Hikmah Pedang Hijau 17
Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long Bagian 17
keluar hatiku?"
"Ah, saudara Tian memang pandai bergurau!" ajar Toanhong Kongcu sambil tertawa ter-sipu2 "aku cuma menganggap terlalu sayang kalau kitab sehebat itu harus dimusnahkan begitu saja, masa tanya saja tak boleh?"
Tian Pek mendengus, tiba2 ia maju tiga langkah ke muka dan mundur lima langkah ke belakang, tubuhnya bergerak secepat kilat, dalam sekejap ia sudah melancarkan empat kali pukulan berantai.
Angin pukulan men-deru2 dan kelihatan mengerikan tapi semua pukulan itu bukan tertuju pada manusia melainkan menuju ke udara kosong.
Kendatipun demikian, Toan-hong-kongcu dan Hong-jan-sam-kay yang berada di dekat situ tak bisa berdiri tegak lagi, sambil menjerit kaget serentak mereka melompat mundur.
Semua orang sama tertegun, siapapun tak mengerti apa yang dilakukan anak muda itu.
Setelah Tian Pek memainkan empat kali pukulan dengan diimbangi ilmu langkah Cian-hoan-biau-hiang-poh dan Ginkang Bu-sik-bu-siang-sin-hoat, segera pula ia berhenti darn berseru: "Gerakan yang kulakukan barusan adalah jurus pertama dari Thian hud-lik yang bernama Hud-kong-
bu-ciau Bagaimana" Cukup untuk menjadi bahan renungan Ciangbunjin selama beberapa hari bukan?"
Maksud ucapannya amat jelas, se-akan2 ia hendak menyatakan bahwa janganlah kau terlampau tamak, untuk mengisap inti sari ilmu sakti ini bukanlah pekerjaan semudah sangkaanmu.
Ketika dilihatnya kawanan jago itu berdiri dengan melenggong, beruntun ia lancarkan pula tiga jurus gerakin Hud-coh-hang-song (Buddha suci turun ke bumi). Liu-sing-yau-hue (menyapu bersih hawa siluman) serta Hong-ceng-lui-beng (angin menderu guntur menggelegar).
Di dalam demontrasinya ini ia telah mainkan ilmu pukulan Thian-hud-hang-mo-ciang disertai ilmu pukulan Hong-lui-pat-ciang, meskipun hanya tiga jurus serangan berantai, tapi hawa pukulan yang terpancar luar biasa dahsyatnya, seketika berjangkit angin taupan yang menggulung tinggi ke udara.
Demontrasi yang hebat dan luar biasa ini membuat kawanan jago itu diam2 menjulurkan lidah, pikir mereka:
"Entah bagaimana caranya bocah ini berlatih hingga mencapai prestasi setinggi ini . . . .?"
Sementara itu Tian Pek sudah berhenti, melihat semua orang memandangnya dengan bingung, ia menghela napas dan menggeleng kepala seraya berkata: "Ilmu silat yang tinggi tak dapat dipelajari dengan gegabah, baiklah kita mulai dari permulaan lagi!"
Pemuda itu lantas duduk bersila seperti seorang paderi agung dan mulailah dia menerangkan ilmu tenaga dalam.
Begitu mendengar Tian Pek mulai membacakan teori tenaga dalam Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip, kawanan
jago mulai berkerumun di sekeliling anak muda itu dan memasang telinga baik2.
Waktu itu keadaan Tian Pek sepgerti sang Buddhia yang sedang berkhotbah, matanya terpejam dan mulutnya komat-kamit, angker dan berwibawa tampaknya, sementara kawanan jago yang berkumpul juga pusatkan perhatian, suasana jadi hening, tak terdengar suara lain..-.
Entah sejak kapan malam telah lalu dan sang surya sudah memancarkan cahayanya di ufuk timur.
Kawanan jago yang ikut dalam pelajaran itu kebanyakan adalah jago2 yang berilmu tinggi, sekalipun seorang pemuda juga paling sedikit memiliki dasar ilmu silat yang tangguh, ketika mendengar apa yang diajarkan Tian Pek ternyata merupakan ilmu sakti yang belum pernah dijumpai sebelumnya, bahkan bila dibandingkan dengan apa yang pernah mereka pelajari selama ini bedanya seperti langit dan bumi, kenyataan ini membuat jago2 itu makin tertarik, sehingga semua pikiran dan perhatian mereka tertuju pada satu titik saja, sekalipun terjadi ledakan dahsyat di samping mereka mungkin takkan dihiraukan,
Begitulah, ber-turut2 Tian Pek memberi pelajaran selama tujuh hari, selama ini semua orang menerima pelajaran sambil berlatih menurut pelajaran yang baru mereka terima dari Tian Pek, ternyata kemajuan yang dicapai luar biasa sekali, kenyataan ini membuat semua orang tak kepalang girangnya, sebab andaikata mereka berlatih dengan menggunakan cara yang lama, entah berapa banyak kesulitan yang akan ditemui.
Diantara sekian banyak orang, paman Lui, Buyung Hong, Wan-ji, Kim Cay-hong serta Hoan Soh-ing memperoleh kemajuan yang paling pesat.
Ini disebabkan paman Lui pernah mempelajari isi kitab pusaka Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip itu selama ber-tahun2, hanya saja karena tidak mendapatkan bantuan Liu Cui-cui dengan ilmu To-li-mi-hun-tay-hoatnya, maka banyak bagian yang tak berhasil dia tembus, tapi sekarang setelah memperoleh petunjuk Tian Pek ia jadi memahami kesalahannya, tak heran bila kemajuan yang dicapainya melampaui siapapun..
Kiranya sewaktu Ciah-gan-longkun melukis kitab paling aneh di kolong langit itu, dia telah menyembunyikan pula rahasia ilmu silat di antara lukisan2 bugil yang merangsang itu, bila orang tak tahu rahasia itu, hanya berlatih dengan dasar tulisan belaka, belum cukup bagi orang itu untuk mencapai prestasi yang paling tinggi.
Mungkin hal ini tak pernah dipikir paman Lui, tak disangka olehnya kitab yang dihadiahkan kepada Tian Pek ternyata dapat dipecahkan pula rahasianya oleh pemuda itu, dari sini terbuktilah betapa pentingnya pengaruh nasib dan takdir bagi umat manusia di dunia ini.
Sedangkan alasan mengapa Buyung Hong, Wan-ji, Kim Cay-hong dan Hoan Soh-ing mendapat kemajuan yang jauh lebih pesat dari orang lain, ini disebabkan karena mereka berempat sangat mempercayai Tian Pek, mereka yakin pelajaran yang diberikan anak muda itu pasti tepat.
Begitulah Tian Pek sudah memberi pelajaran selama delapan hari, malam itu ketika ia kembali ke kamarnya, belum lagi tidur, mendadak di luar jendela terdengar suara kain baju tersampuk angin.
Suara itu lirih sekali se-akan2 angin yang berembus lewat, tapi tak dapat mengelabuhi ketajaman pendengaran Tian Pek, sebab dengan tenaga dalam yang dimilikinya sekarang, sekalipun daun yang gugur atau bunga yang
rontok pada jarak sepuluh tombak di sekelilingnya iapun dapat menangkap suara itu dengan jelas.Untuk menjaga segala kemungkinan, dengan gerakan yang cepat ia menerobos keluar lewat jendela belakang.
Dari kejauhan ia lihat dua sosok bayangan orang dengan cepat sedang berkelebat melayang turun ke pekarangan sebelah depan.
Tian Pek semakin curiga, ia lantas menggunakan gerakan Bu-sik-bu-siang-sin-hoat yang ringan untuk menyusulnya, hanya tiga-lima lompatan saja ia berhasil menyusul di belakang kedua orang itu tanpa diketahui mereka.
Di bawah remang2 cahaya rembulan, Tian Pek dapat melihat badan kedua orang itu, di luar dugaan ternyata mereka adalah dua nona yang bertubuh ramping.
Tian Pek semakin heran, pikirnya: "Mau apa kedua nona ini malam2 begini
berkeluyuran"..."
Sementara itu, kedua sosok bayangan ramping itu sudah berhenti di tepi sebuah hutan kecil, Tian Pek bersembunyi di belakanng pepohonan dan mengintip gerak-gerik mereka, sekarang ia dapat melihat jelas, tak salah lagi kedua orang itu ialah Buyung Hong dan Tian Wan-ji.
Hal ini makin mengherankan anak muda itu, mau apa kedua nona itu malam2 menuju ke hutan yang sunyi itu"'
Karena curiga, ia tak mau unjuk diri, ia bersembunyi di belakang pohon untuk mengintip gerak gerik kedua nona itu.
Terdengar Buyung Hong sedang tertawa cekikikan dan berkata: "Moay-moay, coba kauterka untuk apa kuajak kau kemari?"
Tampaknya Wan-ji baru tahu orang yang disangka musuh ternyata tak lain adalah kakaknya sendiri, ia tercengang kemudian menjawab: "Ah, kiranya Cici adanya!
Urusan apa kau pancing aku kesini?"
Buyung Hong tertawa, katanya: "Moay-moay, bicara sejujurnya, bukankah kau mencintai engkoh Tian?"
Rupanya Wan-ji tak menyangka encinya akan
membongkar rahasia hatinya secara blak2an, ketika teringat olehnya bahwa Tian Pek adalah calon suami encinya, merahlah wajahnya karena jengah.
"Cici, kau jangan sembarangan menduga. . . '" serunya cepat, "aku . . . sebenarnya aku . . . . ."
Dapatkah ia menyangkal isi hatinya dengan mengatakan ia tidak mencintai Tian Pek"
Tidak! Tak mungkin! Sejak hatimu terbuka, orang pertama yang dicintainya adalah Tian Pek, bahkan ia percaya sampai akhir hayatpun ia tetap mencintai Tian Pek, hanya nasib telah berkata lain, pemuda pujaan hatinya, telah menjadi Cihunya, sudah tentu ia tak berani mengakui di depan encinya sendiri. Karena itu ia menjadi gelagapan.
Dengan biji matanya yang jeli Buyung Hong menatap hangat adik perempuannya ini, lalu tersenyum lembut, digenggamnya tangan Wan-ji, kemudian ia berkata dengan suara yang halus: 'Adikku, kukira tak perlu kau mengelabui diriku lagi! Ketahuilah, dari pengamatanku selama beberapa hari terakhir ini dapat kuketahui bahwa kau sebenarnya sangat mencintai engkoh Tian, bahkan akupun baru menyadari akan keadaan tersebut pada
beberapa hari terakhir ini, Kutahu cintamu pada engkoh Tian mungkin jauh lebib awal daripadaku, mungkin juga semenjak engkoh Tian untuk pertama kalinya tiba di rumah kita, ketika kau pergi mencari adik (Leng-hong Kongcu) dan mintakan pengertiannya agar jangan mengusir engkoh Tian dari kamarnya . . .. . Moay-moay, bukankah mulai saat itu kau telah mencintai engkoh Tian?"
Air muka Wan-ji semakin merah, ia biarkan encinya menggenggam tangannya, sementara kepalanya tertunduk rendah dan mulutnya membungkam dalam seribu bahasa.
"Aku sendiripun merasa sangat heran." demikian Buyung Hong berkata lebih jauh, "Mengapa aku bisa berbuat sedemikian gegabahnya, sampai persoalan maha penting seperti inipun tak kuketahui sejak dahulu"
Andaikata Cici sejak awal telah mengetahui bahwa kau amat mencintai engkoh Tian, tak nanti Cici sampai melakukan tindakan keliru ini. . ."
Ketika Buyung Hong berkata sampai disini, tiba-tiba Wan-ji tak dapat menguasai emosinya lagi, ia menangis tersedu, ia meronta dan melepaskan diri dari pegangan encinya terus kabur dari situ.
"Adik Wan. . .!" teriak Buyung Hong.
Mendengar panggilan itu, Wan-ji menghentikan larinya, tapi ia masih berdiri membelakangi encinya, sementara bahunya berguncang keras, agaknya nona itu sedang menangis dengan sedihnya.
Siapa bilang tak sedih" Gadis manakah yang bersedia melepaskan kekasih pertamanya dengan begitu saja"
Apalagi cinta Wan-ji kepada Tian Pek sudah mencapai tingkatan sehidup semati, tentu saja kesedihannya tak terperikan.
Tapi sekarang kekasihnya jelas akan menjadi suami encinya, kecuali bersedih apa yang dapat ia lakukan lagi"
Cepat Buyung Hong memburu ke samping Wan-ji, ia menarik lengan adiknya dan berbisik dengan suara lembut:
"Adikku tak usah bersedih hati, maukah kau mendengarkan perkataan encimu?"
Tiba-tiba Wan-ji menubruk ke dalam rangkulan encinya dan menangis tersedu-sedu, katanya sambil sesenggukan:
"Cici, aku merasa bersalah padamu. . . aku. . ."
Wan-ji menangis semakin sedih, sedang Buyung Hong lantas teringat pada musibah yang menimpa keluarganya, tanpa terasa ia ikut mencucurkan air mata.
Tian Pek bersembunyi di balik pohon dan dapat mengikuti semua kejadian itu dengan jelas, ia merasa pedih hatinya bagaikan diiris-iris, pikirnya: "Tian Pek, wahai Tian Pek. . . hanya terpengaruh oleh emosi kau menerima pinangan Buyung Hong, tahukah kau bahwa tindakanmu ini telah menyakitkan hati Wan-ji yang amat mencintai dirimu itu. . ."
Buyung Hong yang bersedih hati tiba-tiba teringat kembali pada tujuannya yang utama, ia lantas menyeka air mata, kemudian membelai rambut adiknya, ia keluarkan sapu tangan dan menyeka air mata Wan-ji.
"Adikku, janganlah menangis!" bisiknya lembut,
"dengarkan dulu perkataan encimu!"
Wan-ji masih bersandar dalam rangkulan encinya dengan manja, pipinya yang masih basah dan berwarna merah membuat orang merasa iba, meski ia sudah mendengar bisikan encinya, tapi bahunya masih bergerak naik turun menahan isak.
Buyung Hong berbisik lagi dengan suara lembut: "Kita berdua adalah kakak beradik kandung, meski masih ada seorang saudara tapi semenjak kecil hubungannya dengan kita berdua tidak cocok, kalau tidak ribut denganku tentu dia bertengkar dengan kau. Kini ayah telah dibunuh orang, keadaan rumah tangga kita sudah jauh berbeda daripada keadaan dulu, maka semestinya mulai sekarang kita kakak beradik harus hidup bersama untuk berjuang menghadapi kehidupan selanjutnya, selamanya kita harus rukun dan saling mencintai, Adikku, kau bersedia menuruti apa yang kukatakan bukan?"
Wan-ji tidak mengerti maksud tujuan encinya, ketika dilihatnya Buyung Hong bicara dengan serius, maka iapun mengangguk kepala.
Buyung Hong tertawa, katanya pula: "Kalau kaupun mencintai engkoh Tian, kita kakak beradik juga tak bisa dipisahkan satu sama lain, apa salahnya kalau kita sama-sama menikah dengan engkoh Tian dan mempunyai suami yang sama?"
Begitu ucapan Buyung Hong diutarakan, bukan saja Wan-ji terkejut, bahkan Tian Pek yang bersembunyi di belakang pohonpun terkesiap.
Wan-ji menengadah, dengan matanya yang jeli ia memandang wajah encinya dengan termangu, ketika dilihatnya wajah encinya tetap ramah, bersenyum kasih sayang, tahulah nona itu bahwa encinya tidak bergurau, jantungnya menjadi berdebar keras.
Tiba-tiba ia menjatuhkan diri ke dalam pelukan encinya, ia berbisik: "Oh, cici. . . !" Ia tak dapat mengangkat kepalanya lagi.
Meskipun dia belum menyanggupi usul encinya tapi dari perubahan sikap dan pancaran sinar mata kaget bercampur girang, Buyung Hong tahu bahwa adiknya telah menyetujui usulnya, hal ini membuat hatinya jadi lega dan girang, ia merasa tali mati yang selama ini mengganjal dalam hatinya sekarang telah terbuka.
Timbul sifat nakalnya untuk menggoda, sambil merangkul pinggang Wan-ji yang ramping ia berkata lagi:
"Adikku, ketahuilah bahwa persoalan ini menyangkut masa depanmu sendiri, aku tak ingin melihat kau penasaran.
Nah, untukmenghindari segala kemungkinan yang tak diinginkan, Cici minta kau menjawab sendiri, bersedia atau tidak menerima usulku ini?"
Wan-ji semakin tak berani menengadah, dia cuma memeluk Buyung Hong sambil memanggil Cici tak henti2nya, tapi dari panggilan itu dapat terdengar rasa sedihnya sudah terhapus, sebagai ganti suaranya sekarang penuh perasaan gembira.
Dasar memang nakal, Buyung Hong terus menggoda:
"He, bagaimana kau ini, sebenarnya setuju tidak" Kenapa cuma memanggil Cici melulu!"
Ketika dilihatnya Wan-ji masih saja bersandar dalam pelukannya, ia berkata lagi:
"Kalau kau tidal setuju ya sudahlah, nanti kukatakan pada engloh Tian bahwa kau sebenarnya tidak mencintainya."
"Cici, kau jahat . . .. . " Omel Wan-ji sambil menarik ujung baju cicinya.
"Bagus! Kau berani memaki aku, itu menandakan kau memang tidak mau, sekarang juga akan kuberitahukan
kepada engkoh Tian . . ." ia lantas mendorong adiknya dan siap berlalu dari situ.
"Cici. . ...Cici. . .. ." meski tahu encinya cuma menggoda, tidak urung Wan-ji berseru panik, mendadak ia menengadah, sinar matanya kebentur dengan sesuatu, hampir saja ia menjerit kaget.
Entah sejak kapan, tak jauh dari tempat mereka telah muncul dua orang yang mirip dengan badan halus.
Sebagaimana juga adiknya, Buyung Hong baru
mengetahui akan hadirnya ke dua orang seperti sukma gentayangan itu setelah melepaskan Wan-ji dari pelukannya, ia berdiri terbelalak, ia kaget sampai tak mampu bersuara.
Kedua orang kakak beradik ini mengetahui bahwa ilmu silat sendiri cukup tinggi, sekalipun sedang ber-cakap2, tak mungkin mereka tidak merasakan tibanya kedua orang itu disamping mereka. Dari sini dapatlah diketahui betapa hebat kungfu kedua pendatang yang tak diundang ini.
Kedua orang itu berusia antara enam puluhan, yang seorang bermuka bulat telur berwarna ke-merah2an, berambut merah, berkulit hitam, bermata tajam dan bentuknya seperti muka kunyuk.
Sedangkan yang lain adalah kakek kurus kecil berjubah panjang tebal, mukanya merah dengan hidung besar merah pula, dandanannya persis seperti seorang guru kampungan.
Meskipun dandanan mereka aneh dan lucu, namun sinar mata mereka tajam mengawasi Buyung Hong berdua dengan seram.
Baik Buyung Hong maupun Wan-ji tidak kenal siapa kedua orang aneh ini, lain halnya dengan Tian Pek yang bersembunyi di balik pohon, dia segera kenal kedua prang
ini sabagai Kui-kok-ji-ki (dua manusia aneh dari lembab setan) yang bercokol di Gan-tang-san dan sudah dua kali mencari perkara padanya.
Sesungguhnya kehadiran dua orang ini sejak tadi tak luput dari perhatian Tian Pek, hanya saja karena Buyung Hong berdua sedang membicarakan dia betapapun ia merasa tak enak unjukkan diri, pula dia ingin menyelidiki apa yang hendak dilakukan kedua orang yang tindak tanduknya selalu mencurigakan ini, maka Tian Pek tetap diam saja di tempatoya.
Sementara itn Buyung Hong dan Wan-ji masih berdiri termangu, Kui-kok-ji-ki lantas nnenghampiri mereka.
Terdengar Ci-hoat-leng-kau Siang Ki-ok menjengek:
"Hehehe, betul2 kejadian yang aneh, baru pertama kali ini kujumpai dua nona sedang berunding untuk kawin dengan seorang laki2 yang sama. Hopo tumon?"
Wan-ji lebih cerdik dan binal. maka dilihatnya dua manusia aneh muncul tanpa bersuara, bahkan menyindir dirinya, dengan melotot segera ia mombentak: "Hmm, siapa yang suruh kau mencampuri urusan kami" Eeh, kalian mau apa datang ke sini" Jika tidak memberi alasan yang tepat, jangan salahkan nona tak sungkan2 lagi kepadamu!"
"Anak perempuan, jangan galak2 dulu!" jengek Kui-kokin-siu Bun Ceng-ki dengan suara menyeramkan, "kami cuma ingin tahu, engkoh Tian yang kalian maksudkan itu apakah keparat yang bernama Tian Pek?"
"Kalau bicara sedikilah tahu diri, apa itu keparat?"
bentak Wan-ji mendongkol.
Kui-kok-in-siu menjengek, tiha2 ia mencengkeram lengan Wan-ji sembari menyahut:
"Jawab saja benarkah orang itu atau bukan?"
Perlu diketahui, serangan yang dilancarkan Kui-kok-in-siu barusan dilancarkan dengan kecepatan yang luar biasa, andaikata Wan-ji tidak menguasai ilmu langkah Cian-hoan-biau-hiang-poh yang belum lama berhasil dikuasainya, bisa jadi ia sudah kena dicengkeram oleh musuh.
Lolos dari cengkeraman maut itu, Wan-ji segera melayang ke samping, kemudian serunya dengan marah:
"Kalau betul lantas mau apa" Tua bangka yang tak tahu diri, nonamu menghormati kau sebagai orang tua, tapi kau malahan menyerang lebih dulu. Nah, rasakan serangan balasan nonamu ini!"
Setajam gurdi jari tangannya terus menutuk dengan ilmu jari Soh-hun-ci, ia tutuk jalan darah Ki-bun-hiat di dada Kui-kok-in-sigu.
Ketika cengkeramannya melehset tadi, diam2 Kui-kokin-siu merasa kaget, apalagi setelah diketahui bahwa serangan Wan-ji membawaa kekuatan yang tidak lemah, hal ini membuatnya terkejut, ia tak menyangka nona semuda itu ternyata memiliki kungfu yang amat lihay. Ia tak berani menyambut secara kekerasan, cepat ia melejit dan menyingkir ke samping, tapi begitu mundur dia maju kembali, ujung kakinya menjejak tanah dan secepat angin ia menubruk lagi ke muka, beruntun dia menghantam dua kali dengan
dahsyat. Kedua serangan itu dilancarkan hampir secara serentak, jurus serangannya aneh dan membawa hawa serangan yang dingin.
Wan-ji terkejut, ia tak mengira kakek kurus macam guru dusun itu ternyata memiliki tenaga serangan yang lihay, nona ini tak berani menyambut dengan kekerasan, cepat ia melompat mundur. Sementara itu Buyung Hong yang
mengikuti jalannya pertarungan itu dapat mengetahui bahwa ilmu silat musuh lihay sekali, meskipun kata2nya tak senonoh, tapi yang diselidiki adalah engkoh Tian, jangan2
mereka adalah sababat dari Tian Pek.
Sebagai orang persilatan, ia tahu watak dari sementara jago silat memang aneh dan tak bisa diterima dengan akal sehat, cepat ia mengalangi adiknya untuk bentrok lebih lanjut, seraya memberi hormat kepada Kui-kok-ji-ki ia bertanya: "Bolehkah kutahu, apa maksud Locianpwe berdua mencari Tian-siauhiap?"
"Oh, kalau begitu engkoh Tian yang kalian maksudkan benar2 adalah Tian Pek?" bukan menjawab Kui-kok-in-siu malahan bertanya'
"Betul!" sahut nona itu berterus terang.
"Monyet cerdik berambut merah" yang sejak tadi membungkam tiba2 tergelak sambil menyindir: "Hahaha, Tian Pak si bocah keparat ini memang punya rejeki bagus, sampai2 ada dua anak perempuan secantik ini bersedia dikawini semua."
Merah wajah Buyung Hong, omelnya dengan ter-sipu2
"Locianpwe, jangan sembarangan omong. Katakan saja, ada urusan apa kalian mencari Tian siauhiap?"
"Cici, buat apa kau gubris mereka?" sela Wanji. "Kulihat kedua tua baugka ini pasti bukan manusia baik2."
"Hahaha, kurangajar! Anak perempuan sudah bhosan hidup, berani kaumaki kami," teriak Kuikok-in-siu segera telapak tangannya terangkat dan hendak menghantam.
"Sute, jangan terburu napsu!" cepat Ci-hoat-leng-kau mengalangi rekannya, "kalau kedua anak perempuan ini calon istri Tian Pak keparat itu, maka kita harus
menangkapnya hidup2. Dengan begitu, kita dapat memaksa dia menyerahkan kitab paling aneh di kolong langit itu..."
Hampir meledak dada Wan-ji mendengar Ucapan itu, kontan ia memaki: "Kalian jangan bermimpi di siang hari bolong, dengan kekuatan kalian berdua mash belum berhak untuk memperebutkan kitab pusaka itu. Huh, kungfu kalian masih ketinggalan jauh!"
Setelah urusan barkembang jadi begini, Buyung Hong baru mengerti bahwa maksud kedua kakek aneh itu menanyakan Tian Pek adalah untuk kitab pusaka Soh-kutsiau-hun-thian-hud-pit-kip. Tapi bagaimanapun juga is lebih tenang dan bisa berpikir daripada Wan-ji, ia tak ingin mencarikan musuh baru bagi engkoh Tian yang telah mengundurkan diri dari dunia persilatan, sahutnya kemudian: "Sayang sekali kedatangan Locianpwe terlambat setindak, pada beberapa hari yang lalu dihadapan umum Tian-siauhiap telah
musnakan kitab pusaka Soh-kut-siau-hun itu!"
"Sungguhkah perkataanmu?" tanya Kui-kok-in-siu dengan air muka berubah hebat.
"Untuk apa berbohong!" sahut Buyung Hong, ketika dilihatnya Kui-kok-in-siu masih sangsi, ia menambahkan lagi. "Setiap orang yang hadir menyaksikan peristiwa itu, kalau tak percaya silakan Cianpwe menyelidiki kejadian ini pada orang lain!"
Dari cara Buyung Hong berbicara, Kui-kokin-siu percaya nona itu pasti tidak bohong, kejadian ini benar2 berada di luar dugaannya. seketika ia jadi terbelalak dan tak mampu bicara.
Ci-hoait-leng-kau lebih licik, ia tidak percaya dengan begitu saja, biji mata berputar sambil tersenyum licik ia
berkata: "Anak perempuan, hanya dengan beberapa patah katamu itu kaukira bisa menipu kami!"
Wan-ji naik pitam oleh sikap kedua orang itu, sebelum Buyung Hong menjawab, cepat ia menimbrung: "Sekalipun kami membohongi kalian, kalian tua bangka ini mau apa?"
Kui-kok-in-siu seperti memahamyi sesuatu, dia xberseru dengan gusar: "Kalau kalian membohongi kami, akan kucabut jiwa kalian!" Segera telapak tangannya terangkat hendak menghantam pula.
Untuk kedua kalinya Ci-hoat-leng-kau mencegah sutenya yang kalap itu, ia tertawa seram dan berkata: "Jangan kita bunuh mereka, kita tangkap mereka hidup2, mustahil Tian Pek keparat itu takkan menyerahkan Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip kepada kita."
"Tong kosong memang nyaring bunyinya!" ejek Wan-ji.
Ci-hoat-leng-kau menarik muka, bentaknya dengan gusar: "Jawab saja, kalian mau ikut kami atau harus kami bekuk dengan kekerasan?"
"Hehehe, omong besar melulu!" jengek Wan-ji. "jika betul2 turun tangan, tidak sampai sepuluh jurus kami mampu membekuk kalian berdua!" seru Ci-hoat-leng-kau dengan gemas.
Wan-ji tak mau kalah, dengan nada yang sama iapun berseru: 'Bila betu12 bertempur, tidak sampai tiga jurus kedua nonamu sanggup mengenyahkan kalian tua bangka ini dari sini!"
Wan ji memang pandai bersilat lidah, ucapannya setajam sembilu, kontan saja membuat Kui-kok-ji ki jadi mencak2, Tian Pek yang bersembunyi di belakang pohon hampir saja tak dapat menahan gelinya.
"Baiklah, sebelum diberi hajaran tampaknya kalian tak mau percaya," sera Kui-kok-in-siu marah-marah. "Sekarang juga akan kusuruh kalian rasakan sendiri betapa lihaynya kami!"
Diiringi bentakan keras dia cengkeram dada Wan-ji dengan jurus Kui-ong-bong-ciong (raja setan menumbuk lonceng) dari ilmu pukuian Im-hong-ciang, serangan ini tergolong kotor terhadap seorang gadis. tapi kakek itu tak segan2 menggunakannya.
Merah wajah Wan-ji, ia bertambah gusar, dengan ilmu langkah Cian-hoan-biau-hiang poh dia berputar ke samping.
Sejak dulu, ilmu andalan Wan-ji adalah kegesitan, setelah mempelajari ilmu Cian-hoan -biau-hiang poh, keadaanya ibarat harimau tumbuh sayap, maka setiap serangan maut Kui-kok-in-siu dapat dielakkannya.
Kui-kok-in siu terkejut, tapi semakin membangkitkan rasa gusarnya, ia menyerang makin bernafsu, beruntun tujuh kali pukulan berantai dilepaskan.
Ketujuh serangan itu dilancarkan dengan tenaga dahsyat, meski begitu, di bawah gerak tubuh Wan-ji yang lincah, semua ancaman maut itu bisa dihindarkan dengan baik dan manis. Akan tetapi, tidak urung ia terdampar mundur juga oleh angin pukulan musuh.
Wan -ji menjadi gusar, ia membentak lalu mengeluarkan ilmu Soh-hun ci, beruntun ia balas menutuk tiga Hiat-to penting tubuh lawan.
Serangan jari tangan itu sangat lihay, Kui-Kok in-siu tak berani menyambut dengan kekerasan, cepat ia melompat mundur, pada kesempatan tersebut Wan-ji segera memperbaiki posisinya, beruntun iapun menutuk pula tiga kali dan empat kali pukulan.
Di bawah tekanan ketujuh serangan berantai ini, Kuikok-in-siu juga terdesak mundur.
Demikianlah dalam waktu singkat kedua orang itu sudah terlibat delam pertarungan sengit, belasan jurus sudah lewat, namun menang kalah masih belum bisa ditentukan.
Sementara pertarungan itu berlangsung, Ci-hoat leng-kau melirik Buyung Hong, ia berkata dengan suara menyeramkan: "Mereka berdua sudah mulai bertempur, sebaiknya kitapun jangan menganggur, hayolah kitapun ber-main2 sebentar.
Ucapan itu bernada kotor, Buyung Hong jadi
mendongkol, dengan muka sedingin es ia menyindir: "Hm katanya dalam sepuluh jurus kami akan dibekuk"' Kenapa sudah 20 jurus lebih kawanmu itu masih belum mampu gmengapa-apakan adikku ...."
