Kisah Si Bangau Merah 10
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 10
karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
270 selalu mengenakan pa-kaian putih, dara ini selalu mengenakan pakaian berwarna merah.
Namanya Tan Sian Li dan seperti telah kita ketahui Sian Li diminta oleh paman kakeknya,
yaitu pendekar sakti Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng, untuk mewa-risi ilmu silat
mereka. Suma Ceng Liong adalah adik dari nenek Sian Li yang ber-nama Suma Hui, yaitu
nenek dari ibunya. Biarpun ayah Sian Li sendiri seorang pendekar yang memiliki ilmu
kepandaian hebat, bahkan tidak kalah dibandingkan ilmu kepandaian Suma Ceng Liong,
na-mun dia dan isterinya merasa tidak enak untuk menolak niat baik paman mereka itu.
Apalagi, Suma Ceng Liong merupa-kan keturunan dari keluarga Pendekar Pulau Es dan
memiliki ilmu kepandaian yang khas, sedangkan isterinya juga seorang pendekar wanita sakti,
puteri dari Pendekar Suling Emas Kam Hong.
Telah lima tahun Sian Li digembleng oleh suami isteri itu di dusun Hong-cun, luar kota Cin-
an di Propinsi Shantung.
Setiap tahun sekali, jatuh pada hari ta-hun baru, ayah ibunya, yaitu Tan Sin Hong dan Kao
Hong Li, selalu datang berkunjung. Melihat bakat yang baik dari Sian Li, apalagi karena dara
ini sejak kecil telah mendapat pendidikan dasar yang amat kuat dari ayah ibunya, maka suami
isteri itu mengajarkan ilmu-ilmu silat simpanan mereka kepada dara itu sehingga selama
belajar lima tahun lamanya, Sian Li telah menjadi seorang gadis yang amat lihai. Bahkan
kelihaiannya melampaui tingkat yang dimiliki suhengnya, yaitu Liem Sian Lun.
Pemuda berusia dua puluh tahun yang bersajak tadi adalah Liem Sian Lun, su-hengnya. Sian
Lun kini telah menjadi seorang pemuda dewasa yang bertubuh tinggi besar, gagah dan
tampan. Wajah-nya selalu cerah dan dia pun pendiam tidak banyak bicara, kecuali kalau
diajak bicara tentang sajak. Dia amat suka dan pandai membuat sajak. Suma Ceng Liong dan
isterinya, Kam Bi Eng, memang ti-dak mengabaikan pendidikan sastra ter-hadap Sian Lun
dan Sian Li. Mereka mengundang guru sastra yang pandai un-tuk mengajarkan ilmu sastra
yang lebih mendalam kepada dua orang murid itu.
Senja itu memang cerah dan indah. Sejak tadi sebelum Sian Li mancari, Sian Lun sudah
duduk termenung seorang diri di lereng bukit yang berada di luar dusun Hong-cun itu. Tempat
ini merupakan tempat kesayangannya, di mana dia dan sumoinya seringkali bermain-main
sejak Sian Li berusia dua belas tahun dan da-tang ke tempat itu. Bukit yeng tidak besar,
namun berada di lereng bukit itu, pemandangan alamnya amat indah. Mere-ka dapat melihat
dusun Hong-cun di kaki bukit dan mereka dapat menikmati kein-dahan senjakala di situ
karena lereng bukit itu berada di sebelah barat.
Ketika tadi melihat keindahan senja yang cerah, melihat burung-burung ba-ngau terbang
melayang di angkasa me-lintasi matahari senja, agaknya hendak pulang ke sarang, teringatlah
Sian Lun kepada sumoinya. Sumoinya itu diberi julukan Bangau Merah oleh suhu dan
su-bonya. Julukan yang tepat sekali karena sumoinya selalu berpakaian merah, sumoinya
puteri Pendekar Bangau Putih dan kalau sudah bersilat, gerakan sumoinya demikian indah,
seindah gerakan burung bangau yang sedang terbang. Ma-ka, keindahan dan lamunan
membuat dia bersajak tentang bangau merah dan tentang keinginan hatinya untuk menjadi
pelindung Sang Bangau Merah! Sajak ini merupakan cetusan hatinya karena diam-diam Liem
Sian Lun telah jatuh cinta setengah mati kepada sumoinya, Si Ba-ngau Merah!
Biarpun dia belum berani menyatakan isi hatinya secara berterang kepada Sian Li, namun dia
sudah yakin bahwa sumoi-nya tentu tidak akan menolak cintanya. Dia bahkan sudah yakin
bahwa kelak sumoinya pasti akan menjadi isterinya, dan diam-diam dia menganggap
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
271 sumoinya telah menjadi tunangannya! Keyakinan ini diperkuat ketika secara tidak sengaja dia
mendengar percakapan antara suhu dan subonya dari luar kamar mereka. Ketika itu, pada
malam hari, dia lewat di depan kamar mereka dan suara mere-ka menembus jendela kamar,
tertangkap oleh pendengarannya.
"Kebetulan nama mereka juga mirip. Sian Lun dan Sian Li! Akan tetapi bagai-mana kalau
orang tuanya tidak setuju?" terdengar suhunya berkata. Mendengar namanya disebut, Sian
Lun memperlam-bat langkahnya dan mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Aku percaya keponakanku tentu akan setuju. Apalagi kalau kita jamin bahwa Sian Lun
adalah seorang anak yang baik sekali. Kulihat mereka itu berjodoh."
"Aih, jodoh di tangan Tuhan. Jangan mendahului kehendak Tuhan," kata suhu-nya dan
mereka pun tidak bicara lagi. Sian Lun tidak berani berhenti, hanya memperlambat jalannya
sehingga andai-kata suhu dan subonya mendengar tang-kahnya, tentu tidak akan menduga
bahwa dia ikut mendengarkan percakapan mere-ka. Dan semenjak mendengar percakapan itu,
beberapa bulan yang lalu, dia merasa yakin bahwa Sian Li kelak pasti akan menjadi isterinya!
Akan tetapi, Sian Li amat manja dan lincah galak. Apalagi ia tahu betapa suhengnya amat
menyayangnya, juga ka-kek dan nenek yang menjadi gurunya. Terhadap Sian Li, Sian Lun
agak takut dan penurut, dan hal ini membuat Sian Li semakin manja. Sikap manja yang dalam
pandangan Sian Lun bahkan mem-buat dara itu menjadi semakin mengge-maskan dan
menarik hati. Cinta berahi kalau sudah mencengke-ram hati seseorang, membuat orang itu menjadi badut.
Ulah tingkah menjadi lucu dan tidak wajar lagi. Mulut cemberut seorang yang dicinta akan
nampak sema-kin manis, bahkan ada kelakar yang ka-sar mengatakan bahwa kentut seorang
kekasih berbau sedap! Sebaliknya, senyum ramah seorang yang dibenci akan nampak
mencemoohkan dan dianggap senyum itu mengejek dan mentertawainya sehingga
menimbulkan amarah!
Sian Lun terkejut ketika dia sedang melamun dan membaca sajak yang tim-bul di saat yang
romantis itu, dia dite-gur oleh Sian Li yang kemunculannya tidak diduga sebelumnya. Saking
kagetnya dia hanya menoleh dan memandang kearah dara itu yang nampak lebih cantik
daripada biasanya, segar habis mandi seperti setangkai bunga bermandikan embun. Melihat
pemuda itu tidak menjawab pertanyaannya dan hanya bengong memandangnya, Sian Li
cemberut. "Heii, Suheng, engkau ini kenapa sih" Tadi menyebut-nyebut Bangau Merah berulang kali,
sekarang engkau hanya be-ngong tanpa menjawab pertanyaanku!"
"Sumoi.... aih, engkau.... engkau demi-kian cantik.... indah sekali, ah, pantasnya engkau
seorang dewi kahyangan yang ba-ru turun melalui cahaya yang keemas-an...."
Kalau saja tidak timbul kebanggaan oleh pujian ini, tentu Sian Li sudah ter-tawa geli. "Ahhh,
yang benar, Suheng!" katanya memancing pujian lebih banyak.
Sian Lun benar terpesona dan mata-nya menatap tak pernah berkedip, seolah takut kalau
berkedip, keindahan di de-pannya itu akan lenyap. Dara itu berdiri menghadap matahari senja,
sepenuhnya diselimuti cahaya keemasan.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
272 "Sungguh, Sumoi.... rambutmu yang hitam itu kini dilingkari cahaya keku-ningan, wajahmu
mencorong oleh cahaya keemasan, engkau nampak begitu segar, begitu hidup, berkilauan,
matamu berca-haya, senyummu.... duhai, Sumoi, betapa cantik jelita engkau...." Sian Lun
tidak biasa merayu, akan tetapi sekali ini dia terpesona dan seperti dalam mimpi rasa-nya.
"Ah, masa....?" Sian Li berseru manja, haus pujian selanjutnya.
"Sumoi, engkau laksana dewi yang bermandikan cahaya keemasan, cantik jelita mempesona
dan...." "Aiih, sudah-sudah! Bisa terbang melayang ke angkasa aku oleh pujianmu. Mengapa sih tiba-
tiba engkau memuji-mujiku seperti ini" Engkau tadi bersajak tentang Burung Bangau Merah,
sekarang engkau merayuku setengah mati. Apa engkau mabok Suheng?"
Sian Lun menghel napas panjang. Sikap dan ucapan Sian Li membuyarkan suasana
romantisnya, menariknya dengan kasar kembali ke bumi yang keras. Dia menarik napas
panjang dan wajahnya berubah merah karena mengenangkan si-kap dan kata-katanya tadi
membuat dia merasa rikuh dan malu. Kalau dia masih terpesona seperti tadi, tentu akan
dija-wabnya bahwa dia memang mabok akan kecantikan sumoinya itu. Akan tetapi sekarang
dia sudah sadar dan dia takut kalau-kalau sumoinya menjadi marah.
"Aku tidak mabok, Sumoi. Semua itu kulakukan saking sayangnya aku kepada-mu."
Sian Li tersenyum. Gadis berusia tu-juh belas tahun yang sejak kecil digem-bleng ilmu silat
dan kurang pengalaman ini masih belum sadar dan belum me-ngerti akan cinta kasih antara
pria dan wanita. Yang dikenalnya hanya rasa sa-yang kepada orang-orang yang dekat dan
akrab dengannya.
"Tentu saja engkau sayang padaku, Suheng. Bukankah aku ini sumoimu" Ka-lau tidak
sayang, percuma engkau menja-di Suhengku." Jawaban ini demikian wajar dan Sian Lun
merasa betapa kece-wa hatinya. Gadis ini belum tahu! Belum tahu bahwa sayangnya bukan
seperti su-heng terhadap sumoi, bukan seperti ka-kak terhadap adik, melainkan sayang yang
disertai dendam rindu, disertai be-rahi seorang pria terhadap wanita!
"Aku sangat sayang padamu, Sumoi, entah apakah engkau pun sayang padamu."
"Tentu saja! Kenapa engkau masih bertanya lagi, Suheng" Kurasa engkau tidak begitu bodoh
untuk mengetahui hal itu. Sejak lima tahun yang lalu kita ber-sama-sama latihan silat di sini,
belajar sastra, dan bermain bersama-sama. Nah, sekarang kalau memang engkau sayang
kepadaku...."
"Apa yang harus kulakukan" Katakan-lah, Sumoi," kata Sian Lun dengan penuh gairah dan
harapan. Untuk menunjukkan rasa sayang, disuruh apa pun dia mau, apalagi kalau disuruh
memondong tubuh, biar sehari penuh pun dia bersedia.
"Aku haus dan ingin makan buah leci, Suheng. Kaucarikan untukku, di lereng utara sana
banyak pohon lecinya."
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
273 "Baik, akan kucarikan, Sumoi. "Kau tunggu saja sebentar di sini." Sian Lun lalu meloncat
jauh dan berlari cepat melintasi bukit menuju ke utara di mana terdapat kebun pohon leci yang
luas, milik seorang hartawan yang tinggal di kota Cin-an. Dia sudah mengenal baik penjaga
kebun itu dan pasti akan diberi kalau dia minta buah leci sekedar dima-kan.
Setelah pemuda itu pergi Sian Li duduk sambil termenung dan tersenyum-senyum. Hatinya
merasa gembira oleh pujian-pujian tadi. Ia merasa bangga. Suhengnya memang seorang kakak
seper-guruan yang amat baik kepadanya. Sejak ia berada di situ, lima tahun yang lalu,
suhengnya selalu bersikap baik dan me-ngalah kepadanya. Suhengnya itulah yang membuat ia
tidak merasa kesepian ting-gal di rumah paman kakeknya, membuat ia tidak merasa bosan
mempelajari ilmu silat dari suami isteri yang sakti itu. Bersama suhengnya ia dapat berlatih
si-lat, mempelajari sastra, dan bermain-main. Suhengnya seorang pemuda yang tinggi besar,
gagah dan tampan, dan selalu melindunginya. Bahkan pernah suhengnya itu mengejar
beberapa orang pemuda kota yang berkunjung ke dusun Hong-cun dan bersikap kurang ajar
kepadanya. Ia sendiri tidak mau melayani mereka, akan tetapi suhengnya marah-marah dan
menghajar lalu melempar-lemparkan tujuh orang pemuda kota itu ke dalam air Sungai
Kuning! Ia sama sekali tidak tahu bahwa perbuatan Sian Lun itu terdorong oleh cemburu!
Tiba-tiba perhatiannya tertarik kepada sesosok tubuh orang yang tertatih-tatih mendaki lereng
itu. Seorang pria yang sudah tua sekali. Tadinya ia mengira paman kakeknya Suma Ceng
Liong yang mencarinya. Akan tetapi setelah agak dekat, ternyata bukan. Dia seorang kakek
yang usianya tentu sudah tujuh puluh tahun lebih, pakaiannya model pakaian sastrawan akan
tetapi pakaian itu penuh tambalan walaupun bersih. Dia mendaki lereng itu dibantu sebatang
tongkat. Rambut dan cambang serta kumis jeng-gotnya sudah putih semua, membuat dia
nampak tua dan lemah.
Dalam jarak dua puluh meter, kakek itu berhenti, berdiri menekan tongkat dengan kedua
tangan, mengangkat muka memandang ke arah Sian Li dan berkata dengan nada suara lembut
gembira, "Ahh, tidak salah lagi. Engkau tentu Ang-ho-li (Nona Bangau Merah)!"
Sian Li mengerutkan alisnya. Tidak banyak orang tahu bahwa ia diberi nama julukan itu.
Yang mengetahuinya hanya-lah ayah ibunya, paman kakeknya berdua, suhengnya.
Bagaimana kakek ini begitu muncul menyebutkan nama julukannya itu"
"Kek, siapakah engkau dan dari mana engkau tahu bahwa aku disebut Bangau Merah?"
Suaranya terdengar galak dan pandang matanya penuh selidik.
"Siancai....! Dahulu engkau seorang bo-cah yang mungil lincah, sekarang telah menjadi
seorang gadis yang lincah dan galak! Hei, Dewi Baju Merah, apakah engkau benar telah lupa
kepadaku" Bebe-rapa tahun yang lalu kita pernah saling jumpa di rumah kakekmu, di Pao-
teng." Sian Li memandang penuh perhatian dan wajahnya berubah seketika. Wajahnya kini cerah
dan berseri, senyumnya meng-hias wajah yang manis itu, membentuk lesung mungil di kedua
pipinya. "Aihh, kiranya Locianpwe Yok-sian Lo-kai....!" Ia bangkit dan cepat membe-ri hormat
kepada kakek tua renta yang pakaiannya penuh tambalan itu.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
274 "Ha-ha-ha, memang aku adalah Lo-kai (Pengemis Tua) itu! Dan aku telah mencarimu ke
rumah ayah ibumu di Ta-tung, lalu menyusul ke Hong-cun. Kakek dan nenekmu yang kini
menjadi guru-gurumu mengatakan bahwa engkau tentu berada di lereng bukit ini. Aku segera
menyusul ke sini. Siancai.... engkau, telah menjadi seorang gadis, yang lihai dan manis. Dan
aku datang untuk menagih janji, ingat?"
"Tentu saja aku ingat, Locianpwe. Dan aku sudah siap sedia untuk meneri-ma pelajaran ilmu
pengobatan dirimu."
Kakek itu tertawa gembira dan pada saat itu muncullah Sian Lun yang mem-bawa buah leci
yang sudah masak dan cukup banyak. Melihat sumoinya tertawa-tawa dengan seorang kakek
yang tidak dikenalnya, dia mengerutkan alisnya.
"Sumoi, siapakah kakek jembel ini?" tanyanya tak senang. Entah mengapa, setiap kali
melihat sumoinya beramah tamah dengan seorang laki-laki, tidak peduli laki-laki itu tua atau
muda, dia merasa tidak senang, merasa cemburu!
"Hushhh, Suheng, jangan sembarangan engkau memanggil orang! Locianpwe ini adalah
guruku, tahu engkau?" bentak Sian Li marah.
Sian Lun cepat memberikan buah-buah leci itu kepada sumoinya, lalu dia memberi hormat
kepada kakek itu. Dia terkejut bukan main, juga heran mendengar ucapan sumoinya.
"Ah, harap Locianpwe suka memaaf-kan saya yang bersikap tidak so-pan," katanya.
Bagaimanapun juga, Sian Lun bukan hanya mempelajari ilmu silat, akan tetapi juga sastra dan
tata susila. Kakek itu tersenyum dan mengang-guk-angguk. "Siancai.... kiranya Taihiap (Pendekar
Besar) Suma Ceng Liong dan isterinya yang gagah perkasa mempunyai seorang murid yang
begini gagah. Tidak mengapa, orang muda. Hanya lain kali jangan terburu nafsu menyangka
buruk kepada orang lain."
Wajah Sian Lun berubah merah dan sekali lagi dia memberi hormat. "Maaf-kan saya,
Locianpwe. Sumoi, engkau ti-dak pernah bercerita kepadaku tentang suhumu ini. Siapakah
beliau ini?"
Sian Li menyodorkan buah-buah leci itu kepada Yok-sian Lo-kai dan berkata, "Suhu, silakan
makan. Buah-buah leci ini baru saja dipetik, masih segar dan manis."
Kakek itu tanpa sungkan lagi meng-ambil beberapa butir buah leci. Sian Li lalu menghadapi
suhengnya. "Suheng, Suhuku ini adalah Yok-sian Lo-kai. Lima tahun yang lalu Suhu ini
berjanji akan mengajarkan ilmu pengobatan kepadaku dan hari ini dia datang memenuhi
janji-nya."
Kembali Sian Lun terkejut. Dia tentu saja pernah mendengar nama besar Yok-sian Lo-kai
(Pengemis Tua Dewa Obat) ini, yang terkenal bukan hanya karena pandai ilmu pengobatan,
akan tetapi juga karena ilmu silatnya, terutama ilmu to-tok jalan darah, yang amat lihai.
"Sekali lagi maaf, Locianpwe, atas sikapku tadi. Sumoi, harap kau maafkan aku dan jangan
sampaikan kepada Suhu dan Subo tentang sikapku yang tidak benar tadi."
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
275 Sian Li cemberut. "Tentu saja akan kuberitahukan kepada Kakek dan Nenek. Engkau telah
berani menyebut Guruku kakek jembel!" Sian Li yang amat manja terhadap suhengnya itu
mengancam. Yok-sian Lo-kai tertawa.
"Ha-ha-ha-ha, engkau keliru, Sian Li. Engkau tidak boleh melapor kepada siapa pun juga.
Suhengmu sudah, mengakui ke-salahannya dan minta maaf, hal itu menunjukkan bahwa dia
berani bertanggung jawab dan menyesali dan menyadari ke-salahannya. Selain itu, juga aku
lebih suka disebut Jembel Tua daripada Dewa Obat, heh-heh-heh! Memang julukanku Jembel
Tua, kenapa engkau harus marah mendengar aku disebut Jembel Tua oleh suhengmu" Ha-ha-
ha!" "Baiklah, melihat muka Suhu, aku mau menyudahi perkara ini sampai di sini saja. Nah,
sekarang cepat kauberita-hukan kepada Kakek dan Nenek bahwa aku sudah bertemu Suhu
Yok-sian Lo-kai dan akan pulang belakangan."
"Baik, Sumoi. Locianpwe, saya pergi dulu," kata Sian Lun dengan hati lega. Kalau sumoinya
mengadu kepada suhu dan subonya, tentu dia akan mendapatkan teguran keras. Dia lalu
berlari cepat turun dari lereng bukit, diikuti pandang mata kakek itu yang masih tersenyum.
"Suhengmu sudah memiliki kepandaian tinggi, ilmunya berlari cepat cukup he-bat," kakek
itu memuji. "Ah, dia masih terlalu lambat," kata Sian Li. Jawaban ini menunjukkan bahwa gadis ini tentu
dapat berlari lebih cepat dibandingkan suhengnya dan diam-diam kakek itu kagum. Dia
percaya bahwa di bawah gemblengan suami isteri sakti se-perti Suma Ceng Liong dan Kam
Bi Eng, apalagi mengingat bahwa ia puteri Pendekar Bangau Putih, tentu gadis berpakaian
merah ini menjadi lihai bukan main. Dia pun bangga kalau dapat menurunkan ilmu-ilmunya
kepada dara ini.
"Sian Li, aku ingin memberitahu sedi-kit kepadamu tentang suhengmu itu."
Sian Li yang sedang makan leci, menghentikan gerakan mulutnya dan ia menoleh,
memandang kepada kakek itu. "Apa yang Suhu maksudkan" Suheng telah bersikap kasar, dan
dia memang pantas ditegur dan...."
"Hal itu sudah lewat dan tidak perlu dibicarakan lagi, Sian Li. Hanya satu hal ingin
kuperingatkan kepadamu tentang suhengmu itu. Engkau berhati-hatilah dengan sikapmu,
karena dia amat sayang kepadamu."
"Tentu saja dia sayang padaku, Suhu. Bukankah dia itu Suhengku" Kenapa aku harus
berhati-hati dengan sikapku?"
"Dan bagaimana dengan engkau sendi-ri" Sayangkah engkau kepada suhengmu?"
Dara itu memandang Yok-sian dengan sinar mata heran. Pertanyaan yang aneh, pikirnya.
"Tentu saja aku sayang kepada Suheng, Suhu. Bukankah hal itu sudah sewajarnya" Dia
berlatih bersamaku, be-lajar bersamaku dan bermain bersamaku sejak lima tahun yang lalu
dan dia amat baik kepadamu."
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
276 Kakek itu tersenyum maklum. Dara ini masih hijau, masih polos dan belum pernah
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengalami cinta berahi, maka kasih sayangnya terhadap suhengnya itu adalah kasih sayang
seorang adik terhadap kakaknya.
"Maksudku, dia pencemburu besar, Jangan bersikap terlalu ramah kepada laki-laki lain kalau
tidak ingin melihat dia marah-marah."
"Aih, itulah yang aneh, Suhu! Pernah ada beberapa orang pemuda menggodaku dan Suheng
demikian marahnya sampai dia mengamuk dan hampir saja membu-nuhi orang-orang itu
kalau tidak kula-rang...."
Kakek itu merasa heran. Dari sikap pemuda itu tadi saja dia sudah mengerti bahwa pemuda
itu telah jatuh cinta pada sumoinya, dan agaknya cintanya berkobar-kobar panas sekali,
membuat dia menjadi seorang pencemburu besar sehingga melihat sumoinya beramah tamah
dengan seorang kakek seperti dia pun pemuda tadi sudah tidak senang.
Itu namanya cemburu, maka engkau harus dapat menjaga sikapmu."
Sian Li mengangguk, padahal ia tidak mengerti mengapa suhengnya bersikap seperti itu.
"Mari kita pulang, Suhu."
Mereka lalu menuruni lereng dan agaknya Yok-sian sengaja hendak mengu-ji ilmu berlari
cepat muridnya. Dia sen-diri mengerahkan tenaganya, mengguna-kan gin-kang (ilmu
meringankan tubuh) dan larinya cepat sekali, sungguh tidak sesuai dengan usianya yang sudah
demi-kian lanjut. Namun, biar ia baru berusia tujuh belas tahun, Sian Li sejak kecil
digembleng dan ditangani orang-orang sakti, mula-mula oleh ayah ibunya sendi-ri, kemudian
oleh Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, suami isteri yang pernah menggegerkan dunia
persilatan dengan kelihaian mereka. Maka tidak terlalu mengherankan kalau dara itu bukan
saja mampu mengimbangi kecepatan lari Yok-sian Lo-kai, bahkan setelah tiba di ru-mah
kakeknya, Dewa Obat itu tertinggal beberapa ratus meter di belakangnya!
Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng menyambut mereka di depan rumah sam-bil tertawa
melihat dara dan kakek itu berlari-larian, juga Sian Lun telah berada di dekat gurunya. Yok-
sian Lo-kai ter-kekeh sambil terengah ketika tiba di depan mereka. "Aihhh.... aku sudah tua,
bagaimana mungkin dapat menandingi kecepatan Si Bangau Merah?"
"Aih, jangan merendahkan diri, Suhu!" kata Sian Li. "Suhu datang bukan untuk mengajarkan
ilmu lari kepadaku, melain-kan ilmu pengobatan!"
Semua orang tertawa mendengar ini, juga Sian Lun tersenyum. Baru terasa olehnya betapa
dia tadi telah terburu nafsu, merasa iri hati atau cemburu me-lihat sumoinya beramah tamah
dengan kakek itu.
Demikian, mulai hari itu, Yok-sian Lo-kai mulai mengajarkan ilmu pengobat-an kepada Sian
Li. Bukan saja pengeta-huan tentang ramuan obat untuk berba-gai penyakit, juga kakek itu
mengajarkan pengobatan dengan tusuk jarum, dengan totokan dan pijatan, dan yang amat
menggembirakan hati Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, juga tentu saja Sian Li sendiri,
kakek itu bahkan mengajarkan It-yang Sin-ci, yaitu ilmu totok dengan sebuah jari yang
pernah membuat nama kakek itu terkenal di dunia persilatan.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
277 Sian Li amat berbakat, dan sudah meml-liki dasar yang kuat, maka dalam waktu tiga bulan
saja dara ini telah dapat menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan Yok-sian Lo-kai kepadanya.
Kakek itu merasa kagum dan juga girang bukan main melihat kecerdasan muridnya. Dia
merasa puas bahwa akhir-nya ada seorang murid yang cocok untuk mewarisi ilmunya. Setelah
memesan ke-pada muridnya kelak mempergunakan ilmu-ilmunya itu untuk kebaikan,
meno-long orang sakit di samping tugasnya sebagai pendekar wanita penentang keja-hatan,
Yok-sian Lo-kai lalu meninggalkan rumah Suma Ceng Liong untuk pergi bertapa ke Liong-
san dan menghabiskan sisa hidupnya dalam ketenangan. Dia memberikan jarum emas dan
peraknya kepada Sian Li. Suami isteri Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng mengantar
keper-gian Dewa Obat itu dengan perjamuan sederhana namun meriah, dan atas nama cucu
keponakan mereka, suami isteri ini mengucapkan terima kasih mereka.
Biarpun ia sudah menguasai ilmu totok It-yang Sin-ci, namun tentu saja Sian Li hanya baru
menguasai cara dan teori penggunaan ilmu itu saja, belum matang karena ia harus banyak
berlatih untuk mematangkan ilmu totokan yang dahsyat itu. Demikian pula ilmu pengobatan
de-ngan tusuk jarum dan pijatan jari tangan, harus ia latih. Namun, ia telah mengua-sai cara
berlatih untuk ilmu-ilmu itu.
*** file google dokumen ini published by Saiful Bahri ....situbondo seletreng***
Liem Sian Lun harus mengerahkan seluruh tenaga, kecepatan gerak dan mengeluarkan semua
kemampuannya untuk dapat mengimbangi sumoinya. Gerak-an Sian Li luar biasa cepatnya,
bagaikan seekor burung merah yang cekatan sekali berkelebatan bahkan kadang lenyap dan
yang nampak hanya bayangan merah yang diselimuti gulungan sinar pedangnya.
Kalau orang lain melihat pertandingan pedang itu, dia tentu akan mengira bah-wa pemuda
dan dara itu berkelahi mati-matian. Demikian cepat permainan pe-dang mereka, dan kadang
nampak bunga api berpijar kalau dua batang pedang itu bertemu di udara. Namun,
sesungguhnya mereka hanya berlatih ilmu pedang sete-lah tadi dalam berlatih silat tangan
ko-song Sian Lun terpaksa mengakui keung-gulan sumoinya. Dalam ilmu pedang Sian Lun
memang berbakat sekali maka dia mampu mengimbangi permainan pedang sumoinya.
