Pencarian

Istana Pulau Es 20

Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 20


samping dan Bu-koksu meloncat mundur dengan kaget.
"Heiii, Kam-sute.... apa yang kaulakukan ini?" bentaknya.
Akan tetapi Kam Han Ki telah meloncat dan menyambar tangan Siauw Bwee, ditariknya tubuh gadis itu berdiri dan dia mengomel, "Kau keras kepala! Masih juga tidak mau pergi?"
"Tidak! Biar mereka membunuhku, kalau dapat! Engkau pun tidak mempedulikan aku, untuk Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 489
apa hidup lebih lama lagi?" Siauw Bwee berkata, kini tidak bersandiwara lagi karena memang dia bicara dari lubuk hatinya. Kalau sekali ini dia gagal mengajak pergi Han Ki dan tidak berhasil mengobati suhengnya itu berarti dia akan kehilangan Han Ki untuk selamanya dan kalau sudah begitu, apa artinya hidup ini baginya lagi"
"Kam-siauwte, biarkan aku membunuhnya. Apakah engkau akan mengkhianati aku?"
"Bu-loheng, maafkan aku. Gadis ini tidak waras, biarlah aku membawanya pergi dulu, kelak aku mohon maaf kepadamu!" Setelah berkata demikian, Han Ki memegang lengan Siauw Bwee dan membawanya meloncat jauh dari tempat itu.
"Siauwte, tahan....!" Bu-koksu berseru marah dan mengejar bersama pasukannya, namun Han Ki sudah pergi jauh. Setelah pemuda ini mengerahkan gin-kangnya, mana ada yang mampu mengejarnya" Apalagi, Siauw Bwee yang sama sekali tidak terluka itu pun sudah
mengerahkan gin-kangnya sehingga dia tidak menghalangi gerakan suhengnya.
Setelah mereka pergi jauh, Han Ki berhenti dan menoleh kepada Siauw Bwee, mengomel,
"Engkau sungguh membikin aku kehilangan muka dan menjadi serba salah. Apa sih maksudmu bersikap seperti ini" Apakah engkau ingin merusak nama baikku" Dan mengapa pula segala sandiwara ini" Aku tahu bahwa kalau kauhendaki, Bu-koksu sendiri tidak akan mampu membunuhmu!"
Siauw Bwee kagum bukan main. Biarpun ingatannya hilang, suhengnya ternyata amat lihai dan pandang matanya masih amat tajam sehingga dapat melihat permainan sandiwaranya tadi.
Dia harus berhati-hati, kalau tidak, suhengnya tentu tidak akan mau ikut bersama dia.
"Sudah kukatakan kepadamu, aku cinta padamu dan melihat engkau sakit hebat, aku berusaha mengajakmu kepada supekku untuk diobati."
"Kau gila! Aku tidak sakit, aku sehat!" Han Ki menggerak-gerakkan kaki tangannya memperlihatkan bahwa dia benar-benar sehat.
"Bukan badanmu yang sakit, melainkan ingatanmu. Tahukah engkau, siapa sebenarnya engkau ini?"
"Tentu saja aku tahu! Aku Kam Han Ki, aku pengawal pertama dari Bu-koksu yang telah melepas budi besar kepadaku dan mengangkat aku sebagai adiknya."
"Hemm, Kam-suheng. Dia itu adalah musuh besar yang hendak mencelakakanmu!"
"Gadis muda, jangan kau bicara sembarangan. Bu-loheng adalah Bu Kok Tai, Koksu negara yang berjiwa pahlawan, seorang gagah perkasa yang amat baik, dan aku berhutang budi kepadanya."
"Baiklah.... baiklah...., akan tetapi, ingatkah engkau siapa ayah bundamu" Ingatkah engkau siapa gurumu" Di mana kau belajar ilmu silat" Ingatkah engkau semua itu?"
Kam Han Ki mengerutkan alisnya, mengingat-ingat dan akhirnya dia menghela napas.
"Aku tidak ingat lagi, akan tetapi apa hubungannya hal itu dengan Bu-loheng dan engkau"
Kenyataannya, dia amat baik kepadaku sedangkan engkau.... aku sama sekali tidak
mengenalmu, hanya tahu bahwa engkau seorang gadis muda yang amat lihai dan yang selalu mendatangkan kekacauan dan...."
"....dan yang amat mencintaimu, Kam-suheng! Cobalah kauingat-ingat, apakah engkau lupa akan Istana Pulau Es" Lupakah engkau bahwa engkau bertahun-tahun menggembleng diri di Pulau Es dan membimbing dua orang sumoimu yang bernama Maya dan Khu Siauw Bwee"
Lupakah engkau kepada mendiang Menteri Kam Liong, kepada Mutiara Hitam, kepada
Panglima Khu Tek San?"
Mendengar disebutnya Istana Pulau Es dan nama-nama itu Kam Han Ki kelihatan terkejut dan bingung. "Istana Pulau Es...." Serasa sering aku mendengarnya, tidak asing bagiku, dan nama-nama itu.... seperti pernah kukenalnya.... ah, tidak mungkin, aku tidak ingat lagi."
"Nah, itu tandanya engkau telah kehilangan ingatanmu, Suheng. Mana ada orang lupa akan orang tuanya" Lupa akan gurunya."
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 490
Kam Han Ki menjatuhkan diri duduk di atas batu di hutan itu. Alisnya berkerut, mukanya pucat dan tubuhnya berpeluh karena ia memeras ingatannya. Namun sia-sia belaka, dia tidak ingat apa-apa lagi. "Orang tuaku" Guruku" Pulau Es" Aihh, Nona, aku benar-benar menjadi bingung. Seperti pernah kukenal baik, dan tak mungkin aku lupa akan orang tua dan guruku, akan tetapi sungguh mati, aku tidak ingat lagi...."
"Dan aku adalah seorang di antara kedua sumoimu, aku bernama Khu Siauw Bwee. Ah, Suheng.... bertahun-tahun kita tinggal bertiga di Pulau Es, engkau menjadi guruku, juga sahabatku, benar-benar engkau tidak ingat kepadaku lagi...." Siauw Bwee tak dapat menahan lagi kesedihan hatinya dan ia menangis tersedu-sedu.
Han Ki menjadi makin bingung. "Nona.... jangan menangis, engkau membikin aku makin bingung. Biarlah aku tanyakan semua itu kepada Bu-loheng.... dia tentu tahu...."
"Jangan....! Dia itu adalah musuh kita, dialah yang membuat kau kehilangan ingatan, Suheng.
Kalau engkau kembali kepadanya, setelah melihat bahwa aku tahu rahasianya, tentu mereka itu akan mencelakaimu!"
"Ha-ha, jangan menyangka yang bukan-bukan, Nona. Dia adalah kakak angkatku, satu-satunya orang yang amat baik kepadaku. Dia telah menolongku, merawatku, memberiku kedudukan tinggi dan kepercayaan."
"Kam-suheng, kaukasihanilah aku. Kauturutlah bersamaku untuk diobati oleh supekku. Supek Coa Leng Bu adalah seorang ahli pengobatan yang lihai, dia tentu akan memulihkan ingatanmu dan engkau akan dapat mengingat segala hal yang telah lalu, yang telah kaulakukan. Marilah, Suheng, dia menanti di hutan pohon pek, marilah...." Siauw Bwee memegang tangan Han Ki dan ditarik-tariknya. Akan tetapi Han Ki mempertahankan diri dan akhirnya berkata,
"Bukan aku tidak percaya kepadamu, Nona. Akan tetapi, amat tidak enak kalau aku meninggalkan Bu-loheng begitu saja. Pula, aku akan menanyakan riwayatku yang telah kulupakan itu kepadanya. Kalau dia tidak dapat menjawab, baru aku akan datang mencarimu dan menerima pengobatan supekmu."
Tiba-tiba Siauw Bwee melepaskan tangan Han Ki. "Kalau engkau berkeras, baiklah, aku akan pergi pula ke sana menemui Bu-koksu."
"Heh" Susah payah kau kularikan, sekarang hendak kembali" Apa kau mencari mati?"
"Biarlah. Aku akan mengamuk dan membunuh Koksu, kalau aku gagal, biar aku mati. Lebih baik mati daripada hidup melihat engkau menjadi boneka hidup, lupa akan segala hal yang lalu. Sekarang kaupilih saja mau ikut bersamaku untuk pengobatan atau aku akan mengamuk dan mengadu nyawa di gedung Bu-koksu!"
"Wah, kau mengancam?"
"Benar, soalnya hanya mati atau hidup bagiku!"
"Tsk-tsk-tsk, kau benar-benar seorang gadis luar biasa sekali. Mengapa kau begini nekat hanya untuk diriku seorang?"
Pandang mata Siauw Bwee menjadi lembut, kekerasaannya luntur dan dengan air mata berlinang dia memegang tangan Han Ki, berkata lirih, "Karena aku mencintaimu, tak tahukah kau" Keadaanmu yang lupa ingatan memberanikan hatiku untuk mengaku terus terang, Suheng. Aku cinta padamu dengan seluruh badan dan nyawaku!"
Han Ki menggeleng-geleng kepala, bingung. "Engkau seorang dara jelita yang gagah perkasa, mencinta seorang seperti aku" Bahkan menurut pendapatmu, aku seorang yang hilang ingatan, berarti orang yang otaknya miring, tidak waras lagi!"
"Apa pun yang terjadi denganmu, aku tetap mencintamu, Suheng."
"Aihhh...., apa yang dapat kulakukan sekarang" Menghadapi engkau lebih sukar daripada menghadapi ribuan orang lawan bersenjata, Nona. Baiklah, mari kita coba apakah benar aku kehilangan ingatan dan dapat disembuhkan oleh supekmu. Akan tetapi, ingatlah engkau, Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 491
jangan main-main denganku. Kalau engkau menipuku, aku.... aku akan...."
Siauw Bwee mendekatkan tubuhnya, mukanya ditengadahkan, penuh tantangan, matanya bersinar-sinar. "Engkau akan apakan aku, Suheng...." Membunuhku?"
Han Ki gelagapan. Biarpun dia tidak ingat siapa adanya gadis ini, namun ada sesuatu yang amat menarik dari diri gadis ini yang membuat dia diam-diam mengherankan hatinya sendiri.
Apakah dia telah menjadi benar-benar gila dan jatuh cinta kepada gadis yang nekat ini"
"Tidak! Aku hanya akan.... akan.... membencimu!" akhirnya dia menjawab juga.
Siauw Bwee menggandeng lengan suhengnya dan merapatkan tubuhnya dengan sikap manja.
"Itu tandanya bahwa engkau cinta kepadaku, Suheng. Marilah, dan kalau aku menipumu, tidak usah engkau membenciku, aku sendiri akan membenciku bahkan kalau Supek gagal, aku akan membenciku sampai aku mati dikeroyok orang-orangnya Bu-koksu yang pasti akan kuamuk sampai titik darahku terakhir!"
Han Ki bergidik. Tekad gadis ini luar biasa sekali dan tentu ada apa-apanya di balik sikapnya itu. Andaikata benar peringatan Bu-koksu bahwa gadis ini hendak menipunya, andaikata dia dibawa ke dalam perangkap, dia tidak takut dan percaya bahwa dia akan mampu
mempertahankan dirinya. Hanya ia menjadi takut sendiri kalau-kalau gadis ini benar seorang penipu, karena kalau ternyata demikian, dia akan merasa amat berduka dan kecewa dan....
kehilangan. Seorang kakek yang bertelanjang kaki menyambut mereka di dalam hutan pek. Melihat gadis itu berhasil membawa Han Ki yang kelihatannya curiga dan ragu-ragu, Coa Leng Bu girang bukan main.
"Ah, sungguh girang hatiku melihat engkau berhasil mengajaknya ke sini, Lihiap. Kam-taihiap, selamat datang!"
Biarpun ingatannya lenyap, Han Ki masih belum kehilangan kesopanannya. Kalau di tempat Bu-koksu dia bersikap tidak acuh adalah karena dia tidak suka melihat sikap anak buah Bu-koksu, maka dia bersikap acuk tak acuh dan hanya karena sayang dan berhutang budi kepada Bu-koksu saja yang mengikat dia di samping pembesar itu. Kini melihat wajah kakek yang tenang dan penuh pengertian, sikap yang sederhana dengan pakaian sekedarnya, dia cepat menjura dengan hormat dan berkata,
"Tidak tahu, siapakah Locianpwe yang telah mengenal namaku?"
"Ha-ha-ha, Kam-taihiap terlalu menghormat seorang bodoh seperti aku dengan menyebut Locianpwe. Aku bernama Coa Leng Bu dan karena sumoimu, Khu-lihiap ini diangkat anak oleh suteku, maka aku menjadi supeknya, supek dalam sebutan saja yang membuat aku malu, karena dalam hal kepandaian, aku boleh berguru kepadanya. Kam-taihiap, aku mengenalmu karena keterangan sumoimu dan kulihat bahwa engkau terkena racun yang membuat
ingatanmu hilang. Aku mengerti sedikit ilmu pengobatan, maka kalau engkau percaya, biarlah aku berusaha mengobatimu, Kam-taihiap."
Han Ki mengerutkan alisnya. "Aku sendiri tidak mengerti mengapa aku menjadi lupa sama sekali akan hal-hal yang lalu, akan tetapi aku sungguh tidak mengenal Nona ini yang menganggap aku sebagai suhengnya. Yang kukenal hanyalah kakak angkatku, Bu-loheng...."
Dengan wajah penuh ketenangan Coa Leng Bu berkata, "Aku mengerti Taihiap. Kauanggap sajalah bahwa engkau belum mengenal aku dan Khu-lihiap, dan bahwa engkau memang adik angkat Koksu. Akan tetapi kuharap engkau percaya kepada kami bahwa kami berniat baik, karena aku melihat engkau menderita lupa ingatan karena racun perampas ingatan, maka anggap saja bahwa engkau berada di antara teman-teman yang hendak berusaha
mengobatimu."
"Heran sekali, aku merasa sehat, akan tetapi kalian menganggap aku sakit. Akan tetapi rasanya tidak mungkin kalau engkau, terutama Nona ini hendak menipuku. Baiklah aku akan menurut dan suka kauobati, harap lekas memberi obatnya dan hendak kulihat apakah aku Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 492
akan dapat mengingat riwayatku yang telah kulupakan sarna sekali."
Coa Leng Bu menggeleng-geleng kepalanya. "Kam-taihiap, racun itu memasuki kepalamu melalui makanan atau minuman, sedikit demi sedikit dan untuk mengobatinya pun harus sedikit demi sedikit dan memakan waktu lama. Engkau pun tentu pernah mendengar bahwa penyakit datang menunggang kuda akan tetapi pergi menunggang kura-kura, kalau datang cepat sekali akan tetapi perginya memakan waktu lama."
"Berapa lama engkau akan dapat menyembuhkan aku, Locianpwe?"
"Pertama-tama, kuharap Taihiap jangan menyebutku Locianpwe. Namaku Coa Leng Bu, cukup kalau kausebut lopek saja. Untuk menentukan berapa lama aku akan dapat
menyembuhkanmu, bukanlah hal mudah dan aku tidak berani bilang sebelum memeriksamu.
