Kisah Pendekar Bongkok 2
Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
Yauw Sun Kok berseru marah ketika melihat wajah adik isterinya itu bengkak-beng-kak. Sie Lion hanya menundukkan muka-nya, khawatir kalau-kalau kakak iparnya itu akan melihat kebohongannya ka-lau dia membuka suara.
Bi Sian sudah melangkah maju di depan Sie Liong dan dengan lantang juga berani ia berkata,
"Ayah! Ibu! Jangan marah kepada paman Liong! Dia sama sekali tidak bersalah! Akulah yang bersalah sehingga barang belanjaan berantakan dan ada yang hilang dan akulah yang berkelahi!"
Melihat sikap puteri mereka itu, Yauw Sun Kok memandang dengan mata bersinar bangga dan wajah berseri. "Bi Si-an, engkau berkelahi" Mengapa" Cerita-kan apa yang terjadi dan mengapa pula wajah Sie Liong bengkak-bengkak, dan mengapa pula barang belanjaan kotor berantakan dan ada yang hilang?"
Lan Hong yang merasa kasihan melihat adiknya yang bongkok itu mukanya bengkak-bengkak dan kelihatan kesakit-an, lalu berkata, "Biarkan mereka du-duk. Sie Liong, engkau minumlah dulu, engkau juga Bi Sian."
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 26
Kedua orang anak itu minum air teh yang tersedia di atas meja, kemudian mereka berempat duduk menghadapi meja. Bi Sian lalu mulai bercerita.
"Ketika kami pulang dari pasar, di jalan yang sepi dekat ladang itu kami dihadang oleh lima orang anak laki-la-ki yang usianya kurang lebih lima belas tahun, ayah. Mereka itu anak-anak na-kal. Mereka menggoda dan memaki paman Liong, mengataken paman monyet bongkok.
Paman diam saja, akan tetapi aku yang tidak kuat menahan. Aku balas memaki mereka, bahkan aku lalu memukul mereka. Mereka lalu memukuli paman Liong yang tidak melawan.
Aku menjadi marah dan aku lalu berkelahi dengan mereka, se-mentara paman Liong masih dipukuli. Akhirnya, aku berhasil mengusir mereka, ayah. Barang belanjaan menjadi kocar-kacir, lima ekor ayam itu terlepas dan kami hanya dapat menemukan kembali ti-ga ekor saja.
Aku yang berkelahi, ayah, akan tetapi lima orang anak itu jahat seperti setan. Apa lagi yang seorang, yang jangkung dan berjerawat mukanya. Kata orang, dia itu anak komandan kea-manan di kota ini, ayah."
"Apa" Putera Lu Ciangkun (Perwira Lu)?" Sun Kok bertanya kaget sekali. "Kalau begitu anak itu adalah Lu Ki Cong!"
"Kami tidak tahu namanya, ayah, hanya ada seorang kakek di jalan yang memperingatkan aku bahwa anak itu ada-lah putera komandan pasukan keamanan di Sung-jan."
"Aiih!" Yauw Sun Kok menepuk pahanya sendiri. Tentu saja dia mengenal baik Lu
Ciangkun! Perwira itu bukan saja sahabat baiknya, bahkan di antara mereka pernah timbul percakapan tentang memperjodohkan anak masing-masing satu sama lain. Perwira itu hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu anak laki-laki bernama Lu Ki Cong. Biarpun belum diresmikan, bahkan isterinya sendiri belum diberitahu hal itu, di antara kedua orang itu seperti sudah ada ikatan. Dan sekarang, mereka berkelahi! Lalu dia memandang kepada Sie Liong, dan bertanya kepada puterinya.
"Bi Sian, coba ceritakan lagi yang jelas. Apa yang menjadi sebab perkela-hian itu" Mengapa mereka itu menggoda dan mengganggu Sie Liong?"
Bi Sian bersungut-sungut, "Anak jerawatan itu mengatakan bahwa tidak pantas paman Liong mengantar aku ke pasar. Katanya dia yang mengantar, dan dia mengusir paman Liong. Ketika aku marah dan memakinya, dia malah memukuli paman Liong bersama teman-temannya."
Ah, kini mengertilah Sun Kok. A-nak sahabatnya itu cemburu! Tentu saja! Agaknya anak itu telah diberitanu oleh orang tuanya bahwa dia akan dijodoh-kan dengan Bi Sian, maka begitu melihat Bi Sian berjalan dengan Sie Liong, anak itu cemburu dan iri! Pantas kalau begitu, dan Sun Kok lalu tertawa bergelak. Tentu saja isterinya menjadi he-ran, juga Bi Sian memandang ayahnya dengan mata terbelalak.
"Mengapa ayah tertawa?" tanyanya berani.
Sun Kok masin tertawa bergelak. Mendengar pertanyaan puterinya itu, dia berkata sambil tersenyum. "Ha-ha, dia cemburu! Lu Ki Cong itu mencemburukan engkau dan Sie Liong! Ha-ha, bagaimana dia bisa cemburu" Sie Liong adalah seorang anak cacat.... eh, dia kan pamanmu sendiri! Apakah dia tidak kaube-ri tahu?"
Bi Sian menjadi penasaran. "Su-dah kuberitahu bahwa dia pamanku. Akan tetapi kenapa dia cemburu, ayah" Ada hak apa dia cemburu?"
Yauw Sun Kok masih tersenyum. "Tentu dia sudah mendengar dari ayahnya akan rencana ayahnya dan aku menjodoh-kan engkau dengan dia...."
"Ayah....!" Bi Sian berteriak, matanya terbelalak memandang ayahnya, a-lisnya berkerut.
Sejenak anak ini me-mandang ayahnya dengan muka merah dan mata merah, akan tetapi ia lalu lari masuk ke dalam kamarnya. Melihat ini, Sie Liong yang sejak tadi menundukkan mukanya, lalu mengundurkan diri ke da-pur membawa barang-barang belanjaan untuk
menyerahkan kepada pelayan di da-pur.
"Aih, Sian-ji masih kanak-kanak, baru juga sebelas tahun usianya. Bagaimana kau bicara tentang perjodohan de-ngan ia yang belum mengerti apa-apa itu?" Sie Lan Hong menegur Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 27
suaminya. Suaminya hanya tersenyum. "Kalau tidak ada peristiwa perkelahian itu, tentu aku belum akan menceritakan kepadanya. Apa lagi, ikatan jodoh itu baru merupakan omong-omong antara kawan sa-ja, belum resmi mereka meminang. Kare-na itu, engkaupun belum kuberitahu.
Bagaimana juga, Lu-ciangkun adalah sahabatku. Peristiwa perkelahian antara ke dua orang anak yang kami ingin jodoh-kan itu sungguh membuat hatiku tidak enak. Apa lagi kalau sampai puteranya terluka oleh tangan Bi Sian yang galak. Biarlah aku pergi ke sana untuk minta maaf." Yauw Sun Kok lalu pergi dari rumahnya, mengunjungi rumah Komandan Lu.
Sie Lan Hong lalu memasuki kamar puterinya, disambut oleh anaknya yang matanya merah karena menangis. Melihat ibunya, Bi Sian lalu bertanya dengan wajah bersungut-sungut. "Ibu, aku ti-dak sudi dijodohkan dengan tikus jera-watan itu!"
"Eh" Tikus Jerawatan yang mana?" ibunya bertanya heran karena memang tidak mengerti.
"Itu, anak bengal putera Lu-ciangkun! Benarkah aku akan dijodohkin de-ngan dia, ibu" Kalau benar, aku akan minggat saja!"
"Hushhh, itu hanya kelakar ayahmu dan sahabatnya saja. Belum ada pinang-an resmi dan kalau ada pinangan, tentu ayahmu akan mengajak aku berunding, dan engkaupun akan kuberitahu. Sudahlah, jangan marah. Karena perkelahian itu, ayahmu merasa tidak enak terhadap Lu-ciangkun yang menjadi sahabat baiknya dan sekarang dia pergi ke sana untuk minta maaf."
"Ayah pergi ke rumahnya" Celaka....!" Akan tetapi Bi Sian segera menu-tup mulut dengan tangan. Terlambat. Ibunya sudah mendengar ucapan itu dan melihat sikap puterinya, Lan Hong merasa curiga.
"Sian-ji, ada apakah" Mengapa engkau terkejut dan gelisah mendengar ayahmu pergi ke rumah Lu-ciangkun" Menga-pa engkau mengatakan celaka tadi?"
Bi Sian maklum bahwa kalau ayahnya pergi ke rumah tikus jerawatan itu, tentu ayahnya akan mendengar segalanya dan ibunya akhirnya juga akan tahu. Lebih baik ia lebih dulu memberitahukan ibunya dan menarik ibunya di fihaknya agar membela ia dan pamannya.
"Ibu, aku tadi.... berbohong kepada ayah, maka aku kaget mendengar a-yah pergi ke rumah komandan itu," katanya mengaku.
"Bohong" Bohong bagaimana, Bi Sian?"
"Aku memang berkelahi dengan lima orang anak nakal itu, akan tetapi aku telah mereka tangkap dan tidak berdaya. Mereka lalu memukuli paman Sie, dan melihat aku ditangkap, paman Sie lalu mengamuk dan lima orang itu dia hajar sampai luka-luka dan mereka semua melarikan diri."
"Sie Liong" Tidak mungkin!" kata Sie Lan Hong. Bagaimana adiknya yang bongkok dan lemah itu dapat mengalah-kan lima orang anak nakal yang lebib besar"
"Benar, ibu. Aku tidak berbohong," Bi Sian lalu menceritakan semua yang telah terjadi.
Betapa lima orang anak nakal itu menghina Sie Liong akan tetapi pamannya itu diam saja.
Ialah yang marah-marah dan memukul, akhirnya tiga orang anak memegangi kaki tangannya dan dua orang anak memukuli Sie Liong. Akhirnya Sie Liong mengamuk dan berha-sil menolongnya dan mereka berdua lalu menghajar lima orang anak itu sehingga melarikan diri.
"Paman Liong minta kepadaku, agar jangan bercerita kepada ayah dan ibu bahwa dia ikut berkelahi, maka aku la-lu berbohong. Akan tetapi sekarang a-yah pergi ke sana, tentu tikus jerawatan itu akan mengadu dan menceritakan bahwa paman Liong yang memukulnya."
Sie Lan Hong masih bingung dan heran. "Tapi.... tapi.... Sie Liong cacat dan lemah....."
Biarpun matanya masih merah oleh tangisnya tadi, kini Bi Sian tersenyum, senyum bangga bahwa hanya ialah satu-satunya orang yang tahu akan rahasia pribadi Sie Liong.
"Jangan ibu kira bahwa paman Li-ong seorang yang lemah! Selama ini dia mempelajari semua ilmu silat yang dia-jarkan ayah kepadaku, dan dia bahkan lebih lihai dari pada aku, ibu.
Ketika dia melawan anak-anak nakal itu, hebat bukan main!"
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 28
Terkejutlah hati Sie Lan Hong mendengar ini. Adiknya mempelajari ilmu silat! Ah, jantungnya berdebar penuh ketegangan. Hal itulah yang amat dibenci suaminya,
dikhawatirkan suaminya. Ia tahu benar bahwa suaminya ingin melihat Sie Long sebagai seorang anak cacat yang lemah, yang tidak mungkin untuk melakukan kekerasan. Ada alasan yang amat kuat mengapa suaminya menginginkan Sie Liong menjadi anak lemah. Tentu agar anak itu kelak tidak mempunyai pikiran untuk membalas dendam! Perih rasa hati Lan Hong.
Ia sendiri seringkali termenung dan merasa berdosa kepada ayah ibunya. Ayah ibunya dibunuh oleh Yauw Sun Kok, biarpun dengan alasan untuk membalas kematian isteri pertama suaminya itu. Dan ia terpaksa menyeralkan diri kepada Sun Kok demi menyelamatkan adiknya. Akan tetapi akhirnya ia jatuh cinta kepada suaminya ini, apa lagi setelah ia melahirkan seorang anak. Iapun tidak menginginkan terjadi permusuhan antara Sie Liong dan suaminya. Akan tetapi, kini terjadi peristiwa itu dan suaminya tentu akan marah sekali mendengar bahwa Sie Liong telah mempelajari ilmu silat.
"Sian-ji.... jangan.... jangan kauceritakan hal itu kepada ayahmu. Ayahmu tidak suka mendengar Sie Liong belajar ilmu silat."
"Tapi, kenapa ibu" Kenapa ayah tidak suka kalau paman Liong belajar ilmu silat" Paman Liong juga mengatakan begitu. Akan tetapi kenapa" Aku, seorang anak perempuan, sejak kecil sudah dilatih silat oleh ayah. Akan tetapi paman Liong adalah seorang anak laki-laki, dan tubuhnya cacat, lemah pula, maka sudah sepatutnya kalau dia belajar ilmu silat agar sehat dan kuat. Kenapa ayah melarangnya?"
"Ayahmu.... lebih tahu, anakku. Tubuh pamanmu itu cacat, apa lagi cacat di punggung.
Berbahaya sekali kalau mempelajari ilmu silat. Sudahlah, le-bih baik kau tidak bercerita apa-apa kepada ayahmu."
Akan tetapi hal itu tidak ada gu-nanya. Mereka mendengar kedatangan Yauw Sun Kok yang berteriak memanggil Sie Liong. Bergegas ibu dan anak ini kelu-ar dengap hati yang penuh kekhawatiran. Mereka melihat Sun Kok sudah duduk di ruangan dalam dengan muka merah.
Memang Sun Kok marah sekali. Ketika dia berkunjung ke rumah sahabatnya, Lu-ciangkun, dia bukan saja mendengar bahwa yang memukuli putera sahabatnya itu adalah Sie Liong, bahkan anak laki-laki jangkung itu masih rebah di pembaringan karena dia mengalami luka di perutnya, akibat benturan kepala Sie Li-ong. Sahabatnya itu bahkan mengatakan bahwa Sie Liong itu ganas dan berbaha-ya sekali. "Bukan hanya Ki Cong yang terluka parah, bahkan kawan-kawannya juga terluka parah oleh anak bongkok itu. Dia sungguh ganas, liar dan berbahaya sekali."
Tentu saja Sun Kok marah bukan main kepada adik isterinya itu. Bagaima-na Sie Liong dapat menjadi seorang a-nak yang demikian kuat dan menurut pe-nuturan Ki Cong, pandai silat pula" Teringatlah dia akan keadaannya sendi-ri. Kalau dibiarkan Sie Liong terus menerus mempelajari ilmu silat sampai menjadi seorang yang pandai, keselamatan nyawanya tentu terancam kelak! Akan tetapi, jalan satu-satunya hanya membunuh anak itu, padahal dia tidak mau melakukan hal itu. Bukan hanya karena dia pernah bersumpah kepada isterinya bahwa dia tidak akan membunuh Sie Liong, akan tetapi juga dia tidak tega kalau harus
membunuhnya. Bagaimanapun juga, harus dia akui bahwa Sie Liong adalah seorang anak yang baik, rajin, penurut dan pendiam. Akan tetapi bagaimana tahu-tahu dia memiliki kepandaian ilmu silat"
"Sie Liong....!" Yauw Sun Kok memanggil lagi dengan suara nyaring.
Pada saat itu muncullah Sie Liong. Mukanya masih bengkak-bengkak dan ta-ngannya masih basah karena ketika di-panggil, dia sedang membersihkan jendela-jendela rumah itu dengan lap dan a-ir.
"Ci-hu memanggil saya?" tanyanya kepada cihu-nya. Dengan sikap tenang dia berdiri di depan cihunya yang du-duk dan memandang kepadanya dengan mata bernyala.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 29
Sie Liong, dari siapa engkau mempelajari ilmu silat?" bentak Yauw Sun Kok.
Diam-diam Sie Liong terkejut men-dengar pertanyaan yang tiba-tiba itu, namun anak ini memang memiliki ketabahan luar biasa sehingga wajahnya yang bengkak-bengkak itu tidak memperlihat-kan apa-apa. Ingin dia memandang kepada Bi Sian karena hanya Bi Sian yang tahu bahwa dia mempelajari ilmu silat. Apakah anak perempuan itu yang memberitahukan ayahnya" Akan tetapi jelas bukan, karena kalau Bi Sian memberitahu, tidak mungkin cihunya bertanya dari siapa dia mempelajari ilmu silat. Lalu bagaimana baiknya" Dia tidak ingin me-libatkan Bi Sian, takut kalau-kalau a-nak perempuan itu mendapatkan marah dari ayahnya.
Sie Liong menggeleng kepalanya dan memandang wajah cihunya dengan berani.
"Saya tidak belajar silat dari siapapun, cihu."
"Brakkk!" Yauw Sun Kok menggebrak meja di depannya sehingga ujung meja i-tu retak.
"Bohong kau! Aku tahu bahwa engkaulah yang memukuli putera Lu-Ciangkun dan kawan-kawannya, dan engkau me-ngalahkan mereka dengan ilmu silat! Hayo katakan dari siapa engkau belajar ilmu silat!"
"Ayah, yang memukuli adalah si tikus jerawatan itu dan kawan-kawannya, mereka yang lebih dulu menghina dan memukul!" Bi Sian memperotes.
"Diam kau! Kau sudah membohongi aku dan mengatakan bahwa Sie Liong ti-dak berkelahi!
Sie Liong, hayo katakan dari siapa engkau belajar ilmu silat!"
Sie Liong sudah mengambil keputusan tetap untuk tidak melibatkan kepo-nakannya yang selalu mencoba untuk membelanya itu. "Cihu, memang saya mempe-lajari ilmu silat, akan tetapi tidak ada gurunya. Saya belajar sendiri."
Yauw Sun Kok memandang dengan mata melotot. "Tidak mungkin belajar si-lat tanpa guru!
Coba kaumainkan beberapa jurus ilmu silatmu, ingin aku me-lihat ilmu silatmu!" katanya, setengah mengejek, setengah marah. "Hayo cepat, jangan membuat aku hilang kesabaran, Sie Liong! Engkau sudah melanggar laranganku!"
Sie Liong memandang kepada enci-nya. Sang enci merasa kasihan kepada a-diknya, akan tetapi ia tahu bahwa ka-lau permintaan suaminya itu tidak dituruti, maka dia tentu akan menjadi sema-kin marah. Bagaimanapun juga, kemarah-an suaminya itu beralasan karena larangannya telah dilanggar oleh Sie Li-ong. Maka ia mengangguk kepada adiknya itu.
"Engkau mainkanlah ilmu silat yang pernah kaupelajari agar cihumu melihatnya, Sie Liong,"
katanya lembut.
Mendengar ucapan isterinya ini, diam-diam Yauw Sun Kok mengira bahwa tentu isterinya yang telah mengajarkan ilmu silat kepada adiknya itu, maka dia sudah merasa mendongkol sekali.
"Baiklah, cihu. Akan tetapi harap jangan diketawai karena permainanku tentu jelek dan tidak karuan." Maka dia-pun lalu memasang kuda-kuda dan menggerakkan kaki tangannya seperti kalau dia berlatih silat menirukan semua ge-rakan yang dilakukan Bi Sian di waktu berlatih silat. Baru beberapa jurus Sie Liong bergerak, Sun Kok sudah ter-kejut sekali karena gerakan-gerakan a-nak laki-laki itu adalah gerakan ilmu silatnya sendiri! Dan gerakan itu demikian lincah dan gesit, juga penuh tenaga, jauh lebih baik dari pada gerakan Bi Sian.
"Berhenti....!" bentaknya sambil meloncat dari atas kursinya, berdiri di depan Sie Liong yang cepat menghen-tikan gerakan kaki tangannya. "Hayo katakan, dari siapa engkau mempelajari semua gerakan ilmu silat itu!"
"Maaf, cihu. Saya mempelajarinya dengan.... mencuri lihat dan mengintai ketika.... Bi Sian sedang berlatih silat. Semua gerakannya itu saya catat dan hafalkan dalam hati, kemudian saya meniru gerakan-gerakannya itu di dalam kamar dan saya latih terus setiap hari. Saya tidak berniat buruk, hanya ingin sekali mempelajarinya...."
Yauw Sun Kok bernapas lega. Jadi bukan isterinya dan bukan puterinya yang mengajar anak Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 30
ini. Akan tetapi, jelas bahwa anak ini memiliki bakat yang amat baik. Padahal dia sudah bongkok, namun tetap saja dapat mempe-lajari ilmu silat jauh lebih maju dari pada Bi Sian.
Diapun mencari akal.
"Sie Liong, ketika aku melarang engkau belajar silat, hal itu sudah kupikirkan masak-masak, demi kebaikamu sendiri. Tubuhmu cacat, tulang pungungmu bongkok, sungguh tidak baik bahkan berbahaya sekali kalau engkau mempela-jari ilmu silat! Engkau tidak percaya" Nah, boleh kita berlatih silat seben-tar. Keluarkan semua jurus yang sudah kaupelajari, dan serang aku dengan sungguh-sungguh seperti akupun akan menye-rangmu dengan jurus yang sama.
Engkau akan melihat sendiri nanti. Hayo, se-ranglah!"
Sie Liong mengira bahwa dia akan memperoleh petunjuk dari cihunya yang biasanya amat sayang kepadanya. Sedi-kitpun dia tidak menaruh hati curiga dan diapun mentaati perintah itu, lalu mulai menggerakkan kaki tangannya, me-nyerang cihunya dengan jurus-jurus silat yang pernah dilatihnya.
Sie Lan Hong memandang dengan jantung berdebar, masih belum tahu apa yang dikehendaki suaminya. Ia sendiri juga terkejut karena sama sekali tidak pernah menyangka bahwa adiknya ternyata benar-benar telah menguasai gerakan silat yang lebih baik dari pada puterinya.
Dengan mata terbelalak, Bi Sian juga memperhatikan gerakan Sie Liong, iapun mengira bahwa ayahnya akan memberi petunjuk kepada pamannya itu. Ia merasa terharu mendengar betapa pamannya itu sengaja berbohong, mengatakan bah-wa dia mengintai dan mencuri pelajaran silat itu, tidak mau melibatkannya. Betapa pamannya itu amat sayang kepada-nya dan iapun merasa amat sayang kepa-da pamannya itu.
Diam-diam Yauw Sun Kok terkejut.
Ternyata gerakan Sie Liong selain baik sekali, juga anak ini memiliki tenaga yang jauh lebih besar dibandingkan a-nak-anak sebayanya. Tentu saja jauh lebih menang dibandingkan Bi Sian. Tidak mengherankan kalau lima orang anak nakal itu kalah olehnya. Dan kalau dibi-arkan terus anak ini memperdalam ilmu silat, tidak salah lagi, dia kelak a-kan menjadi orang pandai dan akan mem-bahayakan dirinya!
Setelah menghadapi serangan-se-rangan Sie Liong untuk mengujinya sam-pai belasan jurus, mulailah Yauw Sun Kok menyerang! Sie Liong juga berusaha mempertahankan diri dengan elakan dan tangkisan karena cihunya menyerang de-ngan jurus-jurus yang sudah dikenalnya.
Akan tetapi dia tidak tahu apa yang tersembunyi di dalam benak cihunya. Ti-ba-tiba gerakan tangan cihunya demiki-an cepatnya sehingga Sie Liong tidak mampu melindungi tubuhnya.
"Plakkk! Plakkk!" Dua kali tangan Yauw Sun Kok menyambar dan mengenai pangkal leher Sie Liong dan ketika tu-buh anak itu berputar, sekali lagi ta-ngannya menghantam punggung yang bong-kok. Sie Liong mengeluh pendek dan dia pun roboh terpelanting, muntah darah!
Agaknya Yauw Sun Kok masih belum puas, akan tetapi tiba-tiba Bi Sian sudah menubruk tubuh Sie Liong dan melindunginya!
"Ayah, kenapa pukul paman Liong" Kenapa ayah memukul paman Liong?" Anak ini hampir menangis. Lan Hong juga su-dah melompat di depan suaminya dan memandang tajam.
"Apa yang kaulakukan?" katanya dengan suara nyaring dan mata me-mandang tajam.
Yauw Sun Kok menurunkan kedua tangannya. "Hemm, aku hanya ingin memperlihatkan dia betapa berbahayanya dia berlatih silat! Kalau pungungnya tidak cacat seperti itu, pukulanku tadi ti-dak akan membuatnya muntah darah." Un-tung dia masih ingat tadi sehingga dia mengurangi tenaga pada pukulannya, ka-lau tidak, tentu anak itu sudah roboh tewas dan ini berarti dia melgnggar sumpahnya dan tentu akan terjadi peru-bahan dalam hubungannya dengan isteri-nya tercinta.
Bi Sian membantu Sie Liong bangkit. Anak laki-laki itu tidak kelihatan menyesal atau marah walaupun dia menyeringai kesakitan dan mengusap da-rah dari bibirnya dengan ujung lengan bajunya. Bi Sian bangkit dan memandang ayahnya dengan marah.
"Ayah kejam! Ayah telah menghajar paman Liong yang tidak berdosa! Ayah, paman Liong Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 31
membohong kepada ayah karena hendak melindungi aku! Sebetulnya, dia bukan mengintai, bukan mencuri ilmu silat, melainkan akulah yang telah me-ngajarkan semua ilmu silat itu kepada-nya! Kalau ayah mau marah dan mau menghukum, hukumlah aku!" Anak itu berdiri tegak dengan dada membusung, seperti hendak menantang ayahnya.
"Hushh," ibunya cepat merangkulnya, khawatir kalau suaminya benar-benar marah dan menghajar anaknya. Akan tetapi, Sun Kok tidak marah. Bahkan dia sudah menduga akan hal itu.
"Ayah, paman Liong tidak bersalah. Perkelahian itu terjadi karena kejahatan anak-anak nakal itu!"
"Hemm, kalau dia tidak pandai silat, tentu tidak akan terjadi parkelahian," kata Yauw Sun Kok.
"Kalau paman Liong tidak pandai berkelahi, mungkin dia akan dipukuli sampai mati dan aku juga! Pawan Liong sama sekaii tidak bersalah dan tidak adil kalau menyalahkan dia, ayah!"
Kembali Bi Sian membantah biarpun ibunya sudah mencoba untuk mencegahnya banyak
bicara. "Bi Sian, pikiranmu sungguh pendek! Coba bayangkan. Kalau engkau per-gi sendiri ke pasar tanpa Sie Liong, atau dia pergi tanpa engkau, apakah a-kan terjadi perkelahian itu" Sudahlah, mulai saat ini, aku melarang Sie Liong belajar silat darimu! Sie Liong, maukah engkau berjanji?"
Sie Liong sudah bangkit berdiri dan menundukkan mukanya. Dia merasa menyesal bahwa karena dia, Bi Sian harus menjadi seorang anak yang berani menentang ayah sendiri.
"Baik, cihu. Saya berjanji bahwa mulai hari ini, saya tidak akan belajar silat lagi dari Bi Sian."
Lega rasa hati Yauw Sun Kok mendengar janji ini. Bagaimanapun juga, dia tidak pernah membenci anak itu, bahkan dia merasa suka dan kasihan. Anak itu menjadi bongkok karena perbuatannya. Akan tetapi dia melakukan itu bukan karena benci, melainkan karena mengkhawatirkan keselamatan dirinya sendiri. Kalau ada jaminan bahwa Sie Liong kelak tidak akan membalas dendam kepadanya, mungkin dia akan suka mewariskan selu-ruh
kepandaiannya kepada anak yang amat baik itu.
"Coba kuperiksa tubuhmu," katanya dan dia segera memeriksa keadaan tubuh Sie Liong.
Anak ini mengalami luka yang cukup parah, akan tetapi tidak sampai membahayakan
jiwanya. Dia segera memberi obat minum dan mengharap agar Sie Liong benar-benar kapok dan tidak belajar ilmu silat lagi yang hanya akan merugikan dirinya sendiri.
*** Meja sembahyang itu penuh dengan bermacam masakan, juga buah-buahan. Keluarga Yauw melakukan sembahyang lelu-hur. Hanya setelah dia menikah dengan Sie Lan Hong saja Yauw Sun Kok mulai mengadakan sembahyangan lagi setiap tahun. Tadinya dia sama sekali tidak pernah sembahyang, yaitu ketika dia masih menjadi perampok dengan isterinya yang pertama.
Seolah-olah dia telah melupakan begitu saja kedua orang tuanya yang telah tiada, dan melupakan nenek moyangnya. Akan tetapi semenjak dia menjadi suami Lan Hong, isterinya ini membujuknya dan setiap tahun mereka melakukan sembahyangan.
Sie Liong masih menderita akibat pukulan cihunya dua hari yang lalu. Dia masih suka batuk-batuk dan biarpun ki-ni batuknya tidak mengeluarkan darah lagi, namun kadang-kadang masih terasa nyeri pada punggungnya yang bongkok kalau dia batuk, dan kepalanya pusing.
Selama dua malam ini kalau sedang ti-dur di kamarnya, dia gelisah dan bebe-rapa kali bahkan dia menangis tanpa suara. Dia merasa nelangsa sekali. Cihu-nya biasanya baik kepadanya, akan tetapi kini cihunya malah memukulnya. Dan Bi Sian menjadi korban pula, ribut dengan ayahnya gara-gara dia. Dan dia teringat pula betapa Bi Sian akan dijo-dohkan dengan Lu Ki Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 32
Cong putera Lu-ci-angkun itu! Hal ini menambah rasa duka di dalam hatinya. Dia berduka untuk Bi Sian. Keponakannya yang manis itu, yang berhati keras akan tetapi jujur, yang berbudi baik, akan dijodohkan dengan anak yang jahat itu! Diapun teringat kepada encinya, dan merasa kasihan ke-pada encinya. Dia merasa betapa enci-nya amat sayang kepadanya, dan encinya tentu menderita tekanan batin yang hebat ketika dia dipukul oleh cihu-nya.