Bagi dua orang muda yang sudah me-nguasai benar ilmu pedangnya, tidak mungkin mereka
akan saling melukai.
Pedang yang mereka pegang itu seolah telah menjadi satu dengan tangan, seper-ti anggauta
badan sendiri sehingga mere-ka sudah menguasai sepenuhnya. Setiap detik mereka akan
mampu menghentikan tusukan atau bacokan pedang mereka sehingga tidak akan melukai
lawan ber-latih.
Keduanya berlatih ilmu pedang Liong-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Na-ga), yaitu
gabungan ilmu pedang Suling Emas dan Naga Siluman yang mereka pelajari dari Kam Bi
Eng. Ilmu pedang ini memang hebat. Dari gerakan-gerakan pedang di tangan mereka ternyata
bahwa di situ terkandung gerakan yang lembut seperti tiupan suling namun dahsyat dan ganas
seperti seekor naga mengamuk. Karena senjata suling adalah senjata yang khas dari keluarga
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
278 Suling Emas, maka Kam Bi Eng mengganti suling de-ngan pedang dan mengajarkan mereka
memainkan ilmu itu dengan sebatang pedang.
Kini Sian Li dalam kelebihannya da-lam kecepatan gerakan, mulai mendesak suhengnya.
Andaikata mereka itu bertan-ding sungguh-sungguh dalam sebuah per-kelahian, tentu Sian Li
akan dapat mero-bohkan suhengnya karena ia memiliki beberapa ilmu yang tidak dipelajari
Sian Lun, seperti ilmu totok It-yang Sin-ci dari Yok-sian Lo-kai, dan terutama seka-li Ilmu
Silat Bangau Putih yang sejak kecil dipelajarinya dari ayahnya, dan lain-lain. Kini, karena
mereka sengaja berlatih ilmu pedang Liong-siauw Kiam-sut, mereka menggunakan ilmu itu
saja dan karena keduanya sudah menguasai ilmu pedang itu dengan baik, maka su-karlah
untuk suling mengalahkan. Sian Li berhasil mendesak hanya mengandal-kan kecepatannya,
dan memang ia lebih cekatan sehingga akhirnya Sian Lun menjadi repot sekali, dan hanya
mampu menangkis saja, tidak ada kesempatan lagi untuk membalas. Akan tetapi, dia
mengenal semua jurus yang dlpergunakan sumoinya untuk menyerangnya, maka tentu saja
dia tahu bagaimana caranya untuk menghindarkan diri.
"Cukup, Sumoi. Engkau terlalu cepat bagiku!" Akhirnya Sian Lun mengakui kekalahannya.
Pemuda ini tidak merasa iri atau malu, bahkan merasa bangga bahwa sumoinya demikian
hebatnya. "Suheng, engkau memang kalah cepat akan tetapi kalau engkau mengerahkan seluruh
tenagamu, tentu engkau akan dapat mengimbangi aku karena dalam hal penggunaan tenaga
tulang dan otot, aku masih kalah."
"Bagus sekali! Ilmu pedang yang he-bat, orang-orang muda yang mengagum-kan!" Tiba-tiba
terdengar pujian orang dan cepat Sian Lun dan Sian Li memba-likkan tubuh dan mereka
melihat dua orang yang tahu-tahu telah berada di situ, di dalam taman di mana mereka
berlatih ilmu pedang tadi. Kalau dua orang itu dapat muncul demikian tiba-tiba tanpa mereka
ketahui, hal ini menunjukkan bahwa dua orang ini tentu bukan orang sembarangan. Sian Li
me-mandang dengan teliti. Seorang kakek dan seorang nenek. Kakek itu tentu su-dah enam
puluh tahun lebih usianya, namun masih tampak tampan dan jantan dengan kulit agak gelap
dan muka bulat yang tidak asing bagi Sian Li. Di pung-gung kakek ini terdapat sepasang
pedang dengan ronce biru. Nenek itu yang sama sekali asing bagi Sian Li. Seorang nenek
yang usianya juga sekitar enam puluh, namun masih cantik dan anggun. Ia ber-pakaian serba
kuning, dengan kerudung kepala kuning pula. Rambutnya yang sudah bercampur uban itu
terhias burung merak dari emas yang masih nampak di bawah kerudung suteranya yang tipis.
Wajah wanita ini asing,bukan wajah seorang bangsa Han. Biarpun wajah kakek itu tidak asing
bagi Sian Li, namun ia tidak tahu siapa kakek itu.
"Kakek dan Nenek yang baik, siapa-kah Jiwi (Anda Berdua)" Dan ada kepen-tingan apakah
jiwi masuk ke dalam taman kami ini?" Sian Li bertanya de-ngan lembut.
Kakek itu menoleh kepada nenek di sebelahnya sambil tersenyum gembira. "Kaulihat,
bukankah ia mirip sekali de-ngan ibunya?" Lalu dia menghadapi Sian Li lagi dan berkata,
"Aku yakin bahwa engkau tentu Tan Sian Li, bukan" Engkau Si Bangau Merah, bukan?"
Sian Li membelalakkan mata. "Bagaimana engkau bisa mengenalku, Kek" Siapakah engkau"
Dan siapa pula Nenek ini?"
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
279 "Ha-ha-ha-ha," kakek itu tertawa. "Pernah aku berkunjung ke rumah orang tuamu ketika
engkau masih kecil, pernah pula engkau membasahi bajuku, ha-ha-ha. Engkau tentu lupa,
Sian Li. Aku ada-lah Suma Ciang Bun dan ini isteriku, Gangga Dewi."
Sian Li membelalakkan matanya lagi dan mukanya berubah kemerahan meng-ingat ucapan
kakek tadi bahwa ia pernah ngompol ketika masih kecil dipondong kakek itu sehingga
membasahi bajunya. Kini ia teringat. Kakek ini adalah adik kandung neneknya, Suma Hui.
Berbeda dengan paman kakeknya yang kini men-jadi gurunya. Suma Ceng Liong yang hanya
adik sepupu neneknya, kakek yang berada di depannya ini adalah adik kan-dung neneknya.
"Aih, kiranya Ku-kong (Paman Kakek) Suma Ciang Bun!" Sian Li berseru gem-bira.
"Selamat datang, Kakek. Dan Nenek ini, isteri Kakek.... namanya aneh. Nenek Gangga Dewi"
Tentu bukan orang Han...." Sian Li lalu memberi hormat kepada dua orang tua itu. "Suheng,
ini adalah kakak sepupu dari Kakek Suma Ceng Liong!" Dara yang lincah itu memberi tahu
Sian Lun yang cepat mengangkat tangan memberi hormat kepada Suma Ciang Bun dan
Gangga Dewi. Gangga Dewi mendekati dan memeluk Sian Li. "Anak manis, engkau cantik bukan main,
Aku memang datang dari Bhutan, dan aku bukanlah orang lain. Seorang di antara guru
ayahmu yang bernama Wan Tek Hoat atau Tiong Khi Hwesio adalah mendiang Ayah
kandung-ku."
Sian Li menjadi semakin gembira dan balas merangkul sambil memandang ka-gum. Tentu
saja ia pernah mendengar cerita ayahnya tentang pendekar Wan Tek Hoat yang berjuluk Si
Jari Maut itu, yang telah menikah dengan seorang pute-ri Kerajaan Bhutan.
"Aih, Nenek yang baik. Pantas saja engkau masih kelihatan begini cantik dan anggun.
Kiranya engkau adalah seorang puteri Kerajaan Bhutan!"
Karena Sian Li memang lincah jenaka dan gembira, maka sebentar saja ia su-dah akrab
dengan kakek dan nenek itu, dan mereka lalu memasuki rumah untuk bertemu dengan Suma
Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Pertemuan itu tentu saja amat menggembirakan. Suma Ciang
Bun dan Gangga Dewi pernah satu kali ber-kunjung ke situ sebelum Sian Li tinggal bersama
Suma Ceng Liong dan isterinya, bahkan sebelum Sian Lun menjadi murid mereka.
Setelah makan bersama, dua orang tamu itu lalu menceritakan pengalaman mereka yang
didengarkan dengan penuh perhatian oleh Suma Ceng Liong, Kam Bi Eng, Liem Sian Lun
dan terutama sekali Tan Sian Li. Ketika Suma Ciang Bun mengatakan bahwa dia bersama
Gangga Dewi akan pergi ke Bhutan, Sian Li segera berkata penuh gairah. "Ku-kong aku
ikut!" Semua orang terkejut. Suma Ceng Liong memandang cucu keponakan itu. "Aih, Sian Li,
kaukira Bhutan itu dekat" Perjalanan ke sana berbulan-bulan!"
"Aku tidak takut perjalanan jauh, Ku-kong! Aku sudah sering mendengar dari Ayah dan Ibu
tentang Bhutan yang indah, dan dari Kong-kong Kao Cin Liong aku sering mendengar
ceritanya tentang dunia bagian barat. Aku ingin meluaskan pe-ngetahuan dan pengalaman,
Ku-kong. Kebetulan sekali ada Ku-kong Suma Ciang Bun dan Nenek Gangga Dewi yang
akan menjadi penunjuk jalan. Aku ingin sekali, Ku-kong!"
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
280 Suma Ceng Liong diam-diam terse-nyum dalam hatinya. Dia tidak merasa heran akan sikap
cucu keponakan ini. Memang keluarga mereka semua berdarah pendekar, berdarah petualang.
Dia sendi-ri pun dahulu merupakan seorang petua-lang, demikian pula isterinya. Ayah dan ibu
Si Bangau Merah ini pun petualang-petualang besar.
"Akan tetapi, bagaimana kalau ayah ibumu datang, Sian Li" Kami tentu akan merasa tidak
enak kalau mereka datang dan engkau tidak berada di sini," kata Kam Bi Eng.
"Akan tetapi Ayah dan Ibu masih enam bulan lagi baru akan datang ke si-ni, seperti biasa
setiap tahun baru mere-ka datang. Dan aku akan berusaha agar sebelum tahun baru dapat
pulang ke sini. Aku ingin sekali pergi, kebetulan ada Ku-kong dan isterinya yang akan
mene-maniku. Tentu saja kalau mereka ini tidak keberatan aku ikut...." Ia meman-dang
kepada Suma Ciang Bun dan Gang-ga Dewi yang saling pandang dan terse-nyum.
Gangga Dewi mendekat dan merangkulnya. "Tentu saja aku akan senang se-kali kalau
engkau ikut ke Bhutan, Sian Li. Akan tetapi, tanpa perkenan Adik Suma Ceng Liong dan
Kam Bi Eng, kami tidak akan berani."
Suma Ciang Bun berkata, "Kami telah membeli sebuah kereta. Kalau kami mempergunakan
perjalanan dengan kereta atau berkuda, tentu akan lebih cepat dan kiranya sebelum tahun baru
Sian Li akan dapat pulang ke sini."
Suma Ceng Liong memandang kepada kakaknya. Kalau dia membolehkan Sian Li pergi,
andaikata dara itu belum pulang ketika ayah ibunya datang, dia merasa tidak enak kepada
mereka. Akan tetapi, kalau dia melarangnya, dia akan merasa tidak enak kepada Sian Li, juga
kepada Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi. Se-olah-olah dia tidak percaya kepada me-reka.
"Ku-kong Suma Ceng Liong, kalau aku tidak diberi ijin, aku akan pergi sendiri, tidak
bersama Ku-kong Suma Ciang Bun juga tidak apa-apa. Aku ingin merantau ke barat." Sian Li
berkata dan Suma Ceng Liong tertawa.
"Hemm, engkau memang memiliki ha-ti membaja dan kepala membatu. Orang seperti
engkau ini mana mungkin bisa dilarang" Sian Lun, engkau temani su-moimu pergi ke barat."
"Baik, Suhu!" kata Sian Lun dengan tidak menyembunyikan suaranya yang mengandung
kegembiraan besar.
"Sian Li kami membolehkan engkau pergi akan tetapi harus ditemani suheng-mu agar kalau
engkau pulang, ada yang menemani. Selain itu, kalau orang tuamu datang sebelum engkau
pulang, kami dapat menggunakan alasan bahwa Sian Lun juga pergi menemanimu."
Sian Li girang sekali. Ikut sertanya Sian Lun bahkan makin menggembirakan hatinya karena
suhengnya itu dianggap sebagai kawan seperjalanan yang akan amat menyenangkan dan juga
amat membantu. Ia bersorak, lalu menghampiri Kam Bi Eng dan merangkul nenek itu.
"Terima kasih! Aku tahu bahwa kalian tentu akan memperkenankan, karena ka-lian adalah
orang-orang tua yang terbaik di dunia ini!"
Suma Ceng Liong dan isterinya hanya tersenyum. Suma Ciang Bun menggeleng-geleng
kepalanya melihat sikap Sian Li. Mereka lalu berkemas dan tiga hari ke mudian, berangkatlah
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
281 mereka berempat meninggalkan dusun Hong-cun. Suma Ciang Bun menjual keretanya dan
seba-gai gantinya, dia membeli empat ekor kuda yang baik dan mereka berempat melakukan
perjalanan menunggang kuda. Suma Ceng Liong dan isterinya yang mengantar mereka
sampai ke luar dusun, diam-diam ikut girang dan terharu meli-hat betapa Sian Li, seperti anak
kecil, kelihatan gembira bukan main, melambai-lambaikan tangan kepada mereka. Dara itu
memang berbakat sekali menjadi se-orang pendekar. Baru dua hari ia diajar menunggang
kuda oleh Gangga Dewi dan sekarang sudah pandai dan berani membalapkan kudanya!
Bahkan Sian Lun juga kalah sigap. Mereka yakin bahwa Tan Sin Hong dan isterinya, Kao
Hong Li, tidak akan marah andaikata mereka datang dan Sian Li belum kembali. Me-reka pun
merupakan pendekar-pendekar yang biasa bertualang. Apalagi kepergian Sian Li ini bersama
kakeknya Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, dan bahkan ditemani pula oleh Liem Sian Lun.
Gangga Dewi menjadi penunjuk jalan dan memimpin rombongan itu. Mereka melakukan
perjalanan cepat dan hanya berhenti di tempat yang cukup indah untuk mereka nikmati.
Karena mereka berempat adalah orang-orang yang ber-kepandaian tinggi dan bertubuh kuat,
maka perjalanan itu dapat dilakukan de-ngan cepat. Kalau kuda mereka sudah terlalu lelah,
Suma Ciang Bun menukar-kan kuda mereka dengan kuda yang ma-sih segar dengan
menambah uang. De-ngan cara demikian, mereka dapat melakukan perjalanan lebih cepat
lagi. *** file google dokumen ini published by Saiful Bahri ....situbondo seletreng***
Pada waktu itu, Kerajaan Mancu atau Dinasti Ceng yang dipimpin Kaisar Kian Liong telah
berhasil mengamankan selu-ruh negara.. Di mana-mana terdapat pasukan keamanan yang
menjaga tapal batas, dan di semua kota besar terdapat pula benteng pasukan. Pemberontakan-
pemberontakan telah dapat dipadamkan, dan biarpun masih terdapat banyak go-longan yang
anti pemerintah Mancu, na-mun gerakan mereka hanya di lakukan secara sembunyi, tidak ada
yang berani berterang karena pada waktu itu kekuat-an pasukan Mancu amat besar. Apalagi
karena Kaisar Kian Liong pandai meng-ambil hati dan banyak menerima orang-orang Han
yang pandai, diberi kedudukan tinggi dan bahkan pasukannya diperkuat oleh orang-orang Han
yang menganggap bahwa Kaisar Kian Liong, biarpun seo-rang Mancu, namun mementingkan
rakyat jelata. Kaisar Kian Liong sudah semakin tua, usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, dan dia telah
menjadi Kaisar selama li-ma puluh tahun lebih! Belum pernah ada Kaisar yang memegang
tampuk kerajaan selama itu dengan berhasil baik. Hal ini adalah karena Kaisar Kian Liong
bukan seorang Kaisar yang mabok kedudukan sehingga hanya menjadi pengejar kese-nangan
sendiri saja. Sejak muda, Kaisar ini memang terkenal sebagai seorang yang pandai bergaul,
bahkan akrab de-ngan para pendekar, dengan rakyat jelata seringkali melakukan perjalanan
secara menyamar dan menyusup di kalangan rakyat jelata sehingga namanya dikenal sebagai
seorang yang bijaksana dan ra-mah tamah. Bukan hanya karena kekuat-an angkatan
perangnya saja Kaisar Kian Liong dapat mempertahankan kedudukan-nya, akan tetapi
terutama sekali karena nama baiknya itulah. Pribadi seorang pemimpin memang menentukan
kelancar-an pemerintahannya, karena kalau priba-di itu tidak disukai rakyat, sudah pasti
menimbulkan pemberontakan di mana-mana. Kaisar Kian Liong pandai meng-ambil hati
rakyat, bahkan menundukkan hati orang-orang pribumi Han dengan sikapnya yang menerima
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
282 kebudayaan, bahkan bahasa Han menjadi bahasa orang-orang Mancu yang memegang
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ken-dali pemerintahan.
Dengan para negara tetangga, biar yang kecil seperti Bhutan, Nepal dan di bagian selatan,
Kaisar Kian Liong meng-adakan hubungan yang baik dan menghargai kedaulatan masing-
masing. Ini pun mengurangi gerakan gangguan di tapal batas dan perdagangan dengan negara
lain berjalan lancar. Kalau pun terdapat pemberontakan, maka hanya terjadi kecil-kecilan dan
tersembunyi, seperti yang dilakukan oleh perkumpulan Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang.
Akan tetapi kini kedua perkumpulan itu bahkan bermusuh-an, karena Thian-li-pang
merupakan per-kumpulan pejuang yang gagah dan sung-guh membela rakyat, sedangkan Pek-
lian-kauw adalah perkumpulan yang tidak segan melakukan kejahatan berkedok aga-ma,
bahkan dari Agama Buddha yang sudah menyeleweng daripada agama ase-linya, bercampur
dengan segala macam tahyul dan ilmu sihir ke arah sesat.
Karena kebesaran kerajaan atau Di-nasti Ceng di bawah pimpinan Kaisar Kian Liong, bahkan
negara-negara seper-ti Birma, Annam, Nepal, Bhutan, dan Korea merendahkan diri mengirim
upeti setiap tahun kepada Kaisar Kian Liong sebagai tanda persahabatan, sebutan yang
diperhalus dari keadaan sebenarnya, yaitu taluk tanpa diserang lagi. Hanya Keraja-an Nepal
sajalah yang pernah menentang, akan tetapi negara itu diserbu pasukan besar dan
ditundukkan, akan tetapi tidak dijajah dan hanya diharuskan mengirim upeti setiap tahun.
Karena keadaan yang aman itulah, maka perjalanan Suma Ciang Bun, Gang-ga Dewi, Tan
Sian Li dan Liem Sian Lun berlangsung lancar tanpa ada gangguan di tengah perjalanan.
Sian Li merasa gembira bukan main dapat melihat daerah-daerah yang belum pernah dilihat
sebelumnya, melihat per-kampungan suku-suku bangsa yang diang-gapnya aneh dan amat
menarik. Perkam-pungan-perkampungan yang dilaluinya itu berbeda sama sekali dengan
daerah timur berbeda segalanya, dari rumahnya, pakai-annya, bentuk wajah dan bahasa,
bahkan makanan pun berbeda! Akan tetapi setelah Gangga Dewi memperkenalkan ia dengan
orang-orang asing itu, menterjemahkan percakapannya, mengenal mereka lebih dekat, Sian Li
mendapat kenyataan yang amat menyenangkan hatinya. Yaitu bahwa semua perbedaan itu
hanya kulitnya saja, hanya lahiriah, hanya kebiasaan hidupnya. Pada hakekatnya, jauh di
lubuk hati mereka, mereka itu tidak ada bedanya dengan ia atau seluruh bangsa di timur.
Mereka suka bersahabat, suka tertawa membutuhkan kebahagiaan dan menjauhi hal-hal yang
tidak enak. Biarpun masakan mereka itu aneh, namun yang berbeda pun hanya cara dan
campurannya saja. Pada hakekatnya mereka pun sama dengannya, yaitu tidak menyukai pahit
dan getir. Yang disuka seperti juga di timur, manis asin sedikit asam dan pedas. Mereka pun
sama saja, tidak suka disakiti lahir batin, ingin disenangkan, sama seperti dirinya juga. Karena
merasa bahwa pada hakekatnya sama, Sian Li cepat dapat akrab dengan mereka walaupun
kadang-kadang kedua pihak tertegun heran melihat kebiasaan yang amat berbeda diantara
mereka. Dengan adanya Gangga Dewi sebagai orang yang berpengalaman, dan juga sebagai penunjuk
jalan, pemberi keterangan dan bahkan penerjemah, perjalanan itu terasa amat menyenangkan
bagi tiga orang yang lain, terutama sekali bagi Sian Li dan Sian Lun yang baru sekali itu
selama hidup mereka lewat di tempat-tempat seperti itu.
Biarpun Sian Li amat tertarik dan senang sekali, akan tetapi Gangga Dewi tidak pernah lupa
bahwa sebelum tahun baru tiba, Sian Li sudah harus kembali ke rumah Suma Ceng Liong.
Oleh karena itu, ia mengajak mereka melakukan perjalanan cepat menuju ke Bhutan.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
283 Pada suatu siang, tibalah mereka di perbatasan Bhutan seelah menyeberangi sungai besar
yang amat terkenal di Tibet yaitu sungai Yarlung Sangbo atau terkenal pula dengan nama
Brahmaputra. Mereka melintasi pegunungan yang paling besar, tinggi dan panjang di seluruh
dunia, yaitu Pegunungan Himalaya yang menjadi tapal batas antara Bhutan dan Tibet. Di
pegunungan yang amat terkenal ini. Sian Li merasa kagum bu-kan main. Walaupun
perjalanan amat sukar, melalui gunung es yang teramat dingin, namun dara itu selalu nampak
gembira dan kagum.
Siang itu, mereka menuruni lereng bukit terakhir dari Himalaya dan mulai nampak dusun-
dusun yang termasuk wila-yah Bhutan. Menjelang senja, mereka bertemu dengan pasukan
kecil terdiri dari belasan orang. Ketika pasukan itu melihat Gangga Dewi, mereka cepat turun
dari atas kuda mereka dan mem-beri hormat dengan setengah berlutut. Kiranya mereka adalah
pasukan keaman-an yang menyamar dengan pakaian biasa, melakukan perondaan di daerah
perbatas-an itu.
Setelah menerima penghormatan me-reka Gangga Dewi bertanya. "Apakah yang terjadi"
Kenapa kalian melakukan perondaan sampai di sini dan tidak ber-pakaian seragam pula?"
Pemimpin pasukan melaporkan kepada Puteri Gangga Dewi bahwa akhir-akhir ini daerah
perbatasan itu tidak aman karena diketahui bahwa ada penyelundup dari Nepal memasuki
daerah itu. Mereka adalah mata-mata Kekuasaan Nepal, dari pihak keluarga raja yang tidak
mau tun-duk kepada Kerajaan Ceng di Cina. Me-reka ini menghasut rakyat di perbatasan
Bhutan dan Tibet, untuk bersama-sama menentang dan melakukan perlawanan terhadap
orang-orang di perbatasan Pro-pinsi Secuan untuk merong-rong Kerajaan Ceng.
"Ah, kalau begitu kalian harus melak-sanakan tugas dengan baik. Kita tidak ingin terseret
oleh pemberontakan orang-orang Nepal itu, apalagi mereka juga menjadi musuh Kerajaan
Nepal yang sah. Mereka bahkan pemberontak pula di Ne-pal, petualang-petualang yang ingin
men-dapatkan keuntungan pribadi dari pergolakan dan kekacauan," pesan Gangga Dewi. Dua
orang di antara pasukan itu lalu mendahului untuk mengirim berita ke kota raja Thim-phu di
Bhutan, se-dangkan pasukan lainnya melanjutkan tugas mereka melakukan penyelidikan.
Gangga Dewi mengajak rombongannya melanjutkan perjalanan karena hari telah sore.
Mereka akan terpaksa bermalam di sebuah dusun di luar kota Tong-sa-jang karena tentu
malam segera tiba, dan mereka pun sudah cukup lelah.
Memang hari telah remang-remang, petang telah menjelang ketika mereka memasuki dusun
itu. Sian Li dan Sian Lun tertegun kagum ketika melihat be-tapa mereka disambut oleh
penghuni dusun yang berduyun menunggu di luar dusun dan bahkan ada tari-tarian yang
menyambut kedatangan Sang Puteri! Ki-ranya dua orang perajurit tadi telah memberi kabar
ke dusun itu, dan kepala dusun segera mengerahkan orang-orang-nya untuk menyambut.
Demi menyenangkan rakyatnya, Gang-ga Dewi segera turun dari atas kuda, diikuti oleh
Suma Ciang Bun, Tan Sian Li dan Liem Sian Lun. Rakyat bersorak gembira ketika Gangga
Dewi merangkul dan mencium anak perempuan yang ber-tugas menyerahkan seikat bunga
kepada Sang Puteri. Sian Li memandang dengan wajah berseri dan Sian Lun mengagumi
belasan orang penari yang terdiri dari gadis-gadis Bhutan yang manis, dengan tarian yang
lemah gemulai, tubuh mereka meliak-liuk dengan amat lemas dan len-turnya, diiringi musik
yang sederhana, suling dan siter dan tambur, namun ter-dengar demikian asyik dan membuat
orang ingin berlenggang-lenggok karena bunyi tambur yang berirama riang itu.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
284 Ketika mereka memasuki dusun, me-reka disambut oleh kepala dusun dan semua sesepuh
dan pemuka dusun itu dengan segala kehormatan. Disediakan air panas untuk para tamu
agung itu mencuci badan, kamar-kamar terbaik di rumah kepala dusun dipersiapkan untuk
mereka. Apalagi ketika Puteri Gangga memperkenalkan Suma Ciang Bun seba-gai suaminya,
para penduduk semakin gembira. Bagi mereka, puteri mereka yang sudah lama menjanda itu
menikah dengan seorang pria Han, bukan merupa-kan halangan, bahkan merupakan
kebang-gaan. Bahkan dahulu, Ibu dari Gangga Dewi yang bernama Syanti Dewi, yang mereka
puja-puja dan kasihi, juga meni-kah dengan seorang pria Han yang kemu-dian bahkan
menjadi panglima yang amat gagah perkasa di Bhutan, yaitu Wan Tek Hoat, ayah Gangga
Dewi. Malam itu, seluruh dusun bergembira dan sebuah pesta besar diadakan di pen-dapa rumah
kepala dusun yang cukup luas. Para sesepuh dan orang terkemuka di dusun itu hadir sebagai
tamu di pang-gung, sedangkan di bawah panggung, di sekeliling pendapa, hampir seluruh
penghuni dusun itu berjejal memenuhi tempat itu untuk nonton keramaian, pertunjukan dan
untuk melihat puteri mereka, Gangga Dewi yang mereka kagumi sebagai seo-rang puteri yang
kabarnya memiliki ilmu kepandaian seperti seorang dewi!
Serombongan penari yang cantik ma-nis, gadis-gadis remaja, belasan orang banyaknya,
menari-nari diiringi musik yang sederhana namun menggairahkan seperti musik di daerah itu,
yang mem-punyai pukulan gendang dan tambur se-olah-olah menghidupkan semua syaraf di
tubuh untuk bergerak dan menari.
Puteri Gangga Dewi, Suma Ciang Bun Tan Sian Li dan Liem Sian Lun duduk sebagai tamu
kehormatan dan para pena-ri menghadap tamu-tamu agung ini. Para gadis penari itu merasa
bangga mendapat kesempatan menari di depan Sang Puteri. Biasanya, hanya penari istana saja
yang menari di depan puteri! Mereka hanya penari dusun yang tentu saja tidak pan-dai menari
sehalus dan seindah penari istana, namun gerakan mereka wajar dan polos sehingga bagaikan
bunga-bunga hutan yang segar. Beberapa orang di an-tara mereka mengerling ke arah Sian
Lun dengan kerling tajam dan senyum memikat karena memang pemuda itu nampak gagah
perkasa dan tampan, apalagi dia adalah anggauta rombongan Sang Puteri! Sebaliknya, para
penabuh musik, para penonton, mengagumi Sian Li yang berpakaian serba merah sehingga
secara bisik-bisik para pemuda menyebut Sian Li "Dewi Merah"!
