Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 27
pernah jatuh hati secara mendalam dan mati-matian kepada Ceng Ceng, memegang tangan mereka dan berkata, "Dan aku girang sekali mempunyai dua orang keponakan seperti kallan. Aku akan merasa bangga dapat mati bersama kalian."
Ucapan yang jujur ini amat mengharukan hati Tek Hoat, apalagi Ceng Ceng yang maklum akan isi hati "pamannya" itu sehingga dua titik air mata membasahi mata nyonya muda itu.
Melihat adegan yang mengharukan itu, tiba-tiba saja Hwee Li menjadi marah. Kian Lee agaknya sama sekali tidak mempedulikan dia! Tiba-tiba saja dia menghampiri jendela dari mana tadi terdengar suara koksu dan dia membentak, "Eh, koksu botak menjemukan! Lekas kauberitahukan kepada Pangeran Liong Bian Cu bahwa aku adalah tunangannya dan aku menuntut agar dia membebaskan aku!"
Akan tetapi koksu hanya tertawa mengejek dan Hwee Li menjadi makin marah lalu dia menjerit-jerit nyaring,
"Pangeran Liong Bian Cu, apakah mulutmu berbau tahi dan tidak dapat dipercaya lagl" Kau bilang mencintaku, kau bilang bahwa aku adalah calon isterimu, mengapa kau membiarkan aku terjebak dan ditawan seperti ini" Kalau kau menghinaku, mana aku sudi menjadi isterimu"
Tiba-tiba nampak wajah pangeran yang tampan dengan hidung kakatua itu di balik jendela. Suaranya halus ketika dia berkata, "Hwee Li, manisku. Mana aku dapat melupakan engkau" Adalah salahmu sendiri sampai engkau terjebak karena engkau telah terbujuk musuh dan membantu mereka. Akan tetapi kalau engkau mau bertobat, tentu saja aku suka mengampunimu, seperti yang telah berkali-kali kulakukan."
Kian Lee dan Kian Bu memandang kepada Hwee Li dengan alis berkerut penuh kekecewaan. Apakah puteri Hek-tiauw Lo-mo ini akhirnya memperlihatkan belangnya dan dalam keadaan terancam itu lalu timbul kepalsuannya, merengek dan minta diampuni oleh pangeran" Akan tetapi Kian Bu melihat sendiri betapa selama ini Hwee Li benar-benar menentang musuh, bahkan mati-matian membela fihak mereka yang memusuhi orangorang Nepal.
"Pangeran, mana aku bisa percaya omonganmu kalau engkau tidak mau masuk ke sini" Masuklah dan jemputlah aku, baru aku percaya kepada omonganmu. Ribuan kali engkau menyatakan cinta, akan tetapi aku masih belum percaya benar dan sekali ini biar kupakai sebagai ujian."
Mendengar ucapan ini, Siang In mendengus dengan penuh ejekan, akan tetapi Kian Bu dan Kian Lee saling pandang, maklum akan maksud ucapan Hwee Li yang agaknya hendak memancing pangeran itu masuk agar dapat ditangkap. Maka kakak beradik ini sudah siap untuk turun tangan begitu melihat sang pangeran masuk ke dalam ruangan itu.
Akan tetapi, dari luar ruangan itu terdengar suara ketawa Koksu Nepal.
"Ha-ha-ha. Nona Hwee Li, engkau kira kami hanya anak-anak kecil yang mudah kaubujuk dan tipu begitu saja."
"Hwee Li, kekasihku, kau keluarlah dari ruangan itu, melalui pintu. Akan tetapi yang lain jangan bergerak, dan setelah tiba di luar, aku tentu akan membebaskanmu dan permintaan apa pun yang kau ajukan akan kupertimbangkan."
Mendengar ini, Hwee Li mengerutkan alisnya. Akalnya gagal. Akan tetapi dia masih mempunyai harapan. "Benarkah bahwa semua permintaanku kaupenuhi"
"Akan kupertimbangkan," jawab pangeran.
Tidak ada lain jalan bagi Hwee Li. Harapan satu-satunya untuk menolong, semua orang yang tertawan hanyalah membujuk pangeran yang benar-benar jatuh cinta kepadanya itu. Kalau perlu, untuk menyelamatkan mereka, terutama menyelamatkan Kian Lee, dia siap untuk mengorbankan diri! "Baiklah, aku akan keluar." Dia lalu menoleh, sekali ini dia menatap Kian Lee dan berbisik, "Harap kalian jangan bergerak, aku akan membantu kalian, jangan khawatir." Kemudian dia melangkah menuju ke pintu ruangan itu.
"Hwee Li, jangan mudah terbujuk musuh!" Ceng Ceng berkata, memperingatkan muridnya karena dia khawatir kalau-kalau muridnya itu akan celaka di tangan Pangeran Nepal. Hwee Li menoleh dan tersenyum kepada nyonya muda itu.
"Harap Subo jangan khawatir, aku dapat menjaga diri," katanya.
Seluruh urat syaraf di tubuh Kian Lee, Kian Bu, Ceng Ceng, dan Tek Hoat sudah menegang dan mereka sudah siap menerjang keluar kalau pintu itu terbuka. Akan tetapi ketika Hwee Li melangkah sampai di belakang pintu, tiba-tiba dia menjerit dan tubuhnya terjeblos ke bawah. Kiranya lantai di belakang pintu itu dipasangi alat dan begitu dara itu menginjaknya, lantai itu bergerak meluncur ke bawah membawa tubuh dara itu bersamanya. Semua pendekar yang berada di situ meloncat, akan tetapi lantai itu telah tertutup kembali dan tubuh Hwee Li sudah lenyap! Ternyata tubuh Hwee Li telah terbawa turun dan begitu dia tiba di ruangan bawah, di situ telah menanti Pangeran Liong Bian Cu dan Koksu Nepal! Hwee Li hendak mengamuk, akan tetapi pangeran itu menubruknya dan pada saat yang sama Koksu Nepal telah mengirim totokan. Hwee Li tak mungkin dapat melawan dua orang yang amat lihai itu dan di lain saat dia telah tertotok dan dipondong oleh Pangeran Liong Bian Cu.
"Bunuh mereka semua! Bakar saja ruangan itu dari luar!" Sang pangeran berteriak dengan girang setelah dia bethasil menangkap kekasihnya. Mereka yang tertawan di dalam mendengar perintah ini dan mereka menjadi bingung, kembali mereka berusaha mencari jalan keluar dengan mengetuk-ngetuk tembok, memeriksa dinding, jendela dan pintu, juga meloncat ke atas untuk mencoba menerobos atap. Namun semua itu sia-sia karena memang ruangan itu dibuat secara khusus untuk menjebak lawan-lawan tangguh dan pembuatannya telah direncanakan sendiri oleh Koksu Nepal.
Dalam keadaan yang menegangkan urat syaraf itu, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan nyaring disusul suara hiruk-pikuk, "Kebakaran! Kebakaran!"
"Gudang ransum terbakar!"
"Tolonggggg....! Lekas bantu padamkan. Ransum terbakar....!"
Mereka yang terkurung di dalam ruangan itu saling pandang. Kian Lee, Kian Bu, dan Siang In tidak mengerti apa artinya itu, akan tetapi Ceng Ceng, Ang-siocia dan Hek-sin Touw-ong tersenyum girang.
"Ah, siasat Jenderal Kao Liang mulai dijalankan dengan baik!" kata Touw-ong dan dia lalu duduk bersandar tembok dengan wajah girang.
"Ransum di sini akan terbakar habis dan benteng ini sudah dikurung! Sebentar lagi tentu tentara kerajaan akan menyerbu. Ah, kalau mereka yang jahat ini dapat dihancurkan, kematian kitapun tidak akan sia-sia!" kata Ang-siocia sambil memandang kepada Kian Bu. Dia tahu bahwa mereka telah terjebak dan agaknya tidak ada harapan lagi untuk hidup, maka wanita muda ini tidak ragu-ragu lagi untuk menyatakan rasa hatinya terhadap Siluman Kecil. "Terutama sekali, aku rela mati bersama Taihiap," katanya sambil memandang kepada pendekar itu. "Bukankah kita pernah melakukan perjalanan bersama yang amat menyenangkan" Kalau kita mati bersama, berarti sekali lagi melakukan perjalanan bersama Taihiap, betapa bahagianya rasa hatiku!"
Hek-sin Touw-ong mengerutkan alisnya. Murid yang dicintanya itu telah dia tetapkan untuk menjadi jodoh dari Siauw Hong, murid dari Sai-cu Kai-ong yang telah mengetahui rahasia kewanitaan Ang-siocia yang menyamar pria. Akan tetapi dia tahu pula bahwa muridnya ini telah jatuh hati kepada Siluman Kecil, maka di samping rasa tidak puasnya melihat sikap dan mendengar kata-kata muridnya, dia juga merasa terharu sekali.
Kian Bu sendiri terkejut mendengar ucapan itu dan melihat sinar mata Ang-siocia yang penuh kemesraan kepadanya. Baru sekarang dia mengerti bahwa dara cantik ini ternyata jatuh cinta kepadanya! Otomatis dia menoleh kepada Siang In dan makin terkejutlah dia ketika melihat sinar mata Siang In penuh dengan api kemarahan. Dia menjadi bingung dan tidak menjawab kata-kata Ang-siocia, apalagi karena pada saat itu terdengar suara hiruk-pikuk dan nyala api, di antara teriakan-teriakan orang yang kebingungan.
"Darrr....! Blaaarrrrr....!"Ledakan-ledakan yang bertubi-tubi menggetarkan ruangan itu. Dinding seperti bergoyang dan akan runtuh rasanya, lantai yang dipijak juga tergetar hebat. Lalu terdengar sorak-sorai menggegap-gempita dan terdengarlah suara ribut-ribut luar biasa di sebelah luar.
"Apa.... apa artinya itu" Kian Lee bertanya heran.
"Ituitu merupakan satu di antara siasat ayah mertuaku!" Ceng Ceng berseru dengan wajah penuh ketegangan.
Dan memang yang dikatakannya itu benar adanya. Jenderal Kao Liang telah mengatur rencana siasatnya dengan rapi. Dia minta kepada Puteri Milana untuk menggunakan pasukannya mengurung benteng itu dengan ketat, kemudian dengan bantuan Gak Bun Beng dan Kao Kok Cu, dia melakukan pembakaran-pembakaran pada gudang-gudang ransum. Dua orang pendekar itu memasang obat-obat bahan bakar di dalam gudang-gudang dan ketika saatnya tiba, Jenderal Kao Liang yang berada di menara dan gapura terbesar, melepas anak-anak panah berapi ke arah gudang-gudang itu sehingga dalam beberapa waktu singkat gudang-gudang itu terbakar semua. Api menjulang tinggi dan sukar dipadamkan karena api telah membakar alat-alat bahan bakar yang telah ditaruh di dalam gudang-gudang itu.
Kemudian, dengan menekan tombol-tombol rahasia yang dipasangnya ketika dia mengatur pembangunan benteng itu, tombol-tombol rahasia yang hanya diketahuinya sendiri dan merupakan rencananya semenjak semula, Jenderal Kao Liang mulai meledakkan dinding-dinding benteng dengan alat-alat peledak yang sudah ditanamnya di tempat-tempat tersembunyi. Bunyi ledakan bertubi-tubi itu meruntuhkan pintu-pintu gerbang dan dinding-dinding.
Melihat ini, Puteri Milana yang sudah siap siaga, cepat memerintahkan pasukan-pasukannya untuk menyerbu. Waktu itu, matahari mulai mengusir kegelapan malam dan di antara kabut pagi bercampur asap ledakan dan debu, seperti semut-semut saja pasukan kerajaan menyerbu benteng yang sudah kacau-balau oleh kebakaran-kebakaran yang disusul ledakan-ledakan itu.
Dapat dibayangkan betapa gegernya keadaan di dalam benteng itu. Mula-mula semalam suntuk penghuni benteng sudah dikacaukan oleh pendekar-pendekar muda yang menyelundup ke dalam benteng, yang dibantu pula oleh Touw-ong dan Ang-siocia yang berkhianat sehingga terjadi banyak hal yang membingungkan, kemudian, menjelang pagi, disusul pula dengan kebakaran-kebakaran pada gudang-gudang ransum, hal yang amat mengejutkan, dan kini, tanpa mereka ketahui apa sebabnya, pintu-pintu gapura benteng dan dinding-dinding banyak yang runtuh oleh ledakan-ledakan dahsyat tadi. Lebih hebat lagi, kini pasukan kerajaan yang banyak jumlahnya telah menyerbu masuk melalui pintu-pintu dan dinding-dinding yang runtuh, seperti air bah saja menyerang dengan gegap-gempita.
Koksu Nepal dan Pangeran Liong Bian Cu terkejut bukan main, tidak tahu apa yang terjadi dan mereka baru sadar bahwa Jenderal Kao Lianglah yang melakukan semua itu. Mereka mengira bahwa semua itu terjadi karena kelihaian Puteri Milana yang memang sudah mereka dengar akan kepandaiannya mengatur pasukan. Tentu saja mereka menjadi jerih dan Koksu Nepal cepat mengeluarkan aba-aba kepada para pasukannya untuk menahan serbuan musuh. Dia sendiri mengempit tubuh Cin Liong sedangkan Pangeran Liong Bian Cu memanggul tubuh Hwee Li. Mereka ingin mempergunakan dua orang tawanan ini sebagai sandera untuk dapat melarikan diri melalui pintu rahasia apabila keadaan memaksa dan memerlukan.
"Bakar ruangan ini!" teriak Koksu Nepal dan perintah ini segera dilaksanakan oleh para pengawalnya. Kemudian koksu, pangeran, dan dikawal oleh empat orang dari Im-kan Ngo-ok yang lain, juga para pembantu, cepat meninggalkan tempat itu untuk membantu para pasukan yang sedang menahan serbuan tentara kerajaan.
Api mulai berkobar membakar ruangan di mana para pendekar itu terkurung dan agaknya mereka akan terbakar hangus kalau saja pada saat api sudah mulai berkobar tinggi, pintu tahanan itu tidak dibuka orang dari luar. Beberapa orang pengawal roboh oleh terjangan sesosok tubuh yang gerakannya seperti seekor naga dan orang ini berhasil membuka pintu ruangan. Para pendekar yang sudah mulai putus asa di sebelah dalam, melihat terbukanya pintu, cepat berloncatan keluar dan ternyata yang menolong mereka itu adalah Si Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu!
Bersama Bun Beng, Kok Cu melaksanakan siasat ayahnya, yaitu membantu ayahnya membakari gudang-gudang ransum, kemudian karena dia khawatir akan puteranya yang kabarnya dibawa oleh Ji-ok, dia menyusul ke istana pangeran. Di situ dia melihat ruangan depan dibakar, maka dia segera dapat menduga bahwa tentu kawan-kawannya terkurung di dalam ruangan itu, maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu membuka pintu ruangan yang memang dipalang dari depan sehingga semua orang yang terkurung dapat diselamatkannya, termasuk isterinya sendiri.
"Di mana Cin Liong" tanya Kok Cu kepada isterinya yang sudah memeluknya.
"Dia.... dia tadi dibawa oleh koksu...." isterinya menjawab penuh kekhawatiran dan menuding ke depan. Dari lubang jendela dia tadi melihat ke mana puteranya dibawa oleh kakek botak itu. Tanpa banyak cakap mereka semua lalu lari mengejar. Akan tetapi Ang Tek Hoat tidak ikut mengejar karena dia sudah lari menuju ke tempat tinggal Syanti Dewi. Keadaan di kanan kiri sudah kacau-balau, perang campuh terjadi di mana-mana dan banyak rumah-rumah yang terbakar.
Ketika Tek Hoat tiba di depan rumah yang tadinya menjadi tempat tinggal Puteri Syanti Dewi, jantungnya berdebar penuh ketegangan melihat betapa rumah itu juga sedang terbakar!
"Dewi....!" Dia berseru berkali-kali dan mencari-cari jalan untuk memasuki rumah yang terbakar itu. Akan tetapi dia tidak mungkin dapat masuk dan tiba-tiba dia melihat seorang pengawal lari menjauhkan diri. Cepat dia meloncat dan dengan mudah dia mencengkeram tengkuk orang itu.
"Hayo katakan, di mana Sang Puteri Bhutan" bentaknya. Melihat wajah pemuda itu pucat sekali, sepasang matanya melotot dan mengeluarkan sinar bengis, pengawal itu makin ketakutan.
"Dia.... dia sudah sejak tadi.... dibawa pergi oleh panglima dari Bhutan dan orang-orangnya...."
"Mohinta...."
Orang itu mengangguk dan Tek Hoat mengendurkan cengkeramannya. "Ke mana dibawanya"
Orang itu menggeleng kepala. "Hamba tidak tahu...."
Tek Hoat melepaskan orang itu dan meloncat pergi. Hatinya panas sekali akan tetapi dia mengerti bahwa Mohinta tentu melarikan sang puteri keluar dari benteng dan ke mana lagi dibawanya kalau tidak kembali ke Bhutan" Dia lalu meloncat dan mencari-cari, tentu saja menuju ke pintu depan yang sudah roboh dan di mana terjadi perang campuh yang amat seru.
Tiba-tiba dia melihat Koksu Nepal yang mengempit tubuh anak laki-laki kecil, bersama Pangeran Liong Bian Cu yang memanggul tubuh Hwee Li, diikuti oleh para pembantu mereka, tergesa-gesa menuju ke arah selatan. Dan dia melihat pula Kao Kok Cu, Ceng Ceng, dan yang lain-lain mengejar mereka. Koksu dan kawan-kawannya itu cepat memasuki sebuah rumah besar yang kosong, dan para pengejarnya cepat menyusul. Melihat ini, Tek Hoat merasa bahwa dia pun harus membantu mereka karena bukankah Pangeran Nepal dan Koksu Nepal itu yang menjadi biang keladi sehingga Syanti Dewi tertawan di tempat itu" Pula, dia maklum akan kelihaian koksu dan para pembantunya sehingga Kok Cu dan para pendekar lain itu tentu membutuhkan bantuannya.
"Tek Hoat, mari bantu, kami merampas kembali puteraku!" teriak Ceng Ceng ketika dia melihat saudaranya itu. Tek Hoat hanya mengangguk dan dia pun ikut pula menyerbu ke dalam rumah.
Tidak ada perlawanan dari dalam dan ternyata koksu dan pangeran berdiri tegak, para pembantunya di belakang mereka dan kedua orang ini tersenyum.
"Berhenti!" teriak koksu sambil mengangkat tubuh Cin Liong ke atas. "Melangkah maju berarti anak ini akan kami bunuh lebih dulu!"
Tentu saja menghadapi para pendekar itu, koksu sama sekali tidak takut karena dia mempunyai banyak pembantu, apalagi di situ ada Im-kan Ngo-ok lengkap yang amat kuat. Akan tetapi, kakek botak ini maklum bahwa biarpun mereka dapat mengalahkan rombongan pendekar ini, atau setidaknya mengimbangi mereka, namun dia dan kawan-kawannya tidak mungkin dapat melawan puluhan ribu tentara kerajaan yang tentu akhirnya akan menang karena jumlahnya yang jauh lebih banyak, sedangkan pasukan-pasukannya sudah kehilangan pimpinan.
"Hemmm, kalau sudah menderita kekalahan lalu muncullah watak pengecut dan curang!" Kao Kok Cu mengejek. "Koksu Nepal, aku mendengar bahwa selain engkau menjadi koksu dari Kerajaan Nepal, juga engkau terkenal sebagai Sam-ok dari Im-kan Ngo-ok. Sekarang, secara curang engkau telah berhasil menawan puteraku. Oleh karena itu, marilah kita bertanding secara gagah untuk memperebutkan puteraku itu. Kalau aku kalah, tentu saja engkau berhak membawa puteraku sebagai sandera. Akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau harus menyerahkan puteraku itu dengan baik-baik kepadaku."
Ban Hwa Sengjin menyeringai. "Enak saja engkau, Naga Sakti Gurun Pasir! Kami membutuhkan anakmu ini untuk dapat keluar dari sini dengan selamat. Kalau anak ini kuserahkan kepadamu, lalu kau mengandalkan pasukan yang puluhan ribu banyaknya, tentu saja kami takkan sanggup meloloskan diri."
"Dengarlah, Koksu Nepal. Di antara kita pribadi tidak ada permusuhan, mengapa kami harus mencegah kalian melarikan diri" Aku berjanji sebagai seorang gagah bahwa kalau Cin Liong sudah kembali kepadamu, kami tidak akan menghalangi engkau untuk melarikan diri."
Ban Hwa Sengjin berpikir-pikir. Dia dapat percaya omongan seorang pendekar besar seperti Kao Kok Cu ini. Kalau orang-orang gagah di depannya ini tidak menghalangi, tentu dia dan teman-temannya dapat melarikan diri melalui pintu rahasia, karena halangan dari para pasukan saja tentu tidak ada artinya baginya. Yang berbahaya adalah orang-orang muda perkasa ini turun tangan mencegah mereka lari.
"Baiklah, kami percaya omongan Naga Sakti Gurun Pasir! Kaubawa dulu anak ini, Twa-heng!" katanya dan dia melemparkan tubuh Cin Liong kepada Twa-ok yang menerimanya sambil tersenyum. Sebetulnya diam-diam dia tidak setuju dengan sikap koksu yang menerima tantangan itu karena kakek gorilla ini maklum betapa lihainya Naga Sakti Gurun Pasir. Kalau dia sendiri yang maju, barulah lebih banyak harapan untuk menang. Akan tetapi yang ditantang oleh si lengan buntung itu adalah koksu, maka kalau koksu mewakilkan kepadanya tentu saja hal itu menjatuhkan nama Ban Hwa Sengjin, sebagai orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok dan juga sebagai seorang Koksu Nepal.
Kini dua orang sakti itu sudah saling berhadapan. Sikap Kok Cu tenang saja, bahkan lengan kirinya yang buntung, memperlihatkan lengan baju kosong itu kelihatan menyedihkan dan menimbulkan rasa iba. Akan tetapi, di laln fihak Ban Hwa Sengjin kelihatan gelisah dan khawatir, sebagian besar wibawa dan keangkuhannya lenyap, bahkan dia menoleh ke kanan kiri seperti hendak mencari perlindungan. Memang di dalam hatinya, kakek botak ini merasa terhadap pendekar lengan buntung yang sederhana ini karena dia sudah mendengar banyak hal yang luar biasa tentang Istana Gurun Pasir dan pengnuninya.
"Ban Hwa Sengjin, majulah!" Kao Kok Cu berkata dengan tenang. Akan tetapi kakek botak itu tidak menjawab, melainkan diam saja, memandang tajam dan dia menggerak-gerakkan kedua lengannya. Terdengar suara berkerotokan dan kedua telapak tangan Sam-ok atau Koksu Nepal itu mengeluarkan uap kehitaman! Itulah tanda bahwa si kakek botak ini telah mengerahkan tenaganya yang luar biasa karena agaknya dia tahu benar bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan yang amat tangguh.
Tiba-tiba dia mengeluarkan suara dahsyat seperti gerengan seekor beruang marah, membuat tempat itu tergetar dan tubuhnya lalu bergerak meluncur ke depan, lalu berpusing cepat sekali dan dia mulai menerjang ke arah Kok Cu! Namun, Kok Cu juga sudah siap sedia. Begitu diserang, dia langsung menggunakan ilmunya yang paling hebat, yaitu Sin-liong-ciang-hoat, tubuhnya tiba-tiba saja membungkuk dan lurus ke depan, pangkal lengan kirinya bergerak dan lengan baju yang kosong itu mengeluarkan bunyi mencicit, menyambar ke depan menyambut pukulan lawan dan hendak menggulung tangan lawan! Ban Hwa Sengjin atau Lakshapadma menarik kembali tangannya dan tiba-tiba dia melayangkan kaki kanannya dengan tendangan kilat yang mendatangkan angin dahsyat sekali. Sepatunya yang berlapis baja itu merupakan senjata ampuh dan jangankan tubuh manusia, biar dinding batu pun akan ambrol kalau terkena hantaman kaki yang bersepatu baja ini. Namun, tubuh Kok Cu dapat mendoyong ke belakang, lurus ke belakang dan kembali lengan baju kosong itu meluncur ke depan, menotok ke arah lambung lawan.
"Prakkk!" Ban Hwa Sengjin menangkis dengan tangan kirinya dan dia menggunakan pertemuan tenaga sakti itu untuk berjungkir balik ke belakang, kemudian kembali dia menggerakkan tubuhnya berpusing dengan ilmunya yang aneh dan disebut Thian-te-hong-i. Terjadilah pertandingan yang amat seru dan aneh di mana nampak tubuh kakek botak itu berpusing seperti gasing dan tubuh Kok Cu seperti rebah lurus disanggah oleh sebelah kaki, seperti seekor naga yang gerakkannya aneh bukan main.
Siluman Kecil mendekati Tek Hoat. Dia merasa makin suka kepada keponakan ini yang agaknya kini telah berubah, tidak lagi mau membantu kaum pemberontak. Dia maklum bahwa kehadiran Tek Hoat di dalam benteng itu sama sekali bukan untuk membantu pemberontak, melainkan untuk melindungi Syanti Dewi. Teringatlah dia akan rahasia tentang kematian ibu pemuda itu, maka dia berbisik, "Tek Hoat, tahukah engkau siapa pembunuh ibumu"
Ang Tek Hoat terkejut bukan main, matanya terbelalak memandang kepada Kian Bu, dan wajahnya berubah. Dia menggeleng kepalanya dan pandang matanya penuh selidik menatap wajah Siluman Kecil. "Tahukah engkau" Dia balas bertanya.
Kian Bu mengangguk. "Secara kebetulan aku bertemu dengan Cui Ma yang telah menjadi gila, dan sebelum dia mati dia sempat menceritakan bahwa yang membunuh ibumu adalah Mohinta dan kawan-kawannya dari Bhutan...."
"Keparat!" Tek Hoat berseru demikian kerasnya sehingga mengejutkan semua orang, akan tetapi dua orang yang sedang bertanding itu tidak mempedulikan dan terus saja berkelahi. Tek Hoat memandang kepada Kian Bu dengan muka berubah merah, matanya beringas dan dia mendengarkan ketika Kian Bu menceritakan dengan singkat pertemuannya dengan Cui Ma, pelayan dari Ang Siok Bi, ibu pemuda itu.
"Kalau begitu, aku harus mengejarnya sekarang juga!" Tek Hoat berseru dan dia menangkap tangan Kian Bu. "Paman, terima kasih!" Dengan kecepatan kilat Tek Hoat melompat keluar dari tempat itu dan tanpa mempedulikan perang yang masih berjalan seru, dia menyusup di antara tentara yang saling bertempur, terus dia melarikan diri keluar dari dalam benteng itu.
Perkelahian antara Ban Hwa Sengjin dan Kao Kok Cu masih berlangsung dengan hebatnya. Kedua fihak yang menonton pertandingan ini merasa tegang sekali, akan tetapi Ceng Ceng bersikap tenang saja, bahkan dia tidak pernah melepaskan pandang matanya dari puteranya yang dipondong oleh Twa-ok. Dia merasa yakin akan kemenangan suaminya, yang dikhawatirkan adalah kalau flhak Im-kan Ngo-ok tidak akan memegang janjinya. Akan tetapi dia melihat kakek gorilla itu tersenyum-senyum dan agaknya puteranya tidak diganggunya.
Sebenarnya, Ban Hwa Sengjin sudah merasa kewalahan sekali menghadapi ilmu silat yang aneh dari lawannya, juga setiap kali mereka beradu tenaga sakti, dia merasa betapa dadanya menjadi sesak, tanda bahwa tenaga sinkang dari lawan yang buntung sebelah lengannya itu benar-benar amat luar biasa kuatnya. Hal ini tidaklah aneh karena Kao Kok Cu telah berhasil memiliki tenaga mujijat yang timbul karena penguasaan Ilmu Sin-liong-hok-te dari gurunya, Si Dewa Bongkok yang juga hanya berlengan sebelah.
Ilmu silat dari Ban Hwa Sengjin, sebagai orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok, sudah mencapai tingkat tinggi sekali, apalagi Ilmu Silat Thian-te Hong-i itu sukar sekali dilawan. Selain itu, juga dia telah memiliki pengalaman yang amat luas, maka dia merupakan lawan yang tangguh bagi Kok Cu. Akan tetapi, dengan bekal kepandaiannya yang luar biasa, yang diperolehnya dari gemblengan Si Dewa Bongkok, apalagi dengan tenaga sakti dari Sin-liong-hok-te, kalau dia menghendaki, Kok Cu tentu akan mampu merobohkan kakek botak itu. Akan tetapi, pendekar ini adalah seorang yang memiliki pandangan luas dan tidak mau menuruti perasaan hatinya. Dia maklum bahwa selama ini dia tidak mempunyai permusuhan dengan Im-kan Ngo-ok, dan bahwa diculiknya puteranya pun sesungguhnya bukan perbuatan Im-kan Ngo-ok, melainkan merupakan balas dendam dari puteri mendiang pemberontak Kim Bouw Sin kepada ayahnya. Kalau kini Cin Liong terjatuh ke tangan Im-kan Ngo-ok, hal itu hanya merupakan kebetulan saja. Pula, selama puteranya masih berada di tangan mereka, dia tidak boleh ceroboh dan membunuh atau melukai berat kepada Koksu Nepal. Oleh karena inilah maka dia berkelahi dengan hati-hati dan tidak mau merobohkan koksu yang boleh mengakibatkan kematiannya.
Ketika mendapat kesempatan yang baik setelah dia berhasil menghindarkan diri dari tendangan Ban Hwa Sengjin, tiba-tiba tubuh Kok Cu mencelat ke atas dan dari atas, ujung lengan bajunya yang kiri dan kosong itu meluncur dan menyambar ke arah ubun-ubun kepala yang botak dari lawannya. Inilah cara yang paling tepat untuk menyerang tubuh lawan yang berpusing itu. Ban Hwa Sengjin terkejut bukan main. Untuk mengelak amatlah berbahaya, maka dia lalu mengangkat tangan kiri menangkis sambaran ujung lengan baju itu.