Mungkin akan terjadi ketegangan antara cihu-nya dan encinya gara-gara dia. Dan diapun seringkali memergoki enci-nya itu duduk melamun dan kalau sedang duduk seorang diri, nampak betapa pada wajah yang cantik itu terbayang kedukaan yang mendalam. Padahal, dia tidak melihat sesuatu yang dapat mendatang-kan kesedihan di hati encinya. Cihu-nya amat baik dan sayang kepada encinya, juga Bi Sian seorang anak yang baik, kehidupan encinya juga sudah serba cu-kup dan menyenangkan. Apa yang menye-babkan encinya kadang-kadang melamun dan kelihatan seperti orang berduka"
Agaknya Yauw Sun Kok masih mendongkol karena peristiwa dua hari yang la-lu. Wajahnva nampak muram dan setelah bersembahyang dan menancapkan hio di hio-louw di atas meja sembahyang, dia-pun lalu meninggalkan ruangan itu un-tuk pergi ke tokonya di mana dia berdagang rempa-rempa dibantu oleh beberapa orang pegawai. Di ruangan sembahyang itu kini tinggal Sie Lan Hong, Sie Li-ong dan Yauw Bi Sian bertiga. Sie Lan Hong tadi sudah bersembahyang bersama suaminya.
"Bi Sian, sekarang engkau bersem-bahyang bersama pamanmu Liong, beri hormat kepada kakek nenek dalam dan kakek nenek luar." Yang disebut kakek nenek dalam adalah ayah ibu suaminya, dan kakek nenek luar adalah ayah ibunya sendiri.
Dua orang anak itu menyalakan beberapa hio (dupa biting) dan mulai bersembahyang. Ketika Sie Liong bersembahyang, dia membayangkan ayah ibunya, dan hatinya terasa seperti diremas. Dia tidak pernah tahu seperti apa wajah ayahnya dan ibunya! Usianya belum ada setahun ketika ayahnya dan ibunya meninggalkan dia. Encinya menjadi pengganti ayah ibunya. Dalam keadaan berduka ka-rena peristiwa dua hari yang lalu, karena kepalanya masih terasa pening dan punggungnya yang bongkok terasa nyeri-nyeri, hatinya semakin bersedih teringat akan ayah ibunya yang telah tiada. Tak terasa lagi, luluhlah hati Sie Li-ong yang biasanya keras dan tabah itu dan diapun menangis tersedu-sedu sam-bil menjatuhkan diri berlutut di depan meja sembahyang.
Bi Sian terkejut sekali melihat pamannya menangis seperti itu. Belum pernah ia melihat pamannya menangis, pamannya yang kuat, tabah dan selalu tenang, kini menangis tersedu-sedu se-perti anak kecil. Iapun menjatuhkan diri berlutut dekat pamannya itu dan menyentuh lengannya lalu merangkulnya.
"Paman Liong, ada apakah" Apakah.... apakah engkau sakit....?" Bi Sian merasa menyesal sekali kepada ayahnya yang kemarin dulu pernah memukul pamannya ini, dan ia merasa kasihan sekali kepada Sie Liong.
Sie Liong menggeleng kepala, akan tetapi tangisnya semakin menjadi-jadi. Sikap lemah lembut dan baik dari ga-dis cilik itu menambah keharuan hati-nya, dan dia tidak mampu menjawab karena lehernya tersumbat oleh tangis.
Melihat keadaan adiknya itu, dengan alis berkerut penuh kekhawatiran Sie Lan Hong mendekati dan berlutut lalu merangkul adiknya. "Adik Liong, engkau kenapakah" Mengapa engkau menangis seperti ini" Belum pernah aku melihat engkau menangis seperti ini.
Apamukah yang terasa sakit?"
Sie Liong menggeleng kepala dan mengusap air matanya, mengeraskan hati-nya untuk menghentikan tangisnya. "Yang sakit adalah hatiku, enci. Mengapa ayah dan ibu
meninggalkan aku sewaktu aku masih kecil sekali" Mengapa mereka itu meninggal dunia, enci" Sakitkah" A-taukah ada yang membunuh mereka?"
"Akupun merasa heran, ibu dan sering aku bertanya kepada diri sendi-ri. Kenapa kakek dan nenek luar meninggal dunia dalam usia muda" Melihat be-tapa usia paman Liong tidak Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 33
banyak selisihnya dengan aku, maka tentu kakek dan nenek luar itu belum tua benar ke-tika meninggal dunia. Apa yang menyebabkan kematian mereka, ibu?"
Ditanya oleh adik dan anaknya se-perti itu, jantung Sie Lan Hong berde-bar penuh ketegangan! Terbayanglah se-mua peristiwa yang terjadi sebelas a-tau dua belas tahun yang lalu! Betapa a-yahnya dan ibunya, juga suhengnya, dan dua orang pelayan wanita, juga semua anjing, kuda dan ayam, dibunuh orang pada malam yang menyeramkan itu! Hanya tinggal ia dan adiknya yang belum dibunuh. Kemudian muncul si pembunuh yang amat kejam itu!
Pembunuh itu adalah Yauw Sun Kok, suaminya sendiri, ayah kandung Bi Sian! Ketika itu, ia baru berusia lima belas tahun! Yauw Sun Kok tergila-gila kepadanya, dan ia terpak-sa menyerahkan dirinya bulat-bulat ka-rena ia tidak ingin melihat adiknya, Sie Liong dibunuh oleh musuh besar itu!
Kemudian setelah menjadi isteri Yauw Sun Kok, ia dapat mengusir perasaan dendam dan bencinya terhadap pria itu, bahkan menggantinya dengan perasaan cinta! Dan Yauw Sun Kok kini telah menjadi suaminya yang tercinta dan ju-ga amat mencintainya, menjadi ayah kandung dari anaknya, Bi Sian. Bagaimana mungkin ia akan menceritakan semua itu kepada anaknya dan adiknya" Mencerita-kan bahwa suaminya sendiri adalah pem-bunuh ayah ibunya dan musuh besar keluarganya" Sudah lama ia menghapus per-musuhan ini, kebencian
berubah menjadi kasih sayang, permusuhan berubah menjadi ikatan suami isteri yang sudah mem-punyai keturunan pula! Tidak, sampai bagaimanapun, ia tidak akan membongkar
rahasia itu kepada adiknya atau kepada anaknya!
"Enci, kenapa enci tidak menjawab pertanyaan kami" Mengapa enci kelihat-an ragu-ragu?"
Sie Liong mendesak encinya, dan kini sepasang matanya yang masih kemerahan karena tangis tadi mengamati wajah encinya dengan penuh seli-dik.
"Ah, tidak." Sie Lan Hong cepat menjawab, nampak agak gugup. "Aku ragu-ragu karena mengapa hal yang menyedihkan itu harus diceritakan lagi" Aku terkenang akan hari-hari yang malang itu, adikku! Baiklah, kaudengarkan ce-ritaku, dan engkau juga, Bi Sian. Sie Liong, ayah dan ibu kita telah menjadi korban wabah yang amat berbahaya. Pc-nyakit menular itu mengamuk di dusun kita, dan ayah ibu kita terserang se-hingga meninggal dunia. Untuk menghin-darkan diri dari amukan wabah itu, aku membawa engkau yang baru berusia
sepu-luh bulan, melarikan diri mengungsi dari dusun kita dan akhirnya aku bertemu dengan cihu-mu dan dia menolong kita. Akhirnya aku menikah dengan cihu-mu dan kita semua pindah ke sini."
Mendengarkan cerita encinya ini, Sie Liong menarik napas panjang. "Ka-sihan sekali ayah dan ibu, dan kasihan pula engkau yang begitu susah payah menyelamatkan diri kita berdua, enci."
Sie Lan Hong memejamkan kedua matanya karena tiba-tiba matanya menjadi basah air mata.
Betapa tepatnya ucapan Sie Liong itu walaupun adiknya mempunyai gambaran dan maksud yang lain dalam kata-katanya itu. Memang sungguh kasihan. Ayah ibunya dibunuh orang!
Dan ia sendiri, ia telah mengorbankan dirinya sampai pada batas paling hebat, demi menyelamatkan diri dan juga adiknya!
"Enci, di manakah kita tinggal?"
Sie Lan Hong memandang wajah adiknya, alisnya berkerut. "Kenapa engkau menanyakan hal itu, adikku" Tempat itu adalah tempat malapetaka bagi keluarga ayah ibu kita, sudah lama kulupakan dan kita sekarang menjadi penghuni ko-ta Sung-jan ini."
"Aku hanya ingin tahu, enci. Sia-pa tahu, kelak ada kesempatan bagiku untuk berkunjung ke sana dan bersembahyang di depan makam ayah dan ibu."
Sie Lan Hong menggigit bibirnya. Tak mungkin ia membohongi adiknya lagi dan apa
salahnya kalau ia memberitahu" Biarlah adiknya itu kelak bersembah-yang di depan makam orang tua mereka.
"Dusun kita itu jauh sekali, di perbatasan utara sebelah barat, berna-ma dusun Tiong-cin."
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 34
Sie Liong mencatat nama dusun ini dan letaknya di dalam hatinya dan malam itu dia tidak dapat tidur, gelisah di atas pembaringan dalam kamarnya, a-palagi karena kepalanya masih pening dan punggungnya masih terasa berdenyut nyeri.
*** Pada suatu pagi, nampak sesosok bayangan orang berjalan perlahan di a-tas Tembok Besar!
Tembok Besar itu me-rupakan bangunan raksasa yang amat he-bat, naik turun bukit dan jurang, me-manjang sampai ribuan li panjangnya sehingga disebut Ban-li Tiang-sia (Tem-bok Panjang Selaksa Li). Di beberapa bagian dari Tembok Besar ini memang dijadikan markas bagi pasukan-pasukan penjaga perbatasan, namun banyak pula bagian yang kosong dan sunyi sama sekali. Dan orang yang berjalan perlahan di atas Tembok Besar itupun berjalan seorang diri dalam kesunyian. Kemudian suara nyanyiannya memecah kesunyian pagi hari di antara bukit-bukit dan ju-rang-jurang yang penuh hutan lebat itu.
"Tembok Besar memanjang
ribuan li bekas tangan manusia
masih hidup atau sudah mati
Tembok Besar lambang kekerasan
untuk mempertahankan kekuasaan
berapa puluh laksa manusia mati
untuk menciptakan bangunan ini?"
Nyanyian yang berakhir dengan pertanyaan ini tidak terjawab. Angin ber-tiup kencang dan menimbulkan suara ke-tika bertemu dinding tembok, bersiutan dan membuat rambut, kumis, jenggot dan pakaian kuning orang itu berkibar-ki-bar seperti bendera. Orang itu sudah tua sekali, jenggot dan kumisnya juga rambutnya yang dibiarkan riap-riapan, sudah putih semua.
Namun wajahnya ma-sih nampak merah dan halus seperti wa-jah orang muda, tubuhnya yang tinggi kurus itu tegak lurus dan jalannya santai dengan langkah berlenggang seperti langkah seekor harimau. Usianya tentu sedikitnya tujuh puluh tahun. Pakaian-nya hanya dari kain kuning panjang yang dilibat-libatkan di tubuhnya dari kaki sampai ke pundak, bagian pinggang dii-kat dengan tali kulit kayu, kakinya mengenakan sandal kulit kayu pula. Sam-bil berjalan seenaknya di atas Tembok Besar, dia memandang ke kanan kiri. Seluruh yang nampak di sekelilingnya agaknya tidak terlepas dari pandang ma-tanya yang penuh
kewaspadaan dan penuh semangat. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat kayu
sepanjang satu me-ter, akan tetapi agaknya bukan dipergunakan untuk membantu die berjalan, me-lainkan dipegang seperti hanya untuk iseng-iseng saja. Gerak-gerik kakek ini halus, sinar matanya lembut dan mulut yang dikelilingi kumis dan jenggot itu selalu tersenyum seolah-olah dia bera-mah tamah dengan alam disekelilingnya. Matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan ketika dia menyapu segala sesuatu di sekelilingnya dari atas tembok yang tinggi itu dengan pandang matanya dan biarpun hanya sekelebatan, dia telah menangkap segala yang nampak karena pandang matanya seperti sinar lampu sorot yang amat kuat dan terpusat.
Pohon-pohon tinggi besar yang tumbuh di sekeliling tempat itu nampak hijau dan li-ar. Bukit-bukit menjulang tinggi di kanan kiri, dan jurang-jurang amat dalam sehingga tidak nampak dasarnya. Kalau dia berjalan di bawah, di atas tanah, tentu akan sukar melihat semua itu bahkan melihat langitpun akan sukar sa-king lebatnya daun-daun pohon. Akan tetapi, dari atas tembok yang tinggi i-ni, dia seperti berdiri di puncak sebuah bukit dan dapat melihat sekeliling dengan jelas. Beberapa ekor burung be-terbangan dan seekor burung rajawali baru Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 35
saja meninggalkan cabang sebatang pohon. Gerakannya ketika meloncat dan terbang
membuat cabang itu bergoyang keras dan beberapa helai daun kering melayang-layang turun karena putus da-ri tangkainya. Sepasang mata kakek itu mengikuti beberapa helai daun kering yang melayang turun sambil menari-nari di udara itu, dan diapun tersenyum penuh bahagia.
Betapa bahagianya orang yang ma-sih mampu menikmati semua keindahan yang dihidangkan oleh alam di sekeliling kita. Kalau kita mau membuka mata dan mengamati sekeliling kita tanpa penilaian, maka kitapun akan dapat meli-hat segala keindahan itu! Dalam gerak- gerik setiap orang manusia, lambaian setiap ranting pohon, sinar matahari, tiupan angin, cerahnya bunga dengan keharumannya, kicaunya burung, senyum seorang muda, pandang mata seorang ibu kepada anaknya. Betapa indah mentakjubkan kesemuanya itu! Sayang, batin kita sudah terlampau sarat oleh segala ma-cam persoalan, segala macam masalah kehidupan, kepusingan, kesusahan, keta-kutan, kekhawatiran, kebencian, permusuhan, iri hati, cemburu yang mendatangkan kesengsaraan dalam batin. Batin yang sengsara, bagaimana mungkin dapat melihat keindahan itu" Segala hanya akan nampak buruk dan membosankan!
Tiba-tiba kakek itu mengangkat muka ke atas, agaknya dia baru teringat akan urusannya.
"Aih, masih amat jauh perjalanan, dan aku tidak boleh berlambat-lambatan begini." Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan lenyaplah bentuk tubuhnya. Yang nampak hanya bayangan kuning yang berkelebat cepat dan sebentar saja bayangan itu meluncur ke barat dan lenyap!
Kakek itu adalah seorang pertapa yang sudah puluhan tahun tidak pernah meninggalkan guha pertapaannya di He-lan-san, yaitu di daerah Mongolia Dalam sebelah selatan. Sudah dua puluh tahun kakek itu bertapa di He-lan-san, semenjak dia datang dari Pegunungan Himalaya di barat. Para penduduk perkampungan di sekitar Pegunungan He-lan-san menganggap dia sebagai seorang kakek pertapa yang baik hati, yang suka menolong orang dengan pengobatan, dan karena kakek itu dikabarkan amat sakti, maka semua orang menghormatinya dan dia disebut sebagai Pek-sim Sian-su. Se-butan pek-sim ini mungkin dimaksudkan untuk
memujinya sebagai seorang yang berhati putih, seorang yang amat budi-man. Dan kakek itu agaknya menerima pula begitu saja sebutan Pek-sim Sian-su (Guru Suci Berhati Putih).
Terjadi keanehan pada diri kakek itu. Beberapa waktu yang lalu, pada suatu malam, dia tiba-tiba saja terba-ngun dari tidurnya, lalu duduk bersila dan sampai setengah malam dia bersama-dhi. Lalu paginya, tanpa pamit kepada siapapun, dia pergi begitu saja meninggalkan guha pertapaannya dan melakukan perjalanan ke barat! Yang dituju ada-lah perbatasan Sin-kiang dan Tibet! Malam itu, dalam tidurnya dia seperti mendapat ilham yang mendorong dia harus melakukan perjalanan secepatnya menuju ke tempat itu. Seorang yang hidup suci seperti Pek-sin Sian-su, peristiwa mendapat ilham atau isarat gaib bukanlah hal yang aneh lagi. Seorang manusia yang hidup bersih lahir batin, yang tubuhnya tidak dikotori makanan-makanan enak yang merusak, tidak dilemahkan oleh kegiatan-kegiatan yang bergelimang nafsu, yang batinnya tidak dikotori oleh segala macam kenangan, gagasan, tidak dikotori oleh segala macam nafsu maka dia memiliki badan dan batin yang amat peka! Kekuatan alam ini adalah kekuatan yang memperlihatkan kebesaran dan kekuasaan Thian, dan alam telah memberi tanda-tanda, getaran-getaran pada badan dan batin manusia. Kalau manusia itu bersih lahir batin dan menjadi peka, maka dia akan mampu menerima isarat-isarat gaib ini, tanda-tanda melalui getaran atau bahkan panglihatan, dalam sadar maupun dalam tidur. Dan Pek-sim Sian-su sudah mencapai tingkat seperti itu, maka tidaklah mengherankan kalau pada hari itu dia kelihataan berlari cepat melalui Tembok Besar menuju ke barat.
Mari kita tengok apa yang sedang terjadi di perbatasan Propinsi Sin-kiang sebelah selatan yang berbatasan dengan Tibet. Tak jauh dari dusun Sung-jan, agak ke selatan, nampak Pegunung-an Kun-lun-san dengan bukit-bukitnya yang berbaris-baris, melintang dari barat ke timur menjadi perbatasan antara Sin-kiang dan Tibet. Biarpun tidak se-besar dan seluas atau Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 36
setinggi Pegu-nungan Himalaya, namun Pegunungan Kun-lun-san inipun sudah tetkenal sekali dengan puncak-puncaknya yang tinggi, jurang dan celah yang amat lebar dan dalam, dengan hutan-hutan lebat dan liar amat berbahaya bagi manusia yang bera-ni memasukinya.
Dan di Kun-lun-san ini terkenal pula dengan adanya banyak pendeta dan orang-orang menyucikan diri, pertapa-pertapa dan orang-orang yang berilmu tinggi. Bahkan satu di antata orang-orang pandai itu membentuk Kun-lun-pai atau Partai Persilatan Kun-lun yang amat terkenal.
Kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu, terjadi bentrokan antara para pendeta Lama di Tibet dengan beberapa o-rang pertapa di Himalaya. Yang menjadi sebab hanyalah perselisihan paham dalam kepercayaan dan keagamaan sehingga timbul bentrokan hebat! Betapa
banyaknya tokoh agama yang lupa bahwa agama dia-dakan sebagai tuntunan terhadap
manusia agar dapat hidup tenteram dan damai menjauhi segala bentuk permusuhan,
ke-bencian dan kejahatan. Akan tetapi, tanpa disadari, diantara mereka malah bentrok sendiri karena persaingan dan pertentangan paham dan gagasan!
Bentrokan antara para pendeta La-ma di Tibet dan para pertapa di Himalaya itu semakin meluas. Para pendeta Lama yang banyak jumlahnya dan di antara mereka banyak pula yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, menyerbu Himalaya dan mereka ini menyerang semua pertapa tanpa memperhitungkan apakah mereka itu terlibat dalam permusuhan ataukah tidak!
Banyak di antara para pertapa yang benar-benar sudah menjauhkan diri dari pada
permusuhan, maka mereka itu mengalah dan diam-diam menyingkir dari Himalaya dan
sebagian dari mereka "me-ngungsi" ke Kun-lun-san, mencari tempat pertapaan di tempat baru itu untuk menghindari permusuhan dan pengejaran para pendeta Lama di Tibet.
Demikian-lah, pada waktu ini, banyak terdapat pertapa di Kun-lun-san, yaitu para pe-larian dari Himalaya. Dan Pek-sim Sian-su juga merupakan seorang pertapa di Himalaya yang kemudian melanjutkan pe-ngungsiannya ke timur, jauh di timur sampai dia menetap di Pegunungan He-lan-san di daerah Mongolia Dalam.
Dan kini terjadi geger besar di Kun-lun-san karena munculnya lima o-rang pendeta Lama jubah merah yang mengamuk den menyerangi para pertapa di Kun-lun-san! Agaknya mereka itu adalah para pendeta dari Tibet yang masih me-naruh dendam terhadap para pertapa a-sal Himalaya, dan mendengar betapa pa-ra pertapa itu banyak yang melarikan diri ke Kun-lun-san, maka lima orang pendeta Lama Jubah merah itu lalu me-ngamuk ke sana! Dan menurut kabar, li-ma orang pendeta Lama itu memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat, mereka itu sakti sekali dan sudah banyak pertapa yang tidak berdosa menjadi korban dan terbunuh oleh mereka!
Keributan yang terjadi di Kun-lun-san itu juga mengguncang ketenteraman Kun-lun-san.
Tembok-tembok yang kokoh kuat dari perkumpulan silat besar ini seperti tergetar oleh keributan itu dan biarpun Kun-lun-pai tidak tersang-kut, namun tentu saja para tokohnya merasa tidak enak. Kun-lun-pai sudah di-akui sebagai sebuah partai persilatan yang besar, yang mengakui Pegunungan Kun-lun-san sebagai markas atau sumber mereka. Kalau kini ada orang-orang a-sing mengacau di Kun-lun-san, membunuhi para pertapa yang tidak berdosa, berarti mereka itu memandang rendah kepa-da Kun-lun-pai dan tidak menghargai Kun-lun-pai, berani melanggar wilayah-nya bahkan mendatangkan kekacauan.
Sementara itu, serbuan lima o-rang pendeta Lama jubah merah dari Ti-bet itu mendatangkan perpecahan di antara para pertapa dan pendeta sendiri. Para pertapa atau pendeta yang menga-nut Agama Buddha banyak yang berpihak kepada para pendeta Lama, sebaliknya para pertapa dan pendeta yang menganut Agama To menentang. Perpecahan ini me-nimbulkan pertentangan dan perkelahian di antara mereka sendiri dan karena para pertapa ini sebagian besar adalah orang-orang yang amat lihai dan tinggi ilmu kepandaiannya, maka terjadilah perkelahian dan pertempuran yang amat he-bat dan yang mengguncangkan Pegunungan Kun-lun-san dan menggetarkan tembok perkumpulan Kun-lun-pai.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 37
Ketua Kun-lun-pai pada waktu itu berjuluk Thian Hoat Tosu, seorang penganut Agama To yang taat. Dia memimpin Kun-lun-pai dibantu oleh seorang sute-nya yang berjuluk Thian Khi Tosu. Dua orang tosu ini memiliki ilmu silat yang tinggi dan di asrama Kun-lun-pai itu terdapat kurang lebih seratus orang murid Kun-lun-pai yang terbagi dalam em-pat tingkat.
Murid kepala atau tingkat pertama, hanya ada belasan orang dan mereka inilah yang mewakili dua orang guru mereka untuk memberi latihan dan bimbingan kepada para murid yang lebih rendah tingkatnya.
Thian Hoat Tosu dan Thian Khi To-su merasa gelisah sekali dengan adanya keributan di Kun-lun-san, dan pada pa-gi hari itu, mereka berdua bercakap-cakap di ruangan dalam tanpa dihadiri seorangpun murid karena mereka ingin bi-cara empat mata saja.
"Suheng, keadaan ini tidak mung-kin dapat dipertahankan dan didiamkan saja. Nama Kun-lun-pai akan tercemar dan menjadi buah tertawaan dunia kang-ouw sebagai tuan rumah yang tidak berani berkutik walaupun dihina oleh tamu-tamu kurang ajar!" kata Thian Khi Tosu dengan sikap marah.
"Siancai-siancai-siancai....!" Thian Hoat Tosu berseru lembut sambil me-rangkap kedua tangan di depan dada. "Semoga kita dapat tahan uji menghadapi cobaan ini, sute, Tentu engkau mak-sudkan gerakan yang dilakukan oleh pa-ra Lama jubah merah itu, bukan?"
"Benar sekali, suheng! Mereka itu dengan congkak mengaku sebagai Lima Harimau dari Tibet, dan lima orang pendeta Lama jubah merah itu sungguh som-bong sekali. Mereka menyerang dan mem-bunuhi para pertapa yang sudah lemah dan tua, mereka yang tidak berdosa apa pun. Bagaimana kita dapat memembiarkan saja mereka merajalela di Kun-lun-san yang menjadi wilayah kedaulatan Kun-lun-pai, suheng?"
"Aih, sute, apa yang dapat kita lakukan" Engkau tentu juga tahu bahwa permusuhan itu hanya merupakan kelan-jutan saja dari permusuhan beberapa puluh tahun yang lalu di Himalaya.
Para pendeta Lama itu agaknya mewakili para Dalai Lama di Tibet untuk menghukum mereka yang datang dari Himalaya. Selama mereka itu tidak mengganggu Kun-lun-pai, apa yang dapat kita lakukan" Mereka itu bermusuhan, dan kita tidak ter-libat apapun, bagaimana kita dapat mencampuri" Bisa menimbulkan salah paham lebih besar, sute."
"Tidak, suheng, pinto tidak setu-ju dengan pendapat itu! Kita selalu mencoba untuk menanamkan jiwa kesatria, jiwa kependekaran kepada para murid, agar mereka itu menentang yang jahat sewenang-wenang dan membela kaum lemah tertindas. Kalau sekarang kita melihat Lima Harimau Tibet itu sewenang-wenang membunuhi orang tidak berdosa dan kita tinggal diam, bukankah hal itu memberi contoh buruk sekali kepada para mu-rid?"
"Ingat, sute, selain itu kita juga mengajar mereka agar tidak mencampuri urusan orang lain yang tidak kita ketahui duduk perkaranya. Dalam urusan antara para Lama dan para pertapa itu-pun kita tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi antara mereka, tidak tahu siapa benar siapa salah. Bagaimana mungkin kita mencampuri" Tidak, sute, sekali lagi kuperingatkan.
Jangan eng-kau membawa Kun-lun-pai ke dalam per-musuhan antara mereka. Kita tunggu sa-ja perkembangan selanjutnya."
"Dan membiarkan pembantaian terus dilakukan oleh para Lama yang buas i-tu" Ah, pinto akan bersamadhi dan mo-hon kekuatan batin bagi kita semua, suheng," berkata demikian, dengan muka yang tidak puas dan penuh penasaran, Thian Khi Tosu meninggalkan suhengnya untuk bersamadhi di dalam kamarnya sendiri.
Sementara itu, beberapa li jauhnya dari asrama Kun-lun-pai, dua orang pe-muda sedang berjalan sambil memanggul belanjaan di punggung mereka. Mereka adalah Ciang Sun den Kok Han, dua o-rang murid Kun-lun-pai tingkat tiga, dua orang pemuda berusia kurang lebih dua puluh tahun yang sudah lima tahun menjadi murid Kun-lun-pai. Mereka itu bertubuh tegap dan bersikap gagah, dan biarpun sudah lima tahun berlatih dengan tekun, mereka baru memiliki ting-kat tiga. Hal ini membuktikan betapa tingginya ilmu silat Kun-lun-pai, dan betapa sulitnya untuk mencapai tingkat pertama. Sebagai murid tingkat tiga, mereka sudah Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 38
diperkenankan membawa sebatang pedang di pinggang mereka, wa-laupun pedang itu hanya mereka bawa sekedar untuk berjaga diri dan untuk di-pergunakan membela diri saja, bukan untuk menyerang orang lain. Sangsi hukuman bagi murid Kun-lun-pai amat berat kalau mereka melanggar peraturan perguruan.
Ciang Sun dan Kok Han berjalan memanggul barang belanjaan sambil bercakap-cakap.
Mereka baru saja pulang da-ri sebuah pasar di dusun kaki pegunungan untuk membeli rempa-rempa dan bumbu-bumbu masak karena persediaan di asrama telah habis.
Tiba-tiba keduanya berhenti me-langkah dan memandang ke arah kiri da-ri mana mereka mendengar suara orang membentak-bentak. "Engkau harus menjadi tawanan kami, menyerah untuk kami bawa pulang ke Tibet dan menerima keputusan pimpinan kami, atau kalau engkau tidak mau menyerah, terpaksa akan kubunuh di sini!" demikian suara yang membentak itu.
"Siancai....! Puluhan tahun yang lalu, ketika pinto masih agak muda dan bertapa di Himalaya, kalian ini para Lama sudah memburu dan membunuhi para pertapa yang tidak berdosa. Pinto ti-dak mau terlibat dan pergi mengungsi ke Kun-lun-san, dan hari ini, dalam u-sia pinto yang sudah tua, kalian tetap saja melakukan penangkapan dan pembunuhan terhadap kami yang tidak berdosa," terdengar suara yang halus menjawab.
Ciang Sun dan Kok Han sudah menu-runkan bawaan mereka dan dengan hati-hati menyelinap di antara pohon-pohon mendekati tempat itu, kemudian mereka mengintai. Kiranya dua orang pendeta Lama sedang menyeret seorang tosu tua yang kini duduk bersila di atas tanah, pakaiannya robek-robek, dan dua orang Lama itu berdiri dengan sikap mengan-cam di depannya. Dua orang Lama itu berusia sekitar limapuluh tahun, bertubuh tinggi besar, kepala mereka gundul dan pakaian mereka serba kuning dengan jubah luar berwarna merah darah.
