Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 26
wa yang membuatnya jatuh menelungkup tadi bukanlah ambang pintu melainkan Gak Bun Beng!
Ang-siocia memasuki pondoknya dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat gurunya rebah dalam keadaan tertotok. Selagi dia hendak menolong, tiba-tiba dari belakangnya, Gak Bun Beng sudah memegang lengannya dan pendekar ini bertanya, "Apa artinya janji koksu mengambilmu sebagai selir itu"
Ang-siocia menjadi terkejut bukan main dan seketika mukanya menjadi merah. Pendekar ini tadi telah membayanginya dan melihat segalanya! Teringatlah dia akan tendangannya yang ampuh tadi dan dia menduga bahwa tentu pendekar sakti inilah yang tadi telah membantunya. Bun Beng memandang tajam dan tidak peduli melihat nona itu marah, bahkan dia mengerahkan tenaga ketika Ang-siocia meronta untuk melepaskan tangannya sehingga pegangannya makin erat dan nona itu tidak berhasil melepaskan diri.
"Benarkah engkau menjadi calon selir Koksu Nepal" tanyanya dengan suara mendesak, sinar matanya tajam penuh selidik. Kalau benar gadis ini, yang memang cantik dan lincah, menjadi calon selir koksu, maka gadis ini berarti kaki tangan musuh!
Kalau menuruti hatinya, ingin Ang-siocia memaki dan mengejek, menyatakan kalau dia menjadi calon selir koksu, pendekar itu mau apa" Akan tetapi dia tahu akan gawatnya keadaan, apalagi melihat gurunya dalam keadaan tertotok tak berdaya, maka biarpun hatinya terasa panas sekali, dia menjawab juga dengan marah.
"Kalau aku tidak menggertak Ngo-ok yang gila itu, mana aku bisa lolos" Siapa sih yang sudi menjadi selir manusia macam Koksu Nepal" Dia berkata setengah berteriak saking marahnya karena dia dicurigai.
"Sssttttt..... jangan keras-keras berteriak!" Bun Beng yang kini menjadi sibuk mendengar dara itu berteriak, karena kalau sampai terdengar orang tentu berbahaya.
"Biar aku berteriak! Biar diketahui semua orang, aku tidak sudi menjadi selir koksu!"
"Sudahlah, aku bersalah telah mencurigarmu, Nona," kata Gak Bun Beng sambil melepaskan pegangannya.
Ang-siocia cemberut dan mengurut-urut lengannya yang terasa nyeri karena dipegang erat-erat tadi. "Habis Gak-taihiap terlalu tidak percaya kepada orang sih! Dan mengapa Suhu menjadi begini"
"Maaf, maaf.... sekarang aku baru percaya," kata Gak Bun Beng dan pendekar ini segera membebaskan totokannya yang membuat tubuh Si Raja Maling menjadi lumpuh itu.
Touw-ong dapat bergerak lagi dan dia pun memandang kepada pendekar itu dengan alis berkerut. "Sungguh aneh sikap Taihiap yang terlalu tidak percaya kepada kami guru dan murid," katanya setengah menegur.
Gak Bun Beng kembali minta maaf dan Ang-siocia yang tahu bahwa gurunya merasa tidak senang lalu cepat berkata, "Sudahlah, Suhu. Gak-taihiap merasa berada di benteng musuh, maka tentu saja dia terlalu berhati-hati. Tadi aku hampir celaka oleh Ngo-ok yang ternyata memancingku keluar dengan niat jahat. Untung ada Gak-taihiap yang diam-diam membantu, kalau tidak, tentu muridmu ini sudah celaka, Suhu." Ang-siocia lalu menceritakan tentang pengalamannya yang hendak diperkosa oleh Ngo-ok dan betapa Gak Bun Beng telah menolong dengan ilmunya yang tinggi. Mendengar ini, lenyaplah rasa mendongkol di dalam hati Touw-ong. Dia lalu menjura kepada Gak Bun Beng.
"Ah, terima kasih saya haturkan kepada Gak-taihiap yang telah menyelamatkan murid saya...."
Gak Bun Beng menggoyang tangannya dengan tidak sabar. "Sudahlah, kita adalah orang sendiri, menghadapi musuh yang sama, maka perlu apa banyak sungkan lagi" Lebih baik Ji-wi menceritakan kepada saya tentang keadaan di dalam benteng ini dan siapa-siapa saja yang, tertawan, siapa pula yang menjadi pembantu koksu, siapa di antara mereka yang lihai."
"Sebelum kita bicara, kurasa lebih baik kalau Gak-taihiap menyamar pula, agar tidak sampai mudah ketahuan musuh. Gak-taihiap dapat mendengarkan kami bercerita sambil melakukan penyamaran yang akan dikerjakan oleh Suhu."
Mendengar kata-kata muridnya yang cerdik ini, Touw-ong mengangguk. "Memang sebaiknya demikian. Bentuk tubuh Taihiap tidak banyak selisihnya dengan saya, dan saya cukup dikenal di sini, kalau Taihiap menyamar sebagai saya, tidak akan dapat diganggu dan Taihiap dapat bergerak dengan leluasa pula."
Gak Bun Beng setuju dan Touw-ong mulai "mengerjakan" muka dan pakaian Gak Bun Beng sehingga pendekar ini mulai dibentuk menjadi Touw-ong ke dua! Sambil mengerjakan penyamaran itu, Touw-ong dibantu oleh muridnya lalu menceritakan semua keadaan di dalam benteng yang didengarkan penuh perhatian oleh pendekar itu. Bun Beng mendengar betapa Puteri Syanti Dewi tadinya juga tertawan di situ kini telah lolos secara aneh, tanpa ada yang tahu siapa yang menculiknya. Kemudian dia mendengar betapa pemuda Ang Tek Hoat si Jari Maut juga berada di dalam benteng, betapa pemuda Itu telah tertipu dan mengira bahwa Syanti Dewi masih berada di situ sebagai tawanan.
"Kami yang merias seorang dayang menyerupai Syanti Dewi" kata Ang-siocia sambil tertawa. "Yang dikira Syanti Dewi itu adalah seorang perempuan Nepal dan Ang Tek Hoat percaya sepenuhnya."
Gak Bun Beng mengerutkan alisnya, "Hemmm, bocah itu wataknya aneh, juga memiliki kepandaian yang amat lihai. Lebih baik biarkan saja dia begitu, biarkan dia tertipu yang akan membuat dia tenang. Kalau dia tahu bahwa dia tertipu tentu dia akan membuat geger dan hal ini bisa membocorkan rahasia kita."
Kemudian guru dan murid itu bercerita tentang usaha mereka yang sudah berhasil menghubungi Jenderal Kao Liang.
"Sungguh kasihan sekali jenderal yang gagah perkasa itu," kata Touw-ong, "Dia seperti seekor naga yang telah terjebak dalam kurungan. Seluruh keluarganya tertawan, maka mau tidak mau dia harus menuruti semua permintaan koksu. Akan tetapi, jenderal yang gagah perkasa itu tentu saja tidak mau tunduk begitu saja hanya untuk menyelamatkan keluarganya. Dia memiliki rencana yang amat hebat dan besar, dan hanya di dalam tangannya sajalah terletak siasat yang akan menghancurkan pemberontak ini, akan tetapi kepada kami pun dia tidak mau membuka rencana siasatnya itu."
Touw-ong lalu melatih Bun Beng untuk bergaya dan bicara seperti dia agar penyamarannya menjadi sempurna. Kemudian pendekar sakti ini dibawa oleh Ang-siocia untuk menemui Jenderal Kao Liang. Ketika bertemu dengan Gak Bun Beng sepasang mata jenderal yang gagah perkasa itu menjadi basah. Dia tidak banyak bicara, hanya memegang tangan pendekar itu dan suaranya tergetar ketika dia berkata, "Girang bukan main rasa hatiku dapat bertemu dengan Gak-taihiap di sini. Sekarang makin yakinlah hatiku bahwa aku akan dapat menghancurkan mereka ini dan keluargaku akan dapat diselamatkan!"
Gak Bun Beng menekan tangan jenderal itu. "Percayalah, Goanswe, saya akan membantu sampai keluargamu semua selamat."
Mereka tidak berani terlalu lama bicara karena mereka tahu bahwa biarpun Jenderal Kao Liang, Touw-ong dan Ang-siocia bebas dalam benteng itu, namun mereka sesungguhnya adalah orang-orang yang selalu diawasi secara diam-diam oleh koksu. Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong lalu berpamit dan pergi lagi kembali ke tempat tinggal Touw-ong bersama Ang-siocia.
Bukan hanya Jenderal Kao yang berbesar hati dengan kehadiran Gak Bun Beng, juga Touw-ong dan muridnya merasa girang sekali dan mereka lalu mengadakan perundingan secara diam-diam untuk mengatur siasat kalau saat yang baik bagi mereka untuk bergerak sudah tiba.
Koksu Nepal merasa girang bukan main melihat hasil baik dari pertahanan Jenderal Kao terhadap penyerbuan tentara kerajaan yang dipimpin oleh Milana. Berkali-kali serangan dari pasukan kerajaan itu dapat dihalau dan dipukul mundur. Dan pada malam itu, saking girangnya, Koksu Nepal bersama para saudaranya dalam gerombolan Im-kan Ngo-ok, mengadakan pesta kemenangan untuk menghormat dan menyenangkan hati Jenderal Kao Liang. Pesta besar diadakan dan semua pembantu diundang.
Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong menggantikan tempat Touw-ong yang juga tidak ketinggalan diundang, mendatangi tempat pesta bersama Ang-siocia. Dalam kesempatan ini Gak Bun Beng dapat melihat sendiri semua anggauta Im-kan Ngo-ok. Juga dia dapat memperhatikan pula Ang Tek Hoat, pemuda lihai yang berwatak aneh dan keras, keturunan dari Wan Keng In itu. Juga dia melihat Syanti Dewi palsu yang kelihatan sengaja di jauhkan dari para tamu lain oleh Koksu Nepal. Diam-diam Gak Bun Beng merasa kagum kepada Touw-ong dan muridnya karena harus diakuinya bahwa dia sendiri pun tidak akan menduga bahwa wanita itu adalah Syanti Dewi yang palsu! Juga di dalam pesta itu, Koksu Nepal memberi kesempatan kepada Jenderal Kao untuk bertemu dengan para keluarga jenderal itu yang diperbolehkan menghadiri pesta.
Karena Koksu Nepal benar-benar merasa bersyukur dan gembira, bahkan mulai percaya akan kejujuran Jenderal Kao mempertahankan benteng, maka dalam kesempatan itu sang jenderal diperbolehkan untuk beramah-tamah dengan keluarganya. Akan tetapi, pertemuan dalam pesta itu sungguh mengharukan hati Gak Bun Beng. Jenderal Kao Liang tidak dapat menahan keharuan hatinya. Di depan begitu banyaknya orang, yaitu tokoh-tokoh pembantu dari Koksu Nepal, juga di mana hadir pula Pangeran Bharuhendra atau Pangeran Liong Bian Cu, jenderal tua ini merangkul isterinya, kemudian anak-anaknya dan semua anggauta keluarganya seorang demi seorang.
Ada beberapa tetes air mata menitik turun dari kedua matanya. Adegan yang mengharukan ini dipecahkan oleh suara Pangeran Liong Bian Cu.
"Kao-goanswe, pekerjaanmu sungguh amat baik sekali. Dan kalau sampai kita memperoleh kernenangan, tentu engkau akan dapat segera pulang ke kampung bersama keluargamu. Akan tetapi sayang, kita sekarang agaknya terancam bahaya, kita telah dikepung musuh dan agaknya musuh hendak memperketat kepungan, membikin putus hubungan antara kita dengan dunia luar benteng."
Jenderal Kao Liang lalu meninggalkan keluarganya, menghadapi pangeran itu dan berkata, "Harap Pangeran tidak berkecil hati. Saya dapat menghadapi kepungan itu."
"Ha-ha-ha, hal itu tidak perlu dikhawatirkan, Pangeran. Berkat siasat Jenderal Kao Liang yang sudah lama memperhitungkan kemungkinan bahaya ini, gudang-gudang kita telah penuh dengan ransum kering yang akan cukup untuk kita pakai selama satu tahun! Dan tidak mungkin musuh dapat bertahan mengepung kita selama itu dan sudah tentu Kao-goanswe telah memiliki siasat lain untuk menghadapi pengepungan musuh," kata Ban Hwa Sengjin atau Lakshapadma, koksu dari Nepal itu.
"Kong-kong, kenapa Kong-kong menangis" Ayah dan lbu selalu bilang bahwa Kong-kong adalah seorang yang gagah perkasa, dan ayah ibu bilang bahwa seorang yang gagah pantang menangis. Mengapa Kong-kong menangis" Tiba-tiba terdengar suara nyaring ini yang membuat semua orang memandang kepada Cin Liong, karena bocah itulah yang mengeluarkan suara nyaring ini. Jenderal Kao sendiri menoleh dan mukanya menjadi merah sekali ketika dia memandang kepada cucunya itu.
Diam-diam Gak Bun Beng memandang kagum kepada anak itu. Dia dapat menduga bahwa tentu anak itulah yarg oleh Ang-siocia diceritakan sebagai anak dari Si Naga Sakti Gurun Pasir, putera dari Kao Kok Cu dan Ceng Ceng! Seorang bocah yang hebat, pikirnya. Dan dia dapat mengerti betapa perih perasaan hati seorang gagah seperti Jenderal Kao mendengar teguran seperti itu keluar dari mulut cucunya yang masih kecil!
Melihat keadaan yang menegangkan yang ditimbulkan oleh kata-kata anak kecil itu, Koksu Nepal lalu mengambil tindakan halus. Dia lalu menyuruh pengawal mengantar kembali semua keluarga Kao, juga termasuk Syanti Dewi palsu, untuk kembali ke tempat mereka dan meninggalkan ruangan pesta itu. Ang Tek Hoat yang sejak tadi belum berhasil mendekati Syanti Dewi, merasa kecewa, akan tetapi dia tidak melakukan sesuatu. Bagi pemuda ini, sudah cukuplah kalau dia dapat melihat kekasihnya itu dalam keadaan sehat dan selamat.
Pesta dilanjutkan sampai lewat tengah malam. Jenderal Kao minum sampai mabuk, dan melihat ini, Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong lalu bersama Ang-siocia merangkul Jenderal Kao dan membawanya kembali ke kamarnya. Dalam perjalanan mengantar Jenderal Kao ini sampai tiba di kamarnya, mereka berunding.
Perundingan singkat itulah yang membuat Panglima Milana menemukan surat pemberitahuan Jenderal Kao ketika pada keesokan harinya kembali Milana mengerahkan pasukannya menyerbu. Anak panah mengandung surat itu adalah anak panah yang diluncurkan oleh Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong dan yang dalam perang anak panah itu ikut pula membantu "menahan" musuh. Maka sudah terjadi permufakatan antara mereka berempat untuk membakar gudang-gudang ransum sesuai dengan rencanaa yang diatur oleh Jenderal Kao. Mereka diharuskan menanti tanda yang akan diberikan oleh jenderal itu.
Ketika terjadi penyerbuan yang terakhir itu, Kao Kok Cu dan Ceng Ceng mempergunakan keadaan yang ribut untuk menyelundup masuk. Suami isteri ini adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, maka tidak sukar bagi mereka berdua untuk menyelundup masuk benteng lewat tembok tinggi di samping kiri agak jauh dari tempat penyerbuan pasukan kerajaan.
Ang-siocia yang memang ditugaskan oleh Jenderal Kao untuk selalu meneliti tanda-tanda rahasia, menyambut datangnya kawan-kawan, dapat melihat kedatangan suami isteri ini yang tanpa mereka sadari telah menginjak alat-alat rahasa pribadi Jenderal Kao sehingga Ang-siocia dapat mengetahui kedatangan mereka dan menyambut. Maka terkejutlah suami isteri itu ketika mereka meloncat turun dan menyelinap di antara kegelapan bayangan pohon, tiba-tiba ada sesosok tubuh ramping berkelebat disusul suara Ang-siocia yang halus.
"Kao-taihiap dan Lihiap, cepat ke sinilah...."
Suami isteri itu memandang tajam, alis mata mereka berkerut penuh curiga. Melihat sinar mata pendekar itu mencorong, Ang-siocia bergidik dan cepat dia mendekati sambil berbisik, "Harap Taihiap jangan curiga, saya adalah utusan dari Jenderal Kao. Cepat, ke sinilah...."
Kao Kok Cu dan Ceng Ceng lalu cepat mengikuti Ang-siocia, menuju ke sebuah kandang kuda dan mereka memasuki sebuah kamar sederhana di belakang kandang kuda itu. "Harap kalian bersembunyi dulu di sini sampai keributan dari perang di luar itu selesai, nanti Ji-wi akan dapat bertemu dengan suhu, yaitu Hek-sin Touw-ong, Gak Bun Beng taihiap, dan dengan Jenderal Kao sendiri."
Mendengar ucapan itu, giranglah hati Kao Kok Cu dan isterinya. Akan tetapi Ceng Ceng yang sudah tidak sabar lagi menanti berkata, "Jadi engkau adalah murid Touw-ong dan engkau bekerja sama dengan ayah mertuaku"
Ang-siocia mengangguk. "Nama saya Kang Swi Hwa dan saya bersama suhu secara terpaksa menjadi pembantu-pembantu di sini." Lalu dengan singkat dia menceritakan betapa dia dan suhunya bertemu dengan Suma Kian Bu dan Kim Hwee Li, dan betapa mereka berdua membantu dua orang muda itu berusaha untuk membebaskan Syanti Dewi sehingga akhirnya mereka berdua tertawan.
"Untuk menyelamatkan diri, terpaksa kami berdua pura-pura menakluk dan membantu Koksu Nepal. Akan tetapi diam-diam kami mengadakan hubungan dan membantu Jenderal Kao Liang."
Hati Ceng Ceng girang sekali. Dia memegang tangan Ang-siocia dan berkata, "Adik yang baik, kalau begitu harap kau cepat membawaku bertemu dengan puteraku!"
Ang-siocia mengangguk. "Harap kau suka bersabar, Enci. Dalam keadaan ribut seperti ini, koksu telah memerintahkan para pengawal untuk menjaga para tawanan dengan ketat. Sebaiknya nanti saja kalau keadaan sudah mereda, Enci tentu akan dapat bertemu dengan putera Enci yang gagah itu. Akan tetapi Enci harus menyamar, jangan khawatir, aku mempunyai akal untuk mengaturnya."
Kao Kok Cu juga menasehati isterinya agar bersabar dan menanti saat baik, karena sekali saja mereka itu gagal dan diketahui musuh, hal ini mungkin sekali akan membahayakan semua keluarga mereka.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, penyerangan tentara kerajaan di bawah pimpinan Puteri Milana kembali mengalami kegagalan dan setelah menerima surat yang dikirimkan oleh Jenderal Kao melalui anak panah yang dilancarkan diam-diam oleh Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong, Milana lalu menarik mundur pasukannya, lalu membagi-bagi pasukannya untuk melakukan pengepungan dengan ketat.
Gak Bun Beng lalu dipanggil oleh Ang-siocia untuk menemui suami isteri itu. Mereka berunding dan Ceng Ceng lalu dirias oleh Ang-siocia, menyamar menjadi dia sendiri. Tak lama kemudian di ruangan itu telah ada dua orang Ang-siocia yang kembar segala-galanya!
"Sebaiknya Kao-taihiap bersembunyi saja di sini, menyamar sebagai pembantu penjaga kandang," kata Touw-ong dan Si Naga Sakti Gurun Pasir ini mengangguk karena dia pun tahu bahwa dia tidak mungkin dapat menyamar. Lengan kirinya yang buntung itu tidak memungkinkan dia menyamar sebagai orang lain.
Jenderal Kao Liang sendiri merasa girang mendengar bahwa puteranya yang amat diandalkannya, yaitu Kok Cu, bersama isterinya, telah tiba di dalam benteng. Betapapun rindu rasa hatinya, namun dia tidak mau bertemu dengan putera atau mantunya. Amat berbahaya untuk membiarkan Kok Cu muncul di depan umum, karena puteranya itu pernah membikin geger di situ. Dia hanya memesan melalui Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong dan yang dapat mudah menghubunginya, memesan agar mereka semua jangan sekali-kali melakukan gerakan lebih dulu secara lancang.
"Kalian harus menanti sampai terjadi pembakaran gudang-gudang ransum secara berhasil. Musnahnya gudang ransum akan menghancurkan pertahanan mereka, dan setelah itu barulah aku akan memberi tanda kepada Puteri Milana untuk melakukan penyerbuan besar-besaran," demikian pesan Jenderal Kao Liang yang telah mengatur rencana. Anehnya, jenderal ini tidak pernah mau membuka siasatnya secara terperinci sehingga orang-orang gagah itu hanya dapat menduga-duga saja siasat apa yang akan dipergunakan oleh jenderal itu untuk menghancurkan pertahanan benteng yang sedemikian kuatnya itu di samping membakar gudang-gudang ransun.
Puteri Milana mentaati pesan dari Jendera1 Kao Liang. Dia mengatur pasukannya, mengepung benteng itu dengan ketat dan tidak melakukan penyerbuan lagi, hanya kadang-kadang saja dia membiarkan pasukan-pasukan itu mengacau benteng dengan hujan anak panah, kemudian mundur dan kembali menjaga dengan ketat sehingga fihak musuh di dalam benteng tidak akan mungkin dapat mengadakan hubungan dengan luar benteng. Namun, hati puteri perkasa itu makin tidak sabar setelah menanti sampai beberapa hari, belum juga terjadi kebakaran di dalam benteng dan belum juga ada tanda dari Jenderal Kao untuk membolehkan dia melakukan penyerbuan.
Gak Bun Beng, Milana, Hek-sin Touw-ong, Ang-siocia, Kao Kok Cu, dan Ceng Ceng dapat menanti dengan sabar sampai Jenderal Kao Liang memberi isyarat, dan mereka semua itu percaya penuh akan kelihaian sang jenderal mengatur dan menjalankan siasatnya. Akan tetapi ada beberapa orang muda yang tidak tahu akan hal ini dan tidak dapat menanti! Malam itu terjadilah kegemparan besar di dalam benteng ketika empat orang muda menyelundup masuk dan membuat semua penjaga di dalam benteng menjadi geger! Mereka itu bukan lain adalah Suma Kian Lee dan Teng Siang In yang menyelundup masuk dari dinding timur, dan Suma Kian Bu bersama Kim Hwee Li yang menyelundup masuk dari dinding barat!
Mula-mula terdengar teriakan-teriakan para penjaga di dekat dinding benteng sebelah timur karena ada tanda rahasia terpijak orang di atas tembok. Para penjaga menghujankan anak panah pada dua sosok bayangan orang yang bergerak cepat bukan main, namun semua anak panah itu luput dan dua sosok bayaangan orang itu cepat lenyap dalam kegelapan malam di sebelah dalam benteng! Waktu itu sudah lewat tengah malam, sebagian besar penjaga sudah mengantuk, maka tentu saja mereka menjadi gempar ketika tiba-tiba terdengar tanda bahaya. Juga para tokoh lihai yang berada di dalam benteng itu serentak bangun dan melakukan pengejaran dan pencarian. Namun, dua sosok bayangan orang yang dikabarkan menyelundup ke dalam benteng itu telah lenyap.
Selagi para tokoh dan penjaga mencari-cari, tiba-tiba terdengar tanda bahaya di sebelah barat, menandakan bahwa ada fihak musuh menyelundup masuk melalui dinding barat pula. Maka keadaan menjadi makin gempar, para penjaga lari ke sana-sini, para tokoh berkelebatan ke sana-sini mencari-cari karena dikabarkan bahwa dari dinding sebelah barat ini pun menyelundup masuk dua sosok bayangan manusia yang, memiliki gerakan luar biasa gesitnya. Gegerlah di seluruh benteng. Koksu sendiri sampai terbangun dari tidurnya dan dia sendiri bersama para saudaranya memimpin pengejaran dan pencarian terhadap empat orang penyelundup yang dikabarkan oleh para penjaga amat lihai itu.
Tentu saja sukar bagi empat orang muda itu untuk dapat menyembunyikan diri terus-terusan di dalam benteng setelah para penjaga dan para tokoh yang berkepandaian tinggi itu mencari dengan penuh semangat. Beberapa kali mereka kepergok oleh para penjaga yang mencari-cari sehingga mereka terpaksa mempergunakan kepandaian dan lari lagi, dikejar-kejar dan lenyap lagi sehingga keadaan menjadi makin kacau-balau.
Suma Kian Bu dan Kim Hwee Li melarikan diri ke sebelah dalam. Berkat adanya Hwee Li yang mengenal baik seluruh tempat di dalam benteng, maka mereka berdua lebih mudah untuk bersembunyi. Hwee Li hendak mengajak Kian Bu untuk pergi mencari dan menangkap Pangeran Liong Bian Cu.
"Kita bekuk dia dan dengan dia menjadi sandera, kurasa kita akan dapat menaklukkan mereka semua," kata Hwee Li. "Kautangkap dia dan betapapun lihatnya, aku yakin engkau akan dapat menang dan membuat dia tidak berdaya, Kian Bu. Kemudian kita seret dia keluar dan ancam koksu dan yang lain agar suka membebaskan Jenderal Kao dan keluarganya."
"Hemmm, mana mungkin begitu mudah" Kalau koksu menolak"
"Apa" Menolak" Kita ketuk kepala si hidung kakaktua itu sampai dia minta-minta ampun. Dia adalah seorang Pangeran Nepal, mustahil koksu tidak akan melindunginya dan mengalah. Kita kan hanya minta tukar orang"
"Hemmm, kau benar juga, tapi hati-hatilah, karena pangeran itu tentu terjaga kuat. Jangan kau bertindak ceroboh sehingga belum kita berhasil, engkau akan tertangkap lebih dulu."
"Cerewet amat sih, kau ikut aku saja. Mari....!"
"Tangkappenjahat....!"Tiba-tiba terdengar bentakan dan seorang perwira meloncat ke depan menyergap mereka, diikuti oleh enam orang perajurit. Teriakannya diikuti oleh teriakan-teriakan enam orang perajurit itu sehingga keadaan menjadi gaduh.
"Sialan! Diam kau!" Hwee Li berseru, tubuhnya mencelat ke depan, ke arah perwira itu dan sebelum perwira itu sempat melindungi dirinya, Hwee Li sudah menampar. Telapak tangan kirinya yang berkulit halus dan hangat itu mengenai telinga kiri si perwira dan terasa olehnya bagaikan kilat menyambar, panas dan membuat matanya melihat seribu bintang runtuh. Dia terpelanting dan roboh tak sadarkan diri! Ketika Hwee Li membalikkan tubuh untuk menerjang enam orang perajurit itu, dia melihat betapa enam orang itu telah roboh semua oleh Kian Bu, padahal dia tadi tidak mendengar apa-apa. Entah apa yang dilakukan oleh Kian Bu kepada enam orang itu sehingga mereka roboh tanpa mengeluarkan suara dalam waktu secepat itu.
"Kau boleh juga!" Hwee Li memuji. "Mari....!"
Keduanya lalu meloncat dan menyusup di dalam kegelapan di antara bayang-bayang pohon dan rumah-rumah di dalam benteng. Tempat itu segera menjadi gempar ketika beberapa orang penjaga menemukan tujuh orang yang roboh pingsan itu, roboh tanpa terluka. Akan tetapi pemuda dan dara yang merobohkan mereka itu telah pergi jauh. Bukan pergi untuk menjauhkan diri dari bahaya, sebaliknya malah karena tiba-tiba saja muncul koksu sendiri di depan mereka. Koksu Nepal yang diiringkan oleh sepasukan pengawal pribadinya yang berjumlah dua losin orang! Bukan main marahnya koksu ketika melihat bahwa dua orang yang membikin kacau benteng itu bukan lain adalah Siluman Kecil dan Kim Hwee Li.
"Kiranya kalian datang kembali mengantar nyawa" bentaknya.
"Kian Bu, kauhadapi si botak menjemukan ini, biar aku menghajar pasukan tikus merah itu!" Para pengawal pribadi koksu memang memakai seragam merah, sesuai dengan si kakek botak yang juga memakai mantel merah. Kian Bu tidak sempat menjawab karena pendeta Lakshapadma atau Ban Hwa Sengjin itu memang sudah menerjang ke depan dan menggerakkan kedua lengannya yang amat panjang itu.
"Hemmm....!" Kian Bu mendengus dan dia sudah menggerakkan tangan menyambut dengan pukulan saktinya. Namun, Koksu Nepal yang sudah pernah merasakan kelihaian pemuda ini, tidak mau mengadu tenaga, melainkan menggerakkan tubuhnya berpusing dan tubuh itu segera berubah menjadi tubuh yang berlengan banyak sekali karena dia berpusing seperti gasing. Semua tangan yang menjadi banyak itu menyerang dan mengirim pukulan, tamparan, dan totokan-totokan maut ke arah tubuh Kian Bu. Siluman Kecil maklum pula akan kehebatan lawan ini, maka dia tidak berani memandang rendah dan cepat dia pun mengerahkan ginkangnya yang istimewa, tubuhnya berkelebatan seperti cahaya kllat ke sana-sini, menghindarkan diri dari semua serangan dan membalas dengan pukulan-pukulan yang tidak kalah ampuhnya. Namun kakek botak yang lihai, orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok itu pun dapat menghindarkan diri dan kadang-kadang menangkis sehingga berkali kali terjadi pertemuan tenaga yang membuat keduanya terpental saking kuatnya tenaga sin-kang yang bersembunyi di kedua tangan masing-masing.
Sementara itu, Hwee Li juga sudah dikeroyok oleh para pengawal yang banyak jumlahnya itu. Mereka adalah pengawal-pengawal pribadi koksu dalam upacara resmi, dalam kedudukannya sebagai koksu, maka tentu saja mereka merupakan orang-orang pilihan dari koksu sendiri, dan rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Dalam keadaan lain, pengawal pribadi dari koksu adalah Gitananda. Biarpun para pengawal pribadi itu tidak selihai Gitananda, namun mereka itu lebih lihai dari para pengawal biasa dan karena dikeroyok, setelah berhasil merobohkan lima enam orang, Hwee Li mulai terdesak dan terkepung dengan ketat.