Bolehkah aku memeriksamu, Taihiap?"
"Silakan," Han Ki menjawab dan biarpun suaranya masih meragu, namun di dalam hatinya ia mulai khawatir dan percaya bahwa memang dia sedang sakit. Buktinya adalah bahwa, seperti yang dikatakan gadis jelita itu, dia lupa sama sekali akan riwayat hidupnya, lupa akan ayah bundanya dan lupa akan gurunya. Hal ini memang tidak mungkin terjadi kalau dia tidak menderita sakit kehilangan ingatan!
Coa Leng Bu mempersilakan Han Ki rebah telentang di atas rurnput, kemudian ia mulai memeriksa denyut nadi, mendengarkan detak jantung, memeriksa mata dengan membuka kelopaknya. "Taihiap, kalau boleh, aku hendak mengambil sedikit darahmu untuk diperiksa."
"Silakan!" Han Ki menjawab.
Dengan sebatang jarum emas, kakek itu menusuk ujung jari tangan kiri Han Ki, sehingga ada beberapa tetes darah keluar dari luka kecil itu. Darah itu ditampungnya di atas sehelai daun yang berwarna putih, kemudian dibawanya ke tempat panas sehingga dia dapat memeriksa dengan jelas di bawah sinar matahari. Darah itu diperiksa, diamat-amati, dicium, bahkan dijilat dengan lidahnya. Semua perbuatannya itu diikuti penuh perhatian oleh Han Ki yang sudah membereskan pakaian dan duduk kembali di atas rumput, sedangkan Siauw Bwee tak pernah melepaskan pandang matanya dari suhengnya dengan hati penuh keharuan.
Menyaksikan sikap pemuda ini yang berubah sama sekali seolah-olah dia menghadapi seorang asing, akan tetapi wajah, bentuk badan dan setiap gerak-gerik pemuda itu dari matanya mengerutkan alis, sinar matanya yang tajam itu, mulut yang membayangkan
kedukaan, dia tidak meragukan lagi bahwa pemuda ini adalah suhengnya. Di antara sejuta orang pemuda, tak mungkin ada satu yang menyamai suhengnya itu!
"Bagaimana, Coa-lopek?" Han Ki bertanya setelah kakek itu kembali menghampiri mereka.
"Tidak berat, bukan?" Siauw Bwee juga bertanya.
Coa Leng Bu menghela napas panjang. "Racun itu mengandung hawa panas luar biasa.
Hawanya sudah naik ke atas sehingga menutup semua ingatan Taihiap. Sayang bahwa satu-satunya akar obat yang mengandung hawa dingin tidak bisa kudapatkan di daerah ini. Aku hanya dapat memberi obat untuk melenyapkan racun sedikit demi sedikit dari darah Taihiap, akan tetapi hawa panas yang menutup ingatan.... ahh, aku harus mencari akar itu, dan adanya hanya di daerah kutub utara!"
Siauw Bwee terkejut sekali sedangkan Han Ki hanya mendengarkan dengan tenang, karena dia masih belum percaya sepenuhnya. "Supek, kalau hawa itu timbul karena hawa panas tidakkah dapat dilawan dengan tenega Im-kang" Aku bisa menyalurkan tenaga Im-kang ke dalam kepala Suheng untuk melawannye. Bahkan Suheng sendiri memiliki Im-kang yang jauh lebih kuat dari aku, tidakkah Im-kang itu dapat mengusir hawa panas itu?"
Coa Leng Bu menggeleng kepala. "Kalau yang terserang hawa itu di dalam tubuh, memang mungkin dapat diusir dengan Im-kang yang amat kuat, akan tetapi tidak baleh digunakan ke dalam kepala karena berbahaya sekali. Kepala merupakan tempat yang amat panting dan sekali ada bagian yang terguncang, bahayanya akan lebih dahsyat lagi, mungkin dapat merenggut nyawa. Tidak, Lihiap, usaha itu sama sekali tidak boleh dilakukan!"
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 493
"Habis, bagaimana....?" Siauw Bwee bertanya, bingung. Mencari akar itu ke kutub utara tentu akan memakan waktu berbulan-bulan! "Eh, Coa-supak, dahulu Suheng pernah bercerita tentang mendiang ayahnya, Kam Bu Sin. Ayahnya dahulu pernah juga terkena racun dan menurut Suheng, ayahnya ditolong oleh Bu Kek Siansu, yaitu suhu kami, dengan jalan bertapa di bawah air terjun. Dapatkah Suheng diobati secara itu?"
"Kam Bu Sin...." Ayahku...." Nona, apa yang kaukatakan itu" Aku tidak ingat bahwa ayahku bernama Kam Bu Sin....?" Han Ki berkata bingung.
Akan tetapi wajah Coa Leng Bu berseri dan alisnya berkerut tanda bahwa dia berpikir keras.
Akhirnya ia bertepuk tangan. "Boleh! Memang pengobatan secara itu mungkin sekali! Air terjun yang merupakan air hidup, di waktu pagi-pagi sekali mengandung hawa dingin sejuk yang mujijat dan sungguhpun kemustajabannya tidak sekuat akar pendingin, namun
mengandung hawa yang akan dapat mengusir hawa beracun itu sedikit demi sedikit. Taihiap, kuharap Taihiap suka untuk menjalani pengobatan dengan bersamadhi di bawah air terjun setiap pagi sampai hawa panas terusir dari kepala. Kebetulan sekali, di kaki bukit sebelah utara hutan ini terdapat air terjun, biarpun tidak besar sekali namun cukup untuk kebutuhan ini, karena yang dipentingkan adalah airnya yang mengalir hidup, masih bersih keluar dari sumber, suasana yang hening dan hawa yang sejuk."
Kam Han Ki menghela napas panjang. "Aku tentu akan menerima teguran hebat dari Bu-loheng. Akan tetapi biarlah, aku pun ingin sekali dapat mengingat segala riwayatku. Asal saja kalian tidak mempermainkan aku."
"Kam-taihiap, aku Coa Leng Bu selama hidupku tidak suka mempermainkan orang.
Jangankan engkau sebagai suheng dari Khu-lihiap, bahkan andaikata engkau seorang lain, mana aku berani mempermainkanmu" Karena pengobatan ini memakan waktu yang amat
lama dan tidak boleh terganggu, maka sebaiknya kita sekarang membangun sebuah pondok kecil untuk tempat tinggal sementara."
"Suheng, mari kaubantu kami....!" Siauw Bwee dengan wajah berseri dan kini penuh harapan dan kegirangan, menarik tangan Han Ki.
"Nona, harap kauhentikan sebutan suheng yang membuat aku merasa tidak enak saja."
"Aihhh, engkau memang suhengku! Habis disuruh menyebut apa?" Siauw Bwee bertanya, tersenyum menggoda.
Biarpun Siauw Bwee tidak pernah mengatakan rahasia hatinya, namun sebagai seorang pria yang sudah berusia tua dan banyak pengalaman, Coa Leng Bu dapat mengerti bahwa di antara suheng dan sumoi itu terdapat hubungan yang lebih mendalam daripada hubungan kakak beradik seperguruan belaka. Atau setidaknya, dia maklum bahwa Siauw Bwee mencinta suhengnya itu, cinta seorang wanita terhadap seorang pria. Maka dia mengejapkan matanya kepada Siauw Bwee dan berkata,
"Khu-lihiap, Taihiap bicara benar. Sebelum dia sadar dan pulih kembali ingatannya, tidak baik membuat dia bingung. Sepatutnyalah kalau Lihiap menyebut kakanda kepada Kam-taihiap!" Kakek itu lalu membalikkan tubuh agar tidak melihat sepasang pipi yang halus itu menjadi kemerahan, dan dia pura-pura mengumpulkan kayu besar untuk mulai membuat pondok.
"Kata-kata Supek benar, biarlah aku menyebutmu koko, Kam-koko!"
"Engkau baik sekali, Nona. Sungguh aku girang dapat mempunyai seorang sahabat sepertimu."
"Ehh, aku sudah mengalah, tidak menyebutmu Suheng melainkan Koko, akan tetapi kenapa kau masih memakai sebutan Nona segala macam" Kalau aku menyebut kakak bukankah
sepatutnya engkau menyebut adik" Engkau lebih tua daripada aku!"
"Banyak lebih tua!" kata Han Ki yang kini timbul pula kegembiraannya menghadapi gadis yang lincah dan halus budi ini. "Sepatutnya engkau menjadi keponakanku!"
"Ihhh! Memangnya engkau sudah kakek" Kam-koko, tidak maukah engkau menyebut aku Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 494
Siauw-moi?"
Kam Han Ki tersenyum, senyum pertama semenjak pikirannya bingung. "Baiklah Moi-moi.
Ah, betapa untungku mendapatkan seorang adik yang begini manis...."
"Bukan hanya adik, melainkan juga juru rawat. Engkau sedang sakit, ingat" Dan engkau harus manurut segala petunjuk Coa-supek dan memenuhi semua permintaanku, jangan benyak rewel!"
"Engkau gadis yang manis, dan nakal!" Tiba-tiba Han Ki mengerutkan alisnya. "Akan tetapi.... eh, jangan kau main-main Khu-moi. Di kota tadi...., eh, sebelum berjumpa dengan Coa-lopek, kau...."
"Aku kenapa?" Siauw Bwee berdiri di depan Han Ki, bertolak pinggang, sikapnya manja dan manis, matanya bersinar karena hatinya girang bukan main bahwa dia dan supeknya telah berhasil membujuk Han Ki untuk berobat.
"Kau bicara tentang.... cinta....! Hal seperti itu sama sekali tidak boleh dibuat bicara main-main!"
"Siapa yang main-main" Memang aku mencintamu, semenjak dahulu mencintamu, sejak aku kecil, sampai sekarang aku telah dewasa, sampai kelak kalau aku sudah menjadi nenek-nenek.
Nah, aku cinta padamu, habis mengapa?"
Han Ki merasa kepalanya puyeng. Dia jatuh terduduk dan memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Gadis ini tidak main-main, biarpun sikapnya seperti orang main-main, namun pernyataan cintanya itu bukan main-main, melainkan setulusnya. Hal ini dapat ia lihat dari sinar mata gadis itu ketika memandangnya. Dan jantungnya juga berdebar tidak karuan, tanda bahagia bahwa gadis itu mencintanya, hal ini hanya membuktikan bahwa hatinya pun tertarik secara luar biasa kepada gadis ini. Apa artinya semua ini" Bahwa dia mencinta gadis yang baru saja dikenalnya ini" Ah, tidak mungkin. Banyak dia bertemu puteri-puteri cantik di istana, bahkan beberapa kali Bu-koksu membujuknya menerima hadiah berupa gadis-gadis cantik, namun selalu ditolaknya karena dia tidak tertarik sama sekali. Akan tetapi mengapa gadis ini amat menarik hatinya"
"Eh, Suheng.... Kam-koko, kau kenapa" Apakah kepalamu terasa sakit?" Siauw Bwee sudah berlutut dekat suhengnya dan memegang lengan pemuda itu, meraba-raba pelipisnya.
Han Ki menggeleng kepala dan bangkit berdiri. Alisnya berkerut. Biarpun dia percaya bahwa gadis ini menyatakan cinta dari dasar hatinya, akan tetapi sebagai seorang kenalan baru, betapapun jatuh cinta, sikap gadis ini terlalu karib, terlalu mesra dan dekat seolah-olah mereka sudah menjadi sepasang kekasih selama bertahun-tahun!
"Tidak apa-apa, Moi-moi, hanya...., ah, aku ngeri melihat betapa cinta bagimu sedemikian ringan dan mudahnya. Mungkin karena engkau masih muda, Khu-moi, engkau tidak tahu betapa hidup ini penuh dengan duka sengsara, penuh dengan perasaan, penuh kekhawatiran dan kegelisahan, penuh kekecewaan...."
Berdebar jantung Siauw Bwee. Apakah suhengnya sudah mulai ingat" Hati-hati dia
memancing. "Suheng.... eh, maksudku Koko, mengapa engkau begitu muram seolah-olah awan hitam selalu mengambang di atas kepalamu dan menyelubungi sinar kegembiraan hidupmu"
Apakah engkau berduka, kalau benar berduka, mengapa" Apa yang kaudukakan?"
Han Ki menggeleng kepala. "Aku tidak menyusahkan apa-apa."
"Apakah engkau khawatir?"
"Sedikit, yaitu kalau ternyata bahwa engkau dan Coa-lopek tidak dapat menyembuhkan aku atau ternyata menipuku."
"Dan apakah engkau pernah mengalami kecewa?"
Kembali Han Ki menggeleng. "Sepanjang yang teringat olehku, tidak."
Hati Siauw Bwee lah yang kecewa karena jawaban-jawaban itu membuktikan bahwa Han Ki Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 495
belum teringat apa-apa.
"Ha-ha-ha, memang semua itu hanyalah permainan pikiran manusia belaka, Khu-lihiap.
Mengapa manusia harus membiarkan dirinya terseret oleh pikiran yang melayang-layang mengacaukan hidup kita sendiri?" Coa Leng Bu datang menyeret dua buah batang pohon besar. Dia melepaskan dua buah batang pohon itu dan menghapus peluhnya, lalu duduk di dekat mereka.
"Ah, kenapa kausebut permainan pikiran, Lopek?" Han Ki bertanya.
"Benar, Supek. Memang hidup penuh dengan suka-duka, dengan puas kecewa, dengan cinta dan benci, dengan kekhawatiran. Mengapa kaukatakan sebagai permainan pikiran yang menyeret kita ke dalam kekacauan hidup?" Siauw Bwee yang membantah.
Setelah menarik napas panjang untuk mengatur napasnya yang agak memburu, kakek itu berkata sungguh-sungguh,
"Pokok pangkalnya segala perasaan adalah dari keinginan mendapat yang timbul dari sifat sayang diri. Betapapun juga, segala macam perasaan itu tidak timbul kalau tidak dibakar oleh api pikiran yang menguasai kita sepenuhnya, melayang-layang dari masa lalu ke masa depan, sehingga setiap gerak perbuatan kita dicetak oleh pikiran kita. Pikiran membangkitkan penilaian, perbandingan, dan dengan sendirinya mempertebal rasa sayang diri dan iba diri.
Bagaimana timbulnya duka" Dari permainan pikiran yang mengenang atau mengingat-ingat masa lalu. Dari mana timbulnya kecewa, penasaran, kemarahan dan kebencian" Juga dari permainan pikiran yang menyeret kita mengenang masa lalu. Buktinya Kam-taihiap ini.
Setelah dia lupa sama sekali akan masa lalu, maka tidaklah ada persoalan baginya yang timbul dari masa lalu, tidak ada kebencian, tidak ada penasaran, tidak ada kedukaan karena tidak ada lagi yang harus dibuat penasaran, dibenci atau dibuat duka. Yang ada hanya tinggal masa depan baginya. Dan dari mana datangnya kekhawatiran dan ketakutan" Bukan lain dari permainan pikiran yang menyeret kita membayangkan masa depan! Membayangkan hal yang belum terjadilah maka menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan! Bukankah demikian, Taihiap dan Lihiap?"
