Seruling Samber Nyawa 9
Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Bagian 9
berkelit, mengambil imsiatif balas menyerang, berganti jurus melompat menerjang dilakukan
dalam satu gerakan serempak sehingga menambah semangat
dan melihat gandakan daya kekuatan serangannya.
BegituIah terjadi pertempuran sengit tanpa juntrungan,
empat kepalan tangan menari pesat dan lincah sekali di
tengah udara, tipu lawan, tendangan lawan kegesitan, bukan
saja mereka harus cekatan menjaga diri juga harus pandai
melihat gelagat, mengincar lubang kelemahan pihak musuh
untuk melancarkan serangan total berusaha menang.
Saking seru dan sengit pertempuran ini masing masing
pihak sudah kerahkan seluruh kekuatannya sehingga angin
menderu, suasana gegap gempita ini merobohkan pohonpohon
sekitar gelanggang sehingga menambah pertempuran
ini semakin gaduh. Sinar matahari begitu cemerlang menyinari pertempuran
yang aneh dan menjadikan pemandangan mata yang
menakjubkan sekali pertempuran bagi tokoh kosen, setiap
jurus setiap gerak langkahnya harus dilakukan hati-hati dan
secepat kilat, sebentar saja tahu-tahu pertempuran ini sudah
berlangsung seratus jurus lebih. Setelah sekian lama bertempur tanpa dapat merobohkan
lawan, Giok-liong menjadi semakin gelisah, sekilas berkelebat
pikirannya, sinar matanya terpancar semakin tajam, timbul
hawa membunuh. Mendadak ia menggembor keras, suaranya mendengung
menembus angkasa. Belum hilang gema suara gemborannya
tiba tiba ia menghardik lagi : "Awas, sambut ini !"
Kontan terdengar seruan tertahan, bayangan kuning
terpental mundur sejauh lima tombak badan masih terhuyung
lagi tiga langkah terus jatuh terduduk, untung belakangnya
terdapat sebuah pohon besar yang menahan badannya,
sehingga ia tidak jatuh ternauar. Mulut laki-laki kekar ita mengalirkan darah, sinar matanya
menjadi redup, wajahnya yang kaatng seperti berpenyakitan
itu kini berubah pucat pasi, nafasnya memburu kencang,
sebelah tangannya menekan dada, terputus-putus ia berkata
menuding Giok-liong: "Baik . . . aku , . . mengaku . , . tapi . , ,
kau . . . hidung belang , . tak tahu malu , . . ba . , , bagai . . ,
mana . . . terhadap . . . Wahaaahh !" ia berkata terlalu
dipaksakan sekaligus ia menyeburkan dua gumpal darah
segar. Melihat luka orang yang rada berat, Giok-liong menjadi
tidak tega, batinnya: "Aku tiada bermusuhan atau dendam
sakit hati terhadap dia, untuk apa aku turun tangan terlalu
berat !" maka segera ia maju beberapa langkah terus
berjongkok, katanya rendah: "selamanya aku belum pernah
kenal dengan tuan, namun kau begitu bernafsu menyerang
dengan jurus mematikan sehingga aku kelepasan tangan
melukai tuan !" "Crot !" lakf-laki kekar itu meludahi muka Giok liong dengan
riak tercampur darah, "Kau ! Cari mampus !" Giok liong
berjingkrak gusar, sebat sekali tangannya diulur, dua jari
tangannya dengan tepat menutuk dijalan darah Hiat hay di
dada orang. Desisnya mengancam : "Kau tidak dapat
membedakan salah dan benar, jangan salahkan aku tidak
mengenal kasihan." "Kalau kau berani, cobalah bunuh aku!"
"Hm, kau kira aku tidak berani ?".
"Keparat kau memang telengas kejam, rendah dan hina
lagi, perbuatan apa yang tidak pernah kau lakukan."
"Sekaii lagi tuan mengudal mulut semena-mena, asal aku
mengerahkan sedikit tenaga, cukup membuat kau mampus
tanpa liang kubur . . ." Tiba-tiba sebuah hardikan nyaring menembus angkasa,
sebuah bayangan putih meluncur datang dari tengah udara,
Siuuur, sejalur kain sutra panjang mendesis keras tahu-tahu
sudah menggubat dileher Giok-liong, sedikitpun Giok liong
tidak menduga dirinya bakal dibokong dari belakang, begitu
mendengar angin mendesis dan tahu gelagat yang
membahayakan untuk berkelit sudah tidak sampai lagi.
Tahu-tahu ia merasa napasnya menjadi sesak lehernya
terikat kencang, sedapat mungkin ia meronta berusaha
melepaskan diri, tapi gerak gerik pendatang baru ini betulbetul
cepat luar biasa, begitu serangannya berhasil tanpa ayal
tangannya lantas menarik dan menyendal dengan keras.
Karena leher digubat selendang satra, Gi-ok-liong sulit
mengerahkan Lwekangnya, kontan tubuhnya kena digentak
mumbul ketengah udara, melayang seperti layang layang
putus benang setinggi tiga tombak terus terbanting keras di
tanah. Karena tiada kesempatan untuk mengerahkan hawa murni
melindungi badan, seketika ia terbanting celentang dengan
kaki tangan menghadap kelangit. Keruan sakitnya bukan buatan, sampai mata berkunangkunang
kepala pusing tujuh keliling. Bantingan keras ini betul-betul merupakan suatu pukulan
keras bagi Giok-liong selama kelana di Kangouw, betapa dia
takkan berjingkrak gusar seperti kebakaran jenggot.
Begitu tubuhnya menyentuh tanah, hawa murni segera di
empos, dengan mengerahkan seluruh kekuatannya ia
mencelat setinggi tiga tombak, badannya terus meluncur tiba
sambil menggerakkan kedua telapak tangannya.
Saking susar dan gemas maka luncuran serta serangannya
ini betul-betui hebat sekali, seolah-olah ingin rasanya sekali
pukul hancur leburkan lawan menjadi bergedel.
Begitulah dengan nafsu membunuh yang bergelora di
badannya Giok-liong meluncur turun laksana air bah
dicurahkan dari tengah udara, tapi tiba-tiba ia berseru kejut.
Lekas lekas ia menarik serangannya dan punahkan tenaga
kekuatan pukulannya, badan juga lantas berhenti meluncur
dan hinggap ditengah jalan, Begitu berdiri tegak dengan
kesima ia berdiri mendelong, berutang kali ia kucek-kucek
matanya menatap pendatang baru ini, air mukanya kaku
tanpa perasaan ia berdiri terlongong seperti patung.
"Bocah keparat, apa yang kau lihat !"
Giok-liong tetap kesima berdiri ditempatnya, Sebab
perempuan pertengahan umur yang membawa selendang
sutra sepanjang dua tombak itu betul betul persis seseorang,
seorang yang selalu dirindukan oleh Giok-liong.
"Persis benar, seperti pinang dibelah dua !" dalam hari
Giok-liong membatin : "Selain usianya yang berbeda, boleh
dikata orang ini seperti duplikat adik Sia, mungkinkah didunia
ini terdapat orang yang begitu mirip satu sama lain ! "
Sementara itu, perempuan pertengahan umur itu sudah
menggulung selendangnya terus menghampiri kesamping lakilaki
kekar, suaranya lembut penuh kekwatiran : "Bagaimana
luka-Iukamu . . ." Wajah laki-laki kekar mengunjuk penasaran dan gusar,
sahutnya dengan kepedihan: "jangan kau hiraukan aku !
carilah dia ...." sampai disini ia sudah tak kuat meneruskan
sambil menunjuk Giok liong yang masih berdiri terlongong itu
ia berkata lagi tergagap: "Ringkus dia . . . tuntut
pertanggungan jawabnya !" Perempuan pertengahan umur menjadi terharu dan
mengembeng air mata, Tar ...tiba-tiba ia mengayun selendang
sutra ditangani nya seperti pecut, terus menerjang maju
kehadapan Giok liong, bentaknya sengit: "Bocah keparat,
kembalikan anak putriku!" Saat mana Giok-liong, tengah berdiri kesima, seketika ia
menjadi tertegun mendengar seruan orang mundur selangkah
ia bertanya: "Putrimu! Dari mana asal pertanyaanmu ini,
selamanya kiia belum pernah bertemu muka. apa kau sudah
gila!" "Apa, jadi kau hendak mungkir!"
"Bukan aku ingin mungkir, adalah menista orang semenamena!"
"Kau melepas api membakar rumah, pura-pura mau
sembunyi tangan, lihat serangan."
Selendang sutranya berputar ditengah udara melingkar
seperti-ular hidup terus menukik turun menindih ke atas
kepala Giok-liong, perbawa serangan ini cukup lihay dan
hebat. Kalau Giok-liong tidak mau melawan, terpaksa ia harus
melompat mundur baru bisa menghindar dari ancaman
berbahaya ini, Tapi pelajaran yang dialami tadi membuat ia
harus berpikir dua belas kali, berulang kali ia sudah berusaha
mengalah dan main mundur, akhirnya dirinya malah
kehilangan kontrol dan kepepet semakin payah, kehilangan
inisiatif menyerang setiap tindak, setiap langkahnya selalu
menghadapi mara bahaya melulu. Maka untuk kali ini terpaksa ia tidak sudi main mengalah
atau mundur lagi, jurus Cin chiu pelan-pelan dilancarkan untuk
memunahkan serangan musuh mengurangi tekanan dahsyat.
bentaknya keras: "Nama atau shemu saja aku tidak tahu
darimana . .." "Tidak tahu sudah tentu akan kubuat tahu!"
Perempuan pertengahan umur ini menyerang dengan
penuh nafsu, seiring dengan makiannya, selendang sutra
dilarikan semakin kencang sebegitu lincah dan cepat sekali
seumpama hujan angin juga sudah menembusnya.
Begitu besar tenaga yang terkerahkan di atas senjata
panjangnya ini sampai angin menderu menyapu debu dan
rumput disekitar geIanggang. Tatkala itu sudah menjelang tengah hari, bayangan
selendang berlapis-lapis melayang ditengah udara
memancarkan sinar sutra yang berkiiau menyilaukan mata.
Apalagi pakaian panjang yang dikenakan perempuan
pertengahan juga warna putih dari sutra lagi.
Demikian juga jubah panjang Giok-liong berwarna putih
bersih pula, Maka terlihatlah dua bayangan putih saling
berloncatan dengan diselubungi seleadang sutra yang selulup
timbul diantara mega putih laksana naga mengamuk.
Sebetulnya kalau Giok-liong mau melancarkan kepandaian
simpanannya, selendang sutra lawan sejak tadi sudah berhasil
dapat dihantam hancur berkeping-keping, paling tidak musuh
juga sudah terluka parah, Andaikata tidak bagian Lwekangnya
saja yang terkerahkan kiranya cukup dapat mengambil
kemenangan tanpa menghadapi rintangan yang berarti !
Tapi Giok-liong tidak mau berbuat demikian, karena apakah
" Tak lain karena wajah perempuan pertengahan umur persis
benar dengan istri tercinta yang tengah mengharap dirinya
pulang ke Hwi-hun san-cheng. Betapapun ia tidak tega turun
tangan untuk menurunkan tangan kejam.
Pertempuran silat tingkat tinggi memerlukan kosentrasi
yang berlipat ganda, bagaimanapun sekali pikirannya
bercabang, bukan saja tidak dapat mengambil kemenangan
malah mungkin sedikit saja saja lantas mengunjuk setitik
lubang kelemahan ini cukup kesempatan bagi musuh untuk
melancarkan serangan mematikan. Demikianlah keadaan pertempuran saat itu, sekejap mata
lima enam puluh jurus sudah berlalu. Diatas dataran lamping
gunung ini, selendang sutra putih sepanjang dua tombak telah
ditarikan demikian rupa oleh perempuan pertengahan umur
sehingga angin menderu laksasa angin lesus, laksana hujan
badai seperti pula gelombang ombak samudra, semakin lama
ternyata semakin cepat dan semangat, sebaliknya keadaan
Giok liong semakin terdesak dan terkekang didalam
lingkungan angin menderu, keadaannya sudah semakin payah
dan terdesak dibawab angin, terang tidak lama lagi dirinya
pasti dapat dikalahkan. Sekonyong-konyong terdengar bentakan nyaring merdu:
"Roboh!" bayangan putih berkelebat sejalur serangan dahsyat
bagai layung menerjang tiba "Celaka !" dalam kesibukannya, lekas-lekas Giok-liong
gunakan tipu Jiang-liong-jip-hun (ular naga menyusup ke
dalam awan) sekuat tenaga kakinya menjejak tanah, seketika
tubuhnya mencelat tinggi melambung ke tengah udara
setinggi lima tombak. "Blang." ledakan dahsyat seperti gugur gunung
menggetarkan bumi pegunungan. Ternyata selendang sutra
yang lemas itu telah melilit sebuah pohon besar terus digulung
tinggi tercabut keakar-akarnya terbang meninggi ketengah
udara. "Krak". "Byar!" daun dan debu beterbangan sejauh tujuh delapan
tombak. Bayangkan betapa dahsyat perbawa keku atan selendang
sutra ini, seumpama orang yang kena dililit dan dibanting pasti
badannya hancur lebiir menjadi perkedel, masa bisa hidup
lagi. Begitu jurus serangan ampuhnya melilit roboh sebuah
pohon, bukan saja rasa amarah perempuan pertengahan
belum reda malah semakin berkobar seperti api disiram
minyak, Kelihatan rasa gemas dan dongkolnya semakin
mendalam, sekali lagi ia ayun dan tarikan selendang
senjatanya itu, seraya melompat menubruk.
Udara serasa menjadi gelap kerena tertutup oleh putaran
selendang yang melebar dan mendesis kencang itu, laksana
mega mendung menjelang hujan lebat dengan angin badai
menerpa dahsyat. Belum lagi badan Giok-liong menyentuh tanah, selendang
sutra yang lemas itu sudah memecut tiba lagi. Bercekat hati
Giok-liong, hatinya rada gentar menghadapi senjata lemas
musuh yang hebat tadi, cepat-cepat ia gunakan gaya Hoan-inhu
hu. untuk kedua kalinya badannya melenting tinggi, dalam
seribu kerepotannya, tangannya meraih sebatang dahan
pohon dengan meninjam daya pantulan dahan pohon ini
badannya terus terayun lima tombak lebih jauhnya.
Waktu badannya meluncur turun dan hinggap ditanah
kebetulan tiba disamping laki laki kekar yang tengah duduk
semadi mengerahkan tenaga istirahat, sebetulnya bagi Giokliong
tiada maksud tertentu. Tapi lain bagi penerimaan perempuan pertengahan umur
itu, bentaknya nyaring penuh kekuatiran: "Bocah keparat,
berani kau!" Ternyata ia mengira Giok-liong hendak mengambil
keuntungan ini menyerang orang yang sudah terluka tak
mampu bergerak itu. Seiring dengan bentakannya, selendang
putih panjang itu telah disapukan datang dengan kencang
laksana sebatang tongkat besi dengan jurus Heng cio-jian-kun
dengan kencang menyerampang tiba.
Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kembali amarah Giok liong semakin berkobar beruntun ia
sudah mengalah malah jiwa sendiri hampir melayang karena
musuh mendapat kemurahan hatinya, kini saking marah
timbul nafsu membunuh dalam benaknya.
Tanpa berkelit atau menyingkir lagi ia kerahkan hawa Ji-lo
melindungi badan, seketika mega putih bergulung mengitari
dan menyelubungi badannya, ditengah mega putih yang
bergulung gulung itu telapak kanannya tiba-tiba menyampok
maju menangkis selendang musuh yang lempang seperti
tongkat besi itu, bersama itu selicin belut segesit kera
melompat tahu-tahu ia bergerak lincah sekali melesat
kehadapan perempuan pertengahan umur.
Telapak tangan kiri pelan-pelan menyelonong maju
menekan kejalan darah Tiong-ting perempuan pertengahan
umur. Perempuan pertengahan umur terkejut bukan main, lekaslekas
ia menarik balik selendang putihnya.
"Waa..." Aduh" - "Hm!" tiga macam jerit dan seruan yang
berlainan berbunyi bersama, bayangan orang lantas berpencar
kedua jurusan. Sebetulnya telapak tangan kiri Giok-liong sudah tepat
menekan kejalan darah Tiong-ting, tapi mendadak ia teringat
bahwa musuh adalah kaum hawa, tak mungkin dirinya berlaku
begitu kurang adat, maka ditengah jalan ia rubah sasarannya
berganti menepuk pundaknya, ternyata dengan telak
serangannya telah mengenai sasarannya.
JIlid 15 Sekarang Giok-liong tidak main sungkan lagi, kedua
tangannya tampak bergetar terpentang, Sam-jicui-hun chiu
mulai dilancarkan. Kelihatan mega putih berkembang hawa Jilo
menyelubung tubuhnya, sebuah telapak tangan putih halus
bergerak lincah berubah laksana ribuan bayangan tangan,
dengan ketat ia lindungi pemuda baju biru, sekaligus ia
lancarkan delapan belas pukulan dan tendangan menyerang
para gadis baju kuning anak buah Ui-hoa-kiau itu.
Perbawa ilmu sakti memang bukan olah-olah hebatnya,
dimana angin badai melandai bayangan kuning lantas
tergulung berpencaran keempat penjuru sambil berteriak
kesakitan, Untung Giok-liong tidak bermaksud mengambil jiwa
mereka, kalau tidak tentu mereka sudah mampus.
Keruan Ui-hoa-kiaucu Kim Ing berjingkrak gusar melihat
anak buahnya dihajar bulan bulanan segera ia menubruk maju
dengan sengit, bentaknya: "Besar nyalimu !"
Bayangan putih dan kuning kini saling berkutet lagi,
masing-masing lancarkan serangan yang lebih ganas dan
lihay, sampai detik itu belum kelihatan siapa bakal menang
dan asor. Sambil menghadapi serangan musuhnya yang sudah sengit
ini, Giok-liong masih berkesempatan berteriak: "Hoa Sip-i !
Kesempatan yang baik ini kau masih tidak mau pergi, kapan
baru kau hendak menyingkir!" Napas Hoa Sip i masih ngos-ngosan, sahutnya lemah: "Aku
betul-betuI sudah tidak bertenasa, Tuan penolong dendam
penasaran kau balas dengan budi pekerti. baiklah aku terima
dengan tulus hati ! Adik Yau sudah mangkat, aku juga tidak
ingin hidup lagi!" Giok-liong merasa toleran akan keadaan orang yang hampir
sama dengan riwayat dirinya maka tanpa banyak pikir lagi ia
berteriak: "Cobalah kau semadi sebentar mengumpulkan
tenaga ! Selama gunung masih tetap menghijau, jangan
kwatir takkan memperoleh kayu bakar."
"Hahaha !" terdengar Ui hoa-kiaucu Kim Ing mengejek:
"jiwamu sendiri susah terlindung masih coba perhatikan
keselamatan orang lain." Tiba-tiba bayangan kuning bergerak melebar, kiranya
sepasang lengan baju Ui-hoa-kiaucu yang besar gondrong itu
ditarikan sedemikian cepat dan lincah main kebas, menyapu,
menusuk dan menghantam. Semua yang diarah adalah
tempat-tempat penting ditubuh Giok-liong dengan berbagai
ragam tipu silat. Sementara itu, menurut anjuran Giok liong, Pemuda baju
biru Hoa Sip i tengah duduk bersila menghimpun tenaga dan
semangat. Kira-kira setengah peminuman teh telah berlalu.
Sebuah bayangan biru besar laksana seekor burung besar
tengah meluncur tiba dari puncak atas sana, jubah mantelnya
yang besar melayang-layang seperti sayap yang besar belum
lagi orangnya sampai ia sudah berteriak memanggil "Sip i. Sip
i !" Terbangun semangat pemuda baju biru Hoa Sip i, teriaknya
pula dengan suara parau: "Suhu! Suhu!"
Mendengar suara panggilan pertama tadi, Ui-hoa-kiaucu
Kim Ing lantas mengebaskan kedua lengan bajunya membuat
Giok-liong mundur berkelit kesempatan ini digunakan untuk
melompat mundur keluar gelanggang sejauh setombak lebih.
Giok-Iiong juga lantas menghentikan aksinya. Matanya
terbuka lebar, kini dihadapannya sudah bertambah seorang
laki-laki tua yang bercambang bauk lebar bermata juling
seperti mata garuda, hidungnya bengkok seperti betet,
kupingnya kecil terbalik keatas-sepasang matanya berkilat dan
berjelilatan dengan kasar, selayang pandang saja lantas dapat
diketahui bukan seorang baik-baik. Begitu tiba ia menghampiri kearah pemuda baju biru Hoa
Sip-i. bentaknya dengan uring-uringan: "Aku sudah duga tentu
kau terpincut lagi oleh perempuan siluman dari Ui hoa-kiau
itu! Siapa yang membuatmu begitu rupa!"
Sikap bicaranya sangat garang dan angkuh sekali,
hakekatnya ia tidak pandang sebelah mata para hadirin,
sungguh sombong. Ui-hoa kiaucu Kim Ing menarik muka cemberut, hardiknya:
"Lo Siang-san, hati-hatilah kau bicara, Apakah Ui hoa-kiau kita
tidak sembabat dibanding Thian-mo hwe kalian. Sekali buka
mulut lantas siluman tutup mulut siluman lagi ! apa yang kau
andalkan!" Thian-mo-hwe" Lagi-lagi hati Giok-liong bertambah bingung
dan khawatir. Thianmo-hwe adalah sebuah kumpulan orang jahat dari
golongan hitam pada lima puluh tahun yang lalu, anggotanya
tidak banyak, namun setiap generasi mereka pasti dapat
menampilkan seorang-seorang berbakat yang benar-benar
hebat kepandaiannya. Mereka merupakan salah satu kumpulan golongan jahat
yang paling kejam dan telengas, tidak gampang dan
sembarangan waktu mengunjukkan diri di kalangan Kangouw.
Liang ing-mo-ko (iblis Elang) Le Siang-san ini adalah salah
satu gembong iblis yang kenamaan pada jaman itu manusia
yang sulit didekati dan diajak berkompromi.
Terdengar Le Siang san tertawa sinis, ujarnya penuh sindir:
"O, Kim Ing-kaucu berada disini, Maaf aku sudah tua mataku
kabur, wah benar-henar aku berlaku kurang hormat!" sampai
disini mendadak ia menarik muka, air mukanya berubah
membesi, sepasang mata julingnya memancarkan cahaya
dingin, bentaknya gusar sambil menunjuk Hoa Sip-i: "jadi kau
yang membuat anak ini begitu rupa ?"
Kim Ing juga tidak mau kalah galak, sahutnya sambil
manggut-manggut: "Tidak salah! Toan hun-siok bing im-yangci
cu-kuo untuk memberi sekedar hajaran padanya, Memang
aku sengaja mengajar adat muridmu yang nakal ini!"
"Apa kau lupa menggebuk anjing juga harus pandang muka
majikannya?" "Dia sudah berani melanggar pantangan dan undangundang
agamaku tahu." "Pantangan apa?" "Memincut anak muridku, mencuri seruling samber nyawa
lagi." "SeruIing samber nyawa ?"
Le Siang-san menjadi kesima, tidak menggerecoki kenapa
anak muridnya diajar adat tadi, kini malah ia bersitegang
leher, tanyanya: "Apakah betul omonganmu ?"
"Coba kau tanyakan kepada murid atasmu itu !"
"Sip i, mana seruling samber nyawa itu?"
"Berada ditangannya !" sahut pemuda baju biru Hoa Sip-i
sambil menunjuk Giok-liong. Bayangan biru berkelebat dengan menggembor keras Le
Siang-san menubruk kearah Giok-liong sambil mencengkeram
dengan ilmu cakar garuda, sedetik mereka saling adu
kekuatan mendadak bayangan mereka terpental mundur.
Terdengar Giok-liong berseru dengan nada berat: "Kenapa
kau menyerang dengan ganas, Sungguh tidak punya aturan."
Le Siang-san terloroh-loroh suaranya seperti kokok beluk,
penuh kepalsuan: "Serahkan seruling samber nyawa itu, nanti
kuampuni jiwamu!" Mukanya penuh nafsu membunuh, matanya semakin jalang
seperti binatang kelaparan membuat orang yang melihat
merasa giris dan ketakutan pelan-pelan ia angkat kedua
lengannya keatas kepala dengan gerakkan kaku seperti mayat
hidup, kakinya berjengkit keatas. Ui hoa kiaucu Kim Ing mandah tertawa tawar, ujarnya: "Le
Siang-san ! Jangau kau anggap gampang. Kali ini kau akan
ketemu batumu, awas kau jangan terjungkal."
Le Siang-san mengekeh seram suaranya seperti pekik
keras: "He, Le Siang-san tidak pandang sebelah mata bocah
ingusan masih berbau bawang ini."
Giok-liong menjadi gusar, air mukanya semakin gelap,
geramnya rendah: "Kukira sikapmu akan berlainan kalau kau
berhadapan dengan Kim-pit-jan-hun !"
"Jadi kau inilah Kim-pit-jan-hun Ma Giok-liong?" agaknya
hal ini benar-benar diluar dugaan Le Siang san.
"Benar, itulah aku yan rendah adanya!"
Mata Le Siang-san berkedip-kedip, dari kepala ia
mengamati sampai kaki, mendadak ia melepas gelak tawa
terpingkal-pingkal, serunya: "Ketemu muka lebih nyata dari
mendengar. Kukira kau seorang laki laki yang punya tiga
kepala dan enam tangan. Tak kira hanya seorang pemuda
yang masih hijau berbau popok, sungguh menggelikan."
"Bedebah, jangan sombong kau!" membawa deru angin
kencang Giok-liong menerjang musuh dengan gusar.
"Baik! Le-ya akan mengukur sampai dimana kelihayan Sam
ji cui-hun-chiu! Tobat!" Sekali gebrak saja cukup membuat Le Siang san
berjingkrak mundur dengan penuh keheranan sungguh mimpi
juga ia tidak menduga bahwa pemuda baju putih didepannya
ini begitu mahir melancarkan Cui-hun-chiu yang sedemikian
sempurna. Apalagi Lwekangnya juga sudah mencapai begitu
tinggi. Betul-betul membuat orang sulit percaya, sedikit ayal
hampir saja jiwanya kena dikorbankan.
Disebelah sana terdengar Ui hoa kiaucu Kim Ing menjengek
hina: "Bagaimana Le Siang-san?"
Muka Le Siang san kelihatan pucat bersemu ungu, dari
malu ia menjadi gusar, gerungnya dengan marah-marah:
"Payah, payah! puluhan tahun ketenaran nama Le-yam kena
dirobohkan oleh bocah ingusan yang berbau bawang ini, Tapi
gebrak kali ini belum masuk hitungan, coba kau juga sambut
ilmu pukulanku ini!" Mendadak ia ia pentang kesepuluh jarinya, giginya berkerut
dengan gemas. sepuluh jalur kilat laksana duri landak
mendadak menembus udara mendesing mendesis kearah
Giok-liong. "Le Sian-san!" teriak Ui-hoa-kiaucu Kim Ing: "akhirnya toh
kau keluarkan ilmu simpanan mu Cap-ci tam-kan ciu! (ilmu
jelentikan sepuluh jari)!" Giok-liong mandah tersenyum ewa, hawa murni
terkerahkan dari pusarnya, hawa Ji-lo segera tersalur
mengembangkan mega putih melindungi seluruh badannya.
Sepuluh jalur sinar biru laksana duri landak itu begitu
menyentuh mega putih lantas buyar sima tanpa bekas.
Keruan berubah hebat air muka Le Siang-san saking kejut
bahwa ilmu yang paling di andalkan katanya tak berguna lagi
menunjukkan perbawanya. Saking dongkol ia membanting
kaki sehingga sepatu rumputnya amblas kedalam batu cadas
dibawah kakinya sampai beberapa dim, sekali ini ia kerahkan
seluruh kekuatannya, lagi-lagi puluhan jalur sinar biru
meluncur lebih panjang dan besar serta keras.
Namun betapapun ia mati-matian kerahkan seluruh
tenaganya, alhasil puluhan jalur sinar tutukan jarinya itu tak
dapat menembus pertahanan mega putih yang bergulung
tebal, laksana puluhan sabuk biru, yang berputar menggubat
sebuah bola putih besar, saking ulur odot sungguh suatu
pemandangan yang menarik hati. Baru sekarang pemuda baju biru Hoa Sip-i berkesempatan
bersuara, teriaknya : "Suhu! Doa seorang baik, dia seorang
baik!" Le Siang-san sudah tidak hiraukan lagi seruannya dengan
bernafsu ia kerahkan seluruh kemampuannya dalam usaha
untuk merebut seruling samber nyawa. Sebab itu tenaga yang
dikerahkan dan dilancarkan semakin kuat dan besar.
Kakinya juga semakin dalam melesak kedalam batu yang
keras. Mukanya berubah menyeringai seperti wajah setan
yang tersiksa sungguh menggiriskan sekali.
Lama dan entah sudah berselang berapa lama, sekonyongkonyoag
terdengar sebuah ledakan dahsyat seperti bom
meledak mega putih menjadi buyar dan berkembang kemanamana.