Kian Bu dapat melihat keadaan Hwee Li itu dan dia merasa khawatir sekali. Sekali ini, dia tidak dapat merobohkan koksu dengan cepat karena agaknya koksu kini berlaku hati-hati sekali, memusatkan seluruh kepandaiannya kepada penjagaan diri sehingga dia tidak sempat membantu Hwee Li. Maka dia lalu berseru, "Enci Hwee Li, cepat kau larilah!"
Akan tetapi, Hwee Li sama sekali tidak mampu keluar dari kepungan ketat itu. Biarpun dengan amukannya dia telah merobohkan dua orang lagi, namun kini para pengepungnya memperlebar kepungan sehingga sukarlah bagi Hwee Li untuk merobohkan mereka dan juga sukar baginya untuk keluar dari kepungan belasan orang itu. Dara ini adalah seorang yang amat berani dan cerdik. Melihat keadaan dirinya, dia tidak putus harapan. Dia pun maklum bahwa pada saat itu Kian Bu tidak dapat membantunya, dan dia maklum pula bahwa kalau sampai datang lagi pasukan musuh, dia dan Kian Bu tentu akan celaka. Maka dia lalu menggunakan akal.
"Tikus-tikus merah busuk! Kau tidak ingat siapa aku" Aku adalah tunangan pangeran! Beranikah kalian menyentuhku" Beranikah kalian menyerangku" Coba kalian bunuh aku, hendak kulihat hukuman apa yang akan kalian terima dari pangeran!"
Para pengawal itu tentu saja menjadi terkejut. Mereka memang sudah tahu sejak tadi bahwa dara cantik ini adalah tunangan dan kekasih pangeran. Mereka hanya bergerak karena memandang kepada koksu, akan tetapi setelah kini dara itu mengingatkan mereka akan hal itu, mereka menjadi ragu-ragu karena mereka pun tahu bahwa kata-kata dara itu bukan merupakan gertakan kosong belaka. Memang mereka akan celaka dan dihukum berat oleh pangeran kalau mereka sampai melukai apalagi membunuh dara ini, selagi mereka itu ragu-ragu dan bingung, Hwe Li lalu meloncat dan menerjang keluar dari kepungan, sedangkan para pengawal yang mengepung itu tidak berani menggerakan senjata menyerangnya sehingga Hwee Li dapat dengan mudah keluar dan meloncat jauh.
"Tangkap dia....!" teriak koksu dan kakek ini lalu mengeluarkan suara melengking untuk memanggil para pembantunya. Mendengar lengking ini, Hwee Li terkejut dan dia meloncat makin jauh, lalu menengok dan berseru kepada Kian Bu untuk lari.
Kian Bu memang tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Kalau dia menghendaki, biarpun dia tidak dapat dengan mudah merobohkan koksu, namun kalau hanya untuk melarikan diri dari musuh saja akan dapat dia lakukan dengan amat mudah. Dia tadi tidak mau melarikan diri karena dia tidak mau meninggalkan Hwee Li yang terdesak musuh.
"Mari kita lari!" serunya dan dia menggunakan kesempatan selagi koksu melengking tadi untuk menyerang dengan hebatnya, menggunakan kedua tangannya mendorong dengan pukulannya yang amat ampuh.
"Ehhhhh....!" Koksu berseru keras karena terkejut melihat datangnya pukulan ini. Dia sudah tahu akan kehebatan pemuda ini, maka melihat pukulan yang gerakannya halus, mendatangkan sambaran angin halus sekali itu, dia tidak berani menerimanya, bahkan lalu cepat melempar tubuh ke belakang untuk menghindarkan diri. Ketika dia sudah berjungkir balik dan memandang, ternyata Kian Bu sudah tidak berada lagi di depannya.
Akan tetapi pada saat itu, muncul Ngo-ok dan Su-ok diikuti oleh tiga puluhan orang penjaga. Melihat ini, Hwee Li cepat meloncat ke tempat gelap dan Kian Bu yang hendak mencegah orang-orang itu mengejar Hwee Li, menyambut mereka dengan terjangannya sehingga dalam waktu sangat singkat, belasan orang penjaga terpelanting ke kanan kiri. Setelah melihat Hwee Li lenyap, barulah Kian Bu juga melarikan diri dan sekali berkelebat dia pun meloncat jauh tinggi di atas genteng dan lenyap dalam gelap. Akan tetapi dia tidak dapat melihat Hwee Li lagi, tidak tahu ke mana perginya dara itu. Mereka berdua telah saling terpisah!
Kalau Kian Bu dan Hwee Li menimbulkan kegemparan sehingga koksu sendiri sampai ikut turun tangan dan marah-marah karena melihat dua orang itu lenyap lagi, di lain bagian dari dalam benteng itu terjadi kegemparan lain karena ulah Suma Kian Lee dan Teng Siang In! Mereka pun berhasil menyelundup masuk ke dalam benteng dan mereka juga ketahuan oleh fihak penjaga, dihujani anak panah yang dengan mudah dapat mereka hindarkan. Akan tetapi mereka tidak dapat menghindarkan diri dari pengeroyokan setelah mereka berada di atas tanah di sebelah dalam tembok benteng. Dan celakanya mereka dikepung oleh banyak sekali orang, lebih dari lima puluh orang yang dipimpin oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi sendiri!
"Siang In, kau larilah biar aku menahan mereka!" Kian Lee berseru keras karena pemuda ini menghawatirkan keselamatan Siang In. Akan tetapi, tentu saja Siang In tidak mau lari meninggalkan Kian Lee menghadapi bahaya seorang diri saja.
"Hi-hi-hik, kaukira ahu takut mati" Mari kita lawan mereka itu!" jawab Siang In sambi memutar payungnya dan merobohkan dua orang perajurit musuh yang berani mendekat. Terpaksa Kian Lee juga mengamuk, akan tetapi pemuda ini langsung menghadap Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi karena dia maklum betapa lihainya dua orang kakek iblis ini sehingga dia membiarkan Siang In hanya menghadapi pengeroyokan para penjaga saja.
Mula-mula Siang In mengamuk dengan enaknya. Payungnya berubah menjadi bayangan hitam yang menutupi tubuhnya dan para pengeroyoknya roboh cerai-berai sehingga keadaan mereka menjadi kacau-balau. Akan tetapi, keributan itu segera menarik perhatian pasukan-pasukan lain dan berdatanganlah puluhan orang penjaga dan pengawal ke tempat itu sehingga Siang In merasa kewalahan juga.
"Siang In, lari....!"
"Kau juga tidak!" jawab Siang In yang melihat dengan sudut matanya betapa pemuda itu dengan gagahnya menghadapi desakan dua orang kakek iblis yang masih dibantu oleh beberapa, orang perwira yang lihai.
"Kau lari dulu, nanti aku menyusul!" teriak Kian Lee yang merasa jengkel juga melihat kebandelan dara itu.
"Lee-koko, tunggu aku menciptakan asap hitam, baru kita lari!" Dara itu berteriak nyaring dan tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan ketika dia mengebutkan saputangannya, nampaklah asap hitam mengebul dan memenuhi tempat itu. Dara ini telah mempergunakan ilmu sihirnya! Semua pengeroyok terkejut dan bingung, dan kesempatan itu dipergunakan oleh Siang In dan Kian Lee untuk melarikan diri.
Akan tetapi terdengar suara gerengan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dan seketika asap hitam itu membuyar dan lenyap. Kembali dua orang muda itu dikeroyok dan mereka berdua terpaksa membela diri dan kini mereka terpisah sehingga ketika keduanya berhasil melarikan diri, mereka sudah tidak dapat saling melihat lagi. Kian Lee merasa gelisah dan dia berloncatan ke atas genteng mencari-cari Siang In, namun dara itu lenyap entah ke mana.
Siang In juga tidak berhasil mencari Kian Lee karena dia terdesak oleh banyaknya perajurit musuh yang mengejarnya. Dia terpaksa melarikan diri karena tidak mungkin dia melawan pengeroyok yang demikian banyaknya, baik dengan menggunakan ilmu silat maupun ilmu sihirnya. Dia maklum bahwa kalau tokoh-tokoh lihai sampai bermunculan, dia tentu akan celaka, maka dia cepat melarikan diri menyelinap di antara pohon-pohon dan bangunan-bangunan sampai akhirnya dia tidak dikejar lagi. Dengan napas terengah-engah dan tubuh basah oleh peluh, dara ini berhenti berlari di belakang sebuah bangunan sunyi. Aku harus mengaso dulu, pikirnya dan tempat itu amat sunyi, baik untuk melepaskan lelah dan mengumpulkan kembali tenaganya. Sambil memanggul payungnya, dara ini melangkah ke tempat gelap di belakang bangunan, dengan maksud untuk beristirahat di tempat gelap itu.
Dia meletakkan payungnya di atas lantai ruangan belakang rumah yang agaknya kosong itu, kemudian dia duduk bersila di atas lantai yang dingin. Enak sekali rasanya duduk di lantai dingin itu setelah mengerahkan banyak tenaga dalam pertempuran tadi, dan sungguh menyenangkan tempat sunyi ini setelah tadi dia dikeroyok banyak orang. Siang In menarik napas panjang, mulai mengatur pernapasan untuk memulihkan tenaga. Akan tetapi, hatinya tidak dapat tenang, pikirannya selalu membayangkan wajah Kian Bu dan Hwee Li dan setiap kali dia teringat kepada dua orang itu, jantungnya berdebar tegang dan hatinya merasa panas sekali. Panas oleh cemburu!
Dia masih terheran-heran karena sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Siluman Kecil itu ternyata adalah Suma Kian Bu, pemuda yang selama ini dicari-carinya, pemuda yang pernah menciumnya dan yang belum pernah dapat dia lupakan selama dia ikut dengan gurunya, yaitu See-thian Hoat-su! Dan dia malah pernah bertemu dengan Siluman Kecil! Sekarang, begitu bertamu dia melihat pemuda yang dicari-carinya itu berpacaran dengan seorang dara lain yang cantik jelita, galak dan rendah hati siapa takkan menjadi panas" Bayangan Kian Bu dengan Hwee Li selalu mengganggu pikirannya dan dia tidak dapat beristirahat dengan sempurna, berulang kali dia menghela napas panjang untuk melepas kemarahan hatinya.
"Byar-byar-byarrr....!" Tiba-tiba tempat yang gelap itu menjadi terang sekali oleh sinar lampu yang dinyalakan orang dengan serentak, dan kesunyian dipecahkan suara orang-orang yang tahu-tahu sudah mengurung tempat itu! Siang In terkejut, menyambar payungnya dan meloncat berdiri. Kiranya di situ telah berdiri seorang tosu berwajah bengis, bertubuh tinggi kurus yang memegang sebatang pedang di tangan kanannya, diikutioleh tujuh orang perajurit pengawal. Delapan orang ini sudah mengepung tempat itu! Tosu ini bukan lain adalah Hak Im Cu, seorang tosu yang berkepandalan tinggi, seorang di antara pembantu-pembantu Hw-i-kongcu Tang Hun yang kini bersekutu dengan Koksu Nepal. Ketika tosu ini juga ikut mencari orang-orang yang dikabarkan mengacau di dalam benteng, diikuti tujuh orang anggauta Liong-sim-pang yang kini sudah menjadi perajurit pengikut Koksu Nepal, dia melihat berkelebatnya tubuh dara cantik membawa payung itu. Tentu saja dia menjadi curiga karena sepanjang pengetahuannya, tidak ada seorang dara seperti itu di dalam benteng. Maka cepat dia mengurung tempat itu dan secara tiba-tiba dia menyalakan lampu-lampu bersama anak buahnya.
"Hemmm, kiranya pengacau itu adalah seorang nona muda. Betapa berani mati sekali engkau. Hayo lekas menyerah sebelum kami menggunakan kekerasan untuk menangkapmu!" Hak Im Cu membentak marah.
Siang In menuding dengan payung hitamnya, lalu berkata mengejek, "Kiranya para pemberontak dan orang-orang Nepal telah berhasil pula memikat hati segala macam tosu palsu untuk berkhianat kepada negara!"
"Bocah bermulut lancang!" Tosu tinggi kurus berwajah bengis itu tiba-tiba bergerak ke depan dan Siang In mengeluarkan seruan kaget sambil meloncat ke samping dan payungnya bergerak untuk melindungi dirinya. Tak disangkanya bahwa tosu itu dapat bergerak sedemikian cepatnya, tahu-tahu tangan tosu itu sudah menyambar hendak mencengkeram pundaknya. Kalau dia tidak cepat menggerakkan payungnya, tentu pundaknya sudah kena dicengkeram. Tosu itu agaknya maklum akan kelihaian payung di tangan nona itu, maka dia menarik kembali tangannya, akan tetapi melanjutkan serangannya dengan tendangan kilat yang kembali hampir mengenai paha Siang In yang meloncat ke belakang.
Melihat betapa dua kali serangannya gagal, Hak Im Cu menjadi marah. Bahkan dalam penyerangannya ke dua itu, bukan saja si nona cantik dapat menghindarkan diri dari tendangan, melainkan payung itu digerakkan secara aneh dan hampir saja ujung payung yang runcing menusuk perutnya.
"Singgg....!" Hak Im Cu menyerang dengan pedangnya dan bersama tujuh orang anggauta Liong-sim-pang dia lalu menerjang dan mengeroyok Siang In.
"Trang-trang-tranggg....!"SiangIn memutar payungnya untuk menangkis banyak senjata tajam yang menyambar ke arahnya dari berbagai jurusan itu.
Diam-diam Siang In mengeluh. Dari tangkisan itu tahulah dia bahwa selain tujuh orang pembantu tosu itu rata-rata memiliki kepandaian lumayan, juga tosu itu sendiri amat kuat dan merupakan lawan tangguh. Dia tidak melihat jalan untuk meloloskan diri kecuali menggunakan sihirnya.
"Kalian adalah laki-laki semua bukan" Tiba-tiba suara merdu Siang In terdengar di antara suara beradunya senjata mereka. Biarpun tidak ada di antara mereka yang menjawab, namun di dalam hati mereka, delapan orang membenarkan ucapan Siang In. Memang mereka adalah laki-laki, pria sejati!
"Kalian delapan laki-laki yang suka makan makanan enak, mana mampu bertempur"
Delapan orang itu tertarik dan biarpun tangan kaki mereka masih bergerak mengeroyok dara itu, namun telinga mereka dipasang untuk mendengarkan. Siapa orangnya tidak suka makanan enak" Dan apa hubungannya makanan dengan bertempur"
"Makanan enak membuat perut sakit. Perut kalian sakit.... aduhhh...., perutku sakit, mulas sekali....!" Tiba-tiba Siang In meloncat ke belakang, dan menggunakan tangan kiri menekan-nekan perutnya sendiri, dengan wajah membayangkan kenyerian hebat.
Sungguh aneh bukan main. Delapan orang itu semua memandang wajah Siang In dan ketika mereka melihat wajah yang cantik manis itu membayangkan kenyerian, mendengar kata-kata Siang In itu, tiba-tiba saja mereka semua merasa betapa perut mereka juga sakit bukan main, mulas dan seperti diremas-remas rasanya!
"Aduh.... perutku...."
"Aduh mulas.... ahhh....!"
"Tak tertahankan.... ingin buang air...!"
Sungguh aneh dan lucu pemandangan pada waktu itu. Delapan orang itu kini tidak lagi mengeroyok Siang In melainkan menekan-nekan perut sendiri dengan muka membayangkan kesakitan hebat. Hak Im Cu sebagai seorang tokoh berkepandaian tinggi dari dunia kang-ouw, tentu saja melihat ketidakwajaran ini dan dia sudah menduga dengan terkejut sekali bahwa keadaan itu bukan semestinya dan tentu adalah pengaruh dari ilmu hitam atau ilmu sihir. Maka dia mengerahkan sinkangnya melawan rasa mulas di perutnya itu. Akan tetapi sebelum dia berhasil menolak pengaruh ilmu sihir yang dipergunakan oleh Siang In, dara ini yang bermata tajam melihat usaha dari tosu itu dan dia cepat menggerakkan payungnya, menghantam dari samping mengenai leher tosu yang sedang berusaha membebaskan diri dari pengaruh ilmu sihir.
"Desss....!" Tubuh tosu itu terpelanting dan roboh pingsan! Tujuh orang lain yang masih tersiksa oleh sakit perut, kini tak dapat menahan lagi dan di antara mereka sudah ada yang melepas celana mereka, bertelanjang untuk buang air di situ juga! Melihat ini, tentu saja wajah Siang In menjadi merah sekali, dia membuang muka dan meludah.
"Ihhh, sialan!" Dara itu berseru dan cepat melarikan diri dari tempat itu. Karena dia melarikan diri dan merasa jijik dan malu, maka otomatis pengaruh sihirnya lenyap dan tujuh orang itu sadar kembali, perut mereka sembuh seketika dan mereka baru tahu bahwa mereka tadi dipermainkan oleh dara itu. Marahlah mereka, apalagi melihat betapa tosu pimpinan mereka masih pingsan dan sambil berteriak-teriak mereka melakukan pengejaran. Siang In berlari makin cepat. Dia tidak takut menghadapi tujuh orang itu, akan tetapi dia takut terhadap teriakan-teriakan mereka karena teriakan-teriakan itu dapat memancing datangnya tokoh-tokoh dalam benteng dan akan celakalah dia kalau sampai mereka semua muncul. Di antara mereka banyak terdapat orang pandai yang memiliki ilmu silat jauh lebih tinggi daripada dia, bahkan ada pula yang memiliki ilmu sihir yang akan dapat melawan ilmunya sendiri. Maka dia lalu cepat menyusup di antara kegelapan bayangan-bayangan rumah dan menghilang dari kejaran tujuh orang itu.
Siang In terengah-engah menghapus peluhnya dengan saputangan. Dia tiba di sudut sebuah rumah yang gelap, terhindar dari pengejaran semua orang. Celaka, pikirnya. Ke mana perginya Kian Lee" Baru saja dia dapat bernapas panjang melepaskan lelah, tiba-tiba terdengar hiruk-pikuk di belakangnya, suara sepasukan tentara musuh yang mendatangi tempat itu, mencari-cari. Dia terkejut dan lari lagi menjauhi. Ketika dia membelok ke belakang sebuah bangunan besar, hampir dia bertabrakan dengan sesosok bayangan orang yang juga berlari cepat membelok di sudut bangunan itu.
"Heeeiiittttt!"
"Aihhhhh!"
Keduanya sudah mendorong dengan lengan tangan dan karena dorongan ini. keduanya terlempar ke belakang. Mereka berjungkir balik, meloncat dan siap menghadapi musuh yang hampir ditabrak itu, berdiri saling pandang.
"Kau...."
"Hemmm, kiranya engkau"
Dua orang dara yang sama-sama cantik jelita itu dan sama-sama kaget itu saling pandang. Kiranya orang yang hampir menubruk Siang In itu adalah Kim Hwee Li!
"Kau perawan genit binal!". Siang In sudah memaki karena rasa cemburu sudah membakar hatinya begitu dia bertemu dengan dara yang dianggapnya sebagai pacar dari Siluman Kecil itu. Di lain fihak, Hwee Li juga marah sekali melihat dara yang dianggapnya merampas Kian Lee dari dia, maka dengan mata terbelalak melotot dia pun menudingkan telunjuknya, dengan marah.
"Ah, engkau perempuan tak tahu malu!"
"Engkau yang tak tahu malu!"
"Engkau perampas laki-laki!"
"Engkau yang pengeret hina!"
Mereka saling maki dan akhirnya tak dapat dicegah lagi keduanya saling serang dan kembali seperti ketika mereka bertemu di luar tembok benteng, kini pedang dan payung itu sudah saling serang dengan seru dan hebatnya! Akan tetapi pertandingan mati-matian ini hanya berjalan belasan jurus saja karena tiba-tiba muncullah pasukan yang belasan orang banyaknya, dipimpin oleh Hwa-i-kongcu sendiri! Melihat Hwee Li, Hwai-kongcu tertawa.
"Aha, kiranya puteri liar dari Hek-tiauw Lo-mo yang ikut mengacau di sini!"
Pertempuran antara Hwee Li dan Siang In otomatis berhenti dan dua orang dara itu serentak lalu menyerang Hwa-i-kongcu yang menjadi kelabakan karena serangan dua orang dara itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Tidak berani dia memandang rendah, maka dia sudah mencabut pula pedangnya yang tipis, diputarnya cepat untuk melindungi tubuhnya sambil berseru kepada anak buahnya untuk bergerak menangkap dua orang dara itu. Maka dikeroyoklah Hwee Li dan Siang In yang kini mau tidak mau terpaksa harus bertempur bahu-membahu dan saling melindungi! Memang aneh sekali. Mereka itu saling benci dan saling marah satu sama lain, akan tetapi nyatanya mereka menghadapi musuh yang sama sekarang sehingga mereka menghadapi lawan bersama-sama.
Hwee Li yang kini menimpakan kemarahannya kepada Hwa-i-kongcu Tang Hun, memutar pedangnya dengan nekat dan menerjang laki-laki muda pesolek itu dengan dahsyat, membuat Tang Hun mundur-mundur dan terus didesak oleh Hwee Li. Dara yang gagah perkasa dan tak mengenal rasa takut itu tidak tahu betapa ketua Liong-sim-pang yang cerdik ini memang sengaja memancingnya sehingga terpisah dari Siang In. Kini Siang In dikeroyok oleh belasan orang anak buah Liong-sim-pang sedangkan Hwee Li menghadapi Tang Hun seorang diri dalam pertandingan mati-matian yang amat seru.
Siang In yang sudah merasa lelah itu tidak mau banyak membuang tenaga. Dia cepat mengerahkan tenaga batinnya dan mengeluarkan suara melengking nyaring disusul oleh kata-katanya yang merdu namun mengandung pengaruh luar biasa.
"Ahhh, kalian ini segerombolan laki-laki yang gagah perkasa mengapa mengeroyok seorang dara yang lemah dan tak berdaya" Kalian merasa malu kalau harus mengeroyok seorang anak perempuan!" Memang luar biasa pengaruh kata-kata yang merdu dan lembut itu. Seketika para pengeroyok itu menahan senjata mereka, memandang kepada Siang In dengan muka merah karena malu, dan mereka ragu-ragu, tidak tahu harus berbuat apa. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Siang In yang sudah meloncat dengan cepatnya, lenyap dari situ, meninggalkan para pengeroyoknya yang bengong. Akan tetapi setelah Siang In lenyap, baru mereka sadar bahwa mereka telah membiarkan seorang musuh lolos, maka mereka menjadi sibuk dan kini mereka semua mengeroyok Hwee Li yang masih bertanding dengan serunya melawan Hwa-i-kongcu Tang Hun. Melihat ini, Tang Hun terkejut.
"Mundur semua! Mana wanita itu tadi"
"Dia.... dia sudah melarikan diri...." Seorang di antara mereka menjawab.
"Bodoh, kejar!" teriak Tang Hun dan kini dia menangkis pedang Hwee Li, kemudian dia membentak, "Nona Hwee Li, hayo kau berlutut!" Bentakan ini mengandung kekuatan batin karena Tang Hun telah mempergunakan ilmu sihirnya. Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua Liong-sim-pang adalah murid dari Durganini, seorang nenek iblis dari India, ahli sihir, maka tentu saja dia pun pandai menggunakan ilmu hitam untuk mempengaruhi batin lawan.
Seketika Hwee Li merasa betapa kedua kakinya lemas dan tanpa dapat ditahannya lagi, dia sudah menjatuhkan diri berlutut. Namun, Hwee Li adalah seorang dara gemblengan yang sejak kecil digembleng oleh seorang manusia iblis aeperti, Hek-tiaw Lo-mo, bahkan dia lalu menjadi murid seorang wanita sakti seperti Lu Ceng Ceng dan karena berdekatan dengan suami subonya ini yaitu Si Naga Sakti Gurun Pasir, maka dia bukan merupakan dara biasa yang mudah saja dikuasai sihir. Dia masih sadar bahwa dia diserang orang dengan sihir, maka dia menggunakan kecerdikannya. Biarpun dia sudah berlutut, namun dia masih memegang pedangnya dan kini dia cepat mengangkat muka memandang kepada Tang Hun.
"Hwa-i-kongcu Tang Hun, engkau tahu siapa aku" Aku adalah tunangan dari Pangeran Bharuhendra! Beranikah kau kurang ajar kepada calon permaisuri Raja Nepal"
Ucapan dara itu sungguh amat mengejutkan hati Tang Hun. Pemuda pesolek ini adalah seorang yang berilmu tinggi dan tidak mudah baginya untuk merasa terkejut apalagi takut. Akan tetapi, terhadap Pangeran Liong Bian Cu dan Koksu Nepal, apalagi setelah tahu bahwa Im-kan Ngo-ok juga menjadi kaki tangan Pangeran Nepal, dia benar-benar tahu bahwa pangeran itu memiliki kedudukan yang amat kuat dan dia tahu akan kelemahannya menghadapi mereka. Oleh karena itulah maka dia mau membonceng kekuasaan itu dan mau bersekutu dengan Pangeran Nepal. Kini, di ingatkan bahwa Hwee Li adalah tunangan dan calon isteri Pangeran Liong Bian Cu, dia terkejut bukan main. Memang dia sendiri pun tahu betapa besar cinta kasih Pangeran Liong Bian Cu kepada dara cantik jelita dan lincah ini, maka diingatkan demikian, dia termangu.
"Mampuslah!" Tiba-tiba Hwee Li meloncat dan pedangnya menyambar ke arah dada Tang Hun.
"Aihh....! Cringgg....!" Tang Hun terkejut bukan main, sedapatnya dia menangkis pedang itu dengan pedangnya. Akan tetapi karena serangan itu datangnya tak tersangka-sangka, ketika Hwee Li menggerakkan kakinya menendang dia tidak mampu mempertahankan dirinya lagi.
"Desss!" Pahanya kena ditendang dan tubuh Tang Hun terlempar ke belakang. Ketika dia merangkak bangun sambil meringis karena pahanya terasa nyeri bukan main, dia melihat bahwa Hwee Li telah lenyap, telah melarikan diri. Terpincang-pincang dia mengejar sambil menyumpah-nyumpah karena merasa bodoh. Kiranya ketika dia terkejut tadi, kekuatan sihirnya pun lenyap sehingga dara itu dapat bergerak dan menyerangnya.
Sementara itu, Kian Bu yang terpisah dari Hwee Li mencari-cari dara itu. Tentu saja tidak mudah mencari Hwee Li di tempat itu, di mana pasukan musuh sibuk mengejar dan mencari-cari mereka. Maka Kian Bu mencari Hwee Li sambil juga bersembunyi-sembunyi jangan sampai bertemu dengan para perajurit musuh dan tokoh-tokoh lihai yang berkeliaran di dalam benteng. Dia tidak begitu khawatir akan keselamatan Hwee Li karena dia maklum bahwa selain lihai sekali, juga gadis itu amat cerdik dan menurut ceritanya, gadis itu dicinta oleh Pangeran Liong Bian Cu, maka keselamatan gadis itu agaknya tidak begitu mengkhawatirkan. Dia harus dapat mencari sendiri Pangeran Liong Bian Cu untuk dibekuk, karena itulah kiranya satu-satunya untuk menguasai benteng dan menyelamatkan para tawanan.
Tiba-tiba dia melihat ribut-ribut di bawah. Dia mendekam di atas wuwungan dan memandang ke bawah. Di bawah sinar lampu dan obor, dia melihat seorang pemuda sedang dikeroyok oleh belasan orang perajurit yang dipimpin oleh seorang kakek bertubuh gorilla yang amat mengerikan. Kiranya kakek itu adalah Su Lo Ti yang memiliki kepandaian seperti iblis! Dan pemuda yang dikeroyok itu adalah Suma Kian Lee!
Dikeroyok oleh belasan orang itu, Kian Lee bersilat seenaknya saja dan setiap orang pengeroyok yang berani mendekat, tentu roboh oleh tamparan atau tendangannya. Kakek gorilla itu hanya menonton dan berdiri sambil berpangku tangan. Kemudian dia menurunkan kedua lengannya yang panjang, lalu mengangkat sebelah tangan ke atas sambil berkata, "Mundur kalian semua!"
Para pengeroyok itu berloncatan mundur dan menolong teman-teman yang sudah roboh. Kakek itu melangkah dengan langkah seekor monyet besar, menghadapi Kian Lee yang memandang kepada kakek gorilla itu dengan sinar mata tajam dan penuh kewaspadaan. Kian Lee yang sudah pernah bentrok dengan kakek ini maklum betapa lihai dan berbahayanya orang pertama dari Im-kan Ngo-ok ini, akan tetapi tentu saja dia sama sekali tidak merasa jerih. Sinar mata yang mencorong dan mengeluarkan cahaya kehijauan dari kakek itu menandakan bahwa kakek itu telah menampung tenaga sinkang yang luar biasa. Ketika melihat Kian Lee dan sikapnya yang berani, kakek itu tersenyum.
"Sungguh berani mati sekali, sudah pernah lolos dari bahaya kini malah berani mendatangi tempat ini. Sungguh pemuda Pulau Es yang mengagumkan dan patut dihormati!"
Dari atas genteng, Kian Bu melihat dengan penuh kecurigaan dan hampir saja dia berteriak memperingatkan kakaknya ketika kakek gorilla itu menjura. Akan tetapi, Kian Lee adalah seorang pemuda yang berwatak tenang namun waspada, maka begitu kakek itu menjura, dia pun cepat membalas dengan sikap hormat namun tidak melepaskan kewaspadaan.
Benar saja, begitu kakek itu menjura, ada angin dahsyat menyambar dari kedua tangan kakek itu ke arah Kian Lee. Pemuda yang sudah siap ini cepat mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-kang untuk mendorong dan menangkis.
