mengedipkan matanya, seolah-olah memberi isyarat, bahkan diapun sempat berkata, "Mari kita semua lihat, siapa yang bosan hidup. Anjing kudisan macam dia ini berani mengganggu seorang siocia terhormat di tempat umum, sungguh dialah sesungguhnya yang bosan hidup!"
Dia masih berkata-kata ketika serangan ke dua datang dengan hebatnya. Sekali ini, karena si tinggi besar sudah dapat menduga bahwa pemuda itu yang kelihatannya lemah sesungguhnya bukan lawan yang boleh dipandang ringan, telah mengirim serangan dengan lebih dahsyat lagi, terdorong oleh rasa marahnya. Dan nona itupun memandang dengan bingung. Thian Sin dan Kim Hong yang sejak tadi duduk tenang sambil memperhatikan, melihat betapa nona itu kelihatan bingung melihat ada orang membantunya. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari pandang mata mereka yang tajam den mereka merasa betapa anehnya sikap nona itu. Seolah-olah nona manis itu tidak menghendaki bantuan pemuda tampan itu.
Sementara itu, serangan ke dua itupun dielakkan dengan amat mudahnya oleh si pemuda yang masih tersenyum"senyum. "Hati"hati, jangan kau membuat rusak prabot rumah makan ini, karena engkau harus menggantinya nanti!" Pemuda itu masih sempat memperingatkan kepada penyerangnya yang menjadi semakin marah. Setelah empat lima kali menyerang tapi gagal dan selalu mengenai tempat kosong, akhirnya si tinggi besar itu mencabut senjatanya dari pinggangnya, yaitu sepotong rantai baja yang tadinya dipergunakan sebagai ikat pinggang atau sabuk. Ranta ini besar den berat, terbuat dari pada baja, seperti rantai yang biasa dipergunakan oleh tukang perahu. Sepasang matanya yang besar melotot den kemerahan, mulutnya cemberut dan hidungnya kembang kempis ketika si tinggi besar itu melangkah maju menghampiri pemuda yang mengganggunya.
"Wah. apakah engkau tukang perahu" Ataukah biasa menjagal kerbau dan rantai itu biasa kaupakai untuk mengikat kerbau yang hendak kausembelih" Hati"hati, rantai itu berat, jangan main"main, bisa-bisa menimpa kepalamu sendiri benjol!" Pemuda itu memperolok den semua orang yang kini sudah mulai percaya bahwa pemuda itu adalah seorang yang memiliki kepandaian lihai tertawa, bahkan ada yang berteriak agar si pemuda menghajar orang kasar yang telah menghina gadis itu. Si gadis itu sendiri tidak lagi duduk menghadapi mejanya, melainkan mundur-mundur mendekati meja Thian Sin dan Kim Hong. Ketika Thian Sin memandang dan gadis itupun kebetulan memandang kepadanya, sepasang mata Thian Sin bertemu dengan sepasang mata yang bening dan jeli, yang mengeluarkan sinar lain dari pada tadi. Kalau tadi sepasang mata di dalam cermin itu seperti menantang dan merangsang, kini sepasang mata itu seperti mengirim suatu permohonan, yaitu agar Thian Sin membantunya. Hal ini terasa benar oleh Thian Sin! Akan tetapi karena penjahat kasar itu sudah dihadapi oleh si pemuda sastrawan dan dia mulai percaya bahwa pemuda itu akan dapat mengatasinya, maka Thian Sin tidak bergerak dari tempat duduknya. Kim Hong juga diam-diam kagum terhadap pemuda sastrawan itu. Tak disangkanya bahwa pemuda sastrawan yang tadi bersajak dengan lucu, selain memiliki watak gagah berani membela wanita yang diganggu orang, juga ternyata memiliki kepandaian yang mengagumkan. Cara pemuda itu mengelak, tanpa gerak silat, seperti gerakan biasa saja, akan tetapi sedikitpun serangan-serangan si tinggi besar tidak pernah mampu menyentuhnya, menjadi bukti bahwa pemuda itu memang memiliki ilmu silat yang sudah mendarah daging dan tinggi sehingga setiap gerakannya sudah mengandung gerakan silat. Juga pemuda itu memiliki keberanian yang besar, terbukti ketika melihat lawannya mengeluarkan senjata rantai baja yang berbahaya itu, dia masih mampu menghadapinya dengan olok-olok, sedikitpun tidak merasa gentar. Padahal, Thian Sin dan Kim Hong dapat melihat bahwa penjahat itu bukan hanya kasar dan bertenaga besar, melainkan juga memiliki kepandaian yang tidak rendah dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Melihat gerakan orang kasar itu, Thian Sin dan Kim Hong dapat mengukur bahwa kepandaian si kasar ini sedikitnya tidak kalah oleh tingkat kepandaian seorang di antara Siang-to Ngo-houw! Jadi, bukan penjahat sembarangan saja, melainkan seorang penjahat yang sudah boleh dianggap sebagai tokoh dalam dunia kaum sesat.
Dugaan Pendekar Sadis dan kekasihnya ini memang tidak keliru. Hai-pa-cu Can Hoa memang sudah terkenal sekali di kota Yen-tai dan sekitarnya. Tentu saja dia tidak dikenal di kota raja dan dia belum cukup besar untuk berani beraksi di kota raja, di mana banyak terdapat penjahat besar dan orang-orang pandai. Maka, sungguh merupakan suatu keanehan kalau sekarang penjahat ini berani beraksi di kota raja, apa lagi mengganggu seorang nona cantik yang sudah dikenal banyak orang di tempat umum. Seolah-olah penjahat dari Yen-tai itu memang sengaja mencari perkara!
"Wirrr... siuuuuttt...!" Rantai baja itu yang panjangnya ada satu setengah meter, menyambar ganas dari atas ke bawah, ke arah kepala si pemuda sastrawan.
"Uhhh... luput!" Pemuda itu pada detik terakhir meloncat ke kiri sehingga rantai itu menyambar tempat kosong. Sebelum rantai itu menyentuh lantai, tangan yang kuat itu menyendalnya dan rantai itu sudah membalik dan kini dari bawah menyambar ke samping, ke arah kedua kaki lawan. Gerakan ini saja menunjukkan bahwa Hai-pa-cu memang sudah mahir sekali memainkan rantainya, dan juga tenaganya amat besar sehingga rantai itu seolah-olah hidup di tangannya.
"Eeiiittt... tidak kena lagi!" Si pemuda mengejek sambil meloncat ke atas, membiarkan rantai itu menyambar lewat di bawah kedua kakinya. Akan tetapi baru saja kakinya turun, rantai itu sudah menyambar lagi, kini dari atas ke bawah lagi, dengan gerakan menyerong ke kiri.
"Heiiit, luput lagi, sayang!" Si pemuda lagi-lagi mengelak dengan cepat bukan main, gerakannya seperti kacau balau, seperti monyet menari saja, akan tetapi dalam pandangan Thian Sin dan Kim Hong, mereka melihat kematangan gerak yang mengagumkan dan mereka menduga bahwa pemuda itu ternyata adalah seorang ahli silat tinggi, tentu seorang pendekar yang menyamar. Maka tentu saja keduanya merasa tertarik sekali.
"Wuuuttt... prakkk..." Sambaran rantai yang luput mengenai tubuh si sastrawan muda untuk ke sekian kalinya, kini menimpa meja. Pecahlah meja itu dan mangkok piringpun pecah berhamburan.
"Wah-wah-wah, apa kukata" Engkau memecahkan meja dan mangkok yang tadi kupakai. Engkau harus menggantinya! Sialan, jangan-jangan aku yang disuruh mengganti. Engkau pantas dihajar!"
Hai-pa-cu menjadi semakin marah dan kini dia sudah menubruk lagi, rantainya menyambar dengan membuat gulungan sinar melengkung lebar dari samping. Si pemuda menyambutnya dengan tangan.
"Plakk!" Dan ujung rantai itu membelit lengan si pemuda. Wajah si tinggi besar itu menyeringai kegirangan dan mengira bahwa dia kini dapat membalas. Ditariknya dengan pengerahan tenaga agar pemuda itu terbawa dan terpelanting. Namun, ternyata tubuh pemuda itu sama sekali tidak bergerak, seolah-olah seorang anak kecil menarik batu karang saja!
Dan pemuda itupun tersenyum-senyum, lalu tiba-tiba kakinya bergerak menendang, mula-mula kaki kiri lalu disusul kaki kanan. Tendangan pertama mengenai pergelangan tangan si tinggi besar yang memegang gagang rantai. Tidak keras, akan tetapi karena ujung sepatunya dengan tepat mengenai jalan darah, Hai-pa-cu mengeluarkan seruan kaget, lengannya seperti lumpuh dan tangannya tidak mampu lagi mempertahankan rantainya yang terampas. Sebelum dia tahu apa yang terjadi, tendangan ke dua datang. Kiranya pemuda itu menggunakan tendangan Soan-hong-twi, yaitu semacam tendangan berantai yang dapat dilakukan terus-menerus secara bergantian oleh kedua kaki.
"Desss...!" Tendangan itu keras sekali dan tepat mengenai dada Hai-pa-cu. Agaknya si pemuda sekali ini mengerahkan tenaga sin-kangnya karena tubuh lawan yang tinggi besar itu terlempar keras ke arah... meja Thian Sin dan Kim Hong!
KALAU tubuh tinggi besar yang terlempar itu terbanting dengan kerasnya ke atas meja, tentu meja itu akan remuk dan akan menimpa masakan-masakan di dalam mangkok yang tentu akan membuat kuah masakan memercik ke muka dan pakaian Thian Sin dan Kim Hong. Mereka tentu saja tidak menghendaki hal ini terjadi, maka keduanya sudah bangkit berdiri dan mengulur lengan. Dengan berbareng tangan mereka menerima tubuh itu dan mendorongnya kembali ke arah si pemuda sastrawan!
Melihat ini, pemuda sasterawan itu berseru kagum. "Bagus sekali!" Memang gerakan Thian Sin dan Kim Hong itu hebat dan hal ini hanya dapat dilihat oleh orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Dapat mendorong kembali tubuh yang sedang melayang itu membutuhkan tenaga sin-kang yang lembut dan kuat. Bukan melawan tenaga luncuran tubuh yang melayang itu, melainkan memutarnya sedemikian rupa sehingga tenaga luncuran itu tidak patah bahkan ditambah oleh tenaga mereka berdua sehingga si tinggi besar itu kini melayang ke arah si sastrawan muda dengan lebih cepat dari pada tadi!
