Jodoh Rajawali 6
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 6
i seorang laki-laki, seorang yang sudah dewasa dan matang, bukan lagi seorang pemuda remaja seperti ketika mereka pernah saling bertemu empat lima tahun yang lalu.
Keadaan menjadi penuh ketegangan dan ini dirasakan oleh Yang-liu Nio-nio dan semua murid dan anak buah mereka yang kini menjadi penonton, tidak bergerak. Bahkan mereka yang ditugaskan menjaga Cui Lan dan Hok-taijin, kini juga membawa dua orang tawanannya itu keluar di bawah todongan senjata, untuk menyaksikan pertandingan yang tentu akan terjadi hebat sekali antara Si Jari Maut yang nama besarnya telah mereka dengar melawan pemuda nelayan yang ternyata adalah saudara Jari Suma-kongcu yang mereka cari-cari itu.
"Ang Tek Hoat, apa artinya ini" Benarkah engkau hendak membantu kaum sesat ini untuk menentang aku" Ketahuilah bahwa aku melindungi dua orang yang tidak berdosa itu!" Dia menunjuk ke arah Cui Lan dan Hok-taijin yang berdiri di sudut ruangan dengan pedang ditodongkan di punggung mereka. Cui Lan memandang dengan penuh perhatian dan wajahnya yang cantik membayangkan kekhawatiran ketika dia memandang Kian Lee.
"Suma Kian Lee, dahulu kita bukan sahabat, sekarang bukan pula teman! Aku tidak membantu siapa-siapa melainkan saling menukar jasa. Kalau kau enggan bertanding melawan aku, penuhilah permintaan Hek-eng-pangcu."
"Ang Tek Hoat, tidak kusangka engkau ternyata sama sekali tidak berubah sejak dahulu! Engkau tidak juga bertobat dan kembali menjadi orang baik-baik!" Kian Lee menegur dengan suara penuh penyesalan karena betapapun juga, pemuda di depannya ini adalah cucu kandung ibunya sendiri!
Tek Hoat tertawa, tertawa yang pahit sekali karena matanya tidak ikut tertawa bahkan mulutnya menyeringai seperti orang menderita nyeri. "Ha-ha-ha, memang aku bukan orang baik-baik, tidak seperti keluarga Pulau Es yang bersih dan terhormat! Dan aku pun tidak ingin menjadi orang baik-baik yang sombong seperti keluarga Pulau Es! Tak perlu banyak cakap, Suma Kian Lee, kau menyerah dan memenuhi permintaan ketua Hek-eng-pangcu atau harus melawan aku."
"Hemmm, kau tentu mengira aku takut padamu! Majulah!" Kian Lee menantang, sedikit pun tidak merasa takut. Empat lima tahun yang lalu, memang Tek Hoat merupakan seorang tandingan yang lihai bukan main. Akan tetapi selama lima tahun ini dia telah melatih diri di bawah bimbingan ayahnya di Pulau Es dan telah memperoleh kemajuan pesat sekali.
"Kalau begitu terpaksa aku merobohkan engkau!" Tek Hoat berkata dan sebelum kata terakhir habis diucapkan, tangannya sudah menyambar dan sebuah tamparan yang seperti kilat cepatnya menyambar ke arah kepala Kian Lee.
"Plak-plak-plak-plakkkkk!" Empat kali Tek Hoat menyerang dan empat kali ditangkis oleh Kian Lee. Keduanya merasa betapa lengan lawan mengandung tenaga yang amat kuat, akan tetapi yang terkejut sekali adalah Tek Hoat. Dia maklum akan kelihaian putera Pulau Es ini maka tadi serangannya dilakukan dengan sepenuh tenaganya, dengan tenaga yang dinamakan tenaga Inti Bumi yang dipelajarinya dari kitab peninggalan Butek Siauw-jin datuk ke dua dari Pulau Neraka. Namun, tangkisan Kian Lee mnembuat tenaga mujijat itu buyar dan dia merasakan hawa dingin menghantamnya, membuatnya tergetar dan terguncang!
Akan tetapi, Tek Hoat dapat cepat mengusir hawa dingin itu dan dia kini telah menerjang dengan hebat dan dahsyat, mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya yang dahulu dipelajarinya dari kitab peninggalan Cui-beng Koai-ong, datuk pertama dari Pulau Neraka dan Bu-tek Siauw-jin. Dia menyerang dan memang pemuda ini memiliki watak yang ganas, maka serangan-serangannya itu pun bukan sekedar untuk mengalahkan lawan, melainkan mengandung cengkeraman maut untuk membunuh!
Menyaksikan keganasan sepak terjang Tek Hoat, diam-diam Kian Lee mengeluh. Pemuda ini benar-benar telah tersesat dan seperti seekor harimau yang haus darah, pikirnya. Tentu saja dia tidak mau melayani nafsu membunuh Tek Hoat ini dan dia lebih banyak melindungi dirinya dengan menangkis atau mengelak, kadang-kadang membalas dengan serangan yang hebat pula, namun serangannya selalu diperhitungkan agar jangan sampai membunuh orang. Dia tidak suka membunuh orang apalagi Ang Tek Hoat cucu ibu kandungnya sendiri, keponakannya sendiri. Dia ingin mengalahkan Tek Hoat tanpa membunuhnya. Dan inilah sebabnya mengapa pertandingan itu menjadi ramai dan seimbang.
Kalau dibuat perbandingan, kedua orang pemuda ini sama-sama mewarisi ilmu-ilmu yang amat hebat dan tinggi, sukar dicari bandingnya di dunia ini. Hanya bedanya, sejak kecil Suma Kian Lee dibimbing oleh Pendekar Super Sakti, ayahnya sendiri, maka tentu saja ilmunya lebih matang dan murni, tidak seperti Ang Tek Hoat yang biarpun menemukan kitab-kitab yang mengandung ilmu-ilmu tinggi, namun dipelajarinya sendiri tanpa bimbingan langsung orang pandai, maka ilmunya tidak lagi murni bercampur dengan ilmu-ilmu lain pernah di pelajarinya sebelum dia memperoleh kitab-kitab peninggalan dua orang, dtuk Pulau Neraka itu (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Maka, dalam kematangan ilmu, Kian Lee masih lebih menang setingkat. Akan tetapi kemenangan setingkat ini tidak banyak artinya karena Kian Lee tidak mau melakukan serangan yang mematikan sedangkan Tek Hoat yang maklum akan kehebatan lawan telah bertanding dengan nekat, baginya bukanlah merupakan pertandingan adu kepandaian, melainkan suatu perkelahian mengadu nyawa. Inilah yang membuat Kian Lee kehilangan kemenangan tingkatnya dan pertandingan itu berjalan seimbang dan amat hebatnya. Angin pukulan yang didorong oleh tenaga sakti mereka terdengar bersuitan dan terasa oleh para anggauta Hek-eng-pang yang berdiri jatih, membuat pakaian mereka berkibar dan kulit mereka nyeri, kadang-kadang terasa dingin sekali dan kadang-kadang juga terasa panas sekali. Hawa dingin dan panas ini timbul dari dua macam sinkang yang dipergunakan, yaitu Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang. Menghadapi dua macam sin-kang yang saling bertentangan ini, diam-diam Tek Hoat mengakui bahwa dalam hal kekuatan sinkang, dia benar-benar kewalahan menghadapi lawannya. Dan hal ini bukan karena kalah tekun berlatih, melainkan selain kalah bimbingan juga kalah murni.
Tek Hoat mengandalkan ilmu silatnya yang aneh, yang didapat dari peninggalan kitab dua orang datuk Pulau Neraka. Tiba-tiba dia berseru keras, suaranya melengking nyaring sekali sehingga ada empat orang wanita anggauta Hek-eng-pang yang kurang jauh berdirinya roboh terjungkal dan pingsan karena jantung mereka tergetar! Tubrukan Tek Hoat ini merupakan jurus serangan yang amat dahsyat, mula-mula tangan kirinya yang menyambar ubun-ubun lawan dengan membentuk cakar, akan tetapi dalam detik selanjutnya, tangan kanannya mencuat dari bawah dengan kiri itu menyambar ke arah ulu hati lawan dengan totokan dua jari tangan. Keduanya adalah serangan maut yang dilakukan hampir bersamaan waktunya.
Kian Lee menghadapi cengkeraman ke arah ubun-ubun kepala itu dengan miringkan tubuh atas dan agak ditarik ke belakang, tangan kanannya menangkis, kemudian melihat tangan kanan lawan menotok ke arah ulu hatinya, dia cepat pula meloncat ke samping sambil menangkis dengan tangan kirinya.
"Hyaaattttt....!" Tiba-tiba tubuh Tek Hoat meluncur dengan kaki kanannya melakukan tendangan maut ke arah leher lawan. Tendangan ini cepat dan kuat sekali datangnya, tubuhnya mencelat ke udara dan dari atas kakinya meluncur ke arah lawan.
"Haaaiiiiittttt....!" Kian Lee juga berteriak dan tubuhnya mencelat pula ke atas memapaki.
"Desss....!" Dua pasang kaki yang sama kuatnya bertemu di udara dan keduanya terlempar ke atas lantai lagi. Kian Lee berjungkir balik tiga kali dan Tek Hoat agak terhuyung, mukanya berubah pucat. Diam-diam Tek Hoat merasa menyesal mengapa dia tidak mempunyai lagi pedangnya yang diandalkannya, yaitu Cui-beng-kiam. Kalau dia mempunyai pedang yang dulu terampas oleh Hek-tiauw Lo-mo, ketua Pulau Neraka itu, tentu dia mempergunakan pedangnya itu menghadapi Kian Lee yang begini lihai.
Pertandingan dilanjutkan, akan tetapi tetap saja mereka berimbang karena Kian Lee tetap tidak mau menggunakan tenaga sepenuhnya atau pukulan yang mematikan. Hal inilah yang membuat panas hati Tek Hoat. Dia tahu bahwa pemuda Pulau Es itu tidak mengerahkan seluruh tenaga, bahkan beberapa kali terasa olehnya Kian Lee sengaja mengurangi kecepatan dan tenaganya. Dia merasa penasaran dan marah sekali, karena dia merasa seperti dipandang ringan!
Saking marahnya, Tek Hoat lalu mengambil keputusan untuk mengadu nyawa! Mereka telah bertanding lebih dari seratus jurus tanpa ada yang kalah, dan nenek ketua Hek-eng-pang sendiri sampai silau menyaksikan pertandingan itu dan merasa bahwa sebenarnya tingkat kepandaiannya kalah jauh oleh dua orang pemuda perkasa itu.
"Suma Kian Lee manusia sombong! Bersiaplah untuk mampus!" teriak Tek Hoat dan dia menyerang makin ganas. Melihat serangan ini, Kian Lee cepat menghindarkan diri dengan mengelak dan menangkis, kemudian untuk menahan serbuan lawan, dia membalas dengan pukulan ke arah dada Tek Hoat. Dia maklum bahwa pukulan ini tentu membuat Tek Hoat mengelak atau menangkis sehingga dia akan dapat membalas dengan desakan pukulan-pukulan berantai.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika Tek Hoat tidak mengelak maupun menangkis, melainkan menerima begitu saja pukulannya itu akan tetapi pada saat yang sama, kedua tangan Tek Hoat memukul ke arah paha dan lehernya.
Kian Lee yang terkejut itu mengeluarkan bunyi melengking yang amat nyaring, membuat lima orang anggauta Hek-eng-pang kembali terjungkal pingsan. Maklum bahwa tidak mungkin dia menghindarkan diri dari dua pukulan sekaligus karena tangan kirinya sedang memukul dada Tek Hoat, Kian Lee menggerakkan tangan kanan menangkis pukulan ke arah lehernya yang lebih berbahaya dan terpaksa membiarkan pahanya terpukul.
"Plakkk! Desssss....!"
Dada Tek Hoat terkena dorongan tangan Kian Lee dan pada saat yang sama, paha Kian Lee terkena pukulan keras dari tangan kanan Tek Hoat. Akibatnya, Tek Hoat terlempar ke belakang sampai tiga meter jauhnya dan dia terhuyung-huyung sedangkan Kian Lee roboh pingsan karena kakinya di bagian paha terkena pukulan beracun. Pukulan ini hebat sekali karena merupakan pukulan jari tangan Tek Hoat yang biasanya membunuh orang sehingga dia dijuluki Si Jari Maut, yaitu pukulan yang disebut Toat-beng-ci (Jari Pencabut Nyawa). Paha itu menjadi biru dan hawa pukulan berancun menyerang ke atas, membuat putera Pulau Es itu roboh pingsan.
Tek Hoat memejamkan mata dan mengatur pernapasannya. Kalau saja tadi Kian Lee tidak mengurangi tenaganya, tentu sudah putus nyawanya! Dia tahu akan hal ini dan menarik napas panjang lalu menyusut darah yang menetes dari ujung bibirnya.
"Kongcu....!" Cui Lan yang ditodong pedang itu tidak peduli dan dia sudah lari menubruk tubuh Kian Lee yang disangkanya mati, berlutut sambil menangis. Kemudian, melihat Nenek Yang-liu Nio-nio dan Tek Hoat menghampiri, dia lalu bangkit berdiri dan dengan air mata bercucuran, dia menudingkan telunjuknya ke arah muka Tek Hoat.
"Engkau.... pemuda tiada guna! Engkau hanya menjadi tukang pukul orang! Sungguh malu hidup seperti engkau, pemuda yang tampan dan gagah namun dalamnya jahat seperti sebutir buah yang berulat! Dan kau.... Dia menudingkan telunjuknya ke arah muka Yang-liu Nionio, "Kau seorang wanita yang berhati busuk, dan engkau pengecut besar yang harus merasa malu karena beraninya hanya mengandalkan pengeroyokan saja!"
"Diam, bocah lancang mulut!" Seorang anak buah Hek-eng-pang yang tadi bertugas menjaga Cui Lan kini sudah mengejar dan tangannya diayun keras. "Plakkk!" Pipi kiri Cui Lan kena ditampar, kulit pipi yang halus putih itu menjadi merah sekali dan dara itu terhuyung ke belakang. Namun bibirnya tersenyum mengejek dan dengan keberanian luar biasa dara ini memandang mereka semua sambil berkata, "Kalian boleh membunuh aku dan aku akan mati sebagai seorang terhormat tidak seperti kalian yang akan hidup sebagai manusia-manusia hina dan kotor!"
"Bangsat, tutup mulut!" Anggauta Hek-eng-pang itu menjadi makin marah dan kini dia mengayun tangan, tidak menampar seperti tadi melainkan memukul ke arah mulut Cui Lan dengan kuat.
"Krekkk.... aduuuhhhhh....!" Anggauta Hek-eng-pang yang memukul itu menjerit dan memegangi tangan kanannya yang patah tulangnya ketika bertemu tadi dengan tangkisan tangan Tek Hoat!
"Hemmm, apa artinya ini" Yang-liu Nio-nio menegur dengan alis berkerut, memandang kepada Tek Hoat dengan heran dan penasaran. "Dia memaki-maki kita, sudah sepatutnya dihajar!"
"Siapa yang memaki" Apa yang di katakannya itu benar belaka, kenapa kita mesti marah" Pangcu, janji kita hanya aku merobohkan Suma Kian Lee dan dia sudah roboh, aku tidak suka ditambah dengan penyiksaan atau pembunuhan orang! Dan sekarang juga engkau harus mengerahkan orang-orangmu untuk ikut dan membantuku." Di dalam suara Tek Hoat terkandung perintah yang mengancam.
Nenek itu menelan kembali kemarahannya dan memberi isyarat kepada Kim-hi Nio-cu. "Kaubawa mereka bertiga ke tempat tahanan. Pisahkan mereka dan pergunakan yang dua itu sebagai sandera agar pemuda ini tidak sampai lari." Kemudian setelah Kian Lee yang masih pingsan itu digotong pergi, Cui Lan dan Hok-taijin digiring meninggalkan ruangan itu. Hek-eng-pangcu lalu mengumpulkan orang-orangnya dan akhirnya memilih tiga pasukan. Pasukan Tanah yang dipimpin oleh Liong-li, Pasukan Kayu dan Pasukan Api, semua berjumlah tiga puluh enam orang ditambah tiga orang kepala pasukan, mengiringkan dia sendiri dan Tek Hoat meninggalkan puncak Bukit Cemara.
Kiranya Ang Tek Hoat telah mendengar, bahkan menerima undangan, bahwa Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua dari Liong-sim-pang di puncak Naga Api, Pegunungan Liu-Iiang-san di dekat belokan Sungai Huang-ho, akan menikah dan calon isterinya itu adalah seorang puteri dari Bhutan yang amat cantik jelita! Mendengar ini, jantung Tek Hoat berdebar keras, timbul kekhawatirannya karena dia menduga keras bahwa Puteri Bhutan yang cantik jelita itu sudah pasti adalah Syanti Dewi. Kalau tidak, siapa lagi" Memang banyak wanita muda, puteri-puteri Bhutan yang cantik jelita, akan tetapi puteri-puteri itu tidak akan meninggalkan istana Bhutan. Kemungkinan satu-satunya hanyalah Syanti Dewi yang entah mengapa dan bagaimana telah sampai di tempat itu dan agaknya ditawan Liong-sim-pang. Tek Hoat maklum akan kekuatan Liong-sim-pang, dan kalau hanya sendirian saja tidak mungkin dia akan dapat menolong Puteri Bhutan itu, maka dia lalu mengundang ketua Hek-eng-pang dengan maksud untuk minta "bantuan" mereka. Kebetulan sekali dia melihat Suma Kian Lee dan ketika ketua Hek-eng-pang dan anak buahnya tidak mampu mengalahkan Kian Lee, timbul akalnya untuk memaksa mereka membantunya. Akan tetapi, sungguh tidak disangkanya, melawan Kian Lee hampir saja dia celaka dan biarpun akhirnya dia bisa merobohkan putera Pulau Es itu, dia sendiri juga menderita luka yang cukup parah dan dalam keadaan seperti itu, tentu saja amat berbahaya kalau dia bertemu dengan lawan tangguh. Untungnya dia kini dibantu oleh pasukan-pasukan Hek-eng-pang dan ketua mereka.
*** () *** Seluruh perkampungan Liong-sim-pang dihias dengan meriah, mulai dari pintu gerbang tembok yang seperti benteng itu, sampai menara yang berdiri di luar tembok sebagai tempat jaga, sampai di sepanjang saluran air yang mengelilingi tembok benteng. Suasana perkampungan Liong-sim-pang yang seperti benteng dan biasanya muram dan menyeramkan itu kini nampak meriah, tanda bahwa orang-orang yang menjadi penghuni sedang bersenang-senang dan bersuka-ria. Dan memang hari itu merupakan hari gembira, untuk menyambut para tamu karena malam itu merupakan malam "midodareni", yaitu menyambut hari pernikahan sang ketua Liong-sim-pang yang akan dilangsungkan besok pagi. Sejak pagi hari dari tadi para tamu sudah membanjiri tempat itu dan mereka itu harus melalui satu-satunya jembatan yang menuju ke pintu gerbang tembok benteng karena jalan lain tidak ada lagi untuk memasuki benteng perkampungan Liong-sim-pang yang dikelilingi saluran air lebar itu. Para penjaga dengan ketat melakukan penjagaan dan pengawasan di pintu gerbang sehingga tidak ada orang luar dapat menyelundup masuk dan para tamu itu membawa undangan sebagai tanda pengenal.
Menjelang senja rombongan pemain opera yang memang dipesan oleh Liong-sim-pang, menyeberang jembatan itu menuju ke pitu gerbang. Mereka terdiri dari tujuh orang wanita dan belasan orang pria, sebagian pemain dan ada pula yang sebagai penabuh musik. Para penjaga yang memeriksa semua orang yang masuk, memperhatikan para pemain opera ini dengan sikap ceriwis, cengar-cengir dan tersenyum-senyum penuh aksi karena tujuh orang wanita anggauta rombohgan itu memang cantik-cantik. Terutama sekali seorang di antara mereka, yang termuda dan memakai pakaian berwarna ungu, bukan main cantiknya! Cantik jelita dan manis sekali, dengan gayanya yang manja dan memikat, lenggangnya yang berliak-liuk seperti lemasnya batang pohon yang-liu tertiup angin, kedua lengannya agak melengkung seperti gendewa itu bergerak seperti orang menari kalau dia melenggang, dan senyum yang manisnya membuat semua penjaga mabuk kepayang itu tak pernah meninggalkan belahan bibir yang membuat orang ingin menjadi buah anggur agar dikecup oleh bibir itu! Gerak-gerik dara muda jelita ini membuat para penjaga ingin sekali mencubitnya, memeluknya, pendeknya saking tertariknya membuat mereka menjadi gemas, seperti kalau kita melihat seorang anak kecil yang genit dan montok bersih. Saking tidak dapat menahan gairahnya melihat gerak-gerik dara jelita ini, seorang di antara para penjaga itu sambil berpura-pura memeriksa bawaan mereka, menggerakkan tangannya ingin meraba pinggul yang penuh itu. Akan tetapi.... tangannya hanya meraba angin karena secara cepat sekali gadis itu menggerakkan pinggulnya mengelak. Si penjaga menjadi makin penasaran, kini terang-terangan dia mengulur tangannya meraba ke arah dada. Kembali gadis itu miringkan tubuh dan rabaan itu pun mengenai tempat kosong. Melihat ini, teman-temannya mentertawakan.
"Ha-ha, si A-kiong menangkap katak akan tetapi luput!"
A-kiong makin penasaran dan dia hendak merangkul.
"Jangan kurang ajar kalian!" Tiba-tiba gadis itu membentak, suaranya halus akan tetapi nyaring dan mulutnya masih tersenyum, akan tetapi anehnya, semua penjaga termasuk komandannya menjadi gemetar ketakutan seakah-olah mereka itu dimarahi seorang jenderal! Dengan muka pucat ketakutan komandan itu lalu memberi isyarat agar rombongan penari dan pemain opera itu cepat-cepat masuk.
Setelah rombongan itu masuk, si komandan dan anak buahnya saling pandang dengan heran dan bengong. Tidak mengerti mengapa mereka tadi begitu ketakutan mendengar bentakan si dara jelita tadi, yang memiliki wibawa luar biasa sekali dan bentakan tadi mengguncangkan jantung mereka menimbulkan rasa takut yang hebat.
"Ihhh,.... seperti siluman saja....!" seorang akhirnya berkata dan mendengar ini, semua orang bergidik. Memang mereka semua pernah mendengar bahwa siluman selalu mengubah diri menjadi seorang dara cantik sekai untuk memikat pria yang kemudian akan dlhisap darahnya sampai habis!
"Hihhh.... jangan-jangan benar siluman...."
Pada saat mereka dicekam perasaan yang menyeramkan karena memang hari telah mulai menjadi gelap, untung datang serombongan wanita lain yang membuyarkan keseraman itu. Rombongan wanita ini dipimpin oieh seorang wanita yang cantik, dan anggauta rombongan yang jumlahnya dua puluh empat orang itu pun terdiri dari wanita-wanita yang cantik. Pimpinan rombongan itu, yang usianya sekitar tiga puluh tahun, memperlihatkan sehelai surat undangan dan sesampul surat yang ditujukan kepada Hwa-i-kongcu Tang Hun.
"Kami adalah utusan dari sahabat Tang-kongcu, yaitu Si Jari Maut," kata pemimpin rombongan itu.
Melihat kartu undangan itu, para penjaga tentu saja menaruh kepercayaan, apalagi mendengar nama orang yang mengutus mereka, Si Jari Maut, cepat-cepat mereka mempersilakan semua wanita itu masuk tanpa ada yang berani bersikap kurang ajar. Rombongan ini bukan lain adalah para anggauta Hek-eng-pang yang menyamar, dipimpin oleh Liong-li kepala Pasukan Tanah dan membawa surat Ang Tek Hoat untuk Hwai-kongcu.
Setelah rombongan pemain opera diterima sendiri oleh Hwa-i-kongcu dan diantar oleh para pelayan untuk berhias dan bersiap-siap untuk mulai pertunjukan mereka malam nanti, kini rombongan wanita itu pun diterima oleh Hwa-i-kongcu sendiri. Liong-li yang sudah berhias sebagai seorang pelayan yang cantik, berlutut dan menghaturkan selamat, serta menyerahkan surat dari Ang Tek Hoat.
"Aih, dari Si Jari Maut" Hwa-i-kongcu berseru bangga. Mengapa beliau tidak muncul sendiri" Sudah lama dia mendengar nama Si Jari Maut dan mengaguminya, akan tetapi belum pernah bertemu dengan orangnya. Surat itu segera dibukanya dan dengan wajah berseri dia membaca bahwa Si Jari Maut, menghaturkan selamat atas pernikahannya, dan minta maaf bahwa berhalangan hadir, akan tetapi mengirim dua puluh lima orang wanita untuk membantu pelayanan dalam pesta itu.
"Ha-ha-ha-ha! Si Jari Maut sungguh mengagumkan sekali, dapat mengumpulkan begini banyak wanita cantik dan begitu memperhatikan keperluan kami sehihgga mengirim bantuan pelayan!" Dia lalu memanggil kepala pelayan dan memerintahkan kepala pelayan untuk menerima dua puluh lima orang wanita itu dan agar diberi tugas dalam pelayanan malam nanti dan besok pagi.
Malam pun tibalah. Para tamu sudah berkumpul di sebuah ruangan yang luas sekali, ruangan yang menyambung pada taman indah di mana juga penuh dengan kursi-kursi untuk para tamu. Suara musik sudah sejak sore tadi dibunyikan oleh rombongan pemain opera, sungguhpun opera itu sendiri belum dimulai.
Para "pelayan" yang sesungguhnya adalah anggauta-anggauta Hek-eng-pang yang menyamar itu mulai pula dengan tugas yang sesungguhnya. Di antara mereka memang ada yang membantu para pelayan Liong-sim-pang melayani para tamu mempersiapkan minuman, hidangan dan lain-lain. Akan tetapi sebagian pula di antara mereka mulailah meryelidiki dan mencari-cari di mana adanya Puteri Bhutan seperti yang diceritakan oleh Tek Hoat, puteri yang akan menjadi pengantin besok pagi dan yang harus mereka culik itu. Dua puluh empat orang ini adalah dari Pasukan Tanah dan Pasukan Kayu, sedangkan Pasukan Api bertugas mempersiapkan "jalan keluar" untuk teman-temannya itu apabila mereka telah berhasil menculik sang puteri. Tek Hoat sendiri yang masih menderita luka bekas gempuran tenaga melawan Suma Kian Lee, menanti di luar tembok dan sudah mempersiapkan kuda untuk melarikan puteri itu. Dia maklum bahwa dalam keadaan terluka, amat berbahaya kalau dia sendiri masuk ke dalam. Selain dia tentu akan dikenal, juga untuk melawan banyak orang pandai dalam keadaan terluka, tidaklah mungkin, maka dia mengandalkan kecerdikan para temannya, yaitu wanita-wanita Hek-eng-pang itu.
Sementara itu, Syanti Dewi yang selalu mengharapkan pertolongan dari Siang In, masih berada dalam kamarnya dan dia tidak membantah ketika para pelayan menghias dan merias dirinya di dalam kamarnya. Diam-diam dia masih mengharapkan akan munculnya gadis luar biasa yang telah berhasil meloloskan dirinya dari istana ayahnya itu. Dia akan menanti sampai saat terakhir, yaitu sampai besok malam. Kalau sampai besok malam Siang In atau siapa saja tidak datang menolongnya, kalau sampai tiba saatnya dia menyerahkan diri kepada Hwa-i-kongcu, pemuda tampan pesolek yang mengerikan hatinya itu, maka dia akan membunuh diri!
Ketika dia mendengar dari para pelayan yang merias bahwa malam itu di dalam pesta akan diadakan pertunjukan tari-tarian dan permainan opera, dan bahwa bintang panggung amat cantik jelita dan jenaka, hati Syanti Dewi tertarik sekali. Dia menduga bahwa tentu Siang In gadis yang cerdik itu menyamar sebagai pemain opera, maka dia lalu minta kepada seorang di antara para pelayan untuk memanggil bintang opera itu karena dia ingin bertemu dan bicara tentang tarian.
Permintaan ini disampaikan oleh si pelayan kepada Hwa-i-kongcu dan tentu saja calon suami yang merasa beruntung akan memperisteri seorang puteri raja mengijinkan permintaan itu. Apalagi karena pelayan yang melayani calon isterinya itu adalah pelayan-pelayan kepercayaannya, ya pelayan ya selir, maka dia tidak menjadi curiga dan diperintahkan kepada seorang pengawalnya untuk menyampaikan permintaan calon mempelai puteri itu kepada pimpinan rombongan opera. Pimpinan opera lalu berbisik kepada bintang panggung, si dara cantik jelita tadi dan sambil tersenyum gembira bintang panggung ini lalu mengikuti si pelayan meninggalkan kamar rias itu.
Liong-li dan kawan-kawannya mencari-cari namun belum berhasil menemukan di mana adanya kamar sang puteri. Akan tetapi tiba-tiba Liong-li melihat seorang pelayan bersama seorang dara cantik jelita berjalan lewat. Diam-diam dia lalu mengikuti mereka dari jauh dan karena dia pun berpakaian pelayan, maka para pengawal yang berjaga-jaga di seluruh tempat itu tidak ada yang menaruh curiga kepadanya. Dara cantik yang diiringkan oleh pelayan itu lincah dan jenaka sekali, di sepanjang jalan bicara dan memuji-muji keindahan rumah gedung seperti istana milik Hwa-i-kongcu yang kaya raya itu. Liong-li terus membayangi mereka dari jauh, melewati gang-gang, kamar-kamar, ruangan-ruangan terbuka, pendapa-pendapa dan taman-taman. Kiranya sang puteri itu berada di tempat yang demikian tersembunyi!
