Pencarian

Kisah Pendekar Bongkok 10

Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Bagian 10


n sayang melihat wa-jah itu tidur pulas dengan mulut tersenyum membayangkan kebahagiaan, dan na-pasnya amat halus. Seorang gadis yang baik!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sie Liong sudah pergi ke sumber air dan mandi.
Hawa amat dingin, akan tetapi karena tubuhnya memang kuat se-kali, maka mandi di waktu pagi itu te-rasa amat segar dan nyaman. Tubuhnya mengepulkan uap putih ketika dia merendam tubuhnya ke dalam air yang amat dingin itu. Dia merasa segar sekali ketika dia kembali ke tempat mereka melewatkan malam dan dia mendapatkan Ling Ling sudah bangun.
Pakaian dan rambut-nya kusut, namun hal ini tidak mengu-rangi kecantikan gadis itu. Melihat Sie Liong datang dengan rambut masih basah, gadis itu tertawa kecil.
"Aih, sepagi ini dan sedingin ini engkau agaknya telah mandi, koko! Hih, hih, aku tidak berani mandi. Hawa begi-ni dinginnya dan air itu tentu dingin seperti salju!" Ia mengeluarkan pakaian dari dalam buntalannya. "Akan tetapi aku akan bertukar pakaian dan mencuci yang kotor. Kesinikan pakaianmu yang kotor, Liong-ko, akan kucuci sekalian!"
Sie Liong memperlihatkan pakaian yang masih basah dan sudah diperasnya. "Sudah kucuci tadi!" katanya.
Gadis itu cemberut. "Aih, koko. Berulang kali engkau mencuci sendiri pakaianmu. Apakah kaukira aku tidak dapat mencuci bersih" Itu sudah menjadi kewajibanku, koko. Lain kali jangan kaucuci sendiri!"
Sie Liong mengangguk dan tertawa. "Baiklah, Ling Ling, aku berjanji."
Gadis itu berlari kecil menuju ke sumber air yang berada kurang lebih tiga ratus meter dari situ, menuruni tebing yang tidak curam. Sie Liong memandang sejenak dari belakang, tersenyum dan setelah gadis itu menghilang di balik semak dan batang pohon, diapun membuat persiapan untuk memanggang sisa roti tawar semalam untuk dipakai sarapan.
Sie Liong merasa gembira bukan main pagi itu. Dia merasa seolah-olah mengalami hidup baru. Suasana nampak in-dah bukan main. Matahari pagi dengan lembut mengusir kabut pagi, menggugah burung-burung yang kini sibuk membuat persiapan untuk melaksanakan tugas ke-wajiban mereka sehari-hari, yaitu men-cari makan. Rumput dan daun pohon juga tergugah, nampak berseri dan segar, dihias butir-butir embun yang seperti mutiara berkilauan tertimpa sinar matahari pagi yang masih lemah. Kicau burung bagaikan musik yang amat riang dan Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 229
merdu. Sie Liong tersenyum-senyum seorang diri. Tiba-tiba dia mengerutkan alis-nya. Roti yang dipanggangnya sudah ma-tang sejak tadi. Terlalu lama gadis i-tu pergi ke sumber air, pikirnya. Biarpun dengan mencuci pakaian, pakaian itu tidak berapa banyak. Mestinya sudah selesai sejak tadi. Dia bangkit berdi-ri dan memandang ke arah hutan, di ma-na terdapat sumber air itu. Tidak nam-pak dari situ karena selain tertutup semak dan pohon, juga jalan ke sumber air itu agak menurun.
"Ling Ling....!" Dia berteriak memanggil, mengerahkan tenaganya a-gar suaranya sampai ke sumber air itu. Dia menanti jawaban, namun tak kunjung tiba.
"Ling Ling, rotinya sudah masak...." Dia berteriak lagi, lebih nyaring. Juga tidak terdengar jawaban. Dia mengerutkan alisnya. Tak mungkin gadis itu tidak mendengar, dan andaikata gadis itu menjawabnya, tentu dengan pen-dengarannya yang peka terlatih, dia a-kan dapat mendengarnya. Memang tidak pantas kalau dia mendatangi sumber air itu. Siapa tahu gadis itu sedang mandi dan telanjang. Akan tetapi kekhawatir-an hatinya membuat dia melangkah ke a-rah sumber air. Setelah tiba di atas tebing, dia berhenti dan mendengarkan. Hanya suara gemercik air sumber berma-in dengan batu-batu yang terdengar. Tidak terdengar suara orang mandi, bermain di air, atau mencuci pakaian. Akan tetapi dia masih belum mau turun.
"Ling Ling....!" Dia memanggil lagi. Kini tidak mungkin sama sekali kalau gadis itu tidak mendengar karena sumber itu berada dekat di bawahnya, walaupun belum nampak dari situ karena terhalang batu-batu besar. Tidak ada jawaban. Sie Liong tidak ragu-ragu lagi, dengan hati gelisah dia meloncat turun. Dia memandang ke sana-sini. Ti-dak nampak bayangan Ling Ling.
"Ling Ling....!" Akan tetapi tetap saja tidak ada jawaban. Ketika dia mendekat ke sumber air, dia terkejut sekali melihat pakaian Ling Ling berada di situ, baik pakaian kotor yang akan dicucinya tadi maupun pakai-an kering untuk ganti. Gadis itu lenyap, tanpa berpakaian!
Wajahnya seke-tika pucat ketika detik jantungnya se-perti terhenti, kemudian jantung itu berdebar-debar penuh ketegangan. Diterkam harimau atau binatang buas lain" Tentu ada bekas darahnya. Dengan muka pucat dia lalu meneliti ke atas tanah, mencari bekas atau bercak darah. Tidak ada darah, yang ada hanyalah jejak-je-jak kaki! Jejak banyak sepatu dengan ukuran besar. Banyak laki-laki baru saja berada di tempat itu! Dan jejak itu masih baru sekali. Celaka, pikirnya, Ling Ling tentu diculik oleh entah be-rapa orang laki-laki, dalam keadaan telanjang bulat! Dengan hati tidak karu-an rasanya, dipenuhi kegelisahan, dia lalu mengikuti jejak itu dengan cepat. Jejak itu membawanya masuh hutan. Dia berlari dengan cepat mengikuti jejak itu dan tiba-tiba dia mendengar suara-suara tertahan, seperti mulut yang menjerit akan tetapi dibungkam. Cepat dia meloncat ke kiri, ke arah suara dan matanya terbelalak, melotot ketika meli-hat apa yang terjadi di balik semak-semak belukar, di atas rumput tebal itu.
Ling Ling, dalam keadaan telan-jang bulat, sedang menggeliat-geliat dan melawan mati-matian terhadap lima orang laki-laki yang hendak menggelutinya! Empat orang memegangi kedua ta-ngan dan kakinya yang dipentang dan seorang lagi, yang brewokan, sambil ter-kekeh-kekeh berusaha untuk memperkosa-nya! Ling Ling meronta-ronta, menggi-git, menjerit, akan tetapi mulutnya dibungkam. Biarpun demikian, bagaikan seekor singa betina Ling Ling memperta-ruhkan kehormatannya.
Dari dalam dada Sie Liong keluar lengking panjang yang menggetarkan hu-tan itu. Lima orang itu terkejut, menengok. Akan tetapi Sie Liong sudah ti-dak dapat lagi menahan kemarahan hatinya yang seolah-olah dibakar api. Matanya mencorong, napasnya seperti menge-luarkan uap panas, dan begitu tubuhnya menerjang ke depan, tangannya menyam-bar dan rambut kepala si brewok itu telah dijambaknya dan sekali angkat, tu-buh si brewok yang setengah telanjang itu telah diangkat dan diayun-ayun ke atas kepalanya seolah-olah tubuh si brewok yang tinggi besar itu hanya se-helai kain saja. Si brewok berteriak-teriak ketakutan setengah mati, akan tetapi Sie Liong dengan kemarahan meluap-luap membanting tubuh itu Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 230
ke atas sebongkah batu.
"Prakkk!" kepala si brewok itu pecah dan otaknya berantakan bersama da-rah.
Melihat betapa pemimpin mereka tewas dalam keadaan demikian mengerikan, empat orang itu terbelalak dan mereka melepaskan kaki dan tangan Ling Ling. Dengan marah, mereka yang belum menyadari bahwa mereka berhadapan dengan seorang pendekar sakti, mereka mencabut golok dari punggung masing-masing dan serentak mereka menyerang Sie Liong dengan golok mereka. Akan tetapi, Sie Liong mengeluarkan suara melengking lagi,
menyambut mereka dengan kaki kanan yang melakukan tendangan berputar.
Terdengar teriakan-teriakan kesa-kitan dan empat batang golok terpental lepas dari tangan empat orang itu. Mereka mengaduh-aduh, memegangi tangan kanan dengan tangan kiri karena pergelangan tangan mereka telah patah disambar tendangan memutar tadi! Kini mereka memandang dengan mata terbelalak, penuh rasa takut melihat pemuda bong-kok itu dengan langkah perlahan-lahan menghampiri mereka. Saking takutnya, mereka lalu
menjatuhkan diri berlutut.
"Ampun.... ampunkan kami...."
Akan tetapi, lengkingan ketige kalinya terdengar dan kembali kaki Sie Liong bergerak menendang. Empat kali dia menendang, dan tubuh empat orang itu terjengkang dan mereka tewas seketika dengan tulang leher patah-patah!
Ling Ling yang berlutut di atas tanah, memandang dengan muka pucat dan tubuh menggigil.
Biarpun ia merasa me-rah dan membenci lima orang itu, namun ia merasa ngeri melihat pembunuhan itu terjadi di depan matanya, melihat betapa lima orang itu tewas seketika, melihat Sie Liong yang biasanya lemah lem-but itu mengamuk, seperti iblis maut sendiri!
Sie Liong meloncat dan melihat gadis itu dalam keadaan telanjang bulat berlutut di atas tanah, diapun lalu menghampirinya.
"Ling Ling...., kau tidak apa-apa....?" tanyanya lembut.
"Liong-ko....!" Ling Ling menjerit dan iapun pingsan dalam dekapan Sie Liong. Pemuda itu lalu memondong-nya, membawanya ke sumber air, mengambil pakaian Ling Ling dan
membawa gadis itu ke tempat mereka melewatkan malam tadi. Dengan memaksa matanya agar jangan melihat bagian terlarang dari tubuh gadis itu, dia merebahkan Ling Ling ke atas selimut dan menyelimuti tubuh yang telanjang. Baru ia memijat-mijat tengkuk gadis itu untuk menyadarkannya. Ling Ling siuman kembali, mengeluh dan membuka matanya. Tiba-tiba ia terbelalak dan menjerit karena ia teringat akan peristiwa tadi. Jerit melengking ketakutan sambil bangkit duduk. Sie Liong merangkul gadis yang menjerit-jerit histeris itu. Begitu dirangkul, Ling Ling meronta dan menjerit semakin nyaring.
"Lepaskan aku....! Lepaskan! Keparat jahanam kalian.... lepaskan akuuuu....!"
Sie Liong mendorong gadis itu dan memaksanya untuk memandang kepadanya.
"Ling Ling, lihat siapa aku....!" katanya setengah membentak untuk menyadarkan gadis yang dilanda ketakutan dan kengerian itu. Ling Ling terbelalak memandang, sadar dan merangkul.
"Liong-ko.... ah, Liong-ko....!"
Dan diapun menangis di dada Sie Liong, tidak sadar bahwa selimut yang menutupi tubuhnya terbuka.
"Tenanglah, Ling Ling. Tenanglah, engkau sudah terbebas dari lima orang anjing itu!
Tenanglah, dan pakailah pakaian ini...." Sie Liong menutupkan lagi selimut menutupi tubuh gadis itu.
Ling Ling baru sadar bahwa ia masih telanjang bulat. Hal ini mengingatkan ia akan pengalaman tadi dan ia bergidik ngeri. Lalu dengan kedua tangan gemetar ia mengenakan pakaiannya di balik selimut. Sie Liong duduk di atas rumput membelakangi gadis itu, alisnya berkerut dan berulang kali dia menarik napas panjang. Dia termenung dan wajahnya muram sekali.
Tangan itu dengan lembut menyentuh pundaknya, dan suara itu lirih berbisik penuh Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 231
kekhawatiran. "Liong-ko, engkau kenapakah....! Liong-ko, kenapa kau diam saja" Tadi....
ketika aku berada di sumber, ketika aku habis mencuci muka membersihkan diri, ketika hendak berganti pakaian, tiba-tiba me-reka itu datang menyergapku. Aku tidak dapat menjerit karena mereka membung-kam mulutku. Aku melawan mati-matian. Ketika engkau berteriak memanggil namaku, mereka lalu membawa aku pergi ke hutan itu dan di sana.... ahh, un-tung engkau datang tepat pada waktunya, Liong-ko. Hampir aku tidak kuat bertahan lagi...."
Tiba-tiba Sie Liong mengepal tinju dan tangan Ling Ling yang memegang pundak itu cepat ditarik kembali kare-na kaget. Pundak itu seperti mengeluarkan tenaga yang panas! Ling Ling me-langkah maju dan memandang wajah pemu-da itu. Ia terkejut. Wajah itu pucat, mata itu seperti sayu dan sedih, seperti akan menangis!
"Liong-ko, engkau kenapakah" Eng-kau kelihatan begini berduka! Apa yang telah terjadi?"
Suara itu parau dan penuh penye-salan. "Aku telah membunuh mereka...."
Gadis itu memandgng heran. "Tentu saja, koko! Orang-orang seperti mereka memang layak kaubunuh! Mereka itu ja-hat sekali!"
Sie Liong menghela napas panjang. "Untuk menentang kejahatan, memang ka-dang-kadang terpaksa membunuh, akan tetapi tidak seperti yang kulakukan tadi, Ling Ling. Membunuh karena benci! Mem-bunuh dengan hati dipenuhi dendam ke-bencian, karena aku melihat mereka memperlakukan engkau seperti itu. Membu-nuh karena cemburu dan benci. Ah, aku menjadi kejam sekali, tidak ada bedanya dengan mereka....!"
"Tentu saja engkau berbeda sekali dengan mereka! Engkau seorang pendekar sakti yang budiman, penentang kejahat-an, dan mereka itu adalah segermbolan orang jahat yang berhati kejam, yang suka melakukan kejahatan. Bayangkan saja andaikata tidak ada engkau, Liong-ko, aih.... aku akan tertimpa malapetaka yang bagiku lebih mengerikan dan menyedihkan daripada maut sendiri. Engkau sudah benar, Liong-ko, tidak a-da sesuatu untuk disesalkan."
Sie Liong memandang gadis itu dan tersenyum, akan tetapi senyumnya tidaklah segembira malam tadi atau pagi ta-di sebelum terjadi peristiwa itu.
