Harta Karun Jenghis Khan 3

Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


Kim Hong yang memiliki gin-kang tinggi. Begitu tubuhnya tetjeblos ke bawah, ia mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuh yang sudah meluncur ke bawah itu tiba-tiba membuat gerakan dengan kaki yang mengenjot atau menendang ke bawah, kedua tangannya bergerak seperti sayap dan tubuhnya sudah mencelat lagi ke atas! Kok Siang juga berhasil melompat ke atas, akan tetapi gin-kangnya tidak sehebat Kim Hong sehingga kembali tubuhnya meluncur ke bawah karena dia tidak dapat berpegang kepada sesuatu. Berbeda dengan Kim Hong yang mampu membuat gerakan menyamping sehingga tubuhnya yang mencelat ke atas itu dapat meluncur ke arah pintu besi. Ia mengerahkan tenaga sin-kangnya dan sambil meluncur ke arah pintu, ia menggerakkan kaki tangannya untuk menerjang pintu dan membobolkannya. Akan tetapi ia melihat seorang kakek berusia lima puluh tahun lebih, bertubuh hitam tinggi besar, tiba-tiba muncul di luar daun pintu berjeruji itu dan kakek itupun mendorongkan kedua tangannya menyambut terjangan Kim Hong. Dari dorongan kedua tangan ini menyambar hawa pukulan dahsyat sekali yang amat mengejutkan pendekar wanita itu. Ia mengenal tenaga yang amat kuat, maka Kim Hong lalu mengerahkan seluruh tenaganya pula.
"Brakkk...!" Pintu besi yang kokoh kuat itu tidak dapat menahan himpitan dua tenaga raksasa dari dalam dan luar kamar, pecah dan patah-patah berantakan. Akan tetapi, tubuh Kim Hong yang tertahan oleh tenaga kakek itupun terdorong ke belakang dan tentu saja kini meluncur ke bawah tanpa dapat dicegah pula. Sebaliknya, kakek itu sendiripun terdorong mundur sampai empat langkah. Agaknya dia kaget bukan main, mengeluarkan seruan aneg, mukanya pucat dan matanya terbelalak. Dia tidak mengira bahwa gadis muda itu sedemikian lihainya.
Sementara itu, tubuh Kim Hong yang meluncur ke bawah itu tiba-tiba diterinia oleh sepasang lengan yang kuat. Karena di tempat itu amat gelap, maka Kim Hong tidak dapat melihat siapa yang menerimanya dengan pondongan kedua lengan itu, akan tetapi ia merasa jantungnya berdebar dan mukanya terasa panas ketika mendengar suara yang dikenalnya, "Hong-moi, engkau tidak apa-apa?"
Kiranya yang menerima tubuhnya itu adalah Kok Siang! Tentu saja ia merasa malu dan cepat meloncat turun. "Aku tidak apa-apa, dan engkau?"
"Untung bahwa lantai yang menjadi dasar tempat ini lunak sehingga aku tidak sampai terluka. Ketika aku melihat tubuh meluncur dari atas, aku khawatir dan menangkapmu. Maafkan aku, adik Hong."
Betapa sopan pemuda ini, pikir Kim Hong. Ia mengerti bahwa pemuda itu sama sekali tidak mempunyai bayangan pikiran kotor ketika menerima tubuhnya. Dan sekarang, melihat ia tidak apa-apa dan sesungguhnya tidak perlu ditangkap dalam pondongan, pemuda itu minta maaf. Bagaimana mungkin ia bisa marah terhadap pemuda seperti ini"
"Tidak apa dan terima kasih, Bu-twako. Kita berada di mana" Kita harus dapat keluar dari tempat ini. Tak kusangka bahwa kita telah terjebak."
"Sudah kuperiksa dengan teliti tadi, akan tetapi baru sebentar karena engkau kulihat jatuh ke bawah. Agaknya tempat ini buntu, merupakan lubang seperti sumur. Tidak ada jalan keluar dari sini kecuali melalui atas."
"Belum tentu. Mari kita periksa lagi dengan meraba-raba."
Merekapun mulai meraba-raba di sepanjang dinding yang bentuknya bundar seperti sumur itu.
"Apakah yang terjadi" Bukankah kita dimasukkan kamar tahanan kantor kejaksaan" Kenapa kita terjebak seperti ini" Mungkinkah di kantor pemerintah ada tempat jebakan seperti ini?" Sambil memeriksa dinding, Kok Siang mengomel karena dia sungguh merasa penasaran dan terheran-heran.
"Ah, twako. Di manapun juga, apapun juga kedudukannya, manusia tetap merupakan mahluk yang palsu dan kejam. Aku sebetulnya sudah tidak setuju menyerahkan diri. Kurasa penangkapan itu memang sudah diatur sebelumnya. Tentu ada hubungannya antera Tiat-ciang Lui Cai Ko dengan perwira itu. Dan kulihat tadi kakek yang menyambut pukulanku ke arah pintu, hemmm... sungguh dia seorang lihai, seorang lawan tangguh."
"Siapa dia?" "Aku tidak pernah mengenalnya, akan tetapi aku dapat menduganya. Mungkin dia itulah yang menjadi dalang dan biang keladi ini semua, yang menjadi raja penjahatnya."
"Siapa?" Pemuda itu berhenti meraba-raba karena memang sekeliling dinding ruangan itu tanah padas belaka.
"Kalau tidak salah tentu yang bernama Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng."
"Ahhh...!" "Kau mengenal dia?" "Mengenal orangnya belum, akan tetapi siapa yang tidak pernah mendengar namanya" Pat-pi Mo-ko adalah nama seorang datuk kaum sesat yang baru. Boleh dibilang semenjak keempat datuk kaum sesat itu lenyap, dia inilah yang terkenal sebagai datuk. Engkau tentu pernah mendengar nama keempat datuk kaum sesat, bukan" Pertama adalah See-thian-ong datuk dunia barat yang kabarnya telah tewas oleh Pendekar Sadis. Ke dua adalah Pak-san-kui Siongkoan Tiang yang kabarnya juga tewas di tangan Pendekar itu. Ke tiga adalah Tung-hai-sian datuk timor yang kini melepaskan kedudukannya dan mencuci tangan, hidup sebagai seorang saudagar dan tidak pernah mencampuri urusan dunia kang-ouw. Ke empat adalah Lam-sin datuk selatan yang lenyap tanpa ada yang tahu ke mana perginya. Nah, setelah empat orang datuk kaum sesat itu lenyap, muncullah Pat-pi Mo-ko ini!"
Tentu saja apa yang diceritakon oleh Kok Siang itu diketahui dengan baik oleh Kim Hong karena dia sendirilah yang dahulu menyamar sebagai seorang nenek berjuluk Lam-sin. Dengan sendirinya ia tidak tertarilk oleh cerita itu, akan tetapi ia amat memperhatikan nama Pat-pi Mo-ko.
"Jadi Pat-pi Mo-ko ini mengangkat diri menjadi pengganti para datuk itu?"
"Bukan mengangkat diri menjadi datuk, tetapi semua penjahat di seluruh empat penjuru takut dan menganggap dia sebagai datuk mereka karena ilmunya yang amat hebat dan kekejamannya terhadap siapa saja yang tidak mau tunduk kepadanya. Akan tetapi, dia bekerja secara rahasia, bahkan para anak buahnya sendiri tidak pernah berhubungan langsung dengannya dan siapa saja yang ingin mengetahui rahasianya tentu dibunuhnya. Apa lagi membuka rahasianya. Dia orang aneh dan hanya dugaan orang saja dia berada di kota raja sebagai sarangnya, karena dia sering mengirim perintah dari kota raja. Kalau benar dia yang berdiri di belakang urusan harta karun Jenghis Khan ini..." Kok Siang berhenti seolah-olah merasa terlanjur bicara. Keadaan di situ gelap, mereka hanya saling dapat melihat bayangan masing-masing. Akan tetapi suara ini cukup bagi Kim Hong yang segera mendesak.
"Harta karun Jenghis Khan" Peta dari dusun itu?"
"Ya, kalau benar dia yang memimpin semua itu, celakalah. Agaknya hanya Pendekar Sadis saja yang akan mampu menghadapinya dan kabarnya, dia tidak pernah muncul karena jerih terhadap Pendekar Sadis yang telah membunuh See-thian-ong dan Pak-san-kui. Dia sendiri kabarnya adalah seorang sute dari mendiang See-thian-ong. Ah, kalau saja Pendekar Sadis dapat muncul... aku... sungguh mengagumi kegagahan pendekar itu."
Kim Hong diam saja. Iapun memikirkan Thian Sin. Di sini ia terjebak bersama Kok Siang! Apa dayanya" Dan apakah Thian Sin akan dapat menemukannya sebelum terlambat"
Tiba-tiba terdengar suara mendesis dan tempat itu segera penuh dengan asap! "Celaka, asap beracun!" seru Kok Siang sambil mendekap hidung dan mulutnya.
"Ah, terlambat...!" Kim Hong juga berseru, melanjutkan lamunannya tentang Thian Sin tadi.
"Cepat tiarap dan rapatkan muka ke lantai!"
Mereka bertiarap. Akan tetapi usaha ini hanya dapat menclong sejenak saja dan memperpanjang siksaan mereka karena akhirnya tempat itu penuh dengan asap dan setelah hawa udara di atas tanah itu habis, asappun tersedot oleh mereka. Mereka terbatuk-batuk dan akhirnya keduanya roboh pingsan.
-(file google dokumen published by saiful bahri situbondo seletreng)- ( )-(file google dokumen published by saiful bahri situbondo seletreng)-
Thian Sin yang berada sendirian di dalam kamar hotelnya, tersenyum simpul mendengar jejak kaki halus di atas genteng kamarnya. Kim Hong telah pergi menyelidik tentang pemuda sastrawan yang mencurigakan itu dan dia telah pergi menyelidiki ke rumah gedung tempat tinggal Bouw wan-gwe (Hartawan Bouw) di mana tinggal Bouw In Bwee yang cantik jelita. Akan tetapi dia gagal untuk dapat bertemu dengan gadis itu karena agaknya gadis itu tinggal di dalam kamarnya bersama beberapa orang pelayan dan dia tidak berani memaksa masuk ke dalam kamar. Dia hanya menyelidiki keadaan gadis dan keluarganya dengan mencari keterangan di luar dan dia mendengar bahwa Bouw Siocia terkenal sebagai seorang gadis kaya raya yang berhati mulia, suka menolong orang dan selain itu juga gadis ini terkenal memiliki kepandaian silat tinggi sehingga semua orang mengagumi dan menghormatinya. Agaknya tidak ada yang mencurigakan pada diri gadis ini.
Maka, dia lalu kembali ke kamar hotel, dengan keputusan untuk mengunjungi gadis itu secara berterang pada keesokan harinya, kalau bisa bersama dengan Kim Hong, sebagai sahabat-sahabat baru.
Dan pada malam hari ini, menjelang tengah malam, dia mendengar jejak kaki di atas genteng kamarnya itu. Bukan Kim Hong, pikirnya. Kalau Kim Hong yang datang, bahkan dia sendiripun tidak akan dapat mendengar jejak kakinya, kecuali kalau dia sedang dalam samadhi dan mencurahkan seluruh perhatiannya. Dalam keadaan seperti itu, jarum jatuhpun akan terdengar olehnya. Akan tetapi dalam keadaan biasa, sukarlah dicari orangnya yang akan mampu mendengar tapak kaki Kim Hong yang memiliki gin-kang hampir sempuma itu. Bukan, ini tentu orang lain. Tidak sehebat Kim Hong gin-kangnya, akan tetapi sudah lumayan, bukan penjahat biasa. Siapa lagi kalau bukan utusan para penjahat itu" Dengan pendengarannya yang tajam, Thian Sin mengikuti gerak gerik orang yang datang itu tanpa bergerak dari atas pembaringannya di mana dia duduk bersila. Karena ia kini memusatkan perhatiannya, maka dengan jelas dia dapat mengikuti gerakan orang itu. Orang itu beberapa lamanya mendekam di atas genteng, membuka genteng mengintai ke dalam, kemudian lari di atas genteng, melompat turun dan menghampiri jendela kamarnya. Thian Sin tersenyum geli. Seorang penjahat yang masih hijau, pikirnya.
Akan tetapi, senyumnya segera lenyap dari mukanya ketika tiba-tiba dia mendengar suara berbisik dari luar jendela itu. "Taihiap... jangan kaget, aku yang datang..."
Suara Bouw In Bwee! Tentu saja hal ini sama sekali tidak pernah disangkanya dan jantung pemuda itu berdebar tegang. Mau apa gadis itu malam-malan datang mengunjunginya dan dalam keadaan yang demikian mencurigakan" Apakah ini merupakan perangkap dan tipu muslihat pula dari pihak lawan" Dia harus berhati-hati. Pihak lawan agaknya tidak akan pernah berhenti dalam usaha mereka untuk mendapatkan kunci emas itu. Dan siapa tahu, gadis cantik inipun merupaken seorang di antara mereka, walaupun menurut penyelidikannya siang tadi, agaknya tidak mungkinlah kalau seorang gadis seperti In Bwee menjadi kaki tangan penjahat! Akan tetapi siapa tahu"
Sebelum dia menjawab, daun pintu didorong jebol dari luar dan gadis itu dengan pakaian serba hitam yang ringkas dan ketat, yang membuat tubuhnya nampak demikian menggairahkan dengan lekuk lengkung sempurna, meloncat masuk dengan ringannya lalu cepat-cepat menutupkan kembali daun pintu itu.
"Ah, nona Bouw In Bwee...! Kenapa masuk seperti itu dan menutupkan daun jendela?" tegur Thian Sin sambil tersenyum dan melompat turun.
In Bwee membalikkan tubuhnya dan sejenak mereka bertukar pandang. Di bawah sinar lilin tunggal itu, wajah yang halus manis itu nampak kemerahan.
"Habis, apakah aku harus berkunjung dengan terang-terangan dan biar kelihatan oleh orang lain" Betapa janggalnya seorang gadis berkunjung di tengah malam melalui pintu depan begitu saja!"
"Lalu... tentu ada hal penting sekali maka gadis itu datang berkunjung di tengah malam melalui atas genteng dan membongkar jendela!" kata pula Thlan Sin, masih tersenyum.
Wajah gadis itu menjadi semakin merah seperti terbakar api lilin dan mukanya menunduk, akan tetapi segera diangkatnya kembali dan dengan mata berseri ia memandang pemuda itu. "Apakah engkau menyesal atas kedatanganku, taihiap" Kalau begitu, biarlah aku pergi saja..." Dan ia membuat gerakan hendak membuka daun jendela. Akan tetapi Thian Sin bukan anak kecil. Sudah beberapa kali dia bergaul dengan wanita dan dia sudah mengenal benar kemanjaan dan kepura-puraan dalam sikap wanita seperti yang diperlihatkan gadis itu. Diapun memegang tangan gadis itu.
"Tunggu dulu, nona. Siapa bilang aku menyesal" Aku merasa girang sekali, seolah-olah kejatuhan bulan dan aku merasa terhormat sekali!"
In Bwee membalik lagi. Tangan kirinya yang kecil lembut itu dipegang oleh Thian Sin. Tangan itu menggelepar hangat, terasa oleh Thian Sin seperti seekor burung pipit dalam genggamannya. Lalu In Bwee menarik perlahan tangannya, dan sambil tersenyum simpul ia bertanya, "Beginikah menerima tamu" Tidak disuruh duduk" Betapa sopannya..."
Thian Sin tertawa. "Aih, maaf. Silahkan duduk, nona."
In Bwee duduk di atas kursi sedangkan Thian Sin duduk pula di atas pembaringan. Sejenak mereka berpandangan kembali dan gadis itu tersenyum manis.
"Kau bilang tadi girang seperti kejatuhan bulan" Kalau benar kejatuhan bulan, mungkinkah masih dapat bergirang hati" Aku pernah membaca dalam kitab kuno bahwa bulan hanya indah dan kecil nampak dari sini. Padahal merupakan sebuah dunia yang besar!"
