Pencarian

Istana Pulau Es 7

Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 7


Maya dan Siauw- Bwee, memandang terheran-heran dan tertawa-tawa sehingga akhirnya Maya dan Siauw Bwee
merasa suka kepada meraka. Biarpun mereka itu kelihatan tak berpakaian dan sederhana, namun mereka sama sekali tidaklah bodoh, dan juga tidak nakal. Di samping itu, semen-jak kecil anak-anak ini sudah digembleng dengan ilmu silat sehingga gerakan mereka tangkas dan tubuh mereka kuat.
Setelah daging ikan di panggang dan diberi bumbu yang sedap baunya, tiga orang tamu itu ikut makan daging ikan dan buah-buahan, minum semacam arak buatan penghuni pulau itu sendiri yang rasanya seperti sari buah. Mereka semua bersikap ramah dan wajar sehingga Maya sendiri yang biasanya rewel kini merasa senang di pulau itu. Yang amat mengherankan di antara semua keanehan pada keluarga itu adalah bahwa mereka itu tidak mempunyai nama!
Agaknya, keluarga yang terasing dari dunia ramai ini telah kehilangan kebiasaan memberi nama pada anak mereka yang baru lahir sehingga sampai tua mereka tidak, ber-nama.
Keadaan mereka yang aneh, kepandai-an mereka yang tinggi dan satu sumber dengan ilmu yang diajarkan Bu Kek Siansu membuat hati Han Ki tertarik sekali untuk membuka rahasia yang menyelimuti keadaan keluarga nelayan ini. Maka ting-gallah dia bersama kedua orang sumoinya untuk beberapa hari lamanya di pulau itu. Diam-diam ia melakukan penyelidik-an dan akhirnya ia, menduga bahwa letak rahasianya agaknya berada di daerah keramat di pulau itu. Karena ia menduga keras bahwa keluarga ini tentu masih mempunyai hubungan dengan suhunya. Han Ki bertekad bulat untuk melakukan penyelidikan ke tempat keramat itu dan agaknya hal itu akan dapat ia lakukan dengan mudah karena keluarga nelayan itu memberi kebebasan sepenuhnya ke-padanya, sedangkan Maya dan Siauw Bwee setiap hari bergembira bersama anak-anak para nelayan itu menangkap ikan di pantai pulau dan belajar renang dari anak-anak yang amat pandai bere-nang.
*** Sudah lama kita meninggalkan Tang Hauw Lam yang ditinggal pergi isterinya, yaitu Kam Kwi Lan Si Mutiara Hitam. Telah diceritakan di bagian depan betapa Mutiara Hitam, pendekar wanita yang gagah perkasa itu meninggalkan suami dan dua orang muridnya pergi menuntut balas atas kematian saudara kembarnya, yaitu Raja Talibu. Semenjak mendengar berita bahwa kakak kembarnya itu gugur dalam perang melawan tentara Mongol, hati pendekar wanita itu tidak pernah merasa tenteram lagi. Ba-yangan Raja Talibu, saudara kembarnya, selalu muncul dan menggodanya, menun-tut dibalaskan kematiannya.
Dengan hati hancur akan tetapi tak dapat menahan gelora hatinya Mutiara Hitam Kam Kwi Lan meninggalkan suami -yang dicintanya untuk melaksanakan tugasnya yang memaksa jiwanya, maka berangkatlah ia seorang diri ke Mongol untuk menuntut balas atas kematian saudara kembarnya, tugas yang dia dan suaminya tahu takkan mungkin dapat di-lakukan dengan berhasil, yaitu membunuh Raja Mongol! Sungguh sengsara rasa hati Hauw Lam ketika isterinya yang tercin-ta itu meninggalkannya. Semenjak me-nikah dengan Mutiara Hitam, Pendekar Golok Sinar Putih ini tak pernah terpisah sehari pun dari isterinya, maka Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 155
dapat dibayangkan betapa dunia ini berubah menjadi sunyi senyap, semua kegembiraan lenyap dari hatinya ketika Mutiara Hitam pergi dan dia terpaksa menanti dengan hati gelisah di Gunung Merak di daerah Khitan, bersama dua orang muridnya. Pendekar yang di waktu mudanya terke-nal sebagai seorang yang selalu gembira dan jenaka ini kehilangan gairah hidupnya seperti matahari tertutup awan gelap. Dia kini berubah menjadi seorang pendiam dan murung, bahkan keras terhadap dua orang muridnya yang ia paksa untuk tekun
mempelajari ilmu-ilmu dari kitab-kitab peninggalan isterinya.
Berbulan-bulan ia menunggu dan di lubuk hatinya, Tang Hauw Lam maklum bahwa lebih tepat kelau dikatakan bahwa dia menunggu berita kematian isterinya daripada menunggu kembalinya isterinya yang dicintainya itu. Siapakah seorang yang akan mampu membunuh seorang raja, apalagi Raja Mongol yang pada waktu itu sedang kuat-kuatnya"
Gunung Merak merupakan bukit kecil, dan, tanah kuburan Raja-raja Khitan ber-ada di lereng bukit itu. Tang Hauw Lam memilih tempat tinggal tidak jauh dari arah kuburan, sesuai dengan pesan isteri-nya. Jenazah Talibu dan isterinya pun oleh Pangilma Khitan yang setia, sempat diselamatkan dan dimakamkan di tempat itu pula. Pendekar ini membangun sebuah pondok kecil di sebelah atas tanah ku-buran, dan hidup sebagai pertapa di tem-pat itu bersama dua orang muridnya.
Kurang lebih lima bulan kemudian, pada suatu pagi ketika Tang Hauw Lam sedang duduk bersamadhi, dia disadarkan teriakan dua orang muridnya.
"Suhu! Ada orang membongkar kubur-an!" '
Tang Hauw Lam membuka matanya yang klni tampak sayu dan muram. Wa-jahnya kurus
sekali karena pendekar ini jarang sekali makan. Berita yang menge-jutkan itu diterimanya dengan tenang.
"Ceritakan yang betul, apa yang ter-ladi, katanya kepada dua orang murid-nya yang sudah berlutut di depannya.
"Teecu dan Sumoi pergi ke kuburan untuk bermain-main dan berlatih. Di sana sudah terdapat seorang laki-laki bongkok yang menakutkan. Dia sedang menggali tanah kuburan. Ketika teecu menegurnya dan bertanya ia membentak teecu ber-dua dan mengusir," kata Can Ji Kun.
"Dia pasti orang jahat, Suhu. Mukanya menakutkan dan dia galak sekali, meng-usir teecu seperti anjing saja!" Ok Yan Hwa menyambung dengan suara penuh kemarahan.
Tang Hauw Lam maklum akan kena-kalan kedua orang muridnya, maka ia bertanya sambil memandang tajam. "Apa-kah kalian tidak bersikap kurang ajar kepadanya" Apakah dia tidak memberi-tahukan nama dan apa keperluannya menggali tanah kuburan?"
Melihat sinar mata gurunya penuh se-lidik, Can Ji Kun tidak berani membo-hong lalu menceritakan dengan jelas apa yang telah ia alami bersama sumoinya. Mereka melihat seorang laki-laki bongkok menggali tanah kuburan menggunakan se-buah cangkul. Karena mereka menduga bahwa orang itu tentu tidak berniat baik terhadap kuburan keluarga Raja Khitan yang juga menjadi kuburan keluarga subo mereka itu, dengan marah Ok Yan Hwa meloncat ke dekat laki-laki bongkok itu sambil membentak.
"Haii! Engkau tentu maling yang hen-dak merampok isi kuburan!"
"Mau apa kau membongkar tanah kuburan" Siapa engkau?" Can Ji Kun juga membentak
marah. Laki-laki bongkok itu menunda peker-jaannya menggali tanah, menoleh dan memandang mereka dengan mata ter-heran karena sesungguhnya dia tidak mengira akan bertemu dengan dua orang anak-anak di tempat sunyi itu, kemudian berkata nyaring.
"Kalian anak-anak tahu apa" Pergilah bermain di tempat lain, jangan di tempat keramat ini!"
Dan dia melanjutkan peker-jaannys menggali, tanah. Setiap kali cangkulnya menghunjam tanah, sebongkah tanah yang besar terangkat dan ternyata tenaga laki-laki itu besar sekali.
Akan tetapi dua orang anak yang seperti dua ekor anak harimau itu tidak melihat kenyataan ini dan Can Ji Kun memben-tak,
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 156
"Maling kurang ajar, pergilah!" Ia lalu menerjang dengan pukulan tangan kanannya ke arah punggung yang bongkok
"Dukk!" Pukulan Can Ji Kun yang baru berusia sebelas tahun itu amat ke-ras karena dia terlatih semenjak kecil. Akan tetapi akibat pukulan itu membuat dia terjengkang dan roboh bergulingan, tangannya terasa nyeri.
Melihat suhengnya roboh, Ok Yan Hwa membentak keras, Maling hina! Berani kau
merobohkan suhengku?" anak perempuan ini menerjang pula dengan pukulan tangan miring ke arah tengkuk Si laki-laki Bongkok yang masih terus menggali tanah tanpa mempedulikan me-reka.
"Plakk! Aduh....!" Seperti halnya Can Ji Kun, begitu tangannya mengenai tengkuk laki-laki itu, Ok Yan Hwa ter-pelanting dan memegang tangannya yang terasa panas dan nyeri.
Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa yang merasa kesakitan tangannya itu masih- belum kapok, bahkan kini keduanya mengambil sebuah batu besar dan ber-bareng menyerang laki-laki itu dengan batu di tangan.
"Hemm.... anak-anak nakal!" Laki-laki itu membalik dan sekali tangkap ia telah merampas dua buah batu itu, kemudian meremas dengan tangan dan dua buah batu itu hancur lebur.
Melihat ini, Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa menjadi pucat, kemudian membalikkan tubuh dan lari untuk melapor kepada suhu mereka.
"Demikianlah, Suhu. Teecu lalu lari ke sini. Orang itu jahat dan lihai sekali!"
"Agaknya dia bukan manusia, Suhu. Mungkin setan! Kalau manusia, perlu apa membongkar kuburan?" kata Ok Yan Hwa.
Hati Tang Hauw Lam tertarik sekali. Kelau ada orang kuat menahan pukulan muridnya yang masih kecil, bukanlah hal yang mengherankan. Juga meremas hancur batu-batu itu bukan hal aneh. Dalam keadaan biasa, tentu ia akan menegur dua orang muridnya yang dianggapnya lancang. Akan tetapi laki-laki bongkok itu membongkar tanah ku-buran keluarga Raja Khitan!
Hal ini amat mencurigakan, maka ia bangkit berdiri dan berkata,
"Akan kutemui dia, akan tetapi kalian hanya boleh menonton saja, jangan se-kali-kali lancang mencampuri." Dua orang murid itu lalu mengikuti guru mereka sambil berjalan
membusungkan dada. Kini Si Bongkok itu akan tahu rasa, pikir mereka karena hati mereka sakit kalau memikirkan kekalahan mereka tadi.
Ketika Tang Hauw Lam tiba di tanah kuburan itu, laki-laki bongkok masih menggali tanah sehingga legalah hati pendekar ini karena ternyata bahwa dua orang muridnya itu tidak membohong. Akan tetapi dia juga lega melihat bahwa laki-laki itu sama sekali bukan membongkar kuburan karena yang digalinya adalah tanah kosong, sungguhpun tidak jaun dari kuburan raja Khitan. Ia mem-perhatikan orang itu. Seorang laki-laki yang bongkok berpunuk, pakaiannya se-derhana seperti pakaian pelayan, wajah-nya buruk dan kelihatan berduka. Di atas tanah, tak jauh dari makam Raja Khitan, tampak dua buah guci perak tempat abu jenazah.
Makin tertarik hati Tang Hauw Lam dan ia pun merasa kurang senang karena jelas agaknya bahwa orang ini sedang menggali tanah untuk mengubur abu jenazah. Hal ini dianggapnya amat lancang. Mana mungkin abu jenazah sem-barang orang dimakamkan di tanah ku-buran keluarga Raja Khitan"
"Sobat, apa yang kaulakukan di sini?" Ia menegur.
Si Bongkok itu kembali menunda pekerjaannya dan menoleh dengan alis ber-kerut. Agaknya ia tidak senang sekali pekerjaannya yang dilakukan dengan tekun itu selalu terganggu. Akan tetapi ketika melihat seorang laki-laki setengah tua yang tampan dan gagah biarpun ku-rus dan agak pucat, ia menghentikan pekerjaannya, membalikkan tubuh dan berdiri menghadapi Tang Hauw Lam. Setelah memperhatikan Hauw Lam dan merasa yakin tidak pernah bertemu dengan laki--laki gagah itu, Ia menjawab singkat.
"Kalau engkau suhu dari dua orang anak nakal tadi, lebih baik engkau pergi dan nasihati murid-muridmu agar jangan mencari urusan orang lain. Apa yang kulakukan di sini adalah Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 157
urusanku dan tiada sangkut pautnya denganmu. Pergi-lah, aku sedang sibuk!"
Tang Hauw Lam mengerutkan kening-nya. Orang ini jelas bukan orang Khitan, melainkan bersuku bangsa Han yang sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan keluarga Raja Khitan. Jawaban orang ini ketus dan tidak ramah, bahkan meman-dang rendah kepadanya.
"Kalau begitu, aku pun tidak mau tahu siapa yang kau kubur di sini, akan tetapi yang sudah jelas, engkau tidak boleh mengubur abu jenazah di tempat ini!"
Orang bongkok itu memandang Tang Hauw Lam dengan alis berkerut dan mata bersinar penuh kemarahan. "Hemm.... siapa yang melarangnya?"
"Aku yang melarangnya!" Hauw Lam berkata tegas.
Si Bongkok menjadi semakin marah, berdiri dan menantang. "Kalau aku tetap hendak mengubur abu jenazah di sini, engikau mau apa?"
Tang Hauw Lam juga menjadi marah sekali. "Akan kuusir engkau dari sini dengan
kekerasan!"
"Hemm, kaukira akan gampang saja" Cobalah!"
Kalau isterinya berada di sampingnya, belum tentu Hauw Lam akan suka mela-yani Si Bongkok ini dengan kekerasan dan tentu ia akan lebih mengandalkan kepandaian bicara.
Akan tetapi semenjak isterinya pergi, ia pemurung dan pema-rah. Maka kini menyaksikan sikap yang menantang dan sama sekali tidak memandangnya, amat merendahkan, dia tidak dapat menahan kesabarannya dan membentak "Manusia sombong! Pergilah!" Sambil
membentak demikian, ia mener-jang maju dan menggunakan tangan ka-nannya untuk
mendorong. Bukan sembarang dorongan karena itu adalah pukul-an Pek-kong-ciang yang amat ampuh, dan kuat, mengandung tenaga sin-kang yang dapat merobohkan lawan dari jarak jauh.
Si Bangkok itu membuat gerakan menangkis dengan tangannya, bahkan meloncat maju pula sehingga kedua lengan mereka bertemu dengan kuatnya. "Desss....!"
