Pencarian

Hati Budha Tangan Berbisa 11

Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L Bagian 11


h kamar batu, di mana di pasang sebuah lentera minyak, maka keadaan di sini cukup terang. Seorang laki-laki bertubuh besar dengan telanjang dada, tampak bulu dadanya lebat menghitam, kulit dagingnya berotot keras bagai badak, dengan bertolak pinggang dia berdiri di ambang pintu. Begitu melihat wajah Ji Bun berdua segera dia menggerung murka:" Siapa kalian" Berani menyaru ......."
Cepat Ji Bun menyelinap masuk, mulutnya menjawab: "Akulah Te-gak Suseng!"
Wajah laki-laki kekar itu menegang, bentaknya: "Cari mampus!"
Telapak tangannya yang sebesar kipas terus menabok ke arah Ji Bun.
-- Ji Bun angkat tangannya, sekali raih dengan mudah dia pegang pergelangan tangan orang. Tapi laki-laki besar itu meronta sekuatnya sehingga Ji Bun terseret maju sempoyongan. Diam-diam dia terkejut akan kekuatan raksasa lawan, kelima jarinya memegang dengan lebih kencang. Kontan laki-laki itu berkaok kesakitan.
Ji Bun pandang ke dalam kamar, di sisi kanan sana terdapat sebuah pintu kecil, di pojok terdapat sebuah balai yang dilembari kulit binatang, mungkin tempat tinggal laki-laki besar ini. Sebaliknya pintu besi di sebelah kiri terkunci dengan gembok besar, rahasia pasti ada di belakang pintu itu. Diam-diam Ji Bun membatin:
"Mungkinkah ibu atau Thian-thay-mo-ki yang terkurung di dalam sana?" Segera dia membentak kepada laki-laki itu: "Siapa yang dikurung di dalam?"
Karena pergelangan tangan terpegang, laki-laki ini mati kutu tiada tenaga untuk meronta lagi, namun sorot matanya ber-api-api sebuas binatang. "Apa tujuan kalian?" tanyanya.
"Buka pintu itu. Kalau membangkang kubunuh kau."
"Kalau aku mati, kalian kelinci cilik ini jangan mengira bisa hidup."
Membara amarah Ji Bun, ia sungkan adu mulut lagi, sekali kepruk dia pukul pecah batok kepala laki-laki besar itu serta menendang mayatnya ke samping.
Di tempat ini Ui Bing kembali memperlihatkan keahliannya, entah dari mana dia sudah mengeluarkan sebatang kunci, segera dia maju
-- kesana membuka gembok besar itu, begitu pintu terbuka, serentak Ui Bing didampar segulung angin kencang.
16.46. Siapa Murid Angkatan-13 Ban-tok-bun ?"
Begitu besar terjangan angin ini sampai Ui Bing tergentak mundur menubruk Ji Bun yang berada dibelakangnya. Cepat Ji Bun menahan punggungnya, namun dorongan kekuatan begitu dahsyat sampai mereka sama tersurut tiga langkah lagi, maka dapatlah dibayangkan betapa hebat kepandaian orang yang menyerang.
Belum lagi hilang rasa kejut mereka, tampak di belakang pintu adalah sebuah kamar kurungan persegi, seorang tua baju hitam tengah melongo mengawasi mereka. Tampak oleh Ji Bun, di belakang kamar sana terdapat pula sebuah pintu besi yang terkunci.
Terang laki-laki tua baju hitam ini adalah penjaganya. Begitu besar dan ketat penjagaan orang ini, tentu di balik pintu sana tersembunyi sesuatu yang cukup penting artinya.
"Kalian mau apa ke sini?" tanya laki-laki baju hitam itu sambil menyeringai.
"Mau mencabut nyawamu!" desis Ji Bun. Belum habis bicara tiba-tiba dia menubruk maju seperti harimau menerkam mangsanya, jurus Tok-jiu-sam-sek yang pertama dilancarkan, kontan laki-laki baju hitam menjerit sekali terus roboh binasa. Ji Bun langsung lari ke arah pintu. Untung pintu yang satu ini tidak terkunci, maka dengan mudah dia menariknya terbuka, di dalam adalah terali besi, sebuah kerangkeng. Berkat sinar api dari luar, terlihat oleh Ji Bun di dalam
-- kerangkeng meringkuk seorang laki-laki beruban. Jadi bukan orang-orang yang diperkirakan oleh Ji Bun semula, keruan hatinya menjadi dingin.
Ui Bing ikut melongok ke dalam, katanya: "Entah siapa yang dikurung di sini, kenapa sampai dijaga begini kuat dan ketat?"
"Ya, harus diselidiki biar terang persoalannya. Toako, tolong ambilkan obor itu," lalu dia maju mendekat dan puntir putus rantai yang melingkar di antara jeruji-jeruji besi ini. Bayangan orang yang meringkel di pojok sana tidak bergerak sama sekali. Kini dia melihat lebih jelas, kiranya seorang tua kurus kering tinggal kulit membungkus tulang. Ji Bun mendekatinya, tanyanya: "Siapakah tuan ini?"
Orang tua itu bergerak sedikit, terdengar suaranya yang lemah, namun mengandung kebencian: "Keparat, kau akan mendapatkan ganjaran setimpal"
Ji Bun tertegun, dia menoleh sekejap pada Ui Bing, lalu katanya:
"Cayhe bukan orang Ngo-hong-kau, silakan tuan bangun untuk bicara."
Dengan tangan menyanggah tanah pelan-pelan orang tua kurus itu meronta bangun, pandangannya pudar dan lesu. Ji Bun berdua hampir menjerit kaget melihat wajah orang yang rusak tak menyerupai bentuk manusia. "Siapakah tuan?" tanyanya.
"Kau ...... kau siapa pula?"
-- "Cayhe digelari Te-gak Suseng di kalangan Kangouw."
"Apakah keparat itu yang menyuruh kalian kemari?"
"Siapakah keparat itu" Cayhe mengejar seseorang masuk kemari, entah apa maksudmu?"
Pandangan orang tua yang redup kembali mengawasi wajah mereka sekian lamanya, suaranya dingin: "Mau menolong Lohu keluar dari sini, betul tidak?"
"Sudah tentu," sahut Ji Bun tanpa pikir, "kalau sudah. kepergok olehku, masakah aku harus berpeluk tangan."
"Ada syaratnya?"
"Syarat" Ah, omongan apa ini."
"Masakah tanpa syarat?"
"Tidak pernah terpikir olehku. Siapakah tuan, tolong beri tahu lebih dulu."
"Kau ..... betulkah bukan utusan keparat itu untuk menyiksa diriku?"
"Siapakah keparat yang kau maksud?"
"Muridku!" desis orang tua itu dengan gemas.
-- "O," Ji Bun bersuara heran, "kau dikurung oleh muridmu sendiri"
Kenapa?" "Tentu karena kepandaian dan rahasia pelajaranku."
Tak tertahan Ji Bun mengumpat: "Durhaka terhadap guru, manusia terkutuk dan pantas disamber geledek."
Dengan mendelik gusar, orang tua itu berkata: "Lohu bertahan hidup sampai sekarang, memangnya ingin menunggu dia mendapatkan ganjaran itu, sayang, ai .... mungkin takkan tercapai maksudku."
"Siapakah nama murid durhaka tuan?"
"Lohu tidak tahu."
"Apa tidak tahu?" sungguh berita aneh yang paling lucu di dunia ini, masakah seorang guru tidak tahu nama muridnya.
Orang tua mengertak gigi, mukanya yang kurus kering tidak mengunjukkan mimik apapun, hanya, biji matanya yang pudar tiba-tiba memancarkan rasa kebencian yang berkobar. "Ya, sampai sekarang masih belum kuketahui namanya."
"Tapi asal-usulnya mungkin diketahui?"
"Yang terang dia adalah pemilik gedung ini."
-- "Pemilik gedung ini, itulah Kiang Giok pimpinan cabang Ngo-hong-kau di sini."
"Dia ..... dia bernama Kiang Giok" Kalian musuhnya?"
"Boleh dikatakan demikian."
Kedua biji mata orang tua yang cekung tiba-tiba meneteskan air mata, katanya penuh kepedihan: "Kepandaian Lohu sudah dipunahkan, tidak ubahnya dengan sesosok mayat hidup yang bisa bernapas saja, aku tak ingin melihat sinar matahari lagi, cuma matipun aku takkan meram, sayang aku tak bisa memberi pertanggungan jawab bagi perguruan ........."
"Tuan dari perguruan mana?"
"Terbatas oleh peraturan perguruan, maaf tidak boleh kukatakan."
Ji Bun mengerut kening, katanya: "Jadi nama dan gelaran tuan juga tak boleh diperkenalkan?"
Orang tua kurus itu mengangguk-angguk.
Ji Bun menepekur sejenak, katanya: "Bagaimana kalau tuan ikut kami keluar saja" Cayhe masih ada urusan penting yang harus segera dibereskan, tak bisa lama di sini. Bicara terus terang, akupun sedang mengejar jejak murid tuan.
-- "O," orang tua kurus menatap tajam Ji Bun, sorot matanya berubah tak menentu, ini menandakan bahwa orang tua ini dirundung perasaan yang bergolak.
Semula Ji Bun berharap di dalam kamar tahanan ini ada disekap ibu atau Thian-thay-mo-ki, sekarang kenyataan telah menumbangkan harapan itu. Sudah tentu pikirannya menjadi gundah dan melayang ke tempat jauh, terasa sedetikpun tak kuasa lagi tinggal di sini. Menolong orang tua ini hanya sambil lalu saja disamping merasakan adanya kewajiban bagi seorang persilatan yang harus menolong sesamanya. Kalau tidak, menghadapi sikap si orang tua yang serba bimbang dan seperti menyembunyikan sesuatu ini, sejak tadi dia tentu sudah tinggal pergi.
Ui Bing yang berpengalaman luas dalam seluk beluk kehidupan malah dapat bersabar, katanya kalem: "Cianpwe, setiap urusan pasti ada beda ringan dan berat, sering pula terjadi perubahan, kau harus lekas ambil keputusan. Kalau kami tidak kebetulan menerobos kemari, bagaimana pula nasib Cianpwe" Urusan aliran dan perguruan orang luar memang tidak boleh tahu, tapi kalau Cianpwe merasa perlu minta bantuan kami, tentu kami akan bekerja sekuat tenaga."
Ji Bun sudah tak sabar lagi, tanyanya: "Tuan sudah berpikir?"
Tiba-tiba orang tua itu geleng kepala, katanya: "Lohu sudah berkeputusan tidak akan meninggalkan tempat ini "
Ji Bun melengak, tanyanya tak mengerti: "Tuan tidak mau meninggalkan penjara seperti neraka ini?"
-- Nada si orang tua tegas: "Ya, Lohu sudah berpikir masak, kecuali mati demi pertanggungan jawab kepada perguruan, tiada jalan lain yang harus kutempuh, hanya matiku ini tetap membuatku penasaran."
"Kalau kau tidak rela mati demikian saja, kenapa tidak mau meninggalkan tempat ini?"
"Aku mati penasaran tidak berarti takut mati, Soalnya tugas perguruan teramat berat."
Tugas berat apa, Ji Bun ingin tanya, namun melihat sikap si orang tua yang begitu patuh dan tunduk terhadap peraturan perguruannya, maka ia telan pertanyaannya. Sebentar kemudian baru orang tua itu berkata pula: "Urusan ini menyangkut peraturan perguruan, ada sesuatu tapi Lohu tidak bisa bicara terus terang .....
" "Sulit kalau begitu," ujar Ui Bing menghela napas, "apakah Cianpwe ada saudara seperguruan, kami bisa mengirim kabar kepada mereka?"
Orang tua diam saja, agaknya dia tenggelam dalam pemikiran, mungkin dia sedang berpikir secara mendalam cara bagaimana harus ambil keputusan.
Hati Ji Bun seperti dibakar, seperti semut dalam kuali panas, tak tahan ia berkata pula: "Tuan, kami akan segera berangkat."
-- Dengan gerakan lemah tak bertenaga orang tua itu angkat tangannya, katanya: "Nanti dulu, Lohu ada sebuah permintaan."
"Silakan bicara," jawab Ji Bun.
"Kuharap saudara cilik suka wakilkan aku mencari keparat itu, bunuh dia untuk mencuci nama baik perguruanku ......."
"Membersihkan nama baik perguruanmu" Apakah tugas berat ini boleh diwakilkan kepada orang luar?"
"Tiada jalan lagi, perguruan kami memiliki sebuah Pit-kip (kitab pusaka) yang terjatuh ke tangan keparat itu, harap rebutlah kembali
........" "Apa betul murid tuan bernama Kiang Giok, pimpinan cabang Ngo-hong-kau di sini?"
"Lohu hanya tahu dia pemilik gedung ini."
"Baiklah, untuk membuktikan asal usulnya, Harap tuan suka memberikan keterangan mengenai ciri-cirinya ......"
"Ciri-cirinya, dia ..... dia pandai menggunakan racun."
"Ya, Cayhe sendiri pernah merasakannya, hampir saja jiwaku ini melayang."
"Ya, tidak akan salah kalau begitu."
-- "Setelah Pit-kip perguruanmu itu berhasil direbut kembali, lalu kepada siapa harus kuserahkan?"
"Ini ....... entah saudara dari aliran mana?"
"Hal ini sukar kujawab."
"Baiklah, di sini Lohu meninggalkan pesan tertulis dalam lipatan kertas ini, semoga setelah Pit-kip itu direbut kembali kau bisa bekerja menurut petunjuk yang tertera di kertas ini."
"Boleh saja."
Dari tumpukan rumput kering di bawah tubuhnya, si orang tua mengeluarkan secarik kertas tebal yang sudah kuning dan kotor, dengan hati-hati dan penuh prihatin dia sodorkan kepada Ji Bun, katanya: "Inilah, kalau saudara bisa membereskan urusan ini, di alam baka Lohu akan istirahat dengan tenteram."
"Soal membersihkan perguruanmu itu ......"
"Sudah diterangkan di dalam tulisan ini. Saudara baru boleh membuka lempitan kertas ini setelah berhasil rebut kembali Pit-kip itu."
Ji Bun menerimanya, tanyanya: "Tuan betul-betul sudah berkeputusan tak mau keluar" Untuk ini Cayhe mohon sukalah tuan memperkenalkan diri, ini tak melanggar aturan perguruanmu, bukan?"
-- "Baiklah, Lohu bernama Ngo Siang."
Ji Bun berjingkat kaget, mulutnya ikut berteriak: "Ngo .....
Siang?" "Betul saudara ........."
Berubah hebat air muka Ji Bun, katanya berpaling kepada Ui Bing: "Toako, maaf, silakan kau tunggu sebentar di luar."
Dengan heran dan tak habis mengerti Ui Bing mengawasi Ji Bun, namun dia menurut, obor dia tancap di dinding pinggir pintu lalu melangkah keluar.