"Hehehe, apa bedanya sepuluh jurus atau dua puluh jurus" kalina berduakan seperti benda dalam saku kami?"
Begitu selesai berkata, dengan jurus Hek-jiu-tan-bun (tangan hitam merampas sukma), dia cengkeram bagian bawah perut nona itu.
Merah wajah Buyung Hong, ia tak menyangka kedua orang tua yang dihormati ini ternyata tak lebih hanya manusia2 rendah yang bermoral bejat, menghadapi serangan kotor ini, Buyung Hong sendiripun tak sungkan2
lagi, dengan jurus Hong-ceng-lui-beng ia balas menghantam batok kepala musuh.
Ci-hoat-leng-kau menyambut pukulan itu dengan serangan kilat, dalam sekejap saja mereka sudah bertempur berpuluh gebrakan.
Bicara soal kungfu maka ilmu silat Kanglam ji-ki pada dasarnya memang lihay, apalagi setelah berhasil mencelakai
gurunya sendiri, yakni Sin kau Tiat Leng dan mencuri kitab pusaka Bu hak-cinkeng serta mempelajarinya dengan tekun, boleh dibilang kungfu mereka berlipat kali lebih lihay daripada Buyung Hong berdua.
Untungnya kedua nona ini belum lama berselang sempat mendapat pelajaran silat dari Tian Pek, dengan kungfu dari kitab Soh-kut-siau hun yang maha dahsyat, walau agak memeras keringat kedua nona itu masih mampu bertahan.
Tapi setelah bertarung lama, Buyung Hong mulai kewalahan, ia tak sanggup lagi melayani serangan2 maut Ci-hoat leng-kau.
Di antara Kanglam-ji- ki, ilmu silat kunyuk berambut merah ini memang lebih lihay daripada saudaranya, sedangkan Buyung Hong lebih lemah jika dibandingkan Wan ji, bisa dibayangkan bagaimana akibatnya ketika yang kuat bertemu dengan yang lemah, puluhan gebrakan lewat, Buyung Hong sudah keteter hingga napasnya tersengal dan sekujur badan mandi keringat.
Di pihak lain, pertarungan antara Wan-ji melawan Kuikok-in-siu masih berjalan dengan seimbang. Sebagaimana diceritakan tadi, Wan-ji pernah belajar dari guru lain, yakni Sin-kau Tiat Leng, yang sebetulnya adalah guru Kui-kok-in-siu, meskipun hanya belajar seratus hari, namun banyak jurus serangan mereka ternyata sama dan kembar.
Kejadian ini membuat keduanya sama2 keheranan, mereka merasah belum pernah bertemu dengan lawannya, tapi mengapa jurus serangan mereka serupa"
Tentu saja keheranan itu hanya tersimpan di dalam hati saja, siapapun tak menyangka kungfu mereka sebenarnya berasal dari guru yang sama.
Dalam pada itu Buyung Hong sudah terlibat dalam posisi yang berbahaya, jiwanya berada diujung tanduk dan tiap saat pukulan mematikan musuh bisa menghabisi nyawanya.
Setelah jelas kemenangan sudah diambang pintu, Ci-hoat-leng-kau mulai bermulut usil, ia memuji kecantikan Buyung Hong, memuji bentuk tubuhnya yang ramping dan kungfunya tangguh.
Padahal usia si "kunyuk berambut merah" itu pantas menjadi kakeknya Buyung Hong, tapi dasar bermuka badak, tua2 keladi, tidak tahu diri.
Menghadapi godaan seperti itu, Buyung Hong jadi malu bercampur kheki, suatu ketika mendadak Ci-hoat-leng-kau menggunakan ilmu Hek-sat-jiu untuk mencengkeram mukanya, padahal ia sudah kehabisan tenaga, tak kuat rasanya untuk menangkis ancaman tersebut. sekalipun begitu dia tak sudi tubuhnya dicengkeram musuh sehingga akan merugikan nama baik Tian Pek.
Dalam keadaan begini, ia jadi nekat, timbul niatnya untuk beradu jiwa dengan musuh, maka ketika serangan musuh hampir mengenai tubuhnya, berbareng itu juga ia menerkam ke depan sambil menyerang dengan jurus Hwe-hong-ci-lip, (mengambil kacang di tengah bara), suatu jurus serangan mematikan andalan Ti-seng-jiu suara benturan dan bentakan keras menggelegar, menyusul seseorang menjerit kesakitan ....
Bayangan manusia yaug bertarung itupun berpisah, seorang sambil memegang pergelangan tangannya yang kesakitan tergetar mundur dengan sempoyongan.
Orang yang terluka itu bukan Buyung Hong sebaliknya adalah Ci-hoat-leng-kau Siang Ki-ok.
Buyung Hong sendiri berdiri dengan napas tersengal dan muka pucat, meski demikian wajahnya kelihatan berseri, kiranya di tengah arena pertempuran telah bertambah dengan seseorang.
Orang itu adalah seorang pemuda yang sangat tampan dengan tubuh yang tinggi tegap, dia masih muda tapiw berwibawa, ketyika Ci-hoat-lenxg-kau tergeser mundur dalam keadaan mengenaskan, anak muda itu hanya memandangnya sambil tertawa, tertawa mengejek.
Kiranya ketika Buyung Hong terancam bahaya, Tian Pek yang bersembunyi dibalik pepohonan telah muncul dan menghajar Ci-hoat-leng-kau yang jumawa dan sombong itu sehingga mencelat.
Wan-ji sangat gembira setelah melihat kemunculan Tian Pek, secara beruntun ia lepaskan dua pukulan dahsyat untuk mendesak mundur Kui-kok-in-siu, pada kesempatan tersebut nona itu menubruk ke pangkuan pemuda itu seraya berseru: "Engkoh Tian. . . .."
Rasa cintanya yang selama ini tertimbun dalam hati tak bisa dikendalikan lagi, dengan diliputi emosi yang meluap2
ia berseru dan menghampirinya, untunglah dengan cepat ia teringat akan encinya, apalagi bila teringat kerelaan encinya yang akan mengawini seorang suami bersama dengan dia, hal ini membuat pipinya menjadi merah, untuk sesaat ia tak bisa berucap.
Tian Pek balas memberikan senyuman mesra kepadanya, kemudian berpaling ke arah Kui-kok ji-ki seraya berkata:
"Kalau kalian ada urusan menceari padaku, mengapa tidak mencari langsung dan buat apa kalian merecoki dua orang anak gadis dengan cara sekeji ini, begitukah perbuatan kalian sebagai tokoh persilatan?"
Waktu itu Ci-hoat-leng-kau sedang menyembuhkan lukanya, ia tak dapat menjawab. maka Kui-kok-in-siu yang menanggapi ucapan tersebut.
"Orang she Tian, sewaktu di lembah kematian, untung kau bisa lolos, tapi malam ini hmm, jangan harap kau bisa lolos dari cengkeraman kami lagi!"
Tian Pek tertawa, katanya: "Aku orang she Tian tidak merasa pernah dikalahkan oleh kalian, jika kali ini kalian mengincar jiwaku, maka silakan saja untuk mencobanya, tapi kukira tidak segampang apa yang kau pikirkan!"
Diam2 Kui-kok in-su melirik sekejap ke arah suhengnya, ketika melihat Ci-hoat leng-kau masih duduk bersila sambil mengatur pernapasan, sadarlah dia bahwa kekuatannya seorang belum tentu bisa menandingi kelihayan Tian Pek, meski demikian ia tidak sudi menyerah, apalagi unjuk kelemahan sendiri.
Kembali kakek kurus kecil itu tertawa seram, katanya:
"Bocah keparat, jika kau bersedia menyerahkan kitab Soh kut-siau-hun thian hud pit-kip itu kepada kami, dengan senang hati akan kulupakan sengketa kita di masa lalu, bahkan sejak detik ini tak akan kuungkat lagi tentang kematian muridku si Sam-cun-teng!"
"Jika kau bersedia melepaskan soal dendam, dengan senang hati akupun akan
menerimanya, tapi bila kau menghendaki kitab pusaka Soh-kut-siau hun-pit kip tersebut, maka aku hanya bisa mengatakan sayang seribu kali sayang, sebab kedatangan kalian sudah terlambat."
"Kalau begitu, kau tidak bersedia menyerahkan kitab itu kepada kami?"
"Mau percaya atau tidak terserah padamu, yang pasti kitab itu sudah kumusnahkan di hadapan kawan2 dari seluruh kolong langit!"
Dalam pada itu Ci-hoat-leng-kau telah menyelesaikan semedinya, dengan muka garang ia menghampiri anak muda itu, lalu serunya dengan bengis "Jangan kau anggap tipu muslihatmu itu dapat membohongi kami berdua Hmm, mungkin orang lain bisa kautipu, tapi kami tidak, sekarang aku hanya ingin bertanya, mau serahkan pada kami atau tidak" Ucapannya garang, kasar dan mendesak, se-akan2
bila pemuda itu tak bersedia menyerahkan kitab itu, maka mereka akan segera melakukan penyerangan.
Kui-kok-in-siu semakin berani setelah luka suhengnya berhasil disembuhkan, dengan menghimpun segenap tenaga dia melangkah maju, bentaknya; "Apakah kau memaksa kami untuk menggunakan kekerasan?"
Mendongkol juga hati Tian Pok menghadapi kedua orang yang garang dan tak pakai aturan ini, ia balas menjengek: "Jangankan kitab pusaka itu memang sudah musnah, kendati masih utuh tak nanti kuserahkan kepada manusia bejat yang berani mengkhianati guru sendiri seperti kalian ini."
Kejadian ini tak ubahnyga seperti mengorek borok di tuhbuh mereka, kontan saja mereka naik darah, teriaknya kalap: "Bangsat, kau ingin mampus agaknya!"
Disertai bentakan nyaring, yang satu memakai ilmu pukulan Hek-sat-jiu sedangkan yang lain memakai tin-hong-ciang, dengan dua jenis tenaga pukulan yang berbeda serentak mereka serang Tian Pek. .
Anak muda itu sedikitpun tak gentar, dengan ilmu langkah Cian-hoan-biau-hiang-poh dia berputar ke samping dan tahu2 sudah lolos dari cengkereaman musuh, meski ada
kesempatan untuk membalas namun ia tidak
mempergunakannya.
"Bila mau sungguh2 bertarung, belum tentu aku jeri pada kalian berdua," katanya sambil tertawa dingin, "tapi sebagaimana telah kukatakan, orong she Tian telah mengundurkan diri dari dunia persilatan, aku tak ingin mengikat tali permusuhan lagi dengan kalian!"
Kedua orang tua itu makin gusar, dengan muka merah padam Ci-hoat-leng-kau menghardik:
"Tak peduli kau sudah mundur dari dunia persilatan atau tidak, pokoknya sambut dulu pukulan ini.'
"Benar!" sambung Kui-kok-in-siu, "sebelum kitab Sohhun-siau-hun kauserahkan kepada kami, selamanya urusan kita tidak akan berakhir!".
Begitulah sambil berseru marah, kedua orang tua dari lembah setan ini mulai menyerang dengan gencar.
Tian Pek tetap tidak membalas, dia hanya berkelit dan menghindar melulu, sekalipun demikian tak satu pukulan musuhpun yang dapat mengenai tubuhnya. Sekejap saja lima-enam jurus sudah lewat, dikerubut kedua musuh tangguh, Tian Pek mendemonstrasikan kelihayan ilmu Iangkah Cian-hoan-biau-hiang-poh yang diimbangi dengan gerakan tubuh Bu-sik-bu-siang-sin-hoat, dengan enteng dan lincah ia mangegos ke kiri dan menghindar ke kanan, walaupun begitu dia sudah terdesak mundur puluhan kaki dari posisi semula.
Tian Pek terdesak sehingga terpaksa harus balas menyerang, sementara itu Wan-ji dan Buyung Hong telah memburu datang dan siap memberi bantuan, tapi sebelum mereka melancarkan serangan balasan, tiba2 dari kgejauhan
berkumandang suara gelak tertawa yang amat nyaring disusul raungan yang mendirikan bulu roma.
Mereka sama tertegun, bahkan Kanglam-ji-ki lantas menghentikan serangannya dan melompat mundur serta berpaling ke arah suara itu . . . .
Suara itu sangat seram, se-akan2 suatu bencana besar segera akan terjadi. Selagi orang2 itu melenggong, tiba2
sesosok bayangan hitam melayang tiba dengan cepat sambil berseru: "Engkoh Tian . . . . Tian-siauhiap, ada orang datang mencarimu!"
Tian Pek kenal itulah suara Kim Cay-hong yang berjulukan Kanglam-tee-it-bi-jin, dari suara nona itu Tian Pek dapat merasakan nadanya gugup diliputi rasa kejut, seakan2 baru saja menemui suatu bencana besar.
"Ada orang mencari aku?" serunya, "kejadian apa membuat nona kelihatan kaget dan gugup"
Rasa kaget masih menghiasi wajah Kim Cay-hong yang cantik, dengan napas tersengal sahutnya. "Sembilan aliran besar dan . . . . dari banyak lagi jago2 lihay Lam-hay-bun telah datang mencari Tian -siauhiap!"
"Masa begitu banyak orang datang mencari diriku?" seru anak muda itu heran.
Kim Cay-hong mengangguk, katanya lagi: Tampaknya sebelum datang mencari Tian-siauhiap mereka telah berkumpul lebih dulu disuatu tempat kemudian datang bersama2, paman Lui mengatakan Tian-siauhiap tidak berada di tempat, tapi mereka tak percaya dan bermaksud melakukan penggeledahan, orang2 dari perkumpulan pengemis mengalangi niat mereka, tapi dengan kekerasan mereka turun tangan dan melukai beberapa orang, bahkan
katanya bila Tian-siauhiap tidak berhasil ditemukan maka semua orang yang berkumpul di sana akan mereka bantai sampai habis . . . . "
"Ai, ada peristiwa begitu?" kata Tian Pek dengan gelisah,
"aku akan segera kesana!"
Tanpa membuang waktu lagi ia putar badan dan berlari pergi.
"Eeh, bangsat cilik! mau kabur kemana?" bentak Kanglam-ji-ki dengan gusar, segera mereka mengejar.
Wan-ji, Buyung Hong serta Kim Cay-hong tak mau ketinggalan, merekapun menyusul dari belakang.
Kira2 belasan tombak sebelum pagar pekarangan Tian Pek tak sabar lagi, dengan gerakan Ci-sang-cing-in (melambung langsung ke atas mega) dia melejit ke atas dan melayang masuk ke dalam halaman.
Halaman yang luas itu sekarang dipenuhi oleh dua tiga ratus jago silat dan yang hebat adalah sedang berlangsung pertempuran yang mengerikan.
Deru angin pukulan, kelebatan bayangan tangan serta kilatan cahaya senjata membuat udara terasa sesak dan kacau, jerit kesakitan, keluhan dan rintihan berkumandang dari sana sini, yang lebih ngeri lagi adalah berpuluh sosok mayat tanpa kepala atau anggota badan yang tak lengkap terkapar di sana- sini.
"Tahan!" bentak Tian Pek, suaranya keras seperti guntur membuat orang2 yang sedang bertempur itu kaget, dan segera menarik kembali seranganya sambil melompat mundur.
Beruntun melayang masuk enam sosok bayangan ke dalam halaman itu, orang pertama yang tiba lebih dulu
adalah Tan Pek, pemuda yang tampan dan gagah perkasa itu, di belakangnya menyusul Kanglam-ji-ki, Wan-ji, Buyung Hong serta Kim Cay-hong.
Begitu tiba di arena pertempuran, Tian Pek memandang sekejap mayat yang
bergelimpangan di tanah, lalu dengan penuh emosi ia berseru lantang: "Jago lihay dari manakah yang datang mencariku" Dengan dasar apakah kalian melakukan pembantaian keji di sini" Pantas dan adilkah perbuatanmu ini?"
"Omitohud!" dari kerumunan orang banyak muncul seorang Hwesio tua yang bertubuh tegap ia memakai jubah pendeta warna abu2, alis mata nya sudah putih tapi mukanya masih segar.
Setelah memberi hormat, iapun berkata: "Jika dugaanku tidak keliru, tentunya kau yang bernama Tian Pek, keturunan Pak-lek-kiam Tian In-thian Tian tayhiap bukan?"
Anak muda itu mengangguk tanda membenarkan.
"Aku adalah Hong-tiang Siau-lim si dewasa ini yang bergelar Ci-hay," kata paderi tua itu lebih lebih jauh, "dan sekarang atas nama ketua dari sembilan aliran besar khusus datang kemari untuk memimjam sesuatu benda pada Tian-siauhiap, sudikah kiranya Tian siauhrap mengabulkan permintaan kami ini?"
Sebelum ketua Siau-lim ini menyelesaikan kata-katanya, para ketua kedelapan golongan besar, yakni ketua Go-bi, Khong-tong, Bu-tong, Kun-lun, Tiam-jong, Hoa-san, Tiang-pek serta Hoat-hoa serentak maju dua langkah dan berdiri berjajar di belakang Ci-hay Siansu, dengan tatapan tajam mereka awasi anak muda itu tanpa berkedip.
Tian Pek tidak segera menjawab, ia mendongkol setelah mendengar perkataan ketua Siau-lim yang jelas nadanya mengandung paksaan itu, apalagi setelah menyaksikan sikap ketua kedelapan golongan persilatan yang sama2
menatapnya dengan garang, agaknya bila ia tidak meluluskan permintaannya maka mereka akan segera menggunakan kekerasan.
"Benar2 tak kusangka!" demikian ia berpikir di dalam hati, "sembilan aliran besar yang sudah harum namanya semenjak ratusan tahun berselang ternyata tempat bercokol manusia tamak akan harta pusaka. Ai, kalau manusia2
begini diserahi memegang tampuk pimpinan, darimana mereka dapat melakukan tugas dengan se- baik2nya . . . . "
Berhubung sejak pandangan pertama sikap kesembilan orang ketua persilatan itu sudah memberi kesan yang jelek pada Tian Pek, apalagi sikap main gertak yang mereka tunjukkan telah membuat anak muda itu mendongkol, maka sikap Tian Pek juga tak sungkan2 lagi.
Ditatapnya kesembilan orang itu dengan pandangan sinis, sambil tertawa dingin ia berkata: "Apa permintaan kalian" Silakan Taysu utarakan dengan cepat! Asal permintaan kalian tidak melanggar keadilan serta kebengaran, pasti akain kupenuhi!"
Beberapa patah kata itu diucapkan Tian Pek dengan keren dan penuh wibawa, nadanya tidak sombong juga tidak merendahkan diri sendiri, ini membuat sebagian besar jago yang hadir sama merasa kagum.
"Gagah amat pemuda ini!" begitulah mereka membatin,
"tidak perlu soal ilmu silat, cukup ditinjau dari sikap serta cara berbicaranya sudah cukup membuat orang takluk.
Kelak besar harapannya akan memimpin dunia persilatan..
. ." Sebagai orang persilatan yang berpengalaman, tentu saja merekapun dapat menangkap arti ganda dari ucapan itu, tapi jelas ucapan itu bernada sindiran dan yang disindir tak lain adalah cara berbicara maupun cara bertindak ketua Siau-lim yang tak sopan itu.
Sebagai ketua Siau-lim-pay sudah tentu Ci-hay Slansu dapat menangkap arti sindiran tersebut, tapi ia tak berani bertindak gegabah lantaran disadari betapa pentingnya persoalan ini.
Dengan wajah merah kemudian ia berkata: "Sebenarnya permintaan yang hendak kuajukan juga tidak terlampau berlebihan, aku cuma berharap agar Siau sicu bersedia menyerahkan Soh-kutsiau-hun-thian-hud-pit-kip itu kepadaku dan aku beserta ketua kedelapan aliran besar segera akan berlalu dari sini."
Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar permintaan itu, Tian Pek tertawa dingin.
"Seandainya kitab pusaka itu masih ada niscaya akan kuserahkan kepada Ciangbunjin untuk dibawa pulang.
sayang kedatangan kalian terlambat sedikit, beberapa hari yang lalu kitab pusaka itu sudah kumusnahkan di hadapan umum, kukuatir kedatangan Ciangbunjin hanya akan sia2
belaka!" Sebenarnya apa yang diucapkan Tian Pek adalah kejadian yang sesungguhnya, tapi diterima oleh Ci-hay Siansu dengan arti yang lain, paderi itu melanjutkan kata2nya:
"Tian-sicu, terus terang saja kukatakan, pada hakikatnya kitab pusaka itu adalah milik Siau-lim kami dan Bu-tongpay. Dua ratus tahun yang lalu Ko-sui Taysu, ketua kami yang lampau beserta Tiat-sin Totiang dari Butong-pay telah
melepaskan budi portolongan kepada seorang jago aneh dari kolong langit yang bernama Ciah-gan-longkun, maka sebagai rasa terima kasihnya atas budi pertolongan tersebut, Ciah-gan longkun telah menghadiahkan sejilid kitab pusaka kepada kami, kitab pusaka itu tak
lain adalah Soh-kut-sigau-hun-thian-huid-pit-kip.
"Walaupun kitab itu milik Siau-lim dan Bu-tong, tapi oleh karena kitab tersebut berpengaruh terhadap keamanan dan pergolakan dunia persilatan, maka setelah melalui suatu perundingan akhirnya kedua Ciangbunjin kami memutuskan untuk menyimpan kitab pusaka tersebut di dalam kuil kami. Turun-temurun kitab pusaka tersebut selalu kami simpan diloteng penyimpanan kitab, maka tatkala di dunia persilatan tersiar berita
yang mengatakan kitab tersebut telah terjatuh ke tangan Siau sicu, serentak kulakukan pengecekan ke atas loteng kitab itu, benar juga ternyata kitab pusaka itu sudah lenyap tak berbekas!"
Berbicara sampai di sini, Ci-hay Siansu menghela napas panjang. tampaknya ia merasa sayang karena lenyapnya kitab pusaka itu dari kuilnya, sebab ber-tahun2 selalu aman, tak tahunya sewaktu ia memegang jabatan ketua peristiwa yang tak diinginkan itu telah terjadi.
Semua orang belum pernah mendengar rahasia yang menyangkut peristiwa pada dua ratus tahun berselang ini, keterangan tersebut membikin mereka jadi tercengang, mata mereka terbelalak lebar dan alihkan perhatiannya ke wajah ketua Siau-lim-pay itu.
Sesudah tarik napas panjang, Ci-hay Siansu melanjutkan ceritanya: "Kendati aku belum pernah berjumpa dengan Siau sicu, akan tetapi dari laporan anak muridku serta dari berita yang tersiar dt dunia persilatan dan kuketahui bahwa
Siau sicu sebenarnya adalah putera Pek-lek-kiam Tian In-thian, Siau sicu terkenal jujur dan gagah perkasa, aku yakin pasti bukan kalian yang mencuri kitab tersebut dari kuil kami melainkan
didapatkannya dari orang lain. Untuk menanamkan kepercayaan orang lain atas kejujuranku, maka sengaja kundang pula kedatangan kedelapan ketua yang lain untuk menjadi saksi, aku harap Siau sicu suka memberi muka kepada kami dan serahkan kembali kitab pusaka yang merupakan benda mestika simpanan kuil kami turun temurun itu. atas kesedian Siau sicu, bukan saja aku pribadi merasa berterima kasih, bahkan seluruh
anak murid Siau-lim-pay juga tak akan melupakan budi kebaikan Siau sicu!"
Selesai berkata, dengan tatapan tajam ia mengawasi Tian Pek tanpa berkedip, agaknya ia sedang menunggu anak muda itu memberikan jawaban yang memuaskan.
Tian Pak tersenyum, katanya "Aku kuatir kenyataannya bukan seperti apa yang kaututurkan!"
Air muka Ci-hayw Siansu berobahy masam, alis matanya berkerut, jelas paderi itu merasa tak senang hati:
"Sicu, apa yang kuceritakan barusan merupakan rahasia kuil kami, jika bukan terpaksa tak nanti kuceritakan kepada orang luar, apakah kau anggap aku sengaja
membohongimu?"
"Sebagai ketua Siau-lim-pay, kupercaya Taysu tidak berbohong," sahut Tian Pak dengan serius, "tapi kenyataannya, menurut apa yang kuketahui, kejadiannya berbeda jauh dengan apa yang Taysu tuturkan barusan."
Tian Pek sangat menghormati paman Lui, ia percaya apa yang diceritakan paman Lui kepadanya ketika berada di
dalam gua rahasia tempo dulu tak bakal salah, maka walaupun sekarang Ci hay Siansu si ketua Siau-lim-pay mempunyai cerita dalam versi lain tentang kitab pusaka Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit kip, betapapun ia lebih percaya pada keterangan paman Lui.
Bisa dibayangkan betapa marahnya Ci hay Siansu mendengar sanggahan itu, mukanya jadi merah padam, matanya melotot dan jenggotnya bergetar tanpa terembus angin, serunya dengan ketus: "Bagaimana bedanya" Coba terangkan!"
"Ketika Ciah-gan-long-kun berlatih sejenis tenaga dalam tingkat tinggi dan mendapat gangguan dari Thian-sian-mo-li dengan ilmu To-li-mi-hun-tay-hoatnya sehingga mengalami kelumpuhan, beliau memang mendapat pertolongan Ko-sui Siangjin, ketua Siau-lim serta Tiat-siu Totiang dari Bu tongpay!"
"Hm, jadi aku tidak membohong, kenyataannya memang begitu bukan?" dengus paderi itu dengan mendongkol.
Tian Pek tidak memperdulikan ocehannya, ia
melanjutkan kisahnya: "Akan tetapi, setelah Ciah-gan-longkun sembuh dari lukanya, ia tidak pernah menyerahkan kitab pusaka hasil pemikirannya itu kepada ketua Siau-lim-pay!''
Air muka Ci-hay Siansu berubah hebat, tapi Tian Pek lantas berkata lebih jauh: "Kitab pusaka itu ia simpan di sebuah gua rahasia di Lo-hu-san, bahkan sesaat sebelum mengembuskan napasnya yang penghabisan sengaja ia bocorkan rahasia ini kepada orang lain. Karena peristiwa itulah tak terhindar lagi dunia persilatan waktu itu menjadi kacau, banjir darah melanda di-mana2, semua orang berusaha mencari dan memperebutkan kitab pusaka itu!"
Dengan kisah ini Tian Pek hendak membuktikan kepada umum bahwa cerita Ci hay Siansu tidaklah jujur, hal ini seketika itu juga membuat paderi Siau lim si ini naik pitam, ia maju ke muka seraya membentak: "Jadi menurut Siau-sicu, ketua kami yang lalu berhasil mendapatken kitab pusaka itu dari suatu perebutan dengan kawanan jago yang lain?"
Siau-lim si amat tersohor di dunia persilatan, bukan saja karena jumlah anggotanya yang banyak, terutama sikap mereka yang lebih mengutamakan keadilan dan kebenaran daripada kemaruk nama serta harta, Andaikata apa yang dikisahkan Tian Pek terbukti kebenarannya, ini sama artinya pemuda itu sudah mencoreng moreng sejarah Siau lim-si yang sudah cemerlang selama be-ratus2 tahun ini.
Waktu itu Ci-hay Siansu telah menghimpun segenap tenaga dalamnya pada telapak tangannya, asal pertanyaannya itu dijawab Tian Pek dengan "ya" atau anggukan kepala, maka dia akan segera melancarkan sarangan maut dengan segenap kekuatannya itu.
Tian Pek tidak melayani kemarahan paderi itu, meski ia tahu kegusaran Ci-hay Siansu sudah mencapai puncaknya, dengan tak acuh ia berkata lagi: "Taysu tak perlu cemas atau gelisah, padamkan dulu hawa amarahmu itu, sebab berbicara sesungguhnya aku sendiri belum pernah mendengar ketua kalian yang lampau ikut pula memperebutkan kitab pusaka itu dengan jago2 lainnya.
Tapi yang pasti kutahu bahwa kitab pusaka itu akhirnya terjatuh ke tangan anak murid perguruan Hoat hoa-lam-cong!" .
Ucapan ini kembali membuat suasana jadi gaduh, terutama sekali para Ciangbunjin dari perguruau Hoat-hoa aliran selatan dan perguruan Hoat-hoa aliran utara, serentak mereka melompat maju ke depan.
Ketua Hoat-hoa-lam-cong, yang bergelar Tan-cing-kek (jago pemetik kecapi) Thio Jiang lantas tertawa ter-babak2, serunya: "Hahaha, jadi berbicaria pulang pergi, akhirnya pemilik yang sebenarnya kitab pusaka Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip adalah perguruan kami! Hahaha, benar2
tak tersangka!"
Ketua Hoat-hoa-pak-cong (aliran utara) yang berjuluk Tiat-pi-pa-jiu (tangan sakti kecapi baja) Hoan Wan ikut menimbrung pula: "Jika memang begitu keadaannya, harap Tian-siauhrap bersedia mengembalikan kitab yang sudah hilang selama dua ratus tahun itu kepada pemilik yang sebenarnya!"
Tian Pek tersenyum, ia tidak menanggapi pernyataan kedua orang itu melainkan meneruskan lagi kisahnya:
"Sayang sekali, anak murid Hoat-hoa-lam-cong tak dapat mempertahankan kitab pusaka itu terlampau lama, dalam suatu perkelahian akhirnya mereka tewas dalam keadaan yang mengerikan dan kitab pusaka itupun dirampas oleh Ngo-jiu-leng-hou (rase licik bercakar lima) yang sebenarnya tidak berilmu tinggi! '
Kembali kawanan jago itu tertegun, Tiat-pi-pa Hoan Wan segera berseru: "Walaupun kami tidak menyaksikan sendiri jalannya pertarungan itu, tapi kami yakin jago2 yang ikut serta dalam perebutan kitab pusaka itu pasti terdiri dari jago2 yang berilmu tinggi, bagaimana penjelasanmu tentang cerita ini" Masa kitab pusaka itu malahan kena didapatkan oleh jago yang tidak berilmu tinggi"'
"Sederhana sekali penjelasannya, jika jago2 berilmu tinggi saling memperebutkan kitab itu lebih dulu sehingga banyak yang terluka dan tewas, sementara Ngo-jiau-leng-hou sendiri cuma berpeluk tangan menyaksikan harimau bertempur, sudah tentu akhinya dia yang heruntung! Sudah
pernah mendengar kisah Bu Cong membunuh harimau" Bu Ceng merasa
tak mampu melawan dua ekor harimau, ia sengaja menyingkir ke samping dan membiarkan kedua ekor harimau yang akan menerkamnya saling berkelahi lebih dulu, akhirnya setelah kedua ekor harimau itu sama2
terluka, ia baru turun tangan membinasakan binatang tersebut. Begitu juga siasat yang digunakan Ngo-jiau-leng-hou, maka dengan sangat mudah ia berhasil mendapatkan kitab pusaka Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit kip tersebut!"