Akhirnya tibalah mereka di sebuah bangunan kecil yang mungil dan masuk ke dalamnya. Bintang panggung itu diajak masuk ke dalam kamar. Kini mereka berdiri saling pandang, si bintang panggung dan Syanti Dewi. Syanti Dewi kecewa bukan main. Memang bintang panggung itu cantik jelita, dan bentuk tubuhnya seperti bentuk tubuh Siang In yang ramping akan tetapi mukanya bukanlah Sian In! Akan tetapi bintang panggung itu cepat menjatuhkan diri berlutut dan berkata, "Saya menghaturkan selamat kepada mempelai puteri, semoga hidup bahagia dan dikarunia banyak putera dan berumur panjang!"
Mendengar suara ini, Syanti Dewi terkejut bukan main. ltulah suara Siang In! Dia dapat menenangkan hatinya dan berkata, "Terima kasih." Lalu puteri itu menoleh kepada para pelayannya yang jumlahnya lima orang itu, berkata, "Harap kalian keluar dari kamar dulu, aku ingin bicara seenaknya dengan seniwati ini. Kalian tunggu saja panggilanku dan menanti di luar."
Para pelayan itu saling pandang, tersenyum dan segera mengundurkan diri. Mereka mendapat pesan yang amat keras dari majikan mereka agar melayani sang puteri sebaiknya dan agar memenuhi semua permintaannya. Tentu saja permintaan untuk berduaan dengan bintang panggung yang cantik itu tidak menimbulkan kecurigaan hati mereka dan mereka pun mundur dan keluar dari dalam kamar itu.
Setelah yakin bahwa mereka hanya berdua, Syanti Dewi memandang tajam wajah cantik itu dan bertanya, "Siapakah engkau"
Bintang panggung itu tersenyum lebar. "Enci, apakah engkau lupa akan suaraku"
"Ah, Siang In....!" Syanti Dewi lalu maju merangkul dan mereka berangkulan sejenak, dua titik air mata turun dari mata Syanti Dewi yang merasa girang bukan main itu, "Kukira engkau takkan muncul lagi, adikku.... hampir lenyap harapanku...."
"Jangan khawatir, Enci. Aku pasti akan berusaha menolongmu keluar dari sini sedapatku. Akan tetapi, banyak orang pandai di sini, kita harus berhati-hati dan Enci bersikap wajar saja. Aku melihat keanehan di sini. Pelayan-pelayan bantuan itu, demikian banyaknya, katanya mereka itu adalah utusan dari Si Jari Maut "
"Ahhhhh....!" Muka Syanti Dewi menjadi pucat mendengar nama julukan ini. "Dia...."
Siang In mengangguk. "Akan tetapi aku masih curiga. Sikap mereka mencurigakan sekali. Akan tetapi, mungkin mereka ini akan dapat membantu kita, memudahkan aku membawamu keluar dari sini, Enci Syanti Dewi. Kautinggaliah di sini, bersikaplah tenang dan wajar dan percayalah kepadaku.
Syanti Dewi merangkul dan mencium pipi dara itu, lalu menatap wajah itu dengan penuh keheranan. "Bagaimana mukamu bisa begini berubah sama sekali"
Siang In tersenyum, meraba dengan kedua tangannya ke bawah dagu, kemudian sekali dia menarik, mukanya berubah menjadi muka Siang In sendiri! Kiranya mukanya ditutup oleh sehelai "kedok" yang amat tipis, setipis kulit manusia, akan tetapi kedok itu sama sekali mengubah mukanya dengan kecantikan yang sama sekali berbeda! Mulutnya menjadi lebar, hidungnya lebih mancung, pipinya lebih montok dan dahinya lebih lebar, matanya agak sipit. Tentu saja Syanti Dewi sendiri tidak mengenalnya.
"Aku harus menyamar sebaiknya, kalau tidak, mana bisa aku mengelabuhi mata Hwa-i-kongcu yang berminyak itu"
"Berminyak" Ada mata berminyak" Syanti Dewi terheran karena dia sendiri belum pernah memandang mata calon suaminya secara teliti!
"Hi-hik, berminyak dan berkeranjang! Mata minyak dan mata keranjang, hidungnya belang! Hi-hik!"
Syanti Dewi tertawa geli dan terkejutlah dia betapa dalam sedetik saja dia sudah bisa tertawa! Berdekatan dengan gadis ini memang membuat orang tidak dapat tidak menjadi gembira. Dia sendiri seketika melupakan kenyataan bahwa sesungguhnya dia masih menjadi tawanan, seperti seekor burung masih berada di dalam sangkar tertutup. Hatinya masih geli ketika dia melihat Siang In mengenakan kembali "kedoknya" yang luar biasa itu dan makin gelisah dia teringat betapa Siang In juga mempunyai kedok yang kalau dipasang tentu akan membuat para pelayannya menjerit-jerit!
"Eh, In-moi, bagaimana kalau kau meminjamkan kedokmu yang polos itu kepadaku dan mengajari aku bagaimana untuk memakainya"
"Wah, Enci Syanti. Engkau ini aneh-aneh saja. Untuk apa kedok setan itu untukmu"
"Kalau tidak ada jalan lain, di waktu si hidung belang itu datang kepadaku, aku akan memakai kedok polos itu, hendak kulihat apakah...." Syanti Dewi tak dapat menahan ketawanya.
"Apakah hidungnya masih belang atau tidak" Hi-hik, Enci. Tentu akan lucu sekali dan ingin memang aku melihat bagaimana dia akan lari tunggang-langgang melihat isterinya bermuka polos seperti itu, hi-hik. Akan tetapi berbahaya sekali Enci. Sudahlah, aku harus kembali ke tempat pertunjukan, dan akan kuatur nanti bagaimana baiknya untuk menolongmu sambil melihat perkembangan. Selamat berpisah untuk sebentar, Enci."
Syanti Dewi merangkul dan mencium kedua pipinya yang sudah tertutup kedok namun masih halus dan menarik kemerahan itu. "Nyawaku berada di tanganmu, adikku," bisik Syanti Dewi.
Siang In tersenyum dan melangkah mundur. "Hi-hik, apa kaukira aku ini Giam-lo-ong (Raja Akherat)" Sampai nanti, Enci...." Dan pergilah dia keluar dari kamar. Para pelayan yang berada di luar dan tadi hanya mendengar betapa calon majikan mereka itu tertawa-tawa dengan sripanggung itu, cepat masuk kembali dan mereka melihat wajah yang tadinya agak pucat itu kini berseri dan yang mengherankan hati mereka, kalau selama ini jarang sekali sang puteri mau makan, kini Syanti Dewi menyambut kedatangan mereka dengan kata-kata yang menggirangkan mereka.
"Cepat ambilkan nasi dan masakan yang paling enak. Bukankah malam ini ada pesta" Aku pun ingin pesta sendiri!"
Sementara itu, pada saat itu para tamu mulai dengan pesta. Hidangan makanan kecil mulai dikeluarkan dan para tamu menikmati pertunjukan tari-tarian yang ditarikan oleh enam orang penari yang cantik-cantik. Semua orang memandang ke arah Siang In yang baru kembali dan ada yang kecewa mengapa dara yang paling cantik dan yang menjadi sripanggung itu tidak pula ikut menari.
Setelah para penari itu selesai menari, banyak tamu yang berteriak minta agar sripanggung menari! Pemimpin rombongan itu, seorarag tua yang juga menabuh alat musik, yaitu meniup suling, bangkit berdiri dan berkata dengan hormat bahwa sripanggung akan main sebagai Kauw Gee Thian Si Raja Monyet dalam cerita See-yu akan dipentaskan malam itu, dan karenanya tidak ikut menari. Pemimpin ini khawatir kalau-kalau dara cantik itu tidak pandai menari. Siang In baru kemarin memasuki perkumpulannya dan karena gadis itu mempunyai kepandaian bermain sulap, maka diterimanya gadis sebagai anggauta rombongaannya, akan tetapi sebagai pemain opera, bukan sebagai penari. Dia hanya tahu bahwa gadis itu mempunyai wajah cantik jelita, tubuh yang indah, memikat, pandai main sulap dan tari silat.
Akan tetapi tiba-tiba Siang In berkata, "Lopek, biarkan aku menari sendiri!" Dan dia bangkit, lalu menjura ke arah para tamu yang menyambutnya dengan tepuk tangan riuh.
"Cu-wi sekalian, baru saja saya dipanggil oleh calon mempelai puteri dan beliau mengajarkan sebuah tarian asing kepada saya. Maka saya akan mencoba tarian itu untuk dinikmati oleh Cuwi sekalian, sebagai persembahan dari mempelai puteri!" Semua orang bersorak gembira dan Hwa-i-kongcu juga mengangguk-angguk dengan gembira dan bangga!
Siang In lalu mulai bernyanyi dengan suaranya yang merdu dan halus, dan mulai pula tubuhnya bergerak-gerak menari. Para penabuh musik dari rombongan itu baiknya adalah ahli-ahli yang sudah berpengalaman puluhan tahun, maka ketika mereka mendengar nyanyian yang asing itu, biarpun tidak dapat mengikuti lagu itu seluruhnya, setidaknya mereka dapat memperdengarkan irama untuk membayangi nyanyian dan tarian itu, perlahan-lahan sehingga dengan iringan yang sayup sampai ini, suara nyanyian itu menjadi makin jelas dan gerak tarian itu makin menonjol. Itulah nyanyian dan tarian yang dipelajari oleh Siang In di dalam hutan dari Syanti Dewi.
Memang indah sekali! Baik nyanyiannya maupun tariannya, dan lebih-lebih suaranya dan gerakannya! Memang harus ada perpaduan antara lagu dan yang menyanyikannya, juga antara tarian dan yang menarikannya. Dan semua penonton terpesona, bahkan ada yang sampai lupa diri, bengong terlongong, semangatnya seperti diterbangkan oleh alunan suara Sian In, diayun oleh gerak kaki tangan yang lemah gemulai itu!
"Ini tarian Kerajaan Bhutan!" Tiba-tiba terdengar teriakan orang dan hanya beberapa orang saja yang memperhatikan ini dan ternyata yang berteriak itu adalah seorang laki-laki yang kepalanya memakai sorban dan memang dia adalah seorang tamu yang berkebangsaan Nepal. Dia memandang dengan kagum sekali, menggerak-gerakkan tongkat yang dipegangnya sehingga tongkatnya itu mengeluarkan bunyi tak-tok-tak-tok namun iramanya cocok sekali dengan nyanyian dan tarian Siang In itu. Bahkan kemudian suara pukulan tongkatnya inilah yang dijadikan pedoman bagi para pemain musik untuk mengiringi nyanyian dan tarian itu, dan si kakek Nepal ini menggeleng-gelengkan atau menggoyang-goyang kepala menurutkan irama musik sehingga jenggotnya yang panjang sampai ke perut itu pun bergoyang-goyang amat lucunya!
Setelah Siang In menyelesaikan nyanyian dan tariannya, tepuk tangan meledak di ruangan itu dan semua anggauta opera itu pun bertepuk tangan memuji, terutama kakek pemimpin yang merasa girang, seolah-olah dia telah memperoleh mutiara yang tak ternilai harganya! Tentu rombongannya kini akan terkenal dan laris dengan adanya sripanggung ini, pikirnya.
Kini permainan opera pun dimulai. Pementasan ini hanya beberapa adegan saja dari cerita See-yu yang panjang, yaitu di waktu Kauw Cee Thian Si Raja Monyet itu mempermainkan enam orang Siluman Laba-laba yang menjadi enam orang wanita cantik. Siang In lalu memakai topeng monyet dan mulailah dia menari-nari seperti seekor monyet yang membawa sebatang tongkat panjang, yaitu tongkat Kim-kauw-pang, senjata ampuh dari Si Raja Monyet.
Di sini Siang In memperlihatkan kemahirannya bermain sulap! Dia maklum bahwa guru dari Hwa-i-kongcu, Nenek Durganini, adalah seorang ahli sihir yang luar biasa, dan bahwa saat itu Durganini tidak ada di situ karena nenek itu telah kena dia akali dan agaknya telah pergi untuk mencari suhunya, See-thian Hoatsu, maka kini gadis ini berani memperlihatkan kepandaian dalam ilmu sihir. Kalau ada nenek itu di situ, tentu dia tidak berani banyak bertingkah!
Tongkat itu, seperti tongkat Kim-kauw-pang yang sesungguhnya dalam cerita See-yu, digerakkan untuk bermain sulap. Dia sebagai Kauw Cee Thian lalu menyulap tongkat itu menjadi kecil seperti sebatang pensil yang dapat ia selipkan di atas daun telinganya! Kemudian ia menyulapnya menjadi besar sampai panjangnya menjadi tiga kali lipat panjang biasa. Siang In lalu bermain silat, diputar-putarnya tongkat itu sedemikian rupa sampai lenyap bentuk tongkatnya dan yang nampak hanyalah gulungan putih yang amat indah. Tentu saja semua orang bertepuk tangan memujinya.
Akan tetapi, dasar Siang In adalah seorang dara yang lincah dan bengal, kadang-kadang timbul sifat yang ugal-ugalan sehingga dia suka menggoda orang. Pada saat itu timbul kerakusannya akan pujian setelah melihat semua orang terheran-heran dan memujinya. Dia lalu membuat api dengan tongkatnya. Suasana menjadi serem karena pada adegan yang menceritakan pembakaran itu, tahu-tahu dari tongkatnya muncul api berkobar-kobar. Dan semua orang terbelalak kaget ketika melihat betapa gadis cantik itu, kini bermain sebagai Sun Go Kong atau Kauw Cee-Thian yang beralih rupa, berkali-kali berteriak akan berganti rupa, dan dia benar-benar telah beralih rupa di depan mata mereka!
"Lihat, aku akan menjadi seekor harimau!" terdengar dara itu berseru dan "Hauuuwwwww!" Di situ nampak seekor harimau dan si Kauw Cee Thian itu lenyap!
Bahkan pada akhir pertunjukan, semua orang menjadi panik dan di samping rasa kagum mereka juga memandang dengan mata terbelalak, muka pucat dan kepala pening ketika si Kauw Cee Thian itu "mencabut" bulu tubuhnya, meniup bulu-bulu itu dan munculiah belasan orang Kauw Cee Thian lain di atas panggung!
Suasana menjadi sunyi. Bahkan para pemain opera lainnya menjadi terbelalak, terdengar para pelayan menjerit saking takut dan ngerinya, dan pada saat itu tiba-tiba saja terdengar bunyi kelenengan yang nyaring sekali. Begitu terdengar suara ini, semua penglihatan aneh itu pun lenyaplah! Bayangan-bayangan Kauw Cee Thian ciptaan dari bulu itu pun lenyap dan di atas panggung Si Raja Monyet yang dimainkan oleh gadis itu terhuyung-huyung. Baiknya suara kelenengan itu berhenti dan Siang In dapat menyelinap di antara kawan-kawan anggauta opera sambil menanggalkan topeng monyetnya. Untung dia memakai kedok sehingga tldak kelihatan betapa muka yang sesungguhnya dari gadis ini agak pucat. Dia tadi telah diserang oleh suara kelenengan yang mengandung daya mujijat untuk memuaskan semua sihirnya! Diam-diam dia melirik ke arah orang Nepal tadi, yang kini sudah menyimpan kembali kelenengannya. Hemmm, dia seorang ahli, aku harus waspada, bisik hati Siang ln.
"Bagus! Bagus sekali pertunjukan tadi!" Si orang Nepal itu bangkit sambil berkata dalam bahasa Han yang agak kaku namun cukup lancar, tanda bahwa biarpun dia belum dapat melenyapkan lidah asingnya, namun dia sudah mempelajari bahasa daerah ini dengan baik dan telah menguasai sepenuhnya. "Kepandaian sripanggung memang hebat, dan saya Gitananda dari Nepal, benar-benar merasa beruntung dapat melihat kepandaian yang amat hebat dari seorang yang masih begitu muda. Sekarang, untuk meramaikan pesta biarlah saya yang bodoh menyumbangkan sedikit permainan, jika Hwa-i-kongcu mengijinkannya!" Sambil berkata demikian, dia menjura ke arah tuan rumah. Hwa-i-kongcu yang duduk dan sejak tadi memperhatikan permainan Siang In dengan penuh keheranan dan kekaguman itu mengangguk.
Diam-diam Hwa-i-kongcu terheran-heran. Dia sendiri adalah murid seorang ahli sihir dan bagi dia, sihir yang diperlihatkan oleh sripanggung tadi biapun tidak aneh, namun amat mengherankan hatinya karena kalau sripanggung itu dapat menguasai para penonton dengan sihirnya, maka sripanggung itu bukan orang sembarangan! Dan agaknya kakek Nepal ini pun seorang ahli sihir pula! Kalau saja subonya tidak pergi! Tentu saja bagi subonya, semua pertunjukan tadi hanyalah merupakan permainan kanak-kanak saja, sungguhpun bagi, dia sendiri sudah merupakan kepandaian yang tidak mudah dilakukan. Kini Kakek Gitananda melangkah ke tengah ruangan itu, membawa tongkatnya dan membawa pula sebuah kotak kecil. Setelah mengangguk ke empat penjuru seperti lagak seorang ahli sulap sedang berdemonstrasi, dia lalu melemparkan kotak itu ke atas, lalu tongkatnya diacungkan ke atas menyambar kotak itu yang disangganya dan dibawanya berkeliling. Kemudian dia kembali ke tengah ruangan dan tiba-tiba dia menarik tongkatnya dan.... kotak itu masih tetap terapung di udara tanpa penyangga! Kakek itu lalu duduk bersila di bawah kotak yang terapung itu dan membawa tongkat ke mulutnya, meniup dan.... terdengarlah suara suling yang merdu, seolah-olah dia sedang meniup sebatang suling, bukan tongkat!
Semua orang terpesona memandang kearah kakek itu kemudian menahan napas ketika melihat kotak di udara itu terbuka tutupnya, dan dari dalam kotak munculiah seekot ular kobra! Kulitnya yang hitam coklat kekuningan itu berkilat, matanya kemerahan dan lehernya mekar, mulutnya mendesis-desis, akan tetapi ular itu lalu mulai menari-nari mengikuti suara suling tongkat! Lucu dan juga indah karena tubuh ular begitu lemasnya ketika menari-nari, tidak kalah dengan lemasnya pinggang sripanggung yang ramping tadi! Dengan gerakan melenggang-lenggok ular itu melayang keluar dari kotak, lalu turun ke atas lantai di depan si kakek Nepal, lalu kepalanya berubah menjadi dua, tiga, empat dan akhirnya nampaklah ular kobra itu mempunyai tiga belas buah kepala yang semuanya diangkat dan menari-nari menurut bunyi suling yang ditiup kakek itu, suling yang sebetulnya hanyalah sebatang tongkat. Tak lama kemudian, ketika suara suling meninggi, ular kobra berkepala tiga belas itu lalu melayang ke atas, kembali memasuki kotak dan turunlah kotak itu peclahan-lahan ke atas pangkuan si kakek Nepal yang juga menghentikan tiupan pada tongkatnya.
Tentu saja permainannya yang luar biasa itu disambut tepuk tangan riuh, dan si kakek Nepal bangkit bgrdiri, menjura ke empat penjuru dan matanya yang seperti menjuling di atas sebatang hidung melengkung itu mengerling ke arah Siang In yang diam-diam juga terkejut bukan main, maklum bahwa kakek Nepal itu merupakan seorang lawan yang amat tangguh dalam ilmu sihir.
Hidangan besar dan arak mulai membanjiri meja-meja para tamu dan mulailah para tamu bergembira makan dan minum arak. Minuman keras itu membuat mereka menjadi gembira dan obrolan di antara mereka menjadi makin terlepas dan bebas. Kini di atas panggung diadakan pertunjukan pelawak dan lawakan mereka membuat para tamu yang mulai terpengaruh minuman keras itu tertawa bergelak. Suasana menjadi meriah dan gembira sekali. Para anggauta Hek-eng-pang yang menyamar sebagai pelayan-pelayan yang dikirim oleh Si Jari Maut sebagai sumbangan kepada Hwai-kongcu, dengan sikapnya membantu pelayanan hidangan untuk para tamu sedangkan sebagian pula mulai menyelidiki tempat persembunyian pengantin wanita yang harus mereka culik.
Di panggung kini terjadi pertunjukan yang amat menarik, yaitu kekuatan minum arak! Dan kembali kakek Nepal yang bernama Gitananda dan yang tadi bermain sulap, memperlihatkan kepandaiannya yang hebat. Dia menantang jago-jago minum untuk adu kuat minum arak melawan dia dan sudah ada tiga orang roboh pingsan karena mabuk melawan Gitananda. Mereka digotong ke luar. Kini yang menghadapinya adalah seorang kakek bertubuh pendek, perutnya sebesar gentong dan kepalanya botak, orang ini terkenal sebagai "setan arak" di antara kawan-kawannya dan perutnya yang gendut luar biasa dan kepalanya yang botak itu kabarnya juga karena kebanyakan minum arak!
Cawan demi cawan diminum oleh Gitananda dan lawannya yang baru ini setiap cawan yang memasuki mulut mereka diikuti sorak-sorai para tamu yang menonton pertandingan yang menggembirakan ini.
"Ah, aku haus sekali, sungguh tidak memuaskan minum dari cawan yang kecil ini. Kesinikan dua guci penuh!" tiba-tiba Gitananda bertepuk tangan dan seorang pelayan segera berlari mengambilkan dua guci penuh arak yang digotong oleh empat orang pelayan dan diletakkannya dua buah guci arak itu ke atas meja. Gitananda tertawa memandang kepada lawannya yang gendut.
"Bagaimana kalau kita minum dari guci ini saja"
Si gendut tersenyum. "Silakan kau dulu!" dia menantang.
Gitananda lalu mengangkat guci itu menempelkan bibir guci ke mulutnya dan terdengarlah suara menggelogok ketika dia menuangkan isi guci ke dalam perut melalui mulutnya. Lama sekali dia minum sampai akhirnya guci itu kosong dan dia meletakkan guci itu di atas meja. Semua orang mengeluarkan seruan kaget, heran dan kagum sekali. Satu guci arak itu biasanya dihabiskan oleh delapan orang atau satu meja untuk satu kali perjamuan. Akan tetapi sekarang ditenggak habis sekaligus oleh kakek Nepal ini.
Sungguh merupakan hal yang luar biasa. "Ha-ha-ha, giliranmu!" kata Gitananda kepada Si gendut.
Dengan dorongan kawan-kawannya, akhirnya Si gendut yang terkenal sebagai setan arak itu pun mengangkat gucinya dan seperti yang dilakukan oleh lawannya tadi, dia pun menenggak arak itu langsung dari gucinya. Lebih lama lagi dia minum, mukanya sampai ke botak-botaknya menjadi merah dan ketika akhirnya dia menghabiskan arak itu, gucinya terlepas dari tangannya dan jatuh menggelinding ke atas lantai. Si gundul botak itu sendiri tertawa aneh, lalu bangkit perutnya yang gendut menjadi makin besar dan matanya menjadi merah. Suara ketawanya menunjukkan bahwa dia telah menjadi mabuk!
"Heh-heh-heh.... kau hebat.... heh-heh, aku kalah deh...." Si gendut bangkit berdiri, terhuyung kembali ke kursinya, akan tetapi hampir dia jatuh. Untuk menahan tubuhnya, tangannya diulur untuk meraih pinggang seorang dayang atau seorang pelayan wanita yang sedang lewat membawa baki. Akan tetapi pelayan itu, yang bukan lain adalah seorang anggauta Hek-eng-pang, dengan mudah mengelak dengan menggerakkan pinggul dan miringkan tubuh. Tentu saja karena raihan tangannya dielakkan, tubuh si gendut mendoyong ke depan. Akan tetapi ternyata setan arak ini bukan hanya kuat minum arak, melainkan juga pandai ilmu silat dan biarpun dia mabuk sekali, dalam keadaan mendoyong hampir jatuh itu kedua tangannya dapat bergerak cepat ke samping untuk merangkul, sekali ini rangkulannya ditujukan kepada buah pinggul yang menonjol besar itu. Semua tamu tertawa menyaksikan ini. Akan tetapi dengan gerakan lincah, si pelayan itu kembali mengelak. Masakan yang berada di dalam mangkok di atas bakinya sama sekali tidak tumpah, dan sekali ini si gendut tidak dapat mencegah lagi tubuhnya yang limbung. Dia jatuh! Kembali semua orang menertawakannya.
"Ehhhhh!" Si Gendut yang merasa malu karena ditertawakan menjadi marah kepada pelayan itu. Begitu dia terguling, kakinya mencuat untuk menyerampang kaki si pelayan agar jatuh bersama dia. Akan tetapi kembali dia keliru karena pelayan itu meloncat dan kembali dapat menghindarkan diri, terus menyelinap pergi. Para tamu bertepuk tangan memuji kelincahan pelayan wanita itu.
Sementara itu, Hak Im Cu, seorang tosu tinggi kurus yang wajahnya bengis, yang amat tinggi ilmu silatnya dan terkenal sebagai seorang ahli ginkang dan yang menjadi seorang di antara pembantu-pembantu utama Hwa-i-kongcu, diam-diam menjaga keamanan bersama dua orang temannya untuk menjamin keselamatan Hwa-i-kongcu dan Liong-sim-pang. Mereka adalah tiga orang dan sesungguhnya mereka itu bukan anggauta Liong-sim-pang, melainkan tamu-tamu, juga mereka bertiga merupakan sahabat-sahabat dan pembantu-pembantu utama. Di samping tosu Hak Im Cu ini, masih ada dua orang lain yang tidak kalah lihainya. Yang pertama adalah Ban-kin-kwi Kwan Ok, yang sebaya dengan Hak Im Cu, berusia kurang lebih enam puluh tahun. Berbeda dengan Hak Im Cu yang tinggi kurus dan ahli ginkang, Kwan Ok ini, sesuai dengan julukannya, yaitu Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati) bertubuh tinggi besar, bermuka hitam dan tenaganya sekuat gajah! Adapun yang ke dua atau orang ke tiga di antara tiga sekawan ini adalah Hai-liong-ong Ciok Gu To, juga usianya kurang lebih enam puluh tahun, tubuhnya gemuk pendek dan kepalanya gundul akan tetapi dia bukan seorang pendeta, melainkan seorang bekas bajak tunggal yang amat terkenal karena selain ahli bermain di air juga dia seorang ahli lweekeh yang memiliki tenaga dalam kuat sekali.
Memang tadinya tiga orang ini bukan merupakan sahabat-sahabat. Akan tetapi, ketiganya diundang oleh Hwa-i-kongcu dan menjadi pembantu utama, tentu saja mereka menjadi sahabat yang memiliki keahlian berbeda-beda. Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali, tiga orang lihai ini pernah muncul di Telaga Sungai, ketika terjadi perebutan anak ular naga di telaga tersebut dan biarpun tiga orang ini lihai sekali, namun karena di telaga itu berkumpul banyak sekali orang-orang pandai, mereka tidak berhasil mendapatkan anak naga itu.
Demikianlah keadaan singkat tiga orang pembantu utama Hwa-i-kongcu yang kini telah berada di tempat pesta itu. Sejak semula, mereka sudah agak curiga ketika mendengar bahwa Si Jari Maut mengirim sumbangan berupa wanita-wanita pelayan yang cantik-cantik itu, maka diam-diam mereka, terutama sekali tosu Hek Im Cu, memasang mata dan mencurahkan perhatian kepada para pelayan itu. Peristiwa yang terjadi ketika seorang pelayan hendak dirangkul setan arak yang gendut, melihat cara pelayan itu menghindarkan diri, membuat Hak Im Cu menjadi makin curiga. Jelas bahwa pelayan itu memiliki ilmu silat cukup tinggi sehingga dapat menghindarkan tubrukan dan terkaman si gendut sedemikian mudahnya dan dalam gerakannya mengelak itu, baki tidak terguling bahkan kuah dalam mangkok tidak tumpah. Biarpun yang mengirim Si Jari Maut yang terkenal, namun pelayan-pelayan yang pandai ilmu silat sungguh mencurigakan. Apalagi pemimpin pelayan itu, yang cantik dan agung dan yang kini tidak nampak.
Hak Im Cu lalu menghubungi dua orang temannya, mereka berbisik-bisik, lalu dengan tergesa-gesa ketiganya menuju ke belakang untuk menyelidiki dan kalau perlu mengumpulkan pelayan-pelayan sumbangan itu untuk memeriksa mereka. Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara terompet dan canang di pukul gencar. Itulah tanda bahaya dan tak lama kemudian terdengarlah teriakan-teriakan bahwa pengantin puteri diculik orang! Gegerlah keadaan dalam pesta itu ketika suara berisik ini terdengar dan mereka mendengar bahwa pengantin puteri diculik orang.
Keributan ini disusul oleh keributan lain yang lebih meributkan ketika para pelayan wanita itu, dengan menggunakan batu yang memang sudah mereka persiapkan sebelumnya, ada pula yang menggunakan mangkok piring menyambit ke arah lampu-lampu di seluruh tempat sehingga lampu-lampu itu pecah dan padam. Keadaan menjadi gelap gulita dan tentu saja para tamu menjadi panik, kecuali mereka yang berkepandaian tinggi, karena mereka ini maklum bahwa terjadi hal hebat dan cepat mereka menggunakan kepandaian untuk bersiap-siap turun tangan membantu fihak tuan rumah.
