Pencarian

Kisah Pendekar Bongkok 6

Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Bagian 6


ggelengkan kepala.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 127
Lurah Kwan menjadi girang bukan main. "Terima kasih, taihiap! Aku akan memberitahu kepada kawan-kawan agar sece-patnya mempersiapkan jamuan karena engkau akan pulang ke rumah encimu!"
Pada keesokan harinya, perjamuan makan untuk menghormati Sie Liong dan untuk
menghaturkan selamat jalan diadakan di rumah Lurah Kwan. Semua penghu-ni dusun itu hadir, dan Sie Liong du-duk semeja dengan Lurah Kwan, dilayani oleh Siu Si sendiri. Gadis ini nampak malu-malu, karena ia sudah diberitahu oleh kakeknya tentang usaha kakeknya menjodohkannya dengan pendekar itu. Sie Liong melihat betapa gadis yang manis ini kelihatan canggung dan malu-malu, akan tetapi penglihatan Sie Liong yang tajam dapat menangkap bekas air mata dan mata yang agak kemerahan oleh ta-ngis, dan bahwa sikap ramah dan senyum di bibir yang mungil itu tidak wajar, seperti dipaksakan.
Lurah Kwan bangkit berdiri dan minta perhatian kepada semua orang, lalu dia membuat pengumuman bahwa dia telah menjodohkan Kwan Siu Si kepada pendekar Sie Liong! Tentu saja berita ini amat menggembirakan para penduduk du-sun itu dan mereka menyambutnya dengan sorakan dan tepuk tangan. Lurah Kwan mengangkat kedua lengan ke atas dan
merekapun diam, wajah mereka berseri dan mereka mendengarkan penuh perhatian a-pa yang akan diucapkan oleh kepala du-sun baru itu.
"Perjodohan ini telah kami bicarakan dengan Sie-taihiap, dan diapun ti-dak berkeberatan.
Akan tetapi jawaban dan keputusannya akan diberikan sete-lah dia menyampaikan hal itu kepada encinya yang kini tinggal di kota Sung-jan. Karena itu, dalam waktu dekat ini Sie-taihiap akan meninggalkan dusun kita dan pulang ke Sung-jan untuk minta persetujuan encinya."
Kembali orang-orang bersorak dan bertepuk tangan. Akan tetapi Sie Liong melihat betapa Siu Si, gadis yang tadi melayani mereka bahkan diajak makan bersama oleh kakeknya, diam-diam telah pergi meninggalkan meja dan keluar da-ri ruangan itu. Kwan Sun yang melihat hal itu hanya tertawa.
"Maafkan cucuku. Maklum, ia malu-malu," katanya dan Sie Liong juga tidak berkata sesuatu.
Malam itu, di dalam kamarnya, Sie Liong agak gelisah. Malam terakhir dia di rumah keluarga Kwan yang menjadi lurah baru, karena besok pagi-pagi dia akan pergi meninggalkan dusun itu. Akan tetapi bukan hal itu yang membuatnya tidak dapat tidur. Dia membayangkan keadaan sendiri, tentang ikatan jodoh itu. Bagaimana kalau encinya menyetujui ikatan jodoh itu" Kalau encinya tidak setuju, hal itu bukan yang digelisahkan. Kalau encinya tidak setuju, tinggal menyampaikan saja kepada Lurah Kwan dan ikatan itu tidak jadi. Dia hanya suka saja kepada Siu Si yang manis, apalagi gadis sedusun dengannya. Dia belum dapat merasakan, belum tahu dan belum mengerti apa itu yang dinamakan cinta antara pria dan wanita. Akan tetapi, bagaimana kalau encinya setuju" Apakah dia harus menikah dengan Siu Si" Lalu apa jadinya dengan dia" Dia tidak mempunyai rumah tinggal, tidak mempunyai pekerjaan yang menghasilkan sesuatu. Tinggal di rumah Lurah Kwan" Sebagai laki-laki, tentu hal ini merendahkan harga dirinya. Ikut enci-nya" Inipun tidak betul, mengingat a-kan sikap cihunya dan bahkan urusan kematian orang tuanya masih menjadi rahasia yang harus dia tanyakan kepada encinya. Dan Bi Sian.... Tiba-tiba Sie Liong tertegun dan termeung. Bi Sian!
Terbayanglah wajah anak perempuan yang manis, manja dan galak itu, dan jan-tungnya berdebar. Mengapa timbul parasaan yang amat aneh ketika dia teri-ngat kepada Bi Sian" Uhh, anak itu tentu akan menggodanya setengah mati ka-lau mendengar bahwa dia hendak kawin!
