Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
an ia dan juga Kok Siang. Sementara itu, diam-diam Kok Siang juga terkejut. Pat-pi Mo-ko memberi isyarat kepada Siang-to Ngo-houw yang tinggal empat orang itu dan mereka lalu membuka belenggu pada kaki Kok Siang, kemudian bersama Pat-pi Mo-ko, mereka semua itu cepat meninggalkan ruangan itu yang segera pintunya ditutup dari luar. Mereka semua menonton dari luar, seperti nonton adu ayam atau lebih tepat lagi mengadu dua ekor singa berbahaya sehingga para penonton berdiri di luar kerangkeng. Memang tadinya Kim Hong bermaksud untuk mengajak Kok Siang memberontak dan bersama-sama menerjang begitu kakinya dibebaskan. Akan tetapi, pemuda itu tidak memberi reaksi dan iapun mengeluh. Kalau Thian Sin yang menjadi Kok Siang pada saat itu, dengan pandang mata saja ia dapat memberi isyarat dan menerimanya pula. Akan tetapi Kok Siang agaknya tidak mengerti akan isyarat pandang matanya dan pemuda itu tentu akan terlambat kalau harus diteriakinya lebih dulu. Kalau sampai pemuda itu dirobohkan lebih dulu oleh mereka dan tertawan kembali, apa artinya ia memberontak" Saat yang baik belum tiba dan Kim Hong hanya dapat memandang dengan menyesal ketika melihat Pat-pi Mo-ko dan para pembantunya keluar dari ruangan itu dan berdiri di luar pintu, menonton dari balik jeruji pintu dan jendelia. Terpaksa ia lalu membalikkan tubuhnya menghadapi Kok Siang. Karena ia berdiri membelakangi mereka, ia berani mengedipkan mata kepada Kok Siang, tanda bahwa ia mengajak pemada itu untuk bersandiwara. Kok Siang tidak memperlihatkan tanda bahwa dia mengerti, tetapi dia tertawa mengejek.
"Ha-ha-ha, pendekar wanita yang berobah menjadi penjahat wanita kaki tangan para iblis jahat kini datang untuk membunuh bekas teman sendiri! Bagus, majulah. Aku memang ingin memberi beberapa kali tamparan padamu. Kim Hong!"
"Kok Siang manusia sombong! Siapa takut kepadamu" Lihat, aku akan menghadapimu dengan kedua tangan kosong saja!" Dengan sikap memandang rendah Kim Hong melepaskan sarung pedangnya dan melempar sarung berikut sepasang pedang hitamnya itu ke atas lantai, di sehelah dalam, jauh dari pintu dan jendela. Setelah membuat gerakan ini, tanpa menanti reaksi dari Kok Siang yang tidak mengerti maksudnya, ia sudah menerjang ke depan dan menyerang Kok Siang dengan pukulan cepat dan dahsyat.
"Hemm...!" Kok Siang cepat mengelak. Kim Hong menyerang terus bertubi-tubi, sengaja mendesak pemuda itu sehingga Kok Siang terus berloncatan mundur menjauhi pintu. Agaknya pemuda inipun cerdik untak melihat keinginan Kim Hong mendesaknya agar mereka dapat menjauhi mereka dan pada saat Kim Hong menyerang dengan tubuh membelakangi mereka, gadis itu berbisik lembut sekali sambil mengerahkan sin-kang sehingga gerakan kedua tangannya mendatangkan suara bersuitan menutupi suara bisikannya.
"Aku mengalah, kau robohkan dengan totokan..."
Tentu saja Kok Siang terkejut mendenger ini. Dia mengalahkan Toan Kim Hong" Tentu saja kalau hanya bersandiwara bisa saja dia menang, akan tetapi apa maksudnya" Apa baiknya kalau dia menang dan dapat menotok roboh gadis ini"
"Kita siap memberontak..." Kim Hong menambahkan. "Totok kin-ceng-hiat..."
Kim Hong mendesak lagi dan tidak mengeluarkan kata-kata karena tahu betapa bahayanya hal itu. Orang selihai Mo-ko akan dapat melihatnya atau menduganya, dan para pembantu iblis itupun bukan orang lemah. Akan tetapi ia merasa girang melihat pemuda itu akhirnya mengangguk ketika mengelak, tanda bahwa pemuda itu sudah maklum kini akan siasatnya.
Kim Hong memang sengaja mengeluarkan ilmu silat Hok-mo-kun (Ilmu Silat Penakluk Iblis) untuk mendesak Kok Siang. Pemuda ini kagum bukan main dan diapun berusaha untuk menahan serangan-serangan itu dengan seluruh kepandaiannya. Namun sia-sia belaka karena memang tingkatnya kalah jauh, dia terdesak terus dan dua kali dia terpelanting oleh sapuan kaki dan dorongan tangan kiri Kim Hong. Terdengar suara memuji girang dari luar pintu ketika pemuda itu dua kali terpelanting. Memang hal ini disengaja oleh Kim Hong sehingga ketika Kok Siang mengambil sepasang senjata Siang-koan-pit yang memang telah dikembalikan kepadanya dan diletakkan di dekat dia duduk tadi, maka hal ini sudahlah sewajarnya.
Kini Kok Siang mainkan senjatanya itu dengan dahsyat. Memang hebat sekali kim-pit dan gin-pit itu, dua batang alat tulis dari emas dan perak. Nampak gulungan sinar emas dan perak saling kejar dan bersilang-silang menyilaukan mata. Dua sinar itu semakin ganas saja dan kini Kim Hong nampak terdesak! Mereka yang nonton di luar memandang dengan penuh perhatian. Pat-pi Mo-ko mengerutkan alisnya yang tebal dan beberapa kali menggeleng kepala, seolah-olah merasa kecewa bahwa "jagonya" terdesak. Sesungguhnya dia sedang merasa keheranan sekali. Dia pernah menyaksikan gadis itu ketika melawan Sin-siang-to Tang Kin dan dia tahu bahwa tingkat kepandaian gadis itu tidak berada sebelah bawah tingkat Sin-siang-to. Padahal pemuda sasterawan itu, melihat gerakan-gerakannya, tidak mungkin lebih lihai dari pada Sin-siang-to. Apakah pemuda itu mempunyai kepandaian simpanan yang kedahsyatannya tidak nampak oleh mata" Apakah di dalam gerakan sepasang pit itu terkandung suatu kekuatan yang amat hehat"
"None Toan, cepat pergunakan pedangmu!" Bouw Kim Seng berteriak ketika melihat betapa hampir saja pelipis kanan nona itu terkena sambaran pit emas yang mematuk dari atas seperti paruh seekor rajawali. Sungguh berbahaya sekali serangan-serangan kedua pit itu.
Akan tetapi Kim Hong tidak mau mengambil sepasang pedangnya, biarpun ia semakin terdesak dengan hebat.
"Nona, pergunakan pedangmu! Apa engkau sengaja hendak membiarkan dirimu kalah?" Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng kini berteriak nyaring.
Sekalii ini agaknya Kim Hong menurut karena ia mengirim pukulan yang dahsyat, membuat lawannya terpaksa mundur dan kesempatan ini dipergunakan oleh Kim Hong untuk meloncat ke arah sepasang pedangnya. Akan tetapi karena letak pedangnya itu agak di belakang Kok Siang, terpaksa loncatannya itupun lewat dekat pemuda itu dan pada saat itu, secepat kilat pemuda itu mengirim serangan yang tiba-tiba. Kim Hong masih berusaha untuk menggulingkan tubuhnya yang sedang meloncat, akan tetapi sebuah totokan yang cepat sekali mengenai pundak kirinya dan jalan darah kin-ceng-hiat telah tertotok. Terdengar gadis itu mengeluh dan tubuhnya terguling roboh dan lemas tak mampu bergerak pula!
Mereka yang nonton di luar memandang dengan mata terbelalak. Pat-pi Mo-ko lalu berkata kepada ke empat Siang-to Ngo-houw, "Tangkap bocah itu!"
Empat orang bekas tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang ini segera memasuki ruangan itu setelah daun pintunya dibuka. Begitu mereka masuk, daun pintu ruangan itu ditutup kembali dari luar. Dengan kedua tangan masih memegang sepasang senjata pit, Kok Siang menghadapi empat orang itu. Empat orang itu masih merasa sakit hatinya karena seorang saudara mereka tewas. Biarpun tewasnya itu di tangan Mo-ko sendiri, akan tetapi yang menjadi sebabnya adalah Kim Hong. Gadis itu yang merobohkan saudara mereka itu dan Mo-ko terpaksa membunuhnya agar dia tidak sampai membocorkan rahasia. Kini, menerima perintah untuk menangkap Kok Siang, mereka maju dengan penuh semangat. Begitu menerjang, mereka berempat telah mainkan ilmu andalan mereka, yaitu Ngo-lian to-hoat (Ilmu Golok Lima Teratai).
Tingkat kepandaian empat orang pengeroyok ini rata-rata hanya sedikit di bawah tingkat Bu Kok Sing. Andaikata mereka maju satu demi satu, tentu Kok Siang akan dapat mengalahkan mereka semua. Akan tetapi, karena mereka kini maju bersama, dengan kerja sama yang amat baik, tentu saja mereka itu merupakan lawan yang terlampau berat bagi Kok Siang. Sebentar saja Kok Siang terdesak hebat dan hanya mampu melindungi dirinya dengan putaran kedua senjatanya yang terlampau kecil dan pendek, juga terlampau ringan untuk menghadapi pengeroyokan delapan buah golok itu. Agaknya, keempat Siang-to Ngo-houw itu bernafsu sekali untuk merobohkan Kok Siang, kalau perlu dengan melukai berat atau membunuh sekalipun.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan tubuh Kim Hong yang tadinya menggeletak di atas tanah itu mencelat ke atas dan sekali bergerak, ia sudah menyambar sepasang pedangnya dan nampaklah sinar hitam berkelebatan dan dua orang di antara Siang-to Ngo-houw roboh mandi darah dan tewas seketika karena dada mereka tertembus pedang! Kok Siang yang sudah tahu atau sudah dapat menduga akan hal ini, menjadi bersemangat dan sepasang pitnya juga bergerak cepat merobohkah seorang pengeroyok. Tinggal seorang lagi yang tidak dapat menahan serangan berikutnya dari Kim Hong. Robohlah dia dan empat orang itu kini menggeletak dan tewas!
Tentu saja semua orang yang berada di luar ruangan itu terkejut, kecuali Pat-pi Mo-ko yang agaknya memang sudah setengah menduga akan hal ini. Karena itulah maka tadi dia hanya menyuruh empat orang Siang-to Ngo-houw untak menangkap Kok Siang, membiarkan mereka lalu menutupkan kembali pintu ruangan. Dia telah mengorbankan empat orang pembantunya itu untuk membuka rahasia Kim Hong. Dan hal ini bukan tanpa sebab. Mo-ko maklum bahwa setelah dia membunuh seorang di antara Siang-to Ngo-houw, membunuh secara terpaksa untuk menutup mulutnya, tentu empat orang yang lain diam-diam merasa menyesal dan tidak suka kepadanya. Maka, dia mengorbankan empat orang itu dan sekaligus diapun berhasil membuka rahasia Kim Hong yang tadi berpura-pura roboh oleh Kok Siang! Kekalahan Kim Hong oleh Kok Siang tidak dapat diterima begitu saja oleh kakek iblis yang amat cerdik ini, maka dia tidak mau bersikap lengah. Dan melihat betapa Kok Siang memperoleh kemenangan itu, biarpun ada kemungkinan kecil bahwa memang Kim Hong yang lengah sehingga roboh tertotok, Mo-ko lalu menyuruh empat orang pembantunya itu untuk mengeroyoknya. Kalau Kim Hong tidak berpura-pura, berarti memang Kok Siang merupakan lawan yang tangguh dan perlu dilenyapkan seketika. Sedangkan kalau Kim Hong berpura-pura, tentu gadis sakti itu akan turun tangan dan tidak membiarkan Kok Siang celaka dan kalau hal ini terjadi, paling-paling dia hanya akan kehilangan empat orang pembantunya yang sudah tidak dipercayanya lagi itu karena dugaan bahwa mereka mendendam kepadanya karena kematian seorang saudara mereka. Dengan demikian, dapat diketahui betapa licik dan matangnya siasat Mo-ko yang telah memperhitungkan dengan cermat segala tindakannya.
Memang benar kecurigaannya itu terhadap Kim Hong. Gadis ini memang bersandiwara, dibantu oleh Kok Siang yang dapat menangkap keinginan gadis yang luar biasa ini. Ketika melihat kesempatan terbuka, Kok Siang menotok jalan darah di pundak gadis itu seperti yang dimintanya tadi. Dia tahu bahwa totokannya itu cukup hebat dan akan membuat lawan pingsan dan lemas tak mampu bergerak sampai sedikitnya setengah jam. Akan tetapi diapun dapat menduga bahwa kalau Kim Hong menyuruh dia menotok jalan darah itu, tentu gadis yang lihai itu sudah mempunyai akal untuk menahan totokan ini.
Akan tetapi, sungguh sama sekali di luar perhitungan Kim Hong bahwa Mo-ko tidak maju sendiri memasuki ruangan, bahkan menyuruh empat orang Siang-to Ngo-houw yang masuk dan pintu ruangan itu ditutup kembali. Tak disangkanya bahwa Mo-ko secerdik itu. Tadinya, Kim Hong ingin melanjutkan sandiwaranya dan pura-pura pingsan, menanti sampai terbuka kesempatan unjuk dapat meloloskan diri dari situ bersama-sama Kok Siang. Akan tetapi, teryata Kok Siang tidak dapat menandingi keempat orang pengeroyoknya dan melihat bahaya mengancam diri Kok Siang, tentu saja Kim Hong tidak dapat tinggal diam saja membiarkan pemuda itu tewas dalam pengeroyokan. Maka secara terpaksa iapun menghentikan permainan sandiwaranya dan meloncat menyambar Hok-mo Siang-kiam, dan merabohkan tiga di antara empat pengeroyok itu, sedangkan yang seorang lagi dirobohkan oleh Kok Siang.
"Bu-twako, mari serbu keluar!" Kim Hong berteriak setelah mereka berhasil merobohkan empat orang lawan itu. Akan tetapi terlambat sudah. Dari luar, Mo-ko sudah menggerakkan alat rshasia dan itu pula menunjukkan betapa cerdiknya penjahat besar ini. Dia memang sudah sejak pertama kalinya mengatur sehingga peristiwa diadunya Kok Siang dengan Kim Hong itu terjadi dalam sebuah ruangan yang mengandung alat rahasia jebakan berbahaya!
Ketika Kim Hong dan Kok Siang hendak menyerbu ke pintu yang sudah tertutup itu, tiba-tiba saja terdengar angin menyambar dari empat penjuru dan ada anak panah yang banyak sekali jumlahnya menyambar-nyambar ke arah mereka. Tentu saja Kim Hong dan Kok Siang cepat menggunakan senjata mereka untuk melindungi tubuh. Akan tetapi, mendadak lantai yang mereka injak itu bergeser dengan cepatnya, terpisah menjadi dua dan dengan cepat tertarik ke kanan kiri memasuki dinding ruangan. Tentu saja tubuh kedua orang itu terjatuh ke bawah! Kiranya, penyerangan anak panah yang banyak tadipun hanya merupakan siasat untuk mengalihkan perhatian mereka yang terjebak sehingga ketika lantai bergeser, mereka kurang perhatian dan baru sadar setelah terlambat. Betapapun pandainya Kim Hong, sekali ini iapun tidak berdaya dan bersama dengan Kok Siang, tubuhnya terjatuh ke bawah.
"Byuurrr...! Byuuurrrr...!" Dan mereka berdua terjatuh ke dalam air yang dingin dan dalam!
"Mo-ko...! Peta aseli itu berada pada kami...!"
Itulah suara Kok Siang yang kemudian ditelan oleh suara air karena pemuda ini tidak pandai renang. Kim Hong dapat renang walaupun tidak begitu pandai, maka ketika dalam kegelapan itu ia berusaha menolong Kok Siang, pemuda ini dalam kepanikannya memeluknya sehingga keduanya tak dapat dihindarkan lagi tenggelam ke dalam air yang dalam itu!
-(file google dokumen published by saiful bahri situbondo seletreng)- ( )-(file google dokumen published by saiful bahri situbondo seletreng)-
Ketika Thian Sin mendengar berita dari In Bwee tentang tertawannya Kim Hong dan Kok Siang oleh Pat-pi Mo-ko yang menggunakan pasukan pemerintah dan agaknya dibantu oleh Jaksa Phang, diam-diam dia merasa tekejut bukan main. Kalau sampai Pat-pi Mo-ko mampu menjebak dan menawan Kim Hong dan Kok Siang, hal itu berarti bahwa Pat-pi Mo-ko merupakan lawan yang jauh lebih tangguh dan berbahaya dari pada yang dikiranya semula. Apa lagi setelah dia tahu bahwa kepala penjahat itu bersekongkol dan dibantu oleh jaksa yang memimpin pasukan penjaga keamanan yang kuat! Sungguh merupakan lawan yang tak boleh dipandang ringan.
Diapun cepat menghilang ke dalam kegelapan malam dan sebentar saja dia telah berada di halaman sebelah belakang kompleks gedung Phang-taijin. Gedung-gedung besar itu merupakan tempat tinggal, juga kantor dan tempat-tempat tahanan. Biarpun tidak jelas benar, dia sudah memperoleh gambaran tentang kompleks perumahan jaksa ini. In Bwee sendiri tidak hafal dan tidak mengenal betul tempat ini, akan tetapi mengetahui di mana kekasihnya ditawan, sudah cukup bagi Thian Sin. Dengan kepandaiannya yang tinggi, mudah saja baginya untuk menyelidiki. Demikianlah pikirnya. Akan tetapi ketika tiba di tempat itu, diam-diam dia terkejut. Tempat itu dijaga dengan ketat sekali! Bahkan di atas genteng-genteng ditaruh penjaga sehingga seekor kucing sekalipun yang memasuki kompleks itu tentu akan ketahuan oleh para penjaga!
Thian Sin maklum bahwa kalau sampat dia sendiri gagal dan tertawan, akan habislah riwayat mereka berdua! Dia harus berlaku hati-hati sekali. Ketika dia melihat sebuah kereta memasuki halaman depan dan ternyata yang keluar dari kereta itu adalah Su Tong Hak, dia memperoleh akal yang baik sekali. Kiranya Su Tong Hak, paman dari petani Ciang Kim Su, adalah seorang yang curang dan telah mengkhianati keluarganya sendiri. Hadirnya Su Tong Hak di situ menjelaskan banyak hal baginya. Tentu pencurian peta, lenyapnya Ciang Kim Su, merupakan akibat dari pada persekongkolan pedagang itu dengan Pat-pi Mo-ko! Tahulah dia bahwa dari orang ini dia dapat memperoleh banyak keterangan. Maka dengan kecepatan kilat, sebelum orang itu memasuki pintu gerbang, dia menyelinap dan dengan gerakan kilat, dia sudah dapat menyambar tubuh pedagang itu yang tidak sempat berteriak karena urat gagunya telah dicengkeram oleh Thian Sin. Pendekar Sadis ini membawanya agak menjauh, ke tempat gelap dan membawanya loncat ke atas pohon yang tinggi.
Tentu saja Su Tong Hak terkejut setengah mati, apa lagi ketika dia dapat melihat wajah orang yang menangkapnya itu, yang dikenalnya sebagai pemuda yang diutus oleh kakak iparnya, Ciang Gun, dan yang telah didengarnya dari Pat-pi Mo-ko sebagai Pendekar Sadis! Tubuhnya menggigil dan dia hampir pingsan saking takutnya, apa lagi ketika dia dibawa ke atas pohon yang tinggi itu. Akan tetapi, di dalam pikiran pedagang yang cerdik ini, di samping rasa takutnya, muncul pula sebuah harapan baru. Pada beberapa hari terakhir ini dia selalu gelisah, makan tak enak dan tidur tidak nyenyak, memikirkan perobahan sikap dari Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng terhadap dirinya. Dia bahkan mempunyai perasaan yang amat mengerikan, yaitu bahwa kalau semua ini telah selesai, bukan saja dia tidak akan diberi apa-apa oleh penjahat itu, bahkan mungkin untuk menutup rahasia, dia akan dibunuh, seperti yang telah dilakukan terhadap Louw siucai! Kini, melihat munculnya Pendekar Sadis, satu-satunya lawan yang tangguh dan agaknya ditakuti oleh Mo-ko, timbul pikiran yang amat baik. Mengapa dia tidak bekerja sama dan berlindung kepada yang kuat" Yang penting adalah menyelamatkan diri, dan tentu saja mendapatkan harta karun Jenghis Khan itu.
"Su Tong Hak, kiranya engkau adalah komplotan Pat-pi Mo-ko. Nah, sekarang engkau harus menjelaskan segalanya kalau tidak ingin kucekik mampus dan kulemparkan dari atas pohon ini!" Thian Sin mengancam dengan suara mendesis.
"Taihiap... ampunkan saya, kebetulan sekali kita bertemu di sini. Kita dapat saling membantu, taihiap. Jangan mengira bahwa saya komplotan mereka, bahkan nyawa saya terancam..."
"Huh, siapa percaya omonganmu" Jangan mencoba untuk membujuk atau menipu, karena sebelum kubasmi mereka, engkau akan kubunuh lebih dulu dengan penyiksaan yang akan membuat engkau menyesal telah dilahirkan di dunia ini."
"Taihiap... sungguh, percayalah padaku. Memang, tadinya aku sekutu Mo-ko. Akan tetapi sekarang dia berobah, dia tentu akan menguasai seluruh harta dan kemudian membunuhku. Taihiap, aku tahu bahwa pendekar wanita sahabatmu itu telah tertawan. Mari kita bekerja sama. Aku akan membantuanu agar engkau dapat menolong sahabat-sahabatmu itu. Dan sebagai gantinya..."
"Sebagai gentinya apa" Orang she Su, ingat, engkaulah yang menjadi tawananku dan kalau aku menghendaki, sekali lempar engkau akan jatuh dan remuk. Bukan engkau yang mengajukan syarat, melainkan aku!"
"Ampun... ah, tentu saja, taihiap... akan tetapi, saya hanya minta agar dilindungi terhadap ancaman mereka. Saya mau membantumu dan... dan memperoleh bagian atas harta pusaka itu..."
Kalau menurutkan perasaan hatinya, ingin Thian Sin melemparkan pedagang yang loba ini ke bawah. Akan tetapi, dia membutuhkannya, maka ditekannya perasaan muak dan marahnya. "Nah, baiklah. Aku ingin menolong mereka yang tertawan. Bagaimana engkau dapat menyelundupkan aku ke dalam?"
"Dengan menyamar sebagai perajurit penjaga atau sebagai pengawalku." jawab pedagang yang cukup cerdik itu.
Akhirnya, Thian Sin, dengan sedikit penyamaran pada wajahnya, berhasil memasuki kompleks kejaksaan itu bersama dengan Su Tong Hak dan setelah memperoleh keterangan lengkap dari pedagang itu tentang keadaan di dalam, tentang jalan-jalan rahasianya, Thian Sin lalu membekuk seorang penjaga, menelikungnya dan menyumbat mulutnya lalu menyembunyikannya di tempat gelap, kemudian melucuti pakaiannya. Dia lalu menyamar sebagai seorang perajurit dan dengan mudahnya dia lalu menggunakan pengetahuannya tentang keadaan di tempat itu untuk melakukan penyelidikan ke dalam.
Ketika Thian Sin berhasil mencampurkan diri dengan para penjaga di tempat gelap dan ikut mengurung ruangan tahanan di mana kekasihnya ditawan, kedatangannya tepat pada saat Kim Hong berkelahi dengan Kok Siang. Tentu saja ia terkejut sekali melihat mereka itu saling serang sendiri. Akan tetapi, begitu dia melihat para penjahat di luar pintu dan jendela berjeruji sebagai penonton, dan melihat gerakan-gerakan kekasihnya yang membuat die maklum bahwa Kim Hong sengaja mengalah terhadap Kok Siang. Tahulah pendekar yang cerdik ini bahwa dua orang itu sengaja diadu oleh pihak penjahat dengah maksud menguji. Dia sudah mendapatkan keterangan dari Su Tong Hak tadi bahwa Kim Hong telah menyerah dan taluk, bahkan telah membantu Pat-pi Mo-ko untuk membasmi Sin-siang-to Tang Kin dan anak buahnya yang menjadi saingan. Mendengar ini, pendekar itu tidak merasa heran dan dapat menduga bahwa tentu di balik penyerahan diri dari kekasihnya ini ada suatu pamrih yang merupakan siasat tertentu. Entah karena terpaksa atau tentu ada hal lain. Dan kini, melihat betapa kekasihnya mengalah terhadap Kok Siang, diapun dapat menduga bahwa mereka berdua itu tentu sedang bersandiwara. Tentu saja kedua tangannya sudah gatal-gatal untuk menyerbu para tokoh penjahat ini dan monolong mereka berdua yang diadu seperti binatang. Akan tetapi diapun cukup cerdik untuk melihat kenyataan bahwa kalau dia menyerbu, keadaan dua orang kawannya itu malah terancam bahaya. Selain para tokoh sesat yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama Pat-pi Mo-ko, juga tempat itu dikurung oleh pasukan pemerintah dan anak buah penjahat. Maka diapun hanya ikut menonton dan mencari kesempatan. Dia tahu bahwa kalau Kim Hong dan Kok Siang masih ditahan, bahkan diadu, tentu ada maksud-maksud tertentu dari Pat-pi Mo-ko. Kalau kedua orang itu tidak dibutuhkan, tentu sudah dibunuh oleh pihak penjahat. Keyakinan akan hal ini membuat Thian Sin bersabar menanti, walaupun hatinya terasa tegang dan khawatir sekali.
Ketika dia melihat Kim Hong roboh tertotok oleh pit di tangan Kok Siang, Thian Sin mengepal tinju. Dia maklum bahwa Kim Hong memiliki ilmu memindahkan jalan darah sehingga totokan yang nampaknya tepat sekali itu tentu dapat diterimanya tanpa membuat tubuhnya menjadi lemas atau lumpuh. Akan tetapi dia tahu jelas bahwa itu hanya merupakan gerakan pura-pura belaka. Bagi orang lain mungkin akan tertipu, akan tetapi mungkinkah seorang tokoh jahat seperti Pat-pi Mo-ko dapat ditipu sedemikian mudahnya" Dan permainan apakah yang sedang dimainkan oleh Kim Hong dan Kok Siang" Dia tidak berani lancang turun tangan, khawatir kalau-kalau malah akan mengacaukan rencana kedua orang itu yang agaknya sudah diatur lebih dulu dan dilaksanakan dengan baiknya.
Ketika kakek tinggi besar muka hitam memerintahkan empat orang sisa Siang-to Ngo-houw untuk menangkap Kok Siang dan melihat mereka memasuki ruangan dan pintunya ditutupkan kembali, Thian Sin mengerutkan alisnya. Kalau dia tidak keliru perhitungan, agaknya kekasihnya itu merencanakan pemberontakan bersama Kok Siang, dengan pura-pura berkelahi sungguh-sungguh dan membiarkan ia kelihatan kalah. Akan tetapi, dia merasa sangsi apakah akal itu akan berhasil melihat betapa empat orang Siang-to Ngo-houw saja yang disuruh masuk dan pintu besi itu ditutup kembali. Dia melihat kebenaran dugaannya ketika Kim Hong "bangkit" dari keadaan tertotok tadi dan bersama dengan Kok Siang merobohkan empat orang lawannya. Thian Sin kini merasa yakin bahwa dugaannya benar, bahwa kekasihnya bersama Kok Siang hendak melakukan penyerbuan keluar untuk meloloskan diri. Akan tetapi, baru saja dia hendak turun tangan membantu, tiba-tiba kakek hitam tinggi besar sudah menggerakkan alat rahasia dan Thian Sin sempat melihat kekasihnya dan Kok Siang terjatuh ke bawah karena lantai ruangan itu bergeser cepat ke kanan kiri. Dia hendak meloncat, akan tetapi tiba-tiba didengarnya teriakan Kok Siang "Mo-ko! Peta aseli itu berada pada kami!"
Thian Sin menahan gerakannya. Dia tahu bahwa kalau dia mengamuk sekalipun, dia tidak keburu menolong dua orang itu lagi, yang agaknya terjatuh ke dalam air di bawah ruangan rahasia itu. Dan teriakan Kok Siang itu ternyata amat berpengaruh. Dia melihat kakek hitam tinggi besar yang kini diduganya tentu Pat-pi Mo-ko adanya nampak gugup.
"Cepat...! Selamatkan mereka. Tawan mereka, jangan sampai mereka itu tewas dalam air!"
Perintah dari tokoh jahat ini membuat hati Thian Sin terasa lega dan diapun tidak mau lancang turun tangan, yang tidak banyak artinya untuk dapat menyelamatkan kekasihnya dan Kok Siang. Maka diapun hanya berjaga-jaga karena melihat para perajurit lain juga melakukan penjagaan ketat menerima perintah dari komandan mereka. Ketika komandan pasukan mengumpulkan pasukannya untuk melakukan pemeriksaan, dengan menggunakan kepandaiannya, Thian Sin menyelinap pergi dan diapun mendapatkan sebuah tempat persembunyian di dalam gudang barang lapuk di belakang. Tempat inipun adalah tempat sembunyi yang ditunjukkan oleh Su Tong Hak baginya, di mana dia dapat menyembunyikan dirinya.
Sementara itu, dalam keadaan lemas dan setengah pingsan, Kim Hong dan Kok Siang tertawan lagi. Ketika mereka sadar, keduanya mendapatkan diri mereka sudah terbelenggu lagi di atas dipan, dalam keadaan terlentang dan kaki tangan mereka dibelenggu dengan rantai baja yang kuat. Pakaian mereka masih basah, juga rambut mereka. Di dalam ruangan itu nampak Pat-pi Mo-ko duduk bersama dengan Hai-pa-cu Can Hoa, Tiat-ciang Lui Cai Ko, Su Tong Hak dan di luar kamar itu nampak penjagaan yang ketat, oleh pasukan penjaga.
Wajah kakek berkulit hitam itu nampak berseri dan sepasang matanya berkilat-kilat ketika dia memandang kepada dua orang tawanan yang mulai siuman itu. Kemudian dia menghampiri Kok Siang dan melihat pemuda itu membuka mata, mengejap-ngejapkan matanya kemudian memandangnya dan wajah yang tampan itu nampak pucat akan tetapi sadar sepenuhnya.
"Selamat hidup kembali, Im-yang Siang-pit Bu Siucai!" kata Pat-pi Mo-ko dengan suara lantang. "Engkau tahu, apa yang menyebabkan kami menyelamatkan kalian dari bahaya tewas tenggelam dalam air. Nah, Bu Siucai, sekarang ceriterakanlah kepada kami tentang peta aseli itu!"
"Kalau aku menceriterakannya, engkau akan membebaskan kami berdua, Mo-ko?" tanya Kok Siang, suaranya meragu karena sesungguhnya dia tidak percaya kalau penjahat ini mau membebaskan mereka.
"Tentu saja! Bukankah kami juga sudah menyelamatkan kalian dari kematian baru saja ini" Ceritakan dengan sesungguhnya tentang peta itu dan kami akan membebaskan kalian. Kami sesungguhnya tidak bermaksud memusuhi kalian. Bukankah kami telah menawarkan kerjasama dengan sebaiknya kepada nona Toan" Sayang, ia mengkhianati kami. Akan tetapi, kami akan melupakan semua itu kalau kalian suka menceritakan tentang peta sehingga kami dapat memperolehnya."