"Prattt!" Ujung lengan baju bertemu dengan tangan Ban Hwa Sengjin, terasa panas tangan itu dan ujung lengan baju seperti ekor naga sudah melibat pergelangan tangan Ban Hwa Sengjin dan tubuh Kok Cu sudah turun kembali, kini Ban Hwa Sengjin membarengi turunnya tubuh lawan di depannya itu dengan hantaman telapak tangan kanan ke arah dada Kok Cu. Pendekar ini pun menggerakkan tangan kanan menyambut.
"Plakkkkk!" Kelihatannya perlahan saja dua telapak tangan itu bertemu, akan tetapi akibatnya tubuh Ban Hwa Sengjin terhuyung setergah melayang ke belakang seperti layangan putus talinya. Dia berhasil berdiri tegak kembali, akan tetapi mukanya pucat dan ujung bibirnya mengeluarkan darah segar! Ban Hwa Sengjin sejenak menatap wajah Kao Kok Cu, kemudian mengangguk dan menjura, lalu menoleh kepada Twa-ok.
"Twa-heng, harap kembalikan anak itu," katanya lemah dan begitu mengeluarkan kata-kata ini, beberapa titik darah menetes dari ujung mulutnya. Koksu Nepal itu cepat memejamkan matanya dan menarik napas panjang. Ji-ok melompat mendekatinya dan tangan kanan nenek iblis itu ditempelkan ke punggung koksu, lalu mengurut beberapa kali ke bawah. Nenek itu menolong saudaranya mengobati luka di dalam tubuh yang ternyata tidaklah terlalu berbahaya, karena bukan langsung dihantam oleh tenaga sakti lawan, melainkan terkena tenaganya sendiri yang membalik keras.
Twa-ok tertawa dan melemparkan tubuh Cin Liong ke arah Kao Kok Cu. Pendekar ini menggerakkan lengan baju kiri yang menggulung tubuh anak itu, diperiksanya sebentar lalu diserahkannya anak itu kepada isterinya. Ceng Ceng memeluk anaknya dan diciuminya. Dua titik air mata membasahi pipinya ketika ibu ini akhirnya bertemu kembali dengan puteranya.
"Eh, mana, Lee-ko...." Tiba-tiba Kian Bu bertanya ketika dia tidak melihat kakaknya berada di situ lagi. Semua orang juga mencari dengan pandangan matanya, yang bukan hanya Kian Lee yang tidak nampak, bahkan juga Pangeran Liong Bian Cu telah lenyap bersama tawanannya, yaitu Hwee Li.
"Aku tadi melihat dia mengejar Pangeran Nepal," kata Siang In. Kiranya tadi secara diam-diam, mempergunakan kesempatan selagi semua orang tertarik menonton pertandingan yang amat hebat antara Koksu Nepal dan Kao Kok Cu, Pangeran Nepal itu minta bantuan Gitananda, kakek bersorban yang jenggotnya panjang sampai ke perut, untuk menggunakan sihirnya melindungi dia melarikan diri membawa Hwee Li bersama. Semua orang mudah saja seperti terlupa karena perhatian mereka sedang dicurahkan ke arah pertandingan itu. Hanya Suma Kian Lee yang tidak terpengaruh oleh karena pemuda ini sejak tadi memperhatikan Hwee Li, maka ketika Gitananda mengangkat tongkat cendana dan mempergunakan sihir, dia sudah mengerahkan sinkangnya melawan dan dia dapat melihat Pangeran Liong Bian Cu diam-diam membawa Hwee Li pergi dari tempat itu maka dia pun cepat mengejar. Sedangkan Siang In yang ahli dalam ilmu sihir, segera merasakan pengaruh sihir yang dilepas oleh Gitananda, maka dia cepat melawan dan dia sempat melihat Kian Lee mengejar sang pangeran.
Melihat kekalahan Ban Hwa Sengjin, empat orang Im-kan Ngo-ok yang lain dan juga para pembantu koksu merasa penasaran. "Ha-ha-ha, Sam-te, biarlah kami menebus kekalahanmu dan membasmi mereka ini," kata Twa-ok dan bersama Ji-ok, Su-ok dan Ngo-ok, dia sudah maju dan hendak mengamuk.
Akan tetapi tiba-tiba muncul dua orang yang membawa pasukan pengawal berbaju emas yang amat rapi dan menyeramkan. Mereka itu bukan lain adalah pendekar Gak Bun Beng bersama isterinya, Milana, yang memimpin empat puluh orang anggauta pasukan pengawal baju emas yang terkenal itu. Melihat munculnya suami isteri ini, Im-kan Ngo-ok merasa gentar juga. Di antara para pendekar tadi, yang lihai sudah ada tiga orang, yaitu Siluman Kecil, Kao Kok Cu dan Ceng Ceng. Kalau kini muncul pula pendekar sakti Gak Bun Beng, dan Puteri Milana, maka fihak lawan menjadi terlampau kuat, apalagi masih dibantu oleh pasukan yang amat besar. Munculnya Puteri Milana ini berarti bahwa pasukan Gubernur Ho-nan yang bertahan di situ sudah kalah. Maka koksu yang cerdik itu maklum bahwa menggunakan kekerasan sama artinya dengan membunuh diri. Cepat dia berkata lantang, "Twa-heng dan teman-teman semua! Si Naga Sakti Gurun Pasir telah menjanjikan untuk membiarkan kita pergi, perlu apa kita yang sudah kalah ini lebih lama berada di sini" Mari kita pergi!"
Mendengar ucapan ini, Im-kan Ngo-ok yang lain dan para pembantu koksu seperti Hwa-i-kongcu dan orang-orangnya, Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, dan yang lain-lain mengerti akan maksudnya dan tanpa diperintah dua kali, mereka lalu mengikuti koksu pergi dari istana itu.
Melihat ini, Gak Bun Beng menghadang di tengah jalan dengan sikap mengancam, akan tetapi Kao Kok Cu berkata, "Paman Gak, harap suka membiarkan mereka pergi karena memang kami telah menjanjikan mereka untuk pergi."
Gak Bun Beng mengerutkan alisnya, akan tetapi terdengar Puteri Milana berkata kepada suaminya, "Biarkanlah mereka pergi. Memang kerajaan tidak mempunyai permusuhan resmi dengan Kerajaan Nepal, dan kami hanya perlu menangkap Gubernur Ho-nan yang memberontak!"
Gak Bun Beng mengerti bahwa dalam ucapan isterinya ini tentu terkandung maksud yang lebih dalam. Dan memang sebenarnyalah demikian. Puteri Milana maklum bahwa kerajaan sedang lemah dan kacau oleh tindakan kaisar tua yang mendengarkan bujukan para menteri durna sehingga kaisar menaruh curiga kepada semua orang, terutama orang-orang yang setia seperti Jenderal Kao Liang yang sampai dipecat. Dalam keadaan lemah itu, biarpun kini pangeran mahkota sudah mulai menaruh perhatian, amatlah berbahaya kalau menyatakan perang dengan Nepal secara terbuka dengan jalan menangkap atau membunuh Koksu Nepal. Yang terpenting adalah menangkap dan menghukum Gubernur Ho-nan yang memberontak.
Rombongan Koksu Nepal tidak mengalami banyak hambatan karena para perajurit tidak ada yang berani mencoba menghalangi mereka sehingga mereka itu dapat melarikan diri melalui pintu rahasia dan cepat meninggalkan benteng yang sudah diduduki musuh itu. Banyak pasukan pemberontak yang tewas, akan tetapi lebih banyak lagi yang menyerah setelah melihat para pimpinan mereka melarikan diri.
Dengan tubuh gemetar dan muka pucat ketakutan, Kui Cu Kam, Gubernur Ho-nan yang memberontak itu, berlutut dan ditawan bersama kaki tangannya.
Puteri Milana dan para pendekar merasa lega bahwa akhirnya semua keluarga Kao dapat diselamatkan dan sambil menggiring rombongan gubernur pemberontak mereka keluar dari dalam istana dengan girang. Hanya Kian Bu yang mengerutkan alisnya dengan khawatir karena kakaknya pergi entah ke mana, melakukan pengejaran terhadap Pangeran Liong Bian Cu yang melarikan Hwee Li.
Ketika rombongan Puteri Milana keluar dari istana, tiba-tiba terdengar suara ledakan yang amat dahsyat dan mengejutkan semua orang. Mereka terkejut sekali karena perang telah selesai dan tidak perlu lagi diadakan peledakan lain untuk menghancurkan benteng. Mereka semua memburu keluar dan terdengar teriakan yang memilukan, "Ayaaahhh....!"
Mendengar bahwa teriakan itu adalah suara Kao Kok Cu, semua orang cepat lari menghampiri tempat ledakan. Yang meledak hancur dan terbakar adalah menara di mana tadi Jenderal Kao Liang mengatur ledakan-ledakan dan pembakaran-pembakaran. Kini menara itu telah terbakar dan api menyala-nyala dengan hebatnya. Dan di tengah-tengah menara yang sudah runtuh, di antara api yang bernyala-nyala, nampak berdiri tegak seorang laki-laki tua yang gagah perkasa, berdiri dengan tegak dan memandang ke arah benteng yang sudah hancur dengan wajah berseri akan tetapi kedua matanya mengalirkan air mata. Orang tua gagah itu bukan lain adalah Jenderal Kao Liang!
"Ayah....!" Kao Kok Cu berseru dan berbareng dengan tubuh isterinya yang sudah menurunkan Cin Liong, pendekar ini melayang naik seperti berlumba dengan Ceng Ceng untuk menolong kakek itu. Namun, mereka terpaksa berjungkir balik dan turun kembali karena mereka disambut oleh api yang berkobar-kobar!
"Kembalilah, Kok Cu dan Ceng Ceng! Aku bukan seorang pengecut, aku sudah bersumpah untuk mempertahankan benteng dengan nyawaku!" terdengar Jenderal Kao Liang berseru dengan suara mengguntur. "Selamat tinggal semua!" Tangannya bergerak dan terdengar lagi ledakan dahsyat, nampak sinar api berkilauan hebat dan tempat itu hancur sama sekali. Tubuh sang jenderal lenyap bersama sisa menara yang hancur oleh ledakan itu!
Ceng Ceng menangis mengguguk dan merangkul suaminya. Terdengar jerit tangis ketika para keluarga Kao keluar dari tempat mereka dan mereka hanya dapat menangis sambil memandang ke arah api yang berkobar. Isteri sang jenderal dan beberapa orang keluarga wanita roboh pingsan. Kao Kok Cu juga tak dapat menahan air matanya dan dia menundukkan mukanya, berdoa untuk roh ayahnya yang gagah. Dia tahu apa yang telah dilakukan ayahnya dan mengapa. Dia tidak dapat menyalahkan keputusan yang diambil oleh ayahnya itu. Ayahnya telah berkhianat kepada negara, demi menyelamatkan keluarganya. Setelah keluarganya selamat, ayahnya melaksanakan rencana yang telah diaturnya semenjak hari pertama dia dipaksa membangun benteng, yaitu menghancurkan benteng itu. Menghancurkannya bersama dia karena dia sudah berjanji kepada pangeran dan Koksu Nepal bahwa dia akan mempertahankan benteng itu dengan nyawanya. Dan memang dia mempertahankan dengan taruhan nyawanya di samping dia menebus dosa pengkhianatannya kepada negara! Jenderal Kao Liang tewas sebagai seorang panglima yang gagah, yang mempertahankan benteng buatannya dan yang dipimpinnya dengan mengorbankan nyawanya.
Hati Kian Bu yang gelisah memikirkan Kian Lee, menjadi berduka menyaksikan peristiwa yang menimpa keluarga Kao itu. Dia tidak mampu menghibur, bahkan tidak mampu berkata apa-apa lagi. Yang banyak memberi hiburan kepada keluarga itu adalah Gak Bun Beng dan isterinya, Puteri Milana. Melihat bahwa tenaganya tidak lagi diperlukan, dan karena tidak mau mengganggu keluarga yang sedang dilanda duka itu dengan pamit, dia lalu mendekati Puteri Milana dan berkata, "Enci Miiana, aku akan pergi mencari Lee-ko."
Milana memandang kepada adiknya ini. "Ke mana dia"
"Katanya mengejar Pangeran Llong Bian Cu yang melarikan Nona Hwee Li."
Milana mengangguk. "Hati-hati kau, Bu-te, dan jangan terlalu lama, kalau sudah jumpa dengan Kian Lee kalian harus mengunjungi kami di puncak Telaga Warna di Beng-san. Atau kalian susul kami di kota raja karena kami harus lebih dulu pergi ke kota raja bersama pasukan dan tawanan."
"Baik, Enci Milana." Kian Bu lalu pergi meninggalkan benteng itu, tidak tahu bahwa diam-diam ada orang yang membayanginya dan orang ini bukan lain adalah Teng Siang In! Dan tidak lama setelah Siang In pergi, nampak seorang lain yang juga diam-diam pergi dari situ dan orang ini adalah Kang Swi Hwa atau Ang-siocia!
*** () *** Karena para tokoh dalam cerita kita ini mulai berpencaran lagi setelah benteng pemberontak dapat dihancurkan, dan karena masing-masing mengalami hal-hal yang amat hebat dan menarik, maka sebaiknya kalau kita mengikuti perjalanan mereka satu demi satu. Pertama-tama kita mengikuti perjalanan Ang Tek Hoat yang telah lebih dulu meninggalkan benteng ketika mendengar bahwa Puteri Syanti Dewi telah dilarikan oleh Panglima Bhutan, yaitu Mohinta dan anak buahnya.
Ketika mendengar dari Siluman Kecil Suma Kian Bu bahwa yang membunuh ibunya adalah Mohinta, hati pemuda ini penuh dengan dendam dan kemarahan hebat. Kematian ibunya tak pernah dapat dilupakannya, dan dia telah dengan susah payah mencari siapa mereka atau dia yang membunuh ibunya. Akhirnya dia sudah hampir putus asa untuk dapat membongkar rahasia itu karena tidak ada bukti atau saksi yang dapat menuntunnya kepada si pembunuh. Tak disangkanya bahwa dia akan mendengar keterangan yang demikian jelasnya dari Suma Kian Bu, paman tirinya sendiri. Kini dia mengerti dan dapat membayangkan keadaan ibunya. Tentu Mohinta dan anak buahnya itu menemukan ibunya seorang diri dalam pondoknya dan panglima muda yang keji itu telah membunuh ibunya. Akan tetapi dia ingin tahu mengapa Mohinta membunuh ibunya. Dia akan menangkap Mohinta dan memaksanya mengaku mengapa Mohinta membunuh ibunya, setelah itu baru dia akan membalas kematian ibunya. Sakit hati karena dendam membuat pemuda ini membayangkan dan merencanakan penyiksaan yang paling hebat untuk musuh besar pembunuh ibunya itu!
Dendam merusak dan meracuni batin manusia. Kenyataan ini nampak dalam kehidupan kita sehari-hari. Betapa dendam dan amarah menguasai hati kita setiap hari. Dendam melahirkan kekerasan dan kekejaman. Dendam menciptakan permusuhan yang tidak habisnya. Betapa semenjak kita masih kecil, nafsu amarah dan dendam ini telah menguasai lubuk hati kita sepenuhnya. Kita akan marah-marah kalau kita diganggu, kalau keluarga kita diganggu, kalau negara kita di ganggu, kalau bangsa kita diganggu, kalau milik kita lahir batin diganggu. Dan kita akan membalas! Membalas berlipat ganda! Sejak masih kanak-kanak sudah nampak nafsu dendam ini. Dipukul sekali baru akan puas kalau membalas dua kali! Hati yang marah baru akan puas kalau sudah menumpahkan kemarahannya berupa makian, balas menghina, memukul dan sebagainya lagi.
Betapa nyata nampak kalau kita mau membuka mata memandang, bahwa satu di antara hal yang mendorong kita mendendam adalah karena kita selalu ingin menang dari orang lain, tidak mau kalah dalam hal apa pun juga! Kalau orang melakukan kekerasan kepada kita, kita pun tidak mau kalah keras! Kita khawatir disangka takut, disangka pengecut, dianggap tidak berani! Inilah yang mendorong kita menyambut kekerasan orang dengan kekerasan yang lebih hebat lagi. Dan bagaimana kalau ada orang bersikap baik kepada kita" Kita pun tidak mau kalah, tidak mau kalah baik, ingin dianggap lebih baik lagi. Buktinya" Kalau anda bermusuhan atau saling marah dan membenci dengan lain orang, cobalah anda mengubah diri dan bersikap manis dan baik. Akan nampak oleh anda betapa orang itu pun sebaliknya akan mengambil sikap yang lebih manis dan lebih baik pula daripada sikap anda. Sebaliknya, kalau dia bersikap keras dan congkak, anda akan bersikap lebih keras dan lebih congkak lagi!
Kemudian kita melihat bahwa kemarahan itu mengakibatkan hal-hal buruk sekali dalam kehidupan, menimbulkan permusuhan, pertentangan dan kesengsaraan, maka lalu muncullah ajaran agar kita belajar sabar! Kita marah dan kita dianjurkan bersabar. Hal ini, seperti terbukti dalam kehidupan kita sehari-hari, sama sekali tidak ada artinya, tidak ada gunanya! Dalam keadaan marah, kita lalu mengendalikan perasaan, menekan kemarahan, dan memaksa diri untuk menjadi sabar. Memang, pada saat itu dapat kita menekan kemarahan dan menjadi sabar, namun kesabaran seperti itu adalah kesabaran palsu, kemarahan itu tidak padam, hanya ditekan dan ditutupi belaka. Seperti api dalam sekam, kelihatannya saja tidak menyala namun sesungguhnya masih membara dan sewaktu-waktu akan berkobar lagi. Maka nampaklah dalam kehidupan kita betapa apabila belajar sabar itu sama sekali tidak ada gunanya karena kemarahan yang ditekantekan itu akan terus-menerus dan selalu muncul dan muncul lagi untuk ditekan dan dikendalikan lagi. Maka terjadilah perang batin, konflik batin antara kemarahan sebagai kenyataan dan sabar sebagai hal yang kita kehendaki.
Kita lupa bahwa kemarahan tidak mungkin dapat dilenyapkan dengan belajar sabar atau dengan keinginan untuk tidak marah! Kotoran tidak mungkin dapat dilenyapkan dengan belajar bersih! Yang penting adalah berani menghadapi kenyataan. Dan kenyataan pada diri kita adalah kemarahan itulah. Itulah faktanya. Kita marah! Kita keras, kita pendendam, kita kejam. Inilah kenyataannya! Tidak perlu kita lari daripada kenyataan ini dan bersembunyi di balik selimut kesabaran, kebaikan dan sebagainya. Semua itu hanya palsu dan munafik belaka. Pada hakekatnya, pada dasarnya, pada intinya, kita masih pendendam, masih pemarah.
Lalu, apakah kita harus membiarkan saja kenyataan bahwa kita pendendam dan pemarah" Sudah tentu tidak! Kita melihat dengan jelas bahwa harus terjadi perubahan pada diri kita, pada batin kita. Akan tetapi perubahan itu tak mungkin terjadi kalau hanya dengan jalan menentang kemarahan itu dan ingin menggantikan kedudukannya dengan kesabaran dan kebaikan. Kita HARUS berubah!
Lalu bagaimana caranya untuk melenyapkan kemarahan" Tidak ada caranya, karena kalau disebutkan suatu cara, itu pun palsu dan merupakan penipuan belaka, merupakan pelarian seperti belajar sabar dan mengendalikan perasaan tadi. Apakah kemarahan itu" Siapa yang marah" Berbedakah kita dengan kemarahan itu" Kitalah yang marah. Kitalah kemarahan itu sendiri! Kemarahan tidak terpisah dari kita! Kitalah sumber kemarahan, kitalah pembuat kemarahan, kitalah biang keladinya. Karena itu, kalau kemarahan tiba, tidak perlu kita lari, tidak perlu kita sembunyi, sebaliknya, kita hadapi kemarahan itu, kita pandang dengan penuh kewaspadaan, dengan penuh perhatian! Pernahkah anda melakukan hal ini" Biasanya, kalau kita marah, kita menjadi mata gelap, kita kehilangan kesadaran, kita tidak ingat apa-apa lagi, yang ada hanyalah nafsu ingin melampiaskan kemarahan. Bukankah demikian" Pernahkah dan maukah kita mencoba untuk menghadapi kemarahan itu sebagai suatu fakta, kita perhatikan kemarahan kita itu, penuh kewaspadaan dan ingin kita melihat apa yang terjadi kalau begitu! Karena kemarahan itu pada hakekatnya adalah kita sendiri, maka dengan pengamatan penuh kewaspadaan itu, dengan penuh perhatian itu, kemarahan pun tidak ada! Sebaiknya kita mencoba dalam kehidupan kita sehari-hari yang penuh coba dan goda ini.
Dan kalau sudah tidak ada kemarahan lagi dalam batin kita, perlukah kita belajar sabar" Kalau kita tidak marah, perlukah kita menekan dan mengendalikan perasaan" Dan kalau tidak ada kemarahan, tidak ada benci, apa yang timbul dalam batin kita" Mungkin mata batin kita baru akan melihat apa artinya CINTA KASIH itu.
Tek Hoat dimabuk dendam. Dalam keadaan dendam dan marah, dia merencanakan siksaan sehebat-hebatnya kepada orang yang amat dibencinya, yaitu Mohinta. Dia membuat perhitungan dan dugaan bahwa Mohinta tentu melarikan Syanti Dewi menuju ke barat, ke Bhutan. Dan memang dugaannya itu tepat. Beberapa hari kemudian setelah dia meninggalkan benteng melakukan pengejaran, dia menemukan jejak mereka. Kiranya Mohinta dan anak buahnya itu melakukan perjalanan cepat dengan menggunakan sebuah kereta dan rombongan itu menunggang kuda, melakukan perjalanan yang cepat. Demikianlah keterangan yang didapat oleh Tek Hoat dalam penyelidikannya. Maka dia lalu melakukan pengejaran secepatnya dan beberapa hari ke mudian dia berhasil menyusul rombongan itu!
Begitu melihat Mohinta menunggang kuda memimpin anak buahnya yang mengawal kereta, jantung Tek Hoat berdebar kencang dan menurutkan dorongan hatinya, ingin dia seketika menerjang dan menangkap Mohinta dan membebaskan Syanti Dewi yang dia duga tentu berada di dalam kereta itu. Akan tetapi, pemuda ini dapat menahan dirinya. Nanti saja, pikirnya sambil mengintai dari balik pohon, aku harus melihat Syanti Dewi lebih dulu. Nanti kalau rombongan itu melewatkan malam, dia akan turun tangan. Maka Tek Hoat hanya mengintai sambil berjongkok di balik sebatang pohon, membiarkan kereta yang dikawal orang-orang Bhutan itu lewat.
Dia lalu membayangi terus dan akhirnya rombongan itu berhenti di sebuah dusun yang tidak berapa besar, dusun di antara bukit-bukit yang jauh dari kota. Dengan pengaruh uangnya dan juga pengaruh sikap anak buahnya yang galak, Mohinta dapat menyewa rumah kepala dusun itu untuk dijadikan tempat bermalam. Karena menerima uang sewa yang cukup besar dan juga jerih melihat sikap rombongan orang Bhutan itu, kepala dusun mengalah dan membawa keluarganya keluar dari rumah, bermalam di rumah seorang penduduk dusun.
Tek Hoat mengintai terus dan jantungnya berdebar tegang ketika dia melihat Syanti Dewi melangkah turun dari dalam kereta. Akan tetapi, perasaan tidak senang menyusup di hatinya ketika dia melihat puteri pujaan hatinya itu tersenyum genit kepada Mohinta yang membantunya turun dari kereta, bahkan puteri itu lalu bergandengan tangan dengan Mohinta memasuki rumah kepala dusun yang mereka sewa untuk semalam.
Tek Hoat melongo sampai lama setelah kedua orang itu memasuki rumah. Perasaan hatinya nyeri rasanya seperti ditusuk pedang. Sikap Syanti Dewi begitu mesra terhadap Mohinta. Senyum itu! Kerling mata itu! Begitu genitnya, padahal seingatnya, belum pernah Syanti Dewi bersikap segenit itu baik kepadanya sekalipun. Cemburu menguasai hatinya, cemburu dan penasaran. Jadi begitukah keadaan sebenarnya mengapa Syanti Dewi bersikap dingin kepadanya ketika mereka dipertemukan oleh Koksu Nepal" Syanti Dewi telah berpaling kepada Mohinta dan agaknya bertukar hati dengan panglima muda Bhutan itu"
Dengan hati penuh dendam dan cemburu yang membuat kepalanya pening, malam itu Tek Hoat mendekati rumah kepala dusun. Biarpun rumah itu terjaga, namun mudah saja bagi Tek Hoat untuk menyusup dan memasuki rumah, akhirnya dia berhasil mengintai ke dalam kamar besar rumah itu. Dan apa yang dilihat dan didengarnya membuat pemuda ini hampir saja jatuh pingsan!
Di bawah sinar lampu remang-remang, dia melihat Mohinta yang tidak lagi memakai pakaian panglima, melainkan mengenakan pakaian tidur yang tipis, duduk di atas kursi dan Puteri Syanti Dewi duduk di atas pangkuannya dengan sikap manja sekali! Dengan hati hampir meledak saking panasnya Tek Hoat melihat betapa kedua lengan Mohinta memeluk tubuh itu dan tangan Mohinta dengan cara yang dianggapnya kurang ajar memegang-megang dada sang puteri! Akan tetapi puteri itu tidak marah, malah merangkul leher Mohinta dan mereka berdua berciuman dengan cara yang membuat Tek Hoat yang nengintai itu bergidik karena ciuman itu dilakukan dengan mulut ke mulut dan amat mesranya.
Melihat panglima itu yang mengingatkan dia akan kematian ibunya saja sudah membuat Tek Hoat marah bukan main, apalagi melihat betapa musuh besarnya itu kini merampas pula kekasihnya, hampir Tek Hoat tidak dapat menahan sabar dan ingin dia menerjang lewat jendela. Akan tetapi, kedua orang itu kini sudah bicara berbisik-bisik dan Tek Hoat menahan hatinya untuk mendengarkan lebih dulu percakapan mereka sebelum dia menerjang masuk.
"Ah, Sayang.... engkau sungguh manis, aku sungguh cinta padamu...." terdengar Mohinta berbisik sambil membelai-belai tubuh puteri
"Hemmmmm...." Sang Puteri merintih manja dan menggeliat di atas pangkuan Panglima Bhutan itu. "Aku pun cinta padamu.... Panglima.... akan tetapi benarkah kelak aku akan menjadi permaisurimu...."
Tek Hoat terbelalak dan merasa heran bukan main mendengar bisikan Syanti Dewi itu dan timbullah keinginan tahunya untuk mendengarkan terus.
"Tentu saja, Manis. Akan tetapi kita harus berhasil dulu, dan untuk itu aku mengandalkan bantuanmu. Engkau harus membantuku menundukkan raja tua itu...."
"Ihhh, aku takut...." Puteri itu berbisik manja sambil menyandarkan muka di atas dada Mohinta.
Mohinta memeluknya. "Tak usah takut. Pasukan-pasukanku sudah siap dan engkau hanya pura-pura saja menjadi tawananku, dan kalau kuancam engkau di depan raja, engkau tahu bahwa aku pun hanya pura-pura saja agar raja mau tunduk dan menyerah kepadaku. Kemudian, kalau aku sudah menjadi raja, engkau tentu menjadi permaisuriku.... hemmm.... engkau manis benar malam ini...." Mohinta kembali menciumnya dan Tek Hoat sudah mundur dan tidak mau melihat lagi. Akan tetapi dia tidak menerjang jendela itu, malah dia menjauhkan diri dan meninggalkan tempat itu.
Tak lama kemudian, pemuda ini telah rebah di dalam gubuk di tengah sawah di luar dusun, tempat para petani mengaso dan berteduh dari sinar matahari. Dia termenung. Tidak, dia tidak akan membunuh Mohinta sekarang ini, dia harus sabar menanti sampai mereka tiba di Bhutan. Jelas bahwa Mohinta merencanakan pemberontakan terhadap raja, dan Mohinta hendak menggunakan Syanti Dewi sebagai sandera untuk menundukkan Raja Bhutan! Kalau saja benar-benar Syanti Dewi menjadi sandera, menjadi tawanan, tentu sekarang juga dia membebaskan puteri itu dan membunuh Mohinta. Akan tetapi, yang membuat dia penasaran adalah karena melihat kenyataan betapa puteri itu sama sekali bukan menjadi tawanan, bahkan menjadi sekutu dari Mohinta untuk merampas kedudukan ayahnya sendiri! Dia sungguh merasa heran bukan main, bertanya-tanya dalam hati apa yang telah terjadi dengan Syanti Dewi sehingga puteri itu demikian berubah, tidak hanya menjadi genit dan aneh, akan tetapi juga menjadi jahat sehingga kini mau bersekutu dengan seorang pemberontak untuk merampas kedudukan ayahnya sendiri! Diam-diam Tek Hoat merasa menyesal bukan main dan terbayanglah kembali sikap Syanti Dewi ketika dipertemukan dengannya oleh koksu. Terdengar berdengung di dalam telinganya ucapan Syanti Dewi kepadanya waktu itu.
"Ang Tek Hoat, engkau telah pergi tanpa pamit, bahkan telah menimbulkan kemarahan di hati ayahku, oleh karena itu sesungguhnya sudah tidak ada apa-apa lagi antara kita...."
Tek Hoat memejamkan matanya, hatinya seperti ditusuk rasanya. Jadi agaknya sang puteri telah memutuskan hubungan antara mereka dan kini bahkan telah berganti pacar! Dia makin penasaran. Andaikata berganti pacar, mengapa sang puteri begitu tidak tahu malu dan tidak mengenal susila, mau saja diperlakukan seperti itu oleh Mohinta" Dan mengapa pula sudi diajak bersekutu untuk menjatuhkan Raja Bhutan"
"Aku harus menentang mereka!" Tiba-tiba Tek Hoat bangkit duduk dan mengepal tinjunya. "Aku akan sabar menanti, tidak membunuh Mohinta dulu. Aku harus menggagalkan rencana busuk mereka dan membuka kedok mereka di depan Raja Bhutan! Biar Raja Bhutan menjadi terbuka matanya dan melihat betapa seorang anak haram seperti aku jauh lebih berharga daripada panglima mudanya bahkan lebih berharga daripada puterinya sendiri!"