Nampak asap mengepul ketika dua hawa itu bertemu dan Kian Lee terkejut juga karena ternyata olehnya betapa kuatnya sinkang dari kakek itu. Maka dia lalu meloncat ke pinggir menghindarkan adu tenaga secara langsung. Sebaliknya, Twa-ok Su Lo Ti yang curang luar biasa itu tersenyum.
"Bagus, tidak kecewa menjadi penghuni Pulau Es. Orang muda, mari kita main-main sebentar!" Dan kakek itu sudah menerjang dengan dahsyatnya. Memang hebat sekali kepandaian dari orang pertama Im-kan Ngo-ok ini. Angin menyambar-nyambar, bukan hanya dari kedua tangannya berikut lengan baju yang panjang, akan tetapi juga dari kedua kakinya dan angin yang menyambar itu mengandung hawa yang amat panas dan mengeluarkan bunyi bercuitan! Kian Lee maklum akan kelihaian lawan, maka dia pun mengerahkan tenaga sinkangnya untuk melawan, menangkis, mengelak dan balas menyerang. Namun, setiap kali mereka berdua mengadu lengan atau mengadu hawa pukulan, selalu Kian Lee merasa terdorong ke belakang dan dadanya terasa nyeri karena tertekan oleh tenaga mujijat yang aneh! Dia makin terkejut, namuh dia melawan sekuatnya, karena dalam keadaan terdesak dan terkepung, tidak mungkin dia akan dapat meloloskan diri sebelum dia mengalahkan kakek lihai ini.
"Lee-ko, kauserang bagian bawahhya!" Tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan ada bayanganorang berkelebat dari atas, cepatnya seperti halilintar menyambar dan tahu-tahu Twa-ok Su Lo Ti merasa ada angin pukulan dahsyat menyambar ke arah ubun-ubun kepalanya. Dan pada saat itu, Kian Lee yang maklum bahwa adiknya sudah muncul dan membantunya, cepat melancarkan pukulan Swat-im Sin-ciang yang berhawa dingin ke arah pusar kakek itu.
"Aughhhhh....!" Twa-ok Su Lo Ti mengeluarkan gerengan nyaring sampai seluruh tempat itu seperti tergetar, dan biarpun penyerangan kakak beradik itu dahsyat, dan cepat, namun dia masih dapat menggunakan lengan kanan menangkis hantaman Kian Bu dan lengan kirinya menangkis pukulan Kian Lee.
"Dukkk....! Desss....!" Tubuh Kian Lee mencelat ke belakang sedangkan tubuh Kian Bu juga berjungkir balik beberapa kali. Kakek yang lihai itu hanya tergetar dan terhuyung saja, padahal Kian Bu sudah menggunakan tenaga gabungan Im dan Yang, yaitu tenaga mujijat yang pernah membuat koksu roboh pingsan. Namun kakek gorilla ini hanya tergetar dan terhuyung, padahal pukulan Kian Bu tadi dibantu oleh pukulan Kian Lee yang juga amat kuatnya. Hal ini saja sudah membuktikan betapa lihainya Twa-ok, orang pertama dari Im-kan Ngo-ok itu.
Twa-ok memandang dengan kaget. "Ah, kiranya engkau yang isebut Siluman Kecil" Hebat, hebat! Sungguh orang-orang muda yang hebat," katanya halus akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya sudah menyerang ke depan, berputar-putar seperti gasing dan dari gerakan kedua tangannya menyambar tenaga yang amat kuatnya.
Kian Bu dan Kian Lee cepat menyambut dengan tangkisan dan serangan balasan, namun keduanya maklum bahwa kakek ini memang benar-benar amat kuat. Kian Bu sendiri yang sudah banyak menghadapi orang kuat, diam-diam harus memuji dan mengakui bahwa selama ini baru sekarang dia bertemu dengan lawan yang benar-benar amat menggiriskan. Tingkat kepandaian kakek bermuka monyet ini lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Sin-siauw Seng-jin, kakek yang menyimpan pusaka-pusaka Suling Emas itu! Akan tetapi sekali ini Kian Bu dibantu oleh kakaknya, Kian Lee yang kepandaiannya juga sudah meningkat tinggi, maka kakak beradik ini dapat mengimbangi permainan silat yang aneh dari Twa-ok.
Akan tetapi, mereka harus mengakui bahwa untuk mengalahkan kakek itu bukanlah hal yang mudah, dan mereka berdua berada di tempat berbahaya. Baru seorang kakek ini saja sudah sehebat itu, kalau sampai datang yang lain-lain bukankah keselamatan mereka terancam bahaya"
"Lee-ko, mari kita pergi!" kata Kian Bu dan tiba-tiba saja pemuda ini menyambar tangan kakaknya dan sekali bergerak, mereka sudah melesat seperti kilat cepatnya ke atas genteng, dan dengan beberapa loncatan lagi mereka telah lenyap dari pandang mata. Twa-ok tidak mengejar, melainkan bengong memandang ke atas genteng dan berulang kali dia menarik napas panjang, lalu dia menggeleng-geleng kepalanya.
"Hebat.... hebat....!" Dia masih tertegun karena harus diakui bahwa selama hidupnya baru sekarang dia menyaksikan ginkang seperti itu! Dia sendiri maklum dalam hal ginkang, dia tidak akan menang melawan Siluman Kecil. Dan kalau dia dikeroyok dua, dia masih ragu-ragu apakah dia pun akan dapat mengalahkan dua orang muda yang amat hebat itu.
Sementara itu, Kian Bu dan Kian Lee cepat menjauhkan diri dan bersembunyi di wuwungan rumah yang gelap. "Ah, kakek monyet itu benar-benar lihai sekali," kata Kian Bu.
"Untung engkau keburu datang, Bu-te. Kalau tidak, kiranya aku tidak akan mampu mengalahkan dia."
"Lee-ko, tempat ini berbahaya sekali. Melawan banyak orang pandai dengan kekerasan tentu tidak ada gunanya dan kita akan gagal. Sebaiknya kita mencari dan menangkap Pangeran Liong Bian Cu itu. Sekali dia sudah berada di tangan kita, kita dapat memaksa Koksu Nepal dan yang lain untuk menyerah."
Kian Lee mengangguk. "Pikiran yang baik sekali, Bu-te. Akan tetapi ke mana kita harus mencarinya"
"Dia tentu berada di salah satu di antara rumah-rumah ini. Kita harus mencarinya sampai dapat. Mari!"
Kakak beradik ini sama sekali tidak mau menyinggung soal Siang In dan Hwee Li. Keduanya merasa sungkan karena keduanya menduga bahwa tentu masingmasing mencinta dara yang melakukan perjalanan bersama itu. Kian Lee menduga bahwa Kian Bu jatuh cinta kepada Hwee Li, sebaliknya Kian Bu juga menduga bahwa Kian Lee tentu jatuh cinta kepada dara cantik jelita berpayung itu. Maka keduanya tutup mulut, tidak berani saling bertanya tentang dara-dara itu, padahal di dalam hati, mereka itu merasa heran dan bertanya-tanya ke mana perginya dara yang tadinya bersama masing-masing itu.
Suasana makin menjadi gempar ketika beberapa kali para penjaga bentrok dengan Kian Lee, Kian Bu, Siang In, dan Hwee Li yang telah berpencaran dan terpisah-pisah itu. Seluruh pembantu yang pandai dikerahkan, bahkan Pangeran Liong Bian Cu sendiri memerintahkan agar para pengacau itu dapat ditangkap hidup-hidup. Koksu Nepal sendiri pun turun tangan, keluar dari kamarnya untuk memimpin para penjaga melakukan pencarian dan pengejaran.
Para perwira pasukan yang mengadakan perondaan dan pemeriksaan, juga menjadi makin bingung ketika mereka melihat ada dua orang Hek-sin Touw-ong berkeliaran! Baru saja seorang perwira bersama selosin orang perajuritnya bertemu dengan Hek-sin Touw-ong di belakang sebuah rumah, dan begitu mereka keluar dari lorong dan berada di depan rumah itu, mereka melihat lagi Hek-sin Touw-ong! Biarpun kakek itu lihai, tidak mungkin pandai menghilang atau terbang secepat itu.
"Heiii, Touw-ong! Bagaimana kau bisa muncul di sini" Padahal, baru saja kita saling jumpa di belakang...." Akan tetapi perwira itu tidak melanjutkan kata-katanya karena Hek-sin Touw-ong ke dua ini telah menggerakkan tangan menampar dan perwira itu roboh pingsan! Selagi para perajurit melongo dan kemudian marah-marah, Hek-sin Touw-ong ke dua itu telah melarikan diri! Tentu saja mereka tidak tahu bahwa Hek-sin Touw-ong ke dua ini bukan lain adalah Gak Bun Beng! Para perajurit menggotong perwira yang pingsan dan mereka lari pergi menghadap Koksu Nepal. Ketika mereka bertemu dengan rombongan koksu, mereka melihat bahwa Hek-sin Touw-ong sudah berada di situ bersama rombongan koksu!
"Dia.... dia telah menyerang dan merobohkan komandan kami!" perajurit-perajurit itu berseru.
"Kalian bicara apa" Sejak tadi aku berada di sini bersama dengan Koksu!" jawab Touw-ong yang tentu saja mengerti bahwa yang dimaksudkan adalah Bun Beng.
Karena koksu juga melihat sendiri betapa Touw-ong sejak tadi berada bersamanya, maka dia marah-marah dan memaki-maki para perajurit dan menyuruh mereka pergi dan membawa perwira yang pingsan. "Kalian tolol! Tentu musuh yang telah menyerang perwira kalian, dan sama sekali bukan Touw-ong."
"Tapi.... tapi hamba melihat betul bahwa Touw-ong...."
"Cukup dan pergi! Atau kau lngin kupukul roboh juga" bentak koksu dan para perajurit itu segera pergi dengan ketakutan. Koksu Nepal marah bukan main. Dia merasa jengkel bahwa bentengnya diselundupi mata-mata musuh dan sampai sekian lamanya mata-mata musuh belum juga tertangkap. Ketika dia mendengar laporan dari Twa-ok yang bertemu dengan Siluman Kecil dan pemuda Pulau Es, mengertilah koksu bahwa Kian Lee dan Kian Bu adalah dua orang di antara para mata-mata yang mengacau. Juga dia mendengar dari para pembantu lain bahwa gadis yang dicinta oleh pangeran, Hwee Li, dan seorang gadis lain yang mahir limu sihir, juga memasuki benteng da melakukan pengacauan. Kalau hanya orang-orang muda itu yang mengacau, masa seluruh pasukan tidak mampu menangkap mereka" Padahal di situ terdapat lm-kan Ngo-ok lengkap, belum lagi orang-orang pandai seperti Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, Hwa-i-kongcu dan para pembantunya, dan masih banyak orang-orang pandai lagi!
"Tangkap mereka!" bentaknya ketika dia bertemu dengan semua pembantunya., "Kalau tidak dapat menangkap, bunuh saja mereka!"
"Akan tetapi, jangan sekali-kali melukai atau membunuh Nona Hwee Li!" tiba-tiba Pangeran Liong Bian Cu berkata dan tidak ada seorang pun berani membantah perintah ini. Pengejaran di perketat dan semua pengawal dikerahkan untuk mencari di seluruh tempat dalam benteng seperti menyisir rambut saja.
Namun kekacauan makin menghebat ketika para pengawal itu tiba-tiba melihat Ang-siocia kembar! Saking bingungnya menyaksikan keributan yang ditimbulkan oleh empat orang muda yang belum dapat mereka jumpai, Ang-siocia dan Ceng Ceng meninggalkan tempat mereka dan ikut mencari, tentu saja dengan maksud melihat siapa orangnya yang menyusup ke dalam benteng dan kalau perlu melindungi mereka. Mereka lupa sama sekali bahwa wajah mereka adalah serupa dan bahwa mereka merupakan Ang-siocia kembar! Demikian pula dengan Gak Bun Beng yang sudah dapat menduga bahwa tentu keributan itu di timbulkan oleh Kian Bu dan Kian Lee. Pendekar ini pun telah menambah kebingungan para pengejar karena dia merupakan Hek-sin Touw-ong ke dua.
"Benarkah dugaanmu bahwa satu di antara pengacau itu adalah Siluman Kecil, Lihiap" tanya Ang-siocia kepada Ceng Ceng yang berjalan di sebelahnya.
Ceng Ceng mengangguk. "Siapa lagi kalau bukan dia yang begitu berani mengacau di tempat seperti ini" Dan aku mendengar sendiri dari mulut Twa-ok yang bertemu dengan Ji-ok, bahwa dia telah bentrok dengan pemuda lihai berambut putih panjang. Siapa lagi kalau bukan Paman Kian Bu"
Jantung Ang-siocia atau Kang Swi Hwa berdebar kencang. Siluman Kecil berada di situ pula! Tentu saja dia makin bersemangat untuk dapat menolong dan menyembunyikan pendekar yang telah menundukkan hatinya itu dan mereka berdua lalu makin giat mencari. Tiba-tiba mereka bertemu dengan Jiu Koan, tokoh Liong-sim-pang yang tinggi dan sombong, yang memimpin belasan orang dan yang memegang golok dengan sikap angkuh, seolah-olah dialah yang akan berhasil menangkap para pengacau. Matanya liar memandang ke kanan kiri dan tiba-tiba matanya terbelalak ketika dia melihat Ang-siocia den Ceng Ceng! Dia mengenal Ang-siocia yang dianggap sebagai pembantu koksu yang lihai dan andaikata dia melihat seorang saja Ang-siocia berkeliaran, tentu dia tidak akan menaruh curiga karena sudah semestinya kalau Ang-siocia ikut pula mengejar dan mencari mata-mata musuh. Akan tetapi dia melihat Ang-siocia kembar! Dan dia tidak pernah mendengar Ang-siocia mempunyai enci atau adik di situ, apalagi saudara kembar.
"Heeiii!! Berhentii!" bentaknya.
Ang-siocia sudah hafal akan semua pembantu koksu dan dia tahu siapa adanya si jangkung bergolok ini. Maka dia tersenyum dan berkata, "Jiu-lopek, mau apa engkau menghentikan aku" Apakah kau sudah berhasil membekuk mata-mata"
Jiu Koan memandang kepada Ang-siocia dan Ceng Ceng silih berganti dengan mata bingung. "Ang-siocia, engkaukah Ang-siocia" Dan siapa pula yang seorang ini"
Ditanya demikian, barulah Ceng Ceng lngat bahwa ia menyamar sebagai Ang-siocia dan Kang Swi Hwa sendiri baru sadar setelah dia menoleh dan menatap wajah Ceng Ceng. Celaka, pikirnya mengapa dia begitu pelupa dan bodoh! Hal ini tentu karena keeogangan hatinya mendengar bahwa Siluman Kecil berada di dalam benteng itu.
"Lihiap, serang!" bisiknya dan dia sudah menerjang maju. Juga Ceng Ceng sudah bergerak dan serangannya demikian hebatnya sehingga Jiu Koan tidak sempat lagi berteriak. Tengkuknya sudah dihantam oleh tangan Ceng Ceng dan dia roboh tak sadarkan diri lagi. Juga Ang-siocia telah merobohkan dua orang anak buah Liong-sim-pang, kemudian dua orang wanita itu meloncat dan meiarikan diri, dikejar oleh para anak buah Liong-simpang yang berteriak-teriak.
Di sana-sini terjadi pertempuran, apabila ada seorang di antara para pengacau itu kepergok musuh, akan tetapi karena empat orang muda itu memang lihai, mereka selalu dapat melarikan diri dan mereka begitu cerdik sehingga tidak pernah para tokoh lihai pembantu koksu dapat melihat mereka. Akan tetapi, setelah para pembantu koksu menggunakan siasat bersembunyi sambil mengintai, akhirnya Ang-siocia dan Ceng Ceng yang merupakan dua orang kembar itu tcrkepung oleh Twa-ok dan Ji-ok dibantu oleh beberapa orang penjaga!
Twa-ok dan Ji-ok sudah mendengar dari para anggauta Liong-sim-pang betapa Ang-siocia telah berkhianat dan menyelundupkan seorang mata-mata yang menyamar seperti dia, maka begitu bertemu dengan Ang-siocia kembar ini, orang pertama dan ke dua dari Im-kan Ngo-ok langsung saja meloncat keluar dari tempat persembunyian mereka dan menghadang.
Ceng Ceng terkejut bukan main melihat dua orang yang wajahnya mengerikan itu. Twa-ok Su Lo Ti yang wajah dan tubuhnya seperti seekor monyet besar sudah mengerikan, akan tetapi Ji-ok Kui-bin Nio-nio yang memakai topeng tengkorak lebih mengerlkan lagi. Tentu saja dia tidak merasa takut, karena suaminya sendiri, Si Naga Sakti Gurun Pasir, dahulu juga memakai topeng setan yang mengerikan (baca Kisah Sepasang Rajawali), dan memang nyonya muda yang gagah perkasa ini tidak pernah merasa takut menghadapi siapapun juga, apalagi dia tidak pernah mengenal siapa adanya dua orang ini dan sampai di mana kelihaian mereka. Akan tetapi, Angsiocia sudah menjadi pucat wajahnya dan dia berbisik, "Lihiap, celakalah kita sekali ini...."
Twa-ok Su Lo Ti tersenyum ramah, akan tetapi karena wajahnya seperti monyet, ketika tersenyum ramah wajahnya itu menyeringai seperti seekor kera marah. "Ha-ha-ha, engkaulah yang tulen karena wajahmu dapat berubah pucat. Dan yang seorang lagi adalah Ang-siocia palsu, wajahnya tertutup lapisan topeng. Ang-siocia, memang sejak lama aku sudah curiga kepadamu dan kepada gurumu, sekarang terbukti bahwa engkau menyelundupkan seorang mata-mata musuh. Betapa berani mati engkau."
"Twa-heng, ingin aku melihat wajah orang ke dua ini," kata Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan tiba-tiba telunjuknya menuding ke arah Ceng Ceng, ke arah wajah pendekar wanita ini. Terdengar suara mencicit nyaring dan hawa dingin tajam menyambar ke arah wajah Ceng Ceng.
Wanita ini terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa wanita tua bertopeng tengkorak itu demikian hebat kepandaiannya. Cepat dia miringkan tubuhnya dan menggunakan kekuatan sinkang untuk menangkis. Dia berhasil menghindarkan diri, akan tetapi tetap saja dia terhuyung, tanda betapa kuatnya sinkang dari wanita muka tengkorak itu! Di lain fihak, Ji-ok Kui-bin Nio-nio juga terkejut dan penasaran. Tidak banyak orang dapat menghindarkan diri dari serangan Kiam-ci (Jari Pedang) yang amat diandalkan itu.
"Eh, kau boleh juga!" dia mengejek dan sudah hendak menyerang pula. Akan tetapi Twa-ok mencegahnya.
"Tak perlu membuka kedoknya, Ji-moi. Wajah semua wanita pun sama saja, tiada bedanya dengan kedok. Kulit muka hanyalah topeng yang menutupi keadaan aselinya. Kalu kulit muka dikupas, yang nampak tentu hanyalah tengkorak seperti yang kaupakai itu."
"Kalau begitu dia tentu harus kita bunuh dulu."
"Tidak perlu, aku bisa mengupas kulit muka mereka sehingga nampak tengkoraknya tanpa membunuh mereka. Kau ingin lihat"
"Baik, kaulakukanlah. Ingin aku melihat tengkorak hidup, hi-hik-hik, tentu lucu sekali, Twa-heng."
Mendengar percakapan dua orang aneh itu, Ang-siocia merasa ngeri. Akan tetapi, Ceng Ceng marah bukan main. Dua orang itu bicara seolah-olah dia dan Kang Swi Hwa hanya merupakan dua buah boneka yang boleh diperbuat sesuka hati dua orang iblis itu.
"Iblis-iblis tua bangka yang sombong! Siapa takut padamu" bentak Ceng Ceng dan nyonya muda ini sudah menyerang dengan pukulan dahsyat. Pukulan ini adalah pukulan Ban-tok Sin-ciang (Tangan Sakti Selaksa Racun) yang dipelajarinya dari mendiang Ban-tok Mo-li, dan setelah nyonya muda ini minum darah anak naga dan memiliki kekuatan mujijat, tentu saja pukulan yang menggunakan Ban-tok Sin-ciang ini dahsyatnya bukan main. Angin pukulan yang mengandung hawa panas seperti api berkobar menyambar ke arah kakek gorilla itu ketika Ceng Ceng menyerangnya.
"Aehhh....!" Twa-ok Su Lo Ti berseru kaget. Dia mengenal pukulan beracun yang mengandung tenaga amat kuatnya, maka cepat dia pun bergerak menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
"Desss....!" Tubuh Ceng Ceng terlempar ke belakang, akan tetapi nyonya muda ini tidak roboh melainkan berjungkir balik dan turun lagi ke atas tanah dengan selamat, sungguhpun napasnya agak memburu karena dadanya terguncang hebat. Akan tetapi, sebaliknya kakek itu pun terhuyung ke belakang. Bukan main kuatnya memang tenaga sakti yang didapat oleh Ceng Ceng dari sari darah ular telaga yang dinamakan anak naga itu! Twa-ok Su Lo Ti terbelalak kaget dan penuh kagum. Selama hidupnya mengembara di dunia kang-ouw sebagai orang pertama dari Im-kan Ngo-ok, baru sekarang dia bertemu tanding seorang wanita muda yang memiliki tenaga sedemikian kuatnya sehingga dalam pertemuan tenaga tadi mampu membuat dia terhuyung.
"Hi-hi-hik, Twa-heng, apakah kau masih bersumbar hendak mengupas kulit mukanya hidup-hidup" Ji-ok mengejek. Wanita tua mengerikan ini senang melihat Twa-hengnya menemukan tandingan yang amat tangguh maka dia mengejek. Akan tetapi Twa-ok tidak mempedulikannya.
"Siapakah engkau" tanyanya sambil memandang kepada Ceng Ceng.
"Siapa adanya aku tidak perlu kau tahu!" bentak Ceng Ceng dengan angkuh.
Twa-ok mengangguk-angguk. "Bagus, bagus! Kaukira aku tidak akan dapat mengenal ilmu silatmu" Nah, kausambutlah ini dan aku akan mencoba untuk mengenal ilmu silatmu." Setelah berkata demikian, dua buah lengan panjang itu bergerak dan tahu-tahu dua buah tangan itu mulur sampai panjang, hendak menangkap Ceng Ceng dari atas dan bawah. Yang atas mengacam kepala, yang bawah hendak menangkap kaki!
Ceng Ceng makin kaget. Dari suaminya dia sudah mendengar akan adanya ilmu mujijat ini, yang dapat membuat kedua lengan mulur sampai panjang sekali dan ilmu ini sungguh amat berbahaya. Cepat dia lalu mengerahkan tenaganya dan menggunakan kedua tangannya untuk menyambut dua lengan panjang itu dengan babatan tangan yang dimiringkan.
"Wut-wuttt.... plakkk!" Kembali tubuh Ceng Ceng terlempar. Ketika kedua tangannya membabat tadi, seperti dua ekor ular hidup, kedua lengan Twa-ok Su Lo Ti sudah mengelak dan dari samping, tangan itu menampar ke arah tengkuk Ceng Ceng. Nyonya muda itu cepat mengelak, akan tetapi tetap saja pundaknya kena ditampar dan dia terlempar dan terbanting. Baiknya nyonya muda ini memiliki kekebalan, dan dia menggulingkan tubuhnya lalu meloncat bangun kembali.
Sementara itu, melihat Ceng Ceng sudah bertempur melawan Twa-ok, dengan nekat Ang-siocia lalu mencabut pedangnya dan menyerang Ji-ok dengan senjata itu. Ilmu Kiam-to Sin-ciang yang dimiliki Ang-siocia sudah lumayan, kini dia menggunakan pedang maka tentu saja serangannya bukan merupakan hal yang boleh dipandang ringan begitu saja. Ji-ok maklum akan hal ini, maka dia pun tidak berani menerima serangan pedang itu dan cepat dia bergerak mengelak dan membalas dengan sambaran hawa pedang yang menyambar dahsyat dari jari-jari tangannya. Menghadapi ini, Ang-siocia kewalahan dan baru belasan jurus saja baju di lengan kirinya telah robek dan kulit lengannya tergores hawa yang tajam itu. Dia terkejut dan melompat mundur, ditertawakan oleh Ji-ok!
Pada saat yang amat berbahaya bagi kedua orang wanita muda itu, tiba-tiba muncul Koksu Nepal! Begitu muncul, Koksu Nepal ini cepat mengangkat kedua tangan ke atas dan berseru, "Twa-ok! Ji-ok! Jangan layani mereka. Pangeran berada dalam bahaya, yang penting kita harus lindungi pangeran. Mari....!"
Tiba-tiba Ang-siocia menyentuh lengan Ceng Ceng dan berbisik, "Kita pergi!" Lalu dia menarik lengan Ceng Ceng. Nyonya muda ini mengerutkan alisnya, karena biarpun dia maklum akan kelihaian lawan, dia tidak takut dan ingin melawan terus. Akan tetapi sikap Ang-siocia yang menarik lengannya, dia pun tidak membantah dan meloncat bersama Ang-siocia meninggalkan tempat itu.
Twa-ok dan Ji-ok saling pandang dengan wajah menunjukkan kemarahan. Koksu Nepal sudah lari ke kiri sambil memberi isyarat kepada mereka untuk ikut, akan tetapi mereka tidak mau cepat-cepat ikut, karena mereka merasa mendongkol dengan sikap koksu. Koksu tidak saja mencegah mereka menangkap atau merobohkan dua orang wanita muda tadi, bahkan koksu telah menyebut mereka Twa-ok dan Ji-ok! Agaknya dalam keadaan genting seperti itu, Sam-ok menganggap dirinya koksu dan menganggap mereka berdua bukan sebagai kakak-kakak yang sepatutnya disebut Twa-heng dan Ji-ci, melainkan menyebut mereka Twa-ok dan Ji-ok. Karena mendongkol inilah maka keduanya tadi membiarkan saja Ceng Ceng dan Ang-siocia lari dan kini mereka saling pandang.
"Hemmm, lagaknya....!" Ji-ok mengomel.
"Sam-te, memang sudah mabuk pangkat rupanya," Twa-ok juga mengomel. "Jangan pedulikan dia, kalau muncul lagi akan kutempiling kepalanya!" Jik-ok makin marah.
"Akan tetapi kita di sini untuk membantu pangeran, kalau dia benar dalam bahaya...."
Mereka diam dan menoleh. Betapa kaget dan marah mereka ketika melihat koksu muncul lagi dari belakang, padahal baru saja koksu pergi ke kiri!
"Twa-heng, Ji-ci, kenapa kalian diam saja di sini"
"Bagus, ya" Tadi menyebut Twa-ok dan Ji-ok, kini mengapa berubah dengan sebutan Twa-heng dan Ji-ci segala" Ji-ok membentak dan sudah menyerang koksu dengan pukulan Kiam-ci!
"Plak-plak!" Dua kali koksu menangkis dan dia mencelat ke belakang.
"Eh, eh, apa-apaan ini" Siapa menyebut kalian begitu"
Twa-ok memandang heran. "Bukankah baru saja engkau muncul dan mengajak kami melindungi pangeran"
"Siapa" Aku baru saja datang...."
"Tentu kau koksu yang palsu!" Ji-ok sudah menyerang lagi dengan dahsyatnya.
Koksu meloncat ke kanan kiri lalu meloncat ke belakang. "Tunggu, kau keliru, Ji-ci. Lihat, apakah ini palsu" Dia lalu bersilat, membuat gerakan aneh yang membuat tubuhnya berpusing. Itulah Thian-te Hong-i, ilmu silat khas dari Ban Hwa Sengjin atau Sam-ok. Melihat ini Twa-ok dan Ji-ok percaya.
"Wah, kalau begitu, ada orang yang main-main dan menyamar sebagal engkau, Sam-te," kata Ji-ok. Twa-ok lalu menceritakan pertemuan mereka berdua dengan dua orang Ang-siocia, dan orang ke dua itu amat lihainya. Mendengar penuturan itu, koksu mengangguk-angguk.
"Aku sudah tahu. Guru dan murid maling itu benar-benar telah mengkhianti kita. Dan Ang-siocia ke dua itu tentu adalah isteri dari Si Naga Sakti Gurun Pasir. Agaknya mereka telah menyelundup ke sini. Ji-ci, lekas kau pergi ke tempat tawanan dan kaubawa anak Si Naga Sakti itu ke istana pangeran. Twa-heng, mari ikut aku untuk menjebak dan menangkap mereka."
Ji-ok mengangguk dan berkelebat pergi, sedangkan Twa-ok lalu mengikuti koksu meninggalkan tempat itu.
Ke mana perginya Gak Bun Beng dan Kao Kok Cu" Dua orang yang memiliki kesaktian hebat ini mengapa tidak muncul dalam keadaan kacau-balau itu" Sesungguhnya mereka berdua pun sedang sibuk dan sesuai dengan rencana siasat Jenderal Kao Liang, mereka berdua mempergunakan kesempatan selagi keadaan kacau-balau itu untuk berusaha menyelamatkan keluarga Jenderal Kao lebih dulu. Seperti kita ketahui Gak Bun Beng menyamar sebagai Hek-sin Touw-ong, sedangkan Kao Kok Cu yang lengan kirinya buntung itu memang tidak menyamar. Kini, dua orang sakti ini sudah berkelebat pergi menuju ke tempat di mana tawanan berada. Namun tempat itu terjaga dengan amat ketat, dan ketika mereka tiba di tempat itu, yang bertugas menjaga adalah Su-ok Siauw-siang-cu, hwesio gendut pendek sekali itu dan Ngo-ok Toat-beng Sian-su, tosu kurus yang tingginya due meter setengah. Di samping dua orang tangguh dari Im-kan Ngo-ok ini, nampak pula Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi.