Tiba-tiba saja timbul penyesalan di dalam hatinya. Mengapa dia tergesa-gesa menerima usul lurah Kwan" Kini dia te-lah melangkah maju, tidak mungkin mundur lagi tanpa menyakiti hati keluarga Kwan.
Tiba-tiba Sie Liong bangkit duduk, memejamkan mata dan mengerahkan pende-ngarannya yang terlatih. Dia mendengar suara isak tangis tertahan!
Karena mengkhawatirkan terjadinya sesuatu yang tidak bares, apalagi dia menduga bahwa Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 128
tangis itu agaknya suara tangis Siu Si di dalam kamarnya, de-ngan hati-hati Sie Liong membuka jendela kamarnya dan sekali berkelebat dia sudah berada di luar kamarnya, kemudi-an meloncat naik ke atas genteng dan mengintai ke dalam kamar gadis yang
dicalonkan menjadi isterinya itu.
Benar saja. Siu Si duduk di atas pembaringan sambil menangis lirih. A-gaknya gadis itu menahan suara tangis-nya agar tidak kedengaran orang lain. Seorang wanita setengah tua duduk di dekat gadis itu dan menghiburnya.
"Bibi Liu, kau tidak perlu membujuk dan menghiburku! Percuma kong-kong menyuruh
engkau menemaniku dan membu-jukku. Kong-kong sudah tahu bahwa aku telah lama
bersahabat akrab dengan Sui-koko, dan semua orang tahu, engkau ju-ga tahu bahwa kami saling mencinta dan kami mengharapkan kelak menjadi suami isteri. Bahkan kong-kong, biarpun tidak secara resmi, menyetujui kalau Siu-koko kelak menjadi suamiku. Akan teta-pi kenapa tiba-tiba saja kong-kong menjodohkan aku dengan.... Si Bongkok itu?"
"Hushh, jangan berkata demikian, Siu Si. Dia adalah seorang pendekar sakti yang
budiman...."
"Aku tidak perduli! Biar dia sak-ti seperti dewa sekalipun, aku tidak sudi, aku tidak suka padanya. Siapa mau dikawinkan dengan seorang yang bongkok dan buruk?" Siu Si menangis lagi.
"Hushh, kau tidak boleh berkata begitu, Siu Si. Sie-taihiap memang bongkok, akan tetapi dia tidaklah bu-ruk. Pula, dia telah menyelamatkan ki-ta semua, terutama engkau! Kalau tidak ada dia, bukankah engkau telah menjadi tawanan Lurah Bouw?"
"Tapi dia menolongku dengan pamrih! Buktinya, setelah menolongku, kenapa dia tidak pergi saja dan bahkan ingin menjadi suamiku" Aku tidak sudi.... tidak sudi menjadi isteri Si Bongkok! Aihh, aku mau minggat saja dengan Siu-koko...."
"Hushhh....!"
Wajah Sie Liong menjadi pucat, lalu merah kembali dan tanpa diketahui siapapun, dia sudah melayang turun kembali ke dalam kamarnya. Hatinya seper-ti ditusuk rasanya. Dia
menyelamatkan dusun kelahirannya, menolong penduduk dengan hati yang jujur,
menghindarkan Siu Si dari bahaya dengan sesungguhnya tanpa pamrih. Akan tetapi kini dia di-tuduh yang bukan-bukan. Dan gadis yang ditolongnya itu menyebutnya Si Bongkok dengan nada suara menghina dan penuh kebencian! Dan gadis yang amat memben-cinya itu akan menjadi isterinya" Ti-dak, tidak mungkin!
Dengan tubuh lemas dan jari ta-ngan agak gemetar Sie Liong lalu menu-lis sepucuk surat, pendek saja isinya.
Kwan Lopek, Maafkan kepergianku tanpa pamit. Tentang perjodohanku itu, sebaiknya kita batalkan saja.
Aku tidak mau terikat perjodohan dan aku bukan calon suami yang baik bagi cucumu.
Sie Liong. Malam itu juga Sie Liong meninggalkan rumah Lurah Kwan, meninggalkan dusun Tiong-cin lalu keluar menuju ke barat. Menjelang pagi, ketika matahari mulai nampak mengintai dari balik cakrawala di timur, dia sudah tiba di puncak sebuah bukit. Dia duduk menghadap ke arah matahari yang baru tersembul, duduk memeluk kedua lututnya, tersenyum pahit dan kadang-kadang meraba punggungnya yang bongkok. Terngiang suara Siu Si di antara
isaknya. "Siapa mau dikawinkan dengan seorang yang bongkok dan buruk" Aku tidak sudi men-jadi isteri Si Bongkok...."