Hal ini memang disengaja oleh Thian Sin dan Kim Hong. Mereka tahu bahwa pemuda itu sudah mengenal mereka, atau setidaknya telah maklum akan kepandaian mereka, maka tadi si pemuda sengaja melontarkan Hai-pa-cu ke arah mereka. Tentu dengan maksud menguji, maka kini merekapun ingin menguji pemuda sastrawan yang aneh itu. Akan tetapi, agaknya pemuda sastrawan itu tidak berani menyambut lontaran yang kuat itu dengan tenaga sin-kang, melainkan dia miringkan tubuhnya dan mencengkeram leher baju si tinggi besar itu, kemudian dengan bentakan nyaring dia langsung melemparkan tubuh itu ke arah pintu rumah makan sambil berseru, "Pergilah!"
Tubuh Hai-pa-cu terbanting keluar rumah makan diiringi sorakan dan ejekan banyak orang. Si tinggi besar yang tadi bersikap sombong dan mengaku sebagai jagoan dari Yen-tai itu tidak berani banyak lagak lagi. Tanpa menoleh diapun merangkak bangkit dan segera melarikan diri dengan terhuyung-huyung meninggalkan tempat itu.
Pemuda sastrawan itu kini menghampiri si gadis manis yang masih berdiri di dekat meja Thian Sin, menjura dengan senyum ramah. "Jangan khawatir, nona. Anjing itu telah kuusir dan persilahkan nona melanjutkan hidangan nona."
Gadis itu yang tadinya sedang memandang kepada Thian Sin, kini menoleh dan terpaksa menghadapi pemuda itu, mengangguk dan tanpa berkata apapun lalu kembali duduk menghadapi mejanya. Tentu saja pemuda sastrawan itu melongo menghadapi sikap dingin ini. Bukankah dia telah menolongnya dan mengusir laki-laki yang kasar tadi" Akan tetapi gadis itu sama sekali tidak memperlihatkan terima kasih, bahkan ramah sedikitpun tidak! Dan pada saat itu, kepala pelayan sudah datang dan menghampirinya, menjura dan berkata dengan suara lirih dan hati-hati.
"Maaf, kongcu. Meja dan prabot makan itu..."
Pemuda itu agaknya masih merasa mendongkol oleh sikap si gadis yang tidak mengenal budi, maka kini dia menoleh memandang meja yang pecah-pecah dan prabot makan yang hancur, lalu mengangkat pundaknya. "Kau melihat sendiri, yang membikin rusak adalah anjing besar tadi. Apakah aku yang harus menggantinya?"
"Tapi... maaf, orang tadi sudah pergi dan dia berkelahi di sini dengan kongcu..." biarpun merasa segan, namun kepala pelayan itu terpaksa menuntut karena diapun takut mempertanggungjawabkan kerusakan dan kerugian itu kepada majikannya. Dan apa yang dilakukannya itu, menuntut kepada si pemuda sastrawan, juga bukan merupakan hal yang tidak benar karena bukankah perkelahian itu terjadi antara si tinggi besar dan si pemuda sastrawan" Dan karena si tinggi besar sudah pergi, siapa lagi kalau bukan pemuda itu yang harus menggantinya" Apa lagi pemuda itu bukan kelihatan sebagai seorang miskin.
"Sudahlab, lopek. Masukkan semua kerugian itu ke dalam perhitunganku. Aku yang akan membayar ganti ruginya." Tiba-tiba gadis itu berkata, tanpa mengangkat muka dan melanjutkan makan seolah-olah tidak terjadi sesuatu.
Pemuda sastrawan itu tersenyum dan mendekati meja nona itu. "Ah, sebenarnya tidak perlu begitu, nona. Biarlah aku saja yang mengganti semua kerugian."
"Biarlah, karena aku yang menjadi gara-gara semua itu, sungguhpun aku sama sekali tidak pernah minta atau mengharapkan bantuan darimu." Jawaban ini sungguh dingin dan anehnya, kembali nona itu melirik ke arah Thian Sin sehingga Kim Hong yang sejak tadi melihat ini, mengerutkan alisnya. Pasti ada apa-apanya sikap gadis ini terhadap Thian Sin, pikirnya. Bagi Kim Hong, tidak heranlah melihat gadis-gadis tertarik kepada kekasihnya yang memang tampan dan ganteng, akan tetapi mengapa gadis itu begitu memperhatikan Thian Sin, padahal, bukankah yang telah membantunya adalah pemuda sastrawan itu dan pemuda itupun sama sekali tidak dapat dibilang buruk, bahkan tampan dan menarik sekali!
Akan tetapi, pemuda itu tidak nampak bingung atau kecewa mendengar ucapan itu. "Aku mengerti, nona. Aku tahu bahwa tanpa bantuanku sekalipun, anjing itu sama sekali tidak akan mampu mengganggumu. Hanya kupikir, tidak sepantasnya kalau nona sendiri yang turun tangan menghajar orang kasar macam dia. Padahal, andaikata tidak ada aku sekalipun, di depan nona, terutama dengan hadirnya dua orang pendekar yang berilmu tinggi seperti kedua orang yang duduk di sebelah kiri itu, penjahat kecil macam Hai-pa-cu itu akan mampu berbuat apakah?" Berkata demikian, pemuda itu menoleh kepada Thian Sin dan Kim Hong, lalu menjura ke arah mereka. Gadis itupun menoleh dan iapun tersenyum manis kepada Thian Sin.
"Akupun tahu dan merasa kagum sekali kepada mereka." katanya.
Mendengar ini, Kim Hong tertawa dan berkata, "Eh, sobat sastrawan yang hebat, setelah mejamu remuk, mengapa engkau tidak makan bersama kami sekalian belajar kenal?"
Thian Sin juga cepat bangkit dan menjura kepada gadis itu. "Agaknya kita semua saling mengagumi, bagaimana kalau kita berempat makan semeja dan minta disediakan hidangan baru yang segar" Sudikah nona...?"
Tidak seperli ketika menghadapi pemuda sastrawan tadi, kini gadis ini tersenyum manis dan berkata, "Terima kasih, akupun ingin sekali berkenalan dengan ji-wi..." Lalu gadis tu memanggil pelayan, menyuruh pelayan membersihkan meja baru dan mereka berempatpun lalu duduk di satu meja.
"Ha-ha, sungguh baik sekali nasibku hari ini. Perkenalkanlah, aku she Be bernama Kok Siang seorang pelancong dari Thian-cin. Sungguh berbahagia sekali hatiku dapat berkenalan dengan tiga orang yang lihai dan amat mengagumkan." Sambil berkata demikian, pemuda itu bangkit dan menjura kepada mereka bertiga, satu demi satu, sikapnya akrab, ramah dan kocak sekali sehingga Kim Hong tersenyum dan merasa semakin suka kepada sastrawan yang berwatak lembut, tidak pemarah dan gembira ini.
"Aku she Bouw, bernama In Bwee." kata gadis itu, lebih ditujukan kepada Thian Sin dari pada kepada dua orang yang lain karena ketika memperkenalkan dirinya, matanya tidak pernah melepaskan wajah Thian Sin.
"Nama yang indah sekali!" kata Bu Kok Siang, sastrawan muda yang usianya kurang lebih dua puluh tiga tahun itu. "Dan aku pernah mendengar bahwa di kota raja ada seorang hartawan besar. Nama Bouw-wan-gwe (Hartawan Bouw) amat terkenal bukan hanya karena kaya raya melainkan juga karena dermawan..."
"Ah, berita dilebih-lebihkan. Bouw-wan-gwe adalah ayahku, dan jangan terlalu memuji..." kata Bouw In Bwee dan sekali ini mau tidak mau dipandangnya Kok Siang sambil tersenyum simpul.
"Aha, kiranya puteri Bouw-wan-gwe! Wah, dibandingkan dengan harta kekayaan orang tuamu, aku tidak lebih hanya seorang jembel saja, siocia!" kata pula Kok Siang.
"Hemm, saudara Bu terlalu merendahkan diri." tegur Kim Hong tersenyum.
"Eh, eh, sampai lupa. Ji-wi (kalian berdua) belum memperkenalkan diri," kata Kok Siang, dan sepasang pendekar itu melihat sinar aneh berkilat dari kedua mata pemuda itu, sinar kecerdasan sehingga mereka dapat menduga bahwa di balik sikap yang tak acuh itu sebenarnya tersembunyi perhatian yang besar.
"Namaku Ceng Thian Sin dan ia adalah Toan Kim Hong." kata Thian Sin sambil lalu, akan tetapi dia memperhatikan kalau-kalau kedua orang itu mengenal namanya. Akan tetapi, gadis itu tidak kelihatan terkejut, dan pemuda itupun hanya mengerutkan alisnya.
"Ceng Thian Sin..." Serasa pernah aku mendengar nama ini, seperti tidak asing bagiku, akan tetapi... baru sekarang aku berjumpa dengan taihiap..."
"Ah, buang saja taihiap itu, engkau sendiripun berkepandaian hebat, saudara Bu."
"Tidak ada sekuku hitam Ceng-taihiap dan juga Toan-lihiap... ah, nama Toan Kim Hong sungguh indah sekali!"
Kim Hong tersenyum dan menatap wajah ganteng itu. "Hi-hik, agaknya saudara Bu Kok Siang ini selain pandai bersajak, pandai ilmu silat, juga mempunyai kepandaian untuk merayu dan memuji-muji nama wanita. Sungguh mempunyai banyak macam kepandaian!"
Ucapan ini sebenarnya dapat dianggap sebagai tamparan, akan tetapi karena Kim Hong mengucapkannya dengan nada sungguh-sungguh, bukan mengejek, dan sambil tersenyum, maka pemuda itupun tertawa gembira.
