Pencarian

Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 10

Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Bagian 10


h memperoleh semua warisan ilmu silatnya, tapi dua jurus serangan yang digunakannya sekarang ternyata merupakan jurus aneh yang belum pernah dilihatnya.
Perlu diketahui, dua jurus serangan yang di-gunakan Bok Ji-sia barusan adalah jurus serangan yang tercantum dalam kitab Koat-im-siang-gi-cin-keng.
Sementara nyonya cantik berbaju merah itu termenung, tiba-tiba terasa angin pukulan menyam-bar tiba, dengan terkejut buru-buru ia melompat ke belakang. Sungguh tak terlukiskan rasa kagetnya, dia merasa Bok Ji-sia telah berhasil melatih sejenis te-naga murni, semacam ilmu yang
berkekuatan maha tinggi.
Sementara itu Ji-sia telah menyusul maju, tangan kiri secepat kilat mencengkeram urat nadi nyonya cantik berbaju
merah itu. Setelah terdesak mundur, nyonya cantik ber-baju merah itu merasa kaget bercampur mendong-kol, ia tak berani memandang enteng musuh lagi, kini ia merasa ilmu silat Bok Ji-sia boleh disejajarkan dengan kelihaian Bu-lim-jit-coat.
Segera ia berputar ke samping, tampaknya hen-dak
menerjang ke muka, tahu2 malah mundur se-jauh empat-lima langkah dari tempat semula.
Bok Ji-sia terperanjat, pikirnya, "Ilmu gerak-an apakah itu"
Kalau aku berganti jurus serangan, bila dia terus menyelinap ke belakangku dengan gerakan aneh ini, dan menyergap dari belakang, wah, bisa berabe! Aku harus berjaga2 atas kejadian ini, paling tidak jangan sampai kena didahului olehnya."
Segera gerak tubuhnya yang sedang menerjang ke depan ditahan lalu cepat memutar badan.
Setelah mundur dua langkah, sambil menjura katanya dengan serius, "Ilmu silat Locianpwe sung-guh sangat lihai, Wanpwe tahu bukan tandinganmu, apalagi di antara kita tak pernah terikat permusuh-an, buat apa Locianpwe berkeras ingin bertarung melawanku untuk menentukan menang
kalah"."
Belum habis berkata, nyonya cantik berbaju merah itu telah menukas dengan dingin, "Buat orang lain, sekalipun mereka ingin bertarung denganku juga aku tidak sudi bertarung dengan mereka, se-karang aku mau bertarung denganmu lantaran aku menilai tinggi dirimu, jika ingin mempertahankan ruyung mestikamu itu, baik-baiklah menyerang sem-bilan puluh tujuh jurus lagi."
Terkejut sekali Ji-sia mendengar perkataan itu, pikirnya,
"Jika ia benar-benar berniat merampas ruyung ini, sudah pasti aku tak sanggup melindungi-nya".."
Berpikir sampai di sini, ia menghela napas se-dih, katanya,
"Locianpwe, jika kau sudah tahu aku adalah murid Oh Kay-gak, mestinya kau juga tahu akan harapannya ketika
menyerahkan ruyung ini kepadaku, terus terang saja, aku tak ingin oaang lain merampas ruyung mestika ini."
"Ilmu silatmu tidak tinggi, jika aku tidak me-lakukan hal ini, memangnya orang lain tak akan merampas ruyung ini?"
Setelah berhenti sebentar, tiba-tiba ia bertanya, "Sudah berapa lama kau belajar pada Oh Kay-gak?"
"Hanya tiga-empat hari, cuma aku merasa ba-gaikan
mempunyai hubungan batin selama puluhan tahun dengan beliau."
"O, jadi sebelum bertemu dengan dia memang kau sudah mahir ilmu silat?"
"Jurus serangan sekedar tahu, tapi tidak me-miliki tenaga dalam."
"Kau memang anak baik, coba serang sebanyak sembilan puluh tujuh jurus lagi, mungkin saja di kemudian hari kita bisa mengikat hubungan yang lebih akrab."
"Aku hanya seorang angkatan muda, mana pantas
mengikat tali persahabatan dengan Locian-pwe?"
Nyonya cantik berbaju merah itu tertawa di-ngin, "Sahabat atau musuh, kemungkinannya selalu ada, hm, lebih baik cepat turun tangan!"
"Dalam suatu pertarungan pasti ada korban yang jatuh, kalau bukan kau yang mati mungkin akulah yang mampus"."
"Ada apa, kau hendak beradu jiwa denganku?" jengek nyonya cantik berbaju merah itu.
"Ilmu silatmu tinggi, tenaga dalammu sempurna, jika aku tidak bertekad beradu jiwa, mana bisa menangkan dirimu"
Lagipula jika ruyung ini sam-pai kau rampas, lebih baik aku mati daripada hidup."
Kiranya Bok Ji-sia telah dipaksa berulang kali untuk bertarung hingga timbul juga kemarahannya, maka dia mengatakan hendak beradu jiwa, padahal tatkala menerima pemberian ruyung dari Oh Kay-gak ia pernah bersumpah akan melindungi ruyung tersebut dengan jiwa sendiri, bila ruyung itu lenyap iapun akan ikut mati.
"Bagus sekali!" seru nyonya cantik berbaju merah itu sambil tertawa, "tak kusangka dalam du-nia persilatan kini masih ada manusia yang bisa pegang janji."
"Sebenarnya aku memang tak sudi menerima
tantanganmu untuk bertarung seratus jurus, tapi urusan telah berkembang menjadi begini, terpaksa aku harus
menyanggupi."
"Sudah, cukup! Sekarang berusahalah dengan sepenuh tenaga!"
Ji-sia tidak bicara lagi, kedua telapak tangan-nya beruntun melancarkan serangan berantai.
Nyonya cantik berbaju merah itu miringkan badan
menghindari serangan, kemudian berdiri te-gak di tempat semula untuk menantikan serangan berikutnya dari Bok Ji-sia.
Gagal dengan serangan pertama, Ji-sia mener-jang maju lebih dekat, kedua tangan sekaligus melancarkan serangan dahsyat secara bergantian. Ilmu silat nyonya cantik berbaju merah itu benar-benar luar biasa, selama pertarungan berlangsung, kedua tangannya lurus menempel badan, hanya ka-kinya bergerak ke sana kemari dengan cepat, ha-nya bayangan merah saja yang tampak berkelebat, tapi sukar ditahan.
Walaupun Ji-sia melancarkan serangan cepat dan gencar, tapi sudah empat-lima puluh jurus se-rangan, jangankan mengenai sasaran, meraba ujung bajunya pun tak mampu.
Hati Bok Ji-sia mulai tegang, tapi hawa ama-rah makin berkobar, mendadak ia melompat mun-dur seraya
melancarkan pukulan dengan tangan membalik.
Dalam pada itu si nyonya cantik berbaju me-rah pun mulai merasakan betapa sempurnanya te-naga dalam Bok Ji-sia, setelah melangsungkan pertarungan itu, iapun merasakan adanya hawa murni tak berwujud pelindung tubuh, ketika dilihatnya pe-muda itu menyerang dengan gencar, tahulah dia anak muda itu sudah marah, maka gerak-geriknya juga tak berani gegabah.
Terasalah ada segulung angin pukulan berat menghantam tubuhnya, sambil mengerahkan tenaga untuk melindungi badan ia bergeser ke samping kiri".
Setelah melepaskan pukulan tadi, Ji-sia berpu-tar dengan gerakan aneh, lalu sekali lagi menerjang maju dan melepaskan pukulan gencar.
Serangan yang dilancarkan ini jauh berbeda dengan
semula, serangan kali ini selain dengan jari tangan, juga dengan pukulan, demikian pula kaki, semuanya jurus serangan yang mematikan.
Pukulan bagaikan martil, telapak tangan ba-gaikan
bayangan setan, jari tangan seperti gunting, semuanya jurus serangan aneh sukar diraba arah tujuannya.
Sekalipun pada masa lalu nyonya cantik ber-baju merah itu menempati kedudukan sebagai jago nomor satu dalam dunia persilatan, tapi di bawah serangan gencar dan aneh Bok Ji-sia, lama-lama dirasakan juga hebatnya daya tekan lawan. Bahkan beberapa kali terpaksa gerakan tubuh-nya menjadi kacau, tangan yang menempel badan hampir saja diangkat untuk menangkis, untung saja ia cukup siap sehingga tak sampai mempergunakan tangannya.
Dalam sekejap mata, empat puluh jurus lebih sudah lewat pula, Bok Ji-sia menghitung terus sambil bertarung, segera ia tahu bila tiga gebrak-an lagi akan genaplah seratus jurus.
Ia menjadi terkesiap, sambil berhenti menye-rang, pikirnya dalam hati, "Ilmu silat orang ini betul-betul baru pertama kali ini kujumpai, kalau pertarungan dilanjutkan, sekalipun seratus gebrakan lagi juga percuma."
"Kenapa tidak kau lanjutkan?" nyonya cantik berbaju merah itu menegur dengan tertawa.
Bok Ji-sia menghela napas, katanya, "Ilmu si-lat Locianpwe betul-betul hebat dan boleh dikata-kan nomor satu di dunia, sekalipun bertarung se-ratus jurus lagi Wanpwe takkan mampu menyentuh badanmu."
Nyonya cantik berbaju merah itu tersenyum, "Cukup
mendengar beberapa patah kata sanjunganmu ini, aku jadi menyukaimu, lebih baik lanjutkan saja tiga jurus yasg terakhir ini. Dalam tiga jurus terakhir ini, kuizinkan kau untuk mengguna-kan ruyung dan tangan sekaligus, sedangkan akupun melancarkan serangan balasan, asal aku bisa merampas ruyungmu, akulah yang menang, dalam tiga jurus ini aku hanya akan menyerang satu kali, kalau gagal merampas ruyungmu itu, anggaplah aku yang kalah."
Mencorong sinar mata Bok Ji-sia, ia lantas menyambar ruyung mestikanya dari tanah, lalu katanya dengan lantang,
"Locianpwe, Wanpwe akan menuruti kehendakmu!"
Sambil berkata, ruyung mustika Jian-kim-si-hun-pian segera berputar menciptakan selapis ca-haya emas, suara
mendengung nyaring yang mem-betot sukma pun mencekam perasaan orang.
Ternyata Bok Ji-sia teringat pada pesan Oh Kay-gak yang mengatakan jika ruyung ini diputar kencang maka sekalipun seorang jago kelas satu dari dunia persilatan juga tak berani mendekat, tentu saja Ji sia tak ingin ruyungnya dirampas
orang dengan begitu saja, maka dia teringat pada jurus ajaran Oh Kay-gak tersebut.
Melihat jurus ruyung tersebut, tiba-tiba nyo-nya cantik berbaju merah itu menerjang maju ke depan. Bok Ji-sia putar Jian-kim-si-hun-pian , dan mengunci ancaman lawan, siapa tahu dengan me-ngikuti gerak ruyung, sekali berkelebat tahu-tahu nyonya cantik itu sudah menyelinap ke samping. Gerak tubuh itu sungguh amat cepat dan aneh.
Ji-sia terperanjat, cepat ia mundur, cahaya ta-jam berkilau melindungi tubuh sendiri. Tampak nyonya cantik berbaju merah itu lan-tas menyelinap keluar dari celah kosong antara sambaran ruyung, kemudian tangan kanan secepat kilat menyambar ke depan, mencengkeram sendi tulang siku kanan Bok Ji-sia yang memegang ru-yung.
Ji-sia terkejut, telapak tangan kiri segera menabas ke depan membacok dada musuh. Serangan ini merupakan jurus serangan terakhir di antara seratus jurus yang ditetapkan.
Dengusan tertahan berkumandang, tahu-tahu lengan kanan Bok Ji-sia yang menggenggam ruyung telah dicengkeram oleh ilmu Kim-na-jiu lawan yang aneh, tenaga pukulannya segera punah, karena ke-sakitan akibat tercengkeramnya persendian pada sikunya, ruyung mestika itu serta merta jatuh ke tanah.
Sementara itu, telapak tangan kiri Bok Ji-sia yang melancarkan serangan itu meski telah kehi-langan tenaga, tapi secara kebetulan sekali tangan itu menyentuh pakaian bagian dada si nyonya.
Nyonya cantik berbaju merah itu menjerit ka-get dan melompat mundur, dengan tajam ditatap-nya wajah Ji-sia tanpa berkedip. Ji-sia sendiri tidak merasakan telapak tangan-nya menyentuh baju lawan, dengan melongo ia me-natap wajah nyonya cantik berbaju merah itu dengan tercengang, terhadap ilmu Kim-na-jiu lawan yang tangguh dan aneh itu, ia benar-benar amat kagum.
Ia merasa seakan-akan ilmu silat macam apa pun di dunia ini tak ada yang bisa memenangkan ke-cepatan dan kesaktian Kim-na-jiu-hoat tersebut.
Tiba-tiba nyonya cantik berbaju merah me-mutar badan, tanpa mengucap sepatah kata pun lantas berlalu dari situ.
Hanya dalam sekejap saja perempuan itu sudah berada lima-enam tombak jauhnya, melihat itu buru-buru Ji-sia berteriak, "Locianpwe, ruyung ini".."
Belum selesai ucapannya bayangan tubuh nyo-nya cantik itu sudah lenyap di balik kegelapan malam. Terpaksa Bok Jisia menghela napas sedih, ia memandang langit yang kelam, tak bisa dilukiskan bagaimana perasaannya sekarang, ia merasa ilmu silat sendiri terlalu rendah.
Dengan perasaan gundah akhirnya ia memutar badan dan hendak menuju ke Thian-seng-po. Mendadak di bawah sinar bulan beberapa tom-bak di depan sana berdiri sesosok bayangan. Orang itu muncul dengan sangat mendadak dan tanpa menimbulkan sedikit suara pun, Ji-sia tak tahu sejak kapan orang itu tiba di belakangnya.
Setelah mengamati orang itu sejenak, dengan suara keras Ji-sia membentak, "Oh Kay-thian, ba-gus sekali kedatanganmu ini, memang orang she Bok sedang mencarimu!"
Ternyata orang itu adalah Seng-gwat-kiam atau si pedang bintang dan rembulan Oh Kay-thian.
Sambil tertawa ia menyahut, "Bok-siauhiap ada urusan apa kau cari -diriku?"
Berhadapan muka dengan musuh besar, kon-tan mata pun jadi merah dan muka menyeringai, dengan geram Ji-sia membentak, "Mau apa lagi" Tentu saja minta kembali sarung ruyung Jian-kim-si-hun-pian dan membalas dendam bagi kematian guruku!"
"Bok-siauhiap, sungguh aku tidak mengerti atas
perkataanmu itu, berdasarkan apa kau tuduh aku merampas sarung ruyung mestika" Lagipula, si-apakah gurumu" Apakah kau maksudkan Jihengku Oh Kay-gak?"
Tertegun juga Ji-sia mendengar perkataan itu, pikirnya,
"Betul juga, berdasar apa aku menuduhnya sebagai perampas sarung ruyung itu" Apakah manusia aneh tinggi besar itu bukan dia" Tapi ke-tiga belas sosok mayat hidup itu jelas pernah ku-lihat sendiri di balik alat jebakan dalam benteng Thian-seng-po."
Sambil tertawa dingin ia lantas berkata, "Oh Kay-thian, selamanya kau licik dan banyak tipu muslihat, tapi dalam peristiwa ini jangan harap kau bisa merahasiakan dirimu lagi!"
Tetap dengan rasa bingung Oh Kay-thian ber-kata, "Bok-siaubiap, jangan kau fitnah orang dengan yang bukan-bukan, ketahuilah orang persilatan paling mengutamakan setia kawan, sesungguhnya apa maksudmu menuduh diriku?"
"Memangnya bukan kau yang melarikan sarung ruyung
Jian-kim-si-hun-pian?"
