Pencarian

Seruling Samber Nyawa 1

Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Bagian 1


"Bu Lim Su Cun di http://cerita-silat.mywapblog.com
Karya : Chin Yung *** (file google dokumen published by Saiful Bahri ...situbondo seletreng )***
Jilid 01 Malam telah larut, musim rontok menjelang habis, puncak
Tay-soat san nan abadi ditaburi salju yang membeku, Diatas
ngarai bersalju di puncak pegunungan yang jarang diinjak kaki
manusia, terlihat sinar pelita kalap-kelip ditengah kabut tebal
yang mengembang datar diatas permukaan bumi.
Sebuah gubuk reyot dibangun diatas ngarai itu terbungkus
oleh kembang salju, sinar pelita kelap-kelip itu tersorot keluar
dari gubuk reyot melalui celah-celah jendela.
Kesunyian mencekam alam sekelilingnya dibawah cahaya
pelita yang remang-remang menyinari keadaan prabot dan
suasana yang yang sederhana dalam gubuk reyot itu,
menghadapi pelita kecil diatas meja duduklah dua orang
berhadapan keduanya membisu sekian lamanya.
Seorang yang duduk diatas adalah seorang nyonya cantik
yang menyanggul rambat diatas kepalanya, pada wajahnya
yang cantik itu terunjuk rasa masgul dan penuh gelisah,
matanya mendelong memandangi pelita entah apa yang
tengah direnungkan, seorang lain yang duduk di hadapanaya
adalah pemuda yang berusia empat-lima belas tahun berwajah
putih cakap. Dengan mendelong ia awasi wajah si nyonya
yang dirundung kesedihan itu, diapun membisu, tak berani
bersuara. Suasana yang sunyi ini sangat menekan perasaan. Angin
malam yang dingin diatas puncak pegunungan terdengar
menderu-deru di luar gubuk, sinar pelita bergoyang-goyang
hampir padam, tiada terdengar lagi suara lain.
"Ibu..." Akhirnya pemuda yang mengenakan jubah putih
panjang itu membuka suara: "Beberapa hari ini kau kelihatan
tidak tenang, adakah sesuatu yang mengganjal dalam hatimu
ataukah badanmu kurang sehat?"
Setelah diberondong pertanyaan panjang lebar baru si
nyonya kelihatan terbangun dari lamunan, sahutnya lemah
lembut: "Giok-liong, apa yang kau katakan?"
"Ibu, apakah berapa hari ini badanmu kurang sehat ?"
"Hus, anak bodoh, jangan sembarangan omong. Bukankah
ibumu baik-baik saja." "Tidak bu, Giok-liong tahu pasti kau terkenang lagi akan
ayah." Si nyonya tertawa dibuat-buat, lalu menghela napas
dengan masgul tanpa membuka suara lagi.
"Bu, jikalau hatimu kurang enak, besok kita keluar
tinggalkan tempat ini untuk menghibur diri, dari pada kita
selalu berdiam ditempat sunyi yang jarang diinjak manusia."
Sekali lagi si nyonya mengunjuk tawa dipaksa, sahutnya
selengan berbisik: "Ya, memang kita harus meninggalkan..."
sampai disini sengaja ia memutar kepala untuk menitikkan dua
butir air mata diatas lengan bajunya.
"Hm, bu sungguh menyenangkan kita sudah puluhan tahun
tidak pernah keluar..." Memang sejak kecil ia sudah di sekam diatas ngarai
bersalju ini, kini setelah mendengar ibunya melulusi untuk
meninggalkan tempat yang sunyi dan menyebalkan ini tanpa
terasa ia berjingkrak kegirangan, tapi secepat itu ia lantas
berdiri termangu melihat sikap ibunya yang kurang wajar itu.
kata-katanya selanjutnya lantas ditelan kembali,
pandangannya penuh tanda tanya, katanya bertobat : "Bu,
Giok-liong memang tidak berbakti sampai melukai hatimu, Bu,
jangan kau bersedih hati, untuk selanjutnya Giok-ilong tidak
berani lagi." Perlahan-lahan si nyonya angkat kepala, diulurkan
tangannya yang putih lembut mengusap-ngusap pundak Giok
liong, dengan sorot mata yang penuh cinta kasih dan sayang
ia awasi wajah anaknya, lalu ia tertawa getir dan berkata
halus: "Nak, seumpama kau seorang diri harus meninggalkan
tempat ini, dapatkah kau menjaga dirimu baik-baik?"
Giok-liong tersendat oleh pertanyaan yang mendadak ini,
sejenak ia tertegun lalu menggeleng kepala, sahutnya: "Bu,
jika kau tidak pergi, Giok-liong juga tidak mau pergi."
Si nyonya menghela napas panjang yang rendah,
pandangannya penuh kasih sayang. Keadaan dalam gubuk tenggelam lagi dalam kesunyian
yang menekan perasaan, Akhirnya Giok-liong pula yang
memecahkan kesunyian ini: "Bu, sebetulnya dimanakah ayah
berada " Kenapa dia tidak pernah kembali ?" Tiada jawaban.
"Bu, beritahulah kepadaku, bukankah Giok-liong sudah
besar sampai nama ayahnya sendiri juga tidak mengetahui,
kemana pula dia pergi aku juga tidak tahu . . . "
"Ai, memang sengaja tidak kuberitahu."
"Bu, kenapa kau selalu menyimpan rahasia ini " Kau larang
aku meninggalkan ngarai ini meskipun hanya satu tindak pun,
sampai turun gunung untuk membeli segala keperluan juga
tidak boleh ikut, Aku sudah belajar silat selama sepuluh tahun,
bekal untuk menjaga diri kukira sudah lebih dari cukup. . ."
Saat itu tampak wajah si nyonya jelita itu mengunjuk mimik
aneh yang sudah diraba, bukan saja masgul gelisah juga rada
lega dan riang. Tapi kedua matanya yang indah itu berlinang
air mata. Giok-liong tercengang, sambungnya: "Bu besok juga kita
turun gunung untuk mencari ayah . . ."
Mendadak wajah si nyonya berubah membeku dan
mengunjuk sikap tegas, terdengar ia berkata dengan suara
dingin dan tenang: "Nak, ibu boleh memberi tahu, tapi kau harus dapat
memenuhi permintaan ibu." "Baik bu, apapun yang kau katakan, pasti akan kulakukan."
"Nak, ayahmu terbokong dan dikepung serta dikeroyok oleh
musuh-musuhnya sampai menderita luka berat, untung dia
masih sempat melarikan diri sampai dirumah, setelah lukanya
sedikit baikan, kita lantas memboyong kau pindah ke tempat
ini, untuk menghindarkan pengejaran musuh-musuhnya
supaya tidak mengancam keselamatan kita ibu beranak, maka
dia segera tinggal pergi lagi seorang diri. . . pergi . . pergi ke
Lembah putus nyawa. . ." berkata sampai disitu terasa hatinya
pilu air matanya tak tertahan lagi mengalir dengan deras!
Kontan Giok-liong merasa pandangannya berkunangkunang,
seperti kepalanya dipukul godam, badan juga
sempoyongan sekuat tenaga ia menghimpun semangat
menguatkan hati, tanyanya: "Bu, maksudmu ayah pergi ke
Lembah putus nyawa yang tidak bakal dapat kembali lagi ?"
"Ya," sahut ibunya sambil merogoh keluar sapu tangan
sutra untuk mjmbasut air matanya, lalu sambungnya lagi:
"IImu silat ayahmu bukannya tidak tinggi, dik alangan
Kangouw dia mempunyai kedudukan tinggi dan sangat
disegani tapi tak urung masih dapat dilukai orang sedemikian
rupa, Tujuannya menuju ke Lembah putus nyawa adalah
untuk mencari pelajaran silat yang maha tinggi, tapi . . . dia . .
takkan kembali lagi . . . " Tak tertahan air mata menderai lagi
membasahi pipinya. Giok-liong seorang bocah yang sejak kecil telah kehilangan
kasih sayang dari ayahnya sekarang wajahnya mengunjuk
sikap tegas dan penuh ketekadan, tanyanya kalem: "Bu,
siapakah musuh besar ayah itu?"
"Ai, sebelum pergi ayahmu pernah berkata: "jikalau setelah
lima tahun dia tidak kembali, dia minta aku menjaga dan
mengasuh kau baik-baik seumpama dapat mempelajari ilmu
maha sakti, maka kau diharuskan menuju kemata air di rawa
naga berbisa yang terletak di Bu ki-san untuk mengambil
sejilid buku peninggalannya, buku itu berisi keterangannya
yang jelas ! Tapi dia juga berkata, jikalau kau tidak dapat
mempelajari ilmu tinggi maka dia minta aku tidak usah
memberi tahu namanya kepadamu untuk menghindari
bencana yang mungkin bisa mencabut nyawamu."
"Bu..." "Maka sekarang belum saatnya aku memberi tahu nama
ayahmu. Kecuali kau sudah dapat turun kedalam rawa naga
beracun itu dan mengambil buku peninggalannya itu, Tapi
ketahuilah bahwa air rawa naga beracun itu dingin sekali bisa
menusuk tulang, bulu burung juga akan tenggelam ke dasar
air yang sangat dalam itu, Betapapun sebelum ilmu silatmu
dapat mencapai tingkat tertinggi, kau takkan mampu turun
kesana." "Bu, dapatkah kau sendiri turun kesana ?"
Giok Liong tahu bahwa ilmu silat ibunya sangat tinggi,
pelajaran silat dan Lwe-kang yang dipelajari itu juga ibunya
sendiri yang langsung menurunkan kepada dirinya.
Menurut tutur ibunya, dengan bekal pelajaran yang telah
dipelajari selama sepuluh tahun ini, tokoh kelas satu di
Kangouw juga belum tentu dapat mengalahkan dirinya, Tapi
kenyataan bahwa dirinya tidak mampu melawan ibunya dalam
sepuluh jurus saja. Maka dalam kesannya, pasti ilmu silat
ibunya itu sangat tinggi dan sudah diukur Iagi.
"Ai, jika ibumu ada kemampuan itu, siang-siang aku sudah
kesana, seumpama sepuluh lipat lagi lebih lihay dari
kepandaian ibumu sekarang, juga belum tentu dapat
menyelam kedasar rawa naga beracun itu."
Keterangan ibunya ini seumpama air dingin yang
diguyurkan keatas kepalanya, hatinya yang telah membara
dan penuh ketekatan tadi mulai tenggelam dan padam, tapi
Giok liong adalah pemuda yang berwatak keras, sebentar dia
merenung, lalu angkat kepala dan bertanya lantang: "Bu, ilmu
silat dari Lembah putus nyawa itu apa tiada bandingannya
diseluruh jagat ini ?" "lni . . . ibumu juga tidak kurang terang, Dalam jangka
ratusan tahun ini, benggolan pertama dari aliran hitam yaitu
Sim-hiat-ling Toan-bok ki, pendekar aneh dari laut utara Withian-
khek Ma Hua dan ayahmu serta tiga empat puluh orang
lainnya yang pernah masuk kesana tiada seorangpun yang
kelihatan dapat keluar . . ." Sampai disini mendadak tergetar, lalu sambungnya lagi:
"siapapun tiada yang tahu apakah didalam Lembah putus
nyawa itu benar-benar ada harta karun, bahan obat-obatan
yang mustajab serta pelajaran silat maha tinggi, Mungkin itu
merupakan tipu muslihat atau perangkap, kelak sekali-kali kau
jangan pergi kesana, Kalau tidak, keluarga Ma kita hanya
tinggal kau seorang, janganlah sampai putus turunan."
"Oh, bu, jadi ayah dan aku sama-sama anak tunggal ?"
"Ai, ayahmu memang seorang anak tunggal sedang kau
masih mempunyai seorang adik kandung, dia bernama Ma
Giok-hou, tapi adikmu itu hilang sebelum berusia satu bulan."
"Bu, bolehkah Giok-liong mengetahui namamu ?"
"Memang kau belum tahu nama ibumu tapi ibu juga belum
mau memberitahukan. Nanti setelah kau mampu menyelam ke
dasar rawa naga beracun itu, segala-galanya kau akan paham
!" Setelah berkata pelan-pelan ia bangkit terus berjalan keluar
pintu, disini ia berdiri dan termangu-mangu memandang
keluar. Betapa tidak hati Giok-ling takkan mendelu dan murung,
sebagai seorang putra ternyata sampai nama bundanya tidak
diketahui sungguh sangat memalukan. Hatinya terasa pilu
laksana digigit ular berbisa, Tak terasa air mata meleleh
berderai menetes ke tanah. "Nak, apakah kau mau dengar nasehat ibu ?" terdengar si
nyonya berkata lembut sambil memutar tubuh.
"Aku patuh akan pesan ibu!"
"Baik, bawalah batu kumala ini pergi ke Ih-hun-sam cheng
di daerah Lok tiong menemui Toan-bok Ih-hun, Mintalah
kepadanya untuk mencarikan guru kenamaan untuk belajar
silat maha tinggi, Kalau sepanjang jalan ini kau menemui
rintangan tunjukanlah batu kumala ini, pasti kau dapat leluasa
dan mendapat bantuan diperjalanan."
"Bu, lebih baik besok pagi kita pergi bersama !"
"Tidak, kau pergi seorang diri, sekarang juga harus
berangkat." "Tidak, kalau ibu tidak berangkat, aku juga tidak pergi, Aku
segan berpisah dengan ibu." Air muka si nyonya mendadak merengut gusar, desisnya.
"Kau harus segera pergi!"
Saking kaget Giok-liong sampai tertegun.
Sejak ia mempunyai ingatan dan dapat berpikir mereka ibu
beranak hidup tentram dan saling kasih sayang, belum pernah
ibunya selama ini mengeluarkan makian dan berlaku galak
terhadap dirinja, entahlah mengapa malam ini...
"Perbekalan sudah kusiapkan, sebagai seorang putra yang
baik, kau harus ingat dan menurut kata-kata ibu!"
"Ibu. kau ...." "Masih ada suatu urusan yang harus ku urus, setelah
urusan itu selesai aku juga segera menyusul ke In-hun-samcheng,
atau mungkin juga sementara waktu aku tidak
datang." Habis berkata ia menghampiri pembaringan mengambil
sebuah buntalan kecil. Dalam sekejap mata itulah dia telah
meneteskan air mata yang mengembeng dikelopak matanya,
Lalu dirogohnya keluar sebuah batu kumala yang bewarna
merah maron, sekali berkelebat kembali kehadapan Giok-liong.
Diikatnya buntalan itu dipunggung Giok liong serta
mengkalungkan batu kumala itu dilehernya, Tak lupa dipakai
juga sebuah jubah panjang warna putih sambil katanya
lembut: "Nak, ibu tak berada disisimu, kau harus jaga dirimu
sendiri" suaranya tersendat dan tak kuat diucapkan lagi.