Thian Sin tersenyum. "Bukan itu maksudku. Akan tetapi bulan demikian indahnya dan wajahmu juga indah dan manis seperti bulan..."
"Ihh...! Engkau perayu benar, Ceng Taihiap!" In Bwee melempar senyum dan kerling tajam memikat.
Thian Sin menduga-duga apa gerangan yang tersembunyi di balik senyum dan kerling itu. Kalau benar gadis ini merupakan kaki tangan penjahat, tentu mudah diterka. Senyum dan kerling itu adalah daya pikat, untuk memikatnya. Pihak lawan yang agaknya kewalahan untuk menundukkannya melalui kekerasan, tentu mungkin saja mempergunakan kecantikan seorang gadis seperti In Bwee ini untuk menjatuhkannya. Akan tetapi, mungkinkah In Bwee menjadi kaki tangan penjahat" Ia adalah puteri seorang hartawan besar, pandai silat dan hidupnya terhormat, juga terkenal sebagai seorang gadis gagah perkasa yang budiman. Mana mungkin menjadi kaki tangan penjahat"
"Nona, katakanlah terus terang saja, apa maksud kedatangan nona mengunjungiku di tengah malam seperti ini" Sungguh mati, aku merasa heran sekali dan ingin tahu."
GADIS itu tersenyum lagi, lebih manis dan ia memandang langsung dengan sinar mata tajam, seolah-olah hendak menembus dan menjenguk isi hati pemuda itu. "Ceng Taihiap, coba katakan, apakah sepatutnya yang menyebabkan seorang gadis seperti aku ini malam-malam datang mengunjungi seorang pendekar sepertimu?" Sungguh merapakan jawaban yang sekaligus merupakan pertanyaan yang jelas menantang! Diam-diant Thian Sin merasa semakin tegang dan terheran. Apakah gadis ini merupakan seorang petualang asmara" Ini lebih besar kemungkinannya, mengingat ia seorang gadis kaya dan lihai. Apalagi kalau bukan seorang petualang cinta" Akan tetapi, pikirannya masih terikat akan urusan peta dan kunci emasnya, maka iapun mencoba dan memancing.
"Hemm, kalau gadis itu selihai engkau, nona Bouw, maka besar kemungkinan kunjunganmu ini untak membalas dendam kepadaku."
In Bwee menggeleng kepala keras-keras. "Tidak ada urusan apa-apa antara engkau dan aku yang boleh membuat aku sakit hati. Pula, kalau aku hendak membalas dendam, apakah caranya mengunjungi seperti ini, dalam keadaan akrab" Tentu sudah tadi-tadi kucoba untuk menyerangmu, baik dari atas genteng, dari luar jendela, atau sekarang. Bukan mengajakmu bercakap-cakap secara santai begini."
"Kemungkinan ke dua adalah bahwa kunjunganmu ini mengandung suatu maksud tertentu..."
"Tentu saja, yang kutanyakan adalah apakah kira-kira maksud itu?"
"Mungkin untuk menyelidiki aku." Thian Sin memandang wajah itu dengan tajam ketika mengucapkan kata-kata pancingan ini.
"Menyelidikimu?" Biarpun sinar lilin itu tidak cukup terang, namun Thian Sin yang memandang penuh perhatian itu dapat melihat perobahan pada wajah cantik itu. "Menyelidiki apanya?"
"Hemm... misalnya... menyelidiki tentang kunci emas..."
Kini aadis itu benar-benar terkejut. "Kunci... kunci emas..." Apa... apa maksudmu, taihiap?"
Thian Sin tertawa. "Maksudku adalah seperti yang kaumaksudkan."
"Ah, harap jangan mengada-ada, taihiap. Aku datang sebetulnya..."
Melihat keraguan gadis itu Thian Sin mendesak. "Sebetulnya begaimana?"
"Karena aku... kagum sekali kepadamu. Semenjak kita bertemu di restoran itu, aku merasa amat kagum dan..."
"Ya" Bagaimana?" "Aku... aku ingin mempererat persahabatanku denganmu."
"Begitukah" Sungguh beruntung sekali aku! Tentu saja kuterima dengan tanga dan hati terbuka!"
Gadis itu mengangkat muka. Wajah yang tersorot cahaya lilin kemerahan itu sunggub cantik manis. "Dengan hati terbuka" Kulihat hatimu sudah tertutup, penuh oleh enci Kim Hong..."
Thian Sin tersenyum. Kiranya benar, gadis cantik manis yang kaya raya ini adalah seorang petualang asmara! Mungkin juga hendak memikatnya. Kita sama lihat saja, pikirnya. Siapa yang terpikat nanti! "Ha-ha, In Bwee yang manis, dalam hatiku masih terbuka ruang yang lebar untuk seorang gadis seperti engkau!" Dan diapun meraih dan menangkap pergelangan tangan gadis itu, lalu ditariknya ke arah dirinya.
"Ih, mau apa kau!" Gadis itu berseru dan kedua tangannya sudah mengirim pukulan bertubi-tubi ke arah muka, leher dan dada Thian Sin. Serangan yang sungguh-sungguh, bukan main-main dan dilakukan pada jarak amat dekat. Namun, tentu saja serangan itu tidak terlalu berbahaya bagi Thian Sin.
"Plak-plak-plak-plak!" Empat kali pukulan gadis itu dapat ditangkis dengan mudahnya oleh Thian Sin dan tangkisan terakhir disertai tangkap pada kedua pergelangan tangan itu sehingga In Bwee hanya dapat mcronta-ronta tanpa dapat memukul lagi.
"Lepaskan aku! Lepaskan aku!" serunya dengan suara lirih karena iapun tidak ingin membangunkan para tamu di kamar-kamar lain.
Akan tetapi Thian Sin belum mau melepaskan pegangan kedua tangannya. "Sungguh hebat. Tengah malam engkau datang memasuki kamarku, kemudian merayu lalu sekarang hendak membunuhku. Nona Bouw In Bwee, sebenarnya apa sih yang kaukehendaki dariku?"
"Lepaskan aku...! Kau... laki-laki kurang ajar!" In Bwee masih meronta-ronta, namun pegangan kedua tangan pemuda itu sungguh kuat bukan main.
"Dengar baik-baik, nona manis. Aku Ceng Thian Sin selama hidupku belum pernah menggunakan kekerasan untuk memaksa seorang wanita mencintaku. Aku bukan seorang jai-hwa-cat, aku bukan pula seorang hidung belang. Aku hanya mau mendekati wanita kalau wanita itupun menghendakiku. Maka, jangan khawatir, nona. Ingat, yang datang ke kamarku malam-malam adalah engkau." Setelah berkata demikian, Thian Sin menarik nona itu mendekat, lalu memegang kedua pergelangan tangan yang kecil itu dengan jari-jari tangan kanannya, dan dengan tangan kirinya yang kini bebas itu dia menjambak rambut In Bwee, menarik mukanya mendekat lalu mencium bibir itu.
"Uhh... uhhh...!" In Bwee meronta-ronta, akan tetapi makin meronta, ciuman itu semakin kuat dan akhirnya tubuhnya terkulai lemas, ia menyerah dan terisak. Ketika Thian Sin melepaskannya, ia jatuh terkulai di atas pembaringan.
"Itu tadi adalah hukumanmu karena engkau telah datang di sini pada tengah malam, mencoba merayuku kemudian menyerangku tanpa memberitahukan sebab-sebabnya. Selayaknya engkau dipukul, akan tetapi aku tidak tega. Nah, ciaman itu tadi adalah hukumannya sebagai pengganti pukulan. Sekarang, bicaralah atau keluarlah!"
In Bwee yang menerima tugas dari suhunya untuk merayu dan menjatuhkan pemuda ini, mempergunakan kecantikannya, kini mengerti bahwa usahanya yang dilakukan secara terpaksa itu telah gagal sama sekali. Ketika tadi ditangkap kedua lengannya tanpa ia mampu melepaskan diri, kemudian ketika ia dicium, hatinya sudah jatuh terhadap kegagahan pria ini. Seorang pria yang luar biasa! Kini ia mengangkat tubuhnya, duduk dan memandang kepada pemuda itu dengan mata basah dan berlinang air mata. Ia teringat akan keadaan dirinya, akan tekanan yang dilakukan oleh pamannya atau gurunya dan tiba-tiba iapun menangis sesenggukan.
"Hemm, masih belum terlambat bagimu untuk memperbaiki semua kesalahan, nona. Jangan menangis, aku paling tidak tahan melihat wanita cantik menangis." Thian Sin berkata halus sambil meraba pundak yang bergoyang-goyang itu. Mendengar ucapan halus ini, tangis In BWee makin menjadi dan iapun merangkul dan menangis di atas dada Thian Sin, menangis sampai mengguguk.
Thian Sin mengerti bahwa tangis ini bukanlah air mata buaya, bukan tangis buatan untak menundukkan hatinya, melainkan tangis yang timbul dari hati duka dan menyesal. Maka diapun merasa kasihan, lalu merangkul dan menggunakan tangannya untuk mengelus rambut kepala yang agak kusut itu. Sentuhan tangannya, rabaan dan elusan tangan yang lembut itu sama sekali tidak mengandung gelora berahi, melainkan rasa iba ygng tulus dan hal ini terasa oleh In Bwee yang menjadi makin terharu.
" Maafkan aku... ah, Ceng-taihiap, maafkan aku..." Demikian ia berbisik-bisik di antara isaknya.
Thian Sin mendekap tubuh itu, dipeluknya dengan erat, diciumnya rambut yang harum itu dan diapun berkata. "Menangislah sepuasmu, kemudian kalau engkau suka, ceritakan padaku apa artinya semua ini, In Bwee."
Gadis itu tidak menjawab, menghabiskah isaknya di atas dada pemuda itu, membasahi baju Thian Sin dengan air matanya dan air hidungnya. Setelah hatinya yang tadinya terhimpit itu terasa lapang, seolah-olah himpitannya terbawa keluar oleh air mata, iapun mulai bicara.
"Taihiap, aku tahu bahwa engkau adalah Pendekar Sadis."
Tentu saja kalimat pertama ini amat mengejutkan Thian Sin, sungguhpun tidak terlalu mengherankan karena memang sebagai Pendekar Sadis dia pernah menggegerkan kota raja sehingga sedikit banyak tentu ada juga yang mengenalnya. Dia hanya terkejut oleh pernyataan tiba-tiba ini karena tadinya dia tidak pernah menyangka bahwa gadis ini mengenalnya pula. Karena kagetnya, dia memegang kedua pundak gadis itu dan mendorongnya agar dia dapat memandang wajahnya.
Wajah itu masih pucat dan basah, dan matanya agak kemerahan, memandang sayu. "Taihiap, anak buah suhu mengenalmu dan aku diberi tahu oleh suhuku..."
"Suhumu...?" Kini Thian Sin mengerti. Keluarga gadis itu tidak ada sangkut pautnya dengan rahasia harta karun Jenghis Khan, akan tetapi di sana ada suhunya!
"Ya, suhuku... juga pamanku..."
"Ah, sekarang aku mengerti! Tentu dia itu Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng, bukan?"
Gadis itu menarik napas panjang dan mengangguk. "Taihiap, aku bertugas untuk menundukkanmu dengan rayuan, aku terpaksa... akan tetapi... mana mungkin hal itu kulakukan terhadapmu yang telah kukagumi sejak kita pertama kali bertemu?"
Thian Sin menarik tubuh itu dan kembali memeluknya, diam-diam tersenyum senang. "Nona... eh, In Bwee, adik yang manis, di antara kita telah terasa adanya suatu ikatan persahabatan yang akrab. Mana mungkin kita saling menundukkan" Engkau telah tahu bahwa aku dahulu memang pernah berjuluk Pendekar Sadis, julukan yang sebenarnya kubenci. Dan tentu engkau tahu pula bahwa aku datang ke sini sebagai wakil keluarga Ciang yang malang itu, untuk menemukan kembali peta harta karun Jenghis Khan yang dirampas dari tangan Ciang Kim Su. Nah, engkau telah tahu akan semua keadaanku, maka sebagai sahabat, sudah adil kalau akupun mengetahui latar belakang semua perbuatanmu ini."
Sampai lama In Bwee berdiam diri dalam pelukan Thian Sin. Akhirnya pemuda itu mengangkat mukanya dan mencium bibir itu. Ciuman yang halus dan mesra, bukan paksaan seperti tadi dan sekali ini, terdengar In Bwee mengeluh dan memejamkan kedua matanya, merasa seperti dihanyutkan dan tenggelam ke dalam kemesraan. Setelah Thian Sin melepaskan ciumannya, In Bwee menarik napas panjang dan menyembunyikan mukanya di dada pemuda itu.
"Taihiap... betapa mudahnya bagiku untuk jatuh cinta kepada seorang pria seperti engkau. Akan tetapi aku tahu bahwa engkau dan enci Kim Hong saling mencinta, hidup sebagai suami isteri..."
"Hemm, pamanmu itu agaknya menyebar banyak mata-mata."
"Benar, aku tahu dan aku iri sekali kepada enci Kim Hong. Betapa bahagianya mempunyai seorang suami atau kekasih sepertimu, taihiap. Aku... aku seorang wanita yang malang, yang ternoda dan terhimpit..."
"Ceritakanlah, aku siap untuk membantumu."
"Sejak kecil aku dilatih ilmu silat oleh pamanku yang memiliki kepandaian tinggi. Engkau sudah mengenal namanya, yaitu Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng. Dia benar-benar amat sakti, taihiap, harap engkau berhati-hati menghadapi dia. Ah, betapa aku telah mengkhianati guru dan pamanku dan aku takkan dibiarkan hidup kalau dia mengetahui hal ini."
"Jangan khawatir, aku akan melindungi dan membelamu, adik In Bwee. Teruskan ceritamu."
"Aku sendiri tidak tahu benar tentang rahasia harta karun Jenghis Khan. Aku tidak pernah mencampuri urusan guruku, karena aku tidak suka akan cara hidupnya yang bergelimang dengan kejahatan dan dia selalu bergaul dengan para tokoh jahat. Ayah sendiri membencinya, bahkan tidak mengakui lagi sebagai adiknya. Yang kutahu dari penuturan suhu hanyalah bahwa dia telah menguasai sebuah peta, akan tetapi tanpa adanya kunci emas, peta itu tidak ada gunanya. Dan menurut suhu kunci emas itu ada pada kalian, yaitu padamu dan enci Kim Hung. Maka aku lalu diperintah oleh suhu untuk menyelidikimu, untuk menundukkanmu dengan rayuan, bahkan kalau perlu mengorbankan diri dan kehormatan asalkan aku bisa mendapatkan kunci emas itu atau setidaknya keterangan darimu tentang kunci emas itu. Nah, sadah kuceritakan semua! Lega hatiku sekarang, akan tatapi juga khawatir, karena pengakuan ini mungkin merupakan keputusan mati bagiku..." Wajah itu pucat sekali, matanya terbelalak memandang ke arah pintu dan jendela, seolah-olah ia merasa takut kalau-kalau ceritanya tadi dicuri dengar orang lain.
"Jangan takut, tidak ada orang yang mendengarkan, kecuali aku. Kalau ada orang mendekat, aku tentu mengetahuinya." kata Thin Sin yang mengerti akan isi hati gadis itu. "Akan tetapi, Bwee-moi, sungguh aku merasa heran sekali. Kalau engkau memang tidak suka akan semua perbuatan dan watak suhumu, kenapa engkau mau saja diperintah olehnya! Kenapa engkau tidak menjauhinya saja?"
Ditanya demikian, kembali In Bwew menangis, air matanya mengalir keluar dan dihapusnya dengan ujung lengan bajunya yang sudah basah, "Aku terpaksa, terhimpit... aku... aku pernah menyelewang, ketika aku berusia delapan belas tahun, aku menyerahkan diri, ternoda oleh seorang suhengku, murid suhu juga. Semua murid suhu adalah orang-orang dunia hitam! Suhu mengetahui hal ini, murid itu tidak mau bertanggung jawab dan suhu menggunakan rahasia itu untuk menekanku. Kalau aku tidak menurut, bukan saja dio akan membuka rahasiaku itu agar diketahui oleh ayah ibu dan oleh umum, akan tetapi dia mengancam pula untuk membunuh ayah ibu dan keluargaku. Aku terpaksa, taihiap... aku terpaksa dan... aku takut..."