Melihat ketatnya penjagaan di luar tempat tahanan, Bun Beng menarik tangan Kok Cu ke tempat gelap. "Penjagaan amat kuat," bisik Bun Beng.
"Paman Gak, kita terjang saja. Biar saya saja yang mengamuk dan Paman dapat melindungi para taawanan dan membawa mereka keluar."
Gak Bun Beng menggeleng kepala. "Empat orang kakek itu lihai sekali, dan kakek Nepal yang berdiri di sudut itu agaknya juga tak boleh dipandang ringan."
"Kalau tidak salah, kakek itu bernama Gitananda dan menjadi pengawal pribadi koksu," bisik Kok Cu. "Akan tetapi, biarlah saya menghadapi mereka."
"Aku percaya kepadamu, Kok Cu. Akan tetapi, tujuan kita adalah mengeluarkan tawanan dan membawa mereka ke tempat seperti yang telah ditunjuk oleh ayahmu, bukan sekedar melawan mereka. Kalau sampai gagal, tentu akan lebih sukar lagi untuk menyelamatkan mereka. Kau seorang diri saja masih kurang cukup untuk melindungi aku mengeluarkan keluargamu yang amat banyak itu. Kalau saja ada Kian Lee atau Kian Bu...."
Tiba-tiba kedua orang itu menarik diri ke tempat gelap karena mereka melihat berkelebatnya orang. Gerakan orang itu cepat bukan main dan melihat orang itu, Bun Beng cepat bergerak. Dengan loncatan seperti seekor burung saja, dia sudah keluar dari tempat sembunyinya dan menghadang di depan pemuda yang berkelebat itu.
"Paman Gak....!"
"Ssstttttcepat ke sinilah....!"
Orang itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Seperti telah kita ketahui, pemuda ini berada di dalam tembok benteng, bukan semata-mata hendak membantu pemberontak atau membantu Koksu Nepal, melainkan karena dia hendak melindungi Syanti Dewi yang dianggapnya berada di tempat itu sebagai tawanan. Ketika terjadi ribut-ribut pada malam hari itu, Tek Hoat terus menjaga di luar tempat tinggal sang puteri dengan setia dan penuh kewaspadaan. Biarpun di situ ada pula Mohinta dan kaki tangannya yang melakukan penjagaan, namun dia tidak pernah meninggalkan tempat itu dan siap untuk melindungi Syanti Dewi. Akan tetapi ketika dia mendengar dari Mohinta dan para penjaga bahwa yang mengacau di dalam benteng, di antaranya terdapat Kian Lee dan Kian Bu yang dinamakan orang Siluman Kecil, juga adanya berita bahwa Ang-siocia dan gurunya juga berkhianat, jantungnya berdebar tegang. Dia tahu bahwa mereka yang disebut sebagai pengacau-pengacau itu sama sekali bukanlah musuh Syanti Dewi, juga bukan musuhnya. Siapa tahu kalau-kalau gerakan mereka itu malah ada hubungannya dengan ditawannya Syanti Dewi dan bahwa mereka itu bergerak untuk membebaskan para tawanan termasuk Syanti Dewi. Semenjak benteng itu diserang oleh barisan kerajaan yang dipimpin oleh Puteri Milana, yaitu bibinya sendiri, dia sudah merasa gelisah bukan main. Dia tidak sudi membantu orang Nepal, akan tetapi dia pun tidak mungkin dapat meninggalkan Syanti Dewi yang menjadi tamu atau tawanan di tempat itu. Yang membuat dia pusing dan bingung adalah sikap Syanti Dewi kepadanya. Begitu dingin dan lebih hebat lagi, Syanti Dewi minta kepadanya agar dia membantu orang-orang Nepal!
Dalam keadaan bimbang inilah akhirnya Tek Hoat meninggalkan tempat di mana dia berjaga, yaitu di depan tempat tinggal Syanti Dewi dan dia berniat untuk mencari dan bertemu dengan seorang di antara para pengacau untuk menyelidiki apa yang mereka kehendaki. Maka ketika tiba-tiba dia melihat Gak Bun Beng, dia terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa pendekar sakti itu juga telah berada di dalam benteng! Dia maklum bahwa pendekar sakti ini adalah seorang gagah dan budiman, bahkan pernah menyelamatkan nyawa Syanti Dewi berkali-kali, maka tentu saja dia menaruh kepercayaan penuh dan cepat dia mengikuti Bun Beng menyelinap ke dalam tempat gelap. Dan ketika dia melihat Kao Kok Cu berada pula di situ, dia makin terkejut. Dia maklum akan kelihaian si Topeng Setan ini, maka cepat-cepat dia menegur adik iparnya ini, karena Ceng Ceng adalah adik tirinya seayah berlainan ibu.
"Engkau juga di sini"
Kao Kok Cu tersenyum. "Sama dengan engkau."
"Tek Hoat, engkau harus membantu kami. Kami akan menyelamatkan keluarga Kao yang tertawan," kata Bun Beng.
Tek Hoat mengerutkan alisnya dan memandang dengan bimbang, lalu dia berkata dengan suara meragu, "Akan tetapi aku.... saya harus melindungi dia di sana...."
"Aku tahu, Tek Hoat. Engkau melindungi Syanti Dewi, akan tetapi bukankah engkau juga tahu bahwa Syanti Dewi bukanlah tawanan melainkan tamu" Syanti Dewi tidak akan terganggu, sebaliknya keluarga Kao terancam keselamatan nyawanya. Dan benteng ini telah dikurung oleh barisan kerajaan, dalam beberapa hari lagi pasti akan runtuh. Engkau harus membantu kami. Kaubantulah Kok Cu menyerang mereka yang menjaga tawanan itu, dan aku akan membawa mereka keluar."
"Tapi Syanti...."
"Jangan khawatir, akulah yarsg menanggung bahwa kalau benteng ini dibobolkan, dan kalau benar Syanti Dewi masih berada di sini, aku menjamin keselamatannya."
Tentu saja ucapan seorang pendekar seperti Gak Bun Beng itu tidak pernah diragukan oleh Tek Hoat. Pula, memang sesungguhnya dia tidak suka kepada koksu dan semua pembantunya dan dia tidak sudi membantu mereka. Kalau saja tidak ingat bahwa Syanti Dewi perlu dengan perlindungannya, tentu dia tidak sudi tinggal di dalam benteng itu dan sudah keluar, bahkan ada kemungkinan dia membantu bibinya, Puteri Milana, untuk menyerbu ke dalam benteng. Maka mendengar ucapan Gak Bun Beng, dia mengangguk.
"Cepat, waktunya tinggal sedikit lagi!" kata Gak Bun Beng dengan girang. Dia telah mengatur rencana dengan Jenderal Kao dan telah berjanji bahwa sebelum matahari pagi muncul, dia sudah harus dapat membawa para tawanan itu ke tempat aman, yaitu di dalam gudang bawah tanah yang telah ditentukan oleh Jenderal Kao Liang. Dan waktu itu, tengah malam telah lama terlewat. Fajar sudah menjelang tiba. Gak Bun Beng membisikkan siasatnya kepada Kao Kok Cu dan Tek Hoat, kemudian, dari tempat persembunyian mereka, tiga orang yang berilmu tinggi ini meloncat ke depan.
Seperti sudah direncanakan oleh Bun Beng, maka Gak Bun Beng langsung menyerang Ngo-ok yang tinggi itu sedangkan Kok Cu mernyerang Su-ok, adapun Tek Hoat sudah menerjang ke arah Hek-tiauw Lo-mo.
Perhitungan Gak Bun Beng memang tepat. Di antara mereka yang berjaga itu orang-orang yang paling lihai adalah Su-ok dan Ngo-ok. Akan tetapi, dua orang dari Im-kan Ngo-ok itu kini diserang oleh dua orang sakti seperti Gak Bun Beng dan Kao Kok Cu, maka biarpun mereka itu cepat menyambut, namun mereka terkena hantaman dengan hawa pukulan sinkang yang amat hebat sampai mereka itu terhuyung-huyung ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Gak Bun Beng untuk mendesak Ngo-ok dengan ilmu sakti Lo-thiam-sin-ciang. Biarpun Si Jangkung itu sudah mempertahankan diri dan menggerakkan dua lengannya yang panjang, namun karena diserang secara mendadak oleh seorang yang memiliki tingkat ilmu lebih tinggi dari padanya, dia menjadi bingung dan gugup, akhirnya pundaknya kena ditampar dan dia terlempar sampai beberapa kaki jauhnya!
Sepak terjang Si Naga Sakti Gurun Pasir lebih hebat lagi. Tadi dia melayang seperti seekor naga dan begitu tangan kanannya yang mencengkeram itu dapat dielakkan oleh si kate Su-ok yang masih terhuyung karena dorongan hawa pukulan, Kok Cu menubruk dengan kecepatan kilat dan lengan kirinya yang kosong dan hanya ada lengan baju saja itu meluncur ke depan, melakukan totokan sampai tujuh kali ke arah jalan-jalan darah yang paling berbahaya dari lawan.
Su-ok berteriak kaget dan ketakutan, menggelinding ke sana-sini, dan biarpun dia berhasil menghindarkan diri dari ancaman maut, tetap saja dia kena ditendang sehingga tubuhnya menjadi semacam bola dan terlempar lebih jauh dari tubuh Ngo-ok.
Tek Hoat mengalami kesukaran karena dikeroyok oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Akan tetapi tibatiba Kok Cu membantunya dan dua orang iblis itu menjadi gentar karena hawa pukulan yang meluncur dari tangan tunggal Kok Cu sudah mendorong mereka ke belakang dengan dahsyatnya. Juga Gitananda yang memutar tongkatnya, bertemu dengan Bun Beng yang secara berani menangkis tongkat itu dengan lengan.
"Krakkk!" Tongkat itu patah dan Gitananda meloncat ke belakang dengan muka pucat. Pendeta Nepal ini lalu berkemak-kemik, mengangkat tangan kiri ke atas dan berteriak nyaring, "Tiga orang jahat berlututlah kalian!"
Bun Beng dan Kok Cu telah mencapai tingkat tinggi sekali dalam kekuatan sinkang mereka, maka biarpun jantung mereka tergetar oleh pengaruh sihir ini, dengan menahan napas mereka dapat menolak pengaruh itu. Ketika Tek Hoat terhuyung dan hampir berlutut, tiba-tiba Kok Cu mengeluarkan suara melengking seperti seekor naga marah dan tiba-tiba Tek Hoat dapat meloncat ke depan kakek Nepal, dengan kemarahan meluap Tek Hoat lalu menusukkan jari tangannya dengan pengerahan tenaga sinkangnya ke arah dada Gitananda. Kakek ini terkejut, mendoyongkan tubuh ke belakang dan menggerakkan tangan kanan menangkis.
"Cusss.... aughhh....!" Lengan yang menangkis itu bertemu dengan jari tangan Tek Hoat dan lengan itu tertusuk jari seperti tertusuk pedang saja! Memang hebat sekali jari tangan Tek Hoat ini dan bukanlah julukan kosong kalau di dunia kang-ouw dia dinamakan Si Jari Maut. Kiranya pengaruh sihir dari Gitananda tadi membuyar dan lenyap oleh suara lengkingan yang keluar dari dada Kok Cu.
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Harap kalian suka menahan mereka!" Bun Beng berseru dan dia sendiri lalu menerobos dari kepungan, menghampiri pintu tempat tahanan dan merobohkan setiap orang pengawal yang berani menghalanginya. Dengan kekuatan tangannya, dibobolnya pintu itu. Pintu besi yang terkunci itu ambrol dan terbuka.
Keluarga Kao yang sejak tadi merasa gelisah mendengar suara ribut-ribut, kini terkejut melihat munculnya seorang laki-laki gagah perkasa. Kini Gak Bun Beng sudah tidak lagi menyamar sebagai Hek-sin Touw-ong. Semenjak dia pergi bersama Kao Kok Cu untuk menolong keluarga Kao, dia sudah menanggalkan penyamarannya yang dianggapnya tidak berguna lagi.
Akan tetapi, Kao Kok Tiong, putera ke dua dari Jederal Kao, segera mengenal Bun Beng.
"Gak-taihiap....!" serunya girang dan semua keluarga lalu dikumpulkan dan diajak keluar oleh Bun Beng.
"Cepat, kita harus pergi ke gudang bawah tanah. ini perintah Jenderal Kao!" kata Bun Beng. Kok Tiong lalu mengatur keluarganya, digiringnya semua keluarga itu keluar dari tempat tahanan. Ternyata Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, Gitananda dan semua penjaga sudah melarikan diri, tidak dapat menahan amukan Kok Cu dan Tek Hoat.
Melihat ibunya dan semua keluarga keluar, Kok Cu girang dan terharu. Akan tetapi matanya mencari-cari dan wajahnya berubah. "Mana Cin Liong...." tanyanya.
Kok Tiong, adiknya, cepat berkata, "Baru saja dia dibawa pergi oleh nenek muka tengkorak, Twa-ko."
"Ji-ok....!" Kao Kok Cu berseru kaget dan mukanya menjadi pucat. Dia sudah mendengar tentang kekejaman nenek iblis itu dan kini puteranya dibawa pergi oleh Ji-ok.
Melihat keadaan kakaknya, Kok Tiong berkata dengan suara sedih, "Maafkan bahwa aku tidak dapat mempertahankan puteramu, Twa-ko. Nenek itu lihai bukan main dan dia berkata bahwa koksu yang menyuruh dia menjemput Cin Liong."
Kao Kok Cu tentu saja tidak dapat menyalahkan adiknya karena dia pun maklum betapa lihainya Ji-ok yang sama sekali bukanlah tandingan Kok Tiong. Dia lalu berkata kepada Gak Bun Beng. "Paman Gak, tolong Paman lindungi keluarga kami, aku sendiri harus cepat mencari Cin Liong." Setelah berkata demikian dan melihat Bun Beng mengangguk, Kok Cu lalu berkelebat pergi dengan cepatnya.
Gak Bun Beng kini dibantu oleh Tek Hoat mengawal keluarga Jenderal Kao menuju ke gudang bawah tanah yang memang sudah dipersiapkan oleh Jenderal Kao sebagai tempat persembunyian keluarganya kalau tiba saatnya. Tanpa ada rintangan, Bun Beng berhasil mengantar mereka semua memasuki gudang bawah tanah.
"Paman Gak, sekarang saya harus pergi karena saya harus melindungi Syanti Dewi! Sedapat mungkin saya harus melarikan dia dari tempat ini sebelum terlambat."
Gak Bun Beng mengangguk dan hendak membuka mulut, akan tetapi ditahannya dan dia memandang tubuh pemuda itu yang sudah berkelebat pergi. Tadinya dia hendak memberi tahu bahwa yang dilindunginya itu adalah Syanti Dewi palsu, akan tetapi dia ingat betapa aneh dan beraninya tabiat pemuda ini sehingga kalau sampai diiberitahu, mungkin pemuda ini akan mengamuk di dalam benteng secara nekat dan hal itu sama artinya dengan bunuh diri. Karena itulah maka dia tidak jadi memberi tahu. Dengan sikap gagah Gak Bun Beng menjaga di luar pintu gudang itu bersama Kao Kok Tiong yang kini timbul kembali semangatnya setelah keluarganya keluar dari tahanan, apalagi ketika dia mengetahui bahwa kakaknya yang sakti, juga banyak pendekar sakti, telah berada di dalam benteng untuk membantu keluarganya. Dia merampas sebatang pedang dari seorang penjaga dan dengan pedang di tangan dia ikut menjaga di depan pintu gudang di mana keluarganya bersembunyi.
Ketika Tek Hoat berlari menuju ke tempat di mana Syanti Dewi berada, yaitu di sebuah bangunan kecil bagian barat, tiba-tiba dia melihat Kian Lee dan Kian Bu sedang mengamuk di luar rumah besar seperti istana yang dia tahu adalah tempat tinggal Pangeran Liong Bian Cu. Kakak beradik yang amat 1ihai itu dikeroyok oleh im-kan Ngo-ok! Tadinya Tek Hoat tidak mau peduli karena baginya yang terpenting adalah keselamatan Syanti Dewi, dan melihat betapa koksu dan teman-temannya sedang sibuk mengeroyok dua orang pemuda Pulau Es itu, dia melihat kesempatan baik untuk melarikan Syanti Dewi. Akan tetapi, melihat betapa dua orang kakak beradik yang amat lihai itu terdesak hebat oleh Im-kan Ngo-ok, sedangkan di situ masih nampak para pembantu koksu lainnya, dia merasa tidak tega. Dia teringat bahwa dua orang pemuda Pulau Es itu adalah orang-orang gagah luar biasa, dan dia teringat juga bahwa mereka itu sesungguhnya masih merupakan paman-paman tirinya karena dia adalah cucu kandung dari lbu Suma Kian Lee. Mendiang ayahnya dan Suma Kian Lee adalah seibu berlainan ayah. Mana mungkin dia mendiamkannya saja mereka yang terancam bahaya di tangan Im-kan Ngo-ok" Dia tahu bahwa dia sendiri bukanlah lawan lima orang iblis Im-kan Ngo-ok itu, akan tetapi kalau melihat dua orang pemuda Pulau Es itu terancam bahaya dan dia diam saja, selamanya dia akan merasa menyesal. Apalagi kalau hal itu terdengar oleh Syanti Dewi, tentu dia akan dikutuk sebagai seorang manusia yang tidak mengenal prikemanusiaan!
Teringat akan ini, dia lalu mengeluarkan teriakan nyaring dan meloncat ke depan, langsung dia menyerang dengan pukulan dahsyat ke arah Koksu Nepal.
"Haiiiiittt....!"
Hantaman yang dilakukan oleh Tek Hoat itu hebat bukan main. Tek Hoat sudah tahu akan kesaktian koksu atau Sam-ok, maka sekali menyerang dia telah mengerahkan seluruh tenaganya sehingga angin pukulan dahsyat menyambar ke arah kepala Ban Hwa Sengjin.
"Ehhh...." Kakek botak itu terkejut bukan main. Tadi bersama dengan Twa-ok dia sedang mengeroyok dan mendesak Siluman Kecil, sedangkan tiga orang saudaranya yang lain mendesak Kian Lee. Ketika menghadapi serangan diahsyat ini, dia berseru keras dan melempar tubuh ke belakang sambil menggerakkan kedua tangannya untuk melindungi tubuhnya. Dia terluput dari serangan itu, akan tetapi Kian Bu juga terbebas dari desakan, bahkan dengan pukulan-pukulan gabungan tenaga Im-yang amat dahsyat dia dapat membuat Twa-ok meloncat ke belakang pula.
Melihat bahwa yang membantunya adalah Ang Tek Hoat, Kian Bu terkejut dan girang sekall. "Ah, kiranya engkau membantuku, Tek Hoat" tanyanya sambil tersenyum lebar.
"Bagus, Tek Hoat!" Kian Lee yang sudah terdesak itu pun masih mampu mengeluarkan seruan girang.
Melihat Kian Lee terdesak hebat oleh tiga orang lawannya, Tek Hoat lalu menerjang dan menyerang Ji-ok yang mengerikan itu sambil berkata, "Mari kita hancurkan mereka ini atau kita mati bersama!"
Kakak beradik dari Pulau Es itu tentu saja merasa girang bukan main mendengar hal ini. Semangat mereka bangkit kembali dan bersama dengan Ang Tek Hoat mereka lalu mengamuk dan biarpun lima orang Im-kan Ngo-ok memiliki kepandaian yang rata-rata amat tinggi, bahkan tingkat kepandaian Twa-ok dan Ji-ok sedikit lebih tinggi daripada tingkat mereka, namun tidak mudah bagi Im-kan Ngo-ok untuk merobohkan mereka bertiga.
"Mari kita masuk!" Tiba-tiba Kian Lee yang maklum bahwa kalau mereka tidak cepat-cepat dapat menangkap Pangeran Liong Bian Cu, tentu keselamatan mereka akan terancam hebat. Mendengar teriakan Kian Lee ini, Kian Bu dan Tek Hoat lalu mengikuti Kian Lee yang sudah lebih dulu meloncat ke dalam istana itu! Anehnya, Im-kan Ngo-ok tidak menghalangi perbuatan mereka melainkan mengejar dari belakang.
Tiba-tiba terdengar suara koksu, suara yang dikirim dari jauh melalui kekuatan khikang ke arah kamar di sebelah kiri yang pintunya terbuka dan besar.
"Pangeran, hati-hati, tutuplah pintu kamar Paduka."
Suara ini terdengar oleh tiga orang muda perkasa itu. Tentu saja girang bukan main hati Kian Lee dan Kian Bu, maka serentak mereka bersama Tek Hoat menyerbu ke dalam kamar yang pintunya terbuka itu. Kalau sekali pangeran itu dapat mereka tangkap, tentu mereka dapat menguasai keadaan.
Tiga orang muda perkasa itu masih bersikap hati-hati ketika mereka menyerbu memasuki pintu kamar itu. Akan tetapi ketika mereka melihat Pangeran Liong Bian Cu duduk di atas pembaringan kamar yang amat indah itu, hati mereka girang sekali dan seperti orang-orang berlomba mereka melompat ke dalam. Tentu saja dalam perlombaan itu Kian Bu yang menang karena pemuda ini mengerahkan ilmu ginkangnya yang luar biasa.
"Bu-te, hati-hati....!" Tiba-tiba Kian Lee berseru kaget ketika pemuda ini melihat pintu kamar di belakangnya tiba-tiba tertutup. Kian Bu sudah hampir tiba di dekat pembaringan, ketika tiba-tiba pembaringan itu terjeblos ke bawah dengan cepat sekali bersama tubuh sang pangeran yang tertawa mengejek. Kian Bu maklum bahwa pangeran itu melarikan diri dengan alat rahasia, maka dia cepat menyusulkan pukulan dengan tenaga saktinya.
"Blarrr....!" Pembaringan itu pecah, akan tetapi tubuh sang pangeran sudah meloncat ke bawah dan lubang di mana ranjang itu lenyap kini telah tertutup kembali. Kian Bu meloncat ke tempat itu dan menggunakan kakinya untuk menginjak dan menendang, namun hasilnya sia-sia belaka karena ternyata lantai itu terbuat dari batu yang di bawahnya dipasangi baja. Mereka bertiga seperti tiga ekor harimau terjebak. Mereka berlarian ke pintu dan jendeta, akan tetapi mendapat kenyataan bahwa jendela dan pintu itu terbuat dari baja yang amat kuat pula! Mereka telah terjebak dalam sebuah kamar luas yang kuat sekali. Melihat adanya sebuah pintu kayu kecil di sebelah kiri, yang agaknya menembus ke ruangan lain, Kian Bu lalu menendangnya.
"Brakkkkk....!" Pintu kayu itu jebol dan mereka bertiga siap untuk menerjang ke depan, akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika melihat empat orang menggeletak pingsan di dalam kamar di belakang pintu itu! Mereka itu adalah Hek-sin Touw-ong, Ang-siocia, Siang In, dan Hwee Li!
"Ahhh....!" Otomatis Kian Lee dan Kian Bu meloncat dan berlutut dekat tubuh Siang In dan Hwee Li dan karena mereka berdua masih menyangka bahwa masing-masing mencinta dara yang datang bersama mereka, maka Kian Lee merasa tidak enak kalau harus mendekati Hwee Li, sungguhpun hatinya merasa berkhawatir sekali akan keselamatan Hwee Li, maka dia lalu "mengalah" dan tidak ingin menyakitkan hati adiknya. Dia berlutut di dekat tubuh Siang In. Melihat ini, Kian Bu juga makin keras menyangka bahwa kakakanya itu benar-benar telah jatuh hati kepada Siang In, padahal dia tahu bahwa Hwee Li mencinta kakaknya. Dia merasa kasihan kepada Hwee Li dan dia pun berlutut di dekat Hwee Ll. Sementara itu, Tek Hoat cepat memeriksa jendela kamar ini dan ternyata sama juga. Jendela kamar ini amat kuatnya, terbuat daripada baja dan terkunci dari luar!
Kian Lee dan Kian Bu merasa lega bahwa dua orang dara itu hanya pingsan karena asap bius saja, demikian pula Hek-sin Touw-ong dan Ang-siocia. Setelah mengurut tengkuk mereka, sebentar saja mereka berempat sudah siuman kembali dan yang lebih dulu meloncat adalah Hwee Li.
"Mana si bedebah pangeran dan koksu" Biar kupatahkan batang lehernya!" bentaknya marah, apalagi ketika melihat betapa Kian Lee tadi mengurut tengkuk Siang In. Rasa cemburu bercampur rasa mendongkol karena dia seperti juga yang lain telah kena dijebak oleh koksu dan pangeran sehingga tertawan di dalam kamar itu.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, "Kembalikan anakku!" Dan terdengar suara hiruk-pikuk ketika pintu besar terbuka dan Ceng Ceng meloncat ke dalam kamar itu.
"Ceng Ceng, tahan pintu itu!" Tiba-tiba Kian Lee berteriak, namun terlambat karena begitu Ceng Ceng masuk pintu itu telah tertutup kembali! Ceng Ceng membalik, mendorong dan menendang pintu, namun sia-sia belaka. Pintu itu terlampau kokoh kuat.
Mereka semua kini berkumpul di tengah kamar besar itu. Ceng Ceng bercerita betapa dia tadi berpisah dari Ang-siocia dan karena merasa tidak perlu lagi menyamar dalam keadaan ribut itu dan pula karena sudah diketahui musuh betapa Ang-siocia sudah berkhianat, maka dia menanggalkan penyamarannya. Ketika dia hendak mencari tempat tawanan, dia melihat Ji-ok mengempit tubuh puteranya berkelebat ke dalam istana ini.
"Ibuuuuu.... tolonggg....!" Cin Liong menjerit dan Ceng Ceng lalu mengejar. Akan tetapi Ji-ok lenyap dan Ceng Ceng yang tiba-tiba melihat pintu istana terbuka, cepat menerjang masuk. Kiranya dia pun terjebak seperti yang lain.
"Bagaimana kalian tahu-tahu pingsan di dalam kamar sebelah" Kian Lee bertanya kepada Siang In, tanpa berani memandang kepada Hwee Li yang dianggapnya telah saling jatuh cinta dengan Kian Bu.
Akan tetapi yang ditanya sedang menatap wajah Kian Bu tak pernah berkedip, dan barulah Siang ln terkejut ketika dia ditanya oleh Kian Lee. Dia menunduk dan menarik napas panjang. "Si keparat Koksu Nepal itu sungguh amat cerdik dan berbahaya." Akan tetapi dia tidak berani bercerita, hanya mengerling ke arah Hwee Li.
Hwee Li mengerutkan alisnya. Dia juga merasa amat sungkan dan sukar untuk menceritakan betapa dia kembali telah bertemu dengan Siang In dan saling serang! Maka dia lalu bercerita sambil melewati adegan ketika dia bertanding melawan Siang In itu.
"Kami berdua.... kami dikepung oleh orang-orang yang dipimpin oleh Pangeran Nepal sendiri. Karena aku gemas dan benci kepadanya, aku menyerang Pangeran Nepal yang main mundur dan akhirnya kami berdua kena dipancing ke dalam kamar ini. Pangeran Nepal dan para pengikutnya lenyap melalui pintu-pintu rahasia, dan ternyata semua itu diatur oleh koksu yang hanya terdengar saja suaranya dari dalam kamar. Tak lama kemudian muncul Hek-sin Touw-ong dan Enci Swi Hwa yang hendak menolong kami berdua. Akan tetapi sungguh celaka, mereka itu pun terjebak dan begitu masuk, mereka tidak dapat keluar kembali." Dia tidak mau menceritakan betapa di dalam kamar itu, dia dan Siang In sudah saling maki dan saling serang kembali sampai muncul guru dan murid itu yang melerai mereka.
"Eh, bagaimana bisa begitu" Kian Bu bertanya sambil memandang kepada Ang-siocia yang sejak tadi juga memandang kepadanya dengan sinar mata penuh perasaan.
"Koksu Nepal memang lihai bukan main," Touw-ong bercerita. "Dia sudah tahu bahwa kami berdua telah memberontak dan berkhianat, akan tetapi dia sengaja pura-pura tidak tahu. Ketika bertemu dengan kami, dia menyuruh kami menjaga tawanan di dalam kamar ini. Kami berdua mengintai dan melihat dua orang Nona ini sedang.... eh...." Sukar bagi Touw-ong untuk menceritakan betapa dia melihat dua orang nona itu saling serang!
"Kau dan muridmu lalu menolong kami akan tetapi terjebak pula!" Hwee Li melanjutkan cepat.
Touw-ong mengangguk. "Benar, kami melihat dua orang Nona ini dan cepat kami membuka pintu dari luar. Akan tetapi begitu kami berdua masuk, pintu tertutup dari luar dan pada saat itu koksu menyemburkan asap beracun ke dalam kamar. Kami tak dapat menghindarkan asap itu dan roboh pingsan."
Kian Bu dan Kian Lee saling pandang. Koksu Nepal itu benar-benar amat cerdik sekali. Mereka semua kini telah terjebak di situ, bahkan Ceng Ceng yang lihai juga telah dapat dipancing masuk ke dalam ruangan.
"Ha-ha-ha, semua tikus yang mengacau benteng telah terjebak. Orang-orang muda yang bosan hidup, kalian mau berkata apalagi sekarang" Tiba-tiba terdengar suara koksu dari lubang jendela yan terbuat daripada baja.
"Kami telah terjebak oleh akal busukmu, mau bunuh lekas bunuh!" Ceng Ceng yang tidak kehilangan keberaniannya itu memaki. Tek Hoat memandang saudara tirinya seayah berlainan ibu itu dengan kagum.
"Ceng Ceng, engkau masih seperti dulu, benar-benar mengagumkan hatiku," katanya.
Ceng Ceng memandang saudaranya ini dan tersenyum. "Dan aku girang melihat engkau berdiri di fihak kami, bukan menjadi lawan kami, Tek Hoat."
Melihat kedua orang keponakannya itu, Kian Lee yang
Harpa Iblis Jari Sakti 7 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Dendam Iblis Seribu Wajah 10
wa yang membuatnya jatuh menelungkup tadi bukanlah ambang pintu melainkan Gak Bun Beng!
