Kisah Para Pendekar Pulau Es 19
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 19
a kasih!" kata Gangga dan sekali berke-lebat gadis itu lenyap dari depan mereka. Bu-
taihiap menggeleng-geleng kepala kagum.
"Bukan main....!" katanya dan sambil meng-gandeng isterinya yang baru, pendekar ini lalu
kembali ke pondoknya, diikuti oleh ketiga isterinya yang lain.
Kembali Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee menggunakan seluruh kepandaiannya untuk
berlari secepat mungkin, kembali ke kota raja. Ia melaku-kan perjalanan secepatnya dan pada
keesokan hari-nya, pada hari ke tiga tibalah ia kembali ke tempat tinggal tabib yang
mengobati Ciang Bun. Tabib dan hwesio ahli racun yang menjadi sahabatnya itu sudah
hampir putus asa menanti kembalinya. Ba-gaimanapun, bagi mereka agaknya tidak mungkin
bisa mendapatkan obat yang amat langka itu dalam waktu tiga hari. Baru perjalanannya saja,
menggunakan kuda umpamanya, baru akan sampai da-lam waktu tiga hari pulang pergi!
Maka, kemun-culan Gangga yang tiba-tiba itu selain mengejut-kan hati mereka, juga
mendatangkan harapan yang menggembirakan.
"Bagaimana hasilnya, siauw-si-cu (tuan muda yang gagah)?" tanya mereka.
Gangga mengangguk dan mengeluarkan botol berisi tiga butir pel itu. "Kini belum musimnya
telur katak menetes, tak mungkin mencari anak-anak katak buduk hitam. Akan tetapi aku
mendapatkan pel racun katak buduk hitam itu dari seorang sakti yang harus diberikan kepada
Ciang Bun sehari sebutir, berturut-turut sampai tiga hari."
Tabib dan hwesio itu membuka tutup botol dan memeriksa tiga butir pel itu. Hwesio itu
begitu mencium baunya, segera mengangguk-angguk. "Omitohud.... racun katak buduk hitam
yang amat keras! Memang inilah obatnya, dan pinceng yakin pemuda gagah itu akan dapat
disembuhkan."
Dengan girang Gangga lalu membantu si tabib memberi pel itu kepada Ciang Bun yang
masih belum sadar. Dan dengan teliti dan telaten, Gangga mendampingi Ciang Bun sampai
tiga hari tiga malam lamanya! Dara ini tidak pernah mau mening-galkan pembaringan Ciang
Bun dan bahkan makan atau tidurpun ia lakukan di dekat pembaringan Ciang Bun. Ia tidur
sambil duduk dan selama tiga hari itu, wajahnya menjadi agak pucat karena ku-rang tidur dan
kurang beristirahat. Akan tetapi hatinya girang bukan main karena baru pada hari pertama
saja, wajah Ciang Bun yang tadinya biru kehijauan itu sudah mulai berobah, dan setiap hari
berangsur baik sampai pada hari ke tiga, sinar biru kehijauan pada wajahnya sudah lenyap
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
553 sama sekali. Dan pada hari ke empat, pagi-pagi sekali, pemuda itu mengeluh dan siuman!
Akan tetapi karena dia kurang makan, hanya menelan bubur encer saja selama tiga hari lebih,
tubuhnya masih lemah dan dia hanya dapat bergerak membuka mata dan me-noleh ke kanan
kiri. "Di manakah aku....?" tanyanya lemah.
Gangga yang duduk di dekatnya dan mengan-tuk, segera bangun dan mendekatinya. Ia
terse-nyum girang sekali. "Ah, engkau sudah siuman" Bagus sekali! Engkau telah sembuh,
bahaya telah lewat!"
Melihat pemuda ini, Ciang Bun teringat dan dia segera bangkit hendak duduk. Akan tetapi
tubuh-nya terasa lemas dan dia terpaksa merebahkan di-rinya kembali. Ganggananda cepat
membantunya rebah kembali dan berkata dengan halus, "Jangan engkau bangun dulu. Sudah
empat hari engkau tak sadarkan diri. Tunggu, biar aku buatkan bubur untukmu." Setelah
berkata demikian, diapun bang-kit dan cepat meninggalkan kamar menuju ke dapur.
"Omitohud, engkau beruntung sekali mempu-nyai sahabat sebaik itu, orang muda."
Ciang Bun menoleh dan memandang heran ke-pada dua orang kakek yang duduk tak jauh
dari situ. Dia tidak pernah mengenal hwesio dan kakek berpakaian sasterawan itu, yang duduk
di sudut kamar dan memandang kepadanya sambil terse-nyum girang. Akan tetapi dia cerdik
dan dapat menduga bahwa tentu pemuda yang menjadi sahabatnya itulah yang membawanya
ke sini dan agaknya dua orang kakek ini menjadi tuan rumah, bahkan mungkin sekali yang
menolongnya dan mengobatinya. Bukankah menurut Gangga tadi dia pingsan selama empat
hari" Sambil terus rebahan Ciang Bun mengangkat kedua tangan di depan dada. "Ji-wi locianpwe,
maafkan kalau saya belum mampu memberi hormat sepantasnya untuk menghaturkan terima
kasih atas pertolongan dan kebaikan ji-wi."
Dua orang kakek itu nampak semakin gembira. Sikap Ciang Bun itu menyenangkan hati
mereka. Kadang-kadang sikap jauh lebih berharga daripada pemberian benda berharga apapun
juga. "Si-cu tidak perlu berterima kasih kepada kami karena yang menyelamatkan nyawa si-
cu sesungguhnya adalah sahabat si-cu itu," kata kakek tabib yang segera menceritakan kepada
Ciang Bun bahwa pemuda ini pingsan dan terancam bahaya maut oleh pukulan Hoa-mo-kang
dan betapa Gangga-nanda dengan kecepatan yang sukar dapat diper-caya telah pergi
mencarikan obat penawarnya sam-pai berhasil menyembuhkan Ciang Bun.
"Omitohud....! Yang paling sukar dida-patkan di dunia ini adalah seorang sahabat yang setia
tanpa pamrih. Sahabat si-cu itu lupa makan lupa tidur untuk menjaga si-cu, sungguh
kebaik-annya amat mengharukan hati pinceng."
Diam-diam Ciang Bun merasa terharu sekali dan hatinya semakin erat terikat kepada
Gangga-nanda yang sebelumnya memang sudah amat me-narik hatinya. Tak di sangkanya
bahwa pemuda yang lincah jenaka, yang pandai bersajak dan amat menyenangkan itu ternyata
memiliki hati semulia itu dan merupakan seorang sahabat yang amat baik. Dia merasa
bersyukur sekali."Terus-terang saja, si-cu, kalau tidak ada sahabatmu itu, nyawamu tidak
mungkin dapat dito-long lagi. Si-cu berhutang nyawa kepadanya," kata si tabib dengan suara
sungguh-sungguh.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
554 Perasaan cinta yang tulus semakin mendalam di hati Ciang Bun terhadap pemuda yang selain
menarik hatinya, juga telah menyelamatkan nya-wanya itu. Dan setelah kekuatannya pulih
kem-bali, dia bersama Ganggananda berpamit dari tabib yang ramah tamah itu dan
meninggalkan rumah tabib dengan ucapan terima kasih. Ganggananda bahkan memberi biaya
yang cukup besar, dan ter-nyata pemuda ini membawa bekal emas yang cukup banyak
sehingga mengherankan hati Ciang Bun. Tahulah dia bahwa sahabatnya itu adalah seorang
yang selain pandai sastera dan silat, juga kaya raya.
"Ah, tak terasa lima hari telah lewat dan hari ini adalah hari yang telah kami tentukan untuk
bertemu di kota raja," katanya kepada Gangga-nanda.
Gangga memandang penuh perhatian. "Kami" Siapa yang kau maksudkan?"
"Adik Ganggananda yang baik, aku belum menceritakan riwayatku kepadamu. Yang
kumaksud-kan dengan kami adalah aku dan ciciku yang ber-nama Suma Hui."
"Hemm, agaknya ada hubungannya dengan mu-suh besarmu itu, ya" Diapun menyebutmu
seolah-olah engkau masih sanaknya. Apakah musuh be-sarmu itu.... kakak iparmu, suami
encimu?" "Engkau adalah seorang yang amat mulia, Gangga, dan aku sudah berhutang budi dan
nya-wa padamu, maka baiklah kuceritakan keadaan keluargaku, keluarga kami yang malang."
Ciang Bun menoleh ke kanan kiri, akan tetapi taman itu masih sunyi karena hari masih pagi
sekali. Dia mengajak Gangga pergi ke taman ini karena di sinilah dia berjanji dengan encinya
untuk mengadakan perte-muan pada hari ini atau hari-hari berikutnya kalau-kalau ada yang
terlambat. Mereka duduk di atas sebuah bangku panjang, di bawah pohon yang rindang
sambil menghadapi sebuah empang ikan emas yang dihias tumbuh-tumbuhan bunga teratai
merah dan putih.
Dengan hati mengandung penuh kepercayaan kepada sahabat barunya ini, Ciang Bun lalu
men-ceritakan semua riwayatnya, sejak dia bersama encinya dan Ceng Liong belajar ilmu di
Pulau Es sampai pertemuannya dengan musuh besarnya, yaitu Louw Tek Ciang.
Diceritakannya malapetaka yang menimpa keluarga kakeknya di Pulau Es yang kemudian
disusul malapetaka yang menimpa diri encinya, Suma Hui dan kejahatan yang dilakukan Tek
Ciang yang menjadi murid ayahnya dan juga menjadi suami encinya itu.
Gangga mendengarkan dengan penuh perhatian dan penuh perasaan sehingga wajahnya
sebentar merah karena marah dan pucat karena ikut merasa terharu dan berduka. Pandang
matanya tak pernah lepas dari wajah pemuda itu. Baru sekaranglah ia tahu mengapa pemuda
ini mati- matian menyerang Louw Tek Ciang yang telah menjadi kakak ipar-nya. Dan ia ikut
merasa marah sekali mendengar akan kelicikan dan kejahatan Louw Tek Ciang yang telah
menghancurkan kehidupan Suma Hui, kakak perempuan pemuda ini. Setelah Ciang Bun
menceritakan semuanya, pemuda itu menarik napas panjang.
"Demikianlah, Gangga. Sudah bertahun-tahun kami mendendam kepada jahanam itu dan
secara tak tersangka- sangka dan kebetulan sekali aku bertemu dengannya di telaga dalam
taman. Dapat kaubayangkan betapa girang rasa hatiku dan be-tapa dengan penuh semangat
aku berusaha untuk membunuhnya. Akan tetapi dia lihai dan juga licik, bahkan kinipun dia
dibantu seorang kawan yang agaknya lihai pula. Nyaris aku tewas kalau tidak ada engkau
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
555 yang menyelamatkanku, sahabatku." Berkata demikian, Ciang Bun menjulurkan tangan-nya
dan dipegangnya tangan Gangga. Pegangan ini dilakukan dengan perasaan penuh keharuan
dan juga penuh rasa kasih sayang sehingga terasa oleh Gangga betapa jari-jari tangan itu
mengandung getaran halus yang seolah- olah menembus kulit tangannya dan menjalar sampai
ke dalam dada, membuat jantungnya berdebar-debar dan bulu-bulu di lengannya dan
tengkuknya meremang. Ma-ka dengan halus pula ia menarik dan melepaskan tangannya dari
genggaman tangan pemuda itu.
"Ahhh, kenapa engkau begini sungkan dan bi-cara seperti itu, Ciang Bun" Bukankah kita ini
sahabat dan di antara sahabat baik tidak ada isti-lah tolong- menolong" Apa yang kulakukan
un-tukmu itu adalah wajar saja di antara sahabat. An-daikata aku yang menderita seperti
engkau, apakah engkau tidak mau menolongku juga?"
Jawaban yang sederhana dan jujur ini membuat Ciang Bun merasa terharu dan semakin suka
ke-pada pemuda ini. Dan diam-diam diapun menge-luh. Penyakit lamanya telah kambuh dan
kini semakin hebat! Selama ini, sudah tiga kali dia ter-tarik kepada pria, bukan hanya tertarik
biasa se-bagai teman, melainkan tertarik seperti orang jatuh cinta yang mengandung gairah!
Pertama adalah kepada Kao Cin Liong, walaupun pada waktu itu dia belum dewasa benar dan
rasa sukanya kepada Cin Liong disertai kekaguman akan kelihaian pe-muda itu dan juga rasa
akrab sebagai seorang kekasih encinya. Kemudian diapun jatuh cinta kepa-da Liu Lee Siang,
pemuda Pulau Nelayan itu walaupun pada waktu itu dia masih belum sadar benar akan
kelainan pada dirinya. Akan tetapi yang ke tiga kali ini, dia merasa betapa dia benar-benar
jatuh cinta kepada Ganggananda! Kini dia me-nyadari benar keadaan dirinya, bahkan selama
ini dia sudah berusaha dengan segala kekuatan batinnya untuk melawan hasrat dan
kecondongan hati yang tidak seperti pria pada umumnya itu. Kini dia merasa betapa seluruh
batinnya mencintai Gangga, dan timbul hasrat untuk berdekatan, se-dekat mungkin, untuk
melindungi, untuk bergan-tung. Ada suatu kemesraan di dalam batinnya terhadap Gangga dan
segala gerak-gerik pemuda ini amat manis dalam pandang matanya, amat ga-gah, baik dan
membuatnya tidak ingin berjauhan, tidak ingin berpisah lagi.
Itulah yang amat membingungkan dan menye-dihkan hatinya. Dia tahu bahwa kalau
dilanjutkan hubungannya dengan pemuda Nepal atau Bhutan ini, dia akan jatuh cinta semakin
dalam. Padahal, dia tahu bahwa hal ini tidak boleh terjadi. Dan Ganggananda tentu akan
memandangnya penuh penghinaan kalau sampai tahu akan kelainan diri-nya. Tidak, dia tidak
akan dapat menahan kalau sampai Ganggananda membencinya dan jijik melihatnya.
Ganggananda tidak boleh tahu akan kelainan dirinya. Ganggananda amat baik kepadanya,
tentu hanya sebagai sahabat, suka dan sayang kepadanya sebagai seorang sahabat, rasa suka
yang jujur dan bersih. Akan tetapi dia" Dia mencinta Gang-gananda, bukan hanya sayang dan
suka, akan tetapi juga bangkit berahinya berdekatan dengan pemuda halus itu! Dan mana
mungkin dia dapat bertahan kalau berdekatan terus. Tidak, dia harus menjauh-kan diri, harus
membiarkan bayangan dirinya tetap tinggal di hati Ganggananda sebagai seorang sa-habat
yang disukanya, bukan sebagai seorang la-ki-laki ganjil yang dibencinya.
"Gangga, tentu saja aku akan berusaha meno-longmu kalau engkau berada dalam kesukaran,
bahkan aku rela untuk membelamu dengan nyawa-ku sekalipun. Gangga, aku suka padamu,
aku sa-yang dan cinta padamu, karena itu kalau engkau tidak berkeberatan, aku ingin
sekali mengangkatmu sebagai saudaraku!" Aneh sekali, dalam suaranya terkandung keharuan
dan kesedih-an sehingga suara pendekar muda ini gemetar. Tidak mengherankan karena
memang hatinya ber-duka. Ciang Bun telah mengambil keputusan ka-rena hanya itulah satu-
satunya jalan keluar. Dia harus mengangkat Gangga sebagai saudara! Kalau sudah menjadi
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
556 saudara, tentu akan lain pandang-annya, lain lagi perasaan hatinya terhadap Gangga. Ikatan
persaudaraan itu diharapkannya akan mero-bah perasaan cinta berahi menjadi cinta saudara
tanpa berahi, tanpa gairah yang menyesakkan da-danya untuk dapat berdekatan dan
bermesraan dengan Gangga.
Akan tetapi mendengar ucapan Ciang Bun itu, Gangga membelalakkan sepasang matanya
yang indah. Ia nampak terkejut sekali dan sebelum ia menjawab, ia sudah menggeleng kepala
tanda tidak setuju. Kemudian terdengar ia berkata, "Ah, tidak, Ciang Bun. Aku tidak mau, aku
lebih senang men-jadi sahabatmu saja, sahabatmu yang amat baik. Apa sih bedanya menjadi
sahabat atau sau-dara angkat?"
Dan Ciang Bun merasa lega dengan jawaban ini! "Tidak.... tidak apa-apa, hanya aku ingin
agar hubungan antara kita lebih erat, akan tetapi kalau engkau tidak mau, akupun tidak
kecewa dan kita menjadi sahabat yang amat baik."Ganggananda khawatir kalau menyinggung
hati pemuda itu dan dipegangnya tangan Ciang Bun. "Sahabatku yang baik. Siapa orangnya
tidak akan merasa bangga menjadi saudara angkat seorang pendekar sepertimu" Apalagi
engkau adalah ke-turunan keluarga Pulau Es! Akan tetapi, aku sudah cukup bangga dan puas
menjadi sahabatmu saja, sahabat yang setia dan akrab."
"Terima kasih, Gangga, terima kasih. Engkau lebih baik daripada seorang sau-dara bagiku."
kata Ciang Bun dan kembali tangan-nya gemetar ketika bersentuhan dengan jari-jari tangan
Gangga, membuat Gangga kembali menarik tangannya dengan halus.
Percakapan mereka terhenti karena pada saat itu muncul seorang pemuda dan seorang gadis
di-kawal oleh tujuh orang. Melihat pakaian dua orang muda itu, mudah diduga bahwa mereka
tentulah anak-anak pembesar atau hartawan. Pemuda itu berwajah tampan, dan gadis itupun
manis dan melihat wajah mereka, dapat diduga bahwa mereka itu tentu saudara sekandung.
Mata, hidung dan mulut mereka mirip sekali. Pemuda itu usianya kurang lebih enam belas
tahun dan si gadis agaknya adiknya, lebih muda satu dua tahun. Tujuh orang yang mengawal
mereka itu tidak berpakaian sera-gam, akan tetapi dari sikap mereka ketika berjalan, dapat
diduga bahwa mereka tentulah anak buah pasukan pengawal yang memiliki ilmu silat
tangguh. Di punggung mereka terselip senjata, ada yang membawa pedang, ada pula golok.
Sikap tujuh orang ini congkak seperti sikap pengawal-pengawal dan tukang-tukang pukul
pada umumnya. Kalau muda-mudi itu berjalan-jalan sambil melihat--lihat bunga dengan sikap
gembira, tujuh orang pengawal itu melirik ke arah Ciang Bun dan Gang-gananda dengan
pandang mata penuh selidik. Akan tetapi karena dua orang muda ini tidak mem-bawa apa-apa
dan sikapnya tidak mencurigakan, merekapun tidak memperhatikan lagi dan seben-tar saja
mereka sudah lewat.
"Uh, congkak-congkak benar sikap tukang-tu-kang pukul itu." kata Ganggananda dengan
nada suara gemas. "Kalau ada alasannya, tentu akan se-nang hati aku menghajar mereka."
Ciang Bun tersenyum. "Jangan galak-galak, Gangga. Tiada hujan atau angin, engkau ingin
menghajar orang. Apalagi kalau hujan angin...."
"Kalau hujan angin, aku tentu lari mencari tempat perlindungan!" Gangga memotong dan
terta-wa. Ciang Bun juga tertawa, akan tetapi tiba-tiba dia menghentikan suara ketawanya dan
menyentuh lengan Gangga sambil menoleh ke kiri. Gangganada juga menoleh dan
perhatiannya tertarik kepada dua orang kakek yang datang menuju ke tempat itu. Dua orang
kakek itu agaknya mengikuti atau membayangi rombongan muda-mudi tadi, dan keadaan dua
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
557 orang kakek itu menarik perhatian mereka. Dari sikap mereka, gerak-gerak mereka dan
langkah kaki mereka, Ciang Bun dapat menduga bahwa dua orang kakek ini bukan
sembarangan, sama sekali tidak boleh disamakan dengan tujuh orang pengawal yang garang
dan congkak tadi.
Pandang mata Ciang Bun memang tajam. Dua orang kakek yang berjalan perlahan-lahan
mema-suki taman dan membayangi rombongan muda mudi itu dari jauh memang bukan
orang-orang sembarangan. Bahkan keduanya adalah tokoh-tokoh besar di dunia persilatan,
walaupun mereka jarang muncul di dunia kang-ouw. Seorang di an-tara mereka adalah
seorang kakek berusia hampir tujuh puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan meli-hat jubah dan
kepalanya, mudah diduga bahwa dia adalah seorang pendeta Lama. Kepalanya gundul tak
tertutup, jubahnya berwarna merah kotak-kotak, telinganya amat menarik karena besar sekali,
dua kali lebih besar daripada ukuran telinga ma-nusia biasa. Di lehernya tergantung tasbeh
hitam dan di pinggangnya terselip sebatang suling. Kelihatannya seorang pendeta Lama biasa
saja, akan tetapi sebenarnya dia adalah Thai Hong Lama, seorang sakti yang tadinya pernah
menjadi sekutu Gubernur Yong Ki Pok yang memberontak di Sin--kiang. Adapun orang ke
dua tidak kalah lihainya. Diapun berpakaian pendeta atau pertapa, seperti pakaian seorang
tosu. Pakaiannya putih bersih dan rambutnya yang panjang dibiarkan terurai. Usia-nya sudah
tujuh puluh tahun lebih dan tubuhnya tinggi kurus, matanya sipit. Dia adalah Pek-bin Tok-
ong, seorang pertapa dari Pegunungan Gobi yang selain lihai, juga berhati kejam. Biarpun
kedua orang kakek ini datang dari tempat yang berjauhan, akan tetapi keduanya menjadi
rekan dan sahabat ketika mereka menjadi sekutu Gubernur Yong Ki Pok.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, dua orang kakek ini membantu gerakan Gubernur
Yong di barat yang memberontak. Akan tetapi gerakan itu dapat dihancurkan oleh pasukan
pemerintah yang dipimpin oleh Jenderal Muda Kao Cin Liong. Gubernur itu sendiri tertawan
dan tewas, gerakannya hancur. Akan tetapi dua orang kakek ini yang memiliki kepandaian
tinggi, berhasil menyelamat-kan diri dan lolos dan karena mereka berdua mera-sa
seperjuangan dan senasib, maka merekapun se-lanjutnya menjadi sahabat dan ke manapun
mereka bersama-sama. Sebagai buronan pemerintah, mereka menyembunyikan diri dan baru
setelah kini keadaan menjadi reda dan dingin, mereka be-rani muncul. Keadaan mereka
sebagai dua orang pendeta tentu saja tidak mencurigakan dan tidak menarik perhatian,
bahkan mereka dihormati dan tidak pernah diganggu oleh para penjaga. Dan kedua orang
inipun memiliki kepandaian dan ke-dudukan yang terlalu tinggi untuk merendahkan diri
melakukan kejahatan-kejahatan biasa yang remeh. Andaikata mereka itu membutuhkan uang,
tentu mereka akan mengambilnya dari kamar harta seorang pembesar atau hartawan tanpa ada
yang tahu, bukan hanya mencuri atau merampok biasa saja.
Melihat betapa dua orang kakek itu dengan langkah kaki perlahan namun mantap berjalan-
ja-lan akan tetapi jelas membayangi rombongan muda-mudi yang dikawal tujuh orang itu,
Suma Ciang Bun memberi isyarat kepada Ganggananda. Mereka saling pandang dan
kemudian mengikuti perjalanan rombongan muda-mudi dengan dua orang kakek yang
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membayanginya itu dengan pe-nuh perhatian sampai mombongan itu keluar dari dalam taman
menuju ke taman atau hutan kecil di depan. Hutan ini hutan buatan untuk keperluan kaisar
dan para pembesar tinggi melakukan perbu-ruan. Kalau musim berburu tiba, hutan kecil itu
diramaikan oleh binatang-binatang yang sengaja dilepas di situ untuk diburu dan dibunuh oleh
para pejabat tinggi. Setelah bayangan rombongan itu lenyap, Ciang Bun mengerutkan alisnya.
"Gangga, sikap dua orang kakek itu amat men-curigakan. Apa yang mereka kerjakan dengan
membayangi rombongan muda-mudi itu?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
558 Ganggananda mengangguk. "Memang mencuri-gakan. Mungkin mereka itu merupakan
pengawal pribadi yang melakukan pengawalan secara ter-sembunyi. Sikap mereka jelas
membayangkan bahwa dua orang kakek itu memiliki ilmu kepan-daian tinggi."
"Engkau benar, mereka itu tentu bukan orang--orang sembarangan. Mungkin juga mereka itu
menjadi pengawal-pengawal rahasia muda-mudi mewah itu, akan tetapi aku khawatir jangan-
ja-ngan mereka itu malah mempunyai niat yang tidak sehat terhadap rombongan pertama itu.
Aku melihat kekejaman membayang pada pandang mata dua orang kakek itu, terutama sekali
si tosu. Ketika dia melirik ke sini dan memandang kita, aku mera-sa serem."
"Hemm, biarkan saja, urusan mereka sendiri. Tujuh orang pengawal itupun congkak sekali,
bu-kan watak orang-orang baik, maka biarkan mereka itu saling hantam sendiri dengan dua
orang kakek itu."
"Akan tetapi aku tetap curiga, Gangga. Jangan-jangan dua orang kakek itu mempunyai niat
buruk terhadap muda-mudi itu dan biarpun mereka itu dikawal oleh orang-orang congkak,
mereka sendiri adalah remaja-remaja yang tidak berdosa. Mari kita bayangi mereka dan lihat
apa yang akan ter-jadi."
"Bagaimana kalau encimu muncul nanti?"
"Jangan khawatir, kami sudah saling berjanji untuk saling menanti di sini selama sepekan
terhi-tung hari ini, menjaga kalau-kalau seorang di antara kami akan terlambat. Kalau nanti ia
datang, tentu ia akan menungguku."Keduanya lalu bangkit dan melakukan penge-jaran ke
arah lenyapnya rombongan muda-mudi berpakaian mewah tadi. Akan tetapi bayangan mereka
sudah tidak nampak lagi. Ketika Gangga-nanda dan Ciang Bun sedang mencari dengan mata
dan telinga mereka dan bingung karena tidak tahu harus melakukan pengejaran ke arah yang
mana, tiba-tiba mereka mendengar lapat-lapat suara orang berkelahi di sebelah barat.
Keduanya lalu cepat lari menuju ke arah itu dan tak lama kemu-dian mereka melihat
perkelahian yang sungguh berat sebelah.
Kakek pendeta Lama berkepala gundul itu se-dang dikepung dan dikeroyok oleh tujuh orang
pengawal itu! Para pengawal mempergunakan senjata golok atau pedang, sedangkan pendeta
Lama itu hanya bertangan kosong saja menghadapi mereka. Akan tetapi, sekali pandang saja
tahulah Ciang Bun dan Gangga bahwa kakek itu lihai luar
biasa dan sedang mempermainkan tujuh orang la-wannya yang kelihatan galak dan garang.
Sambar-an pedang dan golok berkelebatan dan bergulung--gulung menyilaukan mata, akan
tetapi tubuh kakek pendeta Lama itu seperti melayang-layang di an-tara gulungan sinar
pedang dan golok, dan jika ada sinar senjata yang menyambar terlalu dekat, dia cukup
mengebutkan ujung lengan bajunya dan senjata itupun terpental! Adapun kakek ke dua yang
seperti tosu itu hanya berdiri di pinggir, menonton. Dia sama sekali tidak membantu temannya
karena kakek ini tentu yakin pula bahwa temannya akan menang dengan mudah menghadapi
tujuh orang pengeroyok yang hanya mengandalkan sen-jata tajam dan tenaga kasar itu.
"Lama tua, jangan main-main seperti anak ke-cil. Lekas bereskan mereka!" kata tosu yang
sudah kita kenal sebagai Pek-bin Tok-ong itu.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
559 "Ha-ha-ha!" Thai Hong Lama tertawa sam-bil menyampok sebuah golok dengan lengan
baju-nya sehingga golok itu terpental dan hampir terle-pas dari tangan pemegangnya.
"Agaknya kau su-dah tidak sabar lagi, Tok- ong" Lihat, sepasang burung dara remaja yang
lunak dagingnya itu takkan dapat terbang ke manapun juga, ha-ha!"
Akan tetapi, biarpun berkata demikian, agaknya pendeta Lama itupun sudah jemu
mempermainkan tujuh orang pengeroyoknya. Tiba-tiba saja tangannya menyentuh tasbeh
yang tergantung di lehernya dan sekali tarik, dia sudah mengambil tasbeh itu keluar dari
lehernya dan dan nampaklah sinar hitam berguung-gulung ketika tasbeh iu diputar-putar. Dan
terdengarlah suara nyaring berdentangan ketika pedang dan golok tujuh orang itu terlempar
karena benturan tasbeh, disusul teriakan mereka yang roboh satu demi satu dengan kepala
pecah terpukul tasbeh! Berturut-turut dengan masing-masing sekali serangan saja, lama itu
telah merobohkan dan menewaskan tujuh orang pengeroyoknya.
Melihat ini, Ciang Bun dan Gangga terkejut sekali. Tadinya, melihat perkelahian itu mereka
tidak mau turut campur, karena mereka tidak tahu apa urusan mereka yang sedang berkelahi
itu. Apalagi melihat betapa pendeta Lama itu dikeroyok tuj-uh. Bagaimana mungkin mereka
turun tangan. Pendeta itu tidak terdesak dan jelas akan menang, dan mereka berdua enggan
membantu tujuh orang pengawal yang kasar, congkak dan yang kini se-cara curang
mengeroyok seorang lawan dengan tujuh orang. Akan tetapi, sungguh tidak disangka oleh
Ciang Bun dan Gangga bahwa kakek itu akan menurunkan tangan maut seganas itu, sekaligus
membunuh tujuh orang lawannya. Juga mereka berdua terkejut, maklum bahwa sesungguhnya
pendeta Lama itu lihai bukan main dan merekapun dapat menduga bahwa temannya, si tosu
itu, tentu lihai pula.