Bersama dengan selesainya ucapan tersebut, tiba2
terdengar seseorang tertawa seram, menyusul seorang kakek kurus kering tinggal kulit membungkus tulang melayang masuk ke gelanggang, begitu tiba di arena dia lantas berseru: "Sungguh tak nyana!. Sungguh tak kuduga, rupanya kitab pusaka yang luar biasa itu adalah milik perguruan Khong -tong-pay kami!"
Ia lantas berpaling ke arah Tian Pek dan menjulurkan tangannya: "Pemiliknya sudah datang, hayo kembalikan kepadaku!"
Kakek kurus kering ini cukup dikenal oleh jago2 yang hadir, sebab dia tak lain adalah ketua perguruan Khong-tong-pay saat ini yang berjuluk Bay-kut-sian (Dewa tulang iga) Ong Gi-to.
Dengan kemunculan jago kurus ini, baru semua orang mengerti Ngo-jiau-leng-hou yang disebut oleh Tian Pek tadi tak lain adalah jago yang berasal dari Khong-tong-pay.
Meski Khong-tong-pay terhitung salah satu di antara sembilan aliran besar di dunia persilatan dan orang persilatan menganggapnya sebagai suatu parguruan dari aliran putih, karena mereka tak pernah mencuri, membegal, tidak menyelenggarakan tempat bordil, tidak menjadi
penyamun serta melakukan jual-beli tanpa modal, tapi muridnya terdiri dari manusia yang beraneka ragam, peraturan perguruannya tidak ketat, banyak anggotanya berbuat se-wenang2. Karenanya meski termasuk dalam deretan sembilan besar, namun sebenarnya perguruannya terhitung perguruan paling rendah di antara yang lain.
Tidak heran tatkala Tian Pek menyatakan bahwa kitab pusaka Soh-kut-siau-hun-thian- hud-pit-kip adalah milik Khong-tong-pay, bukan saja kedelepan besar lainnya segera tak senang hati, bahkan hampir setiap jago yang hadir di situ mempunyai perasaan yang sama.
Jilid 26 Sekalipun tak senang hati, apa mau dikata lagi kalau kenyataannya memang demikian" Sebab itu menurut adat yang berlaku dalam dunia persilatan, barang siapa berhasil mendapatkan benda pusaka yang tak bertuan, maka dialah yang dianggap sebagai pemiliknya.
Ci-hay Siancu kuatir uraian Tian Pak akan menggugat hal milik Siau-lim-pay atas benda itu, bahkan akan membuyarkan pula persatuan dari sembilan besar, maka biji matanya lantas berputar, sambil menahan gelora perasaannya ia berkata lagi kepada pemuda itu:
"Siau-sicu, coba lanjutkan cerita menurut versimu!
Bagaimanakah nasib kitab pusaka Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip itu selanjutnya" Dengan dibayangi oleh demikian banyak jago lihay belum tentu Ngo-jiau-leng-hou bisa melindungi kitab itu untuk selamanya meskipun untuk sementara berhasil ia rampas bagaimana kisah selanjutnya"
Akhirnya kitab itu berhasil didapatkan siapa?"
"Bagaimana kisah selanjutnya aku kurang begitu tahu, sebatas yang kuketahui hanya terbatas sampat di sini saja!"
Mendengar itu, Ci-hay Siansu tertawa dingin: "Hehehe, kalau ucapan Siau-sicu ada kepala tanpa ekor, ini membuktikan bahwa kau sengaja mengarang cerita bohong untuk mengangkangi sendiri kitab pusaka itu!"
Keadaan yang sebenarnya memang tak diketahui Tian Pek, sebab dari paman Lui ia hanya diberitahu sampai di situ saja, tapi sekarang ketua Siau lim-pay ini, memaki dan memfitnah seenaknya sendiri, 'kontan saja anak itu naik darah.
"Taysu, ingatlah pada kedudukanmu yang tinggi dan jangan merendahkan gengsimu sendiri dengan menfitnah orang seenaknya!"
"Hmm, orang persilatan mengatakan Siau-sicu jujur dan berjiwa besar, tapi setelah perjumpaan hari ini baru kuketahui bahwa apa yang tersiar di dunia persilatan tak dapat dipercaya!" seru Ci-hay Siansu pula dengan gusar.
"Apa maksud perkataanmu itu?" tanya Tian Pek.
"Sungguh mengecewakan Siau-sicu mempunyai nama pendekar, pada hakekatnya tak lebih adalah manusia munafik. Perbuatanmu ini sama dengan mencorengi nama baik Pek-lek-kiam Tian-tayhiap dimasa lalu . . . ."
"Tutup mulut!" bentak Tian Pek dengan gusar.
Dengan cepat Ci-hay Siansu mundur selangkah dia mengira musuh akan turun tangan, cepat telapak tangannya siap diangkat keatas, untuk menghadapi segala kemungkinan.
Sebagai anak yang berbakti, Tian Pek benci bila ada orang menghina nama baik mendiang ayahnya, segera ia
hendak melabrak orang, akan tetapi ketika tenaga pukulannya terhimpun, tiba2 teringat olehnya bahwa ia sudah berjanji pada pahak Lam-hay-bun untuk tidak mencampuri urusan dunia persilatan lagi, maka hawa murni yang sudah dihimpun segera dibuyarkan kembali, telapak tangan yang sudah terangkat pelahan-lahan diturunkan.
"Hm, kuhormati Taysu sebagai seorang Ciangbunjin, tapi Taysu malah menghina mendiang ayahku, andaikata aku tiada janji dengan orang lain untuk tidak mencampuri urusan dunia persilatan lagi, hm, tentu aku tidak sungkan2
lagi kepadamu! Sekarang akupun tak ingin banyak bicara hendaklah kalian segera tinggalkan tempat ini!" kata Tian Pek dengan gemas.
Sebagai ketua Siau lim-pay, kedudukan Ci-hay Siansu di dalam dunia persilatan sangat tinggi dan terhormat, tapi sekarang di hadapan orang banyak ia dibentak oleh Tian Pek dengan kasar, hal ini membuat paderi tersebut jadi tertegun.
Tian Pek sendiripun tidak sungkan2, sehabis berkata ia tak pedulikan lawannya lagi dan segera berlalu.
Tiba2 Bay-kut sian membentak: "Bocah keparat, jangan pergi dulu" Hmm, berani kau bersikap kurangajar terhadap ketua sembilan besar" Sambut dulu pukulanku ini!"
Di iringi bentakan nyaring, tubuhnya melambung ke udara, dari atas telapak tangannya menghantam punggung Tian Pek.
Cepat Tian Pek melompat ke depan, dengan begitu serangan maut Bay-kut-sian mengenai sasaran yang kosong.
"Blang!" di tengah dentuman heras, debu pasir beterbangan, pukulan dahsyat Bay-kut-sian itu menghantam permukaan tanah hingga menimbulkan sebuah liang besar.
Tak malu ia sebagai ketua Khong-tong-pay, ditinjau dari kekuatan serangannya dapatlah diketahui tenaga dalamnya cukup sempurna, meski demikian banyak orang diam2
mencemooh sebab sebagai seorang ketua yang mempunyai kedudukan torhormat, tidaklah pantas baginya untuk menyergap orang dari belakang.
Tian Pek sendiri tak ingin melanggar janjinya, maka ia tidak melancarkan serangan balasan, setelah lolos dari ancaman itu ia meneruskan langkahnya untuk berlalu dari situ.
Tan-ceng-kek, ketua Hoat-hoa-lam-cong, sama Tiat-pi-pa-jiu, ketua Hoat-hoa-pak-cong melompat maju dan mengadang jalan pergi Tian Pek.
"Mau kabur dari sini" Tidak gampang sobat!?" jengek mereka " Boleh saja kalau ingin pergi, tapi serahkan dulu kitab pusaka Soh-kut-siau-hun-thian hud-pit-kip!"
Dalam pada itu Ci-hay Siansu serta beberapa orang ketua lainnya sudah memburu maju pula ke depan Tian Pak sepera terkepung lagi di tengah.
Walaupun jago2 yang hadir terdiri dari ketua sembilan besar, tapi yang mengepung Tian Pek sekarang ada sepuluh orang, sebab dari pihak perguruan Hoat-hoa-bun terbagi menjadi Lam-cong (sekte selatan) dan Pakcong (sekte utara), bisa dibayangkan bagaimana tegangnya suasana waktu itu.
"Siau-sicu!" kembali Ci-hay Siansu berkata, "bila Sohkut-siau-hun-thian-hud-lok tidak kau serahkan, jangan salahkan kami akan turun tangan bersama!"
Tian Pek tertawa dingin, ia tidak menanggapi ancaman tersebut, sungguh dia ingin menghajar musuh habis2an, akan tetapi iapun tak mau me-langgar janji, keadaannya jadi serba salah, untuk sesaat ia menjadi bingung.
Dalam keadaan begitu, untunglah paman Lui tampil dan berdiri di depan Ci hay Siansu, tegurnya: "Siau-lim Ciangbun kan kenal padaku?"
Dengan tajam Ci-hay Siansu mengawasi paman Lui dari atas sampai ke bawah, orang ini berambut awut2an, berwajah kereng dan bermata tajam, sudah pasti tenaga dalamnya sangat hebat, tapi selama ini belum pernah kenal, apalagi dalam keadaan mendongkol, tanpa pikir sabutnya ketus: "Maaf, pengetahuanku cetek, tidak kukenal siapa gerangan anda ini!"
"Apakah, mendiang Ciangbunjinmu tidak meninggalkan pesan apa2 waktu kau menerima jabatan ketua?" kata paman Lui.
Pertanyaan yang diajukan tanpag ujung pangkal iini, membuat Cih-hay Siansu tertegun, kembali ia mengamati paman Lui, lalu sahutnya: "Masa urusan pengangkatan Ciangbunjin kami ada sangkut pautnya dengan diri Sicu?"
"Aku kira memang ada sedikit sangkut pautnya" kata paman Lui tersenyum.
Ucapan ini dirasakan sebagai suatu penghinaan bagi Siau-lim-pay, kontan saja Ci-hay Siansu naik darah, teriaknya: "Aku tak pernah kenal kau, mengapa kau bilang ada sangkut pautnya dengan kami" Hmm, jika kau tidak jelaskan duduknya perkara, akan kuadu jiwa dengan kau!"
Paman Lui tertawa, katanya: "Taysu, ucapanmu ini terlalu emosi, bila kau benar2 menghendaki aku bicara terus terang, kukuatir masalah ini akan mempengaruhi
kebersihan nama baik Siau-Iim-pay yang sudah terpupuk selama ratusan tahunl"
"Coba terangkan, masalah apakah itu?" seru Ci-hay Siansu semakin gusar.
"Masalah ini menyangkut nama baik serta kebersihan biara kalian selama ratusan tahun, kurasa kurang leluasa untuk diterangkan di hadapan umum, bagaimana kalau kita berdua mencari tempat yang sunyi saja dan membicarakan persoalan ini di bawah empat mata!"
Ci-hay Siansu hampir saja tak dapat mengendalikan amarahnya, ia berteriak: "Tampaknya kau ini seorang pendakar, kenapa cara bicaramu ber-tele2 begini" Kalau ingin bicara cepat katakan kalau tidak lekas enyah dari sini!"
Sesungguhnya paman Lui memang pernah terlibat dalam satu persoalan yang menyangkut ketua Siau-lim-pay dari generasi yang lalu, bahkan pernah membantu kesukaran biara itu, sebenarnya dia tak ingin membongkar masalah yang memalukan Siau-lim itu dihadapan umum.
Tapi sekarang, urusan kedua pihak telah buntu, dalam keadasn begini tak mungkin Ci-hay Siansu akan menerima usul paman Lui, sedangkan paman Lui sendiri karena terpaksa harus menguraikannya secara blak2an.
"Hei, hwesio tua, kau yang memaksa aku membeberkannya, maka segala risiko adalah tanggung jawabmu." kata paman Lui. "Sekali lagi ingin kutanya padamu, tahukah kau cara bagaimama Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip itu terjatuh ke tangan Siau-lim-pay?"
Ci-hay Siansu swedang marah, maka tanpa pikir dia menjawab, "Tadi sudah kuterangkan, kitab itu dihadiahkan kepada Ko-sui Siangjin, ketua kami yang lalu lantaran
Ciah-gan-long-kun Locianpwe merasa berutang budi kepada ketua kami itu!"
"Lalu bagaimana penjelasanmu tentang apa yang dituturkan Tian-siauhiap tadi?"
"Hmm, apa lagi yang perlu kujelaskan" Dia sengaja memutar balikkan duduknya persoalan dan bicara ngawur?"
"Tutup mulut . . , . " teriak Tian Pek sambil maju ke muka, belum pernah ia di maki orang secara begini.
Paman Lui segera mengalangi anak muda itu, lalu kepada Ci-hay Sian-su ia berkata lagi: "Kalau kau tidak percaya, maka sekarang ingin kutegaskan kepadamu bahwa apa yang diucapkan Tian-siauhiap sedikitpun tidak salah, akhirnya Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip itu diperoleh Ngo-jiau-leng-hou yang dipandang berkepandaiaan rendah itu."
Bay-kut-sian terkejut bercampur girang mendengar pengakuan itu.
Ci-hay Siansu tertawa dingin, teriaknya: "Ah, omong kosong, sekalipun kau mengulangi kembali kisah itu sampai beberapa ratus kali juga percuma, tak nanti aku percaya!"
"Tapi kejadian yang sebenarnya memang begitu, tidak mau percaya juga harus percaya,"seru paman Lui.
Wajah Ci-hay Siarau makin kaku, katanya: "Menurut keteranganmu, bagaimana akhirnya kitab pusaka tersebut dapat terjatuh kembali ke tangan Ciaugbunjin kami" Dan mengapa bisa menjadi pusaka turun temurun biara kami"
Apakah Siaulim-si kami mesti meniru cara Ngo-jiau-leng-hou merampas kitab tersebut dari tangan orang lain?"
Karena gusar Ci-hay Siansu hanya memaki dan membantah, ia tidak membayangkan bahwa ucapan itu akan menyinggung perasaan ketua Khong-tong-pay.
Benar juga, air muka Bay-kut-sian, ketua Khong-tong itu berubah hebat, dengan tatapan tajam dia melototi wajah paderi itu, hawa nafsu membunuh menyelimuti mukanya.
Tapi sebalum ia bersuara, paman Lui telah menanggapi dengan cepat: "Perkataanmu memang tepat sekali!"
Kini air muka Ci-hay Siansu yang berubah hebat.
Paman Lui lantas berkata lebih jauh: 'Berbicara sesungguhnya. kendati Ko-sui Siangjin juga menggunakan cara yang sama untuk merampas kitab pusaka itu, namun maksud dan tujuannya berbeda jauh dengan apa yang dipikirkan Ngo-jiau-leng-hou. Kalau Ngo-jiau-leng-hou merampas kitab itu demi kepentingan pribadi agar dapat malang melintang di dunia persilatan, maka Ko-sui Siangjin merampas kitab itu dengan harapan mencegah badai pembunuhan di dunia persilatan, bahkan setelah kitab itu berhasil dirampas, ia tak memandangnya barang sekejap jua dan kemudian disimpan ke dalam gudang. Sejak itulah kitab pusaka itu menjadi kitab yang tidak pernah diwariskan kepada orang, demikian pula dengan anak murid Siau-lim-si, tak seorangpun pernah berlatih kepandaian sakti itu, sebab Ciangbunjin mereka secara turun temurun melarang siapapun membuka kitab tadi, barang siapa berani mencuri lihat akan dianggap sebagai pengkhianat perguruan. Yaa, hanya satu pikiran sesaat dapat menerbitkan bencana besar, aku tidak membantah bahwa maksud ketua Siaulim-pay yang lalu memang baik dan mulia!"
Persoalan ini hakikatnya adalah rahasia perguruan dan cuma Ciangbunjin saja yang mengetahuinya, rahasia tersebut hanya diberitahukan kepada Ciangbunjin yang
baru pada waktu dilantik menjadi ketua, tak heran kalau tiada orang luar yang mengetahuinya lagi.
Tapi sekarang rahasia tersebut terbongkar dari mulut orang lain, dapat dibayangkaa betapa rasa kaget dan heran Ci-hay Siansu.
"Bangsat, besar amat nyalimu!" hardiknya dengan murka, "darimana kau mengetahui persoalan ini?""
"Keledai gundul, hendaklah sikapmu sedikit tahu diri!"
ujar paman Lui dengan gusar,
"aku ingin bertanya lagi padamu, tahukah gkau apa sebabnya tiga orang suheng mendiang Ciangbunjinmu tewas secara mengenaskan?"
Pertanyaan ini membuat Ci-hay Siansu terbelalak dan sama sekali tak mampu menjawab.
Ciangbunjin Siau-lim-si yang dulu bergelar Ceng sim Siansu, dia tak lain adalah gurunya Ci-hay, sedangkan ketiga orang Supeknya, yakni Thian-sim, Jing-sim serta Beng-sim justeru mati karena dijatuhi hukuman yang paling berat menurut peraturan perguruan. Tapi mengapa mereka sampai dihukum mati" Hal ini merupakan rahasia besar yang tak diketahui orang luar, bahkan ketika Ceng-sim Siansu melimpahkan jabatan ketuanya kepada Ci-hay, persoalan ini tak pernah disinggung, dengan sendirinya Ci-hay Siansu tak tahu.
Dan sekarang, pertanyaan itu diajukan oleh paman Lui, pantas kalau ketua Siau-lim-pay ini jadi gelagapan.
Sekalipun demikian, tentu saja ia tak mau mengatakan dia tidak tahu, sambil mengernyitkan alis ia membentak dengan gusar: "Masa kau tahu jelas sebab musabab kematian ketiga orang Supekku?"
"Hahaha, kalau aku tidak jelas, siapa lagi yang tahu"
Aku berani memastikan bahwa setelah Ceng-sim mati, di dunia ini hanya aku seorang yang mengetahui rahasia ini!"
"Omong kosong, tak mungkin kau tahu!" teriak Ci hay Siansu semakin gusar.
"Hmm, agaknya kau memaksa kubongkar semua rahasia ini dihadapan umum!" kata paman Lui dengan mata melotot.: "Baiklah, kalau memang begitu, terpaksa akupun harus bicara terus terang. Ketahuilah, ketiga orang Supekmu itu bunuh diri dengan menghantam ubun2 sendiri karena mereka melanggar pantangan Siau-lim-si, yaitu diam2 mencuri lihat Soh-kut-siau-hun-thian-hud-lok!"
Air muka Ci-hay Siansu berubah hebat, bentaknya: Ketiga orang Supekku adalah Suheng Ciangbunjin yang dulu, sekalipun mereka mencuri melihat kitab pusaka itu, kesalahannya tak sampai dijatuhi hukuman mati Huh!
Ketahuan sekarang, tampaknya kau memang sengaja bicara ngawur untuk menutupi maksud busuk pribadimu sendiri . .
." Paman Lui menjengek, katanya: "Umpama jika tiga Supekmu mencuri lihat kitab pusaka itu, kemudian perbuatan mereka diketahui Ciangbunjin, tapi mereka tidak menurut perintah ketuanya sebaliknya malahan menyerang Ciangbunjinnya, coba jawab, perbuatan semacam ini pantas tidak kalau dijatuhi hukuman mati?"
Ci-hay Siansu tertegun dan tak bisa bicara lagi.
Kedudukan seorang Ciangbunjin adalah tampuk pimpinan tertinggi, jangankan sesama saudara seperguruan, sekalipun Supek atau Susioknya juga akan dijatuhi hukuman mati bila berani mencelakai sang ketua.
Sementara itu perhatian semua, orang sama tertuju pada tanya jawab ini, meskipun bukan suatu pertempuran seru,
tapi masalahnya menyangkut suatu rahasia besar yang terjadi pada dua ratus tahun berselang, bahkan ada hubungannya dengan nasib Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip, maka tak heran kalau semua orang ikut tegang.
Agak lama Ci-hay Siansu termangu, tapi satu ingatan terlintas dalam benaknya, cepat ia berkata: "Hmm, sedangkan aku sebagai Ciangbunjinnya tidak mengetahui rahasia ini, darimana kau bisa mengetahui rahasia tersebut sejelas itu" kalyau bukan bicara ngawur dan memfitnah, apa lagi namanya?"
"Oleh sebab aku hadir di sana waktu itu, sudah tentu aku mengetahui persoalan ini dengan jelas!"
"Apa" Kau hadir di sana waktu itu?"'
"Benar!" dengan meyakinkan paman Lui mengangguk
"Bila aku tak hadir ketika itu, mungkin Ceng-sim Hongtiang, sudah tamat jiwanya! Justeru akulah yang menyelamatkan jiwanya, maka gurumu sempat mencaci maki ketiga Supekmu sehingga mereka jadi malu dan menyesal, akhirnya untuk menebus dosanya mereka telah bunuh diri dengan menghancurkan batok kepalanya sendiri!"
Ci-hay Siansu kaget, saking tegangnya sampai dada terasa sesak Demikian pula kawanan jago yang lain, mereka sama terbelalak, suasaana jadi sepi, tatapan semua orang tertuju ke muka paman Lui.
Setelah berhenti sejenak, paman Lui berkata lagi:
"Karena peristiwa itu, gurumu Ceng-sim Hong-tiang mulai menaruh perhatian pada kitab pusaka itu dan membaca isinya, kemudian karena merasa kitab itu terlampau kotor dan tak pantas disimpan di dalam biara, mengingat pula aku yang telah menyelamatkan jiwanya hingga Siau-lim si yang sudah berusia ratusan tahun tidak berantakan di
tengah jalan, kitab tersebut lalu dihadiahkan kepadaku sebagai rasa terima kasihnya, selain itu ia menghadiahkan pula
tiga biji obat Liong hou si-mia-wan yang tak ternilai harganya itu kepadaku!"
Sekujur badan Ci-hay Siansu sudah basah kuyup seperti diguyur air dingin.
Kiranya Siau-lim-si kini telah jatuh dalam kekuasaan Lam-hay-bun, untuk berusaha merampas kembali Siau-lim-si yang sudah bersejarah ratusan tahun dari tangan Lam-hay-bun, terpaksa Ci-hay membawa anak muridnya kabur dari biara itu untuk mencari kembali kitab pusaka yang berisikan pelajaran ilmu silat maha tinggi itu, sebab dengan ke-72 jenis ilmu silat andalan Siau-lim masih belum mampu mengalahkan lawan.
Dalam penyelidikannya kemudian diketahui bahwa kitab pusaka yang di-cari2 itu sudah terjatuh ke tangan seorang jago muda yang bernama Tian Pek, namun tersiar pula berita yang mengatakan bahwa kungfu Tian Pek amat tinggi, bukan saja dapat menghadapi Hay-gwa-sam-sat, bahkan Hek-to-su-hiong yang lihay juga dikalahkan. Maka untuk mewujudkan cita2nya, dengan macam2 alasan serta bujukan ia minta dukungan ketua kedelapan aliran persilatan lain agar kitab Soh-kut-siau-hun tesebut bisa diperoleh kembali.
Tapi sekarang, setelah mendengar penjelasan paman Lui, ia tak bisa berkutik lagi, sebab hakikatnya pihak Siau-lim-si telah melimpahkan hak memiliki kitab itu kepada orang lain..
Begitulah, maka sesudah paman Lui bercerita tentang rahasia Siau-lim-si yang tak diketahuinya, maka Ci-hay
Siansu jadi kaget dan tertegun, malahan iapun merasa gusar karena nama baik Siau-lim-si yang sudah cemerlang selama ratusan tahun itu se-akan2 terletak pada tangan paman Lui.
"Siapa kau?" bentaknya dengan gusar.
Paman Lui tersenyum: "Aku hanya seorang Bu-beng-siau-cut orang kecil yang tak ternama, orang2 menyebut diriku Thian-hud-ciang Lui Ceng-Wan!"
Air muka Ci-hay Siansu berubah, buru2 dia memberi hormat seraya berkata: "Omitohud! Siancay! Siancay!
Kiranya Lui-inkong, harap dimaafkan kekasaranku . . .."
Paman Lui merasa tak enak hati melihat sikap ketua Siau-lim-si ini berubah menghormat setelah mendengar namanya, cepat dia balas menghormat.
Tapi tiba2 satu ingatan terlintas dalam benak Ci-hay Siansu, ia merasa tindakannya ini tak benar, bila ia minta maaf kepada paman Lui, bukankah berarti Siau-lim-si tidak berhak lagi untuk menuntut kembali kitab pusaka itu" Lalu cara bagaimana pula ia akan mengalahkan orang2 Lam hay-bun serta merebut kembali kuilnya".
Maka cepat ia berkata: "Cuma, kita baru berjumpa untuk pertama kali ini, kukira perlu kau menunjukkan sesuatu bukti yang meyakinkan."
Paman Lui melengak, tak disangkanya ketua Siau-lim-pay ini gampang berubah sikap, tanyanya tercengang:
"Bukti apa yang kau inginkan?"
"Bukankah kau mengatakan bahwa Ciangbunjin kami yang lalu telah menghadiahkan tiga butir Liong-hou-si-mia-wan dan menyerahkan pula kitab Soh-kut-siau-hun-thian hud-lok kepadamu" Asal kedua macam barang ini dapat kau pertunjukan kepadaku, maka akupun akan percaya
semua penuturanmu Sebaliknya jika barang bukti tak dapat kau tunjukkan .
. . . Hm, itu berarti kau cuma mengibul untuk mempermainkan diriku, maka jangan salahkan aku takkan sungkan2 lagi kepadamu!"
"Barang bukti apa yang bisa kuperlihatkan kepadamu?"
paman Lui berpikir dalam hati, "dari tiga biji Liong-hou-si-mia-wan, dua biji sudah kugunakan untuk menolong orang, sedang yang ketiga telah kuserahkan kepada Tian Pek sewaktu berada di perkampungan Pah-to-san-ceng, waktu itu Tian Pek tak mau menerimanya dan sudah kubuang ke tanah, sebaliknya kitab pusaka Thian-hud pit-kip sudah dimusnahkan Tiang Pek, darimana pula
aku bisa mhemiliki benda2 itu lagi?"
Tapi paman Lui pun mengerti, kendati kedua macam benda itu masih utuh, tak nanti Ci-hay Siansu akan menyudahi persoalan ini sampai di sini saja.
Kiranya ketika paman Lui berkelana di dunia persilatan untuk mencari jejak Pek-lek-kiam Tian In-thian dahulu tanpa sengaja ia mampir di Siau-lim-si, kebetulan juga malam itu di sana terjadi huru-hara, apa yang terjadi waktu itu, kecuali Ceng-sim Hongtiang, ketua Siau lim-pay yang dulu, tiada orang kedua yang ikut manyaksikan, maka andaikata Ci-hay Siansu tak mau mengakui sekalipun ada barang bukti, paman Lui juga tak bisa berbuat apa2.
Berpikir sampai di sini, paman Lui menengadah dan tertawa ter-bahak2, serunya: "Meski aku Lui Ceng-wan hanya seorang Bu-bing-siau-cut, akan tetapi semua perbuatan yang pernah kulakukan selama ini diketahui pula oleh sahabat2 dunia Kangouw, cuma tanyakan saja kepada orang lain, pernahkah aku berbohong" Eh, Hwesio tua, aku tidak memaksa
kau harus percaya pada perkataanku, tapi apa yang bisa kukatakan hanya ini saja, percaya atau tidak terserah padamu."
Sebelum Ci-hay Siansu sempat menjawab, Bay-kut-sian dari Khong-tong-pay sudah maju ke depan, ujarnya dengan muka dingin: "Siansu, apa gunanya kita omong melulu dengan orang ini, tanyakan saja Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip sekarang berada pada siapa"
"Hehehe, kau ingin tahu" Belum berhak, sobat . . . . ."
jengek paman Lui sambil tertawa dingin.
Bay-kut-sian adalah lelaki yang gemar main perempuan, bila malam tiba dan di sampingnya tak ada perempuan yang mendampinginya, semalaman dia tak bisa tidur nyenyak, karena itulah akhirnya ia jadi kurus kering tinggal kulit membungkus tulang dan tersohor sebagai Bay-kut-sian si dewa tulang iga.
Sesuai dengan julukannya, orang ini tidak jujur hidupnya, orang persilatan dari golongan putih rata2
membenci padanya.
Paman Lui berwatak keras, ia memandang hina manusia2 sebangsa itu, maka ketika Bay-kut sian tampil ke depan, serta merta iga naik darah, otomatis ucapannhya juga ketus dan tak sungkan2.
Tapi justeru karena sikapnya ini, Bay-kut sian makin marah, mukanya yang ke-pucat2an berkerut, matanya melotot, lalu makinya dengan gusar: "Lui sinting, kau jangan takabur! Sambut dulu pukulanku ini .......
Dengan segenap tenaganya ia lepaskan pukulan dahsyat ke dada musuh, angin serangan yang kuat men-deru2.
"Huh! Pukulan macam ini juga dipamerkan" jengek paman Lui, tangan kanannya diayun ke muka untuk menyambut serangan tersebut.
"Blang!" kedua gulung tenaga beradu, terjadilah suara keras, beruntun Bay-kut-sian tergetar mundur tiga langkah, sebaliknya paman Lui tak geming di tempat semula.
Kecundang didepan orang banyak, Bay-kut-sian jadi kalap, dia meraung seperti harimau gila, diterjangnya paman Lui dengan garang, secara beruntun ia melepaskan tiga pukulan dan dua tendangan kilat.
"Bangsat! Rupanya kau sudah bosan hidup!" teriak paman Lui dengan marah, ia mainkan Thian hud-ciang dengan rapat, semua pukulan dan tendangan lawan dipapaki dengan kekerasan.
Dua sosok tubuh mereka se-olah2 bergumul menjadi satu, diantara benturan keras tiba2 tubuh mereka berpisah satu lama lainnya.
Paman Lui yang gagah perkasa masih berdiri tegak, sebaliknya Bay-kut-sian yang kurus kering seperti lidi berdiri sempoyongan, mukanya makin pucat, dengan beringas ia melototi musuh, tiba2 Bay kut-sian mundur dengan sempoyongan, setelah muntah darah lantas roboh terjungkal .....
Untung Ci-hay Siansu ber-jaga2 disampingnya, paderi itu segera melompat maju dan menyambar tubuh Bay-kut-sian yang hampir mencium tanah, dia keluarkan sebutir pil dan dijejalkan ke mulut ketua Khong-tong-pay itu, kemudian berpaling dan serunya kepada paman Lui dengan marawh:.
"Lui Ceng-wyan, keji amat txindakanmu! Ong-ciangbun datang atas undanganku dan sekarang ia terluka, hehehe.
itu berarti kau telah memusuhi sembilan besar . . . . '
Belum habis Ci-hay Siansu berkata, ketua Hoat hoa-lam-cong, yakni Tan-ceng-kek Thio Jiang serta Tiat-pi-pa-jiu Hoan Wan, ketua Hoat-hoa-pak-cong serentak membentak dan menerjang ke depan, yang satu dengan ilmu jari Tan-ceng-ci sedangkan yang lain mainkan pukulan Pi-pa-jiu, dari kiri kanan mereka menyergap paman Lui.