"Aneh, ada beribu orang persilatan yang ber-minat
merebut ruyung mestika itu, orang yang berilmu lebih tinggi pun tak terhitung banyaknya, kau anggap aku mampu berbuat demikian" Seperti perempuan tadi, ilmu silatnya luar biasa, kau tahu siapakah dia?"
Ji-sia, mendengus, katanya ketus, "Memangnya siapa dia"
Coba katakan!"
"Dia bukan lain adalah Kiu-thian-mo-li yang pada delapan belas tahun lalu disebut sebagai ja-goan nomor satu."
Kejut dan heran Ji-sia mendengar perkataan itu, mimpi pun ia tak menyangka nyonya cantik berbaju merah tadi adalah Kiu-thiau-mo-li, pantas ilmu silatnya selisih begitu jauh dibandingkan dirinya.
Tapi Ji-sia pun merasa menyesal, sebab hing-ga detik ini hanya Kiu-thian-mo-li, Lamkiong Hian serta saudaranya saja yang tahu kehidupan gurunya Oh Kay-gak, yang penuh teka-teki itu, tapi ia telah melewatkan kesempatan baik untuk bertanya dengan jelas pada nyonya cantik tadi.
Melihat pemuda itu lama sekali membungkam, Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian kembali berkata, "Menurut apa yang kuketahui, para jago persilat-an telah berdatangan kemari, semua orang berniat merebut ruyung mestika Jian-kim-si-hun-pian, bila kau bawa ruyung tersebut sekarang, rasanya tidak menguntungkan."
"Untung atau buntung sudah pernah kau kata-kan ketika berada di tanah pekuburan dahulu, ku-kira tak perlu kau ulangi lagi sekarang dan banyak mulut."
Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian bergelak tertawa, "Wah, aku kan hanya memberi nasihat saja padamu, kukira
nyawamu?""
Bok Ji-sia mendengus dengan sikap menghina, sebelum orang menyelesaikan kata-katanya ia telah menukas,
"Nyawaku kenapa" Barangkali kau kasih-an padaku" Kini keadaan kita ibaratnya api dan air, dalam hati kita masing-masing tahu dengan je-las, aku hendak merenggut nyawamu, dan kaupun hendak merenggut nyawaku, sebagai laki-laki sejati, buat apa main pura-pura dan munafik. Hmm, semuanya itu hanya perbuatan orang rendah."
"Bok-siauhiap, tampaknya kesalahpahamanmu terhadapku terlalu mendalam"." kata Oh Kay-thian sambil tertawa,
"masakah Jihengku Oh Kay-gak menuduhku memperlakukan dia secara keji se-belum kematiannya?"
"Oh Kay-thian!" bentak Ji-sia, "Jika kau ma-sih merasa mempunyai hubungan darah dengan dia, kenapa kau
menyiksa dia begitu rupa" Membuatnya menderita selama
delapan belas tahun dalam kese-pian dan mati secara mengenaskan" Coba katakan apa sebabnya!"
Terbayang pada keadaan Oh Kay-gak yang mengenaskan itu, Ji-sia merasakan darah dalam da-danya bergolak, kata-kata itupun diucapkan dengan nada lebih keras.
Senyuman yang menghiasi ujung bibir Oh Kay-gak seketika lenyap, dengan wajah kelam katanya, "Bok-siauhiap, caramu bicara betul-betul tak tahu diri, bila Jihengku mengatakan aku telah menyiksa-nya hingga menjadi begitu rupa, maka aku siap bunuh diri di hadapanmu!"
Melihat keseriusan orang dan kata-katanya yang tegas, Jisia jadi ragu, pikirnya, "Sebelum meninggal, Oh Kay-gak memang tidak menerangkan siapa yang telah mencelakainya, dia hanya bilang dirinya rela menjalankan penghidupan terpencil dan tersiksa itu, tapi pasti hal itu dikarenakan alasan-alasan ter-tentu"..?"
Berpikir demikian, iapun berkata, "Kalau be-gitu, kenapa-Oh Kay-gak rela mati menanggung dendam" Coba jelaskan pedaku!"
Air muka Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian pulih kembali dalam kelembutan dan keramahan, katanya, "Sesungguhnya hal ini disebabkan oleh suatu per-soalan yang amat rumit, aku sendiri kurang jelas, tapi yang pasti hal itu menyangkut ruyung mestika Jian-kim-si-hun-pian yang berada di tanganmu se-karang."
Ji-sia tahu orang enggan memberi keterangan kepadanya, diam2 iapun berpikir, "Menurut ucapan Suhu, menjelang kematiannya, seakan- akan semua per-soalannya timbul dari ruyung mestika ini, tapi ada pula sebagian yang timbul akibat pergolakan di an-tara mereka bertiga saudara sendiri"."
Tiba-tiba anak muda itu tertawa dingin, ke-mudian
tanyanya, "Oh Kay-thian, aku ingin mengajukan satu
pertanyaan kepadamu, apakah nona Oh Keng-kiau adalah putri kandungmu?"
Kembali air muka Oh Kay-thian berubah he-bat, serunya dengan gusar, "Kau tidak boleh men-ceritakan keadaan yang sebenarnya kepadanya!"
Ji-sia tertawa dingin pula, "Persoalan itu me-mang merupakan urusan kalian bersaudara sendiri, sebagai orang luar aku tidak pantas untuk -ikut campur, aku hanya berutang budi kepada Oh Kay-gak, maka selama hidup akan kuselidiki asal mula dendam yang tersimpan dalam hati orang tua itu.
Jika kau tak menyimpan rahasia terhadap ka-kakmu, kenapa tidak kau ceritakan saja semua ma-salahnya secara jujur?"
Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian menghela napas panjang,
"Ai, kalau diceritakan kembali, maka hal ini akan menodai pula nama baik kami bertiga, buat apa kau ingin mengetahuinya?"
"Baik!" kata anak muda itu dengan mendong-kol, "kalau kau enggan bicara juga tak apalah, su-atu hari aku pasti akan berhasil mengetahui semua persoalan ini. Sekarang, ayo cepat serahkan kembali sarung ruyung tersebut kepadaku!"
"Hei, apa kau bilang" Kapan kurampas sarung ruyungmu?"
tanya Oh Kay-thian tertegun.
"Hmm, bukankah ketiga belas mayat hidup itu adalah hasil didikanmu?" dengus Ji-sia.
Tersembul senyuman menyeramkan di ujung bibir Oh Kay-thian, tapi hanya sejenak saja lantas lenyap, katanya, "Bok-siauhiap, persoalan itu lebih baik tak usah dibicarakan lagi, sekalipun sarung ruyung itu kudapatkan, tapi aku telah menolong jiwamu, apakah boleh kau anggap sebagai balas ja-sanya?"
"Kapan kau pernah menolongku?"
"Sekarang juga aku akan segera menolongmu!" jawab Oh Kay-thian sambil tertawa.
Ji-sia segera tertawa dingin, "Dewasa ini aku baik2 saja, berdasarkan apa hendak kau tolong aku?"
"Bok-siauhiap," tiba-tiba Oh Kay-thian bertanya, "kau kenal si nona berbaju biru itu?"
"Maksudmu si nona bercadar dari tiga gadis Hek-Iiong-kang itu?"
Entah permainan apa yang dirancang Oh Kay-thian,
kembali ia bertanya, "Ada hubungan apa antara kau dengan dia?"
"Antara laki-laki dan perempuan ada batas2nya, aku tak punya hubungan apa-apa dengan dia, bahkan dia adalah musuh besarku!"
"Hahaha".itulah dia".." kata Ok Kay-thian sambil
terbahak2. "Ada apa?" bentak Ji-sia dengan gusar, "kem-bali kau hendak kau pergunakin akal busuk?"
"Siapa yang menyembuhkan racun Bu-siang~te-im-hu-kut-kang dalam tubuhmu?"
"Kau sudah tahu, buat apa bertanya lagi?"
"Manusia dunia persilatan dewasa ini keba-nyakan licik dan banyak tipu muslihatnya, diuta-makan semakin licik semakin baik, bila bermusuhan dengan seseorang selalu berusaha untuk melenyap-kan lawannya. Begitu pula dengan
perempuan ber-cadar itu, ia tiada hubungan apa-apa denganmu, kenapa ia bersedia menyembuhkan racunmu"
Bu-kankah itu berarti ia mempunyai maksud tertentu?"
Terkejut juga Ji-sia mendengar perkataan itu, segera pikirnya, "Kalau melihat kekejaman dan kebusukan hati ketiga gadis Hek-liong-kang, me-mang tidak mungkin mereka bersedia menolong orang, tapi kenapa ia menyembuhkan
lukaku" Benar-kah dikarenakan Cu Giok-ceng bersedia menukar nyawanya dengan nyawaku"..?"
Berpikir sampai di sini, iapun berkata, "Ia mempergunakan nyawa Cu Giok-ceng untuk me-nukar jiwaku, inilah cara yang adil, memangnya ia bertujuan lain?"
Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian tertawa, "Apa-kah kau yakin banar Cu Giok-ceng mempergunakan nyawanya untuk ditukar dengan nyawamu?"
"Ngaco-belo melulu!" teriak Ji-sia dengan ma-rah, "kalau ingin menyampaikan sesuatu, katakan saja terus terang, caramu bicara yang berbelit-belit sungguh menjemukan."
Seng-gwat-kim Oh Kay-thian sama sekali tidak gusar oleh perkataan itu, ia tetap tertawa, ka-tanya, "Kalau Cu Giok-ceng tidak mati, tentu saja kau yang akan mati, tapi melihat gelagatnya sekarang, orang yang benar-becar terancam kematian bukanlah dia melainkan kau."
"Kenapa bisa begitu?"
"Kau masih ingat, waktu nona berkerudung itu selasai menyembuhkan racunmu, ia telah mem-beri sebutir pil kepadamu?"
"Aku tidak tahu kalau pil itu racun, buktinya aku masih hidup sampai sekarang."
"Bok-siauhiap, kau tahu pil tersebut adalah se-macam obat beracun yang kerjanya lambat" Sete-lah dimakan, racunnya perlahan akan merantas isi perutmu, beberapa bulan kemudian baru mulai be-kerja, waktu itu racun telah menyusup ke semua bagian tubuh, sekalipun dewa juga tak berdaya lagi menolongmu."
Ji-sia bergidik, tanpa terasa ia bertanya "Sung-guhkah perkataanmu?"
"Betul atau tidak bisa segera dibuktikan. Se-karang coba kau salurkan hawa murnimu dari perut, coba rasakan adakah sesuatu gejala aneh?"
Buru-buru Ji-sia menuruti perkataannya dengan
menyalurkan hawa murni mengitari semua jalan da-rah penting di sekujur badan.
Harus diketahui Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian pernah mendapatkan sejilid kitab racun yang isinya mencakup segala racun, kepandaian tersebut telah berhasil ia pelajari semua dengan sempurna, maka tindakan Bok Ji-sia dengan
mengerahkan tenaga dalam ini justeru terjebak oleh siasat busuknya!
Baru saja Ji-sia menarik napas, tiba-tiba ia mengendus bau harum yang amat tipis menerjang masuk ke dalam perut.
Ia terkesiap, dengan cepat teringat olehnya akan pesan terakhir Oh Kay-gak yang memintanya agar berjaga-jaga terhadap kepandaian racun Oh Kay-thian.
Air mukanya berubah hebat, mendadak ia mem-bentak,
"Manusia laknat! Mumpung aku belum mati, akan kubunuh kau lebih dulu!"
Seraya berkata, Ji-sia memutar ruyung mestikanya terus menghantam.
Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian berkelit ke sam-ping,
bentaknya, "Kalau ada urusan, bicara saja secara baik-baik, buat apa memakai kekerasan?"
Ji-sia tahu dirinya sudah keracunan, mungkin sebentar lagi nyawanya akan melayang, maka ia tidak menjawab, tangan kiri melancarkan tutukan kilat ke jalan darah Ci-ti-hiat di siku lawan.
Dengan cekatan Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian menarik lengannya manghindari tutukan tersebut kemudian telapak
tangan berputar dari bawah ke atas dan mencengkeram urat nadi pergelangan ta-ngan Bok Ji-sia.
Ji-sia mendengus, dengan telapak tangan yang tajam ia bacok pergelangan tangan Oh Kay-thian. Perubahan cerangan ini bukan saja amat cepat, lagipula di balik serangan ini terkandung tenaga dalam yang hebat.
Oh Kay-thian mengebaskan tangannya mem-bentur tenaga pantulan yang menerjang datang de-ngan kuat.
Ji-sia tergetar mundur, sebaliknya Oh Kay-thian hanya sedikit menggeliat.
Sambil tersenyum ia lantas berkata, "Tenaga dalam Bok-siauhiap memang mengagumkan, tapi setelah terjadinya benturan barusan, yakinkah kau bisa menang" Jika kau merasa tak mampu menangkan aku, bila aku ingin
mencelakaimu, hal ini bisa ku-lakukan lebih gampang. Terus terang jika kau ma-sih sayang pada nyawamu, minumlah pil ini, kalau masih curiga, obat itu jangan dimakan!"
Selesai mengucapkan kata-kata tersebut, Oh Kay-thian mengeluarkan satu botol kecil putih ber-isi sebutir pil berwarna merah, botol itu dibuang ke tanah, dengan langkah lebar lantas berlalu dari situ.
Termangu-mangu Bok Ji-sia memandangi ba-yangan
punggung Oh Kay-thian hingga lenyap dari pandangan, tak tahan lagi ia menghela napas sedih.
Dalam dua jam terakhir ia telah berjumpa de-ngan dua orang jago yang ilmu silatnya jauh lebih tangguh daripadanya, bahkan mereka berniat me-rampas ruyung mestika Jian-kim-si hun-pian, tapi sikap mereka sebentar kawan sebentar lawan, jelas kepandaian mereka bisa melebihi dia, tapi mereka tidak mencari kemenangan dengan ilmu silat me-lainkan
menggunakan pelbagai cara lain, semua ini membuatnya bingung.
Kini ia merasakan betapa ceteknya ilmu silat sendiri, sedih, marah dan kecewa menyelimuti peragaannya.
Terhadap perkataan Oh Kay-thian ia merasa setengah percaya setengah tidak, sorot matanya ber-alih pada botol kecil di tanah itu, lalu dipungut-nya botol itu".Kematian, baginya bukanlah sua-tu hal yang mengerikan. Tapi dendam kesumat membuatnya enggan mati dulam waktu sesingkat ini.
Tiba-tiba Ji-sia membuka tutup botol dan mengeluarkan pil berwarna merah itu dan siap di-telan"..
Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar seorang berseru dengan suara gemetar, "Bok".Bok Ji-sia jangan dimakan"."
Di bawah sinar bulan, lebih kurang lima kaki di depan sana berlari mendekat sesesok bayangan manusia, dia bukan lain adalah Bu-sian-gi-su Kwan liong Ciong-leng.
Dengan wajah pucat Ji-sia menatap sekejap Kwanliong Ciong-leng, kemudian katanya dengan bimbang, "Kenapa"
Kenapa pil ini tak boleh dimakan!"
Dengan wajah kelam dan kulit mengejang se-perti
menahan suatu penderitaan yaug luar biasa, jawab Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng dengan gemetar, "Itu"itu racun!"
"Dari mana kau tahu" Kau ingin membohongi aku?" seru Ji-sia terkejut bercampur cemas.
Kwanliong Ciong-leng menghela napas, ujar-nya, "Aku hanya bisa hidup setengah malam saja, bila fajar menyingsing esok pagi, aku akan mati, bahkan mati secara mengerikan, mana mungkin aku berbohong" Apalagi kau?"."
"Dari mana kau tahu besok pagi akan mati?" tanya Ji-sia heran.
"Aku telah makan racun pemberian Oh Kay-thian ?""