Thian Sin masih merangkul dan memeluknya. Diam-diam diapun merasa kasihan kepada gadis ini. Seorang gadis yang lemah sehingga dalam hidupnya telah tersandung dan terjatuh. Betapa sukar dan beratnya menjadi wanita, pikirnya. Kehormatan seorang wanita diukur dari keperawanannya. Sekali saja ia lemah dan tergelincir, hal itu merupakan malapetaka yang akan merobah jalan hidupnya, akan mempengaruhi sepanjang kehidupannya. Rasa takut akan membayanginya selalu, takut kalau ketahuan aib yang menimpa dirinya. Noda yang satu kali itu seolah-olah merupakan noda yang melekat kuat lahir batinnya, tidak dapat terhapus lagi sampai orangnya mati! Seolah-olah, tidak ada kejahatan di dunia ini yang lebih hebat dari pada seorang gadis kehilangan keperawanannya! Gadis seperti itu, seperti In Bwee itu, tidak akan diampuni, akan dikutuk, dicaci, dihina dan tidak ada seorangpun laki-laki agaknya yang akan mau mengambilnya sebagai isteri! Seorang gadis yang kehilangan keperawanannya seolah-olah merupakan manusia yang paling kotor di dunia ini!
Thian Sin menarik napas panjang. Persoalan ini pernah dia bicarakan dengan Kim Hong dan mereka sependapat. Tentu saja, senrang gadis yang menyerahkan keperawanannya begitu saja kepada seorang pria tanpa melalui sebuah pernikahan yang sudah menjadi hukum dan kebiasaan umum, merupakan perbuatan yang bodoh, terdorong oleh nafsu dan kelemahan. Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa selama hidup yang tak dapat sembuh dan sama sekali tidak adil kalau dijadikan semacam noda kotor yang menjijikkan sehingga para pria menolaknya sebagai barang hina! Apa lagi bagi Kim Hong yang menyerahkan keperawanannya kepada Thian Sin tanpa syarat, karena ikatan sumpah dan karena memang cinta. Anggapan yang sudah merupakan pendapat umum tentang hal itu amat ditentangnya. Kim Hong sudah banyak memperbincangkan hal ini dengan Thian Sin, bahkan berdebat. Upacara dan pesta pernikahan adalah suatu hal untuk umum, akan tetapi hubungan sex dan cinta adalah urusan pribadi dua orang yang bersangkutan. Orang yang benar-benar mencinta, tak mungkin akan mau mencelakaken orang yang dicintanya itu. Kalau ada seorang pemuda mencinta seorang dara, benar-benar mencintanya, bukan sekedar suka karena dorongan nafsu, tentu pemuda itu akan selalu menjaga agar orang yang dicintanya itu tidak sampai mengalami bencana, apa lagi kalau bencana itu terjadi karena ulahnya. Pandangan umum dan tradisi memutuskan bahwa hubungan sex di luar nikah adalah suatu hal yang buruk dan hina dan pelanggarnya, khususnya kaum wanita, akan dipandang rendah dan menderita aib. Karena sudah mengerti akan hal itu, pemuda yang mencinta pacarnya, benar-benar mencintainya, tentu tidak akan mau membujuk pacarnya untuk melakukan hubungan sex di luar nikah. Kalau dia melakukannya, berarti bahwa cintanya itu adalah cinta berahi belaka! Untuk memuaskan hasrat berahinya, dia lupa bahwa pacarnya, yang katanya merupakan satu-satunya wanita yang dicintainya, terancam malapetaka hebat kalau terjatuh oleh bujuk rayunya. Dan banyak terjadi kenyataan bahwa setelah nafsu sexnya terpuaskan, pemuda itu baru melihat bahwa sesungguhnya dia tidak mencinta wanita itu, seolah-olah seorang kehausan yang setelah minum air sepuasnya lalu tidak lagi menginginkan air.
Akan tetapi, dengan Thian Sin dan Kim Hong soalnya berbeda lagi. Mereka berdua hidup sebagai suami isteri walaupun belum disahkan dengan upacara dan pesta pernikahan, bukan sekedar dorongan sex semata. Ada pertalian cinta yang mendalam di antara mereka dan hanya karena pandangan keduanya yang ingin bebas dan memberontak dari pada segala aturan yang dianggap merupakan ikatan yang memuakkan maka mereka tidak perduli tentang upacara dan pesta pernikahan.
"Aku memang pengecut..." Akhirnya gadis itu mengeluh dan melepaskan diri dari rangkulan Thian Sin, "dan aku... aku lemah terhadap rayuan pria. Aku tidak berani menentang pamanku yang sesat itu dan aku... aku begini mudah jatuh hati kepadamu, padahal... padahal aku telah jatuh cinta kepada seorang lain...! Ah, Bu Kok Siang, betapa kelirunya engkau jatuh cinta kepada seorang gadis seperti aku..." Dan gadis itu menutupi muka dengan kedua tangan, nampaknya menyesal sekali.
Thian Sin memegang kedua lengan gadis itu, tidak lagi bersikap mesra. "Maafkan aku, In Bwee, bukan maksudku merayumu. Ah, kita ini memang manusia-manusia lemah. Berdekatan dengan seorang seperti engkau ini, hati siapa takkan tertarik" Engkau saling mencinta dengan sasterawan itu" Bagus, dia seorang pemuda yang hebat. Dan memang sepantasnya seorang gadis seperti engkau ini, tidak usah takut-takut untuk menentang kelaliman dan kejahatan. Matipun tidak akan penasaran kalau kita berada di atas kebenaran, In Bwee. Dan akupun akan melindungimu terhadap ancaman iblis yang menjadi pamanmu itu. Sekarang katakan, di mana aku dapat bertemu dengan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng itu?"
"Biarpun namanya amat terkenal di kotar aja, namun tidak ada yang tahu di mana tempat tinggalnya. Bahkan para pendekarpun tidak mampu menemukan tempatnya itu."
"Tapi engkau tahu tempatnya?"
Gadis itu mengangguk. Lalu dia mengangkat mukanya memandang wajah Thian Sin yang tampan dan menarik itu. "Ceng-taihiap, begitu inginkah engkau dan enci Kim Hong mendapatkan pusaka harta karun Jenghis Khan itu" Kalau cuma uang yang kalian butuhkan, kiranya aku akan dapat membantu..."
Thian Sin tersenyum. "Maksudmu?" tanyanya sambil menatap tajam wajah yang cantik itu.
"Pamanku itu amat lihai, taihiap. Bukan hanya dia amat lihai, akan tetapi juga dia mempunyai banyak kaki tangan yang pandai. Boleh dibilang semua tokoh sesat di kota raja adalah kaki tangannya, atau setidaknya tunduk kepadanya. Selain itu, juga di belakangnya ada pasukan pemerintah yang mendukung dan siap membantunya. Kalau hanya untuk uang, amat berbahaya kalau taihiap menentangnya. Lebih baik taihiap berikan kunci emas itu kepadanya, dan saya akan suka membantu taihiap, kalau memang uang yang..."
"Hushhh... kaupikir kami ini orang-orang yang haus akan harta, In Bwee" Tidak, kami tidak butuh uang. Akan tetapi kami adalah petualang-petualang yang selalu tertarik akan hal-hal yang berbahaya dan penuh rahasia. Kami melihat betapa seorang petani tua dibunuh, juga isterinya, bahkan betapa putera petani itupun agaknya sudah dibunuh orang pula. Kami melihat kejahatan dan kesewenang-wenangan terjadi di depan mata kami, tak mungkin kami mendiamkannya saja. Pula, kami ingin juga menemukan pemuda petani itu dan kepadanyalah kami akan menyerahkan harta karun itu, karena dialah satu-satunya orang yang berhak memperolehnya."
Mendengar ini, gadis itu mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. "Nama Pendekar Sadis selama ini membuat aku merasa serem dan takut, akan tetapi setelah bertemu orangnya, ternyata taihiap adalah seorang pendekar yang berhati mulia, budiman dan sama sekali tidak menyeramkan, bahkan amat menarik. Betapapun juga, hatiku khawatir sekali membayangkan betapa taihiap akan berhadapan dengan pamanku dan semua kaki tangannya."
"Jangan khawatir dan engkau tidak perlu ikut-ikut, In Bwee. Katakan saja di mana tempat persembunyian pamarmu yang sesat itu."
In Bwee kembali menoleh ke luar jendela, seolah-olah takut kalau-kalau kata-katanya itu terdengar orang lain. Kemudian, dengan suara lirih dan agak gemetar, seolah-olah ia membukakan suatu rahasia yang amat besar, ia berkata. "Pamanku itu bersembunyi... di gedung jaksa..."
"Ehh...?" Thian Sin terbelalak, merasa heran bukan main. "Di rumah jaksa" Bukankah jaksa itu seorang pembesar yang bertugas memberantas dan menuntut para penjahat" Bukankah jaksa itu tugasnya melindungi rakyat dari pada kesewenang-wenangan dan himpitan orang-orang jahat?"
In Bwee tersenyum pahit. "Ceng-taihiap, agaknya biarpun engkau seorang pendekar yang sudab banyak bertualang, akan tetapi engkau masih belum tahu benar akan keadaan di kota raja ini. Di sini, para petugas dan penjaga keamanan itu sama sekali tidak melindungi rakyat, melainkan melindungi orang yang mampu memberi kesenangan kepada mereka, terutama sekali yang mampu memberi uang. Mereka itu tiada bedanya dengan tukang-tukang pukul boyaran, hanya bedanya mereka itu mengandalkan pakaian seragam dan kedudukan. Di sini, uang bisa membeli apa saja, taihiap. Uang bisa membeli kehormatan, bisa membeli kebenaran, bisa membeli keadilan."
"Hemm, kau hendak mengatakan bahwa keadilan dan kebenaran dapat diperjual-belikan di kota raja ini" Dan apakah jaksa itupun dibeli oleh Pat-pi Mo-ko dengan sogokan harta?"
"Tidak dengan harta. Paman adalah seorang yang tak dapat dikatakan kaya. Segala harta yang diperolehnya juga dihamburkan seperti pasir. Bahkan dia banyak minta kepadaku. Akan tetapi, sejak dahulu paman menjadi sahabat baik jaksa Phang-taijin. Aku sendiri tidak tahu bagaimana paman dapat mempengaruhi dan menundukkan Phang-taijin seperti itu, akan tetapi persembunyiannya di sanapun hanya aku yang mengetahui, di samping tentu saja kaki tangannya yang telah dipercayanya benar."
"Seperti Siang-to Ngo-houw, Hai-pa-cu Can Hoa dan Tiat-ciang Lui Cai Ko itu?"
Gadis itu mengangguk. "Akan tetapi harap engkau jangan memandang rendah, taihiap. Mungkin mereka itu tidak merupakan lawan tangguh bagimu, akan tetapi suhu itu..."
Thian Sin mengusap dagu yang halus itu. "Jangan khawatir, kami akan bertindak dengan hati-hati sekali dan terima kasih atas segala keterangambu. Tanpa bantuanmu itu, agaknya kami akan sukar untuk mencari pamanmu itu."
"Akan tetapi aku... suhu tentu akan marah sekali dan mungkin akan menjatuhken hukuman karena aku telah gagal merayumu..."
"Siapa bilang gagal" Ah, tidak percayakah engkau bahwa aku sudah hampir jatuh hati kepadamu, In Bwee" Engkau begini manis, jelita dan menawan hati. Kalau saja engkau tadi tidak mengatakan bahwa engkau saling mencinta dengan Bu Kok Siang, hemm... agaknya sekarang juga aku masih akan mau untuk bercinta denganmu. Akan tetapi, tidak! Engkau seorang gadis baik dan engkau tentu akan menjadi seorang isteri yang baik sekali dari Bu Kok Siang."
In Bwee bangkit dan memandang dengan wajah berseri. "Memang, dia amat cinta kepadaku, taihiap. Dia sudah kuberi tahu tentang keadaanku, akan tetapi, seperti juga engkau, dia tidak menghinaku, bahkan dia kasihan kepadaku. Biarlah, kalau suhu hendak membunuhku, terserah! Aku telah berjumpa dengan Bu Kok Siang yang mencintaku, dengan engkau yang begini baik kepadaku, kalau sekarang suhu membunuhkupun aku tidak akan penasaran lagi."
"Hushh, siapa bicara tentang mati" Engkau akan hidup seratus tahun lagi, In Bwee. Tentang suhumu, jangan khawatir. Kalau dia menuntut hasil rayuanmu, nah, kauberikan ini kepadanya."
Thian Sin mengeluarkan sebuah kunci emas dari dalam saku bajunya dan memberikannya kepada In Bwee. Gadis ini terbelalak memandang kunci emas itu, lalu ia menatap wajah Pendekar Sadis.
"Taihiap, bukankah taihiap tadi mengatakan bahwa taihiap harus mendapatkan harta karun itu dan menyerahkan kepada yang berhak?"
Thian Sin tersenyum dan di dalam hatinya dia tahu bahwa gadis ini benar-benar telah berobah, sudah berpihak kepadanya dan diam-diam mulai menentang dan memusuhi guru atau pamannya. Diapun bangkit berdiri dan memegang kedua lengan gadis itu.
"In Bwee, adikku yang manis, jangan kau khawatir. Serahkan saja kunci emas ini, karena kunci ini akan menyelamatkanmu dari kecurigaan dan ancamannya. Kunci inipun tidak akan ada gunanya bagi Pat-pi Mo-ko. Percayalah engkau padaku..."
"Hemm, kunci palsu?" bisik gadis itu.
Thian Sin tersenyum. "Engkau jauh lebih cerdas dari pada para kaki tangan Pat-pi Mo-ko. Nah, kau kembalilah dan tenangkan hatimu."
Berseri wajah In Bwee. Memang, dengan membawa kunci emas itu, baik aseli ataupun palsu, akan menolongnya kerena itu merupakan bukti bahwa ia telah menyelesaikan tugasnya dengan baik dan suhunya tidak mempunyai alasan untuk marah kepadanya. Andaikata kunci emas itu palsu sekalipun, hal itu bukanlah kesalahannya, karena mana ia tahu kalau kunci itu palsu" Ia akan selamat, akan dapat bertemu kembali dengan Bu Kok Siang dengan selamat dan siapa tahu, hubungannya dengan Kok Siang akan bertumbuh dengan baik dan akhirnya ia masih akan dapat menjadi isteri orang yang mencintanya dan tidak memandang rendah kepadanya.
"Terima kasih, taihiap, terima kasih..." Katanya dan sejenak In Bwee membiarkan dirinya dipeluk dan mukanya terdekap di dada yang bidang itu. Ia merasa betapa aman dan tenteramnya berada di dalam pelukan pria ini, akan tetapi ia segera teringat akan Kok Siang dan ingat pula kepada Kim Hong, maka dilepaskanya pelukannya dan iapun lalu keluar dari kamar itu, melalui jendela.
Setelah melihat bahwa gadis itu pergi jauh dan tidak ada gerakan lain yans menunjukkan bahwa ada orang yang membayangi dan mengancam In Bwee, Thian Sin menutupkan kembali jendela dan pintu kamarnya, lalu merebahkan diri terlentang di atas pembaringan kamarnya, tersenyum-senyum puas. Dia mengepal tinju. Dia telah berhasil memperoleh rahasia Pat-pi Mo-ko, di mana sembunyinya iblis itu dan tentu iblis itu yang telah menguasai peta rahasia yang harus dirampasnya kembali. Juga tentu iblis ini yang tahu di mana adanya Ciang Kim Su atau apa yang telah terjadi dengan pemuda petani itu. Hatinya terasa girang dan sambil menanti sampai kembalinya Kim Hong, diapun dapat tidur pulas.