Tentu saja Siang In juga terkejut bukan main. Dia sama sekali tidak mengira bahwa akan terjadi hal seperti itu. Ketika teman-temannya para penari menjerit dan berkumpul menjadi satu dalam keadaan ketakutan, dia sendiri cepat meloncat dan menyelinap di antara orangorang yang sedang panik, melihat para pelayan wanita menyambiti lampu-lampu dengan ketepatan seorang ahli, dia memaki kebodohan sendiri yang tidak menduga bahwa pelayan-pelayan wanita itu ternyata adalah orang-orang yang mempunyai niat sama dengan dia yaitu menculik sang puteri! Dia berlari terus menuju ke tempat tinggal Syanti Dewi dan benar saja, tepat seperti yang dikhawatirkannya, sang puteri telah lenyap dan di situ terdapat Hwa-i-kongcu dan para pembantunya. Hwa-i-kongcu marah-marah dan memaki-maki para pengawalnya yang dikatakannya tolol.
"Kejar! Isteriku harus dapat dirampas kembali!" teriaknya marah-marah dan dari tempat persembunyiannya, Siang In melihat betapa tosu tinggi kurus, raksasa tinggi besar muka hitam, dan si gemuk pendek berkepala gundul itu berkelebat dengan kecepatan yang mengejutkan, melakukan pencarian atau pengejaran tanpa mengeluarkan kata-kata apa pun. Dia terkejut. Kiranya Hwa-i-kongcu dibantu orang-orang pandai. Namun toh Syanti Dewi dapat diculik orang. Hal ini menunjukkan betapa lihainya si penculik yang agaknya dibantu oleh para pelayan wanita. Dia meninggalkan tempat sembunyinya untuk melakukan pengejaran pula. Dia harus mendapatkan Syanti Dewi karena agaknya, terjatuh ke tangan siapa pun juga, kecuali ke tangannya, tentu Puteri Bhutan itu akan celaka. Ketika dia ke luar, ternyata di sana-sini telah terjadi pertempuran-pertempuran hebat antara wanita-wanita pelayan dan para pengawal dan anak buah Hwa-i-kongcu. Kini jelaslah sudah bahwa pelayan-pelayan wanita itu adalah serombongan orang yang menyamar untuk menculik sang puteri! Dan ternyata mereka itu terdiri dari orang-orang lihai, sama sekali bukan lawan para pengawal Hwa-i-kongcu atau anggauta-anggauta Liong-sim-pang biasa saja. Hanya tiga orang lihai tadi yang dapat mengatasi mereka dan mulailah ada beberapa orang wanita pelayan roboh dan selebihnya lalu melarikan diri, dikejar oleh tiga orang itu dan para anak buah Liong-sim-pang. Tamu-tamu makin panik dan sebagian besar menyelamatkan diri dengan sembunyi di balik semak-semak atau pohon-pohon di dalam taman, ada pula yang begitu saja memasuki kamar-kamar, tidak peduli kamar siapa, dan ada pula yang menyelinap ke dalam dapur, tidak peduli pakaian dan mukanya penuh hangus. Hanya yang berkepandaian saja membantu para anggauta Liong-sim-pang melakukan pengejaran kepada rombongan wanita pelayan yang ternyata merupakan gerombolan penculik itu.
Ternyata orang-orang Hek-eng-pang amat cerdik dan sebelum mereka melakukan penculikan, sebagian di antara mereka telah mengatur "jalan lari" untuk kawan-kawannya. Kini, mereka mengikuti jalan yang mereka buat, dan dipimpin oleh Hek-eng-pangcu sendiri, yaitu Yang-liu Nio-nio, mereka berserabutan memasuki taman melalui jalan yang sudah direncanakan semula.
"Penculik-penculik hina, hendak lari ke mana kalian" Hak Im Cu mengejar dan paling cepat larinya tosu ini karena dia memang seorang ahli ginkang yang hebat.
"Liong-li, bawa dia ini!" Yang-liu Nionio berteriak dan melemparkan tubuh Syanti Dewi yang sudah ditotoknya itu ke arah muridnya itu. Liong-li menyambut tubuh itu dan terus melarikan diri, sedangkan Yang-liu Nio-nio menyambut, serangan pedang Hak Im Cu dengan ranting yang-liu yang tadi dipegangnya.
"Singgg.... trakkkkk!" Pedang itu tertahan oleh ranting dan keduanya lalu bertempur seru.
Sementara itu, para pengawal yang melihat pengantin wanita dilarikan seorang pelayan dan belasan pelayan lain, cepat mengejar. Liong-li lari bersama teman-temannya, meloncati jalan di antara semak-semak. Para pengawal atau anak buah Liong-sim-pang mengejar.
"Blarrr....!" Terjadi ledakan keras dan empat orang anak buah Liong-sim-pang terlempar ke sana-sini oleh ledakan itu. Kiranya di situ sudah dipasang jebakan semacam ranjau oleh orang-orang Hek-eng-pang yang tadi meloncati tempat itu. Anak buah Liong-sim-pang yang tidak tahu tentu saja berlari biasa dan menginjak ranjau itu.
Bersama bunyi ledakan, Yang-liu Nio-nio diikuti oleh beberapa orang anak buahnya juga lari karena Ban-kin-kwi Kwan Ok dan Hai-liong-ong Ciok Gu To telah tiba di situ. Melihat adanya tiga orang yang amat lihai ini, Yang-liu Nionio mengajak anak buahnya lari dan mereka menyelinap di semak-semak belukar di luar taman.
"Keparat jangan lari!" Hak Im Cu memaki dan mengejar, akan tetapi tiba-tiba semak-semak itu terbakar dan nyalanya demikian besar karena ternyata semak-semak itu telah disiram minyak. Terpaksa tiga orang lihai ini tidak berani menerjang api dan mengambil jalan memutar. Mereka melihat wanita tua cantik memegang ranting itu bersama lima orang wanita pelayan lain menyeberangi jembatan di luar taman. Tentu saja dengan cepat mereka mengejar. Wanita-wanita itu telah tiba di seberang jembatan dan baru saja Hak Im Cu dan kawan-kawannya tiba di jembatan dan meloncat ke atasnya, tiba-tiba jembatan itu ambruk! Tentu saja ini pun buatan para anggauta Hek-eng-pang. Untung bahwa yang berada di jembatan itu adalah Hak Im Cu bertiga yang tentu saja dapat meloncat kembali ke belakang dan tidak sampai ikut terjatuh bersama jembatan itu.
Hak Im Cu dan teman-temannya, juga para anak buah Liong-sim-pang cepat mengejar para wanita yang telah tiba di tembok yang mengelilingi tempat markas Liong-sim-pang itu. Dengan gerakan-gerakan yang amat ringan, mereka meloncat ke atas tembok, didahului oleh Liong-li yang memondong tubuh Syanti Dewi.
"Ha-ha-ha, kalian hendak lari kemana" Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan kiranya di atas tembok, di menara penjagaan, telah nongkrong seorang tinggi besar bersorban yang bukan lain adalah Gitananda, tokoh aneh dari Nepal tadi!
"Liong-li, lari....!" Yang-liu Nio-nio berteriak dan dia sendiri menggunakan ranting yang-liu, langsung menubruk dan menyerang kakek Nepal itu. Si kakek Nepal terkejut karena tahu bahwa serangan nenek cantik ini cepat dan kuat bukan main, maka dia pun menggerakkan tongkatnya menangkis dan mereka segera bertempur di dalam menara penjagaan itu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Liong-li untuk berloncatan pergi ke tempat di mana Tek Hoat dan para anak buah Hek-eng-pang yang lain sudah siap dengan kuda mereka.
Hak Im Cu dan kawan-kawannya tidak mempedulikan nenek yang masih bertanding melawan orang Nepal itu, karena bagi mereka yang terpenting adalah merampas kembali pengatin wanita yang terculik, maka mereka lalu mengerahkan para anak buah Liong-sim-pang untuk mengejar melalui pintu gerbang sedangkan mereka bertiga sendiri melakukan pengejaran dari atas dengan berlompatan.
Melihat bahwa anak muridnya dan para anak buah Hek-eng-pang sudah berhasil keluar dari tembok, Yang-liu Nio-nio cepat mendesak kakek Nepal, dengan gerakan ranting yang-liu dan ketika kakek itu menangkis dengan tongkatnya, tangan kirinya melakukan pukulan atau cengkeraman mautnya, yaitu Hek-eng-jiauw-kang yang hebat bukan main. Dari jari-jari tangannya yang dibentuk seperti kuku garuda itu menyambar hawa dahsyat sekali.
"Ehhhhh....!" Gitananda terkejut dan cepat meloncat ke belakang, akan tetapi dia melihat nenek cantik itu pun meloncat jauh dan melarikan diri di dalam gelap. Karena malam itu gelap dan penerangan dari atas tembok tidak berapa besar, maka kakek Nepal yang hanya menjadi tamu ini tidak mau membahayakan dirinya. Dia maklum bahwa mengejar seorang lawan pandai di tempat gelap amatlah berbahaya, maka dia pun melakukan pengejaran seenaknya saja, dengan sikap amat berhati-hati.
Kini terjadilah kejar-kejaran di luar tembok dan di tempat terbuka di daerah Pegunungan Lu-liang-san, di malam gelap itu. Akan tetapi sebentar saja, para wanita yang memang sebelumnya sudah mengatur jalan dengan cerdiknya, dapat melarikan diri di tempat gelap dan terus dikejar oleh para anggauta Liong-simpang yang dipimpin oleh Hak Im Cu dan dua orang temannya, bahkan kemudian Hwa-i-kongcu pengantin pria yang gagal itu pun melakukan pengejaran sendiri.
Kita tinggalkan dulu para penculik Syanti Dewi yang melarikan diri dan dikejar oleh anggauta Liong-sim-pang, dan juga secara diam-diam dikejar pula oleh seorang gadis cantik, yaitu Siang In dan mari kita kembali mengikuti keadaan Suma Kian Lee yang menjadi tawanan Hek-eng-pang.
Seperti telah diceritakan di bagian depan Suma Kian Lee tidak berdaya dan menjadi setengah tawanan dari Hek-eng-pang karena Hek-eng-pang mengancam akan membunuh Cui Lan dan Gubernur Hok kalau dia melawan. Akan tetapi munculnya Ang Tek Hoat membuka rahasianya dan akhirnya, dalam pertandingan melawan Tek Hoat, dia dikeroyok dan roboh pingsan. Ketika Kian Lee sadar kembali, dia telah berada di dalam sebuah kamar dan dijaga oleh empat orang wanita anggauta Hek-eng-pang yang cantik-cantik. Begitu siuman, dia bangkit duduk dan siap untuk mengamuk, akan tetapi seorang wanita cantik yang dia tahu merupakan seorang di antara kepala-kepala pasukan di Hek-eng-pang, muncul dan berkata, "Harap kau suka tenang, Kongcu. Kalau tidak, terpaksa dua orang kawanmu itu kami bunuh!"
Teringat akan Cui Lan dan Hok-taijin, Suma Kian Lee tenang kembali dan dia bangkit duduk dan berkata, "Sesungguhnya, apakah yang kalian kehendaki dari aku" Dia memandang ke kanan kiri dan bertanya lagi, "Mana ketua kalian itu" Dan mana pula Tek Hoat" Suruh mereka bicara dengan aku!"
"Pangcu sedang pergi dan aku yang diberi tugas untuk minta agar kau mengaku saja semuanya, Suma-kongcu. Bukankah sudah jelas bahwa yang merampas harta keluarga Kao adalah seorang pemuda yang dikenal sebagai Suma-kongcu dan menjadi saudaramu" Nah, sekarang, demi keselamatan dua orang kawanmu itu, terutama dara cantik jelita yang selalu menanyakan keadaan dan mengkhawatirkan keselamatanmu itu, yang agaknya adalah.... eh, kekasihmu."
"Jangan bicara sembarangan!" Kian Lee menghardik dan mukanya berubah merah. Ia tahu betapa lembut dan halus perasaan Cui Lan, betapa dara itu masih mengkhawatirkannya, akan tetapi hal itu bukan berarti dara itu cinta kepadanya karena hati dan cinta kasih dara itu telah ditumpahkan kepada Siluman Kecil!
"Maaf, Kongcu. Sekarang, demi keselamatan mereka, harap Kongcu berterus terang saja, di mana adanya harta itu dan agar dikembalikan kepada kami untuk ditukar dengan dua orang kawanmu."
"Kalian adalah orang-orang bodoh yang suka menuduh orang secara ngawur saja!" Kian Lee berkata dengan nada menyesal. "Aku bukanlah orang-orang macam kalian yang suka membohong, apalagi menghendaki barang orang lain. Sesungguhnya, aku sama sekali tidak tahu tentang harta itu. Kalau kau tidak keberatan, ceritakanlah kepadaku apa yang telah terjadi"
Wanita cantik itu tersenyum, seolah-olah dia tahu bahwa Kian Lee berpura-pura. Lalu dia menarik napas panjang dan berkata, "Kongcu, engkau membuat tugas kami menjadi lebih berat lagi. Kenapa masih pura-pura tidak tahu kalau yang melakukan ini adalah saudaramu sendiri"
Kian Lee menahan kesabarannya. "Aku memang mempunyai saudara yang sedang kucari-cari, akan tetapi saudaraku bukanlah perampok atau penculik! Nah, sudah kukatakan bahwa aku tidak tahu apa-apa dalam hal ini. Kau mau menjelaskan atau tidak terserah!"
Melihat sikap ini, wanita itu menjadi ragu-ragu dan dia pun bercerita, "Kami mendengar bahwa keluarga Jenderal Kao Liang telah mengundurkan diri dan hendak pulang ke kampung membawa harta yang besar. Karena rombongannya akan lewat tidak jauh dari sini, maka pangcu lalu memerintah kami untuk menghadang dan merampas harta pusaka itu. Kami sudah hampir berhasil, akan tetapi ternyata banyak fihak lain yang juga mengandung niat yang sama dengan kami.
Mereka adalah orang-orang lembah, yaitu perkumpulan Huang-ho Kui-liong-pang yang menjadi musuh besar kami. Kemudian dalam perebutan harta pusaka keluarga Kao itu muncul pula pengawal-pengawal kerajaan yang menyamar, dan kami mendengar pula nama Suma-kongcu. Karena kami tidak berhasil merampas harta, juga fihak Kui-liong-pang tidak pula, sedangkan para pengawal itu telah kami hancurkan, maka tinggal Suma-kongcu itulah yang mencurigakan dan tentu dia yang telah merampas harta pusaka keluarga Kao."
"Hemmm, dan di mana adanya keluarga Kao sendiri"
Wanita itu tersenyum dan mencibirkan bibirnya yang merah. "Mereka terculik dan kami tidak tertarik oleh hal itu. Kami hanya mementingkan harta pusaka dan karena jelas bahwa harta itu dirampas oleh Suma-kongcu, sedangkan engkau adalah saudaranya, maka kami mengharap bantuanmu untuk mengembalikan harta itu kepada kami sebagai penukaran diri dua orang kawanmu."
Akan tetapi Kian Lee sudah tidak mempedulikan omongan wanita itu lebih lanjut karena dia sudah melamun! Kini mengertilah dia mengapa hal-hal aneh itu terjadi kepadanya. Jenderal Kao dan dua orang puteranya menyerangnya, tentu mereka itu pun mendengar bahwa Suma kongcu yang tentu saja kalau memang benar demikian adalah adiknya, Kian Bu, yang mencuri harta mereka dan menculik keluarga mereka. Pantas saja jenderal itu dan dua orang puteranya menyerang dia! Tentu ini fitnah belaka! Tidak mungkin adiknya, Suma Kian Bu, telah berubah menjadi garong! Apalagi menjadi penculik!
Ini tentu fitnah! Dan dia berkewajiban untuk membongkar rahasia ini. Dia harus dapat menemukan keluarga Jenderal Kao dan menemukan harta yang dirampas orang, bukan hanya untuk membantu keluarga Jenderal Kao itu melainkan juga untuk membersihkan nama adiknya dari fitnah. Akan tetapi sebelum dapat mencari keluarga Jenderal Kao dan harta pusakanya itu, lebih dulu dia harus dapat meloloskan diri dari tempat ini tanpa membahayakan Cui Lan dan Gubernur Hok. Ah, betapa banyaknya hal yang harus dikerjakan, betapa banyaknya halangan dihadapinya dalam perjalanannya kali ini. Masih ada lagi tugas yang juga amat penting, yaitu menyelidiki dan membebaskan Pangeran Yung Hwa!
"Biarkan aku bicara sendiri dengan Tek Hoat dan dengan ketua kalian," akhirnya dia berkata. "Terjadi salah duga atau fitnah keji dalam hal ini," hanya demikian jawabnya dan akhirnya wanita itu pun meninggalkannya, mengatakan bahwa ketua Hek-eng-pang yang pergi bersama Si Jari Maut belum pulang.
Sampai hari menjadi malam, ketua Hek-eng-pang dan Si Jari Maut belum juga pulang dan malam ini terjadilah peristiwa hebat di puncak Gunung Cemara. Di waktu malam gelap itu, secara tiba-tiba orang-orang lembah, yaitu musuh besar perkumpulan Hek-eng-pang, datang menyerbu! Mereka ini adalah orang-orang Huang-ho Kui-liong-pang yang datang secara tidak terduga-duga dan menyerang perkampungan Hek-eng-pang dengan hebat, membakari rumah di situ. Pihak Hek-eng-pang tentu saja melakukan perlawanan sekuatnya, akan tetapi karena sebagian besar di antara mereka pergi bersama ketua mereka, maka jumlah mereka kalah banyak, dan juga tanpa adanya ketua mereka, para anggauta Hek-eng-pang ini lemah semangatnya dan akhirnya mereka melarikan diri cerai-berai mencari keselamatan, meninggalkan rumah-rumah mereka yang menjadi lautan api!
Tentu saja Kian Lee yang terkejut oleh penyerbuan ini, cepat meninggalkan tempat tahanannya. Para wanita yang menjaga kamar tahanan juga sudah tidak ada lagi dan di dalam keributan itu, Kian Lee tidak mau ikut campur, melainkan langsung saja dia mencari Cui Lan dan Gubernur Hok. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia tiba di tempat tahanan dua orang itu, dia melihat dua orang penjaganya, yaitu wanita-wanita anggauta Hek-eng-pang yang ditugaskan menjaga dan menodong mereka, telah menggeletak tewas dan di dalam kamar itu tidak lagi nampak bayangan Cui Lan dan Hok-taijin. Kian Lee lalu berlari ke sana-sini mencari-cari, akan tetapi dia tidak dapat menemukan jejak dua orang itu.
Ketika dia melihat orang-orang Huang-ho Kui-liong-pang meninggalkan Gunung Cemara sambil bersorak-sorak seperti barisan tentara menang perang, Kian Lee diam-diam membayangi mereka. Akan tetapi, gerombolan orang-orang dari lembah itu menggunakan perahu-perahu melanjukan perjalanan mereka dan terpaksa Kian Lee lalu membayangi terus di sepanjang pantai sungai.
Sampai pagi hari, perahu-perahu itu terus meluncur dan Kian Lee juga terus membayanginya. Tibalah mereka di sebuah dusun di pinggir sungai dan perahu-perahu itu berhenti mendarat. Akan tetapi tidak semua anggauta Kui-liong-pang mendarat sehingga Kian Lee tidak tahu di mana adanya Cui Lan dan Gubernur Hok, di perahu yang mana. Selagi dia ragu-ragu dan menduga-duga, siap untuk menyerbu dan menolong Cui Lan dan Gubernur Hok, tiba-tiba dia dikejutkan oleh teriakan orang di belakangnya.
"Eh, inilah dia pemuda itu!"
Kian Lee cepat menengok dan dia melihat Honan Cui-lo-mo Wan Lok It, tokoh jagoan dari Gubernur Ho-nan itu, yang gendut dan rambutnya merah, tak pernah melepaskan sebuah guci arak! Bersama kakek ini, ada pula belasan orang anak buahnya dan agaknya mereka tiba di dusun ini dalam usaha mereka mencari-cari Gubernur Hok dan juga dia sendiri. Kian Lee terkejut dan diam-diam dia mengharapkan agar Gubernur Hok dan Cui Lan jangan keluar dari tempat mereka, karena kalau sampai ketahuan, tentu akan ditangkap dan sukar baginya untuk melindungi mereka.
Ciu-lo-mo sudah menerjang dengan guci araknya sebagai senjata, dibantu belasan orang itu yang sudah mengurung Kian Lee. Pemuda ini menganggap bahwa andaikata Cui Lan dan Gubernur Hok ditawan orang-orang lembah, keadaan mereka lebih aman daripada kalau ditawan oleh orang-orang ini, karena orang-orang lembah itu belum tahu siapa adanya Hok-taijin, sedangkan orang-orang ini adalah kaki tangan Gubernur Ho-nan. Maka dia lalu melompat merobohkan dua orang anak buah Si Setan Arak Tua dari Ho-nan itu dan melarikan diri, untuk memancing mereka menjauhi perahu-perahu itu yang diduganya menawan Cui Lan dan Hok-taijin. Benar saja, Cui-lomo dan anak buahnya cepat melakukan pengejaran. Setelah jauh, barulah Kian Lee membalik dan menghadapi mereka dengan tenang, menanti kedatangan mereka dan mengambil putusan untuk memberi hajaran kepada mereka.
Akan tetapi, begitu orang-orang itu tiba di depannya dan sebelum mereka menyerangnya terdengar bentakan halus, "Omitohud....! Tahan senjata.... pinni hendak bicara....!"
Semua orang menengok ke arah datangnya suara itu dan munculiah seorang nikouw (pendeta wanita) tua yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, tubuhnya kecil dan mukanya pucat, akan tetapi matanya mengeluarkan sinar yang membuat Kian Lee mengenal bahwa nikouw itu bukan sembarang orang. Nikouw itu memegang sebatang tongkat panjang dan dengan pandang mata menyelidik, dia bertanya kepada Ho-nan Ciu-lo-mo dengan suara nyaring, "Apakah kalian orang-orang Kui-liong-pang"
Ciu-lo-mo Wan Lok It memandang marah, akan tetapi karena dia berhadapan dengan seorang nikouw, dia menahan kemarahannya dan berkata, "Harap Losuthai jangan menduga sembarangan dan mengira kami adalah orang-orang dari perkumpulan kotor itu. Kami adalah pasukan dan utusan dari Kui-taijin, Gubernur Ho-nan!" Ciu-lo-mo mengangkat dada untuk membanggakan kedudukannya sebagai utusan gubernur.
Akan tetapi sungguh celaka, ketika nikouw itu mendengar bahwa dia adalah utusan Gubernur Ho-nan, wajah nikouw itu menjadi merah dan sinar matanya menunjukkan kemarahan. "Bagus! Sungguh kebetulan sekali. Justeru kalian inilah orang-orang yang harus pinni cari. Hayo lekas katakan, di mana adanya Phang Cui Lan" Apa yang terjadi dengan dia"
Ho-nan Cui-lo-mo Wan Lok It adalah seorang jagoan Ho-nan yang sama sekali tidak mengenal nikouw ini. Maka tentu saja dia tidak menjadi takut, bahkan dia menghadapi kemarahan nenek ini dengan muka tidak senang. Apalagi sekarang nenek itu menyebut nama Phang Cui Lan, gadis pelayan istana gubernur yang telah berkhianat dan membantu larinya Gubernur Ho-pei, musuh dari Gubernur Ho-nan.
"Hemmm.... nikouw tua...." katanya, kini kurang nada hormatnya. "Apa maksudmu menanyakan gadis pelayan yang berkhianat itu"
Nikouw itu makin marah. "Kau ini siapa" Dan apa kedudukanmu di gubernuran"
Ditanya demikian, Wan Lok It menepuk dadanya. "Belum mengenal aku" Inilah Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It dan aku adalah pengawal pribadi Gubernur Ho-nan! Gadis bernama Phang Cui Lan itu adalah seorang pengkhianat, apa maksudmu menanyakan gadis itu"
"Omitohud! Sungguh kebetulan sekali. Tentu orang-orang macam engkau inilah yang membujuk gubernur untuk mencelakai gadis itu. Pinni mendengar bahwa gadis itu dikejar-kejar oleh orang-orangnya gubernur, bahkan hendak membunuh. Benarkah begitu"
"Benar sekali! Dan apakah engkau tahu di mana dia bersembunyi" Kalau kau berani melindunginya, engkau akan celaka!"
"Omitohud, sungguh berani mati! Eh, Setan Arak, Nona Phang, itu adalah seorang sahabat pendekar Siluman Kecil yang dititipkan Gubernur Ho-nan, dan sekarang berani kalian hendak membunuh dia! Bukankah dengan demikian gubernur tidak menghargai beliau" Awas, kalau sampai terjadi sesuatu dengan nona itu, gubernur dan semua kaki tangannya tentu tidak akan bebas dari hukuman!"
Kian Lee merasa kagum dan heran mendengar ucapan nikouw itu. Kiranya nikouw tua yang lihai dan berwibawa ini juga merupakan seorang pembantu dari pendekar yang terkenal dengan sebutan Siluman Kecil! Dia kagum karena selain pendekar itu mempunyai banyak pembantu dan namanya amat dikenal dan disegani semua orang, juga ternyata bahwa pendekar itu mempunyai rasa setia kawan yang besar, dan juga semua kawan-kawannya demikian tunduk dan setia kepadanya. Betapa banyaknya orang yang setia kepada pendekar itu dari seorang gadis cantik jelita dan halus budi seperti Cui Lan, sampai kepada orang-orang kasar seperti para pemburu yang menolongnya keluar dari terowongan saluran air itu dan nikouw tua yang menimbulkan rasa hormat ini.
Akan tetapi orang yang sudah biasa mengandalkan kepandaiannya sendiri, kedudukannya dan banyak kawan seperti Cui-lo-mo tidak merasa takut menghadapi nikouw itu, bahkan dia menjadi marah sekali. Tentu saja dia sudah mendengar akan nama Siluman Kecil yang kabarnya muncul seperti siluman, membasmi orang-orang jahat akan tetapi tidak pernah dapat dilihat dengan nyata orangnya itu, yang pernah pula membasmi penjahat yang mengganggu Propinsi Ho-nan dan juga dihormati oleh gubernur sendiri. Akan tetapi, dia sendiri belum pernah melihat sendiri kelihaiannya, maka tentu saja dia tidak mau tunduk begitu mudah, apalagi yang muncul hanya seorang nikouw tua sepertl itu, yang berani mengeluarkan kata-kata keras bernada mengancam terhadap gubernur dan kaki tangannya!
"Eh, nikouw tua! Hati-hati engkau bicara, atau kau kutangkap sebagai seorang kaki tangan pengkhianat!"
"Hemmm, Setan Arak. Kalau kau berani, boleh coba kautangkap pinni!" jawab nikouw itu.
"Bagus! Engkau yang menantang, jangan nanti persalahkan aku dan mengatakan aku tidak menghormat seorang pendeta wanita tua!" Ho-nan Cui-lo-mo lalu menerjang maju dengan gucinya, menyerang nikouw itu.
"Trang-trang-tringgggg....!" Tongkat nikouw itu menangkis guci dan ketika ada arak muncrat dari guci itu ke arah mukanya, nikouw itu hanya meniup dan arak itu pecah dan buyar. Kemudian tongkatnya membalas dan ternyata serangan balasan nikouw itu pun kuat sekali sehingga mengejutkan Ho-nan Ciu-lo-mo. Maklum bahwa nenek itu ternyata merupakan lawan yang cukup tangguh, dia lalu meneriaki anak buahnya untuk maju mengeroyok.
"Sungguh tak tahu malu!" Kian Lee membentak dan pemuda ini melompat maju, mengamuk dan dalam beberapa gebrakan saja para anak buah dari gubernuran itu cerai-berai dan kacau-balau, bahkan Si Setan Arak sendiri terdorong mundur oleh hawa pukulan yang keluar dari tangan Kian Lee.
Wan Lok It bukan orang bodoh. Dia memang sudah tahu bahwa pemuda itu lihai, akan tetapi dengan mengandalkan belasan orang anak buahnya yang merupakan pengawal-pengawal pilihan dari gubernuran hatinya menjadi besar dan dia tadi hendak menangkap pemuda itu. Namun siapa tahu, di situ muncul nikouw yang juga lihai dan dengan majunya nikouw itu bersama si pemuda lihai, tentu saja dia dan kawan-kawannya merasa kewalahan dan akhirnya larilah mereka sambil menyeret teman-teman yang terluka.
Nikouw itu memandang kepada Kian Lee dengan kagum lalu berkata memuji, "Omitohud! Pinni sungguh keliru dan tidak melihat Gunung Thai-san menjulang tinggi di depan mata. Kongcu memiliki kepandaian yang amat tinggi dan tadi pinni mengkhawatirkan ke$elamatan Kongcu. Sungguh menggelikan!"
Kian Lee menjura kepada nikouw tua itu dan berkata, "Suthai membela Nona Phang, hal itu saja sudah menunjukkan bahwa Suthai adalah seorang sahabat. Saya pun sedang mencari dia dan hendak menolongnya dari cengkeraman orang-orang jahat."
"Ohhhhh.... begitukah" Di mana dia dan bagaimana Kongcu bertemu dengan dia"
"Mari kita mengejar perahu-perahu yang tadi berlabuh di dusun sana, Suthai. Kalau tidak salah, Nona Phang dan seorang.... paman dibawa di dalam sebuah diantara perahu-perahu itu. Mari kita mengejar dan nanti saya ceritakan kepada Suthai tentang pertemuan antara kami."