Betapapun sebetulnya Giok-liong sangat tidak rela disuruh
pergi, Tapi dia adalah seorang anak yang sangat berbakti
terhadap orang tua, selamanya belum pernah dia
membangkang terhadap ucapan ibunya, maka sambil
mengembang air mata, katanya memohon: "Bu, Giok-liong
menunggu kau saja untuk pergi bersama. .."
"Jangan, sekarang juga kau harus berangkat."
Sambil berkata sedikit menggunakan tenaga sekali jinjing
tubuh Giok-liong diseretnya keambang pintu, sedang tangan
yang lain segera membuka pintu, Angin badai disertai bunga
salju segera menghembus keras masuk kedalam rumah.
Keadaan alam diluar adalah sedemikian dingin dan gelap,
Tanpa terasa air mata Giok liong mengalir semakin deras.
Sedetik sebelum berangkat ini mendadak terasa suatu
pirasat jelek dalam hati kecilnya, berpaling ia memandangi


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wajah ibunya yang telah membesarkan dirinya selama puluhan
tahun ini, mohonnya sekali lagi: "Bu, harap kau suka . . ."
"Tutup mulutmu! Segera pergi, tak peduli kau melihat dan
mendengar apa, jangan sekali-kali kau berpaling! Kalau kau
tidak dengar pesan ibu, kau anak yang tidak berbakti!"
Terasa suatu tenaga besar mendorongnya, kontan tubuh
Giok liong lantas terbang meninggi sejauh lima tombak,
terdengar suara ibunya tengah beritata: "Nak, jagalah dirimu
baik-baik, ingat . . ,. . pesan . ,., , ibu selamat tinggal" suara
yang terakhir terdengar sayup sayup sampai akhirnya
tersendat hilang saking pedih perasaannya.
Begitu kaki Giok-liong menyentuh tanah, segera ia
berpaling kebelakang, kebetulan "brak" pintu gubuk itu telah
tertutup rapat. Angin malam diatas pegunungan sungguh
sangat dingin, Giok-liong sampai menggigil dihembus badai
yang dingin menusuk tulang ini. Lekat-lekat ia memandangi gubuk reyot tempat dirinya
menetap selama puluhan tahun yang telah membesarkan
dirinya lalu sigap sekali ia memutar tubuh terus lari
sekencang-kencangnya sambil berteriak lantang: "Bu, Giokliong
pergi!" Dimana tubuhnya melesat bagaikan meteor cepatnya
tubuhnya meluncur turun kebawah gunung. Ditengah ributnya
hembusan angin malam, sayup-sayup terdengar olehnya isak
tangis ibunya dari dalam gubuk, Hatinya menjadi tidak tega
dan pilu rasanya, serentak ia menghentikan langkah kakinya,
ingin dia kembali, tapi lantas terpikirkan ucapan ibunya tadi:
"Kalau kau tidak dengar kata ibu, maka kau tidak berbakti."
maka sambil mengerahkan seluruh tenaganya segera ia lari
sekencang-kencangnya, dengan lari secepatnya yang banyak
menghabiskan tenaga ini ia hendak melampiaskan perasaan
hatinya yang tertekan. Belum ada satu jam ia sudah berlari sejauh puluhan li,
diam-diam ia menghentikan langkah dan berpaling kebelakang
memandang keatas ngarai sana. Diatas ngarai ber-salju itu,
samar-samar terlihat sinar pelita kuning yang kelap kelip itu,
Hatinya menjadi pilu dan mengalirkan air mata, tanpa meiasa
mulutnya mengeluh lirih : "Bu, oh ibu . . . "
Mendadak dari kejauhin sebelah timur luar sana terdengar
sebuah suitan panjang yang menusuk tinggi semakin nyaring
dan mendekat, agaknya tengah meluncur menuju kearah
gubuk tempat tinggalnya diatas ngarai itu.
Terkejut hatinya. Terdengar pula sebuah suitan panjang
lain yang lebih keras dan lebih dekat, dari suara suitan yang
keras dan nyaring ini, dapatlah diperkirakan bahwa Lwekang
dan kepandaian silatnya orang ini pasti sangat tinggi
tujuannya terang adalah ngarai yang baru saja ditinggalkan
itu. Dilain kejap lantas terdengar pula suitan susul menyusul
saling bersahutan dari empat penjuru, semua melesat menuju
kearah ngarai . . . . Pada saat itulah lantas terlihat sinar pelita kelap kelip diatas
ngarai itu padam. Bukan kepalang kejut Giok-liong, batinnya: "Apa, mungkin
para musuh ayah dan ibu telah meluruk datang ?"
Dengan seksama ia lantas berpikir: "sejak beberapa hari
yang lalu setelah pulang dari bawah gunung membeli
perbekalan, ibunya selalu murung dan lesu, malah saban
saban mengalirkan tir mata secara sembunyi-sembunyi.
Hari ini tingkah laku ibunya juga luar biasa terbalik dari
kebiasaan, berbeda jauh dari pribadinya semula seakan telah
berganti rupa dan bentuk orang lain, Malam ini memaksa
dirinya untuk pergi, malah dipesan meskipun mendengar dan
melihat apapun juga dilarang berpaling dan kembali.
Berpikir sampai disini, mendadak ia berseru kecut:
"Celaka!" begitu putar tubuh ia terus lari balik dari arah
datang semula. Tak lama kemudian ia telah tiba dibawah lereng bukit,
dengan ketajaman matanya ia memandang keatas, Angin
badai yang dingin masih tetap ribut, keadaan sekelilingnya
menjadi pekat, sayup-sayup terdengar dua kali gerangan
orang yang kesakitan. Begitu menjejakkan kakinya bagaikan anak panah yang
terlepas dari bujurnya tubuhnya melenting tinggi meluncur
keatas ngarai. Dekat dan semakin dekat... Diatas ngarai sana benar juga
terdengar suara pertempuran yang dahsyat, dikegelapan
malam samar-samar terlihat berkelebatnya bayangan orang,
kiranya ada beberapa orang tengah berkutet dan bergebrak
dengan sengitnya secara mati-matian.
Giok Liong semakin gelisah dan gugup, mengerahkan
seluruh tenaganya ia meloncat tiba diatas mengarai, tepat
pada saat itu terdengar pekik kesakitan suara seorang
perempuan disusul sebuah bayangan putih kecil langsing
terbang tinggi dan arah pertempuran terus meluncur kearah
batu es diluar sebelah sana. Walaupun ia tidak melihat tegas siapa orang itu, tapi suara
yang sangat dikenalnya itu, serta rasa prihatin yang terjalin
antara ibu dan anak adalah sedemikian kuat kontan. Giokliong
lantas dapat meraba bahwa itulah ibunya.
Rasa gusar yang membara dalam rongga dadanya
membuat ia menjadi nekad dan berteriak beringas : "Bu
jangan takut, aku datang !" tubuhnya meluncur secepat kilat
menerjang kearah depan. Sekonyong-konyong suara tawa dingin yang menjengek
hina terdengar dari sampingnya, disusul angin pukulan yang
panas membara lantas melandai menggulung dirinya.
Perasaan Giok-Iiong sudah begitu murka matanya mendelik
dan wajahnya merah padam, kontan ia juga ulurkan kedua
tangannya terus mendorong kedepan menyambut pukulan
musuh sekuat tenaganya. "Tahan . . . !" sebuah teriak perempuan yang mengerikan
terdengar dari arah samping sana, Tapi sudah terlambat,
"Blang" begitu terdengar dentuman yang keras ini kontan
Giok-liong merasakan jantungnya seperti dipukul godam,
darah terasa mengalir terbalik, tubuhnya lantas melayang
tinggi ketengah udara, begitu pentang mulut ia
menyemburkan darah segar dengan derasnya.
"Keparat, bangsat kurcaci biarlah aku adu jiwa dengan
kalian, Kembalikan jiwa anakku .."
Terdengar angin semakin ribut, matanya terasa berkunangkunang,
Giok-Iiong merasa sangat tersiksa seperti badannya
dipanggang diatas tungku yang panas membara. "Bluk" terasa
punggungnya sangat kesakitan sampai menusuk jantung,
tubuhnya terus terkapar lemas tak ingat diri lagi.
Lama dan lama sekali, entah sudah berapa lama ia jatuh
pingsan akhirnya perlahan-lahan ia membuka mata dan
siuman, sekarang terasa tubuhnya sangat dingin hampir
membeku. Matanya terbuka semakin lebar, ia memandang keatas dan
kesekelilingnya. Ternyata tubuhnya semampai dan tercantol di
atas dahan sebuah pohon Siong yang menonjol keluar
ditengah-tengah ngarai, waktu ia memandang kebawah,
hanya terlihat awan yang mengembang tidak terlihat dasar
jurang yang dalam ini. Dua titik air mata meleleh membasahi pipinya. Oh Tuhan,
dimanakah ibu dan bagaimana keadaannya"
Susah payah ia menggerakkan lengannya, terasa tulangtulang
seluruh tubuh seperti sudah hancur lebur, sakitnya
bukan main, Tapi dia paksakan juga merogoh keluar puntung
obat dari kantong bajunya terus menelan beberapa butir pil.
setelah itu ia pejamkan matanya mulai menghimpun semangat
dan mengalir serta melancarkan hawa murni dalam tubuhnya,
setelah mengalami banyak penderitaan, jerih payahnya
ternyata berhasil menghimpun kembali hawa murni yang telah
buyar tadi, dibantu khasiat obat yang ditelannya tadi mulailah
darahnya lancar mengalir memasuki seluruh uratnadi.
Entah berapa lama berselang, ia merasakan sebagian besar
luka-lukanya sudah dapat disembuhkan maka dia berjalan
merangkak keatas menyelusuri akar-akar pohon terus
merambat keatas ngarai. Pagi hari itu cuaca terang benderang, namun keadaan
diatas ngarai itu sungguh sangat menyedihkan, gubuk reyot
tempat tinggalnya itu kini tinggal tumpukan puing saja,
dimana-mana terlihat noda-noda darah yang berceceran
diatas tanah, keadaan ini sungguh sangat menyedihkan.
Tiba-tiba terlihat secuil sobekan lengan panjang yang
penuh berlepotan darah, inilah bekas sobekan baju ibunya.
Terasa kepalanya berat dan pusing tubuh juga lantas
sempoyongan tak tertahan lagi mulutnya menyemburkan
darah segar sebanyak-banyaknya. "Blang..." badannya roboh
terkapar dan tak ingat diri lagi. Waktu hari menjelang magrib baru Giok Liong siuman
kembali dari pingsannya. Alam sekelilingnya diliputi kabut
tebal angin badai juga tengah mengamuk dengan dahsyatnya.
Susah payah ia merangkak bangun berdiri, kedua biji
matanya mengalirkan air darah, bibit dendam kesumat sudah
bersemi dengan cepatnya dalam sanubarinya, sesaat ia
termangu memandang puing-puing bekas gubuknya, terus
perlahan lahan berengsot turun dari atas ngarai itu tanpa
bersuara lagi. Angin badai terus menghembus dengan kerasnya, badan
sampai terasa dingin hampir membeku, Dengan badan yang
terasa kecapaian serta hati yang remuk redam, dia tinggalkan
ngarai tempat tinggalnya selama sepuluhan tahun dimana ia
dibesarkan ! Akhirnya dicarinya sebuah tempat tersembunyi dimana ia
mengobati luka-lukanya serta mengerahkan tenaga dan hawa
murni memulihkan kesehatannya. Berselang lama kemudian pikirannya mulai menerawangi
ucapan ibunya tentang letak dan arah dimana Lembah putus
nyawa berada, dia tahu bahwa lembah putus nyawa itu juga
berada didalam lingkungan pegunungan Tay-soat-san ini
diam-diam ia berdoa: "Bu, ampunilah anakmu yang tidak berbakti ini, aku tidak
akan menuju ke Ih-hun-san-ceng! Tapi aku harus menuju ke
Lembah putus nyawa, satu pihak mencari ayah, lain pihak
untuk belajar ilmu kepandaian untukku dan menuntut balas
untuk ayah! Oh, ibu, lindungilah anakmu yang malang ini!"
Selesai berdoa ia berdiri mulai beranjak menuju kedalam
rimba sebelah dalam yang lebat dan angker, Dalam waktu
satu harian yang pendek ini dia berubah segala galanya,
Pendiam dan dingin mewakili semua sifat-sifatnya. Jubah
panjang pemberian ibunya itu, kini sudah sobek compang
camping tidak karuan iagi, namun ia masih memakainya.
Hari itu dia tiba dibawah sebuah puncak yang mencakar
langit, setelah istirahat sekian lamanya, dengan banyak makan
tenaga ia mulai manjat keatas, waktu ia sampai di-atas
puncak dengan kelelahan hari sudah menjelang malam, baru
sekarang ia berkesempatan duduk istirahat mendadak
pandangannya terasa menjadi terang, terpaut dari tempat
duduknya didepan sana terlihat ada sebuah puncak lainnya
yang menembus awan, puncak gunung itu gundul plontos
tanpa tumbuh tumput atau pepohonan lainnya.
Ditengah keremangan kabut terlihat didinding puncak
gunung didepan sana samar-samar terlihat sebuah celah
celah. Bukankah keadaan ini seperti Lembah putus nyawa
yang dituturkan ibunya itu, Kontan darah bergelora dalam
benaknya. Melupakan badan yang capai lemas ini segera ia melompat
berlari-lari menuju ke-puncak, didepan sana waktu dekat dan
di-tegasi benar juga dipinggir puncak sebelah kiri berdiri tegak
sebuah papan batu yang tinggi, diatas papan batu ini
tertuliskan tiga hurup warna merah darah sebesar tampan
sangat menyolok: ketiga huruf itu berbunyi "Toan-bing-loh" -
jalan pendek nyawa. Dibelakang atas papan batu ini menjulur jauh kebelakang
kearah celah - celah sebelum depan sana sebuah batu
jembatan sebesar lengan orang. Dan diatas celah-calah
dinding itu pula terlihat tiga huruf besar lagi yang berbunyi
"Lembah putus nyawa." Tanpa merasa Giok-liong berjingkrak kegirangan ia masih
ingat ibunya pernah berkata: "Memanjat ngarai sukma
gentayangan melewati jalan pendek yang tibalah di-Lembah
putus nyawa, jurang dibawah jalan pendek nyawa yang tidak
kelihatan dasarnya itu diliputi kabut tebal yang bergulungTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/ gulung, itulah dinamakan selokan setan masgul. Ya, terang
bahwa sekarang dirinya sudah berdiri dingarai sukma
gentayangan. Betapa girang hatinya ini, pelan-pelan ia memutar tubuh
memandang kearah timur, terpesona memandangi sang dewi
malam yang baru saja muncul deri tempat peraduannya,
pelan-pelan mulutnya menggumam: "Rembulan oh bulan,
besar harapanku malam ini kau dapat selamat dan abadi
melampaui angkasa yang terang cerah, janganlah sampai
terganggu dan ditutupi oleh awan. Begitulah mendongak
keatas langit ia berdoa dan bersujud kepada Tuhan.