"Engkau tidak mengerti, Ling Ling. Sudahlah, mari kita kemasi barang kita untuk
melanjutkan perjalanan. Akan te-tapi, sebelum itu aku akan menguburkan dulu lima jenazah itu."
"Menguburkan mereka?" Gadis itu terbelalak, akan tetapi melihat sinar mata pendekar itu, iapun menunduk. "Baiklah, Liong-ko.... aku hanya menuruti semua perintahmu."
Mendengar jawaban ini dan melihat sikap Ling Leing, senyumnya melebar dan tidak begitu pahit lagi. Gadis ini sungguh merupakan sinar baru dalam kehidupannya. Dia tadi merasa terpukul dan berduka sekali mengenangkan keke-jaman yang telah dilakukannya terhadap lima orang yang tidak dikenalnya itu. Dan dia tahu bahwa kekejaman itu dia lakukan karena cemburu dan kebencian yang amat hebat. Padahal, kebencian merupakan suatu hal yang harus dihindarkan, demikian yang selalu dipesan-kan oleh Pek-sim Sian-su kepadanya.
Tak lama kemudian, Sie Liong sudah membuat lubang kuburan untuk lima jenazah orang-orang yang tidak pernah dikenalnya itu. Ling Ling hanya menon-ton dari kejauhan, tidak mau mendekat karena merasa ngeri. Diam-diam gadis ini semakin kagum kepada Sie Liong.
Seorang pendekar sakti yang budiman, gagah perkasa, namun berhati lembut. Ma-na ada orang mau menguburkan jenazah orang-orang jahat yang tadi menjadi musuhnya"
Setelah selesai mengubur jenazah lima orang yang dibunuhnya itu dengan sederhana namun pantas, Sie Liong lalu mengajak Ling Ling melanjutkan perja-lanan ke selatan.
Penyesalan dan bertaubat tidak akan ada gunanya kalau hal itu datang dari pikiran belaka.
Pikiran hanya alat dalam kehidupan ini, namun pikiran sudah bergelimang dengan daya rendah sehingga menjadi budak dari nafsu. Perbuatan apapun yang dilakukan menurut pikiran tentu mengandung nafsu, karena pikiran sendiri sudah bergelimang naf-su. Karena akibat dari perbuatan yang dikemudikan nafsu ini, yang dasarnya mengejar kesenangan dan kepuasan, menuju ke arah kerugian lahir batin, maka timbul penyesalan dan keinginan bertaubat.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 232
Penyesalan dan bertaubat ini selalu muncul kalau akibat dari pada perbuatan berdasarkan nafsu itu datang menimpa diri. Namun, kalau hanya pikiran yang berjanji untuk bertaubat, biasa-nya hal itu hanya sementara saja dan akan tiba saatnya pikiran melupakan janjinya atau sengaja melanggar karena tidak mampu menahan desakan nafsu.
Penyesalan dan bertaubat baru ada gunanya kalau kita menyerahkan diri kepada Tuhan!
Hanya Tuhanlah yang akan dapat membersihkan pikiran dari cengkeraman daya rendah.
Kekuasaan Tuhan sajalah yang akan dapat mengatur segala Besuatu menjadi beres dan tertib, sesuai dengan kedudukan dan tugas masing-masing. Sebaliknya, pikiran tidak mungkin dapat menertibkan diri sendiri, karena usahanya itupun masih dalam tuntunan nafsu. Keinginan akan sesuatu, itulah sifat nafsu. Ingin begini atau tidak ingin begini masih sama saja, ditujukan untuk mencari kesenangan, kee-nakan, kepuasan. Ingin bebas dari nafsu! Inipun merupakan ulah nafsu! Yang "ingin" bebas inipun nafsu, dengan ha-rapan bahwa kalau bebas dari nafsu itu tentu menyenangkan, tidak menyusahkan, dan segala harapan yang enak-enak.
Ma-ka terjadilah keinginan bebas dari nafsu yang diinginkan oleh nafeu. Jelas tidak mungkin!
Selama ada keinginan a-kan sesuatu, di situ nafsu bekerja dan merajalela.
Lalu timbul pertanyaan tentunya. Bagaimanakah kita harus melangkah agar kita dapat terbebas dari nafsu" Kita harus berhati-hati karena pertanyaan inipun datang dari nafsu itu sendiri! Karena itu, satu-satunya jalan bagi kita adalah melihat kenyataan! Kenyataannya ialah bahwa pikiran kita bergeli-mang daya-daya rendah, pikiran kita dikuasai nafsu. Titik!
Kita menyerah kepada Tuhan, menyerah dengan penuh ke-pasrahan, penuh keikhlasan, tanpa membiarkan diri diseret ke dalam keinginan-keinginan ini dan itu. Tuhan Maha Kua-sa dan Maha Kasih!
Telaga Nam berada di kaki Pegunungan Thang-la, di sebelah utara kota Lashe, ibu kota di Tibet. Biarpun telaga ini amat indah, namun tidak banyak orang datang berkunjung, karena tempat ini terlalu jauh di barat bagi mereka yang tinggal di Propinsi-propinsi Cing-hai, Sin-kiang, Se-cuan, atau Yun-nan. Hanya beberapa orang penduduk Tibet yang berkeadaan mampu saja yang kadang-kadang berpesiar ke Telaga Nam. Orang-orang Han jarang yang tiba di tempat itu. Orang Han yang berdatangan ke Tibet hanyalah mereka yang berdagang, dan yang mereka kunjungi hanyalah kota-kota besar seperti La-sha. Yang berkunjung ke telaga Nam hanya orang-orang Tibet atau peranakan Han Tibet.
Akan tetapi, pada pagi hari yang cerah itu, nampak seorang pemuda dan seorang gadis mendayung perahu kecil di telaga itu. Mereka merupakan pasangan yang cocok sekali.
Senang orang me-mandangnya. Yang pria merupakan seo-rang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh satu tahun, wajahnya tampan dan pakaiannya yang berwarna biru dan kuning itu rapi, menambah ketampanan-nya. Wajahnya dengan kulit muka putih bersih itu berbentuk bulat, sepasang alisnya berbentuk golok dan hitam sekali. Hidungnya besar mancung dan mulut-nya selalu tersenyum mengejek. Sepa-sang matanya tajam mencorong, Akan te-tapi kadang-kadang ada kilatan aneh seperti mengandung kekejaman. Adapun yang wanita adalah seorang gadis baru-sia kurang lebih delapan belas atau sembilan belas tahun. Seorang gadis yang berwajah manis sekali, dengan sepasang mata yang kocak, tajam dan jeli. Wajah yang manis ini menjadi semakin menarik karena selalu cerah, penuh dengan senyum dan pandang mata jenaka, wajah yang hampir selalu berseri. Anehnya gadis ini mengenakan pakaian tambal-tambalan, padahal pakaian itu bersih sekali dan kain-kain tambalan itu sama sekali bukan kain buntut. Agaknya me-mang dibuat tambal-tambalan, dari bahan kain yang baru! Di punggungnya tergantung sebatang pedang.
Mereka itu adalah Yauw Bi Sian dan sutenya, Coa Bong Gan. Biarpun Bong Gan lebih tua dari Bi Sian, namun dia terhitung sute (adik seperguruan) gadis itu karena gadis itu yang lebih dulu menjadi murid Koay Tojin. Seperti kita ketahui, Bi Sian marah dan mendendam kepada Sie Liong, adik ibunya yang dahulunya menjadi teman sepermainan dan dahulu amat
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 233
disayangnya itu. Ia merasa yakin bahwa pamannya itu telah membunuh ayahnya, dan karena itu maka ia minggat dari rumah untuk mencari Sie Liong dan membalas dendam atas
kematian ayahnYa. Dan ia minta bantuan sutenya, Coa Bong Gan, untuk membantunya
mencari Sie Liong dan membalas dendam karena ia tahu bahwa Sie Liong a-mat lihainya sebagai murid supeknya, yaitu Pek-sim Sian-su.
Karena dua orang ini mencari dengan sungguh-sungguh, dengan teliti, dan karena Sie Liong merupakan seorang yang bongkok dan mudah diikuti jejaknya, maka akhirnya Bi Sian dan Bong Gan mengikuti jejak Sie Liong ke daerah Tibet! Dan di sepanjang perjalanan, mereka mendengar akan sepak terjang Pendekar Bongkok. Mereka menduga bahwa tentulah Sie Liong yang dijuluki Pendekar Bongkok, maka mereka terus melakukan pengejaran. Akan tetapi setelah tiba di daerah Tibet, mereka kehilangan jejak Sie Liong. Daerah ini merupakan daerah yang masih liar dan jarang penduduknya. Berhari-hari mereka melalui daerah yang tidak ada dusunnya, maka tentu saja amat sukarnya mencari seseorang di daerah itu, biarpun orang itu mempunyai cacat bongkok sekalipun.
"Semua orang yang pergi ke Tibet tentu akan berkunjung ke ibu kota Tibet, yaitu kota Lasha,"
kata Bong Gan. "Sebaiknya kita pergi saja ke sana. Kalau kita tidak dapat menemukan dia di sana, setidaknya kita tentu a-kan dapat mencari keterangan tentang dia."
Bi Sian menyetujui pendapat sutenya dan pergilah mereka menuju ke Lasha. Pada pagi hari itu, mereka tiba di Telaga Nam. Melihat keindahan tempat itu, mereka berhenti dan ingin berpesiar dulu di situ selama satu dua hari. Bi Sian tidak perduli akan pandangan orang melihat pakaiannya yang aneh, penuh tambalan namun baru. Memang ia setia kepada
kebiasaan gurunya, yaitu Koay Tojin, dan biar sekarang tidak melakukan perjalanan bersama gurunya lagi, namun ia tetap masih mempergunakan pakaian tambal-tambalan. Ia sendiri tidak tahu apakah rasa suka akan pakaian tambal-tambalan ini karena sudah terbiasa, ataukah memang ingin sederhana, ataukah melalui kesederhanaan dan tambal-tambalan yang tidak wajar itu justeru ia ingin menonjolkan diri agar diperhatikan orang!
Kesederhanaan yang ditonjolkan dan disengaja, bukanlah kesederhanaan lagi namanya, melainkan kesombongan terselubung! Kesederhanann yang mempunyai arti adalah kalau orang itu tidak merasa lagi bahwa dia sederhana! Kesederhanaan adalah kewajaran, tidak dibuat-buat, dan merupakan suatu keadaan ke-pribadian seseorang. Bukan terletak pada pakaian seadanya, bukan terletak di luar, melainkan bersumber di sebelah dalam dirinya.
Berbeda dengan Bi Sian, Coa Bong Gan yang ketika kecilnya meniadi anak angkat seorang hartawan dan sudah bia-sa hidup royal, setelah berpisah dari gurunya, meninggalkan kebiasaan berpa-kaian tambal-tambalan. Dia mengenakan pakaian yang selalu rapi, walaupun ti-dak terlalu menyolok, tidak terlalu royal karena sucinya tentu akan menegurnya. Padahal, kalau dia mau, tentu saja dia bisa membeli pakaian yang mahal dan indah. Uangnya" Mudah saja! Di se-tiap kota terdapat hartawan dan tidak ada penjaga yang cukup kuat, tidak ada pintu yang cukup kokoh baginya ka-lau dia mau mengambil uang sekehendak hatinya dari gudang harta seorang har-tawan!
Semenjak melakukan perjalanan bersama Bi Sian, terjadi perang selalu dalam batin Bong Gan. Dia memaksa diri untuk bersikap baik dan sesuai dengan yang diinginkan sucinya. Dia memaksa diri bersikap sebagai seorang pendekar tulen dan di sepanjang perjalanan, mereka berdua selalu menentang kejahatan dan menolong mereka yang tertindas. A-kan tetapi sebenarnya, di lubuk hati-nya, Bong Can muak dengan semua itu. Bahkan dia harus menekan semua gejolak nafsunya. Semua ini dia lakukan bukan karena dia takut kepada sucinya, melainkan karena dia telah jatuh cinta ke-pada Bi Sian, karena dia tidak mau me-nentang semua kehendak Bi Sian, ingin selalu menyenangkan hatinya.
Di lain pihak, Bi Sian bukanlah seorang kanak-kanak lagi. Ia sudah berusia kurang lebih sembilan belas tahun, sudah cukup dewasa untuk dapat menduga apa yang terkandung dalam hati sute yang lebih tua itu terhadap dirinya. Dan ia selalu dalam bimbang ragu, karena ia Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 234
sendiri belum yakin apakah ia juga mencinta sutenya itu sebagai seo-rang wanita mencinta seorang pria ataukah tidak. Ia suka kepada sute yang penurut itu, dan harus diakuinya bahwa Bong Gan adalah seorang pemuda yang baik, penurut, ramah, gagah perkasa dan juga tampan menarik! Akan tetapi, ia selalu mengusir kebimbangan ini dan mengambil keputusan bahwa sebelum ia mampu membalas kematian ayahnya terhadap Sie Liong, ia tidak akan
memikirkan urusan cinta!
Orang yang sudah menjadi hamba nafsunya, akan merasa tersiksa kalau dia dalam waktu lama tidak berkesempatan untuk memuaskan gairah nafsu itu. Pemuasan nafsu itu sudah
sedemikian dibutuhkannya, sudah mencengkeramnya se-hingga dia menjadi kecanduan.
Hidupnya akan terasa hampa dan tidak ada arti-nya, tidak ada kesenangan kalau dia tidak mendapatkan kesempatan lagi untuk memuaskannya.
Demikian pula dengan Bong Gan. Sejak remaja, dia telah menjadi hamba nafsu berahi yang dibangkitkan oleh Pek Lan, selir ayah angkatnya yang ke-mudian menjadi kekasihnya sehingga perhubungannya dengan selir itu tertang-kap basah, membuat dia terusir dari rumah ayah angkatnya yang kaya raya. Ke-tika dia menjadi murid Koay Tojin, su-kar sekali baginya untuk melampiaskan nafsu berahinya. Dia adalah seorang yang amat cerdik. Dia tahu bahwa kalau dia melanggar, walaupun dengan sembunyi-sembunyi, suhunya yang amat lihai itu pasti akan mengetahuinya dan kalau sampai suhunya tahu bahwa dia melakukan suatu perbuatan yang menyeleweng, tentu suhunya marah kepadanya dan hal itu amat berbahaya. Maka, selama tujuh tahun mengikuti Koay ToSin bersama Bi Sian, Bong Gan bersikap jujur dan a-lim!