Diantara kelompok mega putih itu kelihatan sebuah
telapak tangan putih halus menyampok dan menangkis
puluhan sinarbiru itu terus langsung menepuk kedada Le
Siang san. "Celaka !" saking kagetnya Le Siang sau menggembor
keras, tubuhnya yang tinggi besar itu tersurut mundur lima
enam langkah ke belakang Tak tertahan lagi mulutnya
menyemburkan darah segar. Sejenak keadaan menjadi sunyi gelanggang pertempuran
juga menjadi terang lagi, mega putih menghilang demikian
juga puluhan sinar biru tadi telah kuncup.
Dalam pada itu pemuda baju biru Hoa-Sip i sudah
melangkah maju memayang Le Siang san yang sudah lemas
tak bertenaga, berulang-ulang ia berseru : "Suhu ! Kuatkan
hatimu, himpunlah semangatmu !"
Ujung mulut Le Siang san mengalirkan darah, matanya
mendelik memutih, cahaya biru yang terang dan bersemangat
Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tadi sudah sirna tanpa bekas, ujarnya dengan napas masih
ngos-ngosan: "Ma Giok liong, lekas kau bunuh aku sekalian !"
"Aku tiada dendam sakit hati dengan kau, tak perlulah !"
"Hari ini kau tidak mau bunuh orang she Le, tielak jangan
kau menyesal sesudah kasep!" "Kenapa ?" "Sakit hati pukulanmu hari ini betapapun harus kubalas !"
"Terserah, aku tidak peduli, setiap saat akan kunantikan
kedatanganmu !" "Baik, Gunung selalu menghijau, air selalu mengalir
perhitungan hari ini selama hayat masih dikandung badanku,
setiap saat aku akan mencarimu !"
"Boleh, selalu kuterima kedatanganmu."
"Mari pulang !" dibawah bimbingan Hoa Sip-i Le Siang san
meninggalkan tempai itu dengan ierpincang-pincang.
Giok liong menghela napas panjang pikirnya kenapa
manusia yang hidup kelana di dunia persilatan harus saling
bunuh. Kenapa hidup manusia harus mengalami banyak
sengsara dan derita. Pikir punya pikir sampai sekian lama ia terlongong
ditempatnya sampai terlupakan olehnya bahwa disamping
sana Ui-hoa kiaucu bersama anak buahnya masih mengawasi
dirinya. Tak terasa ia menghela napas lagi.
"Anak muda kenapa berkeluh kesah !" merubah sikapnya
yang dingin dan bermusuhan tadi, kini sikap Kim Ing menjadi
begitu ramah dan penuh kemesraan. Hakikatnya usia Kim Ing sudah menanjak pertengahan
abad, namun wajahnya masih kelihatan jelita karena ia pandai
bersolek, terutama kepandaian main matanya dengan
sikapnya yang genit dan menggiurkan siapapun pasti akan
terpincut dan tertarik batinya. Akan tetapi sedikitpun Giok-Jiong tidak tertarik hatinya,
sikapnya tetap dingin. Sambil meraba batu giok berbentuk
jantung hati yang dikalungkan dilehernya pelan pelan ia
menyelusuri pinggir jurang berjalan ke arah sana ternyata dari
peristiwa yang baru saja disaksikan ini, dilihatnya betapa
besar dan murni cinta Hoa Sip i terhadap kekasihnya,
sehingga terketuk hatinya, pikirannya melayang jauh ke Hwihun-
cheog di mana sang istri yang tercinta tengah menantikan
kedatangannya. Sekarang saputangan sutra pemberian istrinya itu dibawa
pergi oleh Hiat ing Kongcu. Benda satu-satunya sebagai
kenang-kenangan tinggal batu giok berbentuk jantung hati
warna merah yang dikalungkan di lehernya ini.
Tiba-tiba berubah air muka Ui-hoa-kiaucu, pandangannya
kesima memandangi batu giok itu, serunya terkejut: "Ma Giok
liong. Dari mana kau peroleh batu giok di-tanganmu itu ?"
Tidak kepalang tanggung segera Giok-liong rogoh keluar di
depan bajunya kalung batu giok jantung hati itu, sahutnya
dengan parau : "Dari Hwi hun-san-ceng."
"Hwi-hun-chiu Coh Jian-kun yang memberikan kepadamu
?" "Bukan, putrinya !" "Oh..." Ui hoa kiaucu terlongong-longong, mendadak
matanya memancarkan sorot aneh terus berdiri mematung
seperti orang linglung. Rada lama kemudian baru ia bergerak sambil menghela
napas penuh kesedihan, katanya sambil membanting kaki:
"Seruling samber nyawa aku tidak perlu lagi, serahkan saja
batu giok itu kepadaku !" "Giok-pwe ini " jangan !"
"Kau keberatan ?" "Bukan begitu! soalnya batu ini adalah tanda mas kawinku
dengan adik Ki-sia, tidak kalah berharga dengan seruling
samber nyawa." "Mas kawin ! " "Sedikitpun tidak salah!"
Tanpa berkata-kata lagi Ui-hoa-kiacu mengulapkan tangan
menggiring para dayangnya terus tinggal pergi dengan cepat,
sebentar saja bayangannya sudah menghilang dikejauhan.
Tatkala mana sang surya sudah muncul dari peraduannya,
seluruh maya pada ini sudah terang benderang, Segera Giokliong
juga tinggalkan tempat air terjun itu, badannya
melenting dengan ringannya, sepanjang jalan ini pikirannya
melayang tak tentu arahnya, rentetan peristiwa vang tidak
menyenangkan hati ini membuat semangatnya runtuh total.
Ling Soat-yau, Tan Soat-kiau, Kiong Ling ling, Li Hong serta
Coh Ki-sia silih berganti terbayang olehnya, Sudah tentu yang
paling dirindukan adalah Coh Ki-sia. Menurut adatnya ingin
rasanya tumbuh sayap untuk segera terbang kembali ke Hwihun-
san cheng untuk bercengkerama dengan isteri tercinta.
Apa boleh buat tugas berat yang dipikulnya perlu segera
diselesaikan, pula kejadian dikangouw ini memang penuh likuliku
yang sulit diduga sebelumnya. Dimana-mana selalu terjadi
banjir darah dan penjagalan manusia.
Hutan kematian, istana beracun, Kim i-pang, Hiat-hongpang,
Pek-hun to, Ui-hoa kiau, dan Lan ing-hwe. Masih adalah
Hiat-ing-bun serta Bu-lim-su bi. Semua-semua ini boleh dikata
merupakan kekuatan terpendam yang bakal meledak pada
suatu saat. Dengan takdir dari ayah bunda, tugas berat
perburuan serta kesejahteraan penghidupan kaum Bulim,
sampai pesan dari Wi-hian ciang Liong Tay-hiap sampai
sekarang juga belum sempat terlaksana.
Begitulah pikir punya pikir Giok-liong semakin merasa
otaknya menjadi tumpul dan butek. Tak tahu ia cara
bagaimana harus mencari jalan keluar untuk mengatakan
semua urusan yang sama pentingnya ini.
Terutama yang membuat hatinya sedih adalah
permusuhannya dengan pihak para iblis dari dari golongan
hitam, tapi toh pribadi juga mendapatkan simpati dari kaum
aliran putih khususnya dalam hal ini adalah sembilan partai
besar. Untuk sesaat Giok-liong menjadi merasa terjepit, mesti
dunia begitu besar, agaknya sudah tiada tempat berpijak lagi
untuknya, jalan punya jalan entah berada jauh ia berlenggang.
Tahu tahu didepan sana terlihat sebuah gardu dipinggir
jalan, gardu ini agaknya sudah lapuk dan reyot, bila dihembus
angin besar pasti akan roboh. Sebelah kiri dari gardu ini adalah semak belukar dari alas
pegunungan yang meninggi, dimana banyak terdapat kuburan
yang berserakan, berlapis-lapis meninggi keatas, peti mati dan
tulang-tulang manusia berserakan dimana-mana terlihat jelas.
Kabut pagi masih belum hilang angin pagi menghembus
sepoi sepoi membawa bau apek dan amis yang memualkan,
sekonyong-konyong sebuah benda hitam melesat keluar dari
arah kuburan yang berserakan sana. Hebat benar Ginkang orang ini, sekejap saja tahu-tahu ia
sudah tiba di luar gardu reyot itu, Kini terlihat jelas kiranya
bukan lain seorang laki-laki yang mengenakan kedok hitam,
jadi tak terlihat air mukanya. Sorot matanya dari balik
kedoknya itu memancarkan sinar areh yang terang dan dingin.
Bercekat hati Giok-liong, bergegas ia berdiri didalam gardu,
tanyanya: "siapakah tuan ini ?"
Orang berkedok itu mandah mendengus dingin, balas
tanyanya : "Hm, kau ini Kim-pit-jan-hun?"
"Aku yang rendah memang Ma Giok-liong !",
"Baik, ambil ini !" orang itu merogoh kantong bajunya
mengeluarkan sebuah benda terus dilemparkan kedalam
gardu lalu berlari pergi. Benda itu mengeluarkan suara berkerontangan di atas
lantai. Keruan Giok-liong terkejut heran, benda yang dilempar
adalah sebuah lencana besi yang memancarkan sinar berkilau,
sebesar tiga empat senti. Diatas lencana besi ini terukir sebuah huruf "mati", di
kedua sisinya adalah dua pohon pek yang besar yang saling
bergandengan sehingga menjadi bentuk huruf Bun atau pintu,
huruf mati itu tepat berada di tengah-tengah huruf pintu.
Giok-Iiong membungkuk badan menjemput lencana besi
itu, dibalik lencana tertulis dengan huruf-huruf kecil yang
berbunyi, dalam jangka tiga hari ini harus datang kepada seksi
Liong-tong dari Hutan kematian untuk menanti perintah dan
jabatan. Giok-liong menjadi bingung, apa-apaan maksud tulisan ini "
"Hai, tunggu sebentar !" seiring dengan bentakannya ini Giokliong
melesat keluar mengejar orang berkedok hitam itu. Tapi
orang didepan itu agaknya tidak mau peduli dengan kencang
ia berlari terus. Giok-liong semakin gelisah, segera Leng-hun toh
dikembangkan ditengah udara ia menggumam gaya Hwi-hunjot-
sio, badannya laksana anak panah meluncur dengan
pesatnya, sekejap saja jaraknya sudah tidak jauh dari orang
berkedok di depan itu. Didepan sana ujung gunung dari pekuburan yang
berserakan ini sudah kelihatan,sebelah depan lagi adalah
sebuah hutan yang lebat dan gelap. Orang berkedok itu main selulup diantara semak belukar
terus menerobos masuk kedalam hutan yang gelap itu.
Giok-liong sudah tidak peduli lagi akan segala pantangan
tetek bengek, Dengan gaya Ham-ya-kui-jau ( burung gagak
kembali ke sarangnya ia langsung ia melesat memasuki hutan.
Berulang kali terdengar suara gerungan marah yang rendah
dan menusuk telinga membuat merinding bulu roma.
Begitulah beruntun suara gerangan seperti auman binatang
buas saling susul. Kepandaian tinggi membuat nyali Giok-liong
semakin tabah, mengan-dal lencana besi itu ia kerahkan Ji-lo
melindungi badannya, terus menerobos kedepan, ke tempat
yang semakin gelap dan lembab, Semakin jauh semakin gelap.
"Stop! " tiha-tiba terdengar sebuah bentakan yang amat
nyaring dari belakangnya, Lalu angin berkesiur dari empat
penjuru, terlihat bayangan orang laksana setan gentayangan
saling bermunculan.Sekejap saja puluhan orang berkedok
berseragam hitam sudah mengepung dirinya.
Orang-orang ini semua berambut panjang terurai sampai di
pundaknya, demikian juga jubahnya terlalu panjang sampai
menyentuh tanah, setindak demi setindak mereka mendesak
maju menghampiri Giok-liong. Ancaman yang serius ini betul-betul menciutkan nyali
orang, jangan kata turun tangan bergebrak, mengandal hawa
dingin serta keadaan yang tegang menakutkan ini laksana di
akhirat cukup menggetarkan nyali orang, yang bernyali kecil
tanggung sudah pecah jantungnya dan mampus saking
ketakutan. Diam-diam Giok-Iiong kerahkan Lwekangnya, ujarnya
dengan serius: "Apa-apaan tindakan kalian!".
Tiba-tiba suara mendengus tersiar dari hutan sebelah
dalam sana, katanya: "Lencana besi sebagai undangan. Tiada
maksud jahat!" Tanpa merasa Giok liong membuka telapak tangan melihat
lencana besi itu, serunya lantang: "siapa yang berkuasa di
hutan ini, kenapa tidak keluar untuk bicara!"
"Pun-tong-cu hanya mendapat perintah untuk mengundang
tuan, sebelum ada perintah dari majikan, tidak boleh bertemu
muka. Silakan tuan pergi!" Giok-liong menjadi heran, serunya lagi: "Terima kasih akan
undangan ini, lantas kemana aku harus pergi, tiga hari lagi
aku harus kemana?" "Bukankah diatas lencana itu sudah tertulis jelas, Tuan
sendiri juga pernah kesana bukan, kenapa main tanya segala!"
"Aku pernah kesana ". akhirnya Giok-liong paham, dengan
mendelong ia pandang lencana besi itu, serunya tertahan:
"Apakah majikan Hutan kematian?"
"Tidak salah! Majikan Hutan . . . . kematian . , ! "sepatah
demi sepatah laksana guntur menggeleger kupandang keras
sekali memekakkan telinga, seakan bicara diribuan Ii jauhnya
tapi juga seperti di pinggir telinga.
Hutan kematian merupakan suatu golongan yang paling
misterius dan susah dijajagi, tidak diketahui sepak terjang
mereka yang sebenarnya dari golongan mana pula aliran
kepandaian mereka, maka sedikitpun Giok liong tidak berani
berlaku gegabah. Terang-terangan aku telah diundang, betapapun aku harus
menuju ke Hutan kematian untuk menyirapi kesana, baru dari
sana mencari jejak Suhu, kalau tidak menanti pada bulan lima
pada perjanjian bertemu di Gak-yang-lau kelak baru diatur lagi
tindakan selanjutnya, perjalanan kali ini sekaligus dapat
menyirapi kabar dari Wi-hin-ciang Liong Bun Liong Tay-hiap,
entah kabar apa pula yang bisa diperolehnya, supaya kelak
dapat mengatasi lebih sempurna demi kejayaan dan
ketentraman hidup kaum persilatan. Karena pikirannya ini segera ia menyahut keras: "Baik,
dalam tiga hari ini aku pasti tiga disana!"
Sebelum kakinya bergerak tiba-tiba terdengar suara orang:
"Tunggu sebentar! " lalu beruntun muncul beberapa bayangan
hitam. Kini yang muncul adalah delapan laki-laki yang
mengenakan jubah abu-abu, dengan rambut panjang terurai
juga, dengan kaku mereka berloncatan maju mendekat, Salah
seorang diantaranya berkata dingin: "Petugas Liong-tong,
menghadap pada Tong-cu!" Habis berkata delapan orang itu terentak menjura dalam
kearah hutan kosong sebelah dalam sana.
Sebuah suara menyahut dari dalam hutan sana: "Silakan
para petugas hukum, apakah Lim-cu (Majikan) ada pesan
lain?" Serentan kedelapan orang didepan hutan itu mengiakan.
Salah seorang berseru lantang: "Terima kasih akan perhatian
Tong cu, kita beramai menggusur tawanan kemari untuk
melaksanakan hukuman, harap Tong-cu suka saksikan dan
buktikan." Suara orang dalam hutan rada terkejut heran. Terdengar
tindakan berat berjalan keluar, tahu-tahu dihadapan mereka
sudah berdiri seorang laki-laki yang tinggi tegap melebihi
orang biasa, karena tidak mengenakan kedok jadi wajahnya
bisa terlihat jelas. Bentuk wajahnya bundar bersegi seperti wajah harimau,
matanya berjengkit miring keatas, diatas jidatnya tumbuh
secomot rambut putih yang diatur sedemikian rupa sehingga
menyerupai huruf "Ong" ( Raja ).
Ini masih belum aneh yang lebih aneh, yang lebih
mengejutkan lagi bahwa dari kedua ujung mulutnya tumbuh
Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dua taring yang besar memutih. Begitu mengunjukkan diri
langsung orang ini bertekuk lutut menyembah seraya berseru
lantang: "Hou-tong Tongcu, hamba menerima perintah Congcu,
Harap Tongcu kalian suka memberi petunjuk!"
Sebuah bayangan abu-abu melayang masuk dari luar,
seorang laki-laki berambut merah bermuka hijau melayang
tiba. Diatas jidatnya tumbuh jaling tunggal, Matanya berkilat
tajam segera ia menjura kearah Hou-tong Tong cu yang
berlutut itu, ujarnya: "Perintah sudah disambut, Selain aturan
biasa. Tong-cu silakan!" Hou-tong Tong-cu bertanya dengan muka serius:
"Pesakitan siapakah sampai begitu penting digusur kemari
untuk melaksanakan hukuman disini!"
Liong-tong Tong-cu yang berambut merah bermuka hijau
itu terkekeh kekeh dingin, matanya melirik kearah Giok-liong,
sahutnya: "Pesakitan ini ada sangkut pautnya dengan Ma
Siau-hiap ini. Betapa tepat perhitungan Lim cu, beliau tahu
bahwa Ma Siau-hiap hari ini pasti akan lewat Hou-tong sini,
maka segera diperintahkan aku membawa dua belas petugas
hukum menggusur tawanan itu kemari !"
Terkesiap hati Giok-liong, selanya gugup! "Ada sangkut
pautnya dengan aku. Siapakah dia?"
"Sebentar lagi kau akan tahu!" jengek Liong-tong Tong-cu.
Lalu tangannya bertepuk dua kali, kecuali delapan orang
seragam abu-abu yang segera bergerak keempat penjuru
mengepung Giok liong dari luar hutan sana berlari masuk lagi
empat laki laki seragam abu-abu yang berambut panjang juga.
Keempat laki-laki seragam abu-abu yang baru masuk ini
menggusur seorang tua renta, air muka yang kaku dan dingin
pucat tanpa kelihatan berdarah. Kedua tulang pundaknya
berlubang ditembusi rantai panjang sebesar jari tangan,
karena diseret maju sehingga jalannya sempoyongan, rantai
panjang itupun berbunyi nyaring menyentuh tanah.
Beriring keempat laki-laki seragam abu-abu ini menggusur
tawanannya kehadapan Liong-tong Tong-cu lalu menjura
hormat: "Hamba beramai menunggu perintah selanjutnya!"
Liong-tong Tong-cu manggut manggut, ujarnya: "Harap
Hou-tong Tong-cu memeriksa akan kebenaran tawanan ini!"
Houtong Tong-cu mengunjuk rasa heran dan penuh tanda
tanya, katanya sambil mengerutkan alis: "Bukankah dia
seorang Goan-lo ( sesepuh ), petugas Lim-cu yang terdekat
pembesar berjasa dalam pembukaan Hutan kematian . . . ."
Tanpa menanti ia selesai bicara habis mendadak Liong-tong
Tong-cu bergelak tertawa: "Hahahaha. . .Tak heran Tong-cu
kena diapusi. Lim-cu sendiri juga kena dikelabuhi selama
puluhan tahun, siapa akan mau percayai Hahahaha!"
Tatkala itu Giok-liong berdiri mematung sambil
menerawangi perubahan yang dilihatnya dihadapannya ini,
saking asyik dan kesima mendengar ia sampai berdiri
terlongong-longong. Terdengar Liong-tong Tong cu menghardik keras dengan
bengis: "Lucuti kepalsuannya supaya Houtong Tong cu
memeriksa sendiri." "Hamba terima perintah," empat laki-laki seragam abu-abu
itu mengiakan bersama. Lalu beramai-ramai bergegas mereka
menekan si orang tua tawanannya itu diatas tanah, salah
seorang menggosok dan menepuk diatas mukanya, seorang
lagi menarik narik dipunggung dengan sekuatnya, sedang dua
orang lainnya masing masing menarik kedua lengannya."
"Hah!" tak tertahan Giok liong berseru terkejut.
Liong tong Tong cu berkata kan, ujarnya: "Nah, begitu
lebih tepat lagi, Hanya dengar seruan kejut Ma Siau-hiap ini,
merupakan bukti yang paling nyata!"
Sementara itu Houtong Tong'Cu juga tengah kesima sambil
garuk-garuk kepala yang tidak gatel tanyanya melongo: "Siapa
dia?" "Delapan puluh tahan yang lalu," terdengar Liong-tong
Tong-cu berseru lantang: "Seorang Tay-biap yang sudah
menggetarkan dunia persilatan Wi-hian-ciang Liong Bun,
bukan lain adalah tawanan kita ini!"
Dalam pada itu Giok-liong sudah tak kuat mengendalikan
keharuan hatinya serunya mendebat: "Apa hubungannya
orang ini dengan aku?" Liong-tong Tong cu tertawa ewa ujarnya: "Dalam hal ini
Lim cu ada memberi pesan supaya aku tidak membuka banyak
mulut. Dipersilatan dalam jangka tiga hari ini Siau-hiap datang
kesekte kita, nanti aku tentu akan mengiringimu setelah
menghadap Lim-cu, tentu segalanya dapat dibikin jelas!"
"Apa yang akan kalian perbuat akan diri Liong Tay-hiap
ini?" "Lwekang dan kepandaian silatnya sudah dipunahkan, kita
beramai tak lain hanya melaksanakan tugas melalui...
Bahwasannya ini bukan urusan yang sangat penting!"
Memang sorot pandangan Wi-hian-ciang Liong Bun sangat
redup tanpa bersinar dari wajahnya yang pucat pasi itu
menandakan bahwa Lwekangnya memang sudah punah,
bentuknya menyerupai tengkorak hidup yang mengalami
penuh penderitaan. Akan tetapi, apakah Giok-liong harus diam saja melihat
seorang pendekar besar pada jamannya dulu yang sudah
tenar puluhan tahun meninggal begitu saja, saking haru dan
pedih badan sendiri sampai gemetar.
"Siau hiap harap berpikir kembali sebelum bertindak l"
serentak delapan laki laki seragam abu-abu berkelebatan
masing masing menggerakkan lengan tangannya, serempak
mereka berseru hormat meski belum turun tangan secara
kenyataan kepungan mereka ini sangat rapat sulit ditembus.
Untuk menerjang keluar meski tidak sukar, sedikitnya juga
harus memeras keringat. Sambil mengerut kening segera Giok-liong berteriak: "Hai,
kalian jangan berlaku ceroboh, tunda dulu pelaksanaannya
setelah aku bertemu langsung dengan Lim-cu kalian !"
"Lain urusan lain perkaranya, Maaf Pun-tong tak dapat
mengabulkan permintaan mu ini !"
"Kalau kalian tidak melepas Liong Bun, maka akupun tidak
sudi menemui Lim-cu kalian." "Itu kan urusan Ma Siau-hiap sendiri, nanti Limcu tentu
dapat mengatur sendiri, jangan persoalan itu dicampur
baurkan dengan pelaksanaan hukum ini !"
Saat mana Houtong Tong-cu sudah mengulapkan tangan
memberi aba aba kepada dua belas laki-laki berambut panjang
ber-seragam hitam, serunya: "Sambut tugas ini dan siapkan
melaksanakan hukuman." Empat orang seragam hitam maju menggantikan
kedudukan empat seragam abu-abu yang menggusur Liong
Bun tadi, Keempat seragam abu-abu itu lantas meloncat
mundur ikut mengepung Giok liong diluar batas tiga tombak
jauhnya. Dua belas pelaksana hukum berseragam abu-abu ini siap
waspada tanpa mengeluarkan suara atau sembarangan
bergerak, tenaga sudah dihimpun dengan pandangan mata
yang berkilat menatap tajam kearah Giok-liong tanpa
berkedip. Giok-Iioug semakin gelisah seperti dibakar hardiknya
menggerung : "Lekas lepaskan Liong Tay-hiap, mari kita
bicarakan lagi urusan ini !" Liong-tong Tong-cu memberi salam kepada Houtong Tongcu
serta katanya: "Tugas ini sudah kami serahkan, seluruh
tanggung jawab dan pelaksanaannya terserah kepada seksi
kalian." lalu ia melangkah maju beberapa tindak, katanya
kepada Giok-liong: "Siau-hiap, dalam tiga hari ini aku menanti
kedatangan tuan, Harap tuan tidak mengecewakan harapan
Lim-cu." Tatkala itu, Houtong Tong-cu mencibirkan bibir bersuit
nyaring dan keras menembus angkasa laksana gerungan
harimau yang berang. Dari luar hutan dari berbagai penjuru
lantas terdengar derap langkah berlari, geseran daun daun
pohon serta berkelebatnya bayangan orang samar-samar
terlihat ratusan orang seragam hitam serentak merubung
datang kearah sini. Pandangan Houtong Tong cu berkilat tajam, serunya
lantang :"Atas perintah Lim-cu, seorang yang bernama Wihian-
ciang Liong Bun, memendam diri menjadi mata-mata
dengan tujuan yang tidak menguntungkan bagi Hutan
kematian, menurut undang-undang hukum kita dihukum cacat
jiwa, Kali ini sekte kita mendapat penghargaan untuk
melaksanakan hukuman ini, Laksanakan hukuman !"
Serentak berpuluh sampai beratus mulut bersama
mengiakan sehingga hutan ini menjadi bergoncang seperti air
mendidih, sedemikian keras sampai kumandang dan bergema
sekian lama. "Mulai !" terdengar Houtong Tong-cu melompat maju
sambil berteriak bengis seperti pekik kokok beluk, seiring
dengan bentakannya ini kedua tangannya bergantian
menghantam kearah Liong Bun. Giok liong melompat maju sambil menggerung gusar:
"Nyali besar ! Tahan !" Namun belum lagi Giok-liong dapat bergerak maju, Liongtong
Tong cu bersama dua belas pelaksana hukumnya sudah
serentak menggerakkan tangan menyerang sekaligus dengan
gabungan tenaga mereka seketika Giok-liong menjadi
terhalang ditengah jalan, terpaksa ia harus membela diri demi
keselamatan sendiri. Di sebelah sana terdengarlah jeritan panjang yang
mengerikan. Itulah pekik Liong Bun dalam jiwa meregang
sebelum ajal. Giok liong mendengar dengan jelas sampai badannya
terasa merinding, hatinya seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum.
Tapi gabungan serangan dua belas jago jago kelas wahid dari
Liong-tong mana mungkin dapat ia atasi begitu saja.
Apalagi dua puluh enam telapak tangan mereka sekaligus
melancarkan tipu-tipu aneh yang sulit diraba sebelumnya,
sungguh pengepungan yang rapat tiada lubang titik
kelemahannya. Diluar gelanggang pengepungan saban-saban masih
terdengar jerit kesakitan dan gerangan gusar dari pelampiasan
dongkol, angin menderu dari tenaga pukulan yang menimpa
diatas tubuh manusia sampai berbunyi gedebukan.
Entah sudah berselang berapa lama, dan berapa banyak
pukulan sudah dijatuhkan diluar gelanggang sana, Tiba tiba
Liong-tong Tong-cu berseru keras: "Liong-tong Tecu siap
kembali !" angin berkesiur disertai lambaian baju, begitu cepat
gerak gerik mereka sekejap saja keadaan menjadi sunyi dan
sekelilingnya sudah kosong meIompong.
Tiga belas orang dari Liong-tong sudah menghilang tanpa
bekas dalam sekejap mata. Demikian juga seluruh anak buah
Houtong Tongcu sebanyak ratusan orang itu sudah tak
kelihatan lagi mata hidungnya, semua sudah pergi tanpa
meninggalkan jejak. Keadaan dalam hutan kembali menjadi sunyi senyap, angin
berlalu membawa bau amis darah yang memualkan. Diatas
tanah sana terlihat segundukan daging dan tulang-tulang
manusia yang terpukul hancur lebur tanpa ujud lagi. Tinggal
rantai yang mengikat di tulang Liong Bun saja yang masih
ketinggalan memancarkan sinarnya yang redup menyolok
mata. Tak tertahan lagi kepedihan hati Giok-liong, ujarnya sambil
sesenggukan dengan sedihnya: "saudara tua, belum lagi citacitamu
terlaksana badan sendiri sudah hancur lebur, siaute . .
. " Sekonyong-konyong. . . "Bocah keparat, akhirnya toh kutemukan juga!" seiring
dengan bentakan ini dari luar hutan sana menerjang datang
seorang laki-laki bertubuh kekar, bermuka kuning persegi,
alisnya lentik menaungi sepatang mata yang berkilat tajam,
dagunya tumbun lima jalur jenggot pendek hitam.
Mengenakan pakaian ketat dengan mantel kuning
berkembang, sepatunya tinggi peranti untuk jalan jauh,
sikapnya garang dan angker kegusaran.
Giok liong melihat air muka orang rada bersih,
semangatnya menyala-nyala, terang bukan anak buah dari
Hutan kematian. Maka tak berani ia berlaku gegabah, serunya
lantang: "Kenapa tuan bicara tidak sopan?"
"Terhadap siapa bicara apa!"
"Kau kira siapa aku ini ?"