Dua orang itu mendengarkan penuh perhatian dan seperti dikomando saja, mereka
mengangguk-angguk. Betapa mereka dapat membantah setelah kesadaran mereka membuat mereka melihat kenyataan dalam ucapan kakek itu" Biarpun Han Ki adalah seorang yang belum tua, namun dia memiliki pengetahuan luas tentang filsafat dan kebatinan. Memang, pada saat itu dia telah melupakan semua pelajaran, bahkan ilmu silatnya pun hanya dia kuasai karena sudah mendarah daging saja, namun semua teorinya sudah dia lupakan sama sekali.
Akan tetapi, pada dasarnya dia memang seorang yang memiliki perasaan peka terhadap kebatinan. Biarpun dia telah melupakan hal-hal yang lalu, namun ucapan kakek itu membuat dia mengangguk-angguk dan diam-diam dia dapat melihat kebenarannya. Marah timbul karena mengingat perbuatan seseorang, perbuatan yang sudah dilakukan, yang sudah lalu.
Kalau hal itu tidak diingat, tak mungkin akan timbul kemarahan. Demikian pula duka, dan benci, dan kecewa. Adapun takut dan khawatir, hanya dirasa oleh orang yang belum tertimpa oleh apa yang ditakutkan atau dikhawatirkannya itu.
Orang takut sakit karena dia belum sakit. Khawatir gagal, karena kegagalan belum menimpanya. Jadi semua itu hanyaalah permainan pikiran saja, yang tiada gunanya, bahkan menimbulkan persoalan dan pertentangan yang timbul keluar terhadap orang lain.
Siauw Bwee juga mengangguk-angguk, karena dia merasa betapa benar omongan itu, akan tetapi dia masih belum puas dan mendesak,
"Habis, mana mungkin kita menghadapi sesuatu tanpa pemikiran akan sebab akibat tanpa kenangan masa lalu dan bayangan masa depan, Supek" Persoalan timbul dari luar tanpa kita minta. Contohnya, aku menghadapi keadaan Kam-suheng, bukankah ini merupakan persoalan yang datang tanpa kuminta" Bagaimana hati tidak menjadi khawatir menghadapi keadaan Suheng ini?"
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 496
Kakek itu tersenyum maklum. "Aku tidak menyalahkan kalau engkau gelisah, Lihiap, hanya aku minta pengertian dan kesadaranmu untuk dapat menemukan dirimu sendiri. Segala macam persoalan bersumber dalam diri sendiri, bukan dari luar. Kam-taihiap sakit. Ini merupakan tantangan dan setiap orang hidup selalu akan menghadapi kenyataan yang harus ditanggungnya pada saat kenyataan tiba. Tidak ada persoalan khawatir dan gelisah selama kita dapat membuka mata menghadapi kenyataan tentang sakitnya suhengmu dan selama engkau tidak membayangkan hal-hal yang belum datang. Suhengmu sakit, kita dihadapkan kenyataan ini dan apa yang tepat kita lakukan" Berusaha menyembuhkannya. Tidak ada persoalan lain yang mengkhawatirkan, bukan?"
"Aih, Supek. Betapa mungkin bersikap seperti itu" Bagaimana kalau kita gagal menyembuhkan Suheng" Bagaimana kalau Suheng tidak mendapatkan kembali ingatannya"
Bagaimana kalau...."
"Nah, nah! Itulah, Lihiap. Bagaimana kalau.... bukankah itu hanya permainan pikiran yang membayangkan hal-hal yang tidak ada dan belum terjadi" Apa gunanya membayangkan hal-hal yang belum ada" Kita harus belajar mengenal diri sendiri, mengenal pikiran-pikiran kita, mengenal perasaan-perasaan kita, mengenal keinginan-keinginan kita, dan sadar bahwa di dalam diri kitalah sesungguhnya terletak segala sumber, segala sebab akibat, dan segala bahan kesengsaraan. Kita wajib belajar menghadapi kenyataan seperti apa adanya, tanpa penilaian, tanpa perbandingan, tanpa ingatan waktu lampau atau yang akan datang, dan dengan itu, dalam keadaan bebas dan kosong, kita akan selalu dalam keadaan sadar, waspada dan tenang, seperti air telaga yang dalam dan diam, bening sejuk tidak terganggu karena tidak merasa terganggu, penuh pengertian, kesadaran, dan cinta kasih."
"Aduh, Coa-lopek. Betapa dalam pengertian itu!" Kam Han Ki membelalakkan matanya, seolah-olah terbuka mata hatinya mendengar semua ucapan kakek itu. "Kiranya Lopek adalah seorang yang arif bijaksana!"
Kakek itu tersenyum. "Aku hanyalah seorang sederhana yang suka akan kewajaran, dan aku sama dengan engkau, sama dengan Lihiap dan dengan orang-orang lain. Kita sama-sama belajar, karena hidup berarti belajar, dan terutama sekali, di samping pelajaran lahir yang kita butuhkan untuk hidup, jangan lupa mempelajari diri sendiri, mengenal dan menemukan kembali diri pribadi yang selama ini menyeleweng jauh terbawa hanyut oleh sayang diri dari iba diri, menjadi manusia-manusia munafik, menjadi pelawak-pelawak yang bermain di panggung sandiwara, tidak sewajarnya sehingga dalam setiap gerak-gerik kita, setiap pikiran kita, semua adalah palsu belaka. Kita sudah terlalu lama hidup dalam alam kepalsuan yang dibentuk oleh manusia sendiri. Sudah terlalu lama kita hidup terbakar oleh bunga-bunga yang mekar dari pohon sayang diri berupa pertentangan, persoalan, dendam, dengki, iri, benci, khawatir, takut, duka dan sebagainya. Kenalilah diri kita sendiri, hadapilah kenyataan apa adanya, dan kita akan terbebas dari apapun juga."
"Ahh, Coa-lopek, mendengarkan kata-katamu jauh lebih berharga daripada mengharapkan kesembuhan dari pengobatanmu! Kesembuhanku, kalau benar aku sakit, tidak banyak artinya lagi! Lopek yang bijaksana, berilah petunjuk kepadaku untuk dapat membebaskan diri seperti yang Lopek katakan tadi...." Han Ki berseru, penuh kagum.
Tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, orang muda! Itulah yang menjadi penyakit dan penghalang umum! Membuang keinginan dengan menghidupkan keinginan
baru! Mana mungkin" Mari kita belajar meneliti diri sendiri, mengenal diri sendiri dan segala gerak-gerik pikiran dan perasaan, mengenal sifat-sifat sendiri, dan belajar menghadapi kenyataan tanpa wawasan tanpa ingatan, akan tetapi kalau ada terselip KEINGINAN dalam hatimu bahwa engkau mempelajari itu UNTUK MEMPEROLEH KEBEBASAN, maka
engkau akan gagal, Taihiap. Segala perbuatan yang didasari keinginan, didasari pamrih, perbuatan itu adalah palsu belaka, karena ingatlah bahwa yang dimaksudkan BEBAS di sini, bukan hanya bebas dari segala yang secara lahiriah dirugikan, akan tetapi juga bebas dari Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 497
segala yang menguntungkan. Bebas dari segalanya, juga bebas dari segala macam keinginan, betepapun dianggap suci keinginan itu oleh umum. Kebebasan ini lebih tinggi dari kesadaran, lebih tinggi dari apapun juga karena kebebasan ini berarti cinta kasih. Ahhh, orang seperti aku ini, mana mungkin dapat memberi penjelasan sebaiknya" Marilah kita sama-sama
mempelajari diri sendiri seperti apa adanya, dan mudah-mudahan saja batin kita akan terbuka.... Sudah terlalu banyak aku bicara, yang terpenting sekarang adalah membangun pondok. Aihh, apa kalian dapat membangun pondok hanya dengan bicara saja" Ha-ha-ha!"
Han Ki dan Siauw Bwee tertawa juga. Mereka lalu melompat bangun dan tiga orang itu lalu membangun sebuah pondok sederhana. Berkat kepandaian mereka, dengan mudah mereka menumbangkan pohon-pohon, mengumpulkan balok-balok dan membuat sebuah pondok
yang sederhana namun cukup kokoh untuk melindungi mereka dari angin, hujan, panas dan hawa dingin.
Mulai hari ini, Han Ki diobati oleh Coa Leng Bu dan dirawat dengan sabar oleh Siauw Bwee.
Setiap pagi, tak lama setelah lewat tengah malam, dia dibangunkan oleh Siauw Bwee dan setengah dipaksa pergi ke air terjun, dan gadis itu menanti agak jauh ketika Han Ki menanggalkan pakaian dan dengan bertelanjang bulat duduk bersila di bawah air terjun, membiarkan air jatuh menimpa ubun-ubun kepalanya seperti yang dianjurkan oleh Coa Leng Bu. Kalau bukan seorang yang sudah memiliki sin-kang amat kuat seperti Han Ki, tentu tidak akan kuat lama-lama di pagi buta ditimpa air terjun yang amat dinginnya seperti itu.
Namun, Han Ki adalah seorang pemuda sakti, murid Bu Kek Siansu, yang sudah bertahun-tahun berlatih sin-kang di Pulau Es, dalam keadaan yang jauh lebih dingin daripada bersamadhi di bawah air terjun itu, bahkan telah memiliki tenaga Inti Es yang disebut Swat-im-sin-kang.
Kalau matahari mulai menyinarkan cahayanya di ufuk timur, barulah Han Ki menghentikan samadhinya, mengenakan pakaian lagi, menghampiri Siauw Bwee yang duduk menunggu
agak jauh, lalu bersama-sama kembali ke pondok di mana Coa Leng Bu telah menyediakan masakan obat yang pahit rasanya.
Di samping pengobatan air terjun dan obat, Siauw Bwee membantu pemulihan ingatan Han Ki dengan mengajaknya bercakap-cakap tentang masa lalu. Dan terjadilah suatu keanehan!
Hubungan di antara mereka makin akrab dan Siauw Bwee merasa seolah-olah jatuh cinta untuk kedua kalinya! Timbullah keinginan hati yang luar biasa, yaitu dia ingin agar Han Ki tidak berubah lagi! Kini cintanya terhadap pemuda itu makin mendalam, karena diperhalus oleh rasa iba melihat kekasihnya menderita kehilangan ingatan! Selain itu, juga Han Ki yang sekarang ini sama sekali tidak ingat kepada Maya, bahkan mengenal pun tidak! Berarti dia tidak mempunyai saingan. Apalagi ketika dia melihat tanda-tanda bahwa pemuda itu pun mencintanya, tampak dari gerak-geriknya, sikapnya yang ramah, pandang matanya yang penuh kemesraan. Han Ki yang sekarang ini mencintanya, sedangkan Han Ki yang lama, Han Ki di Pulau Es dahulu itu masih belum dapat dia pastikan siapa yang dicintanya, dia ataukah Maya!
Setelah minum obat yang disediakan oleh Coa Leng Bu, Han Ki dan Siauw Bwee duduk di atas bangku balok melintang di depan pondok. Seperti biasa, Siauw Bwee mengajak
suhengnya duduk di situ sambil berjemur diri di bawah sinar matahari pagi dan mengajaknya bercakap-cakap. Sudah seminggu lebih Han Ki berobat namun masih belum ada tanda-tanda bahwa dia mendapatkan kembali ingatannya. Coa Leng Bu sibuk mencuci daun dan akar obat yang dicarinya kemarin, dikumpulkan di atas tampah untuk dijemur. Diam-diam dia merasa girang bahwa biarpun pemuda itu belum tampak pulih kembali ingatannya, namun sinar matanya sudah mulai ada perubahan, dan dia tahu bahwa pengobatannya sudah mulai ada hasilnya.
Han Ki menggeleng kepala. "Kasihan sekali Coa-lopek yang membuang tenaga sia-sia, Khu-Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 498
moi. Lebih baik aku pergi saja menemui Bu-loheng dan bertanya kepadanya. Mungkin kalau mendengarkan penjelasannya, aku akan dapat mengingat semua."
"Ah, jangan Koko! Biarlah aku mencoba mengingatkanmu. Coba kaulihat ini, masih kenalkah engkau akan gerakan-gerakan ini?" Siauw Bwee lalu bersilat dengan Ilmu Silat Hong-in Bun-hoat, sebuah di antara ilmu-ilmu yang ia pelajari di Pulau Es dari suhengnya.
"Tentu saja! Aihh, gerakanmu indah sekali, Moi-moi!" Han Ki berseru girang.
"Jadi kau mengenalnya?"
"Tentu saja! Setiap gerakanmu kukenal."
"Apa nama ilmu silat itu?"
"Ini.... ini aku tidak ingat lagi. Akan tetapi aku dapat memainkan semua jurus itu."
"Hemm.... dan kaulihat ini, Koko!" Siauw Bwee mendorongkan tangan kanannya kepada ujung bangku, terdengar suara keras dan ujung balok yang dijadikan bangku itu pecah dan hangus seperti terbakar!
"Aku tahu....! Pukulan sin-kang yang mengandung hawa panas itu aku pun dapat mempergunakannya!" seru Han Ki.
"Dan ini....!" Kembali Siauw Bwee memukul dengan tangan kirinya ke arah ujung balok yang lain. Ujung itu patah, akan tetapi tidak pecah, hanya terasa hawa amat dinginnya ketika balok itu disentuh.
"Ini pukulan mengandung hawa dingin, seperti yang kumiliki pula. Heii, Moi-moi, dari mana kau mempelajari semua ini" Sama benar dengan ilmuku!"
"Dan engkau tidak tahu namanya, Koko?" Suara Siauw Bwee agak gemetar.
"Tidak, Moi-moi. Aku bisa menggunakannya, akan tetapi tidak tahu nama ilmu pukulan itu."
"Dan engkaulah yang memberi nama, Koko. Engkau pula yang melatihnya kepadaku, dan kepada Suci...."
"Suci?"
Siauw Bwee menghela napas dan terbayanglah semua peristiwa yang ia alami bersama suci dan suhengnya di Istana Pulau Es. "Ya engkau masih mempunyai seorang sumoi lainnya yaitu Suciku Maya...."
"Hemmm, aku tidak ingat."
"Koko, tidak ingatkah engkau akan ayah bundamu yang bernama Kam Bu Sin?"
Han Ki menggeleng kepala.
"Dan lupakah engkau bahwa guru kita adalah Bu Kek Siansu?"
Kembali pemuda itu menggeleng kepala.
"Koko...." Suara Siauw Bwee makin tergetar karena duka. "Apakah engkau lupa bahwa selama bertahun-tahun engkau, Suci Maya, dan aku tinggal di Istana Pulau Es dan hidup bertiga jauh dari dunia ramai?"
Han Ki mengerutkan alisnya, kelihatan makin bingung. Jelas bahwa dia mengerahkan segala kemampuan otaknya untuk mengingat sehingga dahinya berkeringat. Akan tetapi akhirnya ia menggeleng kepala, dan berkata kesal, "Aku tidak ingat apa-apa, Moi-moi."
Siauw Bwee tak bertanya lagi, berdiam sampai lama.
"Moi-moi...."
"Siauw Bwee menoleh. "Hemmm....?"
"Kasihan engkau....!"
"Mengapa kasihan?"