Ang-siocia memasuki pondoknya dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat gurunya rebah dalam keadaan tertotok. Selagi dia hendak menolong, tiba-tiba dari belakangnya, Gak Bun Beng sudah memegang lengannya dan pendekar ini bertanya, "Apa artinya janji koksu mengambilmu sebagai selir itu"
Ang-siocia menjadi terkejut bukan main dan seketika mukanya menjadi merah. Pendekar ini tadi telah membayanginya dan melihat segalanya! Teringatlah dia akan tendangannya yang ampuh tadi dan dia menduga bahwa tentu pendekar sakti inilah yang tadi telah membantunya. Bun Beng memandang tajam dan tidak peduli melihat nona itu marah, bahkan dia mengerahkan tenaga ketika Ang-siocia meronta untuk melepaskan tangannya sehingga pegangannya makin erat dan nona itu tidak berhasil melepaskan diri.
"Benarkah engkau menjadi calon selir Koksu Nepal" tanyanya dengan suara mendesak, sinar matanya tajam penuh selidik. Kalau benar gadis ini, yang memang cantik dan lincah, menjadi calon selir koksu, maka gadis ini berarti kaki tangan musuh!
Kalau menuruti hatinya, ingin Ang-siocia memaki dan mengejek, menyatakan kalau dia menjadi calon selir koksu, pendekar itu mau apa" Akan tetapi dia tahu akan gawatnya keadaan, apalagi melihat gurunya dalam keadaan tertotok tak berdaya, maka biarpun hatinya terasa panas sekali, dia menjawab juga dengan marah.
"Kalau aku tidak menggertak Ngo-ok yang gila itu, mana aku bisa lolos" Siapa sih yang sudi menjadi selir manusia macam Koksu Nepal" Dia berkata setengah berteriak saking marahnya karena dia dicurigai.
"Sssttttt..... jangan keras-keras berteriak!" Bun Beng yang kini menjadi sibuk mendengar dara itu berteriak, karena kalau sampai terdengar orang tentu berbahaya.
"Biar aku berteriak! Biar diketahui semua orang, aku tidak sudi menjadi selir koksu!"
"Sudahlah, aku bersalah telah mencurigarmu, Nona," kata Gak Bun Beng sambil melepaskan pegangannya.
Ang-siocia cemberut dan mengurut-urut lengannya yang terasa nyeri karena dipegang erat-erat tadi. "Habis Gak-taihiap terlalu tidak percaya kepada orang sih! Dan mengapa Suhu menjadi begini"
"Maaf, maaf.... sekarang aku baru percaya," kata Gak Bun Beng dan pendekar ini segera membebaskan totokannya yang membuat tubuh Si Raja Maling menjadi lumpuh itu.
Touw-ong dapat bergerak lagi dan dia pun memandang kepada pendekar itu dengan alis berkerut. "Sungguh aneh sikap Taihiap yang terlalu tidak percaya kepada kami guru dan murid," katanya setengah menegur.
Gak Bun Beng kembali minta maaf dan Ang-siocia yang tahu bahwa gurunya merasa tidak senang lalu cepat berkata, "Sudahlah, Suhu. Gak-taihiap merasa berada di benteng musuh, maka tentu saja dia terlalu berhati-hati. Tadi aku hampir celaka oleh Ngo-ok yang ternyata memancingku keluar dengan niat jahat. Untung ada Gak-taihiap yang diam-diam membantu, kalau tidak, tentu muridmu ini sudah celaka, Suhu." Ang-siocia lalu menceritakan tentang pengalamannya yang hendak diperkosa oleh Ngo-ok dan betapa Gak Bun Beng telah menolong dengan ilmunya yang tinggi. Mendengar ini, lenyaplah rasa mendongkol di dalam hati Touw-ong. Dia lalu menjura kepada Gak Bun Beng.
"Ah, terima kasih saya haturkan kepada Gak-taihiap yang telah menyelamatkan murid saya...."
Gak Bun Beng menggoyang tangannya dengan tidak sabar. "Sudahlah, kita adalah orang sendiri, menghadapi musuh yang sama, maka perlu apa banyak sungkan lagi" Lebih baik Ji-wi menceritakan kepada saya tentang keadaan di dalam benteng ini dan siapa-siapa saja yang, tertawan, siapa pula yang menjadi pembantu koksu, siapa di antara mereka yang lihai."
"Sebelum kita bicara, kurasa lebih baik kalau Gak-taihiap menyamar pula, agar tidak sampai mudah ketahuan musuh. Gak-taihiap dapat mendengarkan kami bercerita sambil melakukan penyamaran yang akan dikerjakan oleh Suhu."
Mendengar kata-kata muridnya yang cerdik ini, Touw-ong mengangguk. "Memang sebaiknya demikian. Bentuk tubuh Taihiap tidak banyak selisihnya dengan saya, dan saya cukup dikenal di sini, kalau Taihiap menyamar sebagai saya, tidak akan dapat diganggu dan Taihiap dapat bergerak dengan leluasa pula."
Gak Bun Beng setuju dan Touw-ong mulai "mengerjakan" muka dan pakaian Gak Bun Beng sehingga pendekar ini mulai dibentuk menjadi Touw-ong ke dua! Sambil mengerjakan penyamaran itu, Touw-ong dibantu oleh muridnya lalu menceritakan semua keadaan di dalam benteng yang didengarkan penuh perhatian oleh pendekar itu. Bun Beng mendengar betapa Puteri Syanti Dewi tadinya juga tertawan di situ kini telah lolos secara aneh, tanpa ada yang tahu siapa yang menculiknya. Kemudian dia mendengar betapa pemuda Ang Tek Hoat si Jari Maut juga berada di dalam benteng, betapa pemuda Itu telah tertipu dan mengira bahwa Syanti Dewi masih berada di situ sebagai tawanan.
"Kami yang merias seorang dayang menyerupai Syanti Dewi" kata Ang-siocia sambil tertawa. "Yang dikira Syanti Dewi itu adalah seorang perempuan Nepal dan Ang Tek Hoat percaya sepenuhnya."
Gak Bun Beng mengerutkan alisnya, "Hemmm, bocah itu wataknya aneh, juga memiliki kepandaian yang amat lihai. Lebih baik biarkan saja dia begitu, biarkan dia tertipu yang akan membuat dia tenang. Kalau dia tahu bahwa dia tertipu tentu dia akan membuat geger dan hal ini bisa membocorkan rahasia kita."
Kemudian guru dan murid itu bercerita tentang usaha mereka yang sudah berhasil menghubungi Jenderal Kao Liang.
"Sungguh kasihan sekali jenderal yang gagah perkasa itu," kata Touw-ong, "Dia seperti seekor naga yang telah terjebak dalam kurungan. Seluruh keluarganya tertawan, maka mau tidak mau dia harus menuruti semua permintaan koksu. Akan tetapi, jenderal yang gagah perkasa itu tentu saja tidak mau tunduk begitu saja hanya untuk menyelamatkan keluarganya. Dia memiliki rencana yang amat hebat dan besar, dan hanya di dalam tangannya sajalah terletak siasat yang akan menghancurkan pemberontak ini, akan tetapi kepada kami pun dia tidak mau membuka rencana siasatnya itu."
Touw-ong lalu melatih Bun Beng untuk bergaya dan bicara seperti dia agar penyamarannya menjadi sempurna. Kemudian pendekar sakti ini dibawa oleh Ang-siocia untuk menemui Jenderal Kao Liang. Ketika bertemu dengan Gak Bun Beng sepasang mata jenderal yang gagah perkasa itu menjadi basah. Dia tidak banyak bicara, hanya memegang tangan pendekar itu dan suaranya tergetar ketika dia berkata, "Girang bukan main rasa hatiku dapat bertemu dengan Gak-taihiap di sini. Sekarang makin yakinlah hatiku bahwa aku akan dapat menghancurkan mereka ini dan keluargaku akan dapat diselamatkan!"
Gak Bun Beng menekan tangan jenderal itu. "Percayalah, Goanswe, saya akan membantu sampai keluargamu semua selamat."
Mereka tidak berani terlalu lama bicara karena mereka tahu bahwa biarpun Jenderal Kao Liang, Touw-ong dan Ang-siocia bebas dalam benteng itu, namun mereka sesungguhnya adalah orang-orang yang selalu diawasi secara diam-diam oleh koksu. Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong lalu berpamit dan pergi lagi kembali ke tempat tinggal Touw-ong bersama Ang-siocia.
Bukan hanya Jenderal Kao yang berbesar hati dengan kehadiran Gak Bun Beng, juga Touw-ong dan muridnya merasa girang sekali dan mereka lalu mengadakan perundingan secara diam-diam untuk mengatur siasat kalau saat yang baik bagi mereka untuk bergerak sudah tiba.
Koksu Nepal merasa girang bukan main melihat hasil baik dari pertahanan Jenderal Kao terhadap penyerbuan tentara kerajaan yang dipimpin oleh Milana. Berkali-kali serangan dari pasukan kerajaan itu dapat dihalau dan dipukul mundur. Dan pada malam itu, saking girangnya, Koksu Nepal bersama para saudaranya dalam gerombolan Im-kan Ngo-ok, mengadakan pesta kemenangan untuk menghormat dan menyenangkan hati Jenderal Kao Liang. Pesta besar diadakan dan semua pembantu diundang.
Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong menggantikan tempat Touw-ong yang juga tidak ketinggalan diundang, mendatangi tempat pesta bersama Ang-siocia. Dalam kesempatan ini Gak Bun Beng dapat melihat sendiri semua anggauta Im-kan Ngo-ok. Juga dia dapat memperhatikan pula Ang Tek Hoat, pemuda lihai yang berwatak aneh dan keras, keturunan dari Wan Keng In itu. Juga dia melihat Syanti Dewi palsu yang kelihatan sengaja di jauhkan dari para tamu lain oleh Koksu Nepal. Diam-diam Gak Bun Beng merasa kagum kepada Touw-ong dan muridnya karena harus diakuinya bahwa dia sendiri pun tidak akan menduga bahwa wanita itu adalah Syanti Dewi yang palsu! Juga di dalam pesta itu, Koksu Nepal memberi kesempatan kepada Jenderal Kao untuk bertemu dengan para keluarga jenderal itu yang diperbolehkan menghadiri pesta.
Karena Koksu Nepal benar-benar merasa bersyukur dan gembira, bahkan mulai percaya akan kejujuran Jenderal Kao mempertahankan benteng, maka dalam kesempatan itu sang jenderal diperbolehkan untuk beramah-tamah dengan keluarganya. Akan tetapi, pertemuan dalam pesta itu sungguh mengharukan hati Gak Bun Beng. Jenderal Kao Liang tidak dapat menahan keharuan hatinya. Di depan begitu banyaknya orang, yaitu tokoh-tokoh pembantu dari Koksu Nepal, juga di mana hadir pula Pangeran Bharuhendra atau Pangeran Liong Bian Cu, jenderal tua ini merangkul isterinya, kemudian anak-anaknya dan semua anggauta keluarganya seorang demi seorang.
Ada beberapa tetes air mata menitik turun dari kedua matanya. Adegan yang mengharukan ini dipecahkan oleh suara Pangeran Liong Bian Cu.
"Kao-goanswe, pekerjaanmu sungguh amat baik sekali. Dan kalau sampai kita memperoleh kernenangan, tentu engkau akan dapat segera pulang ke kampung bersama keluargamu. Akan tetapi sayang, kita sekarang agaknya terancam bahaya, kita telah dikepung musuh dan agaknya musuh hendak memperketat kepungan, membikin putus hubungan antara kita dengan dunia luar benteng."
Jenderal Kao Liang lalu meninggalkan keluarganya, menghadapi pangeran itu dan berkata, "Harap Pangeran tidak berkecil hati. Saya dapat menghadapi kepungan itu."
"Ha-ha-ha, hal itu tidak perlu dikhawatirkan, Pangeran. Berkat siasat Jenderal Kao Liang yang sudah lama memperhitungkan kemungkinan bahaya ini, gudang-gudang kita telah penuh dengan ransum kering yang akan cukup untuk kita pakai selama satu tahun! Dan tidak mungkin musuh dapat bertahan mengepung kita selama itu dan sudah tentu Kao-goanswe telah memiliki siasat lain untuk menghadapi pengepungan musuh," kata Ban Hwa Sengjin atau Lakshapadma, koksu dari Nepal itu.
"Kong-kong, kenapa Kong-kong menangis" Ayah dan lbu selalu bilang bahwa Kong-kong adalah seorang yang gagah perkasa, dan ayah ibu bilang bahwa seorang yang gagah pantang menangis. Mengapa Kong-kong menangis" Tiba-tiba terdengar suara nyaring ini yang membuat semua orang memandang kepada Cin Liong, karena bocah itulah yang mengeluarkan suara nyaring ini. Jenderal Kao sendiri menoleh dan mukanya menjadi merah sekali ketika dia memandang kepada cucunya itu.
Diam-diam Gak Bun Beng memandang kagum kepada anak itu. Dia dapat menduga bahwa tentu anak itulah yarg oleh Ang-siocia diceritakan sebagai anak dari Si Naga Sakti Gurun Pasir, putera dari Kao Kok Cu dan Ceng Ceng! Seorang bocah yang hebat, pikirnya. Dan dia dapat mengerti betapa perih perasaan hati seorang gagah seperti Jenderal Kao mendengar teguran seperti itu keluar dari mulut cucunya yang masih kecil!
Melihat keadaan yang menegangkan yang ditimbulkan oleh kata-kata anak kecil itu, Koksu Nepal lalu mengambil tindakan halus. Dia lalu menyuruh pengawal mengantar kembali semua keluarga Kao, juga termasuk Syanti Dewi palsu, untuk kembali ke tempat mereka dan meninggalkan ruangan pesta itu. Ang Tek Hoat yang sejak tadi belum berhasil mendekati Syanti Dewi, merasa kecewa, akan tetapi dia tidak melakukan sesuatu. Bagi pemuda ini, sudah cukuplah kalau dia dapat melihat kekasihnya itu dalam keadaan sehat dan selamat.
Pesta dilanjutkan sampai lewat tengah malam. Jenderal Kao minum sampai mabuk, dan melihat ini, Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong lalu bersama Ang-siocia merangkul Jenderal Kao dan membawanya kembali ke kamarnya. Dalam perjalanan mengantar Jenderal Kao ini sampai tiba di kamarnya, mereka berunding.
Perundingan singkat itulah yang membuat Panglima Milana menemukan surat pemberitahuan Jenderal Kao ketika pada keesokan harinya kembali Milana mengerahkan pasukannya menyerbu. Anak panah mengandung surat itu adalah anak panah yang diluncurkan oleh Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong dan yang dalam perang anak panah itu ikut pula membantu "menahan" musuh. Maka sudah terjadi permufakatan antara mereka berempat untuk membakar gudang-gudang ransum sesuai dengan rencanaa yang diatur oleh Jenderal Kao. Mereka diharuskan menanti tanda yang akan diberikan oleh jenderal itu.
Ketika terjadi penyerbuan yang terakhir itu, Kao Kok Cu dan Ceng Ceng mempergunakan keadaan yang ribut untuk menyelundup masuk. Suami isteri ini adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, maka tidak sukar bagi mereka berdua untuk menyelundup masuk benteng lewat tembok tinggi di samping kiri agak jauh dari tempat penyerbuan pasukan kerajaan.
Ang-siocia yang memang ditugaskan oleh Jenderal Kao untuk selalu meneliti tanda-tanda rahasia, menyambut datangnya kawan-kawan, dapat melihat kedatangan suami isteri ini yang tanpa mereka sadari telah menginjak alat-alat rahasa pribadi Jenderal Kao sehingga Ang-siocia dapat mengetahui kedatangan mereka dan menyambut. Maka terkejutlah suami isteri itu ketika mereka meloncat turun dan menyelinap di antara kegelapan bayangan pohon, tiba-tiba ada sesosok tubuh ramping berkelebat disusul suara Ang-siocia yang halus.
"Kao-taihiap dan Lihiap, cepat ke sinilah...."
Suami isteri itu memandang tajam, alis mata mereka berkerut penuh curiga. Melihat sinar mata pendekar itu mencorong, Ang-siocia bergidik dan cepat dia mendekati sambil berbisik, "Harap Taihiap jangan curiga, saya adalah utusan dari Jenderal Kao. Cepat, ke sinilah...."
Kao Kok Cu dan Ceng Ceng lalu cepat mengikuti Ang-siocia, menuju ke sebuah kandang kuda dan mereka memasuki sebuah kamar sederhana di belakang kandang kuda itu. "Harap kalian bersembunyi dulu di sini sampai keributan dari perang di luar itu selesai, nanti Ji-wi akan dapat bertemu dengan suhu, yaitu Hek-sin Touw-ong, Gak Bun Beng taihiap, dan dengan Jenderal Kao sendiri."
Mendengar ucapan itu, giranglah hati Kao Kok Cu dan isterinya. Akan tetapi Ceng Ceng yang sudah tidak sabar lagi menanti berkata, "Jadi engkau adalah murid Touw-ong dan engkau bekerja sama dengan ayah mertuaku"
Ang-siocia mengangguk. "Nama saya Kang Swi Hwa dan saya bersama suhu secara terpaksa menjadi pembantu-pembantu di sini." Lalu dengan singkat dia menceritakan betapa dia dan suhunya bertemu dengan Suma Kian Bu dan Kim Hwee Li, dan betapa mereka berdua membantu dua orang muda itu berusaha untuk membebaskan Syanti Dewi sehingga akhirnya mereka berdua tertawan.
"Untuk menyelamatkan diri, terpaksa kami berdua pura-pura menakluk dan membantu Koksu Nepal. Akan tetapi diam-diam kami mengadakan hubungan dan membantu Jenderal Kao Liang."
Hati Ceng Ceng girang sekali. Dia memegang tangan Ang-siocia dan berkata, "Adik yang baik, kalau begitu harap kau cepat membawaku bertemu dengan puteraku!"
Ang-siocia mengangguk. "Harap kau suka bersabar, Enci. Dalam keadaan ribut seperti ini, koksu telah memerintahkan para pengawal untuk menjaga para tawanan dengan ketat. Sebaiknya nanti saja kalau keadaan sudah mereda, Enci tentu akan dapat bertemu dengan putera Enci yang gagah itu. Akan tetapi Enci harus menyamar, jangan khawatir, aku mempunyai akal untuk mengaturnya."
Kao Kok Cu juga menasehati isterinya agar bersabar dan menanti saat baik, karena sekali saja mereka itu gagal dan diketahui musuh, hal ini mungkin sekali akan membahayakan semua keluarga mereka.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, penyerangan tentara kerajaan di bawah pimpinan Puteri Milana kembali mengalami kegagalan dan setelah menerima surat yang dikirimkan oleh Jenderal Kao melalui anak panah yang dilancarkan diam-diam oleh Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong, Milana lalu menarik mundur pasukannya, lalu membagi-bagi pasukannya untuk melakukan pengepungan dengan ketat.
Gak Bun Beng lalu dipanggil oleh Ang-siocia untuk menemui suami isteri itu. Mereka berunding dan Ceng Ceng lalu dirias oleh Ang-siocia, menyamar menjadi dia sendiri. Tak lama kemudian di ruangan itu telah ada dua orang Ang-siocia yang kembar segala-galanya!
"Sebaiknya Kao-taihiap bersembunyi saja di sini, menyamar sebagai pembantu penjaga kandang," kata Touw-ong dan Si Naga Sakti Gurun Pasir ini mengangguk karena dia pun tahu bahwa dia tidak mungkin dapat menyamar. Lengan kirinya yang buntung itu tidak memungkinkan dia menyamar sebagai orang lain.
Jenderal Kao Liang sendiri merasa girang mendengar bahwa puteranya yang amat diandalkannya, yaitu Kok Cu, bersama isterinya, telah tiba di dalam benteng. Betapapun rindu rasa hatinya, namun dia tidak mau bertemu dengan putera atau mantunya. Amat berbahaya untuk membiarkan Kok Cu muncul di depan umum, karena puteranya itu pernah membikin geger di situ. Dia hanya memesan melalui Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong dan yang dapat mudah menghubunginya, memesan agar mereka semua jangan sekali-kali melakukan gerakan lebih dulu secara lancang.
"Kalian harus menanti sampai terjadi pembakaran gudang-gudang ransum secara berhasil. Musnahnya gudang ransum akan menghancurkan pertahanan mereka, dan setelah itu barulah aku akan memberi tanda kepada Puteri Milana untuk melakukan penyerbuan besar-besaran," demikian pesan Jenderal Kao Liang yang telah mengatur rencana. Anehnya, jenderal ini tidak pernah mau membuka siasatnya secara terperinci sehingga orang-orang gagah itu hanya dapat menduga-duga saja siasat apa yang akan dipergunakan oleh jenderal itu untuk menghancurkan pertahanan benteng yang sedemikian kuatnya itu di samping membakar gudang-gudang ransun.
Puteri Milana mentaati pesan dari Jendera1 Kao Liang. Dia mengatur pasukannya, mengepung benteng itu dengan ketat dan tidak melakukan penyerbuan lagi, hanya kadang-kadang saja dia membiarkan pasukan-pasukan itu mengacau benteng dengan hujan anak panah, kemudian mundur dan kembali menjaga dengan ketat sehingga fihak musuh di dalam benteng tidak akan mungkin dapat mengadakan hubungan dengan luar benteng. Namun, hati puteri perkasa itu makin tidak sabar setelah menanti sampai beberapa hari, belum juga terjadi kebakaran di dalam benteng dan belum juga ada tanda dari Jenderal Kao untuk membolehkan dia melakukan penyerbuan.
Gak Bun Beng, Milana, Hek-sin Touw-ong, Ang-siocia, Kao Kok Cu, dan Ceng Ceng dapat menanti dengan sabar sampai Jenderal Kao Liang memberi isyarat, dan mereka semua itu percaya penuh akan kelihaian sang jenderal mengatur dan menjalankan siasatnya. Akan tetapi ada beberapa orang muda yang tidak tahu akan hal ini dan tidak dapat menanti! Malam itu terjadilah kegemparan besar di dalam benteng ketika empat orang muda menyelundup masuk dan membuat semua penjaga di dalam benteng menjadi geger! Mereka itu bukan lain adalah Suma Kian Lee dan Teng Siang In yang menyelundup masuk dari dinding timur, dan Suma Kian Bu bersama Kim Hwee Li yang menyelundup masuk dari dinding barat!
Mula-mula terdengar teriakan-teriakan para penjaga di dekat dinding benteng sebelah timur karena ada tanda rahasia terpijak orang di atas tembok. Para penjaga menghujankan anak panah pada dua sosok bayangan orang yang bergerak cepat bukan main, namun semua anak panah itu luput dan dua sosok bayaangan orang itu cepat lenyap dalam kegelapan malam di sebelah dalam benteng! Waktu itu sudah lewat tengah malam, sebagian besar penjaga sudah mengantuk, maka tentu saja mereka menjadi gempar ketika tiba-tiba terdengar tanda bahaya. Juga para tokoh lihai yang berada di dalam benteng itu serentak bangun dan melakukan pengejaran dan pencarian. Namun, dua sosok bayangan orang yang dikabarkan menyelundup ke dalam benteng itu telah lenyap.
Selagi para tokoh dan penjaga mencari-cari, tiba-tiba terdengar tanda bahaya di sebelah barat, menandakan bahwa ada fihak musuh menyelundup masuk melalui dinding barat pula. Maka keadaan menjadi makin gempar, para penjaga lari ke sana-sini, para tokoh berkelebatan ke sana-sini mencari-cari karena dikabarkan bahwa dari dinding sebelah barat ini pun menyelundup masuk dua sosok bayangan manusia yang, memiliki gerakan luar biasa gesitnya. Gegerlah di seluruh benteng. Koksu sendiri sampai terbangun dari tidurnya dan dia sendiri bersama para saudaranya memimpin pengejaran dan pencarian terhadap empat orang penyelundup yang dikabarkan oleh para penjaga amat lihai itu.
Tentu saja sukar bagi empat orang muda itu untuk dapat menyembunyikan diri terus-terusan di dalam benteng setelah para penjaga dan para tokoh yang berkepandaian tinggi itu mencari dengan penuh semangat. Beberapa kali mereka kepergok oleh para penjaga yang mencari-cari sehingga mereka terpaksa mempergunakan kepandaian dan lari lagi, dikejar-kejar dan lenyap lagi sehingga keadaan menjadi makin kacau-balau.
Suma Kian Bu dan Kim Hwee Li melarikan diri ke sebelah dalam. Berkat adanya Hwee Li yang mengenal baik seluruh tempat di dalam benteng, maka mereka berdua lebih mudah untuk bersembunyi. Hwee Li hendak mengajak Kian Bu untuk pergi mencari dan menangkap Pangeran Liong Bian Cu.
"Kita bekuk dia dan dengan dia menjadi sandera, kurasa kita akan dapat menaklukkan mereka semua," kata Hwee Li. "Kautangkap dia dan betapapun lihatnya, aku yakin engkau akan dapat menang dan membuat dia tidak berdaya, Kian Bu. Kemudian kita seret dia keluar dan ancam koksu dan yang lain agar suka membebaskan Jenderal Kao dan keluarganya."
"Hemmm, mana mungkin begitu mudah" Kalau koksu menolak"
"Apa" Menolak" Kita ketuk kepala si hidung kakaktua itu sampai dia minta-minta ampun. Dia adalah seorang Pangeran Nepal, mustahil koksu tidak akan melindunginya dan mengalah. Kita kan hanya minta tukar orang"
"Hemmm, kau benar juga, tapi hati-hatilah, karena pangeran itu tentu terjaga kuat. Jangan kau bertindak ceroboh sehingga belum kita berhasil, engkau akan tertangkap lebih dulu."
"Cerewet amat sih, kau ikut aku saja. Mari....!"
"Tangkappenjahat....!"Tiba-tiba terdengar bentakan dan seorang perwira meloncat ke depan menyergap mereka, diikuti oleh enam orang perajurit. Teriakannya diikuti oleh teriakan-teriakan enam orang perajurit itu sehingga keadaan menjadi gaduh.
"Sialan! Diam kau!" Hwee Li berseru, tubuhnya mencelat ke depan, ke arah perwira itu dan sebelum perwira itu sempat melindungi dirinya, Hwee Li sudah menampar. Telapak tangan kirinya yang berkulit halus dan hangat itu mengenai telinga kiri si perwira dan terasa olehnya bagaikan kilat menyambar, panas dan membuat matanya melihat seribu bintang runtuh. Dia terpelanting dan roboh tak sadarkan diri! Ketika Hwee Li membalikkan tubuh untuk menerjang enam orang perajurit itu, dia melihat betapa enam orang itu telah roboh semua oleh Kian Bu, padahal dia tadi tidak mendengar apa-apa. Entah apa yang dilakukan oleh Kian Bu kepada enam orang itu sehingga mereka roboh tanpa mengeluarkan suara dalam waktu secepat itu.
"Kau boleh juga!" Hwee Li memuji. "Mari....!"
Keduanya lalu meloncat dan menyusup di dalam kegelapan di antara bayang-bayang pohon dan rumah-rumah di dalam benteng. Tempat itu segera menjadi gempar ketika beberapa orang penjaga menemukan tujuh orang yang roboh pingsan itu, roboh tanpa terluka. Akan tetapi pemuda dan dara yang merobohkan mereka itu telah pergi jauh. Bukan pergi untuk menjauhkan diri dari bahaya, sebaliknya malah karena tiba-tiba saja muncul koksu sendiri di depan mereka. Koksu Nepal yang diiringkan oleh sepasukan pengawal pribadinya yang berjumlah dua losin orang! Bukan main marahnya koksu ketika melihat bahwa dua orang yang membikin kacau benteng itu bukan lain adalah Siluman Kecil dan Kim Hwee Li.
"Kiranya kalian datang kembali mengantar nyawa" bentaknya.
"Kian Bu, kauhadapi si botak menjemukan ini, biar aku menghajar pasukan tikus merah itu!" Para pengawal pribadi koksu memang memakai seragam merah, sesuai dengan si kakek botak yang juga memakai mantel merah. Kian Bu tidak sempat menjawab karena pendeta Lakshapadma atau Ban Hwa Sengjin itu memang sudah menerjang ke depan dan menggerakkan kedua lengannya yang amat panjang itu.
"Hemmm....!" Kian Bu mendengus dan dia sudah menggerakkan tangan menyambut dengan pukulan saktinya. Namun, Koksu Nepal yang sudah pernah merasakan kelihaian pemuda ini, tidak mau mengadu tenaga, melainkan menggerakkan tubuhnya berpusing dan tubuh itu segera berubah menjadi tubuh yang berlengan banyak sekali karena dia berpusing seperti gasing. Semua tangan yang menjadi banyak itu menyerang dan mengirim pukulan, tamparan, dan totokan-totokan maut ke arah tubuh Kian Bu. Siluman Kecil maklum pula akan kehebatan lawan ini, maka dia tidak berani memandang rendah dan cepat dia pun mengerahkan ginkangnya yang istimewa, tubuhnya berkelebatan seperti cahaya kllat ke sana-sini, menghindarkan diri dari semua serangan dan membalas dengan pukulan-pukulan yang tidak kalah ampuhnya. Namun kakek botak yang lihai, orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok itu pun dapat menghindarkan diri dan kadang-kadang menangkis sehingga berkali kali terjadi pertemuan tenaga yang membuat keduanya terpental saking kuatnya tenaga sin-kang yang bersembunyi di kedua tangan masing-masing.
Sementara itu, Hwee Li juga sudah dikeroyok oleh para pengawal yang banyak jumlahnya itu. Mereka adalah pengawal-pengawal pribadi koksu dalam upacara resmi, dalam kedudukannya sebagai koksu, maka tentu saja mereka merupakan orang-orang pilihan dari koksu sendiri, dan rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Dalam keadaan lain, pengawal pribadi dari koksu adalah Gitananda. Biarpun para pengawal pribadi itu tidak selihai Gitananda, namun mereka itu lebih lihai dari para pengawal biasa dan karena dikeroyok, setelah berhasil merobohkan lima enam orang, Hwee Li mulai terdesak dan terkepung dengan ketat.