"Manusia rendah hina dina, mata keranjang hidung belang
!" "Kau terlalu menghina !" secara langsung dimaki begitu
kotor keruan Giok-liong tak kuat menahan hawa amarah
dengan sengit ia mengerjakan tangannya melancarkan jurus
Cin-chiu dari ilmu Sam- ji-cui-hun chiu, maka mega putih
bergulung keluar menerjang dengan dahsyatnya. Apalagi
tenaganya ditandai rasa gusar sudah tentu bukan olah-olah
hebatnya. "Hei, apa hubungan mu dengan Toji Pang Giok ?" laki-taki
kekar itu berkelit ke samping, wajahnya mengunjuk rasa kejut
dan heran. "Murid tunggalnya!" Sedikit merenung laki-laki kekar itu lantai membanting kaki,
ujarnya: "Merusak nama baik Bu-lim-su cun Pang lo cianpwe
saja. Sayang sekali!" Mendengar ucapan orang tergetar hati Giok-liong, pikirnya
"Apa mungkin orang ini ada hubungan erat dengan
perguruanku tak boleh aku berlaku kasar." karena pikirannya
ini maka jurus kedua dari Sam jicui-hun chiu yaitu Tiam-bwe
lekas lekas ditarik kembali ditengah jalan, serunya sambil
melompat mundur . "Apa maksud ucapan tuan ini ?"
"Jangan kau pura-pura linglung menjadi gendeng,
seumpama aku harus berlaku salah terhadap Pang-lo cian pwe
,betapapun aku harus mewakili dia untuk menghajar bocah
keparat seperti kau ini sampah dunia persilatan. Baru
terlampias rasa dongkolku ini."
"Wut. . . ." segulung angin kencang laksana badai angin
terus menerjang datang dari tengah udara, sungguh dahsyat
dan berbahaya sekali. Karena tidak menduga hampir saja Giok-liong tergulung
oleh serangan lawan. Cepat-cepat ia menjejakkan kaki
mencelat mundur setombak lebih untung benar dapat
terhindar dari bahaya elmaut, walaupun demikian, daun dan
rumput beterbangan mengotori seluruh tubuhnya, juga ujung
Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bajunya telah tergetar hancur berkeping-keping melayang
ditengah udara. "Bocah keparat, kiranya cuma begitu saja kepandaianmu!"
begitu mendapat kesempatan merangsak laki laki kekar itu
lantas menarikan kedua tangannya dengan lincah dan secepat
kilat, sekejap mata saja beruntun ia menepuk dan memukul
dua belas pukulan, setiap pukulan mesti dilandasi kekuatan
dahsyat, tak jauh dari sekitar badan Giok-liong.
Keruan Giok-liong menjadi kelabakan berputar dan berkelit
dengan susah payah. Terpaksa Ling hun-toh harus
dikembangkan ringan sekali tubuhnya berkelebat selulup
timbul berlarian diantara dahan-dahan pohon besar disekitar
gelanggang. Mendapat angin laki-laki kekar itu semakin bernafsu dan
tidak memberi ampun untuk lawan sempat ganti napas.
Dengan menggereng marah, lagi - lagi ia lancarkan sebuah
pukulan dahsyat, laksana arus sungai Tiangkang membadai
menggulung dari segala penjuru angin.
Akhirnya memuncak juga rasa gusar Giok liong, sekali
kesempatan ia berkelit ke belakang sebuah dahan pohon
besar terus melejit jauh beberapa meter, serunya gusar:
"selama ini kita belum saling kenal, tuan terlalu mendesak
orang, maka jangan salahkan kalau aku berlaku kurang
hormat!" habis ucapannya segera ia bergerak gesit sekali ia
melancarkan jurus serangan balasan.
Seketika mega putih bergumpal melebar luas, bayangan
telapak tangan berubah laksana ratusan dan ribuan pukulan
telapak tangan, serentak ia balas menyerang dengan nafsu
dan sengit. Gerak berkelit, mengambil imsiatif balas
menyerang, berganti jurus melompat menerjang dilakukan
dalam satu gerakan serempak sehingga menambah semangat
dan melihat gandakan daya kekuatan serangannya.
BegituIah terjadi pertempuran sengit tanpa juntrungan,
empat kepalan tangan menari pesat dan lincah sekali di
tengah udara, tipu lawan, tendangan lawan kegesitan, bukan
saja mereka harus cekatan menjaga diri juga harus pandai
melihat gelagat, mengincar lubang kelemahan pihak musuh
untuk melancarkan serangan total berusaha menang.
Saking seru dan sengit pertempuran ini masing masing
pihak sudah kerahkan seluruh kekuatannya sehingga angin
menderu, suasana gegap gempita ini merobohkan pohonpohon
sekitar gelanggang sehingga menambah pertempuran
ini semakin gaduh. Sinar matahari begitu cemerlang menyinari pertempuran
yang aneh dan menjadikan pemandangan mata yang
menakjubkan sekali pertempuran bagi tokoh kosen, setiap
jurus setiap gerak langkahnya harus dilakukan hati-hati dan
secepat kilat, sebentar saja tahu-tahu pertempuran ini sudah
berlangsung seratus jurus lebih. Setelah sekian lama bertempur tanpa dapat merobohkan
lawan, Giok-liong menjadi semakin gelisah, sekilas berkelebat
pikirannya, sinar matanya terpancar semakin tajam, timbul
hawa membunuh. Mendadak ia menggembor keras, suaranya mendengung
menembus angkasa. Belum hilang gema suara gemborannya
tiba tiba ia menghardik lagi : "Awas, sambut ini !"
Kontan terdengar seruan tertahan, bayangan kuning
terpental mundur sejauh lima tombak badan masih terhuyung
lagi tiga langkah terus jatuh terduduk, untung belakangnya
terdapat sebuah pohon besar yang menahan badannya,
sehingga ia tidak jatuh ternauar. Mulut laki-laki kekar ita mengalirkan darah, sinar matanya
menjadi redup, wajahnya yang kaatng seperti berpenyakitan
itu kini berubah pucat pasi, nafasnya memburu kencang,
sebelah tangannya menekan dada, terputus-putus ia berkata
menuding Giok-liong: "Baik . . . aku , . . mengaku . , . tapi . , ,
kau . . . hidung belang , . tak tahu malu , . . ba . , , bagai . . ,
mana . . . terhadap . . . Wahaaahh !" ia berkata terlalu
dipaksakan sekaligus ia menyeburkan dua gumpal darah
segar. Melihat luka orang yang rada berat, Giok-liong menjadi
tidak tega, batinnya: "Aku tiada bermusuhan atau dendam
sakit hati terhadap dia, untuk apa aku turun tangan terlalu
berat !" maka segera ia maju beberapa langkah terus
berjongkok, katanya rendah: "selamanya aku belum pernah
kenal dengan tuan, namun kau begitu bernafsu menyerang
dengan jurus mematikan sehingga aku kelepasan tangan
melukai tuan !" "Crot !" lakf-laki kekar itu meludahi muka Giok liong dengan
riak tercampur darah, "Kau ! Cari mampus !" Giok liong
berjingkrak gusar, sebat sekali tangannya diulur, dua jari
tangannya dengan tepat menutuk dijalan darah Hiat hay di
dada orang. Desisnya mengancam : "Kau tidak dapat
membedakan salah dan benar, jangan salahkan aku tidak
mengenal kasihan." "Kalau kau berani, cobalah bunuh aku!"
"Hm, kau kira aku tidak berani ?".
"Keparat kau memang telengas kejam, rendah dan hina
lagi, perbuatan apa yang tidak pernah kau lakukan."
"Sekaii lagi tuan mengudal mulut semena-mena, asal aku
mengerahkan sedikit tenaga, cukup membuat kau mampus
tanpa liang kubur . . ." Tiba-tiba sebuah hardikan nyaring menembus angkasa,
sebuah bayangan putih meluncur datang dari tengah udara,
Siuuur, sejalur kain sutra panjang mendesis keras tahu-tahu
sudah menggubat dileher Giok-liong, sedikitpun Giok liong
tidak menduga dirinya bakal dibokong dari belakang, begitu
mendengar angin mendesis dan tahu gelagat yang
membahayakan untuk berkelit sudah tidak sampai lagi.
Tahu-tahu ia merasa napasnya menjadi sesak lehernya
terikat kencang, sedapat mungkin ia meronta berusaha
melepaskan diri, tapi gerak gerik pendatang baru ini betulbetul
cepat luar biasa, begitu serangannya berhasil tanpa ayal
tangannya lantas menarik dan menyendal dengan keras.
Karena leher digubat selendang satra, Gi-ok-liong sulit
mengerahkan Lwekangnya, kontan tubuhnya kena digentak
mumbul ketengah udara, melayang seperti layang layang
putus benang setinggi tiga tombak terus terbanting keras di
tanah. Karena tiada kesempatan untuk mengerahkan hawa murni
melindungi badan, seketika ia terbanting celentang dengan
kaki tangan menghadap kelangit. Keruan sakitnya bukan buatan, sampai mata berkunangkunang
kepala pusing tujuh keliling. Bantingan keras ini betul-betul merupakan suatu pukulan
keras bagi Giok-liong selama kelana di Kangouw, betapa dia
takkan berjingkrak gusar seperti kebakaran jenggot.
Begitu tubuhnya menyentuh tanah, hawa murni segera di
empos, dengan mengerahkan seluruh kekuatannya ia
mencelat setinggi tiga tombak, badannya terus meluncur tiba
sambil menggerakkan kedua telapak tangannya.
Saking susar dan gemas maka luncuran serta serangannya
ini betul-betui hebat sekali, seolah-olah ingin rasanya sekali
pukul hancur leburkan lawan menjadi bergedel.
Begitulah dengan nafsu membunuh yang bergelora di
badannya Giok-liong meluncur turun laksana air bah
dicurahkan dari tengah udara, tapi tiba-tiba ia berseru kejut.
Lekas lekas ia menarik serangannya dan punahkan tenaga
kekuatan pukulannya, badan juga lantas berhenti meluncur
dan hinggap ditengah jalan, Begitu berdiri tegak dengan
kesima ia berdiri mendelong, berutang kali ia kucek-kucek
matanya menatap pendatang baru ini, air mukanya kaku
tanpa perasaan ia berdiri terlongong seperti patung.
"Bocah keparat, apa yang kau lihat !"
Giok-liong tetap kesima berdiri ditempatnya, Sebab
perempuan pertengahan umur yang membawa selendang
sutra sepanjang dua tombak itu betul betul persis seseorang,
seorang yang selalu dirindukan oleh Giok-liong.
"Persis benar, seperti pinang dibelah dua !" dalam hari
Giok-liong membatin : "Selain usianya yang berbeda, boleh
dikata orang ini seperti duplikat adik Sia, mungkinkah didunia
ini terdapat orang yang begitu mirip satu sama lain ! "
Sementara itu, perempuan pertengahan umur itu sudah
menggulung selendangnya terus menghampiri kesamping lakilaki
kekar, suaranya lembut penuh kekwatiran : "Bagaimana
luka-Iukamu . . ." Wajah laki-laki kekar mengunjuk penasaran dan gusar,
sahutnya dengan kepedihan: "jangan kau hiraukan aku !
carilah dia ...." sampai disini ia sudah tak kuat meneruskan
sambil menunjuk Giok liong yang masih berdiri terlongong itu
ia berkata lagi tergagap: "Ringkus dia . . . tuntut
pertanggungan jawabnya !" Perempuan pertengahan umur menjadi terharu dan
mengembeng air mata, Tar ...tiba-tiba ia mengayun selendang
sutra ditangani nya seperti pecut, terus menerjang maju
kehadapan Giok liong, bentaknya sengit: "Bocah keparat,
kembalikan anak putriku!" Saat mana Giok-liong, tengah berdiri kesima, seketika ia
menjadi tertegun mendengar seruan orang mundur selangkah
ia bertanya: "Putrimu! Dari mana asal pertanyaanmu ini,
selamanya kiia belum pernah bertemu muka. apa kau sudah
gila!" "Apa, jadi kau hendak mungkir!"
"Bukan aku ingin mungkir, adalah menista orang semenamena!"
"Kau melepas api membakar rumah, pura-pura mau
sembunyi tangan, lihat serangan."
Selendang sutranya berputar ditengah udara melingkar
seperti-ular hidup terus menukik turun menindih ke atas
kepala Giok-liong, perbawa serangan ini cukup lihay dan
hebat. Kalau Giok-liong tidak mau melawan, terpaksa ia harus
melompat mundur baru bisa menghindar dari ancaman
berbahaya ini, Tapi pelajaran yang dialami tadi membuat ia
harus berpikir dua belas kali, berulang kali ia sudah berusaha
mengalah dan main mundur, akhirnya dirinya malah
kehilangan kontrol dan kepepet semakin payah, kehilangan
inisiatif menyerang setiap tindak, setiap langkahnya selalu
menghadapi mara bahaya melulu. Maka untuk kali ini terpaksa ia tidak sudi main mengalah
atau mundur lagi, jurus Cin chiu pelan-pelan dilancarkan untuk
memunahkan serangan musuh mengurangi tekanan dahsyat.
bentaknya keras: "Nama atau shemu saja aku tidak tahu
darimana . .." "Tidak tahu sudah tentu akan kubuat tahu!"
Perempuan pertengahan umur ini menyerang dengan
penuh nafsu, seiring dengan makiannya, selendang sutra
dilarikan semakin kencang sebegitu lincah dan cepat sekali
seumpama hujan angin juga sudah menembusnya.
Begitu besar tenaga yang terkerahkan di atas senjata
panjangnya ini sampai angin menderu menyapu debu dan
rumput disekitar geIanggang. Tatkala itu sudah menjelang tengah hari, bayangan
selendang berlapis-lapis melayang ditengah udara
memancarkan sinar sutra yang berkiiau menyilaukan mata.
Apalagi pakaian panjang yang dikenakan perempuan
pertengahan juga warna putih dari sutra lagi.
Demikian juga jubah panjang Giok-liong berwarna putih
bersih pula, Maka terlihatlah dua bayangan putih saling
berloncatan dengan diselubungi seleadang sutra yang selulup
timbul diantara mega putih laksana naga mengamuk.
Sebetulnya kalau Giok-liong mau melancarkan kepandaian
simpanannya, selendang sutra lawan sejak tadi sudah berhasil
dapat dihantam hancur berkeping-keping, paling tidak musuh
juga sudah terluka parah, Andaikata tidak bagian Lwekangnya
saja yang terkerahkan kiranya cukup dapat mengambil
kemenangan tanpa menghadapi rintangan yang berarti !
Tapi Giok-liong tidak mau berbuat demikian, karena apakah
" Tak lain karena wajah perempuan pertengahan umur persis
benar dengan istri tercinta yang tengah mengharap dirinya
pulang ke Hwi-hun san-cheng. Betapapun ia tidak tega turun
tangan untuk menurunkan tangan kejam.
Pertempuran silat tingkat tinggi memerlukan kosentrasi
yang berlipat ganda, bagaimanapun sekali pikirannya
bercabang, bukan saja tidak dapat mengambil kemenangan
malah mungkin sedikit saja saja lantas mengunjuk setitik
lubang kelemahan ini cukup kesempatan bagi musuh untuk
melancarkan serangan mematikan. Demikianlah keadaan pertempuran saat itu, sekejap mata
lima enam puluh jurus sudah berlalu. Diatas dataran lamping
gunung ini, selendang sutra putih sepanjang dua tombak telah
ditarikan demikian rupa oleh perempuan pertengahan umur
sehingga angin menderu laksasa angin lesus, laksana hujan
badai seperti pula gelombang ombak samudra, semakin lama
ternyata semakin cepat dan semangat, sebaliknya keadaan
Giok liong semakin terdesak dan terkekang didalam
lingkungan angin menderu, keadaannya sudah semakin payah
dan terdesak dibawab angin, terang tidak lama lagi dirinya
pasti dapat dikalahkan. Sekonyong-konyong terdengar bentakan nyaring merdu:
"Roboh!" bayangan putih berkelebat sejalur serangan dahsyat
bagai layung menerjang tiba "Celaka !" dalam kesibukannya, lekas-lekas Giok-liong
gunakan tipu Jiang-liong-jip-hun (ular naga menyusup ke
dalam awan) sekuat tenaga kakinya menjejak tanah, seketika
tubuhnya mencelat tinggi melambung ke tengah udara
setinggi lima tombak. "Blang." ledakan dahsyat seperti gugur gunung
menggetarkan bumi pegunungan. Ternyata selendang sutra
yang lemas itu telah melilit sebuah pohon besar terus digulung
tinggi tercabut keakar-akarnya terbang meninggi ketengah
udara. "Krak". "Byar!" daun dan debu beterbangan sejauh tujuh delapan
tombak. Bayangkan betapa dahsyat perbawa keku atan selendang
sutra ini, seumpama orang yang kena dililit dan dibanting pasti
badannya hancur lebiir menjadi perkedel, masa bisa hidup
lagi. Begitu jurus serangan ampuhnya melilit roboh sebuah
pohon, bukan saja rasa amarah perempuan pertengahan
belum reda malah semakin berkobar seperti api disiram
Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
minyak, Kelihatan rasa gemas dan dongkolnya semakin
mendalam, sekali lagi ia ayun dan tarikan selendang
senjatanya itu, seraya melompat menubruk.
Udara serasa menjadi gelap kerena tertutup oleh putaran
selendang yang melebar dan mendesis kencang itu, laksana
mega mendung menjelang hujan lebat dengan angin badai
menerpa dahsyat. Belum lagi badan Giok-liong menyentuh tanah, selendang
sutra yang lemas itu sudah memecut tiba lagi. Bercekat hati
Giok-liong, hatinya rada gentar menghadapi senjata lemas
musuh yang hebat tadi, cepat-cepat ia gunakan gaya Hoan-inhu
hu. untuk kedua kalinya badannya melenting tinggi, dalam
seribu kerepotannya, tangannya meraih sebatang dahan
pohon dengan meninjam daya pantulan dahan pohon ini
badannya terus terayun lima tombak lebih jauhnya.
Waktu badannya meluncur turun dan hinggap ditanah
kebetulan tiba disamping laki laki kekar yang tengah duduk
semadi mengerahkan tenaga istirahat, sebetulnya bagi Giokliong
tiada maksud tertentu. Tapi lain bagi penerimaan perempuan pertengahan umur
itu, bentaknya nyaring penuh kekuatiran: "Bocah keparat,
berani kau!" Ternyata ia mengira Giok-liong hendak mengambil
keuntungan ini menyerang orang yang sudah terluka tak
mampu bergerak itu. Seiring dengan bentakannya, selendang
putih panjang itu telah disapukan datang dengan kencang
laksana sebatang tongkat besi dengan jurus Heng cio-jian-kun
dengan kencang menyerampang tiba. Kembali amarah Giok liong semakin berkobar beruntun ia
sudah mengalah malah jiwa sendiri hampir melayang karena
musuh mendapat kemurahan hatinya, kini saking marah
timbul nafsu membunuh dalam benaknya.
Tanpa berkelit atau menyingkir lagi ia kerahkan hawa Ji-lo
melindungi badan, seketika mega putih bergulung mengitari
dan menyelubungi badannya, ditengah mega putih yang
bergulung gulung itu telapak kanannya tiba-tiba menyampok
maju menangkis selendang musuh yang lempang seperti
tongkat besi itu, bersama itu selicin belut segesit kera
melompat tahu-tahu ia bergerak lincah sekali melesat
kehadapan perempuan pertengahan umur.
Telapak tangan kiri pelan-pelan menyelonong maju
menekan kejalan darah Tiong-ting perempuan pertengahan
umur. Perempuan pertengahan umur terkejut bukan main, lekaslekas
ia menarik balik selendang putihnya.
"Waa..." Aduh" - "Hm!" tiga macam jerit dan seruan yang
berlainan berbunyi bersama, bayangan orang lantas berpencar
kedua jurusan. Sebetulnya telapak tangan kiri Giok-liong sudah tepat
menekan kejalan darah Tiong-ting, tapi mendadak ia teringat
bahwa musuh adalah kaum hawa, tak mungkin dirinya berlaku
begitu kurang adat, maka ditengah jalan ia rubah sasarannya
berganti menepuk pundaknya, ternyata dengan telak
serangannya telah mengenai sasarannya.
(BERSAMBUNG JILID KE 16) Jilid 16 Sebaliknya perempuan pertengahan umur juga berusaha
menghindari diri dari tutukan di jalan darah Tiong ting hingga
ia melindungi bagian dada, tak duga malah pundaknya yang
menjadi makanan empuk. Seketika rasa sakit yang luar biasa meresap ketulang-tulang
tangan menjadi lemas dan tak bertenaga lagi, maka selendang
tutra yang tengah ditarik kembali itu menjadi lemat dan
kendor dan menceng, tanpa sengaja tepat sekali menyapu
diketiak kiri laki-laki kekar yang duduk semadi itu, seketika ia
menggembor keras terus roboh. Darah menyembur keras dari mulutnya, luka ditambah luka
keruan tambah parah lagi keadaannya.
Perubahan yang beruntun terjadi itu kalau dikata lambat
hakikatnya berlangsung secepat kilat hanya sekejap saja.
Setelah terhuyung mundur perempuan pertengahan segera
menubruk maju lagi bagai harimau kelaparan sambil berteriak
beringas: "Bocah keparat yang telengas, sungguh kejam cara
turun tanganmu !" Namun betapapun ia menubruk dan menyeruduk bagai
banteng ketaton, gerak geriknya sudah tidak segesit tadi,
karena pundak kirinya terluka sehingga Lwekangnya susut
sebagian besar. Bahwasanya tadi Giok liong hanya membawa adatnya
sendiri sehingga ia kesalahan tangan melukai orang, kini
melihat keadaan lawan serta laki laki kekar yang sekarat itu,
hatinya menjadi menyesal dan mendelu, sejurus ia balas
menyerang lalu berseru lantang: "Kau sendiri yang harus
disalahkan. Toh bukan aku sengaja, sudahlah selamat
bertemu !" tubuhnya lantas melesat keluar hutan.
"Kemana kau !" walaupun pundak kiri terluka namun
Giakang perempuan pertengahan umur masih tetap lihay,
sekali melejit ia sudah menghadang didepan Giok-liong sambil
menarikan selendang sutranya, dimana angin mendesis
menggulung tiba, terdengar ia bersuara dengan gemas sarribil
kertak gigi: "Keluarga yang bahagia, telah porak poranda
karena bocah keparat ini ! Kecuali kau bunuh aku, kalau tidak
selama hidup ini jangan harap kau bisa tinggalkan tempat ini!"
Rasa dongkol dan gemas terlontar dari kata-katanya,
demikian juga sorot matanya berkilat penuh kebencian, air
mata mengalir keras, Biasanya orang kalau tidak sedih takkan
mengalirkan air mata, naga-naganya perempuan ini betulbetul
sangat pedih dan menderita batin. Keadaan Giok-liong menjadi serba susah, mau pergi tidak
bisa, kalau bertempur ia tidak suka melukai lawan, Dalam
keadaan yang kepepet apa boleh buat tangannya harus
bekerja menangkis atau menyampok serangan selendang
musuh kalau tidak mau diri sendiri yang bakal konyol. Suatu
kesempatan ia berseru penasaran: "Kau selalu mendesak
orang tanpa memberi kesempatan, malah menuduh semenamena
bahwa aku telah mencelakai keluarga kalian. Siapakah
dan apa namamu ?" Pedih dan lara perasaan perempuan setengah umur apalagi
luka di pundaknya sangat mengganggu tenaganya sehingga
cara turun tangannya semakin lemah, tenaga serangannya
tidak sedahsyat semula, namun sekuat tenaga ia masih
berusaha menyerang dengan selendang sutranya.
Giginya terdengar berkeriut, desisnya: "Aku tahu kau
seorang tokoh kejam yang sudah kenamaan, Siapa tidak kenal
nama Kim pit-jan-bun yang tenar ttu, Tapi tidak seharusnya . .
. " suaranya tersenggak oleh sengguk tangisnya.
Giok - liong berseru keras: "Kalau kau sudah kenal aku,
bagaimana juga harus bicara dengan alasan yang terpercaya
!" "Apalagi yang harus dilakukan, apakah perlu lagi kenyataan
didepan mata ini merupakan bukti yang terang !"
"Peristiwa disini tak bisa menyalahkan aku sendiri !"
"Jadi maksudmu menyalahkan aku ! Bajingan, biar aku adi
jiwa dengan kau !" "Cring!" tiba tiba sinar dingin berkilau menyilaukan mata
meluncur bagai bianglala, Tahu-tahu tangan perempuan
pertengahan u-njur sudah melolos keluar sebatang pedang
lemas sepasang tiga kaki, sedemikian lemas pedang itu setipis
kertas, lebar tiga senti, seluruh batang pedang memancarkan
sinar kebiru-biruan. Praktisnya pedang ini dapat digunakan sebagai sabuk di
pinggangnya, kini setelah dilolos langsung ia menyapukan
kedepan. "Siuuuuut..." pedang yang tipis lemas itu kini mendadak
menjadi kaku lempang, dimana pergelangan tangan
perempuan pertengahan umur berputar seketika berpetaIah
kembang pedang seiring dengan gerak langkah orang pelanpelan
bayangan sinar pedang meluncur kedepan.
Bukan kepalang kejut Giok-liong serunya tertahan: "Pek tok
lan-king-hoat-hiat kiam !" Pek-tok-lan king-hoauhiat-kiam adalah salah sebuah
senjata ampuh dan keji dari sembilan diantaranya yang sangat
ditakuti dan dipandang sebagai pusaka oleh kalangan hitam di
Kangouw. Namun bagi golongan putih senjata ini dipandang sebagai
benda berbisa yang paling ganas dan ditakuti
Karena pedang ini tipis dan lemas, tapi bila Lwekang sudah
dikerahkan dibatang pedang bisa menjadi lempang kaku.
Apalagi seluruh batang pedang sudah dilumuri beratus macam
kadar racun dari berbagai suku minoritas di daerah
pedalaman. Jangan kata pedang ini menembus badan manusia, hanya
teriris sedikit saja kadar racun, akan segera meresap kedalam
badan dan jiwa sukar diselamatkan lagi, setelah mati seluruh
tubuh berubah menjadi air darah tak meninggalkan bekas.
Oleh karena itulah bagi kaum persilatan golongan putih
pedang ini dipandang sebagai salah sebuah senjata ganas dan
kejam dari sembilan senjata lainnya.
Kalau tidak dipakai pedang ini disarungkan kedalam
serangkanya yang terbuat dari kulit harimau dan dibuat sabuk,
Begitu tercabut keluar hawa dingin lantas merangsang keluar,
sudah tentu kadar racunnya juga lantas bekerja, Bukan saja
pihak musuh takkan kuat bertahan, bagi pemiliknya sendiri
juga begitu sudah melancarkan serangannya harus terus
bergerak membadai tanpa boleh berhenti Lwekang harus
disalurkan terus kebatang pedang untuk mendesak hawa
racun ke ujung pedang. Kalau tidak badan sendiri
kemungkinan besar bisa terkena racun juga.
Oleh karena itu, cara penggunaan pedang ini paling
menguras tenaga besar, kalau tidak dalam keadaan kepepet
tidak sembarangan dikeluarkan. Begitu Pek-tok-lan king-hoat hiat-kiam di lolos keluar, air
muka perempuan pertengahan umur berubah sungguhsungguh
dengan kedua tangannya ia bolang-balingkan
pedangnya dengan langkah berat ia mengancam maju,
ujarnya: "Adalah kau yang mendesak aku. Selama puluhan
tahun baru sekali ini Tam-kiong sian-ci Hoan Ji-hoa turun
tangan!" Begitu mendengar perempuan pertengahan umur
menyebut namanya, tergetar seluruh tubuh Giok-liong, lekaslekas
ia berteriak: "Bibi, jangan! mari kita bicara lagi, lekas...."
Perempuan pertengahan umur mendengus dan
menyeringai tawa sinis penuh kesedihan suaranya dingin
mencekam: "Bangsat licik yang tidak tahu malu, kau takut!"
"Bukan! Bukan takut....."
"Sudah jangan cerewet lagi, sambut seranganku ini!" sinar
biru berkilau menungging keatas terus meluncur turun, hawa
dingin menyesakkan napas, lapat-lapat dari sambaran angin
yang menderu itu tercium bau amis yang memuakkan.
Gesit sekali Giok-liong melompat mundur sejauh mungkin.
Tapi sinar biru berkilau itu bagai bayangan saja mengejar
dengan pesat sekali, Tiba-tiba terlihat sinar kuning memancar
memenuhi udara.Tak berani Giok-liong melawan senjata yang
terkenal ganas itu dengan sepasang tangannya, terpaksa ia
keluarkan Potlot masnya, dengan jurus pura-pura ia tangkis
pedang lawan terus senjatanya diputar melindungi muka,
teriaknya keras: "Bibi, sabarlah sebentar, dengar penjelasan siautit. . ."
"Aku tidak sudi dengar obrolan manismu. Sambut
seranganku!" baru saja jurus pertama dilancarkan jurus kedua
sudah memberondong tiba pula sungguh raya serangan yang
luar biasa, dimana sinar biru kemilau itu menyambar, naganaganya
ia tidak berani berlaku lamban sedikitpun, dengan
mati matian ia terus putar senjata berbisa di tangannya.
walaupun Potlot mas Giok-liong itu adalah senjata Toji
Pang Giok yang sudah kenamaan dan ampuh, betapa juga
merupakan senjata biasa saja, seluruhnya mengandalkan tiputipu
jurus silatnya yang harus sempurna dalam latihan
sekarang menghadapi salah satu dari sembilan senjata
beracun paling ganas di dunia ini, betapapun tak berguna lagi,
tak mungkin memperlihatkan perbawanya, ditambah hati
Giok-liong sendiri sudah keder pula hatinya penuh keraguan,
tak heran kedatangannya semakin payah dan terdesak terusc
Sedapat mungkin ia putar Potiot masnya sekencang
mungkin untuk melindungi badan, bagaimanapun juga tidak
boleh buat menangkis senjata lawan yang beracun.