Orang tua yang bernama Ngo Siang juga mengunjuk keheranan dan kaget, tanyanya: "Saudara, kenapakah kau?"
Dengan rasa haru dan penuh emosi Ji Bun berkata: "Apakah guru tuan she Ban bernama Yu-siong?"
Muka si orang tua yang kurus keriputan itu kelihatan gemetar, bibirnya bergetar, matanya terbeliak, lama sekali baru dia kuasa mengendalikan emosinya, katanya tergagap: "Kau .... kau .....
darimana bisa tahu?"
Ji Bun segera bertekuk lutut, serunya terharu: "Murid generasi ke-15 Ji Bun, menghadap Suco."
"Apa" Kau ....... kau?"
-- "Tecu Ji Bun, berkat kemurahan hati dan kebajikan Suthayco telah diangkat sebagai penerus dari generasi ke-15."
"Ini .... mana ..... mana mungkin" Hah, Cosuya maha kuasa dan bermurah hati, Cosuya ....." kata orang tua alias Ngo Siang itu dengan terharu.
Setelah menyembah, Ji Bun segera bersimpuh dan berkata:
"Harap Suco suka dengarkan liku-liku persoalan ini."
Tubuh Ngo Siang bergetar, inilah keajaiban yang tak pernah dimimpikan, kejadian yang terlalu mendadak, begitu aneh dan nyata sehingga orang sulit percaya dalam waktu sesingkat ini, mulutnya melongo, suaranya lemah hampir tidak terdengar, "Kau ....... baiklah
...... katakan ......."
Segera Ji Bun ceritakan semua pengalamannya, tiba-tiba Ngo Siang menjatuhkan diri berlutut, matanya yang cekung mengalirkan air mata, teriaknya serak: "Tecu tak berbudi ...... Tecu tidak becus
........."
Ji Bun segera membujuk: "Suco, harap suka memperhatikan kesehatan sendiri."
Ngo Siang merangkak bangun dan duduk kembali ke tempatnya, lama dia menepekur dengan pandangan terlongong, katanya kemudian: "Berikan kertas itu, tak berguna lagi."
Ji Bun segera merogoh lempitan kertas tadi serta diangsurkan dengan kedua tangan.
-- Ngo Siang lantas membebernya, ternyata lapisan dalam dari lipatan kertas ini adalah selembar kain sutera yang amat tipis, di atas kain yang sudah butut ini terdapat noktah darah yang sudah mengering, huruf-huruf yang tertulispun menggunakan tinta darah.
Ngo Siang menyobek kertas kain ini, lalu menjemput sebuah buntalan kain kecil dan ditimang-timang di telapak tangan, katanya setelah menghela napas: "Aturan yang harus dilakukah bagi setiap murid angkatan kita dengan tulisan dalam kertas lipatan ini tentu kau sendiri juga sudah tahu, maka tugas selanjutnya untuk menumpas murid durhaka itu terpikul di atas pundakmu."
"Tecu menerima setiap petunjuk Suco."
"Generasi ke-14 tidak diangkat secara resmi oleh perguruan, karena dia juga telah mengkhianati perguruan, maka kau tidak perlu pandang dia sebagai angkatan yang lebih tua. Lebih penting kau melaksanakan aturan perguruan untuk menumpasnya dengan cara apapun. Demikian saja kata-kataku."
"Cucu murid ingin membawa Suco keluar dari sini, biarlah kita berusaha ......."
"Tidak usahlah."
"Bagaimana kehendak Suco?" tanya Ji Bun melengak.
Lemah tapi tegas setiap patah kata Ngo Siang: "Suco tidak berbakti, sejauh ini tidak mampu melaksanakan tugas yang kupikul, sehingga ajaran perguruan hampir putus di tanganku ....... maka kau
-- harus dengar kata-kataku. Sesuai peraturan, waktu aku turun gunung mencari calon pengganti yang harus ikut juga digembleng dalam kebiasaan 'menyenggol rejeki", ternyata usahaku sia-sia belaka. Setiap pelosok Kang-ouw sudah kujelajahi, namun tetap tak berhasil kuperoleh seorang calon yang memenuhi syarat. Begitulah, dari tahun ke tahun sehingga aku akhirnya berpendapat bahwa Tok-keng jilid pertama kemungkinan tidak terjatuh ke tangan seseorang, namun aku tetap menunggunya dengan sabar, siapa tahu kalau terjadi suatu kemungkinan ........"
Setelah menghela napas dan berhenti sebentar Ngo Siang melanjutkan ceritanya: "Tiga tahun yang lalu, karena terpaksa aku sengaja mendemonstrasikan ilmu perguruan kita, maksudku untuk mencari jejak apakah betul jilid pertama dari buku pelajaran perguruan kita itu sudah berada ditangan seseorang. Betul saja, tidak lama kemudian aku lantas menemukan dia. Semula aku hendak menyelidiki watak dan mencari tahu asal-usulnya secara diam-diam, tak tahunya malah dia mengenali asal-usulku lebih dulu.
Dia berkata bahwa ada seseorang sakit keras dan berpesan padanya supaya mencarikan orang-orang seperguruannya. Katanya ilmu beracun yang dia pelajari didapat dari orang sakit itu. Karena kurang teliti, aku percaya begitu saja. Dia membawaku ke sebuah kamar rahasia di bawah tanah, sehingga aku terjebak ke perangkapnya.
Bukan saja ilmuku dipunahkan aku disekap di sini pula. Sering keparat itu datang kemari menyiksa aku supaya menyerahkan atau mengajarkan ilmu tingkat tinggi perguruan kita ......."
Ji Bun naik pitam, katanya gusar: "Tecu membakal Hoat-Wan, aku bersumpah akan menghukumnya sesuai hukum perguruan."
-- "Ya, tadi kau menceritakan pengalamanmu, katamu kau sudah mempalajari Bu-ing-cui-sim-jiu, apa betul kau diajar ayahmu secara lisan?"
Ji Bun mengiakan.
"Dari mana pula ayahmu bisa mendapatkan buku pelajaran ilmu rahasia perguruan kita?"
"Mati hidup ayahku sekarang masih merupakan teka teki, biarlah setelah berhasil membekuk Kiang Giok, pasti bisa membongkar rahasia ini."
Diam-diam Ji Bun amat bersyukur, semula dia berpendapat bahwa orang yang memperoleh jilid pertama Tok-keng itu adalah ayahnya, sedang dirinya harus menjalankan tugas membersihkan perguruan dari anasir penghianat, memangnya dia sebagai anak harus membunuh ayah kandung sendiri" Kini sudah terbukti bahwa Kiang Giok adalah orang yang memperoleh buku itu. Persoalan ini akan lebih mudah dibereskan. Soal bagaimana ayahnya bisa mendapatkan pelajaran ilmu beracun, mungkin Kiang Giok sengaja hendak menjadi penghianat maka dia sengaja mengajarkan ilmu beracun itu kepada orang luar sehingga terjadilah buntut yang berlarut-larut ini.
Ngo Siang bertanya, "Apa pula hubungan ayahmu dengan Kiang Giok?"
"Cucu muridpun tidak tahu."
-- "Siapa tahu kalau ayahmu justeru orang yang pegang rol di belakang layar?"
Tersirap darah Ji Bun, betul, ini bukan mustahil, maka dia mengertak gigi, katanya: "Cucu murid akan menyelidikinya."
"Kalau kelak terbukti bahwa orang pertama yang memperoleh Tok-keng adalah ayahmu, bagaimana kau akan ambil tindakan?"
Terkesiap hati Ji Bun, katanya setelah berpikir: "Cucu murid akan bekerja sesuai dengan hukum perguruan, demi kebenaran dan kebesaran nama baik perguruan, meski terhadap ayah sendiripun, aku akan tetap ambil tindakan."
"Bagus sekali semoga kenyataan tidak demikian," ujar Ngo Siang.
Tiba-tiba terlihat oleh Ji Bun orang tua itu tengah menggelinding sebutir pil Merah darah yang menyolok sekali, seketika dia berteriak kaget: "Hoat-wan."
"Benar," kata Ngo Siang, "memang Hoat-wan, pil ini kubawa waktu aku disuruh turun gunung oleh Suco, sekarang tiba saatnya aku akan menggunakannya."
Saking gugup tanpa sadar Ji Bun ulur tangan hendak mengambilnya, mulutpun berteriak: "Jangan Suco!"
"Jangan bergerak," tiba-tiba Ngo Siang menghardik dengan bengis. Kata-katanya begitu keras berwibawa, sehingga tanpa sadar
-- Ji Bun menarik pula tangannya. Dalam sekejap itulah Ngo Siang sudah menjejalkan pil merah itu ke dalam mulut terus di telan.
Tak pernah terpikir oleh Ji Bun bahwa Ngo Siang akan bertindak setegas ini, serasa pecah jantung Ji Bun. Hoat-wan adalah obat warisan cikal bakal perguruan mereka yang digunakan untuk menghabisi nyawa sendiri, sejak diciptakan tak pernah dibuat obat penawarnya, maka setiap orang yang telan pil racun ini takkan tertolong lagi. Itupun berarti sudah menunaikan bakti terhadap perguruan, umpama ada obat penawarnya juga tidak boleh ditolong.
Gaya duduk Ngo Siang sekarang berubah setengah berlutut, sorot matanya tenang dan tenteram. Lekas Ji Bun juga berlutut, air mata lantas bercucuran, waktu dia angkat kepala pula, Ngo Siang sudah mangkat untuk selamanya.
Semua kejadian dan pengalaman ini bagai mimpi belaka, obor kecil milik Ui Bing sudah mulai guram, mungkin minyaknya sudah hampir habis. Maka Ji Bun menoleh keluar serta memanggil: "Toako, kau boleh masuk."
Tiada penyahutan, kembali ia berseru dengan suara lebih keras, namun tetap tiada reaksi. Keruan hatinya gugup, mungkin Ui Bing mengalami sesuatu" Bergegas dia melompat keluar, beruntun dia melewati dua kamar batu. Setiba diujung lorong ini, tetap tidak kelihatan bayangan Ui Bing. Sesaat dia berdiri melongo tak tahu apa yang harus dia lakukan" Tak mungkin Ui Bing pergi tanpa sebab kecuali terjadi sesuatu. Lekas dia berlari kembali ke dalam kamar mengambil obor, tapi baru saja dia putar balik hendak mencari Ui Bing pula ....
-- sekonyong-konyong suara gemuruh dengan getaran hebat.
Seluruh kamar batu itu bergoncang seperti dikocok oleh kekuatan yang dahsyat. Bau belerang dan asap putih yang tebal seketika bergulung-gulung masuk ke dalam kamar. Semua obor yang tersulut di dalam kamar seketika padam, keadaan menjadi gelap.
Saking kaget serasa terbang sukma Ji Bun. Lama sekali baru dia berhasil menenteramkan hatinya. Dia tidak tahu apa yang terjadi, lama sekali baru dia pelan-pelan menggeremet maju, dimana jari tangannya meraba. Seketika dia mengeluh, ternyata lorong bawah tanah sudah tertimbun tanah dan buntu, batu-batu besar menyumbat mulut lorong. Dia putar balik memeriksa lorong sebelah dalam, ternyata juga telah tersumbat, ternyata hanya kamar batu dimana dia berada saja yang masih utuh tidak ikut runtuh. Sayang jenazah Suco telah terkubur disebelah dalam.
Sungguh suatu keberuntungan di dalam bencana ini. Kalau dirinya tidak kebetulan balik ke kamar batu ini, mungkin dirinya juga terkubur hidup-hidup di lorong tadi. Tapi dalam keadaan seperti ini, apa pula bedanya kalau dirinya tidak terkubur hidup-hidup di dalam kamar ini" Panjang lorong ini ada beberapa tombak, cukup asal sebagian diledakkan, dewapun takkan bisa meloloskan diri, kamar batu ini dilapisi batu-batu tebal. Entah berapa dalamnya letak kamar batu ini dari permukaan bumi, harapan untuk keluar dari timbunan tanah ini jelas nihil.
Siapakah yang meledakan lorong ini" Tentunya orang-orang Ngo-hong-kau. Adakah sangkut paut dengan menghilangnya Ui Bing"
Atau mungkin Ui Bing sendiri sudah terkubur juga ditempat lain"
-- 16.47. Dua Generasi Terkubur ....... ?"!!
Ji Bun betul-betul merasa putus harapan. Kalau dia tidak bertemu dengan Suco Ngo Siang, sejak tadi tentu dia sudah pergi bersama Ui Bing. Kini dua generasi terkubur sekaligus di dalam liang yang sama.
Dia pernah berulang kali mengalami bencana kematian namun kali ini dia betul-betul putus asa, kejadian gaib tak mungkin terjadi lagi. Manusia, memangnya mungkin dia keluar dengan menerobos bumi. Dengan lunglai dia duduk mendeprok di atas tanah, tiada yang dipikirkan lagi karena dia tahu berkelebihan untuk memikirkan sesuatu dalam keadaan seperti ini. Tanpa merasa jari-jari tangannya meraba juga buntalan di kantongnya, dimana Hoat-wan pemberian Suthayco Ban Yu-siong dia simpan. Dalam hati dia sudah berkeputusan bila dirinya tak tahan menghadapi siksaan hidup ini biarlah menghabisi jiwa sendiri dengan pil racun ini.
Nasib manusia memang sukar diramalkan, siapa pernah menduga dikala kepandaian silatnya sekarang sudah mencapai taraf yang sedemikian tinggi, harapan menuntut balas tinggal soal waktu saja, ternyata dia harus mengalami peristiwa tragis ini. Dari seorang yang sudah putus asa, semua perasaan cinta, benci, suka duka sudah kehilangan arti sama sekali.
Waktu berjalan tanpa mengenal kasihan rasa lapar dan dahaga mulai merangsang dirinya. Apalagi dalam keputus-asaan seperti ini, rasa lapar dan dahaga itu lebih terasa lagi. Tak lama, ia tidak tahan
-- lagi, ia pikir, nyawa sendiri bakal berakhir, lebih menderita juga tidak menjadi soal.
Beberapa kali dia hendak menelan Hoat-wan namun rasa ingin hidup tetap bertahan dalam sanubarinya. Selama hayat masih dikandung badan, betapapun manusia harus tetap bertahan hidup.
Siksa derita lambat laun berubah pati rasa. Ini membuktikan bahwa dirinya sudah cukup lama terkurung di dalam kamar batu ini.
Mendadak timbul sesuatu pikiran, ia lihat kamar batu ini dibawah tanah, lorong sudah buntu, semestinya untuk bernapaspun menjadi persoalan setelah terkurung sekian lama, namun sedikitpun dia tidak merasa sesak dan sumpek. Mungkinkah ada celah-celah atau tempat untuk memasukkan hawa kedalam kamar ini" Bergegas Ji Bun melompat bangun, penemuan inilah seperti selarik sinar harapan baginya untuk cari hidup.