"Dia bohong, Bu-twako. Jangan percaya omongannya!" tiba-tiba Kim Hong berkata.
"Hemm, yang membohong adalah engkau, nona Toan. Kami dengan sungguh-sungguh menarikmu sebagai kawan, akan tetapi engkau malah mengkhianati kami, membunuh empat orang sisa Siong-te Ngo-houw yang menjadi pembantu-pembantu kami. Dan engkau pura-pura kalah ketika melawan Bu Siucai, apa disangka kami tidak tahu?"
"Mo-ko, engkaupun menipuku. Pura-pura mengulurkan tangan bekerja sama, akan tetapi begitu aku memasuki ruangan itu dan pintu dikunci dan kalian menonton di luar, aku tahu bahwa kalian hanya menipuku. Apa kaukira aku juga begitu bodoh untuk tidak melihat siasatmu" Bu-twako, jangan ceritakan apa-apa!"
Wajah Pat-pi Mo-ko yang hitam itu menjadi semakin hitam karena darah telah naik ke mukanya karena marah. "Bocah she Bu! Kalau engkau menuruti kata-kata perempuan ini, apakah engkau lebih sayang peta dari pada nyawamu" Aku tidak akan ragu-ragu untuk membunuhtmu!"
"Bu-twako, jangan percaya omongannya! Dia tidak akan membunuh kita karena peta itu masih ada pada kita! Peta itulah satu-satunya gantungan hidup kita saat ini!" kata pula Kim Hong.
Kok Siang tertawa. "Ha-ha-ha, engkau benar juga, nona Toan. Heii, Mo-ko, apa kaukira kami begitu bodoh" Kalau aku menyerahkan peta, tentu engkau akan segera membunuh kami! Tidak, aku tidak tahu apa-apa tentang peta, aku sudah lupa lagi, ha-ha!"
Pat-pi Mo-ko adalah seorang yang sudah kenyang akan asam garam di dunia kang-ouw maka diapun tahulah bahwa tidak ada gunanya untuk menggertak dua orang muda ini lagi.
"Bagus, katakanlah bahwa pendapat kalian benar. Aku tidak dapat membunuh kalian, akan tetapi jangan mengira bahwa aku tidak dapat memaksa kalian bicara. Ada hal-hal lain yang lebih hebat dari kematian!" Dia lalu menghampiri dipan di mana Kim Hong menggeletak terlentang dengan kaki dan tangan dibelenggu rantai besi. "Bu-siucai, hendak kulihat apakah engkau tetap hendak menutup mulut kalau melihat gadis ini diperkosa dan dihina di depan matamu!" Lalu jari-jari tangannya bergerak ke depan.
"Breeetttt...!" Terdengor kain robek dan pakaian luar yang menutup tubuh Kim Hong terkoyak-koyak oleh jari-jari tangan yang hitam besar dan kuat itu. Nampaklah kulit tubuh yang putih mulus di balik pakaian dalam yang tipis!
Akan tetapi, demikian hebatnya kekuatan dalam yang dikuasai oleh Kim Hong sehingga tidak ada segarispun uratnya bergerak. Ia hanya memejamkan matanya dan wajahnya tidak memperlihatkan perobahan apapun! Tidak demikian dengan Kok Siang yang menoleh dengan mata terbelalak dan muka pucat. Dia melihat tubuh pendekar wanita itu, yang kini terancam bahaya yang amat hebat.
"Siapa di antara kalian yang man menikmati tubuh wanita ini?" teriak Pat-pi Mo-ko keluar, ke arah para penjaga. Tidak ada yang menjawab, akan tetapi belasan orang penjaga itu mendekat dengan mulut menyeringai dan muka merah. Mereka memandang ke arah tubuh itu dengan mata penuh gairah dan nafsu berahi! Thian Sin yang sudah berada di antara para penjaga itu mengepal tinju, akan tetapi wajahayapun tidak memperlihatkan tanda sesuatu.
"Masih belum mau bicara, Bu-siucai" Bagaimana kalau kubuka sedikit lagi?" Tangan itu kembali bergerak, terdengar kain robek dan kini penutup dada Kim Hung terbuka sama sekali. Tubuhnya bagian depan dari perut ke atas nampak! Gadis itu tetap memejamkan matanya dan wajahnya tetap biasa saja! Demikian hebat gadis ini sehingga dalam keadaan seperti itu, ia masih dapat bersikap tenang dan seolah-olah ia telah dapat mematikan rasa.
Kok Siang membuang muka dan mengeluarkan suara kutukan. "Demi Tuhan, Mo-ko, engkau bukan manusia! Jangan lanjutkan!"
"Ha-ha-ha, kalau engkau tidak mau mengaku tentang peta itu, aku akan menyuruh dua orang perajurit untuk memperkosanya di depan matamu, Bu-siucai!"
"Bu-toako, jangan dengarkan dia! Dia akan mampu menghina tubuhku, akan tetapi tidak dapat menjamah hatiku. Paling-palling aku mati, atau kalau tidak, hinaan ini tentu akan dibayarnya dengan bunga berlipat ganda! Jangan mengaku, karena sekali engkau mengaku, nyawa kita akan tidak ada harganya lagi!" demikiin Kim Hong berkata, suaranya tetap tenang, sama sekali tidak gemetar.
"Hemm, biarpun hatiku berat sekali rasanya, agaknya engkau benar, nona." jawab Kok Siang.
Pat-pi Mo-ko menjadi semakin marah. Dia sudah menggerakkan tangan lagi untuk merenggut penutup tubuh terakhir, akan tetapi tiba-tiba Su TOng Hak mendekatinya dan berbisik, "Pemuda itu tentu akan menyerah kalau melihat kekasihnya yang terancam!"
Mendengar ini, tiba-tiba Pat-pi Mo-ko tertawa. "Ha-ha-ha, engkau benar juga!" dan sambil tertawa-tawa kakek hitam tinggi besar itu lalu berlari keluar dari dalam ruangan itu. Tak lama kemudian dia sudah kembali sambil menarik tangan seorang gadis setengah menyeeretnya. Gadis itu bermuka pucat dan matanya merah bekas menangis, rambutnya dan pakaiannya kusut.
"Murid durhaka, lihat siapa itu, dan selamatkan nyawanya! Dia akan kubebaskan kalau dia mau mengaku tentang peta aseli!" kata Pat"pi Mo-ku sambil mendorong gadis itu ke depan, ke arah dipan di mana Kok Siang rebah terlentang.
"Siang-koko...!" Gadis itu menubruk, berlutut dan menangis di dekat dipan.
"Bwee-moi... engkaukah ini" Hemm, akhirnya engkau juga merasakan kekejaman iblis yang menjadi guru dan pamanmu sendiri?" kata Kok Siang sambil mengerutkan alisnya. In Bwee merangkulnya dan menangis di dada pemuda itu.
"Siang-koko... demi keselamatanmu, menyerah sajalah, katakanlah kepadanya tentang peta itu... ah, koko, kalau engkau mati, akupun tidak mau hidup lagi... berikanlah peta itu dan mari kita pergi berdua, tidak mencampuri urusan ini dan aku rela hidup melarat asal selalu bersamamu, koko..."
Gadis itu menangis dan Kim Hong mengerutkan alisnya. Ia tidak mencela gadis itu bahkan kagum akan cinta gadis itu terhadap Kok Siang. Akan tetapi gadis itu telah memperlihatkan kelemahannya dan hal ini merusak siasat mereka berdua yang hendak mempertahankan peta. Siapa tahu, demi cintanya kepada gadis itu, Kok Siang akhirnya akan menyerah dan kalau sudah begitu, percuma sajalah semua siasat mereka dan akhirnya mereka semua akan celaka!
"Huh, tolol!" Ia membentak. "Apakah kalau peta itu diberikan, iblis itu mau melepaskan kita bertiga" Jangan kira begitu enak, ya" Dia akan segera membunuh kita untuk menutup mulut seperti yang dilakukannya terhadap diri Ciang Kim Su dan juga Louw siucai!" Ia sengaja menyebut nama Louw siucai untuk membakar semangat Kok Siang. Dan ia berhasil. Kok Siang yang tadinya ragu-ragu melihat dan mendengar tangis kekasihnya, kini nampak bersinar-sinar matanya.
"Mo-ko, muslihat apapun yang kaulakukan, peta itu takkan kuberikan kepadamu!" teriak Kok Siang. "Bwee-moi, jangan kecil hati. Kita lawan iblis itu, kalau perlu dengan pengorbanan nyawa dari pada dia berhasil dan akhirnya kita dibunuhnya juga!"
"Keparat!" Pat-pi Mo-ko marah sekali dan dengan langkah lebar dia menghampiri muridnya dengan tangan kanan menyambar. Akan tetapi, dibangkitkan oleh kata-kata kekasihnya, In Bwee meloncat dan mengelak, lalu menyerang guru dan pamannya sendiri yang biasanya amat ditakutinya itu. Tentu saja kakek itu menjadi kaget dan marah sekali. Jelaslah baginya bahwa muridnya ini sekarang telah berpihak kepada musuh secara berterang. Dia telah menangkap muridnya, ketika mendengar laporan bahwa muridnya itu diam-diam pada malam buta mengunjungi Pendekar Sadis. Dia membayangi dan melihat muridnya bicara dengan Pendekar Sadis, maka murid itu pada waktu pulang lalu ditangkapnya dan dijadikan tawanan.
Kini, melihat In Bwee melawan, cepat diapun turun tangan dan tentu saja gadis itu bukan lawannya. Dalam beberapa gebrakan saja, dia telah berhasil merobohkan In Bwee dengan dua kali totokan, membuat gadis itu roboh dengan tubuh lemas dan tak mampu bangkit kembali, rebah miring dengan kaki dan tangan seperti lumpuh rasanya.
"Murid murtad! Biar kekasihmu melihat engkau diperkosa di depan matanya kalau begitu!"
Tiat-ciang Lai Cai Ko yang perutya gendut dan matanya juling, rambutnya riap-riapan itu segera maju dan menyeringai. "Heh-heh, twako, kalau memang gadis ini hendak diperkosa, serahkan saja kepadaku untuk melaksanakannya. Telah lama aku tergila-gila kepadanya, hanya karena mengingat dia itu muridmu maka aku tidak berani mengganggu. Sekarang, ia berkhianat dan berpihak kepada musuh, kalau memang mau diperkosa, biar aku yang..."
"Boleh, lakukanlah! Tapi di sini dan sekarang juga, biar kekasihnya dapat melihatnya!" kata kakek tinggi besar berkulit hitam itu.
Tiat-ciang Lui Cai Ko adalah seorang begal tunggal yang usuanya sudah empat puluh lima tahun, kejam dan sudah biasa dengan kekerasan. Dia sudah kebal perasaannya, tidak mengenal malu lagi maka biarpun di situ terdapat banyak orang yang menyaksikan, dia tidak malu-malu dan sambil tertawa bergelak dia maju menghampiri tubuh In Bwee yang menggeletak di atas lantai dengan lemas itu.
"Mo-ko, manusia iblis! Tega engkau terhadap murid dan keponakan sendiri?" Kok Siang berteriak-teriak.
"Brett...!" Sebagian dari baju In Bwee terkoyak dalam genggaman tangan Tiat-ciang Lui Cai Ko. Semua mata mereka yang hadir, juga para penjaga, terbelalak dan jantung mereka berdebar tegang membayangkan apa yang akan mereka saksikan di dalam ruangan itu. In Bwee sendiri yang tidak lagi mampu bergerak, hanya terbelalak seperti seekor kelinci yang berada dalam cengkeraman kuku harimau.
"Ha-ha-ha, engkau sungguh manis sekali. Aha, sungguh besar untungku malam ini!" Tiat-ciang Lui Cai Ko merangkul, meremas dan menciumi muka gadis itu yang hanya dapat mengeluh akan tetapi tidak mampu bergerak untuk melawan. Semua orang yang melihat adegan ini, terbelalak, ada yang menelan ludah, ada yang membuang muka, ada yang tertawa-tawa dengan mata melotot hampir keluar dari rongga matanya. Si Tangan Besi Lui Cai Ko adalah orang yang sudah kebal, tidak tahu malu sama sekali dan dia beraksi seolah-plah di tempat itu tidak ada orang lain. Tangannya meraih dan hendak menanggalkan sisa pakaian In Bwee.
"Tahan...!" Tiba-tiba Kok Siang berteriak, matanya terbelalak, mukanya pucat. "Mo-ko, aku mengaku...!"
Akan tetapi Tiat-ciang Lui Cai Ko seperti tidak mendengar ini dan hendak melanjutkan perbuatannya. Baru setelah Mo-ko sendiri melangkah dan menepuk pundaknya, dia berhenti dan memandang kecewa, akan tetapi tidak berani membantah.
"Tiat-ciang, kau mundurlah." kata Pat-pi Mo-ko. Tiat-ciang Lui Cai Ko bangkit dan mundur, matanya melotot ke arah Kok Siang, kelihatan kecewa, mendongkol dan marah. Daging yang sudah tersentuh bibir itu, sebelum dapat digigit dan dikunyah lalu ditelannya, telah direnggut orang dan terlepas!
Kim Mong mengerutkan alisnya, akan tetapi hanya dapat memandang kepada sasterawan muda itu. Habislah harapannya. Ia tahu bahwa Kok Siang dan In Bwee hanyalah orang biasa yang jalan pikiran dan perasaannya sudah tercetak sejak kecil sehigga sama dengan jalan pikiran dan perasaan umum pada waktu itu. Wanita diperkosa merupakan hal yang paling hebat bagi mereka, merupakan malapetaka yang tak dapat diperbaiki lagi, seperti kematian, bahkan dianggap lebih hebat dari pada kematian. Karena inilah maka Kok Siang tidak tahan mempertahankan ketika melihat kekasihnya hendak diperkosa di depan matanya. Betapa bodohnya. Apakah kalau pemuda itu sudah mengaku lalu In Bwee terbebas dari pada ancaman pemerkosaan atau pembunuhan"
"Mo-ko, aku mau mengaku tentang peta yang aseli, akan tetapt engkau harus berjanji bahwa engkau tidak akan membiarkan nona Toan dan In Bwee diperkosa orang. Kalau engkau tidak mau berjanji, biar apapun yang terjadi, jangan harap aku akan mau mengaku." kata Kok Siang dengan suara lantang.
"Baik, aku berjanji bahwa mereka berdua tidak akan diperkosa." kata Pat-pi Mo-ko dan wajahnya nampak berseri gembira sekali.
"Ingat, Mo-ko. Bagi seorang yang berkedudukan tinggi seperti engkau, biar hanya sebagai seorang datuk sesat, janji merupakan sumpah yang lebih berharga dari pada nyawa. Aku percaya bahwa engkau tidak akan melanggar janjimu itu, disaksikan oleh semua orang yang mendengarnya."
Wajah hitam itu semakin hitam dan sepasang mata itu mendelik. "Bu-siucai. Kaukira aku ini orang apa maka akan melanggar janji sendiri?"
"Bagus, kalau begitu aku akan mengaku dengan hati lapang. Dengarlah baik-baik. Aku adalah keponakan dari mendiang Louw Siucai."
Semua orang terkejut, terutama sekali Su Tong Hak dan Hai-pa-cu Can Hoa yang menjadi pelaksana dari pembunuhan terhadap Louw siucai. "Hemm, kiranya begitukah?" kata Pat-pi Mo-ko mengangguk-angguk dan dia dapat menduga apa yang telah terjadi "Lanjutkan ceritamu."
"Paman Louw melihat gelagat tidak baik ketika Su Tong Hak dan keponakannya datang minta diterjemahkannya peta itu. Paman sama sekali tidak menginginkan benda orang lain, akan tetapi dia tahu bahwa Su Tong Hak bukan manusia baik-baik dan bahwa keponakannya, pemuda dusun itu akan tertipu. Maka, diam-diam paman minta waktu sehari untuk menterjemahkannya dan menukar peta yang aseli itu dengan peta palsu. Petanya yang aseli disembunyikannya dengan maksud kelak akan dikembalikan kepada yang berhak. Akan tetapi, pemuda dusun itu lenyap. Paman menulis surat kepadaku dan memberi tahu tentang tempat peta aseli disembunyikan. Ternyata aku terlambat dan paman telah terbunuh oleh kaki tanganmu."
"Dan peta itu" Di mana...?" Pat-pi Mo-ko seolah-olah tidak mendengar cerita itu karena pikirannya segera terpusat kepada peta aseli.
"Di suatu tempat, di kebun rumah mendiang paman Louw."
"Katakan di mana agar kami dapat membuktikan kebenaran omonganmu! Kalau engkau membohong, tentu janjiku takkan berlaku dan aku akan menyuruh dua orang wanita ini diperkosa di depan matamu sampai keduanya mampus, sebelum engkau disiksa sampai mati pula!"
"Di kebun itu ada sebatang pobon tua dekat rumpun bambu, pada cabang yang ke tiga dari bawah terdapat lubang. Di situlah disimpannya peta itu, dalam peti kecil."
Mendengar ini, Pat-pi Mo-ko lain memerintahkan para pembantunya untuk melakukan pengajaan ketat. "Bunuh saja mereka ini kalau ada tanda-tanda mereka hendak memberontak. Juga kalau Pendekar Sadis berani muncul, bunuh mereka ini dengan alat rahasia dalam kamar!" Pesannya dengan suara lantang. Kemudian, dengan membawa pasukan penjaga yang lima puluh orang banyaknya, Pat-pi Mo-ko sendrii pergi menuju ke rumah Louw siucai di pinggiran kota raja untuk mencari peta seperti yang diceritakan oleh Bu Kok Siang itu.
Malam hari itu juga, Pat-pi Mo-ko datang kembali dengan kegirangan yang meluap-luap. Peta itu telah ditemukan! Dengan wajah berseri diapun memasuki ruangan tempat ditahannya tiga orang muda itu. Dia mengeluarkan peta yang aseli itu dan membebernya di depan Kok Siang dan Kim Hung yang memandang dengan mata berapi.
"Ha-ha-ha, sudah dapat olehku. Ha-ha-ha! Akhirnya harta pusaka itu, harta karun Jenghis Khan, terjatuh ke dalam tanganku!" Kakek hitam itu menyimpan kembali gulungan peta ke dalam tahuh, dan tiba-tiba dia berkata kepada dua orang pembantunya, yaitu Hai-pa-cu Can Hoa dan Tiat-ciang Liu Cai Ko, "Sekarang, kalian bunuh bocah she Bu dan gadis she Toan ini! Kalau tidak, mereka itu akan menjadi perintang saja!"
Tentu saja Kok Siang terkejut mendengar ini dan In Bwee yang sudah dapat bergerak itu menjerit dan menubruk kaki pamannya sambil menangis. "Paman, jangan bunuh dia... ah, jangan bunuh dia...!"
Pat-pi Mo-ko menggerakkan kakinya dan tubuh keponakan dan muridnya itu terlempar. "Huh, murid durhaka. Masih baik aku tidak menyuruh bunuh engkau sekali!"
"Paman, jangan bunuh dia... atau bunuh saja aku sekalian bersamanya!" In Bwee menangis.
"Engkau tidak percaya padaku, Bu-twako! Omongan orang macam dia itu mana bisa dipercaya" Begitu peta dikuasainya, tentu kita segera dibunuh!" kata Kim Hong, sama sekali tidak menyesal karena gadis perkasa ini yakin bahwa pada saat itu, Thian Sin tentu sudah bersiap-siap untuk menolongnya. Tadi, lapat-lapat ia mendengar suara burung ekor merah. Burung itu hanya terdapat di sekitar kepulauan yang berada di Laut Timur, terutama di Pulau Teratai Merah di mana mereka tinggal. Karena suara burung itu tidak dikenal oleh semua orang yang berada di situ ketika berbunyi, maka ialah satu-satunya orang yang mengenalnya dan tahu bahwa itu adalah tanda rahasia dari Thian Sin yang tentu berada di sekitar tempat tahanan itu. Maka iapun merasa lega dan tenang saja. Kekasihnya itu tidak mungkin membiarkan ia celaka tanpa turun tangan.
Kok Siang marah sekali. Dengan mata mendelik dia memandang kepada Pat-pi Mo-ko, lalu berkata dengan suara nyaring. "Pat-pi Mo-ko, kiranya selain jahat dan kejam, engkau juga seorang pengecut yang suka menjilat ludah sendiri! Engkau telah berjanji..."
"Ha-ha-ha, bagaimana janjiku, kutu buku" Semua orang tadi sudah mendengar akan bunyi janjiku itu! Aku berjanji bahwa kalau engkau memberi tahu tentang peta, aku tidak akan membiarkan dua orang gadis ini diperkosa, bukan" Nah, siapa yang hendak memperkosa mereka" Aku tidak berjanji bahwa aku tidak akan membunuh engkau dan sahabat Pendekar Sadis ini! Jadi, kalau sekarang aku menyuruh bunuh kalian, aku tidak menyalahi janji! Ha-ha-ha!"
Kok Siang hanya dapat memandang dengan mata mendelik. Tak disangkanya bahwa datuk sesat itu demikian curangnya, akan tetapi tentu saja dia tidak mampu membantah lagi. Diapun bukan pengecut yang takut mati, maka melihat sikap Kim Hong yang tenang, diapun merasa malu kalau harus banyak ribut untuk mempertahankan nyawanya.
Pada saat itu, Su Tong Hak melangkah maju mendekati Pat-pi Mo-ko. "Kurasa tidak benar kalau membunuh mereka sekarang."
"Su Tong Hak! Engkau tadi telah memberi nasihat baik sekali untuk memaksa pemuda itu mengaku. Akan tetapi sekarang, kenapa engkau melarang aku membunuh mereka" Mereka itu berbahaya sekali!"
Su Tong Hak tersenyum dan meraba-raba kumisnya yang kecil panjang. "Pat-pi Mo-ko, aku melarangmu dengan perhitungan yang amat matang. Coba dengarkan baik-baik pendapatku. Pemuda itu sama sekali belum waktunya untuk dibunuh. Biarpun kita telah mendapatkan peta itu, akan tetapi siapa berani menanggung kalau peta itu benar-benar aseli" Siapa tahu kalau itupun hanya palsu saja dan yang aseli masih dia sembunyikan di tempat lain?"
Pat-pi Mo-ko nampak terkejut dan menoleh, memandang kepada pemuda sasterawan itu yang hanya tersenyum mengejek. Kakek tinggi besar hitam ini mengangguk-angguk, dapat melihat kebenaran pendapat pedagang yang cerdik itu.
"Maka, membunuhnya sekarang sungguh tidak menguntungkan. Kita selidiki dulu apakah peta ini benar, baru kita boleh membunuhnya. Demikian pula dengan nona itu. Bukankah ia itu sahabat baik Pendekar Sadis" Kalau ia masih berada di tangan kita, setidaknya ia berguna untuk menjadi sandera, untuk mencegah Pendekar Sadis mengganggu kita sampai usaha kita berhasil. Bagaimana pendapat ini, tepatkah?"
Sejenak Pat-pi Mo-ko menunduk dan mengerutkan alisnya yang tebal, kemudian dia menepuk-nepuk pundak Su Tong Hak dan tertawa lebar. "Ha-ha-ha, engkau sungguh berbakat untuk menjadi penasihat. Bagus sekali, aku setuju! Malah kita harus bawa mereka itu bersama ke tempat harta karun seperti yang ditunjukkan oleh peta ini, dan di sanalah nasib mereka itu ditentukan! Ha-ha-ha!"
-(file google dokumen published by saiful bahri situbondo seletreng)- ( )-(file google dokumen published by saiful bahri situbondo seletreng)-
Thian Sin yang manyamar sebagai perajurit penjaga dan menyaksikan, mendengar semua itu, tentu saja mengalami ketegangan dan kegelisahan yang hebat. Beberapa kali tubuhnya menegang dan beberapa kali hampir saja dia tidak mampu menahan gelora hatinya yang seolah-olah mendorongnya untuk turun tangan. Ketika dia melihat pakaian luar Kim Hong dirobek, dia hanya mengepal tinju saja. Dia tahu bahwa Pat-pi Mo-ko hanya menggertak. Akan tetapi ketika dia melihat In Bwee hampir saja diperkosa, dia menggigit bibirnya untuk menahan hatinya. Dia maklum bahwa dia harus kuat menghadapi semua itu. Keadaan masih tidak menguntungkan baginya. Kalau dia menyerbu, mungkin saja dia mampu menghadapi pengeroyokan mereka. Akan tetapi amatlah berbahaya bagi keselamatan tiga orang itu. Dia tidak akan mampu melindungi mereka karena di situ banyak terdapat orang-orang pandai yang tak mungkin dapat dirobohkan dalam waktu singkat sehingga selagi dia dikeroyok, Kim Hong, Kok Siang den In Bwee tentu mudah terbunuh lawan. Dan dia tidak menghendaki hal itu terjadi. Terutama sekali dia tidak ingin kehilangan Kim Hong! Maka dia menanti sampai saat yang paling memuncak dan yang akan memaksanya turun tangan. Kalau masih ada harapan, dia akan sabar menanti.
Diapun terkejut bukan main ketika mendengar pengakuan Kok Siang tentang peta aseli itu. Ah, tak disangkanya bahwa pengakuan Kok Siang ketika mereka berdua itu terjatuh ke dalam air, ternyata bukan hanya siasat pemuda itu, melainkan memang satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri mereka. Kini mengertilah dia mengapa Kim Hong bertahan mati-matian. Kiranya kunci rahasia itu berada di tangan Kok Siang yang menyimpan peta rahasia yang aseli. Dan kunci emasnya yang aseli ada padanya! Kini Kok Siang telah mengaku, tempat itu tentu akan ditemukan oleh Mo-ko. Akan tetapi Thian Sin masih dapat tersenyum geli karena dia tahu bahwa usaha Mo-ko yang telah mendapatken peta aseli itu tetap saja akan sia-sia karena kunci emas yang aseli berada padanya!
Ketika melihat Kim Hong dan Kok Siang hendak dibunuh, dia sudah hampir meloncat ke depan. Akan tetapi hatinya lega ketika dia mendengar Su Tong Hak yang membujuk datuk sesat itu dengan alasan yang amat kuat. Diam-diam Thian Sin mengerti bahwa Su Tong Hak memang merupakan orang yang amat cerdik. Pedagang itu kini menginjak dua perahu, keduanya memungkinkan dia untuk memperoleh keuntungan. Di satu pihak, pedagang itu menyelundupan dia dan menganggap dia sekutunya, tentu dengan harapan untuk selain ada teman menghadapi ancaman Mo-ko yang serakah, juga kalau sampai pihak Mo-ko gagal dan Pendekar Sadis yang menang, setidaknya pedagang itu dapat mengharapkan bagian. Sebaliknya, kalau Pat-pi Mo-ko yang menang, saudagar inipun masih bisa mengharapkan bagian. Maka dia manyelundupkan dan tidak membuka rahasia Thian Sin, akan tetapi di lain pihak, iapun membantu Mo-ko, diantaranya dengan nasihat kejinya untuk memperkosa In Bwee dalam usaha memaksa pengakuan Kok Siang.
Ketika melihat Pat-pi Mo-ko membawa pasukan pergi untuk mengambil peta aseli seperti yang ditunjukkan oleh Kok Siang, Thian Sin tidak ikut membayangi. Sebenarnya, dia telah memperoleh kesempatan baik untuk membayangi datuk itu ke tempat penyimpanan peta aseli dan merampasnya, kalau perlu membunuh kakek tinggi besar hitam itu. Akan tetapi kalau Kim Hong, Kok Siang dan juga In Bwee masih menjadi tawanan, apa artinya itu" Yang penting adalah melindungi mereka. Oleh karena itu, Thian Sin hanya menanti dalam persembunyiannya. Biarlah Pat-pi yang mengambilkan peta itu untuknya, bahkan biarkan datuk itu dengan anak buahnya mencarikan tempat penyimpanan harta karun Jenghis Khan itu untuknya!
Demikianlah, ketika pada koesokan harinya, rombongan besar Pat-pi Mo-ko berangkat menuju ke tempat penyimpanan harta karun, diam-diam Thian Sin juga membayangi rombongan itu. Tiga orang tawanan muda itupun dibawa dengan kereta dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya. Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng sendiri mengepalai pasukan ini dengan menunggang kereta bersama tiga orang tawanannya. Para pembantu utamanya, yaitu Hai-pa-cu Can Hoa dan Tiat-ciang Lui Cai Ko, naik kuda dan mengawal di kanan kiri kereta. Su Tong Hak tidak ketinggalan, juga duduk di atas kereta di dekat kusir.
Kereta ke dua berjalan di belakang dan di dalam kereta ini duduk Phang-taijin, pembesar yang menjadi sekutu Pat-pi Mo-ko! Setelah mendengar bahwa peta aseli terjatuh ke tangan sekutunya, jaksa ini tak dapat menahan keinginan hatinya untuk ikut menyaksikan pengambilan harta pusaka atau harta karun Jenghis Khan! Seratus orang perajurit pengawal memperkuat rombongan itu, sebagian mengawal di depan, sebagian di belakang. Mereka itu bukan hanya mengawal untuk menjaga agar jangan ada pihak lawan, terutama sekali Pendekar Sadis yang masih mendatangkan rasa gentar di dalam hati Pat-pi Mo-ko, akan tetapi juga dipersiapkan untuk bekerja di tempat penyimpanan harta karun, kalau-kalau untuk itu dibutuhkan banyak tenaga untuk menggali dan sebagainya.
Perjalanan itu cukup jauh dan merupakan perjalanan yang menarik karena tempat itu ternyata berada di luar Tembok Besar! Mula-mula jantung Thian Sin berdebar tegang ketika rombongan itu menyeberang Tembok Besar di sebelah utara kota raja karena jalan itu menuju ke Lembah Naga! Akan tetapi ternyata rombongan itu membelok ke timur. Kalau dari luar Tembok Besar itu dilanjutkan ke utara sampai kaki Pegunungan Khing-an-san di tepi Sungai Huang-ho, di sanalah letaknya Lembah Naga tempat tinggal ayah angkatnya, Si Pendekar Lembah Naga Cia Si Liong! Akan tetapi, ternyata perjalanan ini tidak sejauh itu dan setelah menunda perjalanan semalam di sebuah dusun, pada keesokan harinya mereka tiba di tempat tujuan, yaitu di kota Ying-kouw, sebuah kota pelabuhan yang letaknya di Teluk Cili atau Teluk Po-hai sehelah utara!
Setelah tiba di kota Ying-kouw, kehadiran Jaksa Phang ternyata amat berjasa dan berguna. Pembesar setempat menyambutnya dengan hormat, memberi tempat penginapan yang layak, bahkan menjamu mereka dengan makan minum. Kepada para pembesar setempat Jaksa Phang menjelaskan bahwa dia sebagai jaksa kota raja sedang menyelidiki sebuah perkara pencurian dan menurut penyelidikan, harta yang dicuri itu dilarikan menuju ke tempat ini. Tentu saja para pembesar di kota Ying-kouw terkejut dan bersedia untuk membantu sedapat mungkin. Akan tetapi Jaksa Phang menolak, mengatakan bahwa untuk menemukan harta curian itu dia sudah mempersiapkan para pembantunya, juga pasukan. Sementara itu, tiga orang muda yang menjadi tawanan, yang oleh Jaksa Phang dikatakan sebagai orang-orang yang tersangkut dalam pencurian besar-besaran itu, dimasukkan tahanan dan dijaga ketat sekali. Malam itu, diam-diam Pat-pi Mo-ko bersama Jaksa Phang, juga para pembantunya, Su Tong Hak, Hai-pa-cu Can Hoa dan Tiat-ciang Lui Cai Ko, mempelajari peta aseli yang sudah diterjemahkan itu.