Lingkungan mempunyai pengaruh yang amat besar terhadap watak seseorang. Manusia
merupakan mahluk yang tera-gung, terpandai akan tetapi juga amat lemahnya. Karena dalam dirinya terkan-dung daya-daya rendah yang memupuk nafsu yang sudah menyatu dengan hati perasaan dan akal pikirannya, maka mudah sekali manusia terpikat dan terpenga-ruh oleh keadaan lingkungannya. Terutama sekali lingkungan yang tidak sehat mudah sekali menyeret seseorang untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan-nya. Segala tindak kemaksiatan memang mendatangkan kesenangan lahir dan ini memang merupakan umpan dari setan naf-su untuk memikat manusia. Karena itu, mudah sekali lingkungan yang sesat me-nyeret
seseorang, biarpun orang itu tadinya alim dan tidak suka melakukan kesesatan. Bahkan lingkungan yang sehat dan bersih, biarpun daya tariknya ti-dak sekuat lingkungan yang sesat, te-tap saja dapat mempengaruhi seseorang untuk menyesuaikan diri.
Demikian pula dengan Bong Gan. Setelah dia hidup bersama Bi Sian dan Koay Tojin, setiap hari bergaul dengan mereka, bagaikan api, nafsu berahinya tidak lagi berkobar-kobar, melainkan kalau tidak padam juga mengecil. Nafsu berahinya bangkit sebelum waktunya, ketika dia berusia tiga belas tahun. Oleh karena itu, tidak begitu sukar baginya untuk dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan yang jauh dari nafsu berahi selama tujuh tahun itu. Ini sebabnya mengapa Koay Tojin, walaupun meragukan kebersihan batin murid ini, tidak menemukan suatu kesalahan dan biarpun berlawanan dengan perasaan nalurinya, tetap mengajarkan ilmu-ilmu yang tinggi kepada Bong Gan. Dan demikian pula Bi Sian. Setelah selama tujuh tahun bergaul dengan Bong Gan, ia melihat sikap dan sifat yang baik dalam tingkah laku Bong Gan selama itu, maka tentu saja iapun percaya kepadanya.
Baru setelah dua orang murid ini berpisah dari guru mereka, dan Bong Gan sudah berusia dua puluh tahun, pemuda ini mulai berani membiarkan nafsu berahinya berkobar lagi, berani dia mencarl wanita untuk memuaskan gairah nafsu berahinya, baik secara suka sama suka, secara suka rela, dengan cara membeli maupun dengan paksaan mengandalkan kepandaiannya.
Namun, hal ini- dilakukan dengan amat hati-hati, bahkan jarang dia memperoleh kesempatan karena biarpun sudah berpisah dari suhunya yang dia takuti, dia masih bersama sucinya (kakak seperguruan). Bukan karena dia takut kepada Bi Sian, melainkan karena dia jatuh cinta kepada gadis itu. Dia tidak ingin kelihat-an sesat dan buruk di depan Bi Sian. Dia tahu bahwa Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 235
kalau sampai gadis itu mengetahui kesesatannya, tentu ha-rapannya untuk mempersunting bunga yang harum itu akan lenyap.
Ketika berada di Sung-jan, tempat tinggal orang tua Bi Sian, dia berma-lam di hotel dan karena itu dia mempu-nyai kesempatan untuk memuaskan nafsu berahinya dengan
berkunjung ke rumah pelesir yang mewah. Celakanya, di situ dia bertemu dengan mendiang Yauw Sun Kok, ayah kandung Bi Sian! Tentu saja dia tidak ingin melihat orang ini memberitahu tentang keberadanya di rumah pelesir itu kepada Bi Sian, maka tidak ada jalan lain kecuali membunuhnya! Dibunuhnya Yauw Sun Kok dan diapun menyamar sebagai Sie Liong yang kelihatan-nya demikian disayang oleh Bi Sian se-hingga menimbulkan perasaan cemburu di hatinya. Perbuatannya ini berhasil ba-ik. Yauw Sun Kok terbunuh dan Sie Li-ong yang didakwa sebagai pembunuhnya.
Tentu saja dia merasa amat girang ketika Bi Sian minta bantuannya untuk mencari Sie Liong yang melarikan diri, membantunya membalaskan sakit hatinya karena Sie Liong telah membunuh Yauw Sun Kok, seperti telah dipercaya oleh semua orang. Inilah kesempatan baik baginya, bukan saja untuk dapat terus berdekatan dengan gadis yang dicinta-nya, akan tetapi juga untuk membalas jasa. Kalau mereka maju berdua, betapapun lihainya paman dari Bi Sian itu, tentu mereka berdua akan mampu merobohkannya. Memang si bongkok itu harus dibunuh sehingga rahasia pembunuhan atas diri Yauw Sun Kok itu akan tertutup selamanya.
Akan tetapi, setelah melakukan perjalanan selama tiga bulan, dia mu-lai merasa tersiksa.
Gadis yang dicin-tanya itu, sedemikian dekatnya, setiap hari dia harus melihat segala kecantikannya, namun dia tidak boleh memilikinya, tidak boleh menyentuhnya dan tidak boleh membelainya. Yang lebih membuatnya menderita lagi adalah karena tidak ada wanita lain yang dapat menjadi pengganti Bi Sian untuk sementara. Jarang terdapat kesempatan baginya untuk mencari wanita pemuas nafsunya, karena dia selalu bersama Bi Sian dan dia menjaga dengan sungguh agar jangan sampai gadis yang dicintanya itu memergoki dia berhubungan dengan wanita lain.
Ketika dua orang muda itu menda-yung perahu kecil di atas Telaga Nam sambil menikmati sinar matahari pagi, hawa udara sejuk hangat dan pemandangan yang amat indah itu, diam-diam Bong Gan memperhatikan gadis yang duduk di depannya. Mereka duduk berhadapan dalam perahu kecil itu. Dia yang menda-yung mundur, gadis itu yang mengemudi-kan dengan dayung lain.
Setelah perahu meluncur sampai di tengah telaga, di mana terdapat sebuah pulau kecil dan di sekeliling pulau itu terdapat bunga teratai merah dan putih, indah sekali, Bi Sian berkata,
"Kita berhenti di sini. Mari kita ke pulau itu. Alangkah indahnya di sa-na, sute," Gadis itu memang selalu bersikap gembira dan terbuka, namun hati-nya keras sehingga kadang nampak galak.
Mereka mendekatkan perahu ke pantai lalu mendarat di atas pulau kecil itu. Dengan gembira sekali Bi Sian berlari-lari ke tengah pulau, dikejar oleh Bong Gan. Mereka lalu duduk di ba-gian paling tinggi dari pulau itu, duduk di atas rumput hijau tebal yang lunak. Melihat wajah sucinya yang putih halus kemerahan itu, yang pagi itu nampak cantik sekali, melihat betapa sucinya duduk di atas rumput tebal di dekatnya, terbayang dalam pikiran Bong Gan betapa akan senang dan nikmatnya kalau mereka telah menjadi sepasang kekasih, bermesraan dan bergumul di atas rumput hijau itu, di atas pulau kecil yang demikian sunyi, dikelilingi air telaga yang biru dan luas, tidak ada seorang lainpun yang mengganggu. Ba-yangan pikiran ini membuat jantungnya berdebar dan gairah nafsunya timbul dan berkobar. Namun, Bong Gan adalah seorang pemuda cerdik sekali. Biarpun gairah nafsu telah mencengkeramnya, dia tidak menjadi mata gelap. Dia tahu bahwa kalau dia mempergunakan kekeras-an, selain belum tentu dia akan mampu menundukkan sucinya, juga hal itu a-kan membuat harapannya untuk memperis-teri Bi Sian hancur sama sekali. Gadis itu tentu akan membencinya. Padahal, dia benar-benar jatuh cinta kepada Bi Sian, bukan sekedar hendak mempermain-kannya saja, Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 236
melainkan hidup bersamanya sebagai suami isteri.
"Hai, sute! Kenapa engkau meman-dang padaku seperti itu?" tiba-tiba pertanyaan yang mengejutkan hatinya itu keluar dari mulut Bi Sian. Gadis i-ni merasa heran melihat betapa sutenya memandang kepadanya tidak seperti bia-sa, dengan sinar mata yang demikian tajam dan jelas sekali pandang mata itu mengandung kekaguman dan kemesraan yang mengejutkan hatinya.
Ditegur secara seperti itu, Bong Gan yang sedang melamun dan membiarkan dirinya dibuai khayal indah itu, terkejut dan dia tersipu. "Suci, aku sedang gembira sekali!" jawabnya, kecerdikan dan ketenangannya menolongnya sehingga dia tidak nampak gugup ketika
menjawab. Melihat sikap sutenya biasa saja, lenyap kecurigaan Bi Sian dan iapun memandang ke sekeliling, lalu menghela napas panjang. "Yahhhh.... akupun gembira sekali, sute. Memang amat in-dah pemandangan di sini, indah menye-nangkan dan hawanyapun nyaman bukan main!"
"Aku merasa seperti di sorga, suci!"
Bi Sian memandang pemuda itu dan tertawa. "Di sorga" Hi-hik, seperti engkau pernah tahu sorga saja. Memang indah sekali pemandangan di sini, indah dan hening, hawa udara jernih dan di sini begini tenang, begini penuh damai dan tenteram.... akan tetapi seperti sorga" Aku tidak tahu...."
"Bukan tempatnya yang mendatangkan perasaan bahagia di hatiku, suci."
Bi Sian kembali menoleh dan masih tersenyum. "Bukan karena tempatnya dan hawa
udaranya" Lalu karena apa?"
"Karena ada engkau di dekatku, suci."
"Ihhh!" Bi Sian meloncat bangkit, kini berdiri dan bertolak pinggang, ke dua pipinya berubah merah. "Sute, apa maksudmu dengan omongan itu?"
Bong Gan masih tetap duduk. Dia mengangkat muka, memandang wajah gadis itu dengan sikap tenang. "Maafkan aku, suci, aku hanya bicara sejujurnya sa-ja. Entah mengapa aku sendiri tidak mengerti, suci, akan tetapi aku selalu merasa berbahagia di sampingmu.
Terutama sekali saat ini, kita hanya berdua saja di pulau kecil kosong ini. Alang-kah bahagianya kalau aku terus dapat berada di sampingmu, selama hidupku."
Wajah yang tadinya kemerahan itu berubah agak pucat, dan Bi Sian merasa betapa jantungnya berdebar kencang. Tentu saja ia mengerti apa yang menja-di isi hati sutenya itu.
"Sute, kau.... bicaramu aneh sekali. Mana mungkin kita berdampingan selama hidupmu...."
"Kenapa tidak mungkin, suci" Kalau kita menjadi suami isteri...."
"Sute....!!" Bi Sian berseru, matanya terbelalak karena ia meng-anggap sutenya terlalu berani, terlalu lancang.
"Maaf, suci. Kalau suci menganggap aku bersalah atau kurang ajar, aku pasrah dan siap menerima hukuman. Akan tetapi dengarkan dulu pengakuanku, suci. Kita bergaul sejak aku berusia tiga belas tahun dan engkau sebelas tahun, mengalami suka duka yang sama, menjadi teman berlatih, teman bermain, dan bahkan sekarang, setelah kita berdua berpisah dari suhu, kita masih berdampingan. Dahulu aku memang memiliki perasaan sayang seperti seorang saudara seperguruan kepadamu, suci. Akan tetapi setelah kita sama-sama dewasa.... biarlah aku mengaku terus terang saja, akibatnya terserah kebijaksanaanmu. Aku telah jatuh cinta padamu, suci, dan aku mengharapkan kelak untuk dapat menjadi suamimu, hidup
berdampingan denganmu selama hidupku."
Wajah Bi Sian sebentar pucat sebentar merah mendengar pengakuan sutenya itu. Memang ia sudah menduga bahwa sutenya jatuh cinta padanya, akan tetapi begitu pengakuan itu keluar dari mulut sutenya sendiri, bermacam perasaan mengaduk hatinya. Ada rasa haru, ada malu, ada pula marah karena sutenya dianggapnya lancang, ada pula rasa girang dan semua perasaan itu teraduk membuat ia sejenak tak mampu bergerak ataupun mengeluarkan kata-Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 237
kata. Sejenak mereka saling pandang, dan akhirnya Bi Sian menghela napas sambil memutar tubuh membelakangi sutenya. Kemudian terdengar suaranya lirih.
"Sute....!"
"Ya, suci?" jawab Bong Gan penuh harap.
"Mulai sekarang, engkau kularang bicara seperti itu lagi, kularang mem-bicarakan tentang cinta lagi!"
"Tapi, suci, jawablah dulu pernyataan cintaku padamu. Sudikah engkau menerimanya"
Sudikah engkau membalas-nya" Agar ada kepastian dan tidak lagi membuat aku bimbang ragu, suci. Kasih-anilah aku...."
"Cukup! Aku tidak dapat menjawab sekarang! Pendeknya, aku melarang engkau bicara tentang itu lagi sebelum a-ku berhasil menemukan Sie Liong dan membunuhnya. Kalau engkau tidak setuju dengan permintaanku ini, engkau boleh pergi dan aku tidak membutuhkan bantu-anmu lagi untuk menghadapi musuh besarku itu."
Di belakang Bi Sian, Bong Gan tersenyum, senyum kemenangan. Kalau gadis ini tidak suka kepadaku, tentu ia sudah menjadi marah dan seketika mengusirku, pikirnya. Akan tetapi, Bi Sian mengajukan syarat, yaitu menjawab ka-lau sudah berhasil membunuh Sie Liong, si bongkok! Hal ini meyakinkan hatinya bahwa sucinya itupun "ada hati" kepadanya. Andaikan tidak, tidak mungkin memberi waktu untuk menjawabnya. Kalau gadis itu tahu bahwa jawabannya kelak a-kan "tidak", tentu ia tidak akan memberi waktu. Jawabannya jelas "ya", akan tetapi tunggu sampai musuh itu dapat dibunuh.
"Baiklah, suci. Nasibku berada di tanganmu, kebahagiaan hidupu berada dalam
genggamanmu. Aku menerima syaratmu itu dan maafkan kelancanganku tadi."
Bi Sian menarik napas lega, ia lalu membalikkan tubuh lagi menghadapi Bong Gan dan wajahnya sudah pulih kem-bali seperti biasa. Akan tetapi agak-nya ia sudah kehilangan kegembiraannya di pulau itu. "Mari kita kembali ke darat dan melanjutkan perjalanan kita ke Lasha."
"Baik, suci," kata Bong Gan, tak banyak membantah karena dia maklum bahwa dalam
keadaan seperti itu, dia ti-dak boleh membuat sucinya marah atau jengkel.
*** Semenjak puterinya pergi tanpa pamit, dan setelah selesai mengurus jenazah suaminya, Sie Lan Hong hampir setiap hari menangisi nasibnya. Nyonya ini masih muda, baru berusia tiga puluh tahun, akan tetapi sejak remaja sudah harus mengalami banyak penderitaan batin yang amat berat. Dalam usia lima belas tahun, demi menyelamatkan adiknya, terpaksa ia harus menyerahkan dirinya kepada pria yang telah membunuh ayah ibunya di depan matanya!