Pikiran ini membuat Tek Hoat akhirnya dapat tidur di dalam gubuk dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah membayangi lagi rombongan Mohinta itu. Dia tidak akan membunuh Mohinta di tengah jalan. Tidak, dia akan membongkar dulu kedok mereka, rahasia mereka yang busuk di depan raja, menghancurkan siasat dan rencana pemberontakan kotor mereka, baru dia akan membunuh Mohinta, pembunuh dari ibunya itu. Tentang Syanti Dewi.... ah, dia tidak berani memikirkan masa depannya dengan puteri itu, sungguhpun dia tahu bahwa selama hidupnya tidak mungkin dia melupakan puteri itu, dan apa pun yang terjadi dengan diri puteri itu, cintanya tetap mendalam dan akan terus menyala di dalam hatinya.
Ketika rombongan itu sudah tiba di perbatasan barat, Tek Hoat lalu mendahuluinya dan dia hendak pergi lebih dulu ke Bhutan untuk menghadap raja dan memberitahukan tentang rencana pemberontakan Mohinta itu. Akan tetapi sebelum dia meninggalkan rombongan itu, dia melihat pasukan yang cukup besar, tidak kurang dari seribu orang jumlahnya, nampak menyambut rombongan itu dan tahulah dia bahwa pasukan itu adalah pasukan yang dipimpin oleh panglima tua Sangita yang agaknya telah bersekongkol pula dengan puteranya dan lebih dulu sudah tahu akan kedatangan puteranya bersama Syanti Dewi. Maka Tek Hoat lalu bergegas mendahului mereka menuju ke Bhutan, melintasi perbatasan yang terdiri dari gunung-gunung.
Selagi dia berjalan cepat melalui padang rumput setelah keluar dari sebuah hutan, pada jalan mendaki, tiba-tiba terdengar suara ketawa orang dan ketika dia menoleh, ternyata yang tertawa itu adalah Hek-tiauw Lo-mo yang muncul keluar dari balok pohon besar.
"Ha-ha-ha, pengkhianat muda, kiranya kita dapat saling jumpa di sini!" kata kakek itu sambil memandang dengan penuh ejekan.
Tek Hoat mengerutkan alisnya. Dia sedang tergesa-gesa dan dia tidak sudi banyak bicara dengan kakek iblis itu. "Hek-tiauw Lo-mo, mau apa engkau menghadangku" bentaknya.
"Ha-ha-ha, kita sama-sama petualang. Aku mencari puteriku. Apakah engkau melihatnya"
"Andaikata aku melihatnya juga, apa kaukira aku sudi memberi tahu padamu" Pergilah, jangan ganggu aku!"
Bagaimana Hek-tiauw Lo-mo dapat melakukan perjalanan secepat itu, mendahului Tek Hoat" Kiranya kakek iblis ini telah mendapatkan kembali burung garudanya dan melarikan diri dari dalam benteng itu dengan menunggang garuda. Ketika terjadi ribut-ribut oleh penyerbuan tentara kerajaan dan koksu bersama para pembantunya diberi kesempatan untuk melarikan diri oleh Kao Kok Cu, Hek-tiauw Lo-mo tiba-tiba melihat burung garudanya terbang berputaran tinggi di atas benteng yang kebakaran itu sambil mengeluarkan suara ketakutan. Ternyata burung yang ditinggalkan oleh Hwee Li di dalam hutan itu, telah mencari majikan-majikannya dan ketika melihat benteng itu kebakaran dan melihat banyak manusia bertempur, binatang ini menjadi ketakutan dan hanya berani terbang berputaran di atas tempat itu.
Hek-tiauw Lo-mo lalu mengeluarkan suara melengking panjang memanggil burungnya. Garuda itu mengenal suara majikannya, menukik turun dan kakek iblis itu lalu meninggalkan semua rekannya, menunggang garuda untuk mencari puterinya karena dia mendengar bahwa puterinya telah dilarikan oleh Pangeran Nepal. Dia melakukan pengejaran ke barat, namun tidak berhasil menemukan puterinya itu. Dia menghadang dan bersembunyi di padang rumput, menanti munculnya Pangeran Nepal yang menculik Hwee Li, akan tetapi sebaliknya yang muncul malah Tek Hoat yang segera dihadangnya untuk ditanya.
Mendengar jawaban itu, Hek-tiauw Lo-mo menjadi marah. "Jari Maut, engkau sungguh manusia sombong sekali. Kalau aku sekarang menyerang dan membunuhmu juga, sudah sepatutnya karena engkau telah mengkhianati kami di dalam benteng itu."
"Persetan dengan bentengmu, persetan dengan koksu dan Pangeran Nepal! Aku di sana karena hendak melindungi Puteri Bhutan, bukan hendak mengekor orang Nepal seperti engkau!"
Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak. "Puteri Bhutan" Ha-ha-ha, Puteri Bhutan" Engkau memang sombong dan saat ini aku senang maka aku akan membunuhmu."
Sebetulnya Tek Hoat tidak mau melayani kakek iblis yang dianggapnya gila itu. Pertama karena memang dia tidak mempunyai urusan apa-apa dengan kakek itu, ke dua karena dia sedang tergesa-gesa hendak mendahului rombongan Mohinta menuju ke Bhutan sehingga dia tidak ingin menghabiskan waktunya untuk melayani penghuni Pulau Neraka itu. Akan tetapi ketika dia melihat kakek itu mengeluarkan sebatang pedang yang mengeluarkan sinar berkilat menyeramkan, wajah pemuda ini berubah dan matanya terbelalak.
"Cui-beng-kiam....!" serunya dan matanya melekat kepada pedang di tangan kakek itu.
"Ha-ha-ha, engkau masih mengenalnya" Benar, ini Cui-beng-kiam yang akan minum darah tuannya sendiri, ha-ha-ha!"
Terbayanglah semua peristiwa beberapa tahun yang lalu oleh Tek Hoat. Pedang Cui-beng-kiam itu adalah pedangnya, yang dimilikinya bersama ilmu-ilmu peninggalan Cui-beng Koai-ong seorang datuk dari Pulau Neraka. Akan tetapi, dalam Kisah Sepasang Rajawali diceritakan betapa pedang itu telah terampas oleh Hek-tiauw Lo-mo yang sebagai ketua Pulau Neraka berhak pula memiliki pedang itu. Ketika Ang Tek Hoat menjadi panglima di Bhutan dan berdekatan dengan kekasihnya, yaitu Puteri Syanti Dewi, dia telah melupakan pedang itu, bahkan tidak pernah dia bertanya lagi ketika dia bertemu dengan Hek-tiauw Lo-mo. Tingkat kepandaiannya yang sudah tinggi itu membuat dia tidak terlalu membutuhkan bantuan sebatang pedang, biarpun pedang sedahsyat dan seampuh Cui-beng-kiam. Akan tetapi, kini kakek itu mengeluarkan Cui-beng-kiam untuk mengancamnya. Tentu saja Ang Tek Hoat menjadi marah bukan main. Begitu melihat Cui-beng-kiam, bangkitlah semangatnya dan kalau tadinya dia tidak bernafsu melayani Hek-tiauw Lo-mo, kini timbul kemarahannya dan tekadnya untuk melawan kakek itu dan untuk merampas kembali Cui-beng-kiam!
"Keparat, kembalikan pedangku!" bentaknya dan dia sudah menerjang dengan tamparan-tamparan maut dari jari-jari tangannya yang ampuh.
Hek-tiauw Lo-mo tertawa dan cepat menggerakkan pedang Cui-beng-kiam untuk membabat ke arah kedua tengan pemuda itu. Tek Hoat menarik tangannya dan dia menggunakan kecepatan gerakannya untuk menyerang lagi. Terjadilah pertempuran yang amat hebat antara dua orang sakti ini. Hek-tiauw Lo-mo sedang merasa murung dan jengkel karena hilangnya Hwee Li. Dia memang telah menyetujui untuk menyerahkan Hwee Li kepada Pangeran Nepal, akan tetapi tentu saja penyerahannya itu berdasarkan pamrih agar dia dapat mengangkat diri sendiri menjadi mertua pangeran. Kini, usaha pangeran untuk bersekutu dengan Gubernur Ho-nan mengalami kegagalan dan pangeran itu telah melarikan puterinya. Tentu saja dia menjadi marah dan dia tidak akan melepaskan Hwee Li yang cantik jelita itu begitu saja tanpa ada keuntungan untuk dirinya sendiri. Kemurungannya itu kini ditimpakannya kepada Ang Tek Hoat dan dia menggunakan pedang Cui-beng-kiam, menyecang dengan amat ganasnya untuk membunuh pemuda ini menggunakan pedang pemuda itu sendiri.
Namun, Ang Tek Hoat atau yang sebenarnya ber-she Wan seperti she ayah kandungnya, kini telah memiliki kematangan dalam ilmu silatnya.
Pemuda ini mainkan Ilmu Silat Pat-mo Sin-kun yang digabung dengan Pat-sian Sin-kun, ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari Sai-cu Lo-mo. Sebetulnya ilmu gabungan ini adalah ciptaan dari Puteri Nirahai, isteri pertama dari Pendekar Super Sakti yang dipelajari oleh Sai-cu Lo-mo. Akan tetapi, Tek Hoat telah dapat melatihnya dengan sempurna karena dia memiliki tenaga Inti Bumi yang dipelajarinya dari kitab peninggalan Cui-beng Koai-ong. Oleh karena itu, dalam hal ilmu gabungan Pat-sian Sin-kun dan Pat-mo Sin-kun, pemuda ini telah mencapai tingkat yang tinggi sekali, sebanding dengan tingkat yang dimiliki penciptanya, bahkan mungkin lebih kuat karena tenaga Inti Bumi!
Menghadapi serangan-serangan pedang dari Hek-tiauw Lo-mo, Tek Hoat tidak merasa gentar. Dengan ilmu silatnya yang mengandalkan gerakan cepat itu, dia selalu dapat menghindarkan diri dari tusukan atau bacokan pedang, bahkan dapat membalas dengan pukulan-pukulan maut. Dan yang membuat Hek-tiauw Lomo terkejut sekali adalah penggunaan totokan dengan Ilmu Toat-beng-ci, yaitu ilmu totok dengan jari maut yang mengangkat nama Tek Hoat menjadi si Jari Maut.
Betapapun juga, yang dilawan oleh Tek Hoat adalah seorang kakek iblis yang amat tangguh, maka tidaklah mudah bagi pemuda ini untuk dapat menangkan perkelahian itu. Bahkan dia harus bersikap hati-hati sekali karena dia maklum betapa ampuhnya pedang Cui-beng-kiam yang mengandung racun, juga memiliki hawa yang menyeramkan ini.
Seratus jurus telah lewat dan Hek-tiauw Lo-mo yang tadinya tertawa-tawa itu kini tidak dapat lagi tertawa. Bahkan dia mulai marah dan penasaran sekali karena sebegitu lamanya belum juga dia berhasil merobohkan lawannya yang masih muda. Mulailah dia membantu pedangnya dengan pukulan-pukulan tangan kirinya yang ampuh, yaitu Hek-coa-tok-ciang. Tangan kirinya mengeluarkan uap hitam dan bau yang amis ketika dilancarkan untuk menghantam ke arah Tek Hoat. Namun pemuda ini maklum akan bahaya pukulan itu dan selalu dapat menghindarkan sambil membalas dengan totokan-totokan mautnya.
"Mampuslah!" Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo berteriak nyaring dan Cui-beng-kiam meluncur dengan kecepatan luar biasa ke arah dada Tek Hoat. Pemuda ini terkejut karena pada saat itu dia sedang mengelak dari sambaran pukulan tangan aciri lawan. Tak disangkanya bahwa pukulan dahsyat itu tadi hanya pancingan belaka dan ketika dia mengelak, tubuhnya disambut oleh tusukan pedang. Cepat dia miringkan tubuhnya, maklum bahwa dia berada dalam keadaan berbahaya maka dia pun lalu menggerakkan tangannya membalas dengan tusukan jari tangan ke arah lambung lawan.
"Brettt!"
"Brettt!"
Mereka melangkah mundur dan masing-masing meraba pinggir dada dan lambung yang ternyata hampir saja terkena serangan masing-masing dan baju di bagian itu yang robek! Tek Hoat menggunakan kesempatan itu, ketika meloncat mundur tubuhnya rebah ke atas tanah dan mendadak kedua kakinya meluncur ke arah lawan dengan kekuatan yang amat dahsyat. Itulah tendangan yang menggunakan tenaga Inti Bumi sekuatnya. Angin yang kencang menyambar ke arah Hek-tiauw Lo-mo. Kakek iblis ini terkejut dan hendak meloncat ke belakang untuk mengelak, akan tetapi kurang cepat gerakannya itu karena ujung kaki Tek Hoat telah mengenai tangannya yang memegang pedang Cui-beng-kiam.
"Desss.... ahhh....!" Pedang itu terlepas dari pegangannya tanpa dapat dicegahnya lagi karena tangannya seperti dihantam palu godam raksasa saja dan seperti lumpuh rasanya.
Tubuh Tek Hoat berkelebat cepat dan dia telah menyambar pedang Cui-bengkiam yang melayang terlepas dari tangan lawan tadi dan kini dia berdiri dengan pedang itu di tangan, wajahnya beringas dan tersenyum mengejek amat menyeramkan. Namun, Hek-tiauw Lo-mo yang tadi merasa terkejut itu kini menjadi bertambah marah.
"Bocah setan!" dengusnya dan kini tangan kanannya sudah memegang sebatang golok gergaji yang merupakan senjatanya yang ampuh, sedangkan tangan kirinya memegang jala tipis yang dikepal dan siap dipergunakan. Tek Hoat menghadapi dengan penuh kewaspadaan, karena biarpun kini Cui-beng-kiam tetah berada di tangannya kembali, dia maklum bahwa dengan golok gergaji dan jala tipis di tangan, kakek ini malah lebih berbahaya lagi. Mereka sudah saling berhadapan dengan mata beringas, siap menerjang seperti dua ekor ayam jago berlagak dan hendak bertanding mati-matian.
Akan tetapi pada saat itu terdengar derap kaki kuda yang banyak sekali dari arah timur. Kedua orang itu maklum akan datangnya banyak orang, dan Tek Hoat maklum bahwa itu adalah pasukan yang menyambut Mohinta, sedangkan Hek-tiauw Lo-mo nampak gentar karena dia pun tidak ingin bertemu dengan pasukan yang disangkanya adalah pasukan kerajaan yang melakukan pengejaran. Maka dua orang itu otomatis melompat saling menjauhkan diri dan tak lama kemudian Tek Hoat melihat seekor burung garuda terbang dari dalam hutan, dan kakek iblis itu duduk di atas punggungnya. Dia pun tidak mempedulikannya lagi dan cepat melanjutkan perjalanannya, mendahului pasukan itu menuju ke Bhutan.
*** () *** Kapal yang berlabuh di tepi pantai pulau itu amat besar, indah dan megah. Perabot-perabotnya amat mewah dan pantasnya kapal itu milik seorang raja yang kaya raya. Rantai kapal yang nampak berjuntai ke bawah dan ujungnya mengikat tiang besi di pantai itu terbuat daripada perak! Kapal itu bergoyang-goyang perlahan terdorong air yang berombak sehingga nampak berlenggang-lenggok seperti seorang dara yang cantik dan pesolek. Cat kapal itu masih baru agaknya memang sering dicat seperti seorang dara yang sering membedaki wajahnya sehari beberapa kali. Anak buah kapal! yang hilir-mudik di atas kapal itu semua terdiri dari wanita-wanita cantik dan muda. Paling tua kurang lebih tiga puluh tahun dan mereka itu bergerak dengan gesit dan lemah gemulai, membuat kapal itu nampak lebih elok lagi. Apalagi pakaian para anak buah kapal itu rata-rata mewah, dari sutera-sutera halus beraneka warna, dan kalau kita mendekati mereka, biarpun mereka itu bekerja kasar seperti pelaut-pelaut biasa, sigap dan kuat, namun kulit tangan mereka halus dan tubuh mereka berbau sedap karena memakai bedak wangi dan minyak wangi! Sungguh sebuah kapal yang indah, mewah, dan aneh.
Pulau itu bukan lain adalah Kim-coa-to (Pulau Ular Emas) yang menjadi tempat tinggal Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui, wanita berusia empat puluh tahun lebih yang masih nampak cantik jelita seperti baru berusia dua puluh lima tahun itu. Dan kapal itu adalah kapalnya, sebuah kapal yang memang mewah sekali, yang dibangun dengan biaya amat mahal. Akan tetapi memang wanita ini memiliki harta kekayaan yang luar biasa besarnya, harta karun yang didapatkan di pulau, harta karun yang ditinggalkan oleh bajak-bajak laut jaman dahulu, penuh dengan emas permata yang tak ternilai besarnya.
Seperti telah kita ketahui dari cerita ini di bagian depan, Puteri Bhutan, Syanti Dewi, kini tinggal di Kim-coa-to dan menjadi murid dari Bu-eng-cu Ouw Yan Hui. Puteri Bhutan itu berkenan menarik hati Ouw Yan Hui yang menyayangnya karena kecantikan dan kelembutan puteri itu, dan Ouw Yan Hui ialu melatih ilmunya yang hebat, yaitu ilmu ginkang yang luar biasa kepada Syanti Dewi. Selama setengah tahun lamanya Syanti Dewi dilatih menangkap burung-burung dalam ruangan tertutup dan kini dia telah menjadi seorang puteri yang memiliki ilmu ginkang istimewa. Selain ilmu-ilmu meringankan tubuh yang membuat sang puteri pandai berlari seperti terbang, mempergunakan Ilmu Jouw-sang-hui-teng (Terbang Di Atas Rumput), juga Syanti Dewi diberi pelajaran ilmu silat yang tinggi oleh gurunya.
Syanti Dewi sekarang jauh bedanya dengan Syanti Dewi beberapa bulan yang lalu. Dia telah menjadi seorang wanita yang lihai, dan kecantikannya makin menonjol karena berdekatan dengan Ouw Yan Hui, dia bukan hanya ketularan kepandaian ilmu silat, melainkan juga ketularan sifat pesoleknya, dan juga sifat dingin dan pendiamnya! Syanti Dewi yang dulu lembut dan halus budi, peramah dan seratus prosen penuh sifat kewanitaan dan keibuan, kini menjadi seorang wanita yang wajahnya selalu dirias rapi, cantik jelita seperti bidadari, pakaiannya berganti-ganti dengan pakaian yang amat indah, kadang-kadang berpakaian seperti seorang Puteri Bhutan, kadang-kadang seperti seorang Puteri India, dan kadang-kadang seperti seorang Puteri Kerajaan Ceng atau seorang Puteri Mancu. Namun, memakai pakaian apa pun juga, tetap saja Syanti Dewi nampak cantik jelita seperti bidadari.
Kalau dulu Syanti Dewi murah senyum dan wajahnya selalu cerah, sinar matanya lembut berseri-seri, kini di depan orang lain dia tidak pernah senyum dan sinar matanya tajam menusuk, juga mengandung keangkuhan. Hanya di depan Ouw Yan Hui atau anak buah di Pulau Ular Emas saja dia mau tersenyum, bahkan di waktu berlatih ginkang bersama gurunya dia suka tertawa-tawa dan agaknya kembalilah lagi sifat gembiranya seperti dahulu. Akan tetapi, di depan orang lain, dia bersikap angkuh dingin dan pendiam seperti juga Ouw Yan Hui!
Hubungannya dengan Ouw Yan Hui bukan seperti hubungan guru dan murid, melainkan lebih condong seperti hubungan sahabat. Ouw Yan Hui juga amat sayang kepada muridnya ini karena dia melihat kecantikan yang aseli dan yang membuat dia selalu merasa muda kembali.
Pagi hari itu, para anak buah kapal yang jumlahnya belasan orang itu telah sibuk membersihkan kapal dan mempersiapkan kapal itu karena tocu (majikan pulau) mereka yang bagi mereka merupakan seorang ratu itu telah memberi perintah bahwa menjelang tengahari nanti dia dan muridnya akan berpesiar dengan kapal itu. Wanita-wanita muda yang berada di kapal itu bekerja dengan cekatan, akan tetapi hari yang cerah dengan matahari pagi yang sehat itu membuat mereka menjadi gembira dan sambil bekerja mereka itu bernyanyi-nyanyi.
Tiba-tiba mereka menghentikan nyanyian mereka, bahkan sejenak menghentikan pekerjaan mereka dan semua mata memandang ke tengah laut di mana mereka melihat tocu mereka berkejaran dengan Syanti Dewi. Dan memang merupakan penglihatan yang mentakjubkan sekali dua orang wanita yang sedang berkejaran di tengah laut itu!
Para anak buah Pulau Ular Emas rata-rata juga memiliki kepandaian silat, dan rata-rata memiliki ginkang yang hebat. Akan tetapi, tidak ada seorang pun di antara mereka pernah diberi kesempatan melatih ginkang di atas lautan oleh tocu mereka dan kalau mereka menyaksikan tocu mereka berlatih ginkang di atas air, mereka benar-benar merasa kagum dan ngeri.
Bu-eng-cu Ouw Yan Hui memang telah menciptakan alat untuk berlatih ginkang secara istimewa di atas laut. Alat ini sederhana saja, yaitu merupakan dua batang bambu pendek yang diikatkan di bawah kedua kaki merupakan alas kaki atau sebetulnya merupakan alat penampung karena bambu-bambu itu membuat tubuhnya terapung di atas air. Akan tetapi, untuk mencegah agar jangan sampai tubuhnya terguling, cara menginjak bambu-bambu itu harus dapat mengatur keseimbangan tubuh secara luar biasa. Di samping ini, juga kedua kaki harus digerakkan cepat. meluncur bergantian ke depan sehingga dari jauh nampak seolah-olah wanita cantik itu pandai berjalan di permukaan air!
Cara berlatih seperti ini membuat tubuh Ouw Yan Hui ringan dan cekatan sekali sehingga kalau dia melepaskan bambu dan berlari di atas daratan, maka kecepatannya seperti seekor kijang berlari saja. Dan Syanti Dewi yang rupanya memiliki bakat baik untuk ilmu ginkang, kini mulai dilatih dengan dua potong bambu di bawah kakinya itu dan ternyata dalam waktu singkat saja Syanti Dewi sudah mulai pandai berlari-lari mempergunakan dua potong bambu itu di atas air, bahkan sudah berani menerjang ombak bergelombang di tengah laut!
Pagi hari itu guru dan murid ini pun melakukan latihan tingkat terakhir untuk Syanti Dewi. Mereka berkejaran di atas permukaan laut, di antara ombak-ombak yang mengganas sambil tertawa! Hebatnya, biarpun mereka berdua berlatih di atas laut, di antara ombak-ombak bergelombang, mereka itu mengenakan pakaian yang istimewa, bersih dan mewah! Apalagi Syanti Dewi! Agaknya puteri ini memang disayang dan dimanja oleh gurunya sehingga gurunya membuatkan banyak sekali pakaian untuknya. Di pagi hari itu, Syanti Dewi mengenakan pakaian puteri India di tubuhnya yang menggairahkan. Rambutnya yang hitam, halus dan panjang sampai ke pinggul itu dibiarkan teruirai lembut dan hanya diikat dengan ikat kepala yang terbuat daripada emas dan yang dihias sebuah permata besar yang bergantung di dahinya berkilauan tertimpa sinar matahari. Rambut itu berkibar di belakang tubuhnya bersama ujung kain sari yang membungkus tubuhnya dan yang ujungnya disampirkan di pundak kirinya. Bajunya yang pendek model India itu membiarkan pinggangnya dan sebagian perutnya telanjang sehingga nampak kulit yang putih kuning dan halus menggairahkan, kadang-kadang tertutup sari yang tipis dan tembus pandang, kadang-kadang terbuka sehingga pinggang telanjang ini merupakan daya tarik yang istimewa. Kain sarinya melambal-tambal tertiup angin kencang. Wajahnya demikian segar kemerahan karena dia harus mengerahkan banyak tenaga ketika berloncatan di atas ombak-ombak dahsyat itu, mengelak ke sana-sini menghindarkan hempasan ombak sambil mengatur keseimbangan tubuhnya. Kedua tengan memainkan peranan penting dalam latihan seperti ini, karena untuk menjaga dan mengatur keseimbangan tubuh, kedua lengan itulah yang bekerja keras, kadang-kadang yang kanan naik yang kiri turun dan sebaliknya, seperti orang menari. Dan karena kedua lengan Puteri Bhutan itu dihias gelang-gelang emas maka setiap gerakan tangannya menimbulkan bunyi berkerincing, seolah-olah memperlengkap suara air mengalun menjadi semacam musik pengiring tariannya yang luar biasa itu. Sepasang sepatunya yang kecil terbuat dari kulit mengkilap, bentuknya agak tinggi menutupi mata kakinya dan sepatunya itu diikat pada sepotong bambu, sehingga dua potong bambu menjadi penyambung kedua kakinya seperti dua buah perahu kecil. Dengan bantuan pengapung bambu itu berlarilah Syanti Dewi, bagaikan peri atau Dewi Laut sendiri bermain-main di antara gelombang lautan yang dahsyat.
Tidak jauh di belakang, meluncur tubuh Ouw Yan-Hui, guru dan sahabatnya, dengan gerakan yang lebih ringan dan lebih cekatan daripada Syanti Dewi, namun tidak seindah gerakan Syanti Dewi yang seperti orang menari-nari untuk menjaga keseimbangan tubuhnya itu. Seperti biasanya, Bu-eng-cu Ouw Yan Hui juga memakai pakaian mewah dan indah, rambutnya digelung rapi dan dia kelihatan seperti Dewi Kwan Im Pouwsat sendiri, demikian agung dan ayunya.
"Enci Hui, mari kita berlomba ke kapal!" Syanti Dewi berseru gembira.
"Baik, kaularilah dulu, nanti kukejar!" jawab Ouw Yan Hui.
Maka berlarianlah dua orang wanita cantik itu semakin cepat sehingga para anak buah kapal layar itu memandang makin kagum karena kini dua orang wanita itu seperti terbang saja di atas permukaan laut. Dan Bu-eng-cu Ouw Yan Hui diam-diam merasa kagum karena kemajuan pesat dari Puteri Bhutan. Biarpun dia akhirnya dapat menyusul dan mendahului Syanti Dewi menyambar tali tangga dan naik ke kapal, namun hanya sedikit saja selisihnya dan ternyata bahwa kecepatan moridnya itu sudah hampir menyamainya!
"Bibi Maya Dewi....!" Syanti Dewi mendengar seruan Ouw Yan Hui yang telah lebih dulu naik ke kapal. "Kapan Bibi datang...."
Syanti Dewi cepat naik ke kapal dan dia melihat seorang wanita India yang amat cantik. Usia wanita itu kurang lebih tiga puluh tahun, rambutnya masih hitam, halus mengkilap dan dibiarkan terurai ke belakang. Kepalanya dihias seuntai pengikat rambut terbuat dari permata merah dan hiasan permata yang berjuntai di dahinya amat besar, biru berkilauan. Wajahnya segar dan cantik, dengan sepasang mata lebar berseri-seri. Juga tubuhnya masih nampak padat, kulit perut dan pinggang yang nampak antara baju dan celana, sedikit tertutup sari tipis itu masih halus dan putih bersih. Lehernya mengenakan kalung dari permata pula, dan kedua lengannya dihias gelang emas bertumpuk. Wanita yang cantik sekali, agung, dan berpakaian indah! Inikah "bibi Maya" yang perah disebut oleh Ouw Yan Hui itu" Memang cantik, akan tetapi tidak secantik Ouw Yan Hui, juga tidak semuda Ouw Yan Hui!
"Aku baru saja datang, Yan Hui, dengan perahu kecil. Kabarnya engkau mempunyai seorang murid yang hebat.... ah, diakah orangnya" Wanita itu memandang kepada Syanti Dewi yang baru saja naik ke kapal.
"Benar, Bibi. Inilah dia, Syanti Dewi dari Bhutan, muridku, juga sahabatku yang tercinta!" Dengan gembira Ouw Yan Hui menghampiri Syanti Dewi dan merangkul pundak sahabat ini, diajak mendekat sambil berbisik di dekat telinga Puteri Bhutan itu, "Syanti, Bibi Maya Dewi ini sudah berusia enam puluh tahun lebih!"
"Ahhh....!" Kini Syanti Dewi melongo memandang kepada wanita itu. "Tidak mungkin!" Dia mengeluarkan kata-kata ini dengan keras karena memang dia terkejut dan terheran-heran bukan main. Wanita yang cantik jelita itu, yang tak mungkin lebih dari tiga puluh tahun usianya, adalah seorang nenek berusia enam puluh tahun"
"Mari kita masuk ke bilik, Bibi Maya. Mari Syanti, kita bicara di dalam."
Tiga orang wanita cantik itu masuk ke dalam bilik kapal dan para anak buah kapal segera melanjutkan pekerjaan mereka. Setelah tiba di dalam bilik kapal, Ouw Yan Hui memeluk wanita itu dan mencium kedua pipinya dengan mesra, dibalas pula oleh nenek Maya Dewi yang cantik itu dengan penuh kemesraan pula. Syanti Dewi memandang dengan melongo dan hanya mengira bahwa memang demikianlah kebiasaan kedua orang wanita itu saling memberi salam.
"Syanti Dewi, inilah Bibi Maya Dewi seperti yang pernah kuceritakan kepadamu dulu. Dia hebat sekali, bukan" Usianya sudah enam puluh tahun lebih, dan lihatlah wajahnya yang cantik, lihatlah tubuhnya yang padat dan mulus seperti tubuh seorang dara! Hayo kau lekas memberi hormat kepada Bibi Maya Dewi, Syanti."