Darah panas sudah menjalar diseluruh tu-buhnya,
wajahnya terun juk tekad dan kemauan yang teguh, Sigap
sekali mendadak ia membalik tubuh - jalan pendek nyawa
huruf huruf yang menyolok dan menggetarkan sukma itu
terpajang didepan matanya. Jauh memandang kearah Lembah
putus nyawa didepan sana, hatinya timbul suatu keraguan.
Dengan kemauan kepandaiannya sekarang, paling banter
sekuatnya ia dapat melompat sejauh puluhan tombak saja, ini
berarti paling sedikik ia harus berloncatan dua kali diatas
jembatan batu kecil yang penuh ditumbuhi lumut dan licin
sekali itu. Konon bahwa jalan pendek nyawa ini sebegitu licin
sampai tiada tempat cukup menggunakan tenaga. Entah
sudah berapa banyak tokoh-tokoh silat yang sudah terjerumus
masuk kebawah selokan setan yang masgul dalam itu,
Mengandalkan kepandaian sekarang, mungkin dirinya juga
takkan terhindar dari nasib yang lain, terjungkal kebawah
jurang. Lama sekali ia harus berpikir dan mempertimbangkan,
akhirnya terpikirkan olehnya sebuah cara. Cepat-cepat ia
menanggalkan jubah panjang yang compang-camping itu
terus dipuntir-puntir menjadi tali besar terus melesat kearah
jalan pendek nyawa, kedua tangannya kencang-kencang


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memegangi kedua ujung tali besar itu terus disampirkan
keatas batu jembatan jadi tubuhnya bergelantungan waktu ia
memandang kebawah, awan putih bergulung gulung angin
menghembus keras membuat pandangan dimukanya samarsamar.
Hatinya menjadi mengeluh dan berdoa: "Oh Tuhan,
bantulah hambamu ini!"- Saat itu hatinya sudah
bergelantungan ditengah jurang dlbawah jalan pendek nyawa.
Begitu menyedot hawa dalam-dalam kakinya terus menjejak
kearah dinding batu di belakangnya dengan sekuat tenaga,
kontan tubuhnya terus meluncur maju membesut sejauh dua
pukulan tombak baru daya luncurnya agak lambat dan
sebelum berhenti mendadak tubuhnya mengayun kebelakang
terus kedepan lagi sehingga meluncur beberapa tombak pula,
sebelum berhenti karena jarak sudah agak dekat, tiba-tiba
kedua tangannya menarik tubuh ke-atas sekuatnya terus lepas
tangan sehingga tubuhnya melambung naik jumpalitan
ditengah udara lantas dengan tangannya hinggap diatas tanah
diseberang sana. Waktu ia berpaling dan memandang kebawah, jubah
putihnya yang digulung menjadi tali itu kini sudah melayang
jatuh kebawah selokan setan masgul, semakin kecil dan
akhirnya menghilang dari pandangan mata ditelan kabut tebal.
Seketika timbul perasaan haru dan semangat yang
berkobar dalam benaknya, sebuah kulum senyum tersungging
di ujung bibirnya, pelan-pelan ia memutar tubuh, di
hadapannya terbentang sebuah gua yang hitam gelap, dia
kerahkan seluruh ketajaman pandangannya keadaan didalam
memang sangat gelap tak terlihat apapun jua.
Malah terasa hembusan angin dingin yang dapat
membekukan terus bergulung-gulung dari dalam gua itu,
sampai tubuhnya terasa hampir membeku dan menggigil.
Tapi dia tidak hiraukan keadaan yang menyiksa tubuh ini.
Yang terang gua di depan matanya ini adalah jalan masuk
kedalam Lembah putus nyawa yang serba misterius selama
ratusan tahun ini. Entah berapa banyak tokoh-tokoh silat yang memasuki gua
ini tak keluar kembali, diantara mereka adalah ayahnya
sendiri. Teringat akan ayahnya seketika timbul rasa bangga
yang jiwa kesatrianya,teriaknya lantang. "Yah, lihatlah anak
mu ini, bukan seorang pengecut yang takut mati! Yah, anak
Liong juga datang!"- sambil berteriak ia kerahkan seluruh
hawa murninya untuk melindungi seluruh badan dengan
langkah lebar terus memasuki gua mulut Lembah putus
nyawa. Mulut gua lembah putus nyawa adalah sedemikian dingin
dan gelap sekali. Meskipun Giok-liong sudah digembleng sejak kecil dan
mempunyai dasar Lwekang yang kuat ketajaman matanya
melebihi orang biasa, tapi begitu memasuki gua ini yang
terpandang disekitarnya adalah gelap pekat melulu sampai
kelima jari sendiri juga tidak kelihatan.
Hembusan angin dingin yang menusuk tulang dan ulu hati
membuat seluruh bulu romanya merinding semua, seluruh
badannya menggigil kedinginan dan hampir membeku.
Tapi Giok-liong pusatkan seluruh perhatian dan
semangatnya tanpa mau mundur di tenjah jalan dengan
langkah pelan ia terus maju semakin dalam, hanya satu
ingatan yang berkecamuk dalam pikirannya: "Terus maju!
Untuk mencari jejak ayahnya: Demi sakit hati ibunya demi
keadilan dan kebenaran kaum persilatan, aku harus berhasil,"
sambil menggertak gigi dia terus maju dengan derap langkah
yang tegap ! Sebetulnya gua ini merupakan celah-celah dari himpitan
dua gunung yang berendeng, tinggi gua ini ada beberapa
tombak sedang lehernya hanya tiga empat kaki, semakin
dalam semakin sempit setelah beberapa li kemudian jalanan
hanya tiba cukup untuk berjalan satu orang saja, semakin
dalam daya hembusan angin dingin itu semakin lemah, tapi
hawa disini bertambah dingin. Sepanjang jalan goa ini adalah lurus tanpa suatu rintangan
apapun juga, maka Giok-liong dapat beranjak maju terus
didalam kegelapan tanpa ragu-ragu dan takut-takut.
Entah sudah berapa lama dan berapa jauh ia berjalan
dalam kegelapan itu, lambat laun terasa keadaan gua yang
gelap pekat ini menjadi agak sedikit terang, dan tak berapa
jauh kemudian, di kedua sisi dinding kedua samping gua itu
tersoren keluar puluhan sinar terang yang menyolok mata
sehingga keadaan dalam gua menjadi terang benderang
seperti disiang hari bolong. Sekian lama Giok-liong harus memejamkan matanya,
karena pandangannya masih terasa silau, waktu di tegasi
terlihat diatas dinding batu diatas sana ada delapan huruf
besar-besar yang disusun dengan butir-butir mutiara beraneka
warna yang terporotkan diatas dinding batu, tulisan itu
berbunyi: "Dilarang menggunakan ilmu silat."
Sejak kecil Giok-liong dididik ibunya menjadi bocah yang
mengenal sopan santun bakti serta setia dan patuh berhati
bijaksana terhadap sesamanya, setelah melihat kedepan
huruf-huruf yang tertulis dengan porotan butir-butir mutiara
sebesar jeruk itu bukan saja hatinya tidak merasa tersinggung
dan timbul suatu angan-angan yang tidak genah, malah
segera ia buyarkan hawa murni yang terhimpun tadi, diamdiam
hatinya membatin: "Ternyata Lembah putus nyawa ini
masih ada penghuninya, entah siapakah dia, pasti dia seorang
tokoh yang hebat dan lihay sekali."
Karena timbul rasa hormatnya ini segera ia angkat tangan
serta membongkok hormat kearah delapan huruf-buruf besar
itu serta berkata: "Wanpwe sudah tahu!" pelan-pelan ia mulai
beranjak maju lebih jauh, tidak lama kemudian dia sampai
pada satu pengkolan, begitu ia membelok pandangannya
menjadi lebih terang lagi, keadaan dalam gua ini lebih datar
dan rata dinding kedua samping serta atapnya sampai lantai
goa ini semua berbuat dari batu pualam yang sangat indah,
diatas dinding ada lukisan indah yang terporotkan dari butirbutir
mutiara besar kecil, sekilas lihat gambar-gambar ini
adalah sedemikian indah mempesonakan.
Giok-liong menjalani keadaan seluruh gua terlihat dimanamana
sinar segala permata saling berlomba menunjukkan
keindahan masing-masing sampai sedemikian jauh dan
panjang sampai tidak terlihat lagi ujung pangkalnya.
Tanpa merasa hatinya menjadi gelisah "Kalau tidak
mengembangkan Ginkang, entah berapa lama aku harus
menempuh habis jalan panjang ini. Tapi bila teringat
peringatan huruf-huruf besar diatas dinding itu, segera ia
batalkan niatnya hendak menggunakan ilmu ringan tubuhnya.
dengan langkah lebar segera ia maju kedepan.
Saban-saban terlihat ada kotak-kotak yang melekuk
kedalam dinding dimana tertaruh dan terpenuhi dengan
berbagai intan serta permata yang tak ternilai harganya,
semua benda-benda itu memancarkan cahaya terang yang
dapat memincut dan menimbulkan loba dan tamak dihati
orang. Tapi Giok-liong sendiri sudah tahu bahwa Lembah putus
nyawa ini adalah tempat yang berpenghuni apalagi memang
dia tiada hasrat hendak mengangkangi harta benda yang tidak
halal ini, maka sedikitpun tiada minatnya untuk mengambil
barang sebutirpun. Kira-kira dua li telah dilampaui lagi, sedikit kurang hati hati
kakinya terpeleset dan hampir saja ia roboh terjengkang,
Waktu ia menunduk ternyata dibawah kakinya penuh
bertaburan intan kecil yang menyilaukan mata, selepas
pandang didepan dan kedua dinding sepanjang jalan ini masih
penuh berserakan berbagai permata serta butiran-butiran
mutiara besar kecil yang tidak terhitung banyaknya membuat
matanya terasa pedas dan berkunang-kunang.
Tanpa ragu-ragu dan sayang lagi kakinya melangkah maju
terus butiran-butiran mutiara dan intan serta lainnya
bertaburan sedemikian tebal ditanah sampai gerak jalan Giokliong
menjadi terganggu karena tidak boleh mengembangkan
ilmu ringan tubuh belum lama dalam perjalanan ini ia sudah
megap-megap dan banyak mengepulkan peluh.
Tapi ia tidak peduli segala-galanya, setindak demi setindak
ia terus maju kedepan secara hati hati supaya tidak sampai
terjerumus jatuh. Berselang tidak lama, tiba-tiba didepannya
mencorong cahaya warna merah yang keras dan terang
benderang. Waktu ia angkat kepala, terlihat didinding sebelah
kanan sana terporotkan mutiara besar-besar merah marong
yang dijajar sedemikian rupa menjadi beberapa huruf tulisan
yang berbunyi: "Gudang harta disini." dibawah huruf-huruf
warna merah itu adalah sebuah pintu bundar kecil yang
terbuat dari batu pualam warna merah pula, agaknya asal
sedikit dorong saja lantas dapat terbuka dan masuk kesana,
dari celah-celah pintu yang tidak tertutup cepat itu terpencar
keluar cahaya beraneka warna dan hawa yang hangat, ini
menandakan bahwa didalam ruang sana pasti tersimpan harta
benda serta barang-barang pusaka yang tak ternilai harganya.
Gioi-liong menghela napas, batinnya:
"Siapakah penghuni lembah ini, tak ayal sedemikian banyak
simpanan harta bendanya, mungkin merupakan koleksi
barang-barang pusaka dan benda benda terbesar diseluruh
dunia ini! " Dalam hati membatin, namun kakinya terus bergerak maju,
kira-kira puluhan tombak kemudian ia tiba lagi disebuah
pengkoIan, begitu ia tiba dibagian lain tanpa merasa Giokliong
berdiri tertegun ditempatnya. Terbentang dihadapannya yang melintang adalah sebuah
selokan pendek selebar lima tombak dan sedalam puluhan
tombak, ini masih belum yang membuatnya mengkirik adalah
bahwa didasar selokan ini ternyata hidup penuh ular berbagai
jenis, semua tengah mendongak keatas menjulurkan lidahnya
yang berwarna merah darah, sambil mendesis-desis
mengerikan dan menakutkan sekali, sedang dinding kedua
selokan adalah sedemikian tajam dengan batu-batu runcing
yang dapat mengkoyak badan manusia.
Giok-liong menjadi bimbang dan menghentikan kakinya
pikirnya: "selokan selebar lima tombak ini sebetulnya
gampang saja dapat kulompati, tapi penghuni lembah ini
sudah melarang untuk menggunakan kepandaian . . . ."
karena pikirannya ini maka sambil mengangkat alis segera ia
mulai merambat turun melalui batu-batu runcing yang tajam
mengiris kulit itu, Darah segar mengalir membasahi seluruh
badan, seluruh tangan kaki dan perutnya sudah penuh Iukaluka
teriris koyak darah bercampur keringat terus mengalir
membasahi seluruh tubuh, Dengan sudah payah akhirnya ia
tiba juga didasar selokan, Entah berapa banyak ular yang tak
terhitung banyaknya menjulurkan lidah dan pentang mulutnya
bersiap mematuk dirinya, desis ular-ular itu membawa bau
amis yang memualkan hampir saja ia muntah-muntah sampai
kepala terasa pusing tujuh keliling.
Tapi tanpa gentar sedikitpun ia terus maju tindak demi
tindak, dimana ia lewat ular-ular itu lari menyingkir sendiri,
Sudah tentu hatinya menjadi heran dan tak habis mengecil
menurut apa yang diketahui semua ular-ular itu adalah ular
paling berbisa di seluruh dunia ini sekali gigit saja pasti jiwa
akan melayang, Tapi sekarang begitu bertemu dengan dirinya
mengapa semua malah mundur menyingkir"
Tapi tiada banyak kesempatan bagi Giok liong untuk
banyak berpikir setelah melewati selokan pendek ini mulailah
ia manjat lagi keatas dengan kedua tangan dan kaki yang
sudah penuh luka-luka dan berdarah, Tiba-tiba dari
belakangnya terdengar angin mendesis meluncur kearah
dirinya, seketika tangan serta kaki dan punggungnya kesakitan
luar biasa, entah berapa banyak ular berbisa itu telah
menggigit tubuhnya. Kontan pandanganya menjadi gelap,
tahulah dia bahwa dirinya telah tergigi oleh ular-ular berbisa
itu. Namun dia tak berani melepaskan pegangan tangannya
dengan sekuatnya terus berusaha merambat naik sampai
diatas tanah datar, Begitu sampai dan dapat berdiri segera ia
meraba kebelakang kakinya terus menarik bergantian satu
persatu ular yang menggigiti paha dan punggungnya
ditariknya sampai daging tubuhnya ikut terbetot dedel duwel.