Sebaliknya Tam-kiong-sian ci Hoan Ji-hoa semakin
bernafsu, jurus demi jurus semakin ganas, tak peduli senjata
potlot atau bayangan orangnya, begitu ada kesempatan tentu
ditabas dan dibacoknya dengan gemesnya.
Puluhan jurus telah berlalu, pancaran sinar biru semakin
berkembang dan menyolok, demikian juga hawa dingin
semakin membekukan, hawa beracun jaga semakin tebal
dengan baunya yang memualkan itu. Keadaan Giok-liong semakin keriputan berloncatan kian
kemari sehingga mencak-mencak seperti joget kera. Kalau
keadaan Giok-liong semakin payah, keadaan Tam-kiong-sianci
Hoan-Ji-hoa juga tidak lebih baik, karena setiap
melancarkan serangannya harus menguras tenaga terlalu
besar, lama kelamaan jidatnya mandi keringat napas juga
tersengal memburu. Setengah jam telah berlalu, pancaran sinar biru semakin
guram, demikian juga mega putihpun semakin pudar, Ketika
belah pihak sudah bertempur mati matian sampai kehabisan
tenaga, Rambut Tam kiong sian-ci Hoa Ji-hoa riap-riapan, air
mukanya pucat, napasnya memburu mesti gerak langkah
sudah sempoyongan namun pedang beracun ditangannya
masih bekerja dengan ganas. Jurus jurus pelajaran ilmu potlot mas Giok liong sudah
dilancarkan berulang kali, Tapi karena tidak berani menangkis
atau bersentuhan dengan senjata lawan, jadi hakikatnya
selama ini ia hanya main kelit dan bela diri saja, sebetulnya
banyak kesempatan dapat merobohkan musuh dengan sekali
gebrak saja, sayang hatinya penuh keraguan sehingga sia-sia
saja kesempatan baik itu. Mendadak bergerak hatinya "Kenapa aku tidak gunakan
seruling samber nyawa untuk memecahkan ilmunya !"
Bahwasanya seruling samber nyawa adalah senjata pusaka
peninggalan tokoh-tokoh persilatan yang kosen, merupakan
senjata sakti dan ampuh berkasiat dapat melawan hawa
Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beracun adanya kesaktian yang madraguna ini mungkin tak
perlu takut lagi akan pedang beracun."
Tanpa banyak pikir lagi segera ia merogoh keluar seruling
samber nyawa, Alunan lima irama seruling dengan lagu yang
merdu segera kumandang ditengah udara, dimana sinar putih
melayang dari batang seruling terhembus hawa dingin yang
menyegarkan seketika terbagun semangat Giok-liong.
Betul juga begitu seruling ditangannya bergerak hawa
beracun yang berbau amis memualkan itu lantas sirna tanpa
bekas seperti tersapu bersih oleh hujan badai. Keruan bukan
kepalang girang Giok liong, batinnya: "Sungguh goblok aku,
kenapa sejak mula aku tidak teringat akan hal ini!"
Segera ia putar seruling ditangannya lebih kencang,
mulutnya berseru: "Bibi, lekas simpan kembali senjata beracun
itu, kalau tidak. . ." belum habis kata-katanya mendadak ia
rasakan seruling ditangannya seperti ular hidup dapat
bergerak sendiri seperti tumbuh daya sedot tergerak
mengikuti ayunan padang beracun kemana saja melayang,
yang lebih hebat lagi saban-saban menangkis dan menutuk
kebatang pedang dengan tanpa terkendali lagi.
Giok-liong menjadi heran mendadak terasa tangan kanan
tergetar keras, tak kuasa lagi seruling itu lantas bersuit
nyaring terlepas dari tangannya, seperti kuda pingitan lepas
dari kandangnya melesat terbang kedepan dengan kencang.
"Celaka !" - "Trang !" - "Aduh !" perubahan yang terjadi ini
betul-betul dlluar dugaan, Tahu-tahu Pek-tok-lan-king hoathiat-
kiam sudah terpental terbang ketengah udara setinggi
puluhan tombak meluncur kelereng gunung sana.
Irama seruling juga lantas berhenti, daya sedot dan
pancaran sinarnya yang cemerlang tadi juga semakin guram,
Giok-liong berdiri terlongong aitempatnya seperti patung.
Dilain pihak, tampak Tam-kiong-sian-ei Hoan Ji-hoa terjurai
sempoyongan, wajahnya pucat pias tanpa darah, sebaliknya
telapak tangannya pecah mengucurkan banyak darah.
Perubahan ini betul betul tak terduga sebelumnya.
Beruntun Hoan Ji hoa terhuyung beberapa langkah, akhirnya
tangannya menyikap dahan pohon. sekuat tenaga ia meronta
berdiri, desisnya geram: "Ma Giok liong! Ma Giok - liong !
Kapan Hwi-hun sam-ceng berbuat salah terhadap kau !"
Perasaan Giok-liong sungguh sukar dilukiskan dengan katakata,
hatinya seperti ditusuk tusuk sembilu, ia berdiri kesima
memandangi seruling dan potlot mas ditangannya. Akibat
yang dialami ini betul-betul diluar dugaannya.
Tak tahu dia bahwa seruling pusaka ini begitu sakti
mandraguna, begitu kebentur dengan senjata berbisa yang
jahat, tanpa komando lantas memperlihatkan perbawanya,
begitu hebat perbawa kesaktiannya sampai tenaga manusia
juga tidak mampu mengendalikan. Lama ia berdiri bagai kesetanan. akhirnya tersadar dari
lamunannya. Membaru berapa langkah sambil menyimpan
seruling dan Potlot masnya, katanya tergagap: "Bibi siautit. .
." "Stop!" Tam-kong-sian-ci Hoan -Ji-hoa membentak bengis:
"Selangkah lagi kau maju, aku bersumpah takkan hidup
bersama kau didunia ini. Ketahuiah bahwa warga Hwi-hunsanceng
boleh dibunuh tak boleh dihina. Berani maju alangkah
lagi, kumaki kau habis-habisan."
Terpaksa Giok-Iiong menghentikan langkah, jauh-jauh ia
berdiri serunya dengan nada memohon:" Bibi dengarlah
penjelasanku!" Sekonyong-konyong setitik sinar terang melengking nyaring
menembus udara meluncur datang dari kejauhan sana
langsung menerjang kemata kanan Giok liong, Betapa cepat
daya luncuran titik sinar terang ini serta ketepatan sasaran
yang diarah betul-betul mengejutkan.
Sambil berkelit minggir Giok-liong menggerakkan tangan
meraih benda yang meluncur datang itu dan tepat kena
ditangkapnya, Waktu ia menunduk melihat, kiranya benda di
telapak tangannya itu bukan lain adalah sebentuk batu giok
yang berbentuk jantung hati warna merah darah pemberian
ibunya sebelum berpisah dulu. seketika ia berjingkrak
kegirangan, teriaknya keras: "Adik Sia! Ki-sia"
"Siapa adik Sia-mu, manusia tidak kenal budi, mata
keranjang tak kenal cinta suci!"
Betul juga Coh Ki sia sudah melayang tiba dihadapan Giok
liong, Tapi bukan menghampiri kearah Giok liong, segera ia
memburu lari kepelukan Tam-kiong-sian-ci Hoan Ji-hoa,
katanya sambil sesenggukan "Bu, kenapa kau Bu. . ."
Wajah Hoan Ji hoa berkerut kerut bergetar sekuatnya ia
menahan sakit sebelah tangannya mengelus-ngelus rambut
putri kesayangannya, air matanya mengalir deras, ujar
gemetar: Anak Sia! Nak, kemanakah kau selama ini, membuat
ibumu menderita mencarimu!" Sambil mengembeng air mata Coh Ki sia menunjuk Giokliong,
katanya: "Dia pergi sekian lama tanpa memberi kabar
berita, Maka tanpa pamit aku melarikan diri dari penjagaan
nenek, Tak nyana selama kelana di Kangouw ini baru aku tahu
bahwa dia bukan lain seekor serigala cabul yang suka ngapusi
kaum perempuan." Mendengar ini, segera Giok liong menyelak bicara: "Adik
Sia, mana boleh kau bicara sembarangan!"
Tanpa menanti Giok-liong bicara habis, Coh Ki-sia sudah
menyemprotnya: "Kau sangka aku menuduhmu semenamena"
Li Hong, Kiong Ling-ling, Tan Soat-kiau, Ling Soat yan
serta Sia Bik-yau dari Ui - hoa kiam itu . . . masih ada lagi,
oh., Bu, begitu kejam ia menyiksa anak"
"Dari mana asal mula perkataanmu ini, memang dikalangan
kangouw tersiar kabar demikiaa, tapi kenapa kau begitu
percaya obrolan orang !" Tam kiong-sian ci Hoan Ji-hoa mendelik gusar berapi-api,
gerangnya marah: "Apakah kau melukai kita suami istri juga
pura-pura !" "Hah ! Dimana ayah " Ayah . . ."
"Ayahmu terkena pukulan Sam-ji cui-hun-chiu, setelah
terluka parah . , . anak Sia coba kau tilik dia, mungkin dia . . .
" Tak tertahan lagi Hoan Ji-hoa ikut menangis sesenggukan.
Coh ki-sia berjingkrak berdiri, setindak demi setindak ia
menghampiri kehadapan Giok-liong, desisnya berat : "Baru
sekarang aku dapat melihat muka aslimu ! Manusia berhati
binatang !" Cepat-cepat Giok liong membela diri:
"Aku toh tidak tahu kalau beliau adalah paman dan bibi."
"Tutup mulutmu! Meski ayahku bakas tokoh kenamaan di
dunia persilatan tapi toh bukan tidak punya nama, apalagi
ilmu Hwi-hun-chiu tiada aliran kedua di dunia ini !"
"Tapi, aku . . . aku tidak tahu !"
"Tidak tahu ! Kau sengaja !"
Tam-kiong sian ci Hoa Ji hoa mendengus hidung,
jengeknya: "Hm, aku sudah memperkenalkan diri kau masih
tidak tahu ?" "Bukankah aku segera memanggilmu bibi, serta minta kau
orang tua segera berhenti ?" "Lalu kenapa kau keluarkan Potlot mas dan seruling samber
nyawa, Melancarkan Jan-hun-su-sek lagi secara mati-matian
hendak adu jiwa dengan aku !" "Ini kan , . . karena . . ."
Kontan sambil marah Coh Ki sia me^langkah setindak,
jarinya menuding hidung Giok liong, semburnya: "Aku tidak
akan mendengar obrolanmu Mana kembalikan !"
"Apa ?" "Giok-pwe milikku itu !" Pelan-pelan GioK-liong menarik keluar Giok-pwe tanda
mata yang tergantung dilehernya itu, katanya lirih : "Adik Sia,
lihatlah . . . " Tak diduga kemarahan Coh Ki sia sudah tak terbendung
lagi, sekali raih ia terus rebut Giok-pwe itu dan ditariknya
sekuatnya sambil membanting kaki. Benang sutra yang
mengikat putus, sampai Giok-Iiong sendiri ikut tertarik
menjorok kedepan hampir jatuh tersungkur, wajahnya pucat
dan sedih. Kiranya amarah Coh Ki sia belum reda, lagi-iagi tangannya
diulurkan katanya lagi : "Masih ada, kembalikan sekalian !"
"Masih ada " Apa ?" "Sapu tangan !" "Sapu tangan ?" "Mengapa" kau sudah lupa ?"
"Tidak, bagaimana aku bisa lupa ?"
"Lha, kembalikan !" "ini . . . " "Ini itu apa, lekas kembalikan. Sejak hari ini putus
hubungan kita." Hati Giok-liong seperti ditusuk-tusuk, katanya memohon :
"Adik Sia, sejak perpisahan di Hwi-hun-san-cheng, siang
malam selalu kuteringat akan kau, masa kau .."
"Sudah jangan cerewet, kembalikan sapu tanganku itu ?"
Sementara itu, Hoan Ji hoa yang belum sempat istirahat
mendengar percakapaa putrinya ini, rasa gusarnya memuncak
lagi, akhirnya ia tak tahan berdiri lagi tangannya mengapegape
dahan pohon berusaha berpegangan, saking lemasnya
akhirnya ia menyemburkan darah lagi terus melorot jatuh
terduduk. Betapa erat ikatan batin antara ibu dan anak, bertambah
mendelu dan pedih perasaan hati Coh Ki sia, desaknya sambil
membanting kaki: "Kau mau kembalikan tidak?"
Giok-lioig jadi nekad, katanya terus terang: "Sapu
tanganmu tak berada ditanganku."
"Lalu dimana ?" "Diambil oleh Hiat-ing Kong cu . . . "
"Plak, plak !" dua tamparan keras dan nyaring seketika
membuat kedua pipi Giok-liong bengap dan terasa panas,
mata sampai berkunang-kunang. Setelah menampar muka Giok liong, tak tertahan lagi Coh
Ki-sia menjerit nangis gerung-gerung terus berlari ke hadapan
ibunya, katanya sambit sesenggukan: "Bu, akulah yang salah
sehingga kau ikut menderita." "Anak Sia, jemput kembali pedang ibu!" "Tanpa mengerling
ke arah Giok liong yang berdiri terlongong mematung, cepat
Coh Ki-sia berlari ke arah sana menjemput Pek-tok-lan kiangTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/ hoai-hiat kiam, pelan-pelan ia payang ibunya, lalu tanyanya :
"Dimanakah ayah !" Sekuatnya Hoan Ji-hoa merangkak bangun menggelendot
di pundak putrinya, selangkah demi setindak maju kehadapan
Giok-liong yang mematung itu. katanya dengan napas
memburu: "Ma Tay-hiap, kalau kau hendak memusnahkan
Hwi-hun-san cheng, sekarang inilah saat yang paling baik,
setelah detik ini kelak kau jangan menyesal."
Pandangan Giok-Iiong mendelong memandang ke arah
jauh sekejappun ia tidak berkata-kata.
Terdengar suara batuk batuk serta langkah berat Hwi-hunchiu
Coh Jian kun pelan pelan berjalan keluar dengan
sekuatnya, serunya menyambung: "Benar, selama puluhan
tahun ini, aku Coh Jian-kun belum pernah mengikat
permusuhan dengan tokoh Bulim siapapun ! Tapi, Ma Tayhiap,
tak kira aku harus terjungkal di tanganmu."
Lekas-Iekas Coh Ki-sia memburu maju membimbing
ayahnya, air mata mengucur tak tertahan lagi.
Kata Coh Jian-kun lagi: "Hari ini, kita suami istri serta putri
tunggalku berada di arena. Kalau saat ini kau tidak sekalian
membereskan kita, perhitungan ini selamanya akan kuresapi
dalam sanubariku begitu ada kesempatan pasti kucari kau !"
Betapa sedih perasaan Giok-liong sulit dilukiskan dengan
kata-kata, seumpama seorang bisu yang menelan empedu
(rasanya pahit), ada maksud bicara tapi tak bisa ber-kata,
pelan-pelan ia berkata suatanya serak sembetj "Pa . . . man. .
." "Tutup mulutmu !" Mata Coh Jian-kun mendelik besar bentaknya: "Seumpama
To ji Pang Giok sendiri bakal membela kau, dendam sakit hati
ini selama aku masih hidup bersumpah harus ku balas."
Begitu bernafsu ia bicara sehingga amarahnya memuncak,
apalagi luka-lukanya belum sembuh seketika ia memuntahkan
darah segar lagi, badan juga terhuyung hampir roboh.
Keadaan Tam kiong-sian ci Hoan Ji hoa juga rada payah,
namun melihat keadaan suaminya lekas-lekas ia memburu
maju saling berpegangan, ibu beranak memayang dari kiri
kanan serentak mereka bersuara bersama: "Sudahlah tak
perlu banyak mulut lagi!" Giok-liong mengawasi saja tak bisa berbuat apa-apa, rasa
hatinya semakin mencekam, katanya pelan-pelan: "Terang
kalian tidak memaafkan aku, dan memberi kesempatan
supaya aku menjelaskan untuk membela diri, Tapi mas murni
tetap mas murni, kenyataan tetap kenyataan aku juga tidak
perlu khawatir, akan datang suatu hari semua ini dapat dibikin
beres dengan terang duduk perkaranya, semua ini hanya
salah paham melulu, terserah kau mau percaya!" kata terakhir
terang ditujukan kepada Coh-ki sia malah tangannya juga
menunjuk kearahnya. Akan tetapi jawaban yang ia dengar tetap jengekan
menghina yang dingin : "Hm, salah paham !"
Tam-kiong sian-ci Hoan Ji-hoa berkata: "Kita akan segera
pulang!" Giok-liong tertawa getir, katanya apa boleh buat: "Silakah !
Aku Ma Giok-liong pasrah nasib saja."
Hwi-hun-chiu Coh Jian-kun menggeleng kepala, ujarnya :
"Selama hidup ini takkan kulupakan, peristiwa hari ini kuharap
Ma Siau-hiap juga selalu ingat akan hal ini, mari!"
Saling berbimbingan mereka bertiga beringsut keluar dari
hutan lebat ini. Mengantar kepergian bayangan mereka tak tahu Giok-Iiong
perasaan harinya getir atau pahit, tak terasa air matanya
mengembeng terus menetes membasahi pipinya.
Dia bertanya kepada dirinya sendiri - "Apakah sudah
suratan takdir hidupku ini penuh penderitaan sehingga setiap
orang yang bertemu berkumpul dengan aku selalu mengalami
bencana atau penderitaan " Kalau tidak, mengapa. . ." dia
tidak berani memikirkan lebih lanjut.
"Betapa juga harus mengatakan isi hatiku." demikian
pikirnya, maka bergegas ia berlari mengejar keluar serta
Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
teriaknya: "Hai tunggu sebentar !"
Karena luka-luka mereka yang parah sehingga jalannya
agak lambat, mendedgar teriakan Giok-liong serentak Coh Jian
kun bertiga berpaling. "Kau menyesal dan sekarang hendak membabat rumput
seakar-akarnya !" bentak Hoan Ji-hoa dengan bengis.
Mata Giok-liong berkilat, alisnya dikerutkan dalam,
mendadak ia kerahkan Lwekangnya terus mengayun sebelah
tangan, sambil membentang mulut ia menggembor keras terut
memukul kedepan, "Blang," sebuah batu besar segede gajah
sejauh puluhan tombak sana seketika meledak hancur
berkeping-keping menjadi debu beterbangan.
Terbelalak pandangan Coh Jian-kun, desisnya gemetar:
"Kau mendemostrasikan Lwekangmu untuk menakuti orang"
Nada suara Giok liong barat dan sedih, teriaknya: "Adik Sia,
kalau hatiku bercabang biarlah riwayatku tamat seperti baru
itu Cukup perkataanku sampai disini, cobalah pertimbangkan
lagi !" Coh Ki-sia sendiri masih dalam keadaan marah, mana mau
dengar penjelasannya, hidungnya mendengus: "Huh, kau
memang pandai bermain badut, Putri orang she Coh sudah
pernah diakali sekali, aku takkan sudi mendengar obrolan
rnanismu, silakan kau pertunjukkan kepada orang lain saja !"
Apalagi yang harus Giok-liong katakan, manggut-manggut
ia berkata: "Baik terserah kau mau percaya, Aku bicara
dengan tulus hati !" "Cis !" Coh Ki-sia meludah terus berjalan pergi membimbing
ayahnya. Keadaan dialas belukar ini menjadi sunyi senyap, angin
menghembus menyegarkan pikiran, pemandangan didepan
mata tidak berubah. Tinggal Giok-liong seorang diri berdiri
terpaku memandangi awan dilangit yang mengembang halus,
pikiran lantas meIayang-Iayang tak tentu arah rimbanya,
lambat laun rasa pedih mengetuk sanubarinya.
Betapa Giok-liong takkan sedih bila teringat akan dendam
kesumat ayah bundanya. Bibit bencana yang bakal bersemi
dan menggegerkan dunia persilatan serta undang-undang
perguruan yang keras, pesan para kawan yang belum
terlaksana, perjanjian bulan tiga dengan pihak Mo khek,
jangka tiga hari yang dibatasi oleh Hutan kematian, seorang
diri menyembunyikan diri dialam pegunungan yang belukar ini
terasa olehnya bahwa dirinya ini seorang yang penuh dosa
nestapa dengan banyak cita-cita yang belum terlaksana.
Sayang sekali tiada seorangpun dalam dunia ini yang mau
meresapi dan percaya akan tutur katanya. seolah-olah dunia
yang besar ini tiada seorangpun yang mau kenal dan
menyelami pribadinya, tiada suatu tempat yang boleh dan
dapat menjadi tempat berpijak untuk hidup tentram sentosa,
hidup sebatang kara memang penuh derita dan sengsara.
"Hidup manusia kalau begitu penuh derita, untuk apa lagi
masih tetap bernyawa dialam baka ini ?" berpikir sampai disini
ia menghela napas panjang-panjang, katanya getir sambil
menggertak gigi : "Lebih baik mati saja !"
Potlot mas sudah dilolos dan ujungnya sudah tepat
mengarah tenggorokannya, ujung yang runcing dan tajam itu
sedikit menembus dagingnya tidak terasa sakit sedikitpun.
Sebab seluruh badannya terasa sudah mem-baal dan kebal.
Tapi ujung senjata yang runcing itu ada merembeskan
hawa dingin yang seketika menyadarkan pikirannya sehingga
daya hidup dalam benaknya mulai berkobar kembali: "Aku
tidak boleh mati!" tak terasa ia berteriak sekeras-kerasnya.
Lalu menggembor dengan lengkingan tinggi menembus
angkasa melemparkan rasa sesak yang mengeram dalam
benaknya. Sekarang badan terasa segar dan enteng, semangat juga
pilih kembali, dengan langkah lebar ia mengarungi semak
belukar yang luas ini. Tak terasa dari pagi sampai petang,
Waktu memang tidak menunggu orang, sekejap saja dua hari
sudah berlelu, seorang diri Giok liong melakukan perjalanan,
pagi-pagi benar ia sudah beranjak di jalan raya, iort harinya
mencari penginapan untuk istirahat. Kalau tiada penginapan ia
menginap di rumah pedesaan atau bermalam di atas pohon.
Hari ketiga, langit mendadak menjadi mendung, kilat
menyambar geledek menggelegar hujan turun dengan
derasnya, Hari sudah sore lagi, saat mana Giok-liong tengah
melanjutkan perjalanannya, didepan tiada rumah dibelakang
adalah hutan belantara, karena tiada tempat untuk meneduh
seluruh badannya menjadi basah kuyup.
Tak jauh kemudian di depan sana kira kira ratusan meter
terlihat bayangan sebuah bangunan rumah yang samarTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/ samar, Segera ia kembangkam ilmu ringan tubuhnya,
beberapa kejap kemudian ia sudah tidak jauh dari rumah batu
merah. Kiranya bukan lain adalah sebuah biara penyembahan
dewa gunung. Keadaan biara ini sudah bobrok dan tak terurus lagi, pintu
besarnya sudah keropos, debu tebal beberapa inci dimanamana
banyak gelagasi, terang sudah lama tidak diinjak orang.
Tanpa ragu-ragu Giok liong terus menerobos masuk
langsung keruang sembahyang Dibawah kaki patung
penyembahan tempat yang tidak kehujanan ia membersihkan
tubuhnya serta mengebutkan matelnya terus dicantelkan
diatas tongkat senjata yang dipegang patung pemujaan itu.
"Tang " tiba-tiba sebuah benda berkilau jatuh dari atas
atap, sedikitpun Giok liong tidak bersiaga, keruan ia
berjingkrak kaget. Tepat pada saat itulah terdengar suara
"Dar!" guntur mengelegar disertai kilat menyamber samarsamar
kelihatan seperti ada sebuah bayangan berkelebat
menghilang. "Siapa" tak kalah cepatnya bayangan putih melesat
mengejar sampai diemper luar, Tapi hujan diluar begitu lebat
mengeluarkan suara gemuruh. mana kelihatan adan bayangan
orang, "Aneh...... hah!" Giok-liong mengguman kembali dibawah
kaki patung pcmujaan, mendadak ia berseru kejut dan
seketika terIong-ong. Karena mantelnya yang dicantelkan diatas
tongkat senjata itu kini sudah terbang tanpa sayap.
Dibawah kakinya benda berkilauan terang dan nyata itu
ternyata bukan lain adalah sebuah lencana besi dari Hutan
kematian, Karena terlalu nafsu hen!ak mengejar bayangan
tadi, jadi ia tidak perhatikan benda apa yang jatuh tadi.
Kini setelah melihat jelas seketika timbul hawa amarahnya,
Disangkanya pasti kamprat-kamprat Hutan kematian yang
mempermainkan dirinya. Cepat benar gerak badan orang itu! Terpikir demikian
lantas teringat pula akan mantelnya yang hilang itu, terang
bahwa orang yang mempermainkan dirinya bukan hanya
seorang saja. Salah seorang melontarkan lencana besi Hutan
kematian, sedang seorang yang lain sembunyi didalam
mencuri mantelnya. "Kawan!" demikian teriaknya keras, "Silakan keluar!"
namun suasana dalam biara bobrok ini tatap sunyi lengang,
gema suaranya mendengung berkumandang.
"Main sembunyi termasuk orang gagah macam apa itu"
Ayo keluar!" bentakan kali ini lebih keras seperti gema lonceng
laksana guntur bergetar, sampai atap genteng penuh debu
beterbangan Tapi keadaan tetap sunyi tanpa penyahutan atau
reaksi apapun. Giok liong menjadi dongkol, dengan cermat dan waspada ia
periksa segala pelosok kelenteng, yang cukup untuk sembunyi
seseorang. Akhirnya ia kewalahan sendiri dan kembali ke ruang
tengah, sambil menghela napas ia duduk bersila, mulai
memusatkan pikiran semadi. Hujan semakin deras, haripun semakin ge-lap, malam telah
meliputi seluruh jagat. Hanya lencana besi Hutan kematian
itulah yang memancarkan sinar dingin berkilau diatas tanah,
Saat mana Giok-liong sudah tenggelam dalam semadinya.
Sekonyong-konyong lapat-lapat hidungnya mengendus bau
arak dan daging panggang tanpa terasa ia menjadi tertawa
geli sendiri, batinnya: "Agaknya perutku sudah kelaparan!
Dalam kelenteng bobrok macam ini mana ada daging dan
arak!" Tapi kenyataan diluar dugaannya, justru bau arak dan
daging itu terbaur disebelah badannya. Tak kuasa lagi Giokliong
berjingkrak bangun sambil berteriak kejut ia tak berani
percaya, matanya dikucek-kueek memandangi empat macam
masakan di sebelah samping kirinya serta sepoci arak,
seketika ia berdiri melongo tak habis mengerti.
"Ini dari mana?" Badannya melenting dan bergerak cepat
memeriksa seluruh ruangan kelenteng, hasilnya tetap nihil,
Dengan hati-hati ia mencium dan mengendus-ngendus
masakan dan arak itu sedikit pun tiada tanda-tanda aneh apa.
Memang perutnya sudah lapar, bau arak daging begitu
merangsang lagi seketika timbul selera dan perutnya menjadi
berkerutukan. "Peduli apa, gegares dulu lebih penting!" tanpa sungkansungkan
lagi ia angkat mangkok dan sumpit yang sudah
tersedia terus mulai makan minum sepuasnya. Belum lagi arak
di tenggak habis empat macam masakan sudah dikuras
kedalam perutnya semua. "Krak," sebuah suara yang lirih tiba-tiba terdengar di
sebelah samping tak jauh sana. Umpama orang biasa apalagi
dalam keadaan hujan lebat yang gemuruh ini tentu takkan
mendengarnya, sebaliknya kejelian telinga Giok-liong memang
hebat luar biasa, seiring dengan Lwekangnya yang bertambah
maju, apalagi hatinya selalu was was dan penuh prihatin, jelas
sekali didengarnya suara lirih itu.
Tapi dia pura pura tidak dengar dan bersikap wajar, duduk
tenang tanpa bergerak di tempatnya matanya dipicingkaa
merem melek, pikiran di pusatkan sambil mengempos
semangat, pelan pelan ia melirik kearah datangnya suara itu.
Sekian lama dinanti-nantikan, tanpa terlihat reaksi apa-apa,
Baru saja Giok-liong berniat bangkit hendak memeriksa, tiba
tiba tidak jauh di sebelah sampingnya sebuah papan bergerak
berbunyi, meski sangat halus dan lirih tapi tak dapat
mengelabui Giok-liong lagi. Pelan-pelan papan batu itu
terangkat naik menunjukkan sebuah lubang kecil.
Giok-liong tinggal diam-diam saja, matanya dipejamkan
pura-pura tidur pulas. Akhirnya papan bata itu tergeser ke samping, seiring
dengan itu dari dalam lubang kecil persegi itu terdengarlah
suara aneh yang mendirikan bulu roma seperti teriakan setan
laksana dedemit menyeramkan, sungguh mengerikan.