Kian Bu dapat melihat keadaan Hwee Li itu dan dia merasa khawatir sekali. Sekali ini, dia tidak dapat merobohkan koksu dengan cepat karena agaknya koksu kini berlaku hati-hati sekali, memusatkan seluruh kepandaiannya kepada penjagaan diri sehingga dia tidak sempat membantu Hwee Li. Maka dia lalu berseru, "Enci Hwee Li, cepat kau larilah!"
Akan tetapi, Hwee Li sama sekali tidak mampu keluar dari kepungan ketat itu. Biarpun dengan amukannya dia telah merobohkan dua orang lagi, namun kini para pengepungnya memperlebar kepungan sehingga sukarlah bagi Hwee Li untuk merobohkan mereka dan juga sukar baginya untuk keluar dari kepungan belasan orang itu. Dara ini adalah seorang yang amat berani dan cerdik. Melihat keadaan dirinya, dia tidak putus harapan. Dia pun maklum bahwa pada saat itu Kian Bu tidak dapat membantunya, dan dia maklum pula bahwa kalau sampai datang lagi pasukan musuh, dia dan Kian Bu tentu akan celaka. Maka dia lalu menggunakan akal.
"Tikus-tikus merah busuk! Kau tidak ingat siapa aku" Aku adalah tunangan pangeran! Beranikah kalian menyentuhku" Beranikah kalian menyerangku" Coba kalian bunuh aku, hendak kulihat hukuman apa yang akan kalian terima dari pangeran!"
Para pengawal itu tentu saja menjadi terkejut. Mereka memang sudah tahu sejak tadi bahwa dara cantik ini adalah tunangan dan kekasih pangeran. Mereka hanya bergerak karena memandang kepada koksu, akan tetapi setelah kini dara itu mengingatkan mereka akan hal itu, mereka menjadi ragu-ragu karena mereka pun tahu bahwa kata-kata dara itu bukan merupakan gertakan kosong belaka. Memang mereka akan celaka dan dihukum berat oleh pangeran kalau mereka sampai melukai apalagi membunuh dara ini, selagi mereka itu ragu-ragu dan bingung, Hwe Li lalu meloncat dan menerjang keluar dari kepungan, sedangkan para pengawal yang mengepung itu tidak berani menggerakan senjata menyerangnya sehingga Hwee Li dapat dengan mudah keluar dan meloncat jauh.
"Tangkap dia....!" teriak koksu dan kakek ini lalu mengeluarkan suara melengking untuk memanggil para pembantunya. Mendengar lengking ini, Hwee Li terkejut dan dia meloncat makin jauh, lalu menengok dan berseru kepada Kian Bu untuk lari.
Kian Bu memang tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Kalau dia menghendaki, biarpun dia tidak dapat dengan mudah merobohkan koksu, namun kalau hanya untuk melarikan diri dari musuh saja akan dapat dia lakukan dengan amat mudah. Dia tadi tidak mau melarikan diri karena dia tidak mau meninggalkan Hwee Li yang terdesak musuh.
"Mari kita lari!" serunya dan dia menggunakan kesempatan selagi koksu melengking tadi untuk menyerang dengan hebatnya, menggunakan kedua tangannya mendorong dengan pukulannya yang amat ampuh.
"Ehhhhh....!" Koksu berseru keras karena terkejut melihat datangnya pukulan ini. Dia sudah tahu akan kehebatan pemuda ini, maka melihat pukulan yang gerakannya halus, mendatangkan sambaran angin halus sekali itu, dia tidak berani menerimanya, bahkan lalu cepat melempar tubuh ke belakang untuk menghindarkan diri. Ketika dia sudah berjungkir balik dan memandang, ternyata Kian Bu sudah tidak berada lagi di depannya.
Akan tetapi pada saat itu, muncul Ngo-ok dan Su-ok diikuti oleh tiga puluhan orang penjaga. Melihat ini, Hwee Li cepat meloncat ke tempat gelap dan Kian Bu yang hendak mencegah orang-orang itu mengejar Hwee Li, menyambut mereka dengan terjangannya sehingga dalam waktu sangat singkat, belasan orang penjaga terpelanting ke kanan kiri. Setelah melihat Hwee Li lenyap, barulah Kian Bu juga melarikan diri dan sekali berkelebat dia pun meloncat jauh tinggi di atas genteng dan lenyap dalam gelap. Akan tetapi dia tidak dapat melihat Hwee Li lagi, tidak tahu ke mana perginya dara itu. Mereka berdua telah saling terpisah!
Kalau Kian Bu dan Hwee Li menimbulkan kegemparan sehingga koksu sendiri sampai ikut turun tangan dan marah-marah karena melihat dua orang itu lenyap lagi, di lain bagian dari dalam benteng itu terjadi kegemparan lain karena ulah Suma Kian Lee dan Teng Siang In! Mereka pun berhasil menyelundup masuk ke dalam benteng dan mereka juga ketahuan oleh fihak penjaga, dihujani anak panah yang dengan mudah dapat mereka hindarkan. Akan tetapi mereka tidak dapat menghindarkan diri dari pengeroyokan setelah mereka berada di atas tanah di sebelah dalam tembok benteng. Dan celakanya mereka dikepung oleh banyak sekali orang, lebih dari lima puluh orang yang dipimpin oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi sendiri!
"Siang In, kau larilah biar aku menahan mereka!" Kian Lee berseru keras karena pemuda ini menghawatirkan keselamatan Siang In. Akan tetapi, tentu saja Siang In tidak mau lari meninggalkan Kian Lee menghadapi bahaya seorang diri saja.
"Hi-hi-hik, kaukira ahu takut mati" Mari kita lawan mereka itu!" jawab Siang In sambi memutar payungnya dan merobohkan dua orang perajurit musuh yang berani mendekat. Terpaksa Kian Lee juga mengamuk, akan tetapi pemuda ini langsung menghadap Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi karena dia maklum betapa lihainya dua orang kakek iblis ini sehingga dia membiarkan Siang In hanya menghadapi pengeroyokan para penjaga saja.
Mula-mula Siang In mengamuk dengan enaknya. Payungnya berubah menjadi bayangan hitam yang menutupi tubuhnya dan para pengeroyoknya roboh cerai-berai sehingga keadaan mereka menjadi kacau-balau. Akan tetapi, keributan itu segera menarik perhatian pasukan-pasukan lain dan berdatanganlah puluhan orang penjaga dan pengawal ke tempat itu sehingga Siang In merasa kewalahan juga.
"Siang In, lari....!"
"Kau juga tidak!" jawab Siang In yang melihat dengan sudut matanya betapa pemuda itu dengan gagahnya menghadapi desakan dua orang kakek iblis yang masih dibantu oleh beberapa, orang perwira yang lihai.
"Kau lari dulu, nanti aku menyusul!" teriak Kian Lee yang merasa jengkel juga melihat kebandelan dara itu.
"Lee-koko, tunggu aku menciptakan asap hitam, baru kita lari!" Dara itu berteriak nyaring dan tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan ketika dia mengebutkan saputangannya, nampaklah asap hitam mengebul dan memenuhi tempat itu. Dara ini telah mempergunakan ilmu sihirnya! Semua pengeroyok terkejut dan bingung, dan kesempatan itu dipergunakan oleh Siang In dan Kian Lee untuk melarikan diri.
Akan tetapi terdengar suara gerengan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dan seketika asap hitam itu membuyar dan lenyap. Kembali dua orang muda itu dikeroyok dan mereka berdua terpaksa membela diri dan kini mereka terpisah sehingga ketika keduanya berhasil melarikan diri, mereka sudah tidak dapat saling melihat lagi. Kian Lee merasa gelisah dan dia berloncatan ke atas genteng mencari-cari Siang In, namun dara itu lenyap entah ke mana.
Siang In juga tidak berhasil mencari Kian Lee karena dia terdesak oleh banyaknya perajurit musuh yang mengejarnya. Dia terpaksa melarikan diri karena tidak mungkin dia melawan pengeroyok yang demikian banyaknya, baik dengan menggunakan ilmu silat maupun ilmu sihirnya. Dia maklum bahwa kalau tokoh-tokoh lihai sampai bermunculan, dia tentu akan celaka, maka dia cepat melarikan diri menyelinap di antara pohon-pohon dan bangunan-bangunan sampai akhirnya dia tidak dikejar lagi. Dengan napas terengah-engah dan tubuh basah oleh peluh, dara ini berhenti berlari di belakang sebuah bangunan sunyi. Aku harus mengaso dulu, pikirnya dan tempat itu amat sunyi, baik untuk melepaskan lelah dan mengumpulkan kembali tenaganya. Sambil memanggul payungnya, dara ini melangkah ke tempat gelap di belakang bangunan, dengan maksud untuk beristirahat di tempat gelap itu.
Dia meletakkan payungnya di atas lantai ruangan belakang rumah yang agaknya kosong itu, kemudian dia duduk bersila di atas lantai yang dingin. Enak sekali rasanya duduk di lantai dingin itu setelah mengerahkan banyak tenaga dalam pertempuran tadi, dan sungguh menyenangkan tempat sunyi ini setelah tadi dia dikeroyok banyak orang. Siang In menarik napas panjang, mulai mengatur pernapasan untuk memulihkan tenaga. Akan tetapi, hatinya tidak dapat tenang, pikirannya selalu membayangkan wajah Kian Bu dan Hwee Li dan setiap kali dia teringat kepada dua orang itu, jantungnya berdebar tegang dan hatinya merasa panas sekali. Panas oleh cemburu!
Dia masih terheran-heran karena sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Siluman Kecil itu ternyata adalah Suma Kian Bu, pemuda yang selama ini dicari-carinya, pemuda yang pernah menciumnya dan yang belum pernah dapat dia lupakan selama dia ikut dengan gurunya, yaitu See-thian Hoat-su! Dan dia malah pernah bertemu dengan Siluman Kecil! Sekarang, begitu bertamu dia melihat pemuda yang dicari-carinya itu berpacaran dengan seorang dara lain yang cantik jelita, galak dan rendah hati siapa takkan menjadi panas" Bayangan Kian Bu dengan Hwee Li selalu mengganggu pikirannya dan dia tidak dapat beristirahat dengan sempurna, berulang kali dia menghela napas panjang untuk melepas kemarahan hatinya.
"Byar-byar-byarrr....!" Tiba-tiba tempat yang gelap itu menjadi terang sekali oleh sinar lampu yang dinyalakan orang dengan serentak, dan kesunyian dipecahkan suara orang-orang yang tahu-tahu sudah mengurung tempat itu! Siang In terkejut, menyambar payungnya dan meloncat berdiri. Kiranya di situ telah berdiri seorang tosu berwajah bengis, bertubuh tinggi kurus yang memegang sebatang pedang di tangan kanannya, diikutioleh tujuh orang perajurit pengawal. Delapan orang ini sudah mengepung tempat itu! Tosu ini bukan lain adalah Hak Im Cu, seorang tosu yang berkepandalan tinggi, seorang di antara pembantu-pembantu Hw-i-kongcu Tang Hun yang kini bersekutu dengan Koksu Nepal. Ketika tosu ini juga ikut mencari orang-orang yang dikabarkan mengacau di dalam benteng, diikuti tujuh orang anggauta Liong-sim-pang yang kini sudah menjadi perajurit pengikut Koksu Nepal, dia melihat berkelebatnya tubuh dara cantik membawa payung itu. Tentu saja dia menjadi curiga karena sepanjang pengetahuannya, tidak ada seorang dara seperti itu di dalam benteng. Maka cepat dia mengurung tempat itu dan secara tiba-tiba dia menyalakan lampu-lampu bersama anak buahnya.
"Hemmm, kiranya pengacau itu adalah seorang nona muda. Betapa berani mati sekali engkau. Hayo lekas menyerah sebelum kami menggunakan kekerasan untuk menangkapmu!" Hak Im Cu membentak marah.
Siang In menuding dengan payung hitamnya, lalu berkata mengejek, "Kiranya para pemberontak dan orang-orang Nepal telah berhasil pula memikat hati segala macam tosu palsu untuk berkhianat kepada negara!"
"Bocah bermulut lancang!" Tosu tinggi kurus berwajah bengis itu tiba-tiba bergerak ke depan dan Siang In mengeluarkan seruan kaget sambil meloncat ke samping dan payungnya bergerak untuk melindungi dirinya. Tak disangkanya bahwa tosu itu dapat bergerak sedemikian cepatnya, tahu-tahu tangan tosu itu sudah menyambar hendak mencengkeram pundaknya. Kalau dia tidak cepat menggerakkan payungnya, tentu pundaknya sudah kena dicengkeram. Tosu itu agaknya maklum akan kelihaian payung di tangan nona itu, maka dia menarik kembali tangannya, akan tetapi melanjutkan serangannya dengan tendangan kilat yang kembali hampir mengenai paha Siang In yang meloncat ke belakang.
Melihat betapa dua kali serangannya gagal, Hak Im Cu menjadi marah. Bahkan dalam penyerangannya ke dua itu, bukan saja si nona cantik dapat menghindarkan diri dari tendangan, melainkan payung itu digerakkan secara aneh dan hampir saja ujung payung yang runcing menusuk perutnya.
"Singgg....!" Hak Im Cu menyerang dengan pedangnya dan bersama tujuh orang anggauta Liong-sim-pang dia lalu menerjang dan mengeroyok Siang In.
"Trang-trang-tranggg....!"SiangIn memutar payungnya untuk menangkis banyak senjata tajam yang menyambar ke arahnya dari berbagai jurusan itu.
Diam-diam Siang In mengeluh. Dari tangkisan itu tahulah dia bahwa selain tujuh orang pembantu tosu itu rata-rata memiliki kepandaian lumayan, juga tosu itu sendiri amat kuat dan merupakan lawan tangguh. Dia tidak melihat jalan untuk meloloskan diri kecuali menggunakan sihirnya.
"Kalian adalah laki-laki semua bukan" Tiba-tiba suara merdu Siang In terdengar di antara suara beradunya senjata mereka. Biarpun tidak ada di antara mereka yang menjawab, namun di dalam hati mereka, delapan orang membenarkan ucapan Siang In. Memang mereka adalah laki-laki, pria sejati!
"Kalian delapan laki-laki yang suka makan makanan enak, mana mampu bertempur"
Delapan orang itu tertarik dan biarpun tangan kaki mereka masih bergerak mengeroyok dara itu, namun telinga mereka dipasang untuk mendengarkan. Siapa orangnya tidak suka makanan enak" Dan apa hubungannya makanan dengan bertempur"
"Makanan enak membuat perut sakit. Perut kalian sakit.... aduhhh...., perutku sakit, mulas sekali....!" Tiba-tiba Siang In meloncat ke belakang, dan menggunakan tangan kiri menekan-nekan perutnya sendiri, dengan wajah membayangkan kenyerian hebat.
Sungguh aneh bukan main. Delapan orang itu semua memandang wajah Siang In dan ketika mereka melihat wajah yang cantik manis itu membayangkan kenyerian, mendengar kata-kata Siang In itu, tiba-tiba saja mereka semua merasa betapa perut mereka juga sakit bukan main, mulas dan seperti diremas-remas rasanya!
"Aduh.... perutku...."
"Aduh mulas.... ahhh....!"
"Tak tertahankan.... ingin buang air...!"
Sungguh aneh dan lucu pemandangan pada waktu itu. Delapan orang itu kini tidak lagi mengeroyok Siang In melainkan menekan-nekan perut sendiri dengan muka membayangkan kesakitan hebat. Hak Im Cu sebagai seorang tokoh berkepandaian tinggi dari dunia kang-ouw, tentu saja melihat ketidakwajaran ini dan dia sudah menduga dengan terkejut sekali bahwa keadaan itu bukan semestinya dan tentu adalah pengaruh dari ilmu hitam atau ilmu sihir. Maka dia mengerahkan sinkangnya melawan rasa mulas di perutnya itu. Akan tetapi sebelum dia berhasil menolak pengaruh ilmu sihir yang dipergunakan oleh Siang In, dara ini yang bermata tajam melihat usaha dari tosu itu dan dia cepat menggerakkan payungnya, menghantam dari samping mengenai leher tosu yang sedang berusaha membebaskan diri dari pengaruh ilmu sihir.
"Desss....!" Tubuh tosu itu terpelanting dan roboh pingsan! Tujuh orang lain yang masih tersiksa oleh sakit perut, kini tak dapat menahan lagi dan di antara mereka sudah ada yang melepas celana mereka, bertelanjang untuk buang air di situ juga! Melihat ini, tentu saja wajah Siang In menjadi merah sekali, dia membuang muka dan meludah.
"Ihhh, sialan!" Dara itu berseru dan cepat melarikan diri dari tempat itu. Karena dia melarikan diri dan merasa jijik dan malu, maka otomatis pengaruh sihirnya lenyap dan tujuh orang itu sadar kembali, perut mereka sembuh seketika dan mereka baru tahu bahwa mereka tadi dipermainkan oleh dara itu. Marahlah mereka, apalagi melihat betapa tosu pimpinan mereka masih pingsan dan sambil berteriak-teriak mereka melakukan pengejaran. Siang In berlari makin cepat. Dia tidak takut menghadapi tujuh orang itu, akan tetapi dia takut terhadap teriakan-teriakan mereka karena teriakan-teriakan itu dapat memancing datangnya tokoh-tokoh dalam benteng dan akan celakalah dia kalau sampai mereka semua muncul. Di antara mereka banyak terdapat orang pandai yang memiliki ilmu silat jauh lebih tinggi daripada dia, bahkan ada pula yang memiliki ilmu sihir yang akan dapat melawan ilmunya sendiri. Maka dia lalu cepat menyusup di antara kegelapan bayangan-bayangan rumah dan menghilang dari kejaran tujuh orang itu.
Siang In terengah-engah menghapus peluhnya dengan saputangan. Dia tiba di sudut sebuah rumah yang gelap, terhindar dari pengejaran semua orang. Celaka, pikirnya. Ke mana perginya Kian Lee" Baru saja dia dapat bernapas panjang melepaskan lelah, tiba-tiba terdengar hiruk-pikuk di belakangnya, suara sepasukan tentara musuh yang mendatangi tempat itu, mencari-cari. Dia terkejut dan lari lagi menjauhi. Ketika dia membelok ke belakang sebuah bangunan besar, hampir dia bertabrakan dengan sesosok bayangan orang yang juga berlari cepat membelok di sudut bangunan itu.
"Heeeiiittttt!"
"Aihhhhh!"
Keduanya sudah mendorong dengan lengan tangan dan karena dorongan ini. keduanya terlempar ke belakang. Mereka berjungkir balik, meloncat dan siap menghadapi musuh yang hampir ditabrak itu, berdiri saling pandang.
"Kau...."
"Hemmm, kiranya engkau"
Dua orang dara yang sama-sama cantik jelita itu dan sama-sama kaget itu saling pandang. Kiranya orang yang hampir menubruk Siang In itu adalah Kim Hwee Li!
"Kau perawan genit binal!". Siang In sudah memaki karena rasa cemburu sudah membakar hatinya begitu dia bertemu dengan dara yang dianggapnya sebagai pacar dari Siluman Kecil itu. Di lain fihak, Hwee Li juga marah sekali melihat dara yang dianggapnya merampas Kian Lee dari dia, maka dengan mata terbelalak melotot dia pun menudingkan telunjuknya, dengan marah.
"Ah, engkau perempuan tak tahu malu!"
"Engkau yang tak tahu malu!"
"Engkau perampas laki-laki!"
"Engkau yang pengeret hina!"
Mereka saling maki dan akhirnya tak dapat dicegah lagi keduanya saling serang dan kembali seperti ketika mereka bertemu di luar tembok benteng, kini pedang dan payung itu sudah saling serang dengan seru dan hebatnya! Akan tetapi pertandingan mati-matian ini hanya berjalan belasan jurus saja karena tiba-tiba muncullah pasukan yang belasan orang banyaknya, dipimpin oleh Hwa-i-kongcu sendiri! Melihat Hwee Li, Hwai-kongcu tertawa.
"Aha, kiranya puteri liar dari Hek-tiauw Lo-mo yang ikut mengacau di sini!"
Pertempuran antara Hwee Li dan Siang In otomatis berhenti dan dua orang dara itu serentak lalu menyerang Hwa-i-kongcu yang menjadi kelabakan karena serangan dua orang dara itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Tidak berani dia memandang rendah, maka dia sudah mencabut pula pedangnya yang tipis, diputarnya cepat untuk melindungi tubuhnya sambil berseru kepada anak buahnya untuk bergerak menangkap dua orang dara itu. Maka dikeroyoklah Hwee Li dan Siang In yang kini mau tidak mau terpaksa harus bertempur bahu-membahu dan saling melindungi! Memang aneh sekali. Mereka itu saling benci dan saling marah satu sama lain, akan tetapi nyatanya mereka menghadapi musuh yang sama sekarang sehingga mereka menghadapi lawan bersama-sama.
Hwee Li yang kini menimpakan kemarahannya kepada Hwa-i-kongcu Tang Hun, memutar pedangnya dengan nekat dan menerjang laki-laki muda pesolek itu dengan dahsyat, membuat Tang Hun mundur-mundur dan terus didesak oleh Hwee Li. Dara yang gagah perkasa dan tak mengenal rasa takut itu tidak tahu betapa ketua Liong-sim-pang yang cerdik ini memang sengaja memancingnya sehingga terpisah dari Siang In. Kini Siang In dikeroyok oleh belasan orang anak buah Liong-sim-pang sedangkan Hwee Li menghadapi Tang Hun seorang diri dalam pertandingan mati-matian yang amat seru.
Siang In yang sudah merasa lelah itu tidak mau banyak membuang tenaga. Dia cepat mengerahkan tenaga batinnya dan mengeluarkan suara melengking nyaring disusul oleh kata-katanya yang merdu namun mengandung pengaruh luar biasa.
"Ahhh, kalian ini segerombolan laki-laki yang gagah perkasa mengapa mengeroyok seorang dara yang lemah dan tak berdaya" Kalian merasa malu kalau harus mengeroyok seorang anak perempuan!" Memang luar biasa pengaruh kata-kata yang merdu dan lembut itu. Seketika para pengeroyok itu menahan senjata mereka, memandang kepada Siang In dengan muka merah karena malu, dan mereka ragu-ragu, tidak tahu harus berbuat apa. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Siang In yang sudah meloncat dengan cepatnya, lenyap dari situ, meninggalkan para pengeroyoknya yang bengong. Akan tetapi setelah Siang In lenyap, baru mereka sadar bahwa mereka telah membiarkan seorang musuh lolos, maka mereka menjadi sibuk dan kini mereka semua mengeroyok Hwee Li yang masih bertanding dengan serunya melawan Hwa-i-kongcu Tang Hun. Melihat ini, Tang Hun terkejut.
"Mundur semua! Mana wanita itu tadi"
"Dia.... dia sudah melarikan diri...." Seorang di antara mereka menjawab.
"Bodoh, kejar!" teriak Tang Hun dan kini dia menangkis pedang Hwee Li, kemudian dia membentak, "Nona Hwee Li, hayo kau berlutut!" Bentakan ini mengandung kekuatan batin karena Tang Hun telah mempergunakan ilmu sihirnya. Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua Liong-sim-pang adalah murid dari Durganini, seorang nenek iblis dari India, ahli sihir, maka tentu saja dia pun pandai menggunakan ilmu hitam untuk mempengaruhi batin lawan.
Seketika Hwee Li merasa betapa kedua kakinya lemas dan tanpa dapat ditahannya lagi, dia sudah menjatuhkan diri berlutut. Namun, Hwee Li adalah seorang dara gemblengan yang sejak kecil digembleng oleh seorang manusia iblis aeperti, Hek-tiaw Lo-mo, bahkan dia lalu menjadi murid seorang wanita sakti seperti Lu Ceng Ceng dan karena berdekatan dengan suami subonya ini yaitu Si Naga Sakti Gurun Pasir, maka dia bukan merupakan dara biasa yang mudah saja dikuasai sihir. Dia masih sadar bahwa dia diserang orang dengan sihir, maka dia menggunakan kecerdikannya. Biarpun dia sudah berlutut, namun dia masih memegang pedangnya dan kini dia cepat mengangkat muka memandang kepada Tang Hun.
"Hwa-i-kongcu Tang Hun, engkau tahu siapa aku" Aku adalah tunangan dari Pangeran Bharuhendra! Beranikah kau kurang ajar kepada calon permaisuri Raja Nepal"
Ucapan dara itu sungguh amat mengejutkan hati Tang Hun. Pemuda pesolek ini adalah seorang yang berilmu tinggi dan tidak mudah baginya untuk merasa terkejut apalagi takut. Akan tetapi, terhadap Pangeran Liong Bian Cu dan Koksu Nepal, apalagi setelah tahu bahwa Im-kan Ngo-ok juga menjadi kaki tangan Pangeran Nepal, dia benar-benar tahu bahwa pangeran itu memiliki kedudukan yang amat kuat dan dia tahu akan kelemahannya menghadapi mereka. Oleh karena itulah maka dia mau membonceng kekuasaan itu dan mau bersekutu dengan Pangeran Nepal. Kini, di ingatkan bahwa Hwee Li adalah tunangan dan calon isteri Pangeran Liong Bian Cu, dia terkejut bukan main. Memang dia sendiri pun tahu betapa besar cinta kasih Pangeran Liong Bian Cu kepada dara cantik jelita dan lincah ini, maka diingatkan demikian, dia termangu.
"Mampuslah!" Tiba-tiba Hwee Li meloncat dan pedangnya menyambar ke arah dada Tang Hun.
"Aihh....! Cringgg....!" Tang Hun terkejut bukan main, sedapatnya dia menangkis pedang itu dengan pedangnya. Akan tetapi karena serangan itu datangnya tak tersangka-sangka, ketika Hwee Li menggerakkan kakinya menendang dia tidak mampu mempertahankan dirinya lagi.
"Desss!" Pahanya kena ditendang dan tubuh Tang Hun terlempar ke belakang. Ketika dia merangkak bangun sambil meringis karena pahanya terasa nyeri bukan main, dia melihat bahwa Hwee Li telah lenyap, telah melarikan diri. Terpincang-pincang dia mengejar sambil menyumpah-nyumpah karena merasa bodoh. Kiranya ketika dia terkejut tadi, kekuatan sihirnya pun lenyap sehingga dara itu dapat bergerak dan menyerangnya.
Sementara itu, Kian Bu yang terpisah dari Hwee Li mencari-cari dara itu. Tentu saja tidak mudah mencari Hwee Li di tempat itu, di mana pasukan musuh sibuk mengejar dan mencari-cari mereka. Maka Kian Bu mencari Hwee Li sambil juga bersembunyi-sembunyi jangan sampai bertemu dengan para perajurit musuh dan tokoh-tokoh lihai yang berkeliaran di dalam benteng. Dia tidak begitu khawatir akan keselamatan Hwee Li karena dia maklum bahwa selain lihai sekali, juga gadis itu amat cerdik dan menurut ceritanya, gadis itu dicinta oleh Pangeran Liong Bian Cu, maka keselamatan gadis itu agaknya tidak begitu mengkhawatirkan. Dia harus dapat mencari sendiri Pangeran Liong Bian Cu untuk dibekuk, karena itulah kiranya satu-satunya untuk menguasai benteng dan menyelamatkan para tawanan.
Tiba-tiba dia melihat ribut-ribut di bawah. Dia mendekam di atas wuwungan dan memandang ke bawah. Di bawah sinar lampu dan obor, dia melihat seorang pemuda sedang dikeroyok oleh belasan orang perajurit yang dipimpin oleh seorang kakek bertubuh gorilla yang amat mengerikan. Kiranya kakek itu adalah Su Lo Ti yang memiliki kepandaian seperti iblis! Dan pemuda yang dikeroyok itu adalah Suma Kian Lee!
Dikeroyok oleh belasan orang itu, Kian Lee bersilat seenaknya saja dan setiap orang pengeroyok yang berani mendekat, tentu roboh oleh tamparan atau tendangannya. Kakek gorilla itu hanya menonton dan berdiri sambil berpangku tangan. Kemudian dia menurunkan kedua lengannya yang panjang, lalu mengangkat sebelah tangan ke atas sambil berkata, "Mundur kalian semua!"
Para pengeroyok itu berloncatan mundur dan menolong teman-teman yang sudah roboh. Kakek itu melangkah dengan langkah seekor monyet besar, menghadapi Kian Lee yang memandang kepada kakek gorilla itu dengan sinar mata tajam dan penuh kewaspadaan. Kian Lee yang sudah pernah bentrok dengan kakek ini maklum betapa lihai dan berbahayanya orang pertama dari Im-kan Ngo-ok ini, akan tetapi tentu saja dia sama sekali tidak merasa jerih. Sinar mata yang mencorong dan mengeluarkan cahaya kehijauan dari kakek itu menandakan bahwa kakek itu telah menampung tenaga sinkang yang luar biasa. Ketika melihat Kian Lee dan sikapnya yang berani, kakek itu tersenyum.
"Sungguh berani mati sekali, sudah pernah lolos dari bahaya kini malah berani mendatangi tempat ini. Sungguh pemuda Pulau Es yang mengagumkan dan patut dihormati!"
Dari atas genteng, Kian Bu melihat dengan penuh kecurigaan dan hampir saja dia berteriak memperingatkan kakaknya ketika kakek gorilla itu menjura. Akan tetapi, Kian Lee adalah seorang pemuda yang berwatak tenang namun waspada, maka begitu kakek itu menjura, dia pun cepat membalas dengan sikap hormat namun tidak melepaskan kewaspadaan.
Benar saja, begitu kakek itu menjura, ada angin dahsyat menyambar dari kedua tangan kakek itu ke arah Kian Lee. Pemuda yang sudah siap ini cepat mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-kang untuk mendorong dan menangkis.