Kini, dua orang muda yang agaknya kakak dan adiknya itu memandang terbelalak dan dara
remaja itu menangis dalam rangkulan kakaknya. Mereka memandang pucat dan ketakutan
melihat betapa para pengawal mereka terbunuh. Keduanya lalu membalikkan tubuh dan
hendak melarikan diri. Akan tetapi, dua orang kakek itu tertawa dan seka-li berkelebat,
mereka sudah meloncat dan di lain saat, Thai Hong Lama sudah menyambar tubuh gadis kecil
itu sedangkan Pek-bin Tok-ong me-nyambar tubuh pemuda remaja. Mereka menyam-bar
bagaikan dua ekor burung rajawali menyambar dua ekor burung dara yang ketakutan dan
sambil tertawa-tawa, keduanya memondong korban me-reka dan berlari cepat sekali
meninggalkan tempat itu.
Ciang Bun dan Gangga sejak tadi bengong saja. Mereka masih terkejut melihat betapa kakek
pen-deta itu membunuh tujuh orang dengan ganas, akan tetapi ketika mereka melihat dua
orang kakek itu menangkap dan melarikan muda-mudi, mere-ka berdua masih ragu-ragu dan
tidak mengerti apa yang dimaksudkan dua orang kakek itu.
"Kita kejar mereka!" kata Ciang Bun. Akan tetapi sebelum dia bergerak, Gangga menyentuh
tangannya. "Apa gunanya kita mengejar mereka" Mungkin dua orang kakek lihai itu hendak mengambil
me-reka sebagai murid! Kalau kita mengejar dan da-pat menyusul, habis kita mau apa"
Perkelahian mereka dengan tujuh pengawal itu bukan urusan kita dan kalau mereka hendak
mengambil murid, itupun tidak ada sangkut-pautnya dengan kita. Kenapa kita harus
mencampuri urusan orang dan hanya mencari permusuhan dengan orang-orang lihai?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
560 "Bukan demikian, Gangga. Akan tetapi hatiku tidak enak. Apakah engkau tidak melihat
betapa kakek gundul itu ketika menangkap gadis cilik, te-lah mengelus pipi gadis itu" Dan
aku melihat jelas betapa tosu itupun mencium pipi si pemuda remaja! Begitukah sikap orang
yang akan meng-ambil murid" Aku curiga sekali dan mari kita kejar mereka, dan kita lihat
dan dengan teliti apa yang akan mereka lakukan. Kalau memang benar mereka berniat baik
terhadap muda-mudi itu, tentu saja kita tidak usah mencampuri. Akan tetapi kalau mereka itu
mempunyai niat busuk, seperti yang kukhawatirkan, kita harus menolong dua orang remaja
itu." Gangga terpaksa harus membenarkan pendapat sahabatnya dan mereka cepat meninggalkan
tempat itu dan melakukan pengejaran ke arah lari-nya dua orang kakek yang menculik dia
orang muda-mudi itu. Dan ternyata mereka harus ber-lari cepat dan mencari ke sana-sini
karena dua orang kakek itu lenyap tanpa meninggalkan jejak. Setelah menjelajahi hutan kecil
itu tanpa hasil, Gangga menjadi putus harapan dan hendak membujuk sahabatnya untuk
menyudahi saja pen-carian yang sia-sia itu. Akan tetapi Ciang Bun menggeleng kepala.
"Gangga, entah bagaimana, akan tetapi perasa-anku mengatakan bahwa dua orang kakek itu
ada-lah datuk- datuk sesat yang mampu melakukan segala macam hal yang mengerikan dan
jahat sekali. Aku mengkhawatirkan keselamatan dua orang re-maja itu. Kita harus cari dan
susul sampai dapat."
"Akan tetapi, ke mana kita harus menyusul dan mencari" Mereka tidak berada di dalam hutan
ini, dan ternyata mereka mampu berlari cepat sekali sehingga kita kehilangan jejak mereka."
Ciang Bun berpikir keras sambil menundukkan mukanya. Kemudian dia mengangkat muka
dan memandang wajah sahabatnya. "Gangga, di waktu siang seperti ini, mereka tidak akan
dapat melaku-kan perbuatan jahat di tempat umum. Maka, ka-lau mereka memang berniat
jahat, tentu mereka akan mencari tempat sunyi dan satu- satunya tem-pat sunyi tentu saja
keluar dari kota raja ini. Tem-pat ini paling dekat dengan pintu gerbang kota raja sebelah
barat, maka kurasa mereka lari melalui pintu gerbang itu. Mari kita kejar ke sana."
Perhitungan Ciang Bun memang tepat sekali. Ketika mereka tiba di pintu gerbang dan
melaku-kan penyelidikan dengan bertanya-tanya, mereka mendengar bahwa memang tadi ada
dua orang ka-kek yang menurut penggambarannya adalah benar dua orang yang mereka kejar,
memondong pemuda remaja dan seorang gadis cilik. Menurut keterangan dua orang kakek
pendeta itu, dua orang remaja itu menderita sakit lumpuh dan kini mereka hendak membawa
muda-mudi itu ke gunung untuk dio-bati. Adapun muda-mudi itu selain lumpuh, nam-paknya
payah sekali karena seperti orang pingsan dan lemas. Melihat bahwa dua orang kakek itu
adalah pendeta-pendeta yang kelihatannya alim, tidak ada yang menaruh curiga dan dengan
mudah dua orang pendeta itu keluar dari kota raja melalui pintu gerbang sebelah barat ini.
Mendengar keterangan ini, makin besar keyakin-an hati Ciang Bun bahwa dua orang kakek
itu ten-tulah mempunyai niat yang busuk terhadap dua orang muda-mudi yang mereka tawan.
Bahkan kini Gangga sendiripun menanuh curiga dan dengan penuh semangat iapun bersama
Ciang Bun mela-kukan pengejaran ke barat.
Setelah matahari condong ke barat, tiba-tiba Ciang Bun memegang lengan Gangga dan
menu-dingkan telunjuknya ke arah sebuah kuil tua yang terletak di lereng bukit di depan.
"Lihat, kuil tua itu berada di tempat terpencil, jauh dari desa dan agaknya kosong. Merupakan
tempat yang baik se-kali untuk melakukan perbuatan busuk, bukan?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
561 "Entahlah, aku tidak pernah melakukan perbuatan busuk sih!"
Mendengar jawaban ini, Ciang Bun menatap wajah Gangga dan tersenyum lebar. "Akupun
be-lum pernah. Apa kaukira aku biasa melakukan perbuatan busuk?" Pertanyaan yang
dimaksudkan untuk melayani kelakar Gangga itu tanpa disengaja telah menusuk hatinya
sendiri. Apakah kelainan-nya itu termasuk sesuatu yang busuk?"Nah, kalau kita belum pernah
melakukan, ma-na bisa tahu apakah tempat seperti kuil itu baik untuk melakukan perbuatan
busuk." "Gangga, maaf, bukan waktunya bergurau. Ma-ri kita cepat ke sana, aku khawatir kalau-
kalau kita terlambat!"
Mereka berlari lagi menuju ke lereng bukit itu. Di waktu mereka berlari cepat, Gangga masih
sem-pat bertanya, "Ciang Bun, aku tidak mengerti. Ke-jahatan apa yang dapat dilakukan dua
orang kakek itu terhadap muda- mudi remaja itu?"
"Kejahatan apa" Mungkin mereka.... akan diperkosa, seperti yang telah menimpa diri
enciku." "Hemm, mungkin saja. Akan tetapi mana bisa hal itu menimpa si pemuda remaja" Mengapa
pula dia ikut diculik" Mau diapakan?"
"Mungkin mau dibunuh!"
"Tidak mungkin, kalau memang dua orang ka-kek itu berniat membunuh mereka, tentu sudah
dilakukannya di hutan itu, tidak usah repot-repot diculik."
"Atau bisa jadi untuk disiksa, dijadikan sandera, untuk minta uang tebusan. Nampaknya dua
orang muda- mudi itu anak-anak orang kaya atau peja-bat tinggi."
"Itupun kecil kemungkinannya. Dua orang ka-kek itu andaikata benar penjahat, tentu bukan
pen-jahat- penjahat kecil yang suka menculik dan me-lakukan pemerasan."
Ciang Bun kehabisan akal. Dia mempunyai dugaan lain di dalam hatinya terhadap diri
pemu-da itu, akan tetapi dia tidak dapat menceritakan dugaannya itu kepada Gangga. Seorang
pemuda seperti Gangga tentu akan tidak percaya dan me-rasa heran, juga jijik kalau dia
mengatakan bahwa mungkin kakek-kakek itu akan memperkosa pula diri pemuda itu.
"Barangkali dua orang kakek itu mempunyai bibit permusuhan dan dendam dengan keluarga
muda-mudi itu."
Mendengar ini, Gangga terkejut. "Ah, kenapa aku tidak memikirkan hal itu" Mungkin sekali
te-pat dugaanmu terakhir ini. Mari kita percepat lari kita!" Dan kini Ciang Bun harus
mengerahkan seluruh tenaganya karena begitu Gangga memper-cepat larinya, dia tertinggal
jauh di belakang. Dia merasa khawatir sekali.
"Gangga tunggu....! Jangan sembrono, mereka itu lihai sekali!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
562 Setelah tiba di depan kuil mereka bersem-bunyi dan mengintai. Sebuah kuil tua yang
memang kosong dan sudah tidak dipergunakan atau ditinggali orang lagi. Pintunya sudah
jebol, temboknya penuh lumut dan dijalari tanaman-tanaman liar. Atapnya sebagian juga
sudah jebol. Ciang Bun memberi isyarat kepada Gangga dan mereka lalu berindap
menghampiri kuil dari dua jurusan. Me-reka berpencar untuk mengintai dan mengelilingi kuil
dan bertemu di belakang kuil. Gangga meng-ambil jalan sebelah kiri kuil dan Ciang Bun
sebelah kanan. Dengan cekatan Ciang Bun meloncat mendekati dinding kuil yang berlumut, kemudian
berjalan menuju ke belakang dan mengintai melalui jendela--jendela jebol. Tiba-tiba dia
menahan kakinya dan mengintai dari celah-celah dinding yang retak. Dia mendengar suara di
dalam dan ketika meng-intai, matanya terbelalak dan mukanya berobah merah sekali. Dia
melihat hal yang memang dikha-watirkan terjadi di balik dinding retak itu. Pemuda remaja itu
nampak terbelalak ketakutan, wajah-nya pucat sekali, pakaiannya awut-awutan dan dia
dipangku oleh kakek tinggi kurus seperti tosu yang menciumi dan menjilati seluruh tubuhnya
yang sebagian banyak sudah telanjang karena pa-kaiannya direnggut lepas. Pemuda remaja itu
tidak melawan, hanya menggigil ketakutan dan hampir pingsan. Ciang Bun mengepal tinju.
Hatinya merasa muak dan jijik. Kini dia melihat sendiri seorang kakek yang agaknya
mempunyai kelainan seperti dia, yaitu suka kepada sama-sama lelaki, sedang melampiaskan
nafsu birahinya kepada seorang pe-muda remaja. Dia merasa malu dan muak, juga jijik. Dia
merasa seolah-olah dia sendiri yang melakukan itu, karena melihat pemuda tampan itu hampir
telanjang, harus diakuinya bahwa ada se-macam gairah menyesak di dadanya. Gairah itu
segera ditekannya dan jiwa pendekarnya bangkit.
Pada saat yang sama, Gangga juga mengepal tinju dan terbelalak melihat betapa dara cilik
yang usianya baru tiga belas atau empat belas tahun itu, menangis dan menggeliat-geliat di
atas pangkuan pendeta Lama yang tinggi besar dan yang meng-gunakan kedua tangannya
yang besar dan berbulu untuk membelai dan menggerayangi seluruh tubuh anak itu sambil
menyeringai lebar menjijikkan.
"Iblis tua bangka cabul!" Gangga membentak marah.
Teriakan Gangga ini terdenggar oleh Ciang Bun yang juga membentak, "Kakek iblis tak tahu
malu!" Mendengar bentakan-bentakan dari kanan kiri, dua orang kakek itu terkejut sekali,
juga marah. Mereka merasa betapa kesenangan mereka tergang-gu dan mereka mendorong
tubuh korban masing-masing dari atas pangkuan, kemudian keduanya berloncatan keluar dari
dalam kuil untuk melihat siapa yang berani menentang mereka.
Baru saja mereka tiba di halaman depan kuil tua itu, Gangga sudah menyerang Thai Hong
Lama yang tinggi besar dan yang diintainya tadi dengan pukulan kilat dan dahsyat. Juga
Ciang Bun sudah menerjang dan memapaki Pek-bin Tok-ong dengan pukulan mautnya.
"Haiiiiittt....!" Gangga mengeluarkan suara melengking nyaring dan terkejutlah Thai Hong
Lama melihat serangan yang amat cepat ini.
"Hahh! Ehhh....!" Dia cepat mengebut-kan ujung lengan bajunya, akan tetapi demikian
cepatnya gerakan tangan Gangga sehingga sebelum tangan itu tertangkis, gerakannya sudah
berobah lagi dan kini mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Thai Hong Lama. Untuk
dapat menyerang ubun-ubun kepala lawan yang tinggi besar ini, Gangga meloncat dengan
amat ringan seperti see-kor burung terbang saja.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
563 "Hemm....!" Thai Hong Lama tidak berani memandang ringan lawannya. Dia tahu bahwa
biarpun lawan ini masih amat muda, namun telah memiliki kepandaian hebat, terutama sekali
gin-kangnya sungguh amat luar biasa dan berbahaya. Maka diapun tidak bersikap sungkan
dan malu lagi. Dikeluarkannya senjata tasbeh hitam yang melingkari lehernya, juga
dicabutnya sebatang suling bam-bu dari saku jubahnya. Inilah senjata istimewa kakek itu.
Seuntai tasbeh hitam dan sebatang suling! Dan begitu dia menggerakkan kedua tangan,
terdengar suara berkerotokan dari tasbeh dan suara melengking sulingnya. Kedua senjata itu
melaku-kan serangan dahsyat yang membuat Gangga ter-paksa mengandalkan gin-kangnya
untuk meloncat jauh ke belakang. Ia kaget sekali karena biarpun gerakannya cepat, namun
serangan tadi hampir melukainya.
"Ha-ha-ha-ha....! Tok-ong, ini na-manya ikan mendarat ke penggorengan, ha-ha-ha. Kita
disuguhi calon makanan yang lezat." Thai Hong Lama tertawa dan dia sudah bergerak maju
lagi menerjang Gangga. Sulingnya melakukan to-tokan-tatokan yang mengarah jalan darah
yang melumpuhkan, dan dari serangan-serangan ini saja maklumlah Gangga bahwa lawannya
tidak bermak-sud mengalahkannya dengan membunuh, melain-kan menangkapnya hidup-
hidup. Teringat akan penglihatan di dalam tadi, ia dapat membayangkan bagaimana nasibnya
kalau sampai tertawan hidup--hidup. Mukanya berobah semakin merah dan ke-marahannya
memuncak. Iapun mengeluarkan sua-ra melengking-lengking dan tubuhnya berkelebatan
membuat lawannya terkejut sekali.
Di lain pihak, Pek-bin Tok-ong juga sudah menyambut serangan Ciang Bun dengan
tangkisan sambil mengerahkan tenaga.
"Dukkk!" Mereka mengadu sin-kang dan ter-nyata kakek itu cukup kuat menahan pukulan
Ciang Bun dengan lengannya, walaupun diam-diam ka-kek ini terkejut ketika merasakan
betapa ampuh dan kuatnya pukulan orang muda yang tampan ini. Dia tidak mau kalah lagak
dengan temannya. Mende-ngar suara temannya dia pun tertawa."Bagus, orang muda yang
tampan. Engkau bo-leh menemaniku untuk beberapa malam lamanya. Engkau tentu lebih kuat
daripada pemuda harta-wan itu, ha-ha-ha!"
Akan tetapi, kakek tinggi kurus ini tidak dapat melanjutkan sikapnya memandang remeh
kepada lawannya. Cian Bun sekarang bukanlah Ciang Bun beberapa tahun yang lalu. Dia
telah meneri-ma gemblengan dari ayah ibunya selama tiga tahun ini dan telah mewarisi ilmu-
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ilmu Pulau Es! Dan kini, menghadapi seorang lawan tangguh, pemuda ini segera
mengerahkan tenaga Pulau Es, yaitu gabungan Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang.
Biarpun tentu saja latihannya belum matang karena ilmu- ilmu Pulau Es adalah ilmu-ilmu
tinggi yang membutuhkan banyak waktu untuk berlatih, namun karena ilmu-ilmunya memang
ilmu pilihan, sebentar saja kakek Pek-bin Tok- ong me-rasa repot menghadapi pemuda ini.
"Heiiiiittt....!" Dia membentak dan kini dia mengeluarkan pukulan-pukulan Hun-kin Coh-
kut-ciang (Pukulan Memutuskan Otot dan Mele-paskan Tulang). Kedua tangannya seperti dua
batang golok saja membacok dan menyambar-nyambar, mengeluarkan suara bersiutan
mengerikan ketika bergerak.
"Plakk! Dukk....!" ketika dua kali lengan Ciang Bun bertemu dengan tangan yang
dimiring-kan itu, dia tidak kalah tenaga, akan tetapi kulit-nya terasa perih seperti terbacok
senjata tajam. Kedua lengannya untung terlindung oleh sin-kang yang amat kuat, kalau tidak
tentu otot-ototnya putus dan tangannya terlepas! Pemuda ini berhati--hati dan memainkan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
564 Toat-beng Bian-kun yang membuat kedua tangannya lembut dan lunak se-perti kapas namun
mengandung kekuatan yang dapat mencabut nyawa, dan melengkapianya dengan ilmu silat
aneh Cui-beng Pat-ciang yang dipela-jarinya dari ibunya. Menghadapi ilmu campuran yang
serba aneh dan tinggi ini, beberapa kali Pek-bin Tok-ong mengeluarkan seruan kaget dan
heran. Kalau Ciang Bun dapat menguasai keadaan de-ngan ilmu silatnya yang pada dasarnya
memang jauh lebih menang mutunya ketimbang lawan, sebaliknya Gangga repot sekali
menghadapi desakan Thai Hong Lama. Suling dan tasbeh hitam di ta-ngan kakek gendut itu
benar-benar amat berbahaya dan pendeta Lama ini memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat,
juga tubuhnya kebal sehingga be-berapa kali tamparan tangan Gangga yang menge-nai perut
atau dadanya mental kembali seperti bola karet yang amat kuat saja. Sebaliknya, senjata-
senjata di tangan kakek itu harus selalu dielakkan-nya, karena Gangga tidak berani menangkis
dengan tangan. Terlampau berbahaya baginya untuk mencoba-coba menyambut kedua senjata
itu de-ngan tangan, walaupun ia sudah pernah mempelajari dan menghimpun tenaga Inti Bumi
dari ayahnya. Maka, ia hanya mengandalkan gin-kangnya yang menang jauh ketimbang lawan
untuk mengelak, berlompatan ke sana-sini seolah-olah ia sedang menari-nari di antara dua
gulungan hitam dan putih dari tasbeh dan suling kakek itu.
Biarpun Ciang Bun dapat mendesak lawan, akan tetapi dia maklum bahwa untuk
menjatuhkan la-wannya ini membutuhkan waktu, sedangkan dari tempat dia berkelahi
dilihatnya bahwa keadaan Gangga tidak menguntungkan. Maka, diapun cepat mencabut
sepasang siang-kiam dari punggungnya.
"Sringggg....!" Nampak dua gulungan sinar dan begitu Ciang Bun maikan pedang di kedua
tangannya, Pek-bin Tok-ong yang bermuka putih ini menjadi pucat. Menghadapi pemuda ini
ber-tangan kosong saja sudah membuat dia kewalahan, apalagi pemuda itu kini menggunakan
sepasang pedang dan ternyata ilmu pedang pemuda ini he-hat bukan main! Dia cepat
meloncat mundur dan kesempatan itu dipergunakan oleh Ciang Bun untuk meloncat ke
tempat Gangga berkelahi dan pedangnya meluncur menyerang Thai Hong Lama yang
mendesak sahabatnya itu dengan suling dan tasbeh.
"Tringgg.... trangg....!" Nampak bunga api berpijar menyilaukan mata ketika sepasang
pedang bertemu dengan dua senjata di tangan Thai Hong Lama itu, dan Thai Hong Lama
terkejut me-rasa betapa kedua telapak tangannya menjadi pa-nas dan tergetar hebat. Pada saat
itu Pek-bin Tok-ong menerjang maju disambut Gangga dan kini mereka bertukar lawan!
Ciang Bun dengan sepasang pedang di tangan melawan Thai Hong Lama yang bersenjata
tasbeh dan suling sedangkan Gangga yang bertangan kosong berhadapan dengan Pek-bin
Tok-ong yang juga bertangan kosong.
"Dukk! Plakk....!" Kembali kecepatan gerakan Gangga menolongnya. Ia beradu lengan
dengan Pek-bin Tok-ong, merasa betapa lengan kakek kurus ini kuat sekali dan begitu lengan
ber-adu, tangan kakek itu sudah mencengkeram ke arah dadanya dengan ganas sekali. Akan
tetapi, kembali kehebatan gin-kang Gangga menyelamatkannya. Ia dapat berkelebat ke
belakang seperti seekor burung walet saja, membuat penyerangnya bengong saking
kagumnya. Akan tetapi, tiba-tiba Pek-bin Tok-ong tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, Lama, tak usah repot-repot lagi, mereka segera roboh, ha-ha. Tok-ciang (Tangan
Beracun) yang kupergunakan tentu akan segera bekerja!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
565 Mendengar ucapan itu, tiba-tiba Ciang Bun yang sedang mendesak Thai Hong Lama dengan
sepa-sang pedangnya terkejut bukan main. Sejak tadi dia sudah merasa betapa kedua
lengannya gatal--gatal dan kini bahkan mulai terasa kesemutan pada persendian kedua
tangannya. "Celaka....!" Teriaknya sambil melompat ke belakang. "Gangga, jangan biarkan tangannu
bersentuhan dengan tangan iblis itu!"
Akan tetapi sahabatnya itupun sudah merasa betapa lengannya yang tadi beradu dengan
tangan lawan gatal- gatal. Marahlah Ganggananda. "Iblis tua curang!" Dan iapun sudah
menyerang dengan cepatnya. Dara ini adalah anak tunggal Wan Tek Hoat seorang pendekar
perkasa yang pernah diju-luki Si Jari Maut. Dari ayahnya, selain ilmu-ilmu silat yang tinggi,
juga ia telah mempelajari Toat--beng-ci (Jari Pencabut Nyawa). Kini, mendengar bahwa
lawan telah mempergunakan jari beracun untuk mencelakai ia dan Ciang Bun, ia menjadi
marah dan tubuhnya sudah menyambar seperti ter-bang cepatnya, dan ia menyerang Pek-bin
Tok-ong dengan totokan Toat-beng-ci yang dilanjutkan dengan pukulan-pukulan tangan
miring. Bertubi--tubi datangnya serangan kedua tangan ini, apalagi dilakukan dengan tubuh
yang demikian cepat ge-rakannya seperti terbang saja. Pek-bin Tok-ong sudah berusaha
mengelak, bahkan menangkap tubuh lawan atau menangkis, namun tetap saja dia kalah cepat.
"Plakk.... aduhhh....!" Tubuhnya terpelanting dan kalau saja tubuhnya tidak begitu kebal
penuh kekuatan, atau kalau saja yang menamparnya tadi bukan Gangga melainkan ayahnya,
tentu dia tidak akan mampu bangun kembali. Tam-paran tangan Gangga yang kecil halus
tadipun ha-nya mengenai pundak kirinya, akan tetapi akibat-nya membuat sambungan tulang
pundaknya terle-pas dan nyeri bukan kepalang. Dia yang sudah terkenal dengan ilmu pukulan
memutuskan otot dan melepaskan tulang, kini terpaksa mengakui keunggulan seorang dara
dengan tamparan yang membuat tulang pundaknya terlepas. Dia masih mampu meloncat
bangun dan menyerang memba-bi-buta dengan tangan kanannya, menggunakan pukulan
beracun. Terpaksa Gangga kembali meng-elak ke sana-sini berloncatan cepat.
Pada saat itu, Ciang Bun sudah menyerang Thai Hong Lama lagi dan biarpun dia merasa
kedua tangannya gatal-gatal dan kesemutan, pemuda ini masih terlalu tangkas untuk dapat
dikalahkan la-wan.
"Iblis-iblis tua bangka, berani kalian meng-ganggu adikku?" Tiba-tiba berkelebat bayangan
orang yang menyerang Thai Hong Lama dari sam-ping. Biarpun pendeta Lama itu masih
mencoba untuk meloncat mundur, tetap saja sebuah kaki menyambar pinggangnya dan diapun
terlempar ke belakang. Ketika dia bergulingan sambil menya-betkan tasbehnya dan meloncat
berdiri, meman-dang dan melihat seorang wanita cantik gagah perkasa berdiri dengan sikap
marah, tahulah dia bahwa dia dan kawannya berada dalam bahaya. Menghadapi dua orang
muda pertama saja mereka sudah kewalahan, apalagi kini muncul kakak si pemuda yang
agaknya lebih galak lagi."Mari kita pergi....!" Teriaknya dan Pek--bin Tok- ong yang sudah
terluka tidak menanti ajakan kedua kalinya. Mereka berloncatan dan melarikan diri
secepatnya meninggalkan tempat berbahaya itu.
"Iblis-iblis busuk, ke mana kalian hendak lari?" Suma Hui, yang baru saja datang dan
menendang Thai Hong Lama sampai terpental, bergerak hen-dak melakukan pengejaran.
"Enci, jangan kejar.... aku.... kami.... keracunan....!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
566 Ucapan adiknya ini membuat Suma Hui meng-hentikan larinya dan cepat ia menghampiri
adik-nya. "Bun-te, apa yang terjadi" Engkau keracunan?" tanyanya dengan khawatir sambil
meman-dang adiknya penuh perhatian. Akan tetapi ia tidak melihat sesuatu pada diri adiknya
yang menunjuk-kan bahwa adiknya terluka. Iapun menoleh kepa-da pemuda langsing yang
berdiri pula di dekat adiknya dan juga ia tidak melihat pemuda ini ter-luka.
"Lenganku.... iblis itu telah memperguna-kan Tok- ciang (Tangan Beracun)!" kata Ciang
Bun, akan tetapi dia tidak memperdulikan kedua lengannya sendiri yang terasa kesemutan dan
ga-tal-gatal, melainkan cepat menghampiri Gangga.
"Gangga, engkau tadi beradu lengan dengannya. Apakah engkau tidak merasakan sesuatu
yang tidak wajar?"
"Lengan kananku bertemu satu kali dan kini terasa gatal-gatal." jawab Gangga.
"Coba kuperiksa." kata Ciang Bun sambil me-nyingkap lengan baju Gangga. Akan tetapi
jantung-nya berdebar ketika jari-jari tangannya menyen-tuh kulit lengan yang putih halus itu
sehingga ter-paksa dia melepaskannya kembali, khawatir akan gejolak berahi yang tiba-tiba
saja bergelora di dalam hatinya.
Gangga melanjutkan pekerjaan yang tertunda itu. Ia menyingkap lengan bajunya memeriksa
dan ternyata pada lengannya nampak bekas-bekas jari yang kemerahan, bahkan agak
membiru, tanda bahwa kulit lengannya keracunan. Juga Ciang Bun sibuk menyingkap kedua
lengan bajunya dan pada kulit kedua lengannya terdapat pula bekas-bekas jari tangan lawan
yang membuat kulit lengannya keracunan. Suma Hui ikut memeriksa dan gadis ini
mengerutkan alisnya.
"Memang kulit lenganmu telah keracunan, akan tetapi karena engkau telah mempergunakan
sin-kang, kurasa racun itu tidak akan menembus ke dalam dan tidak akan meracuni darah.
Gunakan bubuk anti racun gigitan serangga, tentu sembuh."
Suma Hui mendahului adiknya, mengeluarkan obat bubuk itu dari buntalannya dan iapun lalu
mengobati dengan menggosok-gosok kulit yang keracunan dengan bubuk putih. Obat ini
adalah satu di antara obat-obat buatan keluarga Pulau Es dan mereka selalu membawa bekal
obat-obat yang penting dan praktis kalau melakukan perjalanan. Dan memang tepat ucapan
gadis itu. Setelah di gosok obat bubuk putih, maka hilanglah rasa ga-tal-gatal dan tak lama
kemudian warna merah itupun menghilang.
Kakak beradik itu saling pandang dan tahulah Ciang Bun bahwa encinya kecewa dan hal ini
tentu karena ia tidak berhasil mencari musuh besarnya, yaitu Louw Tek Ciang. "Bagaimana,
Hui-ci, apakah ada hasilnya perjalananmu?"
Suma Hui menggeleng kepala. "Iblis itu tidak dapat kutemukan, jejaknyapun tidak. Ketika
aku tiba di kota raja, aku langsung menemui ke taman yang menjadi tempat pertemuan seperti
yang kita janjikan. Akan tetapi aku tidak melihat engkau di sana. Untung aku melihat
coretanmu di batang pohon dekat kolam akan emas itu, maka aku segera menyusul ke barat
secepatnya. Kiranya engkau dan kawanmu ini sedang berkelahi melawan dua orang kakek
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
567 yang lihai. Apakah yang telah terjadi dan siapakah dua orang kakek itu" Siapa pula temanmu
ini?" "Nanti dulu, Hui-ci. Di dalam kuil terdapat dua orang muda-mudi yang nyaris menjadi
korban dua orang kakek iblis cabul itu, mari kita tolong mereka lebih dulu." kata Ciang Bun.