Syanti Dewi cepat menjura dan memberi hormat dengan sembah, yaitu dengan merangkapkan kedua tangan yang terbuka dan dibawanya kedua tangan itu ke depan hidungnya. Akan tetapi, wanita itu lalu melangkah maju dan merangkulnya. "Tak perlu segala penghormatan itu, Dewi. Lebih baik biarkan aku menciummu sebagai salam perkenalan." Wanita itu lalu merangkul lehernya dan mencium kedua pipinya dengan mesra. Karena menyangka bahwa memang demikian cara wanita ini memberi salam, maka Syanti Dewi dengan tersenyum juga membalas dan menggunakan hidungnya menyentuh pipi nenek itu. Dia mencium bau harum minyak wangi yang keras.
Akan tetapi, betapa terkejut rasa hati puteri ini ketika tiba-tiba mulut wanita itu mengecup bibirnya dan jari-jari tangan wanita itu mengelus dadanya! Hampir dia menjerit dan cepat dia menarik dirinya lepas dari rangkulan wanita itu, mukanya berubah merah sekali dan sepasang matanya yang lebar dan jernih itu terbelalak.
Ouw Yan Hui segera memegang lengannya. "Aihhh, Bibi Maya mengejutkan hati adik Syanti dengan salamnya."
Wanita itu memejamkan matanya. "Hemmm, sedap sekali bau keringatmu, Dewi yang jelita. Engkau sungguh seorang anak yang manis sekali, dan betapa akan hebatnya kaleu kecantikanmu yang seperti dewi kahyangan itu dibikin abadi sehingga selamanya engkau akan tetap tinggal cantik jelita seperti ini!"
Rasa kaget sudah mereda, dari hati Syanti Dewi dan dia masih mengira bahwa memang cara nenek itu memberi salam adalah luar biasa anehnya, bukan saja memeluk dan menciumi pipi, bahkan mengecup bibir dan menggerayangi dada! Kini mendengar ucapan wanita itu, dia terheran dan bertanya, "Apa.... apa maksudmu...."
Ouw Yan Hui sudah merangkulnya dan baru kini Syanti Dewi merasa betapa rangkulan sahabat dan gurunya ini amat mesra. Biasanya dia tidak merasakan hal ini dan menganggapnya sebagai rangkulan seorang sahabat baik, akan tetapi setelah dia mengalami rangkulan dan ciuman nenek Maya Dewi tadi, dia merasa betapa rangkulan-rangkulan Ouw Yan Hui juga amat mesranya sehingga dia merasa bulu tengkuknya dingin.
"Adik Syanti, lupakah engkau akan keherananmu melihat aku yang sudah berusia empat puluh tahun lebih masih kelihatan muda" Dan Bibi Maya ini sudah berusia enam puluh tahun lebih! Dialah yang menjadi guruku dalam hal ilmu mempercantik diri dan ilmu awet muda. Dia dapat membuat kecantikanmu ini menjadi abadi, Syanti Dewi. Dengan cara pengobatannya dan caranya memelihaa kecantikan, maka engkau akan tetap kelihatan secantik sekarang ini tiga empat puluh tahun lagi."
"Ahhh....! Mana mungkin" Rambutku akan beruban dan putih...."
"Hi-hik, lihat rambutku, Dewi. Apakah kalah hitam dan kalah halus panjang daripada rambut orang muda" Maya Dewi membelai rambutnya sendiri. "Dan lihat betapa tidak ada sehelai pun rambut uban!"
"Tapi.... tapi...."
"Apakah engkau tidak ingin tetap cantik dan muda selamanya, Syanti" tanya Ouw Yan Hui.
"Tentu.... tentu saja...." Syanti Dewi menjawab bingung. Wanita mana di dunia ini yang tidak ingin awet muda dan tetap cantik selamanya dan tidak dirusak oleh usia muda"
"Kalau begitu bersiaplah! Aku akan membuatmu tetap cantik selama hidupmu, Dewi. Sayang kalau kecantikan seperti yang kaumiliki itu kelak habis dimakan keriput dan uban, atau ditelan oleh lemak. Yan Hui, suruh orang-orangmu mempersiapkan semua keperluan merendam Dewi dalam air ramuan!"
Tak lama kemudian sibuklah para pelayan mempersiapkan sebuah bak air atau lebih patut disebut gentong karena bentuknya seperti gentong besar dan dicat indah. Gentong besar ini diisi air jernih oleh para pelayan itu, kemudian mereka semua disuruh keluar dari bilik dan mulailah nenek Maya Dewi menuangkan ramuan obat di dalam air itu. Tercium bau harum semerbak dan air jernih itu berubah menjadi agak kemerahan. Sambil memejamkan mata membaca manteramantera dalam bahasa India Kuno, Maya Dewi lalu menaburkan bubuk kuning ke dalam gentong atau guci besar berisi air kemerahan itu dan tiba-tlba saja air itu mendidih! Syanti Dewi memandang dengan mata terbelalak dan penuh keheranan, juga kekaguman. Tentang ilmu-ilmu ajaib seperti ini, dia sudah banyak mendengar dan melihat di negerinya, akan tetapi baru sekarang dia melihat betapa ada ilmu yang membuat orang menjadi awet muda dan cantik sehingga seorag nenek berusia enam puluh tahun lebih masih kelihatan secantik itu.
"Sekarang tanggalkanlah semua pakaianmu, Dewi" kata nenek itu dengan suara halus dan mesra.
"Menanggalkan pakaian...." Syanti Dewi menjawab dan mukanya menjadi merah sekali. Belum pernah selamanya dia menanggalkan pakaiannya, kecuali di depan para pelayan pribadinya di lstana Bhutan, akan tetapi para pelayan wanita itu adalah pelayan-pelayan yang telah mengenalnya sejak dia masih anak-anak sehingga dia tidak merasa malu lagi.
"Aihhh, Adik Syanti, mengapa meragu" Di sini tidak ada orang lain, yang ada hanya aku dan Bibi Maya. Mengapa malu" Hayolah, kubantu kau...."
Karena bujukan halus ini akhirnya Syanti Dewi membiarkan dirinya ditelanjangi dan dengan muka merah sampai ke lehernya akhirnya dia berdiri telanjang bulat di depan kedua orang wanita itu yang memandangnya dengan sepasang mata penuh kagum dan takjub.
"Bukan main...." Nenek itu seperti merintih dan beberapa kali menelan ludah.
"Adikku yang manis, engkau hebat...." Ouw Yan Hui berbisik dan dari kedua matanya turun dua butir air mata! Begitu terharu wanita ini menyaksikan kejelitaan yang seolah-olah tanpa cacat di depannya itu.
"Apa.... apa yang harus kulakukan, Enci...." Syanti Dewi bertanya halus dengan suara agak gemetar sambil berusaha menutupi bagian depan tubuhnya dengan rambut dan tangan.
"Kau masuklah ke sini, masuklah ke dalam guci ini, Sayang...." Nenek itu berkata dengan suara gemetar pula. "Aku akan memijati tubuhmu dan engkau selamanya takkan pernah menjadi tua."
Karena sudah terlanjur dan juga memang dia amat tertarik untuk dapat tetap muda selamanya, Syanti Dewi lalu mendekati guci. Melihat air itu mendidih, dia bergidik, lalu menyentuh air itu dengan tangannya. Aneh! Biarpun air itu kelihatan mendidih, namun ternyata dingin sekali! Maka dia lalu menggunakan kedua tangan menekan bibir guci, mengangkat tubuhnya dan masuk ke dalam guci, berjongkok sampai air itu mencapai lehernya.
"Sekarang, kendurkan seluruh uratmu, jangan melawan dan biarkan pijitanku mengatur jalan darahmu," kata nenek itu, kemudian Syanti Dewi merasa ada jarijari tangan menyusuri tubuhnya, dari leher, ke pundak, ke dada, terus ke bawah. Mula-mula terasa geli seperti digelitik, akan tetapi lambat-laun ada rasa nyaman dan nikmat dan dia membiarkan tubuhnya dipijiti dan makin lama dia merasa seolah-olah terapung di angkasa. Dia memejamkan kedua matanya, memeluk pundak menyilangkan kedua lengan depan dada, sampai dia mendengar suara Ouw Yan Hui.
"Sudah, Bibi, engkau membuat aku tidak kuat menahan....!"
Syanti Dewi membuka matanya dan melihat Ouw Yan Hui berdiri dengan muka merah sekali, mata hampir terpejam dan tubuh wanita itu menggigil. Selagi dia merasa terheran-heran, Maya Dewi berkata kepadanya, "Pejamkan matamu, Dewi, dan aku akan memandikanmu dengan air keramat Sungai Gangga!"
Syanti Dewi menurut saja. Dia memejamkan matanya dan nenek itu lalu menuangkan air dari sebuah poci air. Terasa dingin sekali air itu menimpa ubun-ubun kepala Syanti Dewi. Teringat bahwa air itu adalah air keramat dari sungai suci, yaitu Sungai Gangga itu, Syanti Dewi menggigil. Sebagai seorang puteri dari Bhutan, tentu saja dia mengenal Sungai Gangga yang dianggap sebagai sungai yang suci di India itu. Dia mendengar betapa nenek itu mengucapkan mantera ketika air itu bercucuran menimpa ubun-ubun kepalanya.
Setelah menuangkan air suci itu, kembali nenek Maya Dewi mengurut punggung Syanti Dewi, dari tengkuk sampai ke pinggul. Nikmat rasanya diurut seperti itu, dan akhirnya selesailah "pengobatan" dengan mandi air keramat itu. Syanti Dewi diperbolehkan keluar dan dibantu oleh Ouw Yan Hui, dia mengeringkan tubuhnya dan mengenakan kembali pakaiannya. Rambutnya yang masih basah dibiarkan terurai.
"Bagus! Kini di dunia ada tiga orang wanita yang tidak akan mengenal usia tua!" kata Maya Dewi dengan wajah berseri dan dia memandang kepada Syanti Dewi dengan mata bersinar-sinar. "Dan engkaulah yang tercantik di antara kita bertiga, Dewi! Engkau akan dikagumi seluruh manusia di dunia ini, dipuja dan dianggap sebagai dewi kahyangan!"
"Kita harus rayakan peristiwa ini! Mari, mari kita berpesta dan biarkan kapal ini dilayarkan ke tengah lautan," kata Ouw Yan Hui.
Maya Dewi mengangguk-angguk. "Benar, sebaiknya Syanti Dewi melanjutkan pengobatan di tengah lautan, jauh dari keramaian dunia."
"Apakah.... apakah pengobatan itu masih harus dilanjutkan lagi....!" tanya Syanti Dewi yang merasa enggan dan malu mengenangkan cara pengobatan seperti tadi.
"Tentu saja, akan tetapi mandi air keramat hanya satu kali tadi cukuplah. Mandi air keramat itu dimaksudkan untuk mencuci bersih semua kekotoran yang ada pada dirimu. Akan tetapi engkau adalah seorang perawan, Dewi, dan tubuhmu masih bersih, maka mandi satu kali saja cukuplah bagimu. Selanjutnya engkau hanya akan minum pil pengawet muda dan harus kupijit dan urut beberapa hari lamanya."
Mereka bertiga keluar dari bilik dan pesta pun dimulailah bersama bergeraknya kapal meninggalkan pulau itu menuju ke tengah lautan, perlahan-lahan digerakkan oleh hembusan angin lembut pada layar-layar kapal. Masakan-masakan yang masih mengepulkan uap dihidangkan di atas meja dan tiga orang wanita cantik itu mulai makan minum.
Nenek Maya Dewi menyerahkan sebutir pil merah kepada Syanti Dewi. "Kautelanlah ini bersama secawan arak merah, Dewiku."
Syanti Dewi menurut dan ternyata pil itu menambah manisnya arak. "Apakah saya harus pantang makan sesuatu"
"Tidak ada pantangan makanan apa-apa, hanya...."
"Bibi Maya, biarkan Adik Syanti Dewi, membiasakan diri lebih dulu." Tiba-tiba Ouw Yan Hui memotong dan nenek itu tidak melanjutkan keterangannya, akan tetapi Syanti Dewi juga tidak menduga lain dan mulailah mereka makan masakan-masakan lezat.
Kehidupan di atas kapal pesiar itu amat mewah. Kapal menjelajahi pulau-pulau yang indah, taman-taman laut yang memperlihatkan pemandangan indah dengan ikan-ikan beraneka warna di waktu air tenang. Akan tetapi Syanti Dewi merasa tersiksa apabila dia harus membiarkan dirinya diurut dan dipijiti oleh Maya Dewi. Jari-jari tangan nenek itu benar-benar amat nakal dan kalau sudah mengurut, memijit, jari-jari itu membelai-belai, membuat Syanti Dewi menggigil dan semua bulu di tubuhnya meremang. Kalau tidak ingat bahwa nenek itu adalah seorang wanita, tentu dia sudah memberontak, bahkan memukulnya! Kalau dia memprotes, nenek itu menghiburnya.
"Memang harus begini, Dewi. Kalau tidak, bagian ini akan mengendur kelak setelah usiamu bertambah." Dengan alasan seperti itu, terpaksa Syanti Dewi membiarkan saja nenek itu menjelajahi semua bagian tubuhnya dengan gerakan-gerakan jari tangan yang amat kurang ajar! Kadang-kadang dia seperti terlena, seperti tenggelam karena betapapun juga, gerakan-gerakan itu mendatangkan rasa nikmat yang amat aneh dan menakutkan sehingga kadang-kadang dia terpaksa meronta sehingga jari-jari itu mengurangi gerakan-gerakannya.
Tiga hari kemudian, kapal itu melakukan pelayaran kembali ke Kim-coa-to, dan malam itu Syanti Dewi secara kebetulan lewat di depan bilik Ouw Yan Hui dan mendengar secara aneh dari dalam bilik itu. Suara orang mendengus-dengus dan terengah-engah, seperti suara orang yang sedang kesakitan hebat. Dia sudah hendak mengetuk pintu, akan tetapi tiba-tiba dibatalkannya niat mengetuk pintu itu karena dia mendengar bahwa suara terengah-engah itu adalah suara dua orang manusia! Keheranannya mendorongnya untuk menyelinap ke arah jendela bilik dan mengintai. Dan apa yang dilihatnya membuat dia bengong sejenak, mengintai lagi dan bengong lagi. Dia melihat Ouw Yan Hui dan Maya Dewi, dua orang wanita cantik itu dengan telanjang bulat sedang bergulat di atas pembaringan! Syanti Dewi merasa bulu tengkuknya meremang dan cepat-cepat dia melangkah mundur, akan tetapi perasaan heran membuat dia masih mendekati jendela. Dia tidak mengerti apa yang sedang dilakukan oleh dua orang itu. Tentu saja dia cukup mengerti, dari kitab-kitab yang dibacanya, tentang hubungan jasmani antara pria dan wanita. Namun selama hidupnya belum pernah dia mendengar akan hubungan seperti itu antara wanita dan wanita pula! Dugaannya tidak menjurus ke situ dan dia hanya terheran-heran saja.
Kemudian dia mendengar mereka bercakap-cakap dalam bisikan-bisikan. "Dia sungguh bodoh dan hatinya keras...." terdengar suara Maya Dewi. Mereka berdua bicara dalam bahasa India yang tidak dimengerti oleh para anak buah Pulau Kim-coa-to, akan tetapi dimengerti baik oleh Syanti Dewi.
"Engkau harus sabar, Bibi. Ingat, dia masih perawan, dia masih murni dan belum tahu apa-apa....! Sebaiknya menanti kalau kita sudah berada di pulau dan dengan obat.... shhhhh...." Tiba-tiba suara Ouw Yan Hui terhenti dan Syanti Dewi la1u sengaja berjalan dan bersenandung, kebiasaannya kalau dia berjalan-jalan di dek kapal seorang diri.
Pada keesokan harinya, kapal berlabuh di Kim-coa-to dan mereka bertiga turun dari kapal memasuki istana di tengah pulau, istana yang megah dan mewah.
"Tinggal satu malam ini lagi dan pengobatanmu sudah selesai, Dewi. Malam ini aku akan menjagamu karena pengobatan itu harus diulangi sampai nampak ada tanda bahwa semua telah berhasil baik," kata Maya Dewi, Syanti Dewi tidak menjawab dengan kata-kata, hanya mengangguk, akan tetapi di dalam hatinya mulai timbul kecurigaan bahwa agaknya ada sesuatu yang dia tidak mengerti sama sekali, sesuatu yang aneh dan mengerikan!
*** () *** "Kauminumlah secawan arak ini. Inilah pengobatan minumlah terakhir, Dewi. Dan malam ini aku akan menemanimu semalam, maka selesailah sudah pengobatan ini dan engkau selamanya akan menjadi seorang wanita yang paling cantik di dunia ini! Besok aku akan meninggalkan Kim-coa-to. Minumlah."
Syanti Dewi menerima cawan arak itu dan minum arak merah. Tercium bau harum yang lain dari biasanya, akan tetapi tanpa ragu-ragu diminumnya sampai habis arak itu.
"Ke manakah Bibi akan pergi" tanyanya biasa saja sambil menaruh cawan kosong ke atas meja.
"Aku" Wanita itu tersenyum dan untuk ke sekian kalinya Syanti Dewi kagum melihat deretan gigi putih yang masih rari itu, seperti gigi orang muda saja. "Ah, aku hidup seperti bayangan, ke mana saja hati ini menghendaki. Mungkin aku akan terus ke India dan kalau benar demikian, akan lamalah kita dapat berjumpa kembali, Dewi. Akan tetapi, aku takkan dapat melupakan engkau, karena sungguh mati, engkaulah dara tarcantik yang pernah kutemui selama hidupku dan aku girang sekali dapat membuat kecantikanmu ini abadi, Syanti Dewi."
"Terima kasih atas kebaikan Bibi Maya."
Malam itu, seperti biasa, Maya Dewi memijati tubuh Syanti Dewi dan mengurut-urut punggungnya. Syanti Dewi merasa mengantuk sekali dan akhirnya dia tidak dapat menahan kantuknya, dia pulas selagi punggungnya masih diurut oleh nenek yang cantik itu.
Syanti Dewi bermimpi. Dia merasa seperti dikejar oleh seorang manusia bermuka iblis mengerikan. Dia sudah mempergunakan ginkangnya yang dia pelajari dari Ouw Yan Hui, namun iblis itu amat cepat larinya dan akhirnya dia tersusul dan dia diterkam dari belakang. Syanti Dewi meronta dan melawan, namun iblis itu terlampau kuat baginya dan iblis itu berusaha untuk memperkosanya. Syanti Dewi mempertahankan diri sekuatnya dan akhirnya dia menjerit, "Tek Hoattt....!" karena dalam keadaan berbahaya itu dia teringat kepada kekasihnya.
Dengan tubuh penuh keringat Syanti Dewi sadar dari mimpi. Dia mengeluh karena merasa betapa tubuhnya dipeluk orang dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia membuka mata melihat bahwa dia dalam keadaan telanjang bulat. Dia merasa betapa dada yang bulat besar dari nenek ini menekan dadanya dan mulut nenek itu menciumnya, mencium mulutnya dengan penuh dengusan nafsu berahi! Sejenak Syanti Dewi merasa seperti dihanyutkan dalam arus air yang amat kuat bahkan ada dorongan hati aneh yang membuat dia condong membalas cluman itu! Dia merasa betapa tubuhnya hangat dan panas-panas, betapa ada gairah di dalam hatinya untuk diperlakukan dengan mesra oleh seseorang, dan tanpa disadarinya sendiri dia pun merangkul leher nenek itu sambil mengeluh.
"Syanti...., Dewiku.... kau sungguh cantik, hemmm....!"
Ketika merasa betapa tangan nenek itu menggerayanginya, betapa tubuhnya ditindih, Syanti Dewi teringat kepada Tek Hoat, teringat kepada adegan antara Ouw Yan Hui dan Maya Dewi dan dia menahan jeritnya, lalu menggnakan tangan untuk mendorong pundak Maya Dewi. Dia mendorong sambil mengerahkan tenaga sehingga tak dapat dicegah lagi tubuh Maya Dewi terlempar dari atas pembaringan!
"Aduhhh.... ah, apa yang kaulakukan ini, Dewi...." Maya Dewi merangkak bangun dan kini berdiri dalam keadaan telanjang bulat di depan Syanti Dewi. Dara ini memandang dengan mata terbelalak. Biarpun dari dalam tubuhnya masih bergelombang gairah nafsu yang tidak normal, namun melihat wanita itu berdiri telanjang bulat, dengan mulut setengah terbuka mendengus-dengus, mata setengah terpejam, kedua tangan dikembangkan seperti hendak memeluknya, dia merasa ngeri bukan main!
"Bibi.... jangan begitu....!" Dia terengah, menyambar pakaiannya dan bergegas mengenakan pakaiannya.
"Dewiku.... ke sinilah.... aih, aku sayang padamu, Dewi, aku cinta padamu, marilah kaulayanilah aku, Dewi....!" Rayuan ini membuat Syanti Dewi menjadi makin ngeri dan dia meloncat untuk menghindarkan terkaman Maya Dewi yang seperti sudah menjadi mabuk itu, kemudian dia lari keluar dari dalam kamar.
"Dewiku.... kembalilah.... kembalilah kau....!" Maya Dewi mengejar, akan tetapi wanita ini hanya lihai dalam ilmu mempercantik diri dan mempergunakan ramuan untuk membuat dirinya awet muda saja, namun dalam hal ilmu silat apalagi ilmu berlari cepat, tentu saja dia tidak dapat melawan Syanti Dewi yang sudah lari cepat dan lenyap dari situ.
Dengan napas terengah-engah dan muka pucat, ngeri dan takut seperti dikejar setan, Syanti Dewi berlari terus keluar dari istana Ouw Yan Hui itu, tidak mempedulikan teguran dan pertanyaan para anak buah Ouw Yan Hui, lalu dia mendorong sebuah perahu kecil ke air, mendayung perahu ke tengah dan memasang layar. Selama ini dia sudah mempelajari ilmu mengemudikan perahu layar maka sebentar saja karena angin sedang bertiup kencang perahunya meluncur ke tengah laut meninggalkan Kim-coa-to. Dia hanya ingat akan arah daratan besar, maka tanpa mempedulikan sesuatu dia menujukan perahunya ke kanan, meninggalkan pulau itu. Angin yang bertiup kuat itu membuat rambutnya terurai ke belakang dan udara yang dingin mulai mengusir hawa panas yang membuat tubuhnya menjadi tidak karuan rasanya, yang mendorong gairah nafsu aneh dari dalam hatinya. Dia bergidik dan mulai menggigil. Mengertilah dia kini bahwa arak terakhir yang diminumnya malam tadi bukan obat melainkan arak yang mengandung racun perangsang! Akan tetapi, tetap saja dia tidak mengerti dan terheran-heran mengapa seorang wanita seperti Maya Dewi itu bisa tergila-gila kepadanya, seorang wanita pula. Mengapa seorang wanita ingin membujuk rayu seorang wanita lain, bahkan kelihatan begitu bernafsu, seolah-olah hendak mengajaknya bermain cinta, hendak memperkosanya! Syanti Dewl bergidik. Tentu nenek itu telah berubah gila, pikirnya. Kalau tidak gila, mana mungkin ada wanita timbul berahinya melihat wanita lain"
Tentu Eenci Yan Hui akan mencariku, pikirnya. Dan teringat kepada Yan Hui, dia teringat pula akan adegan yang dilihatnya dalam kamar Ouw Yan Hui yaitu ketika dia melihat Ouw Yan Hui dan Maya Dewi dalam keadaan bugil sedang bergulat! Apakah yang mereka telah lakukan" Syanti Dewi makin ngeri dan bergidik, akan tetapi dia menjadi makin bingung. Apakah mereka berdua itu sudah gila" Dia tahu bahwa Ouw Yan Hui adalah seorang pembenci pria, akan tetapi mengapa main gila seperti itu dengan sesama wanita" Mungkinkah itu" Syanti Dewi merasa makin bingung.
*** () *** Kita tinggalkan dulu Syanti Dewi yang melarikan diri dari Pulau Kim-coa-to di waktu tengah malam dengan menggunakan perahu layar itu dan mari kita mengikuti perjalanan Kim Hwee Li yang dilarikan oleh Pangeran Liong Bian Cu, dan Suma Kian Lee yang mengejar larinya pangeran dari Nepal itu.
Setelah berhasil lari keluar dari dalam benteng sambil memondong tubuh Kim Hwee Li yang telah lemas ditotoknya, Pangeran Liong Bian Cu atau Bharuhendra, tiba di luar pintu rahasia dan di tempat itu memang telah siap menanti beberapa orang pengawal pribadinya. Cepat Pangeran Nepal ini minta seekor kuda dan meloncat ke atas punggung kuda itu dan membalapkannya ke arah barat, ke pegunungan yang penuh dengan hutan-hutan lebat.
Di tengah sebuah hutan di lereng gunung, terdapat sebuah rumah kecil mungil yang tersembunyi di antara pohon-pohon. Inilah rumah yang dibangun oleh Pangeran Liong Bian Cu pula, untuk keperluan peristirahatan di waktu dia melakukan olah raga berburu binatang di waktu dia masih berkuasa di dalam benteng. Rumah itu biasanya terjaga oleh belasan orang perajurit, akan tetapi agaknya para perajurit itu telah mendengar akan bobol dan runtuhnya benteng sehingga ketika Pangeran Liong Bian Cu tiba di situ, dia mendapatkan rumah yang kosong, tidak nampak seorang pun penjaga.
"Pengecut-pengecut rendah, gentong-gentong nasi kosong menjemukan" Pangeran Liong Bian Cu memaki dengan perasaan sebal melihat betapa tempat itu sudah ditinggal pergi oleh para penjaga. Sambil memondong tubuh Hwee Li, dia membuka daun pintu depan dengan kakinya, kemudian memasuki rumah yang cukup mewah biarpun kecil itu.
"Pangeran, kaulepaskan aku....!"
Liong Bian Cu merebahkan tubuh Hwee Li ke atas dipan panjang di sudut ruangan itu, lalu dia sendiri duduk di atas kursi dekat dipan, menarik napas panjang beberapa kali dengan hati murung. Gerakannya telah gagal sama sekali.
"Engkau tahu, Hwee Li, bahwa aku cinta sekali kepadamu, maka tentu saja tak mungkin aku melepaskanmu. Engkau harus menjadi isteriku, Sayang, baik aku berhasil atau pun gagal."
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hening sejenak dan Hwee Li yang masih belum dapat menggerakkan kaki tangannya itu mengerutkan alisnya, mencari akal. Namun agaknya sukar baginya untuk membebaskan diri karena kini pangeran yang murung dan kecewa itu telah mengenal segala siasat dan akalnya, maka tentu pangeran itu akan hati-hati.
"Lalu apa yang akan kaulakukan terhadap diriku, Pangeran" tanyanya, suaranya mengandung keluhan dan kedukaan hebat yang sengaja dilakukan untuk meruntuhkan hati pangeran yang dia tahu amat mencintanya itu.
"Kita beristirahat dulu di sini malam ini, dan besok tentu ada anak buahku yang akan datang menjemput. Kau tahu betapa aku cinta padamu, Hwee Li, dan engkau akan kuajak ke Nepal di mana kita akan menikah dengan resmi.
"Tddak, aku tidak mau!" Hwee Li berkata sambil memandang dengan mata terbelalak.
Pangeran itu menghela napas panjang. "Mau atau tidak, engkau harus menjadi isteriku, Sayang! Kalau selagi bertunangan engkau tidak dapat belajar mencintaku, biarlah setelah menjadi isteriku engkau belajar membalas cinta kaslhku. Engkau akan hidup mulia di Nepal, Hwee Li."
"Tidak.... ah, aku tidak mau.... aku tidak dapat hidup bersamamu, Pangeran kaukasihanilah aku, kaubebaskan aku, Pangeran...." Hwee Li yang tidak melihat jalan keluar itu kini menangis!
Pangeran Liong Bian Cu bangkit dari atas kursi dan kini dia menghampiri Hwee Li, duduk di tepi dipan.
"Jangan dekati aku, jangan sentuh aku.... hu-hu-hu.... aku akan membunuh diri kalau kaujamah tubuhku...."
Pangeran itu nampak berduka sekali, "Kim Hwee Li, mengapa engkau bersikap begini menusuk peraaaanku dan menyedihkan hatiku" Aku tidak akan mengganggumu, aku aungguh cinta padamu, dan aku tidak ingin menguasai hati dan tubuhmu secara paksa. Aku ingin engkau membalas cintaku, Hwee Li. Lupakah engkau bahwa engkau adalah puteri seorang sekutu mendiang ayahku" Ayahku dan ayahmu adalah sekutu yang baik, kenapa kita tidak dapat malanjutkan persahabatan antara mereka secara lebih erat lagl"
"Tidak.... hu-hu-hu.... tidak, aku tidak cinta padamu...."
"Hemmm, aku adalah seorang pangeran, Hwee Li. Apa yang kukehendaki harus tercapai. Engkau harus menjadi isteriku, baik engkau cinta padaku atau tidak!" Suara pangeran itu terdengar keras dan tegas.
"Kau.... kau pengecut sungguh! Mengapa engkau hendak memaksa seorang wanita yang tidak mencintamu" Hwee Li berkata sambil terisak.
"Hemmm, seorang pria berhak memilih jodohnya, Hwee Li. Dan aku akan mempertahankan dirimu dengan taruhan nyawaku. Bagiku, engkau lebih berharga daripada segalanya, daripada nyawaku. Tanpa adanya engkau, hidupku akan hampa. Aku bukan pengecut, dan aku siap untuk memperebutkan dirimu dengan siapapun juga di dunia ini!"
"Bagus, Liong Bian Cu! Aku datang untuk merampas Hwee Li dari tanganmu dan kalau memang engkau bukan pengecut, mari kaulawan aku!"