"Manusia laknat yang berhati keji!" kata Ji-sia dengan menggreget, "tunggulah sebentar di sini, akan kususul Oh Kay-thian untuk minta obat penawar bagimu!"
Selesai berkata ia lantas putar badan dan me-layang pergi.
Buru-buru Kwanliong Ciong-leug memburu ke depan sambil berteriak, "Bok Ji-sia, tunggu sebentar, masih ada urusan hendak kusampaikan kepadamu!"
"Locianpwe masih ada urusan apa?" tanya Ji-sia sambil berpaliag.
Ditatapnya wajah Ji-sia dengan sorot mata ta-jam, lama sekali Kwan-liong Ciong-leng baru meng-hela napas panjang dan berkata, "Jika Oh Kay--thian berniat membunuhku, dia tak akan membe-rikan obat penawar kepadamu, bilamana dia meng-hendaki kematian seseorang, tak mungkin korban bisa lolos dari cengkeraman mautnya, aku sudah makan racun yang bersifat lambat, pula ia telah menutuk beberapa jalan darah pentingku, sekalipun kau mendapatkan penawar racun, tanpa mengerti ilmu membebaskan jalan darah yang
ditutuknya, aku tetap akan mati secara mengerikan esok pagi?"Ai, matiku tak perlu disayangkan, cuma ada beberapa persoalan belum sempat kuketahui dengan jelas, matipun aku penasaran."
Setelah berhenti sejenak, tiba-tiba ia bertanya "Apakah ayah-ibumu masih sehat walafiat?"
Sambil bertanya dengan sarot mata yang tajam ditatapnya wajah Bok Ji-sia tanpa berkedip. Pertanyaan ini ibarat sebilah pedang tajam yang menembus hati Bok Ji-sia, seketika itu juga darah dalam dadanya bergolak hebat, air matapun jatuh bercucuran.
"Kedua orang tuaku sudah mati!" jawab Ji-sia kemudian pelahan.
Hati Kwanliong Ciong-leng tergetar, kembali ia bertanya,
"Apakah".apakah ayahmu bernama Gi-hong-gi-su (bertapa angin lembut) Bok Bun-tim?"
"Dari".dari mana kau tahu nama ayahku?" seru Ji-sia terkejut.
Air mata bercucuran membasahi wajah Kwan-liong Ciong-leng, dengan sedih katanya, "Kalau be-gitu, kau benar-benar keturunan adik Tim, sungguh tak kusangka kau benar-benar putranya?""
Bicara sampai di sini, entah karena luapan emosi atau karena hal lain, tiba-tiba saja ia me-nangis tersedu-sedu.
"Engkau".kenalan lama ayahku?"?" ta-nya Ji-sia dengan gemetar.
"Bok-hiantit, aku dan ayahmu adalah saudara angkat".."
Walaupun Ji-sia merasa kaget dan curiga, tapi ketika dilihatnya laki-laki berusia setengah abad lebih ini menangis sedih penuh emosi, ia merasa tak mungkin hal ini
dilakukannya secara pura-pura.
Sejak kecil Ji-sia belum pernah berjumpa de-ngan paman ini, tapi ia tahu ketika ayahnya ber-kelana dalam dunia persilatan dulu memang mem-punyai banyak sahabat.
Sambil menahan isak tangisnya, Kwanliong Ciong-leng kembali berkata, "Nak, tahukah kau bahwa di kolong langit masih ada seorang yang rela mendapat nama jelek dan berkumpul dengan kaum laknat dengan harapan akan dapat memba-laskan dendam bagi kematian ayah-ibumu" Tahukah kau bahwa orang itu tak segan berkelana ke mana-mana dan berusaha dengan segala akal muslihatnya hingga perbuatanku sering dikutuk orang"..?"
"Engkau".engkaulah pamanku"." tiba-tiba Ji-sia menjerit.
Setelah menangis sekian lama, agaknya rasa sedih yang mengganjal hati Kwanliong Ciong-leng telah terlampiaskan semua, berangsur perasaannya menjadi tenang kembali.
Sekali lagi ditatapnya wajah Bok Ji-sia tajam-tajam, kemudian gumamnya seorang diri, "Sudah delapan belas tahun lamanya, ya, delapan belas ta-hun lamanya tak pernah bersua dengan adik Tim suami-isteri, tapi hari ini, dari wajahmu dan sikap-mu aku telah melihat kembali wajah mereka."
Setelah mendengar perkataan itu, Ji-sia baru tahu apa sebabnya ia tidak kenal paman ini, dengan sedih ia berseru lagi, "Empek Kwanliong, maafkan-lah jika sebelum ini aku banyak bertindak kasar dan kurang hormat kepadamu."
Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng tertawa sedih, katanya,
"Nak, aku merasa puas asal kau tidak membenci empekmu yang jahat ini, kenapa kau minta maaf kepadaku" Aii, sesungguhnya tujuan empek hendak merampas ruyung
mestikamu sema-lam tak lain karena aku hendak
membalaskan den-dam bagi ayahmu yang mengenaskan itu."
"Empek Kwanliong, anak Sia takkan mem-bencimu, kutahu perasaanmu, aku".aku amat gembira, karena di dunia ini aku masih mempunyai seorang paman sebagai sanak keluargaku."
Tiba-tiba Kwanliong Ciong-leng mendongak memandang awan jauh di sana, lalu berdoa, "Teri-ma kasih kepada Thian atas pelindunganmu, adik Tim punya keturunan sebagus ini, dendam berdarah-nya pasti akan terbalas. Adik Tim, arwahmu dapat-lah beristirahat dengan tenang".Ai, aku akupun dapat mati dengan tenang?""
"Empek, kau".kau tak boleh mati!" seru Ji-sia, "di dunia yang luas ini, hanya Empeklah satu-satunya sanak keluargaku, begitu tegakah kau- tinggalkan aku seorang diri?"
"Ai, kau masih mempunyai seorang sanak yang berilmu sangat tinggi"."
"Apa kau bilang, Empek?"
"Ibumu, dia".dia masih hidup"."
Mendengar perkataan ini, Ji-sia menangis ter-sedu-sedu, katanya, "O, Empek, dia".dia orang tua telah mati bunuh diri?""
"Apa" Dia mati bunuh diri?" seru Kwanliong Ciong-leng dengan terkejut.
Kiranya Kwanliong Ciong-leng belum tahu kalau Ji-sia telah dicekoki obat perangsang oleh musuh hingga melakukan perzinahan dengan ibu-nya sendiri, menurut hasil
penyelidikannya, dia ha-nya tahu mereka telah dibunuh musuh.
Tentu saja Ji-sia tahu Kwanliong Ciong-leng tidak
mengetahui peristiwa memalukan yang ia laku-kan dengan ibunya sendiri, dengan sedih luar biasa ia menasigis tersedu-sedu, katanya, "O, Empek, Sia-ji tak punya muka untuk hidup lagi di dunia ini, aku?"aku?""
Dari kesedihan anak muda itu, Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng tahu pasti ada sesuatu yang mengganjal hatinya, dengan suara berat katanya, "Anak Sia, bagaimanapun juga kau tak boleh mati, sebab dari keluarga Bok hanya kau saja yang akan meneruskan keturunannya!"
"Empek, bagaimana mungkin Sia ji punya mu-ka untuk hidup terus di dunia ini" Peristiwa me-malukan itu".manusia laknat itu sungguh ter-amat keji".."
"Sia-ji, tenangkan dulu perasaanmu, coba cerita-kan duduk persoalan yang sebenarnya."
"Empek".." teriak Ji-sia dengan sedih.
Kata-kata selanjutnya tak bisa diucapkan lagi, karena telah tenggelam oleh air matanya yang ber-cucuran, ia segera menubruk ke dalam pangkuan Kwanliong Ciong-leng.
Pengalaman Bok Ji-sia betul-betul mengenas-kan, terutama perzinahannya dengan ibu sendiri, membuat ia malu dan sedih. Begitulah, sambil me-nubruk ke dalam pangkuan Kwanliong Ciong-leng, ia menceritakan semua peristiwa itu serta bagaimana keadaan pada saat ibunya membunuh diri.
Selesai mendengarkan cerita tersebut, Kwan-liong Ciong-leng ikut merasa sedih, katanya lirih, "Anak yang patut dikasihani".Ai, ternyata be-gitulah duduknya perkara, pantas ia tak mau un-juk diri"."
"Empek," tiba-tiba Ji sia bertanya, "tadi kau bilang ibuku belum mati, benarkah itu" Atau cuma bohong belaka?"
Hati Kwanliong Ciong-leog bergetar keras, pi-kirnya, "Bila kukatakan ibunya belum mati, anak yang keras hati ini pasti tak punya muka untuk hi-dup terus di dunia. Ai, peristiwa yang tragis ini mungkin sekali akan mengakibatkan kematian me-reka berdua?"."
Dalam keadaan demikian, Kwanliong Ciong-leng benar-benar tak berani membayangkan lagi.
Melihat orang tidak menjawab, Ji-sia kembali bertanya,
"Empek, kenapa kau tidak menjawab?"
"Anak Sia, aku ingin tanya padamu," kata Kwanliong Ciong-leng lembut, "seandainya ibumu masih hidup, apa rencanamu?"
Sekujur badan Ji-sia gemetar keras, tergagap bisiknya,
"Be"..benarkah ibu masih"..masih hi-
dup?" Kwanliong Ciong-leng terkesiap melihat peru-bahan, air mukanya, buru-buru sahutnya, "Ibumu sudah mati!"
"Empek, kau bohong!" kata Ji-sia sambil terisak, "ibuku tentu masih hidup"."


Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kwanliong Ciong-leng menghela napas, "Sia-ji,
bagaimanapun juga kau tak boleh mati!"
"Tapi Empek".bagaimana mungkin aku bi-sa hidup terus?"
"Anak Sia, seperti apa yang dikatakan ibumu, kau harus melupakan peristiwa memalukan itu!" teriak Kwanliong Ciong-leng dengan gusar, "harus diketahui, manusia laknat itu sengaja berbuat de-mikian dengan maksud untuk
memutuskan hubu-ngan kalian ibu dan anak serta menumpas keluarga Bok dari muka bumi. Kenapa kau bersikap begitu bodoh" Kalau kau mati, apakah arwah ayahmu di alam baka bisa beristirahat dengan tenang?"
Mendadak Bok Ji-sia menghentikan isak ta-ngisnya, lalu bertanya, "Empek, di manakah ibuku" Kenapa ia tidak datang mencariku?"
"Anak Sia, untuk sementara waktu jangan kau tanya soal ini, benarkah orang itu adalah ibumu atau bukan, aku tak berani memastikan, sekarang aku minta kepadamu untuk bersumpah, sebelum empek meninggal dunia, bagaimanapun juga kau harus tetap hidup?".."
Sebelum selesai kata-katanya, mendadak seku-jur
badannya menggigil keras, mukanya yang pucat mengejang, giginya terkatup rapat, agaknya sedang menahan penderitaan yang luar biasa.
Dengan terkejut Bok Ji-sia segera bertanya, "Empek, apakah badanmu tidak sehat?"
Dibimbingnya Kwanliong Ciong-leng untuk duduk di tanah.
Sambil berusaha menahan rasa sakit yang luar biasa, Kwanliong Ciong-leng tersenyum, katanya "Anak Sia, rasanya aku tak bisa hidup sampai eeok pagi"."
"Empek, jalan darah apa saja yang telah tertutuk olehnya"
Mungkin anak Sia bisa memberi pertolongan."
"Ai, jangankan racunnya sukar ditawarkan, sekalipun jalan darahnya dapat dibebaskan, belum tentu racun yang
mengeram di tubuhku bisa dipu-nahkan sama sekali!"
Setelah berhenti sebentar, ia menghela napas dan berkata pula, "Luka yang kuderita ini kecuali disembuhkan oleh Oh Kay-thian sendiri, rasanya masih ada seorang di dunia ini yang bisa meno-longku. Tapi sekarang matipun aku rela"."
"Empek, siapa yang kau maksudkan" Mari kita mencari orang itu," seru anak muda itu cepat.
"Ai, dia adalah si nona baju biru dari Hek~liong-kang"."
"Empek, sekarang baru kentongan pertama, mari anak Sia membawamu pergi menjumpainya."
"Jangan, dia takkan menyanggupi permintaan-mu."
"Kenapa?"
Kiranya Kwanliong Ciong-leng cukup memaha-mi watak Jisia yang tinggi hati, keras kepala dan tak mau tunduk kepada orang lain, sedangkan si no-na berbaju biru pun angkuh, setiap tindakan yang tidak mendatangkan keuntungan baginya, tak nanti gadis itu mau terima.
Ketika dilihatnya Kwanliong Ciong-leng diam saja, Ji-sia menghela napas, katanya, "Empek, pe-duli apakah dia setuju atau tidak, anak Sia akan berusaha dengan segala
kemampuanku, jangan kuatir, dia pasti akan mengabulkan permintaanku."
Pengalaman masa lalu yang penuh penderitaan membuat Ji-sia merasa kagum dan hormat kepada Kwanliong Cing-leng, bahkan menyayanginya se-bagai orang tua sendiri, jika satu-satunya sanak yang masih hidup ini pun mati, bukankah dia ba-kal sebatang kara pula?"
Itulah sebabnya ia memandang serius kehidup-an
Kwanliong Ciong-leng, malah jauh lebih pen-ting daripada kehidupan sendiri, ia pikir bila perlu ruyung mestika yang penting itupun akan
dipertukarkan dengan penyembuhan bagi Kwanliong Ciong-leng.
Tiba-tiba Ji-sia memayang Bu-sian-gi-su, kata-nya, "Empek, mari kubawa kau ke gedung itu un-tuk memohon
pengobatannya."
Kwanliong Gong leng sangat terharu, tadinya dia mengira Bok Ji-sia adalah seorang pemuda yang dingin, kaku dan tak berperasaan, tapi sekarang dia baru tahu pemuda itu adalah laki-laki yang amat berperasaan.
Kwanliong Ciong-leng tertawa getir, lalu ber-kata, "Nak, sebelum sakit hati ayahmu terbalas, kau kira aku rela mati begitu saja" Cuma".."
"Empek, jangan kau lanjutkan kata-katamu!" tukas Ji-sia.
Kwanliong Ciong-leng melirik sekejap botol kecil di tanah itu, kemudian bertanya, "Anak Sia, apakah kau keracunan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!" buru-buru Ji-sia menyahut dengan terkesiap.
Kwanliong Ciong-leng menghela napas sedih, "Ai, anak Sia!
Jangan kau remehkan nyawamu sendiri, ketahuilah sebelum sakit hati ayah-ibumu ter-balas, bila kau mati, maka kau akan menjadi seorang anak yang tak berbakti."
"Terkesiap hati Ji-sia mendengar perkataan itu, pikirnya,
"Jangan-jangan aku memang betul terkena racun tak
berwujud dari Oh Kay-thian?"
Berpikir demikian, ia lantas berkata, "Empek, aku sendiri tak tahu apakah diriku keracunan atau tidak?"
"Baiklah nak, mari kita bersama-sama men-cari nona berbaju biru itu untuk memohon pengobatannya!"
Ji-sia tidak bicara lagi, ia pondong sang pa-man siap berlalu dari situ.
Mendadak terdengar suara gelak tertawa yang merdu
berkumandang memecahkan keheningan. Gelak tertawa itu kedengaran sangat aneh, membuat hati orang bergetar, mengandung daya pengaruh iblis yang membangkitkan nafsu berahi.
Mengikuti arah datangnya gelak tertawa itu, Ji-sia berpaling. Tertampaklah dua orang nyonya muda yang berwajah cantik dengan mengenakan baju tipis ber-warna merah telah berdiri di sana.