Pelan-pelan dari dalam lubang itu muncul sebuah kepal
Bentrok Para Pendekar 26 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Bentrok Para Pendekar 1
berkelit, mengambil imsiatif balas menyerang, berganti jurus melompat menerjang dilakukan
dalam satu gerakan serempak sehingga menambah semangat
dan melihat gandakan daya kekuatan serangannya.
BegituIah terjadi pertempuran sengit tanpa juntrungan,
empat kepalan tangan menari pesat dan lincah sekali di
tengah udara, tipu lawan, tendangan lawan kegesitan, bukan
saja mereka harus cekatan menjaga diri juga harus pandai
melihat gelagat, mengincar lubang kelemahan pihak musuh
untuk melancarkan serangan total berusaha menang.
Saking seru dan sengit pertempuran ini masing masing
pihak sudah kerahkan seluruh kekuatannya sehingga angin
menderu, suasana gegap gempita ini merobohkan pohonpohon
sekitar gelanggang sehingga menambah pertempuran
ini semakin gaduh. Sinar matahari begitu cemerlang menyinari pertempuran
yang aneh dan menjadikan pemandangan mata yang
menakjubkan sekali pertempuran bagi tokoh kosen, setiap
jurus setiap gerak langkahnya harus dilakukan hati-hati dan
secepat kilat, sebentar saja tahu-tahu pertempuran ini sudah
berlangsung seratus jurus lebih. Setelah sekian lama bertempur tanpa dapat merobohkan
lawan, Giok-liong menjadi semakin gelisah, sekilas berkelebat
pikirannya, sinar matanya terpancar semakin tajam, timbul
hawa membunuh. Mendadak ia menggembor keras, suaranya mendengung
menembus angkasa. Belum hilang gema suara gemborannya
tiba tiba ia menghardik lagi : "Awas, sambut ini !"
Kontan terdengar seruan tertahan, bayangan kuning
terpental mundur sejauh lima tombak badan masih terhuyung
lagi tiga langkah terus jatuh terduduk, untung belakangnya
terdapat sebuah pohon besar yang menahan badannya,
sehingga ia tidak jatuh ternauar. Mulut laki-laki kekar ita mengalirkan darah, sinar matanya
menjadi redup, wajahnya yang kaatng seperti berpenyakitan
itu kini berubah pucat pasi, nafasnya memburu kencang,
sebelah tangannya menekan dada, terputus-putus ia berkata
menuding Giok-liong: "Baik . . . aku , . . mengaku . , . tapi . , ,
kau . . . hidung belang , . tak tahu malu , . . ba . , , bagai . . ,
mana . . . terhadap . . . Wahaaahh !" ia berkata terlalu
dipaksakan sekaligus ia menyeburkan dua gumpal darah
segar. Melihat luka orang yang rada berat, Giok-liong menjadi
tidak tega, batinnya: "Aku tiada bermusuhan atau dendam
sakit hati terhadap dia, untuk apa aku turun tangan terlalu
berat !" maka segera ia maju beberapa langkah terus
berjongkok, katanya rendah: "selamanya aku belum pernah
kenal dengan tuan, namun kau begitu bernafsu menyerang
dengan jurus mematikan sehingga aku kelepasan tangan
melukai tuan !" "Crot !" lakf-laki kekar itu meludahi muka Giok liong dengan
riak tercampur darah, "Kau ! Cari mampus !" Giok liong
berjingkrak gusar, sebat sekali tangannya diulur, dua jari
tangannya dengan tepat menutuk dijalan darah Hiat hay di
dada orang. Desisnya mengancam : "Kau tidak dapat
membedakan salah dan benar, jangan salahkan aku tidak
mengenal kasihan." "Kalau kau berani, cobalah bunuh aku!"
"Hm, kau kira aku tidak berani ?".
"Keparat kau memang telengas kejam, rendah dan hina
lagi, perbuatan apa yang tidak pernah kau lakukan."
"Sekaii lagi tuan mengudal mulut semena-mena, asal aku
mengerahkan sedikit tenaga, cukup membuat kau mampus
tanpa liang kubur . . ." Tiba-tiba sebuah hardikan nyaring menembus angkasa,
sebuah bayangan putih meluncur datang dari tengah udara,
Siuuur, sejalur kain sutra panjang mendesis keras tahu-tahu
sudah menggubat dileher Giok-liong, sedikitpun Giok liong
tidak menduga dirinya bakal dibokong dari belakang, begitu
mendengar angin mendesis dan tahu gelagat yang
membahayakan untuk berkelit sudah tidak sampai lagi.
Tahu-tahu ia merasa napasnya menjadi sesak lehernya
terikat kencang, sedapat mungkin ia meronta berusaha
melepaskan diri, tapi gerak gerik pendatang baru ini betulbetul
cepat luar biasa, begitu serangannya berhasil tanpa ayal
tangannya lantas menarik dan menyendal dengan keras.
Karena leher digubat selendang satra, Gi-ok-liong sulit
mengerahkan Lwekangnya, kontan tubuhnya kena digentak
mumbul ketengah udara, melayang seperti layang layang
putus benang setinggi tiga tombak terus terbanting keras di
tanah. Karena tiada kesempatan untuk mengerahkan hawa murni
melindungi badan, seketika ia terbanting celentang dengan
kaki tangan menghadap kelangit. Keruan sakitnya bukan buatan, sampai mata berkunangkunang
kepala pusing tujuh keliling. Bantingan keras ini betul-betul merupakan suatu pukulan
keras bagi Giok-liong selama kelana di Kangouw, betapa dia
takkan berjingkrak gusar seperti kebakaran jenggot.
Begitu tubuhnya menyentuh tanah, hawa murni segera di
empos, dengan mengerahkan seluruh kekuatannya ia
mencelat setinggi tiga tombak, badannya terus meluncur tiba
sambil menggerakkan kedua telapak tangannya.
Saking susar dan gemas maka luncuran serta serangannya
ini betul-betui hebat sekali, seolah-olah ingin rasanya sekali
pukul hancur leburkan lawan menjadi bergedel.
Begitulah dengan nafsu membunuh yang bergelora di
badannya Giok-liong meluncur turun laksana air bah
dicurahkan dari tengah udara, tapi tiba-tiba ia berseru kejut.
Lekas lekas ia menarik serangannya dan punahkan tenaga
kekuatan pukulannya, badan juga lantas berhenti meluncur
dan hinggap ditengah jalan, Begitu berdiri tegak dengan
kesima ia berdiri mendelong, berutang kali ia kucek-kucek
matanya menatap pendatang baru ini, air mukanya kaku
tanpa perasaan ia berdiri terlongong seperti patung.
"Bocah keparat, apa yang kau lihat !"
Giok-liong tetap kesima berdiri ditempatnya, Sebab
perempuan pertengahan umur yang membawa selendang
sutra sepanjang dua tombak itu betul betul persis seseorang,
seorang yang selalu dirindukan oleh Giok-liong.
"Persis benar, seperti pinang dibelah dua !" dalam hari
Giok-liong membatin : "Selain usianya yang berbeda, boleh
dikata orang ini seperti duplikat adik Sia, mungkinkah didunia
ini terdapat orang yang begitu mirip satu sama lain ! "
Sementara itu, perempuan pertengahan umur itu sudah
menggulung selendangnya terus menghampiri kesamping lakilaki
kekar, suaranya lembut penuh kekwatiran : "Bagaimana
luka-Iukamu . . ." Wajah laki-laki kekar mengunjuk penasaran dan gusar,
sahutnya dengan kepedihan: "jangan kau hiraukan aku !
carilah dia ...." sampai disini ia sudah tak kuat meneruskan
sambil menunjuk Giok liong yang masih berdiri terlongong itu
ia berkata lagi tergagap: "Ringkus dia . . . tuntut
pertanggungan jawabnya !" Perempuan pertengahan umur menjadi terharu dan
mengembeng air mata, Tar ...tiba-tiba ia mengayun selendang
sutra ditangani nya seperti pecut, terus menerjang maju
kehadapan Giok liong, bentaknya sengit: "Bocah keparat,
kembalikan anak putriku!" Saat mana Giok-liong, tengah berdiri kesima, seketika ia
menjadi tertegun mendengar seruan orang mundur selangkah
ia bertanya: "Putrimu! Dari mana asal pertanyaanmu ini,
selamanya kiia belum pernah bertemu muka. apa kau sudah
gila!" "Apa, jadi kau hendak mungkir!"
"Bukan aku ingin mungkir, adalah menista orang semenamena!"
"Kau melepas api membakar rumah, pura-pura mau
sembunyi tangan, lihat serangan."
Selendang sutranya berputar ditengah udara melingkar
seperti-ular hidup terus menukik turun menindih ke atas
kepala Giok-liong, perbawa serangan ini cukup lihay dan
hebat. Kalau Giok-liong tidak mau melawan, terpaksa ia harus
melompat mundur baru bisa menghindar dari ancaman
berbahaya ini, Tapi pelajaran yang dialami tadi membuat ia
harus berpikir dua belas kali, berulang kali ia sudah berusaha
mengalah dan main mundur, akhirnya dirinya malah
kehilangan kontrol dan kepepet semakin payah, kehilangan
inisiatif menyerang setiap tindak, setiap langkahnya selalu
menghadapi mara bahaya melulu. Maka untuk kali ini terpaksa ia tidak sudi main mengalah
atau mundur lagi, jurus Cin chiu pelan-pelan dilancarkan untuk
memunahkan serangan musuh mengurangi tekanan dahsyat.
bentaknya keras: "Nama atau shemu saja aku tidak tahu
darimana . .." "Tidak tahu sudah tentu akan kubuat tahu!"
Perempuan pertengahan umur ini menyerang dengan
penuh nafsu, seiring dengan makiannya, selendang sutra
dilarikan semakin kencang sebegitu lincah dan cepat sekali
seumpama hujan angin juga sudah menembusnya.
Begitu besar tenaga yang terkerahkan di atas senjata
panjangnya ini sampai angin menderu menyapu debu dan
rumput disekitar geIanggang. Tatkala itu sudah menjelang tengah hari, bayangan
selendang berlapis-lapis melayang ditengah udara
memancarkan sinar sutra yang berkiiau menyilaukan mata.
Apalagi pakaian panjang yang dikenakan perempuan
pertengahan juga warna putih dari sutra lagi.
Demikian juga jubah panjang Giok-liong berwarna putih
bersih pula, Maka terlihatlah dua bayangan putih saling
berloncatan dengan diselubungi seleadang sutra yang selulup
timbul diantara mega putih laksana naga mengamuk.
Sebetulnya kalau Giok-liong mau melancarkan kepandaian
simpanannya, selendang sutra lawan sejak tadi sudah berhasil
dapat dihantam hancur berkeping-keping, paling tidak musuh
juga sudah terluka parah, Andaikata tidak bagian Lwekangnya
saja yang terkerahkan kiranya cukup dapat mengambil
kemenangan tanpa menghadapi rintangan yang berarti !
Tapi Giok-liong tidak mau berbuat demikian, karena apakah
" Tak lain karena wajah perempuan pertengahan umur persis
benar dengan istri tercinta yang tengah mengharap dirinya
pulang ke Hwi-hun san-cheng. Betapapun ia tidak tega turun
tangan untuk menurunkan tangan kejam.
Pertempuran silat tingkat tinggi memerlukan kosentrasi
yang berlipat ganda, bagaimanapun sekali pikirannya
bercabang, bukan saja tidak dapat mengambil kemenangan
malah mungkin sedikit saja saja lantas mengunjuk setitik
lubang kelemahan ini cukup kesempatan bagi musuh untuk
melancarkan serangan mematikan. Demikianlah keadaan pertempuran saat itu, sekejap mata
lima enam puluh jurus sudah berlalu. Diatas dataran lamping
gunung ini, selendang sutra putih sepanjang dua tombak telah
ditarikan demikian rupa oleh perempuan pertengahan umur
sehingga angin menderu laksasa angin lesus, laksana hujan
badai seperti pula gelombang ombak samudra, semakin lama
ternyata semakin cepat dan semangat, sebaliknya keadaan
Giok liong semakin terdesak dan terkekang didalam
lingkungan angin menderu, keadaannya sudah semakin payah
dan terdesak dibawab angin, terang tidak lama lagi dirinya
pasti dapat dikalahkan. Sekonyong-konyong terdengar bentakan nyaring merdu:
"Roboh!" bayangan putih berkelebat sejalur serangan dahsyat
bagai layung menerjang tiba "Celaka !" dalam kesibukannya, lekas-lekas Giok-liong
gunakan tipu Jiang-liong-jip-hun (ular naga menyusup ke
dalam awan) sekuat tenaga kakinya menjejak tanah, seketika
tubuhnya mencelat tinggi melambung ke tengah udara
setinggi lima tombak. "Blang." ledakan dahsyat seperti gugur gunung
menggetarkan bumi pegunungan. Ternyata selendang sutra
yang lemas itu telah melilit sebuah pohon besar terus digulung
tinggi tercabut keakar-akarnya terbang meninggi ketengah
udara. "Krak". "Byar!" daun dan debu beterbangan sejauh tujuh delapan
tombak. Bayangkan betapa dahsyat perbawa keku atan selendang
sutra ini, seumpama orang yang kena dililit dan dibanting pasti
badannya hancur lebiir menjadi perkedel, masa bisa hidup
lagi. Begitu jurus serangan ampuhnya melilit roboh sebuah
pohon, bukan saja rasa amarah perempuan pertengahan
belum reda malah semakin berkobar seperti api disiram
minyak, Kelihatan rasa gemas dan dongkolnya semakin
mendalam, sekali lagi ia ayun dan tarikan selendang
senjatanya itu, seraya melompat menubruk.
Udara serasa menjadi gelap kerena tertutup oleh putaran
selendang yang melebar dan mendesis kencang itu, laksana
mega mendung menjelang hujan lebat dengan angin badai
menerpa dahsyat. Belum lagi badan Giok-liong menyentuh tanah, selendang
sutra yang lemas itu sudah memecut tiba lagi. Bercekat hati
Giok-liong, hatinya rada gentar menghadapi senjata lemas
musuh yang hebat tadi, cepat-cepat ia gunakan gaya Hoan-inhu
hu. untuk kedua kalinya badannya melenting tinggi, dalam
seribu kerepotannya, tangannya meraih sebatang dahan
pohon dengan meninjam daya pantulan dahan pohon ini
badannya terus terayun lima tombak lebih jauhnya.
Waktu badannya meluncur turun dan hinggap ditanah
kebetulan tiba disamping laki laki kekar yang tengah duduk
semadi mengerahkan tenaga istirahat, sebetulnya bagi Giokliong
tiada maksud tertentu. Tapi lain bagi penerimaan perempuan pertengahan umur
itu, bentaknya nyaring penuh kekuatiran: "Bocah keparat,
berani kau!" Ternyata ia mengira Giok-liong hendak mengambil
keuntungan ini menyerang orang yang sudah terluka tak
mampu bergerak itu. Seiring dengan bentakannya, selendang
putih panjang itu telah disapukan datang dengan kencang
laksana sebatang tongkat besi dengan jurus Heng cio-jian-kun
dengan kencang menyerampang tiba.
Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kembali amarah Giok liong semakin berkobar beruntun ia
sudah mengalah malah jiwa sendiri hampir melayang karena
musuh mendapat kemurahan hatinya, kini saking marah
timbul nafsu membunuh dalam benaknya.
Tanpa berkelit atau menyingkir lagi ia kerahkan hawa Ji-lo
melindungi badan, seketika mega putih bergulung mengitari
dan menyelubungi badannya, ditengah mega putih yang
bergulung gulung itu telapak kanannya tiba-tiba menyampok
maju menangkis selendang musuh yang lempang seperti
tongkat besi itu, bersama itu selicin belut segesit kera
melompat tahu-tahu ia bergerak lincah sekali melesat
kehadapan perempuan pertengahan umur.
Telapak tangan kiri pelan-pelan menyelonong maju
menekan kejalan darah Tiong-ting perempuan pertengahan
umur. Perempuan pertengahan umur terkejut bukan main, lekaslekas
ia menarik balik selendang putihnya.
"Waa..." Aduh" - "Hm!" tiga macam jerit dan seruan yang
berlainan berbunyi bersama, bayangan orang lantas berpencar
kedua jurusan. Sebetulnya telapak tangan kiri Giok-liong sudah tepat
menekan kejalan darah Tiong-ting, tapi mendadak ia teringat
bahwa musuh adalah kaum hawa, tak mungkin dirinya berlaku
begitu kurang adat, maka ditengah jalan ia rubah sasarannya
berganti menepuk pundaknya, ternyata dengan telak
serangannya telah mengenai sasarannya.
JIlid 15 Sekarang Giok-liong tidak main sungkan lagi, kedua
tangannya tampak bergetar terpentang, Sam-jicui-hun chiu
mulai dilancarkan. Kelihatan mega putih berkembang hawa Jilo
menyelubung tubuhnya, sebuah telapak tangan putih halus
bergerak lincah berubah laksana ribuan bayangan tangan,
dengan ketat ia lindungi pemuda baju biru, sekaligus ia
lancarkan delapan belas pukulan dan tendangan menyerang
para gadis baju kuning anak buah Ui-hoa-kiau itu.
Perbawa ilmu sakti memang bukan olah-olah hebatnya,
dimana angin badai melandai bayangan kuning lantas
tergulung berpencaran keempat penjuru sambil berteriak
kesakitan, Untung Giok-liong tidak bermaksud mengambil jiwa
mereka, kalau tidak tentu mereka sudah mampus.
Keruan Ui-hoa-kiaucu Kim Ing berjingkrak gusar melihat
anak buahnya dihajar bulan bulanan segera ia menubruk maju
dengan sengit, bentaknya: "Besar nyalimu !"
Bayangan putih dan kuning kini saling berkutet lagi,
masing-masing lancarkan serangan yang lebih ganas dan
lihay, sampai detik itu belum kelihatan siapa bakal menang
dan asor. Sambil menghadapi serangan musuhnya yang sudah sengit
ini, Giok-liong masih berkesempatan berteriak: "Hoa Sip-i !
Kesempatan yang baik ini kau masih tidak mau pergi, kapan
baru kau hendak menyingkir!" Napas Hoa Sip i masih ngos-ngosan, sahutnya lemah: "Aku
betul-betuI sudah tidak bertenasa, Tuan penolong dendam
penasaran kau balas dengan budi pekerti. baiklah aku terima
dengan tulus hati ! Adik Yau sudah mangkat, aku juga tidak
ingin hidup lagi!" Giok-liong merasa toleran akan keadaan orang yang hampir
sama dengan riwayat dirinya maka tanpa banyak pikir lagi ia
berteriak: "Cobalah kau semadi sebentar mengumpulkan
tenaga ! Selama gunung masih tetap menghijau, jangan
kwatir takkan memperoleh kayu bakar."
"Hahaha !" terdengar Ui hoa-kiaucu Kim Ing mengejek:
"jiwamu sendiri susah terlindung masih coba perhatikan
keselamatan orang lain." Tiba-tiba bayangan kuning bergerak melebar, kiranya
sepasang lengan baju Ui-hoa-kiaucu yang besar gondrong itu
ditarikan sedemikian cepat dan lincah main kebas, menyapu,
menusuk dan menghantam. Semua yang diarah adalah
tempat-tempat penting ditubuh Giok-liong dengan berbagai
ragam tipu silat. Sementara itu, menurut anjuran Giok liong, Pemuda baju
biru Hoa Sip i tengah duduk bersila menghimpun tenaga dan
semangat. Kira-kira setengah peminuman teh telah berlalu.
Sebuah bayangan biru besar laksana seekor burung besar
tengah meluncur tiba dari puncak atas sana, jubah mantelnya
yang besar melayang-layang seperti sayap yang besar belum
lagi orangnya sampai ia sudah berteriak memanggil "Sip i. Sip
i !" Terbangun semangat pemuda baju biru Hoa Sip i, teriaknya
pula dengan suara parau: "Suhu! Suhu!"
Mendengar suara panggilan pertama tadi, Ui-hoa-kiaucu
Kim Ing lantas mengebaskan kedua lengan bajunya membuat
Giok-liong mundur berkelit kesempatan ini digunakan untuk
melompat mundur keluar gelanggang sejauh setombak lebih.
Giok-Iiong juga lantas menghentikan aksinya. Matanya
terbuka lebar, kini dihadapannya sudah bertambah seorang
laki-laki tua yang bercambang bauk lebar bermata juling
seperti mata garuda, hidungnya bengkok seperti betet,
kupingnya kecil terbalik keatas-sepasang matanya berkilat dan
berjelilatan dengan kasar, selayang pandang saja lantas dapat
diketahui bukan seorang baik-baik. Begitu tiba ia menghampiri kearah pemuda baju biru Hoa
Sip-i. bentaknya dengan uring-uringan: "Aku sudah duga tentu
kau terpincut lagi oleh perempuan siluman dari Ui hoa-kiau
itu! Siapa yang membuatmu begitu rupa!"
Sikap bicaranya sangat garang dan angkuh sekali,
hakekatnya ia tidak pandang sebelah mata para hadirin,
sungguh sombong. Ui-hoa kiaucu Kim Ing menarik muka cemberut, hardiknya:
"Lo Siang-san, hati-hatilah kau bicara, Apakah Ui hoa-kiau kita
tidak sembabat dibanding Thian-mo hwe kalian. Sekali buka
mulut lantas siluman tutup mulut siluman lagi ! apa yang kau
andalkan!" Thian-mo-hwe" Lagi-lagi hati Giok-liong bertambah bingung
dan khawatir. Thianmo-hwe adalah sebuah kumpulan orang jahat dari
golongan hitam pada lima puluh tahun yang lalu, anggotanya
tidak banyak, namun setiap generasi mereka pasti dapat
menampilkan seorang-seorang berbakat yang benar-benar
hebat kepandaiannya. Mereka merupakan salah satu kumpulan golongan jahat
yang paling kejam dan telengas, tidak gampang dan
sembarangan waktu mengunjukkan diri di kalangan Kangouw.
Liang ing-mo-ko (iblis Elang) Le Siang-san ini adalah salah
satu gembong iblis yang kenamaan pada jaman itu manusia
yang sulit didekati dan diajak berkompromi.
Terdengar Le Siang san tertawa sinis, ujarnya penuh sindir:
"O, Kim Ing-kaucu berada disini, Maaf aku sudah tua mataku
kabur, wah benar-henar aku berlaku kurang hormat!" sampai
disini mendadak ia menarik muka, air mukanya berubah
membesi, sepasang mata julingnya memancarkan cahaya
dingin, bentaknya gusar sambil menunjuk Hoa Sip-i: "jadi kau
yang membuat anak ini begitu rupa ?"
Kim Ing juga tidak mau kalah galak, sahutnya sambil
manggut-manggut: "Tidak salah! Toan hun-siok bing im-yangci
cu-kuo untuk memberi sekedar hajaran padanya, Memang
aku sengaja mengajar adat muridmu yang nakal ini!"
"Apa kau lupa menggebuk anjing juga harus pandang muka
majikannya?" "Dia sudah berani melanggar pantangan dan undangundang
agamaku tahu." "Pantangan apa?" "Memincut anak muridku, mencuri seruling samber nyawa
lagi." "SeruIing samber nyawa ?"
Le Siang-san menjadi kesima, tidak menggerecoki kenapa
anak muridnya diajar adat tadi, kini malah ia bersitegang
leher, tanyanya: "Apakah betul omonganmu ?"
"Coba kau tanyakan kepada murid atasmu itu !"
"Sip i, mana seruling samber nyawa itu?"
"Berada ditangannya !" sahut pemuda baju biru Hoa Sip-i
sambil menunjuk Giok-liong. Bayangan biru berkelebat dengan menggembor keras Le
Siang-san menubruk kearah Giok-liong sambil mencengkeram
dengan ilmu cakar garuda, sedetik mereka saling adu
kekuatan mendadak bayangan mereka terpental mundur.
Terdengar Giok-liong berseru dengan nada berat: "Kenapa
kau menyerang dengan ganas, Sungguh tidak punya aturan."
Le Siang-san terloroh-loroh suaranya seperti kokok beluk,
penuh kepalsuan: "Serahkan seruling samber nyawa itu, nanti
kuampuni jiwamu!" Mukanya penuh nafsu membunuh, matanya semakin jalang
seperti binatang kelaparan membuat orang yang melihat
merasa giris dan ketakutan pelan-pelan ia angkat kedua
lengannya keatas kepala dengan gerakkan kaku seperti mayat
hidup, kakinya berjengkit keatas. Ui hoa kiaucu Kim Ing mandah tertawa tawar, ujarnya: "Le
Siang-san ! Jangau kau anggap gampang. Kali ini kau akan
ketemu batumu, awas kau jangan terjungkal."
Le Siang-san mengekeh seram suaranya seperti pekik
keras: "He, Le Siang-san tidak pandang sebelah mata bocah
ingusan masih berbau bawang ini."
Giok-liong menjadi gusar, air mukanya semakin gelap,
geramnya rendah: "Kukira sikapmu akan berlainan kalau kau
berhadapan dengan Kim-pit-jan-hun !"
"Jadi kau inilah Kim-pit-jan-hun Ma Giok-liong?" agaknya
hal ini benar-benar diluar dugaan Le Siang san.
"Benar, itulah aku yan rendah adanya!"
Mata Le Siang-san berkedip-kedip, dari kepala ia
mengamati sampai kaki, mendadak ia melepas gelak tawa
terpingkal-pingkal, serunya: "Ketemu muka lebih nyata dari
mendengar. Kukira kau seorang laki laki yang punya tiga
kepala dan enam tangan. Tak kira hanya seorang pemuda
yang masih hijau berbau popok, sungguh menggelikan."
"Bedebah, jangan sombong kau!" membawa deru angin
kencang Giok-liong menerjang musuh dengan gusar.
"Baik! Le-ya akan mengukur sampai dimana kelihayan Sam
ji cui-hun-chiu! Tobat!" Sekali gebrak saja cukup membuat Le Siang san
berjingkrak mundur dengan penuh keheranan sungguh mimpi
juga ia tidak menduga bahwa pemuda baju putih didepannya
ini begitu mahir melancarkan Cui-hun-chiu yang sedemikian
sempurna. Apalagi Lwekangnya juga sudah mencapai begitu
tinggi. Betul-betul membuat orang sulit percaya, sedikit ayal
hampir saja jiwanya kena dikorbankan.
Disebelah sana terdengar Ui hoa kiaucu Kim Ing menjengek
hina: "Bagaimana Le Siang-san?"
Muka Le Siang san kelihatan pucat bersemu ungu, dari
malu ia menjadi gusar, gerungnya dengan marah-marah:
"Payah, payah! puluhan tahun ketenaran nama Le-yam kena
dirobohkan oleh bocah ingusan yang berbau bawang ini, Tapi
gebrak kali ini belum masuk hitungan, coba kau juga sambut
ilmu pukulanku ini!" Mendadak ia ia pentang kesepuluh jarinya, giginya berkerut
dengan gemas. sepuluh jalur kilat laksana duri landak
mendadak menembus udara mendesing mendesis kearah
Giok-liong. "Le Sian-san!" teriak Ui-hoa-kiaucu Kim Ing: "akhirnya toh
kau keluarkan ilmu simpanan mu Cap-ci tam-kan ciu! (ilmu
jelentikan sepuluh jari)!" Giok-liong mandah tersenyum ewa, hawa murni
terkerahkan dari pusarnya, hawa Ji-lo segera tersalur
mengembangkan mega putih melindungi seluruh badannya.
Sepuluh jalur sinar biru laksana duri landak itu begitu
menyentuh mega putih lantas buyar sima tanpa bekas.
Keruan berubah hebat air muka Le Siang-san saking kejut
bahwa ilmu yang paling di andalkan katanya tak berguna lagi
menunjukkan perbawanya. Saking dongkol ia membanting
kaki sehingga sepatu rumputnya amblas kedalam batu cadas
dibawah kakinya sampai beberapa dim, sekali ini ia kerahkan
seluruh kekuatannya, lagi-lagi puluhan jalur sinar biru
meluncur lebih panjang dan besar serta keras.
Namun betapapun ia mati-matian kerahkan seluruh
tenaganya, alhasil puluhan jalur sinar tutukan jarinya itu tak
dapat menembus pertahanan mega putih yang bergulung
tebal, laksana puluhan sabuk biru, yang berputar menggubat
sebuah bola putih besar, saking ulur odot sungguh suatu
pemandangan yang menarik hati. Baru sekarang pemuda baju biru Hoa Sip-i berkesempatan
bersuara, teriaknya : "Suhu! Doa seorang baik, dia seorang
baik!" Le Siang-san sudah tidak hiraukan lagi seruannya dengan
bernafsu ia kerahkan seluruh kemampuannya dalam usaha
untuk merebut seruling samber nyawa. Sebab itu tenaga yang
dikerahkan dan dilancarkan semakin kuat dan besar.
Kakinya juga semakin dalam melesak kedalam batu yang
keras. Mukanya berubah menyeringai seperti wajah setan
yang tersiksa sungguh menggiriskan sekali.
Lama dan entah sudah berselang berapa lama, sekonyongkonyoag
terdengar sebuah ledakan dahsyat seperti bom
meledak mega putih menjadi buyar dan berkembang kemanamana.