Ia mulai bekerja dengan teliti, setiap tempat, celah-celah atau lekukan dinding dia raba dan diendus dengan hidung. Setiap senti jengkal mulai diperiksanya dengan seksama, namun sedemikian jauh ia tidak menemukan apa-apa, tiada sesuatu tempat yang terasa membawa masuk hawa ke dalam kamar ini. Tapi kenyataan hawa di dalam kamar ini tetap segar, tidak mungkin tiada sebabnya. Maka ia putar otak, ia teringat akan atap kamar. Maka dia melompat ke atas sambil sebelah tangan terulur ke atas, ternyata tangan meraba sebuah celah yang cukup besar. Lekas jari tangannya berpegang pada batu-batu yang menonjol, sehingga dia bergelantung sedikit mengerahkan tenaga dia berusaha menempelkan badannya pada atap batu, jadi seperti cecak saja tubuhnya bergelantung. Kembali
-- hidungnya mengendus-ngendus, lalu menarik napas panjang.
Ternyata hawa segar mengalir di antara celah-celah ini.
Keruan senangnya bukan main, harapan hidup seketika berkobar.
Segera ia melayang turun ke bawah, kalau celah-celah ini ada hawa segar mengalir masuk, tentu kamar batu ini tidak terlalu dalam dari permukaan bumi. Lalu tindakan apa yang harus dia lakukan sekarang" Rasa senang luar biasa membuatnya gemetar, namun juga kebingungan seperti kehilangan akal. Pikir punya pikir, hanya ada satu jalan untuk lolos keluar, yaitu menjebol atap dinding ini, namun dia juga harus mengambil resiko. Kalau atap dinding ini runtuh, berarti dirinya akan terkubur seketika. Daya tarik hidup betapapun !ebih besar dari pada resiko apapun yang harus dihadapinya. Kalau tidak berani menyerempet bahaya bagaimana mungkin dirinya bisa hidup. Lalu dia menggeremet mundur ke pintu besi, pintu besi ini sudah jebol dan miring keterjang batu sehingga merupakan suatu lubang yang cukup besar. Jika atap kamar ini nanti ambruk, ke lubang besar di samping pintu besi inilah dia akan menyelinap dan menyelamatkan diri.
Maka dia berjongkok memasang kuda-kuda, kepalanya mendongak. Setelah napas teratur dan tenaga penuh, mendadak dia berdiri tegak serta memukul, dengan kedua tangan ke atas, "Blang", tak kalah keras dari pada ledakan pertama tadi. Batu pasir dan debu sama rontok berjatuhan, pandangan matanya menjadi terganggu, terasa debu pasir sama berjatuhan menguruk tubuhnya, badannya tertimbun setinggi dada.
Setelah pikiran tenang dan pelan-pelan membuka mata, seketika dia berteriak kegirangan. Tampak sebuah lubang cukup besar di atas
-- atap yang tergempur pukulannya tadi. Sinar sang surya menyorot masuk sehingga pandangannya menjadi silau. Dinilai dari tebalnya lubang besar ini, diperkirakan kamar batu ini terletak dua tombak di bawah permukaan bumi. Sungguh suatu keajaiban yang betul-betul sukar dipercaya. Waktu ia mengawasi sekelilingnya, kecuali guguran tanah yang tebal, tiada barang lainnya lagi. Jika lubang di atas atap yang gugur lebih banyak lagi, pasti dirinya ikut terkubur hidup-hidup.
Namun demikian batu-batu saka yang menyanggah atap toh sudah bergoyang, mungkin tersentuh sedikit saja akan ambruk seluruhnya sungguh ngeri sekali.
Sekali lagi dia terhindar dari malapetaka, pelan-pelan dia meronta naik dari timbunan tanah, sekali melejit lagi dia melesat keluar dari lubang besar di atas atap itu. Waktu pandangannya menjelajah sekelilingnya, didapati dirinya berada di tanah pekuburan yang liar dan sepi, namun tanah pekuburan ini berada tak jauh dari kaki tembok kota. Tak jauh di sebelah sana tampak jalan raya, rumah-rumah penduduk pun tampak dikejauhan sana.
Waktu dia mendongak, sekarang kira-kira sudah menjelang tengah hari, ia pikir sedikitnya dirinya sudah sehari semalam terkurung di bawah tanah. Sekarang tugas penting, yang harus dia bereskan adalah mengisi perut serta ganti pakaian, maklum bajunya sudah hancur tinggal beberapa carik kain yang masih bergelantung dibadannya, kotor lagi. Kalau ketemu orang tentu dirinya dikira mayat hidup yang bangkit dari liang kubur. Untung barang-barang miliknya yang tersimpan di kantong pinggang serta obat-obatan tidak hilang, demikian pula Sam-cay-ciat milik Thian-thay-mo-ki yang dipungutnya di hotel juga masih ada.
-- Untuk mengeduk jenazah Ngo Siang dari urukan tanah yang begini tebal, jelas tidak mungkin lagi, maka dia berlutut dan menyembah kearah lubang, tak lupa iapun berdoa, lalu berdiri dan berlari menuju ke salah sebuah rumah yang berdiri menyendiri dari kelompok rumah yang lain.
Rumah yang didirikan dekat pekuburan ini terdiri tiga petak rumah atap, sekelilingnya dipagari tembok tanah yang sudah berlubang dan banyak yang gugur. Hanya beberapa kali lompatan saja Ji Bun sudah berada di luar tembok, sejenak dia berpikir lalu menghampiri pintu dan berkaok: "Ada orang di dalam?"
Beruntun tiga kali dia berkaok-kaok, tetap tidak ada sahutan. Ji Bun jadi ragu-ragu, mungkin rumah kosong yang tidak dihuni orang"
Tapi asap tampak mengepul dari cerobong dapur, dikaki tembok sana juga tampak tumpukan kayu kering, di atas gala bambu yang melintang di sana juga dijemur pakaian orang, tak mungkin rumah ini kosong, kecuali orangnya sedang keluar semua. Sekilas dia berpikir, lalu memberanikan diri mendorong pintu melangkah masuk, serunya sekali lagi. "He, ada orang tidak?"
Mulut berkaok kaki melangkah masuk, setiba di ambang pintu dia melongok ke dalam, pemandangan ngeri dan seram seketika terpampang dihadapannya, hampir saja dia menjerit kaget. Tampak darah menggenang di situ, diantara genangan darah rebah empat sosok manusia, satu perempuan tiga laki-laki. Darah masib belum membeku, ini pertanda bahwa empat orang ini belum lama terbunuh.
-- Pantas tiada sahutan orang, ternyata penghuninya terbunuh seluruhnya. Siapakah pembunuh keluarga ini" Musuh besarnya atau perampok biasa" Ji Bun tak banyak pikir, tujuannya mencari pakaian untuk ganti, kalau pemiliknya sudah mati, tidak perlu kuatir apa lagi, langsung dia memasuki kamar di sebelah kiri sana. Dari sebuah almari dia menemukan sebuah jubah hijau, ikat kepala. Waktu dijajal ternyata pas dengan perawakan tubuhnya. Dari dalam laci yang lain dia mengeluarkan pula sebuah celana sutera, langsung dia berganti dan berdandan ala kadarnya, lalu masuk dapur cari makanan dan mencuci muka. Baru sekarang dia betul-betul merasa segar dan nyaman.
Sekonyong-konyong sejalur angin kencang terasa menerjangnya dari belakang.
Ji Bun agak kaget, kaki menggeser dan tangan bekerja. "Hah, kau?" kedua orang sama-sama berteriak kaget dan girang. Ji Bun menarik tangannya, Ui Bing juga menurunkan pedangnya, keduanya saling berpandang sekian saat.
"Hiante," kata Ui Bing, "kau ....... tidak mati?"
"Ya, tidak mati, Toako bagaimana ...."
"Bukankah kau terpendam di bawah lorong itu?"
"Benar tapi Thian masih memberi berkah hidup padaku, kembali aku lolos dari renggutan maut."
"Lalu kau ..... bagaimana bisa keluar?"
-- "Menjebol atap kamar batu, itulah letaknya di tanah pekuburan sana."
"O, sungguh terima kasih kepada langit dan bumi, sekian lamanya aku menjadi kuatir dan kebingungan, bagaimana Hiante bisa berada di sini?"
"Mencari baju untuk ganti pakaian."
"Orang tua dalam kamar tahanan itu?"
"Sudah meninggal!"
Ui Bing tidak tanya Lebih lanjut, malah Ji Bun balas bertanya:
"Toako, kenapa kau mendadak menghilang dari bawah lorong itu?"
Ui Bing menghela napas, katanya. "Kau minta aku menyingkir sementara, maka aku keluar menuju kamar batu di sebelah luar.
Tidak lama kemudian kudengar langkah orang mendatangi, segera aku lari keluar. Setiba dipersimpangan jalan, kulihat dua bayangan orang berlari balik menuju ke lorong semula.
Baru saja aku hendak mengejar kesana, mendadak kucium bau bahan peledak yang terbakar, ku tahu gelagat berbahaya, namun tidak berhasil kutemukan di mana letak bahan peledak itu dipendam, terpaksa aku berlari balik. Namun baru beberapa tombak, dinamit itu sudah meledak, lorong yang menuju kekurungan orang tua seluruhnya menjadi buntu. Aku sendiri hampir saja mampus teruruk tanah waktu itu, aku kebingungan, tak tahu apa yang harus
-- kulakukan. Aku juga kuatir kepergok musuh, kau tahu, jago-jago Ngo-hong-kau semua berkepandaian tinggi, aku jelas bukan tandingan mereka."
Ji Bun menuding keempat sosok mayat, tanyanya: "Toako yang membunuh sekeluarga ini?"
"Ya, aku yang membunuhnya."
"Kenapa Toako bunuh mereka?"
"Kau kira siapa mereka" Kaki tangan Ngo-hong-kau! Mulut lorong di bawah tanah itu terletak di bawah meja dalam ruang tamu di bilik sebelah sana. setelah terjadi ledakan di bawah tanah itu, aku lalu lari keluar dan tiba di sini. Cukup payah juga aku membunuh keempat orang ini, untung aku tidak kepergok dengan Kiang Giok dan rombongannya."
Ji Bun manggut-manggut mengerti, tanyanya: "Ke mana rombongan Kiang Giok itu?"
"Entah, dari salah seorang mereka yang kukompes keterangannya, setelah keluar dari sini, katanya mereka lantas berpencar."
"Terpaksa kita harus geledah gedung mereka itu?"
"Begitupun baik, mari kita masuk kota, tetap masuk dari pintu besar gerak-gerik harus lebih cekatan, lubang ini harus kita timbun dulu."
-- Keduanya lalu keluar, dengan pukulan beberapa kali, tiga rumah atap ini mereka pukul sampai ambruk, pagar tanahpun mereka gempur dan kebetulan untuk menyumbat mulut lorong di bawah meja.
"Toako", ujar Ji Bun setelah selesai bekerja, "kukira kau tidak usah pergi, agak berbahaya bagimu."
"Hiante, kenapa kau bilang demikian."
"Toako, terus terang, persoalan ini menyangkut urusan dalam perguruanku, kuharap Toako maklum."
"Kalau urusan menyangkut perguruanmu, aku tak bisa bilang apa-apa, kepandaianmu memang cukup berlebihan untuk mempertahankan diri, namun pengalamanmu masih cetek, ini menguatirkan."
"Terima kasih akan perhatian Toako, Siaute akan bertindak hati-hati."
Urusan perguruan umumnya tidak boleh dicampuri orang lain, hal ini Ui Bing cukup maklum, karena Ji Bun tidak menjelaskan maka Ui Bing juga tidak berani tanya, meski dalam hati ingin tahu, terpaksa dia berkata dengan rikuh: "Baiklah, tapi ingat, setelah urusanmu selesai, datanglah ke hotel itu, kutunggu di sana. Cukup katakan hendak mencari seorang tua, pemilik hotel akan tahu."
-- "Baiklah, oya, Siaute masih ingin tanya, di manakah gurumu sekarang?"
Ui Bing melengak, sahutnya: "Guruku pergi ke suatu tempat yang jauh, dalam waktu dekat sukar kembali, ada apa?"
"Gurumu pernah berjanji untuk bertemu di rumah keluarga Ciang di Kay-hong sebulan kemudian, banyak persoalan rumit yang hendak dijelaskan padaku. Tak nyana karena kebentur suatu urusan aku pergi sampai setengah tahun sehingga tidak dapat menepati janji
.........."
"Guruku pernah menyinggung soal ini, terpaksa kau harus menunggu beliau kembali."
"Baiklah, Siaute mohon diri sekarang."


Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan lupa setelah urusanmu beres, carilah aku."
Ji Bun mengiakan, sekali lompat dia berlari-lari menuju ke tanah pekuburan, sebentar dia berdiri celingukan, tiada bayangan orang lain, langsung dia lari masuk kota menuju gedung cabang Ngo-hong-kau. Pintu besar yang bercat hitam hanya tertutup separo, keadaan di luar tetap sunyi. Tanpa pikir dengan langkah lebar dia beranjak masuk.
"Siapa?" tiba-tiba sebuah bentakan berkumandang seorang laki-laki baju hitam muncul, melihat Ji Bun, tiba-tiba dia menjerit seram seperti melihat setan di siang bolong. Cepat dia putar tubuh lari sipat
-- kuping, tapi sekali berkelebat Ji Bun tangkap kuduk laki-laki itu, katanya dingin: "Di mana pimpinan kalian?"
Saking ketakutan pecah nyali laki-laki itu, mana dia sanggup bicara, kuatir Kiang Giok mendengar suara gaduh dan melarikan diri, Ji Bun tidak banyak tanya lagi, dia tutuk Hiat-to orang. Laki-laki itu menjerit sekali, terus roboh menggeletak tak bernyawa. Ji Bun berlari masuk dan langsung menuju ke ruang pendopo, dilihatnya di dalam banyak bayangan orang tanpa mengeluarkan suara secepat kilat tiba-tiba dia menerjang ke dalam. Agaknya kedatangannya terlalu mendadak, di samping gerak geriknya yang tarlalu cepat, tiada yang melihat jelas wajahnya. Begitu tubuhnya berdiri tegak barulah orang-orang disekelilingnya sama menjerit kaget: "Te-gak Suseng!"
Maksud Ji Bun semula hendak langsung membereskan orang-orang Ngo-hong-kau, tapi sekilas pandang, seketika dia berdiri melongo, karena keadaan dalam ruang besar ini agak ganjil. Puluhan orang berkelompok menyendiri di sebelah sana, tampak Kiang Giok dibekuk oleh dua orang laki kekar, di sampingnya lagi berdiri Thong-sian Hwesio, Siang-thian-ong dan Siucay tua yang menggusur ke atas perahu itu. Kalau demikian laki-laki baju hitam yang dia bunuh di luar tadi ternyata anak buah Wi-to-hwe. Bahwa Siucay tua ini akhirnya masuk kelompok orang-orang Wi-to-hwe, hal ini sungguh di luar dugaan Ji Bun. Seluruh perhatian dan pandangan hadirin dalam ruang pendopo ini tertuju ke arah Ji Bun.