Sebagaimana tadi, Paman Lui tidak menghindar, ia sambut serangan tersebut dengan kekerasan kemudian ejeknya sambil tertawa dingin: "Hehehe, sungguh tak nyana sembilan besar yang tersohor namanya tak lebih hanya manusia keroco yang mencari kemenangan dengan mengandalkan jumlah banyak!"
Perkataan ini hakikatnya menyinggung perasaan semua ketua sembilan aliran besar, tak heran ketujuh ketua lainpun serentak menerjang maju dengan murka. Ci-hay Siansu, ketua Siau-lim-pay sendiri setelah membaringkan Bay-kutsian di atas tanah, lalu menerjang pula ke tengah arena, serunya dengan gusar: "Lui-sicu, persoalan ini mempengaruhi mati hidupnya dunia persilatan, jika So-kut-hun-thian-hud-pit-kip tidak kau serahkan, jangan salahkan kesembilan ketua dari sembi!an besar akan menyerang kau secara bersama2!"
Paman Lui ayun tangannya untuk mematahkan serangan ketua Hoat-hoa-lam-cong dan ketua Hoat-hoa-pak-cong, kemudian menengadah dan tertawa:
"Hahaha, di masa usia lanjut seperti ini orang sheLui memperoleh kesempatan menjajal kelihayan ketua sembilan besar, kesempatan ini betu12 suatu surprise bagiku. Hayo silakan kalian bersembilan maju bersama!" jengeknya berbareng dengan selesainya sindiran tersebut, tiba2 ia melepaskan tujuh kali pukulan.
Sekaligus paman Lui menghadapi kedelapan ketua perguruan besar, maka dapat dibayangkan sampai betapa hebat pertempuran ini.
Tiba2 dari sisi kalangan muncul scorang, secepat kilat orang itu menerjang ke tengah arena pertarungan.
Padahal pada saat itu pertarungan sedang memuncak ketegangannya, setiap pukulan yang mereka lancarkan merupakan serangan mematikan, angin pukulan menderu2, kesembilan orang tangguh yang bertarung itu seperti lengket menjadi satu. Lalu siapakah yang berani menerjang masuk ke tengah kalangan pertarungan yang amat sengit dan berbahaya itu" Waktu semua orang menjerit kaget, bayangan orang itu dengan kesepatan luar biasa sudah meluncur ke tengah arena.
Tiada searangpun yang tahu jurus serangan apakah yang dipergunakan orang itu, yang pasti kedelapan ketua perguruan yang mcngerubuti paman Lui itu bagaikan terpagut ular, segera menjert kaget dan melompat keluar arena pertarungan.
Sebentar kernudian di tengah gelanggang hanya berdiri dua orang saja, mereka adalah paman Lui, dan seorang pemuda tampan yang tak lain adalah Tian Pek.
Kejadian ini membuat semua orang terkejut, tapi tak sedikit pula yang bersorak memuji.
Dalam pertarungan paman Lui melawan kedelapan ketua dari delapan besar sudah cukup menggemparkan, itupun karena paman Lui adalah jago tangguh yang sudah terkenal semenjak puluhan tahun yang lalu, tapi sekarang Tian Pek hanya pemuda baru berusia likuran tahunan dan dengan satu jurus saja telah berhasil, memaksa mundur kedelapan ketua itu, siapa yang tak heran menyaksikan kejadian ini"
Hakikatnya belum lama Tian Pek terjun ke dunia persilatan, sekalipun ia berhasil mengalahkan Hay-gwa-sam-sat dan Hek-to-su-hiong, tapi tak banyak jago yang menyaksikan peristiwa itu.
Dan sekarang mata mereka boleh dibilang dibikin melek, sebab terbuktilah pemuda itu memiliki keampuhan yaug luar biasa, sehingga cukup satu pukulan ini bisa memaksa mundur lawan2 tangguh.
Dalam pada itu, setelah berhasil pukul mundur kedelapan orang ketua perguruan besar itu dengan jurus Hud--kong pu-ciaug (sinar Buddha imemancar ke manha2), lalu Tian Pek berdiri di sisi paman Lui, mukanya tampak kereng berwibawa, gagah perkasa.
Ditatapnya sekejap kedelapan ketua perguruan besar itu dengan tajam, lalu berkata:
'Semenjak ratusan tahun yang lalu, sembilan perguruan besar selalu menjadi pemimpin dunia persilatan, Hm, setelah berada pada giliran pimpinan kalian, bukannya membawa perguruan sendiri ke puncak ketenaran, sebaliknya melakukan perbuatan tak senonoh dan menuduh orang tanpa dasar, kalau begini terus caranya, kuyakin tak sampai beberapa tahun lagi nama sembilan besar pasti akan berubah sebusuk sampah!"
Sejak tahu kelihayan anak muda itu, Ci hay Siansu tak berani bertindak gegabah sekalipun hatinya marah sekali mendengar sindiran tadi, dengan gusar ia membentak:
"maksudmu?"
"Sedari awal sudah kukatakan bahwa kitab pusaka Sohkut-siau-hun telah kumusnakan menjadi abu, persoalan ini sama sekali tak ada hubungannya dengan paman Lui, atas
dasar apakah kalian mengerubuti paman Lui" Begitukah perbuatan ketua2 perguruan besar . . . . ?"
Belum selesai pemuda itu menegur dan belum sempat Ci-hay Siansu menjawab, kembali ada dua sosok bayangan orang menerjang ke tengah arena.
Sewaktu masih di udara. salah satu bayangan itu telah berseru lebih dulu: "Bocah keparat she Tian! Kalau kitab pusaka Soh-kut-siau-hun masih berada padamu, hayo cepat serahkan kepada kami!"
Orang yang baru datang ini tak lain adalah Kanglam-ji-ki, dengan dandanan mereka yang menyolok, kungfu yang tinggi, perbuatan mereka yang busuk den tindak tanduk mereka yang seenaknya sendiri, Ci-hoat-leng-kau Siang Ki-ok serta Kui-kok-in-siu Bun Ceng-ki sudah tersohor sebagai gembong iblis yang disegani orang. Tak heran kalau kemunculan mereka segera mengejutkan kawanan jago yang berkumpul ini.
Ci hay Siansu sendiripun terkejut, cepat ia berkata:
"Kitab pusaka Soh-kut-siau-hun adalah benda pusaka Siaulim-si, aku tidak mengharapkan campur tangan kalian berdua!"
"Hehehe, Apa itu Siau-lim-si" Cuma nama kosong belaka!" jengek Ci-hoat-leng-kau Siang Ki-ok sambil tertawa dingin, "untuk melindungi kuili sendiripun takh becus, mau apa kau gembar gembor di sini?"
"kami bertekad akan mendapatkannya, barang siapa tidak mau tunduk, hmm, inilah contohnya" seru Kui-kokin-siu Bun Ceng-ki sambil tertawa seram, mendadak telapak tangannya dengan membawa desing angin dingin langsung menebas ke tubub Han-ceng-cu, itu ketua Bu-tong-pay.
Sebelum angin pukulan itu menyambar tiba, lebih dulu terasa hawa dingin yang merasuk tulang sumsum, Hian-ceng-cu menjerit kaget.
Untung gerak tubuh ketua Bu-tong-pay itu cukup cekatan, baru saja ia menyingkir ke samping, angin pukulan itu menyambar lewat, seketika ia menggigil ngeri.
Kasihan dua orang anggota perkumpulan pengemis yang berada di belakangnya, mereka tak dapat menghindar, di mana angin pukulan itu menyambar lewat, mereka menjerit ngeri, air mukanya berubah pucat roboh dengan kejang, setelah berkelejet beberapa saat lalu tak berkutik untuk selamanya.
Itulah pukulan Im-hong-ciang yarg baru saja diyakinkan kui-kok-in-siu, sekalipun dari jarak jauh, Cukup suatu pukulan ia dapat membinasakan dua orang, dari sini bisa diketahui betapa beracun dan hebatnya pukulan maut tersebut.
Kiranya pertapa dari lembah setan ini ingin "membunuh ayam menakuti monyet", dengan Im-hong-ciang yang lihay dan beracun itu ia serang ketua Bu-tong pay itu dengan harapan tindakannya ini akan bikin takut sembilan ketua perguruan lainnya.
Siapa tahu Hian-sing cu juga bukan tokoh lemah sebagai seorang Ciangbunjin dari suatu perguruan besar, dia memiliki ilmu silat yang ampuh, kendatipun diserang tanpa terduga, pada saat terakhir masih sempat menghindarkan diri dengan gerakan cepat.
Sial dua orang anggota perkumpulan pengemis itu, tanpa mengetahui sebab musababnya mereka menjadi setan pengganti ketua Bu tong-pay itu. .
Hong-jam-sam-kay menjadi murka, ketiga orang pengemis tua itu melompat maju dan melancarkan pukwulan dahsyat.
Tiga gulung angxin pukulan dahsyat segera menerjang dada Kui-kok-in-siu dengan hebatnya.
Belum sempat Kui-kok-in-siu turun tangan, Ci-hoat-lengkau yang berada di sampingnya telah mengebaskan ujung bajunya seraya membentak. "Pengemis sialan! Di sini tak ada urusan kalian, hayo enyah dari sini!"
Jangan kira kebutan Ci-hoat-leng-kau itu enteng dan sederhana, se-olah2 tak bertenaga, tapi sebenarnya membawa tenaga Hek-sat-jiu yang maha dahsyat, serta merta tenaga pukulan gabungan Hong-jan-sam-kay terpunahkan. .
Sebagai tokoh perkumpulan pengemis, bukan saja Hong-jan-sam-kay memiliki kungfu tinggi, nama dan kedudukan mereka di dunia persilatanpun amat cemerlang, akan tetapi tenaga gabungan yang mereka lancarkan berhasil ditangkis dengan mudah oleh Ci-hoat-leng-kau, hal ini menyebabkan ketiga pengemis tua itu terkesiap.
"Tak nyana kakek bertampang kunyuk ini memiliki kungfu yang lihay, belum pernah kujumpai jago sehebat ini
. .. . ." pikir mereka.
Sementara ketiga pengemis itu termanggu, jago2 Lam hay-bun yang selama ini hanya berpeluk tangan belaka, dengan berjajar menjadi satu baris perlahan mulai bergerak ke depan.
Di antara sekian jago Lam-hay-bun yang hadir ini, dipimpin oleh Sin-liong-taycu yang berbaju putih dan berkipas perak serta Lam-hay-liong-li yang cantik jelita bak bidadari dari kahyangan.
Di sebelah kiri kedua muda-mudi itu adalah Hay gwa-sam-sat, sedangkan di sebelah kanannya adalah Hek-to-su-hiong, tujuh jago paling tangguh dari Lam-hay-bun itu bertugas melindungi keselamatan pemimpin mereka dari kedua sayap.
Sembilan orang dengan langkak yang tegap mantap, maju ke muka, ketegangan mencekam setiap orang, membuat kawanan jago itu merasa dada jadi sesak menahan napas.
Setibanya di tengah arena, Sin-liong-taycu menudung Kanglam ji ki seraya berkata seenaknya: "Eh, kalian berdua cepat menyingkir!"
Semenjak terjun ke dunia persilatan dan malang melintang scbagai dua gembong iblis yang disegani orang, belum pernah Kanglam-ji ki diperlakukan orang sekasar ini, keruan gusarnya tidak kepalang.
"Anak keparat! Kau bicara dengan siapa?" bentak mereka dengan mata mendelik.
"Ucapan itu ditujukan kepada kalian berdua kunyuk tua ini, mau apa" Tidak paham?" jengek nenek berambut putih dari Hay--gwa-sam-sat sambil melangkah maju.
Ci-hoat-leng-kau tidak banyak berbicara, dengan jurus Hek- jiu toh-hun (tangan hitam meraih sukma), ia cengkeram batok kepala nenek rambut putih itu. "Bangsat, kau bosan hidup!" teriak si nenek berambut putih dengan gusar, bagaikan gurdi ujung jarinya menutuk jalan darah di telapak tangan Ci-hboat-leng kau.
"Criit!" bagaikan dipagut ular, Ci hoat lengkau menjerit kesakitan dan segera melompat mundur. Ketika telapak tangannya diperiksa, muncul sebuah bisul merah sebesar
mata uang, rupanya sudah terluka oleh tutukan Soh-hun-ci si nenek.
Kejut dari gusar Ci hoat-leng-kau, cepat dia ambil obat mujarab dan dikunyah lalu dibubuhkan pada telapak tangannya yang bengkak.
"Blang!" kembali sesosok bayangan tergetar mundur sempoyongan dan langsung menerjang Ci-hoat-leng-kau.
Menghadapi terjangan itu, Ci-hoat leng-kau segera mengayun telapak tangan kirinya yang tak terluka untuk menabas tubuh lawan, tapi dengan cepat diketahuinya bahwa orang itu adalah Kui-kok-in-siu, adik seperguruannya sendiri, ia batalkan serangan itu dan cepat memayangnya agar tak sampai roboh.
Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wajah Kui-kok-in-siu pucat pasi, meski tubuhnya tak sampai jatuh, tak urung kakek kurus kecil ini tak dapat menahan pergolakan darah di dadanya, ia muntah darah.
Ci-hoat-leng kau terperanjat, siapa gerangan yang berhasil merobohkan mereka dalam sekali gebrakan ini"
Cepat ia menjejalkan pula sebutir obat mujarab ke mulut saudaranya.
apa yang sebenarnya terjadi" Kiranya sewaktu si nenek berhasil melukai Ci-hoat-leng-kau dengan Soh-hun ci, Kuikok-in-siu segera menyergap dari belakang, tapi keburu dicegat oleh Hud-in Hoatsu, dengan suatu pukulan dahsyat yang tepat bersarang dipunggung lawan, jago lihay dari lembah setan itu kena dihajar hingga mencelat.
Begitulah, setelah secara beruntun orang2 Lam-hay-bun menaklukkan kedua jago tanggub, dengan sikap se-olah2
tak pernah terjadi apapun, mereka lanjutkan langkahnya menghampiri Tian Pek.
Ketika tiba di hadapan sembilan ketua perguruan besar, Lam-hay liong-li menuding mereka dan berkata: "Hayo, kalian juga menyingkir semua!".
Kesaktian jago2 Lam-hay-bun telah menggetarkan hati sembilan orang ketua perguruan besar itu, tanpa mengucap sepatah katapun masing2 monyurut mundur beberapa langkah.
Setibanya di depan Tian Pek barulah Sin -liong-taycu menegur sambil menunjuk lawannya dengan kipas perak:
"Saudara, kuminta kitab pusaka Soh-kut-siau-hun itu segera kau serahkan kepadaku!"
Meski suara pembicaraannya tetap lembut tanpa emosi, namun nadanya ketus dan mengandung paksaan, se -akan2
musuhnya harus menyerahkan apa yang di mintanya itu.
Tian Pek tersenyum sahutnya: "Dengan dasar apakah anda berani mengucapkan kata2 seangkuh ini" Dan dengan alasan apa kitab pusaka Soh-kut-siau hun itu harus kuserahkan kepadamu?"
Dengan matanya yang jeli Lam-hay-liong-li menatap tajam anak muda itu, tatapan yang mesra dan penuh arti, pelbagai perasaan berkecamuk dalam sinar matanya, dan diantara sekian banyak orang yang hadir mungkin hanya Tian-Pek saja yang dapat merasakan arti tatapan itu.
Tian Pek jago muda yang berjiwa ksatria dan selalu membela keadilan dan kebenaran ini tak takut langit juga tak takut bumi, tapi hanya takut sesuatu saja, yakni takut dipandang oleh anak dara dengan sinar mata semacam ini.
Baik Wan-ji, Buyung Hong, Hoan Soh-ing Liu Cui-cui serta Kim-Cay-hong yang berjuluk Kanglam-te-it-bi-jin, semuanya pernah memandangnya dengan sinar mata seperti itu, dari mereka juga terlibat dalam permainan api
asmara dengannya dan membuatnya tak tahu bagaimana harus mengatasi masalah ini.
Mula pertama ia bermain cinta dengan Liu Cui-cui, meski belum resmi menjadi suami-isteri, namun prakteknya sudah berbuat sebagai suami-isteri, setelah itu ia mengikat jodoh dengan Buyung Hong dan sekarang iapun tahu Wanji telah bertekad menjadi isterinya.
Karena permainan nasib, tanpa disadari ia mempunyai tiga orang isteri yang tak mungkin bisa ditinggalkan dengan begitu saja, berada di tengah gadis2 yang bersaing cinta itu, entah bagaimana selanjutnya mereka akan hidup bersama"
Persoalan ini cukup memusingkan kepalanya.
Dan sekarang Lam-hay-liong-li memandangnya pula dengan sorot mata seperti itu, tentu saja ia merasa ngeri, buru2 ia tunduk kepala dan berusaha menghindari tatapan Lam-hay-liong-li yang berapi2 itu.
Sementara itu Lam-hay-liong-li masih memandangnya, melihat pemuda itu menunduk, ia lantas menegur: "Masa kau tidak tahu bahwa kitab pusaka Soh-kut-siau-hun sebenarnya adalah barang pusaka Lam-hay-bun kami?"
Semua orang melengak, begitu juga Tian Pek, keterangan ini belum pernah terpikir olehnya.
Anak muda itu segera menengadah, ucapnya dengan tertawa: "Nona, kau pandai benar bergurau. Mana mungkin kitab pusaka Soh-kut-siau-hun menjadi hak milik Lam hay-bun."
Tatkala dirasakan betapa tajam sinar mata Lam hay-liong-li yang menatapnya bagaikan sebilah pisau yang menembus ulu hatinya, pemuda itu terkesiap dan cepat menunduk lagi.
Melihat anak muda itu ter-sipu2, Lam-hay-liong-li tertawa, ia berkata: "Sudah pernah kaulihat lukisan di dalam kitab pusaka itu bukan?"
"Ehm, pernah!" Jawab Tian Pek dengan muka merah.
"Kau tahu siapa yang dilukis di dalam kitab itu?"
"Thian-sian-mo-!i!"
"Siapakah Thian-sian-mo li itu?"
Tian Pek tertegun. "Thian sian-mo-li ya Thian-sian-mo-li, masa perlu dijelaskan tentang siapakah Thian sian-mo-li itu?" demikian ia berpikir.
Rupanya Lam-hay-liong-li dapat melihat keraguan orang, ia lantas tertawa dan menerangkan. ?"Terus terang kuberitahukan kepadamu, Thian-sian-mo-li itu tak lain adalah Sucou (cakal bakal) perguruan Lam-hay-bun kami!
Maka adalah menjadi kewajiban kami untuk menarik kembali kitab tersebut dari peredaran!"
"Oh, iya?" kata Tian Pek sambil tertawa, belum pernah kudengar orang mengatakan Thian-sian-mo-li adalah Sucou perguruan Lam hay bun."
Jawaban ini menggusarkan anak buah Lam-hay-bun, dengan wajah beringas hampir saja mereka melancarkan serangan.
Lam-hay-liong-li segera memberi tanda kepada anak buahnya agar jangan bergerak, lalu katanya kepada Tian Pek dengan tak senang hati: "Guruku adalah Kui-bin-kiau-wa dan Kui-bin-kiau-wa adalah murid Thian-sian-mo-li, bila Thian-sian-mo-li bukan Sucou kami lantas aku harus menyebut apa kepadanya" Masa aku mesti mengaku orang lain sebagai Sucou" Pokoknya kitab pusaka Soh-kut-siau-hun itu harus kauserahkan kepadaku, kalau
tidak . . . . Hmm, akan kumampuskan kau tanpa terkubur di sini!"
Dengan keterangan itu, kawanan jago yang berkumpul ini sama terkejut, sekarang mereka baru tahu asal perguruan Lam-hay bun adalah dari Thian-sian-mo-li.
Mendingan gadis itu bersikap lembut, tentu saja Tian Pek tak mau diperlakukan kasar oleh orang2 itu, baru saja Lam -hay-liong-li menyelesaikan kata2nya, dengan dahi berkerut pemuda itu tertawa dingin: "Hehehe, kuulangi sekali lagi perkataanku, kedatangan kalian semuanya sudah terlambat!"
"Bagi orang2 Lam-hay-bun tak kenal apa artinya terlambat!" tukas Sin-liong-taycu.
"Sekalipun kau tidak percaya juga percuma, selamanya jangan harap lagi akan melihat kitab paling aneh itu, sebab beberapa hari yang lalu kitab pusaka Soh-kut-siau-hun itu telah kumusnakan di hadapan umum?"
"Boleh saja kau ulangi perkataan semacam itu sampai beberapa ratus kali, tapi coba tanyakan kepada setiap hadirin, siapa yang percaya pada pengakuanmu?" kata Sin-liong-taycu dengan tenang sambil menggoyangkan kipasnya secara santai.
Tian Pek memandang wajah kawanan jago itu, benar juga ia temukan muka yang penuh diliputi kesangsian, sadarlah ia bahwa pengakuannya tidak nanti diterima oleh orang2 itu sebagai suatu kenyataan, akhirnya ia menghela napas panjang: "Ai, apa mau dikatakan lagi jika kalian tidak percaya, toh kenyataaanya kitab pusaka itu memang sudah kumusnahkan dari muka bumi ini!"
"Tian-siauhiap, kurasa lebih baik serahkan saja kitab itu kepada kami" Lam-hay-liong li membujuk pula sambil tersenyum.
Karena orang tetap tidak mau percaya pada
pengakuancya, akhirnya: Tian Pek, naik darah, serunya dengan gusar: "Hmm, kalian jangan memaksa terus, ketahuilah jangankan kitab pusaka Soh-kut-siau-hun itu benar sudah kumusnahkan, kendati masih adapun tidak nanti kuserahkannya kepada kalian sebangsa manusia2 dari luar lautan yang keji dan kejam ini."
Air muka Sin liong taycu berubah suram, napsu membunuh menyelimuti wajahnya, ia berseru: "Hmm, baik!
Katanya, kalau tidak menggunakan kekerasan kau takkan jera ... . ."
Kipas peraknya memberi tanda ke belakang, Hay-gwa-sam sat dan Hek-to-su hiong lantas maju ke depan dan siap melancarkan serangan.
Tian Pek tak gentar, dia memandang sekejap ketujuh orang lihay itu, kemudian tegurnya: "Apakah kalian lupa bahwa antara aku dan kalian sudah terikat oleh janji?"
"Hehehe, kalau jeri, lebih baik serahkan saja kitab pusaka itu sekarang juga!" jengek Sin liong-taycu sambil tertawa dingin.
"Jeri" Selama hidup Tian Pek tak kenal arti takut, aku hanya ingin memegang teguh janjiku dan tak mau berurusan lagi dengan orang2 persilatan!"
Nenek berambut putih dari Hay gwa-sam-sat cepat menanggapi sambil tertawa seram:
"Hehehe, tak menjadi soal, boleh saja kami bertiga menarik kembali janji tersebut!"
"Betul!" Hud-in Hoat-su menambahkan, "tentunya engkoh cilik tak puas dengan kekalahan yang kau derita tempo hari" Sekarang kita boleh ulangi kembali pehrtarungan itu!"
"Dan kami yakin, kali ini kau tak dapat pergi dari sini dengan hidup!" Ciong-nia-ci-eng menambahkan.
Tian Pek mengerutkan dahi, ia betu12 terpengaruh oleh emosi . . .
Tay-pek-siang-gi dapat melihat bahwa inilah kesempatan yang terbaik bagi Tian Pek untuk mencuci bersih kekalahan yang diterimanya tempo hari.
mereka menerjang ke muka dan serunya kepada Tian Pek: "Siau-In-kong, terima tantangan mereka! Inilah saat yang baik bagimu untuk balas menghajar mereka!"
Tian Pek memang ingin cepat2 melepaskan diri dari belenggu janji itu, maka iapun mengangguk, ujarnya kepada Hay-gwa-sam-sat: "Kalau kalian memaksa terus, Tian Pek bersedia melayani kalian dengan pertaruhan nyawa! Tolong tanya, apakah kalian bertiga lagi yang akan turun ke gelanggang untuk melayani diriku ini?"
"Engkoh cilik, kau memang hebat, kau ksatria sejati . . .
." puji si kakek berjenggot panjang sambil acungkan jempolnya.
Sin-liong-taycu berkata juga dengan napsu membunuh menyelimuti wajahnya: "Lam-hay-bun bersumpah akan mendapatkan kembali kitab pusaka Soh-kut-siau-hun itu, sekarang atas nama Kaucu kutitahkan Hay-gwa-sam-sat dan Hek-to-su-hiong untuk maju ber-sama2!"
Suasana seketika menjadi gempar, kawanan jago yang hadir sama terperanjat, terutama mereka yang punya hubungan akrab dengan Tian Pek, kuatir mereka.
Seandainya satu lawan satu, sudah pasti Tian Pek akan menang atau sekalipuu harus bertarung melawan Hay-gwa-sam-sat atau Hek-to-su-hiong, anak muda itu masih ada harapan untuk menang, tapi sekarang dia harus bertempur melawan tujuh orang lihay dari Lam-hay-bun sekaligus, jangankan kesempatan untuk menang tipis sekali, jiwanya justru terancam bahaya.
Dalam keadaan begini, sekalipun kawanan jago itu berniat memberi bantuan, kecuali paman Lui dan Wan-ji yang mungkin dapat menandingi satu-dua orang di antara Hay-gwa-sam-sat atau Hek-to-su-hiong, jago2 lain boleh bilang tak mungkin bisa menyumbangkan tenaganya.
Apalagi kecuali beberapa orang yang berasal satu rombongan dengan Tian Pek, kawanan jago lainnya masih terlibat dalam persengketaan dengan pemuda itu, tak mungkin mereka akan membantu anak muda itu. Atau dengan perkataan lain, posisi Tian Pek ketika itu sangat tidak menguntungkan, tak heran kalau diam2 orang menguatirkan keselamatan anak muda itu.
Agaknya Sin liong-taycu sudah memperhitungkan langkahnya dengan se-cermat2nya, sebab itu sebelum Ciu Ji hay atau si kakek berjenggot panjang itu habis kata2nya, ia lantas mengumumkan lebih dahulu niatnya untuk menurunkan ketujuh jago tangguh guna mengeroyok pemuda itu.
Sebagai jago yang berpengalaman, kebanyakan orang mengerti Sin-liong-taycu licik dan banyak tipu muslihatnya, jelas ia sedang memasang perangkap untuk memancing Tian Pek.
Siapa tahu Tian Pek sendiri malah bersikap tenang2 saja, ia tertawa angkuh, lalu katanya: "Inilah kesempatan yang terbaik bagi Tian Pek untuk merasakan sampai dimanakah
ketangguhan ketujuh jago Lam-hay-bun, kejadian ini benar2 merupakan suatu kehormatan besar bagiku!"
Mendengar taaggapan ini, si kakek berjenggot itu kembali mengacungkan jempolnya dan berulang kali memuji: "Bagus! Bagus! Kuhormati kau sebagai tokoh nomor wahid dari dunia persilatan!"
"Ciu kong kong, jangan mengobarkan perbawa musuh dan meruntuhkan semangat sendiri!" tegur Sin-liong-taycu dengan tak senang hati, "Kalian bertujuh majulah segera, bagaimanapun juga kalian harus bunuh bangsat yang takabur ini."
Lam hay-liong-li dapat merasakan betapa tebalnya napsu membunuh dari kakaknya, sebagal pimpinan sudah tentu ia tak dapat mengunjuk sikap tak setuju di hadapan anak buahnya, maka ketika ketujuh jago lihaynya maju ke arena; cepat ia menambahkan:
"Cukup asal kitab pusaka Soh-kut-siau-hun itu kita dapatkan!"
Entah ketujuh orang lihay itu dapat meresapi maksud perkataan Lam-hay-liong-li atau tidak, tampaklah mereka lantas pasang kuda2 dan menghimpun tenaga dengan wajah kereng, tapi sebelum pertempuran dimulai, si kakek berjenggot panjang itu berkata lagi: ' Engkoh cilik, pertarungan yanwg akan dilangsungkan ini adalah pertarungan terakhir yang paling sengit, boleh kau melancarkan serangan lebih dahulu!"
"Tunggu sebentar!" sebelum Tian Pek menjawab, tiba2
Wan-ji maju kedepan, ditatapnya sekejap pemuda itu dengan pandangan lembut dam mesra, lalu bisiknya:
"Engkoh Pek, adik bersedia membantumu!"
"Jangan adik Wan!" sahut Tian Pek dengan berterima kasih, "biarlah kuhadapi sendiri ketujuh orang ini!'
Selesai berkata, telapak tangannya lantas diangkat sebatas dada dan siap menghadapi serangan.
Buyung Hong ikut maju ke muka, katanya: "Orang2 ini tak tahu malu semuanya.. Hmm, pandainya hanya main kerubut, engkoh Tian, biar kubantu kau menghadapi mereka!"
Tian Pek terharu sekali oleh kesediaan Buyung Hong kakak beradik yang akan membantunya, tapi mengikuti adatnya, bagaimanapun ia takkan membiarkan kedua anak dara itu ikut menyempet bahaya.
Pemuda itu tertawa getir, lalu sahutnya: "Adik Hong, kau juga tak usah membantu aku, biarlah kuhadapi mereka seorang diri!"
Kim Cay- hong yang berdiri di samping diam2
membenci ketidak becusannya sendiri, ia merasa tak punya keberanian untuk mengikuti jejak Buyung Hong berdua yang berani menyatakan cinta kasihnya di hadapan umum.
Kenapa dirinya tak berani tampil secara terang2an Mungkinkah ia merasa kedudukan dan asal-usulnya kurang pantas" Ataukah karena alasan lain"
Dasar sudah sangsi, apalagi melihat Tian Pek menampik bantuan Buyung Hong berdua, ia semakin tak punya keberanian untuk maju.
Hoan Soh-ing juga ada maksud maju ke depan untuk menyatakan sikapnya, tapi perasaan itu segera ditekan di dalam hati. "Kenapa aku harus ikut kontes ini" Toh sudah begitu banyak nona yang mencintainya . . . . " demikian ia berpikir.
Tay-pek-siang-gi dan Ji-lopiautau terhitung pula ksatria2
yang berwatak keras, mereka rela herkorban demi sahabat.
Kendati tahu bahwa Kungfu mereka tak mampu
menandingi kelihayan Hay-gwa-saw-sat dan Hek-to-su-hiong, toh mereka maju juga dan berdiri di samping anak muda itu.
"Kami semua siap membantu perjuangan Tian-siauhiap!"
kata mereka serempak.
Hanya paman Lui saja tak bergerak dari tempat semula, sebab ia cukup memahami watak anak muda itu, tak mungkin membiarkan orang lain ikut menempuh bahaya bila tugas tersebut dirasakan dapat ditanggulanginya sendiri.
Solidaritas yang diperlihatkan beberapa orang itu segera memancing cemoohan dari pihak Hay-gwa-sam-sat dan Hek-to-su-hiong, sambil tertawa dingin mereka menjengek:
"Huh, banyak yang membantu juga percuma, paling2
Golok Halilintar 14 Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Bukit Pemakan Manusia 4
keluar hatiku?"