Ternyata menurut catatan dalam peta kuno itu, harta karun yang dimaksudkan itu berada di dalam sebuah di antara guha-guha yang banyak terdapat di tepi pantai yang curam, di luar kota Ying-kouw sebelah timur. Semalam itu mereka tidak dapat tidur, dengan hati tegang mereka menanti datangnya pagi karena mereka ingin cepat-cepat menemukan harta karun Jenghis Khan itu.
Pagi itu cerah sekali. Langit bersih, tiada segumpalpun awan menghalangi cahaya matahari pagi yang muncul dari permukaan laut, kemudian makin meninggi merobah sinar kemerahan menjadi keemasan, kemudian makim meninggi dan sinar itu berobah pula menjadi keperakan. Dan matahari pagi itu agaknya menenangkan lautan yang semalam menggelora dan menyerbu jauh ke pantai. Kini ombak mulai kembali ke lautan dan permukaan laut menjadi tenang, hanya ada keriput-keriput kecil yang membuat bayangan jalan putih matahari itu bergoyang-goyang lucu.
Dari atas tebing, rombongan itu memandang ke bawah. Dari tempat setinggi kurang lebih tiga ratus meter itu, lautan nampaknya semakin lembut dan tenang, seperti permukaannya tertutup beludru biru yang terhampar luas sampai ke kaki langit. Menjenguk dari atas tebing mendatangkan rasa ngeri, membuat bulu tengkuk meremang dan menimbulkan rasa takut. Rasa takut melihat tempat tinggi, seperti juga perassan takut akan apapun juga, timbul oleh bayangan pikiran yang membayangkan hal-hal yang mengerikan. Kalau kita berdiri di atas tebing melihat ke bawah, tidak akan timbul rasa takut kalau saja kita tidak membayangkan sesuatu. Akan tetapi, begitu pikiran membayangkan bagaimana ngerinya kalau sampai tergelincir dan terjatuh dari tempat yang sedemikian tingginya, maka otomatis bulu tengkuk meremang dan muncullah rasa takut yang membuat jantung berdebar dan kaki gemetar.
Tiga orang muda yang menjadi tawanan dikurung oleh pasukan yang dipimpin oleh komandan pasukan, juga oleh Hai-pa-cu Can Hoa dan Tiat-ciang Liu Cai Ko, sedangkan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng sendiri melakukan pemeriksaan dan dengan hati-hati sekali dia menuruni tebing yang curam itu, bergantungan pada batu-batu dan akar-akar pohon. Sementara itu, dengan kaki dan tangan terikat rantai panjang, tiga orang muda itu duduk berkumpul. Seperti biasa pada beberapa hari selama menjadi tawanan ini, Kim Hong nampak tenang saja, memandang kepada Kok Siang yang duduk bersandar batu dan In Bwee yang duduk menyandarkan kepalanya di dada kekasihnya. Semenjak In Bwee dijadikan tawanan pula bersama kekasihnya, gadis ini selalu mendekati Kok Siang den nampak sudah begitu pasrah, ingin sehidup semati dengan pemuda itu yang dari pandang matanya juga amat menyayangnya. Malam tadi, ketika dua orang muda yang saling berkasihan itu menyatakan ingin mati bersama, Kim Hong menghibur mereka.
"Jangan putus asa lebih dulu, harapan masih banyak bagi kita untuk lolos." katanya berbisik sehingga tidak terdengar jelas oleh para penjaga di luar kamar tahanan mereka yang agaknya sudah jemu menjaga.
"Hemm, kematian kita sudah berada di depan mata, aku tidak pernah putus asa, akan tetapi akupun tahu apa bila keadaan kita sudah tidak ada kemungkinan untuk lolos pula." kata Kok Siang.
"Aku tidak takut mati selama bersamamu, koko." kata In Bwee sambil merebahkan diri di atas pangkuan kekasihnya.
Kim Hong tersenyum. "Kalian lupa bahwa di luar masih ada kekasihku yang takkan mungkin membiarkan kita mati."
"Pendekar Sadis?" kata In Bwee penasaran. "Kalau memang dia memperdulikan kita, kenapa tidak sejak tadi dia turun tangan?"
"Dia bukan anak kecil yang ceroboh. Dia menanti saat baik. Percayalah kepadanya. Dia akan berusaha dengan taruhan nyawa untuk menyelamatkan kita. Bahaya masih jauh sekali. Kalau tidak, apa kalian kira aku akan enak-enak saja begini?" Berkata demikian, Kim Hong memandang kepada rantai di kaki tangannya. Memang, kalau ia menghendaki, dengan sin-kangnya, ia akan mampu mematahkan belinggu ini dan mengamuk. Pat-pi Mo-ko terlalu memandang rendah kepadanya dan hal ini baik sekali. Memang inilah yang dikehendakinya maka ketika diadu melawan Kok Siang, ia seagaja mengalah. Karena memandang rendah, maka tentu Mo-ko menjadi lengah, bahkan kini memasang rantai belenggu sembarangan saja, tidak melumpuhkannya dengan totokan. Mungkin Kok Siang dan In Bwee tidak akan mampu mematahkan belenggu mereka, akan tetapi ia merasa yakin bahwa ia akan mampu melakukannya kalau memang tiba saatnya yang baik.
Kedua tangan mereka diikat belenggu pada pergelangan tangan dan kedua lengan itu berada di belakang tubuh. Jarak antara kedua lengan itu hanya kurang lebih tiga puluh sentimeter, namun cukup untuk melalui kepala. Ia pernah mempelajari ilmu Sia-kut-hoat, yaitu semacam ilmu melemaskan diri melepaskan tulang dan dengan ilmu ini, yang membuat tubuhnya menjadl lemas soperti tubuh ular, ia akan dapat menarik kedua lengan itu dari belakang ke atas kepala, lalu diturunkan ke depan dengan menekuk dan melemaskan tulang pangkal lengan sehingga kedua lengannya akan berpindah ke depan! Dengan kedua tangan di depan, ia akan mengerahkan sin-kang mematahkan belenggu itu, atau setidaknya, ia sudah akan dapat menggunakan kedua tangannya untuk membuat para penjaga tidak berdaya dan merampas kunci-kunci belenggu mereka. Akan tetapi saatnya belum tiba dan kalau ia melakukannya sebelum waktunya, tentu ia akan dikeroyok dan sebelum ia mampu meloloskan Kok Siang dan In Bwee, ia tidak akan mau mencobanya. Saat yang ditunggu-tunggu itu adalah saat munculnya Thian Sin dan ia tetap bersabar karena yakin bahwa belum munculnya kekasihnya itu tentu atas dasar perhitungan yang matang.
Setelah menyelidiki sampai ke bawah, Pat-pi Mo-ko lalu naik lagi. Dia sudah mempelajari tebing itu dan maklum bahwa hanya para pembantunya yang pandai ilmu silat sajalah yang akan mampu menuruni tebing itu. Padahal, menurut peta, guha di mana harta karun itu disimpan, tertutup oleh batu-batu karang yang berguguran dari atas selama ratusan tahun dan untuk menyingkirkan batu-batu besar ini dibutuhkan tenaga para perajurit. Mereka semua harus dapat turun ke bawah, ke tepi pantai di mana terdapat guha-guha itu. Setelah tiba di atas tebing, Pat-pi Mo-ko lalu berunding dengan jaksa Phang dan para pembantunya, kemudian mengambil keputusan untuk mengerahkan anak buah mereka untuk membuat jalan darurat ke bawah tebing. Mereka memang sudah siap membawa alat-alat dan mulailah seratus orang perajurit itu bekerja, membuat jalan dari atas tebing ke bawah.
Lewah tengah hari, mereka semua telah berhasil menuruni tebing itu dan berkumpul di pantai yang luas di bawah tebing, di mana terdapat guha-guha batu karang yang sebagian besar tertutup oleh batu-batu karang sebesar perut kerbau yang berguguran dari atas. Mulailah mereka bekerja keras membongkari batu"batu karang di depan dan atas sebuah guba menurut petunjuk Mo-ko yang telah mengukur sesuai dengan petunjuk peta. Menurut peta itu, dari bawah ini orang dapat melihat ke atas dan ada tonjolan tebing yang bentuknya seperti kepala naga. Guha itu terletak presis di bawah kepala naga itu.
Tenaga seratus orang yang dikerahkan tentu saja dapat menyelesaikan pekerjaan itu dengan cepat. Setelah matahari mulai condong ke barat sehingga tempat itu tidak panas lagi karena sinar matahari tertutup puncak tebing, para perajurit yang bekerja tiba-tiba bersorak ketika mereka melihat guha besar yang tertutup batu-batu tadi. Pat-pi Mo-ko lalu menyuruh mereka semua mundur. Dia sendiri lalu mengajak jaksa Phang, Su Tong Hak, Hai-pa-cu Can Hoa dan Tiat-ciang Lui Cai Ko, dua orang pembantunya yang menarik rantai yang membelenggu tiga orang muda itu memasuki guha. Para perajurit disuruh menanti di luar. Dengan wajah berseri dan jantung berdebar mereka semua memasuki mulut guha yang cukup lebar itu. Juga Kim Hong, Kok Siang dan In Bwee merasakan ketegangan dalam hati mereka. Kim Hong dan Kok Siang merasa tegang karena merekapun ingin melihat harta karun itu, sedangkan In Bwee merasa tegang karena ia merasa khawatir kalau-kalau kekasihnya akan dibunuh setelah harta karun itu terdapat oleh pamannya.
Guha yang lebar itu ternyata di bagian dalamnya menyempit dan akhirnya mereka berhenti pada sebuah pintu batu. Dari bentuknya, dapat diduga bahwa daun pintu ini tentu buatan manusia, merupakan batu tebal berbentuk segi empat dan di tengah-tengah daun pintu batu itu terdapat sebuah lubang kecil. Itulah lubang kuncinya!
"Ah, di sinilah tempatnya! Tak salah lagi!" kata Pat-pi Mo-ko dan suaranya gemetar, juga tangannya ketika dia mengeluarkan sebuah kunci emas dari dalam saku bajunya. Kunci emas yang diterimanya dari In Bwee yang telah berhasil mengambilnya dari tangan Pendekar Sadis!
Semua mata para pemhantu Pat-pi Mo-ko memandang dengan penuh ketegangan dan kegembiraan, akan tetapi pandang mata Kim Hong, Kok Siang dan In Bwee yang sudah tahu bahwa kunci emas itu palsu, adalah kegembiraan yang bercampur dengan kegelian hati, akan tetapi juga tegang karena mereka tidak dapat membayangkan bagaimana akan jadinya nanti setelah datuk sesat itu tidak berhasil membuka dengan kunci palsu.
Seperti juga kuncinya, lubang kunci itu terbuat dari pada emas, akan tetapi ketika Pat-pi Mo-ko memasukkan kunci itu ke lubangnya, ternyata ukurannya tidak cocok dan kunci itu sama sekali tidak dapat masuk!
"Ehh...?" Pat-pi Mo-ko mengerutkan alisnya dan menusuk-nusukkan kunci itu, memutar-mutar, akan tetapi tetap saja kunci emas itu tidak dapat memasuki lubang kecil itu karena memang bukan ukurannya. Lubang itu kecil memanjang dan berlika-liku, harus mempergunakan kunci yang pas ukuran dan cetakannya. Akhirnya Pat-pi Mo-ko menjadi marah karena dia mulai sadar bahwa kunci emas itu adalah palsu!
"KEPARAT!" bentaknya sambil mencabut kembali kunci itu, memandang kepada kunci itu kemudian menoleh kepada keponakannya yang memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat.
"In Bwee! Keparat kau! Kunci apa yang kauberikan kepadaku ini?"
"Katanya itu kunci emaas..."
"Bohong! Ini kunci palsu!"
"Paman, aku hanya menerima dari dia yang mengatakan bahwa itulah kuncinya. Mana aku bisa tahu apakah kunci itu palsu ataukah tulen?" bantah Im Bwee.
"Hi-hik, orangnya berhati jahat dan palsu, mendapatkan peta palsu dan setelah akhirnya menemukan peta aseli dengan cara yang keji, masih tidak berhasil karena kuncinyapun palsu!" Kim Hong mentertawakan.
"Jahanam!" Pat-pi Mo-ko membentak marah. "Kalau engkau tidak memberikan kuncinya yang tulen, akan kusiksa kau sampai mampus!"
"Hi-hik, lucunya! Jangan-jangan setelah kaudapatkan harta karun itu, ternyata harta itupun palsu, Mo-ko! Betapa lucanya! Ingin aku melihat mukamu!" Kim Hong tidak mempedulikan ancaman orang. Mendengar ini, Mo-ko menoleh ke arah pintu yang tak dapat dibukanya itu. Ucapan itu sungguh terasa menusuk perasaannya. Bagaimana kalau benar demikian" Bagaimana kalau sesudah semua jerih payah, semua harapan muluk ini, ternyata harta karun itu palsu dan hanya merupakan permainan orong gila di jaman dahulu belaka" Dia bukan hanya akan kecewa setengah mati, akan tetapi juga amat malu karena namanya tentu akan menjadi buah tertawan orang sedunia kang-ouw dan dia akan dianggap seperti seorang badut! Bayangan ini membuatnya menjadi marah dan penasaran sekali.
Sementara itu, ketika melihat betapa Pat-pi Mo-ko tidak mampu membuka pintu itu dengan kunci emasnya, tahulah Su Tong Hak bahwa kunci emas yang katanya diterima oleh In Bwee dari Pendekar Sadis itu adalah palsu. Tentu kunci aselinya masih berada di tangan pendekar itu, pikirnya. Maka bekerjalah otak yang bercabang itu. Kini tidak menguntungkan untuk menempel kepada Pat-pi Mo-ko. Lebib baik sekarang juga berusaha mendekati Pendekar Sadis dan dia merasa yakin bahwa pendekar itu berada di antara para perajurit yang berjaga di luar. Berpikir demikian, diam-diam, mempergunakan kesempatan selagi semua orang dicekam ketegangan melihat betapa kunci itu tidak dapat membuka pintu, Su Tong Hak lalu meninggalkan guha itu dan keluar, menghampiri para perajurit yang sedang beristirahat di luar guha sambil mencari-cari. Para perajurit itupun berkumpul di depan guha, di luar sambil mencoba untuk melihat ke dalam karena merekapun ingin sekali melihat apakah harta karun itu dapat ditemukan.
Pat-pi Mo-ko sudah menjadi marah sekali, marah karena kecewa dan merasa dipermainkan. Dia menggulung lengan bajunya sehingga nampak kedua lengannya yang berotot, kekar dan nampak kuat sekali. Dengan menggerak-gerakkan kedua lengannya yang besar, dia mengerahkan tenaga sin-kangnya dan terdengarlah suara berkerotokan dari kedua lengan itu, bahkan nampak uap mengepul dari kedua telapak tangannya. Melihat ini, diam-diam Kim Hong terkejut dan kagum. Ternyata bahwa datuk ini memang telah mempunyai tingkat kepandaian yang tinggi dan memiliki sin-kang yang amat kuat. Teringatlah ia ketika pertama kali terjebak dalam kompleks tahanan kantor kejaksaan, ia pernah melompat untuk mendobrak pintu dan disambut oleh pukulan kakek itu sehingga ia terlempar kembali ke bawah.
"Hyaaattt...!" Tiba-tiba Pat-pi Mo-ko menerjang ke depan, ke arah pintu, kedua tangannya menghantam ke arah pintu batu itu dengan maksud untuk menghantam pecah pintu rahasia itu, membukanya tanpa bantuan kunci lagi. Hebat bukan main pukulan kedua telapak tangannya ini. Tiba-tiba saja seluruh ruangan guha itu tergetar keras, disusul oleh gemuruh dari atas guba. Suara bergemuruh itu makin hebat, pintu batu itu retak akan tetapi tidak pecah dan tidak runtuh, dan kini terdengar suara yang amat berisik di luar guha, disusul oleh teriakan-teriakan mengerikan dari para perajurit yang tadi berkumpul di luar guha.
Mendengar suara itu, Pat-pi Mo-ko dan semua orang yang berada di dalam guha cepat memutar tubuh dan memandang. Ketika mereka melihat apa yang tejadi di luar guha, mata mereka terbelalak dan pucat. Ternyata dari atas tebing berjatuhan ratusan batu-batu besar, menggelinding ke bawah dan menghantam para perajurit yang berada di luar guha itu bagaikan hujan lebatnya! Ketika akhirnya suara gemuruh berhenti dan tidak ada lagi batu yang melayang turun, semua orang keluar dan penglihatan di luar guha sungguh amat mengerikan. Hampir seluruh perajurit yang seratus orang jumlahnya itu tewas tertimbun dan terhimpit batu-batu besar. Darah mengalir ke mana-mana dan erangan-erangan orang yang terhimpit batu amat mengerikan. Paling banyak tinggal belasan orang saja yang selamat secara ajaib dan hanya mengalami luka-luka kecil. Dan di antara mereka yang tewas terdapat pula Su Tong Hak yang terhimpit batu dengan kepala remuk dan lenyap menjadi berkeping-keping!
Melihat ini, pucatlah wajah Jaksa Phang. "Celaka...!" serunya dengan tubuh menggigil melihat betapa pasukannya terbinasa.
"Keparat! Harus kubunuh bedebab-bedebah itu!" Dan diapun lari kembali memasuki guha teringat kepada tiga orang tawanannya. Akan tetapa matanya terbelalak melihat betapa Toan Kim Hong dan dua orang yang lain itu telah bebas dari belenggu dan di situ berdiri pula seorang pemuda tampan yang berpakaian sebagai seorang perajurit. Mula-mula dia mengira bahwa tentu dia seorang di antara perajurit yang lolos dari hujan batu. Akan tetapi melihat sikap perajurit itu yang merangkul Kim Hong, jantungnya berdebar tegang dan matanya memandang terbelalak kepada perajurit muda yang tampan dan gagah itu.
Perajurit itu bukan lain adalah Thian Sin, Si Pendekar Sadis! Seperti telah kita ketahui, pendekar ini menanti saat baik dan membiarkan pihak musuh mencarikan tempat harta karun itu untuknya. Dia melihat bahwa keselamatan kekasihnya, Kim Hong, Kok Siang dan In Bwee masih terancam. MakA, dia mengikuti semua persiapan Pat-pi Mo-ko yang hendak memimpin rombongan untuk mencari harta karun Jenghis Khan menurut petunjuk peta aseli, kemudian diam-diam diapun membayangi rombongan itu, kadang-kadang menyamar sebagai perajurit, kadang-kadang pula membayangi dari jauh. Ketika rombongan itu tiba di tempat tujuan dan membongkari batu-batu besar, diapun menyamar sebagai perajurit dan ikut pula membantu! Pada waktu Pat-pi Mo-ko dan para pembantunya memasuki guha untuk membuka pintu rahasia, diapun melihat dari luar, di barisan terdepan sehingga dengan ketajaman matanya dia dapat menyaksikan apa yang terjadi di dalam guha.
Thian Sin sendiri terkejut bukan main ketika Pat-pi Mo-ko menggunakan tenaga sin-kang yang amat kuat untuk menghantam pintu rahasia di dalam guha kemudian mengakibatkan hujan batu dari atas. Dia tahu bahwa pukulan itu menggetarkan tebing dan batu-batu karang yang berada di atas guha menjadi terguncang dan longsor. Untung bahwa dia bertindak cepat dan dengan cekatan sekali dia melompat ke depan dan berlindung di dalam guha kecil di samping guha besar itu. Ketika hujan batu mereda dan semua orang yang berada di dalam guha besar itu keluar, dia menggunakan kepandaiannya untuk menyelinap masuk. Mula-mula dia menggabungkan diri dengan tenaga Kim Hong untuk mematahkan belenggu dari lengan dan kaki kekasihnya itu. Setelah menciumnya sekali tanpa mengeluarkan kata-kata, Thian Sin dibantu oleh Kim Hong lalu melepaskan belenggu yang merantai tangan dan kaki Kok Siang dan In Bwee. Itulah sebabnya ketika Pat-pi Mo-ko kembali ke dalam guha, mereka telah bebas semua dari belenggu mereka!
Thian Sin tersenyun memandang kepada musuh yang baru pertama kali ini dihadapinya dan dia berkata, "Selamat bertemu, Pat-pi Mo-ko! Bagaimana dengan kiriman kunci emas dariku itu" Cukup menyenangkan?"
"Pendekar Sadis! Engkau menipuku dengan kunci palsu!" Bentak Pat-pi Mo-ko yang dengan mudah dapat menduga siapa adanya pemuda tampan gagah yang menyamar sebagai seorang perajurit ini.
"Kuncinya yang aseli juga ada, Mo-ko, ada padaku. Akan tetapi tidak akan mudah engkau bisa mendapatkannya dariku!" Sambil berkata demikian, Thian Sin mengeluarkan sebuah kunci emas dari saku bajunya dan mengacungkannya ke atas, memamerkannya kepada datuk jahat itu. Hal ini membuat muka Pat-pi Mo-ko menjadi semakin hitam. Pada saat itu, Hai-pa-cu Can Hoa, Tiat-ciang Lui Cai Ko dan Phang-taijin telah masuk pula ke dalam guha. Merekapun terheran dan terkejut melihat betapa tiga orang tawanan itu telah bebas dan kini memandang kepada pemuda yang berpakaian perajurit, yang tahu-tahu telah muncul di dalam guha itu. Hai-pa-cu Can Hoa segera mengenal pemuda itu sebagai pemuda teman Kim Hong yang pernah dijumpainya di dalam rumah makan ketika dia dikalahkan oleh Kok Siang. Akari tetapi Tiat-ciang Lui Cai Ko memandang dengan heran. Diapun sudah mendengar dari Mo-ko tentang Pendekar Sadis dan berpesan agar berhati-hati karena Pendekar Sadis selain terlibat dalam urusan harta karun, juga tentu takkan tinggal diam karena kekasihnya, Toan Kim Hong, menjadi tawanan mereka. Dan kini, tahu-tahu pada saat-saat terakhir yang menegangkan, ada pemuda menyamar perajurit yang berada di dalam guha dan agaknya telah membebaskan para tawanan. Siapa lagi pemuda ini kalau bukan Pendekar Sadis" Betapapun juga, agak lega hati Tiat-ciang Lui Cai Ko karena pendekar itu ternyata sama sekali tidak mendatangkan kesan yang menyeramkan, bahkan membuat dia agak memandang rendah kepada seorang pemuda tampan seperti itu.
"Berikan kunci itu kepadaku, Pendekar Sadis!" bentak Pat-pi Mo-ko dengan suara penuh geram. "Atau, engkau akan mati di tanganku!"
"Ha-ha-ha, suaramu tinggi amat! Padahal, kalau aku menghendaki, sudah sejak lama namamu tinggal menjadi kenangan saja. Akan tetapi aku menanti sampai engkau membantuku menemukan tempat penyimpanan harta karun Jenghis Khan. Mau minta kunci" Marilah kita putuskan hal itu di luar, tempat yang lebih luas."
"Baik" Akupun sudah lama mendengar nama Pendekar Sadis dan ingin sekali melihat apakah kepandaianmu juga sehebat namamu!" Berkata demikian, Pat-pi Mo-ko lalu keluar, diikuti oleh Hai-pa-cu Can Hoa, Tiat-ciang Lui Cai Ko, dan juga Phang-taijin yang memandang khawatir. Setelah tiba di luar, Phang-taijin segera memberi isyarat kepada sisa pasukannya untuk melindunginya. Enam belas orang perajurit yang sudah payah lahir batin, lahirnya sudah luka-luka dan lemah, batinnya sudah penuh dengan rasa ngeri dan takut, datang mengerumuninya dan entah siapa yang mengharapkan perlindungan siapa! Mereka berkumpul, seperti sekumpulan anak-anak yang ketakutan dan saling membutuhkan hiburan.
Thian Sin bersama tiga orang muda itupun melangkah keluar dari dalam gaha. Di luar, tiga orang tokoh sesat itu sudah berdiri dengan sikap galak dan siap. Dan seperti sikap jagoan-jagoan besar, mereka bertiga tidak mengeluarkan senjata masing-masing. Seorang jagoan besar cukup mengandalkan keampuhan kaki tangannya, dan baru dalam keadaan terpaksa dan terdesak saja dia akan menggunakan senjatanya!
Ketika melangkah keluar, Kok Siang sudah berkata kepada Thian Sin, "Ceng-taihiap, Hai-pa-cu Can Hoa itu bagianku, serahkan saja kepadaku!"
"Dan Pat-pi Mo-ko itu bagianku!" kata pula Kim Hong.
"Tidak, Kim Hong. Biar aku yang menghadapi Mo-ko, engkau bereskan saja si mata juling Tiat-ciang Lui Cai Ko itu."
"Ah, si gendut itu tidak ada harganya untuk dilawan!" kata Kim Hong.
Thian Sin tersenyum. "Bagianmu sudah cukup, Kim Hong. Selama ini aku yang menganggur, maka biarlah kuhadapi Mo-ko itu. Tidak adil kalau dalam perkara ini, engkau saja yang banyak mengeluarkan keringat dan aku enak-enakan saja!"
Kim Hung tersenyum dan mengangguk. "Baiklah. Akan tetapi mereka itu orang-orang jahat semua, patut untuk dibasmi habis."
"Bagaimana dengan jaksa korup itu?" tanya Thian Sin.
"Serahkan saja padaku!" kata Kok Siang yang tersenyum nakal. "Diapun perlu dihajar dengan cara lain."
Maka ketika mereka bertiga tiba di luar, diikuti oleh In Bwee yang tentu saja hanya menonton karena ia tidak berani menentang pamannya atau gurunya, mereka sudah siap siaga dan menghampiri lawan masing-masing yang sudah dipilihnya.
"Nah, Pat-pi Mo-ko. Kita tiga lawan tiga. Adil, bukan" Di tempat sunyi dan para perajurit itu agaknya sudah tidak mampu lagi untuk membantumu mengeroyok kami." kata Than Sin tersenyum.
Tiba-tiba In Bwee yang merasa tidak kebagian pekerjaan itu berkata, "Kalau mereka berani bergerak, biarlah aku yang akan menghajar mereka!"
Pat-pi Mo-ko yang biasanya amat pemberani dan tidak pernah mengenal takut itu, kini memandang ke kanan kiri dan mukanya yang hitam itu agak pucat. Penglihatan di situ memang mengerikan. Para perajurit yang terhimpit batu, ada yang tertimbun dan hanya nampak kakinya, ada yang masih merintih, ada yang berkelojotan dan darah di mana-mana! Semua itu merupakan tanda malapetaka hebat di pihaknya. Dan dia tahu bahwa Hai-pa-cu Can Hoa pernah kalah oleh Kok Siang dan kini terpaksa harus menghadapinya lagi. Sedangkan Tiat-ciang Lui Cai Ko juga tidak dapat terlalu diharapkan akan bisa mengatasi Toan Kim Hong. Dia sendiri tidak takut welawan Pendekar Sadis, akan tetapi setelah dia mendengar segala kehebatan Pendekar Sadis di masa lalu, diam-diam dia merasa gentar juga.
"Pendekar Sadis, kalau kita saling gempur, tentu satu di antara kita akan
tewas sedangkan yang lain besar kemungkinan akan menderita luka pula. Harta karun itu tentu banyak sekali dan tidak akan habis oleh satu pihak saja. Bagaimana kalau aku menawarkan kerja sama sekali lagi dan yang terakhir! Kita bersama temukan harta karun itu dan kita bagi rata!"
Thian Sin tersenyum dan bertolak pinggang. "Pat-pi Mo-ko, kalau kami ini merupakan orang-orang hamba nafsu dan pengejar kekayaan macam kalian, mungkin usulmu itu akan kami pertimbangkan. Akan tetapi sayang untukmu, kami adalah orang-orang yang menentang kejahatan dan kalau kami bertanya kepada arwah kakek petani Ciang Gun dan isterinya, lalu arwah Louw siucai yang terbunuh tanpa dosa, akan nasib Ciang Kim Su yang malang, apakah engkau bisa mengharapkan kami sudi bekerja sama dengan kalian?"
"Betul-betul engkau tidak mau bekerja sama dengan aku?" Sekali lagi Pat-pi Mo-ko membentak.
"Sayang sekali..." Baru sampai di situ Thian Sin bicara, tiba-tiba lawannya sudah menubruk ke depan dan mengirim serangan dahsyat sekali. Agaknya Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng yang sudah maklum akan kehebatan Thian Sin itu ingin merobohkan lawan secepatnya, maka begitu menyerang dia sudah mengerahkan sin-kangnya yang tadi mampu mengguncangkan guha dan membuat batu-batu terbongkar dan longsor. Tangan kirinya mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala dan tangan kanannya menghantam dengan jari tangan terbuka ke arah dada lawan. Dari kedua tangan itu keluar uap putih dan didahului oleh angin pukulan yang mengeluarkan suara bercuitan. Thian Sin tidak berani memandang rendah karena dia sudah tahu akan kelihaian lawan, maka dengan tenang diapun menggerakkan tubuhnya mengelak dan balas menampar. Tamparannya kelihatannya sembarangan dan tidak keras, akan tetapi membuat kakek tinggi besar itu terkejut karena sebelum tamparan itu tiba, dia telah merasakan sambaran hawa pukulan panas yang luar biasa kuatnya. Kakek ini mengerahkan tenaga pada lengannya dan menangkis, sengaja hendak mengadu tenaga dengan pendekar yang masih muda itu.
"Dukkk...!" Dua tenaga raksasa bertemu dan batu-batu yang bertebaran di sekeliling tempat itu seperti tergetar. Akibat benturan dua tenaga raksasa melalui dua lengan itu, tubuh Thian Sin masih kokoh dan tidak tergoyang sedikitpun juga, akan tetapi Pat-pi Mo-ko terpaksa melangkah ke belakang sampai tiga langkah dan tubuhnya agak menggigil kedinginan! Matanya terbelalak dan dia terkejut setengah mati. Tadi, sambaran hawa pukulan itu terasa panas, akan tetapi setelah beradu lengan, bagaimana ada hawa yang demikian dinginnya menyelinap ke dalam tubuh melalui lengan" Dan kekuatan itu! Bukan main dahsyatnya dan harus diakuinya bahwa tadi dia telah mengerahkan selurub tenaga. Akan tetapi, kalau Pendekar Sadis sama sekali tidak goyah, dia sendiri terdorong sampai tiga langkah. Dari sini saja dapat dia mengerti bahwa dalam hal kekuatan sin-kang, dia tidak mampu menandingi pendekar yang aneh dan hebat itu. Diapun lalu mencabut sepasang senjatanya, yaitu sepasang pedang dan begitu dia menggerakkan tubuh dan tangan, nampak dua gulungan sinar membungkus dan menyelimuti bayangan tubuhnya dan terdengar suara mengaung-ngaung seperti suara lebah-lebah mengamuk. Itulah ilmu pedang pasangan Pek-hong-siang-kiam (Ilmu Sepasang Pedang Seratus Lebah) yang menjadi ilmu andalan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng. Datuk ini dijuluki Pat-pi Mo-ko (Iblis Berlengan Delapan) karena dia memiliki kecepatan gerak tangan yang membuat lengannya seperti nampak menjai banyak akan tetapi menghadapi Pendekar Sadis, dia tidak berani hanya mengandalkan kedua lengannya dan kini mengandalkan sepasang pedangnya yang memang hebat itu.