Bahkan kemudian menjadi isteri pembunuh orang tuanya itu. Penderitaan batin hebat ini menjadi ringan setelah iapun akhirnya jatuh cinta kepada pria itu dan bahkan melahirkan seorang anak perempuan dari pria yang menjadi suami dan ayah anaknya itu. Kemudian, hatinya tersiksa lagi karena sikap suaminya kepada adiknya. Suaminya membenci adik kandungnya sehingga adiknya itu sampai melarikan diri. Kembali ia menderita kalau teringat kepada adiknya. Apalagi puteri-nya juga pergi dibawa orang sakti menjadi muridnya.
Kebahagiaan sebentar dirasakannya lagi ketika adiknya muncul sebagai seorang pendekar walaupun tubuhnya bong-kok, lebih bahagia lagi karena puteri-nya juga pulang sebagai seorang gadis muda yang cantik dan lihai. Akan teta-pi, betapa pendeknya kebahagiaan yang dinikmatinya. Suaminya dibunuh oleh Sie Liong! Dia tidak terlalu menyalah-kan Sie Liong.
Bagaimana mungkin menyalahkan kalau ia mengingat bahwa suami-nya adalah pembunuh ayah ibunya, ayah ibu Sie Liong" Ia sendiri, andaikata dahulu memiliki kemampuan, tentu saja tidak sudi diperisteri, bahkan akan membalas dendam dan akan membunuh Yauw Sun Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 238
Kok! Akan tetapi, puterinya mendendam kepada Sie Liong dan kini puteri-nya minggat untuk mencari dan membalas dendam kematian ayahnya kepada Sie Li-ong! Ia tidak dapat
menyalahkan Sie Liong yang membunuh suaminya, juga tidak dapat menyalahkan Bi Sian yang hendak membalas sakit hati karena kematian ayahnya.
"Aihh, apa yang dapat dan harus kulakukan....?" Berulang kali ia mengeluh dalam tangisnya.
Selama belasan hari ia tenggelam dalam duka sehingga tubuhnya menjadi kurus dan mukanya pu-cat. Akan tetapi pada suatu pagi, pagi-pagi sekali ia sudah bangun dan keluar dari kamarnya dengan berdandan memakai pakaian ringkas, membawa sebuah buntalan panjang yang isinya adalah sebatang pedang! Malam tadi ia mengenangkan kembali semua peristiwa, mengenangkan munculnya Sie Liong dalam kamarnya. Ia telah menceritakan kepada Sie Liong, membuka rahasia bahwa pembunuh ayah bunda mereka adalah Yauw Sun Kok dan
bahwa ia dapat mengerti mengapa adiknya mem-bunuh suaminya. Akan tetapi, yang
mem-buat ia merasa ragu adalah sikap Sie Liong. Kenapa adiknya itu terkejut mendengar cerita itu, seolah-olah baru setelah ia bercerita adiknya tahu akan hal itu" Pula, mengapa adiknya menyangkal keras telah membunuh suaminya" Sungguh tidak beralasan sekali bagi Sie Liong untuk terkejut dan menyang-kal, kalau memang dia telah mengetahui rahasia itu dan membalas dendam atas kematian ayah ibu mereka. Mengapa adiknya harus berpura-pura dan berbohong kepadanya"
"Sungguh aneh dan tidak masuk di akal," pikir nyonya muda itu. Pada pa-gi hari itu, ia tidak mampu lagi mena-han kegelisahan dan keraguan hatinya. Ia hidup seorang diri, kehilangan o-rang-orang yang dicintainya. Ditinggal mati suaminya, juga musuh besar yang dibencinya karena suami itu pembunuh ayah bundanya, akan tetapi juga dicintanya karena suami itu adalah ayah dari puterinya. Kemudian ditinggal pergi Sie Liong, adik kandungnya yang amat disayangnya dan dikasihaninya karena adiknya itu seorang yang memiliki cacat di tubuhnya.
Kemudian ditinggal pergi puterinya yang terkasih. Ia hidup kesepian, apa lagi harus menanggung kegelisahan memikirkan betapa puterinya itu pergi untuk mencari Sie Liong dan mem-balas dendam atas kematian ayah gadis itu. Ia harus mencegah bentrokan anta-ra mereka itu! Ia harus dapat menemukan Sie Liong dan minta penjelasan a-kan sikapnya, minta adiknya itu menga-kui secara jujur apakah ia membunuh Yauw Sun Kok ataukah tidak. Akan tetapi sebelum ia pergi mencari puterinya dan adiknya, ada satu pekerjaan yang tera-mat penting baginya, yaitu ia akan me-lakukan penyelidikan terlebih dahulu. Dan satu-satunya tempat di mana ia boleh jadi akan menemukan sesuatu adalah tempat pelesir di mana suaminya pernah menjadi langganan mereka, untuk berma-in perempuan dan mabok-mabokan!
Tanpa memperdulikan anggapan o-rang melihat ibu rumah tangga memasuki tempat pelesir itu, Sie Lan Hong mema-suki rumah pelacuran di mana suaminya pernah menjadi seorang langganan yang baik. Ia membawa cukup bekal uang dan dengan pengaruh uang ini mulailah ia menyogok para pelacur untuk memberi keterangan tentang suaminya pada kunjungan terakhir. Dua orang pelacur muda yang manis-manis terpikat oleh janji hadiah uang itu dan mereka mengaku bahwa merekalah yang melayani mendiang Yauw Sun Kok pada
kunjungannya yang terakhir kalinya itu.
"Dia tidak bermalam di sini," ka-ta mereka, "melainkan bersenang-senang dengan kami dan minum arak sampai ma-bok dan pulang menjelang tengah malam."
Lan Hong mengangguk dan dengan sabar ia bertanya, "Selain itu, apa lagi yang terjadi di sini" Apakah dia bertemu dengan seseorang di sini" Apakah dia membicarakan sesuatu yang masih kalian ingat" Katakan saja terus terang segala hal yang terjadi, kalian akan kuberi hadiah yang indah. Lihat, ge-lang ini ada dua buah, harganya mahal dan akan kuberikan kepada kalian seo-rang satu kalau kalian mau mencerita-kan semua hal dengan terus terang...."
Dua pasang mata pelacur-pelacur itu berkilauan ketika melihat dua buah gelang emas yang Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 239
tebal dan terukir in-dah itu.
"Setelah dia minum agak banyak dia memang mengomel, mengatakan bahwa dia mengenal pemuda yang sedang pele-sir dengan kawan-kawan kami, dan bahwa dia tidak suka melihat pemuda itu pelesir di situ, juga tentang kebenciannya kepada seorang bongkok...."
Lan Hong tertarik sekali. "Seorang pemuda" Apakah dia berjumpa dengan se-orang pemuda di sini?"
"Ketika dia masuk, dia bertemu dengan seorang kong-cu (tuan muda) yang sedang makan minum ditemani beberapa orang kawan kami. Akan tetapi mereka tidak saling menegur, seperti yang tidak saling mengenal."
"Siapakkh pemuda itu" Apakah dia.... bongkok?"
Dua orang pelacur itu tertawa.
"Bongkok" Apanya yang bongkok" Sama sekali tidak! Bahkan dia tampan sekali dan kami berdua menyesal mengapa dia tidak memilih kami. Dia tampan, muda dan royal."
"Apakah dia langganan lama di si-ni?"
"Tidak! Baru sekali itu dia da-tang dan sampai kini tidak pernah mun-cul lagi. Akan tetapi dia masih muda, tampan sekali, dan royal...."
"Siapa namanya?" tanya Lan Hong dengan jantung berdebar tegang.
"Nanti dulu, akan kami panggil mereka yang dulu melayaninya," kata dua orang pelacur itu dan tak lama kemudian dua orang pelacur lain ikut duduk di situ. Mereka inilah dua di antara empat orang pelacur yang pada malam i-tu melayani pemuda yang mereka bicarakan.
"Dia tidak menyebutkan namanya, hanya mengatakan bahwa dia putera Coa-wangwe
(Hartawan Coa) di kota Ye-ceng maka kami menyebutnya Coa-kongcu (tuan muda Coa). Dia seorang langganan yang.... menyenangkan sekali, sayang hanya satu kali itu dia datang."
Para pelacur itu tertawa-tawa dan mereka tidak melihat perubahan yang nampak pada wajah Lan Hong. Coa Kong-cu" Sute dari Bi Sian itu bernama Coa Bong Gan!
"Tolong gambarkan, bagaimana bentuk wajah, tubuh dan pakaian Coa-kongcu itu!" tanya Lan Hong, menyembunyikan suaranya yang agak gemetar dengan pertanyaan yang lirih.
"Aku masih ingat benar! Dia memang hebat segala-galanya!" kata seorang pelacur berbaju hijau yang genit.
"Wajahnya tampan, bentuknya bulat dan kulitnya putih, alisnya tebal dan hi-tam sekali, hidungnya mancung dan dia suka.... suka mencium, hi-hik. Dia nakal dan matanya tajam, tubuhnya sedang dan kekuatannya seperti.... kuda jantan! Pakaiannya pesolek...."
Lan Hong sudah bangkit berdiri dan dia memberikan gelang kepada dua orang pela-cur pertama, dan memberikan uang yang cukup banyak kepada yang lain. Kemudi-an, tanpa mengeluarkan kata apapun ia meninggalkan tempat itu.
Pagi hari esoknya, pergilah Sie Lan Hong, nyonya muda yang baru beru-sia tiga puluh tiga tahun itu, mening-galkan rumahnya, membawa buntalan pa-kaian dan tidak lupa membawa pedangnyanya. Ia pernah bercakap-cakap dengan Sie Liong dan adiknya itu pernah membuat pengakuan bahwa dia akan pergi ke Tibet untuk menyelidiki keadaan para pendeta Lama di Tibet, mengapa para pendeta itu memusuhi para pertapa di Himalaya. Menurut adiknya, tugas itu harus dia laksanakan sebagai pesan dari para gurunya. Maka, kalau hendak mencari Sie Liong, ia harus pergi ke Tibet. Kota tempat tinggalnya adalah kota Sung-jan yang berada di perbatasan sebelah barat Propinsi Sin-kiang, maka untuk mencari adiknya ia harus melakukan perjalanan ke selatan, memasuki daerah Tibet yang masih asing baginya.
Pada suatu hari Sie Lan Hong tiba di kaki sebuah bukit. Ia merasa lelah sekali. Perjalanan itu sungguh tidak mudah. Bagaimanapun juga, ia seorang wanita yang tergolong masih muda, bah-kan dalam usianya yang tiga puluh tiga tahun itu ia nampak sebagai seorang wanita yang matang dan penuh daya tarik. Banyak godaan dihadapinya dalam perja-lanan itu. Hal itulah yang membuat ia merasa kesal, disamping tubuhnya juga merasa lelah. Untung bahwa ketika Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 240
ke-cil, ia sudah digembleng oleh ayahnya, seorang guru silat sehingga tubuhnya menjadi kuat dan ketika menjadi isteri Yaw Sun Kok, iapun menerima latihan ilmu silat dari suaminya sehingga ia memiliki bekal ilmu silat yang luma-yan, cukup untuk sekedar menjaga diri.
Dengan sikapnya yang pendiam dan anggun, dengan pedangnya, kaum pria yang tadinya hendak berkurang ajar meniadi jerih dan sampai hampir sebulan dalam perjalanan, ia masih dapat menyelamat-kan diri dari ganguan para pria iseng.
Ketika tiba di kaki bukit itu, ia menjadi bingung. Menurut keterangan yang diperoleh di dusun terakhir tadi, di depan tidak ada lagi dusun sebelum ia melewati bukit itu. Dan bukit itu cukup besar, dilihat dari bawah penuh dengan hutan! Dan matahari sudah mulai condong ke barat.
Agaknya, ia akan ke-malaman di bukit itu dan terpaksa ha-rus melewatkan malam di bukit.
Baru pada hari esok ia boleh mengharapkan da-pat bertemu dusun lagi. Hatinya agak kecut.
Tempat itu sunyi sekali dan menyeramkan. Ia sudah memasuki daerah Tibet, dan ia tidak tahu ke mana harus mencari adiknya atau puterinya. Akan tetapi, ia akan pergi ke Lasha dan di sana ia mengharapkan akan mendapat ke-terangan tentang dua orang yang dicin-tanya dan dicarinya itu. Menurut kete-rangan terakhir yang ia dapatkan, per-jalanan ke Lasha masih membutuhkan waktu sedikitnya satu bulan lagi!
Mengapa aku tidak membeli saja seekor kuda di dusun terakhir itu, pikirnya. Kalau dengan menunggang kuda, tentu perjalanan akan dapat dilakukan le-bih cepat dan tidak begitu melelahkan seperti sekarang ini. Dengan hati ke-cut iapun mulai mendaki bukit itu. Ia mendaki dengan cepat, memaksa kedua kakinya yang sudah lelah karena sedapat mungkin ia harus tiba di puncak bukit dan mencari tempat yang baik dan aman untuk bermalam sebelum hari menjadi gelap.
Baru saja ia tiba di lereng bukit itu, di tepi hutan pertama, tiba-tiba dari dalam hutan bermunculan sepuluh orang laki-laki yang kelihatan kasar dan buas. Mereka mengenakan pakaian serba hitam dan di dada mereka ada lu-kisan seekor kala putih yang menyeram-kan.
"Heiii, ada seorang wanita berja-lan seorang diri!"
"Amboi manisnya!"
"Lihat pinggangnya, seperti kumbang!"
"Pinggulnya.... hebat!"
Sepuluh orang itu sudah mengepungnya dan Lan Hong memandang dengan muka pucat.
Selama melakukan perjalanan, sudah banyak dia digoda pria, akan tetapi belum pernah bertemu gerombolan laki-laki yang begini kasar dan kelihatan buas. Juga di punggung mereka nampak golok besar yang mengerikan. Biarpun ia puteri seorang guru silat, bahkan bekas isteri seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun menghadapi gerombolan yang kasar dan ceriwis ini, jantung dalam dadanya berdebar penuh rasa tegang dan gelisah. Namun, Lan Hong menenangkan dirinya lalu berkata dengan lembut.
"Harap cu-wi suka mengasihani aku seorang wanita yang mencari anaknya dan tidak
menggangguku. Biarkan aku pergi dari sini!"
"Tentu saja kami kasihan kepadamu, manis. Karena kasihan dan sayang maka kami tidak akan membiarkan engkau berjalan sendiri. Mari kami antar, ha-ha-ha!" kata seorang di antara mereka. "Kawan-kawan, mari kita bersenang-senang, selagi toako (kakak tertua) tidak ada.
Kalau ada dia, celaka, ten-tu akan dia habiskan sendiri dan kita tidak akan kebagian!" kata yang lain.