"Ah, saudara Tian memang pandai bergurau!" ajar Toanhong Kongcu sambil tertawa ter-sipu2 "aku cuma menganggap terlalu sayang kalau kitab sehebat itu harus dimusnahkan begitu saja, masa tanya saja tak boleh?"
Tian Pek mendengus, tiba2 ia maju tiga langkah ke muka dan mundur lima langkah ke belakang, tubuhnya bergerak secepat kilat, dalam sekejap ia sudah melancarkan empat kali pukulan berantai.
Angin pukulan men-deru2 dan kelihatan mengerikan tapi semua pukulan itu bukan tertuju pada manusia melainkan menuju ke udara kosong.
Kendatipun demikian, Toan-hong-kongcu dan Hong-jan-sam-kay yang berada di dekat situ tak bisa berdiri tegak lagi, sambil menjerit kaget serentak mereka melompat mundur.
Semua orang sama tertegun, siapapun tak mengerti apa yang dilakukan anak muda itu.
Setelah Tian Pek memainkan empat kali pukulan dengan diimbangi ilmu langkah Cian-hoan-biau-hiang-poh dan Ginkang Bu-sik-bu-siang-sin-hoat, segera pula ia berhenti darn berseru: "Gerakan yang kulakukan barusan adalah jurus pertama dari Thian hud-lik yang bernama Hud-kong-
bu-ciau Bagaimana" Cukup untuk menjadi bahan renungan Ciangbunjin selama beberapa hari bukan?"
Maksud ucapannya amat jelas, se-akan2 ia hendak menyatakan bahwa janganlah kau terlampau tamak, untuk mengisap inti sari ilmu sakti ini bukanlah pekerjaan semudah sangkaanmu.
Ketika dilihatnya kawanan jago itu berdiri dengan melenggong, beruntun ia lancarkan pula tiga jurus gerakin Hud-coh-hang-song (Buddha suci turun ke bumi). Liu-sing-yau-hue (menyapu bersih hawa siluman) serta Hong-ceng-lui-beng (angin menderu guntur menggelegar).
Di dalam demontrasinya ini ia telah mainkan ilmu pukulan Thian-hud-hang-mo-ciang disertai ilmu pukulan Hong-lui-pat-ciang, meskipun hanya tiga jurus serangan berantai, tapi hawa pukulan yang terpancar luar biasa dahsyatnya, seketika berjangkit angin taupan yang menggulung tinggi ke udara.
Demontrasi yang hebat dan luar biasa ini membuat kawanan jago itu diam2 menjulurkan lidah, pikir mereka:
"Entah bagaimana caranya bocah ini berlatih hingga mencapai prestasi setinggi ini . . . .?"
Sementara itu Tian Pek sudah berhenti, melihat semua orang memandangnya dengan bingung, ia menghela napas dan menggeleng kepala seraya berkata: "Ilmu silat yang tinggi tak dapat dipelajari dengan gegabah, baiklah kita mulai dari permulaan lagi!"
Pemuda itu lantas duduk bersila seperti seorang paderi agung dan mulailah dia menerangkan ilmu tenaga dalam.
Begitu mendengar Tian Pek mulai membacakan teori tenaga dalam Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip, kawanan
jago mulai berkerumun di sekeliling anak muda itu dan memasang telinga baik2.
Waktu itu keadaan Tian Pek sepgerti sang Buddhia yang sedang berkhotbah, matanya terpejam dan mulutnya komat-kamit, angker dan berwibawa tampaknya, sementara kawanan jago yang berkumpul juga pusatkan perhatian, suasana jadi hening, tak terdengar suara lain..-.
Entah sejak kapan malam telah lalu dan sang surya sudah memancarkan cahayanya di ufuk timur.
Kawanan jago yang ikut dalam pelajaran itu kebanyakan adalah jago2 yang berilmu tinggi, sekalipun seorang pemuda juga paling sedikit memiliki dasar ilmu silat yang tangguh, ketika mendengar apa yang diajarkan Tian Pek ternyata merupakan ilmu sakti yang belum pernah dijumpai sebelumnya, bahkan bila dibandingkan dengan apa yang pernah mereka pelajari selama ini bedanya seperti langit dan bumi, kenyataan ini membuat jago2 itu makin tertarik, sehingga semua pikiran dan perhatian mereka tertuju pada satu titik saja, sekalipun terjadi ledakan dahsyat di samping mereka mungkin takkan dihiraukan,
Begitulah, ber-turut2 Tian Pek memberi pelajaran selama tujuh hari, selama ini semua orang menerima pelajaran sambil berlatih menurut pelajaran yang baru mereka terima dari Tian Pek, ternyata kemajuan yang dicapai luar biasa sekali, kenyataan ini membuat semua orang tak kepalang girangnya, sebab andaikata mereka berlatih dengan menggunakan cara yang lama, entah berapa banyak kesulitan yang akan ditemui.
Diantara sekian banyak orang, paman Lui, Buyung Hong, Wan-ji, Kim Cay-hong serta Hoan Soh-ing memperoleh kemajuan yang paling pesat.
Ini disebabkan paman Lui pernah mempelajari isi kitab pusaka Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip itu selama ber-tahun2, hanya saja karena tidak mendapatkan bantuan Liu Cui-cui dengan ilmu To-li-mi-hun-tay-hoatnya, maka banyak bagian yang tak berhasil dia tembus, tapi sekarang setelah memperoleh petunjuk Tian Pek ia jadi memahami kesalahannya, tak heran bila kemajuan yang dicapainya melampaui siapapun..
Kiranya sewaktu Ciah-gan-longkun melukis kitab paling aneh di kolong langit itu, dia telah menyembunyikan pula rahasia ilmu silat di antara lukisan2 bugil yang merangsang itu, bila orang tak tahu rahasia itu, hanya berlatih dengan dasar tulisan belaka, belum cukup bagi orang itu untuk mencapai prestasi yang paling tinggi.
Mungkin hal ini tak pernah dipikir paman Lui, tak disangka olehnya kitab yang dihadiahkan kepada Tian Pek ternyata dapat dipecahkan pula rahasianya oleh pemuda itu, dari sini terbuktilah betapa pentingnya pengaruh nasib dan takdir bagi umat manusia di dunia ini.
Sedangkan alasan mengapa Buyung Hong, Wan-ji, Kim Cay-hong dan Hoan Soh-ing mendapat kemajuan yang jauh lebih pesat dari orang lain, ini disebabkan karena mereka berempat sangat mempercayai Tian Pek, mereka yakin pelajaran yang diberikan anak muda itu pasti tepat.
Begitulah Tian Pek sudah memberi pelajaran selama delapan hari, malam itu ketika ia kembali ke kamarnya, belum lagi tidur, mendadak di luar jendela terdengar suara kain baju tersampuk angin.
Suara itu lirih sekali se-akan2 angin yang berembus lewat, tapi tak dapat mengelabuhi ketajaman pendengaran Tian Pek, sebab dengan tenaga dalam yang dimilikinya sekarang, sekalipun daun yang gugur atau bunga yang
rontok pada jarak sepuluh tombak di sekelilingnya iapun dapat menangkap suara itu dengan jelas.Untuk menjaga segala kemungkinan, dengan gerakan yang cepat ia menerobos keluar lewat jendela belakang.
Dari kejauhan ia lihat dua sosok bayangan orang dengan cepat sedang berkelebat melayang turun ke pekarangan sebelah depan.
Tian Pek semakin curiga, ia lantas menggunakan gerakan Bu-sik-bu-siang-sin-hoat yang ringan untuk menyusulnya, hanya tiga-lima lompatan saja ia berhasil menyusul di belakang kedua orang itu tanpa diketahui mereka.
Di bawah remang2 cahaya rembulan, Tian Pek dapat melihat badan kedua orang itu, di luar dugaan ternyata mereka adalah dua nona yang bertubuh ramping.
Tian Pek semakin heran, pikirnya: "Mau apa kedua nona ini malam2 begini
berkeluyuran"..."
Sementara itu, kedua sosok bayangan ramping itu sudah berhenti di tepi sebuah hutan kecil, Tian Pek bersembunyi di belakanng pepohonan dan mengintip gerak-gerik mereka, sekarang ia dapat melihat jelas, tak salah lagi kedua orang itu ialah Buyung Hong dan Tian Wan-ji.
Hal ini makin mengherankan anak muda itu, mau apa kedua nona itu malam2 menuju ke hutan yang sunyi itu"'
Karena curiga, ia tak mau unjuk diri, ia bersembunyi di belakang pohon untuk mengintip gerak gerik kedua nona itu.
Terdengar Buyung Hong sedang tertawa cekikikan dan berkata: "Moay-moay, coba kauterka untuk apa kuajak kau kemari?"
Tampaknya Wan-ji baru tahu orang yang disangka musuh ternyata tak lain adalah kakaknya sendiri, ia tercengang kemudian menjawab: "Ah, kiranya Cici adanya!
Urusan apa kau pancing aku kesini?"
Buyung Hong tertawa, katanya: "Moay-moay, bicara sejujurnya, bukankah kau mencintai engkoh Tian?"
Rupanya Wan-ji tak menyangka encinya akan
membongkar rahasia hatinya secara blak2an, ketika teringat olehnya bahwa Tian Pek adalah calon suami encinya, merahlah wajahnya karena jengah.
"Cici, kau jangan sembarangan menduga. . . '" serunya cepat, "aku . . . sebenarnya aku . . . . ."
Dapatkah ia menyangkal isi hatinya dengan mengatakan ia tidak mencintai Tian Pek"
Tidak! Tak mungkin! Sejak hatimu terbuka, orang pertama yang dicintainya adalah Tian Pek, bahkan ia percaya sampai akhir hayatpun ia tetap mencintai Tian Pek, hanya nasib telah berkata lain, pemuda pujaan hatinya, telah menjadi Cihunya, sudah tentu ia tak berani mengakui di depan encinya sendiri. Karena itu ia menjadi gelagapan.
Dengan biji matanya yang jeli Buyung Hong menatap hangat adik perempuannya ini, lalu tersenyum lembut, digenggamnya tangan Wan-ji, kemudian ia berkata dengan suara yang halus: 'Adikku, kukira tak perlu kau mengelabui diriku lagi! Ketahuilah, dari pengamatanku selama beberapa hari terakhir ini dapat kuketahui bahwa kau sebenarnya sangat mencintai engkoh Tian, bahkan akupun baru menyadari akan keadaan tersebut pada
beberapa hari terakhir ini, Kutahu cintamu pada engkoh Tian mungkin jauh lebib awal daripadaku, mungkin juga semenjak engkoh Tian untuk pertama kalinya tiba di rumah kita, ketika kau pergi mencari adik (Leng-hong Kongcu) dan mintakan pengertiannya agar jangan mengusir engkoh Tian dari kamarnya . . .. . Moay-moay, bukankah mulai saat itu kau telah mencintai engkoh Tian?"
Air muka Wan-ji semakin merah, ia biarkan encinya menggenggam tangannya, sementara kepalanya tertunduk rendah dan mulutnya membungkam dalam seribu bahasa.
"Aku sendiripun merasa sangat heran." demikian Buyung Hong berkata lebih jauh, "Mengapa aku bisa berbuat sedemikian gegabahnya, sampai persoalan maha penting seperti inipun tak kuketahui sejak dahulu"
Andaikata Cici sejak awal telah mengetahui bahwa kau amat mencintai engkoh Tian, tak nanti Cici sampai melakukan tindakan keliru ini. . ."
Ketika Buyung Hong berkata sampai disini, tiba-tiba Wan-ji tak dapat menguasai emosinya lagi, ia menangis tersedu, ia meronta dan melepaskan diri dari pegangan encinya terus kabur dari situ.
"Adik Wan. . .!" teriak Buyung Hong.
Mendengar panggilan itu, Wan-ji menghentikan larinya, tapi ia masih berdiri membelakangi encinya, sementara bahunya berguncang keras, agaknya nona itu sedang menangis dengan sedihnya.
Siapa bilang tak sedih" Gadis manakah yang bersedia melepaskan kekasih pertamanya dengan begitu saja"
Apalagi cinta Wan-ji kepada Tian Pek sudah mencapai tingkatan sehidup semati, tentu saja kesedihannya tak terperikan.
Tapi sekarang kekasihnya jelas akan menjadi suami encinya, kecuali bersedih apa yang dapat ia lakukan lagi"
Cepat Buyung Hong memburu ke samping Wan-ji, ia menarik lengan adiknya dan berbisik dengan suara lembut:
"Adikku tak usah bersedih hati, maukah kau mendengarkan perkataan encimu?"
Tiba-tiba Wan-ji menubruk ke dalam rangkulan encinya dan menangis tersedu-sedu, katanya sambil sesenggukan:
"Cici, aku merasa bersalah padamu. . . aku. . ."
Wan-ji menangis semakin sedih, sedang Buyung Hong lantas teringat pada musibah yang menimpa keluarganya, tanpa terasa ia ikut mencucurkan air mata.
Tian Pek bersembunyi di balik pohon dan dapat mengikuti semua kejadian itu dengan jelas, ia merasa pedih hatinya bagaikan diiris-iris, pikirnya: "Tian Pek, wahai Tian Pek. . . hanya terpengaruh oleh emosi kau menerima pinangan Buyung Hong, tahukah kau bahwa tindakanmu ini telah menyakitkan hati Wan-ji yang amat mencintai dirimu itu. . ."
Buyung Hong yang bersedih hati tiba-tiba teringat kembali pada tujuannya yang utama, ia lantas menyeka air mata, kemudian membelai rambut adiknya, ia keluarkan sapu tangan dan menyeka air mata Wan-ji.
"Adikku, janganlah menangis!" bisiknya lembut,
"dengarkan dulu perkataan encimu!"
Wan-ji masih bersandar dalam rangkulan encinya dengan manja, pipinya yang masih basah dan berwarna merah membuat orang merasa iba, meski ia sudah mendengar bisikan encinya, tapi bahunya masih bergerak naik turun menahan isak.
Buyung Hong berbisik lagi dengan suara lembut: "Kita berdua adalah kakak beradik kandung, meski masih ada seorang saudara tapi semenjak kecil hubungannya dengan kita berdua tidak cocok, kalau tidak ribut denganku tentu dia bertengkar dengan kau. Kini ayah telah dibunuh orang, keadaan rumah tangga kita sudah jauh berbeda daripada keadaan dulu, maka semestinya mulai sekarang kita kakak beradik harus hidup bersama untuk berjuang menghadapi kehidupan selanjutnya, selamanya kita harus rukun dan saling mencintai, Adikku, kau bersedia menuruti apa yang kukatakan bukan?"
Wan-ji tidak mengerti maksud tujuan encinya, ketika dilihatnya Buyung Hong bicara dengan serius, maka iapun mengangguk kepala.
Buyung Hong tertawa, katanya pula: "Kalau kaupun mencintai engkoh Tian, kita kakak beradik juga tak bisa dipisahkan satu sama lain, apa salahnya kalau kita sama-sama menikah dengan engkoh Tian dan mempunyai suami yang sama?"
Begitu ucapan Buyung Hong diutarakan, bukan saja Wan-ji terkejut, bahkan Tian Pek yang bersembunyi di belakang pohonpun terkesiap.
Wan-ji menengadah, dengan matanya yang jeli ia memandang wajah encinya dengan termangu, ketika dilihatnya wajah encinya tetap ramah, bersenyum kasih sayang, tahulah nona itu bahwa encinya tidak bergurau, jantungnya menjadi berdebar keras.
Tiba-tiba ia menjatuhkan diri ke dalam pelukan encinya, ia berbisik: "Oh, cici. . . !" Ia tak dapat mengangkat kepalanya lagi.
Meskipun dia belum menyanggupi usul encinya tapi dari perubahan sikap dan pancaran sinar mata kaget bercampur girang, Buyung Hong tahu bahwa adiknya telah menyetujui usulnya, hal ini membuat hatinya jadi lega dan girang, ia merasa tali mati yang selama ini mengganjal dalam hatinya sekarang telah terbuka.
Timbul sifat nakalnya untuk menggoda, sambil merangkul pinggang Wan-ji yang ramping ia berkata lagi:
"Adikku, ketahuilah bahwa persoalan ini menyangkut masa depanmu sendiri, aku tak ingin melihat kau penasaran.
Nah, untukmenghindari segala kemungkinan yang tak diinginkan, Cici minta kau menjawab sendiri, bersedia atau tidak menerima usulku ini?"
Wan-ji semakin tak berani menengadah, dia cuma memeluk Buyung Hong sambil memanggil Cici tak henti2nya, tapi dari panggilan itu dapat terdengar rasa sedihnya sudah terhapus, sebagai ganti suaranya sekarang penuh perasaan gembira.
Dasar memang nakal, Buyung Hong terus menggoda:
"He, bagaimana kau ini, sebenarnya setuju tidak" Kenapa cuma memanggil Cici melulu!"
Ketika dilihatnya Wan-ji masih saja bersandar dalam pelukannya, ia berkata lagi:
"Kalau kau tidal setuju ya sudahlah, nanti kukatakan pada engloh Tian bahwa kau sebenarnya tidak mencintainya."
"Cici, kau jahat . . .. . " Omel Wan-ji sambil menarik ujung baju cicinya.
"Bagus! Kau berani memaki aku, itu menandakan kau memang tidak mau, sekarang juga akan kuberitahukan
kepada engkoh Tian . . ." ia lantas mendorong adiknya dan siap berlalu dari situ.
"Cici. . ...Cici. . .. ." meski tahu encinya cuma menggoda, tidak urung Wan-ji berseru panik, mendadak ia menengadah, sinar matanya kebentur dengan sesuatu, hampir saja ia menjerit kaget.
Entah sejak kapan, tak jauh dari tempat mereka telah muncul dua orang yang mirip dengan badan halus.
Sebagaimana juga adiknya, Buyung Hong baru
mengetahui akan hadirnya ke dua orang seperti sukma gentayangan itu setelah melepaskan Wan-ji dari pelukannya, ia berdiri terbelalak, ia kaget sampai tak mampu bersuara.
Kedua orang kakak beradik ini mengetahui bahwa ilmu silat sendiri cukup tinggi, sekalipun sedang ber-cakap2, tak mungkin mereka tidak merasakan tibanya kedua orang itu disamping mereka. Dari sini dapatlah diketahui betapa hebat kungfu kedua pendatang yang tak diundang ini.
Kedua orang itu berusia antara enam puluhan, yang seorang bermuka bulat telur berwarna ke-merah2an, berambut merah, berkulit hitam, bermata tajam dan bentuknya seperti muka kunyuk.
Sedangkan yang lain adalah kakek kurus kecil berjubah panjang tebal, mukanya merah dengan hidung besar merah pula, dandanannya persis seperti seorang guru kampungan.
Meskipun dandanan mereka aneh dan lucu, namun sinar mata mereka tajam mengawasi Buyung Hong berdua dengan seram.
Baik Buyung Hong maupun Wan-ji tidak kenal siapa kedua orang aneh ini, lain halnya dengan Tian Pek yang bersembunyi di balik pohon, dia segera kenal kedua prang
ini sabagai Kui-kok-ji-ki (dua manusia aneh dari lembab setan) yang bercokol di Gan-tang-san dan sudah dua kali mencari perkara padanya.
Sesungguhnya kehadiran dua orang ini sejak tadi tak luput dari perhatian Tian Pek, hanya saja karena Buyung Hong berdua sedang membicarakan dia betapapun ia merasa tak enak unjukkan diri, pula dia ingin menyelidiki apa yang hendak dilakukan kedua orang yang tindak tanduknya selalu mencurigakan ini, maka Tian Pek tetap diam saja di tempatoya.
Sementara itn Buyung Hong dan Wan-ji masih berdiri termangu, Kui-kok-ji-ki lantas nnenghampiri mereka.
Terdengar Ci-hoat-leng-kau Siang Ki-ok menjengek:
"Hehehe, betul2 kejadian yang aneh, baru pertama kali ini kujumpai dua nona sedang berunding untuk kawin dengan seorang laki2 yang sama. Hopo tumon?"
Wan-ji lebih cerdik dan binal. maka dilihatnya dua manusia aneh muncul tanpa bersuara, bahkan menyindir dirinya, dengan melotot segera ia mombentak: "Hmm, siapa yang suruh kau mencampuri urusan kami" Eeh, kalian mau apa datang ke sini" Jika tidak memberi alasan yang tepat, jangan salahkan nona tak sungkan2 lagi kepadamu!"
"Anak perempuan, jangan galak2 dulu!" jengek Kui-kokin-siu Bun Ceng-ki dengan suara menyeramkan, "kami cuma ingin tahu, engkoh Tian yang kalian maksudkan itu apakah keparat yang bernama Tian Pek?"
"Kalau bicara sedikilah tahu diri, apa itu keparat?"
bentak Wan-ji mendongkol.
Kui-kok-in-siu menjengek, tiha2 ia mencengkeram lengan Wan-ji sembari menyahut:
"Jawab saja benarkah orang itu atau bukan?"
Perlu diketahui, serangan yang dilancarkan Kui-kok-in-siu barusan dilancarkan dengan kecepatan yang luar biasa, andaikata Wan-ji tidak menguasai ilmu langkah Cian-hoan-biau-hiang-poh yang belum lama berhasil dikuasainya, bisa jadi ia sudah kena dicengkeram oleh musuh.
Lolos dari cengkeraman maut itu, Wan-ji segera melayang ke samping, kemudian serunya dengan marah:
"Kalau betul lantas mau apa" Tua bangka yang tak tahu diri, nonamu menghormati kau sebagai orang tua, tapi kau malahan menyerang lebih dulu. Nah, rasakan serangan balasan nonamu ini!"
Setajam gurdi jari tangannya terus menutuk dengan ilmu jari Soh-hun-ci, ia tutuk jalan darah Ki-bun-hiat di dada Kui-kok-in-sigu.
Ketika cengkeramannya melehset tadi, diam2 Kui-kokin-siu merasa kaget, apalagi setelah diketahui bahwa serangan Wan-ji membawaa kekuatan yang tidak lemah, hal ini membuatnya terkejut, ia tak menyangka nona semuda itu ternyata memiliki kungfu yang amat lihay. Ia tak berani menyambut secara kekerasan, cepat ia melejit dan menyingkir ke samping, tapi begitu mundur dia maju kembali, ujung kakinya menjejak tanah dan secepat angin ia menubruk lagi ke muka, beruntun dia menghantam dua kali dengan
dahsyat. Kedua serangan itu dilancarkan hampir secara serentak, jurus serangannya aneh dan membawa hawa serangan yang dingin.
Wan-ji terkejut, ia tak mengira kakek kurus macam guru dusun itu ternyata memiliki tenaga serangan yang lihay, nona ini tak berani menyambut dengan kekerasan, cepat ia melompat mundur. Sementara itu Buyung Hong yang
mengikuti jalannya pertarungan itu dapat mengetahui bahwa ilmu silat musuh lihay sekali, meskipun kata2nya tak senonoh, tapi yang diselidiki adalah engkoh Tian, jangan2
mereka adalah sababat dari Tian Pek.
Sebagai orang persilatan, ia tahu watak dari sementara jago silat memang aneh dan tak bisa diterima dengan akal sehat, cepat ia mengalangi adiknya untuk bentrok lebih lanjut, seraya memberi hormat kepada Kui-kok-ji-ki ia bertanya: "Bolehkah kutahu, apa maksud Locianpwe berdua mencari Tian-siauhiap?"
"Oh, kalau begitu engkoh Tian yang kalian maksudkan benar2 adalah Tian Pek?" bukan menjawab Kui-kok-in-siu malahan bertanya'
"Betul!" sahut nona itu berterus terang.
"Monyet cerdik berambut merah" yang sejak tadi membungkam tiba2 tergelak sambil menyindir: "Hahaha, Tian Pak si bocah keparat ini memang punya rejeki bagus, sampai2 ada dua anak perempuan secantik ini bersedia dikawini semua."
Merah wajah Buyung Hong, omelnya dengan ter-sipu2
"Locianpwe, jangan sembarangan omong. Katakan saja, ada urusan apa kalian mencari Tian siauhiap?"
"Cici, buat apa kau gubris mereka?" sela Wanji. "Kulihat kedua tua baugka ini pasti bukan manusia baik2."
"Hahaha, kurangajar! Anak perempuan sudah bhosan hidup, berani kaumaki kami," teriak Kuikok-in-siu segera telapak tangannya terangkat dan hendak menghantam.
"Sute, jangan terburu napsu!" cepat Ci-hoat-leng-kau mengalangi rekannya, "kalau kedua anak perempuan ini calon istri Tian Pak keparat itu, maka kita harus
menangkapnya hidup2. Dengan begitu, kita dapat memaksa dia menyerahkan kitab paling aneh di kolong langit itu..."
Hampir meledak dada Wan-ji mendengar Ucapan itu, kontan ia memaki: "Kalian jangan bermimpi di siang hari bolong, dengan kekuatan kalian berdua mash belum berhak untuk memperebutkan kitab pusaka itu. Huh, kungfu kalian masih ketinggalan jauh!"
Setelah urusan barkembang jadi begini, Buyung Hong baru mengerti bahwa maksud kedua kakek aneh itu menanyakan Tian Pek adalah untuk kitab pusaka Soh-kutsiau-hun-thian-hud-pit-kip. Tapi bagaimanapun juga is lebih tenang dan bisa berpikir daripada Wan-ji, ia tak ingin mencarikan musuh baru bagi engkoh Tian yang telah mengundurkan diri dari dunia persilatan, sahutnya kemudian: "Sayang sekali kedatangan Locianpwe terlambat setindak, pada beberapa hari yang lalu dihadapan umum Tian-siauhiap telah
musnakan kitab pusaka Soh-kut-siau-hun itu!"
"Sungguhkah perkataanmu?" tanya Kui-kok-in-siu dengan air muka berubah hebat.
"Untuk apa berbohong!" sahut Buyung Hong, ketika dilihatnya Kui-kok-in-siu masih sangsi, ia menambahkan lagi. "Setiap orang yang hadir menyaksikan peristiwa itu, kalau tak percaya silakan Cianpwe menyelidiki kejadian ini pada orang lain!"
Dari cara Buyung Hong berbicara, Kui-kokin-siu percaya nona itu pasti tidak bohong, kejadian ini benar2 berada di luar dugaannya. seketika ia jadi terbelalak dan tak mampu bicara.
Ci-hoait-leng-kau lebih licik, ia tidak percaya dengan begitu saja, biji mata berputar sambil tersenyum licik ia
berkata: "Anak perempuan, hanya dengan beberapa patah katamu itu kaukira bisa menipu kami!"
Wan-ji naik pitam oleh sikap kedua orang itu, sebelum Buyung Hong menjawab, cepat ia menimbrung: "Sekalipun kami membohongi kalian, kalian tua bangka ini mau apa?"
Kui-kok-in-siu seperti memahamyi sesuatu, dia xberseru dengan gusar: "Kalau kalian membohongi kami, akan kucabut jiwa kalian!" Segera telapak tangannya terangkat hendak menghantam pula.
Untuk kedua kalinya Ci-hoat-leng-kau mencegah sutenya yang kalap itu, ia tertawa seram dan berkata: "Jangan kita bunuh mereka, kita tangkap mereka hidup2, mustahil Tian Pek keparat itu takkan menyerahkan Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip kepada kita."
"Tong kosong memang nyaring bunyinya!" ejek Wan-ji.
Ci-hoat-leng-kau menarik muka, bentaknya dengan gusar: "Jawab saja, kalian mau ikut kami atau harus kami bekuk dengan kekerasan?"
"Hehehe, omong besar melulu!" jengek Wan-ji. "jika betul2 turun tangan, tidak sampai sepuluh jurus kami mampu membekuk kalian berdua!" seru Ci-hoat-leng-kau dengan gemas.
Wan-ji tak mau kalah, dengan nada yang sama iapun berseru: 'Bila betu12 bertempur, tidak sampai tiga jurus kedua nonamu sanggup mengenyahkan kalian tua bangka ini dari sini!"
Wan ji memang pandai bersilat lidah, ucapannya setajam sembilu, kontan saja membuat Kui-kok-ji ki jadi mencak2, Tian Pek yang bersembunyi di belakang pohon hampir saja tak dapat menahan gelinya.
"Baiklah, sebelum diberi hajaran tampaknya kalian tak mau percaya," sera Kui-kok-in-siu marah-marah. "Sekarang juga akan kusuruh kalian rasakan sendiri betapa lihaynya kami!"
Diiringi bentakan keras dia cengkeram dada Wan-ji dengan jurus Kui-ong-bong-ciong (raja setan menumbuk lonceng) dari ilmu pukuian Im-hong-ciang, serangan ini tergolong kotor terhadap seorang gadis. tapi kakek itu tak segan2 menggunakannya.
Merah wajah Wan-ji, ia bertambah gusar, dengan ilmu langkah Cian-hoan-biau-hiang poh dia berputar ke samping.
Sejak dulu, ilmu andalan Wan-ji adalah kegesitan, setelah mempelajari ilmu Cian-hoan -biau-hiang poh, keadaanya ibarat harimau tumbuh sayap, maka setiap serangan maut Kui-kok-in-siu dapat dielakkannya.
Kui-kok-in siu terkejut, tapi semakin membangkitkan rasa gusarnya, ia menyerang makin bernafsu, beruntun tujuh kali pukulan berantai dilepaskan.
Ketujuh serangan itu dilancarkan dengan tenaga dahsyat, meski begitu, di bawah gerak tubuh Wan-ji yang lincah, semua ancaman maut itu bisa dihindarkan dengan baik dan manis. Akan tetapi, tidak urung ia terdampar mundur juga oleh angin pukulan musuh.
Wan -ji menjadi gusar, ia membentak lalu mengeluarkan ilmu Soh-hun ci, beruntun ia balas menutuk tiga Hiat-to penting tubuh lawan.
Serangan jari tangan itu sangat lihay, Kui-Kok in-siu tak berani menyambut dengan kekerasan, cepat ia melompat mundur, pada kesempatan tersebut Wan-ji segera memperbaiki posisinya, beruntun iapun menutuk pula tiga kali dan empat kali pukulan.
Di bawah tekanan ketujuh serangan berantai ini, Kuikok-in-siu juga terdesak mundur.
Demikianlah dalam waktu singkat kedua orang itu sudah terlibat delam pertarungan sengit, belasan jurus sudah lewat, namun menang kalah masih belum bisa ditentukan.
Sementara pertarungan itu berlangsung, Ci-hoat leng-kau melirik Buyung Hong, ia berkata dengan suara menyeramkan: "Mereka berdua sudah mulai bertempur, sebaiknya kitapun jangan menganggur, hayolah kitapun ber-main2 sebentar.
Ucapan itu bernada kotor, Buyung Hong jadi
mendongkol, dengan muka sedingin es ia menyindir: "Hm katanya dalam sepuluh jurus kami akan dibekuk"' Kenapa sudah 20 jurus lebih kawanmu itu masih belum mampu gmengapa-apakan adikku ...."