Tiba-tiba dari arah belakang terdengar lagi su-ara tertawa cekikikan yang genit merangsang. Ketika Ji-sia menyapu pandang sekejap seke-liling tempat itu, terlihatlah entah mulai kapan di sekelilingnya telah dikurung oleh dua belas orang perempuan muda cantik jelita yang berbaju sutera yang amat tipis.
Di bawah sinar bulan, Ji-sia dan Kwanliong Ciong-leng seakan-akan berada di surgaloka dan dikelilingi oleh bidadari.
Dengan terkesiap mendadak Ji-sia menjerit keras, "Dua belas perempuan iblis!"
Ternyata perempuan-perempuan itu bukan lain adalah kedua belas perempuan telanjang yang ber-baring di pembaringan gading dalam ruang rahasia di Thian-seng-po yang pernah dilihatnya ketika ia dan Tong Yong-ling terjebak di sana.
Mendengar nama dua belas perempuan iblis Kwanliong Ciong-leng ikut terkesiap, buru-buru ia menengok sekejap ke arah kawanan perempuan mu-da itu.
Apa yang dilihatnya segera mendebarkan jantungnya, sungguh pemandangan yang merangsang
nafsu, bahkan ia yang berusia lanjut pun merasakan darah bergolak, nyaris tak kuasa menahan diri.
Pakaian sutera yang dikenakan kedua belas perempuan Iblis sedemikian tipisnya hingga boleh dibilang tembus pandang, walaupun ketika itu da-lam kegelapan malam, mereka tetap dapat menyak-sikan semua itu dengan jelas.
Apa yang mereka lihat kini tak lain adalah potongan badan yang amat menggiurkan, bukan cu-ma payudaranya yang montok saja tampak jelas, puting susu yang merah dan merangsang pun lamat-lamat terlihat.
Buat seorang laki-laki, perempuan setengah telanjang justeru menimbulkan rangsangan yang le-bih besar daripada telanjang bulat, gadis yang te-lanjang bulat malah kurang seni keindahannya.
Di bawah hembusan angin malam yang sepoi dan kibaran baju yang melambai-lambai, lamat-lamat tampak pula bagian tubuh yang seharusnya di-rahasiakan.
Gelak tertawa yang genit dan membetot sukma sekali lagi berkumandang memecah keheningan.
Kedua belas perempuan cabul itu mendesak maju bersama ke depan dan mengurung Bok Ji-sia dan Kwanliong Ciong-leng rapat-rapat.
Dengan kulit tubuh mereka yang putih bagai-kan salju, payudara yang montok, rambut yang hitam dan senyum merayu, perempuan-perempuan itu tambah mempesona.
Begitu berhadapan dengan perempuan-perem-puan cantik itu, seperti terpagut ular berbisa, tanpa terasa Bok Ji-sia menyurut mundur ke belakang.
Tapi tiba-tiba ia teringat di belakang pun ter-dapat perempuan-perempuan cantik seperti ular ber-bisa itu, tanpa terasa iapun berhenti.
Dalam waktu singkat kedua belas perempuan iblis cabul itu telah mengurung mereka dalam ling-karan seluas satu tombak saja.
"Kalian berhenti semua!" bentak Ji-sia dengan sinar mata meegidikkan.
Bentakan itu bagaikan guntur membelah bumi di siang bolong, serentak kedua belas perempuan itu menghentikan gerakan mereka.
Tapi hanya sebentar saja kedua belas wajah yang cantik bak bidadari dari kahyangan itu kem-bali bersenyum memikat hati.
Karena senyuman mereka yang merangsang itu, sukma Jisia seakan-akan melayang meninggal-kan raganya, begitu memikat sungguh membuat orang tak tahan.
Tiba-tiba perempuan-perempuan itu mulai mem-buka
pakaian tipis mereka sehingga Bok Ji-sia dan Kwanliong Ciong-leng terbelalak lebar. Semua bagian tubuh perempuan yang paling rahasia, dengan jelas terpampang di depan mata me-reka berdua.
Cepat Ji-sia dan Kwanliong Ciong-leng meme-jamkan mata dan tak berani memandang lebih jauh, sebab mereka
merasakan darah dalam tubuh ber-golak, nafsu berahi ikut membara pula.
Tapi pada saat mereka memejamkan mata, ba-gaikan ular berbisa kedua belas orang perempuan cabul itu segera menubruk maju. Merasakan terjangan musuh, Ji-sia yang berdiri mungkur dengan Kwanliong Ciong-leng mendengus, ruyung mestika Jian-kim-si-hun-pian menyapu meng-ikuti gerak putar tubuhnya.
Jeritan kaget segera berkumandang?"
Cara mereka menghindarkan diri sungguh amat lihai, membuat Bok Ji-sia dan Kwanliong Ciong-leng sama
terperanjat. Sebab serangan Bok Ji-sia itu dilancarkan de-ngan
kecepatan luar biasa, musuh pun sedang me-nyongsong maju dengan kecepatan tinggi, biarpun jago kelas satu juga sulit menghindarkan diri, tapi nyatanya kedua belas perempuan itu bisa melolos-kan diri secara manis.
Satelah menghindarkan diri, agaknya kedua be-las" orang perempuan cabul itu rada tertegun, tapi senyumnya yang memikat masih tersungging pada wajah mereka, tangan mereka bergerak bersama, senjata khas kaum wanita pun di perlihatkan pula dengan menyolok di hadapan kedua orang itu.
Padahal senyuman mereka mengandung daya pikat yang kuat, ditambah lagi tubuh mereka yang bugil menggiurkan, laki-laki mana yang sangup me-ngendalikan gelora nafu berahinya"
Bok Ji-sia dan Kwanliong Ciong-leng merasa serba salah, mereka ingin pejamkan mata tapi kuatir diserang lawan, membiarkan matanya terbaka, tak kuat menahan nafsu berahi"..
Selama kedua belas orang perempuan cabul itu
membentangkan pakaiannya, Bok Ji-sia dan Kwanliong Ciong-leng juga memandang tubuh me-reka dengan kesima.
Akhirnya kedua orang itu tak sanggup mena-han
rangsangan yang begitu kuat, sekali lagi mereka pejamkan mata.
Begitu mata mereka terpejam, kembali kedua belas orang perempuan cabul itu menerjang maju. Kecepataa mereka kali
ini jauh lebih hebat, dalam sekejap mata mereka sudah mendekat.
Bok Ji-sia mendengus gusar, ruyung mestika Jian-kim-si-hun-pian segera diputar kencang dan menyapu lagi ke sekelilingnya. Ternyata kedua belas orang perempuan cabul itu cukup licik, waktu Ji-sia melancarkan serang-an, mereka segera menyebarkan diri, pada saat membubarkan diri itulah mereka pun segera menyentilkan kukunya pelahan.
Bagaikan terkena pasir pemabuk, Bok Ji-sia dan Kwanliong Ciong-leng segera roboh ke tanah"..
Kedua belas orang perempuan itu tertawa cekikik senang, dengan cepat mereka menerjang lagi ke depan dan
mengangkat tubuh Bok Ji-sia dan Kwan-liong Ciong-leng.
Lalu terdengar lagi suara gelak terbawa yang genit menggiurkan, sereatak mereka berlalu dari situ, dalam sekejap bayangan mereka telah lenyap di kejauhan sana, bahkan ruyung mestika Jian-kim-si-hun-pian pun ikut di bawa kabur.
Entah berapa lama sudah lewat, pelahan Bok Ji-sia tersadar kembali dan pingsannya, lamat-lamat didengarnya sesuatu suara aneh yang berirama.
Suara yang menusuk telinga, membuat darah orang
mendidih den bergolak.
Di tengah suara aneh itu terdengar pula suara napas orang yang terengah-engah dan tertawa yang jalang.
Lalu iapun mengendus bau harum semerbak, Ji-sia
membuka matanya"..
Tapi seketika mukanya merah padam dan me-longo.
Ternyata di seberang tempat Ji-sia berbaring terdapat pula sebuah ranjang gading, di situ ada sepasang laki perempuan sedang bergumul dengan seru dalam keadaan telanjang bulat.
Jilid Ke " 15
Ketika Ji-sia mengamati lebih teliti pameran laki dan perempuan itu, hatinya seketika terasa hancur.
Sebab yang lelaki bukan lain adalah Kwanliong Ciong-leng, sedang yang perempuan tak lain adalah salah satu di antara kedua belas perempuan cabul itu.
Tampaknya Kwanliong Ciong-leng benar-benar sudah lupa daratan dan terpengaruh oleh nafsu berahi yang berkobar, ia menindihi perempuan ca-bul itu dan menerkamnya dengan buas.
Bukan kesakitan atau ketakutan, perempuaa itu malah tertawa jalang sambil mengimbangi gerakan Kwanliong Ciong-leng..".
Tak lama kemudian, gerakan-gerakan gila itu mulai
mereda, Kwanliong Ciong-leng terkulai lemas, agaknya sari kelaki-lakiannya telah terisap oleh pe-rempuan itu hingga ia kepayahan dan tak bertenaga lagi.
Ji-sia merasa gusar sekali, ia ingin menolong sang paman, tapi sekujur tubuh terasa lemas tak bertenaga, jangankan memberi pertolongan, bergerak pun tak mampu.
Sementara ia marah, gelak tertawa jalang kem-bali
berkumandang, menyusul sesosok tubuh yang bugil
menggiurkan muncul di hadapannya.
Dengan penuh kemarahan Ji-sia membentak, "Perempuan jalang, enyah kau!"
Tapi bukannya menjauh, perempuan itu se-makin
mendekat ke arahnya dan dipeluknya erat-erat?"
Ji-sia meronta dengan sekuat tenaga, tapi apa daya, ia tak mampu berkutik, dalam keadaan begini ia hanya bisa memejamkan mata rapat-rapat sambil berusaha
mengendalikan diri.
Bau harum semerbak aneh tiba-tiba terhembus, mencium bau itu Ji-sia terreranjat, ia berusaha me-nutup
pernapasannya, sayang terlambat, bau harum itu sempat menyusup ke tubuhnya dan menjalar ke mana-mana.
Tak terlukiskan rasa kaget Ji-sia, ia sadar bau harum tadi pastilah sebangsa obat perangsang se-perti apa yang pernah dialaminya dulu".
Peristiwa lama terbayang kembali, ia teringat bagaimana dirinya diberi obat perangsang oleh mu-suh hingga berbuat mesum dengan ibunya sendiri".. Ia ingin menjerit, ia berusaha menenangkan pikir-annya dan melawan pengaruh racun itu"..
Tapi, saat itulah segulung hawa panas yang aneh muncul dari perutnya, terus menjalar ke atas dan menerjang ke bawah, ia mulai merasakan pe-ngaruh nafsu berahinya yang makin membara.
Tampaknya perempuan cabul itu tahu korban-nya sudah mulai terserang obat pemabuknya, tiba-tiba ia memperhebat gerakannya untuk menggoda dan memeluk anak muda itu".
Mula-mula Ji-sia masih berusaha mempertahankan diri, tapi lama-kelamaan api berahi yang ber-kobar makin menghebat, semakin ia tahan semakin besar nyala api berahinya".
Tak lama kemudian, pemuda itu merasakan anggota
tubuhnya mulai beraksi seperti mengingin-kan
sesuatu"..ditambah lagi gerakan perempuan bugil itu makin lama semakin menggila, ia hampir tak kuasa menahan diri.
Pada saat kritis itulah tiba2 muncul seorang gadis berbaju putih dalam ruangan itu, dia tertegun menyaksikan adegan yang luar biasa itu.
Pipinya menjadi merah jengah menyaksikan sepasang laki-perempuan yang sedang "gituan", diam-diam keluhnya, "Ai,
semua ini akibat perbuatan ayah, entah kenapa, ia gemar sekali mencelakai orang lain"."
Tiba2 ia bertekad menolong pemuda itu, ia merasa dangan berbuat demikian sedikit-banyak akan mengurangi dosa yang dilakukan ayahnya selama ini.
Setelah sangsi sejenak, sambil menggigit bibir gadis berbaju putih itu akhirnya mengambil keputusan, ia tak ingin adegan yang memuakkan itu berlangsung lebih lama.
Tangannya segera bergerak, desing angin tajam segera meluncur ke depan dan menghantam jalan darah Hun-bun, Bi-piau dan Hong-bun-hiat di tu-buh perempuan cabul itu.
Seketika itu juga, permainan gila perempuan itu terhenti sama sekali, tubuhnya yang bugil dan bahenol itupun terkulai lemas.
Dengan tercengang Ji-sia membuka matanya, gumpalan daging yang menindihnya, membuat ma-tanya berkunang-kunang, ia berusaha mengerahkan tenaga untuk
menyingkirkan tubuh perempuan itu dari atas badannya.
Tapi sayang ia lemas tak bertenaga, betul-betul lemas, sedikit pun tak mampu bergerak. Kecuali bagian tertentu, seluruh badan Ji-sia lebih lemas dari pada kapas.
Gadis berbaju putih itu menghampiri pemba-ringan dan mendorong tubuh perempuan cabul itu sehingga terguling ke samping. Sedemikian anggun gadis berbaju putih ini, wajahnya cantik jelita bagaikan bunga, matanya jeli, sikapnya yang agung membuat orang tidak berani memandangnya.
Begitu melihat wajahnya, Ji-sia segera kenal siapakah gadis ini, dengan kaget ia berseru, "Nona Oh, kiranya kau?""
Ternyata gadis berbaju putih ini tak lain ada-lah Oh Keng-kiau, putri tunggal Thian-kang-te-sat-seng-gwat-kiam Oh Kay-gak, Pocu Thian-seng-po yang dulu.
Dulu Ji-sia pernah hidup sebagai penjaga istal kuda dalam benteng Thian-seng-po, tentu saja ia kenal Oh Keng-kiau. Tapi Oh Keng-kiau tidak mengenalinya, karena waktu itu wajah Jisia dalam penyamaran.
Oh Keng-kiau menjadi tertegun, tergetar hati-nya ketika menatap wajah pemuda itu, ia merasa Ji-sia amat tampan dan seperti pernah dikenalnya, cuma untuk sesaat ia tak ingat di manakah mereka pernah berjumpa. Karena heran, ia hanya tersenyum hambar.
Ji-sia baru sadar, timbul perasaan aneh demi menyaksikan senyuman itu, untuk sesaat ia terte-gun.
Pelahan Oh Keng-kiau mengalihkan sinar ma-tanya dari wajah anak muda itu hingga ke bawah. Tiba-tiba wajahnya menjadi merah, tapi iapun geli oleh keanehan "barang" yang menegang itu hing-ga ia tertawa cekikikan.
Tertawanya bagaikan bunga yang sedang me-kar,
ditambah lesung pipinya yang manis, walaupun ditutup dengan tangannya yang putih, tapi tak bisa menutupi merah jengah wajahnya, kecantikan se-macam ini adalah kecantikan yang suci bersih tan-pa pikiran sesat.
Ji-sia menjadi tertegun, tanpa terasa ia me-mandang tubuh sendiri bagian bawah, seketika ia merasa malu, apalagi di depan seorang gadis yang dikenalnya.
Buru-buru Ji-sia menutupi tubuhnya dengan tangan dan menjerit kaget, saking gelisahnya ia ja-tuh tak sadarkan diri.
Sebab dia tahu Oh Keng-kiau adalah putri tunggal gurunya, Oh Kay-gak, dia masih perawan, mana boleh dirinya berbuat begini di hadapannya" Dan bagaimana pula tangung jawabnya di hadapan gurunya nanti"
Sewaktu Ji-sia sadar kembali, ia mendapatkan dirinya berbaring di dalam sebuah kamar batu, di atas pembaringan kayu cendana yang harum, pe-rabot dalam ruangan pun
sangat indah, dinding ber-kilat seperti cermin, dua buah lentera model keraton menerangi ruangan, Oh Keng-kiau dengan baju pu-tihnya sedang berduduk bersandar dengan tersenyum.
