Pencarian

Kisah Para Pendekar Pulau Es 5

Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 5


jiauw Siauw-ong, Jai-hwa Siauw-ok dan wanita yang
berjuluk Ulat Seribu...."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
119 Suma Kian Bu mengangguk-angguk dan mengerutkan alis. Nama-nama besar di dunia
hi-tam, terutama sekali Hek-i Mo-ong.
"Lanjutkan ceritamu."
"Mula-mula kami bertiga, saya, adik Ciang Bun dan adik Ceng Liong, sedang berlatih silat
ketika muncul Ngo-bwe Sai-kong dan anak buahnya hendak membunuh kami bertiga. Nenek
Lulu da-tang dan menghajar mereka. Nenek Lulu dikeroyok dan berhasil memukul mundur
musuh, bahkan berhasil menewaskan Ngo-bwe Sai-kong yang lihai. Akan tetapi nenek
Lulu.... ia sendiri ter-luka parah dan setelah dapat masuk ke dalam istana, ia.... ia meninggal
dunia karena luka-luka-nya...."
"Aihhh....!" Teng Siang In menahan jeritnya dan mukanya menjadi pucat, lalu berobah merah
sekali karena marah. Sementara itu, Suma Kian Bu memejamkan matanya, wajahnya tidak
menun-jukkan sesuatu, hanya nampak dia menarik napas panjang.
"Lanjutkan.... lanjutkan...." katanya tanpa membuka matanya.
"Sisa para penyerbu itu dihajar oleh nenek Ni-rahai sehingga mereka lari cerai-berai
meninggal-kan pulau. Malamnya kami tiga orang anak mela-kukan penjagaan dan muncullah
Cin Liong dalam keadaan luka-luka pula. Dia mendarat di Pulau Es dan hampir saja terjadi
salah paham karena pada waktu itu kami bertiga tidak mengenal bahwa dia adalah keponakan
kami." Suma Kian Bu mengangkat tangan dan membu-ka matanya, memandang kepada Cin Liong.
"Hen-tikan dulu ceritamu, Hui-ji, dan kauceritakanlah bagaimana engkau dapat sampai ke
Pulau Es dalam keadaan luka-luka, Cin Liong."
Cin Liong lalu menceritakan pengalamannya secara singkat namun jelas sekali. Dia
mencerita-kan betapa dia bertugas menyelidiki keadaan dan betapa dia mengikuti rombongan
penjahat yang hendak menyerbu Pulau Es, dan betapa di tengah pelayaran dia ketahuan dan
hampir saja tewas ketika dia terlempar ke dalam lautan, namun akhir-nya dia berhasil juga
mendarat di Pulau Es walaupun sedikit terlambat, yaitu rombongan pertama dari kaum sesat
telah menyerang ke pulau yang mengakibatkan tewasnya nenek Lulu.
"Demikianlah, saya lalu dibawa menghadap kakek buyut Suma Han dan bersama dengan
kelu-arga Pulau Es saya lalu ikut melakukan penjagaan." Cin Liong mengakhiri ceritanya.
"Dialah yang banyak berjasa, paman. Kalau tidak ada dia, mungkin keadaan kami akan
men-jadi lebih parah lagi. Seperti yang telah diduga oleh nenek Nirahai, gerombolan penjahat
itu datang lagi menyerbu, dipimpin oleh Hek-i Mo-ong dan tiga orang datuk lainnya.
Kekuatan mereka berpuluh orang dan kami semua, kecuali kakek Suma Han yang tetap duduk
bersila di dekat peti mati nenek Lulu, kami semua dipimpin oleh nenek Nirahai lalu
mengadakan perlawanan mati-matian. Namun, pihak musuh terlampau banyak. Walau-pun
kami sudah merobohkan banyak orang, tetap saja kami kalah kuat. Nenek Nirahai telah
berha-sil menewaskan Si Ulat Seribu, dan Cin Liong ber-hasil pula membunuh Eng-jiauw
Siauw-ong yang lihai. Kemudian.... sesuai dengan perintah ne-nek Nirahai, Cin Liong
membawa kami bertiga bersembunyi karena keadaan gawat...."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
120 Suma Kian Bu dapat mengerti akan siasat ibu kandungnya. "Hemm, tentu disuruh
bersembunyi di ruangan bawah tanah, bukan?"
"Benar, paman. Aku sungguh tidak setuju sama sekali dan ingin aku mengamuk terus. Akan
tetapi, Cin Liong mentaati perintah nenek Nirahai dan aku ditotoknya. Memang, kalau tidak
disembunyi-kan, kami bertiga dan Cin Liong tentu telah tewas semua, akan tetapi sedikitnya
dapat menambah jumlah kematian pihak musuh."
"Lanjutkan, lanjutkan....!"
"Setelah kami keluar dari tempat persembunyian, ternyata musuh sudah pergi semua, bahkan
mereka membawa pergi teman-teman yang tewas dan luka. Akan tetapi.... akan tetapi.... kami
melihat nenek Nirahai telah tewas pula di samping peti mati nenek Lulu...." Sampai di sini
Suma Hui tak dapat menahan tangisnya dan kembali ia terisak-isak lalu sesenggukan. Teng
Siang In menggigit bibirnya. Wanita ini tidak menangis, artinya tidak mengeluarkan suara
menangis walaupun air matanya bercucuran membasahi kedua pipinya. Juga Suma Kian Bu
hanya termenung de-ngan muka tidak menunjukkan sesuatu. Semua ini terlihat oleh Cin
Liong dan pemuda ini teringat akan kegagahan Ceng Liong dan menjadi kagum.
Melihat keadaan keponakannya itu, Suma Kian Bu menarik napas panjang. Dia tidak dapat
me-nyalahkan keponakannya itu. Sebagai seorang ga-dis, Suma Hui cukup gagah dan
pengalaman yang amat menyedihkan itu tentu saja mengguncang pe-rasaan gadis itu.
"Cin Liong, sekarang engkaulah yang melanjutkan ceritanya," katanya kepada pemuda itu.
Cin Liong memandang kepada Suma Hui yang masih sesenggukan dengan sinar mata penuh
kasih sayang dan iba dan hal ini sama sekali tidak lewat begitu saja dari pengamatan Suma
Kian Bu, akan tetapi pendekar ini diam saja.
"Ketika kami memasuki ruangan, kami melihat nenek buyut Nirahai telah tewas di dekat peti
mati nenek buyut Lulu, sedangkan kakek buyut masih duduk bersila di tempat semula.
Biarpun kami tidak melihat dan tidak tahu apa yang telah terjadi, akan tetapi melihat betapa
semua musuh telah pergi dan kakek buyut masih duduk bersila, maka besar sekali
kemungkinannya kakek buyut telah berhasil mengusir mereka, entah dengan cara bagaimana.
Kami semua melakukan penjagaan dan kemudian baru kami tahu, biarpun ada suara ka-kek
buyut yang memesan agar jenazah mereka kami bakar di kamar sembahyang, dan agar kami
semua cepat meninggalkan pulau senja hari itu juga dan kami diharuskan kembali ke rumah
ma-sing-masing, baru kami tahu bahwa sesungguhnya kakek buyut Suma Han juga telah
meninggal dunia...."
"Ayah....!" Seruan ini pendek saja namun menggetarkan seluruh rumah itu dan Cin Liong
merasa terkejut sekali.
"Ayaaahh.... ohh, ayaahhh....!" Teng Siang In menubruk suaminya, menyembunyikan
mukanya di dada suaminya. Keduanya menangis tanpa suara!
Cin Liong menatap wajah Pendekar Siluman Kecil itu dan hatinya tergetar. Wajah yang
gagah itu nampak menakutkan sekali. Dengan membe-ranikan diri diapun berkata lirih.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
121 "Mendiang kakek buyut meninggalkan pesan bahwa kematian adalah wajar, tidak perlu
diribut-kan atau disusahkan...."
Terdengar elahan napas panjang dan pendekar itu seperti baru sadar dari mimpi buruk. Dia
memandang kepada Cin Liong dan berkata lirih, "Terima kasih, Cin Liong. Begitulah
hendaknya. Is-teriku, keringkan air matamu yang tiada gunanya itu dan mari kita
mendengarkan penuturan mereka ini lebih lanjut."
Kini Suma Hui yang sudah dapat menguasai hatinya melanjutkan cerita itu. "Paman dan bibi,
setelah kami melakukan perintah terakhir dari ka-kek, kami berempat meninggalkan pulau
dengan perahu dan dari jauh kami melihat betapa istana itu terbakar, kemudian.... sungguh
mengejutkan dan mengherankan sekali.... kebakaran itu men-jalar terus dan dalam waktu
semalam itu, seluruh pulau terbakar habis!"
"Hemmm....!" Suma Kian Bu mengangguk-angguk, kembali dia maklum akan maksud
ayahnya yang hendak melepaskan semua ikatan dengan dunia.
"Dan pada keesokan harinya, pulau itu sudah lenyap! Pulau Es telah tenggelam!" gadis itu
melanjutkan ceritanya.Kembali Suma Kian Bu mengangguk-angguk. Memang Pulau Es
adalah sebuah pulau yang aneh, maka peristiwa itupun tidaklah luar biasa. "Kemu-dian
bagaimana dengan kalian berempat?" tanya-nya dan kini ayah dan ibu ini kembali dicekam
rasa gelisah karena kenyataannya kini, dari empat orang itu tinggal dua orang, Ciang Bun dan
Ceng Liong tidak ada bersama mereka, ini berarti bahwa tentu telah terjadi sesuatu dengan
kedua orang anak itu.
"Kami berempat melanjutkan pelayaran untuk menuju ke daratan besar, akan tetapi di tengah
lautan kami dihadang dan dikepung oleh puluhan orang penjahat, sisa mereka yang agaknya
melarikan diri dari Pulau Es, dipimpin oleh Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok."
"Kedua nama jahanam itu takkan pernah kulu-pakan!" kata Teng Siang In dengan sinar mata
berapi-api. "Kami diserang dan perahu kami digulingkan. Kami membela diri mati-matian, akan tetapi
Cin Liong terlempar le laut, demikian pula Ciang Bun, padahal ketika itu badai sedang
mengamuk. Saya sendiri tertawan oleh Jai-hwa Siauw-ok dan diba-wa lari, sedangkan
menurut keterangan Cin Liong kemudian, adik Ceng Liong juga tertawan dan di-bawa pergi
oleh Hek-i Mo-ong."
"Ahhhh....!" Teng Siang In meloncat ba-ngun dan mukanya menjadi merah sekali, sepasang
matanya mencorong. "Kalau sampai terjadi sesuatu dengan anakku, aku bersumpah untuk
merobek-robek kulit Hek-i Mo-ong dan mencincang han-cur dagingnya!"
"In-moi, tenanglah, tidak baik membiarkan perasaan menguasai batin," terdengar Suma Kian
Bu berkata dan nyonya itu lalu terduduk kembali, wajahnya kini agak pucat akan tetapi
sepasang matanya masih berapi-api dan kedua tangannya dikepal. "Hui-ji, lanjutkan
ceritamu."
"Saya dilarikan oleh si jahanam Jai-hwa Siauw-ok dan nyaris mengalami bencana dan aib
yang hebat. Untung muncul Cin Liong yang tiba pada saat yang tepat menolongku dan sayang
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
122 sekali bahwa si keparat itu berhasil melarikan diri dari kejaran kami. Kami lalu langsung pergi
ke sini untuk melaporkan kepada paman dan bibi."
"Dan Ciang Bun" Ceng Liong?" Teng Siang In bertanya.
Suma Hui mengerutkan alisnya, wajahnya dise-limuti kedukaan dan ia menggeleng kepala.
"Kami tidak tahu, bibi. Yang diketahui oleh Cin Liong hanya bahwa Ciang Bun terlempar ke
lautan dan Ceng Liong ditawan Hek-i Mo-ong. Jahanam Siauw-ok itupun bercerita demikian
kepadaku."
"Kita harus mencarinya sekarang juga!" Teng Siang In berkata sambil memandang kepada
sua-minya dan Suma Kian Bu yang sudah mengenal baik watak isterinya maklum bahwa
andaikata dia menolak sekalipun, tentu isterinya akan berangkat sendiri. Memang mereka
harus cepat melakukan pengejaran dan mencari Ceng Liong untuk dirampas kembali, dan
bagaimauapun juga, mereka memang sudah berkemas-kemas untuk pergi meran-tau ke Pulau
Es. "Baik, kita mencarinya hari ini juga. Cin Liong dan Hui-ji, kalian hendak pergi ke mana?"
"Paman, saya harus cepat-cepat pulang ke Thian-cin memberi kabar kepada ayah dan ibu."
"Saya akan menemani bibi Hui."
Suma Kian Bu mengangguk dan bersama isteri-nya dia mengantar pemuda dan pemudi itu
sampai ke pintu depan. Setelah mereka berdua berpamit dan menjura untuk yang terakhir
kalinya, Suma Kian Bu memandang kepada mereka dengan sinar mata tajam, lalu berkata,
"Cin Liong dan Suma Hui, jalan yang kalian tempuh penuh rintangan, akan tetapi berjalanlah
terus, doa restuku bersamamu dan semoga Thian memberkahi kalian."
Cin Liong dan Suma Hui balas memandang dan wajah mereka seketika meujadi merah.
Mereka menjura lagi dan hampir berbareng keduanya ber-kata, "Terima kasih...." Lalu
mereka pergi me-ninggalkan suami isteri yang dicekam rasa gelisah karena mendengar putera
tunggal mereka ditawan Hek-i Mo-ong, datuk kaum sesat yang telah me-reka dengar akan
kekejamannya. Setelah kedua orang muda itu lenyap di sebuah tikungan jalan, Teng Siang In
menoleh kepada suaminya.
"Engkau juga melihat bahwa mereka itu saling mencinta?"
"JeIas sekali!"
"Dan engkau malah mendorong mereka! Mana mungkin hal itu berlangsung" Mereka adalah
bibi dan keponakan!"
"Bukan urusan kita, melainkan urusan mereka berdua. Aku hanya percaya kepada cinta
kasih, tidak percaya kepada semua peraturan-peraturan yang kaku. Nah, mari kita berangkat,
isteriku."
Suami isteri pendekar ini meninggalkan pesan kepada pelayan wanita yang membantu rumah
tangga mereka, meninggalkan uang juga mening-galkan pesan agar hati-hati menjaga rumah,
ke-mudian merekapun pergi. Karena mereka tidak tahu ke mana Hek-i Mo-ong melarikan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
123 Ceng Liong, dan tidak tahu harus melakukan pengejaran ke jurusan mana, maka mereka
mengambil kepu-tusan untuk pergi ke kota raja karena di tempat ramai inilah pusat segala
macam berita tentang dunia kang-ouw. Karena mereka melakukan pen-carian tanpa arah
tertentu, maka mereka melaku-kan perjalanan lambat, melakukan penyelidikan dengan teliti,
menanyai orang-orang dan tokoh-tokoh persilatan di sepanjang jalan, walaupun hati mereka
gelisah dan ingin sekali mereka cepat-cepat menemukan kembali putera mereka.