Mereka makan minum sambil bercakap-cakap gembira. Thian Sin dan Kim Hong mendengar bahwa In Bwee selain menjadi puteri seorang hartawan yang kaya, juga ia sejak kecil mempelajari ilmu silat sehingga mencapai tingkat yang cukup tinggi sehingga andaikata tadi Kok Siang tidak turun tangan, ia sendiripun akan sanggup menghajar penjahat kasar itu. Karena selain sebagai seorang gadis kaya, juga ia merupakan seorang gadis ahli silat, maka tidaklah mengherankan kalau In Bwee suka melakukan perjalanan seorang diri, dan malam itu memasuki restoran tanpa teman lagi, seperti biasa seorang gadis kang-ouw yang bebas. Adapun Bu Kok Siang menurut pengakuannya adalah seorang perantau yang bertempat tinggal di Thian-cin dan kebetulan sedang melancong ke kota raja. Baru tiga hari dia berada di kota raja. Semua nampaknya kebetulan saja, akan tetapi diam-diam pasangan pendekar ini menduga dengan penuh keyakinan bahwa kedua orang muda yang menjadi sahabat baru itu sama sekali bukan secara kebetulan saja bertemu dengan mereka. Bahkan pemunculan Hai-pa-cu tadipun bukan tidak mungkin sudah direncanakan terlebih dahulu. Akan tetapi, tentu saja mereka tidak mau menyinggung hal ini. Makin cerdik keadaan lawan, makin menariklah permainan itu! Mereka sendiri mengaku sebagai dua orang yang melancong kota raja, datang dari utara tanpa memberi tahu tentang hubungan mereka berdua. Mereka hanya mengatakan bahwa mereka adalah teman-teman baik saja.
Mereka lalu berpisah sebagai sahabat-sahabat baru setelah saling berjanji akan mengunjungi Bouw In Bwee yang mengundang mereka. Akan tetapi yang terutama mendapat perhatian dan undangan khusus dari In Bwee adalah Thian Sin.
"Tidak salah lagi mereka berdua itu tentu ada hubungannya dengan urusan ini," demikian kati Thian Sin setelah mereka tiba di kamar hotel mereka.
"Akupun berpendapat demikian. Dan gadis itu she Bouw, sungguh kebetulan sekali sama dengan she dari kepala penjahat besar di kota raja yang pernah kita dengar dari Liong-kut-pian Ban Lok itu."
"Kau maksudkan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng?"
Kim Hong mengangguk. "Sikapnya amat mencurigakan dan... dan... ia selalu memperhatikan engkau, dan kelihatan selalu hendak memikat..."
"Eh, kau cemburu?" Tentu saja Thian Sin sudah dapat mengetahui sejak tadi betapa In Bwee selalu memikatnya dan betapa Kim Hong melihat hal ini dengan cemburu yang disembunyikan.
"Siapa cemburu" Sastrawan itupun ganteng dan menarik sekali!" jawab Kim Hong.
Thian Sin maklum bahwa kekasihnya itu sengaja menyebut nama Kok Siang untuk membalasnya.
"Pemuda itupun patut diperhatikan, dia tidak kalah menarik dan mencurigakan dari pada In Bwee. Karena itu, aku ingin agar engkau mencari dan menyelidikinya."
"Dan engkau sendiri akan menyelidiki In Bwee?"
"Tepat! Kita membagi tugas dan kurasa dari mereka itulah kita akan mengetahui tentang rahasia peta yang hilang."
"Hemm, tugas yang manis dan menyenangkan bagimu, ya?"
"Kim Hong, keadaan kita sama saja."
"Maksudmu?" "Aku bisa tertarik kepada In Bwee yang manis, akan tetapi engkaupun bisa tertarik kepada Kok Siang yang ganteng. Bukan engkau saja yang bisa cemburu, akupun bisa."
"Jadi..." "Nah, kita uji diri dan batin sendiri. Sedikit main-main, apa salahnya" Dan yang terpenting, kita bukan mengejar asmara, melainkan mengejar rahasia peta. Ingat!" Thian Sin tersenyum. Kim Hong membalas pandang mata itu, tersenyum pula. Keduanya mengerti lalu saling rangkul dan keduanya roboh di atas pembaringan sambil tertawa-tawa dan segera mereka tenggelam dalam kemesraan dan pencurahan kasih sayang mereka satu sama lain.
-(file google dokumen published by saiful bahri situbondo seletreng)- ( )-(file google dokumen published by saiful bahri situbondo seletreng)-
Gadis yang sedang membaca kitab seorang diri di pondak mungil tengah taman bunga itu sungguh nampak cantik manis di bawah sinar lampu merah. Dan pondok yang terbuka jendelanya itu dipenuhi oleh keharuman bunga-bunga mawar yang sedang mekar dan juga bunga-bunga lain yang memenuhi taman. Tidak ada seorangpun pelayan menemani Bouw In Bwee. Memang In Bwee ingin bersendirian membaca kitab dan ia mengusir semua pelayan dari pondok di taman bunga keluarganya yang kaya raya. Bulan di luar pondok cemerlang karena memang malam itu menjelang bulan purnama yang akan muncul dua malam lagi. Bulan sudah nampak bundar dan cerah.
Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di dalam pondok itu sudah berdiri seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi besar dan hermuka hitam. Sekali pria itu mengebutkan lengan bajunya, lampu yang terletak agak jauh, terietak di atas meja, padam! Ini membuktikan betapa hebatnya tenaga sin-kang dari pria itu. Keadaan dalam pondok menjadi gelap remang-remang karena kini hanya mendapatkan penerangan sedikit sinar bulan.
Akan tetapi In Bwee tidak nampak terkejut. Memang ia sudah menanti sejak tadi. Ia hanya bangkit berdiri, menoleh ke arah pria itu.
"Paman..." katanya lirih sebagai sambutan.
"In Bwee, bagaimana hasilnya?"
"Aku sudah berhasil menghubungi mereka, paman. Akan tetapi aku harus bertindak hati-hati sekali. Mereka berdua memiliki ilmu yang amat tinggi, dan mengingat bahwa pemuda itu adalah Pendekar Sadis, hatiku sungguh tidak tenang sekali."
"Hemm, sudah kukatakan bahwa engkau tidak perlu mengandalkan ilmu silatmu. Untuk menghadapinya dalam hal itu, serahkan kepadaku kelak. Yang penting, engkau harus dapat memikatnya, menarik perhatiannya sehingga dia dapat menceritakan dengan terus terang tentang kunci emas itu. Bagaimana hasilnya malam kemarin itu?"
"Sudah kuatur dengan bantuan Hai-pa-cu seperti yang paman kehendaki. Akan tetapi sungguh sial, ada yang campur tangan dan sama sekali di luar rencana kita. Muncul seorang sastrawan muda dari Thian-cin bernama Bu Kok Siang yang memiliki kepandaian tinggi juga. Melihat gerakannya ketika dia mengalahkan Hai-pa-cu, tentu kepandaiannya lebih tinggi daripada tingkatku."
"Hemm... jadi engkau gagal karena ulah sastrawan jail itu?"
"Gagal sama sekali sih tidak. Aku berhasil berkenalan dengan mereka, juga dengan sastrawan itu tentu saja, dan aku sudah menjadi kenalan mereka, malah sudah kuundang dia untuk datang ke sini..."
"Bagus, kau atur saja dan jangan engkau main-main, In Bwee. Kalau berhasil, selain engkau akan mewarisi ilmu-ilmu simpananku, juga engkau akan memperoleh sebagian dari harta pusaka Jenghis Khan itu. Akan tetapi kalau engkau menolak dan mengkhianatiku, awas kau, aku tidak akan mengampunimu lagi. Ayah bundamu akan mendengar semuanya!"
"Paman..." Gadis itu terisak.
"Jangan khawatir, aku tidak akan sekejam itu, engkau adalah keponakanku sendiri. Akan tetapi engkau harus mentaati perintahku, hanya sekali ini. Mengerti?"
"Baik, paman." "Nah, aku pergi. Lakukan secepat mungkin dan harus berhasil!" Tiba-tiba orang tinggi besar itu berkelebat dan lenyap dari situ seperti setan saja.
In Bwee menyalakan lampu dengan jari-jari tangan gemetar. Wajahnya masih agak pucat dan jantungnya berdebar tegang. Setelah lampu menyala, barulah hatinya tenang, akan tetapi pikirannya mengenang keadaan dirinya dan tidak dapat ditahan lagi gadis itupun menangis sambil meletakkan kepala di atas kedua lengannya di atas meja. Entah berapa lamanya ia terhanyut dalam kedukaan ini ia tidak ingat lagi.
"Nona In Bwee... kenapa kau menangis...?"
In Bwee terkejut sekali dan sekali tubuhnya bergerak, ia sudah meloncat keluar dari kamar pondok itu dan ia berhadapan dengan seorang pemuda yang tadi berdiri di luar jendela, pemuda yang bersikap tenang dan bukan lain adalah Bu Kok Siang!
"Ah, engkau..." In Bwee berkata dengan hati lega ketika melihat siapa orangnya yang menegurnya tadi. Akan tetapi segera ia teringat akan kedatangan orang pertama tadi, maka sambil berusaha menatap wajah di bawah sinar bulan yang sayu itu, ia bertanya, "Sudah lamakah engkau tiba di sini?"
Kok Siang mengangguk. "Lama juga, aku tadi berlindung di balik rumpun bunga di sana."
"Ahh...! Jadi... jadi kau tadi melihat...?"
Pemuda itu mengangguk. "Ahh...!" In Bwee menjadi terkejut sekali dan menggunakan kedua tangan untuk menutupi mukanya.
Sentuhan tangan pemuda pada pundaknya itu halus sekali, sama sekali tidak mengandung kekurang ajaran dan suara itu tergetar penuh perasaan. "In Bwee... nona... tenangkanlah hatimu. Aku tidak sengaja melihat semua itu tadi, tapi... percayalah aku tidak akan mengatakannya kepada siapapun juga. Aku bersumpah! Dan kau jangan khawatir, aku... aku siap untuk melindungimu terhadap ancaman apapun juga, dengan taruhan nyawaku!"
Gadis itu menurunkan kedua tangannya dan sampai lama ia memandang wajah pemuda itu, memandang dengan penuh keheranan dan keraguan. Kemudian ia berkata. "Mari kita bicara di dalam. Di sini bisa terlihat orang lain."
Tanpa berkata-kata, In Bwee memasuki pondok itu diikuti oleh Kok Siang. Kemudian, setelah menutupkan daun jendela, In Bwee bersikap agak tenang dan mencoba untuk menahan getaran suaranya yang masih terguncang.
"Bu-kongcu... eh, saudara Kok Siang, kau duduklah."
Mereka duduk berhadapan dan kembali di bawah penerangan lampu kini morcka saling pandang dan sinar mata mereka bertaut sampai lama sekali. Gadis itu lalu menunduk dan menarik napas panjang.
"Jawab pertanyaan-pertanyaanku. Pertama, mengapa malam-malam begini engkau datang ke sini, bukan berkunjung sebagai tamu melainkan datang seperti ini, seperti pencuri melalui taman?"