"Ahhh....!" Keduanya meloncat mundur dengan kaget ketika merasa betapa le-ngan mereka tergetar hebat tanda bahwa tenaga lawan amat kuatnya. Yang lebih kaget adalah Hauw Lam.
Pada waktu itu, ilmu kepandaiannya telah meningkat he-bat karena selama perantauannya dengan isterinya ke negeri barat, ia telah mem-peroleh pengalaman dan penambahan ilmu-ilmu silat yang hebat, juga tenaga sin-kangnya bertambah kuat sehingga untuk masa itu, jarang ada orang kang-ouw yang mampu menandingi Pek-kong-to Tang Hauw Lam suami
Mutiara Hitam ini. Akan tetapi, dalam pertemuan te-naga sakti tadi, Hauw Lam merasa betapa tangan Si Bongkok itu amat kuatnya dan mengandung tenaga mujijat, tenaga sin-kang yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali! Bagaimana seorang yang hanya berpakaian pelayan dapat memiliki ke pandaian sehebat ini" Di lain pihak, Si Bongkok itu pun agaknya terkejut sekali, dan baru tahu bahwa orang yang dilawan-nya bukanlah orang sembarangan sehingga ia mulai memandang penuh perhatian. Karena maklum bahwa orang ini tentulah seorang
pendekar yang berilmu tinggi, maka timbul kekhawatiran di hatinya kalau-kalau dia salah tangan dan salah duga. Orang yang berkepandaian sehebat itu tidak mungkin hanya
menghalanginya karena sebab yang remeh seperti menga-lahkan dua orang muridnya. tadi.
"Orang gagah, ketahuilah bahwa aku Gu Toan hanya melakukan tugas hidupku dan aku akan mengubur abu jenazah ma-jikanku di sini dengan taruhan nyawa. Siapapun juga tidak boleh menghalangi dikuburnya abu jenazah ini di sini!" De-ngan ucapan ini, Si Bongkok itu agaknya hendak minta maaf dan mengajukan alas-an mengapa dia bersikeras hendak
me-ngubur abu jenazah di situ.
Tang Hauw Lam belum pernah men-dengar nama Gu Toan. Setelah diingat-ingat dan merasa yakin bahwa dia belum pernah mengenal orang ini, dia pun men-jawab.
"Dan aku pun mempertaruhkan nya-waku untuk menjaga kebersihan tanah kuburan ini dari gangguan siapapun juga. Tidak boleh sembarang jenazah atau abunya dikuburkan di tempat Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 158
ini!" Gu Toan tercengang dan penasaran, lalu bertanya. "Bolehkan aku mengetahui siapakah Sicu ini" Dan hak apa yang Sicu miliki untuk mempertahankan tanah kuburan ini?"
"Aku adalah Pek-kong-to Tang Hauw Lam. Tanah kuburan ini adalah kuburan keluarga isteriku, bahkan Raja Talibu yang dimakamkan di sini adalah saudara iparku!"
Gu Toan terbelalak memandang ragu-ragu dan bertanya gugup, "Mutiara
Hitam....?"
Hauw Lam mengangguk. "Isteriku!"
Tiba-tiba terjadi hal yang membuat Tang Hauw Lam terkejut dan terheran-heran, demikian pula kedua orang murid-nya karena di luar dugaannya sama se-kali, Si Bongkok itu menjatuhkan diri berlutut di depannya sambil menangis! Gu Toan menangis sesenggukan, mengambil sebuah di antara dua guci terisi abu jenazah, memeluknya dan berkata ter-isak-isak.
"Hamba Gu Toan mohon ampun.... harap Tang-taihiap ketahui.... ini.... abu jenazah dari....
majikan hamba.... men-diang Menteri Kam Liong....!"
Wajah Hauw Lam menjadi pucat se-ketika dan matanya terbelalak meman-dang ke arah guci terisi abu jenazah. "Apa" Kanda, Kam Liong.... mati...." Benarkah....?"
"Hamba adalah pelayan beliau. Beliau tewas karena dikeroyok para panglima kerajaan.... dan yang satu itu abu jenazah Panglima Khu Tek San, murid -majikan hamba .... mereka tewas dalam menolong adik beliau, Kam Han Ki-taihiap...."
"Ahhh....!" Tang Hauw Lam menjatuh-kan diri berlutut, menyentuh guci itu dan berkata lirih,
"Tidak dinyana.... Kam Liong Twako....!"
Sambil berlutut, Gu Toan lalu men-ceritakan semua peristiwa yang menimpa keluarga majikannya. Menceritakan pula betapa pada saat terakhir, Kam Han Ki, Maya dan Khu Siauw Bwee tertolong oleh Bu Kek Siansu dan dia berhasil pula membawa pergi jenazah Kam Liong dan muridnya, menyelamatkan pula kitab--kitab dan senjata, kemudian membakar jenazah Kam Liong dan Khu Tek San dan membawa abu jenazah ke tempat itu untuk dikubur sesuai dengan pesan Bu Kek Siansu. Tang Hauw Lam mendengar-kan penuturan itu dengan penuh keharu-an. Hatinya berduka bukan main, makin tersayat rasa hatinya kalau mengenang-kan nasib keluarga isterinya. Raja Talibu saudara kembar isterinya, tewas dan ter-basmi seluruh keluarga berikut kerajaan-nya. Kini Menteri Kam Liong, saudara tertua isterinya, tewas dalam keadaan begitu rendah, sebagai pemberontak, padahal tadinya Menteri Kam terkenal sebagai seorang menteri yang amat setia! Mengapa begitu buruk nasib keturunan Suling Emas pendekar perkasa yang menjadi ayah mertuanya!Dan sekarang, isterinya juga belum diketahui nasibnya !
"Aihhh. Gu Toan.... engkau seorang yang amat setia. Terima kasih atas se-mua pembelaanmu, dan kaumaafkanlah aku dan murid-muridku. Gu Toan, aku pun sedang menanti berita tentang is-teriku...." Karena tidak menganggap Gu Toan si bongkok sebagai pelayan biasa, maka tanpa ragu-ragu lagi Tang Hauw Lam menceritakan keperglan isterinya. Mendengar ini, Gu Toan terkejut dan ikut prihatin. Kemudian, Tang Hauw Lam membantu Gu Toan menggali lubang kuburan untuk mengubur abu jenazah Kam Liong dan Khu Tek San sebagaimana
mestinya, bahkan dengan penuh khid-mat dia bersama muridnya menyembah-yangi kuburan baru itu.
Dua hari kemudian, selagi Tang Hauw Lam, kedua orang muridnya dan Gu Toan yang
bergabung menunggu kuburan Kam Liong, datanglah serombongan pasukan yang didahului dengan bunyi terompet dan tambur. Hauw Lam dan Gu Toan terkejut dan sudah siap-siap.
Tang Hauw Lam yang khawatir akan datang bahaya. Lalu menyuruh kedua orang muridnya untuk bersembunyi di belakangnya dan memesan agar jangan sembarangan bicara atau bergerak.
Tak lama kemudian muncullah serom-bongan pasukan terdiri dari lima puluh orang yang Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 159
berkuda, sikap mereka gagah perkasa dan pakaian perang mereka gemerlap ditimpa matahari pagi. Komandan pasukan itu bertubuh tinggi besar seperti raksasa, mukanya penuh cambang bauk dan sikapnya gagah sekali, sebatang golok besar targantung di pinggang, dan kuda yang ditungganginya juga kuda putih yang tinggi besar.
Ketika komandan pasukan ini tiba di dekat kuburan dan melihat Tang Hauw Lam bersama Gu Toan berdiri dengan sikap tenang namun siap waspada, ia mengangkat tangan memberi isyarat agar pasukannya berhenti. Kemudian terdengar suaranya yang nyaring bertanya, ditujukan kepada Gu Toan dan Hauw Lam.
"Kami adalah pasukan Mongol yang jaya, sengaja datang ke tanah kuburan keluarga Khitan untuk mencari seorang yang bernama Tang Hauw Lam Pek-kong-to!"
Jantung Tang Hauw Lam berdebar keras dan ia meloncat ke depan, wajahnya berubah ketika ia berkata, "Akulah Pek-kong-to Tang Hauw Lam! Ada keper-luan apakah pasukan Mongol mencari aku?"
Semua anak buah pasukan memandang ke arah Hauw Lam, dari kamandan itu lalu memberi hormat secara militer, kemudian berkata dengan sikap hormat, "Kami melaksanakan perintah raja kami untuk pertama-tama menyampaikan salam dan hormat raja kami yang setinggi-tingginya kepada pendekar Tang Hauw Lam, disertai pujian bahwa Tang-taihiap adalah seorang yang amat bahagia dapat menjadi suami seorang pendekar wanita per-kasa seperti Mutiara Hitam!"
Hati pendekar itu makin berdebar. Apakah artinya ini" Bukankah isterinya menuju ke Mongol dengan maksud mem-bunuh Raja Mongol" Apakah yang telah terjadi" Karena dia memang selalu ber-khawatir akan nasib isterinya, maka dia tidak dapat menahan kesabarannya lagi dan berteriak,
"Apa yang terjadi dengan isteriku" Lekas katakan dan jangan memutar-mu-tar omongan! Di mana Mutiara Hitam dan apa yang telah terjadi?"
"Kami hanya utusan yang menyampaikan perintah langsung dari raja kami. Setelah
menyampaikan salam dan hormat, kami bertugas menyerahkan ini kepada Taihiap!"
Panglima Mongol itu mengambil se-buah bungkusan sutera kuning dari tangan seorang pembantunya, melompat turun dari kudanya dengan sigap kemudian dengan penuh hormat dan membungkuk, menyerahkan bungkusan sutera kuning itu kepada Hauw Lam. Dengan
kedua tangan agak gemetar dan jantung berdebar te-gang Hauw Lam menerima bungkusan itu tanpa berkata apa-apa, kemudian menurunkan bungkusan dan hendak membuka-nya.
"Tang-taihiap, kami telah melaksana-kan tugas dengan baik. Kami mohon diri hendak kembali ke Mongol."
"Tunggu dulu!" Hauw Lam tidak me-lanjutkan niatnya membuka bungkusan, melompat
berdiri dan berkata, "Ceritakan dulu, apa yang terjadi dengan isteriku!"
"Tang-taihiap, kami tidak berhak bi-cara. Raja kami hanya mengutus seperti yang telah kami lakukan, dan Taihiap tentu akan mengerti kesemuanya setelah membaca surat dari raja kami yang ber-ada di dalam bungkusan. Selamat ting-gal!" Panglima itu meloncat ke atas kudanya, memberi aba-aba dan pasukan itu bergerak cepat, kuda mereka mem-bentuk barisan yang rapi dan ketika pa-sukan bergerak pergi, tampak debu me-ngebul tinggi menutupi barisan yang per-gi dengan cepatnya.
Tang Hauw Lam masih berdiri ter-mangu-mangu ketika Gu Toan berkata halus, "Tai-hiap, hidup memang banyak penderitaan, akan tetapi kalau kita kuat menghadapinya, penderitaan merupakan pengalaman hidup yang amat berguna."
Tang Hauw Lam membalikkan tubuh-nya, berlutut menghadapi bungkusan su-tera kuning, hampir tidak berani mem-buka bungkusan itu. Ia mengheningkan cipta, memusatkan panca indera dan memperkuat hatinya dengan hawa murni, kemudian setelah hatinya tenang, dengan jari-jari yang tak bergetar lagi ia mulai membuka bungkusan kain kuning, Can Ji Kun dan Ok Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 160
Yan Hwa telah mendekati suhu mereka dan berlutut di sebelah kiri orang tua itu tanpa berani mengeluarkan suara, namun hati mereka ingin sekali tahu apa isi bungkusan yang dikirim oleh Raja Mongol dengan begitu menghormat kepada suhu mereka. Juga Gu Toan diam-diam memandang penuh perhatian, dengan wajah penuh iba terhadap Tang Hauw Lam, karena dia sudah dapat men-duga apa yang telah terjadi atas diri Mutiara Hitam.
Suasana amat menegangkan ketika Tang Hauw Lam mulai membuka tali su-tera yang
mengikat bungkusan. Suara berkereseknya tali sutera yang dibuka sampai terdengar oleh tiga orang yang mengikuti gerakan jari tangan itu dengan seksama. Akhirnya bungkusan itu terbuka dan tampaklah isinya yang mereka tung-gu-tunggu dan duga-duga. Ternyata bah-wa bungkusan itu berisi sebuah tempayan dari emas terukir indah sekali, tutupnya dihias dengan batu permata, sesampul surat yang megah dan dicap Kerajaan Mongol, dan.... setumpuk pakaian dan perhiasan yang amat dikenal karena itu adalah pakaian dan perhiasan yang dipa-kai Mutiara Hitam ketika pergi, berikut sebatang pedang kayu, yaitu Siang-bhok-kiam, pedang Mutiara Hitam!
Betapapun kuat Tang Hauw Lam mempersiapkan hatinya, namun tangannya menggigil ketika ia membuka tutup tem-payan dan melihat abu jenazah yang memang telah ia perkirakan semula, dan terdengar keluhnya, "Lan-moi.... isteri-ku....!" Ia menyambar pakaian Mutiara Hitam, mencengkeram pakaian itu dan menutupi mukanya dengan pakaian isterinya, lalu menubruk dan memeluk tem-payan itu, tak tertahan lagi ia terisak-isak sambil memejamkan mata, menggigit bibir sendiri sampai berdarah. Isterinya tercinta telah tewas! Gagal dalam usaha-nya dan mengorbankan nyawa, kini pa-kaian dan abu jenazahnya dikirim kem-bali oleh Raja Mongol.
"Kwi Lan....!" Ia mengeluh lagi dan mengerahkan seluruh tenaga batinnya agar kedukaan tidak menggelapkan kesa-darannya.
"Subo....!" Can Ji Kun berseru sambil menangis.
"Subo....!" Ok Yan Hwa menjerit, kemudian meloncat berdiri dan berteriak, "Keparat orang-orang Mongol! Aku akan membalas dendam!"
"Aku juga!" Can Ji Kun juga melon-cat berdiri dan kedua orang anak itu lalu hendak mengejar, rombongan pasukan Mongol.
"Ji Kun,, Yan Hwa! Berhenti....!" Tang Hauw Lam membentak, tangannya ber-gerak ke depan dan dua orang muridnya itu terpelanting roboh. "Apa yang hendak kalian lakukan?"
Kedua orang anak itu merangkak meng-hampiri suhu mereka, berlutut sambil menangis sesenggukan. "Subo telah mereka bunuh....!" Ok Yan Hwa menge-luh sambil menangis.