Segera Ji Bun tahu apa yang telah terjadi di sini, agaknya Kiang Giok mengira dirinya sudah mampus tertimbun di lorong bawah tanah, maka dia balik ke gedungnya ini, tak nyana pihak Wi-to-hwe
-- mendadak menggerebek tempat ini sehingga dia tertawan oleh jago-jago Wi-to-hwe yang berkepandaian tinggi.
Siucay tua segera melangkah maju dan berdiri mengadahg pintu, katanya sambil tertawa dingin kepada Ji Bun: "Te-gak Suseng, kau belum mampus?"
"Kalau Cayhe mati, bukankah para cecunguk bakal merajalela?"
"Kebetulan kau kemari, Lohu tidak perlu membuang waktu mencarimu."
"Akupun hendak mencarimu, perlakuanmu setengah tahun yang lalu, memangnya harus kutelan."
"Takabur sekali kau, dengan cara apa kau hendak membalas diriku?"
"Gampang saja, kucabut nyawamu!"
Siucay tua itu mendengus, jengek: "Anak serigala, boleh kau mencobanya."
"Baik, sambut pukulanku!" ditengah seruannya, Tok-jiu-it-sek dilontarkan.
Betapa dahsyat serangan ini, Siucay tua tahu datangnya bahaya, serasa terbang sukmanya, bukan saja dirinya tidak mampu membela diri, kesempatan untuk menyingkirpun tiada. Thong-sian Hwesio menjerit kaget, pandangannya lebih tajam. Dia lihat serangan Ji Bun
-- ini betul-betul lihay, untuk membantu jelas tidak sempat lagi, dalam gugupnya timbul akalnya, sekali tangan bergerak sejalur angin kencang halus dan lunak membikin Siucay tua terdorong sempoyongan dua langkah. Terpaut beberapa senti saja jiwanya hampir direnggut oleh serangan Tok-jiu-it-sek yang hebat.
Selama setengah tahun Ji Bun digembleng dan ditempa sehingga ilmu yang dipelajarinya sudah mencapai taraf tertinggi.
Kepandaiannya dapat digunakan sesuka hati, sebelum tenaga murninya dia salurkan, serangan hebat itu sudah ditariknya kembali.
Namun demikian Siucay tua itu sudah pucat pias mukanya saking jera, tak pernah terpikir olehnya dalam jangka setengah tahun saja Te-gak Suseng sudah mencapai sukses yang demikian besar dan mengejutkan. Siang-thian-ong sendiri juga kaget dan ciut nyalinya.
Sorot mata Thong-sian terang tajam, wajah Ji Bun ditatapnya sekian saat, katanya dengan suaranya berat: "Kelihatannya hari ini Pinceng harus membunuhmu."
Setengah tahun yang lalu dia berkata demikian bukanlah membual. Namun sekarang keadaan sudah jauh berbeda sejak mempelajari ilmu tingkat tinggi dari Ban-tok-bun. Kepandaiannya sekarang boleh dikatakan sudah sukar dicari tandingannya.
"Thong-sian Hwesio hendak membunuh aku," jengek Ji Bun,
"kukira sukar terlaksana."
"Biarlah kenyataan akan membuktikan omonganku."
-- "Thong-sian Hwesio, ada beberapa pertanyaan kuharap kau suka menjawab sejujurnya."
"Coba katakan."
"Jit-sing-pocu Ji ing-hong, apa benar kau yang membunuhnya?"
"Apa" Darimana kau ........"
"Dua orang berkedok yang mati dipinggir jalan Kay-hong itu."
"Apakah itu Ji Ing-hong?"
"Ya, seorang yang lain adalah Jit-sing-ko-jin. Kau mengaku?"
"Omong kosong belaka. Jit-sing-ko-jin adalah duplikat ayahmu sendiri."
Ji Bun menyurut kaget, serunya gemetar: "Thong-sian, kaulah yang membual."
"Ayahmu menyamar jadi Jit-sing-ko-jin, sekongkol dengan Biau-jiu Siansing dan merebut Sek-hud, belakangan dia menyamar jadi murid Ngo-lui-kiong dan membuat huru hara ke Tong-pek-san, semua ini kenyataan."
"Lalu siapa yang terbunuh di jalanan menuju Kay-hong itu?"
"Kau sendiri tentu tahu lebih jelas."
-- "Aku tidak tahu."
"Sulit dipercaya."
Ji Bun merasa bingung, apa yang diucapkan Thong-sian agaknya memang benar namun kalau betul Jit-sing-ko-jin duplikat ayahnya, kenapa dia berusaha membunuh dirinya" Adakah seorang ayah tega membunuh puteranya sendiri" Tidak mungkin. Tanpa sadar Ji Bun menggembor sekeras-kerasnya: "Tidak mungkin!"
"Thong-sian," setelah tenangkan diri Ji Bun berkata pula,
"katakan saja, apakah kau yang membunuh kedua orang berkedok itu?"
"Bukan."
"Lalu berdasarkan apa kau berani mengatakan Jit-sing-ko-jin adalah duplikat ayahku?"
"Semua kenyataan hanya bisa mengelabuhi orang sementara, Pinceng kenal betul perawakan, sepak terjang dan kepandaian silatnya."
"Kau .... jadi kau hanya berdasar beberapa dugaanmu ini?"
"Kedua orang yang mati itu terkena racun, sedang ayahmu seorang ahli dalam bidang ini."
"Ayahku bukan seorang ahli racun."
-- "Lalu bagaimana pendapatmu?"
"Ayahku bukan Jit-sing-ko-jin, tapi kenyataan bahwa kedua orang tuaku dicelakakan."
Terbayang sorot bimbang pada pandangan Thong-sian, dia cukup berpengalaman, dari nada bicara dan mimik Ji Bun, dia yakin Ji Bun tidak membual, kalau betul apa yang dikatakan Ji Bun bahwa Ji Ing-hong belum mati, tidak mungkin Ji Bun mengawasinya dengan pandangan begitu benci dan dendam terhadap dirinya. "Ji Bun,"
katanya kemudian, "Katakan kenapa Jit-sing-ko-jin bukan ayahmu?"
"Karena Jit-sing-ko-jin pernah mencelakai aku."
Semakin tebal bayangan ragu dan bimbang pada pandangan Thong sian.
Dengan suara lantang Ji Bun melanjutkan: "Siangkoan Hongkah yang membantai orang-orang Jit-sing-po?"
"Bukan," jawab Thong sian.
Otak Ji Bun seperti dibalut kabut tebal, beruntun dirinya mencari balas kepada Wi-to-hwe, tapi kenyataan semuanya meleset dari dugaan dan analisa yang pernah dirangkainya, betapa rumit dan lika liku persoalan ini" "Katamu, kau punya kesan mendalam terhadap ayahku" Coba jelaskan."
"Betul, memang kau harus tahu, tentunya kau masih kenal cerita yang pernah dikisahkan Siangkoan Hong kepadamu bukan?"
-- Teringat akan cerita itu, bukan kepalang derita hati Ji Bun karena kesalahan memang terletak pada ayahnya. Bukan saja rebut isteri orang, anaknya dibunuh pula, akhirnya daging isteri orang dimasak buat hidangan menyuguhi suaminya pula. Perbuatan diluar perikemanusiaan ini seakan-akan bukan dilakukan oleh manusia sehat. Namun sebagai seorang anak, betapapun jahat dan salah ayahnya, tidak mungkin dia mencercahnya, apalagi kini ayahnya sudah mati, maka dengan mengertak gigi dia manggut-manggut, sahutnya: "Masih ingat, kenapa?"
"Dulu Siangkoan Hong terpaksa merusak wajahnya sendiri menyelundup ke Jit-sing-po dan diangkat sebagai salah seorang Jit-sing-pat-ciang. Tujuannya adalah untuk bertemu dengan isterinya yang direbut dan anak yang dikandung isterinya. Celakalah karena rahasianya terbongkar, jejaknya konangan ayahmu, maka isterinya dibunuh ........"
"Tidak usah kau lanjutkan," tukas Ji Bun dengan suara serak.
16.48. Silat Tinggi .... Cetek Pengalaman
Thong-sian Hwesio tertegun sebentar, lalu melanjutkan. "Ayahmu mengutus tertua dari Jit-sing pat-ciang mengantar Siangkoan Hong keluar benteng, yang terang ayahmu memerintahkan Ciu Tay-lian untuk memenggal kepalanya. Namun Ciu Tay-lian sendiri sadar akan semua perbuatan ayahmu yang kelewat jahat, malah dia bersimpatik terhadap Siangkoan Hong, akhirnya mereka minggat bersama .......
(baca pembukaan cerita ini)."
-- "Siapa bisa membuktikan bahwa ceritamu ini berdasar kenyataan?" tanya Ji Bun.
"Pinceng sendiri. Karena pinceng menyaksikan semua peristiwa ini."
"Thong sian, kejadian ini mungkinkah disaksikan orang luar?"
"Kau tahu nama asli Pinceng?"
"Siapa kau?"
"Pinceng adalah tertua dari Jit-sing-pat-ciang yang dahulu she Ciu bernama Tay-lian."
"Kau ......" kepala Ji Bun seperti dipukul godam, badannya limbung dan sempoyongan. Mimpipun tak pernah dia bayangkan bahwa Thong-sian Hwesio yang memiliki Lwekang dan kepandaian silat setinggi ini, dulu adalah tertua dari Pat-ciang yang menjadi andalan ayahnya.
"Ji Bun," tiba-tiba Thong-sian berseru lantang, "sudah tiada yang perlu diomongkan lagi, sekarang Pinceng mau turun tangan."
Ji Bun menyurut mundur, katanya: "Thong-sian, lebih baik kau tidak turun tangan, kau bukan tandinganku."
''Mungkin, tapi sebagai seorang insan persilatan, demi membela kebenaran, meski gugur juga terasa bangga."
-- "Aku tidak ingin membunuhmu."
"Tapi Pinceng justeru akan membinasakan kau demi ketenteraman Bu-lim umumnya."
Ji Bun mundur lagi sampai keluar undakan, katanya: "Boleh kau mencobanya?"
Thong-sian juga melangkah keluar, kedua orang berhadapan di serambi luar yang luas. Suasana seketika menjadi tegang dan mencekam.
"Silakan turun tangan!" tantang Ji Bun.
"Ji Bun, mestinja Pinceng tidak boleh menyerangmu, namun kenyataan memaksa ....."
"Tidak perlu kau pura-pura welas asih."
"Lihat pukulan!" tiba-tiba Thong-sian menghardik, berbareng lengan jubahnya mengebas. Segulung angin kencang seketika menungkup ke arah Ji Bun.
Ji Bun mengertak gigi, iapun ayun kedua tangan menyambut serangan. "Plok", seperti suara baja yang pecah berkeping-keping kedua orang tergentak mundur. Bayangan kedua orang hanya berpencar sekejap terus saling tubruk dan serang menyerang dengan seru. Ketika Ji Bun mengerahkan sepenuh tenaganya, ditengah suara yang memekak telinga, Ji Bun tergeliat sedikit,
-- sebaliknya Thong-sian Hwesio mundur dua tindak. Semua hadirin sama terbelalak pucat.
Thong-sian menggerung rendah, bayangan tangannya bergulung-gulung dan berlapis-lapis dari pukulan jarak jauh, kini dia menyerang sesungguhnya dengan kekuatan kepalannya. Ji Bun juga berseru melengking. Jurus Tok-jiu-it-sek tahu-tahu menembus bayangan telapak tangan orang yang berlapis-lapis dan langsung menjojoh ulu hati orang.
Di tengah jeritan kaget orang ramai, tahu-tahu Thong-sian menyurut lima langkah, wajahnya tampak jera dan ngeri. Sebelum dia sempat bertindak lebih lanjut, Ji Bun sudah berkelebat maju pula, kini dia lancarkan Tok-jiu-ji-sek yang bernama To-liong-jan-kiau.
Jeritan orang banyak kembali membuat suasana tegang semakin mencekam, hawa seolah-olah membeku dalam waktu sesingkat itu, setelah lenyap suara jeritan, keadaan menjadi sunyi senyap. Telapak tangan Ji Bun berhenti mendadak kira-kira tiga senti di atas, Hian-ki-hiat di tubuh Thong-sian. Telapak tangan malah sudah menempel ubun-ubun kepala Thong-sian yang gundul. Jelas ketika jiwa Thong-sian hampir terenggut oleh serangan Ji Bun itu mendadak dia menghentikan serangan. Semua hadirin sama melihat jelas, kalau gerakan tangannya tidak direm tepat pada waktunya, jiwa Thong-sian pasti sudah melayang.
Terbayang perasaan ngeri dan seram pada wajah Thong-sian yang jiwanya telah berada ditepi jurang kematian, selebar mukanya pucat pasi. "Bunuhlah, Pinceng menyerahkan jiwa ragaku."
-- Ji Bun menar?k tangan, katanya dingin: "Aku pernah utang budi sekali padamu, sekarang utangku sudah kubayar, selanjutnya kita tiada utang piutang lagi."
Thong-sian menghela napas dengan lesu, dia tidak bicara lagi.
Ji Bun mundur dua langkah, sorot matanya tertuju ke ruangan menatap Kiang Giok tanpa berkesip. Kiang Giok tertunduk, dia tahu, peduli Te-gak Suseng atau Wi-to-hwe, jiwanya bakal tak tertahankan lagi.
Ji Bun tiba-tiba berpaling ke arah Thong-sian, katanya: "Serahkan dia padaku."
"Kukira tidak mungkin."
"Apa yang telah kukatakan tidak boleh ditentang."
"Te-gak Suseng," semprot Siang-thian-ong, "terlalu takabur kau!"
Tanpa melirik sedikltpun, Ji Bun menjengek: "Bukan urusanmu, jangan cerewet."
"Anak srigala," desis Siaucay tua penuh kebencian, "kau ingin membawanya pergi, bunuh dulu semua hadirin di sini "
"Kalau perlu bisa saja kulakukan."
-- "Ji Bun," lekas Thong-sian bersuara, "apa tujuanmu membawa pergi?"
"Pertama, menyelidiki di mana letak markas pusat Ngo-hong-kau.
Kedua ada urusan pribadi yang harus kubereskan."
"Tujuan pertama sejalan dengan maksud kedatangan kami, untuk ini ingin mengadakan perjanjian secara laki-laki .........."
"Perjanjian apa?" tanya Ji Bun.
"Bahan-bahan yang kau dapat dari mulutnya mengenai Ngo-hong-kau, pihak kami harus diberitahu juga," agaknya Thong-sian bersedia mengalah.
Kini semakin jelas bahwa pihak Wi-to-hwe sebetulnya tiada permusuhan yang mendalam dengan dirinya, kini setelah kesannya jauh berubah, sudah tentu dia tidak ingin mengikat permusuhan lagi, maka dia manggut-manggut: "Soal ini dapat kuterima."
"Baik, boleh kau membawanya pergi, yang lain-lain akan membereskan mereka."