Kian Lee dan nikouw tua itu mengejar dan ternyata bahwa perahu-perahu itu telah lama pergi. Kiranya begitu melihat keributan di darat, perahu-perahu itu tidak jadi singgah dan melanjutkan perjalanan cepat-cepat sehingga tidak nampak lagi. Kian Lee lalu mengajak nikouw itu mengejar dengan cepat di sepanjang pinggir sungai. Dalam perjalanan ini dia menceritakan bagaimana dia bertemu dengan Phang Cui Lan dan dengan singkat dia bercerita bahwa Cui Lan bersama dengan seorang kakek melarikan diri dari gubernuran Ho-nan, dikejar-kejar dan dia sendiri terjerumus ke dalam terowongan saluran air. Diceritakannya betapa dia telah ditolong oleh Cui Lan yang mengerahkan teman-temannya para pemburu sehingga dia selamat.
"Ah,.... kiranya Kongcu yang ditolong itu" Pinni mendengar dari para pemburu tentang itu, dan dari mereka itulah pinni tahu bahwa nona Phang dikejar-kejar dan hendak dibunuh, maka pinni mewakili beliau untuk menegur gubernur Ho-nan dan untuk menyelamatkan Nona Phang.
"Maksud Suthai beliau Si Siluman Kecil" Kian Lee bertanya.
"Siapa lagi" Nenek itu mengangguk. "Lalu bagaimana, harap Kongcu lanjutkan."
"Saya mengantar Nona Phang untuk mengungsi ke Ho-pei, akan tetapi di tengah jalan kami ditangkap oleh gerombolan Hek-eng-pang. Karena mereka itu mengancam hendak membunuh Nona Phang, terpaksa saya menyerah. Dan malam tadi, Hek-eng-pang diserang oleh gerombolan lain yang menjadi musuh mereka. Saya dapat terbebas, akan tetapi ketika saya mencari Nona Phang, dia telah lenyap. Mungkin sekali ditawan oleh gerombolan yang melarikan diri dengan perahu-perahu itu. Sayang sebelum saya berhasil mendapatkan apakah Nona Phang berada di perahu itu, muncul si Setan Arak yang mengenal saya ketika terjadi keributan di gubernuran Ho-nan dan dia menyerang saya sehingga perahu-perahu itu sempat pergi."
Nikouw itu mendengarkan dengan penuh perhatian. "Ah, kalau begitu Kongcu telah banyak membela dan melindungi Nona Phang dan dengan demikian maka boleh dibilang Kongcu adalah seorang sahabat juga dari beliau."
Mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat namun belum juga dapat menyusul perahu-perahu itu. Hati Kian Lee makin tertarik kepada tokoh yang berjuluk atau dijuluki Siluman Kecil itu.
"Suthai, siapakah sebenarnya Siluman Kecil itu" Siapa namanya dan dia datang dari mana"
Tiba-tiba nikouw tua itu berhenti dan memandang kepada Kian Lee dengan sinar mata penuh selidik dan kecurigaan. Akan tetapi melihat sikap Kian Lee tenang-tenang dan biasa saja, dia menjawab, "Pinni juga tidak tahu banyak. Yang pinni ketahui hanyalah bahwa beliau sering kali datang ke kuil kami dan bercakap-cakap dengan Subo. Beberapa hari yang lalu beliau datang dan setelah bercakap-cakap dengan Subo, pinni dipanggil dan diserahi tugas untuk menyelidiki keadaan Nona Phang." Nikouw itu menghentikan ceritanya dan jelas bahwa dia enggan untuk banyak bicara tentang tokoh itu. Tentu saja sikap ini bahkan makin menarik hati Kian Lee.
"Telah lama saya mendengar nama besar Siluman Kecil. Ingin sekali saya bertemu dengan orangnya dan berkenalan," katanya.
"Hemmm, tidak mudah!" Nikouw itu menggeleng kepala dan mereka melanjutkan perjalanan. "Sungguh sangat sukar bertemu dan berkenalan dengan beliau, sama sukarnya dengan mendaki puncak Thai-san! Beliau tidak suka bertemu orang, bahkan dengan sahabat-sahabat yang amat dipercayanya pun jarang bertemu."
Setelah itu, nikouw tua yang mengaku berjuluk Liang Wi Nikouw itu tidak mau lagi bicara tentang Siluman Kecil. Mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat, namun anehnya, mereka tidak juga dapat menyusul rombongan perahu itu. Namun mereka terus mengejar dengan cepat sekali.
Hari telah sore. Matahari telah condong ke barat dan sinarnya kehilangan teriknya yang hebat. Kian Lee dan Liang Wi Nikouw tiba di daerah yang berbatu-batu, batu karang yang tajam meruncing dan sukar dilewati. Namun berkat ginkang mereka, keduanya masih dapat melanjutkan perjalanan, sungguh pun dengan hati-hati dan meloncat dari batu ke batu.
Terdengar suara air bergemuruh. Kiranya dibagian yang berbatu-batu itu merupakan tebing yang curam sekali dan air sungai itu kini menjadi air terjun yang amat terjal. Keduanya mendekati dan menjenguk ke bawah. Tinggi sekali tempat itu dan air sungai itu terjun ke tempat yang dalamnya sampai ratusan meter! Air yang menghantam batu-batu di bawah berubah menjadi uap dan dari atas kelihatan gelap seolah-olah mereka berdiri di atas awan.
Jauh sekali di bawah, di sekitar air terjun yang tertutup awan air itu, nampak dikelilingi tebing yang amat curam dan agaknya tidak mungkin di datangi manusia. Dan di antara tebing-tebing itu, seolah-olah dikelilingi tebing yang curam, terdapat tanah datar yang luas dan nampaklah beberapa petak rumah yang dlingkari tembok seperti benteng berdiri di tanah datar itu.
"Ah, ada perkampungan di sana!" Nikouw itu berkata.
"Dan agaknya perahu-perahu yang lenyap itu telah disembunyikan dan sangat boleh jadi bahwa perkampungan di bawah itulah perkampungan orang-orang yang menyerang Gunung Cemara, yang disebut orang-orang lembah atau Perkumpulan Huang-ho Kui-liong-pang."
"Akan tetapi, sungai ini bukan Sungai Huang-hoi" nikouw itu berkata heran.
"Memang bukan, akan tetapi saya rasa merupakan cabang Sungai Huang-ho dan mereka itu adalah bajak-bajak Sungai Huang-ho maka memakai nama demikian. Kalau saya tidak salah menduga, Suthai, di sanalah adanya Nona Phang danPaman Hok."
"Siapa Paman Hok itu"
Kian Lee tidak mau sembrono membuka rahasia Gubernur Ho-pei, maka dia menjawab, "Seorang pekerja di Gubernuran Ho-nan yang membantu Nona Phang melarikan diri."
"Kita harus dapat turun ke sana untuk menyelidiki," kata Liang Wi Nikouw.
"Memang benar, akan tetapi bagaimana kita dapat turun ke sana"
Mereka lalu mencari-cari jalan turun, akan tetapi tidak ada jalan turun yang merupakan jalan manusia, juga mereka tidak berhasil menemukan jalan rahasia. Jalan turun satu-satunya menuju ke perkampungan di bawah sana itu hanya menuruni tebing curam itu!
"Nona Phang harus ditolong!" kata si nikouw tua. "Kalau terpaksa, kita harus mendaki tebing dan turun ke sana."
Kian Lee mengangguk. "Tebing ini biarpun curam, namun terdiri dari batu karang yang runcing dan kuat. Kita dapat merayap turun. Akan tetapi kalau dilakukan di waktu cuaca masih terang, amat berbahaya, Suthai. Kalau kita sedang merayap lalu diserang dari bawah atau dari atas, bagaimana kita dapat menyelamatkan diri" Lebih baik menanti sampai cuaca mulai gelap. Nah, baru kita merayap turun."
Nikouw itu mengangguk-angguk. "Kongcu benar dan cerdik, biarlah kita menanti sampai gelap."
Mereka lalu mencari tempat duduk untuk menanti datangnya gelap dan mereka mencari batu yang agak datar di antara batu-batu karang yang kasar dan runcing itu. Dengan duduk bersila di atas batu yang datar, mereka mengaso, melepaskan lelah dan menanti sampai matahari tenggelam di barat. Liang Wi Nikouw sudah duduk bersila dan tenggelam dalam samadhi.
Tiba-tiba batu itu bergerak. Bahkan bergeser! Cepat Kian Lee menyambar lengan niitouw itu, dibawanya meloncat turun dan mereka lalu bersembunyi di balik batu karang yang besar, dan mengintai dengan mata terbelalak heran dan kaget. Batu yang tadi mereka duduki itu terus bergeser, terdengar suara berderit dan ternyata di bawah batu itu terdapat sebuah lubang yang besar. Sebuah mulut terowongan! Kiranya batu yang mereka jadikan tempat mengaso itu merupakan sebuah pintu rahasia!
Terdengar suara orang dan munculiah belasan orang dari dalam lubang, dikepalai oleh seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih yang bertubuh kecil dan pendek. Orang ini sikapnya tenang dan angkuh, tanda bahwa dia adalah seorang yang memiliki kekuasaan di antara teman-temannya itu. Dan kenyataannya memang demikianlah. Dua orang anak buahnya cepat-cepat membersihkan permukaan batu yang menjadi pintu itu dengan sapu tangan, mengebut bersih debu yang menempel di atas batu itu dan mempersilakan kakek bertubuh kecil pendek itu untuk duduk di situ. Sedangkan dua belas orang anak buah itu hanya duduk sembarangan saja di sekitar tempat itu.
"Ji-pangcu (Ketua ke Dua), apakah para tamu sudah akan datang" seorang yang duduk paling dekat bertanya.
Kakek kecil itu mengangguk. Dengan mata disipitkan dia memandang ke depan, merenung jauh. "Tadi sudah ada tanda rahasia bahwa mereka akan datang, maka kita harus berslap-siap menyambutnya di sini.
Kian Lee dan Liang Wi Nikouw masih bersembunyi di balik batu karang besar, mendekam, mengintai dan mendengarkan dengan perasaan tegang. Mereka sudah bersepakat untuk tidak sembarangan turun tangan sebelum dapat menyelamatkan Nona Phang dan "paman" Hok, karena kalau mereka itu belum diselamatkan lebih dulu, tentu sukar bagi mereka untuk turun tangan.
Tak lama kemudian, dari jauh terdengar suara suitan nyaring sekali. Orang yang disebut Ji-pangcu itu bangkit berdiri, lalu dia pun mengeluarkan suara melengking nyaring sebagai sambutan. Diam-diam Kian Lee menilai bahwa orang tua pendek kecil ini memiliki khikang yang cukup tangguh, maka dia makin berhati-hati.
Terdengar kini suara kaki kuda berderap dan tak lama kemudian, munculiah seorang kakek yang diiringkan oleh dua puluh orang yang berpakaian seperti jago-jago silat. Kakek itu bersikap gagah dan segera disambut oleh Ji-pangcu. Setelah saling menjura, kakek pemimpin rombongan ini mengeluarkan sehelai kartu yang cepat diterima oleh Ji-pangcu. Setelah membaca tulisan di atas kartu itu, Ji-pangcu segera menjura lagi dan berkata hormat, "Kiranya Boan-wangwe (Hartawan Boan) yang datang! Selamat datang di Lembah Kui-liong-pang!"
Kakek yang disebut Hartawan Boan ini memandang si kakek kecil pendek penuh perhatian, kemudian tertawa, "Haha-ha, biarpun baru sekarang saling berjumpa, namun kami telah mendengar nama besar dari Khiu-pangcu (Ketua Khiu). Benarkah dugaan kami"
Kakek pendek kecil itu pun tertawa. "Tepat sekali dugaan Boan-wangwe. Silakan masuk!" Ji-pangcu atau juga disebut Khiu-pangcu itu mempersilakan dengan tangan kanannya dan masuklah Hartawan Boan bersama anak buahnya melalui pintu terowongan itu, diantar oleh seorang di antara dua belas anak buah yang berjaga di luar pintu terowongan itu.
Boan-wangwe itu sebenarnya adalah seorang bekas kepala bajak yang amat terkenal, lihai dan juga berpengaruh. Akan tetapi kini dia tidak pernah menjadi pembajak lagi karena dia sudah menjadi seorang pedagang besar, dagangannya adalah.... ikan yang dihasilkan oleh sungai cabang Huang-ho itu. Akan tetapi dia sendiri bukanlah nelayan dan semua nelayan dari belasan desa di sepanjang sungai itu harus menjual ikan hasil tangkapan mereka kepada Boan-wangwe! Tentu saja dengan harga rendah! Dan tidak ada seorang pun berani menentangnya karena Boan-wangwe selain terkenal mempunyai banyak tukang pukul jagoan, juga terkenal murah hati dalam halmemberi pinjaman dengan bunga-bunga yang mencekik leher. Dan hampir semua nelayan sudah mempunyai hutang padanya. Dia bersedia memberi hutang berupa jala, perahu dan lain-lain keperluan dengan janji bahwa semua hasil tangkapan nelayan itu harus disetorkan kepadanya dengan pengganti sedikit uang lelah! Pendeknya, hartawan she Boan bekas kepala bajak ini merupakan seorang pemeras hebat di sepanjang sungai itu dan kekuasaannya seperti raja saja di kalangan para nelayan.
Kian Lee dan nikouw tua itu mengintai terus dan tak lama kemudlan, kembali terdengar suitan nyaring dan seperti juga tadi, Ji-pangcu menjawab dengan suara melengking. Kiranya suitan nyaring itu adalah tanda rahasia dari penjaga di sebelah depan untuk memberi tahu akan datangnya tamu. Munculiah rombongan ke dua dan rombongan ini terdiri dari sepuluh orang yang mengawal dua orang yang memikul sebuah tandu. Cara mereka datang juga amat aneh dan mengagumkan karena dua orang pemikul tandu itu memikul sambil berloncatan dengan tubuh ringan dan gesit bukan main, demikian pula sepuluh orang pengikut atau pengiring itu semua menggunakan ginkang yang mengagumkan berloncatan dengan ringan sekali seolah-olah yang datang ini adalah sekumpulan burung yang aneh atau sekumpulan kucing yang berloncatan dari batu ke batu dengar gerakan yang cepat sekali!
Setelah tiba di depan Ji-pangcu, tandu atau joli diturunkan dan keluarlah seorang gadis yang cantik sekali, berpakaian serba merah muda yang merah tereng dan di punggungnya terdapat sebatang pedang yang gagang dan sarungnya terukir indah, dihias dengan ronce-ronce merah tua.
Melihat gadis cantlk ini, Ji-pangcu segera menyambut sambil tertawa. "Selamat datang, Ang-siocia! Kiranya Siocia yang datang mewakili Hek-sin Touw-ong (Raja Maling Sakti Hitam)"
Nona itu tersenyum manis dan menjura. "Benar, Khiu-pangcu. Suhu sedang banyak urusan maka mengutus aku untuk mewakilinya." Dia mengeluarkan sebuah kartu nama seperti tadi dan segera diperkenankan masuk dengan penuh keramahan dan diantar pula oleh seorang anak buah Kui-liong-pang.
Senja mulai mendatang dan cuaca makin gelap. Akan tetapi, setelah malam tiba, bulan muncul sore-sore dan menjadi pengganti langsung dari matahari sehingga biarpun cuaca tidak seterang siang hari, namun cukup terang karena langit bersih dari awan mendung. Kian Lee dan Liang Wi Nikouw masih bersembunyi karena maklum bahwa tentu masih ada tamu-tamu lain, buktinya Ji-pangcu masih menanti di situ bersama anak buahnya. Mereka diam-diam merasa heran sekali karena tidak mengerti apa yang terjadi di lembah bawah sana sehingga orang-orang aneh berdatangan mengunjunginya.
Tak lama kemudian, munculiah seorang laki-laki tinggi besar, tanpa pengawal. Juga kedatangannya didahului oleh suitan tanda rahasia. Ji-pangcu cepat menyambutnya dan ternyata pendatang baru ini adalah kenalan lama karena mereka berjabat tangan dan bersendau-gurau. Oleh Ji-pangcu, orang itu disebut Toat-beng Sin-to Can Kok Ma (Golok Sakti Pencabut Nyawa), seorang perampok tunggal yang terkenal. Seperti yang lain-lain, perampok tunggal tinggi besar ini diperkenankan masuk setelah menyerahkan surat pengenal atau surat berupa kartu rahasia. Kemudian banyak lagi orang-orang aneh berdatangan dan mereka semua itu agaknya merupakan orang-orang golongan hitam atau kaum sesat yang rata-rata memiliki sikap aneh dan kepandaian tinggi. Ada pula serombongan yang datang dengan perahu-perahu mereka.
Kemudian, sampai lama tidak ada tamu datang dan Kian Lee diam-diam menduga bahwa agaknya. kini semua tamu sudah datang. Demikian pula dengan Ji-pangcu dan anak buahnya, mereka mulai tidak sabar dan kelihatan ingin segera masuk ke dalam terowongan itu karena menanti di situ berarti dikeroyok nyamuk yang bukan main banyaknya.
Tiba-tiba terdengar suara riak air dan munculiah beberapa buah perahu dari dalam air! Dan belasan orang berlompatan dari permukaan air sambil menyeret perahu mereka. Hebatnya, pemimpin mereka, seorang kakek yang rambutnya awut-awutan dan berwarna dua, meloncat sambil mengempit perahunya dengan kedua kaki, seperti orang menunggang kuda dan kini perahu itu mendarat dengan empuknya di atas batu karang, seolah-olah batu karang itu hanya kasur saja!
Kian Lee terkejut sekali. Orang ini pun kepandaiannya hebat, pikirnya. Akan tetapi, sebelum hilang kagetnya, dia melihat bayangan hitam meluncur turun di atas dan hampir saja pemuda ini berseru saking herannya. Dia mengenal benda itu, yang sama dengan burung Rajawali Pulau Es. Benda yang meluncur itu, yang orang lain hanya kelihatan sebagai tanda hitam yang meluncur turun, dikenal oleh Kian Lee sebagai seekor burung juga, burung yang besar sekali, akan tetapi bukan rajawali, melainkan garuda yang agak berbeda dengan Rajawali Pulau Es, akan tetapi sama besarnya! Dan ketika burung itu melayang setinggi pohon, tiba-tiba dari atas punggung burung itu melayang turun sesosok bayangan manusia dan dengan enaknya orang ini hinggap di atas batu karang di depan Khiu pangcu.
"Kau boleh pergi!" Suara itu merdu sekali, ditujukan kepada burung yang masih melayang-layang dan burung itu memekik kegirangan lalu terbang pergi. Ternyata dia adalah seorang gadis yang berpakaian serba hitam yang luar biasa cantiknya, demikian cantiknya sampai Khiu-pangcu dan anak buahnya menjadi bengong!
Dengan gerakan sembarangan gadis itu terbang pergi. Tampak sebuah tali yang panjang berwarna hitam meluncur turun dari burung itu dan kini tali itu tepat mengenai tangan si gadis dan melingkar-lingkar. Khiu-pangcu dan anak buahnya makin terkejut. Ternyata benda itu bukan tali melainkan dua ekor ular hitam! Akan tetapi dua ekor ular yang panjang bukan main, sungguhpun besarnya hanya sebesar ibu jari kaki.
Gadis itu menengok ke kanan kiri dan ketika sinar bulan menimpa wajahnya yang benar-benar luar biasa cantiknya itu, Suma Kian Lee terkejut dan berbisik, "Ahhh.... dia...."
Liang Wi Nikauw berbisik, "Engkau kenal padanya, Kongcu"
"Tidak.... eh, rasanya sudah pernah melihatnya...."
"Pinni pun belum pernah jumpa, akan tetapi melihat burung itu, dan ular-ular itu, pinni pernah mendengar Subo bercerita tentang ketua Pulau Neraka dan puterinya. Agaknya dialah puteri dari Pulau Neraka yang tadinya pinni kira hanya dongeng belaka."
Makin yakin kini hati Kian Lee. Tidak salah lagi, gadis itu adalah Hwee Li! Puteri dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka. Ahhh, lima tahun tidak bertemu, kiranya Hwee Li telah menjadi seorang gadis yang luar biasa.... cantiknya dan juga lihainya. Namun cara gadis itu muncul, dan ular-ular itu membuat Kian Lee bergidik ngeri.
Kakek yang mengepalai rombongan perahu itu, setelah melompat turun dari atas batu karang dan meninggalkan perahunya di situ, cepat menghormat kepada Khiu-pangcu, agaknya tidak mempedulikan gadis yang baru turun dari burung garuda tadi, ia menyerahkan kartu undangan seperti yang lain-lain tadi. Akan tetapi pada saat yang hampir bersamaan, gadis itu pun sudah melemparkan kartu undangan itu ke arah Khiu pangcu. Kartu undangannya berputar seperti hidup dan menyambar turun ke arah tangan Khiu-pangcu yang sedang diulur untuk menerima kartu undangan yang diserahkan oleh kakek pemimpin rombongan perahu.
"Plakkk!Ahhhhh....!" Khiu-pangcu terkejut karena tiba-tiba saja ada kartu undangan menimpa tangannya yang diulur dan berbareng dia menerima pula kartu undangan yag diserahkan oleh kakek itu.
Kini kakek itu yang mengerutkan alisnya menyaksikan perbuatan nona itu, melangkah ke arah lubang terowongan, akan tetapi ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu nona cantik itu pun sudah mendahuluinya hendak memasuki lubang terowongan! Kiranya nona ini tidak mau didahului orang!
"Ah, aku yang datang lebih dulu!" Kakek itu menjadi penasaran dan kakinya menendang sebongkah batu besar yang berat sekali. Batu itu meluncur dan menghalang di depan si gadis cantik menutupi lubang.
"Brakkkkk!" Gadis itu menggerakkan tangan kirinya ke arah batu dan batu sebesar perut kerbau hamil itu pecah berantakan!
Dengan mata melotot, gadis itu pun menendang sebongkah batu besar yang menyambar ke arah kakek itu. Kakek itu mendengus, bukan menyambut dengan tangan. atau mengelak, melainkan menyambut dengan kepalanya!
"Dukkk!" Batu karang besar itu kena disundul kepalanya dan mencelat ke kiri, jauh sekali dan pecah berhamburan menimpa batu karang lain!
"Huh, hendak kulihat sampai di mana kerasnya kepalamu!" Gadis itu sudah melangkah maju dan kakek itu pun dengan marah sudah siap menandinginya.
"Bocah tak tahu aturan!" bentaknya.
Khiu-pangcu cepat melerai di antara mereka dan menjura. "Harap Ji-wi suka menghabiskan perkara kecil ini di antara orang-orang sendiri. Nona, sahabat ini adalah Tiat-thouw Sin-go (Buaya Sakti Berkepala Besi), dan bernama Thio Sui Lok, ketua Sin-go-pang (Perkumpulan Buaya Sakti). Dan Saudara Thio, Nona ini mewakili Locianpwe Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka. Oleh karena itu, harap saudara suka mengalah."
Biarpun hatinya masih penasaran, akan tetapi mendengar nama Hek-tiauw Lo-mo, terkejut juga hati si Kepala Besi itu dan dia diam saja, akan tetapi matanya masih bersinar marah. "Silakan, Nona," kata Khiu-pangcu dan sambil mendengus dan mengerling ke arah rombongan perahu itu, tak lupa tersenyum mengejek, nona cantik jelita itu lalu memasuki pintu terowongan dan menghilang.
"Sombong...., bocah sombong....!" Thio Siu Lok yang selamanya dihormat orang dan baru sekarang menerima perlakuan yang tidak menghormat, bersungut-sungut akan tetapi akhirnya dia masuk juga bersama anak buahnya.
Melihat sikap Hwee Li, Kian Lee menggeleng kepalanya dan menghela napas panjang. Masih teringat dia betapa dahulu, dia terluka oleh senjata rahasia peledak dari Siluman Kucing Mauw Slauw Mo-li yang menjadi bibi guru gadis itu sendiri, kemudian dia diselamatkan, disembunyikan dan diobati oleh seorang gadis cilik yang jenaka dan cerdik. Gadis cilik itu adalah Hwee Li yang sekarang telah menjadi seorang gadis dewasa, namun masih saja belum hilang sifatnya seperti kanak-kanak yang bengal dan suka menggoda orang. Namun harus dia akui bahwa gadis itu sekarang amat 1ihai. Pukulannya yang menghancurkan batu tadi benar-benar mengejutkan dan mengerikan.
Kini agaknya para tamu telah datang semua, atau demikian persangkaan Khiu-pangcu karena buktinya dia meninggalkan tempat itu dan masuk melalui terowongan sambil meninggalkan pesan kepada belasan orang anak buahnya agar suka berjaga di situ kalau-kalau masih ada tamu yang datang terlambat.
"Kalau kalian sudah mendengar tanda dari bawah, barulah kalian semua masuk dan tutup pintu terowongan," demikian pesan pangcu ke dua dari Huang-ho Kui-liong-pang itu kepada para anak buahnya yang berjumlah dua belas orang.
"Baik, jangan khawatir, Ji-pangcu!" jawab seorang di antara mereka yang kumisnya kecil panjang berjuntai ke bawah lucu sekali. Agaknya si kumis panjang ini adalah kepala regu penjaga itu.
Kian Lee melihat kesempatan baik ini lalu berbisik kepada Liang Wi Nikouw itu. mengangguk-angguk. Kian Lee lalu mengambil beberapa butir batu kerikil kecil dan menggunakan jari tangannya menyentil sebutir batu kerikil ke arah siku seorang penjaga yang berdiri dekat kepala regu kumis panjang itu pada saat si kumis panjang sedang membetulkan sepatunya. Batu kerikil itu tepat menotok siku si penjaga dan otomatis lengannya bergerak ke depan.
"Plakkk!" Tanpa dapat dicegah lagi tangannya memukul ke depan dan mengenai kepala si kumis panjang.
"Eh, setan! Kau berani menempiling kepalaku, heh" Si penjaga tak dapat menjawab karena dia sendiri tidak mengerti mengapa tangannya secara tiba-tiba tanpa dapat dikendalikannya lagi tadi bergerak menampar kepala si kumis di depannya itu. Si kumis panjang marah dan mengayun tangannya menampar pipi bawahannya.
"Plokkkkk!" Pipi yang digablok itu menjadi merah, akan tetapi anehnya, pada saat pipinya digablok, penjaga itu mengerahkan kaki kanannya ke depan, padahal bukan niatnya demikian. Ternyata Kian Lee telah menyentil sebutir kerikil yang mengenai sambungan lutut penjaga itu sehingga secara otomatis kakinya menendang ke depan.
"Ngekkk....!" Kebetulan sekali gerakan kaki itu membuat lutut si penjaga menghantam selangkangan si kepala penjaga berkumis panjang.
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aduhhhhh....!" Si kumis panjang menggunakan tangan kiri mendekap selangkangannya dan meringis kesakitan, marahnya bukan kepalang dan dengan tangan kiri mendekap selangkangan sambil terpincang-pincang, dia menggunakan tangan kanannya memukuli penjaga itu.
Seorang penjaga lain yang menyaksikan perkelahian ini, cepat meloncat untuk melerai. Akan tetapi selagi dia meloncat, sebutir kerikil menyambar dan mengenai punggungnya. Seketika tubuhnya menjadi lemas, dia kehilangan tenaganya dan tanpa dapat dicegah lagi dia menubruk si kepala penjaga yang sedang marah.
"Bresssss....!"
"Eh, keparat....! Kalian mengeroyok! Pemberontakan!" Kepala penjaga itu kini menjadi marah sekali dan dia mengamuk, setiap ada anak buahnya mendekat tentu dipukulnya karena dia menyangka bahwa mereka itu hendak mengeroyoknya. Kacau-balau di depan pintu terowongan itu dan semua penjaga berusaha untuk menenangkan si kepala penjaga yang mereka sangka kemasukan roh jahat! Karena keributan ini, mereka sama sekali tidak melihat betapa ada dua sosok bayangan yang amat cepat gerakannya telah menyelinap masuk ke dalam lubang terowongan itu tanpa memperlihatkan kartu undangan!
Kian Lee dan Liang Wi Nikouw berjalan memasuki terowongan dengan cepat namun dengan hati-hati sekali. Lorong terowongan itu menurun dan agak gelap karena hanya diterangi oleh lampu-lampu minyak yang dipasang di sepanjang dinding terowongan. Setiap sepuluh meter terdapat seorang penjaga yang berdiri dengan tombak di tangan. Penjaga pertama yang mendengar ada ribut-ribut di luar, lupa akan tugasnya memeriksa kartu undangan.
"Apakah yang terjadi di luar" tanyanya.
"Di luar ada pemberontakan. Cepat saudara ke luar!" kata Kian Lee. Penjaga itu terkejut dan cepat berlari ke luar. Kian Lee dan Liang Wi Nikouw terus berjalan masuk dan kepada penjaga ke dua dan ke tiga, Kian Lee berhasil menarik perhatian mereka dengan berita pemberontakan itu sehingga mereka pun bergegas lari keluar menyeret tombak mereka.
Akan tetapi penjaga ke empat yang berada di sebuah tikungan, menghardik, "Harap Ji-wi perlihatkan kartu undangan Ji-wi!" Penjaga ini agaknya sudah merasa kesal berjaga terus di situ maka biarpun sikapnya masih menghormat, namun suaranya sudah tidak ramah lagi terhadap para tamu.