Baru saja Ji-sia berpaling, Oh Keng-kiau segera
merasakannya, sambil tertawa ia lantas menegur, "Kau telah sadar?"
Pelahan ia menghampiri pembaringan menying-kap
kelambu dan bertanya dengan lembut.
Teringat pada kejadian yang baru berlangsung, Ji-sia merasa malu sekali. Ia teringat pula akan pesan terakhir gurunya agar menjaga gadis ini dan waktu itu ia telah me-nyanggupi permintaan gurunya, tentu saja ia tak mau membohongi kakek yang ramah dan hidup merana itu.
Akan tetapi ketika terbayang kembali peristiwa lampaunya yang tragis, hancur luluh hatinya.
Bukankah Bwe-hoa-sian-kiam Tong Yong-ling terluka
hatinya lantaran ia tak dapat hidup ber-samanya"
Ji-sia benar-benar terjerumus dalam penderitaan yang luar biasa.
Melihat lama sekali pemuda itu membungkam, Oh Kengkiau bertanya, "He, kenapa kau cuma me-longo saja tanpa bicara?"
Ji-sia menghela napas, "Nona Oh! Ah, tidak"..adik Kiau aku".. aku?""
"Hei, kita kan baru saja berjumpa, kenapa kau menyebut namaku dengan begitu mesranya?" tegur Oh Keng-kiau dengan dahi berkerut, "Hm, kalau tahu kau ini laki-laki bangor, tidak nanti kutolong jiwamu."
Ji-sia agak tertegun oleh ucapan tersebut, tapi segera ia dapat memahami persoalannya, katanya, "Adik Kiau, kau tak tahu, sesungguhnya kita adalah kenalan lama."
"Benar!" seru Keng-kiau sambil tertawa, "rasa-nya kita memang sudah kenal, cuma aku tak ingat lagi, siapa sih namamu"
"Aku". dahulu namaku Cing Hok, bekerja di istal kuda"."
Mata Oh Keng-kiau terbelalak lebar, ditatap-nya wajah Jisia lekat- lekat. Sampai lama sekali mereka tidak berbicara.
Akhirnya gadis itu berteriak kegirangan, "Ah, kau benar-benar Cing Hok"..Bukankah kau su-dah mati" Lenyap".."
Wajahmu"..kenapa wa-jahmu berubah"..berubah demikian tampan"..?"
Bicara sampai di sini, air mukanya berubah menjadi merah jengah, ia tidak bicara lagi.
Ji-sia manggut-manggut, katanya, "Adik Kiau, sebenarnya aku bernama Bok Ji-sia. Tempo hari, karena harus menyelidiki benteng kalian maka ter-paksa aku menyaru sebagai tukang kuda"."
Tak tahan lagi pemuda itu menghela napas pedih.
Oh Keng kiau tertawa riang, serunya, "Ooo, jadi kau Bok Jisia" Nama yang amat termasyhur da-lam dunia persilatan dewasa ini!"
"Ai, adik Kiau, kenapa kau menolongku?" ta-nya Ji-sia dengan sedih.
Seketika murung wajah gadis itu, serunya tiba-tiba dengan kuatir, "Ah, aku hanya bicara melulu denganmu, ayo cepat makan obat lebih dulu!"
"Adik Kiau, aku harus makan obat apa?"
Kau terkena bubuk racun Mi-hiang-liu-san (bubuk
pembangkit nafsu) perempuan siluman itu, konon barang siapa mengisap bau harum itu maka selamanya otaknya tak akan waras, dan tiada obat yang bisa menolongnya, meskipun tampaknya kau belum keracunan hebat, tapi kan lebih baik ber-hati-hati. Maka telah kumasakkan semangkuk-kuah Ho-ci untukmu, hanya kuah ini yang dapat memu-nahkan pengaruh racun jahat Mi-hiang-liu-san ter-sebut!"
Sambil berkata, Oh Keng-kiau menuju ke meja kecil di sisi pembaringan dan mengambil sebuah cangkir antik terbuat dari batu kemala dan diang-surkan kepada anak muda itu.
Hati Ji-sia bergetar keras, buru-buru ia mene-rima cangkir antik itu dengan perasaan terharu, kuah berwarna biru yang harum baunya segera di-minum sampai habis.
Selesai minum obat, Ji-sia menghela napas se-raya berkata,
"Adik Kiau, darimana kau tahu obat ini bisa memunahkan racun tersebut?"
Mendengar ucapan ini, tiba-tiba Oh Keng-kiau menjerit kaget, "Aduh celaka! Mungkin kuah yang kau minum itu adalah racun perantas usus, cepat kau tumpahkan kembali!"
Ji-sia terkesiap, pikirnya, "Jika isi mangkuk itu adalah obat racun perantas usus, memangnya aku masih bisa hidup sampai sekarang?"
Sekalipun ia berpikir demikian, ia tetap cemas karena ia tak tahu sampai di manakah kekuatan obat Oh Keng-kiau ini.
Tiba-tiba Oh Keng-kiau berkata lagi, "Kau ti-dak mati setelah minum obat ini, mungkin bukan racun perantas usus, tapi sebangsa racun yang be-kerja lambat, cepat kau coba mengatur pernapasan, periksalah apakah ada sesuatu tempat yang kurang beres?"
Karena gadis itu berbicara dengan serius, buru-buru Ji-sia menghimpun hawa murninya, sesaat kemudian air mukanya berubah menjadi pucat pias seperti mayat.
Ia menghela napas panjang, lalu katanya de-ngan lirih,
"Mati hidup kita telah digariskan takdir, siapapun tak dapat disalahkan!"
Air muka Ji-sia mulai berubah menjadi pucat, lamat-lamat perut terasa agak kaku, hawa murni dalam tubuh mengalir sendiri dan sukar terkendalikan lagi. Tapi saat ini dia tidak dapat berpikir.
Bilamana seseorang mengetahui takdir meng-hendaki
demikian dan kekuatan manusia tak da-pat mengatasinya lagi, maka dia akan menunjukkan sikap yang lebih tenang dan tak acuh.
Begitulah keadaan Ji-sia sekarang. Ia merasa jika dirinya bisa mati pada saat ini, hal mana justeru lebih baik lagi, daripada ia harus mati di tangan Kiu-thian-mo-li, waktu itu bukan saja namanya akan ternoda, iapun akan membawa rasa dendamnya ke akhirat, bukankah hal ini jadi lebih celaka lagi"
Saat ini Ji-sia tidak marah, pun tidak mendendam, ia menunjukkan jiwa besar, kalau harus mati ia ingin mati sebagai seorang kesatria, kalau tidak demikian, ia pasti akan ditertawakan Oh Keng-kiau.
Tiba-tiba terdengar Oh Keng-kiau bertanya, "Benarkah kau tidak takut mati" Ai! Semua ini akulah yang salah, aku sembarang memberi obat kepadamu."
Ji-sia tertawa pedih, katanya, "Adik Kiau, ja-ngan kau menyesali diri sendiri, anggap saja na-sibku memang buruk, sampai hari ini aku Bok Ji-sia belum mati, semua ini adalah berkat pertolong-anmu, maka mati pun aku tidak
menyesal"."
Tatkala kata terakhir itu diucapkan, tiba tiba Ji-sia merasakan darah dalam tubuhnya bergolak hebat, tiba-tiba ia terbungkam dan tak sanggup bi-cara lebih lanjut.
Ternyata ia teringat kembali akan dendam berdarah ayah-ibunya, penghinaan yang belum terba-las, tugas gurunya yang belum terselesaikan, kena-pa ia berani bilang mati menyesal"
Tapi kalau dipikir kembali, apa pula yang bisa dilakukan sekarang"
Tanpa disadari air mata mengembeng dalam kelopak
matanya. Terbelalak lebar mata Oh Keng-kiau melihat pemuda itu melelehkan air mata, ia berseru terke-siap. Cepat-cepat dihampirinya anak muda itu, lalu dengan menyesal katanya,
"Jangan menangis! Obat itu bukan racun!"
Dalam keadaan demikian, Ji-sia mana mau percaya
perkataannya itu" Sebab disangkanya gadis itu hanya menghiburnya belaka, maka ia pejamkan mata dan tidak menjawab. Ketika matanya dipejamkan, dua titik air mata segera jatuh membasahi pipinya.
Melihat pemuda itu tak mau menjawab, Oh Keng-kiau
bertambah gelisah, ia menarik tangan Ji-sia dan digoyangkan berulang kali, serunya, "Kau takkan mati! Isi mangkuk itu betul-betul Ho-ci-teng yang bisa memunahkan racun Mi-hiang-liu-san!"
Ketika tangan kiri Ji-sia dipegang oleh tangan yang halus bagaikan tak bertulang itu, ia merasa-kan hatinya bergetar keras, ditatapnya wajah si nona.
Alis matanya yang lentik, bulu matanya yang panjang, matanya yang jeli dengan wajah yang suci mempesona, ibaratnya bidadari yang baru turun dari kahyangan.
Ji-sia menghela napas pelahan, katanya, "Adik Kiau, biar mati pun tak apa, cuma sakit hatiku be-lum terbalas, aku tak
ingin mati sekarang"..Ai aku ingin memberitahukan suatu hal kepadamu."
Ji-sia mengetahui akan kekejian Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian, racun yang mengeram dalam tubuhnya sudah pasti bukan cuma racun Mi-hiang-liu-san belaka, maka ia
berpendapat, walaupun Oh Keng-kiau benar-benar memberi obat mujarab yang bisa memunahkan racun Mi-hiang-liu-san, juga tak akan memunahkan racun yang lain, sekalipun bisa memunahkan racun yang lain, tapi dengan watak Oh Kay-thian, tentu saja ia tak akan membiarkan dirinya
meninggalkan Thian-seng-po dengan selamat, apalagi dirinya masih berada di tengah ruang raha-sia Thian-seng-po yang penuh dengan alat jebakan.
Oleh sebab itu, Ji-sia ingin mempergunakan kesempatan sebelum mati untuk memberitahukan asal-usul Oh Keng-kiau.
Tapi ketika dia akan buka suara, tiba-tiba terlintas kembali pesan Oh Kay-gak yang meminta kepadanya agar jangan memberitahukan asal-usulnya kepada gadis tersebut, meski menurut perasaannya, ia merasa hal ini harus disampaikan kepadanya.
Maka ia menjadi termenung dan tidak bicara, ia ragu-ragu untuk mengambil keputusan. Agaknya Oh Keng-kiau tidak mendengar Ji-sia hendak memberitahukan sesuatu
kepadanya, dia ha-nya mendengar pemuda itu mengatakan akan mati, hal ini membuatnya kuatir.
"Bok"..Bok"..bukankah kau merasa perut-mu kaku dan tenaga sukar dihimpun kembali?" tanyanya dengan gelisah.
"Ya, memang begitu!" Ji-sia manggut-manggut.
Oh Keng-kiau jadi gembira, serunya, "Itu ber-arti daya ampuh kuah Ho~ci sudah mulai bekerja, asal kau duduk mengatur napas selama setengah jam lagi niscaya akan sembuh seperti sedia kala. Mulai se-karang kaupun tak perlu kuatir akan terpengaruh oleh obat pemabuk seperti itu, sebab
kuah Ho-ci adalah obat penawar racun, racun apapun yang ber-sarang di tubuhmu segera akan tersapu bersih."
Mendengar keterangan tersebut, Ji-sia segera menghimpun tenaga dalamnya dan duduk bersemadi.
Oh Keng-kiau menjadi gelisah melihat pemuda itu hanya pejamkan mata dan tak berbicara, ia ber-maksud menggoyang tubuhnya, siapa tahu, baru tangannya menyentuh tubuhnya, dirasakas segulung tenaga tolakan yang besar menggetar tangannya hingga terpental. Dalam terkejutnya, ia mundur be-berapa langkah. Oh Keng-kiau menyadari apa yang terjadi, se-gera ia mundur ke belakang dan memandangi Ji-sia dengan termangu.
Tidak lama kemudian, lamat-lamat dari wajah Bok Ji-sia yang tampan muncul selapis uap putih, melihat itu Oh Keng-kiau terkejut bercampur girang, pikirnya, "Sungguh tak kusangka tenaga dalamnya sesempurna ini, agaknya jauh lebih hebat daripada Toapepek dan kalah setingkat
dibandingkan ayah, cuma sulit juga bagi orang yang berusia semuda dia dapat memiliki tenaga dalam sesempurna ini, Cing Hok, wahai Cing Hok, ah tidak, dia bernama Bok Ji-sia, bukan Cing Hok , wahai Bok Ji-sia"..aku memang tahu engkau bukan manusia sembarangan, ternyata tepat dugaanku."
Belum lenyap pikiran tersebut, tiba-tiba terde-ngar Bok Jisia bersiul nyaring. Siulan yang penuh nada gembira ini menun-jukkan pemuda itu merasa girang karena racun yang mengeram dalam tubuhnya berhasil disapu keluar.
Selesai bersiul nyaring, Ji-sia maju beberapa langkah dan memberi hormat, katanya sambil ter-tawa, "Budi kebaikan ayahmu belum sempat kubalas, kini aku Bok Ji-sia mendapat budi pula dari adik Kiau, semua ini meski badanku harus hancur rasanya sulit untuk membayarnya".."
Oh Keng-kiau menjadi bingung, dengan mata terbelalak pikir ya, "Ia bilang pernah menerima bu-di kebaikan ayahku"
Jadi ia keracunan bukan lan-taran perbuatan ayah?"
Oh Keng-kiau, gadis yang patut dikasihani, hingga sekarang ia belum tahu akan asal-usulnya sendiri, dia mengira Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian adalah ayahnya, padahal yang dimaksudkan Ji-sia adalah ayahnya yang sudah delapan belas tahun tersekap dalam ruangan terpencil dan akhirnya mati dengan penasaran"..Thian-kang-te-sat-seng-gwat-kiam Oh Kay-gak.
Demikianlah, setelah termenung sejenak, Oh Keng-kiau tertawa cekikikan, katanya, "Siapa yang minta balas budimu, bukankah perbuatan semacam ini adalah kewajiban yang harus kulaksanakan" Ai, ayah sudah banyak melakukan perbuatan semacam ini, tindakannya itu sungguh?""
Tiba-tiba ia berhenti, mungkin ia merasa mem-bicarakan dosa ayahnya di hadapan orang lain adalah perbuatan tidak pantas.
Setelah menghela napas sedih, gadis itu kem-bali berkata,
"Agaknya guruku merasa tak senang menyaksikan perbuatan ayahku, aku menolongmu sekarang karena melaksanakan apa yang diinginkan guruku, siapa yang mengharapkan balas budimu?"
Dari kata-kata tersebut, ada sebagian yang
membingungkan Ji-sia, karenanya pemuda itu men-jadi termangu dan tak tahu bagaimana mesti men-jawab.
Sambil tertawa kemudian ia berkata, "Adik Kiau, kalau memang demikian aku akan menarik kembali kata-kata membalas budi tersebut, tapi ni-atku tak akan berubah, budi kebaikan kalian ayah dan anak kucatat di dalam hati, pada suatu waktu pasti akan kubayar kembali."
"Huh, kata-katamu itu percuma saja diucapkan!" tiba-tiba Oh Keng-kiau tertawa cekikikan.
Ji-sia jadi melengak, baru saja dia hendak memberi penjelasan, dengan tertawa Oh Keng-kiau berkata lagi, "Kalau kau sudah menarik kembali soal balas budi, buat apa pula kau mengatakan akan membayarnya di kemudian hari?"
Ji-sia tidak memberi tanggapan lagi, tanyanya kemudian,
"Adik Kiau, dari mana kau tahu cara
memunahkan racun ini?"
Oh Keng-kiau tertawa, katanya, "Begitu mesra kau
memanggil diriku, kenapa sama sekali tak tahu masalah dalam keluargaku" Memangnya sang ayah tak bisa mewariskan ilmu beracunnya kepada puterinya?"