Diantara kelompok mega putih itu kelihatan sebuah
telapak tangan putih halus menyampok dan menangkis
puluhan sinarbiru itu terus langsung menepuk kedada Le
Siang san. "Celaka !" saking kagetnya Le Siang sau menggembor
keras, tubuhnya yang tinggi besar itu tersurut mundur lima
enam langkah ke belakang Tak tertahan lagi mulutnya
menyemburkan darah segar. Sejenak keadaan menjadi sunyi gelanggang pertempuran
juga menjadi terang lagi, mega putih menghilang demikian
juga puluhan sinar biru tadi telah kuncup.
Dalam pada itu pemuda baju biru Hoa-Sip i sudah
melangkah maju memayang Le Siang san yang sudah lemas
tak bertenaga, berulang-ulang ia berseru : "Suhu ! Kuatkan
hatimu, himpunlah semangatmu !"
Ujung mulut Le Siang san mengalirkan darah, matanya
mendelik memutih, cahaya biru yang terang dan bersemangat
Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tadi sudah sirna tanpa bekas, ujarnya dengan napas masih
ngos-ngosan: "Ma Giok liong, lekas kau bunuh aku sekalian !"
"Aku tiada dendam sakit hati dengan kau, tak perlulah !"
"Hari ini kau tidak mau bunuh orang she Le, tielak jangan
kau menyesal sesudah kasep!" "Kenapa ?" "Sakit hati pukulanmu hari ini betapapun harus kubalas !"
"Terserah, aku tidak peduli, setiap saat akan kunantikan
kedatanganmu !" "Baik, Gunung selalu menghijau, air selalu mengalir
perhitungan hari ini selama hayat masih dikandung badanku,
setiap saat aku akan mencarimu !"
"Boleh, selalu kuterima kedatanganmu."
"Mari pulang !" dibawah bimbingan Hoa Sip-i Le Siang san
meninggalkan tempai itu dengan ierpincang-pincang.
Giok liong menghela napas panjang pikirnya kenapa
manusia yang hidup kelana di dunia persilatan harus saling
bunuh. Kenapa hidup manusia harus mengalami banyak
sengsara dan derita. Pikir punya pikir sampai sekian lama ia terlongong
ditempatnya sampai terlupakan olehnya bahwa disamping
sana Ui-hoa kiaucu bersama anak buahnya masih mengawasi
dirinya. Tak terasa ia menghela napas lagi.
"Anak muda kenapa berkeluh kesah !" merubah sikapnya
yang dingin dan bermusuhan tadi, kini sikap Kim Ing menjadi
begitu ramah dan penuh kemesraan. Hakikatnya usia Kim Ing sudah menanjak pertengahan
abad, namun wajahnya masih kelihatan jelita karena ia pandai
bersolek, terutama kepandaian main matanya dengan
sikapnya yang genit dan menggiurkan siapapun pasti akan
terpincut dan tertarik batinya. Akan tetapi sedikitpun Giok-Jiong tidak tertarik hatinya,
sikapnya tetap dingin. Sambil meraba batu giok berbentuk
jantung hati yang dikalungkan dilehernya pelan pelan ia
menyelusuri pinggir jurang berjalan ke arah sana ternyata dari
peristiwa yang baru saja disaksikan ini, dilihatnya betapa
besar dan murni cinta Hoa Sip i terhadap kekasihnya,
sehingga terketuk hatinya, pikirannya melayang jauh ke Hwihun-
cheog di mana sang istri yang tercinta tengah menantikan
kedatangannya. Sekarang saputangan sutra pemberian istrinya itu dibawa
pergi oleh Hiat ing Kongcu. Benda satu-satunya sebagai
kenang-kenangan tinggal batu giok berbentuk jantung hati
warna merah yang dikalungkan di lehernya ini.
Tiba-tiba berubah air muka Ui-hoa-kiaucu, pandangannya
kesima memandangi batu giok itu, serunya terkejut: "Ma Giok
liong. Dari mana kau peroleh batu giok di-tanganmu itu ?"
Tidak kepalang tanggung segera Giok-liong rogoh keluar di
depan bajunya kalung batu giok jantung hati itu, sahutnya
dengan parau : "Dari Hwi hun-san-ceng."
"Hwi-hun-chiu Coh Jian-kun yang memberikan kepadamu
?" "Bukan, putrinya !" "Oh..." Ui hoa kiaucu terlongong-longong, mendadak
matanya memancarkan sorot aneh terus berdiri mematung
seperti orang linglung. Rada lama kemudian baru ia bergerak sambil menghela
napas penuh kesedihan, katanya sambil membanting kaki:
"Seruling samber nyawa aku tidak perlu lagi, serahkan saja
batu giok itu kepadaku !" "Giok-pwe ini " jangan !"
"Kau keberatan ?" "Bukan begitu! soalnya batu ini adalah tanda mas kawinku
dengan adik Ki-sia, tidak kalah berharga dengan seruling
samber nyawa." "Mas kawin ! " "Sedikitpun tidak salah!"
Tanpa berkata-kata lagi Ui-hoa-kiacu mengulapkan tangan
menggiring para dayangnya terus tinggal pergi dengan cepat,
sebentar saja bayangannya sudah menghilang dikejauhan.
Tatkala mana sang surya sudah muncul dari peraduannya,
seluruh maya pada ini sudah terang benderang, Segera Giokliong
juga tinggalkan tempat air terjun itu, badannya
melenting dengan ringannya, sepanjang jalan ini pikirannya
melayang tak tentu arahnya, rentetan peristiwa vang tidak
menyenangkan hati ini membuat semangatnya runtuh total.
Ling Soat-yau, Tan Soat-kiau, Kiong Ling ling, Li Hong serta
Coh Ki-sia silih berganti terbayang olehnya, Sudah tentu yang
paling dirindukan adalah Coh Ki-sia. Menurut adatnya ingin
rasanya tumbuh sayap untuk segera terbang kembali ke Hwihun-
san cheng untuk bercengkerama dengan isteri tercinta.
Apa boleh buat tugas berat yang dipikulnya perlu segera
diselesaikan, pula kejadian dikangouw ini memang penuh likuliku
yang sulit diduga sebelumnya. Dimana-mana selalu terjadi
banjir darah dan penjagalan manusia.
Hutan kematian, istana beracun, Kim i-pang, Hiat-hongpang,
Pek-hun to, Ui-hoa kiau, dan Lan ing-hwe. Masih adalah
Hiat-ing-bun serta Bu-lim-su bi. Semua-semua ini boleh dikata
merupakan kekuatan terpendam yang bakal meledak pada
suatu saat. Dengan takdir dari ayah bunda, tugas berat
perburuan serta kesejahteraan penghidupan kaum Bulim,
sampai pesan dari Wi-hian ciang Liong Tay-hiap sampai
sekarang juga belum sempat terlaksana.
Begitulah pikir punya pikir Giok-liong semakin merasa
otaknya menjadi tumpul dan butek. Tak tahu ia cara
bagaimana harus mencari jalan keluar untuk mengatakan
semua urusan yang sama pentingnya ini.
Terutama yang membuat hatinya sedih adalah
permusuhannya dengan pihak para iblis dari dari golongan
hitam, tapi toh pribadi juga mendapatkan simpati dari kaum
aliran putih khususnya dalam hal ini adalah sembilan partai
besar. Untuk sesaat Giok-liong menjadi merasa terjepit, mesti
dunia begitu besar, agaknya sudah tiada tempat berpijak lagi
untuknya, jalan punya jalan entah berada jauh ia berlenggang.
Tahu tahu didepan sana terlihat sebuah gardu dipinggir
jalan, gardu ini agaknya sudah lapuk dan reyot, bila dihembus
angin besar pasti akan roboh. Sebelah kiri dari gardu ini adalah semak belukar dari alas
pegunungan yang meninggi, dimana banyak terdapat kuburan
yang berserakan, berlapis-lapis meninggi keatas, peti mati dan
tulang-tulang manusia berserakan dimana-mana terlihat jelas.
Kabut pagi masih belum hilang angin pagi menghembus
sepoi sepoi membawa bau apek dan amis yang memualkan,
sekonyong-konyong sebuah benda hitam melesat keluar dari
arah kuburan yang berserakan sana. Hebat benar Ginkang orang ini, sekejap saja tahu-tahu ia
sudah tiba di luar gardu reyot itu, Kini terlihat jelas kiranya
bukan lain seorang laki-laki yang mengenakan kedok hitam,
jadi tak terlihat air mukanya. Sorot matanya dari balik
kedoknya itu memancarkan sinar areh yang terang dan dingin.
Bercekat hati Giok-liong, bergegas ia berdiri didalam gardu,
tanyanya: "siapakah tuan ini ?"
Orang berkedok itu mandah mendengus dingin, balas
tanyanya : "Hm, kau ini Kim-pit-jan-hun?"
"Aku yang rendah memang Ma Giok-liong !",
"Baik, ambil ini !" orang itu merogoh kantong bajunya
mengeluarkan sebuah benda terus dilemparkan kedalam
gardu lalu berlari pergi. Benda itu mengeluarkan suara berkerontangan di atas
lantai. Keruan Giok-liong terkejut heran, benda yang dilempar
adalah sebuah lencana besi yang memancarkan sinar berkilau,
sebesar tiga empat senti. Diatas lencana besi ini terukir sebuah huruf "mati", di
kedua sisinya adalah dua pohon pek yang besar yang saling
bergandengan sehingga menjadi bentuk huruf Bun atau pintu,
huruf mati itu tepat berada di tengah-tengah huruf pintu.
Giok-Iiong membungkuk badan menjemput lencana besi
itu, dibalik lencana tertulis dengan huruf-huruf kecil yang
berbunyi, dalam jangka tiga hari ini harus datang kepada seksi
Liong-tong dari Hutan kematian untuk menanti perintah dan
jabatan. Giok-liong menjadi bingung, apa-apaan maksud tulisan ini "
"Hai, tunggu sebentar !" seiring dengan bentakannya ini Giokliong
melesat keluar mengejar orang berkedok hitam itu. Tapi
orang didepan itu agaknya tidak mau peduli dengan kencang
ia berlari terus. Giok-liong semakin gelisah, segera Leng-hun toh
dikembangkan ditengah udara ia menggumam gaya Hwi-hunjot-
sio, badannya laksana anak panah meluncur dengan
pesatnya, sekejap saja jaraknya sudah tidak jauh dari orang
berkedok di depan itu. Didepan sana ujung gunung dari pekuburan yang
berserakan ini sudah kelihatan,sebelah depan lagi adalah
sebuah hutan yang lebat dan gelap. Orang berkedok itu main selulup diantara semak belukar
terus menerobos masuk kedalam hutan yang gelap itu.
Giok-liong sudah tidak peduli lagi akan segala pantangan
tetek bengek, Dengan gaya Ham-ya-kui-jau ( burung gagak
kembali ke sarangnya ia langsung ia melesat memasuki hutan.
Berulang kali terdengar suara gerungan marah yang rendah
dan menusuk telinga membuat merinding bulu roma.
Begitulah beruntun suara gerangan seperti auman binatang
buas saling susul. Kepandaian tinggi membuat nyali Giok-liong
semakin tabah, mengan-dal lencana besi itu ia kerahkan Ji-lo
melindungi badannya, terus menerobos kedepan, ke tempat
yang semakin gelap dan lembab, Semakin jauh semakin gelap.
"Stop! " tiha-tiba terdengar sebuah bentakan yang amat
nyaring dari belakangnya, Lalu angin berkesiur dari empat
penjuru, terlihat bayangan orang laksana setan gentayangan
saling bermunculan.Sekejap saja puluhan orang berkedok
berseragam hitam sudah mengepung dirinya.
Orang-orang ini semua berambut panjang terurai sampai di
pundaknya, demikian juga jubahnya terlalu panjang sampai
menyentuh tanah, setindak demi setindak mereka mendesak
maju menghampiri Giok-liong. Ancaman yang serius ini betul-betul menciutkan nyali
orang, jangan kata turun tangan bergebrak, mengandal hawa
dingin serta keadaan yang tegang menakutkan ini laksana di
akhirat cukup menggetarkan nyali orang, yang bernyali kecil
tanggung sudah pecah jantungnya dan mampus saking
ketakutan. Diam-diam Giok-Iiong kerahkan Lwekangnya, ujarnya
dengan serius: "Apa-apaan tindakan kalian!".
Tiba-tiba suara mendengus tersiar dari hutan sebelah
dalam sana, katanya: "Lencana besi sebagai undangan. Tiada
maksud jahat!" Tanpa merasa Giok liong membuka telapak tangan melihat
lencana besi itu, serunya lantang: "siapa yang berkuasa di
hutan ini, kenapa tidak keluar untuk bicara!"
"Pun-tong-cu hanya mendapat perintah untuk mengundang
tuan, sebelum ada perintah dari majikan, tidak boleh bertemu
muka. Silakan tuan pergi!" Giok-liong menjadi heran, serunya lagi: "Terima kasih akan
undangan ini, lantas kemana aku harus pergi, tiga hari lagi
aku harus kemana?" "Bukankah diatas lencana itu sudah tertulis jelas, Tuan
sendiri juga pernah kesana bukan, kenapa main tanya segala!"
"Aku pernah kesana ". akhirnya Giok-liong paham, dengan
mendelong ia pandang lencana besi itu, serunya tertahan:
"Apakah majikan Hutan kematian?"
"Tidak salah! Majikan Hutan . . . . kematian . , ! "sepatah
demi sepatah laksana guntur menggeleger kupandang keras
sekali memekakkan telinga, seakan bicara diribuan Ii jauhnya
tapi juga seperti di pinggir telinga.
Hutan kematian merupakan suatu golongan yang paling
misterius dan susah dijajagi, tidak diketahui sepak terjang
mereka yang sebenarnya dari golongan mana pula aliran
kepandaian mereka, maka sedikitpun Giok liong tidak berani
berlaku gegabah. Terang-terangan aku telah diundang, betapapun aku harus
menuju ke Hutan kematian untuk menyirapi kesana, baru dari
sana mencari jejak Suhu, kalau tidak menanti pada bulan lima
pada perjanjian bertemu di Gak-yang-lau kelak baru diatur lagi
tindakan selanjutnya, perjalanan kali ini sekaligus dapat
menyirapi kabar dari Wi-hin-ciang Liong Bun Liong Tay-hiap,
entah kabar apa pula yang bisa diperolehnya, supaya kelak
dapat mengatasi lebih sempurna demi kejayaan dan
ketentraman hidup kaum persilatan. Karena pikirannya ini segera ia menyahut keras: "Baik,
dalam tiga hari ini aku pasti tiga disana!"
Sebelum kakinya bergerak tiba-tiba terdengar suara orang:
"Tunggu sebentar! " lalu beruntun muncul beberapa bayangan
hitam. Kini yang muncul adalah delapan laki-laki yang
mengenakan jubah abu-abu, dengan rambut panjang terurai
juga, dengan kaku mereka berloncatan maju mendekat, Salah
seorang diantaranya berkata dingin: "Petugas Liong-tong,
menghadap pada Tong-cu!" Habis berkata delapan orang itu terentak menjura dalam
kearah hutan kosong sebelah dalam sana.
Sebuah suara menyahut dari dalam hutan sana: "Silakan
para petugas hukum, apakah Lim-cu (Majikan) ada pesan
lain?" Serentan kedelapan orang didepan hutan itu mengiakan.
Salah seorang berseru lantang: "Terima kasih akan perhatian
Tong cu, kita beramai menggusur tawanan kemari untuk
melaksanakan hukuman, harap Tong-cu suka saksikan dan
buktikan." Suara orang dalam hutan rada terkejut heran. Terdengar
tindakan berat berjalan keluar, tahu-tahu dihadapan mereka
sudah berdiri seorang laki-laki yang tinggi tegap melebihi
orang biasa, karena tidak mengenakan kedok jadi wajahnya
bisa terlihat jelas. Bentuk wajahnya bundar bersegi seperti wajah harimau,
matanya berjengkit miring keatas, diatas jidatnya tumbuh
secomot rambut putih yang diatur sedemikian rupa sehingga
menyerupai huruf "Ong" ( Raja ).
Ini masih belum aneh yang lebih aneh, yang lebih
mengejutkan lagi bahwa dari kedua ujung mulutnya tumbuh
Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dua taring yang besar memutih. Begitu mengunjukkan diri
langsung orang ini bertekuk lutut menyembah seraya berseru
lantang: "Hou-tong Tongcu, hamba menerima perintah Congcu,
Harap Tongcu kalian suka memberi petunjuk!"
Sebuah bayangan abu-abu melayang masuk dari luar,
seorang laki-laki berambut merah bermuka hijau melayang
tiba. Diatas jidatnya tumbuh jaling tunggal, Matanya berkilat
tajam segera ia menjura kearah Hou-tong Tong cu yang
berlutut itu, ujarnya: "Perintah sudah disambut, Selain aturan
biasa. Tong-cu silakan!" Hou-tong Tong-cu bertanya dengan muka serius:
"Pesakitan siapakah sampai begitu penting digusur kemari
untuk melaksanakan hukuman disini!"
Liong-tong Tong-cu yang berambut merah bermuka hijau
itu terkekeh kekeh dingin, matanya melirik kearah Giok-liong,
sahutnya: "Pesakitan ini ada sangkut pautnya dengan Ma
Siau-hiap ini. Betapa tepat perhitungan Lim cu, beliau tahu
bahwa Ma Siau-hiap hari ini pasti akan lewat Hou-tong sini,
maka segera diperintahkan aku membawa dua belas petugas
hukum menggusur tawanan itu kemari !"
Terkesiap hati Giok-liong, selanya gugup! "Ada sangkut
pautnya dengan aku. Siapakah dia?"
"Sebentar lagi kau akan tahu!" jengek Liong-tong Tong-cu.
Lalu tangannya bertepuk dua kali, kecuali delapan orang
seragam abu-abu yang segera bergerak keempat penjuru
mengepung Giok liong dari luar hutan sana berlari masuk lagi
empat laki laki seragam abu-abu yang berambut panjang juga.
Keempat laki-laki seragam abu-abu yang baru masuk ini
menggusur seorang tua renta, air muka yang kaku dan dingin
pucat tanpa kelihatan berdarah. Kedua tulang pundaknya
berlubang ditembusi rantai panjang sebesar jari tangan,
karena diseret maju sehingga jalannya sempoyongan, rantai
panjang itupun berbunyi nyaring menyentuh tanah.
Beriring keempat laki-laki seragam abu-abu ini menggusur
tawanannya kehadapan Liong-tong Tong-cu lalu menjura
hormat: "Hamba beramai menunggu perintah selanjutnya!"
Liong-tong Tong-cu manggut manggut, ujarnya: "Harap
Hou-tong Tong-cu memeriksa akan kebenaran tawanan ini!"
Houtong Tong-cu mengunjuk rasa heran dan penuh tanda
tanya, katanya sambil mengerutkan alis: "Bukankah dia
seorang Goan-lo ( sesepuh ), petugas Lim-cu yang terdekat
pembesar berjasa dalam pembukaan Hutan kematian . . . ."
Tanpa menanti ia selesai bicara habis mendadak Liong-tong
Tong-cu bergelak tertawa: "Hahahaha. . .Tak heran Tong-cu
kena diapusi. Lim-cu sendiri juga kena dikelabuhi selama
puluhan tahun, siapa akan mau percayai Hahahaha!"
Tatkala itu Giok-liong berdiri mematung sambil
menerawangi perubahan yang dilihatnya dihadapannya ini,
saking asyik dan kesima mendengar ia sampai berdiri
terlongong-longong. Terdengar Liong-tong Tong cu menghardik keras dengan
bengis: "Lucuti kepalsuannya supaya Houtong Tong cu
memeriksa sendiri." "Hamba terima perintah," empat laki-laki seragam abu-abu
itu mengiakan bersama. Lalu beramai-ramai bergegas mereka
menekan si orang tua tawanannya itu diatas tanah, salah
seorang menggosok dan menepuk diatas mukanya, seorang
lagi menarik narik dipunggung dengan sekuatnya, sedang dua
orang lainnya masing masing menarik kedua lengannya."
"Hah!" tak tertahan Giok liong berseru terkejut.
Liong tong Tong cu berkata kan, ujarnya: "Nah, begitu
lebih tepat lagi, Hanya dengar seruan kejut Ma Siau-hiap ini,
merupakan bukti yang paling nyata!"
Sementara itu Houtong Tong'Cu juga tengah kesima sambil
garuk-garuk kepala yang tidak gatel tanyanya melongo: "Siapa
dia?" "Delapan puluh tahan yang lalu," terdengar Liong-tong
Tong-cu berseru lantang: "Seorang Tay-biap yang sudah
menggetarkan dunia persilatan Wi-hian-ciang Liong Bun,
bukan lain adalah tawanan kita ini!"
Dalam pada itu Giok-liong sudah tak kuat mengendalikan
keharuan hatinya serunya mendebat: "Apa hubungannya
orang ini dengan aku?" Liong-tong Tong cu tertawa ewa ujarnya: "Dalam hal ini
Lim cu ada memberi pesan supaya aku tidak membuka banyak
mulut. Dipersilatan dalam jangka tiga hari ini Siau-hiap datang
kesekte kita, nanti aku tentu akan mengiringimu setelah
menghadap Lim-cu, tentu segalanya dapat dibikin jelas!"
"Apa yang akan kalian perbuat akan diri Liong Tay-hiap
ini?" "Lwekang dan kepandaian silatnya sudah dipunahkan, kita
beramai tak lain hanya melaksanakan tugas melalui...
Bahwasannya ini bukan urusan yang sangat penting!"
Memang sorot pandangan Wi-hian-ciang Liong Bun sangat
redup tanpa bersinar dari wajahnya yang pucat pasi itu
menandakan bahwa Lwekangnya memang sudah punah,
bentuknya menyerupai tengkorak hidup yang mengalami
penuh penderitaan. Akan tetapi, apakah Giok-liong harus diam saja melihat
seorang pendekar besar pada jamannya dulu yang sudah
tenar puluhan tahun meninggal begitu saja, saking haru dan
pedih badan sendiri sampai gemetar.
"Siau hiap harap berpikir kembali sebelum bertindak l"
serentak delapan laki laki seragam abu-abu berkelebatan
masing masing menggerakkan lengan tangannya, serempak
mereka berseru hormat meski belum turun tangan secara
kenyataan kepungan mereka ini sangat rapat sulit ditembus.
Untuk menerjang keluar meski tidak sukar, sedikitnya juga
harus memeras keringat. Sambil mengerut kening segera Giok-liong berteriak: "Hai,
kalian jangan berlaku ceroboh, tunda dulu pelaksanaannya
setelah aku bertemu langsung dengan Lim-cu kalian !"
"Lain urusan lain perkaranya, Maaf Pun-tong tak dapat
mengabulkan permintaan mu ini !"
"Kalau kalian tidak melepas Liong Bun, maka akupun tidak
sudi menemui Lim-cu kalian." "Itu kan urusan Ma Siau-hiap sendiri, nanti Limcu tentu
dapat mengatur sendiri, jangan persoalan itu dicampur
baurkan dengan pelaksanaan hukum ini !"
Saat mana Houtong Tong-cu sudah mengulapkan tangan
memberi aba aba kepada dua belas laki-laki berambut panjang
ber-seragam hitam, serunya: "Sambut tugas ini dan siapkan
melaksanakan hukuman." Empat orang seragam hitam maju menggantikan
kedudukan empat seragam abu-abu yang menggusur Liong
Bun tadi, Keempat seragam abu-abu itu lantas meloncat
mundur ikut mengepung Giok liong diluar batas tiga tombak
jauhnya. Dua belas pelaksana hukum berseragam abu-abu ini siap
waspada tanpa mengeluarkan suara atau sembarangan
bergerak, tenaga sudah dihimpun dengan pandangan mata
yang berkilat menatap tajam kearah Giok-liong tanpa
berkedip. Giok-Iioug semakin gelisah seperti dibakar hardiknya
menggerung : "Lekas lepaskan Liong Tay-hiap, mari kita
bicarakan lagi urusan ini !" Liong-tong Tong-cu memberi salam kepada Houtong Tongcu
serta katanya: "Tugas ini sudah kami serahkan, seluruh
tanggung jawab dan pelaksanaannya terserah kepada seksi
kalian." lalu ia melangkah maju beberapa tindak, katanya
kepada Giok-liong: "Siau-hiap, dalam tiga hari ini aku menanti
kedatangan tuan, Harap tuan tidak mengecewakan harapan
Lim-cu." Tatkala itu, Houtong Tong-cu mencibirkan bibir bersuit
nyaring dan keras menembus angkasa laksana gerungan
harimau yang berang. Dari luar hutan dari berbagai penjuru
lantas terdengar derap langkah berlari, geseran daun daun
pohon serta berkelebatnya bayangan orang samar-samar
terlihat ratusan orang seragam hitam serentak merubung
datang kearah sini. Pandangan Houtong Tong cu berkilat tajam, serunya
lantang :"Atas perintah Lim-cu, seorang yang bernama Wihian-
ciang Liong Bun, memendam diri menjadi mata-mata
dengan tujuan yang tidak menguntungkan bagi Hutan
kematian, menurut undang-undang hukum kita dihukum cacat
jiwa, Kali ini sekte kita mendapat penghargaan untuk
melaksanakan hukuman ini, Laksanakan hukuman !"
Serentak berpuluh sampai beratus mulut bersama
mengiakan sehingga hutan ini menjadi bergoncang seperti air
mendidih, sedemikian keras sampai kumandang dan bergema
sekian lama. "Mulai !" terdengar Houtong Tong-cu melompat maju
sambil berteriak bengis seperti pekik kokok beluk, seiring
dengan bentakannya ini kedua tangannya bergantian
menghantam kearah Liong Bun. Giok liong melompat maju sambil menggerung gusar:
"Nyali besar ! Tahan !" Namun belum lagi Giok-liong dapat bergerak maju, Liongtong
Tong cu bersama dua belas pelaksana hukumnya sudah
serentak menggerakkan tangan menyerang sekaligus dengan
gabungan tenaga mereka seketika Giok-liong menjadi
terhalang ditengah jalan, terpaksa ia harus membela diri demi
keselamatan sendiri. Di sebelah sana terdengarlah jeritan panjang yang
mengerikan. Itulah pekik Liong Bun dalam jiwa meregang
sebelum ajal. Giok liong mendengar dengan jelas sampai badannya
terasa merinding, hatinya seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum.
Tapi gabungan serangan dua belas jago jago kelas wahid dari
Liong-tong mana mungkin dapat ia atasi begitu saja.
Apalagi dua puluh enam telapak tangan mereka sekaligus
melancarkan tipu-tipu aneh yang sulit diraba sebelumnya,
sungguh pengepungan yang rapat tiada lubang titik
kelemahannya. Diluar gelanggang pengepungan saban-saban masih
terdengar jerit kesakitan dan gerangan gusar dari pelampiasan
dongkol, angin menderu dari tenaga pukulan yang menimpa
diatas tubuh manusia sampai berbunyi gedebukan.
Entah sudah berselang berapa lama, dan berapa banyak
pukulan sudah dijatuhkan diluar gelanggang sana, Tiba tiba
Liong-tong Tong-cu berseru keras: "Liong-tong Tecu siap
kembali !" angin berkesiur disertai lambaian baju, begitu cepat
gerak gerik mereka sekejap saja keadaan menjadi sunyi dan
sekelilingnya sudah kosong meIompong.
Tiga belas orang dari Liong-tong sudah menghilang tanpa
bekas dalam sekejap mata. Demikian juga seluruh anak buah
Houtong Tongcu sebanyak ratusan orang itu sudah tak
kelihatan lagi mata hidungnya, semua sudah pergi tanpa
meninggalkan jejak. Keadaan dalam hutan kembali menjadi sunyi senyap, angin
berlalu membawa bau amis darah yang memualkan. Diatas
tanah sana terlihat segundukan daging dan tulang-tulang
manusia yang terpukul hancur lebur tanpa ujud lagi. Tinggal
rantai yang mengikat di tulang Liong Bun saja yang masih
ketinggalan memancarkan sinarnya yang redup menyolok
mata. Tak tertahan lagi kepedihan hati Giok-liong, ujarnya sambil
sesenggukan dengan sedihnya: "saudara tua, belum lagi citacitamu
terlaksana badan sendiri sudah hancur lebur, siaute . .
. " Sekonyong-konyong. . . "Bocah keparat, akhirnya toh kutemukan juga!" seiring
dengan bentakan ini dari luar hutan sana menerjang datang
seorang laki-laki bertubuh kekar, bermuka kuning persegi,
alisnya lentik menaungi sepatang mata yang berkilat tajam,
dagunya tumbun lima jalur jenggot pendek hitam.
Mengenakan pakaian ketat dengan mantel kuning
berkembang, sepatunya tinggi peranti untuk jalan jauh,
sikapnya garang dan angker kegusaran.
Giok liong melihat air muka orang rada bersih,
semangatnya menyala-nyala, terang bukan anak buah dari
Hutan kematian. Maka tak berani ia berlaku gegabah, serunya
lantang: "Kenapa tuan bicara tidak sopan?"
"Terhadap siapa bicara apa!"
"Kau kira siapa aku ini ?"