Pahanya menjadi linu gatal dan kesakitan luar biasa sampai
merangsang seluruh tubuh ditambah luka luka dikedua
tangannya, pandangannya menjadi gelap dan kepala juga
menjadi berat, kerongkongan terasa kering dan dahaga sekali
tak kuat lagi kedua kakinya menunjang badan yang terasa
semakin berat. Waktu ia angkat kepala terlihat diatas dinding batu ada
beberapa huruf besar yang terukir dari batu putih berbunyi:
"jangan berhenti ditempat ini!" terpaksa sekuat tenaga dengan
susah payah dia harus merangkak maju kedepan setelah jatuh
bangun beberapa kali, mendadak ia merasa rasa linu dan gatal
diatas kedua pahanya itu sudah mulai merambat naik, keatas
tubuhnya saat itu sudah merambat naik sampai pangkal
pahanya, kalau sampai pinggangnya maka susahlah jiwanya
dapat diselamatkan lagi. Tanpa terasa ia menghela napas serta membatin :
"sebetulnya lembah ini tiada sesuatu yang harus dibuat takut,
apakah tokoh silat yang lihay serta aneh aneh itu semuanya
juga mati dalam keadaan seperti aku ini ?"
Demikian dia bertanya dalam hati, sampai begitu jauh ia
masih belum berani mengerahkan hawa murninya untuk
menutup jalan darah, ia maju terus kedepan.
Tak lama kemudian hawa racun sudah menjalar sampai
dibawah pinggangnya, sampai saat itu kakinya sudah susah
digerakkan lagi untuk berjalan, seluruh tubuh basah kuyup
oleh keringat, syarafnya juga mulai membeku dan
semangatnya juga mulai kabur. Baru sekarang timbul sedikit
penyesalan dalam benaknya : "Ah, Tuhan, aku harus
mengerahkan rawa murni untuk menolak racun mati cara
begini . . . " kesadarannya semakin hilang, sedikit
sempoyongan tubuhnya lantas jatuh terkapar d atas tanah tak
ingat diri. Seluruh tubuh dari pinggangnya kebawah sekarang sudah
berubah menjadi hitam, air beracun yang berwarna hitam
merembes keluar melalui seluruh luka-lukanya, hawa racun
juga dengan cepatnya menjalar keatas, pernapasannya mulai
berat dan lemah hampir berhenti seorang lagi bakal menjadi
korban didalam lembah putus nyawa ini.


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada saat itulah mendadak dari gua sebelah sana
terhembus keluar segulung kabut tebal yang berwarna hijau
demikian indah warna kabut itu malah berbau harum lagi.
Lambat laun kabut hijau yang lebat itu mulai memenuhi
seluruh ruangan gua dan terus menjalari seluruh tubuhnya,
sungguh heran bin ajaib, sekarang pernapasannya malah
mulai pulih lagi. Bau harum yang merangsang hidungnya itu
menyadarkan Giok-liong dari pingsannya, Waktu ia membuka
mata, terlihat diatas tanah didepan matanya terukir diatas
batu putih beberapa huruf besar yang berbunyi: "jangan
berhenti disini." Tanpa banyak berpikir lagi segera ia merangkak bangun
sekuatnya terus merambat jatuh bangun kedepan, Luka luka
dipahanya yang sebetulnya sudah mampet dan darah yang
sudah membeku karena gerakannya itu menjadi pecah dan
mengeluarkan darah lagi, darah hitam yang mengandung
racun berceceran sepanjang jalan, semakin berjalan kedalam,
kabut warna hijau itu semakin tebal menghalangi pandangan
didepan matanya, tapi semangat dan kesadarannya malah
semakin pulih dan badan menjadi segar bugar.
Hawa beracun diseluruh tubuhnya juga mulai punah dan
hilang, kini darah yang mengalir keluar dari luka-lukanya
adalah darah segar yang berwarna merah. Tak larna kemudian
seluruh hawa beracun dalam tubuhnya indah terusir keluar
semua. Tatkala itu juga sudah melewati gulungan kabut hijau yang
tebal itu, sekarang ia tiba disebuah persimpangan jalan, Diatas
dinding sebelah atas terpancang sebuah papan batu yang
bertuliskan: "Gudang obat obatan !"
Sekarang walaupun hawa beracun didalam tubuhnya sudah
punah semua, namun seluruh tubuh masih terasa sakit dan
pegal sekali, kalau orang lain pasti segera masuk kedalam
gudang obat obatan itu, karena bukan mustahil dalam gudang
obat-obatan itu tersimpan segala macam obat mujarab yang
sukar didapat didunia ini." Sebentar-ia ragu-ragu lantas hatinya memaki diri sendiri:
"Giok-liong, wahai Giok-liong, semua benda dan barang
barang itu adalah milik orang lain, mana boleh seenaknya saja
kau ambil dan kau gunakan untuk kepentinganmu pribadi ?"
Karena pikirannya ini, maka dengan sekuatnya sambil
menahan sakit ia beringsut maju lagi, keadaan jalan dalam
lorong itu kembali menanjak keatas dan lurus sepanjang
lobang ini adalah terdiri dari batu-batu pualam putih, setiap
jarak sepuluh langkah diatas dinding terporotkan dua butir
mutiara sebagai penerangan. Dia maju dan maju terus dengan
susah payah dan banyak makan tenaga Meskipun pikirannya
sudah sadar, tapi karena luka lukanya serta seluruh tulang
belulangnya terasa linu dan pegal tubuhnya menjadi lemah
sampai tenaga untuk mengangkat kaki berjalan juga tiada
lagi. Keringat terus membanjir keluar, terasa seluruh tubuh
panas dan gerah sekali, Mendadak entah kakinya menginjak
apa sehingga terpeleset dan tubuhnya kontan tersungkur
jatuh disertai suara gemerayak yang ramai, saking keras
jatuhnya itu sampai matanya serasa berkunang-kunang,
setelah napasnya tenang kembali waktu ia pentang mata
hampir saja ia berteriak saking kaget.
Ternyata tepat didepan matanya tergeletak sebuah kepala
tengkorak manusia, demikian juga di-sekeliling tubuhnya
berserakan tulang tulang putih manusia yang hancur
berantakan, sebetulnya itulah sebuah kerangka manusia yang
masih lengkap bergaya duduk, tapi begitu tertendang dan
berinjak menjadi putus dan berantakan.
Sungguh kejut Giok-liong bukan buatan, tersipu-sipu ia
merangkak bangun, tanpa sengaja tangannya meraba badan
sendiri terasakan sesuatu yang ganjil pada tubuhnya, waktu ia
menunduk lagi-lagi ia hampir berseru kaget, Ternyata seluruh
tubuh sendiri berlepotan darah dan kotor amis ini masih belum
apa-apa, yang paling mengejutkan entah sejak kapan ternyata
seluruh tubuhnya telanjang bulat. Sungguh tanpa disadari
entah kapan baju ditubuhnya itu sudah hancur luluh tanpa
ketinggalan bekas-bekasnya. Sekian lama ia menunduk dan berpikir, akhirnya ia sadar:
"Ya, tentu kabut hijau itu mengandung racun yang berbisa
sekali, sedemikian lihaynya racun itu sampai baju yang
dipakainya hancur luluh tanpa meninggalkan bekas. Tapi
kenapa aku sendiri tidak kurang suatu apa?" - diperiksanya
kerangka tuIang-tulang yang berserakan ditanah itu, betul
juga tidak dilihatnya kada bekas-bekas barang benda lain.
Siapakah orang ini" Tentunya dia mati keracunan setelah
melewati kabut beracun itu, berpikir sampai diiini, timbul pula
keheranan dalam benaknya: "Tubuhku pasti juga sudah
keracunan, hanya belum saatnya kumat, Hm, entah apa
maksud dari penghuni lembah itu. Sebelum aku ajal ini betapa
juga aku harus menemumya dan minta penjelasan."
Karena tekadnya ini, seketika timbul lagi sedikit tenaganya
terus melangkah maju ke-depan lagi tanpa menghiraukan
tulang-tulang kerangka yang berserakan itu.
Betul juga tepat seperti dugaannya, sepanjang jalan
kedepan ini dimana-mana terlihat sesosok tumpukan tulang
kerangka manusia setiap kerangka itu tanpa meninggalkan
bekas-bekas benda apapun, Tak lama kemudian terlihat
dikedua dinding kanan kiri ada tulisan yang berbunyi: "Gudang
kecerdikan", dan yang lain adalah: "Gudang ilmu silat." Diatas
kedua huruf-huruf besar ini masing-masing ada sebuah lorong
untuk masuk. Giok-liong sudah tidak hiraukau mati hidupnya lagi, besar
tekadnya hendak menemui penghuni lembah ini, maka dengan
dada terangkat dan langkah tegak ia maju terus. Puluhan
tombak kemudian sebuah dinding batu besar mencegat
ditengah jalan, diatas dinding ini ada tulisan pula yang
berbunyi: "Menghadap dinding ini harus berlutut tiga kali dan
menyembab sembilan kali." Hati Giok-liong menjadi dongkol dan uring-uringan tapi
sebelum tahu sebab musababnya serta seluk beluknya
betapapun harus menghormati peraturan yang telah di
tegakkan oleh tuan rumah, maka segera ia berlutut tiga kali
dan menyembah sembilan kali. setelah penghormatan besar
ini tiba-tiba pandangannya menjadi terang dan terbelalak,
kiranya dinding baju didepannya itu kini sudah terbuka
sendirinya terus amblas kedalam tanah.
Belakang dinding batu ternyata adalah sebuah ruangan
batu yang kosong melompong, dibelakang ruangan sebelah
samping sana terdapat sebuah pintu bundar berbentuk bulan
sabit, pintunya sudah terpentang lebar, setelah melangkah
masuk kedalam ruangan batu ini serta merta Giok-liong lantas
berpaling memandang kebelakang, dinding batu itu ternyata
telah menutup lagi secara otomatis tanpa mengeluarkan
suara. Dalam hati Gion-liong menjengek, batinnya:"Penghuni
lembah ini benar-benar seorang tokoh yang lihay, sayang cara
pengaturan jebakan ini terlalu kejam sedikit."
Dalam pada itu dia sudah melangkah sampai diambang
pintu bulan sabit itu, baru saja kakinya melangkah masuk
"Brak?" sebuah suara keras terdengar, cepat-cepat ia menarik
kakinya waktu dipandang, ternyata diambang bulan sabit itu
tuiang-tulang kerangka berserakan, semua sudah hancur tiada
satupun yang utuh. Terang bahwa orang itu sebelum ajal
sudah dihancurkan tubuhnya, sehingga setelah mati
keadaannya menjadi demikian mengenaskan.
Hati Giok-liong menjadi mengkirik, dengan hati-hati kakinya
melangkah maju dari antara sela-sela tulang tulang yang
berserakan itu terus maju puluhan langkah kemudian, disini ia
dihadang sebuah dinding batu lagi, diatas dinding batu ini juga
bertuliskan "Berlutut tiga kali menyembah sembilan kali!"
Giok liong harus menekan rasa gusarnya, terpaksa ia maju
berlutut dan menyembah, dinding batu ini juga bergerak
secara otomatis amblas kedalam tanah, Demikian Giok-liong
harus melewati sembilan dinding batu semacam ini. Dari lapis
kelapis dinding ini tulang-tulang kerangka yang dilihatnya
semakin sedikit dan pada lapis kedelapan sudah tiada sekerat
tulangpun yang dilihatnya, ini menandakan bahwa belum
pernah ada seorang juapun yang bisa sampai mengembalikan
kakinya dilapis kedelapan - kesembilan.
Giok-liong sendiri sudah pasrah nasib dan percaya pasti
mati, sebab ia sendiri sudah terkena racun jahat, maka
sepanjang jalan tiada henti-hentinya ia patuh dan berlutut
tujuannya hanyalah ingin menemui penghuni lembah ini untuk
minta penjelasan. Begitu dinding batu lapis sembilan terbuka, kontan hidung
Giok-liong dirangsang semacam bebauan yang wangi
semerbak dihadapannya terbentang pula sebuah ruang batu,
Tapi ditengah ruang batu itu terlihat duduk bersila seorang
berpakaian pelajar yang cakap berusia bertengahan.
Pelajar pertengahan umur ini berwajah bersih angker dan
agung, dudut tenang sambil memejamkan kedua matanya,
Tangan kanannya diangkat lurus kedepan dengan sikut sedikit
ditekuk kedalam, diantara kedua jari-jari tengah menjepit
selembar kain sutra warna putih. Begitu melihat orang ini timbul rasa hormat dalam benak
Giok-liong, batinnya: "pelajar pertengahan umur ini mungkin
adalah penghuni lembah putus nyawa ini, sungguh tak
terduga usianya masih begitu muda..." dalam membatin ini
segera ia sudah berlutut dan menyembah serta serunya:
"Wanpwe Ma Giok-liong, memikul dendam kesumat dan
masuk kemari untuk mencari ayah, untuk kelancangan mana
harap cianpwe suka memaafkan serta harap diberi sedikit
petunjuk." setelah berkata ia bangkit berdiri.
Lama sekali tiada kelihatan suatu reaksi Mendadak badan
pelajar pertengahan umur itu pelan-pelan mundur kebelakang,
kain sutra yang terjepit di jari tangannya itu melayang jatuh
didepan kaki Giok-liong. Tersipu-sipu Giok liong membungkuk
badan menjemput kain sutra itu, dengan seksama ia baca
tulisan yang tertera diatas kain sutra putih itu: "Aku
mengasingkan diri dalam lembah ini sudah selama dua abad,
kau adalah satu-satunya manusia persilatan yang dapat
menghadap kemari selama dua abad ini, sikapmu luhur tahu
tata kehormatan pula, memang harus dipuji, setelah membaca
surat ini, segeralah kau berlutut dan menyembah maju sampai
kehadapanku." Sutra putih dengan tulisan bak hitam seperti baju saja
ditulis, ini tak mungkin benda peninggalan pada dua abad
yang lalu, apalagi makna dalam tulisan itu sedemikian takabur
dan angkuh sekali. Giok-liong membatin : "Watak orang yang kelihatan luhur
dan bersih, seperti tiada maksud hendak mencelakai aku. Tapi
menurut katanya aku adalah orang pertama yang mampu
sampai ditempat ini, bukan mustahil ayah . . ."