-(file google dokumen published by saiful bahri situbondo seletreng)- ( )-(file google dokumen published by saiful bahri situbondo seletreng)-
Akan tetapi Kim Hong yang ditunggu-tunggu oleh Thian Sin itu tidak juga kunjung datang! Tentu saja Thian Sin merasa heran sekali di samping kegelisahannya. Kekasihnya itu melakukan penyelidikan atas diri Bu Kok Siang, sudah sejak kemarin, akan tetapi mengapa sehari semalam telah lewat dan Kim Hong belum juga pulang" Dia tidak merasa khawatir kalau-kalau Kim Hong jatuh cinta kepada sastrawan itu. Cemburu tidak pernah menyelinap di dalam hatinya seperti juga Kim Hong tidak pernah memperlihatkan cemburu terhadap dirinya, walaupan sering gadis itu menyinggung tentang sifatnya yang mata keranjang! Cemburu hanya meracuni cinta! Cinta kasih membutuhkan kepercayaan yang mutlak, cinta kasih berarti memberi kebebasan kepada orang yang dicinta. Cinta kasih antara dua orang, pria dan wanita, adalah cinta kasih kedua pihak, yang dirasakan oleh kedua pihak itu sendiri. Tidak mungkin ada unsur pemaksaan di sini. Yang ada hanyalah mencinta atau tidak! Kalau mendrita, dengan sendirinya tidak ada penyelewengen, sebaliknya kalau tidak mencinta, takkan mungkin dipaksakan, karena itu hanya akan menjadi cinta palsu den pura-pura belaka.
Kegelisahan di hati Thian Sin adalah karena mengingat bahwa dia dan kekasihnya menghadapi komplotan yang lihai, orang-orang yang menjadi tokoh-tokoh sesat yang berbahaya. Siapa tahu, sastrawan muda itupun termasuk komplotan jahat, sungguhpun In Bwee telah menyatakan saling mencinta dengan sasterawan muda itu. Tentu saja dia percaya penuh kepada kekasihnya. Tidak sembarangan orang akan mampu menandingi Kim Hong. Akan tetapi, menghadapi orang-orang dari dunia sesat amatlah berbahaya dan tidak boleh hanya mengandalkan kepandaian tinggi saja. Kaum sesat itu amat berbahaya dengan kelicikan dan kecurangan mereka, penuh tipu muslihat yang berbahaya. Akan tetapi dia tidak tahu ke mana Kim Hong menyelidiki pemuda sasterawan itu. Pula kalau dia menyusul, tentu Kim Hong akan menjadi marah dan akan mengira bahwa dia tidak percaya kepada Kim Hong, bahkan mungkin akan dikira cemburu! Maka, biarpun hatinya gelisah, Thian Sin terpaksa menanti sampai sehari lagi.
Dan malam hari itu, In Bwee kembali datang ke kamarnya melalui jendela! Akan tetapi, begitu melihat bahwa yang masuk adalah gadis itu dan dia segera menyalakan lilin dan memandang kepada wajah yang cantik itu, maklumlah dia bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang hebat. Wajah itu amat pucat dan ada bekas-bekas menangis pada mata yang indah namun agak merah itu.
"Ada apakah, In Bwee?" tanya Thian Sin.
"Celaka, taihiap... celaka, kau tolonglah dia..." kata In Bwee dengan suara setengah meratap.
Melihat gadis yang kelihatan amat gelisah dan kedua kakinya gemetaran itu, Thian Sin lalu memegang tangannya dan menariknya ke sebuah kursi, menyuruhnya duduk dengan halus. "Tenangkanlah hatimu, In Bwee, dan ceritakan apa yang telah terjadi."
"Mereka... mereka ditawan... ohhh... aku khawatir sekali..."
"Tenanglah. Begitukah sikap seorang gagah" Tenanglah dan bicara yang jelas!"
Sikap Thian Sin itu ada pengaruhnya dan setelah memandang wajah yang tenang itu, In Bwee dapat menguasai keguncangan hatinya. "Ceng-taihiap, mereka kemarin telah tertawan. Enci Kim Hong dan Bu-koko... eh, maksudku Bu Kok Siang."
"Tertangkap oleh Pat-pi Mo-ko maksudmu?"
Gadis itu mengangguk dan menarik napas panjang, menunduk. "Mereka dikeroyok di taman ketika mereka sedang bercakap-cakap, mereka mengamuk akan tetapi akhirnya datang pasukan penjaga keamanan..."
"Hemm, pasukan yang dikerahkan jaksa Phang?"
"Benar. Mereka menyerah ketika melihat pasukan pemerintah, mengira akan diadili dengan sebagaimana mestinya. Akan tetapi mereka dibawa ke tempat tahanan jaksa, di mana terdapat kamar jebakan. Mereka terjebak dan dibius, dan tertawan, kini berada dalam kekuasaan suhu..."
Thian Sin mengerutkan alisnya. "Cepat, beritahukan aku di mana tempat tahanan itu dan bagaimana keadaan di sana."
In Bwee memberitahukan tempat itu, akan tetapi iapun tidak tahu benar seluk-beluk tempat itu karena belum pernah ke sana. Namun bagi Thian Sin hal itu tidak ada artinya. Baginya, yang terpenting tahu di mana kekasihnya itu ditawan.
"Pulanglah, aku akan cepat menolong mereka. Jangan khawatir." katanya dan gadis itupun lalu pergi meninggalkan rumah penginapan untuk kembali ke rumahnya sendiri dengan hati gelisah. Akan tetapi baru saja tiba tak jauh dari rumahnya, ia terkejut melihat sesosok tubuh tinggi besar menghadangnya di tengah jalan. Gurunya, atau juga pamannya yang amat ditakutinya itu!
"Paman..." "Hemm, apa maksudmu mengunjungi Pendekar Sadis?" suara pamannya penuh dengan kemarahan dan kecurigaan.
"Aku..." In Bwee merasa takut sekali, akan tetapi tiba-tiba ia teringat akan anjuran Thian Sin agar jangan takut menghadapi siapapun juga asalkan berada dalam kebenaran. Maka iapun mengeraskan hatinya, memandang wajah pamannya itu dan berkata lantang, "Paman, aku dan Bu Kok Siang saling mencinta. Maka, melihat ia kautawan, hatiku menjadi gelisah sekali dan aku pergi mengunjungi Pendekar Sadis itu untuk minta tolong agar dia suka menolong dan membebaskan Bu Kok Siang."
Kakek itu memandang tajam. "Hanya untuk itu saja?"
"Habis untuk apa lagi" Bukankah saya telah mendapatkan kunci emas itu dan sudah saya serahkan kepada paman" Saya tidak akan berani mengkhianati paman, akan tetapi melihat Bu Kok Siang ditawan, saya khawatir dan untuk dia... saya rela mengorbankan nyawa sekalipun."
Sejenak kakek itu diam, lalu tiba-tiba tangannya bergerak dan sebelum keponakan atau juga muridnya itu mampu menghindarkan diri, kakek itu telah menotoknya, lalu menyambar tubuhnya dan dibawanya pergi dengan cepat. Kejadian itu tak dilihat oleh siapapun juga karena terjadi di tempat sunyi dan gelap.
"Kalau begitu, engkau harus ikut denganku. Siapa tahu ada gunanya nanti."
Sementara itu, Kim Hong dan Kok Siang juga tidak mengalami keadaan yang menyenangkan. Seperti kita ketahui, dua orang muda itu terjebak dalam kamar bawah tanah dan kemudian roboh pingsan oleh asap pembius yang tak mungkin dapat mereka elakkan. Ketika mereka siuman kembali, mereka mendapatkan diri mereka telah terbelenggu di atas dua dipan yang terdapat dalam sebuah kamar yang luas. Agaknya dipan itu bukan dipan yang biasa dipakai tidur, melainkan dipan yang khusus dibuat untuk menyiksa orang! Dan teringatlah mereka bahwa mereka kini terjatuh ke dalam tangan petugas pemerintah yang entah mengapa telah menjebak dan menangkap mereka. Dipan itu terbuat dari pada besi, ditanam di dalam lantai dan kuat sekali. Dan dipan itu diperlengkapi dengan kalung-kalung baja untuk membelenggu kaki dan tangan, juga ada alat putaran untuk menyiksa orang, menarik kedua kaki, menjepit jari-jari kaki atau tangan, bahkan ada alat pemanasan untuk dibakar yang berada di bawah dipan.
Ketika siuman, Kim Hong segera teringat keadaannya dan sekali pandang, tahulah ia bahwa ia sungguh tidak dapat berdaya. Selain gelang baja yang membelenggu kaki tangannya itu terlalu kuat, juga ia mendapatkan kenyataan bahwa tubuhnya berada di bawah pengaruh totokan. Andaikata pengaruh totokan itu sudah hilang sekalipun. belum tentu ia akan mampu membebaskan diri dari belenggu kaki tangannya. Ia melirik ke kiri dan melihat betapa Kok Siang juga sudah siuman, bahkan pemuda itu menoleh ke kanan, memandang kepadanya dan tersenyum lebar! Tersenyum dalam keadaan seperti itu. Sungguh luar biasa! Diam-diam Kim Hong merasa heran dan juga kagum.
"Engkau masih bisa tersenyum?" tanyanya.
"Kenapa tidak?" jawab pemuda itu dan senyumnya melebar. "Hadapilah segala sesuatu dalam hidup ini dengan senyum! Kematianpun rasanya ringan jika dihadapi dengan senyum. Sama-sama menggerakkan mulut, dan sama-sama tidak akan mampu merobah keadaan, mengapa tidak memilih senyum di antara senyum dan tangis" Ha-ha, kalau dipikir lucu juga, ya?"
Diam-diam kekaguman Kim Hong terhadap pemuda ini melonjak. Seorang pemuda yang hebat, pikirnya. Seorang pemuda yang ahli sastra, memiliki ilmu silat yang tidak rendah, juga memiliki keberanian yang mengagumkan, hampir menyamai Thian Sin, dan patut dijadikan seorang sahabat baik. Di samping itu, masih menyimpan rahasia peta yang amat menarik itu!
"Apanya yang lucu?" tanyanya untuk menanggapi sikap gembira yang mengagumkan hatinya itu.
"Masa tidak lucu" Kita dikeroyok penjahat di taman, lalu pasukan pemerintah datang untuk menangkap semua orang yang berkelahi, termasuk kita. Tapi, pasukan pemerintah malah menjebak kita dan menawan kita dengan cara kaum penjahat, menggunakan jebakan dan obat bius. Dan sekarang kita telah dibelenggu di sini, seperti penjahat-penjahat besar! Sungguh lucu dan aneh. Siapakah yang jahat" Para pengeroyok itu, pasukan pemerintah, apakah kita?"
"Tentu saja kita!" Kim Hong menjawab sambil tersenyum. "Buktinya kita yang dibelenggu dan ditelikung seperti babi akan disembelih di sini!"
"Ha-ha-ha, seperti babi akan disembelih" Kurang tepat penggambaranmu itu, nona. Kita terlalu kurus kalau disamakan dengan babi, tidak berdaging dan penyembelihnya hanya akan menemukan kulit dan tulang belaka!"
Tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka dan masuklah beberapa orang pria ke dalam kamar yang luas itu. Kalau tadinya Kim Hong dan Kok Siang menduga bahwa mereka berada di tangan pasukan dan yang memasuki ruangan itu tentulah komandan, mereka kecelik. Yang masuk adalah delapan orang yang berpakaian biasa saja, sungguhpun kebanyakan dari mereka besikap keren dan menyeramkan. Kim Hong memandang penuh perhatian dan iapun tahu siapakah mereka itu. Ada empat orang pria berusia empat puluh tahun yang dikenalnya sebagai sisa dari Siang-to Ngo-houw, lima jagoan yang kehilangan seorang anggautanya karena tewas oleh anak panah yang hendak membungkam mulut orang itu, kemungkinan besar dilepas oleh kepala mereka sendiri. Kemudian Kim Hong mengenal Hai-pa-cu Can Hoa yang pernah membikin ribut di rumah makan dan dihajar oleh Kok Bu Siang itu. Juga Jiat-ciang Lui Cai Ko yang perutnya gendut, matanya juling dan rambutnym riap-riapan nampak pula di antara mereka. Kim Hong tidak heran pula melihat munculnya Su Tong Hak di antara mereka dan kini orang itu memperlihatkan air mukanya yang sesungguhnya, tanpa kedok manis seperti ketika ia dan Thian Sin mengunjunginya. Pedagang ini sekarang kelihatan sekali betapa mukanya penuh dengan nafsu, mulutnya menyeringai, matanya berkilat penuh kecerdikan dan tahulah Kim Hong bahwa selama ini paman dari Ciang Kim Su ini memang bersekongkol dengan para penjahat. Adapun orang yang ke delapan, yang bertubuh tinggi besar berkulit hitam, berusia lima puluh tahun lebih, mudah saja diduganya. Siapa lagi orang ini kalau bukan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng, pikir Kim Hong. Dari gerak-gerik dan pandang matanya, Kim Hong dapat menduga bahwa orang ini memiliki kepandaian tinggi dan mungkin orang ini pula yang membuatnya gagal mendobrak pintu ketika ia terjeblos ke dalam kamar rahasia itu, yang memiliki hawa pukulan amat kuat.
Sementara itu, Kok Siang juga memandang mereka penuh perhatian. Dia sungguh merasa terkejut ketika melihat bahwa yang menjebaknya bukanlah pasukan pemerintah, melainkan orang-orang jahat itu. Dan pemuda yang cerdik inipun tahu bahwa tentu jaksa itu bersekutu dengan para penjahat ini. Akan tetapi dia berpura-pura bodoh dan begitu melihat mereka masuk, diapun berteriak-teriak.
"Heiii! Apa-apaan ini" Penasaran! Kami tidak berdosa, kenapa ditangkap" Di mana adanya keadilan" Dan siapa kalian ini" Kenapa bukan komandan pasukan yang datang" Kami menuntut keadilan!"
Hai-pa-cu Can Hoa yang bertubuh tinggi besar, kumis dan jenggotnya malang melintang tak terpelihara itu sudah melangkah maju mendekati Kok Siang, tangan kirinya yang besar itu bergerak menampar.
"Plakk! Plakk!" Dua kali muka Kok Siang ditampar dengan keras dan karena Kok Siang sendiri juga masih terpengaruh oleh totokan sehingga ia tidak mampu mengerahkan sin-kang, maka tentu saja tamparan itu harus diterimanya dengan mandah dan pipi kanannya menjadi merah membengkak.
"Wah, bukankah engkau ini bajingan yang pernah mengacau di rumah makan" Ha-ha, sobat, kiranya engkaupun seorang pengecut, beraninya hanya setelah aku terjebak dan dibelenggu. Coba lepaskan belenggu ini dan aku akan membuat engkau tak mampu bangun kembali!"
"Siucai sombong!" Kembali tangan kanan Can Hoa bergerak menampar dua kali. "Plak! Plakk!"
"Cukuplah!" Tiba-tiba kakek hitam tinggi besar yang sejak masuk tadi memandang kepada Kim Hong, berkata dan Hai-pa-cu Can Hoa menghentikan tamparannya. Kakek hitam itu lalu menghampiri Kok Siang yang kini kedua pipinya telah menjadi merah dan agak membengkak oleh tamparan-tamparan Hai-pa-cu Can Hoa tadi. Sejenak mata yang lebar dan tajam itu seperti hendak menembus dada Kok Siang, kemudian terdengar kakek itu berkata, suaranya dalam dan tenang, namun penuh wibawa.
"Apa engkau yang dikenal sebagai Im-yang Siang-pit Bu Siucai dari Thian-cin?"