Ada-pun tosu itu berpakaian putih, kotor dan robek di beberapa bagian, rambut-nya sudah putih semua, panjang dan di-gelung ke atas. Usia tosu itu tentu sudah tujuh puluh tahun.
"Tidak berdosa" Omitohud.... ma-na ada orang mengakui kesalahannya" Kalian ini para pertapa, sejak puluhan tahun yang lalu, di Himalaya telah mempunyai rencana jahat, berniat memberontak dan berusaha menggulingkan kekuasaan Dalai Lama dan merampas kekuasaan.
Kalau orang-orang macam kalian ini tidak dibasmi, kelak hanya akan menda-tangkan keributan saja!" bentak Lama yang ada codet bekas luka di dahinya.
"Sudahlah, untuk apa bicara panjang lebar dengan dia" Heh, tosu kepa-rat, bukankah engkau seorang di antara mereka yang berani memakai julukan Himalaya Sam Lojin (Tiga Orang Kakek Himalaya) itu dan julukanmu adalah Pek In Tosu?" teriak Lama ke dua yang mukanya bopeng.
"Siancai...., memang pinto disebut Pek In Tosu, dan kami tiga orang kakek dari Himalaya sudah bersumpah tidak akan membiarkan kebencian mengua-sai hati, apalagi memberontak."
"Aahh, tidak perlu banyak cakap lagi!" kata pula si codet. "Kalau hen-dak membela diri, nanti saja di depan pimpinan kami di Lhasa! Hayo ikut dengan kami!"
"Siancai....! Pinto sudah tua, tidak sanggup lagi melakukan perjalanan ke Tibet yang amat jauh itu. Pinto tidak bersedia ikut dengan kalian ke sana."
"Apa" Kalau begitu, kami akan membunuhmu di sini juga!" teriak si muka bopeng.
Dua orang murid Kun-lun-pai yang sejak tadi bersembunyi dan mengintai, menjadi marah sekali dan kesabaran me-rekapun hilang. Sebagai murid-murid Kun lun-pai yang sejak pertama kali masuk ke asrama itu diajarkan sikap pendekar yang menentang penindasan, tentu saja mereka marah melihat sikap dua pendeta Lama itu. Apalagi merekapun seperti murid Kun-lun-pai yang lain, sudah men-dengar akan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh sekelompok pendeta Lama sebanyak lima orang. Kabarnya, mereka itu menangkapi dan membunuhi para pertapa, terutama para tosu dan hal i-ni sudah menimbulkan perasaan tidak senang dalam hati mereka terhadap para pendeta Lama itu. Kini mereka melihat dan mendengar dengan mata dan telinga sendiri, tentu saja mereka kehabisan kesabaran. Bagaikan dikomando saja, dua orang pemuda itu melompat ke depan dua orang pendeta Lama dengan Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 39
sikap gagah. "Kalian ini adalah orang-orang tua yang sudah mencukur gundul rambut dan memakai jubah pendeta!" teriak Ciang Sun, pemuda yang bertubuh tinggi besar. "Akan tetapi tindakan kalian seperti penjahat-penjahat keji saja, hendak memaksakan kehendak kepada orang lain dengan jalan menjatuhkan fitnah keji!"
"Totiang, silakan mundur, biarlah kami berdua yang menghadapi pendeta tersesat ini!" kata Kok Han.
Sementara itu, dua orang pendeta Lama itu saling pandang, kemudian mereka menghadapi dua orang pemuda itu de-ngan alis berkerut. Si codet menyapu dua orang pemuda itu dengan pandang matanya yang liar dan tajam seperti mata harimau, dan suaranya terdengar parau dan penuh teguran.
"Hemm, kalian ini bocah-bocah ingusan dari mana berani mencampuri u-rusan orang-orang tua" Mengingat kali-an masih kanak-kanak, biarlah pinceng berdua memaafkan perbuatan kalian yang lancang ini. Pergilah sebelum kami ke-hilangan kesabaran."
"Kami bukan orang yang suka mencampuri urusan orang lain, akan tetapi kami juga bukan orang yang dapat membiarkan saja terjadinya kesewenang-wenangan dan penindasan. Sejak pertama kali menjadi murid Kun-lun-pai, kami sudah digembleng untuk menentang kejahatan seperti yang kalian lakukan sekarang ini!" kata pula Ciang Sun yang tinggi besar, bertenaga raksasa dan mukanya yang persegi membuat dia nanpak gagah sekali. Kok Han bertubuh sedang, wajahnya bulat dan tampan, apalagi dihias brewok yang terpelihara rapi, membuat diapun nampak gagah.
Dua orang Lama itu saling pandang dan tertawa, lalu Lama yang mukanya bopeng berkata,
"Ha-ha-ha, sejak kapan-kah Thian Hwa Tosu ikut-ikutan mencam-puri urusan kami dan berani menentang para Lama dari Tibet?"
Lama yang mukanya terhias codet memandang kepada dua orang pemuda itu dengan mata mencorong, lalu berkata, "Kalian dua orang anak kecil cepat kembali ke Kun-lun-pai dan sampaikan kepada ketua kalian bahwa kami, Lima Hari-mau dari Tibet, tidak ingin melihat Kun-lun-pai mencampuri urusan pribadi kami. Katakan bahwa kami berdua, Thay Ku Lama dan Thay Si Lama, yang menyuruh kalian!"
"Kami tidak diperintah oleh Suhu! Kun-lun-pai tidak tahu menahu akan tindakan kami ini!
Kami bertindak atas nama sendiri yang tidak rela melihat kalian mempergunakan kekerasan bertindak sewenang-wenang. Kalau kalian membebaskan totiang ini, baru kami mau sudah!"
kata Ciang Sun.
"Siancai....! Ji-wi kong-cu (ke-dua tuan muda) harap berhati-hati dan jangan membela pinto karena hal itu membahayakan keselamatan ji-wi sendi-ri," kata tosu itu dengan wajah khawatir.
"Biarlah totiang, kami yang ber-tanggung jawab," kata Ciang Sun, se-dangkan Kok Han sudah melangkah maju menghadapi dua orang pendeta Lama itu. "Sekali lagi, kami harap kalian pendeta-pendeta tua yang sepatutnya mencari kebaikan dan melaksanakan kebaikan di dunia ini, suka membebaskan totiang ini agar kami dua orang muda ti-dak perlu turun tangan mempergunakan kekerasan!" berkata demikian, Kok Han sudah memasang kuda-kuda dan kedua ta-ngannya dikepal. Juga Ciang Sun sudah berdiri di sebelahnya, juga memasang kuda-kuda, siap untuk bertanding!
Kembali dua orang Lama itu saling pandang, kemudian mereka tertawa dan Thay Si Lama yang bermuka bopeng berkata dengan nada mengejek, "Kami tidak akan membebaskan dia, dan hendak kami lihat kalian ini tikun-tikus cilik da-ri Kun-lun-pai dapat melakukan apakah?"
Ini merupakan tantangan dan tentu saja dua orang pemuda Kun-lun-pai itu menjadi marah, apalagi mereka disebut tikus-tikus cilik Kun-lun-pai yang berarti menghina pula perkumpulan mereka.
"Engkau memang Pendeta sesat yang jahat!" bentak Ciang Sun sambil menye-rang Thay Si Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 40
Lama si muka bopeng.
"Kalian memang patut dihajar agar tidak membikin kacau lagi di daerah Kun-lun-pai!" bentak Kok Han yang juga sudah menerjang Thay Ku Lama, yaitu pendeta Lama yang bermuka
codet. "Plak! Plak!"
Pukulan dua orang pemuda itu sama sekali tidak ditangkis oleh dua oraag Lama itu, bahkan diterima dengan dada terbuka. Kepalan kanan dua orang pemu-da itu dengan tepat mengenai dada mereka, akan tetapi apa yang terjadi" Dua orang pemuda itu terpental ke belakang dan terbanting roboh bergulingan! Ketika bangkit kembali, mereka menyeringai kesakitan karena kepalan tangan kanan mereka telah menjadi bengkak dan mem-biru! Dasar orang muda yang kurang pe-ngalaman. Hal itu tidak membuat mereka menjadi jera, bahkan mereka merasa penasaran sekali. Dengan tangan kiri, mereka mencabut pedang dari pinggang masing-masing dan mereka berduapun menyerbu ke depan, menusukkan pedang me-reka ke arah dada dua prang pendeta Lama itu,
Kini dua orang pendeta Lama itu menggerakkan tangan, menyambut pedang itu dengan tangan telanjang. Pedang dari dua orang pemuda itu bertemu dengan telapak tangan mereka yang mencengke-ram.
"Krekkk! Krekkk!" Dua batang pedang itu patah dan hancur dalam ceng-keraman dua orang kakek Lama itu dan sebelum dua orang pemuda itu hilang rasa kaget mereka, Thay Ku Lama si muka codet sudah melangkah maju, dua kali tangannya bergerak ke arah pundak dua orang murid Kun-lun-pai itu dan merekapun roboh terjungkal dan tidak mampu bergerak lagi karena jalan darah mere-ka telah tertotok! Mereka telentang dan hanya dapat memandang dengan mata melotot.
Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Thay Si Lama yang mukanya bopeng mencela temannya. "Suheng, kenapa ti-dak habiskan saja mereka ini" Dari pada kelak menjadi penyakit, biar kuha-biskan saja nyawa mereka!"
Berkata de-mikian, Thay Si Lama melangkah maju dan tangannya sudah bergerak hendak memberi pukulan maut kepada dua orang murid Kun-lun-pai yang sudah tidak berdaya itu.
"Siancai...., kalian terlalu kejam, tidak mungkin pinto tinggal diam saja!" Tiba-tiba kakek yang berpakaian putih dan rambutnya yang putih digelung ke atas itu sudah berkelebat dan nampak bayangan putih, tahu-tahu pukulan yang dilepaskan Thay Si Lama ke a-rah dua orang pemuda itu telah tertangkis.
"Dukkk!" Dua lengan bertemu dan akibatnya, Thay Si Lama terdorong ke belakang dan terhuyung. Kini mereka ber-dua berdiri menghadapi tosu itu dan muka Thay Si Lama yang bopeng itu menja-di merah padam.
"Omitohud, bagus sekali! Sekarang Pek In Tosu unjuk gigi dan melawan ka-mi!" kata Thay Ku Lama si muka codet sambil menyeringai mengejek. "Mengapa tadi pura-pura alim dan sama sekali tidak melakukan perlawanan?"
"Siancai....! Sudah puluhan tahun kami para pertapa mencoba untuk melenyapkan semua bentuk nafsu, dan kami pantang mempergunakan kekerasan. Akan tetapi, melihat betapa kalian hendak membunuh dua orang muda yang sama sekali tidak berdosa, bagaimana
mungkin pinto mendiamkannya saja" Kalian telah menghajar dua orang bocah ini untuk kelancangan mereka, akan tetapi kenapa hendak kalian bunuh" Apakah kalian ju-ga sudah siap untuk menentang Kun-lun-pai?"
"Pek In Tosu, semua orang tahu bahwa engkau adalah seorang di antara Himalaya Sam Lojin yang kabarnya memiliki ilmu kesaktian luar biasa. Akan tetapi jangan mengira kami Lima Hari-mau Tibet akan gentar menghadapimu. Nah, keluarkanlah kesaktianmu karena kami hendak membunuh engkau dan juga dua orang bocah ini!" kata Thay Ku La-ma dan pendeta Lama yang mukanya codet dan perutnya gendut itu tiba-tiba memasang kuda-kuda yang aneh, yaitu seperti orang berjongkok, kedua lengan ditekuk dengan tangan membentuk cakar, te-lentang di kanan kiri dada, dan perut-nya yang gendut itu makin lama semakin
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 41
menggembung ketika dia menyedot napas sebanyaknya sampai keluar suara angin berdesis.
Lalu dari dalam perutnya terdengar suara "kok-kok!" dan kedua ta-ngan yang tadinya telentang itu kini menelungkup perlahan-lahan, seluruh tubuhnya tergetar dan seluruh syarafnya menegang karena dia siap melancarkan pukulan maut yang amat dahsyat.
Agak-nya, menghadapi seorang di antara Himalaya Sam Lojin, Lama yang mukanya co-det dan perutnya gendut ini hendak mengeluarkan ilmu simpanannya agar de-ngan sekali pukul atau sekali serang dia sudah akan mampu merobohkan lawan-nya yang dia duga tentu lihai sekali.
Diam-diam Pek In Tosu terkejut. Dia sudah pernah mendengar akan ilmu yang kini
diperlihatkan lawannya itu. Itu adalah sejenis pukulan jarak ja-uh yang mengandalkan sin-kang dan khi-kang, yang dinamakan Hek-in Tai-hong-ciang (Tangan Sakti Awan Hitam dan Ba-dai). Dari perut gendut yang menggem-bung itulah datangnya dorongan tenaga sakti yang amat ampuh. Maklum bahwa lawan telah mengeluarkan ilmu simpanan-nya, siap
menyerangnya, Pek In Tosu berkata lembut.
"Siancai...., pinto melanggar pantangan, semoga mendapat pengampunan....!" Dan kakek inipun menggerakkan kedua lengannya, diputar seperti mem-bentuk bulatan-bulatan yang saling do-rong, tubuhnya makin direndahkan dan kedua kakinya dipentang lebar, lalu kedua tangannya berhenti bergerak, sa-ling bertemu di depan dada seperti me-nyembah dan diapun sudah siap menanti serangan dahsyat dari lawannya.
Bunyi kok-kok-kok dari perut Thay Ku Lama semakin keras dan semakin ce-pat dan dari kedua telapak tangannya mengepul uap hitam! Telapak tangan i-tupun berubah kehitaman.
Sungguh dahsyat bukan main ilmu ini, dahsyat dan amat berbahaya bagi lawan. Pek In Tosu melihat ini semua, namun dia masih tetap tenang saja, bukan tanang meman-dang rendah, melainkan tenang menghe-dapi apapun yang terjadi dan yang akan menimpa dirinya.
Tiba-tiba Thay Ku Lama yang membuat kuda-kuda seperti seekor katak i-tu, menerjang dan tubuhnya meloncat ke atas depan, bunyi kok-kok semakin ke-ras dan tiba-tiba ada angin besar sekali menyambar ke arah Pek In Tosu dan angin keras itu membawa tenaga pukulan dahsyat dan uap hitam! Bakan main dahsyatnya serangan ini. Angin itu saja mengandang tenaga sakti yang amat ku-at dan mampu merobohkan lawan, asap hitam itupun mengandung racun yang berbahaya, apa lagi kalau tubuh lawan sam-pai tersentuh oleh kedua telapak tangan hitam itu.
Akan tetapi, tiba-tiba dari kedua telapak tangan Pek In Tosu keluar asap putih! Itulah ilmu kesaktian Pek In Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih) yang menyambar ke depan,
menyambut a-ngin dan asap hitam dari pukulau lawan. Kaki kakek tua itu bergeser ke kiri dan kedua tangannya membuat gerakan memutar dari kiri, menangkis kedua ta-ngan lawan yang digerakkan lurus ke depan seperti orang mendorong daun pin-tu.
"Plak! Plakk!" Dua pasang tangan bertemu, dan akibatnya, tubuh gendut dari Thay Ku Lama terpelanting ke kiri.
Akan tetapi, kuda-kuda Pek In Tosu ju-ga terguncang sehingga kakek itu terpaksa melangkah mundur tiga langkah untuk mengembalikan keseimbangan tubuhnya. Pada saat itu, dari arah kanan Thay Si Lama telah menyerangnya. Lama bermuka bopeng ini juga lihai bukan main dan begitu menyerang, dia telah mengeluarkan ilmu simpanannya yaitu yang disebut Sin-kun Hoat-lek (Ilmu Sihir Silat Sakti). Bukan saja kedua tangan itu membagi-bagi tamparan dan totokan maut, akan tetapi juga dari kedua te-lapak tangan itu keluar angin pukulan dahsyat yang mengeluarkan suara bercu-itan, dan juga mengandung tenaga muji-jat dari ilmu sihir yang membuat kedua tangan itu seolah-olah berubah menjadi puluhan banyaknya dan
menyerang dari semua sudut!
Melihat ini, Pek In Tosu memuji dan berseru, "Siancay....!" Dilanjut-kan dengan pembacaan mantram dan diapun tetap mempergunakan ilmu pukulan sakti Pek In Sin-ciang. Terjadilah pertandingan silat yang aneh dan seru. Semua sambaran tangan Thay Si Lama yang disertai hawa mujijat itu seperti ter-tolak mundur semua oleh awan putih yang keluar dari kedua Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 42
telapak tangan Pek In Tosu. Bahkan kini asap atau a-wan putih semakin besar dan semakin tebal, mendesak Thay Si Lama yang mulai main mundur! Melihat ini, Thay Ku La-ma
mengeluarkan suara kok-kok-kok lagi dan diapun membantu sutenya, mengero-yok Pek In Tosu!
Dikeroyok dua oleh dua orang Lama yang sakti itu, Pek In Tosu yang sudah tua sekali itu kelihatan terdesak! Se-betulnya dengan tenaga sin-kangnya yang setingkat lebih kuat, dan keringanan tubuhnya yang memudahkan dia untuk berkelebat menghindarkan diri dari pukulan-pukulan daheyat kedua orang lawannya, Pek In Tosu tidak perlu terdesak. Namun, usianya sudah tujuh puluh tahun dan tubuhnya sudah mulai lemah dimakan uiia, juga selama puluhan tahun ini dia tidak pernah bertanding, maka tentu saja dia kewalahan dan akhirnya terdesak. Kedua orang lawannya, dua orang pendeta Lama yang usianya baru lima puluhan tahun itu, agaknya memang terlatih dan mereka seringkali berkelahi maka gerakan mereka lebih lincah dan juga daya tahan mereka lebih kuat.
Tiba-tiba Pek-sin Tosu berseru, "Siancai....!" dan dia lalu duduk ber-sila di atas tanah! Thay Ku Lama dan Thay Si Lama tertegun menahan gerakan mereka, terheran-heran melihat lawan mereka kini tiba-tiba duduk bersila dan memejamkan mata seperti orang bersamadhi, kedua telapak kaki telentang di atas paha, itulah duduk bersila da-lam kedudukan Teratai yang kokoh kuat. Mereka mengira bahwa kakek itu sudah kelelahan dan pasrah mati maka
keduanya lalu saling pandang dan Thay Ku Lama menghantamkan tangan kanannya ke a-rah ubun-ubun kepala Pek In Tosu. Ilmu Hek-in Tai-hong-ciang hanya dapat dilakukan dalam keadaan berjongkok menye-rang ke atas, ke arah lawan yang berdiri. Kini lawannya duduk bersila, maka tentu saja dia tidak dapat menggunakan tenaga katak sakti itu! Dia menghantam dengan telapak tangan terbuka ke arah ubun-ubun kepala dan kalau mengenai sasaran, tak dapat diragukan lagi lawan-nya tentu akan tewas seketika!
Pek In Tosu mengangkat tangan ki-rinya menangkis.
"Dukkk!" Tubuh Thay Ku Lama terpental! Kiranya kakek tua renta itu duduk bersila bukan karena putus harapan dan menerima binasa, melainkan dia mengam-bil sikap bertahan dan melindungi tu-buhnya secara yang paling istimewa dan paling kuat! Kedudukan seperti Teratai itu memang merupakan cara bersila yang paling kokoh kuat seperti piramida, dan seolah-olah kakek itu dapat menye-dot hawa bumi yang membuat tubuhnya kuat sekali dan tangkisannya membuat la-wan terpental! Thay Si Lama menjadi penasaran dan diapun menyerang dari arah belakang. Akan tetapi, kembali Pek In Tosu menangkis, tangannya diangkat ke arah belakang dan begitu kedua tangan bertemu, tubuh Thay Si Lama terpental dan terhuyung!
Dua orang pendeta Lama itu menja-di semakin penasaran. Mereka adalah dua orang tokoh yang kenamaan, dua di antara Lima Harimau Tibet yang sudah amat terkenal. Sejak belasan tahun ini mereka adalah tulang punggung dari pemerintahan Dalai Lama. Merekalah yang menjaga kedaulatan dan kekuasaan Dalai Lama sehingga ditaati oleh jutaan orang ma-nusia!
Selama ini, belum pernah Harimau Tibet bertemu tanding. Mustahil kalau kini, menghadpi seorang pertapa tua renta saja, mereka sampai tidak mampu merobohkan, padahal pertapa itu kini sama tidak dapat membalas lagi, hanya duduk bersila sambil membela diri!
Namun, berkali-kali menyerang, baik bergantian maupun berbareng dan hasilnya sama saja.
Setiap kali ditangkis, mereka terpental dan terhu-yung, bahkan pernah hampir terjengkang.
Agaknya, makin keras mereka mempergunakan tenaga, semakin kuat pula tolakan Pek In Tosu yang menangkis mereka. Ke-duanya saling pandang, memberi isarat dengan kedipan mata dan tiba-tiba merekapun menghentikan serangan mereka dan berdiri di depan dan belakang Pek In Tosu dalam jarak kurang lebih tiga me-ter. Kemudian, mulailah mereka berjalan mengitari kakek yang duduk bersila itu dan keduanya mulai mengeluarkan lagu-lagu pujaan atau nyanyian yang biasa-nya mereka nyanyikan di dalam kuil me-reka untuk memuja para dewa. Akan tetapi, lagu yang mereka nyanyikan ini la-in lagi, ada hubungannya dengan Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 43
ilmu sihir dan nyanyian ini bukan untuk me-muja para dewa saja, melainkan juga untuk mengundang setan dan meminjam kekuasaan setan untuk mengalahkan musuh!
Suara nyanyian itu aneh dan menyeram-kan. Suara Thay Ku Lama parau dan besar, dan kadang-kadang di dalam suara-nya ada selingan suara kok-kok-kok se-perti kalau dia mengerahkan ilmu Hek-in Tai-hong-ciang, sedangkan suara Thay Si Lama yang bermuka bopeng itu tinggi mencicit seperti suara seekor tikus yang terjepit. Suara nyanyian itu bu-kan suara sembarangan, melainkan dike-luarkan dengan tenaga khi-kang dan si-hir, suara itu makin lama semakin menggetar dan berirama, dan dua orang pen-deta Lama itu bernyanyi sambil melangkah mengelilingi tubuh Pek In Tosu dan kini kepala mereka menggeleng-ge-leng menurutkan irama lagu mereka! Aneh memang! Makin lama, nyanyian mere-ka itu seolah-olah terseret oleh gelombang suara nyanyian mereka.
Mula-mula, tubuh Pek In Tosu gemetar, kemudian, dari kepalanya keluar uap putih tipis yang membubung ke atas. Itulah tandanya bahwa dia sedang berjuang mati-matian untuk melawan pengaruh hebat dari nyanyian itu! Pek In Tosu bukanlah seorang yang lemah batinnya.
Sebaliknya, karena hasil samadhi yang berpuluh tahun, dia memiliki batin yang amat kuat dan tidak mudah dia dipenga-ruhi kekuatan apapun dari luar. Namun, diserang oleh kekuatan suara itu, dia harus mengerahkan seluruh tenaga batinnya untuk tidak terpengaruh. Suara itu tetap saja terdengar biarpun dia beru-saha mematikan pendengarannya, seolah-olah suara itu mempunyai kekuatan gaib untuk menembus dirinya tanpa melalui alat pendengaran! Dan getaran yang disebabkan suara itu membuat tubuhnya gemetar. Diapun lalu melawan, mengerahkan khi-kang dan dari kepalanya keluar uap putih yang makin lama semakin menebal. Akan tetapi, pertahanannya agaknya go-yah karena perlahan-lahan akan tetapi pasti, kepala Pek In Tosu mulai bergo-yang-goyang perlahan-lahan! Makin la-ma, goyangan kepala Pek In Tosu sema-kin nyata dan mengarah geleng-geleng kepala seperti yang dilakukan oleh dua orang penyerangnya!
Keadaan kakek tua renta itu kini gawat sekali. Ilmu yang dilakukan oleh dua orang itu adalah semacam ilmu I-hu-to-hoat (hypnotism) melalui pengaruh suara yang mengandung sihir.
Kalau Pek In Tosu sudah benar-benar mengikuti irama nyanyian itu berarti dia sudah kena dicengkeram dan tentu dia akan mudah dirobohkan dan dibunuh karena semangatnya seolah-olah sudah di dalam cengkeraman kekuasaan dua orang pendeta Lama itu!
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan nyawa Pek In Tosu itu, tiba-tiba di dalam kesunyian tempat yang amat sepi itu terdengar suara yang memecahkan kesunyian. Tadinya hanya suara nyanyian aneh kedua orang pendeta Lama itu yang terdengar, dengan irama yang semakin mantap. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara tak-tok-tak-tok yang nyaring, suara bambu dipukul-pukulkan pada batu! Suara inipun nyaring sekali, tidak kalah oleh nyaringnya suara nyanyian, dan berirama pula, akan tetapi iramanya sama sekali tidak serasi dengan irama nyanyian dua orang pendeta Lama! Bahkan sebaliknya, irama tak-tok-tak-tok itu menjadi lawan dan menjadi kebalikannya dan tentu saja kini terdengar suara yang kacau balau karena irama nyanyian itu bertabrakan dengan irama bambu yang dipukul-pukul batu.
Siapakah yang memukuli batu dengan bambu itu"
Tak jauh dari situ nampak seorang anak laki-laki yang menggunakan sepotong bambu memukuli batu besar di depannya. Irama pukulan bambu itu bertolak belakang dengan irama nyanyian dua orang pendeta Lama, maka tentu saja hal ini mengganggu konsentrasi, bahkan mengacaukan "paduan suara" antara mereka. Dua orang pendeta Lama itu terkejut dan marah, dan mereka cepat-cepat menyesuaikan irama nyanyian mereka dengan ketukan irama bambu, karena kalau irama mereka bersatu, maka kekuatan daya serangan dari suara mereka akan menjadi semakin mantap dan besar. Seperti orang bernyanyi yang diiringi musik, akan menjadi semakin enak didengar dan menghanyutkan. Sejenak mereka berhasil dan nyanyian mereka itu menjadi semakin mantap, dan kini Pek In Tosu makin mengikuti bunyi nyanyian itu, mengikuti iramanya dengan geleng-geleng kepa-la! Akan tetapi hanya sebentar saja Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 44
karena ketukan bambu itu kini berubah lagi iramanya, kembali menjadi berlawan-an dengan irama nyanyian dua orang pendata Lama, bahkan kini ketukannya men-jadi keras dan iramanya sengaja dibuat kacau-balau, kadang-kadang cepat, ka-dang-kadang sedang dan berubah lagi menjadi lambat, kadang-kadang iramanya satu-satu, dua-dua, berubah menjadi satu-dua satu-tiga, dua-tiga dan sebagainya. Tentu saja tidak mungkin bagi dua orang kakek Lama untuk menyesuaikan lagi irama nyanyian mereka dan kini bu-nyi-bunyian yang
terdengar demikian kacau balau sehingga daya hanyutnya men-jadi kacau dan lemah sekali, dan Pek In Tosu, seperti orang yang baru sa-dar bahwa tadi dia telah hanyut, kini nampak duduk bersila dengan tegak lu-rus dan sama sekali tidak bergerak! Dari kepalanya juga tidak lagi keluar u-ap putih, dan kepalanya tidak lagi di-geleng-gelengkan. Bahkan dua orang pendeta Lama yang tadinya mengitari Pek In Tosu sambil bernyanyi dan mengge-leng-geleng kepala memantapkan irama nyanyian mereka, kini langkah-langkah kaki mereka kacau, dan gelengan kepala mereka ngawur dan kacau, kaku dan ka-dang-kadang keliru menjadi angguk-ang-gukan!
Anak laki-laki itu berusia kurang lebih tiga belas tahun dengan pakaian yang sudah kumal den robek-robek seperti pakaian seorang gelandangan. Rambutnya panjang den tidak terawat, awut-awutan, sebagian menutupi dahi dan mu-kanya. Wajah itu tidak buruk, bahkan
bentuknya tampan, matanya lebar dan memiliki sinar terang, sepasang mata yang jernih dan jeli seperti mata burung Hong, namun wajah itu mendatangkan ra-sa iba bagi yang
melihatnya. Punggung-nya bongkok dan agaknya ada daging me-nonjol di punggung itu.
Anak itu bukan lain adalah Sie Liong! Seperti kita ketahui, Sie Liong merasa selalu berduka dan gelisah se-jak terjadi peristiwa perkelahian antara dia yang membantu Yauw Bi Sian melawan Lu Ki Cong dan kawan-kawannya. Dia menerima kemarahan dari cihu-nya, bah-kan menerima pukulan yang membuat kepalanya berdenyut nyeri dan punggungnya lebih nyeri lagi. Dan dia mendengar bahwa Lu Ki Cong, putera Lu-ciangkun komandan pasukan
keamanan di kota Sung-jan itu bahkan telah disepakati akan menjadi calon jodoh Bi Sian!
Semenjak itu, hatinya selalu merasa tidak tenang, apalagi ketika mere-ka melakukan sembahyangan dan dia men-dengar bahwa ayah ibunya meninggal du-nia karena penyakit menular di dusun mereka, yaitu Tiong-cin, hatinya mera-sa semakin berduka dan gelisah.