Kian Lee pura Bukit Pemakan Manusia 6 Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Golok Yanci Pedang Pelangi 4
i seorang laki-laki, seorang yang sudah dewasa dan matang, bukan lagi seorang pemuda remaja seperti ketika mereka pernah saling bertemu empat lima tahun yang lalu.
Keadaan menjadi penuh ketegangan dan ini dirasakan oleh Yang-liu Nio-nio dan semua murid dan anak buah mereka yang kini menjadi penonton, tidak bergerak. Bahkan mereka yang ditugaskan menjaga Cui Lan dan Hok-taijin, kini juga membawa dua orang tawanannya itu keluar di bawah todongan senjata, untuk menyaksikan pertandingan yang tentu akan terjadi hebat sekali antara Si Jari Maut yang nama besarnya telah mereka dengar melawan pemuda nelayan yang ternyata adalah saudara Jari Suma-kongcu yang mereka cari-cari itu.
"Ang Tek Hoat, apa artinya ini" Benarkah engkau hendak membantu kaum sesat ini untuk menentang aku" Ketahuilah bahwa aku melindungi dua orang yang tidak berdosa itu!" Dia menunjuk ke arah Cui Lan dan Hok-taijin yang berdiri di sudut ruangan dengan pedang ditodongkan di punggung mereka. Cui Lan memandang dengan penuh perhatian dan wajahnya yang cantik membayangkan kekhawatiran ketika dia memandang Kian Lee.
"Suma Kian Lee, dahulu kita bukan sahabat, sekarang bukan pula teman! Aku tidak membantu siapa-siapa melainkan saling menukar jasa. Kalau kau enggan bertanding melawan aku, penuhilah permintaan Hek-eng-pangcu."
"Ang Tek Hoat, tidak kusangka engkau ternyata sama sekali tidak berubah sejak dahulu! Engkau tidak juga bertobat dan kembali menjadi orang baik-baik!" Kian Lee menegur dengan suara penuh penyesalan karena betapapun juga, pemuda di depannya ini adalah cucu kandung ibunya sendiri!
Tek Hoat tertawa, tertawa yang pahit sekali karena matanya tidak ikut tertawa bahkan mulutnya menyeringai seperti orang menderita nyeri. "Ha-ha-ha, memang aku bukan orang baik-baik, tidak seperti keluarga Pulau Es yang bersih dan terhormat! Dan aku pun tidak ingin menjadi orang baik-baik yang sombong seperti keluarga Pulau Es! Tak perlu banyak cakap, Suma Kian Lee, kau menyerah dan memenuhi permintaan ketua Hek-eng-pangcu atau harus melawan aku."
"Hemmm, kau tentu mengira aku takut padamu! Majulah!" Kian Lee menantang, sedikit pun tidak merasa takut. Empat lima tahun yang lalu, memang Tek Hoat merupakan seorang tandingan yang lihai bukan main. Akan tetapi selama lima tahun ini dia telah melatih diri di bawah bimbingan ayahnya di Pulau Es dan telah memperoleh kemajuan pesat sekali.
"Kalau begitu terpaksa aku merobohkan engkau!" Tek Hoat berkata dan sebelum kata terakhir habis diucapkan, tangannya sudah menyambar dan sebuah tamparan yang seperti kilat cepatnya menyambar ke arah kepala Kian Lee.
"Plak-plak-plak-plakkkkk!" Empat kali Tek Hoat menyerang dan empat kali ditangkis oleh Kian Lee. Keduanya merasa betapa lengan lawan mengandung tenaga yang amat kuat, akan tetapi yang terkejut sekali adalah Tek Hoat. Dia maklum akan kelihaian putera Pulau Es ini maka tadi serangannya dilakukan dengan sepenuh tenaganya, dengan tenaga yang dinamakan tenaga Inti Bumi yang dipelajarinya dari kitab peninggalan Butek Siauw-jin datuk ke dua dari Pulau Neraka. Namun, tangkisan Kian Lee mnembuat tenaga mujijat itu buyar dan dia merasakan hawa dingin menghantamnya, membuatnya tergetar dan terguncang!
Akan tetapi, Tek Hoat dapat cepat mengusir hawa dingin itu dan dia kini telah menerjang dengan hebat dan dahsyat, mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya yang dahulu dipelajarinya dari kitab peninggalan Cui-beng Koai-ong, datuk pertama dari Pulau Neraka dan Bu-tek Siauw-jin. Dia menyerang dan memang pemuda ini memiliki watak yang ganas, maka serangan-serangannya itu pun bukan sekedar untuk mengalahkan lawan, melainkan mengandung cengkeraman maut untuk membunuh!
Menyaksikan keganasan sepak terjang Tek Hoat, diam-diam Kian Lee mengeluh. Pemuda ini benar-benar telah tersesat dan seperti seekor harimau yang haus darah, pikirnya. Tentu saja dia tidak mau melayani nafsu membunuh Tek Hoat ini dan dia lebih banyak melindungi dirinya dengan menangkis atau mengelak, kadang-kadang membalas dengan serangan yang hebat pula, namun serangannya selalu diperhitungkan agar jangan sampai membunuh orang. Dia tidak suka membunuh orang apalagi Ang Tek Hoat cucu ibu kandungnya sendiri, keponakannya sendiri. Dia ingin mengalahkan Tek Hoat tanpa membunuhnya. Dan inilah sebabnya mengapa pertandingan itu menjadi ramai dan seimbang.
Kalau dibuat perbandingan, kedua orang pemuda ini sama-sama mewarisi ilmu-ilmu yang amat hebat dan tinggi, sukar dicari bandingnya di dunia ini. Hanya bedanya, sejak kecil Suma Kian Lee dibimbing oleh Pendekar Super Sakti, ayahnya sendiri, maka tentu saja ilmunya lebih matang dan murni, tidak seperti Ang Tek Hoat yang biarpun menemukan kitab-kitab yang mengandung ilmu-ilmu tinggi, namun dipelajarinya sendiri tanpa bimbingan langsung orang pandai, maka ilmunya tidak lagi murni bercampur dengan ilmu-ilmu lain pernah di pelajarinya sebelum dia memperoleh kitab-kitab peninggalan dua orang, dtuk Pulau Neraka itu (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Maka, dalam kematangan ilmu, Kian Lee masih lebih menang setingkat. Akan tetapi kemenangan setingkat ini tidak banyak artinya karena Kian Lee tidak mau melakukan serangan yang mematikan sedangkan Tek Hoat yang maklum akan kehebatan lawan telah bertanding dengan nekat, baginya bukanlah merupakan pertandingan adu kepandaian, melainkan suatu perkelahian mengadu nyawa. Inilah yang membuat Kian Lee kehilangan kemenangan tingkatnya dan pertandingan itu berjalan seimbang dan amat hebatnya. Angin pukulan yang didorong oleh tenaga sakti mereka terdengar bersuitan dan terasa oleh para anggauta Hek-eng-pang yang berdiri jatih, membuat pakaian mereka berkibar dan kulit mereka nyeri, kadang-kadang terasa dingin sekali dan kadang-kadang juga terasa panas sekali. Hawa dingin dan panas ini timbul dari dua macam sinkang yang dipergunakan, yaitu Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang. Menghadapi dua macam sin-kang yang saling bertentangan ini, diam-diam Tek Hoat mengakui bahwa dalam hal kekuatan sinkang, dia benar-benar kewalahan menghadapi lawannya. Dan hal ini bukan karena kalah tekun berlatih, melainkan selain kalah bimbingan juga kalah murni.
Tek Hoat mengandalkan ilmu silatnya yang aneh, yang didapat dari peninggalan kitab dua orang datuk Pulau Neraka. Tiba-tiba dia berseru keras, suaranya melengking nyaring sekali sehingga ada empat orang wanita anggauta Hek-eng-pang yang kurang jauh berdirinya roboh terjungkal dan pingsan karena jantung mereka tergetar! Tubrukan Tek Hoat ini merupakan jurus serangan yang amat dahsyat, mula-mula tangan kirinya yang menyambar ubun-ubun lawan dengan membentuk cakar, akan tetapi dalam detik selanjutnya, tangan kanannya mencuat dari bawah dengan kiri itu menyambar ke arah ulu hati lawan dengan totokan dua jari tangan. Keduanya adalah serangan maut yang dilakukan hampir bersamaan waktunya.
Kian Lee menghadapi cengkeraman ke arah ubun-ubun kepala itu dengan miringkan tubuh atas dan agak ditarik ke belakang, tangan kanannya menangkis, kemudian melihat tangan kanan lawan menotok ke arah ulu hatinya, dia cepat pula meloncat ke samping sambil menangkis dengan tangan kirinya.
"Hyaaattttt....!" Tiba-tiba tubuh Tek Hoat meluncur dengan kaki kanannya melakukan tendangan maut ke arah leher lawan. Tendangan ini cepat dan kuat sekali datangnya, tubuhnya mencelat ke udara dan dari atas kakinya meluncur ke arah lawan.
"Haaaiiiiittttt....!" Kian Lee juga berteriak dan tubuhnya mencelat pula ke atas memapaki.
"Desss....!" Dua pasang kaki yang sama kuatnya bertemu di udara dan keduanya terlempar ke atas lantai lagi. Kian Lee berjungkir balik tiga kali dan Tek Hoat agak terhuyung, mukanya berubah pucat. Diam-diam Tek Hoat merasa menyesal mengapa dia tidak mempunyai lagi pedangnya yang diandalkannya, yaitu Cui-beng-kiam. Kalau dia mempunyai pedang yang dulu terampas oleh Hek-tiauw Lo-mo, ketua Pulau Neraka itu, tentu dia mempergunakan pedangnya itu menghadapi Kian Lee yang begini lihai.
Pertandingan dilanjutkan, akan tetapi tetap saja mereka berimbang karena Kian Lee tetap tidak mau menggunakan tenaga sepenuhnya atau pukulan yang mematikan. Hal inilah yang membuat panas hati Tek Hoat. Dia tahu bahwa pemuda Pulau Es itu tidak mengerahkan seluruh tenaga, bahkan beberapa kali terasa olehnya Kian Lee sengaja mengurangi kecepatan dan tenaganya. Dia merasa penasaran dan marah sekali, karena dia merasa seperti dipandang ringan!
Saking marahnya, Tek Hoat lalu mengambil keputusan untuk mengadu nyawa! Mereka telah bertanding lebih dari seratus jurus tanpa ada yang kalah, dan nenek ketua Hek-eng-pang sendiri sampai silau menyaksikan pertandingan itu dan merasa bahwa sebenarnya tingkat kepandaiannya kalah jauh oleh dua orang pemuda perkasa itu.
"Suma Kian Lee manusia sombong! Bersiaplah untuk mampus!" teriak Tek Hoat dan dia menyerang makin ganas. Melihat serangan ini, Kian Lee cepat menghindarkan diri dengan mengelak dan menangkis, kemudian untuk menahan serbuan lawan, dia membalas dengan pukulan ke arah dada Tek Hoat. Dia maklum bahwa pukulan ini tentu membuat Tek Hoat mengelak atau menangkis sehingga dia akan dapat membalas dengan desakan pukulan-pukulan berantai.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika Tek Hoat tidak mengelak maupun menangkis, melainkan menerima begitu saja pukulannya itu akan tetapi pada saat yang sama, kedua tangan Tek Hoat memukul ke arah paha dan lehernya.
Kian Lee yang terkejut itu mengeluarkan bunyi melengking yang amat nyaring, membuat lima orang anggauta Hek-eng-pang kembali terjungkal pingsan. Maklum bahwa tidak mungkin dia menghindarkan diri dari dua pukulan sekaligus karena tangan kirinya sedang memukul dada Tek Hoat, Kian Lee menggerakkan tangan kanan menangkis pukulan ke arah lehernya yang lebih berbahaya dan terpaksa membiarkan pahanya terpukul.
"Plakkk! Desssss....!"
Dada Tek Hoat terkena dorongan tangan Kian Lee dan pada saat yang sama, paha Kian Lee terkena pukulan keras dari tangan kanan Tek Hoat. Akibatnya, Tek Hoat terlempar ke belakang sampai tiga meter jauhnya dan dia terhuyung-huyung sedangkan Kian Lee roboh pingsan karena kakinya di bagian paha terkena pukulan beracun. Pukulan ini hebat sekali karena merupakan pukulan jari tangan Tek Hoat yang biasanya membunuh orang sehingga dia dijuluki Si Jari Maut, yaitu pukulan yang disebut Toat-beng-ci (Jari Pencabut Nyawa). Paha itu menjadi biru dan hawa pukulan berancun menyerang ke atas, membuat putera Pulau Es itu roboh pingsan.
Tek Hoat memejamkan mata dan mengatur pernapasannya. Kalau saja tadi Kian Lee tidak mengurangi tenaganya, tentu sudah putus nyawanya! Dia tahu akan hal ini dan menarik napas panjang lalu menyusut darah yang menetes dari ujung bibirnya.
"Kongcu....!" Cui Lan yang ditodong pedang itu tidak peduli dan dia sudah lari menubruk tubuh Kian Lee yang disangkanya mati, berlutut sambil menangis. Kemudian, melihat Nenek Yang-liu Nio-nio dan Tek Hoat menghampiri, dia lalu bangkit berdiri dan dengan air mata bercucuran, dia menudingkan telunjuknya ke arah muka Tek Hoat.
"Engkau.... pemuda tiada guna! Engkau hanya menjadi tukang pukul orang! Sungguh malu hidup seperti engkau, pemuda yang tampan dan gagah namun dalamnya jahat seperti sebutir buah yang berulat! Dan kau.... Dia menudingkan telunjuknya ke arah muka Yang-liu Nionio, "Kau seorang wanita yang berhati busuk, dan engkau pengecut besar yang harus merasa malu karena beraninya hanya mengandalkan pengeroyokan saja!"
"Diam, bocah lancang mulut!" Seorang anak buah Hek-eng-pang yang tadi bertugas menjaga Cui Lan kini sudah mengejar dan tangannya diayun keras. "Plakkk!" Pipi kiri Cui Lan kena ditampar, kulit pipi yang halus putih itu menjadi merah sekali dan dara itu terhuyung ke belakang. Namun bibirnya tersenyum mengejek dan dengan keberanian luar biasa dara ini memandang mereka semua sambil berkata, "Kalian boleh membunuh aku dan aku akan mati sebagai seorang terhormat tidak seperti kalian yang akan hidup sebagai manusia-manusia hina dan kotor!"
"Bangsat, tutup mulut!" Anggauta Hek-eng-pang itu menjadi makin marah dan kini dia mengayun tangan, tidak menampar seperti tadi melainkan memukul ke arah mulut Cui Lan dengan kuat.
"Krekkk.... aduuuhhhhh....!" Anggauta Hek-eng-pang yang memukul itu menjerit dan memegangi tangan kanannya yang patah tulangnya ketika bertemu tadi dengan tangkisan tangan Tek Hoat!
"Hemmm, apa artinya ini" Yang-liu Nio-nio menegur dengan alis berkerut, memandang kepada Tek Hoat dengan heran dan penasaran. "Dia memaki-maki kita, sudah sepatutnya dihajar!"
"Siapa yang memaki" Apa yang di katakannya itu benar belaka, kenapa kita mesti marah" Pangcu, janji kita hanya aku merobohkan Suma Kian Lee dan dia sudah roboh, aku tidak suka ditambah dengan penyiksaan atau pembunuhan orang! Dan sekarang juga engkau harus mengerahkan orang-orangmu untuk ikut dan membantuku." Di dalam suara Tek Hoat terkandung perintah yang mengancam.
Nenek itu menelan kembali kemarahannya dan memberi isyarat kepada Kim-hi Nio-cu. "Kaubawa mereka bertiga ke tempat tahanan. Pisahkan mereka dan pergunakan yang dua itu sebagai sandera agar pemuda ini tidak sampai lari." Kemudian setelah Kian Lee yang masih pingsan itu digotong pergi, Cui Lan dan Hok-taijin digiring meninggalkan ruangan itu. Hek-eng-pangcu lalu mengumpulkan orang-orangnya dan akhirnya memilih tiga pasukan. Pasukan Tanah yang dipimpin oleh Liong-li, Pasukan Kayu dan Pasukan Api, semua berjumlah tiga puluh enam orang ditambah tiga orang kepala pasukan, mengiringkan dia sendiri dan Tek Hoat meninggalkan puncak Bukit Cemara.
Kiranya Ang Tek Hoat telah mendengar, bahkan menerima undangan, bahwa Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua dari Liong-sim-pang di puncak Naga Api, Pegunungan Liu-Iiang-san di dekat belokan Sungai Huang-ho, akan menikah dan calon isterinya itu adalah seorang puteri dari Bhutan yang amat cantik jelita! Mendengar ini, jantung Tek Hoat berdebar keras, timbul kekhawatirannya karena dia menduga keras bahwa Puteri Bhutan yang cantik jelita itu sudah pasti adalah Syanti Dewi. Kalau tidak, siapa lagi" Memang banyak wanita muda, puteri-puteri Bhutan yang cantik jelita, akan tetapi puteri-puteri itu tidak akan meninggalkan istana Bhutan. Kemungkinan satu-satunya hanyalah Syanti Dewi yang entah mengapa dan bagaimana telah sampai di tempat itu dan agaknya ditawan Liong-sim-pang. Tek Hoat maklum akan kekuatan Liong-sim-pang, dan kalau hanya sendirian saja tidak mungkin dia akan dapat menolong Puteri Bhutan itu, maka dia lalu mengundang ketua Hek-eng-pang dengan maksud untuk minta "bantuan" mereka. Kebetulan sekali dia melihat Suma Kian Lee dan ketika ketua Hek-eng-pang dan anak buahnya tidak mampu mengalahkan Kian Lee, timbul akalnya untuk memaksa mereka membantunya. Akan tetapi, sungguh tidak disangkanya, melawan Kian Lee hampir saja dia celaka dan biarpun akhirnya dia bisa merobohkan putera Pulau Es itu, dia sendiri juga menderita luka yang cukup parah dan dalam keadaan seperti itu, tentu saja amat berbahaya kalau dia bertemu dengan lawan tangguh. Untungnya dia kini dibantu oleh pasukan-pasukan Hek-eng-pang dan ketua mereka.
*** () *** Seluruh perkampungan Liong-sim-pang dihias dengan meriah, mulai dari pintu gerbang tembok yang seperti benteng itu, sampai menara yang berdiri di luar tembok sebagai tempat jaga, sampai di sepanjang saluran air yang mengelilingi tembok benteng. Suasana perkampungan Liong-sim-pang yang seperti benteng dan biasanya muram dan menyeramkan itu kini nampak meriah, tanda bahwa orang-orang yang menjadi penghuni sedang bersenang-senang dan bersuka-ria. Dan memang hari itu merupakan hari gembira, untuk menyambut para tamu karena malam itu merupakan malam "midodareni", yaitu menyambut hari pernikahan sang ketua Liong-sim-pang yang akan dilangsungkan besok pagi. Sejak pagi hari dari tadi para tamu sudah membanjiri tempat itu dan mereka itu harus melalui satu-satunya jembatan yang menuju ke pintu gerbang tembok benteng karena jalan lain tidak ada lagi untuk memasuki benteng perkampungan Liong-sim-pang yang dikelilingi saluran air lebar itu. Para penjaga dengan ketat melakukan penjagaan dan pengawasan di pintu gerbang sehingga tidak ada orang luar dapat menyelundup masuk dan para tamu itu membawa undangan sebagai tanda pengenal.
Menjelang senja rombongan pemain opera yang memang dipesan oleh Liong-sim-pang, menyeberang jembatan itu menuju ke pitu gerbang. Mereka terdiri dari tujuh orang wanita dan belasan orang pria, sebagian pemain dan ada pula yang sebagai penabuh musik. Para penjaga yang memeriksa semua orang yang masuk, memperhatikan para pemain opera ini dengan sikap ceriwis, cengar-cengir dan tersenyum-senyum penuh aksi karena tujuh orang wanita anggauta rombohgan itu memang cantik-cantik. Terutama sekali seorang di antara mereka, yang termuda dan memakai pakaian berwarna ungu, bukan main cantiknya! Cantik jelita dan manis sekali, dengan gayanya yang manja dan memikat, lenggangnya yang berliak-liuk seperti lemasnya batang pohon yang-liu tertiup angin, kedua lengannya agak melengkung seperti gendewa itu bergerak seperti orang menari kalau dia melenggang, dan senyum yang manisnya membuat semua penjaga mabuk kepayang itu tak pernah meninggalkan belahan bibir yang membuat orang ingin menjadi buah anggur agar dikecup oleh bibir itu! Gerak-gerik dara muda jelita ini membuat para penjaga ingin sekali mencubitnya, memeluknya, pendeknya saking tertariknya membuat mereka menjadi gemas, seperti kalau kita melihat seorang anak kecil yang genit dan montok bersih. Saking tidak dapat menahan gairahnya melihat gerak-gerik dara jelita ini, seorang di antara para penjaga itu sambil berpura-pura memeriksa bawaan mereka, menggerakkan tangannya ingin meraba pinggul yang penuh itu. Akan tetapi.... tangannya hanya meraba angin karena secara cepat sekali gadis itu menggerakkan pinggulnya mengelak. Si penjaga menjadi makin penasaran, kini terang-terangan dia mengulur tangannya meraba ke arah dada. Kembali gadis itu miringkan tubuh dan rabaan itu pun mengenai tempat kosong. Melihat ini, teman-temannya mentertawakan.
"Ha-ha, si A-kiong menangkap katak akan tetapi luput!"
A-kiong makin penasaran dan dia hendak merangkul.
"Jangan kurang ajar kalian!" Tiba-tiba gadis itu membentak, suaranya halus akan tetapi nyaring dan mulutnya masih tersenyum, akan tetapi anehnya, semua penjaga termasuk komandannya menjadi gemetar ketakutan seakah-olah mereka itu dimarahi seorang jenderal! Dengan muka pucat ketakutan komandan itu lalu memberi isyarat agar rombongan penari dan pemain opera itu cepat-cepat masuk.
Setelah rombongan itu masuk, si komandan dan anak buahnya saling pandang dengan heran dan bengong. Tidak mengerti mengapa mereka tadi begitu ketakutan mendengar bentakan si dara jelita tadi, yang memiliki wibawa luar biasa sekali dan bentakan tadi mengguncangkan jantung mereka menimbulkan rasa takut yang hebat.
"Ihhh,.... seperti siluman saja....!" seorang akhirnya berkata dan mendengar ini, semua orang bergidik. Memang mereka semua pernah mendengar bahwa siluman selalu mengubah diri menjadi seorang dara cantik sekai untuk memikat pria yang kemudian akan dlhisap darahnya sampai habis!
"Hihhh.... jangan-jangan benar siluman...."
Pada saat mereka dicekam perasaan yang menyeramkan karena memang hari telah mulai menjadi gelap, untung datang serombongan wanita lain yang membuyarkan keseraman itu. Rombongan wanita ini dipimpin oieh seorang wanita yang cantik, dan anggauta rombongan yang jumlahnya dua puluh empat orang itu pun terdiri dari wanita-wanita yang cantik. Pimpinan rombongan itu, yang usianya sekitar tiga puluh tahun, memperlihatkan sehelai surat undangan dan sesampul surat yang ditujukan kepada Hwa-i-kongcu Tang Hun.
"Kami adalah utusan dari sahabat Tang-kongcu, yaitu Si Jari Maut," kata pemimpin rombongan itu.
Melihat kartu undangan itu, para penjaga tentu saja menaruh kepercayaan, apalagi mendengar nama orang yang mengutus mereka, Si Jari Maut, cepat-cepat mereka mempersilakan semua wanita itu masuk tanpa ada yang berani bersikap kurang ajar. Rombongan ini bukan lain adalah para anggauta Hek-eng-pang yang menyamar, dipimpin oleh Liong-li kepala Pasukan Tanah dan membawa surat Ang Tek Hoat untuk Hwai-kongcu.
Setelah rombongan pemain opera diterima sendiri oleh Hwa-i-kongcu dan diantar oleh para pelayan untuk berhias dan bersiap-siap untuk mulai pertunjukan mereka malam nanti, kini rombongan wanita itu pun diterima oleh Hwa-i-kongcu sendiri. Liong-li yang sudah berhias sebagai seorang pelayan yang cantik, berlutut dan menghaturkan selamat, serta menyerahkan surat dari Ang Tek Hoat.
"Aih, dari Si Jari Maut" Hwa-i-kongcu berseru bangga. Mengapa beliau tidak muncul sendiri" Sudah lama dia mendengar nama Si Jari Maut dan mengaguminya, akan tetapi belum pernah bertemu dengan orangnya. Surat itu segera dibukanya dan dengan wajah berseri dia membaca bahwa Si Jari Maut, menghaturkan selamat atas pernikahannya, dan minta maaf bahwa berhalangan hadir, akan tetapi mengirim dua puluh lima orang wanita untuk membantu pelayanan dalam pesta itu.
"Ha-ha-ha-ha! Si Jari Maut sungguh mengagumkan sekali, dapat mengumpulkan begini banyak wanita cantik dan begitu memperhatikan keperluan kami sehihgga mengirim bantuan pelayan!" Dia lalu memanggil kepala pelayan dan memerintahkan kepala pelayan untuk menerima dua puluh lima orang wanita itu dan agar diberi tugas dalam pelayanan malam nanti dan besok pagi.
Malam pun tibalah. Para tamu sudah berkumpul di sebuah ruangan yang luas sekali, ruangan yang menyambung pada taman indah di mana juga penuh dengan kursi-kursi untuk para tamu. Suara musik sudah sejak sore tadi dibunyikan oleh rombongan pemain opera, sungguhpun opera itu sendiri belum dimulai.
Para "pelayan" yang sesungguhnya adalah anggauta-anggauta Hek-eng-pang yang menyamar itu mulai pula dengan tugas yang sesungguhnya. Di antara mereka memang ada yang membantu para pelayan Liong-sim-pang melayani para tamu mempersiapkan minuman, hidangan dan lain-lain. Akan tetapi sebagian pula di antara mereka mulailah meryelidiki dan mencari-cari di mana adanya Puteri Bhutan seperti yang diceritakan oleh Tek Hoat, puteri yang akan menjadi pengantin besok pagi dan yang harus mereka culik itu. Dua puluh empat orang ini adalah dari Pasukan Tanah dan Pasukan Kayu, sedangkan Pasukan Api bertugas mempersiapkan "jalan keluar" untuk teman-temannya itu apabila mereka telah berhasil menculik sang puteri. Tek Hoat sendiri yang masih menderita luka bekas gempuran tenaga melawan Suma Kian Lee, menanti di luar tembok dan sudah mempersiapkan kuda untuk melarikan puteri itu. Dia maklum bahwa dalam keadaan terluka, amat berbahaya kalau dia sendiri masuk ke dalam. Selain dia tentu akan dikenal, juga untuk melawan banyak orang pandai dalam keadaan terluka, tidaklah mungkin, maka dia mengandalkan kecerdikan para temannya, yaitu wanita-wanita Hek-eng-pang itu.
Sementara itu, Syanti Dewi yang selalu mengharapkan pertolongan dari Siang In, masih berada dalam kamarnya dan dia tidak membantah ketika para pelayan menghias dan merias dirinya di dalam kamarnya. Diam-diam dia masih mengharapkan akan munculnya gadis luar biasa yang telah berhasil meloloskan dirinya dari istana ayahnya itu. Dia akan menanti sampai saat terakhir, yaitu sampai besok malam. Kalau sampai besok malam Siang In atau siapa saja tidak datang menolongnya, kalau sampai tiba saatnya dia menyerahkan diri kepada Hwa-i-kongcu, pemuda tampan pesolek yang mengerikan hatinya itu, maka dia akan membunuh diri!
Ketika dia mendengar dari para pelayan yang merias bahwa malam itu di dalam pesta akan diadakan pertunjukan tari-tarian dan permainan opera, dan bahwa bintang panggung amat cantik jelita dan jenaka, hati Syanti Dewi tertarik sekali. Dia menduga bahwa tentu Siang In gadis yang cerdik itu menyamar sebagai pemain opera, maka dia lalu minta kepada seorang di antara para pelayan untuk memanggil bintang opera itu karena dia ingin bertemu dan bicara tentang tarian.
Permintaan ini disampaikan oleh si pelayan kepada Hwa-i-kongcu dan tentu saja calon suami yang merasa beruntung akan memperisteri seorang puteri raja mengijinkan permintaan itu. Apalagi karena pelayan yang melayani calon isterinya itu adalah pelayan-pelayan kepercayaannya, ya pelayan ya selir, maka dia tidak menjadi curiga dan diperintahkan kepada seorang pengawalnya untuk menyampaikan permintaan calon mempelai puteri itu kepada pimpinan rombongan opera. Pimpinan opera lalu berbisik kepada bintang panggung, si dara cantik jelita tadi dan sambil tersenyum gembira bintang panggung ini lalu mengikuti si pelayan meninggalkan kamar rias itu.
Liong-li dan kawan-kawannya mencari-cari namun belum berhasil menemukan di mana adanya kamar sang puteri. Akan tetapi tiba-tiba Liong-li melihat seorang pelayan bersama seorang dara cantik jelita berjalan lewat. Diam-diam dia lalu mengikuti mereka dari jauh dan karena dia pun berpakaian pelayan, maka para pengawal yang berjaga-jaga di seluruh tempat itu tidak ada yang menaruh curiga kepadanya. Dara cantik yang diiringkan oleh pelayan itu lincah dan jenaka sekali, di sepanjang jalan bicara dan memuji-muji keindahan rumah gedung seperti istana milik Hwa-i-kongcu yang kaya raya itu. Liong-li terus membayangi mereka dari jauh, melewati gang-gang, kamar-kamar, ruangan-ruangan terbuka, pendapa-pendapa dan taman-taman. Kiranya sang puteri itu berada di tempat yang demikian tersembunyi!