Ketika kakak dan adik ini bicara, Gangga hanya meman-dang dan diam-diam ia merasa
kagum sekali ke-pada gadis yang cantik dan gagah itu, juga merasa kasihan karena ia telah
mendengar cerita Ciang Bun tentang Suma Hui yang menjadi korban kejahatan seorang laki-
laki yang pernah diserang oleh Ciang Bun di telaga hutan dalam taman di kota raja itu.
Mendengar ucapan Ciang Bun, mereka bertiga lalu melangkah menuju ke kuil kuno dan di
dalam kuil itu mereka melihat muda-mudi itu saling rangkul di sudut dengan tubuh gemetar
dan muka pucat. Kiranya muda-mudi yang kakak beradik telah saling bertemu sesudah dua
orang kakek itu melepaskan mereka untuk menghadapi lawan.
Mereka hanya dapat saling rangkul dan menangis ketakutan. Ketika Ciang Bun, Suma Hui
dan Gangga mumcul, mereka tadinya terkejut dan gadis cilik itu hampir menjerit ketakutan,
akan tetapi setelah melihat bahwa yang muncul bukanlah dua orang kakek iblis yang mereka
takuti, keduanya menghentikan tangis mereka dan memandang ke-pada tiga orang yang
masuk itu dengan mata ter-belalak.
"Jangan takut," kata Gangga. "Dua orang ka-kek iblis itu telah dapat kami usir dari sini dan
kami datang untuk menolong kalian."
Mendengar ucapan ini, kakak beradik itu mengeluarkan seruan girang dan sang kakak lalu
me-narik tangan adiknya diajak menjatuhkan diri ber-lutut di atas lantai. "Terima kasih,
terima kasih...." kata mereka berulang-ulang.
"Bangkitlah dan ceritakan siapa kalian dan mengapa kalian sampai diculik oleh dua orang
kakek itu." kata Ciang Bun.Kakak beradik itu bangkit berdiri dan sang ka-kak lalu
menceritakan bahwa mereka berdua ada-lah putera dan puteri keluarga hartawan Ciok di kota
raja. Hari itu mereka pagi-pagi sekali pergi pelesir di dalam taman itu, dikawal oleh tujuh
orang pengawal atau tukang pukul mereka.
"Kami tidak pernah mengenal dua orang kakek itu. Ketika kami tiba di dekat hutan buatan
yang sunyi itu, tiba-tiba saja dua orang kakek itu menyerang dan tujuh orang pengawal kami
tewas oleh seorang di antara mereka. Lalu kami ditangkap dan dilarikan ke sini."
Ciang Bun dan Gangga sudah tahu akan hal itu dan mereka dapat menduga bahwa tentu
kedua orang kakak beradik ini telah ditotok ketika dibawa keluar pintu gerbang sebelah barat.
"Hemm, kalau begitu mari kami antar kalian pulang." katanya dan mereka bertiga lalu
mengan-tar dua orang kakak beradik itu kembali ke kota raja. Di sepanjang perjalanan, Suma
Hui dan Suma Ciang Bun memperoleh kesempatan untuk berca-kap-cakap.
"Bun-te, siapakah kawanmu ini?" tanya Suma Hui sambil memandang kepada Gangga. Di
dalam suara gadis ini terdapat keheranan yang disembu-nyikan. Memang ia merasa heran
sekali. Ia sudah tahu akan kelainan yang diderita adiknya, yaitu kecondongan untuk lebih suka
pria daripada wa-nita. Akan tetapi, kini ia melihat betapa Ciang Bun memandang amat mesra
dan bersikap amat manis, bahkan agaknya menjadi sahabat akrab sekali dengan seorang gadis,
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
568 walaupun gadis itu menyamar sebagai seorang pria! Dan ketika ia tahu, dari logat bicara gadis
yang menyamar pria itu, bahwa gadis itu bukan orang Han, melainkan seorang asing, ia
merasa lebih heran lagi.
"Dia bernama Ganggananda, enci."
"Ah, seorang Nepal?"
"Bukan, saya seorang berbangsa Bhutan." kata Gangga.
Suma Hui mengangguk-angguk dan meman-dang tajam. Seorang gadis yang amat cantik,
pikirnya, akan tetapi penyamarannya juga baik se-kali. Ia hanya dapat mengenal penyamaran
itu melalui perasaan kewanitaannya saja. Kalau jarak jauh sedikit saja, ia sendiripun tidak
akan dapat mengetahui bahwa pemuda ini adalah seorang wanita.
"Dan bagaimanakah kalian dapat berkenalan dan bersahabat?" tanyanya ingin tahu sekali.
"Enci, saudara Gangga ini telah menyelamatkan nyawaku dan aku berhutang budi besar
sekali kepadanya. Kalau tidak ada dia yang telah menolongku secara mati- matian, kiranya
engkau takkan dapat bertemu lagi dengan adikmu ini."
"Aih, itu terlalu dilebih-lebihkan." Gangga merendahkan diri walaupun hatinya girang sekali
oleh pujian ini.
Suma Hui terkejut mendengar betapa adiknya nyaris tewas. "Apakah yang telah terjadi
denganmu, Bun-te?"
"Aku nyaris tewas di tangan.... Tek Ciang, Hui-ci."
Suma Hui terkejut bukan main, sampai meloncat dan memegang tangan adiknya. "Apa" Dia"
Kau bertemu dia" Di mana jahanam itu sekarang?"
"Teranglah, enci, aku akan ceritakan semuanya. Akan tetapi sebaiknya kata antarkan dulu
dua orang anak ini ke rumah mereka." jawab Ciang Bun. Suma Hui maklum betapa
pentingnya hal yang akan diceritakan adiknya, maka ia menahan gejolak hatinya dan
mengangguk. Setelah tiba di kota raja dan mengantarkan muda-mudi itu sampai ke
pekarang-an gedung keluarga mereka, tiga orang pendekar ini segera pergi, tidak mau
menerima undangan dua orang muda-mudi kaya-raya itu untuk sing-gah.
"Ceritakan saja semua yang terjadi dan menim-pa diri kalian kepada orang tua kalian, agar
jena-zah tujuh orang pengawal kalian itu dapat diambil dan diurus. Kami akan pergi sekarang
juga." Ciang Bun tidak memberi kesempatan kepada dua orang muda-mudi itu untuk banyak
cakap. Dia lalu pergi bersama Suma Hui dan Gangga, dan tak lama kemudian mereka bertiga
telah berada di atas se-buah perahu kecil di atas telaga dalam taman itu. Mereka membiarkan
perahu itu terapung-apung di sudut yang sunyi dan Ciang Bun menceritakan semua peristiwa
yang dialaminya ketika dia tiba di telaga itu, mencari encinya. Diceritakannya per-temuannya
dengan Gangga dan mereka bersahabat lalu berperahu berdua, kemudian betapa Tek Ciang
dan seorang pria lain muncul. Betapa mereka ber-kelahi dan dia telah terpukul oleh Tek Ciang
de-ngan Hoa-mo-kang yang hampir saja menewas-kannya kalau tidak saja Gangga yang
mempergu-nakan gin-kangnya yang luar biasa untuk mencari-kan obat penawarnya.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
569 Mendengar penuturan adiknya secara panjang lebar itu, Suma Hui mengepal tinjunya.
"Sayang sekali aku tidak bertemu ketika jahanam itu muncul. Keparat, belum juga aku
berhasil mem-bunuhnya, dia telah melukai dan hampir saja mem-bunuhmu, Untung ada....
sahabatmu ini. Saudara Ganggananda, saya ikut merasa bersyukur dan menghaturkan terima
kasih atas pertolongan-mu kepada adik saya."
Melihat Suma Hui memberi hormat kepadanya, Gangga cepat membalas. "Ahh.... nona,
harap jangan sungkan. Ciang Bun telah menjadi sahabat baikku, di antara sahabat mana ada
istilah tolong-menolong" Sudah sewajarnya dan selayaknya ka-lau ada seorang di antara
sahabat kesukaran, yang lain membantunya, bukan?"
Suma Hui mengangguk-angguk dan diam-diam ia merasa suka kepada gadis yang menyamar
seba-gai pria ini. Juga ia dapat menyelami hati gadis ini. Apa lagi kalau bukan cinta yang
mendekatkan gadis itu dengan Ciang Bun" Anehnya kini ia tahu benar bahwa Ciang Bun
menganggap gadis itu sebagai seorang pria. Mengapa begitu"
"Ahhh...." Tiba-tiba Suma Hui menepuk pahanya sendiri sehingga mengejutkan dua orang
muda yang lain.
"Ada apakah, Hui-ci?"
Suma Hui tertegun dan menjadi bingung, tidak mengira bahwa jalan pikirannya membuat ia
lupa diri tadi. "Ah, tidak, hanya aku masih merasa ke-cewa tidak dapat bertemu sendiri
dengan jahanam itu."
"Biarpun demikian, pertemuanku dengan dia di telaga ini menunjukkan bahwa dia tidak
berada jauh dari kota raja. Kita akan mencari lagi sampai dapat, enci. Akan tetapi, sebaiknya
kalau kita min-ta bantuan kanda Kao Cin Liong. Kita cari dia di kota raja dan kita ceritakan
tentang jahanam itu...."
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar adiknya menyebut "kanda" kepada Cin Liong, diam-diam Suma Hui merasa
girang dan berterima kasih. Adiknya sebetulnya masih terhitung paman dari Cin Liong, akan
tetapi adiknya itu memandang kepadanya dan menyebut "kanda"."Baiklah, usulmu memang
baik dan tanpa ban-tuan banyak tenaga, agaknya sukar menemukan jahanam yang licik itu."
Karena hari sudah menjelang malam, mereka mengambil keputusan untuk mencari Cin Liong
pada keosokan harinya dan malam hari itu mereka bermalam di sebuah rumah penginapan.
Melihat betapa Ciang Bun tidak sekamar dengan Gangga-nanda, Suma Hui mengerutkan
alisnya. Bagaima-nakah adiknya ini" Benarkah adiknya belum tahu akan keadaan Gangga
sebenarnya, bahwa Gangga adalah seorang gadis" Akan tetapi kalau Ciang Bun mengira
bahwa Gangga seorang pemuda, mengapa pula mereka berpisah kamar" Barangkali Gangga
yang tidak mau tidur sekamar, pikirnya. Andaikata ia menjadi Gangga, dalam penyamaran
sebagai seorang pria, iapun tentu tidak mau tidur sekamar dengan seorang kawan pria, dan
akan mencari dalih apapun agar mereka tidur berpisah. Betapapun juga, untuk menghilangkan
keraguannya apakah adiknya itu tahu atau tidak akan kea-daan Gangga, ia lalu mendatangi
kamar adiknya dan bertanya.
"Bun-te, di mana Gangga?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
570 "Dia berada di kamarnya, di sudut lorong ini."
"Eh, kenapa tidak di sini saja, sekamar dengan-mu" Bukankah tempat tidur ini cukup besar
untuk kalian berdua?"
Wajah Ciang Bun berobah merah dan dia lalu menyuruh encinya duduk, kemudian
menutupkan daun pintu. "Hui-ci, aku mau bicara denganmu." katanya serius.
"Bicara apa" Katakanlah." kata Suma Hui sambil duduk di tepi pembaringan dan
memandang adiknya dengan sinar mata penuh kasih sayang. Ia tahu akan kesulitan yang
berkecamuk di dalam hati adiknya dan ia merasa kasihan karena keadaan adiknya sungguh
membuat ia sendiri menjadi bi-ngung.
"Enci, maukah enci andaikata harus tidur sepembaringan dengan seorang pemuda seperti
hal-nya Gangga?"
"Eh" apa maksud pertanyaanmu ini" Aneh--aneh saja engkau. Tentu saja aku tidak mau!"
Suma Hui berkata tegas dan heran.
"Nah, begitulah perasaanku, enci. Mana mung-kin aku tidur sekamar dengan seorang pemuda
se-perti Gangga kalau aku mempunyai perasaan wa-nita seperti engkau itu" Dan aku.... aku
takut kepada diriku sendiri, dan aku.... tidak ingin kehilangan Gangga, Hui-ci. Aku cinta
padanya, aku cinta padanya dan aku tidak ingin kehilangan dia, tidak ingin berpisah darinya.
Karena itulah aku selalu berusaha menjauhkan diri.... aku khawatir dia akan merasa jijik dan
membenciku kalau dia tahu akan keadaanku, dan aku.... aku tidak ingin kehilangan dia, Hui-
ci." Melihat adiknya yang gagah perkasa itu kini duduk menundukkan muka, dengan kedua
pundak bergantung ke depan, gambaran seorang yang patah semangat dan penuh kegelisahan,
Suma Hui merasa kasihan sekali. Hal ini sudah diduganya ketika me-reka bertiga berada
dalam perahu, yang membuat ia menepuk paha sendiri mengejutkan Ciang Bun. Di dalam
perahu itu iapun teringat bahwa Ciang Bun tentu jatuh cinta kepada Gangga sebagai se-orang
pria! Teringat ia akan kelainan adiknya. Tak dapat dibayangkan bagaimana akan jadinya
kalau adiknya tahu bahwa Gangga bukan pria, melainkan wanita! Dan tiba-tiba saja ia seperti
memperoleh ilham! Inikah cara pengobatan untuk memulihkan keadaan adiknya sehingga
batinnya akan seirama dengan badannya" Ingin ia melihat Ciang Bun pulih seperti seorang
laki-laki biasa, bertubuh pria dan juga berselera dan berbatin pria agar adiknya tidak akan
mengalami rintangan dan kesulitan-kesulitan di dalam hidup selanjutnya. Dan kini Suma Hui
melihat cahaya berkilat yang agaknya akan dapat memberi penerangan dalam kehidupan
adiknya. Ia tidak ingin melihat adiknya mengalami derita hidup seperti yang pernah
dia-laminya. "Adikku yang baik," katanya sambil memegang kedua pundak Ciang Bun dan
menegakkannya. "Seorang gagah tidak pernah putus asa dan tunduk terhadap nasib! Aku
sudah tahu akan keadaanmu dan aku dapat ikut merasakan betapa hebat penderitaan batinmu.
Akan tetapi, janganlah kau membiarkan kedukaan mengotori batinmu. Duka dan putus asa
hanya permainan orang lemah. Engkau harus berani melihat kenyataan dirimu sendiri, berani
menghadapinya dan berusaha mengatasinya. Segala yang tidak wajar berarti suatu keadaan
yang tidak seimbang, katakanlah suatu penyakit. Karena itu, engkau tidak perlu merasa malu.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
571 Ber-sikaplah wajar saja namun dengan penuh kesadaran dan tertib diri, tidak hanya
menurutkan dorongan nafsu yang timbul dari ketidakwajaran atau penya-kitmu itu."
"Aku tahu akan hal itu, Hui-ci dan selama ini, akupun sudah bertahan dan menentang
dorongan hasrat nafsuku sendiri yang tidak wajar. Akan tetapi, aku jatuh cinta kepada
Gangga, bukan semata karena dorongan nafsu birahi, bukan hanya karena gairah, akan tetapi
segala-galanya pada diri Gang-ga menarik hatiku, menimbulkan rasa cinta dan aku tidak mau
kehilangan dia, Hui-ci."
Suma Hui menarik napas panjang. Ia dapat merasakan apa yang terkandung dalam hati
adiknya. Seperti itulah agaknya perasaannya sendiri terhadap Cin Liong. Mencinta, sayang
dan mesra, ingin sekali berdekatan dan selamanya tidak ingin berpisah lagi.
"Adikku, engkaupun tahu dan tentu ingat akan semua pelajaran ayah. Cinta kasih adalah
sesuatu yang suci. Jangan sekali-kali salah kira dan mencampuradukkan cinta kasih dengan
cinta birahi. Gejolak hatimu yang timbul dari gairah berahi itu bukanlah cinta kasih yang
sesungguhnya. Itu hanya berahi yang timbul dari pikiran dan badan, dan bagi dirimu yang
mempunyai kelainan, berahimu timbul kalau engkau melihat seorang pria yang tampan atau
yang menyenangkan hatimu. Maka, sekarang aku hendak bertanya, adikku. Engkau bilang
bahwa engkau cinta kepada Gangga, apakah cintamu itu semata-mata timbul karena
kenyataan bahwa Gangga adalah seorang pemuda tampan dan gagah?"
"Kurasa kesemuanya itu mengambil bagian, Hui-ci. Bukan hanya karena dia seorang pemuda
tam-pan dan gagah, akan tetapi juga karena dia berhati mulia, karena semua gerak-geriknya
amat mena-rik dan menyenangkan hatiku, karena dia pernah menolongku dan mati-matian
menyelamatkan di-riku. Pendek kata, aku cinta padanya karena pribadinya, bukan semata
karena dia seorang pemuda tampan."
"Kalau begitu, bersikaplah wajar saja dalam cintamu, adikku. Anggap dia seorang sahabat
yang baik sekali. Dan sekali waktu, kalau keadaan meng-ijinkan, lebih baik engkau berterus
terang kepada-nya tentang keadaan dirimu, tentang kelainan-mu."
"Ah, aku tidak berani, enci! Dia tentu akan marah dan jijik dan membenciku....!"
"Belum tentu, adikku. Apalagi kalau dia men-cintamu sebagai seorang sahabat baik yang
sudah dibuktikannya ketika dia mencarikanobat untuk-mu. Dia, seperti aku, tentu akan dapat
memaklumi kelainanmu sebagai suatu penyakit dan dia tidak akan membencimu, malah akan
merasa kasihan kepadamu."Setelah menghibur adiknya, Suma Hui lalu meninggalkannya
untuk pergi tidur. Akan tetapi, ga-dis ini tidak pergi ke kamarnya, melainkan diam-diam ia
pergi ke kamar Ganggananda di sudut lo-rong. Ia bersikap hati-hati sekali dan menjaga agar
adiknya jangan sampai mengetahui perbuatannya.
Setelah tiba di depan pintu kamar Gangga, ia mengetuk pintu perlahan.
"Siapa....?" terdengar suara Gangga dari dalam.
"Adik Gangga, bukalah, aku ingin bicara." kata Suma Hui lirih.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
572 Daun pintu terbuka dan Ganggananda muncul, memandang kepada Suma Hui dengan sinar
mata penuh selidik. Tentu saja Ganggananda merasa he-ran mengapa malam-malam begini
seorang gadis seperti Suma Hui mengetuk pintu kamar seorang "pemuda".
"Ah, kiranya nona Suma Hui. Ada keperluan apakah....?"
Belum habis Gangga bicara, Suma Hui sudah melangkah masuk dan menutupkan daun pintu
kamar itu. Gangga memandang dengan mata ter-belalak, akan tetapi Suma Hui tersenyum dan
ber-kata, "Adik yang manis, tak perlu lagi bersandi-wara. Kita sama-sama perempuan, apa
salahnya bicara dalam kamar tertutup?"
Ganggananda atau Gangga Dewi terkejut, lalu menarik napas panjang dan tersenyum. "Ah,
enci Suma Hui, kiranya engkau sudah tahu" Lupa aku bahwa engkau adalah seorang pendekar
wanita yang lihai dan bermata tajam. Maafkan penyamar-anku."
"Sstt, adik Gangga. Mari kita keluar dari ka-marmu, melalui jendela saja agar jangan sampai
ketahuan Ciang Bun. Aku ingin bicara empat mata denganmu." kata Suma Hui yang segera
mengham-piri jendela kamar Gangga Dewi yang menembus ke kebun samping rumah
penginapan. Ia memberi isyarat dan tak lama kemudian dua orang gadis itu telah meloncat
keluar pagar setelah menutupkan daun jendela kamar itu.
"Kita ke taman dan bicara di tempat sepi...." kata Suma Hui dan merekapun lalu berloncatan
naik ke atas genteng-genteng bangunan rumah di sepan-jang jalan. Suma Hui sudah
mendengar penuturan Ciang Bun betapa dengan mengandalkan gin-kang-nya, Gangga telah
menyelamatkannya dan berhasil mencari obat penawar racun Hoa-mo-kang. Maka kini Suma
Hui memperoleh kesempatan untuk menguji kehebatan gin-kang dari gadis Bhutan itu. Ia
sengaja mengerahkan gin-kang dan berlompatan dengan cepat sekali, melompati rumah-
rumah dan kadang-kadang melayang turun dan berlari cepat menuju ke taman besar di mana
siang tadi ia men-cari adiknya kemudian melihat coretan-coretan di batang pohon. Memang
pemuda ini dengan cer-dik telah membuat coretan-coretan di batang po-hon dengan harapan
encinya akan dapat menemu-kannya kalau encinya datang. Coretan-coretan itu dibuatnya
dengan kuku jari tangan sebelum dia bersama Gangga berangkat mencari dua orang ka-kek
yang melarikan muda- mudi itu. Dan ternyata Suma Hui yang cermat itu dapat menemukan
co-retan itu yang berisi pesan bahwa adiknya itu pergi keluar kota melalui pintu barat.
Suma Hui harus mengakui kehebatan Gangga karena betapapun ia mengerahkan tenaga
untuk meninggalkan Gangga, ia tetap tidak berhasil. Ga-dis Bhutan itu seperti bayangannya
sendiri saja, selalu di belakang atau sampingnya, tidak pernah tertinggal jauh. Bahkan dari
gerakan Gangga kalau berkelebat di sampingnya ia maklum bahwa kalau gadis itu
menghendaki tentu akan dengan mudah mendahuluinya. Percayalah ia kini akan kehebatan
ilmu gin-kang gadis ini.
Tak lama kemudian dua orang gadis itu telah duduk di atas batu-batu yang disusun secara
nyeni sekali di tepi kolam ikan yang sunyi. Sepi sekali malam itu di taman karena tidak ada
orang me-ngunjunginya di waktu malam. Dan dua orang gadis itu memang memilih tempat
yang sunyi dan terbuka agar mereka dapat melihat kalau ada orang lain mendekat.
"Nah, enci Hui. Apakah yang akan kau bicara-kan denganku?" tanya Gangga sambil
memandang wajah yang cantik dan gagah itu. Sepasang mata Suma Hui yang cerdik itu
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
573 memandang kepada Gangga penuh selidik, kemudian ia berkata dengan suara yang penuh
kesungguhan. "Adik Gangga, sekarang ceritakanlah siapa sebetulnya dirimu, siapa namamu yang
sebenarnya dan dari mana kau datang."
Gangga Dewi mengerutkan alisnya. Nada suara Suma Hui seperti orang menyelidik! Hal ini
mem-buat hatinya merasa tidak senang. Mengapa Suma Hui curiga kepada dirinya" Bukankah
sudah jelas bahwa ia adalah sahabat baik Ciang Bun yang bahkan sudah membuktikan dengan
usahanya me-nyelamatkan pemuda itu" Kenapa kini encinya malah seperti orang menaruh
curiga dan bertanya dengan nada menyelidik"
"Enci Suma Hui, sebelum aku menjawab, kata-kanlah dulu kenapa engkau kelihatan seperti
orang sedang menyelidiki diriku" Apakah engkau curiga kepadaku?"
Suma Hui mengangguk. Di bawah sinar bulan, Gangga Dewi dapat melihat betapa sepasang
mata gadis itu seperti mengeluarkan cahaya mencorong, membuatnya bergidik kagum. Gadis
ini tentu me-miliki sin-kang yang hebat, pikinrya, teringat bahwa gadis ini adalah cucu
Pendekar Super Sakti dari Pulau Es!
"Terus terang saja, aku memang merasa heran dan curiga. Engkau seorang gadis cantik
menya-mar sebagai pria dan engkau membiarkan adikku mengira engkau seorang pria tulen.
Kenapa begitu" Dan engkau datang dari Bhutan. Semua ini meru-pakan teka-teki yang
mencurigakan hatiku. Ka-rena itulah maka kini, sebagai sama-sama wanita, aku ingin
mendengar sendiri darimu tentang kea-daan dirimu."
"Engkau adalah seorang wanita yang lihai, gagah perkasa dan juga amat jujur dan cerdik,
enci Hui. Baiklah, aku berterus terang saja karena aku-pun sudah tahu bahwa engkau dan
Ciang Bun adalah cucu-cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang terkenal itu. Sudah
sejak kecil aku mende-ngar nama keluarga Pulau Es, dan Ciang Bun se-demikian percayanya
kepadaku sehingga dia telah ceritakan semua tentang keadaan keluargamu. Bahkan tentang
semua peristiwa menyedihkan yang menimpa keluarga kalian dan dirimu."
"Hemmm, dia cerita tentang aku?" Suma Hui bertanya kaget dan semakin yakin hatinya
bahwa adiknya tentu sudah menaruh kepercayaan sepe-nuhnya dan benar-benar amat
mencinta gadis yang menyamar sebagai pria ini.
"Ya, dan maafkan dia, enci Hui. Aku sudah mendengar semuanya, maka tidak adillah kalau
aku tidak mengaku terus terang siapa diriku. Aku bernama Gangga Dewi atau juga Wan Hong
Bwee...." "Kau.... peranakan....?"
"Benar, ayahku bernama Wan Tek Hoat dan ibuku bernama Syanti Dewi...."
"Ah, Puteri Bhutan yang terkenal itu?"
"Enci, engkau sudah mengenal ibuku?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
574 "Sejak kecil, seperti engkau pula, aku sudah mendengar tentang bibi Puteri Syanti Dewi. Ah,
adik Gangga, kiranya engkau puterinya" Kalau begitu.... kita bukan orang lain. Engkau masih
adikku sendiri....!" Suma Hui lalu merangkul Gangga dan puteri Bhutan ini juga membalas
pelukan gadis itu walaupun hatinya merasa heran.
"Enci Hui, menurut ibu dan ayah, memang ke-luarga Pulau Es merupakan keluarga yang
dekat dengan mereka, dan ayah ibuku amat menghormati keluarga Pulau Es. Akan tetapi,
tentang hubungan keluarga, aku belum tahu...."
"Memang antara keluarga kita tidak ada hubungan langsung, akan tetapi ketahuilah hahwa
ayahmu itu, Wan Tek Hoat, adalah cucu kandung dari mendiang nenekku Lulu....! Nah,
bukan-kah dengan demikian di antara kita masih ada hubungan keluarga, walaupun jauh?"
Gangga Dewi mengangguk-angguk dan hatinya merasa girang bukan main. "Setelah engkau
me-ngenal keadaanku, tentu engkau tidak menaruh hati curiga lagi kepadaku, bukan?"
Suma Hui menggeleng kepala dan tersenyum. "Sejak tadipun aku tidak menaruh curiga,
hanya aku ingin merasa yakin tentang hubunganmu de-ngan Ciang Bun. Engkau seorang
gadis, dan eng-kau menyembunyikan keadaanmu, menyamar se-bagai pemuda. Akan tetapi
engkau membela adi-kku mati-matian. Hal ini hanya mempunyai arti, yaitu bahwa engkau....
engkau jatuh cinta kepada adikku Suma Ciang Bun. Tidak benarkah dugaanku, adik
Gangga?" Sekatika wajah Gangga Dewi menjadi kemerahan dan menundukkan mukanya. "Enci Hui,
aku tidak tahu.... akan tetapi sesungguhnya aku amat suka kepadanya aku merasa kasihan
melihat dia menghadapi maut ketika terluka. Tentang cinta.... aku tidak tahu...."
"Adikku yang baik," Suma Hui memegang tangan Gangga dan menggenggamnya. "Biarlah
berterus terang saja kepadamu. Memang, kejujuranku ini mungkin akan menyakitkan, akan
tetapi demi kebaikanmu, demi kebaikan adikku, demi ke-bahagiaanmu berdua, aku harus
berterus terang. Gangga, ketahuilah bahwa Ciang Bun juga mencintamu, dia sudah mengaku
kepadaku bahwa dia jatuh cinta padamu...."
"Ahhh....!" Gangga Dewi memandang wajah Suma Hui dengan mata terbelalak. "Tidak
mungkin! Dia mengira bahwa aku seorang pria! Ataukah.... jangan-jangan dia sudah tahu
akan keadaanku, bahwa aku seorang wanita?"
Suma Hui menggeleng kepalanya dan menarik napas panjang. Bagian tersukar dari tugasnya
kini harus ia lalui. Maka iapun duduk mendekat dan merangkul pundak Gangga Dewi karena
apa yang akan diceritakannya adalah rahasia adiknya yang amat gawat dan tidak boleh sampai
terdengar orang lain. Dengan suara lirih iapun berkata se-telah menengok ke kanan kiri dan
merasa yakin bahwa tempat itu sunyi tidak terdapat orang lain kecuali mereka berdua.
"Adik Gangga, dari sikapmu dan juga perto-longanmu terhadap Ciang Bun aku merasa yakin
bahwa engkau sungguh mencinta dia seperti juga dia mencintaimu. Oleh karena itu, jika
kuberitahu kepadamu bahwa Ciang Bun menderita suatu pe-nyakit yang amat gawat, sudikah
kiranya engkau membantuku untuk menyembuhkannya kembali?"
Gangga terkejut dan memandang dengan mata terbelalak dan wajahnya yang cerah itu
berobah agak pucat, alisnya berkerut penuh kekhawatiran. "Sakit" Dia sakit" Akan tetapi,
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
575 ketika tabib itu memeriksa, penyakitnya hanya keracunan pukulan Hoa-mo-kang, tidak ada
penyakit lain. Dan dia kelihatan begitu sehat dan segar!"
"Memang benar, akan tetapi penyakitnya bukan penyakit badan. Tidak ada yang da-pat
mengetahui kecuali dia sendiri dan aku karena dia percaya kepadaku dan menceritakan
tentang penyakitnya itu. Dan aku yakin bahwa pengobat-annya hanya ada pada dirimu. Hanya
engkaulah yang dapat menyembuhkannya, Gangga."
"Ahh, enci Hui, jangan main-main. Engkau membikin hatiku bingung dan khawatir. Seperti
orang-orang lain yang pernah belajar silat, aku hanya membawa bekal obat-obat luka dan
hanya dapat mengobati luka-luka pukulan dan senjata saja. Mana mungkin aku dapat
mengobati penyakit Ciang Bun kalau orang lain yang ahli tidak mampu menyembuhkannya"
Penyakit apakah itu?"