Pada suatu malam, ketika dia tidak dapat pulas dan selalu gelisah, dia meninggal-kan kamarnya yang berada di ujung belakang, lalu berjalan ke kebun samping rumah. Tiba-tiba dia mendengar suara encinya bercakap-cakap dengan cihu-nya dan dari suara cihu-nya, dia tahu bahwa cihu-nya itu sedang marah dan suaranya keras! Memang kamar enci dan cihu-nya itu menghadap ke kebun dan suara itu keluar melalui celah-celah jendela me-reka yang tertutup. Kamar Bi Sian ber-ada di sebelah lagi, dan jendela kamar gadis cilik itu telah gelap, tanda bahwa ia tentu telah tidur. Sebaliknya, dari jendela kamar encinya nampak cahaya lampu belum dipadamkan.
"Jelas bahwa dia salah besar!" terdengar suara cihu-nya membentak nyaring. "Pertama, dia mencuri belajar ilmu si-lat padahal sudah kularang dia belajar silat! Ke dua, dia berani mencari keributan dan berkelahi dengan anak-anak, bahkan memukul dan menggigit putera Lu-ciangkun yang hendak kujodohkan dengan Bi Sian. Anak itu memang keterla-luan, dan engkau bahkan membela anak bongkok jelek itu!"
"Apa" Bongkok jelek katamu" Ja-ngan kaukira aku tidak tahu bahwa eng-kaulah yang membuat dia menjadi bong-kok!"
"Eh" Apa yang kaukatakan itu?" cihu-nya bertanya kaget, sama kagetnya dengan dia sendiri mendengar ucapan encinya itu.
"Ya, engkau yang membuat dia men-jadi bongkok! Karena engkau takut kepadanya! Itu pula sebabnya engkau mela-rang dia belajar silat. Engkau takut kepadanya!"
"Ssttt....! Lan Hong, apa yang kaukatakan ini?"
Terdengar encinya menangis. "Setelah.... setelah apa yang kulakukan untukmu semua....
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 45
setelah kuserahkan badanku, Cintaku, kesetiaanku padamu, hanya dengan harapan agar adikku diselamatkan...., masih kurang besarkah pengorbananku" Dia sudah menjadi
bong-kok, cacat, dan engkau.... masih juga membencinya?"
"Kau keliru, Lan Hong. Engkau tahu bahwa akupun suka padanya, hanya aku...., benarlah, aku khawatir dan kaupun tahu betapa aku cinta padamu. Aku telah merobah hidupku, mencari nama baik dan kedudukan yang terpandang. Semua ini untukmu dan untuk Bi Sian.
Akan tetapi adikmu itu.... dia seakan-akan menjadi penghalang kebahagiaan kita.... aku selalu khawatir dan kadang--kadang aku bermimpi buruk, tak dapat tidur...."
Hening sejenak, lalu terdengar encinya berkata lirih. "Aku dapat memaklumi perasaan hatimu, akan tetapi.... aku tetap menuntut agar adikku yang tunggal itu tidak diganggu!"
"Lan Hong, demi kebahagiaan kita, anak itu harus disingkirkan."
"Apa?" Encinya setengah menjerit. "Maksud.... maksudmu....?"
"Biar kutitipkan dia di sebuah kuil besar, agar di sana dia dapat menjadi seorang kacung, dan mudah-mudahan kelak dia menjadi seorang hwesio. Bu-kankah hal itu amat baik baginya"
Men-jadi seorang hwesio adalah kedudukan yang terhormat, mulia dan disegani orang."
"Ahhh.... tapi.... tapi...."
"Tidak ada tapi lagi, isteriku yang manis. Bukankah engkau menghendaki agar kebahagiaan kita tidak tergang-gu dan keselamatan adikmu terjamin pu-la?"
Setelah hening sampai lama, enci-nya berkata, "Baiklah, akan tetapi aku harus tahu di kuil mana dia dititip-kan, dan aku dapat mengunjunginya dan menjenguknya sewaktu-waktu...."
Sie Liong tidak mendengarkan terus. Cepat dia kembali ke kamarnya dan dia duduk di atas pembaringannya dengan muka pucat dan bengong. Ingin rasanya dia menangis, menjerit-jerit sa-king nyeri rasa hatinya. Akan tetapi dia bertahan, bahkan menutupi mulutnya yang mulai terisak-isak itu dengan bantal.
Dia hendak disingkirkan" Dititipkan dalam kuil" Tidak! Dia tidak akan menyusahkan cihunya lagi! Dia tidak akan membuat encinya cekcok dengan suami encinya. Bagaimanapun juga, dia dapat menduga bahwa cihu-nya tidak suka kepadanya, bahkan membencinya.
Bukankah encinya mengatakan bahwa cihu-nya yang membuat dia menjadi bongkok" Ucapan ini mengejutkan dan juga membuat dia terheran-heran dan tidak mengerti. Dan cihunya takut kepadanya" Menggelikan dan mustahil! Cihunya, yang demikian gagah perkasa, yang tinggi ilmu silatnya, takut kepadanya, seorang anak bongkok yang lemah" Dan mengapa pula mesti takut" Tidak, dia tidak akan menyusahkan mereka lagi. Dia mengeraskan hatinya dan menghentikan tangisnya, lalu dengan perlahan-lahan agar gerak-geriknya tidak terdengar dari luar, dia mengumpulkan pakaiannya, membungkusnya dengan kain menjadi buntalan yang cu-kup besar. Kemudian dia menulis sehelai surat di atas mejanya.
Enci Lan Hong dan cihu,
Maafkan saya. Saya pergi tanpa pamit, hendak kembali ke dusun Tiong-cin di utara, selamat tinggal.
Sie Liong. Biarpun dia baru berusia tiga belas tahun, namun Sie Liong yang bongkok i-tu memiliki otak yang cerdik. Dengan sengaja dia meninggalkan surat, menu-lis bahwa dim hendak pergi ke Tiong-cin. Padahal, setelah dia meninggal-kan rumah cihu-nya membawa buntalan di punggungnya yang bongkok, dia sama se-kali tidak pergi ke utara, melainkan ke selatan!
Akan tetapi, dia sengaja keluar dari pintu gerbang kota itu se-belah utara, dan sengaja melalui jalan yang ramai sehingga nampak oleh beberapa orang ketika dia pergi melalui pin-tu gerbang kota sebelah utara. Begitu tiba di luar pintu gerbang, memasuki malam yang gelap, dia lalu menyelinap dan mengambil jalan memutar, melalui sawah yang sunyi, mengelilingi tembok kota itu dan melanjutkan perjalanan menuju ke selatan! Tidak ada seorangpun yang Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 46
melihatnya karena selain waktu sudah lewat tengah malam, juga Sie Liong dengan hati-hati sekali mengambil ja-lan sunyi yang sudah dikenalnya.
Perhitungan anak ini memang tepat sekali. Pada keesokan harinya, ketika mendapatkan surat Sie Liong di atas meja, Lan Hong menangis sedih dan suami-nya cepat melakukan pengejaran ke uta-ra tentu saja! Apa lagi ketika Yauw Sun Kok mendengar keterangan beberapa orang yang sempat melihat Sie Liong di malam hari itu, membawa buntalan menu-ju ke pintu gerbang utara. Dari para petugas jaga di pintu gerbangpun dia mendengar bahwa memang benar anak bongkok itu semalam lewat dan keluar dari pintu gerbang itu menuju ke utara, melalui jalan besar.
Yauw Sun Kok melakukan perjalanan cepat, berkuda, mengejar terus ke uta-ra. Akan tetapi sampai sehari dia melakukan perjalanan, belum juga dia berhasil menyusul Sie Liong!
Tadinya dia mengira bahwa tentu anak itu mendapatkan boncengan ke utara, akan tetapi sete-lah sehari dia gagal, dia kembali lagi dan kehilangan jejak anak itu. Tidak ada orang yang melihatnya, dan dia mengira bahwa tentu anak itu telah meng-ambil jalan menyimpang. Akan tetapi jalan yang mana dan ke kanan atau ki-ri" Akhirnya, diapun pulang dengan wa-jah lesu.
Dia tidak begitu susah di-tinggal pergi adik isterinya itu, akan tetapi ada dua hal yang membuatnya ge-lisah. Pertama, isterinya tentu akan berduka, dan ke dua, dan ini yang amat mengganggunya, dia tetap mengkhawatir-kan kalau-kalau kelak Sie Liong akan membalas dendam atas kematian kedua o-rang tuanya. Akan tetapi, apa yang perlu ditakutinya" Anak itu bongkok dan cacat! Seperti telah diduganya, isterinya menjadi berduka dan dia harus ber-usaha keras untuk menghibur hati iste-rinya, mengatakan bahwa Sie Liong su-dah cukup dewasa untuk mengurus diri-nya sendiri, dan bahwa kebetulan seka-li Sie Liong pergi karena kehendak sendiri, jadi mereka tidak perlu menyuruh-nya atau membawanya pergi.
Demikianlah, Sie Liong melakukan perjalanan seorang diri, manuju ke se-latan. Dia selalu menghindarkan diri agar jangan bertemu orang selama beberapa hari itu, agar tidak ada orang dari kota Sung-jan yang akan melihatnya dan kemudian melaporkannya kepada cihu-nya. Dia memilih jalan liar melalui hutan-hutan dan pegunungan dan inilah yang mencelakakan dia.
Kurang lebih sebulan sesudah dia meninggalkan rumah encinya, dia berja-lan melalui sebuah hutan besar pada suatu pagi yang sejuk. Setiap harinya Sie Liong melakukan perjalanan dan dia ma-kan darimana saja. Kadang-kadang dia mendapat belas kasihan orang yang
memberinya makan, dan ada kalanya dia ha-rus menjual beberapa potong pakaiannya untuk ditukar dengan makanan. Bahkan pernah dia hanya makan sayur-sayur yang didapatkannya di ladang orang untuk sekedar menahan lapar. Malam tadi, ada seorang petani yang baik hati menerimanya di rumahnya. Sie Liong membantu petani itu membelah kayu bakar den dia-pun mendapatkan tempat tidur dan makan malam yang cukup mengenyangkan perut-nya. Bahkan pagi tadi ketika dia pergi, keluarga petani itu memberinya sarapan dan memberinya bekal roti kering dan sayur asin kering! Maka, pagi itu Sie Liong berjalan dengan tegap dan kaki ringan, hatinya gembira karena semalam dia mendapatkan bahwa masih banyak o-rang yang baik hati di dunia ini. Kehangatan yang dirasakannya ketika keluarga petani itu menerimanya membuat dia merasa bahagia di pagi hari itu.
Tiba-tiba dia dikejutkan oleh munculnya lima orang yang berloncatan dari balik batang-batang pohon. Lima orang itu berwajah bengis menyeramkan. Kalau saja mereka itu tidak berpakaian, tentu Sie Liong akan mengira mereka binatang-binatang sebangsa kera besar.
Tubuh dan pakaian mereka kotor dan pandang mata mereka bengis den buas. Akan tetapi karena mereka berpakaian, maka Sie Liong kehilangan kekagetannya den tersenyum kepada mereka.
"Aih, paman sekalian membikin ka-get saja padaku," katanya sambil membetulkan letak buntalan di punggungnya.
"Huh, kiranya hanya anak anjing buduk!" kata seorang.
"Anjing cilik, punggungnya bongkok lagi!" kata orang ke dua.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 47
Wajah Sie Liong menjadi merah dan dia memandang kepada dua orang itu de-ngan mata melotot penuh kemarahan. "Paman-paman adalah orang-orang dewasa, kenapa suka
menghina anak-anak" Punggungku memang bongkok, apa sangkut pautnya dengan kalian"
Kurasa bongkokku tidak merugikan orang lain termasuk kalian!"
"Wah, anjing cilik gonggongnya sudah nyaring!" teriak seorang di antara mereka, yang mukanya penuh brewok dan matanya lebar kemerahan. Dia adalah pemimpin gerombolan itu dan kini dia menghampiri Sie Liong dengan golok besar di tangan kanan. Golok itu berkilauan saking tajamnya dan si brewok sudah menempelkan mata golok ke leher Sie Liong. Terasa oleh Sie Liong betapa golok itu tajam sekali menempel di kulit lehernya.
Sedikit saja digerakkan, tentu lehernya akan putus! Akan tetapi, sedikitpun dia tidak merasa gentar, bahkah dia molotot dengan marah, walaupun maklum bahwa dia tidak berdaya dan melawanpun berarti hanya membunuh diri.
"Anjing galak, apakah engkau i-ngin mampus dengan leher buntung?" bentak si brewok.
"Hayo jawab!"
Betapapun marahnya, Sie Liong maklum bahwa orang ini jahat dan kejam luar biasa dan kalau dia tidak menjawab, orang ini akan marah dan bukan mustahil lehernya akan
disembelih. Maka dia menggeleng sambil berkata dengan suara lirih, bukan karena takut melainkan karena hati-hati agar suaranya tidak terdengar menyatakan kemarahan hatinya.
"Tidak."
"Ha-ha-ha! Kalau begitu biarlah kepalamu masih menempel di tubuhmu, a-kan tetapi buntalanmu harus kautinggalkan!" berkata demikian, dengan tangan kirinya kepala
gerombolan itu merenggut buntalan pakaian Sie Liong lepas dari punggungnya, lalu mondorong sehingga anak itu terjengkang dan kepalanya ter-banting ke atas tanah dengan kerasnya. Sie Liong merasa kepalanya pening, akan tetapi dia cepat bangkit dan berkata dengan suara yang tak dapat disembunyikan lagi kemarahannya.
"Milikku hanya itu, pakaian-pakaian untuk pengganti. Kembalikan, kalian orang-orang jahat!"
Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat, terbelalak menghampiri Sie Liong de-ngan marah. "Apa" Engkau ini masih belum cukup dihajar
rupanya!" Tangannya meralh dan terdengar suara membrebet ketika dia merenggut pakaian yang me-nempel di tubuh Sie Liong. Pakaian itu robek dan terlepas sehingga anak itu kini telanjang bulat! Lima orang itu tertawa bergelak.
Dia hendak disingkirkan" Dititipkan dalam kuil" Tidak! Dia tidak akan menyusahkan cihunya lagi! Dia tidak akan membuat encinya cekcok dengan suami encinya. Bagaimanapun juga, dia dapat menduga bahwa cihu-nya tidak suka kepadanya, bahkan membencinya.
Bukankah encinya mengatakan bahwa cihu-nya yang membuat dia menjadi bongkok" Ucapan ini mengejutkan dan juga membuat dia terheran-heran dan tidak mengerti. Dan cihunya takut kepadanya" Menggelikan dan mustahil! Cihunya, yang demikian gagah perkasa, yang tinggi ilmu silatnya, takut kepadanya, seorang anak bongkok yang lemah" Dan mengapa pula mesti takut" Tidak, dia tidak akan menyusahkan mereka lagi. Dia mengeraskan hatinya dan menghentikan tangisnya, lalu dengan perlahan-lahan agar gerak-geriknya tidak terdengar dari luar, dia mengumpulkan pakaiannya, membungkusnya dengan kain menjadi buntalan yang cu-kup besar. Kemudian dia menulis sehelai surat di atas mejanya.
Enci Lan Hong dan cihu,
Maafkan saya. Saya pergi tanpa pamit, hendak kembali ke dusun Tiong-cin di utara, selamat tinggal.
Sie Liong. Biarpun dia baru berusia tiga belas tahun, namun Sie Liong yang bongkok i-tu memiliki otak Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 48
yang cerdik. Dengan sengaja dia meninggalkan surat, menu-lis bahwa dim hendak pergi ke Tiong-cin. Padahal, setelah dia meninggal-kan rumah cihu-nya membawa buntalan di punggungnya yang bongkok, dia sama se-kali tidak pergi ke utara, melainkan ke selatan!
Akan tetapi, dia sengaja keluar dari pintu gerbang kota itu se-belah utara, dan sengaja melalui jalan yang ramai sehingga nampak oleh beberapa orang ketika dia pergi melalui pin-tu gerbang kota sebelah utara. Begitu tiba di luar pintu gerbang, memasuki malam yang gelap, dia lalu menyelinap dan mengambil jalan memutar, melalui sawah yang sunyi, mengelilingi tembok kota itu dan melanjutkan perjalanan menuju ke selatan! Tidak ada seorangpun yang melihatnya karena selain waktu sudah lewat tengah malam, juga Sie Liong dengan hati-hati sekali mengambil ja-lan sunyi yang sudah dikenalnya.
Perhitungan anak ini memang tepat sekali. Pada keesokan harinya, ketika mendapatkan surat Sie Liong di atas meja, Lan Hong menangis sedih dan suami-nya cepat melakukan pengejaran ke uta-ra tentu saja! Apa lagi ketika Yauw Sun Kok mendengar keterangan beberapa orang yang sempat melihat Sie Liong di malam hari itu, membawa buntalan menu-ju ke pintu gerbang utara. Dari para petugas jaga di pintu gerbangpun dia mendengar bahwa memang benar anak bongkok itu semalam lewat dan keluar dari pintu gerbang itu menuju ke utara, melalui jalan besar.
Yauw Sun Kok melakukan perjalanan cepat, berkuda, mengejar terus ke uta-ra. Akan tetapi sampai sehari dia melakukan perjalanan, belum juga dia berhasil menyusul Sie Liong!
Tadinya dia mengira bahwa tentu anak itu mendapatkan boncengan ke utara, akan tetapi sete-lah sehari dia gagal, dia kembali lagi dan kehilangan jejak anak itu. Tidak ada orang yang melihatnya, dan dia mengira bahwa tentu anak itu telah meng-ambil jalan menyimpang. Akan tetapi jalan yang mana dan ke kanan atau ki-ri" Akhirnya, diapun pulang dengan wa-jah lesu.
Dia tidak begitu susah di-tinggal pergi adik isterinya itu, akan tetapi ada dua hal yang membuatnya ge-lisah. Pertama, isterinya tentu akan berduka, dan ke dua, dan ini yang amat mengganggunya, dia tetap mengkhawatir-kan kalau-kalau kelak Sie Liong akan membalas dendam atas kematian kedua o-rang tuanya. Akan tetapi, apa yang perlu ditakutinya" Anak itu bongkok dan cacat! Seperti telah diduganya, isterinya menjadi berduka dan dia harus ber-usaha keras untuk menghibur hati iste-rinya, mengatakan bahwa Sie Liong su-dah cukup dewasa untuk mengurus diri-nya sendiri, dan bahwa kebetulan seka-li Sie Liong pergi karena kehendak sendiri, jadi mereka tidak perlu menyuruh-nya atau membawanya pergi.
Demikianlah, Sie Liong melakukan perjalanan seorang diri, manuju ke se-latan. Dia selalu menghindarkan diri agar jangan bertemu orang selama beberapa hari itu, agar tidak ada orang dari kota Sung-jan yang akan melihatnya dan kemudian melaporkannya kepada cihu-nya. Dia memilih jalan liar melalui hutan-hutan dan pegunungan dan inilah yang mencelakakan dia.
Kurang lebih sebulan sesudah dia meninggalkan rumah encinya, dia berja-lan melalui sebuah hutan besar pada suatu pagi yang sejuk. Setiap harinya Sie Liong melakukan perjalanan dan dia ma-kan darimana saja. Kadang-kadang dia mendapat belas kasihan orang yang
memberinya makan, dan ada kalanya dia ha-rus menjual beberapa potong pakaiannya untuk ditukar dengan makanan. Bahkan pernah dia hanya makan sayur-sayur yang didapatkannya di ladang orang untuk sekedar menahan lapar. Malam tadi, ada seorang petani yang baik hati menerimanya di rumahnya. Sie Liong membantu petani itu membelah kayu bakar den dia-pun mendapatkan tempat tidur dan makan malam yang cukup mengenyangkan perut-nya. Bahkan pagi tadi ketika dia pergi, keluarga petani itu memberinya sarapan dan memberinya bekal roti kering dan sayur asin kering! Maka, pagi itu Sie Liong berjalan dengan tegap dan kaki ringan, hatinya gembira karena semalam dia mendapatkan bahwa masih banyak o-rang yang baik hati di dunia ini. Kehangatan yang dirasakannya ketika keluarga petani itu menerimanya membuat dia merasa bahagia di pagi hari itu.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 49
Tiba-tiba dia dikejutkan oleh munculnya lima orang yang berloncatan dari balik batang-batang pohon. Lima orang itu berwajah bengis menyeramkan. Kalau saja mereka itu tidak berpakaian, tentu Sie Liong akan mengira mereka binatang-binatang sebangsa kera besar.
Tubuh dan pakaian mereka kotor dan pandang mata mereka bengis den buas. Akan tetapi karena mereka berpakaian, maka Sie Liong kehilangan kekagetannya den tersenyum kepada mereka.
"Aih, paman sekalian membikin ka-get saja padaku," katanya sambil membetulkan letak buntalan di punggungnya.
"Huh, kiranya hanya anak anjing buduk!" kata seorang.
"Anjing cilik, punggungnya bongkok lagi!" kata orang ke dua.
Wajah Sie Liong menjadi merah dan dia memandang kepada dua orang itu de-ngan mata melotot penuh kemarahan. "Paman-paman adalah orang-orang dewasa, kenapa suka
menghina anak-anak" Punggungku memang bongkok, apa sangkut pautnya dengan kalian"
Kurasa bongkokku tidak merugikan orang lain termasuk kalian!"
"Wah, anjing cilik gonggongnya sudah nyaring!" teriak seorang di antara mereka, yang mukanya penuh brewok dan matanya lebar kemerahan. Dia adalah pemimpin gerombolan itu dan kini dia menghampiri Sie Liong dengan golok besar di tangan kanan. Golok itu berkilauan saking tajamnya dan si brewok sudah menempelkan mata golok ke leher Sie Liong. Terasa oleh Sie Liong betapa golok itu tajam sekali menempel di kulit lehernya.
Sedikit saja digerakkan, tentu lehernya akan putus! Akan tetapi, sedikitpun dia tidak merasa gentar, bahkah dia molotot dengan marah, walaupun maklum bahwa dia tidak berdaya dan melawanpun berarti hanya membunuh diri.
"Anjing galak, apakah engkau i-ngin mampus dengan leher buntung?" bentak si brewok.
"Hayo jawab!"
Betapapun marahnya, Sie Liong maklum bahwa orang ini jahat dan kejam luar biasa dan kalau dia tidak menjawab, orang ini akan marah dan bukan mustahil lehernya akan
disembelih. Maka dia menggeleng sambil berkata dengan suara lirih, bukan karena takut melainkan karena hati-hati agar suaranya tidak terdengar menyatakan kemarahan hatinya.
"Tidak."
"Ha-ha-ha! Kalau begitu biarlah kepalamu masih menempel di tubuhmu, a-kan tetapi buntalanmu harus kautinggalkan!" berkata demikian, dengan tangan kirinya kepala
gerombolan itu merenggut buntalan pakaian Sie Liong lepas dari punggungnya, lalu mondorong sehingga anak itu terjengkang dan kepalanya ter-banting ke atas tanah dengan kerasnya. Sie Liong merasa kepalanya pening, akan tetapi dia cepat bangkit dan berkata dengan suara yang tak dapat disembunyikan lagi kemarahannya.
"Milikku hanya itu, pakaian-pakaian untuk pengganti. Kembalikan, kalian orang-orang jahat!"
Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat, terbelalak menghampiri Sie Liong de-ngan marah. "Apa" Engkau ini masih belum cukup dihajar
rupanya!" Tangannya meraih dan terdengar suara membrebet ketika dia merenggut pakaian yang me-nempel di tubuh Sie Liong. Pakaian itu robek dan terlepas sehingga anak itu kini telanjang bulat! Lima orang itu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, anjing cilik ini biar bongkok, tubuhnya mulus juga."
Sie Liong yang merasa terhina itu marah sekali dan diapun sudah mener-jang ke depan dengan ngawur. Si muka pucat menyambutnya dengan sebuah tendangan yang keras.
"Bukkk!" Tendangan itu mengenai dada Sie Liong, membuat anak itu jatuh terjengkang dan kepalanya kembali ter-banting menghantam batu dan diapun ro-boh pingsan.
Ketika dia siuman kembali, Sie Liong mendapatkan dirinya rebah di atas tanah berumput di dalam hutan, dan lima orang itu sudah tidak nampak lagi. Kepalanya berdenyut nyeri, Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 50
tubuhnya yang terbanting juga sakit-sakit, dan buntalan pakaiannya tidak ada lagi. Bahkan pakaian yang tadi menempel di tubuhnya juga sudah tidak ada. Agaknya setelah direnggut lepas, dibawa pergi oleh lima orang tadi.
Dia bangkit duduk, memegangi kepala bagian belakang yang berdenyut nyeri. Ah, betapa jahatnya lima orang ta-di. Jahat dan kejam sekali, tega merampas buntalan pakaiannya, bahkan mene-lanjanginya dan menghajarnya! Baru sa-ja dia merasa betapa indahnya hidup di dunia karena adanya orang-orang yang baik hati seperti keluarga petani itu yang memberinya tempat mondok dan ma-kan, tiba-tiba saja kini muncul lima orang yang demikian jahatnya!
Berubah seketika nampaknya hidup di dunia ini, betapa sengsara dan buruknya, betapa pahit dan mengecewakan. Dia harus makin berhati-hati karena di dalam dunia ini tidak kalah banyaknya terdapat orang-orang jahat.
Sie Liong teringat akan keadaan dirinya. Telanjang bulat! Tidak memi-liki sepotongpun pakaian yang dapat dipakai menutupi tubuhnya yang telanjang bulat. Tidak ada pula perbekalan makan untuk mengisi perutnya, dan dia berada di tengah hutan yang lebat!
Sie Liong mendapat keterangan dari keluarga petani semalam bahwa kalau dia berjalan terus menembus hutan itu ke selatan, dia akan monemui sebuah dusun yang cukup besar, dan menurut petani itu, sebelum sore dia tentu akan dapat tiba di dusun itu. Dia bangkit dan setelah pening di kepalanya tidak begitu hebat lagi, mulai dia melangkahkan kakinya. Dia merasa aneh dan lucu, berjalan dalam keadaan telanjang bulat seperti itu. Suara berkeresekan di kanan membuat dia terkejut dan cepat-cepat dia menggunakan kedua tangan untuk menutupi selangkangannya, takut kalau-kalau ada orang muncul dan melihat
kete-lanjangannya. Akan tetapi yang muncul adalah dua ekor monyet! Sie Liong ter-tawa sendiri. Monyet-monyet itupun te-lanjang bulat mengapa dia harus malu" Diapun melepaskan kedua tangannya dan menghadapi dua ekor monyet itu sambil tersenyum. Monyet-monyet itu semenjak lahir telanjang dan tidak pernah merasa malu. Kenapa kalau manuasia merasa malu"
Jadi kalau begitu, malu timbul bukan karena ketelanjangannya, melainkan karena merasa telanjang! Karena monyet-monyet itu tidak pernah merasa telanjang, juga anak-anak bayi tidak pernah merasa telanjang, maka mereka itu tidak menjadi malu.
Sie Liong berjalan lebih cepat. Kadang-kadang berdebar jantungnya, penuh ketegangan dan perasaan malu kalau dia membayangkan bagaimana nanti dia kalau bertemu dengan orang di dusun itu" Apakah ada yang mau menolongnya den bagaimana dia dapat menemui mereka dalam keadaan telanjang bulat" Mungkin dia a-kan dianggap gila!
Benar seperti keterangan petani yang baik itu, sebelum sore dia telah tiba di luar sebuah dusun. Pagar dusun itu cukup tinggi, dan nampak genteng merah di atas dinding putih.
Sie Liong merasa bingung. Tak mungkin dia memasuki dusun itu dalam keadaan telanjang bulat seperti itu. Bagaimanapun dia bukan anak kecil la-gi, usianya sudah tiga belas tahun, su-dah menjelang dewasa. Maka diapun bersembunyi saja di pinggir hutan sambil mengamati dusun itu dari kejauhan. Nampak olehnya beberapa orang petani laki-laki dan wanita keluar masuk melalui pintu gerbang dusun itu. Bahkan ada dua orang anak penggembala kerbau menggiring kerbau mereka pulang ke dalam dusun. Dia akan menanti sampai keadaan cuaca menjadi gelap, baru dia akan masuk ke dusun itu, mencari keluarga pe-tani yang baik untuk menolongnya. Kalau saja di dusun itu tinggal keluarga petani seperti yang monampungnya sema-lam, tentu mereka akan mau menolong-nya, pikirnya.
Senja tiba dan cuaca mulai gelap. Sie Liong lalu dengan hati-hati meaye-linap memasuki dusun melalui pintu gerbang. Dia menyelinap di antara pohon-pohon dan melihat sebuah rumah yang menyendiri di tepi dusun, dia lalu mang-hampirinya.
Sampai lama dia ragu-ragu dan berdiri di belakang sebatang pohon. Keti-ka dalam
keremangan senja itu dia malihat seseorang datang dari arah bela-kang rumah menuju ke dapur rumah itu yang berada di belakang, dia membuat gerakan untuk keluar dari balik pohon dan menegur. Akan tetapi, ketika itu orang tadi sudah dekat dan ternyata o-rang itu adalah Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping
Bentrok Rimba Persilatan 17 Golok Halilintar Karya Khu Lung Jodoh Rajawali 28
Yauw Sun Kok berseru marah ketika melihat wajah adik isterinya itu bengkak-beng-kak. Sie Lion hanya menundukkan muka-nya, khawatir kalau-kalau kakak iparnya itu akan melihat kebohongannya ka-lau dia membuka suara.