Akhirnya tibalah mereka di sebuah bangunan kecil yang mungil dan masuk ke dalamnya. Bintang panggung itu diajak masuk ke dalam kamar. Kini mereka berdiri saling pandang, si bintang panggung dan Syanti Dewi. Syanti Dewi kecewa bukan main. Memang bintang panggung itu cantik jelita, dan bentuk tubuhnya seperti bentuk tubuh Siang In yang ramping akan tetapi mukanya bukanlah Sian In! Akan tetapi bintang panggung itu cepat menjatuhkan diri berlutut dan berkata, "Saya menghaturkan selamat kepada mempelai puteri, semoga hidup bahagia dan dikarunia banyak putera dan berumur panjang!"
Mendengar suara ini, Syanti Dewi terkejut bukan main. ltulah suara Siang In! Dia dapat menenangkan hatinya dan berkata, "Terima kasih." Lalu puteri itu menoleh kepada para pelayannya yang jumlahnya lima orang itu, berkata, "Harap kalian keluar dari kamar dulu, aku ingin bicara seenaknya dengan seniwati ini. Kalian tunggu saja panggilanku dan menanti di luar."
Para pelayan itu saling pandang, tersenyum dan segera mengundurkan diri. Mereka mendapat pesan yang amat keras dari majikan mereka agar melayani sang puteri sebaiknya dan agar memenuhi semua permintaannya. Tentu saja permintaan untuk berduaan dengan bintang panggung yang cantik itu tidak menimbulkan kecurigaan hati mereka dan mereka pun mundur dan keluar dari dalam kamar itu.
Setelah yakin bahwa mereka hanya berdua, Syanti Dewi memandang tajam wajah cantik itu dan bertanya, "Siapakah engkau"
Bintang panggung itu tersenyum lebar. "Enci, apakah engkau lupa akan suaraku"
"Ah, Siang In....!" Syanti Dewi lalu maju merangkul dan mereka berangkulan sejenak, dua titik air mata turun dari mata Syanti Dewi yang merasa girang bukan main itu, "Kukira engkau takkan muncul lagi, adikku.... hampir lenyap harapanku...."
"Jangan khawatir, Enci. Aku pasti akan berusaha menolongmu keluar dari sini sedapatku. Akan tetapi, banyak orang pandai di sini, kita harus berhati-hati dan Enci bersikap wajar saja. Aku melihat keanehan di sini. Pelayan-pelayan bantuan itu, demikian banyaknya, katanya mereka itu adalah utusan dari Si Jari Maut "
"Ahhhhh....!" Muka Syanti Dewi menjadi pucat mendengar nama julukan ini. "Dia...."
Siang In mengangguk. "Akan tetapi aku masih curiga. Sikap mereka mencurigakan sekali. Akan tetapi, mungkin mereka ini akan dapat membantu kita, memudahkan aku membawamu keluar dari sini, Enci Syanti Dewi. Kautinggaliah di sini, bersikaplah tenang dan wajar dan percayalah kepadaku.
Syanti Dewi merangkul dan mencium pipi dara itu, lalu menatap wajah itu dengan penuh keheranan. "Bagaimana mukamu bisa begini berubah sama sekali"
Siang In tersenyum, meraba dengan kedua tangannya ke bawah dagu, kemudian sekali dia menarik, mukanya berubah menjadi muka Siang In sendiri! Kiranya mukanya ditutup oleh sehelai "kedok" yang amat tipis, setipis kulit manusia, akan tetapi kedok itu sama sekali mengubah mukanya dengan kecantikan yang sama sekali berbeda! Mulutnya menjadi lebar, hidungnya lebih mancung, pipinya lebih montok dan dahinya lebih lebar, matanya agak sipit. Tentu saja Syanti Dewi sendiri tidak mengenalnya.
"Aku harus menyamar sebaiknya, kalau tidak, mana bisa aku mengelabuhi mata Hwa-i-kongcu yang berminyak itu"
"Berminyak" Ada mata berminyak" Syanti Dewi terheran karena dia sendiri belum pernah memandang mata calon suaminya secara teliti!
"Hi-hik, berminyak dan berkeranjang! Mata minyak dan mata keranjang, hidungnya belang! Hi-hik!"
Syanti Dewi tertawa geli dan terkejutlah dia betapa dalam sedetik saja dia sudah bisa tertawa! Berdekatan dengan gadis ini memang membuat orang tidak dapat tidak menjadi gembira. Dia sendiri seketika melupakan kenyataan bahwa sesungguhnya dia masih menjadi tawanan, seperti seekor burung masih berada di dalam sangkar tertutup. Hatinya masih geli ketika dia melihat Siang In mengenakan kembali "kedoknya" yang luar biasa itu dan makin gelisah dia teringat betapa Siang In juga mempunyai kedok yang kalau dipasang tentu akan membuat para pelayannya menjerit-jerit!
"Eh, In-moi, bagaimana kalau kau meminjamkan kedokmu yang polos itu kepadaku dan mengajari aku bagaimana untuk memakainya"
"Wah, Enci Syanti. Engkau ini aneh-aneh saja. Untuk apa kedok setan itu untukmu"
"Kalau tidak ada jalan lain, di waktu si hidung belang itu datang kepadaku, aku akan memakai kedok polos itu, hendak kulihat apakah...." Syanti Dewi tak dapat menahan ketawanya.
"Apakah hidungnya masih belang atau tidak" Hi-hik, Enci. Tentu akan lucu sekali dan ingin memang aku melihat bagaimana dia akan lari tunggang-langgang melihat isterinya bermuka polos seperti itu, hi-hik. Akan tetapi berbahaya sekali Enci. Sudahlah, aku harus kembali ke tempat pertunjukan, dan akan kuatur nanti bagaimana baiknya untuk menolongmu sambil melihat perkembangan. Selamat berpisah untuk sebentar, Enci."
Syanti Dewi merangkul dan mencium kedua pipinya yang sudah tertutup kedok namun masih halus dan menarik kemerahan itu. "Nyawaku berada di tanganmu, adikku," bisik Syanti Dewi.
Siang In tersenyum dan melangkah mundur. "Hi-hik, apa kaukira aku ini Giam-lo-ong (Raja Akherat)" Sampai nanti, Enci...." Dan pergilah dia keluar dari kamar. Para pelayan yang berada di luar dan tadi hanya mendengar betapa calon majikan mereka itu tertawa-tawa dengan sripanggung itu, cepat masuk kembali dan mereka melihat wajah yang tadinya agak pucat itu kini berseri dan yang mengherankan hati mereka, kalau selama ini jarang sekali sang puteri mau makan, kini Syanti Dewi menyambut kedatangan mereka dengan kata-kata yang menggirangkan mereka.
"Cepat ambilkan nasi dan masakan yang paling enak. Bukankah malam ini ada pesta" Aku pun ingin pesta sendiri!"
Sementara itu, pada saat itu para tamu mulai dengan pesta. Hidangan makanan kecil mulai dikeluarkan dan para tamu menikmati pertunjukan tari-tarian yang ditarikan oleh enam orang penari yang cantik-cantik. Semua orang memandang ke arah Siang In yang baru kembali dan ada yang kecewa mengapa dara yang paling cantik dan yang menjadi sripanggung itu tidak pula ikut menari.
Setelah para penari itu selesai menari, banyak tamu yang berteriak minta agar sripanggung menari! Pemimpin rombongan itu, seorarag tua yang juga menabuh alat musik, yaitu meniup suling, bangkit berdiri dan berkata dengan hormat bahwa sripanggung akan main sebagai Kauw Gee Thian Si Raja Monyet dalam cerita See-yu akan dipentaskan malam itu, dan karenanya tidak ikut menari. Pemimpin ini khawatir kalau-kalau dara cantik itu tidak pandai menari. Siang In baru kemarin memasuki perkumpulannya dan karena gadis itu mempunyai kepandaian bermain sulap, maka diterimanya gadis sebagai anggauta rombongaannya, akan tetapi sebagai pemain opera, bukan sebagai penari. Dia hanya tahu bahwa gadis itu mempunyai wajah cantik jelita, tubuh yang indah, memikat, pandai main sulap dan tari silat.
Akan tetapi tiba-tiba Siang In berkata, "Lopek, biarkan aku menari sendiri!" Dan dia bangkit, lalu menjura ke arah para tamu yang menyambutnya dengan tepuk tangan riuh.
"Cu-wi sekalian, baru saja saya dipanggil oleh calon mempelai puteri dan beliau mengajarkan sebuah tarian asing kepada saya. Maka saya akan mencoba tarian itu untuk dinikmati oleh Cuwi sekalian, sebagai persembahan dari mempelai puteri!" Semua orang bersorak gembira dan Hwa-i-kongcu juga mengangguk-angguk dengan gembira dan bangga!
Siang In lalu mulai bernyanyi dengan suaranya yang merdu dan halus, dan mulai pula tubuhnya bergerak-gerak menari. Para penabuh musik dari rombongan itu baiknya adalah ahli-ahli yang sudah berpengalaman puluhan tahun, maka ketika mereka mendengar nyanyian yang asing itu, biarpun tidak dapat mengikuti lagu itu seluruhnya, setidaknya mereka dapat memperdengarkan irama untuk membayangi nyanyian dan tarian itu, perlahan-lahan sehingga dengan iringan yang sayup sampai ini, suara nyanyian itu menjadi makin jelas dan gerak tarian itu makin menonjol. Itulah nyanyian dan tarian yang dipelajari oleh Siang In di dalam hutan dari Syanti Dewi.
Memang indah sekali! Baik nyanyiannya maupun tariannya, dan lebih-lebih suaranya dan gerakannya! Memang harus ada perpaduan antara lagu dan yang menyanyikannya, juga antara tarian dan yang menarikannya. Dan semua penonton terpesona, bahkan ada yang sampai lupa diri, bengong terlongong, semangatnya seperti diterbangkan oleh alunan suara Sian In, diayun oleh gerak kaki tangan yang lemah gemulai itu!
"Ini tarian Kerajaan Bhutan!" Tiba-tiba terdengar teriakan orang dan hanya beberapa orang saja yang memperhatikan ini dan ternyata yang berteriak itu adalah seorang laki-laki yang kepalanya memakai sorban dan memang dia adalah seorang tamu yang berkebangsaan Nepal. Dia memandang dengan kagum sekali, menggerak-gerakkan tongkat yang dipegangnya sehingga tongkatnya itu mengeluarkan bunyi tak-tok-tak-tok namun iramanya cocok sekali dengan nyanyian dan tarian Siang In itu. Bahkan kemudian suara pukulan tongkatnya inilah yang dijadikan pedoman bagi para pemain musik untuk mengiringi nyanyian dan tarian itu, dan si kakek Nepal ini menggeleng-gelengkan atau menggoyang-goyang kepala menurutkan irama musik sehingga jenggotnya yang panjang sampai ke perut itu pun bergoyang-goyang amat lucunya!
Setelah Siang In menyelesaikan nyanyian dan tariannya, tepuk tangan meledak di ruangan itu dan semua anggauta opera itu pun bertepuk tangan memuji, terutama kakek pemimpin yang merasa girang, seolah-olah dia telah memperoleh mutiara yang tak ternilai harganya! Tentu rombongannya kini akan terkenal dan laris dengan adanya sripanggung ini, pikirnya.
Kini permainan opera pun dimulai. Pementasan ini hanya beberapa adegan saja dari cerita See-yu yang panjang, yaitu di waktu Kauw Cee Thian Si Raja Monyet itu mempermainkan enam orang Siluman Laba-laba yang menjadi enam orang wanita cantik. Siang In lalu memakai topeng monyet dan mulailah dia menari-nari seperti seekor monyet yang membawa sebatang tongkat panjang, yaitu tongkat Kim-kauw-pang, senjata ampuh dari Si Raja Monyet.
Di sini Siang In memperlihatkan kemahirannya bermain sulap! Dia maklum bahwa guru dari Hwa-i-kongcu, Nenek Durganini, adalah seorang ahli sihir yang luar biasa, dan bahwa saat itu Durganini tidak ada di situ karena nenek itu telah kena dia akali dan agaknya telah pergi untuk mencari suhunya, See-thian Hoatsu, maka kini gadis ini berani memperlihatkan kepandaian dalam ilmu sihir. Kalau ada nenek itu di situ, tentu dia tidak berani banyak bertingkah!
Tongkat itu, seperti tongkat Kim-kauw-pang yang sesungguhnya dalam cerita See-yu, digerakkan untuk bermain sulap. Dia sebagai Kauw Cee Thian lalu menyulap tongkat itu menjadi kecil seperti sebatang pensil yang dapat ia selipkan di atas daun telinganya! Kemudian ia menyulapnya menjadi besar sampai panjangnya menjadi tiga kali lipat panjang biasa. Siang In lalu bermain silat, diputar-putarnya tongkat itu sedemikian rupa sampai lenyap bentuk tongkatnya dan yang nampak hanyalah gulungan putih yang amat indah. Tentu saja semua orang bertepuk tangan memujinya.
Akan tetapi, dasar Siang In adalah seorang dara yang lincah dan bengal, kadang-kadang timbul sifat yang ugal-ugalan sehingga dia suka menggoda orang. Pada saat itu timbul kerakusannya akan pujian setelah melihat semua orang terheran-heran dan memujinya. Dia lalu membuat api dengan tongkatnya. Suasana menjadi serem karena pada adegan yang menceritakan pembakaran itu, tahu-tahu dari tongkatnya muncul api berkobar-kobar. Dan semua orang terbelalak kaget ketika melihat betapa gadis cantik itu, kini bermain sebagai Sun Go Kong atau Kauw Cee-Thian yang beralih rupa, berkali-kali berteriak akan berganti rupa, dan dia benar-benar telah beralih rupa di depan mata mereka!
"Lihat, aku akan menjadi seekor harimau!" terdengar dara itu berseru dan "Hauuuwwwww!" Di situ nampak seekor harimau dan si Kauw Cee Thian itu lenyap!
Bahkan pada akhir pertunjukan, semua orang menjadi panik dan di samping rasa kagum mereka juga memandang dengan mata terbelalak, muka pucat dan kepala pening ketika si Kauw Cee Thian itu "mencabut" bulu tubuhnya, meniup bulu-bulu itu dan munculiah belasan orang Kauw Cee Thian lain di atas panggung!
Suasana menjadi sunyi. Bahkan para pemain opera lainnya menjadi terbelalak, terdengar para pelayan menjerit saking takut dan ngerinya, dan pada saat itu tiba-tiba saja terdengar bunyi kelenengan yang nyaring sekali. Begitu terdengar suara ini, semua penglihatan aneh itu pun lenyaplah! Bayangan-bayangan Kauw Cee Thian ciptaan dari bulu itu pun lenyap dan di atas panggung Si Raja Monyet yang dimainkan oleh gadis itu terhuyung-huyung. Baiknya suara kelenengan itu berhenti dan Siang In dapat menyelinap di antara kawan-kawan anggauta opera sambil menanggalkan topeng monyetnya. Untung dia memakai kedok sehingga tldak kelihatan betapa muka yang sesungguhnya dari gadis ini agak pucat. Dia tadi telah diserang oleh suara kelenengan yang mengandung daya mujijat untuk memuaskan semua sihirnya! Diam-diam dia melirik ke arah orang Nepal tadi, yang kini sudah menyimpan kembali kelenengannya. Hemmm, dia seorang ahli, aku harus waspada, bisik hati Siang ln.
"Bagus! Bagus sekali pertunjukan tadi!" Si orang Nepal itu bangkit sambil berkata dalam bahasa Han yang agak kaku namun cukup lancar, tanda bahwa biarpun dia belum dapat melenyapkan lidah asingnya, namun dia sudah mempelajari bahasa daerah ini dengan baik dan telah menguasai sepenuhnya. "Kepandaian sripanggung memang hebat, dan saya Gitananda dari Nepal, benar-benar merasa beruntung dapat melihat kepandaian yang amat hebat dari seorang yang masih begitu muda. Sekarang, untuk meramaikan pesta biarlah saya yang bodoh menyumbangkan sedikit permainan, jika Hwa-i-kongcu mengijinkannya!" Sambil berkata demikian, dia menjura ke arah tuan rumah. Hwa-i-kongcu yang duduk dan sejak tadi memperhatikan permainan Siang In dengan penuh keheranan dan kekaguman itu mengangguk.
Diam-diam Hwa-i-kongcu terheran-heran. Dia sendiri adalah murid seorang ahli sihir dan bagi dia, sihir yang diperlihatkan oleh sripanggung tadi biapun tidak aneh, namun amat mengherankan hatinya karena kalau sripanggung itu dapat menguasai para penonton dengan sihirnya, maka sripanggung itu bukan orang sembarangan! Dan agaknya kakek Nepal ini pun seorang ahli sihir pula! Kalau saja subonya tidak pergi! Tentu saja bagi subonya, semua pertunjukan tadi hanyalah merupakan permainan kanak-kanak saja, sungguhpun bagi, dia sendiri sudah merupakan kepandaian yang tidak mudah dilakukan. Kini Kakek Gitananda melangkah ke tengah ruangan itu, membawa tongkatnya dan membawa pula sebuah kotak kecil. Setelah mengangguk ke empat penjuru seperti lagak seorang ahli sulap sedang berdemonstrasi, dia lalu melemparkan kotak itu ke atas, lalu tongkatnya diacungkan ke atas menyambar kotak itu yang disangganya dan dibawanya berkeliling. Kemudian dia kembali ke tengah ruangan dan tiba-tiba dia menarik tongkatnya dan.... kotak itu masih tetap terapung di udara tanpa penyangga! Kakek itu lalu duduk bersila di bawah kotak yang terapung itu dan membawa tongkat ke mulutnya, meniup dan.... terdengarlah suara suling yang merdu, seolah-olah dia sedang meniup sebatang suling, bukan tongkat!
Semua orang terpesona memandang kearah kakek itu kemudian menahan napas ketika melihat kotak di udara itu terbuka tutupnya, dan dari dalam kotak munculiah seekot ular kobra! Kulitnya yang hitam coklat kekuningan itu berkilat, matanya kemerahan dan lehernya mekar, mulutnya mendesis-desis, akan tetapi ular itu lalu mulai menari-nari mengikuti suara suling tongkat! Lucu dan juga indah karena tubuh ular begitu lemasnya ketika menari-nari, tidak kalah dengan lemasnya pinggang sripanggung yang ramping tadi! Dengan gerakan melenggang-lenggok ular itu melayang keluar dari kotak, lalu turun ke atas lantai di depan si kakek Nepal, lalu kepalanya berubah menjadi dua, tiga, empat dan akhirnya nampaklah ular kobra itu mempunyai tiga belas buah kepala yang semuanya diangkat dan menari-nari menurut bunyi suling yang ditiup kakek itu, suling yang sebetulnya hanyalah sebatang tongkat. Tak lama kemudian, ketika suara suling meninggi, ular kobra berkepala tiga belas itu lalu melayang ke atas, kembali memasuki kotak dan turunlah kotak itu peclahan-lahan ke atas pangkuan si kakek Nepal yang juga menghentikan tiupan pada tongkatnya.
Tentu saja permainannya yang luar biasa itu disambut tepuk tangan riuh, dan si kakek Nepal bangkit bgrdiri, menjura ke empat penjuru dan matanya yang seperti menjuling di atas sebatang hidung melengkung itu mengerling ke arah Siang In yang diam-diam juga terkejut bukan main, maklum bahwa kakek Nepal itu merupakan seorang lawan yang amat tangguh dalam ilmu sihir.
Hidangan besar dan arak mulai membanjiri meja-meja para tamu dan mulailah para tamu bergembira makan dan minum arak. Minuman keras itu membuat mereka menjadi gembira dan obrolan di antara mereka menjadi makin terlepas dan bebas. Kini di atas panggung diadakan pertunjukan pelawak dan lawakan mereka membuat para tamu yang mulai terpengaruh minuman keras itu tertawa bergelak. Suasana menjadi meriah dan gembira sekali. Para anggauta Hek-eng-pang yang menyamar sebagai pelayan-pelayan yang dikirim oleh Si Jari Maut sebagai sumbangan kepada Hwai-kongcu, dengan sikapnya membantu pelayanan hidangan untuk para tamu sedangkan sebagian pula mulai menyelidiki tempat persembunyian pengantin wanita yang harus mereka culik.
Di panggung kini terjadi pertunjukan yang amat menarik, yaitu kekuatan minum arak! Dan kembali kakek Nepal yang bernama Gitananda dan yang tadi bermain sulap, memperlihatkan kepandaiannya yang hebat. Dia menantang jago-jago minum untuk adu kuat minum arak melawan dia dan sudah ada tiga orang roboh pingsan karena mabuk melawan Gitananda. Mereka digotong ke luar. Kini yang menghadapinya adalah seorang kakek bertubuh pendek, perutnya sebesar gentong dan kepalanya botak, orang ini terkenal sebagai "setan arak" di antara kawan-kawannya dan perutnya yang gendut luar biasa dan kepalanya yang botak itu kabarnya juga karena kebanyakan minum arak!
Cawan demi cawan diminum oleh Gitananda dan lawannya yang baru ini setiap cawan yang memasuki mulut mereka diikuti sorak-sorai para tamu yang menonton pertandingan yang menggembirakan ini.
"Ah, aku haus sekali, sungguh tidak memuaskan minum dari cawan yang kecil ini. Kesinikan dua guci penuh!" tiba-tiba Gitananda bertepuk tangan dan seorang pelayan segera berlari mengambilkan dua guci penuh arak yang digotong oleh empat orang pelayan dan diletakkannya dua buah guci arak itu ke atas meja. Gitananda tertawa memandang kepada lawannya yang gendut.
"Bagaimana kalau kita minum dari guci ini saja"
Si gendut tersenyum. "Silakan kau dulu!" dia menantang.
Gitananda lalu mengangkat guci itu menempelkan bibir guci ke mulutnya dan terdengarlah suara menggelogok ketika dia menuangkan isi guci ke dalam perut melalui mulutnya. Lama sekali dia minum sampai akhirnya guci itu kosong dan dia meletakkan guci itu di atas meja. Semua orang mengeluarkan seruan kaget, heran dan kagum sekali. Satu guci arak itu biasanya dihabiskan oleh delapan orang atau satu meja untuk satu kali perjamuan. Akan tetapi sekarang ditenggak habis sekaligus oleh kakek Nepal ini.
Sungguh merupakan hal yang luar biasa. "Ha-ha-ha, giliranmu!" kata Gitananda kepada Si gendut.
Dengan dorongan kawan-kawannya, akhirnya Si gendut yang terkenal sebagai setan arak itu pun mengangkat gucinya dan seperti yang dilakukan oleh lawannya tadi, dia pun menenggak arak itu langsung dari gucinya. Lebih lama lagi dia minum, mukanya sampai ke botak-botaknya menjadi merah dan ketika akhirnya dia menghabiskan arak itu, gucinya terlepas dari tangannya dan jatuh menggelinding ke atas lantai. Si gundul botak itu sendiri tertawa aneh, lalu bangkit perutnya yang gendut menjadi makin besar dan matanya menjadi merah. Suara ketawanya menunjukkan bahwa dia telah menjadi mabuk!
"Heh-heh-heh.... kau hebat.... heh-heh, aku kalah deh...." Si gendut bangkit berdiri, terhuyung kembali ke kursinya, akan tetapi hampir dia jatuh. Untuk menahan tubuhnya, tangannya diulur untuk meraih pinggang seorang dayang atau seorang pelayan wanita yang sedang lewat membawa baki. Akan tetapi pelayan itu, yang bukan lain adalah seorang anggauta Hek-eng-pang, dengan mudah mengelak dengan menggerakkan pinggul dan miringkan tubuh. Tentu saja karena raihan tangannya dielakkan, tubuh si gendut mendoyong ke depan. Akan tetapi ternyata setan arak ini bukan hanya kuat minum arak, melainkan juga pandai ilmu silat dan biarpun dia mabuk sekali, dalam keadaan mendoyong hampir jatuh itu kedua tangannya dapat bergerak cepat ke samping untuk merangkul, sekali ini rangkulannya ditujukan kepada buah pinggul yang menonjol besar itu. Semua tamu tertawa menyaksikan ini. Akan tetapi dengan gerakan lincah, si pelayan itu kembali mengelak. Masakan yang berada di dalam mangkok di atas bakinya sama sekali tidak tumpah, dan sekali ini si gendut tidak dapat mencegah lagi tubuhnya yang limbung. Dia jatuh! Kembali semua orang menertawakannya.
"Ehhhhh!" Si Gendut yang merasa malu karena ditertawakan menjadi marah kepada pelayan itu. Begitu dia terguling, kakinya mencuat untuk menyerampang kaki si pelayan agar jatuh bersama dia. Akan tetapi kembali dia keliru karena pelayan itu meloncat dan kembali dapat menghindarkan diri, terus menyelinap pergi. Para tamu bertepuk tangan memuji kelincahan pelayan wanita itu.
Sementara itu, Hak Im Cu, seorang tosu tinggi kurus yang wajahnya bengis, yang amat tinggi ilmu silatnya dan terkenal sebagai seorang ahli ginkang dan yang menjadi seorang di antara pembantu-pembantu utama Hwa-i-kongcu, diam-diam menjaga keamanan bersama dua orang temannya untuk menjamin keselamatan Hwa-i-kongcu dan Liong-sim-pang. Mereka adalah tiga orang dan sesungguhnya mereka itu bukan anggauta Liong-sim-pang, melainkan tamu-tamu, juga mereka bertiga merupakan sahabat-sahabat dan pembantu-pembantu utama. Di samping tosu Hak Im Cu ini, masih ada dua orang lain yang tidak kalah lihainya. Yang pertama adalah Ban-kin-kwi Kwan Ok, yang sebaya dengan Hak Im Cu, berusia kurang lebih enam puluh tahun. Berbeda dengan Hak Im Cu yang tinggi kurus dan ahli ginkang, Kwan Ok ini, sesuai dengan julukannya, yaitu Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati) bertubuh tinggi besar, bermuka hitam dan tenaganya sekuat gajah! Adapun yang ke dua atau orang ke tiga di antara tiga sekawan ini adalah Hai-liong-ong Ciok Gu To, juga usianya kurang lebih enam puluh tahun, tubuhnya gemuk pendek dan kepalanya gundul akan tetapi dia bukan seorang pendeta, melainkan seorang bekas bajak tunggal yang amat terkenal karena selain ahli bermain di air juga dia seorang ahli lweekeh yang memiliki tenaga dalam kuat sekali.
Memang tadinya tiga orang ini bukan merupakan sahabat-sahabat. Akan tetapi, ketiganya diundang oleh Hwa-i-kongcu dan menjadi pembantu utama, tentu saja mereka menjadi sahabat yang memiliki keahlian berbeda-beda. Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali, tiga orang lihai ini pernah muncul di Telaga Sungai, ketika terjadi perebutan anak ular naga di telaga tersebut dan biarpun tiga orang ini lihai sekali, namun karena di telaga itu berkumpul banyak sekali orang-orang pandai, mereka tidak berhasil mendapatkan anak naga itu.
Demikianlah keadaan singkat tiga orang pembantu utama Hwa-i-kongcu yang kini telah berada di tempat pesta itu. Sejak semula, mereka sudah agak curiga ketika mendengar bahwa Si Jari Maut mengirim sumbangan berupa wanita-wanita pelayan yang cantik-cantik itu, maka diam-diam mereka, terutama sekali tosu Hek Im Cu, memasang mata dan mencurahkan perhatian kepada para pelayan itu. Peristiwa yang terjadi ketika seorang pelayan hendak dirangkul setan arak yang gendut, melihat cara pelayan itu menghindarkan diri, membuat Hak Im Cu menjadi makin curiga. Jelas bahwa pelayan itu memiliki ilmu silat cukup tinggi sehingga dapat menghindarkan tubrukan dan terkaman si gendut sedemikian mudahnya dan dalam gerakannya mengelak itu, baki tidak terguling bahkan kuah dalam mangkok tidak tumpah. Biarpun yang mengirim Si Jari Maut yang terkenal, namun pelayan-pelayan yang pandai ilmu silat sungguh mencurigakan. Apalagi pemimpin pelayan itu, yang cantik dan agung dan yang kini tidak nampak.
Hak Im Cu lalu menghubungi dua orang temannya, mereka berbisik-bisik, lalu dengan tergesa-gesa ketiganya menuju ke belakang untuk menyelidiki dan kalau perlu mengumpulkan pelayan-pelayan sumbangan itu untuk memeriksa mereka. Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara terompet dan canang di pukul gencar. Itulah tanda bahaya dan tak lama kemudian terdengarlah teriakan-teriakan bahwa pengantin puteri diculik orang! Gegerlah keadaan dalam pesta itu ketika suara berisik ini terdengar dan mereka mendengar bahwa pengantin puteri diculik orang.
Keributan ini disusul oleh keributan lain yang lebih meributkan ketika para pelayan wanita itu, dengan menggunakan batu yang memang sudah mereka persiapkan sebelumnya, ada pula yang menggunakan mangkok piring menyambit ke arah lampu-lampu di seluruh tempat sehingga lampu-lampu itu pecah dan padam. Keadaan menjadi gelap gulita dan tentu saja para tamu menjadi panik, kecuali mereka yang berkepandaian tinggi, karena mereka ini maklum bahwa terjadi hal hebat dan cepat mereka menggunakan kepandaian untuk bersiap-siap turun tangan membantu fihak tuan rumah.