Liong Bian Cu terkejut d
Dendam Iblis Seribu Wajah 18 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Dendam Iblis Seribu Wajah 23
pernah jatuh hati secara mendalam dan mati-matian kepada Ceng Ceng, memegang tangan mereka dan berkata, "Dan aku girang sekali mempunyai dua orang keponakan seperti kallan. Aku akan merasa bangga dapat mati bersama kalian."
Ucapan yang jujur ini amat mengharukan hati Tek Hoat, apalagi Ceng Ceng yang maklum akan isi hati "pamannya" itu sehingga dua titik air mata membasahi mata nyonya muda itu.
Melihat adegan yang mengharukan itu, tiba-tiba saja Hwee Li menjadi marah. Kian Lee agaknya sama sekali tidak mempedulikan dia! Tiba-tiba saja dia menghampiri jendela dari mana tadi terdengar suara koksu dan dia membentak, "Eh, koksu botak menjemukan! Lekas kauberitahukan kepada Pangeran Liong Bian Cu bahwa aku adalah tunangannya dan aku menuntut agar dia membebaskan aku!"
Akan tetapi koksu hanya tertawa mengejek dan Hwee Li menjadi makin marah lalu dia menjerit-jerit nyaring,
"Pangeran Liong Bian Cu, apakah mulutmu berbau tahi dan tidak dapat dipercaya lagl" Kau bilang mencintaku, kau bilang bahwa aku adalah calon isterimu, mengapa kau membiarkan aku terjebak dan ditawan seperti ini" Kalau kau menghinaku, mana aku sudi menjadi isterimu"
Tiba-tiba nampak wajah pangeran yang tampan dengan hidung kakatua itu di balik jendela. Suaranya halus ketika dia berkata, "Hwee Li, manisku. Mana aku dapat melupakan engkau" Adalah salahmu sendiri sampai engkau terjebak karena engkau telah terbujuk musuh dan membantu mereka. Akan tetapi kalau engkau mau bertobat, tentu saja aku suka mengampunimu, seperti yang telah berkali-kali kulakukan."
Kian Lee dan Kian Bu memandang kepada Hwee Li dengan alis berkerut penuh kekecewaan. Apakah puteri Hek-tiauw Lo-mo ini akhirnya memperlihatkan belangnya dan dalam keadaan terancam itu lalu timbul kepalsuannya, merengek dan minta diampuni oleh pangeran" Akan tetapi Kian Bu melihat sendiri betapa selama ini Hwee Li benar-benar menentang musuh, bahkan mati-matian membela fihak mereka yang memusuhi orangorang Nepal.
"Pangeran, mana aku bisa percaya omonganmu kalau engkau tidak mau masuk ke sini" Masuklah dan jemputlah aku, baru aku percaya kepada omonganmu. Ribuan kali engkau menyatakan cinta, akan tetapi aku masih belum percaya benar dan sekali ini biar kupakai sebagai ujian."
Mendengar ucapan ini, Siang In mendengus dengan penuh ejekan, akan tetapi Kian Bu dan Kian Lee saling pandang, maklum akan maksud ucapan Hwee Li yang agaknya hendak memancing pangeran itu masuk agar dapat ditangkap. Maka kakak beradik ini sudah siap untuk turun tangan begitu melihat sang pangeran masuk ke dalam ruangan itu.
Akan tetapi, dari luar ruangan itu terdengar suara ketawa Koksu Nepal.
"Ha-ha-ha. Nona Hwee Li, engkau kira kami hanya anak-anak kecil yang mudah kaubujuk dan tipu begitu saja."
"Hwee Li, kekasihku, kau keluarlah dari ruangan itu, melalui pintu. Akan tetapi yang lain jangan bergerak, dan setelah tiba di luar, aku tentu akan membebaskanmu dan permintaan apa pun yang kau ajukan akan kupertimbangkan."
Mendengar ini, Hwee Li mengerutkan alisnya. Akalnya gagal. Akan tetapi dia masih mempunyai harapan. "Benarkah bahwa semua permintaanku kaupenuhi"
"Akan kupertimbangkan," jawab pangeran.
Tidak ada lain jalan bagi Hwee Li. Harapan satu-satunya untuk menolong, semua orang yang tertawan hanyalah membujuk pangeran yang benar-benar jatuh cinta kepadanya itu. Kalau perlu, untuk menyelamatkan mereka, terutama menyelamatkan Kian Lee, dia siap untuk mengorbankan diri! "Baiklah, aku akan keluar." Dia lalu menoleh, sekali ini dia menatap Kian Lee dan berbisik, "Harap kalian jangan bergerak, aku akan membantu kalian, jangan khawatir." Kemudian dia melangkah menuju ke pintu ruangan itu.
"Hwee Li, jangan mudah terbujuk musuh!" Ceng Ceng berkata, memperingatkan muridnya karena dia khawatir kalau-kalau muridnya itu akan celaka di tangan Pangeran Nepal. Hwee Li menoleh dan tersenyum kepada nyonya muda itu.
"Harap Subo jangan khawatir, aku dapat menjaga diri," katanya.
Seluruh urat syaraf di tubuh Kian Lee, Kian Bu, Ceng Ceng, dan Tek Hoat sudah menegang dan mereka sudah siap menerjang keluar kalau pintu itu terbuka. Akan tetapi ketika Hwee Li melangkah sampai di belakang pintu, tiba-tiba dia menjerit dan tubuhnya terjeblos ke bawah. Kiranya lantai di belakang pintu itu dipasangi alat dan begitu dara itu menginjaknya, lantai itu bergerak meluncur ke bawah membawa tubuh dara itu bersamanya. Semua pendekar yang berada di situ meloncat, akan tetapi lantai itu telah tertutup kembali dan tubuh Hwee Li sudah lenyap! Ternyata tubuh Hwee Li telah terbawa turun dan begitu dia tiba di ruangan bawah, di situ telah menanti Pangeran Liong Bian Cu dan Koksu Nepal! Hwee Li hendak mengamuk, akan tetapi pangeran itu menubruknya dan pada saat yang sama Koksu Nepal telah mengirim totokan. Hwee Li tak mungkin dapat melawan dua orang yang amat lihai itu dan di lain saat dia telah tertotok dan dipondong oleh Pangeran Liong Bian Cu.
"Bunuh mereka semua! Bakar saja ruangan itu dari luar!" Sang pangeran berteriak dengan girang setelah dia bethasil menangkap kekasihnya. Mereka yang tertawan di dalam mendengar perintah ini dan mereka menjadi bingung, kembali mereka berusaha mencari jalan keluar dengan mengetuk-ngetuk tembok, memeriksa dinding, jendela dan pintu, juga meloncat ke atas untuk mencoba menerobos atap. Namun semua itu sia-sia karena memang ruangan itu dibuat secara khusus untuk menjebak lawan-lawan tangguh dan pembuatannya telah direncanakan sendiri oleh Koksu Nepal.
Dalam keadaan yang menegangkan urat syaraf itu, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan nyaring disusul suara hiruk-pikuk, "Kebakaran! Kebakaran!"
"Gudang ransum terbakar!"
"Tolonggggg....! Lekas bantu padamkan. Ransum terbakar....!"
Mereka yang terkurung di dalam ruangan itu saling pandang. Kian Lee, Kian Bu, dan Siang In tidak mengerti apa artinya itu, akan tetapi Ceng Ceng, Ang-siocia dan Hek-sin Touw-ong tersenyum girang.
"Ah, siasat Jenderal Kao Liang mulai dijalankan dengan baik!" kata Touw-ong dan dia lalu duduk bersandar tembok dengan wajah girang.
"Ransum di sini akan terbakar habis dan benteng ini sudah dikurung! Sebentar lagi tentu tentara kerajaan akan menyerbu. Ah, kalau mereka yang jahat ini dapat dihancurkan, kematian kitapun tidak akan sia-sia!" kata Ang-siocia sambil memandang kepada Kian Bu. Dia tahu bahwa mereka telah terjebak dan agaknya tidak ada harapan lagi untuk hidup, maka wanita muda ini tidak ragu-ragu lagi untuk menyatakan rasa hatinya terhadap Siluman Kecil. "Terutama sekali, aku rela mati bersama Taihiap," katanya sambil memandang kepada pendekar itu. "Bukankah kita pernah melakukan perjalanan bersama yang amat menyenangkan" Kalau kita mati bersama, berarti sekali lagi melakukan perjalanan bersama Taihiap, betapa bahagianya rasa hatiku!"
Hek-sin Touw-ong mengerutkan alisnya. Murid yang dicintanya itu telah dia tetapkan untuk menjadi jodoh dari Siauw Hong, murid dari Sai-cu Kai-ong yang telah mengetahui rahasia kewanitaan Ang-siocia yang menyamar pria. Akan tetapi dia tahu pula bahwa muridnya ini telah jatuh hati kepada Siluman Kecil, maka di samping rasa tidak puasnya melihat sikap dan mendengar kata-kata muridnya, dia juga merasa terharu sekali.
Kian Bu sendiri terkejut mendengar ucapan itu dan melihat sinar mata Ang-siocia yang penuh kemesraan kepadanya. Baru sekarang dia mengerti bahwa dara cantik ini ternyata jatuh cinta kepadanya! Otomatis dia menoleh kepada Siang In dan makin terkejutlah dia ketika melihat sinar mata Siang In penuh dengan api kemarahan. Dia menjadi bingung dan tidak menjawab kata-kata Ang-siocia, apalagi karena pada saat itu terdengar suara hiruk-pikuk dan nyala api, di antara teriakan-teriakan orang yang kebingungan.
"Darrr....! Blaaarrrrr....!"Ledakan-ledakan yang bertubi-tubi menggetarkan ruangan itu. Dinding seperti bergoyang dan akan runtuh rasanya, lantai yang dipijak juga tergetar hebat. Lalu terdengar sorak-sorai menggegap-gempita dan terdengarlah suara ribut-ribut luar biasa di sebelah luar.
"Apa.... apa artinya itu" Kian Lee bertanya heran.
"Ituitu merupakan satu di antara siasat ayah mertuaku!" Ceng Ceng berseru dengan wajah penuh ketegangan.
Dan memang yang dikatakannya itu benar adanya. Jenderal Kao Liang telah mengatur rencana siasatnya dengan rapi. Dia minta kepada Puteri Milana untuk menggunakan pasukannya mengurung benteng itu dengan ketat, kemudian dengan bantuan Gak Bun Beng dan Kao Kok Cu, dia melakukan pembakaran-pembakaran pada gudang-gudang ransum. Dua orang pendekar itu memasang obat-obat bahan bakar di dalam gudang-gudang dan ketika saatnya tiba, Jenderal Kao Liang yang berada di menara dan gapura terbesar, melepas anak-anak panah berapi ke arah gudang-gudang itu sehingga dalam beberapa waktu singkat gudang-gudang itu terbakar semua. Api menjulang tinggi dan sukar dipadamkan karena api telah membakar alat-alat bahan bakar yang telah ditaruh di dalam gudang-gudang itu.
Kemudian, dengan menekan tombol-tombol rahasia yang dipasangnya ketika dia mengatur pembangunan benteng itu, tombol-tombol rahasia yang hanya diketahuinya sendiri dan merupakan rencananya semenjak semula, Jenderal Kao Liang mulai meledakkan dinding-dinding benteng dengan alat-alat peledak yang sudah ditanamnya di tempat-tempat tersembunyi. Bunyi ledakan bertubi-tubi itu meruntuhkan pintu-pintu gerbang dan dinding-dinding.
Melihat ini, Puteri Milana yang sudah siap siaga, cepat memerintahkan pasukan-pasukannya untuk menyerbu. Waktu itu, matahari mulai mengusir kegelapan malam dan di antara kabut pagi bercampur asap ledakan dan debu, seperti semut-semut saja pasukan kerajaan menyerbu benteng yang sudah kacau-balau oleh kebakaran-kebakaran yang disusul ledakan-ledakan itu.
Dapat dibayangkan betapa gegernya keadaan di dalam benteng itu. Mula-mula semalam suntuk penghuni benteng sudah dikacaukan oleh pendekar-pendekar muda yang menyelundup ke dalam benteng, yang dibantu pula oleh Touw-ong dan Ang-siocia yang berkhianat sehingga terjadi banyak hal yang membingungkan, kemudian, menjelang pagi, disusul pula dengan kebakaran-kebakaran pada gudang-gudang ransum, hal yang amat mengejutkan, dan kini, tanpa mereka ketahui apa sebabnya, pintu-pintu gapura benteng dan dinding-dinding banyak yang runtuh oleh ledakan-ledakan dahsyat tadi. Lebih hebat lagi, kini pasukan kerajaan yang banyak jumlahnya telah menyerbu masuk melalui pintu-pintu dan dinding-dinding yang runtuh, seperti air bah saja menyerang dengan gegap-gempita.
Koksu Nepal dan Pangeran Liong Bian Cu terkejut bukan main, tidak tahu apa yang terjadi dan mereka baru sadar bahwa Jenderal Kao Lianglah yang melakukan semua itu. Mereka mengira bahwa semua itu terjadi karena kelihaian Puteri Milana yang memang sudah mereka dengar akan kepandaiannya mengatur pasukan. Tentu saja mereka menjadi jerih dan Koksu Nepal cepat mengeluarkan aba-aba kepada para pasukannya untuk menahan serbuan musuh. Dia sendiri mengempit tubuh Cin Liong sedangkan Pangeran Liong Bian Cu memanggul tubuh Hwee Li. Mereka ingin mempergunakan dua orang tawanan ini sebagai sandera untuk dapat melarikan diri melalui pintu rahasia apabila keadaan memaksa dan memerlukan.
"Bakar ruangan ini!" teriak Koksu Nepal dan perintah ini segera dilaksanakan oleh para pengawalnya. Kemudian koksu, pangeran, dan dikawal oleh empat orang dari Im-kan Ngo-ok yang lain, juga para pembantu, cepat meninggalkan tempat itu untuk membantu para pasukan yang sedang menahan serbuan tentara kerajaan.
Api mulai berkobar membakar ruangan di mana para pendekar itu terkurung dan agaknya mereka akan terbakar hangus kalau saja pada saat api sudah mulai berkobar tinggi, pintu tahanan itu tidak dibuka orang dari luar. Beberapa orang pengawal roboh oleh terjangan sesosok tubuh yang gerakannya seperti seekor naga dan orang ini berhasil membuka pintu ruangan. Para pendekar yang sudah mulai putus asa di sebelah dalam, melihat terbukanya pintu, cepat berloncatan keluar dan ternyata yang menolong mereka itu adalah Si Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu!
Bersama Bun Beng, Kok Cu melaksanakan siasat ayahnya, yaitu membantu ayahnya membakari gudang-gudang ransum, kemudian karena dia khawatir akan puteranya yang kabarnya dibawa oleh Ji-ok, dia menyusul ke istana pangeran. Di situ dia melihat ruangan depan dibakar, maka dia segera dapat menduga bahwa tentu kawan-kawannya terkurung di dalam ruangan itu, maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu membuka pintu ruangan yang memang dipalang dari depan sehingga semua orang yang terkurung dapat diselamatkannya, termasuk isterinya sendiri.
"Di mana Cin Liong" tanya Kok Cu kepada isterinya yang sudah memeluknya.
"Dia.... dia tadi dibawa oleh koksu...." isterinya menjawab penuh kekhawatiran dan menuding ke depan. Dari lubang jendela dia tadi melihat ke mana puteranya dibawa oleh kakek botak itu. Tanpa banyak cakap mereka semua lalu lari mengejar. Akan tetapi Ang Tek Hoat tidak ikut mengejar karena dia sudah lari menuju ke tempat tinggal Syanti Dewi. Keadaan di kanan kiri sudah kacau-balau, perang campuh terjadi di mana-mana dan banyak rumah-rumah yang terbakar.
Ketika Tek Hoat tiba di depan rumah yang tadinya menjadi tempat tinggal Puteri Syanti Dewi, jantungnya berdebar penuh ketegangan melihat betapa rumah itu juga sedang terbakar!
"Dewi....!" Dia berseru berkali-kali dan mencari-cari jalan untuk memasuki rumah yang terbakar itu. Akan tetapi dia tidak mungkin dapat masuk dan tiba-tiba dia melihat seorang pengawal lari menjauhkan diri. Cepat dia meloncat dan dengan mudah dia mencengkeram tengkuk orang itu.
"Hayo katakan, di mana Sang Puteri Bhutan" bentaknya. Melihat wajah pemuda itu pucat sekali, sepasang matanya melotot dan mengeluarkan sinar bengis, pengawal itu makin ketakutan.
"Dia.... dia sudah sejak tadi.... dibawa pergi oleh panglima dari Bhutan dan orang-orangnya...."
"Mohinta...."
Orang itu mengangguk dan Tek Hoat mengendurkan cengkeramannya. "Ke mana dibawanya"
Orang itu menggeleng kepala. "Hamba tidak tahu...."
Tek Hoat melepaskan orang itu dan meloncat pergi. Hatinya panas sekali akan tetapi dia mengerti bahwa Mohinta tentu melarikan sang puteri keluar dari benteng dan ke mana lagi dibawanya kalau tidak kembali ke Bhutan" Dia lalu meloncat dan mencari-cari, tentu saja menuju ke pintu depan yang sudah roboh dan di mana terjadi perang campuh yang amat seru.
Tiba-tiba dia melihat Koksu Nepal yang mengempit tubuh anak laki-laki kecil, bersama Pangeran Liong Bian Cu yang memanggul tubuh Hwee Li, diikuti oleh para pembantu mereka, tergesa-gesa menuju ke arah selatan. Dan dia melihat pula Kao Kok Cu, Ceng Ceng, dan yang lain-lain mengejar mereka. Koksu dan kawan-kawannya itu cepat memasuki sebuah rumah besar yang kosong, dan para pengejarnya cepat menyusul. Melihat ini, Tek Hoat merasa bahwa dia pun harus membantu mereka karena bukankah Pangeran Nepal dan Koksu Nepal itu yang menjadi biang keladi sehingga Syanti Dewi tertawan di tempat itu" Pula, dia maklum akan kelihaian koksu dan para pembantunya sehingga Kok Cu dan para pendekar lain itu tentu membutuhkan bantuannya.
"Tek Hoat, mari bantu, kami merampas kembali puteraku!" teriak Ceng Ceng ketika dia melihat saudaranya itu. Tek Hoat hanya mengangguk dan dia pun ikut pula menyerbu ke dalam rumah.
Tidak ada perlawanan dari dalam dan ternyata koksu dan pangeran berdiri tegak, para pembantunya di belakang mereka dan kedua orang ini tersenyum.
"Berhenti!" teriak koksu sambil mengangkat tubuh Cin Liong ke atas. "Melangkah maju berarti anak ini akan kami bunuh lebih dulu!"
Tentu saja menghadapi para pendekar itu, koksu sama sekali tidak takut karena dia mempunyai banyak pembantu, apalagi di situ ada Im-kan Ngo-ok lengkap yang amat kuat. Akan tetapi, kakek botak ini maklum bahwa biarpun mereka dapat mengalahkan rombongan pendekar ini, atau setidaknya mengimbangi mereka, namun dia dan kawan-kawannya tidak mungkin dapat melawan puluhan ribu tentara kerajaan yang tentu akhirnya akan menang karena jumlahnya yang jauh lebih banyak, sedangkan pasukan-pasukannya sudah kehilangan pimpinan.
"Hemmm, kalau sudah menderita kekalahan lalu muncullah watak pengecut dan curang!" Kao Kok Cu mengejek. "Koksu Nepal, aku mendengar bahwa selain engkau menjadi koksu dari Kerajaan Nepal, juga engkau terkenal sebagai Sam-ok dari Im-kan Ngo-ok. Sekarang, secara curang engkau telah berhasil menawan puteraku. Oleh karena itu, marilah kita bertanding secara gagah untuk memperebutkan puteraku itu. Kalau aku kalah, tentu saja engkau berhak membawa puteraku sebagai sandera. Akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau harus menyerahkan puteraku itu dengan baik-baik kepadaku."
Ban Hwa Sengjin menyeringai. "Enak saja engkau, Naga Sakti Gurun Pasir! Kami membutuhkan anakmu ini untuk dapat keluar dari sini dengan selamat. Kalau anak ini kuserahkan kepadamu, lalu kau mengandalkan pasukan yang puluhan ribu banyaknya, tentu saja kami takkan sanggup meloloskan diri."
"Dengarlah, Koksu Nepal. Di antara kita pribadi tidak ada permusuhan, mengapa kami harus mencegah kalian melarikan diri" Aku berjanji sebagai seorang gagah bahwa kalau Cin Liong sudah kembali kepadamu, kami tidak akan menghalangi engkau untuk melarikan diri."
Ban Hwa Sengjin berpikir-pikir. Dia dapat percaya omongan seorang pendekar besar seperti Kao Kok Cu ini. Kalau orang-orang gagah di depannya ini tidak menghalangi, tentu dia dan teman-temannya dapat melarikan diri melalui pintu rahasia, karena halangan dari para pasukan saja tentu tidak ada artinya baginya. Yang berbahaya adalah orang-orang muda perkasa ini turun tangan mencegah mereka lari.
"Baiklah, kami percaya omongan Naga Sakti Gurun Pasir! Kaubawa dulu anak ini, Twa-heng!" katanya dan dia melemparkan tubuh Cin Liong kepada Twa-ok yang menerimanya sambil tersenyum. Sebetulnya diam-diam dia tidak setuju dengan sikap koksu yang menerima tantangan itu karena kakek gorilla ini maklum betapa lihainya Naga Sakti Gurun Pasir. Kalau dia sendiri yang maju, barulah lebih banyak harapan untuk menang. Akan tetapi yang ditantang oleh si lengan buntung itu adalah koksu, maka kalau koksu mewakilkan kepadanya tentu saja hal itu menjatuhkan nama Ban Hwa Sengjin, sebagai orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok dan juga sebagai seorang Koksu Nepal.
Kini dua orang sakti itu sudah saling berhadapan. Sikap Kok Cu tenang saja, bahkan lengan kirinya yang buntung, memperlihatkan lengan baju kosong itu kelihatan menyedihkan dan menimbulkan rasa iba. Akan tetapi, di laln fihak Ban Hwa Sengjin kelihatan gelisah dan khawatir, sebagian besar wibawa dan keangkuhannya lenyap, bahkan dia menoleh ke kanan kiri seperti hendak mencari perlindungan. Memang di dalam hatinya, kakek botak ini merasa terhadap pendekar lengan buntung yang sederhana ini karena dia sudah mendengar banyak hal yang luar biasa tentang Istana Gurun Pasir dan pengnuninya.
"Ban Hwa Sengjin, majulah!" Kao Kok Cu berkata dengan tenang. Akan tetapi kakek botak itu tidak menjawab, melainkan diam saja, memandang tajam dan dia menggerak-gerakkan kedua lengannya. Terdengar suara berkerotokan dan kedua telapak tangan Sam-ok atau Koksu Nepal itu mengeluarkan uap kehitaman! Itulah tanda bahwa si kakek botak ini telah mengerahkan tenaganya yang luar biasa karena agaknya dia tahu benar bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan yang amat tangguh.
Tiba-tiba dia mengeluarkan suara dahsyat seperti gerengan seekor beruang marah, membuat tempat itu tergetar dan tubuhnya lalu bergerak meluncur ke depan, lalu berpusing cepat sekali dan dia mulai menerjang ke arah Kok Cu! Namun, Kok Cu juga sudah siap sedia. Begitu diserang, dia langsung menggunakan ilmunya yang paling hebat, yaitu Sin-liong-ciang-hoat, tubuhnya tiba-tiba saja membungkuk dan lurus ke depan, pangkal lengan kirinya bergerak dan lengan baju yang kosong itu mengeluarkan bunyi mencicit, menyambar ke depan menyambut pukulan lawan dan hendak menggulung tangan lawan! Ban Hwa Sengjin atau Lakshapadma menarik kembali tangannya dan tiba-tiba dia melayangkan kaki kanannya dengan tendangan kilat yang mendatangkan angin dahsyat sekali. Sepatunya yang berlapis baja itu merupakan senjata ampuh dan jangankan tubuh manusia, biar dinding batu pun akan ambrol kalau terkena hantaman kaki yang bersepatu baja ini. Namun, tubuh Kok Cu dapat mendoyong ke belakang, lurus ke belakang dan kembali lengan baju kosong itu meluncur ke depan, menotok ke arah lambung lawan.
"Prakkk!" Ban Hwa Sengjin menangkis dengan tangan kirinya dan dia menggunakan pertemuan tenaga sakti itu untuk berjungkir balik ke belakang, kemudian kembali dia menggerakkan tubuhnya berpusing dengan ilmunya yang aneh dan disebut Thian-te-hong-i. Terjadilah pertandingan yang amat seru dan aneh di mana nampak tubuh kakek botak itu berpusing seperti gasing dan tubuh Kok Cu seperti rebah lurus disanggah oleh sebelah kaki, seperti seekor naga yang gerakkannya aneh bukan main.
Siluman Kecil mendekati Tek Hoat. Dia merasa makin suka kepada keponakan ini yang agaknya kini telah berubah, tidak lagi mau membantu kaum pemberontak. Dia maklum bahwa kehadiran Tek Hoat di dalam benteng itu sama sekali bukan untuk membantu pemberontak, melainkan untuk melindungi Syanti Dewi. Teringatlah dia akan rahasia tentang kematian ibu pemuda itu, maka dia berbisik, "Tek Hoat, tahukah engkau siapa pembunuh ibumu"
Ang Tek Hoat terkejut bukan main, matanya terbelalak memandang kepada Kian Bu, dan wajahnya berubah. Dia menggeleng kepalanya dan pandang matanya penuh selidik menatap wajah Siluman Kecil. "Tahukah engkau" Dia balas bertanya.
Kian Bu mengangguk. "Secara kebetulan aku bertemu dengan Cui Ma yang telah menjadi gila, dan sebelum dia mati dia sempat menceritakan bahwa yang membunuh ibumu adalah Mohinta dan kawan-kawannya dari Bhutan...."
"Keparat!" Tek Hoat berseru demikian kerasnya sehingga mengejutkan semua orang, akan tetapi dua orang yang sedang bertanding itu tidak mempedulikan dan terus saja berkelahi. Tek Hoat memandang kepada Kian Bu dengan muka berubah merah, matanya beringas dan dia mendengarkan ketika Kian Bu menceritakan dengan singkat pertemuannya dengan Cui Ma, pelayan dari Ang Siok Bi, ibu pemuda itu.
"Kalau begitu, aku harus mengejarnya sekarang juga!" Tek Hoat berseru dan dia menangkap tangan Kian Bu. "Paman, terima kasih!" Dengan kecepatan kilat Tek Hoat melompat keluar dari tempat itu dan tanpa mempedulikan perang yang masih berjalan seru, dia menyusup di antara tentara yang saling bertempur, terus dia melarikan diri keluar dari dalam benteng itu.
Perkelahian antara Ban Hwa Sengjin dan Kao Kok Cu masih berlangsung dengan hebatnya. Kedua fihak yang menonton pertandingan ini merasa tegang sekali, akan tetapi Ceng Ceng bersikap tenang saja, bahkan dia tidak pernah melepaskan pandang matanya dari puteranya yang dipondong oleh Twa-ok. Dia merasa yakin akan kemenangan suaminya, yang dikhawatirkan adalah kalau flhak Im-kan Ngo-ok tidak akan memegang janjinya. Akan tetapi dia melihat kakek gorilla itu tersenyum-senyum dan agaknya puteranya tidak diganggunya.
Sebenarnya, Ban Hwa Sengjin sudah merasa kewalahan sekali menghadapi ilmu silat yang aneh dari lawannya, juga setiap kali mereka beradu tenaga sakti, dia merasa betapa dadanya menjadi sesak, tanda bahwa tenaga sinkang dari lawan yang buntung sebelah lengannya itu benar-benar amat luar biasa kuatnya. Hal ini tidaklah aneh karena Kao Kok Cu telah berhasil memiliki tenaga mujijat yang timbul karena penguasaan Ilmu Sin-liong-hok-te dari gurunya, Si Dewa Bongkok yang juga hanya berlengan sebelah.
Ilmu silat dari Ban Hwa Sengjin, sebagai orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok, sudah mencapai tingkat tinggi sekali, apalagi Ilmu Silat Thian-te Hong-i itu sukar sekali dilawan. Selain itu, juga dia telah memiliki pengalaman yang amat luas, maka dia merupakan lawan yang tangguh bagi Kok Cu. Akan tetapi, dengan bekal kepandaiannya yang luar biasa, yang diperolehnya dari gemblengan Si Dewa Bongkok, apalagi dengan tenaga sakti dari Sin-liong-hok-te, kalau dia menghendaki, Kok Cu tentu akan mampu merobohkan kakek botak itu. Akan tetapi, pendekar ini adalah seorang yang memiliki pandangan luas dan tidak mau menuruti perasaan hatinya. Dia maklum bahwa selama ini dia tidak mempunyai permusuhan dengan Im-kan Ngo-ok, dan bahwa diculiknya puteranya pun sesungguhnya bukan perbuatan Im-kan Ngo-ok, melainkan merupakan balas dendam dari puteri mendiang pemberontak Kim Bouw Sin kepada ayahnya. Kalau kini Cin Liong terjatuh ke tangan Im-kan Ngo-ok, hal itu hanya merupakan kebetulan saja. Pula, selama puteranya masih berada di tangan mereka, dia tidak boleh ceroboh dan membunuh atau melukai berat kepada Koksu Nepal. Oleh karena inilah maka dia berkelahi dengan hati-hati dan tidak mau merobohkan koksu yang boleh mengakibatkan kematiannya.
Ketika mendapat kesempatan yang baik setelah dia berhasil menghindarkan diri dari tendangan Ban Hwa Sengjin, tiba-tiba tubuh Kok Cu mencelat ke atas dan dari atas, ujung lengan bajunya yang kiri dan kosong itu meluncur dan menyambar ke arah ubun-ubun kepala yang botak dari lawannya. Inilah cara yang paling tepat untuk menyerang tubuh lawan yang berpusing itu. Ban Hwa Sengjin terkejut bukan main. Untuk mengelak amatlah berbahaya, maka dia lalu mengangkat tangan kiri menangkis sambaran ujung lengan baju itu.