"Subomu gagal, namun tewas sebagai seorang gagah yang mendapat kehormat-an besar dari Raja Mongol, dari musuh-nya sendiri. Kalian patut berbangga karenanya!" Kelemahan dua orang muridnya itu membangkitkan semangat Hauw Lam, dan dengan wajah pucat, pipi basah air mata namun sikapnya telah menjadi tenang, mulailah pendekar ini membuka sampul surat dan membaca isinya. Bibirnya ber-gerak-gerak, air matanya menetes-netes ketika ia membaca surat Raja Mongol itu. Surat yang menceritakan usaha is-terinya membalas dendam kematian Raja Talibu, menceritakan penuh kekaguman dan pujian atas kegagahan Mutiara Hitam, yang seorang diri menyerbu Mongol, mengamuk dan menghadapi pengeroyokan
ratusan orang tentara Mongol dengan gagah perkasa, membunuhi ratusan orang perajurit Raja Mongol yang menyambut-nya seperti seekor naga sakti mengamuk, dan hanya karena
kehabisan tenaga saja akhirnya Mutiara Hitam dapat dirobohkan dan tewas dengan pedang masih di tangan!
"Kami amat kagum dan terharu menyaksikan kegagahan pendekar wanita Mutiara Hitam,"
demikian penutup surat yang panjang lebar itu. "Tak dapat kami menganggap orang segagah itu sebagai musuh, bahkan kami jadikan contoh untuk para panglima kami. Sayang bahwa dia mencampur-adukkan urusan perang de-ngan perasaan pribadi. Kami memperabu-kan
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 161
jenazahnya dengan upacara kebesaran dan penuh hormat, dan kami mengirim salam dan hormat kepada Pek-kong-to Tang Hauw Lam yang beruntung sekali dapat menjadi suami seorang wanita sakti yang demikian gagah perkasa."
"Kwi Lan....!" Ucapan Tang Hauw Lam terdengar sayu dan wajahnya men-jadi layu seperti tanaman kekeringan, sinar matanya suram-muram dan tanpa banyak cakap lagi Tang Hauw Lam lalu menggali tanah, dibantu oleh dua orang muridnya yang menangis terus, dan oleh Gu Toan yang berkali kali menarik napas panjang dan menggeleng kepala. Pengu-buran abu jenazah Mutiara Hitam dilaku-kan dengan khidmat, dan sampai satu bulan lamanya. Tang Hauw Lam berka-bung di dekat kuburan isterinya.
Setelah lewat sebulan, dia menyerah-kan tempayan emas dan pedang Siang-bhok-kiam kepada Gu Toan sambil ber-kata, "Gu Toan, engkaulah satu-satunya orang yang tepat menjadi penjaga kubur-an keluarga ini dan karena pusaka-pusaka peninggalan Menteri Kam Liong berada di tanganmu, maka kuserahkan semua ini kepadamu untuk disimpan menjadi satu sebagai benda-benda pusaka keluarga keturunan Suling Emas. Jagalah tanah kuburan ini baik-baik, aku hendak pergi bersama dua orang muridku."
"Jangan khawatir, Tai-hiap. Satu-satu-nya kewajiban hidupku sekarang adalah menjaga tanah kuburan ini, akan hamba jaga sampai mati. Selama hamba masih hidup, tidak akan ada seorang pun yang dapat mengganggu kuburan atau benda-benda keramat, pusaka
peninggalan keluarga majikan hamba."
"Engkau seorang yang bahagia sekali, Gu Toan. Kesetiaan yang merupakan tugas dan dapat dilaksanakan dengan baik merupakan kebahagiaan besar. Selamat tinggal, Gu Toan."
"Selamat jalan, Tang-taihiap. Maafkan kalau hamba lancang memberi nasihat kepada Taihiap, hanya ingin hamba memperingatkan bahwa bukan hanya hamba yang mempunyai tugas hidup, melainkan juga Tai-hiap mempunyai tugas suci, yaitu mendidik kedua orang murid Tai-hiap."
Kedua mata pendekar itu menjadi basah. Teringat ia akan pesan ter-akhir isterinya ketika hendak pergi. Masih berkumandang di telinganya pesan terakhir isterinya, ".... andaikata aku tewas dalam tugas pribadiku ini, kaupimpinlah baik-baik kedua orang murid kita, dan aku akan selalu menantimu dengan setia di pintu gerbang akhirat, suamiku."
Biarpun dua titik air mata membasahi bulu matanya, Tang Hauw Lam memaksa diri
tersenyum penuh syukur kepada Gu Toan, mengangguk dan berkata, "Terima kasih, Gu Toan.
Aku akan melakukan tugasku sebaik mungkin, karena aku ya-kin bahwa kebahagiaan
menantiku di pintu gerbang akhirat. Selamat tinggal!" Sambil menggandeng tangan kedua murid-nya. Tang Hauw Lam berkelebat lenyap dari situ, diikuti pandang mata Si Bongkok yang mengangguk-angguk dan meng-hela napas panjang.
*** Berlindung di bawah cuaca senja yang suram, tubuh Han Ki berkelebat naik ke bukit karang dan menyelinap di antara batu-batu karang, menghampiri guha besar yang dianggap tempat keramat oleh penduduk Pulau Nelayan. Setelah tiga hari tinggal di pulau itu, akhirnya pada senja hari ini ia dapat menyelundup ke tempat keramat dan terlarang itu. Tidak ada seorang pun mengetahui akan perbuatannya ini, bahkan Maya dan Siauw Bwee juga tidak mengetahui.
Dia ingin menyelidiki tempat keramat itu karena ia menduga bahwa tentu kunci rahasia keadaan para penghuni Pulau Nelayan yang penuh rahasia dan tentu ada hu-bungannya dengan Bu Kek Siansu, akan dapat ia temukan di dalam guha keramat terlarang itu.
Biarpun kepandaiannya sudah menca-pai tingkat tinggi, namun Han Ki berlaku hati-hati sekali. Seluruh penghuni Pulau Nelayan yang hidupnya amat sederhana itu memiliki kepandaian hebat sehingga kalau dia tidak hati-hati tentu akan ter-lihat oleh mereka. Dia tidak takut keta-huan, hanya tidak ingin dia menyinggung hati orang-orang yang bodoh akan tetapi amat ramah itu, tidak mau menyakiti hati pihak tuan rumah yang bersikap baik kepadanya.
Kakek yang menjadi orang tertua itu sudah berpesan agar dia ja-ngan melanggar daerah Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 162
terlarang itu, kalau sampai dia ketahuan mendatangi tempat itu, bukankah ia akan merasa malu sekali"
Guha itu sudah mulai gelap, akan tetapi dia sudah mempersiapkan lilin yang dibuatnya dari lemak ikan. Setelah memasuki guha itu, Han Ki menyalakan lilin dan mulailah ia dengan penyelidik-annya. Guha itu ternyata cukup besar dan tepat seperti dugaannya, gua itu merupakan terowongan. Ia masuk terus dan betapa girang hatinya ketika ia melihat sebuah ruangan seperti kamar yang keadaannya sudah rusak dan dinding ba-tunya banyak yang longsor. Akan tetapi di sudut kamar ia melihat sebuah peti hitam. Peti yang amat tua, sebagian tertimbun batu dan tanah. Dibukanya peti itu dan isinya adalah kitab yang sudah amat tua, sebagian sudah lapuk. Han Ki mengambil sebuah kitab yang ditulis dengan huruf-huruf indah, lalu menaruh lilin di atas peti dan mulai membuka-buka kitab.
"Inilah yang kucari!" serunya girang. Ia duduk di atas lantai batu dekat peti dan mulai membaca. Huruf-huruf itu ada-lah huruf yang sudah agak kuno, akan tetapi Han Ki dapat membacanya dan menangkap artinya. Memang benar seruan-nya tadi. Kitab itu adalah kitab catatan yang menceritakan keadaan nenek moyang penghuni. Pulau Nelayan. Agaknya kitab-kitab itu tidak ada gunanya bagi para penghuni di situ karena tiada seorang pun di antara mereka dapat membaca.
Dengan penuh perhatian Han Ki membaca isi kitab yang ditulis rapi dan indah itu. Dan ia menjadi kaget sekali, juga girang karena ternyata dugaannya tidak keliru bahwa penghuni Pulau Nela-yan itu masih mempunyai hubungan dengan Bu Kek Siansu! Kiranya mereka itu adalah keturunan orang-orang yang mengungsi dari Pulau Es di jaman dahu-lu. Juga di dalam kitab itu dituturkan sejelasnya tentang kerajaan kecil di Pu-lau Es, yaitu raja sakti seperti dewa yang menjadi nenek moyang gurunya Bu Kek Siansu.
Menurut catatan dalam kitab itu, di jaman dahulu, ratusan tahun yang lalu, seorang pangeran pelarian dari daratan bersama keluarganya menduduki Pulau Es dan membangun sebuah istana di situ. Pangeran ini amat sakti dan bersama para pengikutnya ia tinggal di Pulau Es sebagai seorang raja kecil. Mereka hidup aman tenteram dan penuh kebahagiaan di pulau itu, para pengikutnya membentuk keluarga-keluarga yang hidup aman dan tidak kekurangan sesuatu. Karena kesak-tian raja ini, tidak ada golongan atau kerajaan lain yang berani mengganggu Pulau Es dan sekitarnya. Raja ini tinggal di Pulau Es turun-temurun dan ilmu ke-pandaiannya pun menjadi ilmu warisan yang turun-temurun dipelajari anak cucu-nya.
Akan tetapi, pada waktu keturunan ke empat berkuasa menjadi raja dan keluar-ga di Pulau Es sudah mulai berkembang, terjadilah malapetaka yang amat dahsyat di pulau itu. Badai taufan mengamuk, tak tertahankan oleh manusia yang ba-gaimana kuat pun, menyapu habis Pulau Es berikut semua penghuninya! Seluruh keluarga raja dan para pengikutnya yang berada di pulau itu habis dan terbasmi semua! Hanya beberapa orang yang kebe-tulan sedang tidak berada di pulau, yaitu yang sedang berlayar menangkap ikan, mereka inilah yang tidak terbasmi habis.
Perahu-perahu mereka pun diamuk badai, dan sebagian besar di antara mereka pun lenyap ditelan badai, akan tetapi ada belasan orang, tujuh laki-laki dan lima wanita, dilemparkan badai sehingga pera-hu mereka terdampar di sebuah pulau kosong. Dua belas orang inilah yang menjadi nenek moyang para penghuni Pulau Nelayan! Di antara mereka itu terdapat seorang yang berkepandaian tinggi, yang telah menerima pelajaran ilmu silat tinggi dari keluarga raja, maka tidaklah mengherankan apabila ilmunya itu ia wariskan kepada anak cucunya sehingga sampai sekarang para penghuni Pulau Nelayan itu memiliki ilmu
kepan-daian tinggi! Mungkin karena makin lama makin tidak membutuhkan, makin
lenyap-lah pengetahuan baca tulis, bahkan pa-kaian serta watak mereka menjadi seder-hana sekali sungguhpun ilmu silat mereka amat lihai!
Han Ki tertarik sekali. Mengertilah ia kini bahwa memang ada hubungan antara para penghuni pulau ini dengan gurunya, hanya bedanya, kalau para penghuni pulau ini adalah keturunan para pengungsi yang terlepas dari bencana maut itu, adalah Bu Kek Siansu Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 163
merupakan satu-satunya keturunan keluarga raja yang terbebas dari maut.
Mendadak terdengar suara gerengan aneh dan Han Ki cepat meloncat sambil mengelak ketika ada angin menyambar ke arah kepalannya. Sebuah tangan berkuku panjang mencengkeram ke arah kepalanya dengan kecepatan yang me-ngerikan. Han Ki berhasil mengelak, akan tetapi sebuah tangan lain mencengkeram dada. Kembali ia mengelak dan tiba-tiba dua buah kaki menendangnya secara berbareng. Serangan bertubi-tubi itu amat cepat datangnya, cepat dan juga kuat sekali dibarengi suara menggereng seperti binatang buas. Han Ki tersedak dan meloncat mundur, kakinya tanpa di-sengaja menyentuh peti sehingga terguling.
Ketika ia menoleh ke arah penyerangnya, ia berseru kaget dan mencabut pedang.
Penyerangnya adalah manusia bertubuh satu berkepala dua, berkaki empat dan berlengan empat! Dan kini orang aneh itu menyerang lagi dengan amat hebatnya. Han Ki cepat mengelak dan mengelebatkan pedangnya untuk menangkis dan menakut-nakuti. "Trik-cringgg....!"
"Ayaaa....!" Han Ki makin terkejut. Sentilan kuku panjang kepada pedangnya membuat seluruh lengan kanannya seperti lumpuh dan hampir saja ia melepaskan pedangnya. Orang itu menubruk dan kembali Han Ki mengelak dan melindungi tubuhnya dengan sinar pedang.
Kini, di antara serangan bertubi-tubi yang benar-benar membuatnya repot dan terdesak, Han Ki dapat melihat bahwa yang menyerangnya itu adalah dua orang. Dua orang kembar dampit (kembar siam) yang punggungnya melekat menjadi satu, yang bergerak seperti satu orang saja, atau memang dua orang yang mempunyai satu hati dan satu perasaan. Kiranya orang kembar dampit itu memiliki ting-kat kepandaian yang lebih tinggi daripada para penghuni Pulau Nelayan.
Han Ki mengerahkan seluruh kepan-daiannya karena orang kembar itu, ber-beda dengan kakek botak yang menguji kepandaiannya, kini menyerangnya dengan niat membunuh. Setiap serangan kaki atau tangan adalah serangan maut yang bermaksud membunuhnya! Dan di dalam guha yang gelap karena lilin di atas peti terguling. Han Ki tidak dapat bergerak leluasa, sebaliknya dua orang itu bergerak makin cepat, agaknya mereka lebih awas di dalam gelap.
"Heii, nanti dulu! Aku bukan mu-suh....!" Han Ki berkali-kali berseru sambil membuang diri ke sana ke mari. Namun orang dampit itu sama sekali tidak mengendurkan serangannya, malah mendesak makin hebat. Tempat itu terlalu sempit untuk bertanding, keadaan makin gelap dan Han Ki memang tidak ingin membunuh, maka tentu saja pemu-da ini makin
terdesak hebat sehingga dua kali ia kena dicakar kuku runcing itu. Untung ia, masih dapat bergerak cepat sehingga yang terobek hanyalah bajunya di punggung dan di belakang pundak.
Tiba-tiba, seorang di antara sepasang dampit itu mengeluh, "Mataku.... ahhh.... silaunya....!"
Han Ki terheran melihat betapa ke-adaan tidak segelap tadi lagi, bahkan kini agak terang. Dan bersamaan dengan terangnya tempat itu, dua orang dampit itu makin bingung, serangannya ngawur bahkan seringkali menggunakan tangan melindungi mata mereka. Ketika Han Ki memutar pedang sambil meloncat ke belakang, tampaklah olehnya apa yang menyebabkan tempat ini menjadi terang. Kiranya lilin, tadi terguling dan tidak padam, melainkan perahan-lahan mem-bakar kitab yang tadi dibacanya!
"Aduh.... silau....!"
"Tak dapat melihat...."