Pertanyaan itu tidak mengandung kemarahan, akan tetapi tatapan mata itu demikian tajam seolah-olah gadis itu hendak menjenguk isi hati pemuda itu. Kok Siang yang biasanya berjenaka itu, sekarang nampak serius.
"Entahlah... aku tidak dapat tidur... siang tadi ingin mengunjungimu akan tetapi selalu teringat akan perbedaan keadaan antara kita, membuat aku ragu-ragu. Tapi malam ini... aku begitu gelisah, ingin sekali bertemu denganmu, atau setidaknya melihatmu, atau paling tidak melihat rumahmu dan... di sinilah aku. Ketika lewat di rumahmu, aku semakin ingin melihatmu, maka dengan lancang aku meloncati tembok dan ke taman ini dan sungguh kebetulan sekali aku melihatmu dan tadi..."
"Cukup. Kini pertanyaan ke dua. Apakah kau tadi mengenal orang itu?"
Pemuda itu menggeleng. "Terlalu gelap untuk dapat melihatnya dan gerakannya demikian cepat, seperti setan menghilang saja. Akan tetapi dia itu pamanmu, bukan?"
Kedua tangan gadis itu mencengkeram lengan pemuda itu, bukan serangan, melainkan cengkeraman karena terkejut. "Kau... kau tahu...?"
Kok Siang menggeleng kepala. "Aku tadi lapat-lapat mendengar engkau menyebut dia paman, dan... aku... aku tidak sengaja mendengar ancamannya yang terakhir tadi, yaitu kata-kata ini : Nah, aku pergi, lakukan secepat mungkin dan harus berhasil."
"Ahhh...!" Entah apa artinya keluhan ini, mungkin juga lega karena pemuda itu tidak mengetahui semuanya, atau juga khawatir. Kok Siang tidak dapat menyelami hati gadis ini. Akan tetapi In Bwee melepaskan cengkeraman tangannya, lalu duduk kembali.
"Sekarang, jawablah sejujurnya, ah, jangan sembunyikan rahasia, jawablah sejujurnya... mengapa engkau bersikap seperti ini kepadaku" Mengapa engkau tadi mengatakan bahwa engkau hendak melindungi aku terhadap ancaman apapun juga, dengan taruhan nyawamu?" Sekali ini, dengan terang-terangan In Bwee memandang wajah pemuda itu, sinar matanya seperti hendak menembus dan mengetahui isi hati pemuda itu.
Berdebar rasa jantung Kok Siang. Beberapa kali dia menelan ludah sebelum menjawab, lalu diapun berkata, suaranya lirih dan tergetar penuh perasaan, "Demi Tuhan, aku bersumpah bahwa apa yang hendak kukatakan ini adalah sejujurnya. Nona... eh, Bwee-moi, terus terang saja, selama hidupku belum pernah aku jatuh cinta. Akan tetapi sejak aku bertemu denganmu di restoran itu, melihat sikapmu menghadapi penjahat, aku sudah jatuh hati kepadamu dan aku sudah mengambil keputusan bahwa engkaulah satu-satunya wanita yang kuingin agar menjadi jodohku. Akan tetapi... mendengar bahwa engkau adalah puteri seorang hartawan besar, timbul keraguanku karena aku tidak ingin dinamakan pengejar harta dan hendak mengawini hartamu. Aku... aku cinta padamu, Bwee-moi. Nah, terus terang saja kukatakan ini, dari pada kusimpan-simpan menjadi racun hatiku. Dan melihat engkau menangis begitu sedih tadi... aku merasa bahwa akulah orangnya yang harus melindungimu dengan taruhan nyawaku."
"Ah, tidak... tidak...!" Dan tiba-tiba In Bwee menutupi mukanya dan menangis lagi!
"Bwee-moi, jangan salah sangka. Aku sungguh tidak menginginkan hartamu. Aku sendiri bukan orang yang terlalu miskin, walaupun tidak sekaya ayahmu. Akan tetapi aku mempunyai cinta dan biarpun baru satu kali kita saling berjumpa, akan tetapi aku sudah yakin bahwa aku cinta padamu dan... aku bersedia menjadi jodohmu walaupun engkau tidak membawa harta secuwilpun."
Akan tetapi ucapan itu bahkan membuat In Bwee menangis semakin sedih.
"Bwee-moi, maafkan aku... ampunkanlah kalau aku menyinggung perasaanmu..."
In Bwee menggeleng kepala. "Biarkan aku menangis... biarkan aku menangis..." dan iapun mengguguk. Kok Siang diam saja hanya memandang dengan hati terharu dan ia tahu bahwa gadis itu bukan tersinggung melainkan berduka dan agaknya baru sekarang memperoleh kesempatan untuk menumpahkan semua kedukaan hatinya melalui air matanya.
Setelah tangisnya mereda, akhirnya gadis itu mengangkat muka dan memandang kepada pemuda itu dengan wajah pucat dan mata merah. Sampai lama ia memandang, kemudian berkata lirih, "Aku percaya... sudah kurasakan kemarin malam akan tetapi, aku... aku sungguh tidak berharga untuk menjadi isterimu atau isteri siapapun juga." Kembali ia menangis.
Kok Siang terkejut dan cepat memegang tangan yang tergetar itu. "Ah, moi-moi... kenapa engkau bicara seperti itu" Engkau seribu kali lebih berharga dari pada aku!"
"Engkau tidak mengerti... ah, baiklah, dengarkan akan kuceritakan padamu. Duduklah yang tenang, dan dengarkan ceritaku. Tiga tahun yang lalu terjadinya malapetaka itu...! Kautahu, sejak kecil aku berlatih silat, dibimbing oleh pamanku yang amat tinggi ilmu silatnya. Aku berlatih dengan beberapa orang murid pamanku. Setelah aku dewasa, tiga tahun yang lalu, aku berusia delapan belas tahun... dan keadaan pamanku itu, biarpun dia lihai... ah, dia bukan orang baik-baik... dia bergaul dengan orang-orang jahat, bahkan menjadi pemimpin mereka... demikian pula murid-muridnya... ah, aku terpikat oleh seorang suhengku... sampai... sampai pada suatu hari, dalam kemabokanku karena kami minum arak, agaknya disengaja oleh suhengku itu, aku... aku menyerahkan diriku padanya..." Gadis itu menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. Kemudian ia mengepal tinjunya dan mengangkat muka. "Nah, sudah kaudengar baik-baik" Apakah engkau masih berani mengaku cinta padaku?"
Pengakuan itu bagaikan halilintar menyambar kepala pemuda itu. Dia menjadi nanar dan mukanya pucat, matanya menjadi sayu dan merenung kosong. Akan tetapi, dia segera menggoyang kepalanya dan juga mengepal tinju.
"Bwee-moi, aku cinta padamu sekarang! Yang kucinta adalah engkau sekarang ini, bukan engkau dahulu-dahulu dan bukan pula keperawananmu! Nah, sudah dengarkah engkau?"
Ucapan yang keras itu mengejutkan In Bwee, juga mengherankannya. "Tapi... tapi..."
"Lanjutkan ceritamu!" "Aku merasa menyesal sekali dengan peristiwa itu dan aku... aku lalu membunuh suhengku itu! Aku tahu bahwa dia sengaja memikat dan melolohku dengan arak keras, dan aku tahu bahwa aku sama sekali tidak cinta padanya dan bahwa diapun hanya mau mempermainkan aku. Paman, yaitu suhu kami, tahu akan hal itu. Dia membantuku, merahasiakan hal itu. Kalau dia memberitahu kepada ayah, tento ayah akan marah sekali dan mungkin aku akan diusir, tidak akan menjadi ahli warisnya karena ayahku tidak suka anak perempuan. Nah, paman membantuku, menyimpan rahasia itu akan tetapi sebaliknya aku harus membantunya."
"Membantunya" Membantu apa?"
"Macam-macam, pokoknya yang mendatangkan uang. Bahkan sering aku disuruh mencuri barang-barang berharga milik ayah dan ibu untuknya, dan aku disuruh pula melakukan kejahatan bersama murid-murid dan anak buahnya..."
"Ahhh!" "Aku terpaksa... aku takut kalau sampai ayah ibu tahu bahwa aku sudah bukan gadis lagi... aku bahkan terus menerus menolak kalau mau dikawinkan... ah, betapa aku telah menderita hebat... bukan hanya karena keadaanku, akan tetapi juga karena penekanan paman..." Gadis itu menangis lagi dan kini tanpa ragu-ragu lagi pemuda itu maju dan memegang tangannya.
"Bwee-moi, pandanglah aku. Nah, percayakah engkau bahwa aku cinta padamu" Mencinta dengan murni dan tulus, bukan hanya mencinta keperawananmu atau harta bendamu?"
Mereka saling pandang dan gadis itu mengangguk. "Kalau engkau percaya dan engkau dapat membalas atau menerima cintaku, dengarkan baik-baik. Engkau telah bertindak keliru. Semestinya, engkau berterus terang kepada ayah bundamu dan menghadapi segala akibatnya. Dengan membiarkan dirimu diperalat oleh orang lain, berarti engkau semakin dalam terperosok. Sekarang, kauceritakanlah kesemuanya kepadaku..."
"Tidak... aku tidak berani... engkau tidak tahu betapa lihainya pamanku." Gadis itu berkata dengan muka pucat dan mata liar memandang ke kanan kiri. "Engkau pergilah, Siang-ko, pergilah dulu... biarkan aku berpikir dengan matang... kedatanganmu terlalu tiba-tiba. Besok... besok atau lusa kita bertemu lagi, di sini... malam-malam begini... sekarang kau pergilah..."
Kok Siang menghela napas, tidak berani memaksa. "Baiklah, akan tetapi ingatlah selalu bahwa di dunia ini ada Bu Kok Siang yang akan melindungimu dengan taruhan nyawa, yang akan tetap mencintamu dan tidak memperdulikan riwayatmu yang sudah lalu. Nah, selamat tinggal, sampai jumpa besok atau lusa malam."
"Baik, Siang-ko... kalau engkan melihat lampu merah di pondok ini, jendelanya terbuka, berarti aku menantimu di sini..."
Pemuda itu mengangguk, menggenggam kedua tangan itu, kemudian mcloncat keluar dan lenyap dalam kegelapan malam. In Bwee memandang ke arah lenyapnya pemuda itu dengan mata sayu, kemudian termenung-menung dan akhirnya iapun menangis lagi sendirian, menahan isaknya agar tidak menimbulkan suara. Peristiwa yang baru saja terjadi itu terlalu hebat baginya. Dan ia sama sekali tidak tahu bahwa ada bayangan yang mendekatinya, kemudian terdengar suara orang di balik jendela.