Tak berani ia banyak berpikir pula, setelah berlutut waktu
ia angkat kepala lagi pelajar pertengahan itu sudah mundur
sampai puluhan tombak jauhnya baru berhenti. Tanpa raguragu
lagi segera Giok-liong berlutut dan menyembah berulang
kali sambil merangkak maju sampai dihadapan tempat duduk
pelajar pertengahan umur itu. Luka-luka pada pahanya itu sebetulnya sangat parah, kini
harus menjalani sedikit siksaan badaniah lagi, kekuatan
tubuhnya menjadi semakin kendor dan sampai akhirnya sudah
tidak kuat bertahan lagi. Tiba-tiba secarik kain sutera melayang jatuh lagi
didepannya, dimana tertulis: "Duduklah bersila dihadapanku,
himpunlah semangat dan semadilah, selama satu jam!" tulisan
ini bernada memerintah tak bisa tidak harus dituruti.
Giok-liong menjadi dongkol, tapi ia turuti saja apa yang
diperintahkan mulailah ia duduk bersila menghimpun
semangat mengatur pernapasan sampai akhirnya ia tidak ingat
spa-apa lagi. Tiba-tiba jalan darah Bing-bun-hiat terasa linu, lantas
sejalur hawa hangat merembes masuk dari kepalanya terus
menerjang masuk kemana-mana, seketika itu dia lantas
kehilangan kesadaran, Lama dan lama kemudiaa baru dia
siuman kembali. Baru saja ia membuka mata lantas terasa badannya segar
bugar, semangatnya berkobar menyala-nyala, rasa capai dan
lelahnya hilang lenyap seluruhnya, Waktu ia angkat kepala
entah kapan pelajar pertengahan umur itu telah mundur lagi
setombak jauhnya. Didepan bawah kakinya terbentang secarik kain sutra lagi
yang bertuliskan: "Kau sekarang telah membakal Lwekang
selama ratusan tahun, kau ada jodoh masuk perguruan
menjadi muridku. Aku bernama Pang Giok bergelar To-ji."
Begitu membaca habis tulisan itu kaget Giok liong bukan
kepalang, Kiranya pelajar tengahan umur dihadapannya, ini
adalah To-ji Pang Giok salah satu dari Ih-lwesu-can yang telah
menggetarkan dunia persilatan, pada dua abad yang lalu.
Setelah hilang rasa kagetnya, tersipu-sipu Giok liong
merangkak maju serta berlutut dihadapan To-jin Pang Giok,
dengan rasa haru dan kegirangan, ia menyembah serta
berkata sambil mengalirkan air mata: "Guru diatas terimalah
sembah sujud murid ini." Sebuah suara yang kalem halus seakan-akan diucapkan
dipinggir telinganya tapi juga seperti terdengar dari kejauhan
berkata: "Anak baik, sepanjang jalan masuk gua ini sungguh
menyusahkan kau saja, lekaslah bangun!"
Tersipu-sipu Giok-liong angkat kepala dilihatnya wajah Tojin
Pang Giok mengulum senyum manis, pelan-pelan kedua
matanya terbuka lalu menatap tajam kearah muka Giok-liong.
Giok-liong jadi membatin, "Ai, orang ini sudah hidup sekian
lamanya. tapi masih kelihatan sedemikian muda, betapa tinggi
ilmu silatnya pastilah sudah mencapai kesempurnaannya."
walaupun tengah berpikir tapi kakinya tak berani gerak
bangun. Segera To-ji Pang Giok mengulurkan sebelah tangannya
yang putih laksana batu giok mengusap-usap kepala Giok-
Iiong, ujarnya: "Anak baik, bangunlah, jangan kau terpaku
disitu saja, apa tidak lelah dan sakit kakimu!"
Giok-liong menyembah lagi serta berkata "Terima kasih
Suhu, Tecu Ma Giok-liong menyampaikan sembah sujud."
habis memberi hormat baru dia bangkit berdiri, sesaat To-ji
Pang Giok mengawasinya dengan seksama, lalu berkata:
"Giok-liong cara bagaimana kau bisa sampai memasuki


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lembah putus nyawa ini?" Giok-liong menyahut: "Murid tengah mencari jejak ayah,
juga ingin belajar ilmu silat untuk menuntut balas"
"Siapakah nama ayahmu?" "Aku..,.....aku tidak tahu."
To-ji Pang Gi,ok tercengang, dengan sorot mata yang aneh
ia pandang Giok-liong lalu katanya: "Semua orang yang
pernah masuk kedalam lembah ini, semua aku mengetahui
namanya, tapi tiada seorangpun yang she Ma."
Tergetar perasaan Giok-liong, tanyanya mendesak:
"Apakah betul?" To-ji tersenyum, ujamya: "Masakah gurumu ini menipu
kau!" "Lalu... bukankah Sip-hiat-ling Toan-Bok-ki juga masuk
kedalam lembah ini?" Giok-liong berseru kaget kepala terasa puyeng matapun
berkunang-kunang. Batinnya: "Apakah selama dua abad ini
tiada seorangpun yang masuk ke dalam Lembah putus nyawa
ini" Lalu kemanakah mereka telah pergi?"
"Giok-liong." tanya To ji dengan sungguh-sungguh, "Kau
ada dendam sakit hati apa, mengapa tanpa hiraukan
keselamatan jiwa sendiri menempuh bahaya hendak mohon
belajar kepandaian dalam lembah putus nyawa ini?"
Jilid 02 Jawab Giok liong sambil menunduk: "Tecu hidup
berdampingan bersama ibu sejak kecil, orang tua tewas
dengan mengenaskan dalam tangan para musuh yang kejam .
. ." tak terasa air mata mengalir deras membasahi pipi.
"Anak baik," ujar To-ji sambil mengusap-usap kepala Giokliong,
janganlah bersedih mari ikut aku." habis berkata ia
berputar tubuh terus berjalan kearah dinding kiri sebelah sana
dengan langkah tegap dan tenang. Glok-liong mengintil dibelakangnya sambil mengusap air
matanya waktu dekat dengan dinding batu, tampak To-ji
mengulur tangap jarinya menekan sebuah tombol disebelah
kiri, segera terbukalah sebuah pintu. Belakang pintu ini adalah
sebuah ruangan batu juga yang berhawa sejuk dan lebar, di
atas dinding sebelah kanan berlukiskan tiga gambar orang,
sedemikian indah dan menakjubkan gambar itu bagai hidup
saja. Ketiga gambar menunjukkan gaya yang berlainan.
Kata Pang Giok kepada Giok-liong: "inilah tiga jurus
pelajaran dasar dari perguruan kita, bagi yang baru belajar
harus menyelaminya dengan seksama dan tekun, selanjutnya
masih banyak dan rumit pelajaran lain yang harus kau pelajari
!" selanjutnya dengan sabar sejelas-jelasnya ia terangkan
ketiga jurus pelajaran dasar itu. Setelah diberi penjelasan baru Giok-liong maklum, kiranya
ketiga jurus dasar pelajaran dasar kepandaian yang harus
dipelajari ini ternyata adalah ilmu yang bernama Sam- ji- cuihunchiu
yang telah menghilang selama ratusan tahun
dikalangan Kangouw. Jangan dikata hanya tiga jurus saja, namun dalam jurus
ada jurus tersembunyi tipu-tipu lihay lagi, ini benar-benar
pelajaran yang rumit dan dalam sekali dasarnya.
Giok-liong memang seorang bocah cerdik sudah
mempunyai bekal Lwekang murni yang lumayan pula,
ditambah penyaluran tenaga dalam ratusan tahun dari Pang
Giok tadi, kondisinya sekarang sudah dapat menyamai tokoh
tokoh silat kelas tinggi di Bulim, sekarang setelah mendengar
penjelasan To-ji yang mendetail, meski belum dapat
memahami seluruhnya sedikitnya separoh dari inti pelajaran
sudah dapat dicukup dalam benaknya.
Jurus pertama bernama : "Cin-chiu," jurus kedua adalah
"Hoat-bwe" dan yang ketiga adalah "Tiam-ceng." Ketiga jurus
ini masing-masing mempunyai keistimewaannya sendirisendiri.
Menurut pesan dan petunjuk To-ji Giok-liong terus
menyelami dengan tekun dan mempelajarinya dengan giat tak
mengenal lelah. Akhirnya gerak tubuh serta langkah kakinya
juga sudah semakin teratur dan akhirnya sudah apal diluar
kepala, tapi badannya juga sudah basah kuyup oleh keringat.
Entah kapan tahu-tahu To-ji sudah tak berada lagi dalam
ruang batu itu, tinggal Giok-liong sendirian yang masih giat
berlatih dengan kepala penuh keringat. Beberapa lama
kemudian tiba-tiba kepalanya terasa berat dan pusing sekali,
hawa murni dalam tubuhnya juga lantas mengalir balik terus
menerjang dengan kerasnya, saking kejut dan takut, segera ia
menghentikan latihannya, batinnya: "Celaka," sungguh tak
nyana bahwa sam-ji cui-hun-chiu ini ternyata terlalu banyak
mengulas tenaga murni orang . . . . " tengah berpikir itu,
badannya sudah tak kuat bertahan Iagi, segera ia duduk
bersila dilantai pejamkan mata menghimpun semangat
mengerahkan hawa murni untuk memulihkan tenaganya.
Mendadak terdengar kata-kata To ji terkiang dipiaggir
telinganya: "Nak, bertahamlah."
Lalu terasa segulung tenaga hawa yang hangat seperti bara
mencurah memasuki badannya melalui ubun-ubun kepalanya.
Dan bersamaan dengan itu segulung arus hawa murni yang
dingin seperti gulungan es menerjang masuk juga melalui
jalan darah Bing-bun-hiat. Keadaan Giok-liong sudah sangat lemah, seluruh hawa
murninya sudah terkuras habis, begitu dituangi dua jalur hawa
murni yang bertentangan ini, terus menerobos dan menerjang
kesegala urat nadi dan sendi-sendinya secepat air bah, keruan
sakitnya luar biasa seperti disiksa, mata sampai berkunangkunang.
Tapi dasar wataknya keras dan teguh pendirian, sambil
mengertak gigi ia terus bertahan tanpa mengeluh sedikitpun.
Setelah hawa panas dingin bergabung dan dapat lancar
berputar sebanyak tujuh putaran dalam seluruh tubuhnya,
mendadak seperti satnberan geledek kedua jalur hawa yang
berbeda itu berpencar lagi terus mengembang kekiri-kanan
langsung menerobos kejalan darah Ji-ti jalan darah terpenting
bagi mati hidup manusia. "Bus." terdengar getaran yang agak ringan, seketika Giokliong
rasakan seluruh badan seperti ditusuki beribu jarum,
sakitnya sampai menyusup ketulang-tulangnya, seolah-olah
seluruh badannya telah dirobek-robek sampai dedel dowel.
Tak kuat lagi segera mulutnya terpentang terus memuntahkan
segumpal darah segar. Pada saat itu juga kedua gulungan hawa panas dingin itu
kontan lantas bergabung menjadi satu terus berubah menjadi
hawa yang hangat halus berputar dan merembes keseluruh
badan dengan pelan-pelan dimana hawa hangat ini lewat, rasa
sakit segera hilang dan badan semakin bertambah segar.
Lambat laun seluruh kesegarannya telah pulih kembali dan
memasuki kealam sejadinya yang tak irfat segalanya lagi.
To-ji Pang Giok sendiri tampak duduk bersila disamping
Giok-Iiong, jidatnya basah oleh keringat, wajahnya juga
sedikit pucat tangannya merogoh kedalam sakunya
mengeluarkan sebuah pulungan kecil dituangnya dua butir pil
warna hijau, sebutir dimasukkan kedalam mulut sendiri
sedang sebutir yang lain dijejalkan ke mulut Giok-liong, Lalu ia
sendiri juga menghimpun semangat mulai latihan dalam
semadinya. Entah berapa lama berselang Giok-liong baru siunaan,
begitu kedua matanya dibuka, dua sorot tajam bagai kilat
memancar keluar dari kedua biji matanya, tapi juga hanya
sekejap saja terus berganti sinar tajam yang penuh wibawa,
membuat orang tak berani beradu pandang secara
berhadapan. pelan-pelan ia bangkit berdiri, terasa seluruh
tubuhnya segar bugar, hawa hangat yang menyegarkan itu
terus berputar-putar dan mengalir didalam badan
Waktu ia memandang ke sekelilingnya, bayangan To-ji
sudah tak kelihatan lagi, Di-bawah kakinya terletak
seperangkat pakaian yang bersih, sedang baju yang
dipakainya itu sudth basah oleh keringat dan kotor sekali.
Sekonyong-konyong suara To ji terdengar berkata:
"Dibelakang ruang batu ini ada sebuah empang, kau harus
merendam diri dan bersemadi dalam air empang itu selama
dua belas jam, lalu kau nantikan petunjuk gurumu
selanjutnya." Blang " suaranya keadaan menjadi sunyi senyap.
Sebuah suara keresekan terdengar, terbuka pintu di
sebelah samping kanan sana, kontan terasa hawa dingin yang
menusuk tulang menghembus masuk kedalam ruang batu ini,
Memang di belakang ruang batu ini terdapat sebuah empang
seluas satu tombak. Giok-liong segera menekuk lutut serta berseru lirih: "Budi
Suhu yang besar ini, Tecu menghaturkan banyak terima kasih,
terimalah sembah sujud Tecu!" -habis berkata ia menyembah
sembilan kali, setelah itu baru menanggalkan pakaian dan
turun kedalam air. Air dalam empang ini ternyata sedemikian dingin seolaholah
dapat membekukan darah. Cepat-cepat Giok-liong
mengerahkan hawa murni untuk bertahan, lambat laun rasa
dingin itu mulai terusir keluar dari tubuhnya. Begitulah dengan
duduk semadi lambat laun Giok-liong sudah mengerahkan
seluruh tenaganya sampai pada puncak tertinggi tapi masih
sulit menahan serangan hawa dingin itu, untung suhu hangat
masih mengembang dalam badannya, sehingga tubuhnya
masih kuat bertahan sekian lama. Dua belas jam kemudian baru Giok-liong perlahan-lahan
berdiri dan keluar dari empang. Hawa murni dalam tubuhnya
sudah kokoh dan karena pengerahan pada puncak tertinggi
untuk bertahan terhadap serangan dingin itu. Setelah keluar
dari empang, dipakainya pakaian yang telah disediakan oleh
To-ji itu. Tiba-tiba terlihat dinding batu bergeser, To-ji Pang Giok
lantas melangkah masuk sambil mengulum senyum.
Cepat-cepat Giok-liong-berlutut memberi hormat serta
katanya: "Suhu diatas, terimalah hormat Tecu ini!"
Ujar To-ji tertawa: "Baik, bagus sekali, sudah tak usah
banyak peradatan!" habis berkata ia tertawa riang, lalu
sambungnya: "Anak Liong. apa kau tahu betapa tinggi latihan
Lwekang yang telah mengeram dalam badanmu itu."