Seperti juga Kim Hong, pemuda ini sudah dapat menduga siapa adanya kakek hitam tinggi besar ini. Dia belum pernah jumpa dengan kakek ini, akan tetapi nama besarnya sudah lama didengarnya dan bahkan belum lama ini dia tahu bahwa Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng adalah paman dari gadis yang dicintanya, yaitu Bouw In Bwee! Jadi inilah orangnya yang telah menindas kekasihnya itu. Dan dia hampir merasa yakin bahwa orang ini pulalah, atau setidaknya juga kaki tangannya, yang telah membunuh pamannya sendiri, yaitu Louw siucai! Akan tetapi dia menekan perasaannya dan ketika dia ditanya, diapun mengangguk.
"Benar." jawabnya. "Teman-temanku menyebutku Im-yang Siang-pit Bu Siucai, dan aku datang dari Thian-cin. Tidak tahu siapakag engkau! Dan bagaimana kami yang tadinya menjadi tangkapan pasukan pemerintah, kini bisa terjatuh ke tangan kalian?"
"Tutup mulutmu yang lancang dan jawab saja semua pertanyaan!" bentak Hai-pa-cu dengan sikap galak. Jagoan dari Yen-tai ini nemang merasa sakit hati kepada Kok Siang yang pernah menghajar dan mempermainkannya, membuatnya malu di restoran tempo hari. Kalau tidak takut kepada Pat-pi Mo-ko, tentu dia akan menghajar habis-habisan den mungkin membunuh pemuda yang dibencinya itu.
"Bu Siucai," kata pula Pat-pi Mo-ko, suaranya tenang akan tetapi mengandung nada yang penuh ancaman. "Tahukah engkau siapa aku?"
Kok Siang menggeleng kepalanya. "Tidak, aku tidak tahu. Yang kukenal hanyalah penjahat kecil yang pernah mengacau di rumah makan ini, dan juga si juling yang mengeroyok kami di taman. Yang lain-lain, aku tidak tahu..."
"Engkau berhadapan dengan Pat-pi Mo-ko!" kata kakek hitam itu, dan matanya berkilat ketika dia melihat pemuda yang terbelenggu itu nampak terkejut.
"Ah...! Tapi... tapi mengapa aku ditangkap" Dan bukankah yang menangkapku adalah pasukan pemerintah?" Kok Siang berpura-pura bodoh.
"Itu bukan urusanmu. Yang jelas, engkau telah berani menentangku dan siapapun yang berani menentangku di dunia ini, tentu dia sudah bosan hidup. Bu Siucai, namamu terkenal di Thian-cin sebagai seorang gagah yang tidak pernah lancang tangan. Sekarang engkau muncul di kota raja, apakah kehendakmu?" Sepsang mata itu memandang tajam penuh selidik.
Kok Siang bukan seorang yang bodoh. Dia sudah menduga bahwa Louw siucai, pamannya itu, tentu terbunuh oleh iblis-iblis ini, maka kalau dia mengaku bahwa dia adalah keponakan Louw siucai yang hendak mencari pembunuh pamannya, sama saja dengan membunuh diri.
"Apa yang hendak kulakukan di kota raja" Tentu saja melancong, apa lagi?"
"Hemm, kalau engkau tidak bergulang-gulung dengan nona ini, mungkin aku dapat percaya omonganmu." Pat-pi Mo-ko menuding ke arah Kim Hong.
"Ah, nona ini" Kami berkenalan secara kebetulan saja, di rumah makan. Tentu jagoan Yen-tai itu sudah menceritakan kepadamu. Pat-pi Mo-ko, namamu terkenal sebagai orang besar, maka harap kau suka membebaskan kami yang tidak bersalah apa-apa. Terutama nona ini. Bagaimana kalau dunia kang-ouw mendengar bahwa Pat-pi Mo-ko yang besat itu menawan seorang nona muda dengan cara menjebaknya dan bersekongkol dengan pasukan pemerintah?"
"Tutup mulutmu! Kau sudah bosan hidup?" Hai-pa-cu Can Hoa membentak dan mendekat, akan tetapi Kok Siang hanya tersenyum saja. Dia tadi memang sengaja hendak menggerakkan harga diri Pat-pi Mo-ko, memanaskan hatinya.
Akan tetapi kakek iblis hitam itupun cerdik dan tidak mudah dibakar hatinya. Dia lalu menghampiri Kim Hong dan Kok Siang mengikuti gerakan kakek itu dengan jantung berdebar tegang dan khawatir. Dia tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri, akan tetapi dia tahu benar betapa berbahayanya bagi seorang gadis cantik seperti Kim Hong kalau terjatuh ke tangan orang-orang macam ini. Ada bahaya penghinaaan yang lebib hebat dari pada kematian bagi gadis itu. Akan tetapi, dia yang tentu saja tidak akan mampu melindungi Kim Hong dengan kekuatan badannya yang sudah tidak berdaya, merasa yakin bahwa dia akan mampu menyelamatkan Kim Hong dalam saat terakhir, karena dia masih memegang kunci rahasia yang amat penting, yaitu peta yang aseli! Dengan ini dia akan dapat menebus diri Kim Hong, kalau perlu.
"Nona, engkau bernama Toan Kim Hong dan menjadi sahabat dan kekasih Pendekar Sadis, bukan" Hemm, kasihan Pendekar Sadis, tidak tahu bahwa kekasihnya main gila dengan setiap orang pemuda ganteng seperti Bu Siucai di luaran!" Pat-pi Mo-ko tersenyum menyeringai, agaknya girang sekali mendapat kenyataan bahwa kekasih Pendekar Sadis mempermainkan pendekar itu. Hal ini saja sudah dapat menimbulkan dugaan dalam hati Kim Hong dan Kok Siang bahwa penjahat ini agaknya membenci Thian Sin. Akan tetapi, tanpa diketahui oleh siapapun juga, diam-diam Kok Siang terkejut setengah mati mendengar disebutnya Pendekar Sadis. Diapun merasa seperti pernah mendengar nama Ceng Thian Sin ketika mereka saling berkenalan di rumah makan, akan tetapi sama sekali dia tidak pernah menduga bahwa pemuda itu adalah Pendekar Sadis yang pernah menggegerkan seluruh kota raja! Akan tetapi, dia dapat menyembunyikan keheranannya dan pura-pura tidak terpengaruh sama sekali oleh sebutan itu.
Akan tetapi, Kim Hong sama sekali tidak mau memberi jawaban dan hanya memandang dengan senyum mengejek, dan pandang matanya menghina sekali. Melihat ini Tiat-ciang Lui Cai Ko yang bermata juling itu mendekat.
"Twako, biarlah kusiksa dulu gadis ini biar mau bersikap lunak dan mau menjawab pertanyaanmu!" Agaknya sudah gatal-gatal rasa tangan penjahat ini untuk menyiksa Kim Hong. Jari-jari tangannya sudah terbuka dan siap mencengkeram. Akan tetapi Pat-pi Mo-ko tersenyum dan menggeleng kepalanya.
"Sabarlah, Cai Ko. Belum tiba waktunya untuk itu." Dan kepala penjahat ini menghadapi Kim Hong lagi. "Nona, biarpun engkau tidak mengaku, kami sudah tahu bahwa engkau dan Pendekar Sadis datang sebagai utusan mendiang petani Ciang Gun, membawa kunci emas dan engkau tahu tentang rahasia harta karun Jenghis Khan itu. Marilah kita bicara secara terbuka saja karena kita sudah sama- sama tahu akan hal itu. Kami telah menggeledah dan tidak temukan kunci emas di tubuhmu atau pakaianmu. Nah, katakan. Di manakah adanya kunci emas itu" Apakah dibawa oleh Pendekar Sadis?"
Diam-diam Kim Hong merasa mendongkol sekali. Kiranya dalam keadaan pingsan tadi tubuhnya telah digeledah, tentu saja digerayangi tangan-tangan yang kotor dan kurang ajar itu. Untung tidak terjadi sesuatu dengan dirinya. Hal ini tentu saja karena kepala penjahat ini masih membutuhkan keterangan-keterangannya, masih melihat manfaat pada dirinya. Akan tetapi kalau sekarang ia masih selamat, hal itu hanya soal waktu saja. Kalau ia sudah tidak dibutuhkan lagi, tentu ia akan dilempar kepada orang-orang kasar itu, untuk disiksa, diperkosa dan dipermainkan, seperti segumpal daging dilempar kepada anjing-anjing kelaparan. Atau mungkin Pat-pi Mo-ko ini sendiri yang akan mempeloporinya, melihat sinar mata yang juga penuh mengandung nafsu ketika memandangnya itu. Akan tetapi, ia sengaja tidak mau membuka mulut dan otaknya dikerjakan. Apa perlunya ia menjawab" Iblis ini tahu bahwa kunci emas masih berada di tangan Pendekar Sadis, jadi iblis itu tidak akan dapat berbuat sesuatu dan kiranya tidak akan mengganggunya secara sangguh-sungguh sebelum kunci itu didapatnya. Mungkin ia akan dijadikan umpan untuk memancing datang Pendekar Sadis. Hampir Kim Hong tersenyum. Tanpa dipancing sekalipun, Thian Sin pasti akan datang untuk menolongnya. Hal ini ia yakin benar. Akan tetapi iapun merasa khawatir karena sekali ini mereka menghadapi penjahat-penjahat yang selain kejam, juga kuat dan curang sekali. Ia sendiri sudah amat berhati-hati dan kalau saja tidak ada pasukan pemerintah yang turun tangan, belum tentu ia akan begitu lengah sehingga dapat ditangkap begitu saja!
Melihat gadis itu tinggal diam, Pat-pi Mo-ko tersenyum. Kalau lain orang, tentu sudah marah sekali. Akan tetapi iblis ini bukan penjahat sembarangan dan karena itu dia dijadikan semacam raja tanpa mahkota oleh para penjahat lain di kota raja. Dia cerdik sekali.
"Nona, apa gunanya nona bersikap diam dan membisu" Biarpun Pendekar Sadis memegang kunci emas, apa gunanya kalau dia tidak memiliki peta rahasia itu! Dan petanya berada di tangan kami! Kini engkau sudah berada di dalam kekuasaan kami. Pendekar Sadis akhirnya tentu akan menyerahkan kunci itu kalau memang dia sayang kepadamu."
Kim Hong hanya tersenyum mengejek saja, memandang dengan sinar mata menghina, bahkan lalu membuang muka. Sikapnya sungguh memandang rendah sekali.
Pat-pi Mo-ko bangkit berdiri, mukanya agak merah walaupun dia masih belum memperlihatkan kekecewaan dan kemarahannya. "Baiklah, mari kita lihat siapa yang lebih keras hati di antara kita. Kami melihat bahwa engkau bermain cinta dengan sasterawan ganteng ini di taman. Nah, karena dia ini tidak ada gunanya bagi kami, maka biarlah engkau melibat ia tersiksa dan mampus di depan matamu. Hendak kulihat, apakah engkau akan tega melihat kekasih barumu ini tersiksa sampai mati dan tetap menutup mulut?"
Kim Hong yang membuang muka tadi telah memandang ke arah Kok Siang. Dilihatnya pemuda itu berkedip memberi isyarat agar jangan mau tunduk, akan tetapi diam-diam hati Kim Hong merasa khawatir. Pemuda itu merupakan orang yang amat penting, terpenting malah karena pemuda itu menguasai peta aseli atau mengetahui tempat peta aseli itu. Tentu saja pemuda itu sekali-kali tidak boleh tewas begitu saja. Betapapun juga, ia tidak mau tunduk oleh gertakan dan hendak dilihatnya dulu apakah benar iblis ini seorang yang memenuhi kata-katanya, bukan hanya penjahat besar mulut yang suka main gertak belaka. Inipun perlu baginya untuk mengenal watak dan sifat Pat-pi Mo-ko yang merupakon seorang lawan tangguh dan licik sekali.
Dan Pat-pi Mo-ko agaknyapun bukan orang yang suka h~ cakap. Tanpa menoleh kepada Kim Hong untuk melihat apa reaksi kata-katanya terhadap gadis itu, diapun sudah memberi isyarat kepada para pembantunya. Hai-pa-cu Can Hoa segera melangkah maju dan mulutnya menyeringai puas sekali. Inilah yang dinanti-nantinya. Kebenciannya kepada sesterawan muda itu kini akan terpuaskan, dendamnya akan terbalas.
"Heh-heh-heh, semalam aku memang sudah mimpi melihat engkau terbakar hangus. Aku tidak mau memulai dengan siksaan-siksaan kecil, melainkan langsung saja membakarmu. Eh, kutu buku busuk, pernahkah engkau dipanggang hidup-hidup?"
Kok Siang tentu saja tahu apa yang dihadapinya. Akan tetapi dia adalah seorang pendekar sejati yang tidak takut menghadapi apapun juga. Maka, melihat wajah yang menyeringai itu, diapun tersenyum lalu menjawab dengan suara lantang.
"Pernah memang aku melihat, akan tetapi engkau yang dipanggang di api neraka, sehingga si Macan Tutul Laut berobah menjadi bangkai macan hangus, ha-ha-ha!"
"Keparat!" bentak Hai-pa-cu (Macan Tutul Laut) Can Hoa dan dengan tangan membentuk cakar dia hendak menyerang pemuda yang terbelenggu di atas dipan besi itu.
"Can Hoa!" terdengar Pat-pi Mo-ko membentak dan jagoan dari Yen-tai itu tidak melanjutkan serangannya melainkan menarik sebuah pipa besi mononjol di bawah dipan. Terdengar suara berkerotokan dan dari dalam lubang rahasia muncullah sebuah panci baja terisi minyak yang sudah bernyala, minyak bernyala itu berada tepat di bawah dipan dan sebentar saja Kok Siang sudah merasa betapa dipan yang ditidurinya berobah menjadi hangat, lalu panas, makin lama semakin panas. Dalam waktu beberapa menit saja, seluruh tubuhnya sudah menjadi basah, membasahi pakaiannya dan uap mengepul dari dipan itu. Akan tetapi, tidak terdengar sedikitpun keluhan dari mulut pemuda itu. Dia hanya memejamkan kedua matanya dan karena dia tidak mampu mengerahkan sin-kang, diapun hanya menyerahkan nasib kepada Tuhan saja. Akan tetapi, hawa panas itu ternyata menolongnya karena dia merasa betapa pengaruh totokan itu telah pudar dan bebas. Maka diapun mengumpulkan tenaga sin-kang dan mengerahkan hawa di tubuhnya untuk melawan rasa panas sehingga keadannya tidaklah sehebat tadi, penderitaannya berkurang, walaupun kalau dilanjutkan, akhirnya dia tentu akan terbakar hangus.
Tiba-tiba terdengar suara Kim Hung lantang, akan tetapi nadanya masih mencemoohkan dan memandang rendah. "Huh, biar kau bakar dia, biar kau cincang dia, apa hubungannya dengan kami" Kalau dia kalian bunuh, aku akan menganggap dia mati karena aku, maka kalian berhutang nyawa kepadaku!"
Mendengar ini, Pat-pi Mo-ko memberi isyarat dan dengan kecewa sekali Hai-pa-cu Can Hoa menyingkirkan panci minyak bernyala itu dengan menarik pipa besi. Panci bersama api bernyala itu lenyap dalam lubang rahasia. Dan Kok Siang bahkan makin tersiksa lagi. Setelah tadi mengerahkan sin-kang melawan panas yang luar biasa, kini tiba-tiba saja api itu disingkirkan dan diapun menggigil! Kim Hong melihat hal ini, akan tetapi tahu bahwa pemuda itu telah terhindar dari bencana. Diam-diam dicatatnya di dalam hati tentang perbuatan Hai-pa-cu Can Hoa ini.
Pat-pi Mo-ko menghampiri Kim Hong. "Aku tidak ingin menanam kebencian di hatimu, nona. Nah, mari kita bicara dengan baik. Benarkah engkau den Pendekar Sadis telah menemukan kunci emas itu" Hanya kunci emas saja" Tidak bersama petanya?"
Kim Hong teringat akan pemberitahuan Kok Siang tentang peta palsu dan diam-diam iapun tertawa di dalam hati, mentertawakan iblis ini. Pertanyaan yang diajukan oleh iblis ini, tentang peta membuktikan kebenaran omongan Kok Siang dan agaknya iblis ini sudah tahu pula bahwa yang dikuasainya itu hanyalah peta palsu belaka!