Tiba-tiba sepasang orang dampit itu berteriak dan sekali berkelebat lenyaplah mereka dari tempat itu, menghilang ke sebelah dalam terowongan yang gelap. Han Ki menyimpan
pedangnya, menyusut peluh dan menarik napas melihat betapa semua kitab yang tadi tertumpah keluar dari dalam peti, kini telah menjadi kor-ban api! Ia dapat menduga bahwa seperti keadaan binatang-binatang buas yang biasa dengan tempat gelap, sepasang orang dampit yang amat lihai itu takut akan sinar terang, dan api itulah yang menolongnya. Ia harus lekas pergi karena kalau api itu padam tentu Si Dampit akan muncul dan menyerangnya, pula.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 164
Kalau demikian, maka berbahayalah. Mengha-dapi orang dampit di tempat terang dan tempat yang luas, mungkin masih dapat melindungi diri. Akan tetapi di tempat sempit dan gelap"
Mereka terlalu lihai! Tergesa-gesa Han Ki lalu berlari keluar, menggunakan sinar terang dari kitab-kitab yang terbakar di tempat per-tempuran tadi.
Akan tetapi ketika ia tiba di luar guha, tempat di luar guha itu sudah terang sekali oleh obor-obor minyak yang dipegang oleh para penghuni Pulau Nelayan yang sudah berkumpul di depan guha. Maya dan Siauw Bwee berada di antara mereka, akan tetapi kedua orang sumoinya itu dibelenggu!
"Eh.... aku.... aku tidak melakukan apa--apa...." Han Ki berkata gagap. Ia merasa malu sekali karena sekali ini benar-benar ia tertangkap basah! Dan diam-diam ia siap untuk membela kedua orang sumoi-nya kalau mereka itu berniat buruk.
"Engkau telah melanggar larangan kami dan telah bertemu dengan Si Dampit!" Kakek botak berkata suaranya dingin sekali.
"Akan tetapi.... dia.... dia yang menye-rangku. Aku hanya ingin menyelidiki asal-usul kalian karena aku tertarik, tidak berniat buruk....! Dan aku telah berhasil mengetahui bahwa nenek moyang kalian berasal dari Pulau Es!"
Orang-orang itu saling pandang dan tidak menjawab, kemudian kakek itu berkata lagi, "Kami tidak mengerti apa yang kaukatakan itu, Si Dampit adalah keturunan kami, karena mereka terlahir seperti itu, kami anggap sebagai kutukan dan kami percaya bahwa mereka akan mendatangkan malapetaka kalau tinggal bersama kami. Kelahiran, mereka telah membawa bencana, para penangkap ikan tidak berhasil, angin besar merusakkan tanaman. Karena itu mereka kami asing-kan di tempat keramat."
"Akan tetapi mereka.... lihai sekali!"
"Kami mengajarkan semua kepandaian yang kami ketahui kepada mereka dan karena mereka merupakan seorang de-ngan empat tangan empat kaki dua ke-pala, tentu saja mereka lebih tangkas. Sudahlah, engkau telah melanggar pan-tangan kami, karena itu sekarang juga engkau dan dua orang sumoimu harus meninggalkan pulau ini!"
"Akan tetapi....!" Han Ki membantah.
"Apakah engkau lebih suka kalau ka-lian bertiga kami bunuh dan kami kor-bankan untuk mencegah kemarahan peng-huni pulau?"
Han Ki tak dapat membantah lagi, maklum bahwa orang-orang yang percaya takhayul ini tak munkin di bantah. "Baiklah, kami akan pergi besok pagi."
"Sekarang juga!"
"Suheng, mengapa membantah" Mere-ka ini adalah orang-orang bodoh. Mari kita pergi! Aku muak menyaksikan sikap mereka. Pula, bukankah tujuan kita bu-kan pulau ini?"
Han Ki mengangguk. "Baiklah. Mari kita pergi!" Han Ki lalu menghampiri kedua orang sumoinya, menggunakan tenaga saktinya sekali renggut membikin patah belenggu kedua orang anak perem-puan itu, menggandeng tangan mereka dan mengikuti orang-orang itu yang mengantarkan ke pantai di mana perahu mereka ditinggalkan. Han Ki kagum me-nyaksikan betapa mereka semua, laki-laki dan perempuan, juga kanak-kanak, menuruni tebing
membawa obor sampai ke bawah tebing. Dia lalu lepaskan ikatan perahunya, mengajak kedua orang Sumoinya memasuki perahu, kemudian ia menjura kepada mereka semua dan ber-kata kepada kakek botak.
"Kalian ketahuilah bahwa menurut buku catatan di guha yang kubaca, kalian adalah keturunan dari dua belas orang pengungsi yang menyelamatkan diri dari Pulau Es di waktu pulau itu dilanda ba-dai taufan. Kalian adalah keturunan rak-yat dari raja muda di Pulau Es yang keluarganya terbasmi dalam badai. Akan tetapi, ada seorang keturunan keluarga raja yang selamat, yaitu yang kini dikenal sebagai manusia dewa yang sakti Bu Kek Siansu, yaitu guru kami. Nah kalian tahu bahwa aku tidak berniat buruk ketika menyelidik ke dalam guha.
Adapun sepa-sang manusia dampit itu, kasihan kalau diasingkan di tempat itu. Mereka sampai Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 165
menjadi takut dan silau oleh sinar te-rang. Kapandaian mereka itu hebat seka-li, kalau mereka kalian biarkan keluar, tenaga mereka akan amat berguna bagi kalian. Nah, selamat tinggal!"
Dengan hati-hati Han Ki mendayung perahunya, akan tetapi tidak terus ke tengah lautan karena malam amat gelap. Dia menanti sempai orang-orang itu per-gi meninggalkan pantai, obor-obor di tangan mereka membentuk pemandangan yang aneh, sinar panjang yang
bergerak mendaki tebing sperti seekor ular me-rayap naik. Setelah sinar-sinar obor itu lenyap, Han Ki kembali mendekatkan perahu ke pantai dan ia melewatkan malam itu di atas perahu di pinggir pan-tai. Baru setelah fajar menyingsing di ufuk timur, ia mendayung perahunya menuju ke arah matahari yang mulai muncul di permukaan air.
Dua orang gadis ciiik itu mendengar-kan penuturan Han Ki dengan hati ter-tarik. Apalagi ketika mendengar bahwa suhu mereka adalah keturunan keluarga raja di Pulau Es, hati mereka menjadi besar dan bangga. Baru para pengikut kerajaan itu saja mempunyai keturunan yang demikian hebat kepandaiannya se-perti penghuni Pulau Nelayan, apalagi raja itu sendiri yang menjadi nenek mo-yang suhu mereka! Dan Pulau Es itu tentu indah sekali. Ingin sekali mereka segera sampai di tempat yang dituju.
Setelah memasang layar pada perahu kecil dan berlayar selama setengah hari, melewati sekumpulan pulau kecil, akhir-nya mereka melihat sebuah pulau yang berwarna putih dan dari jarak jauh tam-pak samar-samar puncak sebuah bangunan di tengah pulau itu.
"Tak salah lagi, itulah Pulau Es!" Han Ki berseru sambil menunjuk ke depan.
Maya dan Siauw Bwee melindungi mata dengan tangan, meneropong ke depan dengan hati berdebar tegang. Me-mang dari jauh sudah tampak lain dari-pada pulau-pulau lain. Pulau ini berwarna putih dan cemerlang tertimpa sinar ma-tahari, seolah-olah merupakan sebuah pulau perak! Dan ujung bangunan itu kalau tidak lebih dulu mendengar bahwa di tengah pulau terdapat sebuah istana tentu disangka puncak sebuah bukit ka-rang.
"Apakah ada yang tinggal di sana, Suheng?" tanya Maya.
"Jangan-jangan kita telah didahului orang lain," kata pula Siauw Bwee penuh keraguan.
"Tidak mungkin," jawab Han Ki. "Ka-lau demikian halnya tidak mungkin Suhu menyuruh kita ke sana. Hayo bantulah aku agar kita dapat cepat tiba di sana."
Perahu meluncur cepat sekali dan akhirnya dengan jantung berdebar tegang, tiga orang itu mendarat dan menarik perahu naik ke darat. Perahu itu amat penting bagi mereka, karena di pulau kosong ini yang dapat menghbungkan mereka dengan dunia ramai hanya perahu itulah.
Setelah menarik perahu sampai jauh ke daratan agar jangan terbawa hanyut air laut kalau pasang dan me-nyembunyikan perahu di tempat yang aman, mereka bertiga mendekati
bangunan aneh yang biasanya terdapat di dalam mimpi saja. Pulau itu penuh batu karang yang diselimuti salju sehingga ti-dak ada bagian yang kelihatan tanah atau batunya. Pantas saja disebut Pulau Es, karena pulau itu kelihatannya seolah--olah terbuat dari bongkahan es yang amat beSar. Atau sebongkah es raksasa yang mengapung di atas laut, sungguhpun mereka tidak merasakan guncangan sama sekali.
"Pulau Es ini kosong, tidak ada mah-luk hidup tinggal di sini, benar seperti kata Suhu!" Han Ki berseru, gembira dan kagum.
"Bagaimana kita dapat hidup di tem-pat seperti ini?" Maya mencela, "Tidak ada tetumbuhan sebatang pun, tidak ada hewan seekor pun. Kita akan mati kela-paran di sini!"
"Aduh, dinginnya bukan main!" Siauw Bwee menggigil. Mendengar ini, Maya juga
menggigil kedinginan.
Han Ki merasa betapa makin lama, keadaan hawa udara di situ makin dingin, menyusup ke tulang-tulang rasa dingin itu sehingga ia harus mengerahkan sin--kang untuk melawan hawa dingin. Akan tetapi ia maklum bahwa kedua orang sumoinya tentu akan menderita sekali karena untuk dapat melawan hawa yang dingin dan agaknya kalau malam tentu akan makin dingin itu, membutuhkan te-naga sin-kang yang kuat.
"Mari kita berlari cepat ke istana. Di sana tentu tidak sedingin di luar."
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 166
Mereka berlari cepat mendaki bukit karang. Karena pergerakan ini, darah mereka mengalir cepat menimbulkan rasa hangat. Setelah melampaui beberapa buah bukit karang, akhirnya mereka berhenti dan memandang kagum ke depan. Di tengah pulau itu, di antara bukit-bukit karang yang mengelilinginya, berdiri megah bangunan yang amat indah. Ka-rena di situ tidak terdapat debu kotor, bangunan itu nampak gemilang seperti baru, selain indah dengan ukiran-ukiran bermutu, juga kelihatan kokoh kuat. Akan tetapi, karena tempat ini merupa-kan tempat yang paling tinggi di pulau ini, hawanya lebih dingin lagi sehingga Maya dan Siauw Bwee berdiri dengan tubuh menggigil dan bibir mereka menjadi biru.
"Mari kita masuk!" Han Ki berkata, khawatir melihat keadaan kedua orang sumoinya. Kedua orang anak perempuan itu tidak membantah, akan tetapi ketika mereka bertiga tiba di depan pintu ba-ngunan yang besar, Siauw Bwee meng-hentikan langkahnya dan bertanya,
" Suheng.... jangan-jangan ada orangnya di...."
"Aihhh, Sumoi, mengapa engkau begini penakut" Andaikata ada penghuninya se-kalipun kita takut apa?" Maya mencela dengan suara nyaring.
" Jangan khawatir, siapa berani masuk ke sini" Ini adalah tempat tinggal Suhu, tidak ada orang yang akan berani meng-ganggu. Marilah!" Han Ki bergandeng tangan Siauw Bwee.
Sedangkan Maya yang hendak digandengnya pula mereng-gut tangannya dan mendahului mendorong pintu gerbang itu dengan sikap tabah. Diam-diam Han Ki merasa khawatir kalau-kalau tidak akan terdapat kerukun-an di antara kedua orang sumoinya itu.
Pintu yang besar itu terbuka dan tiga orang itu terbelalak kagum dan terheran--heran.
Ruangan depan istana itu benar-benar mengagumkan sekali karena selain bersih dan perabot rumahnya serba indah, juga di dinding terdapat lukisan-lukisan kuno yang biasanya hanya menghias rumah orang-orang bangsawan dan hartawan. Juga tulisan indah yang merupakan sajak berpasangan. Ruangan yang lebar, lantainya dari pintu putih mengkilap bersih. Dua pasang meja kursi kuno berjajar rapi di kedua sudut, dua buah lemari kayu terbuat daripada kayu besi terukir kepala naga dan piring-piring din-ding, guci berukir bunga-bunga menghias ruangan itu. Ruangan ini mempunyai tiga buah pintu. Sebuah pintu be-sar menembus ke ruangan tengah dan dua pintu agak kecil ke kanan kiri, yang sebelah kiri menembus ke halaman samping, yang kanan menembus ke lorong yang menuju kebangunan kecil. Di sudut sekali terdapat sebuah rak senjata yang penuh dengan delapan belasmacam senjata, biasanya dipasang sebagai hiasan akan tetapi senjata yang berada di rak itu, dari pedang sampai tombak merupakan senjata pilihan karena senjata-senjata itu mengeluarkan sinar gemilang saking tajam dan runcingnya!
Han Ki menutup pintu depan yang tadi dibuka Maya dan benar saja, hawa di ruangan depan ini tidaklah sedingin hawa di luar. Kedua orang anak perem-puan itu menjadi girang sekali karena mereka tidak benar-benar menderita oleh hawa yang makin lama makin dingin.
Mereka memeriksa keadaan di ruangan depan, kemudian terus masuk ke dalam melalui pintu besar yang menembus ke ruangan dalam. Semakin dalam, makin eloklah keadaan di dalam istana. Semua perabot rumah serba lengkap dan indah, dan disitu terdapat banyak sekali kamar yang bersih dan lengkap dengan tempat tidur, meja kursi dan lemari. Di ruangan belakang terdpat beberapa pintu yang menembus ke kamar-kamar yang penuh buku-buku kuno, yaitu kitab-kitab pening-galan Bu Kek Siansu! Dapat dibayangkan betapa girang hati tiga orang murid itu dan bagaikan orang-orang kelaparan me-reka memeriksa kitab-kitab itu tiada bosan-bosannya. Ruangan belakang yang luas itu pun merupakan sebuah ruangan tempat latihan silat, bahkan di sebuah kamar bawah terdapat sebuah arca batu yang ukirannya amat indah dan halus sehingga tampak urat-urat dan jalan darah seolah-olah arca itu terbuat daripada kulit dan daging. Han Ki girang sekali karena dengan adanya arca itu dia akan dapat melatih kedua orang sumoi-nya lebih baik, dan lebih mudah, yaitu untuk melatih pukulan-pukulan dan totok-an-totokan ke jalan darah lawan menggunakan tubuh arca yang persis tubuh manusia biasa itu.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 167
Ketika Han Ki mendapatkan beberapa karung gandum dan bumbu-bumbu masak-an, juga
sayur-sayur kering, ia makin kagum dan bersyukur kepada suhengnya yang agaknya sebelum menyuruh para muridnya pergi ke Pulau Es, telah lebih dulu mengatur persediaan
secukupnya. "Nah, engkau tidak akan kelaparan lagi, Suci?" Siauw Bwee berkata menahan senyum, sikap dan suaranya halus, namun tidak urung tampak juga bahwa nona ciilk ini mengejek kepada sucinya yang tadi takut kelaparan berada di pulau itu.