"Manusia rendah hina dina, mata keranjang hidung belang
!" "Kau terlalu menghina !" secara langsung dimaki begitu
kotor keruan Giok-liong tak kuat menahan hawa amarah
dengan sengit ia mengerjakan tangannya melancarkan jurus
Cin-chiu dari ilmu Sam- ji-cui-hun chiu, maka mega putih
bergulung keluar menerjang dengan dahsyatnya. Apalagi
tenaganya ditandai rasa gusar sudah tentu bukan olah-olah
hebatnya. "Hei, apa hubungan mu dengan Toji Pang Giok ?" laki-taki
kekar itu berkelit ke samping, wajahnya mengunjuk rasa kejut
dan heran. "Murid tunggalnya!" Sedikit merenung laki-laki kekar itu lantai membanting kaki,
ujarnya: "Merusak nama baik Bu-lim-su cun Pang lo cianpwe
saja. Sayang sekali!" Mendengar ucapan orang tergetar hati Giok-liong, pikirnya
"Apa mungkin orang ini ada hubungan erat dengan
perguruanku tak boleh aku berlaku kasar." karena pikirannya
ini maka jurus kedua dari Sam jicui-hun chiu yaitu Tiam-bwe
lekas lekas ditarik kembali ditengah jalan, serunya sambil
melompat mundur . "Apa maksud ucapan tuan ini ?"
"Jangan kau pura-pura linglung menjadi gendeng,
seumpama aku harus berlaku salah terhadap Pang-lo cian pwe
,betapapun aku harus mewakili dia untuk menghajar bocah
keparat seperti kau ini sampah dunia persilatan. Baru
terlampias rasa dongkolku ini."
"Wut. . . ." segulung angin kencang laksana badai angin
terus menerjang datang dari tengah udara, sungguh dahsyat
dan berbahaya sekali. Karena tidak menduga hampir saja Giok-liong tergulung
oleh serangan lawan. Cepat-cepat ia menjejakkan kaki
mencelat mundur setombak lebih untung benar dapat
terhindar dari bahaya elmaut, walaupun demikian, daun dan
rumput beterbangan mengotori seluruh tubuhnya, juga ujung
Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bajunya telah tergetar hancur berkeping-keping melayang
ditengah udara. "Bocah keparat, kiranya cuma begitu saja kepandaianmu!"
begitu mendapat kesempatan merangsak laki laki kekar itu
lantas menarikan kedua tangannya dengan lincah dan secepat
kilat, sekejap mata saja beruntun ia menepuk dan memukul
dua belas pukulan, setiap pukulan mesti dilandasi kekuatan
dahsyat, tak jauh dari sekitar badan Giok-liong.
Keruan Giok-liong menjadi kelabakan berputar dan berkelit
dengan susah payah. Terpaksa Ling hun-toh harus
dikembangkan ringan sekali tubuhnya berkelebat selulup
timbul berlarian diantara dahan-dahan pohon besar disekitar
gelanggang. Mendapat angin laki-laki kekar itu semakin bernafsu dan
tidak memberi ampun untuk lawan sempat ganti napas.
Dengan menggereng marah, lagi - lagi ia lancarkan sebuah
pukulan dahsyat, laksana arus sungai Tiangkang membadai
menggulung dari segala penjuru angin.
Akhirnya memuncak juga rasa gusar Giok liong, sekali
kesempatan ia berkelit ke belakang sebuah dahan pohon
besar terus melejit jauh beberapa meter, serunya gusar:
"selama ini kita belum saling kenal, tuan terlalu mendesak
orang, maka jangan salahkan kalau aku berlaku kurang
hormat!" habis ucapannya segera ia bergerak gesit sekali ia
melancarkan jurus serangan balasan.
Seketika mega putih bergumpal melebar luas, bayangan
telapak tangan berubah laksana ratusan dan ribuan pukulan
telapak tangan, serentak ia balas menyerang dengan nafsu
dan sengit. Gerak berkelit, mengambil imsiatif balas
menyerang, berganti jurus melompat menerjang dilakukan
dalam satu gerakan serempak sehingga menambah semangat
dan melihat gandakan daya kekuatan serangannya.
BegituIah terjadi pertempuran sengit tanpa juntrungan,
empat kepalan tangan menari pesat dan lincah sekali di
tengah udara, tipu lawan, tendangan lawan kegesitan, bukan
saja mereka harus cekatan menjaga diri juga harus pandai
melihat gelagat, mengincar lubang kelemahan pihak musuh
untuk melancarkan serangan total berusaha menang.
Saking seru dan sengit pertempuran ini masing masing
pihak sudah kerahkan seluruh kekuatannya sehingga angin
menderu, suasana gegap gempita ini merobohkan pohonpohon
sekitar gelanggang sehingga menambah pertempuran
ini semakin gaduh. Sinar matahari begitu cemerlang menyinari pertempuran
yang aneh dan menjadikan pemandangan mata yang
menakjubkan sekali pertempuran bagi tokoh kosen, setiap
jurus setiap gerak langkahnya harus dilakukan hati-hati dan
secepat kilat, sebentar saja tahu-tahu pertempuran ini sudah
berlangsung seratus jurus lebih. Setelah sekian lama bertempur tanpa dapat merobohkan
lawan, Giok-liong menjadi semakin gelisah, sekilas berkelebat
pikirannya, sinar matanya terpancar semakin tajam, timbul
hawa membunuh. Mendadak ia menggembor keras, suaranya mendengung
menembus angkasa. Belum hilang gema suara gemborannya
tiba tiba ia menghardik lagi : "Awas, sambut ini !"
Kontan terdengar seruan tertahan, bayangan kuning
terpental mundur sejauh lima tombak badan masih terhuyung
lagi tiga langkah terus jatuh terduduk, untung belakangnya
terdapat sebuah pohon besar yang menahan badannya,
sehingga ia tidak jatuh ternauar. Mulut laki-laki kekar ita mengalirkan darah, sinar matanya
menjadi redup, wajahnya yang kaatng seperti berpenyakitan
itu kini berubah pucat pasi, nafasnya memburu kencang,
sebelah tangannya menekan dada, terputus-putus ia berkata
menuding Giok-liong: "Baik . . . aku , . . mengaku . , . tapi . , ,
kau . . . hidung belang , . tak tahu malu , . . ba . , , bagai . . ,
mana . . . terhadap . . . Wahaaahh !" ia berkata terlalu
dipaksakan sekaligus ia menyeburkan dua gumpal darah
segar. Melihat luka orang yang rada berat, Giok-liong menjadi
tidak tega, batinnya: "Aku tiada bermusuhan atau dendam
sakit hati terhadap dia, untuk apa aku turun tangan terlalu
berat !" maka segera ia maju beberapa langkah terus
berjongkok, katanya rendah: "selamanya aku belum pernah
kenal dengan tuan, namun kau begitu bernafsu menyerang
dengan jurus mematikan sehingga aku kelepasan tangan
melukai tuan !" "Crot !" lakf-laki kekar itu meludahi muka Giok liong dengan
riak tercampur darah, "Kau ! Cari mampus !" Giok liong
berjingkrak gusar, sebat sekali tangannya diulur, dua jari
tangannya dengan tepat menutuk dijalan darah Hiat hay di
dada orang. Desisnya mengancam : "Kau tidak dapat
membedakan salah dan benar, jangan salahkan aku tidak
mengenal kasihan." "Kalau kau berani, cobalah bunuh aku!"
"Hm, kau kira aku tidak berani ?".
"Keparat kau memang telengas kejam, rendah dan hina
lagi, perbuatan apa yang tidak pernah kau lakukan."
"Sekaii lagi tuan mengudal mulut semena-mena, asal aku
mengerahkan sedikit tenaga, cukup membuat kau mampus
tanpa liang kubur . . ." Tiba-tiba sebuah hardikan nyaring menembus angkasa,
sebuah bayangan putih meluncur datang dari tengah udara,
Siuuur, sejalur kain sutra panjang mendesis keras tahu-tahu
sudah menggubat dileher Giok-liong, sedikitpun Giok liong
tidak menduga dirinya bakal dibokong dari belakang, begitu
mendengar angin mendesis dan tahu gelagat yang
membahayakan untuk berkelit sudah tidak sampai lagi.
Tahu-tahu ia merasa napasnya menjadi sesak lehernya
terikat kencang, sedapat mungkin ia meronta berusaha
melepaskan diri, tapi gerak gerik pendatang baru ini betulbetul
cepat luar biasa, begitu serangannya berhasil tanpa ayal
tangannya lantas menarik dan menyendal dengan keras.
Karena leher digubat selendang satra, Gi-ok-liong sulit
mengerahkan Lwekangnya, kontan tubuhnya kena digentak
mumbul ketengah udara, melayang seperti layang layang
putus benang setinggi tiga tombak terus terbanting keras di
tanah. Karena tiada kesempatan untuk mengerahkan hawa murni
melindungi badan, seketika ia terbanting celentang dengan
kaki tangan menghadap kelangit. Keruan sakitnya bukan buatan, sampai mata berkunangkunang
kepala pusing tujuh keliling. Bantingan keras ini betul-betul merupakan suatu pukulan
keras bagi Giok-liong selama kelana di Kangouw, betapa dia
takkan berjingkrak gusar seperti kebakaran jenggot.
Begitu tubuhnya menyentuh tanah, hawa murni segera di
empos, dengan mengerahkan seluruh kekuatannya ia
mencelat setinggi tiga tombak, badannya terus meluncur tiba
sambil menggerakkan kedua telapak tangannya.
Saking susar dan gemas maka luncuran serta serangannya
ini betul-betui hebat sekali, seolah-olah ingin rasanya sekali
pukul hancur leburkan lawan menjadi bergedel.
Begitulah dengan nafsu membunuh yang bergelora di
badannya Giok-liong meluncur turun laksana air bah
dicurahkan dari tengah udara, tapi tiba-tiba ia berseru kejut.
Lekas lekas ia menarik serangannya dan punahkan tenaga
kekuatan pukulannya, badan juga lantas berhenti meluncur
dan hinggap ditengah jalan, Begitu berdiri tegak dengan
kesima ia berdiri mendelong, berutang kali ia kucek-kucek
matanya menatap pendatang baru ini, air mukanya kaku
tanpa perasaan ia berdiri terlongong seperti patung.
"Bocah keparat, apa yang kau lihat !"
Giok-liong tetap kesima berdiri ditempatnya, Sebab
perempuan pertengahan umur yang membawa selendang
sutra sepanjang dua tombak itu betul betul persis seseorang,
seorang yang selalu dirindukan oleh Giok-liong.
"Persis benar, seperti pinang dibelah dua !" dalam hari
Giok-liong membatin : "Selain usianya yang berbeda, boleh
dikata orang ini seperti duplikat adik Sia, mungkinkah didunia
ini terdapat orang yang begitu mirip satu sama lain ! "
Sementara itu, perempuan pertengahan umur itu sudah
menggulung selendangnya terus menghampiri kesamping lakilaki
kekar, suaranya lembut penuh kekwatiran : "Bagaimana
luka-Iukamu . . ." Wajah laki-laki kekar mengunjuk penasaran dan gusar,
sahutnya dengan kepedihan: "jangan kau hiraukan aku !
carilah dia ...." sampai disini ia sudah tak kuat meneruskan
sambil menunjuk Giok liong yang masih berdiri terlongong itu
ia berkata lagi tergagap: "Ringkus dia . . . tuntut
pertanggungan jawabnya !" Perempuan pertengahan umur menjadi terharu dan
mengembeng air mata, Tar ...tiba-tiba ia mengayun selendang
sutra ditangani nya seperti pecut, terus menerjang maju
kehadapan Giok liong, bentaknya sengit: "Bocah keparat,
kembalikan anak putriku!" Saat mana Giok-liong, tengah berdiri kesima, seketika ia
menjadi tertegun mendengar seruan orang mundur selangkah
ia bertanya: "Putrimu! Dari mana asal pertanyaanmu ini,
selamanya kiia belum pernah bertemu muka. apa kau sudah
gila!" "Apa, jadi kau hendak mungkir!"
"Bukan aku ingin mungkir, adalah menista orang semenamena!"
"Kau melepas api membakar rumah, pura-pura mau
sembunyi tangan, lihat serangan."
Selendang sutranya berputar ditengah udara melingkar
seperti-ular hidup terus menukik turun menindih ke atas
kepala Giok-liong, perbawa serangan ini cukup lihay dan
hebat. Kalau Giok-liong tidak mau melawan, terpaksa ia harus
melompat mundur baru bisa menghindar dari ancaman
berbahaya ini, Tapi pelajaran yang dialami tadi membuat ia
harus berpikir dua belas kali, berulang kali ia sudah berusaha
mengalah dan main mundur, akhirnya dirinya malah
kehilangan kontrol dan kepepet semakin payah, kehilangan
inisiatif menyerang setiap tindak, setiap langkahnya selalu
menghadapi mara bahaya melulu. Maka untuk kali ini terpaksa ia tidak sudi main mengalah
atau mundur lagi, jurus Cin chiu pelan-pelan dilancarkan untuk
memunahkan serangan musuh mengurangi tekanan dahsyat.
bentaknya keras: "Nama atau shemu saja aku tidak tahu
darimana . .." "Tidak tahu sudah tentu akan kubuat tahu!"
Perempuan pertengahan umur ini menyerang dengan
penuh nafsu, seiring dengan makiannya, selendang sutra
dilarikan semakin kencang sebegitu lincah dan cepat sekali
seumpama hujan angin juga sudah menembusnya.
Begitu besar tenaga yang terkerahkan di atas senjata
panjangnya ini sampai angin menderu menyapu debu dan
rumput disekitar geIanggang. Tatkala itu sudah menjelang tengah hari, bayangan
selendang berlapis-lapis melayang ditengah udara
memancarkan sinar sutra yang berkiiau menyilaukan mata.
Apalagi pakaian panjang yang dikenakan perempuan
pertengahan juga warna putih dari sutra lagi.
Demikian juga jubah panjang Giok-liong berwarna putih
bersih pula, Maka terlihatlah dua bayangan putih saling
berloncatan dengan diselubungi seleadang sutra yang selulup
timbul diantara mega putih laksana naga mengamuk.
Sebetulnya kalau Giok-liong mau melancarkan kepandaian
simpanannya, selendang sutra lawan sejak tadi sudah berhasil
dapat dihantam hancur berkeping-keping, paling tidak musuh
juga sudah terluka parah, Andaikata tidak bagian Lwekangnya
saja yang terkerahkan kiranya cukup dapat mengambil
kemenangan tanpa menghadapi rintangan yang berarti !
Tapi Giok-liong tidak mau berbuat demikian, karena apakah
" Tak lain karena wajah perempuan pertengahan umur persis
benar dengan istri tercinta yang tengah mengharap dirinya
pulang ke Hwi-hun san-cheng. Betapapun ia tidak tega turun
tangan untuk menurunkan tangan kejam.
Pertempuran silat tingkat tinggi memerlukan kosentrasi
yang berlipat ganda, bagaimanapun sekali pikirannya
bercabang, bukan saja tidak dapat mengambil kemenangan
malah mungkin sedikit saja saja lantas mengunjuk setitik
lubang kelemahan ini cukup kesempatan bagi musuh untuk
melancarkan serangan mematikan. Demikianlah keadaan pertempuran saat itu, sekejap mata
lima enam puluh jurus sudah berlalu. Diatas dataran lamping
gunung ini, selendang sutra putih sepanjang dua tombak telah
ditarikan demikian rupa oleh perempuan pertengahan umur
sehingga angin menderu laksasa angin lesus, laksana hujan
badai seperti pula gelombang ombak samudra, semakin lama
ternyata semakin cepat dan semangat, sebaliknya keadaan
Giok liong semakin terdesak dan terkekang didalam
lingkungan angin menderu, keadaannya sudah semakin payah
dan terdesak dibawab angin, terang tidak lama lagi dirinya
pasti dapat dikalahkan. Sekonyong-konyong terdengar bentakan nyaring merdu:
"Roboh!" bayangan putih berkelebat sejalur serangan dahsyat
bagai layung menerjang tiba "Celaka !" dalam kesibukannya, lekas-lekas Giok-liong
gunakan tipu Jiang-liong-jip-hun (ular naga menyusup ke
dalam awan) sekuat tenaga kakinya menjejak tanah, seketika
tubuhnya mencelat tinggi melambung ke tengah udara
setinggi lima tombak. "Blang." ledakan dahsyat seperti gugur gunung
menggetarkan bumi pegunungan. Ternyata selendang sutra
yang lemas itu telah melilit sebuah pohon besar terus digulung
tinggi tercabut keakar-akarnya terbang meninggi ketengah
udara. "Krak". "Byar!" daun dan debu beterbangan sejauh tujuh delapan
tombak. Bayangkan betapa dahsyat perbawa keku atan selendang
sutra ini, seumpama orang yang kena dililit dan dibanting pasti
badannya hancur lebiir menjadi perkedel, masa bisa hidup
lagi. Begitu jurus serangan ampuhnya melilit roboh sebuah
pohon, bukan saja rasa amarah perempuan pertengahan
belum reda malah semakin berkobar seperti api disiram
Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
minyak, Kelihatan rasa gemas dan dongkolnya semakin
mendalam, sekali lagi ia ayun dan tarikan selendang
senjatanya itu, seraya melompat menubruk.
Udara serasa menjadi gelap kerena tertutup oleh putaran
selendang yang melebar dan mendesis kencang itu, laksana
mega mendung menjelang hujan lebat dengan angin badai
menerpa dahsyat. Belum lagi badan Giok-liong menyentuh tanah, selendang
sutra yang lemas itu sudah memecut tiba lagi. Bercekat hati
Giok-liong, hatinya rada gentar menghadapi senjata lemas
musuh yang hebat tadi, cepat-cepat ia gunakan gaya Hoan-inhu
hu. untuk kedua kalinya badannya melenting tinggi, dalam
seribu kerepotannya, tangannya meraih sebatang dahan
pohon dengan meninjam daya pantulan dahan pohon ini
badannya terus terayun lima tombak lebih jauhnya.
Waktu badannya meluncur turun dan hinggap ditanah
kebetulan tiba disamping laki laki kekar yang tengah duduk
semadi mengerahkan tenaga istirahat, sebetulnya bagi Giokliong
tiada maksud tertentu. Tapi lain bagi penerimaan perempuan pertengahan umur
itu, bentaknya nyaring penuh kekuatiran: "Bocah keparat,
berani kau!" Ternyata ia mengira Giok-liong hendak mengambil
keuntungan ini menyerang orang yang sudah terluka tak
mampu bergerak itu. Seiring dengan bentakannya, selendang
putih panjang itu telah disapukan datang dengan kencang
laksana sebatang tongkat besi dengan jurus Heng cio-jian-kun
dengan kencang menyerampang tiba. Kembali amarah Giok liong semakin berkobar beruntun ia
sudah mengalah malah jiwa sendiri hampir melayang karena
musuh mendapat kemurahan hatinya, kini saking marah
timbul nafsu membunuh dalam benaknya.
Tanpa berkelit atau menyingkir lagi ia kerahkan hawa Ji-lo
melindungi badan, seketika mega putih bergulung mengitari
dan menyelubungi badannya, ditengah mega putih yang
bergulung gulung itu telapak kanannya tiba-tiba menyampok
maju menangkis selendang musuh yang lempang seperti
tongkat besi itu, bersama itu selicin belut segesit kera
melompat tahu-tahu ia bergerak lincah sekali melesat
kehadapan perempuan pertengahan umur.
Telapak tangan kiri pelan-pelan menyelonong maju
menekan kejalan darah Tiong-ting perempuan pertengahan
umur. Perempuan pertengahan umur terkejut bukan main, lekaslekas
ia menarik balik selendang putihnya.
"Waa..." Aduh" - "Hm!" tiga macam jerit dan seruan yang
berlainan berbunyi bersama, bayangan orang lantas berpencar
kedua jurusan. Sebetulnya telapak tangan kiri Giok-liong sudah tepat
menekan kejalan darah Tiong-ting, tapi mendadak ia teringat
bahwa musuh adalah kaum hawa, tak mungkin dirinya berlaku
begitu kurang adat, maka ditengah jalan ia rubah sasarannya
berganti menepuk pundaknya, ternyata dengan telak
serangannya telah mengenai sasarannya.
(BERSAMBUNG JILID KE 16) Jilid 16 Sebaliknya perempuan pertengahan umur juga berusaha
menghindari diri dari tutukan di jalan darah Tiong ting hingga
ia melindungi bagian dada, tak duga malah pundaknya yang
menjadi makanan empuk. Seketika rasa sakit yang luar biasa meresap ketulang-tulang
tangan menjadi lemas dan tak bertenaga lagi, maka selendang
tutra yang tengah ditarik kembali itu menjadi lemat dan
kendor dan menceng, tanpa sengaja tepat sekali menyapu
diketiak kiri laki-laki kekar yang duduk semadi itu, seketika ia
menggembor keras terus roboh. Darah menyembur keras dari mulutnya, luka ditambah luka
keruan tambah parah lagi keadaannya.
Perubahan yang beruntun terjadi itu kalau dikata lambat
hakikatnya berlangsung secepat kilat hanya sekejap saja.
Setelah terhuyung mundur perempuan pertengahan segera
menubruk maju lagi bagai harimau kelaparan sambil berteriak
beringas: "Bocah keparat yang telengas, sungguh kejam cara
turun tanganmu !" Namun betapapun ia menubruk dan menyeruduk bagai
banteng ketaton, gerak geriknya sudah tidak segesit tadi,
karena pundak kirinya terluka sehingga Lwekangnya susut
sebagian besar. Bahwasanya tadi Giok liong hanya membawa adatnya
sendiri sehingga ia kesalahan tangan melukai orang, kini
melihat keadaan lawan serta laki laki kekar yang sekarat itu,
hatinya menjadi menyesal dan mendelu, sejurus ia balas
menyerang lalu berseru lantang: "Kau sendiri yang harus
disalahkan. Toh bukan aku sengaja, sudahlah selamat
bertemu !" tubuhnya lantas melesat keluar hutan.
"Kemana kau !" walaupun pundak kiri terluka namun
Giakang perempuan pertengahan umur masih tetap lihay,
sekali melejit ia sudah menghadang didepan Giok-liong sambil
menarikan selendang sutranya, dimana angin mendesis
menggulung tiba, terdengar ia bersuara dengan gemas sarribil
kertak gigi: "Keluarga yang bahagia, telah porak poranda
karena bocah keparat ini ! Kecuali kau bunuh aku, kalau tidak
selama hidup ini jangan harap kau bisa tinggalkan tempat ini!"
Rasa dongkol dan gemas terlontar dari kata-katanya,
demikian juga sorot matanya berkilat penuh kebencian, air
mata mengalir keras, Biasanya orang kalau tidak sedih takkan
mengalirkan air mata, naga-naganya perempuan ini betulbetul
sangat pedih dan menderita batin. Keadaan Giok-liong menjadi serba susah, mau pergi tidak
bisa, kalau bertempur ia tidak suka melukai lawan, Dalam
keadaan yang kepepet apa boleh buat tangannya harus
bekerja menangkis atau menyampok serangan selendang
musuh kalau tidak mau diri sendiri yang bakal konyol. Suatu
kesempatan ia berseru penasaran: "Kau selalu mendesak
orang tanpa memberi kesempatan, malah menuduh semenamena
bahwa aku telah mencelakai keluarga kalian. Siapakah
dan apa namamu ?" Pedih dan lara perasaan perempuan setengah umur apalagi
luka di pundaknya sangat mengganggu tenaganya sehingga
cara turun tangannya semakin lemah, tenaga serangannya
tidak sedahsyat semula, namun sekuat tenaga ia masih
berusaha menyerang dengan selendang sutranya.
Giginya terdengar berkeriut, desisnya: "Aku tahu kau
seorang tokoh kejam yang sudah kenamaan, Siapa tidak kenal
nama Kim pit-jan-bun yang tenar ttu, Tapi tidak seharusnya . .
. " suaranya tersenggak oleh sengguk tangisnya.
Giok - liong berseru keras: "Kalau kau sudah kenal aku,
bagaimana juga harus bicara dengan alasan yang terpercaya
!" "Apalagi yang harus dilakukan, apakah perlu lagi kenyataan
didepan mata ini merupakan bukti yang terang !"
"Peristiwa disini tak bisa menyalahkan aku sendiri !"
"Jadi maksudmu menyalahkan aku ! Bajingan, biar aku adi
jiwa dengan kau !" "Cring!" tiba tiba sinar dingin berkilau menyilaukan mata
meluncur bagai bianglala, Tahu-tahu tangan perempuan
pertengahan u-njur sudah melolos keluar sebatang pedang
lemas sepasang tiga kaki, sedemikian lemas pedang itu setipis
kertas, lebar tiga senti, seluruh batang pedang memancarkan
sinar kebiru-biruan. Praktisnya pedang ini dapat digunakan sebagai sabuk di
pinggangnya, kini setelah dilolos langsung ia menyapukan
kedepan. "Siuuuuut..." pedang yang tipis lemas itu kini mendadak
menjadi kaku lempang, dimana pergelangan tangan
perempuan pertengahan umur berputar seketika berpetaIah
kembang pedang seiring dengan gerak langkah orang pelanpelan
bayangan sinar pedang meluncur kedepan.
Bukan kepalang kejut Giok-liong serunya tertahan: "Pek tok
lan-king-hoat-hiat kiam !" Pek-tok-lan king-hoauhiat-kiam adalah salah sebuah
senjata ampuh dan keji dari sembilan diantaranya yang sangat
ditakuti dan dipandang sebagai pusaka oleh kalangan hitam di
Kangouw. Namun bagi golongan putih senjata ini dipandang sebagai
benda berbisa yang paling ganas dan ditakuti
Karena pedang ini tipis dan lemas, tapi bila Lwekang sudah
dikerahkan dibatang pedang bisa menjadi lempang kaku.
Apalagi seluruh batang pedang sudah dilumuri beratus macam
kadar racun dari berbagai suku minoritas di daerah
pedalaman. Jangan kata pedang ini menembus badan manusia, hanya
teriris sedikit saja kadar racun, akan segera meresap kedalam
badan dan jiwa sukar diselamatkan lagi, setelah mati seluruh
tubuh berubah menjadi air darah tak meninggalkan bekas.
Oleh karena itulah bagi kaum persilatan golongan putih
pedang ini dipandang sebagai salah sebuah senjata ganas dan
kejam dari sembilan senjata lainnya.
Kalau tidak dipakai pedang ini disarungkan kedalam
serangkanya yang terbuat dari kulit harimau dan dibuat sabuk,
Begitu tercabut keluar hawa dingin lantas merangsang keluar,
sudah tentu kadar racunnya juga lantas bekerja, Bukan saja
pihak musuh takkan kuat bertahan, bagi pemiliknya sendiri
juga begitu sudah melancarkan serangannya harus terus
bergerak membadai tanpa boleh berhenti Lwekang harus
disalurkan terus kebatang pedang untuk mendesak hawa
racun ke ujung pedang. Kalau tidak badan sendiri
kemungkinan besar bisa terkena racun juga.
Oleh karena itu, cara penggunaan pedang ini paling
menguras tenaga besar, kalau tidak dalam keadaan kepepet
tidak sembarangan dikeluarkan. Begitu Pek-tok-lan king-hoat hiat-kiam di lolos keluar, air
muka perempuan pertengahan umur berubah sungguhsungguh
dengan kedua tangannya ia bolang-balingkan
pedangnya dengan langkah berat ia mengancam maju,
ujarnya: "Adalah kau yang mendesak aku. Selama puluhan
tahun baru sekali ini Tam-kiong sian-ci Hoan Ji-hoa turun
tangan!" Begitu mendengar perempuan pertengahan umur
menyebut namanya, tergetar seluruh tubuh Giok-liong, lekaslekas
ia berteriak: "Bibi, jangan! mari kita bicara lagi, lekas...."
Perempuan pertengahan umur mendengus dan
menyeringai tawa sinis penuh kesedihan suaranya dingin
mencekam: "Bangsat licik yang tidak tahu malu, kau takut!"
"Bukan! Bukan takut....."
"Sudah jangan cerewet lagi, sambut seranganku ini!" sinar
biru berkilau menungging keatas terus meluncur turun, hawa
dingin menyesakkan napas, lapat-lapat dari sambaran angin
yang menderu itu tercium bau amis yang memuakkan.
Gesit sekali Giok-liong melompat mundur sejauh mungkin.
Tapi sinar biru berkilau itu bagai bayangan saja mengejar
dengan pesat sekali, Tiba-tiba terlihat sinar kuning memancar
memenuhi udara.Tak berani Giok-liong melawan senjata yang
terkenal ganas itu dengan sepasang tangannya, terpaksa ia
keluarkan Potlot masnya, dengan jurus pura-pura ia tangkis
pedang lawan terus senjatanya diputar melindungi muka,
teriaknya keras: "Bibi, sabarlah sebentar, dengar penjelasan siautit. . ."
"Aku tidak sudi dengar obrolan manismu. Sambut
seranganku!" baru saja jurus pertama dilancarkan jurus kedua
sudah memberondong tiba pula sungguh raya serangan yang
luar biasa, dimana sinar biru kemilau itu menyambar, naganaganya
ia tidak berani berlaku lamban sedikitpun, dengan
mati matian ia terus putar senjata berbisa di tangannya.
walaupun Potlot mas Giok-liong itu adalah senjata Toji
Pang Giok yang sudah kenamaan dan ampuh, betapa juga
merupakan senjata biasa saja, seluruhnya mengandalkan tiputipu
jurus silatnya yang harus sempurna dalam latihan
sekarang menghadapi salah satu dari sembilan senjata
beracun paling ganas di dunia ini, betapapun tak berguna lagi,
tak mungkin memperlihatkan perbawanya, ditambah hati
Giok-liong sendiri sudah keder pula hatinya penuh keraguan,
tak heran kedatangannya semakin payah dan terdesak terusc
Sedapat mungkin ia putar Potiot masnya sekencang
mungkin untuk melindungi badan, bagaimanapun juga tidak
boleh buat menangkis senjata lawan yang beracun.