Sian Li sendiri dengan wajah berseri memperhatikan gerak-gerik para penari. Hidangan yang
disuguhkan juga aneh-aneh akan tetapi agaknya Gangga Dewi telah memesan kepada kepada
dusun agar membuat lauk pauk yang sesuai dengan selera orang Han. Hal ini mudah
dilaku-kan oleh para koki bangsa Bhutan karena memang hubungan antara Bhutan dengan
Cina sudah terjalin sejak ratusan tahun yang lalu. Banyak pula keturunan orang Cina atau
yang disebut Han-Bhutan se-perti Gangga Dewi kini berada di Bhutan seperti juga banyak di
situ keturunan Nepal, Tibet, dan India. Sebagai negara kecil yang terkepung negara-negara
besar Bhutan mempunyai banyak orang-orang berdarah campuran atau peranakan. Ba-nyak
pula orang Han berdatangan ke Bhutan sebagai pedagang, sehingga para koki bangsa Bhutan
selain pandai mem-buat masakan khas Bhutan, pandai pula membuat masakan model Nepal,
India, Tibet atau Han. Minuman anggur yang disuguhkan juga manis dan lembut, tidak terlalu
menyengat seperti arak, dan membuat orang mabok secara perlahan dan tidak dirasakan.
Sian Li juga mengagumi para penabuh musik. Mereka itu semua pria, dan masih muda-muda.
Pakaian mereka yang khas juga amat menarik, membuat mereka nampak gagah. Mereka lebih
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
285 pantas men-jadi penari atau ahli silat karena mereka semua membawa golok khas Bhutan di
pinggang mereka, dan mereka menabuh musik dengan lagak penari-penari yang lincah.
Apalagi penabuh tamburnya. Dia seorang pemuda yang tinggi tegap. Dia menggulung lengan
baju ke atas dan nampaklah sepasang lengan yang kokoh dan berotot. Cara dia menabuh
tambur sungguh menarik dan gagah, seperti orang bermain silat saja. Kadang-kadang dia
melontarkan dua buah kayu pemukul tambur ke atas dan melanjutkan memu-kul tambur
dengan jari tangannya, lalu menyambut lagi dua batang pemukul yang meluncur turun. Semua
ini dilaku-kan secara berirama.
Sian Li kagum. Hebat memang pemu-da yang usianya kurang leblh dua puluh tahun itu. Cara
dia melempar pemukul ke atas, lalu menyambutnya kembali tan-pa melihat karena matanya
terus mena-tap tamburnya, seolah kedua tangannya bermata, sungguh mengagumkan. Dan
pukulan tambur itu pun menggetar penuh kekuatan. Rasanya tidak mungkin dia itu tidak
memiliki kepandaian silat dan tenaga sin-kang, pikir Sian Li.
Akan tetapi kini perhatian Sian Li terhadap Si Penabuh tambur itu teralih. Tarian gadis-gadis
cantik itu sudah sele-sai dan kini muncullah seorang kakek berusia enam puluhan tahun.
Kakek ini tinggi besar seperti raksasa dan bermuka hitam, kepalanya gundul atau botak licin
dan pakaiannya serba longgar dengan jubah berwarna hitam pula! Menyeramkan sekali kakek
ini, terutama sepasang ma-tanya yang bulat besar dengan alis yang terlalu tebal sehingga tidak
wajar lagi! Kepala dusun memperkenalkan kakek ini sebagai Lulung Ma, seorang peranakan
Tibet yang memiliki keahlian sulap dan bermain ular!
Biarpun tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, namun ketika kakek bernama Lulung Ma itu
memberi hormat dengan sembah kepada Gangga Dewi, dia dapat bergerak demikian lentur
seperti seekor ular besar! Gangga Dewi mengangguk dan tersenyum, lalu berkata, "Mulailah
dengan pertunjukanmu dan lakukan sebaik mungkin."
Para penari dan bahkan para penabuh musik semua mengundurkan diri kecuali pemuda
pemukul tambur tadi! Kiranya hanya pemuda itu seorang yang akan membantu Lulung Ma
menunjukkan ke-ahliannya. Pemuda itu tetap menahadapi sebuah tambur dan sebuah
gendang, dan dengan kedua tangannya, dia mengangkat dua alat musik itu dan mendekati
Lulung Ma, lalu duduk bersila di tengah ruangan pertunjukan.
Lulung Ma sudah siap. Ketika dia bangkit berdiri, tubuhnya nampak tinggi besar
menyeramkan, bahkan pemuda yang tinggi tegap itu pun hanya setinggi dagu-nya! Padahal,
pemuda tampan itu sudah termasuk tinggi untuk ukuran biasa. Kini, pemuda itu
memperlihatkan kemahirannya memainkan tambur. Suara tambur ber-dentam-dentam dan
berirama, kemudian diimbangi suara suling yang bentuknya aneh, ada kepalanya yang sebesar
kepal-an tangan. Suling seperti itu disebut suling ular yang biasa dipergunakan oleh ahli-ahli
ular di India untuk menjinakkan ular yang liar dan berbisa.
Akan tetapi, kakek muka hitam itu tidak bermain ular seperti diduga orang, dia hanya
mengimbangi pukulan tambur itu dengan suara sulingnya yang melengking-lengking,
memainkan sebuah lagu rakyat Bhutan yang membuat Gangga Dewi dan orang-orang Bhutan
di situ mengangguk-angguk mengikuti iramanya. Bagi Sian Li, lagu itu lembut akan teta-pi
terasa aneh bagi pendengarannya.
Suara suling berhenti dan kini pemuda itu memainkan gendangnya, tidak dipukul keras-
keras, melainkan lirih dan sebagai pengantar saja agaknya, walaupun dari suara gendang
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
286 dapat diketahui bahwa pemuda itu memang ahli menabuh gen-dang. Suara gendang itu bisa
terdengar seperti halilintar, bisa seperti riak air atau rintik hujan. Kini, kakek muka hitam itu
mulai bermain sulap. Dia bicara dalam bahasa Bhutan yang tidak dime-ngerti oleh Sian Lun
dan Sian Li. Akan tetapi Suma Ciang Bun yang sejak men-jadi suami Gangga Dewi telah
mempela-jari bahasa daerah isterinya itu, menter-jemahkan kepada mereka. "Dia berkata
bahwa dia akan membagi-bagi bunga kepada para tamu dari kedua tangannya yang kosong."
Sian Li memandang dengan wajah berseri. Selama hidupnya, baru dua kali ia menonton
tukang sulap, yaitu ketika ia masih kecil. Melihat tukang sulap mampu mengambil benda-
benda dari udara, ia dahulu merasa amat kagum. Akan tetapi ayah bundanya mengatakan
bahwa tukang sulap itu mempergunakan alat yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu, dibantu
pula oleh kecepatan ke-dua tangannya yang sudah terlatih baik. Sebenarnya tidak ada yang
aneh dalam sulapan.
"Jangan-jangan dia hanya menipu kita dengan alat-alat yang sudah dia persiap-kan lebih
dulu!" katanya, suaranya cukup kersa karena dianggapnya bahwa yang mengerti bahasanya
tentu hanya mereka berempat. Akan tetapi wajahnya berubah kemerahan ketika tukang sulap
itu mene-ngok kepadanya dan berkata dengan suaranya yang bersih dan dalam, khas suara
raksasa! "Jangan khawatir, Dewi Merah, aku tidak mempergunakan alat apa pun ke-cuali kedua
tanganku yang kosong ini! Maafkan, Nona cantik seperti dewi, dan suka berpakaian merah,
maka aku me-nyebut Nona Dewi Merah!" Kiranya rak-sasa muka hitam itu pandai bahasa
Han, dengan lancar pula! Dan lebih membuat Sian Li terheran lagi, banyak di antara para
tamu dan mereka yang menonton di sekeliling ruangan itu, pendapa yang terbuka menyambut
ucapan rakasasa mu-ka hitam itu dengan tawa riuh seolah mereka itu mengerti apa yang
diucapkan dalam bahasa Han. Sian Li tidak tahu bahwa demikian baiknya hubungan orang-
orang di situ dengan bangsa Han sehing-ga bahasa Han bukan merupakan bahasa yang asing
bagi kebanyakan dari mereka. Apalagi di antara mereka ba-nyak pula terdapat keturunan Han.
Sege-ra terdengar seruan-seruan dari para pemuda yang tadi kagum kepada Sian Li.
"Dewi Merah....! Dewi Merah....!"
Gangga Dewi ikut pula bergembira dan ia mengangkat kedua tangan ke atas untuk
menghentikan keributan itu. Sete-lah reda, ia pun memperkenalkan cucu keponakan suaminya
itu, "Ini adalah cucu keponakan kami, julukannya bukan Dewi Merah, melainkan Si Bangau
Merah" Banyak orang bersorak dan bertepuk tangan, dan di sana sini terdengar seruan "Dewi Bangau
Merah! Dewi Bangau Me-rah!"
Suma Ciang Bun terseret dalam ke-gembiraan itu dan dia pun mengumumkan "Sebutan itu
memang tepat sekali. Na-manya memang Dewi (Sian-li)!" Kembali orang bersorak. Ketika
Gangga Dewi melirik dan melihat betapa Sian Lun ti-dak ikut bertepuk tangan, bahkan wajah
pemuda itu nampak muram, ia pun me-nahan senyumnya. Ia segera mengenal pemuda ini
sebagai pemuda yang jatuh cinta kepada sumoinya, akan tetapi juga amat pencemburu
sehingga kalau ada orang lain, terutama pria, yang memuji Sian Li, dia akan merasa tidak
senang dan cemburu!
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
287 Gangga Dewi kembali memberi tanda dengan mengangkat kedua tangan ke atas dan suara
bising itu pun terhenti. "Lu-lung Ma, harap kau suka memulai dengan janjimu akan memberi
hadiah bunga-bu-nga kepada kami semua!"
Lulung Ma, Si Raksasa Muka Hitam itu, menjura dan dia membuat gerakan-gerakan seperti
biasa diperlihatkan tu-kang sulap, lalu kedua tangan seperti memetik sesuatu dari udara dan....
tiba-tiba saja di kedua tangannya telah me-megang masing-masing setangkai bunga yang
segar berikut beberapa batang daunnya, seolah-olah baru saja dia me-metiknya dari udara!
Akan tetapi, ketika semua penonton bersorak memuji, Sian Li, Sian Lun, Suma Ciang Bun
dan juga Gangga Dewi, hanya tersenyum. Mereka berempat adalah ahli-ahli silat yang
me-miliki penglihatan tajam, berbeda dengan orang biasa, dan mereka tadi melihat gerak
cepat dari tukang sulap itu yang mengeluarkan dua tangkai bunga itu dari dalam lengan baju
hitamnya yang longgar. Memang benar, Lulung Ma tidak mem-pergunakan alat yang sudah
dipersiapkan seperti ucapannya tadi, melainkan meng-gunakan kedua tangannya yang dapat
bergerak cepat bukan main sehingga ti-dak nampak oleh mata biasa. Jari-jari tangan yang
panjang itu ditekuk ke da-lam dan menjepit dua tangkai bunga dari dalam lubang lengan
bajunya. Sambil menjura ke kanan kiri me-nyambut tepuk tangan itu, Lulung Ma melangkah ke
panggung kehormatan dan menyerahkan dua tangkai bunga itu ke-pada Gangga Dewi dan
Sian Li sambil berkata lantang.
"Bunga-bunga yang paling indah dan paling segar untuk Yang Mulia Puteri Gangga Dewi
dan Dewi Bangau Merah!" Dua orang wanita itu tersenyum dan menerima bunga itu disambut
tepuk ta-ngan para penonton.
Sian Lun yang duduk dekat Sian Li, menjadi merah mukanya melihat betapa raksasa hitam
itu menyerahkan bunga kepada Sian Li sambil matanya yang lebar memandang tajam dan
menyapu seluruh tubuh dara itu. Teringat dia be-tapa tadi Si Hitam ini juga memuji Sian Li
cantik seperti dewi. Maka dengan hati panas dia menggunakan kesempatan itu untuk berkata
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sambil memandang kepada raksasa hitam itu.
"Engkau hanya mengambil bunga-bu-nga itu dari dalam lengan baju. Apa anehnya itu?"
Sepasang mata yang bulat dan besar itu kini memandang kepada Sian Lun dengan sinar mata
tajam mencorong, membuat Sian Lun agak terkejut akan tetapi tidak melenyapkan rasa tak
se-nangnya. Lulung Ma lalu bangkit berdiri, me-mandang kepada seluruh penonton baik yang di atas
panggung maupun yang di bawah. "Saudara sekalian, pemuda ini menuduh aku mengambil
bunga-bunga itu dari lengan baju. Apakah kalian melihat aku mengambil sesuatu dari lengan
baju" Serentak terdengar jawaban, "Tidak....! Tidak....!"
Lulung Ma lalu tersenyum dan me-mandang lagi kepada Sian Lun. "Kongcu (Tuan Muda),
apakah engkau mampu menyulap bunga seperti yang kulakukan tadi?"
Sian Lun diam saja. Andaikata di le-ngan bajunya ditaruhkan bunga lebih da-hulu sekalipun,
dia tentu tidak akan mampu mengambil secara cepat sehingga tidak terlihat orang. Untuk
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
288 pekerjaan itu dibutuhkan latihan yang lama sampai menjadi ahli benar. Dia menggeleng
kepala. "Suheng, jangan mencari keributan!" Sian Li tak senang mendengar celaan Sian Lun itu.
Gangga Dewi yang maklum apa yang terjadi di hati pemuda itu, tersenyum dan berkata,
"Memang dia tukang sulap, Sian Lun! Sudahlah, Lulung Ma, harap lanjutkan pertunjukanmu
yang menarik ini!"
Lulung Ma menjura ke arah Gangga Dewi, lalu mundur kembali ke tengah ruangan
mendekati tukang gendang yang masih asyik memukul gendangnya dengan irama lambat dan
lirih. Akan tetapi Sian Li tadi sempat melihat betapa pemuda jangkung yang tampan itu
memandang ke arah Sian Lun dengan sinar mata mencorong seperti orang marah. Lulung Ma
kini menggerak-gerakkan kedua ta-ngannya, memetik dari udara, menjambak rambut sendiri,
mengambil dari lubang telinga dan lain gerakan, akan tetapi setiap kali tangannya bergerak,
nampak setangkai bunga di tangan itu. Akan te-tapi sekali ini bukan dua batang bunga segar
seperti tadi melainkan berpuluh-puluh bunga kertas yang dia bagi-bagikan dan lampar-
lemparkan kepada para tamu dan penonton yang menyambut permainan sulapnya ini dengan
tepuk tangan meriah dan seruan-seruan keheranan.
Sian Li melihat betapa raksasa hitam itu sesungguhnya mempergunakan kece-patan kedua
tangannya untuk mengambil bunga-bunga kertas yang disembunyikan di dalam lengan baju
dan saku jubah hitamnya. Namun gerakannya memang amat cepat sehingga tidak nampak
oleh mata orang biasa yang tidak terlatih.
Setelah membagikan semua bunga kertas yang disulapnya secara amat me-ngesankan itu,
Lulung Ma lalu memberi hormat ke arah Gangga Dewi dan dia berkata, "Sekarang hamba
hendak menco-ba untuk mengubah kepala hamba men-jadi kepala naga, harap Paduka
memaaf-kan hamba." Mendengar ini, Gangga De-wi mengangguk. Diam-diam puteri ini
kagum juga kepada raksasa hitam yang ternyata pandai itu, dan mendengar orang itu hendak
mengubah kepalanya menjadi kepala naga, ia pun dapat men-duga bahwa Lulung Ma tentu
seorang ahli ilmu sihir. Dan melihat sikap Lulung Ma yang sebelumnya minta maaf
kepada-nya, hal itu menunjukkan bahwa raksasa hitam itu tentu sudah tahu akan
kepan-daiannya maka sebelumnya minta maaf. Kini Lulung Ma menghadapi para ta-mu dan
penonton. "Saudara sekalian ha-rap suka tenang, sekarang aku ingin me-ngubah kepalaku
menjadi kepala naga!"
Lalu dalam bahasa Han dia berkata sam-bil memandang ke arah Sian Li dan Sian Lun, "Dewi
Bangau Merah, saya akan mengubah kepala saya ini menjadi kepala naga!" Dan dia memberi
isarat kepada pemuda penabuh gendang yang segera mengganti gendangnya dengan tambur
dan terdengarlah derap bunyi tambur yang meledak-ledak dan bergemuruh se-perti ada badai
dan halilintar mengamuk!
Lulung Ma menggerakkan kaki ta-ngannya mengikuti suara tambur, dan makin lama
tubuhnya bergetar makin kuat, lalu dia mengeluarkan suara teriak-an melengking, "Saudara
lihat baik-baik, kepalaku adalah kepala naga, hitam!" Kembali dia mengeluarkan suara
meleng-king nyaring tinggi yang semakin meren-dah menjadi gerengan yang menggetarkan
seluruh ruangan itu, diikuti suara tambur yang menggelegar.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
289 Semua orang terbelalak, ada yang mengeluarkan teriakan, bahkan banyak wanita menjerit
dan Sian Li merasa be-tapa lengannya dipegang Sian Lun dengan kuat. Ia menoleh dan
melihat betapa Sian Lun terbelalak memandang ke arah Lulung Ma. Sian Li tersenyum dan
mengerti. Suhengnya itu memang telah me-miliki ilmu silat tinggi dan sin-kang yang kuat,
akan tetapi tidak pernah mempela-jari ilmu yang dapat menolak pengaruh sihir seperti Ia. Ia
sejak kecil telah di-latih untuk membangkitkan tenaga sakti dari ilmu silat Pek-ho Sin-kun
(Silat Sak-ti Bangau Putih) dan perlahan-lahan sekali, kekuatan itu tumbuh dalam dirinya dan
ia pun seperti memiliki kekebalan terhadap sihir. Tadi ia sudah menduga bahwa kakek raksasa
hitam itu tentu mempergunakan hoat-sut (sihir), maka ia pun sudah mengerahkan tenaga sakti
Pek-ho Sin-kun sehingga ia pun tidak terpengaruh dan melihat bahwa kepala Lulung Ma itu
tetap kepala yang tadi, tidak berubah menjadi kepala naga. Dan memang Sian Lun menjadi
terkejut dan tegang ketika seperti para penonton lain dia melihat bahwa kepala raksasa hitam
itu benar-benar berubah menjadi kepala naga hitam yang amat menyeramkan. Tentu saja
bentuk kepala naga itu tidak sama di antara para penonton, tergan-tung dari khayal mereka
masing-masing. Ketika Sian Li mengerling ke arah Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, ia
melihat dua orang tua ini memandang ke arah Lulung Ma sambil tersenyum tenang, tanda
bahwa mereka pun tidak terpenga-ruh. Hal ini tidaklah mengherankan. Suma Ciang Bun
adalah keturunan langsung dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang merupakan seorang
sakti dan ahli sihir pula, maka Suma Ciang Bun yang sudah menguasai tenaga sakti Im dan
Yang dari keluarga sakti itu, tidak ter-pengaruh. Demikian pula Gangga Dewi. Ia mewarisi
ilmu dari mendiang ayahnya, yaitu Si Jari Maut Wan Tek Hoat, maka begitu melihat kepala
itu berubah menja-di kepala naga, dengan cepat wanita ini mengerahkan sin-kangnya dan
buyarlah pengaruh sihir itu dari pikirannya.
"Suheng," bisik Sian Li kepada su-hengnya yang masih memegang lengannya dalam keadaan
tegang itu. "Tenanglah dan kerahkan sin-kangmu untuk meme-cahkan pengaruh yang
mencengkeram pendengaran dan penglihatanmu. Semua itu hanya ilmu sihir."
Mendengar bisikan ini, Sian Lun me-lepaskan pegangannya dan dia nampak memejamkan
kedua mata, menahan napas lalu mengatur pernapasan dan setelah dia membuka matanya lagi,
dia melihat bahwa kepala Lulung Ma kembali seperti biasa.
"Hemm, kiranya ilmu setan untuk menakut-nakuti anak kecil!" Sian Lun berkata untuk
melampiaskan kedongkolan hatinya bahwa tadi dia pun sampai terpengaruh dan sempat
terkejut dan gentar.
Lulung Ma memiliki pendengaran yang amat tajam dan dia dapat menangkap ucapan Sian
Lun itu. Dia mengeluarkan suara meraung dan bersamaan dengan bunyi tambur yang semakin
menurun, orang-orang melihat asap mengepul me-nutupi kepala naga itu dan ketika asap
lenyap, kepala itu sudah kembali menjadi kepala Lulung Ma. Para penonton ber-tepuk tangan
dan bersorak menyambut sulapan itu penuh kekaguman.
Kembali Sian Li melihat betapa pemuda penabuh tambur itu mengirim pan-dang mata penuh
kemarahan kepada Sian Lun sehingga hatinya merasa tidak enak. "Suheng, kuminta engkau
jangan menge-luarkan ucapan yang bukan-bukan. Ingat, kita ini tamu, dan mereka itu hanya
menyuguhkan pertunjukan untuk menghi-bur. Sekali lagi engkau bersikap seperti itu, aku
akan marah padamu," bisiknya. Sian Lun memandang kepadanya dan mengangguk. Dia pun
merasa betapa kepanasan hatinya tidak beralasan sama sekali dan dia merasa malu sendiri.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
290 Kini Lulung Ma sudah memberi hor-mat lagi kepada Gangga Dewi, lalu ke-pada para
penonton. "Sekarang, kami hendak mempersembahkan hiburan berupa permainan dan tari
ular!" Kakek raksasa hitam itu mengeluar-kan suling ularnya dan mulai meniup suling dengan suara
melengking-lengking. Pemuda penabuh tambur tadi bangkit, menghampiri belasan buah
keranjang dan membuka tutup semua keranjang itu, kemudian kembali dia menabuh tambur
perlahap-lahan seperti suara rintik hujan.
Suara suling melengking-lengking lembut dan para penonton menjadi tegang dan tidak berani
mengeluarkan suara atau bergerak ketika dari belasan buah keran-jang itu muncul kepala ular-
ular yang besar! Ular-ular itu mengangkat kepala tinggi-tinggi, seperti menjenguk keluar,
mengembangkan leher dan mendesia-desis, lidah menjilat-jilat keluar masuk, kemu-dian
mereka keluar dari dalam keranjang. Melihat ini, para penonton yang berada paling depan,
mundur ketakutan, bahkan para tamu yang duduk di panggung juga mengangkat kaki dengan
gentar. Ular-ular itu bukanlah ular biasa, melainkan ular kobra yang berbisa! Sekali saja
di-gigit ular berbisa itu, nyawa dapat me-layang!
Kini belasan ekor ular itu sudah ke-luar dari dalam keranjang masing-masing dan merayap
menghampiri Lulung Ma. Panjang ular itu dari satu sampai satu setengah meter. Mereka
merayap dengan kepala terangkat tinggi, kemudian tiba di depan Lulung Ma, belasan ekor
ular itu berhenti, masih mengangkat kepala tinggi-tinggi.
Lulung Ma menggerak-gerakkan lengan kirinya yang menjadi lemas seperti ular, dengan
tangan membentuk kepala ular, dan tangan kanannya memegang suling yang masih ditiupnya.
Pemuda itu juga memukul tambur dengan irama lirih dan lambat. Kini, ular-ular itu mulai
menari-nari, dengan kepala dilenggang-lenggok-kan, menoleh ke kiri kanan dan nampak
seperti belasan orang penari yang me-miliki gerakan lemah gemulai! Para penonton
memandang kagum, akan tetapi tidak berani bersorak atau bertepuk tangan, takut kalau
mengejutkan ular-ular itu.
Suma Ciang Bun pernah mempelajari ilmu menguasai ular dari mendiang ibu-nya. Ibunya
yang bernama Kim Hwee Li adalah seorang yang memiliki ilmu pa-wang ular, bahkan Suma
Ciang Bun per-nah mempelajari cara memanggil ular bukan dengan suling lagi, melainkan
dengan suara yang dikeluarkan dari bibir-nya seperti suitan panjang. Akan tetapi, kini dia
kagum menyaksikan kelihaian Lulung Ma mengatur ular-ularnya untuk menari seperti itu.
Hanya ular-ular peli-haraan yang sudah dilatih saja yang da-pat disuruh menari seperti itu.
Belum tentu raksasa hitam itu mampu mengua-sai dan mengendalikan ular-ular yang liar
pikirnya. Agaknya raksasa hitam itu seperti dapat membaca pikiran Suma Ciang Bun karena kini
dengan tangan kirinya, dia memberi isarat kepada tukang tambur. Pemuda itu lalu bangkit
meninggalkan tamburnya sehingga tinggal suara suling saja yang melengking dan
mengendalikan belasan ekor ular itu. Pemuda itu lalu menuruni tangga panggung dan dengan
suara lantang minta kepada penonton di bawah agar "membuka jalan" untuk barisan ular.
"Harap minggir dan membuka jalan. Semua ular di sekitar sini akan dipanggil untuk
mengadakan pesta ular!" katanya. Tentu saja orang-orang menjadi ketakutan dan membuka
jalan yang cukup lebar seperti dikehendaki pemuda itu. Si Pe-muda Jangkung kembali ke atas
panggung dan dia lalu menangkapi belasan ekor ular itu dangan tangannya den
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
291 mengem-balikan mereka ke dalam keranjang ma-sing-masing. Cara dia menangkap ular-ular
itu saja sudah membuat Suma Ciang Bun, Sian Li dan Sian Lun tahu bahwa pemuda itu dapat
menggerakkan tangan dengan amat cepatnya. Bahkan ketika ular terakhir hendak ditangkap,
ular itu mematuk dengan serangan cepat sekali. Akan tetapi, dengan sikap amat tenang,
pemuda itu sudah dapat mendahului, jari tangannya menjepit leher ular dengan amat cekatan
dan memasukkan ular itu ke dalam keranjangnya. Diam-diam Sian Li kagum. Gerakan
mengelak dan menje-pit leher ular dengan telunjuk dan ibu jari itu tadi jelas merupakan
gerakan seorang ahli silat yang pandai. Dengan jepitan seperti itu, pemuda itu agaknya akan
mampu menangkap senjata rahasia yang menyambar ke arahdirinya. Ia me-rasa yakin bahwa
pemuda jangkung itu tentu pandai ilmu silat.
Kini pemuda jangkung itu sudah me-nabuh tamburnya kembali, mengiringi bunyi suling
yang melengking begitu tinggi sehingga hampir tidak terdengar, namun terasa getarannya.
Suma Ciang Bun terkejut. Itulah lengking tinggi me-manggil ular yang amat kuat dan
berpe-ngaruh. Baru dia tahu bahwa tadi dia memandang rendah. Kiranya raksasa hi-tam ini
bukan saja mampu memanggil ular-ular liar. Jantungnya berdebar te-gang. Sungguh
berbahaya permainan ini, apalagi di situ berkumpul banyak orang. Bagaimana kalau ular-ular
itu tidak da-pat dikendalikan dan menyerang orang"
Semua orang juga memandang tegang dan tiba-tiba mulailah terdengar suara mendesis-desis
dan tercium bau amis. Segera terjadi kekacauan ketika para penonton di bawah ada yang
berteriak-teriak.
"Ular....! Ular....!"
Pemuda itu sambil terus memukul tamburnya, berteriak dengan suara lan-tang, "Harap
tenang! Jangan ada yang bergerak, dan ular-ular itu tidak akan mengganggu!"
Kini nampaklah ular-ular itu. Memang benar, ketika para penonton tidak ber-gerak, ular-ular
itu tidak mengganggu. Memang mereka datang dari empat pen-juru, bahkan melalui dekat
kaki para penonton, akan tetapi mereka semua seperti tergesa-gesa menuju ke tangga dan naik
ke panggung, menghampiri ka-kek raksasa hitam yang meniup suling! Banyak sekali ular-ular
itu, puluhan ekor, bahkan ratusan ekor banyaknya, ada yang besar sekali, banyak yang kecil
namun amat berbisa!