Semua orang tertawa mendengar ini dan menyatakan setuju. Segera mereka berlumba untuk menangkap Lan Hong. Wa-nita ini sudah siap dan ia mencabut pedang dari buntalan
pakaiannya. "Harap kalian mundur atau terpaksa aku mempergunakan pedangku!" bentaknya.
Melihat betapa wanita yang manis itu memegang pedang, sepuluh orang itu terkejut, akan tetapi hanya sebentar saja. Mereka memandang rendah kepada wanita itu dan kembali sambil Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 241
tertawa-tawa mereka mengepung.
"Wah, pandai juga bermain pedang, ya" Bagus, kalau melawan lebih menga-syikkan!" Dan kembali mereka hendak menangkap dari berbagai jurusan.
Melihat ancaman mengerikan itu, Sie Lan Hong menggerakkan pedangnya ke belakang
sambil membalikknu tubuhnya. Orang yang berada di belakangnya, ter-kejut ketika ada sinar menyambar. Dia menarik tangannya, akan tetapi pedang itu tetap saja menggores lengannya, merobek baju dan kulit lengan. Dia berteriak kesakitan dan juga marah.
"Hemm, galak juga, ya" Kawan-kawan, mari kita tundukkan dulu wanita manis dan galak ini.
Akan tetapi jangan dilukai, sayang kalau sampai ia terluka!" Dan mereka mencabut golok mereka, golok besar yang kelihatan berat dan tajam berkilauan. Lan Hong memutar
pedangnya dan beberapa batang golok menangkis. Ketika mereka mengerahkan tenaga.
"Trangggg....!" Pedang itu terlepas dari tangan Lang Hong yang menjadi terkejut bukan main.
Sepuluh orang itu tertawa bergelak dan kesempatan i-ni dipergunakan oleh Lan Hong untuk menyelinap di antara mereka dan melari-kan diri secepatnya ke arah kiri.
Sepuluh orang berpakaian hitam-hitam itu tertawa gembira lalu lari me-ngejar sambil berteriak-teriak. Mereka seperti segerombolan srigala yang me-ngejar dan mempermainkan seekor kelin-ci, yakin bahwa akhirnya kelinci itu takkan terlepas dari terkaman mereka.
Mereka mengejar sambil tertawa-tawa dan Lan Hong melarikan diri sekuat te-naga. Ia dapat membayangkan kengerian yang melebihi maut kalau sampai ia tertangkap oleh orang-orang biadab itu. Lebih baik mati dari pada membiarkan dirinya diperkosa dan dihina. Akan te-tapi, sebelum putus asa, ia akan beru-saha sekuat tenaga untuk melarikan diri atau melawan sampai napas terakhir.
Para pengejar itu memang sengaja hendak mempermainkan Lan Hong, maka mereka hanya berlari di belakangnya, ti-dak segera menangkapnya. Lan Hong berlari terus, menurut jalan setapak dan ia melihat sebuah kuil tua di depan.
Karena tidak tahu lagi harus lari ke mana, dan kedua kakinya sudah menjadi semakin lelah, Lan Hong lalu lari menuju ke kuil itu. Siapa tahu penghu-ni kuil dapat menolongnya, pikirnya penuh harapan. Sepuluh orang pria itu mengejar sambil tertawa-tawa.
"Ha-ha-ha, engkau mengajak kami ke kuil itu, manis" Tempat yang enak untuk bersenang-senang!"
Lan Hong tidak memperdulikan ucapan mereka dan berlari terus. Hatinya semakin kecut ketika melihat bahwa ku-il itu adalah sebuah kuil tua yang a-gaknya sudah tidak dipakai lagi.
Tentu kosong tidak ada orangnya, pikirnya dengan gelisah. Akan tetapi, ketika ia memandang ragu dan berdiri di ruangan depan, terdengar suara dari dalam.
"Jangan takut, masuklah dan kami yang akan menghadapi gerombolan iblis itu!" Dan nampak dua orang pria yang gagah berlompatan keluar dari ruangan dalam. Mereka adalah dua orang pemuda yang berbangsa Han, berusia kurang le-bih dua puluh tujuh tahun. Yang seorang bertubuh tinggi besar dengan muka per-segi dan sikapnya gagah. Orang ke dua bertubuh sedang, akan tetapi mukanya yang bulat itu penuh brewok yang rapi sehingga dia kelihatan gagah pula. Di tangan mereka nampak sebatang pedang.
Melihat mereka dan sikap mereka yang baik, Lan Hong segera memberi hormat. "Ji-wi taihiap (dua pendekar perkasa), tolonglah saya,...."
"Enci yang baik, jangan takut. Masuklah dan kami akan membasmi para penjahat itu!" kata yang tinggi besar dan dia berkata kepada orang ke dua yang brewok. "Sute, mari kita hadapi mereka, di depan kuil!" Mereka lalu berloncat-an keluar. Lan Hong cepat menyelinap di balik dinding dan ia mengintai keluar dengan jantung berdebar penuh kete-gangan, akan tetapi lega juga bahwa di situ ia bertemu dengan dua orang gagah yang siap membela dan
melindunginya. Ia hanya dapat berharap agar kedua o-rang gagah itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi untuk melawan pengeroyokdn sepuluh orang yang buas itu.
Sepuluh orang berpakaian hitam dengan gambar seekor kala putih di baju bagian dada, Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 242
tercengang ketika melihat dua orang pemuda gagah berdiri di de-pan kuil dengan pedang di tangan, menghadang mereka.
"Heii, siapa kalian berani menghadang di depan kami" Hayo cepat mengge-linding pergi!"
bentak seorang di antara sepuluh orang berpakaian hitam itu.
Pemuda yang tinggi besar itu menudingkan telunjuk kirinya ke arah mere-ka sambil melintangkan pedang di depan dadanya yang bidang. "Hemm, sudah lama kami mendengar tentang gerombolan Kala Putih yang jahat! Ternyata kabar itu benar, gerombolan Kala Putih bukan ha-nya perampok dan perkumpulan penjahat keji, akan tetapi juga tidak segan un-tuk mengganggu wanita. Sudah sepantas-nya kalau kami membasmi gerombolan ma-cam kalian!"
Sepuluh orang itu terbelalak pe-nuh kemarahan mendengar kata-kata yang amat menghina itu.
Seorang di antara mereka yang tubuhnya tinggi kurus, me-langkah maju. Agaknya ia mewakili ka-wan-kawannya dan dengan suara meleng-king tinggi diapun membentak.
"Kalian ini bocah-bocah ingusan hendak menentang Kala Putih" Perkenal-kan nama kalian lebih dulu agar kami tidak akan membunuh orang tanpa nama!"
Pemuda tinggi besar itu dengan lantang menjawab, "Kami tidak pernah menyembunyikan nama! Kami adalah murid murid Kun-lun-pai yang selalu akan me-nentang kejahatan.
Namaku Ciang Sun dan sute ini adalah Kok Han!"
Memang dua orang pemuda perkasa itu bukan lain adalah Ciang Sun dan Kok Han, dua orang murid Kun-lun-pai yang berani itu. Mereka berdua diutus oleh ketua Kun-lun-pai, yaitu Thian Hwat Tosu, untuk pergi ke daerah Tibet mencari susiok (paman guru) mereka yang bernama Lie Bouw Tek. Lie Bouw Tek adalah murid kepala Kun-lun-pai, murid langsung dari ketua Thian Hwat Tosu dan karena Ciang Sun dan Kok Han adalah murid kelas tiga, maka Lie Bouw Tek terhitung susiok mereka. Mereka berdua mencari-cari Lie Bouw Tek dan
membawa sepucuk surat dari ketua Kun-lun-pai untuk murid kepala itu. Seper-ti telah kita ketahui, dalam perjalan-an, mereka pernah berjumpa dengan Pen-dekar Bongkok Sie Liong ketika Sie Li-ong mempertemukan dua orang kekasih yang dipisahkan karena watak ayah si gadis yang mata duitan.
Mendengar bahwa dua orang pemuda itu adalah murid-murid Kun-lun-pai se-puluh orang berpakaian hitam itu menja di semakin marah. "Aha, kiranya orang-orang Kun-lun-pai yang usil dan gatal tangan, hendak mencampuri urusan kami orang Kala Putih! Kami tidak pernah bertentangan dengan Kun-lun-pai, sela-lu bersimpang jalan, kenapa hari ini ada orang Kun-lun-pai yang sengaja hen-dak menentang kami?"
Ciang Sun tersenydm mengejek. "Selama Kala Putih tidak melakukan keja-hatan, kami dari Kun-lun-pai tidak perduli. Akan tetapi, kami selalu akan menentang kejahatan yang dilakukan o-leh siapapun juga. Kalian mengejar-ngejar seorang wanita dengan niat yang kotor dan jahat, tentu saja kami menen-tang kalian!"
"Keparat, sekali lagi, pergilah kalian dan biarkan kami menawan perempuan itu! Kami masih memandang perkum-pulan Kun-lun-pai dan tidak akan menuntut atas sikap kalian yang lancang i-ni!"
"Persetan dengan Kala Putih yang jahat!" bentak Ciang Sun. Sepuluh orang itu tak dapat lagi menahan kema-rahan mereka. Kalau tadi mereka masih meragu dan mencoba untuk
membujuk ada-lah karena mereka tahu bahwa Kun-lun-pai adalah sebuah partai persilatan besar, dan mereka tidak ingin menanam permusuhan dengan perkumpulan itu. Akan tetapi, para anggauta Kala Putih selalu mengandalkan kepandaian dan ke-beranian mereka untuk melakukan keke-rasan memaksakan kehendak mereka, maka melihat sikap kedua orang murid Kun-lun-pai yang menentang itu, merekapun segera mulai menyerang!
Ciang Sun dan sutenya, Kok Han, menggerakkan pedang mereka menyambut serangan golok dan terjadilah perkela-hian yang seru. Sepuluh batang golok berkelebatan dan sinarnya, ketika ter-timpa matahari sore menyilaukan mata. Namun, gerakan kedua orang murid Kun-lun-pai memang indah dan dua orang ini merupakan murid yang cukup pandai se-hingga pedang Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 243
mereka berubah menjadi dua gulung sinar yang amat kuat, yang mampu menahan semua serangan golok, bahkan sinar pedang itu mencuat ke sana-sini melakukan serangan balasan yang membuat sepuluh orang anggauta Kala Putih itu menjadi kacau balau dan terdesak mundur!
Lan Hong yang mengintai dari dalam bingung melihat betapa dua orang peno-longnya dikeroyok oleh sepuluh orang buas itu. Ia ingin sekali membantu me-reka, akan tetapi pedangnya telah hi-lang ketika ia dikeroyok tadi. Ia men-cari-cari dengan matanya di dalam ru-angan kuil itu dan melihat beberapa potong kayu yang agaknya dipergunakan orang membuat api unggun. Lalu dipilih-nya sebatang kayu sebesar lengannya, panjangnya satu meter lebih. Kayu itu cukup kuat dan lumayan untuk dipergunakan sebagai senjata. Lan Hong sudah menjadi nekat. Kalau kedua orang peno-longnya itu kalah, tentu ia akan terjatuh ke tangan sepuluh orang jahat itu. Melarikan diripun tidak ada gunanya, karena hari akan menjadi gelap dan ia tidak mengenal jalan. Lebih baik mem-bantu kedua orang penolongnya itu, me-nang atau kalah bersama mereka! Ia la-lu meloncat keluar dan menyerbu ke da-lam pertempuran itu, menggunakan tong-katnya memukul seorang pengeroyok dari belakang.
"Bukk!" Orang itu terjungkal pingsan karena pukulan Lan Hong tepat me-ngenai tengkuknya!
Kemudian Lan Hong mengamuk dengan tongkatnya, membantu dua orang murid Kun-lun-pai itu. Meli-hat ini, dua orang pemuda itu merasa kagum, akan tetapi juga khawatir. Dari gerakannya, mereka dapat menduga bahwa wanita yang mereka tolong itu pandai juga ilmu silat, akan tetapi ia hanya bersenjata sebatang kayu sedangkan pa-ra pengeroyok adalah orang-orang kejam yang semua memegang golok.
Sepuluh orang berpakaian hitam-hitam itu tertawa gembira lalu lari me-ngejar sambil berteriak-teriak. Mereka seperti segerombolan srigala yang me-ngejar dan mempermainkan seekor kelin-ci, yakin bahwa akhirnya kelinci itu takkan terlepas dari terkaman mereka.
Mereka mengejar sambil tertawa-tawa dan Lan Hong melarikan diri sekuat te-naga. Ia dapat membayangkan kengerian yang melebihi maut kalau sampai ia tertangkap oleh orang-orang biadab itu. Lebih baik mati dari pada membiarkan dirinya diperkosa dan dihina. Akan te-tapi, sebelum putus asa, ia akan beru-saha sekuat tenaga untuk melarikan diri atau melawan sampai napas terakhir.
Para pengejar itu memang sengaja hendak mempermainkan Lan Hong, maka mereka hanya berlari di belakangnya, ti-dak segera menangkapnya. Lan Hong berlari terus, menurut jalan setapak dan ia melihat sebuah kuil tua di depan.
Karena tidak tahu lagi harus lari ke mana, dan kedua kakinya sudah menjadi semakin lelah, Lan Hong lalu lari menuju ke kuil itu. Siapa tahu penghu-ni kuil dapat menolongnya, pikirnya penuh harapan. Sepuluh orang pria itu mengejar sambil tertawa-tawa.
"Ha-ha-ha, engkau mengajak kami ke kuil itu, manis" Tempat yang enak untuk bersenang-senang!"
Lan Hong tidak memperdulikan ucapan mereka dan berlari terus. Hatinya semakin kecut ketika melihat bahwa ku-il itu adalah sebuah kuil tua yang a-gaknya sudah tidak dipakai lagi.
Tentu kosong tidak ada orangnya, pikirnya dengan gelisah. Akan tetapi, ketika ia memandang ragu dan berdiri di ruangan depan, terdengar suara dari dalam.


Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan takut, masuklah dan kami yang akan menghadapi gerombolan iblis itu!" Dan nampak dua orang pria yang gagah berlompatan keluar dari ruangan dalam. Mereka adalah dua orang pemuda yang berbangsa Han, berusia kurang le-bih dua puluh tujuh tahun. Yang seorang bertubuh tinggi besar dengan muka persegi dan sikapnya gagah. Orang ke dua bertubuh sedang, akan tetapi mukanya yang bulat itu penuh brewok yang rapi sehingga dia kelihatan gagah pula. Di tangan mereka nampak sebatang pedang.
Melihat mereka dan sikap mereka yang baik, Lan Hong segera memberi hormat. "Ji-wi taihiap (dua pendekar perkasa), tolonglah saya,...."