*** Sebagaimana kemudian tercatat di dalam seja-rah, Kaisar Kian Liong merupakan kaisar yang
pa-ling besar, paling bijaksana, dan paling lama men-duduki tahta Kerajaan Ceng
dibandingkan dengan semua kaisar Bangsa Mancu. Kaisar ini akan memerintah selama enam
puluh tahun! Memang Kaisar Kian Liong inilah merupakan satu-satunya kaisar yang berhasil
dalam pemerintahannya. Kebesarannya bahkan menandingi kebesaran kakek-nya, yaitu
Kaisar Kang Shi (1663-1722). Kalau kakaknya itu memegang kendali pemerintahan dengan
kedua tangan besi, Kian Liong menggunakan satu tangan besi dan yang sebelah pula tangan
bersa-rung sutera. Pemberontakan-pemberontakan yang muncul memang ditindasnya dengan
tangan besi, akan tetapi kaisar ini mengatur pemerintahan di dalam dengan lembut sehingga
sebagian besar rakyat mencintanya. Tentu saja, tidak ada orang yang mampn memuaskan hati
semua orang lain. Karena Kian Liong memperhatikan nasib rakyat dan menggunakan
kekerasanbukan saja terhadap pemberontakan akan tetapi juga terhadap para penjahat, maka
diam-diam para penjahat itu ke-hilangan tempat berpijak. Hal ini, terutama mereka yang
menjadi korban operasi dan gerombolannya dihancurkan, menimbulkan dendam dan sakit
hati, juga kebencian terhadap Kaisar Kian Liong yang masih muda. Inilah sebabnya mengapa
bukan ja-rang kaisar ini mengalami serangan-serangan ge-lap ketika melakukan perjalanan.
Ketika dia masih menjadi seorang pangeran, Kian Liong sudah biasa merantau dan menyamar
sebagai rakyat biasa se-hingga dia mampu menyelami keadaan kehidupan rakyat seperti
kenyataannya, bukan hanya mendengar pelaporan-pelaporan saja yang biasanya pal-su karena
para pejabat yang melapor selalu mela-porkan yang baik-baik untuk mencari muka. Dan
semenjak masih menjadi pangeran, banyak sudah usaha para penjahat untuk melenyapkan
atau membunuh pangeran ini. Akan tetapi, betapapun ba-nyaknya penjahat yang anti, masih
banyak mereka yang pro dan yang melindungi dan membela pa-ngeran itu. Apalagi sekarang,
sebagai seorang kai-sar tentu saja dia selalu dikelilingi dan dilindungi oleh para pengawal
istana. Ketika itu, sudah dua tahun Kaisar Kian Liong menduduki tahta kerajaan dan sudah
banyaklah kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam peme-rintahannya. Baru saja bala tentara
kaisar berhasil melakukan pembersihan ke selatan dan di sepan-jang pantai timur. Kini, ada
kabar angin yang mendesas-desuskan bahwa di utara dan barat mulai ada gerakan-gerakan
pemberontakan dan sang kaisar telah menugaskan panglima yang amat dipercayanya, yaitu
Jenderal Muda Kao Cin Liong, untuk melakukan penyelidikan. Dia percaya bahwa jenderal
muda itu akan dapat menemukan kenya-taan-kenyataan mengenai berita yang tidak baik itu
dan dengan hati tenang, Kaisar Kian Liong pada suatu hari pergi berpesiar ke Telaga Teratai
di sebelah selatan kota raja. Dia bermaksud untuk merayakan hasil operasi pembersihan di
timur dan selatan itu, karena setiap kali usahanya membebas-kan rakyat dari tekanan dan
kesengsaraan berhasil, hatinya gembira sekali.Perjalanan dilakukan dengan kereta yang
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
124 dika-wal oleh pasukan pengawal. Dalam perjalanan pesiar ini, Kaisar Kian Liong ditemani
oleh belasan orang dayang dan juga tiga orang selirnya yang muda-muda dan cantik-cantik.
Sampai dua ta-hun setelah menjadi kaisar, dia belum mempunyai seorang permaisuri, hanya
mempunyai tiga orang selir itu yang belum juga ditambahnya walaupun para pembesar
dengan usaha mereka mencari muka banyak yang menawarkan dara-dara cantik jelita untuk
menambah kumpulan selir-selirnya.
Telaga Teratai itu sesungguhnya adalah sebuah telaga buatan yang mengambil airnya dari
Terusan Besar, dibuat sebuah telaga yang indah dikelilingi taman bunga dan telaga itu terhias
dengan bunga-bunga teratai yang mekar sepanjang masa. Bebe-rapa buah perahu besar
mewah milik istana diper-gunakan untuk pesiar oleh Kaisar Kian Liong. Akan tetapi, tidak
seperti kaisar lain yang mengu-tamakan kesenangan dengan hiburan tari-tarian, makan enak,
kemudian bersenang-senang dengan para wanita cantik, Kaisar Kian Liong mempunyai cara
bersenang-senang yang lain lagi. Kesenang-annya amat bersahaja, seperti kesenangan rakyat
jelata. Para dayang dan pengawal menahan rasa geli hati mereka tanpa merasa heran
sedikitpun ketika perahu kaisar telah tiba di tengah telaga, Kaisar Kian Liong lalu mulai
dengan hobbynya, yaitu mengail ikan!
Orang yang tidak biasa mengail ikan, tidak akan mengetahui apa sebabnya banyak
sasterawan, filsuf, dan orang-orang besar di jaman dahulu suka mengail ikan. Akan tetapi
mereka yang mempunyai hobby ini akan dapat merasakan bahwa di dalam keasyikan mengail
ini orang akan menemukan kedamaian hati, ketenteraman, dan kebahagiaan yang hanya dapat
dinikmati orang dalam keadaan sunyi dan hening. Orang yang mengail dihanyutkan di dalam
keheningan yang penuh harapan, kejutan tiba-tiba yang amat menggairahkan hati apabila
umpan pancinguya disambar ikan, ketegangan yang mendebarkan jantung apabila ikan itu
meronta-ronta dengan kuatnya untuk melepaskan diri, dan akhirnya kepuasan yang
membanggakan apabila ikan itu dapat dinaikkannya ke atas, menggelepar di bawah kakinya,
kepuasan seorang pemenang dan hasil daripada kesabaran dan ketekunan. Seorang pengail
ikan dapat saja menganggap pekerjaan memburu binatang di hutan sebagai pekerjaan kejam,
atau seorang yang mempunyai hobby menga-il ikan menganggap kejam orang yang berburu
binatang sebagai hobby saja. Berburu binatang merupakan suatu perkosaan, pikir mereka,
karena kita berburu binatang tertentu yang dikejar-kejar sampai dapat dan dibunuh di bawah
mata dengan darah dingin. Akan tetapi tidak demikian dengan mengail ikan. Kita mengail
ikan tanpa ditujukan kepada ikan tertentu, bahkan tanpa kesengajaan untuk menangkap ikan
tertentu. Yang terkena umpan adalah ikan yang kebetulan menyambar umpan itu, jadi....
salahnya ikan itu sendiri atau tergantung kepada nasib sang ikan atau juga kepada
kerakusannya! Tentu saja ini adalah pen-dapat seorang yang suka mengail ikan!
Kaisar Kian Liong kelihatan gembira sekali karena ternyata di telaga itu terdapat banyak ikan
rakus! Sebentar saja umpan pancingnya disambar ikan yang cukup besar dan setelah dia
berhasil menarik ikan itu ke atas perahu dan ikan itu dile-pas dari pancing oleh pembantunya,
kemudian mata kail dipasangi umpan baru, sebentar saja dia me-narik ikan lain. Berturut-turut
kailnya mengena dan sebentar saja dia telah berhasil memancing belasan ekor ikan yang


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cukup besar! Kaisar ini sama sekali tidak tahu betapa sebelum mengail, para thaikam yang
selalu berusaha untuk menye-nangkan hati kaisar telah lebih dulu melepaskan banyak ikan-
ikan hesar di tempat itu. Terjadi pula kelucuan yang tidak diketahui oleh kaisar muda itu,
yakni bahwa di antara ikan yang terdapat oleh-nya itu ada beberapa ekor ikan yang sebetulnya
hanya bisa didapatkan di Sungai Yang-ce!
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
125 Di tepi telaga buatan itu terdapat banyak rak-yat yang sengaja datang untuk nonton perahu
kai-sar. Bahkan ada pula yang memberanikan diri naik perahu. Memang telaga buatan itu
pada hari-hari biasa dibuka dan kaisar memperbolehkan rakyat untuk bermain-main di situ.
Bahkan kaisar yang sudah biasa dengan rakyat itu tidak pula melarang rakyat bermain-main
pada saat dia sedang berlibur di situ. Hal ini sesungguhnya membuat para komandan
pengawal mengerutkan kening karena tidak setuju, akan tetapi tentu saja mereka tidak berani
menentang. Sebaliknya, rakyat berterima kasih dan memuji sikap kaisar yang sa-ma sekali
berbeda dengan kaisar-kaisar lain, yang biasanya amat congkak dan tidak sudi berdekatan
dengan rakyat, apalagi rakyat kecil yang miskin.
Di antara beberapa orang nelayan yang men-dayung perahu mencari ikan di telaga itu,
terdapat seorang wanita muda yang pakaiannya seperti nelayan, memakai caping lebar untuk
melindungi wajahnya yang manis dari sengatan sinar matahari yang mulai naik tinggi.
Perlahan-lahan, perahu wanita nelayan ini makin mendekati perahu kaisar. Para pengawal
yang awas memasang mata, melihat nelayan wanita ini, akan tetapi karena ia hanya seorang
wanita nelayan yang sendirian saja dalam sebuah perahu kecil, asyik memancing ikan pula,
maka mereka tidak menaruh kecurigaan. Pula, apa yang dapat dilakukan oleh seorang wanita
muda terhadap kaisar yang dijaga ketat oleh para penga-wal" Memang benar bahwa kaisar
tidak dikeru-muni terlalu banyak pengawal, dan di perahu itu-pun hanya terdapat enam orang
pengawal, akan tetapi itupun sudah cukup kalau diingat bahwa me-reka berada di atas perahu
di tengah telaga, se-dangkan di pantai telaga berkumpul pasukan pe-ngawal. Selain itu, juga
para anak buah perahu bukanlah orang lemah dan dapat pula membantu jika timbul keadaan
bahaya. Kalau terlalu banyak perahu nelayan yang berani mendekat perahu kai-sar, tentu para
pengawal akan melarangnya. Akan tetapi hanya sebuah perahu kecil seorang nelayan wanita
saja tidak menjadi soal.
Akan tetapi para pengawal ini sama sekali tidak tahu bahwa di antara perahu-perahu nelayan
yang berada agak jauh dari perahu kaisar itu terdapat penumpang-penumpangnya yang amat
mencuri-gakan. Dari sikap, bentuk tubuh dan pakaian me-reka, jelaslah bahwa mereka itu
bukan nelayan bi-asa. Sama sekali bukan nelayan karena mereka adalah orang-orang kang-
ouw, kaum sesat yang menaruh hati dendam terhadap kaisar karena me-reka adalah orang-
orang yang menjadi korban pembersihan, bekas raja-raja bajak dan perampok yang telah
kehilangan anak buah dan mata pen-caharian mereka, kehilangan kerajaan kecil mereka. Ada
lima orang penjahat besar di perahu-perahu kecil terpisah dan para pengawal tidak tahu betapa
tak lama kemudian perahu-perahu itu kosong dan para penghuninya lenyap.
Barulah para pengawal itu menjadi panik dan geger ketika tiba-tiba ada lima orang yang
pakai-annya basah kuyup berloncatan masuk ke dalam perahu dengan tangan memegang
senjata tajam! Pada saat itu, Kaisar Kian Liong sedang mengha-dapi panggang ikan hasil
kailnya tadi dan melihat munculnya lima orang ini, tentu saja kaisar menjadi terkejut dan
heran. Namun, bukan baru sekali ini saja kaisar itu menghadapi ancaman bahaya. Ketika
masih menjadi pangeran, sudah seringkali dia menghadapi ancaman maut, maka sekali inipun
dia bersikap tenang saja. Bahkan kaisar muda ini melanjutkan makan minum sambil nonton
betapa enam orang pengawalnya sudah menerjang dan menyambut lima orang penyerbu gelap
itu. Akan tetapi, ternyata lima orang penyerbu ini rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi.
Mereka itu terlalu kuat bagi enam orang pengawal dan berturut-turut, sudah ada tiga orang
pengawal yang roboh mandi darah!
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
126 "Ha-ha-ha, Kaisar Kian Liong, engkau hendak lari ke mana sekarang?" seorang di antara
para penyerbu yang bertubuh seperti raksasa bermuka hitam itu kini mengangkat golok
besarnya dan menyerbu ke arah kaisar yang sedang makan da-ging ikan. Kaisar itu maklum
bahwa tidak ada jalan lari baginya, maka diapun melanjutkan ma-kan, bangkitpun tidak dari
tempat duduknya!Melihat ketenangan orang itu, si penjahat men-jadi termangu-mangu dan
ragu-ragu, memandang ke kanan kiri untuk melihat apa yang menyebab-kan kaisar begitu
tenang seolah-olah ada yang di-andalkan. Penjahat ini sudah mendengar betapa kaisar ini
sejak menjadi pangeran dahulu selalu dilindungi oleh para pendekar dan menurut dongeng
dilindungi oleh dewa-dewa yang tidak nampak!
Kaisar Kian Liong tersenyum, melihat keraguan orang itu. "Orang kasar, apa sebabnya
engkau hen-dak membunuh kami?"
Penjahat itu nampak marah lagi. "Engkau menjadi kaisar bertindak sewenang-wenang
ter-hadap golongan kami, menindas dan membasmi golongan kami. Maka kami harus
membunuhmu!"
"Ahh, apa untungnya kalau engkau membunuh-ku" Tetap saja kalian akan hidup sengsara
ka-rena ulah kalian sendiri. Bertobatlah dan bertin-daklah di atas jalan yang benar dan kalian
akan menemukan kehidupan baru...."
"Tak perlu banyak cakap lagi!" Si penjahat yang agaknya sudah menemukan kembali
keganasannya itu melompat ke depan, mengayun goloknya.
"Trrangggg....!" Bunga api berpijar menyi-laukan mata kaisar yang melindungi mukanya
de-ngan kedua tangan agar bunga api itu tidak me-ngenai mukanya. Dia melihat munculnya
seorang wanita muda berpakaian nelayan yang memakai caping lebar sehingga sukar bagi
kaisar untuk dapat melihat muka wanita itu yang tertutup caping. Wanita itu memegang
sebatang pedang dan tadi telah meloncat ke perahu sambil menangkis sambaran golok
penjahat raksasa itu.