"Dengan susah payah engkau berusaha menyembuhkan aku, akan tetapi agaknya sia-sia belaka. Aku telah mengecewakan hatimu. Khu-moi, mengapa engkau begini bersusah payah untukku?"
Siauw Bwee menatap wajah orang yang dikasihinya itu, kini tersenyum. Melihat wajah orang yang dicinta itu, lenyaplah kekecewaannya. Apa pun yang terjadi, asal dia tidak akan berpisah Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 499
lagi dari samping kekasihnya ini, tidak ada hal yang akan dapat mengecewakannya.
"Mengapa, Koko" Sudah kukatakan, karena aku cinta kepadamu!"
"Khu-moi-moi, kita baru saja saling jumpa, bagaimana dengan mudah saja engkau menjatuhkan hati, mencintaku?"
"Apakah untuk mencinta seseorang, harus melalui perkenalan yang lama, Koko" Tidak, aku mencintamu semenjak bertahun-tahun yang lalu, akan tetapi andaikata aku belum pernah mengenalmu, begitu aku melihatmu, aku pun akan jatuh cinta."
"Tidak mungkin!"
"Bagaimana tidak mungkin?"
"Cinta timbul dari daya tarik seseorang, bukan hanya dari wajah dan bentuk tubuh. Daya tarik keluar dari segala gerak-geriknya, bicaranya, pandang matanya, senyumnya, pendeknya di antara dua orang yang saling mencinta ada daya tarik yang saling menguasai dan saling menarik, sesuai dengan selera hati masing-masing. Baru bertemu sudah jatuh cinta" Betapa janggalnya!"
"Koko, apakah kau tidak cinta kepadaku?"
Bukan main, pikir Han Ki. Gadis ini berani luar biasa. Tidak saja serta-merta menyatakan cinta begitu jumpa, juga berani bertanya apakah dia mencintanya!
"Eh, hal ini.... ah, aku tidak tahu, Moi-moi. Aku suka kepadamu dan...., dan aku kasihan kepadamu, aku...., aku senang sekali berkenalan denganmu."
"Jawablah sejujurnya, Koko. Engkau cinta kepadaku atau tidak?"
"Mengapa tergesa-gesa" Aku suka kepadamu, akan tetapi untuk menyatakan cinta, masih terlalu pagi bagiku. Aku tidak mau sembrono, tidak mau berlaku 1ancang sebelum ada ketentuan. Soal cinta bukanlah soal main-main, Moi-moi, sekali mengaku cinta berarti sumpah untuk hidup bersama selamanya!"
"Kam-koko, memang engkau benar. Tak mungkin jatuh cinta dalam pertemuan pertama, cinta macam itu adalah cinta yang masih mentah. Orang baru jatuh cinta kalau sudah mengenal betul baik buruk, cacad cela orang yang dicinta dan tetap mencinta berikut cacad-celanya.
Dan aku cinta kepadamu sejak bertahun-tahun, karena kita sudah saling berkumpul lama sekali, hanya engkau yang tidak ingat lagi. Aku bukan mencintamu secara membuta, Koko.
Akan tetapi, kalau benar engkau suka kepadaku.... aahhh, biarlah aku menceritakan riwayatku yang telah kaulupakan."
"Ceritakanlah, Khu-moi. Aku ingin sekali mendengar riwayatmu."
Siauw Bwee ingin mencoba "rasa suka" pemuda itu terhadap dirinya. Dari Han Ki yang dulu, dia tidak dapat memperoleh kepastian karena suhengnya yang dahulu itu tidak pernah mengaku cinta, baik kepada dia maupun kepada Maya. Akan tetapi suhengnya yang sekarang ini berbeda lagi, dan dia ingin melihat sampai di mana rasa suka di hati pemuda itu seperti yang diceritakannya tadi.
"Mendiang ayahku adalah Khu Tek San, seorang panglima Kerajaan Sung yang setia. Dia adalah murid Menteri Kam Liong, kakak sepupumu yang kaulupakan. Mereka berdua adalah orang-orang yang setia dan berjasa besar untuk kerajaan." Dengan singkat Siauw Bwee lalu menceritakan tentang Menteri Kam Liong dan ayahnya.
"Akan tetapi sungguh menyedihkan, Ayah dan Menteri Kam Liong tewas karena
pengkhianatan dan fitnah yang dilontarkan oleh seorang Panglima Sung yang bernama Suma Kiat." Diceritakan sejelasnya betapa ayahnya dan Menteri Kam Liong tewas oleh pengeroyokan para panglima dan pengawal Sung, dan tentang kelicikan dan kecurangan Suma Kiat.
Berkerut alis Han Ki mendengar penuturan itu dan tiba-tiba ia bangkit berdiri mengepal tinjunya. "Keparat orang she Suma itu! Dia harus dihajar!"
Mendengar bentakan ini, Siauw Bwee tersenyum girang dan cepat menarik lengan suhengnya.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 500
"Duduklah dan tenanglah. Bagaimana kau akan menghajar Panglima Suma Kiat kalau dia itu adalah rekan dari Bu-koksu sendiri?"
Sementara itu, Coa Leng Bu yang sedang menjemur obat, mendengar juga bentakan Han Ki dan dia mengangguk-angguk. Diam-diam dia kagum akan kecerdikan Siauw Bwee yang
berusaha mengingatkan Han Ki.
"Koko, engkau marah mendengar betapa keluargaku difitnah sehingga aku hidup sebatangkara. Hal itu berarti bahwa engkau juga cinta kepadaku, Koko."
Wajah Han Ki menjadi merah dan dia menoleh kepada gadis yang duduk di dekatnya, melihat muka yang cantik jelita dari dekat. "Mungkin.... mungkin sekali. Engkau cantik jelita, Moi-moi, engkau gagah perkasa dan engkau berhati lembut, engkau berwatak mulia.... betapa mudahnya jatuh cinta kepada seorang gadis seperti engkau."
"Kam-Suheng....! Kam-koko.... ternyata engkau hanya mencinta aku seorang....!" Dengan hati penuh keharuan dan kebahagiaan, Siauw Bwee merangkul dan merebahkan pipinya di atas dada Han Ki! Han Ki terkejut, akan tetapi hatinya sudah terusik dan harus diakuinya bahwa sukar diragukan akan rasa kasih sayang yang timbul di dalam hatinya terhadap gadis ini, maka hatinya menjadi lunak dan tanpa disadarinya lagi, jari-jari tangannya membelai rambut yang berada di atas dadanya itu.
"Hanya aku yang kaucinta, aku merasa akan hal ini, Suheng. Sejak dulu.... engkau hanya mencinta aku, bukan Suci Maya...."
"Maya....?"
Siauw Bwee cepat mengalihkan percakapan karena dia tidak mau membuat suhengnya
meragu lagi. Kini, setelah jelas bahwa suhengnya hanya mencinta dia seorang, dia pun tidak ragu-ragu untuk segera menyembuhkan suhengnya. Dia sudah menduga bahwa dengan sinkang tenaga Inti Es dia dan suhengnya akan sanggup mengusir hawa panas yang melenyapkan ingatan suhengnya. Coa Leng Bu tidak tahu betapa mereka berdua telah memiliki Im-kang yang tak mungkin dapat diduga betapa tingginya oleh kakek itu maka kakek itu khawatir kalau-kalau pengobatan itu akan membahayakan keselamatan Han Ki.
"Suheng, engkau tidak ingat tentunya bahwa kita berdua dahulu telah berlatih Im-kang di Pulau Es. Akan tetapi, coba raba tanganku dan rasakan ini." Setelah Han Ki memegang tangannya, Siauw Bwee perlahan-lahan mengerahkan Im-kang sehingga hawa dingin tersalur dari telapak tangannya.
"Ihhh! Bukan main kuatnya sin-kangmu Moi-moi! Mungkin menyamai kekuatanku!"
Siauw Bwee menghentikan saluran Im-kangnya dan tersenyum manja. "Kau merendahkan diri, Suheng. Tenagamu jauh lebih besar daripada tenagaku. Akan tetapi dengan bantuanku kita berdua akan dapat menyembuhkanmu dengan cepat. Mari kita temui Coa-supek."
Dengan wajah berseri Siauw Bwee bangkit dan menarik tangan suhengnya, kemudian dia menggandeng tangan suhengnya, tanpa malu-malu dia menjumpai supeknya yang sedang menjemur akar dan daun obat.
"Supek! Aku telah mendapatkan cara untuk menyembuhkan Suheng dengan cepat!"
"Eh?" Coa Leng Bu tertegun dan pura-pura tidak melihat betapa sepasang pipi dara itu kemerahan dan tangan dara itu dengan mesranya menggandeng tangan Han Ki.
"Kami berdua akan menggunakan Im-kang untuk mengusir hawa panas dari kepala Suheng."
"Ahh, berbahaya sekali, Lihiap! Tenaga Im-kang tak dapat dikendalikan, dan kalau tersalur memasuki kepala, dapat membahayakan!"
"Kalau bisa mengendalikan Im-kang, bagaimana?" Siauw Bwee bertanya sambil tersenyum.
"Tentu saja mungkin dapat menyembuhkan, akan tetapi betapa kalian dapat mengendalikan Im-kang" Hal itu membutuhkan tingkat yang amat tinggi, barangkali hanya Suhu Bu-tek Lojin saja yang mampu."
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 501
"Hemm, bagaimana untuk mengukur ketinggian Im-kang?"
"Sukar dibicarakan, akan tetapi kalau sudah dapat membekukan air menjadi salju berarti sudah mencapai tingkat amat tinggi dan itu pun harus dilakukan dengan hati-hati sekali."
"Begitukah" Coa-supek, kaulihatlah baik-baik, kemudian nyatakan pendapatmu!" Siauw Bwee menghampiri sebuah panci yang penuh dengan air, kemudian ia memasukkan tangan kanannya ke dalam air itu, mengerahkan Im-kang beberapa menit lamanya. Kemudian ia menarik tangannya dan.... Coa Leng Bu memandang dengan mata terbelalak ketika melihat air itu telah membeku menjadi es dan ikut tertarik keluar! Siauw Bwee memasukkan lagi air beku itu ke dalam panci, kemudian perlahan-lahan ia merubah Im-kang menjadi Yang-kang.
Air beku itu mencair, terus berubah makin panas sampai akhirnya mendidih di dalam panci!
"Moi-moi, kau mengagumkan sekali!" Han Ki berseru gembira dan dia pun menghampiri sebuah tempayan air, menyodok air dengan tangannya dan begitu tangannya diangkat, air yang berada di telapak tangannya telah membeku, jauh lebih cepat dari yang dilakukan Siauw Bwee tadi!


Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kedua kaki Coa Leng Bu menggigil saking tegang dan kagetnya, dan tak terasa lagi kedua lututnya ditekuk dan dia telah berlutut sambil berkata, "Ya Tuhan...., selama ini kedua mataku seperti buta, tidak melihat bahwa Ji-wi adalah orang-orang muda yang memiliki ilmu kepandaian seperti malaikat....!"
Siauw Bwee meloncat dan menarik lengan kakek itu, memaksanya bangkit. "Aihh, Coa-supek, apa-apaan ini" Aku hanya ingin mendengar pendapatmu, bagaimana" Apakah kami berdua cukup kuat untuk menggunakan Im-kang mengusir hawa panas yang melenyapkan ingatan Suheng?"
Coa Leng Bu mengangguk-angguk, menelan ludah, masih terpesona, akhirnya ia menghela napas dan berkata, "Kalau aku tahu bahwa kalian memiliki Im-kang sehebat itu, tentu saja boleh dilakukan. Hanya kalian harus berhati-hati benar, karena sedikit saja mengalami kekagetan dan gangguan, bisa menimbulkan bahaya. Syaraf di kepala amatlah halusnya, dan sedikit gangguan saja membahayakan nyawa."
"Aku ingin Suheng segera sembuh. Biarlah kami melakukannya di dalam pondok dan harap Supek suka menjaga di luar pondok agar tidak terjadi gangguan."
"Baiklah, kalian adalah dua orang muda yang amat luar biasa. Sungguh hampir aku tak dapat percaya...."
"Coa-supek, kami adalah murid-murid Bu Kek Siansu, penghuni Istana Pulau Es. Bertahun-tahun kami melatih Im-kang di Pulau Es, apa anehnya kalau kami memiliki keahlian dalam menyalurkan hawa sakti yang membekukan air?"
Sepasang mata Coa Leng Bu terbelalak. "Murid-murid.... manusia dewa itu...." Dan aku telah membiarkan diri kausebut supek! Betapa menggelikan dan memalukan! Aihhhh.... setua ini masih tolol....!"
"Sudah, Supek. Harap suka menjaga di luar, kami hendak mulai sekarang juga. Marilah, Koko."
Han Ki hanya tersenyum dan mengikuti gadis itu memasuki pondok. Sebetulnya dia masih belum percaya bahwa dia menderita sakit, dan hanya mengira bahwa kehilangan ingatan adalah karena suatu sebab yang mungkin diketahui oleh kakak angkatnya, Bu Kok Tai, Koksu Negara Sung. Akan tetapi menyaksikan kegembiraan dan harapan Siauw Bwee, dia tidak tega untuk menolak. Pula, bermain-main dengan tenaga Im-kang itu apa sih bahayanya"
Siauw Bwee menutupkan daun pintu pondok, kemudian duduk bersila saling berhadapan dengan Han Ki. Sejenak mereka saling pandang, Han Ki tersenyum seperti melihat kelakuan seorang anak kecil yang mengajaknya bermain-main, sebaliknya Siauw Bwee memandang dengan sungguh-sungguh dan berkata,
"Koko, percaya atau tidak bahwa engkau terkena hawa beracun yang melenyapkan atau menutupi ingatanmu, namun engkau sendiri sudah yakin bahwa ingatanmu hilang dan engkau Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 502
tidak dapat mengingat akan keadaanmu sebelum engkau menjadi adik angkat Koksu Bu Kok Tai itu. Apa pun yang menjadi sebabnya, sudah jelas bahwa ingatanmu hilang dan kita harus berusaha untuk menyembuhkanmu. Coa-supek adalah seorang ahli yang berpengalaman, maka aku percaya bahwa hawa panas beracun telah membuatmu kehilangan ingatan. Oleh karena itu, harap engkau bersungguh-sungguh bersamaku menyatukan Im-kang,
kaukendalikan baik-baik untuk mengusir hawa panas beracun yang menggelapkan ingatanmu itu. Maukah engkau?"
Han Ki tersenyum dan melihat bahwa pemuda itu agaknya masih meragu, Siauw Bwee cepat berkata, "Demi cintaku kepadamu, dan demi cintamu kepadaku! Kam-koko, maukah engkau bersungguh-sungguh melakukan usaha ini, kalau kauanggap ringan keadaanmu, biarlah demi untuk membahagiakan hatiku. Maukah?"
Hati Han Ki menjadi terharu. Dalam sinar matanya, dalam getaran suaranya, gadis ini jelas menunjukkan hati kasih sayang yang luar biasa terhadap dirinya! Sampai bagaimanapun, dia tidak tega untuk mengecewakan hati gadis sebaik ini!
"Baiklah, Moi-moi. Nah, mari kita mulai. Bagaimana engkau hendak membantuku?"