"Prattt!" Ujung lengan baju bertemu dengan tangan Ban Hwa Sengjin, terasa panas tangan itu dan ujung lengan baju seperti ekor naga sudah melibat pergelangan tangan Ban Hwa Sengjin dan tubuh Kok Cu sudah turun kembali, kini Ban Hwa Sengjin membarengi turunnya tubuh lawan di depannya itu dengan hantaman telapak tangan kanan ke arah dada Kok Cu. Pendekar ini pun menggerakkan tangan kanan menyambut.
"Plakkkkk!" Kelihatannya perlahan saja dua telapak tangan itu bertemu, akan tetapi akibatnya tubuh Ban Hwa Sengjin terhuyung setergah melayang ke belakang seperti layangan putus talinya. Dia berhasil berdiri tegak kembali, akan tetapi mukanya pucat dan ujung bibirnya mengeluarkan darah segar! Ban Hwa Sengjin sejenak menatap wajah Kao Kok Cu, kemudian mengangguk dan menjura, lalu menoleh kepada Twa-ok.
"Twa-heng, harap kembalikan anak itu," katanya lemah dan begitu mengeluarkan kata-kata ini, beberapa titik darah menetes dari ujung mulutnya. Koksu Nepal itu cepat memejamkan matanya dan menarik napas panjang. Ji-ok melompat mendekatinya dan tangan kanan nenek iblis itu ditempelkan ke punggung koksu, lalu mengurut beberapa kali ke bawah. Nenek itu menolong saudaranya mengobati luka di dalam tubuh yang ternyata tidaklah terlalu berbahaya, karena bukan langsung dihantam oleh tenaga sakti lawan, melainkan terkena tenaganya sendiri yang membalik keras.
Twa-ok tertawa dan melemparkan tubuh Cin Liong ke arah Kao Kok Cu. Pendekar ini menggerakkan lengan baju kiri yang menggulung tubuh anak itu, diperiksanya sebentar lalu diserahkannya anak itu kepada isterinya. Ceng Ceng memeluk anaknya dan diciuminya. Dua titik air mata membasahi pipinya ketika ibu ini akhirnya bertemu kembali dengan puteranya.
"Eh, mana, Lee-ko...." Tiba-tiba Kian Bu bertanya ketika dia tidak melihat kakaknya berada di situ lagi. Semua orang juga mencari dengan pandangan matanya, yang bukan hanya Kian Lee yang tidak nampak, bahkan juga Pangeran Liong Bian Cu telah lenyap bersama tawanannya, yaitu Hwee Li.
"Aku tadi melihat dia mengejar Pangeran Nepal," kata Siang In. Kiranya tadi secara diam-diam, mempergunakan kesempatan selagi semua orang tertarik menonton pertandingan yang amat hebat antara Koksu Nepal dan Kao Kok Cu, Pangeran Nepal itu minta bantuan Gitananda, kakek bersorban yang jenggotnya panjang sampai ke perut, untuk menggunakan sihirnya melindungi dia melarikan diri membawa Hwee Li bersama. Semua orang mudah saja seperti terlupa karena perhatian mereka sedang dicurahkan ke arah pertandingan itu. Hanya Suma Kian Lee yang tidak terpengaruh oleh karena pemuda ini sejak tadi memperhatikan Hwee Li, maka ketika Gitananda mengangkat tongkat cendana dan mempergunakan sihir, dia sudah mengerahkan sinkangnya melawan dan dia dapat melihat Pangeran Liong Bian Cu diam-diam membawa Hwee Li pergi dari tempat itu maka dia pun cepat mengejar. Sedangkan Siang In yang ahli dalam ilmu sihir, segera merasakan pengaruh sihir yang dilepas oleh Gitananda, maka dia cepat melawan dan dia sempat melihat Kian Lee mengejar sang pangeran.
Melihat kekalahan Ban Hwa Sengjin, empat orang Im-kan Ngo-ok yang lain dan juga para pembantu koksu merasa penasaran. "Ha-ha-ha, Sam-te, biarlah kami menebus kekalahanmu dan membasmi mereka ini," kata Twa-ok dan bersama Ji-ok, Su-ok dan Ngo-ok, dia sudah maju dan hendak mengamuk.
Akan tetapi tiba-tiba muncul dua orang yang membawa pasukan pengawal berbaju emas yang amat rapi dan menyeramkan. Mereka itu bukan lain adalah pendekar Gak Bun Beng bersama isterinya, Milana, yang memimpin empat puluh orang anggauta pasukan pengawal baju emas yang terkenal itu. Melihat munculnya suami isteri ini, Im-kan Ngo-ok merasa gentar juga. Di antara para pendekar tadi, yang lihai sudah ada tiga orang, yaitu Siluman Kecil, Kao Kok Cu dan Ceng Ceng. Kalau kini muncul pula pendekar sakti Gak Bun Beng, dan Puteri Milana, maka fihak lawan menjadi terlampau kuat, apalagi masih dibantu oleh pasukan yang amat besar. Munculnya Puteri Milana ini berarti bahwa pasukan Gubernur Ho-nan yang bertahan di situ sudah kalah. Maka koksu yang cerdik itu maklum bahwa menggunakan kekerasan sama artinya dengan membunuh diri. Cepat dia berkata lantang, "Twa-heng dan teman-teman semua! Si Naga Sakti Gurun Pasir telah menjanjikan untuk membiarkan kita pergi, perlu apa kita yang sudah kalah ini lebih lama berada di sini" Mari kita pergi!"
Mendengar ucapan ini, Im-kan Ngo-ok yang lain dan para pembantu koksu seperti Hwa-i-kongcu dan orang-orangnya, Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, dan yang lain-lain mengerti akan maksudnya dan tanpa diperintah dua kali, mereka lalu mengikuti koksu pergi dari istana itu.
Melihat ini, Gak Bun Beng menghadang di tengah jalan dengan sikap mengancam, akan tetapi Kao Kok Cu berkata, "Paman Gak, harap suka membiarkan mereka pergi karena memang kami telah menjanjikan mereka untuk pergi."
Gak Bun Beng mengerutkan alisnya, akan tetapi terdengar Puteri Milana berkata kepada suaminya, "Biarkanlah mereka pergi. Memang kerajaan tidak mempunyai permusuhan resmi dengan Kerajaan Nepal, dan kami hanya perlu menangkap Gubernur Ho-nan yang memberontak!"
Gak Bun Beng mengerti bahwa dalam ucapan isterinya ini tentu terkandung maksud yang lebih dalam. Dan memang sebenarnyalah demikian. Puteri Milana maklum bahwa kerajaan sedang lemah dan kacau oleh tindakan kaisar tua yang mendengarkan bujukan para menteri durna sehingga kaisar menaruh curiga kepada semua orang, terutama orang-orang yang setia seperti Jenderal Kao Liang yang sampai dipecat. Dalam keadaan lemah itu, biarpun kini pangeran mahkota sudah mulai menaruh perhatian, amatlah berbahaya kalau menyatakan perang dengan Nepal secara terbuka dengan jalan menangkap atau membunuh Koksu Nepal. Yang terpenting adalah menangkap dan menghukum Gubernur Ho-nan yang memberontak.
Rombongan Koksu Nepal tidak mengalami banyak hambatan karena para perajurit tidak ada yang berani mencoba menghalangi mereka sehingga mereka itu dapat melarikan diri melalui pintu rahasia dan cepat meninggalkan benteng yang sudah diduduki musuh itu. Banyak pasukan pemberontak yang tewas, akan tetapi lebih banyak lagi yang menyerah setelah melihat para pimpinan mereka melarikan diri.
Dengan tubuh gemetar dan muka pucat ketakutan, Kui Cu Kam, Gubernur Ho-nan yang memberontak itu, berlutut dan ditawan bersama kaki tangannya.
Puteri Milana dan para pendekar merasa lega bahwa akhirnya semua keluarga Kao dapat diselamatkan dan sambil menggiring rombongan gubernur pemberontak mereka keluar dari dalam istana dengan girang. Hanya Kian Bu yang mengerutkan alisnya dengan khawatir karena kakaknya pergi entah ke mana, melakukan pengejaran terhadap Pangeran Liong Bian Cu yang melarikan Hwee Li.
Ketika rombongan Puteri Milana keluar dari istana, tiba-tiba terdengar suara ledakan yang amat dahsyat dan mengejutkan semua orang. Mereka terkejut sekali karena perang telah selesai dan tidak perlu lagi diadakan peledakan lain untuk menghancurkan benteng. Mereka semua memburu keluar dan terdengar teriakan yang memilukan, "Ayaaahhh....!"
Mendengar bahwa teriakan itu adalah suara Kao Kok Cu, semua orang cepat lari menghampiri tempat ledakan. Yang meledak hancur dan terbakar adalah menara di mana tadi Jenderal Kao Liang mengatur ledakan-ledakan dan pembakaran-pembakaran. Kini menara itu telah terbakar dan api menyala-nyala dengan hebatnya. Dan di tengah-tengah menara yang sudah runtuh, di antara api yang bernyala-nyala, nampak berdiri tegak seorang laki-laki tua yang gagah perkasa, berdiri dengan tegak dan memandang ke arah benteng yang sudah hancur dengan wajah berseri akan tetapi kedua matanya mengalirkan air mata. Orang tua gagah itu bukan lain adalah Jenderal Kao Liang!
"Ayah....!" Kao Kok Cu berseru dan berbareng dengan tubuh isterinya yang sudah menurunkan Cin Liong, pendekar ini melayang naik seperti berlumba dengan Ceng Ceng untuk menolong kakek itu. Namun, mereka terpaksa berjungkir balik dan turun kembali karena mereka disambut oleh api yang berkobar-kobar!
"Kembalilah, Kok Cu dan Ceng Ceng! Aku bukan seorang pengecut, aku sudah bersumpah untuk mempertahankan benteng dengan nyawaku!" terdengar Jenderal Kao Liang berseru dengan suara mengguntur. "Selamat tinggal semua!" Tangannya bergerak dan terdengar lagi ledakan dahsyat, nampak sinar api berkilauan hebat dan tempat itu hancur sama sekali. Tubuh sang jenderal lenyap bersama sisa menara yang hancur oleh ledakan itu!
Ceng Ceng menangis mengguguk dan merangkul suaminya. Terdengar jerit tangis ketika para keluarga Kao keluar dari tempat mereka dan mereka hanya dapat menangis sambil memandang ke arah api yang berkobar. Isteri sang jenderal dan beberapa orang keluarga wanita roboh pingsan. Kao Kok Cu juga tak dapat menahan air matanya dan dia menundukkan mukanya, berdoa untuk roh ayahnya yang gagah. Dia tahu apa yang telah dilakukan ayahnya dan mengapa. Dia tidak dapat menyalahkan keputusan yang diambil oleh ayahnya itu. Ayahnya telah berkhianat kepada negara, demi menyelamatkan keluarganya. Setelah keluarganya selamat, ayahnya melaksanakan rencana yang telah diaturnya semenjak hari pertama dia dipaksa membangun benteng, yaitu menghancurkan benteng itu. Menghancurkannya bersama dia karena dia sudah berjanji kepada pangeran dan Koksu Nepal bahwa dia akan mempertahankan benteng itu dengan nyawanya. Dan memang dia mempertahankan dengan taruhan nyawanya di samping dia menebus dosa pengkhianatannya kepada negara! Jenderal Kao Liang tewas sebagai seorang panglima yang gagah, yang mempertahankan benteng buatannya dan yang dipimpinnya dengan mengorbankan nyawanya.
Hati Kian Bu yang gelisah memikirkan Kian Lee, menjadi berduka menyaksikan peristiwa yang menimpa keluarga Kao itu. Dia tidak mampu menghibur, bahkan tidak mampu berkata apa-apa lagi. Yang banyak memberi hiburan kepada keluarga itu adalah Gak Bun Beng dan isterinya, Puteri Milana. Melihat bahwa tenaganya tidak lagi diperlukan, dan karena tidak mau mengganggu keluarga yang sedang dilanda duka itu dengan pamit, dia lalu mendekati Puteri Milana dan berkata, "Enci Miiana, aku akan pergi mencari Lee-ko."
Milana memandang kepada adiknya ini. "Ke mana dia"
"Katanya mengejar Pangeran Llong Bian Cu yang melarikan Nona Hwee Li."
Milana mengangguk. "Hati-hati kau, Bu-te, dan jangan terlalu lama, kalau sudah jumpa dengan Kian Lee kalian harus mengunjungi kami di puncak Telaga Warna di Beng-san. Atau kalian susul kami di kota raja karena kami harus lebih dulu pergi ke kota raja bersama pasukan dan tawanan."
"Baik, Enci Milana." Kian Bu lalu pergi meninggalkan benteng itu, tidak tahu bahwa diam-diam ada orang yang membayanginya dan orang ini bukan lain adalah Teng Siang In! Dan tidak lama setelah Siang In pergi, nampak seorang lain yang juga diam-diam pergi dari situ dan orang ini adalah Kang Swi Hwa atau Ang-siocia!
*** () *** Karena para tokoh dalam cerita kita ini mulai berpencaran lagi setelah benteng pemberontak dapat dihancurkan, dan karena masing-masing mengalami hal-hal yang amat hebat dan menarik, maka sebaiknya kalau kita mengikuti perjalanan mereka satu demi satu. Pertama-tama kita mengikuti perjalanan Ang Tek Hoat yang telah lebih dulu meninggalkan benteng ketika mendengar bahwa Puteri Syanti Dewi telah dilarikan oleh Panglima Bhutan, yaitu Mohinta dan anak buahnya.
Ketika mendengar dari Siluman Kecil Suma Kian Bu bahwa yang membunuh ibunya adalah Mohinta, hati pemuda ini penuh dengan dendam dan kemarahan hebat. Kematian ibunya tak pernah dapat dilupakannya, dan dia telah dengan susah payah mencari siapa mereka atau dia yang membunuh ibunya. Akhirnya dia sudah hampir putus asa untuk dapat membongkar rahasia itu karena tidak ada bukti atau saksi yang dapat menuntunnya kepada si pembunuh. Tak disangkanya bahwa dia akan mendengar keterangan yang demikian jelasnya dari Suma Kian Bu, paman tirinya sendiri. Kini dia mengerti dan dapat membayangkan keadaan ibunya. Tentu Mohinta dan anak buahnya itu menemukan ibunya seorang diri dalam pondoknya dan panglima muda yang keji itu telah membunuh ibunya. Akan tetapi dia ingin tahu mengapa Mohinta membunuh ibunya. Dia akan menangkap Mohinta dan memaksanya mengaku mengapa Mohinta membunuh ibunya, setelah itu baru dia akan membalas kematian ibunya. Sakit hati karena dendam membuat pemuda ini membayangkan dan merencanakan penyiksaan yang paling hebat untuk musuh besar pembunuh ibunya itu!
Dendam merusak dan meracuni batin manusia. Kenyataan ini nampak dalam kehidupan kita sehari-hari. Betapa dendam dan amarah menguasai hati kita setiap hari. Dendam melahirkan kekerasan dan kekejaman. Dendam menciptakan permusuhan yang tidak habisnya. Betapa semenjak kita masih kecil, nafsu amarah dan dendam ini telah menguasai lubuk hati kita sepenuhnya. Kita akan marah-marah kalau kita diganggu, kalau keluarga kita diganggu, kalau negara kita di ganggu, kalau bangsa kita diganggu, kalau milik kita lahir batin diganggu. Dan kita akan membalas! Membalas berlipat ganda! Sejak masih kanak-kanak sudah nampak nafsu dendam ini. Dipukul sekali baru akan puas kalau membalas dua kali! Hati yang marah baru akan puas kalau sudah menumpahkan kemarahannya berupa makian, balas menghina, memukul dan sebagainya lagi.
Betapa nyata nampak kalau kita mau membuka mata memandang, bahwa satu di antara hal yang mendorong kita mendendam adalah karena kita selalu ingin menang dari orang lain, tidak mau kalah dalam hal apa pun juga! Kalau orang melakukan kekerasan kepada kita, kita pun tidak mau kalah keras! Kita khawatir disangka takut, disangka pengecut, dianggap tidak berani! Inilah yang mendorong kita menyambut kekerasan orang dengan kekerasan yang lebih hebat lagi. Dan bagaimana kalau ada orang bersikap baik kepada kita" Kita pun tidak mau kalah, tidak mau kalah baik, ingin dianggap lebih baik lagi. Buktinya" Kalau anda bermusuhan atau saling marah dan membenci dengan lain orang, cobalah anda mengubah diri dan bersikap manis dan baik. Akan nampak oleh anda betapa orang itu pun sebaliknya akan mengambil sikap yang lebih manis dan lebih baik pula daripada sikap anda. Sebaliknya, kalau dia bersikap keras dan congkak, anda akan bersikap lebih keras dan lebih congkak lagi!
Kemudian kita melihat bahwa kemarahan itu mengakibatkan hal-hal buruk sekali dalam kehidupan, menimbulkan permusuhan, pertentangan dan kesengsaraan, maka lalu muncullah ajaran agar kita belajar sabar! Kita marah dan kita dianjurkan bersabar. Hal ini, seperti terbukti dalam kehidupan kita sehari-hari, sama sekali tidak ada artinya, tidak ada gunanya! Dalam keadaan marah, kita lalu mengendalikan perasaan, menekan kemarahan, dan memaksa diri untuk menjadi sabar. Memang, pada saat itu dapat kita menekan kemarahan dan menjadi sabar, namun kesabaran seperti itu adalah kesabaran palsu, kemarahan itu tidak padam, hanya ditekan dan ditutupi belaka. Seperti api dalam sekam, kelihatannya saja tidak menyala namun sesungguhnya masih membara dan sewaktu-waktu akan berkobar lagi. Maka nampaklah dalam kehidupan kita betapa apabila belajar sabar itu sama sekali tidak ada gunanya karena kemarahan yang ditekantekan itu akan terus-menerus dan selalu muncul dan muncul lagi untuk ditekan dan dikendalikan lagi. Maka terjadilah perang batin, konflik batin antara kemarahan sebagai kenyataan dan sabar sebagai hal yang kita kehendaki.
Kita lupa bahwa kemarahan tidak mungkin dapat dilenyapkan dengan belajar sabar atau dengan keinginan untuk tidak marah! Kotoran tidak mungkin dapat dilenyapkan dengan belajar bersih! Yang penting adalah berani menghadapi kenyataan. Dan kenyataan pada diri kita adalah kemarahan itulah. Itulah faktanya. Kita marah! Kita keras, kita pendendam, kita kejam. Inilah kenyataannya! Tidak perlu kita lari daripada kenyataan ini dan bersembunyi di balik selimut kesabaran, kebaikan dan sebagainya. Semua itu hanya palsu dan munafik belaka. Pada hakekatnya, pada dasarnya, pada intinya, kita masih pendendam, masih pemarah.
Lalu, apakah kita harus membiarkan saja kenyataan bahwa kita pendendam dan pemarah" Sudah tentu tidak! Kita melihat dengan jelas bahwa harus terjadi perubahan pada diri kita, pada batin kita. Akan tetapi perubahan itu tak mungkin terjadi kalau hanya dengan jalan menentang kemarahan itu dan ingin menggantikan kedudukannya dengan kesabaran dan kebaikan. Kita HARUS berubah!
Lalu bagaimana caranya untuk melenyapkan kemarahan" Tidak ada caranya, karena kalau disebutkan suatu cara, itu pun palsu dan merupakan penipuan belaka, merupakan pelarian seperti belajar sabar dan mengendalikan perasaan tadi. Apakah kemarahan itu" Siapa yang marah" Berbedakah kita dengan kemarahan itu" Kitalah yang marah. Kitalah kemarahan itu sendiri! Kemarahan tidak terpisah dari kita! Kitalah sumber kemarahan, kitalah pembuat kemarahan, kitalah biang keladinya. Karena itu, kalau kemarahan tiba, tidak perlu kita lari, tidak perlu kita sembunyi, sebaliknya, kita hadapi kemarahan itu, kita pandang dengan penuh kewaspadaan, dengan penuh perhatian! Pernahkah anda melakukan hal ini" Biasanya, kalau kita marah, kita menjadi mata gelap, kita kehilangan kesadaran, kita tidak ingat apa-apa lagi, yang ada hanyalah nafsu ingin melampiaskan kemarahan. Bukankah demikian" Pernahkah dan maukah kita mencoba untuk menghadapi kemarahan itu sebagai suatu fakta, kita perhatikan kemarahan kita itu, penuh kewaspadaan dan ingin kita melihat apa yang terjadi kalau begitu! Karena kemarahan itu pada hakekatnya adalah kita sendiri, maka dengan pengamatan penuh kewaspadaan itu, dengan penuh perhatian itu, kemarahan pun tidak ada! Sebaiknya kita mencoba dalam kehidupan kita sehari-hari yang penuh coba dan goda ini.
Dan kalau sudah tidak ada kemarahan lagi dalam batin kita, perlukah kita belajar sabar" Kalau kita tidak marah, perlukah kita menekan dan mengendalikan perasaan" Dan kalau tidak ada kemarahan, tidak ada benci, apa yang timbul dalam batin kita" Mungkin mata batin kita baru akan melihat apa artinya CINTA KASIH itu.
Tek Hoat dimabuk dendam. Dalam keadaan dendam dan marah, dia merencanakan siksaan sehebat-hebatnya kepada orang yang amat dibencinya, yaitu Mohinta. Dia membuat perhitungan dan dugaan bahwa Mohinta tentu melarikan Syanti Dewi menuju ke barat, ke Bhutan. Dan memang dugaannya itu tepat. Beberapa hari kemudian setelah dia meninggalkan benteng melakukan pengejaran, dia menemukan jejak mereka. Kiranya Mohinta dan anak buahnya itu melakukan perjalanan cepat dengan menggunakan sebuah kereta dan rombongan itu menunggang kuda, melakukan perjalanan yang cepat. Demikianlah keterangan yang didapat oleh Tek Hoat dalam penyelidikannya. Maka dia lalu melakukan pengejaran secepatnya dan beberapa hari ke mudian dia berhasil menyusul rombongan itu!
Begitu melihat Mohinta menunggang kuda memimpin anak buahnya yang mengawal kereta, jantung Tek Hoat berdebar kencang dan menurutkan dorongan hatinya, ingin dia seketika menerjang dan menangkap Mohinta dan membebaskan Syanti Dewi yang dia duga tentu berada di dalam kereta itu. Akan tetapi, pemuda ini dapat menahan dirinya. Nanti saja, pikirnya sambil mengintai dari balik pohon, aku harus melihat Syanti Dewi lebih dulu. Nanti kalau rombongan itu melewatkan malam, dia akan turun tangan. Maka Tek Hoat hanya mengintai sambil berjongkok di balik sebatang pohon, membiarkan kereta yang dikawal orang-orang Bhutan itu lewat.
Dia lalu membayangi terus dan akhirnya rombongan itu berhenti di sebuah dusun yang tidak berapa besar, dusun di antara bukit-bukit yang jauh dari kota. Dengan pengaruh uangnya dan juga pengaruh sikap anak buahnya yang galak, Mohinta dapat menyewa rumah kepala dusun itu untuk dijadikan tempat bermalam. Karena menerima uang sewa yang cukup besar dan juga jerih melihat sikap rombongan orang Bhutan itu, kepala dusun mengalah dan membawa keluarganya keluar dari rumah, bermalam di rumah seorang penduduk dusun.
Tek Hoat mengintai terus dan jantungnya berdebar tegang ketika dia melihat Syanti Dewi melangkah turun dari dalam kereta. Akan tetapi, perasaan tidak senang menyusup di hatinya ketika dia melihat puteri pujaan hatinya itu tersenyum genit kepada Mohinta yang membantunya turun dari kereta, bahkan puteri itu lalu bergandengan tangan dengan Mohinta memasuki rumah kepala dusun yang mereka sewa untuk semalam.
Tek Hoat melongo sampai lama setelah kedua orang itu memasuki rumah. Perasaan hatinya nyeri rasanya seperti ditusuk pedang. Sikap Syanti Dewi begitu mesra terhadap Mohinta. Senyum itu! Kerling mata itu! Begitu genitnya, padahal seingatnya, belum pernah Syanti Dewi bersikap segenit itu baik kepadanya sekalipun. Cemburu menguasai hatinya, cemburu dan penasaran. Jadi begitukah keadaan sebenarnya mengapa Syanti Dewi bersikap dingin kepadanya ketika mereka dipertemukan oleh Koksu Nepal" Syanti Dewi telah berpaling kepada Mohinta dan agaknya bertukar hati dengan panglima muda Bhutan itu"
Dengan hati penuh dendam dan cemburu yang membuat kepalanya pening, malam itu Tek Hoat mendekati rumah kepala dusun. Biarpun rumah itu terjaga, namun mudah saja bagi Tek Hoat untuk menyusup dan memasuki rumah, akhirnya dia berhasil mengintai ke dalam kamar besar rumah itu. Dan apa yang dilihat dan didengarnya membuat pemuda ini hampir saja jatuh pingsan!
Di bawah sinar lampu remang-remang, dia melihat Mohinta yang tidak lagi memakai pakaian panglima, melainkan mengenakan pakaian tidur yang tipis, duduk di atas kursi dan Puteri Syanti Dewi duduk di atas pangkuannya dengan sikap manja sekali! Dengan hati hampir meledak saking panasnya Tek Hoat melihat betapa kedua lengan Mohinta memeluk tubuh itu dan tangan Mohinta dengan cara yang dianggapnya kurang ajar memegang-megang dada sang puteri! Akan tetapi puteri itu tidak marah, malah merangkul leher Mohinta dan mereka berdua berciuman dengan cara yang membuat Tek Hoat yang nengintai itu bergidik karena ciuman itu dilakukan dengan mulut ke mulut dan amat mesranya.
Melihat panglima itu yang mengingatkan dia akan kematian ibunya saja sudah membuat Tek Hoat marah bukan main, apalagi melihat betapa musuh besarnya itu kini merampas pula kekasihnya, hampir Tek Hoat tidak dapat menahan sabar dan ingin dia menerjang lewat jendela. Akan tetapi, kedua orang itu kini sudah bicara berbisik-bisik dan Tek Hoat menahan hatinya untuk mendengarkan lebih dulu percakapan mereka sebelum dia menerjang masuk.
"Ah, Sayang.... engkau sungguh manis, aku sungguh cinta padamu...." terdengar Mohinta berbisik sambil membelai-belai tubuh puteri
"Hemmmmm...." Sang Puteri merintih manja dan menggeliat di atas pangkuan Panglima Bhutan itu. "Aku pun cinta padamu.... Panglima.... akan tetapi benarkah kelak aku akan menjadi permaisurimu...."
Tek Hoat terbelalak dan merasa heran bukan main mendengar bisikan Syanti Dewi itu dan timbullah keinginan tahunya untuk mendengarkan terus.
"Tentu saja, Manis. Akan tetapi kita harus berhasil dulu, dan untuk itu aku mengandalkan bantuanmu. Engkau harus membantuku menundukkan raja tua itu...."
"Ihhh, aku takut...." Puteri itu berbisik manja sambil menyandarkan muka di atas dada Mohinta.
Mohinta memeluknya. "Tak usah takut. Pasukan-pasukanku sudah siap dan engkau hanya pura-pura saja menjadi tawananku, dan kalau kuancam engkau di depan raja, engkau tahu bahwa aku pun hanya pura-pura saja agar raja mau tunduk dan menyerah kepadaku. Kemudian, kalau aku sudah menjadi raja, engkau tentu menjadi permaisuriku.... hemmm.... engkau manis benar malam ini...." Mohinta kembali menciumnya dan Tek Hoat sudah mundur dan tidak mau melihat lagi. Akan tetapi dia tidak menerjang jendela itu, malah dia menjauhkan diri dan meninggalkan tempat itu.
Tak lama kemudian, pemuda ini telah rebah di dalam gubuk di tengah sawah di luar dusun, tempat para petani mengaso dan berteduh dari sinar matahari. Dia termenung. Tidak, dia tidak akan membunuh Mohinta sekarang ini, dia harus sabar menanti sampai mereka tiba di Bhutan. Jelas bahwa Mohinta merencanakan pemberontakan terhadap raja, dan Mohinta hendak menggunakan Syanti Dewi sebagai sandera untuk menundukkan Raja Bhutan! Kalau saja benar-benar Syanti Dewi menjadi sandera, menjadi tawanan, tentu sekarang juga dia membebaskan puteri itu dan membunuh Mohinta. Akan tetapi, yang membuat dia penasaran adalah karena melihat kenyataan betapa puteri itu sama sekali bukan menjadi tawanan, bahkan menjadi sekutu dari Mohinta untuk merampas kedudukan ayahnya sendiri! Dia sungguh merasa heran bukan main, bertanya-tanya dalam hati apa yang telah terjadi dengan Syanti Dewi sehingga puteri itu demikian berubah, tidak hanya menjadi genit dan aneh, akan tetapi juga menjadi jahat sehingga kini mau bersekutu dengan seorang pemberontak untuk merampas kedudukan ayahnya sendiri! Diam-diam Tek Hoat merasa menyesal bukan main dan terbayanglah kembali sikap Syanti Dewi ketika dipertemukan dengannya oleh koksu. Terdengar berdengung di dalam telinganya ucapan Syanti Dewi kepadanya waktu itu.
"Ang Tek Hoat, engkau telah pergi tanpa pamit, bahkan telah menimbulkan kemarahan di hati ayahku, oleh karena itu sesungguhnya sudah tidak ada apa-apa lagi antara kita...."
Tek Hoat memejamkan matanya, hatinya seperti ditusuk rasanya. Jadi agaknya sang puteri telah memutuskan hubungan antara mereka dan kini bahkan telah berganti pacar! Dia makin penasaran. Andaikata berganti pacar, mengapa sang puteri begitu tidak tahu malu dan tidak mengenal susila, mau saja diperlakukan seperti itu oleh Mohinta" Dan mengapa pula sudi diajak bersekutu untuk menjatuhkan Raja Bhutan"
"Aku harus menentang mereka!" Tiba-tiba Tek Hoat bangkit duduk dan mengepal tinjunya. "Aku akan sabar menanti, tidak membunuh Mohinta dulu. Aku harus menggagalkan rencana busuk mereka dan membuka kedok mereka di depan Raja Bhutan! Biar Raja Bhutan menjadi terbuka matanya dan melihat betapa seorang anak haram seperti aku jauh lebih berharga daripada panglima mudanya bahkan lebih berharga daripada puterinya sendiri!"