Kini terjadilah perkelahian di atas perahu. Wa-nita muda itu lihai sekali permainan
pedangnya sehingga penjahat tinggi besar menjadi kewajahan juga. Penjahat itu kalah lincah
dan sinar pedang yang bergulung-gulung itu mendesak dan meng-himpitnya, membuat dia
hanya mampu menangkis sambil mundur-mundur saja. Akan tetapi, segera datang penjahat-
penjahat lain dan karena tak lama kemudian semua pengawal yang berjumlah enam orang itu
telah raboh semua, si wanita nelayan ter-paksa melawan lima orang penjahat itu dan
me-lindungi kaisar! Ia memutar pedangnya dan ber-loncatan ke sana-sini menghadang agar
mereka tidak dapat mengganggu kaisar.
Betapapun pandai dan gagahnya wanita itu, ia tidak mampu menandingi lima orang penjahat
yang ganas itu dan ia telah menerima beberapa kali bacokan sehingga pakaiannya mulai
penuh dengan bercak-bercak darah. Melihat ini, kaisar menjadi marah dan tidak tega.
"Kalian berlima ini sungguh orang-orang jahat kejam dan tak tahu malu, mengeroyok
seorang wa-nita. Hentikan pengeroyokan itu!"
Akan tetapi, lima orang penjahat itu menghen-daki nyawa kaisar dan si wanita menjadi
penghalang, tentu saja mereka tidak memperdulikan ben-takan-bentakan kaisar. Karena
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
127 merasa bahwa ia tidak akan mampu mempertahankan diri lebih lama lagi, wanita itu lalu
berkata dengan suara gemetar.
"Sri baginda, larilah.... larilah dari sini selagi ada kesempatan....!"
Akan tetapi, biarpun dia sendiri bukan pendekar, Kaisar Kian Liong sejak dulu memiliki
watak yang gagah. Ada seorang wanita yang membela dan melindunginya terancam bahaya
maut, bagai-mana mungkin dia mau melarikan diri begitu saja meninggalkan wanita itu
sendiri saja menghadapi maut" Dia lalu bertepuk tangan dan berkata ke-pada para anak buah
perahu yang berdiri dengan bingung.
"Jangan diam saja. Bantulah wanita ini meng-hadapi penjahat!"
Mendengar perintah itu, barulah belasan orang anak buah perahu itu berbondong-bondong
maju dengan senjata seadanya. Ada yang membawa tombak ikan, ada yang membawa
dayung, dan tukang masak datang bersenjatakan pisau dapur yang besar. Mereka juga bukan
orang-orang le-mah, akan tetapi tentu saja bukan apa-apa bagi lima orang penjahat lihai itu.
Sebentar saja mere-kapun sudah terlempar ke sana-sini terkena ten-dangan para penjahat dan
kembali wanita itu di-keroyok.
"Desss....!" Sebuah pukulan yang keras se-kali dengan sebuah ruyung mengenai punggung
wanita itu. Wanita itu mengeluh dan muntah da-rah, dan pada saat itu, sebatang golok
membacok lambungnya. Darah muncrat dan wanita itupun terhuyung. Namun, dengan
pedangnya ia masih mampu menghalau sebatang golok yang menyam-bar ke arah kaisar!
Wanita itu sungguh gagah perkasa dan mati-matian melindungi kaisar.
"Bunuh perempuan ini lebih dulu, baru kita sembelih kaisar!" kata si tinggi besar dan kini
me-reka semua menerjang ke arah wanita yang sudah lemah itu. Si wanita memutar
pedangnya melin-dungi diri, akan tetapi karena tenaganya sudah le-mah, ia terlempar ke
belakang, jatuh menimpa pangkuan kaisar! Kaisar merangkulnya, tidak per-duli akan darah
wanita itu yang membasahi lengan dan jubahnya. Dan kaisar terkesiap kaget ketika caping itu
terbuka dan wajah yang manis itu nam-pak.
"Li Hwa....!" Kaisar Kian Liong berseru dan memandang terbelalak. "Kau.... kau.... Li
Hwa....!" Wanita itu mencoba untuk tersenyum. "Ampun-kan hamba.... hamba tidak berhasil....
menye-lamatkan paduka...."
"Li Hwa....!" Kaisar mendekap kepala itu dan merangkulnya ketat.
Lima orang penjahat itu tertegun menyaksikan peristiwa ini, akan tetapi segera si tinggi besar
berseru, "Bunuh mereka!"
Lima orang itu menyerbu, seperti lima ekor anjing yang hendak memperebutkan tulang,
menerjang ke arah kaisar yang duduk memeluk tubuh wanita nelayan itu.
"Wuuuutttt.... blaarrrr....!" Lima orang penjahat itu terlempar ke belakang dan terbanting
jatuh. Mereka merasa seperti disambar halilintar saja dan ketika mereka bangkit berdiri dan
meng-goyang-goyang kepala mengusir pening, mereka melihat di situ telah berdiri seorang
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
128 laki-laki ber-usia kurang lebih empat puluh enam tahun, berpa-kaian sederhana dengan
rambut riap-riapan, se-pasang matanya mencorong seperti mata naga, dan di sebelahnya
berdiri pula seorang wanita berusia beberapa tahun lebih muda, namun masih nampak cantik
dan bertubuh ramping padat, berpakaian rapi dan pesolek, di punggungnya tergantung se-buah
payung. Sepasang suami isteri ini bukan lain adalah pendekar sakti Suma Kian Bu yang
dikenal sebagai Pendekar Siluman Kecil dan isterinya yang bernama Teng Siang In. Akan
tetapi karena me-mang selama belasan tahun Suma Kian Bu dan isterinya tidak pernah
berkecimpung di dunia kang-ouw dan tidak membuat nama besar, maka lima orang penjahat
itupun tidak mengenal mereka. Dan inilah celakanya bagi para penjahat itu. Ka-lau mereka
mengenal suami isteri pendekar itu, tentu mereka akan lari tunggang-langgang tidak berani
melawan, meloncat ke air telaga dan berenang ke perahu masing-masing seperti yang me-reka
lakukan ketika mengadakan penyerbuan tadi.
Akan tetapi, kini mereka bangkit dan memandang marah, lalu menghampiri suami isteri itu
dengan sikap mengancam. Mereka adalah orang-orang kasar yang hanya mengandalkan
kekerasan dan kepandaian sendiri saja, tak tahu diri dan tidak melihat bahwa terjangan Suma
Kian Bu tadi saja sudah cukup menjadi bukti bahwa mereka sama sekali bukanlah tandingan
pendekar sakti ini.
Mereka sudah hampir berhasil, sudah menyu-dutkan kaisar yang demikian tidak berdaya lagi.
Sekali menggerakkan golok saja sudah cukup untuk membunuh kaisar dan kini muncul dua
orang peng-halang yang tak disangka-sangka, tentu saja mereka menjadi penasaran. Mereka
maju menghampiri dan membagi kelompok, tiga orang menghampiri Suma Kian Bu dan dua
orang menghampiri Teng Siang In.
Para anak buah perahu yang tadi dipukul jatuh bangun, kini berdiri berkelompok, dengan
tubuh babak-belur mereka memandang ke depan, dengan penuh harapan mereka berpihak
kepada suami isteri yang muncul pada saat yang tepat itu.
Sambil mengeluarkan teriakan-teriakan buas, mereka maju menyerang. Seorang penjahat
yang memegang sebatang tombak panjang menubruk dan menusuk ke arah perut Suma Kian
Bu. Pendekar ini tidak bergerak dari tempat dia berdiri melain-kan menyambut tusukan itu
dengan tangannya, menangkap ujung tombak dengan mudahnya dan sekali betot, orang itu
terbawa mendekat dan be-gitu kedua tangan pendekar sakti ini bergerak, tombak panjang itu
seperti benda lunak saja dili-bat-libatkan pada tubuh pemiliknya sehingga penjahat itu terbelit
tombaknya sendiri, tidak mam-pu bergerak seperti ayam ditelikung.
"Plakkk!" Tangan pendekar sakti itu menampar dan tubuh penjahat yang sudah tidak mampu
ber-gerak itu terlempar keluar dari perahu, jatuh menimpa air yang muncrat tinggi dan tubuh
itupun tenggelam karena dibebani tombak dan kedua le-ngannya tidak mampu
bergerak!Orang pertama yang menyerang Teng Siang In adalah seorung penjahat berperut
gendut dengan kepala botak. Dia memegang ruyung besar dan orang inilah yang tadi
menggebuk punggung wa-nita nelayan itu. Kini, dengan ruyung yang besar dan berat itu dia
menyerang kepada Teng Siang In. Nyonya pendekar inipun tidak bergerak dari tempat ia
berdiri, melainkan sepasang matanya yang tajam berpengaruh itu menatap ke arah wajah si
gendut, mnlutnya yang manis berkemak-kemik dan telunjuk kanannya menuding.
Terjadilah keanehan yang luar biasa dan membuat para anak buah perahu itu bengong
terlongong. Si gendut berkepala botak itu tiba-tiba berhenti menyerang, melotot dan ruyung
yang dipegang oleh tangan kanannya itu tiba-tiba saja digerakkan memukuli kepalanya sendiri
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
129 yang botak. Terdengar bunyi tak-tok-tak-tok disusul keluhan dan teri-akannya dan kepala
botak itu sebentar saja bocor semua, berdarah dan benjol-benjol. Tangan kiri orang itu
berusaha mencegah tangan kanan, akan tetapi tetap saja tangan kanan itu menggerakkan
ruyung, makin lama semakin keras menghantami kepalanya sendiri. Orang itu kebingungan,
keta-kutan dan kesakitan, berlari ke tepi perahu akan tetapi ruyung di tangannya masih terus
memukuli-nya, dan pada pukulan terakhir terdengar suara "prakk!" dan diapun terguling
keluar dari perahu, menimpa permukaan air dan tenggelam karena pukulan terakhir tadi
agaknya membuat kepala botaknya retak-retak! Melihat ini, mulailah para anak buah perahu
percaya akan kehehatan sepasang pendekar itu dan merekapun bersorak gembira.
Penjahat ke dua yang menyerang Suma Kian Bu adalah seorang penjahat tinggi kurus yang
ber-senjata sebatang golok. Melihat betapa kawannya dilempar ke telaga oleh pendekar itu,
dia berseru marah dan goloknya ditusukkan ke depan, ke arah perut pendekar itu. Seperti tadi,
Suma Kian Bu tidak bergerak dari tempatnya melainkan menggunakan jari telunjuknya
menyentil ke arah golok yang segera menyeleweng arahnya dan pemegangnya terhuyung.
Namun, penjahat itu membalik dan kembali menusukkan goloknya dari samping ke arah
lambung. Kian Bu menggunakan dua jari tangan menangkap atau menjepit ujung golok dan
sekali dia mengerahkan tenaga, terdengar suara nyaring dan golok itupun patah menjadi dua!
Sebelum penjahat itu hilang kagetnya, Kian Bu menggerak-kan tangannya dan patahan golok
yang dijepitnya itu menyambar dan amblas memasuki perut si penjahat yang terbelalak dan
berteriak keras. Kian Bu menangkap punggung bajunya dan sekali ta-ngannya bergerak, tubuh
penjahat itu menyusul temannya terlempar ke air telaga, terus tenggelam karena patahan
golok yang terbenam dalam perut-nya itu telah merenggut nyawanya.
Penjahat ke empat yang menyerang Teng Siang In juga mengalami nasib yang sama
buruknya. Dia menggunakan sebatang pedang yang diputar-putar ke atas kepala dan ketika
dia menerjang maju, Siang In berkata halus, "Monyet busuk, engkau bermain-main dengan
seekor ular apakah tidak takut digigit?"
Bagi para anak buah perahu yang enak nonton perkelahian aneh itu, terjadilah suatu
pemandangan yang aneh luar biasa. Mereka melihat betapa pen-jahat berpedang yang
menyerang nyonya pendekar itu tiba-tiba menjerit, memandangi pedangnya di tangan yang
diangkat tinggi-tinggi, matanya terbelalak ketakutan dan berkali-kali dia menjerit seolah-olah
melihat pedangnya sendiri sebagai sesuatu yang menakutkan! Dan memang sesungguh-nya
demikianlah. Seperti tadi ketika menghadapi lawan pertama, nyonya pendekar ini tidak mau
mengotorkan tangan menandinginya dengan ilmu silat, melainkan sudah menggunakan ilmu
sihirnya. Yang pertama tadi, ia membuat si penjahat memu-kuli kepala sendiri dengan ruyung
sampai remuk. Kini, ia menyihir lawan membuat si lawan itu tiba-tiba saja melihat pedangnya
yang berada di tangan itu berobah menjadi seekor ular besar ga-nas yang menyembur-
nyembur dan hendak meng-gigit hidungnya. Tentu saja dia menjadi ketakutan dan panik
melihat ular yang dipegangnya sendiri pada ekornya itu. Selagi dia kebingungan, sebuah
sepatu runcing menyambar ke arah pusarnya.
"Dukkk!" Penjahat itu berteriak, matanya men-delik dan tubuhnya terlempar keluar perahu
me-nimpa air telaga mengikuti teman-temannya ke neraka!
Si raksasa tinggi besar yang menjadi pimpinan lima orang itu menjadi terkejut setengah mati
me-lihat betapa empat orang temannya tewas dalam keadaan demikian aneh, dan tak
disangkanya me-reka itu demikian mudahnya jatuh oleh sepasang pendekar setengah tua ini.
Matanya terbelalak memandang kepada suami isteri itu bergantian kemudian dia mengkirik
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
130 dan membalikkan tubuh lalu lari hendak meloncat keluar dari perahu yang mengerikan
hatinya itu. "Eh, eh, nanti dulu! Berikan dulu golok itu padaku!" Teng Siang In berkata halus akan tetapi
sungguh aneh sekali, raksasa itu menghentikan langkahnya, membalik dan menghampiri
Siang In, menyerahkan golok besar itu seperti seorang anak penurut yang taat sekali! Siang In
menerima golok dan orang itu terbelalak, seolah-olah terkejut dan terheran melihat
kelakuannya sendiri dan seperti baru sadar, dia lalu membalik dan lari. Tubuhnya melayang
keluar dari perahu ketika dia meloncat. Akan tetapi pada saat itu, nampak sinar berkelebat
menyilaukan mata dan sebatang golok terbang me-nyambar ke arah leher penjahat itu.
Nampak darah muncrat dan ketika tubuh raksasa itu menimpa air, ternyata kepalanya telah
terpisah dari badannya oleh goloknya sendiri yang tadi dilontarkan oleh Teng Siang In.
Para anak buah perahu itu bersorak, akan tetapi mereka juga bergidik ngeri menyaksikan
betapa suami isteri ini membunuh lima orang penjahat itu dengan sadis. Mengapa suami isteri
pendekar ini menjadi demikian kejam dan sadis terhadap para penjahat" Bukan hanya karena
para penjahat itu memang merupakan orang-orang berbabaya yang sudah berani mencoba
untuk membunuh kaisar, namun terutama sekali karena telah terjadi pero-bahan dalam batin
suami isteri pendekar ini yang tentu saja mempengaruhi tindakan mereka. Hal ini terjadi
semenjak mereka berdua mendengar dari Cin Liong dan Suma Hui tentang terculiknya putera
tunggal mereka, Ceng Liong, oleh Hek-i Mo-ong dan terutama sekali mendengar bahwa ayah
bunda mereka dan Pulau Es telah terbunuh dan terbasmi oleh datuk-datuk sesat itu. Semen-jak
itu, mereka berdua merasa sakit hati sekali, mendendam kepada dunia penjahat yang


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membu-at mereka sampai hati melakukan kekejaman tadi.