Bi Sian sudah melangkah maju di depan Sie Liong dan dengan lantang juga berani ia berkata,
"Ayah! Ibu! Jangan marah kepada paman Liong! Dia sama sekali tidak bersalah! Akulah yang bersalah sehingga barang belanjaan berantakan dan ada yang hilang dan akulah yang berkelahi!"
Melihat sikap puteri mereka itu, Yauw Sun Kok memandang dengan mata bersinar bangga dan wajah berseri. "Bi Si-an, engkau berkelahi" Mengapa" Cerita-kan apa yang terjadi dan mengapa pula wajah Sie Liong bengkak-bengkak, dan mengapa pula barang belanjaan kotor berantakan dan ada yang hilang?"
Lan Hong yang merasa kasihan melihat adiknya yang bongkok itu mukanya bengkak-bengkak dan kelihatan kesakit-an, lalu berkata, "Biarkan mereka du-duk. Sie Liong, engkau minumlah dulu, engkau juga Bi Sian."
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 26
Kedua orang anak itu minum air teh yang tersedia di atas meja, kemudian mereka berempat duduk menghadapi meja. Bi Sian lalu mulai bercerita.
"Ketika kami pulang dari pasar, di jalan yang sepi dekat ladang itu kami dihadang oleh lima orang anak laki-la-ki yang usianya kurang lebih lima belas tahun, ayah. Mereka itu anak-anak na-kal. Mereka menggoda dan memaki paman Liong, mengataken paman monyet bongkok.
Paman diam saja, akan tetapi aku yang tidak kuat menahan. Aku balas memaki mereka, bahkan aku lalu memukul mereka. Mereka lalu memukuli paman Liong yang tidak melawan.
Aku menjadi marah dan aku lalu berkelahi dengan mereka, se-mentara paman Liong masih dipukuli. Akhirnya, aku berhasil mengusir mereka, ayah. Barang belanjaan menjadi kocar-kacir, lima ekor ayam itu terlepas dan kami hanya dapat menemukan kembali ti-ga ekor saja.
Aku yang berkelahi, ayah, akan tetapi lima orang anak itu jahat seperti setan. Apa lagi yang seorang, yang jangkung dan berjerawat mukanya. Kata orang, dia itu anak komandan kea-manan di kota ini, ayah."
"Apa" Putera Lu Ciangkun (Perwira Lu)?" Sun Kok bertanya kaget sekali. "Kalau begitu anak itu adalah Lu Ki Cong!"
"Kami tidak tahu namanya, ayah, hanya ada seorang kakek di jalan yang memperingatkan aku bahwa anak itu ada-lah putera komandan pasukan keamanan di Sung-jan."
"Aiih!" Yauw Sun Kok menepuk pahanya sendiri. Tentu saja dia mengenal baik Lu
Ciangkun! Perwira itu bukan saja sahabat baiknya, bahkan di antara mereka pernah timbul percakapan tentang memperjodohkan anak masing-masing satu sama lain. Perwira itu hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu anak laki-laki bernama Lu Ki Cong. Biarpun belum diresmikan, bahkan isterinya sendiri belum diberitahu hal itu, di antara kedua orang itu seperti sudah ada ikatan. Dan sekarang, mereka berkelahi! Lalu dia memandang kepada Sie Liong, dan bertanya kepada puterinya.
"Bi Sian, coba ceritakan lagi yang jelas. Apa yang menjadi sebab perkela-hian itu" Mengapa mereka itu menggoda dan mengganggu Sie Liong?"
Bi Sian bersungut-sungut, "Anak jerawatan itu mengatakan bahwa tidak pantas paman Liong mengantar aku ke pasar. Katanya dia yang mengantar, dan dia mengusir paman Liong. Ketika aku marah dan memakinya, dia malah memukuli paman Liong bersama teman-temannya."
Ah, kini mengertilah Sun Kok. A-nak sahabatnya itu cemburu! Tentu saja! Agaknya anak itu telah diberitanu oleh orang tuanya bahwa dia akan dijodoh-kan dengan Bi Sian, maka begitu melihat Bi Sian berjalan dengan Sie Liong, anak itu cemburu dan iri! Pantas kalau begitu, dan Sun Kok lalu tertawa bergelak. Tentu saja isterinya menjadi he-ran, juga Bi Sian memandang ayahnya dengan mata terbelalak.
"Mengapa ayah tertawa?" tanyanya berani.
Sun Kok masin tertawa bergelak. Mendengar pertanyaan puterinya itu, dia berkata sambil tersenyum. "Ha-ha, dia cemburu! Lu Ki Cong itu mencemburukan engkau dan Sie Liong! Ha-ha, bagaimana dia bisa cemburu" Sie Liong adalah seorang anak cacat.... eh, dia kan pamanmu sendiri! Apakah dia tidak kaube-ri tahu?"
Bi Sian menjadi penasaran. "Su-dah kuberitahu bahwa dia pamanku. Akan tetapi kenapa dia cemburu, ayah" Ada hak apa dia cemburu?"
Yauw Sun Kok masih tersenyum. "Tentu dia sudah mendengar dari ayahnya akan rencana ayahnya dan aku menjodoh-kan engkau dengan dia...."
"Ayah....!" Bi Sian berteriak, matanya terbelalak memandang ayahnya, a-lisnya berkerut.
Sejenak anak ini me-mandang ayahnya dengan muka merah dan mata merah, akan tetapi ia lalu lari masuk ke dalam kamarnya. Melihat ini, Sie Liong yang sejak tadi menundukkan mukanya, lalu mengundurkan diri ke da-pur membawa barang-barang belanjaan untuk
menyerahkan kepada pelayan di da-pur.
"Aih, Sian-ji masih kanak-kanak, baru juga sebelas tahun usianya. Bagaimana kau bicara tentang perjodohan de-ngan ia yang belum mengerti apa-apa itu?" Sie Lan Hong menegur Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 27
suaminya. Suaminya hanya tersenyum. "Kalau tidak ada peristiwa perkelahian itu, tentu aku belum akan menceritakan kepadanya. Apa lagi, ikatan jodoh itu baru merupakan omong-omong antara kawan sa-ja, belum resmi mereka meminang. Kare-na itu, engkaupun belum kuberitahu.
Bagaimana juga, Lu-ciangkun adalah sahabatku. Peristiwa perkelahian antara ke dua orang anak yang kami ingin jodoh-kan itu sungguh membuat hatiku tidak enak. Apa lagi kalau sampai puteranya terluka oleh tangan Bi Sian yang galak. Biarlah aku pergi ke sana untuk minta maaf." Yauw Sun Kok lalu pergi dari rumahnya, mengunjungi rumah Komandan Lu.
Sie Lan Hong lalu memasuki kamar puterinya, disambut oleh anaknya yang matanya merah karena menangis. Melihat ibunya, Bi Sian lalu bertanya dengan wajah bersungut-sungut. "Ibu, aku ti-dak sudi dijodohkan dengan tikus jera-watan itu!"
"Eh" Tikus Jerawatan yang mana?" ibunya bertanya heran karena memang tidak mengerti.
"Itu, anak bengal putera Lu-ciangkun! Benarkah aku akan dijodohkin de-ngan dia, ibu" Kalau benar, aku akan minggat saja!"
"Hushhh, itu hanya kelakar ayahmu dan sahabatnya saja. Belum ada pinang-an resmi dan kalau ada pinangan, tentu ayahmu akan mengajak aku berunding, dan engkaupun akan kuberitahu. Sudahlah, jangan marah. Karena perkelahian itu, ayahmu merasa tidak enak terhadap Lu-ciangkun yang menjadi sahabat baiknya dan sekarang dia pergi ke sana untuk minta maaf."
"Ayah pergi ke rumahnya" Celaka....!" Akan tetapi Bi Sian segera menu-tup mulut dengan tangan. Terlambat. Ibunya sudah mendengar ucapan itu dan melihat sikap puterinya, Lan Hong merasa curiga.
"Sian-ji, ada apakah" Mengapa engkau terkejut dan gelisah mendengar ayahmu pergi ke rumah Lu-ciangkun" Menga-pa engkau mengatakan celaka tadi?"
Bi Sian maklum bahwa kalau ayahnya pergi ke rumah tikus jerawatan itu, tentu ayahnya akan mendengar segalanya dan ibunya akhirnya juga akan tahu. Lebih baik ia lebih dulu memberitahukan ibunya dan menarik ibunya di fihaknya agar membela ia dan pamannya.
"Ibu, aku tadi.... berbohong kepada ayah, maka aku kaget mendengar a-yah pergi ke rumah komandan itu," katanya mengaku.
"Bohong" Bohong bagaimana, Bi Sian?"
"Aku memang berkelahi dengan lima orang anak nakal itu, akan tetapi aku telah mereka tangkap dan tidak berdaya. Mereka lalu memukuli paman Sie, dan melihat aku ditangkap, paman Sie lalu mengamuk dan lima orang itu dia hajar sampai luka-luka dan mereka semua melarikan diri."
"Sie Liong" Tidak mungkin!" kata Sie Lan Hong. Bagaimana adiknya yang bongkok dan lemah itu dapat mengalah-kan lima orang anak nakal yang lebib besar"
"Benar, ibu. Aku tidak berbohong," Bi Sian lalu menceritakan semua yang telah terjadi.
Betapa lima orang anak nakal itu menghina Sie Liong akan tetapi pamannya itu diam saja.
Ialah yang marah-marah dan memukul, akhirnya tiga orang anak memegangi kaki tangannya dan dua orang anak memukuli Sie Liong. Akhirnya Sie Liong mengamuk dan berha-sil menolongnya dan mereka berdua lalu menghajar lima orang anak itu sehingga melarikan diri.
"Paman Liong minta kepadaku, agar jangan bercerita kepada ayah dan ibu bahwa dia ikut berkelahi, maka aku la-lu berbohong. Akan tetapi sekarang a-yah pergi ke sana, tentu tikus jerawatan itu akan mengadu dan menceritakan bahwa paman Liong yang memukulnya."
Sie Lan Hong masih bingung dan heran. "Tapi.... tapi.... Sie Liong cacat dan lemah....."
Biarpun matanya masih merah oleh tangisnya tadi, kini Bi Sian tersenyum, senyum bangga bahwa hanya ialah satu-satunya orang yang tahu akan rahasia pribadi Sie Liong.
"Jangan ibu kira bahwa paman Li-ong seorang yang lemah! Selama ini dia mempelajari semua ilmu silat yang dia-jarkan ayah kepadaku, dan dia bahkan lebih lihai dari pada aku, ibu.
Ketika dia melawan anak-anak nakal itu, hebat bukan main!"
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 28
Terkejutlah hati Sie Lan Hong mendengar ini. Adiknya mempelajari ilmu silat! Ah, jantungnya berdebar penuh ketegangan. Hal itulah yang amat dibenci suaminya,
dikhawatirkan suaminya. Ia tahu benar bahwa suaminya ingin melihat Sie Long sebagai seorang anak cacat yang lemah, yang tidak mungkin untuk melakukan kekerasan. Ada alasan yang amat kuat mengapa suaminya menginginkan Sie Liong menjadi anak lemah. Tentu agar anak itu kelak tidak mempunyai pikiran untuk membalas dendam! Perih rasa hati Lan Hong.
Ia sendiri seringkali termenung dan merasa berdosa kepada ayah ibunya. Ayah ibunya dibunuh oleh Yauw Sun Kok, biarpun dengan alasan untuk membalas kematian isteri pertama suaminya itu. Dan ia terpaksa menyeralkan diri kepada Sun Kok demi menyelamatkan adiknya. Akan tetapi akhirnya ia jatuh cinta kepada suaminya ini, apa lagi setelah ia melahirkan seorang anak. Iapun tidak menginginkan terjadi permusuhan antara Sie Liong dan suaminya. Akan tetapi, kini terjadi peristiwa itu dan suaminya tentu akan marah sekali mendengar bahwa Sie Liong telah mempelajari ilmu silat.
"Sian-ji.... jangan.... jangan kauceritakan hal itu kepada ayahmu. Ayahmu tidak suka mendengar Sie Liong belajar ilmu silat."
"Tapi, kenapa ibu" Kenapa ayah tidak suka kalau paman Liong belajar ilmu silat" Paman Liong juga mengatakan begitu. Akan tetapi kenapa" Aku, seorang anak perempuan, sejak kecil sudah dilatih silat oleh ayah. Akan tetapi paman Liong adalah seorang anak laki-laki, dan tubuhnya cacat, lemah pula, maka sudah sepatutnya kalau dia belajar ilmu silat agar sehat dan kuat. Kenapa ayah melarangnya?"
"Ayahmu.... lebih tahu, anakku. Tubuh pamanmu itu cacat, apa lagi cacat di punggung.
Berbahaya sekali kalau mempelajari ilmu silat. Sudahlah, le-bih baik kau tidak bercerita apa-apa kepada ayahmu."
Akan tetapi hal itu tidak ada gu-nanya. Mereka mendengar kedatangan Yauw Sun Kok yang berteriak memanggil Sie Liong. Bergegas ibu dan anak ini kelu-ar dengap hati yang penuh kekhawatiran. Mereka melihat Sun Kok sudah duduk di ruangan dalam dengan muka merah.
Memang Sun Kok marah sekali. Ketika dia berkunjung ke rumah sahabatnya, Lu-ciangkun, dia bukan saja mendengar bahwa yang memukuli putera sahabatnya itu adalah Sie Liong, bahkan anak laki-laki jangkung itu masih rebah di pembaringan karena dia mengalami luka di perutnya, akibat benturan kepala Sie Li-ong. Sahabatnya itu bahkan mengatakan bahwa Sie Liong itu ganas dan berbaha-ya sekali. "Bukan hanya Ki Cong yang terluka parah, bahkan kawan-kawannya juga terluka parah oleh anak bongkok itu. Dia sungguh ganas, liar dan berbahaya sekali."
Tentu saja Sun Kok marah bukan main kepada adik isterinya itu. Bagaima-na Sie Liong dapat menjadi seorang a-nak yang demikian kuat dan menurut pe-nuturan Ki Cong, pandai silat pula" Teringatlah dia akan keadaannya sendi-ri. Kalau dibiarkan Sie Liong terus menerus mempelajari ilmu silat sampai menjadi seorang yang pandai, keselamatan nyawanya tentu terancam kelak! Akan tetapi, jalan satu-satunya hanya membunuh anak itu, padahal dia tidak mau melakukan hal itu. Bukan hanya karena dia pernah bersumpah kepada isterinya bahwa dia tidak akan membunuh Sie Liong, akan tetapi juga dia tidak tega kalau harus
membunuhnya. Bagaimanapun juga, harus dia akui bahwa Sie Liong adalah seorang anak yang baik, rajin, penurut dan pendiam. Akan tetapi bagaimana tahu-tahu dia memiliki kepandaian ilmu silat"
"Sie Liong....!" Yauw Sun Kok memanggil lagi dengan suara nyaring.
Pada saat itu muncullah Sie Liong. Mukanya masih bengkak-bengkak dan ta-ngannya masih basah karena ketika di-panggil, dia sedang membersihkan jendela-jendela rumah itu dengan lap dan a-ir.
"Ci-hu memanggil saya?" tanyanya kepada cihu-nya. Dengan sikap tenang dia berdiri di depan cihunya yang du-duk dan memandang kepadanya dengan mata bernyala.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 29
Sie Liong, dari siapa engkau mempelajari ilmu silat?" bentak Yauw Sun Kok.
Diam-diam Sie Liong terkejut men-dengar pertanyaan yang tiba-tiba itu, namun anak ini memang memiliki ketabahan luar biasa sehingga wajahnya yang bengkak-bengkak itu tidak memperlihat-kan apa-apa. Ingin dia memandang kepada Bi Sian karena hanya Bi Sian yang tahu bahwa dia mempelajari ilmu silat. Apakah anak perempuan itu yang memberitahukan ayahnya" Akan tetapi jelas bukan, karena kalau Bi Sian memberitahu, tidak mungkin cihunya bertanya dari siapa dia mempelajari ilmu silat. Lalu bagaimana baiknya" Dia tidak ingin me-libatkan Bi Sian, takut kalau-kalau a-nak perempuan itu mendapatkan marah dari ayahnya.
Sie Liong menggeleng kepalanya dan memandang wajah cihunya dengan berani.
"Saya tidak belajar silat dari siapapun, cihu."
"Brakkk!" Yauw Sun Kok menggebrak meja di depannya sehingga ujung meja i-tu retak.
"Bohong kau! Aku tahu bahwa engkaulah yang memukuli putera Lu-Ciangkun dan kawan-kawannya, dan engkau me-ngalahkan mereka dengan ilmu silat! Hayo katakan dari siapa engkau belajar ilmu silat!"
"Ayah, yang memukuli adalah si tikus jerawatan itu dan kawan-kawannya, mereka yang lebih dulu menghina dan memukul!" Bi Sian memperotes.
"Diam kau! Kau sudah membohongi aku dan mengatakan bahwa Sie Liong ti-dak berkelahi!
Sie Liong, hayo katakan dari siapa engkau belajar ilmu silat!"
Sie Liong sudah mengambil keputusan tetap untuk tidak melibatkan kepo-nakannya yang selalu mencoba untuk membelanya itu. "Cihu, memang saya mempe-lajari ilmu silat, akan tetapi tidak ada gurunya. Saya belajar sendiri."
Yauw Sun Kok memandang dengan mata melotot. "Tidak mungkin belajar si-lat tanpa guru!
Coba kaumainkan beberapa jurus ilmu silatmu, ingin aku me-lihat ilmu silatmu!" katanya, setengah mengejek, setengah marah. "Hayo cepat, jangan membuat aku hilang kesabaran, Sie Liong! Engkau sudah melanggar laranganku!"
Sie Liong memandang kepada enci-nya. Sang enci merasa kasihan kepada a-diknya, akan tetapi ia tahu bahwa ka-lau permintaan suaminya itu tidak dituruti, maka dia tentu akan menjadi sema-kin marah. Bagaimanapun juga, kemarah-an suaminya itu beralasan karena larangannya telah dilanggar oleh Sie Li-ong. Maka ia mengangguk kepada adiknya itu.
"Engkau mainkanlah ilmu silat yang pernah kaupelajari agar cihumu melihatnya, Sie Liong,"
katanya lembut.
Mendengar ucapan isterinya ini, diam-diam Yauw Sun Kok mengira bahwa tentu isterinya yang telah mengajarkan ilmu silat kepada adiknya itu, maka dia sudah merasa mendongkol sekali.
"Baiklah, cihu. Akan tetapi harap jangan diketawai karena permainanku tentu jelek dan tidak karuan." Maka dia-pun lalu memasang kuda-kuda dan menggerakkan kaki tangannya seperti kalau dia berlatih silat menirukan semua ge-rakan yang dilakukan Bi Sian di waktu berlatih silat. Baru beberapa jurus Sie Liong bergerak, Sun Kok sudah ter-kejut sekali karena gerakan-gerakan a-nak laki-laki itu adalah gerakan ilmu silatnya sendiri! Dan gerakan itu demikian lincah dan gesit, juga penuh tenaga, jauh lebih baik dari pada gerakan Bi Sian.
"Berhenti....!" bentaknya sambil meloncat dari atas kursinya, berdiri di depan Sie Liong yang cepat menghen-tikan gerakan kaki tangannya. "Hayo katakan, dari siapa engkau mempelajari semua gerakan ilmu silat itu!"
"Maaf, cihu. Saya mempelajarinya dengan.... mencuri lihat dan mengintai ketika.... Bi Sian sedang berlatih silat. Semua gerakannya itu saya catat dan hafalkan dalam hati, kemudian saya meniru gerakan-gerakannya itu di dalam kamar dan saya latih terus setiap hari. Saya tidak berniat buruk, hanya ingin sekali mempelajarinya...."
Yauw Sun Kok bernapas lega. Jadi bukan isterinya dan bukan puterinya yang mengajar anak Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 30
ini. Akan tetapi, jelas bahwa anak ini memiliki bakat yang amat baik. Padahal dia sudah bongkok, namun tetap saja dapat mempe-lajari ilmu silat jauh lebih maju dari pada Bi Sian.
Diapun mencari akal.
"Sie Liong, ketika aku melarang engkau belajar silat, hal itu sudah kupikirkan masak-masak, demi kebaikamu sendiri. Tubuhmu cacat, tulang pungungmu bongkok, sungguh tidak baik bahkan berbahaya sekali kalau engkau mempela-jari ilmu silat! Engkau tidak percaya" Nah, boleh kita berlatih silat seben-tar. Keluarkan semua jurus yang sudah kaupelajari, dan serang aku dengan sungguh-sungguh seperti akupun akan menye-rangmu dengan jurus yang sama.
Engkau akan melihat sendiri nanti. Hayo, se-ranglah!"
Sie Liong mengira bahwa dia akan memperoleh petunjuk dari cihunya yang biasanya amat sayang kepadanya. Sedi-kitpun dia tidak menaruh hati curiga dan diapun mentaati perintah itu, lalu mulai menggerakkan kaki tangannya, me-nyerang cihunya dengan jurus-jurus silat yang pernah dilatihnya.
Sie Lan Hong memandang dengan jantung berdebar, masih belum tahu apa yang dikehendaki suaminya. Ia sendiri juga terkejut karena sama sekali tidak pernah menyangka bahwa adiknya ternyata benar-benar telah menguasai gerakan silat yang lebih baik dari pada puterinya.
Dengan mata terbelalak, Bi Sian juga memperhatikan gerakan Sie Liong, iapun mengira bahwa ayahnya akan memberi petunjuk kepada pamannya itu. Ia merasa terharu mendengar betapa pamannya itu sengaja berbohong, mengatakan bah-wa dia mengintai dan mencuri pelajaran silat itu, tidak mau melibatkannya. Betapa pamannya itu amat sayang kepada-nya dan iapun merasa amat sayang kepa-da pamannya itu.
Diam-diam Yauw Sun Kok terkejut.
Ternyata gerakan Sie Liong selain baik sekali, juga anak ini memiliki tenaga yang jauh lebih besar dibandingkan a-nak-anak sebayanya. Tentu saja jauh lebih menang dibandingkan Bi Sian. Tidak mengherankan kalau lima orang anak nakal itu kalah olehnya. Dan kalau dibi-arkan terus anak ini memperdalam ilmu silat, tidak salah lagi, dia kelak a-kan menjadi orang pandai dan akan mem-bahayakan dirinya!
Setelah menghadapi serangan-se-rangan Sie Liong untuk mengujinya sam-pai belasan jurus, mulailah Yauw Sun Kok menyerang! Sie Liong juga berusaha mempertahankan diri dengan elakan dan tangkisan karena cihunya menyerang de-ngan jurus-jurus yang sudah dikenalnya.
Akan tetapi dia tidak tahu apa yang tersembunyi di dalam benak cihunya. Ti-ba-tiba gerakan tangan cihunya demiki-an cepatnya sehingga Sie Liong tidak mampu melindungi tubuhnya.
"Plakkk! Plakkk!" Dua kali tangan Yauw Sun Kok menyambar dan mengenai pangkal leher Sie Liong dan ketika tu-buh anak itu berputar, sekali lagi ta-ngannya menghantam punggung yang bong-kok. Sie Liong mengeluh pendek dan dia pun roboh terpelanting, muntah darah!
Agaknya Yauw Sun Kok masih belum puas, akan tetapi tiba-tiba Bi Sian sudah menubruk tubuh Sie Liong dan melindunginya!
"Ayah, kenapa pukul paman Liong" Kenapa ayah memukul paman Liong?" Anak ini hampir menangis. Lan Hong juga su-dah melompat di depan suaminya dan memandang tajam.
"Apa yang kaulakukan?" katanya dengan suara nyaring dan mata me-mandang tajam.
Yauw Sun Kok menurunkan kedua tangannya. "Hemm, aku hanya ingin memperlihatkan dia betapa berbahayanya dia berlatih silat! Kalau pungungnya tidak cacat seperti itu, pukulanku tadi ti-dak akan membuatnya muntah darah." Un-tung dia masih ingat tadi sehingga dia mengurangi tenaga pada pukulannya, ka-lau tidak, tentu anak itu sudah roboh tewas dan ini berarti dia melgnggar sumpahnya dan tentu akan terjadi peru-bahan dalam hubungannya dengan isteri-nya tercinta.
Bi Sian membantu Sie Liong bangkit. Anak laki-laki itu tidak kelihatan menyesal atau marah walaupun dia menyeringai kesakitan dan mengusap da-rah dari bibirnya dengan ujung lengan bajunya. Bi Sian bangkit dan memandang ayahnya dengan marah.
"Ayah kejam! Ayah telah menghajar paman Liong yang tidak berdosa! Ayah, paman Liong Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 31
membohong kepada ayah karena hendak melindungi aku! Sebetulnya, dia bukan mengintai, bukan mencuri ilmu silat, melainkan akulah yang telah me-ngajarkan semua ilmu silat itu kepada-nya! Kalau ayah mau marah dan mau menghukum, hukumlah aku!" Anak itu berdiri tegak dengan dada membusung, seperti hendak menantang ayahnya.
"Hushh," ibunya cepat merangkulnya, khawatir kalau suaminya benar-benar marah dan menghajar anaknya. Akan tetapi, Sun Kok tidak marah. Bahkan dia sudah menduga akan hal itu.
"Ayah, paman Liong tidak bersalah. Perkelahian itu terjadi karena kejahatan anak-anak nakal itu!"
"Hemm, kalau dia tidak pandai silat, tentu tidak akan terjadi parkelahian," kata Yauw Sun Kok.
"Kalau paman Liong tidak pandai berkelahi, mungkin dia akan dipukuli sampai mati dan aku juga! Pawan Liong sama sekaii tidak bersalah dan tidak adil kalau menyalahkan dia, ayah!"
Kembali Bi Sian membantah biarpun ibunya sudah mencoba untuk mencegahnya banyak
bicara. "Bi Sian, pikiranmu sungguh pendek! Coba bayangkan. Kalau engkau per-gi sendiri ke pasar tanpa Sie Liong, atau dia pergi tanpa engkau, apakah a-kan terjadi perkelahian itu" Sudahlah, mulai saat ini, aku melarang Sie Liong belajar silat darimu! Sie Liong, maukah engkau berjanji?"
Sie Liong sudah bangkit berdiri dan menundukkan mukanya. Dia merasa menyesal bahwa karena dia, Bi Sian harus menjadi seorang anak yang berani menentang ayah sendiri.
"Baik, cihu. Saya berjanji bahwa mulai hari ini, saya tidak akan belajar silat lagi dari Bi Sian."
Lega rasa hati Yauw Sun Kok mendengar janji ini. Bagaimanapun juga, dia tidak pernah membenci anak itu, bahkan dia merasa suka dan kasihan. Anak itu menjadi bongkok karena perbuatannya. Akan tetapi dia melakukan itu bukan karena benci, melainkan karena mengkhawatirkan keselamatan dirinya sendiri. Kalau ada jaminan bahwa Sie Liong kelak tidak akan membalas dendam kepadanya, mungkin dia akan suka mewariskan selu-ruh
kepandaiannya kepada anak yang amat baik itu.
"Coba kuperiksa tubuhmu," katanya dan dia segera memeriksa keadaan tubuh Sie Liong.
Anak ini mengalami luka yang cukup parah, akan tetapi tidak sampai membahayakan
jiwanya. Dia segera memberi obat minum dan mengharap agar Sie Liong benar-benar kapok dan tidak belajar ilmu silat lagi yang hanya akan merugikan dirinya sendiri.
*** Meja sembahyang itu penuh dengan bermacam masakan, juga buah-buahan. Keluarga Yauw melakukan sembahyang lelu-hur. Hanya setelah dia menikah dengan Sie Lan Hong saja Yauw Sun Kok mulai mengadakan sembahyangan lagi setiap tahun. Tadinya dia sama sekali tidak pernah sembahyang, yaitu ketika dia masih menjadi perampok dengan isterinya yang pertama.
Seolah-olah dia telah melupakan begitu saja kedua orang tuanya yang telah tiada, dan melupakan nenek moyangnya. Akan tetapi semenjak dia menjadi suami Lan Hong, isterinya ini membujuknya dan setiap tahun mereka melakukan sembahyangan.
Sie Liong masih menderita akibat pukulan cihunya dua hari yang lalu. Dia masih suka batuk-batuk dan biarpun ki-ni batuknya tidak mengeluarkan darah lagi, namun kadang-kadang masih terasa nyeri pada punggungnya yang bongkok kalau dia batuk, dan kepalanya pusing.
Selama dua malam ini kalau sedang ti-dur di kamarnya, dia gelisah dan bebe-rapa kali bahkan dia menangis tanpa suara. Dia merasa nelangsa sekali. Cihu-nya biasanya baik kepadanya, akan tetapi kini cihunya malah memukulnya. Dan Bi Sian menjadi korban pula, ribut dengan ayahnya gara-gara dia. Dan dia teringat pula betapa Bi Sian akan dijo-dohkan dengan Lu Ki Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 32
Cong putera Lu-ci-angkun itu! Hal ini menambah rasa duka di dalam hatinya. Dia berduka untuk Bi Sian. Keponakannya yang manis itu, yang berhati keras akan tetapi jujur, yang berbudi baik, akan dijodohkan dengan anak yang jahat itu! Diapun teringat kepada encinya, dan merasa kasihan ke-pada encinya. Dia merasa betapa enci-nya amat sayang kepadanya, dan encinya tentu menderita tekanan batin yang hebat ketika dia dipukul oleh cihu-nya.