Tentu saja Siang In juga terkejut bukan main. Dia sama sekali tidak mengira bahwa akan terjadi hal seperti itu. Ketika teman-temannya para penari menjerit dan berkumpul menjadi satu dalam keadaan ketakutan, dia sendiri cepat meloncat dan menyelinap di antara orangorang yang sedang panik, melihat para pelayan wanita menyambiti lampu-lampu dengan ketepatan seorang ahli, dia memaki kebodohan sendiri yang tidak menduga bahwa pelayan-pelayan wanita itu ternyata adalah orang-orang yang mempunyai niat sama dengan dia yaitu menculik sang puteri! Dia berlari terus menuju ke tempat tinggal Syanti Dewi dan benar saja, tepat seperti yang dikhawatirkannya, sang puteri telah lenyap dan di situ terdapat Hwa-i-kongcu dan para pembantunya. Hwa-i-kongcu marah-marah dan memaki-maki para pengawalnya yang dikatakannya tolol.
"Kejar! Isteriku harus dapat dirampas kembali!" teriaknya marah-marah dan dari tempat persembunyiannya, Siang In melihat betapa tosu tinggi kurus, raksasa tinggi besar muka hitam, dan si gemuk pendek berkepala gundul itu berkelebat dengan kecepatan yang mengejutkan, melakukan pencarian atau pengejaran tanpa mengeluarkan kata-kata apa pun. Dia terkejut. Kiranya Hwa-i-kongcu dibantu orang-orang pandai. Namun toh Syanti Dewi dapat diculik orang. Hal ini menunjukkan betapa lihainya si penculik yang agaknya dibantu oleh para pelayan wanita. Dia meninggalkan tempat sembunyinya untuk melakukan pengejaran pula. Dia harus mendapatkan Syanti Dewi karena agaknya, terjatuh ke tangan siapa pun juga, kecuali ke tangannya, tentu Puteri Bhutan itu akan celaka. Ketika dia ke luar, ternyata di sana-sini telah terjadi pertempuran-pertempuran hebat antara wanita-wanita pelayan dan para pengawal dan anak buah Hwa-i-kongcu. Kini jelaslah sudah bahwa pelayan-pelayan wanita itu adalah serombongan orang yang menyamar untuk menculik sang puteri! Dan ternyata mereka itu terdiri dari orang-orang lihai, sama sekali bukan lawan para pengawal Hwa-i-kongcu atau anggauta-anggauta Liong-sim-pang biasa saja. Hanya tiga orang lihai tadi yang dapat mengatasi mereka dan mulailah ada beberapa orang wanita pelayan roboh dan selebihnya lalu melarikan diri, dikejar oleh tiga orang itu dan para anak buah Liong-sim-pang. Tamu-tamu makin panik dan sebagian besar menyelamatkan diri dengan sembunyi di balik semak-semak atau pohon-pohon di dalam taman, ada pula yang begitu saja memasuki kamar-kamar, tidak peduli kamar siapa, dan ada pula yang menyelinap ke dalam dapur, tidak peduli pakaian dan mukanya penuh hangus. Hanya yang berkepandaian saja membantu para anggauta Liong-sim-pang melakukan pengejaran kepada rombongan wanita pelayan yang ternyata merupakan gerombolan penculik itu.
Ternyata orang-orang Hek-eng-pang amat cerdik dan sebelum mereka melakukan penculikan, sebagian di antara mereka telah mengatur "jalan lari" untuk kawan-kawannya. Kini, mereka mengikuti jalan yang mereka buat, dan dipimpin oleh Hek-eng-pangcu sendiri, yaitu Yang-liu Nio-nio, mereka berserabutan memasuki taman melalui jalan yang sudah direncanakan semula.
"Penculik-penculik hina, hendak lari ke mana kalian" Hak Im Cu mengejar dan paling cepat larinya tosu ini karena dia memang seorang ahli ginkang yang hebat.
"Liong-li, bawa dia ini!" Yang-liu Nionio berteriak dan melemparkan tubuh Syanti Dewi yang sudah ditotoknya itu ke arah muridnya itu. Liong-li menyambut tubuh itu dan terus melarikan diri, sedangkan Yang-liu Nio-nio menyambut, serangan pedang Hak Im Cu dengan ranting yang-liu yang tadi dipegangnya.
"Singgg.... trakkkkk!" Pedang itu tertahan oleh ranting dan keduanya lalu bertempur seru.
Sementara itu, para pengawal yang melihat pengantin wanita dilarikan seorang pelayan dan belasan pelayan lain, cepat mengejar. Liong-li lari bersama teman-temannya, meloncati jalan di antara semak-semak. Para pengawal atau anak buah Liong-sim-pang mengejar.
"Blarrr....!" Terjadi ledakan keras dan empat orang anak buah Liong-sim-pang terlempar ke sana-sini oleh ledakan itu. Kiranya di situ sudah dipasang jebakan semacam ranjau oleh orang-orang Hek-eng-pang yang tadi meloncati tempat itu. Anak buah Liong-sim-pang yang tidak tahu tentu saja berlari biasa dan menginjak ranjau itu.
Bersama bunyi ledakan, Yang-liu Nio-nio diikuti oleh beberapa orang anak buahnya juga lari karena Ban-kin-kwi Kwan Ok dan Hai-liong-ong Ciok Gu To telah tiba di situ. Melihat adanya tiga orang yang amat lihai ini, Yang-liu Nionio mengajak anak buahnya lari dan mereka menyelinap di semak-semak belukar di luar taman.
"Keparat jangan lari!" Hak Im Cu memaki dan mengejar, akan tetapi tiba-tiba semak-semak itu terbakar dan nyalanya demikian besar karena ternyata semak-semak itu telah disiram minyak. Terpaksa tiga orang lihai ini tidak berani menerjang api dan mengambil jalan memutar. Mereka melihat wanita tua cantik memegang ranting itu bersama lima orang wanita pelayan lain menyeberangi jembatan di luar taman. Tentu saja dengan cepat mereka mengejar. Wanita-wanita itu telah tiba di seberang jembatan dan baru saja Hak Im Cu dan kawan-kawannya tiba di jembatan dan meloncat ke atasnya, tiba-tiba jembatan itu ambruk! Tentu saja ini pun buatan para anggauta Hek-eng-pang. Untung bahwa yang berada di jembatan itu adalah Hak Im Cu bertiga yang tentu saja dapat meloncat kembali ke belakang dan tidak sampai ikut terjatuh bersama jembatan itu.
Hak Im Cu dan teman-temannya, juga para anak buah Liong-sim-pang cepat mengejar para wanita yang telah tiba di tembok yang mengelilingi tempat markas Liong-sim-pang itu. Dengan gerakan-gerakan yang amat ringan, mereka meloncat ke atas tembok, didahului oleh Liong-li yang memondong tubuh Syanti Dewi.
"Ha-ha-ha, kalian hendak lari kemana" Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan kiranya di atas tembok, di menara penjagaan, telah nongkrong seorang tinggi besar bersorban yang bukan lain adalah Gitananda, tokoh aneh dari Nepal tadi!
"Liong-li, lari....!" Yang-liu Nio-nio berteriak dan dia sendiri menggunakan ranting yang-liu, langsung menubruk dan menyerang kakek Nepal itu. Si kakek Nepal terkejut karena tahu bahwa serangan nenek cantik ini cepat dan kuat bukan main, maka dia pun menggerakkan tongkatnya menangkis dan mereka segera bertempur di dalam menara penjagaan itu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Liong-li untuk berloncatan pergi ke tempat di mana Tek Hoat dan para anak buah Hek-eng-pang yang lain sudah siap dengan kuda mereka.
Hak Im Cu dan kawan-kawannya tidak mempedulikan nenek yang masih bertanding melawan orang Nepal itu, karena bagi mereka yang terpenting adalah merampas kembali pengatin wanita yang terculik, maka mereka lalu mengerahkan para anak buah Liong-sim-pang untuk mengejar melalui pintu gerbang sedangkan mereka bertiga sendiri melakukan pengejaran dari atas dengan berlompatan.
Melihat bahwa anak muridnya dan para anak buah Hek-eng-pang sudah berhasil keluar dari tembok, Yang-liu Nio-nio cepat mendesak kakek Nepal, dengan gerakan ranting yang-liu dan ketika kakek itu menangkis dengan tongkatnya, tangan kirinya melakukan pukulan atau cengkeraman mautnya, yaitu Hek-eng-jiauw-kang yang hebat bukan main. Dari jari-jari tangannya yang dibentuk seperti kuku garuda itu menyambar hawa dahsyat sekali.
"Ehhhhh....!" Gitananda terkejut dan cepat meloncat ke belakang, akan tetapi dia melihat nenek cantik itu pun meloncat jauh dan melarikan diri di dalam gelap. Karena malam itu gelap dan penerangan dari atas tembok tidak berapa besar, maka kakek Nepal yang hanya menjadi tamu ini tidak mau membahayakan dirinya. Dia maklum bahwa mengejar seorang lawan pandai di tempat gelap amatlah berbahaya, maka dia pun melakukan pengejaran seenaknya saja, dengan sikap amat berhati-hati.
Kini terjadilah kejar-kejaran di luar tembok dan di tempat terbuka di daerah Pegunungan Lu-liang-san, di malam gelap itu. Akan tetapi sebentar saja, para wanita yang memang sebelumnya sudah mengatur jalan dengan cerdiknya, dapat melarikan diri di tempat gelap dan terus dikejar oleh para anggauta Liong-simpang yang dipimpin oleh Hak Im Cu dan dua orang temannya, bahkan kemudian Hwa-i-kongcu pengantin pria yang gagal itu pun melakukan pengejaran sendiri.
Kita tinggalkan dulu para penculik Syanti Dewi yang melarikan diri dan dikejar oleh anggauta Liong-sim-pang, dan juga secara diam-diam dikejar pula oleh seorang gadis cantik, yaitu Siang In dan mari kita kembali mengikuti keadaan Suma Kian Lee yang menjadi tawanan Hek-eng-pang.
Seperti telah diceritakan di bagian depan Suma Kian Lee tidak berdaya dan menjadi setengah tawanan dari Hek-eng-pang karena Hek-eng-pang mengancam akan membunuh Cui Lan dan Gubernur Hok kalau dia melawan. Akan tetapi munculnya Ang Tek Hoat membuka rahasianya dan akhirnya, dalam pertandingan melawan Tek Hoat, dia dikeroyok dan roboh pingsan. Ketika Kian Lee sadar kembali, dia telah berada di dalam sebuah kamar dan dijaga oleh empat orang wanita anggauta Hek-eng-pang yang cantik-cantik. Begitu siuman, dia bangkit duduk dan siap untuk mengamuk, akan tetapi seorang wanita cantik yang dia tahu merupakan seorang di antara kepala-kepala pasukan di Hek-eng-pang, muncul dan berkata, "Harap kau suka tenang, Kongcu. Kalau tidak, terpaksa dua orang kawanmu itu kami bunuh!"
Teringat akan Cui Lan dan Hok-taijin, Suma Kian Lee tenang kembali dan dia bangkit duduk dan berkata, "Sesungguhnya, apakah yang kalian kehendaki dari aku" Dia memandang ke kanan kiri dan bertanya lagi, "Mana ketua kalian itu" Dan mana pula Tek Hoat" Suruh mereka bicara dengan aku!"
"Pangcu sedang pergi dan aku yang diberi tugas untuk minta agar kau mengaku saja semuanya, Suma-kongcu. Bukankah sudah jelas bahwa yang merampas harta keluarga Kao adalah seorang pemuda yang dikenal sebagai Suma-kongcu dan menjadi saudaramu" Nah, sekarang, demi keselamatan dua orang kawanmu itu, terutama dara cantik jelita yang selalu menanyakan keadaan dan mengkhawatirkan keselamatanmu itu, yang agaknya adalah.... eh, kekasihmu."
"Jangan bicara sembarangan!" Kian Lee menghardik dan mukanya berubah merah. Ia tahu betapa lembut dan halus perasaan Cui Lan, betapa dara itu masih mengkhawatirkannya, akan tetapi hal itu bukan berarti dara itu cinta kepadanya karena hati dan cinta kasih dara itu telah ditumpahkan kepada Siluman Kecil!
"Maaf, Kongcu. Sekarang, demi keselamatan mereka, harap Kongcu berterus terang saja, di mana adanya harta itu dan agar dikembalikan kepada kami untuk ditukar dengan dua orang kawanmu."
"Kalian adalah orang-orang bodoh yang suka menuduh orang secara ngawur saja!" Kian Lee berkata dengan nada menyesal. "Aku bukanlah orang-orang macam kalian yang suka membohong, apalagi menghendaki barang orang lain. Sesungguhnya, aku sama sekali tidak tahu tentang harta itu. Kalau kau tidak keberatan, ceritakanlah kepadaku apa yang telah terjadi"
Wanita cantik itu tersenyum, seolah-olah dia tahu bahwa Kian Lee berpura-pura. Lalu dia menarik napas panjang dan berkata, "Kongcu, engkau membuat tugas kami menjadi lebih berat lagi. Kenapa masih pura-pura tidak tahu kalau yang melakukan ini adalah saudaramu sendiri"
Kian Lee menahan kesabarannya. "Aku memang mempunyai saudara yang sedang kucari-cari, akan tetapi saudaraku bukanlah perampok atau penculik! Nah, sudah kukatakan bahwa aku tidak tahu apa-apa dalam hal ini. Kau mau menjelaskan atau tidak terserah!"
Melihat sikap ini, wanita itu menjadi ragu-ragu dan dia pun bercerita, "Kami mendengar bahwa keluarga Jenderal Kao Liang telah mengundurkan diri dan hendak pulang ke kampung membawa harta yang besar. Karena rombongannya akan lewat tidak jauh dari sini, maka pangcu lalu memerintah kami untuk menghadang dan merampas harta pusaka itu. Kami sudah hampir berhasil, akan tetapi ternyata banyak fihak lain yang juga mengandung niat yang sama dengan kami.
Mereka adalah orang-orang lembah, yaitu perkumpulan Huang-ho Kui-liong-pang yang menjadi musuh besar kami. Kemudian dalam perebutan harta pusaka keluarga Kao itu muncul pula pengawal-pengawal kerajaan yang menyamar, dan kami mendengar pula nama Suma-kongcu. Karena kami tidak berhasil merampas harta, juga fihak Kui-liong-pang tidak pula, sedangkan para pengawal itu telah kami hancurkan, maka tinggal Suma-kongcu itulah yang mencurigakan dan tentu dia yang telah merampas harta pusaka keluarga Kao."
"Hemmm, dan di mana adanya keluarga Kao sendiri"
Wanita itu tersenyum dan mencibirkan bibirnya yang merah. "Mereka terculik dan kami tidak tertarik oleh hal itu. Kami hanya mementingkan harta pusaka dan karena jelas bahwa harta itu dirampas oleh Suma-kongcu, sedangkan engkau adalah saudaranya, maka kami mengharap bantuanmu untuk mengembalikan harta itu kepada kami sebagai penukaran diri dua orang kawanmu."
Akan tetapi Kian Lee sudah tidak mempedulikan omongan wanita itu lebih lanjut karena dia sudah melamun! Kini mengertilah dia mengapa hal-hal aneh itu terjadi kepadanya. Jenderal Kao dan dua orang puteranya menyerangnya, tentu mereka itu pun mendengar bahwa Suma kongcu yang tentu saja kalau memang benar demikian adalah adiknya, Kian Bu, yang mencuri harta mereka dan menculik keluarga mereka. Pantas saja jenderal itu dan dua orang puteranya menyerang dia! Tentu ini fitnah belaka! Tidak mungkin adiknya, Suma Kian Bu, telah berubah menjadi garong! Apalagi menjadi penculik!
Ini tentu fitnah! Dan dia berkewajiban untuk membongkar rahasia ini. Dia harus dapat menemukan keluarga Jenderal Kao dan menemukan harta yang dirampas orang, bukan hanya untuk membantu keluarga Jenderal Kao itu melainkan juga untuk membersihkan nama adiknya dari fitnah. Akan tetapi sebelum dapat mencari keluarga Jenderal Kao dan harta pusakanya itu, lebih dulu dia harus dapat meloloskan diri dari tempat ini tanpa membahayakan Cui Lan dan Gubernur Hok. Ah, betapa banyaknya hal yang harus dikerjakan, betapa banyaknya halangan dihadapinya dalam perjalanannya kali ini. Masih ada lagi tugas yang juga amat penting, yaitu menyelidiki dan membebaskan Pangeran Yung Hwa!
"Biarkan aku bicara sendiri dengan Tek Hoat dan dengan ketua kalian," akhirnya dia berkata. "Terjadi salah duga atau fitnah keji dalam hal ini," hanya demikian jawabnya dan akhirnya wanita itu pun meninggalkannya, mengatakan bahwa ketua Hek-eng-pang yang pergi bersama Si Jari Maut belum pulang.
Sampai hari menjadi malam, ketua Hek-eng-pang dan Si Jari Maut belum juga pulang dan malam ini terjadilah peristiwa hebat di puncak Gunung Cemara. Di waktu malam gelap itu, secara tiba-tiba orang-orang lembah, yaitu musuh besar perkumpulan Hek-eng-pang, datang menyerbu! Mereka ini adalah orang-orang Huang-ho Kui-liong-pang yang datang secara tidak terduga-duga dan menyerang perkampungan Hek-eng-pang dengan hebat, membakari rumah di situ. Pihak Hek-eng-pang tentu saja melakukan perlawanan sekuatnya, akan tetapi karena sebagian besar di antara mereka pergi bersama ketua mereka, maka jumlah mereka kalah banyak, dan juga tanpa adanya ketua mereka, para anggauta Hek-eng-pang ini lemah semangatnya dan akhirnya mereka melarikan diri cerai-berai mencari keselamatan, meninggalkan rumah-rumah mereka yang menjadi lautan api!
Tentu saja Kian Lee yang terkejut oleh penyerbuan ini, cepat meninggalkan tempat tahanannya. Para wanita yang menjaga kamar tahanan juga sudah tidak ada lagi dan di dalam keributan itu, Kian Lee tidak mau ikut campur, melainkan langsung saja dia mencari Cui Lan dan Gubernur Hok. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia tiba di tempat tahanan dua orang itu, dia melihat dua orang penjaganya, yaitu wanita-wanita anggauta Hek-eng-pang yang ditugaskan menjaga dan menodong mereka, telah menggeletak tewas dan di dalam kamar itu tidak lagi nampak bayangan Cui Lan dan Hok-taijin. Kian Lee lalu berlari ke sana-sini mencari-cari, akan tetapi dia tidak dapat menemukan jejak dua orang itu.
Ketika dia melihat orang-orang Huang-ho Kui-liong-pang meninggalkan Gunung Cemara sambil bersorak-sorak seperti barisan tentara menang perang, Kian Lee diam-diam membayangi mereka. Akan tetapi, gerombolan orang-orang dari lembah itu menggunakan perahu-perahu melanjukan perjalanan mereka dan terpaksa Kian Lee lalu membayangi terus di sepanjang pantai sungai.
Sampai pagi hari, perahu-perahu itu terus meluncur dan Kian Lee juga terus membayanginya. Tibalah mereka di sebuah dusun di pinggir sungai dan perahu-perahu itu berhenti mendarat. Akan tetapi tidak semua anggauta Kui-liong-pang mendarat sehingga Kian Lee tidak tahu di mana adanya Cui Lan dan Gubernur Hok, di perahu yang mana. Selagi dia ragu-ragu dan menduga-duga, siap untuk menyerbu dan menolong Cui Lan dan Gubernur Hok, tiba-tiba dia dikejutkan oleh teriakan orang di belakangnya.
"Eh, inilah dia pemuda itu!"
Kian Lee cepat menengok dan dia melihat Honan Cui-lo-mo Wan Lok It, tokoh jagoan dari Gubernur Ho-nan itu, yang gendut dan rambutnya merah, tak pernah melepaskan sebuah guci arak! Bersama kakek ini, ada pula belasan orang anak buahnya dan agaknya mereka tiba di dusun ini dalam usaha mereka mencari-cari Gubernur Hok dan juga dia sendiri. Kian Lee terkejut dan diam-diam dia mengharapkan agar Gubernur Hok dan Cui Lan jangan keluar dari tempat mereka, karena kalau sampai ketahuan, tentu akan ditangkap dan sukar baginya untuk melindungi mereka.
Ciu-lo-mo sudah menerjang dengan guci araknya sebagai senjata, dibantu belasan orang itu yang sudah mengurung Kian Lee. Pemuda ini menganggap bahwa andaikata Cui Lan dan Gubernur Hok ditawan orang-orang lembah, keadaan mereka lebih aman daripada kalau ditawan oleh orang-orang ini, karena orang-orang lembah itu belum tahu siapa adanya Hok-taijin, sedangkan orang-orang ini adalah kaki tangan Gubernur Ho-nan. Maka dia lalu melompat merobohkan dua orang anak buah Si Setan Arak Tua dari Ho-nan itu dan melarikan diri, untuk memancing mereka menjauhi perahu-perahu itu yang diduganya menawan Cui Lan dan Hok-taijin. Benar saja, Cui-lomo dan anak buahnya cepat melakukan pengejaran. Setelah jauh, barulah Kian Lee membalik dan menghadapi mereka dengan tenang, menanti kedatangan mereka dan mengambil putusan untuk memberi hajaran kepada mereka.
Akan tetapi, begitu orang-orang itu tiba di depannya dan sebelum mereka menyerangnya terdengar bentakan halus, "Omitohud....! Tahan senjata.... pinni hendak bicara....!"
Semua orang menengok ke arah datangnya suara itu dan munculiah seorang nikouw (pendeta wanita) tua yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, tubuhnya kecil dan mukanya pucat, akan tetapi matanya mengeluarkan sinar yang membuat Kian Lee mengenal bahwa nikouw itu bukan sembarang orang. Nikouw itu memegang sebatang tongkat panjang dan dengan pandang mata menyelidik, dia bertanya kepada Ho-nan Ciu-lo-mo dengan suara nyaring, "Apakah kalian orang-orang Kui-liong-pang"
Ciu-lo-mo Wan Lok It memandang marah, akan tetapi karena dia berhadapan dengan seorang nikouw, dia menahan kemarahannya dan berkata, "Harap Losuthai jangan menduga sembarangan dan mengira kami adalah orang-orang dari perkumpulan kotor itu. Kami adalah pasukan dan utusan dari Kui-taijin, Gubernur Ho-nan!" Ciu-lo-mo mengangkat dada untuk membanggakan kedudukannya sebagai utusan gubernur.
Akan tetapi sungguh celaka, ketika nikouw itu mendengar bahwa dia adalah utusan Gubernur Ho-nan, wajah nikouw itu menjadi merah dan sinar matanya menunjukkan kemarahan. "Bagus! Sungguh kebetulan sekali. Justeru kalian inilah orang-orang yang harus pinni cari. Hayo lekas katakan, di mana adanya Phang Cui Lan" Apa yang terjadi dengan dia"
Ho-nan Cui-lo-mo Wan Lok It adalah seorang jagoan Ho-nan yang sama sekali tidak mengenal nikouw ini. Maka tentu saja dia tidak menjadi takut, bahkan dia menghadapi kemarahan nenek ini dengan muka tidak senang. Apalagi sekarang nenek itu menyebut nama Phang Cui Lan, gadis pelayan istana gubernur yang telah berkhianat dan membantu larinya Gubernur Ho-pei, musuh dari Gubernur Ho-nan.
"Hemmm.... nikouw tua...." katanya, kini kurang nada hormatnya. "Apa maksudmu menanyakan gadis pelayan yang berkhianat itu"
Nikouw itu makin marah. "Kau ini siapa" Dan apa kedudukanmu di gubernuran"
Ditanya demikian, Wan Lok It menepuk dadanya. "Belum mengenal aku" Inilah Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It dan aku adalah pengawal pribadi Gubernur Ho-nan! Gadis bernama Phang Cui Lan itu adalah seorang pengkhianat, apa maksudmu menanyakan gadis itu"
"Omitohud! Sungguh kebetulan sekali. Tentu orang-orang macam engkau inilah yang membujuk gubernur untuk mencelakai gadis itu. Pinni mendengar bahwa gadis itu dikejar-kejar oleh orang-orangnya gubernur, bahkan hendak membunuh. Benarkah begitu"
"Benar sekali! Dan apakah engkau tahu di mana dia bersembunyi" Kalau kau berani melindunginya, engkau akan celaka!"
"Omitohud, sungguh berani mati! Eh, Setan Arak, Nona Phang, itu adalah seorang sahabat pendekar Siluman Kecil yang dititipkan Gubernur Ho-nan, dan sekarang berani kalian hendak membunuh dia! Bukankah dengan demikian gubernur tidak menghargai beliau" Awas, kalau sampai terjadi sesuatu dengan nona itu, gubernur dan semua kaki tangannya tentu tidak akan bebas dari hukuman!"
Kian Lee merasa kagum dan heran mendengar ucapan nikouw itu. Kiranya nikouw tua yang lihai dan berwibawa ini juga merupakan seorang pembantu dari pendekar yang terkenal dengan sebutan Siluman Kecil! Dia kagum karena selain pendekar itu mempunyai banyak pembantu dan namanya amat dikenal dan disegani semua orang, juga ternyata bahwa pendekar itu mempunyai rasa setia kawan yang besar, dan juga semua kawan-kawannya demikian tunduk dan setia kepadanya. Betapa banyaknya orang yang setia kepada pendekar itu dari seorang gadis cantik jelita dan halus budi seperti Cui Lan, sampai kepada orang-orang kasar seperti para pemburu yang menolongnya keluar dari terowongan saluran air itu dan nikouw tua yang menimbulkan rasa hormat ini.
Akan tetapi orang yang sudah biasa mengandalkan kepandaiannya sendiri, kedudukannya dan banyak kawan seperti Cui-lo-mo tidak merasa takut menghadapi nikouw itu, bahkan dia menjadi marah sekali. Tentu saja dia sudah mendengar akan nama Siluman Kecil yang kabarnya muncul seperti siluman, membasmi orang-orang jahat akan tetapi tidak pernah dapat dilihat dengan nyata orangnya itu, yang pernah pula membasmi penjahat yang mengganggu Propinsi Ho-nan dan juga dihormati oleh gubernur sendiri. Akan tetapi, dia sendiri belum pernah melihat sendiri kelihaiannya, maka tentu saja dia tidak mau tunduk begitu mudah, apalagi yang muncul hanya seorang nikouw tua sepertl itu, yang berani mengeluarkan kata-kata keras bernada mengancam terhadap gubernur dan kaki tangannya!
"Eh, nikouw tua! Hati-hati engkau bicara, atau kau kutangkap sebagai seorang kaki tangan pengkhianat!"
"Hemmm, Setan Arak. Kalau kau berani, boleh coba kautangkap pinni!" jawab nikouw itu.
"Bagus! Engkau yang menantang, jangan nanti persalahkan aku dan mengatakan aku tidak menghormat seorang pendeta wanita tua!" Ho-nan Cui-lo-mo lalu menerjang maju dengan gucinya, menyerang nikouw itu.
"Trang-trang-tringgggg....!" Tongkat nikouw itu menangkis guci dan ketika ada arak muncrat dari guci itu ke arah mukanya, nikouw itu hanya meniup dan arak itu pecah dan buyar. Kemudian tongkatnya membalas dan ternyata serangan balasan nikouw itu pun kuat sekali sehingga mengejutkan Ho-nan Ciu-lo-mo. Maklum bahwa nenek itu ternyata merupakan lawan yang cukup tangguh, dia lalu meneriaki anak buahnya untuk maju mengeroyok.
"Sungguh tak tahu malu!" Kian Lee membentak dan pemuda ini melompat maju, mengamuk dan dalam beberapa gebrakan saja para anak buah dari gubernuran itu cerai-berai dan kacau-balau, bahkan Si Setan Arak sendiri terdorong mundur oleh hawa pukulan yang keluar dari tangan Kian Lee.
Wan Lok It bukan orang bodoh. Dia memang sudah tahu bahwa pemuda itu lihai, akan tetapi dengan mengandalkan belasan orang anak buahnya yang merupakan pengawal-pengawal pilihan dari gubernuran hatinya menjadi besar dan dia tadi hendak menangkap pemuda itu. Namun siapa tahu, di situ muncul nikouw yang juga lihai dan dengan majunya nikouw itu bersama si pemuda lihai, tentu saja dia dan kawan-kawannya merasa kewalahan dan akhirnya larilah mereka sambil menyeret teman-teman yang terluka.
Nikouw itu memandang kepada Kian Lee dengan kagum lalu berkata memuji, "Omitohud! Pinni sungguh keliru dan tidak melihat Gunung Thai-san menjulang tinggi di depan mata. Kongcu memiliki kepandaian yang amat tinggi dan tadi pinni mengkhawatirkan ke$elamatan Kongcu. Sungguh menggelikan!"
Kian Lee menjura kepada nikouw tua itu dan berkata, "Suthai membela Nona Phang, hal itu saja sudah menunjukkan bahwa Suthai adalah seorang sahabat. Saya pun sedang mencari dia dan hendak menolongnya dari cengkeraman orang-orang jahat."
"Ohhhhh.... begitukah" Di mana dia dan bagaimana Kongcu bertemu dengan dia"
"Mari kita mengejar perahu-perahu yang tadi berlabuh di dusun sana, Suthai. Kalau tidak salah, Nona Phang dan seorang.... paman dibawa di dalam sebuah diantara perahu-perahu itu. Mari kita mengejar dan nanti saya ceritakan kepada Suthai tentang pertemuan antara kami."