Tujuan Ji Bun hanya Kiang Giok seorang, karena dia adalah murid murtad perguruannya, dirinya harus menjalankan perintah dan aturan mencuci nama baik perguruan, tentang orang-orang Ngo-hong-kau yang lain tidak perlu diurus.
Siucay tua dan Siang-thian-ong meski tidak terima, namun tiada seorangpun hadirin yang menjadi tandingan Ji Bun. Kalau main
-- kekerasan, akibatnya tentu fatal. Thong-sian sebagai pimpinan dalam operasi ini sudah memberikan persetujuan kepada Ji Bun, sudah tentu mereka tidak enak menentangnya, meski hati uring-uringan dan mata mendelik, namun tidak berani banyak omong lagi.
Otak Ji Bun bekerja, ke mana dia harus membawa Kiang Giok" Ia pikir lebih tepat dibereskan di tempat ini juga, maka ia berkata:
"Thong-sian, Kiang Giok ditinggalkan saja, yang lain terserah kalian hendak menghukumnya, silakan mundur dari ruangan ini."
Thong-sian berpikir sebentar, lalu mengulap tangan memberi perintah: "Semua mundur, orang-orang ini gusur keluar!"
Murid-murid Wi-to-hwe bergegas keluar semua.
"Te-gak Suseng," ancam Siucay tua sebelum pergi, "urusanmu denganku belum selesai bukan?"
"Setiap saat aku menunggu kau," tantang Ji Bun.
Setelah semua orang pergi, kini tinggai Kiang Giok bersama Ji Bun, dengan pandangan ngeri ketakutan dia mengawasi Ji Bun.
Ji Bun memasuki ruangan, sorot matanya setajam pisau seterang nyala bara, katanya menatap Kiang Giok: "Kiang Giok, marilah kita bicara beberapa persoalan dulu baru membereskan urusan pokok, kuharap kau bicara terus terang dan blak-blakan, jangan kau paksa kugunakan siksaan untuk mengompes keteranganmu."
-- Kiang Giok jelas tertutuk Hiat-tonya, tak nampak gejala-gejala ingin melawan, wibawanya yang angker sudah sirna tak membekas, jauh berbeda dengan sikapnya semula waktu mereka berhadapan pertama kali.
Hening sekian lamanya, baru Ji Bun baka suara: "Siapa yang membunuh Sam-cay Lolo di dalam hotel itu?"
"Kaucu sendiri yang turun tangan."
"Lalu di mana gadis itu?"
"Sudah di bawah ke markas pusat."
"Di mana letak markas pusat kalian?"
"Aku tidak tahu."
"Kau ingin merasakan siksaanku?"
"Penggal kepalaku juga tetap kubilang tidak tahu."
"Baik, soal ini kesampingkan dulu. Siapakah Kaucu kalian?"
"Entahlah."
Ji Bun naik pitam, hardiknya murka: "Sekali lagi kau jawab tidak tahu, Awas!"
-- "Te-gak Suseng," kata Kiang Giok mengertak gigi: "Tak beruntung aku jatuh ke tanganmu, mau kau bunuh dan sembelih boleh, silakan. Ketahuilah, kau sendiri tidak akan berumur panjang, akan datang orang-orang kita mencari balas padamu."
"Kaucumu maksudmu?"
"Kau belum setimpal dihadapan beliau."
Hampir meledak dada Ji Bun, sekali ulur dia hendak tutuk orang, namun pikirannya tiba-tiba tergerak, dia hentikan gerakannya, Kiang Giok adalah murid generasi perguruan yang lebih tinggi dari dirinya, dia harus bertindak menurut undang-undang perguruan, kalau sampai menggunakan siksaan, itu sudah keluar dari batas-batas ketentuan, lawan belum tahu asal usul dirinya, kalau hubungan kedua pihak dia beber, tentu orang tidak bisa mungkir dari segala tanggung jawab lagi. Maka dengan wajah kereng katanya tajam:
"Kiang Giok, sebutkan nama perguruanmu."
Kiang Giok diam saja, tidak perdulikan pertanyaannya.
"Dengan cara keji kau mengurung orang tua di bawah tanah itu, tahukah kau telah melanggar tata tertib?"
"Tata tertib apa?"
"Mendurhakai moyang menyalahi guru, mati hukumannya."
"Durhaka terhadap moyang dan berbuat salah terhadap guru?"
Kiang Giok menegas.
-- "Memangnya kau masih mau mungkir?"
Sekonyong-konyong sebuah suara yang seram mendirikan bulu kuduk berkumandang dari arah pintu: "Anak muda, memangnya kau telan empedu biruang dan makan hati harimau, berani kau mencari setori pada Ngo-hong-kau?"
Waktu Ji Bun berpaling, seketika dia merinding, tampak di depan pintu berdiri mahluk yang lebih menyerupai setan daripada manusia, rambutnya merah panjang menjuntai kepundak, codet besar melintang di mukanya dari arah jidat kirinya mencoreng ke mulut kanan. Mata kiri dan separo hidungnya lenyap tinggal lobang-lobang besar yang mengerikan, kulitnya hitam legam, badannya kurus seperti bambu, tak ubahnya seperti mayat hidup. Mata kanannya memancarkan sinar hijau yang menyedot sukma orang, pakaiannya serba hitam, bunkan saja longgar juga kedodoran, mirip sekali dengan orang-orangan rumput yang tergantung di tengah sawah.
Ji Bun tenangkan diri, katanya: "Tuan ini siapa."
"Akulah Hu-kaucu (wakil ketua) Ngo-hong-kau, Jit-sat-sin Jiu Jing."
"Kemari mengantar jiwa?"
"He he he, anak muda, Lohu akan membeset kulitmu hidup-hidup."
"Dengan tampangmu yang seram ini?"
-- "Anak muda, menggelinding keluar sini!"
Ji Bun tutuk Kiang Giok lebih dulu, katanya: "Kiang Giok, aku mendapat perintah dari Suco agar mengadakan pembersihan, kau tunggu di sini saja."
Pelan-pelan dia beranjak keluar. Berkedip mata satu Jit-sat-sin Jiu Jing bergema suaranya yang pecah gemeratak: "Anak muda, kau hendak mencuci nama baik perguruan mana?"
Ji Bun berhenti dihadapan orang, sahutnya dingin: "Peduli apa dengan kau."
"Anak muda," tanya Jit-sat-sin Jiu Jing, "kau seperguruan dengan Kiang Giok" Tapi menurut apa yang kutahu, Kiang Giok tidak punya saudara seperguruan, kau anak muda ........."
"Tutup mulutmu, aku tiada tempo mengobrol dengan kau, jawab sepatah kata pertanyaanku, siapa Kaucu kalian?"
"Kau belum setimpal menanyakan beliau."
"Bagus sekali, kali terakhir inilah kau bisa membuka mulut,"
dengan mengerahkan segenap tenaganya, kedua tangan segera membelah ke depan. Ji Bun sudah bertekad di dalam tiga gebrakan jiwa lawan harus ditamatkan untuk selanjutnya mengompes Kiang Giok. Betapa hebat kepandaian silat Ji Bun sekarang, serangannya sungguh bukan olah-olah lihaynya.
-- Jit-sat-sin Jiu Jing melengking aneh, seperti gasingan tiba-tiba tubuhnya berkisar ditempatnya, meski damparan angin pukulan sekeras gugur gunung, dia tetap mendesak maju. Sepuluh jari tangannya yang kurus bagai cakar mengincar ulu hati dan muka Ji Bun. Gerakan ini sungguh merupakan suatu ilmu mujijat yang jarang ada di dunia persilatan sehingga lawan yang diserang seakan-akan takkan mungkin membela diri atau meyingkir apalagi balas menyerang.
Ji Bun terkejut, sigap sekali kakinya melangkah minggir tiga kaki selicin belut. Tapi gerakan jit-sat-sin seperti bayangan saja terus mengikuti, serangannya tetap membadai. Tapi hanya memperoleh kesempatan sedetik menyingkir tadi, Ji Bun sudah dapat kesempatan untuk balas menyerang. Tok-jiu-it-sek laksana kilat menggaris ke arah musuh, dengan menyerang dia hadapi serangan lawan pula.
Kini ganti Jit-sat-sin yang berteriak kaget sambil melejit mundur beberapa kaki, serangan ajaib dan kelihatannya mustahil ini sungguh membuat jantungnya bergetar kaget. Ji Bun tidak beri kesempatan lawan ganti napas dan menempatkan diri pada posisi yang menguntungkan, Tok-jiu-ji-sek segera dilontarkan pula secara berantai.
"Ngek!" terdengar Jit-sat-sin Jiu Jing mengeluh tertahan, suaranya tenggelam dalam tenggorokan seperti anjing keselak tulang dikerongkongannya. Badannya limbung sempoyongan beberapa tindak, dia mundur sampai di bawah serambi, rambut kepalanya yang gondrong merah seakan-akan berdiri, wajahnya yang buruk seram begitu beringas buas, terutama codet yang menakutkan itu bertambah mengerikan kelihatannya, hanya sekali
-- melejit ia melambung tinggi ke wuwungan rumah terus berkelebat lenyap entah kemana.
Ji Bun juga terperanjat, sungguh tak nyana, lawan hanya terluka sedikit dan tidak roboh meski terkena serangan Tok-jiu-ji-sek, ini membuktikan bahwa Lwekang dan taraf kepandaian Jit-sat-sin betul-betul amat mengejutkan, naga-naganya masih lebih unggul dibandingkan Thong-sian Hwesio atau Kian Ceng-san yang dibunuhnya itu, tiada minatnya untuk mengejar. Pikirannya tertuju kepada Kiang Giok sebagai murid murtad perguruannya. Cepat ia lari masuk ke ruangan, namun seketika dia melongo, ternyata Kiang Giok sudah tidak kelihatan bayangannya.
Hiat-to Kiang Giok tertutuk, kalau tiada orang lain menolongnya tak mungkin dia bisa menjebol tutukan dan melarikan diri. Ini membuktikan bahwa pihak lawan masih menyembunyikan jago-jago yang cukup diandalkan di dalam gedung ini. Saking gusar dan gemas, serasa hampir meledak dada Ji Bun. Jenazah Suco Ngo Siang belum lagi dikebumikan dengan semestinya, petuahnya bagai masih mengiang di tepi telinga, setimpalkah dia membiarkan murid durhaka itu bebas berbuat jahat lagi di luaran.
Sekali pukul dia bikin remuk pintu angin, tetap tidak kelihatan bayangan orang, setiap pintu kamar digempurnya runtuh, dari sekian banyak pintu-pintu kamar tiada satupun yang utuh, namun bayangan orang tetap tidak nampak.
Memuncak rasa gusarnya, namun tiada sasaran untuk melampiaskan murkanya. Bahwa Kiang Giok berhasil lolos, itu berarti segala upaya bakal sia-sia belaka. Nama baik perguruan tetap tak
-- berhasil dia cuci bersih, nasib Thian-thay-mo-ki dan ibundanya tetap merupakan tanda tanya besar. Ngo-hong-kau tidak menggunakan kode-kode rahasia khusus, kecuali mereka mencari setori pada dirinya, kalau tidak sulit menemukan jejak mereka. Ji Bun jadi serba susah, maju mundur serba salah.
Kalau Ui Bing ada di sampingnya, tentu urusan tidak sampai runyam seperti ini, namun mengingat urusan perguruan sendiri betapapun pantang diketahui orang luar, maka dia berkeras tidak mengikut sertakan Ui Bing dalam melaksanakan tujuannya kali ini.
Sekarang baru betul-betul dia menyadari kesempitan pikiran dan ceteknya pengalaman, kalau tidak, urusan tidak akan gagal serunyam ini.
Sekian lamanya nuraninya diamuk emosi, lambat laun tenang juga pikirannya, diam-diam ia menerawang sikap dan tindakan apa yang harus segera dilaksanakannya.
Pertama, dia merasa penting untuk mengetahui letak markas pusat Ngo-hong-kau baru urusan lain bisa diselami satu persatu secara berantai, namun usahanya ini terang teramat sulit, dia hanya pasrah kepada nasib dan keberuntungan belaka. Maka dengan lesu lunglai dia meninggalkan gedung ini, tanpa disadari dia telah keluar dari kota Bik-su.
Di jalanan dia keluntungan tanpa arah menentu, pikirannya selalu dikocok oleh usaha membalas dendam dan menumpas kejahatan.
Tiba-tiba pikirannya tergerak. Menurut Ui Bing, Sin-eng-pang sudah dicaplok oleh Ngo-hong-kau, kini sudah dijadikan cabang kedua dari Ngo-hong-kau. Kalau sekarang dia menuju ke markas Sin-eng-pang
-- dulu, bukan mustahil disana bakal menemukan sesuatu yang diharapkan. Maka dia percepat langkah menuju ke tempat Sian-eng-pang.
Hari ketiga, tidak lama setelah fajar menyingsing, Ji Bun tiba di Ciam-liong-kok, di mana markas Sin-eng-pang dulu didirikan. Ciam-liong-kok (lembah naga sembunyi) adalah sebuah selat yang diapit gunung gemunung, kalau tidak apal jalannya sulit menemukan lembah ini.
Ji Bun berhenti di mulut lembah, sekian saat dia celingukan memeriksa sekelilingnya, tidak nampak ada sesuatu gerakan yang mencurigakan, diam-diam hatinya menggerutu. Agaknya Ngo-hong-kau memang sebuah perkumpulan serba misterius, yang anggotanya bergerak seperti setan gentayangan. Sejenak dia berpikir, lalu dia melangkah masuk ke dalam lembah.
Jalanan tidak lebar, sebuah jalanan lika-liku yang berputar kian kemari di antara tumpukan batu-batu aneh, Ji Bun menyusuri jalan-jalan lika-liku ini terus maju kedepan. Kira-kira seratus tombak kemudian, tiba-tiba telinganya mendengar suara gemeretak yang cukup keras dan mencurigakan. Waktu dia menoleh, dilihatnya asap tebal bergulung-gulung membubung tinggi ke angkasa, ternyata mulut lembah dari mana tadi dia masuk telah ditutup dan disumbat dengan kobaran api yang teramat besar.
Ji Bun maklum bahwa pihak lawan telah siaga, kedatangannya sudah direka oleh lawan, maka mereka memasang perangkap untuk menjebak dirinya, namun sikapnya tak acuh, langkahnya tetap maju ke depan.
-- Tiba-tiba asap tebal tampak berkobar pula disebelah depan, lekas sekali "jago merah" sudah menyala besar sekali sehingga depan dan belakang tersumbat atau terkurung oleh kobaran api yang mengganas. Dedaunan dan rumput-rumput kering dalam lembah memang banyak, maka cepat sekali api merambat seperti mengejar mangsa. Apalagi pihak lawan agaknya memang sudah sengaja mengatur sehingga dalam sekejap api sudah menjalar kian kemari.
Suhu panas dalam lembah seketika juga naik, lembah ini diapit tebing gunung yang tinggi dan curam. Terkepung ditengah kobaran api seperti ini, agaknya nasibnya bakal terbakar hangus.