Mungkin akan terjadi ketegangan antara cihu-nya dan encinya gara-gara dia. Dan diapun seringkali memergoki enci-nya itu duduk melamun dan kalau sedang duduk seorang diri, nampak betapa pada wajah yang cantik itu terbayang kedukaan yang mendalam. Padahal, dia tidak melihat sesuatu yang dapat mendatang-kan kesedihan di hati encinya. Cihu-nya amat baik dan sayang kepada encinya, juga Bi Sian seorang anak yang baik, kehidupan encinya juga sudah serba cu-kup dan menyenangkan. Apa yang menye-babkan encinya kadang-kadang melamun dan kelihatan seperti orang berduka"
Agaknya Yauw Sun Kok masih mendongkol karena peristiwa dua hari yang la-lu. Wajahnva nampak muram dan setelah bersembahyang dan menancapkan hio di hio-louw di atas meja sembahyang, dia-pun lalu meninggalkan ruangan itu un-tuk pergi ke tokonya di mana dia berdagang rempa-rempa dibantu oleh beberapa orang pegawai. Di ruangan sembahyang itu kini tinggal Sie Lan Hong, Sie Li-ong dan Yauw Bi Sian bertiga. Sie Lan Hong tadi sudah bersembahyang bersama suaminya.
"Bi Sian, sekarang engkau bersem-bahyang bersama pamanmu Liong, beri hormat kepada kakek nenek dalam dan kakek nenek luar." Yang disebut kakek nenek dalam adalah ayah ibu suaminya, dan kakek nenek luar adalah ayah ibunya sendiri.
Dua orang anak itu menyalakan beberapa hio (dupa biting) dan mulai bersembahyang. Ketika Sie Liong bersembahyang, dia membayangkan ayah ibunya, dan hatinya terasa seperti diremas. Dia tidak pernah tahu seperti apa wajah ayahnya dan ibunya! Usianya belum ada setahun ketika ayahnya dan ibunya meninggalkan dia. Encinya menjadi pengganti ayah ibunya. Dalam keadaan berduka ka-rena peristiwa dua hari yang lalu, karena kepalanya masih terasa pening dan punggungnya yang bongkok terasa nyeri-nyeri, hatinya semakin bersedih teringat akan ayah ibunya yang telah tiada. Tak terasa lagi, luluhlah hati Sie Li-ong yang biasanya keras dan tabah itu dan diapun menangis tersedu-sedu sam-bil menjatuhkan diri berlutut di depan meja sembahyang.
Bi Sian terkejut sekali melihat pamannya menangis seperti itu. Belum pernah ia melihat pamannya menangis, pamannya yang kuat, tabah dan selalu tenang, kini menangis tersedu-sedu se-perti anak kecil. Iapun menjatuhkan diri berlutut dekat pamannya itu dan menyentuh lengannya lalu merangkulnya.
"Paman Liong, ada apakah" Apakah.... apakah engkau sakit....?" Bi Sian merasa menyesal sekali kepada ayahnya yang kemarin dulu pernah memukul pamannya ini, dan ia merasa kasihan sekali kepada Sie Liong.
Sie Liong menggeleng kepala, akan tetapi tangisnya semakin menjadi-jadi. Sikap lemah lembut dan baik dari ga-dis cilik itu menambah keharuan hati-nya, dan dia tidak mampu menjawab karena lehernya tersumbat oleh tangis.
Melihat keadaan adiknya itu, dengan alis berkerut penuh kekhawatiran Sie Lan Hong mendekati dan berlutut lalu merangkul adiknya. "Adik Liong, engkau kenapakah" Mengapa engkau menangis seperti ini" Belum pernah aku melihat engkau menangis seperti ini.
Apamukah yang terasa sakit?"
Sie Liong menggeleng kepala dan mengusap air matanya, mengeraskan hati-nya untuk menghentikan tangisnya. "Yang sakit adalah hatiku, enci. Mengapa ayah dan ibu
meninggalkan aku sewaktu aku masih kecil sekali" Mengapa mereka itu meninggal dunia, enci" Sakitkah" A-taukah ada yang membunuh mereka?"
"Akupun merasa heran, ibu dan sering aku bertanya kepada diri sendi-ri. Kenapa kakek dan nenek luar meninggal dunia dalam usia muda" Melihat be-tapa usia paman Liong tidak Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 33
banyak selisihnya dengan aku, maka tentu kakek dan nenek luar itu belum tua benar ke-tika meninggal dunia. Apa yang menyebabkan kematian mereka, ibu?"
Ditanya oleh adik dan anaknya se-perti itu, jantung Sie Lan Hong berde-bar penuh ketegangan! Terbayanglah se-mua peristiwa yang terjadi sebelas a-tau dua belas tahun yang lalu! Betapa a-yahnya dan ibunya, juga suhengnya, dan dua orang pelayan wanita, juga semua anjing, kuda dan ayam, dibunuh orang pada malam yang menyeramkan itu! Hanya tinggal ia dan adiknya yang belum dibunuh. Kemudian muncul si pembunuh yang amat kejam itu!
Pembunuh itu adalah Yauw Sun Kok, suaminya sendiri, ayah kandung Bi Sian! Ketika itu, ia baru berusia lima belas tahun! Yauw Sun Kok tergila-gila kepadanya, dan ia terpak-sa menyerahkan dirinya bulat-bulat ka-rena ia tidak ingin melihat adiknya, Sie Liong dibunuh oleh musuh besar itu!
Kemudian setelah menjadi isteri Yauw Sun Kok, ia dapat mengusir perasaan dendam dan bencinya terhadap pria itu, bahkan menggantinya dengan perasaan cinta! Dan Yauw Sun Kok kini telah menjadi suaminya yang tercinta dan ju-ga amat mencintainya, menjadi ayah kandung dari anaknya, Bi Sian. Bagaimana mungkin ia akan menceritakan semua itu kepada anaknya dan adiknya" Mencerita-kan bahwa suaminya sendiri adalah pem-bunuh ayah ibunya dan musuh besar keluarganya" Sudah lama ia menghapus per-musuhan ini, kebencian
berubah menjadi kasih sayang, permusuhan berubah menjadi ikatan suami isteri yang sudah mem-punyai keturunan pula! Tidak, sampai bagaimanapun, ia tidak akan membongkar
rahasia itu kepada adiknya atau kepada anaknya!
"Enci, kenapa enci tidak menjawab pertanyaan kami" Mengapa enci kelihat-an ragu-ragu?"
Sie Liong mendesak encinya, dan kini sepasang matanya yang masih kemerahan karena tangis tadi mengamati wajah encinya dengan penuh seli-dik.
"Ah, tidak." Sie Lan Hong cepat menjawab, nampak agak gugup. "Aku ragu-ragu karena mengapa hal yang menyedihkan itu harus diceritakan lagi" Aku terkenang akan hari-hari yang malang itu, adikku! Baiklah, kaudengarkan ce-ritaku, dan engkau juga, Bi Sian. Sie Liong, ayah dan ibu kita telah menjadi korban wabah yang amat berbahaya. Pc-nyakit menular itu mengamuk di dusun kita, dan ayah ibu kita terserang se-hingga meninggal dunia. Untuk menghin-darkan diri dari amukan wabah itu, aku membawa engkau yang baru berusia
sepu-luh bulan, melarikan diri mengungsi dari dusun kita dan akhirnya aku bertemu dengan cihu-mu dan dia menolong kita. Akhirnya aku menikah dengan cihu-mu dan kita semua pindah ke sini."
Mendengarkan cerita encinya ini, Sie Liong menarik napas panjang. "Ka-sihan sekali ayah dan ibu, dan kasihan pula engkau yang begitu susah payah menyelamatkan diri kita berdua, enci."
Sie Lan Hong memejamkan kedua matanya karena tiba-tiba matanya menjadi basah air mata.
Betapa tepatnya ucapan Sie Liong itu walaupun adiknya mempunyai gambaran dan maksud yang lain dalam kata-katanya itu. Memang sungguh kasihan. Ayah ibunya dibunuh orang!
Dan ia sendiri, ia telah mengorbankan dirinya sampai pada batas paling hebat, demi menyelamatkan diri dan juga adiknya!
"Enci, di manakah kita tinggal?"
Sie Lan Hong memandang wajah adiknya, alisnya berkerut. "Kenapa engkau menanyakan hal itu, adikku" Tempat itu adalah tempat malapetaka bagi keluarga ayah ibu kita, sudah lama kulupakan dan kita sekarang menjadi penghuni ko-ta Sung-jan ini."
"Aku hanya ingin tahu, enci. Sia-pa tahu, kelak ada kesempatan bagiku untuk berkunjung ke sana dan bersembahyang di depan makam ayah dan ibu."
Sie Lan Hong menggigit bibirnya. Tak mungkin ia membohongi adiknya lagi dan apa
salahnya kalau ia memberitahu" Biarlah adiknya itu kelak bersembah-yang di depan makam orang tua mereka.
"Dusun kita itu jauh sekali, di perbatasan utara sebelah barat, berna-ma dusun Tiong-cin."
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 34
Sie Liong mencatat nama dusun ini dan letaknya di dalam hatinya dan malam itu dia tidak dapat tidur, gelisah di atas pembaringan dalam kamarnya, a-palagi karena kepalanya masih pening dan punggungnya masih terasa berdenyut nyeri.
*** Pada suatu pagi, nampak sesosok bayangan orang berjalan perlahan di a-tas Tembok Besar!
Tembok Besar itu me-rupakan bangunan raksasa yang amat he-bat, naik turun bukit dan jurang, me-manjang sampai ribuan li panjangnya sehingga disebut Ban-li Tiang-sia (Tem-bok Panjang Selaksa Li). Di beberapa bagian dari Tembok Besar ini memang dijadikan markas bagi pasukan-pasukan penjaga perbatasan, namun banyak pula bagian yang kosong dan sunyi sama sekali. Dan orang yang berjalan perlahan di atas Tembok Besar itupun berjalan seorang diri dalam kesunyian. Kemudian suara nyanyiannya memecah kesunyian pagi hari di antara bukit-bukit dan ju-rang-jurang yang penuh hutan lebat itu.
"Tembok Besar memanjang
ribuan li bekas tangan manusia
masih hidup atau sudah mati
Tembok Besar lambang kekerasan
untuk mempertahankan kekuasaan
berapa puluh laksa manusia mati
untuk menciptakan bangunan ini?"
Nyanyian yang berakhir dengan pertanyaan ini tidak terjawab. Angin ber-tiup kencang dan menimbulkan suara ke-tika bertemu dinding tembok, bersiutan dan membuat rambut, kumis, jenggot dan pakaian kuning orang itu berkibar-ki-bar seperti bendera. Orang itu sudah tua sekali, jenggot dan kumisnya juga rambutnya yang dibiarkan riap-riapan, sudah putih semua.
Namun wajahnya ma-sih nampak merah dan halus seperti wa-jah orang muda, tubuhnya yang tinggi kurus itu tegak lurus dan jalannya santai dengan langkah berlenggang seperti langkah seekor harimau. Usianya tentu sedikitnya tujuh puluh tahun. Pakaian-nya hanya dari kain kuning panjang yang dilibat-libatkan di tubuhnya dari kaki sampai ke pundak, bagian pinggang dii-kat dengan tali kulit kayu, kakinya mengenakan sandal kulit kayu pula. Sam-bil berjalan seenaknya di atas Tembok Besar, dia memandang ke kanan kiri. Seluruh yang nampak di sekelilingnya agaknya tidak terlepas dari pandang ma-tanya yang penuh
kewaspadaan dan penuh semangat. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat kayu
sepanjang satu me-ter, akan tetapi agaknya bukan dipergunakan untuk membantu die berjalan, me-lainkan dipegang seperti hanya untuk iseng-iseng saja. Gerak-gerik kakek ini halus, sinar matanya lembut dan mulut yang dikelilingi kumis dan jenggot itu selalu tersenyum seolah-olah dia bera-mah tamah dengan alam disekelilingnya. Matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan ketika dia menyapu segala sesuatu di sekelilingnya dari atas tembok yang tinggi itu dengan pandang matanya dan biarpun hanya sekelebatan, dia telah menangkap segala yang nampak karena pandang matanya seperti sinar lampu sorot yang amat kuat dan terpusat.
Pohon-pohon tinggi besar yang tumbuh di sekeliling tempat itu nampak hijau dan li-ar. Bukit-bukit menjulang tinggi di kanan kiri, dan jurang-jurang amat dalam sehingga tidak nampak dasarnya. Kalau dia berjalan di bawah, di atas tanah, tentu akan sukar melihat semua itu bahkan melihat langitpun akan sukar sa-king lebatnya daun-daun pohon. Akan tetapi, dari atas tembok yang tinggi i-ni, dia seperti berdiri di puncak sebuah bukit dan dapat melihat sekeliling dengan jelas. Beberapa ekor burung be-terbangan dan seekor burung rajawali baru Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 35
saja meninggalkan cabang sebatang pohon. Gerakannya ketika meloncat dan terbang
membuat cabang itu bergoyang keras dan beberapa helai daun kering melayang-layang turun karena putus da-ri tangkainya. Sepasang mata kakek itu mengikuti beberapa helai daun kering yang melayang turun sambil menari-nari di udara itu, dan diapun tersenyum penuh bahagia.
Betapa bahagianya orang yang ma-sih mampu menikmati semua keindahan yang dihidangkan oleh alam di sekeliling kita. Kalau kita mau membuka mata dan mengamati sekeliling kita tanpa penilaian, maka kitapun akan dapat meli-hat segala keindahan itu! Dalam gerak- gerik setiap orang manusia, lambaian setiap ranting pohon, sinar matahari, tiupan angin, cerahnya bunga dengan keharumannya, kicaunya burung, senyum seorang muda, pandang mata seorang ibu kepada anaknya. Betapa indah mentakjubkan kesemuanya itu! Sayang, batin kita sudah terlampau sarat oleh segala ma-cam persoalan, segala macam masalah kehidupan, kepusingan, kesusahan, keta-kutan, kekhawatiran, kebencian, permusuhan, iri hati, cemburu yang mendatangkan kesengsaraan dalam batin. Batin yang sengsara, bagaimana mungkin dapat melihat keindahan itu" Segala hanya akan nampak buruk dan membosankan!
Tiba-tiba kakek itu mengangkat muka ke atas, agaknya dia baru teringat akan urusannya.
"Aih, masih amat jauh perjalanan, dan aku tidak boleh berlambat-lambatan begini." Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan lenyaplah bentuk tubuhnya. Yang nampak hanya bayangan kuning yang berkelebat cepat dan sebentar saja bayangan itu meluncur ke barat dan lenyap!
Kakek itu adalah seorang pertapa yang sudah puluhan tahun tidak pernah meninggalkan guha pertapaannya di He-lan-san, yaitu di daerah Mongolia Dalam sebelah selatan. Sudah dua puluh tahun kakek itu bertapa di He-lan-san, semenjak dia datang dari Pegunungan Himalaya di barat. Para penduduk perkampungan di sekitar Pegunungan He-lan-san menganggap dia sebagai seorang kakek pertapa yang baik hati, yang suka menolong orang dengan pengobatan, dan karena kakek itu dikabarkan amat sakti, maka semua orang menghormatinya dan dia disebut sebagai Pek-sim Sian-su. Se-butan pek-sim ini mungkin dimaksudkan untuk
memujinya sebagai seorang yang berhati putih, seorang yang amat budi-man. Dan kakek itu agaknya menerima pula begitu saja sebutan Pek-sim Sian-su (Guru Suci Berhati Putih).
Terjadi keanehan pada diri kakek itu. Beberapa waktu yang lalu, pada suatu malam, dia tiba-tiba saja terba-ngun dari tidurnya, lalu duduk bersila dan sampai setengah malam dia bersama-dhi. Lalu paginya, tanpa pamit kepada siapapun, dia pergi begitu saja meninggalkan guha pertapaannya dan melakukan perjalanan ke barat! Yang dituju ada-lah perbatasan Sin-kiang dan Tibet! Malam itu, dalam tidurnya dia seperti mendapat ilham yang mendorong dia harus melakukan perjalanan secepatnya menuju ke tempat itu. Seorang yang hidup suci seperti Pek-sin Sian-su, peristiwa mendapat ilham atau isarat gaib bukanlah hal yang aneh lagi. Seorang manusia yang hidup bersih lahir batin, yang tubuhnya tidak dikotori makanan-makanan enak yang merusak, tidak dilemahkan oleh kegiatan-kegiatan yang bergelimang nafsu, yang batinnya tidak dikotori oleh segala macam kenangan, gagasan, tidak dikotori oleh segala macam nafsu maka dia memiliki badan dan batin yang amat peka! Kekuatan alam ini adalah kekuatan yang memperlihatkan kebesaran dan kekuasaan Thian, dan alam telah memberi tanda-tanda, getaran-getaran pada badan dan batin manusia. Kalau manusia itu bersih lahir batin dan menjadi peka, maka dia akan mampu menerima isarat-isarat gaib ini, tanda-tanda melalui getaran atau bahkan panglihatan, dalam sadar maupun dalam tidur. Dan Pek-sim Sian-su sudah mencapai tingkat seperti itu, maka tidaklah mengherankan kalau pada hari itu dia kelihataan berlari cepat melalui Tembok Besar menuju ke barat.
Mari kita tengok apa yang sedang terjadi di perbatasan Propinsi Sin-kiang sebelah selatan yang berbatasan dengan Tibet. Tak jauh dari dusun Sung-jan, agak ke selatan, nampak Pegunung-an Kun-lun-san dengan bukit-bukitnya yang berbaris-baris, melintang dari barat ke timur menjadi perbatasan antara Sin-kiang dan Tibet. Biarpun tidak se-besar dan seluas atau Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 36
setinggi Pegu-nungan Himalaya, namun Pegunungan Kun-lun-san inipun sudah tetkenal sekali dengan puncak-puncaknya yang tinggi, jurang dan celah yang amat lebar dan dalam, dengan hutan-hutan lebat dan liar amat berbahaya bagi manusia yang bera-ni memasukinya.
Dan di Kun-lun-san ini terkenal pula dengan adanya banyak pendeta dan orang-orang menyucikan diri, pertapa-pertapa dan orang-orang yang berilmu tinggi. Bahkan satu di antata orang-orang pandai itu membentuk Kun-lun-pai atau Partai Persilatan Kun-lun yang amat terkenal.
Kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu, terjadi bentrokan antara para pendeta Lama di Tibet dengan beberapa o-rang pertapa di Himalaya. Yang menjadi sebab hanyalah perselisihan paham dalam kepercayaan dan keagamaan sehingga timbul bentrokan hebat! Betapa
banyaknya tokoh agama yang lupa bahwa agama dia-dakan sebagai tuntunan terhadap
manusia agar dapat hidup tenteram dan damai menjauhi segala bentuk permusuhan,
ke-bencian dan kejahatan. Akan tetapi, tanpa disadari, diantara mereka malah bentrok sendiri karena persaingan dan pertentangan paham dan gagasan!
Bentrokan antara para pendeta La-ma di Tibet dan para pertapa di Himalaya itu semakin meluas. Para pendeta Lama yang banyak jumlahnya dan di antara mereka banyak pula yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, menyerbu Himalaya dan mereka ini menyerang semua pertapa tanpa memperhitungkan apakah mereka itu terlibat dalam permusuhan ataukah tidak!
Banyak di antara para pertapa yang benar-benar sudah menjauhkan diri dari pada
permusuhan, maka mereka itu mengalah dan diam-diam menyingkir dari Himalaya dan
sebagian dari mereka "me-ngungsi" ke Kun-lun-san, mencari tempat pertapaan di tempat baru itu untuk menghindari permusuhan dan pengejaran para pendeta Lama di Tibet.
Demikian-lah, pada waktu ini, banyak terdapat pertapa di Kun-lun-san, yaitu para pe-larian dari Himalaya. Dan Pek-sim Sian-su juga merupakan seorang pertapa di Himalaya yang kemudian melanjutkan pe-ngungsiannya ke timur, jauh di timur sampai dia menetap di Pegunungan He-lan-san di daerah Mongolia Dalam.
Dan kini terjadi geger besar di Kun-lun-san karena munculnya lima o-rang pendeta Lama jubah merah yang mengamuk den menyerangi para pertapa di Kun-lun-san! Agaknya mereka itu adalah para pendeta dari Tibet yang masih me-naruh dendam terhadap para pertapa a-sal Himalaya, dan mendengar betapa pa-ra pertapa itu banyak yang melarikan diri ke Kun-lun-san, maka lima orang pendeta Lama Jubah merah itu lalu me-ngamuk ke sana! Dan menurut kabar, li-ma orang pendeta Lama itu memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat, mereka itu sakti sekali dan sudah banyak pertapa yang tidak berdosa menjadi korban dan terbunuh oleh mereka!
Keributan yang terjadi di Kun-lun-san itu juga mengguncang ketenteraman Kun-lun-san.
Tembok-tembok yang kokoh kuat dari perkumpulan silat besar ini seperti tergetar oleh keributan itu dan biarpun Kun-lun-pai tidak tersang-kut, namun tentu saja para tokohnya merasa tidak enak. Kun-lun-pai sudah di-akui sebagai sebuah partai persilatan yang besar, yang mengakui Pegunungan Kun-lun-san sebagai markas atau sumber mereka. Kalau kini ada orang-orang a-sing mengacau di Kun-lun-san, membunuhi para pertapa yang tidak berdosa, berarti mereka itu memandang rendah kepa-da Kun-lun-pai dan tidak menghargai Kun-lun-pai, berani melanggar wilayah-nya bahkan mendatangkan kekacauan.
Sementara itu, serbuan lima o-rang pendeta Lama jubah merah dari Ti-bet itu mendatangkan perpecahan di antara para pertapa dan pendeta sendiri. Para pertapa atau pendeta yang menga-nut Agama Buddha banyak yang berpihak kepada para pendeta Lama, sebaliknya para pertapa dan pendeta yang menganut Agama To menentang. Perpecahan ini me-nimbulkan pertentangan dan perkelahian di antara mereka sendiri dan karena para pertapa ini sebagian besar adalah orang-orang yang amat lihai dan tinggi ilmu kepandaiannya, maka terjadilah perkelahian dan pertempuran yang amat he-bat dan yang mengguncangkan Pegunungan Kun-lun-san dan menggetarkan tembok perkumpulan Kun-lun-pai.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 37
Ketua Kun-lun-pai pada waktu itu berjuluk Thian Hoat Tosu, seorang penganut Agama To yang taat. Dia memimpin Kun-lun-pai dibantu oleh seorang sute-nya yang berjuluk Thian Khi Tosu. Dua orang tosu ini memiliki ilmu silat yang tinggi dan di asrama Kun-lun-pai itu terdapat kurang lebih seratus orang murid Kun-lun-pai yang terbagi dalam em-pat tingkat.
Murid kepala atau tingkat pertama, hanya ada belasan orang dan mereka inilah yang mewakili dua orang guru mereka untuk memberi latihan dan bimbingan kepada para murid yang lebih rendah tingkatnya.
Thian Hoat Tosu dan Thian Khi To-su merasa gelisah sekali dengan adanya keributan di Kun-lun-san, dan pada pa-gi hari itu, mereka berdua bercakap-cakap di ruangan dalam tanpa dihadiri seorangpun murid karena mereka ingin bi-cara empat mata saja.
"Suheng, keadaan ini tidak mung-kin dapat dipertahankan dan didiamkan saja. Nama Kun-lun-pai akan tercemar dan menjadi buah tertawaan dunia kang-ouw sebagai tuan rumah yang tidak berani berkutik walaupun dihina oleh tamu-tamu kurang ajar!" kata Thian Khi Tosu dengan sikap marah.
"Siancai-siancai-siancai....!" Thian Hoat Tosu berseru lembut sambil me-rangkap kedua tangan di depan dada. "Semoga kita dapat tahan uji menghadapi cobaan ini, sute, Tentu engkau mak-sudkan gerakan yang dilakukan oleh pa-ra Lama jubah merah itu, bukan?"
"Benar sekali, suheng! Mereka itu dengan congkak mengaku sebagai Lima Harimau dari Tibet, dan lima orang pendeta Lama jubah merah itu sungguh som-bong sekali. Mereka menyerang dan mem-bunuhi para pertapa yang sudah lemah dan tua, mereka yang tidak berdosa apa pun. Bagaimana kita dapat memembiarkan saja mereka merajalela di Kun-lun-san yang menjadi wilayah kedaulatan Kun-lun-pai, suheng?"
"Aih, sute, apa yang dapat kita lakukan" Engkau tentu juga tahu bahwa permusuhan itu hanya merupakan kelan-jutan saja dari permusuhan beberapa puluh tahun yang lalu di Himalaya.
Para pendeta Lama itu agaknya mewakili para Dalai Lama di Tibet untuk menghukum mereka yang datang dari Himalaya. Selama mereka itu tidak mengganggu Kun-lun-pai, apa yang dapat kita lakukan" Mereka itu bermusuhan, dan kita tidak ter-libat apapun, bagaimana kita dapat mencampuri" Bisa menimbulkan salah paham lebih besar, sute."
"Tidak, suheng, pinto tidak setu-ju dengan pendapat itu! Kita selalu mencoba untuk menanamkan jiwa kesatria, jiwa kependekaran kepada para murid, agar mereka itu menentang yang jahat sewenang-wenang dan membela kaum lemah tertindas. Kalau sekarang kita melihat Lima Harimau Tibet itu sewenang-wenang membunuhi orang tidak berdosa dan kita tinggal diam, bukankah hal itu memberi contoh buruk sekali kepada para mu-rid?"
"Ingat, sute, selain itu kita juga mengajar mereka agar tidak mencampuri urusan orang lain yang tidak kita ketahui duduk perkaranya. Dalam urusan antara para Lama dan para pertapa itu-pun kita tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi antara mereka, tidak tahu siapa benar siapa salah. Bagaimana mungkin kita mencampuri" Tidak, sute, sekali lagi kuperingatkan.
Jangan eng-kau membawa Kun-lun-pai ke dalam per-musuhan antara mereka. Kita tunggu sa-ja perkembangan selanjutnya."
"Dan membiarkan pembantaian terus dilakukan oleh para Lama yang buas i-tu" Ah, pinto akan bersamadhi dan mo-hon kekuatan batin bagi kita semua, suheng," berkata demikian, dengan muka yang tidak puas dan penuh penasaran, Thian Khi Tosu meninggalkan suhengnya untuk bersamadhi di dalam kamarnya sendiri.
Sementara itu, beberapa li jauhnya dari asrama Kun-lun-pai, dua orang pe-muda sedang berjalan sambil memanggul belanjaan di punggung mereka. Mereka adalah Ciang Sun den Kok Han, dua o-rang murid Kun-lun-pai tingkat tiga, dua orang pemuda berusia kurang lebih dua puluh tahun yang sudah lima tahun menjadi murid Kun-lun-pai. Mereka itu bertubuh tegap dan bersikap gagah, dan biarpun sudah lima tahun berlatih dengan tekun, mereka baru memiliki ting-kat tiga. Hal ini membuktikan betapa tingginya ilmu silat Kun-lun-pai, dan betapa sulitnya untuk mencapai tingkat pertama. Sebagai murid tingkat tiga, mereka sudah Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 38
diperkenankan membawa sebatang pedang di pinggang mereka, wa-laupun pedang itu hanya mereka bawa sekedar untuk berjaga diri dan untuk di-pergunakan membela diri saja, bukan untuk menyerang orang lain. Sangsi hukuman bagi murid Kun-lun-pai amat berat kalau mereka melanggar peraturan perguruan.
Ciang Sun dan Kok Han berjalan memanggul barang belanjaan sambil bercakap-cakap.
Mereka baru saja pulang da-ri sebuah pasar di dusun kaki pegunungan untuk membeli rempa-rempa dan bumbu-bumbu masak karena persediaan di asrama telah habis.
Tiba-tiba keduanya berhenti me-langkah dan memandang ke arah kiri da-ri mana mereka mendengar suara orang membentak-bentak. "Engkau harus menjadi tawanan kami, menyerah untuk kami bawa pulang ke Tibet dan menerima keputusan pimpinan kami, atau kalau engkau tidak mau menyerah, terpaksa akan kubunuh di sini!" demikian suara yang membentak itu.
"Siancai....! Puluhan tahun yang lalu, ketika pinto masih agak muda dan bertapa di Himalaya, kalian ini para Lama sudah memburu dan membunuhi para pertapa yang tidak berdosa. Pinto ti-dak mau terlibat dan pergi mengungsi ke Kun-lun-san, dan hari ini, dalam u-sia pinto yang sudah tua, kalian tetap saja melakukan penangkapan dan pembunuhan terhadap kami yang tidak berdosa," terdengar suara yang halus menjawab.
Ciang Sun dan Kok Han sudah menu-runkan bawaan mereka dan dengan hati-hati menyelinap di antara pohon-pohon mendekati tempat itu, kemudian mereka mengintai. Kiranya dua orang pendeta Lama sedang menyeret seorang tosu tua yang kini duduk bersila di atas tanah, pakaiannya robek-robek, dan dua orang Lama itu berdiri dengan sikap mengan-cam di depannya. Dua orang Lama itu berusia sekitar limapuluh tahun, bertubuh tinggi besar, kepala mereka gundul dan pakaian mereka serba kuning dengan jubah luar berwarna merah darah.