"Hemm, engkau diam-diam telah mempunyai pacar, ya" Baik, selesaikan tugasmu sampai berhasil dan engkau akan menikah dengan pacarmu itu, aku yang akan membujuk orang tuamu agar setuju. Akan tetapi kalau engkau mengkhianatiku, pacarmu itu akan kubunuh dan rahasiamu akan kuumumkan tidak hanya kepada ayah bundamu, akan tetapi kepada semua orang!"
"Paman...!" In Bwee berseru kaget sekali akan tetapi bayangan itu telah berkelebat lenyap dan In Bwee hanya dapat merenung dengan muka pucat. Kemunculan guru atau pamannya yang lihai itu seketika membuyarkan harapan dan khayalnya yang timbul bersama munculnya pemuda sastrawan itu. Sedikit harapan itu bagaikan awan tipis tersapu badai.
-(file google dokumen published by saiful bahri situbondo seletreng)- ( )-(file google dokumen published by saiful bahri situbondo seletreng)-
"Bu-kongcu...! Tunggu sebentar...!"
Bu Kok Siang yang sedang berjalan seorang diri di pagi hari itu, tentu saja mendengar teriakan suara wanita ini dan diapun cepat berhenti melangkah dan menoleh. Wajahnya segera berseri dan bibirnya tersenyum ketika dia melihat siapakah wanita yang memanggilnya itu. Kiranya yang memanggiinya itu adalah wanita cantik yang telah dikenalnya di dalam rumah makan, yang bernama Toan Kim Hong!
Setelah wanita itu tiba di depannya, Kok Siang cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil berkata, "Ah, kukira siapa, tidak tahunya nona Toan. Dan harap jangan menyebutku kongcu (tuan muda), membuat aku menjadi malu saja."
"Selamat pagi, Bu... twako! Biar kusebut twako, biarpun mungkin aku lebih tua. Engkau tahu, wanita selalu ingin dianggap lebih muda." kata Kim Hong tersenyum.
Kok Siang tertawa. "Dan memang nampaknya engkau jauh lebih muda dari pada aku, nona. Sepagi ini engkau hendak ke manakah" Dan mengapa nona sendirian saja" Mana saudara Ceng Thian Sin yang gagah perkasa itu?"
"Dia thiggal di kamarnya di hotel. Aku memang sengaja keluar hendak mencarimu."
Pemuda itu mengangkat kedua alisnya dan memandang heran. "Lihiap... eh, nona mencari aku" Ya nasib mujur! Sungguh beruntung sekali. Ada keperluan apakah gerangan...?"
Kim Hong tertawa, manis sekali. "Kita sudah saling berkenalan, apakah kalau tidak ada urusan penting tidak boleh mencari dan mengunjungi" Tadi aku lewat di hotelmu dan engkau tidak ada, lalu kulihat engkau berjalan sendirian, seperti orang tergesa-gesa, maka kupanggil. Apakah aku mengganggumu" Kalau begitu biarlah aku pulang lagi saja."
"Eh, eh... nanti dulu. Tentu saja aku girang dapat bertemu denganmu, nona. Akupun belum sempat mengunjungi rumah penginapan kalian, dan kebetulan berjumpa di sini. Nah, ke mana kita pergi sekarang untuk merayakan pertemuan ini?"
"Aku ingin bercakap-cakap denganmu, Bu-twako."
"Kalau begitu, mari kita pergi ke taman umum di tepi sungai, di sana indah dan sepi. Tidak enak bercakap-cakap di tepi jalan seperti ini."
Mereka lalu berjalan bersama menuju ke taman yang luas itu. Kota raja terkenal dengan taman-tamannya yang indah, akan tetapi hanya beberapa buah saja yang terbuka untuk umum, di antaranya taman di tepi sungai yang dikunjungi oleh dua orang muda itu Banyak mata yang bertemu dengan mereka di jalan memandang pasangan ini dengan kagum karena memang pasangan ini cocok sekali. Yang wanita cantik jelita, yang pria juga tampan dan ganteng. Dan keduanya tidak merasa canggung berjalan bersama, seolah-olah memang mereka telah menjadi sababat baik sejak dahulu. Di sepanjang perjalanan menuju ke taman bunga itu, Kim Hong mendapat kenyataan bahwa pemuda itu sudah hafal akan keadaan kota raja dan menunjukkan tempat-tempat penting kepadanya, seperti seorang penunjuk jalan yang pandai dan ramah.
Pagi itu di taman tepi sungai masih sepi. Hanya ada beberapa orang saja yang mengunjungi dan berjalan-jalan di dalam taman, dan mereka itu tentulah pendatang-pendatang dari luar kota. Ada pula yang pesiar naik perahu di tepi sungai. Kim Hong dan Kok Sang memilih tempat duduk di tepi kolam ikan emas, di atas sebuah bangku panjang di mana mereka duduk berdampingan.
"Nah, sekarang kita berada di tempat sepi, berdua saja. Apakah yang hendak kaukatakan kepadaku, nona?"
"Bu-twako, bukan aku yang hendak mengatakan sesuatu, akan tetapi engkaulah yang sebaiknya mengatakan dengan terus terang kepadaku tentang dirimu..." kata Kim Hong sambil menatap wajah tampan itu dengan tajam dan penuh selidik.
Pemuda itu mengerutkan alisnya. "Maksudmu?"
Kim Hong memutar tubuhnya, sepenuhnya menghadapi pemuda itu dan pandang matanya mencorong, mengejutkan hati pemuda itu. "Bu-twako, kiranya tidak perlu lagi engkau bersandiwara. Kemunculanmu di restoran itu tentu bukan hal yang kebetulan saja. Engkau membawa suatu rahasia dan engkau tentu telah mengenal kami, setidaknya engkau mengetahui sesuatu tentang kami. Benarkah itu?"
Hening sejenak. Pemuda itu masih mengerutkan alisnya dan kini pandang matanya juga serius, berkilat dan penuh semangat, tidak lagi disembunyikan di balik kejenakaan dan kegembiraannya.


Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana engkau dapat menduga seperti itu, nona" Adakah sesuatu yang mencurigakan dalam tindak tandukku selama ini?" Dia memancing karena masih meragukan ucapan Kim Hong tadi yang dianggapnya hanya duga-dugaan belaka.
Kim Hong tersenyum, senyum yang mengandung ejekan. "Kaukira kami begitu bodoh" Engkau seorang yang memiliki ilmu silat yang tinggi, akan tetapi engkau bersikap bodoh dan berkelakar. Kemudian, dengan sengaja engkau melemparkan Hai-pa-cu Can Hoa yang kaurobohkan di restoran itu kepada kami. Ya, kami tahu bahwa dengan sengaja engkau melemparnya kepada kami, dan tentu saja ini berarti bahwa engkau ingin menguji kami dan berarti pula bahwa engkau telah tahu atau menduga sesuatu tentang kami. Nah, kuminta engkau bicara blak-blakan saja, kecuali kalau engkau hendak menganggap kami sebagai musuh."
Sejenak pemuda itu memandang kagum, lalu menarik napas panjang. "Aihh, sungguh aku telah berlaku ceroboh sekali, tidak tahu menghadapi gunung Thai-san yang menjulang tinggi, tidak tahu bahwa nona amatlah cerdas dan pandai. Tentu sikapku itu telah memancing tertawa dalam hati kalian. Maafkanlah. Terus terang saja aku mengetahui ketika kalian menghadapi Siang-to Ngo-houw, dan biarpun aku tidak mendengar sendiri percakapan antara kalian dengan mereka, akan tetapi aku dapat menduga mengapa kalian dicari oleh mereka itu. Tentu karena urusan... peta rahasia dan kunci emas, bukan?"
Kim Hong tidak terkejut, melainkan tersenyum. Memang ia dan Thian Sin sudah menduga bahwa pemuda ini tentu ada kaitannya dengan urusan itu. "Bagus, kiranya engkaupun tersangkut. Tidak tahu engkau berdiri di pihak manakah?" katanya sambil melirik tajam.
Kok Siang menggelengkan kepala. "Tidak berdiri di pihak manapun, melainkan di pihakku sendiri. Aku hendak menyelidiki siapa yang telah membunuh pamanku."
"Pamanmu?" "Ya, Louw siucai adalah pamanku."
"Ahhh...!" "Engkau tentu pernah mendengarnya."
Kim Hong mengangguk. "Sastrawan yang telah membantu keluarga Ciang menterjemahitan peta kuno itu?"
"Benar, dia itu pamanku. Paman membantu mereka menterjemahkan peta kuno dan beberapa hari kemudian dia terbunuh. Tentu pembunuhnya menghendaki agar dia tidak membocorkan rahasia tentang peta itu."
"Hemm, mungkin saja Su Tong Hak, paman Ciang Kim Su yang kurasa bukan orang baik-baik itu." kata Kim Hong.
"Akupun tadinya menduga demikian. Akan tetapi aku ingin tahu secara pasti agar tidak salah tangan. Aku harus membalas kematian pamanku itu. Dia amat mencintaku dan dia seperti ayahku sendiri. Aku sudah tidak mempunyai ayah bunda dan paman Louw itu kakak dari mendiang ibuku, merupakan pengganti orang tua bagiku. Dan dia dibunuh orang tanpa dosa!" Pemuda itu mengerutkan alis dan mengepal tinju.
Kim Hong merasa kasihan. "Jangan khawatir, Bu-twako, aku... kami akan membantumu. Kamipun sedang menyelidiki mereka, yaitu mereka yang merampas peta kuno itu. Kami adalah utusan dari petani Ciang Gun atau mendiang petani itu karena diapun dibunuh orang. Kami sedang menyelidiki perkara ini. Menurut keterangan Su Tong Hak, Ciang Kim Su juga lenyap. Kami merasa curiga. Tentu ada permainan kotor dalam urusan ini dan diapun bilang bahwa peta yang mereka bagi dua itu, yang berada di tangannya, juga dicuri orang. Kami sedang menyelidiki, di tangan siapa gerangan peta itu."
"Hemm, dan kunci emas itu berada di tangan kalian, bukan" Aku sudah tahu bahwa rahasia itu meliputi peta dan kunci emas."