Senyum yang menghias wajah Sie Liong menjadi pahit sekali. Ia mengepal tinjunya, wajahnya merah. Akan tetapi kepalan tinjunya terbuka kembali dan kepahitan senyumnya Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 129
menipis. Kenapa dia harus marah" Memang dia bongkok, memang dia buruk, habis mengapa"
Biar-lah dia berbahagia dengan kebongkokan-nya, dengan keburukannya. Bongkok dan buruk hanyalah tubuh. Dia bahkan harus berterima kasih kepada Siu Si. Seorang gadis yang hebat!
Tidak mau menyerah begitu saja, berjiwa pemberontak dan berani menentang kesewenang-wenangan. Kakeknya memang sewenang-wenang! Kalau kakek Kwan itu sudah tahu bahwa cucu-nya saling mencinta dengan seorang pe-muda lain, kenapa mempunyai niat hen-dak menjodohkan cucunya itu dengan dia! Untuk membalas budi" Untuk mencari mu-ka" Atau untuk mengikat agar dia mau terus tinggal di dusun itu sehingga menjamin keamanan dan keselamatan pen-duduk" Yang jelas, niat itu sudah pas-ti berpamrih. Kalau tidak, tentu kakek Kwan tidak akan memutuskan ikatan ka-sih sayang antara cucunya dan pemuda lain. Ya, dia harus berterima kasih kepada Siu Si. Kalau gadis itu seperti para gadis lain yang lemah dan tidak berdaya, tidak menentang melainkan "terima nasib", bukankah dia akan memasuki sebuah perkawinan yang celaka" Iste-rinya akan merupakan orang yang sama sekali tidak mencintanya, bahkan mem-bencinya, dan hanya mau menjadi isterinya karena terpaksa!
"Terima kasih, Siu Si...." dia berbisik, lalu bangkit berdiri. Pagi itu indah sekali. Matahari muncul sebagai sebuah bola merah yang amat besar, dengan sinar redup cemerlang. Dia ter-senyum kepada matahari.
"Terima kasih, matahari, untuk pagi yang seindah ini...." dia kembali berbisik dan memandang matahari. Tidak lama, karena segera sinar matahari mulai menyilaukan dan tidak baik untuk kesehatan mata. Sie Liong membalikkan tubuh, lalu menuruni puncak bukit itu, senyumnya tidak lagi pahit, melainkan senyum cerah, menyongsong hari yang cerah.
"Terima kasih, Thian, untuk tubuh yang bongkok ini...." dia berbisik penuh rasa sukur.
Bukankah tubuhnya itu pemberian Tuhan" Bongkok atau tidak, pemberian Tuhan adalah anugerah yang sempurna, dan patut disukuri. Biarlah semua orang tidak menyukainya dan menghinanya karena tubuhnya yang bongkok, dia tidak akan berkecil hati. Memang dia bongkok, tinggal orang lain mau menerimanya seperti apa adanya ataukah tidak. Dia memang bongkok dan dia ti-dak ingin menjadi tidak bongkok, kare-na keinginan seperti itulah yang menyengsarakan kehidupan manusia. Mengi-nginkan sesuatu yang tidak dimiliki-nya, menginginkan sesuatu yang lain dari yang pada yang ada. Tidak, dia ti-dak menginginkan apa-apa. Dia memang bongkok, seorang pemuda yang berbaha-gia.
*** "Liong-te....!" Sie Lan Hong menjerit dan merangkul pemuda bongkok yang muncul di depannya itu. Wanita i-tu merangkul dan menangis di dada adiknya. "Aih, Liong-te.... betapa girangnya hatiku melihatmu....!"
Sie Liong membiarkan encinya menangis dan menumpahkan semua peraaaan haru dan rindu, juga kebahagiaan hati melihat bahwa adik yang telah lama meng-hilang itu kini muncul dalam keadaan selamat dan telah menjadi seorang pemuda dewasa. Setelah mereda guncangan hatinya, Sie Lan Hong melepaskan rangkulannya.
"Enci, marilah kita duduk dan bi-cara," kata Sie Liong, "dan mana ci-hu (kakak ipar)?"
"Cihu-mu.... dia pergi, sebentar tentu akan kembali. Marilah, Liong-te, mari kita duduk di dalam."
Sambil bergandeng tangan mereka masuk. Diam-diam Sie Liong memperhati-kan segala yang nampak di situ. Encinya nampak kurus dan pucat, dan garis-garis duka membuat encinya nampak tua. Padahal kini usianya mendiri dua puluh tahun, berarti encinya baru tiga puluh empat tahun. Belum setua nampaknya! Tentu encinya hidup dalam kedukaan, pikirnya.