Akan tetapi, sudah lama Thian Sin seperti telah melupakan senjata di luar kaki tangannya sendiri. Biarpun dia maklum bahwa lawan ini merupakan lawan yang berat, tidak kalah berat dibandingkan dengan para datuk yang pernah dilawannya, namun dia tidak merasa khawatir dan mengandalkan gin-kangnya untuk menghadapi amukan sepasang pedang itu. Tubuhnya berkelebatan dan kadang-kadang seperti kapas ringannya sehingga sebelum pedang menyambar, tubuhnya seperti telah terdorong oleh angin pedang dan dapat menghindar dengan cepatnya, kemudian kedua kaki tangannya tidak tinggal diam den membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah ampuhnya dibandingkan dengan serangan dua pedang lawan.
Hai-pa-cu Can Hoa pernah dikalahkan oleh Kok Siang. Kini, menghadapi pemuda itu, dadanya penuh dengan nafsu membalas dendam atas kekalahannya. Dia tidak merasa gentar karena sekarang dia telah memegang sebatang golok gergaji yang kelihatannya mengerikan. Can Hoa maklum akan kelihaian lawan, maka biarpun tadi dia bertangan kosong, kini melihat Kok Siang telah menghadapinya, diapun tidak ragu-ragu lagi mencabut goloknya. Bukan saja golok besar ini yang membuat hatinya tabah, akan tetapi diapun tahu bahwa pemuda ini telah mengalami siksaan dan dibelenggu selama beberapa hari, kurang tidur dan kurang makan. Hal ini tentu melemahkan pemuda sesterawan ini. Selain itu, pemuda ini telah kehilangan senjatanya yang diandalkan, yaitu siangkoan pit dari emas dan perak itu. Sentanya itu terjatuh ketika pemuda ini terjebak ke dalam air dan seperti juga senjata milik Kim Hong, siangkoan pit itu telah dirampas dan tidak pernah dikembalikan kepada pemuda ini. Maka, dibandingkan dengan pertemuannya pertama kini pihaknya lebih banyak memperoleh keuntungan dan dia merasa yakin bahwa dia sekali ini akan menang dan akan dapat membalas kekalahannya tempo hari.
"Kutu buku, bersiaplah untuk mampus! Darahmu akan diminum oleh golokku ini!" Berkata demikian, Hai-pa-cu Can Hoa sudah menerjang ke depan, memutar goloknya dan menyerang kalang kabut.
Tiba-tiba nampak sinar emas dan perak berkelebat, bersilang dan menangkis golok itu dengan gerakan menggunting dari kanan kiri. "Cringgg...!" Hai-pa-cu Can Hoa terkejut bukan main ketika merasa betapa goloknya tergetar hebat dan cepat dia mencabut golok itu dari jepitan sepasang siangkoan pit emas dan perak.
"Ehhh...!" Teriaknya kaget dan heran melihat betapa pemuda itu sudah memegang sepasang senjatanya! Tentu deja dia tidak tahu bahwa senjata itu, juga sepasang pedang hitam milik Kim Hong, telah diambil oleh Thian Sin dari tempat penyimpanan senjata di gudang dekat tahanan, dan ketika pemuda itu membayangi rombongan, kedua macam senjata itu dibawanya dan tadi di dalam guha, dia telah mengembalikan senjata itu kepada pemiliknya masing-masing.
Kok Siang tersenyum mengejek. "Hai-pa-cu Can Hoa, arwah pamanku Louw siucai telah menanti di sana untuk membuat perhitungan denganmu!"
Hai-pa-cu Can Hoa mengeluarkan bentakan nyaring, dan diapun sudah menyerang lagi, goloknya menyambar-nyambar dengan ganasnya, akan tetapi di balik keganasan sikapnya ini, tersembunyi rasa gentar yang hebat, membuat mukanya pucat dan matanya terbelalak. Di lain pihak, Kok Siang bergerak dengan cekatan dan tenang, merasa yakin bahwa dia akhirnya pasti akan mampu mengalahkan penjahat yang hanya besar gertak dan kekasarannya ini.
Kim Hong tadinya menghadapi Tiat-ciang Lui Cai Ko dengan tenang, bertangan kosong dan dengan senyum mengejek. "Nah, gendut, sekarang kita berhadapan satu lawan satu! Keluarkanlah semua kepandaianmu!"
Tiat-ciang Lui Cai Ko masih hendak borlagak karena dia melawan seorang gadis cantik. Dia masih merasa malu kalau harus mengeluarkan senjata, maka diapun tertawa dan berkata. "Nona yang manis, kalau sekali ini aku dapat meringkusmu, engkau akar kutelanjangi dan kuperkosa di sini juga!" Dan sebelum kata-katanya habis, dia sudah menubruk ke depan, tangan kirinya menyambar ke arah dada sedangkan tangan kanan menyusul kaki kanan yang menendang, mencengkeram ke arah pundak. Serangan yang amat hebat dan sekaligus telah menggunakan kedua tangan dan sebelah kaki. Akan tetapi, Kim Hong yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi itu, dengan mudahnya berloncatan mengelak dan ketika tubuhnya turun, kakinya mencuat dengan gerakan kilat yang sama sekali tidak dapat diikuti oleh pandang mata lawan.
"Wuuuuttt... plakk!" Dan sepatunya yang kecil dan terkena lumpur itu telah mengenai dagu lawan, membuat tubuh Tiat-ciang Lui Cai Ko terjengkang dan nyaris jatuh terbanting kalau saja dia tidak cepat menggulingkan tubuhnya! Setelah bergulingan, dia meloncat bangun lagi. Wajahnya merah, matanya berapi-api dan mulutnya menyeringai, seperti orang tertawa! Dia merasa malu dan marah bukan main. Dalam segebrakan saja dia telah dirobohkan lawan! Kini diapun tahu bahwa gadis ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Sebagai seorang ahli silat tinggi, dia mengerti bahwa Kim Hong ini adalah seorang yang memiliki gin-kang luar biasa hebatnya, membuat gerakannya cepat sekali, tak dapat diikuti dengan pandang mata, maka tentu merupakan lawan yang berbahaya sekali, walaupun agaknya tenaga wanita ini tidak begitu besar dan tendangannya tadipun tidak begitu kuat. Sungguh pendapat yang didasari kesombongan kosong belaka sehingga membuat dia tidak waspada. Dia tidak melihat bahwa kalau King Hong menghendaki, sekali tendangan tadi saja sudah akan mampu meremukkan tulang gerahamya! Gadis itu memang sengaja hendak mempemainkan, maka belum menurunkan tenaga dalamnya.
"Wuuut! Wuuut!" Tiat-ciang Lui Cai Ko menggunakan kedua tangan meraba pinggangnya dan ternyata kini tangan kirinya memegang sebatang pisau yang panjangnya ada tiga puluh senti, ujungnya berkarat dan berwarna kehijauan, tanda bahwa pisau itu direndam dalam cairan beracun! Dan tangan kanannya memegang sebatang sabuk atau cambuk baja yang ujungnya memakai kaitan seperti mata kail! Sungguh senjata-senjata yang amat berbahaya dan hebat, pikir Kim Hong. Akan tetapi karena ia sudah dapat mengukur sampai di mana kepandaian lawan, iapun tidak merasa perlu untuk mengeluarkan sepasang pedangnya dan hanya menanti dengan sikap tenang, dengan kedua kaki ditekuk di bagian lutut dan kedua lengan tergantung lepas di kanan kiri, akan tetapi biarpun nampaknya santai saja, sebenarnya seluruh urat syaraf di tubuhnya telah siap siaga dan tubuh itu telah dipenuhi dengan tenaga sin-kang yang tinggi dan kuat.
"Hi-hik, itu senjatamu" Pisau penyembelih babi cocok dengan perutmu yang gendut, dan matamu menjadi juling itu tentu karena terlalu sering memutar cambuk itu. Hati-hati, jangan-jangan kaitan cambukmu akan mengenai matamu sendiri, dari juling menjadi buta!" Kim Hong mengejek tanpa memperdulikan serangan lawan yang sudah menyambar sebelum kata-katanya habis itu. Dengan hanya sedikit menggerakkan leher, mukanya ditarik ke belakang dan sambaran pisau pada lehernya itu lewat beberapa senti di depan lehernya. Ketika pada detik berikutnya cambuk baja itu melecut dari atas, ke arah ubun-ubun kepalanya, Kim Hong menggeser kakinya, melangkah sambil memutar dan cambuk itu hanya menyambar lewat dan ujungnya yang dipasangi kaitan itu mengenai tanah yang tertutup batu karang. Terdengar suara keras dan debu mengepul, batu karang hancur pinggirnya kena hantem ujung cambuk.
Tentu saja Tiat-ciang Lui Cai Ko menjadi penasaran dan semakin marah. Dia menyerang kalang kabut dan seperti biasanya orang yang dihimpit kemarahan, kewaspadaannya berkurang dan dia hanya menuruti nafsu amarah, menyerang tanpa menggunakan perhitungan lagi. Cambuknya meledak-ledak menyambar dari atas dan bawah, pisaunya juga berkilauan menyambar-nyambar. Namun, dengan amat mudahnya Kim Hong selalu dapat menghindarkan diri, belum juga balas menyerang karena dara ini ingin mempermainkan lawan sampai sepuasnya sebelum turun tangan.
Sementara itu, melihat betapa tiga orang itu sudah berkelahi, Phang-taijin yang hampir kehabisan perajurit dan juga kehabisan nyali itu, diam-diam memerintahkan sisa pasukannya yang tinggal enam belas orang itu untuk mengawalnya naik ke tebing dan melarikan diri. Akan tetapi, baru saja dia maju beberapa langkah diiringkan oleh para perajurit, menuju ke jalan darurat menuju naik ke tebing, tiba-tiba tubuh In Bwee berkelebat dan gadis ini sudah mendahuluinya dan menghadangnya sambil bertolak pinggang.
"Orang she Phang, engkau hendak lari ke mana" Siapapun tidak boleh pergi dari sini!" kata In Bwee dengan sikap keren. Melihat ini, Phang-taijin membelalakkan matanya.
"Nona Bouw, apa engkau tidak tahu siapa aku maka berani melarangku pergi" Ingat, aku bisa menangkapmu dan menuduhmu melawan pejabat!" Phang-taijin menggertak dan bersikap galak.
In Bwee tersenyum manis. Dara ini sekarang berbesar hati. Biarpun dibandingkan dengan tiga orang teman lain ilmu silatnya masih terlalu rendah, akan tetapi sebagai murid Pat-pi Mo-ko, pandangannya sudah cukup tajam untuk dapat menilai bahwa keadaan teman-temannya berada di atas angin. Ia teringat akan ucapan Kok Siang tadi yang menyanggupi untuk membereskan dan memberi hukuman yang keras untuk pembesar yang bersekongkol dengan penjahat ini, maka ketika melihat pembesar itu hendak melarikan diri, iapun segera menghadang dan mencegahnya untuk membantu kekasihnya.
"Orang she Phang, pada saat sekarang, engkau masih hendak mengandalkan kedudukanmu" Siapapun tahu bahwa engkau bukanlah pejabat lagi melainkan penjahat atau kaki tangan penjahat, dan urusan di sini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan pemerintah."
Karena yang menghadang hanya seorang gadis, Phang-taijin lalu menyuruh enam belas orang perajutit itu maju. "Hajar gadis lancang ini!" katanya.
Enam belas orang perajurit itu sebenarnya sudah kehabisan semangat seperti bola kempis, dan menurut kehendak hati mereka, satu-satunya keinginan mereka, adalah melarikan diri dari tempat yang berobah menjadi seperti neraka ini. Akan tetapi mereka takut untuk membangkang perintah, apa lagi melihat bahwa gadis itu hendak menghalangi mereka melarikan diri. Maka mereka lalu menjadi nekat dan menyerbu. In Bwee menyambut mereka dengan gerakan kaki tangannya dan terdengar para perajurit itu mengaduh-aduh ketika tubuh mereka terbanting ke sana sini.
Ketika Kok Siang melihat kekasihnya dikeroyok oleh para perajurit, dia menjadi marah dan khawatir. Dia mengeluarkan teriakan melengking dan sepasang siangkoan-pit di tangannya bergerak cepat. Nampak sinar perak berkelebat di depan mulut Hai-pa-cu Can Hoa yang menjadi silau dan di lain saat, sebuah tendangan dengan keras mengenai pergelangan tangan kanannya, membuat goloknya terlempar dan sebelum Si Macam Tutul Laut itu sempat memperbaiki posisinya, sinar emas berkelebat dan menyambar tenggorokannya.
"Aughhh...!" Tubuh yang tinggi besar itu terjengkang dan Hai-pa-cu Can Hoa roboh dan tewas tak lama kemudian karena pit emas di tangan Kok Siang telah menembus tenggorokan dan menotok jalan darah maut. Kok Siang tidak melihat lagi keadaan lawan yang sudah roboh itu dan cepat dia meloncat ke arah kekasihnya. Akan tetapi kekhawatirannya tadi sama sekali tak beralasan karena kini belasan orang itu sudah dirobohkan semua oleh In Bwee, bahkan belum terkena pukulan atau tendangannya sudah menjatuhkan diri dan pura-pura luka tidak dapat melawan lagi. Tinggal Phang-taijin yang berdiri dengan muka pucat dan kedua kaki menggigil lemas, tanpa mampu mengeluarkan suara.
Melihat betapa Kok Siang sudah merobohkan lawannya, Kim Hong merasa bahwa sudah terlampau lama ia mempemainkan lawan. Ketika cabuk atau cambuk baja itu menyambar lagi ke arah kepalanya, tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking dan sinar hitam menyambar, menyambut cambuk itu dan tahu-tahu ujung cambuk itu sudah terbelit oleh ujung rambutnya. Pisau yang menyambar dari arah kanannya itu dielakkan, kemudian tangan kirinya dari bawah menghantam ke atas dan tepat mengenai dada lawan.
"Ngukkk!" Tiba-tiba saja tubuh yang perutnya gendut sekali itu menjadi lemas, napasnya terengah, kedua tangan melepaskan senjeta dan mendekap ke arah atas perut gendutnya, matanya semakin juling melihat ke arah perut dan akhirnya diapun roboh terkulai. Pukulan satu kali dari jari tangan halus Kim Hong tadi telah menyalurkan kekuatan sin-kang dan merusak jantung lawan sehingga pukulan itu sudah cukup untuk merenggut nyawa Tiat-ciang Lui Cai Ko yang sebenarnya masih kalah jauh dibandingkan dengan Toan Kim Hong.
Kini mereka bertiga menonton perkelahian antara Thian Sin dan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng dan memang pertandingan ini sajalah yang nampak paling seru dan seimbang. Memang pada waktu itu, Thian Sin sedang berada dalam puncak kelihaiannya. Biarpun dia bertangan kosong dan lawannya yang berilmu tinggi itu menggunakan sepasang pedangnya dengan amat hebatnya, namun Thian Sin sama sekali tidak pernah terdesak. Tubuhnya seperti menyelinap dan beterbangan di antara dua sinar pedang yang bergulung-gulung itu. Amat mengerikan dipandang kalau diingat betapa sedikit saja tergores sinar itu, tubuh bisa koyak-koyak! Akan tetapi juga amat indahnya. Setelah lewat puluhan jurus dan sepasang pedang yang amat diandalkannya itu tidak mampu mendesak lawan, Pat-pi Mo-ko mulai merasa gentar dan juga takjub sekali. Belum pernah selama hidupnya dia bertemu dengan lawan sehebat ini. Kini mengertilah dia mengapa datuk-datuk kaum sesat di empat penjuru dunia beberapa tahun yang lalu kalah semua melawan Pendekar Sadis. Kiranya memang hebat bukan main ilmu kepandaian pemuda ini, hebat dan juga aneh, hampir semua gerakan pemuda ini tidak dikenalnya. Karena merasa kewalahan untuk dapat mendesak lawan, akhirnya Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menjaga diri saja. Sepasang pedang itu diputar sedemikian rupa sehingga andaikata ada hujan lebat dari atas sekalipun menimpa dirinya, tidak akan ada setetes air yang mampu mengenai tubuhnya. Demikian rapat sinar pedang bergulung-gulung menyelimutinya, seolah-olah telah berobah menjadi benteng baja yang menutupi tubuhnya dan yang melindunginya dari ancaman apapun dari luar.
Melihat siasat lawan ini, Thian Sin maklum bahwa kalau dia tidak mengeluarkan ilmu simpanannya, akan makan waktu terlalu lama menjatuhkan lawan tangguh ini. Dia lalu diam-diam mengerahkan tenaganya, lalu pada saat lawan mundur, dia merendahkan dirinya dan tiba-tiba dari mulutnya keluar suara melengking nyaring yang menggetarkan jantung lawan, disusul oleh tubuhnya yang tadi merendah itu kini tiba-tiba meluncur ke depan dengan kecepatan kilat dan dengan kekuatan dahsyat sekali. Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng terkejut ketika merasa ada angin hebat melanda dirinya. Dia berusaha untuk menggerakkan sepasang pedangnya menyambut ke depan, ke arah bayangan lawan yang meluncur itu.
"Bressss...!" Sukar diikuti dengan pandang mata terjadinya benturan itu akan tetapi tahu-tahu tubuh Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng yang tinggi besar itu terpelanting dan terjengkang lalu terguling-guling, menabrak batu karang besar dan berhenti. tidak bergerak lagi. Sebatang pedang, pedangnya sendiri, menembus lehernya sampai ke tengkuk, pedang ke dua masih terkepal tangan kiri. Kiranya dalam benturan tadi, saking hebatnya daya serang Thian Sin, pedang kanan itu membalik dan menembus leher sendiri. Tewaslah Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng dan habislah sudah komplotan jahat yang berlindung di balik kedudukan Jaksa Phang di kota raja itu!
-(file google dokumen published by saiful bahri situbondo seletreng)- ( )-(file google dokumen published by saiful bahri situbondo seletreng)-
Kota raja geger ketika pada suatu pagi, tubuh Jaksa Phang tergantung tinggi-tinggi di depan kantornya dengan kaki tangan terikat dan ikatan tangannya itu digantungkan di atas wuwungan bagian depan sehingga nampak dari jalan. Hal ini menarik banyak perhatian, apa lagi karena sehelai kain putih yang lebar tergantung dan tubuh jaksa Phang itu penuh dengan tulisan yang rapi dan indah. Ketika orang-orang menolongnya dan membaca tulisan itu, keadaan menjadi semakin geger den berita itu segera menjalar luas di kota raja. Isi tulisan itu membuka rahasia jaksa itu tentang perbuatan-perbuatannya yang korup dan jahat, tentang persekutuannya dengan penjahat-penjahat dan betapa kantor kejaksaan dijadikan tempat persembunyian penjahat besar Pat-pi Mo-ko!
Berita ini sumpai ke dalam istana dan kaisar sendiri menjadi marah dan malu, lalu memerintahkan untuk menangkap jaksa Phang itu, dipecat dan dijatuhi hukuman berat. Mudah kita duga bahwa yang melakukan perbuatan itu tentulah Bu Kok Siang orangnya!
Setelah Thian Sin muncul dan membebaskan dia, Kim Hong dan In Bwee, kemudian mereka dapat membasmi para datuk sesat bersama anak buahnya, Thian Sin lalu mengajak mereka bertiga, sambil membawa Phang-taijin sebagai tawanan, menuju ke guha di mana terdapat pintu tadi. Kok Siang menotok roboh jaksa itu dan melemparnya ke sudut, kemudian Thian Sin mengeluarkan kunci emas yang aseli dari sakunya dan ternyata kunci itu tepat sekali memasuki lubang kunci dari emas di tengah-tengah daun pintu baja. Thian Sin memasukkan kuncinya dan memutar-mutar, tiba-tiba terdengar suara keras dan semua orang sudah terkejut dan berhati-hati, takut kalau-kalau terjadi longsor batu-batu karang lagi seperti tadi. Akan tetapi ternyata ketika suara keras itu berhenti, lantai di sebelah kanan daun pintu itu amblong dan berlubang. Kiranya kunci itu hanya menggerakkan alat rahasia yang sudah dipasang di situ di mana terdapat batu besar yang digerakkan oleh alat baja bergeser dan menurun. Di balik batu besar itu terdapat lubang dan inilah tempat rahasia penyimpanan harta karun. Bukan di belakang daun pintu, karena belakang pintu itu tidak ada apa-apanya, hanya ada dinding tebing batu karang. Setelah rasa kagetnya hilang, Thin Sin lalu memeriksa lubang dan di sini mereka menemukan empat buah peti kuno berukir.
"Ah, inilah harta karun itu!" Thian Sin berseru dan empat orang itu merasa gembira bukan main, seperti sekumpulan anak-anak yang menemukan sesuatu yang menarik. Mereka lalu mengeluarkan empat buah peti kuno itu dan ketika empat buah peti itu dibuka, ternyata berisi emas dan permata intan berlian ratna mutu manikam, logam mulia dan batu mulia berkilau-kilauan menyilaukan mata!
Bagaikan anak-anak kecil yang melihat mainan bagus, mereka merakup benda-benda itu, dipermainkannya di antara jari-jari tangan dengan sepasang mata bersinar-sinar dan wajah berseri-seri. "Bukan main! Kalau benda sebanyak ini sampai terjatuh ke tangan mereka, sungguh sayang!" akhirnya Kok Siang berkata.
"Harta karun Jenghis Khan ini rahasianya ditemukan oleh keluarga Ciang, maka kita harus menyerahkan kepada yang berhak, yaitu Ciang Kim Su." kata Kim Hong dengan suara tegas. Mendengar ini, tiba-tiba Kok Siang menjura kepada wanita itu.
"Nona Toan, sungguh bijaksana sekali ucapan itu dan aku merasa takluk. Seorang seperti nona ini dan juga Ceng-taihiap, barulah pantas disebut pendekar!"
"Sayang, orang yang berhak sudah tidak ada lagi!" kata Thian Sin.
"Apa maksudmu, Thian Sin?" Kim Hong bertanya dan Kok Siang bersama In Bwee juga memandang heran.
"Aku sudah melihat pemuda petani itu. Dia disiksa untuk dipaksa mengaku tentang peta aseli. Tentu saja dia sendiri tidak tahu dan penyiksaan itu membuat dia terluka parah dan ketika aku mangunjunginya di dalam sel tahanannya di kompleks kejaksaan itu, dia meninggal dunia tanpa dapat ditolong lagi."
"Ahhh...!" In Bwee berseru dan merasa kasihan sekali. Karena menemukan harta karun Jenghis Khan, keluarga petani yang terdiri dari ayah ibu dan anak itu semua telah tewas! Agaknya jalan pikiran In Bwee ini terasa juga oleh tiga orang pendekar itu. Kok Siang menggeleng-geleng kepalanya.
"Jenghis Khan terkenal dengan kekerasan dan kekejamannya, dan harta karunnya inipun ternyata membawa kutuk bagi para penemunya. Untung sekali sekarang terjatuh ke tangan kalian, sepasang pendekar budiman. Mudah-mudahan saja harta karun itu akan dapat bermanfaat dan mendatangkan kebaikan bagi banyak orang melalui tangan kalian berdua."
"Harta karun ini milik kita bersama sekarang, Bu-twako." kata Kim Hong. "Kita bersama yang telah mendapatkannya, oleh karena itu kita semua pula yang berhak memilikinya. Kita akan bagi rata..."
"Tidak, aku tidak mau! Sejak kecil aku menjadi anak orang kaya, dan aku bahkan sering kali melihat betapa kekayaan tidak selalu mendatangkan kebahagiaan. Tidak, aku ingin hidup seadanya dan miskin... di samping Siang-koko..." Dan gadis itu lalu memegang lengan pemuda pujaannya itu sambil memandang mesra.
Kok Sing tersenyum. "Baik Bwee-moi, ataupun aku tidak berhak sama sekali, juga tidak membutuhkan. Aku sendiri bukan orang miskin. Aku menerimanya dari paman Louw, dan paman Louw sama sekali tidak berhak. Pula, mendiang pamanku itu memalsu peta, bukan karena ingin menguasai yang aseli, melainkan karena curiga kepada Su Tong Hak dan ingin menolong dan menyerahkannya kelak kepada yang berhak, yaitu Ciang Kim Su. Maka, setelah sekarang jatuh ke tangan kalian yang memang berjasa dan hanya karena adanya kalian maka harta ini dapat ditemukan, maka kalian berdualah yang berhak memilikinya, Ceng-taihiap dan Nona Toan."
Thian Sin menghela napas dan memandang kagum kepada Kok Siang dan In Bwee. "Ahh, sungguh jarang dapat ditemukan di dalam dunia ini orang-orang seperti kalian berdua. Biasanya, di mana terdapat harta, tentu terjadi perebutan. Untuk memiliki harta, manusia tidak segan melakukan segala macam kejahatan dan kekejaman. Akan tetapi kalian malah menolaknya. Kami sendiri juga tidak membutuhkan harta. Akan tetapi karena harta karun ini telah terjatuh ke tangan kita, sudah seharusnya kalau kita pergunakan untuk kebaikan. Memerangi kejahatan bukan merupakan suatu hal yang mudah dan ringan, juga kadang-kadang membutuhkan banyak biaya. Oleh karena itu, harta karun Jenghis Khan yang saya yakin tentu sudah bergelimang darah ini, yang sekarang saja telah membunuh puluhan orang di luar guha, akan dapat kita pakai untuk menebus dosa-dosanya, untuk manfaat banyak orang dan untuk biaya memerangi kejahatan. Engkaupun berhak memperoleh bagianmu, Bu-siucai."
Akan tetapi Kok Siang menggeleng kepalanya sambil tersenyum lalu merangkul leher In Bwee yang memegang lengannya. "Tidak, taihiap. Dalam peristiwa perebutan harta karun Jenghis Khan ini, aku telah memperoleh bagianku sendiri, telah memperoleh harta karun yang tiada keduanya di dunia ini, yang jauh lebih berharga dari pada semua harta dalam empat peti itu, yalah Bwee-moi!"
Thian Sin dan Kim Hong tersenyum saling pandang, sedangkan In Bwee menjadi merah mukanya dan tersenyum bangga dan bahagia. Pendekar Sadis dan kekasihnya tidak mau memaksa lagi dan merekapun lalu meninggalkan tempat itu, membawa empat peti harta karun dan juga membawa Phang-taijin sebagai tawanan. Mereka mempergunakan kereta yang tertinggal di atas tebing dan pada malam itu juga, Kok Siang membereskan Phang-taijin, menulis surat pembeberan rahasia busuk pembesar itu dan menggantungkan pembesar korup dan suratnya ke wuwungan depan rumah gedung pembesar itu. Ketika Kok Siang melakukan hal ini, dia ditemani oleh In Bwee, Thian Sin dan Kim Hong. Akan tetapi Pendekar Sadis dan kekasihnya tidak mau mengganggu dan membiarkan sasterawan perkasa itu untuk memuaskan hatinya dengan melakukan hukuman itu sendiri.
Setelah selesai melakukan tugas terakhir dalam urusan harta karun Jenghis Khan itu, mereka berkumpul di tempat sunyi di luar kota raja, di mana telah menanti sebuah kereta yang akan membawa Pendekar Sadis dan kekasihnya meninggalkan kota raja pada malam hari itu juga. Empat buah peti harta karun itu telah disusun rapi di dalam kereta, ditutupi dan tidak nampak dari luar.
HK JK Episode 76 Dua pasang orang muda itu kini saling berhadapan di bawah sinar bulan purnama. Cuaca dan pemandangan indah sekali, mendatangkan rasa kegembiraan luar biasa walaupun ada sedikit rasa haru karena mereka hendak saling berpisahan.
"Kami harap saja kalian akan dapat menjadi pasangan yang baik dan berbahagia." kata Kim Hong sambil memeluk In Bwee dan gadis hartawan ini mengusap air matanya karena selama beberapa hari menjadi kenalan Kim Hong ia merasa amat kagum dan sayang kepada pendekar wanita itu.
"Mudah-mudahan saja kami akan dapat menjadi pasangan berbahagia seperti ji-wi." Kata In Bwee.
"Bagaimana rencanamu selanjutnya dengan nona Bouw, Bu-siucai?" Thian Sin bertanya.
"Kami akan minta persetujuan orang tua Bwee-moi dengan terang-terangan. Dan kami sudah bersepakat bahwa andaikata orang tuanya tidak menyetujui, kami berdua akan pergi begitu saja!"
Kim Hong dan Thian Sin tertawa. "Aih, mudah-mudahan tidak. Kami kira, orang tua adik Bwee akan cukup bijaksana untuk dapat melihat bahwa mereka telah mempunyai seorang calon mantu yang hebat!" kata Kim Hong.
"Dan bagaimana dengan ji-wi (kalian berdua)?" tanya Bu Kok Siang.
"Kami akan pulang dan beristirahat." Jawab Thian Sin.
"Di mana... ah, ji-wi sudah menjelaskan bahwa ji-wi takkan memberitahukan tempat tinggal ji-wi kepada siapapun juga. Biarlah, kami hanya berdoa semoga kelak kita masih akan dapat saling bertemu pula." kata Kok Siang.
Setelah bersalaman dan saling memberi hormat, akhirnya Thian Sin dan Kim Hong memasuki kereta dan Thian Sin melarikan kuda-kuda penarik kereta, diikuti oleh pandang mata Kok Siang dan In Bwee, sampai kereta itu lenyap ditelan kegelapan di sudut sana. Mereka merasa terharu dan kehilangan, akan tetapi ketika mereka teringat bahwa mereka bersama, lenyaplah rasa kehilangan itu dan sambil bergandeng tangan merekapun kembali ke kamar mereka di rumah penginapan di mana mereka menyewa dua buah kamar untuk mereka. Dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika melihat bahwa di kamar Kok Siang terdapat sebuah di antara empat peti harta karun itu, dengan isi yang masih penuh dan utuh! Dan di atas peti itu terdapat tulisan:
SEMOGA KALIAN BERBAHAGIA. Kedua orang itu saling pandang dan akhirnya In Bwee menubruk calon suaminya sambil menangis, terharu akan kebaikan hati Pendekar Sadis dan kekasihnya.
Sementara itu, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, dua sosok tubuh berada di dalam sebuah perahu layar, dan perahu itu dengan perlahan meninggalkan pantai menuju ke laut bebas. Sebuah perahu layar yang berukuran sedang saja, tidak ada anak perahunya kecuali mereka berdua.
Diatas dek perahu terdapat tiga buah peti kuno berukir indah. Mereka itu adalah Thian Sin dan Kim Hong yang sedang berlayar menuju pulang, ke tempat tinggal mereka yaitu di Pulau Teratai Merah, membawa hasil petualangan mereka, yaitu tiga peti terisi harta karun Jenghis Khan! Mereka akan pulang dan beristirahat, tanpa mereka sadari bahwa mereka akan menghadapi pengalaman-pengalaman yang lebih menyeramkan lagi dalam kisah petualangan mereka "SILUMAN GUHA TENGKORAK"! Kita akan berjumpa kembali dengan sepasang pendekar ini dalam kisah yang menyeramkan itu, di mana selain ilmu silat, juga ilmu sihir dipergunakan! Sampai jumpa!