Ji-sia merasa sedih, ia merasa jika asal-usul gadis itu tidak diceritakannya, ia benar-benar me-rasa malu terhadap gurunya, Oh Kay-gak.
"Adik Kiau".panggilnya kemudian setelah menghela
napas. "Ada apa?" tanya si nona tercengang.
"Ai, adik Kiau! Tahukah kau tentang ibumu?"


Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tahu tentang ibuku?"
Oh Keng-kiau balik bertanya dengan kaget, "cepat beritahu padaku, si-apakah ibuku?"
Pelahan Ji-sia menggeleng kepala, "Akupun tak tahu siapakah ibumu, aku hanya bertanya saja."
Oh Keng-kiau menghela napas sedih, katanya, "Sejak kecil sampai dewasa aku sama sekali tak ta-hu siapakah ibuku.
Ayah belum pernah memberitahukan hal ini kepadaku, setiap kali kutanya ten-tang ibuku, dengan wajah murung beliau selalu men-jawab telah mati, katanya mati secara
menge-naskan"."
Mendengar itu Ji-sia merasakan darah panas-nya mendidih, tukasnya dengan cepat, "Dia sendiri yang mencelakainya"."
"Dicelakai siapa" beritahukan padaku!" seru Oh Keng-kiau.
Bok Ji-sia tertegun, lalu menghela napas pan-jang, sahutnya, "O, bukan! Aku hanya teringat pa-da persoalanku sendiri."
Sebenarnya Ji-sia hendak memberitahukan ke-padanya bahwa Oh Kay-thian bukan ayahnya me-lainkan musuh besar yang telah memaksa mati ayah-ibunya, tapi ketika dia hendak membuka suara, ti-ba-tiba ia seakan-akan mendengar kembali pesan gurunya, "Nak, aku tak ingin puteriku mengetahui siapa orang tuanya?" Sekarang ia hidup dengan tenang dan gembira, buat apa menyingkap kembali kejadian masa lampau yang penuh kesedihan hing-ga melukai hatinya yang masih suci itu" Dia ada-lah satu-satunya puteriku, asal ia bisa hidup senang dan berbahagia, sekalipun mati aku akan mati de-ngan mata meram?""
Berpikir sampai di sini, Ji-sia urung bicara lagi.
"Ya, benar!" demikian ia berpikir, "sekarang Oh Keng-kiau hidup senang dan bahagia, kenapa aku mengenangkan
kejadian masa lampau yang pe-nuh kesedihan itu sehingga hatinya terluka dan me-rasakan pukulan batin yang
berat?"?"
Oh Keng-kiau menghela napas sedih, tiba-tiba katanya.
"Sekalipun kau tidak memberitahukan pa-daku, aku sendiri juga tahu, dari nada ucapan ayah, agaknya ibuku dipaksa mati oleh Jipekhu (paman kedua) Oh Kay-gak. Hmm, aku amat benci kepada Jipekhu?""
Air muka Ji-sia berubah hebat mendengar per-kataan itu, segera bentaknya, "Adik Kiau, jangan sembarangan bicara, dia"."
"Dia adalah ayahmu yang sebenarnya," kata-kata ini akhirnya ia telan kembali mentah-mentah.
Setelah berhasil menenangkan pikirannya, Ji-sia menghela napas dan berkata lagi, "Adik Kiau, aku berani bersumpah bahwa ibumu bukan dibunuh oleh". oleh Jipekhu!"
Oleh karena Oh Kay-gak adalah ayah kandung Oh Kengkiau, maka Ji-sia ragu menyebutnya se-bagai pamannya.
Mendengar itu, entah apa sebabnya Oh Keng-kiau berdiri termangu seperti orang linglung.
Kemudian iapun berpikir, "Aneh, cara bicara-nya ternyata persis seperti Suhu, jangan-jangan tu-duhan ayah yang mengatakan ibu mati dicelakai oleh Jipekhu adalah tuduhan yang salah?"
Melihat gadis itu membungkam, Ji-sia berseru lagi dengan cemas, "Adik Kiau, kau harus percaya kepadaku, aku sama sekali tidak bohong padamu!"
Tiba-tiba Oh Keng-kiau menarik muka, lalu berkata dengan dingin, "Kenapa kau panggil aku dengan begini mesranya?"
Ji-sia terkesiap, tapi segera ia tertawa, "Apakah tidak pantas kupanggil dirimu sebagai adik?"
Keng-kiau menggeleng kepala, ia mendengus, sahutnya,
"Tidak, kutahu di balik ini pasti ada rahasia lain, kau harus menerangkannya kepadaku!"
"Jangan-jangan ia mulai curiga?" pikir Ji-sia dengan terkesiap, "tapi begitupun ada baiknya, se-moga Thian membiarkan dia memahami sendiri akan asal-usulnya."
Berpikir demikian, ia lantas berlagak tidak me-ngerti, tanyanya, "Adik Kiau, kau suruh aku bicara soal apa?"
"Bicara soal hubunganmu denganku?"
"Persahabatan biasa!" jawab Ji-sia tak acuh.
"Omong kosong!" bentak Keng-kiau, "Aku tahu kau adalah seorang yang angkuh, kalau tiada hu-bungan yang istimewa, tak nanti kau mau menye-butku sebagai adik, selain itu sikapmu bicara juga aneh sekali".."
Ketika mengucapkan kata-kata ini, nada si ga-dis keras dan nyaring seakan-akan sedang mendamperatnya.
Diam-diam Ji-sia merasa terperanjat, pikirnya, "Tak kusangka begitu cermat jalan pikirannya, ka-lau demikian halnya dia pasti dapat menyelidiki sen-diri asal-usulnya?"
Entah mengapa, tiba-tiba Oh Keng-kiau meng-hela napas sedih, kemudian berkata, "Bok"..Bok~ heng". maafkanlah kekasaranku, kau tidak marah bukan?"
"Adik Kiau, masa aku menyalahkan dirimu?"
Dengan wajah merah jengah Oh Keng-kiau berkata lagi,
"Tadi aku takut kau dating kemari untuk mencelakai ayahku, Ai, sesungguhnya ayah-ku cuma ada beberapa sifatnya yang aneh, padahal ia orang tua sangat ramah, tabiatnya pun baik sekali. Masih ada satu hal lagi, ia tidak suka aku bergaul dengan orang muda, jika ia melihat aku berada bersama pemuda maka dia akan mengusir orang itu dan
mendamperatku habis-habisan."
Bicara sampai di sini, senyumnya tiba-tiba le-nyap, sambil menghela napas ia mengerling sekejap ke arah Bok Ji-sia dengan aneh, lalu katanya lagi, "Aku tak ingin engkau diusir ayah, atau dibunuh olehnya!"
Ketika melihat sorot matanya yang lembut ser-ta
mendengar perkataannya yang hangat, diam-diam Ji -sia terperanjat. Terhadapnya ia mempunyai suatu perasaan yang aneh, meskipun pengalaman yang tragis masa lalu membuat ia tak bergairah untuk main cinta lagi terhadap perempuan lain, tapi senyuman Oh Keng-kiau, kelembutannya"..bagaikan sumber air yang jernih mengalir ke lubuk hatinya"
Ji-sia mulai merasa tak tenang".
Anehnya sejak Ji-sia mengalami peristiwa tragis dengan ibunya sendiri, selapis bayangan kematian sesungguhnya telah menyelimuti perasaannya, ia te-lah bertekad akan bunuh diri sehabis membalas dendam, karena itu cinta dari gadis-gadis seperti Bwe-hoa-sian-kiam Tong Yong-ling, Cu Giok-ceng dan lain-lain telah ditolaknya mentah-mentah.
Akan tetapi terhadap Oh Keng-kiau, tiba-tiba saja dalam hatinya timbul semacam perasaan cinta yang aneh sekali.
Ia sendiri tak tahu apa sebabnya. Mungkin ka-rena Oh Keng-kiau adalah putrinya Oh Kay-gak, maka perasaan cinta itu timbul akibat budi yang pernah diterimanya"
Waktu itu dengan wajah merah jengah Keng-kiau sedang memandang Ji-sia dengan termangu-mangu. Sekulum
senyuman pun menghiasi ujung bibir Ji-sia, tapi ia tidak berbicara apa-apa.
Suasana dalam ruangan hening, tapi tidak te-rasa
membosankan. Kedua orang saling memandang tanpa bicara, tapi senyuman manis menghiasi wa-jah masing-masing.
Senyuman lembut dan manis.
Semenjak mengalami peristiwa tragis, belum pernah Ji-sia mengalami ketenangan jiwa, selalu terbenam dalam
kepedihan, baru sekarang"..
"Trang!" mendadak dari atas tirai pintu ber-kumandang suara keleningan yang nyaring.
Dengan terperanjat Bok Ji-sia mendongakkan kepalanya, ternyata di atas tirai pintu terikat seutas tali, pada ujung tali tergantung sebuah keleningan kecil, seandainya tidak diperhatikan dengan saksa-ma, sulit untuk ditemukan, tapi kenapa keleningan itu bersuara"
Dengan perasaan curiga ia berpaling ke arah Oh Keng-kiau, tampak gadis itu sedang memandang ke luar pintu dengan air muka berubah.
"Hiang-lan, masuklah!" serunya kemudian de-ngan suara tertahan.
Sesosok bayangan hijau berkelebat, bau harum berhembus, seorang nyonya muda yang berdandan genit dengan kain hijau menutupi dada dan perutnya telah masuk ke dalam ruangan, kedua lengan-nya dalam keadaan telanjang.
Nyonya muda ini berusia antara 23-24 tahun-an, tubuhnya montok, dandanannya menyolok te-rutama sekali wajahnya yang bulat dengan lirikan matanya yang membetot sukma, bila dibandingkan kedua belas perempuan cabul itu, ia tampak lebih memikat"..
Terperanjat Ji-sia melihat kehadiran perempuan itu, pikirnya, "Dari mana Oh Kay-thian mendapat-kan begitu banyak perempuan cabul ini" Semoga nyonya muda ini bukan sebangsa perempuan cabul tadi.
Dalam pada itu, nyonya muda ku telah mem-beri hormat kepada Oh Keng-kiau, lalu berkata, "Nona, tempat ini tak boleh ditempati terlalu lama, ayahmu telah mendapat laporan".."
"Apa" Kenapa Hiang-lan tidak datang mem-beri lapor?"
dengan air muka berubah Oh Keng-kiau berseru.
"Hiang-lan telah ditahan ayahmu!"
"Wah celaka, bagaimana baiknya sekarang?" seru Kengkiau sambil mengentakkan kaki ke tanah.
"Nona, kalau ia tidak cepat dibawa pergi, bila ketahuan ayahmu, pasti aku akan disiksanya sete-ngah mati."
Tampaknya Oh Keng-kiau gelisah sekali, seru-nya cemas,
"Lantas bagaimana baiknya sekarang?"
"Bagaimana baiknya" Ia tak mungkin keluar dari si-ni, jalan tembus hanya ada satu, bagaimana mung-kin ia bisa keluar dari tempat ini"
"Nona, lebih baik sembunyikan saja untuk se-mentara waktu dalam kamarku!"
"Ah, ada akal!" tiba-tiba Keng-kiau berseru se-telah berpikir sebentar.
Ji-sia pun merasakan gelisah, sebab ia tahu bi-la dirinya terkurung di tengah alat jebakan, kalau ingin keluar lewat jalan yang benar, maka dia ha-rus menembus benteng Thian-seng-po, berarti ha-rus menembus pula pelbagai alat jebakan yang ber-lapis-lapis, bahkau mungkin belum jauh ia menyusup keluar sudah mati di tangan musuh secara mengeri-kan.
Ia menjadi murung, setelah mengetahui tiada jalan lain kecuali jalan yang ada ini, maka demi mendengar perkataan Keng-kiau tadi, cepat ia ta-nya, "Adik Kiau, benarkah masih ada jalan lain?"
"Nona, apakah kau hendak membawanya ke tempat
tinggal gurumu?" tanya nyonya muda tadi.
"Ai, cuma tempat pengasingan guruku tak bisa didatangi oleh setiap anggota benteng, sekalipun ayahku sendiri juga tak berani melanggarnya, tapi, engkoh Bok adalah"..adalah orang luar"."
"Adik Kiau," kata Ji-sia sambil menghela na-pas, "kalian boleh segera pergi dari sini, biar aku menerjang keluar benteng ini seorang diri."
"Engkoh Bok, kau tak boleh sembarangan me-nerjang, kalau terjadi sesuatu atas dirimu, bukankah sia-sia belaka usahaku menolongmu" Ai, di antara jebakan-jebakan di bawah tanah hanya jalan menuju ke ruang Hui-sim yang ditempati guruku saja merupakan jalan tembus, agaknya terpaksa aku
harus memohon kepada Suhu agar mengizinkan kau lewat sana."
"Nona, jika kau sendiri yang membawa dia ke ruang Hui-sim, ayahmu pasti akan mengetahuinya, kukira lebih baik kau turut saja usulku tadi, biar-kan dia tinggal sementara dalam kamarku, bebera-pa hari lagi baru keluar dari sini, sedang kaupun bisa menggunakan kesempatan selama beberapa hari ini untuk berunding dengan gurumu."
Keng-kiau ragu-ragu sejenak, akhirnya ia men-jawab,
"Baiklah, Mi-nio! Untuk sementara kuserah-kan dia kepadamu, tapi kalau terjadi apa-apa, hati-hati kalau kubunuh kau!"
Kiranya Mi-nio adalah seorang perempuan jalang yang amat cabul, kedua belas orang perempuan iblis itu dilatih oleh Oh Kay-thian berdasarkan se-gala kecabulan Mi-nio ini, jadi boleh dibilang dia adalah cikal bakal kawanan perempuan cabul itu.
Tentu saja Keng-kiau mengetahui Mi-nio ada-lah seorang perempuan cabul, tapi ia pikir tak mungkin Mi-nio berani mengkhianatinya, karena perempuan itu pernah ditolongnya sekali, pula ke-tika Bok Ji-sia ditangkap kedua belas perempuan iblis itu. Mi-nio juga yang melaporkan kejadian ter-sebut kepadanya, jadi ia tak mungkin mencelakai pemuda tersebut.
Terdengar Mi-nio tertawa cekikikan, kemudian berkata,
"Nona, menolong orang harus menolong sampai akhir, memangnya bisa kutelan dia?"
"Hmm, kutahu kau takkan berani. Nah, seka-rang aku pergi dulu!"
Selesai berkata Keng-kiau lantas berjalan lewat pintu samping, tapi sebelum pergi ia berpaling lagi sambil berpesan, "Engkoh Bok, kau mesti hati-hati, cepatlah pergi mengikuti Mi-nio!"
Habis berkata bagaikan burung walet ia me-nyelinap keluar ruangan. Sampai di manakah rasa cinta Oh Keng-kiau terhadap Bok Ji-sia dapat dilihat dari semua tin-dakan dan ucapannya yang sederhana itu.
Tiba-tiba Mi-nio berkata dengan merdu, "Saudara cilik, tampaknya nona kami baik sekali kepadamu."
"Ya, aku orang she Bok sudah banyak menerima budi
kebaikan mereka ayah dan anak."
"Apa kau bilang?" seru Mi-nio dengan mata terbe-lalak.
"Sudahlah, jangan dibicarakan lagi, mari kita beraagkat!
Harap enci Mi suka menunjukkan jalan."
Mi-nio tertawa, sambil melemparkan kerling-an yang membetot sukma serunya, "Saudara cilik, kau betul-betul pandai menyenangkan hati orang!"
Segera ia berjalan lebih dulu meninggalkan ruangan itu.
Hampir semaput Ji-sia oleh kerlingan yang be-tul-betul membetot sukma itu.