Dendam membuat kita menjadi kejam. Hal ini dapat kita buktikan sendiri dengan melihat
sen-diri keadaan batin kita. Dendam melahirkan ke-bencian dan kebencian inilah yang
memungkinkan perbuatan kejam karena kebencian membuat kita ingin melihat yang kita
benci itu menderita sehe-bat mungkin! Sekali diracuni dendam, hati seo-rang pendekar seperti
Suma Kian Bu atau Teng Siang In sekalipun, akan berobah menjadi sadis dan kejam, tentu
saja kejam terhadap mereka yang menimbulkan dendam itu. Dan kebencian merupa-kan suatu
penyakit. Jangan dikira bahwa setelah orang yang dibencinya lenyap, lalu kebencian itu-pun
akan berakhir atau lenyap dengan sendirinya. Kebencian itu akan tetap ada di batin, tinggal
me-nanti bahan bakarnya saja untuk dapat berkobar lagi. Tentu sekali waktu akan muncul
bahan bakar itu yang berupa orang atau golongan yang akan dibencinya lagi. Karena
kebencian adalah penonjolan ke-akuan yang paling parah, kebencian timbul karena si aku
merasa dirugikan sehingga timbul dendam dan benci yang membuat si aku ingin sekali
melihat yang dibenci itu menderita dan "terbalas".
Setelah menghajar lima orang penjahat itu, Kian Bu dan Siang In membalik dan menghadapi
kaisar. Akan tetapi kaisar muda itu memangku tubuh yang sudah lunglai itu sambil menangis
dan menciumi-nya! Kemudian terdengar Kaisar Kian Liong yang sudah mengenal baik suami
isteri pendekar itu berkata, "Suma-taihiap, tolonglah, selamatkan-lah nyawa kekasihku ini...."
Mendengar ucapan ini, Kian Bu dan Siang In terkejut, cepat menghampiri, berlutut dan
meme-riksa keadaan wanita itu. Akan tetapi mereka ha-nya saling pandang setelah
mengadakan pemerik-saan karena keduanya maklum bahwa nyawa wa-nita itu tak mungkin
dapat diselamatkan lagi. Ba-gian dalam tubuhnya luka hebat oleh pukulan ke-ras, dan juga
lambungnya terluka parah oleh ba-cokan senjata tajam. Belum lagi seluruh tubuhnya yang
terhias luka-luka yang cukup dalam dan parah. Mereka berdua memandang dengan hati iba
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
131 dan diam-diam merekapun heran mendengar betapa kaisar menyebut wanita nelayan itu
kekasih. Memang sesungguhnyalah bahwa wanita itu adalah seorang gadis yang sejak lama menjadi
ke-kasih hati Kaisar Kian Liong, sejak kaisar ini masih menjadi seorang pangeran. Beberapa
tahun yang lalu, orang-orang gagah dari Siauw-lim-pai yang mendendam kepada Kaisar Yung
Ceng, menyerbu istana. Di antara mereka terdapat seorang murid Siauw-lim-pai wanita yang
bernama Souw Li Hwa yang pada waktu itu baru berusia delapan be-las tahun. Iapun
mendendam kepada kaisar yang masih terhitung susioknya sendiri karena gurunya menderita
sengsara ketika isteri gurunya itu pada suatu hari diperkosa oleh kaisar! Souw Li Hwa ikut
rombongan para hwesio Siauw-lim-pai un-tuk membalas dendam dan menyerbu istana. Akan
tetapi, orang-orang Siauw-lim-pai itu rohoh dan tewas semua kecuali Souw Li Hwa yang
berhasil melarikan diri. Di dalam istana ini, selagi dikejar-kejar, Souw Li Hwa bertemu
dengan Pangeran Kian Liong yang segera menolongnya, menyembu-nyikannya, bahkan
mengawalnya keluar istana sampai selamat. Ternyata sang pangeran itu jatuh cinta kepada
Souw Li Hwa. Sebelum berpisah, pangeran itu memberikan sebuah cincin dan sang pangeran
berjanji bahwa kelak dia akan berjodoh dengan Souw Li Hwa setelah menjadi kaisar.
Pe-ristiwa ini diceritakan dengan jelas dalam ceritaSuling Emas dan Naga Siluman .
Souw Li Hwa masih sadar dan gadis inipun melihat sikap sepasang suami isteri itu. Iapun
maklum bahwa dirinya tak mungkin dapat dito-long lagi, maka iapun berkata lemah,
"Sudahlah.... sri baginda.... hamba.... hamba tak mungkin dapat hidup...."
"Li Hwa.... ah, Li Hwa, kenapa selama ini engkau tidak datang kepadaku" Ini.... ah, ini
cincinku masih kaubawa.... tapi kenapa engkau tidak muncul....?" Kaisar muda itu menarik
sebuah tali yang tergantung pada leher Li Hwa dan ternyata cincin pemberiannya tergantung
pada tali itu. "Sri baginda.... hamba hanya seorang.... rendah.... mana berani hamba.... mengganggu....
seorang mulia seperti paduka....?"
"Ahhh, Li Hwa kekasihku. Akulah yang bersa-lah, aku telah melupakanmu.... terlalu banyak
pekerjaan yang harus kuselesaikan sampai aku terlupa padamu.... padahal, cintaku padamu tak
pernah padam. Li Hwa, kaumaafkan aku...."
"Sudahlah, sri baginda.... hamba merasa bahagia.... pada saat terakhir.... masih dapat
berjumpa dengan paduka.... masih dapat membela paduka.... ah, hamba puas.... ternyata
paduka masih mencinta...." Gadis itu menghen-tikan kata-katanya, napasnya terengah-engah.
Melihat wajah itu makin memucat dan tubuh yang dipangkunya makin lemas terkulai, Kaisar
Kian Liong menjadi panik. "Taihiap.... ah, tolonglah dia...."
Akan tetapi Kian Bu dan isterinya hanya menarik napas panjang. "Luka-lukamya terlampau
pa-rah, sri baginda."
Jawaban ini cukup bagi Kian Liong. Dia me-rangkul dan menciumi muka yang pucat itu
sambil menangis. "Li Hwa.... ah, Li Hwa, jangan mati.... mari hidup di sampingku sebagai
isteri ter-cinta...."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
132 Souw Li Hwa membuka kembali matanya dan kini sepasang matanya bersinar layu walaupun
bi-birnya mengarah senyum dan wajahnya berseri. "Sri baginda.... kekasih hamba.... hamba
rela mati.... hamba.... berterima kasih.... hamba cinta...." Dan iapun terkulai karena nyawanya
telah melayang.
"Li Hwa....!"
"Sri baginda, ia telah tiada...." Siang In ber-kata halus dan mengambil mayat itu dari
pangkuan kaisar. Kaisar Kian Liong memejamkan matanya dan sejenak dia duduk seperti itu,
air matanya tu-run dari kedua mata yang dipejamkan, dan dia menguatkan hatinya. Kemudian
dia membuka mata, bangkit berdiri dan melihat betapa para pengawal, sepasukan besar yang
tadinya berjaga di tepi telaga, sudah tiba di situ menggunakan pe-rahu mereka, dia cepat
memberi perintah, "Tang-kap penjahat-penjahat itu dan beri hukuman berat kepada mereka!"
Menerima perintah dari kaisar yang berduka dan marah ini, para pengawal menjadi bingung,
akan tetapi mereka segera turun tangan, ada yang meloncat ke air dan menyelam, mencari
lima oraug penyerbu tadi. Akan tetapi, mereka hanya mampu menangkap lima mayat saja
karena lima oraug penjahat tadi telah mati semua.
Suma Kian Bu dan isterinya mengawal Kaisar Kian Liong kembali ke istana di kota raja, dan
jenazah Souw Li Hwa juga diangkut ke kota raja di mana kaisar menganugerahi pangkat selir
per-tama kepada wanita yang telah mati itu, dan jena-zahnya dikubur dengan upacara
kebesaran dan dibuatkan nisan yang besar dan megah.
Setelah ikut menghadiri upacara pemakaman sebagai penghormatan kepada Souw Li Hwa,
suami isteri Suma Kian Bu mohon diri meninggalkan is-tana dan merekapun mulai
melakukan penyelidikan di kota raja tentang diri Hek-i Mo-ong yang telah menculik dan
melarikan putera mereka. Namun, tidak ada orang yang mendengar tentang datuk itu dan
tentu saja hal ini makin menggelisahkan hati suami isteri itu. Mereka makin giat menyelidiki
dan mengambil keputusan takkan berhenti mencari sebelum mereka berhasil menemukan
putera me-reka.
*** Peralihan dari kehidupan kepada kematian me-rupakan rahasia besar yang mentakjubkan.
Kalau memang kematian sadah saatnya tiba, maka ada saja yang menjadi lantaran dan
kematian itu tidak dapat ditolak dengan cara bagaimanapun juga. Betapapun pandainya
manusia, namun semua ha-rus tunduk terhadap hukum alam ini, ialah kehidupan tentu
berakhir dengan kematian dan tidak ada kekuasaan yang dapat mencegahnya atau
memperpanjang waktu tibanya kematian. Kalau sadah tiba saatnya, biar hendak bersembunyi
di lubang semut, tetap saja kematian datang menjem-put. Sebaliknya, kalau saat kematian
belum tiba, biar kita berada di bawah ancaman maut yang bagaimana hebatpun, yang
nampaknya tidak mungkin kita dapat keluar dengan selamat, namun ada saja lantarannya yang
membuat kita terluput daripada cengkeraman maut dan masih dapat hidup terus. Sudah terlalu
banyak contoh-contoh tentang kematian yang datang tiba-tiba tanpa tersangka-sangka, dan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
133 tentang orang-orang yang selamat dan luput dari kematian padahal sadah terkurung maut dan
agaknya tak ada harapan untuk lolos lagi.
Ada orang yang sejak mudanya menjadi peraju-rit sampai tua, puluhan tahun berada dalam
kepungan maut, setiap saat mungkin saja maut me-renggut nyawanya, namun ternyata dia
selamat, terlukapun tidak, sampai dia meugundurkan diri dari pekerjaan sebagai perajurit
karena sudah bosan atau lelah. Pulang ke kampung, tergigit seekor nyamuk saja bisa
mendatangkan penyakit yang akan memyeretnya ke lubang kubur!
Inikah yang disebut nasib" Terserah. Nasib hanya sebuah kata yang muncul karena kita
keha-bisan akal untuk dapat mengerti. Dan ada atau tidak adanya yang disebut nasib, yang
penting kita harus selalu menjaga diri, bukan karena takut mati melainkan untuk memelihara
badan dan batin kita agar tetap sehat dan jauh dari bencana.
Dilihat keadaannya, ketika perahu yang ditum-pangi para cucu penghuni Pulau Es itu
terguling dan mereka disambut oleh badai yang mengamuk, sudah dapat dipastikan bahwa
mereka akan mati semua. Akan tetapi kenyataannya tidaklah demiki-an. Ceng Liong yang
terjatuh ke tangan datuk-datuk kaum sesat yang kejam dan jahat, ternyata tidak terbunuh,
bahkan dibawa oleh Hek-i Mo-ong sebagai muridnya! Suma Hui dan Cin Liong ternyata juga
tidak tewas walaupun Suma Hui telah dilarikan oleh seorang penjahat cabul yang kejam dan
Cin Liong diombang-ambingkan ombak yang membadai. Demikian pula dengan Suma Ciang
Bun. Pemuda ini tidak tewas ditelan badai seperti yang dikhawatirkau saudara-saudaranya.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, se-perti juga Cin Liong, Ciang Bun terlempar
keluar perahu dan disambut oleh air laut bergelombang. Seorang ahli renang yang bagaimana
pandaipun takkan mungkin dapat melawan gelombang dah-syat dalam badai itu. Apalagi
Ciang Bun yang kepandaiannya dalam air terbatas. Dia mencoba untuk berenang mendekati
perahu, akan tetapi tubuhnya terseret makin menjauh dari perahu. Dia berusaha
mempertahankan dirinya agar tidak mi-num tcrlalu banyak air laut. Tubuhnya terbawa ombak,
diangkat tinggi-tinggi sampai dia merasa diterbangkan ke langit, lalu dihempaskan ke ba-wah,
dalam sekali dan hanya berkat tubuhnya yang terisi tenaga sin-kang kuat saja maka isi
perutnya tidak sampai remuk ketika dia berkali-kali diban-ting oleh gelombang.
Bagaimanapun juga, tenaga manusia adalah terbatas dan ketika Ciang Bun sudah hampir
tidak kuat bertahan lagi, dalam kegelapan tangan kirinya bertemu dengan sepotong papan
kayu. Bagaikan bertemu dengan pusaka, tangan kirinya itu men-cengkeram kuat-kuat dan
dipeluknya papan kayu itu, di mana dia bergantung dalam keadaan sete-ngah pingsan,
membiarkan dirinya dibawa ke ma-napun juga oleh papan kayu yang dipermainkan
gelombang membadai itu. Kalau memang belum tiba saatnya untuk mati, dalam ancaman
maut, di tengah lautan bergelora yang sedang dilanda badai itu, tiba-tiba ada saja muncul
sepotong papan kayu yang menjadi lantaran sehingga memungkinkan Ciang Bun terlepas dan
lolos dari cengkeram-an maut.
Untung bagi Ciang Bun bahwa agaknya nalu-rinya timbul pada saat yang gawat itu. Kalau
tidak demikian, agaknya tentu dalam keadaan setengah sadar itu dia sudah melepaskan
cengkeramannya pada papan kayu itu. Akan tetapi, entah kekuatan apa yang menggerakkan
pemuda ini sehingga tan-pa disadarinya, kedua tangannya tak pernah mele-paskan papan kayu
itu. Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
134 Air lautan tidak mengganas lagi, bahkan amat tenang dan kegelapan telah terganti sinar cerah
matahari pagi ketika Ciang Bun sadar betul dari keadaan setengah pingsan itu. Dia teringat
bahwa dia terapung-apung di tengah lautan, maka rasa gentar menyentuh hatinya dan cepat-
cepat dia menarik tubuhnya ke atas dan dengan sudah payah dia duduk di atas papan kayu
yang tidak berapa besar itu. Dia menggigil karena merasa dingin. Cepat-cepat pemuda ini
mengerahkan Hwi-yang Sin-kang untuk melawan hawa dingin dan se-bentar saja tubuhnya
sudah terasa hangat dan nyaman. Akan tetapi berbareng dengan itu, muncul pula rasa lelah,
lapar dan mengantuk.