"Enci yang baik, jangan takut. Masuklah dan kami akan membasmi para penjahat itu!" kata Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 244
yang tinggi besar dan dia berkata kepada orang ke dua yang brewok. "Sute, mari kita hadapi mereka, di depan kuil!" Mereka lalu berloncat-an keluar. Lan Hong cepat menyelinap di balik dinding dan ia mengintai keluar dengan jantung berdebar penuh kete-gangan, akan tetapi lega juga bahwa di situ ia bertemu dengan dua orang gagah yang siap membela dan
melindunginya. Ia hanya dapat berharap agar kedua o-rang gagah itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi untuk melawan pengeroyokdn sepuluh orang yang buas itu.
Sepuluh orang berpakaian hitam dengan gambar seekor kala putih di baju bagian dada, tercengang ketika melihat dua orang pemuda gagah berdiri di de-pan kuil dengan pedang di tangan, menghadang mereka.
"Heii, siapa kalian berani menghadang di depan kami" Hayo cepat mengge-linding pergi!"
bentak seorang di antara sepuluh orang berpakaian hitam itu.
Pemuda yang tinggi besar itu menudingkan telunjuk kirinya ke arah mere-ka sambil melintangkan pedang di depan dadanya yang bidang. "Hemm, sudah lama kami mendengar tentang gerombolan Kala Putih yang jahat! Ternyata kabar itu benar, gerombolan Kala Putih bukan ha-nya perampok dan perkumpulan penjahat keji, akan tetapi juga tidak segan un-tuk mengganggu wanita. Sudah sepantas-nya kalau kami membasmi gerombolan ma-cam kalian!"
Sepuluh orang itu terbelalak pe-nuh kemarahan mendengar kata-kata yang amat menghina itu.
Seorang di antara mereka yang tubuhnya tinggi kurus, me-langkah maju. Agaknya ia mewakili ka-wan-kawannya dan dengan suara meleng-king tinggi diapun membentak.
"Kalian ini bocah-bocah ingusan hendak menentang Kala Putih" Perkenal-kan nama kalian lebih dulu agar kami tidak akan membunuh orang tanpa nama!"
Pemuda tinggi besar itu dengan lantang menjawab, "Kami tidak pernah menyembunyikan nama! Kami adalah murid murid Kun-lun-pai yang selalu akan me-nentang kejahatan.
Namaku Ciang Sun dan sute ini adalah Kok Han!"
Memang dua orang pemuda perkasa itu bukan lain adalah Ciang Sun dan Kok Han, dua orang murid Kun-lun-pai yang berani itu. Mereka berdua diutus oleh ketua Kun-lun-pai, yaitu Thian Hwat Tosu, untuk pergi ke daerah Tibet mencari susiok (paman guru) mereka yang bernama Lie Bouw Tek. Lie Bouw Tek adalah murid kepala Kun-lun-pai, murid langsung dari ketua Thian Hwat Tosu dan karena Ciang Sun dan Kok Han adalah murid kelas tiga, maka Lie Bouw Tek terhitung susiok mereka. Mereka berdua mencari-cari Lie Bouw Tek dan
membawa sepucuk surat dari ketua Kun-lun-pai untuk murid kepala itu. Seper-ti telah kita ketahui, dalam perjalan-an, mereka pernah berjumpa dengan Pen-dekar Bongkok Sie Liong ketika Sie Li-ong mempertemukan dua orang kekasih yang dipisahkan karena watak ayah si gadis yang mata duitan.
Mendengar bahwa dua orang pemuda itu adalah murid-murid Kun-lun-pai se-puluh orang berpakaian hitam itu menja di semakin marah. "Aha, kiranya orang-orang Kun-lun-pai yang usil dan gatal tangan, hendak mencampuri urusan kami orang Kala Putih! Kami tidak pernah bertentangan dengan Kun-lun-pai, sela-lu bersimpang jalan, kenapa hari ini ada orang Kun-lun-pai yang sengaja hen-dak menentang kami?"
Ciang Sun tersenydm mengejek. "Selama Kala Putih tidak melakukan keja-hatan, kami dari Kun-lun-pai tidak perduli. Akan tetapi, kami selalu akan menentang kejahatan yang dilakukan o-leh siapapun juga. Kalian mengejar-ngejar seorang wanita dengan niat yang kotor dan jahat, tentu saja kami menen-tang kalian!"
"Keparat, sekali lagi, pergilah kalian dan biarkan kami menawan perempuan itu! Kami masih memandang perkum-pulan Kun-lun-pai dan tidak akan menuntut atas sikap kalian yang lancang i-ni!"
"Persetan dengan Kala Putih yang jahat!" bentak Ciang Sun. Sepuluh orang itu tak dapat lagi menahan kema-rahan mereka. Kalau tadi mereka masih meragu dan mencoba untuk
membujuk ada-lah karena mereka tahu bahwa Kun-lun-pai adalah sebuah partai persilatan besar, dan mereka tidak ingin menanam permusuhan dengan perkumpulan itu. Akan tetapi, Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 245
para anggauta Kala Putih selalu mengandalkan kepandaian dan ke-beranian mereka untuk melakukan keke-rasan memaksakan kehendak mereka, maka melihat sikap kedua orang murid Kun-lun-pai yang menentang itu, merekapun segera mulai menyerang!
Ciang Sun dan sutenya, Kok Han, menggerakkan pedang mereka menyambut serangan golok dan terjadilah perkela-hian yang seru. Sepuluh batang golok berkelebatan dan sinarnya, ketika ter-timpa matahari sore menyilaukan mata. Namun, gerakan kedua orang murid Kun-lun-pai memang indah dan dua orang ini merupakan murid yang cukup pandai se-hingga pedang mereka berubah menjadi dua gulung sinar yang amat kuat, yang mampu menahan semua serangan golok, bahkan sinar pedang itu mencuat ke sa-na-sini melakukan serangan balasan yang membuat sepuluh orang anggauta Kala Putih itu menjadi kacau balau dan terdesak mundur!
Lan Hong yang mengintai dari dalam bingung melihat betapa dua orang peno-longnya dikeroyok oleh sepuluh orang buas itu. Ia ingin sekali membantu me-reka, akan tetapi pedangnya telah hi-lang ketika ia dikeroyok tadi. Ia men-cari-cari dengan matanya di dalam ru-angan kuil itu dan melihat beberapa potong kayu yang agaknya dipergunakan orang membuat api unggun. Lalu dipilih-nya sebatang kayu sebesar lengannya, panjangnya satu meter lebih. Kayu itu cukup kuat dan lumayan untuk dipergunakan sebagai senjata. Lan Hong sudah menjadi nekat. Kalau kedua orang peno-longnya itu kalah, tentu ia akan terjatuh ke tangan sepuluh orang jahat itu. Melarikan diripun tidak ada gunanya, karena hari akan menjadi gelap dan ia tidak mengenal jalan. Lebih baik mem-bantu kedua orang penolongnya itu, me-nang atau kalah bersama mereka! Ia la-lu meloncat keluar dan menyerbu ke da-lam pertempuran itu, menggunakan tong-katnya memukul seorang pengeroyok dari belakang.
"Bukk!" Orang itu terjungkal pingsan karena pukulan Lan Hong tepat me-ngenai tengkuknya!
Kemudian Lan Hong mengamuk dengan tongkatnya, membantu dua orang murid Kun-lun-pai itu. Meli-hat ini, dua orang pemuda itu merasa kagum, akan tetapi juga khawatir. Dari gerakannya, mereka dapat menduga bahwa wanita yang mereka tolong itu pandai juga ilmu silat, akan tetapi ia hanya bersenjata sebatang kayu sedangkan pa-ra pengeroyok adalah orang-orang kejam yang semua memegang golok.
"Enci, masuklah ke dalam, biar kami yang menghajar mereka!" teriak Kok Han dengan khawatir.
"Tidak, aku harus membantu kalian membasmi iblis-iblis jahat ini!" jawab Lan Hong yang terus mengamuk dengan tongkatnya. Akan tetapi, dua orang me-ngeroyoknya dengan golok dan Lan Hong terhimpit, lalu sebuah tendangan yang cukup keras mengenai pahanya, membuat wanita itu terguling roboh!
"Hati-hati....!" teriak Ciang Sun yang cepat menerjang dan melindungi tubuh wanita itu dari para pengero-yoknya, dengan pedangnya berkelebat ke kiri merobek pangkal lengan seorang pengeroyok, dan melindungi tubuh Lan Hong dengan putaran pedangnya. Akan tetapi Lan Hong bangkit lagi dan menga-muk lagi, tidak memperdulikan pahanya yang terasa nyeri.
Kini, dua orang murid Kun-lun-pai menjadi semakin sibuk karena mereka harus pula melindungi Lan Hong yang mengamuk seperti seekor harimau betina itu. Namun, diam-diam mereka merasa ka-gum dan tidak menyesal menolong wanita yang ternyata gagah berani ini.
Tiba-tiba terdengar bentakan nya-ring, dengan suara pria yang besar dan parau, "Tahan semua senjata!"
Mendengar suara ini, sembilan o-rang berpakaian hitam itu segera berloncatan ke belakang.
Ada yang meno-long kawan yang pingsan oleh pukulan tongkat di tangan Lan Hong, dan ada yang dengan girang berseru, "Toako datang....!"
Melihat para pengeroyok berloncatan mundur, Ciang Sun dan Kok Han memandang orang yang baru datang itu dengan penuh perhatian. Lan Hong juga melon-cat ke belakang dan wanita ini menahan rasa nyeri di pahanya, wajahnya merah sekali, napasnya agak terengah, dahi dan lehernya basah keringat, rambutnya kusut, akan tetapi ia nampak semakin manis Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 246
menarik dan gagah ketika ia ber-diri tak jauh dari dua orang pemuda Kun-lun-pai itu dengan tongkat di ta-ngan, tongkat yang sudah tidak karuan bentuknya karena berulang kali bertemu dengan golok para pengeroyok yang ta-jam.
Orang yang baru datang itu adalah seorang laki-laki yang usianya antara empat puluh lima sampai lima puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, kepalanya besar dan botak sedangkan kulit muka dan tangannya putih sekali, putih yang tidak wajar sehingga mudah diketahui bahwa dia adalah seorang bule. Rambut di kepalanya agak kekuningan yang hanya tumbuh di bagian bawah saja, dan bulu-bulu di muka, leher dan lengannya juga kekuningan.
Dia pun mengenakan pakaian serba hitam, akan tetapi terbuat dari sutera, dan lukisan seekor kala putih di bajunya lebih besar daripada yang berada di baju anak buahnya. Mudah diduga bahwa tentu dialah kepala dari gerombolan Kala Putih itu.
Dengan suara yang aneh dan asing logatnya, raksasa bule itu berteriak marah. "Heh, siapa yang berani membi-kin ribut di sini dan bahkan melukai seorang anak buahku" Siapa kalian ber-tiga dan mengapa berkelahi melawan a-nak buahku?"
Sebelum dua orang pemuda itu menjawab, seorang anak buah gerombolan i-tu sudah cepat melaporkan, "Toako, mereka berdua itu adalah murid-murid Kun-lun-pai yang sombong.
Kami sedang me-ngejar wanita itu yang berani lewat seorang diri di sini, untuk kami tangkap dan kami serahkan kepada toako untuk diambil keputusan. Eh, dua orang ini muncul dan melindunginya, hendak merampasnya dari tangan kami!"
Raksasa bule itu memandang kepada Lan Hong dan wanita itu merasa bulu tengkuknva meremang saking ngerinya. Mata itu sungguh menyeramkan dan begi-tu penuh gairah!
Kemudian raksasa itu, setelah menjelajahi seluruh tubuh Lan Hong dengan sinar matanya, tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, kiranya memperebutkan wanita" Aha, baru kuketahui sekarang bahwa orang-orang Kun-lun-pai juga su-ka kepada wanita. Tidak aneh, tidak aneh!"
"Kami tidak memperebutkan wani-ta!" bentak Ciang Sun marah. "Kami me-lindungi wanita ini karena dikejar-kejar oleh anak buahmu. Kami murid Kun-lun-pai akan menentang semua kejahatan dan melindungi siapa saja yang teran-cam!"
"Ha-ha-ha-ha, tidak perlu malu-malu, sobat muda! Laki-laki mana yang tidak akan suka kepada seorang wanita yang manis dan denok seperti ini" Ka-lau memang kalian tidak suka, serahkan saja kepadaku, mengingat hubungan baik antara Kala Putih dan Kun-lun-pai.
Ketahuilah bahwa aku adalah Konga Sang, ketua dan pemimpin Kala Putih yang se-lama ini tidak pernah mengganggu Kun-lun-pai."
"Kami tidak akan membiarkan siapa saja mengganggu manita ini!" bentak pula Ciang Sun.
"Ho-ho-ha-ha, kiranya kalian mengajak bertanding" Baik, memang wanita ini cukup berharga untuk dijadikan ta-ruhan dalam pertandingan. Kalau kalian dapat mengalahkan aku, Konga Sang, kali-an boleh pergi membawanya dan kami takkan mengganggu. Akan tetapi kalau kalian kalah, wanita ini harus diserahkan kepadaku. Sudah adil, bukan?"
Lan Hong yang sejak tadi diam sa-ja, tiba-tiba membentak dengan suara nyaring, "Iblis jahat, engkau terlalu menghinaku. Dengarlah baik-baik, aku lebih baik mati dari pada menyerah ke-padamu!"
"Konga Sang," kata Kok Han yang brewok gagah, "kalau engkau memang la-ki-laki sejati, biarkan wanita ini pergi melanjutkan perjalanannya dan jangan diganggu. Sedangkan kalau engkau menghendaki kita untuk bertanding, ka-mi akan menyambut tantanganmu itu.
Taruhannya bukan wanita melainkan nyawa kita!"
"Kalian orang-orang muda sombong!" Konga Sang berseru dan sekali tangan kanannya bergerak, dia telah melepaskan sebatang rantai yang tadi melibat pinggangnya. Rantai itu sebesar ibu jari, panjangnya ada dua meter dan di ujung rantai terdapat kaitan baja yang Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 247
menyeramkan. Inilah senjata raksasa bule itu. Dia memutar rantainya di atas kepala lalu membentak, "Kalau kalian berani, majulah!"
Ciang Sun dan Kok Han maklum bah-wa kepala gerombolan Kala Putih ini tentu lihai, maka merekapun maju de-ngan sikap yang waspada. Ciang Sun berkata kepada Lan Hong, "Enci, engkau mundurlah!"
Lan Hong tahu diri. Iapun maklum bahwa kepala gerombolan ini tidak bo-leh disamakan dengan anak buahnya tentu lihai bukan main dan ia tahu bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh untuk dapat dipergunakan membantu dua orang pendekar Kun-lun-pai itu. Kalau ia me-maksa diri maju, tentu hanya akan menjadi penghalang bagi dua orang peno-longnya.