Su Tong Hak yang agaknya juga menaruh perhatian kepada seluruh peristiwa itu, tiba-tiba saja ikut bicara. "Nona, sebaiknya kalau kalian bekerja sama. Bouw-sicu. Kalian akan depat ikut menikmati hasilnya. Kalau menentang, berarti akan membuang nyawa dengan sia-sia dan tidakkah sayang sekali seorang muda seperti nona mati konyol?"
"Ha-ha-ha, ucapan berbau busuk!" terdengar suara Kok Siang. Semua orang menoleh karena terkejut. Pemuda yang baru saja tersiksa itu sudah dapat tertawa dan mengejek lagi! "Mati muda dalam kebenaran adalah matinya seorang gagah, akan tetapi matinya seorang jahat dalam kehinaan sama dengan matinya seekor babi!"
Kim Hung juga memandang kepada pedagang itu dan membentak. "Su Thong Hak! Engkau pengkhianat tak tahu malu, sudah mencelakakan keluarga kakakmu senndiri sampai Ciang Gun dan isterinya terbunuh, juga keponakanmu Ciang Kim Su terbunuh. Sekarang masih berani membuka mulut di depanku?"
Bentakan dan ejekan Kim Hong dan Kok Siang sungguh mengejutkan hati orang she Su ini, apalagi bentakan Kim Hong yang mengingatkan dia akan perbuatannya yang kejam itu. "Tidak... tidak...!" Dia menggeleng kepala. "Aku tidak membunuh mereka... dan Kim Su tidak mati..."
"Diam!" Pat-pi Mo-ko membentak dan orang itu surut ke belakang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Tentu saja Kim Hong mencatat semua ini di dalam hatinya.
"Nah, nona Toan, kami bemaksud baik dan berniat untuk kerja sama dengan engkau dan Pendekar Sadis. Maka, harap kauceriterakan semua yang kalian ketahui tentang rahasia harta pusaka ini."
Kim Hong maklum bahwa baginya tidak ada jalan lain kecuali menceritakannya, karena menceritakan hal itupun tidak ada salahnya. Akan tetapi ia tetap bersikap angkuh. "Hemm, Pat-pi Mo-ko, engkau tentu mengerti bahwa dunia kita berlainan, kita saling berselisih jalan, engkau berkecimpung dalam dunia sesat dan kami bukanlah orang-orang yang suka mengejar harta dengan kejahatan. Mana mungkin kita dapat bekerja sama?"
Si tinggi besar itu menarik napas panjang dan berkata dengan suara bersungguh hati. "Nona Toan, engkau tentu maklum bahwa tidak ada orang di dunia ini mau menempuh jalan sesat yang penuh dengan bahaya kalau tidak terpaksa. Kalau kita berhasil memperoleh harta karun Jenghis Khan dan bagianku lebih dari cukup, untuk apa lagi aku mengambil jalan sesat" Aku akan mencuci tangan dan hidup makmur dan tenteram dengan harta itu."
"Hemm, hal itu masih harus dibuktikan. Akan tetapi, engkau bicara tentang kerja sama. Apakah begini caramu bekerja sama, Pat-pi Mo-ko" Yang diajak kerja sama harus terlentang di dipan penyiksaan dengan kaki tangan terbelenggu dan tubuh tertotok?"
"Maafkan dulu, nona. Engkau adalah seorang yang lihai dan dalam keadaan bebas akan mendatangkan banyak repot bagi kami. Aku harus yakin dulu bahwa engkau benar-benar mau bekerja sama, dan setelah aku yakin barulah kita akan bicara seperti antara sahabat dan rekan yang bekerja sama. Nah, sekarang ceritakanlah. Ceritamu akan menjadi pertimbangan apakah benar engkau mau bekerja sama denganku."
Seorang penjahat yang matang dan cerdik sekali. Seorang lawan yang tangguh dan berbahaya, pikir Kim Hong.
"Baiklah. Denjarkan. Kami berdua tidak sengaja mencampuri urusan harta karun Jenghis Khan ini. Di An-keng kami melihat kakek Ciang Gun dikejar-kejar dan diserang anak buah Liong-kut-pian Ban Lok. Kami turun tangan, akan tetapi tidak berhasil menyelamatkan kakek petani itu walaupun kami dapat membunuh Liong-kut-pian dan dari kakek itu kami menerima kunci emas dan kami ditugaskan untuk mencari puteranya, Ciang Kim Su, membantunya untuk mencari harta karun yang menjadi haknya. Sampai di sini, kami mendengar dari orang she Su ini bahwa peta itu dibagi dua antara dia dan Kim Su dan bahwa peta bagiannya hilang dan Kim Su pun lenyap entah ke mana. Nah, selanjutnya tentu engkau sudah tahu sampai aku terjebak olehmu waktu ini."
Pat-pi Mo-ko mengerutkan alisnya yang tebal. "Kakek Ciang Gun itu tidak memberikan sebuah peta lain kepada kalian berdua?" tanyanya sambil memandang tajam. Kim Hong maklum apa artinya pertanyaan ini. Kembali bukti kebenaran dan pemberitahuan Kok Siang tentang peta tulen. Penjahat ini bukan hanya mencari emas, melainkan juga peta aselinya! Ia menggeleng kepala dan berkata. "Kami justeru hendak mencari peta itu yang katanya hilang dan kami yakin bahwa engkaulah yang menguasai peta itu, bukan?"
Pat-pi Mo-ko mengangguk. "Memang benar."
"Akan tetapi peta itu tiada gunanya kalau engkau tidak memiliki kunci emasnya, bukankah begitu?" Kim Hong memancing karena kiranya tidak perlu disembunyiken lagi kenyataan bahwa mereka saling memperebutkan peta dan kunci emas.
Kakek itu merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah benda. "Sudah ada padaku."
Kim Hong terkejut, bahkan Kok Siang mengeluarkan seruan heran melihat bahwa benda di tangan kakek itu adalah sebuah kunci emas! Kim Hong segera mengenal kunci emas palsu yang biasanya dibawa oleh Thian Sin! Tentu saja jantungnya berdebar tegang. Bagaimana mungkin kunci emas itu, kunci emas yang palsu dapat dikuasai oleh kakek ini.
"Dari mana engkau memperoleh kunci emas itu?"
Kakek itu tersenyum. "Tak perlu kau tahu, pokoknya kunci emasnya telah berada padaku."
Hening sejenak dan dengan pandang matanya yang tajam Kim Hong menatap wajah orang. Ia dapat melihat bahwa di dalam mata kakek ini tidak ada sinar tanda kebanggaan atau kemenangan, maka hatinyapun lega. Entah bagaimana kunci itu dapat diambilnya, akan tetapi ia merasa yakin bahwa Thian Sin dalam keadaan selamat. Kalau kakek ini mampu merobohkan atau membunuh Thian Sin, tentu kakek ini akan merasa bangga sekali, akan membual di depannya atau setidaknya akan nampak dalam sinar matanya.
"Hemm, Pat-pi Mo-ko, peta sudah ada padamu juga kunci emasnya sudah ada padamu. Kenapa pula engkau masih mengganggu dan menjebakku" Apa artinya perbuatanmu yang curang ini?"
Kakek hitam tinggi besar itu nampak kecewa dan penasaran sekali. Dia menjatuhkan diri duduk di atas bangku dekat dipan dimana Kim Hong terbelenggu dan sambil menetap tajam wajah Kim Hong dia menggeleng kepala. "Peta yang dibagi dua antara Ciang Kim Su dan Su Tong Hak itu adalah peta palsu! Sudah kuselidiki menurut peta dan aku tidak dapat menemukan apa-apa."
"Ha-ha-ha-ha!" Terdengar Kok Siang tertawa bergelak dan diam-diam Kim Hong merasa kaget dan khawatir sekali. Apakah pemuda itu tidak dapat melihat suasana sehingga berani tertawa, mentertawakan iblis yang sedang dilanda kekecewaan dan penasaran itu" Benar saja, Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng menoleh ke arah pemada itu dan mukanya yang hitam itu menjadi semakin hitam karena marah, matanya mengeluarkan sinar kilat dan Kim Hong takkan merasa heran kalau iblis itu segera turun tangan membunuh Kok Siang.
"Orang she Bu, kenapa kau tertawa?" Suara iblis itu terdengar tenang saja, akan tetapi di balik ketenangan itu jelas terbayang kemarahan besar.
Kok Siang yang sudah terbebas dari totokan oleh hawa panas tadi, masih tertawa geli, kemudian berkata. "Siapa tidak akan tertawa mendengar kelucuan itu" Harta karun Jenghis Khan, sudah mengorbankan banyak nyawa, tenaga dan pikiran, dan ternyata hanya merupakan lelucon dari Jenghis Khan! Ha-ha, raja itu memang hebat, pandai, kuat, gagah, keras, kejam dan juga seorang pelawak besar!"
Pat-pi Mo-ko bangkit dari tempat duduknya, dan pada saat itu, Kim Hong yang melihat bahwa kemarahan iblis itu mungkin saja akan berarti tewasnya Kok Siang yang mengeluarkan ejeken bukan pada saat yang tepat itu, segera berkata. "Hemm, Pat-pi Mo-ko, ternyata engkau yang sudah menjadi seorang tokoh kawakan di dunia kang-ouw, mudah saja ditipu orang. Kiranya tidak sukar untuk menyelidiki di mana adanya peta yang tulen."
Ucapan Kim Hong ini seporti sinar terang di antara kegelapan yang menyelubungi pikiran Pat-pi Mo-ko, juga membuat semua orang yang hadir di situ memandang ke arahnya. Tidak ketinggalan Kok Siang menoleh dan memandang kepada Kim Hong dengan alis berkerut dan pandang mata kaget.
Pat-pi Mo-ko sudah sering mendengar akan kelihaian dan kecerdikan Pendekar Sadis. Dan karena wanita cantik ini adalah sahabat dan kekasih Pendekar Sadis, maka tentu bukan merupakan seorang wanita sembarangan. Timbullah harapan di dalim hatinya. Sudah berbulan-bulan dia tersiksa oleh rahasia harta karun Jenghis Khan ini. Ketika dia mula-mula dihubungi oleh Su Tong Hak, dia tidak percaya dan tidak begitu menaruh perhatian. Dia mengenal saudagar ini melalui Phang-taijin, jaksa di kota raja yang kini menjadi sahabat baik dan pelindungnya.
Pat-pi Mo-ko adalah seorang yang berilmu tinggi dan baru dua tahun dia tinggal dl kota raja setelah meninggalkan guha pertapaannya di sebuah gunung di barat. Begitu terjun ke dunia kang-ouw, dia mengalahkan dan menundukkan semua tokoh sesat dan diapun akhirnya diakui sebagai raja tanpa mahkota di antara tokoh sesat di kota raja dan daerahnya. Banyak tokoh-tokoh dari luar kota yang merasa penasaran dan datang untuk menentang jagoan baru ini, akan tetapi satu demi satu roboh di tangan Pat-pi Mo-ko sehingga akhirnya tak seorangpun lagi yang berani menantangnya. Akan tetapi, kota raja bukaniah merupakan tempat di mana seorang tokoh sesat dapat bersimaharajalela seenaknya saja karena selain di kota raja terdapat banyak orang pandai dan pendekar-pendekar, juga jagoan-jagoan istana banyak yang memiliki kepandaian tinggi, di samping adanya para penjaga keamanan yang amat kuat dan terlampau kuat bagi para penjahat. Oleh karena itu, Pat-pi Mo-ko juga tidak berani menonjolkan dirinya.
Iblis tinggi besar berkulit hitam ini memang mempunyai seorang saudara, seorang adik yang kaya raya dan terkenal dengan sebutan Bouw wan-gwe (hartawan Bouw), yang tinggal di kota raja. Akan tetapi, adiknya ini sejak muda tidak suka kepada kakaknya yang mempunyai kebiasaan dan kesukaan yang lain dari pada dia. Kalau dia sejak kecil tekun berdagang dan mencari uang, kakaknya itu lebih suka berkeliaran, belajar ilmu silat, bergulang-gulung dengan orang-orang jahat. Maka Bouw wan-gwe inipun diam-diam merasa tidak suka kepada Pat-pi Mo-ko! Bouw Kim Seng, biarpun dengan terpaksa karena takut dia juga memberi uang dan bahkan membelikan rumah untuk kakaknya itu. Dan pada suatu hari, Bouw wan-gwe memperkenalkan kakaknya itu dengan Phang-taijin, jaksa di kota raja yang pada waktu itu membutuhkan bantuan seorang yang berkepandaian tinggi, yaitu untuk menyingkirkan beberapa orang musuhnya. Sebagai seorang jaksa, Phang-taijin mempunyai tiga orang musuh, dua di antaranya adalah sesama rekannya yang menentangnya karena persoalan sogokan orang yang terlibat dalam perkara dan dua orang itu mengancam untuk melaporkan kecurangannya dalam menangani perkara itu kepada atasan. Yang seorang lagi adalah seorang penjahat yang merasa dilakukan dad diadili secara sewenang-wenang oleh Phang-taijin. Melihat bahwa kedudukan jaksa Phang-taijin akan dapat melindunginya, maka dengan senang hati Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng memenuhi permintaan ini dan dengan mudah dia dapat membunuh tiga orang musuh yang membahayakan keselamatan Phang-taijin itu tanpa ada yang mengetahui dan menyangkanya. Mulai saat itulah Pat-pi Mo-ko menjadi orang kepercayaan Phang-taijin. Pat-pi Mo-ko melindungi pembesar itu dari para saingannya, sebaliknya pembesar itu melindungi si penjahat untuk bersembunyi di kejaksaan. Bahkan dengan mudahnya Pat-pi Mo-ko menghubungi para tokoh penjahat di ibu kota, menguasai mereka dan menekan mereka agar mereka semua melakukan operasi di luar kota raja. Dengan demikian, mereka tidak akan bentrok dengan kedudukan dan tugas Phang-taijin, sebaliknya pembesar inipun menutupkan matanya terhadap pembantunya yang menjadi raja tanpa mahkota diantara para tokoh penjahat di kota raja.
Ketika Pat-pi Mo-ko berhubungan dengan Su Tong Hak, dia berhasil menguasai dua peta yang berada di tangan Su Tong Hak dan Ciang Kim Su dan dengan perjanjian akan bekerja sama dan memperoleh bagian masing-masing, mereka berdua lalu mencari tempat rahasia menurut petunjuk peta itu. Namun, hasilnya selalu nihil dan gagal! Sampai berbulan-bulan mereka mencari-cari, namun ternyata peta itu tidak membawa mereka ke tempat penyimpanan harta karun yang diidam-idamkan itu. Apa lagi kunci emas belum juga dapat ditemukan. Mereka mendengar tentang kunci emas ini baru belakangan ini dan ketika Pat-pi Mo-ko mengutus orangnya menuju ke dusun Cin-bun-tang di daerah An-keng, utusan itu kembali dengan tangan kosong mengatakan bahwa kakek petani itu dan isterinya telah tidak ada lagi di dusun. Isterinya terbunuh orang jahat dan kakek itu sendiri lenyap tanpa ada yang mengetahui ke mana perginya!
Tentu saja Pat-pi Mo-ko menjadi penasaran, marah dan kecewa. Sampai akhirnya dia mendengar dari sisa anak buah Liong-kut-pian Ban Lok yang dilaporkan oleh para pembantunya bahwa Ban Lok dan kawan-kawannya yang telah membunuh suami isteri petani itu juga betapa Ban Lok terbunuh oleh seorang pemuda dan seorang gadis yang lihai sekali, juga bahwa diduga, kunci emas itu berada di tangan pemuda dan dara itu. Maka mulailah anak buahnya melakukan pengejaran dan pencarian, juga dia mengutus muridnya untuk mendekati mereka setelah dia mendengar bahwa pemuda itu adalah Pendekar Sadis!