Karena dia pergi" Dan rumah i-ni berbeda jauh dengan tujuh delapan tahun yang lalu. Cihunya yang berdagang rempa-rempa dapat dikatakan hidup makmur biarpun tidak terlalu kaya.
Dahulu, prabot rumahmya cukup mewah dan keluarga encinya hidup berkecukupan. Akan Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 130
tetapi sekarang sunguh berbeda sekali keadaannya. Pakaian yang dikena-kan encinya juga tidak seindah dulu. Di tububuya tidak pula nampak perhias-an mahal. Dan prabot rumah sudah ber-ganti semua, terganti prabot yang mu-rah dan buruk. Tentu saja hati Sie Liong diliputi perasaan khawatir sekali walaupun wajahnya tidak membayangkan sesuatu ketika dia duduk berhadapan dengan encinya. Keduanya saling pandang dan wajah wanita itu berseri melihat betapa adiknya, walaupun punggungnya masih bongkok, namun telah menjadi
se-orang pemuda dewasa yang wajahnya gagah dan tubuhnya nampak sehat.
"Liong-te, selama ini engkau pergi ke mana saja?"
"Aku mempelajari ilmu silat, enci, berguru kepada orang-orang sakti dari Himalaya." Sie Liong menceritakan secara singkat tentang riwayatnya ketika belajar ilmu silat. Mendengar ini, en-cinya girang sekali.
"Ah, sukurlah, adikku. Dengan demikian, maka engkau kini tentu menjadi seorang pendekar yang tidak akan mengecewakan hati ayah dan ibu di alam baka...."
Sie Liong merasa heran. Biasanya dahulu encinya paling tidak suka membicarakan ayah dan ibu mereka yang sudah tiada.
"Enci Hong, kedatanganku ini untuk bertanya sesuatu kepadamu dan ha-rap sekali ini engkau tidak berbohong kepadaku."
Wanita itu terbelalak memandang kepadanya, mukanya segera berubah agak pucat dan sinar matanya membayangkan ketakutan. "Apa.... apakah yang ingin kautanyakan, adikku?"
"Apa yang telah terjadi dengan ayah dan ibu kita, enci?"
Wanita itu nampak semakin kaget. "Ayah dan ibu" Mereka.... mereka meninggal dunia...."
"Tak perlu membohong lagi, enci. Aku sudah pergi ke Tiong-cin dan di sana aku mendengar bahwa ayah dan ibu, dan juga suheng Kim Cu An, dua orang pelayan wanita, anjing, ayam dan kuda, semua dibunuh orang pada suatu malam. Nah, enci tidak perlu berbohong lagi!"
Sie Lan Hong menangis, lalu mengusap air matanya dan berkata, "Engkau maafkan aku, Liong-te. Memang dulu aku berbohong kepadamu agar tidak membuat engkau penasaran dan diracuni dendam. Memang pada malam jahanam itu keluarga ayah diserbu musuh. Ayah telah mengetahuinya, maka dia memaksa aku pergi me-ninggalkan rumah dan membawa engkau yang baru berusia sepuluh bulan. Ayah memaksaku, dan andaikata aku tidak pergi
membawamu mengungsi, tentu kita berdua sudah menjadi korban pembunuhan pula...."
Sie Liong memandang wajah encinya dengan tajam dan penuh selidik. "Enci, di dusun kita itu tidak ada seorangpun mengetahui siapa pembasmi keluarga ki-ta. Apakah engkau tahu, enci"
Siapakah musuh besar yang demikian kejam itu?"
Sie Lan Hong menangis lagi dan meng-geleng kepala keras-keras. "Tidak.... ah, aku tidak tahu.... aku tidak tahu.... aku mengajakmu melarikan diri, adikku. Aku tidak tihu siapa pembunuh itu...."
Melihat encinya menangis lagi, a-gaknya berduka mengingat akan kematian ayah ibu mereka yang mengerikan, Sie Liong tidak bertanya lagi. Jadi benar ayah ibunya, suhengnya, dua orang pelayan dan semua binatang peliharaan di rumah orang tuanya dibunuh orang. Tentu orang itu menyimpan dendam yang a-mat hebat maka melakukan perbuatan se-kejam itu.
Lalu dia teringat kepada Yauw Bi Sian. "Enci, aku tidak melihat Bi Si-an. Di manakah ia?"
Encinya kembali memperlihatkan wajah duka. "Ia juga pergi mempelajari ilmu. Ia bertemu dengan seorang sakti dan menjadi muridnya, lalu diajak per-gi oleh gurunya itu."