Di samping perasaan yang bercampur aduk ini, diapun teringat kepada Cin Liong, Ceng
Liong dan Suma Hui. Pertama-tama dia membayangkan wa-jah Ceng Liong dan hatinya
merasa berduka sekali karena dia khawatir kalau-kalau adik keponakannya itu tewas.
Kemudian, wajah Cin Liong terba-yang dan diapun merasa kasihan sekali kepada pemuda
perkasa yang telah banyak berjasa terha-dap keluarganya itu. Baru kemudian dia teringat
kepada encinya, Suma Hui dan kesedihannya bertambah.
Semenjak mereka tinggal bersama di Pulau Es, Ciang Bun merasa lebih dekat dengan Ceng
Liong daripada dengan encinya, bahkan dalam setiap percakapan dan perbantahan dia selalu
membela kepada Ceng Liong. Kemudian, ketika muncul Cin Liong jenderal muda yang gagah
perkasa itu, timbul rasa kagum yang mendalam di hati pemuda itu.
Memang akhir-akhir ini terjadi suatu perobah-an dalam batin Ciang Bun, perobahan yang dia
sendiri sama sekali tidak menyadarinya. Ketika dia masih kecil, perasaannya biasa saja, akan
tetapi semenjak dia menjadi remaja, semenjak dia tinggal di Pulau Es dan hidup bertiga
dengan Ceng Liong -dan Suma Hui, tanpa disadarinya timbul suatu perobahan. Dia merasa
suka sekali untuk berde-katan dengan Ceng Liong, bahkan ketika Cin Liong muncul, ada daya
tarik yang luar biasa pada diri jenderal muda itu baginya, yang membuat dia ka-dang-kadang
merasa malu dan bingung. Selain ini, juga dia ingin selalu kelihatan rapi dan elok seperti
encinya. Padahal Suma Hui sendiri terma-suk dara yang sederhana sehingga dalam hal
ber-pakaian, Ciang Bun lebih rapi daripada kakaknya. Apakah gejala ini timbul karena sejak
kecil dia hanya berdua saja dengan encinya sebagai saudara kandung yang tunggal" Selalu
berdekatan dengan kakak wanita sehingga dia meniru-niru encinya dan mempunyai ciri-ciri
seperti seorang wanita" Dia sendiri tidak sadar dan juga tidak tahu, akan tetapi yang
diketahuinya hanyalah bahwa setelah menginjak usia lima belas tahun, dia merasa tertarik
sekali kepada lelaki dan menyukai wajah dan ben-tuk tubuh laki-laki yang jantan.
"Aduh, lapar sekali perutku....!" Ciang Bun mengeluh dan mengusir renungan memedihkan
tentang saudara-saudaranya yang tidak diketahuinya bagaimana keadaannya itu, hidup atau
mati. Tiba-tiba dia mendengar suara orang, teriak-an-teriakan gembira. Cepat dia menoleh dan
alangkah girangnya ketika dia melihat adanya dua orang muda sebaya dengan dia yang
sedang ber-main-main di atas air lautan yang tenang. Dan Ciang Bun tertegun, terbelalak,
juga mengkirik me-lihat betapa dua orang muda remaja itu, seorang pria dan seorang lagi
wanita, sedang berlari-larian di atas air lautan! Bukan manusia, pikirnya. Ma-na mungkin ada
manusia pandai berlari-larian di atas air" Walaupun dia pernah menyaksikan mendiang
kakeknya, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, melakukan hal ini untuk beberapa detik
lama-nya. Akan tetapi dua orang muda-mudi itu ber-main-main, berloncatan dan berlarian
sambil ter-tawa-tawa!
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
135 "Kalau bukan sebangsa dewa lautan, tentu peri atau siluman...." bisik Ciang Bun dalam
hatinya dan tentu saja dia merasa tengkuknya meremang. Dia mengucek matanya akan tetapi
ketika membu-ka mata dan memandang lagi, pemuda dan dara itu masih ada, bahkan kini
mereka mendekat ke arahnya.
"Heii, lihat....! Ada bekas-bekas perahu pecah!" teriak si dara.
"Benar, tentu ada perahu pecah dan tenggelam semalam, dilanda badai. Jangan-jangan para
penumpangnya tewas semua.... haiii, lihat, apa itu" Bukankah dia manusia di atas papan itu?"
"Benar, koko! Seorang pemuda dan dia masih hidup!" teriak si dara dan mereka lalu
mengge-rakkan tubuh dan meluncur mendekati Ciang Bun.
Ciang Bun memandang dengan mata terbelalak. Baru sekarang dia tahu bahwa kedua orang
itu sama sekali bukan berlari di atas air, melainkan menggunakan alas kaki kayu yang panjang
runcing dan mereka itu berdiri di atas alas kaki kayu pan-jang itu, dan dengan menggerakkan
kedua lengan ke belakang dan mengayun tubuh ke depan, alas kaki yang seperti dua perahu
kecil itu meluncur ke depan! Akan tetapi, untuk dapat mengatur kese-imbangan tubuh di atas
dua perahu kecil itu dan untuk dapat bergerak demikian leluasa, tentu mem-butuhkan
keringanan tubuh dan latihan yang he-bat, juga tenaga sin-kang amat diperlukan ketika
mengayun tubuh ke depan. Jelaslah bahwa dua orang muda itu bukan orang-orang
sembarangan. Hal ini tentu saja menimbulkan kagum dalam hati Ciang Bun. Akan tetapi
bukan itu saja yang mem-buatnya bengong terlongong. Dua orang itu kelihatan demikian
eloknya! Yang perempuan berusia sekitar lima belas tahun, tubuhnya yang ramping dan
ranum itu amat indah dan Ciang Bun kagum sekali akan keindahan tubuh dara itu yang
meng-ingatkan dia akan keindahan tubuh encinya. Akan tetapi wajah dara itu baginya jauh
melampaui encinya dalam hal kecantikan. Seraut wajah yang cantik jelita dan manis sekali,
dengan sepasang mata yang seperti bintang, hidung mancung dan mulut yang amat manis.
Akan tetapi, hanya seben-tar saja sepasang mata Ciang Bun menatap dan mengagumi wajah
dan tubuh dara itu, yang hanya mengenakan pakaian pendek dan ringkas dan ba-sah karena air
lautan sehingga pakaian itu menem-pel ketat pada tuhuhnya, mencetak tubuh yang
menggairahkan itu. Namun, semua itu hanya lewat tanpa meninggalkan kesan mendalam di
hati Ciang Bun. Kini dia terpesona, ya terpesona, memandang ke arah pemuda yang meluncur
di samping dara itu. Pemuda itu berusia dua tiga tahun lebih tua darinya, sekitar tujuh belas
atau delapan belas tahun dan pemuda itu bertelanjang dada, hanya menge-nakan celana
pendek sebatas lutut yang terbuat dari kulit harimau. Wajahnya yang agak kecoklatan karena
kulitnya terbakar sinar matahari, nampak amat gagah dan tampan, sepasang matanya juga
mencorong seperti bintang, hidungnya mancung dan mulutnya juga manis seperti mulut si
dara, hanya dagu pemuda ini membayangkan kejantanan yang membuat Ciang Bun benar-
benar terpesona. Apalagi tubuh yang telanjang bagian atas itu, nampak demikian gagah,
tegap, bidang dan me-ngandung kekuatan yang mentakjubkan. Baru se-karang Ciang Bun
melihat bentuk tubuh yang de-mikian tegap dan gagahnya, dan tanpa disadarinya, jantungnya
berdegup aneh, hatinya tertarik sekali dan tiba-tiba saja dia merasa sungkan dan malu-malu.
"Eh, apa yang kaulihat" Apakah engkau belum pernah melihat orang?" Tiba-tiba gadis
remaja itu bertanya sambil terkekeh kocak. Pemuda yang bertelanjang baju hanya
memandang sambil ter-senyum ramah. Bukan pertanyaan dara itu yang membuat Ciang Bun
gugup, melainkan tatapan mata dan senyuman pemuda itu.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
136 "Aku.... aku.... ahh, aku belum pernah melihat orang-orang yang bermain-main di atas lautan
seperti kalian ini...."
"Hi-hi-hik....!" Dara itu tertawa terkekeh geli.
"Ha-ha-ha-ha....!" Pemuda itupun terta-wa. Sikap mereka demikian gembira, suara ketawa
mereka demikian bebas sehingga Ciang Bun yang biasanya pendiam dan serius, terseret oleh
kegembiraan mereka dan dia sama sekali tidak merasa tersinggung karena dua orang itu sama
sekali tidak seperti mentertawakannya. Maka diapun ikut pula tertawa ha-ha-he-heh walaupun
dia tidak tahu apa sebenarnya yang mereka tertawakan.


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ha-ha-ha-ha!" Dia tertawa. Melihat pe-muda di atas papan itu tertawa menyeringai dengan
muka mengandung keheranan dan tidak mengerti, dua orang muda itu makin geli dan ketawa
mereka makin keras.
Ketawa itu sepertitangis. Kalau dibiarkan berlarut-larut semakin keras, akan tetapi akhirnya
akan habis tenaganya dan berhenti sendiri. Dua orang muda yang tadinya berdiri di atas alas
kaki kayu panjang itu, selalu harus mengatur keseim-bangan tubuh mereka, mengerahkan gin-
kang (ilmu meringankan tubuh) dan mengerahkan tenaga pada kaki. Ketika mereka tertawa-
tawa, mulailah kese-imbangan tubuh mereka goyah dan merekapun ma-ju mundur, meluncur
ke kanan kiri dan akhirnya dara itu tidak dapat mempertahankan keseimbangan tubuhnya lagi
dan terpelanting.
"Byuurrrr....!" Air muncrat tinggi.
"Heiii....!" Si pemuda berteriak dan diapun terpelanting dan jatuh pula. Air muncrat semakin
tinggi. Melihat betapa dua orang itu terpelanting dan jatuh ke air, Ciang Bun merasa geli
sekali dan diapun terkekeh ketawa. Kini dia ketawa ada se-babnya, ada yang ditertawakan,
tidak seperti tadi dia tertawa hanya karena terseret oleh suara keta-wa dan sikap dua orang
muda itu. Kini dia tertawa seorang diri sambil memandang ke air di mana ke-dua orang itu
tadi terjatuh. Suara ketawanya makin berkurang dan akhirnya terhenti sama sekali, matanya ter-belalak
dan alisnya berkerut penuh kegelisahan. Dua orang muda yang terpelanting tadi terus
tenggelam dan tidak muncul lagi! Tentu saja Ciang Bun menjadi gelisah dan kaget sekali,
mengira bahwa mereka itu tentu tenggelam terus! Sungguh aneh sekali! Dua orang yang
begitu pan-dai bermain di atas air, apakah tidak pandai bere-nang sehingga mati tenggelam"
Dia sendiri lemas dan lelah sekali, akan tetapi melihat mereka berdua itu tenggelam dan tidak
timbul lagi, tanpa ragu--ragu Ciang Bun lalu meloncat ke air, melupakan kelelahan dan
kelemasan tubuhnya, kemudian me-nyelam dan mencari-cari dengan membuka mata-nya di
dalam air. Dia merasa matanya perih, akan tetapi karena sinar matahari cerah, dia dapat
meli-hat ke bawah cukup jelas. Dan apa yang dapat ditangkap dengan pandang matanya
membuat dia merasa mukanya panas karena malu. Dua orang muda yang disangkanya
tenggelam dan mungkin mati itu sedang berenang di dalam air dengan amat lincahnya,
agaknya mengejar ikan-ikan besar se-perti berlumba! Tahulah dia bahwa dia telah salah
sangka dan bahwa dua orang muda itu memang benar-benar memiliki ilmu dalam air yang
luar biasa seperti setan-setan air saja, maka diapun cepat-cepat naik kembali ke permukaan
air. Setelah kepalanya tersembul, dia menarik napas da-lam-dalam dan agak terengah karena
lama juga dia tadimenahan napas. Dengan mengandalkan sin-kangnya, memang dia dapat
bertahan lebih la-ma daripada orang biasa. Akan tetapi dia merasa lelah sekali dan dapat
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
137 dibayangkan betapa kaget-nya ketika dia melihat sepotong papan yang telah
menyelamatkannya semalam kini sudah terbawa air amat jauh dari situ. Mati-matian dia lalu
berenang mengejar, akan tetapi tenaganya semakin lemas dan dia merasa tidak mampu
menyusul papan yang hanyut itu.
Tiba-tiba, selagi dia merasa bingung, karena tanpa papan itu dia takkan dapat lama bertahan
di permukaan air, apalagi setelah tenaganya makin lemas itu, papan itu seperti hidup dan
bergerak membalik dan meluncur ke arahnya! Tentu saja dia merasa terkejut dan heran, akan
tetapi yang terutama girang sekali. Ditangkapuya papan itu dan diapun naik kembali ke
atasnya, duduk ter-engah-engah dan menyusut air laut dari rambut dan mukanya. Dia
memandang ke air dan keka-guman hatinya bercampur heran dan khawatir. Dua orang muda
itu sudah demikian lamanya di dalam air, bagaimana mereka kuat bertahan" Tentu me-reka
memiliki sin-kang yang luar biasa tinggi dan kuatnya. Siapakah mereka itu dan mengapa
berada di tengah lautan" Dia tidak melihat perahu di se-keliling tempat itu dan kembali Ciang
Bun bergi-dik. Manusiakah mereka" Dia mengingat kembali percakapan antara mereka dan
hatinya meragu. Pertanyaan gadis itu menunjukkan bahwa mereka manusia, akan tetapi sikap
mereka yang terbuka dan aneh, lalu keadaan mereka yang seolah-olah hidup di lautan,
kepandaian mereka yang luar biasa dalam air!
Tiba-tiba air bergerak dan muncullah dua orang yang sedang dijadikan bahan renungan itu.
Sepasang sepatu itu berada di punggung ma-sing-masing, terikat dengan belitan tali ke dada,
dan kini kedua tangan mereka memegang dua ekor ikan yang sebesar betis, gemuk dan
montok, yang masih menggelepar-gelepar.
"Nih, sobat, kaubawakan ikan-ikanku!" kata pemuda itu dan tubuhnya yang berada di air itu
meluncur cepat ke arah papan di mana Ciang Bun duduk. Ciang Bun memandang kagum.
Pemuda itu menggunakan kedua tangan memegangi ikan, jadi tentu hanya mempergunakan
kedua kakinya untuk berenang, namun tubuhnya dapat meluncur sedemikian cepatnya, jauh
lebih cepat dibandina-kan dengan dia sendiri kalau berenang, walaupun mempergunakan kaki
tangannya. Akan tetapi dia menerima dua ekor ikan itu, memegangnya dengan kuat-kuat
karena ikan-ikan iti menggelepar dan meronta.
Pemuda itu lalu mengambil sepotong tali dan memasukkan tali melalui mulut ikan-ikan itu.
Si dara juga berenang mendekat dau empat ekor ikan itu kini sudah diuntai pada tali dan
dipegang oleh Ciang Bun.