Setelah dia berhasil menerima kunci emas dari muridnya sebagai hasil bujuk rayu muridnya atau keponakannya yang cantik itu terhadap Pendekar Sadis, hatinya menjadi semakin kecewa dan penasaran lagi. Kunci emas sudah didapatkan, akan tetapi peta itu ternyata palsu dan tidak mampu membawanya ke tempat penyimpanan harta karun Jenghis Khan. Inilah yang membuat dia semakin kecewa dan penasaran. Kini, dalam keadaan hampir putus asa mendengar ucapan Kim Hong yang mengatakan bahwa tidak sukar untuk menyelidiki di mana adanya peta yang tulen, tentu saja semangatnya tergugah dan harapannya timbul kembali. Wajahnya berseri ketika dia mendekati dipan di mana Kim Hong terbelenggu.
"Nona Toan, maukah engkau bekerja sama dengan kami?"
Kim Hong mengerutkan alisnya, mengambil sikap seperti orang berpikir. Padahal, ia memang sengaja mencari kesempatan untuk membuat penjahat ini membutuhkannya. Melihat kunci emas itu telah berada di tangan penjahat ini, biarpun ia tidak melihat tanda-tanda bahwa kekasihnya mengalami bencana, namun hatinya merasa gelisah dan ragu. Bagaimanapun juga, kenyataan membuktikan bahwa kekasihnya telah menyerahkan kunci itu atau dipaksa menyerahkan dan tentu telah terjadi sesuatu dengan Thian Sin. Kalau hal ini benar, maka sebaiknyalah kalau ia mendekati dan berbaik dengan Pat-pi Mo-ko, bukan karena harta karun itu karena ia tahu bahwa kepala penjahat ini hanya memiliki peta dan kunci palsu belaka. Akan tetapi ia harus lebih dulu tahu bagaimana keadaan Thian Sin. Pula, ia harus pula melindungi Kok Siang yang masih terthwan, karena ia berkeyakinan bahwa pemuda inilah yang menguasai peta aselinya, sedangkan kunci emas yang aselinya ada pada ia dan Thian Sin.
"Pat-pi Mo-ko, kita sama-sama adalah petualang-petualang dan di mana ada kesempatan memperoleh keuntungan besar, tentu saja kami mau bekerja sama denganmu. Akan tetapi, bekerja sama yang bagaimana maksudmu?"
"Engkau membantuku dahulu mencari peta aseli dan menemukan harta karun Jenghis Khan."
"Imbalannya?" "Engkau mendapatkan seperempat bagian."


Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aka tidak mau menyerahkan sebagian dari hakku yang setengahnya atas harta karun itu kepadanya!" Tiba-tiba Su Tong Hak berkata.
"Diam dan jangan mencampuri urusan kami!" Bouw Kim Seng membentak dan pedagang itu undur kembali dengan alis berkerut.
"Pat-pi Mo-ko, engkau berkali-kaii mengajak aku untuk bekerja sama, akan tetapi engkau memperlakukan aku sebagai tawanan. Mana mungkin ini?"
"Maukah engkau" Berjanjilah lebih dahulu dan aku akan membebaskanmu."
"Aku berjanji akan bekerja sama denganmu!" Kim Hong berkata dengan suara bersungguh-sungguh.
"Toan Kim Hong!" Tiba-tiba Kok Siang berteriak dan nampak marah sekali "Kiranya sebegitu saja keteguhan hatimu! Setelah terjepit, nampak belangmu dan engkau mau saja bekerja sama dengan kaum sesat" Huh, kiranya engkau hanyal petualang yang haus akan harta kekayaan!"
"Bu Kok Siang! Tutup mulutmu dan jangan mencampuri urusanku!" Kim Hong juga membentak dengan marah.
"Engkau tak tahu malu! Engkau pengecut, huh, kalau aku bebas, sebelum menggempur para penjahat ini, engkau akan kuhancurkan lebih dulu!" Kok Siang berteriak marah.
"Kutu buku yang pura-pura menjadi orang gagah! Siapa takut akan ancamanmu" Engkau takkan lolos dari tempat ini dengan hidup!" Kim Hong memaki dan kedua orang itu saling mencela dan memaki. Melihat ini, Pat-pi Mo-ko diam-diam memandang dengan sinar mata berkilat dan wajah berseri. Lalu dia menghampiri Kim Hong dan dengan kedua tangannya sendiri dia melepaskan belenggu besi dari kaki dan tangan gadis itu dengan kunci, kemudian memulihkan jalan darah gadis itu yang masih tertotok. Kim Hong mengurut-urut pergelangan kaki dan tangannya yang terasa nyeri bekas belenggu besi. Pat-pi Mo-ko den para pembantunya siap menghadapi kalau-kalau gadis itu akan melanggar janjinya dan mengamuk. Akan tetapi Kim Hong tidak mengamuk, membereskan pakaiannya, lalu memandang kepada Pat-pi Mo-ko sambil tersenyum. "Mana siang-kiamku, apakah tidak dikembalikan kepadaku setelah kita menjadi rekan?"
"Nanti dulu, nona Toan, jangan tergesa-gesa. Pedang pasangan itu berada padaku dan kalau engkau membutuhkan, tentu akan kuberikan kepadamu. Sekarang katakan dulu, apa maksudmu tadi mengatakan bahwa tidak sukar untuk menyelidiki di mana adanya peta yang tulen?"
Kim Hong duduk di atas dipan bekas tempat ia dibelenggu, melonjorkan kedua kakinya dan menarik otot-ototnya yang tegang sebelum menjawab. Ia menatap wajah penjahat besar itu dan tahu bahwa ia harus berhati-hati. Sikap Pat-pi Mo-ko dan para pembantunya jelas menaruh kecurigaan besar kepadanya. Ia harus berdaya upaya menarik kepercayaan mereka. Hanya dengan demikianlah ia akan dapat mencari kesempatan untuk meloloskan diri dari tempat itu, juga untuk menyelamatkan Kok Siang, dan kalau perlu menolong Thian Sin, kalau benar seperti yang dikhawatirkannya bahwa kekasihnya itu mungkin saja terjebak pula seperti ia dan Kok Siang.
"Pat-pi Mo-ko, apa sih sukarnya menyelidiki hal itu" Pertama-tama, pembawa peta itu adalah Ciang Kim Su dan dialah orang pertama yang mungkin saja menyembunyikan peta aseli karena dia penemunya dan menggantikannya dengan peta palau untuk melindungi yang tulen kalau terjadi sesuatu. Maka kepadanyalah harus ditanyakan di mana adanya peta yang tulen, yakni kalau dia masih hidup."
Pat-pi Mo-ko mengangguk. "Sudah kami lakukan itu akan tetapi tanpa hasil."
"Hemm, apa sukarnya menyiksanya sampai dia mengaku" Dia hanya seorang pemuda petani lemah, disiksa sedikit saja tentu akan mengaku." kata pula Kim Hong dengan sikap kejam. "Aku tahu tentang beberapa cara penyiksaan yang akan membuat orang lemah mengaku. Misalnya, mencabuti kuku jari kaki dan tangan satu demi satu, menusukkan jerum ke bawah kuku jari tangan, merobek kulit pelipis melalui tarikan rambut pelipis ke atas. Biarkan aku yang menyiksanya, tentu dia mengaku."
"Tidak, jangan siksa lagi dia! Dia sudah hampir... hampir mati..."
"Plakk!" Tubuh pedagang itu terpelanting ketika terkena sambaran tangan Pat-pi Mo-ko yang menamparnya.
"Sudah beberapa kali kuperingatkan. Jangan engkau lancang mulut den mencampuri urusan ini! Sekali lagi melanggar, aku akan lupa diri dan akan membunuhmu pula!"
Su Tong Hak yang tadinya merasa menjadi sekutu tokoh sesat itu, kini berdiri dengan muka pucat dan baru dia menyadari bahwa dia sendiri berada di dalam bahaya, bahwa nyawanya seperti telor di ujung tanduk. Mulailah dia merasa ketakutan dan bingung, hanya mengangguk-angguk dan mundur sampai ke sudut ruangan.
Tentu saja semua ucapan dan sikap ini tidak terlepas dari pandang mata Kim Hong yang tajam. Ia menduga bahwa agaknya pemuda petani itu masih hidup, akan tetapi dalam keadaan parah karena disiksa. Mulailah ia dapat mengerti dan menggambarkan keadaan. Agaknya pemuda petani itu telah datang ke kota raja dan diantar oleh pamannya yang berhati busuk itu kepada Louw siucai. Dan siucai tua itu telah menterjemahkan peta, akan tetapi mungkin sekali siucai itu telah menukarnya dengan yang palsu. Peta itu setelah diterjemahkan lalu diterima oleh Kim Su dan dibagi dengan pamannya. Akan tetapi agaknya Su Tong Hak bersekongkol dengan Pat-pi Mo-ko dan pemuda petani yang sedang menuju pulang itu lalu dicidik dan dirampas bagian petanya. Kemudian, setelah gagal menemukan tempat rahasia harta karun melalui peta, Pat-pi Mo-ko baru sadar bahwa peta itu palsu dan mereka lalu menyiksa Ciang Kim Su yang mereka kira mengetahui di mana adanya peta yang aseli.
"Nona Toan, perkiraanmu itupun telah menjadi perkiraan kami. Akan tetapi agaknya peta tulen tidak berada di tangan pemuda petani itu."
"Kalau begitu, masih ada beberapa kemungkinan lain. Peta tulen itu bisa saja berada di tangan sasterawan yang menterjemahkan itu yang menukarnya dengan yang palsu. Akan tetapi, sasterawan itu kabarnya telah mati terbunuh, jadi tentu peta itu berada di tangan pembunuhnya." Berkata demikian, Kim Hong menanti dan memandang penuh perhatian.
"Tidak! Tidak...!" Tiba-tiba Su Tong Hak berteriak ketika melihat betapa Pat-pi Mo-ko menoleh dan memandang kepadanya dengan sinar mata mencorong. "Kami sudah memeriksa dengan teliti dan tidak menemukan apa-apa di rumahnya. Tanya saja kepada Hai-pa-cu Can Hoa kalau tidak percaya!"
"Sesungguhnyalah, kami berdua tidak menemukan apa-apa di sana." Kata Hai-pa-cu Can Hoa dengan suara tenang. Tentu saja jawaban kedua orang ini sudah menjelaskan kepada Kim Hong dan juga kepada Kok Siang siapa orangnya yang membunuh Louw siucai. Bukan lain adalah Su Tong Hak yang mungkin menjadi petunjuk jalan dan yang melaksanakan adalah Hai-pa-cu Can Hoa! Akan tetapi Kok Siang sama sekali tidak memperlihatkan reaksi apapun pada wajahnya yang masih memandang kepada Kim Hong dengan marah.
"Hemm, dalam urusan ini banyak orang tersangkut dan kita tidak tahu siapa yang palsu. Akan tetapi, kalau kita bekerja sama, aku akan menemukan peta itu, Pat-pi Mo-ko! Aku berjanji akan menemukannya dan menemukan orangnya yang bertindak curang kepadamu!"
Pat-pi Mo-ko tersenyum, "Bagaimanapun juga, engkau yang tadi masih menjadi musuh kami, mana mungkin dapat kupercaya kalau tidak ada bukti tentang kesetia kawananmu lebih dulu?"
"Engkau hendak mencoba" Cobalah!" kata Kim Hong.
"Memang, kami harus menguji kesetiaanmu. Malam ini juga. Engkau harus membantu kami menundukkan saingan kita. Engkau sudah membunuh Liong-kut-pian Ban Lok. Nah, gerombolannya itulah saingan kita dan hampir saja mereka berhasil merampas kunci emas dari kakek Ciang Gun. Liong-kut-pian Ban Lok masih mempunyai seorang suheng yang jauh lebih lihai dari padanya, dan suhengnya itulah yang kini memimpin gerombolan mereka untuk menyaingi kita. Siapa tahu, mereka telah berhasil mendapatkan peta yant tulen! Maka, sebelum mereka bergerak mendapatkan kunci emasnya yang telah ada padaku, kita harus mendahului mereka dan menghancurkan mereka. Musuh-musuh yang akan mendatangkan kerepotan harus sampai ke akar"akarnya. Nah, sanggupkah engkou membantuku?"
"Baik, aku akan membantumu, Mo-ko. Akan tetapi kutu buku itu tidak ada sangkut pautnya dengan urusan kita. Lebih baik tendang dia keluar saja!"
Pat-pi Mo-ko memandang tajam. "Apakah engkau tidak ingin melihat dia tersiksa dan terbunuh dan menghendaki dia bebas, nona?"
Kim Hong tersenyum mengejek. "Apa peduliku dengan dia" Kami bukan apa-apa, hanya secara kebetulan saja berkenalan!"
"Kalau begitu, biarlah dia sementara menjadi tahanan kita di sini sampai selesai urusan ini. Kalau sekarang dia dibiarkan bebas, tentu dia hanya akan mendatangkan kerepotan saja. Dia telah berani menentangku, karena itu dia harus dihukum!" Pat-pi Mo-ko lalu memerintahkan anak buahnya untak menjaga baik-baik pemuda itu agar jangan sampai lolos, akan tetapi juga melarang pemuda itu diganggu atau dibunuh. Setelah itu, diapun mengajak Kim Hong pergi meninggalkan Kok Siang.
Ketika Kim Hong melihat bahwa pasukan yang hendak dibawa oleh tokoh sesat itu sama sekali bukan anak buahnya atau orang-orang biasa, melainkan pasukan pemerintah, ia merasa heran sekali. Ditanyakannya hal ini kepada Bouw Kim Seng dan orang ini tertawa.
"Memang sebaiknya kita berlindung di balik pasukan pemerintah yang hendak mengadakan pembersihan terhadap sarang penjahat, bukan" Ha-ha-ha, nona Toan. Orang harus mempergunakan kecerdikan otak, bukan hanya mengandalkan kekuatan otot belaka."
"Di mana pedangku?" "Jangan khawatir, pedangmu sudah dibawa dan sewaktu-waktu kau membutuhkan tentu akan kuserahkan kepadamu."
"Mo-ko, engkau masih tidak percaya kepadaku! Hemm, andaikata aku melanggar janjiku, sekarangpun aku dapat berbalik melawanmu, tidak perlu mempergunakan pedang!" kata Kim Hong mendongkol.
KAKEK hitam itu tertawa. "Engkau takkan menentangku, nona. Engkau terlampau cerdik untuk melakukan kebodohan itu. Pertama, engkau sudah mengeluarkan janji membantuku. Ke dua, kalau engkau memberontak, engkau akan berhadapen langsung dengan aku dan pasukan pemerintah. Ke tiga, pemuda sasterawan itu akan kami bunuh lebih dulu. Ke empat, engkau tidak akan mendapatkan bagian harta karun Jenghis Khan. Ha-ha-ha, tidak, engkau tidak sebodoh itu."
Kim Hong merasa lega. Setidaknya, ia merasa yakin bahwa untuk sementara waktu Kok Siang berada dalam keadaan aman. Ia tadi memang sengaja memperlihatkan sikap mengejek dan menghina kepada Kok Siang yang ditanggapi dengan baik sekali oleh pemuda sasterawan yang cerdas itu. Mereka memperlihatkan sikap yang saling mengejek dan bermusuhan sehingga dengan demikian pemuda itu dijauhkan dari prasangka buruk. Kalau sampai diketahui atau terduga oleh Mo-ko bahwa peta aselinya berada di tangan pemuda itu, tentu keselamatan Kok Siang takkan dapat dijamin lagi. Untuk sementara ini, ia harus berpura-pura menurut dan bekerja sama dengan iblis ini. Kalau tidak, selain nyawa Kok Siang terancam, juga ia sendiri dapat terancam bahaya besar. Ia harus menyelamatkan Kok Siang dulu, baru ia akan meloloskan diri sendiri dan hal ini agaknya tidak akan mudah, harus menanti saat yang baik.