Keadaan cukup gawat, Ji Bun harus berusaha menyelamatkan diri. kalau orang lain mungkin tak bisa berbuat apa-apa kecuali menanti ajal saja. Tapi Ji Bun sudah siaga, walau menghadapi mara bahaya sedikitpun tidak menjadi gugup, pikiran tetap tenang dan jernih. Giok-bin-hiap Cu Kong-tam, siorang tua aneh didasar jurang dulu pernah mengajarkan Ginkang pusaran lesus sehingga tubuhnya bisa melayang mumbul ke atas. Jurang ratusan tombak di belakang Pek-ciok-hong dulupun bisa dicapai dengan mudah, apalagi tebing gunung di depannya ini, walau amat berbahaya, namun dia yakin, tingginya takkan melebihi jurang di belakang Pek-ciok-hong dulu.
Untuk meloloskan diri jelas bukan soal baginya, apalagi sekarang dia sudah ketambahan ilmu dari Ban-tok-bun.
Setelah melihat keadaan memang tak boleh tertunda lama lagi, segera ia menarik napas mengerahkan hawa murni, tenaga dikerahkan, kedua kaki lalu menjejak sekuatnya, seketika tubuhnya meluncur ke atas terus mengambang, dan berputar terus naik ke
-- udara semakin tinggi, hanya sekejap saja, tempat dimana tadi dia berada sudah termakan jago merah menjadi lautan api.
Ji Bun menarik napas sekali lagi untuk menambah kekuatan sehingga tubuhnya seenteng bulu. Cukup tujuh kisaran lagi, dia sudah berhasil tancap kaki di puncak gunung. Waktu dia melongok ke bawah, lembah sesempit itu sudah merupakan lautan api yang mengganas, asap tebal bergulung-gulung menjulang tinggi ke langit.
Diam-diam Ji Bun merinding seram dan bersyukur bahwa jiwanya tidak sampai melayang.
Namun perasaan syukur ini lekas sekali dirangsang oleh dendam dan kebencian yang memuncak nafsunya berkobar tak kalah dahsyatnya dari kobaran api di dasar lembah itu. Sekilas dia menerawang sekelilingnya, lalu berlari-lari mengikuti pinggiran jurang ke arah utara, lautan api kira-kira sepanjang satu li lebih.
Lekas sekali lembah yang dimakan api sudah dia tinggalkan di belakang. Dari atas memandang ke bawah, karena adanya cahaya kobaran api dari lembah sebelah depan sana sehingga keadaan lembah di sebelah dalam remang-remang kelihatan. Bayangan manusia tampak bergerak-gerak, rumah-rumah tampak mengepulkan asap dari dapur. Jelas di sinilah letak markas pusat Sin-eng-pang dulu.
Bentuk Ciam-liong-kok ini depan sempit dalam lebar seperti botol yang panjang lehernya. Sebentar dia mengukur keadaan di sini serta letak dirinya, kembali dia empos semangat dan hawa murninya. Lalu seperti seorang atlit loncat indah dia terjun dengan kepala di bawah dan kaki ke atas, seperti elang menukik menerkam mangsa. walau tubuhnya dapat menahan sebagian daya luncurannya, namun
-- tubuhnya tetap anjlok ke bawah dengan cepat. Kecuali Ji Bun, siapa berani menempuh bahaya dengan badan hancur lebur kalau terjatuh ke bawah, asal sedikit lena dan meleset mengatur napas, bukan saja jiwa melayang, badanpun pasti hancur luluh.
Untunglah dia selamat mencapai bumi, di mana dia tancap kaki dekat kaki gunung, seluruh perhatian orang dalam lembah tertuju ke arah kobaran api di sebelah depan sana. Tiada yang menduga bahwa musuh yang hendak mereka bakar mati justeru telah melayang turun dari langit, jiwa mereka sendiri bakal menjadi bulan-bulanan musuh malah.
Ji Bun menyembunyikan diri di balik batu besar, matanya yang tajam dengan seksama menyapu ke arah rombongan orang banyak sejauh puluhan tombak sana. Tampak orang-orang itu sudah tidak mengenakan seragam Sin-eng-pang, kini mereka berganti seragam hitam. Ini membuktikan bahwa mereka betul-betul sudah dicaplok dan dijadikan anak buah Ngo-hong-kau. Dengan teliti dia menjelajah, namun tak kelihatan ada bayangan Sin-eng-pangcu Ko Giok-hwa.
Kobaran api di depan lembah sudah mulai mereda, sinar sang surya yang baru menyingsing menggantikan kobaran api yang tadi menyala terang. Lembah yang tadi gelap, pelan-pelan mulai remang-remang dan lekas sekali menjadi terang benderang. Bagai dedemit yang menunggu mangsa, Ji Bun tetap sembunyi di belakang batu.
Dia harus mencari sasaran yang tepat baru akan unjuk diri, kalau mengusik rumput mengejutkan ular, urusan tentu akan berantakan.
-- Api sudah padam, tinggal asap masih mengepul. Seorang tua baju putih tampak berlari mendatangi, rombongan baju hitam segara berpencar memberi jalan, sebentar celingukan melihat keadaan rombongan besar ini. Si orang tua segera berseru memberi perintah:
"Bersihkan dan sapu lembah di depan, temukan abu tulang belulangnya!"
Sekonyong-konyong sebuah suara dingin berkumandang:
"Jangan repot-repot, aku ada di sini."
Serempak rombongan orang banyak itu menjerit kaget, tanpa sadar mereka sama berlari mundur, laki-laki tua baju putih menjadi pucat mukanya, kakinya seperti terpaku di tanah, mata terbelalak, mulut melongo lebar, suaranya tergagap: "Kau ...... kau ......"
"Aku inilah Te-gak Suseng adanya!"
"Kau .... kau tidak .... tidak terbakar mampus?"
"Kalau gampang dibakar mati, bukankah sia-sia saja aku punya julukan Te-gak Suseng?"
"Kau ...... apa maksud kedatanganmu?"
"Pertama, kau harus sebutkan dulu siapa gelaranmu?"
Baru sekarang laki-laki tua ini menyurut mundur, sahutnya dengan suara galak: "Lohu ketua hukum dari anak cabang di sini, Ang Jit."
-- "Aku hendak bertemu dengan ketua cabang kalian"
"Kau ingin bertemu dengan aku?" sebuah suara serak kasar berkumandang dari arah samping sana. Waktu Ji Bun menoleh, tiga tombak di sebelah sana berdiri seorang muda sebaya dirinya, berpakaian sutera dan menyoreng pedang, wajahnya diliputi nafsu sadis, namun kelihatan juga rasa kaget dan jerinya.
Dandanan pemuda ini mirip sekali dengan para duta Ngo-hong-kau yang pernah dihajarnya pontang panting dulu itu. Dia mengaku sebagai ketua cabang di sini, lalu di mana Ko Glok-wa" Dibunuh atau
..... tapi tujuannya bukan ini. Ji Bun segan berpikir panjang, sekilas dia memandangnya, lalu bertanya: "Kau ketua cabang di sini?"
"Memang jabatanku bisa dipalsukan?"
"Sebutkan namamu?"
"Kho Tay-seng!"
"Dimana Ko Giok-wa?"
"Kau bermusuhan dengan dia?"
"Hanya kutanyakan sambil lalu saja."
"Orang she Ko itu bernasib jelek dan pendek umur, kini sudah mangkat."
-- "Membunuh orang dan merebut kedudukannya, memangnya perbuatan kalian orang-orang Ngo-hong-kau serba kotor dan hina dina, kejam dan keji."
"Karena itu kau kemari?" tanya Kho Tay-seng menyurut mundur.
"Memangnya kau kira aku ini suka iseng dan ingin mencampuri urusan ini?"
"Lalu untuk apa kau kemari?"
"Aku ingin menemui Kaucu kalian."
"Kau ingin bertemu dengan Kaucu" Kau belum setimpal."


Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kho Tay-seng," desis Ji Bun dingin, "berani sekali lagi kau berkata demikian .........."
Pemuda baju sutera terpengaruh oleh ancaman dan tatapan mata Ji Bun yang menyala berwibawa, kembali dia menggeremet mundur, katanya: "Lalu kenapa?"
"Ciam-liong-kok akan kucuci dengan darah kalian, ayam anjing seekorpun takkan hidup."
"Kau mampu berbuat demikian?"
"Kenyataan akan menjawabnya nanti."
-- Pemuda baju sutera mundur semakin jauh, "sret", dia melolos pedang. Sekali gerak dan bergetar, ujung pedangnya seperti mekar dan berbintik-bintik cahaya. Terang bahwa latihan ilmu pedangnya sudah cukup sempurna, serentak anak buahnya berkaok-kaok sambil melolos senjata dan memasang panah di busur, siap untuk bertempur.
Rasa murka yang menggelora di dada Ji Bun sungguh tak terkendali lagi, maklumlah, kalau tidak mengandalkan sinkang tingkat tinggi yang mujijat itu, sejak tadi dirinya sudah terkubur menjadi abu di lembah sana. Walau dalam tata tertib perguruannya dilarang setiap muridnya melakukan pembunuhan, namun di samping persoalan pribadi yang penuh dendam, perbuatan orang-orang Ngo-hong-kau ini memang terlalu kejam. Mereka merupakan anasir-anasir jahat yang kelewat batas bagi insan persilatan umumnya, maka setimpal kalau dihukum mati. Karena keyakinan inilah, pelan-pelan dia menghimpun kekuatan pada kedua lengannya. Sorot matanyapun menyala semakin benderang, siapa saja yang menghadapinya pasti bergidik ketakutan.
17.49. Pembantaian Di Lembah Ciang-liong-kok
"Hiaaat!," ditengah lolong panjang dari mulut Kho Tay-seng, pedang di tangannya berkelebat bagai kilat menyambar Ji Bun.
Ji Bun mendengus pendek, Tok-jiu-it-sek bergerak dengan kecepatan yang sama tingginya menembus lingkaran cahaya pedang lawan. Keruan bukan kepalang kaget dan takut Kho Tay-seng, lekas
-- dia tarik pedang seraya melejit mundur sambil memberi aba-aba:
"Maju semua!"
Pertama-tama ketua hukum Ang Jit bersama empat anak buahnya ahli pedang merangsak bersama. Nafsu Ji Bun sudah tak terbendung lagi, telapak kanan tegak membelah miring ke arah Ang Jit yang menyerang tiba itu, sementara telapak tangan kiri menggaris ke arah keempat orang bersenjata pedang. Walau gerakan tangan kiri dan kanan saling susul, namun kecepatan geraknya sungguh seperti dilancarkan bersamaan.
Ang Jit menggeram rendah, keempat ahli pedang menguik seram, darah menyembur dari mulut Ang Jit yang terpukul terbang ke tengah udara dan terbanting, keempat ahli pedang itu lebih celaka. Belum lagi pedang mereka dilancarkan, satu persatu sudah roboh terkapar tak bernyawa lagi. Keruan semua anak buah Ngo-hong-kau yang hadir sama takut luar biasa, mereka mendelik dengan mulut melongo.
Ji Bun tidak berhenti begitu saja, tiba-tiba kakinya menggeser miring, tubuh berkelebat ke samping pula, tahu-tahu telapak tangan kanan sudah bekerja. "Huaaak", Ang Jit yang baru bangun kena sekali pukulan pula, badannya kembali mencelat dan terbanting dengan keras, jelas jiwanya takkan tertolong pula.
Kho Tay-seng menjerit kalap, seperti banteng ketaton dengan nekat dia ayun pedang, jaraknya delapan kaki, namun ayunan pedangnya menerbitkan sinar pedang yang memanjang sejauh tujuh kaki. Jarak ini cukup tiba untuk menggal kepala Ji Bun, betapa bebat lihay permainan ilmu pedangnya, sungguh aneh, keji dan ganas
-- sekali. Memangnya siapa yang pernah dan mampu melawan ilmu pedang yang luar biasa ini. Apalagi serangan ini menggunakan setaker tenaga dan seluruh perbendaharaan ilmu yang pernah dia yakinkan, tekadnya hendak mengadu jiwa lagi. Keruan Ji Bun dibikin kaget juga, lekas dia mundur setapak. "Cret", baju di depan dada tak urung tergores sobek sepanjang satu kaki.
Mendapat angin, Kho Tay-seng bertambah beringas, sebat sekali gerak geriknya seperti bayangan, secepat kilat sekaligus dia lancarkan serangan membadai, setombak sekitar gelanggang, merupakan sasaran empuk bagi tajam pedangnya.
Ji Bun dipaksa mundur tujuh kaki, demikian pula anak buah Ngo-hong-kau yang berkepandaian lebih tinggi juga menyurut mundur setapak, namun lekas sekali mereka sudah merubung maju, karena dikira mendapat peluang untuk mengerubut bersama.
Hampir meledak dada Ji Bun, di saat lawan berhenti setelah habis melancarkan delapan belas kali serangan pedang, secepat kilat dia mendesak maju selicin belut menyelinap ke dalam liang, dia lancarkan Tok-jiu-ji-sek.
"Aduh ........" pekik kesakitan yang mengerikan terdengar, pedang terlempar, Kho Tay seng sendiri terjungkir balik. Namun pada waktu yang sama, berbagai senjata tajam juga serempak menyambar ke arah Ji Bun selebat hujan badai.
Mendadak Ji Bun melambung tinggi ke tengah udara, maka terdengarlah suara berdering senjata yang beradu di bawah kakinya, di tengah udara tubuhnya terputar sambil meliuk, dengan gaya
-- menukik dia menyerang dari atas, kekuatan serangan ini sungguh lihay luar biasa.
Jeritan menyayat hati memekak telinga, tujuh delapan orang kontan roboh mandi darah. Begitu tubuh meluncur turun dan menancapkan kaki, segesit kera dia terus menubruk ke arah orang yang bergerombol lebih banyak, di mana kaki tangannya bergerak, seketika terjadilah pembantaian besar-besaran. Pekik seram saling susul menegangkan urat syaraf. Keruan anak buah Ngo-hong-kau yang masih hidup menjadi ketakutan, bagai tikus lari sipat kuping.
Nafsu Ji Bun sudah menggila, orang-orang Ngo-hong-kau ini tak ubahnya ayam dan anjing dalam pandangannya. Di mana tangannya bergerak, di situ manusia terbabat roboh tak bernyawa. Hanya sekejap saja suasana gaduh dari jerit tangis manusia seketika sirap.
Manusia bergelimpangan memenuhi lembah, semua tubuh sudah tak bernyawa lagi, untuk pertama kali inilah sejak Ji Bun mengembara di dunia persilatan membunuh orang sedemikian banyaknya.