"Hehehe, apa bedanya sepuluh jurus atau dua puluh jurus" kalina berduakan seperti benda dalam saku kami?"
Begitu selesai berkata, dengan jurus Hek-jiu-tan-bun (tangan hitam merampas sukma), dia cengkeram bagian bawah perut nona itu.
Merah wajah Buyung Hong, ia tak menyangka kedua orang tua yang dihormati ini ternyata tak lebih hanya manusia2 rendah yang bermoral bejat, menghadapi serangan kotor ini, Buyung Hong sendiripun tak sungkan2
lagi, dengan jurus Hong-ceng-lui-beng ia balas menghantam batok kepala musuh.
Ci-hoat-leng-kau menyambut pukulan itu dengan serangan kilat, dalam sekejap saja mereka sudah bertempur berpuluh gebrakan.
Bicara soal kungfu maka ilmu silat Kanglam ji-ki pada dasarnya memang lihay, apalagi setelah berhasil mencelakai
gurunya sendiri, yakni Sin kau Tiat Leng dan mencuri kitab pusaka Bu hak-cinkeng serta mempelajarinya dengan tekun, boleh dibilang kungfu mereka berlipat kali lebih lihay daripada Buyung Hong berdua.
Untungnya kedua nona ini belum lama berselang sempat mendapat pelajaran silat dari Tian Pek, dengan kungfu dari kitab Soh-kut-siau hun yang maha dahsyat, walau agak memeras keringat kedua nona itu masih mampu bertahan.
Tapi setelah bertarung lama, Buyung Hong mulai kewalahan, ia tak sanggup lagi melayani serangan2 maut Ci-hoat leng-kau.
Di antara Kanglam-ji- ki, ilmu silat kunyuk berambut merah ini memang lebih lihay daripada saudaranya, sedangkan Buyung Hong lebih lemah jika dibandingkan Wan ji, bisa dibayangkan bagaimana akibatnya ketika yang kuat bertemu dengan yang lemah, puluhan gebrakan lewat, Buyung Hong sudah keteter hingga napasnya tersengal dan sekujur badan mandi keringat.
Di pihak lain, pertarungan antara Wan-ji melawan Kuikok-in-siu masih berjalan dengan seimbang. Sebagaimana diceritakan tadi, Wan-ji pernah belajar dari guru lain, yakni Sin-kau Tiat Leng, yang sebetulnya adalah guru Kui-kok-in-siu, meskipun hanya belajar seratus hari, namun banyak jurus serangan mereka ternyata sama dan kembar.
Kejadian ini membuat keduanya sama2 keheranan, mereka merasah belum pernah bertemu dengan lawannya, tapi mengapa jurus serangan mereka serupa"
Tentu saja keheranan itu hanya tersimpan di dalam hati saja, siapapun tak menyangka kungfu mereka sebenarnya berasal dari guru yang sama.
Dalam pada itu Buyung Hong sudah terlibat dalam posisi yang berbahaya, jiwanya berada diujung tanduk dan tiap saat pukulan mematikan musuh bisa menghabisi nyawanya.
Setelah jelas kemenangan sudah diambang pintu, Ci-hoat-leng-kau mulai bermulut usil, ia memuji kecantikan Buyung Hong, memuji bentuk tubuhnya yang ramping dan kungfunya tangguh.
Padahal usia si "kunyuk berambut merah" itu pantas menjadi kakeknya Buyung Hong, tapi dasar bermuka badak, tua2 keladi, tidak tahu diri.
Menghadapi godaan seperti itu, Buyung Hong jadi malu bercampur kheki, suatu ketika mendadak Ci-hoat-leng-kau menggunakan ilmu Hek-sat-jiu untuk mencengkeram mukanya, padahal ia sudah kehabisan tenaga, tak kuat rasanya untuk menangkis ancaman tersebut. sekalipun begitu dia tak sudi tubuhnya dicengkeram musuh sehingga akan merugikan nama baik Tian Pek.
Dalam keadaan begini, ia jadi nekat, timbul niatnya untuk beradu jiwa dengan musuh, maka ketika serangan musuh hampir mengenai tubuhnya, berbareng itu juga ia menerkam ke depan sambil menyerang dengan jurus Hwe-hong-ci-lip, (mengambil kacang di tengah bara), suatu jurus serangan mematikan andalan Ti-seng-jiu suara benturan dan bentakan keras menggelegar, menyusul seseorang menjerit kesakitan ....
Bayangan manusia yaug bertarung itupun berpisah, seorang sambil memegang pergelangan tangannya yang kesakitan tergetar mundur dengan sempoyongan.
Orang yang terluka itu bukan Buyung Hong sebaliknya adalah Ci-hoat-leng-kau Siang Ki-ok.
Buyung Hong sendiri berdiri dengan napas tersengal dan muka pucat, meski demikian wajahnya kelihatan berseri, kiranya di tengah arena pertempuran telah bertambah dengan seseorang.
Orang itu adalah seorang pemuda yang sangat tampan dengan tubuh yang tinggi tegap, dia masih muda tapiw berwibawa, ketyika Ci-hoat-lenxg-kau tergeser mundur dalam keadaan mengenaskan, anak muda itu hanya memandangnya sambil tertawa, tertawa mengejek.
Kiranya ketika Buyung Hong terancam bahaya, Tian Pek yang bersembunyi dibalik pepohonan telah muncul dan menghajar Ci-hoat-leng-kau yang jumawa dan sombong itu sehingga mencelat.
Wan-ji sangat gembira setelah melihat kemunculan Tian Pek, secara beruntun ia lepaskan dua pukulan dahsyat untuk mendesak mundur Kui-kok-in-siu, pada kesempatan tersebut nona itu menubruk ke pangkuan pemuda itu seraya berseru: "Engkoh Tian. . . .."
Rasa cintanya yang selama ini tertimbun dalam hati tak bisa dikendalikan lagi, dengan diliputi emosi yang meluap2
ia berseru dan menghampirinya, untunglah dengan cepat ia teringat akan encinya, apalagi bila teringat kerelaan encinya yang akan mengawini seorang suami bersama dengan dia, hal ini membuat pipinya menjadi merah, untuk sesaat ia tak bisa berucap.
Tian Pek balas memberikan senyuman mesra kepadanya, kemudian berpaling ke arah Kui-kok ji-ki seraya berkata:
"Kalau kalian ada urusan menceari padaku, mengapa tidak mencari langsung dan buat apa kalian merecoki dua orang anak gadis dengan cara sekeji ini, begitukah perbuatan kalian sebagai tokoh persilatan?"
Waktu itu Ci-hoat-leng-kau sedang menyembuhkan lukanya, ia tak dapat menjawab. maka Kui-kok-in-siu yang menanggapi ucapan tersebut.
"Orang she Tian, sewaktu di lembah kematian, untung kau bisa lolos, tapi malam ini hmm, jangan harap kau bisa lolos dari cengkeraman kami lagi!"
Tian Pek tertawa, katanya: "Aku orang she Tian tidak merasa pernah dikalahkan oleh kalian, jika kali ini kalian mengincar jiwaku, maka silakan saja untuk mencobanya, tapi kukira tidak segampang apa yang kau pikirkan!"
Diam2 Kui-kok in-su melirik sekejap ke arah suhengnya, ketika melihat Ci-hoat leng-kau masih duduk bersila sambil mengatur pernapasan, sadarlah dia bahwa kekuatannya seorang belum tentu bisa menandingi kelihayan Tian Pek, meski demikian ia tidak sudi menyerah, apalagi unjuk kelemahan sendiri.
Kembali kakek kurus kecil itu tertawa seram, katanya:
"Bocah keparat, jika kau bersedia menyerahkan kitab Soh kut-siau-hun thian hud pit-kip itu kepada kami, dengan senang hati akan kulupakan sengketa kita di masa lalu, bahkan sejak detik ini tak akan kuungkat lagi tentang kematian muridku si Sam-cun-teng!"
"Jika kau bersedia melepaskan soal dendam, dengan senang hati akupun akan
menerimanya, tapi bila kau menghendaki kitab pusaka Soh-kut-siau hun-pit kip tersebut, maka aku hanya bisa mengatakan sayang seribu kali sayang, sebab kedatangan kalian sudah terlambat."
"Kalau begitu, kau tidak bersedia menyerahkan kitab itu kepada kami?"
"Mau percaya atau tidak terserah padamu, yang pasti kitab itu sudah kumusnahkan di hadapan kawan2 dari seluruh kolong langit!"
Dalam pada itu Ci-hoat-leng-kau telah menyelesaikan semedinya, dengan muka garang ia menghampiri anak muda itu, lalu serunya dengan bengis "Jangan kau anggap tipu muslihatmu itu dapat membohongi kami berdua Hmm, mungkin orang lain bisa kautipu, tapi kami tidak, sekarang aku hanya ingin bertanya, mau serahkan pada kami atau tidak" Ucapannya garang, kasar dan mendesak, se-akan2
bila pemuda itu tak bersedia menyerahkan kitab itu, maka mereka akan segera melakukan penyerangan.
Kui-kok-in-siu semakin berani setelah luka suhengnya berhasil disembuhkan, dengan menghimpun segenap tenaga dia melangkah maju, bentaknya; "Apakah kau memaksa kami untuk menggunakan kekerasan?"
Mendongkol juga hati Tian Pok menghadapi kedua orang yang garang dan tak pakai aturan ini, ia balas menjengek: "Jangankan kitab pusaka itu memang sudah musnah, kendati masih utuh tak nanti kuserahkan kepada manusia bejat yang berani mengkhianati guru sendiri seperti kalian ini."
Kejadian ini tak ubahnyga seperti mengorek borok di tuhbuh mereka, kontan saja mereka naik darah, teriaknya kalap: "Bangsat, kau ingin mampus agaknya!"
Disertai bentakan nyaring, yang satu memakai ilmu pukulan Hek-sat-jiu sedangkan yang lain memakai tin-hong-ciang, dengan dua jenis tenaga pukulan yang berbeda serentak mereka serang Tian Pek. .
Anak muda itu sedikitpun tak gentar, dengan ilmu langkah Cian-hoan-biau-hiang-poh dia berputar ke samping dan tahu2 sudah lolos dari cengkereaman musuh, meski ada
kesempatan untuk membalas namun ia tidak
mempergunakannya.
"Bila mau sungguh2 bertarung, belum tentu aku jeri pada kalian berdua," katanya sambil tertawa dingin, "tapi sebagaimana telah kukatakan, orong she Tian telah mengundurkan diri dari dunia persilatan, aku tak ingin mengikat tali permusuhan lagi dengan kalian!"
Kedua orang tua itu makin gusar, dengan muka merah padam Ci-hoat-leng-kau menghardik:
"Tak peduli kau sudah mundur dari dunia persilatan atau tidak, pokoknya sambut dulu pukulan ini.'
"Benar!" sambung Kui-kok-in-siu, "sebelum kitab Sohhun-siau-hun kauserahkan kepada kami, selamanya urusan kita tidak akan berakhir!".
Begitulah sambil berseru marah, kedua orang tua dari lembah setan ini mulai menyerang dengan gencar.
Tian Pek tetap tidak membalas, dia hanya berkelit dan menghindar melulu, sekalipun demikian tak satu pukulan musuhpun yang dapat mengenai tubuhnya. Sekejap saja lima-enam jurus sudah lewat, dikerubut kedua musuh tangguh, Tian Pek mendemonstrasikan kelihayan ilmu Iangkah Cian-hoan-biau-hiang-poh yang diimbangi dengan gerakan tubuh Bu-sik-bu-siang-sin-hoat, dengan enteng dan lincah ia mangegos ke kiri dan menghindar ke kanan, walaupun begitu dia sudah terdesak mundur puluhan kaki dari posisi semula.
Tian Pek terdesak sehingga terpaksa harus balas menyerang, sementara itu Wan-ji dan Buyung Hong telah memburu datang dan siap memberi bantuan, tapi sebelum mereka melancarkan serangan balasan, tiba2 dari kgejauhan
berkumandang suara gelak tertawa yang amat nyaring disusul raungan yang mendirikan bulu roma.
Mereka sama tertegun, bahkan Kanglam-ji-ki lantas menghentikan serangannya dan melompat mundur serta berpaling ke arah suara itu . . . .
Suara itu sangat seram, se-akan2 suatu bencana besar segera akan terjadi. Selagi orang2 itu melenggong, tiba2
sesosok bayangan hitam melayang tiba dengan cepat sambil berseru: "Engkoh Tian . . . . Tian-siauhiap, ada orang datang mencarimu!"
Tian Pek kenal itulah suara Kim Cay-hong yang berjulukan Kanglam-tee-it-bi-jin, dari suara nona itu Tian Pek dapat merasakan nadanya gugup diliputi rasa kejut, seakan2 baru saja menemui suatu bencana besar.
"Ada orang mencari aku?" serunya, "kejadian apa membuat nona kelihatan kaget dan gugup"
Rasa kaget masih menghiasi wajah Kim Cay-hong yang cantik, dengan napas tersengal sahutnya. "Sembilan aliran besar dan . . . . dari banyak lagi jago2 lihay Lam-hay-bun telah datang mencari Tian -siauhiap!"
"Masa begitu banyak orang datang mencari diriku?" seru anak muda itu heran.
Kim Cay-hong mengangguk, katanya lagi: Tampaknya sebelum datang mencari Tian-siauhiap mereka telah berkumpul lebih dulu disuatu tempat kemudian datang bersama2, paman Lui mengatakan Tian-siauhiap tidak berada di tempat, tapi mereka tak percaya dan bermaksud melakukan penggeledahan, orang2 dari perkumpulan pengemis mengalangi niat mereka, tapi dengan kekerasan mereka turun tangan dan melukai beberapa orang, bahkan
katanya bila Tian-siauhiap tidak berhasil ditemukan maka semua orang yang berkumpul di sana akan mereka bantai sampai habis . . . . "
"Ai, ada peristiwa begitu?" kata Tian Pek dengan gelisah,
"aku akan segera kesana!"
Tanpa membuang waktu lagi ia putar badan dan berlari pergi.
"Eeh, bangsat cilik! mau kabur kemana?" bentak Kanglam-ji-ki dengan gusar, segera mereka mengejar.
Wan-ji, Buyung Hong serta Kim Cay-hong tak mau ketinggalan, merekapun menyusul dari belakang.
Kira2 belasan tombak sebelum pagar pekarangan Tian Pek tak sabar lagi, dengan gerakan Ci-sang-cing-in (melambung langsung ke atas mega) dia melejit ke atas dan melayang masuk ke dalam halaman.
Halaman yang luas itu sekarang dipenuhi oleh dua tiga ratus jago silat dan yang hebat adalah sedang berlangsung pertempuran yang mengerikan.
Deru angin pukulan, kelebatan bayangan tangan serta kilatan cahaya senjata membuat udara terasa sesak dan kacau, jerit kesakitan, keluhan dan rintihan berkumandang dari sana sini, yang lebih ngeri lagi adalah berpuluh sosok mayat tanpa kepala atau anggota badan yang tak lengkap terkapar di sana- sini.
"Tahan!" bentak Tian Pek, suaranya keras seperti guntur membuat orang2 yang sedang bertempur itu kaget, dan segera menarik kembali seranganya sambil melompat mundur.
Beruntun melayang masuk enam sosok bayangan ke dalam halaman itu, orang pertama yang tiba lebih dulu
adalah Tan Pek, pemuda yang tampan dan gagah perkasa itu, di belakangnya menyusul Kanglam-ji-ki, Wan-ji, Buyung Hong serta Kim Cay-hong.
Begitu tiba di arena pertempuran, Tian Pek memandang sekejap mayat yang
bergelimpangan di tanah, lalu dengan penuh emosi ia berseru lantang: "Jago lihay dari manakah yang datang mencariku" Dengan dasar apakah kalian melakukan pembantaian keji di sini" Pantas dan adilkah perbuatanmu ini?"
"Omitohud!" dari kerumunan orang banyak muncul seorang Hwesio tua yang bertubuh tegap ia memakai jubah pendeta warna abu2, alis mata nya sudah putih tapi mukanya masih segar.
Setelah memberi hormat, iapun berkata: "Jika dugaanku tidak keliru, tentunya kau yang bernama Tian Pek, keturunan Pak-lek-kiam Tian In-thian Tian tayhiap bukan?"
Anak muda itu mengangguk tanda membenarkan.
"Aku adalah Hong-tiang Siau-lim si dewasa ini yang bergelar Ci-hay," kata paderi tua itu lebih lebih jauh, "dan sekarang atas nama ketua dari sembilan aliran besar khusus datang kemari untuk memimjam sesuatu benda pada Tian-siauhiap, sudikah kiranya Tian siauhrap mengabulkan permintaan kami ini?"
Sebelum ketua Siau-lim ini menyelesaikan kata-katanya, para ketua kedelapan golongan besar, yakni ketua Go-bi, Khong-tong, Bu-tong, Kun-lun, Tiam-jong, Hoa-san, Tiang-pek serta Hoat-hoa serentak maju dua langkah dan berdiri berjajar di belakang Ci-hay Siansu, dengan tatapan tajam mereka awasi anak muda itu tanpa berkedip.
Tian Pek tidak segera menjawab, ia mendongkol setelah mendengar perkataan ketua Siau-lim yang jelas nadanya mengandung paksaan itu, apalagi setelah menyaksikan sikap ketua kedelapan golongan persilatan yang sama2
menatapnya dengan garang, agaknya bila ia tidak meluluskan permintaannya maka mereka akan segera menggunakan kekerasan.
"Benar2 tak kusangka!" demikian ia berpikir di dalam hati, "sembilan aliran besar yang sudah harum namanya semenjak ratusan tahun berselang ternyata tempat bercokol manusia tamak akan harta pusaka. Ai, kalau manusia2
begini diserahi memegang tampuk pimpinan, darimana mereka dapat melakukan tugas dengan se- baik2nya . . . . "
Berhubung sejak pandangan pertama sikap kesembilan orang ketua persilatan itu sudah memberi kesan yang jelek pada Tian Pek, apalagi sikap main gertak yang mereka tunjukkan telah membuat anak muda itu mendongkol, maka sikap Tian Pek juga tak sungkan2 lagi.
Ditatapnya kesembilan orang itu dengan pandangan sinis, sambil tertawa dingin ia berkata: "Apa permintaan kalian" Silakan Taysu utarakan dengan cepat! Asal permintaan kalian tidak melanggar keadilan serta kebengaran, pasti akain kupenuhi!"
Beberapa patah kata itu diucapkan Tian Pek dengan keren dan penuh wibawa, nadanya tidak sombong juga tidak merendahkan diri sendiri, ini membuat sebagian besar jago yang hadir sama merasa kagum.
"Gagah amat pemuda ini!" begitulah mereka membatin,
"tidak perlu soal ilmu silat, cukup ditinjau dari sikap serta cara berbicaranya sudah cukup membuat orang takluk.
Kelak besar harapannya akan memimpin dunia persilatan..
. ." Sebagai orang persilatan yang berpengalaman, tentu saja merekapun dapat menangkap arti ganda dari ucapan itu, tapi jelas ucapan itu bernada sindiran dan yang disindir tak lain adalah cara berbicara maupun cara bertindak ketua Siau-lim yang tak sopan itu.
Sebagai ketua Siau-lim-pay sudah tentu Ci-hay Slansu dapat menangkap arti sindiran tersebut, tapi ia tak berani bertindak gegabah lantaran disadari betapa pentingnya persoalan ini.
Dengan wajah merah kemudian ia berkata: "Sebenarnya permintaan yang hendak kuajukan juga tidak terlampau berlebihan, aku cuma berharap agar Siau sicu bersedia menyerahkan Soh-kutsiau-hun-thian-hud-pit-kip itu kepadaku dan aku beserta ketua kedelapan aliran besar segera akan berlalu dari sini."
Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar permintaan itu, Tian Pek tertawa dingin.
"Seandainya kitab pusaka itu masih ada niscaya akan kuserahkan kepada Ciangbunjin untuk dibawa pulang.
sayang kedatangan kalian terlambat sedikit, beberapa hari yang lalu kitab pusaka itu sudah kumusnahkan di hadapan umum, kukuatir kedatangan Ciangbunjin hanya akan sia2
belaka!" Sebenarnya apa yang diucapkan Tian Pek adalah kejadian yang sesungguhnya, tapi diterima oleh Ci-hay Siansu dengan arti yang lain, paderi itu melanjutkan kata2nya:
"Tian-sicu, terus terang saja kukatakan, pada hakikatnya kitab pusaka itu adalah milik Siau-lim kami dan Bu-tongpay. Dua ratus tahun yang lalu Ko-sui Taysu, ketua kami yang lampau beserta Tiat-sin Totiang dari Butong-pay telah
melepaskan budi portolongan kepada seorang jago aneh dari kolong langit yang bernama Ciah-gan-longkun, maka sebagai rasa terima kasihnya atas budi pertolongan tersebut, Ciah-gan longkun telah menghadiahkan sejilid kitab pusaka kepada kami, kitab pusaka itu tak
lain adalah Soh-kut-sigau-hun-thian-huid-pit-kip.
"Walaupun kitab itu milik Siau-lim dan Bu-tong, tapi oleh karena kitab tersebut berpengaruh terhadap keamanan dan pergolakan dunia persilatan, maka setelah melalui suatu perundingan akhirnya kedua Ciangbunjin kami memutuskan untuk menyimpan kitab pusaka tersebut di dalam kuil kami. Turun-temurun kitab pusaka tersebut selalu kami simpan diloteng penyimpanan kitab, maka tatkala di dunia persilatan tersiar berita
yang mengatakan kitab tersebut telah terjatuh ke tangan Siau sicu, serentak kulakukan pengecekan ke atas loteng kitab itu, benar juga ternyata kitab pusaka itu sudah lenyap tak berbekas!"
Berbicara sampai di sini, Ci-hay Siansu menghela napas panjang. tampaknya ia merasa sayang karena lenyapnya kitab pusaka itu dari kuilnya, sebab ber-tahun2 selalu aman, tak tahunya sewaktu ia memegang jabatan ketua peristiwa yang tak diinginkan itu telah terjadi.
Semua orang belum pernah mendengar rahasia yang menyangkut peristiwa pada dua ratus tahun berselang ini, keterangan tersebut membikin mereka jadi tercengang, mata mereka terbelalak lebar dan alihkan perhatiannya ke wajah ketua Siau-lim-pay itu.
Sesudah tarik napas panjang, Ci-hay Siansu melanjutkan ceritanya: "Kendati aku belum pernah berjumpa dengan Siau sicu, akan tetapi dari laporan anak muridku serta dari berita yang tersiar dt dunia persilatan dan kuketahui bahwa
Siau sicu sebenarnya adalah putera Pek-lek-kiam Tian In-thian, Siau sicu terkenal jujur dan gagah perkasa, aku yakin pasti bukan kalian yang mencuri kitab tersebut dari kuil kami melainkan
didapatkannya dari orang lain. Untuk menanamkan kepercayaan orang lain atas kejujuranku, maka sengaja kundang pula kedatangan kedelapan ketua yang lain untuk menjadi saksi, aku harap Siau sicu suka memberi muka kepada kami dan serahkan kembali kitab pusaka yang merupakan benda mestika simpanan kuil kami turun temurun itu. atas kesedian Siau sicu, bukan saja aku pribadi merasa berterima kasih, bahkan seluruh
anak murid Siau-lim-pay juga tak akan melupakan budi kebaikan Siau sicu!"
Selesai berkata, dengan tatapan tajam ia mengawasi Tian Pek tanpa berkedip, agaknya ia sedang menunggu anak muda itu memberikan jawaban yang memuaskan.
Tian Pak tersenyum, katanya "Aku kuatir kenyataannya bukan seperti apa yang kaututurkan!"
Air muka Ci-hayw Siansu berobahy masam, alis matanya berkerut, jelas paderi itu merasa tak senang hati:
"Sicu, apa yang kuceritakan barusan merupakan rahasia kuil kami, jika bukan terpaksa tak nanti kuceritakan kepada orang luar, apakah kau anggap aku sengaja
membohongimu?"
"Sebagai ketua Siau-lim-pay, kupercaya Taysu tidak berbohong," sahut Tian Pak dengan serius, "tapi kenyataannya, menurut apa yang kuketahui, kejadiannya berbeda jauh dengan apa yang Taysu tuturkan barusan."
Tian Pek sangat menghormati paman Lui, ia percaya apa yang diceritakan paman Lui kepadanya ketika berada di
dalam gua rahasia tempo dulu tak bakal salah, maka walaupun sekarang Ci hay Siansu si ketua Siau-lim-pay mempunyai cerita dalam versi lain tentang kitab pusaka Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit kip, betapapun ia lebih percaya pada keterangan paman Lui.
Bisa dibayangkan betapa marahnya Ci hay Siansu mendengar sanggahan itu, mukanya jadi merah padam, matanya melotot dan jenggotnya bergetar tanpa terembus angin, serunya dengan ketus: "Bagaimana bedanya" Coba terangkan!"
"Ketika Ciah-gan-long-kun berlatih sejenis tenaga dalam tingkat tinggi dan mendapat gangguan dari Thian-sian-mo-li dengan ilmu To-li-mi-hun-tay-hoatnya sehingga mengalami kelumpuhan, beliau memang mendapat pertolongan Ko-sui Siangjin, ketua Siau-lim serta Tiat-siu Totiang dari Bu tongpay!"
"Hm, jadi aku tidak membohong, kenyataannya memang begitu bukan?" dengus paderi itu dengan mendongkol.
Tian Pek tidak memperdulikan ocehannya, ia
melanjutkan kisahnya: "Akan tetapi, setelah Ciah-gan-longkun sembuh dari lukanya, ia tidak pernah menyerahkan kitab pusaka hasil pemikirannya itu kepada ketua Siau-lim-pay!''
Air muka Ci-hay Siansu berubah hebat, tapi Tian Pek lantas berkata lebih jauh: "Kitab pusaka itu ia simpan di sebuah gua rahasia di Lo-hu-san, bahkan sesaat sebelum mengembuskan napasnya yang penghabisan sengaja ia bocorkan rahasia ini kepada orang lain. Karena peristiwa itulah tak terhindar lagi dunia persilatan waktu itu menjadi kacau, banjir darah melanda di-mana2, semua orang berusaha mencari dan memperebutkan kitab pusaka itu!"
Dengan kisah ini Tian Pek hendak membuktikan kepada umum bahwa cerita Ci hay Siansu tidaklah jujur, hal ini seketika itu juga membuat paderi Siau lim si ini naik pitam, ia maju ke muka seraya membentak: "Jadi menurut Siau-sicu, ketua kami yang lalu berhasil mendapatken kitab pusaka itu dari suatu perebutan dengan kawanan jago yang lain?"
Siau-lim si amat tersohor di dunia persilatan, bukan saja karena jumlah anggotanya yang banyak, terutama sikap mereka yang lebih mengutamakan keadilan dan kebenaran daripada kemaruk nama serta harta, Andaikata apa yang dikisahkan Tian Pek terbukti kebenarannya, ini sama artinya pemuda itu sudah mencoreng moreng sejarah Siau lim-si yang sudah cemerlang selama be-ratus2 tahun ini.
Waktu itu Ci-hay Siansu telah menghimpun segenap tenaga dalamnya pada telapak tangannya, asal pertanyaannya itu dijawab Tian Pek dengan "ya" atau anggukan kepala, maka dia akan segera melancarkan sarangan maut dengan segenap kekuatannya itu.
Tian Pek tidak melayani kemarahan paderi itu, meski ia tahu kegusaran Ci-hay Siansu sudah mencapai puncaknya, dengan tak acuh ia berkata lagi: "Taysu tak perlu cemas atau gelisah, padamkan dulu hawa amarahmu itu, sebab berbicara sesungguhnya aku sendiri belum pernah mendengar ketua kalian yang lampau ikut pula memperebutkan kitab pusaka itu dengan jago2 lainnya.
Tapi yang pasti kutahu bahwa kitab pusaka itu akhirnya terjatuh ke tangan anak murid perguruan Hoat hoa-lam-cong!" .
Ucapan ini kembali membuat suasana jadi gaduh, terutama sekali para Ciangbunjin dari perguruau Hoat-hoa aliran selatan dan perguruan Hoat-hoa aliran utara, serentak mereka melompat maju ke depan.
Ketua Hoat-hoa-lam-cong, yang bergelar Tan-cing-kek (jago pemetik kecapi) Thio Jiang lantas tertawa ter-babak2, serunya: "Hahaha, jadi berbicaria pulang pergi, akhirnya pemilik yang sebenarnya kitab pusaka Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip adalah perguruan kami! Hahaha, benar2
tak tersangka!"
Ketua Hoat-hoa-pak-cong (aliran utara) yang berjuluk Tiat-pi-pa-jiu (tangan sakti kecapi baja) Hoan Wan ikut menimbrung pula: "Jika memang begitu keadaannya, harap Tian-siauhrap bersedia mengembalikan kitab yang sudah hilang selama dua ratus tahun itu kepada pemilik yang sebenarnya!"
Tian Pek tersenyum, ia tidak menanggapi pernyataan kedua orang itu melainkan meneruskan lagi kisahnya:
"Sayang sekali, anak murid Hoat-hoa-lam-cong tak dapat mempertahankan kitab pusaka itu terlampau lama, dalam suatu perkelahian akhirnya mereka tewas dalam keadaan yang mengerikan dan kitab pusaka itupun dirampas oleh Ngo-jiu-leng-hou (rase licik bercakar lima) yang sebenarnya tidak berilmu tinggi! '
Kembali kawanan jago itu tertegun, Tiat-pi-pa Hoan Wan segera berseru: "Walaupun kami tidak menyaksikan sendiri jalannya pertarungan itu, tapi kami yakin jago2 yang ikut serta dalam perebutan kitab pusaka itu pasti terdiri dari jago2 yang berilmu tinggi, bagaimana penjelasanmu tentang cerita ini" Masa kitab pusaka itu malahan kena didapatkan oleh jago yang tidak berilmu tinggi"'
"Sederhana sekali penjelasannya, jika jago2 berilmu tinggi saling memperebutkan kitab itu lebih dulu sehingga banyak yang terluka dan tewas, sementara Ngo-jiau-leng-hou sendiri cuma berpeluk tangan menyaksikan harimau bertempur, sudah tentu akhinya dia yang heruntung! Sudah
pernah mendengar kisah Bu Cong membunuh harimau" Bu Ceng merasa
tak mampu melawan dua ekor harimau, ia sengaja menyingkir ke samping dan membiarkan kedua ekor harimau yang akan menerkamnya saling berkelahi lebih dulu, akhirnya setelah kedua ekor harimau itu sama2
terluka, ia baru turun tangan membinasakan binatang tersebut. Begitu juga siasat yang digunakan Ngo-jiau-leng-hou, maka dengan sangat mudah ia berhasil mendapatkan kitab pusaka Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit kip tersebut!"