Penyerbuan ke sarang penjahat bekas pimpinan Liong-kut-pian Ban Lok berjalan dengan amat lancar. Anak buah penjahat yang jumlahnya hanya kurang lebih dua puluh lima orang itu tidak mampu mengadakan perlawanan yang berarti terhadap serbuan seratus orang pasukan keamanan. Mereka dirobohkan atau ditangkap dengan alasan melakukan kejahatan dan kekacauan di kota raja. Mereka tentu saja melakukan perlawanan, namun segera mereka itu tertangkap semua karena kalah banyak. Hanya seorang saja yang masih mengamuk dan dia ini adalah Sin-siang-to Tang Kin. Sesuai dengan julukannya, Sin-siang-to (Sepasang Golok Sakti) memutar sepasang goloknya dan tidak ada anggauta pasukan yang mampu mendekatinya, apa lagi menangkapnya. Sepasang goloknya membentuk sinar bergulung-gulung yang dahsyat dan setiap ada senjata perajurit yang mendekat, tentu terpental atau patah-patah. Tiba-tiba Pat-pi Mo-ko erteriak menyuruh komandan pasukan menarik mundur para perajurit yang mengeroyok Sin-siang-to Tang Kin. Dia sendiri bersama Kim Hong menghampiri kepala gerombolan itu. Kim Hong memandang dengan penuh perhatian. Kepala gerombolan itu adalah seorang kakek yang usianya sekitar lima puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus. Suheng dari mendiang Liong-kut-pian Ban Lok ini memang jauh lebih lihai dari pada sutenya. Dari permainan sepasang golok tadi Kim Hong sudah melihat betapa lihainya sepasang golok itu. Ia sendiri tadi membantu Mo-ko, dengan mudah merobohkan beberapa orang anak buah gerombolan musuh.
Sin-siang-to Tang Kin melintangkan sepasang goloknya di depan dada dan memandang kepada Pat-pi Mo-ko dan Kim Hong dengan mata mendelik marah. Tadi dia sudah mendengar pelaporan anak buahnya sebelum mereka itu ditangkap semua bahwa penyerbuan pasukan pemerintah ini dipimpin oleh Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng, tokoh jahat di kota raja yang seolah-olah menjadi raja di antara para penjahat, akan tetapi yang selalu menyembunyikan diri itu. Dan diapun mendengar bahwa wanita cantik yang membunuh satenya juga datang bersama Pat-pi Mo-ko. Kini, biarpun dia belum pernah bertemu dengan mereka berdua, begitu berhadapan, dia tahu bahwa inilah dua orang itu.
"Hemm, sekarang nampaklah belangmu, Pat-pi Mo-ko!" katanya mengejek. "Kiranya engkau berlindung di bawah naungan pasukan pemerintah. Huh, tokoh kang-ouw macam apa engkau ini?"
Pat-pi Mo-ko hanya tertawa dan tidak menjadi marah. "Sin-siang-to, sudah lama aku mendengar namamu yang menggempartan di pantai timur dan baru karena kebetulan kita saling bertemu di sini. Engkau melanjutkan gerakan sutemu, memimpin anak buah mengacau di kota raja. Kalau kami pasukan datang membasmi gorombolanmu, hal itu sudah jamak dan jangan kau menyalahkan aku. Aku menentang sutemu karena dia telah berani menyaingi aku. Sekarang, semua anak buahnya telah diringkus. Kalau engkau membantuku dan bekerja untukku, biarlah aku ampuni engkau dan kita bekerja sama!"
"Lebih baik mampus! Siapa takut padamu?" bentak Sin-siang-to sambil mengelebatkan goloknya.
"Ha-ha, sudah kuduga bahwa engkau akan keras seperti itu, aku sengaja mengajak nona Toan ini untuk membunuhmu seperti yang telah dilakukannya kepada sutemu."
Sin-siang-to Tang Kin kini memandang kepada Kim Hong. Sambil menudingkan golok kanannya ke arah muka Kim Hong, dia berkata, "Aku sudah mendengar bahwa suteku tewas di tanganmu. Hal ini kuanggap lumrah karena memang suteku bermain api. Akan tetapi, sekarang ternyata bahwa engkau hanyalah kaki tangan Pat-pi Mo-ko, maka marilah kita membuat perhitangan atas kematian sute!" Setelah berkata demikian, Sin-siang-to sudah menerjang ke depan dan dua sinar berkelebat menyambar dari kanan kiri, ke arah leher dan pinggagg Kim Hong.
Kim Hong dapat menduga orang macam apa adanya ahli golok ini. Seorang tokoh sesat juga, maka iapun tidak ragu-ragu untuk menghadapinya. Menyingkirkan seorang seperti ini bukan hanya perlu untuk menumbuhkan kepercayaan Pat-pi Mo-ko kepadanya, akan tetapi juga berarti menyingkirkan sebuah sumber penyakit dari rakyat jelata. Karena ia mendapat kenyataan bahwa Pat-pi Mo-ko tidak juga memberikan sepasang pedangnya kepadanya, maka iapun bergerak cepat mengelak dari dua serangan yang cukup berbahaya itu. Gerakannya memang gesit sekali, karena gin-kang dari nona ini sudah mencapai tingkat yang amat tinggi sehingga Sin-siang-to Tang Kin terkejut bukan main ketika tiba-tiba melihat nona itu menghilang! Akan tetapi dia dapat menangkap gerakan di sebelah belakangnya, maka dia cepat membalikkan tubuh dan kembali sepasang dari goloknya bersilang dan berkelebat dari atas dan bawah! Memang hebat permainan golok pasangan dari kakek ini sehingga Kim Hong terpaksa harus mempergunakan kecepatan gerakannya lagi untuk menghindarkm diri dari sambaran golok. Terjadilah perkelahian yang nampaknya berat sebelah karena kakek itu selalu menghujankan serangan sedangkan Kim Hong hanya mengelak ke sana sini dengan amat cepatnya. Hanya kadang-kadang saja kalau ada kesempatan membalas dengan tendangan atau pukulan tangannya. Akan tetapi, kesempatan itu sedikit sekali karena gerakan sepasang golok itu membentuk sinar bergulung-gulung yang amat cepat dan luas.
Kim Hong adalah seorang wanita yang selain tinggi ilmu silatnya, juga amat cerdik. Ia sedang menanti kesempatan untuk mendapatkan kepercayaan dan untuk dapat membebaskan Kok Siang. Dan untuk mendapatkan kepercayaan ia harus menyembunyikan kepandaian, agar iblis itu tidak merasa khawatir dan akan menganggapnya tidak berbahaya. Oleh karena itu, ia harus melayani Sin-siang-to ini dengan sedapat mungkin menyembunyikan kepandaian aselinya, hanya mengeluarkan ilmu yang sederhana saja. Akan tetapi, celakanya, Sin-siang-to Tang Kin bukanlah lawan sembarangan yang boleh dihadapi dengan ilmu yang rendah. Sepasang goloknya sedemikian lihainya sehingga kalau Kim Hong ingin selamat, ia harus mengerahkan gin-kangnya. Apa lagi untuk merobohkannya. Tentu ia harus menggunakan ilmunya yang tinggi. Hal ini membuat Kim Hong kerepotan juga. Di satu pihak ia ingin menyembunyikan kepandaiannya dari mata Mo-ko yang ia tahu membiarkan ia menghadapi Sin-siang-to untuk mencobanya, mencoba kepandaiannya dan mencoba kesetiaannya. Di lain pihak ia harus mengerahkan kepandaian untuk dapat mengimbangi kelihaian lawan ini. Maka ia menjadi serba salah dan ragu-ragu dan terdesak hebat!
Pat-pi Mo-ko melihat perkelahian itu dengan penuh perhatian. Dia membiarkan gadis itu terdesak sampai puluhan jurus dan diam-diam dia mengagumi gin-kang yang hebat dari gadis itu, mengaku bahwa dia sendiripun kalau harus bertanding dalam hal gin-kang, tidak akan dapat menandingi gadis itu. Dari gerakannya saja dia dapat menduga bahwa kalau gadis itu memperoleh kembali sepasang pedangnya, tentu akan mampu menandingi Sin-siang-to walaupun belum tentu akan dapat menang. Ilmu sepasang golok dari Tang Kin memang istimewa dan lihai sekali.
"Tahan...!" Bentaknya dan nampak dua gulungan sinar hitam ketika kakek tinggi besar ini menerjang ke depan. "Sin-siang-to, perlihatkan kepandaianmu kepadaku!" Den sepasang pedang bersinar hitam di tangan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng sudah bergerak menyerang dengan gerakan dahsyat sekali.
Kim Hong yang sudah meloncat ke belakang itu terkejut dan mendongkol. Ternyata yang dipergunakan oleh Pat-pi Mo-ko adalah sepasang pedang Hok-mo Siang-kiam, sepasang pedangnya yang dirampas ketika ia pingsan. Akan tetapi ia segera dapat mengusir rasa gemas ini dan diam-diam ia memperhatikan permainan pedang itu. Kiranya iblis inipun merupakan seorang ahli ilmu silat pedang pasangan! Din ia mendapat kenyataan betapa ganas dan dahsyatnya sepasang pedangnya itu ketika dimainkan oleh Pat-pi Mo-ko benar-benar merupakan seorang lawan yang amat tangguh, yang harus dihadapi dengan hati-hati. Agaknya tingkat kepandaian kakek iblis hitam ini tidak berada di bawah tingkat para datuk kaum sesat yang pernah dilawannya beberapa tahun yang lalu!
Agaknya memang Pat-pi Mo-ko sengaja hendak memamerkan kepandaiannya. Dia mengeluarkan jurus-jurus terampuh dan menekan sepasang golok di tangan Sin-siang-to yang berusaba keras untuk menandingi sepasang pedang hitam itu. Namun semua hasilnya sia-sia belaka. Sinar goloknya menjadi semakin sempit terhimpit dan belum ada tiga puluh jurus semenjak ia melayani terjangan Pat-pi Mo-ko, tiba-tiba dia menjerit dan tubuhnya terjengkang, sepasang goloknya terlepas dan ada darah mancur dari tenggorokannya! Tubuh Sin-siang-to berkelojotan seperti ayam disembelih dan memang lehernya telah tertembus pedang sehingga dia mirip seekor ayam yang disembelih.
Kini sambil tersenyum Pat-pi Mo-ko mengembalikan sepasang pedang hitam kepada pemiliknya sambil meloloskan sarung pedang itu yang tadinya disembunyikan di bawah jubahnya. Tanpa bicara Kim Hong menerima pedang itu dan menyarungkannya kembali, memasangnya di pinggang. Pat-pi Mo-ko mengeluarkan sepasang pedang lain, yang putih seperti perak dan berkata.
"Pedang hitammu hebat, nona. Akan tetapi kalau tadi aku mempergunakan sepasang pek-kong siang-kiam (Sepasang Pedang Sinar Putih) milikku ini, aku pasti akan dapat merobohkan dalam waktu yang jauh lebih singkat."
Kim Hong menjura dan berkata, "Ilmu pedangmu sungguh hebat, Pat-pi Mo-ko."
Iblis hitam tinggi besar itu tertawa dan menjawab untuk merendahkan diri akan tetapi ada kebanggaan terkandung dalam suaranya, "Ah, ilmu silatmu juga luar biasa, nona. Engkau memang patut sekali menjadi pembantuku yang terutama!"
"Jadi aku sudah lulus ujian?" tanya Kim Hong tersenyum.
"Belum, masih ada satu lagi ujian."
"Hemm, apa itu?" "Mari kita pulang dan engkau akan tahu." kakek itu lalu mengajaknya untuk melakukan penggeledahan bersama pasukan. Akan tetapi ternyata di sarang gerombolan itu mereka tidak menemukan apa yang dicari oleh Pat-pi Mo-ko, yaitu peta harta karun atau tanda-tanda tentang peta itu. Pat-pi Mo-ko memang tidak terlalu mengharapkan akan menemukan apa yang dicarinya di situ. Dia sudah merasa puas telah dapat membasmi saingan yang dianggapnya hanya mendatangkan kesulitan saja baginya itu dan diapun mengajak Kim Hong untuk kembali ke rumah Phang-taijin.
Di kompleks perumahan pembesar Phang, jaksa kota raja ini, Pat-pi Mo-ko memperoleh kebebasan dan menempati bagian belakang di mana selain dipergunakan untuk kantor dan tempat tahanan, juga terpasang banyak kamar-kamar rahasia. Karena mereka tiba di gedung itu sudah malam, Bouw Kim Seng mempersilakan Kim Hong untuk beristirahat. Gadis itu memperoleh sebuah kamar tidur di bagian tengah dan Kim Hong Maklum bahwa semua gerak geriknya diawasi dan bahwa tempatnya mengaso itupun dijaga ketat sehingga tidak mungkin ia dapat meninggalkan kamar tanpa diketahui orang. Akan tetapi, gadis ini memang tidak berniat untuk meloloskan diri sebelum ia dapat membebaskan Kok Siang. Ia tidak tahu di mana pemuda itu ditahan, maka iapun bersabar menanti sampai besok karena tubuhnya juga terasa lelah dan ia perlu beristirahat mengumpulkan tenaga. Satu-satunya hal yang menggelisahkan hatinya adalah Thian Sin. Apa yang telah terjadi dengan kekasihnya itu dan bagaimana kunci emas palsu itu sampai dapat jatuh ke tangan Pat-pi Mo-ko" Ia tidak berani bertanya dengan terus terang kepada penjahat itu, khawatir kalau-kalau menimbulkan kecurigaan dan hal itu hanya akan menambah kewaspadaan pihak lawan saja.
Pada sore hari berikutnya, barulah Pat-pi Mo-ko mengatakan apa adanya ujian ke dua itu. Kim Hong dibawa ke dalam ruangan yang luas, ruangan yang agaknya menjadi tempat berlatih silat atau juga mungkin menjadi tempat penyiksaan di kompleks perumahan kejaksaan bagian penjara itu. Dan di dalam ruangan yang tertutup oleh jendela-jendela besi baja dan pintu baja pula, yang terjaga ketat oleh pasukan penjaga dan para pembantu iblis itu. Kim Hong melihat Kok Siang duduk di atas bangku besi dengan kaki dirantai! Pemuda itu agak pucat, akan tetapi tersenyum mengejek ketika melihatnya masuk bersama Pat-pi Mo-ko. Di dalam ruangan itupun sudah hadir para pembantu iblis itu, yaitu keempat Siang-to Ngo-houw, Hai-pa-cu Can Hoa, Tiat-ciang Lui Cai Ko dan tidak ketinggalan terdapat pula Su Tong Hak yang wajahnya agak pucat dan sikapnya tidak segembira ketika Kim Hong melihatnya kemarin.
"Nona Toan." kata Pat-pi Mo-ko kepada Kim Hong yang sedang menduga-duga apa yang harus dilakukannya kali ini. "Engkau tahu sendiri bahwa Bu Kok Siang itu adalah seorang jagoan dari Thian-cin dan dia sudah berani menentangku. Lebih dari itu, dia berani menghinamu yang membantuku, berarti dia telah menghinaku juga. Untuk itu saja dia sudah pantas dibunuh! Akan tetapi, mengingat bahwa engkau yang paling dihinanya dengan makian-makiannya, maka aku serahkan dia kepadamu. Kalau dia bisa mengalahkan engkau, biarlah dia boleh pergi dengan bebas. Sebaliknya tentu saja aku percaya penuh bahwa engkau akan dapat merobohkannya dan biarpun tidak sampai membunuhnya, setidaknya memberi hajaran yang layak kepadanya."
Tentu saja Kim Hong merasa terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa ia akan diadu dengan Kok Siang! Dan ia bersama Kok Siang sudah terlanjur memperlihatkan sikap bermusuhan kemarin, maka alasan untuk menolak tidak ada sama sekali. Apa yang harus dilakukannya sekarang" Menolak tidak mungkin, dan tentu akan menimbulkan kecurigaan dan hal itu membahayak
Seruling Samber Nyawa 10 Bara Naga Karya Yin Yong Seruling Samber Nyawa 13
^