Nafsu Ji Bun sudah kadung membara, tekadnya melampiaskan dendam masih belum padam, maka dia berlari ke arah rumah-rumah di belakang lembah sana. Rumah-rumah di sini dibangun dengan dinding batu, pendek bangunannya dan amat kokoh. Yang tengah dibangun cukup megah dengan ruang pendopo, di sini letak pusat pemerintahan cabang Ngo-hong-kau yang berkuasa penuh dilembah ini. Di kanan kira pendopo merupakan deretan kamar berbentuk bundar, bangunan lain terletak di belakang ruang pendopo ini, dengan bentuk yang teratur dan rapi.
-- Begitu banyak dan luas bangunan rumah-rumah ini, tapi sekarang tidak kelihatan bayangan seorangpun. Tentunya kekuatan mereka tadi tidak ditumplek seluruhnya untuk menghadapi dirinya, bukan mustahil ada yang menyembunyikan diri. Tepat di tengah pendopo yang membelakangi tempat duduk kebesaran, di atas dinding dihiasi setabir sutera berwarna dasar hitam bersulam sekuntum kembang Bwe warna putih yang menyolok sekali, itulah pertanda khas dari Ngo-hong-kau.
Di bawah tabir besar ini adalah sebuah meja panjang, setabung panji segitiga kecil warna-warni menghiasi di atas meja, di belakangnya berderet tiga kursi kebesaran yang dilapisi kulit harimau, di kanan kiri sebelah luarnya masing-masing berderet lima kursi kayu cendana. Agaknya susunan pimpinan cabang Ngo-hong-kau di sini tak ubahnya seperti perkumpulan Kang-ouw lainnya.
Ji Bun menerobos terus ke dalam, setelah melewati tujuh lapis bangunan, tetap tidak melihat bayangan seorangpun. Keruan darahnya semakin mendidih, kedatangannya kali ini bukan saja hampir dihanguskan, boleh dikata tujuannya menjadi sia-sia pula, keruan hatinya amat dongkol dan uring-uringan. Thian-thay-mo-ki dan ibunya berada di tangan mereka, mati hidup masih merupakan tanda tanya. Menurut apa yang dia selidiki dari sepak terjang Kwe-loh-jin, jelas pihak Ngo-hong-kau yang membantai habis semua penghuni Jit-sing-po. Sekarang dia merasa, menyesal kenapa tiada satupun yang dia tinggalkan hidup untuk dikompes keterangannya, kini sumber yang diharapkanpun telah putus.
Kiang Gok, si murid murtad pengkhianat perguruan juga lolos.
Ngo Siang, sang Suco terkubur di kamar tahanannya, di alam baka
-- tentu dia takkan bisa meram. Semakin dipikir semakin gemas hatinya, namun kenyataan sekarang dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Namun dia tahu, tak mungkin Ciang-liong-kok ini hanya orang-orang yang terbunuh di luar tadi, lembah ini tiada jalan keluar lainnya, terang mereka menyembunyikan diri, entah di kamar rahasia atau di tempat lain yang tersembunyi.
Serang dengan api. Pikiran ini berkelebat di benaknya. Api pasti dapat paksa mereka yang sembunyi itu terbirit keluar. Maka dia mulai mencari ketikan api, dari luar ke dalam, setiap tempat dia menyulut kain jendela atau barang-barang lain yang mudah terbakar. Setelah api yang disulutnya mulai berkobar semua, baru dia keluar ke lapangan rumput di sebelah depan sana sejauh jarak panahan, di sini dia berpangku tangan menanti reaksi.
Cepat api berkobar, jago merah mengamuk hebat, segala benda dilalapnya tanpa ampun. Bangunan-bangunan yang terdiri dari kayu itu walau kokoh, namun mudah terbakar, sebentar saja seluruh bangunan berlapis itu sudah terjilat api.
Betul juga, sesuai dugaan Ji Bun, hanya dalam sekejap, bayangan orang mulai tampak berseliweran lari kian kemari. Ji Bun sudah ambil keputusan lihat satu bunuh satu, kepergok dua bunuh sepasang. Maka di tengah kobaran api yang gemuruh itu diselingi suara jerit tangis, pekik teriakan campur aduk, suasana menjadi kacau balau. Laki-laki yang berlarian kian kemari saling terjang dan hantam sendiri demi menyelamatkan jiwa, namun mereka menjadi makanan empuk bagi Ji Bun.
-- Akhirnya bermunculan juga perempuan yang menyeret anak-anak. Betapapun besar murka Ji Bun, terhadap kaum lemah dan anak-anak yang tidak berdosa ini, dia tidak tega turun tangan, segera dia mundur ke samping. Dengan tajam dia awasi setiap orang yang muncul. Dia harus mencari sasaran di antara sekian banyak orang untuk didengar keterangannya.
Seorang kakek tua beruban dengan langkah, sempoyongan jatuh bangun ikut berlari keluar di antara rombongan perempuan dan anak-anak itu, sekian kelihatannya sudah loyo dan lemah karena usianya yang sudah lanjut. Anak-anak berjerit tangis, kaum ibu sibuk mencari putera puterinya yang lari entah ke mana, terketuk juga hati nurani Ji Bun.
Sekonyong-konyong, tampak kakek ubanan itu berpaling sekilas sambil melirik ke arah Ji Bun. Cukup lirikan, mata ini sudah memberi peringatan kepada Ji Bun bahwa kakek tua yang pura-pura loyo ini sebetulnya adalah seorang silat yang tinggi kepandaiannya.
"Hai, kau kemari!" gerakannya Ji Bun lebih cepat dari ucapannya, kata-kata terakhir baru diucapkan, bayangannya sudah menghadang di depan si kakek.
Kakek itu tiba-tiba angkat kepala, wajahnya yang penuh keriput seketika menarik tegang, mulutnya tergagap: "Kau ...... orang tua loyo seperti akupun tidak kau lepaskan .........."
"Kau memang tua, tapi tidak loyo. Kemarilah!" dengus Ji Bun, gerakannya cepat sekali, tahu-tahu pergelangan tangan si orang tua sudah dipegangnya terus diseret ke samping, di mana terdapat batu-
-- batu yang berserakan, setiba di tempat sepi dan tersembunyi, dia lepaskan pegangannya, dengan suara dingin gemetar diliputi emosi, dia hertanya: "Tua bangka, bicaralah singkat, sebutkan dulu namamu!"
Bibir si orang tua yang kering tampak gemetar, sekian lama dia megap-megap tak mampu bicara. Ji Bun mengancamnya dengan nada bengis: "Bicaralah terus terang atau kubunuh lebih kejam dari orang lain."
Si kakek ubanan manggut-manggut.
Ji Bun bertanya: "Belakangan ini adakah orang yang lari kemari?"
"Ke mana maksud kata-katamu itu?"
"Umpamanya ada jago-jago kalian dari cabang lain yang berkepandaian tinggi, atau ada menggusur orang luar kemari ......"
"Ya, memang ada."
"Siapa?"
"Pimpinan cabang kedua dari perkumpulan kami, yaitu Kiang Giok."
"Hm, Kiang Giok. Di mana dia sekarang?"
"Di dalam kamar rahasia di bawah lembah yang terlarang sana."
-- Berkobar semangat Ji Bun, agaknya perjalanan hari ini tidak sia-sia, kalau Kiang Giok si murid murtad dapat dibekuk, sebagian sudah tercapai tujuannya segala teka-teki bakal terbongkar seluruhnya, maka dengan suara haru dia bertanya: "Letaknya di belakang barisan rumah-rumah itu?"
"Ya, tepat di bawah kaki bukit, di mana ada sebuah bangunan mungil, ada tanda papan yang menyatakan tempat itu terlarang bagi orang luar."
"Baik kau boleh pergi."
"Kau ....... tidak membunuhku?"
"Jiwamu kuampuni!"
Si kakek menyeringai, katanya: "Te-gak Suseng, kau melepaskan Lohu, tapi Lohu tidak dapat mengampuni jiwa sendiri, tamak hidup tunduk kepada musuh, betapa aku harus berhadapan dengan para saudara yang sudah mendahuluiku di alam baka" ........ "plak" tiba-tiba tangannya terayun mengepruk pecah batok kepala sendiri, memang tidak malu kakek tua ini sebagai insan persilatan yang berjiwa kesatria, setelah sadar akan kesalahan, lebih baik mati dari pada hidup menjadi cercahan orang lain.
Ji Bun geleng-geleng kepala sambil menghela napas panjang, segera dia meluncur ke belakang kobaran api, dengan menerjang gulungan asap tebal yang mengadang jalan, dia terus melesat ke belakang, kakinya sedikit menutul, sekali lompat beberapa tombak
-- jauhnya. Lekas sekali dia sudah tinggalkan tempat kebakaran dan masuk ke dasar jurang.
Betul juga di antara bayang-bayang hutan di sebelah dalam sana lapat-lapat kelihatan sebuah bangunan mungil, di luar hutan berdiri sebuah papan batu yang bertuliskan "Daerah terlarang". Letak rumah kecil ini terpaut beberapa puluh tombak dengan tanah lapang yang cukup luas, seluruhnya merupakan tanah yang berlapiskan batu cadas yang dibikin rata mengkilap, tiada rumput dan pepohonan tumbuh di sini, maka kobaran api meski teramat besar di sebelah depan, hutan di belakang lembah ini sedikitpun tidak terjilat api.
Jantung Ji Bun berdebur semakin ketas, dengan langkah mantap dia memasuki daerah terlarang. "Siapa berani terobosan di daerah terlarang?" tiba-tiba berkumandang peringatan dari balik batu sana, dua orang baju putih segera muncul mengadang.
Tanpa buka suara, dengan langkah cepat Ji Bun menubruk maju, di mana tangan beracun bergerak, belum lagi kedua orang ini melihat jelas siapa yang datang, tahu-tahu sudah mengaduh terus roboh terkulai dan melayang jiwanya.
Bau khas yang merangsang hidung meyakinkan Ji Bun bahwa di dalam hutan terlarang ini ada ditaburi racun jahat yang tidak berwarna, namun Ji Bun yang sudah mempelajari ilmu tingkat tinggi Ban-tok-bun sudah kebal segala racun. Sekali tendang ia singkirkan mayat kedua orang terus beranjak menyusuri jalan batu menjurus ke rumah kecil itu.
-- Rumah ini di kelilingi hutan, merupakan suatu pekarangan tersendiri dengan dipagari tembok batu, tepat di tengah dibuat pintu bundar, di dalam pintu dipajang beberapa perabot yang terbuat dari batu dan bambu. Begitu Ji Bun tiba di pintu, empat orang baju putih, terdiri seorang tua dan tiga muda tahu-tahu menubruk tiba. Pikiran Ji Bun hanya ingin selekasnya membekuk Kiang Giok si murtad, maka dia tidak peduli siapa orang-orang ini. Kedua tangan segera bergerak menyongsong kedatangan orang-orang itu. Segulung angin keras menerpa ke depan. Keempat, orang bagai daun kering yang tersapu angin puyuh terjungkal sungsang sumbel. Tanpa hiraukan mati hidup mereka, Ji Bun langsung menghampiri rumah mungil itu.
"Kau ..... " di tengah teriakan kaget, sesosok bayangan orang jumpalitan keluar dari balik jendela dengan gemetar. Dia bukan lain adalah Kiang Giok.
Terpencar cahaya kelam dari biji mata Ji Bun, suaranya kereng berwibawa: "Kiang Giok, agaknya Suco memberkahi usahaku untuk menumpas kau."
Kiang Giok menyurut ke belakang bersandar dinding, wajahnya membesi kelabu, kelihatan dia terluka oleh Sian-thian-sin-kang Thong-sian Hwesio sampai sekarang belum lagi sembuh. "Te-gak Suseng," ujarnya, "apa sebetulnya yang kau bicarakan?"
"Kiang Giok, bicara soal tingkatan, kau memang lebih tinggi dari padaku, namun, aku membawa pesan dan perintah Suco, maka aku harus menunaikan tugas melaksanakan tata tertib dan hukum perguruan secara tegas."
-- "Hukum perguruan" Apa maksudnya?"
"Menghadapi hukum perguruan ini, memangnya kau masih belum bertobat dan menyesal" Hm, Kiang Giok, aku ........."
"Terus terang, aku tidak tahu soal apa yang kau obrolkan?" kata Kiang Giok diliputi rasa heran, takut dan tak habis mengerti.
Sikapnya ini menambah semangat Ji Bun malah, bentaknya:
"Berlututlah, terima pelaksanaan hukum perguruan ini."
Bergetar badan Kiang Giok, semakin tebal rasa bingung dari sorot matanya. "Te-gak Suseng," desisnya, "kau ini orang apa, siapa pula aku dari mana kau hendak melaksanakan hukum perguruan atas diriku?"
"Kau masih berani mungkir?"
"Seorang laki-laki sejati berani berbuat berani tanggung jawab, aku terjatuh ke tanganmu, memang nasibku soal mungkir aku tidak sampai sepengecut itu."
"Baik, jawablah pertanyaanku, siapakah orang tua yang kau kurung di bawah tanah di gedungmu itu."
"Dia ..... siapa dia?"
"Aku justru tanya kau?"
"Aku tidak tahu?"
-- "Kentut! Kau murid durhaka menghadapi kematian masih belum mau bertobat."
Mulut Kiang Giok terpentang lebar, sikapnya hambar dan penasaran, jelas kelakuan ini bukan pura-pura belaka. Keruan Ji Bun menjadi bimbang dan sangsi, mungkinkah dalam persoalan ini ada liku-liku yang sulit dijajaki pula"
"Kiang Giok, betulkah kau tidak tahu asal usul orang tua itu?"
"Tidak tahu."
"Lalu dari mana kau mempelajari ilmu beracun itu" Kenapa kau mengatur jebakan dan mengurung beliau, memaksanya mengajarkan ilmu dan hendak merebut kitab pelajarannya pula?"
"Pelajaran ilmu dari perguruanmu" Kau dari mana?"
"Jawab dulu pertanyaanku."
"Uh ........" tiba-tiba Kiang Giok-mengeluh seram, badannya tersungkur berkelejetan sebentar terus tak bergerak, jiwanya melayang seketika.
Kaget sekali Ji Bun, cepat dia membalik badan, di mana matanya memandang, darah seketika terbawa nafsunya membunuh membara pula. Tampak seorang berdiri di ambang pintu, dia bukan lain daripada Kwe-loh-jin, musuh besarnya. "Kwe-loh-jin." desis Ji Bun.
''sungguh kebetulan kau muncul sendiri."
-- Kwe loh-jin terkekeh dingin, jawabnya: "Anak muda, agaknya nyawamu serap duabelas, sudah beberapa kali kau lolos dari kematian, kini pasti kuhancurkan kepalamu, ingin kulihat apakah betul kau memang tak dapat mati?"
Ji Bun tahan perasaannya, banyak persoalan yang harus dia tanyakan dulu sebelum bertindak. "Kwe-loh-jin, jadi kau juga anggota Ngo-hong-kau?"
"Ya, tidak salah."
"Jadi majikan yang kau maksudkan itu ialah Ngo-hong-kaucu?"
"Tepat sekali," sahut Kwe-loh-jin.