Banyak di antara para tamu bangkit dari tempat duduk mereka karena mera-sa ngeri dan takut
kalau-kalau kaki me-reka akan diserang ular. Juga Sian Li dan Sian Lun bangkit berdiri,
bukan ta-kut diserang ular, melainkan khawatir kalau ada tamu yang dipatuk ular. Se-orang
gadis remaja, puteri kepala dusun yang duduk tak jauh dari mereka, nam-pak pucat sekali dan
gadis remaja itu agaknya memang takut ular. Tubuhnya menggigil dan ketika ada dua ekor
ular yang panjangnya hanya dua kaki akan tetapi ular-ular itu amat berbisa, lewat di dekat
kakinya, gadis remaja itu men-jerit. Dua ekor ular itu kaget dan mem-balik. Melihat itu,
seperti berebut saja Sian Li dan Sian Lun meloncat, mende-kati gadis itu. Gerakan mereka ini
mem-buat dua ekor ular yang sudah marah dan tadinya hendak menyerang gadis yang
menjerit, membalik dan menyerang ke arah Sian Li dan Sian Lun. Ular yang menyerang Sian
Lun dan Sian Li itu ada-lah semacam ular yang suka melompat tinggi. Kini mereka pun
meloncat dan menyerang dengan kecepatan anak panah.
Akan tetapi dengan tenang saja Sian Li menggerakkan tangannya, dan sekali jari-jari
tangannya menghantam, ular yang menyerangnya itu terbanting dengan kepala remuk dan
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
292 tewas seketika! Ada-pun ular yang menyerang Sian Lun, di-sambut oleh pemuda itu dengan
cengke-raman ke arah leher ular itu. Sekali dia meremas, leher ular itu hancur dan ular itu pun
mati seketika. Lulung Ma, melihat hal itu dan alisnya berkerut. Alis yang tebal sekali itu kini seperti
bersambung menjadi satu. Tiupan sulingnya menjadi kacau karena hatinya panas melihat dua
ekor ularnya mati, dan hal ini membuat ular-ular itu menja-di panik dan kacau pula! Orang-
orang menjerit ketika ular-ular itu mulai lari ke sana sini dengan kacau.
Melihat hal ini, Suma Ciang Bun ce-pat bertindak. Terdengar suara meleng-king aneh dan
meninggi, dan ular-ular itu menjadi ketakutan. Lenyap semua kemarahan mereka dan mereka
pun tidak ganas lagi, melainkan ketakutan dan me-reka lari secepatnya meninggalkan tempat
itu seperti dikejar-kejar sesuatu yang membuat mereka ketakutan!
Lulung Ma menghentikan tiupan sulingnya. Dia dan pemuda jangkung tukang tambur itu
menoleh ke arah Suma Ciang Bun, memandang dengan mata terbelalak. Kemudian, setelah
se-mua ular pergi, hanya tinggal dua ekor bangkai ular, Lulung Ma lalu memberi isarat
kepada Si Pemuda Jangkung yang segera mengambil dua bangkai ular dan menyimpannya
dalam sebuah keranjang. Kemudian Lulung Ma menjura ke arah Gangga Dewi, tentu saja
otomatis ke arah Suma Ciang Bun.
"Harap dimaafkan, karena ada yang menjerit ketakutan, ular-ular itu menjadi panik. Masih
untung ada Enghiong (Orang Gagah) yang membantu kami mengusir ular-ular itu sehingga
tidak ada korban gigitan. Untuk menyatakan maaf, biarlah murid saya ini bermain silat, dan
kami akan memperlihatkan tari silat yang je-lek dan hanya sekedar menghibur anda sekalian."
Akan tetapi sebelum Si Jangkung itu bangkit berdiri, dari tempat para penari yang tadi
minggir, berlompatan dua orang yang tadi juga menjadi pemain musik. Mereka berusia
kurang lebih tiga puluh tahun, yang seorang bertubuh ge-muk, yang ke dua kurus, akan tetapi
keduanya tinggi, setinggi raksasa hitam itu dan nampak mereka itu memiliki tenaga otot yang
kuat. Melihat mereka, Lulung Ma tersenyum dan kembali menjura kepada para tamu. "Agaknya
dua orang pembantu kami ini ingin pula memperlihatkan kepandaian mereka untuk
menghibur para tamu. Badhu dan Sagha, silakan!"
Dua orang itu memberi isarat kepada kawan-kawan mereka dan beberapa orang datang
menggotong sebuah keranjang terisi batu-batu sebesar kepala orang.
Setelah meletakkan keranjang itu di de-pan Badhu dan Sagha, mereka turun kembali.
Badhu yang gemuk dengan perut gen-dut itu berdiri tegak dengan kedua lutut agak ditekuk,
memasang kuda-kuda dan memberi isarat kepada kawannya yang tinggi kurus bernama
Sagha. Orang ini lalu mengambil sebongkah batu dari ke-ranjang, lalu sekuat tenaga dia
menghantamkan batu itu ke arah perut temannya. Perut yang gendut itu menerima hantam-an
batu. "Bukkk!" Pukulan itu membalik. Sa-gha mundur sejauh dua meter lebih, lalu sekuat tenaga
dia melontarkan batu itu ke arah perut kawannya.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
293 "Bukk!!" Batu itu mengenai perut dan mental kembali ke arah Sagha yang me-nyambut
dengan kedua tangan. Kemudian, Sagha melemparkan batu itu menghantam ke arah dada,
paha, pundak, bahkan dari belakang mengenai punggung dan pinggul. Akan tetapi batu itu
selalu mental kem-bali. Tentu saja semua orang menjadi kagum. Tubuh Si Gendut itu
memang kebal. Kemudian, Badhu juga mengambil sebongkah batu dan menghantamkan batu
ke arah Sagha yang kurus. Si Kurus ini menyambut dengan batu di tangannya.
"Darr....!" Dua buah batu itu pecah berhamburan. Mereka mengambil batu lagi dan kini
mereka saling hantam, bukan saja di tu-buh, melainkan di kepala. Akan tetapi setiap kali batu
itu dihantamkan ke kepala lawan, batu itu pecah berhamburan! Tentu saja para penonton
menyambut dengan sorak-sorak dan tepuk tangan karena pertunjukan ini benar-benar
me-negangkan dan juga mengagumkan. Ba-gaimana kepala orang dapat begitu kebal dan
keras sehingga batu besar pun pecah ketika bertemu kepala!
Setelah sepuluh buah batu besar itu pecah, kedua orang itu lalu mengadu kekuatan dengan
bergulat! Badhu yang gendut berhasil memegang pinggang Sa-gha yang kurus dengan kedua
tangan, mengerahkan tenaga mengangkat tubuh kurus itu ke atas, memutar-mutarnya dan
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membanting sekuat tenaga.
"Bukkk....!" Tubuh kurus itu terbanting dan kalau orang lain dibanting sekeras itu, tentu akan
patah-patah semua tulangnya. Akan tetapi seperti sebuah bola saja, Si Kurus sudah meloncat
bangun kembali, dan kini dia menyergap Si Gen-dut, menangkap lengannya, dipuntir ke
belakang dan dari belakang tubuhnya dia membanting kawannya itu dengan sepe-nuh tenaga.
"Bukkk!" Tubuh gendut gemuk itu terbanting dan semua orang merasa kha-watir. Akan
tetapi seperti juga temannya tadi, segera dia bangkit kembali, seolah--olah bantingan tadi
sama sekali tidak dirasakannya.
Sekarang mereka tidak bergulat lagi, melainkan berkelahi saling pukul dan saling tendang.
Dan agaknya mereka ingin memamerkan kecepatan gerakan mereka. Pukulan dan tendangan
mereka elakkan atau tangkis, dan yang sempat mengenai tubuh pun tidak dirasakan ka-rena
keduanya memiliki kekebalan. Demikian serunya perkelahian itu sehingga memancing tepuk
sorak para penonton yang merasa kagum bukan main karena mereka seperti melihat dua ekor
harimau bertarung. Memang hebat sekali perkela-hian itu, apalagi diiringi musik tambur dan
genderang yang dipiikul secara kuat oleh Lulung Ma dan pemuda jangkung. Akhirnya,
Lulung Ma yang memukul gen-dang memberi isarat dengan pukulan gendangnya yang
semakin lambat dan lirih dan akhirnya dua orang yang sedang bertanding itu pun
menghentikan pertan-dingan mereka. Dengan sikap bangga dan dada terangkat, Si Gendut
yang bernama Badhu lalu memandang kepada para tamu dan para penonton.
"Saudara sekalian, kurang menarik kalau hanya saya dan adik saya Sagha ini yang bertanding
karena kami berdua sama kuat dan tidak ada yang dapat menang atau kalah. Kita semua tahu
betapa kuatnya bangsa kita yang hidup di sekitar Pegunungan Himalaya ini, ti-dak dapat
disamakan dengan mereka yang tinggal di timur, yang kerempeng dan berpenyakitan. Akan
tetapi, kalau ada di antara saudara yang mengaku orang timur dan merasa memiliki
kepan-daian yang katanya dimiliki orang-orang di dunia persilatan, silakan maju. Mari kita
ramaikan pertemuan ini dengan main-main sebentar untuk membuka mata kita siapa
sesungguhnya yang lebih kuat antara orang-orang di Pegunungan Himalaya!" Dengan sikap
menantang Badhu dan Sagha berdiri di situ sambil memandang ke arah Sian Lun dan Sian Li,
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
294 juga Suma Ciang Bun. Jelas bahwa biar dia tidak menantang secara langsung, akan tetapi di
tempat itu yang jelas merupakan pendatang dari timur adalah mereka bertiga itu.
Sian Lun dan Sian Li, saling pandang dan dari pandang mata itu mereka ber-sepakat untuk
menyambut tantangan itu. Sian Li menoleh kepada nenek Gangga Dewi dan bertanya,
"Bolehkah kami me-layani tantangan mereka?"
Gangga Dewi dan suaminya saling pandang. Diam-diam Gangga Dewi juga marah melihat
sikap dua orang pegulat itu yang dianggapnya terlalu sombong dan merendahkan orang-orang
Han de-ngansengaja. Ia mengangguk dan menja-wab. "Biar Sian Lun yang maju lebih dulu
menghadapi Badhu, dan engkau nanti yang menghadapi Sagha."
Sian Lun yang sejak tadi sudah men-dongkol sekali, segera bangkit dan sekali menggerakkan
kaki, tubuhnya sudah me-layang ke depan dua orang itu.
"Aku orang dari timur yang kerem-peng dan lemah ingin mencoba kehebatan seorang di
antara kalian!" kata Sian Lun dengan suara lantang.
Suasana menjadi tegang. Semua orang tahu bahwa pemuda tampan itu adalah anggauta
rombongan Puteri Gangga Dewi dan dari pakaiannya saja jelas dapat diketahui bahwa dia
seorang pemuda Han.
Kalau saja Sian Lun bukan anggauta rombongan Puteri Gangga Dewi, tentu Badhu sudah
mengejek dan menghinanya. Akan tetapi mengingat akan kehadiran puteri Bhutan itu, Badhu
tidak berani bersikap kasar dan dia pun menjura se-bagai penghormatan.
"Saya tidak berani menentang Kongcu, dan yang saya maksudkan adalah mereka yang
datang dari timur daerah Se-cuan. Akan tetapi kalau tidak ada yang berani maju kecuali
Kongcu baiklah saya akan layani Kongcu main-main sebentar."
Sagha tersenyum dan Si Tinggi Kurus ini lalu mengundurkan diri ke rombongan penari dan
pemain musik tadi. Kini Lu-lung Ma dan pemuda penabuh tambur memukul tambur dan
gendang dengan gencar dan mereka kelihatan gembira sekali. Sian Li yang memandang
rendah dua orang pegulat itu, berseru dengan lantang.
"Suheng, jangan sampai membunuh orang!"
Sian Lun mengangguk, dan mendengar ucapan gadis itu, Lulung Ma dengan ta-ngan masih
menabuh gendang, menjawab. "Nona Dewi Bangau Merah, pembantuku Badhu ini belum
pernah dikalahkan lawan bagaimana mungkin dia dapat dibunuh" Dan jangan khawatir, kami
juga tidak mau membunuh orang dalam pesta ini, hanya sekadar menghibur dengan
pertun-jukan menarik. Badhu, mulailah!"
Dua orang itu sudah saling berhadap-an. Sian Lun bersikap tenang walaupun hatinya panas
mendengar ucapan Lulun Ma tadi. Namun dia sebagai murid suami isteri yang sakti, tahu
bahwa membiar-kan diri diseret perasaan amat merugikan. Dia tetap tenang dan waspada, dan
dia mengikuti setiap gerakan lawan dengan pandang matanya yang mencorong tajam.
Bagaikan seekor biruang, Badhu yang gendut itu mengangkat kedua tangan ke atas kanan kiri
kepala, lalu membuat langkah perlahan mengitari Sian Lun. Pemuda itu mengikuti dengan
gerakan kakinya tetap waspada.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
295 "Kongcu, silakan menyerang lebih du-lu," kata Badhu yang memandang rendah pemuda
yang nampak lemah itu.
"Badhu, engkau yang memantang, eng-kau pula yang harus menyerang lebih dulu," jawab
Sian Lun dengan sikap tetap tenang.
"Ha-ha-ha, engkau terlalu sungkan, Kongcu. Baiklah, aku akan menyerang lebih dulu. Awas
seranganku ini!" Tangan kirinya menyambar dari atas, akan teta-pi Sian Lun membiarkan saja
karena dia tahu dari gerakan pundak lawan bahwa tangan kiri itu hanya menggertak saja,
sedangkan yang sungguh menyerang ada-lah tangan kanan yang menyambar ke arah
pundaknya. Agaknya lawan terlalu memandang rendah kepadanya, disangka-nya akan begitu
mudah dia tangkap!
Hanya dengan memutar tubuh sedikit saja, tubrukan tangan kanan itu menge-nai tempat
kosong. Badhu menyusulkan serangannya bertubi-tubi. Kedua tangan-nya bagaikan cakar
biruang menyambar-nyambar untuk menyengkeram dan me-nangkap. Sian Lun maklum
bahwa orang ini memiliki keahlian dalam ilmu gulat, maka dia harus menjaga agar jangan
sampai dia dapat ditangkap. Tangkapan atau cengkeraman seorang ahli gulat dapat berbahaya.
Maka, dia pun menge-lak selalu dan kadang menangkis dari samping tanpa memberi
kesempatan ke-pada jari-jari tangan yang panjang itu untuk menangkapnya.
Ketika Badhu yang mulai penasaran karena semua sambaran tangannya tak pernah berhasil
itu menubruk seperti se-ekor harimau, dengan kedua lengan di kembangkan. Sian Lun
menggeser kakinya ke kiri dan tubuhnya mengelak dengan lincah dan begitu tubuh Badhu
lewat di sebelah kanannya, dia pun mengerahkan tenaga dan menghantam ke arah lambung
lawan. "Desss....!" Tubuh lawan itu terbanting keras dan bergulingan, akan tetapi seperti bola karet,
dia sudah bangkit kembali dan sama sekali tidak kelihatan sakit, bahkan meloncat dan
menubruknya lagi. Sekali ini Badhu marah karena biarpun dia tidak terluka, namun dia telah
terbanting dan hal ini bisa dianggap bahwa dia kalah oleh para penonton. Kini dia tidak hanya
menubruk, bahkan mencengkeram ke arah kepala.
Dia memang kebal, pikir Sian Lun. Kembali dia mengelak dan sekali ini, dia tidak mau
menggunakan tenaga untuk memukul lawan begitu saja, melainkan dia menggunakan tangan
yang dibuka, dan tangan itu menampar ke arah muka orang. Yang diarah adalah hidung dan
mata karena yakin bahwa betapa pun kebal kepala itu, kalau hidung dan mata tidak mungkin
dilatih kekebalan.
"Plakkk!"
Tubuh itu tidak terguncang, akan tetapi Badhu mengeluarkan seruan kesakitan dan kedua
tangannya menutupi mukanya. Ketika dia menurunkan tangannya, hidungnya menjadi biru
dan sebelah matanya juga dilingkari warna menghitam!
Badhu adalah orang kasar yang biasa mempergunakan kekerasan. Kalau dia biasa
menggunakan otaknya, tentu dia tahu bahwa dia berhadapan dengan lawanyang jauh lebih
tinggi ilmunya dibandingkan dia yang hanya menggunakan kekuatan otot dan keras serta
tebalnya tulang dan kulit. Kini, dia menjadi marah sekali dan lupa diri. Dia menggereng
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
296 seperti harimau terluka dan dia menyerang Sian Lun dengan liar dan membabi-buta. Serangan
membabi-buta seperti itu malah berbahaya, pikir Sian Lun. Maka dia pun menggunakan
kelincahan tubuhnya, mengelak sambil membalas dengan pukulan-pukulan tangan terbuka
yang ditujukan ke arah bagian badan yang tidak mungkin dilatih kekebalan. Berkali-kali
tangannya menampar daun telinga, sambungan siku dan pergelangan tangan, kakinya
menen-dang ke arah sambungan lutut kedua kaki lawan.
"Brukk....!" Sekali ini Badhu jatuh dan biarpun dia berusaha untuk bangkit, dia jatuh kembali
karena sambungan kedua lututnya telah berpindah tempat! Para penonton menahan napas dan
suasana menjadi tegang bukan main. Tidak ada yang berani bertepuk tangan karena selain
mereka merasa bangga kepada Badhu juga mereka masih tidak dapat percaya bahwa seorang
pemuda yang kelihatan lemah itu benar-benar mampu membuat Badhu bertekuk lutut tanpa
mengalami cidera sedikit pun, bahkan belum pernah tersentuh tangan raksasa gendut itu!
Terdengar tepuk tangan dan ternyata yang bertepuk tangan adalah Sian Li! Biarpun hanya ia
seorang yang bertepuk tangan, akan tetapi karena ia sengaja mengerahkan tenaganya, maka
suara te-puk tangannya amat nyaring.
Sagha sudah membawa teman-teman pemain musik untuk membantu Badhu meninggalkan
gelanggang pertandingan dan dia sendiri menghadapi Sian Lun dengan muka merah.
"Kongcu hebat dapat mengalahkan Kakakku, akan tetapi aku pun ingin mengadu ilmu
denganmu. Bersiaplah!"
Sian Lun tentu saja tidak takut. akan tetapi pada saat itu nampak berkelebat bayangan merah.
"Suheng, jangan tamak! Yang satu ini bagianku!"
Sian Lun memandang kepada sumoinya dan tersenyum.
"Hati-hati Sumoi, jangan kesalahan tangan membunuh orang, katanya dan dia pun kembali
ke tempat duduknya. Semua tamu dan penonton kini memandang kepada Sian Li dan karena
mereka tadi sudah kagum kepada gadis jelita itu, kini melihat gadis itu berani manghadapi dan
hendak melawan seorang jagoan seperti Sagha, tentu saja mereka semakin kagum, juga
perasaan hati me-reka tegang. Bagaimana kalau kulit yang halus mulus itu sampai lecet,
tulang yang kecil lembut itu sampai patah-patah. Tentu saja tidak ada yang mengira bahwa
tingkat kepandaian dara itu bahkan lebih tinggi daripada tingkat kepandaian pemuda tampan
yang tadi mempermainkan dan mengalahkan Badhu!
Sagha sendiri terkenal jagoan. Karena dia merasa bangga kepada diri sendiri dan jarang
menemui tandingan, maka kini dihadapi seorang dara sebagai calon lawan, tentu saja dia
merasa sungkan dan tidak enak sekali.
"Nona, aku Sagha adalah seorang laki laki yang gagah perkasa dan tak pernah mundur
menghadapi lawan yang bagaima-napun juga. Akan tetapi, bagaimana mumgkin aku berani
melawan seorang dara yang masih setengah kanak-kanak seperti Nona" Seluruh dunia akan
mentertawakan aku, menang atau pun kalah. Lebih baik aku melawan lima orang laki-laki
yang mengeroyokku daripada harus bertanding melawan seorang dara rema-ja!"
Sian Li tersenyum mengejek. "Sagha, katakan saja engkau takut melawan aku. Kalau engkau
takut, berlututlah dan ca-but semua omongan kalian yang sombong tadi, yang mengejek dan
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
297 menghina para pendekar dari dunia persilatan di timur! Engkau harus menarik ucapanmu tadi
dan mohon maaf, baru aku dapat mengampunimu!"
Mereka yang memahami bahasa Han, menjadi bengong mendengar ucapan gadis itu. Betapa
beraninya! Dan mereka yang tidak paham, cepat bertanya kepada te-man mereka yang
mengerti dan semua orang kini memandang kepada Sian Li dengan kaget dan heran. Seorang
gadis yang usianya belum dewasa benar berani bersikap demikian meremehkan terhadap
seorang jagoan seperti Sagha yang tadi sudah mendemontrasikan kekebalan dan kehebatan
tenaganya! Baru kepala dan tubuh yang lain saja demikian kuatnya, kepalanya mampu
membikin pecah batu, apalagi tangannya. Sekali sentuh saja, mungkin kepala gadis remaja itu
akan remuk! Mendengar ucapan Sian Li, Sagha mengerutkan alisnya dan mukanya menja-di merah sekali.
Kalau bukan seorang gadis yang mengucapkan kata-kata tadi, tentu telah dihantamnya. Akan
tetapi dia berhadapan dengan seorang gadis anggauta rombongan Sang Puteri Gangga Dewi
pula, tentu saja dia tidak berani sembarangan.
"Nona, mungkin saja Nona pernah mempelajari ilmu silat, akan tetapi eng-kau bukan
lawanku. Aku tidak takut ke-padamu, melainkan takut kalau dlterta-wakan orang gagah
sedunia. Pula, bagai-mana aku berani bertanding dengan eng-kau yang datang bersama Yang
Mulia Puterl Gangga Dewi" Aku takut menda-pat marah dari beliau."
Gangga Dewi yang mendengar ucapan Sagha itu tersenyum. Ia sudah tahu bah-wa Sian Li
telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat, bahkan tingkatnya lebih tangguh dibandingkan
suhengnya. Oleh karena itu, tentu saja ia merasa yakin bahwa Sian Li akan mampu
menandingi dan bahkan mengalahkan Sagha dengan mudah. Juga ia ingin orang yang
som-bong itu menerima hajaran karena telah berani mengejek dan menghina para pen-dekar
Han. "Sagha, engkau boleh bertanding me-lawan Si Bangau Merah. Kalau engkau mampu
menang, baru aku mengaku bahwa engkau memang seorang jagoan yang hebat."
Sagha memberi hormat kepada Gang-ga Dewi. "Maafkan saya. Akan tetapi bagaimana kalau
hamba kesalahan tangan dan melukai Nona ini" Hamba tidak ingin Paduka nanti marah
kepada hamba."
Gangga Dewi tertawa. "Aku tidak akan marah dan semua orang yang bera-da di sini menjadi
saksinya."
"Terima kasih, Yang Mulia," kata Sagha dan kini dia menghadapi Sian Li. "Baik, Nona. Mari
kita main-main seben-tar."
"Tidak usah main-main, keluarkan se-mua kepandaianmu dan seranglah sung-guh-sungguh
karena aku akan meroboh-kanmu!" kata Sian Li.
Hemm, bocah ini terlalu memandang rendah kepadaku, pikir Sagha marah. Dia pun tidak
sungkan-sungkan lagi dan me-ngambil keputusan untuk membikin malu gadis itu di depan
umum, misalnya de-ngan merobek baju itu!
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
298 "Nona, jaga seranganku ini!" Dan ke-dua tangannya yang besar dengan lengan yang panjang
itu sudah bergerak cepat menyambar ke arah tubuh dara remaja itu tanpa sungkan lagi.
Dibandingkan Badhu, Sagha yang tinggi kurus ini me-mang lebih sigap dan cepat.
"Hyaaaahhhh....!" Dia membentak sam-bil menyerang.
"Plakkk!" Kedua telapak tangannya saling bertemu dari kanan kiri dan me-ngeluarkan bunyi
keras ketika terkaman-nya itu luput, dan gadis yang tadi berada di depannya itu telah lenyap.
Cepat dia membalik dan kembali kedua lengan pan-jang itu bergerak seperti dua ekor ular,
akan tetapi kembali terkamannya menge-nai tempat kosong. Makin cepat dia me-nyerang,
semakin cepat pula Sian Li bergerak sehingga semua penonton men-jadi bengong saking
kagumnya. Tubuh gadis itu lenyap dan yang nampak hanya bayangan merah berkelebatan
dengan amat cepatnya, menyambar-nyambar di antara terkaman dan cengkeraman kedua
tangan Sagha. Tiba-tiba, ketika Sian Li menganggap sudah cukup lama mempermainkan lawan, ia berseru
nyaring dan jari telunjuk kiri-nya meluncur bagaikan patuk burung bangau mematuk dengan
cepat seperti kilat menyambar."Haiiitttt....! Tukkk!" Telunjuk kiri itu menotok dua kali ke
pundak dan dada dan seketika Sagha tidak mampu berge-rak karena dia telah menjadi korban
ilmu totok ampuh It-yang Sin-ci yang dipelajari gadis itu dari Yok-sian Lo-kai. Sian Li juga
telah menguasai ilmu totok lain seperti Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) yang hebat dari
paman kakeknya, akan tetapi ia menggunakan It-yang Sin-ci untuk mempraktekkan ilmu yang
baru saja ia pelajari dari Raja Obat itu. Dan pada saat lawan tak mampu bergerak, kaki Sian Li
menyambar ke arah lutut dan Sagha yang tidak mampu mengerah-kan tenagalagi roboh
terpelanting. Pada saat lawan terpelanting itu, Sian Li membebaskan kembali totokannya.
Para penonton kini tidak mampu lagi menahan kekaguman dan kegembiraan mereka melihat
betapa Dewi Bangau Merah telah benar-benar mampu mero-bohkan Sagha! Terdengar tepuk
sorak riuh menyambut kejatuhan Sagha.
"Hemmm, mana kepandaianmu yang membuat engkau sombong dan mengejek para
pendekar dari timur" Hanya sebegi-ni saja?" Sian Li mengejek dengan suara lantang, dan
kembali terdengar orang menyambut dengan suara riuh. Wajah Sagha sebentar pucat sebentar
merah dari dia meloncat berdiri.
"Aku belum kalah!" bentaknya dan dia pun menyerang, kini bukan ingin me-nangkap dan
merobek baju gadis itu, melainkan memukul dan menendang de-ngan dahsyat! Sagha sudah
marah sekali dan lupa bahwa yang dilawannya hanya seorang dara remaja. Dia menyerang
bukan lagi untuk mencari kemenangan, melainkan untuk membunuh!
Namun, dia seperti mengamuk dan menyerang bayangan saja. Semua pukulan cengkeraman
dan tendangannya hanya mengenai udara kosong sampai terdengar suara bersiutan. Tiba-tiba,
begitu melihat kesempatan baik, kembali jari telunjuk tangan kiri gadis itu meluncur dan
se-perti tadi, seketika tubuh Sagha tidak dapat dia gerakkan dan sekali ini, sambil membentak
nyaring Sian Li menendang atau mendorong dengan kakinya sambil mengerahkan tenaga dan
tubuh tinggi kurus itu terlempar keluar dari panggung dan jatuh menimpa kawan-kawannya,
yaitu para penari dan penabuh musik di mana terdapat pula Badhu yang telah dikalahkan Sian
Lun! Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
299 Tepuk tangan dan sorak yang riuh menyambut kemenangan Sian Li ini. Akan tetapi ketika
Sian Li berjalan kem-bali ke tempat duduknya, suara tambur dan gendang terhenti tiba-tiba
dan kini Lulung Ma dan pemuda tampan jangkung telah berdiri berdampingan sambil
berto-lak pinggang. Lulung Ma mengeluarkan teriakan yang mengatasi keriuhan di situ,
suaranya nyaring sekali dan terdengar oleh semua orang.
"Saudara sekalian! Dua orang pemban-tu kami telah kalah karena mereka me-mang bodoh.
Sekarang, kami berdua me-nantang siapa saja yang memiliki kepan-daian untuk mengadu
ilmu di sini. Kami menantang semua dan siapa saja, tidak terkecuali!"
Pandang mata Lulung Ma ditujukan kepada Suma Ciang Bun, sedangkan pan-dang mata
pemuda jangkung itu ditujukan kepada Liem Sian Lun! Biarpun mereka tidak menuding, jelas
bahwa dua orang Han itulah yang mereka tantang!
Tiba-tiba Gangga Dewi yang sudah berdiri seperti yang lain,menuding ke arah Lulung Ma
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan terdengar suaranya yang lembut namun lantang. "Lulung Ma, sikapmu menunjukkan
bahwa engkau dan orang-orangmu ini aga
karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
270 selalu mengenakan pa-kaian putih, dara ini selalu mengenakan pakaian berwarna merah.