Pikiran ini membuat Tek Hoat akhirnya dapat tidur di dalam gubuk dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah membayangi lagi rombongan Mohinta itu. Dia tidak akan membunuh Mohinta di tengah jalan. Tidak, dia akan membongkar dulu kedok mereka, rahasia mereka yang busuk di depan raja, menghancurkan siasat dan rencana pemberontakan kotor mereka, baru dia akan membunuh Mohinta, pembunuh dari ibunya itu. Tentang Syanti Dewi.... ah, dia tidak berani memikirkan masa depannya dengan puteri itu, sungguhpun dia tahu bahwa selama hidupnya tidak mungkin dia melupakan puteri itu, dan apa pun yang terjadi dengan diri puteri itu, cintanya tetap mendalam dan akan terus menyala di dalam hatinya.
Ketika rombongan itu sudah tiba di perbatasan barat, Tek Hoat lalu mendahuluinya dan dia hendak pergi lebih dulu ke Bhutan untuk menghadap raja dan memberitahukan tentang rencana pemberontakan Mohinta itu. Akan tetapi sebelum dia meninggalkan rombongan itu, dia melihat pasukan yang cukup besar, tidak kurang dari seribu orang jumlahnya, nampak menyambut rombongan itu dan tahulah dia bahwa pasukan itu adalah pasukan yang dipimpin oleh panglima tua Sangita yang agaknya telah bersekongkol pula dengan puteranya dan lebih dulu sudah tahu akan kedatangan puteranya bersama Syanti Dewi. Maka Tek Hoat lalu bergegas mendahului mereka menuju ke Bhutan, melintasi perbatasan yang terdiri dari gunung-gunung.
Selagi dia berjalan cepat melalui padang rumput setelah keluar dari sebuah hutan, pada jalan mendaki, tiba-tiba terdengar suara ketawa orang dan ketika dia menoleh, ternyata yang tertawa itu adalah Hek-tiauw Lo-mo yang muncul keluar dari balok pohon besar.
"Ha-ha-ha, pengkhianat muda, kiranya kita dapat saling jumpa di sini!" kata kakek itu sambil memandang dengan penuh ejekan.
Tek Hoat mengerutkan alisnya. Dia sedang tergesa-gesa dan dia tidak sudi banyak bicara dengan kakek iblis itu. "Hek-tiauw Lo-mo, mau apa engkau menghadangku" bentaknya.
"Ha-ha-ha, kita sama-sama petualang. Aku mencari puteriku. Apakah engkau melihatnya"
"Andaikata aku melihatnya juga, apa kaukira aku sudi memberi tahu padamu" Pergilah, jangan ganggu aku!"
Bagaimana Hek-tiauw Lo-mo dapat melakukan perjalanan secepat itu, mendahului Tek Hoat" Kiranya kakek iblis ini telah mendapatkan kembali burung garudanya dan melarikan diri dari dalam benteng itu dengan menunggang garuda. Ketika terjadi ribut-ribut oleh penyerbuan tentara kerajaan dan koksu bersama para pembantunya diberi kesempatan untuk melarikan diri oleh Kao Kok Cu, Hek-tiauw Lo-mo tiba-tiba melihat burung garudanya terbang berputaran tinggi di atas benteng yang kebakaran itu sambil mengeluarkan suara ketakutan. Ternyata burung yang ditinggalkan oleh Hwee Li di dalam hutan itu, telah mencari majikan-majikannya dan ketika melihat benteng itu kebakaran dan melihat banyak manusia bertempur, binatang ini menjadi ketakutan dan hanya berani terbang berputaran di atas tempat itu.
Hek-tiauw Lo-mo lalu mengeluarkan suara melengking panjang memanggil burungnya. Garuda itu mengenal suara majikannya, menukik turun dan kakek iblis itu lalu meninggalkan semua rekannya, menunggang garuda untuk mencari puterinya karena dia mendengar bahwa puterinya telah dilarikan oleh Pangeran Nepal. Dia melakukan pengejaran ke barat, namun tidak berhasil menemukan puterinya itu. Dia menghadang dan bersembunyi di padang rumput, menanti munculnya Pangeran Nepal yang menculik Hwee Li, akan tetapi sebaliknya yang muncul malah Tek Hoat yang segera dihadangnya untuk ditanya.
Mendengar jawaban itu, Hek-tiauw Lo-mo menjadi marah. "Jari Maut, engkau sungguh manusia sombong sekali. Kalau aku sekarang menyerang dan membunuhmu juga, sudah sepatutnya karena engkau telah mengkhianati kami di dalam benteng itu."
"Persetan dengan bentengmu, persetan dengan koksu dan Pangeran Nepal! Aku di sana karena hendak melindungi Puteri Bhutan, bukan hendak mengekor orang Nepal seperti engkau!"
Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak. "Puteri Bhutan" Ha-ha-ha, Puteri Bhutan" Engkau memang sombong dan saat ini aku senang maka aku akan membunuhmu."
Sebetulnya Tek Hoat tidak mau melayani kakek iblis yang dianggapnya gila itu. Pertama karena memang dia tidak mempunyai urusan apa-apa dengan kakek itu, ke dua karena dia sedang tergesa-gesa hendak mendahului rombongan Mohinta menuju ke Bhutan sehingga dia tidak ingin menghabiskan waktunya untuk melayani penghuni Pulau Neraka itu. Akan tetapi ketika dia melihat kakek itu mengeluarkan sebatang pedang yang mengeluarkan sinar berkilat menyeramkan, wajah pemuda ini berubah dan matanya terbelalak.
"Cui-beng-kiam....!" serunya dan matanya melekat kepada pedang di tangan kakek itu.
"Ha-ha-ha, engkau masih mengenalnya" Benar, ini Cui-beng-kiam yang akan minum darah tuannya sendiri, ha-ha-ha!"
Terbayanglah semua peristiwa beberapa tahun yang lalu oleh Tek Hoat. Pedang Cui-beng-kiam itu adalah pedangnya, yang dimilikinya bersama ilmu-ilmu peninggalan Cui-beng Koai-ong seorang datuk dari Pulau Neraka. Akan tetapi, dalam Kisah Sepasang Rajawali diceritakan betapa pedang itu telah terampas oleh Hek-tiauw Lo-mo yang sebagai ketua Pulau Neraka berhak pula memiliki pedang itu. Ketika Ang Tek Hoat menjadi panglima di Bhutan dan berdekatan dengan kekasihnya, yaitu Puteri Syanti Dewi, dia telah melupakan pedang itu, bahkan tidak pernah dia bertanya lagi ketika dia bertemu dengan Hek-tiauw Lo-mo. Tingkat kepandaiannya yang sudah tinggi itu membuat dia tidak terlalu membutuhkan bantuan sebatang pedang, biarpun pedang sedahsyat dan seampuh Cui-beng-kiam. Akan tetapi, kini kakek itu mengeluarkan Cui-beng-kiam untuk mengancamnya. Tentu saja Ang Tek Hoat menjadi marah bukan main. Begitu melihat Cui-beng-kiam, bangkitlah semangatnya dan kalau tadinya dia tidak bernafsu melayani Hek-tiauw Lo-mo, kini timbul kemarahannya dan tekadnya untuk melawan kakek itu dan untuk merampas kembali Cui-beng-kiam!
"Keparat, kembalikan pedangku!" bentaknya dan dia sudah menerjang dengan tamparan-tamparan maut dari jari-jari tangannya yang ampuh.
Hek-tiauw Lo-mo tertawa dan cepat menggerakkan pedang Cui-beng-kiam untuk membabat ke arah kedua tengan pemuda itu. Tek Hoat menarik tangannya dan dia menggunakan kecepatan gerakannya untuk menyerang lagi. Terjadilah pertempuran yang amat hebat antara dua orang sakti ini. Hek-tiauw Lo-mo sedang merasa murung dan jengkel karena hilangnya Hwee Li. Dia memang telah menyetujui untuk menyerahkan Hwee Li kepada Pangeran Nepal, akan tetapi tentu saja penyerahannya itu berdasarkan pamrih agar dia dapat mengangkat diri sendiri menjadi mertua pangeran. Kini, usaha pangeran untuk bersekutu dengan Gubernur Ho-nan mengalami kegagalan dan pangeran itu telah melarikan puterinya. Tentu saja dia menjadi marah dan dia tidak akan melepaskan Hwee Li yang cantik jelita itu begitu saja tanpa ada keuntungan untuk dirinya sendiri. Kemurungannya itu kini ditimpakannya kepada Ang Tek Hoat dan dia menggunakan pedang Cui-beng-kiam, menyecang dengan amat ganasnya untuk membunuh pemuda ini menggunakan pedang pemuda itu sendiri.
Namun, Ang Tek Hoat atau yang sebenarnya ber-she Wan seperti she ayah kandungnya, kini telah memiliki kematangan dalam ilmu silatnya.
Pemuda ini mainkan Ilmu Silat Pat-mo Sin-kun yang digabung dengan Pat-sian Sin-kun, ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari Sai-cu Lo-mo. Sebetulnya ilmu gabungan ini adalah ciptaan dari Puteri Nirahai, isteri pertama dari Pendekar Super Sakti yang dipelajari oleh Sai-cu Lo-mo. Akan tetapi, Tek Hoat telah dapat melatihnya dengan sempurna karena dia memiliki tenaga Inti Bumi yang dipelajarinya dari kitab peninggalan Cui-beng Koai-ong. Oleh karena itu, dalam hal ilmu gabungan Pat-sian Sin-kun dan Pat-mo Sin-kun, pemuda ini telah mencapai tingkat yang tinggi sekali, sebanding dengan tingkat yang dimiliki penciptanya, bahkan mungkin lebih kuat karena tenaga Inti Bumi!
Menghadapi serangan-serangan pedang dari Hek-tiauw Lo-mo, Tek Hoat tidak merasa gentar. Dengan ilmu silatnya yang mengandalkan gerakan cepat itu, dia selalu dapat menghindarkan diri dari tusukan atau bacokan pedang, bahkan dapat membalas dengan pukulan-pukulan maut. Dan yang membuat Hek-tiauw Lomo terkejut sekali adalah penggunaan totokan dengan Ilmu Toat-beng-ci, yaitu ilmu totok dengan jari maut yang mengangkat nama Tek Hoat menjadi si Jari Maut.
Betapapun juga, yang dilawan oleh Tek Hoat adalah seorang kakek iblis yang amat tangguh, maka tidaklah mudah bagi pemuda ini untuk dapat menangkan perkelahian itu. Bahkan dia harus bersikap hati-hati sekali karena dia maklum betapa ampuhnya pedang Cui-beng-kiam yang mengandung racun, juga memiliki hawa yang menyeramkan ini.
Seratus jurus telah lewat dan Hek-tiauw Lo-mo yang tadinya tertawa-tawa itu kini tidak dapat lagi tertawa. Bahkan dia mulai marah dan penasaran sekali karena sebegitu lamanya belum juga dia berhasil merobohkan lawannya yang masih muda. Mulailah dia membantu pedangnya dengan pukulan-pukulan tangan kirinya yang ampuh, yaitu Hek-coa-tok-ciang. Tangan kirinya mengeluarkan uap hitam dan bau yang amis ketika dilancarkan untuk menghantam ke arah Tek Hoat. Namun pemuda ini maklum akan bahaya pukulan itu dan selalu dapat menghindarkan sambil membalas dengan totokan-totokan mautnya.
"Mampuslah!" Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo berteriak nyaring dan Cui-beng-kiam meluncur dengan kecepatan luar biasa ke arah dada Tek Hoat. Pemuda ini terkejut karena pada saat itu dia sedang mengelak dari sambaran pukulan tangan aciri lawan. Tak disangkanya bahwa pukulan dahsyat itu tadi hanya pancingan belaka dan ketika dia mengelak, tubuhnya disambut oleh tusukan pedang. Cepat dia miringkan tubuhnya, maklum bahwa dia berada dalam keadaan berbahaya maka dia pun lalu menggerakkan tangannya membalas dengan tusukan jari tangan ke arah lambung lawan.
"Brettt!"
"Brettt!"
Mereka melangkah mundur dan masing-masing meraba pinggir dada dan lambung yang ternyata hampir saja terkena serangan masing-masing dan baju di bagian itu yang robek! Tek Hoat menggunakan kesempatan itu, ketika meloncat mundur tubuhnya rebah ke atas tanah dan mendadak kedua kakinya meluncur ke arah lawan dengan kekuatan yang amat dahsyat. Itulah tendangan yang menggunakan tenaga Inti Bumi sekuatnya. Angin yang kencang menyambar ke arah Hek-tiauw Lo-mo. Kakek iblis ini terkejut dan hendak meloncat ke belakang untuk mengelak, akan tetapi kurang cepat gerakannya itu karena ujung kaki Tek Hoat telah mengenai tangannya yang memegang pedang Cui-beng-kiam.
"Desss.... ahhh....!" Pedang itu terlepas dari pegangannya tanpa dapat dicegahnya lagi karena tangannya seperti dihantam palu godam raksasa saja dan seperti lumpuh rasanya.
Tubuh Tek Hoat berkelebat cepat dan dia telah menyambar pedang Cui-bengkiam yang melayang terlepas dari tangan lawan tadi dan kini dia berdiri dengan pedang itu di tangan, wajahnya beringas dan tersenyum mengejek amat menyeramkan. Namun, Hek-tiauw Lo-mo yang tadi merasa terkejut itu kini menjadi bertambah marah.
"Bocah setan!" dengusnya dan kini tangan kanannya sudah memegang sebatang golok gergaji yang merupakan senjatanya yang ampuh, sedangkan tangan kirinya memegang jala tipis yang dikepal dan siap dipergunakan. Tek Hoat menghadapi dengan penuh kewaspadaan, karena biarpun kini Cui-beng-kiam tetah berada di tangannya kembali, dia maklum bahwa dengan golok gergaji dan jala tipis di tangan, kakek ini malah lebih berbahaya lagi. Mereka sudah saling berhadapan dengan mata beringas, siap menerjang seperti dua ekor ayam jago berlagak dan hendak bertanding mati-matian.
Akan tetapi pada saat itu terdengar derap kaki kuda yang banyak sekali dari arah timur. Kedua orang itu maklum akan datangnya banyak orang, dan Tek Hoat maklum bahwa itu adalah pasukan yang menyambut Mohinta, sedangkan Hek-tiauw Lo-mo nampak gentar karena dia pun tidak ingin bertemu dengan pasukan yang disangkanya adalah pasukan kerajaan yang melakukan pengejaran. Maka dua orang itu otomatis melompat saling menjauhkan diri dan tak lama kemudian Tek Hoat melihat seekor burung garuda terbang dari dalam hutan, dan kakek iblis itu duduk di atas punggungnya. Dia pun tidak mempedulikannya lagi dan cepat melanjutkan perjalanannya, mendahului pasukan itu menuju ke Bhutan.
*** () *** Kapal yang berlabuh di tepi pantai pulau itu amat besar, indah dan megah. Perabot-perabotnya amat mewah dan pantasnya kapal itu milik seorang raja yang kaya raya. Rantai kapal yang nampak berjuntai ke bawah dan ujungnya mengikat tiang besi di pantai itu terbuat daripada perak! Kapal itu bergoyang-goyang perlahan terdorong air yang berombak sehingga nampak berlenggang-lenggok seperti seorang dara yang cantik dan pesolek. Cat kapal itu masih baru agaknya memang sering dicat seperti seorang dara yang sering membedaki wajahnya sehari beberapa kali. Anak buah kapal! yang hilir-mudik di atas kapal itu semua terdiri dari wanita-wanita cantik dan muda. Paling tua kurang lebih tiga puluh tahun dan mereka itu bergerak dengan gesit dan lemah gemulai, membuat kapal itu nampak lebih elok lagi. Apalagi pakaian para anak buah kapal itu rata-rata mewah, dari sutera-sutera halus beraneka warna, dan kalau kita mendekati mereka, biarpun mereka itu bekerja kasar seperti pelaut-pelaut biasa, sigap dan kuat, namun kulit tangan mereka halus dan tubuh mereka berbau sedap karena memakai bedak wangi dan minyak wangi! Sungguh sebuah kapal yang indah, mewah, dan aneh.
Pulau itu bukan lain adalah Kim-coa-to (Pulau Ular Emas) yang menjadi tempat tinggal Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui, wanita berusia empat puluh tahun lebih yang masih nampak cantik jelita seperti baru berusia dua puluh lima tahun itu. Dan kapal itu adalah kapalnya, sebuah kapal yang memang mewah sekali, yang dibangun dengan biaya amat mahal. Akan tetapi memang wanita ini memiliki harta kekayaan yang luar biasa besarnya, harta karun yang didapatkan di pulau, harta karun yang ditinggalkan oleh bajak-bajak laut jaman dahulu, penuh dengan emas permata yang tak ternilai besarnya.
Seperti telah kita ketahui dari cerita ini di bagian depan, Puteri Bhutan, Syanti Dewi, kini tinggal di Kim-coa-to dan menjadi murid dari Bu-eng-cu Ouw Yan Hui. Puteri Bhutan itu berkenan menarik hati Ouw Yan Hui yang menyayangnya karena kecantikan dan kelembutan puteri itu, dan Ouw Yan Hui ialu melatih ilmunya yang hebat, yaitu ilmu ginkang yang luar biasa kepada Syanti Dewi. Selama setengah tahun lamanya Syanti Dewi dilatih menangkap burung-burung dalam ruangan tertutup dan kini dia telah menjadi seorang puteri yang memiliki ilmu ginkang istimewa. Selain ilmu-ilmu meringankan tubuh yang membuat sang puteri pandai berlari seperti terbang, mempergunakan Ilmu Jouw-sang-hui-teng (Terbang Di Atas Rumput), juga Syanti Dewi diberi pelajaran ilmu silat yang tinggi oleh gurunya.
Syanti Dewi sekarang jauh bedanya dengan Syanti Dewi beberapa bulan yang lalu. Dia telah menjadi seorang wanita yang lihai, dan kecantikannya makin menonjol karena berdekatan dengan Ouw Yan Hui, dia bukan hanya ketularan kepandaian ilmu silat, melainkan juga ketularan sifat pesoleknya, dan juga sifat dingin dan pendiamnya! Syanti Dewi yang dulu lembut dan halus budi, peramah dan seratus prosen penuh sifat kewanitaan dan keibuan, kini menjadi seorang wanita yang wajahnya selalu dirias rapi, cantik jelita seperti bidadari, pakaiannya berganti-ganti dengan pakaian yang amat indah, kadang-kadang berpakaian seperti seorang Puteri Bhutan, kadang-kadang seperti seorang Puteri India, dan kadang-kadang seperti seorang Puteri Kerajaan Ceng atau seorang Puteri Mancu. Namun, memakai pakaian apa pun juga, tetap saja Syanti Dewi nampak cantik jelita seperti bidadari.
Kalau dulu Syanti Dewi murah senyum dan wajahnya selalu cerah, sinar matanya lembut berseri-seri, kini di depan orang lain dia tidak pernah senyum dan sinar matanya tajam menusuk, juga mengandung keangkuhan. Hanya di depan Ouw Yan Hui atau anak buah di Pulau Ular Emas saja dia mau tersenyum, bahkan di waktu berlatih ginkang bersama gurunya dia suka tertawa-tawa dan agaknya kembalilah lagi sifat gembiranya seperti dahulu. Akan tetapi, di depan orang lain, dia bersikap angkuh dingin dan pendiam seperti juga Ouw Yan Hui!
Hubungannya dengan Ouw Yan Hui bukan seperti hubungan guru dan murid, melainkan lebih condong seperti hubungan sahabat. Ouw Yan Hui juga amat sayang kepada muridnya ini karena dia melihat kecantikan yang aseli dan yang membuat dia selalu merasa muda kembali.
Pagi hari itu, para anak buah kapal yang jumlahnya belasan orang itu telah sibuk membersihkan kapal dan mempersiapkan kapal itu karena tocu (majikan pulau) mereka yang bagi mereka merupakan seorang ratu itu telah memberi perintah bahwa menjelang tengahari nanti dia dan muridnya akan berpesiar dengan kapal itu. Wanita-wanita muda yang berada di kapal itu bekerja dengan cekatan, akan tetapi hari yang cerah dengan matahari pagi yang sehat itu membuat mereka menjadi gembira dan sambil bekerja mereka itu bernyanyi-nyanyi.
Tiba-tiba mereka menghentikan nyanyian mereka, bahkan sejenak menghentikan pekerjaan mereka dan semua mata memandang ke tengah laut di mana mereka melihat tocu mereka berkejaran dengan Syanti Dewi. Dan memang merupakan penglihatan yang mentakjubkan sekali dua orang wanita yang sedang berkejaran di tengah laut itu!
Para anak buah Pulau Ular Emas rata-rata juga memiliki kepandaian silat, dan rata-rata memiliki ginkang yang hebat. Akan tetapi, tidak ada seorang pun di antara mereka pernah diberi kesempatan melatih ginkang di atas lautan oleh tocu mereka dan kalau mereka menyaksikan tocu mereka berlatih ginkang di atas air, mereka benar-benar merasa kagum dan ngeri.
Bu-eng-cu Ouw Yan Hui memang telah menciptakan alat untuk berlatih ginkang secara istimewa di atas laut. Alat ini sederhana saja, yaitu merupakan dua batang bambu pendek yang diikatkan di bawah kedua kaki merupakan alas kaki atau sebetulnya merupakan alat penampung karena bambu-bambu itu membuat tubuhnya terapung di atas air. Akan tetapi, untuk mencegah agar jangan sampai tubuhnya terguling, cara menginjak bambu-bambu itu harus dapat mengatur keseimbangan tubuh secara luar biasa. Di samping ini, juga kedua kaki harus digerakkan cepat. meluncur bergantian ke depan sehingga dari jauh nampak seolah-olah wanita cantik itu pandai berjalan di permukaan air!
Cara berlatih seperti ini membuat tubuh Ouw Yan Hui ringan dan cekatan sekali sehingga kalau dia melepaskan bambu dan berlari di atas daratan, maka kecepatannya seperti seekor kijang berlari saja. Dan Syanti Dewi yang rupanya memiliki bakat baik untuk ilmu ginkang, kini mulai dilatih dengan dua potong bambu di bawah kakinya itu dan ternyata dalam waktu singkat saja Syanti Dewi sudah mulai pandai berlari-lari mempergunakan dua potong bambu itu di atas air, bahkan sudah berani menerjang ombak bergelombang di tengah laut!
Pagi hari itu guru dan murid ini pun melakukan latihan tingkat terakhir untuk Syanti Dewi. Mereka berkejaran di atas permukaan laut, di antara ombak-ombak yang mengganas sambil tertawa! Hebatnya, biarpun mereka berdua berlatih di atas laut, di antara ombak-ombak bergelombang, mereka itu mengenakan pakaian yang istimewa, bersih dan mewah! Apalagi Syanti Dewi! Agaknya puteri ini memang disayang dan dimanja oleh gurunya sehingga gurunya membuatkan banyak sekali pakaian untuknya. Di pagi hari itu, Syanti Dewi mengenakan pakaian puteri India di tubuhnya yang menggairahkan. Rambutnya yang hitam, halus dan panjang sampai ke pinggul itu dibiarkan teruirai lembut dan hanya diikat dengan ikat kepala yang terbuat daripada emas dan yang dihias sebuah permata besar yang bergantung di dahinya berkilauan tertimpa sinar matahari. Rambut itu berkibar di belakang tubuhnya bersama ujung kain sari yang membungkus tubuhnya dan yang ujungnya disampirkan di pundak kirinya. Bajunya yang pendek model India itu membiarkan pinggangnya dan sebagian perutnya telanjang sehingga nampak kulit yang putih kuning dan halus menggairahkan, kadang-kadang tertutup sari yang tipis dan tembus pandang, kadang-kadang terbuka sehingga pinggang telanjang ini merupakan daya tarik yang istimewa. Kain sarinya melambal-tambal tertiup angin kencang. Wajahnya demikian segar kemerahan karena dia harus mengerahkan banyak tenaga ketika berloncatan di atas ombak-ombak dahsyat itu, mengelak ke sana-sini menghindarkan hempasan ombak sambil mengatur keseimbangan tubuhnya. Kedua tengan memainkan peranan penting dalam latihan seperti ini, karena untuk menjaga dan mengatur keseimbangan tubuh, kedua lengan itulah yang bekerja keras, kadang-kadang yang kanan naik yang kiri turun dan sebaliknya, seperti orang menari. Dan karena kedua lengan Puteri Bhutan itu dihias gelang-gelang emas maka setiap gerakan tangannya menimbulkan bunyi berkerincing, seolah-olah memperlengkap suara air mengalun menjadi semacam musik pengiring tariannya yang luar biasa itu. Sepasang sepatunya yang kecil terbuat dari kulit mengkilap, bentuknya agak tinggi menutupi mata kakinya dan sepatunya itu diikat pada sepotong bambu, sehingga dua potong bambu menjadi penyambung kedua kakinya seperti dua buah perahu kecil. Dengan bantuan pengapung bambu itu berlarilah Syanti Dewi, bagaikan peri atau Dewi Laut sendiri bermain-main di antara gelombang lautan yang dahsyat.
Tidak jauh di belakang, meluncur tubuh Ouw Yan-Hui, guru dan sahabatnya, dengan gerakan yang lebih ringan dan lebih cekatan daripada Syanti Dewi, namun tidak seindah gerakan Syanti Dewi yang seperti orang menari-nari untuk menjaga keseimbangan tubuhnya itu. Seperti biasanya, Bu-eng-cu Ouw Yan Hui juga memakai pakaian mewah dan indah, rambutnya digelung rapi dan dia kelihatan seperti Dewi Kwan Im Pouwsat sendiri, demikian agung dan ayunya.
"Enci Hui, mari kita berlomba ke kapal!" Syanti Dewi berseru gembira.
"Baik, kaularilah dulu, nanti kukejar!" jawab Ouw Yan Hui.
Maka berlarianlah dua orang wanita cantik itu semakin cepat sehingga para anak buah kapal layar itu memandang makin kagum karena kini dua orang wanita itu seperti terbang saja di atas permukaan laut. Dan Bu-eng-cu Ouw Yan Hui diam-diam merasa kagum karena kemajuan pesat dari Puteri Bhutan. Biarpun dia akhirnya dapat menyusul dan mendahului Syanti Dewi menyambar tali tangga dan naik ke kapal, namun hanya sedikit saja selisihnya dan ternyata bahwa kecepatan moridnya itu sudah hampir menyamainya!
"Bibi Maya Dewi....!" Syanti Dewi mendengar seruan Ouw Yan Hui yang telah lebih dulu naik ke kapal. "Kapan Bibi datang...."
Syanti Dewi cepat naik ke kapal dan dia melihat seorang wanita India yang amat cantik. Usia wanita itu kurang lebih tiga puluh tahun, rambutnya masih hitam, halus mengkilap dan dibiarkan terurai ke belakang. Kepalanya dihias seuntai pengikat rambut terbuat dari permata merah dan hiasan permata yang berjuntai di dahinya amat besar, biru berkilauan. Wajahnya segar dan cantik, dengan sepasang mata lebar berseri-seri. Juga tubuhnya masih nampak padat, kulit perut dan pinggang yang nampak antara baju dan celana, sedikit tertutup sari tipis itu masih halus dan putih bersih. Lehernya mengenakan kalung dari permata pula, dan kedua lengannya dihias gelang emas bertumpuk. Wanita yang cantik sekali, agung, dan berpakaian indah! Inikah "bibi Maya" yang perah disebut oleh Ouw Yan Hui itu" Memang cantik, akan tetapi tidak secantik Ouw Yan Hui, juga tidak semuda Ouw Yan Hui!
"Aku baru saja datang, Yan Hui, dengan perahu kecil. Kabarnya engkau mempunyai seorang murid yang hebat.... ah, diakah orangnya" Wanita itu memandang kepada Syanti Dewi yang baru saja naik ke kapal.
"Benar, Bibi. Inilah dia, Syanti Dewi dari Bhutan, muridku, juga sahabatku yang tercinta!" Dengan gembira Ouw Yan Hui menghampiri Syanti Dewi dan merangkul pundak sahabat ini, diajak mendekat sambil berbisik di dekat telinga Puteri Bhutan itu, "Syanti, Bibi Maya Dewi ini sudah berusia enam puluh tahun lebih!"
"Ahhh....!" Kini Syanti Dewi melongo memandang kepada wanita itu. "Tidak mungkin!" Dia mengeluarkan kata-kata ini dengan keras karena memang dia terkejut dan terheran-heran bukan main. Wanita yang cantik jelita itu, yang tak mungkin lebih dari tiga puluh tahun usianya, adalah seorang nenek berusia enam puluh tahun"
"Mari kita masuk ke bilik, Bibi Maya. Mari Syanti, kita bicara di dalam."
Tiga orang wanita cantik itu masuk ke dalam bilik kapal dan para anak buah kapal segera melanjutkan pekerjaan mereka. Setelah tiba di dalam bilik kapal, Ouw Yan Hui memeluk wanita itu dan mencium kedua pipinya dengan mesra, dibalas pula oleh nenek Maya Dewi yang cantik itu dengan penuh kemesraan pula. Syanti Dewi memandang dengan melongo dan hanya mengira bahwa memang demikianlah kebiasaan kedua orang wanita itu saling memberi salam.
"Syanti Dewi, inilah Bibi Maya Dewi seperti yang pernah kuceritakan kepadamu dulu. Dia hebat sekali, bukan" Usianya sudah enam puluh tahun lebih, dan lihatlah wajahnya yang cantik, lihatlah tubuhnya yang padat dan mulus seperti tubuh seorang dara! Hayo kau lekas memberi hormat kepada Bibi Maya Dewi, Syanti."