"Dan apa alasanmu selalu ingin membunuhku?"
"Pokoknya kau harus mati, tentang alasannya, kau tidak perlu tahu."
"Siapa sebenarnya Kaucu kalian?"
"Selama hidupmu kau takkan memperoleh jawaban."
"Kwe-loh-jin, agaknya semua pertanyaan tidak akan kau jawab dengan baik?"
"Terserah keadaan."
-- "Baik, sebuah pertanyaan lagi, kuingin bertemu dengan Kaucu kalian, sudilah kau membawaku kepadanya?"
"Kau hanya bercita-cita kosong belaka, ketahuilah Ciang-liong-kok ini bakal menjadi tempat kuburan."
"Tentunya kau juga ikut membantai orang-orang Jit-sing-po?"
Terpancar cahaya aneh dari mata Kwe-loh-jin, beberapa kali air mukanya berubah, lama sekali baru dia berkata dingin: "Apakah Siangkoan Hong tidak memberi jawaban padamu?"
"Kau memfitnah mereka, apa tidak merasa malu dan hina?"
"Memfitnah" Anak muda, perlukah aku berbuat demikian?"
"Kenapa kau tidak berani mengaku?"
"Kenyataan memang begitu."
Kembali Ji Bun menghadapi pertentangan batin siapakah sebetulnya musuh besarnya" Ngo-hong-kau atau Wi-to-hwe" Karena kedua pihak sama tidak mau mengaku, namun kedua pihak sama patut dicurigai.
Dianalisa dari permulaan peristiwa ini, memang pihak Wi-to-hwe yang dipimpin Siangkoan Hong amat mencurigakan, ditambah pesan ayahnya waktu terakhir kali mereka berjumpa bahwa musuh besar keluarganya adalah komplotan Siangkoan Hong.
-- Tapi perkembangan selanjutnya dari berbagai kejadian yang dialaminya sendiri, satu persatu menumbangkan keyakinannya semula, berbalik dia yakin bahwa Ngo-hong-kaulah yang membantai seluruh penghuni Jit-sing-po. Kematian ayahnya, ibunya diculik, beberapa kali peristiwa terbunuhnya diri sendiri, ketambahan Kiang Giok yang berselubung, teka teki bersama ayahnya, lebih menambah kerumitan persoalan ini. Tujuan Kwe-loh-jin membunuh Kiang Giok jelas karena hendak menutup mulutnya, tapi kenapa" Persoalan yang sudah hampir terang kini menjadi gelap dan terselubung pula.
Pengalaman menambah pengetahuan. Kini Ji Bun betul-betul menyadari, kalau mau main selidik, mencari bukti dan menguber sumber kejadian dari segala teka teki ini, dia harus menggunakan cara ganas dan kejam, kalau tidak dia akan selalu menghadapi jalan buntu alias gagal total.
Karena itu, watak angkuhnya yang sudah lenyap sekian lama, kini mulai bersemi pula, hawa gelap meliputi kedua alisnya, dengan suara geram dia berkata: "Kwe-loh-jin, kenapa ibundaku kalian tawan?"
"Sederhana saja, untuk merajai Kangouw, maka aku harus bertindak tidak kenal kasihan, walau cara keji, kejam dan kotor juga harus dihalalkan."
"Dan bagaimana dengan Thian-thay-mo-ki?"
"Sama juga alasannya."
-- "Kiang Giok, kaubunuh apa juga dengan alasan yang sama"
Memangnya kau ini manusia?"
"Anak muda, tidak perlu putar lidah lagi ...... Sekonyong-konyong Ji Bun melompat maju sambil membentak. "Agaknya sikapku terhadap kalian selama ini adalah kesalahan besar."
Kwe-loh-jin merasa jeri, tanpa terasa ia menyurut mundur.
"Kwe-loh-jin, sebelum melihat peti mati, agaknya air matamu takkan bercucuran," bentak Ji Bun seraya mendekat.
Cepat Kwe-loh-jin melompat mundur keluar rumah sambil terloroh-loroh, serunya: "Anak muda, marilah sini!"
Ji Bun melejit keluar, belum lagi dia berdiri tegak, Kwe loh-jin sudah menyerangnya lebih dulu. Telapak tangan kiri menggempur, jari-jari kanan mencengkeram, enam Hiat-to mematikan di dada menjadi sasaran. Betapa ganas dan lihay serangannya ini sungguh amat mengejutkan.
Dalam keadaan kepepet Ji Bun lancarkan jurus Tok-jiu-it-sek.
Kontan Kwe-loh-jin berseru heran, serangannya berubah di tengah jalan. Ji Bunpun berdiri tegak di atas tanah.
17.50. Bukan ......... Murid Angkatan 14
-- "Anak muda, nasibmu memang mujur, jiwa anjingmu berulang kali lolos dari renggutan elmaut, agaknya belakangan ini kau memperoleh pelajaran baru!"
Jelas yang dimaksud adalah jurus Tok-jiu-it-sek yang lihay ini.
Memang sejak membekal ilmu mujijat ini Ji Bun belum pernah berhadapan dengan lawan tangguh yang betul-betul setimpal jadi tandingannya.
Tanpa hiraukan ocehan orang, Ji Bun menghardik: "Serahkan nyawamu!" dengan kekuatan membadai Tok-jiu-ji-sek dilontarkan.
Kembali Kwe-loh-jin bersuara heran, dengan suatu gerakan yang aneh dan gesit, tiba-tiba dia berkelebat menyingkir. Bahwa Kwe-loh-jin dapat menghindarkan diri dari rangsakan Tok-jiu-ji-sek, hal ini betul-betul membuat Ji Bun terperanjat, agaknya dalam setengah tahun ini pihak lawan juga memperoleh tambahan ilmu yang tinggi.
Kalau dinilai dari kepandaiannya dulu, tak mungkin Kwe-loh-jin mampu selamat dari serangan Tok-jiu-ji-sek.
"Sambut sejurus lagi!" teriak Ji Bun, kembali Tok-jiu-ji-sek dilontarkan.
Kwe loh-jin menyingkir lagi dengan gerakan semula dari posisi yang tidak menguntungkan, namun mulutnya menggeram aneh, badan meliuk sambil balas menyerang sekali. Gerakan serangan ini sungguh menakjubkan, siapapun yang melihatnya pasti melelet lidah dan kagum sekali, karena semua tempat-tempat yang berbahaya di bagian depan menjadi sasaran. Jalan mundur dan kesempatan untuk
-- balas menyerangpun tersumbat, sungguh bukan main serangannya ini.
Beruntung Ji Bun juga memperoleh rejeki nomplok, di dalam detik-detik yang gawat itu, ilmu tingkat tinggi yang dipelajarinya baru-baru ini memperlihatkan kemujijatannya. Dalam posisi yarg terdesak itu, terpaksa dia lintangkan kedua telapak tangan terus bergerak melingkar. Inilah gerak pertahanan yang paling hebat betapapun ganas rangsakkan lawan pasti dapat ditandingi sama kuat.
"Plok, plok, plok ......" benturan secara berantai terjadi dalam sekejap mata, telapak tangan kedua orang saling adu kekuatan sebanyak lima puluhan kali, betapa tinggi tingkat kepandaian silat Kwe-loh-jin dapatlah dibayangkan dari tingkat permainannya ini.
Masing-masing pihak maklum, taraf kepandaian mereka kira-kira setanding, umpama ada perbedaan, terpautnya juga terbatas.
Ji Bun tak habis pikir, dalam jangka setengah tahun ini entah dari mana Kwe-loh-jin memperoleh ilmu kepandaian yang begini mengejutkan. Sebaliknya Kwe-loh-jin juga kagum dan heran pula bahwa kepandaian Ji Bun entah betapa tingkat lebih tinggi dibanding setengah tahun yang lampau.
Kwe-loh-jin saja sudah setinggi ini kepandaiannya, tentu kepandaian Ngo-hong-kaucu jauh lebih luar biasa pula. Mau-tidak mau Ji Bun rada keder dan patah semangat, sebetulnya dia yakin dengan kepandaian terakhir yang diperolehnya sudah cukup untuk menuntut balas. Siapa nyana, satu jengkal kepandaian sendiri
-- bertambah, satu depa pula ilmu musuh bertingkat. Untuk menuntut balas, menolong ibu dan kekasihnya, agaknya bakal sia-sia belaka.
Hanya setengah tahun saja, namun tingkat kepandaian Kwe-loh-jin betul-betul melampaui taraf kepandaian Thong-sian Hwesio yang tak terukur itu, bukankah perubahan ini amat menakutkan. Mau tak mau pikirannya mengingatkan Hud-sim yang pernah direbut lawannya ini, bukan mustahil Kwe-loh-jin sudah berhasil mendapat inti rahasia pelajaran silat yang terkandung di dalam hati Buddha itu.
Kemungkinan ini amat besar, sayang awak sendiri terlalu asing terhadap permainan silat Pek-ciok Sinni. Kalau tidak dirinya tentu tidak akan melawan musuh secara meraba-raba, karena itu tanpa terasa mulutnya berteriak: " Kwe-loh-jin, ilmu yang terkandung di dalam Hud-sim sungguh bukan kepalang hebatnya?"
Kwe-loh-jin melenggong sebentar, lalu katanya sinis: "Betul, jagat seluas ini, memangnya siapa yang mampu melawanku lagi?"
"Belum tentu, akulah lawanmu!" seru Ji Bun. Tok-jiu-sam-sek (jurus ketiga) akhirnya dia lontarkan dengan dilandasi sepenuh tenaga. Inilah senjata terakhir yang paling diandalkannya, merupakan puncak tertinggi dari segala gemblengan yang pernah dialaminya. Kalau senjata terakhir ini juga tidak mampu merobohkan musuh, segala persoalan tidak perlu dibicarakan lagi.
Jurus ketiga ini dinamakan Giam-ong-yan-khek (raja akhirat menjamu tamu). Sesuai dengan namanya, merupakan jurus serangan mematikan yang melampaui segala ilmu silat yang pernah berkembang di kalangan Bu lim. Begitu jurus ini dilontarkan, sorot mata Kwe-loh-jin seketika mengunjuk rasa ketakutan, boleh
-- dikatakan tanpa banyak pikir lagi bergegas dia berkelebat mundur.
"Ngek!" tak urung mulutnya mengerang kesakitan, badanpun sempoyongan tujuh delapan langkah jauhnya, darah meleleh dari mulutnya.
Berkobar semangat Ji Bun, sebat sekali dia bergerak pula. Tapi sekali melejit dan jumpalitan ke belakang, tahu-tahu Kwe-loh-jin sudah melenting ke dalam hutan dan lenyap.
"Lari ke mana?" bentak Ji Bun sambil mengundak, namun bayangan Kwe-loh-jin sudah lenyap di balik hutan. Marah dan benci mengaduk hatinya hampir gila Ji Bun dibuatnya saking gemas, menghadapi musuh yang, licik, licin dan kejam ini. Ji Bun betul-betul menyadari bahwa tindakannya masih kurang tegas. Dengan lolosnya Kwe-loh-jin kali ini, pihak Ngo-hong-kau pasti mengerahkan segala kekuatannya untuk menghadapi dirinya. Untuk mencari tahu letak markas pusatnya, tentu akan lebih sukar lagi.
Kematian Kiang Giok paling menyakiti hatinya, pesan dan tugas perguruan yang dibebannya terang sudah gagal. Murid murtad tak bisa dihukum sesuai peraturan yang berlaku. Betapapun dia belum mencapai tujuan untuk membersihkan nama baik perguruan.
Dia meiangkah balik ke bilik bambu itu, berdiri melongo mengawasi jenazah Kiang Giok. Tiba-tiba matanya terbeliak, didapatinya tubuh Kiang Giok masih bergerak, napasnya belum putus, kaki tangan masih bisa bergerak. Sungguh girangnya seperti putus lotre, bergegas dia jongkok dan menopang kepala. Ji Bun lalu salurkan tenaga dalam ke tubuh orang sehingga menambah harapan hidup Kiang Giok, meski itu hanya sementara saja.
-- Lekas sekali nyawa Kiang Giok sudah diseret kembali dari perjalanan menuju ke akhirat, pelan-pelan dia membuka mata.
Dalam hati Ji Bun sudah berkeputusan, untuk menolong jiwanya terang tiada harapan, tapi cukup puas kalau dapat menunaikan tugas perguruan saja.
Ji Bun tekan urat nadi Kiang Giok, hawa murni disalurkan dengan tenaga yang cukup besar, dia tahu tipis kesempatan untuk menolongnya supaya bicara. Sekali cekalan tangan dilepas, jiwa orang pasti melayang, sebaliknya hawa murni tersalur melampui batas, orang juga tidak akan tahan, bahwa Kiang Giok masih kuat bertahan hidup untuk kesekian detik lamanya sudah merupakan suatu keajaiban. Sedetikpun tak boleh terbuang percuma, maka segera ia bertanya: "Kiang Giok, kau tahu apa dosamu?"
Gemetar bibir Kiang Giok, suaranya lirih seperti bunyi nyamuk:
"Tidak ..... tahu ......."
Beringas dan mendelik Ji Bun, katanya: "Sudah mendekati ajal kau tetap tidak bertobat?"
"Ber ..... bertobat ...... karena apa?"
"Durhaka terhadap leluhur dan menipu guru, kau melanggar banyak pantangan perguruan ......"
"Mungkin ... kau yang salah, kau ..... dari perguruan ...... mana?"
-- Mulut Ji Bun sudah terbuka, namun dia urungkan kata-katanya, tak boleh dia sembarangan menyebut nama perguruannya, inipun salah satu larangan, maka ia ganti cara mengajukan pertanyaan.
"Di mana Tok-keng yang kau peroleh?"
"Apa" ........ Tok-keng apa?"
"Ya, katakan, di mana kau simpan?"
"Aku tidak tahu."
Gemes dan mendongkol Ji Bun, hardiknya bengis: "Darimana ilmu beracun yang kau yakinkan?"
"Diajarkan ...... oleh Kaucu sendiri."
Bergetar hati Ji Bun, perkembangan ini lagi-lagi di luar dugaannya, kalau demikian murid murtad perguruan, Ngo-hong-kaucu adanya, sungguh mengerikan dan sukar dibayangkan. Ia harus cepat menggunakan kesempatan terakhir yang masih ada untuk mencari sumber yang tepat. maka dia bertanya gugup:
"Katamu diajarkan oleh Kaucu" Siapa Kaucumu?"
"Entah...... tiada yang tahu."
"Kiang Giok, orang-orang seperguruanmu tidak segan turun tangan menamatkan jiwamu untuk menutup mulutmu, kenapa kau masih menyimpan rahasia ini."
-- "Aku betul-betul tidak tahu. Kau ..... Kaucu amat misterius ......."
"Di mana markas besar Ngo-hong-kau?"
"Di belakang puncak ...... Siong-san ...... Aok!" tiba-tiba suaranya terputus s
Dendam Iblis Seribu Wajah 3 Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Dendam Iblis Seribu Wajah 23
^