"Ya, dan kami hendak menggunakan kunci emas itu untuk menjadi umpan memancing datangnya ikan yang menguasai peta."
"Dan lihat, kurasa ada ikan-ikan yang datang!" tiba-tiba pemuda itu berkata sambil melirik ke arah kiri. Kim Hong juga melirik ke kiri dan memang benar ada sekelompok orang, sepuluh orang jumlahnya, mendatangi taman itu dan mereka itu nampaknya bukan seperti pelancong biasa.
"Hemm, agaknya benar, mereka tentu anak buah yang dikirim ke sini." kata Kim Hong.
"Jangan khawatir, aku akan membereskan mereka kalau mereka berani mengganggumu!" Kok Siang berkata sambil bangkit berdiri. Akan tetapi Kim Hong memegang lengannya dan menariknya duduk kembali.
"Jangan, Bu-toako. Kalau mereka bergerak, tentu mereka itu bermaksud untuk menyerangku, menangkap atau merampas kunci. Mereka datang untuk aku, sama sekali tidak ada hubungannya dengan engkau. Kau duduk sajalah dan biar aku menghajar mereka."
Ketika sepuluh orang itu tiba di situ, Kim Hong masih saling berpegang tangan dengan Kok Siang dengan maksud mencegah pemuda ini menghadapi orang-orang yang kelihatan kasar dan kuat-kuat itu. Seorang di antara mereka, yang rambutnya riap-riapan dan matanya agak juling, yang nampaknya sebagai pemimpin sepuluh orang itu, tertawa. Perutnya yang gendut itu bergoyang-goyang.
"Ha-ha-ha-ha, kiranya si manis ini mempunyai pacar di mana-mana, sering berganti pacar! Kawan-kawan, sekali ini kita tidak boleh gagal. Tangkap si manis ini dan bunuh saja pacar barunya!"
Kim Hong adalah seorang wanita yang pernah menyamar sebagai Lam-sin selama beberapa tahun, hal ini berarti bahwa ia pernah berkecimpung di dunia sesat, kaum penjahat, maka ucapan itu sesungguhnya tidak aneh atau asing baginya. Ia sudah terbiasa mendengar kata-kata kasar. Ucapan kasar tidak akan memarahkannya, akan tetapi tuduhan bahwa ia berganti-ganti pacar, bahwa Kok Siang adalah pacarnya yang baru, membuat kedua pipinya berobah merah. Hanya biasanya, Kim Hong tidak pernah memperlihatkan perasaan hatinya. Tidak ada seorangpun di dunia ini, kecuali Thian Sin tentunya, yang dapat menduga isi hatinya. Maka, biarpun pada saat itu ia sedang marah, namun wajahnya tetap berseri dan senyumnya bertambah manis.
Sepuluh orang itu telah mengepung bangku di mana Kim Hong dan Kok Siang tadi duduk dan dari gerakan kaki mereka tahulah Kim Hong bahwa biarpun orang-orang ini nampak kasar, namun mereka adalah ahli-ahli silat pilihan! Terutama sekali si mata juling itu ternyata memiliki kepandaian yang tinggi, dengan gerakan yang begitu ringan tanda bahwa gin-kangnya sudah mencapai tingkat yang tinggi. Maka diam-diam iapun terkejut sekali. Melihat gerakan si mata juling ini, agaknya akan merupakan lawan yang berat dan amat berbahaya bagi Kok Siang, maka iapun mengambil keputusan untuk menandingi sendiri pemimpin gerombolan ini. Maka, sebelum gerombolan itu menyerbu dan membahayakan Kok Siang, ia sudah melangkah maju mendekati pemimpin gerombolan itu sambil menudingkan telunjuknya ke arah hidung orang.
"Eh, mata juling gendut yang bermulut busuk! Kalau engkau dan anjing-anjingmu ini mampu menangkapku, biar aku berjanji akan memberi ciuman sepuluh kali kepadamu!"
Mendengar ucapan ini, si mata juling dan teman-temannya tertawa. "Ha-ha-ha, nona manis, sungguhkah itu" Memberi ciuman dengan suka rela" Ha-ha-ha!"
"Tentu saja, aku tidak pernah berbohong!" jawab Kim Hong dan mendengar ini, Kok Siang mengerutkan alisnya. Kenapa wanita cantik dan gagah perkasa ini melayani segala macam orang kasar seperti mereka"
Akal Kim Hong ini berhasil. Tadinya, kepala gerombolan yang sudah mendengar betapa pemuda sastrawan itu pernah mengalahkan Hai-pa-cu, bermaksud untuk lebih dulu mengeroyok dan membunuh si pemuda, baru kemudian, menawan gadis itu seperti yang telah diperintahkan kepadanya. Akan tetapi, mendengar ucapan Kim Hong dan melihat betapa manisnya gadis itu tersenyum kepadanya, dengan janji yang demikiain mesra, diapun tak mampu menahan gejolak hatinya lagi. Bagaimanapun juga, dia percaya kepada kepandaiannya sendiri dan kepada kekuaten anak buahnya yang sebenarnya adalah beberapa orang sutenya dan murid-muridnya.
"Ha-ha-ha, bagas sekali! Nona manis, engkau agaknya belum pernah mendengar nama Tiat-ciang Lui Cai Ko, maka berani menantangku. Bersiaplah untuk menciumku sepuasnya, ha-ha-ha!" Setelah tertawa bergelak, dia memberi isyarat kepada dua orang sutenya untuk membantunya, sedangkan kepada tujuh orang muridnya dia berkata tegas, "Bunuh kutu buku itu!"
Tujuh orang kasar itu adalah murid-murid pilihan dari Tiat-ciang Lui Cai Ko. Mendengar perintah suhu mereka, tujuh orang ini lalu mencabut pedang masing-masing dan dengan gerakan gagah mereka melintangkan pedang di depan dada, lalu memasang kuda-kuda yang nampak kokoh kuat. Kuda-kuda mereka bermacam-macam, ada yang memasang kuda-kuda dengan kedudukan kaki Jao-pian-se, Tu-li-se, Kung-se biasa atau Su-se, dengan kedudukan pedang yang bermacam-macam pula. Ada yang dilintangkan di depan dada, ada yang diangkat ke atas kepala, ada yang menuding ke bumi dan ada yang menjulang ke langit.
Akan tetapi, rata-rata mereka itu memiliki kuda-kuda yang indah dan kuat, tanda bahwa mereka telah memiliki ilmu pedang yang bukan sembarangan. Melihat ini, diam-diam Kok Siang terkejut juga. Dia pernah mendengar nama Tiat-ciang(Tangan Besi) Lui Cai Ko itu, seorang begal atau perampok tunggal yang pernah membuat nama besar di sebelah utara kota raja. Maka dia amat mengkhawatirkan keadaan Kim Hong dan karena dia dapat melihat dari gerakan para pengepungnya yang tujuh orang itu bahwa mereka adalah orang-orang yang merupakan lawan tangguh, maka Kok Siang tidak berani bersikap ceroboh. Diapun cepat mengeluarkan sepasang senjatanya, yaitu Im-yang Siang-pit (Sepasang Tangkai Pena Im Yang), yang kiri terbuat dari pada perak dan yang kanan terbuat dari pada emas. Dan sepasang pit ini memang benar-benar dapat dipergunakan untuk menulis di samping untuk senjata.
Melihat betapa pemuda itu mengeluarkan senjata sepasang pit itu, tiba-tiba seorang di antara para pengepung itu berseru, "Kiranya engkaua dalah Im-yang Siang-pit Bu Siucai!" Memang sebenarnya, nama pemuda sastrawan itu banyak dikenal di dunia kang-ouw. Yang membuat dia terkenal, pertama adalah gurunya dan ke dua adalah sepasang senjatanya itulah. Gurunya adalah datuk kaum sesat di utara, yaitu Pak-san-kui, biarpun pemuda ini tidak menerima datuk itu sebagai guru langsung. Pak-san-kui tertarik melihat bakat pemuda ini dan menurunkan beberapa macam ilmunya yang tinggi, sedangkan Bu Kok Siang juga hanya tertarik akan ilmu silat yang tinggi dari datuk itu, akan tetapi dia tidak suka melihat cara hidup gurunya sehingga setelah menerima pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi, terutama ilmu Im-yang Siang-pit itu, diapun melepaskan diri dan tidak pernah mau berdekatan atau mencampuri urusan suhunya yang terkenal sebagai seorang datuk sesat. Dan di dunia kang-ouw, pemuda yang telah mempunyai titel siucai ini, yang menerima ilmu silat tinggi dari seorang datuk sesat, menggunakan senjatanya untuk menentang kejahatan itu sendiri. Maka nama julukannya adalah sepasang senjatanya itu yang lebih dikenal orang dari pada wajahnya. Kalau dia tidak mengeluarkan senjatanya itu, jarang ada yang mengenal mukanya.
"Hemm, bagus kalian mengenal senjataku. Lui Cat Ko adalah seorang perampok tunggal yang jahat, maka anak buahnya tentulah bukan manusia baik-baik!" kata Kok Siang sambil memasang kuda-kuda dan mengangkat pit emas di atas kepala, menunjuk ke langit, sedangkan pit perak dipegang ke bawah, menuding bumi. Inilah kuda-kuda yang dinamakannya Seng-thian Jip-te (Naik ke langit, Masuk ke tanah), pembukaan dari pada ilmu silat Im-yang Siang-pit.
Tujuh orang murid utama dari Tiat-ciang Lui Cai Ko itu menjadi marah mendengar ucapan ini dan dengan dahsyat merekapun mulai menerjang dengan pedang mereka. Setiap gerakan mereka cukup dahsyat karena memang Tiat-ciang Lui Cat Ko, selain terkenal memiliki sepasang tangan yang kuat dan keras seperti besi sehingga dia berjuluk Tiat-ciang, juga merupakan seorang ahli silat pedang yang tangguh.