Syanti Dewi cepat menjura dan memberi hormat dengan sembah, yaitu dengan merangkapkan kedua tangan yang terbuka dan dibawanya kedua tangan itu ke depan hidungnya. Akan tetapi, wanita itu lalu melangkah maju dan merangkulnya. "Tak perlu segala penghormatan itu, Dewi. Lebih baik biarkan aku menciummu sebagai salam perkenalan." Wanita itu lalu merangkul lehernya dan mencium kedua pipinya dengan mesra. Karena menyangka bahwa memang demikian cara wanita ini memberi salam, maka Syanti Dewi dengan tersenyum juga membalas dan menggunakan hidungnya menyentuh pipi nenek itu. Dia mencium bau harum minyak wangi yang keras.
Akan tetapi, betapa terkejut rasa hati puteri ini ketika tiba-tiba mulut wanita itu mengecup bibirnya dan jari-jari tangan wanita itu mengelus dadanya! Hampir dia menjerit dan cepat dia menarik dirinya lepas dari rangkulan wanita itu, mukanya berubah merah sekali dan sepasang matanya yang lebar dan jernih itu terbelalak.
Ouw Yan Hui segera memegang lengannya. "Aihhh, Bibi Maya mengejutkan hati adik Syanti dengan salamnya."
Wanita itu memejamkan matanya. "Hemmm, sedap sekali bau keringatmu, Dewi yang jelita. Engkau sungguh seorang anak yang manis sekali, dan betapa akan hebatnya kaleu kecantikanmu yang seperti dewi kahyangan itu dibikin abadi sehingga selamanya engkau akan tetap tinggal cantik jelita seperti ini!"
Rasa kaget sudah mereda, dari hati Syanti Dewi dan dia masih mengira bahwa memang cara nenek itu memberi salam adalah luar biasa anehnya, bukan saja memeluk dan menciumi pipi, bahkan mengecup bibir dan menggerayangi dada! Kini mendengar ucapan wanita itu, dia terheran dan bertanya, "Apa.... apa maksudmu...."
Ouw Yan Hui sudah merangkulnya dan baru kini Syanti Dewi merasa betapa rangkulan sahabat dan gurunya ini amat mesra. Biasanya dia tidak merasakan hal ini dan menganggapnya sebagai rangkulan seorang sahabat baik, akan tetapi setelah dia mengalami rangkulan dan ciuman nenek Maya Dewi tadi, dia merasa betapa rangkulan-rangkulan Ouw Yan Hui juga amat mesranya sehingga dia merasa bulu tengkuknya dingin.
"Adik Syanti, lupakah engkau akan keherananmu melihat aku yang sudah berusia empat puluh tahun lebih masih kelihatan muda" Dan Bibi Maya ini sudah berusia enam puluh tahun lebih! Dialah yang menjadi guruku dalam hal ilmu mempercantik diri dan ilmu awet muda. Dia dapat membuat kecantikanmu ini menjadi abadi, Syanti Dewi. Dengan cara pengobatannya dan caranya memelihaa kecantikan, maka engkau akan tetap kelihatan secantik sekarang ini tiga empat puluh tahun lagi."
"Ahhh....! Mana mungkin" Rambutku akan beruban dan putih...."
"Hi-hik, lihat rambutku, Dewi. Apakah kalah hitam dan kalah halus panjang daripada rambut orang muda" Maya Dewi membelai rambutnya sendiri. "Dan lihat betapa tidak ada sehelai pun rambut uban!"
"Tapi.... tapi...."
"Apakah engkau tidak ingin tetap cantik dan muda selamanya, Syanti" tanya Ouw Yan Hui.
"Tentu.... tentu saja...." Syanti Dewi menjawab bingung. Wanita mana di dunia ini yang tidak ingin awet muda dan tetap cantik selamanya dan tidak dirusak oleh usia muda"
"Kalau begitu bersiaplah! Aku akan membuatmu tetap cantik selama hidupmu, Dewi. Sayang kalau kecantikan seperti yang kaumiliki itu kelak habis dimakan keriput dan uban, atau ditelan oleh lemak. Yan Hui, suruh orang-orangmu mempersiapkan semua keperluan merendam Dewi dalam air ramuan!"
Tak lama kemudian sibuklah para pelayan mempersiapkan sebuah bak air atau lebih patut disebut gentong karena bentuknya seperti gentong besar dan dicat indah. Gentong besar ini diisi air jernih oleh para pelayan itu, kemudian mereka semua disuruh keluar dari bilik dan mulailah nenek Maya Dewi menuangkan ramuan obat di dalam air itu. Tercium bau harum semerbak dan air jernih itu berubah menjadi agak kemerahan. Sambil memejamkan mata membaca manteramantera dalam bahasa India Kuno, Maya Dewi lalu menaburkan bubuk kuning ke dalam gentong atau guci besar berisi air kemerahan itu dan tiba-tlba saja air itu mendidih! Syanti Dewi memandang dengan mata terbelalak dan penuh keheranan, juga kekaguman. Tentang ilmu-ilmu ajaib seperti ini, dia sudah banyak mendengar dan melihat di negerinya, akan tetapi baru sekarang dia melihat betapa ada ilmu yang membuat orang menjadi awet muda dan cantik sehingga seorag nenek berusia enam puluh tahun lebih masih kelihatan secantik itu.
"Sekarang tanggalkanlah semua pakaianmu, Dewi" kata nenek itu dengan suara halus dan mesra.
"Menanggalkan pakaian...." Syanti Dewi menjawab dan mukanya menjadi merah sekali. Belum pernah selamanya dia menanggalkan pakaiannya, kecuali di depan para pelayan pribadinya di lstana Bhutan, akan tetapi para pelayan wanita itu adalah pelayan-pelayan yang telah mengenalnya sejak dia masih anak-anak sehingga dia tidak merasa malu lagi.
"Aihhh, Adik Syanti, mengapa meragu" Di sini tidak ada orang lain, yang ada hanya aku dan Bibi Maya. Mengapa malu" Hayolah, kubantu kau...."
Karena bujukan halus ini akhirnya Syanti Dewi membiarkan dirinya ditelanjangi dan dengan muka merah sampai ke lehernya akhirnya dia berdiri telanjang bulat di depan kedua orang wanita itu yang memandangnya dengan sepasang mata penuh kagum dan takjub.
"Bukan main...." Nenek itu seperti merintih dan beberapa kali menelan ludah.
"Adikku yang manis, engkau hebat...." Ouw Yan Hui berbisik dan dari kedua matanya turun dua butir air mata! Begitu terharu wanita ini menyaksikan kejelitaan yang seolah-olah tanpa cacat di depannya itu.
"Apa.... apa yang harus kulakukan, Enci...." Syanti Dewi bertanya halus dengan suara agak gemetar sambil berusaha menutupi bagian depan tubuhnya dengan rambut dan tangan.
"Kau masuklah ke sini, masuklah ke dalam guci ini, Sayang...." Nenek itu berkata dengan suara gemetar pula. "Aku akan memijati tubuhmu dan engkau selamanya takkan pernah menjadi tua."
Karena sudah terlanjur dan juga memang dia amat tertarik untuk dapat tetap muda selamanya, Syanti Dewi lalu mendekati guci. Melihat air itu mendidih, dia bergidik, lalu menyentuh air itu dengan tangannya. Aneh! Biarpun air itu kelihatan mendidih, namun ternyata dingin sekali! Maka dia lalu menggunakan kedua tangan menekan bibir guci, mengangkat tubuhnya dan masuk ke dalam guci, berjongkok sampai air itu mencapai lehernya.
"Sekarang, kendurkan seluruh uratmu, jangan melawan dan biarkan pijitanku mengatur jalan darahmu," kata nenek itu, kemudian Syanti Dewi merasa ada jarijari tangan menyusuri tubuhnya, dari leher, ke pundak, ke dada, terus ke bawah. Mula-mula terasa geli seperti digelitik, akan tetapi lambat-laun ada rasa nyaman dan nikmat dan dia membiarkan tubuhnya dipijiti dan makin lama dia merasa seolah-olah terapung di angkasa. Dia memejamkan kedua matanya, memeluk pundak menyilangkan kedua lengan depan dada, sampai dia mendengar suara Ouw Yan Hui.
"Sudah, Bibi, engkau membuat aku tidak kuat menahan....!"
Syanti Dewi membuka matanya dan melihat Ouw Yan Hui berdiri dengan muka merah sekali, mata hampir terpejam dan tubuh wanita itu menggigil. Selagi dia merasa terheran-heran, Maya Dewi berkata kepadanya, "Pejamkan matamu, Dewi, dan aku akan memandikanmu dengan air keramat Sungai Gangga!"
Syanti Dewi menurut saja. Dia memejamkan matanya dan nenek itu lalu menuangkan air dari sebuah poci air. Terasa dingin sekali air itu menimpa ubun-ubun kepala Syanti Dewi. Teringat bahwa air itu adalah air keramat dari sungai suci, yaitu Sungai Gangga itu, Syanti Dewi menggigil. Sebagai seorang puteri dari Bhutan, tentu saja dia mengenal Sungai Gangga yang dianggap sebagai sungai yang suci di India itu. Dia mendengar betapa nenek itu mengucapkan mantera ketika air itu bercucuran menimpa ubun-ubun kepalanya.
Setelah menuangkan air suci itu, kembali nenek Maya Dewi mengurut punggung Syanti Dewi, dari tengkuk sampai ke pinggul. Nikmat rasanya diurut seperti itu, dan akhirnya selesailah "pengobatan" dengan mandi air keramat itu. Syanti Dewi diperbolehkan keluar dan dibantu oleh Ouw Yan Hui, dia mengeringkan tubuhnya dan mengenakan kembali pakaiannya. Rambutnya yang masih basah dibiarkan terurai.
"Bagus! Kini di dunia ada tiga orang wanita yang tidak akan mengenal usia tua!" kata Maya Dewi dengan wajah berseri dan dia memandang kepada Syanti Dewi dengan mata bersinar-sinar. "Dan engkaulah yang tercantik di antara kita bertiga, Dewi! Engkau akan dikagumi seluruh manusia di dunia ini, dipuja dan dianggap sebagai dewi kahyangan!"
"Kita harus rayakan peristiwa ini! Mari, mari kita berpesta dan biarkan kapal ini dilayarkan ke tengah lautan," kata Ouw Yan Hui.
Maya Dewi mengangguk-angguk. "Benar, sebaiknya Syanti Dewi melanjutkan pengobatan di tengah lautan, jauh dari keramaian dunia."
"Apakah.... apakah pengobatan itu masih harus dilanjutkan lagi....!" tanya Syanti Dewi yang merasa enggan dan malu mengenangkan cara pengobatan seperti tadi.
"Tentu saja, akan tetapi mandi air keramat hanya satu kali tadi cukuplah. Mandi air keramat itu dimaksudkan untuk mencuci bersih semua kekotoran yang ada pada dirimu. Akan tetapi engkau adalah seorang perawan, Dewi, dan tubuhmu masih bersih, maka mandi satu kali saja cukuplah bagimu. Selanjutnya engkau hanya akan minum pil pengawet muda dan harus kupijit dan urut beberapa hari lamanya."
Mereka bertiga keluar dari bilik dan pesta pun dimulailah bersama bergeraknya kapal meninggalkan pulau itu menuju ke tengah lautan, perlahan-lahan digerakkan oleh hembusan angin lembut pada layar-layar kapal. Masakan-masakan yang masih mengepulkan uap dihidangkan di atas meja dan tiga orang wanita cantik itu mulai makan minum.
Nenek Maya Dewi menyerahkan sebutir pil merah kepada Syanti Dewi. "Kautelanlah ini bersama secawan arak merah, Dewiku."
Syanti Dewi menurut dan ternyata pil itu menambah manisnya arak. "Apakah saya harus pantang makan sesuatu"
"Tidak ada pantangan makanan apa-apa, hanya...."
"Bibi Maya, biarkan Adik Syanti Dewi, membiasakan diri lebih dulu." Tiba-tiba Ouw Yan Hui memotong dan nenek itu tidak melanjutkan keterangannya, akan tetapi Syanti Dewi juga tidak menduga lain dan mulailah mereka makan masakan-masakan lezat.
Kehidupan di atas kapal pesiar itu amat mewah. Kapal menjelajahi pulau-pulau yang indah, taman-taman laut yang memperlihatkan pemandangan indah dengan ikan-ikan beraneka warna di waktu air tenang. Akan tetapi Syanti Dewi merasa tersiksa apabila dia harus membiarkan dirinya diurut dan dipijiti oleh Maya Dewi. Jari-jari tangan nenek itu benar-benar amat nakal dan kalau sudah mengurut, memijit, jari-jari itu membelai-belai, membuat Syanti Dewi menggigil dan semua bulu di tubuhnya meremang. Kalau tidak ingat bahwa nenek itu adalah seorang wanita, tentu dia sudah memberontak, bahkan memukulnya! Kalau dia memprotes, nenek itu menghiburnya.
"Memang harus begini, Dewi. Kalau tidak, bagian ini akan mengendur kelak setelah usiamu bertambah." Dengan alasan seperti itu, terpaksa Syanti Dewi membiarkan saja nenek itu menjelajahi semua bagian tubuhnya dengan gerakan-gerakan jari tangan yang amat kurang ajar! Kadang-kadang dia seperti terlena, seperti tenggelam karena betapapun juga, gerakan-gerakan itu mendatangkan rasa nikmat yang amat aneh dan menakutkan sehingga kadang-kadang dia terpaksa meronta sehingga jari-jari itu mengurangi gerakan-gerakannya.
Tiga hari kemudian, kapal itu melakukan pelayaran kembali ke Kim-coa-to, dan malam itu Syanti Dewi secara kebetulan lewat di depan bilik Ouw Yan Hui dan mendengar secara aneh dari dalam bilik itu. Suara orang mendengus-dengus dan terengah-engah, seperti suara orang yang sedang kesakitan hebat. Dia sudah hendak mengetuk pintu, akan tetapi tiba-tiba dibatalkannya niat mengetuk pintu itu karena dia mendengar bahwa suara terengah-engah itu adalah suara dua orang manusia! Keheranannya mendorongnya untuk menyelinap ke arah jendela bilik dan mengintai. Dan apa yang dilihatnya membuat dia bengong sejenak, mengintai lagi dan bengong lagi. Dia melihat Ouw Yan Hui dan Maya Dewi, dua orang wanita cantik itu dengan telanjang bulat sedang bergulat di atas pembaringan! Syanti Dewi merasa bulu tengkuknya meremang dan cepat-cepat dia melangkah mundur, akan tetapi perasaan heran membuat dia masih mendekati jendela. Dia tidak mengerti apa yang sedang dilakukan oleh dua orang itu. Tentu saja dia cukup mengerti, dari kitab-kitab yang dibacanya, tentang hubungan jasmani antara pria dan wanita. Namun selama hidupnya belum pernah dia mendengar akan hubungan seperti itu antara wanita dan wanita pula! Dugaannya tidak menjurus ke situ dan dia hanya terheran-heran saja.
Kemudian dia mendengar mereka bercakap-cakap dalam bisikan-bisikan. "Dia sungguh bodoh dan hatinya keras...." terdengar suara Maya Dewi. Mereka berdua bicara dalam bahasa India yang tidak dimengerti oleh para anak buah Pulau Kim-coa-to, akan tetapi dimengerti baik oleh Syanti Dewi.
"Engkau harus sabar, Bibi. Ingat, dia masih perawan, dia masih murni dan belum tahu apa-apa....! Sebaiknya menanti kalau kita sudah berada di pulau dan dengan obat.... shhhhh...." Tiba-tiba suara Ouw Yan Hui terhenti dan Syanti Dewi la1u sengaja berjalan dan bersenandung, kebiasaannya kalau dia berjalan-jalan di dek kapal seorang diri.
Pada keesokan harinya, kapal berlabuh di Kim-coa-to dan mereka bertiga turun dari kapal memasuki istana di tengah pulau, istana yang megah dan mewah.
"Tinggal satu malam ini lagi dan pengobatanmu sudah selesai, Dewi. Malam ini aku akan menjagamu karena pengobatan itu harus diulangi sampai nampak ada tanda bahwa semua telah berhasil baik," kata Maya Dewi, Syanti Dewi tidak menjawab dengan kata-kata, hanya mengangguk, akan tetapi di dalam hatinya mulai timbul kecurigaan bahwa agaknya ada sesuatu yang dia tidak mengerti sama sekali, sesuatu yang aneh dan mengerikan!
*** () *** "Kauminumlah secawan arak ini. Inilah pengobatan minumlah terakhir, Dewi. Dan malam ini aku akan menemanimu semalam, maka selesailah sudah pengobatan ini dan engkau selamanya akan menjadi seorang wanita yang paling cantik di dunia ini! Besok aku akan meninggalkan Kim-coa-to. Minumlah."
Syanti Dewi menerima cawan arak itu dan minum arak merah. Tercium bau harum yang lain dari biasanya, akan tetapi tanpa ragu-ragu diminumnya sampai habis arak itu.
"Ke manakah Bibi akan pergi" tanyanya biasa saja sambil menaruh cawan kosong ke atas meja.
"Aku" Wanita itu tersenyum dan untuk ke sekian kalinya Syanti Dewi kagum melihat deretan gigi putih yang masih rari itu, seperti gigi orang muda saja. "Ah, aku hidup seperti bayangan, ke mana saja hati ini menghendaki. Mungkin aku akan terus ke India dan kalau benar demikian, akan lamalah kita dapat berjumpa kembali, Dewi. Akan tetapi, aku takkan dapat melupakan engkau, karena sungguh mati, engkaulah dara tarcantik yang pernah kutemui selama hidupku dan aku girang sekali dapat membuat kecantikanmu ini abadi, Syanti Dewi."
"Terima kasih atas kebaikan Bibi Maya."
Malam itu, seperti biasa, Maya Dewi memijati tubuh Syanti Dewi dan mengurut-urut punggungnya. Syanti Dewi merasa mengantuk sekali dan akhirnya dia tidak dapat menahan kantuknya, dia pulas selagi punggungnya masih diurut oleh nenek yang cantik itu.
Syanti Dewi bermimpi. Dia merasa seperti dikejar oleh seorang manusia bermuka iblis mengerikan. Dia sudah mempergunakan ginkangnya yang dia pelajari dari Ouw Yan Hui, namun iblis itu amat cepat larinya dan akhirnya dia tersusul dan dia diterkam dari belakang. Syanti Dewi meronta dan melawan, namun iblis itu terlampau kuat baginya dan iblis itu berusaha untuk memperkosanya. Syanti Dewi mempertahankan diri sekuatnya dan akhirnya dia menjerit, "Tek Hoattt....!" karena dalam keadaan berbahaya itu dia teringat kepada kekasihnya.
Dengan tubuh penuh keringat Syanti Dewi sadar dari mimpi. Dia mengeluh karena merasa betapa tubuhnya dipeluk orang dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia membuka mata melihat bahwa dia dalam keadaan telanjang bulat. Dia merasa betapa dada yang bulat besar dari nenek ini menekan dadanya dan mulut nenek itu menciumnya, mencium mulutnya dengan penuh dengusan nafsu berahi! Sejenak Syanti Dewi merasa seperti dihanyutkan dalam arus air yang amat kuat bahkan ada dorongan hati aneh yang membuat dia condong membalas cluman itu! Dia merasa betapa tubuhnya hangat dan panas-panas, betapa ada gairah di dalam hatinya untuk diperlakukan dengan mesra oleh seseorang, dan tanpa disadarinya sendiri dia pun merangkul leher nenek itu sambil mengeluh.
"Syanti...., Dewiku.... kau sungguh cantik, hemmm....!"
Ketika merasa betapa tangan nenek itu menggerayanginya, betapa tubuhnya ditindih, Syanti Dewi teringat kepada Tek Hoat, teringat kepada adegan antara Ouw Yan Hui dan Maya Dewi dan dia menahan jeritnya, lalu menggnakan tangan untuk mendorong pundak Maya Dewi. Dia mendorong sambil mengerahkan tenaga sehingga tak dapat dicegah lagi tubuh Maya Dewi terlempar dari atas pembaringan!
"Aduhhh.... ah, apa yang kaulakukan ini, Dewi...." Maya Dewi merangkak bangun dan kini berdiri dalam keadaan telanjang bulat di depan Syanti Dewi. Dara ini memandang dengan mata terbelalak. Biarpun dari dalam tubuhnya masih bergelombang gairah nafsu yang tidak normal, namun melihat wanita itu berdiri telanjang bulat, dengan mulut setengah terbuka mendengus-dengus, mata setengah terpejam, kedua tangan dikembangkan seperti hendak memeluknya, dia merasa ngeri bukan main!
"Bibi.... jangan begitu....!" Dia terengah, menyambar pakaiannya dan bergegas mengenakan pakaiannya.
"Dewiku.... ke sinilah.... aih, aku sayang padamu, Dewi, aku cinta padamu, marilah kaulayanilah aku, Dewi....!" Rayuan ini membuat Syanti Dewi menjadi makin ngeri dan dia meloncat untuk menghindarkan terkaman Maya Dewi yang seperti sudah menjadi mabuk itu, kemudian dia lari keluar dari dalam kamar.
"Dewiku.... kembalilah.... kembalilah kau....!" Maya Dewi mengejar, akan tetapi wanita ini hanya lihai dalam ilmu mempercantik diri dan mempergunakan ramuan untuk membuat dirinya awet muda saja, namun dalam hal ilmu silat apalagi ilmu berlari cepat, tentu saja dia tidak dapat melawan Syanti Dewi yang sudah lari cepat dan lenyap dari situ.
Dengan napas terengah-engah dan muka pucat, ngeri dan takut seperti dikejar setan, Syanti Dewi berlari terus keluar dari istana Ouw Yan Hui itu, tidak mempedulikan teguran dan pertanyaan para anak buah Ouw Yan Hui, lalu dia mendorong sebuah perahu kecil ke air, mendayung perahu ke tengah dan memasang layar. Selama ini dia sudah mempelajari ilmu mengemudikan perahu layar maka sebentar saja karena angin sedang bertiup kencang perahunya meluncur ke tengah laut meninggalkan Kim-coa-to. Dia hanya ingat akan arah daratan besar, maka tanpa mempedulikan sesuatu dia menujukan perahunya ke kanan, meninggalkan pulau itu. Angin yang bertiup kuat itu membuat rambutnya terurai ke belakang dan udara yang dingin mulai mengusir hawa panas yang membuat tubuhnya menjadi tidak karuan rasanya, yang mendorong gairah nafsu aneh dari dalam hatinya. Dia bergidik dan mulai menggigil. Mengertilah dia kini bahwa arak terakhir yang diminumnya malam tadi bukan obat melainkan arak yang mengandung racun perangsang! Akan tetapi, tetap saja dia tidak mengerti dan terheran-heran mengapa seorang wanita seperti Maya Dewi itu bisa tergila-gila kepadanya, seorang wanita pula. Mengapa seorang wanita ingin membujuk rayu seorang wanita lain, bahkan kelihatan begitu bernafsu, seolah-olah hendak mengajaknya bermain cinta, hendak memperkosanya! Syanti Dewl bergidik. Tentu nenek itu telah berubah gila, pikirnya. Kalau tidak gila, mana mungkin ada wanita timbul berahinya melihat wanita lain"
Tentu Eenci Yan Hui akan mencariku, pikirnya. Dan teringat kepada Yan Hui, dia teringat pula akan adegan yang dilihatnya dalam kamar Ouw Yan Hui yaitu ketika dia melihat Ouw Yan Hui dan Maya Dewi dalam keadaan bugil sedang bergulat! Apakah yang mereka telah lakukan" Syanti Dewi makin ngeri dan bergidik, akan tetapi dia menjadi makin bingung. Apakah mereka berdua itu sudah gila" Dia tahu bahwa Ouw Yan Hui adalah seorang pembenci pria, akan tetapi mengapa main gila seperti itu dengan sesama wanita" Mungkinkah itu" Syanti Dewi merasa makin bingung.
*** () *** Kita tinggalkan dulu Syanti Dewi yang melarikan diri dari Pulau Kim-coa-to di waktu tengah malam dengan menggunakan perahu layar itu dan mari kita mengikuti perjalanan Kim Hwee Li yang dilarikan oleh Pangeran Liong Bian Cu, dan Suma Kian Lee yang mengejar larinya pangeran dari Nepal itu.
Setelah berhasil lari keluar dari dalam benteng sambil memondong tubuh Kim Hwee Li yang telah lemas ditotoknya, Pangeran Liong Bian Cu atau Bharuhendra, tiba di luar pintu rahasia dan di tempat itu memang telah siap menanti beberapa orang pengawal pribadinya. Cepat Pangeran Nepal ini minta seekor kuda dan meloncat ke atas punggung kuda itu dan membalapkannya ke arah barat, ke pegunungan yang penuh dengan hutan-hutan lebat.
Di tengah sebuah hutan di lereng gunung, terdapat sebuah rumah kecil mungil yang tersembunyi di antara pohon-pohon. Inilah rumah yang dibangun oleh Pangeran Liong Bian Cu pula, untuk keperluan peristirahatan di waktu dia melakukan olah raga berburu binatang di waktu dia masih berkuasa di dalam benteng. Rumah itu biasanya terjaga oleh belasan orang perajurit, akan tetapi agaknya para perajurit itu telah mendengar akan bobol dan runtuhnya benteng sehingga ketika Pangeran Liong Bian Cu tiba di situ, dia mendapatkan rumah yang kosong, tidak nampak seorang pun penjaga.
"Pengecut-pengecut rendah, gentong-gentong nasi kosong menjemukan" Pangeran Liong Bian Cu memaki dengan perasaan sebal melihat betapa tempat itu sudah ditinggal pergi oleh para penjaga. Sambil memondong tubuh Hwee Li, dia membuka daun pintu depan dengan kakinya, kemudian memasuki rumah yang cukup mewah biarpun kecil itu.
"Pangeran, kaulepaskan aku....!"
Liong Bian Cu merebahkan tubuh Hwee Li ke atas dipan panjang di sudut ruangan itu, lalu dia sendiri duduk di atas kursi dekat dipan, menarik napas panjang beberapa kali dengan hati murung. Gerakannya telah gagal sama sekali.
"Engkau tahu, Hwee Li, bahwa aku cinta sekali kepadamu, maka tentu saja tak mungkin aku melepaskanmu. Engkau harus menjadi isteriku, Sayang, baik aku berhasil atau pun gagal."
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hening sejenak dan Hwee Li yang masih belum dapat menggerakkan kaki tangannya itu mengerutkan alisnya, mencari akal. Namun agaknya sukar baginya untuk membebaskan diri karena kini pangeran yang murung dan kecewa itu telah mengenal segala siasat dan akalnya, maka tentu pangeran itu akan hati-hati.
"Lalu apa yang akan kaulakukan terhadap diriku, Pangeran" tanyanya, suaranya mengandung keluhan dan kedukaan hebat yang sengaja dilakukan untuk meruntuhkan hati pangeran yang dia tahu amat mencintanya itu.
"Kita beristirahat dulu di sini malam ini, dan besok tentu ada anak buahku yang akan datang menjemput. Kau tahu betapa aku cinta padamu, Hwee Li, dan engkau akan kuajak ke Nepal di mana kita akan menikah dengan resmi.
"Tddak, aku tidak mau!" Hwee Li berkata sambil memandang dengan mata terbelalak.
Pangeran itu menghela napas panjang. "Mau atau tidak, engkau harus menjadi isteriku, Sayang! Kalau selagi bertunangan engkau tidak dapat belajar mencintaku, biarlah setelah menjadi isteriku engkau belajar membalas cinta kaslhku. Engkau akan hidup mulia di Nepal, Hwee Li."
"Tidak.... ah, aku tidak mau.... aku tidak dapat hidup bersamamu, Pangeran kaukasihanilah aku, kaubebaskan aku, Pangeran...." Hwee Li yang tidak melihat jalan keluar itu kini menangis!
Pangeran Liong Bian Cu bangkit dari atas kursi dan kini dia menghampiri Hwee Li, duduk di tepi dipan.
"Jangan dekati aku, jangan sentuh aku.... hu-hu-hu.... aku akan membunuh diri kalau kaujamah tubuhku...."
Pangeran itu nampak berduka sekali, "Kim Hwee Li, mengapa engkau bersikap begini menusuk peraaaanku dan menyedihkan hatiku" Aku tidak akan mengganggumu, aku aungguh cinta padamu, dan aku tidak ingin menguasai hati dan tubuhmu secara paksa. Aku ingin engkau membalas cintaku, Hwee Li. Lupakah engkau bahwa engkau adalah puteri seorang sekutu mendiang ayahku" Ayahku dan ayahmu adalah sekutu yang baik, kenapa kita tidak dapat malanjutkan persahabatan antara mereka secara lebih erat lagl"
"Tidak.... hu-hu-hu.... tidak, aku tidak cinta padamu...."
"Hemmm, aku adalah seorang pangeran, Hwee Li. Apa yang kukehendaki harus tercapai. Engkau harus menjadi isteriku, baik engkau cinta padaku atau tidak!" Suara pangeran itu terdengar keras dan tegas.
"Kau.... kau pengecut sungguh! Mengapa engkau hendak memaksa seorang wanita yang tidak mencintamu" Hwee Li berkata sambil terisak.
"Hemmm, seorang pria berhak memilih jodohnya, Hwee Li. Dan aku akan mempertahankan dirimu dengan taruhan nyawaku. Bagiku, engkau lebih berharga daripada segalanya, daripada nyawaku. Tanpa adanya engkau, hidupku akan hampa. Aku bukan pengecut, dan aku siap untuk memperebutkan dirimu dengan siapapun juga di dunia ini!"
"Bagus, Liong Bian Cu! Aku datang untuk merampas Hwee Li dari tanganmu dan kalau memang engkau bukan pengecut, mari kaulawan aku!"
Liong Bian Cu terkejut d
Dendam Iblis Seribu Wajah 18 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Dendam Iblis Seribu Wajah 23