Kian Lee dan nikouw tua itu mengejar dan ternyata bahwa perahu-perahu itu telah lama pergi. Kiranya begitu melihat keributan di darat, perahu-perahu itu tidak jadi singgah dan melanjutkan perjalanan cepat-cepat sehingga tidak nampak lagi. Kian Lee lalu mengajak nikouw itu mengejar dengan cepat di sepanjang pinggir sungai. Dalam perjalanan ini dia menceritakan bagaimana dia bertemu dengan Phang Cui Lan dan dengan singkat dia bercerita bahwa Cui Lan bersama dengan seorang kakek melarikan diri dari gubernuran Ho-nan, dikejar-kejar dan dia sendiri terjerumus ke dalam terowongan saluran air. Diceritakannya betapa dia telah ditolong oleh Cui Lan yang mengerahkan teman-temannya para pemburu sehingga dia selamat.
"Ah,.... kiranya Kongcu yang ditolong itu" Pinni mendengar dari para pemburu tentang itu, dan dari mereka itulah pinni tahu bahwa nona Phang dikejar-kejar dan hendak dibunuh, maka pinni mewakili beliau untuk menegur gubernur Ho-nan dan untuk menyelamatkan Nona Phang.
"Maksud Suthai beliau Si Siluman Kecil" Kian Lee bertanya.
"Siapa lagi" Nenek itu mengangguk. "Lalu bagaimana, harap Kongcu lanjutkan."
"Saya mengantar Nona Phang untuk mengungsi ke Ho-pei, akan tetapi di tengah jalan kami ditangkap oleh gerombolan Hek-eng-pang. Karena mereka itu mengancam hendak membunuh Nona Phang, terpaksa saya menyerah. Dan malam tadi, Hek-eng-pang diserang oleh gerombolan lain yang menjadi musuh mereka. Saya dapat terbebas, akan tetapi ketika saya mencari Nona Phang, dia telah lenyap. Mungkin sekali ditawan oleh gerombolan yang melarikan diri dengan perahu-perahu itu. Sayang sebelum saya berhasil mendapatkan apakah Nona Phang berada di perahu itu, muncul si Setan Arak yang mengenal saya ketika terjadi keributan di gubernuran Ho-nan dan dia menyerang saya sehingga perahu-perahu itu sempat pergi."
Nikouw itu mendengarkan dengan penuh perhatian. "Ah, kalau begitu Kongcu telah banyak membela dan melindungi Nona Phang dan dengan demikian maka boleh dibilang Kongcu adalah seorang sahabat juga dari beliau."
Mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat namun belum juga dapat menyusul perahu-perahu itu. Hati Kian Lee makin tertarik kepada tokoh yang berjuluk atau dijuluki Siluman Kecil itu.
"Suthai, siapakah sebenarnya Siluman Kecil itu" Siapa namanya dan dia datang dari mana"
Tiba-tiba nikouw tua itu berhenti dan memandang kepada Kian Lee dengan sinar mata penuh selidik dan kecurigaan. Akan tetapi melihat sikap Kian Lee tenang-tenang dan biasa saja, dia menjawab, "Pinni juga tidak tahu banyak. Yang pinni ketahui hanyalah bahwa beliau sering kali datang ke kuil kami dan bercakap-cakap dengan Subo. Beberapa hari yang lalu beliau datang dan setelah bercakap-cakap dengan Subo, pinni dipanggil dan diserahi tugas untuk menyelidiki keadaan Nona Phang." Nikouw itu menghentikan ceritanya dan jelas bahwa dia enggan untuk banyak bicara tentang tokoh itu. Tentu saja sikap ini bahkan makin menarik hati Kian Lee.
"Telah lama saya mendengar nama besar Siluman Kecil. Ingin sekali saya bertemu dengan orangnya dan berkenalan," katanya.
"Hemmm, tidak mudah!" Nikouw itu menggeleng kepala dan mereka melanjutkan perjalanan. "Sungguh sangat sukar bertemu dan berkenalan dengan beliau, sama sukarnya dengan mendaki puncak Thai-san! Beliau tidak suka bertemu orang, bahkan dengan sahabat-sahabat yang amat dipercayanya pun jarang bertemu."
Setelah itu, nikouw tua yang mengaku berjuluk Liang Wi Nikouw itu tidak mau lagi bicara tentang Siluman Kecil. Mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat, namun anehnya, mereka tidak juga dapat menyusul rombongan perahu itu. Namun mereka terus mengejar dengan cepat sekali.
Hari telah sore. Matahari telah condong ke barat dan sinarnya kehilangan teriknya yang hebat. Kian Lee dan Liang Wi Nikouw tiba di daerah yang berbatu-batu, batu karang yang tajam meruncing dan sukar dilewati. Namun berkat ginkang mereka, keduanya masih dapat melanjutkan perjalanan, sungguh pun dengan hati-hati dan meloncat dari batu ke batu.
Terdengar suara air bergemuruh. Kiranya dibagian yang berbatu-batu itu merupakan tebing yang curam sekali dan air sungai itu kini menjadi air terjun yang amat terjal. Keduanya mendekati dan menjenguk ke bawah. Tinggi sekali tempat itu dan air sungai itu terjun ke tempat yang dalamnya sampai ratusan meter! Air yang menghantam batu-batu di bawah berubah menjadi uap dan dari atas kelihatan gelap seolah-olah mereka berdiri di atas awan.
Jauh sekali di bawah, di sekitar air terjun yang tertutup awan air itu, nampak dikelilingi tebing yang amat curam dan agaknya tidak mungkin di datangi manusia. Dan di antara tebing-tebing itu, seolah-olah dikelilingi tebing yang curam, terdapat tanah datar yang luas dan nampaklah beberapa petak rumah yang dlingkari tembok seperti benteng berdiri di tanah datar itu.
"Ah, ada perkampungan di sana!" Nikouw itu berkata.
"Dan agaknya perahu-perahu yang lenyap itu telah disembunyikan dan sangat boleh jadi bahwa perkampungan di bawah itulah perkampungan orang-orang yang menyerang Gunung Cemara, yang disebut orang-orang lembah atau Perkumpulan Huang-ho Kui-liong-pang."
"Akan tetapi, sungai ini bukan Sungai Huang-hoi" nikouw itu berkata heran.
"Memang bukan, akan tetapi saya rasa merupakan cabang Sungai Huang-ho dan mereka itu adalah bajak-bajak Sungai Huang-ho maka memakai nama demikian. Kalau saya tidak salah menduga, Suthai, di sanalah adanya Nona Phang danPaman Hok."
"Siapa Paman Hok itu"
Kian Lee tidak mau sembrono membuka rahasia Gubernur Ho-pei, maka dia menjawab, "Seorang pekerja di Gubernuran Ho-nan yang membantu Nona Phang melarikan diri."
"Kita harus dapat turun ke sana untuk menyelidiki," kata Liang Wi Nikouw.
"Memang benar, akan tetapi bagaimana kita dapat turun ke sana"
Mereka lalu mencari-cari jalan turun, akan tetapi tidak ada jalan turun yang merupakan jalan manusia, juga mereka tidak berhasil menemukan jalan rahasia. Jalan turun satu-satunya menuju ke perkampungan di bawah sana itu hanya menuruni tebing curam itu!
"Nona Phang harus ditolong!" kata si nikouw tua. "Kalau terpaksa, kita harus mendaki tebing dan turun ke sana."
Kian Lee mengangguk. "Tebing ini biarpun curam, namun terdiri dari batu karang yang runcing dan kuat. Kita dapat merayap turun. Akan tetapi kalau dilakukan di waktu cuaca masih terang, amat berbahaya, Suthai. Kalau kita sedang merayap lalu diserang dari bawah atau dari atas, bagaimana kita dapat menyelamatkan diri" Lebih baik menanti sampai cuaca mulai gelap. Nah, baru kita merayap turun."
Nikouw itu mengangguk-angguk. "Kongcu benar dan cerdik, biarlah kita menanti sampai gelap."
Mereka lalu mencari tempat duduk untuk menanti datangnya gelap dan mereka mencari batu yang agak datar di antara batu-batu karang yang kasar dan runcing itu. Dengan duduk bersila di atas batu yang datar, mereka mengaso, melepaskan lelah dan menanti sampai matahari tenggelam di barat. Liang Wi Nikouw sudah duduk bersila dan tenggelam dalam samadhi.
Tiba-tiba batu itu bergerak. Bahkan bergeser! Cepat Kian Lee menyambar lengan niitouw itu, dibawanya meloncat turun dan mereka lalu bersembunyi di balik batu karang yang besar, dan mengintai dengan mata terbelalak heran dan kaget. Batu yang tadi mereka duduki itu terus bergeser, terdengar suara berderit dan ternyata di bawah batu itu terdapat sebuah lubang yang besar. Sebuah mulut terowongan! Kiranya batu yang mereka jadikan tempat mengaso itu merupakan sebuah pintu rahasia!
Terdengar suara orang dan munculiah belasan orang dari dalam lubang, dikepalai oleh seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih yang bertubuh kecil dan pendek. Orang ini sikapnya tenang dan angkuh, tanda bahwa dia adalah seorang yang memiliki kekuasaan di antara teman-temannya itu. Dan kenyataannya memang demikianlah. Dua orang anak buahnya cepat-cepat membersihkan permukaan batu yang menjadi pintu itu dengan sapu tangan, mengebut bersih debu yang menempel di atas batu itu dan mempersilakan kakek bertubuh kecil pendek itu untuk duduk di situ. Sedangkan dua belas orang anak buah itu hanya duduk sembarangan saja di sekitar tempat itu.
"Ji-pangcu (Ketua ke Dua), apakah para tamu sudah akan datang" seorang yang duduk paling dekat bertanya.
Kakek kecil itu mengangguk. Dengan mata disipitkan dia memandang ke depan, merenung jauh. "Tadi sudah ada tanda rahasia bahwa mereka akan datang, maka kita harus berslap-siap menyambutnya di sini.
Kian Lee dan Liang Wi Nikouw masih bersembunyi di balik batu karang besar, mendekam, mengintai dan mendengarkan dengan perasaan tegang. Mereka sudah bersepakat untuk tidak sembarangan turun tangan sebelum dapat menyelamatkan Nona Phang dan "paman" Hok, karena kalau mereka itu belum diselamatkan lebih dulu, tentu sukar bagi mereka untuk turun tangan.
Tak lama kemudian, dari jauh terdengar suara suitan nyaring sekali. Orang yang disebut Ji-pangcu itu bangkit berdiri, lalu dia pun mengeluarkan suara melengking nyaring sebagai sambutan. Diam-diam Kian Lee menilai bahwa orang tua pendek kecil ini memiliki khikang yang cukup tangguh, maka dia makin berhati-hati.
Terdengar kini suara kaki kuda berderap dan tak lama kemudian, munculiah seorang kakek yang diiringkan oleh dua puluh orang yang berpakaian seperti jago-jago silat. Kakek itu bersikap gagah dan segera disambut oleh Ji-pangcu. Setelah saling menjura, kakek pemimpin rombongan ini mengeluarkan sehelai kartu yang cepat diterima oleh Ji-pangcu. Setelah membaca tulisan di atas kartu itu, Ji-pangcu segera menjura lagi dan berkata hormat, "Kiranya Boan-wangwe (Hartawan Boan) yang datang! Selamat datang di Lembah Kui-liong-pang!"
Kakek yang disebut Hartawan Boan ini memandang si kakek kecil pendek penuh perhatian, kemudian tertawa, "Haha-ha, biarpun baru sekarang saling berjumpa, namun kami telah mendengar nama besar dari Khiu-pangcu (Ketua Khiu). Benarkah dugaan kami"
Kakek pendek kecil itu pun tertawa. "Tepat sekali dugaan Boan-wangwe. Silakan masuk!" Ji-pangcu atau juga disebut Khiu-pangcu itu mempersilakan dengan tangan kanannya dan masuklah Hartawan Boan bersama anak buahnya melalui pintu terowongan itu, diantar oleh seorang di antara dua belas anak buah yang berjaga di luar pintu terowongan itu.
Boan-wangwe itu sebenarnya adalah seorang bekas kepala bajak yang amat terkenal, lihai dan juga berpengaruh. Akan tetapi kini dia tidak pernah menjadi pembajak lagi karena dia sudah menjadi seorang pedagang besar, dagangannya adalah.... ikan yang dihasilkan oleh sungai cabang Huang-ho itu. Akan tetapi dia sendiri bukanlah nelayan dan semua nelayan dari belasan desa di sepanjang sungai itu harus menjual ikan hasil tangkapan mereka kepada Boan-wangwe! Tentu saja dengan harga rendah! Dan tidak ada seorang pun berani menentangnya karena Boan-wangwe selain terkenal mempunyai banyak tukang pukul jagoan, juga terkenal murah hati dalam halmemberi pinjaman dengan bunga-bunga yang mencekik leher. Dan hampir semua nelayan sudah mempunyai hutang padanya. Dia bersedia memberi hutang berupa jala, perahu dan lain-lain keperluan dengan janji bahwa semua hasil tangkapan nelayan itu harus disetorkan kepadanya dengan pengganti sedikit uang lelah! Pendeknya, hartawan she Boan bekas kepala bajak ini merupakan seorang pemeras hebat di sepanjang sungai itu dan kekuasaannya seperti raja saja di kalangan para nelayan.
Kian Lee dan nikouw tua itu mengintai terus dan tak lama kemudlan, kembali terdengar suitan nyaring dan seperti juga tadi, Ji-pangcu menjawab dengan suara melengking. Kiranya suitan nyaring itu adalah tanda rahasia dari penjaga di sebelah depan untuk memberi tahu akan datangnya tamu. Munculiah rombongan ke dua dan rombongan ini terdiri dari sepuluh orang yang mengawal dua orang yang memikul sebuah tandu. Cara mereka datang juga amat aneh dan mengagumkan karena dua orang pemikul tandu itu memikul sambil berloncatan dengan tubuh ringan dan gesit bukan main, demikian pula sepuluh orang pengikut atau pengiring itu semua menggunakan ginkang yang mengagumkan berloncatan dengan ringan sekali seolah-olah yang datang ini adalah sekumpulan burung yang aneh atau sekumpulan kucing yang berloncatan dari batu ke batu dengar gerakan yang cepat sekali!
Setelah tiba di depan Ji-pangcu, tandu atau joli diturunkan dan keluarlah seorang gadis yang cantik sekali, berpakaian serba merah muda yang merah tereng dan di punggungnya terdapat sebatang pedang yang gagang dan sarungnya terukir indah, dihias dengan ronce-ronce merah tua.
Melihat gadis cantlk ini, Ji-pangcu segera menyambut sambil tertawa. "Selamat datang, Ang-siocia! Kiranya Siocia yang datang mewakili Hek-sin Touw-ong (Raja Maling Sakti Hitam)"
Nona itu tersenyum manis dan menjura. "Benar, Khiu-pangcu. Suhu sedang banyak urusan maka mengutus aku untuk mewakilinya." Dia mengeluarkan sebuah kartu nama seperti tadi dan segera diperkenankan masuk dengan penuh keramahan dan diantar pula oleh seorang anak buah Kui-liong-pang.
Senja mulai mendatang dan cuaca makin gelap. Akan tetapi, setelah malam tiba, bulan muncul sore-sore dan menjadi pengganti langsung dari matahari sehingga biarpun cuaca tidak seterang siang hari, namun cukup terang karena langit bersih dari awan mendung. Kian Lee dan Liang Wi Nikouw masih bersembunyi karena maklum bahwa tentu masih ada tamu-tamu lain, buktinya Ji-pangcu masih menanti di situ bersama anak buahnya. Mereka diam-diam merasa heran sekali karena tidak mengerti apa yang terjadi di lembah bawah sana sehingga orang-orang aneh berdatangan mengunjunginya.
Tak lama kemudian, munculiah seorang laki-laki tinggi besar, tanpa pengawal. Juga kedatangannya didahului oleh suitan tanda rahasia. Ji-pangcu cepat menyambutnya dan ternyata pendatang baru ini adalah kenalan lama karena mereka berjabat tangan dan bersendau-gurau. Oleh Ji-pangcu, orang itu disebut Toat-beng Sin-to Can Kok Ma (Golok Sakti Pencabut Nyawa), seorang perampok tunggal yang terkenal. Seperti yang lain-lain, perampok tunggal tinggi besar ini diperkenankan masuk setelah menyerahkan surat pengenal atau surat berupa kartu rahasia. Kemudian banyak lagi orang-orang aneh berdatangan dan mereka semua itu agaknya merupakan orang-orang golongan hitam atau kaum sesat yang rata-rata memiliki sikap aneh dan kepandaian tinggi. Ada pula serombongan yang datang dengan perahu-perahu mereka.
Kemudian, sampai lama tidak ada tamu datang dan Kian Lee diam-diam menduga bahwa agaknya. kini semua tamu sudah datang. Demikian pula dengan Ji-pangcu dan anak buahnya, mereka mulai tidak sabar dan kelihatan ingin segera masuk ke dalam terowongan itu karena menanti di situ berarti dikeroyok nyamuk yang bukan main banyaknya.
Tiba-tiba terdengar suara riak air dan munculiah beberapa buah perahu dari dalam air! Dan belasan orang berlompatan dari permukaan air sambil menyeret perahu mereka. Hebatnya, pemimpin mereka, seorang kakek yang rambutnya awut-awutan dan berwarna dua, meloncat sambil mengempit perahunya dengan kedua kaki, seperti orang menunggang kuda dan kini perahu itu mendarat dengan empuknya di atas batu karang, seolah-olah batu karang itu hanya kasur saja!
Kian Lee terkejut sekali. Orang ini pun kepandaiannya hebat, pikirnya. Akan tetapi, sebelum hilang kagetnya, dia melihat bayangan hitam meluncur turun di atas dan hampir saja pemuda ini berseru saking herannya. Dia mengenal benda itu, yang sama dengan burung Rajawali Pulau Es. Benda yang meluncur itu, yang orang lain hanya kelihatan sebagai tanda hitam yang meluncur turun, dikenal oleh Kian Lee sebagai seekor burung juga, burung yang besar sekali, akan tetapi bukan rajawali, melainkan garuda yang agak berbeda dengan Rajawali Pulau Es, akan tetapi sama besarnya! Dan ketika burung itu melayang setinggi pohon, tiba-tiba dari atas punggung burung itu melayang turun sesosok bayangan manusia dan dengan enaknya orang ini hinggap di atas batu karang di depan Khiu pangcu.
"Kau boleh pergi!" Suara itu merdu sekali, ditujukan kepada burung yang masih melayang-layang dan burung itu memekik kegirangan lalu terbang pergi. Ternyata dia adalah seorang gadis yang berpakaian serba hitam yang luar biasa cantiknya, demikian cantiknya sampai Khiu-pangcu dan anak buahnya menjadi bengong!
Dengan gerakan sembarangan gadis itu terbang pergi. Tampak sebuah tali yang panjang berwarna hitam meluncur turun dari burung itu dan kini tali itu tepat mengenai tangan si gadis dan melingkar-lingkar. Khiu-pangcu dan anak buahnya makin terkejut. Ternyata benda itu bukan tali melainkan dua ekor ular hitam! Akan tetapi dua ekor ular yang panjang bukan main, sungguhpun besarnya hanya sebesar ibu jari kaki.
Gadis itu menengok ke kanan kiri dan ketika sinar bulan menimpa wajahnya yang benar-benar luar biasa cantiknya itu, Suma Kian Lee terkejut dan berbisik, "Ahhh.... dia...."
Liang Wi Nikauw berbisik, "Engkau kenal padanya, Kongcu"
"Tidak.... eh, rasanya sudah pernah melihatnya...."
"Pinni pun belum pernah jumpa, akan tetapi melihat burung itu, dan ular-ular itu, pinni pernah mendengar Subo bercerita tentang ketua Pulau Neraka dan puterinya. Agaknya dialah puteri dari Pulau Neraka yang tadinya pinni kira hanya dongeng belaka."
Makin yakin kini hati Kian Lee. Tidak salah lagi, gadis itu adalah Hwee Li! Puteri dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka. Ahhh, lima tahun tidak bertemu, kiranya Hwee Li telah menjadi seorang gadis yang luar biasa.... cantiknya dan juga lihainya. Namun cara gadis itu muncul, dan ular-ular itu membuat Kian Lee bergidik ngeri.
Kakek yang mengepalai rombongan perahu itu, setelah melompat turun dari atas batu karang dan meninggalkan perahunya di situ, cepat menghormat kepada Khiu-pangcu, agaknya tidak mempedulikan gadis yang baru turun dari burung garuda tadi, ia menyerahkan kartu undangan seperti yang lain-lain tadi. Akan tetapi pada saat yang hampir bersamaan, gadis itu pun sudah melemparkan kartu undangan itu ke arah Khiu pangcu. Kartu undangannya berputar seperti hidup dan menyambar turun ke arah tangan Khiu-pangcu yang sedang diulur untuk menerima kartu undangan yang diserahkan oleh kakek pemimpin rombongan perahu.
"Plakkk!Ahhhhh....!" Khiu-pangcu terkejut karena tiba-tiba saja ada kartu undangan menimpa tangannya yang diulur dan berbareng dia menerima pula kartu undangan yag diserahkan oleh kakek itu.
Kini kakek itu yang mengerutkan alisnya menyaksikan perbuatan nona itu, melangkah ke arah lubang terowongan, akan tetapi ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu nona cantik itu pun sudah mendahuluinya hendak memasuki lubang terowongan! Kiranya nona ini tidak mau didahului orang!
"Ah, aku yang datang lebih dulu!" Kakek itu menjadi penasaran dan kakinya menendang sebongkah batu besar yang berat sekali. Batu itu meluncur dan menghalang di depan si gadis cantik menutupi lubang.
"Brakkkkk!" Gadis itu menggerakkan tangan kirinya ke arah batu dan batu sebesar perut kerbau hamil itu pecah berantakan!
Dengan mata melotot, gadis itu pun menendang sebongkah batu besar yang menyambar ke arah kakek itu. Kakek itu mendengus, bukan menyambut dengan tangan. atau mengelak, melainkan menyambut dengan kepalanya!
"Dukkk!" Batu karang besar itu kena disundul kepalanya dan mencelat ke kiri, jauh sekali dan pecah berhamburan menimpa batu karang lain!
"Huh, hendak kulihat sampai di mana kerasnya kepalamu!" Gadis itu sudah melangkah maju dan kakek itu pun dengan marah sudah siap menandinginya.
"Bocah tak tahu aturan!" bentaknya.
Khiu-pangcu cepat melerai di antara mereka dan menjura. "Harap Ji-wi suka menghabiskan perkara kecil ini di antara orang-orang sendiri. Nona, sahabat ini adalah Tiat-thouw Sin-go (Buaya Sakti Berkepala Besi), dan bernama Thio Sui Lok, ketua Sin-go-pang (Perkumpulan Buaya Sakti). Dan Saudara Thio, Nona ini mewakili Locianpwe Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka. Oleh karena itu, harap saudara suka mengalah."
Biarpun hatinya masih penasaran, akan tetapi mendengar nama Hek-tiauw Lo-mo, terkejut juga hati si Kepala Besi itu dan dia diam saja, akan tetapi matanya masih bersinar marah. "Silakan, Nona," kata Khiu-pangcu dan sambil mendengus dan mengerling ke arah rombongan perahu itu, tak lupa tersenyum mengejek, nona cantik jelita itu lalu memasuki pintu terowongan dan menghilang.
"Sombong...., bocah sombong....!" Thio Siu Lok yang selamanya dihormat orang dan baru sekarang menerima perlakuan yang tidak menghormat, bersungut-sungut akan tetapi akhirnya dia masuk juga bersama anak buahnya.
Melihat sikap Hwee Li, Kian Lee menggeleng kepalanya dan menghela napas panjang. Masih teringat dia betapa dahulu, dia terluka oleh senjata rahasia peledak dari Siluman Kucing Mauw Slauw Mo-li yang menjadi bibi guru gadis itu sendiri, kemudian dia diselamatkan, disembunyikan dan diobati oleh seorang gadis cilik yang jenaka dan cerdik. Gadis cilik itu adalah Hwee Li yang sekarang telah menjadi seorang gadis dewasa, namun masih saja belum hilang sifatnya seperti kanak-kanak yang bengal dan suka menggoda orang. Namun harus dia akui bahwa gadis itu sekarang amat 1ihai. Pukulannya yang menghancurkan batu tadi benar-benar mengejutkan dan mengerikan.
Kini agaknya para tamu telah datang semua, atau demikian persangkaan Khiu-pangcu karena buktinya dia meninggalkan tempat itu dan masuk melalui terowongan sambil meninggalkan pesan kepada belasan orang anak buahnya agar suka berjaga di situ kalau-kalau masih ada tamu yang datang terlambat.
"Kalau kalian sudah mendengar tanda dari bawah, barulah kalian semua masuk dan tutup pintu terowongan," demikian pesan pangcu ke dua dari Huang-ho Kui-liong-pang itu kepada para anak buahnya yang berjumlah dua belas orang.
"Baik, jangan khawatir, Ji-pangcu!" jawab seorang di antara mereka yang kumisnya kecil panjang berjuntai ke bawah lucu sekali. Agaknya si kumis panjang ini adalah kepala regu penjaga itu.
Kian Lee melihat kesempatan baik ini lalu berbisik kepada Liang Wi Nikouw itu. mengangguk-angguk. Kian Lee lalu mengambil beberapa butir batu kerikil kecil dan menggunakan jari tangannya menyentil sebutir batu kerikil ke arah siku seorang penjaga yang berdiri dekat kepala regu kumis panjang itu pada saat si kumis panjang sedang membetulkan sepatunya. Batu kerikil itu tepat menotok siku si penjaga dan otomatis lengannya bergerak ke depan.
"Plakkk!" Tanpa dapat dicegah lagi tangannya memukul ke depan dan mengenai kepala si kumis panjang.
"Eh, setan! Kau berani menempiling kepalaku, heh" Si penjaga tak dapat menjawab karena dia sendiri tidak mengerti mengapa tangannya secara tiba-tiba tanpa dapat dikendalikannya lagi tadi bergerak menampar kepala si kumis di depannya itu. Si kumis panjang marah dan mengayun tangannya menampar pipi bawahannya.
"Plokkkkk!" Pipi yang digablok itu menjadi merah, akan tetapi anehnya, pada saat pipinya digablok, penjaga itu mengerahkan kaki kanannya ke depan, padahal bukan niatnya demikian. Ternyata Kian Lee telah menyentil sebutir kerikil yang mengenai sambungan lutut penjaga itu sehingga secara otomatis kakinya menendang ke depan.
"Ngekkk....!" Kebetulan sekali gerakan kaki itu membuat lutut si penjaga menghantam selangkangan si kepala penjaga berkumis panjang.
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aduhhhhh....!" Si kumis panjang menggunakan tangan kiri mendekap selangkangannya dan meringis kesakitan, marahnya bukan kepalang dan dengan tangan kiri mendekap selangkangan sambil terpincang-pincang, dia menggunakan tangan kanannya memukuli penjaga itu.
Seorang penjaga lain yang menyaksikan perkelahian ini, cepat meloncat untuk melerai. Akan tetapi selagi dia meloncat, sebutir kerikil menyambar dan mengenai punggungnya. Seketika tubuhnya menjadi lemas, dia kehilangan tenaganya dan tanpa dapat dicegah lagi dia menubruk si kepala penjaga yang sedang marah.
"Bresssss....!"
"Eh, keparat....! Kalian mengeroyok! Pemberontakan!" Kepala penjaga itu kini menjadi marah sekali dan dia mengamuk, setiap ada anak buahnya mendekat tentu dipukulnya karena dia menyangka bahwa mereka itu hendak mengeroyoknya. Kacau-balau di depan pintu terowongan itu dan semua penjaga berusaha untuk menenangkan si kepala penjaga yang mereka sangka kemasukan roh jahat! Karena keributan ini, mereka sama sekali tidak melihat betapa ada dua sosok bayangan yang amat cepat gerakannya telah menyelinap masuk ke dalam lubang terowongan itu tanpa memperlihatkan kartu undangan!
Kian Lee dan Liang Wi Nikouw berjalan memasuki terowongan dengan cepat namun dengan hati-hati sekali. Lorong terowongan itu menurun dan agak gelap karena hanya diterangi oleh lampu-lampu minyak yang dipasang di sepanjang dinding terowongan. Setiap sepuluh meter terdapat seorang penjaga yang berdiri dengan tombak di tangan. Penjaga pertama yang mendengar ada ribut-ribut di luar, lupa akan tugasnya memeriksa kartu undangan.
"Apakah yang terjadi di luar" tanyanya.
"Di luar ada pemberontakan. Cepat saudara ke luar!" kata Kian Lee. Penjaga itu terkejut dan cepat berlari ke luar. Kian Lee dan Liang Wi Nikouw terus berjalan masuk dan kepada penjaga ke dua dan ke tiga, Kian Lee berhasil menarik perhatian mereka dengan berita pemberontakan itu sehingga mereka pun bergegas lari keluar menyeret tombak mereka.
Akan tetapi penjaga ke empat yang berada di sebuah tikungan, menghardik, "Harap Ji-wi perlihatkan kartu undangan Ji-wi!" Penjaga ini agaknya sudah merasa kesal berjaga terus di situ maka biarpun sikapnya masih menghormat, namun suaranya sudah tidak ramah lagi terhadap para tamu.
Kian Lee pura Bukit Pemakan Manusia 6 Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Golok Yanci Pedang Pelangi 4