"Hemm, semua bahan makanan ini paling lama hanya bertahan untuk bebe-rapa bulan saja.
Kalau sudah habis, ke mana kita akan mencarinya?" Maya mempertahankan
kehkhawatirannya.
"Kita bisa mencari ikan di laut," kata Siauw Bwee.
"Hemm, kalau engkau mempunyai ke-pandaian seperti para nelayan yang ting-gal di Pulau Nelayan, tentu mudah, Sumoi. Sayang sekali, hawanya di sini amat dinginnya sehingga sekali menyelam, sebelum mendapat seekor ikan pun, eng-kau sudah akan membeku dan sebaliknya menjadi makanan ikan. Sumoi, aku tidak takut mati kelaparan, akan tetapi kita harus memandang jauh kalau memang benar akan selamanya belajar ilmu bertahun-tahun di tempat ini."
Melihat betapa kedua orang sumoinya kembali hendak bertengkar, Han Ki cepat berkata,
"Sudahlah, Sumoi berdua, tidak ada gunanya ribut-ribut. Kalian. berdua me-mang benar semua. Khu-sumoi benar karena memang kita tidak perlu berkecil hati, dan Maya-sumoi juga benar bahwa kita harus mencari akal bagaimana kita akan dapat hidup bertahun-tahun di tempat yang tiada tumbuh-tumbuhan ini dengan selamat. Jangan kalian khawatir. Dalam pelayaran ke tempat ini kita me-lalui pulau-pulau yang subur, dan kurasa di tempat yang subur tentu terdapat binatang-binatang buruan dan buah-buah-an serta seyur-sayuran. Kelak aku akan melakukan penyelidikan dengan perahu dan mencari bahan makanan secukupnya.
Sekarang, lebih baik membantu aku un-tuk membuat api dan memasak makanan dari bahan peninggalan Suhu untuk me-ngisi perut. Dengan bijaksana Han Ki melerai dan kedua orang sumoinya me-lupeken perbantahan mereka, kemudian mereka berdua kembali berlumba
untuk membuat masakan yang seenak-enaknya. Ternyata dalam hal membuat masakan ini pun keduanya tidak mau saling me-ngalah, atau lebih tepat lagi, Maya tidak pernah mau kalah oleh sumoinya dalam hal apa pun. Siauw Bwee yang wataknya lebih halus kini mulai banyak mengalah sehingga diam-diam Han Ki mulai dapat menilai watak kedua orang sumoinya.
Maya keras hati, keras kepala dan tidak mau kalah mau kalah sungguhpun di dasari kejujuran dan juga mempunyai kasih sayang kepada Siauw Bwee. Sebaliknya Siauw Bwee memiliki kekerasan hati yang tidak kalah teguh oleh Maya, akan tetapi kekerasan hatinya tertutup oleh sifatnya yang halus sehingga dia tidak segan-segan untuk mengalah terhadap sucinya.
Ada satu hal yang menguntungkan dalam sifat saling tidak mau kalah, dan saling lumba antara kedua arang anak perempuan itu, dalam hal mempelajari ilmu silat. Dalam hal ini pun, dua orang anak perempuan itu agaknya merasa takut kalau sampai ketinggalan dan hal ini amat menggembirakan hati Han Ki. Kedua orang sumoinya merupa-kan "murid-murid" yang amat baik, cepat sekali memperoleh kemajuan justeru ka-rena sifat mereka tidak mau saling me-ngalah. Betapapun lelahnya, seorang di antara mereka, kalau melihat yang lain berlatih, dan akan terus melanjutkan latihannya seolah-olah merasa khawatir kalau beristirahat akan tertinggal jauh, Keduanya sama tekun dan sama cerdik, kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu yang mereka pelajari di bawah pengawasan dara bimbingan Han Ki mereka "sikat"
satu demi satu! Tentu saja mereka berdua memperoleh kemajuan yang amat cepat. Juga Han Ki sendiri sampai ter-bawa hanyut oleh semangat kedua orang sumoinya sehingga dia pun dengan amat tekunnya melatih diri dan mempelajari ilmu-ilmu yang lebih tinggi, yang ia pelajari dari kitab-kitab peninggalan suhu-nya. Dengan, dasar yang telah dimiliki-nya, tidak terlalu sukar baginya untuk melatih diri dengan ilmu yang lebih ting-gi.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 168
Akan tetapi, di samping kegembiraan-nya melihat persaingan antara kedua orang sumoinya yang membuat mereka berdua maju cepat dalam berlatih silat, kadang-kadang Han Ki menjadi pusing kalau melihat persaingan itu berlarut--larut sehingga menimbulkan hal-hal yang tidak enak. Sungguh sukar bagi seorang laki-laki dewasa seperti dia tinggal di atas pulau kosong bersama dua orang gadis remaja yang sedang manja-manjanya dan bengal-bengalnya, apalagi menghadapi Maya yang makin lama makin tampak kegalakannya, terdorong oleh kekerasan hatinya yang membaja.
"Aku akan mempelajari ilmu di sini sampai dapat mengalahkan semua musuh--musuhku!"
Pada suatu malam Maya ber-kata ketika mereka bertiga menikmati makanan malam seadanya.
"Kalau belum kubasmi habis musuh-musuhku, beum lega hatiku!"
Karena maklum bahwa sumoinya yang galak ini tidak perlu ditanggapi karena akan berlarut-larut, Han Ki hanya meng-angguk. "Lebih baik sekarang mempela-jari ilmu dengan tekun.
Ilmu silat tidak ada batasnya dan di dunin ini banyak sekali terdapat orang pandai, Sumoi."
Akan tetapi, Siauw Bwee yang selalu ingin melayani Maya, seolah-olah dia ignin melihat sucinya itu untuk kemudian ia permainkan dan ter-tawa, segera bertanya, "Eh, Suci. Siapa sih itu musuh-musuhmu yang begitu banyak sehingge kau hendak membasminya semua?"
"Musuh-mushku?" Sepasang mata Maya yang indah sekali itu kini memancarkan sinar
sehingga Han Ki memandang kagum. Di bawah sinar api penerangan, mata itu sedemikian indahnya, seperti sepasang bintang yang terang cemer-lang! Bukan main indahnya sepasang mata Maya! Bentuknya indah sekali. Bola matanya begitu jernih sehingga perbedaan antara warna putih dan hitamnya men-colok sekali di tengah bagian yang hitam tampak titik yang hitam namun seolah--olah mengeluarkan api! "Siapa lagi kalau bukan Kerajaan Mongol yang biadab dan Kerajaan Sung yang curang" Akan kubas-mi mereka semua kelak!"
Diam-diam Han Ki terkejut. Bukan main sumoinya ini. Kiranya menaruh dendam sakit hati yang demikian besar atas kematian ayah bunda angkatnya. Sungguh dendam yang tidak pada tempatnya kalau ditujukan kepada dua buah kerajaan! Akan tetapi ia maklum bahwa kalau dibantah, sumoinya ini akan lebih "ngotot" lagi, maka dia diam saja.
Akan tetapi seperti biasa, Siauw Bwee tidak mau "kalah" begitu saja dan ia langsung mencela, "Aihhh, Suci. Pan-danganmu itu keliru sekali!"
"Apa" Keliru katamu kalau aku men-dendam kepada dua kerajaan yang telah menghancurkan kerajaan ayahku, telah membunuh ayah bundaku" Keliru katamu" Di mana letak
kekeliruannya, Sumoi yang manis?" Biarpun Maya menyebut "sumoi yang manis" namun jelas bahwa dia ma-rah terhadap Siauw Bwee dan menan-tangnya untuk berdebat. Han Ki maklum bahwa kembali api di antara kedua orang sumoinya akan menyala, dan seyogianya dia segera memadamkannya, akan tetapi karena dia pun tertarik hendak menge-tahui bagaimana pandangan kedua orang sumoinya mengenai urusan itu, dia diam saja
mendengarkan penuh perhatian.
"Suci," jawab Siauw Bwee dan kem-bali Han Ki kagum menyaksikan sumoinya yang kecil ini karena di balik keha-lusannya itu tersembunyi kekuatan dan
ketenangan yang mengherankan hatinya. "Engkau tentu tahu sendiri bahwa aku pun menjadi korban, ayahku tewas oleh bala tentara Kerajaan Sung. Akan tetapi aku sama sekali tidak mendendamkepada seluruh kerajaan Sung!Aku tahu bahwa ada biang keladinya yang
mengakibatkan tewasnya ayahku, dan karena itu aku hanya akan mendendam pada biang keladinya yaitu Panglima Besar Suma Kiat dan kakitangannya."


Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Itu tandanya bahwa engkau gentar menghadapi musuh kerajaan! Kerajaan Mongol dan Kerajaan Sung telah bersama menghancurkan kerajaan orang tuaku, bahkan kemudian Kam-pekhu sendiri sampai tewas. Ini merupakan dendam ini keluarga juga dendam kerajaan. Ahh, tentu saja engkau tak dapat merasakan hal ini karena engkau bukan putri raja yang mempunyai kerajaan! Dendamku adalah dendam pribadi ditambah dendam bangsa! Aku akan belajar ilmu dan kelak akan kubalas.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 169
Sebelum Siauw Bwee membantah lagi Han Ki segera mendahuluinya, "Semua cita-cita
adalah benar asal dilakukan di atas kebenaran, tidak menyimpang dari pada jalan kebenaran.
Aku sudah mendengar tekad
Maya-sumoi,dan aku tidak akan mencampuri cita-citanya. Dan engkau sendiri bagaimana cita-citamu, Khu-sumoi?"
Seperti biasa, Siauw Bwee yang cer-dik maklum bahwa suhengnya itu sengaja memasuki perdebatan dengan maksud menghentikannya, maka dia selalu yang patuh kepada suhengnya juga tidak berkeras hendak membantah Maya. Maka jawabnya, "Aku akan mempelajari ilmu sesempurna mungkin untuk kemudian menghadapi musuh besarku, terutama Suma Kiat. Dia amat lihai, karena itu aku harus memiliki tingkat kepandaian yang melebihi dia. Juga kaki tangannya banyak yang lihai, namun, aku akan bersabar dan tekun mempelajari ilmu sampai aku dapat menandingi mereka"
Han Ki mengangguk-angguk dan Siauw Bwee melanjutkan dengan pertanyaan. "Suheng,
engkau sendiri mengalami kece-lakaan karena perbuatan Suma Kiat. Bukankah engkau mendendam pula kepa-danya?" Pertanyaan. itu dilakukan dengan cerdik, dengan dasar keinginan menarik Han Ki di sampingnya sehingga mereka berdua mempunyai cita-cita yang sama! Akan tetapi, betapa heran dan kecewa hatinya, juga Maya menjadi ter-heran ketika mendengar jawaban Han Ki. Pemuda ini menarik napas panjang sebelum menjawab.
"Masih bergema di telingaku nasihat dan wejangan Siansu." Han Ki kadang-kadang
menyebut Suhunya "siansu". "Yaitu bahwa dendam timbul dari nafsu iba diri dan hendak menang sendiri. Dan berkali-kali Suhu menegaskan bahwa menuruti nafsu memancing
datangnya penyesalan dan penderitaan batin. Tidak, Sumoi, aku tidak mendendam kepada siapapun juga. Kalau toh ada malapetaka dan kesengsaraan yang menimpa diriku, maka hal itu datangnya dari kehendak Tuhan, entah sebagai hukuman, entah sebagai ujian, namun yang jelas, demikian menurut Siansu, adalah bahwa apa pun yang menimpa diri kita adalah kehendak Tuhan! Diluar kehendakNya, takkan ada terjadi sesuatu!"
"Akan tetapi, Suheng," Siauw Swee membantah penuh perasaan. "Ada akibat tentu ada sebabnya. Katakanlah bahwa akibatnya adalah di tangan Tuhan, diten-tukan oleh Tuhan, akan tetapi yang menjadi sebabnya adalah perbuatan manusia, dalam hal malapetaka yang menimpamu , sebabnya adalah kejahatan Suma Kiat!"
Han Ki menggeleng kepala, tersenyum pahit dan menghela napas. "Sungguhpun demikian, Sumoi, namun si manusia yang melakukannya, yang menjadi sebab hanyalah merupakan semacam alat saja, sebagai penyebab. Dan siapa yang melakukan perbuatan jahat, sama halnya dengan menanam pohon yang buahnya kelak dia sendiri yang akan memetik dan memakannya. Itu sudah hukum keadilan Tuhan! Tanpa kita balas, Tuhan suda kan
memungut-Nya sendiri dan dibalas atau tidak, sudah kuserahkan seluruhnya kepada Tuhan."
Maya mengerutkan alisnya, sama se-kali tidak puas mendengar ucapan dan menyaksikan sikap suhengnya itu.
"Suheng! Aku tidak setuju! Pendapat Suheng itu membayangkan keputusasaan dan
kelemahan yang menjijikkan! Seperti mayat hidup saja, tidak mempunyai ke-mauan apa-apa lagi. Hanya binatang tak berakal saja yang tidak mau berbuat apa-apa dan menerima apa adanya. Dan kita bukan binatang! Apa pun yang di-kehendaki Tuhan, kita harus berusaha untuk menentang hal-hal yang mence-lakakan kita!"
Han Ki tersenyum memandang sumoinya yang penuh semangat itu. "Ucapan-mu benar,
Sumoi. Memang, manusia wa-jib berikhtiar, akan tetapi ikhtiar yang baik dan benar.
Betapapun juga, segala ikhtiar hanyalah merupakan pelaksanaan wajib hidup saja, adapun segala penentu-annya adalah di tangan Tuhan juga."
"Suheng, kenapa Tuhan menjatuhkan malapetaka kepada kita?" Siauw Bwee bertanya,
suaranya mengandung penasar-an. "Suheng sendiri tertimpa malapetaka sehingga menjadi orang buronan kerajaan di mana Suheng bekerja sebagai seorang penglima yang setia! Aku Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 170
sendiri tertim-pa malapetaka, ayahku yang setia ter-hadap kerajaan tewas oleh kerajaan sen-diri dan aku terlunta-lunta bersama Su-heng dan Suci di tempat ini. Dan Suci juga kehilangan orang tuanya. Mengapa nasib kita begini buruk" Mengapa Tuhan seolah-olah mengutuk kita" Apakah ka-rena kita bertiga ini tergolong manusia jahat maka Tuhan sengaja menghukum kita" Kalau kita ini manusia jahat, ke-jahatan apakah yang telah kita lakukan?"