TAMAT
Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seruling Samber Nyawa 10 Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Bara Naga 10
an ia dan juga Kok Siang. Sementara itu, diam-diam Kok Siang juga terkejut. Pat-pi Mo-ko memberi isyarat kepada Siang-to Ngo-houw yang tinggal empat orang itu dan mereka lalu membuka belenggu pada kaki Kok Siang, kemudian bersama Pat-pi Mo-ko, mereka semua itu cepat meninggalkan ruangan itu yang segera pintunya ditutup dari luar. Mereka semua menonton dari luar, seperti nonton adu ayam atau lebih tepat lagi mengadu dua ekor singa berbahaya sehingga para penonton berdiri di luar kerangkeng. Memang tadinya Kim Hong bermaksud untuk mengajak Kok Siang memberontak dan bersama-sama menerjang begitu kakinya dibebaskan. Akan tetapi, pemuda itu tidak memberi reaksi dan iapun mengeluh. Kalau Thian Sin yang menjadi Kok Siang pada saat itu, dengan pandang mata saja ia dapat memberi isyarat dan menerimanya pula. Akan tetapi Kok Siang agaknya tidak mengerti akan isyarat pandang matanya dan pemuda itu tentu akan terlambat kalau harus diteriakinya lebih dulu. Kalau sampai pemuda itu dirobohkan lebih dulu oleh mereka dan tertawan kembali, apa artinya ia memberontak" Saat yang baik belum tiba dan Kim Hong hanya dapat memandang dengan menyesal ketika melihat Pat-pi Mo-ko dan para pembantunya keluar dari ruangan itu dan berdiri di luar pintu, menonton dari balik jeruji pintu dan jendelia. Terpaksa ia lalu membalikkan tubuhnya menghadapi Kok Siang. Karena ia berdiri membelakangi mereka, ia berani mengedipkan mata kepada Kok Siang, tanda bahwa ia mengajak pemada itu untuk bersandiwara. Kok Siang tidak memperlihatkan tanda bahwa dia mengerti, tetapi dia tertawa mengejek.
"Ha-ha-ha, pendekar wanita yang berobah menjadi penjahat wanita kaki tangan para iblis jahat kini datang untuk membunuh bekas teman sendiri! Bagus, majulah. Aku memang ingin memberi beberapa kali tamparan padamu. Kim Hong!"
"Kok Siang manusia sombong! Siapa takut kepadamu" Lihat, aku akan menghadapimu dengan kedua tangan kosong saja!" Dengan sikap memandang rendah Kim Hong melepaskan sarung pedangnya dan melempar sarung berikut sepasang pedang hitamnya itu ke atas lantai, di sehelah dalam, jauh dari pintu dan jendela. Setelah membuat gerakan ini, tanpa menanti reaksi dari Kok Siang yang tidak mengerti maksudnya, ia sudah menerjang ke depan dan menyerang Kok Siang dengan pukulan cepat dan dahsyat.
"Hemm...!" Kok Siang cepat mengelak. Kim Hong menyerang terus bertubi-tubi, sengaja mendesak pemuda itu sehingga Kok Siang terus berloncatan mundur menjauhi pintu. Agaknya pemuda inipun cerdik untak melihat keinginan Kim Hong mendesaknya agar mereka dapat menjauhi mereka dan pada saat Kim Hong menyerang dengan tubuh membelakangi mereka, gadis itu berbisik lembut sekali sambil mengerahkan sin-kang sehingga gerakan kedua tangannya mendatangkan suara bersuitan menutupi suara bisikannya.
"Aku mengalah, kau robohkan dengan totokan..."
Tentu saja Kok Siang terkejut mendenger ini. Dia mengalahkan Toan Kim Hong" Tentu saja kalau hanya bersandiwara bisa saja dia menang, akan tetapi apa maksudnya" Apa baiknya kalau dia menang dan dapat menotok roboh gadis ini"
"Kita siap memberontak..." Kim Hong menambahkan. "Totok kin-ceng-hiat..."
Kim Hong mendesak lagi dan tidak mengeluarkan kata-kata karena tahu betapa bahayanya hal itu. Orang selihai Mo-ko akan dapat melihatnya atau menduganya, dan para pembantu iblis itupun bukan orang lemah. Akan tetapi ia merasa girang melihat pemuda itu akhirnya mengangguk ketika mengelak, tanda bahwa pemuda itu sudah maklum kini akan siasatnya.
Kim Hong memang sengaja mengeluarkan ilmu silat Hok-mo-kun (Ilmu Silat Penakluk Iblis) untuk mendesak Kok Siang. Pemuda ini kagum bukan main dan diapun berusaha untuk menahan serangan-serangan itu dengan seluruh kepandaiannya. Namun sia-sia belaka karena memang tingkatnya kalah jauh, dia terdesak terus dan dua kali dia terpelanting oleh sapuan kaki dan dorongan tangan kiri Kim Hong. Terdengar suara memuji girang dari luar pintu ketika pemuda itu dua kali terpelanting. Memang hal ini disengaja oleh Kim Hong sehingga ketika Kok Siang mengambil sepasang senjata Siang-koan-pit yang memang telah dikembalikan kepadanya dan diletakkan di dekat dia duduk tadi, maka hal ini sudahlah sewajarnya.
Kini Kok Siang mainkan senjatanya itu dengan dahsyat. Memang hebat sekali kim-pit dan gin-pit itu, dua batang alat tulis dari emas dan perak. Nampak gulungan sinar emas dan perak saling kejar dan bersilang-silang menyilaukan mata. Dua sinar itu semakin ganas saja dan kini Kim Hong nampak terdesak! Mereka yang nonton di luar memandang dengan penuh perhatian. Pat-pi Mo-ko mengerutkan alisnya yang tebal dan beberapa kali menggeleng kepala, seolah-olah merasa kecewa bahwa "jagonya" terdesak. Sesungguhnya dia sedang merasa keheranan sekali. Dia pernah menyaksikan gadis itu ketika melawan Sin-siang-to Tang Kin dan dia tahu bahwa tingkat kepandaian gadis itu tidak berada sebelah bawah tingkat Sin-siang-to. Padahal pemuda sasterawan itu, melihat gerakan-gerakannya, tidak mungkin lebih lihai dari pada Sin-siang-to. Apakah pemuda itu mempunyai kepandaian simpanan yang kedahsyatannya tidak nampak oleh mata" Apakah di dalam gerakan sepasang pit itu terkandung suatu kekuatan yang amat hehat"
"None Toan, cepat pergunakan pedangmu!" Bouw Kim Seng berteriak ketika melihat betapa hampir saja pelipis kanan nona itu terkena sambaran pit emas yang mematuk dari atas seperti paruh seekor rajawali. Sungguh berbahaya sekali serangan-serangan kedua pit itu.
Akan tetapi Kim Hong tidak mau mengambil sepasang pedangnya, biarpun ia semakin terdesak dengan hebat.
"Nona, pergunakan pedangmu! Apa engkau sengaja hendak membiarkan dirimu kalah?" Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng kini berteriak nyaring.
Sekalii ini agaknya Kim Hong menurut karena ia mengirim pukulan yang dahsyat, membuat lawannya terpaksa mundur dan kesempatan ini dipergunakan oleh Kim Hong untuk meloncat ke arah sepasang pedangnya. Akan tetapi karena letak pedangnya itu agak di belakang Kok Siang, terpaksa loncatannya itupun lewat dekat pemuda itu dan pada saat itu, secepat kilat pemuda itu mengirim serangan yang tiba-tiba. Kim Hong masih berusaha untuk menggulingkan tubuhnya yang sedang meloncat, akan tetapi sebuah totokan yang cepat sekali mengenai pundak kirinya dan jalan darah kin-ceng-hiat telah tertotok. Terdengar gadis itu mengeluh dan tubuhnya terguling roboh dan lemas tak mampu bergerak pula!
Mereka yang nonton di luar memandang dengan mata terbelalak. Pat-pi Mo-ko lalu berkata kepada ke empat Siang-to Ngo-houw, "Tangkap bocah itu!"
Empat orang bekas tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang ini segera memasuki ruangan itu setelah daun pintunya dibuka. Begitu mereka masuk, daun pintu ruangan itu ditutup kembali dari luar. Dengan kedua tangan masih memegang sepasang senjata pit, Kok Siang menghadapi empat orang itu. Empat orang itu masih merasa sakit hatinya karena seorang saudara mereka tewas. Biarpun tewasnya itu di tangan Mo-ko sendiri, akan tetapi yang menjadi sebabnya adalah Kim Hong. Gadis itu yang merobohkan saudara mereka itu dan Mo-ko terpaksa membunuhnya agar dia tidak sampai membocorkan rahasia. Kini, menerima perintah untuk menangkap Kok Siang, mereka maju dengan penuh semangat. Begitu menerjang, mereka berempat telah mainkan ilmu andalan mereka, yaitu Ngo-lian to-hoat (Ilmu Golok Lima Teratai).
Tingkat kepandaian empat orang pengeroyok ini rata-rata hanya sedikit di bawah tingkat Bu Kok Sing. Andaikata mereka maju satu demi satu, tentu Kok Siang akan dapat mengalahkan mereka semua. Akan tetapi, karena mereka kini maju bersama, dengan kerja sama yang amat baik, tentu saja mereka itu merupakan lawan yang terlampau berat bagi Kok Siang. Sebentar saja Kok Siang terdesak hebat dan hanya mampu melindungi dirinya dengan putaran kedua senjatanya yang terlampau kecil dan pendek, juga terlampau ringan untuk menghadapi pengeroyokan delapan buah golok itu. Agaknya, keempat Siang-to Ngo-houw itu bernafsu sekali untuk merobohkan Kok Siang, kalau perlu dengan melukai berat atau membunuh sekalipun.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan tubuh Kim Hong yang tadinya menggeletak di atas tanah itu mencelat ke atas dan sekali bergerak, ia sudah menyambar sepasang pedangnya dan nampaklah sinar hitam berkelebatan dan dua orang di antara Siang-to Ngo-houw roboh mandi darah dan tewas seketika karena dada mereka tertembus pedang! Kok Siang yang sudah tahu atau sudah dapat menduga akan hal ini, menjadi bersemangat dan sepasang pitnya juga bergerak cepat merobohkah seorang pengeroyok. Tinggal seorang lagi yang tidak dapat menahan serangan berikutnya dari Kim Hong. Robohlah dia dan empat orang itu kini menggeletak dan tewas!
Tentu saja semua orang yang berada di luar ruangan itu terkejut, kecuali Pat-pi Mo-ko yang agaknya memang sudah setengah menduga akan hal ini. Karena itulah maka tadi dia hanya menyuruh empat orang Siang-to Ngo-houw untak menangkap Kok Siang, membiarkan mereka lalu menutupkan kembali pintu ruangan. Dia telah mengorbankan empat orang pembantunya itu untuk membuka rahasia Kim Hong. Dan hal ini bukan tanpa sebab. Mo-ko maklum bahwa setelah dia membunuh seorang di antara Siang-to Ngo-houw, membunuh secara terpaksa untuk menutup mulutnya, tentu empat orang yang lain diam-diam merasa menyesal dan tidak suka kepadanya. Maka, dia mengorbankan empat orang itu dan sekaligus diapun berhasil membuka rahasia Kim Hong yang tadi berpura-pura roboh oleh Kok Siang! Kekalahan Kim Hong oleh Kok Siang tidak dapat diterima begitu saja oleh kakek iblis yang amat cerdik ini, maka dia tidak mau bersikap lengah. Dan melihat betapa Kok Siang memperoleh kemenangan itu, biarpun ada kemungkinan kecil bahwa memang Kim Hong yang lengah sehingga roboh tertotok, Mo-ko lalu menyuruh empat orang pembantunya itu untuk mengeroyoknya. Kalau Kim Hong tidak berpura-pura, berarti memang Kok Siang merupakan lawan yang tangguh dan perlu dilenyapkan seketika. Sedangkan kalau Kim Hong berpura-pura, tentu gadis sakti itu akan turun tangan dan tidak membiarkan Kok Siang celaka dan kalau hal ini terjadi, paling-paling dia hanya akan kehilangan empat orang pembantunya yang sudah tidak dipercayanya lagi itu karena dugaan bahwa mereka mendendam kepadanya karena kematian seorang saudara mereka. Dengan demikian, dapat diketahui betapa licik dan matangnya siasat Mo-ko yang telah memperhitungkan dengan cermat segala tindakannya.
Memang benar kecurigaannya itu terhadap Kim Hong. Gadis ini memang bersandiwara, dibantu oleh Kok Siang yang dapat menangkap keinginan gadis yang luar biasa ini. Ketika melihat kesempatan terbuka, Kok Siang menotok jalan darah di pundak gadis itu seperti yang dimintanya tadi. Dia tahu bahwa totokannya itu cukup hebat dan akan membuat lawan pingsan dan lemas tak mampu bergerak sampai sedikitnya setengah jam. Akan tetapi diapun dapat menduga bahwa kalau Kim Hong menyuruh dia menotok jalan darah itu, tentu gadis yang lihai itu sudah mempunyai akal untuk menahan totokan ini.
Akan tetapi, sungguh sama sekali di luar perhitungan Kim Hong bahwa Mo-ko tidak maju sendiri memasuki ruangan, bahkan menyuruh empat orang Siang-to Ngo-houw yang masuk dan pintu ruangan itu ditutup kembali. Tak disangkanya bahwa Mo-ko secerdik itu. Tadinya, Kim Hong ingin melanjutkan sandiwaranya dan pura-pura pingsan, menanti sampai terbuka kesempatan unjuk dapat meloloskan diri dari situ bersama-sama Kok Siang. Akan tetapi, teryata Kok Siang tidak dapat menandingi keempat orang pengeroyoknya dan melihat bahaya mengancam diri Kok Siang, tentu saja Kim Hong tidak dapat tinggal diam saja membiarkan pemuda itu tewas dalam pengeroyokan. Maka secara terpaksa iapun menghentikan permainan sandiwaranya dan meloncat menyambar Hok-mo Siang-kiam, dan merabohkan tiga di antara empat pengeroyok itu, sedangkan yang seorang lagi dirobohkan oleh Kok Siang.
"Bu-twako, mari serbu keluar!" Kim Hong berteriak setelah mereka berhasil merobohkan empat orang lawan itu. Akan tetapi terlambat sudah. Dari luar, Mo-ko sudah menggerakkan alat rshasia dan itu pula menunjukkan betapa cerdiknya penjahat besar ini. Dia memang sudah sejak pertama kalinya mengatur sehingga peristiwa diadunya Kok Siang dengan Kim Hong itu terjadi dalam sebuah ruangan yang mengandung alat rahasia jebakan berbahaya!
Ketika Kim Hong dan Kok Siang hendak menyerbu ke pintu yang sudah tertutup itu, tiba-tiba saja terdengar angin menyambar dari empat penjuru dan ada anak panah yang banyak sekali jumlahnya menyambar-nyambar ke arah mereka. Tentu saja Kim Hong dan Kok Siang cepat menggunakan senjata mereka untuk melindungi tubuh. Akan tetapi, mendadak lantai yang mereka injak itu bergeser dengan cepatnya, terpisah menjadi dua dan dengan cepat tertarik ke kanan kiri memasuki dinding ruangan. Tentu saja tubuh kedua orang itu terjatuh ke bawah! Kiranya, penyerangan anak panah yang banyak tadipun hanya merupakan siasat untuk mengalihkan perhatian mereka yang terjebak sehingga ketika lantai bergeser, mereka kurang perhatian dan baru sadar setelah terlambat. Betapapun pandainya Kim Hong, sekali ini iapun tidak berdaya dan bersama dengan Kok Siang, tubuhnya terjatuh ke bawah.
"Byuurrr...! Byuuurrrr...!" Dan mereka berdua terjatuh ke dalam air yang dingin dan dalam!
"Mo-ko...! Peta aseli itu berada pada kami...!"
Itulah suara Kok Siang yang kemudian ditelan oleh suara air karena pemuda ini tidak pandai renang. Kim Hong dapat renang walaupun tidak begitu pandai, maka ketika dalam kegelapan itu ia berusaha menolong Kok Siang, pemuda ini dalam kepanikannya memeluknya sehingga keduanya tak dapat dihindarkan lagi tenggelam ke dalam air yang dalam itu!
-(file google dokumen published by saiful bahri situbondo seletreng)- ( )-(file google dokumen published by saiful bahri situbondo seletreng)-
Ketika Thian Sin mendengar berita dari In Bwee tentang tertawannya Kim Hong dan Kok Siang oleh Pat-pi Mo-ko yang menggunakan pasukan pemerintah dan agaknya dibantu oleh Jaksa Phang, diam-diam dia merasa tekejut bukan main. Kalau sampai Pat-pi Mo-ko mampu menjebak dan menawan Kim Hong dan Kok Siang, hal itu berarti bahwa Pat-pi Mo-ko merupakan lawan yang jauh lebih tangguh dan berbahaya dari pada yang dikiranya semula. Apa lagi setelah dia tahu bahwa kepala penjahat itu bersekongkol dan dibantu oleh jaksa yang memimpin pasukan penjaga keamanan yang kuat! Sungguh merupakan lawan yang tak boleh dipandang ringan.
Diapun cepat menghilang ke dalam kegelapan malam dan sebentar saja dia telah berada di halaman sebelah belakang kompleks gedung Phang-taijin. Gedung-gedung besar itu merupakan tempat tinggal, juga kantor dan tempat-tempat tahanan. Biarpun tidak jelas benar, dia sudah memperoleh gambaran tentang kompleks perumahan jaksa ini. In Bwee sendiri tidak hafal dan tidak mengenal betul tempat ini, akan tetapi mengetahui di mana kekasihnya ditawan, sudah cukup bagi Thian Sin. Dengan kepandaiannya yang tinggi, mudah saja baginya untuk menyelidiki. Demikianlah pikirnya. Akan tetapi ketika tiba di tempat itu, diam-diam dia terkejut. Tempat itu dijaga dengan ketat sekali! Bahkan di atas genteng-genteng ditaruh penjaga sehingga seekor kucing sekalipun yang memasuki kompleks itu tentu akan ketahuan oleh para penjaga!
Thian Sin maklum bahwa kalau sampat dia sendiri gagal dan tertawan, akan habislah riwayat mereka berdua! Dia harus berlaku hati-hati sekali. Ketika dia melihat sebuah kereta memasuki halaman depan dan ternyata yang keluar dari kereta itu adalah Su Tong Hak, dia memperoleh akal yang baik sekali. Kiranya Su Tong Hak, paman dari petani Ciang Kim Su, adalah seorang yang curang dan telah mengkhianati keluarganya sendiri. Hadirnya Su Tong Hak di situ menjelaskan banyak hal baginya. Tentu pencurian peta, lenyapnya Ciang Kim Su, merupakan akibat dari pada persekongkolan pedagang itu dengan Pat-pi Mo-ko! Tahulah dia bahwa dari orang ini dia dapat memperoleh banyak keterangan. Maka dengan kecepatan kilat, sebelum orang itu memasuki pintu gerbang, dia menyelinap dan dengan gerakan kilat, dia sudah dapat menyambar tubuh pedagang itu yang tidak sempat berteriak karena urat gagunya telah dicengkeram oleh Thian Sin. Pendekar Sadis ini membawanya agak menjauh, ke tempat gelap dan membawanya loncat ke atas pohon yang tinggi.
Tentu saja Su Tong Hak terkejut setengah mati, apa lagi ketika dia dapat melihat wajah orang yang menangkapnya itu, yang dikenalnya sebagai pemuda yang diutus oleh kakak iparnya, Ciang Gun, dan yang telah didengarnya dari Pat-pi Mo-ko sebagai Pendekar Sadis! Tubuhnya menggigil dan dia hampir pingsan saking takutnya, apa lagi ketika dia dibawa ke atas pohon yang tinggi itu. Akan tetapi, di dalam pikiran pedagang yang cerdik ini, di samping rasa takutnya, muncul pula sebuah harapan baru. Pada beberapa hari terakhir ini dia selalu gelisah, makan tak enak dan tidur tidak nyenyak, memikirkan perobahan sikap dari Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng terhadap dirinya. Dia bahkan mempunyai perasaan yang amat mengerikan, yaitu bahwa kalau semua ini telah selesai, bukan saja dia tidak akan diberi apa-apa oleh penjahat itu, bahkan mungkin untuk menutup rahasia, dia akan dibunuh, seperti yang telah dilakukan terhadap Louw siucai! Kini, melihat munculnya Pendekar Sadis, satu-satunya lawan yang tangguh dan agaknya ditakuti oleh Mo-ko, timbul pikiran yang amat baik. Mengapa dia tidak bekerja sama dan berlindung kepada yang kuat" Yang penting adalah menyelamatkan diri, dan tentu saja mendapatkan harta karun Jenghis Khan itu.
"Su Tong Hak, kiranya engkau adalah komplotan Pat-pi Mo-ko. Nah, sekarang engkau harus menjelaskan segalanya kalau tidak ingin kucekik mampus dan kulemparkan dari atas pohon ini!" Thian Sin mengancam dengan suara mendesis.
"Taihiap... ampunkan saya, kebetulan sekali kita bertemu di sini. Kita dapat saling membantu, taihiap. Jangan mengira bahwa saya komplotan mereka, bahkan nyawa saya terancam..."
"Huh, siapa percaya omonganmu" Jangan mencoba untuk membujuk atau menipu, karena sebelum kubasmi mereka, engkau akan kubunuh lebih dulu dengan penyiksaan yang akan membuat engkau menyesal telah dilahirkan di dunia ini."
"Taihiap... sungguh, percayalah padaku. Memang, tadinya aku sekutu Mo-ko. Akan tetapi sekarang dia berobah, dia tentu akan menguasai seluruh harta dan kemudian membunuhku. Taihiap, aku tahu bahwa pendekar wanita sahabatmu itu telah tertawan. Mari kita bekerja sama. Aku akan membantuanu agar engkau dapat menolong sahabat-sahabatmu itu. Dan sebagai gantinya..."
"Sebagai gentinya apa" Orang she Su, ingat, engkaulah yang menjadi tawananku dan kalau aku menghendaki, sekali lempar engkau akan jatuh dan remuk. Bukan engkau yang mengajukan syarat, melainkan aku!"
"Ampun... ah, tentu saja, taihiap... akan tetapi, saya hanya minta agar dilindungi terhadap ancaman mereka. Saya mau membantumu dan... dan memperoleh bagian atas harta pusaka itu..."
Kalau menurutkan perasaan hatinya, ingin Thian Sin melemparkan pedagang yang loba ini ke bawah. Akan tetapi, dia membutuhkannya, maka ditekannya perasaan muak dan marahnya. "Nah, baiklah. Aku ingin menolong mereka yang tertawan. Bagaimana engkau dapat menyelundupkan aku ke dalam?"
"Dengan menyamar sebagai perajurit penjaga atau sebagai pengawalku." jawab pedagang yang cukup cerdik itu.
Akhirnya, Thian Sin, dengan sedikit penyamaran pada wajahnya, berhasil memasuki kompleks kejaksaan itu bersama dengan Su Tong Hak dan setelah memperoleh keterangan lengkap dari pedagang itu tentang keadaan di dalam, tentang jalan-jalan rahasianya, Thian Sin lalu membekuk seorang penjaga, menelikungnya dan menyumbat mulutnya lalu menyembunyikannya di tempat gelap, kemudian melucuti pakaiannya. Dia lalu menyamar sebagai seorang perajurit dan dengan mudahnya dia lalu menggunakan pengetahuannya tentang keadaan di tempat itu untuk melakukan penyelidikan ke dalam.
Ketika Thian Sin berhasil mencampurkan diri dengan para penjaga di tempat gelap dan ikut mengurung ruangan tahanan di mana kekasihnya ditawan, kedatangannya tepat pada saat Kim Hong berkelahi dengan Kok Siang. Tentu saja ia terkejut sekali melihat mereka itu saling serang sendiri. Akan tetapi, begitu dia melihat para penjahat di luar pintu dan jendela berjeruji sebagai penonton, dan melihat gerakan-gerakan kekasihnya yang membuat die maklum bahwa Kim Hong sengaja mengalah terhadap Kok Siang. Tahulah pendekar yang cerdik ini bahwa dua orang itu sengaja diadu oleh pihak penjahat dengah maksud menguji. Dia sudah mendapatkan keterangan dari Su Tong Hak tadi bahwa Kim Hong telah menyerah dan taluk, bahkan telah membantu Pat-pi Mo-ko untuk membasmi Sin-siang-to Tang Kin dan anak buahnya yang menjadi saingan. Mendengar ini, pendekar itu tidak merasa heran dan dapat menduga bahwa tentu di balik penyerahan diri dari kekasihnya ini ada suatu pamrih yang merupakan siasat tertentu. Entah karena terpaksa atau tentu ada hal lain. Dan kini, melihat betapa kekasihnya mengalah terhadap Kok Siang, diapun dapat menduga bahwa mereka berdua itu tentu sedang bersandiwara. Tentu saja kedua tangannya sudah gatal-gatal untuk menyerbu para tokoh penjahat ini dan monolong mereka berdua yang diadu seperti binatang. Akan tetapi diapun cukup cerdik untuk melihat kenyataan bahwa kalau dia menyerbu, keadaan dua orang kawannya itu malah terancam bahaya. Selain para tokoh sesat yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama Pat-pi Mo-ko, juga tempat itu dikurung oleh pasukan pemerintah dan anak buah penjahat. Maka diapun hanya ikut menonton dan mencari kesempatan. Dia tahu bahwa kalau Kim Hong dan Kok Siang masih ditahan, bahkan diadu, tentu ada maksud-maksud tertentu dari Pat-pi Mo-ko. Kalau kedua orang itu tidak dibutuhkan, tentu sudah dibunuh oleh pihak penjahat. Keyakinan akan hal ini membuat Thian Sin bersabar menanti, walaupun hatinya terasa tegang dan khawatir sekali.
Ketika dia melihat Kim Hong roboh tertotok oleh pit di tangan Kok Siang, Thian Sin mengepal tinju. Dia maklum bahwa Kim Hong memiliki ilmu memindahkan jalan darah sehingga totokan yang nampaknya tepat sekali itu tentu dapat diterimanya tanpa membuat tubuhnya menjadi lemas atau lumpuh. Akan tetapi dia tahu jelas bahwa itu hanya merupakan gerakan pura-pura belaka. Bagi orang lain mungkin akan tertipu, akan tetapi mungkinkah seorang tokoh jahat seperti Pat-pi Mo-ko dapat ditipu sedemikian mudahnya" Dan permainan apakah yang sedang dimainkan oleh Kim Hong dan Kok Siang" Dia tidak berani lancang turun tangan, khawatir kalau-kalau malah akan mengacaukan rencana kedua orang itu yang agaknya sudah diatur lebih dulu dan dilaksanakan dengan baiknya.
Ketika kakek tinggi besar muka hitam memerintahkan empat orang sisa Siang-to Ngo-houw untuk menangkap Kok Siang dan melihat mereka memasuki ruangan dan pintunya ditutupkan kembali, Thian Sin mengerutkan alisnya. Kalau dia tidak keliru perhitungan, agaknya kekasihnya itu merencanakan pemberontakan bersama Kok Siang, dengan pura-pura berkelahi sungguh-sungguh dan membiarkan ia kelihatan kalah. Akan tetapi, dia merasa sangsi apakah akal itu akan berhasil melihat betapa empat orang Siang-to Ngo-houw saja yang disuruh masuk dan pintu besi itu ditutup kembali. Dia melihat kebenaran dugaannya ketika Kim Hong "bangkit" dari keadaan tertotok tadi dan bersama dengan Kok Siang merobohkan empat orang lawannya. Thian Sin kini merasa yakin bahwa dugaannya benar, bahwa kekasihnya bersama Kok Siang hendak melakukan penyerbuan keluar untuk meloloskan diri. Akan tetapi, baru saja dia hendak turun tangan membantu, tiba-tiba kakek hitam tinggi besar sudah menggerakkan alat rahasia dan Thian Sin sempat melihat kekasihnya dan Kok Siang terjatuh ke bawah karena lantai ruangan itu bergeser cepat ke kanan kiri. Dia hendak meloncat, akan tetapi tiba-tiba didengarnya teriakan Kok Siang "Mo-ko! Peta aseli itu berada pada kami!"
Thian Sin menahan gerakannya. Dia tahu bahwa kalau dia mengamuk sekalipun, dia tidak keburu menolong dua orang itu lagi, yang agaknya terjatuh ke dalam air di bawah ruangan rahasia itu. Dan teriakan Kok Siang itu ternyata amat berpengaruh. Dia melihat kakek hitam tinggi besar yang kini diduganya tentu Pat-pi Mo-ko adanya nampak gugup.
"Cepat...! Selamatkan mereka. Tawan mereka, jangan sampai mereka itu tewas dalam air!"
Perintah dari tokoh jahat ini membuat hati Thian Sin terasa lega dan diapun tidak mau lancang turun tangan, yang tidak banyak artinya untuk dapat menyelamatkan kekasihnya dan Kok Siang. Maka diapun hanya berjaga-jaga karena melihat para perajurit lain juga melakukan penjagaan ketat menerima perintah dari komandan mereka. Ketika komandan pasukan mengumpulkan pasukannya untuk melakukan pemeriksaan, dengan menggunakan kepandaiannya, Thian Sin menyelinap pergi dan diapun mendapatkan sebuah tempat persembunyian di dalam gudang barang lapuk di belakang. Tempat inipun adalah tempat sembunyi yang ditunjukkan oleh Su Tong Hak baginya, di mana dia dapat menyembunyikan dirinya.
Sementara itu, dalam keadaan lemas dan setengah pingsan, Kim Hong dan Kok Siang tertawan lagi. Ketika mereka sadar, keduanya mendapatkan diri mereka sudah terbelenggu lagi di atas dipan, dalam keadaan terlentang dan kaki tangan mereka dibelenggu dengan rantai baja yang kuat. Pakaian mereka masih basah, juga rambut mereka. Di dalam ruangan itu nampak Pat-pi Mo-ko duduk bersama dengan Hai-pa-cu Can Hoa, Tiat-ciang Lui Cai Ko, Su Tong Hak dan di luar kamar itu nampak penjagaan yang ketat, oleh pasukan penjaga.
Wajah kakek berkulit hitam itu nampak berseri dan sepasang matanya berkilat-kilat ketika dia memandang kepada dua orang tawanan yang mulai siuman itu. Kemudian dia menghampiri Kok Siang dan melihat pemuda itu membuka mata, mengejap-ngejapkan matanya kemudian memandangnya dan wajah yang tampan itu nampak pucat akan tetapi sadar sepenuhnya.
"Selamat hidup kembali, Im-yang Siang-pit Bu Siucai!" kata Pat-pi Mo-ko dengan suara lantang. "Engkau tahu, apa yang menyebabkan kami menyelamatkan kalian dari bahaya tewas tenggelam dalam air. Nah, Bu Siucai, sekarang ceriterakanlah kepada kami tentang peta aseli itu!"
"Kalau aku menceriterakannya, engkau akan membebaskan kami berdua, Mo-ko?" tanya Kok Siang, suaranya meragu karena sesungguhnya dia tidak percaya kalau penjahat ini mau membebaskan mereka.
"Tentu saja! Bukankah kami juga sudah menyelamatkan kalian dari kematian baru saja ini" Ceritakan dengan sesungguhnya tentang peta itu dan kami akan membebaskan kalian. Kami sesungguhnya tidak bermaksud memusuhi kalian. Bukankah kami telah menawarkan kerjasama dengan sebaiknya kepada nona Toan" Sayang, ia mengkhianati kami. Akan tetapi, kami akan melupakan semua itu kalau kalian suka menceritakan tentang peta sehingga kami dapat memperolehnya."