Sebenarnya ia tak suka menerima perlindungan seorang perempuan, apalagi melakukan perja-lanan bersama Mi-nio yang genit, betapapun ia me-rasa waswas, ia mengikuti di belakangnya dan ber-lalu dari sana.
Di bawah pimpinan Mi-nio, mereka melalui sebuah jalan tembus yang amat panjang dan me-lewati beberapa puluh ruangan, tapi tak seorangpun penjaganya yang dijumpai, diam-diam Ji-sia kagum juga atas kehebatan bangunan Thian-seng-po yang megah itu.
Waktu itu mereka berdua telah tiba di ujung lorong yang panjang itu, tiba-tiba Mi-nio membalik tubuh dan menerjang Ji-sia.
Oleh karena jaraknya terlampau dekat, ketika Ji-sia merasa terkejut, wajah Mi-nio sudah berada di depan hidungnya,
berbareng tangan kanan di-kibaskan, selapis asap merah segera menyebar.
Begitu kabut merah itu menyebar, Ji-sia segera merasakan bau harum yang aneh menembus hidung-nya dan terisap ke dalam perut.
Ketika ia mengetahui Mi-nio menerjang ke arah-nya tadi, ia mengira perempuan tersebut hendak turun tangan keji kepadanya, maka sambil meng-himpun tenaga, dalam ia siap menyambut serangan orang, siapa tahu yang disebarkan adalah bubuk pemabuk cinta yang berbau harum.
Kendatipun reaksinya cukup cepat dan begitu mengendus bau harum pernapasannya lantas ditu-tup, tapi toh masih terlambat juga. Apalagi dahulu Mi-nio memang seorang pe-rempuan cabul yang amat termashur dalam dunia
persilatan dengan nama Mi-hun-sian-cu (dewi pe-mabuk sukma).
Entah berapa lama sudah lewat. Semua pakaian yang
dikenakan Ji-sia seperti juga ketika ditangkap kedua belas perempuan iblis itu, telah dilepaskan hingga telanjang bulat.
Tubuh-nya yang bugil terbaring di atas pembaringan ga-ding yang menyiarkan bau harum semerbak.
Tepat di depan wajahnya sedang bergerak se-raut wajah cantik jelita yang menawan hati. Semen-tara tubuhnya yang montok menindih di atas tubuhnya yang dalam keadaan telanjang.
Ketika Ji-sia membuka matanya, yang dilihat pertama-tama adalah bagian terlarang dari perem-puan itu.
Itulah bagian tubuh yang merangsang berahi, hampir saja pemuda itu tak tahan. Sedangkan perempuan itu sendiri tidak lain adalah Mi-nio yang cantik itu. Tak terlukiskan rasa gusar Ji-sia, buru-buru ia mencoba menghimpun tenaga dalamnya.
Ketika diketahui jalan hawa murni lancar se-perti biasa, sama sekali tiada gejala keracunan se-perti yang dikuatirkan semula, kontan hatinya men-jadi tenang kembali.
Pada saat itulah, tiba-tiba Ji-sia merasa tubuh yang menempel di atas dadanya itu mulai bergerak dan".
Dengan gusar Ji-sia membentak, telapak tangan kanannya segera menghantam.
"Plok!" tubuh Mi-nio mencelat sejauh dua tombak lebih dan terkapar di ujung dinding.
"Perempuan siluman yang tak tahu malu!" ma-ki Ji-sia.
Sambil memaki ia melompat bangun dan me-nyambar
pakaian di ujung pembaringan lalu buru-buru dikenakan.
Selesai berpakaian, tampaklah Mi-nio yang ter-banting di ujung dinding sana ternyata sama sekali tidak terluka, bahkan dengan senyuman cabul se-dang berjalan menghampirinya.
Bok Ji-sia tidak biasa melihat tubuh yang bugil, dengan gusar kembali ia membentak, "Berhenti! Cepat kenakan pakaianmu!"
Sambil berseru ia menyambar sepotong pakaian dan
dilemparkan padanya.
Seandainya peristiwa ini terjadi di luar benteng, dengan watak Ji-sia yang angkuh niscaya perbuatan
Mi-nio yang cabul dan berani mempermainkan dirinya ini akan membangkitkan amarah untuk membunuhnya.
Tapi sekarang ia berada dalam sarang harimau, mau-tak-mau hawa amarahnya harus ditahan. Dengan cepat Mi-nio kenakan pakaiannya hingga tubuhnya yang putih montok itu tertutup.
Setelah itu, pelahan ia berjalan ke hadapan pemuda itu.
Bagaikan berjumpa dengan ular berbisa, Ji-sia melompat mundur selangkah, lalu serunya dengan dingin, "Jika kau tidak berhenti, jangan salahkan aku akan bertindak kasar kepadamu!"
Dengan genit Mi-nio mengerling sekejap, lalu tertawa terkekeh, "Kau betul-betul tak tahu ba-gaimana caranya menyayangi perempuan, untung aku yang kau pukul, coba kalau orang lain, niscaya jiwamu sudah melayang.
Tampangmu kelihatan me-nyenangkan, tak tersangka kau tak tahu menyayangi perempuan!"
Di tengah suaranya yang merdu merayu, ma-tanya yang genit melemparkan kerlingan membetot sukma.
Dipandang cara demikian, Ji-sia merasa tidak tenang, dengan wajah merah serunya, "Dengan per-buatan itu, apakah kau tidak malu terhadap no-namu?"
Mi-nio tertawa cekikikan, "Rupanya kau be-lum tahu siapakah aku?"
"Aku tak peduli siapa dirimu!" bentak Ji-sia.
"Saudara cilik, tahukah kaa bahwa aku ini Mi-hun-siancu yang tersohor dalam dunia persi-latan?"
Begitu mendengar nama "Mi-hun-siancu", ha-ti Ji-sia bergetar keras, pikirnya, "Celaka, aku ha-rus cepat-cepat meninggalkan perempuan cabul ini!"
Perlu diketahui, Mi-hun-siancu sudah memiliki nama yang tersohor dalam dunia persilatan semen-jak tujuh tahun berselang, banyak sekali laki-laki muda dari dunia persilatan yang terjebak oleh tak-tik pembetot sukmanya, jarang ada orang yang ber-hasil lolos dengan selamat.
Mimpipun Ji-sia tidak menyangka perempuan cabul yang tersohor itu ternyata masih begini muda.
Dengan langkah lemah gemulai, Mi-hun-siancu maju ke depan dan meraba bahu Bok Ji-sia de-ngan mesra, katanya dengan lirih, "Saudara cilik, bukan saja Cici bersedia buka pakaian di hadapanmu, akupun bersedia bermesraan dengan tubuh me-nempel tubuh, masakah kau tidak mau memenuhi harapan Cicimu ini" Ketahuilah, Cici tidak seperti kedua belas perempuan iblis yang gemar menghirup darah orang dan sama sekali tak berperasaan, asal kau mau memuaskan Cici selama beberapa hari pasti Cici akan mengantarmu keluar dari sini de-ngan selamat."
Mi-hun-siancu berdiri sedemikian dekatnya de-ngan
pemuda itu hingga suaranya yang lembut dan wajah cantiknya yang membetot sukma membuat Ji-sia merasakan wajahnya jadi merah padam, jan-tungnya berdebar lebih keras lagi.
Untunglah tenaga dalam Ji-sia amat sempurna, walaupun menghadapi adegan merangsang, ia masih dapat
mengendalikan kobaran berahinya.
Dengan wajah serius ia mendorong perempuan itu ke
belakang, lalu mendengus dan katanya, "Kau tak tahu malu, aku adalah seorang laki-laki sejati, tak nanti mau memuaskan nafsu berahimu yang kotor dan memuakkan itu. Cis! Jika kau tidak"."
Mi-hun-siancu terkekeh-kekeh dengan jalang-nya, dengan cepat ia menukas makian Ji-sia itu, "Aduh, saudara cilik, pada bagian manakah Cici tidak memuaskanmu" Coba lihatlah tubuh Cici yang padat ini, apakah kau masih belum puas"
Aduh, kenapa kaubuang kesempatan untuk bersenang-senang denganku" Sebaliknya malah?""
Ketika di dengarnya perkataan perempuan itu makin lama makin tak sedap, murkalah Ji-sia, suatu pukulan dahsyat segera dilontarkan ke depan.
Mimpi pun Mi-hun-siancu Mi-nio tidak me-ngira Ji-sia begitu tak punya perasaan, bahkan be-gitu ketus, mau turun tangan lantas turun tangan.
Sepanjang pengalamannya, belum pernah ada seorang laki-laki yang berhadapan dengannya de-ngan cara seperti ini, maka ia sama sekali tidak mengadakan persiapan apa-apa.
Ketika segulung angin pukulan dahsyat me-nyambar
tubuhnya, dengan kaget ia mundnr lima-enam langkah ke belakang.
Ji-sia mendesak maju, kedua tangan diayunkan bersama, dengan segenap tenaga dalam dia hantam jalan darah kematian lawan.
"Anak goblok!" maki Mi-hun-siancu dengan mata melotot,
"diajak bersenang-senang tak mau, rupanya kau bosan hidup!"
Agaknya ia benar-benar naik darah, dengan kedua tangan ia sambut serangan tersebut. Tapi sayang ia terlampau rendah menilai te-naga dalam Bok Ji-sia"..
"Blang!" benturan keras terjadi, sambil men-dengus tertahan, Mi-hun-siancu mundur beberapa langkah dengan sempoyongan, wajahnya pucat se-perti mayat. Ji-sia benar-benar benci terhadap perempuan cabul itu, kelima jari tangan kanan sagera menca-kar wajah perempuan itu.
Jerit melengking karena kaget berkumandang, di atas wajah Mi-hun-siancu yang genit dan cantik itu muncul lima jalur bekas cakaran, darah segar mengucur membasahi mukanya. Dalam sekejap ma-ta ia berubah jadi jelek dan menyeramkan.
Dengan cepat perempuan itu memutar badan dan
menerjang keluar ruangan".
Bok Ji-sia cukup mengerti bahwa setiap ruangan di bawah tanah Thian-seng-po telah diperlengkapi dengan alat rahasia
yang hebat, karena kuatir Mi-nio memasang alat rahasia, maka buru-buru ia menyusul dari belakang".
Dengan suatu gerakan cepat Mi-hun-siancu menyelinap masuk ke dalam sebuah pintu batu. Ji-sia cepat menubruk masuk pula, Tapi pada saat lain pintu batu mendadak tertutup rapat se-cara otomatis".
Suasana menjadi gelap gulita, Ji-sia mengerah-kan tenaga dalam dan mengawasi sekelilingnya, apa yang kemudian terlihat membuatnya terperanjat.
Ternyata ia telah berada dalam sebuah lorong yang sempit, dingin dan menyeramkan"..Berapa dalam lorong ini"
Ia tak tahu. Hanya selisih beberapa langkah saja Mi-hun-siancu sudah kabur entah ke mana"
Dalam keadaan demikian, terpaksa Ji-sia meng-himpun tenaga dalam dan menyilangkan tangannya melindungi dada, kemudian selangkah demi selang-kah masuk lebih ke dalam.
Tujuh-delapan tombak jauhnya ia berjalan, na-mun tiada sesosok bayangan pun yang tampak, ti-dak terdengar pula suara manusia".
Makin ke dalam suasana dalam lorong itu se-makin gelap, angin dingin berhembus kencang, namun udara sedikit pun tidak lembab atau berbau busuk, agaknya di sekitar sana terdapat banyak lobang hawa.
Bicara kemampuan Bok Ji-sia untuk melihat, walau di tengah kegelapan biasanya ia sanggup me-nembus kegelapan sejauh dua tombak lebih, tapi sekarang benda yang berada dekat di hadapannya tak sanggup dilihatnya dengan jelas.
Tanpa terasa hatinya mulai tercekam ketegang-an"..
Lamat-lamat ia merasa dalam lorong itu seakan-akan terdapat selapis benda yang sukar dikatakan dan tak bisa terlihat.
Benda itu telah mengalangi daya penglihatan-nya,
menghilangkan pula ketajaman pendengaran-nya, suara yang berada tiga tombak jauhnya dari sana pun tak dapat ditangkap olehnya.
Tiba-tiba Ji-sia menghentikan langkahnya. Dalam suasana remang-remang, ia merasa ada segulung angin dingin berhembus tiba, menyerempet wajahnya dan lenyap tak berbekas.
Ji-sia membentak kaget, suara bentakan ngeri dan juga gusar.
Menyusul tubuhnya melambung ke atas, ke-mudian
berputar satu lingkaran dengan cepat, pi-kirnya, "Asalkan dia bukan setan, aku yakin pihak lawan tak akan lolos dari pengejaranku yang cepat ini."
Tapi suasana di sekeliling tempat itu amat ge-lap dan sunyi, tak sesosok bayangan pun yang tam-pak, hanya ada selapis bayangan setan yang gelap.
Hal ini membuat Ji-sia terkejut, ia menarik napas dingin dan menelan air liur. Mendadak Ji-sia merasakan sesuatu yang tak beres, ia ingat lorong itu amat sempit, tapi meng-apa ia dapat membuat lingkaran luas tanpa menum-buk dinding batu di kedua sisinya"
Pemuda itu segera merasakan lorong itu agak aneh, ia tak berani lagi melanjutkan perjalanannya. Setelah termenung sebentar, ia berdiri dan meng-heningkan cipta. Tak lama kemudian hawa murni-nya mengitari seluruh badan dan memasuki keadaan lupa segalanya.
Bisa tenang di depan bahaya, kalau bukan se-orang yang memiliki kecerdasan luar biasa, sulit ra-sanya melakukan hal itu, tapi Bok Ji-sia yang be-lakangan ini memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silatnya, ia tahu tempat ini bukan tempat yang aman, dalam keadaan begini ia tak boleh sembrono,
sebab bukan mustahil akan mendatangkan kesulitan, bahkan kematian bagi diri sendiri.
Begitulah, setelah bersemadi sekian waktu, tiba-tiba ia merasa tak jauh di sana berkumandang suara langkah kaki yang amat pelahan.
Langkah kaki itu lirih sekali, seandainya bu-kan sedang memusatkan pikiran sulit rasanya me-nangkap suara itu.
Ji-sia terkesiap, setelah menentukan arah sasa-rannya, dengan memberanikan diri ia maju ke sana. Berjalan lebih kurang belasan kaki di tengah kegelapan, di depan sana muncul lagi sebuah din-ding hitam yang mengalangi jalannya, tapi di se-belah kiri-kanan terbentang dua buah lorong.
Angin dingin yang merasuk tulang itu justeru berhembus dari kedua lorong tersebut.
Ji-sia berkerut dahi, lalu memperhatikan lagi dengan saksama, ternyata suara tadi sudah lenyap. Ia menjadi bingung dan tak tahu harus memilih ja-lan mana di antara kedua lorong yang ada se-karang.
Sedangkan suara langkah yang pelahan itu datangnya begitu mendadak, kini lenyap pula secara cepat.
Tiba-tiba ia merasakan keadaan agak kurang
menguntungkan. Sedikitnya sudah lebih 30 tombak ia menelusuri lorong tersebut, tapi bayangan Mi-hun-siancu belum nampak juga.
Kalau dibilang Mi-hun-siancu telah kabur me-lalui salah satu di antara kedua lorong ini, hal ini jelas tak mungkin, karena perempuan itu sudah terluka dan langkah kakinya pasti berat, bila berada dalam satu lorong yang sama, kenapa tidak terde-ngar sesuatu suara"
Waktu ia mendongak, tiba-tiba ia terperanjat. Kiranya ia berdiri di suatu ruangan yang sangat luas dan tingginya lebih empat tombak, kira-kira tiga tombak dari permukaan tanah
terpancang sebuah papan berwarna emas, di tengah
kegelapan huruf-huruf pada papan itu memancarkan sinar berwarna kehijau-hijauan.