Namanya Tan Sian Li dan seperti telah kita ketahui Sian Li diminta oleh paman kakeknya,
yaitu pendekar sakti Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng, untuk mewa-risi ilmu silat
mereka. Suma Ceng Liong adalah adik dari nenek Sian Li yang ber-nama Suma Hui, yaitu
nenek dari ibunya. Biarpun ayah Sian Li sendiri seorang pendekar yang memiliki ilmu
kepandaian hebat, bahkan tidak kalah dibandingkan ilmu kepandaian Suma Ceng Liong,
na-mun dia dan isterinya merasa tidak enak untuk menolak niat baik paman mereka itu.
Apalagi, Suma Ceng Liong merupa-kan keturunan dari keluarga Pendekar Pulau Es dan
memiliki ilmu kepandaian yang khas, sedangkan isterinya juga seorang pendekar wanita sakti,
puteri dari Pendekar Suling Emas Kam Hong.
Telah lima tahun Sian Li digembleng oleh suami isteri itu di dusun Hong-cun, luar kota Cin-
an di Propinsi Shantung.
Setiap tahun sekali, jatuh pada hari ta-hun baru, ayah ibunya, yaitu Tan Sin Hong dan Kao
Hong Li, selalu datang berkunjung. Melihat bakat yang baik dari Sian Li, apalagi karena dara
ini sejak kecil telah mendapat pendidikan dasar yang amat kuat dari ayah ibunya, maka suami
isteri itu mengajarkan ilmu-ilmu silat simpanan mereka kepada dara itu sehingga selama
belajar lima tahun lamanya, Sian Li telah menjadi seorang gadis yang amat lihai. Bahkan
kelihaiannya melampaui tingkat yang dimiliki suhengnya, yaitu Liem Sian Lun.
Pemuda berusia dua puluh tahun yang bersajak tadi adalah Liem Sian Lun, su-hengnya. Sian
Lun kini telah menjadi seorang pemuda dewasa yang bertubuh tinggi besar, gagah dan
tampan. Wajah-nya selalu cerah dan dia pun pendiam tidak banyak bicara, kecuali kalau
diajak bicara tentang sajak. Dia amat suka dan pandai membuat sajak. Suma Ceng Liong dan
isterinya, Kam Bi Eng, memang ti-dak mengabaikan pendidikan sastra ter-hadap Sian Lun
dan Sian Li. Mereka mengundang guru sastra yang pandai un-tuk mengajarkan ilmu sastra
yang lebih mendalam kepada dua orang murid itu.
Senja itu memang cerah dan indah. Sejak tadi sebelum Sian Li mancari, Sian Lun sudah
duduk termenung seorang diri di lereng bukit yang berada di luar dusun Hong-cun itu. Tempat
ini merupakan tempat kesayangannya, di mana dia dan sumoinya seringkali bermain-main
sejak Sian Li berusia dua belas tahun dan da-tang ke tempat itu. Bukit yeng tidak besar,
namun berada di lereng bukit itu, pemandangan alamnya amat indah. Mere-ka dapat melihat
dusun Hong-cun di kaki bukit dan mereka dapat menikmati kein-dahan senjakala di situ
karena lereng bukit itu berada di sebelah barat.
Ketika tadi melihat keindahan senja yang cerah, melihat burung-burung ba-ngau terbang
melayang di angkasa me-lintasi matahari senja, agaknya hendak pulang ke sarang, teringatlah
Sian Lun kepada sumoinya. Sumoinya itu diberi julukan Bangau Merah oleh suhu dan
su-bonya. Julukan yang tepat sekali karena sumoinya selalu berpakaian merah, sumoinya
puteri Pendekar Bangau Putih dan kalau sudah bersilat, gerakan sumoinya demikian indah,
seindah gerakan burung bangau yang sedang terbang. Ma-ka, keindahan dan lamunan
membuat dia bersajak tentang bangau merah dan tentang keinginan hatinya untuk menjadi
pelindung Sang Bangau Merah! Sajak ini merupakan cetusan hatinya karena diam-diam Liem
Sian Lun telah jatuh cinta setengah mati kepada sumoinya, Si Ba-ngau Merah!
Biarpun dia belum berani menyatakan isi hatinya secara berterang kepada Sian Li, namun dia
sudah yakin bahwa sumoi-nya tentu tidak akan menolak cintanya. Dia bahkan sudah yakin
bahwa kelak sumoinya pasti akan menjadi isterinya, dan diam-diam dia menganggap
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
271 sumoinya telah menjadi tunangannya! Keyakinan ini diperkuat ketika secara tidak sengaja dia
mendengar percakapan antara suhu dan subonya dari luar kamar mereka. Ketika itu, pada
malam hari, dia lewat di depan kamar mereka dan suara mere-ka menembus jendela kamar,
tertangkap oleh pendengarannya.
"Kebetulan nama mereka juga mirip. Sian Lun dan Sian Li! Akan tetapi bagai-mana kalau
orang tuanya tidak setuju?" terdengar suhunya berkata. Mendengar namanya disebut, Sian
Lun memperlam-bat langkahnya dan mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Aku percaya keponakanku tentu akan setuju. Apalagi kalau kita jamin bahwa Sian Lun
adalah seorang anak yang baik sekali. Kulihat mereka itu berjodoh."
"Aih, jodoh di tangan Tuhan. Jangan mendahului kehendak Tuhan," kata suhu-nya dan
mereka pun tidak bicara lagi. Sian Lun tidak berani berhenti, hanya memperlambat jalannya
sehingga andai-kata suhu dan subonya mendengar tang-kahnya, tentu tidak akan menduga
bahwa dia ikut mendengarkan percakapan mere-ka. Dan semenjak mendengar percakapan itu,
beberapa bulan yang lalu, dia merasa yakin bahwa Sian Li kelak pasti akan menjadi isterinya!
Akan tetapi, Sian Li amat manja dan lincah galak. Apalagi ia tahu betapa suhengnya amat
menyayangnya, juga ka-kek dan nenek yang menjadi gurunya. Terhadap Sian Li, Sian Lun
agak takut dan penurut, dan hal ini membuat Sian Li semakin manja. Sikap manja yang dalam
pandangan Sian Lun bahkan mem-buat dara itu menjadi semakin mengge-maskan dan
menarik hati. Cinta berahi kalau sudah mencengke-ram hati seseorang, membuat orang itu menjadi badut.
Ulah tingkah menjadi lucu dan tidak wajar lagi. Mulut cemberut seorang yang dicinta akan
nampak sema-kin manis, bahkan ada kelakar yang ka-sar mengatakan bahwa kentut seorang
kekasih berbau sedap! Sebaliknya, senyum ramah seorang yang dibenci akan nampak
mencemoohkan dan dianggap senyum itu mengejek dan mentertawainya sehingga
menimbulkan amarah!
Sian Lun terkejut ketika dia sedang melamun dan membaca sajak yang tim-bul di saat yang
romantis itu, dia dite-gur oleh Sian Li yang kemunculannya tidak diduga sebelumnya. Saking
kagetnya dia hanya menoleh dan memandang kearah dara itu yang nampak lebih cantik
daripada biasanya, segar habis mandi seperti setangkai bunga bermandikan embun. Melihat
pemuda itu tidak menjawab pertanyaannya dan hanya bengong memandangnya, Sian Li
cemberut. "Heii, Suheng, engkau ini kenapa sih" Tadi menyebut-nyebut Bangau Merah berulang kali,
sekarang engkau hanya be-ngong tanpa menjawab pertanyaanku!"
"Sumoi.... aih, engkau.... engkau demi-kian cantik.... indah sekali, ah, pantasnya engkau
seorang dewi kahyangan yang ba-ru turun melalui cahaya yang keemas-an...."
Kalau saja tidak timbul kebanggaan oleh pujian ini, tentu Sian Li sudah ter-tawa geli. "Ahhh,
yang benar, Suheng!" katanya memancing pujian lebih banyak.
Sian Lun benar terpesona dan mata-nya menatap tak pernah berkedip, seolah takut kalau
berkedip, keindahan di de-pannya itu akan lenyap. Dara itu berdiri menghadap matahari senja,
sepenuhnya diselimuti cahaya keemasan.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
272 "Sungguh, Sumoi.... rambutmu yang hitam itu kini dilingkari cahaya keku-ningan, wajahmu
mencorong oleh cahaya keemasan, engkau nampak begitu segar, begitu hidup, berkilauan,
matamu berca-haya, senyummu.... duhai, Sumoi, betapa cantik jelita engkau...." Sian Lun
tidak biasa merayu, akan tetapi sekali ini dia terpesona dan seperti dalam mimpi rasa-nya.
"Ah, masa....?" Sian Li berseru manja, haus pujian selanjutnya.
"Sumoi, engkau laksana dewi yang bermandikan cahaya keemasan, cantik jelita mempesona
dan...." "Aiih, sudah-sudah! Bisa terbang melayang ke angkasa aku oleh pujianmu. Mengapa sih tiba-
tiba engkau memuji-mujiku seperti ini" Engkau tadi bersajak tentang Burung Bangau Merah,
sekarang engkau merayuku setengah mati. Apa engkau mabok Suheng?"
Sian Lun menghel napas panjang. Sikap dan ucapan Sian Li membuyarkan suasana
romantisnya, menariknya dengan kasar kembali ke bumi yang keras. Dia menarik napas
panjang dan wajahnya berubah merah karena mengenangkan si-kap dan kata-katanya tadi
membuat dia merasa rikuh dan malu. Kalau dia masih terpesona seperti tadi, tentu akan
dija-wabnya bahwa dia memang mabok akan kecantikan sumoinya itu. Akan tetapi sekarang
dia sudah sadar dan dia takut kalau-kalau sumoinya menjadi marah.
"Aku tidak mabok, Sumoi. Semua itu kulakukan saking sayangnya aku kepada-mu."
Sian Li tersenyum. Gadis berusia tu-juh belas tahun yang sejak kecil digem-bleng ilmu silat
dan kurang pengalaman ini masih belum sadar dan belum me-ngerti akan cinta kasih antara
pria dan wanita. Yang dikenalnya hanya rasa sa-yang kepada orang-orang yang dekat dan
akrab dengannya.
"Tentu saja engkau sayang padaku, Suheng. Bukankah aku ini sumoimu" Ka-lau tidak
sayang, percuma engkau menja-di Suhengku." Jawaban ini demikian wajar dan Sian Lun
merasa betapa kece-wa hatinya. Gadis ini belum tahu! Belum tahu bahwa sayangnya bukan
seperti su-heng terhadap sumoi, bukan seperti ka-kak terhadap adik, melainkan sayang yang
disertai dendam rindu, disertai be-rahi seorang pria terhadap wanita!
"Aku sangat sayang padamu, Sumoi, entah apakah engkau pun sayang padamu."
"Tentu saja! Kenapa engkau masih bertanya lagi, Suheng" Kurasa engkau tidak begitu bodoh
untuk mengetahui hal itu. Sejak lima tahun yang lalu kita ber-sama-sama latihan silat di sini,
belajar sastra, dan bermain bersama-sama. Nah, sekarang kalau memang engkau sayang
kepadaku...."
"Apa yang harus kulakukan" Katakan-lah, Sumoi," kata Sian Lun dengan penuh gairah dan
harapan. Untuk menunjukkan rasa sayang, disuruh apa pun dia mau, apalagi kalau disuruh
memondong tubuh, biar sehari penuh pun dia bersedia.
"Aku haus dan ingin makan buah leci, Suheng. Kaucarikan untukku, di lereng utara sana
banyak pohon lecinya."
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
273 "Baik, akan kucarikan, Sumoi. "Kau tunggu saja sebentar di sini." Sian Lun lalu meloncat
jauh dan berlari cepat melintasi bukit menuju ke utara di mana terdapat kebun pohon leci yang
luas, milik seorang hartawan yang tinggal di kota Cin-an. Dia sudah mengenal baik penjaga
kebun itu dan pasti akan diberi kalau dia minta buah leci sekedar dima-kan.
Setelah pemuda itu pergi Sian Li duduk sambil termenung dan tersenyum-senyum. Hatinya
merasa gembira oleh pujian-pujian tadi. Ia merasa bangga. Suhengnya memang seorang kakak
seper-guruan yang amat baik kepadanya. Sejak ia berada di situ, lima tahun yang lalu,
suhengnya selalu bersikap baik dan me-ngalah kepadanya. Suhengnya itulah yang membuat ia
tidak merasa kesepian ting-gal di rumah paman kakeknya, membuat ia tidak merasa bosan
mempelajari ilmu silat dari suami isteri yang sakti itu. Bersama suhengnya ia dapat berlatih
si-lat, mempelajari sastra, dan bermain-main. Suhengnya seorang pemuda yang tinggi besar,
gagah dan tampan, dan selalu melindunginya. Bahkan pernah suhengnya itu mengejar
beberapa orang pemuda kota yang berkunjung ke dusun Hong-cun dan bersikap kurang ajar
kepadanya. Ia sendiri tidak mau melayani mereka, akan tetapi suhengnya marah-marah dan
menghajar lalu melempar-lemparkan tujuh orang pemuda kota itu ke dalam air Sungai
Kuning! Ia sama sekali tidak tahu bahwa perbuatan Sian Lun itu terdorong oleh cemburu!
Tiba-tiba perhatiannya tertarik kepada sesosok tubuh orang yang tertatih-tatih mendaki lereng
itu. Seorang pria yang sudah tua sekali. Tadinya ia mengira paman kakeknya Suma Ceng
Liong yang mencarinya. Akan tetapi setelah agak dekat, ternyata bukan. Dia seorang kakek
yang usianya tentu sudah tujuh puluh tahun lebih, pakaiannya model pakaian sastrawan akan
tetapi pakaian itu penuh tambalan walaupun bersih. Dia mendaki lereng itu dibantu sebatang
tongkat. Rambut dan cambang serta kumis jeng-gotnya sudah putih semua, membuat dia
nampak tua dan lemah.
Dalam jarak dua puluh meter, kakek itu berhenti, berdiri menekan tongkat dengan kedua
tangan, mengangkat muka memandang ke arah Sian Li dan berkata dengan nada suara lembut
gembira, "Ahh, tidak salah lagi. Engkau tentu Ang-ho-li (Nona Bangau Merah)!"
Sian Li mengerutkan alisnya. Tidak banyak orang tahu bahwa ia diberi nama julukan itu.
Yang mengetahuinya hanya-lah ayah ibunya, paman kakeknya berdua, suhengnya.
Bagaimana kakek ini begitu muncul menyebutkan nama julukannya itu"
"Kek, siapakah engkau dan dari mana engkau tahu bahwa aku disebut Bangau Merah?"
Suaranya terdengar galak dan pandang matanya penuh selidik.
"Siancai....! Dahulu engkau seorang bo-cah yang mungil lincah, sekarang telah menjadi
seorang gadis yang lincah dan galak! Hei, Dewi Baju Merah, apakah engkau benar telah lupa
kepadaku" Bebe-rapa tahun yang lalu kita pernah saling jumpa di rumah kakekmu, di Pao-
teng." Sian Li memandang penuh perhatian dan wajahnya berubah seketika. Wajahnya kini cerah
dan berseri, senyumnya meng-hias wajah yang manis itu, membentuk lesung mungil di kedua
pipinya. "Aihh, kiranya Locianpwe Yok-sian Lo-kai....!" Ia bangkit dan cepat membe-ri hormat
kepada kakek tua renta yang pakaiannya penuh tambalan itu.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
274 "Ha-ha-ha, memang aku adalah Lo-kai (Pengemis Tua) itu! Dan aku telah mencarimu ke
rumah ayah ibumu di Ta-tung, lalu menyusul ke Hong-cun. Kakek dan nenekmu yang kini
menjadi guru-gurumu mengatakan bahwa engkau tentu berada di lereng bukit ini. Aku segera
menyusul ke sini. Siancai.... engkau, telah menjadi seorang gadis, yang lihai dan manis. Dan
aku datang untuk menagih janji, ingat?"
"Tentu saja aku ingat, Locianpwe. Dan aku sudah siap sedia untuk meneri-ma pelajaran ilmu
pengobatan dirimu."
Kakek itu tertawa gembira dan pada saat itu muncullah Sian Lun yang mem-bawa buah leci
yang sudah masak dan cukup banyak. Melihat sumoinya tertawa-tawa dengan seorang kakek
yang tidak dikenalnya, dia mengerutkan alisnya.
"Sumoi, siapakah kakek jembel ini?" tanyanya tak senang. Entah mengapa, setiap kali
melihat sumoinya beramah tamah dengan seorang laki-laki, tidak peduli laki-laki itu tua atau
muda, dia merasa tidak senang, merasa cemburu!
"Hushhh, Suheng, jangan sembarangan engkau memanggil orang! Locianpwe ini adalah
guruku, tahu engkau?" bentak Sian Li marah.
Sian Lun cepat memberikan buah-buah leci itu kepada sumoinya, lalu dia memberi hormat
kepada kakek itu. Dia terkejut bukan main, juga heran mendengar ucapan sumoinya.
"Ah, harap Locianpwe suka memaaf-kan saya yang bersikap tidak so-pan," katanya.
Bagaimanapun juga, Sian Lun bukan hanya mempelajari ilmu silat, akan tetapi juga sastra dan
tata susila. Kakek itu tersenyum dan mengang-guk-angguk. "Siancai.... kiranya Taihiap (Pendekar
Besar) Suma Ceng Liong dan isterinya yang gagah perkasa mempunyai seorang murid yang
begini gagah. Tidak mengapa, orang muda. Hanya lain kali jangan terburu nafsu menyangka
buruk kepada orang lain."
Wajah Sian Lun berubah merah dan sekali lagi dia memberi hormat. "Maaf-kan saya,
Locianpwe. Sumoi, engkau ti-dak pernah bercerita kepadaku tentang suhumu ini. Siapakah
beliau ini?"
Sian Li menyodorkan buah-buah leci itu kepada Yok-sian Lo-kai dan berkata, "Suhu, silakan
makan. Buah-buah leci ini baru saja dipetik, masih segar dan manis."
Kakek itu tanpa sungkan lagi meng-ambil beberapa butir buah leci. Sian Li lalu menghadapi
suhengnya. "Suheng, Suhuku ini adalah Yok-sian Lo-kai. Lima tahun yang lalu Suhu ini
berjanji akan mengajarkan ilmu pengobatan kepadaku dan hari ini dia datang memenuhi
janji-nya."
Kembali Sian Lun terkejut. Dia tentu saja pernah mendengar nama besar Yok-sian Lo-kai
(Pengemis Tua Dewa Obat) ini, yang terkenal bukan hanya karena pandai ilmu pengobatan,
akan tetapi juga karena ilmu silatnya, terutama ilmu to-tok jalan darah, yang amat lihai.
"Sekali lagi maaf, Locianpwe, atas sikapku tadi. Sumoi, harap kau maafkan aku dan jangan
sampaikan kepada Suhu dan Subo tentang sikapku yang tidak benar tadi."
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
275 Sian Li cemberut. "Tentu saja akan kuberitahukan kepada Kakek dan Nenek. Engkau telah
berani menyebut Guruku kakek jembel!" Sian Li yang amat manja terhadap suhengnya itu
mengancam. Yok-sian Lo-kai tertawa.
"Ha-ha-ha-ha, engkau keliru, Sian Li. Engkau tidak boleh melapor kepada siapa pun juga.
Suhengmu sudah, mengakui ke-salahannya dan minta maaf, hal itu menunjukkan bahwa dia
berani bertanggung jawab dan menyesali dan menyadari ke-salahannya. Selain itu, juga aku
lebih suka disebut Jembel Tua daripada Dewa Obat, heh-heh-heh! Memang julukanku Jembel
Tua, kenapa engkau harus marah mendengar aku disebut Jembel Tua oleh suhengmu" Ha-ha-
ha!" "Baiklah, melihat muka Suhu, aku mau menyudahi perkara ini sampai di sini saja. Nah,
sekarang cepat kauberita-hukan kepada Kakek dan Nenek bahwa aku sudah bertemu Suhu
Yok-sian Lo-kai dan akan pulang belakangan."
"Baik, Sumoi. Locianpwe, saya pergi dulu," kata Sian Lun dengan hati lega. Kalau sumoinya
mengadu kepada suhu dan subonya, tentu dia akan mendapatkan teguran keras. Dia lalu
berlari cepat turun dari lereng bukit, diikuti pandang mata kakek itu yang masih tersenyum.
"Suhengmu sudah memiliki kepandaian tinggi, ilmunya berlari cepat cukup he-bat," kakek
itu memuji. "Ah, dia masih terlalu lambat," kata Sian Li. Jawaban ini menunjukkan bahwa gadis ini tentu
dapat berlari lebih cepat dibandingkan suhengnya dan diam-diam kakek itu kagum. Dia
percaya bahwa di bawah gemblengan suami isteri sakti se-perti Suma Ceng Liong dan Kam
Bi Eng, apalagi mengingat bahwa ia puteri Pendekar Bangau Putih, tentu gadis berpakaian
merah ini menjadi lihai bukan main. Dia pun bangga kalau dapat menurunkan ilmu-ilmunya
kepada dara ini.
"Sian Li, aku ingin memberitahu sedi-kit kepadamu tentang suhengmu itu."
Sian Li yang sedang makan leci, menghentikan gerakan mulutnya dan ia menoleh,
memandang kepada kakek itu. "Apa yang Suhu maksudkan" Suheng telah bersikap kasar, dan
dia memang pantas ditegur dan...."
"Hal itu sudah lewat dan tidak perlu dibicarakan lagi, Sian Li. Hanya satu hal ingin
kuperingatkan kepadamu tentang suhengmu itu. Engkau berhati-hatilah dengan sikapmu,
karena dia amat sayang kepadamu."
"Tentu saja dia sayang padaku, Suhu. Bukankah dia itu Suhengku" Kenapa aku harus
berhati-hati dengan sikapku?"
"Dan bagaimana dengan engkau sendi-ri" Sayangkah engkau kepada suhengmu?"
Dara itu memandang Yok-sian dengan sinar mata heran. Pertanyaan yang aneh, pikirnya.
"Tentu saja aku sayang kepada Suheng, Suhu. Bukankah hal itu sudah sewajarnya" Dia
berlatih bersamaku, be-lajar bersamaku dan bermain bersamaku sejak lima tahun yang lalu
dan dia amat baik kepadamu."
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
276 Kakek itu tersenyum maklum. Dara ini masih hijau, masih polos dan belum pernah
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengalami cinta berahi, maka kasih sayangnya terhadap suhengnya itu adalah kasih sayang
seorang adik terhadap kakaknya.
"Maksudku, dia pencemburu besar, Jangan bersikap terlalu ramah kepada laki-laki lain kalau
tidak ingin melihat dia marah-marah."
"Aih, itulah yang aneh, Suhu! Pernah ada beberapa orang pemuda menggodaku dan Suheng
demikian marahnya sampai dia mengamuk dan hampir saja membu-nuhi orang-orang itu
kalau tidak kula-rang...."
Kakek itu merasa heran. Dari sikap pemuda itu tadi saja dia sudah mengerti bahwa pemuda
itu telah jatuh cinta pada sumoinya, dan agaknya cintanya berkobar-kobar panas sekali,
membuat dia menjadi seorang pencemburu besar sehingga melihat sumoinya beramah tamah
dengan seorang kakek seperti dia pun pemuda tadi sudah tidak senang.
Itu namanya cemburu, maka engkau harus dapat menjaga sikapmu."
Sian Li mengangguk, padahal ia tidak mengerti mengapa suhengnya bersikap seperti itu.
"Mari kita pulang, Suhu."
Mereka lalu menuruni lereng dan agaknya Yok-sian sengaja hendak mengu-ji ilmu berlari
cepat muridnya. Dia sen-diri mengerahkan tenaganya, mengguna-kan gin-kang (ilmu
meringankan tubuh) dan larinya cepat sekali, sungguh tidak sesuai dengan usianya yang sudah
demi-kian lanjut. Namun, biar ia baru berusia tujuh belas tahun, Sian Li sejak kecil
digembleng dan ditangani orang-orang sakti, mula-mula oleh ayah ibunya sendi-ri, kemudian
oleh Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, suami isteri yang pernah menggegerkan dunia
persilatan dengan kelihaian mereka. Maka tidak terlalu mengherankan kalau dara itu bukan
saja mampu mengimbangi kecepatan lari Yok-sian Lo-kai, bahkan setelah tiba di ru-mah
kakeknya, Dewa Obat itu tertinggal beberapa ratus meter di belakangnya!
Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng menyambut mereka di depan rumah sam-bil tertawa
melihat dara dan kakek itu berlari-larian, juga Sian Lun telah berada di dekat gurunya. Yok-
sian Lo-kai ter-kekeh sambil terengah ketika tiba di depan mereka. "Aihhh.... aku sudah tua,
bagaimana mungkin dapat menandingi kecepatan Si Bangau Merah?"
"Aih, jangan merendahkan diri, Suhu!" kata Sian Li. "Suhu datang bukan untuk mengajarkan
ilmu lari kepadaku, melain-kan ilmu pengobatan!"
Semua orang tertawa mendengar ini, juga Sian Lun tersenyum. Baru terasa olehnya betapa
dia tadi telah terburu nafsu, merasa iri hati atau cemburu me-lihat sumoinya beramah tamah
dengan kakek itu.
Demikian, mulai hari itu, Yok-sian Lo-kai mulai mengajarkan ilmu pengobat-an kepada Sian
Li. Bukan saja pengeta-huan tentang ramuan obat untuk berba-gai penyakit, juga kakek itu
mengajarkan pengobatan dengan tusuk jarum, dengan totokan dan pijatan, dan yang amat
menggembirakan hati Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, juga tentu saja Sian Li sendiri,
kakek itu bahkan mengajarkan It-yang Sin-ci, yaitu ilmu totok dengan sebuah jari yang
pernah membuat nama kakek itu terkenal di dunia persilatan.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
277 Sian Li amat berbakat, dan sudah meml-liki dasar yang kuat, maka dalam waktu tiga bulan
saja dara ini telah dapat menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan Yok-sian Lo-kai kepadanya.
Kakek itu merasa kagum dan juga girang bukan main melihat kecerdasan muridnya. Dia
merasa puas bahwa akhir-nya ada seorang murid yang cocok untuk mewarisi ilmunya. Setelah
memesan ke-pada muridnya kelak mempergunakan ilmu-ilmunya itu untuk kebaikan,
meno-long orang sakit di samping tugasnya sebagai pendekar wanita penentang keja-hatan,
Yok-sian Lo-kai lalu meninggalkan rumah Suma Ceng Liong untuk pergi bertapa ke Liong-
san dan menghabiskan sisa hidupnya dalam ketenangan. Dia memberikan jarum emas dan
peraknya kepada Sian Li. Suami isteri Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng mengantar
keper-gian Dewa Obat itu dengan perjamuan sederhana namun meriah, dan atas nama cucu
keponakan mereka, suami isteri ini mengucapkan terima kasih mereka.
Biarpun ia sudah menguasai ilmu totok It-yang Sin-ci, namun tentu saja Sian Li hanya baru
menguasai cara dan teori penggunaan ilmu itu saja, belum matang karena ia harus banyak
berlatih untuk mematangkan ilmu totokan yang dahsyat itu. Demikian pula ilmu pengobatan
de-ngan tusuk jarum dan pijatan jari tangan, harus ia latih. Namun, ia telah mengua-sai cara
berlatih untuk ilmu-ilmu itu.
*** file google dokumen ini published by Saiful Bahri ....situbondo seletreng***
Liem Sian Lun harus mengerahkan seluruh tenaga, kecepatan gerak dan mengeluarkan semua
kemampuannya untuk dapat mengimbangi sumoinya. Gerak-an Sian Li luar biasa cepatnya,
bagaikan seekor burung merah yang cekatan sekali berkelebatan bahkan kadang lenyap dan
yang nampak hanya bayangan merah yang diselimuti gulungan sinar pedangnya.
Kalau orang lain melihat pertandingan pedang itu, dia tentu akan mengira bah-wa pemuda
dan dara itu berkelahi mati-matian. Demikian cepat permainan pe-dang mereka, dan kadang
nampak bunga api berpijar kalau dua batang pedang itu bertemu di udara. Namun,
sesungguhnya mereka hanya berlatih ilmu pedang sete-lah tadi dalam berlatih silat tangan
ko-song Sian Lun terpaksa mengakui keung-gulan sumoinya. Dalam ilmu pedang Sian Lun
memang berbakat sekali maka dia mampu mengimbangi permainan pedang sumoinya.