"Ulurkan kedua lenganmu kepadaku, Koko."
Han Ki yang duduk bersila menyodorkan kedua lengannya dan Siauw Bwee juga melakukan hal yang sama sehingga dua pasang telapak tangan bertemu. Pertama-tama, terasa oleh Han Ki getaran hangat dan mesra dari telapak tangan gadis itu, getaran yang didorong oleh hati yang mencinta! Kemudian Siauw Bwee berkata, karena dia maklum bahwa biarpun ilmu kepandaiannya masih dikuasainya secara praktek, namun pemuda itu sudah lupa sama sekali akan teori-teorinya.
"Setelah aku menyalurkan Im-kang, kausambutlah tenaga saktiku, kerahkan tenagamu sendiri sehingga tenaga Im-kang kita menjadi kuat dan menjadi satu di dalam tubuhmu.
Kaukumpulkan segala panca indera, tujukan kepada satu, yaitu mengendalikan Im-kang yang kuat itu dan perlahan-lahan, hati-hati sekali kausalurkan ke atas, memasuki kepalamu untuk menghalau pergi hawa panas beracun. Akan tetapi hati-hatilah, Koko dan jangan pedulikan segala gangguan, karena kalau sampai gerakan hawa Im-kang di kepalamu itu mengalami gangguan, bisa membahayakan dirimu. Boleh jadi kau tidak peduli akan akibat buruk yang menimpamu, akan tetapi ketahuilah bahwa kalau sampai engkau celaka, aku pun ikut celaka, kalau engkau tewas, aku pun tidak mau hidup lagi. Berarti engkau tidak hanya menjaga keselamatanmu akan tetapi juga keselamatanku! Nah, aku mulai!"
Hati Han Ki menjadi terharu sekali, akan tetapi ketika ia merasa betapa dari kedua telapak tangan yang berkulit halus itu, yang tadinya hangat dan lembut kini menjadi dingin, mengalir hawa yang dingin sekali, ia cepat menyatukan semua perasaannya, bersamadhi dan
memusatkan perhatian kepada hawa dingin yang mengalir masuk melalui kedua lengannya.
Dia menerima hawa itu, menyatukan dengan hawa Im-kang yang ia kerahkan dari pusar, kemudian dengan perhatian penuh ia mengendalikan hawa itu, perlahan-lahan seperti uap yang meraba-raba dan mencari-cari, mulai menyalurkannya ke atas. Mula-mula hawa Im-kang yang tergabung itu terkumpul di pusarnya, kemudian perlahan-lahan naik melalui dadanya, terus ke leher dan dari situ naik dengan amat perlahan dan hati-hati. Siauw Bwee sendiri berada dalam keadaan samadhi karena dia tidak menghendaki pengerahan Im-kangnya tercampur dengan tenaga lain atau pikiran-pikiran yang akan mengotorkan penyalurannya.
Kedua orang itu duduk besila, saling berhadapan dan saling mengadu telapak tangan, sama sekali tidak bergerak seperti sepasang arca, akan tetapi tanpa terlihat oleh mata, terjadilah kemujijatan karena dua tenaga Im-kang yang amat dahsyat sedang bekerja dan bahwa benar seperti apa yang dikhawatirkan oleh Coa Leng Bu, usaha yang dilakukan oleh kedua orang ini amatlah berbahaya. Terguncang atau meleset sedikit saja akan mendatangkan akibat yang mengerikan bagi diri Han Ki.
Karena maklum bahwa dia sendiri masih jauh berada di tingkat rendah untuk dapat membantu Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 503
mereka, dan diam-diam masih kagum dan terheran-heran mendapat kenyataan bahwa kedua orang itu adalah orang-orang sakti, Coa Leng Bu duduk bersila di atas bangku depan pondok.
Dia pun prihatin, dan mengharapkan gadis sakti itu berhasil menyembuhkan suhengnya.
Melihat kekuatan Im-kang mereka yang sudah mencapai tingkat setinggi itu, dia yakin bahwa kalau mereka tidak terganggu dan mampu mengendalikan kekuatan dahsyat itu, mereka tentu akan mampu mengusir hawa panas beracun yang telah meracuni Han Ki, yang telah
menggelapkan ingatan Si Pemuda Sakti. Dan dia mengutuk perbuatan orang yang telah meracuni Han Ki, yang ia duga tentulah Bu Kok Tai, koksu negara yang hendak
menggunakan kepandaian Si Pemuda untuk menjadi pembantu dan pengawalnya. Hanya dia masih heran bagaimana seorang yang sedemikian saktinya dapat dipedaya dan diminumi racun perampas ingatan.
Tiba-tiba Coa Leng Bu tersentak kaget. Sudah ada empat jam lebih dia duduk menjaga, matahari sudah naik tinggi dan kini dia melihat bayangan empat orang datang ke tempat itu.
Karena tidak ingin dua orang muda di dalam pondok terganggu, cepat dia turun dari bangku dan berjalan menyambut empat orang itu. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika ia mengenal mereka itu bukan lain adalah Bu-koksu, Pat-jiu Sin-kauw, Thian Ek Cinjin, dan Ang Hok Ci!
"Celaka....!" keluhnya dalam hati namun wajah kakek itu tetap tenang ketika ia berhadapan dengan mereka.
Coa Leng Bu menjura dengan hormat kepada mereka lalu berkata, "Selamat datang, Bu-koksu. Apakah engkau hendak menangkap aku" Silakan, aku menyerah karena aku memang merasa telah membikin kacau di Sian-yang dahulu."
Bu-koksu tertawa, "Ha-ha-ha, siapa butuh orang macam engkau" Aku ingin melihat siapa yang berada di dalam pondok itu!"
"Bu-koksu, di sana terdapat seorang yang sedang sakit, harap engkau tidak mengganggunya!"
"Orang sakit?" Bu-koksu mengerutkan alisnya yang tebal. "Hemm, beranikah engkau membohongiku bahwa di sana terdapat Kam Han Ki dan Khu Siauw Bwee?"
Coa Leng Bu maklum bahwa membohong pun tiada gunanya. "Benar, akan tetapi Kam-taihiap sedang sakit, sedangkan Khu-lihiap sedang merawatnya."
"Ha-ha-ha, kaumaksudkan sedang berusaha memulihkan ingatan Kam Han Ki" Orang she Coa, aku sudah tahu siapa engkau. Engkau adalah seorang ahli pengobatan yang tentu berusaha menyembuhkan Kam Han Ki. Kami datang untuk menangkap mereka!"
"Bu-koksu, apakah kesalahan mereka?" Coa Leng Bu sengaja mencari bahan percakapan untuk mengulur waktu, untuk memberi kesempatan kepada kedua orang itu menyelesaikan pengobatan. Kalau belum selesai dan terganggu, nyawa Kam Han Ki terancam bahaya maut.
"Engkau mau tahu" Kam Han Ki telah menjadi pengkhianat dan harus ditangkap. Sedangkan gadis itu adalah puteri mendiang Khu Tek San, seorang panglima yang memberontak. Dia harus ditawan dan dihukum pula!"
"Bu-koksu, harap kautunggu sebentar sampai mereka selesai dengan pengobatan mereka.
Kalau terganggu, keadaan Kam-taihiap berbahaya sekali. Bukankah dia itu adalah adik angkatmu sendiri yang sudah banyak berjasa terhadapmu" Apakah engkau tega untuk
mencelakainya?"
"Jangan banyak cakap! Minggirlah!"
"Bu-koksu, harap engkau orang tua yang sudah banyak pengalaman hidup, menaruh kasihan kepada dua orang muda yang tidak berdosa. Biarlah aku yang menanggung semua kesalahan mereka. Biar aku yang kautangkap dan kauseret untuk dihukum. Biarkan mereka, karena aku tahu bahwa mereka bukanlah pengkhianat, apalagi pemberontak. Kau tahu, mereka adalah murid-murid manusia dewa Bu Kek Siansu!"
Wajah Bu-koksu seketika pucat mendengar ini, karena sesungguhnya berita ini tak pernah Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 504
disangka-sangkanya dan membuatnya terkejut bukan main. Akan tetapi segera dia dapat mengatasi rasa kagetnya dan tertawa,
"Siapa pun mereka, harus kami tawan!" Diam-diam dia mengharapkan untuk dapat mewarisi kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu kalau dia berhasil menundukkan kedua orang itu. Dia maklum bahwa kalau Kam Han Ki sudah sadar, akan sukar untuk mengatasi mereka. Akan tetapi melihat bahwa pemuda itu masih dalam pengobatan, dia mempunyai harapan untuk dapat menguasai pemuda itu yang telah hilang ingatannya dan kalau hal ini benar, dengan bantuan Kam Han Ki, tidak sukar baginya untuk menundukkan gadis yang sakti itu.
"Jangan bergerak!" Coa Leng Bu berseru marah. "Kalian takkan dapat pergi memasuki pondok itu kecuali melalui mayatku!"
Manusia sombong, kalau begitu mampuslah engkau!" Bu Kok Tai yang sudah marah sekali itu membentak, tubuhnya menerjang ke depan, tangan kanannya yang besar mencengkeram.
Mendengar bunyi tulang-tulang jari tangan itu berkerotokan, maklumlah Co"a Leng Bu bahwa Koksu ini memiliki tenaga yang hebat, maka cepat ia mengelak ke samping sambil memukul dari bawah menghantam dengan pengerahan tenaga Jit-goat-sin-kang.
"Desss!" Tubuh Coa Leng Bu terjengkang ketika Bu-koksu menangkis hantaman itu dengan tenaga sin-kang yang jauh lebih lihai dan kuat.
"Engkau bosan hidup!" Tiba-tiba Ang Hok Ci, siucai murid Koksu meloncat dan menggunakan kakinya menginjak ke arah perut kakek itu dengan pengerahan tenaganya.
Injakan maut ini tentu akan menghancurkan isi perut. Akan tetapi Coa Leng Bu dalam usahanya menghalangi mereka mengganggu kedua orang muda di dalam pondok, tidak mau menyerah begitu saja. Cepat ia miringkan tubuhnya yang telentang, lalu menggunakan tangan menangkap kaki yang menginjak sambil mengerahkan tenaga dan sekali dia membentak, tubuh Ang Hok Ci terlempar ke atas dan tentu akan jatuh terbanting kalau tidak disambar jubahnya oleh Bu-koksu.
Coa Leng Bu sudah meloncat bangun lagi. Dia tidak memegang senjata karena tadi tidak menyangka sama sekali akan kedatangan musuh. Akan tetapi dia tidak gentar dan cepat meloncat lagi menghadang mereka.
"Terimalah ini!" Pat-jiu Sin-kauw sudah menerjangnya dengan ilmu silatnya yang amat hebat, yaitu Soan-hong Sin-ciang (Tangan Sakti Angin Badai), tubuhnya berputaran, jubahnya berkibar dan kedua tangannya seperti kitiran angin menyambar-nyambar. Coa Leng Bu pernah melawan orang ini di Sian-yang, maklum bahwa lawannya amat lihai, maka dia pun cepat mainkan ilmu silatnya dan mengerahkan daya tahannya, mengelak dan menangkis. Dia tahu bahwa betapapun dia berusaha, takkan mungkin dia akan menang menghadapi empat orang ini, apalagi menghadapi Bu-koksu yang amat lihai. Dia pun tidak mengharapkan kemenangan yang tak mungkin, hanya ingin mempertahankan diri selama mungkin untuk mengulur waktu penyerbuan mereka ke dalam pondok.
Tiba-tiba Pat-jiu Sin-kauw yang tubuhnya berputaran ini berjongkok, mulutnya mengeluarkan suara dalam, dan kedua tangannya mendorong ke atas, ke arah lawan. Itulah Thai-lek-kang yang amat dahsyat. Coa Leng Bu maklum bahwa terkena hawa dorongan ini, dia tentu akan roboh, maka dia pun lalu mengerahkan tenaga sekuatnya.
"Dessss!"
Tenaga Pat-jiu Sin-kauw berimbang dengan tenaga Jit-goat-sin-kang yang dimiliki Coa Leng Bu, akan tetapi karena pada saat itu Coa Leng Bu sudah nekat dan mati-matian hendak melindungi kedua orang muda itu, tenaganya bertambah dan tubuh Pat-jiu Sin-kauw terpental ke belakang dan terguling-guling. Akan tetapi Coa Leng Bu sendiri terhuyung ke belakang.
"Cring-cring.... singggg....!" Sinar gemerlapan menyambar ke arah Coa Leng Bu. Kakek ahli obat ini terkejut sekali, berusaha menghindarkan diri dari sambaran golok besar di tangan Bu-koksu, akan tetapi gerakan Bu-koksu amat dahsyat.
"Crakk!" Pundak Coa Leng Bu terbabat putus!
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 505
Namun Coa Leng Bu seolah-olah tidak merasakan nyeri pada pundaknya yang sudah buntung itu, dia meloncat bangun lagi dan menerjang Thian Ek Cinjin yang sudah lari hendak menghampiri pondok. Thian Ek Cinjin menjadi ngeri melihat orang yang lengan kanannya buntung sepundak dan dari lukanya muncrat-muncrat darah itu masih menubruknya. Cepat ia meloncat ke samping dan memukul ke arah pusar. Namun, Coa Leng Bu tidak mempedulikan pukulan itu, bahkan membarengi dengan hantaman ke arah kepala Thian Ek Cinjin dengan tangan kirinya!
Thian Ek Cinjin terkejut dan kepalanya tentu akan terkena hantaman yang dapat
mengakibatkan maut kalau saja pada saat itu tidak datang sinar gemerlapan golok besar Bu-koksu yang menyambar dari belakang.
"Crott!" Lengan kiri Coa Leng Bu kembali terbabat buntung sebatas siku! Dan pusarnya masih terkena hantaman Thian Ek Cinjin yang membuat tubuhnya terjengkang.
Biarpun kedua lengannya telah buntung, tidak pernah terdengar keluhan keluar dari mulut kakek yang gagah perkasa ini. Bahkan kini dia sudah meloncat bangun lagi, dengan mata terbelalak penuh keberanian dia sudah menyerbu ke depan Bu-koksu yang menyambutnya dengan sambaran goloknya, sekali ini mengenai leher Coa Leng Bu. Robohlah tubuh kakek gagah perkasa itu dengan kedua lengan dan kepala terpisah dari badan, tewas seketika dalam keadaan mengerikan.
Bu-koksu menyarungkan goloknya, memandang ke arah Coa Leng Bu, menghela napas dan berkata,
"Seorang yang gagah perkasa! Sayang orang seperti ini tidak pernah menjadi pembantuku." Ia lalu membalikkan tubuhnya dan memberi isyarat kepada para pembantunya untuk berjaga di luar.
"Biarkan aku sendiri yang menghadapi mereka," katanya karena dia maklum bahwa kalau Kam Han Ki masih hilang ingatan, pemuda itu hanya dapat dikuasai olehnya. Sebaliknya kalau keadaan menjadi berubah, hanya dia seoranglah yang akan dapat mengimbangi mereka yang amat lihai, sedangkan tiga orang pembantunya itu takkan ada gunanya.