"Kalau begini mereka tidak akan mati dan ma-sih segar dagingnya setelah kita sampai
pulau," kata pemuda itu sambil memandang wajah Ciang Bun. "Engkau tentu sudah lapar
sekali, bukan?"
Wajah Ciang Bun menjadi merah dan diapun mengangguk. "Ke pulau" Pulau manakah?"
"Pulau kami, yaitu Pulau Nelayan."
Ciang Bun terkejut. "Pulau Nelayan" Jadi ka-lian tinggal di Pulau Nelayan?"
"Heii, orang muda aneh, apa yang kauketahui tentang Pulau Nelayan kami?" gadis itu
bertanya, sepasang matanya yang jeli itu menatap penuh keinginan tahu.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
138 Ciang Bun mengangguk. "Mendiang kakekku pernah bercerita tentang Pulau Nelayan, akan
te-tapi katanya pulau itu sudah disapu bersih oleh badai dan menjadi pulau kosong tidak ada
peng-huninya lagi, sudah puluhan tahun...."
Dua orang muda itu kelihatan terkejut mende-ngar ini dan mereka mendekat, kini mereka
meme-gangi papan di mana Ciang Bun duduk, pandang mata mereka penuh selidik.
"Sobat baik, siapakah mendiang kakekmu yaug mengetahui rahasia daerah lautan ini?" tanya
pemuda ganteng itu.
"Mendiang kakek adalah Pendekar Super Sakti dari Pulau Es."
"Aihhh....!" Dua orang muda itu melepaskan papan dan mundur, kemudian keduanya
men-jura ke arah Ciang Bun dengan pandang mata takjub dan penuh hormat dan kagum.
"Kiranya eng-kau adalah cucu Majikan Pulau Es, Suma-locianpwe....?" kata pemuda itu.
"Dan kami melihat pulau itu terbakar dan lenyap dari jauh...." sambung si dara sambil
ter-belalak memandang wajah Ciang Bun.
"Benar, pulau kami terbakar, kakek dan dua nenek kami tewas dan kami, yaitu aku dan
saudara-saudaraku, naik perahu meninggalkan pulau, di tengah lautan diserbu musuh, perahu
kami pe-cah dan kami cerai-berai.... ahh....!" Ciang Bun menunduk sedih teringat akan nasib
keluarga Pulau Es dan nasib saudara-saudaranya yang be-lum diketahuinya bagaimana.
"Aihh! Mari cepat ikut bersama kami ke pulau. Kakek tentu akan terkejut mendengar tentang
Pulau Es itu. Mari ikut dengan kami ke Pulau Ne-layan, Suma-taihiap!" kata pemuda itu.
Ciang Bun memandang dan mukanya berobah merah. "Harap jangan menyebutku taihiap.
Na-maku Ciang Bun, usiaku lima belas tahun."
"Dan namaku Liu Lee Siang berusia tujuh belas tahun, ini adikku Liu Lee Hiang, lima belas
tahun."- "Kalau begitu engkau kusebut twako dan adikmu kusebut siauw-moi," kata Ciang Bun
ramah. "Bun-hiante....!" Lee Siang menyebut girang.
"Bun-koko....!" Dara itupun menyebut de-ngan sikap agak malu-malu namun iapun
terse-nyum dan wajahnya yang manis itu berseri.
"Kita tidak mempunyai perahu, bagaimana kita dapat berlayar ke Pulau Nelayan kalian?"
tanya Ciang Bun.
"Hi-hik!" Lee Hiang tertawa. "Bukankah engkau sudah naik kereta dan tinggal menggunakan
dua ekor kuda saja untuk menarikmu?"
"Kereta" Kuda...." Apa maksudmu, siauw-moi?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
139 Lee Hiang tertawa manis, ketawanya bebas lepas, tidak seperti gadis-gadis kota yang kalau
ter-tawa terkendali dan ditutup-tutupi, seolah-olah tertawa merupakan perbuatan yang
memalukan. "Itu keretamu, dan kami berdua adalah kudanya!"
Kakak beradik itu lalu melepaskan alas kaki kayu berbentuk perahu-perahu kecil itu dari
punggung, lalu memasang pada kaki mereka, mengikat dengan tali-temali itu dan mereka
berdua lalu meloncat dan sudah berdiri di atas air. Lee Siang menggunakan sehelai tali,
agaknya pcmuda ini membawa banyak tali di pinggangnya, dan meng-ikat ujung papan kayu
yang diduduki Ciang Bun.
"Bun-hiante, harap suka berpegang kuat-kuat pada keretamu!" kata Lee Siang berkelakar
me-nyebut papan itu kereta. Ciang Bun mengangguk dan memegangi papan. Dua orang kakak
beradik itu lalu menggerak-gerakkan kedua tangan seperti orang mendayung dari depan ke
belakang, tubuh membungkuk rendah ketika kedua tangan mulai digerakkan dan pada saat
kedua tangan ditarik ke belakang, tubuh berdiri dan kedua kaki diisi tenaga mendorong ke
depan. Tubuh kedua orang muda itupun meluncur ke depan dan papan kayu yang diduduki
Ciang Bnn ikut tertarik dan melaju! Ciang Bun kagum bukan main. Memang keadaan mereka
seperti dia menunggang kereta ditarik dua ekor kuda saja.
"Siang-twako, kenapa kalian bermain-main demikian jauhnya?" Ciang Bun bertanya."Apa
katamu, Bun-hiante?" Lee Siang balas bertanya sambil menoleh tanpa menghentikan ge-rakan
tubuhnya. Ciang Bun maklum bahwa dia bicara melawan angin, maka dia mengulang
per-tanyaannya, sekali ini mengerahkan khi-kangnya se-hingga suaranya dapat menembus
tiupan angin dari depan.
Ciang Bun menggeleng kepala. "Kong-kong pernah bercerita tentang Pulau Neraka, Pulau
Ne-layan dan lain-lain, dan menurut kong-kong, Pulau Nelayan telah dilanda dau disapu
bersih oleh badai yang dahsyat. Agaknya kong-kong menganggap bahwa semua penghuninya
telah ha-bis."
Kakek yang bernama Liu Ek Soan itu mengangguk-angguk. "Mungkin begitu dan memang
aku sendiripun masih merasa heran mengapa di antara seratus lebih penghuni pulau ini, hanya
aku dan dua orang cucuku ini yang selamat secara aneh."
Kakek Liu Ek Soan lalu bercerita. Belasan ta-hun yang lalu, pada suatu malam, tanpa diduga-
duga badai yang amat dahsyat mengamuk di dae-rah itu. Belum pernah ada badai sehebat itu
dan Pulau Nelayan yang datar itu dilanda badai. Air laut naik tinggi ke pulau, menyapu
seluruh pulau dan menyeret apa saja yang berada di pulau itu.
Habis binasalah seluruh penghuni pulau itu. Rumah-rumah merekapun terseret bersih dan
pu-lau itu menjadi gundul dan kosong sama sekali. Akan tetapi, Liu Ek Soan yang menjadi
ketua pu-lau itu, orang yang terpandai di antara semua penghuni Pulau Nelayan, berhasil
menyelamatkan diri walaupun dia sendiri terseret sampai jauh sekali ke tengah lautan. Dalam
keadaan setengah mati, Liu Ek Soan berhasil kembali ke pulau itu, berduka dan ngeri
menyaksikan keadaan pulau. Seluruh keluarga dan tetangganya habis musnah. Akan tetapi
dapat dibayangkan betapa heran dan juga girang hatinya ketika pada keesokan harinya
muneul sebuah pernau kecil yang ditumpangi oleh dua orang cucunya, yaitu Liu Lee Siang
dan Liu Lee Hiang, yang pada waktu itu baru berusia enam tahun dan empat tahun!
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
140 Kiranya dua orang kakak beradik ini, pada sore harinya sebelum badai datang, telah
berperahu dan mencari ikan, akhirnya tertahan di sebuah pulau kosong kecil dan tidak berani
pulang karena ombak mulai bergelora. Malam itu, sambil mena-ngis keduanya berangkulan di
tengah pulau kosong. Badai mengamuk hebat, akan tetapi pulau kosong itu merupakan bukit
dan air laut tidak sampai me-nyapu permukaan bukit. Baru pada keesokan ha-rinya ketika laut
tenang kembali, keduanya turun dari atas bukit menuju pantai di mana mereka tidak melihat
lagi perahu mereka. Dua orang auak-anak itu sudah biasa dengan lautan, bahkan sebelmn
mereka mampu berjalan kaki, mereka sudah pandai berenang! Maka ketika mereka melihat
ada perahu kosong lain terapung-apung agak jauh dari pantai, Lee Siang lalu meloncat ke air,
berenang dan me-nuju ke perahu itu. Dia tidak tahu bahwa itu ada-lah satu di antara perahu-
perahu dari Pulau Ne-layan yang tersapu air laut dalam amukan badai semalam. Didayungnya
perahu ke pautai dan ber-sama adiknya dia lalu pulang ke Pulau Nelayan. Dan di pulau ini
mereka mendapatkan sisa bencana itu, seluruh permukaan pulau menjadi gundul dan hanya
ada seorang manusia di situ yang menyam-but mereka, yaitu kakek mereka, Liu Ek Soan yang
merangkul mereka sambil menangis sesenggukan. Ayah bunda mereka, paman-paman dan
bibi me-reka, saudara-saudara misan mereka, para tetang-ga, semua habis lenyap ditelan
gelombang samu-dera mengganas.
"Demikianlah, kongcu. Kami bertiga selamat dan agaknya tidak ada seorangpun yang tahu
akan hal ini. Aku merawat dan mendidik dua orang cucuku ini, kami hidup sederhana dan
cukup bahagia di pulau kami."
Ciang Bun memandang kagum. "Berkat pen-didikan locianpwe, Siang-twako dan Hiang-
siauw-moi ini menjadi orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat."
"Ah, Suma-kongcu terlalu memuji. Dalam hal ilmu silat, mana mungkin kami dapat
dibandingkan dengan kongcu sebagai cucu Suma-locianpwe di Pulau Es" Kami hanya
mempelajari sedikit ilmu dalam air."
"Itulah yang amat mengagumkan hatiku. Mere-ka berdua ini dapat bergerak di air seperti
ikan saja, begitu kuat menyelam lama dan dapat berge-rak di permukaan air sedemikian gesit
dan ringan-nya. Sungguh mengagumkan dan aku ingin sekali mempelajari ilmu itu."
"Bun-ko, kenapa engkau tidak tinggal di sini bersama kami dan belajar bersama kami?" tiba-
tiba Lee Hiang berkata dengan sinar mata berseri.
"Benar, kong-kong tentu akan suka sekali mengajarkan ilmu dalam air kepadamu, Bun-
hiante!" Lee Siang menyambung. Pemuda inipun suka se-kali kepada Ciang Bun yang tampan
gagah dan pendiam itu, apalagi mengingat bahwa selama mereka hidup di pulau itu, jarang
mereka bertemu dengan manusia lain, apalagi bersahabat. Dua orang muda itu rindu akan
persahabatan dan munculnya Ciang Bun merupakan suatu hal yang amat menggembirakan
hati mereka. Lain lagi yaug dipikirkan kakek Liu Ek Soan. Tadi Ciang Bun menuturkan keadaannya dan
ka-kek ini amat tertarik. Pemuda gagah ini adalah cu-cu Pendekar Super Sakti, putera Suma
Kian Lee keturunan Pendekar Super Sakti dan Lulu yang pernah menjadi ketua Pulau Neraka.
Pemuda ini adalah keturunan pcndekar besar dan alangkah baiknya, alangkah akan bangga
dan puas rasa ha-tinya kalau cucunya yang terkasih, Liu Lee Hiang, dapat berjodoh dengan
pemuda ini! Dia akan berbesan dengan keluarga Pulau Es. Hebat! Dan hal itu bukan tidak
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
141 mungkin terjadi kalau pemuda ini belajar di Pulau Nelayan. Cucunya itu cukup cantik manis
dan usia mereka sebaya, hubungan mereka yang baru sehari itu sudah nampak demi-kian
akrab. Mengapa tidak"
"Tentu saja aku akan merasa gembira sekali da-pat membimbing Suma-kongcu dalam ilmu
ber-gerak di air," katanya dengan wajah berseri. "Dan untuk itu sebaiknya kalau Suma-
kongcu sementara waktu tinggal di sini bersama kami. Bagaimana pendapatmu, kongcu?"
Suma Ciang Bun memandang kepada Lee Siang. Dia merasa suka sekali kepada pemuda ini
dan rasanya dia akan merasa kehilangan sekali kalau sampai berpisah dari pemuda hebat itu.
Dan diapun suka kepada Lee Hiang, sedangkan kakek itu pun amat baik dan mengenal
keluarga Pulau Es. Kalau dia memiliki ilmu dalam air seperti mereka, agaknya dia tidak perlu
takut lagi menghadapi amukan badai seperti semalam.
"Baiklah, locianpwe. Aku akan senang sekali tinggal di sini untuk sementara dan
mempelajari ilmu itu."
"Tapi, harap kongcu jangan menyebut locianpwe atau suhu kepadaku, sungguh aku merasa
malu kalau kausebut begitu, terlalu tinggi bagiku...."
"Lalu aku harus menyebut bagaimana?"
Kakek itu tertawa dan sekali menggerakkan tangan kanan, dayungnya menancap di atas tanah
batu karang itu sampai seperempatnya lebih. Ini saja sudah membuktikan bahwa kakek itu
memiliki tenaga sin-kang yang kuat! "Ha-ha-ha, engkau sebaya dengan dua orang cucuku,
bagaimana kalau engkaupun menyebut kakek kepadaku?"
Ciang Bun menjadi girang sekali "Baik, Liu-kong-koug, akan tetapi karena kong-kong
menyebut nama mereka begitu saja, maka kepadaku juga se-baiknya kalau kong-kong
menyebut namaku tanpa pakai embel-embel kongcu segala macam."
"Ha-ha-ha, baik sekali, baik sekali, Ciang Bun, engkau sungguh seorang anak yang baik dan
pantas menjadi cucu Majikan Pulau Es."
Demikianlah, mulai hari itu, Ciang Bun tinggal"Bun-koko, mari kita latihan menyelam dan
mencoba untuk menangkap belut laut yang lincah itu. Dasar-dasar ilmu bergerak dalam air
sudah kaupelajari dari kong-kong, hanya tinggal mematangkan latihan saja," kata Lee Hiang
yang berdiri di atas perahu kecil itu bersama Ciang Bun, sedangkan Lee Siang melatih diri
dengan alas kaki kayunya. Dia berlatih membuat lompatan-lompatan jauh dan nampaknya
pemuda ini sudah mahir se-kali. Sejak tadi Ciang Bun yang sudah agak letih berlatih itu
duduk di atas perahu memandang ke arah Lee Siang penuh kagum.
Mendengar ajakan dara itu, dia mengangguk. "Baiklah, siauw-moi. Akan tetapi belut itu
terlalu cepat dan gesit untukku. Pula, tubuhnya amat licin sehingga sukar untuk ditangkap."