Bagi dua orang muda yang sudah me-nguasai benar ilmu pedangnya, tidak mungkin mereka
akan saling melukai.
Pedang yang mereka pegang itu seolah telah menjadi satu dengan tangan, seper-ti anggauta
badan sendiri sehingga mere-ka sudah menguasai sepenuhnya. Setiap detik mereka akan
mampu menghentikan tusukan atau bacokan pedang mereka sehingga tidak akan melukai
lawan ber-latih.
Keduanya berlatih ilmu pedang Liong-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Na-ga), yaitu
gabungan ilmu pedang Suling Emas dan Naga Siluman yang mereka pelajari dari Kam Bi
Eng. Ilmu pedang ini memang hebat. Dari gerakan-gerakan pedang di tangan mereka ternyata
bahwa di situ terkandung gerakan yang lembut seperti tiupan suling namun dahsyat dan ganas
seperti seekor naga mengamuk. Karena senjata suling adalah senjata yang khas dari keluarga
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
278 Suling Emas, maka Kam Bi Eng mengganti suling de-ngan pedang dan mengajarkan mereka
memainkan ilmu itu dengan sebatang pedang.
Kini Sian Li dalam kelebihannya da-lam kecepatan gerakan, mulai mendesak suhengnya.
Andaikata mereka itu bertan-ding sungguh-sungguh dalam sebuah per-kelahian, tentu Sian Li
akan dapat mero-bohkan suhengnya karena ia memiliki beberapa ilmu yang tidak dipelajari
Sian Lun, seperti ilmu totok It-yang Sin-ci dari Yok-sian Lo-kai, dan terutama seka-li Ilmu
Silat Bangau Putih yang sejak kecil dipelajarinya dari ayahnya, dan lain-lain. Kini, karena
mereka sengaja berlatih ilmu pedang Liong-siauw Kiam-sut, mereka menggunakan ilmu itu
saja dan karena keduanya sudah menguasai ilmu pedang itu dengan baik, maka su-karlah
untuk suling mengalahkan. Sian Li berhasil mendesak hanya mengandal-kan kecepatannya,
dan memang ia lebih cekatan sehingga akhirnya Sian Lun menjadi repot sekali, dan hanya
mampu menangkis saja, tidak ada kesempatan lagi untuk membalas. Akan tetapi, dia
mengenal semua jurus yang dlpergunakan sumoinya untuk menyerangnya, maka tentu saja
dia tahu bagaimana caranya untuk menghindarkan diri.
"Cukup, Sumoi. Engkau terlalu cepat bagiku!" Akhirnya Sian Lun mengakui kekalahannya.
Pemuda ini tidak merasa iri atau malu, bahkan merasa bangga bahwa sumoinya demikian
hebatnya. "Suheng, engkau memang kalah cepat akan tetapi kalau engkau mengerahkan seluruh
tenagamu, tentu engkau akan dapat mengimbangi aku karena dalam hal penggunaan tenaga
tulang dan otot, aku masih kalah."
"Bagus sekali! Ilmu pedang yang he-bat, orang-orang muda yang mengagum-kan!" Tiba-tiba
terdengar pujian orang dan cepat Sian Lun dan Sian Li memba-likkan tubuh dan mereka
melihat dua orang yang tahu-tahu telah berada di situ, di dalam taman di mana mereka
berlatih ilmu pedang tadi. Kalau dua orang itu dapat muncul demikian tiba-tiba tanpa mereka
ketahui, hal ini menunjukkan bahwa dua orang ini tentu bukan orang sembarangan. Sian Li
me-mandang dengan teliti. Seorang kakek dan seorang nenek. Kakek itu tentu su-dah enam
puluh tahun lebih usianya, namun masih tampak tampan dan jantan dengan kulit agak gelap
dan muka bulat yang tidak asing bagi Sian Li. Di pung-gung kakek ini terdapat sepasang
pedang dengan ronce biru. Nenek itu yang sama sekali asing bagi Sian Li. Seorang nenek
yang usianya juga sekitar enam puluh, namun masih cantik dan anggun. Ia ber-pakaian serba
kuning, dengan kerudung kepala kuning pula. Rambutnya yang sudah bercampur uban itu
terhias burung merak dari emas yang masih nampak di bawah kerudung suteranya yang tipis.
Wajah wanita ini asing,bukan wajah seorang bangsa Han. Biarpun wajah kakek itu tidak asing
bagi Sian Li, namun ia tidak tahu siapa kakek itu.
"Kakek dan Nenek yang baik, siapa-kah Jiwi (Anda Berdua)" Dan ada kepen-tingan apakah
jiwi masuk ke dalam taman kami ini?" Sian Li bertanya de-ngan lembut.
Kakek itu menoleh kepada nenek di sebelahnya sambil tersenyum gembira. "Kaulihat,
bukankah ia mirip sekali de-ngan ibunya?" Lalu dia menghadapi Sian Li lagi dan berkata,
"Aku yakin bahwa engkau tentu Tan Sian Li, bukan" Engkau Si Bangau Merah, bukan?"
Sian Li membelalakkan mata. "Bagaimana engkau bisa mengenalku, Kek" Siapakah engkau"
Dan siapa pula Nenek ini?"
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
279 "Ha-ha-ha-ha," kakek itu tertawa. "Pernah aku berkunjung ke rumah orang tuamu ketika
engkau masih kecil, pernah pula engkau membasahi bajuku, ha-ha-ha. Engkau tentu lupa,
Sian Li. Aku ada-lah Suma Ciang Bun dan ini isteriku, Gangga Dewi."
Sian Li membelalakkan matanya lagi dan mukanya berubah kemerahan meng-ingat ucapan
kakek tadi bahwa ia pernah ngompol ketika masih kecil dipondong kakek itu sehingga
membasahi bajunya. Kini ia teringat. Kakek ini adalah adik kandung neneknya, Suma Hui.
Berbeda dengan paman kakeknya yang kini men-jadi gurunya. Suma Ceng Liong yang hanya
adik sepupu neneknya, kakek yang berada di depannya ini adalah adik kan-dung neneknya.
"Aih, kiranya Ku-kong (Paman Kakek) Suma Ciang Bun!" Sian Li berseru gem-bira.
"Selamat datang, Kakek. Dan Nenek ini, isteri Kakek.... namanya aneh. Nenek Gangga Dewi"
Tentu bukan orang Han...." Sian Li lalu memberi hormat kepada dua orang tua itu. "Suheng,
ini adalah kakak sepupu dari Kakek Suma Ceng Liong!" Dara yang lincah itu memberi tahu
Sian Lun yang cepat mengangkat tangan memberi hormat kepada Suma Ciang Bun dan
Gangga Dewi. Gangga Dewi mendekati dan memeluk Sian Li. "Anak manis, engkau cantik bukan main,
Aku memang datang dari Bhutan, dan aku bukanlah orang lain. Seorang di antara guru
ayahmu yang bernama Wan Tek Hoat atau Tiong Khi Hwesio adalah mendiang Ayah
kandung-ku."
Sian Li menjadi semakin gembira dan balas merangkul sambil memandang ka-gum. Tentu
saja ia pernah mendengar cerita ayahnya tentang pendekar Wan Tek Hoat yang berjuluk Si
Jari Maut itu, yang telah menikah dengan seorang pute-ri Kerajaan Bhutan.
"Aih, Nenek yang baik. Pantas saja engkau masih kelihatan begini cantik dan anggun.
Kiranya engkau adalah seorang puteri Kerajaan Bhutan!"
Karena Sian Li memang lincah jenaka dan gembira, maka sebentar saja ia su-dah akrab
dengan kakek dan nenek itu, dan mereka lalu memasuki rumah untuk bertemu dengan Suma
Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Pertemuan itu tentu saja amat menggembirakan. Suma Ciang
Bun dan Gangga Dewi pernah satu kali ber-kunjung ke situ sebelum Sian Li tinggal bersama
Suma Ceng Liong dan isterinya, bahkan sebelum Sian Lun menjadi murid mereka.
Setelah makan bersama, dua orang tamu itu lalu menceritakan pengalaman mereka yang
didengarkan dengan penuh perhatian oleh Suma Ceng Liong, Kam Bi Eng, Liem Sian Lun
dan terutama sekali Tan Sian Li. Ketika Suma Ciang Bun mengatakan bahwa dia bersama
Gangga Dewi akan pergi ke Bhutan, Sian Li segera berkata penuh gairah. "Ku-kong aku
ikut!" Semua orang terkejut. Suma Ceng Liong memandang cucu keponakan itu. "Aih, Sian Li,
kaukira Bhutan itu dekat" Perjalanan ke sana berbulan-bulan!"
"Aku tidak takut perjalanan jauh, Ku-kong! Aku sudah sering mendengar dari Ayah dan Ibu
tentang Bhutan yang indah, dan dari Kong-kong Kao Cin Liong aku sering mendengar
ceritanya tentang dunia bagian barat. Aku ingin meluaskan pe-ngetahuan dan pengalaman,
Ku-kong. Kebetulan sekali ada Ku-kong Suma Ciang Bun dan Nenek Gangga Dewi yang
akan menjadi penunjuk jalan. Aku ingin sekali, Ku-kong!"
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
280 Suma Ceng Liong diam-diam terse-nyum dalam hatinya. Dia tidak merasa heran akan sikap
cucu keponakan ini. Memang keluarga mereka semua berdarah pendekar, berdarah petualang.
Dia sendi-ri pun dahulu merupakan seorang petua-lang, demikian pula isterinya. Ayah dan ibu
Si Bangau Merah ini pun petualang-petualang besar.
"Akan tetapi, bagaimana kalau ayah ibumu datang, Sian Li" Kami tentu akan merasa tidak
enak kalau mereka datang dan engkau tidak berada di sini," kata Kam Bi Eng.
"Akan tetapi Ayah dan Ibu masih enam bulan lagi baru akan datang ke si-ni, seperti biasa
setiap tahun baru mere-ka datang. Dan aku akan berusaha agar sebelum tahun baru dapat
pulang ke sini. Aku ingin sekali pergi, kebetulan ada Ku-kong dan isterinya yang akan
mene-maniku. Tentu saja kalau mereka ini tidak keberatan aku ikut...." Ia meman-dang
kepada Suma Ciang Bun dan Gang-ga Dewi yang saling pandang dan terse-nyum.
Gangga Dewi mendekat dan merangkulnya. "Tentu saja aku akan senang se-kali kalau
engkau ikut ke Bhutan, Sian Li. Akan tetapi, tanpa perkenan Adik Suma Ceng Liong dan
Kam Bi Eng, kami tidak akan berani."
Suma Ciang Bun berkata, "Kami telah membeli sebuah kereta. Kalau kami mempergunakan
perjalanan dengan kereta atau berkuda, tentu akan lebih cepat dan kiranya sebelum tahun baru
Sian Li akan dapat pulang ke sini."
Suma Ceng Liong memandang kepada kakaknya. Kalau dia membolehkan Sian Li pergi,
andaikata dara itu belum pulang ketika ayah ibunya datang, dia merasa tidak enak kepada
mereka. Akan tetapi, kalau dia melarangnya, dia akan merasa tidak enak kepada Sian Li, juga
kepada Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi. Se-olah-olah dia tidak percaya kepada me-reka.
"Ku-kong Suma Ceng Liong, kalau aku tidak diberi ijin, aku akan pergi sendiri, tidak
bersama Ku-kong Suma Ciang Bun juga tidak apa-apa. Aku ingin merantau ke barat." Sian Li
berkata dan Suma Ceng Liong tertawa.
"Hemm, engkau memang memiliki ha-ti membaja dan kepala membatu. Orang seperti
engkau ini mana mungkin bisa dilarang" Sian Lun, engkau temani su-moimu pergi ke barat."
"Baik, Suhu!" kata Sian Lun dengan tidak menyembunyikan suaranya yang mengandung
kegembiraan besar.
"Sian Li kami membolehkan engkau pergi akan tetapi harus ditemani suheng-mu agar kalau
engkau pulang, ada yang menemani. Selain itu, kalau orang tuamu datang sebelum engkau
pulang, kami dapat menggunakan alasan bahwa Sian Lun juga pergi menemanimu."
Sian Li girang sekali. Ikut sertanya Sian Lun bahkan makin menggembirakan hatinya karena
suhengnya itu dianggap sebagai kawan seperjalanan yang akan amat menyenangkan dan juga
amat membantu. Ia bersorak, lalu menghampiri Kam Bi Eng dan merangkul nenek itu.
"Terima kasih! Aku tahu bahwa kalian tentu akan memperkenankan, karena ka-lian adalah
orang-orang tua yang terbaik di dunia ini!"
Suma Ceng Liong dan isterinya hanya tersenyum. Suma Ciang Bun menggeleng-geleng
kepalanya melihat sikap Sian Li. Mereka lalu berkemas dan tiga hari ke mudian, berangkatlah
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
281 mereka berempat meninggalkan dusun Hong-cun. Suma Ciang Bun menjual keretanya dan
seba-gai gantinya, dia membeli empat ekor kuda yang baik dan mereka berempat melakukan
perjalanan menunggang kuda. Suma Ceng Liong dan isterinya yang mengantar mereka
sampai ke luar dusun, diam-diam ikut girang dan terharu meli-hat betapa Sian Li, seperti anak
kecil, kelihatan gembira bukan main, melambai-lambaikan tangan kepada mereka. Dara itu
memang berbakat sekali menjadi se-orang pendekar. Baru dua hari ia diajar menunggang
kuda oleh Gangga Dewi dan sekarang sudah pandai dan berani membalapkan kudanya!
Bahkan Sian Lun juga kalah sigap. Mereka yakin bahwa Tan Sin Hong dan isterinya, Kao
Hong Li, tidak akan marah andaikata mereka datang dan Sian Li belum kembali. Me-reka pun
merupakan pendekar-pendekar yang biasa bertualang. Apalagi kepergian Sian Li ini bersama
kakeknya Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, dan bahkan ditemani pula oleh Liem Sian Lun.
Gangga Dewi menjadi penunjuk jalan dan memimpin rombongan itu. Mereka melakukan
perjalanan cepat dan hanya berhenti di tempat yang cukup indah untuk mereka nikmati.
Karena mereka berempat adalah orang-orang yang ber-kepandaian tinggi dan bertubuh kuat,
maka perjalanan itu dapat dilakukan de-ngan cepat. Kalau kuda mereka sudah terlalu lelah,
Suma Ciang Bun menukar-kan kuda mereka dengan kuda yang ma-sih segar dengan
menambah uang. De-ngan cara demikian, mereka dapat melakukan perjalanan lebih cepat
lagi. *** file google dokumen ini published by Saiful Bahri ....situbondo seletreng***
Pada waktu itu, Kerajaan Mancu atau Dinasti Ceng yang dipimpin Kaisar Kian Liong telah
berhasil mengamankan selu-ruh negara.. Di mana-mana terdapat pasukan keamanan yang
menjaga tapal batas, dan di semua kota besar terdapat pula benteng pasukan. Pemberontakan-
pemberontakan telah dapat dipadamkan, dan biarpun masih terdapat banyak go-longan yang
anti pemerintah Mancu, na-mun gerakan mereka hanya di lakukan secara sembunyi, tidak ada
yang berani berterang karena pada waktu itu kekuat-an pasukan Mancu amat besar. Apalagi
karena Kaisar Kian Liong pandai meng-ambil hati dan banyak menerima orang-orang Han
yang pandai, diberi kedudukan tinggi dan bahkan pasukannya diperkuat oleh orang-orang Han
yang menganggap bahwa Kaisar Kian Liong, biarpun seo-rang Mancu, namun mementingkan
rakyat jelata. Kaisar Kian Liong sudah semakin tua, usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, dan dia telah
menjadi Kaisar selama li-ma puluh tahun lebih! Belum pernah ada Kaisar yang memegang
tampuk kerajaan selama itu dengan berhasil baik. Hal ini adalah karena Kaisar Kian Liong
bukan seorang Kaisar yang mabok kedudukan sehingga hanya menjadi pengejar kese-nangan
sendiri saja. Sejak muda, Kaisar ini memang terkenal sebagai seorang yang pandai bergaul,
bahkan akrab de-ngan para pendekar, dengan rakyat jelata seringkali melakukan perjalanan
secara menyamar dan menyusup di kalangan rakyat jelata sehingga namanya dikenal sebagai
seorang yang bijaksana dan ra-mah tamah. Bukan hanya karena kekuat-an angkatan
perangnya saja Kaisar Kian Liong dapat mempertahankan kedudukan-nya, akan tetapi
terutama sekali karena nama baiknya itulah. Pribadi seorang pemimpin memang menentukan
kelancar-an pemerintahannya, karena kalau priba-di itu tidak disukai rakyat, sudah pasti
menimbulkan pemberontakan di mana-mana. Kaisar Kian Liong pandai meng-ambil hati
rakyat, bahkan menundukkan hati orang-orang pribumi Han dengan sikapnya yang menerima
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
282 kebudayaan, bahkan bahasa Han menjadi bahasa orang-orang Mancu yang memegang
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ken-dali pemerintahan.
Dengan para negara tetangga, biar yang kecil seperti Bhutan, Nepal dan di bagian selatan,
Kaisar Kian Liong meng-adakan hubungan yang baik dan menghargai kedaulatan masing-
masing. Ini pun mengurangi gerakan gangguan di tapal batas dan perdagangan dengan negara
lain berjalan lancar. Kalau pun terdapat pemberontakan, maka hanya terjadi kecil-kecilan dan
tersembunyi, seperti yang dilakukan oleh perkumpulan Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang.
Akan tetapi kini kedua perkumpulan itu bahkan bermusuh-an, karena Thian-li-pang
merupakan per-kumpulan pejuang yang gagah dan sung-guh membela rakyat, sedangkan Pek-
lian-kauw adalah perkumpulan yang tidak segan melakukan kejahatan berkedok aga-ma,
bahkan dari Agama Buddha yang sudah menyeleweng daripada agama ase-linya, bercampur
dengan segala macam tahyul dan ilmu sihir ke arah sesat.
Karena kebesaran kerajaan atau Di-nasti Ceng di bawah pimpinan Kaisar Kian Liong, bahkan
negara-negara seper-ti Birma, Annam, Nepal, Bhutan, dan Korea merendahkan diri mengirim
upeti setiap tahun kepada Kaisar Kian Liong sebagai tanda persahabatan, sebutan yang
diperhalus dari keadaan sebenarnya, yaitu taluk tanpa diserang lagi. Hanya Keraja-an Nepal
sajalah yang pernah menentang, akan tetapi negara itu diserbu pasukan besar dan
ditundukkan, akan tetapi tidak dijajah dan hanya diharuskan mengirim upeti setiap tahun.
Karena keadaan yang aman itulah, maka perjalanan Suma Ciang Bun, Gang-ga Dewi, Tan
Sian Li dan Liem Sian Lun berlangsung lancar tanpa ada gangguan di tengah perjalanan.
Sian Li merasa gembira bukan main dapat melihat daerah-daerah yang belum pernah dilihat
sebelumnya, melihat per-kampungan suku-suku bangsa yang diang-gapnya aneh dan amat
menarik. Perkam-pungan-perkampungan yang dilaluinya itu berbeda sama sekali dengan
daerah timur berbeda segalanya, dari rumahnya, pakai-annya, bentuk wajah dan bahasa,
bahkan makanan pun berbeda! Akan tetapi setelah Gangga Dewi memperkenalkan ia dengan
orang-orang asing itu, menterjemahkan percakapannya, mengenal mereka lebih dekat, Sian Li
mendapat kenyataan yang amat menyenangkan hatinya. Yaitu bahwa semua perbedaan itu
hanya kulitnya saja, hanya lahiriah, hanya kebiasaan hidupnya. Pada hakekatnya, jauh di
lubuk hati mereka, mereka itu tidak ada bedanya dengan ia atau seluruh bangsa di timur.
Mereka suka bersahabat, suka tertawa membutuhkan kebahagiaan dan menjauhi hal-hal yang
tidak enak. Biarpun masakan mereka itu aneh, namun yang berbeda pun hanya cara dan
campurannya saja. Pada hakekatnya mereka pun sama dengannya, yaitu tidak menyukai pahit
dan getir. Yang disuka seperti juga di timur, manis asin sedikit asam dan pedas. Mereka pun
sama saja, tidak suka disakiti lahir batin, ingin disenangkan, sama seperti dirinya juga. Karena
merasa bahwa pada hakekatnya sama, Sian Li cepat dapat akrab dengan mereka walaupun
kadang-kadang kedua pihak tertegun heran melihat kebiasaan yang amat berbeda diantara
mereka. Dengan adanya Gangga Dewi sebagai orang yang berpengalaman, dan juga sebagai penunjuk
jalan, pemberi keterangan dan bahkan penerjemah, perjalanan itu terasa amat menyenangkan
bagi tiga orang yang lain, terutama sekali bagi Sian Li dan Sian Lun yang baru sekali itu
selama hidup mereka lewat di tempat-tempat seperti itu.
Biarpun Sian Li amat tertarik dan senang sekali, akan tetapi Gangga Dewi tidak pernah lupa
bahwa sebelum tahun baru tiba, Sian Li sudah harus kembali ke rumah Suma Ceng Liong.
Oleh karena itu, ia mengajak mereka melakukan perjalanan cepat menuju ke Bhutan.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
283 Pada suatu siang, tibalah mereka di perbatasan Bhutan seelah menyeberangi sungai besar
yang amat terkenal di Tibet yaitu sungai Yarlung Sangbo atau terkenal pula dengan nama
Brahmaputra. Mereka melintasi pegunungan yang paling besar, tinggi dan panjang di seluruh
dunia, yaitu Pegunungan Himalaya yang menjadi tapal batas antara Bhutan dan Tibet. Di
pegunungan yang amat terkenal ini. Sian Li merasa kagum bu-kan main. Walaupun
perjalanan amat sukar, melalui gunung es yang teramat dingin, namun dara itu selalu nampak
gembira dan kagum.
Siang itu, mereka menuruni lereng bukit terakhir dari Himalaya dan mulai nampak dusun-
dusun yang termasuk wila-yah Bhutan. Menjelang senja, mereka bertemu dengan pasukan
kecil terdiri dari belasan orang. Ketika pasukan itu melihat Gangga Dewi, mereka cepat turun
dari atas kuda mereka dan mem-beri hormat dengan setengah berlutut. Kiranya mereka adalah
pasukan keaman-an yang menyamar dengan pakaian biasa, melakukan perondaan di daerah
perbatas-an itu.
Setelah menerima penghormatan me-reka Gangga Dewi bertanya. "Apakah yang terjadi"
Kenapa kalian melakukan perondaan sampai di sini dan tidak ber-pakaian seragam pula?"
Pemimpin pasukan melaporkan kepada Puteri Gangga Dewi bahwa akhir-akhir ini daerah
perbatasan itu tidak aman karena diketahui bahwa ada penyelundup dari Nepal memasuki
daerah itu. Mereka adalah mata-mata Kekuasaan Nepal, dari pihak keluarga raja yang tidak
mau tun-duk kepada Kerajaan Ceng di Cina. Me-reka ini menghasut rakyat di perbatasan
Bhutan dan Tibet, untuk bersama-sama menentang dan melakukan perlawanan terhadap
orang-orang di perbatasan Pro-pinsi Secuan untuk merong-rong Kerajaan Ceng.
"Ah, kalau begitu kalian harus melak-sanakan tugas dengan baik. Kita tidak ingin terseret
oleh pemberontakan orang-orang Nepal itu, apalagi mereka juga menjadi musuh Kerajaan
Nepal yang sah. Mereka bahkan pemberontak pula di Ne-pal, petualang-petualang yang ingin
men-dapatkan keuntungan pribadi dari pergolakan dan kekacauan," pesan Gangga Dewi. Dua
orang di antara pasukan itu lalu mendahului untuk mengirim berita ke kota raja Thim-phu di
Bhutan, se-dangkan pasukan lainnya melanjutkan tugas mereka melakukan penyelidikan.
Gangga Dewi mengajak rombongannya melanjutkan perjalanan karena hari telah sore.
Mereka akan terpaksa bermalam di sebuah dusun di luar kota Tong-sa-jang karena tentu
malam segera tiba, dan mereka pun sudah cukup lelah.
Memang hari telah remang-remang, petang telah menjelang ketika mereka memasuki dusun
itu. Sian Li dan Sian Lun tertegun kagum ketika melihat be-tapa mereka disambut oleh
penghuni dusun yang berduyun menunggu di luar dusun dan bahkan ada tari-tarian yang
menyambut kedatangan Sang Puteri! Ki-ranya dua orang perajurit tadi telah memberi kabar
ke dusun itu, dan kepala dusun segera mengerahkan orang-orang-nya untuk menyambut.
Demi menyenangkan rakyatnya, Gang-ga Dewi segera turun dari atas kuda, diikuti oleh
Suma Ciang Bun, Tan Sian Li dan Liem Sian Lun. Rakyat bersorak gembira ketika Gangga
Dewi merangkul dan mencium anak perempuan yang ber-tugas menyerahkan seikat bunga
kepada Sang Puteri. Sian Li memandang dengan wajah berseri dan Sian Lun mengagumi
belasan orang penari yang terdiri dari gadis-gadis Bhutan yang manis, dengan tarian yang
lemah gemulai, tubuh mereka meliak-liuk dengan amat lemas dan len-turnya, diiringi musik
yang sederhana, suling dan siter dan tambur, namun ter-dengar demikian asyik dan membuat
orang ingin berlenggang-lenggok karena bunyi tambur yang berirama riang itu.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
284 Ketika mereka memasuki dusun, me-reka disambut oleh kepala dusun dan semua sesepuh
dan pemuka dusun itu dengan segala kehormatan. Disediakan air panas untuk para tamu
agung itu mencuci badan, kamar-kamar terbaik di rumah kepala dusun dipersiapkan untuk
mereka. Apalagi ketika Puteri Gangga memperkenalkan Suma Ciang Bun seba-gai suaminya,
para penduduk semakin gembira. Bagi mereka, puteri mereka yang sudah lama menjanda itu
menikah dengan seorang pria Han, bukan merupa-kan halangan, bahkan merupakan
kebang-gaan. Bahkan dahulu, Ibu dari Gangga Dewi yang bernama Syanti Dewi, yang mereka
puja-puja dan kasihi, juga meni-kah dengan seorang pria Han yang kemu-dian bahkan
menjadi panglima yang amat gagah perkasa di Bhutan, yaitu Wan Tek Hoat, ayah Gangga
Dewi. Malam itu, seluruh dusun bergembira dan sebuah pesta besar diadakan di pen-dapa rumah
kepala dusun yang cukup luas. Para sesepuh dan orang terkemuka di dusun itu hadir sebagai
tamu di pang-gung, sedangkan di bawah panggung, di sekeliling pendapa, hampir seluruh
penghuni dusun itu berjejal memenuhi tempat itu untuk nonton keramaian, pertunjukan dan
untuk melihat puteri mereka, Gangga Dewi yang mereka kagumi sebagai seo-rang puteri yang
kabarnya memiliki ilmu kepandaian seperti seorang dewi!
Serombongan penari yang cantik ma-nis, gadis-gadis remaja, belasan orang banyaknya,
menari-nari diiringi musik yang sederhana namun menggairahkan seperti musik di daerah itu,
yang mem-punyai pukulan gendang dan tambur se-olah-olah menghidupkan semua syaraf di
tubuh untuk bergerak dan menari.
Puteri Gangga Dewi, Suma Ciang Bun Tan Sian Li dan Liem Sian Lun duduk sebagai tamu
kehormatan dan para pena-ri menghadap tamu-tamu agung ini. Para gadis penari itu merasa
bangga mendapat kesempatan menari di depan Sang Puteri. Biasanya, hanya penari istana saja
yang menari di depan puteri! Mereka hanya penari dusun yang tentu saja tidak pan-dai menari
sehalus dan seindah penari istana, namun gerakan mereka wajar dan polos sehingga bagaikan
bunga-bunga hutan yang segar. Beberapa orang di an-tara mereka mengerling ke arah Sian
Lun dengan kerling tajam dan senyum memikat karena memang pemuda itu nampak gagah
perkasa dan tampan, apalagi dia adalah anggauta rombongan Sang Puteri! Sebaliknya, para
penabuh musik, para penonton, mengagumi Sian Li yang berpakaian serba merah sehingga
secara bisik-bisik para pemuda menyebut Sian Li "Dewi Merah"!