Giok-liong menggeleng, sahutnya: "Tecu tidak tahu!"
"Kau sekarang sudah mempunyai dasar latihan Lwekang
selama seabad lebih, dalam kalangan Kangouw sekarahg ini
tokoh yang dapat melawan kau sudah sangat sedikit
jumlahnya." Karuan girang Giok-liong bukan main, cepat-cepat ia
berlutut dan menghaturkan terima kasih lagi: "Terima kasih
akan budi Suhu yang telah menyempurnakan Tecu! "
To-ji diam-diam saja menerima sembah sujudnya tiga kali,
lalu katanya lagi: "Hawa murni yang mengeram dalam
tubuhnya itu merupakan pelajaran tunggal dari golongan kita
yaitu "Ji-hua" yang dinamakan "Ji-lo" merupakan hawa murni
yang paling lurus dan mandraguna, Kuharap kau dapat
menyesuaikan diri dalam segala tindak-tandukmu kelak,
janganlah kau mengecewakan harapan suhumu yang susah
payah ini !" Didengar dari nada perkataannya ini, agaknya ada
maksudnya yang hendak segera menyuruh Giok-liong
meninggalkan lembah putus nyawa ini.
Hati Giok liong menjadi terharu, ujarnya perlahan: "tecu
paham !" To ji tersenyum, tanyanya : "Anak Liong, apakah kau tahu
ada berapa tokoh-tokoh silat yang dulu sejajar dalam
tingkatan dengan Suhumu?" Sebentar Giok-lioag berpikir, lalu sahutnya: "Ada Kim-lengcu,
Pat-ci-kay-ong dan Hoat-ceng yang termasuk daiam IhTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/ lwe-su-cun, Masih ada lagi Thian-lan-sam yau, Mo-pak it-jan
dan majikan pulau tanpa bayangan di Lam-hay."
To jin manggut-manggut, ujarnya: "Benar, tapi masih ada
seorang yang paling lihay belum kau sebutkan."
Giok liong terperanjat tanyanya: "Siapa dia?"
"Hiat-eng-cu, Congcu dari Hiat-eng-bun!" Giok-Iiong belum
pernah dengar akan nama ini, tapi dia juga tidak berani
sembarangan tanya, tanyanya lebih lanjut: "Apakah mereka
masih belum menjadi dewa?" To ji menghela napas, ujarnya : "Gurumu juga tidak jelas,
setelah turun gunung kau harus hati-hati, pelan-pelan kau
resapilah pelajaran Sam-ji-cui hun chiu itu dalam praktek. Aku
masih ada satu urusan yang harus kuselesaikan, bersama itu
juga perlu menuju keluar lautan untuk mencari bahan-bahan
obat untuk membantu kau melatih badan yang kuat
seumpama badan baja yang tak tembus senjata sebagai murid
ahli waris-ku !" Bukan kepalang rasa haru dan terima kasih Giok-liong, air
meleleh dengan deras, katanya sesenggukkan sambil
mendekam ditanah : "Budi besar Suhu ini, seumpama
badanku hancur lebur juga sulit membalasnya."
To-ji tertawa lagi, ujarnya: "Anak bodoh, ini semua
tergantung dari kerajinan latihanmu, kalau tidak betapapun
gurumu takkan menerima seorang murid yang jahat dan
buruk, maka dalam berkecimpung didunia persilatan ini kau
harus mengutamakan "Lurus" dan tegak dalam keadilan dan
kebenaran. Kalau sebaliknya janganlah kelak kau mengatakan
bahwa gurumu berlaku kejam terhadapmu, bukan saja harus
kupunahkan kepandaianmu jiwamu juga harus dicabut !"
Mendengar petuah serta ancaman gurunya ini tanpa
merasa Giok liong sampai merinding segera ia menghentikan
tangisnya serta sahutnya: "Tecu pasti tidak berani!"
"Gurumu percaya kau takkan berani berbuat begitu . . ."
lalu dirogohnya keluar sebatang seruling batu giok bewarna
putih mulus yang mengeluarkan cahaya kemilau, seruling itu
diangsurkan kepada Giok liong serta katanya: "seruling ini
bernama Jan-hun ti." Tergetar hati Giok-Hong mendengar nama seruling itu, Janhun
ti atau seruling samber nyawa adalah merupakan sebuah
benda antik yang sangat tua usianya, Seruling ini selama
ratusan tahun selalu menjadi incaran dan idaman setiap
tokoh-iokoh silat, senjata sakti mandraguna yang telah
menghilang ratusan tahun yang Ialu itu ternyata berada
ditangan To-ji Pang Giok. Bukan saja seruling samber nyawa ini adalah senjata kuno
yang sakti mandraguna, malah konon kabarnya didalamnya
ada terpendam suatu rahasia besar dunia persilatan.
Pemilik utama dari seruling samber nyawa ini adalah Janhun
cu, Jan-hun cu sudah sempurna pelajaran agama dan
sudah menjadi dewa pada ribuan tahun yang lalu, intisari


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pelajaran ilmu silatnya semua terpendam dalam seruling
pusaka ini. Selama ribuan tahun ini seruling sakti ini hanya pernah
muncul satu kali, biarpun satu kali tapi cukup menimbulkan
buru-hara serta kekacauan yang besar, dimana-mana terjadi
pembunuhan kejam untuk memperebutkannya sehingga kaum
persilatan tidak bisa hidup tentram, akhirnya seruling pusaka
ini menghilang pula tanpa diketahui jejak, dan sejak itu belum
pernah muncul lagi. Dengan tersenyum lebar To ji menyerahkan seruling itu,
ujarnya: "seruling ini ada serangkaian jurus hawa murni yang
melandasinya, dalam jaman ini tiada seorangpun yang dapat
menggunakan. Pada ratusan tahun yang lalu secara kebetulan
gurumu memperoleh seruling ini, dengan landasan Jilo dari
perguruan kita kuciptakan ilmu Jan hun-su sek, ilmu ini cukup
hebat dan besar perbawanya tapi juga cukup ganas, kau
harus mempelajarinya dengan baik-baik sebelum turun
gunung." Saat itu juga ia turunkan pelajaran Jan-hun-su sek itu
kepada Giok-liong, Makna dari pada pelajaran keempat jurus
itu terdiri dari masing-masing kejut hati kehilangan sukma,
putus nyawa sukma tersiksa." Sebetulnya kedelapan kata itu setiap suku katanya
merupakan salah satu jurus yang tergabung menjadi tipu
pukulan, kalau digabung lagi maka perbawanya semakin
hebat, tiada seorangpun yang bakal kuat bertahan dari
serangan rangkaian ini. Tanpa mengenal lelah dengan giat Giok-liong mempelajari
keempat jurus serangan yang lihay ini, sepuluh hari kemudian
baru dia selesai mencakup seluruh intisari pelajaran empat
jurus tipu-tipu dari Jan-hun-su-sek itu.
Sete!ah Giok-Iiong benar benar sudah lancar dapat
mempergunakan pelajarannya ini baru To-ji memberi pesan
supaya dia memasuki sebuah ruangan batu lain, setelah
mereka duduk berhadapan, barulah To ji membuka kata
dengan nada serius: "Anak Liong, kau sudah tahu peraturan
perguruan kita belum ?" "Tecu masih belum tahu !"
"Setia serta kebajikanlah yang diutamakan, dengan jiwa
yang lurus dan hati yang murni baru kau dapat menegakkan
peraturan yang keras ini." Giok-Iiong mengiakan. "Setelah kau turun gunung, jangan sekali-kali sembarangan
kau tunjukan seruling samber nyawa ini kepada orang lain,
Kalau tidak kau akan menghadapi banyak kesukaran. Setelah
kau berkelana di Kangouw bila ada perlu, carilah majikan
Pulau tanpa bayangan di Lam-hay, dia seorang sahabatku
yang paling kental, dari mulutnya kau akan tahu berita
mengenai gurumu, carilah tahu tentang keadaan Kim leng cu
apakah dia masih hidup, jika masih sehat walafiaf, kau harus
berdaya upaya untuk bertemu dengan dia, beritahulah
kepadanya: "Sampai mati baru asmara terbawa kubur, lilin
luluh baru air mata kering." segera dia akan tahu siapa kau
adanya, pasti dia pesan kepadamu untuk aku. Dan lagi kau
boleh beritahukan alamat ku ini kepadanya."
Setelah itu, tak lupa To ji berikan keterangan tentang asal
usul serta wajah muka serta keistimewaan semua tokoh-tokoh
ternama. Diberikan pula sebuah senjata berupa pena yang
memancarkan sinar kekuningan, panjang senjata berbentuk
potlot setengah meter, katanya: "Walaupun potlot emas ini tak
sebanding dengan seruling menyiksa sukma, senjata ini sudah
bertahun tahun mengikuti gurumu berkelana di Bulim, cara
penggunakannya adalah jurus-jurus tipu dari gerakan dasar
Jan-hun-su-sek itu, semua sekandung dalam delapan gerakan
tangan, cara menggunakannya kau sudah bisa.
Potlot ini mempunyai asal usulnya tersendiri masih adalagi
tiga potlot emas kecil sepanjang tiga inci, potlot-poilot kecil ini
merupakan pertanda chas dari sepak terjangku semasa muda
dulu." lalu diserahkan juga sebuah buntalan sederhana, serta
pesannya: "sekarang pergilah, kelak aku akan mencarimu
sendiri." Perasaan Giok-liong menjadi haru dan bergelora, namun
sekuatnya ia tekan perasaan ini serta katanya: "Suhu, aku , ,.
." akhir nya tak terelakkan lagi dua titik air mata meleleh
membasahi pipinya. To-ji tertawa dingin, katanya: "Anak bodoh, lekaslah
berangkat, Kaum persilatan telah menanti kau untuk
menegakkan keadilan dan kebenaran!"
Giok liong memaksa untuk tertawa, setelah menyeka air
mata dipipinya dia berkata: "Suhu harap terimalah hormat
Tecu yang terakhir ini." habis memberi hormat cepat-cepat ia
berdiri terus memutar tubun melangkah lebar keluar ruang
batuc Wajah To ji yang kelihaian bersih berwibawa itu juga
kelihatan sedikit murung dan berat, berapa tahun sudah baru
sekarang angan-angannya terkabul memperoleh seorang
murid yang mencocoki seleranya, baru berkumpul beberapa
lama saja sekarang sudah harus berpisah lagi tak tertahan ia
berteriak memanggil: "Giok liong!"
Giok-liong segera berpaling, sahutnya: "Suhu, ada apa?"
Dengan tajam Toji memandang, wajahnya sekian saat baru
bicara: "Semua jebakan rahasia dalam lembah gua ini sudah
kututup kau boleh keluar mengembangkan Ginkang!"
Giok liong mengiakan sambil membungkuk. Belum hilang
suaranya berkelebatan sebuah bayangan putih secepat anak
panah dan seringan asap Giok-liong sudah melesat berlari
kencang menuju keluar lembah. Dengan mengembangkan pelajaran Gin-kang perguruannya
yang dinamakan Leng hun toh ( melampaui awan
mengembang ) tubuhnya seperti angin melayang sekejap saja
sudah melewati jalan-jalan rahasia yang terpenting dilembah
putus nyawa itu, dan dilain saat ia sudah berada diluar
lembah. Selepas pandang, dilihatnya selokan setan masgul masih
seperti sedia kala, kabut tebal masih meliputi seluruh alam
sekitarnya angin pegunungan yang dingin juga ribut
menghembus keras. Tiba-tiba terkiaug pesan To ji yang wantiwanti:
"Anak Liong, jagalah dirimu baik-baik sepanjang jalan,
segeralah berangkat gurumu hendak menutup seluruh jalan
masuk lembah ini. Kelak kalau kau datang lagi, bilamana
mulut lembah belum terbuka, itu tandanya bahwa Suhu belum
kembali!" Giok liong maklum bahwa gurunya meng gunakan ilmu
Cian li thoan-im (mengirim suara ribuan li) untuk bicara
dengan dirinya, maka segera menggunakan ilmu yang sama
untuk menjawab "Tecu sudah tahu." selanjutnya ia bertanya
lagi: "Suhu, kapan kau orang tua kembali kedalam lembah?"
"Perjalanan ini sulit ditentukan, kapan aku pulang tidak
pasti, Waktu mulut lembah terbuka, gurumu pasti ada didiami
Sudah lekaslah berangkat, lekas berangkat."
"Tecu terima perintah." sahut Giok-liong sambil
membungkuk lagi. Begitu menyedot hawa dalam-dalam menghimpun hawa
murni, kakinya terus menjejak tanah melesat kearah sebuah
batu gunung yang menonjol keluar diieberang sebelah sana,
jaraknya tidak kurang dua puing tombak lebih, namun dengan
ringan sekali tubuhnya meluncur seperti snnk i anah, Sungguh
diluar perhitungannya begitu pesat lurcuran tubuhnya ini
seperti kilat saja melambung ditengah kabut, terpaksa ia harus
menekuk tubuh dan meliukkan badan seperti seekor bangau
saja tubuhnya segera meluncur turun tepat diatas ngarai
sukma gentayangan. "Oh, Tuhan," Hampir saja ia berteriak saking tak tahan
menahan rasa girang yang meluap-Iuap. Hanya sekali jejakan
kakinya saja ternyata sekarang dirinya mampu melompati
jurang yang lebarnya tiga puluhan tombak ini. Benar-benar
suatu hal yang mustahil bila dibayangkan masakah mungkin
tenaga manusia dapat mencapainya "
Teringat waktu datang, betapa ia harus memeras keringat
mengalirkan darah serta menghabiskan seluruh tenaganya
baru dapat melampaui selokan setan masgul ini dan masuk
kedalam Lembah putus nyawa. Siapa akan menduga hanya beberapa hari saja sekarang
dirinya sudah dapat melewati jurang yang berbahaya ini hanya
sekali lompat saja. Anugrah Suhu terhadap dirinya sungguh besar dan tak
tenilai, sekian lama ia berdiri terpesona saking senang,
hampir-hampir ia sendiri tidak percaya akan kenyataan ingin
dia membuktikan apakah dirinya benar-benar sudah
melampaui selokan setan masgul ini !