"Dia bohong, Bu-twako. Jangan percaya omongannya!" tiba-tiba Kim Hong berkata.
"Hemm, yang membohong adalah engkau, nona Toan. Kami dengan sungguh-sungguh menarikmu sebagai kawan, akan tetapi engkau malah mengkhianati kami, membunuh empat orang sisa Siong-te Ngo-houw yang menjadi pembantu-pembantu kami. Dan engkau pura-pura kalah ketika melawan Bu Siucai, apa disangka kami tidak tahu?"
"Mo-ko, engkaupun menipuku. Pura-pura mengulurkan tangan bekerja sama, akan tetapi begitu aku memasuki ruangan itu dan pintu dikunci dan kalian menonton di luar, aku tahu bahwa kalian hanya menipuku. Apa kaukira aku juga begitu bodoh untuk tidak melihat siasatmu" Bu-twako, jangan ceritakan apa-apa!"
Wajah Pat-pi Mo-ko yang hitam itu menjadi semakin hitam karena darah telah naik ke mukanya karena marah. "Bocah she Bu! Kalau engkau menuruti kata-kata perempuan ini, apakah engkau lebih sayang peta dari pada nyawamu" Aku tidak akan ragu-ragu untuk membunuhtmu!"
"Bu-twako, jangan percaya omongannya! Dia tidak akan membunuh kita karena peta itu masih ada pada kita! Peta itulah satu-satunya gantungan hidup kita saat ini!" kata pula Kim Hong.
Kok Siang tertawa. "Ha-ha-ha, engkau benar juga, nona Toan. Heii, Mo-ko, apa kaukira kami begitu bodoh" Kalau aku menyerahkan peta, tentu engkau akan segera membunuh kami! Tidak, aku tidak tahu apa-apa tentang peta, aku sudah lupa lagi, ha-ha!"
Pat-pi Mo-ko adalah seorang yang sudah kenyang akan asam garam di dunia kang-ouw maka diapun tahulah bahwa tidak ada gunanya untuk menggertak dua orang muda ini lagi.
"Bagus, katakanlah bahwa pendapat kalian benar. Aku tidak dapat membunuh kalian, akan tetapi jangan mengira bahwa aku tidak dapat memaksa kalian bicara. Ada hal-hal lain yang lebih hebat dari kematian!" Dia lalu menghampiri dipan di mana Kim Hong menggeletak terlentang dengan kaki dan tangan dibelenggu rantai besi. "Bu-siucai, hendak kulihat apakah engkau tetap hendak menutup mulut kalau melihat gadis ini diperkosa dan dihina di depan matamu!" Lalu jari-jari tangannya bergerak ke depan.
"Breeetttt...!" Terdengor kain robek dan pakaian luar yang menutup tubuh Kim Hong terkoyak-koyak oleh jari-jari tangan yang hitam besar dan kuat itu. Nampaklah kulit tubuh yang putih mulus di balik pakaian dalam yang tipis!
Akan tetapi, demikian hebatnya kekuatan dalam yang dikuasai oleh Kim Hong sehingga tidak ada segarispun uratnya bergerak. Ia hanya memejamkan matanya dan wajahnya tidak memperlihatkan perobahan apapun! Tidak demikian dengan Kok Siang yang menoleh dengan mata terbelalak dan muka pucat. Dia melihat tubuh pendekar wanita itu, yang kini terancam bahaya yang amat hebat.
"Siapa di antara kalian yang man menikmati tubuh wanita ini?" teriak Pat-pi Mo-ko keluar, ke arah para penjaga. Tidak ada yang menjawab, akan tetapi belasan orang penjaga itu mendekat dengan mulut menyeringai dan muka merah. Mereka memandang ke arah tubuh itu dengan mata penuh gairah dan nafsu berahi! Thian Sin yang sudah berada di antara para penjaga itu mengepal tinju, akan tetapi wajahayapun tidak memperlihatkan tanda sesuatu.
"Masih belum mau bicara, Bu-siucai" Bagaimana kalau kubuka sedikit lagi?" Tangan itu kembali bergerak, terdengar kain robek dan kini penutup dada Kim Hung terbuka sama sekali. Tubuhnya bagian depan dari perut ke atas nampak! Gadis itu tetap memejamkan matanya dan wajahnya tetap biasa saja! Demikian hebat gadis ini sehingga dalam keadaan seperti itu, ia masih dapat bersikap tenang dan seolah-olah ia telah dapat mematikan rasa.
Kok Siang membuang muka dan mengeluarkan suara kutukan. "Demi Tuhan, Mo-ko, engkau bukan manusia! Jangan lanjutkan!"
"Ha-ha-ha, kalau engkau tidak mau mengaku tentang peta itu, aku akan menyuruh dua orang perajurit untuk memperkosanya di depan matamu, Bu-siucai!"
"Bu-toako, jangan dengarkan dia! Dia akan mampu menghina tubuhku, akan tetapi tidak dapat menjamah hatiku. Paling-palling aku mati, atau kalau tidak, hinaan ini tentu akan dibayarnya dengan bunga berlipat ganda! Jangan mengaku, karena sekali engkau mengaku, nyawa kita akan tidak ada harganya lagi!" demikiin Kim Hong berkata, suaranya tetap tenang, sama sekali tidak gemetar.
"Hemm, biarpun hatiku berat sekali rasanya, agaknya engkau benar, nona." jawab Kok Siang.
Pat-pi Mo-ko menjadi semakin marah. Dia sudah menggerakkan tangan lagi untuk merenggut penutup tubuh terakhir, akan tetapi tiba-tiba Su TOng Hak mendekatinya dan berbisik, "Pemuda itu tentu akan menyerah kalau melihat kekasihnya yang terancam!"
Mendengar ini, tiba-tiba Pat-pi Mo-ko tertawa. "Ha-ha-ha, engkau benar juga!" dan sambil tertawa-tawa kakek hitam tinggi besar itu lalu berlari keluar dari dalam ruangan itu. Tak lama kemudian dia sudah kembali sambil menarik tangan seorang gadis setengah menyeeretnya. Gadis itu bermuka pucat dan matanya merah bekas menangis, rambutnya dan pakaiannya kusut.
"Murid durhaka, lihat siapa itu, dan selamatkan nyawanya! Dia akan kubebaskan kalau dia mau mengaku tentang peta aseli!" kata Pat"pi Mo-ku sambil mendorong gadis itu ke depan, ke arah dipan di mana Kok Siang rebah terlentang.
"Siang-koko...!" Gadis itu menubruk, berlutut dan menangis di dekat dipan.
"Bwee-moi... engkaukah ini" Hemm, akhirnya engkau juga merasakan kekejaman iblis yang menjadi guru dan pamanmu sendiri?" kata Kok Siang sambil mengerutkan alisnya. In Bwee merangkulnya dan menangis di dada pemuda itu.
"Siang-koko... demi keselamatanmu, menyerah sajalah, katakanlah kepadanya tentang peta itu... ah, koko, kalau engkau mati, akupun tidak mau hidup lagi... berikanlah peta itu dan mari kita pergi berdua, tidak mencampuri urusan ini dan aku rela hidup melarat asal selalu bersamamu, koko..."
Gadis itu menangis dan Kim Hong mengerutkan alisnya. Ia tidak mencela gadis itu bahkan kagum akan cinta gadis itu terhadap Kok Siang. Akan tetapi gadis itu telah memperlihatkan kelemahannya dan hal ini merusak siasat mereka berdua yang hendak mempertahankan peta. Siapa tahu, demi cintanya kepada gadis itu, Kok Siang akhirnya akan menyerah dan kalau sudah begitu, percuma sajalah semua siasat mereka dan akhirnya mereka semua akan celaka!
"Huh, tolol!" Ia membentak. "Apakah kalau peta itu diberikan, iblis itu mau melepaskan kita bertiga" Jangan kira begitu enak, ya" Dia akan segera membunuh kita untuk menutup mulut seperti yang dilakukannya terhadap diri Ciang Kim Su dan juga Louw siucai!" Ia sengaja menyebut nama Louw siucai untuk membakar semangat Kok Siang. Dan ia berhasil. Kok Siang yang tadinya ragu-ragu melihat dan mendengar tangis kekasihnya, kini nampak bersinar-sinar matanya.
"Mo-ko, muslihat apapun yang kaulakukan, peta itu takkan kuberikan kepadamu!" teriak Kok Siang. "Bwee-moi, jangan kecil hati. Kita lawan iblis itu, kalau perlu dengan pengorbanan nyawa dari pada dia berhasil dan akhirnya kita dibunuhnya juga!"
"Keparat!" Pat-pi Mo-ko marah sekali dan dengan langkah lebar dia menghampiri muridnya dengan tangan kanan menyambar. Akan tetapi, dibangkitkan oleh kata-kata kekasihnya, In Bwee meloncat dan mengelak, lalu menyerang guru dan pamannya sendiri yang biasanya amat ditakutinya itu. Tentu saja kakek itu menjadi kaget dan marah sekali. Jelaslah baginya bahwa muridnya ini sekarang telah berpihak kepada musuh secara berterang. Dia telah menangkap muridnya, ketika mendengar laporan bahwa muridnya itu diam-diam pada malam buta mengunjungi Pendekar Sadis. Dia membayangi dan melihat muridnya bicara dengan Pendekar Sadis, maka murid itu pada waktu pulang lalu ditangkapnya dan dijadikan tawanan.
Kini, melihat In Bwee melawan, cepat diapun turun tangan dan tentu saja gadis itu bukan lawannya. Dalam beberapa gebrakan saja, dia telah berhasil merobohkan In Bwee dengan dua kali totokan, membuat gadis itu roboh dengan tubuh lemas dan tak mampu bangkit kembali, rebah miring dengan kaki dan tangan seperti lumpuh rasanya.
"Murid murtad! Biar kekasihmu melihat engkau diperkosa di depan matanya kalau begitu!"
Tiat-ciang Lai Cai Ko yang perutya gendut dan matanya juling, rambutnya riap-riapan itu segera maju dan menyeringai. "Heh-heh, twako, kalau memang gadis ini hendak diperkosa, serahkan saja kepadaku untuk melaksanakannya. Telah lama aku tergila-gila kepadanya, hanya karena mengingat dia itu muridmu maka aku tidak berani mengganggu. Sekarang, ia berkhianat dan berpihak kepada musuh, kalau memang mau diperkosa, biar aku yang..."
"Boleh, lakukanlah! Tapi di sini dan sekarang juga, biar kekasihnya dapat melihatnya!" kata kakek tinggi besar berkulit hitam itu.
Tiat-ciang Lui Cai Ko adalah seorang begal tunggal yang usuanya sudah empat puluh lima tahun, kejam dan sudah biasa dengan kekerasan. Dia sudah kebal perasaannya, tidak mengenal malu lagi maka biarpun di situ terdapat banyak orang yang menyaksikan, dia tidak malu-malu dan sambil tertawa bergelak dia maju menghampiri tubuh In Bwee yang menggeletak di atas lantai dengan lemas itu.
"Mo-ko, manusia iblis! Tega engkau terhadap murid dan keponakan sendiri?" Kok Siang berteriak-teriak.
"Brett...!" Sebagian dari baju In Bwee terkoyak dalam genggaman tangan Tiat-ciang Lui Cai Ko. Semua mata mereka yang hadir, juga para penjaga, terbelalak dan jantung mereka berdebar tegang membayangkan apa yang akan mereka saksikan di dalam ruangan itu. In Bwee sendiri yang tidak lagi mampu bergerak, hanya terbelalak seperti seekor kelinci yang berada dalam cengkeraman kuku harimau.
"Ha-ha-ha, engkau sungguh manis sekali. Aha, sungguh besar untungku malam ini!" Tiat-ciang Lui Cai Ko merangkul, meremas dan menciumi muka gadis itu yang hanya dapat mengeluh akan tetapi tidak mampu bergerak untuk melawan. Semua orang yang melihat adegan ini, terbelalak, ada yang menelan ludah, ada yang membuang muka, ada yang tertawa-tawa dengan mata melotot hampir keluar dari rongga matanya. Si Tangan Besi Lui Cai Ko adalah orang yang sudah kebal, tidak tahu malu sama sekali dan dia beraksi seolah-plah di tempat itu tidak ada orang lain. Tangannya meraih dan hendak menanggalkan sisa pakaian In Bwee.
"Tahan...!" Tiba-tiba Kok Siang berteriak, matanya terbelalak, mukanya pucat. "Mo-ko, aku mengaku...!"
Akan tetapi Tiat-ciang Lui Cai Ko seperti tidak mendengar ini dan hendak melanjutkan perbuatannya. Baru setelah Mo-ko sendiri melangkah dan menepuk pundaknya, dia berhenti dan memandang kecewa, akan tetapi tidak berani membantah.
"Tiat-ciang, kau mundurlah." kata Pat-pi Mo-ko. Tiat-ciang Lui Cai Ko bangkit dan mundur, matanya melotot ke arah Kok Siang, kelihatan kecewa, mendongkol dan marah. Daging yang sudah tersentuh bibir itu, sebelum dapat digigit dan dikunyah lalu ditelannya, telah direnggut orang dan terlepas!
Kim Mong mengerutkan alisnya, akan tetapi hanya dapat memandang kepada sasterawan muda itu. Habislah harapannya. Ia tahu bahwa Kok Siang dan In Bwee hanyalah orang biasa yang jalan pikiran dan perasaannya sudah tercetak sejak kecil sehigga sama dengan jalan pikiran dan perasaan umum pada waktu itu. Wanita diperkosa merupakan hal yang paling hebat bagi mereka, merupakan malapetaka yang tak dapat diperbaiki lagi, seperti kematian, bahkan dianggap lebih hebat dari pada kematian. Karena inilah maka Kok Siang tidak tahan mempertahankan ketika melihat kekasihnya hendak diperkosa di depan matanya. Betapa bodohnya. Apakah kalau pemuda itu sudah mengaku lalu In Bwee terbebas dari pada ancaman pemerkosaan atau pembunuhan"
"Mo-ko, aku mau mengaku tentang peta yang aseli, akan tetapt engkau harus berjanji bahwa engkau tidak akan membiarkan nona Toan dan In Bwee diperkosa orang. Kalau engkau tidak mau berjanji, biar apapun yang terjadi, jangan harap aku akan mau mengaku." kata Kok Siang dengan suara lantang.
"Baik, aku berjanji bahwa mereka berdua tidak akan diperkosa." kata Pat-pi Mo-ko dan wajahnya nampak berseri gembira sekali.
"Ingat, Mo-ko. Bagi seorang yang berkedudukan tinggi seperti engkau, biar hanya sebagai seorang datuk sesat, janji merupakan sumpah yang lebih berharga dari pada nyawa. Aku percaya bahwa engkau tidak akan melanggar janjimu itu, disaksikan oleh semua orang yang mendengarnya."
Wajah hitam itu semakin hitam dan sepasang mata itu mendelik. "Bu-siucai. Kaukira aku ini orang apa maka akan melanggar janji sendiri?"
"Bagus, kalau begitu aku akan mengaku dengan hati lapang. Dengarlah baik-baik. Aku adalah keponakan dari mendiang Louw Siucai."
Semua orang terkejut, terutama sekali Su Tong Hak dan Hai-pa-cu Can Hoa yang menjadi pelaksana dari pembunuhan terhadap Louw siucai. "Hemm, kiranya begitukah?" kata Pat-pi Mo-ko mengangguk-angguk dan dia dapat menduga apa yang telah terjadi "Lanjutkan ceritamu."
"Paman Louw melihat gelagat tidak baik ketika Su Tong Hak dan keponakannya datang minta diterjemahkannya peta itu. Paman sama sekali tidak menginginkan benda orang lain, akan tetapi dia tahu bahwa Su Tong Hak bukan manusia baik-baik dan bahwa keponakannya, pemuda dusun itu akan tertipu. Maka, diam-diam paman minta waktu sehari untuk menterjemahkannya dan menukar peta yang aseli itu dengan peta palsu. Petanya yang aseli disembunyikannya dengan maksud kelak akan dikembalikan kepada yang berhak. Akan tetapi, pemuda dusun itu lenyap. Paman menulis surat kepadaku dan memberi tahu tentang tempat peta aseli disembunyikan. Ternyata aku terlambat dan paman telah terbunuh oleh kaki tanganmu."
"Dan peta itu" Di mana...?" Pat-pi Mo-ko seolah-olah tidak mendengar cerita itu karena pikirannya segera terpusat kepada peta aseli.
"Di suatu tempat, di kebun rumah mendiang paman Louw."
"Katakan di mana agar kami dapat membuktikan kebenaran omonganmu! Kalau engkau membohong, tentu janjiku takkan berlaku dan aku akan menyuruh dua orang wanita ini diperkosa di depan matamu sampai keduanya mampus, sebelum engkau disiksa sampai mati pula!"
"Di kebun itu ada sebatang pobon tua dekat rumpun bambu, pada cabang yang ke tiga dari bawah terdapat lubang. Di situlah disimpannya peta itu, dalam peti kecil."
Mendengar ini, Pat-pi Mo-ko lain memerintahkan para pembantunya untuk melakukan pengajaan ketat. "Bunuh saja mereka ini kalau ada tanda-tanda mereka hendak memberontak. Juga kalau Pendekar Sadis berani muncul, bunuh mereka ini dengan alat rahasia dalam kamar!" Pesannya dengan suara lantang. Kemudian, dengan membawa pasukan penjaga yang lima puluh orang banyaknya, Pat-pi Mo-ko sendrii pergi menuju ke rumah Louw siucai di pinggiran kota raja untuk mencari peta seperti yang diceritakan oleh Bu Kok Siang itu.
Malam hari itu juga, Pat-pi Mo-ko datang kembali dengan kegirangan yang meluap-luap. Peta itu telah ditemukan! Dengan wajah berseri diapun memasuki ruangan tempat ditahannya tiga orang muda itu. Dia mengeluarkan peta yang aseli itu dan membebernya di depan Kok Siang dan Kim Hung yang memandang dengan mata berapi.
"Ha-ha-ha, sudah dapat olehku. Ha-ha-ha! Akhirnya harta pusaka itu, harta karun Jenghis Khan, terjatuh ke dalam tanganku!" Kakek hitam itu menyimpan kembali gulungan peta ke dalam tahuh, dan tiba-tiba dia berkata kepada dua orang pembantunya, yaitu Hai-pa-cu Can Hoa dan Tiat-ciang Liu Cai Ko, "Sekarang, kalian bunuh bocah she Bu dan gadis she Toan ini! Kalau tidak, mereka itu akan menjadi perintang saja!"
Tentu saja Kok Siang terkejut mendengar ini dan In Bwee yang sudah dapat bergerak itu menjerit dan menubruk kaki pamannya sambil menangis. "Paman, jangan bunuh dia... ah, jangan bunuh dia...!"
Pat-pi Mo-ko menggerakkan kakinya dan tubuh keponakan dan muridnya itu terlempar. "Huh, murid durhaka. Masih baik aku tidak menyuruh bunuh engkau sekali!"
"Paman, jangan bunuh dia... atau bunuh saja aku sekalian bersamanya!" In Bwee menangis.
"Engkau tidak percaya padaku, Bu-twako! Omongan orang macam dia itu mana bisa dipercaya" Begitu peta dikuasainya, tentu kita segera dibunuh!" kata Kim Hong, sama sekali tidak menyesal karena gadis perkasa ini yakin bahwa pada saat itu, Thian Sin tentu sudah bersiap-siap untuk menolongnya. Tadi, lapat-lapat ia mendengar suara burung ekor merah. Burung itu hanya terdapat di sekitar kepulauan yang berada di Laut Timur, terutama di Pulau Teratai Merah di mana mereka tinggal. Karena suara burung itu tidak dikenal oleh semua orang yang berada di situ ketika berbunyi, maka ialah satu-satunya orang yang mengenalnya dan tahu bahwa itu adalah tanda rahasia dari Thian Sin yang tentu berada di sekitar tempat tahanan itu. Maka iapun merasa lega dan tenang saja. Kekasihnya itu tidak mungkin membiarkan ia celaka tanpa turun tangan.
Kok Siang marah sekali. Dengan mata mendelik dia memandang kepada Pat-pi Mo-ko, lalu berkata dengan suara nyaring. "Pat-pi Mo-ko, kiranya selain jahat dan kejam, engkau juga seorang pengecut yang suka menjilat ludah sendiri! Engkau telah berjanji..."
"Ha-ha-ha, bagaimana janjiku, kutu buku" Semua orang tadi sudah mendengar akan bunyi janjiku itu! Aku berjanji bahwa kalau engkau memberi tahu tentang peta, aku tidak akan membiarkan dua orang gadis ini diperkosa, bukan" Nah, siapa yang hendak memperkosa mereka" Aku tidak berjanji bahwa aku tidak akan membunuh engkau dan sahabat Pendekar Sadis ini! Jadi, kalau sekarang aku menyuruh bunuh kalian, aku tidak menyalahi janji! Ha-ha-ha!"
Kok Siang hanya dapat memandang dengan mata mendelik. Tak disangkanya bahwa datuk sesat itu demikian curangnya, akan tetapi tentu saja dia tidak mampu membantah lagi. Diapun bukan pengecut yang takut mati, maka melihat sikap Kim Hong yang tenang, diapun merasa malu kalau harus banyak ribut untuk mempertahankan nyawanya.
Pada saat itu, Su Tong Hak melangkah maju mendekati Pat-pi Mo-ko. "Kurasa tidak benar kalau membunuh mereka sekarang."
"Su Tong Hak! Engkau tadi telah memberi nasihat baik sekali untuk memaksa pemuda itu mengaku. Akan tetapi sekarang, kenapa engkau melarang aku membunuh mereka" Mereka itu berbahaya sekali!"
Su Tong Hak tersenyum dan meraba-raba kumisnya yang kecil panjang. "Pat-pi Mo-ko, aku melarangmu dengan perhitungan yang amat matang. Coba dengarkan baik-baik pendapatku. Pemuda itu sama sekali belum waktunya untuk dibunuh. Biarpun kita telah mendapatkan peta itu, akan tetapi siapa berani menanggung kalau peta itu benar-benar aseli" Siapa tahu kalau itupun hanya palsu saja dan yang aseli masih dia sembunyikan di tempat lain?"
Pat-pi Mo-ko nampak terkejut dan menoleh, memandang kepada pemuda sasterawan itu yang hanya tersenyum mengejek. Kakek tinggi besar hitam ini mengangguk-angguk, dapat melihat kebenaran pendapat pedagang yang cerdik itu.
"Maka, membunuhnya sekarang sungguh tidak menguntungkan. Kita selidiki dulu apakah peta ini benar, baru kita boleh membunuhnya. Demikian pula dengan nona itu. Bukankah ia itu sahabat baik Pendekar Sadis" Kalau ia masih berada di tangan kita, setidaknya ia berguna untuk menjadi sandera, untuk mencegah Pendekar Sadis mengganggu kita sampai usaha kita berhasil. Bagaimana pendapat ini, tepatkah?"
Sejenak Pat-pi Mo-ko menunduk dan mengerutkan alisnya yang tebal, kemudian dia menepuk-nepuk pundak Su Tong Hak dan tertawa lebar. "Ha-ha-ha, engkau sungguh berbakat untuk menjadi penasihat. Bagus sekali, aku setuju! Malah kita harus bawa mereka itu bersama ke tempat harta karun seperti yang ditunjukkan oleh peta ini, dan di sanalah nasib mereka itu ditentukan! Ha-ha-ha!"
-(file google dokumen published by saiful bahri situbondo seletreng)- ( )-(file google dokumen published by saiful bahri situbondo seletreng)-
Thian Sin yang manyamar sebagai perajurit penjaga dan menyaksikan, mendengar semua itu, tentu saja mengalami ketegangan dan kegelisahan yang hebat. Beberapa kali tubuhnya menegang dan beberapa kali hampir saja dia tidak mampu menahan gelora hatinya yang seolah-olah mendorongnya untuk turun tangan. Ketika dia melihat pakaian luar Kim Hong dirobek, dia hanya mengepal tinju saja. Dia tahu bahwa Pat-pi Mo-ko hanya menggertak. Akan tetapi ketika dia melihat In Bwee hampir saja diperkosa, dia menggigit bibirnya untuk menahan hatinya. Dia maklum bahwa dia harus kuat menghadapi semua itu. Keadaan masih tidak menguntungkan baginya. Kalau dia menyerbu, mungkin saja dia mampu menghadapi pengeroyokan mereka. Akan tetapi amatlah berbahaya bagi keselamatan tiga orang itu. Dia tidak akan mampu melindungi mereka karena di situ banyak terdapat orang-orang pandai yang tak mungkin dapat dirobohkan dalam waktu singkat sehingga selagi dia dikeroyok, Kim Hong, Kok Siang den In Bwee tentu mudah terbunuh lawan. Dan dia tidak menghendaki hal itu terjadi. Terutama sekali dia tidak ingin kehilangan Kim Hong! Maka dia menanti sampai saat yang paling memuncak dan yang akan memaksanya turun tangan. Kalau masih ada harapan, dia akan sabar menanti.
Diapun terkejut bukan main ketika mendengar pengakuan Kok Siang tentang peta aseli itu. Ah, tak disangkanya bahwa pengakuan Kok Siang ketika mereka berdua itu terjatuh ke dalam air, ternyata bukan hanya siasat pemuda itu, melainkan memang satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri mereka. Kini mengertilah dia mengapa Kim Hong bertahan mati-matian. Kiranya kunci rahasia itu berada di tangan Kok Siang yang menyimpan peta rahasia yang aseli. Dan kunci emasnya yang aseli ada padanya! Kini Kok Siang telah mengaku, tempat itu tentu akan ditemukan oleh Mo-ko. Akan tetapi Thian Sin masih dapat tersenyum geli karena dia tahu bahwa usaha Mo-ko yang telah mendapatken peta aseli itu tetap saja akan sia-sia karena kunci emas yang aseli berada padanya!
Ketika melihat Kim Hong dan Kok Siang hendak dibunuh, dia sudah hampir meloncat ke depan. Akan tetapi hatinya lega ketika dia mendengar Su Tong Hak yang membujuk datuk sesat itu dengan alasan yang amat kuat. Diam-diam Thian Sin mengerti bahwa Su Tong Hak memang merupakan orang yang amat cerdik. Pedagang itu kini menginjak dua perahu, keduanya memungkinkan dia untuk memperoleh keuntungan. Di satu pihak, pedagang itu menyelundupan dia dan menganggap dia sekutunya, tentu dengan harapan untuk selain ada teman menghadapi ancaman Mo-ko yang serakah, juga kalau sampai pihak Mo-ko gagal dan Pendekar Sadis yang menang, setidaknya pedagang itu dapat mengharapkan bagian. Sebaliknya, kalau Pat-pi Mo-ko yang menang, saudagar inipun masih bisa mengharapkan bagian. Maka dia manyelundupkan dan tidak membuka rahasia Thian Sin, akan tetapi di lain pihak, iapun membantu Mo-ko, diantaranya dengan nasihat kejinya untuk memperkosa In Bwee dalam usaha memaksa pengakuan Kok Siang.
Ketika melihat Pat-pi Mo-ko membawa pasukan pergi untuk mengambil peta aseli seperti yang ditunjukkan oleh Kok Siang, Thian Sin tidak ikut membayangi. Sebenarnya, dia telah memperoleh kesempatan baik untuk membayangi datuk itu ke tempat penyimpanan peta aseli dan merampasnya, kalau perlu membunuh kakek tinggi besar hitam itu. Akan tetapi kalau Kim Hong, Kok Siang dan juga In Bwee masih menjadi tawanan, apa artinya itu" Yang penting adalah melindungi mereka. Oleh karena itu, Thian Sin hanya menanti dalam persembunyiannya. Biarlah Pat-pi yang mengambilkan peta itu untuknya, bahkan biarkan datuk itu dengan anak buahnya mencarikan tempat penyimpanan harta karun Jenghis Khan itu untuknya!
Demikianlah, ketika pada koesokan harinya, rombongan besar Pat-pi Mo-ko berangkat menuju ke tempat penyimpanan harta karun, diam-diam Thian Sin juga membayangi rombongan itu. Tiga orang tawanan muda itupun dibawa dengan kereta dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya. Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng sendiri mengepalai pasukan ini dengan menunggang kereta bersama tiga orang tawanannya. Para pembantu utamanya, yaitu Hai-pa-cu Can Hoa dan Tiat-ciang Lui Cai Ko, naik kuda dan mengawal di kanan kiri kereta. Su Tong Hak tidak ketinggalan, juga duduk di atas kereta di dekat kusir.
Kereta ke dua berjalan di belakang dan di dalam kereta ini duduk Phang-taijin, pembesar yang menjadi sekutu Pat-pi Mo-ko! Setelah mendengar bahwa peta aseli terjatuh ke tangan sekutunya, jaksa ini tak dapat menahan keinginan hatinya untuk ikut menyaksikan pengambilan harta pusaka atau harta karun Jenghis Khan! Seratus orang perajurit pengawal memperkuat rombongan itu, sebagian mengawal di depan, sebagian di belakang. Mereka itu bukan hanya mengawal untuk menjaga agar jangan ada pihak lawan, terutama sekali Pendekar Sadis yang masih mendatangkan rasa gentar di dalam hati Pat-pi Mo-ko, akan tetapi juga dipersiapkan untuk bekerja di tempat penyimpanan harta karun, kalau-kalau untuk itu dibutuhkan banyak tenaga untuk menggali dan sebagainya.
Perjalanan itu cukup jauh dan merupakan perjalanan yang menarik karena tempat itu ternyata berada di luar Tembok Besar! Mula-mula jantung Thian Sin berdebar tegang ketika rombongan itu menyeberang Tembok Besar di sebelah utara kota raja karena jalan itu menuju ke Lembah Naga! Akan tetapi ternyata rombongan itu membelok ke timur. Kalau dari luar Tembok Besar itu dilanjutkan ke utara sampai kaki Pegunungan Khing-an-san di tepi Sungai Huang-ho, di sanalah letaknya Lembah Naga tempat tinggal ayah angkatnya, Si Pendekar Lembah Naga Cia Si Liong! Akan tetapi, ternyata perjalanan ini tidak sejauh itu dan setelah menunda perjalanan semalam di sebuah dusun, pada keesokan harinya mereka tiba di tempat tujuan, yaitu di kota Ying-kouw, sebuah kota pelabuhan yang letaknya di Teluk Cili atau Teluk Po-hai sehelah utara!
Setelah tiba di kota Ying-kouw, kehadiran Jaksa Phang ternyata amat berjasa dan berguna. Pembesar setempat menyambutnya dengan hormat, memberi tempat penginapan yang layak, bahkan menjamu mereka dengan makan minum. Kepada para pembesar setempat Jaksa Phang menjelaskan bahwa dia sebagai jaksa kota raja sedang menyelidiki sebuah perkara pencurian dan menurut penyelidikan, harta yang dicuri itu dilarikan menuju ke tempat ini. Tentu saja para pembesar di kota Ying-kouw terkejut dan bersedia untuk membantu sedapat mungkin. Akan tetapi Jaksa Phang menolak, mengatakan bahwa untuk menemukan harta curian itu dia sudah mempersiapkan para pembantunya, juga pasukan. Sementara itu, tiga orang muda yang menjadi tawanan, yang oleh Jaksa Phang dikatakan sebagai orang-orang yang tersangkut dalam pencurian besar-besaran itu, dimasukkan tahanan dan dijaga ketat sekali. Malam itu, diam-diam Pat-pi Mo-ko bersama Jaksa Phang, juga para pembantunya, Su Tong Hak, Hai-pa-cu Can Hoa dan Tiat-ciang Lui Cai Ko, mempelajari peta aseli yang sudah diterjemahkan itu.