Dia melangkah ke depan pintu pondok, berhenti dan berseru nyaring,
"Kam-siauwte, aku datang!"
Tidak ada jawaban dari dalam pondok. Tentu saja suaranya yang nyaring itu terdengar oleh Siauw Bwee yang menjadi tekejut bukan main. Akan tetapi gadis ini menekan perasaannya.
Dia maklum bahwa mereka berdua sudah hampir berhasil. Ada hawa panas keluar dari kepala suhengnya. Akan tetapi kalau sekarang dihentikan atau terganggu, akan berbahalah bagi suhengnya. Dia memejamkan matanya, tidak peduli lagi. Kalau harus mati, dia rela mati bersama suhengnya yang tercinta!
Pintu pondok terdorong terbuka dari luar. Ketika Bu-koksu melihat dua orang muda itu duduk berhadapan dengan mengadu telapak tangan dan keadaan dalam pondok terasa amat dingin, dia maklum bahwa kedua orang itu sedang mengerahkan Im-kang yang amat luar biasa untuk melawan hawa panas beracun yang menggelapkan ingatan Han Ki sebagai akibat dari obat yang ia minumkan kepada pemuda itu. Terkejutlah pembesar ini melihat uap panas keluar dari kepala Han Ki, tanda bahwa cara pengobatan yang radikal itu hampir berhasil. Ia lalu melangkah maju dengan cepat, dan menggerakkan tangannya untuk menotok tengkuk Han Ki.
"Aihhh....!" Bu-koksu menggigil seluruh tubuhnya dan ia tentu roboh kalau saja pengalamannya yang luas tidak membuat dia cepat menarik kembali tangannya sebelum terlambat. Ternyata dari tubuh pemuda itu keluar hawa dingin yang takkan kuat ia lawan, sungguhpun dia sendiri memiliki sin-kang yang kuat dan kalau tadi totokannya ia lanjutkan sampai tangannya bertemu dengan kulit tengkuk Han Ki, tentu dia akan terkena serangan hebat yang membahayakan isi dadanya!
Sementara itu, Siauw Bwee yang maklum akan kehadiran Koksu, terguncang hatinya penuh kekhawatiran, maka seluruh Im-kang dari kedua tengannya menjadi kacau sehingga tubuh Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 506
Han Ki bergoyang-goyang. Tiba-tiba Han Ki membuka matanya, memandang Siauw Bwee
dan matanya terbelalak, mulutnya berteriak heran dan kaget, "Engkau.... Siauw Bwee.... Khu-sumoi....!" Dan begitu Siauw Bwee melepaskan kedua tangannya, pemuda itu roboh terguling dan pingsan!
Mendengar teriakan suhengnya itu hati Siauw Bwee girang bukan main karena teriakan itu menunjukkan bahwa suhengnya telah ingat lagi, akan tetapi dia sendiri sudah kehabisan tenaga, maka ketika dia merasa ada angin menyambarnya, biarpun dia sudah cepat membuang tubuh, tetap saja pundaknya terkena totokan jari tangan Bu-koksu dan tubuhnya terguling di samping tubuh Han Ki dalam keadaan lemas!
Bu-koksu cepat menghampiri Han Ki dan menotok jalan darah di punggung pemuda yang masih pingsan itu, kemudian sambil tertawa girang dia memanggil para pembantunya. Tiga orang pembantunya yang tidak melihat apa yang telah terjadi, merasa kagum dan mengira bahwa Koksu itu berhasil merobohkan dua orang muda yang lihai itu.
"Cepat belenggu kaki tangan mereka, kita bawa mereka sebagai tawanan ke Siang-tan,"
katanya dan tiga orang itu bergegas membelenggu Han Ki dan Siauw Bwee. Kemudian
mereka mengempit tubuh kedua orang itu keluar dari pondok. Siauw Bwee yang tertotok lemas namun masih sadar itu ketika melihat mayat supeknya yang tewas dalam keadaan mengerikan, mengeluarkan jerit tertahan dan ia menggigit bibir tidak mengeluarkan kata, hanya sepasang matanya saja yang mengeluarkan sinar berapi.
"Nona Khu," Bu-koksu berkata dengan suaranya yang besar, "Kam Han Ki adalah seorang buruan, engkau pun puteri seorang panglima pemberontak. Akan tetapi, mengingat keadaan regara dalam bahaya, aku yang akan tanggung bahwa kalian tidak akan menerima hukuman asal saja kalian berdua suka menyumbangkan tenaga untuk negara. Kalian adalah orang-orang gagah perkasa, murid dari Bu Kek Siansu, Penghuni Istana Pulau Es. Setelah mempelajari ilmu kesaktian, untuk apa kalau tidak untuk membela negara dan bangsa" Dengan keadaan negara terancam musuh-musuhnya, semua urusan pribadi harus dikesampingkan lebih dulu, seperti bunyi ujar-ujar kuno yang tentu telah menjadi pegangan mendiang ayahmu pula, ialah Wi-bin-wi-kok, Hiap-ci-tai-cia (Demi Rakyat dan Negara Yang Pertama). Kuharap engkau dapat mengerti dan dapat menyadarkan suhengmu."
Dengan mata masih mendelik Siauw Bwee berkata, "Kalian orang-orang kasar memang selalu curang dan keji. Dalam keadaan kedudukanmu terancam, kalian mempergunakan rakyat untuk membantumu dengan alasan demi rakyat dan negara, akan tetapi setelah keadaan aman dan kedudukanmu terjamin, kalian merupakan penindas-penindas rakyat, penjilat Kaisar lalim dan memusuhi pemimpin-pemimpin jujur!"
Bu Kok Tai menghela napas panjang. "Aku selalu kagum kepada mendiang Menteri Kam dan Panglima Khu. Aku tidak pernah mernusuhi mereka secara pribadi, akan tetapi sebagai seorang petugas, bagaimana mungkin tidak hendak menaati perintah atasan" Sudahlah! Hayo bawa mereka ke Siang-tan, cepat-cepat jangan sampai kemalaman di jalan!" katanya kemudian kepada pembantu-pembantunya. Pat-jiu Sin-kauw mengempit tubuh Han Ki,
sedangkan Siauw Bwee dipanggul oleh Thian Ek Cinjin. Mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Siang-tan dengan cepat, karena sesungguhnya hanya terpaksa saja Koksu
melakukan perjalanan menyusul Han Ki sendiri setelah mendengar pelaporan para penyelidik.
Tenaganya amat dibutuhkan di kota itu, dan dalam keadaan terancam oleh pasukan-pasukan Mancu, kalau tidak terpaksa sekali, tidak nanti dia mau meninggalkan kota. Betapapun juga, hatinya gembira karena tanpa banyak kesukaran dia berhasil membawa Han Ki dan Siauw Bwee yang diharapkannya akan suka membantunya. Kalau dia bisa menarik kedua orang itu sebagai pembantu-pembantunya, kedudukannya akan makin kuat dan tenaga kedua orang muda yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu amat dibutuhkan untuk menghadapi penyerbuan pasukan-pasukan Mancu yang dipimpin banyak orang pandai.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 507
Ketika rombongan empat orang yang membawa dua orang tawanan itu tiba di luar hutan pohon pek, memasuki hutan kecil di mana terdapat jalan yang menuju ke Siang-tan, tiba-tiba terdengar suara ketawa dan dari balik pohon besar muncullah lima orang laki-laki. Yang tertawa adalah seorang kakek berusia tujuh puluh tahun lebih, berambut dan berjenggot panjang, sudah putih semua, pakaiannya terbuat dari sutera mahal akan tetapi bentuknya sederhana seperti pakaian pendeta, tangannya memegang sebatang tongkat kayu cendana berselaput emas dan sikapnya agung seperti sikap orang yang biasa memerintah. Adapun empat orang yang berdiri di belakangnya adalah orang-orang yang berpakaian mewah. Dapat dibayangkan betapa kaget hati Bu-koksu ketika mengenal kakek itu yang bukan lain adalah Pek-mau Seng-jin, Koksu dari Kerajaan Yucen, sedangkan para pengikutnya itu adalah Suma Hoat, Panglima Dailuba yang brewok bermata lebar dan bertubuh tinggi besar, Thai-lek Siauw-hud yang gendut pendek dan tertawa-tawa, dan seorang Yucen yang berpakaian indah dan berwajah tampan, yaitu Pangeran Dhanu yang memiliki kedudukan penting di Kerajaan Yucen!
"Ha-ha-ha-ha, sungguh lucu dan aneh! Bu-koksu sebagai pimpinan tertinggi pada saat ini dalam benteng pertahanan di Siang-tan, kiranya masih sempat berkeliaran di dalam hutan!"
Pek-mau Seng-jin mengejek sungguhpun dia mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai penghormatan.
Pada waktu itu Kerajaan Yucen sedang berkembang dan sudah menguasai sebagian besar Tiongkok Utara, bahkan terpaksa Kerajaan Sung pindah ke selatan dan mengakui Kerajaan Yucen ini. Untuk ikatan persahabatan, bahkan Puteri Sung Hong Kwi telah diserahkan untuk menjadi isteri Pangeran Dhanu sebagaimana telah diceritakan di bagian depan cerita ini. Akan tetapi, hanya pada lahirnya saja kedua kerajaan ini bersahabat, sebetulnya di dalam hatinya saling menganggap musuh besar.
Bu-koksu cepat membalas dengan penghormatan selayaknya, kemudian menjawab dengan suara halus namun mengandung ejekan balasan pula, "Selamat berjumpa, Pek-mau Seng-jin!
Tempat ini termasuk wilayah kerajaan kami, maka tidaklah mengherankan apabila sebagai Koksu negara mengadakan pemeriksaan sendiri di sini. Barulah aneh namanya kalau Koksu Negara Yucen bersama panglima dan pangeran berada di sini, bukan sebagai tamu negara yang resmi. Karena pertemuan ini tidak diduga-duga lebih dulu, maka biarlah saya mewakili negara untuk mengundang Cu-wi sekalian sebagai tamu terhormat kami di Siang-tan."
"Ha-ha-ha! Saya mendengar bahwa Bu-koksu amat lihai kepandaiannya kiranya sekarang lihai juga bicaranya! Terima kasih, Bu-koksu. Akan tetapi, ada sebuah hal yang memaksa pertemuan antara kita ini menimbulkan rasa tidak enak kepada kedua pihak. Sungguh menyesal sekali."
Hati Bu-koksu berdebar dan dia sudah menduga bahwa persoalan itu tentu menyangkut kedua orang tawanannya, akan tetapi ia tetap bersikap tenang dan bertanya,
"Di pihak kami, tidak ada persoalan dan sungguhpun jelas bahwa Cu-wi melanggar wilayah kami bukan sebagai tamu, kami masih bersikap ramah dengan mengundang Cu-wi sebagai tamu kami. Hal ini agaknya juga diketahui dengan jelas oleh Suma-kongcu, yang entah bagaimana bisa menemani Koksu dan Pangeran."
Mendengar ini dan melihat pandang mata Bu-koksu ditujukan kepadanya dengan sinar tajam menyelidik, Suma Hoat tersenyum saja dan matanya memandang ke arah Siauw Bwee yang tubuhnya dibelenggu dan dipanggul di atas pundak Thian Ek Cinjin. Dia tidak mau menjawab dan hanya mengandalkan kepada jawaban Pek-mau Seng-jin sekutu ayahnya.
"Maafkan, kalau kami melanggar wilayahmu, Bu-koksu. Hanya kami rasa bahwa sebagai sahabat-sahabat, tiada salahnya kalau kami melihat-lihat keadaan wilayah selatan ini.
Kebetulan sekali kita bertemu, akan tetapi tidak kebetulan bahwa kami melihat kalian memperlakukan sahabat kami sebagai tawanan, sungguh amat tidak enak bagi kami. Maka, mengingat akan hubungan antara kita, saya harap sukalah Bu-koksu memandang muka kami Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 508
dan membebaskan kedua orang tawanan ini."
Berkerut alis Bu-koksu. Dia sudah menduga bahwa tentu kedua orang tawanan itu yang akan dipersoalkan, akan tetapi dia masih penasaran dan cepat berkata, "Maaf, Pek-mau Seng-jin!
Kedua orang ini adalah orang-orang Han, dan urusan kami dengan mereka tidak ada sangkut-pautnya dengan Koksu dan Kerajaan Yucen. Harap Koksu suka mempertimbangkan dan tidak mencampuri urusan pribadi sendiri."
"Ha-ha-ha, melihat sahabat-sahabat baik diperlakukan tidak hormat, bagaimana kami dapat tinggal diam saja" Ingatkah Koksu akan peribahasa yang mengatakan bahwa sahabat lebih berat daripada tangan kiri" Mereka adalah sahabat-sahabat kami, tentu saja kami tidak suka melihat mereka mengalami penghinaan seperti itu."
"Pek-mau Seng-jin!" Bu-koksu berkata marah. "Saya tidak melihat hubungan antara mereka ini dengan kalian! Saya rasa kalian tidak mengenal kedua orang ini, apalagi bersahabat!"
"Bukan sahabat saya pribadi, akan tetapi sahabat baik Pangeran Dhanu. Silakan menjawab Pangeran." Pek-mau Seng-jin berkata dan Pangeran Dhanu melangkah ke depan sambil berkata,
"Bu-koksu, ketahuilah bahwa Kam Han Ki itu adalah seorang sahabatku, sahabat pribadi yang amat baik. Bahkan dia pernah memukul mundur pasukan-pasukan Mancu untuk menolong kami, bagaimana aku dapat membiarkan dia kauperlakukan seperti itu" Oleh karena itu, aku sebagai mantu dari kaisarmu, kuminta supaya kau suka memandang mukaku dan
membebaskan Kam Han Ki sahabatku."
"Dan gadis ini?" Bu-koksu yang diam-diam merasa terkejut dan gelisah itu bertanya penasaran.
"Gadis ini adalah Khu Siauw Bwee, sahabat baik sekali dari Suma-kongcu. Karena Suma-kongcu merasa sungkan mengajukan permintaan dan menentang Koksu sebagai rekan sendiri, maka biarlah saya yang mewakilinya dan mintakan agar Nona Khu kauberi kebebasan pula."
Merah muka Bu-koksu mendengar ini. "Kedua orang ini adalah orang-orang tangkapan kami karena mereka merupakan pemberontak-pemberontak, betapa mungkin kami
membebaskannya" Kalau Koksu dan Pangeran ingin membelanya dan mohon
pembebasannya, harap suka mengajukan permintaan resmi agar diputuskan oleh Kaisar sendiri. Saya tidak berani lancang mengambil keputusan dan menyerahkan dua orang tawanan penting di tengah jalan begitu saja kepada Cu-wi!"
"Hemm, jawaban itu berarti bahwa Bu-koksu tidak memandang kami sebagai sahabat!" Pek-mau Seng-jin berkata dengan suara getir.
"Saya cukup menghargai persahabatan antara kita, akan tetapi tentu saja saya lebih menghargai tugas dan kedudukan saya."
"Kalau kami memaksa?"
"Terserah, kami akan mempertahankan!"