Nampak asap mengepul ketika dua hawa itu bertemu dan Kian Lee terkejut juga karena ternyata olehnya betapa kuatnya sinkang dari kakek itu. Maka dia lalu meloncat ke pinggir menghindarkan adu tenaga secara langsung. Sebaliknya, Twa-ok Su Lo Ti yang curang luar biasa itu tersenyum.
"Bagus, tidak kecewa menjadi penghuni Pulau Es. Orang muda, mari kita main-main sebentar!" Dan kakek itu sudah menerjang dengan dahsyatnya. Memang hebat sekali kepandaian dari orang pertama Im-kan Ngo-ok ini. Angin menyambar-nyambar, bukan hanya dari kedua tangannya berikut lengan baju yang panjang, akan tetapi juga dari kedua kakinya dan angin yang menyambar itu mengandung hawa yang amat panas dan mengeluarkan bunyi bercuitan! Kian Lee maklum akan kelihaian lawan, maka dia pun mengerahkan tenaga sinkangnya untuk melawan, menangkis, mengelak dan balas menyerang. Namun, setiap kali mereka berdua mengadu lengan atau mengadu hawa pukulan, selalu Kian Lee merasa terdorong ke belakang dan dadanya terasa nyeri karena tertekan oleh tenaga mujijat yang aneh! Dia makin terkejut, namuh dia melawan sekuatnya, karena dalam keadaan terdesak dan terkepung, tidak mungkin dia akan dapat meloloskan diri sebelum dia mengalahkan kakek lihai ini.
"Lee-ko, kauserang bagian bawahhya!" Tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan ada bayanganorang berkelebat dari atas, cepatnya seperti halilintar menyambar dan tahu-tahu Twa-ok Su Lo Ti merasa ada angin pukulan dahsyat menyambar ke arah ubun-ubun kepalanya. Dan pada saat itu, Kian Lee yang maklum bahwa adiknya sudah muncul dan membantunya, cepat melancarkan pukulan Swat-im Sin-ciang yang berhawa dingin ke arah pusar kakek itu.
"Aughhhhh....!" Twa-ok Su Lo Ti mengeluarkan gerengan nyaring sampai seluruh tempat itu seperti tergetar, dan biarpun penyerangan kakak beradik itu dahsyat, dan cepat, namun dia masih dapat menggunakan lengan kanan menangkis hantaman Kian Bu dan lengan kirinya menangkis pukulan Kian Lee.
"Dukkk....! Desss....!" Tubuh Kian Lee mencelat ke belakang sedangkan tubuh Kian Bu juga berjungkir balik beberapa kali. Kakek yang lihai itu hanya tergetar dan terhuyung saja, padahal Kian Bu sudah menggunakan tenaga gabungan Im dan Yang, yaitu tenaga mujijat yang pernah membuat koksu roboh pingsan. Namun kakek gorilla ini hanya tergetar dan terhuyung, padahal pukulan Kian Bu tadi dibantu oleh pukulan Kian Lee yang juga amat kuatnya. Hal ini saja sudah membuktikan betapa lihainya Twa-ok, orang pertama dari Im-kan Ngo-ok itu.
Twa-ok memandang dengan kaget. "Ah, kiranya engkau yang isebut Siluman Kecil" Hebat, hebat! Sungguh orang-orang muda yang hebat," katanya halus akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya sudah menyerang ke depan, berputar-putar seperti gasing dan dari gerakan kedua tangannya menyambar tenaga yang amat kuatnya.
Kian Bu dan Kian Lee cepat menyambut dengan tangkisan dan serangan balasan, namun keduanya maklum bahwa kakek ini memang benar-benar amat kuat. Kian Bu sendiri yang sudah banyak menghadapi orang kuat, diam-diam harus memuji dan mengakui bahwa selama ini baru sekarang dia bertemu dengan lawan yang benar-benar amat menggiriskan. Tingkat kepandaian kakek bermuka monyet ini lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Sin-siauw Seng-jin, kakek yang menyimpan pusaka-pusaka Suling Emas itu! Akan tetapi sekali ini Kian Bu dibantu oleh kakaknya, Kian Lee yang kepandaiannya juga sudah meningkat tinggi, maka kakak beradik ini dapat mengimbangi permainan silat yang aneh dari Twa-ok.
Akan tetapi, mereka harus mengakui bahwa untuk mengalahkan kakek itu bukanlah hal yang mudah, dan mereka berdua berada di tempat berbahaya. Baru seorang kakek ini saja sudah sehebat itu, kalau sampai datang yang lain-lain bukankah keselamatan mereka terancam bahaya"
"Lee-ko, mari kita pergi!" kata Kian Bu dan tiba-tiba saja pemuda ini menyambar tangan kakaknya dan sekali bergerak, mereka sudah melesat seperti kilat cepatnya ke atas genteng, dan dengan beberapa loncatan lagi mereka telah lenyap dari pandang mata. Twa-ok tidak mengejar, melainkan bengong memandang ke atas genteng dan berulang kali dia menarik napas panjang, lalu dia menggeleng-geleng kepalanya.
"Hebat.... hebat....!" Dia masih tertegun karena harus diakui bahwa selama hidupnya baru sekarang dia menyaksikan ginkang seperti itu! Dia sendiri maklum dalam hal ginkang, dia tidak akan menang melawan Siluman Kecil. Dan kalau dia dikeroyok dua, dia masih ragu-ragu apakah dia pun akan dapat mengalahkan dua orang muda yang amat hebat itu.
Sementara itu, Kian Bu dan Kian Lee cepat menjauhkan diri dan bersembunyi di wuwungan rumah yang gelap. "Ah, kakek monyet itu benar-benar lihai sekali," kata Kian Bu.
"Untung engkau keburu datang, Bu-te. Kalau tidak, kiranya aku tidak akan mampu mengalahkan dia."
"Lee-ko, tempat ini berbahaya sekali. Melawan banyak orang pandai dengan kekerasan tentu tidak ada gunanya dan kita akan gagal. Sebaiknya kita mencari dan menangkap Pangeran Liong Bian Cu itu. Sekali dia sudah berada di tangan kita, kita dapat memaksa Koksu Nepal dan yang lain untuk menyerah."
Kian Lee mengangguk. "Pikiran yang baik sekali, Bu-te. Akan tetapi ke mana kita harus mencarinya"
"Dia tentu berada di salah satu di antara rumah-rumah ini. Kita harus mencarinya sampai dapat. Mari!"
Kakak beradik ini sama sekali tidak mau menyinggung soal Siang In dan Hwee Li. Keduanya merasa sungkan karena keduanya menduga bahwa tentu masingmasing mencinta dara yang melakukan perjalanan bersama itu. Kian Lee menduga bahwa Kian Bu jatuh cinta kepada Hwee Li, sebaliknya Kian Bu juga menduga bahwa Kian Lee tentu jatuh cinta kepada dara cantik jelita berpayung itu. Maka keduanya tutup mulut, tidak berani saling bertanya tentang dara-dara itu, padahal di dalam hati, mereka itu merasa heran dan bertanya-tanya ke mana perginya dara yang tadinya bersama masing-masing itu.
Suasana makin menjadi gempar ketika beberapa kali para penjaga bentrok dengan Kian Lee, Kian Bu, Siang In, dan Hwee Li yang telah berpencaran dan terpisah-pisah itu. Seluruh pembantu yang pandai dikerahkan, bahkan Pangeran Liong Bian Cu sendiri memerintahkan agar para pengacau itu dapat ditangkap hidup-hidup. Koksu Nepal sendiri pun turun tangan, keluar dari kamarnya untuk memimpin para penjaga melakukan pencarian dan pengejaran.
Para perwira pasukan yang mengadakan perondaan dan pemeriksaan, juga menjadi makin bingung ketika mereka melihat ada dua orang Hek-sin Touw-ong berkeliaran! Baru saja seorang perwira bersama selosin orang perajuritnya bertemu dengan Hek-sin Touw-ong di belakang sebuah rumah, dan begitu mereka keluar dari lorong dan berada di depan rumah itu, mereka melihat lagi Hek-sin Touw-ong! Biarpun kakek itu lihai, tidak mungkin pandai menghilang atau terbang secepat itu.
"Heiii, Touw-ong! Bagaimana kau bisa muncul di sini" Padahal, baru saja kita saling jumpa di belakang...." Akan tetapi perwira itu tidak melanjutkan kata-katanya karena Hek-sin Touw-ong ke dua ini telah menggerakkan tangan menampar dan perwira itu roboh pingsan! Selagi para perajurit melongo dan kemudian marah-marah, Hek-sin Touw-ong ke dua itu telah melarikan diri! Tentu saja mereka tidak tahu bahwa Hek-sin Touw-ong ke dua ini bukan lain adalah Gak Bun Beng! Para perajurit menggotong perwira yang pingsan dan mereka lari pergi menghadap Koksu Nepal. Ketika mereka bertemu dengan rombongan koksu, mereka melihat bahwa Hek-sin Touw-ong sudah berada di situ bersama rombongan koksu!
"Dia.... dia telah menyerang dan merobohkan komandan kami!" perajurit-perajurit itu berseru.
"Kalian bicara apa" Sejak tadi aku berada di sini bersama dengan Koksu!" jawab Touw-ong yang tentu saja mengerti bahwa yang dimaksudkan adalah Bun Beng.
Karena koksu juga melihat sendiri betapa Touw-ong sejak tadi berada bersamanya, maka dia marah-marah dan memaki-maki para perajurit dan menyuruh mereka pergi dan membawa perwira yang pingsan. "Kalian tolol! Tentu musuh yang telah menyerang perwira kalian, dan sama sekali bukan Touw-ong."
"Tapi.... tapi hamba melihat betul bahwa Touw-ong...."
"Cukup dan pergi! Atau kau lngin kupukul roboh juga" bentak koksu dan para perajurit itu segera pergi dengan ketakutan. Koksu Nepal marah bukan main. Dia merasa jengkel bahwa bentengnya diselundupi mata-mata musuh dan sampai sekian lamanya mata-mata musuh belum juga tertangkap. Ketika dia mendengar laporan dari Twa-ok yang bertemu dengan Siluman Kecil dan pemuda Pulau Es, mengertilah koksu bahwa Kian Lee dan Kian Bu adalah dua orang di antara para mata-mata yang mengacau. Juga dia mendengar dari para pembantu lain bahwa gadis yang dicinta oleh pangeran, Hwee Li, dan seorang gadis lain yang mahir limu sihir, juga memasuki benteng da melakukan pengacauan. Kalau hanya orang-orang muda itu yang mengacau, masa seluruh pasukan tidak mampu menangkap mereka" Padahal di situ terdapat lm-kan Ngo-ok lengkap, belum lagi orang-orang pandai seperti Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, Hwa-i-kongcu dan para pembantunya, dan masih banyak orang-orang pandai lagi!
"Tangkap mereka!" bentaknya ketika dia bertemu dengan semua pembantunya., "Kalau tidak dapat menangkap, bunuh saja mereka!"
"Akan tetapi, jangan sekali-kali melukai atau membunuh Nona Hwee Li!" tiba-tiba Pangeran Liong Bian Cu berkata dan tidak ada seorang pun berani membantah perintah ini. Pengejaran di perketat dan semua pengawal dikerahkan untuk mencari di seluruh tempat dalam benteng seperti menyisir rambut saja.
Namun kekacauan makin menghebat ketika para pengawal itu tiba-tiba melihat Ang-siocia kembar! Saking bingungnya menyaksikan keributan yang ditimbulkan oleh empat orang muda yang belum dapat mereka jumpai, Ang-siocia dan Ceng Ceng meninggalkan tempat mereka dan ikut mencari, tentu saja dengan maksud melihat siapa orangnya yang menyusup ke dalam benteng dan kalau perlu melindungi mereka. Mereka lupa sama sekali bahwa wajah mereka adalah serupa dan bahwa mereka merupakan Ang-siocia kembar! Demikian pula dengan Gak Bun Beng yang sudah dapat menduga bahwa tentu keributan itu di timbulkan oleh Kian Bu dan Kian Lee. Pendekar ini pun telah menambah kebingungan para pengejar karena dia merupakan Hek-sin Touw-ong ke dua.
"Benarkah dugaanmu bahwa satu di antara pengacau itu adalah Siluman Kecil, Lihiap" tanya Ang-siocia kepada Ceng Ceng yang berjalan di sebelahnya.
Ceng Ceng mengangguk. "Siapa lagi kalau bukan dia yang begitu berani mengacau di tempat seperti ini" Dan aku mendengar sendiri dari mulut Twa-ok yang bertemu dengan Ji-ok, bahwa dia telah bentrok dengan pemuda lihai berambut putih panjang. Siapa lagi kalau bukan Paman Kian Bu"
Jantung Ang-siocia atau Kang Swi Hwa berdebar kencang. Siluman Kecil berada di situ pula! Tentu saja dia makin bersemangat untuk dapat menolong dan menyembunyikan pendekar yang telah menundukkan hatinya itu dan mereka berdua lalu makin giat mencari. Tiba-tiba mereka bertemu dengan Jiu Koan, tokoh Liong-sim-pang yang tinggi dan sombong, yang memimpin belasan orang dan yang memegang golok dengan sikap angkuh, seolah-olah dialah yang akan berhasil menangkap para pengacau. Matanya liar memandang ke kanan kiri dan tiba-tiba matanya terbelalak ketika dia melihat Ang-siocia den Ceng Ceng! Dia mengenal Ang-siocia yang dianggap sebagai pembantu koksu yang lihai dan andaikata dia melihat seorang saja Ang-siocia berkeliaran, tentu dia tidak akan menaruh curiga karena sudah semestinya kalau Ang-siocia ikut pula mengejar dan mencari mata-mata musuh. Akan tetapi dia melihat Ang-siocia kembar! Dan dia tidak pernah mendengar Ang-siocia mempunyai enci atau adik di situ, apalagi saudara kembar.
"Heeiii!! Berhentii!" bentaknya.
Ang-siocia sudah hafal akan semua pembantu koksu dan dia tahu siapa adanya si jangkung bergolok ini. Maka dia tersenyum dan berkata, "Jiu-lopek, mau apa engkau menghentikan aku" Apakah kau sudah berhasil membekuk mata-mata"
Jiu Koan memandang kepada Ang-siocia dan Ceng Ceng silih berganti dengan mata bingung. "Ang-siocia, engkaukah Ang-siocia" Dan siapa pula yang seorang ini"
Ditanya demikian, barulah Ceng Ceng lngat bahwa ia menyamar sebagai Ang-siocia dan Kang Swi Hwa sendiri baru sadar setelah dia menoleh dan menatap wajah Ceng Ceng. Celaka, pikirnya mengapa dia begitu pelupa dan bodoh! Hal ini tentu karena keeogangan hatinya mendengar bahwa Siluman Kecil berada di dalam benteng itu.
"Lihiap, serang!" bisiknya dan dia sudah menerjang maju. Juga Ceng Ceng sudah bergerak dan serangannya demikian hebatnya sehingga Jiu Koan tidak sempat lagi berteriak. Tengkuknya sudah dihantam oleh tangan Ceng Ceng dan dia roboh tak sadarkan diri lagi. Juga Ang-siocia telah merobohkan dua orang anak buah Liong-sim-pang, kemudian dua orang wanita itu meloncat dan meiarikan diri, dikejar oleh para anak buah Liong-simpang yang berteriak-teriak.
Di sana-sini terjadi pertempuran, apabila ada seorang di antara para pengacau itu kepergok musuh, akan tetapi karena empat orang muda itu memang lihai, mereka selalu dapat melarikan diri dan mereka begitu cerdik sehingga tidak pernah para tokoh lihai pembantu koksu dapat melihat mereka. Akan tetapi, setelah para pembantu koksu menggunakan siasat bersembunyi sambil mengintai, akhirnya Ang-siocia dan Ceng Ceng yang merupakan dua orang kembar itu tcrkepung oleh Twa-ok dan Ji-ok dibantu oleh beberapa orang penjaga!
Twa-ok dan Ji-ok sudah mendengar dari para anggauta Liong-sim-pang betapa Ang-siocia telah berkhianat dan menyelundupkan seorang mata-mata yang menyamar seperti dia, maka begitu bertemu dengan Ang-siocia kembar ini, orang pertama dan ke dua dari Im-kan Ngo-ok langsung saja meloncat keluar dari tempat persembunyian mereka dan menghadang.
Ceng Ceng terkejut bukan main melihat dua orang yang wajahnya mengerikan itu. Twa-ok Su Lo Ti yang wajah dan tubuhnya seperti seekor monyet besar sudah mengerikan, akan tetapi Ji-ok Kui-bin Nio-nio yang memakai topeng tengkorak lebih mengerlkan lagi. Tentu saja dia tidak merasa takut, karena suaminya sendiri, Si Naga Sakti Gurun Pasir, dahulu juga memakai topeng setan yang mengerikan (baca Kisah Sepasang Rajawali), dan memang nyonya muda yang gagah perkasa ini tidak pernah merasa takut menghadapi siapapun juga, apalagi dia tidak pernah mengenal siapa adanya dua orang ini dan sampai di mana kelihaian mereka. Akan tetapi, Angsiocia sudah menjadi pucat wajahnya dan dia berbisik, "Lihiap, celakalah kita sekali ini...."
Twa-ok Su Lo Ti tersenyum ramah, akan tetapi karena wajahnya seperti monyet, ketika tersenyum ramah wajahnya itu menyeringai seperti seekor kera marah. "Ha-ha-ha, engkaulah yang tulen karena wajahmu dapat berubah pucat. Dan yang seorang lagi adalah Ang-siocia palsu, wajahnya tertutup lapisan topeng. Ang-siocia, memang sejak lama aku sudah curiga kepadamu dan kepada gurumu, sekarang terbukti bahwa engkau menyelundupkan seorang mata-mata musuh. Betapa berani mati engkau."
"Twa-heng, ingin aku melihat wajah orang ke dua ini," kata Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan tiba-tiba telunjuknya menuding ke arah Ceng Ceng, ke arah wajah pendekar wanita ini. Terdengar suara mencicit nyaring dan hawa dingin tajam menyambar ke arah wajah Ceng Ceng.
Wanita ini terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa wanita tua bertopeng tengkorak itu demikian hebat kepandaiannya. Cepat dia miringkan tubuhnya dan menggunakan kekuatan sinkang untuk menangkis. Dia berhasil menghindarkan diri, akan tetapi tetap saja dia terhuyung, tanda betapa kuatnya sinkang dari wanita muka tengkorak itu! Di lain fihak, Ji-ok Kui-bin Nio-nio juga terkejut dan penasaran. Tidak banyak orang dapat menghindarkan diri dari serangan Kiam-ci (Jari Pedang) yang amat diandalkan itu.
"Eh, kau boleh juga!" dia mengejek dan sudah hendak menyerang pula. Akan tetapi Twa-ok mencegahnya.
"Tak perlu membuka kedoknya, Ji-moi. Wajah semua wanita pun sama saja, tiada bedanya dengan kedok. Kulit muka hanyalah topeng yang menutupi keadaan aselinya. Kalu kulit muka dikupas, yang nampak tentu hanyalah tengkorak seperti yang kaupakai itu."
"Kalau begitu dia tentu harus kita bunuh dulu."
"Tidak perlu, aku bisa mengupas kulit muka mereka sehingga nampak tengkoraknya tanpa membunuh mereka. Kau ingin lihat"
"Baik, kaulakukanlah. Ingin aku melihat tengkorak hidup, hi-hik-hik, tentu lucu sekali, Twa-heng."
Mendengar percakapan dua orang aneh itu, Ang-siocia merasa ngeri. Akan tetapi, Ceng Ceng marah bukan main. Dua orang itu bicara seolah-olah dia dan Kang Swi Hwa hanya merupakan dua buah boneka yang boleh diperbuat sesuka hati dua orang iblis itu.
"Iblis-iblis tua bangka yang sombong! Siapa takut padamu" bentak Ceng Ceng dan nyonya muda ini sudah menyerang dengan pukulan dahsyat. Pukulan ini adalah pukulan Ban-tok Sin-ciang (Tangan Sakti Selaksa Racun) yang dipelajarinya dari mendiang Ban-tok Mo-li, dan setelah nyonya muda ini minum darah anak naga dan memiliki kekuatan mujijat, tentu saja pukulan yang menggunakan Ban-tok Sin-ciang ini dahsyatnya bukan main. Angin pukulan yang mengandung hawa panas seperti api berkobar menyambar ke arah kakek gorilla itu ketika Ceng Ceng menyerangnya.
"Aehhh....!" Twa-ok Su Lo Ti berseru kaget. Dia mengenal pukulan beracun yang mengandung tenaga amat kuatnya, maka cepat dia pun bergerak menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
"Desss....!" Tubuh Ceng Ceng terlempar ke belakang, akan tetapi nyonya muda ini tidak roboh melainkan berjungkir balik dan turun lagi ke atas tanah dengan selamat, sungguhpun napasnya agak memburu karena dadanya terguncang hebat. Akan tetapi, sebaliknya kakek itu pun terhuyung ke belakang. Bukan main kuatnya memang tenaga sakti yang didapat oleh Ceng Ceng dari sari darah ular telaga yang dinamakan anak naga itu! Twa-ok Su Lo Ti terbelalak kaget dan penuh kagum. Selama hidupnya mengembara di dunia kang-ouw sebagai orang pertama dari Im-kan Ngo-ok, baru sekarang dia bertemu tanding seorang wanita muda yang memiliki tenaga sedemikian kuatnya sehingga dalam pertemuan tenaga tadi mampu membuat dia terhuyung.
"Hi-hi-hik, Twa-heng, apakah kau masih bersumbar hendak mengupas kulit mukanya hidup-hidup" Ji-ok mengejek. Wanita tua mengerikan ini senang melihat Twa-hengnya menemukan tandingan yang amat tangguh maka dia mengejek. Akan tetapi Twa-ok tidak mempedulikannya.
"Siapakah engkau" tanyanya sambil memandang kepada Ceng Ceng.
"Siapa adanya aku tidak perlu kau tahu!" bentak Ceng Ceng dengan angkuh.
Twa-ok mengangguk-angguk. "Bagus, bagus! Kaukira aku tidak akan dapat mengenal ilmu silatmu" Nah, kausambutlah ini dan aku akan mencoba untuk mengenal ilmu silatmu." Setelah berkata demikian, dua buah lengan panjang itu bergerak dan tahu-tahu dua buah tangan itu mulur sampai panjang, hendak menangkap Ceng Ceng dari atas dan bawah. Yang atas mengacam kepala, yang bawah hendak menangkap kaki!
Ceng Ceng makin kaget. Dari suaminya dia sudah mendengar akan adanya ilmu mujijat ini, yang dapat membuat kedua lengan mulur sampai panjang sekali dan ilmu ini sungguh amat berbahaya. Cepat dia lalu mengerahkan tenaganya dan menggunakan kedua tangannya untuk menyambut dua lengan panjang itu dengan babatan tangan yang dimiringkan.
"Wut-wuttt.... plakkk!" Kembali tubuh Ceng Ceng terlempar. Ketika kedua tangannya membabat tadi, seperti dua ekor ular hidup, kedua lengan Twa-ok Su Lo Ti sudah mengelak dan dari samping, tangan itu menampar ke arah tengkuk Ceng Ceng. Nyonya muda itu cepat mengelak, akan tetapi tetap saja pundaknya kena ditampar dan dia terlempar dan terbanting. Baiknya nyonya muda ini memiliki kekebalan, dan dia menggulingkan tubuhnya lalu meloncat bangun kembali.
Sementara itu, melihat Ceng Ceng sudah bertempur melawan Twa-ok, dengan nekat Ang-siocia lalu mencabut pedangnya dan menyerang Ji-ok dengan senjata itu. Ilmu Kiam-to Sin-ciang yang dimiliki Ang-siocia sudah lumayan, kini dia menggunakan pedang maka tentu saja serangannya bukan merupakan hal yang boleh dipandang ringan begitu saja. Ji-ok maklum akan hal ini, maka dia pun tidak berani menerima serangan pedang itu dan cepat dia bergerak mengelak dan membalas dengan sambaran hawa pedang yang menyambar dahsyat dari jari-jari tangannya. Menghadapi ini, Ang-siocia kewalahan dan baru belasan jurus saja baju di lengan kirinya telah robek dan kulit lengannya tergores hawa yang tajam itu. Dia terkejut dan melompat mundur, ditertawakan oleh Ji-ok!
Pada saat yang amat berbahaya bagi kedua orang wanita muda itu, tiba-tiba muncul Koksu Nepal! Begitu muncul, Koksu Nepal ini cepat mengangkat kedua tangan ke atas dan berseru, "Twa-ok! Ji-ok! Jangan layani mereka. Pangeran berada dalam bahaya, yang penting kita harus lindungi pangeran. Mari....!"
Tiba-tiba Ang-siocia menyentuh lengan Ceng Ceng dan berbisik, "Kita pergi!" Lalu dia menarik lengan Ceng Ceng. Nyonya muda ini mengerutkan alisnya, karena biarpun dia maklum akan kelihaian lawan, dia tidak takut dan ingin melawan terus. Akan tetapi sikap Ang-siocia yang menarik lengannya, dia pun tidak membantah dan meloncat bersama Ang-siocia meninggalkan tempat itu.
Twa-ok dan Ji-ok saling pandang dengan wajah menunjukkan kemarahan. Koksu Nepal sudah lari ke kiri sambil memberi isyarat kepada mereka untuk ikut, akan tetapi mereka tidak mau cepat-cepat ikut, karena mereka merasa mendongkol dengan sikap koksu. Koksu tidak saja mencegah mereka menangkap atau merobohkan dua orang wanita muda tadi, bahkan koksu telah menyebut mereka Twa-ok dan Ji-ok! Agaknya dalam keadaan genting seperti itu, Sam-ok menganggap dirinya koksu dan menganggap mereka berdua bukan sebagai kakak-kakak yang sepatutnya disebut Twa-heng dan Ji-ci, melainkan menyebut mereka Twa-ok dan Ji-ok. Karena mendongkol inilah maka keduanya tadi membiarkan saja Ceng Ceng dan Ang-siocia lari dan kini mereka saling pandang.
"Hemmm, lagaknya....!" Ji-ok mengomel.
"Sam-te, memang sudah mabuk pangkat rupanya," Twa-ok juga mengomel. "Jangan pedulikan dia, kalau muncul lagi akan kutempiling kepalanya!" Jik-ok makin marah.
"Akan tetapi kita di sini untuk membantu pangeran, kalau dia benar dalam bahaya...."
Mereka diam dan menoleh. Betapa kaget dan marah mereka ketika melihat koksu muncul lagi dari belakang, padahal baru saja koksu pergi ke kiri!
"Twa-heng, Ji-ci, kenapa kalian diam saja di sini"
"Bagus, ya" Tadi menyebut Twa-ok dan Ji-ok, kini mengapa berubah dengan sebutan Twa-heng dan Ji-ci segala" Ji-ok membentak dan sudah menyerang koksu dengan pukulan Kiam-ci!
"Plak-plak!" Dua kali koksu menangkis dan dia mencelat ke belakang.
"Eh, eh, apa-apaan ini" Siapa menyebut kalian begitu"
Twa-ok memandang heran. "Bukankah baru saja engkau muncul dan mengajak kami melindungi pangeran"
"Siapa" Aku baru saja datang...."
"Tentu kau koksu yang palsu!" Ji-ok sudah menyerang lagi dengan dahsyatnya.
Koksu meloncat ke kanan kiri lalu meloncat ke belakang. "Tunggu, kau keliru, Ji-ci. Lihat, apakah ini palsu" Dia lalu bersilat, membuat gerakan aneh yang membuat tubuhnya berpusing. Itulah Thian-te Hong-i, ilmu silat khas dari Ban Hwa Sengjin atau Sam-ok. Melihat ini Twa-ok dan Ji-ok percaya.
"Wah, kalau begitu, ada orang yang main-main dan menyamar sebagal engkau, Sam-te," kata Ji-ok. Twa-ok lalu menceritakan pertemuan mereka berdua dengan dua orang Ang-siocia, dan orang ke dua itu amat lihainya. Mendengar penuturan itu, koksu mengangguk-angguk.
"Aku sudah tahu. Guru dan murid maling itu benar-benar telah mengkhianti kita. Dan Ang-siocia ke dua itu tentu adalah isteri dari Si Naga Sakti Gurun Pasir. Agaknya mereka telah menyelundup ke sini. Ji-ci, lekas kau pergi ke tempat tawanan dan kaubawa anak Si Naga Sakti itu ke istana pangeran. Twa-heng, mari ikut aku untuk menjebak dan menangkap mereka."
Ji-ok mengangguk dan berkelebat pergi, sedangkan Twa-ok lalu mengikuti koksu meninggalkan tempat itu.
Ke mana perginya Gak Bun Beng dan Kao Kok Cu" Dua orang yang memiliki kesaktian hebat ini mengapa tidak muncul dalam keadaan kacau-balau itu" Sesungguhnya mereka berdua pun sedang sibuk dan sesuai dengan rencana siasat Jenderal Kao Liang, mereka berdua mempergunakan kesempatan selagi keadaan kacau-balau itu untuk berusaha menyelamatkan keluarga Jenderal Kao lebih dulu. Seperti kita ketahui Gak Bun Beng menyamar sebagai Hek-sin Touw-ong, sedangkan Kao Kok Cu yang lengan kirinya buntung itu memang tidak menyamar. Kini, dua orang sakti ini sudah berkelebat pergi menuju ke tempat di mana tawanan berada. Namun tempat itu terjaga dengan amat ketat, dan ketika mereka tiba di tempat itu, yang bertugas menjaga adalah Su-ok Siauw-siang-cu, hwesio gendut pendek sekali itu dan Ngo-ok Toat-beng Sian-su, tosu kurus yang tingginya due meter setengah. Di samping dua orang tangguh dari Im-kan Ngo-ok ini, nampak pula Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi.