Ternyata menurut catatan dalam peta kuno itu, harta karun yang dimaksudkan itu berada di dalam sebuah di antara guha-guha yang banyak terdapat di tepi pantai yang curam, di luar kota Ying-kouw sebelah timur. Semalam itu mereka tidak dapat tidur, dengan hati tegang mereka menanti datangnya pagi karena mereka ingin cepat-cepat menemukan harta karun Jenghis Khan itu.
Pagi itu cerah sekali. Langit bersih, tiada segumpalpun awan menghalangi cahaya matahari pagi yang muncul dari permukaan laut, kemudian makin meninggi merobah sinar kemerahan menjadi keemasan, kemudian makim meninggi dan sinar itu berobah pula menjadi keperakan. Dan matahari pagi itu agaknya menenangkan lautan yang semalam menggelora dan menyerbu jauh ke pantai. Kini ombak mulai kembali ke lautan dan permukaan laut menjadi tenang, hanya ada keriput-keriput kecil yang membuat bayangan jalan putih matahari itu bergoyang-goyang lucu.
Dari atas tebing, rombongan itu memandang ke bawah. Dari tempat setinggi kurang lebih tiga ratus meter itu, lautan nampaknya semakin lembut dan tenang, seperti permukaannya tertutup beludru biru yang terhampar luas sampai ke kaki langit. Menjenguk dari atas tebing mendatangkan rasa ngeri, membuat bulu tengkuk meremang dan menimbulkan rasa takut. Rasa takut melihat tempat tinggi, seperti juga perassan takut akan apapun juga, timbul oleh bayangan pikiran yang membayangkan hal-hal yang mengerikan. Kalau kita berdiri di atas tebing melihat ke bawah, tidak akan timbul rasa takut kalau saja kita tidak membayangkan sesuatu. Akan tetapi, begitu pikiran membayangkan bagaimana ngerinya kalau sampai tergelincir dan terjatuh dari tempat yang sedemikian tingginya, maka otomatis bulu tengkuk meremang dan muncullah rasa takut yang membuat jantung berdebar dan kaki gemetar.
Tiga orang muda yang menjadi tawanan dikurung oleh pasukan yang dipimpin oleh komandan pasukan, juga oleh Hai-pa-cu Can Hoa dan Tiat-ciang Liu Cai Ko, sedangkan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng sendiri melakukan pemeriksaan dan dengan hati-hati sekali dia menuruni tebing yang curam itu, bergantungan pada batu-batu dan akar-akar pohon. Sementara itu, dengan kaki dan tangan terikat rantai panjang, tiga orang muda itu duduk berkumpul. Seperti biasa pada beberapa hari selama menjadi tawanan ini, Kim Hong nampak tenang saja, memandang kepada Kok Siang yang duduk bersandar batu dan In Bwee yang duduk menyandarkan kepalanya di dada kekasihnya. Semenjak In Bwee dijadikan tawanan pula bersama kekasihnya, gadis ini selalu mendekati Kok Siang den nampak sudah begitu pasrah, ingin sehidup semati dengan pemuda itu yang dari pandang matanya juga amat menyayangnya. Malam tadi, ketika dua orang muda yang saling berkasihan itu menyatakan ingin mati bersama, Kim Hong menghibur mereka.
"Jangan putus asa lebih dulu, harapan masih banyak bagi kita untuk lolos." katanya berbisik sehingga tidak terdengar jelas oleh para penjaga di luar kamar tahanan mereka yang agaknya sudah jemu menjaga.
"Hemm, kematian kita sudah berada di depan mata, aku tidak pernah putus asa, akan tetapi akupun tahu apa bila keadaan kita sudah tidak ada kemungkinan untuk lolos pula." kata Kok Siang.
"Aku tidak takut mati selama bersamamu, koko." kata In Bwee sambil merebahkan diri di atas pangkuan kekasihnya.
Kim Hong tersenyum. "Kalian lupa bahwa di luar masih ada kekasihku yang takkan mungkin membiarkan kita mati."
"Pendekar Sadis?" kata In Bwee penasaran. "Kalau memang dia memperdulikan kita, kenapa tidak sejak tadi dia turun tangan?"
"Dia bukan anak kecil yang ceroboh. Dia menanti saat baik. Percayalah kepadanya. Dia akan berusaha dengan taruhan nyawa untuk menyelamatkan kita. Bahaya masih jauh sekali. Kalau tidak, apa kalian kira aku akan enak-enak saja begini?" Berkata demikian, Kim Hong memandang kepada rantai di kaki tangannya. Memang, kalau ia menghendaki, dengan sin-kangnya, ia akan mampu mematahkan belinggu ini dan mengamuk. Pat-pi Mo-ko terlalu memandang rendah kepadanya dan hal ini baik sekali. Memang inilah yang dikehendakinya maka ketika diadu melawan Kok Siang, ia seagaja mengalah. Karena memandang rendah, maka tentu Mo-ko menjadi lengah, bahkan kini memasang rantai belenggu sembarangan saja, tidak melumpuhkannya dengan totokan. Mungkin Kok Siang dan In Bwee tidak akan mampu mematahkan belenggu mereka, akan tetapi ia merasa yakin bahwa ia akan mampu melakukannya kalau memang tiba saatnya yang baik.
Kedua tangan mereka diikat belenggu pada pergelangan tangan dan kedua lengan itu berada di belakang tubuh. Jarak antara kedua lengan itu hanya kurang lebih tiga puluh sentimeter, namun cukup untuk melalui kepala. Ia pernah mempelajari ilmu Sia-kut-hoat, yaitu semacam ilmu melemaskan diri melepaskan tulang dan dengan ilmu ini, yang membuat tubuhnya menjadl lemas soperti tubuh ular, ia akan dapat menarik kedua lengan itu dari belakang ke atas kepala, lalu diturunkan ke depan dengan menekuk dan melemaskan tulang pangkal lengan sehingga kedua lengannya akan berpindah ke depan! Dengan kedua tangan di depan, ia akan mengerahkan sin-kang mematahkan belenggu itu, atau setidaknya, ia sudah akan dapat menggunakan kedua tangannya untuk membuat para penjaga tidak berdaya dan merampas kunci-kunci belenggu mereka. Akan tetapi saatnya belum tiba dan kalau ia melakukannya sebelum waktunya, tentu ia akan dikeroyok dan sebelum ia mampu meloloskan Kok Siang dan In Bwee, ia tidak akan mau mencobanya. Saat yang ditunggu-tunggu itu adalah saat munculnya Thian Sin dan ia tetap bersabar karena yakin bahwa belum munculnya kekasihnya itu tentu atas dasar perhitungan yang matang.
Setelah menyelidiki sampai ke bawah, Pat-pi Mo-ko lalu naik lagi. Dia sudah mempelajari tebing itu dan maklum bahwa hanya para pembantunya yang pandai ilmu silat sajalah yang akan mampu menuruni tebing itu. Padahal, menurut peta, guha di mana harta karun itu disimpan, tertutup oleh batu-batu karang yang berguguran dari atas selama ratusan tahun dan untuk menyingkirkan batu-batu besar ini dibutuhkan tenaga para perajurit. Mereka semua harus dapat turun ke bawah, ke tepi pantai di mana terdapat guha-guha itu. Setelah tiba di atas tebing, Pat-pi Mo-ko lalu berunding dengan jaksa Phang dan para pembantunya, kemudian mengambil keputusan untuk mengerahkan anak buah mereka untuk membuat jalan darurat ke bawah tebing. Mereka memang sudah siap membawa alat-alat dan mulailah seratus orang perajurit itu bekerja, membuat jalan dari atas tebing ke bawah.
Lewah tengah hari, mereka semua telah berhasil menuruni tebing itu dan berkumpul di pantai yang luas di bawah tebing, di mana terdapat guha-guha batu karang yang sebagian besar tertutup oleh batu-batu karang sebesar perut kerbau yang berguguran dari atas. Mulailah mereka bekerja keras membongkari batu"batu karang di depan dan atas sebuah guba menurut petunjuk Mo-ko yang telah mengukur sesuai dengan petunjuk peta. Menurut peta itu, dari bawah ini orang dapat melihat ke atas dan ada tonjolan tebing yang bentuknya seperti kepala naga. Guha itu terletak presis di bawah kepala naga itu.
Tenaga seratus orang yang dikerahkan tentu saja dapat menyelesaikan pekerjaan itu dengan cepat. Setelah matahari mulai condong ke barat sehingga tempat itu tidak panas lagi karena sinar matahari tertutup puncak tebing, para perajurit yang bekerja tiba-tiba bersorak ketika mereka melihat guha besar yang tertutup batu-batu tadi. Pat-pi Mo-ko lalu menyuruh mereka semua mundur. Dia sendiri lalu mengajak jaksa Phang, Su Tong Hak, Hai-pa-cu Can Hoa dan Tiat-ciang Lui Cai Ko, dua orang pembantunya yang menarik rantai yang membelenggu tiga orang muda itu memasuki guha. Para perajurit disuruh menanti di luar. Dengan wajah berseri dan jantung berdebar mereka semua memasuki mulut guha yang cukup lebar itu. Juga Kim Hong, Kok Siang dan In Bwee merasakan ketegangan dalam hati mereka. Kim Hong dan Kok Siang merasa tegang karena merekapun ingin melihat harta karun itu, sedangkan In Bwee merasa tegang karena ia merasa khawatir kalau-kalau kekasihnya akan dibunuh setelah harta karun itu terdapat oleh pamannya.
Guha yang lebar itu ternyata di bagian dalamnya menyempit dan akhirnya mereka berhenti pada sebuah pintu batu. Dari bentuknya, dapat diduga bahwa daun pintu ini tentu buatan manusia, merupakan batu tebal berbentuk segi empat dan di tengah-tengah daun pintu batu itu terdapat sebuah lubang kecil. Itulah lubang kuncinya!
"Ah, di sinilah tempatnya! Tak salah lagi!" kata Pat-pi Mo-ko dan suaranya gemetar, juga tangannya ketika dia mengeluarkan sebuah kunci emas dari dalam saku bajunya. Kunci emas yang diterimanya dari In Bwee yang telah berhasil mengambilnya dari tangan Pendekar Sadis!
Semua mata para pemhantu Pat-pi Mo-ko memandang dengan penuh ketegangan dan kegembiraan, akan tetapi pandang mata Kim Hong, Kok Siang dan In Bwee yang sudah tahu bahwa kunci emas itu palsu, adalah kegembiraan yang bercampur dengan kegelian hati, akan tetapi juga tegang karena mereka tidak dapat membayangkan bagaimana akan jadinya nanti setelah datuk sesat itu tidak berhasil membuka dengan kunci palsu.
Seperti juga kuncinya, lubang kunci itu terbuat dari pada emas, akan tetapi ketika Pat-pi Mo-ko memasukkan kunci itu ke lubangnya, ternyata ukurannya tidak cocok dan kunci itu sama sekali tidak dapat masuk!
"Ehh...?" Pat-pi Mo-ko mengerutkan alisnya dan menusuk-nusukkan kunci itu, memutar-mutar, akan tetapi tetap saja kunci emas itu tidak dapat memasuki lubang kecil itu karena memang bukan ukurannya. Lubang itu kecil memanjang dan berlika-liku, harus mempergunakan kunci yang pas ukuran dan cetakannya. Akhirnya Pat-pi Mo-ko menjadi marah karena dia mulai sadar bahwa kunci emas itu adalah palsu!
"KEPARAT!" bentaknya sambil mencabut kembali kunci itu, memandang kepada kunci itu kemudian menoleh kepada keponakannya yang memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat.
"In Bwee! Keparat kau! Kunci apa yang kauberikan kepadaku ini?"
"Katanya itu kunci emaas..."
"Bohong! Ini kunci palsu!"
"Paman, aku hanya menerima dari dia yang mengatakan bahwa itulah kuncinya. Mana aku bisa tahu apakah kunci itu palsu ataukah tulen?" bantah Im Bwee.
"Hi-hik, orangnya berhati jahat dan palsu, mendapatkan peta palsu dan setelah akhirnya menemukan peta aseli dengan cara yang keji, masih tidak berhasil karena kuncinyapun palsu!" Kim Hong mentertawakan.
"Jahanam!" Pat-pi Mo-ko membentak marah. "Kalau engkau tidak memberikan kuncinya yang tulen, akan kusiksa kau sampai mampus!"
"Hi-hik, lucunya! Jangan-jangan setelah kaudapatkan harta karun itu, ternyata harta itupun palsu, Mo-ko! Betapa lucanya! Ingin aku melihat mukamu!" Kim Hong tidak mempedulikan ancaman orang. Mendengar ini, Mo-ko menoleh ke arah pintu yang tak dapat dibukanya itu. Ucapan itu sungguh terasa menusuk perasaannya. Bagaimana kalau benar demikian" Bagaimana kalau sesudah semua jerih payah, semua harapan muluk ini, ternyata harta karun itu palsu dan hanya merupakan permainan orong gila di jaman dahulu belaka" Dia bukan hanya akan kecewa setengah mati, akan tetapi juga amat malu karena namanya tentu akan menjadi buah tertawan orang sedunia kang-ouw dan dia akan dianggap seperti seorang badut! Bayangan ini membuatnya menjadi marah dan penasaran sekali.
Sementara itu, ketika melihat betapa Pat-pi Mo-ko tidak mampu membuka pintu itu dengan kunci emasnya, tahulah Su Tong Hak bahwa kunci emas yang katanya diterima oleh In Bwee dari Pendekar Sadis itu adalah palsu. Tentu kunci aselinya masih berada di tangan pendekar itu, pikirnya. Maka bekerjalah otak yang bercabang itu. Kini tidak menguntungkan untuk menempel kepada Pat-pi Mo-ko. Lebib baik sekarang juga berusaha mendekati Pendekar Sadis dan dia merasa yakin bahwa pendekar itu berada di antara para perajurit yang berjaga di luar. Berpikir demikian, diam-diam, mempergunakan kesempatan selagi semua orang dicekam ketegangan melihat betapa kunci itu tidak dapat membuka pintu, Su Tong Hak lalu meninggalkan guha itu dan keluar, menghampiri para perajurit yang sedang beristirahat di luar guha sambil mencari-cari. Para perajurit itupun berkumpul di depan guha, di luar sambil mencoba untuk melihat ke dalam karena merekapun ingin sekali melihat apakah harta karun itu dapat ditemukan.
Pat-pi Mo-ko sudah menjadi marah sekali, marah karena kecewa dan merasa dipermainkan. Dia menggulung lengan bajunya sehingga nampak kedua lengannya yang berotot, kekar dan nampak kuat sekali. Dengan menggerak-gerakkan kedua lengannya yang besar, dia mengerahkan tenaga sin-kangnya dan terdengarlah suara berkerotokan dari kedua lengan itu, bahkan nampak uap mengepul dari kedua telapak tangannya. Melihat ini, diam-diam Kim Hong terkejut dan kagum. Ternyata bahwa datuk ini memang telah mempunyai tingkat kepandaian yang tinggi dan memiliki sin-kang yang amat kuat. Teringatlah ia ketika pertama kali terjebak dalam kompleks tahanan kantor kejaksaan, ia pernah melompat untuk mendobrak pintu dan disambut oleh pukulan kakek itu sehingga ia terlempar kembali ke bawah.
"Hyaaattt...!" Tiba-tiba Pat-pi Mo-ko menerjang ke depan, ke arah pintu, kedua tangannya menghantam ke arah pintu batu itu dengan maksud untuk menghantam pecah pintu rahasia itu, membukanya tanpa bantuan kunci lagi. Hebat bukan main pukulan kedua telapak tangannya ini. Tiba-tiba saja seluruh ruangan guha itu tergetar keras, disusul oleh gemuruh dari atas guba. Suara bergemuruh itu makin hebat, pintu batu itu retak akan tetapi tidak pecah dan tidak runtuh, dan kini terdengar suara yang amat berisik di luar guha, disusul oleh teriakan-teriakan mengerikan dari para perajurit yang tadi berkumpul di luar guha.
Mendengar suara itu, Pat-pi Mo-ko dan semua orang yang berada di dalam guha cepat memutar tubuh dan memandang. Ketika mereka melihat apa yang tejadi di luar guha, mata mereka terbelalak dan pucat. Ternyata dari atas tebing berjatuhan ratusan batu-batu besar, menggelinding ke bawah dan menghantam para perajurit yang berada di luar guha itu bagaikan hujan lebatnya! Ketika akhirnya suara gemuruh berhenti dan tidak ada lagi batu yang melayang turun, semua orang keluar dan penglihatan di luar guha sungguh amat mengerikan. Hampir seluruh perajurit yang seratus orang jumlahnya itu tewas tertimbun dan terhimpit batu-batu besar. Darah mengalir ke mana-mana dan erangan-erangan orang yang terhimpit batu amat mengerikan. Paling banyak tinggal belasan orang saja yang selamat secara ajaib dan hanya mengalami luka-luka kecil. Dan di antara mereka yang tewas terdapat pula Su Tong Hak yang terhimpit batu dengan kepala remuk dan lenyap menjadi berkeping-keping!
Melihat ini, pucatlah wajah Jaksa Phang. "Celaka...!" serunya dengan tubuh menggigil melihat betapa pasukannya terbinasa.
"Keparat! Harus kubunuh bedebab-bedebah itu!" Dan diapun lari kembali memasuki guha teringat kepada tiga orang tawanannya. Akan tetapa matanya terbelalak melihat betapa Toan Kim Hong dan dua orang yang lain itu telah bebas dari belenggu dan di situ berdiri pula seorang pemuda tampan yang berpakaian sebagai seorang perajurit. Mula-mula dia mengira bahwa tentu dia seorang di antara perajurit yang lolos dari hujan batu. Akan tetapi melihat sikap perajurit itu yang merangkul Kim Hong, jantungnya berdebar tegang dan matanya memandang terbelalak kepada perajurit muda yang tampan dan gagah itu.
Perajurit itu bukan lain adalah Thian Sin, Si Pendekar Sadis! Seperti telah kita ketahui, pendekar ini menanti saat baik dan membiarkan pihak musuh mencarikan tempat harta karun itu untuknya. Dia melihat bahwa keselamatan kekasihnya, Kim Hong, Kok Siang dan In Bwee masih terancam. MakA, dia mengikuti semua persiapan Pat-pi Mo-ko yang hendak memimpin rombongan untuk mencari harta karun Jenghis Khan menurut petunjuk peta aseli, kemudian diam-diam diapun membayangi rombongan itu, kadang-kadang menyamar sebagai perajurit, kadang-kadang pula membayangi dari jauh. Ketika rombongan itu tiba di tempat tujuan dan membongkari batu-batu besar, diapun menyamar sebagai perajurit dan ikut pula membantu! Pada waktu Pat-pi Mo-ko dan para pembantunya memasuki guha untuk membuka pintu rahasia, diapun melihat dari luar, di barisan terdepan sehingga dengan ketajaman matanya dia dapat menyaksikan apa yang terjadi di dalam guha.
Thian Sin sendiri terkejut bukan main ketika Pat-pi Mo-ko menggunakan tenaga sin-kang yang amat kuat untuk menghantam pintu rahasia di dalam guha kemudian mengakibatkan hujan batu dari atas. Dia tahu bahwa pukulan itu menggetarkan tebing dan batu-batu karang yang berada di atas guha menjadi terguncang dan longsor. Untung bahwa dia bertindak cepat dan dengan cekatan sekali dia melompat ke depan dan berlindung di dalam guha kecil di samping guha besar itu. Ketika hujan batu mereda dan semua orang yang berada di dalam guha besar itu keluar, dia menggunakan kepandaiannya untuk menyelinap masuk. Mula-mula dia menggabungkan diri dengan tenaga Kim Hong untuk mematahkan belenggu dari lengan dan kaki kekasihnya itu. Setelah menciumnya sekali tanpa mengeluarkan kata-kata, Thian Sin dibantu oleh Kim Hong lalu melepaskan belenggu yang merantai tangan dan kaki Kok Siang dan In Bwee. Itulah sebabnya ketika Pat-pi Mo-ko kembali ke dalam guha, mereka telah bebas semua dari belenggu mereka!
Thian Sin tersenyun memandang kepada musuh yang baru pertama kali ini dihadapinya dan dia berkata, "Selamat bertemu, Pat-pi Mo-ko! Bagaimana dengan kiriman kunci emas dariku itu" Cukup menyenangkan?"
"Pendekar Sadis! Engkau menipuku dengan kunci palsu!" Bentak Pat-pi Mo-ko yang dengan mudah dapat menduga siapa adanya pemuda tampan gagah yang menyamar sebagai seorang perajurit ini.
"Kuncinya yang aseli juga ada, Mo-ko, ada padaku. Akan tetapi tidak akan mudah engkau bisa mendapatkannya dariku!" Sambil berkata demikian, Thian Sin mengeluarkan sebuah kunci emas dari saku bajunya dan mengacungkannya ke atas, memamerkannya kepada datuk jahat itu. Hal ini membuat muka Pat-pi Mo-ko menjadi semakin hitam. Pada saat itu, Hai-pa-cu Can Hoa, Tiat-ciang Lui Cai Ko dan Phang-taijin telah masuk pula ke dalam guha. Merekapun terheran dan terkejut melihat betapa tiga orang tawanan itu telah bebas dan kini memandang kepada pemuda yang berpakaian perajurit, yang tahu-tahu telah muncul di dalam guha itu. Hai-pa-cu Can Hoa segera mengenal pemuda itu sebagai pemuda teman Kim Hong yang pernah dijumpainya di dalam rumah makan ketika dia dikalahkan oleh Kok Siang. Akari tetapi Tiat-ciang Lui Cai Ko memandang dengan heran. Diapun sudah mendengar dari Mo-ko tentang Pendekar Sadis dan berpesan agar berhati-hati karena Pendekar Sadis selain terlibat dalam urusan harta karun, juga tentu takkan tinggal diam karena kekasihnya, Toan Kim Hong, menjadi tawanan mereka. Dan kini, tahu-tahu pada saat-saat terakhir yang menegangkan, ada pemuda menyamar perajurit yang berada di dalam guha dan agaknya telah membebaskan para tawanan. Siapa lagi pemuda ini kalau bukan Pendekar Sadis" Betapapun juga, agak lega hati Tiat-ciang Lui Cai Ko karena pendekar itu ternyata sama sekali tidak mendatangkan kesan yang menyeramkan, bahkan membuat dia agak memandang rendah kepada seorang pemuda tampan seperti itu.
"Berikan kunci itu kepadaku, Pendekar Sadis!" bentak Pat-pi Mo-ko dengan suara penuh geram. "Atau, engkau akan mati di tanganku!"
"Ha-ha-ha, suaramu tinggi amat! Padahal, kalau aku menghendaki, sudah sejak lama namamu tinggal menjadi kenangan saja. Akan tetapi aku menanti sampai engkau membantuku menemukan tempat penyimpanan harta karun Jenghis Khan. Mau minta kunci" Marilah kita putuskan hal itu di luar, tempat yang lebih luas."
"Baik" Akupun sudah lama mendengar nama Pendekar Sadis dan ingin sekali melihat apakah kepandaianmu juga sehebat namamu!" Berkata demikian, Pat-pi Mo-ko lalu keluar, diikuti oleh Hai-pa-cu Can Hoa, Tiat-ciang Lui Cai Ko, dan juga Phang-taijin yang memandang khawatir. Setelah tiba di luar, Phang-taijin segera memberi isyarat kepada sisa pasukannya untuk melindunginya. Enam belas orang perajurit yang sudah payah lahir batin, lahirnya sudah luka-luka dan lemah, batinnya sudah penuh dengan rasa ngeri dan takut, datang mengerumuninya dan entah siapa yang mengharapkan perlindungan siapa! Mereka berkumpul, seperti sekumpulan anak-anak yang ketakutan dan saling membutuhkan hiburan.
Thian Sin bersama tiga orang muda itupun melangkah keluar dari dalam gaha. Di luar, tiga orang tokoh sesat itu sudah berdiri dengan sikap galak dan siap. Dan seperti sikap jagoan-jagoan besar, mereka bertiga tidak mengeluarkan senjata masing-masing. Seorang jagoan besar cukup mengandalkan keampuhan kaki tangannya, dan baru dalam keadaan terpaksa dan terdesak saja dia akan menggunakan senjatanya!
Ketika melangkah keluar, Kok Siang sudah berkata kepada Thian Sin, "Ceng-taihiap, Hai-pa-cu Can Hoa itu bagianku, serahkan saja kepadaku!"
"Dan Pat-pi Mo-ko itu bagianku!" kata pula Kim Hong.
"Tidak, Kim Hong. Biar aku yang menghadapi Mo-ko, engkau bereskan saja si mata juling Tiat-ciang Lui Cai Ko itu."
"Ah, si gendut itu tidak ada harganya untuk dilawan!" kata Kim Hong.
Thian Sin tersenyum. "Bagianmu sudah cukup, Kim Hong. Selama ini aku yang menganggur, maka biarlah kuhadapi Mo-ko itu. Tidak adil kalau dalam perkara ini, engkau saja yang banyak mengeluarkan keringat dan aku enak-enakan saja!"
Kim Hung tersenyum dan mengangguk. "Baiklah. Akan tetapi mereka itu orang-orang jahat semua, patut untuk dibasmi habis."
"Bagaimana dengan jaksa korup itu?" tanya Thian Sin.
"Serahkan saja padaku!" kata Kok Siang yang tersenyum nakal. "Diapun perlu dihajar dengan cara lain."
Maka ketika mereka bertiga tiba di luar, diikuti oleh In Bwee yang tentu saja hanya menonton karena ia tidak berani menentang pamannya atau gurunya, mereka sudah siap siaga dan menghampiri lawan masing-masing yang sudah dipilihnya.
"Nah, Pat-pi Mo-ko. Kita tiga lawan tiga. Adil, bukan" Di tempat sunyi dan para perajurit itu agaknya sudah tidak mampu lagi untuk membantumu mengeroyok kami." kata Than Sin tersenyum.
Tiba-tiba In Bwee yang merasa tidak kebagian pekerjaan itu berkata, "Kalau mereka berani bergerak, biarlah aku yang akan menghajar mereka!"
Pat-pi Mo-ko yang biasanya amat pemberani dan tidak pernah mengenal takut itu, kini memandang ke kanan kiri dan mukanya yang hitam itu agak pucat. Penglihatan di situ memang mengerikan. Para perajurit yang terhimpit batu, ada yang tertimbun dan hanya nampak kakinya, ada yang masih merintih, ada yang berkelojotan dan darah di mana-mana! Semua itu merupakan tanda malapetaka hebat di pihaknya. Dan dia tahu bahwa Hai-pa-cu Can Hoa pernah kalah oleh Kok Siang dan kini terpaksa harus menghadapinya lagi. Sedangkan Tiat-ciang Lui Cai Ko juga tidak dapat terlalu diharapkan akan bisa mengatasi Toan Kim Hong. Dia sendiri tidak takut welawan Pendekar Sadis, akan tetapi setelah dia mendengar segala kehebatan Pendekar Sadis di masa lalu, diam-diam dia merasa gentar juga.
"Pendekar Sadis, kalau kita saling gempur, tentu satu di antara kita akan
tewas sedangkan yang lain besar kemungkinan akan menderita luka pula. Harta karun itu tentu banyak sekali dan tidak akan habis oleh satu pihak saja. Bagaimana kalau aku menawarkan kerja sama sekali lagi dan yang terakhir! Kita bersama temukan harta karun itu dan kita bagi rata!"
Thian Sin tersenyum dan bertolak pinggang. "Pat-pi Mo-ko, kalau kami ini merupakan orang-orang hamba nafsu dan pengejar kekayaan macam kalian, mungkin usulmu itu akan kami pertimbangkan. Akan tetapi sayang untukmu, kami adalah orang-orang yang menentang kejahatan dan kalau kami bertanya kepada arwah kakek petani Ciang Gun dan isterinya, lalu arwah Louw siucai yang terbunuh tanpa dosa, akan nasib Ciang Kim Su yang malang, apakah engkau bisa mengharapkan kami sudi bekerja sama dengan kalian?"
"Betul-betul engkau tidak mau bekerja sama dengan aku?" Sekali lagi Pat-pi Mo-ko membentak.
"Sayang sekali..." Baru sampai di situ Thian Sin bicara, tiba-tiba lawannya sudah menubruk ke depan dan mengirim serangan dahsyat sekali. Agaknya Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng yang sudah maklum akan kehebatan Thian Sin itu ingin merobohkan lawan secepatnya, maka begitu menyerang dia sudah mengerahkan sin-kangnya yang tadi mampu mengguncangkan guha dan membuat batu-batu terbongkar dan longsor. Tangan kirinya mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala dan tangan kanannya menghantam dengan jari tangan terbuka ke arah dada lawan. Dari kedua tangan itu keluar uap putih dan didahului oleh angin pukulan yang mengeluarkan suara bercuitan. Thian Sin tidak berani memandang rendah karena dia sudah tahu akan kelihaian lawan, maka dengan tenang diapun menggerakkan tubuhnya mengelak dan balas menampar. Tamparannya kelihatannya sembarangan dan tidak keras, akan tetapi membuat kakek tinggi besar itu terkejut karena sebelum tamparan itu tiba, dia telah merasakan sambaran hawa pukulan panas yang luar biasa kuatnya. Kakek ini mengerahkan tenaga pada lengannya dan menangkis, sengaja hendak mengadu tenaga dengan pendekar yang masih muda itu.
"Dukkk...!" Dua tenaga raksasa bertemu dan batu-batu yang bertebaran di sekeliling tempat itu seperti tergetar. Akibat benturan dua tenaga raksasa melalui dua lengan itu, tubuh Thian Sin masih kokoh dan tidak tergoyang sedikitpun juga, akan tetapi Pat-pi Mo-ko terpaksa melangkah ke belakang sampai tiga langkah dan tubuhnya agak menggigil kedinginan! Matanya terbelalak dan dia terkejut setengah mati. Tadi, sambaran hawa pukulan itu terasa panas, akan tetapi setelah beradu lengan, bagaimana ada hawa yang demikian dinginnya menyelinap ke dalam tubuh melalui lengan" Dan kekuatan itu! Bukan main dahsyatnya dan harus diakuinya bahwa tadi dia telah mengerahkan selurub tenaga. Akan tetapi, kalau Pendekar Sadis sama sekali tidak goyah, dia sendiri terdorong sampai tiga langkah. Dari sini saja dapat dia mengerti bahwa dalam hal kekuatan sin-kang, dia tidak mampu menandingi pendekar yang aneh dan hebat itu. Diapun lalu mencabut sepasang senjatanya, yaitu sepasang pedang dan begitu dia menggerakkan tubuh dan tangan, nampak dua gulungan sinar membungkus dan menyelimuti bayangan tubuhnya dan terdengar suara mengaung-ngaung seperti suara lebah-lebah mengamuk. Itulah ilmu pedang pasangan Pek-hong-siang-kiam (Ilmu Sepasang Pedang Seratus Lebah) yang menjadi ilmu andalan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng. Datuk ini dijuluki Pat-pi Mo-ko (Iblis Berlengan Delapan) karena dia memiliki kecepatan gerak tangan yang membuat lengannya seperti nampak menjai banyak akan tetapi menghadapi Pendekar Sadis, dia tidak berani hanya mengandalkan kedua lengannya dan kini mengandalkan sepasang pedangnya yang memang hebat itu.