Bersama dengan selesainya ucapan tersebut, tiba2
terdengar seseorang tertawa seram, menyusul seorang kakek kurus kering tinggal kulit membungkus tulang melayang masuk ke gelanggang, begitu tiba di arena dia lantas berseru: "Sungguh tak nyana!. Sungguh tak kuduga, rupanya kitab pusaka yang luar biasa itu adalah milik perguruan Khong -tong-pay kami!"
Ia lantas berpaling ke arah Tian Pek dan menjulurkan tangannya: "Pemiliknya sudah datang, hayo kembalikan kepadaku!"
Kakek kurus kering ini cukup dikenal oleh jago2 yang hadir, sebab dia tak lain adalah ketua perguruan Khong-tong-pay saat ini yang berjuluk Bay-kut-sian (Dewa tulang iga) Ong Gi-to.
Dengan kemunculan jago kurus ini, baru semua orang mengerti Ngo-jiau-leng-hou yang disebut oleh Tian Pek tadi tak lain adalah jago yang berasal dari Khong-tong-pay.
Meski Khong-tong-pay terhitung salah satu di antara sembilan aliran besar di dunia persilatan dan orang persilatan menganggapnya sebagai suatu parguruan dari aliran putih, karena mereka tak pernah mencuri, membegal, tidak menyelenggarakan tempat bordil, tidak menjadi
penyamun serta melakukan jual-beli tanpa modal, tapi muridnya terdiri dari manusia yang beraneka ragam, peraturan perguruannya tidak ketat, banyak anggotanya berbuat se-wenang2. Karenanya meski termasuk dalam deretan sembilan besar, namun sebenarnya perguruannya terhitung perguruan paling rendah di antara yang lain.
Tidak heran tatkala Tian Pek menyatakan bahwa kitab pusaka Soh-kut-siau-hun-thian- hud-pit-kip adalah milik Khong-tong-pay, bukan saja kedelepan besar lainnya segera tak senang hati, bahkan hampir setiap jago yang hadir di situ mempunyai perasaan yang sama.
Jilid 26 Sekalipun tak senang hati, apa mau dikata lagi kalau kenyataannya memang demikian" Sebab itu menurut adat yang berlaku dalam dunia persilatan, barang siapa berhasil mendapatkan benda pusaka yang tak bertuan, maka dialah yang dianggap sebagai pemiliknya.
Ci-hay Siancu kuatir uraian Tian Pak akan menggugat hal milik Siau-lim-pay atas benda itu, bahkan akan membuyarkan pula persatuan dari sembilan besar, maka biji matanya lantas berputar, sambil menahan gelora perasaannya ia berkata lagi kepada pemuda itu:
"Siau-sicu, coba lanjutkan cerita menurut versimu!
Bagaimanakah nasib kitab pusaka Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip itu selanjutnya" Dengan dibayangi oleh demikian banyak jago lihay belum tentu Ngo-jiau-leng-hou bisa melindungi kitab itu untuk selamanya meskipun untuk sementara berhasil ia rampas bagaimana kisah selanjutnya"
Akhirnya kitab itu berhasil didapatkan siapa?"
"Bagaimana kisah selanjutnya aku kurang begitu tahu, sebatas yang kuketahui hanya terbatas sampat di sini saja!"
Mendengar itu, Ci-hay Siansu tertawa dingin: "Hehehe, kalau ucapan Siau-sicu ada kepala tanpa ekor, ini membuktikan bahwa kau sengaja mengarang cerita bohong untuk mengangkangi sendiri kitab pusaka itu!"
Keadaan yang sebenarnya memang tak diketahui Tian Pek, sebab dari paman Lui ia hanya diberitahu sampai di situ saja, tapi sekarang ketua Siau lim-pay ini, memaki dan memfitnah seenaknya sendiri, 'kontan saja anak itu naik darah.
"Taysu, ingatlah pada kedudukanmu yang tinggi dan jangan merendahkan gengsimu sendiri dengan menfitnah orang seenaknya!"
"Hmm, orang persilatan mengatakan Siau-sicu jujur dan berjiwa besar, tapi setelah perjumpaan hari ini baru kuketahui bahwa apa yang tersiar di dunia persilatan tak dapat dipercaya!" seru Ci-hay Siansu pula dengan gusar.
"Apa maksud perkataanmu itu?" tanya Tian Pek.
"Sungguh mengecewakan Siau-sicu mempunyai nama pendekar, pada hakekatnya tak lebih adalah manusia munafik. Perbuatanmu ini sama dengan mencorengi nama baik Pek-lek-kiam Tian-tayhiap dimasa lalu . . . ."
"Tutup mulut!" bentak Tian Pek dengan gusar.
Dengan cepat Ci-hay Siansu mundur selangkah dia mengira musuh akan turun tangan, cepat telapak tangannya siap diangkat keatas, untuk menghadapi segala kemungkinan.
Sebagai anak yang berbakti, Tian Pek benci bila ada orang menghina nama baik mendiang ayahnya, segera ia
hendak melabrak orang, akan tetapi ketika tenaga pukulannya terhimpun, tiba2 teringat olehnya bahwa ia sudah berjanji pada pahak Lam-hay-bun untuk tidak mencampuri urusan dunia persilatan lagi, maka hawa murni yang sudah dihimpun segera dibuyarkan kembali, telapak tangan yang sudah terangkat pelahan-lahan diturunkan.
"Hm, kuhormati Taysu sebagai seorang Ciangbunjin, tapi Taysu malah menghina mendiang ayahku, andaikata aku tiada janji dengan orang lain untuk tidak mencampuri urusan dunia persilatan lagi, hm, tentu aku tidak sungkan2
lagi kepadamu! Sekarang akupun tak ingin banyak bicara hendaklah kalian segera tinggalkan tempat ini!" kata Tian Pek dengan gemas.
Sebagai ketua Siau lim-pay, kedudukan Ci-hay Siansu di dalam dunia persilatan sangat tinggi dan terhormat, tapi sekarang di hadapan orang banyak ia dibentak oleh Tian Pek dengan kasar, hal ini membuat paderi tersebut jadi tertegun.
Tian Pek sendiripun tidak sungkan2, sehabis berkata ia tak pedulikan lawannya lagi dan segera berlalu.
Tiba2 Bay-kut sian membentak: "Bocah keparat, jangan pergi dulu" Hmm, berani kau bersikap kurangajar terhadap ketua sembilan besar" Sambut dulu pukulanku ini!"
Di iringi bentakan nyaring, tubuhnya melambung ke udara, dari atas telapak tangannya menghantam punggung Tian Pek.
Cepat Tian Pek melompat ke depan, dengan begitu serangan maut Bay-kut-sian mengenai sasaran yang kosong.
"Blang!" di tengah dentuman heras, debu pasir beterbangan, pukulan dahsyat Bay-kut-sian itu menghantam permukaan tanah hingga menimbulkan sebuah liang besar.
Tak malu ia sebagai ketua Khong-tong-pay, ditinjau dari kekuatan serangannya dapatlah diketahui tenaga dalamnya cukup sempurna, meski demikian banyak orang diam2
mencemooh sebab sebagai seorang ketua yang mempunyai kedudukan torhormat, tidaklah pantas baginya untuk menyergap orang dari belakang.
Tian Pek sendiri tak ingin melanggar janjinya, maka ia tidak melancarkan serangan balasan, setelah lolos dari ancaman itu ia meneruskan langkahnya untuk berlalu dari situ.
Tan-ceng-kek, ketua Hoat-hoa-lam-cong, sama Tiat-pi-pa-jiu, ketua Hoat-hoa-pak-cong melompat maju dan mengadang jalan pergi Tian Pek.
"Mau kabur dari sini" Tidak gampang sobat!?" jengek mereka " Boleh saja kalau ingin pergi, tapi serahkan dulu kitab pusaka Soh-kut-siau-hun-thian hud-pit-kip!"
Dalam pada itu Ci-hay Siansu serta beberapa orang ketua lainnya sudah memburu maju pula ke depan Tian Pak sepera terkepung lagi di tengah.
Walaupun jago2 yang hadir terdiri dari ketua sembilan besar, tapi yang mengepung Tian Pek sekarang ada sepuluh orang, sebab dari pihak perguruan Hoat-hoa-bun terbagi menjadi Lam-cong (sekte selatan) dan Pakcong (sekte utara), bisa dibayangkan bagaimana tegangnya suasana waktu itu.
"Siau-sicu!" kembali Ci-hay Siansu berkata, "bila Sohkut-siau-hun-thian-hud-lok tidak kau serahkan, jangan salahkan kami akan turun tangan bersama!"
Tian Pek tertawa dingin, ia tidak menanggapi ancaman tersebut, sungguh dia ingin menghajar musuh habis2an, akan tetapi iapun tak mau me-langgar janji, keadaannya jadi serba salah, untuk sesaat ia menjadi bingung.
Dalam keadaan begitu, untunglah paman Lui tampil dan berdiri di depan Ci hay Siansu, tegurnya: "Siau-lim Ciangbun kan kenal padaku?"
Dengan tajam Ci-hay Siansu mengawasi paman Lui dari atas sampai ke bawah, orang ini berambut awut2an, berwajah kereng dan bermata tajam, sudah pasti tenaga dalamnya sangat hebat, tapi selama ini belum pernah kenal, apalagi dalam keadaan mendongkol, tanpa pikir sabutnya ketus: "Maaf, pengetahuanku cetek, tidak kukenal siapa gerangan anda ini!"
"Apakah, mendiang Ciangbunjinmu tidak meninggalkan pesan apa2 waktu kau menerima jabatan ketua?" kata paman Lui.
Pertanyaan yang diajukan tanpag ujung pangkal iini, membuat Cih-hay Siansu tertegun, kembali ia mengamati paman Lui, lalu sahutnya: "Masa urusan pengangkatan Ciangbunjin kami ada sangkut pautnya dengan diri Sicu?"
"Aku kira memang ada sedikit sangkut pautnya" kata paman Lui tersenyum.
Ucapan ini dirasakan sebagai suatu penghinaan bagi Siau-lim-pay, kontan saja Ci-hay Siansu naik darah, teriaknya: "Aku tak pernah kenal kau, mengapa kau bilang ada sangkut pautnya dengan kami" Hmm, jika kau tidak jelaskan duduknya perkara, akan kuadu jiwa dengan kau!"
Paman Lui tertawa, katanya: "Taysu, ucapanmu ini terlalu emosi, bila kau benar2 menghendaki aku bicara terus terang, kukuatir masalah ini akan mempengaruhi
kebersihan nama baik Siau-Iim-pay yang sudah terpupuk selama ratusan tahunl"
"Coba terangkan, masalah apakah itu?" seru Ci-hay Siansu semakin gusar.
"Masalah ini menyangkut nama baik serta kebersihan biara kalian selama ratusan tahun, kurasa kurang leluasa untuk diterangkan di hadapan umum, bagaimana kalau kita berdua mencari tempat yang sunyi saja dan membicarakan persoalan ini di bawah empat mata!"
Ci-hay Siansu hampir saja tak dapat mengendalikan amarahnya, ia berteriak: "Tampaknya kau ini seorang pendakar, kenapa cara bicaramu ber-tele2 begini" Kalau ingin bicara cepat katakan kalau tidak lekas enyah dari sini!"
Sesungguhnya paman Lui memang pernah terlibat dalam satu persoalan yang menyangkut ketua Siau-lim-pay dari generasi yang lalu, bahkan pernah membantu kesukaran biara itu, sebenarnya dia tak ingin membongkar masalah yang memalukan Siau-lim itu dihadapan umum.
Tapi sekarang, urusan kedua pihak telah buntu, dalam keadasn begini tak mungkin Ci-hay Siansu akan menerima usul paman Lui, sedangkan paman Lui sendiri karena terpaksa harus menguraikannya secara blak2an.
"Hei, hwesio tua, kau yang memaksa aku membeberkannya, maka segala risiko adalah tanggung jawabmu." kata paman Lui. "Sekali lagi ingin kutanya padamu, tahukah kau cara bagaimama Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip itu terjatuh ke tangan Siau-lim-pay?"
Ci-hay Siansu swedang marah, maka tanpa pikir dia menjawab, "Tadi sudah kuterangkan, kitab itu dihadiahkan kepada Ko-sui Siangjin, ketua kami yang lalu lantaran
Ciah-gan-long-kun Locianpwe merasa berutang budi kepada ketua kami itu!"
"Lalu bagaimana penjelasanmu tentang apa yang dituturkan Tian-siauhiap tadi?"
"Hmm, apa lagi yang perlu kujelaskan" Dia sengaja memutar balikkan duduknya persoalan dan bicara ngawur?"
"Tutup mulut . . , . " teriak Tian Pek sambil maju ke muka, belum pernah ia di maki orang secara begini.
Paman Lui segera mengalangi anak muda itu, lalu kepada Ci-hay Sian-su ia berkata lagi: "Kalau kau tidak percaya, maka sekarang ingin kutegaskan kepadamu bahwa apa yang diucapkan Tian-siauhiap sedikitpun tidak salah, akhirnya Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip itu diperoleh Ngo-jiau-leng-hou yang dipandang berkepandaiaan rendah itu."
Bay-kut-sian terkejut bercampur girang mendengar pengakuan itu.
Ci-hay Siansu tertawa dingin, teriaknya: "Ah, omong kosong, sekalipun kau mengulangi kembali kisah itu sampai beberapa ratus kali juga percuma, tak nanti aku percaya!"
"Tapi kejadian yang sebenarnya memang begitu, tidak mau percaya juga harus percaya,"seru paman Lui.
Wajah Ci-hay Siarau makin kaku, katanya: "Menurut keteranganmu, bagaimana akhirnya kitab pusaka tersebut dapat terjatuh kembali ke tangan Ciaugbunjin kami" Dan mengapa bisa menjadi pusaka turun temurun biara kami"
Apakah Siaulim-si kami mesti meniru cara Ngo-jiau-leng-hou merampas kitab tersebut dari tangan orang lain?"
Karena gusar Ci-hay Siansu hanya memaki dan membantah, ia tidak membayangkan bahwa ucapan itu akan menyinggung perasaan ketua Khong-tong-pay.
Benar juga, air muka Bay-kut-sian, ketua Khong-tong itu berubah hebat, dengan tatapan tajam dia melototi wajah paderi itu, hawa nafsu membunuh menyelimuti mukanya.
Tapi sebalum ia bersuara, paman Lui telah menanggapi dengan cepat: "Perkataanmu memang tepat sekali!"
Kini air muka Ci-hay Siansu yang berubah hebat.
Paman Lui lantas berkata lebih jauh: 'Berbicara sesungguhnya. kendati Ko-sui Siangjin juga menggunakan cara yang sama untuk merampas kitab pusaka itu, namun maksud dan tujuannya berbeda jauh dengan apa yang dipikirkan Ngo-jiau-leng-hou. Kalau Ngo-jiau-leng-hou merampas kitab itu demi kepentingan pribadi agar dapat malang melintang di dunia persilatan, maka Ko-sui Siangjin merampas kitab itu dengan harapan mencegah badai pembunuhan di dunia persilatan, bahkan setelah kitab itu berhasil dirampas, ia tak memandangnya barang sekejap jua dan kemudian disimpan ke dalam gudang. Sejak itulah kitab pusaka itu menjadi kitab yang tidak pernah diwariskan kepada orang, demikian pula dengan anak murid Siau-lim-si, tak seorangpun pernah berlatih kepandaian sakti itu, sebab Ciangbunjin mereka secara turun temurun melarang siapapun membuka kitab tadi, barang siapa berani mencuri lihat akan dianggap sebagai pengkhianat perguruan. Yaa, hanya satu pikiran sesaat dapat menerbitkan bencana besar, aku tidak membantah bahwa maksud ketua Siaulim-pay yang lalu memang baik dan mulia!"
Persoalan ini hakikatnya adalah rahasia perguruan dan cuma Ciangbunjin saja yang mengetahuinya, rahasia tersebut hanya diberitahukan kepada Ciangbunjin yang
baru pada waktu dilantik menjadi ketua, tak heran kalau tiada orang luar yang mengetahuinya lagi.
Tapi sekarang rahasia tersebut terbongkar dari mulut orang lain, dapat dibayangkaa betapa rasa kaget dan heran Ci-hay Siansu.
"Bangsat, besar amat nyalimu!" hardiknya dengan murka, "darimana kau mengetahui persoalan ini?""
"Keledai gundul, hendaklah sikapmu sedikit tahu diri!"
ujar paman Lui dengan gusar,
"aku ingin bertanya lagi padamu, tahukah gkau apa sebabnya tiga orang suheng mendiang Ciangbunjinmu tewas secara mengenaskan?"
Pertanyaan ini membuat Ci-hay Siansu terbelalak dan sama sekali tak mampu menjawab.
Ciangbunjin Siau-lim-si yang dulu bergelar Ceng sim Siansu, dia tak lain adalah gurunya Ci-hay, sedangkan ketiga orang Supeknya, yakni Thian-sim, Jing-sim serta Beng-sim justeru mati karena dijatuhi hukuman yang paling berat menurut peraturan perguruan. Tapi mengapa mereka sampai dihukum mati" Hal ini merupakan rahasia besar yang tak diketahui orang luar, bahkan ketika Ceng-sim Siansu melimpahkan jabatan ketuanya kepada Ci-hay, persoalan ini tak pernah disinggung, dengan sendirinya Ci-hay Siansu tak tahu.
Dan sekarang, pertanyaan itu diajukan oleh paman Lui, pantas kalau ketua Siau-lim-pay ini jadi gelagapan.
Sekalipun demikian, tentu saja ia tak mau mengatakan dia tidak tahu, sambil mengernyitkan alis ia membentak dengan gusar: "Masa kau tahu jelas sebab musabab kematian ketiga orang Supekku?"
"Hahaha, kalau aku tidak jelas, siapa lagi yang tahu"
Aku berani memastikan bahwa setelah Ceng-sim mati, di dunia ini hanya aku seorang yang mengetahui rahasia ini!"
"Omong kosong, tak mungkin kau tahu!" teriak Ci hay Siansu semakin gusar.
"Hmm, agaknya kau memaksa kubongkar semua rahasia ini dihadapan umum!" kata paman Lui dengan mata melotot.: "Baiklah, kalau memang begitu, terpaksa akupun harus bicara terus terang. Ketahuilah, ketiga orang Supekmu itu bunuh diri dengan menghantam ubun2 sendiri karena mereka melanggar pantangan Siau-lim-si, yaitu diam2 mencuri lihat Soh-kut-siau-hun-thian-hud-lok!"
Air muka Ci-hay Siansu berubah hebat, bentaknya: Ketiga orang Supekku adalah Suheng Ciangbunjin yang dulu, sekalipun mereka mencuri melihat kitab pusaka itu, kesalahannya tak sampai dijatuhi hukuman mati Huh!
Ketahuan sekarang, tampaknya kau memang sengaja bicara ngawur untuk menutupi maksud busuk pribadimu sendiri . .
." Paman Lui menjengek, katanya: "Umpama jika tiga Supekmu mencuri lihat kitab pusaka itu, kemudian perbuatan mereka diketahui Ciangbunjin, tapi mereka tidak menurut perintah ketuanya sebaliknya malahan menyerang Ciangbunjinnya, coba jawab, perbuatan semacam ini pantas tidak kalau dijatuhi hukuman mati?"
Ci-hay Siansu tertegun dan tak bisa bicara lagi.
Kedudukan seorang Ciangbunjin adalah tampuk pimpinan tertinggi, jangankan sesama saudara seperguruan, sekalipun Supek atau Susioknya juga akan dijatuhi hukuman mati bila berani mencelakai sang ketua.
Sementara itu perhatian semua, orang sama tertuju pada tanya jawab ini, meskipun bukan suatu pertempuran seru,
tapi masalahnya menyangkut suatu rahasia besar yang terjadi pada dua ratus tahun berselang, bahkan ada hubungannya dengan nasib Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip, maka tak heran kalau semua orang ikut tegang.
Agak lama Ci-hay Siansu termangu, tapi satu ingatan terlintas dalam benaknya, cepat ia berkata: "Hmm, sedangkan aku sebagai Ciangbunjinnya tidak mengetahui rahasia ini, darimana kau bisa mengetahui rahasia tersebut sejelas itu" kalyau bukan bicara ngawur dan memfitnah, apa lagi namanya?"
"Oleh sebab aku hadir di sana waktu itu, sudah tentu aku mengetahui persoalan ini dengan jelas!"
"Apa" Kau hadir di sana waktu itu?"'
"Benar!" dengan meyakinkan paman Lui mengangguk
"Bila aku tak hadir ketika itu, mungkin Ceng-sim Hongtiang, sudah tamat jiwanya! Justeru akulah yang menyelamatkan jiwanya, maka gurumu sempat mencaci maki ketiga Supekmu sehingga mereka jadi malu dan menyesal, akhirnya untuk menebus dosanya mereka telah bunuh diri dengan menghancurkan batok kepalanya sendiri!"
Ci-hay Siansu kaget, saking tegangnya sampai dada terasa sesak Demikian pula kawanan jago yang lain, mereka sama terbelalak, suasaana jadi sepi, tatapan semua orang tertuju ke muka paman Lui.
Setelah berhenti sejenak, paman Lui berkata lagi:
"Karena peristiwa itu, gurumu Ceng-sim Hong-tiang mulai menaruh perhatian pada kitab pusaka itu dan membaca isinya, kemudian karena merasa kitab itu terlampau kotor dan tak pantas disimpan di dalam biara, mengingat pula aku yang telah menyelamatkan jiwanya hingga Siau-lim si yang sudah berusia ratusan tahun tidak berantakan di
tengah jalan, kitab tersebut lalu dihadiahkan kepadaku sebagai rasa terima kasihnya, selain itu ia menghadiahkan pula
tiga biji obat Liong hou si-mia-wan yang tak ternilai harganya itu kepadaku!"
Sekujur badan Ci-hay Siansu sudah basah kuyup seperti diguyur air dingin.
Kiranya Siau-lim-si kini telah jatuh dalam kekuasaan Lam-hay-bun, untuk berusaha merampas kembali Siau-lim-si yang sudah bersejarah ratusan tahun dari tangan Lam-hay-bun, terpaksa Ci-hay membawa anak muridnya kabur dari biara itu untuk mencari kembali kitab pusaka yang berisikan pelajaran ilmu silat maha tinggi itu, sebab dengan ke-72 jenis ilmu silat andalan Siau-lim masih belum mampu mengalahkan lawan.
Dalam penyelidikannya kemudian diketahui bahwa kitab pusaka yang di-cari2 itu sudah terjatuh ke tangan seorang jago muda yang bernama Tian Pek, namun tersiar pula berita yang mengatakan bahwa kungfu Tian Pek amat tinggi, bukan saja dapat menghadapi Hay-gwa-sam-sat, bahkan Hek-to-su-hiong yang lihay juga dikalahkan. Maka untuk mewujudkan cita2nya, dengan macam2 alasan serta bujukan ia minta dukungan ketua kedelapan aliran persilatan lain agar kitab Soh-kut-siau-hun tesebut bisa diperoleh kembali.
Tapi sekarang, setelah mendengar penjelasan paman Lui, ia tak bisa berkutik lagi, sebab hakikatnya pihak Siau-lim-si telah melimpahkan hak memiliki kitab itu kepada orang lain..
Begitulah, maka sesudah paman Lui bercerita tentang rahasia Siau-lim-si yang tak diketahuinya, maka Ci-hay
Siansu jadi kaget dan tertegun, malahan iapun merasa gusar karena nama baik Siau-lim-si yang sudah cemerlang selama ratusan tahun itu se-akan2 terletak pada tangan paman Lui.
"Siapa kau?" bentaknya dengan gusar.
Paman Lui tersenyum: "Aku hanya seorang Bu-beng-siau-cut orang kecil yang tak ternama, orang2 menyebut diriku Thian-hud-ciang Lui Ceng-Wan!"
Air muka Ci-hay Siansu berubah, buru2 dia memberi hormat seraya berkata: "Omitohud! Siancay! Siancay!
Kiranya Lui-inkong, harap dimaafkan kekasaranku . . .."
Paman Lui merasa tak enak hati melihat sikap ketua Siau-lim-si ini berubah menghormat setelah mendengar namanya, cepat dia balas menghormat.
Tapi tiba2 satu ingatan terlintas dalam benak Ci-hay Siansu, ia merasa tindakannya ini tak benar, bila ia minta maaf kepada paman Lui, bukankah berarti Siau-lim-si tidak berhak lagi untuk menuntut kembali kitab pusaka itu" Lalu cara bagaimana pula ia akan mengalahkan orang2 Lam hay-bun serta merebut kembali kuilnya".
Maka cepat ia berkata: "Cuma, kita baru berjumpa untuk pertama kali ini, kukira perlu kau menunjukkan sesuatu bukti yang meyakinkan."
Paman Lui melengak, tak disangkanya ketua Siau-lim-pay ini gampang berubah sikap, tanyanya tercengang:
"Bukti apa yang kau inginkan?"
"Bukankah kau mengatakan bahwa Ciangbunjin kami yang lalu telah menghadiahkan tiga butir Liong-hou-si-mia-wan dan menyerahkan pula kitab Soh-kut-siau-hun-thian hud-lok kepadamu" Asal kedua macam barang ini dapat kau pertunjukan kepadaku, maka akupun akan percaya
semua penuturanmu Sebaliknya jika barang bukti tak dapat kau tunjukkan .
. . . Hm, itu berarti kau cuma mengibul untuk mempermainkan diriku, maka jangan salahkan aku takkan sungkan2 lagi kepadamu!"
"Barang bukti apa yang bisa kuperlihatkan kepadamu?"
paman Lui berpikir dalam hati, "dari tiga biji Liong-hou-si-mia-wan, dua biji sudah kugunakan untuk menolong orang, sedang yang ketiga telah kuserahkan kepada Tian Pek sewaktu berada di perkampungan Pah-to-san-ceng, waktu itu Tian Pek tak mau menerimanya dan sudah kubuang ke tanah, sebaliknya kitab pusaka Thian-hud pit-kip sudah dimusnahkan Tiang Pek, darimana pula
aku bisa mhemiliki benda2 itu lagi?"
Tapi paman Lui pun mengerti, kendati kedua macam benda itu masih utuh, tak nanti Ci-hay Siansu akan menyudahi persoalan ini sampai di sini saja.
Kiranya ketika paman Lui berkelana di dunia persilatan untuk mencari jejak Pek-lek-kiam Tian In-thian dahulu tanpa sengaja ia mampir di Siau-lim-si, kebetulan juga malam itu di sana terjadi huru-hara, apa yang terjadi waktu itu, kecuali Ceng-sim Hongtiang, ketua Siau lim-pay yang dulu, tiada orang kedua yang ikut manyaksikan, maka andaikata Ci-hay Siansu tak mau mengakui sekalipun ada barang bukti, paman Lui juga tak bisa berbuat apa2.
Berpikir sampai di sini, paman Lui menengadah dan tertawa ter-bahak2, serunya: "Meski aku Lui Ceng-wan hanya seorang Bu-bing-siau-cut, akan tetapi semua perbuatan yang pernah kulakukan selama ini diketahui pula oleh sahabat2 dunia Kangouw, cuma tanyakan saja kepada orang lain, pernahkah aku berbohong" Eh, Hwesio tua, aku tidak memaksa
kau harus percaya pada perkataanku, tapi apa yang bisa kukatakan hanya ini saja, percaya atau tidak terserah padamu."
Sebelum Ci-hay Siansu sempat menjawab, Bay-kut-sian dari Khong-tong-pay sudah maju ke depan, ujarnya dengan muka dingin: "Siansu, apa gunanya kita omong melulu dengan orang ini, tanyakan saja Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip sekarang berada pada siapa"
"Hehehe, kau ingin tahu" Belum berhak, sobat . . . . ."
jengek paman Lui sambil tertawa dingin.
Bay-kut-sian adalah lelaki yang gemar main perempuan, bila malam tiba dan di sampingnya tak ada perempuan yang mendampinginya, semalaman dia tak bisa tidur nyenyak, karena itulah akhirnya ia jadi kurus kering tinggal kulit membungkus tulang dan tersohor sebagai Bay-kut-sian si dewa tulang iga.
Sesuai dengan julukannya, orang ini tidak jujur hidupnya, orang persilatan dari golongan putih rata2
membenci padanya.
Paman Lui berwatak keras, ia memandang hina manusia2 sebangsa itu, maka ketika Bay-kut sian tampil ke depan, serta merta iga naik darah, otomatis ucapannhya juga ketus dan tak sungkan2.
Tapi justeru karena sikapnya ini, Bay-kut sian makin marah, mukanya yang ke-pucat2an berkerut, matanya melotot, lalu makinya dengan gusar: "Lui sinting, kau jangan takabur! Sambut dulu pukulanku ini .......
Dengan segenap tenaganya ia lepaskan pukulan dahsyat ke dada musuh, angin serangan yang kuat men-deru2.
"Huh! Pukulan macam ini juga dipamerkan" jengek paman Lui, tangan kanannya diayun ke muka untuk menyambut serangan tersebut.
"Blang!" kedua gulung tenaga beradu, terjadilah suara keras, beruntun Bay-kut-sian tergetar mundur tiga langkah, sebaliknya paman Lui tak geming di tempat semula.
Kecundang didepan orang banyak, Bay-kut-sian jadi kalap, dia meraung seperti harimau gila, diterjangnya paman Lui dengan garang, secara beruntun ia melepaskan tiga pukulan dan dua tendangan kilat.
"Bangsat! Rupanya kau sudah bosan hidup!" teriak paman Lui dengan marah, ia mainkan Thian hud-ciang dengan rapat, semua pukulan dan tendangan lawan dipapaki dengan kekerasan.
Dua sosok tubuh mereka se-olah2 bergumul menjadi satu, diantara benturan keras tiba2 tubuh mereka berpisah satu lama lainnya.
Paman Lui yang gagah perkasa masih berdiri tegak, sebaliknya Bay-kut-sian yang kurus kering seperti lidi berdiri sempoyongan, mukanya makin pucat, dengan beringas ia melototi musuh, tiba2 Bay kut-sian mundur dengan sempoyongan, setelah muntah darah lantas roboh terjungkal .....
Untung Ci-hay Siansu ber-jaga2 disampingnya, paderi itu segera melompat maju dan menyambar tubuh Bay-kut-sian yang hampir mencium tanah, dia keluarkan sebutir pil dan dijejalkan ke mulut ketua Khong-tong-pay itu, kemudian berpaling dan serunya kepada paman Lui dengan marawh:.
"Lui Ceng-wyan, keji amat txindakanmu! Ong-ciangbun datang atas undanganku dan sekarang ia terluka, hehehe.
itu berarti kau telah memusuhi sembilan besar . . . . '
Belum habis Ci-hay Siansu berkata, ketua Hoat hoa-lam-cong, yakni Tan-ceng-kek Thio Jiang serta Tiat-pi-pa-jiu Hoan Wan, ketua Hoat-hoa-pak-cong serentak membentak dan menerjang ke depan, yang satu dengan ilmu jari Tan-ceng-ci sedangkan yang lain mainkan pukulan Pi-pa-jiu, dari kiri kanan mereka menyergap paman Lui.