Maka iapun melangkah mundur dan siap dengan tongkatnya untuk membela diri. Ia
mengeraskan hatinya, mencoba untuk bersikap tetap tenang dan si-ap menghadapi apapun juga. Hanya satu pegangannya. Ia tidak akan menyerah dan kalau terpaksa, ia akan memperta-hankan diri sampai mati!
"Haiiiiiitt....!" Kakek raksasa itu berteriak dan rantai di tangannya menyambar-nyambar ganas ke arah dua o-rang lawannya. Ciang Sun dan Kok Han mempergunakan kelincahan tubuh mereka untuk mengelak dan merekapun balas me-nyerang dengan pedang mereka. Namun, semua serangan pedang dapat ditangkis oleh sinar rantai yang bergulung-gulung. Setiap kali pedang bertemu ran-tai, terdengar bunyi nyaring dan nam-pak bunga api berpijar. Terjadilah perkelahian yang hebat, lebih seru daripada tadi ketika dua orang itu dikero-yok sepuluh orang anak buah gerombolan Kala Putih.
Akan tetapi, lewat tiga puluh ju-rus lebih, kedua orang murid Kun-lun-pai itu diam-diam mengeluh karena mereka mendapat kenyataan bahwa lawan mereka sungguh amat lihai.
Permainan rantai itu sungguh dahsyat, selain amat cepat datangnya, juga mengandung tena-ga yang lebih kuat dari pada tenaga mereka berdua sehingga setiap kali pe-dang mereka bertemu rantai, mereka merasa betapa telapak tangan mereka menjadi nyeri dan panas. Bahkan beberapa kali, hampir saja mereka melepaskan pedang karena tidak tahan getaran hebat yang menyerang telapak tangan mereka.
"Ha-ha-ha, mampuslah!" Tiba-tiba raksasa bule itu membentak dan rantainya menyambar dengan tenaga sepenuhnya ke arah Ciang Sun. Pendekar ini melom-pat ke samping, akan tetapi tetap saja kaitan rantai itu mengenai leher bajunya.
"Bretttt....!" Baju itupun terobek sampai ke bawah, dari tengkuk ke pinggang. Masih untung bahwa kulit tubuh Ciang Sun tidak terluka! Pada saat itu, Kok Han sudah menusukkan pe-dangnya untuk melindungi kakak seperguruannya. Konga Sang menangkis dengan ujung rantai, dan tiba-tiba dia melepaskan rantai dari tangan kiri, hanya me-megangi dengan tangan kanan dan tangan kirinya yang berjari besar-besar itu telah menangkap pergelangan tangan Kok Han. Dan dengan sentakan aneh sambil memutar tubuhnya, tak dapat dipertahankan lagi oleh Kok Han, tubuhnya ikut terputar dan diapun terpelanting dan terbanting keras! Kiranya kepala gerombolan Kala Putih itu lihai pula dalam ilmu gulat! Ciang Sun cepat memutar pedangnva menyerang untuk melindungi su-tenya yang cepat menggulingkan tubuh-nya dan melompat bangun kembali. Kembali, kedua orang murid Kun-lun-pai itu menghadapi
sambaran rantai dan kini mereka hanya mampu mempertahankan diri saja, tidak mampu lagi balas menye-rang.
"Ha-ha, kalian jaga baik-baik a-gar pengantinku itu tidak melarikan diri! Dua ekor domba ini sebentar lagi akan kusembelih, ha-ha-ha!" Konga Sang berkata kepada anak buahnya karena dia sudah merasa yakin bahwa tak lama lagi dia akan dapat merobohkan dua orang lawannya dan memondong wanita manis itu.
Sambil menyeringai, anak buahnya mendekati Lan Hong. Wanita ini memandang dengan wajah pucat. Iapun tahu bahwa dua orang penolongnya sudah terdesak dan berada dalam bahaya. Ia tahu bahwa mereka kini tidak mampu melindunginya lagi dan untuk melawan para anak buah gerombolan itupun ia tidak akan menang. Oleh karena itu, iapun sudah mengambil Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 248
keputusan nekat, untuk melawan mati-matian dan kalau tertawan, ia akan membunuh diri! Ia mengangkat tongkatnya sambil berseru, "Majulah, akan kuhancurkan kepalamu!"
Akan tetapi, dua orang di antara para anak buah gerombolan itu, dua orang yang bertubuh tinggi besar, me-langkah maju sambil menyeringai.
"Manis, jangan banyak tingkah. Engkau akan menjadi pengantin pemimpin kami malam ini, ha-ha-ha! Lebih baik menyerah saja!"
Akan tetapi Lan Hong menyambut mereka dengan hantaman tongkatnya! Ia sudah lelah sekali, sudah hampir kehabisan tenaga, akan tetapi ia masih bersemangat dan pukulannya masih kuat. Akan tetapi, dua orang anak buah gerombolan itu adalah dua orang yang terkuat di antara mereka. Yang dihantam tongkat itu miringkan tubuhnya dan ketika tong-kat itu lewat, orang ke dua sudah me-nangkap lengan kanan Lan Hong yang memegang tongkat, sedangkan orang perta-ma sudah merangkulkan kedua lengannya yang panjang dan besar melingkari pinggang ramping Lan Hong.
"Lepaskan! Keparat busuk, lepaskan aku....!" Lan Hong meronta untuk melepaskan diri, namun dua orang itu memiliki tenaga yang kuat sekali.
Pada saat itu, terdengar bentak-an, "Kalian srigala-srigala yang ja-hat!" Bentakan ini disusul berkelebat-nya bayangan orang dan dua orang raksasa yang sedang menangkap Lan Hong yang meronta-ronta itu tiba-tiba saja ter-lempar dan terpelanting, roboh dan ti-dak mampu bangkit kembali. Seorang pe-cah kepalanya dan seorang lagi menge-rang kesakitan dengan beberapa buah tulang iga patah-patah. Kiranya yang muncul adalah seorang laki-laki yang ga-gah perkasa, berpakaian biru, dan tadi begitu muncul, dia menendang roboh dan menampar tewas dua orang anak buah ge-rombolan yang sedang menangkap Lan Hong.
Lan Hong terbelalak dan memandang kepada penolongnya. Seorang pria yang tinggi besar dan gagah perkasa, usia-nya hampir empat puluh tahun, kumis dan jenggotnya terpelihara rapi, pakaian-nya berwarna biru dan di punggungnya nampak gagang sebatang pedang dengan ronce merah. Ketika Ciang Sun dan Kok Han melihat pria gagah perkasa itu, mereka menjadi girang sekali.
"Lie susiok (paman guru Lie)!" seru mereka dengan gembira dan hampir berbareng.
"Mundurlah kalian dan hajar saja anak buah Kala Putih, biar aku yang menghadapi Konga Sang!" kata pria ga-gah perkasa itu. Dia bernama Lie Bouw Tek, murid kepala Kun-lun-pai yang me-mang sedang dicari-cari oleh dua orang murid Kun-lun-pai itu. Begitu meloncat dan menggantikan dua orang murid kepo-nakannya, Lie Bouw Tek telah mencabut sebatang pedangnya yang mengeluarkan sinar kemerahan. Itulah pedang pusaka Ang-seng-kiam
(Pedang Bintang Merah) yang menurut dongeng dibuat dari logam yang berasal dari bintang dan logam i-tu berwarna merah!
"Hemm, siapakah engkau?" Konga Sang membentak ketika melihat bahwa yang
menghadapinya adalah seorang laki-laki yang tingginya tidak kalah olehnya, berdada bidang dan kokoh, dengan sinar mata yang tajam dan mencorong.
"Konga Sang, sudah lama aku mendengar akan sepak terjang Kala Putih yang semakin jahat.
Sekarang kebetulan sekali kita bertemu di sini, aku tidak akan membiarkan engkau merajalela mengumbar nafsu kejahatanmu. Aku bernama Lie Bouw Tek, murid Kun-lun-pai!"
"Aha, lagi-lagi murid Kun-lun-pai. Sungguh mati, tak kusangka bahwa Kun-lun-pai terdiri dari orang-orang usil dan lancang, suka mencampuri urusan orang lain!"
"Tak perlu banyak cakap, Konga Sang! Bukan hanya murid Kun-lun-pai, akan tetapi seluruh pendekar di dunia ini pasti akan menentang perbuatan ja-hat!"
"Manusia sombong!" Bentak Konga Sang dan rantainya sudah menyambar dahsyat ke arah kepala Lie Bouw Tek. Pen-dekar ini merendahkan tubuhnya dan ke-tika rantai melewati atas kepalanya dia melangkah maju dan pedangnya menu-suk ke bawah lengan kanan lawan!
Gerakannya mantap, cepat dan kuat sekali sehingga pedang itu meluncur bagaikan sinar Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 249
merah yang didahului angin dan suara mendesing! Terkejutlah Konga Sang dan dia terpaksa melempar tubuh ke be-lakang untuk menghindarkan diri. Ran-tainya membuat gerakan memutar dan kembali menyambar ke arah pinggang lawan. Sekali ini Lie Bouw Tek
menangkis de-ngan pedangnya sambil mengerahkan tenaga. Melihat lawan menangkis, Konga Sang girang dan dia menarik sedikit rantainya agar ujung yang ada kaitannya dapat melibat pedang lawan.
"Tranggg....!" terdengar suara nyaring dan bukan main kagetnya ha-ti Konga Sang ketika melihat betapa ujung rantainya berikut kaitannya telah putus! Kiranya pedang merah itu merupakan pedang pusaka yang ampuh! Untung baginya bahwa yang buntung hanya ujung sepanjang satu dua jengkal saja sehingga rantainya masih merupakan senjata yang berbahaya walaupun tanpa kaitan. Dengan marah dia mengeluarkan suara gerengan dan rantainya menyambar-nyambar ketika dia memutarnya dan melancarkan serangan bertubi-tubi.
Namun Lie Bouw Tek dapat mengelak dengan langkah-langkah yang teratur, kadang
meloncat tinggi dan diapun mem-balas dengan tusukan dan bacokan pe-dang. Terjadi pertempuran yang amat seru di antara kedua orang ini. Ternyata tenaga mereka seimbang, juga kini mereka bertanding dengan hati-hati. Konga Sang jerih terhadap pedang pusaka itu, sebaliknya Lie Bouw Tek juga tidak be-rani sembarangan menangkis. Sekali pedangnya terlibat rantai, dia akan menghadapi bahaya karena diapun tahu bahwa kepala gerombolan ini adalah seorang ahli gulat. Dalam ilmu silat, dia da-pat menandingi kepala gerombolan itu, akan tetapi kalau dalam ilmu gulat, sekali tubuhnya tertangkap, bahaya maut mengancam dirinya!
Sementara itu, Ciang Sun dan Kok Han mengamuk, menghajar anak buah ge-rombolan yang kini tinggal tujuh orang itu. Yang dua tewas oleh Lie Bouw Tek dan yang tadi terkena hantaman tongkat Lan Hong pada tengkuknya, biarpun su-dah siuman akan tetapi masih pening dan tidak mampu berkelahi, agaknya ge-gar otak! Lan Hong juga tidak tinggal diam, ia sudah mengambil golok seorang di antara penjahat yang tewas, lalu ia membantu dua orang murid Kun-lun-pai yang mengamuk, dengan memutar golok itu sekuat tenaga!
Lie Bouw Tek yang sudah lama ber-kelana di daerah ini dan sudah banyak mendengar tentang gerombolan Kala Pu-tih, maklum bahwa gerombolan itu masih mempunyai banyak sekali anak buah dan hanya kebetulan saja sekali ini mereka hanya menghadapi kepala gerombolan de-ngan sepuluh orang anak buah saja. Dia khawatir kalau-kalau akan datang lebih banyak lagi anak buah gerombolan Kala Putih, maka sambil memutar pedangnya sehingga
membentuk gulungan sinar me-rah yang merupakan benteng kokoh kuat yang melindungi dirinya, dia berseru keras.
"Ciang Sun! Kok Han! Kalian ajak pergi nona itu, biar aku yang menahan mereka. Cepat!"
Ciang Sun dan Kok Han mengerutkan alisnya. Kenapa susiok mereka menyuruh mereka
melarikan diri" Padahal, jelas bahwa susioknya tidak kalah oleh Konga Sang, juga mereka bahkan mendesak tujuh orang anak buah gerombolan itu, malah di antara pihak musuh sudah ada yang tergores pedang. Akan tetapi, dalam keadaan seperti itu, mereka tidak sempat membantah dan juga tidak berani membantah. Mereka mengenal susiok mereka sebagai seorang gagah perkasa dan kalau susioknya menyuruh mereka pergi lebih dahulu, tentu dia memiliki alas-an yang kuat.
"Mari, enci!" kata Ciang Sun sam-bil menarik tangan Lan Hong, diajak meloncat pergi sedangkan Kok Han melin-dungi mereka. Ketika tiga orang ini melarikan diri, para anak buah gerombol-an tidak berani mengejar. Mereka tidak bodoh. Tadi mereka sudah terdesak dan kalau dilanjutkan, mereka tentu akan roboh semua. Maka, sebaliknya daripada mengejar tiga orang itu, mereka kini membantu pemimpin mereka mengeroyok Lie Bouw Tek!
Lie Bouw Tek mengamuk bagaikan seekor rajawali merah! Pedangnya tidak nampak lagi, berubah menjadi sinar me-rah bergulung-gulung dan bermain di antara sinar golok dan rantai.
Kadang-kadang, dari gulungan sinar merah itu mencuat sinar kilat disusul robohnya seorang Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 250
pengeroyok karena disambar pe-dang Ang-seng-kiam. Lie Bou Tek sebe-tulnya memiliki ilmu yang seimbang de-ngan kepandaian Konga Sang, akan tetapi pedang pusakanya
membuat lawan itu merasa jerih. Diapun tahu akan hal i-ni, dan dia tahu pula bahwa kalau Ko-nga Sang menyerang dengan sungguh-sungguh, dibantu beberapa orang anak buahnya, dia akan menghadapi bahaya. Maka, dia memberi waktu bagi dua orang murid keponakannya untuk melarikan di-ri bersama wanita itu, kemudian setelah memutar pedangnya, diapun moloncat jauh dan menghilang di balik semak be-lukar dan pohon-pohon yang mulal
dise-limuti kegelapan karena malam telah menjelang tiba.
Konga Sang merasa penasaran dan marah sekali. "Kejar!" teriaknya, dan merekapun
melakukan pengejaran. Namun, karena di dalam hati mereka timbul ra-sa jerih menghadapi tiga orang murid Kun-lun-pai itu, maka mereka tidak berani berpencar ketika mengejar dan mencari sehingga gerakan mereka tidak da-pat cepat. Apalagi mereka terhalang oleh kegelapan malam sehingga akhirnya mereka terpaksa menghentikan pengejar-an dan
menolong kawan yang terluka atau tewas. Konga Sang mengapal tinju dan berkata dengan geram.