"Ha-ha-ha! Bu-koksu sungguh tak tahu diri. Keadaan kota Siang-tan sedang terancam pasukan Mancu, siapa lagi yang akan dapat menolong kalau bukan pasukan kami" Akan tetapi Bu-koksu lebih mementingkan urusan pribadi. Baiklah, urusan pribadi kita selesaikan secara pribadi pula. Sudah lama aku mendengar bahwa Bu-koksu memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat, terutama sekali ilmu goloknya yang belum pernah bertemu tanding.
Kesempatan ini hendak kugunakan untuk mengenal ilmu golok Bu-koksu! Kalian berempat, kami pun akan maju berempat dan siapa menang dalam pertandingan ini berhak atas kedua orang tawanan itu!"
"Bukan kami yang memancing permusuhan, kami hanya mempertahankan diri. Silakan, Pek-mau Seng-jin, jangan mengira bahwa aku takut kepadamu!" Bu-koksu yang sudah marah sekali lalu mencabut goloknya sehingga terdengar bunyi berkerincingan nyaring.
Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin juga sudah menurunkan tubuh tawanan yang mereka Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 509
panggul tadi, siap menghadapi lawan, sedangkan Ang Hok Cu cepat mendekati kedua orang tawanan untuk menjaga agar mereka tidak dirampas orang.
Thian Ek Cinjin dan Pat-jiu Sin-kauw sebetulnya adalah dua orang anak buah Pek-mau Sengjin sendiri! Seperti telah diceritakan di bagian depan, kedua orang ini yang bergabung dengan Coa-bengcu di pantai Po-hai, diam-diam telah mengadakan hubungan dengan Kerajaan Yucen, dan atas permintaan Pek-mau Seng-jin, kedua orang ini berhasil menyelundup dengan membawa Kam Han Ki yang pingsan, menyerahkannya kepada Bu-koksu sehingga mereka
berdua diangkat menjadi pengawal! Karena inilah maka Pek-mau Seng-jin girang sekali melihat kedua orang sekutunya itu kini mengawal Bu-koksu dan diam-diam ia memberi tanda dengan kejapan mata kepada mereka.
Thian Ek Cinjin meloncat ke depan, berhadapan dengan Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee Si Gendut Pendek yang tertawa-tawa, yang sebetulnya adalah temannya sendiri. Tanpa banyak cakap lagi mereka sudah bertanding, Thai-lek Siauw hud menggunakan sebatang golok besar sedangkan Thian Ek Cinjin menggunakan sebatang pedang.
Juga Pat-jiu Sin-kauw sudah saling berkedip dengan Panglima Dailuba yang menyambutnya.
Mereka pun tanpa banyak cakap sudah saling bertanding, menggunakan tangan kosong karena kedua orang ini merupakan ahli-ahli silat tangan kosong. Pertempuran terjadi dengan seru dan karena pandainya mereka berempat bersandiwara, Bu-koksu sendiri tidak pernah menyangka bahwa mereka itu tidaklah bertanding sungguh-sungguh.
"Ha-ha-ha, dua orangmu telah bertempur melawan dua orang pembantuku. Tinggal kita berdua. Marilah kita coba-coba, Bu-koksu!" kata Pek-mau Seng-jin sambil menggerakkan tongkatnya menusuk.
"Cring-cring-tranggg!" Keduanya terpental ke belakang ketika tongkat itu tertangkis oleh golok bergelang. Kemudian keduanya maju lagi saling serang dengan dahsyat. Gerakan Bu-koksu amat dahsyat dan kuat, goloknya mengeluarkan bunyi mengerikan dan golok yang berat itu diputar sampai berubah menjadi segulung sinar menyilaukan mata. Namun gerakan tongkat di tangan Pek-mau Seng-jin lebih cepat lagi, tampak sinar keemasan bergulung-gulung menyelubungi gulungan sinar golok, bahkan dalam hal tenaga sin-kang, tingkat Pek-mau Seng-jin masih lebih tinggi sehingga lewat empat puluh jurus, Bu-koksu selalu terdesak dan terhimpit!
Ang Hok Ci yang sedang gelisah menyaksikan betapa Bu-koksu dan dua orang pengawalnya terdesak, mengambil keputusan untuk membunuh saja dua orang tawanan yang berbahaya itu.
Dia sudah mencabut goloknya, langsung dia bacokkan ke arah leher Kam Han Ki.
"Trangggg!"
Ang Hok Ci terkejut dan melompat mundur, memandang Suma Hoat yang sudah menangkis goloknya dengan pedang.
"Suma-kongcu! Apa yang kaulakukan ini" Apakah engkau hendak memberontak dan membela musuh?"
Suma Hoat tecsenyum. "Hemm, orang she Ang, ini bukan urusan negara, melainkan urusan pribadi! Sudah dijanjikan bahwa siapa yang keluar sebagai pemenang, berhak atas diri kedua orang tawanan ini. Mengapa engkau bendak bersikap curang dan membunuh tawanan?"
"Bagus! Ayahmu tentu akan senang sekali mendengar akan pengkhianatanmu ini!" Ang Hok Ci memaki dan menyerang dengan golok menyambar ke arah leher Suma Hoat, sedangkan tangan kirinya melancarkan pululan dengan tenaga Jit-goat-sin-kang ke arah dada Suma Hoat.
"Cringggg.... dukkkk!" Tubuh Ang Hok Ci terlempar ke belakang, ketika goloknya tertangkis oleh pedang Suma Hoat, sedangkan pukulan dengan tenaga Jit-goat-sin-kang tadi ditangkis pula oleh Suma Hoat dengan ilmu yang sama, akan tetapi jauh lebih kuat. Hal ini dapat dimengerti karena kalau Ang Hok Ci memperoleh Ilmu Jit-goat-sin-kang dari hasil curian ketika dia menyelundup ke lembah orang kusta, adalah Suma Hoat menerima gemblengan Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 510
langsung dari Bu-tek Lo-jin, bahkan dia merupakan murid terpandai! Dengan pedangnya, Suma Hoat mematahkan belenggu yang mengikat kaki tangan Siauw Bwee dan membebaskan totokannya.
"Terima kasih, ternyata engkau seorang sahabat yang baik, Suma Hoat!" Siauw Bwee berkata singkat lalu melQncat mendekati suhengnya yang masih pingsan, membukakan belenggu kaki tangan Han Ki dan membebaskan totokan. Akan tetapi Han Ki masih pingsan, bukan karena totokan melainkan karena guncangan ketika pengobatan hampir berakhir tadi. Cepat Siauw Bwee menempelkan kedua telapak tangannya ke dada pemuda itu dan perlahan-lahan ia menyalurkan hawa sin-kang ke dalam tubuh suhengnya dengan amat hati-hati.
Ang Hok Ci sudah menerjang lagi, disambut oleh pedang Suma Hoat. Karena pemuda yang berjuluk Jai-hwa-sian ini memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi, dengan mudah ia mempermainkan Ang Hok Ci sambil tertawa-tawa.
"Suma-kongsu, bunuh saja tikus itu!" Tiba-tiba terdengar suara Pek-mau Seng-jin. "Dan aku yang akan membunuh tikus besar ini!"
Suma Hoat terkejut dan ragu-ragu. Biarpun dia harus mentaati perintah ayahnya yang bersekutu dengan Kerajaan Yucen, akan tetapi kalau harus membunuh seorang yang setia kepada Kerajaan Sung, hatinya masih merasa berat. Dan ketika ia menoleh, ia melihat betapa Bu-koksu terhimpit bahaya oleh tongkat di tangan Pek-mau Seng-jin yang kini jelas bukan hanya memperoleh kemenangan untuk memperebutkan kedua orang tawanan, melainkan
berniat membunuh Bu-koksu. Ini hebat, pikir Suma Hoat yang menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Ketika ia memutar pedang menahan serangan-serangan golok lawan dan menoleh ke arah Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin yang melawan Panglima Dailuba dan Thai-lek Siauw-hud, dia mendapat kenyataan bahwa pertempuran masih berlangsung "seru"
dan bahwa mereka itu ternyata hanya seperti sedang berlatih saja! Suma Hoat amat cerdik, maka mengertilah dia bahwa dua orang pengawal dan pembantu Bu-koksu itu ternyata adalah anak buah Yucen pula! Diam-diam ia mengkhawatirkan keselamatan Bu-koksu. Betapapun juga, dia tahu betul bahwa Bu-koksu adalah seorang yang amat setia kepada negara, seorang pahlawan sejati yang menjuruskan segala perbuatannya demi kepentingan Kerajaan Sung!
Dia masih terus mempermainkan Ang Hok Ci, tidak mau membunuhnya karena hendak
melihat bagaimana perkembangan pertandingan antara kedua orang guru negara itu. Dia merasa serba salah karena untuk membantu Bu-koksu, berarti dia menentang Yucen dan hal ini tentu tidak akan disetujui ayahnya. Sebaliknya, untuk membantu Pek-mau Seng-jin, hati nuraninya tidak mengijinkan, selain itu, dia maklum pula bahwa ilmu kepandaian Pek-mau Seng-jin amat tinggi, tidak hanya lebih tinggi daripada kepandaian Bu-koksu, juga lebih tinggi daripada tingkat kepandaiannya. Belum lagi diingat bahwa di situ terdapat panglima Dailuba, Pat-jiu Sin-kauw, Thai-lek Siauw-hud, dan Thian Ek Cinjin yang ternyata adalah kaki tangan Pek-mau Seng-jin. Dia tidak berdaya dan hanya menonton sambil menahan serangan golok Ang Hok Ci seenaknya.
Bu-koksu juga tahu akan perubahan gerakan tongkat lawan yang kini menjadi cepat sekali dan melancarkan serangan-serangan maut. Dia tidak menjadi gentar dan maklum bahwa persoalan merampas tawanan itu hanya sebagai pancingan saja, sedangkan niat di hati Koksu Negara Yucen itu untuk membunuhnya! Kalau berada di tempat ramai, tentu saja Pek-mau Seng-jin tidak akan berani melakukan hal ini, karena membunuh dia berarti pecah perang terbuka antara Kerajaan Sung dan Kerajaan Yucen. Akan tetapi, kalau dia dan semua pembantunya terbunuh di situ, tidak akan ada yang tahu bahwa pembunuhnya adalah Koksu Yucen! Maka dia memutar goloknya melawan mati-matian, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan segala kepandaiannya.
Betapapun juga, tongkat di tangan Pek-mau Seng-jin terlalu kuat baginya dan ketika goloknya menyambar dahsyat ke arah kepala lawan, Pek-mau Seng-jin hanya miringkan kepala
sehingga sebagian rambutnya yang putih terbabat putus oleh golok besar itu, akan tetapi pada Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 511
detik yang sama, ujung tongkat telah mengenai pundak kanannya sehingga golok besar itu terlepas dari tangan Bu-koksu. Cepat seperti kilat, tongkat itu telah menyambar turun, siap melakukan tusukan maut!
"Tahan! Jangan bunuh dia!" Teriakan ini disusul berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu tongkat itu terpental ke belakang oleh desiran hawa pukulan yang amat panas!
Bu-koksu girang sekali dan cepat menyambar kembali goloknya. "Kam-siauwte, syukur engkau masih ingat kepadaku dan menolongku. Mari kita habiskan anjing-anjing Yucen ini!"
Akan tetapi betapa kagetnya ketika ia melihat sinar mata Kam Han Ki yang menyambar seperti dua titik api kepadanya. "Bu-koksu, aku memang teringat kepadamu, dan teringat akan segalanya! Engkau memang telah menolongku, merawatku, akan tetapi hanya untuk
kaupengaruhi dengan racun sehingga di luar kesadaranku aku menjadi pengawalmu!"
"Kam-siauwte....!"
"Sudahlah, dan jangan menyebut siauwte kepadaku. Harap kau suka membawa semua anak buahmu pergi dari sini dan mudah-mudahan saja kita tidak akan saling bertemu kembali! Aku memaafkan segalanya!"
Bu-koksu maklum bahwa tidak ada gunanya lagi membujuk pemuda yang sudah sadar itu, maka dia menarik napas panjang dan berkata, "Betapapun juga, Kam-siauwte, aku telah menyelamatkanmu dari hukuman sebagai seorang pemberontak. Aku hanya ingin
membangkitkan semangatmu membela negara. Selamat tinggal! Dan engkau, Pek-mau Sengjin, apakah perbuatanmu tadi bahwa engkau hendak memancing perang antara kedua kerajaan kita?"
"Ha-ha-ha! Sudah kukatakan bahwa urusan ini adalah persoalan pribadi, kalau engkau hendak membawa-bawa kerajaan, terserah. Kerajaan Yucen tidak pernah takut terhadap ancaman Kerajaan Sung. Kurasa Kerajaan Sung tidak begitu bodoh untuk menambah musuh yang lebih kuat lagi di samping pasukan-pasukan Mancu, ha-ha-ha."
"Mari kita pergi!" Bu-koksu berkata kepada para pembantunya dan Ang Hok Ci, Pat-jiu Sin-kauw, dan Thian Ek Cinjin segera meninggalkan tempat itu mengikuti Bu-koksu.
Di tengah perjalanan menuju ke Siang-tan, Ang Hok Ci berkata kepada kedua orang
rekannya, "Aku tadi melihat betapa Ji-wi tidak bertanding sungguh-sungguh dengan kedua lawan Ji-wi!"
"Cringggg.... dukkkk!" Tubuh Ang Hok Ci terlempar ke belakang, ketika goloknya tertangkis oleh pedang Suma Hoat, sedangkan pukulan dengan tenaga Jit-goat-sin-kang tadi ditangkis pula oleh Suma Hoat dengan ilmu yang sama, akan tetapi jauh lebih kuat. Hal ini dapat dimengerti karena kalau Ang Hok Ci memperoleh Ilmu Jit-goat-sin-kang dari hasil curian ketika dia menyelundup ke lembah orang kusta, adalah Suma Hoat menerima gemblengan langsung dari Bu-tek Lo-jin, bahkan dia merupakan murid terpandai! Dengan pedangnya, Suma Hoat mematahkan belenggu yang mengikat kaki tangan Siauw Bwee dan membebaskan totokannya.
"Terima kasih, ternyata engkau seorang sahabat yang baik, Suma Hoat!" Siauw Bwee berkata singkat lalu melQncat mendekati suhengnya yang masih pingsan, membukakan belenggu kaki tangan Han Ki dan membebaskan totokan. Akan tetapi Han Ki masih pingsan, bukan karena totokan melainkan karena guncangan ketika pengobatan hampir berakhir tadi. Cepat Siauw Bwee menempelkan kedua telapak tangannya ke dada pemuda itu dan perlahan-lahan ia menyalurkan hawa sin-kang ke dalam tubuh suhengnya dengan amat hati-hati.
Ang Hok Ci sudah menerjang lagi, disambut oleh pedang Suma Hoat. Karena pemuda yang berjuluk Jai-hwa-sian ini memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi, dengan mudah ia mempermainkan Ang Hok Ci sambil tertawa-tawa.
"Suma-kongsu, bunuh saja tikus itu!" Tiba-tiba terdengar suara Pek-mau Seng-jin. "Dan aku yang akan membunuh tikus besar ini!"