"Kami berduapun tidak tahu penyakit apa itu namanya. Akan tetapi adikku amat menderita
ka-renanya. Jangan kaget, Gangga. Adikku itu adalah seorang laki- laki, seorang jantan sejati,
berwatak pendekar yang tidak memalukan keluarga kami. Akan tetapi, dia.... dia mempunyai
penyakit aneh, yaitu dia.... condong untuk menyukai pria daripada wanita."
Sepasang mata yang indah itu terbelalak dan mulut yang kecil itu ternganga saking herannya
hati Gangga Dewi mendengar ucapan Suma Hui itu. "Apa.... apa yang kau maksudkan, enci
Hui" Aku tidak mengerti....!"
"Adik Gangga, memang penyakit itu amat aneh. Biarpun Ciang Bun adalah seorang pemuda,
jas-maninya adalah seorang pria yang sempurna, akan tetapi selera dan berahinya seperti
seorang wanita. Dia.... dia lebih tertarik dan suka kepada seorang pria daripada seorang
wanita. Mengerti-kah engkau?"
"Ahhh....!" Gangga Dewi menunduk, ke-dua pipinya kemerahan dan alisnya berkerut. Ia
merasa bingung sekali, dan tidak tahu harus bicara apa untuk menanggapi keterangan yang
amat me-ngejutkan dan mengherankan hatinya itu. Sungguh sama sekali tidak pernah
disangkanya bahwa ada penyakit yang demikian anehnya, apalagi kalau penyakit seperti itu
diderita oleh Ciang Bun yang amat dikaguminya itu. Ia seorang gadis yang cerdik dan tanpa
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dijelaskan sekalipun kini tahulah ia akan kenyataan yang amat menusuk perasaannya. Jadi
kalau begitu, Ciang Bun dikatakan mencinta diri-nya karena mengira ia seorang pria!
"Enci, kalau.... kalau begitu.... engkau hendak mengatakan bahwa jika Ciang Bun mengerti
bahwa aku sebenarnya seorang wanita, maka dia.... dia tidak akan suka kepadaku,
begitukah?"
Suma Hui mengangguk. "Akan tetapi, cinta tidak dapat disamakan dengan rasa suka yang
ter-dorong gairah berahi, adikku. Ciang Bun mengaku kepadaku bahwa dia amat mencintamu,
walaupun rasa cintanya itu mengandung gairah berahi karena mengira bahwa engkau seorang
pemuda. Nah, rasa cintanya inilah yang harus kita pergunakan untuk menyembuhkan penyakit
aneh yang dideritanya itu. Tentu saja.... tentu saja kalau eng-kau juga mencintanya seperti
yang kuduga. Adik Gangga yang baik, demi hubungan antara orang tua kita, demi cinta Ciang
Bun kepadamu, dan de-mi cintamu sendiri.... sudikah engkau meno-longnya?" Dalam
suaranya terkandung nada yang penuh permohonan dan ketika Gangga Dewi memandang,
ternyata kedua mata gadis perkasa itu berlinang air mata! Gangga Dewi merasa terharu sekali
dan ia da-pat merasakan betapa besar cinta kasih gadis itu kepada adiknya. Ia sendiripun
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
576 merasa kasihan kepada Ciang Bun, walaupun terdapat perasaan tidak enak menganggu
hatinya mendengar akan keadaan Ciang Bun yang aneh itu.
"Enci Hui, tentu saja aku suka menolong, akan tetapi bagaimana mungkin" Kalau dia tidak
suka kepada wanita, dan setelah nanti dia tahu bahwa aku sesungguhnya adalah seorang
wanita dan dia- pun tidak suka kepadaku, bagaimana aku akan dapat merobah seleranya?"
"Kita menggunakan cinta sebagai obatnya, adik-ku. Biarlah cinta kasih murni yang akan
menyem-buhkannya dari penyakit aneh itu."
"Akan tetapi, bagaimana caranya, enci Hui?"
"Begini, Gangga. Biarkan cinta kasihnya kepa-damu bersemi dengan subur dan berakar kuat
da-lam hatinya dan untuk itu perlu pemupukan."
"Pemupukan bagaimana maksudmu, enci" Aku.... aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentang
cinta." "Sekali waktu engkau harus meninggalkan dia, kita harus memberi pupuk kepada cintanya
dengan kerinduan. Biar dia merasakan betapa besar rasa kehilangannya kalau engkau tidak
berada di dekatnya. Rasa cintanya yang semakin subur itu akan menghapus perbedaan antara
wanita dan pria, dia akan mencintamu, tidak perduli engkau pria atau-pun wanita. Rasa cinta
murni itu mungkin sekali akan merupakan obat dan lebih kuat daripada sekedar berahinya
yang ganjil itu. Maukah engkau melakukannya, demi cinta kalian berdua, adikku?"
Gangga Dewi mengangguk.
"Kita sama sekali tidak boleh menyalahkannya, Gangga. Keadaan diri Ciang Bun itu adalah
suatu kelainan yang bukan timbul karena disengaja, atau karena memang wataknya yang
kotor, melainkan karena tentu ada sebab-sebabnya. Dia adalah penderita suatu penyakit aneh,
suatu kelainan yang mungkin timbul dari keadaan darahnya, atau su-sunan tubuhnya, atau
juga karena sebab-sebab batiniah yang kita tidak mengerti. Bagaimanapua juga, karena
keadaan itu menggambarkan hal yang tidak sebagaimana mestinya, tidak sebagaimana
umumnya, maka biarlah kita menamakannya suatu penyakit. Keadaan setengah-setengah itu,
sete-ngah pria karena bertubuh pria, dan setengah wa-nita karena berselera wanita, tentu saja
merupakan hal yang amat mengganggu dan menyiksa batin. Jalan satu-satunya
hanyalah menjadikannya wa-nita sepenuhnya atau pria sepenuhnya. Akan tetapi, melihat
bentuk tubuhnya, akan lebih sempurnalah kalau dia dapat dijadikan pria sepenuhnya dan hal
ini mungkin saja disembuhkan dengan cinta kasih.
Gangga Dewi mendengarkan dengan kagum. Dari kata- katanya dapat dimengerti bahwa
Suma Hui adalah seorang gadis yang luas pengetahuan-nya dan pintar. Dan memang
demikianlah. Semen-jak menderita aib yang menimpa dirinya, setelah mengalami banyak hal-
hal yang amat menya-kitkan hatinya, setelah memperdalam ilmunya dan banyak melakukan
perantauan, Suma Hui berobah menjadi seorang wanita yang matang dan berpe-mandangan
luas. masalah adiknya amat meng-ganggu hatinya dan selama ini banyak ia memi-kirkan
tentang adiknya sehingga ia dapat meng-ambil kesimpulan seperti yang dikatakannya kepa-da
Gangga Dewi. Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
577 Demikianlah, terdapat suatu kerjasama antara Suma Hui dan Gangga Dewi, untuk menolong
pe-muda yang sama- sama mereka cinta, yang seorang mencintanya sebagai seorang kakak
perempuan sedangkan yang lain mencinta sebagai seorang wanita terhadap seorang pria yang
dikaguminya. *** Dengan mudah mereka dapat menemukan Kao Cin Liong. Kiranya panglima muda ini masih
menduduki pangkatnya di kota raja sebagai seorang jenderal muda. Ketika Kao Cin Liong
menghadap kaisar untuk meletakkan jabatannya agar dia dapat mencurahkan semua
tenaganya untuk membantu tunangannya mencari musuh besar mereka, kaisar menyatakan
keberatan! Dan ketika Kao Kok Cu, ayah pemuda itu mendengar akan hal ini, diapun
memarahi puteranya dan menyatakan tidak setuju pula.
"Cin Liong, lupakah engkau akan ceritaku ten-tang kakekmu" Kakekmu adalah seorang
panglima besar yang amat setia dan berjiwa pahlawan. Dan sejak dahulu, keluarga Kao adalah
keturunan para panglima yang gagah perkasa. Sayang bahwa aku sendiri tidak memperoleh
kesempatan untuk melanjutkan kepahlawanan nenek moyang kita. Akan tetapi engkau yang
masih muda, mempunyai kesempatan cukup dan engkau bahkan berhasil men-jadi jenderal
yang banyak jasanya. Bagaimana se-karang hendak mengundurkan diri dalam usia mu-da
hanya karena urusan wanita?"
"Akan tetapi, ayah, demi cintaku terhadap Suma Hui, aku rela melepaskan apapun juga. Ia
mende-rita aib, siapa lagi kalau bukan aku yang mengang-katnya dan mencuci nama baiknya
dengan mencari dan membunuh jahanam yang telah mencemarkan kehormatannya, juga
mencemarkan namaku karena dia mempergunakan namaku dan melakukan fit-nah?"
"Benar, akan tetapi engkau harus berpikir pan-jang. Ingat, keluarga Suma adalah keluarga
besar dan gagah. Karena lengah dan lalai, mereka terjebak dan mengalami aib. Biarlah
mereka itu mem-pertanggungjawabkan sendiri kelalaian mereka dan menghukum sendiri
jahanam itu. Engkau hanya membantu saja. Kalau engkau yang turun tangan membalas,
apakah hal itu tidak bahkan menyinggung harga diri keluarga Suma?"
Bujukan ayahnya dan larangan kaisar akhirnya membuat Cin Liong mengalah dan itulah
sebabnya, ketika Suma Hui dan Ciang Bun mencarinya, ka-kak beradik ini mendapatkan Cin
Liong di gedungnya, masih menjadi seorang jenderal muda yang disegani.
Dapat dibayangkan betapa girang dan terharu hati Jenderal Muda Kao Cin Liong ketika dia
keluar menyambut tamu dan melihat bahwa tamunya adalah Suma Hui dan Ciang Bun
bersama seorang pemuda asing. Melihat kekasihnya yang selama ini amat dirindukannya,
ingin Cin Liong merangkul-nya. Akan tetapi tentu saja di depan banyak orang dia tidak dapat
melakukan hal ini dan dia hanya membalas penghormatan para tamu itu dengan menjura.
"Liong-ko....!" kata Suma Hui lirih. Bi-arpun ia masih terhitung bibi dari kekasihnya itu,
akan tetapi karena dapat dibilang secara resmi telah mendapatkan restu dari orang tua dan
mereka adalah tunangan, maka tanpa ragu lagi ia kini me-nyebut koko kepada pemuda itu.
"Hui-moi, kau baik-baik saja, bukan?" Cin Liong juga menyapa dengan halus.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
578 Hanya itulah yang dapat mereka sampaikan melalui mulut di depan orang banyak, akan tetapi
dua pasang mata itu saling bertemu, bertaut dengan sinar penuh kasih sayang dan bicara
banyak sekali. Keharuan membuat sepasang mata Suma Hui agak basah.
"Bun-te, engkau kelihatan semakin gagah saja!" Cin Liong menegur pemuda yang dahulu
disebut-nya paman itu. "Dan siapakah saudara ini?"
"Saya adalah sahabat saudara Suma Ciang Bun, nama saya Ganggananda." kata Gangga
memper-kenalkan diri sambil memberi hormat.
"Ahh, saudara dari Nepal?"
"Bukan, dari Bhutan." jawab Gangga singkat dan matanya menatap tajam wajah jenderal
muda itu. Hatinya juga terharu karena ia sudah mende-ngar penuturan ibunya bahwa ibunya
mempunyai seorang saudara angkat yang amat disayangnya, dan saudara angkat ibunya itu
adalah ibu dari jen-deral ini! Bukan hanya di situ saja hubungannya dengan jenderal gagah
perkasa ini, melainkan lebih dekat lagi. Ada hubungan saudara antara ayah kandungnya
dengan ibu jenderal ini karena mereka itu masih saudara tiri, seayah berlainan ibu. Ayah-nya
she Wan, dan ibu jenderal ini juga she Wan. Akan tetapi, ia diam saja dan tidak membuka
ra-hasia itu. Ia sudah memesan kepada Suma Hui, satu-satunya orang yang sampai kini sudah
tahu akan rahasianya, agar tidak membuka rahasia itu kepada siapapun juga, tidak pula
kepada Ciang Bun atau kepada jenderal Kao Cin Liong yang ma-sih ada pertalian keluarga
dekat, karena satu kakek dengannya. Dan demi penyamaran Gangga, demi kepentingan
adiknya, Suma Hui memegang janji itu dan tidak bicara tentang Gangga.
"Silahkan masuk, kita bicara di dalam. Kebe-tulan sekali ayah berada di sini, baru pagi tadi
ayah dan ibu datang mengunjungiku."
Mendengar bahwa ayah bunda kekasihnya ber-ada di situ, wajah Suma Hui berubah merah.
Ia merasa malu sekali teringat akan sikapnya dahulu terhadap mereka, maka tentu saja kini ia
merasa canggung, malu dan takut. Melihat sikap kekasih-nya, Cin Liong maklum. Tanpa
malu-malu lagi terhadap Ciang Bun dan Ganggananda, diapun lalu menggandeng tangan
gadis itu dan ditariknya, di-ajak ke dalam, diikuti oleh Ciang Bun dan Gangga-nanda.
Mereka menunggu di ruangan dalam. Pende-kar Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu dan
iste-rinya. Biarpun usia mereka sudah lanjut, si pende-kar enam puluh tahun lebih dan
isterinya, Wan Ceng sudah lima puluh tujuh tahun, akan tetapi keduanya masih nampak sehat
dan gagah. Karena maklum apa yang dirasakan kekasihnya dan ingin menolong kekasihnya mengurangi
pera-saan tidak enak itu, begitu tiba di depan ayah bun-danya, Cin Liong menarik tangan
Suma Hui dan diajaknya menjatuhkan diri berlutut, sedangkan Ciang Bun dan Ganggananda
memberi hormat dengan menjura.
"Ayah, ibu, terimalah hormat kami, putera dan mantu ayah ibu." kata Cin Liong.
Melihat wajah gadis yang menunduk itu, wa-jah yang membayangkan kecantikan, kegagahan
dan kekerasan hati, yang menunduk dengan ba-yangan kesedihan, hati Wan Ceng menjadi
lunak. Teringatlah ia akan pengalamannya sendiri ketika ia masih gadis. Iapun dahulu pernah
menjadi kor-ban perkosaan orang yang menghancurkan hidup
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
579 dan kebahagiaannya, membuat selalu ingin mencari dan membunuh pemerkosanya itu. Kini
Suma Hui mengalami nasib yang sama. Hanya bedanya, kalau ia bahkan bertemu jodohnya
dengan pemer-kosanya yang bukan lain adalah suaminya yang sekarang, yang melakukan hal
itu di luar kesadar-annya(baca kisahJodoh Sepasang Rajawali ) , sebaliknya Suma Hui
menjadi korban kekejian se-orang laki-laki yang amat jahat. Laki-laki yang memperkosanya
dengan menyamar sebagai Cin Liong! Dan penjahat itu sedemikian pandainya memikat hati
keluarga Suma sehingga selain dite-rima menjadi murid, juga menjadi mantu! Semua telah
didengarnya dari Cin Liong dan kini melihat gadis itu menghadapnya, Wan Ceng melupakan
semua kesalahfahaman antara keluarganya dan keluarga gadis itu. Iapun turun dari kursinya,
membungkuk menghampiri Suma Hui dan me-rangkulnya."Suma Hui, engkau adalah calon
mantu kami yang baik...." Dan iapun menarik bangun ga-dis itu, menuntunnya dan
mengajaknya duduk di kursi. Mereka semua duduk di kursi menghadap meja besar dan sikap
Wan Ceng ini ternyata telah melenyapkan perasaan canggung, malu dan tidak enak dari hati
Suma Hui. Ketika ditanya, Suma Ciang Bun dan Ganggananda memperkenalkan diri. Suami
isteri perkasa itu merasa girang dan bersikap amat manis.
Diam-diam Gangga Dewi terharu sekali karena ia mengerti bahwa wanita yang rambutnya
sudah bercampur uban itu, yang demikian cantik dan gagah perkasa, adalah bibinya sendiri!
Nyonya itu adalah saudara seayah berlainan ibu dengan ayah-nya. Akan tetapi, demi menjaga
perjanjian rahasia-nya dengan Suma Hui untuk menolong Ciang Bun, ia diam saja dan hanya
duduk sebagai penanton dan pendengar.
Dalam pertemuan kekeluargaan ini, Kao Kok Cu dan Wan Ceng terang-terangan menyatakan
keinginan hati mereka kepada Suma Hui agar pernikahan antara Suma Hui dan Cin Liong
dapat dilaksanakan dengan secepatnya.
"Saatnya sudah lebih dari matang." antara lain pendekar berlengan satu itu berkata.
"Hendaknya kalian berdua ingat bahwa aku dan ibumu sudah tidak muda lagi. Kukira
demikian pula dengan ayah bunda Suma Hui, tentu seperti juga kami, mereka sudah ingin
sekali menimang cucu. Itu alasan pertama. Ke dua, tahun ini Cin Liong sudah berusia kurang
lebih tiga puluh enam tahun dan kami kira Suma Hui juga bukan seorang gadis re-maja lagi.
Karena cintanya dan setianya kepada-mu, Suma Hui, putera kami itu sampai kini sama sekali
tidak mau mendekati wanita lain, tidak me-nikah, bahkan memiliki seorang selirpun tidak
se-hingga kawan-kawannya suka menggodanya dan mengatakan bahwa dia banci."
Hanya Suma Hui, Ganggananda dan tentu saja Ciang Bun sendiri yang merasakan kata
"banci" ini sebagai sindiran terhadap diri Ciang Bun.
"Akan tetapi.... saya.... saya telah ber-tekad untuk mencari dan membunuh musuh besar
saya...." "Kami semua juga mengerti akan perasaanmu itu, anak Hui." kata Wan Ceng sambil
menyentuh kepala gadis itu yang duduk di sebelahnya. "Me-nentang dan membasmi manusia-
manusia iblis macam Louw Tek Ciang itu merupakan tugas se-tiap orang gagah, bukan"
Tidak perduli urusan pribadi, akan tetapi perbuatannya itu cukup mem-buat kita semua
memusuhinya. Akan tetapi, urusan dendam itu dapat dilakukan setelah menikah. Suamimu
tentu akan membantumu, dan kami juga."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
580 "Jangan khawatir, Suma Hui," sambung Kao Kok Cu, "Suamimu terikat tugas dan kiranya
hanya mempunyai sedikit waktu untuk urusan pribadi. Akan tetapi, kalau kalian sudah
menikah, aku sen-diri yang akan turun tangan menyeret iblis itu ke depan kakimu!"
"Tapi.... iblis itu harus mampus di tangan saya sendiri!" Suma Hui berkata penuh geram.
Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir menarik napas panjang. "Baiklah, terserah kepadamu, akan
tetapi kami sungguh mengharapkan engkau akan dapat mempertimbangkan dengan baik
untuk segera me-nikah dengan tunanganmu."
Suma Hui termenung. Ia memang merasa terharu dan kasihan kepada kekasihnya yang begitu
setia dan mencintanya, padahal ia sudah bukan seorang perawan lagi. Jarang di dunia ini
terdapat seorang pria seperti Cin Liong dan kalau sekarang ia menolak lagi, berarti dia yang
keterlaluan dan tidak mengenal budi orang. Akhirnya ia menye-tujui.
Bukan main girangnya hati Wan Ceng. Ia me-lompat dan merangkul calon mantunya,
mencium-nya dengan kedua mata basah. Keluarga itu lalu menahan Suma Hui, Ciang Bun
dan juga Gangga-nanda yang dianggap sebagai tamu, untuk bermalam di gedung besar
jenderal Kao Cin Liong dan utusan lalu dikirimkan ke Thian-cin untuk memberi kabar kepada
keluarga Suma tentang akan dilangsungkannya pernikahan itu. Menurut usul keluarga Kao,
pernikahan itu diadakan di kota raja dan di rumah keluarga Suma tidak diadakan pernikahan
lagi karena Suma Hui pernah dinikah-kan di situ dengan Louw Tek Ciang tiga tahun yang
lalu. Untuk keperluan itu, keluarga Suma di-undang untuk datang ke kota raja agar dapat
ber-sama-sama merayakan pernikahan yang sudah lama ditunggu-tunggu itu.
Akan tetapi Ganggananda hanya tinggal di situ semalam saja. Malam itu, setelah
berkesempatan bertemu dan bicara berdua saja dengan Suma Hui, gadis itu menganjurkan
kepadanya agar segera mulai dengan usahanya menolong dan menyela-matkan Ciang Bun
seperti yang sudah mereka ren-canakan sebelumnya. Rencana itu adalah pertama--tama
meninggalkan Ciang Bun agar pemuda itu merasa kehilangan dan menderita rindu. Maka
pada keesokan harinya, secara tiba-tiba saja Gang-gananda berpamit dari keluarga Kao untuk
melan-jutkan perjalanannya. Karena hal itu ia lakukan pagi-pagi sekali, yang mengetahui
kepergiannya hanyalah Suma Hui dan suami isteri Kao Kok Cu, sedangkan Cin Liong dan
Ciang Bun masih berada di dalam kamarnya.
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Ciang Bun ketika dia keluar dari kamarnya, dia
tidak mendapatkan lagi Ganggananda yang sudah pergi. Apalagi ketika dia mendengar dari
encinya bahwa pemuda Bhutan itu memang benar-benar sudah pergi dari rumah itu.
"Ah, kenapa dia tidak pamit kepadaku" Kenapa dia pergi begitu saja....?" Ciang Bun
mengeluh dengan muka berobah pucat, nampaknya dia terpukul sekali. Diam-diam Suma Hui
merasa kasihan kepada adiknya, akan tetapi ini merupakan siasatnya bersama Gangga Dewi
untuk menolong -Ciang Bun.
"Adikku, Gangga adalah seorang perantau yang hidup menyendiri. Kemudian dia
menemukan engkau sebagai seorang sahabat yang amat baik. Ketika dia kita ajak ke sini dan
melihat pertemuan antara kita dengan keluarga Kao, baru dia merasa bahwa dia adalah orang
luar, maka dia merasa tidak enak dan tidak betah tinggal lebih lama di sini, merasa tidak
berhak. Karena itulah maka se-pagi ini dia pergi tanpa dapat kucegah."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
581 "Ahh.... kasihan Gangga. Kenapa begitu" Setidaknya dia dapat menunggu aku dan bicara
denganku. Ke mana dia pergi, enci" Ke mana aku akan dapat mencarinya?"
"Ke mana lagi kalau tidak pulang ke negeri-nya?"
Seketika wajah pemuda itu berobah pucat. "Ke Bhutan" Ya Tuhan.... Gangga, engkau pergi
begitu saja meninggalkan aku untuk selamanya" Enci, aku pergi, aku harus mengejarnya...."
Pemuda itu meloncat dan sebentar saja dia sudah berada di luar gedung itu. Akan tetapi
nampak bayangan berkelebat dan encinya telah berdiri di depannya dengan pandang mata
serius, "Adikku, engkau mau apa?""Enci Hui, tidak tahukah engkau bahwa aku.... aku amat
mencintanya" Aku akan mati kalau ber-pisah darinya, enci, sungguh.... aku.... aku...." Ciang
Bun tidak dapat melanjutkan kata--katanya dan kedua matanya sudah basah oleh air mata!
Melihat adiknya menangis, Suma Hui me-rasa terharu sekali. Dipegangnya kedua tangan
adiknya itu. Pemuda yang sedang berlatih silat seorang diri dalam taman di samping rumah itu sungguh
amat tampan dan gagah. Pagi itu matahari belum nam-pak walaupun sinarnya telah lama
mengusir kabut dan menciptakan embun menjadi mutiara-mutiara yang bergantungan di
ujung daun-daun dan kelopak-kelopak bunga. Rumah itu agak terpencil di sebuah dusun yang
sunyi di Lembah Sungai Kuning. Pagi yang sunyi, segar dan sejuk.
Pemuda itu berusia antara delapan belas atau sembilan belas tahun, bertubuh tinggi tegap,
wajah-nya yang tampan itu berbentuk lonjong dengan dagu meruncing, mulutnya dan
matanya memba-yangkan watak yang gemibira. Pada waktu itu, walaupun hawa udara cukup
dingin, dia membuka baju dan hanya memakai celana sederhana saja. Akan tetapi yang amat
menarik adalah gerakan-gerakannya dalam berlatih silat. Kedua kaki itu seolah-olah dua
batang tiang baja yang kokoh kuat, tak tergoyahkan apapun ketika dia memasang kuda-kuda
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan menggeser ke sana-sini. Akan tetapi tubuh atasnya demikian lincah dan ringan. Dan orang
yang tidak mengerti akan menduga bah-wa pemuda itu hanya sedang berlatih dalam taraf
permulaan saja dari pelajaran ilmu silat karena ke-tika dia melakukan gerakan memukul atau
me-nendang, gerakan itu nampak tanpa tenaga. Akan tetapi, tidak demikian anggapan orang
yang sejak tadi menonton sambil bersembunyi. Ketika tadi dia memasuki dusun Hong-cun
dan tiba di depan rumah itu, dia memasuki pekarangan. Akan tetapi karena masih nampak
sunyi, dia mencari-cari dengan pandang matanya dan cepat dia menyelinap diantara pohon-
pohon ketika melihat seorang pemuda sedang berlatih silat seorang diri lalu mengintai. Dari
sinar matanya, jelas bahwa orang ini merasa kagum bukan main.
Pengintai itu menarik napas panjang dan mengumam seorang diri, "Hebat.... seorang
pe-muda yang hebat tak ubahnya Pendekar Siluman Kecil di waktu muda...." Kakinya
bergerak sedikit dan tanpa disegaja kakinya menginjak daun-daun kering dan mematahkan
sepotong ranting. Bunyi itu sebenarnya tidak be-rapa keras, akan tetapi cukup bagi Suma
Ceng Liong untuk menghentikan latihan silatnya dan dia menghadap ke arah pohon itu.
"Saudara yang berada di belakang pohon, kalau ada keperluan keluar dan bicaralah,
sebaliknya kalau tidak ada keperluan, harap suka pergi. Tidak ada gunanya bersembunyi dan
mengintai."
Ceng Liong mengira bahwa yang mengintai tentu seorang penghuni dusun Hong-cun. Sudah
tiga tahun dia berada di dusun itu, di rumah orang tuanya dan menerima penggemblengan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
582 dengan ke-ras dari kedua orang tuanya. Kini dia bukanlah Ceng Liong tiga tahun yang lalu,
yang masih ke-kanak-kanakan. Kini dia seorang pemuda dewasa yang semakin mantap dan
matang ilmunya.
Akan tetapi ketika orang yang mengintai itu muncul dari balik pohon, Ceng Liong terkejut
dan kagum. Orang itu dengan langkah lebar mengham-pirinya dan kini mereka saling
berhadapan, saling pandang dengan kagum. Ceng Liong memandang penuh selidik. Belum
pernah dia melihat orang ini. Seorang laki-laki yang berusia kurang lebih em-pat puluh tahun,
bertubuh tegap dan bersikap ga-gah bukan main. Pakaiannya dari kain kasar se-perti yang
biasa dipakai para pemburu. Di pung-gungnya tergantung sebatang pedang. Pria ini, dari
kepala sampai ke kaki, sikap dan gerak-geriknya, semua membayangkan kegagahan yang
amat me-ngagumkan hati Ceng Liong.
Ceng Liong dapat menduga bahwa dia berha-dapan dengan seorang gagah yang tidak
dikenal-nya, maka diapun cepat mengangkat kedua tangan-nya ke depan dada sebagai
penghormatan dan berkata, "Bolehkah saya bertanya" Siapa nama saudara yang gagah dan
ada keperluan apakah mendatangi pondok kami?"
Pria itu tersenyum dan nampak deretan giginya yang putih terpelihara rapi. "Aku melihat
engkau berlatih dan merasa kagum sekali. Ingin aku ber-latih bersamamu. Orang muda,
layanilah aku ba-rang sepuluh dua puluh jurus!" Berkata demikian, pria itu sudah menyerang
maju dan mengirim pu-kulan ke arah dada Ceng Liong! Tentu saja pe-muda ini cepat
mengelak ke belakang. Akan tetapi, pukulan yang tidak mengenai sasaran itu sudah disusul
oleh serangkaian pukulan lagi yang sema-kin lama menjadi semakin dahsyat.
"Plakk! Plakk!" Terpaksa Ceng Liong yang terdesak dan selalu mengelak ke belakang itu
kini menggunakan lengannya untuk menangkis. Tang-kisan yang dilakukan dengan
mengerahan tenaga dan akibatnya keduanya terkejut karena keduanya merasa betapa lengan
yang beradu dengan lengan lawan itu tergetar hebat! Ceng Liong kini mem-balas serangan
dan mereka segera terlibat dalam pertandingan yang seru, saling serang dengan jurus-jurus
pukulan yang aneh dan dahsyat. Kedua-nya menjadi semakin gembira ketika mendapat
kenyataan bahwa lawannya benar-benar amat tangguh. Karena dari cara orang itu menyerang
Ceng Liong maklum bahwa orang itu memang ha-nya ingin mengujinya, maka diapun
melayani orang itu dengan gembira dan diam-diam diapun mengerahkan tenaga dan
kepandaian untuk me-menangkan pertandingan itu.
Ketika pertandingan yang seru itu sudah berlangsung kurang lebih dua puluh jurus, nampak
bayangan dua orang berkelebat dan tahu-tahu Suma Kian Bu dan Teng Sian In sudah berdiri
di tempat itu dan mereka menonton pertandingan itu dengan alis berkerut dan terheran-heran.
Mereka tidak mengenal siapa adanya pria gagah perkasa berpakaian pemburu yang bertanding
dengan pu-tera mereka itu. Akan tetapi, melihat gerakan kedua orang itu, suami isteri sakti
inipun maklum bahwa mereka itu tidak berkelahi dengan sungguh-sung-guh, melainkan lebih
tepat kalau dikatakan berla-tih atau saling menguji ilmu masing-masing.