Kembali Han Ki tersenyum sabar. Ia maklum bahwa kedua orang sumoinya ini masih remaja dan penuh nafsu dan se-mangat, maka perlu mendapat penjelasan tentang filsafat hidup yang sederhana. "Sumoi, manusia terlahir bukan atas ke-hendaknya sendiri, melainkan atas kehen-dak Tuhan. Juga manusia kelak mati tidak mungkin atas kehendaknya sendiri, juga Tuhan yang menentukan saatnya dan cara-nya. Seluruh hidup manusia, dari lahir sampai mati, seluruhnya berada di tangan Tuhan yang menentukan segalanya, sung-guhpun segala akibat itu bersebab dari sumber perbuatan manusia sendiri. Hukum Tuhan adalah hukum mutlak yang tak dapat dirubah oleh siapapun juga merupa-kan hukum yang penuh rahasia bagi manu-sia yang amat terbatas pikirannya. Karena itu, kita harus sadar dengan penuh ke-yakinan bahwa Tuhan itu Kuasa Memberi, juga Kuasa Mengambil! Betapa piciknya kaiau kita hanya tertawa senang sewaktu diberi sesuatu yang menyenangkan, se-baliknya menangis duka dan penasaran sewaktu Tuhan mengambil sesuatu dari kita! Kalau kita mendasarkan segala pe-ristiwa sebagai kehendak Tuhan, mengapa kita mesti merasa penasaran lagi" Yang penting adalah menjaga sepak terjang kita dalam hidup. Asalkan kita melandasi sepak terjang hidup kita dengan kebenaran dan keadilan, cukuplah, yang lain tidaklah penting lagi."
"Ah, mana mungkin?" Maya memban-tah. Kalau orang tertimpa malapetaka yang disebabkan oleh kejahatan orang lain, bagaimana kita dapat berdiam diri" Bagaimana kita harus ingat untuk ber-buat baik kalau nasib kita terseret ke dalam lembah kehinaan dan kedukaan?"
Han Ki menggeleng kepala, "Suka duka hanyalah permainan perasaan yang digerakkan oleh nafsu iba diri dan mementingkan diri sendiri, Sumoi. Andaikata Tuhan sutradaranya, maka manusia-manu-sia adalah pemain-pemain sandiwaranya yang berperan di atas panggung kehidupan. Sutradara menentukan, permainan apa-kah yang harus dimainkan oleh setiap orang manusia. Dan ingat, bukan peran-nya yang penting, melainkan cara manu-sia
memainkan perannya itu. Biarpun se-seorang diberi peran seorang raja besar, kalau dia tidak pandai dan baik permainannya, dia akan tercela. Sebaliknya, biar-pun Sang Sutradara memberi peran kecil tak berarti, misalnya peran seorang pelayan, kalau pemegang peran itu me-mainkannya dengan baik, tentu dia akan terpuji. Demikian pun dalam kehidupan manusia.
Apa artinya seorang raja besar yang dimuliakan rakyat kalau sepak ter-jang hidupnya tidak patut dilakukan seorang raja, kalau dia lalim, rakus, murka dan melakukan hal-hal yang hina"
Dia hanya akan direndahkan di mata manusia, juga di mata Tuhan! Sebaliknya, betapa mengagumkan hati manusia dan menye-nangkan Hati Tuhan kalau seorang biasa yang bodoh miskin dan dianggap rendah mempunyai sepak terjang hidup penuh kebajikan dan selalu melandaskan kelaku-annya di atas garis kebenaran dan ke-adilan."
Dua orang anak perempuan itu me-ngerutkan kening. Makanan batin itu ter-lampau keras dan alot untuk hati me-reka, sukar diterima oleh hati mereka yang masih panas oleh nafsu dan gairah hidup.
"Ahh, engkau terlalu lemah, Suheng." Maya mendengus.
"Maaf, Suheng. Betapapun juga, aku tetap menaruh dendam kepada Suma Kiat dan kaki tangannya!" Siauw Bwee ber-kata.
Han Ki tersenyum. Maklumlah dia bahwa memaksakan filsafat itu kepada kedua orang sumoinya akan sia-sia bela-ka. Kesadaran datang bukan oleh palajar-an dari mulut ke telinga, melainkan dari gemblengan pengalaman. Orang yang belum pernah jatuh berlari, mana mung-kin disuruh hati-hati kalau lari" Manusia membutuhkan pengalaman pahit untuk mencapai kesadaran dan hidup sendiri adalah pengalaman, pengalaman yang lebih banyak pahitnya daripada manisnya. Namun, semua ini berguna, karena apa-kah artinya pengalaman Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 171
manis" Hanya akan lalu tanpa bekas. Sebaliknya, pe-ngalaman pahit aken membekas dalam hati sanubari, sukar dilupa, dan karena itu maka amat berguna. Diam-diam dia hanya mengharapkan semoga tidak terlalu pahit pengalaman yang akan menimpa kedua orang sumoinya ini.
"Sudahlah, daripada omong kosong, mari kita berlatih. Kalian sudah mulai dapat memperkuat sin-kang sehingga dapat bertahan bersamadhi di atas salju sampai semalam suntuk. Kalian sudah mengerti bahwa hawa dingin di Pulau Es ini merupakan pelatih sin-kang yang amat baik, dan tahu pula caranya melatih diri untuk memperkuat sin-kang kalian. Sekarang, marilah kumulai dengan mengajarkan tiam-hoat (ilmu menotok) dengan satu jari dan dua jari. Kita menggunakan arca yang berada di kamar bawah untuk ber-latih.
Dua orang anak perempuan itu men-jadi gembira sekali seperti biasa kalau mereka menerima pelajaran ilmu baru. Ilmu menotok sudah mereka kenal sebe-lum mereka ikut bersama Han Ki ke Pulau Es, akan tetapi yang diajarkan Han Ki adalah ilmu menotok yang bertingkat tinggi dan untuk pelajaran ini, mereka telah menerima pelajaran teorinya, melatih kekuatan jari, menghafal letak-letak jalan darah sehingga kini me-reka hanya akan melatih prakteknya saja dengan arca itu.
Terutama sekali Siauw Bwee girang sekali karena semenjak semula, dalam pelajaran ilmu ini dia dapat mengatasi sucinya! Memang kedua orang anak pe-rempuan itu, biarpun keduanya sama tekun dan sama-sama memiliki bakat yang amat baik untuk belajar ilmu silat, memiliki bakat-bakat menonjol yang berbeda. Dalam hal mempelajari sin-kang, jelas bahwa Maya melampaui sumoinya, juga dalam ilmu pukulan, gerakan Maya lebih mantap dan berisi sehingga dia lebih cepat maju dibandingkan dengan sumoinya. Akan tetapi, dalam hal gin-kang, yaitu ilmu meringankan diri yang dipergunakan sebagai dasar loncatan-lon-catan dan berlari cepat. Siauw Bwee jauh melampaui sucinya. Juga dalam hal pelajaran tiam-hiat-hoat ini.
Dan seperti biasa dalam setiap hari kedua orang anak perempuan ini bersaing dan berlumba saling mengalahkan. Dia yang merasa kalah maju akan menjadi murung. Di bawah
pengawasan dan pe-tunjuk Han Ki, mulailah kedua orang anak perempuan itu berlatih. Mula-mula Maya yang disuruh bergerak dan menye-rang semua jalan darah di tubuh arca itu seperti yang telah diajarkannya dalam teori gerakan ilmu silat ini. Bergeraklah Maya secepat mungkin dan tubuh anak perempuan ini berkelebatan seperti se-ekor kumbang mengelilingi setangkai bunga. Dalam waktu beberapa belas me-nit saja ia telah berhasil menotok semua jalan darah di tubuh arca itu secara bertubi-tubi. Seluruh gerakannya diawasi oleh Han Ki dan Siauw Bwee dan setelah selesai, Han Ki berkata sungguh-sungguh, "Maya-sumoi, gerakanmu masih kurang cepat dan ketika engkau menotok jalan darah ci-kiong-hiat seharusnya engkau menggunakan jari telunjuk saja, sebalik-nya untuk menotok jalan darah tiong--teng-hiat yang lebih besar, harus diper-gunakan telunjuk dan jari tengah. Engkau tadi melakukannya dengan terbalik. Ha-rap kaulatih setiap hari dengan tekun. Maya-sumoi."
Maya mengangguk dan menjawab, "Baiklah, Suheng." Akan tetapi mukanya yang menunduk itu membayangkan keti-dakpuasan hatinya.
"Sekarang engkau, Khu-sumoi," Han Ki menyuruh sumoinya yang ke dua.
"Baik, Suheng. Harap Suheng lihat baik-baik dan suka memberi tahu kesa-lahan-kesalahanku seperti yang dilakukan Suci tadi agar aku mengenal kesalahanku sendiri!" kata gadis cilik ini dan dengan gerakan lincah dan ringan sekali mulai-lah tubuhnya berkelebatan di sekeliling arca, jari tangannya yang kecil mungil melakukan totokan-totokan secara cepat. Kalau tadi gerakan Maya kelihatan amat cepat dan indahnya, kini ternyata bahwa gerakan Siauw Bwee lebih cepat lagi dan setelah ia selesai bersilat dan menghabis-kan semua jurus penyerangan totokan pada tubuh arca itu, Han Ki berkata,
"Bagus! Totokanmu tepat semua, penggunaan jari tangan benar dan kece-patanmu cukup, hanya dalam melakukan totokan, engkau harus pandai mengumpul-kan tenaga sin-kang di Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 172
ujung jarimu agar setiap totokan, pada tubuh manusia akan berhasil baik."
Melihat betapa Han Ki, memuji sumoinya, Maya meloncat ke depan dan berkata,
"Suheng, aku mau berlatih lagi dengan arca keparat ini!" Tanpa menanti jawab-an Han Ki, Maya sudah bergerak lagi menerjang dan menyerang arca batu, gerakannya cepat dan serangannya amat kuat
"Krakkk! Dada arca itu retak-retak dan Maya, menyusulkan sebuah pukulan lagi dari punggung, membuat tubuh arca itu pecah dan jatuh di atas lantai.
"Ahhh, Sumoi! Engkau telah merusak-kan arca!" Han Ki berseru marah. Kare-na dalam kemarahannya melihat Siauw Bwee dapat melampauinya dan mende-ngar Han Ki memuji-muji Siauw Bwee padahal tadi mencelanya, Maya tidak lagi menggunakan totokan jari tangan, me-lainkan pukulan-pukulan dengan telapak tangan terbuka sehingga arca itu menjadi pecah dan rusakl
Mendengar teguran Han Ki dan me-lihat betapa sinar mata Han Ki tajam memandangnya penuh kemarahan, Maya menundukkan muka dan berkata,"Salah-ku, Suheng. Aku bersalah dan siap me-nerima hukuman...."
Han Ki menghela napas panjang. Ma-ya amat keras hati, akan tetapi kalau sudah menerima kesalahan dan Siap di-hukum seperti itu, hati siapa tidak mera-sa iba dan sayang" Siauw Bwee melang-kah maju, memegang lengan Maya dan berkata, "Suheng, kalau arca itu rusak, bukanlah kesalahan Suci, melainkan arca itu yang salah mengapa begitu rapuh" Alat untuk menguji ilmu dan berlatih haruslah yang kuat, apalagi arca ini setiap hari ditotok dan dipukul, tentu saja lama-lama pecah."
Han Ki tersenyum. Kedua orang su-moinya ini memang aneh dan lucu. Tadi saling berlumba dan bersaing, akan tetapi begitu yang seorang terancam bahaya, yang lain siap membela dan melindungi-nya! "Arca ini peninggalan Suhu, kini teiah menjadi rusak, kita harus dapat membuatkan penggantinya."
Han Ki lalu mencari batu karang yang terselimut salju, membongkar se-bongkah batu sebesar manusia, dan mulai hari itu dia mencoba untuk mengukir batu membentuk tubuh seorang manusia. Dan dalam usaha ini terjadi keanehan dan penemuan bakatnya. Ternyata Han Ki memiliki bakat seni ukir yang luar biasa sekali! Maya dan Siauw Bwee ber-seru terheran-teran dan kagum ketika mereka menyaksikan betapa arca buatan Han Ki ternyata amat baik, bentuknya menyerupai manusia benar dan biarpun tidak sehalus arca yang rusak, namun tidak kalah baik dalam bentuknya. Melihat hasil ukirannya yang tak terduga--duga ini Han Ki menemukan bakatnya dan kini pada setiap waktu terluang dia tentu sibuk dengan pekerjaan mengukir untuk memperdalam kemahiran tangannya.
Demikianlah, Han Ki dan dua orang sumoinya dengan amat tekun mempelajari ilmu-llmu yang amat tinggi peninggalen Bu Kek Siansu sehingga mereka mewarisi ilmu-ilmu yang luar biasa. Kalau dua orang gadis cilik itu saja berubah men-jadi orang-orang yang amat lihai, apalagi Han Ki. Sebelum tinggal di pulau, dia sudah merupakan seorang pemuda sakti yang sukar dicari tandingannya, apalagi sekarang! Namun, di samping ketekunan mereka yag bercita-cita dan melatih diri menjadi orang-orang sakti, terdapat-lah keruwetan-keruwetan perasaan di antara dua orang gadis remaja yang berangkat dewasa. Han Ki adalah seorang pemuda yang tempan dan gagah, lagi amat pandai. Bagi kedua orang dara remaja itu, Han Ki merupakan suheng, juga guru dan merupakan orang terpan-dai. Maka, anehkah kalau di dalam hati kedua orang dara remaja ini tumbuh tunas yang sama" Perasaan ini pulalah yang sesungguhnya yang menyebabkan kedua orang kakak beradik seperguruan yang sebetulnya saling menyayang ini selalu bersaing, apalagi di depan Han Ki! Mereka bertiga yang memasuki Pulau Es yang kosong itu tidak tahu bahwa bersa-ma dengan mereka masuk pula setan yang mengubah diri menjadi Cinta, Nafsu dan Cemburu. Melawan musuh yang kuat dapat mengandalkan ilmu silat tinggi yang telah dikuasai, akan tetapi bagai-mana orang-orang muda itu akan dapat melawan setan yang bersembunyi di da-lam dirinya sendiri"
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 173
Kalau Han Ki sedang, melatih silat kepada dua orang sumoinya, dia selalu merasa kagum, karena selain cerdik dan berbakat, juga kedua orang sumoinya itu merupakan dua orang gadis remaja yan cantik jelita. Sukar dikatakan siapa antara mereka yang cantik. Maya memiliki kecantikan yang panas dan liar, bagaikan setangkai bunga mawar hutan, memiliki daya tarik istimewa dan khas. Akan tetapi, daya tariknya itu sukar dikatakan dapat mengalahkan daya tarik yang dimiliki Siauw Bwee dengan kehalusannya dan pengertiannya yang mendalam.
Sama sekali Han Ki, pemuda yang pernah patah hati ini, yang merasa putus asa pula dan tidak bersemangat, bahkan diam-diam berjanji dalam hati untuk tidak mendekati wanita, tidak pernah mimpi bahwa dialah orangnya yang akan mabok kepayang, bahkan akan menjadi akibat daripada serangkaian peristiwa yang amat hebat!