"Aku akan membantumu, koko. Memang belut itu sukar ditangkap dan aku sendiripnn tanpa
dibantu takkan dapat menangkapnya. Dia harus dihadang dari depan belakang, dan dalam
kebi-ngungan baru dia dapat ditangkap karena kalau bingung dia menyusupkan kepalanya ke
dalam lumpur sehingga kita tinggal menangkap ekornya saja. Tapi dia merupakan bahan
latihan bergerak dalam air yang baik sekali."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
142 "Baiklah, mari!" kata Ciang Bun yang sudah bergerak hendak meloncat ke air. Akan tetapi
le-ngannya dipegang oleh jari-jari tangan halus itu. Dia menoleh dan dua pasang mata saling
bertemu. Sepasang mata Lee Hiang penuh kemesraan, akan tetapi mata Ciang Bun
memandang biasa saja, agak heran.
"Ada apakah, Hiang-moi?"
"Engkau lupa penutup telingamu," kata dara itu yang tiba-tiba wajahnya berobah merah
karena pertemuan pandang mata itu amat berkesan di hatinya yang menjadi berdebar penuh
ketegangan aneh.


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, engkau benar. Pelupa sekali aku!" kata Ciang Bun dan diapun memasang alat pelindung
telinganya. Untuk melakukan penyelaman sampai lama di dalam lautan, telinga perlu
dilindungi dan ditutup agar tidak rusak oleh tekanan air. Setelah itu, kedua orang itu lalu
meloncat ke air dan menyelam.
Bagaikan dua ekor ikan saja, mereka menyelam dan berenang di dalam air. Ciang Bun hanya
mengenakan sebuah celana pendek yang ringkas dan tubuh bagian atasnya telanjang. Kulitnya
putih halus mengkilat ketika tubuhnya meluncur di dalam air itu. Kini, dia telah pandai
menyelam dan berenang dalam air, melawan tekanan air dan gerakan ombak. Memang pada
dasarnya dia memiliki sin-kang yang amat kuat, maka setelah diberi pe-tunjuk oleh kakek Liu,
sebentar saja dia telah menguasai ilmu itu dan berkat sin-kangnya, dia malah lebih kuat
menahan napas dibandingkan dengan kakak beradik Liu itu! Hanya dia belum dapat memiliki
kelincahan seperti mereka karena kalah biasa dan kalah latihan.
Juga pandang mata Lee Hiang di dalam air lebih tajam dan awas dibandingkan Ciang Bun.
Hal inipun karena kebiasaan dan latihan. Mereka berdua mencari-cari dan Lee Hiang menjadi
pe-nunjuk jalan. Tiba-tiba dara itu memberi isyarat dan menuding ke depan. Nampak seekor
belut merah berenang perlahan di depan. Dari isyarat tangannya, Lee Hiang menyatakan
bahwa dara itu hendak menghadang dari depan dan ia menyuruh Ciang Bun menghadang dari
belakang. Ciang Bun memberi isyarat bahwa dia telah mengerti. Dara itu lalu mempercepat
gerakannya, meluncur dan mengambil jalan memutar untuk mendahului belut itu, kemudian
membalik dan menghadang di de-pan! Belut itu panjang, ada satu meter panjangnya dan
sebesar lengan dara itu. Melihat ada mahluk aneh menghadang, belut itu cepat membalikkan
tubuhnya. Akan tetapi Ciang Bun mendatangi dan mengembangkan kedua lengannya, jari-jari
tangannya terbuka dan siap untuk menangkap kalau belut itu lewat di dekatnya. Melihat ini,
belut itu kembali membalik dan paniklah dia ketika melihat di depan dan belakangnya ada
mahluk besar yang hendak menangkapnya. Dia meluncur ke kiri, akan tetapi Lee Hiang sudah
mendahuluinya dan menyambar dengan tangan kanan. Belut itu meng-elak dan membalik,
akan tetapi sudah ada Ciang Bun yang menyergapnya. Secepat kilat, Ciang Bun
mencengkeram dan berhasil menangkap belut itu pada perutnya. Belut itu meronta, dan
membelit hendak menggigit. Akan tetapi Lee Hiang sudah menangkapnya pula, tepat pada
lehernya. Karena belut itu kuat dan tubuhnya mengeluarkan lendir yang licin, dua orang muda
itu dengan susah payah mempertahankan agar belut itu tidak terlepas kem-bali. Dalam
pergumulan ini, tanpa disengaja tubuh mereka saling merapat dan tahu-tahu lengan Ciang Bun
sudah melingkari pinggang Lee Hiang dan lengan dara itu merangkul lehernya. Kemudian
tiba-tiba saja mulut Lee Hiang sudah bertemu dengan mulut Ciang Bun.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
143 "Ihhh....!" Pemuda itu terkejut bukan main, seluruh tubuhnya menggigil dan diapun
melepas-kan tubuh belut itu dan mendorong tubuh Lee Hiang! Belut itu tcrlepas dan
melarikan diri, se-dangkan pelukan merekapun terlepas.
Ciang Bun berenang ke atas dengan jantung berdebar, sedangkan Lee Hiang juga berenang
menyusulnya. Tiba-tiba Lee Hiang terkejut sekali melihat sinar putih meluncur dari arah kiri.
Sekali pandang saja tahulah apa benda itu, akan tetapi Ciang Bun yang masih belum
mengenal benar ke-adaan di lautan itu, melihat adanya seekor belut putih yang panjangnya
ada satu meter akan tetapi lebih kecil daripada yang tadi, timbul kegembiraannya dan cepat
dia menyambar dan menangkap belut itu.
"Pratttt!" Belut itu mengelak dan tiba-tiba mencambukkan dirinya ke lengan Ciang Bun.
Pemuda itu tersentak kaget dan tak ingat apa-apa lagi. Tubuhnya seperti dibakar dari dalam
dan pandang matanya gelap, dia lunglai tak sadarkan diri. Melihat ini, Lee Hiang cepat
menyambarnya, menarik tangannya dan dibawanya berenang naik. Setelah ia menyembulkan
kepalanya di permukaan air dan menarik kepala Ciang Bun yang pingsan itu dengan
menjambak rambutnya, ia melihat ka-kaknya duduk di dalam perahu dan beristirahat.
"Siang-ko....! Cepat.... Bun-ko dilecut belut petir! Tolongggg....!"
Mendengar ini dan melihat Ciang Bun yang pingsan, Lee Siang cepat meloncat dan berenang
menghampiri, membantu adiknya membawa Ciang Bun naik ke dalam perahu kecil mereka.
Melihat Ciang Bun rebah tcrlentang dengan muka pucat kebiruan dan napas nampaknya
berhenti sama se-kali, matanya terbelalak dan tidak bersinar lagi, Lee Hiang menjerit dan
menubruk tubuh itu dan me-nangis.
"Bun-ko....! Bun-ko.... ah, Bun-ko, jangan mati.... jangan tinggalkan aku, Bun-ko....!" Ia
menangis sesenggukan. Tangan Lee Siang yang kuat menariknya dan terdengar suara pemuda
itu yang keren.
"Hiang-moi, kong-kong tentu akan memukul-mu kalau melihat sikapmu yang cengeng ini!
Tenanglah dan aku akan mencoba menolongnya seperti yang pernah diajarkan oleh kong-
kong." Lee Hiang melepaskan rangkulammya, dan duduk agak menjauh, akan tetapi ia belum
berhenti menangis sesenggukan dan memanggil-manggil nama Ciang Bun. Sementara itu, Lee
Siang lalu meme-riksa nadi lengan Ciang Bun dan dengan lega mendapat kenyataan bahwa
urat nadi itu masih berdetak, walaupun lemah sekali. Kalau tidak ce-pat ditolong, tentu urat
nadi itu akau berhenti ber-detak pula. Maka tanpa ragu-ragu dia lalu meng-angkat kepala
Ciang Bun dengan menaruh ta-ngan kiri pada bawah tengkuk, membuka mu-lut Ciang Bun,
menggunakan tangan kanan me-nutup lubang hidung pemuda itu dan merapat-kan mulutnya
ke mulut Ciang Bun yang terbuka. Maka ditiupnyalah sekuat tenaga ke dalam mulut Ciang
Bun. Dada Ciang Bun bergerak mekar dan ketika tiupan dihentikan dan Lee Siang
melepaskan "ciumannya", dada itu mengempis lagi. Akan tetapi pernapasan Ciang Bun belum
juga berjalan. Lee Siang mengulangi tiupannya itu sampai berkali-kali. Akhirnya pernapasan
Ciang Bun mulai berjalan, mula-mula amat lemah akan tetapi sudah berjalan kembali,
melegakan hati Lee Siang yang menghentikan usahanya.
"Bun-koko.... sadarlah, jangan mati.... aku.... aku cinta padamu, Bun-ko!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
144 Suara inilah yang pertama-tama terdengar oleh Ciang Bun. Dia sudah sadar kembali akan
tetapi belum membuka matanya, bahkan kiri hampir tidak berani membuka matanya ketika
mendengar suara Lee Hiang itu. Lee Hiang menangis! Dan bilang cinta padanya! Hatinya
merasa tegang dan tidak enak sekali. Lalu dia teringat akan pengalamannya tadi. Dia berhasil
menangkap belut bersama Lee Hiang, akan tetapi dara itu menciumnya! Mencium mulutnya!
Dan ketika dia berenang hendak naik, dia melihat seekor belut putih yang hendak
ditangkapnya lalu tiba-tiba dia merasa dirinya seperti dibakar dan tidak ingat apa-apa lagi.
Ciang Bun membuka matanya, melihat Lee Hiang masih menangis dan melihat Lee Siang
Lee Siang -merangkulnya. Jantungnya berdebar senang. Begitu senang dia karena rangkulan
Lee Siang ini! -Akan tetapi dia juga merasa malu dan sungkan, lalu bangkit duduk dan
bertanya, "Apakah yang terjadi" Di mana.... eh, belut itu....?"
Lee Hiang memegang tangan kirinya dengan -kedua tangan meremas-remas tangan itu. Ciang
-Bun merasa semakin tidak enak dan ingin menarik tangannya, akan tetapi takut kalau-kalau
menyinggung perasaan Lee Hiang, maka didiamkannya saja. "Bun-ko, tahukah engkau bahwa
engkau nyaris tewas sehingga aku menjadi amat khawatir?"Ciang Bun memandang wajah
yang manis itu, yang kini sudah tersenyum akan tetapi pipinya -masih basah, bukan hanya
basah air laut melainkan juga air mata. "Apa yang terjadi?"di Pulau Nelayan bersama Liu Ek
Soan, Liu Lee Siang dan Liu Lee Hiang. Dengan tekun dia mem-pelajari ilmu di dalam air,
dibimbing dengan pe-nuh perhatian oleh Lie Ek Soan, dan dibantu pula oleh Lee Siang dan
Lee Hiang. Seperti yang dii-dam-idamkan oleh kakek itu, pergaulan antara cucu keluarga
Pulau Es dan cucunya itu berjalan lancar dan mereka nampak akrab sekali. Bahkan pada
bulan-bulan berikutnya, pandang mata ka-kek yang sudah berpengalarnan ini dapat melihat
dengan jelas bahwa cucunya perempuan, Lee Hiang, telah jatuh hati kepada Ciang Bun! Akan
tetapi kakek ini merasa ragu apakah cucu Pendekar Super Sakti itu juga "ada hati" kepada dara
itu. Ciang Bun orangnya pendiam dan sukar menjenguk isi hatinya. Sikapnya kepada Lee
Hiang memang ramah dan baik, akan tetapi tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa
pemuda ini tertarik kepada dara yang sedang manis-manisnya, bagaikan bunga sedang mekar
semerbak itu. Sikap Ciang Bun biasa saja, bahkan nampaknya pemuda ini lebih akrab dan
lebih dekat dengan Lee Siang daripada dengan Lee Hiang!
"Belut putih yang kautangkap itu adalah belut beracun yang amat jahat, namanya belut petir.
Belut itu tidak menggigit, melainkan melecut dengan ekor dan tubuhnya yang mengandung
kekuatan membakar seperti petir. Biasanya, orang yang terkena lecutan belut itu tentu akan
mati. Dia tidak pernah menyerang kalau tidak diserang lebih dulu dan karena engkau hendak
menangkapnya, maka dia menyerangmu. Ah, kukira tadi engkau sudah.... sudah.... mati, koko.
Untung ada Siang-ko yang pernah belajar cara menyembuhkan orang yang belum mati dilecut
binatang itu."
Lee Siang juga menyambung. "Dan untung sekali bahwa engkau memiliki sin-kang yang
amat kuat, hiante. Lecutan belut itu mengandung kekuatan membakar yang amat hebat,
seperti orang kalau disambar petir. Karena jantungmu amat kuat berkat sin-kangmu, maka
hanya pernapasanmu saja yang terhenti, akan tetapi jantungmu masih berdetak lemah. Aku
hanya tinggal membantu pernapasanmu saja."
"Membantu pernapasan?" Ciang Bun bertanya heran.
"Ya, membantu agar pernapasanmu pulih dan bekerja kembali karena tadinya terhenti oleh
guncangan hebat akibat lecutan belut petir itu. Kalau jantungmu berhenti, baru aku akan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
145 membantu gerakan jantungmu dengan totokan dan pijatan yang kuat. Hal itu amat berbahaya
karena mungkin saja dapat mematahkan beberapa ujung tulang igamu! Syukur engkau
selamat berkat kekuatan sin-kangmu."
Ciang Bun memandang dengau kagum. "Ah, kalau begitu aku berhutang nyawa kepadamu,
twako." Lee Siang menggerakkan tangan dengan jengah "Aih, mengapa engkau begitu sungkan"
Sudah sepatutnya kalau aku yang tahu sedikit akan cara pengobatan itu menolongmu."
"Akupun ingin belajar ilmu itu, twako. Siapa tahu, lain kali aku perlu menolong seorang di
antara kalian, atau orang lain." Dia berhenti sebentar lalu melanjutkan, "Bagaimana sih cara
pengobatan itu" Menggunakan obat" Bagaimana engkau bisa membantu pernapasan orang
lain bekerja kembali setelah napas itu berhenti" Apakah dengan totokan-totokan tertentu?"
"Tidak, maelainkan dengau meniupkan hawa ke dalam paru-parumu melalui mulut," jawab
Lee Siang. "Ehhh...." Bagaimana caranya" Coba kauberi contoh, twako, bagaimana cara engkau
-menolongku tadi?"
Mendadak saja Lee Siang kelihatan jengah dan malu-malu, sedangkan Lee Hiang tersenyum-
senyum aneh. "Hei, kalian kenapa?"
"Pengobatan itu dilakukan dengan cara mencium...." dara itu berkata jenaka.
"Ehh" Jangan main-main, siauw-moi, aku sungguh ingin belajar dan ingin tahu cara
pengo-batan yang aneh akan tetapi dapat menyelamatkan nyawa manusia ini.