Istana Pulau Es 7 Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Hati Budha Tangan Berbisa 13
a kasih!" kata Gangga dan sekali berke-lebat gadis itu lenyap dari depan mereka. Bu-
taihiap menggeleng-geleng kepala kagum.
"Bukan main....!" katanya dan sambil meng-gandeng isterinya yang baru, pendekar ini lalu
kembali ke pondoknya, diikuti oleh ketiga isterinya yang lain.
Kembali Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee menggunakan seluruh kepandaiannya untuk
berlari secepat mungkin, kembali ke kota raja. Ia melaku-kan perjalanan secepatnya dan pada
keesokan hari-nya, pada hari ke tiga tibalah ia kembali ke tempat tinggal tabib yang
mengobati Ciang Bun. Tabib dan hwesio ahli racun yang menjadi sahabatnya itu sudah
hampir putus asa menanti kembalinya. Ba-gaimanapun, bagi mereka agaknya tidak mungkin
bisa mendapatkan obat yang amat langka itu dalam waktu tiga hari. Baru perjalanannya saja,
menggunakan kuda umpamanya, baru akan sampai da-lam waktu tiga hari pulang pergi!
Maka, kemun-culan Gangga yang tiba-tiba itu selain mengejut-kan hati mereka, juga
mendatangkan harapan yang menggembirakan.
"Bagaimana hasilnya, siauw-si-cu (tuan muda yang gagah)?" tanya mereka.
Gangga mengangguk dan mengeluarkan botol berisi tiga butir pel itu. "Kini belum musimnya
telur katak menetes, tak mungkin mencari anak-anak katak buduk hitam. Akan tetapi aku
mendapatkan pel racun katak buduk hitam itu dari seorang sakti yang harus diberikan kepada
Ciang Bun sehari sebutir, berturut-turut sampai tiga hari."
Tabib dan hwesio itu membuka tutup botol dan memeriksa tiga butir pel itu. Hwesio itu
begitu mencium baunya, segera mengangguk-angguk. "Omitohud.... racun katak buduk hitam
yang amat keras! Memang inilah obatnya, dan pinceng yakin pemuda gagah itu akan dapat
disembuhkan."
Dengan girang Gangga lalu membantu si tabib memberi pel itu kepada Ciang Bun yang
masih belum sadar. Dan dengan teliti dan telaten, Gangga mendampingi Ciang Bun sampai
tiga hari tiga malam lamanya! Dara ini tidak pernah mau mening-galkan pembaringan Ciang
Bun dan bahkan makan atau tidurpun ia lakukan di dekat pembaringan Ciang Bun. Ia tidur
sambil duduk dan selama tiga hari itu, wajahnya menjadi agak pucat karena ku-rang tidur dan
kurang beristirahat. Akan tetapi hatinya girang bukan main karena baru pada hari pertama
saja, wajah Ciang Bun yang tadinya biru kehijauan itu sudah mulai berobah, dan setiap hari
berangsur baik sampai pada hari ke tiga, sinar biru kehijauan pada wajahnya sudah lenyap
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
553 sama sekali. Dan pada hari ke empat, pagi-pagi sekali, pemuda itu mengeluh dan siuman!
Akan tetapi karena dia kurang makan, hanya menelan bubur encer saja selama tiga hari lebih,
tubuhnya masih lemah dan dia hanya dapat bergerak membuka mata dan me-noleh ke kanan
kiri. "Di manakah aku....?" tanyanya lemah.
Gangga yang duduk di dekatnya dan mengan-tuk, segera bangun dan mendekatinya. Ia
terse-nyum girang sekali. "Ah, engkau sudah siuman" Bagus sekali! Engkau telah sembuh,
bahaya telah lewat!"
Melihat pemuda ini, Ciang Bun teringat dan dia segera bangkit hendak duduk. Akan tetapi
tubuh-nya terasa lemas dan dia terpaksa merebahkan di-rinya kembali. Ganggananda cepat
membantunya rebah kembali dan berkata dengan halus, "Jangan engkau bangun dulu. Sudah
empat hari engkau tak sadarkan diri. Tunggu, biar aku buatkan bubur untukmu." Setelah
berkata demikian, diapun bang-kit dan cepat meninggalkan kamar menuju ke dapur.
"Omitohud, engkau beruntung sekali mempu-nyai sahabat sebaik itu, orang muda."
Ciang Bun menoleh dan memandang heran ke-pada dua orang kakek yang duduk tak jauh
dari situ. Dia tidak pernah mengenal hwesio dan kakek berpakaian sasterawan itu, yang duduk
di sudut kamar dan memandang kepadanya sambil terse-nyum girang. Akan tetapi dia cerdik
dan dapat menduga bahwa tentu pemuda yang menjadi sahabatnya itulah yang membawanya
ke sini dan agaknya dua orang kakek ini menjadi tuan rumah, bahkan mungkin sekali yang
menolongnya dan mengobatinya. Bukankah menurut Gangga tadi dia pingsan selama empat
hari" Sambil terus rebahan Ciang Bun mengangkat kedua tangan di depan dada. "Ji-wi locianpwe,
maafkan kalau saya belum mampu memberi hormat sepantasnya untuk menghaturkan terima
kasih atas pertolongan dan kebaikan ji-wi."
Dua orang kakek itu nampak semakin gembira. Sikap Ciang Bun itu menyenangkan hati
mereka. Kadang-kadang sikap jauh lebih berharga daripada pemberian benda berharga apapun
juga. "Si-cu tidak perlu berterima kasih kepada kami karena yang menyelamatkan nyawa si-
cu sesungguhnya adalah sahabat si-cu itu," kata kakek tabib yang segera menceritakan kepada
Ciang Bun bahwa pemuda ini pingsan dan terancam bahaya maut oleh pukulan Hoa-mo-kang
dan betapa Gangga-nanda dengan kecepatan yang sukar dapat diper-caya telah pergi
mencarikan obat penawarnya sam-pai berhasil menyembuhkan Ciang Bun.
"Omitohud....! Yang paling sukar dida-patkan di dunia ini adalah seorang sahabat yang setia
tanpa pamrih. Sahabat si-cu itu lupa makan lupa tidur untuk menjaga si-cu, sungguh
kebaik-annya amat mengharukan hati pinceng."
Diam-diam Ciang Bun merasa terharu sekali dan hatinya semakin erat terikat kepada
Gangga-nanda yang sebelumnya memang sudah amat me-narik hatinya. Tak di sangkanya
bahwa pemuda yang lincah jenaka, yang pandai bersajak dan amat menyenangkan itu ternyata
memiliki hati semulia itu dan merupakan seorang sahabat yang amat baik. Dia merasa
bersyukur sekali."Terus-terang saja, si-cu, kalau tidak ada sahabatmu itu, nyawamu tidak
mungkin dapat dito-long lagi. Si-cu berhutang nyawa kepadanya," kata si tabib dengan suara
sungguh-sungguh.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
554 Perasaan cinta yang tulus semakin mendalam di hati Ciang Bun terhadap pemuda yang selain
menarik hatinya, juga telah menyelamatkan nya-wanya itu. Dan setelah kekuatannya pulih
kem-bali, dia bersama Ganggananda berpamit dari tabib yang ramah tamah itu dan
meninggalkan rumah tabib dengan ucapan terima kasih. Ganggananda bahkan memberi biaya
yang cukup besar, dan ter-nyata pemuda ini membawa bekal emas yang cukup banyak
sehingga mengherankan hati Ciang Bun. Tahulah dia bahwa sahabatnya itu adalah seorang
yang selain pandai sastera dan silat, juga kaya raya.
"Ah, tak terasa lima hari telah lewat dan hari ini adalah hari yang telah kami tentukan untuk
bertemu di kota raja," katanya kepada Gangga-nanda.
Gangga memandang penuh perhatian. "Kami" Siapa yang kau maksudkan?"
"Adik Ganggananda yang baik, aku belum menceritakan riwayatku kepadamu. Yang
kumaksud-kan dengan kami adalah aku dan ciciku yang ber-nama Suma Hui."
"Hemm, agaknya ada hubungannya dengan mu-suh besarmu itu, ya" Diapun menyebutmu
seolah-olah engkau masih sanaknya. Apakah musuh be-sarmu itu.... kakak iparmu, suami
encimu?" "Engkau adalah seorang yang amat mulia, Gangga, dan aku sudah berhutang budi dan
nya-wa padamu, maka baiklah kuceritakan keadaan keluargaku, keluarga kami yang malang."
Ciang Bun menoleh ke kanan kiri, akan tetapi taman itu masih sunyi karena hari masih pagi
sekali. Dia mengajak Gangga pergi ke taman ini karena di sinilah dia berjanji dengan encinya
untuk mengadakan perte-muan pada hari ini atau hari-hari berikutnya kalau-kalau ada yang
terlambat. Mereka duduk di atas sebuah bangku panjang, di bawah pohon yang rindang
sambil menghadapi sebuah empang ikan emas yang dihias tumbuh-tumbuhan bunga teratai
merah dan putih.
Dengan hati mengandung penuh kepercayaan kepada sahabat barunya ini, Ciang Bun lalu
men-ceritakan semua riwayatnya, sejak dia bersama encinya dan Ceng Liong belajar ilmu di
Pulau Es sampai pertemuannya dengan musuh besarnya, yaitu Louw Tek Ciang.
Diceritakannya malapetaka yang menimpa keluarga kakeknya di Pulau Es yang kemudian
disusul malapetaka yang menimpa diri encinya, Suma Hui dan kejahatan yang dilakukan Tek
Ciang yang menjadi murid ayahnya dan juga menjadi suami encinya itu.
Gangga mendengarkan dengan penuh perhatian dan penuh perasaan sehingga wajahnya
sebentar merah karena marah dan pucat karena ikut merasa terharu dan berduka. Pandang
matanya tak pernah lepas dari wajah pemuda itu. Baru sekaranglah ia tahu mengapa pemuda
ini mati- matian menyerang Louw Tek Ciang yang telah menjadi kakak ipar-nya. Dan ia ikut
merasa marah sekali mendengar akan kelicikan dan kejahatan Louw Tek Ciang yang telah
menghancurkan kehidupan Suma Hui, kakak perempuan pemuda ini. Setelah Ciang Bun
menceritakan semuanya, pemuda itu menarik napas panjang.
"Demikianlah, Gangga. Sudah bertahun-tahun kami mendendam kepada jahanam itu dan
secara tak tersangka- sangka dan kebetulan sekali aku bertemu dengannya di telaga dalam
taman. Dapat kaubayangkan betapa girang rasa hatiku dan be-tapa dengan penuh semangat
aku berusaha untuk membunuhnya. Akan tetapi dia lihai dan juga licik, bahkan kinipun dia
dibantu seorang kawan yang agaknya lihai pula. Nyaris aku tewas kalau tidak ada engkau
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
555 yang menyelamatkanku, sahabatku." Berkata demikian, Ciang Bun menjulurkan tangan-nya
dan dipegangnya tangan Gangga. Pegangan ini dilakukan dengan perasaan penuh keharuan
dan juga penuh rasa kasih sayang sehingga terasa oleh Gangga betapa jari-jari tangan itu
mengandung getaran halus yang seolah- olah menembus kulit tangannya dan menjalar sampai
ke dalam dada, membuat jantungnya berdebar-debar dan bulu-bulu di lengannya dan
tengkuknya meremang. Ma-ka dengan halus pula ia menarik dan melepaskan tangannya dari
genggaman tangan pemuda itu.
"Ahhh, kenapa engkau begini sungkan dan bi-cara seperti itu, Ciang Bun" Bukankah kita ini
sahabat dan di antara sahabat baik tidak ada isti-lah tolong- menolong" Apa yang kulakukan
un-tukmu itu adalah wajar saja di antara sahabat. An-daikata aku yang menderita seperti
engkau, apakah engkau tidak mau menolongku juga?"
Jawaban yang sederhana dan jujur ini membuat Ciang Bun merasa terharu dan semakin suka
ke-pada pemuda ini. Dan diam-diam diapun menge-luh. Penyakit lamanya telah kambuh dan
kini semakin hebat! Selama ini, sudah tiga kali dia ter-tarik kepada pria, bukan hanya tertarik
biasa se-bagai teman, melainkan tertarik seperti orang jatuh cinta yang mengandung gairah!
Pertama adalah kepada Kao Cin Liong, walaupun pada waktu itu dia belum dewasa benar dan
rasa sukanya kepada Cin Liong disertai kekaguman akan kelihaian pe-muda itu dan juga rasa
akrab sebagai seorang kekasih encinya. Kemudian diapun jatuh cinta kepa-da Liu Lee Siang,
pemuda Pulau Nelayan itu walaupun pada waktu itu dia masih belum sadar benar akan
kelainan pada dirinya. Akan tetapi yang ke tiga kali ini, dia merasa betapa dia benar-benar
jatuh cinta kepada Ganggananda! Kini dia me-nyadari benar keadaan dirinya, bahkan selama
ini dia sudah berusaha dengan segala kekuatan batinnya untuk melawan hasrat dan
kecondongan hati yang tidak seperti pria pada umumnya itu. Kini dia merasa betapa seluruh
batinnya mencintai Gangga, dan timbul hasrat untuk berdekatan, se-dekat mungkin, untuk
melindungi, untuk bergan-tung. Ada suatu kemesraan di dalam batinnya terhadap Gangga dan
segala gerak-gerik pemuda ini amat manis dalam pandang matanya, amat ga-gah, baik dan
membuatnya tidak ingin berjauhan, tidak ingin berpisah lagi.
Itulah yang amat membingungkan dan menye-dihkan hatinya. Dia tahu bahwa kalau
dilanjutkan hubungannya dengan pemuda Nepal atau Bhutan ini, dia akan jatuh cinta semakin
dalam. Padahal, dia tahu bahwa hal ini tidak boleh terjadi. Dan Ganggananda tentu akan
memandangnya penuh penghinaan kalau sampai tahu akan kelainan diri-nya. Tidak, dia tidak
akan dapat menahan kalau sampai Ganggananda membencinya dan jijik melihatnya.
Ganggananda tidak boleh tahu akan kelainan dirinya. Ganggananda amat baik kepadanya,
tentu hanya sebagai sahabat, suka dan sayang kepadanya sebagai seorang sahabat, rasa suka
yang jujur dan bersih. Akan tetapi dia" Dia mencinta Gang-gananda, bukan hanya sayang dan
suka, akan tetapi juga bangkit berahinya berdekatan dengan pemuda halus itu! Dan mana
mungkin dia dapat bertahan kalau berdekatan terus. Tidak, dia harus menjauh-kan diri, harus
membiarkan bayangan dirinya tetap tinggal di hati Ganggananda sebagai seorang sa-habat
yang disukanya, bukan sebagai seorang la-ki-laki ganjil yang dibencinya.
"Gangga, tentu saja aku akan berusaha meno-longmu kalau engkau berada dalam kesukaran,
bahkan aku rela untuk membelamu dengan nyawa-ku sekalipun. Gangga, aku suka padamu,
aku sa-yang dan cinta padamu, karena itu kalau engkau tidak berkeberatan, aku ingin
sekali mengangkatmu sebagai saudaraku!" Aneh sekali, dalam suaranya terkandung keharuan
dan kesedih-an sehingga suara pendekar muda ini gemetar. Tidak mengherankan karena
memang hatinya ber-duka. Ciang Bun telah mengambil keputusan ka-rena hanya itulah satu-
satunya jalan keluar. Dia harus mengangkat Gangga sebagai saudara! Kalau sudah menjadi
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
556 saudara, tentu akan lain pandang-annya, lain lagi perasaan hatinya terhadap Gangga. Ikatan
persaudaraan itu diharapkannya akan mero-bah perasaan cinta berahi menjadi cinta saudara
tanpa berahi, tanpa gairah yang menyesakkan da-danya untuk dapat berdekatan dan
bermesraan dengan Gangga.
Akan tetapi mendengar ucapan Ciang Bun itu, Gangga membelalakkan sepasang matanya
yang indah. Ia nampak terkejut sekali dan sebelum ia menjawab, ia sudah menggeleng kepala
tanda tidak setuju. Kemudian terdengar ia berkata, "Ah, tidak, Ciang Bun. Aku tidak mau, aku
lebih senang men-jadi sahabatmu saja, sahabatmu yang amat baik. Apa sih bedanya menjadi
sahabat atau sau-dara angkat?"
Dan Ciang Bun merasa lega dengan jawaban ini! "Tidak.... tidak apa-apa, hanya aku ingin
agar hubungan antara kita lebih erat, akan tetapi kalau engkau tidak mau, akupun tidak
kecewa dan kita menjadi sahabat yang amat baik."Ganggananda khawatir kalau menyinggung
hati pemuda itu dan dipegangnya tangan Ciang Bun. "Sahabatku yang baik. Siapa orangnya
tidak akan merasa bangga menjadi saudara angkat seorang pendekar sepertimu" Apalagi
engkau adalah ke-turunan keluarga Pulau Es! Akan tetapi, aku sudah cukup bangga dan puas
menjadi sahabatmu saja, sahabat yang setia dan akrab."
"Terima kasih, Gangga, terima kasih. Engkau lebih baik daripada seorang sau-dara bagiku."
kata Ciang Bun dan kembali tangan-nya gemetar ketika bersentuhan dengan jari-jari tangan
Gangga, membuat Gangga kembali menarik tangannya dengan halus.
Percakapan mereka terhenti karena pada saat itu muncul seorang pemuda dan seorang gadis
di-kawal oleh tujuh orang. Melihat pakaian dua orang muda itu, mudah diduga bahwa mereka
tentulah anak-anak pembesar atau hartawan. Pemuda itu berwajah tampan, dan gadis itupun
manis dan melihat wajah mereka, dapat diduga bahwa mereka itu tentu saudara sekandung.
Mata, hidung dan mulut mereka mirip sekali. Pemuda itu usianya kurang lebih enam belas
tahun dan si gadis agaknya adiknya, lebih muda satu dua tahun. Tujuh orang yang mengawal
mereka itu tidak berpakaian sera-gam, akan tetapi dari sikap mereka ketika berjalan, dapat
diduga bahwa mereka tentulah anak buah pasukan pengawal yang memiliki ilmu silat
tangguh. Di punggung mereka terselip senjata, ada yang membawa pedang, ada pula golok.
Sikap tujuh orang ini congkak seperti sikap pengawal-pengawal dan tukang-tukang pukul
pada umumnya. Kalau muda-mudi itu berjalan-jalan sambil melihat--lihat bunga dengan sikap
gembira, tujuh orang pengawal itu melirik ke arah Ciang Bun dan Gang-gananda dengan
pandang mata penuh selidik. Akan tetapi karena dua orang muda ini tidak mem-bawa apa-apa
dan sikapnya tidak mencurigakan, merekapun tidak memperhatikan lagi dan seben-tar saja
mereka sudah lewat.
"Uh, congkak-congkak benar sikap tukang-tu-kang pukul itu." kata Ganggananda dengan
nada suara gemas. "Kalau ada alasannya, tentu akan se-nang hati aku menghajar mereka."
Ciang Bun tersenyum. "Jangan galak-galak, Gangga. Tiada hujan atau angin, engkau ingin
menghajar orang. Apalagi kalau hujan angin...."
"Kalau hujan angin, aku tentu lari mencari tempat perlindungan!" Gangga memotong dan
terta-wa. Ciang Bun juga tertawa, akan tetapi tiba-tiba dia menghentikan suara ketawanya dan
menyentuh lengan Gangga sambil menoleh ke kiri. Gangganada juga menoleh dan
perhatiannya tertarik kepada dua orang kakek yang datang menuju ke tempat itu. Dua orang
kakek itu agaknya mengikuti atau membayangi rombongan muda-mudi tadi, dan keadaan dua
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
557 orang kakek itu menarik perhatian mereka. Dari sikap mereka, gerak-gerak mereka dan
langkah kaki mereka, Ciang Bun dapat menduga bahwa dua orang kakek ini bukan
sembarangan, sama sekali tidak boleh disamakan dengan tujuh orang pengawal yang garang
dan congkak tadi.
Pandang mata Ciang Bun memang tajam. Dua orang kakek yang berjalan perlahan-lahan
mema-suki taman dan membayangi rombongan muda mudi itu dari jauh memang bukan
orang-orang sembarangan. Bahkan keduanya adalah tokoh-tokoh besar di dunia persilatan,
walaupun mereka jarang muncul di dunia kang-ouw. Seorang di an-tara mereka adalah
seorang kakek berusia hampir tujuh puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan meli-hat jubah dan
kepalanya, mudah diduga bahwa dia adalah seorang pendeta Lama. Kepalanya gundul tak
tertutup, jubahnya berwarna merah kotak-kotak, telinganya amat menarik karena besar sekali,
dua kali lebih besar daripada ukuran telinga ma-nusia biasa. Di lehernya tergantung tasbeh
hitam dan di pinggangnya terselip sebatang suling. Kelihatannya seorang pendeta Lama biasa
saja, akan tetapi sebenarnya dia adalah Thai Hong Lama, seorang sakti yang tadinya pernah
menjadi sekutu Gubernur Yong Ki Pok yang memberontak di Sin--kiang. Adapun orang ke
dua tidak kalah lihainya. Diapun berpakaian pendeta atau pertapa, seperti pakaian seorang
tosu. Pakaiannya putih bersih dan rambutnya yang panjang dibiarkan terurai. Usia-nya sudah
tujuh puluh tahun lebih dan tubuhnya tinggi kurus, matanya sipit. Dia adalah Pek-bin Tok-
ong, seorang pertapa dari Pegunungan Gobi yang selain lihai, juga berhati kejam. Biarpun
kedua orang kakek ini datang dari tempat yang berjauhan, akan tetapi keduanya menjadi
rekan dan sahabat ketika mereka menjadi sekutu Gubernur Yong Ki Pok.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, dua orang kakek ini membantu gerakan Gubernur
Yong di barat yang memberontak. Akan tetapi gerakan itu dapat dihancurkan oleh pasukan
pemerintah yang dipimpin oleh Jenderal Muda Kao Cin Liong. Gubernur itu sendiri tertawan
dan tewas, gerakannya hancur. Akan tetapi dua orang kakek ini yang memiliki kepandaian
tinggi, berhasil menyelamat-kan diri dan lolos dan karena mereka berdua mera-sa
seperjuangan dan senasib, maka merekapun se-lanjutnya menjadi sahabat dan ke manapun
mereka bersama-sama. Sebagai buronan pemerintah, mereka menyembunyikan diri dan baru
setelah kini keadaan menjadi reda dan dingin, mereka be-rani muncul. Keadaan mereka
sebagai dua orang pendeta tentu saja tidak mencurigakan dan tidak menarik perhatian,
bahkan mereka dihormati dan tidak pernah diganggu oleh para penjaga. Dan kedua orang
inipun memiliki kepandaian dan ke-dudukan yang terlalu tinggi untuk merendahkan diri
melakukan kejahatan-kejahatan biasa yang remeh. Andaikata mereka itu membutuhkan uang,
tentu mereka akan mengambilnya dari kamar harta seorang pembesar atau hartawan tanpa ada
yang tahu, bukan hanya mencuri atau merampok biasa saja.
Melihat betapa dua orang kakek itu dengan langkah kaki perlahan namun mantap berjalan-
ja-lan akan tetapi jelas membayangi rombongan muda-mudi yang dikawal tujuh orang itu,
Suma Ciang Bun memberi isyarat kepada Ganggananda. Mereka saling pandang dan
kemudian mengikuti perjalanan rombongan muda-mudi dengan dua orang kakek yang
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membayanginya itu dengan pe-nuh perhatian sampai mombongan itu keluar dari dalam taman
menuju ke taman atau hutan kecil di depan. Hutan ini hutan buatan untuk keperluan kaisar
dan para pembesar tinggi melakukan perbu-ruan. Kalau musim berburu tiba, hutan kecil itu
diramaikan oleh binatang-binatang yang sengaja dilepas di situ untuk diburu dan dibunuh oleh
para pejabat tinggi. Setelah bayangan rombongan itu lenyap, Ciang Bun mengerutkan alisnya.
"Gangga, sikap dua orang kakek itu amat men-curigakan. Apa yang mereka kerjakan dengan
membayangi rombongan muda-mudi itu?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
558 Ganggananda mengangguk. "Memang mencuri-gakan. Mungkin mereka itu merupakan
pengawal pribadi yang melakukan pengawalan secara ter-sembunyi. Sikap mereka jelas
membayangkan bahwa dua orang kakek itu memiliki ilmu kepan-daian tinggi."
"Engkau benar, mereka itu tentu bukan orang--orang sembarangan. Mungkin juga mereka itu
menjadi pengawal-pengawal rahasia muda-mudi mewah itu, akan tetapi aku khawatir jangan-
ja-ngan mereka itu malah mempunyai niat yang tidak sehat terhadap rombongan pertama itu.
Aku melihat kekejaman membayang pada pandang mata dua orang kakek itu, terutama sekali
si tosu. Ketika dia melirik ke sini dan memandang kita, aku mera-sa serem."
"Hemm, biarkan saja, urusan mereka sendiri. Tujuh orang pengawal itupun congkak sekali,
bu-kan watak orang-orang baik, maka biarkan mereka itu saling hantam sendiri dengan dua
orang kakek itu."
"Akan tetapi aku tetap curiga, Gangga. Jangan-jangan dua orang kakek itu mempunyai niat
buruk terhadap muda-mudi itu dan biarpun mereka itu dikawal oleh orang-orang congkak,
mereka sendiri adalah remaja-remaja yang tidak berdosa. Mari kita bayangi mereka dan lihat
apa yang akan ter-jadi."
"Bagaimana kalau encimu muncul nanti?"
"Jangan khawatir, kami sudah saling berjanji untuk saling menanti di sini selama sepekan
terhi-tung hari ini, menjaga kalau-kalau seorang di antara kami akan terlambat. Kalau nanti ia
datang, tentu ia akan menungguku."Keduanya lalu bangkit dan melakukan penge-jaran ke
arah lenyapnya rombongan muda-mudi berpakaian mewah tadi. Akan tetapi bayangan mereka
sudah tidak nampak lagi. Ketika Gangga-nanda dan Ciang Bun sedang mencari dengan mata
dan telinga mereka dan bingung karena tidak tahu harus melakukan pengejaran ke arah yang
mana, tiba-tiba mereka mendengar lapat-lapat suara orang berkelahi di sebelah barat.
Keduanya lalu cepat lari menuju ke arah itu dan tak lama kemu-dian mereka melihat
perkelahian yang sungguh berat sebelah.
Kakek pendeta Lama berkepala gundul itu se-dang dikepung dan dikeroyok oleh tujuh orang
pengawal itu! Para pengawal mempergunakan senjata golok atau pedang, sedangkan pendeta
Lama itu hanya bertangan kosong saja menghadapi mereka. Akan tetapi, sekali pandang saja
tahulah Ciang Bun dan Gangga bahwa kakek itu lihai luar
biasa dan sedang mempermainkan tujuh orang la-wannya yang kelihatan galak dan garang.
Sambar-an pedang dan golok berkelebatan dan bergulung--gulung menyilaukan mata, akan
tetapi tubuh kakek pendeta Lama itu seperti melayang-layang di an-tara gulungan sinar
pedang dan golok, dan jika ada sinar senjata yang menyambar terlalu dekat, dia cukup
mengebutkan ujung lengan bajunya dan senjata itupun terpental! Adapun kakek ke dua yang
seperti tosu itu hanya berdiri di pinggir, menonton. Dia sama sekali tidak membantu temannya
karena kakek ini tentu yakin pula bahwa temannya akan menang dengan mudah menghadapi
tujuh orang pengeroyok yang hanya mengandalkan sen-jata tajam dan tenaga kasar itu.
"Lama tua, jangan main-main seperti anak ke-cil. Lekas bereskan mereka!" kata tosu yang
sudah kita kenal sebagai Pek-bin Tok-ong itu.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
559 "Ha-ha-ha!" Thai Hong Lama tertawa sam-bil menyampok sebuah golok dengan lengan
baju-nya sehingga golok itu terpental dan hampir terle-pas dari tangan pemegangnya.
"Agaknya kau su-dah tidak sabar lagi, Tok- ong" Lihat, sepasang burung dara remaja yang
lunak dagingnya itu takkan dapat terbang ke manapun juga, ha-ha!"
Akan tetapi, biarpun berkata demikian, agaknya pendeta Lama itupun sudah jemu
mempermainkan tujuh orang pengeroyoknya. Tiba-tiba saja tangannya menyentuh tasbeh
yang tergantung di lehernya dan sekali tarik, dia sudah mengambil tasbeh itu keluar dari
lehernya dan dan nampaklah sinar hitam berguung-gulung ketika tasbeh iu diputar-putar. Dan
terdengarlah suara nyaring berdentangan ketika pedang dan golok tujuh orang itu terlempar
karena benturan tasbeh, disusul teriakan mereka yang roboh satu demi satu dengan kepala
pecah terpukul tasbeh! Berturut-turut dengan masing-masing sekali serangan saja, lama itu
telah merobohkan dan menewaskan tujuh orang pengeroyoknya.
Melihat ini, Ciang Bun dan Gangga terkejut sekali. Tadinya, melihat perkelahian itu mereka
tidak mau turut campur, karena mereka tidak tahu apa urusan mereka yang sedang berkelahi
itu. Apalagi melihat betapa pendeta Lama itu dikeroyok tuj-uh. Bagaimana mungkin mereka
turun tangan. Pendeta itu tidak terdesak dan jelas akan menang, dan mereka berdua enggan
membantu tujuh orang pengawal yang kasar, congkak dan yang kini se-cara curang
mengeroyok seorang lawan dengan tujuh orang. Akan tetapi, sungguh tidak disangka oleh
Ciang Bun dan Gangga bahwa kakek itu akan menurunkan tangan maut seganas itu, sekaligus
membunuh tujuh orang lawannya. Juga mereka berdua terkejut, maklum bahwa sesungguhnya
pendeta Lama itu lihai bukan main dan merekapun dapat menduga bahwa temannya, si tosu
itu, tentu lihai pula.