*** "Bagus sekali! Ahh, Suheng, terima kasih! Terima kasih banyak, burung batu ini indah sekali, lihat, seolah-olah dia bernapas!" Siauw Bwee bersorak girang ketika menerima burung batu yang dibuat oleh Han Ki atas permintaannya. Han Ki memandang dengan wajah berseri, diam--diam merasa geli bahwa Siauw Bwee yang kini usianya sudah empat belas tahun itu kelihatan seperti seorang anak kecil, begitu girang memeluk burung-burungan dari batu yang diukirnya dari batu karang putih. Siauw Bwee lalu ber-lari-lari pergi mencari Maya yang ber-latih di belakang istana.
Han Ki lalu pergi memasuki ruangan dalam untuk melanjutkan usahanya. yang sudah ia kerjakan kurang lebih setahun lamanya, yaitu menuliskan ilmu-ilmu silat tinggi yang ia gabungkan dari ilmu-ilmu yang dipelajarinya selama ini ke dalam sebuah kitab. Bu Kek Siansu telah ber-pesan kepadanya bahwa setelah kitab-kitab yang ditinggalkannya di istana itu habis dipelajari, kitab-kitab itu harus dibakar.
"Kitab-kitab pelajaran iimu silat tidak baik ditinggalkan begitu saja," kata guru-nya. "Ilmu silat merupakan ilmu yang amat berguna jika terjatuh ke tangan orang yang baik-baik, akan tetapi sekali terjatuh ke tangan orang yang hatinya gelap tersesat, amatlah berbahaya. Kare-na itu, setelah isinya dapat dipelajari dengan kedua orang sumoimu, kitab-kitab itu harus dibakar."
Karena inilah, maka Han Ki terpaksa membakar dan memusnahkan kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu yang telah mereka pelajari, dan karena dia tidak ingin melupakan ilmu-ilmunya, maka dia sendiri lalu merangkai kitab yang berisi-kan ilmu-ilmu yang digabungnya sendiri dari banyak ilmu silat yang telah ia pe-lajari.
Tiba-tiba Han Ki mendengar suara ribut-ribut di belakang istana. Suara Maya dan Siauw Bwee, seperti orang bertengkar. Cepat ia menghentikan tulis-annya dan lari ke belakang.
Dilihatnya Siauw Bwee dan Maya bertanding memperebutkan batu putih! Ketika Han Ki tiba di situ, perebutan mencapai puncaknya. Maya berusaha merampas burung batu itu dari tangan Siauw Swee yang mempertahankan. Keduanya meme-gang burung batu itu, bersitegang
hendak menarik dan mengerahkan tenaga.
"Prakkk" Burung batu itu pecah men-jadi perkeping-keping dan jatuh berham-buran ke atas tanah!
"Ohhh....! Burungku.... aih, burungku pecah....!" Siauw Bwee berlutut, menangis memandang burung batu yang sudah pe-cah berantakan di depan lututnya.
Melihat munculnya Han Ki dan akibat perebutan itu, Maya menjadi pucat dan dia mencela,
"Ahh, begitu saja menangis. Ce-ngeng....!"
"Maya-sumoi!" Apa yang kaulakukan itu?" Han Ki membentak, marah kepada Maya dan
kasihan kepada Siauw Bwee.
"Aku hanya ingin meminjam, dan me-lihat sebentar. Dasar dia kikir, manja dan cengeng!"
"Tidak! Dia memang hendak meram-pasnya!" Siauw Bwee membantah, ter-isak-isak.
"Maya-sumoi, tidak baik meminjam milik orang lain dengan paksa," Han Ki kembali
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 174
menegur, tidak senang karena melihat Maya mulai bersikap keras dan memaksa kepada Siauw Bwee.
"Suheng, engkau yang tidak adil, pilih kasih! Kau membuatkan mainan kepada Sumoi, akan tetapi tidak kepadaku."
Han Ki mengerutkan keningnya. "Su-moi, burung batu itu kubuat atas per-mintaan Khu-sumoi, bukan semata-mata aku membuatkan untuknya. Kalau engkau juga menginginkan sebuah, mengapa tidak minta saja kubuatkan dan merampas kepunyaan Khu-sumoi"
Perbuatanmu itu tidak benar. Kau harus minta maaf ke-pada Khu-sumoi!"
"Sudahlah, Suheng. Suci tidak merusak burung batuku." Siauw Bwee bangun ber-diri dan mengusap air matanya. Melihat betapa Maya dimarahai Han Ki, timbul rasa kasihan di hati Siauw Bwee.
"Lihat, Khu,sumoi begini baik kepadamu, akan tetapi engkau selalu nakal, Maya-sumoi," Han Ki kembali menegur.
Sejenak sepasang mata yang indah itu menatap wajah Han Ki, kemudian meno-leh kepada Siauw Bwee.
Tiba-tiba Maya terisak dan air matanya mengucur. "Memang aku selalu nakal! Memang aku paling jahat! Lebih baik aku pergi saja agar jangan mengganggu Sumoi dan membikin marah Suheng!" Maya memba-likkan tubuhnya dan lari meninggalkan Han Ki dan Siauw Bwee.
"Suci, kau hendak ke mana?" Siauw Bwee hendak mengejar akan tetapi Han Ki memegang lengannya mencegah.
"Kalau dia sedang marah, dikejar dan dibujuk pun percuma. Biarkan dia, nanti kalau sudah mendingin hatinya, tentu dia kembali sendiri." Karena di dalam hati-nya Han Ki masih marah kepada Maya, maka dia sengaja membiarkan saja ka-rena dipikirnya, ke mana Maya dapat pergi" Pulau itu tidak berapa luas.
Akan tetapi, setelah malam tiba dan Maya belum juga kembali, mulailah hati Han Ki menjadi gelisah. Juga Siauw Bwee merasa khawatir sekali dan mereka berdua mulai mencari, mengelilingi pulau dari dua jurusan. Akan tetapi, mereka bertemu kembali dengan tangan hampa.
"Kucari kemana-mana tidak ada . Suheng.Jangan-jangan dia...."
"Tidak bisa pergi dari sini. Perahu kita masih ada. Entah dimana nak nakal itu!"
"Suheng, Suci tidak nakal! Ahh.... dia harus dapat ditemukan kembali, Bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan dia" Suheng, aku khawatir sekali...."
"Tenanglah. Kaupersiapkan saja makan malam. Aku akan mencari Maya ssmpai depat." Han Ki pergi lagi mencari, kini dia tidak menyembunyikan kekhawatiran hatinya dan mulai berteriak-teriak nya-ring memanggil nama Maya.
"Mayaaaaa....! Sumoi....! keluarlah....! Di mana engkau....?"
Suara Han Ki bergema di seluruh permukaan pulau karena dia mengerahkan tenaga dari dalam perutnya, mempergu-nakan khi-kang yang kuat sekali. Mendengar suara itu Siauw Bwee merasa makin khawatir. Dia melanjutkan persiap-annya membuat makan malam untuk mereka bertiga dan dia mendengarkan gema suara Han Ki dari jauh.
"Maya....! Maya....! Maya....!"
Tidak ada orang lain mendengar suara nyaring bergema ini kecuali Siauw Bwee dan tentu saja Maya yang bersembunyi! Maya tersenyum, hatinya puas. Memang dia sejak tadi bersembunyi dan memang itulah keinginan hatinya, bersembunyi tidak mau keluar lagi agar Han Ki susah payah mencarinya, agar suhengnya dan sumoinya cemas memikirkannya, terutama sekali suhengnya! Ia tersenyum mendengar suara Han Ki memanggil-manggil namanya dan ia tahu bahwa suhengnya tentu mencarinya di seluruh permukaan pulau itu. Tentu saja dia tidak bodoh bersembunyi di pulau yang kosong itu. Dia bersembunyi di tempat yang tidak akan disangka-sangka oleh suheng dan sumoinya, yaitu di dalam ruangan bawah istana!
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 175
Biar dia tahu rasa, demikian pikir Maya. Hatinya gemas sekali kalau meng-ingat betapa Han Ki membuatkan mainan sumoinya dan dalam pertengkaran tadi jelas bahwa suhengnya
membela sumoi-nya, bahkan memarahinya di depan su-moinya. Hatinya sakit sekali. Biar seka-rang dia mencariku setengah mati, aku tidak akan kembali kepada mereka! Akan tetapi, ke mana dia dapat pergi" Kalau terus bersembunyi di dalam ruangan bawah itu, tentu suheng dan sumoinya akan dapat menemukannya. Maya mencari-cari tempat sembunyi. Melihat arca batu yang tadinya mereka pakai sebagai alat melatih tiam-hoat, yang kini sudah pecah dan hanya tinggal kaki dan pinggangnya saja yang masih berdiri di situ, hatinya makin sakit, teringat ia betapa dalam latihan itu pun ia dimarahi su-hengnya karena membikin pecah arca.
Ahh, pecahan arca itu masih berada di situ. Kalau dia tumpuk di depan rak sen-jata, tentu merupakan tempat sembunyi yang baik, yaitu di belakang tumpukan, di bawah kolong rak senjata. Berpikir demikian, Maya lalu menghampiri arca yang tinggal setengah badan bagian bawah, kemudian ia memeluk kaki arca itu, mengerahkan tenaga untuk mengang-katnya.
Namun, arca itu sama sekali tidak dapat ia gerakkan! Ia berdiri me-mandang penuh penasaran.
Sin-kangnya sudah kuat, masa dia tidak dapat meng-angkat batu ini" Menurut ukurannya, biar arca itu masih utuh sekalipun pasti dia akan kuat mengangkatnya. Mengapa kaki arca ini tak dapat dia angkat sedikit pun" Ia menjadi penasaran, kembali membungkuk, memeluk kedua kaki arca dan mengerahkan tenaga, menarik, mem-betot dan memutar.
Sisa arca itu tidak terangkat akan tetapi tergeser dan betapa heran rasa hati Maya ketika melihat bahwa di bawah landasan kaki arca itu, lantainya berlubang" Akan tetapi
keheranannya berganti kegirangan dan ia berkata, "Ini-lah tempat sembunyi yang baik!"
Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu memasuki lubang itu dan kembali dia terheran-heran kare-na di bawah lubang terdapat anak tangga dari batu. Dengan penuh keheranan, lupa akan niatnya bersembunyi sehingga dia tidak menutup lagi kaki arca di atas lubang dengan hati-hati Maya menuruni anak tangga batu itu, terus ke bawah. Kiranya di bawah arca itu terdapat se-buah lorong rahasia ke bawah tanah!
Dengan hati-hati akan tetapi sedikitpun juga tidak merasa takut, Maya melanjutkan perjalanannya menuruni lorong kecil, Dia dapat menduga bahwa lorong ini memang sengaja dibuat orang, berada di bawah istana dan hal ini selain ter-bukti dari adanya anak tangga batu, juga karena lorong ini tidaklah gelap, melain-kan mendapat penerangan dari atas, yaitu datang dari sinar penerangan me-lalui lubang-lubang rahasia.
*** Akan tetapi karena penerangan di malam itu hanya datang dari beberapa buah kamar saja di atas, yaitu kamarnya, kamar Siauw Bwee dan kamar Han Ki, juga di dapur, maka makin ia turun ke bawah makin gelaplah cua-ca. Maya berhenti dan duduk menga-so. Teringatlah ia kembali akan tujuan-nya semula, yaitu bersembunyi. Ah, tem-pat sembunyi yang baik dan tidak mung-kin Han Ki dapat mencarinya di sini. Ia tersenyum puas, akan tetapi mulai mera-sa ngeri karena tak lama kemudian tem-pat itu menjadi gelap sekali. Hal ini karena adalah penerangan di dapur, yang letaknya di atas tempat itu, dipadamkan oleh Siauw Bwee yang sudah selesai me-masak.
"Dia tidak ada!" Kata Han Ki sambil menghela napas panjang, kini penuh ke-khawatiran.
"Begini gelap, tentu sukar mencari-nya," kata Siauw Bwee.
"Besok akan kucari lagi sampai dapat. Heran sekali, ke mana perginya anak nakal itu?"
"Dia tidak nakal, Suheng...."
Kembali pemuda itu menghela napas, "Hemm, dia seringkali mengganggumu dan kau selalu melayaninya, akan tetapi sekarang kau selalu membelanya. Kau makanlah, Sumoi."
"Marilah, Suheng."
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 176
"Makanlah, aku tidak lapar."
"Suheng mengkhawatirkan keselamatan Suci?"
"Tentu saja. Entah di mana anak itu. Aku bertanggung jawab atas keselamat-annya. Dia lenyap, bagaimana aku tidak khawatir?"
"Kalau Suheng tidak mau makan, aku pun tidak makan."
"Makanlah, Sumoi, aku akan pergi lagi mencarinya." Han Ki berkelebat keluar untuk mencari lagi sumoinya yang hilang.
Siauw Bwee berdiri menghadapi ma-kanan, alisnya berkerut. "Dia.... dia men-cintai Suci"
Tiba-tiba ia menjatuhkan diri di atas bangku dan menyandarkan muka berbantal lengan di atas meja, pundaknya bergoyang-goyang. Siauw Bwee menangis!
Semalam itu Siauw Bwee tidak tidur, gelisah di dalam kamarnya. Makanan yang telah dibuatnya dan disediakan di ruangan belakang di atas meja, tidak tersentuh. Juga Han Ki tidak tidur, bah-kan semalaman itu ia tidak kembali ke istana, karena dia terus mencari Maya di seluruh Pulau Es, beberapa kali mengelilingi pulau sehingga setiap tempat yang mungkin dijadikan tempat sembunyi sumoinya itu dijenguknya sampai dua tiga kali. Namun hasilnya sia-sia belaka.
Setelah matahari terbit, ia berdiri termenung di tepi laut. Tiba-tiba ia menepuk kepalanya sendiri. Ah, ke mana Maya dapat pergi" Tidak mungkin dapat meninggalkan pulau tanpa perahu! Tentu berada di pulau dan karena semalam penuh ia mencari di luar istana, ten-tu sumoinya itu bersembunyi di dalam istana! Mengapa dia begini bodoh" Ber-gegas ia lari memasuki bangunan besar itu dan mencari-cari. Semua kamar di-masukinya dan akhirnya ia memasuki ruangan bawah, tempat mereka berlatih tiam-hiat-hoat. Begitu masuk, ia men-cium sesuatu yang aneh, harum-harum dan amis, juga tampak olehnya lubang di atas lantai dekat kaki arca yang pecah! Ia terbelalak heran, kemudian tanpa ra-gu-ragu lagi ia merayap memasuki lubang itu.