"Orang-orang Kun-lun-pai telah menghinaku! Awas, sekali waktu aku a-kan mengambil tindakan!" Walaupun ucapan ini lebih banyak hanya untuk mengumbar rasa penasaran dan marahnya karena diapun tahu betapa kuatnya Kun-lun-pai yang mempunyai banyak murid yang pan-dai dan pimpinan yang berilmu tinggi itu. Kalau tidak yakin akan kekuatan pasukannya sendiri, penyerbuan ke Kun-lun-pai hanya akan mengakibatkan pasu-kannya hancur.
Mereka duduk mengitari api unggun. Mereka berempat kini berada di puncak bukit, dari mana mereka dapat melihat ke empat penjuru dan tempat itu aman dan baik untuk melewatkan malam. Kalau ada musuh datang, maka dari jauhpun sudah akan dapat mereka lihat atau de-ngar karena sekeliling mereka datar dan merupakan padang rumput.
Tadi Lie Bouw Tek dapat menyusul Ciang Sun dan Kok Han yang mengajak Sie Lan Hong melarikan diri dan dua o-rang pendekar Kun-lun-pai itu segera memberi hormat dan berlutut di depan kaki Lie Bouw Tek.
"Terima kasih atas bantuan Lie susiok," kata mereka.
Lan Hong juga ikut berlutut dan berkata, "Atas pertolongan taihiap, akupun mengucapkan terima kasih."
"Bangkitlah kalian berdua, juga engkau, nona. Bangkitlah, tidak perlu dengan segala macam kesungkanan ini. Musuh berada jauh di bawah dan mungkin tidak akan mengejar ke sini.
Andaikata mereka datang, kita dapat melihat mereka sebelum mereka dekat. Tempat ini baik sekali untuk melewatkan malam. Ci-ang Sun dan Kok Han, kumpulkan kayu kering dan kita bikin api unggun di sini."
Demikianlah, mereka kini duduk saling berhadapan, mengelilingi api ung-gun yang bernyala indah, terang dan hangat. Lan Hong memandang kepada pria yang duduk tepat di depannya, terhalang api unggun itu. Sinar api unggun yang kemerahan menerangi wajah pria itu dengan jelas. Dan iapun merasa kagum. Seorang pria yang usianya kurang lebih tiga puluh enam tahun, tubuhnya tinggi besar akan tetapi perutnya tidak gendut, seperti tubuh seekor kuda balap yang pilihan. Dan wajahnya demikian tenang, penuh wibawa dan gagah perkasa. Wajah yang jantan sekali, bukan tampan kewanitaan, melainkan jantan perkasa. Sikapnya seperti seekor burung garuda, atau seperti seekor harimau. Ya, seperti seekor harimau karena tadi ketika mencari kayu bakar, lenggang dan langkahnya mengingatkan Lan Hong akan seekor harimau. Tanpa ia ketahui, pria di depannya itupun sejak tadi memperhatikannya, walaupun tidak kentara. Dan Lie Bouw Tek juga kagum. Wanita itu sungguh jelita dan tidak
mengherankan kalau Konga Sang, kepala gerombolan Kala Putih itu, tertarik dan bertekad untuk menawannya. Seorang wanita yang sudah matang, usianya su-kar ditaksir, nampaknya masih amat mu-da akan tetapi sikap dan gerak gerik-nya, bentuk tubuhnya, wajahnya yang Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 251
manis, sudah matang seperti seorang wanita yang sudah dewasa benar. Tubuhnya tinggi semampai, dengan pinggangnya yang amat ramping dan pinggul yang be-sar membulat.
Wajahnya amat manis, de-ngan kulit yang mulus dan mulut yang membayangkan kealiman, akan tetapi sepasang mata itulah yang amat menarik perhatiannya. Sepasang mata yang indah jeli, namun penuh bayangan duka dan derita.
"Ciang Sun dan Kok Han, sekarang ceritakanlah bagaimana kalian dapat berada di sini dan sampai berkelahi de-ngan orang-orang gerombolan Kala Putih itu," kata Lie Bouw Tek, suaranya te-nang sekali dan mendatangkan perasaan damai dan aman dalam hati Lan Hong.
Ketika pandang mata mereka saling berte-mu, Lan Hong cepat menundukkan mukanya dan pada wajah pria yang gagah itu terbayang suatu keheranan. Memang dia merasa heran sekali mengapa dia demikian tertarik kepada wanita ini. Padahal sejak dikecewakan oleh seorang wanita, ketika dia berusia dua puluh tahun, sampai sekarang berusia tiga puluh enam tahun, belum pernah dia merasa tertarik kepada seorang wanita. Bukan berarti bahwa tidak ada wanita yang jatuh cinta kepadanya. Banyak sudah wanita yang suka kepadanya, bahkan banyak pula ayah dari gadis-gadis cantik menginginkan dia sebagai mantu mereka, namun dia selalu menolak. Dan sekarang dia merasa tertarik kepada seorang wanita yang baru saja dijumpainya, bahkan belum dikenal namanya dan belum diketahui pula riwayatnya.
"Kami berdua memang sengaja datang ke daerah ini untuk mencarimu, susiok. Kami diutus oleh supek (uwa guru) Thi-an Hwat Tosu untuk mencarimu dan menyerahkan surat ini kepadamu."
"Hemm, toa-suheng (kakak sepergu-ruan tertua) Thian Kwat Tosu yang mengutus kalian"
Sudah pasti ada urusan penting sekali," kata Lie Bouw Tek dan dia menerima sampul surat itu, lalu merobek ujung sampul dan mengeluarkan surat dari dalamnya. Di bawah penerangan api unggun, dibacanya surat itu. Dalam surat, kedua orang suhengnya, yaitu ketua Kun-lun-pai Thian Hwat Tosu dan wakilnya, Thian Khi Tosu, menyerahkan tugas kepadanya untuk menyelidiki keadaan lima orang tokoh di Tibet yang dikenal dengan julukan Tibet Ngo-houw (Lima Harimau Tibet), yaitu Thay Ku Lama, Thay Si Lama, Thay Pek Lama, Thay Hok Lama dan Thay Bo Lama. Para pimpinan Kun-lun-pai itu merasa penasaran seka-li melihat sikap lima orang tokoh Tibet itu yang pernah mengambil sikap bermusuhan dengan Kun-lun-pai dan hampir terjadi bentrokan hebat antara Kun-lun-pai dengan mereka. Padahal, sejak da-hulu, Dalai Lama sendiri dan para pendeta Lama di Tibet bersikap baik dan bersahabat dengan Kun-lun-pai. Oleh karena itu, mengingat bahwa yang dapat diandalkan di Kun-lun-pai hanyalah Lie Bouw Tek, satu-satunya tokoh Kun-lun-pai yang -bebas, yaitu tidak menjadi tosu dan tidak bertugas di Kun-lun-pai melainkan menjadi seorang kelana yang bebas, maka para pimpinan Kun-lun-pai mengutus Lie Bouw Tek untuk melakukan penyelidikan itu.
Membaca surat itu, Lie Bouw Tek mengangguk-angguk. "Sampaikan hormatku kepada kedua suheng, dan aku menerima baik tugas yang diberikan kepadaku." Hanya itulah pesannya kepada dua orang keponakannya itu. "Akan tetapi bagaimana kalian sampi bentrok dengan gerombolan Kala Putih?" Dia mengulang pertanyaannya.
"Hal itu terjadi hanya karena kebetulan saja, susiok. Kami sedang beristirahat di kuil tua di lereng bukit itu ketika tiba-tiba kami melihat enci ini berlari-lari dan dikejar oleh gerombolan Kala Putih menuju ke kuil. Kami sudah mendengar akan kejahatan Kala Putih, maka kami lalu membela enci ini, sampai susiok muncul dan menyelematkan kami semua."
Lie Bouw Tek mengerutkan alisnya mendengar Ciang Sun menyebut "enci" (kakak
perempuan) kepada wanita itu. Mungkin Ciang Sun salah lihat, ataukah dia yang keliru"
Wanita itu nampaknya tidak lebih tua dari murid keponakannya itu. Ataukah sebutan itu hanya sebutan akrab saja"
"Hemm, kalau boleh aku mengetahuinya, bagaimana sampai engkau dikejar-kejar oleh mereka, nona" Dan siapakah nona, mengapa pula melakukan perjalan-an seorang diri di Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 252
tempat ini?" Lalu dia menyambung cepat ketika teringat bahwa dia bertanya nama kepada seorang wanita tanpa lebih dahulu memperkenal-kan diri. "Mungkin nona sudah tahu bahwa kami bertiga adalah murid-murid Kun-lun-pai. Namaku Lie Bouw Tek, sedang-kan dua orang murid keponakanku ini bernama Ciang Sun dan Kok Han."
Lan Hong memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada, lalu berkata
dengan suara lirih namun cukup jelas bagi tiga orang itu. "Namaku Sie Lan Hong dan aku datang dari kota Sung-jan di perbatasan sebelah barat Propinsi Sin-kiang. Akan tetapi, harap Lie Taihiap jangan menyebut nona kepadaku. Aku bukan seorang gadis yang be-lum
menikah. Aku pergi untuk mencari seorang adikku, dan juga mencari pute-riku...."
Lie Bouw Tek membelalakkan kedua matanya. Wanita ini sudah menikah, bahkan sudah mempunyai seorang puteri! Kalau begitu, agaknya penglihatan kedua orang murid
keponakannya itu yang benar. Dia merasa betapa mukanya menjadi panas dan untunglah bahwa sinar api unggun memang sudah kemerahan dan mem-buat wajahnya merah sehingga perubahan wajahnya tidak akan nampak oleh orang lain.
"Ah, maafkan aku, toanio (nyonya). Kiranya toanio mencari adiknya dan puterinya" Akan tetapi, kenapa engkau mencari mereka seorang diri saja" Mengapa tidak dengan suamimu....
maaf...." Lan Hong menundukkan mukanya, bu-kan karena sedih melainkan karena malu dan
ucapannya lirih sekali. "Dia su-dah meninggal...."
"Ah, maafkan aku, toanio!" seru Lie Bouw Tek dan ingin dia memukul ke-palanya sendiri mengapa ada perasaan lega dan girang di dalam hatinya. Lega dan girang mendengar bahwa suami orang sudah meninggal. Sungguh kejam dan tak tahu malu, makinya pada dirinya sendi-ri. Sementara itu, diam-diam Ciang Sun dan Kok Han merasa heran dan geli melihat betapa susiok mereka yang biasanya berwibawa, tenang dan tegas itu kini telah beberapa kali minta maaf dan menjadi seperti gugup. Akan tetapi mereka pun tentu akan menjadi gugup kalau me-nanyakan suami seorang wanita lalu mendapat jawaban bahwa orang yang mereka tanyakan itu sudah meninggal dunia!
"Tidak mengapa, taihiap. Keduka-an itu telah lewat," kata Lan Hong.
Kalau saja wanita itu tidak mengeluarkan ucapan ini, agaknya Lie Bouw Tek akan sukar mengeluarkan ucapan la-gi, apalagi untuk bertanya. Kini, se-telah Lan Hong berkata demikian, kei-nginan tahunya mendorongnya untuk ber-tanya lagi.
"Kalau boleh aku bertanya lagi toanio. Ke manakah perginya adikmu dan puterimu itu?"
"Aku tidak tahu benar, akan teta-pi aku hendak mencari mereka di Lasha." Lie Bouw Tek mengangguk-angguk, lalu berkata kepada kedua orang murid keponakannya. "Kalian ke Kun-lun-pai dan sampaikan kepada kedua suheng tentang pesanku tadi, sesuai dengan tugas yang mereka berikan kepadaku, aku akan pergi ke Lasha dan karena toanio ini hendak mencari keluarganya di Lasha, maka biar aku menemaninya. Kasihan kalau ia harus melakukan perjalanan seorang diri ke Lasha, hal itu amat berbahaya karena Lasha masih jauh dari sini."
Dua orang pendekar Kun-lun-pai i-tu mengangguk. "Baik, susiok. Kami be-sok pagi akan berangkat, kembali ke Kun-lun-pai. Dan memang sebaiknya ka-lau anci ini ada temannya ke Lasha. Siapa tahu gerombolan Kala Putih itu akan melakukan pengejaran. Harap susiok berhati-hati karena mereka itu jahat sekali."
"Aku mengerti. Bagaimana, toanio, setujukah engkau apabila aku menemanimu melakukan perjalanan ke Lasha" Kebetulan sekali akupun hendak pergi ke sana."
"Tentu saja, ahh, tentu aku merasa senang sekali, taihiap. Tadinya a-ku hampir putus asa melihat betapa su-karnya mencari adikku, dan betapa bar-bahayanya perjalanan ini. Aku berteri-ma kasih sekali kepadamu, taihiap."
"Sungguh engkau tahan uji dan juga bersemangat besar, toanio. Bagaimana mungkin dapat menemukan seseorang dalam jarak yang begini jauh, dan aku-pun belum dapat memastikan apakah eng-kau akan dapat menemukan adikmu di Lasha. Di sana banyak terdapat orang dan Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 253
mencari seseorang di antara orang ba-nyak di tempat yang besar...."
"Adikku mudah dicari. Dia.... dia mempunyai cacat, yaitu punggungnya berpunuk dan dia bongkok...."
Tiba-tiba Ciang Sun dan Kok Han saling pandang dan Kok Han segera berseru, "Nanti dulu, enci. Apakah adikmu itu bernama Sie Liong?"
Kini Lan Hong yang terkejut dan memandang heran. "Benar sekali! Bagai-mana engkau bisa tahu?"
"Ah, kiranya Pendekar Bongkok itulah adikmu, enci! Tidak sukar menduga setelah engkau tadi mengatakan bahwa adikmu itu bongkok. Engkau she Sie dan Pendekar Bongkok juga she Sie. Kami pernah bertemu dengan dia!"
Hampir Lan Hong bersorak. Ia merasa gembira sekali. "Di mana dia" Bagaimana
keadaannya?"
Juga Lie Bouw Tek menjadi terta-rik mendengar bahwa adik wanita ini yang dicari-cari itu disebut Pendekar Bongkok oleh dua orang murid keponakannya.
"Kok Han, ceritakan tentang Pendekar Bongkok itu. Aku ingin sekali tahu karena belum pernah aku mendengar namanya."
Kini Ciang Sun yang menjawab. "Aih, susiok. Dia memang baru saja muncul di dunia kang-ouw, masih amat muda akan tetapi namanya cepat sekali menjadi terkenal. Tentang ilmu kepandaiannya, ah, susiok, kami berani mengatakan bahwa selama hidup belum pernah kami ber-temu dengan seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian sehebat yang dimiliki Pendekar Bongkok! Dia lihai bukan main, susiok sehingga kami berdua merasa seperti kanak-kanak tidak
Bukit Pemakan Manusia 17 Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 3
^