Melihat datangnya serangan yang bertubi-tubi itu, yang membawa kilatan sinar pedang yang bergulung-gulung dan menyambar-nyambar ganas, Kok Siang cepat menggerakkan tubuhnya dan sekarang pemuda sastrawan ini baru memperlihatkan kepandaiannya. Gerakannya cepat bukan main dan ternyata sepasang senjatanya itu mengandung tenaga yang berlawanan. Sepasang senjatanya diputar melindungi tubuhnya dan setiap kali pedang lawan bertemu dengan kim-pit (Pit emas) maka terdengar suara nyaring dan pedang itu tentu terpental keras, sebaliknya kalau bertemu dengan ghi-pit (Pit perak) tidak terdengar suara, akan tetapi tenaga si pemegang pedang seperti lenyap, seolah-olah pedang mereka bertemu benda lunak atau seperti membacok atau menusuk air saja. Selain melindungi tubuhnya, juga sepasang pit itu mengirim serangan balasan berupa totokan-totokan ke arah jalan darah yang tidak kalah dahsyatnya, membuat tujuh orang itu berputaran saling melindungi teman sendiri. Terjadilah pertandingan keroyokan yang amat seru, namun sedikit juga pemuda sastrawan yang dikeroyok tujuh itu tidak nampak kewalahan!
Di lain pihak, Kim Hong yang dihadapi oleh Tiat-ciang Lui Cai Ko dan dua orang sutenya itu, menarik napas lega. Kalau si juling ini yang diduganya paling lihai telah menghadapinya dan tidak ikut mengeroyok, ia tidak begitu mengkhawatirkan keadaan pemuda itu. Apa lagi setelah ia melihat cara Kok Siang memutar sepasang pitnya, membuat ia merasa yakin bahwa pemuda itu akan dapat mengatasi para pengeroyoknya, walaupun tujuh orang pengeroyok itu tidak boleh dipandang ringan. Setelah ia tidak lagi mengkhawatirkan pemuda keponakan mendiang Louw-siucai itu, Kim Hong dengan tersenyum tenang menghadapi tiga orang calon lawannya. Tidak seperti tujuh orang yang bertugas membunuh Kok Siang, si juling bersama dua orang sutenya itu tidak mengeluarkan senjata. Mereka bertugas untuk menawan nona ini hidup-hidup, dan hal inipun diketahui baik-baik oleh Kim Hong. Para penjahat itu tidak membutuhkan dirinya, melainkan kunci emas, maka tentu saja mereka tidak akan membunuhnya sebelum mereka menemukan kunci emas itu!
Tiat-ciang Lui Cai Ko juga sudah mondengar bahwa nona ini pandai ilmu silat dan biarpun dia tidak merasa takut, akan tetapi diapun tidak berani memandang rendah. Maka diapun lalu menubruk ke depan sambil menampar dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya sudah mencengkeram ke arah pundak nona itu. Tamparan tangan kirinya itu antep sekali dan agaknya jagoan ini memang telah mengerahkan tenaga dan mempergunakan tenaga sakti Tiat-ciang-kang (Tenaga Tangan Besi) untuk menggertak. Telapak tangan orang she Lui ini nampak hitam kehijauan. Belasan tahun dia melatih kedua tangannya itu, setiap hari menggunakan telapak tangan untuk memukuli bubuk besi dan pada malam harinya merendam kedua tangan itu ke dalam adonan bubuk besi dengan racun yang membuat tangan itu selain kuat, juga beracun dan amat berbahaya bagi lawan. Demikian kuat dan kerasnya telapak tangan Lui Cai Ko ini sehingga kedua telapak tangannya tidak hanya mampu memukul hancur batu karang seperti sepasang palu besi yang kuat, akan tetapi juga mampu menangkis senjata tajam tanpa khawatir terluka! Itulah sebabnya maka dia terkenal dengan julukan Tiat-ciang (Si Tangan Besi).
"Wuuuttt...! Plakk!" Kim Hong mengelak dengan mudah dan membiarkan tamparan itu lewat, kemudian ketika cengkeraman tangan kanan itu sudah mendekati pundaknya, tangan kirinya menyambar dari bawah, bukan menangkis melainkan menampar dengan tangannya ke arah sambungan siku tangan kanan itu. Biarpun tamparan itu tidak dilakukan dengan sepenuh tenaga, namun sambungan siku bagian bawah yang seperti hanya diusap itu, tiba-tiba terasa nyeri dan lengan kanan itu seperti menjadi lumpuh seketika! Tentu saja Lui Cai Ko tidak dapat melanjutkan cengkeramannya, bahkan mengeluarkan seruan kaget dan cepat melompat ke belakang dengan mata terbelalak. Tak disangkanya bahwa wanita itu sedemikian hebatnya, dalam segebrakan saja membuat lengan kanannya terasa lumpuh! Hanya orang yang berilmu sangat tinggi sajalah yang begitu tenangnya menghadapi cengkeraman mautnya, bukan mengelak atau menangkis untuk menghadapinya, melainkan mendahului menyerang siku sehingga lengan itu menjadi lumpuh dan tentu saja serangan cengkeraman itupun gagal.
Kim Hong hanya berdiri tenang sambil tersenyum. Ia maklum akan kelihaian Tiat-ciang Lui Cai Ko ini, akan tetapi tentu saja ia tidak merasa gentar, yakin benar akan kelebihannya dibandingkan dengan tiga orang pengeroyoknya. Dua orang sute dari Si Tangan Besi segera menyerang dari kanan kiri, bukan menyerang untuk merobohkan, melainkan untuk membuat nona itu tidak berdaya dan dapat ditawan. Merekapun, seperti suheng mereka, mendapat perintah untuk menawan si nona cantik ini. Namun, Kim Hong dapat menghindarkan diri dari tubrukan kanan kiri itu dengan langkah-langkah ajaibnya. Dengan seenaknya saja kedua kakinya bergeser, melangkah mundur maju dan tubrukan-tubrukan mereka itu semua hanya mengenai tempat kosong saja walaupun tadinya nampak seolah-olah akan berhasil.
Kok Siang juga mengamuk dan sepasang pit-nya menyambar-nyambar seperti sepasang naga. Lewat tiga puluh jurus saja, dua orang di antara para pengeroyoknya telah roboh tertotok sehingga lima orang sisa pengeroyoknya menjadi agak gentar. Di lain pihak, Kim Hong mempermainkan tiga orang pengeroyoknya dengan langkah-langkah ajaibnya yang membuat Tiat-ciang Lui Cai Ko dan dua orang sutenya kewalahan dan juga semakin penasaran. Mereka menubruk dan mencoba untuk menangkap, akan tetapi jangankan orangnya, ujung baju gadis itupun tak pernah dapat tersentuh oleh tangan mereka. Hal ini membuat mereka menjadi penasaran dan marah sehingga kini mereka tidak hanya menubruk dan mencoba untuk menangkap saja, melainkan juga mulai menyerang dengan sungguh-sungguh untuk morobohkan nona yang amat lincah itu. Betapapun juga, makin ganas mereka bergerak, makin cepat pula nona itu mengelak, sehingga pandang mata mereka seperti kabur dan kadang-kadang mereka tidak tahu ke mana nona itu mengelak atau bergerak.
"Duk-duk-duk-dukk...!" Empat kali Lui Cai Ko terpaksa menangkis sambil mundur terdesak hebat. Padahal, sejak menampar sikunya tadi, baru sekaranglah Kim Hong membalas scrangan tiga orang lawannya yang bertubi-tubi sampai tigapuluh jurus itu! Dan sekali membalas, Kim Hong telah mendesak Si Tangan Besi dengan empat kali tamparan berturut-turut. Setiap tamparan mengandung tenaga sin-kang yang membuat tubuh si gendut yang rambutnya riap-riapan itu terhuyung-huyung. Melihat ini dua orang sutenya cepat menubruk dari kanan kiri membantu, akan tetapi Kim Hong menanti sampai keduanya menyerang dekat, lalu tiba-tiba tubuhnya meloncat ke atas dan kedua kakinya terpentang ke kanan kiri. Itulah tendangan yang istimewa sekali, yang sekaligus menghantam dada kedua orang yang menyerang dari kanan kiri itu, mendahului serangan mereka dengan tangan yang belum sampai!
"Dess! Desss!" Tubuh dua orang itu terlempar ke kanan kiri dan mereka menyeringai karena dada mereka terasa sesak dan napas mereka seperti berhenti. Sambil memegangi dada mereka bangkit dan mata mereka menjadi merah. Juga Lui Cai Ko marah sekali. Tak disangkanya bahwa dia, jagoan yang terkenal, dibantu oleh dua orang sutenya, bukan hanya tidak mampu menawan gadis ini, bahkan mereka bertiga sudah mengalami malu karena terpukul dan tertendang oleh gadis itu. Akan tetapi, ada kekuasaan yang lebih tinggi dari pada Lui Cai Ko yang membuat dia masih ingat akan perintah yang diberikan kepadanya. Dia tidak berani melanggar perintah itu hanya karena perasaan pribadi yang marah dan penasaran. Dia tidak berani mempergunakan senjata untuk menyerang, tidak berani melukai apa lagi membunuh wanita ini karena hal itu berarti melawan perintah dan dia merasa ngeri untuk mempertanggungjawabkan hal itu. Maka, biarpun dia merasa marah dan mendongkol sekali, terpaksa dia lalu membuka mulut dan terdengarlah suara suitan panjang dan nyaring keluar dari mulut si gendut ini. Kim Hong terkejut dan menduga-duga apa maksud tanda rahasia itu. Memanggil kawan" Dia tentu merasa kewalahan dan memanggil kawannya, pikir Kim Hong. Mungkinkah sekarang ia memperoleh kesempatan untuk berhadapan dengan kepala penjahat yang mendalangi ini semua dan yang menguasai peta" Jantungnya berdebar tegang dan iapun menanti saja. Ia mengerling ke arah Kok Siang dan melihat bahwa lawan pemuda itu kini tinggal empat orang lagi karena yang tiga telah roboh oleh pena sastrawan yang lihai itu, dan empat orang itupun kini mundur sambil mengepung setelah mendengar guru mereka mengeluarkan suara bersuit tadi.
Tak lama kemudlan muncullah banyak orang mengepung tempat itu dan Kim Hong benar-benar merasa heran dan terkejut melihat bahwa yang mengepung tempat itu adalah pasukan pemerintah! Yang memimpin pasukan itu adalah seorang perwira yang berpakaian indah dan gagah, berusia empatpuluh lima tahun dan bertubuh tinggi besar. Cepat Kim Hong meloncat mendekati Kok Siang yang juga memandang dengan heran.
"Berhenti semua dan lepas senjata!" Bentak perwira itu dengan suara yang agaknya sudah terbiasa mengeluarkan aba-aba atau perintah yang harus ditaati. "Yang berani bergerak dianggap pemberontak dan akan dihukum! Kalian telah menimbulkan perkelahian dan kekacauan di tempat umum, semua harus menyerah dan ikut bersama kami ke kantor untuk dibawa ke pengadilan!"