Ada-pun tosu itu berpakaian putih, kotor dan robek di beberapa bagian, rambut-nya sudah putih semua, panjang dan di-gelung ke atas. Usia tosu itu tentu sudah tujuh puluh tahun.
"Tidak berdosa" Omitohud.... ma-na ada orang mengakui kesalahannya" Kalian ini para pertapa, sejak puluhan tahun yang lalu, di Himalaya telah mempunyai rencana jahat, berniat memberontak dan berusaha menggulingkan kekuasaan Dalai Lama dan merampas kekuasaan.
Kalau orang-orang macam kalian ini tidak dibasmi, kelak hanya akan menda-tangkan keributan saja!" bentak Lama yang ada codet bekas luka di dahinya.
"Sudahlah, untuk apa bicara panjang lebar dengan dia" Heh, tosu kepa-rat, bukankah engkau seorang di antara mereka yang berani memakai julukan Himalaya Sam Lojin (Tiga Orang Kakek Himalaya) itu dan julukanmu adalah Pek In Tosu?" teriak Lama ke dua yang mukanya bopeng.
"Siancai...., memang pinto disebut Pek In Tosu, dan kami tiga orang kakek dari Himalaya sudah bersumpah tidak akan membiarkan kebencian mengua-sai hati, apalagi memberontak."
"Aahh, tidak perlu banyak cakap lagi!" kata pula si codet. "Kalau hen-dak membela diri, nanti saja di depan pimpinan kami di Lhasa! Hayo ikut dengan kami!"
"Siancai....! Pinto sudah tua, tidak sanggup lagi melakukan perjalanan ke Tibet yang amat jauh itu. Pinto tidak bersedia ikut dengan kalian ke sana."
"Apa" Kalau begitu, kami akan membunuhmu di sini juga!" teriak si muka bopeng.
Dua orang murid Kun-lun-pai yang sejak tadi bersembunyi dan mengintai, menjadi marah sekali dan kesabaran me-rekapun hilang. Sebagai murid-murid Kun lun-pai yang sejak pertama kali masuk ke asrama itu diajarkan sikap pendekar yang menentang penindasan, tentu saja mereka marah melihat sikap dua pendeta Lama itu. Apalagi merekapun seperti murid Kun-lun-pai yang lain, sudah men-dengar akan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh sekelompok pendeta Lama sebanyak lima orang. Kabarnya, mereka itu menangkapi dan membunuhi para pertapa, terutama para tosu dan hal i-ni sudah menimbulkan perasaan tidak senang dalam hati mereka terhadap para pendeta Lama itu. Kini mereka melihat dan mendengar dengan mata dan telinga sendiri, tentu saja mereka kehabisan kesabaran. Bagaikan dikomando saja, dua orang pemuda itu melompat ke depan dua orang pendeta Lama dengan Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 39
sikap gagah. "Kalian ini adalah orang-orang tua yang sudah mencukur gundul rambut dan memakai jubah pendeta!" teriak Ciang Sun, pemuda yang bertubuh tinggi besar. "Akan tetapi tindakan kalian seperti penjahat-penjahat keji saja, hendak memaksakan kehendak kepada orang lain dengan jalan menjatuhkan fitnah keji!"
"Totiang, silakan mundur, biarlah kami berdua yang menghadapi pendeta tersesat ini!" kata Kok Han.
Sementara itu, dua orang pendeta Lama itu saling pandang, kemudian mereka menghadapi dua orang pemuda itu de-ngan alis berkerut. Si codet menyapu dua orang pemuda itu dengan pandang matanya yang liar dan tajam seperti mata harimau, dan suaranya terdengar parau dan penuh teguran.
"Hemm, kalian ini bocah-bocah ingusan dari mana berani mencampuri u-rusan orang-orang tua" Mengingat kali-an masih kanak-kanak, biarlah pinceng berdua memaafkan perbuatan kalian yang lancang ini. Pergilah sebelum kami ke-hilangan kesabaran."
"Kami bukan orang yang suka mencampuri urusan orang lain, akan tetapi kami juga bukan orang yang dapat membiarkan saja terjadinya kesewenang-wenangan dan penindasan. Sejak pertama kali menjadi murid Kun-lun-pai, kami sudah digembleng untuk menentang kejahatan seperti yang kalian lakukan sekarang ini!" kata pula Ciang Sun yang tinggi besar, bertenaga raksasa dan mukanya yang persegi membuat dia nanpak gagah sekali. Kok Han bertubuh sedang, wajahnya bulat dan tampan, apalagi dihias brewok yang terpelihara rapi, membuat diapun nampak gagah.
Dua orang Lama itu saling pandang dan tertawa, lalu Lama yang mukanya bopeng berkata,
"Ha-ha-ha, sejak kapan-kah Thian Hwa Tosu ikut-ikutan mencam-puri urusan kami dan berani menentang para Lama dari Tibet?"
Lama yang mukanya terhias codet memandang kepada dua orang pemuda itu dengan mata mencorong, lalu berkata, "Kalian dua orang anak kecil cepat kembali ke Kun-lun-pai dan sampaikan kepada ketua kalian bahwa kami, Lima Hari-mau dari Tibet, tidak ingin melihat Kun-lun-pai mencampuri urusan pribadi kami. Katakan bahwa kami berdua, Thay Ku Lama dan Thay Si Lama, yang menyuruh kalian!"
"Kami tidak diperintah oleh Suhu! Kun-lun-pai tidak tahu menahu akan tindakan kami ini!
Kami bertindak atas nama sendiri yang tidak rela melihat kalian mempergunakan kekerasan bertindak sewenang-wenang. Kalau kalian membebaskan totiang ini, baru kami mau sudah!"
kata Ciang Sun.
"Siancai....! Ji-wi kong-cu (ke-dua tuan muda) harap berhati-hati dan jangan membela pinto karena hal itu membahayakan keselamatan ji-wi sendi-ri," kata tosu itu dengan wajah khawatir.
"Biarlah totiang, kami yang ber-tanggung jawab," kata Ciang Sun, se-dangkan Kok Han sudah melangkah maju menghadapi dua orang pendeta Lama itu. "Sekali lagi, kami harap kalian pendeta-pendeta tua yang sepatutnya mencari kebaikan dan melaksanakan kebaikan di dunia ini, suka membebaskan totiang ini agar kami dua orang muda ti-dak perlu turun tangan mempergunakan kekerasan!" berkata demikian, Kok Han sudah memasang kuda-kuda dan kedua ta-ngannya dikepal. Juga Ciang Sun sudah berdiri di sebelahnya, juga memasang kuda-kuda, siap untuk bertanding!
Kembali dua orang Lama itu saling pandang, kemudian mereka tertawa dan Thay Si Lama yang bermuka bopeng berkata dengan nada mengejek, "Kami tidak akan membebaskan dia, dan hendak kami lihat kalian ini tikun-tikus cilik da-ri Kun-lun-pai dapat melakukan apakah?"
Ini merupakan tantangan dan tentu saja dua orang pemuda Kun-lun-pai itu menjadi marah, apalagi mereka disebut tikus-tikus cilik Kun-lun-pai yang berarti menghina pula perkumpulan mereka.
"Engkau memang Pendeta sesat yang jahat!" bentak Ciang Sun sambil menye-rang Thay Si Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 40
Lama si muka bopeng.
"Kalian memang patut dihajar agar tidak membikin kacau lagi di daerah Kun-lun-pai!" bentak Kok Han yang juga sudah menerjang Thay Ku Lama, yaitu pendeta Lama yang bermuka
codet. "Plak! Plak!"
Pukulan dua orang pemuda itu sama sekali tidak ditangkis oleh dua oraag Lama itu, bahkan diterima dengan dada terbuka. Kepalan kanan dua orang pemu-da itu dengan tepat mengenai dada mereka, akan tetapi apa yang terjadi" Dua orang pemuda itu terpental ke belakang dan terbanting roboh bergulingan! Ketika bangkit kembali, mereka menyeringai kesakitan karena kepalan tangan kanan mereka telah menjadi bengkak dan mem-biru! Dasar orang muda yang kurang pe-ngalaman. Hal itu tidak membuat mereka menjadi jera, bahkan mereka merasa penasaran sekali. Dengan tangan kiri, mereka mencabut pedang dari pinggang masing-masing dan mereka berduapun menyerbu ke depan, menusukkan pedang me-reka ke arah dada dua prang pendeta Lama itu,
Kini dua orang pendeta Lama itu menggerakkan tangan, menyambut pedang itu dengan tangan telanjang. Pedang dari dua orang pemuda itu bertemu dengan telapak tangan mereka yang mencengke-ram.
"Krekkk! Krekkk!" Dua batang pedang itu patah dan hancur dalam ceng-keraman dua orang kakek Lama itu dan sebelum dua orang pemuda itu hilang rasa kaget mereka, Thay Ku Lama si muka codet sudah melangkah maju, dua kali tangannya bergerak ke arah pundak dua orang murid Kun-lun-pai itu dan merekapun roboh terjungkal dan tidak mampu bergerak lagi karena jalan darah mere-ka telah tertotok! Mereka telentang dan hanya dapat memandang dengan mata melotot.
Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Thay Si Lama yang mukanya bopeng mencela temannya. "Suheng, kenapa ti-dak habiskan saja mereka ini" Dari pada kelak menjadi penyakit, biar kuha-biskan saja nyawa mereka!"
Berkata de-mikian, Thay Si Lama melangkah maju dan tangannya sudah bergerak hendak memberi pukulan maut kepada dua orang murid Kun-lun-pai yang sudah tidak berdaya itu.
"Siancai...., kalian terlalu kejam, tidak mungkin pinto tinggal diam saja!" Tiba-tiba kakek yang berpakaian putih dan rambutnya yang putih digelung ke atas itu sudah berkelebat dan nampak bayangan putih, tahu-tahu pukulan yang dilepaskan Thay Si Lama ke a-rah dua orang pemuda itu telah tertangkis.
"Dukkk!" Dua lengan bertemu dan akibatnya, Thay Si Lama terdorong ke belakang dan terhuyung. Kini mereka ber-dua berdiri menghadapi tosu itu dan muka Thay Si Lama yang bopeng itu menja-di merah padam.
"Omitohud, bagus sekali! Sekarang Pek In Tosu unjuk gigi dan melawan ka-mi!" kata Thay Ku Lama si muka codet sambil menyeringai mengejek. "Mengapa tadi pura-pura alim dan sama sekali tidak melakukan perlawanan?"
"Siancai....! Sudah puluhan tahun kami para pertapa mencoba untuk melenyapkan semua bentuk nafsu, dan kami pantang mempergunakan kekerasan. Akan tetapi, melihat betapa kalian hendak membunuh dua orang muda yang sama sekali tidak berdosa, bagaimana
mungkin pinto mendiamkannya saja" Kalian telah menghajar dua orang bocah ini untuk kelancangan mereka, akan tetapi kenapa hendak kalian bunuh" Apakah kalian ju-ga sudah siap untuk menentang Kun-lun-pai?"
"Pek In Tosu, semua orang tahu bahwa engkau adalah seorang di antara Himalaya Sam Lojin yang kabarnya memiliki ilmu kesaktian luar biasa. Akan tetapi jangan mengira kami Lima Hari-mau Tibet akan gentar menghadapimu. Nah, keluarkanlah kesaktianmu karena kami hendak membunuh engkau dan juga dua orang bocah ini!" kata Thay Ku La-ma dan pendeta Lama yang mukanya codet dan perutnya gendut itu tiba-tiba memasang kuda-kuda yang aneh, yaitu seperti orang berjongkok, kedua lengan ditekuk dengan tangan membentuk cakar, te-lentang di kanan kiri dada, dan perut-nya yang gendut itu makin lama semakin
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 41
menggembung ketika dia menyedot napas sebanyaknya sampai keluar suara angin berdesis.
Lalu dari dalam perutnya terdengar suara "kok-kok!" dan kedua ta-ngan yang tadinya telentang itu kini menelungkup perlahan-lahan, seluruh tubuhnya tergetar dan seluruh syarafnya menegang karena dia siap melancarkan pukulan maut yang amat dahsyat.
Agak-nya, menghadapi seorang di antara Himalaya Sam Lojin, Lama yang mukanya co-det dan perutnya gendut ini hendak mengeluarkan ilmu simpanannya agar de-ngan sekali pukul atau sekali serang dia sudah akan mampu merobohkan lawan-nya yang dia duga tentu lihai sekali.
Diam-diam Pek In Tosu terkejut. Dia sudah pernah mendengar akan ilmu yang kini
diperlihatkan lawannya itu. Itu adalah sejenis pukulan jarak ja-uh yang mengandalkan sin-kang dan khi-kang, yang dinamakan Hek-in Tai-hong-ciang (Tangan Sakti Awan Hitam dan Ba-dai). Dari perut gendut yang menggem-bung itulah datangnya dorongan tenaga sakti yang amat ampuh. Maklum bahwa lawan telah mengeluarkan ilmu simpanan-nya, siap
menyerangnya, Pek In Tosu berkata lembut.
"Siancai...., pinto melanggar pantangan, semoga mendapat pengampunan....!" Dan kakek inipun menggerakkan kedua lengannya, diputar seperti mem-bentuk bulatan-bulatan yang saling do-rong, tubuhnya makin direndahkan dan kedua kakinya dipentang lebar, lalu kedua tangannya berhenti bergerak, sa-ling bertemu di depan dada seperti me-nyembah dan diapun sudah siap menanti serangan dahsyat dari lawannya.
Bunyi kok-kok-kok dari perut Thay Ku Lama semakin keras dan semakin ce-pat dan dari kedua telapak tangannya mengepul uap hitam! Telapak tangan i-tupun berubah kehitaman.
Sungguh dahsyat bukan main ilmu ini, dahsyat dan amat berbahaya bagi lawan. Pek In Tosu melihat ini semua, namun dia masih tetap tenang saja, bukan tanang meman-dang rendah, melainkan tenang menghe-dapi apapun yang terjadi dan yang akan menimpa dirinya.
Tiba-tiba Thay Ku Lama yang membuat kuda-kuda seperti seekor katak i-tu, menerjang dan tubuhnya meloncat ke atas depan, bunyi kok-kok semakin ke-ras dan tiba-tiba ada angin besar sekali menyambar ke arah Pek In Tosu dan angin keras itu membawa tenaga pukulan dahsyat dan uap hitam! Bakan main dahsyatnya serangan ini. Angin itu saja mengandang tenaga sakti yang amat ku-at dan mampu merobohkan lawan, asap hitam itupun mengandung racun yang berbahaya, apa lagi kalau tubuh lawan sam-pai tersentuh oleh kedua telapak tangan hitam itu.
Akan tetapi, tiba-tiba dari kedua telapak tangan Pek In Tosu keluar asap putih! Itulah ilmu kesaktian Pek In Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih) yang menyambar ke depan,
menyambut a-ngin dan asap hitam dari pukulau lawan. Kaki kakek tua itu bergeser ke kiri dan kedua tangannya membuat gerakan memutar dari kiri, menangkis kedua ta-ngan lawan yang digerakkan lurus ke depan seperti orang mendorong daun pin-tu.
"Plak! Plakk!" Dua pasang tangan bertemu, dan akibatnya, tubuh gendut dari Thay Ku Lama terpelanting ke kiri.
Akan tetapi, kuda-kuda Pek In Tosu ju-ga terguncang sehingga kakek itu terpaksa melangkah mundur tiga langkah untuk mengembalikan keseimbangan tubuhnya. Pada saat itu, dari arah kanan Thay Si Lama telah menyerangnya. Lama bermuka bopeng ini juga lihai bukan main dan begitu menyerang, dia telah mengeluarkan ilmu simpanannya yaitu yang disebut Sin-kun Hoat-lek (Ilmu Sihir Silat Sakti). Bukan saja kedua tangan itu membagi-bagi tamparan dan totokan maut, akan tetapi juga dari kedua te-lapak tangan itu keluar angin pukulan dahsyat yang mengeluarkan suara bercu-itan, dan juga mengandung tenaga muji-jat dari ilmu sihir yang membuat kedua tangan itu seolah-olah berubah menjadi puluhan banyaknya dan
menyerang dari semua sudut!
Melihat ini, Pek In Tosu memuji dan berseru, "Siancay....!" Dilanjut-kan dengan pembacaan mantram dan diapun tetap mempergunakan ilmu pukulan sakti Pek In Sin-ciang. Terjadilah pertandingan silat yang aneh dan seru. Semua sambaran tangan Thay Si Lama yang disertai hawa mujijat itu seperti ter-tolak mundur semua oleh awan putih yang keluar dari kedua Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 42
telapak tangan Pek In Tosu. Bahkan kini asap atau a-wan putih semakin besar dan semakin tebal, mendesak Thay Si Lama yang mulai main mundur! Melihat ini, Thay Ku La-ma
mengeluarkan suara kok-kok-kok lagi dan diapun membantu sutenya, mengero-yok Pek In Tosu!
Dikeroyok dua oleh dua orang Lama yang sakti itu, Pek In Tosu yang sudah tua sekali itu kelihatan terdesak! Se-betulnya dengan tenaga sin-kangnya yang setingkat lebih kuat, dan keringanan tubuhnya yang memudahkan dia untuk berkelebat menghindarkan diri dari pukulan-pukulan daheyat kedua orang lawannya, Pek In Tosu tidak perlu terdesak. Namun, usianya sudah tujuh puluh tahun dan tubuhnya sudah mulai lemah dimakan uiia, juga selama puluhan tahun ini dia tidak pernah bertanding, maka tentu saja dia kewalahan dan akhirnya terdesak. Kedua orang lawannya, dua orang pendeta Lama yang usianya baru lima puluhan tahun itu, agaknya memang terlatih dan mereka seringkali berkelahi maka gerakan mereka lebih lincah dan juga daya tahan mereka lebih kuat.
Tiba-tiba Pek-sin Tosu berseru, "Siancai....!" dan dia lalu duduk ber-sila di atas tanah! Thay Ku Lama dan Thay Si Lama tertegun menahan gerakan mereka, terheran-heran melihat lawan mereka kini tiba-tiba duduk bersila dan memejamkan mata seperti orang bersamadhi, kedua telapak kaki telentang di atas paha, itulah duduk bersila da-lam kedudukan Teratai yang kokoh kuat. Mereka mengira bahwa kakek itu sudah kelelahan dan pasrah mati maka
keduanya lalu saling pandang dan Thay Ku Lama menghantamkan tangan kanannya ke a-rah ubun-ubun kepala Pek In Tosu. Ilmu Hek-in Tai-hong-ciang hanya dapat dilakukan dalam keadaan berjongkok menye-rang ke atas, ke arah lawan yang berdiri. Kini lawannya duduk bersila, maka tentu saja dia tidak dapat menggunakan tenaga katak sakti itu! Dia menghantam dengan telapak tangan terbuka ke arah ubun-ubun kepala dan kalau mengenai sasaran, tak dapat diragukan lagi lawan-nya tentu akan tewas seketika!
Pek In Tosu mengangkat tangan ki-rinya menangkis.
"Dukkk!" Tubuh Thay Ku Lama terpental! Kiranya kakek tua renta itu duduk bersila bukan karena putus harapan dan menerima binasa, melainkan dia mengam-bil sikap bertahan dan melindungi tu-buhnya secara yang paling istimewa dan paling kuat! Kedudukan seperti Teratai itu memang merupakan cara bersila yang paling kokoh kuat seperti piramida, dan seolah-olah kakek itu dapat menye-dot hawa bumi yang membuat tubuhnya kuat sekali dan tangkisannya membuat la-wan terpental! Thay Si Lama menjadi penasaran dan diapun menyerang dari arah belakang. Akan tetapi, kembali Pek In Tosu menangkis, tangannya diangkat ke arah belakang dan begitu kedua tangan bertemu, tubuh Thay Si Lama terpental dan terhuyung!
Dua orang pendeta Lama itu menja-di semakin penasaran. Mereka adalah dua orang tokoh yang kenamaan, dua di antara Lima Harimau Tibet yang sudah amat terkenal. Sejak belasan tahun ini mereka adalah tulang punggung dari pemerintahan Dalai Lama. Merekalah yang menjaga kedaulatan dan kekuasaan Dalai Lama sehingga ditaati oleh jutaan orang ma-nusia!
Selama ini, belum pernah Harimau Tibet bertemu tanding. Mustahil kalau kini, menghadpi seorang pertapa tua renta saja, mereka sampai tidak mampu merobohkan, padahal pertapa itu kini sama tidak dapat membalas lagi, hanya duduk bersila sambil membela diri!
Namun, berkali-kali menyerang, baik bergantian maupun berbareng dan hasilnya sama saja.
Setiap kali ditangkis, mereka terpental dan terhu-yung, bahkan pernah hampir terjengkang.
Agaknya, makin keras mereka mempergunakan tenaga, semakin kuat pula tolakan Pek In Tosu yang menangkis mereka. Ke-duanya saling pandang, memberi isarat dengan kedipan mata dan tiba-tiba merekapun menghentikan serangan mereka dan berdiri di depan dan belakang Pek In Tosu dalam jarak kurang lebih tiga me-ter. Kemudian, mulailah mereka berjalan mengitari kakek yang duduk bersila itu dan keduanya mulai mengeluarkan lagu-lagu pujaan atau nyanyian yang biasa-nya mereka nyanyikan di dalam kuil me-reka untuk memuja para dewa. Akan tetapi, lagu yang mereka nyanyikan ini la-in lagi, ada hubungannya dengan Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 43
ilmu sihir dan nyanyian ini bukan untuk me-muja para dewa saja, melainkan juga untuk mengundang setan dan meminjam kekuasaan setan untuk mengalahkan musuh!
Suara nyanyian itu aneh dan menyeram-kan. Suara Thay Ku Lama parau dan besar, dan kadang-kadang di dalam suara-nya ada selingan suara kok-kok-kok se-perti kalau dia mengerahkan ilmu Hek-in Tai-hong-ciang, sedangkan suara Thay Si Lama yang bermuka bopeng itu tinggi mencicit seperti suara seekor tikus yang terjepit. Suara nyanyian itu bu-kan suara sembarangan, melainkan dike-luarkan dengan tenaga khi-kang dan si-hir, suara itu makin lama semakin menggetar dan berirama, dan dua orang pen-deta Lama itu bernyanyi sambil melangkah mengelilingi tubuh Pek In Tosu dan kini kepala mereka menggeleng-ge-leng menurutkan irama lagu mereka! Aneh memang! Makin lama, nyanyian mere-ka itu seolah-olah terseret oleh gelombang suara nyanyian mereka.
Mula-mula, tubuh Pek In Tosu gemetar, kemudian, dari kepalanya keluar uap putih tipis yang membubung ke atas. Itulah tandanya bahwa dia sedang berjuang mati-matian untuk melawan pengaruh hebat dari nyanyian itu! Pek In Tosu bukanlah seorang yang lemah batinnya.
Sebaliknya, karena hasil samadhi yang berpuluh tahun, dia memiliki batin yang amat kuat dan tidak mudah dia dipenga-ruhi kekuatan apapun dari luar. Namun, diserang oleh kekuatan suara itu, dia harus mengerahkan seluruh tenaga batinnya untuk tidak terpengaruh. Suara itu tetap saja terdengar biarpun dia beru-saha mematikan pendengarannya, seolah-olah suara itu mempunyai kekuatan gaib untuk menembus dirinya tanpa melalui alat pendengaran! Dan getaran yang disebabkan suara itu membuat tubuhnya gemetar. Diapun lalu melawan, mengerahkan khi-kang dan dari kepalanya keluar uap putih yang makin lama semakin menebal. Akan tetapi, pertahanannya agaknya go-yah karena perlahan-lahan akan tetapi pasti, kepala Pek In Tosu mulai bergo-yang-goyang perlahan-lahan! Makin la-ma, goyangan kepala Pek In Tosu sema-kin nyata dan mengarah geleng-geleng kepala seperti yang dilakukan oleh dua orang penyerangnya!
Keadaan kakek tua renta itu kini gawat sekali. Ilmu yang dilakukan oleh dua orang itu adalah semacam ilmu I-hu-to-hoat (hypnotism) melalui pengaruh suara yang mengandung sihir.
Kalau Pek In Tosu sudah benar-benar mengikuti irama nyanyian itu berarti dia sudah kena dicengkeram dan tentu dia akan mudah dirobohkan dan dibunuh karena semangatnya seolah-olah sudah di dalam cengkeraman kekuasaan dua orang pendeta Lama itu!
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan nyawa Pek In Tosu itu, tiba-tiba di dalam kesunyian tempat yang amat sepi itu terdengar suara yang memecahkan kesunyian. Tadinya hanya suara nyanyian aneh kedua orang pendeta Lama itu yang terdengar, dengan irama yang semakin mantap. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara tak-tok-tak-tok yang nyaring, suara bambu dipukul-pukulkan pada batu! Suara inipun nyaring sekali, tidak kalah oleh nyaringnya suara nyanyian, dan berirama pula, akan tetapi iramanya sama sekali tidak serasi dengan irama nyanyian dua orang pendeta Lama! Bahkan sebaliknya, irama tak-tok-tak-tok itu menjadi lawan dan menjadi kebalikannya dan tentu saja kini terdengar suara yang kacau balau karena irama nyanyian itu bertabrakan dengan irama bambu yang dipukul-pukul batu.
Siapakah yang memukuli batu dengan bambu itu"
Tak jauh dari situ nampak seorang anak laki-laki yang menggunakan sepotong bambu memukuli batu besar di depannya. Irama pukulan bambu itu bertolak belakang dengan irama nyanyian dua orang pendeta Lama, maka tentu saja hal ini mengganggu konsentrasi, bahkan mengacaukan "paduan suara" antara mereka. Dua orang pendeta Lama itu terkejut dan marah, dan mereka cepat-cepat menyesuaikan irama nyanyian mereka dengan ketukan irama bambu, karena kalau irama mereka bersatu, maka kekuatan daya serangan dari suara mereka akan menjadi semakin mantap dan besar. Seperti orang bernyanyi yang diiringi musik, akan menjadi semakin enak didengar dan menghanyutkan. Sejenak mereka berhasil dan nyanyian mereka itu menjadi semakin mantap, dan kini Pek In Tosu makin mengikuti bunyi nyanyian itu, mengikuti iramanya dengan geleng-geleng kepa-la! Akan tetapi hanya sebentar saja Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 44
karena ketukan bambu itu kini berubah lagi iramanya, kembali menjadi berlawan-an dengan irama nyanyian dua orang pendata Lama, bahkan kini ketukannya men-jadi keras dan iramanya sengaja dibuat kacau-balau, kadang-kadang cepat, ka-dang-kadang sedang dan berubah lagi menjadi lambat, kadang-kadang iramanya satu-satu, dua-dua, berubah menjadi satu-dua satu-tiga, dua-tiga dan sebagainya. Tentu saja tidak mungkin bagi dua orang kakek Lama untuk menyesuaikan lagi irama nyanyian mereka dan kini bu-nyi-bunyian yang
terdengar demikian kacau balau sehingga daya hanyutnya men-jadi kacau dan lemah sekali, dan Pek In Tosu, seperti orang yang baru sa-dar bahwa tadi dia telah hanyut, kini nampak duduk bersila dengan tegak lu-rus dan sama sekali tidak bergerak! Dari kepalanya juga tidak lagi keluar u-ap putih, dan kepalanya tidak lagi di-geleng-gelengkan. Bahkan dua orang pendeta Lama yang tadinya mengitari Pek In Tosu sambil bernyanyi dan mengge-leng-geleng kepala memantapkan irama nyanyian mereka, kini langkah-langkah kaki mereka kacau, dan gelengan kepala mereka ngawur dan kacau, kaku dan ka-dang-kadang keliru menjadi angguk-ang-gukan!
Anak laki-laki itu berusia kurang lebih tiga belas tahun dengan pakaian yang sudah kumal den robek-robek seperti pakaian seorang gelandangan. Rambutnya panjang den tidak terawat, awut-awutan, sebagian menutupi dahi dan mu-kanya. Wajah itu tidak buruk, bahkan
bentuknya tampan, matanya lebar dan memiliki sinar terang, sepasang mata yang jernih dan jeli seperti mata burung Hong, namun wajah itu mendatangkan ra-sa iba bagi yang
melihatnya. Punggung-nya bongkok dan agaknya ada daging me-nonjol di punggung itu.
Anak itu bukan lain adalah Sie Liong! Seperti kita ketahui, Sie Liong merasa selalu berduka dan gelisah se-jak terjadi peristiwa perkelahian antara dia yang membantu Yauw Bi Sian melawan Lu Ki Cong dan kawan-kawannya. Dia menerima kemarahan dari cihu-nya, bah-kan menerima pukulan yang membuat kepalanya berdenyut nyeri dan punggungnya lebih nyeri lagi. Dan dia mendengar bahwa Lu Ki Cong, putera Lu-ciangkun komandan pasukan
keamanan di kota Sung-jan itu bahkan telah disepakati akan menjadi calon jodoh Bi Sian!
Semenjak itu, hatinya selalu merasa tidak tenang, apalagi ketika mere-ka melakukan sembahyangan dan dia men-dengar bahwa ayah ibunya meninggal du-nia karena penyakit menular di dusun mereka, yaitu Tiong-cin, hatinya mera-sa semakin berduka dan gelisah.