Akan tetapi, sudah lama Thian Sin seperti telah melupakan senjata di luar kaki tangannya sendiri. Biarpun dia maklum bahwa lawan ini merupakan lawan yang berat, tidak kalah berat dibandingkan dengan para datuk yang pernah dilawannya, namun dia tidak merasa khawatir dan mengandalkan gin-kangnya untuk menghadapi amukan sepasang pedang itu. Tubuhnya berkelebatan dan kadang-kadang seperti kapas ringannya sehingga sebelum pedang menyambar, tubuhnya seperti telah terdorong oleh angin pedang dan dapat menghindar dengan cepatnya, kemudian kedua kaki tangannya tidak tinggal diam den membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah ampuhnya dibandingkan dengan serangan dua pedang lawan.
Hai-pa-cu Can Hoa pernah dikalahkan oleh Kok Siang. Kini, menghadapi pemuda itu, dadanya penuh dengan nafsu membalas dendam atas kekalahannya. Dia tidak merasa gentar karena sekarang dia telah memegang sebatang golok gergaji yang kelihatannya mengerikan. Can Hoa maklum akan kelihaian lawan, maka biarpun tadi dia bertangan kosong, kini melihat Kok Siang telah menghadapinya, diapun tidak ragu-ragu lagi mencabut goloknya. Bukan saja golok besar ini yang membuat hatinya tabah, akan tetapi diapun tahu bahwa pemuda ini telah mengalami siksaan dan dibelenggu selama beberapa hari, kurang tidur dan kurang makan. Hal ini tentu melemahkan pemuda sesterawan ini. Selain itu, pemuda ini telah kehilangan senjatanya yang diandalkan, yaitu siangkoan pit dari emas dan perak itu. Sentanya itu terjatuh ketika pemuda ini terjebak ke dalam air dan seperti juga senjata milik Kim Hong, siangkoan pit itu telah dirampas dan tidak pernah dikembalikan kepada pemuda ini. Maka, dibandingkan dengan pertemuannya pertama kini pihaknya lebih banyak memperoleh keuntungan dan dia merasa yakin bahwa dia sekali ini akan menang dan akan dapat membalas kekalahannya tempo hari.
"Kutu buku, bersiaplah untuk mampus! Darahmu akan diminum oleh golokku ini!" Berkata demikian, Hai-pa-cu Can Hoa sudah menerjang ke depan, memutar goloknya dan menyerang kalang kabut.
Tiba-tiba nampak sinar emas dan perak berkelebat, bersilang dan menangkis golok itu dengan gerakan menggunting dari kanan kiri. "Cringgg...!" Hai-pa-cu Can Hoa terkejut bukan main ketika merasa betapa goloknya tergetar hebat dan cepat dia mencabut golok itu dari jepitan sepasang siangkoan pit emas dan perak.
"Ehhh...!" Teriaknya kaget dan heran melihat betapa pemuda itu sudah memegang sepasang senjatanya! Tentu deja dia tidak tahu bahwa senjata itu, juga sepasang pedang hitam milik Kim Hong, telah diambil oleh Thian Sin dari tempat penyimpanan senjata di gudang dekat tahanan, dan ketika pemuda itu membayangi rombongan, kedua macam senjata itu dibawanya dan tadi di dalam guha, dia telah mengembalikan senjata itu kepada pemiliknya masing-masing.
Kok Siang tersenyum mengejek. "Hai-pa-cu Can Hoa, arwah pamanku Louw siucai telah menanti di sana untuk membuat perhitungan denganmu!"
Hai-pa-cu Can Hoa mengeluarkan bentakan nyaring, dan diapun sudah menyerang lagi, goloknya menyambar-nyambar dengan ganasnya, akan tetapi di balik keganasan sikapnya ini, tersembunyi rasa gentar yang hebat, membuat mukanya pucat dan matanya terbelalak. Di lain pihak, Kok Siang bergerak dengan cekatan dan tenang, merasa yakin bahwa dia akhirnya pasti akan mampu mengalahkan penjahat yang hanya besar gertak dan kekasarannya ini.
Kim Hong tadinya menghadapi Tiat-ciang Lui Cai Ko dengan tenang, bertangan kosong dan dengan senyum mengejek. "Nah, gendut, sekarang kita berhadapan satu lawan satu! Keluarkanlah semua kepandaianmu!"
Tiat-ciang Lui Cai Ko masih hendak borlagak karena dia melawan seorang gadis cantik. Dia masih merasa malu kalau harus mengeluarkan senjata, maka diapun tertawa dan berkata. "Nona yang manis, kalau sekali ini aku dapat meringkusmu, engkau akar kutelanjangi dan kuperkosa di sini juga!" Dan sebelum kata-katanya habis, dia sudah menubruk ke depan, tangan kirinya menyambar ke arah dada sedangkan tangan kanan menyusul kaki kanan yang menendang, mencengkeram ke arah pundak. Serangan yang amat hebat dan sekaligus telah menggunakan kedua tangan dan sebelah kaki. Akan tetapi, Kim Hong yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi itu, dengan mudahnya berloncatan mengelak dan ketika tubuhnya turun, kakinya mencuat dengan gerakan kilat yang sama sekali tidak dapat diikuti oleh pandang mata lawan.
"Wuuuuttt... plakk!" Dan sepatunya yang kecil dan terkena lumpur itu telah mengenai dagu lawan, membuat tubuh Tiat-ciang Lui Cai Ko terjengkang dan nyaris jatuh terbanting kalau saja dia tidak cepat menggulingkan tubuhnya! Setelah bergulingan, dia meloncat bangun lagi. Wajahnya merah, matanya berapi-api dan mulutnya menyeringai, seperti orang tertawa! Dia merasa malu dan marah bukan main. Dalam segebrakan saja dia telah dirobohkan lawan! Kini diapun tahu bahwa gadis ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Sebagai seorang ahli silat tinggi, dia mengerti bahwa Kim Hong ini adalah seorang yang memiliki gin-kang luar biasa hebatnya, membuat gerakannya cepat sekali, tak dapat diikuti dengan pandang mata, maka tentu merupakan lawan yang berbahaya sekali, walaupun agaknya tenaga wanita ini tidak begitu besar dan tendangannya tadipun tidak begitu kuat. Sungguh pendapat yang didasari kesombongan kosong belaka sehingga membuat dia tidak waspada. Dia tidak melihat bahwa kalau King Hong menghendaki, sekali tendangan tadi saja sudah akan mampu meremukkan tulang gerahamya! Gadis itu memang sengaja hendak mempemainkan, maka belum menurunkan tenaga dalamnya.
"Wuuut! Wuuut!" Tiat-ciang Lui Cai Ko menggunakan kedua tangan meraba pinggangnya dan ternyata kini tangan kirinya memegang sebatang pisau yang panjangnya ada tiga puluh senti, ujungnya berkarat dan berwarna kehijauan, tanda bahwa pisau itu direndam dalam cairan beracun! Dan tangan kanannya memegang sebatang sabuk atau cambuk baja yang ujungnya memakai kaitan seperti mata kail! Sungguh senjata-senjata yang amat berbahaya dan hebat, pikir Kim Hong. Akan tetapi karena ia sudah dapat mengukur sampai di mana kepandaian lawan, iapun tidak merasa perlu untuk mengeluarkan sepasang pedangnya dan hanya menanti dengan sikap tenang, dengan kedua kaki ditekuk di bagian lutut dan kedua lengan tergantung lepas di kanan kiri, akan tetapi biarpun nampaknya santai saja, sebenarnya seluruh urat syaraf di tubuhnya telah siap siaga dan tubuh itu telah dipenuhi dengan tenaga sin-kang yang tinggi dan kuat.
"Hi-hik, itu senjatamu" Pisau penyembelih babi cocok dengan perutmu yang gendut, dan matamu menjadi juling itu tentu karena terlalu sering memutar cambuk itu. Hati-hati, jangan-jangan kaitan cambukmu akan mengenai matamu sendiri, dari juling menjadi buta!" Kim Hong mengejek tanpa memperdulikan serangan lawan yang sudah menyambar sebelum kata-katanya habis itu. Dengan hanya sedikit menggerakkan leher, mukanya ditarik ke belakang dan sambaran pisau pada lehernya itu lewat beberapa senti di depan lehernya. Ketika pada detik berikutnya cambuk baja itu melecut dari atas, ke arah ubun-ubun kepalanya, Kim Hong menggeser kakinya, melangkah sambil memutar dan cambuk itu hanya menyambar lewat dan ujungnya yang dipasangi kaitan itu mengenai tanah yang tertutup batu karang. Terdengar suara keras dan debu mengepul, batu karang hancur pinggirnya kena hantem ujung cambuk.
Tentu saja Tiat-ciang Lui Cai Ko menjadi penasaran dan semakin marah. Dia menyerang kalang kabut dan seperti biasanya orang yang dihimpit kemarahan, kewaspadaannya berkurang dan dia hanya menuruti nafsu amarah, menyerang tanpa menggunakan perhitungan lagi. Cambuknya meledak-ledak menyambar dari atas dan bawah, pisaunya juga berkilauan menyambar-nyambar. Namun, dengan amat mudahnya Kim Hong selalu dapat menghindarkan diri, belum juga balas menyerang karena dara ini ingin mempermainkan lawan sampai sepuasnya sebelum turun tangan.
Sementara itu, melihat betapa tiga orang itu sudah berkelahi, Phang-taijin yang hampir kehabisan perajurit dan juga kehabisan nyali itu, diam-diam memerintahkan sisa pasukannya yang tinggal enam belas orang itu untuk mengawalnya naik ke tebing dan melarikan diri. Akan tetapi, baru saja dia maju beberapa langkah diiringkan oleh para perajurit, menuju ke jalan darurat menuju naik ke tebing, tiba-tiba tubuh In Bwee berkelebat dan gadis ini sudah mendahuluinya dan menghadangnya sambil bertolak pinggang.
"Orang she Phang, engkau hendak lari ke mana" Siapapun tidak boleh pergi dari sini!" kata In Bwee dengan sikap keren. Melihat ini, Phang-taijin membelalakkan matanya.
"Nona Bouw, apa engkau tidak tahu siapa aku maka berani melarangku pergi" Ingat, aku bisa menangkapmu dan menuduhmu melawan pejabat!" Phang-taijin menggertak dan bersikap galak.
In Bwee tersenyum manis. Dara ini sekarang berbesar hati. Biarpun dibandingkan dengan tiga orang teman lain ilmu silatnya masih terlalu rendah, akan tetapi sebagai murid Pat-pi Mo-ko, pandangannya sudah cukup tajam untuk dapat menilai bahwa keadaan teman-temannya berada di atas angin. Ia teringat akan ucapan Kok Siang tadi yang menyanggupi untuk membereskan dan memberi hukuman yang keras untuk pembesar yang bersekongkol dengan penjahat ini, maka ketika melihat pembesar itu hendak melarikan diri, iapun segera menghadang dan mencegahnya untuk membantu kekasihnya.
"Orang she Phang, pada saat sekarang, engkau masih hendak mengandalkan kedudukanmu" Siapapun tahu bahwa engkau bukanlah pejabat lagi melainkan penjahat atau kaki tangan penjahat, dan urusan di sini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan pemerintah."
Karena yang menghadang hanya seorang gadis, Phang-taijin lalu menyuruh enam belas orang perajutit itu maju. "Hajar gadis lancang ini!" katanya.
Enam belas orang perajurit itu sebenarnya sudah kehabisan semangat seperti bola kempis, dan menurut kehendak hati mereka, satu-satunya keinginan mereka, adalah melarikan diri dari tempat yang berobah menjadi seperti neraka ini. Akan tetapi mereka takut untuk membangkang perintah, apa lagi melihat bahwa gadis itu hendak menghalangi mereka melarikan diri. Maka mereka lalu menjadi nekat dan menyerbu. In Bwee menyambut mereka dengan gerakan kaki tangannya dan terdengar para perajurit itu mengaduh-aduh ketika tubuh mereka terbanting ke sana sini.
Ketika Kok Siang melihat kekasihnya dikeroyok oleh para perajurit, dia menjadi marah dan khawatir. Dia mengeluarkan teriakan melengking dan sepasang siangkoan-pit di tangannya bergerak cepat. Nampak sinar perak berkelebat di depan mulut Hai-pa-cu Can Hoa yang menjadi silau dan di lain saat, sebuah tendangan dengan keras mengenai pergelangan tangan kanannya, membuat goloknya terlempar dan sebelum Si Macam Tutul Laut itu sempat memperbaiki posisinya, sinar emas berkelebat dan menyambar tenggorokannya.
"Aughhh...!" Tubuh yang tinggi besar itu terjengkang dan Hai-pa-cu Can Hoa roboh dan tewas tak lama kemudian karena pit emas di tangan Kok Siang telah menembus tenggorokan dan menotok jalan darah maut. Kok Siang tidak melihat lagi keadaan lawan yang sudah roboh itu dan cepat dia meloncat ke arah kekasihnya. Akan tetapi kekhawatirannya tadi sama sekali tak beralasan karena kini belasan orang itu sudah dirobohkan semua oleh In Bwee, bahkan belum terkena pukulan atau tendangannya sudah menjatuhkan diri dan pura-pura luka tidak dapat melawan lagi. Tinggal Phang-taijin yang berdiri dengan muka pucat dan kedua kaki menggigil lemas, tanpa mampu mengeluarkan suara.
Melihat betapa Kok Siang sudah merobohkan lawannya, Kim Hong merasa bahwa sudah terlampau lama ia mempemainkan lawan. Ketika cabuk atau cambuk baja itu menyambar lagi ke arah kepalanya, tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking dan sinar hitam menyambar, menyambut cambuk itu dan tahu-tahu ujung cambuk itu sudah terbelit oleh ujung rambutnya. Pisau yang menyambar dari arah kanannya itu dielakkan, kemudian tangan kirinya dari bawah menghantam ke atas dan tepat mengenai dada lawan.
"Ngukkk!" Tiba-tiba saja tubuh yang perutnya gendut sekali itu menjadi lemas, napasnya terengah, kedua tangan melepaskan senjeta dan mendekap ke arah atas perut gendutnya, matanya semakin juling melihat ke arah perut dan akhirnya diapun roboh terkulai. Pukulan satu kali dari jari tangan halus Kim Hong tadi telah menyalurkan kekuatan sin-kang dan merusak jantung lawan sehingga pukulan itu sudah cukup untuk merenggut nyawa Tiat-ciang Lui Cai Ko yang sebenarnya masih kalah jauh dibandingkan dengan Toan Kim Hong.
Kini mereka bertiga menonton perkelahian antara Thian Sin dan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng dan memang pertandingan ini sajalah yang nampak paling seru dan seimbang. Memang pada waktu itu, Thian Sin sedang berada dalam puncak kelihaiannya. Biarpun dia bertangan kosong dan lawannya yang berilmu tinggi itu menggunakan sepasang pedangnya dengan amat hebatnya, namun Thian Sin sama sekali tidak pernah terdesak. Tubuhnya seperti menyelinap dan beterbangan di antara dua sinar pedang yang bergulung-gulung itu. Amat mengerikan dipandang kalau diingat betapa sedikit saja tergores sinar itu, tubuh bisa koyak-koyak! Akan tetapi juga amat indahnya. Setelah lewat puluhan jurus dan sepasang pedang yang amat diandalkannya itu tidak mampu mendesak lawan, Pat-pi Mo-ko mulai merasa gentar dan juga takjub sekali. Belum pernah selama hidupnya dia bertemu dengan lawan sehebat ini. Kini mengertilah dia mengapa datuk-datuk kaum sesat di empat penjuru dunia beberapa tahun yang lalu kalah semua melawan Pendekar Sadis. Kiranya memang hebat bukan main ilmu kepandaian pemuda ini, hebat dan juga aneh, hampir semua gerakan pemuda ini tidak dikenalnya. Karena merasa kewalahan untuk dapat mendesak lawan, akhirnya Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menjaga diri saja. Sepasang pedang itu diputar sedemikian rupa sehingga andaikata ada hujan lebat dari atas sekalipun menimpa dirinya, tidak akan ada setetes air yang mampu mengenai tubuhnya. Demikian rapat sinar pedang bergulung-gulung menyelimutinya, seolah-olah telah berobah menjadi benteng baja yang menutupi tubuhnya dan yang melindunginya dari ancaman apapun dari luar.
Melihat siasat lawan ini, Thian Sin maklum bahwa kalau dia tidak mengeluarkan ilmu simpanannya, akan makan waktu terlalu lama menjatuhkan lawan tangguh ini. Dia lalu diam-diam mengerahkan tenaganya, lalu pada saat lawan mundur, dia merendahkan dirinya dan tiba-tiba dari mulutnya keluar suara melengking nyaring yang menggetarkan jantung lawan, disusul oleh tubuhnya yang tadi merendah itu kini tiba-tiba meluncur ke depan dengan kecepatan kilat dan dengan kekuatan dahsyat sekali. Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng terkejut ketika merasa ada angin hebat melanda dirinya. Dia berusaha untuk menggerakkan sepasang pedangnya menyambut ke depan, ke arah bayangan lawan yang meluncur itu.
"Bressss...!" Sukar diikuti dengan pandang mata terjadinya benturan itu akan tetapi tahu-tahu tubuh Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng yang tinggi besar itu terpelanting dan terjengkang lalu terguling-guling, menabrak batu karang besar dan berhenti. tidak bergerak lagi. Sebatang pedang, pedangnya sendiri, menembus lehernya sampai ke tengkuk, pedang ke dua masih terkepal tangan kiri. Kiranya dalam benturan tadi, saking hebatnya daya serang Thian Sin, pedang kanan itu membalik dan menembus leher sendiri. Tewaslah Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng dan habislah sudah komplotan jahat yang berlindung di balik kedudukan Jaksa Phang di kota raja itu!
-(file google dokumen published by saiful bahri situbondo seletreng)- ( )-(file google dokumen published by saiful bahri situbondo seletreng)-
Kota raja geger ketika pada suatu pagi, tubuh Jaksa Phang tergantung tinggi-tinggi di depan kantornya dengan kaki tangan terikat dan ikatan tangannya itu digantungkan di atas wuwungan bagian depan sehingga nampak dari jalan. Hal ini menarik banyak perhatian, apa lagi karena sehelai kain putih yang lebar tergantung dan tubuh jaksa Phang itu penuh dengan tulisan yang rapi dan indah. Ketika orang-orang menolongnya dan membaca tulisan itu, keadaan menjadi semakin geger den berita itu segera menjalar luas di kota raja. Isi tulisan itu membuka rahasia jaksa itu tentang perbuatan-perbuatannya yang korup dan jahat, tentang persekutuannya dengan penjahat-penjahat dan betapa kantor kejaksaan dijadikan tempat persembunyian penjahat besar Pat-pi Mo-ko!
Berita ini sumpai ke dalam istana dan kaisar sendiri menjadi marah dan malu, lalu memerintahkan untuk menangkap jaksa Phang itu, dipecat dan dijatuhi hukuman berat. Mudah kita duga bahwa yang melakukan perbuatan itu tentulah Bu Kok Siang orangnya!
Setelah Thian Sin muncul dan membebaskan dia, Kim Hong dan In Bwee, kemudian mereka dapat membasmi para datuk sesat bersama anak buahnya, Thian Sin lalu mengajak mereka bertiga, sambil membawa Phang-taijin sebagai tawanan, menuju ke guha di mana terdapat pintu tadi. Kok Siang menotok roboh jaksa itu dan melemparnya ke sudut, kemudian Thian Sin mengeluarkan kunci emas yang aseli dari sakunya dan ternyata kunci itu tepat sekali memasuki lubang kunci dari emas di tengah-tengah daun pintu baja. Thian Sin memasukkan kuncinya dan memutar-mutar, tiba-tiba terdengar suara keras dan semua orang sudah terkejut dan berhati-hati, takut kalau-kalau terjadi longsor batu-batu karang lagi seperti tadi. Akan tetapi ternyata ketika suara keras itu berhenti, lantai di sebelah kanan daun pintu itu amblong dan berlubang. Kiranya kunci itu hanya menggerakkan alat rahasia yang sudah dipasang di situ di mana terdapat batu besar yang digerakkan oleh alat baja bergeser dan menurun. Di balik batu besar itu terdapat lubang dan inilah tempat rahasia penyimpanan harta karun. Bukan di belakang daun pintu, karena belakang pintu itu tidak ada apa-apanya, hanya ada dinding tebing batu karang. Setelah rasa kagetnya hilang, Thin Sin lalu memeriksa lubang dan di sini mereka menemukan empat buah peti kuno berukir.
"Ah, inilah harta karun itu!" Thian Sin berseru dan empat orang itu merasa gembira bukan main, seperti sekumpulan anak-anak yang menemukan sesuatu yang menarik. Mereka lalu mengeluarkan empat buah peti kuno itu dan ketika empat buah peti itu dibuka, ternyata berisi emas dan permata intan berlian ratna mutu manikam, logam mulia dan batu mulia berkilau-kilauan menyilaukan mata!
Bagaikan anak-anak kecil yang melihat mainan bagus, mereka merakup benda-benda itu, dipermainkannya di antara jari-jari tangan dengan sepasang mata bersinar-sinar dan wajah berseri-seri. "Bukan main! Kalau benda sebanyak ini sampai terjatuh ke tangan mereka, sungguh sayang!" akhirnya Kok Siang berkata.
"Harta karun Jenghis Khan ini rahasianya ditemukan oleh keluarga Ciang, maka kita harus menyerahkan kepada yang berhak, yaitu Ciang Kim Su." kata Kim Hong dengan suara tegas. Mendengar ini, tiba-tiba Kok Siang menjura kepada wanita itu.
"Nona Toan, sungguh bijaksana sekali ucapan itu dan aku merasa takluk. Seorang seperti nona ini dan juga Ceng-taihiap, barulah pantas disebut pendekar!"
"Sayang, orang yang berhak sudah tidak ada lagi!" kata Thian Sin.
"Apa maksudmu, Thian Sin?" Kim Hong bertanya dan Kok Siang bersama In Bwee juga memandang heran.
"Aku sudah melihat pemuda petani itu. Dia disiksa untuk dipaksa mengaku tentang peta aseli. Tentu saja dia sendiri tidak tahu dan penyiksaan itu membuat dia terluka parah dan ketika aku mangunjunginya di dalam sel tahanannya di kompleks kejaksaan itu, dia meninggal dunia tanpa dapat ditolong lagi."
"Ahhh...!" In Bwee berseru dan merasa kasihan sekali. Karena menemukan harta karun Jenghis Khan, keluarga petani yang terdiri dari ayah ibu dan anak itu semua telah tewas! Agaknya jalan pikiran In Bwee ini terasa juga oleh tiga orang pendekar itu. Kok Siang menggeleng-geleng kepalanya.
"Jenghis Khan terkenal dengan kekerasan dan kekejamannya, dan harta karunnya inipun ternyata membawa kutuk bagi para penemunya. Untung sekali sekarang terjatuh ke tangan kalian, sepasang pendekar budiman. Mudah-mudahan saja harta karun itu akan dapat bermanfaat dan mendatangkan kebaikan bagi banyak orang melalui tangan kalian berdua."
"Harta karun ini milik kita bersama sekarang, Bu-twako." kata Kim Hong. "Kita bersama yang telah mendapatkannya, oleh karena itu kita semua pula yang berhak memilikinya. Kita akan bagi rata..."
"Tidak, aku tidak mau! Sejak kecil aku menjadi anak orang kaya, dan aku bahkan sering kali melihat betapa kekayaan tidak selalu mendatangkan kebahagiaan. Tidak, aku ingin hidup seadanya dan miskin... di samping Siang-koko..." Dan gadis itu lalu memegang lengan pemuda pujaannya itu sambil memandang mesra.
Kok Sing tersenyum. "Baik Bwee-moi, ataupun aku tidak berhak sama sekali, juga tidak membutuhkan. Aku sendiri bukan orang miskin. Aku menerimanya dari paman Louw, dan paman Louw sama sekali tidak berhak. Pula, mendiang pamanku itu memalsu peta, bukan karena ingin menguasai yang aseli, melainkan karena curiga kepada Su Tong Hak dan ingin menolong dan menyerahkannya kelak kepada yang berhak, yaitu Ciang Kim Su. Maka, setelah sekarang jatuh ke tangan kalian yang memang berjasa dan hanya karena adanya kalian maka harta ini dapat ditemukan, maka kalian berdualah yang berhak memilikinya, Ceng-taihiap dan Nona Toan."
Thian Sin menghela napas dan memandang kagum kepada Kok Siang dan In Bwee. "Ahh, sungguh jarang dapat ditemukan di dalam dunia ini orang-orang seperti kalian berdua. Biasanya, di mana terdapat harta, tentu terjadi perebutan. Untuk memiliki harta, manusia tidak segan melakukan segala macam kejahatan dan kekejaman. Akan tetapi kalian malah menolaknya. Kami sendiri juga tidak membutuhkan harta. Akan tetapi karena harta karun ini telah terjatuh ke tangan kita, sudah seharusnya kalau kita pergunakan untuk kebaikan. Memerangi kejahatan bukan merupakan suatu hal yang mudah dan ringan, juga kadang-kadang membutuhkan banyak biaya. Oleh karena itu, harta karun Jenghis Khan yang saya yakin tentu sudah bergelimang darah ini, yang sekarang saja telah membunuh puluhan orang di luar guha, akan dapat kita pakai untuk menebus dosa-dosanya, untuk manfaat banyak orang dan untuk biaya memerangi kejahatan. Engkaupun berhak memperoleh bagianmu, Bu-siucai."
Akan tetapi Kok Siang menggeleng kepalanya sambil tersenyum lalu merangkul leher In Bwee yang memegang lengannya. "Tidak, taihiap. Dalam peristiwa perebutan harta karun Jenghis Khan ini, aku telah memperoleh bagianku sendiri, telah memperoleh harta karun yang tiada keduanya di dunia ini, yang jauh lebih berharga dari pada semua harta dalam empat peti itu, yalah Bwee-moi!"
Thian Sin dan Kim Hong tersenyum saling pandang, sedangkan In Bwee menjadi merah mukanya dan tersenyum bangga dan bahagia. Pendekar Sadis dan kekasihnya tidak mau memaksa lagi dan merekapun lalu meninggalkan tempat itu, membawa empat peti harta karun dan juga membawa Phang-taijin sebagai tawanan. Mereka mempergunakan kereta yang tertinggal di atas tebing dan pada malam itu juga, Kok Siang membereskan Phang-taijin, menulis surat pembeberan rahasia busuk pembesar itu dan menggantungkan pembesar korup dan suratnya ke wuwungan depan rumah gedung pembesar itu. Ketika Kok Siang melakukan hal ini, dia ditemani oleh In Bwee, Thian Sin dan Kim Hong. Akan tetapi Pendekar Sadis dan kekasihnya tidak mau mengganggu dan membiarkan sasterawan perkasa itu untuk memuaskan hatinya dengan melakukan hukuman itu sendiri.
Setelah selesai melakukan tugas terakhir dalam urusan harta karun Jenghis Khan itu, mereka berkumpul di tempat sunyi di luar kota raja, di mana telah menanti sebuah kereta yang akan membawa Pendekar Sadis dan kekasihnya meninggalkan kota raja pada malam hari itu juga. Empat buah peti harta karun itu telah disusun rapi di dalam kereta, ditutupi dan tidak nampak dari luar.
HK JK Episode 76 Dua pasang orang muda itu kini saling berhadapan di bawah sinar bulan purnama. Cuaca dan pemandangan indah sekali, mendatangkan rasa kegembiraan luar biasa walaupun ada sedikit rasa haru karena mereka hendak saling berpisahan.
"Kami harap saja kalian akan dapat menjadi pasangan yang baik dan berbahagia." kata Kim Hong sambil memeluk In Bwee dan gadis hartawan ini mengusap air matanya karena selama beberapa hari menjadi kenalan Kim Hong ia merasa amat kagum dan sayang kepada pendekar wanita itu.
"Mudah-mudahan saja kami akan dapat menjadi pasangan berbahagia seperti ji-wi." Kata In Bwee.
"Bagaimana rencanamu selanjutnya dengan nona Bouw, Bu-siucai?" Thian Sin bertanya.
"Kami akan minta persetujuan orang tua Bwee-moi dengan terang-terangan. Dan kami sudah bersepakat bahwa andaikata orang tuanya tidak menyetujui, kami berdua akan pergi begitu saja!"
Kim Hong dan Thian Sin tertawa. "Aih, mudah-mudahan tidak. Kami kira, orang tua adik Bwee akan cukup bijaksana untuk dapat melihat bahwa mereka telah mempunyai seorang calon mantu yang hebat!" kata Kim Hong.
"Dan bagaimana dengan ji-wi (kalian berdua)?" tanya Bu Kok Siang.
"Kami akan pulang dan beristirahat." Jawab Thian Sin.
"Di mana... ah, ji-wi sudah menjelaskan bahwa ji-wi takkan memberitahukan tempat tinggal ji-wi kepada siapapun juga. Biarlah, kami hanya berdoa semoga kelak kita masih akan dapat saling bertemu pula." kata Kok Siang.
Setelah bersalaman dan saling memberi hormat, akhirnya Thian Sin dan Kim Hong memasuki kereta dan Thian Sin melarikan kuda-kuda penarik kereta, diikuti oleh pandang mata Kok Siang dan In Bwee, sampai kereta itu lenyap ditelan kegelapan di sudut sana. Mereka merasa terharu dan kehilangan, akan tetapi ketika mereka teringat bahwa mereka bersama, lenyaplah rasa kehilangan itu dan sambil bergandeng tangan merekapun kembali ke kamar mereka di rumah penginapan di mana mereka menyewa dua buah kamar untuk mereka. Dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika melihat bahwa di kamar Kok Siang terdapat sebuah di antara empat peti harta karun itu, dengan isi yang masih penuh dan utuh! Dan di atas peti itu terdapat tulisan:
SEMOGA KALIAN BERBAHAGIA. Kedua orang itu saling pandang dan akhirnya In Bwee menubruk calon suaminya sambil menangis, terharu akan kebaikan hati Pendekar Sadis dan kekasihnya.
Sementara itu, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, dua sosok tubuh berada di dalam sebuah perahu layar, dan perahu itu dengan perlahan meninggalkan pantai menuju ke laut bebas. Sebuah perahu layar yang berukuran sedang saja, tidak ada anak perahunya kecuali mereka berdua.
Diatas dek perahu terdapat tiga buah peti kuno berukir indah. Mereka itu adalah Thian Sin dan Kim Hong yang sedang berlayar menuju pulang, ke tempat tinggal mereka yaitu di Pulau Teratai Merah, membawa hasil petualangan mereka, yaitu tiga peti terisi harta karun Jenghis Khan! Mereka akan pulang dan beristirahat, tanpa mereka sadari bahwa mereka akan menghadapi pengalaman-pengalaman yang lebih menyeramkan lagi dalam kisah petualangan mereka "SILUMAN GUHA TENGKORAK"! Kita akan berjumpa kembali dengan sepasang pendekar ini dalam kisah yang menyeramkan itu, di mana selain ilmu silat, juga ilmu sihir dipergunakan! Sampai jumpa!
TAMAT
Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seruling Samber Nyawa 10 Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Bara Naga 10