Maya yang tertidur sambil duduk ber-sandar dinding batu, terbangun dan me-lihat betapa tempat yang gelap itu kini menjadi terang. Ia dapat menduga bahwa tentu malam telah terganti pagi karena sinar yang masuk dari atas adalah sinar matahari. Timbul keinginan hatinya untuk melanjutkan penyelidikannya, maka ia terus berjalan turun, menuruni anak tangga batu. Dari jauh ia sudah mencium bau harum yang aneh di sebelah bawah. Ketika ia tiba di akhir anak tangga batu dan melihat ke depan ternyata bahwa anak tangga itu berakhir di dalam sebuah ruangan yang lebar dan di atas lantai tampak uap mengebul memenuhi ruangan. Ia tertarik dan mendekat. Tiba-tiba ia menjerit dan membalikkan tubuh hendak lari naik karena kini matanya yang sudah biasa dapat melihat di balik uap putih itu terdapat banyak sekali ular merah. Puluhan, bahkan ratusan ekor banyaknya! Ular-ular berkulit merah berdesis-desis saling belit dan agaknya ular-ular itu melihat kedatangannya karena ular-ular itu mengangkat kepala memandang kepadanya dengan lidah bergerak-gerak cepat keluar masuk mulut yang kebiruan.
Dengan hati penuh kengerian Maya melangkah hendak lari menaiki anak tangga dan pergi dari tempat yang me-nyeramkan itu, akan tetapi tiba-tiba kepalanya terasa pusing, pandang mata-nya berkunang dan seluruh tubuhnya pa-nas, kakinya gemetar lemas dan akhirnya gadis cilik ini terguling roboh di atas anak tangga. Ratusan ekor ular merayap perlahan menghampirinya, akan tetapi karena anak tangga itu terbuat dari batu dan licin, maka ular-ular itu tidak dapat merayap naik, baru sampai dekat kaki Maya sudah terpeleset jatuh kembali ke bawah. Akan tetapi, uap putih harum amis yang keluar dari mulut wereka ma-kin tebal memenuhi ruangan. Maya tidak melihat kengerian ini karena dia sudah pingsan, rebah terpelanting di atas anak tangga.
"Maya....!" Han Ki terkejut dan ce-mas sekali menyaksikan tubuh Maya menggeletak di atas anak tangga sedang-kan di bawahnya, ratusan ekor ular merah berusaha untuk merayap naik.
Cepat pemuda yang banyak pengalaman dan maklum bahwa uap putih harum itu ada-lah Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 177
hawa beracun, menahan napas dan menyambar tubuh Maya, dibawanya lari naik menjauhi gumpalan uap. Kemudian ia menurunkan tubuh Maya di atas lantai lorong yang rata, memeriksa nadi pergelangan tangan Maya. Ia bernapas lega. Jalan darah sumoinya tidak berubah, per-napasannya biasa, hanya tubuhnya agak panas dan mungkin sumoinya pingsan karena kaget. Cepat ia memijit beberapa jalan darah di tengkuk dan pundak Maya. Maya mengeluh, bergerak perlahan, membuka mata dan napasnya mulai terengah-engah! Hal ini mengherankan hati Han Ki, juga mendatangkan rasa khawatir. Ia memeluk tubuh sumoinya, mengangkat kepala gadis cilik itu dan mengguncang-guncangnya.
"Maya-sumoi....!"
Maya memandang kepada Han Ki. Pemuda ini terkejut. Sepasang mata yang indah itu kini mengandung sinar yang
amat luar biasa, seolah-olah mengeluar-kan api, wajah yang jelita itu menjadi kemerahan, mengingatkan ia akan wajah kekasihnya dahulu, yaitu puteri Sung
Kwi di waktu berlumba asmara dengan dia!
"Maya...."
Han Ki tidak dapat melanjutkan kata-katanya saking kagetnya ketika tiba-tiba Maya merangkul lehernya dengan kedua lengan, merangkul erat-erat dan me-nyembunyikan muka ke dadanya, didekapkan kuat-kuat sambil berbisik, "Suheng.... ah, Suheng....!" Kemudian gadis cilik itu menangis! "Suheng.... apakah kau sayang kepadaku....?"
Hati Han Ki menjadi lega karena tangis menandakan bahwa Maya tidak menderita sesuatu, akan tetapi sikap dan pertanyaan Mayamembuat ia merasa aneh.
"Tentu saja aku sayang padamu, Sumoi," jawabnya dengan cepat, karena memang tentu saja dia sayang kepada sumoinya, baik Maya maupun Siauw Bwee.
Jawaban ini dijawab dengan rangkulan yang lebih ketat lagi sehingga ia merasa tidak enak sendiri, lalu berusaha mele-paskan rangkulan Maya. Akan tetapi, kedua lengan itu merangkul makin ketat dan mulut Maya betbisik, "Peluklah aku erat-erat.... Suheng...., jangan lepaskan lagi....!"
"Maya....!" Han Ki berseru kaget dan jantungnya berdebar.
"Suheng.... aku cinta padamu, Suheng.... ahhh....!" Kini Maya mengangkat mulut-nya dan membuat gerakan hendak men-cium pipi Han Ki. Pemuda itu terkejut seperti diserang ular berbisa. Melihat mata yang penuh gairah dari sumoinya, ia mengerti bahwa tentu uap putih ha-rum itu yang mengandung racun aneh sehingga mempengaruhi watak Maya yang luar biasa ini, seolah-olah gadis cilik itu berubah menjadi seorang wanita yang penuh nafsu berahi!
Cepat ia menotok tubuh sumoinya sehingga Maya mengeluh dan terkulai lemas, kemudian ia memon-dongnya dan membawanya lari naik.
"Suheng....! Suci kenapa....?" Siauw Bwee ternyata mencari sucinya dan ber-hasil menemukan lubang rahasia. lalu me-masukinya. Kini dia melihat Han Ki berlari naik dari bawah memondong tubuh sucinya yang terkulai lemas.
"Khu-sumoi, lekas kembali! Di sini berbahaya!" kata Han Ki. Ucapan ini mengejutkan Siauw Bwee dan bersama-sama mereka lari naik dan keluar dari lubang di lantai ruangan bawah.
Karena lubang itu kecil, maka Siauw Bwee yang keluar lebih dahulu membantu tubuh Maya yang didorong keluar dari bawah oleh Han Ki. Kemudian Han Ki memon-dong tubuh itu dibawa ke dalam kamar Maya yang berada di sebelah kamar Siauw Bwee.
"Di bawah banyak ular merah bera-cun. Agaknya dia terkena racun uap putih yang keluar dari mulut ular-ular itu," kata Han Ki sambil menotok beberapa jalan darah di tubuh Maya. Gadis itu segera tertidur pulas, "Dia perlu beristi-rahat, biarkan dia tidur agar hawa bera-cun lenyap dari tubuhnya."
Sehari semalam Maya tidur pulas, bahkan dia tidak terbangun ketika Siauw Bwee
menuangkan air obat yang dibuat oleh Han Ki. Setelah memberi obat, Han Ki duduk bersila dan menempelkan tela-pak tangannya di punggung Maya, meng-gunakan sin-kangnya untuk Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 178
"membersih-kan" tubuh sumoinya dari pengaruh hawa beracun. Pada keesokan harinya, Maya terbangun dan ia bangkit duduk, meng-usap-usap matanya dan memandang kepa-da Siauw Bwee.
"Ular.... banyak sekali...., ular me-rah....!" katanya gugup.
Siauw Bwee merangkulnya dengan hati lega. "Engkau sudah aman, Suci. Suheng
menyelamatkanmu."
"Aku di sini, Sumoi," Han Ki mema-suki kamar, menekan perasaannya agar guncangan hatinya tidak terlihat di wa-jahnya. Diapun menekan kemarahannya atas perbuatan Maya yang membingung-kan dia dan Siauw Bwee semalam suntuk.
"Ahhh, kini aku teringat.... lubang rahasia di bawah arca.... lorong di ba-wah tanah....
dan ular-ular merah! Hiiih, menjijikkan! Suheng, kaumaafkan aku, ya?"
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Sumoi. Aku girang bahwa engkau sela-mat. Ular-ular itu berbahaya sekali, en-tah bagaimana bisa berada di bawah sana. Harus dibasmi."
"Aku ikut, Suheng!" Siauw Bwee ber-kata penuh semangat.
"Aku juga ikut!" kata Maya sambil melompat turun dari pembaringan. Han Ki tersenyum.
Maya telah pulih kembali, telah memperlihatkan sikap tidak mau mengalah seperti biasa.
"Memang aku akan mengajak kalian akan tetapi kita makan dulu. Siapakah yang sudah makan malam tadi?"
"Aku belum!" jawab Maya, mendadak merasa betapa perutnya lapar sekali. "Bukan hanya semalam, sudah dua hari dua malam aku tidak makan!"
"Aku juga belum sama sekali!" Siauw Bwee berkata.
"Aihh! Mengapa Sumoi?", Maya berta-nya.
"Dia gelisah memikirkanmu, mana bisa makan?" Han Ki berkata.
Maya memandang Siauw Bwee, lalu merangkul dan mencium pipi sumoinya. Melihat ini, Han Ki berdebar, teringat akan perbuatan Maya seperti itu terha-dapnya ketika Maya dikuasai racun ular.
"Sumoi, kau baik sekali! Aku sungguh sayang kepadamu, Sumoi!"
Siauw Bwee balas memeluk. "Maka jangan kau pergi lagi, Suci. Aku tidak bisa makan dan tidur kalau, kau pergi," jawab Siauw Bwee.
Tiba-tiba Maya menoleh kepada Han Ki. "Dan engkau pun tidak makan tidak tidur, Suheng?"
Jantung Han Ki berdebar. Ia seperti melihat betapa sinar mata Maya ini ber-beda dari biasanya, bukan pandang mata kanak-kanak lagi, melainkan pandang mata seorang gadis yang sudah mulai dewasa, pandang mata seorang wanita! Ia menekan debar jantungnya dan memasang muka cemberut, menjawab, "Aku sete-ngah mati mencarimu, mana ingat makan dan tidur?"
"Aihh! Aku membikin susah kalian! Maafkan saja. Biar kumasakkan yang enak untuk
kalian!" Maya berlari ke da-pur dan Siauw Bwee tertawa, menoleh kepada Han Ki, berkata,
"Lihat! Suci begitu baik, mana bisa dibilang nakal?" Dan ia pun lari menge-jar untuk membantu Maya mempersiap-kan makanan.
Setelah makan, tiga orang itu lalu bersama memasuki lorong rahasia di bawah tanah. Tadinya Siauw Bwee dan Maya membawa sebatang pedang karena mereka bermaksud untuk
membunuh ular-ular berbahaya itu. Akan tetapi mereka dilarang oleh Han Ki yang berkata,
"Ular-ular itu berbahaya sekali. Baru uap yang keluar dari mulut mereka saja sudah amat berbahaya. Tidak mungkin kita dapat mendekati binatang-blnatang itu untuk membunuhnya."
"Habis, bagaimana baiknya, Suheng?" tanya Maya yang masih belum tahu bahw-a dia nyaris menjadi korban uap bera-cun. Bahkan sesungguhnya, akibat racun ular merah itu masih belum lenyap sama sekali dari tubuhnya, yang membuat ia kini merasa ada sesuatu yang aneh dalam hatinya terhadap Han Ki, yang mendatangkan gairah dan rangsangan berahi namun belum dimengerti benar oleh hati-nya yang masih belum matang.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 179
"Aku akan menggunakan api. Tidak mungkin ular-ular itu berada di sana tadinya. Suhu tentu tidak akan membuarkan ular-ular berbahaya itu memenuhi ruangan. Tentu ular-ular itu datang dari lain tempat, maka biarlah kuusir mereka itu dari ruangan bawah tanah. Kalau tidak mau pergi, binatang-binatang itu akan kubasmi dengan api."
Selama tinggal di Pulau Es, Han Ki beberapa kali pergi menggunakan perahu untuk mencari bahan makanan, binatang buruan, buah-buahan dan sayur-sayuran, juga ranting-ranting kering untuk bahan bakar darl pulau-pulau yang berdekatan. Kini ia merrrbawa ranting-ranting dan daun kering serta menyalakan obor rnemasuki lorong rahasia itu bersama kedua orang sumoinya yang juga memba-wa ranting-ranting kering.
Dengan hati-hati mereka menuruni annk tangga , dan dari atas tampaklah oleh mereka ular-ular itu dengan uap yang harum.
"Kita nyalakan ranting-ranting dan melemparkan ke bawah. Akan tetapi hati-hatilah, kalau mendekat ke sana harus menahan napas. Jika sudah tidak tertahan, segera naik lagi dan bernapas di tempat yang tak ada uap putihnya. UA itu berbahaya sekali!" Han Ki ber-kata,
"Akan tetapi, lemparkan ranting-ranting berapi di dekat anak tangga agar jangan sampai menimbulkan kebakaran. Kulihat di sudut ruangan itu ada lemari dan meja, jangan sampai barang- barang itu terbakar. Siapa tahu kalau-kalau Suhu menyimpan sesuatu di sana."
Tiga orang itu membakar ranting dan melemparkan ke bawah. Melihat me-nyambarnya
ranting-ranting berapi itu, beberapa ekor ular lalu menerjang dan tentu saja mereka bertemu dengan api dan seketika mereka berkelojotan. Han- Ki dan kedua orang sumoinya
melempar-kan lagi beberapa batang ranting berapi. Kembali ular-ular itu menyerang sambil mendesis-desis dan begitu bertemu api, binatang-binatang itu berkelojotan dan menyerang kawan sendiri membabi buta. Akhirnya mereka itu agaknya baru tahu bahwa benda-benda bernyala itu berbaha-ya. Mulailah ular-ular itu menjadi panik, bergerak saling terjang, saling belit dan berlumba lari memasuki sebuah lubang yang terdapat di sudut ruangan itu.
Dua tiga kali Maya dan Siauw Bwee, meloncat naik ke atas menjauhi uap beracun untuk bernapas, sedangkan Han Ki yang lebih kuat masih bertahan terus.
"Lihat, mereka lari dari sebuah lu-bang. Sudah kuduga, tentu ada lubangnya yang menembus ruangan itu. Mereka menggunakan ruangan itu sebagai sa-rang!"
Dengan hati penuh rasa jijik dan nge-ri Maya dan Siauw Bwee melihat ular-ular itu bergerak pergi dan tak lama ke-mudian, di ruangan itu hanya tinggal belasan ekor ular yang mati dan ada yang masih berkelojotan. Uap putih yang tadi memenuhi ruangan bawah itu kini telah lenyap pula, keluar dari lubang-lubang di atas dari mana sinar matahari menerobos masuk.
Agaknya lubang-tubang di atas itu memang sengaja dibuat untuk lubang hawa dan lubang memasukkan sinar matahari.
"Heii, di lemari itu ada kitab-kitab!" Maya berseru dan hendak berlari turun. Akan tetapi, Han Ki memegang lengan-nya mencegah,
"Hati-hati, Sumoi. Biarpun ular-ular telah pergi dan uap telah lenyap, tempat masih amat berbahaya, penuh racun bekas ular. Biarkan aku saja yang turun membersihkan tempat itu dan memeriksa kitab-kitab." Setelah berkata demikian, dengan hati-hati Han Ki menuruni an
Harpa Iblis Jari Sakti 29 Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Harpa Iblis Jari Sakti 14
^