Kini, dua orang muda yang agaknya kakak dan adiknya itu memandang terbelalak dan dara
remaja itu menangis dalam rangkulan kakaknya. Mereka memandang pucat dan ketakutan
melihat betapa para pengawal mereka terbunuh. Keduanya lalu membalikkan tubuh dan
hendak melarikan diri. Akan tetapi, dua orang kakek itu tertawa dan seka-li berkelebat,
mereka sudah meloncat dan di lain saat, Thai Hong Lama sudah menyambar tubuh gadis kecil
itu sedangkan Pek-bin Tok-ong me-nyambar tubuh pemuda remaja. Mereka menyam-bar
bagaikan dua ekor burung rajawali menyambar dua ekor burung dara yang ketakutan dan
sambil tertawa-tawa, keduanya memondong korban me-reka dan berlari cepat sekali
meninggalkan tempat itu.
Ciang Bun dan Gangga sejak tadi bengong saja. Mereka masih terkejut melihat betapa kakek
pen-deta itu membunuh tujuh orang dengan ganas, akan tetapi ketika mereka melihat dua
orang kakek itu menangkap dan melarikan muda-mudi, mere-ka berdua masih ragu-ragu dan
tidak mengerti apa yang dimaksudkan dua orang kakek itu.
"Kita kejar mereka!" kata Ciang Bun. Akan tetapi sebelum dia bergerak, Gangga menyentuh
tangannya. "Apa gunanya kita mengejar mereka" Mungkin dua orang kakek lihai itu hendak mengambil
me-reka sebagai murid! Kalau kita mengejar dan da-pat menyusul, habis kita mau apa"
Perkelahian mereka dengan tujuh pengawal itu bukan urusan kita dan kalau mereka hendak
mengambil murid, itupun tidak ada sangkut-pautnya dengan kita. Kenapa kita harus
mencampuri urusan orang dan hanya mencari permusuhan dengan orang-orang lihai?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
560 "Bukan demikian, Gangga. Akan tetapi hatiku tidak enak. Apakah engkau tidak melihat
betapa kakek gundul itu ketika menangkap gadis cilik, te-lah mengelus pipi gadis itu" Dan
aku melihat jelas betapa tosu itupun mencium pipi si pemuda remaja! Begitukah sikap orang
yang akan meng-ambil murid" Aku curiga sekali dan mari kita kejar mereka, dan kita lihat
dan dengan teliti apa yang akan mereka lakukan. Kalau memang benar mereka berniat baik
terhadap muda-mudi itu, tentu saja kita tidak usah mencampuri. Akan tetapi kalau mereka itu
mempunyai niat busuk, seperti yang kukhawatirkan, kita harus menolong dua orang remaja
itu." Gangga terpaksa harus membenarkan pendapat sahabatnya dan mereka cepat meninggalkan
tempat itu dan melakukan pengejaran ke arah lari-nya dua orang kakek yang menculik dia
orang muda-mudi itu. Dan ternyata mereka harus ber-lari cepat dan mencari ke sana-sini
karena dua orang kakek itu lenyap tanpa meninggalkan jejak. Setelah menjelajahi hutan kecil
itu tanpa hasil, Gangga menjadi putus harapan dan hendak membujuk sahabatnya untuk
menyudahi saja pen-carian yang sia-sia itu. Akan tetapi Ciang Bun menggeleng kepala.
"Gangga, entah bagaimana, akan tetapi perasa-anku mengatakan bahwa dua orang kakek itu
ada-lah datuk- datuk sesat yang mampu melakukan segala macam hal yang mengerikan dan
jahat sekali. Aku mengkhawatirkan keselamatan dua orang re-maja itu. Kita harus cari dan
susul sampai dapat."
"Akan tetapi, ke mana kita harus menyusul dan mencari" Mereka tidak berada di dalam hutan
ini, dan ternyata mereka mampu berlari cepat sekali sehingga kita kehilangan jejak mereka."
Ciang Bun berpikir keras sambil menundukkan mukanya. Kemudian dia mengangkat muka
dan memandang wajah sahabatnya. "Gangga, di waktu siang seperti ini, mereka tidak akan
dapat melaku-kan perbuatan jahat di tempat umum. Maka, ka-lau mereka memang berniat
jahat, tentu mereka akan mencari tempat sunyi dan satu- satunya tem-pat sunyi tentu saja
keluar dari kota raja ini. Tem-pat ini paling dekat dengan pintu gerbang kota raja sebelah
barat, maka kurasa mereka lari melalui pintu gerbang itu. Mari kita kejar ke sana."
Perhitungan Ciang Bun memang tepat sekali. Ketika mereka tiba di pintu gerbang dan
melaku-kan penyelidikan dengan bertanya-tanya, mereka mendengar bahwa memang tadi ada
dua orang ka-kek yang menurut penggambarannya adalah benar dua orang yang mereka kejar,
memondong pemuda remaja dan seorang gadis cilik. Menurut keterangan dua orang kakek
pendeta itu, dua orang remaja itu menderita sakit lumpuh dan kini mereka hendak membawa
muda-mudi itu ke gunung untuk dio-bati. Adapun muda-mudi itu selain lumpuh, nam-paknya
payah sekali karena seperti orang pingsan dan lemas. Melihat bahwa dua orang kakek itu
adalah pendeta-pendeta yang kelihatannya alim, tidak ada yang menaruh curiga dan dengan
mudah dua orang pendeta itu keluar dari kota raja melalui pintu gerbang sebelah barat ini.
Mendengar keterangan ini, makin besar keyakin-an hati Ciang Bun bahwa dua orang kakek
itu ten-tulah mempunyai niat yang busuk terhadap dua orang muda-mudi yang mereka tawan.
Bahkan kini Gangga sendiripun menanuh curiga dan dengan penuh semangat iapun bersama
Ciang Bun mela-kukan pengejaran ke barat.
Setelah matahari condong ke barat, tiba-tiba Ciang Bun memegang lengan Gangga dan
menu-dingkan telunjuknya ke arah sebuah kuil tua yang terletak di lereng bukit di depan.
"Lihat, kuil tua itu berada di tempat terpencil, jauh dari desa dan agaknya kosong. Merupakan
tempat yang baik se-kali untuk melakukan perbuatan busuk, bukan?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
561 "Entahlah, aku tidak pernah melakukan perbuatan busuk sih!"
Mendengar jawaban ini, Ciang Bun menatap wajah Gangga dan tersenyum lebar. "Akupun
be-lum pernah. Apa kaukira aku biasa melakukan perbuatan busuk?" Pertanyaan yang
dimaksudkan untuk melayani kelakar Gangga itu tanpa disengaja telah menusuk hatinya
sendiri. Apakah kelainan-nya itu termasuk sesuatu yang busuk?"Nah, kalau kita belum pernah
melakukan, ma-na bisa tahu apakah tempat seperti kuil itu baik untuk melakukan perbuatan
busuk." "Gangga, maaf, bukan waktunya bergurau. Ma-ri kita cepat ke sana, aku khawatir kalau-
kalau kita terlambat!"
Mereka berlari lagi menuju ke lereng bukit itu. Di waktu mereka berlari cepat, Gangga masih
sem-pat bertanya, "Ciang Bun, aku tidak mengerti. Ke-jahatan apa yang dapat dilakukan dua
orang kakek itu terhadap muda- mudi remaja itu?"
"Kejahatan apa" Mungkin mereka.... akan diperkosa, seperti yang telah menimpa diri
enciku." "Hemm, mungkin saja. Akan tetapi mana bisa hal itu menimpa si pemuda remaja" Mengapa
pula dia ikut diculik" Mau diapakan?"
"Mungkin mau dibunuh!"
"Tidak mungkin, kalau memang dua orang ka-kek itu berniat membunuh mereka, tentu sudah
dilakukannya di hutan itu, tidak usah repot-repot diculik."
"Atau bisa jadi untuk disiksa, dijadikan sandera, untuk minta uang tebusan. Nampaknya dua
orang muda- mudi itu anak-anak orang kaya atau peja-bat tinggi."
"Itupun kecil kemungkinannya. Dua orang ka-kek itu andaikata benar penjahat, tentu bukan
pen-jahat- penjahat kecil yang suka menculik dan me-lakukan pemerasan."
Ciang Bun kehabisan akal. Dia mempunyai dugaan lain di dalam hatinya terhadap diri
pemu-da itu, akan tetapi dia tidak dapat menceritakan dugaannya itu kepada Gangga. Seorang
pemuda seperti Gangga tentu akan tidak percaya dan me-rasa heran, juga jijik kalau dia
mengatakan bahwa mungkin kakek-kakek itu akan memperkosa pula diri pemuda itu.
"Barangkali dua orang kakek itu mempunyai bibit permusuhan dan dendam dengan keluarga
muda-mudi itu."
Mendengar ini, Gangga terkejut. "Ah, kenapa aku tidak memikirkan hal itu" Mungkin sekali
te-pat dugaanmu terakhir ini. Mari kita percepat lari kita!" Dan kini Ciang Bun harus
mengerahkan seluruh tenaganya karena begitu Gangga memper-cepat larinya, dia tertinggal
jauh di belakang. Dia merasa khawatir sekali.
"Gangga tunggu....! Jangan sembrono, mereka itu lihai sekali!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
562 Setelah tiba di depan kuil mereka bersem-bunyi dan mengintai. Sebuah kuil tua yang
memang kosong dan sudah tidak dipergunakan atau ditinggali orang lagi. Pintunya sudah
jebol, temboknya penuh lumut dan dijalari tanaman-tanaman liar. Atapnya sebagian juga
sudah jebol. Ciang Bun memberi isyarat kepada Gangga dan mereka lalu berindap
menghampiri kuil dari dua jurusan. Me-reka berpencar untuk mengintai dan mengelilingi kuil
dan bertemu di belakang kuil. Gangga meng-ambil jalan sebelah kiri kuil dan Ciang Bun
sebelah kanan. Dengan cekatan Ciang Bun meloncat mendekati dinding kuil yang berlumut, kemudian
berjalan menuju ke belakang dan mengintai melalui jendela--jendela jebol. Tiba-tiba dia
menahan kakinya dan mengintai dari celah-celah dinding yang retak. Dia mendengar suara di
dalam dan ketika meng-intai, matanya terbelalak dan mukanya berobah merah sekali. Dia
melihat hal yang memang dikha-watirkan terjadi di balik dinding retak itu. Pemuda remaja itu
nampak terbelalak ketakutan, wajah-nya pucat sekali, pakaiannya awut-awutan dan dia
dipangku oleh kakek tinggi kurus seperti tosu yang menciumi dan menjilati seluruh tubuhnya
yang sebagian banyak sudah telanjang karena pa-kaiannya direnggut lepas. Pemuda remaja itu
tidak melawan, hanya menggigil ketakutan dan hampir pingsan. Ciang Bun mengepal tinju.
Hatinya merasa muak dan jijik. Kini dia melihat sendiri seorang kakek yang agaknya
mempunyai kelainan seperti dia, yaitu suka kepada sama-sama lelaki, sedang melampiaskan
nafsu birahinya kepada seorang pe-muda remaja. Dia merasa malu dan muak, juga jijik. Dia
merasa seolah-olah dia sendiri yang melakukan itu, karena melihat pemuda tampan itu hampir
telanjang, harus diakuinya bahwa ada se-macam gairah menyesak di dadanya. Gairah itu
segera ditekannya dan jiwa pendekarnya bangkit.
Pada saat yang sama, Gangga juga mengepal tinju dan terbelalak melihat betapa dara cilik
yang usianya baru tiga belas atau empat belas tahun itu, menangis dan menggeliat-geliat di
atas pangkuan pendeta Lama yang tinggi besar dan yang meng-gunakan kedua tangannya
yang besar dan berbulu untuk membelai dan menggerayangi seluruh tubuh anak itu sambil
menyeringai lebar menjijikkan.
"Iblis tua bangka cabul!" Gangga membentak marah.
Teriakan Gangga ini terdenggar oleh Ciang Bun yang juga membentak, "Kakek iblis tak tahu
malu!" Mendengar bentakan-bentakan dari kanan kiri, dua orang kakek itu terkejut sekali,
juga marah. Mereka merasa betapa kesenangan mereka tergang-gu dan mereka mendorong
tubuh korban masing-masing dari atas pangkuan, kemudian keduanya berloncatan keluar dari
dalam kuil untuk melihat siapa yang berani menentang mereka.
Baru saja mereka tiba di halaman depan kuil tua itu, Gangga sudah menyerang Thai Hong
Lama yang tinggi besar dan yang diintainya tadi dengan pukulan kilat dan dahsyat. Juga
Ciang Bun sudah menerjang dan memapaki Pek-bin Tok-ong dengan pukulan mautnya.
"Haiiiiittt....!" Gangga mengeluarkan suara melengking nyaring dan terkejutlah Thai Hong
Lama melihat serangan yang amat cepat ini.
"Hahh! Ehhh....!" Dia cepat mengebut-kan ujung lengan bajunya, akan tetapi demikian
cepatnya gerakan tangan Gangga sehingga sebelum tangan itu tertangkis, gerakannya sudah
berobah lagi dan kini mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Thai Hong Lama. Untuk
dapat menyerang ubun-ubun kepala lawan yang tinggi besar ini, Gangga meloncat dengan
amat ringan seperti see-kor burung terbang saja.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
563 "Hemm....!" Thai Hong Lama tidak berani memandang ringan lawannya. Dia tahu bahwa
biarpun lawan ini masih amat muda, namun telah memiliki kepandaian hebat, terutama sekali
gin-kangnya sungguh amat luar biasa dan berbahaya. Maka diapun tidak bersikap sungkan
dan malu lagi. Dikeluarkannya senjata tasbeh hitam yang melingkari lehernya, juga
dicabutnya sebatang suling bam-bu dari saku jubahnya. Inilah senjata istimewa kakek itu.
Seuntai tasbeh hitam dan sebatang suling! Dan begitu dia menggerakkan kedua tangan,
terdengar suara berkerotokan dari tasbeh dan suara melengking sulingnya. Kedua senjata itu
melaku-kan serangan dahsyat yang membuat Gangga ter-paksa mengandalkan gin-kangnya
untuk meloncat jauh ke belakang. Ia kaget sekali karena biarpun gerakannya cepat, namun
serangan tadi hampir melukainya.
"Ha-ha-ha-ha....! Tok-ong, ini na-manya ikan mendarat ke penggorengan, ha-ha-ha. Kita
disuguhi calon makanan yang lezat." Thai Hong Lama tertawa dan dia sudah bergerak maju
lagi menerjang Gangga. Sulingnya melakukan to-tokan-tatokan yang mengarah jalan darah
yang melumpuhkan, dan dari serangan-serangan ini saja maklumlah Gangga bahwa lawannya
tidak bermak-sud mengalahkannya dengan membunuh, melain-kan menangkapnya hidup-
hidup. Teringat akan penglihatan di dalam tadi, ia dapat membayangkan bagaimana nasibnya
kalau sampai tertawan hidup--hidup. Mukanya berobah semakin merah dan ke-marahannya
memuncak. Iapun mengeluarkan sua-ra melengking-lengking dan tubuhnya berkelebatan
membuat lawannya terkejut sekali.
Di lain pihak, Pek-bin Tok-ong juga sudah menyambut serangan Ciang Bun dengan
tangkisan sambil mengerahkan tenaga.
"Dukkk!" Mereka mengadu sin-kang dan ter-nyata kakek itu cukup kuat menahan pukulan
Ciang Bun dengan lengannya, walaupun diam-diam ka-kek ini terkejut ketika merasakan
betapa ampuh dan kuatnya pukulan orang muda yang tampan ini. Dia tidak mau kalah lagak
dengan temannya. Mende-ngar suara temannya dia pun tertawa."Bagus, orang muda yang
tampan. Engkau bo-leh menemaniku untuk beberapa malam lamanya. Engkau tentu lebih kuat
daripada pemuda harta-wan itu, ha-ha-ha!"
Akan tetapi, kakek tinggi kurus ini tidak dapat melanjutkan sikapnya memandang remeh
kepada lawannya. Cian Bun sekarang bukanlah Ciang Bun beberapa tahun yang lalu. Dia
telah meneri-ma gemblengan dari ayah ibunya selama tiga tahun ini dan telah mewarisi ilmu-
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ilmu Pulau Es! Dan kini, menghadapi seorang lawan tangguh, pemuda ini segera
mengerahkan tenaga Pulau Es, yaitu gabungan Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang.
Biarpun tentu saja latihannya belum matang karena ilmu- ilmu Pulau Es adalah ilmu-ilmu
tinggi yang membutuhkan banyak waktu untuk berlatih, namun karena ilmu-ilmunya memang
ilmu pilihan, sebentar saja kakek Pek-bin Tok- ong me-rasa repot menghadapi pemuda ini.
"Heiiiiittt....!" Dia membentak dan kini dia mengeluarkan pukulan-pukulan Hun-kin Coh-
kut-ciang (Pukulan Memutuskan Otot dan Mele-paskan Tulang). Kedua tangannya seperti dua
batang golok saja membacok dan menyambar-nyambar, mengeluarkan suara bersiutan
mengerikan ketika bergerak.
"Plakk! Dukk....!" ketika dua kali lengan Ciang Bun bertemu dengan tangan yang
dimiring-kan itu, dia tidak kalah tenaga, akan tetapi kulit-nya terasa perih seperti terbacok
senjata tajam. Kedua lengannya untung terlindung oleh sin-kang yang amat kuat, kalau tidak
tentu otot-ototnya putus dan tangannya terlepas! Pemuda ini berhati--hati dan memainkan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
564 Toat-beng Bian-kun yang membuat kedua tangannya lembut dan lunak se-perti kapas namun
mengandung kekuatan yang dapat mencabut nyawa, dan melengkapianya dengan ilmu silat
aneh Cui-beng Pat-ciang yang dipela-jarinya dari ibunya. Menghadapi ilmu campuran yang
serba aneh dan tinggi ini, beberapa kali Pek-bin Tok-ong mengeluarkan seruan kaget dan
heran. Kalau Ciang Bun dapat menguasai keadaan de-ngan ilmu silatnya yang pada dasarnya
memang jauh lebih menang mutunya ketimbang lawan, sebaliknya Gangga repot sekali
menghadapi desakan Thai Hong Lama. Suling dan tasbeh hitam di ta-ngan kakek gendut itu
benar-benar amat berbahaya dan pendeta Lama ini memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat,
juga tubuhnya kebal sehingga be-berapa kali tamparan tangan Gangga yang menge-nai perut
atau dadanya mental kembali seperti bola karet yang amat kuat saja. Sebaliknya, senjata-
senjata di tangan kakek itu harus selalu dielakkan-nya, karena Gangga tidak berani menangkis
dengan tangan. Terlampau berbahaya baginya untuk mencoba-coba menyambut kedua senjata
itu de-ngan tangan, walaupun ia sudah pernah mempelajari dan menghimpun tenaga Inti Bumi
dari ayahnya. Maka, ia hanya mengandalkan gin-kangnya yang menang jauh ketimbang lawan
untuk mengelak, berlompatan ke sana-sini seolah-olah ia sedang menari-nari di antara dua
gulungan hitam dan putih dari tasbeh dan suling kakek itu.
Biarpun Ciang Bun dapat mendesak lawan, akan tetapi dia maklum bahwa untuk
menjatuhkan la-wannya ini membutuhkan waktu, sedangkan dari tempat dia berkelahi
dilihatnya bahwa keadaan Gangga tidak menguntungkan. Maka, diapun cepat mencabut
sepasang siang-kiam dari punggungnya.
"Sringggg....!" Nampak dua gulungan sinar dan begitu Ciang Bun maikan pedang di kedua
tangannya, Pek-bin Tok-ong yang bermuka putih ini menjadi pucat. Menghadapi pemuda ini
ber-tangan kosong saja sudah membuat dia kewalahan, apalagi pemuda itu kini menggunakan
sepasang pedang dan ternyata ilmu pedang pemuda ini he-hat bukan main! Dia cepat
meloncat mundur dan kesempatan itu dipergunakan oleh Ciang Bun untuk meloncat ke
tempat Gangga berkelahi dan pedangnya meluncur menyerang Thai Hong Lama yang
mendesak sahabatnya itu dengan suling dan tasbeh.
"Tringgg.... trangg....!" Nampak bunga api berpijar menyilaukan mata ketika sepasang
pedang bertemu dengan dua senjata di tangan Thai Hong Lama itu, dan Thai Hong Lama
terkejut me-rasa betapa kedua telapak tangannya menjadi pa-nas dan tergetar hebat. Pada saat
itu Pek-bin Tok-ong menerjang maju disambut Gangga dan kini mereka bertukar lawan!
Ciang Bun dengan sepasang pedang di tangan melawan Thai Hong Lama yang bersenjata
tasbeh dan suling sedangkan Gangga yang bertangan kosong berhadapan dengan Pek-bin
Tok-ong yang juga bertangan kosong.
"Dukk! Plakk....!" Kembali kecepatan gerakan Gangga menolongnya. Ia beradu lengan
dengan Pek-bin Tok-ong, merasa betapa lengan kakek kurus ini kuat sekali dan begitu lengan
ber-adu, tangan kakek itu sudah mencengkeram ke arah dadanya dengan ganas sekali. Akan
tetapi, kembali kehebatan gin-kang Gangga menyelamatkannya. Ia dapat berkelebat ke
belakang seperti seekor burung walet saja, membuat penyerangnya bengong saking
kagumnya. Akan tetapi, tiba-tiba Pek-bin Tok-ong tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, Lama, tak usah repot-repot lagi, mereka segera roboh, ha-ha. Tok-ciang (Tangan
Beracun) yang kupergunakan tentu akan segera bekerja!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
565 Mendengar ucapan itu, tiba-tiba Ciang Bun yang sedang mendesak Thai Hong Lama dengan
sepa-sang pedangnya terkejut bukan main. Sejak tadi dia sudah merasa betapa kedua
lengannya gatal--gatal dan kini bahkan mulai terasa kesemutan pada persendian kedua
tangannya. "Celaka....!" Teriaknya sambil melompat ke belakang. "Gangga, jangan biarkan tangannu
bersentuhan dengan tangan iblis itu!"
Akan tetapi sahabatnya itupun sudah merasa betapa lengannya yang tadi beradu dengan
tangan lawan gatal- gatal. Marahlah Ganggananda. "Iblis tua curang!" Dan iapun sudah
menyerang dengan cepatnya. Dara ini adalah anak tunggal Wan Tek Hoat seorang pendekar
perkasa yang pernah diju-luki Si Jari Maut. Dari ayahnya, selain ilmu-ilmu silat yang tinggi,
juga ia telah mempelajari Toat--beng-ci (Jari Pencabut Nyawa). Kini, mendengar bahwa
lawan telah mempergunakan jari beracun untuk mencelakai ia dan Ciang Bun, ia menjadi
marah dan tubuhnya sudah menyambar seperti ter-bang cepatnya, dan ia menyerang Pek-bin
Tok-ong dengan totokan Toat-beng-ci yang dilanjutkan dengan pukulan-pukulan tangan
miring. Bertubi--tubi datangnya serangan kedua tangan ini, apalagi dilakukan dengan tubuh
yang demikian cepat ge-rakannya seperti terbang saja. Pek-bin Tok-ong sudah berusaha
mengelak, bahkan menangkap tubuh lawan atau menangkis, namun tetap saja dia kalah cepat.
"Plakk.... aduhhh....!" Tubuhnya terpelanting dan kalau saja tubuhnya tidak begitu kebal
penuh kekuatan, atau kalau saja yang menamparnya tadi bukan Gangga melainkan ayahnya,
tentu dia tidak akan mampu bangun kembali. Tam-paran tangan Gangga yang kecil halus
tadipun ha-nya mengenai pundak kirinya, akan tetapi akibat-nya membuat sambungan tulang
pundaknya terle-pas dan nyeri bukan kepalang. Dia yang sudah terkenal dengan ilmu pukulan
memutuskan otot dan melepaskan tulang, kini terpaksa mengakui keunggulan seorang dara
dengan tamparan yang membuat tulang pundaknya terlepas. Dia masih mampu meloncat
bangun dan menyerang memba-bi-buta dengan tangan kanannya, menggunakan pukulan
beracun. Terpaksa Gangga kembali meng-elak ke sana-sini berloncatan cepat.
Pada saat itu, Ciang Bun sudah menyerang Thai Hong Lama lagi dan biarpun dia merasa
kedua tangannya gatal-gatal dan kesemutan, pemuda ini masih terlalu tangkas untuk dapat
dikalahkan la-wan.
"Iblis-iblis tua bangka, berani kalian meng-ganggu adikku?" Tiba-tiba berkelebat bayangan
orang yang menyerang Thai Hong Lama dari sam-ping. Biarpun pendeta Lama itu masih
mencoba untuk meloncat mundur, tetap saja sebuah kaki menyambar pinggangnya dan diapun
terlempar ke belakang. Ketika dia bergulingan sambil menya-betkan tasbehnya dan meloncat
berdiri, meman-dang dan melihat seorang wanita cantik gagah perkasa berdiri dengan sikap
marah, tahulah dia bahwa dia dan kawannya berada dalam bahaya. Menghadapi dua orang
muda pertama saja mereka sudah kewalahan, apalagi kini muncul kakak si pemuda yang
agaknya lebih galak lagi."Mari kita pergi....!" Teriaknya dan Pek--bin Tok- ong yang sudah
terluka tidak menanti ajakan kedua kalinya. Mereka berloncatan dan melarikan diri
secepatnya meninggalkan tempat berbahaya itu.
"Iblis-iblis busuk, ke mana kalian hendak lari?" Suma Hui, yang baru saja datang dan
menendang Thai Hong Lama sampai terpental, bergerak hen-dak melakukan pengejaran.
"Enci, jangan kejar.... aku.... kami.... keracunan....!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
566 Ucapan adiknya ini membuat Suma Hui meng-hentikan larinya dan cepat ia menghampiri
adik-nya. "Bun-te, apa yang terjadi" Engkau keracunan?" tanyanya dengan khawatir sambil
meman-dang adiknya penuh perhatian. Akan tetapi ia tidak melihat sesuatu pada diri adiknya
yang menunjuk-kan bahwa adiknya terluka. Iapun menoleh kepa-da pemuda langsing yang
berdiri pula di dekat adiknya dan juga ia tidak melihat pemuda ini ter-luka.
"Lenganku.... iblis itu telah memperguna-kan Tok- ciang (Tangan Beracun)!" kata Ciang
Bun, akan tetapi dia tidak memperdulikan kedua lengannya sendiri yang terasa kesemutan dan
ga-tal-gatal, melainkan cepat menghampiri Gangga.
"Gangga, engkau tadi beradu lengan dengannya. Apakah engkau tidak merasakan sesuatu
yang tidak wajar?"
"Lengan kananku bertemu satu kali dan kini terasa gatal-gatal." jawab Gangga.
"Coba kuperiksa." kata Ciang Bun sambil me-nyingkap lengan baju Gangga. Akan tetapi
jantung-nya berdebar ketika jari-jari tangannya menyen-tuh kulit lengan yang putih halus itu
sehingga ter-paksa dia melepaskannya kembali, khawatir akan gejolak berahi yang tiba-tiba
saja bergelora di dalam hatinya.
Gangga melanjutkan pekerjaan yang tertunda itu. Ia menyingkap lengan bajunya memeriksa
dan ternyata pada lengannya nampak bekas-bekas jari yang kemerahan, bahkan agak
membiru, tanda bahwa kulit lengannya keracunan. Juga Ciang Bun sibuk menyingkap kedua
lengan bajunya dan pada kulit kedua lengannya terdapat pula bekas-bekas jari tangan lawan
yang membuat kulit lengannya keracunan. Suma Hui ikut memeriksa dan gadis ini
mengerutkan alisnya.
"Memang kulit lenganmu telah keracunan, akan tetapi karena engkau telah mempergunakan
sin-kang, kurasa racun itu tidak akan menembus ke dalam dan tidak akan meracuni darah.
Gunakan bubuk anti racun gigitan serangga, tentu sembuh."
Suma Hui mendahului adiknya, mengeluarkan obat bubuk itu dari buntalannya dan iapun lalu
mengobati dengan menggosok-gosok kulit yang keracunan dengan bubuk putih. Obat ini
adalah satu di antara obat-obat buatan keluarga Pulau Es dan mereka selalu membawa bekal
obat-obat yang penting dan praktis kalau melakukan perjalanan. Dan memang tepat ucapan
gadis itu. Setelah di gosok obat bubuk putih, maka hilanglah rasa ga-tal-gatal dan tak lama
kemudian warna merah itupun menghilang.
Kakak beradik itu saling pandang dan tahulah Ciang Bun bahwa encinya kecewa dan hal ini
tentu karena ia tidak berhasil mencari musuh besarnya, yaitu Louw Tek Ciang. "Bagaimana,
Hui-ci, apakah ada hasilnya perjalananmu?"
Suma Hui menggeleng kepala. "Iblis itu tidak dapat kutemukan, jejaknyapun tidak. Ketika
aku tiba di kota raja, aku langsung menemui ke taman yang menjadi tempat pertemuan seperti
yang kita janjikan. Akan tetapi aku tidak melihat engkau di sana. Untung aku melihat
coretanmu di batang pohon dekat kolam akan emas itu, maka aku segera menyusul ke barat
secepatnya. Kiranya engkau dan kawanmu ini sedang berkelahi melawan dua orang kakek
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
567 yang lihai. Apakah yang telah terjadi dan siapakah dua orang kakek itu" Siapa pula temanmu
ini?" "Nanti dulu, Hui-ci. Di dalam kuil terdapat dua orang muda-mudi yang nyaris menjadi
korban dua orang kakek iblis cabul itu, mari kita tolong mereka lebih dulu." kata Ciang Bun.