Melihat ketatnya penjagaan di luar tempat tahanan, Bun Beng menarik tangan Kok Cu ke tempat gelap. "Penjagaan amat kuat," bisik Bun Beng.
"Paman Gak, kita terjang saja. Biar saya saja yang mengamuk dan Paman dapat melindungi para taawanan dan membawa mereka keluar."
Gak Bun Beng menggeleng kepala. "Empat orang kakek itu lihai sekali, dan kakek Nepal yang berdiri di sudut itu agaknya juga tak boleh dipandang ringan."
"Kalau tidak salah, kakek itu bernama Gitananda dan menjadi pengawal pribadi koksu," bisik Kok Cu. "Akan tetapi, biarlah saya menghadapi mereka."
"Aku percaya kepadamu, Kok Cu. Akan tetapi, tujuan kita adalah mengeluarkan tawanan dan membawa mereka ke tempat seperti yang telah ditunjuk oleh ayahmu, bukan sekedar melawan mereka. Kalau sampai gagal, tentu akan lebih sukar lagi untuk menyelamatkan mereka. Kau seorang diri saja masih kurang cukup untuk melindungi aku mengeluarkan keluargamu yang amat banyak itu. Kalau saja ada Kian Lee atau Kian Bu...."
Tiba-tiba kedua orang itu menarik diri ke tempat gelap karena mereka melihat berkelebatnya orang. Gerakan orang itu cepat bukan main dan melihat orang itu, Bun Beng cepat bergerak. Dengan loncatan seperti seekor burung saja, dia sudah keluar dari tempat sembunyinya dan menghadang di depan pemuda yang berkelebat itu.
"Paman Gak....!"
"Ssstttttcepat ke sinilah....!"
Orang itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Seperti telah kita ketahui, pemuda ini berada di dalam tembok benteng, bukan semata-mata hendak membantu pemberontak atau membantu Koksu Nepal, melainkan karena dia hendak melindungi Syanti Dewi yang dianggapnya berada di tempat itu sebagai tawanan. Ketika terjadi ribut-ribut pada malam hari itu, Tek Hoat terus menjaga di luar tempat tinggal sang puteri dengan setia dan penuh kewaspadaan. Biarpun di situ ada pula Mohinta dan kaki tangannya yang melakukan penjagaan, namun dia tidak pernah meninggalkan tempat itu dan siap untuk melindungi Syanti Dewi. Akan tetapi ketika dia mendengar dari Mohinta dan para penjaga bahwa yang mengacau di dalam benteng, di antaranya terdapat Kian Lee dan Kian Bu yang dinamakan orang Siluman Kecil, juga adanya berita bahwa Ang-siocia dan gurunya juga berkhianat, jantungnya berdebar tegang. Dia tahu bahwa mereka yang disebut sebagai pengacau-pengacau itu sama sekali bukanlah musuh Syanti Dewi, juga bukan musuhnya. Siapa tahu kalau-kalau gerakan mereka itu malah ada hubungannya dengan ditawannya Syanti Dewi dan bahwa mereka itu bergerak untuk membebaskan para tawanan termasuk Syanti Dewi. Semenjak benteng itu diserang oleh barisan kerajaan yang dipimpin oleh Puteri Milana, yaitu bibinya sendiri, dia sudah merasa gelisah bukan main. Dia tidak sudi membantu orang Nepal, akan tetapi dia pun tidak mungkin dapat meninggalkan Syanti Dewi yang menjadi tamu atau tawanan di tempat itu. Yang membuat dia pusing dan bingung adalah sikap Syanti Dewi kepadanya. Begitu dingin dan lebih hebat lagi, Syanti Dewi minta kepadanya agar dia membantu orang-orang Nepal!
Dalam keadaan bimbang inilah akhirnya Tek Hoat meninggalkan tempat di mana dia berjaga, yaitu di depan tempat tinggal Syanti Dewi dan dia berniat untuk mencari dan bertemu dengan seorang di antara para pengacau untuk menyelidiki apa yang mereka kehendaki. Maka ketika tiba-tiba dia melihat Gak Bun Beng, dia terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa pendekar sakti itu juga telah berada di dalam benteng! Dia maklum bahwa pendekar sakti ini adalah seorang gagah dan budiman, bahkan pernah menyelamatkan nyawa Syanti Dewi berkali-kali, maka tentu saja dia menaruh kepercayaan penuh dan cepat dia mengikuti Bun Beng menyelinap ke dalam tempat gelap. Dan ketika dia melihat Kao Kok Cu berada pula di situ, dia makin terkejut. Dia maklum akan kelihaian si Topeng Setan ini, maka cepat-cepat dia menegur adik iparnya ini, karena Ceng Ceng adalah adik tirinya seayah berlainan ibu.
"Engkau juga di sini"
Kao Kok Cu tersenyum. "Sama dengan engkau."
"Tek Hoat, engkau harus membantu kami. Kami akan menyelamatkan keluarga Kao yang tertawan," kata Bun Beng.
Tek Hoat mengerutkan alisnya dan memandang dengan bimbang, lalu dia berkata dengan suara meragu, "Akan tetapi aku.... saya harus melindungi dia di sana...."
"Aku tahu, Tek Hoat. Engkau melindungi Syanti Dewi, akan tetapi bukankah engkau juga tahu bahwa Syanti Dewi bukanlah tawanan melainkan tamu" Syanti Dewi tidak akan terganggu, sebaliknya keluarga Kao terancam keselamatan nyawanya. Dan benteng ini telah dikurung oleh barisan kerajaan, dalam beberapa hari lagi pasti akan runtuh. Engkau harus membantu kami. Kaubantulah Kok Cu menyerang mereka yang menjaga tawanan itu, dan aku akan membawa mereka keluar."
"Tapi Syanti...."
"Jangan khawatir, akulah yarsg menanggung bahwa kalau benteng ini dibobolkan, dan kalau benar Syanti Dewi masih berada di sini, aku menjamin keselamatannya."
Tentu saja ucapan seorang pendekar seperti Gak Bun Beng itu tidak pernah diragukan oleh Tek Hoat. Pula, memang sesungguhnya dia tidak suka kepada koksu dan semua pembantunya dan dia tidak sudi membantu mereka. Kalau saja tidak ingat bahwa Syanti Dewi perlu dengan perlindungannya, tentu dia tidak sudi tinggal di dalam benteng itu dan sudah keluar, bahkan ada kemungkinan dia membantu bibinya, Puteri Milana, untuk menyerbu ke dalam benteng. Maka mendengar ucapan Gak Bun Beng, dia mengangguk.
"Cepat, waktunya tinggal sedikit lagi!" kata Gak Bun Beng dengan girang. Dia telah mengatur rencana dengan Jenderal Kao dan telah berjanji bahwa sebelum matahari pagi muncul, dia sudah harus dapat membawa para tawanan itu ke tempat aman, yaitu di dalam gudang bawah tanah yang telah ditentukan oleh Jenderal Kao Liang. Dan waktu itu, tengah malam telah lama terlewat. Fajar sudah menjelang tiba. Gak Bun Beng membisikkan siasatnya kepada Kao Kok Cu dan Tek Hoat, kemudian, dari tempat persembunyian mereka, tiga orang yang berilmu tinggi ini meloncat ke depan.
Seperti sudah direncanakan oleh Bun Beng, maka Gak Bun Beng langsung menyerang Ngo-ok yang tinggi itu sedangkan Kok Cu mernyerang Su-ok, adapun Tek Hoat sudah menerjang ke arah Hek-tiauw Lo-mo.
Perhitungan Gak Bun Beng memang tepat. Di antara mereka yang berjaga itu orang-orang yang paling lihai adalah Su-ok dan Ngo-ok. Akan tetapi, dua orang dari Im-kan Ngo-ok itu kini diserang oleh dua orang sakti seperti Gak Bun Beng dan Kao Kok Cu, maka biarpun mereka itu cepat menyambut, namun mereka terkena hantaman dengan hawa pukulan sinkang yang amat hebat sampai mereka itu terhuyung-huyung ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Gak Bun Beng untuk mendesak Ngo-ok dengan ilmu sakti Lo-thiam-sin-ciang. Biarpun Si Jangkung itu sudah mempertahankan diri dan menggerakkan dua lengannya yang panjang, namun karena diserang secara mendadak oleh seorang yang memiliki tingkat ilmu lebih tinggi dari padanya, dia menjadi bingung dan gugup, akhirnya pundaknya kena ditampar dan dia terlempar sampai beberapa kaki jauhnya!
Sepak terjang Si Naga Sakti Gurun Pasir lebih hebat lagi. Tadi dia melayang seperti seekor naga dan begitu tangan kanannya yang mencengkeram itu dapat dielakkan oleh si kate Su-ok yang masih terhuyung karena dorongan hawa pukulan, Kok Cu menubruk dengan kecepatan kilat dan lengan kirinya yang kosong dan hanya ada lengan baju saja itu meluncur ke depan, melakukan totokan sampai tujuh kali ke arah jalan-jalan darah yang paling berbahaya dari lawan.
Su-ok berteriak kaget dan ketakutan, menggelinding ke sana-sini, dan biarpun dia berhasil menghindarkan diri dari ancaman maut, tetap saja dia kena ditendang sehingga tubuhnya menjadi semacam bola dan terlempar lebih jauh dari tubuh Ngo-ok.
Tek Hoat mengalami kesukaran karena dikeroyok oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Akan tetapi tibatiba Kok Cu membantunya dan dua orang iblis itu menjadi gentar karena hawa pukulan yang meluncur dari tangan tunggal Kok Cu sudah mendorong mereka ke belakang dengan dahsyatnya. Juga Gitananda yang memutar tongkatnya, bertemu dengan Bun Beng yang secara berani menangkis tongkat itu dengan lengan.
"Krakkk!" Tongkat itu patah dan Gitananda meloncat ke belakang dengan muka pucat. Pendeta Nepal ini lalu berkemak-kemik, mengangkat tangan kiri ke atas dan berteriak nyaring, "Tiga orang jahat berlututlah kalian!"
Bun Beng dan Kok Cu telah mencapai tingkat tinggi sekali dalam kekuatan sinkang mereka, maka biarpun jantung mereka tergetar oleh pengaruh sihir ini, dengan menahan napas mereka dapat menolak pengaruh itu. Ketika Tek Hoat terhuyung dan hampir berlutut, tiba-tiba Kok Cu mengeluarkan suara melengking seperti seekor naga marah dan tiba-tiba Tek Hoat dapat meloncat ke depan kakek Nepal, dengan kemarahan meluap Tek Hoat lalu menusukkan jari tangannya dengan pengerahan tenaga sinkangnya ke arah dada Gitananda. Kakek ini terkejut, mendoyongkan tubuh ke belakang dan menggerakkan tangan kanan menangkis.
"Cusss.... aughhh....!" Lengan yang menangkis itu bertemu dengan jari tangan Tek Hoat dan lengan itu tertusuk jari seperti tertusuk pedang saja! Memang hebat sekali jari tangan Tek Hoat ini dan bukanlah julukan kosong kalau di dunia kang-ouw dia dinamakan Si Jari Maut. Kiranya pengaruh sihir dari Gitananda tadi membuyar dan lenyap oleh suara lengkingan yang keluar dari dada Kok Cu.
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Harap kalian suka menahan mereka!" Bun Beng berseru dan dia sendiri lalu menerobos dari kepungan, menghampiri pintu tempat tahanan dan merobohkan setiap orang pengawal yang berani menghalanginya. Dengan kekuatan tangannya, dibobolnya pintu itu. Pintu besi yang terkunci itu ambrol dan terbuka.
Keluarga Kao yang sejak tadi merasa gelisah mendengar suara ribut-ribut, kini terkejut melihat munculnya seorang laki-laki gagah perkasa. Kini Gak Bun Beng sudah tidak lagi menyamar sebagai Hek-sin Touw-ong. Semenjak dia pergi bersama Kao Kok Cu untuk menolong keluarga Kao, dia sudah menanggalkan penyamarannya yang dianggapnya tidak berguna lagi.
Akan tetapi, Kao Kok Tiong, putera ke dua dari Jederal Kao, segera mengenal Bun Beng.
"Gak-taihiap....!" serunya girang dan semua keluarga lalu dikumpulkan dan diajak keluar oleh Bun Beng.
"Cepat, kita harus pergi ke gudang bawah tanah. ini perintah Jenderal Kao!" kata Bun Beng. Kok Tiong lalu mengatur keluarganya, digiringnya semua keluarga itu keluar dari tempat tahanan. Ternyata Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, Gitananda dan semua penjaga sudah melarikan diri, tidak dapat menahan amukan Kok Cu dan Tek Hoat.
Melihat ibunya dan semua keluarga keluar, Kok Cu girang dan terharu. Akan tetapi matanya mencari-cari dan wajahnya berubah. "Mana Cin Liong...." tanyanya.
Kok Tiong, adiknya, cepat berkata, "Baru saja dia dibawa pergi oleh nenek muka tengkorak, Twa-ko."
"Ji-ok....!" Kao Kok Cu berseru kaget dan mukanya menjadi pucat. Dia sudah mendengar tentang kekejaman nenek iblis itu dan kini puteranya dibawa pergi oleh Ji-ok.
Melihat keadaan kakaknya, Kok Tiong berkata dengan suara sedih, "Maafkan bahwa aku tidak dapat mempertahankan puteramu, Twa-ko. Nenek itu lihai bukan main dan dia berkata bahwa koksu yang menyuruh dia menjemput Cin Liong."
Kao Kok Cu tentu saja tidak dapat menyalahkan adiknya karena dia pun maklum betapa lihainya Ji-ok yang sama sekali bukanlah tandingan Kok Tiong. Dia lalu berkata kepada Gak Bun Beng. "Paman Gak, tolong Paman lindungi keluarga kami, aku sendiri harus cepat mencari Cin Liong." Setelah berkata demikian dan melihat Bun Beng mengangguk, Kok Cu lalu berkelebat pergi dengan cepatnya.
Gak Bun Beng kini dibantu oleh Tek Hoat mengawal keluarga Jenderal Kao menuju ke gudang bawah tanah yang memang sudah dipersiapkan oleh Jenderal Kao sebagai tempat persembunyian keluarganya kalau tiba saatnya. Tanpa ada rintangan, Bun Beng berhasil mengantar mereka semua memasuki gudang bawah tanah.
"Paman Gak, sekarang saya harus pergi karena saya harus melindungi Syanti Dewi! Sedapat mungkin saya harus melarikan dia dari tempat ini sebelum terlambat."
Gak Bun Beng mengangguk dan hendak membuka mulut, akan tetapi ditahannya dan dia memandang tubuh pemuda itu yang sudah berkelebat pergi. Tadinya dia hendak memberi tahu bahwa yang dilindunginya itu adalah Syanti Dewi palsu, akan tetapi dia ingat betapa aneh dan beraninya tabiat pemuda ini sehingga kalau sampai diiberitahu, mungkin pemuda ini akan mengamuk di dalam benteng secara nekat dan hal itu sama artinya dengan bunuh diri. Karena itulah maka dia tidak jadi memberi tahu. Dengan sikap gagah Gak Bun Beng menjaga di luar pintu gudang itu bersama Kao Kok Tiong yang kini timbul kembali semangatnya setelah keluarganya keluar dari tahanan, apalagi ketika dia mengetahui bahwa kakaknya yang sakti, juga banyak pendekar sakti, telah berada di dalam benteng untuk membantu keluarganya. Dia merampas sebatang pedang dari seorang penjaga dan dengan pedang di tangan dia ikut menjaga di depan pintu gudang di mana keluarganya bersembunyi.
Ketika Tek Hoat berlari menuju ke tempat di mana Syanti Dewi berada, yaitu di sebuah bangunan kecil bagian barat, tiba-tiba dia melihat Kian Lee dan Kian Bu sedang mengamuk di luar rumah besar seperti istana yang dia tahu adalah tempat tinggal Pangeran Liong Bian Cu. Kakak beradik yang amat 1ihai itu dikeroyok oleh im-kan Ngo-ok! Tadinya Tek Hoat tidak mau peduli karena baginya yang terpenting adalah keselamatan Syanti Dewi, dan melihat betapa koksu dan teman-temannya sedang sibuk mengeroyok dua orang pemuda Pulau Es itu, dia melihat kesempatan baik untuk melarikan Syanti Dewi. Akan tetapi, melihat betapa dua orang kakak beradik yang amat lihai itu terdesak hebat oleh Im-kan Ngo-ok, sedangkan di situ masih nampak para pembantu koksu lainnya, dia merasa tidak tega. Dia teringat bahwa dua orang pemuda Pulau Es itu adalah orang-orang gagah luar biasa, dan dia teringat juga bahwa mereka itu sesungguhnya masih merupakan paman-paman tirinya karena dia adalah cucu kandung dari lbu Suma Kian Lee. Mendiang ayahnya dan Suma Kian Lee adalah seibu berlainan ayah. Mana mungkin dia mendiamkannya saja mereka yang terancam bahaya di tangan Im-kan Ngo-ok" Dia tahu bahwa dia sendiri bukanlah lawan lima orang iblis Im-kan Ngo-ok itu, akan tetapi kalau melihat dua orang pemuda Pulau Es itu terancam bahaya dan dia diam saja, selamanya dia akan merasa menyesal. Apalagi kalau hal itu terdengar oleh Syanti Dewi, tentu dia akan dikutuk sebagai seorang manusia yang tidak mengenal prikemanusiaan!
Teringat akan ini, dia lalu mengeluarkan teriakan nyaring dan meloncat ke depan, langsung dia menyerang dengan pukulan dahsyat ke arah Koksu Nepal.
"Haiiiiittt....!"
Hantaman yang dilakukan oleh Tek Hoat itu hebat bukan main. Tek Hoat sudah tahu akan kesaktian koksu atau Sam-ok, maka sekali menyerang dia telah mengerahkan seluruh tenaganya sehingga angin pukulan dahsyat menyambar ke arah kepala Ban Hwa Sengjin.
"Ehhh...." Kakek botak itu terkejut bukan main. Tadi bersama dengan Twa-ok dia sedang mengeroyok dan mendesak Siluman Kecil, sedangkan tiga orang saudaranya yang lain mendesak Kian Lee. Ketika menghadapi serangan diahsyat ini, dia berseru keras dan melempar tubuh ke belakang sambil menggerakkan kedua tangannya untuk melindungi tubuhnya. Dia terluput dari serangan itu, akan tetapi Kian Bu juga terbebas dari desakan, bahkan dengan pukulan-pukulan gabungan tenaga Im-yang amat dahsyat dia dapat membuat Twa-ok meloncat ke belakang pula.
Melihat bahwa yang membantunya adalah Ang Tek Hoat, Kian Bu terkejut dan girang sekall. "Ah, kiranya engkau membantuku, Tek Hoat" tanyanya sambil tersenyum lebar.
"Bagus, Tek Hoat!" Kian Lee yang sudah terdesak itu pun masih mampu mengeluarkan seruan girang.
Melihat Kian Lee terdesak hebat oleh tiga orang lawannya, Tek Hoat lalu menerjang dan menyerang Ji-ok yang mengerikan itu sambil berkata, "Mari kita hancurkan mereka ini atau kita mati bersama!"
Kakak beradik dari Pulau Es itu tentu saja merasa girang bukan main mendengar hal ini. Semangat mereka bangkit kembali dan bersama dengan Ang Tek Hoat mereka lalu mengamuk dan biarpun lima orang Im-kan Ngo-ok memiliki kepandaian yang rata-rata amat tinggi, bahkan tingkat kepandaian Twa-ok dan Ji-ok sedikit lebih tinggi daripada tingkat mereka, namun tidak mudah bagi Im-kan Ngo-ok untuk merobohkan mereka bertiga.
"Mari kita masuk!" Tiba-tiba Kian Lee yang maklum bahwa kalau mereka tidak cepat-cepat dapat menangkap Pangeran Liong Bian Cu, tentu keselamatan mereka akan terancam hebat. Mendengar teriakan Kian Lee ini, Kian Bu dan Tek Hoat lalu mengikuti Kian Lee yang sudah lebih dulu meloncat ke dalam istana itu! Anehnya, Im-kan Ngo-ok tidak menghalangi perbuatan mereka melainkan mengejar dari belakang.
Tiba-tiba terdengar suara koksu, suara yang dikirim dari jauh melalui kekuatan khikang ke arah kamar di sebelah kiri yang pintunya terbuka dan besar.
"Pangeran, hati-hati, tutuplah pintu kamar Paduka."
Suara ini terdengar oleh tiga orang muda perkasa itu. Tentu saja girang bukan main hati Kian Lee dan Kian Bu, maka serentak mereka bersama Tek Hoat menyerbu ke dalam kamar yang pintunya terbuka itu. Kalau sekali pangeran itu dapat mereka tangkap, tentu mereka dapat menguasai keadaan.
Tiga orang muda perkasa itu masih bersikap hati-hati ketika mereka menyerbu memasuki pintu kamar itu. Akan tetapi ketika mereka melihat Pangeran Liong Bian Cu duduk di atas pembaringan kamar yang amat indah itu, hati mereka girang sekali dan seperti orang-orang berlomba mereka melompat ke dalam. Tentu saja dalam perlombaan itu Kian Bu yang menang karena pemuda ini mengerahkan ilmu ginkangnya yang luar biasa.
"Bu-te, hati-hati....!" Tiba-tiba Kian Lee berseru kaget ketika pemuda ini melihat pintu kamar di belakangnya tiba-tiba tertutup. Kian Bu sudah hampir tiba di dekat pembaringan, ketika tiba-tiba pembaringan itu terjeblos ke bawah dengan cepat sekali bersama tubuh sang pangeran yang tertawa mengejek. Kian Bu maklum bahwa pangeran itu melarikan diri dengan alat rahasia, maka dia cepat menyusulkan pukulan dengan tenaga saktinya.
"Blarrr....!" Pembaringan itu pecah, akan tetapi tubuh sang pangeran sudah meloncat ke bawah dan lubang di mana ranjang itu lenyap kini telah tertutup kembali. Kian Bu meloncat ke tempat itu dan menggunakan kakinya untuk menginjak dan menendang, namun hasilnya sia-sia belaka karena ternyata lantai itu terbuat dari batu yang di bawahnya dipasangi baja. Mereka bertiga seperti tiga ekor harimau terjebak. Mereka berlarian ke pintu dan jendeta, akan tetapi mendapat kenyataan bahwa jendela dan pintu itu terbuat dari baja yang amat kuat pula! Mereka telah terjebak dalam sebuah kamar luas yang kuat sekali. Melihat adanya sebuah pintu kayu kecil di sebelah kiri, yang agaknya menembus ke ruangan lain, Kian Bu lalu menendangnya.
"Brakkkkk....!" Pintu kayu itu jebol dan mereka bertiga siap untuk menerjang ke depan, akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika melihat empat orang menggeletak pingsan di dalam kamar di belakang pintu itu! Mereka itu adalah Hek-sin Touw-ong, Ang-siocia, Siang In, dan Hwee Li!
"Ahhh....!" Otomatis Kian Lee dan Kian Bu meloncat dan berlutut dekat tubuh Siang In dan Hwee Li dan karena mereka berdua masih menyangka bahwa masing-masing mencinta dara yang datang bersama mereka, maka Kian Lee merasa tidak enak kalau harus mendekati Hwee Li, sungguhpun hatinya merasa berkhawatir sekali akan keselamatan Hwee Li, maka dia lalu "mengalah" dan tidak ingin menyakitkan hati adiknya. Dia berlutut di dekat tubuh Siang In. Melihat ini, Kian Bu juga makin keras menyangka bahwa kakakanya itu benar-benar telah jatuh hati kepada Siang In, padahal dia tahu bahwa Hwee Li mencinta kakaknya. Dia merasa kasihan kepada Hwee Li dan dia pun berlutut di dekat Hwee Ll. Sementara itu, Tek Hoat cepat memeriksa jendela kamar ini dan ternyata sama juga. Jendela kamar ini amat kuatnya, terbuat daripada baja dan terkunci dari luar!
Kian Lee dan Kian Bu merasa lega bahwa dua orang dara itu hanya pingsan karena asap bius saja, demikian pula Hek-sin Touw-ong dan Ang-siocia. Setelah mengurut tengkuk mereka, sebentar saja mereka berempat sudah siuman kembali dan yang lebih dulu meloncat adalah Hwee Li.
"Mana si bedebah pangeran dan koksu" Biar kupatahkan batang lehernya!" bentaknya marah, apalagi ketika melihat betapa Kian Lee tadi mengurut tengkuk Siang In. Rasa cemburu bercampur rasa mendongkol karena dia seperti juga yang lain telah kena dijebak oleh koksu dan pangeran sehingga tertawan di dalam kamar itu.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, "Kembalikan anakku!" Dan terdengar suara hiruk-pikuk ketika pintu besar terbuka dan Ceng Ceng meloncat ke dalam kamar itu.
"Ceng Ceng, tahan pintu itu!" Tiba-tiba Kian Lee berteriak, namun terlambat karena begitu Ceng Ceng masuk pintu itu telah tertutup kembali! Ceng Ceng membalik, mendorong dan menendang pintu, namun sia-sia belaka. Pintu itu terlampau kokoh kuat.
Mereka semua kini berkumpul di tengah kamar besar itu. Ceng Ceng bercerita betapa dia tadi berpisah dari Ang-siocia dan karena merasa tidak perlu lagi menyamar dalam keadaan ribut itu dan pula karena sudah diketahui musuh betapa Ang-siocia sudah berkhianat, maka dia menanggalkan penyamarannya. Ketika dia hendak mencari tempat tawanan, dia melihat Ji-ok mengempit tubuh puteranya berkelebat ke dalam istana ini.
"Ibuuuuu.... tolonggg....!" Cin Liong menjerit dan Ceng Ceng lalu mengejar. Akan tetapi Ji-ok lenyap dan Ceng Ceng yang tiba-tiba melihat pintu istana terbuka, cepat menerjang masuk. Kiranya dia pun terjebak seperti yang lain.
"Bagaimana kalian tahu-tahu pingsan di dalam kamar sebelah" Kian Lee bertanya kepada Siang In, tanpa berani memandang kepada Hwee Li yang dianggapnya telah saling jatuh cinta dengan Kian Bu.
Akan tetapi yang ditanya sedang menatap wajah Kian Bu tak pernah berkedip, dan barulah Siang ln terkejut ketika dia ditanya oleh Kian Lee. Dia menunduk dan menarik napas panjang. "Si keparat Koksu Nepal itu sungguh amat cerdik dan berbahaya." Akan tetapi dia tidak berani bercerita, hanya mengerling ke arah Hwee Li.
Hwee Li mengerutkan alisnya. Dia juga merasa amat sungkan dan sukar untuk menceritakan betapa dia kembali telah bertemu dengan Siang In dan saling serang! Maka dia lalu bercerita sambil melewati adegan ketika dia bertanding melawan Siang In itu.
"Kami berdua.... kami dikepung oleh orang-orang yang dipimpin oleh Pangeran Nepal sendiri. Karena aku gemas dan benci kepadanya, aku menyerang Pangeran Nepal yang main mundur dan akhirnya kami berdua kena dipancing ke dalam kamar ini. Pangeran Nepal dan para pengikutnya lenyap melalui pintu-pintu rahasia, dan ternyata semua itu diatur oleh koksu yang hanya terdengar saja suaranya dari dalam kamar. Tak lama kemudian muncul Hek-sin Touw-ong dan Enci Swi Hwa yang hendak menolong kami berdua. Akan tetapi sungguh celaka, mereka itu pun terjebak dan begitu masuk, mereka tidak dapat keluar kembali." Dia tidak mau menceritakan betapa di dalam kamar itu, dia dan Siang In sudah saling maki dan saling serang kembali sampai muncul guru dan murid itu yang melerai mereka.
"Eh, bagaimana bisa begitu" Kian Bu bertanya sambil memandang kepada Ang-siocia yang sejak tadi juga memandang kepadanya dengan sinar mata penuh perasaan.
"Koksu Nepal memang lihai bukan main," Touw-ong bercerita. "Dia sudah tahu bahwa kami berdua telah memberontak dan berkhianat, akan tetapi dia sengaja pura-pura tidak tahu. Ketika bertemu dengan kami, dia menyuruh kami menjaga tawanan di dalam kamar ini. Kami berdua mengintai dan melihat dua orang Nona ini sedang.... eh...." Sukar bagi Touw-ong untuk menceritakan betapa dia melihat dua orang nona itu saling serang!
"Kau dan muridmu lalu menolong kami akan tetapi terjebak pula!" Hwee Li melanjutkan cepat.
Touw-ong mengangguk. "Benar, kami melihat dua orang Nona ini dan cepat kami membuka pintu dari luar. Akan tetapi begitu kami berdua masuk, pintu tertutup dari luar dan pada saat itu koksu menyemburkan asap beracun ke dalam kamar. Kami tak dapat menghindarkan asap itu dan roboh pingsan."
Kian Bu dan Kian Lee saling pandang. Koksu Nepal itu benar-benar amat cerdik sekali. Mereka semua kini telah terjebak di situ, bahkan Ceng Ceng yang lihai juga telah dapat dipancing masuk ke dalam ruangan.
"Ha-ha-ha, semua tikus yang mengacau benteng telah terjebak. Orang-orang muda yang bosan hidup, kalian mau berkata apalagi sekarang" Tiba-tiba terdengar suara koksu dari lubang jendela yan terbuat daripada baja.
"Kami telah terjebak oleh akal busukmu, mau bunuh lekas bunuh!" Ceng Ceng yang tidak kehilangan keberaniannya itu memaki. Tek Hoat memandang saudara tirinya seayah berlainan ibu itu dengan kagum.
"Ceng Ceng, engkau masih seperti dulu, benar-benar mengagumkan hatiku," katanya.
Ceng Ceng memandang saudaranya ini dan tersenyum. "Dan aku girang melihat engkau berdiri di fihak kami, bukan menjadi lawan kami, Tek Hoat."
Melihat kedua orang keponakannya itu, Kian Lee yang
Harpa Iblis Jari Sakti 7 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Dendam Iblis Seribu Wajah 10