Suma Hoat terkejut dan ragu-ragu. Biarpun dia harus mentaati perintah ayahnya yang Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 512
bersekutu dengan Kerajaan Yucen, akan tetapi kalau harus membunuh seorang yang setia kepada Kerajaan Sung, hatinya masih merasa berat. Dan ketika ia menoleh, ia melihat betapa Bu-koksu terhimpit bahaya oleh tongkat di tangan Pek-mau Seng-jin yang kini jelas bukan hanya memperoleh kemenangan untuk memperebutkan kedua orang tawanan, melainkan
berniat membunuh Bu-koksu. Ini hebat, pikir Suma Hoat yang menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Ketika ia memutar pedang menahan serangan-serangan golok lawan dan menoleh ke arah Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin yang melawan Panglima Dailuba dan Thai-lek Siauw-hud, dia mendapat kenyataan bahwa pertempuran masih berlangsung "seru"
dan bahwa mereka itu ternyata hanya seperti sedang berlatih saja! Suma Hoat amat cerdik, maka mengertilah dia bahwa dua orang pengawal dan pembantu Bu-koksu itu ternyata adalah anak buah Yucen pula! Diam-diam ia mengkhawatirkan keselamatan Bu-koksu. Betapapun juga, dia tahu betul bahwa Bu-koksu adalah seorang yang amat setia kepada negara, seorang pahlawan sejati yang menjuruskan segala perbuatannya demi kepentingan Kerajaan Sung!
Dia masih terus mempermainkan Ang Hok Ci, tidak mau membunuhnya karena hendak
melihat bagaimana perkembangan pertandingan antara kedua orang guru negara itu. Dia merasa serba salah karena untuk membantu Bu-koksu, berarti dia menentang Yucen dan hal ini tentu tidak akan disetujui ayahnya. Sebaliknya, untuk membantu Pek-mau Seng-jin, hati nuraninya tidak mengijinkan, selain itu, dia maklum pula bahwa ilmu kepandaian Pek-mau Seng-jin amat tinggi, tidak hanya lebih tinggi daripada kepandaian Bu-koksu, juga lebih tinggi daripada tingkat kepandaiannya. Belum lagi diingat bahwa di situ terdapat panglima Dailuba, Pat-jiu Sin-kauw, Thai-lek Siauw-hud, dan Thian Ek Cinjin yang ternyata adalah kaki tangan Pek-mau Seng-jin. Dia tidak berdaya dan hanya menonton sambil menahan serangan golok Ang Hok Ci seenaknya.
Bu-koksu juga tahu akan perubahan gerakan tongkat lawan yang kini menjadi cepat sekali dan melancarkan serangan-serangan maut. Dia tidak menjadi gentar dan maklum bahwa persoalan merampas tawanan itu hanya sebagai pancingan saja, sedangkan niat di hati Koksu Negara Yucen itu untuk membunuhnya! Kalau berada di tempat ramai, tentu saja Pek-mau Seng-jin tidak akan berani melakukan hal ini, karena membunuh dia berarti pecah perang terbuka antara Kerajaan Sung dan Kerajaan Yucen. Akan tetapi, kalau dia dan semua pembantunya terbunuh di situ, tidak akan ada yang tahu bahwa pembunuhnya adalah Koksu Yucen! Maka dia memutar goloknya melawan mati-matian, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan segala kepandaiannya.
Betapapun juga, tongkat di tangan Pek-mau Seng-jin terlalu kuat baginya dan ketika goloknya menyambar dahsyat ke arah kepala lawan, Pek-mau Seng-jin hanya miringkan kepala
sehingga sebagian rambutnya yang putih terbabat putus oleh golok besar itu, akan tetapi pada detik yang sama, ujung tongkat telah mengenai pundak kanannya sehingga golok besar itu terlepas dari tangan Bu-koksu. Cepat seperti kilat, tongkat itu telah menyambar turun, siap melakukan tusukan maut!
"Tahan! Jangan bunuh dia!" Teriakan ini disusul berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu tongkat itu terpental ke belakang oleh desiran hawa pukulan yang amat panas!
Bu-koksu girang sekali dan cepat menyambar kembali goloknya. "Kam-siauwte, syukur engkau masih ingat kepadaku dan menolongku. Mari kita habiskan anjing-anjing Yucen ini!"
Akan tetapi betapa kagetnya ketika ia melihat sinar mata Kam Han Ki yang menyambar seperti dua titik api kepadanya. "Bu-koksu, aku memang teringat kepadamu, dan teringat akan segalanya! Engkau memang telah menolongku, merawatku, akan tetapi hanya untuk
kaupengaruhi dengan racun sehingga di luar kesadaranku aku menjadi pengawalmu!"
"Kam-siauwte....!"
"Sudahlah, dan jangan menyebut siauwte kepadaku. Harap kau suka membawa semua anak buahmu pergi dari sini dan mudah-mudahan saja kita tidak akan saling bertemu kembali! Aku Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 513
memaafkan segalanya!"
Bu-koksu maklum bahwa tidak ada gunanya lagi membujuk pemuda yang sudah sadar itu, maka dia menarik napas panjang dan berkata, "Betapapun juga, Kam-siauwte, aku telah menyelamatkanmu dari hukuman sebagai seorang pemberontak. Aku hanya ingin
membangkitkan semangatmu membela negara. Selamat tinggal! Dan engkau, Pek-mau Sengjin, apakah perbuatanmu tadi bahwa engkau hendak memancing perang antara kedua kerajaan kita?"
"Ha-ha-ha! Sudah kukatakan bahwa urusan ini adalah persoalan pribadi, kalau engkau hendak membawa-bawa kerajaan, terserah. Kerajaan Yucen tidak pernah takut terhadap ancaman Kerajaan Sung. Kurasa Kerajaan Sung tidak begitu bodoh untuk menambah musuh yang lebih kuat lagi di samping pasukan-pasukan Mancu, ha-ha-ha."
"Mari kita pergi!" Bu-koksu berkata kepada para pembantunya dan Ang Hok Ci, Pat-jiu Sin-kauw, dan Thian Ek Cinjin segera meninggalkan tempat itu mengikuti Bu-koksu.
Di tengah perjalanan menuju ke Siang-tan, Ang Hok Ci berkata kepada kedua orang
rekannya, "Aku tadi melihat betapa Ji-wi tidak bertanding sungguh-sungguh dengan kedua lawan Ji-wi!"
Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin terkejut, akan tetapi sambil tertawa Pat-jiu Sin-kauw berkata, "Kami sendiri tidak mengerti, Ang-siucai. Jelas bahwa kalau mereka menghendaki, kami tidak akan menang. Kepandaian Panglima Dailuba itu amat tinggi, terus terang saja aku tidak mampu menandinginya, sedangkan tingkat kepandaian Thai-lek Siauw-hud masih menang sedikit dibandingkan dengan tingkat Thian Ek Cinjin. Akan tetapi karena kami anggap pertandingan itu hanya untuk menguji kepandaian, maka tidaklah mengherankan kalau mereka tidak berniat membunuh kami."
"Hemmm, akan tetapi Si Rambut Putih itu jelas berniat buruk terhadap diriku." Bu-koksu mengomel dan hatinya yang mengkal dan kesal itu membuat dia tidak memperhatikan lagi ucapan Ang Hok Ci yang penuh tuduhan dan kecurigaan.
Sementara itu, Kam Han Ki memandang sumoinya yang kini berdiri di sampingnya, berkata,
"Sekarang aku ingat semua, Sumoi. Kalau tidak ada engkau yang membantu, entah bagaimana jadinya dengan aku. Terima kasih, Sumoi dan.... dan...." tiba-tiba mukanya berubah merah sekali karena dia teringat akan sikap sumoinya yang berkali-kali menyatakan cinta kasihnya dan teringat betapa, dalam keadaan "lupa diri" dia pun membalas cinta sumoinya itu. Akan tetapi karena di situ terdapat banyak orang, tentu saja dia tidak berani melanjutkan kata-katanya dan hanya pandang mata mereka yang saling bicara banyak.
Saling pandang yang penuh arti dan amat mesra itu tidak terluput dari pandang mata Suma Hoat. Begitu melihat Siauw Bwee, sudah timbul kembali cintanya yang tak mungkin dapat padam di hatinya, maka tentu saja kemesraan antara pandang mata kedua orang itu
merupakan ujung pedang yang menembus jantungnya. Namun, karena maklum bahwa dia
tidak akan mampu menghalangi atau bersaing terhadap pendekar yang sakti, penghuni Istana Pulau Es, murid Bu Kek Siansu itu, dia menekan perasaannya dan menjura kepada Kam Han Ki sambil berkata,
"Saya menghaturkan selamat atas pulihnya kesehatan Kam-taihiap dan atas berkumpulnya kembali Taihiap dengan sumoi Taihiap, Nona Khu Siauw Bwee."
Kam Han Ki memandang kepada pemuda tampan itu. "Hemm, siapakah engkau?"
"Suheng, dia adalah seorang.... sahabat yang telah menolongku, dia juga sute dari.... dari....
ahhh, Coa-supek....!" Siauw Bwee teringat akan supeknya dan menangis tersedu-sedu.
"Heiii.... ada apakah, Sumoi?" Han Ki bertanya.
"Khu-lihiap.... apa yang terjadi dengan Coa-suheng?"
"Dia mati terbunuh.... tentu oleh Bu-koksu! Saudara Suma Hoat, harap kau suka mengurus jenazahnya, di hutan pohon pek...."
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 514
"Suma Hoat?" Kam Han Ki berseru kaget dan memandang pemuda tampan itu.
Suma Hoat menjura ke arah Han Ki dan berkata, "Benar, Kam-taihiap. Saya adalah Suma Hoat, seorang yang.... hemmm, tidak baik dan putera dari seorang yang.... tidak baik pula."
Kam Han Ki mengerutkan alisnya. Pemuda ini adalah putera musuhnya, akan tetapi juga sute dari Coa Leng Bu yang telah menolongnya, bahkan menurut Siauw Bwee pemuda ini pernah menolong sumoinya itu, maka dia tidak dapat berkata apa-apa lagi. Dia mengalihkan perhatian, menjura kepada Pangeran Dhanu dan berkata, "Saya merasa berterima kasih atas pertolonganmu, Pangeran. Biarpun aku tidak melihat sendiri, aku dapat menduga bahwa tentu engkau yang telah menolongku dari tangan Bu-koksu."
"Ah, di antara orang sendiri perlu apa menyebut-nyebut tentang pertolongan, Taihiap"
Kebetulan sekali kami lewat di sini dan menyaksikan engkau dan Khu-lihiap ditawan Bu-koksu, maka kami turun tangan menentangnya," kata Pek-mau Seng-jin.
Kam Han Ki memandang kakek berambut putih itu dan berkata, "Agaknya semua orang telah mengenal aku, akan tetapi aku sendiri tidak mengenal orang, kecuali Pangeran Dhanu.
Siapakah Locianpwe?"
"Kam-taihiap, dia adalah Pek-mau Seng-jin, koksu kerajaan kami." Pangeran Dhanu memperkenalkan. Kam Han Ki mengangguk-angguk, memandang tajam kemudian berkata,
"Sudah lama saya mendengar nama Pek-mau Seng-jin, Koksu Negara Yucen yang terkenal."
Pek-mau Seng-jin cepat mengangkat kedua tangan ke depan sebagai penghormatan sambil berkata, "Kam-taihiap terlalu memuji! Sebaliknya kami yang telah lama mendengar nama besar Taihiap semenjak Taihiap membantu mendiang Menteri Kam yang sakti. Sayang sekali, baru sekarang kita dapat saling berjumpa. Betapa banyaknya penderitaan yang dialami oleh Taihiap dan keluarga Kam yang gagah perkasa. Betapa menyedihkan sekali nasib keluarga Kam, keluarga pendekar sakti Suling Emas yang sejak dahulu berdarah pahlawan, selalu dikecewakan oleh sikap pemerintah Sung yang makin tampak kelalimannya. Dalam
kesempatan ini, biarlah kami berlaku lancang mewakili pemerintah Yucen untuk mengundang Taihiap agar sudi membantu pemerintah kami yang lebih dapat menghargai jasa orang-orang gagah."
Kam Han Ki tersenyum pahit dan menggeleng kepala, menjawab dengan suara tenang,
"Banyak terima kasih atas perhatianmu, Pek-mau Seng-jin. Akan tetapi, apa pun yang terjadi kepadaku, dan apa pun yang telah dilakukan oleh negaraku terhadap diriku, tak mungkin menjadikan aku seorang pengkhianat bangsa dan negara."
Pek-mau Seng-jin mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang, kemudian berkata perlahan seperti kepada dirinya sendiri, "Kalau negara sudah ditakdirkan akan berkembang menjadi negara besar, kaisarnya tentu pandai menghargai orang. Akan tetapi kalau kaisarnya lalim, hanya di waktu negara terancam bahaya mengandalkan tenaga bantuan rakyat akan tetapi di waktu negara makmur sibuk menggendutkan perut sendiri dan bersikap sewenang-wenang terhadap rakyat, itulah tanda-tanda bahwa negara akan hancur. Kam-taihiap telah menderita penghinaan di waktu negara tidak membutuhkan tenaga Taihiap, sekarang, di waktu tenaga Taihiap dibutuhkan, Koksunya tidak segan-segan untuk menggunakan siasat keji untuk memperoleh tenaga bantuan Taihiap."
Dibakar dengan kata-kata demikian, Han Ki tak dapat menjawab, karena memang
demikianlah keadaannya. Biarpun dia sama sekali tidak menaruh dendam terhadap kerajaan yang pada waktu itu memegang tampuk pemerintahan, namun hatinya mendongkol juga
diingatkan akan kepincangan ketidakadilan itu.
"Pek-mau Seng-jin, apa engkau kira akan mampu mempengaruhi hati seorang gagah perkasa dengan kata-kata manis menyembunyikan racun" Kam-suheng adalah seorang laki-laki sejati, mana mungkin tunduk menghadapi bujukan palsu dari kaki tangan negara asing yang
memusuhi bangsa sendiri" Pek-mau Seng-jin, apakah engkau lupa betapa dahulu engkau telah menculik aku dan Suci Maya, kemudian engkau menghadiahkan kami dua orang anak
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 515
perempuan yang tak berdaya kepada Coa Sin Cu sehingga kami dipakai berebutan di antara orang-orang kang-ouw?" Siauw Bwee membentak.
Pek-mau Seng-jin terkejut sekali. Tentu saja dia tidak mengenal lagi Siauw Bwee yang kini telah menjadi seorang dara remaja yang telah dewasa dan jelita. Bahkan ucapan Siauw Bwee tadi pun masih belum menyadarkannya.
"Maafkan saya yang telah tua dan pandang mataku tidak tajam lagi sehingga tidak mengenal Nona. Siapakah Nona yang telah mengenal saya?"
"Pek-mau Seng-jin, lupakah engkau ketika dahulu berkunjung sebagai utusan Yucen membicarakan tentang perjodohan antara Pangeran Dhanu dan puteri Kaisar, dan pada malam hari itu engkau telah menculik dua orang anak perempuan" Seorang adalah Suci Maya puteri Raja Talibu dari Khitan, sedangkan anak ke dua ada
Dendam Iblis Seribu Wajah 19 Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Golok Halilintar 4
^