Sebagaimana tadi, Paman Lui tidak menghindar, ia sambut serangan tersebut dengan kekerasan kemudian ejeknya sambil tertawa dingin: "Hehehe, sungguh tak nyana sembilan besar yang tersohor namanya tak lebih hanya manusia keroco yang mencari kemenangan dengan mengandalkan jumlah banyak!"
Perkataan ini hakikatnya menyinggung perasaan semua ketua sembilan aliran besar, tak heran ketujuh ketua lainpun serentak menerjang maju dengan murka. Ci-hay Siansu, ketua Siau-lim-pay sendiri setelah membaringkan Bay-kutsian di atas tanah, lalu menerjang pula ke tengah arena, serunya dengan gusar: "Lui-sicu, persoalan ini mempengaruhi mati hidupnya dunia persilatan, jika So-kut-hun-thian-hud-pit-kip tidak kau serahkan, jangan salahkan kesembilan ketua dari sembi!an besar akan menyerang kau secara bersama2!"
Paman Lui ayun tangannya untuk mematahkan serangan ketua Hoat-hoa-lam-cong dan ketua Hoat-hoa-pak-cong, kemudian menengadah dan tertawa:
"Hahaha, di masa usia lanjut seperti ini orang sheLui memperoleh kesempatan menjajal kelihayan ketua sembilan besar, kesempatan ini betu12 suatu surprise bagiku. Hayo silakan kalian bersembilan maju bersama!" jengeknya berbareng dengan selesainya sindiran tersebut, tiba2 ia melepaskan tujuh kali pukulan.
Sekaligus paman Lui menghadapi kedelapan ketua perguruan besar, maka dapat dibayangkan sampai betapa hebat pertempuran ini.
Tiba2 dari sisi kalangan muncul scorang, secepat kilat orang itu menerjang ke tengah arena pertarungan.
Padahal pada saat itu pertarungan sedang memuncak ketegangannya, setiap pukulan yang mereka lancarkan merupakan serangan mematikan, angin pukulan menderu2, kesembilan orang tangguh yang bertarung itu seperti lengket menjadi satu. Lalu siapakah yang berani menerjang masuk ke tengah kalangan pertarungan yang amat sengit dan berbahaya itu" Waktu semua orang menjerit kaget, bayangan orang itu dengan kesepatan luar biasa sudah meluncur ke tengah arena.
Tiada searangpun yang tahu jurus serangan apakah yang dipergunakan orang itu, yang pasti kedelapan ketua perguruan yang mcngerubuti paman Lui itu bagaikan terpagut ular, segera menjert kaget dan melompat keluar arena pertarungan.
Sebentar kernudian di tengah gelanggang hanya berdiri dua orang saja, mereka adalah paman Lui, dan seorang pemuda tampan yang tak lain adalah Tian Pek.
Kejadian ini membuat semua orang terkejut, tapi tak sedikit pula yang bersorak memuji.
Dalam pertarungan paman Lui melawan kedelapan ketua dari delapan besar sudah cukup menggemparkan, itupun karena paman Lui adalah jago tangguh yang sudah terkenal semenjak puluhan tahun yang lalu, tapi sekarang Tian Pek hanya pemuda baru berusia likuran tahunan dan dengan satu jurus saja telah berhasil, memaksa mundur kedelapan ketua itu, siapa yang tak heran menyaksikan kejadian ini"
Hakikatnya belum lama Tian Pek terjun ke dunia persilatan, sekalipun ia berhasil mengalahkan Hay-gwa-sam-sat dan Hek-to-su-hiong, tapi tak banyak jago yang menyaksikan peristiwa itu.
Dan sekarang mata mereka boleh dibilang dibikin melek, sebab terbuktilah pemuda itu memiliki keampuhan yaug luar biasa, sehingga cukup satu pukulan ini bisa memaksa mundur lawan2 tangguh.
Dalam pada itu, setelah berhasil pukul mundur kedelapan orang ketua perguruan besar itu dengan jurus Hud--kong pu-ciaug (sinar Buddha imemancar ke manha2), lalu Tian Pek berdiri di sisi paman Lui, mukanya tampak kereng berwibawa, gagah perkasa.
Ditatapnya sekejap kedelapan ketua perguruan besar itu dengan tajam, lalu berkata:
'Semenjak ratusan tahun yang lalu, sembilan perguruan besar selalu menjadi pemimpin dunia persilatan, Hm, setelah berada pada giliran pimpinan kalian, bukannya membawa perguruan sendiri ke puncak ketenaran, sebaliknya melakukan perbuatan tak senonoh dan menuduh orang tanpa dasar, kalau begini terus caranya, kuyakin tak sampai beberapa tahun lagi nama sembilan besar pasti akan berubah sebusuk sampah!"
Sejak tahu kelihayan anak muda itu, Ci hay Siansu tak berani bertindak gegabah sekalipun hatinya marah sekali mendengar sindiran tadi, dengan gusar ia membentak:
"maksudmu?"
"Sedari awal sudah kukatakan bahwa kitab pusaka Sohkut-siau-hun telah kumusnakan menjadi abu, persoalan ini sama sekali tak ada hubungannya dengan paman Lui, atas
dasar apakah kalian mengerubuti paman Lui" Begitukah perbuatan ketua2 perguruan besar . . . . ?"
Belum selesai pemuda itu menegur dan belum sempat Ci-hay Siansu menjawab, kembali ada dua sosok bayangan orang menerjang ke tengah arena.
Sewaktu masih di udara. salah satu bayangan itu telah berseru lebih dulu: "Bocah keparat she Tian! Kalau kitab pusaka Soh-kut-siau-hun masih berada padamu, hayo cepat serahkan kepada kami!"
Orang yang baru datang ini tak lain adalah Kanglam-ji-ki, dengan dandanan mereka yang menyolok, kungfu yang tinggi, perbuatan mereka yang busuk den tindak tanduk mereka yang seenaknya sendiri, Ci-hoat-leng-kau Siang Ki-ok serta Kui-kok-in-siu Bun Ceng-ki sudah tersohor sebagai gembong iblis yang disegani orang. Tak heran kalau kemunculan mereka segera mengejutkan kawanan jago yang berkumpul ini.
Ci hay Siansu sendiripun terkejut, cepat ia berkata:
"Kitab pusaka Soh-kut-siau-hun adalah benda pusaka Siaulim-si, aku tidak mengharapkan campur tangan kalian berdua!"
"Hehehe, Apa itu Siau-lim-si" Cuma nama kosong belaka!" jengek Ci-hoat-leng-kau Siang Ki-ok sambil tertawa dingin, "untuk melindungi kuili sendiripun takh becus, mau apa kau gembar gembor di sini?"
"kami bertekad akan mendapatkannya, barang siapa tidak mau tunduk, hmm, inilah contohnya" seru Kui-kokin-siu Bun Ceng-ki sambil tertawa seram, mendadak telapak tangannya dengan membawa desing angin dingin langsung menebas ke tubub Han-ceng-cu, itu ketua Bu-tong-pay.
Sebelum angin pukulan itu menyambar tiba, lebih dulu terasa hawa dingin yang merasuk tulang sumsum, Hian-ceng-cu menjerit kaget.
Untung gerak tubuh ketua Bu-tong-pay itu cukup cekatan, baru saja ia menyingkir ke samping, angin pukulan itu menyambar lewat, seketika ia menggigil ngeri.
Kasihan dua orang anggota perkumpulan pengemis yang berada di belakangnya, mereka tak dapat menghindar, di mana angin pukulan itu menyambar lewat, mereka menjerit ngeri, air mukanya berubah pucat roboh dengan kejang, setelah berkelejet beberapa saat lalu tak berkutik untuk selamanya.
Itulah pukulan Im-hong-ciang yarg baru saja diyakinkan kui-kok-in-siu, sekalipun dari jarak jauh, Cukup suatu pukulan ia dapat membinasakan dua orang, dari sini bisa diketahui betapa beracun dan hebatnya pukulan maut tersebut.
Kiranya pertapa dari lembah setan ini ingin "membunuh ayam menakuti monyet", dengan Im-hong-ciang yang lihay dan beracun itu ia serang ketua Bu-tong pay itu dengan harapan tindakannya ini akan bikin takut sembilan ketua perguruan lainnya.
Siapa tahu Hian-sing cu juga bukan tokoh lemah sebagai seorang Ciangbunjin dari suatu perguruan besar, dia memiliki ilmu silat yang ampuh, kendatipun diserang tanpa terduga, pada saat terakhir masih sempat menghindarkan diri dengan gerakan cepat.
Sial dua orang anggota perkumpulan pengemis itu, tanpa mengetahui sebab musababnya mereka menjadi setan pengganti ketua Bu tong-pay itu. .
Hong-jam-sam-kay menjadi murka, ketiga orang pengemis tua itu melompat maju dan melancarkan pukwulan dahsyat.
Tiga gulung angxin pukulan dahsyat segera menerjang dada Kui-kok-in-siu dengan hebatnya.
Belum sempat Kui-kok-in-siu turun tangan, Ci-hoat-lengkau yang berada di sampingnya telah mengebaskan ujung bajunya seraya membentak. "Pengemis sialan! Di sini tak ada urusan kalian, hayo enyah dari sini!"
Jangan kira kebutan Ci-hoat-leng-kau itu enteng dan sederhana, se-olah2 tak bertenaga, tapi sebenarnya membawa tenaga Hek-sat-jiu yang maha dahsyat, serta merta tenaga pukulan gabungan Hong-jan-sam-kay terpunahkan. .
Sebagai tokoh perkumpulan pengemis, bukan saja Hong-jan-sam-kay memiliki kungfu tinggi, nama dan kedudukan mereka di dunia persilatanpun amat cemerlang, akan tetapi tenaga gabungan yang mereka lancarkan berhasil ditangkis dengan mudah oleh Ci-hoat-leng-kau, hal ini menyebabkan ketiga pengemis tua itu terkesiap.
"Tak nyana kakek bertampang kunyuk ini memiliki kungfu yang lihay, belum pernah kujumpai jago sehebat ini
. .. . ." pikir mereka.
Sementara ketiga pengemis itu termanggu, jago2 Lam hay-bun yang selama ini hanya berpeluk tangan belaka, dengan berjajar menjadi satu baris perlahan mulai bergerak ke depan.
Di antara sekian jago Lam-hay-bun yang hadir ini, dipimpin oleh Sin-liong-taycu yang berbaju putih dan berkipas perak serta Lam-hay-liong-li yang cantik jelita bak bidadari dari kahyangan.
Di sebelah kiri kedua muda-mudi itu adalah Hay gwa-sam-sat, sedangkan di sebelah kanannya adalah Hek-to-su-hiong, tujuh jago paling tangguh dari Lam-hay-bun itu bertugas melindungi keselamatan pemimpin mereka dari kedua sayap.
Sembilan orang dengan langkak yang tegap mantap, maju ke muka, ketegangan mencekam setiap orang, membuat kawanan jago itu merasa dada jadi sesak menahan napas.
Setibanya di tengah arena, Sin-liong-taycu menudung Kanglam ji ki seraya berkata seenaknya: "Eh, kalian berdua cepat menyingkir!"
Semenjak terjun ke dunia persilatan dan malang melintang scbagai dua gembong iblis yang disegani orang, belum pernah Kanglam-ji ki diperlakukan orang sekasar ini, keruan gusarnya tidak kepalang.
"Anak keparat! Kau bicara dengan siapa?" bentak mereka dengan mata mendelik.
"Ucapan itu ditujukan kepada kalian berdua kunyuk tua ini, mau apa" Tidak paham?" jengek nenek berambut putih dari Hay--gwa-sam-sat sambil melangkah maju.
Ci-hoat-leng-kau tidak banyak berbicara, dengan jurus Hek- jiu toh-hun (tangan hitam meraih sukma), ia cengkeram batok kepala nenek rambut putih itu. "Bangsat, kau bosan hidup!" teriak si nenek berambut putih dengan gusar, bagaikan gurdi ujung jarinya menutuk jalan darah di telapak tangan Ci-hboat-leng kau.
"Criit!" bagaikan dipagut ular, Ci hoat lengkau menjerit kesakitan dan segera melompat mundur. Ketika telapak tangannya diperiksa, muncul sebuah bisul merah sebesar
mata uang, rupanya sudah terluka oleh tutukan Soh-hun-ci si nenek.
Kejut dari gusar Ci hoat-leng-kau, cepat dia ambil obat mujarab dan dikunyah lalu dibubuhkan pada telapak tangannya yang bengkak.
"Blang!" kembali sesosok bayangan tergetar mundur sempoyongan dan langsung menerjang Ci-hoat-leng-kau.
Menghadapi terjangan itu, Ci-hoat leng-kau segera mengayun telapak tangan kirinya yang tak terluka untuk menabas tubuh lawan, tapi dengan cepat diketahuinya bahwa orang itu adalah Kui-kok-in-siu, adik seperguruannya sendiri, ia batalkan serangan itu dan cepat memayangnya agar tak sampai roboh.
Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wajah Kui-kok-in-siu pucat pasi, meski tubuhnya tak sampai jatuh, tak urung kakek kurus kecil ini tak dapat menahan pergolakan darah di dadanya, ia muntah darah.
Ci-hoat-leng kau terperanjat, siapa gerangan yang berhasil merobohkan mereka dalam sekali gebrakan ini"
Cepat ia menjejalkan pula sebutir obat mujarab ke mulut saudaranya.
apa yang sebenarnya terjadi" Kiranya sewaktu si nenek berhasil melukai Ci-hoat-leng-kau dengan Soh-hun ci, Kuikok-in-siu segera menyergap dari belakang, tapi keburu dicegat oleh Hud-in Hoatsu, dengan suatu pukulan dahsyat yang tepat bersarang dipunggung lawan, jago lihay dari lembah setan itu kena dihajar hingga mencelat.
Begitulah, setelah secara beruntun orang2 Lam-hay-bun menaklukkan kedua jago tanggub, dengan sikap se-olah2
tak pernah terjadi apapun, mereka lanjutkan langkahnya menghampiri Tian Pek.
Ketika tiba di hadapan sembilan ketua perguruan besar, Lam-hay liong-li menuding mereka dan berkata: "Hayo, kalian juga menyingkir semua!".
Kesaktian jago2 Lam-hay-bun telah menggetarkan hati sembilan orang ketua perguruan besar itu, tanpa mengucap sepatah katapun masing2 monyurut mundur beberapa langkah.
Setibanya di depan Tian Pek barulah Sin -liong-taycu menegur sambil menunjuk lawannya dengan kipas perak:
"Saudara, kuminta kitab pusaka Soh-kut-siau-hun itu segera kau serahkan kepadaku!"
Meski suara pembicaraannya tetap lembut tanpa emosi, namun nadanya ketus dan mengandung paksaan, se -akan2
musuhnya harus menyerahkan apa yang di mintanya itu.
Tian Pek tersenyum sahutnya: "Dengan dasar apakah anda berani mengucapkan kata2 seangkuh ini" Dan dengan alasan apa kitab pusaka Soh-kut-siau hun itu harus kuserahkan kepadamu?"
Dengan matanya yang jeli Lam-hay-liong-li menatap tajam anak muda itu, tatapan yang mesra dan penuh arti, pelbagai perasaan berkecamuk dalam sinar matanya, dan diantara sekian banyak orang yang hadir mungkin hanya Tian-Pek saja yang dapat merasakan arti tatapan itu.
Tian Pek jago muda yang berjiwa ksatria dan selalu membela keadilan dan kebenaran ini tak takut langit juga tak takut bumi, tapi hanya takut sesuatu saja, yakni takut dipandang oleh anak dara dengan sinar mata semacam ini.
Baik Wan-ji, Buyung Hong, Hoan Soh-ing Liu Cui-cui serta Kim-Cay-hong yang berjuluk Kanglam-te-it-bi-jin, semuanya pernah memandangnya dengan sinar mata seperti itu, dari mereka juga terlibat dalam permainan api
asmara dengannya dan membuatnya tak tahu bagaimana harus mengatasi masalah ini.
Mula pertama ia bermain cinta dengan Liu Cui-cui, meski belum resmi menjadi suami-isteri, namun prakteknya sudah berbuat sebagai suami-isteri, setelah itu ia mengikat jodoh dengan Buyung Hong dan sekarang iapun tahu Wanji telah bertekad menjadi isterinya.
Karena permainan nasib, tanpa disadari ia mempunyai tiga orang isteri yang tak mungkin bisa ditinggalkan dengan begitu saja, berada di tengah gadis2 yang bersaing cinta itu, entah bagaimana selanjutnya mereka akan hidup bersama"
Persoalan ini cukup memusingkan kepalanya.
Dan sekarang Lam-hay-liong-li memandangnya pula dengan sorot mata seperti itu, tentu saja ia merasa ngeri, buru2 ia tunduk kepala dan berusaha menghindari tatapan Lam-hay-liong-li yang berapi2 itu.
Sementara itu Lam-hay-liong-li masih memandangnya, melihat pemuda itu menunduk, ia lantas menegur: "Masa kau tidak tahu bahwa kitab pusaka Soh-kut-siau-hun sebenarnya adalah barang pusaka Lam-hay-bun kami?"
Semua orang melengak, begitu juga Tian Pek, keterangan ini belum pernah terpikir olehnya.
Anak muda itu segera menengadah, ucapnya dengan tertawa: "Nona, kau pandai benar bergurau. Mana mungkin kitab pusaka Soh-kut-siau-hun menjadi hak milik Lam hay-bun."
Tatkala dirasakan betapa tajam sinar mata Lam hay-liong-li yang menatapnya bagaikan sebilah pisau yang menembus ulu hatinya, pemuda itu terkesiap dan cepat menunduk lagi.
Melihat anak muda itu ter-sipu2, Lam-hay-liong-li tertawa, ia berkata: "Sudah pernah kaulihat lukisan di dalam kitab pusaka itu bukan?"
"Ehm, pernah!" Jawab Tian Pek dengan muka merah.
"Kau tahu siapa yang dilukis di dalam kitab itu?"
"Thian-sian-mo-!i!"
"Siapakah Thian-sian-mo li itu?"
Tian Pek tertegun. "Thian sian-mo-li ya Thian-sian-mo-li, masa perlu dijelaskan tentang siapakah Thian sian-mo-li itu?" demikian ia berpikir.
Rupanya Lam-hay-liong-li dapat melihat keraguan orang, ia lantas tertawa dan menerangkan. ?"Terus terang kuberitahukan kepadamu, Thian-sian-mo-li itu tak lain adalah Sucou (cakal bakal) perguruan Lam-hay-bun kami!
Maka adalah menjadi kewajiban kami untuk menarik kembali kitab tersebut dari peredaran!"
"Oh, iya?" kata Tian Pek sambil tertawa, belum pernah kudengar orang mengatakan Thian-sian-mo-li adalah Sucou perguruan Lam hay bun."
Jawaban ini menggusarkan anak buah Lam-hay-bun, dengan wajah beringas hampir saja mereka melancarkan serangan.
Lam-hay-liong-li segera memberi tanda kepada anak buahnya agar jangan bergerak, lalu katanya kepada Tian Pek dengan tak senang hati: "Guruku adalah Kui-bin-kiau-wa dan Kui-bin-kiau-wa adalah murid Thian-sian-mo-li, bila Thian-sian-mo-li bukan Sucou kami lantas aku harus menyebut apa kepadanya" Masa aku mesti mengaku orang lain sebagai Sucou" Pokoknya kitab pusaka Soh-kut-siau-hun itu harus kauserahkan kepadaku, kalau
tidak . . . . Hmm, akan kumampuskan kau tanpa terkubur di sini!"
Dengan keterangan itu, kawanan jago yang berkumpul ini sama terkejut, sekarang mereka baru tahu asal perguruan Lam-hay bun adalah dari Thian-sian-mo-li.
Mendingan gadis itu bersikap lembut, tentu saja Tian Pek tak mau diperlakukan kasar oleh orang2 itu, baru saja Lam -hay-liong-li menyelesaikan kata2nya, dengan dahi berkerut pemuda itu tertawa dingin: "Hehehe, kuulangi sekali lagi perkataanku, kedatangan kalian semuanya sudah terlambat!"
"Bagi orang2 Lam-hay-bun tak kenal apa artinya terlambat!" tukas Sin-liong-taycu.
"Sekalipun kau tidak percaya juga percuma, selamanya jangan harap lagi akan melihat kitab paling aneh itu, sebab beberapa hari yang lalu kitab pusaka Soh-kut-siau-hun itu telah kumusnakan di hadapan umum?"
"Boleh saja kau ulangi perkataan semacam itu sampai beberapa ratus kali, tapi coba tanyakan kepada setiap hadirin, siapa yang percaya pada pengakuanmu?" kata Sin-liong-taycu dengan tenang sambil menggoyangkan kipasnya secara santai.
Tian Pek memandang wajah kawanan jago itu, benar juga ia temukan muka yang penuh diliputi kesangsian, sadarlah ia bahwa pengakuannya tidak nanti diterima oleh orang2 itu sebagai suatu kenyataan, akhirnya ia menghela napas panjang: "Ai, apa mau dikatakan lagi jika kalian tidak percaya, toh kenyataaanya kitab pusaka itu memang sudah kumusnahkan dari muka bumi ini!"
"Tian-siauhiap, kurasa lebih baik serahkan saja kitab itu kepada kami" Lam-hay-liong li membujuk pula sambil tersenyum.
Karena orang tetap tidak mau percaya pada
pengakuancya, akhirnya: Tian Pek, naik darah, serunya dengan gusar: "Hmm, kalian jangan memaksa terus, ketahuilah jangankan kitab pusaka Soh-kut-siau-hun itu benar sudah kumusnahkan, kendati masih adapun tidak nanti kuserahkannya kepada kalian sebangsa manusia2 dari luar lautan yang keji dan kejam ini."
Air muka Sin liong taycu berubah suram, napsu membunuh menyelimuti wajahnya, ia berseru: "Hmm, baik!
Katanya, kalau tidak menggunakan kekerasan kau takkan jera ... . ."
Kipas peraknya memberi tanda ke belakang, Hay-gwa-sam sat dan Hek-to-su hiong lantas maju ke depan dan siap melancarkan serangan.
Tian Pek tak gentar, dia memandang sekejap ketujuh orang lihay itu, kemudian tegurnya: "Apakah kalian lupa bahwa antara aku dan kalian sudah terikat oleh janji?"
"Hehehe, kalau jeri, lebih baik serahkan saja kitab pusaka itu sekarang juga!" jengek Sin liong-taycu sambil tertawa dingin.
"Jeri" Selama hidup Tian Pek tak kenal arti takut, aku hanya ingin memegang teguh janjiku dan tak mau berurusan lagi dengan orang2 persilatan!"
Nenek berambut putih dari Hay gwa-sam-sat cepat menanggapi sambil tertawa seram:
"Hehehe, tak menjadi soal, boleh saja kami bertiga menarik kembali janji tersebut!"
"Betul!" Hud-in Hoat-su menambahkan, "tentunya engkoh cilik tak puas dengan kekalahan yang kau derita tempo hari" Sekarang kita boleh ulangi kembali pehrtarungan itu!"
"Dan kami yakin, kali ini kau tak dapat pergi dari sini dengan hidup!" Ciong-nia-ci-eng menambahkan.
Tian Pek mengerutkan dahi, ia betu12 terpengaruh oleh emosi . . .
Tay-pek-siang-gi dapat melihat bahwa inilah kesempatan yang terbaik bagi Tian Pek untuk mencuci bersih kekalahan yang diterimanya tempo hari.
mereka menerjang ke muka dan serunya kepada Tian Pek: "Siau-In-kong, terima tantangan mereka! Inilah saat yang baik bagimu untuk balas menghajar mereka!"
Tian Pek memang ingin cepat2 melepaskan diri dari belenggu janji itu, maka iapun mengangguk, ujarnya kepada Hay-gwa-sam-sat: "Kalau kalian memaksa terus, Tian Pek bersedia melayani kalian dengan pertaruhan nyawa! Tolong tanya, apakah kalian bertiga lagi yang akan turun ke gelanggang untuk melayani diriku ini?"
"Engkoh cilik, kau memang hebat, kau ksatria sejati . . .
." puji si kakek berjenggot panjang sambil acungkan jempolnya.
Sin-liong-taycu berkata juga dengan napsu membunuh menyelimuti wajahnya: "Lam-hay-bun bersumpah akan mendapatkan kembali kitab pusaka Soh-kut-siau-hun itu, sekarang atas nama Kaucu kutitahkan Hay-gwa-sam-sat dan Hek-to-su-hiong untuk maju ber-sama2!"
Suasana seketika menjadi gempar, kawanan jago yang hadir sama terperanjat, terutama mereka yang punya hubungan akrab dengan Tian Pek, kuatir mereka.
Seandainya satu lawan satu, sudah pasti Tian Pek akan menang atau sekalipuu harus bertarung melawan Hay-gwa-sam-sat atau Hek-to-su-hiong, anak muda itu masih ada harapan untuk menang, tapi sekarang dia harus bertempur melawan tujuh orang lihay dari Lam-hay-bun sekaligus, jangankan kesempatan untuk menang tipis sekali, jiwanya justru terancam bahaya.
Dalam keadaan begini, sekalipun kawanan jago itu berniat memberi bantuan, kecuali paman Lui dan Wan-ji yang mungkin dapat menandingi satu-dua orang di antara Hay-gwa-sam-sat atau Hek-to-su-hiong, jago2 lain boleh bilang tak mungkin bisa menyumbangkan tenaganya.
Apalagi kecuali beberapa orang yang berasal satu rombongan dengan Tian Pek, kawanan jago lainnya masih terlibat dalam persengketaan dengan pemuda itu, tak mungkin mereka akan membantu anak muda itu. Atau dengan perkataan lain, posisi Tian Pek ketika itu sangat tidak menguntungkan, tak heran kalau diam2 orang menguatirkan keselamatan anak muda itu.
Agaknya Sin liong-taycu sudah memperhitungkan langkahnya dengan se-cermat2nya, sebab itu sebelum Ciu Ji hay atau si kakek berjenggot panjang itu habis kata2nya, ia lantas mengumumkan lebih dahulu niatnya untuk menurunkan ketujuh jago tangguh guna mengeroyok pemuda itu.
Sebagai jago yang berpengalaman, kebanyakan orang mengerti Sin-liong-taycu licik dan banyak tipu muslihatnya, jelas ia sedang memasang perangkap untuk memancing Tian Pek.
Siapa tahu Tian Pek sendiri malah bersikap tenang2 saja, ia tertawa angkuh, lalu katanya: "Inilah kesempatan yang terbaik bagi Tian Pek untuk merasakan sampai dimanakah
ketangguhan ketujuh jago Lam-hay-bun, kejadian ini benar2 merupakan suatu kehormatan besar bagiku!"
Mendengar taaggapan ini, si kakek berjenggot itu kembali mengacungkan jempolnya dan berulang kali memuji: "Bagus! Bagus! Kuhormati kau sebagai tokoh nomor wahid dari dunia persilatan!"
"Ciu kong kong, jangan mengobarkan perbawa musuh dan meruntuhkan semangat sendiri!" tegur Sin-liong-taycu dengan tak senang hati, "Kalian bertujuh majulah segera, bagaimanapun juga kalian harus bunuh bangsat yang takabur ini."
Lam hay-liong-li dapat merasakan betapa tebalnya napsu membunuh dari kakaknya, sebagal pimpinan sudah tentu ia tak dapat mengunjuk sikap tak setuju di hadapan anak buahnya, maka ketika ketujuh jago lihaynya maju ke arena; cepat ia menambahkan:
"Cukup asal kitab pusaka Soh-kut-siau-hun itu kita dapatkan!"
Entah ketujuh orang lihay itu dapat meresapi maksud perkataan Lam-hay-liong-li atau tidak, tampaklah mereka lantas pasang kuda2 dan menghimpun tenaga dengan wajah kereng, tapi sebelum pertempuran dimulai, si kakek berjenggot panjang itu berkata lagi: ' Engkoh cilik, pertarungan yanwg akan dilangsungkan ini adalah pertarungan terakhir yang paling sengit, boleh kau melancarkan serangan lebih dahulu!"
"Tunggu sebentar!" sebelum Tian Pek menjawab, tiba2
Wan-ji maju kedepan, ditatapnya sekejap pemuda itu dengan pandangan lembut dam mesra, lalu bisiknya:
"Engkoh Pek, adik bersedia membantumu!"
"Jangan adik Wan!" sahut Tian Pek dengan berterima kasih, "biarlah kuhadapi sendiri ketujuh orang ini!'
Selesai berkata, telapak tangannya lantas diangkat sebatas dada dan siap menghadapi serangan.
Buyung Hong ikut maju ke muka, katanya: "Orang2 ini tak tahu malu semuanya.. Hmm, pandainya hanya main kerubut, engkoh Tian, biar kubantu kau menghadapi mereka!"
Tian Pek terharu sekali oleh kesediaan Buyung Hong kakak beradik yang akan membantunya, tapi mengikuti adatnya, bagaimanapun ia takkan membiarkan kedua anak dara itu ikut menyempet bahaya.
Pemuda itu tertawa getir, lalu sahutnya: "Adik Hong, kau juga tak usah membantu aku, biarlah kuhadapi mereka seorang diri!"
Kim Cay- hong yang berdiri di samping diam2
membenci ketidak becusannya sendiri, ia merasa tak punya keberanian untuk mengikuti jejak Buyung Hong berdua yang berani menyatakan cinta kasihnya di hadapan umum.
Kenapa dirinya tak berani tampil secara terang2an Mungkinkah ia merasa kedudukan dan asal-usulnya kurang pantas" Ataukah karena alasan lain"
Dasar sudah sangsi, apalagi melihat Tian Pek menampik bantuan Buyung Hong berdua, ia semakin tak punya keberanian untuk maju.
Hoan Soh-ing juga ada maksud maju ke depan untuk menyatakan sikapnya, tapi perasaan itu segera ditekan di dalam hati. "Kenapa aku harus ikut kontes ini" Toh sudah begitu banyak nona yang mencintainya . . . . " demikian ia berpikir.
Tay-pek-siang-gi dan Ji-lopiautau terhitung pula ksatria2
yang berwatak keras, mereka rela herkorban demi sahabat.
Kendati tahu bahwa Kungfu mereka tak mampu
menandingi kelihayan Hay-gwa-saw-sat dan Hek-to-su-hiong, toh mereka maju juga dan berdiri di samping anak muda itu.
"Kami semua siap membantu perjuangan Tian-siauhiap!"
kata mereka serempak.
Hanya paman Lui saja tak bergerak dari tempat semula, sebab ia cukup memahami watak anak muda itu, tak mungkin membiarkan orang lain ikut menempuh bahaya bila tugas tersebut dirasakan dapat ditanggulanginya sendiri.
Solidaritas yang diperlihatkan beberapa orang itu segera memancing cemoohan dari pihak Hay-gwa-sam-sat dan Hek-to-su-hiong, sambil tertawa dingin mereka menjengek:
"Huh, banyak yang membantu juga percuma, paling2
Golok Halilintar 14 Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Bukit Pemakan Manusia 4