Ketika kakak dan adik ini bicara, Gangga hanya meman-dang dan diam-diam ia merasa
kagum sekali ke-pada gadis yang cantik dan gagah itu, juga merasa kasihan karena ia telah
mendengar cerita Ciang Bun tentang Suma Hui yang menjadi korban kejahatan seorang laki-
laki yang pernah diserang oleh Ciang Bun di telaga hutan dalam taman di kota raja itu.
Mendengar ucapan Ciang Bun, mereka bertiga lalu melangkah menuju ke kuil kuno dan di
dalam kuil itu mereka melihat muda-mudi itu saling rangkul di sudut dengan tubuh gemetar
dan muka pucat. Kiranya muda-mudi yang kakak beradik telah saling bertemu sesudah dua
orang kakek itu melepaskan mereka untuk menghadapi lawan.
Mereka hanya dapat saling rangkul dan menangis ketakutan. Ketika Ciang Bun, Suma Hui
dan Gangga mumcul, mereka tadinya terkejut dan gadis cilik itu hampir menjerit ketakutan,
akan tetapi setelah melihat bahwa yang muncul bukanlah dua orang kakek iblis yang mereka
takuti, keduanya menghentikan tangis mereka dan memandang ke-pada tiga orang yang
masuk itu dengan mata ter-belalak.
"Jangan takut," kata Gangga. "Dua orang ka-kek iblis itu telah dapat kami usir dari sini dan
kami datang untuk menolong kalian."
Mendengar ucapan ini, kakak beradik itu mengeluarkan seruan girang dan sang kakak lalu
me-narik tangan adiknya diajak menjatuhkan diri ber-lutut di atas lantai. "Terima kasih,
terima kasih...." kata mereka berulang-ulang.
"Bangkitlah dan ceritakan siapa kalian dan mengapa kalian sampai diculik oleh dua orang
kakek itu." kata Ciang Bun.Kakak beradik itu bangkit berdiri dan sang ka-kak lalu
menceritakan bahwa mereka berdua ada-lah putera dan puteri keluarga hartawan Ciok di kota
raja. Hari itu mereka pagi-pagi sekali pergi pelesir di dalam taman itu, dikawal oleh tujuh
orang pengawal atau tukang pukul mereka.
"Kami tidak pernah mengenal dua orang kakek itu. Ketika kami tiba di dekat hutan buatan
yang sunyi itu, tiba-tiba saja dua orang kakek itu menyerang dan tujuh orang pengawal kami
tewas oleh seorang di antara mereka. Lalu kami ditangkap dan dilarikan ke sini."
Ciang Bun dan Gangga sudah tahu akan hal itu dan mereka dapat menduga bahwa tentu
kedua orang kakak beradik ini telah ditotok ketika dibawa keluar pintu gerbang sebelah barat.
"Hemm, kalau begitu mari kami antar kalian pulang." katanya dan mereka bertiga lalu
mengan-tar dua orang kakak beradik itu kembali ke kota raja. Di sepanjang perjalanan, Suma
Hui dan Suma Ciang Bun memperoleh kesempatan untuk berca-kap-cakap.
"Bun-te, siapakah kawanmu ini?" tanya Suma Hui sambil memandang kepada Gangga. Di
dalam suara gadis ini terdapat keheranan yang disembu-nyikan. Memang ia merasa heran
sekali. Ia sudah tahu akan kelainan yang diderita adiknya, yaitu kecondongan untuk lebih suka
pria daripada wa-nita. Akan tetapi, kini ia melihat betapa Ciang Bun memandang amat mesra
dan bersikap amat manis, bahkan agaknya menjadi sahabat akrab sekali dengan seorang gadis,
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
568 walaupun gadis itu menyamar sebagai seorang pria! Dan ketika ia tahu, dari logat bicara gadis
yang menyamar pria itu, bahwa gadis itu bukan orang Han, melainkan seorang asing, ia
merasa lebih heran lagi.
"Dia bernama Ganggananda, enci."
"Ah, seorang Nepal?"
"Bukan, saya seorang berbangsa Bhutan." kata Gangga.
Suma Hui mengangguk-angguk dan meman-dang tajam. Seorang gadis yang amat cantik,
pikirnya, akan tetapi penyamarannya juga baik se-kali. Ia hanya dapat mengenal penyamaran
itu melalui perasaan kewanitaannya saja. Kalau jarak jauh sedikit saja, ia sendiripun tidak
akan dapat mengetahui bahwa pemuda ini adalah seorang wanita.
"Dan bagaimanakah kalian dapat berkenalan dan bersahabat?" tanyanya ingin tahu sekali.
"Enci, saudara Gangga ini telah menyelamatkan nyawaku dan aku berhutang budi besar
sekali kepadanya. Kalau tidak ada dia yang telah menolongku secara mati- matian, kiranya
engkau takkan dapat bertemu lagi dengan adikmu ini."
"Aih, itu terlalu dilebih-lebihkan." Gangga merendahkan diri walaupun hatinya girang sekali
oleh pujian ini.
Suma Hui terkejut mendengar betapa adiknya nyaris tewas. "Apakah yang telah terjadi
denganmu, Bun-te?"
"Aku nyaris tewas di tangan.... Tek Ciang, Hui-ci."
Suma Hui terkejut bukan main, sampai meloncat dan memegang tangan adiknya. "Apa" Dia"
Kau bertemu dia" Di mana jahanam itu sekarang?"
"Teranglah, enci, aku akan ceritakan semuanya. Akan tetapi sebaiknya kata antarkan dulu
dua orang anak ini ke rumah mereka." jawab Ciang Bun. Suma Hui maklum betapa
pentingnya hal yang akan diceritakan adiknya, maka ia menahan gejolak hatinya dan
mengangguk. Setelah tiba di kota raja dan mengantarkan muda-mudi itu sampai ke
pekarang-an gedung keluarga mereka, tiga orang pendekar ini segera pergi, tidak mau
menerima undangan dua orang muda-mudi kaya-raya itu untuk sing-gah.
"Ceritakan saja semua yang terjadi dan menim-pa diri kalian kepada orang tua kalian, agar
jena-zah tujuh orang pengawal kalian itu dapat diambil dan diurus. Kami akan pergi sekarang
juga." Ciang Bun tidak memberi kesempatan kepada dua orang muda-mudi itu untuk banyak
cakap. Dia lalu pergi bersama Suma Hui dan Gangga, dan tak lama kemudian mereka bertiga
telah berada di atas se-buah perahu kecil di atas telaga dalam taman itu. Mereka membiarkan
perahu itu terapung-apung di sudut yang sunyi dan Ciang Bun menceritakan semua peristiwa
yang dialaminya ketika dia tiba di telaga itu, mencari encinya. Diceritakannya per-temuannya
dengan Gangga dan mereka bersahabat lalu berperahu berdua, kemudian betapa Tek Ciang
dan seorang pria lain muncul. Betapa mereka ber-kelahi dan dia telah terpukul oleh Tek Ciang
de-ngan Hoa-mo-kang yang hampir saja menewas-kannya kalau tidak saja Gangga yang
mempergu-nakan gin-kangnya yang luar biasa untuk mencari-kan obat penawarnya.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
569 Mendengar penuturan adiknya secara panjang lebar itu, Suma Hui mengepal tinjunya.
"Sayang sekali aku tidak bertemu ketika jahanam itu muncul. Keparat, belum juga aku
berhasil mem-bunuhnya, dia telah melukai dan hampir saja mem-bunuhmu, Untung ada....
sahabatmu ini. Saudara Ganggananda, saya ikut merasa bersyukur dan menghaturkan terima
kasih atas pertolongan-mu kepada adik saya."
Melihat Suma Hui memberi hormat kepadanya, Gangga cepat membalas. "Ahh.... nona,
harap jangan sungkan. Ciang Bun telah menjadi sahabat baikku, di antara sahabat mana ada
istilah tolong-menolong" Sudah sewajarnya dan selayaknya ka-lau ada seorang di antara
sahabat kesukaran, yang lain membantunya, bukan?"
Suma Hui mengangguk-angguk dan diam-diam ia merasa suka kepada gadis yang menyamar
seba-gai pria ini. Juga ia dapat menyelami hati gadis ini. Apa lagi kalau bukan cinta yang
mendekatkan gadis itu dengan Ciang Bun" Anehnya kini ia tahu benar bahwa Ciang Bun
menganggap gadis itu sebagai seorang pria. Mengapa begitu"
"Ahhh...." Tiba-tiba Suma Hui menepuk pahanya sendiri sehingga mengejutkan dua orang
muda yang lain.
"Ada apakah, Hui-ci?"
Suma Hui tertegun dan menjadi bingung, tidak mengira bahwa jalan pikirannya membuat ia
lupa diri tadi. "Ah, tidak, hanya aku masih merasa ke-cewa tidak dapat bertemu sendiri
dengan jahanam itu."
"Biarpun demikian, pertemuanku dengan dia di telaga ini menunjukkan bahwa dia tidak
berada jauh dari kota raja. Kita akan mencari lagi sampai dapat, enci. Akan tetapi, sebaiknya
kalau kita min-ta bantuan kanda Kao Cin Liong. Kita cari dia di kota raja dan kita ceritakan
tentang jahanam itu...."
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar adiknya menyebut "kanda" kepada Cin Liong, diam-diam Suma Hui merasa
girang dan berterima kasih. Adiknya sebetulnya masih terhitung paman dari Cin Liong, akan
tetapi adiknya itu memandang kepadanya dan menyebut "kanda"."Baiklah, usulmu memang
baik dan tanpa ban-tuan banyak tenaga, agaknya sukar menemukan jahanam yang licik itu."
Karena hari sudah menjelang malam, mereka mengambil keputusan untuk mencari Cin Liong
pada keosokan harinya dan malam hari itu mereka bermalam di sebuah rumah penginapan.
Melihat betapa Ciang Bun tidak sekamar dengan Gangga-nanda, Suma Hui mengerutkan
alisnya. Bagaima-nakah adiknya ini" Benarkah adiknya belum tahu akan keadaan Gangga
sebenarnya, bahwa Gangga adalah seorang gadis" Akan tetapi kalau Ciang Bun mengira
bahwa Gangga seorang pemuda, mengapa pula mereka berpisah kamar" Barangkali Gangga
yang tidak mau tidur sekamar, pikirnya. Andaikata ia menjadi Gangga, dalam penyamaran
sebagai seorang pria, iapun tentu tidak mau tidur sekamar dengan seorang kawan pria, dan
akan mencari dalih apapun agar mereka tidur berpisah. Betapapun juga, untuk menghilangkan
keraguannya apakah adiknya itu tahu atau tidak akan kea-daan Gangga, ia lalu mendatangi
kamar adiknya dan bertanya.
"Bun-te, di mana Gangga?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
570 "Dia berada di kamarnya, di sudut lorong ini."
"Eh, kenapa tidak di sini saja, sekamar dengan-mu" Bukankah tempat tidur ini cukup besar
untuk kalian berdua?"
Wajah Ciang Bun berobah merah dan dia lalu menyuruh encinya duduk, kemudian
menutupkan daun pintu. "Hui-ci, aku mau bicara denganmu." katanya serius.
"Bicara apa" Katakanlah." kata Suma Hui sambil duduk di tepi pembaringan dan
memandang adiknya dengan sinar mata penuh kasih sayang. Ia tahu akan kesulitan yang
berkecamuk di dalam hati adiknya dan ia merasa kasihan karena keadaan adiknya sungguh
membuat ia sendiri menjadi bi-ngung.
"Enci, maukah enci andaikata harus tidur sepembaringan dengan seorang pemuda seperti
hal-nya Gangga?"
"Eh" apa maksud pertanyaanmu ini" Aneh--aneh saja engkau. Tentu saja aku tidak mau!"
Suma Hui berkata tegas dan heran.
"Nah, begitulah perasaanku, enci. Mana mung-kin aku tidur sekamar dengan seorang pemuda
se-perti Gangga kalau aku mempunyai perasaan wa-nita seperti engkau itu" Dan aku.... aku
takut kepada diriku sendiri, dan aku.... tidak ingin kehilangan Gangga, Hui-ci. Aku cinta
padanya, aku cinta padanya dan aku tidak ingin kehilangan dia, tidak ingin berpisah darinya.
Karena itulah aku selalu berusaha menjauhkan diri.... aku khawatir dia akan merasa jijik dan
membenciku kalau dia tahu akan keadaanku, dan aku.... aku tidak ingin kehilangan dia, Hui-
ci." Melihat adiknya yang gagah perkasa itu kini duduk menundukkan muka, dengan kedua
pundak bergantung ke depan, gambaran seorang yang patah semangat dan penuh kegelisahan,
Suma Hui merasa kasihan sekali. Hal ini sudah diduganya ketika me-reka bertiga berada
dalam perahu, yang membuat ia menepuk paha sendiri mengejutkan Ciang Bun. Di dalam
perahu itu iapun teringat bahwa Ciang Bun tentu jatuh cinta kepada Gangga sebagai se-orang
pria! Teringat ia akan kelainan adiknya. Tak dapat dibayangkan bagaimana akan jadinya
kalau adiknya tahu bahwa Gangga bukan pria, melainkan wanita! Dan tiba-tiba saja ia seperti
memperoleh ilham! Inikah cara pengobatan untuk memulihkan keadaan adiknya sehingga
batinnya akan seirama dengan badannya" Ingin ia melihat Ciang Bun pulih seperti seorang
laki-laki biasa, bertubuh pria dan juga berselera dan berbatin pria agar adiknya tidak akan
mengalami rintangan dan kesulitan-kesulitan di dalam hidup selanjutnya. Dan kini Suma Hui
melihat cahaya berkilat yang agaknya akan dapat memberi penerangan dalam kehidupan
adiknya. Ia tidak ingin melihat adiknya mengalami derita hidup seperti yang pernah
dia-laminya. "Adikku yang baik," katanya sambil memegang kedua pundak Ciang Bun dan
menegakkannya. "Seorang gagah tidak pernah putus asa dan tunduk terhadap nasib! Aku
sudah tahu akan keadaanmu dan aku dapat ikut merasakan betapa hebat penderitaan batinmu.
Akan tetapi, janganlah kau membiarkan kedukaan mengotori batinmu. Duka dan putus asa
hanya permainan orang lemah. Engkau harus berani melihat kenyataan dirimu sendiri, berani
menghadapinya dan berusaha mengatasinya. Segala yang tidak wajar berarti suatu keadaan
yang tidak seimbang, katakanlah suatu penyakit. Karena itu, engkau tidak perlu merasa malu.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
571 Ber-sikaplah wajar saja namun dengan penuh kesadaran dan tertib diri, tidak hanya
menurutkan dorongan nafsu yang timbul dari ketidakwajaran atau penya-kitmu itu."
"Aku tahu akan hal itu, Hui-ci dan selama ini, akupun sudah bertahan dan menentang
dorongan hasrat nafsuku sendiri yang tidak wajar. Akan tetapi, aku jatuh cinta kepada
Gangga, bukan semata karena dorongan nafsu birahi, bukan hanya karena gairah, akan tetapi
segala-galanya pada diri Gang-ga menarik hatiku, menimbulkan rasa cinta dan aku tidak mau
kehilangan dia, Hui-ci."
Suma Hui menarik napas panjang. Ia dapat merasakan apa yang terkandung dalam hati
adiknya. Seperti itulah agaknya perasaannya sendiri terhadap Cin Liong. Mencinta, sayang
dan mesra, ingin sekali berdekatan dan selamanya tidak ingin berpisah lagi.
"Adikku, engkaupun tahu dan tentu ingat akan semua pelajaran ayah. Cinta kasih adalah
sesuatu yang suci. Jangan sekali-kali salah kira dan mencampuradukkan cinta kasih dengan
cinta birahi. Gejolak hatimu yang timbul dari gairah berahi itu bukanlah cinta kasih yang
sesungguhnya. Itu hanya berahi yang timbul dari pikiran dan badan, dan bagi dirimu yang
mempunyai kelainan, berahimu timbul kalau engkau melihat seorang pria yang tampan atau
yang menyenangkan hatimu. Maka, sekarang aku hendak bertanya, adikku. Engkau bilang
bahwa engkau cinta kepada Gangga, apakah cintamu itu semata-mata timbul karena
kenyataan bahwa Gangga adalah seorang pemuda tampan dan gagah?"
"Kurasa kesemuanya itu mengambil bagian, Hui-ci. Bukan hanya karena dia seorang pemuda
tam-pan dan gagah, akan tetapi juga karena dia berhati mulia, karena semua gerak-geriknya
amat mena-rik dan menyenangkan hatiku, karena dia pernah menolongku dan mati-matian
menyelamatkan di-riku. Pendek kata, aku cinta padanya karena pribadinya, bukan semata
karena dia seorang pemuda tampan."
"Kalau begitu, bersikaplah wajar saja dalam cintamu, adikku. Anggap dia seorang sahabat
yang baik sekali. Dan sekali waktu, kalau keadaan meng-ijinkan, lebih baik engkau berterus
terang kepada-nya tentang keadaan dirimu, tentang kelainan-mu."
"Ah, aku tidak berani, enci! Dia tentu akan marah dan jijik dan membenciku....!"
"Belum tentu, adikku. Apalagi kalau dia men-cintamu sebagai seorang sahabat baik yang
sudah dibuktikannya ketika dia mencarikanobat untuk-mu. Dia, seperti aku, tentu akan dapat
memaklumi kelainanmu sebagai suatu penyakit dan dia tidak akan membencimu, malah akan
merasa kasihan kepadamu."Setelah menghibur adiknya, Suma Hui lalu meninggalkannya
untuk pergi tidur. Akan tetapi, ga-dis ini tidak pergi ke kamarnya, melainkan diam-diam ia
pergi ke kamar Ganggananda di sudut lo-rong. Ia bersikap hati-hati sekali dan menjaga agar
adiknya jangan sampai mengetahui perbuatannya.
Setelah tiba di depan pintu kamar Gangga, ia mengetuk pintu perlahan.
"Siapa....?" terdengar suara Gangga dari dalam.
"Adik Gangga, bukalah, aku ingin bicara." kata Suma Hui lirih.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
572 Daun pintu terbuka dan Ganggananda muncul, memandang kepada Suma Hui dengan sinar
mata penuh selidik. Tentu saja Ganggananda merasa he-ran mengapa malam-malam begini
seorang gadis seperti Suma Hui mengetuk pintu kamar seorang "pemuda".
"Ah, kiranya nona Suma Hui. Ada keperluan apakah....?"
Belum habis Gangga bicara, Suma Hui sudah melangkah masuk dan menutupkan daun pintu
kamar itu. Gangga memandang dengan mata ter-belalak, akan tetapi Suma Hui tersenyum dan
ber-kata, "Adik yang manis, tak perlu lagi bersandi-wara. Kita sama-sama perempuan, apa
salahnya bicara dalam kamar tertutup?"
Ganggananda atau Gangga Dewi terkejut, lalu menarik napas panjang dan tersenyum. "Ah,
enci Suma Hui, kiranya engkau sudah tahu" Lupa aku bahwa engkau adalah seorang pendekar
wanita yang lihai dan bermata tajam. Maafkan penyamar-anku."
"Sstt, adik Gangga. Mari kita keluar dari ka-marmu, melalui jendela saja agar jangan sampai
ketahuan Ciang Bun. Aku ingin bicara empat mata denganmu." kata Suma Hui yang segera
mengham-piri jendela kamar Gangga Dewi yang menembus ke kebun samping rumah
penginapan. Ia memberi isyarat dan tak lama kemudian dua orang gadis itu telah meloncat
keluar pagar setelah menutupkan daun jendela kamar itu.
"Kita ke taman dan bicara di tempat sepi...." kata Suma Hui dan merekapun lalu berloncatan
naik ke atas genteng-genteng bangunan rumah di sepan-jang jalan. Suma Hui sudah
mendengar penuturan Ciang Bun betapa dengan mengandalkan gin-kang-nya, Gangga telah
menyelamatkannya dan berhasil mencari obat penawar racun Hoa-mo-kang. Maka kini Suma
Hui memperoleh kesempatan untuk menguji kehebatan gin-kang dari gadis Bhutan itu. Ia
sengaja mengerahkan gin-kang dan berlompatan dengan cepat sekali, melompati rumah-
rumah dan kadang-kadang melayang turun dan berlari cepat menuju ke taman besar di mana
siang tadi ia men-cari adiknya kemudian melihat coretan-coretan di batang pohon. Memang
pemuda ini dengan cer-dik telah membuat coretan-coretan di batang po-hon dengan harapan
encinya akan dapat menemu-kannya kalau encinya datang. Coretan-coretan itu dibuatnya
dengan kuku jari tangan sebelum dia bersama Gangga berangkat mencari dua orang ka-kek
yang melarikan muda- mudi itu. Dan ternyata Suma Hui yang cermat itu dapat menemukan
co-retan itu yang berisi pesan bahwa adiknya itu pergi keluar kota melalui pintu barat.
Suma Hui harus mengakui kehebatan Gangga karena betapapun ia mengerahkan tenaga
untuk meninggalkan Gangga, ia tetap tidak berhasil. Ga-dis Bhutan itu seperti bayangannya
sendiri saja, selalu di belakang atau sampingnya, tidak pernah tertinggal jauh. Bahkan dari
gerakan Gangga kalau berkelebat di sampingnya ia maklum bahwa kalau gadis itu
menghendaki tentu akan dengan mudah mendahuluinya. Percayalah ia kini akan kehebatan
ilmu gin-kang gadis ini.
Tak lama kemudian dua orang gadis itu telah duduk di atas batu-batu yang disusun secara
nyeni sekali di tepi kolam ikan yang sunyi. Sepi sekali malam itu di taman karena tidak ada
orang me-ngunjunginya di waktu malam. Dan dua orang gadis itu memang memilih tempat
yang sunyi dan terbuka agar mereka dapat melihat kalau ada orang lain mendekat.
"Nah, enci Hui. Apakah yang akan kau bicara-kan denganku?" tanya Gangga sambil
memandang wajah yang cantik dan gagah itu. Sepasang mata Suma Hui yang cerdik itu
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
573 memandang kepada Gangga penuh selidik, kemudian ia berkata dengan suara yang penuh
kesungguhan. "Adik Gangga, sekarang ceritakanlah siapa sebetulnya dirimu, siapa namamu yang
sebenarnya dan dari mana kau datang."
Gangga Dewi mengerutkan alisnya. Nada suara Suma Hui seperti orang menyelidik! Hal ini
mem-buat hatinya merasa tidak senang. Mengapa Suma Hui curiga kepada dirinya" Bukankah
sudah jelas bahwa ia adalah sahabat baik Ciang Bun yang bahkan sudah membuktikan dengan
usahanya me-nyelamatkan pemuda itu" Kenapa kini encinya malah seperti orang menaruh
curiga dan bertanya dengan nada menyelidik"
"Enci Suma Hui, sebelum aku menjawab, kata-kanlah dulu kenapa engkau kelihatan seperti
orang sedang menyelidiki diriku" Apakah engkau curiga kepadaku?"
Suma Hui mengangguk. Di bawah sinar bulan, Gangga Dewi dapat melihat betapa sepasang
mata gadis itu seperti mengeluarkan cahaya mencorong, membuatnya bergidik kagum. Gadis
ini tentu me-miliki sin-kang yang hebat, pikinrya, teringat bahwa gadis ini adalah cucu
Pendekar Super Sakti dari Pulau Es!
"Terus terang saja, aku memang merasa heran dan curiga. Engkau seorang gadis cantik
menya-mar sebagai pria dan engkau membiarkan adikku mengira engkau seorang pria tulen.
Kenapa begitu" Dan engkau datang dari Bhutan. Semua ini meru-pakan teka-teki yang
mencurigakan hatiku. Ka-rena itulah maka kini, sebagai sama-sama wanita, aku ingin
mendengar sendiri darimu tentang kea-daan dirimu."
"Engkau adalah seorang wanita yang lihai, gagah perkasa dan juga amat jujur dan cerdik,
enci Hui. Baiklah, aku berterus terang saja karena aku-pun sudah tahu bahwa engkau dan
Ciang Bun adalah cucu-cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang terkenal itu. Sudah
sejak kecil aku mende-ngar nama keluarga Pulau Es, dan Ciang Bun se-demikian percayanya
kepadaku sehingga dia telah ceritakan semua tentang keadaan keluargamu. Bahkan tentang
semua peristiwa menyedihkan yang menimpa keluarga kalian dan dirimu."
"Hemmm, dia cerita tentang aku?" Suma Hui bertanya kaget dan semakin yakin hatinya
bahwa adiknya tentu sudah menaruh kepercayaan sepe-nuhnya dan benar-benar amat
mencinta gadis yang menyamar sebagai pria ini.
"Ya, dan maafkan dia, enci Hui. Aku sudah mendengar semuanya, maka tidak adillah kalau
aku tidak mengaku terus terang siapa diriku. Aku bernama Gangga Dewi atau juga Wan Hong
Bwee...." "Kau.... peranakan....?"
"Benar, ayahku bernama Wan Tek Hoat dan ibuku bernama Syanti Dewi...."
"Ah, Puteri Bhutan yang terkenal itu?"
"Enci, engkau sudah mengenal ibuku?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
574 "Sejak kecil, seperti engkau pula, aku sudah mendengar tentang bibi Puteri Syanti Dewi. Ah,
adik Gangga, kiranya engkau puterinya" Kalau begitu.... kita bukan orang lain. Engkau masih
adikku sendiri....!" Suma Hui lalu merangkul Gangga dan puteri Bhutan ini juga membalas
pelukan gadis itu walaupun hatinya merasa heran.
"Enci Hui, menurut ibu dan ayah, memang ke-luarga Pulau Es merupakan keluarga yang
dekat dengan mereka, dan ayah ibuku amat menghormati keluarga Pulau Es. Akan tetapi,
tentang hubungan keluarga, aku belum tahu...."
"Memang antara keluarga kita tidak ada hubungan langsung, akan tetapi ketahuilah hahwa
ayahmu itu, Wan Tek Hoat, adalah cucu kandung dari mendiang nenekku Lulu....! Nah,
bukan-kah dengan demikian di antara kita masih ada hubungan keluarga, walaupun jauh?"
Gangga Dewi mengangguk-angguk dan hatinya merasa girang bukan main. "Setelah engkau
me-ngenal keadaanku, tentu engkau tidak menaruh hati curiga lagi kepadaku, bukan?"
Suma Hui menggeleng kepala dan tersenyum. "Sejak tadipun aku tidak menaruh curiga,
hanya aku ingin merasa yakin tentang hubunganmu de-ngan Ciang Bun. Engkau seorang
gadis, dan eng-kau menyembunyikan keadaanmu, menyamar se-bagai pemuda. Akan tetapi
engkau membela adi-kku mati-matian. Hal ini hanya mempunyai arti, yaitu bahwa engkau....
engkau jatuh cinta kepada adikku Suma Ciang Bun. Tidak benarkah dugaanku, adik
Gangga?" Sekatika wajah Gangga Dewi menjadi kemerahan dan menundukkan mukanya. "Enci Hui,
aku tidak tahu.... akan tetapi sesungguhnya aku amat suka kepadanya aku merasa kasihan
melihat dia menghadapi maut ketika terluka. Tentang cinta.... aku tidak tahu...."
"Adikku yang baik," Suma Hui memegang tangan Gangga dan menggenggamnya. "Biarlah
berterus terang saja kepadamu. Memang, kejujuranku ini mungkin akan menyakitkan, akan
tetapi demi kebaikanmu, demi kebaikan adikku, demi ke-bahagiaanmu berdua, aku harus
berterus terang. Gangga, ketahuilah bahwa Ciang Bun juga mencintamu, dia sudah mengaku
kepadaku bahwa dia jatuh cinta padamu...."
"Ahhh....!" Gangga Dewi memandang wajah Suma Hui dengan mata terbelalak. "Tidak
mungkin! Dia mengira bahwa aku seorang pria! Ataukah.... jangan-jangan dia sudah tahu
akan keadaanku, bahwa aku seorang wanita?"
Suma Hui menggeleng kepalanya dan menarik napas panjang. Bagian tersukar dari tugasnya
kini harus ia lalui. Maka iapun duduk mendekat dan merangkul pundak Gangga Dewi karena
apa yang akan diceritakannya adalah rahasia adiknya yang amat gawat dan tidak boleh sampai
terdengar orang lain. Dengan suara lirih iapun berkata se-telah menengok ke kanan kiri dan
merasa yakin bahwa tempat itu sunyi tidak terdapat orang lain kecuali mereka berdua.
"Adik Gangga, dari sikapmu dan juga perto-longanmu terhadap Ciang Bun aku merasa yakin
bahwa engkau sungguh mencinta dia seperti juga dia mencintaimu. Oleh karena itu, jika
kuberitahu kepadamu bahwa Ciang Bun menderita suatu pe-nyakit yang amat gawat, sudikah
kiranya engkau membantuku untuk menyembuhkannya kembali?"
Gangga terkejut dan memandang dengan mata terbelalak dan wajahnya yang cerah itu
berobah agak pucat, alisnya berkerut penuh kekhawatiran. "Sakit" Dia sakit" Akan tetapi,
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
575 ketika tabib itu memeriksa, penyakitnya hanya keracunan pukulan Hoa-mo-kang, tidak ada
penyakit lain. Dan dia kelihatan begitu sehat dan segar!"
"Memang benar, akan tetapi penyakitnya bukan penyakit badan. Tidak ada yang da-pat
mengetahui kecuali dia sendiri dan aku karena dia percaya kepadaku dan menceritakan
tentang penyakitnya itu. Dan aku yakin bahwa pengobat-annya hanya ada pada dirimu. Hanya
engkaulah yang dapat menyembuhkannya, Gangga."
"Ahh, enci Hui, jangan main-main. Engkau membikin hatiku bingung dan khawatir. Seperti
orang-orang lain yang pernah belajar silat, aku hanya membawa bekal obat-obat luka dan
hanya dapat mengobati luka-luka pukulan dan senjata saja. Mana mungkin aku dapat
mengobati penyakit Ciang Bun kalau orang lain yang ahli tidak mampu menyembuhkannya"
Penyakit apakah itu?"