Pada suatu malam, ketika dia tidak dapat pulas dan selalu gelisah, dia meninggal-kan kamarnya yang berada di ujung belakang, lalu berjalan ke kebun samping rumah. Tiba-tiba dia mendengar suara encinya bercakap-cakap dengan cihu-nya dan dari suara cihu-nya, dia tahu bahwa cihu-nya itu sedang marah dan suaranya keras! Memang kamar enci dan cihu-nya itu menghadap ke kebun dan suara itu keluar melalui celah-celah jendela me-reka yang tertutup. Kamar Bi Sian ber-ada di sebelah lagi, dan jendela kamar gadis cilik itu telah gelap, tanda bahwa ia tentu telah tidur. Sebaliknya, dari jendela kamar encinya nampak cahaya lampu belum dipadamkan.
"Jelas bahwa dia salah besar!" terdengar suara cihu-nya membentak nyaring. "Pertama, dia mencuri belajar ilmu si-lat padahal sudah kularang dia belajar silat! Ke dua, dia berani mencari keributan dan berkelahi dengan anak-anak, bahkan memukul dan menggigit putera Lu-ciangkun yang hendak kujodohkan dengan Bi Sian. Anak itu memang keterla-luan, dan engkau bahkan membela anak bongkok jelek itu!"
"Apa" Bongkok jelek katamu" Ja-ngan kaukira aku tidak tahu bahwa eng-kaulah yang membuat dia menjadi bong-kok!"
"Eh" Apa yang kaukatakan itu?" cihu-nya bertanya kaget, sama kagetnya dengan dia sendiri mendengar ucapan encinya itu.
"Ya, engkau yang membuat dia men-jadi bongkok! Karena engkau takut kepadanya! Itu pula sebabnya engkau mela-rang dia belajar silat. Engkau takut kepadanya!"
"Ssttt....! Lan Hong, apa yang kaukatakan ini?"
Terdengar encinya menangis. "Setelah.... setelah apa yang kulakukan untukmu semua....
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 45
setelah kuserahkan badanku, Cintaku, kesetiaanku padamu, hanya dengan harapan agar adikku diselamatkan...., masih kurang besarkah pengorbananku" Dia sudah menjadi
bong-kok, cacat, dan engkau.... masih juga membencinya?"
"Kau keliru, Lan Hong. Engkau tahu bahwa akupun suka padanya, hanya aku...., benarlah, aku khawatir dan kaupun tahu betapa aku cinta padamu. Aku telah merobah hidupku, mencari nama baik dan kedudukan yang terpandang. Semua ini untukmu dan untuk Bi Sian.
Akan tetapi adikmu itu.... dia seakan-akan menjadi penghalang kebahagiaan kita.... aku selalu khawatir dan kadang--kadang aku bermimpi buruk, tak dapat tidur...."
Hening sejenak, lalu terdengar encinya berkata lirih. "Aku dapat memaklumi perasaan hatimu, akan tetapi.... aku tetap menuntut agar adikku yang tunggal itu tidak diganggu!"
"Lan Hong, demi kebahagiaan kita, anak itu harus disingkirkan."
"Apa?" Encinya setengah menjerit. "Maksud.... maksudmu....?"
"Biar kutitipkan dia di sebuah kuil besar, agar di sana dia dapat menjadi seorang kacung, dan mudah-mudahan kelak dia menjadi seorang hwesio. Bu-kankah hal itu amat baik baginya"
Men-jadi seorang hwesio adalah kedudukan yang terhormat, mulia dan disegani orang."
"Ahhh.... tapi.... tapi...."
"Tidak ada tapi lagi, isteriku yang manis. Bukankah engkau menghendaki agar kebahagiaan kita tidak tergang-gu dan keselamatan adikmu terjamin pu-la?"
Setelah hening sampai lama, enci-nya berkata, "Baiklah, akan tetapi aku harus tahu di kuil mana dia dititip-kan, dan aku dapat mengunjunginya dan menjenguknya sewaktu-waktu...."
Sie Liong tidak mendengarkan terus. Cepat dia kembali ke kamarnya dan dia duduk di atas pembaringannya dengan muka pucat dan bengong. Ingin rasanya dia menangis, menjerit-jerit sa-king nyeri rasa hatinya. Akan tetapi dia bertahan, bahkan menutupi mulutnya yang mulai terisak-isak itu dengan bantal.
Dia hendak disingkirkan" Dititipkan dalam kuil" Tidak! Dia tidak akan menyusahkan cihunya lagi! Dia tidak akan membuat encinya cekcok dengan suami encinya. Bagaimanapun juga, dia dapat menduga bahwa cihu-nya tidak suka kepadanya, bahkan membencinya.
Bukankah encinya mengatakan bahwa cihu-nya yang membuat dia menjadi bongkok" Ucapan ini mengejutkan dan juga membuat dia terheran-heran dan tidak mengerti. Dan cihunya takut kepadanya" Menggelikan dan mustahil! Cihunya, yang demikian gagah perkasa, yang tinggi ilmu silatnya, takut kepadanya, seorang anak bongkok yang lemah" Dan mengapa pula mesti takut" Tidak, dia tidak akan menyusahkan mereka lagi. Dia mengeraskan hatinya dan menghentikan tangisnya, lalu dengan perlahan-lahan agar gerak-geriknya tidak terdengar dari luar, dia mengumpulkan pakaiannya, membungkusnya dengan kain menjadi buntalan yang cu-kup besar. Kemudian dia menulis sehelai surat di atas mejanya.
Enci Lan Hong dan cihu,
Maafkan saya. Saya pergi tanpa pamit, hendak kembali ke dusun Tiong-cin di utara, selamat tinggal.
Sie Liong. Biarpun dia baru berusia tiga belas tahun, namun Sie Liong yang bongkok i-tu memiliki otak yang cerdik. Dengan sengaja dia meninggalkan surat, menu-lis bahwa dim hendak pergi ke Tiong-cin. Padahal, setelah dia meninggal-kan rumah cihu-nya membawa buntalan di punggungnya yang bongkok, dia sama se-kali tidak pergi ke utara, melainkan ke selatan!
Akan tetapi, dia sengaja keluar dari pintu gerbang kota itu se-belah utara, dan sengaja melalui jalan yang ramai sehingga nampak oleh beberapa orang ketika dia pergi melalui pin-tu gerbang kota sebelah utara. Begitu tiba di luar pintu gerbang, memasuki malam yang gelap, dia lalu menyelinap dan mengambil jalan memutar, melalui sawah yang sunyi, mengelilingi tembok kota itu dan melanjutkan perjalanan menuju ke selatan! Tidak ada seorangpun yang Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 46
melihatnya karena selain waktu sudah lewat tengah malam, juga Sie Liong dengan hati-hati sekali mengambil ja-lan sunyi yang sudah dikenalnya.
Perhitungan anak ini memang tepat sekali. Pada keesokan harinya, ketika mendapatkan surat Sie Liong di atas meja, Lan Hong menangis sedih dan suami-nya cepat melakukan pengejaran ke uta-ra tentu saja! Apa lagi ketika Yauw Sun Kok mendengar keterangan beberapa orang yang sempat melihat Sie Liong di malam hari itu, membawa buntalan menu-ju ke pintu gerbang utara. Dari para petugas jaga di pintu gerbangpun dia mendengar bahwa memang benar anak bongkok itu semalam lewat dan keluar dari pintu gerbang itu menuju ke utara, melalui jalan besar.
Yauw Sun Kok melakukan perjalanan cepat, berkuda, mengejar terus ke uta-ra. Akan tetapi sampai sehari dia melakukan perjalanan, belum juga dia berhasil menyusul Sie Liong!
Tadinya dia mengira bahwa tentu anak itu mendapatkan boncengan ke utara, akan tetapi sete-lah sehari dia gagal, dia kembali lagi dan kehilangan jejak anak itu. Tidak ada orang yang melihatnya, dan dia mengira bahwa tentu anak itu telah meng-ambil jalan menyimpang. Akan tetapi jalan yang mana dan ke kanan atau ki-ri" Akhirnya, diapun pulang dengan wa-jah lesu.
Dia tidak begitu susah di-tinggal pergi adik isterinya itu, akan tetapi ada dua hal yang membuatnya ge-lisah. Pertama, isterinya tentu akan berduka, dan ke dua, dan ini yang amat mengganggunya, dia tetap mengkhawatir-kan kalau-kalau kelak Sie Liong akan membalas dendam atas kematian kedua o-rang tuanya. Akan tetapi, apa yang perlu ditakutinya" Anak itu bongkok dan cacat! Seperti telah diduganya, isterinya menjadi berduka dan dia harus ber-usaha keras untuk menghibur hati iste-rinya, mengatakan bahwa Sie Liong su-dah cukup dewasa untuk mengurus diri-nya sendiri, dan bahwa kebetulan seka-li Sie Liong pergi karena kehendak sendiri, jadi mereka tidak perlu menyuruh-nya atau membawanya pergi.
Demikianlah, Sie Liong melakukan perjalanan seorang diri, manuju ke se-latan. Dia selalu menghindarkan diri agar jangan bertemu orang selama beberapa hari itu, agar tidak ada orang dari kota Sung-jan yang akan melihatnya dan kemudian melaporkannya kepada cihu-nya. Dia memilih jalan liar melalui hutan-hutan dan pegunungan dan inilah yang mencelakakan dia.
Kurang lebih sebulan sesudah dia meninggalkan rumah encinya, dia berja-lan melalui sebuah hutan besar pada suatu pagi yang sejuk. Setiap harinya Sie Liong melakukan perjalanan dan dia ma-kan darimana saja. Kadang-kadang dia mendapat belas kasihan orang yang
memberinya makan, dan ada kalanya dia ha-rus menjual beberapa potong pakaiannya untuk ditukar dengan makanan. Bahkan pernah dia hanya makan sayur-sayur yang didapatkannya di ladang orang untuk sekedar menahan lapar. Malam tadi, ada seorang petani yang baik hati menerimanya di rumahnya. Sie Liong membantu petani itu membelah kayu bakar den dia-pun mendapatkan tempat tidur dan makan malam yang cukup mengenyangkan perut-nya. Bahkan pagi tadi ketika dia pergi, keluarga petani itu memberinya sarapan dan memberinya bekal roti kering dan sayur asin kering! Maka, pagi itu Sie Liong berjalan dengan tegap dan kaki ringan, hatinya gembira karena semalam dia mendapatkan bahwa masih banyak o-rang yang baik hati di dunia ini. Kehangatan yang dirasakannya ketika keluarga petani itu menerimanya membuat dia merasa bahagia di pagi hari itu.
Tiba-tiba dia dikejutkan oleh munculnya lima orang yang berloncatan dari balik batang-batang pohon. Lima orang itu berwajah bengis menyeramkan. Kalau saja mereka itu tidak berpakaian, tentu Sie Liong akan mengira mereka binatang-binatang sebangsa kera besar.
Tubuh dan pakaian mereka kotor dan pandang mata mereka bengis den buas. Akan tetapi karena mereka berpakaian, maka Sie Liong kehilangan kekagetannya den tersenyum kepada mereka.
"Aih, paman sekalian membikin ka-get saja padaku," katanya sambil membetulkan letak buntalan di punggungnya.
"Huh, kiranya hanya anak anjing buduk!" kata seorang.
"Anjing cilik, punggungnya bongkok lagi!" kata orang ke dua.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 47
Wajah Sie Liong menjadi merah dan dia memandang kepada dua orang itu de-ngan mata melotot penuh kemarahan. "Paman-paman adalah orang-orang dewasa, kenapa suka
menghina anak-anak" Punggungku memang bongkok, apa sangkut pautnya dengan kalian"
Kurasa bongkokku tidak merugikan orang lain termasuk kalian!"
"Wah, anjing cilik gonggongnya sudah nyaring!" teriak seorang di antara mereka, yang mukanya penuh brewok dan matanya lebar kemerahan. Dia adalah pemimpin gerombolan itu dan kini dia menghampiri Sie Liong dengan golok besar di tangan kanan. Golok itu berkilauan saking tajamnya dan si brewok sudah menempelkan mata golok ke leher Sie Liong. Terasa oleh Sie Liong betapa golok itu tajam sekali menempel di kulit lehernya.
Sedikit saja digerakkan, tentu lehernya akan putus! Akan tetapi, sedikitpun dia tidak merasa gentar, bahkah dia molotot dengan marah, walaupun maklum bahwa dia tidak berdaya dan melawanpun berarti hanya membunuh diri.
"Anjing galak, apakah engkau i-ngin mampus dengan leher buntung?" bentak si brewok.
"Hayo jawab!"
Betapapun marahnya, Sie Liong maklum bahwa orang ini jahat dan kejam luar biasa dan kalau dia tidak menjawab, orang ini akan marah dan bukan mustahil lehernya akan
disembelih. Maka dia menggeleng sambil berkata dengan suara lirih, bukan karena takut melainkan karena hati-hati agar suaranya tidak terdengar menyatakan kemarahan hatinya.
"Tidak."
"Ha-ha-ha! Kalau begitu biarlah kepalamu masih menempel di tubuhmu, a-kan tetapi buntalanmu harus kautinggalkan!" berkata demikian, dengan tangan kirinya kepala
gerombolan itu merenggut buntalan pakaian Sie Liong lepas dari punggungnya, lalu mondorong sehingga anak itu terjengkang dan kepalanya ter-banting ke atas tanah dengan kerasnya. Sie Liong merasa kepalanya pening, akan tetapi dia cepat bangkit dan berkata dengan suara yang tak dapat disembunyikan lagi kemarahannya.
"Milikku hanya itu, pakaian-pakaian untuk pengganti. Kembalikan, kalian orang-orang jahat!"
Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat, terbelalak menghampiri Sie Liong de-ngan marah. "Apa" Engkau ini masih belum cukup dihajar
rupanya!" Tangannya meralh dan terdengar suara membrebet ketika dia merenggut pakaian yang me-nempel di tubuh Sie Liong. Pakaian itu robek dan terlepas sehingga anak itu kini telanjang bulat! Lima orang itu tertawa bergelak.
Dia hendak disingkirkan" Dititipkan dalam kuil" Tidak! Dia tidak akan menyusahkan cihunya lagi! Dia tidak akan membuat encinya cekcok dengan suami encinya. Bagaimanapun juga, dia dapat menduga bahwa cihu-nya tidak suka kepadanya, bahkan membencinya.
Bukankah encinya mengatakan bahwa cihu-nya yang membuat dia menjadi bongkok" Ucapan ini mengejutkan dan juga membuat dia terheran-heran dan tidak mengerti. Dan cihunya takut kepadanya" Menggelikan dan mustahil! Cihunya, yang demikian gagah perkasa, yang tinggi ilmu silatnya, takut kepadanya, seorang anak bongkok yang lemah" Dan mengapa pula mesti takut" Tidak, dia tidak akan menyusahkan mereka lagi. Dia mengeraskan hatinya dan menghentikan tangisnya, lalu dengan perlahan-lahan agar gerak-geriknya tidak terdengar dari luar, dia mengumpulkan pakaiannya, membungkusnya dengan kain menjadi buntalan yang cu-kup besar. Kemudian dia menulis sehelai surat di atas mejanya.
Enci Lan Hong dan cihu,
Maafkan saya. Saya pergi tanpa pamit, hendak kembali ke dusun Tiong-cin di utara, selamat tinggal.
Sie Liong. Biarpun dia baru berusia tiga belas tahun, namun Sie Liong yang bongkok i-tu memiliki otak Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 48
yang cerdik. Dengan sengaja dia meninggalkan surat, menu-lis bahwa dim hendak pergi ke Tiong-cin. Padahal, setelah dia meninggal-kan rumah cihu-nya membawa buntalan di punggungnya yang bongkok, dia sama se-kali tidak pergi ke utara, melainkan ke selatan!
Akan tetapi, dia sengaja keluar dari pintu gerbang kota itu se-belah utara, dan sengaja melalui jalan yang ramai sehingga nampak oleh beberapa orang ketika dia pergi melalui pin-tu gerbang kota sebelah utara. Begitu tiba di luar pintu gerbang, memasuki malam yang gelap, dia lalu menyelinap dan mengambil jalan memutar, melalui sawah yang sunyi, mengelilingi tembok kota itu dan melanjutkan perjalanan menuju ke selatan! Tidak ada seorangpun yang melihatnya karena selain waktu sudah lewat tengah malam, juga Sie Liong dengan hati-hati sekali mengambil ja-lan sunyi yang sudah dikenalnya.
Perhitungan anak ini memang tepat sekali. Pada keesokan harinya, ketika mendapatkan surat Sie Liong di atas meja, Lan Hong menangis sedih dan suami-nya cepat melakukan pengejaran ke uta-ra tentu saja! Apa lagi ketika Yauw Sun Kok mendengar keterangan beberapa orang yang sempat melihat Sie Liong di malam hari itu, membawa buntalan menu-ju ke pintu gerbang utara. Dari para petugas jaga di pintu gerbangpun dia mendengar bahwa memang benar anak bongkok itu semalam lewat dan keluar dari pintu gerbang itu menuju ke utara, melalui jalan besar.
Yauw Sun Kok melakukan perjalanan cepat, berkuda, mengejar terus ke uta-ra. Akan tetapi sampai sehari dia melakukan perjalanan, belum juga dia berhasil menyusul Sie Liong!
Tadinya dia mengira bahwa tentu anak itu mendapatkan boncengan ke utara, akan tetapi sete-lah sehari dia gagal, dia kembali lagi dan kehilangan jejak anak itu. Tidak ada orang yang melihatnya, dan dia mengira bahwa tentu anak itu telah meng-ambil jalan menyimpang. Akan tetapi jalan yang mana dan ke kanan atau ki-ri" Akhirnya, diapun pulang dengan wa-jah lesu.
Dia tidak begitu susah di-tinggal pergi adik isterinya itu, akan tetapi ada dua hal yang membuatnya ge-lisah. Pertama, isterinya tentu akan berduka, dan ke dua, dan ini yang amat mengganggunya, dia tetap mengkhawatir-kan kalau-kalau kelak Sie Liong akan membalas dendam atas kematian kedua o-rang tuanya. Akan tetapi, apa yang perlu ditakutinya" Anak itu bongkok dan cacat! Seperti telah diduganya, isterinya menjadi berduka dan dia harus ber-usaha keras untuk menghibur hati iste-rinya, mengatakan bahwa Sie Liong su-dah cukup dewasa untuk mengurus diri-nya sendiri, dan bahwa kebetulan seka-li Sie Liong pergi karena kehendak sendiri, jadi mereka tidak perlu menyuruh-nya atau membawanya pergi.
Demikianlah, Sie Liong melakukan perjalanan seorang diri, manuju ke se-latan. Dia selalu menghindarkan diri agar jangan bertemu orang selama beberapa hari itu, agar tidak ada orang dari kota Sung-jan yang akan melihatnya dan kemudian melaporkannya kepada cihu-nya. Dia memilih jalan liar melalui hutan-hutan dan pegunungan dan inilah yang mencelakakan dia.
Kurang lebih sebulan sesudah dia meninggalkan rumah encinya, dia berja-lan melalui sebuah hutan besar pada suatu pagi yang sejuk. Setiap harinya Sie Liong melakukan perjalanan dan dia ma-kan darimana saja. Kadang-kadang dia mendapat belas kasihan orang yang
memberinya makan, dan ada kalanya dia ha-rus menjual beberapa potong pakaiannya untuk ditukar dengan makanan. Bahkan pernah dia hanya makan sayur-sayur yang didapatkannya di ladang orang untuk sekedar menahan lapar. Malam tadi, ada seorang petani yang baik hati menerimanya di rumahnya. Sie Liong membantu petani itu membelah kayu bakar den dia-pun mendapatkan tempat tidur dan makan malam yang cukup mengenyangkan perut-nya. Bahkan pagi tadi ketika dia pergi, keluarga petani itu memberinya sarapan dan memberinya bekal roti kering dan sayur asin kering! Maka, pagi itu Sie Liong berjalan dengan tegap dan kaki ringan, hatinya gembira karena semalam dia mendapatkan bahwa masih banyak o-rang yang baik hati di dunia ini. Kehangatan yang dirasakannya ketika keluarga petani itu menerimanya membuat dia merasa bahagia di pagi hari itu.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 49
Tiba-tiba dia dikejutkan oleh munculnya lima orang yang berloncatan dari balik batang-batang pohon. Lima orang itu berwajah bengis menyeramkan. Kalau saja mereka itu tidak berpakaian, tentu Sie Liong akan mengira mereka binatang-binatang sebangsa kera besar.
Tubuh dan pakaian mereka kotor dan pandang mata mereka bengis den buas. Akan tetapi karena mereka berpakaian, maka Sie Liong kehilangan kekagetannya den tersenyum kepada mereka.
"Aih, paman sekalian membikin ka-get saja padaku," katanya sambil membetulkan letak buntalan di punggungnya.
"Huh, kiranya hanya anak anjing buduk!" kata seorang.
"Anjing cilik, punggungnya bongkok lagi!" kata orang ke dua.
Wajah Sie Liong menjadi merah dan dia memandang kepada dua orang itu de-ngan mata melotot penuh kemarahan. "Paman-paman adalah orang-orang dewasa, kenapa suka
menghina anak-anak" Punggungku memang bongkok, apa sangkut pautnya dengan kalian"
Kurasa bongkokku tidak merugikan orang lain termasuk kalian!"
"Wah, anjing cilik gonggongnya sudah nyaring!" teriak seorang di antara mereka, yang mukanya penuh brewok dan matanya lebar kemerahan. Dia adalah pemimpin gerombolan itu dan kini dia menghampiri Sie Liong dengan golok besar di tangan kanan. Golok itu berkilauan saking tajamnya dan si brewok sudah menempelkan mata golok ke leher Sie Liong. Terasa oleh Sie Liong betapa golok itu tajam sekali menempel di kulit lehernya.
Sedikit saja digerakkan, tentu lehernya akan putus! Akan tetapi, sedikitpun dia tidak merasa gentar, bahkah dia molotot dengan marah, walaupun maklum bahwa dia tidak berdaya dan melawanpun berarti hanya membunuh diri.
"Anjing galak, apakah engkau i-ngin mampus dengan leher buntung?" bentak si brewok.
"Hayo jawab!"
Betapapun marahnya, Sie Liong maklum bahwa orang ini jahat dan kejam luar biasa dan kalau dia tidak menjawab, orang ini akan marah dan bukan mustahil lehernya akan
disembelih. Maka dia menggeleng sambil berkata dengan suara lirih, bukan karena takut melainkan karena hati-hati agar suaranya tidak terdengar menyatakan kemarahan hatinya.
"Tidak."
"Ha-ha-ha! Kalau begitu biarlah kepalamu masih menempel di tubuhmu, a-kan tetapi buntalanmu harus kautinggalkan!" berkata demikian, dengan tangan kirinya kepala
gerombolan itu merenggut buntalan pakaian Sie Liong lepas dari punggungnya, lalu mondorong sehingga anak itu terjengkang dan kepalanya ter-banting ke atas tanah dengan kerasnya. Sie Liong merasa kepalanya pening, akan tetapi dia cepat bangkit dan berkata dengan suara yang tak dapat disembunyikan lagi kemarahannya.
"Milikku hanya itu, pakaian-pakaian untuk pengganti. Kembalikan, kalian orang-orang jahat!"
Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat, terbelalak menghampiri Sie Liong de-ngan marah. "Apa" Engkau ini masih belum cukup dihajar
rupanya!" Tangannya meraih dan terdengar suara membrebet ketika dia merenggut pakaian yang me-nempel di tubuh Sie Liong. Pakaian itu robek dan terlepas sehingga anak itu kini telanjang bulat! Lima orang itu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, anjing cilik ini biar bongkok, tubuhnya mulus juga."
Sie Liong yang merasa terhina itu marah sekali dan diapun sudah mener-jang ke depan dengan ngawur. Si muka pucat menyambutnya dengan sebuah tendangan yang keras.
"Bukkk!" Tendangan itu mengenai dada Sie Liong, membuat anak itu jatuh terjengkang dan kepalanya kembali ter-banting menghantam batu dan diapun ro-boh pingsan.
Ketika dia siuman kembali, Sie Liong mendapatkan dirinya rebah di atas tanah berumput di dalam hutan, dan lima orang itu sudah tidak nampak lagi. Kepalanya berdenyut nyeri, Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 50
tubuhnya yang terbanting juga sakit-sakit, dan buntalan pakaiannya tidak ada lagi. Bahkan pakaian yang tadi menempel di tubuhnya juga sudah tidak ada. Agaknya setelah direnggut lepas, dibawa pergi oleh lima orang tadi.
Dia bangkit duduk, memegangi kepala bagian belakang yang berdenyut nyeri. Ah, betapa jahatnya lima orang ta-di. Jahat dan kejam sekali, tega merampas buntalan pakaiannya, bahkan mene-lanjanginya dan menghajarnya! Baru sa-ja dia merasa betapa indahnya hidup di dunia karena adanya orang-orang yang baik hati seperti keluarga petani itu yang memberinya tempat mondok dan ma-kan, tiba-tiba saja kini muncul lima orang yang demikian jahatnya!
Berubah seketika nampaknya hidup di dunia ini, betapa sengsara dan buruknya, betapa pahit dan mengecewakan. Dia harus makin berhati-hati karena di dalam dunia ini tidak kalah banyaknya terdapat orang-orang jahat.
Sie Liong teringat akan keadaan dirinya. Telanjang bulat! Tidak memi-liki sepotongpun pakaian yang dapat dipakai menutupi tubuhnya yang telanjang bulat. Tidak ada pula perbekalan makan untuk mengisi perutnya, dan dia berada di tengah hutan yang lebat!
Sie Liong mendapat keterangan dari keluarga petani semalam bahwa kalau dia berjalan terus menembus hutan itu ke selatan, dia akan monemui sebuah dusun yang cukup besar, dan menurut petani itu, sebelum sore dia tentu akan dapat tiba di dusun itu. Dia bangkit dan setelah pening di kepalanya tidak begitu hebat lagi, mulai dia melangkahkan kakinya. Dia merasa aneh dan lucu, berjalan dalam keadaan telanjang bulat seperti itu. Suara berkeresekan di kanan membuat dia terkejut dan cepat-cepat dia menggunakan kedua tangan untuk menutupi selangkangannya, takut kalau-kalau ada orang muncul dan melihat
kete-lanjangannya. Akan tetapi yang muncul adalah dua ekor monyet! Sie Liong ter-tawa sendiri. Monyet-monyet itupun te-lanjang bulat mengapa dia harus malu" Diapun melepaskan kedua tangannya dan menghadapi dua ekor monyet itu sambil tersenyum. Monyet-monyet itu semenjak lahir telanjang dan tidak pernah merasa malu. Kenapa kalau manuasia merasa malu"
Jadi kalau begitu, malu timbul bukan karena ketelanjangannya, melainkan karena merasa telanjang! Karena monyet-monyet itu tidak pernah merasa telanjang, juga anak-anak bayi tidak pernah merasa telanjang, maka mereka itu tidak menjadi malu.
Sie Liong berjalan lebih cepat. Kadang-kadang berdebar jantungnya, penuh ketegangan dan perasaan malu kalau dia membayangkan bagaimana nanti dia kalau bertemu dengan orang di dusun itu" Apakah ada yang mau menolongnya den bagaimana dia dapat menemui mereka dalam keadaan telanjang bulat" Mungkin dia a-kan dianggap gila!
Benar seperti keterangan petani yang baik itu, sebelum sore dia telah tiba di luar sebuah dusun. Pagar dusun itu cukup tinggi, dan nampak genteng merah di atas dinding putih.
Sie Liong merasa bingung. Tak mungkin dia memasuki dusun itu dalam keadaan telanjang bulat seperti itu. Bagaimanapun dia bukan anak kecil la-gi, usianya sudah tiga belas tahun, su-dah menjelang dewasa. Maka diapun bersembunyi saja di pinggir hutan sambil mengamati dusun itu dari kejauhan. Nampak olehnya beberapa orang petani laki-laki dan wanita keluar masuk melalui pintu gerbang dusun itu. Bahkan ada dua orang anak penggembala kerbau menggiring kerbau mereka pulang ke dalam dusun. Dia akan menanti sampai keadaan cuaca menjadi gelap, baru dia akan masuk ke dusun itu, mencari keluarga pe-tani yang baik untuk menolongnya. Kalau saja di dusun itu tinggal keluarga petani seperti yang monampungnya sema-lam, tentu mereka akan mau menolong-nya, pikirnya.
Senja tiba dan cuaca mulai gelap. Sie Liong lalu dengan hati-hati meaye-linap memasuki dusun melalui pintu gerbang. Dia menyelinap di antara pohon-pohon dan melihat sebuah rumah yang menyendiri di tepi dusun, dia lalu mang-hampirinya.
Sampai lama dia ragu-ragu dan berdiri di belakang sebatang pohon. Keti-ka dalam
keremangan senja itu dia malihat seseorang datang dari arah bela-kang rumah menuju ke dapur rumah itu yang berada di belakang, dia membuat gerakan untuk keluar dari balik pohon dan menegur. Akan tetapi, ketika itu orang tadi sudah dekat dan ternyata o-rang itu adalah Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping
Bentrok Rimba Persilatan 17 Golok Halilintar Karya Khu Lung Jodoh Rajawali 28