Tak kira begitu ia memutar tubuh seketika ia berdiri
tertegun, Kabut masih tebal angin masih ribut tapi bekasbekas
atau bayangan jalan pendek nyawa itu kini telah
menghilang " Demikian batu besar itu juga telah menghilang
tanpa bekas, Ngarai disebrang sana juga sudah tidak kelihatan
iagi, hanya tinggal lereng gunung yang menjulang tinggi
keangkasa, tiada celah-celah yang merekah yang telah
dilewati tempo hari. Hanya dalam sekejap mata itu saja,
seluruh jalan yang menuju ke Lembah putus nyawa sudah
tertutup rapat. Hati Giok liong serasa mencelos dan gegetun, Dengan bekal
Lwekangnya sekarang, untuk malang melintang di Kangouw
menuntut balas pasti bukan persoalan yang berat. Tapi
sebuah jalanan pendek nyawa yang besar itu, sekejap saja
menghilang tanpa suara tanpa diketahui kapan jalanan itu
lenyap. Bangunan alat-alat rahasia semacam ini benar-benar
sangat menakjubkan. Tidak usah dibuat heran sedemikian
banyak tokoh-tokoh Bulim yang terjungkal dan menemui
ajalnya dalam lembah putus nyawa ini. Untuk selanjutnya
dirinya harus berlaku waspada dan hati hati berkelana didunia
persilatan supaya tidak sampai kena terbokong.
Baru lenyap pikirannya, mendadak dipinggir telinga seperti
ada orang berkata riang: "Giok-liong, lekaslah turun gunung,
gurumu juga segera akan berangkat !"
Giok liong tergagap, cepat ia berpaling kearah datangnya
suara, terlihat ditengah keremangan kabut tebal samar-samar
berkelebat sebuah bayangan putih terus hilang di telan kabut
tebal, dari kejauhan sayup-sayup terdengar pula suara To-ji
berkata: "Hati-hatilah menjaga dirimu dalam perantauan !" habis
suaranya orangnya juga sudah jauh beberapa li.
"Tecu tahu !" sahut Giok-liong hormat, dimana tubuhnya
melenting berubah segulung bayangan putih terus meluncur
kebawah dari ngarai sukma gentayangan ini. setelah sampai
dikaki gunung hatinya menjadi hampa dia celingukan kian
kemari, tak tahu dia kemanakah dirinya harus menuju, pelanpelan
kakinya melangkah tak terasa ia beranjak melalui jalan
yang pernah dilalui tempo hari waktu datang.
Ditengah jalan ia berpikir: "Baiklah, terlebih dulu aku harus
kembali keruman gubuk yang telah terbakar menjadi puing
itu," teringat akan rumah, sakit hati yang sekian lama sudah
terpendam dalam hatiaya mulai berkobar lagi.
Tragedi berdarah akan masa yang lalu kembali terbayang
dikelopak matanya, hatinya mengeluh dan berteriak: "Bunuh,
berantas habis semua iblis laknat yang jahat itu . . ."
Wajahnya tidak menunjukkan sesuatu expresi yang luar
biasa, namun gerak tubuhnya melesat semakin pesat susah
diukur kecepatannya menuju kearah ngarai tempat tinggalnya
dulu. Tiba-tiba sebuah persoalan lain timbul dalam benaknya.
Ke-manakah ayah telah pergi" Bukankah Hwe-thian-khek Ma Hun dari laut utara itu juga
she Ma" Dan lagi iblis nomor wahid paling kejam, membunuh
orang tanpa berkedip Sip-hiat-leng Toan Bok-ki kemana pula
dia pergi" Kesan semua orang dunia persilatan adalah bahwa
mereka berdua sudah mampus didalam lembah putus nyawa.
Tapi suhunya, majikan lembah putus nyawa ini memberi
tahu bahwa ketiga orang itu hakekatnya tidak atau belum
pernah memasuki lembah yang bertuah ini.
Kemanakah mereka telah pergi" Tak tertahan hatinya
berdenyut bertanya-tanya, Apakah mungkin menghilangnya
ketiga tokoh kenamaan itu merupakan suatu muslihat yang
keji dalam kalangan persilatan" jikalau dugaannya ini
kenyataan, itu sungguh berbahaya dan menakutkan. Tapi
kalau diselami lebih lanjut dugaannya ini juga banyak
kelemahannya dan tak mungkin bisa terjadi. Sebab
kepandaian silat dan kecerdikan ketiga tokoh-tokoh lihay itu
sangat tinggi, betapapun juga mereka takkak semudah itu
kena tertipu atau terjebak. Pikir punya pikir badannya masih berlaju, terus berloncatan
didaratan pegunungan yang tidak rata dengan tanah penuh
ditaburi salju tebal, Tatkala itu tanpa merasa Giok-liong sudah
kembangkan gerak tubuh Leng-hun-toh sampai sepuluh
bagian tenaganya, sebuah bayangan putih laksana asap
berkelebat seperti bayangan tanpa ujud saja melintas secepat
kilat diatas pegunungan yang memutih sampai tak dapat
dilihat tegas dengan pandangan mata biasa.
Tak lama kemudian jauh-jauh ngarai tempat tinggalnya itu
sudah kelihatan. Tanpa merasa darah bergejolak dalam
rongga dadanya, semakin cepat kakinya bergerak luncuran
tubuhnya semakin pesat terus melesat- keatas ngarai itu.
Tiba- tiba di dapatinya bahwa diatas ngarai itu ada
bayangan orang tengah bergerak -gerak terus berkelebat
menghilang. Kontan timbul kewaspadaan dalam benak Giokliong,
Besar kemungkinan pihak Kim i-pang atau Hiat-hongpang
masih meninggalkan anak buahnya untuk menjaga
diatas sana. Dengan beberapa kali loncatan lagi, Giok-liong
sudah sampai dibawah bukit terus sembunyi dibawah tebing
ngarai itu. Samar-samar terdengar sebuah percakapan tengah
berkata: "Lo-ong, araknya masih ada tidak?"
"Keparat, mana bisa ada arak" Tapi dalam dua hari ini
komandan piket pasti akan lewat disini, mungkin beliau akan
menghadiahi dua guci arak kepada kita."
"Ai, nenekmya kedudukan kita dikalangan Kangouw juga
cukup disegani, tak nyana kita malah mendapat tugas untuk
berjaga ditempat dingin semacam ini untuk menunggu orok
kecil yang tak berguna." "Hei, menurut pendapatku saudara Tan meskipun tugas ini
agak menyiksa kita, tapi siapa tahu kalau kita bisa ketiban


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rejeki, benar-benar orok kecil itu muncul dan dapat kita
ringkus, bukankah merupakan pahala besar, Saat mana
bukankah pangkat kita akan naik beberapa tingkat paling
rendah juga menjadi Tocu, saat itu apa yang kita inginkan
pasti kesampaian bukankah sangat menyenangkan."
"Ai, memang gampang diucapkan, jangan jaga punya jaga
yang datang malah malapetaka yang bakal menghabisi jiwa
kita, jangan kata dapat makan enak, celakalah kalau jiwa
sendiri melayang." "Sudahlah, mengandal kebesaran Hiat-hong-pang kita,
siapa yang berani mengusik kepada kita" Apalagi setan kecil
itu sudah terjungkal kedalam jurang, meskipun jenazah-nya
tidak ketemu, tapi betapa keras tulang tulangnya, seumpama
dapat ditolong orang saat ini juga tengah menyembuhkan
luka-lukanya itu, mana mungkin ada malapetaka pencabut
jiwa apa segala." "Itu juga belum tentu, siapa tahu..."
"Siapa tahu dewa elmaut sekarang telah datang!
"demikianlah sebuah suara dingin mendadak menyentak
pembicaraan mereka. Ketika anak buah Hiat hong pang sebetulnya tengah duduk
mengobrol didepan pintu gubuk yang baru mereka bangun
lagi, begitu mendengar suara ini bukan kepalang kejut
mereka. Waktu angkat kepala, tampak terpaut lima kaki disamping
mereka berdiri angker seorang pemuda berpakaian jubah
putih panjang seperti seragam pelajar umumnya, matanya
tajam beringas menatap kearah mereka.
Meskipun suara pemuda ini dingin dan mengejutkan tapi
wajahnya sedemikian halus dan ganteng, Demikian juga
ketajaman kedua matanya bersinar terang seperti kilat, tapi
tiada sorot kewibawaan yang menusuk hati sebagai orang
yang pernah belajar silat. Kedua arak buah Hiat-hong-pang she Tan dan she Ong itu
saling pandang sebentar, lantas tertawa gelak-gelak, sambil
tertawa orang she Ong menunjuk si pemuda pelajar katanya:
"Hahahaha, mengandal kau ini " Mengandal kau anak masih
berbau bawang?" Habis berkata mereka berkakakan lagi dengan temberang,
Pemuda pelajar ini bukan lain adalah Ma Giok liong yang baru
saja tiba dari Lembah putus nyawa, sikapnya tetap dingin
memandangi kedua antek Hiat-hong pang tertawa mengejek
sepuasnya. Tiba-tiba ia membuka suara lagi: "Sudah puas belum
tertawa kalian ?" Orang she Tan menyeringai ancamnya mendelik: "Keparat,
agaknya kau sudah bosan hidup berani datang kemari untuk
dibelejeti oleh tuan-tuanmu ini. Lekas tinggalkan uang sangu
dan seluruh perbekalan, biar tuan besarmu ini ampuni jiwa
kecilmu." Giok-liong menjengek dingin: "Ibu keluarga Ma sekarang
berada dimana ?" Orang she Ong yang berdiri disamping mendadak
menghentikan tawanya, hardiknya beringas: "Bocah keparat,
kaukah ini keturunan haram dari keluarga Ma itu?"
"Tuan mudamu ini berjalan tidak mengganti she, duduk
tidak berganti nama, memang akulah yang bernama Ma Giokliong!"
Orang she 0ng menggeram gemas, ujarnya: "Saudara Tan,
keiajaroan mataku ini agak boleh diandalkan Malam itu
memang aku berjaga dipinggir ngarai sebelah sana, sepintas
saja aku melihat bocah dungu ini. Hm, ternyata dia masih
hidup malah mengantar jiwanya kepada kita. Hahahaha bagus
benar nasib kita!" -Ialu sambil melangkah setindak matanya
mendelik dan berkata kepada Giok liong: "Bocah jangan harap
hari ini kau dapat pergi, menyerah saja biar kuringkus."
Giok liong menjengek dingin: "Tuan kecil mu ini tidak suka
main-main, maka kuanjurkan kalian sukalah tahu diri jawablah
setiap pertanyaan tuan kecilmu ini."
Tanpa merasa orang she Ong dan she Tan saling pandang
dan tertawa gelak-gelak lagi. Dalam pandangan mereka
pemuda seperti pelajar yang lemah ini, seumpama datang lagi
sepuluh orang juga tidak menjadi soal lagi bagi mereka
berdua. Belum lenyap suara gelak tawa mereka, orang she
Ong sudah membentak: "Bocah hayo masuk rumah."
Sambil membentak dimana terlihat tangannya menjambret
dan menarik pergelangan tangan Giok-liong tepat kena
dicengkeramnya, sedikit menggunakan tenaga untuk
menikung, seketika terdengar teriakan panjang yang
kesakitan, Tahu-tahu tubuh orang she-Ong yang tinggi besar
itu terpental tinggi seperti bola terus terbanting keras jatuh di
atas tanah sejauh beberapa tombak, tubuhnya berkelejetan
mulutnya mengerang kesakitan. Kejadian ini terjadi begitu mendadak sesaat orang she Tan
berdiri tertegun tiba-tiba tangannya membalik: "Siut..." Selar
ik sinar merah melesat membumbung tinggi keangkasa, di lain
saat dengan gerakan yang cekatan sebat sekali ia telah
menghunus golok yang tersoreng dipinggangnya.
Dengan jurus Tok-bi-hoa-san (membelah gunung Hoa )
goloknya terus membacok keatas batok kepala Giok-liong,
sedemikian besar nafsonya untuk membunuh musuh kecil ini
sehingga ia mengerahkan seluruh tenaganya sampai
sambaran goloknya berbunyi menderu. Tidak ketinggalan
mulutnya juga memaki kalang kabut: "Bocah keparat, berani
kau melukai orang . . . . " Belum lenyap suara makiannya, mendadak terdengar Giokliong
tertawa dlngin, jari tengah tangan kirinya diulurkan
menyelentik ke arah golok musuh, sedang tangan kiri ringan
sekali menampar. Terdengar pekik kesakitan yang tersendat,
hujan darah memenuhi udara dan bercecer kemana-mana.
"Plak" "Aduh . . , . " dimana terlihat tubuh orang she Tan jungkir
balik, tepat sekali tubuhnya jatuh menindih keatas tubuh
orang she Ong, celakanya ujung goloknya itu justru menusuk
tembus kedada kawan sendiri darah kontan menyemprot
keluar seperti sumber air jiwa keduanya berbareng
menghadap raja akhirat Giok-liong menyeringai dingin, gumamnya: "Bala bantuan
mereda segera akan datang, besar harapanku, Komandan
piket sek-te utara mereka juga tiba hari ini. Mungkin dari
mulut mereka aku bisa mendapat kabar tentang keadaan ibu
!" Lalu dengan langkah ringan perlahan lahan ia memasuki
gubuk yang baru dibangun, keadaan didalam gubuk morat
marit, berbau apek dan arak, kotornya luar biasa, Giok-liong
mendengus dongkol, dicarinya bahan api terus disulut lalu
dilemparkan kedalam gubuk, Tidak lama kemudian, asap
membumbung tinggi ketengah angkasa membuat burungburung
kaget ketakutan dan beterbangan kemana-mana,
kembang api juga beterbangan keempat penjuru.
Giok-liong berdiri membelakangi gubuk yang tengah
berkobar sambil menggendong tangan, sekarang baru ia
merasa keriangan hati setelah melaksanakan pembalasan.
Hawa hangat dan panas dari kobaran api bergelombang
menghembus kearah tubuhnya, membuat tekadnya menuntut
balas semakin besar, semakin mendesak. Bibit dendam
kesumat semakin bersemi dan berkobar wajahnya yang putih
halus semakin merah membara, tapi sikapnya dingin membesi
tanpa emosi. Mendadak dari bawah ngarai sana terdengar suara lirih dari
melambainya pakaian orang yang tengah berlari mendatangi.
Tanpa merasa Giok-liong mendengus ejek: "Yang
mengantar nyawa telah tiba puIa."
Memang tidak salah dugaannya, dari lamping ngarai
sebelah depan sana berbareng muncul tiga orang laki-laki
yang mengenakan seragam ketat warna hitam. Orang yang
berdiri ditengah berjenggot kambing dan bergodek panjang,
kedua matanya berkilat-kilat memandang kedua mayat orang
she Tan dan she Ong bergantian, lalu memandang ke arah
kobaran api yang tengah menelan gubuk baru itu. Perlahan
dengan tindakan mantap ia maju ketengah, setelah batuk
sekali lantas ia buka suara bertanya kepada Giok liong: "Tuan
ini kawan dari aliran mana ?" Dua Iaki-laki dikanan kirinya terus berendeng
dibelakangnya. Dilihat dari cara dandanan pakaiannya ini,
agaknya dia salah seorang Tocu yang berkedudukan di suatu
tempat. Giok-liong tetap berdiri dengan tegap, sikapnya angkuh dan
temberang sekali. Setelah sampai ditengah ngarai baru ketiga orang itu
menghentikan langkahnya, orang ditengah itu bertanya lagi
lebih keras: "Apakah nian ini dari aliran yang sama?"