"Kami berduapun tidak tahu penyakit apa itu namanya. Akan tetapi adikku amat menderita
ka-renanya. Jangan kaget, Gangga. Adikku itu adalah seorang laki- laki, seorang jantan sejati,
berwatak pendekar yang tidak memalukan keluarga kami. Akan tetapi, dia.... dia mempunyai
penyakit aneh, yaitu dia.... condong untuk menyukai pria daripada wanita."
Sepasang mata yang indah itu terbelalak dan mulut yang kecil itu ternganga saking herannya
hati Gangga Dewi mendengar ucapan Suma Hui itu. "Apa.... apa yang kau maksudkan, enci
Hui" Aku tidak mengerti....!"
"Adik Gangga, memang penyakit itu amat aneh. Biarpun Ciang Bun adalah seorang pemuda,
jas-maninya adalah seorang pria yang sempurna, akan tetapi selera dan berahinya seperti
seorang wanita. Dia.... dia lebih tertarik dan suka kepada seorang pria daripada seorang
wanita. Mengerti-kah engkau?"
"Ahhh....!" Gangga Dewi menunduk, ke-dua pipinya kemerahan dan alisnya berkerut. Ia
merasa bingung sekali, dan tidak tahu harus bicara apa untuk menanggapi keterangan yang
amat me-ngejutkan dan mengherankan hatinya itu. Sungguh sama sekali tidak pernah
disangkanya bahwa ada penyakit yang demikian anehnya, apalagi kalau penyakit seperti itu
diderita oleh Ciang Bun yang amat dikaguminya itu. Ia seorang gadis yang cerdik dan tanpa
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dijelaskan sekalipun kini tahulah ia akan kenyataan yang amat menusuk perasaannya. Jadi
kalau begitu, Ciang Bun dikatakan mencinta diri-nya karena mengira ia seorang pria!
"Enci, kalau.... kalau begitu.... engkau hendak mengatakan bahwa jika Ciang Bun mengerti
bahwa aku sebenarnya seorang wanita, maka dia.... dia tidak akan suka kepadaku,
begitukah?"
Suma Hui mengangguk. "Akan tetapi, cinta tidak dapat disamakan dengan rasa suka yang
ter-dorong gairah berahi, adikku. Ciang Bun mengaku kepadaku bahwa dia amat mencintamu,
walaupun rasa cintanya itu mengandung gairah berahi karena mengira bahwa engkau seorang
pemuda. Nah, rasa cintanya inilah yang harus kita pergunakan untuk menyembuhkan penyakit
aneh yang dideritanya itu. Tentu saja.... tentu saja kalau eng-kau juga mencintanya seperti
yang kuduga. Adik Gangga yang baik, demi hubungan antara orang tua kita, demi cinta Ciang
Bun kepadamu, dan de-mi cintamu sendiri.... sudikah engkau meno-longnya?" Dalam
suaranya terkandung nada yang penuh permohonan dan ketika Gangga Dewi memandang,
ternyata kedua mata gadis perkasa itu berlinang air mata! Gangga Dewi merasa terharu sekali
dan ia da-pat merasakan betapa besar cinta kasih gadis itu kepada adiknya. Ia sendiripun
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
576 merasa kasihan kepada Ciang Bun, walaupun terdapat perasaan tidak enak menganggu
hatinya mendengar akan keadaan Ciang Bun yang aneh itu.
"Enci Hui, tentu saja aku suka menolong, akan tetapi bagaimana mungkin" Kalau dia tidak
suka kepada wanita, dan setelah nanti dia tahu bahwa aku sesungguhnya adalah seorang
wanita dan dia- pun tidak suka kepadaku, bagaimana aku akan dapat merobah seleranya?"
"Kita menggunakan cinta sebagai obatnya, adik-ku. Biarlah cinta kasih murni yang akan
menyem-buhkannya dari penyakit aneh itu."
"Akan tetapi, bagaimana caranya, enci Hui?"
"Begini, Gangga. Biarkan cinta kasihnya kepa-damu bersemi dengan subur dan berakar kuat
da-lam hatinya dan untuk itu perlu pemupukan."
"Pemupukan bagaimana maksudmu, enci" Aku.... aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentang
cinta." "Sekali waktu engkau harus meninggalkan dia, kita harus memberi pupuk kepada cintanya
dengan kerinduan. Biar dia merasakan betapa besar rasa kehilangannya kalau engkau tidak
berada di dekatnya. Rasa cintanya yang semakin subur itu akan menghapus perbedaan antara
wanita dan pria, dia akan mencintamu, tidak perduli engkau pria atau-pun wanita. Rasa cinta
murni itu mungkin sekali akan merupakan obat dan lebih kuat daripada sekedar berahinya
yang ganjil itu. Maukah engkau melakukannya, demi cinta kalian berdua, adikku?"
Gangga Dewi mengangguk.
"Kita sama sekali tidak boleh menyalahkannya, Gangga. Keadaan diri Ciang Bun itu adalah
suatu kelainan yang bukan timbul karena disengaja, atau karena memang wataknya yang
kotor, melainkan karena tentu ada sebab-sebabnya. Dia adalah penderita suatu penyakit aneh,
suatu kelainan yang mungkin timbul dari keadaan darahnya, atau su-sunan tubuhnya, atau
juga karena sebab-sebab batiniah yang kita tidak mengerti. Bagaimanapua juga, karena
keadaan itu menggambarkan hal yang tidak sebagaimana mestinya, tidak sebagaimana
umumnya, maka biarlah kita menamakannya suatu penyakit. Keadaan setengah-setengah itu,
sete-ngah pria karena bertubuh pria, dan setengah wa-nita karena berselera wanita, tentu saja
merupakan hal yang amat mengganggu dan menyiksa batin. Jalan satu-satunya
hanyalah menjadikannya wa-nita sepenuhnya atau pria sepenuhnya. Akan tetapi, melihat
bentuk tubuhnya, akan lebih sempurnalah kalau dia dapat dijadikan pria sepenuhnya dan hal
ini mungkin saja disembuhkan dengan cinta kasih.
Gangga Dewi mendengarkan dengan kagum. Dari kata- katanya dapat dimengerti bahwa
Suma Hui adalah seorang gadis yang luas pengetahuan-nya dan pintar. Dan memang
demikianlah. Semen-jak menderita aib yang menimpa dirinya, setelah mengalami banyak hal-
hal yang amat menya-kitkan hatinya, setelah memperdalam ilmunya dan banyak melakukan
perantauan, Suma Hui berobah menjadi seorang wanita yang matang dan berpe-mandangan
luas. masalah adiknya amat meng-ganggu hatinya dan selama ini banyak ia memi-kirkan
tentang adiknya sehingga ia dapat meng-ambil kesimpulan seperti yang dikatakannya kepa-da
Gangga Dewi. Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
577 Demikianlah, terdapat suatu kerjasama antara Suma Hui dan Gangga Dewi, untuk menolong
pe-muda yang sama- sama mereka cinta, yang seorang mencintanya sebagai seorang kakak
perempuan sedangkan yang lain mencinta sebagai seorang wanita terhadap seorang pria yang
dikaguminya. *** Dengan mudah mereka dapat menemukan Kao Cin Liong. Kiranya panglima muda ini masih
menduduki pangkatnya di kota raja sebagai seorang jenderal muda. Ketika Kao Cin Liong
menghadap kaisar untuk meletakkan jabatannya agar dia dapat mencurahkan semua
tenaganya untuk membantu tunangannya mencari musuh besar mereka, kaisar menyatakan
keberatan! Dan ketika Kao Kok Cu, ayah pemuda itu mendengar akan hal ini, diapun
memarahi puteranya dan menyatakan tidak setuju pula.
"Cin Liong, lupakah engkau akan ceritaku ten-tang kakekmu" Kakekmu adalah seorang
panglima besar yang amat setia dan berjiwa pahlawan. Dan sejak dahulu, keluarga Kao adalah
keturunan para panglima yang gagah perkasa. Sayang bahwa aku sendiri tidak memperoleh
kesempatan untuk melanjutkan kepahlawanan nenek moyang kita. Akan tetapi engkau yang
masih muda, mempunyai kesempatan cukup dan engkau bahkan berhasil men-jadi jenderal
yang banyak jasanya. Bagaimana se-karang hendak mengundurkan diri dalam usia mu-da
hanya karena urusan wanita?"
"Akan tetapi, ayah, demi cintaku terhadap Suma Hui, aku rela melepaskan apapun juga. Ia
mende-rita aib, siapa lagi kalau bukan aku yang mengang-katnya dan mencuci nama baiknya
dengan mencari dan membunuh jahanam yang telah mencemarkan kehormatannya, juga
mencemarkan namaku karena dia mempergunakan namaku dan melakukan fit-nah?"
"Benar, akan tetapi engkau harus berpikir pan-jang. Ingat, keluarga Suma adalah keluarga
besar dan gagah. Karena lengah dan lalai, mereka terjebak dan mengalami aib. Biarlah
mereka itu mem-pertanggungjawabkan sendiri kelalaian mereka dan menghukum sendiri
jahanam itu. Engkau hanya membantu saja. Kalau engkau yang turun tangan membalas,
apakah hal itu tidak bahkan menyinggung harga diri keluarga Suma?"
Bujukan ayahnya dan larangan kaisar akhirnya membuat Cin Liong mengalah dan itulah
sebabnya, ketika Suma Hui dan Ciang Bun mencarinya, ka-kak beradik ini mendapatkan Cin
Liong di gedungnya, masih menjadi seorang jenderal muda yang disegani.
Dapat dibayangkan betapa girang dan terharu hati Jenderal Muda Kao Cin Liong ketika dia
keluar menyambut tamu dan melihat bahwa tamunya adalah Suma Hui dan Ciang Bun
bersama seorang pemuda asing. Melihat kekasihnya yang selama ini amat dirindukannya,
ingin Cin Liong merangkul-nya. Akan tetapi tentu saja di depan banyak orang dia tidak dapat
melakukan hal ini dan dia hanya membalas penghormatan para tamu itu dengan menjura.
"Liong-ko....!" kata Suma Hui lirih. Bi-arpun ia masih terhitung bibi dari kekasihnya itu,
akan tetapi karena dapat dibilang secara resmi telah mendapatkan restu dari orang tua dan
mereka adalah tunangan, maka tanpa ragu lagi ia kini me-nyebut koko kepada pemuda itu.
"Hui-moi, kau baik-baik saja, bukan?" Cin Liong juga menyapa dengan halus.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
578 Hanya itulah yang dapat mereka sampaikan melalui mulut di depan orang banyak, akan tetapi
dua pasang mata itu saling bertemu, bertaut dengan sinar penuh kasih sayang dan bicara
banyak sekali. Keharuan membuat sepasang mata Suma Hui agak basah.
"Bun-te, engkau kelihatan semakin gagah saja!" Cin Liong menegur pemuda yang dahulu
disebut-nya paman itu. "Dan siapakah saudara ini?"
"Saya adalah sahabat saudara Suma Ciang Bun, nama saya Ganggananda." kata Gangga
memper-kenalkan diri sambil memberi hormat.
"Ahh, saudara dari Nepal?"
"Bukan, dari Bhutan." jawab Gangga singkat dan matanya menatap tajam wajah jenderal
muda itu. Hatinya juga terharu karena ia sudah mende-ngar penuturan ibunya bahwa ibunya
mempunyai seorang saudara angkat yang amat disayangnya, dan saudara angkat ibunya itu
adalah ibu dari jen-deral ini! Bukan hanya di situ saja hubungannya dengan jenderal gagah
perkasa ini, melainkan lebih dekat lagi. Ada hubungan saudara antara ayah kandungnya
dengan ibu jenderal ini karena mereka itu masih saudara tiri, seayah berlainan ibu. Ayah-nya
she Wan, dan ibu jenderal ini juga she Wan. Akan tetapi, ia diam saja dan tidak membuka
ra-hasia itu. Ia sudah memesan kepada Suma Hui, satu-satunya orang yang sampai kini sudah
tahu akan rahasianya, agar tidak membuka rahasia itu kepada siapapun juga, tidak pula
kepada Ciang Bun atau kepada jenderal Kao Cin Liong yang ma-sih ada pertalian keluarga
dekat, karena satu kakek dengannya. Dan demi penyamaran Gangga, demi kepentingan
adiknya, Suma Hui memegang janji itu dan tidak bicara tentang Gangga.
"Silahkan masuk, kita bicara di dalam. Kebe-tulan sekali ayah berada di sini, baru pagi tadi
ayah dan ibu datang mengunjungiku."
Mendengar bahwa ayah bunda kekasihnya ber-ada di situ, wajah Suma Hui berubah merah.
Ia merasa malu sekali teringat akan sikapnya dahulu terhadap mereka, maka tentu saja kini ia
merasa canggung, malu dan takut. Melihat sikap kekasih-nya, Cin Liong maklum. Tanpa
malu-malu lagi terhadap Ciang Bun dan Ganggananda, diapun lalu menggandeng tangan
gadis itu dan ditariknya, di-ajak ke dalam, diikuti oleh Ciang Bun dan Gangga-nanda.
Mereka menunggu di ruangan dalam. Pende-kar Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu dan
iste-rinya. Biarpun usia mereka sudah lanjut, si pende-kar enam puluh tahun lebih dan
isterinya, Wan Ceng sudah lima puluh tujuh tahun, akan tetapi keduanya masih nampak sehat
dan gagah. Karena maklum apa yang dirasakan kekasihnya dan ingin menolong kekasihnya mengurangi
pera-saan tidak enak itu, begitu tiba di depan ayah bun-danya, Cin Liong menarik tangan
Suma Hui dan diajaknya menjatuhkan diri berlutut, sedangkan Ciang Bun dan Ganggananda
memberi hormat dengan menjura.
"Ayah, ibu, terimalah hormat kami, putera dan mantu ayah ibu." kata Cin Liong.
Melihat wajah gadis yang menunduk itu, wa-jah yang membayangkan kecantikan, kegagahan
dan kekerasan hati, yang menunduk dengan ba-yangan kesedihan, hati Wan Ceng menjadi
lunak. Teringatlah ia akan pengalamannya sendiri ketika ia masih gadis. Iapun dahulu pernah
menjadi kor-ban perkosaan orang yang menghancurkan hidup
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
579 dan kebahagiaannya, membuat selalu ingin mencari dan membunuh pemerkosanya itu. Kini
Suma Hui mengalami nasib yang sama. Hanya bedanya, kalau ia bahkan bertemu jodohnya
dengan pemer-kosanya yang bukan lain adalah suaminya yang sekarang, yang melakukan hal
itu di luar kesadar-annya(baca kisahJodoh Sepasang Rajawali ) , sebaliknya Suma Hui
menjadi korban kekejian se-orang laki-laki yang amat jahat. Laki-laki yang memperkosanya
dengan menyamar sebagai Cin Liong! Dan penjahat itu sedemikian pandainya memikat hati
keluarga Suma sehingga selain dite-rima menjadi murid, juga menjadi mantu! Semua telah
didengarnya dari Cin Liong dan kini melihat gadis itu menghadapnya, Wan Ceng melupakan
semua kesalahfahaman antara keluarganya dan keluarga gadis itu. Iapun turun dari kursinya,
membungkuk menghampiri Suma Hui dan me-rangkulnya."Suma Hui, engkau adalah calon
mantu kami yang baik...." Dan iapun menarik bangun ga-dis itu, menuntunnya dan
mengajaknya duduk di kursi. Mereka semua duduk di kursi menghadap meja besar dan sikap
Wan Ceng ini ternyata telah melenyapkan perasaan canggung, malu dan tidak enak dari hati
Suma Hui. Ketika ditanya, Suma Ciang Bun dan Ganggananda memperkenalkan diri. Suami
isteri perkasa itu merasa girang dan bersikap amat manis.
Diam-diam Gangga Dewi terharu sekali karena ia mengerti bahwa wanita yang rambutnya
sudah bercampur uban itu, yang demikian cantik dan gagah perkasa, adalah bibinya sendiri!
Nyonya itu adalah saudara seayah berlainan ibu dengan ayah-nya. Akan tetapi, demi menjaga
perjanjian rahasia-nya dengan Suma Hui untuk menolong Ciang Bun, ia diam saja dan hanya
duduk sebagai penanton dan pendengar.
Dalam pertemuan kekeluargaan ini, Kao Kok Cu dan Wan Ceng terang-terangan menyatakan
keinginan hati mereka kepada Suma Hui agar pernikahan antara Suma Hui dan Cin Liong
dapat dilaksanakan dengan secepatnya.
"Saatnya sudah lebih dari matang." antara lain pendekar berlengan satu itu berkata.
"Hendaknya kalian berdua ingat bahwa aku dan ibumu sudah tidak muda lagi. Kukira
demikian pula dengan ayah bunda Suma Hui, tentu seperti juga kami, mereka sudah ingin
sekali menimang cucu. Itu alasan pertama. Ke dua, tahun ini Cin Liong sudah berusia kurang
lebih tiga puluh enam tahun dan kami kira Suma Hui juga bukan seorang gadis re-maja lagi.
Karena cintanya dan setianya kepada-mu, Suma Hui, putera kami itu sampai kini sama sekali
tidak mau mendekati wanita lain, tidak me-nikah, bahkan memiliki seorang selirpun tidak
se-hingga kawan-kawannya suka menggodanya dan mengatakan bahwa dia banci."
Hanya Suma Hui, Ganggananda dan tentu saja Ciang Bun sendiri yang merasakan kata
"banci" ini sebagai sindiran terhadap diri Ciang Bun.
"Akan tetapi.... saya.... saya telah ber-tekad untuk mencari dan membunuh musuh besar
saya...." "Kami semua juga mengerti akan perasaanmu itu, anak Hui." kata Wan Ceng sambil
menyentuh kepala gadis itu yang duduk di sebelahnya. "Me-nentang dan membasmi manusia-
manusia iblis macam Louw Tek Ciang itu merupakan tugas se-tiap orang gagah, bukan"
Tidak perduli urusan pribadi, akan tetapi perbuatannya itu cukup mem-buat kita semua
memusuhinya. Akan tetapi, urusan dendam itu dapat dilakukan setelah menikah. Suamimu
tentu akan membantumu, dan kami juga."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
580 "Jangan khawatir, Suma Hui," sambung Kao Kok Cu, "Suamimu terikat tugas dan kiranya
hanya mempunyai sedikit waktu untuk urusan pribadi. Akan tetapi, kalau kalian sudah
menikah, aku sen-diri yang akan turun tangan menyeret iblis itu ke depan kakimu!"
"Tapi.... iblis itu harus mampus di tangan saya sendiri!" Suma Hui berkata penuh geram.
Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir menarik napas panjang. "Baiklah, terserah kepadamu, akan
tetapi kami sungguh mengharapkan engkau akan dapat mempertimbangkan dengan baik
untuk segera me-nikah dengan tunanganmu."
Suma Hui termenung. Ia memang merasa terharu dan kasihan kepada kekasihnya yang begitu
setia dan mencintanya, padahal ia sudah bukan seorang perawan lagi. Jarang di dunia ini
terdapat seorang pria seperti Cin Liong dan kalau sekarang ia menolak lagi, berarti dia yang
keterlaluan dan tidak mengenal budi orang. Akhirnya ia menye-tujui.
Bukan main girangnya hati Wan Ceng. Ia me-lompat dan merangkul calon mantunya,
mencium-nya dengan kedua mata basah. Keluarga itu lalu menahan Suma Hui, Ciang Bun
dan juga Gangga-nanda yang dianggap sebagai tamu, untuk bermalam di gedung besar
jenderal Kao Cin Liong dan utusan lalu dikirimkan ke Thian-cin untuk memberi kabar kepada
keluarga Suma tentang akan dilangsungkannya pernikahan itu. Menurut usul keluarga Kao,
pernikahan itu diadakan di kota raja dan di rumah keluarga Suma tidak diadakan pernikahan
lagi karena Suma Hui pernah dinikah-kan di situ dengan Louw Tek Ciang tiga tahun yang
lalu. Untuk keperluan itu, keluarga Suma di-undang untuk datang ke kota raja agar dapat
ber-sama-sama merayakan pernikahan yang sudah lama ditunggu-tunggu itu.
Akan tetapi Ganggananda hanya tinggal di situ semalam saja. Malam itu, setelah
berkesempatan bertemu dan bicara berdua saja dengan Suma Hui, gadis itu menganjurkan
kepadanya agar segera mulai dengan usahanya menolong dan menyela-matkan Ciang Bun
seperti yang sudah mereka ren-canakan sebelumnya. Rencana itu adalah pertama--tama
meninggalkan Ciang Bun agar pemuda itu merasa kehilangan dan menderita rindu. Maka
pada keesokan harinya, secara tiba-tiba saja Gang-gananda berpamit dari keluarga Kao untuk
melan-jutkan perjalanannya. Karena hal itu ia lakukan pagi-pagi sekali, yang mengetahui
kepergiannya hanyalah Suma Hui dan suami isteri Kao Kok Cu, sedangkan Cin Liong dan
Ciang Bun masih berada di dalam kamarnya.
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Ciang Bun ketika dia keluar dari kamarnya, dia
tidak mendapatkan lagi Ganggananda yang sudah pergi. Apalagi ketika dia mendengar dari
encinya bahwa pemuda Bhutan itu memang benar-benar sudah pergi dari rumah itu.
"Ah, kenapa dia tidak pamit kepadaku" Kenapa dia pergi begitu saja....?" Ciang Bun
mengeluh dengan muka berobah pucat, nampaknya dia terpukul sekali. Diam-diam Suma Hui
merasa kasihan kepada adiknya, akan tetapi ini merupakan siasatnya bersama Gangga Dewi
untuk menolong -Ciang Bun.
"Adikku, Gangga adalah seorang perantau yang hidup menyendiri. Kemudian dia
menemukan engkau sebagai seorang sahabat yang amat baik. Ketika dia kita ajak ke sini dan
melihat pertemuan antara kita dengan keluarga Kao, baru dia merasa bahwa dia adalah orang
luar, maka dia merasa tidak enak dan tidak betah tinggal lebih lama di sini, merasa tidak
berhak. Karena itulah maka se-pagi ini dia pergi tanpa dapat kucegah."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
581 "Ahh.... kasihan Gangga. Kenapa begitu" Setidaknya dia dapat menunggu aku dan bicara
denganku. Ke mana dia pergi, enci" Ke mana aku akan dapat mencarinya?"
"Ke mana lagi kalau tidak pulang ke negeri-nya?"
Seketika wajah pemuda itu berobah pucat. "Ke Bhutan" Ya Tuhan.... Gangga, engkau pergi
begitu saja meninggalkan aku untuk selamanya" Enci, aku pergi, aku harus mengejarnya...."
Pemuda itu meloncat dan sebentar saja dia sudah berada di luar gedung itu. Akan tetapi
nampak bayangan berkelebat dan encinya telah berdiri di depannya dengan pandang mata
serius, "Adikku, engkau mau apa?""Enci Hui, tidak tahukah engkau bahwa aku.... aku amat
mencintanya" Aku akan mati kalau ber-pisah darinya, enci, sungguh.... aku.... aku...." Ciang
Bun tidak dapat melanjutkan kata--katanya dan kedua matanya sudah basah oleh air mata!
Melihat adiknya menangis, Suma Hui me-rasa terharu sekali. Dipegangnya kedua tangan
adiknya itu. Pemuda yang sedang berlatih silat seorang diri dalam taman di samping rumah itu sungguh
amat tampan dan gagah. Pagi itu matahari belum nam-pak walaupun sinarnya telah lama
mengusir kabut dan menciptakan embun menjadi mutiara-mutiara yang bergantungan di
ujung daun-daun dan kelopak-kelopak bunga. Rumah itu agak terpencil di sebuah dusun yang
sunyi di Lembah Sungai Kuning. Pagi yang sunyi, segar dan sejuk.
Pemuda itu berusia antara delapan belas atau sembilan belas tahun, bertubuh tinggi tegap,
wajah-nya yang tampan itu berbentuk lonjong dengan dagu meruncing, mulutnya dan
matanya memba-yangkan watak yang gemibira. Pada waktu itu, walaupun hawa udara cukup
dingin, dia membuka baju dan hanya memakai celana sederhana saja. Akan tetapi yang amat
menarik adalah gerakan-gerakannya dalam berlatih silat. Kedua kaki itu seolah-olah dua
batang tiang baja yang kokoh kuat, tak tergoyahkan apapun ketika dia memasang kuda-kuda
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan menggeser ke sana-sini. Akan tetapi tubuh atasnya demikian lincah dan ringan. Dan orang
yang tidak mengerti akan menduga bah-wa pemuda itu hanya sedang berlatih dalam taraf
permulaan saja dari pelajaran ilmu silat karena ke-tika dia melakukan gerakan memukul atau
me-nendang, gerakan itu nampak tanpa tenaga. Akan tetapi, tidak demikian anggapan orang
yang sejak tadi menonton sambil bersembunyi. Ketika tadi dia memasuki dusun Hong-cun
dan tiba di depan rumah itu, dia memasuki pekarangan. Akan tetapi karena masih nampak
sunyi, dia mencari-cari dengan pandang matanya dan cepat dia menyelinap diantara pohon-
pohon ketika melihat seorang pemuda sedang berlatih silat seorang diri lalu mengintai. Dari
sinar matanya, jelas bahwa orang ini merasa kagum bukan main.
Pengintai itu menarik napas panjang dan mengumam seorang diri, "Hebat.... seorang
pe-muda yang hebat tak ubahnya Pendekar Siluman Kecil di waktu muda...." Kakinya
bergerak sedikit dan tanpa disegaja kakinya menginjak daun-daun kering dan mematahkan
sepotong ranting. Bunyi itu sebenarnya tidak be-rapa keras, akan tetapi cukup bagi Suma
Ceng Liong untuk menghentikan latihan silatnya dan dia menghadap ke arah pohon itu.
"Saudara yang berada di belakang pohon, kalau ada keperluan keluar dan bicaralah,
sebaliknya kalau tidak ada keperluan, harap suka pergi. Tidak ada gunanya bersembunyi dan
mengintai."
Ceng Liong mengira bahwa yang mengintai tentu seorang penghuni dusun Hong-cun. Sudah
tiga tahun dia berada di dusun itu, di rumah orang tuanya dan menerima penggemblengan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
582 dengan ke-ras dari kedua orang tuanya. Kini dia bukanlah Ceng Liong tiga tahun yang lalu,
yang masih ke-kanak-kanakan. Kini dia seorang pemuda dewasa yang semakin mantap dan
matang ilmunya.
Akan tetapi ketika orang yang mengintai itu muncul dari balik pohon, Ceng Liong terkejut
dan kagum. Orang itu dengan langkah lebar mengham-pirinya dan kini mereka saling
berhadapan, saling pandang dengan kagum. Ceng Liong memandang penuh selidik. Belum
pernah dia melihat orang ini. Seorang laki-laki yang berusia kurang lebih em-pat puluh tahun,
bertubuh tegap dan bersikap ga-gah bukan main. Pakaiannya dari kain kasar se-perti yang
biasa dipakai para pemburu. Di pung-gungnya tergantung sebatang pedang. Pria ini, dari
kepala sampai ke kaki, sikap dan gerak-geriknya, semua membayangkan kegagahan yang
amat me-ngagumkan hati Ceng Liong.
Ceng Liong dapat menduga bahwa dia berha-dapan dengan seorang gagah yang tidak
dikenal-nya, maka diapun cepat mengangkat kedua tangan-nya ke depan dada sebagai
penghormatan dan berkata, "Bolehkah saya bertanya" Siapa nama saudara yang gagah dan
ada keperluan apakah mendatangi pondok kami?"
Pria itu tersenyum dan nampak deretan giginya yang putih terpelihara rapi. "Aku melihat
engkau berlatih dan merasa kagum sekali. Ingin aku ber-latih bersamamu. Orang muda,
layanilah aku ba-rang sepuluh dua puluh jurus!" Berkata demikian, pria itu sudah menyerang
maju dan mengirim pu-kulan ke arah dada Ceng Liong! Tentu saja pe-muda ini cepat
mengelak ke belakang. Akan tetapi, pukulan yang tidak mengenai sasaran itu sudah disusul
oleh serangkaian pukulan lagi yang sema-kin lama menjadi semakin dahsyat.
"Plakk! Plakk!" Terpaksa Ceng Liong yang terdesak dan selalu mengelak ke belakang itu
kini menggunakan lengannya untuk menangkis. Tang-kisan yang dilakukan dengan
mengerahan tenaga dan akibatnya keduanya terkejut karena keduanya merasa betapa lengan
yang beradu dengan lengan lawan itu tergetar hebat! Ceng Liong kini mem-balas serangan
dan mereka segera terlibat dalam pertandingan yang seru, saling serang dengan jurus-jurus
pukulan yang aneh dan dahsyat. Kedua-nya menjadi semakin gembira ketika mendapat
kenyataan bahwa lawannya benar-benar amat tangguh. Karena dari cara orang itu menyerang
Ceng Liong maklum bahwa orang itu memang ha-nya ingin mengujinya, maka diapun
melayani orang itu dengan gembira dan diam-diam diapun mengerahkan tenaga dan
kepandaian untuk me-menangkan pertandingan itu.
Ketika pertandingan yang seru itu sudah berlangsung kurang lebih dua puluh jurus, nampak
bayangan dua orang berkelebat dan tahu-tahu Suma Kian Bu dan Teng Sian In sudah berdiri
di tempat itu dan mereka menonton pertandingan itu dengan alis berkerut dan terheran-heran.
Mereka tidak mengenal siapa adanya pria gagah perkasa berpakaian pemburu yang bertanding
dengan pu-tera mereka itu. Akan tetapi, melihat gerakan kedua orang itu, suami isteri sakti
inipun maklum bahwa mereka itu tidak berkelahi dengan sungguh-sung-guh, melainkan lebih
tepat kalau dikatakan berla-tih atau saling menguji ilmu masing-masing.
Istana Pulau Es 7 Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Hati Budha Tangan Berbisa 13