Sebaliknya Tam-kiong-sian ci Hoan Ji-hoa semakin
bernafsu, jurus demi jurus semakin ganas, tak peduli senjata
potlot atau bayangan orangnya, begitu ada kesempatan tentu
ditabas dan dibacoknya dengan gemesnya.
Puluhan jurus telah berlalu, pancaran sinar biru semakin
berkembang dan menyolok, demikian juga hawa dingin
semakin membekukan, hawa beracun jaga semakin tebal
dengan baunya yang memualkan itu. Keadaan Giok-liong semakin keriputan berloncatan kian
kemari sehingga mencak-mencak seperti joget kera. Kalau
keadaan Giok-liong semakin payah, keadaan Tam-kiong-sianci
Hoan-Ji-hoa juga tidak lebih baik, karena setiap
melancarkan serangannya harus menguras tenaga terlalu
besar, lama kelamaan jidatnya mandi keringat napas juga
tersengal memburu. Setengah jam telah berlalu, pancaran sinar biru semakin
guram, demikian juga mega putihpun semakin pudar, Ketika
belah pihak sudah bertempur mati matian sampai kehabisan
tenaga, Rambut Tam kiong sian-ci Hoa Ji-hoa riap-riapan, air
mukanya pucat, napasnya memburu mesti gerak langkah
sudah sempoyongan namun pedang beracun ditangannya
masih bekerja dengan ganas. Jurus jurus pelajaran ilmu potlot mas Giok liong sudah
dilancarkan berulang kali, Tapi karena tidak berani menangkis
atau bersentuhan dengan senjata lawan, jadi hakikatnya
selama ini ia hanya main kelit dan bela diri saja, sebetulnya
banyak kesempatan dapat merobohkan musuh dengan sekali
gebrak saja, sayang hatinya penuh keraguan sehingga sia-sia
saja kesempatan baik itu. Mendadak bergerak hatinya "Kenapa aku tidak gunakan
seruling samber nyawa untuk memecahkan ilmunya !"
Bahwasanya seruling samber nyawa adalah senjata pusaka
peninggalan tokoh-tokoh persilatan yang kosen, merupakan
senjata sakti dan ampuh berkasiat dapat melawan hawa
Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beracun adanya kesaktian yang madraguna ini mungkin tak
perlu takut lagi akan pedang beracun."
Tanpa banyak pikir lagi segera ia merogoh keluar seruling
samber nyawa, Alunan lima irama seruling dengan lagu yang
merdu segera kumandang ditengah udara, dimana sinar putih
melayang dari batang seruling terhembus hawa dingin yang
menyegarkan seketika terbagun semangat Giok-liong.
Betul juga begitu seruling ditangannya bergerak hawa
beracun yang berbau amis memualkan itu lantas sirna tanpa
bekas seperti tersapu bersih oleh hujan badai. Keruan bukan
kepalang girang Giok liong, batinnya: "Sungguh goblok aku,
kenapa sejak mula aku tidak teringat akan hal ini!"
Segera ia putar seruling ditangannya lebih kencang,
mulutnya berseru: "Bibi, lekas simpan kembali senjata beracun
itu, kalau tidak. . ." belum habis kata-katanya mendadak ia
rasakan seruling ditangannya seperti ular hidup dapat
bergerak sendiri seperti tumbuh daya sedot tergerak
mengikuti ayunan padang beracun kemana saja melayang,
yang lebih hebat lagi saban-saban menangkis dan menutuk
kebatang pedang dengan tanpa terkendali lagi.
Giok-liong menjadi heran mendadak terasa tangan kanan
tergetar keras, tak kuasa lagi seruling itu lantas bersuit
nyaring terlepas dari tangannya, seperti kuda pingitan lepas
dari kandangnya melesat terbang kedepan dengan kencang.
"Celaka !" - "Trang !" - "Aduh !" perubahan yang terjadi ini
betul-betul dlluar dugaan, Tahu-tahu Pek-tok-lan-king hoathiat-
kiam sudah terpental terbang ketengah udara setinggi
puluhan tombak meluncur kelereng gunung sana.
Irama seruling juga lantas berhenti, daya sedot dan
pancaran sinarnya yang cemerlang tadi juga semakin guram,
Giok-liong berdiri terlongong aitempatnya seperti patung.
Dilain pihak, tampak Tam-kiong-sian-ei Hoan Ji-hoa terjurai
sempoyongan, wajahnya pucat pias tanpa darah, sebaliknya
telapak tangannya pecah mengucurkan banyak darah.
Perubahan ini betul betul tak terduga sebelumnya.
Beruntun Hoan Ji hoa terhuyung beberapa langkah, akhirnya
tangannya menyikap dahan pohon. sekuat tenaga ia meronta
berdiri, desisnya geram: "Ma Giok liong! Ma Giok - liong !
Kapan Hwi-hun sam-ceng berbuat salah terhadap kau !"
Perasaan Giok-liong sungguh sukar dilukiskan dengan katakata,
hatinya seperti ditusuk tusuk sembilu, ia berdiri kesima
memandangi seruling dan potlot mas ditangannya. Akibat
yang dialami ini betul-betul diluar dugaannya.
Tak tahu dia bahwa seruling pusaka ini begitu sakti
mandraguna, begitu kebentur dengan senjata berbisa yang
jahat, tanpa komando lantas memperlihatkan perbawanya,
begitu hebat perbawa kesaktiannya sampai tenaga manusia
juga tidak mampu mengendalikan. Lama ia berdiri bagai kesetanan. akhirnya tersadar dari
lamunannya. Membaru berapa langkah sambil menyimpan
seruling dan Potlot masnya, katanya tergagap: "Bibi siautit. .
." "Stop!" Tam-kong-sian-ci Hoan -Ji-hoa membentak bengis:
"Selangkah lagi kau maju, aku bersumpah takkan hidup
bersama kau didunia ini. Ketahuiah bahwa warga Hwi-hunsanceng
boleh dibunuh tak boleh dihina. Berani maju alangkah
lagi, kumaki kau habis-habisan."
Terpaksa Giok-Iiong menghentikan langkah, jauh-jauh ia
berdiri serunya dengan nada memohon:" Bibi dengarlah
penjelasanku!" Sekonyong-konyong setitik sinar terang melengking nyaring
menembus udara meluncur datang dari kejauhan sana
langsung menerjang kemata kanan Giok liong, Betapa cepat
daya luncuran titik sinar terang ini serta ketepatan sasaran
yang diarah betul-betul mengejutkan.
Sambil berkelit minggir Giok-liong menggerakkan tangan
meraih benda yang meluncur datang itu dan tepat kena
ditangkapnya, Waktu ia menunduk melihat, kiranya benda di
telapak tangannya itu bukan lain adalah sebentuk batu giok
yang berbentuk jantung hati warna merah darah pemberian
ibunya sebelum berpisah dulu. seketika ia berjingkrak
kegirangan, teriaknya keras: "Adik Sia! Ki-sia"
"Siapa adik Sia-mu, manusia tidak kenal budi, mata
keranjang tak kenal cinta suci!"
Betul juga Coh Ki sia sudah melayang tiba dihadapan Giok
liong, Tapi bukan menghampiri kearah Giok liong, segera ia
memburu lari kepelukan Tam-kiong-sian-ci Hoan Ji-hoa,
katanya sambil sesenggukan "Bu, kenapa kau Bu. . ."
Wajah Hoan Ji hoa berkerut kerut bergetar sekuatnya ia
menahan sakit sebelah tangannya mengelus-ngelus rambut
putri kesayangannya, air matanya mengalir deras, ujar
gemetar: Anak Sia! Nak, kemanakah kau selama ini, membuat
ibumu menderita mencarimu!" Sambil mengembeng air mata Coh Ki sia menunjuk Giokliong,
katanya: "Dia pergi sekian lama tanpa memberi kabar
berita, Maka tanpa pamit aku melarikan diri dari penjagaan
nenek, Tak nyana selama kelana di Kangouw ini baru aku tahu
bahwa dia bukan lain seekor serigala cabul yang suka ngapusi
kaum perempuan." Mendengar ini, segera Giok liong menyelak bicara: "Adik
Sia, mana boleh kau bicara sembarangan!"
Tanpa menanti Giok-liong bicara habis, Coh Ki-sia sudah
menyemprotnya: "Kau sangka aku menuduhmu semenamena"
Li Hong, Kiong Ling-ling, Tan Soat-kiau, Ling Soat yan
serta Sia Bik-yau dari Ui - hoa kiam itu . . . masih ada lagi,
oh., Bu, begitu kejam ia menyiksa anak"
"Dari mana asal mula perkataanmu ini, memang dikalangan
kangouw tersiar kabar demikiaa, tapi kenapa kau begitu
percaya obrolan orang !" Tam kiong-sian ci Hoan Ji-hoa mendelik gusar berapi-api,
gerangnya marah: "Apakah kau melukai kita suami istri juga
pura-pura !" "Hah ! Dimana ayah " Ayah . . ."
"Ayahmu terkena pukulan Sam-ji cui-hun-chiu, setelah
terluka parah . , . anak Sia coba kau tilik dia, mungkin dia . . .
" Tak tertahan lagi Hoan Ji-hoa ikut menangis sesenggukan.
Coh ki-sia berjingkrak berdiri, setindak demi setindak ia
menghampiri kehadapan Giok-liong, desisnya berat : "Baru
sekarang aku dapat melihat muka aslimu ! Manusia berhati
binatang !" Cepat-cepat Giok liong membela diri:
"Aku toh tidak tahu kalau beliau adalah paman dan bibi."
"Tutup mulutmu! Meski ayahku bakas tokoh kenamaan di
dunia persilatan tapi toh bukan tidak punya nama, apalagi
ilmu Hwi-hun-chiu tiada aliran kedua di dunia ini !"
"Tapi, aku . . . aku tidak tahu !"
"Tidak tahu ! Kau sengaja !"
Tam-kiong sian ci Hoa Ji hoa mendengus hidung,
jengeknya: "Hm, aku sudah memperkenalkan diri kau masih
tidak tahu ?" "Bukankah aku segera memanggilmu bibi, serta minta kau
orang tua segera berhenti ?" "Lalu kenapa kau keluarkan Potlot mas dan seruling samber
nyawa, Melancarkan Jan-hun-su-sek lagi secara mati-matian
hendak adu jiwa dengan aku !" "Ini kan , . . karena . . ."
Kontan sambil marah Coh Ki sia me^langkah setindak,
jarinya menuding hidung Giok liong, semburnya: "Aku tidak
akan mendengar obrolanmu Mana kembalikan !"
"Apa ?" "Giok-pwe milikku itu !" Pelan-pelan GioK-liong menarik keluar Giok-pwe tanda
mata yang tergantung dilehernya itu, katanya lirih : "Adik Sia,
lihatlah . . . " Tak diduga kemarahan Coh Ki sia sudah tak terbendung
lagi, sekali raih ia terus rebut Giok-pwe itu dan ditariknya
sekuatnya sambil membanting kaki. Benang sutra yang
mengikat putus, sampai Giok-Iiong sendiri ikut tertarik
menjorok kedepan hampir jatuh tersungkur, wajahnya pucat
dan sedih. Kiranya amarah Coh Ki sia belum reda, lagi-iagi tangannya
diulurkan katanya lagi : "Masih ada, kembalikan sekalian !"
"Masih ada " Apa ?" "Sapu tangan !" "Sapu tangan ?" "Mengapa" kau sudah lupa ?"
"Tidak, bagaimana aku bisa lupa ?"
"Lha, kembalikan !" "ini . . . " "Ini itu apa, lekas kembalikan. Sejak hari ini putus
hubungan kita." Hati Giok-liong seperti ditusuk-tusuk, katanya memohon :
"Adik Sia, sejak perpisahan di Hwi-hun-san-cheng, siang
malam selalu kuteringat akan kau, masa kau .."
"Sudah jangan cerewet, kembalikan sapu tanganku itu ?"
Sementara itu, Hoan Ji hoa yang belum sempat istirahat
mendengar percakapaa putrinya ini, rasa gusarnya memuncak
lagi, akhirnya ia tak tahan berdiri lagi tangannya mengapegape
dahan pohon berusaha berpegangan, saking lemasnya
akhirnya ia menyemburkan darah lagi terus melorot jatuh
terduduk. Betapa erat ikatan batin antara ibu dan anak, bertambah
mendelu dan pedih perasaan hati Coh Ki sia, desaknya sambil
membanting kaki: "Kau mau kembalikan tidak?"
Giok-lioig jadi nekad, katanya terus terang: "Sapu
tanganmu tak berada ditanganku."
"Lalu dimana ?" "Diambil oleh Hiat-ing Kong cu . . . "
"Plak, plak !" dua tamparan keras dan nyaring seketika
membuat kedua pipi Giok-liong bengap dan terasa panas,
mata sampai berkunang-kunang. Setelah menampar muka Giok liong, tak tertahan lagi Coh
Ki-sia menjerit nangis gerung-gerung terus berlari ke hadapan
ibunya, katanya sambit sesenggukan: "Bu, akulah yang salah
sehingga kau ikut menderita." "Anak Sia, jemput kembali pedang ibu!" "Tanpa mengerling
ke arah Giok liong yang berdiri terlongong mematung, cepat
Coh Ki-sia berlari ke arah sana menjemput Pek-tok-lan kiangTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/ hoai-hiat kiam, pelan-pelan ia payang ibunya, lalu tanyanya :
"Dimanakah ayah !" Sekuatnya Hoan Ji-hoa merangkak bangun menggelendot
di pundak putrinya, selangkah demi setindak maju kehadapan
Giok-liong yang mematung itu. katanya dengan napas
memburu: "Ma Tay-hiap, kalau kau hendak memusnahkan
Hwi-hun-san cheng, sekarang inilah saat yang paling baik,
setelah detik ini kelak kau jangan menyesal."
Pandangan Giok-Iiong mendelong memandang ke arah
jauh sekejappun ia tidak berkata-kata.
Terdengar suara batuk batuk serta langkah berat Hwi-hunchiu
Coh Jian kun pelan pelan berjalan keluar dengan
sekuatnya, serunya menyambung: "Benar, selama puluhan
tahun ini, aku Coh Jian-kun belum pernah mengikat
permusuhan dengan tokoh Bulim siapapun ! Tapi, Ma Tayhiap,
tak kira aku harus terjungkal di tanganmu."
Lekas-Iekas Coh Ki-sia memburu maju membimbing
ayahnya, air mata mengucur tak tertahan lagi.
Kata Coh Jian-kun lagi: "Hari ini, kita suami istri serta putri
tunggalku berada di arena. Kalau saat ini kau tidak sekalian
membereskan kita, perhitungan ini selamanya akan kuresapi
dalam sanubariku begitu ada kesempatan pasti kucari kau !"
Betapa sedih perasaan Giok-liong sulit dilukiskan dengan
kata-kata, seumpama seorang bisu yang menelan empedu
(rasanya pahit), ada maksud bicara tapi tak bisa ber-kata,
pelan-pelan ia berkata suatanya serak sembetj "Pa . . . man. .
." "Tutup mulutmu !" Mata Coh Jian-kun mendelik besar bentaknya: "Seumpama
To ji Pang Giok sendiri bakal membela kau, dendam sakit hati
ini selama aku masih hidup bersumpah harus ku balas."
Begitu bernafsu ia bicara sehingga amarahnya memuncak,
apalagi luka-lukanya belum sembuh seketika ia memuntahkan
darah segar lagi, badan juga terhuyung hampir roboh.
Keadaan Tam kiong-sian ci Hoan Ji hoa juga rada payah,
namun melihat keadaan suaminya lekas-lekas ia memburu
maju saling berpegangan, ibu beranak memayang dari kiri
kanan serentak mereka bersuara bersama: "Sudahlah tak
perlu banyak mulut lagi!" Giok-liong mengawasi saja tak bisa berbuat apa-apa, rasa
hatinya semakin mencekam, katanya pelan-pelan: "Terang
kalian tidak memaafkan aku, dan memberi kesempatan
supaya aku menjelaskan untuk membela diri, Tapi mas murni
tetap mas murni, kenyataan tetap kenyataan aku juga tidak
perlu khawatir, akan datang suatu hari semua ini dapat dibikin
beres dengan terang duduk perkaranya, semua ini hanya
salah paham melulu, terserah kau mau percaya!" kata terakhir
terang ditujukan kepada Coh-ki sia malah tangannya juga
menunjuk kearahnya. Akan tetapi jawaban yang ia dengar tetap jengekan
menghina yang dingin : "Hm, salah paham !"
Tam-kiong sian-ci Hoan Ji-hoa berkata: "Kita akan segera
pulang!" Giok-liong tertawa getir, katanya apa boleh buat: "Silakah !
Aku Ma Giok-liong pasrah nasib saja."
Hwi-hun-chiu Coh Jian-kun menggeleng kepala, ujarnya :
"Selama hidup ini takkan kulupakan, peristiwa hari ini kuharap
Ma Siau-hiap juga selalu ingat akan hal ini, mari!"
Saling berbimbingan mereka bertiga beringsut keluar dari
hutan lebat ini. Mengantar kepergian bayangan mereka tak tahu Giok-Iiong
perasaan harinya getir atau pahit, tak terasa air matanya
mengembeng terus menetes membasahi pipinya.
Dia bertanya kepada dirinya sendiri - "Apakah sudah
suratan takdir hidupku ini penuh penderitaan sehingga setiap
orang yang bertemu berkumpul dengan aku selalu mengalami
bencana atau penderitaan " Kalau tidak, mengapa. . ." dia
tidak berani memikirkan lebih lanjut.
"Betapa juga harus mengatakan isi hatiku." demikian
pikirnya, maka bergegas ia berlari mengejar keluar serta
Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
teriaknya: "Hai tunggu sebentar !"
Karena luka-luka mereka yang parah sehingga jalannya
agak lambat, mendedgar teriakan Giok-liong serentak Coh Jian
kun bertiga berpaling. "Kau menyesal dan sekarang hendak membabat rumput
seakar-akarnya !" bentak Hoan Ji-hoa dengan bengis.
Mata Giok-liong berkilat, alisnya dikerutkan dalam,
mendadak ia kerahkan Lwekangnya terus mengayun sebelah
tangan, sambil membentang mulut ia menggembor keras terut
memukul kedepan, "Blang," sebuah batu besar segede gajah
sejauh puluhan tombak sana seketika meledak hancur
berkeping-keping menjadi debu beterbangan.
Terbelalak pandangan Coh Jian-kun, desisnya gemetar:
"Kau mendemostrasikan Lwekangmu untuk menakuti orang"
Nada suara Giok liong barat dan sedih, teriaknya: "Adik Sia,
kalau hatiku bercabang biarlah riwayatku tamat seperti baru
itu Cukup perkataanku sampai disini, cobalah pertimbangkan
lagi !" Coh Ki-sia sendiri masih dalam keadaan marah, mana mau
dengar penjelasannya, hidungnya mendengus: "Huh, kau
memang pandai bermain badut, Putri orang she Coh sudah
pernah diakali sekali, aku takkan sudi mendengar obrolan
rnanismu, silakan kau pertunjukkan kepada orang lain saja !"
Apalagi yang harus Giok-liong katakan, manggut-manggut
ia berkata: "Baik terserah kau mau percaya, Aku bicara
dengan tulus hati !" "Cis !" Coh Ki-sia meludah terus berjalan pergi membimbing
ayahnya. Keadaan dialas belukar ini menjadi sunyi senyap, angin
menghembus menyegarkan pikiran, pemandangan didepan
mata tidak berubah. Tinggal Giok-liong seorang diri berdiri
terpaku memandangi awan dilangit yang mengembang halus,
pikiran lantas meIayang-Iayang tak tentu arah rimbanya,
lambat laun rasa pedih mengetuk sanubarinya.
Betapa Giok-liong takkan sedih bila teringat akan dendam
kesumat ayah bundanya. Bibit bencana yang bakal bersemi
dan menggegerkan dunia persilatan serta undang-undang
perguruan yang keras, pesan para kawan yang belum
terlaksana, perjanjian bulan tiga dengan pihak Mo khek,
jangka tiga hari yang dibatasi oleh Hutan kematian, seorang
diri menyembunyikan diri dialam pegunungan yang belukar ini
terasa olehnya bahwa dirinya ini seorang yang penuh dosa
nestapa dengan banyak cita-cita yang belum terlaksana.
Sayang sekali tiada seorangpun dalam dunia ini yang mau
meresapi dan percaya akan tutur katanya. seolah-olah dunia
yang besar ini tiada seorangpun yang mau kenal dan
menyelami pribadinya, tiada suatu tempat yang boleh dan
dapat menjadi tempat berpijak untuk hidup tentram sentosa,
hidup sebatang kara memang penuh derita dan sengsara.
"Hidup manusia kalau begitu penuh derita, untuk apa lagi
masih tetap bernyawa dialam baka ini ?" berpikir sampai disini
ia menghela napas panjang-panjang, katanya getir sambil
menggertak gigi : "Lebih baik mati saja !"
Potlot mas sudah dilolos dan ujungnya sudah tepat
mengarah tenggorokannya, ujung yang runcing dan tajam itu
sedikit menembus dagingnya tidak terasa sakit sedikitpun.
Sebab seluruh badannya terasa sudah mem-baal dan kebal.
Tapi ujung senjata yang runcing itu ada merembeskan
hawa dingin yang seketika menyadarkan pikirannya sehingga
daya hidup dalam benaknya mulai berkobar kembali: "Aku
tidak boleh mati!" tak terasa ia berteriak sekeras-kerasnya.
Lalu menggembor dengan lengkingan tinggi menembus
angkasa melemparkan rasa sesak yang mengeram dalam
benaknya. Sekarang badan terasa segar dan enteng, semangat juga
pilih kembali, dengan langkah lebar ia mengarungi semak
belukar yang luas ini. Tak terasa dari pagi sampai petang,
Waktu memang tidak menunggu orang, sekejap saja dua hari
sudah berlelu, seorang diri Giok liong melakukan perjalanan,
pagi-pagi benar ia sudah beranjak di jalan raya, iort harinya
mencari penginapan untuk istirahat. Kalau tiada penginapan ia
menginap di rumah pedesaan atau bermalam di atas pohon.
Hari ketiga, langit mendadak menjadi mendung, kilat
menyambar geledek menggelegar hujan turun dengan
derasnya, Hari sudah sore lagi, saat mana Giok-liong tengah
melanjutkan perjalanannya, didepan tiada rumah dibelakang
adalah hutan belantara, karena tiada tempat untuk meneduh
seluruh badannya menjadi basah kuyup.
Tak jauh kemudian di depan sana kira kira ratusan meter
terlihat bayangan sebuah bangunan rumah yang samarTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/ samar, Segera ia kembangkam ilmu ringan tubuhnya,
beberapa kejap kemudian ia sudah tidak jauh dari rumah batu
merah. Kiranya bukan lain adalah sebuah biara penyembahan
dewa gunung. Keadaan biara ini sudah bobrok dan tak terurus lagi, pintu
besarnya sudah keropos, debu tebal beberapa inci dimanamana
banyak gelagasi, terang sudah lama tidak diinjak orang.
Tanpa ragu-ragu Giok liong terus menerobos masuk
langsung keruang sembahyang Dibawah kaki patung
penyembahan tempat yang tidak kehujanan ia membersihkan
tubuhnya serta mengebutkan matelnya terus dicantelkan
diatas tongkat senjata yang dipegang patung pemujaan itu.
"Tang " tiba-tiba sebuah benda berkilau jatuh dari atas
atap, sedikitpun Giok liong tidak bersiaga, keruan ia
berjingkrak kaget. Tepat pada saat itulah terdengar suara
"Dar!" guntur mengelegar disertai kilat menyamber samarsamar
kelihatan seperti ada sebuah bayangan berkelebat
menghilang. "Siapa" tak kalah cepatnya bayangan putih melesat
mengejar sampai diemper luar, Tapi hujan diluar begitu lebat
mengeluarkan suara gemuruh. mana kelihatan adan bayangan
orang, "Aneh...... hah!" Giok-liong mengguman kembali dibawah
kaki patung pcmujaan, mendadak ia berseru kejut dan
seketika terIong-ong. Karena mantelnya yang dicantelkan diatas
tongkat senjata itu kini sudah terbang tanpa sayap.
Dibawah kakinya benda berkilauan terang dan nyata itu
ternyata bukan lain adalah sebuah lencana besi dari Hutan
kematian, Karena terlalu nafsu hen!ak mengejar bayangan
tadi, jadi ia tidak perhatikan benda apa yang jatuh tadi.
Kini setelah melihat jelas seketika timbul hawa amarahnya,
Disangkanya pasti kamprat-kamprat Hutan kematian yang
mempermainkan dirinya. Cepat benar gerak badan orang itu! Terpikir demikian
lantas teringat pula akan mantelnya yang hilang itu, terang
bahwa orang yang mempermainkan dirinya bukan hanya
seorang saja. Salah seorang melontarkan lencana besi Hutan
kematian, sedang seorang yang lain sembunyi didalam
mencuri mantelnya. "Kawan!" demikian teriaknya keras, "Silakan keluar!"
namun suasana dalam biara bobrok ini tatap sunyi lengang,
gema suaranya mendengung berkumandang.
"Main sembunyi termasuk orang gagah macam apa itu"
Ayo keluar!" bentakan kali ini lebih keras seperti gema lonceng
laksana guntur bergetar, sampai atap genteng penuh debu
beterbangan Tapi keadaan tetap sunyi tanpa penyahutan atau
reaksi apapun. Giok liong menjadi dongkol, dengan cermat dan waspada ia
periksa segala pelosok kelenteng, yang cukup untuk sembunyi
seseorang. Akhirnya ia kewalahan sendiri dan kembali ke ruang
tengah, sambil menghela napas ia duduk bersila, mulai
memusatkan pikiran semadi. Hujan semakin deras, haripun semakin ge-lap, malam telah
meliputi seluruh jagat. Hanya lencana besi Hutan kematian
itulah yang memancarkan sinar dingin berkilau diatas tanah,
Saat mana Giok-liong sudah tenggelam dalam semadinya.
Sekonyong-konyong lapat-lapat hidungnya mengendus bau
arak dan daging panggang tanpa terasa ia menjadi tertawa
geli sendiri, batinnya: "Agaknya perutku sudah kelaparan!
Dalam kelenteng bobrok macam ini mana ada daging dan
arak!" Tapi kenyataan diluar dugaannya, justru bau arak dan
daging itu terbaur disebelah badannya. Tak kuasa lagi Giokliong
berjingkrak bangun sambil berteriak kejut ia tak berani
percaya, matanya dikucek-kueek memandangi empat macam
masakan di sebelah samping kirinya serta sepoci arak,
seketika ia berdiri melongo tak habis mengerti.
"Ini dari mana?" Badannya melenting dan bergerak cepat
memeriksa seluruh ruangan kelenteng, hasilnya tetap nihil,
Dengan hati-hati ia mencium dan mengendus-ngendus
masakan dan arak itu sedikit pun tiada tanda-tanda aneh apa.
Memang perutnya sudah lapar, bau arak daging begitu
merangsang lagi seketika timbul selera dan perutnya menjadi
berkerutukan. "Peduli apa, gegares dulu lebih penting!" tanpa sungkansungkan
lagi ia angkat mangkok dan sumpit yang sudah
tersedia terus mulai makan minum sepuasnya. Belum lagi arak
di tenggak habis empat macam masakan sudah dikuras
kedalam perutnya semua. "Krak," sebuah suara yang lirih tiba-tiba terdengar di
sebelah samping tak jauh sana. Umpama orang biasa apalagi
dalam keadaan hujan lebat yang gemuruh ini tentu takkan
mendengarnya, sebaliknya kejelian telinga Giok-liong memang
hebat luar biasa, seiring dengan Lwekangnya yang bertambah
maju, apalagi hatinya selalu was was dan penuh prihatin, jelas
sekali didengarnya suara lirih itu.
Tapi dia pura pura tidak dengar dan bersikap wajar, duduk
tenang tanpa bergerak di tempatnya matanya dipicingkaa
merem melek, pikiran di pusatkan sambil mengempos
semangat, pelan pelan ia melirik kearah datangnya suara itu.
Sekian lama dinanti-nantikan, tanpa terlihat reaksi apa-apa,
Baru saja Giok-liong berniat bangkit hendak memeriksa, tiba
tiba tidak jauh di sebelah sampingnya sebuah papan bergerak
berbunyi, meski sangat halus dan lirih tapi tak dapat
mengelabui Giok-liong lagi. Pelan-pelan papan batu itu
terangkat naik menunjukkan sebuah lubang kecil.
Giok-liong tinggal diam-diam saja, matanya dipejamkan
pura-pura tidur pulas. Akhirnya papan bata itu tergeser ke samping, seiring
dengan itu dari dalam lubang kecil persegi itu terdengarlah
suara aneh yang mendirikan bulu roma seperti teriakan setan
laksana dedemit menyeramkan, sungguh mengerikan.
Pelan-pelan dari dalam lubang itu muncul sebuah kepal
Bentrok Para Pendekar 26 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Bentrok Para Pendekar 1