Suasana yang tetap sunyi ini adalah jawabannya
Orang yang berdiri disebelah kanan, kini sudah tidak
sabaran lagi, jengeknya dingin: "Tocu tak perlu banyak bacot
lagi, biarlah hamba yang maju membekuk bocah kurang ajar
ini !" Orang yang dipanggil Tocu itu manggut-manggut,
dengusnya: "Kematian sudah di-depan mata masih berani
bertingkah." Sekali bergerak dengan sekali loncatan gaya harimau
menubruk, laki-laki sebelah kanan itu melesat sampai
dibelakang Giok-liong dimana tangan kanannya bergerak
langsung ia mencengkram kepundak kanan Giok liong.
"Brak." "Jatuh !" terdengar suara keras lalu disusul teriakan
panjang yang kesakitan, tahu-tahu badan laki-laki itu
terjungkal terbang menyemburkan hujan darah.
Dimana sebuah bayangan putih berkelebat, tahu-tahu Giokliong
sudah berdiri di-hadapan sang Tocu terpaut lima kaki,
wajahnya membeku dingin pandangannya mengancam,
tanyanya: "Kalian mengapakan ibu keluarga Ma disini, dan
dimana beliau sekarang !" Sang Tocu dan seorang bawahannya hanya merasakan
pandangannya kabur, tahu-tahu Giok-liong sudah berdiri
begitu dekat didepannya, karuan kejut hatinya bukan main,
setelah tercengang sebentar, baru mereka dapat bernapas
lega dan menenangkas semangatnya, bentaknya gusar:
"Buyung, benar-benar kau sudah bosan hidup, berani kau
mencari perkara dengan Hiat-hong-pang?"
"Aku bertanya dimana sekarang ibu keluarga Ma berada ?".
"Pergi kerumah gendaknya . . ." Bayangan putih berkelebat
,lantas terdengar pekik yang menyeramkan serta suara plakplok
bergantian yang nyaring, sebuah tubuh manusia lagi-lagi
terbang bergulingan tujuh delapan tombak terus rebah
celentang tidak bergerak lagi. Sementara itu sang Tocu tengah berlutut diatas tanah,
mulutnya penuh berlepotan darah, sorot matanya
mengandung minta ampun yang sangat memandang wajah si
pemuda yang berdiri gusar mendelik dihadapannya,
mohonnya gemetar: "Ampun Siauhiap, ham . . . hamba . . .
tidak tahu . . ." "Kalau kau ingin hidup, lekas katakan sebetulnya."
demikian ancam Giok-liong. Tocu itu benar-benar sudah ketakutan, sahutnya lirih:
"Hamm . . . hamba benar-benar tidak tahu, Hamba hanya
tahu bahwa pangcu sendiri pernah datang kemari, malah telah
dikeluarkar perintahnya untuk mencari jejak seorang pemuda
tanggung, raut muka serta asal usulnya sudah ditulis dan
digambar serta disebarkan ke berbagai cabang dimana-mana .
. ." Sampai disini mendadak ia berhenti, dengan terbelalak dan
ketakutan ia memandang wajah Giok-liong.
Giok liong menyeringai dingin: "Bagaimana" Apa yang kau
lihat " persis dengan gambar itu bukan " Hehehehe, Tuan
muda ini tak lain adalah Ma Giok-liong, akulah yang menjadi
dewa elmaut bagi Hiat-hong-paag kalian. Kalau kau tidak
bicara secara terus terang, kaupun jangan harap bisa kembali
dengan masih hidup!" Tocu ini terlongong memandangi wajah Giok-liong, sekian
lama kemudian baru ia membuka mulut lirih: "Ma-siau-hiap,
dulu Ma-nio-cu juga bersikap baik sekali terhadap hamba
terutama bodr terhadap beliau. Asal hamba tahu dimana
sekarang beliau berada, masa hamba berani merahasiakan. .
." baru dia bicara sampai disini, dari kejauhan ditengah hutan
sana, tiba-tiba melengking tinggi sebuah suitan panjang yang
memecah angkasa terus meluncur tiba dengan pesatnya.
Wajah yang berlepotan darah dari sang Tocu itu seketika
berubah pucat pasi dan mulutnya terdengar mengguman:
"Komandan Ang telah tiba, Komandan Ang telah tiba . . ."
Mendadak ia menyembah berulang-ulang kepada Giok-liong
serta memohon: "siauhiap ampun !"
Melihat tingkah tengik orang ini, Giok-liong menjadi geli
dalam hati, tanyanya menegas dengan nada berat: "siapakah
komandan Ang itu ?" Tocu itu menyahut gemetar: "Beliau adalah wakil
komandan piket sekte utara. Thi-bin-to hu Ang k-hwi . . . . . . .
Siau-hiap ampun . . ." Giok-liong mendengus hina, ujarnya: "Baik, kau pergi lah!"
Bergegas Tocu itu bangkit berdiri sambil membungkukbungkuk
dan berkata: "Terima kasih akan budi pengampunan
Siau-hiap" habis berkata terus berlari terbuit-birit kebawah
ngarai. Mendadak alis Giok-Iiong tegak berdiri, bentaknya: "tunggu
sebentar!" Tocu itu mengiakan dan segera menghentikan
langkahnya,siapakah komandan piket sekte utara kalian ?"
"Thian~siu-su-cia le Pong !"
"Baik, kau boleh pergi !"
Sambil menyatakan terima kasih, kedua kaki Tocu menjejak
tanah terus berlari pesat seperti anak panah melesat kebawah
ngarai. Sekonyong-konyong, "Hehehehe ..,." serangkaian suara
tawa yang panjang terdengar dari pinggir ngarai sana, Sang
Tocu yang baru saja berlari sampai dipinggir ngarai segera
menghentikan langkahnya, teriaknya ketakutan: "Wakil
komandan piket ..." "Hehene. . . " "Prak" suara tawa dingin itu melayang tiba,
serangan angin lalu disusul jeritan yang mengerikan. Badan
sang Tocu kelihatan melayang tinggi jungkir balik ditengah
udara terus terbanting mampus, dari tujuh lobang indranya
mengalirkan darah segar.

Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hehehe. . . kurcaci macam ini yang berlutut minta ampun.
Heheheh . . ." diiringi suara dingin seperti tawa setan
gentayangan yang menggiriskan ini, seperti bayangan setan
saja dari pinggir ngarai didepan sana muncul sebuah
bayangan besar, "Hehehehe, buyung, perhitungan ini harus
segera dilunasi Hehehehe . . . "
Waktu Giok-liong memandang lebih tegas, tanpa merasa
hatinya terperanjat. Tampak dipinggir bawah ngarai sana
perlahan-lahan muncul sebuah bayangan manusia yang tinggi
besar seiring dengan tawa dinginnya itu, ia melayang seringan
daun seperti setan layaknya, Selayang pandang dari gerak geriknya saja lantas dapat
dipastikan bahwa ilmu silat serta Lwekang orang ini pasti
sudah mencapai kesempurnaan Iatihannya.
Jarak mereka sekarang semakin dekat, Thi-bin to-hu
(sijahat bermuka besi) Ang It hwi ternyata berwajah warna
kehijau-hijauan, beringas mengandung hawa membunuh yang
tebal, kedua biji matanya melotot besar seperti keliningan
berkilat-kilat memandang wajah Giok-liong dengan tajam,
tanyanya dingin : "Buyung, kau ini yang bernama Ma Giokliong
?" dimulut ia bertanya, namun dalam hati jaga
membatin: "Bocah ini terang adalah bocah yang diperintahkan
harus ditangkap oleh Pangcu, Tapi mengapa Pangcu tidak
mengatakan bahwa ilmu silatnya sangat lihai. Dilibat sikap
pemuda ini, kedua matanya bersinar, bernapas enteng berdiri
tegap tanpa bergerak, terang kalau dia membekal Lwekang
yang tinggi, mungkin sudah mencapai taraf yang paling
sempurna hanya tersembunyi . . . "
Sedikit menggerakkan kepala, Giok-Iiong menyahut dingin:
"Aku yang rendah memang Ma Giok-liong adanya, Tuan ini
tentu Ang It-hwi si jagal bermuka besi bukan ?"
"Hehehehe. . . di surga ada jalan kau tak mau kesana,
sebaliknya di akhirat tertutup jalan kau menerjaug datang,
Buyung serahkan saja jiwamu. Hehehe . . ." sambil tertawa
dingin, kakinya melangkah maju dengan tenang dan mantap.
Giok-liong ganda menyeringai ejek, tanyanya: "Ang It-hwi,
bagaimana keadaan ibu keluarga Ma ?"
Si jagal bermuka besi tertawa iblis, jengeknya: "Buyung
nyawamu sendiri belum tentu selamat, masih banyak tingkah
mengurusi persoalan lain ?" Berbareng dengan habis ucapannya, tiba-tiba tubuhnya
melejit maju, dimana kedua tangannya bergerak secepat kilat
ia melayang tiba, bayangan kedua gerak tangannya memenuhi
seluruh tubuh Giok-liong, Tahu-tahu lima jalan darah
terpenting didada Giok-liong sudah terancam bahaya.
Giok liong mendengus hina, tiba-tiba tangan kirinya diayun
bergerak setengah lingkaran ditengah udara, terus bergerak
laksana kilat menutuk kejalan darah Thian-king hiat kedua
sikut tangan si jagal manusia bermuka besi. Bersama itu
tangan kanan juga tidak ketinggalan sedikit diangkat lurus
kedepan bergerak pulang pergi menekan kedada lawan.
Baru saja Aag Il-hwi lancarkan pukulannya mendadak ia
rasakan dua jalur angin kencang langsung menerjang kearaft
jalan darah Thian king-hiat dikedua sikutnya, betapa kejut
hatinya, cepat-cepat pinggangnya sedikit ditekuk berbareng
kedua tangannya dipentang berbareng kesamping terik
melompat mundur dengan sigap sekali.
Dalam saat genting secara kilat itulah, sebuah tangan yangputih,
laksana bayangan-setan saja tahu-tahu tanpa bersuara
telah menyelonong kedepan dadanya, bergerak-gerak seperti
melayang menekan dengan sebuah tusukan kearah jalan
darah Thian ti di-dadanya. Saking kejutnya si jagal bermuka besi cepat-cepat
menyedot hawa menekuk dadanya, berbareng kakinya
bergerak menggeser kedudukan terus melesat kesamping,
dimana kedua kakinya menjejak sekuat tenaga kontan
tubuhnya mumbul menerjang keatas. Segera terdengar dua kali teriakan keras disusul suara
"blang" yang keras, lantas dua bayangan orang terpental
berpisah. Wajah si jagal bermuka besi kelihatan hijau membesi
badannya terpental setombak lebih kedua lengannya bergerak
berbareng sebat sekali, ia tanggalkan jubah hitamnya, kini
kelihatan pakaian dalamnya yang ketat juga perlente,
bentaknya geram: "Bocah serahkan nyawamu!"
Membarengi dengan bentakannya, secepat kilat ia
merangsang kearah Giok-liong sambil lancarkan pukulannya
dimana kedua tangan oleh bayangan tangan pukulannya yang mengandung
tenaga luar biasa sampai angin menderu-deru bagai badai
yang langsung menerpa ketubuh Giok-liong.
Giok-liong tertawa dingin, jengeknya: "Mutiara sebesar
beras juga berani memancarkan sinar."
Sambil menjengek itu tubuhnya sedikit-sedikit berputar,
tubuhnya malah melesat menerjang masuk kedalam
lingkungan angin badai yang membumbung tinggi keangkasa,
Diantara bayangan, kepalan tangan dia bergerak sedemikian
lincah sambil lancarkan juga pukulannya yang tidak kalah
hebatnya, secara dekat ia tandangi adu kepalan dengan si
jagal bermuka besi dengan cepat lawan cepat.
Seketika terlihatlah bayangan berkelebatan angin pukulan
bagai badai dan lebih dahsyat lagi dari tadi, tidak lama
kemudian bayangan mereka sudah terbungkus tak kelihatan.
Kira-kira dua puluh jurus kemudian, tiba-tiba terdengar
Giok-liong menghardik rendah: "Lihat pukulan!" dari kedua biji
matanya tiba-tiba mencorong sinar dingin setajam kilat,
demikian juga tiba-tiba gerak geriknya menjadi lamban, tapi
tangan kiri sebaliknya bergerak secepat kilat membuat
lingkaran ditengah udara terus ditepukkan kedepan.
Ditengah udara seketika mengembang gumpalan awan
putih yang bergulung-gulung dengan mengeluarkan suara
yang menggelegar, langsung menerjang kearah Ang It-hwi.
Bertepatan dengan itu tangan kanan Giok-liong juga ikut
melambat keatas ringan sekali menekan kedada musuh.
Si jagal bermuka besi Ang It-hwi sebenarnya adalah salah
satu iblis besar dikalangan Kangouw, kepandaian serta
pengalamannya sudah tentu sangat tinggi dan luas sekali,
Tapi begitu berhadapan dengan Giok-liong ia lantas
menambah kewaspadaan Setelah saling gebrak lantas ia
merasa gerak gerik Giok-liong sangat ringan dan cekatan
sekali, cara turun tangannya juga sangat ganas dan telengas,
seolah-olah dirinya sulit dapat melawan. Maka setelah sepuluh
jurus kemudian, segera ia kerahkan seluruh hawa murninya
sampai sepuluh bagian, dengan dilandasi kekuatan yang hebat
ini ia lancarkan ilmu pukulan To chiu-cap-sek (sepuluh jurus
Jagal tangan), ilmu yang jarang sekali dikeluarkan.
Siapa nyana baru saja pukulan To-chiu-cap-cek dilancarkan
gerakan lawan tiba tiba menjadi lamban, seakan-akan
kehabisan tenaga, Keruan hatinya girang, dengan gerak-gerik
jurus Hiat-kong-beng-sian (sinar darah mendadak memancar)
buru-buru tangan kirinya bergerak. Mendadak dilihatnya air muka Giok-iiong diliputi hawa
agung yang murni, belum lagi rasa herannya hilang,
mendadak angin badai disertai gelombang awan putih yang
menggulung. Begitu melihat macam pukulan yang dahsyat ini seketika
hatinya bercekat sambil berseru ketakutan sampai suaranya
tersendat lirih: "Sam-ji-cui-chiu!"
D Bentrok Rimba Persilatan 2 Bentrok Rimba Persilatan 1
^