Kim Hong dan Kok Siang saling pandang, tiba-tiba Kok Siang berbisik halus sekali sehingga hanya gadis itulah yang mungkin dapat mendengarnya, "Aku tahu di mana peta yang aseli."
Kim Hong terkejut. Otaknya bekerja dengan cepat. Ia tidak meragukan kebenaran omongan pemuda ini dan tentu karena melihat bahaya maka pemuda sastrawan ini membuka rahasia itu, atau karena sudah pereaya penuh kepadanya. Bagaimana pemuda ini dapat mengetahui di mana adanya peta yang aseli" Kalau begitu, yang kini menguasai peta tentu hanya menguasai peta palsu! Bagaimana mungkin terjadi demikian" Bukankah Ciang Kim Su dan pamannya, Su Tong Hak, telah membagi dua peta itu dan peta yang dibawa Ciang Kim Su itu adalah peta yang aseli" Apa yang sesungguhnya telah terjadi" Pikirannya yang cerdas segera mencari sebab-sebab dan dugaan-dugaan. Tentu ada hubungannya dengan mendiang Louw siucai! Di antara mereka yang pertama kali mengetahui akan rahasia peta itu, adalah Liuw Siucai. Bahkan dialah orang pertama yang sudah dapat mengetahui akan isi peta sesungguhnya, karena dialah yang menterjemahkannya! Akan tetapi, bagaimana siucai itu dapat menguasai peta aselinya" Apa yang telah terjadi" Ia tidak sempat untuk bertanya, karena di situ terdapat banyak orang dan pasukan itu telah mengepung ketat. Ketika ia melihat pasukan mengepungnya, timbul kemarahan di dalam hatinya. Akan tetapi Kok Siang bersikap lain.
"Ciangkun, kami berdua tidak bersalah. Kami berdua sedang duduk bercakap-cakap di sini lalu gerombolan ini datang menyerang kami, agaknya mereka hendak merampok kami!" katanya membela diri.
"Bohong! Mana buktinya kami merampok?" Lui Cai Ko membentak marah.
"Cukup, tidak perlu cekcok!" Perwira itu menegur. "Tidak perduli siapa di antara kalian yang bersalag. Yang sudah jelas, kalian berkelahi di sini dan hal ini berarti mendatangkan kekacauan. Kalian semua harus menyerah untuk kami bawa ke pengadilan!"
Kim Hong mengerutkan alisnya hendak membantah, akan tetapi Kok Siang lalu berkata, sikapnya halus menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang terpelajar. "Baik, ciangkun. Kami percaya bahwa pengadilan tentu akan menyelidiki dan memberi keputusan yang seadil-adilnya. Mari, adik Hong, kita ikut ke kantor pengadilan."
Kim Hong cukup cerdik untuk mengerti mengapa pemuda itu bersikap mengalah. Kok Siang adalah penduduk Thian-cin yang sudah dikenal, maka baginya amatlah berbahaya kalau sampai dia dianggap melawan pasukan dan pemberontak. Berbeda dengan Kim Hong yang tidak dikenal, apa lagi mengingat bahwa tempat tinggal wanita ini juga jarang ada yang mengetahuinya. Untuk membiarkan Kok Siang ditangkap sendiri dan ia melarikan diri, Kim Hong merasa tidak tega. Apa lagi setelah ia tahu bahwa pemuda itu tahu di mana peta yang aseli, maka pemuda itu menjadi amat penting baginya. Ia harus melindungi pemuda ini, jangan sampai peta yang aseli terjatuh pula ke tangan penjahat. Maka iapun mengangguk dan menyetujui.
Sepuluh orang gerombolan itu bersama Kim Hong dan Kok Siang lalu digiring oleh pasukan menuju ke kantor kejaksaan. Sepuluh orang itu langsung dimasukkan ke dalam kamar tahanan besar, sedangkan Kim Hong dan Kok Siang dibawa ke bagian belakang di mana terdapat beberapa buah kamar tahanan.
"Kalian harus menunggu dulu di dalam kamar tahanan ini sambil menanti datangnya pembesar yang akan membuka sidang pengadilan." kata perwira itu sambil membuka daun pintu kamar tahanan. Tentu saja Kim Hong merasa marah dan mengerutkan alisnya.
"Kami bukan penjahat, kenapa mesti dijebloskan dalam kamar tahanan?"
Akan tetapi, kembali Kok Siang yang berkata dengan sikap tenang dan suara halus. "Kalau memang demikian peraturannya, kita tidak perlu membantah. Pula, kita sama sekali tidak bersalah, takut apa" Biarlah kita menunggu di sini." Dan pemuda itupun lalu memasuki kamar tahanan. Melihat sikap pemuda ini, terpaksa Kim Hong mengalah dan sambil cemberut dan mukanya merah saking marahnya, iapun terpaksa ikut masuk. Pintu kamar sel yang terbuat dari pada besi itu lalu dikunci dari luar. Perwira itu bersama pasukannya masih berjaga di situ dan melihat wajah perwira itu yang kelihatan girang sekali, diam-diam Kim Hong merasa tidak enak. Ia merasa seperti seekor harimau yang dijebak ke dalam kerangkeng. Akan tetapi ia sama sekali tidak merasa khawatir. Bagaimanapun juga, ia terjatuh ke tangan petugas pemerintah, bukan tangan penjahat. Dan kalau ia mengbendaki, apa sih sukarnya untuk membongkar pintu kamar itu dan meloloskan dirinya" Pikiran ini membuatnya menjadi tenang, akan tetapi karena perwira dan para anak buahnya masih berada di luar kamar, ia tidak dapat bicara dengan leluasa kepada Kok Siang Sesungguhnya, ingin sekali ia mengajukan banyak pertanyaan mengenai peta itu dan rahasianya. Karena hal itu tidak mungkin dilakukan pada saat itu, Kin Hong lalu duduk bersila di tengah ruangan yang tidak berapa luas itu untuk mengumpulkan tenaga dan menenangkan hatinya yang diliputi rasa penasaran dan kemarahan itu. Sedangkan Kok Siang sendiri juga duduk di sudut ruangan itu dengan tenang-tenang saja. Urusan perkelahian adalah urusan kecil dan para pembesar pengadilan tentu akan lebih percaya kepada keterangannya dari pada keterangan orang macam Lui Cai Ko yang kasar. Setidaknya, dia lebih pandai bicara, lebih sopan dan sebagai seorang terpelajar, tentu dia akan memperoleh perhatian dan penghormatan dari para petugas pengadilan.
Tak dapat disangkal lagi bahwa Bu Kok Siang adalah seorang pemuda pilihan, pandai dalam ilmu silat, juga ahli sastera dan memiliki pengetahuan yang cukup luas. Akan tetapi, bagaimanapun juga, dia masih muda dan belum mengenal benar akan kepalsuan manusia seperti keadaan yang sesungguhnya. Kebenaran dan keadilan selalu menjadi lemah dan goyah di mana terdapat kekuasaan yang jauh lebih kuat, yaitu ketamakan akan uang! Uang berarti kesenangan. Di manapun di bagian dunia ini, manusia benar-benar telah dicengkeram dan dikuasai oleh uang atau lebih luas lagi, dikuasai oleh keinginan untuk memperoleh kesenangan. Dan kesenangan ini, harus diakui, hanya bisa dicapai kalau orang mempunyai uang. Untuk memperoleh uang sebagai sarana utama hidup senang ini, orang tidak segan-segan melakukan apa saja! Dari yang paling licin sampai yang paling keji dan kejam. Orang tidak segan-segan untuk berpura-pura, untuk merendahkan diri sedemikian rupa, untuk menipu, untuk menyiksa kalau perlu membunuh, menjadi penjahat-penjahat, wanita menjual diri menjadi pelacur, pendeknya segala kemaksiatan itu terdorong oleh keinginan memperoleh uang sebanyaknya. Uang membuat apa sgja dapat terjadi, yang nampaknya tidak mungkin sekalipun! Kok Siang tidak atau belum sadar bahwa karena kekuasaan uang, dia akan menghadapi hal-hal yang nampaknya tidak mungkin. Dia tidak pernah menduga bahwa seorang pembesar tinggi bisa saja melakukan hal-hal yang lebih rendah dari pada pencuri atau perampok, karena kehausan akan uang. Kedudukan disalah-gunakan, kekuasaan menjadi alat untuk mencari uang sebanyaknya, martabat terlupa, hati nurani tiada bisikan murni lagi, prikemanusiaan menipis, semua ini terjadi apabila manusia telah dikuasai oleh pengejaran kesenangan melalui pengumpulan uang. Halal atau tidak sudah tidak diperhitungkan lagi. Dan hal ini kemudian menjadi suatu kebiasaan dan kalau sudah menjadi kebiasaan, ahlak makin menipis sehingga keburukannya tidak terasa atau teringat lagi. Orang yang untuk pertama kali melakukan pencurian, tentu akan merasa adanya penyesalan dalam hatinya, penyesalan yang datang kerena kesadaran bahwa apa yang dilakukannya itu adalah tidak baik atau tidak benar. Akan tetapi kalau dia sudah terbiasa dengan perbuatan mencuri, maka penyesalan itu akan makin menipis dan akhirnya lenyap sama sekali. Demikian pula dengan segala macam kemaksiatan lainnya.
Bu Kok Siang masih tebal kepercayaannya akan kebenaran dan keadilan. Dia tidak tahu bahwa pengaruh kesenangan melalui penumpukan uang sudah menjalar sampai ke manapun, sampai ke dalam kantor-kantor para pembesar, bahkan sampai ke istana. Dan kantor kejaksaan itupun tidak terluput, kantor pengadilanpun digerayangi oleh setan ini sehingga yang namanya keadilanpun dikemudikan oleh uang!
Selagi kedua orang muda itu tenggelam ke dalam keheningan masing-masing, tiba-tiba terdengar suara keras dan lantai dalam kamar tahanan itupun terbuka ke bawah! Hat ini terjadi sedemikian cepat dan tiba-tiba sehingga mengejutkan Kim Hong dan Kok Siang karena mendadak tubuh mereka kehilangan tempat berpijak dan terjeblos ke bawah. Akan tetapi, mereka adalah dua orang yang terlatih baik dan telah menguasai ilmu silat sehingga gerakan ilmu itu telah mendarah daging dalam tubuh mereka. Terutama sekali
Bentrok Rimba Persilatan 2 Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Seruling Samber Nyawa 16
^