"Hui-sim-ceng-sit", empat huruf besar terbaca.
Ji-sia bersuara heran, pikirnya, "Oh Keng-kiau mengatakan gurunya berdiam di ruangan Hui-sim-ceng-sit dan tempat ini merupakan satu-satunya ja-lan yang langsung tembus ke luar benteng, agaknya salah satu dari kedua jalan tembus yang ada se-karang inilah bisa langsung ke luar benteng."
Berpikir demikian, Ji-sia segera memilih lorong sebelah kanan dan menelusurinya, tapi baru dua tombak jauhnya ia lantas menghela napas, ternyata jalan di depan buntu.
Maka dia balik lagi ke tempat semula dan me-nelusuri jalan sebelah kiri, tapi baru dua tombak jalan inipun berakhir.
Hal ini membuat Ji-sia menjadi bingung, satu ingatan dengan cepat melintas dalam benaknya, "Oh Keng-kiau mengatakan lorong rahasia yang berhubungan langsung dengan luar benteng harus lewat ruang Hui-sim-ceng-sit, jangan-jangan jalan tembusnya berada dalam ruangan itu."
Karena pikiran ini ia lantas menerjang ke arah dinding hitam tadi. Siapa tahu tangannya menyentuh tempat yang amat dingin dan sama sekali tiada tempat berpe-gangan, selain itu dinding hitam ini membentang ke kanan-kiri seolah-olah sebuah dinding batu alam, sama sekali tiada celah-celah yang ditemukan.
Ji-sia jadi tertegun, ia coba memeriksa sekeli-lingnya untuk mencari tempat yang kiranya bisa dibuat pegangan.
Tiba-tiba ia maju selangkah, hawa murninya dihimpun dan segera menghantam ke arah papan nama emas tadi. Kiranya secara tiba-tiba ia teringat pada tom-bol rahasia dalam benteng Thian-seng-po yang kebanyakan terletak pada tulisan.
Siapa tahu ketika angin pukulannya yang dahsyat itu menghantam ke depan, dinding hitam itu sama sekali tak bergerak, bahkan karena menggunakan tenaga terlampau besar, dia malah tergetar mundur dua langkah.
Ji-sia mengernyitkan alis, sementara ia masih mencari kian kemari, mendadak suatu hal aneh te-lah terjadi. Dinding hitam yang sama sekali tak bergerak walau sudah dihantam dengan sepenuh tenaga tadi, kini menunjukkan reaksinya.
Di mana ia melakukan dorongan tadi, kini muncul beberapa huruf yang memancarkan sinar gemerlapan, tulisan itu besar dan menyolok sekali.
Ketika diperhatikan lebih teliti, terbacalah tulis-an itu berbunyi,
"Membunuh orang hanya perlu mengangguk, mengapa
tidak biarkan mereka me-netap di akhirat"
Budi dan cinta masa lalu tinggal seonggok sampah,
kalau dibilang benci aku paling benci,
kalau dibilang cinta aku paling cinta,
benci dan cinta saling bertaut,
tinggal dalam ruang Hui-sim untuk menyesali nasib".
Untuk sesaat Ji-sia termangu-mangu, ia tidak mengerti makna tulisan tersebut namun lamat-lamat dia tahu bahwa penghuni ruangan ini mempunyai pengalaman mata lalu yang menyedihkan, dan peris-tiwa itu timbul karena cinta dan benci antara mu-da-mudi, maka sekarang ia hendak menggunakan ruangan Hui-sim-ceng-sit untuk menyesali kejadian masa lampau.
Suatu perasaan aneh mendadak timbul dalam hatinya, ia pejamkan mata dan termenung pula.
Tiba-tiba suara langkah kaki yang lirih tadi kembali berkumandang.
Air muka Bok Ji-sia berubah menjadi serius, sinar mata tajam terpancar, cepat ia berpaling ke samping, Tapi sayang lorong rahasia itu terlalu gelap, ia tak berhasil menemukan sesuatu.
Pemuda itu yakin bahwa suara yang didengar-nya itu adalah suara langkah manusia, langkah ka-ki itu berasal dari lorong sebelah barat dan kede-ngaran sangat pelahan.
Mendadak satu ingatan terlintas dalam benak-nya, dengan suatu gerakan ringan dia melayang ke atas papan nama emas itu, lalu dengan sorot mata yang tajam ia perhatikan lorong sebelah barat sana.
Tidak lama kemudian, suara langkah kaki tadi berhenti lagi.
Lorong yang gelap gulita itu tetap hening, tak sesosok bayangan yang tampak.
Menghadapi hal ini, dengan tercengang Ji-sia melompat turun kembali ke tanah. Tapi, pada saat itulah hembusan angin dingin menyambar tiba, sambil mendengus Ji-sia segera memutar tubuh sambil melancarkan sebuah pukul-an untuk menyambut datangnya ancaman.
"Wess!" angin pukulan yang kuat menggulung ke depan dan menghantam dinding tembok, kemu-dian muncul
segulung angin berpusing yang meman-tul kembali dan mengibarkan ujung bajunya.
Ji-sia terkesiap, ia merasa gerak tubuh orang itu
sedemikian cepatnya, sehingga sukar diikuti.
Buru-buru Ji-sia menghimpun tenaga dalam dan memeriksa sekelilingnya, tapi tetap tak kelihat-an sesuatu.
Ia tahu ada orang bersembunyi tak jauh di sekitar situ, tapi tak jelas di manakah orang bersem-bunyi.
Ji-sia berdiri tenang beberapa saat di sana, la-lu tiba-tiba katanya, "Jago lihai penghuni Hui-sim-ceng-sit, harap tampilkan dirimu, aku orang she Bok tidak sengaja datang kemari, aku tersesat dan sampai di sini, maafkan bila telah mengganggu ke-tenangan Anda."
Baru selesai berkata, suara tertawa dingin ber-kumandang, tiba-tiba dari atas papan nama emas melayang turun sesosok bayangan.
Kecepatan gerak orang itu sungguh membuat Ji-sia
terperanjat, apabila ia menengok ke de-pan, ia tambah terkesiap. Mimpipun ia tak mengira pihak lawan
me-nyembunyikan diri di atas papan nama emas itu, coba kalau orang hendak melukainya, sepuluh nyawapun mungkin sudah lenyap sedari tadi. Padahal Bok Ji-sia tidak tahu bahwa orang itu baru melompat naik ke atas papan nama emas ter-sebut waktu ia melayang turun tadi.
Dilihatnya di depannya sekarang telah berdiri seorang nenek berambut putih bertongkat, namun mukanya ditutup oleh selapis kain cadar sehingga susah untuk diketahui wajah aslinya.
"Tolong tanya, apakah nenek adalah guru Oh Keng-kiau?"
Ji-sia segera menyapa dengan ramah.
Senyuman dingin menghiasi bibir nenek itu, tegurnya,
"Siapa kau?"
"Aku she Bok bernama Ji-sia, tanpa sengaja tiba di sini, mohon dimaafkan!"
Nenek bercadar itu tertawa seram, "Hehehe, kau bohong, bukankah kedatanganmu untuk me-nunaikan kewajiban atas perintah orang?"
Sejak kecil Ji-sia berwatak angkuh, kata-kata "diperintah orang" tersebut amat menyinggung perasaannya, seketika amarahnya berkobar.
Ia tertawa, katanya, "Selain hidupku tak per-nah diperintah orang, akupun tak pernah bohong!"
"Jadi kau datang kemari atas dasar kemauan sendiri?"
Ketika dilihatnya nenek itu bukannya menjawab malah bertanya melulu, Ji-sia jadi naik darah, sam-bil tertawa dingin serunya, "Memangnya aku tak boleh kemari?"
Berkerut kening nenek bercadar itu, rambut-nya yang telah beruban tampak bergetar, agaknya ia marah sekali,
"Siapa bilang kau tak boleh datang?" serunya, "asal kau tidak sayang pada nyawamu, datang saja
ke sini! Nah, sekarang nenek ingin tanya padamu, ada urusan apa kau datang kemari?"


Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah kau tidak merasa pertanyaanmu sudah terlalu banyak?" kata Ji-sia sambil berkerut kening.
"Orang tua biasanya lebih banyak omong. Eh, anak muda, memangnya kau tidak sayang pada, jiwamu lagi?"
Ji-sia tertegun, pikirnya, "Manusia mana yang tak mau jiwanya lagi?" Tapi ia cuma termenung tanpa menjawab.
Nanek bercadar itu mendengus, mendadak ma-tanya
bersinar tajam dan rambutnya yang beruban seakan-akan menegak seperti batang lidi, tiba-tiba tongkat besinya ditudingkan ke wajah Bek Ji-sia, sementara tangan kiri dengan kelima jari yang di-rentangkan menyambar ke muka.
Jurus serangan ini sungguh lihai dan keji.
Ji-sia tidak menyangka nenek itu bakal me-nyerang dirinya secara keji, dalam gugupnya cepat ia gunakan jurus sakti ajaran Oh Kay-gak, tangan kirinya memotong ke arah tongkat yang sedang me-nyambar tiba itu.
Ketika tangan hampir menyentuh tongkat baja, mendadak jari tengah dan jari telunjuk tangan ka-nan menyelentik ke depan.
Inilah ilmu tenaga jari Tan-ci-sin-kang yang maha sakti dalam dunia persilatan. Agaknya si nenek pun tak mengira Jisia me-miliki ilmu silat selihai ini, maka waktu melancar-kan serangan tadi ia hanya menggunakan tenaga sebesar tiga bagian.
Ketika menyadari gelagat tak menguntungkan, tahu-tahu tongkat pada tangan kanannya mencelat ke udara.
Ternyata reaksi nenek bercadar itu cukup ce-katan, baru saja tongkat mencelat ke udara, ia su-dah bertekuk pinggang, tangan kirinya meraih ke belakang dan tongkat yang mencelat itu tahu-tahu sudah ditangkap kembali.
Pada kesempatan itu, Ji-sia mengejar ke depan, dengan cepat ia hantam punggung si nenek. Tanpa berpaling si nenek mengegos ke kanan, dengan suatu gerakan manis serangan itu berhasil dihindari.
Menyusul sekali bergerak mendadak ia mene-robos ke sebelah kiri Bok Ji-sia, tongkat lantas menyapu.
Serangan ini dilancarkan dalam keadaan gusar, sehinga luar biasa hebatnya.
Mencorong sinar mata Bok Ji-sia, dengan ge-rakan aneh ia cengkeram tongkat lawan dengan tangan kirinya, sedang telapak tangan kanan me-nabas pergelangan tangan kanan si nenek. Ketika tongkat dibikin mencelat oleh serangan Ji-sia tadi, si nenek berambut putih itu menjadi gu-sar sekali, ia kira serangan balasan pasti dapat me-lukai Ji sia atau paling tidak akan membuatnya terdesak mundur, siapa tahu, baru saja serangan dilancarkan, ternyata anak muda itu berbalik mencengkeram tongkat sendiri dengan suatu gerakan yang sangat aneh, hal mana membuatnya terkesiap.
Delapan belas tahun berselang, dia masih ingat ilmu silatnya waktu itu terhitung jago tangguh da-lam dunia persilatan, kecuali suaminya serta bebe-rapa jago lihai yang lain, tiada lagi yang sanggup menandingi dirinya, tak tersangka delapan belas tahun kemudian ia berjumpa dengan musuh setang-guh ini, bahkan lawan hanya seorang pemuda ing-usan.
Pada saat ia tertegun itulah, telapak tangan kanan Bok Jisia membacok pergelangan tangannya dalam keadaan
demikian, jika si nenek berambut putih tidak melepaskan tongkat, maka pergelangan tangan niscaya akan terluka.
Terpaksa ia lepas tangan dan menghindarkan diri dari bacokan tersebut, kemudian tangan kiri menghantam bagian mematikan di dada anak muda itu. Ji-sia tak menyangka sewaktu menghindar ne-nek itu bakal melancarkan serangan balasan, maka ia terdesak mundur tiga langkah, pada kesempatan itu, nenek itu melepaskan tendangan kilat dengan kaki kanan, sementara tangan kiri secepat kilat
mencengkeram tongkat dan membetotnya dengan sekuat tenaga.
Tindakan ini sungguh amat tepat, Ji-sia yang memegang tongkat terseret maju oleh betotan orang, dengan demikian tubuhnya persis memapak tendang-an yang dilancarkan si nenek.
Namun ilmu silat Bok Ji-sia sekarang sudah jauh berbeda daripada dulu, cepat ia miring ke sam-ping, tanpa melepaskan tongkat tangan kirinya se-gera menyambar ke muka,
mencengkeram kaki kanan si nenek, lalu mengangkatnya ke atas. Karena kehilangan keseimbangan badan, tubuh si nenek segera terjengkang ke belakang.
Diam-diam nenek berambut putih itu terkejut, pikirnya,
"Lihai amat ilmu orang ini!"
Dalam hati ia berpikir demikian, sementara ta-ngan kiri masih memegang tongkat mati-matian dan ditariknya dengan sekuat tenaga, karena tarikan ini tubuhnya yang terjengkang pun bisa ditahan.
Mendadak ia melejit ke depan, lalu dengan jurus Tiau-ci-lam-hai (air pasang di laut selatan) ia dorong tangan kanannya ke depan sejajar dada.
Ji-sia pun terkejut, pikirnya, "Sulit amat nenek ini dihadapi, tampaknya kungfunya tidak berada di bawah si nyonya berbaju merah yang kujumpai tadi -malam."
Berpikir demikian, tangan kirinya secepat kilat menyambar urat nadi lawaa dengan jurus Ing-hong-toan-cau
(menyongsong angin membabat rumput).
Nenek itu cepat menarik tangannya ke bawah, kemudian tangan kanan dikebaskan, kelima jari ta-ngan dengan setengah membacok dan setengah me-nusuk melancarkan tiga kali. serangaa kilat.
Ketika melihat bentuk jari tangan orang, Ji-sia tertegun, jari tangan nenek itu ternyata putih halus, sedikitpun tidak mirip jari tangan seorang nenek yang telah beruban.
Kiranya suasaua dalam lorong itu sangat ge-lap, walaupun kedua orang telah bertarung puluh-an jurus, namun Ji-sia tak sempat memperhatikan kulit tubuh lawan. Dengan heran ia menghindari ketiga jurus serangan lawan, kemudian tangan kirinya berkelebat cepat melancarkan serangan balasan.
Dengan dicengkeramnya kedua ujung tongkat, maka jarak kedua orang itu cuma dua depa saja, serangan demi serangan dilancarkan dalam ja-rak dekat ini hampir meliputi semua bagian mema-tikan, sekali salah bertindak atau kurang waspada akibatnya pasti mati atau terluka parah.
Suasana amat tegang, hati pasti berdebar se-andainya kebetulan ikut menyaksikan jalannya per-tarungan itu. Dalam
waktu singkat, kedua pihak saling ge-brak lagi dua puluh kali lebih.
Agaknya si nenek berambut putih itu lebih tinggi setingkat tenaga dalamnya bila dibandingkan Bok Ji-sia.
Perlu diketahui, sesungguhnya Ji-sia telah me-nguasai jurus serangan yang tercantum dalam kitab pusaka Koat-im-siang-gi-cinkeng ditambah dengan jurus ampuh ajaran Oh Kay-gak sendiri, hanya sayang ia kurang sempurna dalam hal tenaga dalam, inilah cacat besar baginya.
Di tengah pertempuran, mendadak terdengar si nenek membentak keras, kemudian dengan suatu gerakan aneh melepaskan pukulan ke depan.
Ketika Ji-sia menyadari datangnya ancaman tersebut, terlambat baginya untuk memunahkan se-rangan itu, dalam keadaan demikian, terpaksa ia harus melepaskan tongkat itu sambil berkelit ke samping, kemudi
Bukit Pemakan Manusia 13 Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Bara Naga 7
^