Sian Li sendiri dengan wajah berseri memperhatikan gerak-gerik para penari. Hidangan yang
disuguhkan juga aneh-aneh akan tetapi agaknya Gangga Dewi telah memesan kepada kepada
dusun agar membuat lauk pauk yang sesuai dengan selera orang Han. Hal ini mudah
dilaku-kan oleh para koki bangsa Bhutan karena memang hubungan antara Bhutan dengan
Cina sudah terjalin sejak ratusan tahun yang lalu. Banyak pula keturunan orang Cina atau
yang disebut Han-Bhutan se-perti Gangga Dewi kini berada di Bhutan seperti juga banyak di
situ keturunan Nepal, Tibet, dan India. Sebagai negara kecil yang terkepung negara-negara
besar Bhutan mempunyai banyak orang-orang berdarah campuran atau peranakan. Ba-nyak
pula orang Han berdatangan ke Bhutan sebagai pedagang, sehingga para koki bangsa Bhutan
selain pandai mem-buat masakan khas Bhutan, pandai pula membuat masakan model Nepal,
India, Tibet atau Han. Minuman anggur yang disuguhkan juga manis dan lembut, tidak terlalu
menyengat seperti arak, dan membuat orang mabok secara perlahan dan tidak dirasakan.
Sian Li juga mengagumi para penabuh musik. Mereka itu semua pria, dan masih muda-muda.
Pakaian mereka yang khas juga amat menarik, membuat mereka nampak gagah. Mereka lebih
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
285 pantas men-jadi penari atau ahli silat karena mereka semua membawa golok khas Bhutan di
pinggang mereka, dan mereka menabuh musik dengan lagak penari-penari yang lincah.
Apalagi penabuh tamburnya. Dia seorang pemuda yang tinggi tegap. Dia menggulung lengan
baju ke atas dan nampaklah sepasang lengan yang kokoh dan berotot. Cara dia menabuh
tambur sungguh menarik dan gagah, seperti orang bermain silat saja. Kadang-kadang dia
melontarkan dua buah kayu pemukul tambur ke atas dan melanjutkan memu-kul tambur
dengan jari tangannya, lalu menyambut lagi dua batang pemukul yang meluncur turun. Semua
ini dilaku-kan secara berirama.
Sian Li kagum. Hebat memang pemu-da yang usianya kurang leblh dua puluh tahun itu. Cara
dia melempar pemukul ke atas, lalu menyambutnya kembali tan-pa melihat karena matanya
terus mena-tap tamburnya, seolah kedua tangannya bermata, sungguh mengagumkan. Dan
pukulan tambur itu pun menggetar penuh kekuatan. Rasanya tidak mungkin dia itu tidak
memiliki kepandaian silat dan tenaga sin-kang, pikir Sian Li.
Akan tetapi kini perhatian Sian Li terhadap Si Penabuh tambur itu teralih. Tarian gadis-gadis
cantik itu sudah sele-sai dan kini muncullah seorang kakek berusia enam puluhan tahun.
Kakek ini tinggi besar seperti raksasa dan bermuka hitam, kepalanya gundul atau botak licin
dan pakaiannya serba longgar dengan jubah berwarna hitam pula! Menyeramkan sekali kakek
ini, terutama sepasang ma-tanya yang bulat besar dengan alis yang terlalu tebal sehingga tidak
wajar lagi! Kepala dusun memperkenalkan kakek ini sebagai Lulung Ma, seorang peranakan
Tibet yang memiliki keahlian sulap dan bermain ular!
Biarpun tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, namun ketika kakek bernama Lulung Ma itu
memberi hormat dengan sembah kepada Gangga Dewi, dia dapat bergerak demikian lentur
seperti seekor ular besar! Gangga Dewi mengangguk dan tersenyum, lalu berkata, "Mulailah
dengan pertunjukanmu dan lakukan sebaik mungkin."
Para penari dan bahkan para penabuh musik semua mengundurkan diri kecuali pemuda
pemukul tambur tadi! Kiranya hanya pemuda itu seorang yang akan membantu Lulung Ma
menunjukkan ke-ahliannya. Pemuda itu tetap menahadapi sebuah tambur dan sebuah
gendang, dan dengan kedua tangannya, dia mengangkat dua alat musik itu dan mendekati
Lulung Ma, lalu duduk bersila di tengah ruangan pertunjukan.
Lulung Ma sudah siap. Ketika dia bangkit berdiri, tubuhnya nampak tinggi besar
menyeramkan, bahkan pemuda yang tinggi tegap itu pun hanya setinggi dagu-nya! Padahal,
pemuda tampan itu sudah termasuk tinggi untuk ukuran biasa. Kini, pemuda itu
memperlihatkan kemahirannya memainkan tambur. Suara tambur ber-dentam-dentam dan
berirama, kemudian diimbangi suara suling yang bentuknya aneh, ada kepalanya yang sebesar
kepal-an tangan. Suling seperti itu disebut suling ular yang biasa dipergunakan oleh ahli-ahli
ular di India untuk menjinakkan ular yang liar dan berbisa.
Akan tetapi, kakek muka hitam itu tidak bermain ular seperti diduga orang, dia hanya
mengimbangi pukulan tambur itu dengan suara sulingnya yang melengking-lengking,
memainkan sebuah lagu rakyat Bhutan yang membuat Gangga Dewi dan orang-orang Bhutan
di situ mengangguk-angguk mengikuti iramanya. Bagi Sian Li, lagu itu lembut akan teta-pi
terasa aneh bagi pendengarannya.
Suara suling berhenti dan kini pemuda itu memainkan gendangnya, tidak dipukul keras-
keras, melainkan lirih dan sebagai pengantar saja agaknya, walaupun dari suara gendang
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
286 dapat diketahui bahwa pemuda itu memang ahli menabuh gen-dang. Suara gendang itu bisa
terdengar seperti halilintar, bisa seperti riak air atau rintik hujan. Kini, kakek muka hitam itu
mulai bermain sulap. Dia bicara dalam bahasa Bhutan yang tidak dime-ngerti oleh Sian Lun
dan Sian Li. Akan tetapi Suma Ciang Bun yang sejak men-jadi suami Gangga Dewi telah
mempela-jari bahasa daerah isterinya itu, menter-jemahkan kepada mereka. "Dia berkata
bahwa dia akan membagi-bagi bunga kepada para tamu dari kedua tangannya yang kosong."
Sian Li memandang dengan wajah berseri. Selama hidupnya, baru dua kali ia menonton
tukang sulap, yaitu ketika ia masih kecil. Melihat tukang sulap mampu mengambil benda-
benda dari udara, ia dahulu merasa amat kagum. Akan tetapi ayah bundanya mengatakan
bahwa tukang sulap itu mempergunakan alat yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu, dibantu
pula oleh kecepatan ke-dua tangannya yang sudah terlatih baik. Sebenarnya tidak ada yang
aneh dalam sulapan.
"Jangan-jangan dia hanya menipu kita dengan alat-alat yang sudah dia persiap-kan lebih
dulu!" katanya, suaranya cukup kersa karena dianggapnya bahwa yang mengerti bahasanya
tentu hanya mereka berempat. Akan tetapi wajahnya berubah kemerahan ketika tukang sulap
itu mene-ngok kepadanya dan berkata dengan suaranya yang bersih dan dalam, khas suara
raksasa! "Jangan khawatir, Dewi Merah, aku tidak mempergunakan alat apa pun ke-cuali kedua
tanganku yang kosong ini! Maafkan, Nona cantik seperti dewi, dan suka berpakaian merah,
maka aku me-nyebut Nona Dewi Merah!" Kiranya rak-sasa muka hitam itu pandai bahasa
Han, dengan lancar pula! Dan lebih membuat Sian Li terheran lagi, banyak di antara para
tamu dan mereka yang menonton di sekeliling ruangan itu, pendapa yang terbuka menyambut
ucapan rakasasa mu-ka hitam itu dengan tawa riuh seolah mereka itu mengerti apa yang
diucapkan dalam bahasa Han. Sian Li tidak tahu bahwa demikian baiknya hubungan orang-
orang di situ dengan bangsa Han sehing-ga bahasa Han bukan merupakan bahasa yang asing
bagi kebanyakan dari mereka. Apalagi di antara mereka ba-nyak pula terdapat keturunan Han.
Sege-ra terdengar seruan-seruan dari para pemuda yang tadi kagum kepada Sian Li.
"Dewi Merah....! Dewi Merah....!"
Gangga Dewi ikut pula bergembira dan ia mengangkat kedua tangan ke atas untuk
menghentikan keributan itu. Sete-lah reda, ia pun memperkenalkan cucu keponakan suaminya
itu, "Ini adalah cucu keponakan kami, julukannya bukan Dewi Merah, melainkan Si Bangau
Merah" Banyak orang bersorak dan bertepuk tangan, dan di sana sini terdengar seruan "Dewi Bangau
Merah! Dewi Bangau Me-rah!"
Suma Ciang Bun terseret dalam ke-gembiraan itu dan dia pun mengumumkan "Sebutan itu
memang tepat sekali. Na-manya memang Dewi (Sian-li)!" Kembali orang bersorak. Ketika
Gangga Dewi melirik dan melihat betapa Sian Lun ti-dak ikut bertepuk tangan, bahkan wajah
pemuda itu nampak muram, ia pun me-nahan senyumnya. Ia segera mengenal pemuda ini
sebagai pemuda yang jatuh cinta kepada sumoinya, akan tetapi juga amat pencemburu
sehingga kalau ada orang lain, terutama pria, yang memuji Sian Li, dia akan merasa tidak
senang dan cemburu!
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
287 Gangga Dewi kembali memberi tanda dengan mengangkat kedua tangan ke atas dan suara
bising itu pun terhenti. "Lu-lung Ma, harap kau suka memulai dengan janjimu akan memberi
hadiah bunga-bu-nga kepada kami semua!"
Lulung Ma, Si Raksasa Muka Hitam itu, menjura dan dia membuat gerakan-gerakan seperti
biasa diperlihatkan tu-kang sulap, lalu kedua tangan seperti memetik sesuatu dari udara dan....
tiba-tiba saja di kedua tangannya telah me-megang masing-masing setangkai bunga yang
segar berikut beberapa batang daunnya, seolah-olah baru saja dia me-metiknya dari udara!
Akan tetapi, ketika semua penonton bersorak memuji, Sian Li, Sian Lun, Suma Ciang Bun
dan juga Gangga Dewi, hanya tersenyum. Mereka berempat adalah ahli-ahli silat yang
me-miliki penglihatan tajam, berbeda dengan orang biasa, dan mereka tadi melihat gerak
cepat dari tukang sulap itu yang mengeluarkan dua tangkai bunga itu dari dalam lengan baju
hitamnya yang longgar. Memang benar, Lulung Ma tidak mem-pergunakan alat yang sudah
dipersiapkan seperti ucapannya tadi, melainkan meng-gunakan kedua tangannya yang dapat
bergerak cepat bukan main sehingga ti-dak nampak oleh mata biasa. Jari-jari tangan yang
panjang itu ditekuk ke da-lam dan menjepit dua tangkai bunga dari dalam lubang lengan
bajunya. Sambil menjura ke kanan kiri me-nyambut tepuk tangan itu, Lulung Ma melangkah ke
panggung kehormatan dan menyerahkan dua tangkai bunga itu ke-pada Gangga Dewi dan
Sian Li sambil berkata lantang.
"Bunga-bunga yang paling indah dan paling segar untuk Yang Mulia Puteri Gangga Dewi
dan Dewi Bangau Merah!" Dua orang wanita itu tersenyum dan menerima bunga itu disambut
tepuk ta-ngan para penonton.
Sian Lun yang duduk dekat Sian Li, menjadi merah mukanya melihat betapa raksasa hitam
itu menyerahkan bunga kepada Sian Li sambil matanya yang lebar memandang tajam dan
menyapu seluruh tubuh dara itu. Teringat dia be-tapa tadi Si Hitam ini juga memuji Sian Li
cantik seperti dewi. Maka dengan hati panas dia menggunakan kesempatan itu untuk berkata
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sambil memandang kepada raksasa hitam itu.
"Engkau hanya mengambil bunga-bu-nga itu dari dalam lengan baju. Apa anehnya itu?"
Sepasang mata yang bulat dan besar itu kini memandang kepada Sian Lun dengan sinar mata
tajam mencorong, membuat Sian Lun agak terkejut akan tetapi tidak melenyapkan rasa tak
se-nangnya. Lulung Ma lalu bangkit berdiri, me-mandang kepada seluruh penonton baik yang di atas
panggung maupun yang di bawah. "Saudara sekalian, pemuda ini menuduh aku mengambil
bunga-bunga itu dari lengan baju. Apakah kalian melihat aku mengambil sesuatu dari lengan
baju" Serentak terdengar jawaban, "Tidak....! Tidak....!"
Lulung Ma lalu tersenyum dan me-mandang lagi kepada Sian Lun. "Kongcu (Tuan Muda),
apakah engkau mampu menyulap bunga seperti yang kulakukan tadi?"
Sian Lun diam saja. Andaikata di le-ngan bajunya ditaruhkan bunga lebih da-hulu sekalipun,
dia tentu tidak akan mampu mengambil secara cepat sehingga tidak terlihat orang. Untuk
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
288 pekerjaan itu dibutuhkan latihan yang lama sampai menjadi ahli benar. Dia menggeleng
kepala. "Suheng, jangan mencari keributan!" Sian Li tak senang mendengar celaan Sian Lun itu.
Gangga Dewi yang maklum apa yang terjadi di hati pemuda itu, tersenyum dan berkata,
"Memang dia tukang sulap, Sian Lun! Sudahlah, Lulung Ma, harap lanjutkan pertunjukanmu
yang menarik ini!"
Lulung Ma menjura ke arah Gangga Dewi, lalu mundur kembali ke tengah ruangan
mendekati tukang gendang yang masih asyik memukul gendangnya dengan irama lambat dan
lirih. Akan tetapi Sian Li tadi sempat melihat betapa pemuda jangkung yang tampan itu
memandang ke arah Sian Lun dengan sinar mata mencorong seperti orang marah. Lulung Ma
kini menggerak-gerakkan kedua ta-ngannya, memetik dari udara, menjambak rambut sendiri,
mengambil dari lubang telinga dan lain gerakan, akan tetapi setiap kali tangannya bergerak,
nampak setangkai bunga di tangan itu. Akan te-tapi sekali ini bukan dua batang bunga segar
seperti tadi melainkan berpuluh-puluh bunga kertas yang dia bagi-bagikan dan lampar-
lemparkan kepada para tamu dan penonton yang menyambut permainan sulapnya ini dengan
tepuk tangan meriah dan seruan-seruan keheranan.
Sian Li melihat betapa raksasa hitam itu sesungguhnya mempergunakan kece-patan kedua
tangannya untuk mengambil bunga-bunga kertas yang disembunyikan di dalam lengan baju
dan saku jubah hitamnya. Namun gerakannya memang amat cepat sehingga tidak nampak
oleh mata orang biasa yang tidak terlatih.
Setelah membagikan semua bunga kertas yang disulapnya secara amat me-ngesankan itu,
Lulung Ma lalu memberi hormat ke arah Gangga Dewi dan dia berkata, "Sekarang hamba
hendak menco-ba untuk mengubah kepala hamba men-jadi kepala naga, harap Paduka
memaaf-kan hamba." Mendengar ini, Gangga De-wi mengangguk. Diam-diam puteri ini
kagum juga kepada raksasa hitam yang ternyata pandai itu, dan mendengar orang itu hendak
mengubah kepalanya menjadi kepala naga, ia pun dapat men-duga bahwa Lulung Ma tentu
seorang ahli ilmu sihir. Dan melihat sikap Lulung Ma yang sebelumnya minta maaf
kepada-nya, hal itu menunjukkan bahwa raksasa hitam itu tentu sudah tahu akan
kepan-daiannya maka sebelumnya minta maaf. Kini Lulung Ma menghadapi para ta-mu dan
penonton. "Saudara sekalian ha-rap suka tenang, sekarang aku ingin me-ngubah kepalaku
menjadi kepala naga!"
Lalu dalam bahasa Han dia berkata sam-bil memandang ke arah Sian Li dan Sian Lun, "Dewi
Bangau Merah, saya akan mengubah kepala saya ini menjadi kepala naga!" Dan dia memberi
isarat kepada pemuda penabuh gendang yang segera mengganti gendangnya dengan tambur
dan terdengarlah derap bunyi tambur yang meledak-ledak dan bergemuruh se-perti ada badai
dan halilintar mengamuk!
Lulung Ma menggerakkan kaki ta-ngannya mengikuti suara tambur, dan makin lama
tubuhnya bergetar makin kuat, lalu dia mengeluarkan suara teriak-an melengking, "Saudara
lihat baik-baik, kepalaku adalah kepala naga, hitam!" Kembali dia mengeluarkan suara
meleng-king nyaring tinggi yang semakin meren-dah menjadi gerengan yang menggetarkan
seluruh ruangan itu, diikuti suara tambur yang menggelegar.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
289 Semua orang terbelalak, ada yang mengeluarkan teriakan, bahkan banyak wanita menjerit
dan Sian Li merasa be-tapa lengannya dipegang Sian Lun dengan kuat. Ia menoleh dan
melihat betapa Sian Lun terbelalak memandang ke arah Lulung Ma. Sian Li tersenyum dan
mengerti. Suhengnya itu memang telah me-miliki ilmu silat tinggi dan sin-kang yang kuat,
akan tetapi tidak pernah mempela-jari ilmu yang dapat menolak pengaruh sihir seperti Ia. Ia
sejak kecil telah di-latih untuk membangkitkan tenaga sakti dari ilmu silat Pek-ho Sin-kun
(Silat Sak-ti Bangau Putih) dan perlahan-lahan sekali, kekuatan itu tumbuh dalam dirinya dan
ia pun seperti memiliki kekebalan terhadap sihir. Tadi ia sudah menduga bahwa kakek raksasa
hitam itu tentu mempergunakan hoat-sut (sihir), maka ia pun sudah mengerahkan tenaga sakti
Pek-ho Sin-kun sehingga ia pun tidak terpengaruh dan melihat bahwa kepala Lulung Ma itu
tetap kepala yang tadi, tidak berubah menjadi kepala naga. Dan memang Sian Lun menjadi
terkejut dan tegang ketika seperti para penonton lain dia melihat bahwa kepala raksasa hitam
itu benar-benar berubah menjadi kepala naga hitam yang amat menyeramkan. Tentu saja
bentuk kepala naga itu tidak sama di antara para penonton, tergan-tung dari khayal mereka
masing-masing. Ketika Sian Li mengerling ke arah Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, ia
melihat dua orang tua ini memandang ke arah Lulung Ma sambil tersenyum tenang, tanda
bahwa mereka pun tidak terpenga-ruh. Hal ini tidaklah mengherankan. Suma Ciang Bun
adalah keturunan langsung dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang merupakan seorang
sakti dan ahli sihir pula, maka Suma Ciang Bun yang sudah menguasai tenaga sakti Im dan
Yang dari keluarga sakti itu, tidak ter-pengaruh. Demikian pula Gangga Dewi. Ia mewarisi
ilmu dari mendiang ayahnya, yaitu Si Jari Maut Wan Tek Hoat, maka begitu melihat kepala
itu berubah menja-di kepala naga, dengan cepat wanita ini mengerahkan sin-kangnya dan
buyarlah pengaruh sihir itu dari pikirannya.
"Suheng," bisik Sian Li kepada su-hengnya yang masih memegang lengannya dalam keadaan
tegang itu. "Tenanglah dan kerahkan sin-kangmu untuk meme-cahkan pengaruh yang
mencengkeram pendengaran dan penglihatanmu. Semua itu hanya ilmu sihir."
Mendengar bisikan ini, Sian Lun me-lepaskan pegangannya dan dia nampak memejamkan
kedua mata, menahan napas lalu mengatur pernapasan dan setelah dia membuka matanya lagi,
dia melihat bahwa kepala Lulung Ma kembali seperti biasa.
"Hemm, kiranya ilmu setan untuk menakut-nakuti anak kecil!" Sian Lun berkata untuk
melampiaskan kedongkolan hatinya bahwa tadi dia pun sampai terpengaruh dan sempat
terkejut dan gentar.
Lulung Ma memiliki pendengaran yang amat tajam dan dia dapat menangkap ucapan Sian
Lun itu. Dia mengeluarkan suara meraung dan bersamaan dengan bunyi tambur yang semakin
menurun, orang-orang melihat asap mengepul me-nutupi kepala naga itu dan ketika asap
lenyap, kepala itu sudah kembali menjadi kepala Lulung Ma. Para penonton ber-tepuk tangan
dan bersorak menyambut sulapan itu penuh kekaguman.
Kembali Sian Li melihat betapa pemuda penabuh tambur itu mengirim pan-dang mata penuh
kemarahan kepada Sian Lun sehingga hatinya merasa tidak enak. "Suheng, kuminta engkau
jangan menge-luarkan ucapan yang bukan-bukan. Ingat, kita ini tamu, dan mereka itu hanya
menyuguhkan pertunjukan untuk menghi-bur. Sekali lagi engkau bersikap seperti itu, aku
akan marah padamu," bisiknya. Sian Lun memandang kepadanya dan mengangguk. Dia pun
merasa betapa kepanasan hatinya tidak beralasan sama sekali dan dia merasa malu sendiri.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
290 Kini Lulung Ma sudah memberi hor-mat lagi kepada Gangga Dewi, lalu ke-pada para
penonton. "Sekarang, kami hendak mempersembahkan hiburan berupa permainan dan tari
ular!" Kakek raksasa hitam itu mengeluar-kan suling ularnya dan mulai meniup suling dengan suara
melengking-lengking. Pemuda penabuh tambur tadi bangkit, menghampiri belasan buah
keranjang dan membuka tutup semua keranjang itu, kemudian kembali dia menabuh tambur
perlahap-lahan seperti suara rintik hujan.
Suara suling melengking-lengking lembut dan para penonton menjadi tegang dan tidak berani
mengeluarkan suara atau bergerak ketika dari belasan buah keran-jang itu muncul kepala ular-
ular yang besar! Ular-ular itu mengangkat kepala tinggi-tinggi, seperti menjenguk keluar,
mengembangkan leher dan mendesia-desis, lidah menjilat-jilat keluar masuk, kemu-dian
mereka keluar dari dalam keranjang. Melihat ini, para penonton yang berada paling depan,
mundur ketakutan, bahkan para tamu yang duduk di panggung juga mengangkat kaki dengan
gentar. Ular-ular itu bukanlah ular biasa, melainkan ular kobra yang berbisa! Sekali saja
di-gigit ular berbisa itu, nyawa dapat me-layang!
Kini belasan ekor ular itu sudah ke-luar dari dalam keranjang masing-masing dan merayap
menghampiri Lulung Ma. Panjang ular itu dari satu sampai satu setengah meter. Mereka
merayap dengan kepala terangkat tinggi, kemudian tiba di depan Lulung Ma, belasan ekor
ular itu berhenti, masih mengangkat kepala tinggi-tinggi.
Lulung Ma menggerak-gerakkan lengan kirinya yang menjadi lemas seperti ular, dengan
tangan membentuk kepala ular, dan tangan kanannya memegang suling yang masih ditiupnya.
Pemuda itu juga memukul tambur dengan irama lirih dan lambat. Kini, ular-ular itu mulai
menari-nari, dengan kepala dilenggang-lenggok-kan, menoleh ke kiri kanan dan nampak
seperti belasan orang penari yang me-miliki gerakan lemah gemulai! Para penonton
memandang kagum, akan tetapi tidak berani bersorak atau bertepuk tangan, takut kalau
mengejutkan ular-ular itu.
Suma Ciang Bun pernah mempelajari ilmu menguasai ular dari mendiang ibu-nya. Ibunya
yang bernama Kim Hwee Li adalah seorang yang memiliki ilmu pa-wang ular, bahkan Suma
Ciang Bun per-nah mempelajari cara memanggil ular bukan dengan suling lagi, melainkan
dengan suara yang dikeluarkan dari bibir-nya seperti suitan panjang. Akan tetapi, kini dia
kagum menyaksikan kelihaian Lulung Ma mengatur ular-ularnya untuk menari seperti itu.
Hanya ular-ular peli-haraan yang sudah dilatih saja yang da-pat disuruh menari seperti itu.
Belum tentu raksasa hitam itu mampu mengua-sai dan mengendalikan ular-ular yang liar
pikirnya. Agaknya raksasa hitam itu seperti dapat membaca pikiran Suma Ciang Bun karena kini
dengan tangan kirinya, dia memberi isarat kepada tukang tambur. Pemuda itu lalu bangkit
meninggalkan tamburnya sehingga tinggal suara suling saja yang melengking dan
mengendalikan belasan ekor ular itu. Pemuda itu lalu menuruni tangga panggung dan dengan
suara lantang minta kepada penonton di bawah agar "membuka jalan" untuk barisan ular.
"Harap minggir dan membuka jalan. Semua ular di sekitar sini akan dipanggil untuk
mengadakan pesta ular!" katanya. Tentu saja orang-orang menjadi ketakutan dan membuka
jalan yang cukup lebar seperti dikehendaki pemuda itu. Si Pe-muda Jangkung kembali ke atas
panggung dan dia lalu menangkapi belasan ekor ular itu dangan tangannya den
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
291 mengem-balikan mereka ke dalam keranjang ma-sing-masing. Cara dia menangkap ular-ular
itu saja sudah membuat Suma Ciang Bun, Sian Li dan Sian Lun tahu bahwa pemuda itu dapat
menggerakkan tangan dengan amat cepatnya. Bahkan ketika ular terakhir hendak ditangkap,
ular itu mematuk dengan serangan cepat sekali. Akan tetapi, dengan sikap amat tenang,
pemuda itu sudah dapat mendahului, jari tangannya menjepit leher ular dengan amat cekatan
dan memasukkan ular itu ke dalam keranjangnya. Diam-diam Sian Li kagum. Gerakan
mengelak dan menje-pit leher ular dengan telunjuk dan ibu jari itu tadi jelas merupakan
gerakan seorang ahli silat yang pandai. Dengan jepitan seperti itu, pemuda itu agaknya akan
mampu menangkap senjata rahasia yang menyambar ke arahdirinya. Ia me-rasa yakin bahwa
pemuda jangkung itu tentu pandai ilmu silat.
Kini pemuda jangkung itu sudah me-nabuh tamburnya kembali, mengiringi bunyi suling
yang melengking begitu tinggi sehingga hampir tidak terdengar, namun terasa getarannya.
Suma Ciang Bun terkejut. Itulah lengking tinggi me-manggil ular yang amat kuat dan
berpe-ngaruh. Baru dia tahu bahwa tadi dia memandang rendah. Kiranya raksasa hi-tam ini
bukan saja mampu memanggil ular-ular liar. Jantungnya berdebar te-gang. Sungguh
berbahaya permainan ini, apalagi di situ berkumpul banyak orang. Bagaimana kalau ular-ular
itu tidak da-pat dikendalikan dan menyerang orang"
Semua orang juga memandang tegang dan tiba-tiba mulailah terdengar suara mendesis-desis
dan tercium bau amis. Segera terjadi kekacauan ketika para penonton di bawah ada yang
berteriak-teriak.
"Ular....! Ular....!"
Pemuda itu sambil terus memukul tamburnya, berteriak dengan suara lan-tang, "Harap
tenang! Jangan ada yang bergerak, dan ular-ular itu tidak akan mengganggu!"
Kini nampaklah ular-ular itu. Memang benar, ketika para penonton tidak ber-gerak, ular-ular
itu tidak mengganggu. Memang mereka datang dari empat pen-juru, bahkan melalui dekat
kaki para penonton, akan tetapi mereka semua seperti tergesa-gesa menuju ke tangga dan naik
ke panggung, menghampiri ka-kek raksasa hitam yang meniup suling! Banyak sekali ular-ular
itu, puluhan ekor, bahkan ratusan ekor banyaknya, ada yang besar sekali, banyak yang kecil
namun amat berbisa!