"Siang-koko, kenapa tidak kauberi contoh saja dia ini. Biar puas hatinya," Lee Hiang
menggoda. Lee Siang menghela napas. "Baiklah, hiante. Kau rebahlah seperti tadi ketika engkau
pingsan." Setelah Ciang Bun merebahkan diri terlentang, pemuda itu berkata. "Mula-mula
engkau periksa pernapasan dan detik nadinya. Engkau tadi dalam keadaan pingsan,
pernapasanmu terhenti sama se-kali akan tetapi detik nadimu masih berdenyut walaupun
lemah. Itu berarti bahwa paru-parumu berhenti bekerja akan tetapi jantungmu masih be-kerja.
Lalu aku mengangkat lehermu begini, mak-sudnya agar lubang kerongkonganmu terbuka
le-bar. Lalu aku menutupi kedua lubang hidungmu dan meniupkan hawa ke dalam paru-
parumu be-gini." Biarpun sungkan untuk mengajari pemuda itu, Lee Siang lalu menutup
mulut Ciang Bun yang dibukanya itu dengan mulutnya sendiri dan diapun meniup keras-
keras! Ciang Bun terbelalak, akan tetapi jantungnya berdebar dan suatu perasaan yang amat mesra
merayapi seluruh tubuhnya. Tidak seperti ketika Lee Hiang menciumnya di dalam air tadi,
kini dia merasa senang sekali beradu mulut dengan Lee Siang! Akan tetapi dia terbatuk-batuk
ketika pemuda itu meniupkan hawa dengan kuatnya ke dalam paru-parunya. Hal ini terjadi
karena dia terkejut dan tentu saja timbul perlawanan dari ke-rongkongannya.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
146 Lee Hiang memandang sambil tertawa terping-kal-pingkal, sedangkan Lee Siang tersenyum
saja. "Nah, usaha itu kauulangi terus sampai si korban dapat bernapas sendiri, atau sampai
paru-paru itu bekerja kembali, hiante. Sedangkan kalau na-dinya sudah tidak berdenyut lagi
yang berarti jantungnya terhenti karena guncangan hebat itu, engkau totok dia di sini." Dia
meraba dua jalan darah di pungung dan atas lambung dan me-nambahkan, "Kemudian engkau
tekan dan pijit arah jantung dari dada depan, dan ini mungkin saja akan mematahkan ujung
tulang iga, akan tetapi hal itu tidak berbahaya. Usaha ini adalah untuk meughimpit dan
mendorong jantung agar jantung yang bekerja seperti pompa itu dapat bergerak dan bekerja
kemhali." Akan tetapi perhatian Ciang Bun sudah kurang dapat dipusatkan. Jantungnya berdebar keras
ke-tika dia memandang Lee Siang, terutama meman-dang ke arah mulut itu, ke arah bibir
yaug baru saja menempel pada bibirnya. Mukanya menjadi merah sekali dan kakak beradik
itu tentu saja mengira bahwa merahnya muka itu karena tersedak ketika ditiup tadi.
"Bun-ko, kau belajarlah yang baik agar lain kali kalau aku yang menjadi korban belut petir,
engkau dapat menolongku," kata Lee Hiang de-ngan wajah berseri dan bibir terseryum nakal.
"Eh, bocah nakal! Kenapa engkau ingin benar ditolong Bun-hiante?" kakaknya menggoda.
"Aku lebih senang dicium oleh Bun-ko daripada oleh orang lain!" jawab Lee Hiang dengan
polos dan jujur.
Kakak dara itu tertawa. "Ha-ha-ha, agaknya engkau sungguh jatuh cinta mati-matian kepada
Bun-hiante. Bagaimana dengan engkau, Bun-te?"
Ciang Bun menundukkan mukanya yang ber-ubah merah sekali dan dia mengerutkan alisnya.
Kakak beradik ini sungguh terlalu terbuka dan po-los, bicara soal cinta begitu saja dan dara
ini me-nyatakan keinginan diciumnya, menyatakan cinta-nya begitu terang-terangan
sedangkan kakaknya tidak menegurnya bahkan membantunya dan men-dorongnya bicara
tentang cinta. Dia sendiri tentu saja merasa malu dan jengah, dan tidak dapat menjawab sama
sekali. Melihat ini, kakak beradik itu hanya tersenyum, bahkan Lee Siang lalu tertawa keras. "Ha-
ha-ha, Bun-hiante nampak malu-malu, jangan kita mem-buat dia bingung, Hiang-moi.
Marilah kita pulang agar kong-kong tidak mengharap cemas."
Mereka berperahu kembali ke pulau dan Ciang Bun menjadi termenung seorang diri,
memikirkan keadaan dua orang kakak beradik ini, juga memi-kirkan keadaan batinnya sendiri
yang mengalami gejolak amat hebatnya, membuat matanya terbuka dan dia melihat hal-hal
aneh terjadi pada dirinya yang membuatnya cemas dan gelisah.
Tentu saja kepolosan dan kejujuran kakak ber-adik itu membuat Ciang Bun terkejut dan
heran bukan main, bahkan ada kesan di hatinya bahwa mereka itu tidak sopan! Apakah soal
cinta, bahkan soal sex, merupakan hal yang tidak patut untuk dibicarakan secara terbuka"
Benarkah bahwa membicarakan hal itu secara jujur merupakan hal yang "tidak sopan?" Tentu
saja tidak sopan kalau diukur dari ukaran kesopanan umum, tidak susila kalau dipandang dari
kacamata kesusilaan umum. Akan tetapi bagaimanakah sesungguhnya" Meng-apa kesusilaan
kita mengharamkan kejujuran ter-hadap dua hal ini, terutama perihal sex" Bukankah cinta dan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
147 sex merupakan hal-hal yang erat kait-annya dengan kehidupan, bahkan merupakan ke-nyataan
yang tidak mungkin dapat dihindarkan oleh setiap orang manusia sehingga merupakan suatu
kewajaran dalam hidup" Mengapa lalu diharamkan pengertian tentang itu sehingga kita
menjauhkan anak-anak dari pengertian tentang hal itu"Tak perlu diperbantahkan lagi bahwa
membi-carakan cinta dan sex dengan maksud untuk bicara cabul, untuk main-main, adalah hal
yang sama sekali tidak patut. Membicarakan apapun juga kalau pamrihnya hanya untuk main-
main dan mengandung dasar pemikiran dan bayangan kotor atau cabul, jelas tidak ada
manfaatnya bahkan merusakkan kejernihan batin. Akan tetapi, bagaimana kalau
membicarakannya tanpa dasar kotor seperti itu, melainkan bicara seperti kita membicarakan
sesuatu yang tidak terpisah daripada kehidupan itu sendiri" Adalah pandangan tradisionil
nenek moyang kita yang sengaja mengharamkan percakapan tentang cinta dan sex sebagai
sesuatu yang memalukan, tentu saja pada mulanya dimaksudkan untuk membuat kita malu
untuk melanggarnya. Namun, pandangan macam ini lalu menimbulkan suatu pandangan yang
tidak menguntungkan terhadap sex, seolah-olah sex merupakan suatu perbuatan yang tidak
pantas, memalukan, dan membongkar sesuatu yang kotor yang kita lakukan! Inilah yang
menyebabkan semua orang menutup mulut tentang sex dan merahasiakan perasaan cintanya
terhadap orang berlainan kelamin, hanya karena sudah tumbuh dalam batinnya pendapat
tradisionil itu.
Sudah tiba saatnya bagi kita untuk merobah pandangan yang keliru ini. Kita harus berani
membuka mata bahwa persoalan cinta dan sex adalah persoalan hidup yang menyangkut
kehidupan setiap orang manusia. Setiap orang anak pada saatnya pasti akan memasuki tahap
ini dan daripada mereka memasukinya dengan membuta, daripada mereka memperoleh
keterangan-keterangan yang menyesatkan tentang cinta dan sex dari orang lain, daripada
mereka memperoleh pengertian melalui percakapan-percakapan yang berdasarkan pandangan
cabul dan kotor, alangkah baiknya kalau mereka, anak-anak itu mendengarnya dari orang tua
atau pendidikan sendiri, dengan cara yang terbuka dan jujur, tanpa didasari kecabulan.
Liu Lee Siang dan Liu Lee Hiang sejak kecil hidup di pulau kosong bersama kakeknya, dan
mereka itu hanya sekali waktu saja bertemu dengan orang-orang lain jika kebetulan mereka
ikut kakek mereka untuk berbelanja ke daratan besar atau ke pulau-pulau lain. Mereka
mendapatkan pendidikan bun (tulisan) dan bu (silat) dari kakek mereka sendiri. Akan tetapi
kakek mereka ini cukup bijaksana untuk memberi pengertian kepada mereka tentang cinta
antara pria dan wanita dan tentang hubungan antara pria dan wanita, walaupun secara
sederhana. Kemudian, dengan menyaksikan hubungan-hubungan kelamin antara binatang-
binatang di sekitar tempat itu, antara ikan-ikan, burung-burung dan binatang hutan yang
mereka dapatkan di kepulauan lain, kedua orang kakak beradik ini tumbuh dengan pengertian
tentang cinta dan sex secara wajar. Mereka tahu bahwa hubungan itu antara kakak dan adik
adalah hal yang tidak baik, tidak wajar dan menurut kakek mereka, berbahaya bagi kesehatan
mereka, maka mereka menganggapnya sebagai hal yang sama sekali tidak boleh dilakukan.
Pengertian ini membuat cinta mereka sebagai kakak beradik tidak dipengaruhi berahi sama
sekali. Namun, mereka sudah biasa untuk bicara tentang cinta, bahkan tentang sex, secara
terbuka dan tanpa malu-malu, seperti kalau mereka bicara tentang penderitaan lapar dan haus,
dan tentang kenikmatan makan dan minum. Keterusterangan inilah yang membuat Ciang Bun
menjadi terkejut, heran dan juga malu dan cang-gung.


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Malam itu Ciang Bun tidak dapat memejamkan matanya. Selama tiga bulan ini, dia tinggal di
pu-lau itu dan merasa betah sekali karena tiga orang penghuni pulau itu amat baik kepadanya.
Dia ti-dur sekamar dengan Lee Siang. Akan tetapi malam ini dia gelisah! Dia merasa akan
datangnya sesu-atu yang mungkin akan merobah seluruh kehidup-annya. Peristiwa siang tadi
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
148 sungguh mendatangkan kesan yang amat mendalam, ketika dia dicium Lee Hiang, kemudian
ketika Lee Siang "menciumnya" untuk mengajarnya melakukan pertolongan kepada korban
lecutan belut petir. Akhirnya ketika tanpa malu-malu lagi Lee Hiang menyatakan cintanya
kepadanya, bahkan diperkuat oleh ucapan-ucapan Lee Siang!
Lee Hiang jatuh cinta padanya! Cinta seorang wanita terhadap seorang pria. Dia sudah
banyak mendengar dan membaca tentang cinta, antara pria dan wanita ini. Akan tetapi,
mengapa dia merasa bingung" Apakah dia tidak mencinta Lee Hiang" Dia suka sekali kepada
Lee Hiang yang jenaka dan cantik manis, lincah dan merupakan seorang saha-bat yang amat
menyenangkan. Akan tetapi, terus terang saja dia sama sekali tidak merasa tertarik atau
terangsang oleh Lee Hiang, bahkan ketika dara itu menciumnya di dalam air, dia merasa
terkejut, malu dan tidak senang! Sebaliknya, ketika Lee Siang mengajarkan cara pertolongan
itu dan beradu mulut dengan dia, dia merasa begitu terang-sang dan senang, begitu nyaman
dan.... dia sendiri tidak tahu perasaan apa lagi yang mengaduk hatinya. Pendeknya dia merasa
mesra dan senang sekali!
Kini teringatlah dia betapa setiap malam, kalau Lee Siang sudah tidur nyenyak, seringkali dia
du-duk dan memandangi wajah dan tubuh temannya itu dengan perasaan yang luar biasa. Dan
setelah teringat akan semua itu, teringat pula akan pera-saan aneh yang menyelinap di hatinya
ketika pe-muda itu "menciumnya". Ciang Bun merasa ter-kejut, bingung dan gelisah. Kini dia
melihat ke-nyataan aneh dan mengejutkan yang berada dalam batinnya, yaitu bahwa dia sama
sekali tidak per-nah tertarik kepada kaum wanita! Memang dia dapat melihat keindahan tubuh
wanita, kecantikan wajah wanita, akan tetapi semua itu sama sekali tidak menimbulkan
gairah, sama sekali tidak men-datangkan kemesraan dan tidak mempunyai daya tarik baginya.
Sebaliknya, dia amat tertarik kepada Ceng Liong, kepada Kao Cin Liong dan kini dia arnat
tertarik kepada Lee Siang! Bahkan ketika pemuda itu "menciumnya", dia merasa amat
se-nang dan bangkit rangsangan gairahnya, terasa amat mesra dan menyenangkan.
"Ya Tuhan....!" Ciang Bun berseru di da-lam hatinya sendiri ketika dia melihat kenyataan ini.
Berahinya tidak dapat terangsang oleh wanita, melainkan oleh pria! Dengan bingung dan
gelisah melihat kenyataan yang amat membedakan antara dirinya dengan kaum pria pada
umumnya ini, Ciang Bun lalu menutupi muka dengan kedua ta-ngannya dan diapun
menangis! Tiba-tiba dua buah tangan yang kuat dengan lembut memegang pundaknya dan Lee Siang
ber-tanya halus, "Bun-te, engkau kenapakah" Meng-apa engkau menangis?"
Dalam keadaan sedang berduka, pertanyaan seorang yang disayang menambah keharuan hati.
Ciang Bun juga demikian. Dirangkul pundak-nya dan ditanya dengan suara penuh
kekhawatiran itu, air matanya makin deras mengalir dan diapun balas merangkul dan
menyembunyikan mukanya di atas dada yang bidang itu.
Diam-diam Lee Siang merasa heran dan ka-sihan sekali. Heran melihat bagaimana pemuda
yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan -amat gagah perkasa ini dapat bersikap
begini le-mah, menangis seperti seorang wanita cengeng. Akan tetapi dia juga merasa kasihan
melihat kedu-kaan Ciang Bun dan mengira bahwa tentu pemuda ini menangisi nasib
keluarganya, yaitu kematian kakek dan para neneknya di Pulau Es dan kehilangan saudara-
saudaranya yang belum diketahui-nya bagaimana nasibnya itu. Maka, karena merasa iba,
ketika merasa betapa Ciang Bun merangkul dan menangis di dadanya, diapun mendekapnya
dan mengelus rambutnya untuk menghibur. Hal ini membuat Ciang Bun menjadi semakin
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
149 terharu dan dia mengangkat mukanya yang basah, meman-dang kepada Lee Siang. Melihat
wajah yang tam-pan itu memandang penuh kekhawatiran, Ciang Bun kembali mera
Dendam Iblis Seribu Wajah 8 Bara Naga Karya Yin Yong Bukit Pemakan Manusia 11
^