Banyak di antara para tamu bangkit dari tempat duduk mereka karena mera-sa ngeri dan takut
kalau-kalau kaki me-reka akan diserang ular. Juga Sian Li dan Sian Lun bangkit berdiri,
bukan ta-kut diserang ular, melainkan khawatir kalau ada tamu yang dipatuk ular. Se-orang
gadis remaja, puteri kepala dusun yang duduk tak jauh dari mereka, nam-pak pucat sekali dan
gadis remaja itu agaknya memang takut ular. Tubuhnya menggigil dan ketika ada dua ekor
ular yang panjangnya hanya dua kaki akan tetapi ular-ular itu amat berbisa, lewat di dekat
kakinya, gadis remaja itu men-jerit. Dua ekor ular itu kaget dan mem-balik. Melihat itu,
seperti berebut saja Sian Li dan Sian Lun meloncat, mende-kati gadis itu. Gerakan mereka ini
mem-buat dua ekor ular yang sudah marah dan tadinya hendak menyerang gadis yang
menjerit, membalik dan menyerang ke arah Sian Li dan Sian Lun. Ular yang menyerang Sian
Lun dan Sian Li itu ada-lah semacam ular yang suka melompat tinggi. Kini mereka pun
meloncat dan menyerang dengan kecepatan anak panah.
Akan tetapi dengan tenang saja Sian Li menggerakkan tangannya, dan sekali jari-jari
tangannya menghantam, ular yang menyerangnya itu terbanting dengan kepala remuk dan
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
292 tewas seketika! Ada-pun ular yang menyerang Sian Lun, di-sambut oleh pemuda itu dengan
cengke-raman ke arah leher ular itu. Sekali dia meremas, leher ular itu hancur dan ular itu pun
mati seketika. Lulung Ma, melihat hal itu dan alisnya berkerut. Alis yang tebal sekali itu kini seperti
bersambung menjadi satu. Tiupan sulingnya menjadi kacau karena hatinya panas melihat dua
ekor ularnya mati, dan hal ini membuat ular-ular itu menja-di panik dan kacau pula! Orang-
orang menjerit ketika ular-ular itu mulai lari ke sana sini dengan kacau.
Melihat hal ini, Suma Ciang Bun ce-pat bertindak. Terdengar suara meleng-king aneh dan
meninggi, dan ular-ular itu menjadi ketakutan. Lenyap semua kemarahan mereka dan mereka
pun tidak ganas lagi, melainkan ketakutan dan me-reka lari secepatnya meninggalkan tempat
itu seperti dikejar-kejar sesuatu yang membuat mereka ketakutan!
Lulung Ma menghentikan tiupan sulingnya. Dia dan pemuda jangkung tukang tambur itu
menoleh ke arah Suma Ciang Bun, memandang dengan mata terbelalak. Kemudian, setelah
se-mua ular pergi, hanya tinggal dua ekor bangkai ular, Lulung Ma lalu memberi isarat
kepada Si Pemuda Jangkung yang segera mengambil dua bangkai ular dan menyimpannya
dalam sebuah keranjang. Kemudian Lulung Ma menjura ke arah Gangga Dewi, tentu saja
otomatis ke arah Suma Ciang Bun.
"Harap dimaafkan, karena ada yang menjerit ketakutan, ular-ular itu menjadi panik. Masih
untung ada Enghiong (Orang Gagah) yang membantu kami mengusir ular-ular itu sehingga
tidak ada korban gigitan. Untuk menyatakan maaf, biarlah murid saya ini bermain silat, dan
kami akan memperlihatkan tari silat yang je-lek dan hanya sekedar menghibur anda sekalian."
Akan tetapi sebelum Si Jangkung itu bangkit berdiri, dari tempat para penari yang tadi
minggir, berlompatan dua orang yang tadi juga menjadi pemain musik. Mereka berusia
kurang lebih tiga puluh tahun, yang seorang bertubuh ge-muk, yang ke dua kurus, akan tetapi
keduanya tinggi, setinggi raksasa hitam itu dan nampak mereka itu memiliki tenaga otot yang
kuat. Melihat mereka, Lulung Ma tersenyum dan kembali menjura kepada para tamu. "Agaknya
dua orang pembantu kami ini ingin pula memperlihatkan kepandaian mereka untuk
menghibur para tamu. Badhu dan Sagha, silakan!"
Dua orang itu memberi isarat kepada kawan-kawan mereka dan beberapa orang datang
menggotong sebuah keranjang terisi batu-batu sebesar kepala orang.
Setelah meletakkan keranjang itu di de-pan Badhu dan Sagha, mereka turun kembali.
Badhu yang gemuk dengan perut gen-dut itu berdiri tegak dengan kedua lutut agak ditekuk,
memasang kuda-kuda dan memberi isarat kepada kawannya yang tinggi kurus bernama
Sagha. Orang ini lalu mengambil sebongkah batu dari ke-ranjang, lalu sekuat tenaga dia
menghantamkan batu itu ke arah perut temannya. Perut yang gendut itu menerima hantam-an
batu. "Bukkk!" Pukulan itu membalik. Sa-gha mundur sejauh dua meter lebih, lalu sekuat tenaga
dia melontarkan batu itu ke arah perut kawannya.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
293 "Bukk!!" Batu itu mengenai perut dan mental kembali ke arah Sagha yang me-nyambut
dengan kedua tangan. Kemudian, Sagha melemparkan batu itu menghantam ke arah dada,
paha, pundak, bahkan dari belakang mengenai punggung dan pinggul. Akan tetapi batu itu
selalu mental kem-bali. Tentu saja semua orang menjadi kagum. Tubuh Si Gendut itu
memang kebal. Kemudian, Badhu juga mengambil sebongkah batu dan menghantamkan batu
ke arah Sagha yang kurus. Si Kurus ini menyambut dengan batu di tangannya.
"Darr....!" Dua buah batu itu pecah berhamburan. Mereka mengambil batu lagi dan kini
mereka saling hantam, bukan saja di tu-buh, melainkan di kepala. Akan tetapi setiap kali batu
itu dihantamkan ke kepala lawan, batu itu pecah berhamburan! Tentu saja para penonton
menyambut dengan sorak-sorak dan tepuk tangan karena pertunjukan ini benar-benar
me-negangkan dan juga mengagumkan. Ba-gaimana kepala orang dapat begitu kebal dan
keras sehingga batu besar pun pecah ketika bertemu kepala!
Setelah sepuluh buah batu besar itu pecah, kedua orang itu lalu mengadu kekuatan dengan
bergulat! Badhu yang gendut berhasil memegang pinggang Sa-gha yang kurus dengan kedua
tangan, mengerahkan tenaga mengangkat tubuh kurus itu ke atas, memutar-mutarnya dan
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membanting sekuat tenaga.
"Bukkk....!" Tubuh kurus itu terbanting dan kalau orang lain dibanting sekeras itu, tentu akan
patah-patah semua tulangnya. Akan tetapi seperti sebuah bola saja, Si Kurus sudah meloncat
bangun kembali, dan kini dia menyergap Si Gen-dut, menangkap lengannya, dipuntir ke
belakang dan dari belakang tubuhnya dia membanting kawannya itu dengan sepe-nuh tenaga.
"Bukkk!" Tubuh gendut gemuk itu terbanting dan semua orang merasa kha-watir. Akan
tetapi seperti juga temannya tadi, segera dia bangkit kembali, seolah--olah bantingan tadi
sama sekali tidak dirasakannya.
Sekarang mereka tidak bergulat lagi, melainkan berkelahi saling pukul dan saling tendang.
Dan agaknya mereka ingin memamerkan kecepatan gerakan mereka. Pukulan dan tendangan
mereka elakkan atau tangkis, dan yang sempat mengenai tubuh pun tidak dirasakan ka-rena
keduanya memiliki kekebalan. Demikian serunya perkelahian itu sehingga memancing tepuk
sorak para penonton yang merasa kagum bukan main karena mereka seperti melihat dua ekor
harimau bertarung. Memang hebat sekali perkela-hian itu, apalagi diiringi musik tambur dan
genderang yang dipiikul secara kuat oleh Lulung Ma dan pemuda jangkung. Akhirnya,
Lulung Ma yang memukul gen-dang memberi isarat dengan pukulan gendangnya yang
semakin lambat dan lirih dan akhirnya dua orang yang sedang bertanding itu pun
menghentikan pertan-dingan mereka. Dengan sikap bangga dan dada terangkat, Si Gendut
yang bernama Badhu lalu memandang kepada para tamu dan para penonton.
"Saudara sekalian, kurang menarik kalau hanya saya dan adik saya Sagha ini yang bertanding
karena kami berdua sama kuat dan tidak ada yang dapat menang atau kalah. Kita semua tahu
betapa kuatnya bangsa kita yang hidup di sekitar Pegunungan Himalaya ini, ti-dak dapat
disamakan dengan mereka yang tinggal di timur, yang kerempeng dan berpenyakitan. Akan
tetapi, kalau ada di antara saudara yang mengaku orang timur dan merasa memiliki
kepan-daian yang katanya dimiliki orang-orang di dunia persilatan, silakan maju. Mari kita
ramaikan pertemuan ini dengan main-main sebentar untuk membuka mata kita siapa
sesungguhnya yang lebih kuat antara orang-orang di Pegunungan Himalaya!" Dengan sikap
menantang Badhu dan Sagha berdiri di situ sambil memandang ke arah Sian Lun dan Sian Li,
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
294 juga Suma Ciang Bun. Jelas bahwa biar dia tidak menantang secara langsung, akan tetapi di
tempat itu yang jelas merupakan pendatang dari timur adalah mereka bertiga itu.
Sian Lun dan Sian Li, saling pandang dan dari pandang mata itu mereka ber-sepakat untuk
menyambut tantangan itu. Sian Li menoleh kepada nenek Gangga Dewi dan bertanya,
"Bolehkah kami me-layani tantangan mereka?"
Gangga Dewi dan suaminya saling pandang. Diam-diam Gangga Dewi juga marah melihat
sikap dua orang pegulat itu yang dianggapnya terlalu sombong dan merendahkan orang-orang
Han de-ngansengaja. Ia mengangguk dan menja-wab. "Biar Sian Lun yang maju lebih dulu
menghadapi Badhu, dan engkau nanti yang menghadapi Sagha."
Sian Lun yang sejak tadi sudah men-dongkol sekali, segera bangkit dan sekali menggerakkan
kaki, tubuhnya sudah me-layang ke depan dua orang itu.
"Aku orang dari timur yang kerem-peng dan lemah ingin mencoba kehebatan seorang di
antara kalian!" kata Sian Lun dengan suara lantang.
Suasana menjadi tegang. Semua orang tahu bahwa pemuda tampan itu adalah anggauta
rombongan Puteri Gangga Dewi dan dari pakaiannya saja jelas dapat diketahui bahwa dia
seorang pemuda Han.
Kalau saja Sian Lun bukan anggauta rombongan Puteri Gangga Dewi, tentu Badhu sudah
mengejek dan menghinanya. Akan tetapi mengingat akan kehadiran puteri Bhutan itu, Badhu
tidak berani bersikap kasar dan dia pun menjura se-bagai penghormatan.
"Saya tidak berani menentang Kongcu, dan yang saya maksudkan adalah mereka yang
datang dari timur daerah Se-cuan. Akan tetapi kalau tidak ada yang berani maju kecuali
Kongcu baiklah saya akan layani Kongcu main-main sebentar."
Sagha tersenyum dan Si Tinggi Kurus ini lalu mengundurkan diri ke rombongan penari dan
pemain musik tadi. Kini Lu-lung Ma dan pemuda penabuh tambur memukul tambur dan
gendang dengan gencar dan mereka kelihatan gembira sekali. Sian Li yang memandang
rendah dua orang pegulat itu, berseru dengan lantang.
"Suheng, jangan sampai membunuh orang!"
Sian Lun mengangguk, dan mendengar ucapan gadis itu, Lulung Ma dengan ta-ngan masih
menabuh gendang, menjawab. "Nona Dewi Bangau Merah, pembantuku Badhu ini belum
pernah dikalahkan lawan bagaimana mungkin dia dapat dibunuh" Dan jangan khawatir, kami
juga tidak mau membunuh orang dalam pesta ini, hanya sekadar menghibur dengan
pertun-jukan menarik. Badhu, mulailah!"
Dua orang itu sudah saling berhadap-an. Sian Lun bersikap tenang walaupun hatinya panas
mendengar ucapan Lulun Ma tadi. Namun dia sebagai murid suami isteri yang sakti, tahu
bahwa membiar-kan diri diseret perasaan amat merugikan. Dia tetap tenang dan waspada, dan
dia mengikuti setiap gerakan lawan dengan pandang matanya yang mencorong tajam.
Bagaikan seekor biruang, Badhu yang gendut itu mengangkat kedua tangan ke atas kanan kiri
kepala, lalu membuat langkah perlahan mengitari Sian Lun. Pemuda itu mengikuti dengan
gerakan kakinya tetap waspada.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
295 "Kongcu, silakan menyerang lebih du-lu," kata Badhu yang memandang rendah pemuda
yang nampak lemah itu.
"Badhu, engkau yang memantang, eng-kau pula yang harus menyerang lebih dulu," jawab
Sian Lun dengan sikap tetap tenang.
"Ha-ha-ha, engkau terlalu sungkan, Kongcu. Baiklah, aku akan menyerang lebih dulu. Awas
seranganku ini!" Tangan kirinya menyambar dari atas, akan teta-pi Sian Lun membiarkan saja
karena dia tahu dari gerakan pundak lawan bahwa tangan kiri itu hanya menggertak saja,
sedangkan yang sungguh menyerang ada-lah tangan kanan yang menyambar ke arah
pundaknya. Agaknya lawan terlalu memandang rendah kepadanya, disangka-nya akan begitu
mudah dia tangkap!
Hanya dengan memutar tubuh sedikit saja, tubrukan tangan kanan itu menge-nai tempat
kosong. Badhu menyusulkan serangannya bertubi-tubi. Kedua tangan-nya bagaikan cakar
biruang menyambar-nyambar untuk menyengkeram dan me-nangkap. Sian Lun maklum
bahwa orang ini memiliki keahlian dalam ilmu gulat, maka dia harus menjaga agar jangan
sampai dia dapat ditangkap. Tangkapan atau cengkeraman seorang ahli gulat dapat berbahaya.
Maka, dia pun menge-lak selalu dan kadang menangkis dari samping tanpa memberi
kesempatan ke-pada jari-jari tangan yang panjang itu untuk menangkapnya.
Ketika Badhu yang mulai penasaran karena semua sambaran tangannya tak pernah berhasil
itu menubruk seperti se-ekor harimau, dengan kedua lengan di kembangkan. Sian Lun
menggeser kakinya ke kiri dan tubuhnya mengelak dengan lincah dan begitu tubuh Badhu
lewat di sebelah kanannya, dia pun mengerahkan tenaga dan menghantam ke arah lambung
lawan. "Desss....!" Tubuh lawan itu terbanting keras dan bergulingan, akan tetapi seperti bola karet,
dia sudah bangkit kembali dan sama sekali tidak kelihatan sakit, bahkan meloncat dan
menubruknya lagi. Sekali ini Badhu marah karena biarpun dia tidak terluka, namun dia telah
terbanting dan hal ini bisa dianggap bahwa dia kalah oleh para penonton. Kini dia tidak hanya
menubruk, bahkan mencengkeram ke arah kepala.
Dia memang kebal, pikir Sian Lun. Kembali dia mengelak dan sekali ini, dia tidak mau
menggunakan tenaga untuk memukul lawan begitu saja, melainkan dia menggunakan tangan
yang dibuka, dan tangan itu menampar ke arah muka orang. Yang diarah adalah hidung dan
mata karena yakin bahwa betapa pun kebal kepala itu, kalau hidung dan mata tidak mungkin
dilatih kekebalan.
"Plakkk!"
Tubuh itu tidak terguncang, akan tetapi Badhu mengeluarkan seruan kesakitan dan kedua
tangannya menutupi mukanya. Ketika dia menurunkan tangannya, hidungnya menjadi biru
dan sebelah matanya juga dilingkari warna menghitam!
Badhu adalah orang kasar yang biasa mempergunakan kekerasan. Kalau dia biasa
menggunakan otaknya, tentu dia tahu bahwa dia berhadapan dengan lawanyang jauh lebih
tinggi ilmunya dibandingkan dia yang hanya menggunakan kekuatan otot dan keras serta
tebalnya tulang dan kulit. Kini, dia menjadi marah sekali dan lupa diri. Dia menggereng
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
296 seperti harimau terluka dan dia menyerang Sian Lun dengan liar dan membabi-buta. Serangan
membabi-buta seperti itu malah berbahaya, pikir Sian Lun. Maka dia pun menggunakan
kelincahan tubuhnya, mengelak sambil membalas dengan pukulan-pukulan tangan terbuka
yang ditujukan ke arah bagian badan yang tidak mungkin dilatih kekebalan. Berkali-kali
tangannya menampar daun telinga, sambungan siku dan pergelangan tangan, kakinya
menen-dang ke arah sambungan lutut kedua kaki lawan.
"Brukk....!" Sekali ini Badhu jatuh dan biarpun dia berusaha untuk bangkit, dia jatuh kembali
karena sambungan kedua lututnya telah berpindah tempat! Para penonton menahan napas dan
suasana menjadi tegang bukan main. Tidak ada yang berani bertepuk tangan karena selain
mereka merasa bangga kepada Badhu juga mereka masih tidak dapat percaya bahwa seorang
pemuda yang kelihatan lemah itu benar-benar mampu membuat Badhu bertekuk lutut tanpa
mengalami cidera sedikit pun, bahkan belum pernah tersentuh tangan raksasa gendut itu!
Terdengar tepuk tangan dan ternyata yang bertepuk tangan adalah Sian Li! Biarpun hanya ia
seorang yang bertepuk tangan, akan tetapi karena ia sengaja mengerahkan tenaganya, maka
suara te-puk tangannya amat nyaring.
Sagha sudah membawa teman-teman pemain musik untuk membantu Badhu meninggalkan
gelanggang pertandingan dan dia sendiri menghadapi Sian Lun dengan muka merah.
"Kongcu hebat dapat mengalahkan Kakakku, akan tetapi aku pun ingin mengadu ilmu
denganmu. Bersiaplah!"
Sian Lun tentu saja tidak takut. akan tetapi pada saat itu nampak berkelebat bayangan merah.
"Suheng, jangan tamak! Yang satu ini bagianku!"
Sian Lun memandang kepada sumoinya dan tersenyum.
"Hati-hati Sumoi, jangan kesalahan tangan membunuh orang, katanya dan dia pun kembali
ke tempat duduknya. Semua tamu dan penonton kini memandang kepada Sian Li dan karena
mereka tadi sudah kagum kepada gadis jelita itu, kini melihat gadis itu berani manghadapi dan
hendak melawan seorang jagoan seperti Sagha, tentu saja mereka semakin kagum, juga
perasaan hati me-reka tegang. Bagaimana kalau kulit yang halus mulus itu sampai lecet,
tulang yang kecil lembut itu sampai patah-patah. Tentu saja tidak ada yang mengira bahwa
tingkat kepandaian dara itu bahkan lebih tinggi daripada tingkat kepandaian pemuda tampan
yang tadi mempermainkan dan mengalahkan Badhu!
Sagha sendiri terkenal jagoan. Karena dia merasa bangga kepada diri sendiri dan jarang
menemui tandingan, maka kini dihadapi seorang dara sebagai calon lawan, tentu saja dia
merasa sungkan dan tidak enak sekali.
"Nona, aku Sagha adalah seorang laki laki yang gagah perkasa dan tak pernah mundur
menghadapi lawan yang bagaima-napun juga. Akan tetapi, bagaimana mumgkin aku berani
melawan seorang dara yang masih setengah kanak-kanak seperti Nona" Seluruh dunia akan
mentertawakan aku, menang atau pun kalah. Lebih baik aku melawan lima orang laki-laki
yang mengeroyokku daripada harus bertanding melawan seorang dara rema-ja!"
Sian Li tersenyum mengejek. "Sagha, katakan saja engkau takut melawan aku. Kalau engkau
takut, berlututlah dan ca-but semua omongan kalian yang sombong tadi, yang mengejek dan
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
297 menghina para pendekar dari dunia persilatan di timur! Engkau harus menarik ucapanmu tadi
dan mohon maaf, baru aku dapat mengampunimu!"
Mereka yang memahami bahasa Han, menjadi bengong mendengar ucapan gadis itu. Betapa
beraninya! Dan mereka yang tidak paham, cepat bertanya kepada te-man mereka yang
mengerti dan semua orang kini memandang kepada Sian Li dengan kaget dan heran. Seorang
gadis yang usianya belum dewasa benar berani bersikap demikian meremehkan terhadap
seorang jagoan seperti Sagha yang tadi sudah mendemontrasikan kekebalan dan kehebatan
tenaganya! Baru kepala dan tubuh yang lain saja demikian kuatnya, kepalanya mampu
membikin pecah batu, apalagi tangannya. Sekali sentuh saja, mungkin kepala gadis remaja itu
akan remuk! Mendengar ucapan Sian Li, Sagha mengerutkan alisnya dan mukanya menja-di merah sekali.
Kalau bukan seorang gadis yang mengucapkan kata-kata tadi, tentu telah dihantamnya. Akan
tetapi dia berhadapan dengan seorang gadis anggauta rombongan Sang Puteri Gangga Dewi
pula, tentu saja dia tidak berani sembarangan.
"Nona, mungkin saja Nona pernah mempelajari ilmu silat, akan tetapi eng-kau bukan
lawanku. Aku tidak takut ke-padamu, melainkan takut kalau dlterta-wakan orang gagah
sedunia. Pula, bagai-mana aku berani bertanding dengan eng-kau yang datang bersama Yang
Mulia Puterl Gangga Dewi" Aku takut menda-pat marah dari beliau."
Gangga Dewi yang mendengar ucapan Sagha itu tersenyum. Ia sudah tahu bah-wa Sian Li
telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat, bahkan tingkatnya lebih tangguh dibandingkan
suhengnya. Oleh karena itu, tentu saja ia merasa yakin bahwa Sian Li akan mampu
menandingi dan bahkan mengalahkan Sagha dengan mudah. Juga ia ingin orang yang
som-bong itu menerima hajaran karena telah berani mengejek dan menghina para pen-dekar
Han. "Sagha, engkau boleh bertanding me-lawan Si Bangau Merah. Kalau engkau mampu
menang, baru aku mengaku bahwa engkau memang seorang jagoan yang hebat."
Sagha memberi hormat kepada Gang-ga Dewi. "Maafkan saya. Akan tetapi bagaimana kalau
hamba kesalahan tangan dan melukai Nona ini" Hamba tidak ingin Paduka nanti marah
kepada hamba."
Gangga Dewi tertawa. "Aku tidak akan marah dan semua orang yang bera-da di sini menjadi
saksinya."
"Terima kasih, Yang Mulia," kata Sagha dan kini dia menghadapi Sian Li. "Baik, Nona. Mari
kita main-main seben-tar."
"Tidak usah main-main, keluarkan se-mua kepandaianmu dan seranglah sung-guh-sungguh
karena aku akan meroboh-kanmu!" kata Sian Li.
Hemm, bocah ini terlalu memandang rendah kepadaku, pikir Sagha marah. Dia pun tidak
sungkan-sungkan lagi dan me-ngambil keputusan untuk membikin malu gadis itu di depan
umum, misalnya de-ngan merobek baju itu!
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
298 "Nona, jaga seranganku ini!" Dan ke-dua tangannya yang besar dengan lengan yang panjang
itu sudah bergerak cepat menyambar ke arah tubuh dara remaja itu tanpa sungkan lagi.
Dibandingkan Badhu, Sagha yang tinggi kurus ini me-mang lebih sigap dan cepat.
"Hyaaaahhhh....!" Dia membentak sam-bil menyerang.
"Plakkk!" Kedua telapak tangannya saling bertemu dari kanan kiri dan me-ngeluarkan bunyi
keras ketika terkaman-nya itu luput, dan gadis yang tadi berada di depannya itu telah lenyap.
Cepat dia membalik dan kembali kedua lengan pan-jang itu bergerak seperti dua ekor ular,
akan tetapi kembali terkamannya menge-nai tempat kosong. Makin cepat dia me-nyerang,
semakin cepat pula Sian Li bergerak sehingga semua penonton men-jadi bengong saking
kagumnya. Tubuh gadis itu lenyap dan yang nampak hanya bayangan merah berkelebatan
dengan amat cepatnya, menyambar-nyambar di antara terkaman dan cengkeraman kedua
tangan Sagha. Tiba-tiba, ketika Sian Li menganggap sudah cukup lama mempermainkan lawan, ia berseru
nyaring dan jari telunjuk kiri-nya meluncur bagaikan patuk burung bangau mematuk dengan
cepat seperti kilat menyambar."Haiiitttt....! Tukkk!" Telunjuk kiri itu menotok dua kali ke
pundak dan dada dan seketika Sagha tidak mampu berge-rak karena dia telah menjadi korban
ilmu totok ampuh It-yang Sin-ci yang dipelajari gadis itu dari Yok-sian Lo-kai. Sian Li juga
telah menguasai ilmu totok lain seperti Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) yang hebat dari
paman kakeknya, akan tetapi ia menggunakan It-yang Sin-ci untuk mempraktekkan ilmu yang
baru saja ia pelajari dari Raja Obat itu. Dan pada saat lawan tak mampu bergerak, kaki Sian Li
menyambar ke arah lutut dan Sagha yang tidak mampu mengerah-kan tenagalagi roboh
terpelanting. Pada saat lawan terpelanting itu, Sian Li membebaskan kembali totokannya.
Para penonton kini tidak mampu lagi menahan kekaguman dan kegembiraan mereka melihat
betapa Dewi Bangau Merah telah benar-benar mampu mero-bohkan Sagha! Terdengar tepuk
sorak riuh menyambut kejatuhan Sagha.
"Hemmm, mana kepandaianmu yang membuat engkau sombong dan mengejek para
pendekar dari timur" Hanya sebegi-ni saja?" Sian Li mengejek dengan suara lantang, dan
kembali terdengar orang menyambut dengan suara riuh. Wajah Sagha sebentar pucat sebentar
merah dari dia meloncat berdiri.
"Aku belum kalah!" bentaknya dan dia pun menyerang, kini bukan ingin me-nangkap dan
merobek baju gadis itu, melainkan memukul dan menendang de-ngan dahsyat! Sagha sudah
marah sekali dan lupa bahwa yang dilawannya hanya seorang dara remaja. Dia menyerang
bukan lagi untuk mencari kemenangan, melainkan untuk membunuh!
Namun, dia seperti mengamuk dan menyerang bayangan saja. Semua pukulan cengkeraman
dan tendangannya hanya mengenai udara kosong sampai terdengar suara bersiutan. Tiba-tiba,
begitu melihat kesempatan baik, kembali jari telunjuk tangan kiri gadis itu meluncur dan
se-perti tadi, seketika tubuh Sagha tidak dapat dia gerakkan dan sekali ini, sambil membentak
nyaring Sian Li menendang atau mendorong dengan kakinya sambil mengerahkan tenaga dan
tubuh tinggi kurus itu terlempar keluar dari panggung dan jatuh menimpa kawan-kawannya,
yaitu para penari dan penabuh musik di mana terdapat pula Badhu yang telah dikalahkan Sian
Lun! Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
299 Tepuk tangan dan sorak yang riuh menyambut kemenangan Sian Li ini. Akan tetapi ketika
Sian Li berjalan kem-bali ke tempat duduknya, suara tambur dan gendang terhenti tiba-tiba
dan kini Lulung Ma dan pemuda tampan jangkung telah berdiri berdampingan sambil
berto-lak pinggang. Lulung Ma mengeluarkan teriakan yang mengatasi keriuhan di situ,
suaranya nyaring sekali dan terdengar oleh semua orang.
"Saudara sekalian! Dua orang pemban-tu kami telah kalah karena mereka me-mang bodoh.
Sekarang, kami berdua me-nantang siapa saja yang memiliki kepan-daian untuk mengadu
ilmu di sini. Kami menantang semua dan siapa saja, tidak terkecuali!"
Pandang mata Lulung Ma ditujukan kepada Suma Ciang Bun, sedangkan pan-dang mata
pemuda jangkung itu ditujukan kepada Liem Sian Lun! Biarpun mereka tidak menuding, jelas
bahwa dua orang Han itulah yang mereka tantang!
Tiba-tiba Gangga Dewi yang sudah berdiri seperti yang lain,menuding ke arah Lulung Ma
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan terdengar suaranya yang lembut namun lantang. "Lulung Ma, sikapmu menunjukkan
bahwa engkau dan orang-orangmu ini aga