"Ahhh....!" Sie Liong kagum sekali mendengar ini. Anak yang bengal itu akhirnya belajar silat pada seorang sakti! "Siapakah nama gurunya, enci?"
"Namanya Koay Tojin...."
Sie Liong menahan debaran jantungnya. Koay Tojin" Kakek yang seperti gila namun yang amat sakti itu" Koay Tojin adalah sute dari Pek-sim Sian-su, gurunya sendiri!
"Kapan ia pulang, enci?" tanyanya, hatinya masih berdebar girang.
"Entah, menurut janjinya dahulu ketika pamit, agaknya sewaktu-waktu ia akan pulang."
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 131
"Enci yang baik, engkau kelihatan begini lesu, kurus dan sengsara. Juga aku melihat perubahan dalam rumah ini. Enci, apakah cihu gagal dalam usahanya dan menderita rugi"
Apakah engkau sa-kit, enci?"
Ditanya demikian, Sie Lan Hong tiba-tiba menutupi muka dengan kedua ta-ngannya dan menangis sesenggukan. Se-dih sekali. Sie Liong terkejut. Dia mendiamkan saja encinya menangis tersedu-sedu. Setelah tangis itu mereda, Sie Liong memegang tangan encinya, digenggamnya tangan itu.
"Enci, engkau hanya mempunyai aku sebagai keluargamu. Percayalah kepada-ku dan
ceritakan semuanya. Siapa tahu aku akan dapat meringankan beban penderitaan batinmu, enci."
Wanita itu menggeleng kepalanya. "Aih, memang nasibku buruk, adikku. Semenjak engkau pergi, lalu disusul Bi Sian juga pergi. Semenjak itu ah, cihu-mu berubah sama sekali. Dia dahu-lu begitu baik, begitu mencintaku, a-kan tetapi sudah beberapa tahun ini.... dia hampir setiap malam pergi. Dia berjudi sampai habis-habisan. Pekerjaan-nya tidak diurus sehingga bangkrut.... dan dia.... dia hanya berjudi dan pelesir saja...."
Sie Liong mengerutkan alianya. Cihu-nya itu sungguh semakin tua tidak mencari jalan terang!
Akan tetapi, ba-gaimana dia dapat mcncampuri urusan rumah tangga encinya" Bagaimanapun juga, cihu-nya telah menyeleweng, dan hal i-tu perlu ditegur dan diingatkan.
Sie Liong teringat bahwa adiknya baru datang. Diusapnya air mata dan ia pun memaksa diri tersenyum. "Aih, eng-kau datang-datang kuajak bicara hal-hal yang tidak enak saja, Liong-te.
Mari, engkau beristirahatlah. Akan kubersihkan kamarmu untukmu."
"Biar kubersihkan sendiri, enci. Akupun tidak akan lama sekali tinggal di sini."
"Liong-te, jangan begitu! Engkau baru pulang dan engkau mendatangkan kegembiraan di hatiku. Jangan tergesa-gesa pergi. Temanilah encimu yang kesepian ini, Liong-te. Ah, kita sudah tidak mempunyai pelayan, semua harus dikerjakan sendiri."
"Baiklah, enci. Aku akan tinggal selama beberapa hari sampai hilang rasa rindu kita." Diam-diam dia bermak-asud untuk membujuk agar cihu-nya kembali ke jalan benar. Kalau perlu dia a-kan menggunakan teguran keras!
Setelah jauh malam, baru nampak Yauw Sun Kok pulang menggedor pintu dalam keadaan mabok! Memang semenjak Bi Sian pergi, Yauw Sun Kok telah berubah sama sekali. Agaknya karena anaknya tidak ada dan dia merasa kesepian, maka kambuh pula penyakit lamanya. Dia merasa bosan dengan isterinya dan dia ber-pelesir di luaran, menjadi langganan rumah pelacuran dan rumah perjudian. Perdagangannya bangkrut karena tidak diurusnya sehingga perabot rumahpun yang berharga telah dijualnya untuk modal berjudi! Terhadap isterinya dia tidak perduli, bahkan pernah beberapa kali kalau isterinya mengomelinya, dia tidak segan turun tangan memukulinya.
Melihat encinya tergopoh-gopoh membuka pintu depan, Sie Liong juga ke luar dari dalam kamarnya. "Brakkkkkk!" Daun pintu didorong kuat-kuat dari lu-ar ketika kuncinya dibuka oleh encinya dari dalam dan tubuh Sie Lan Hong ter-dorong oleh daun pintu sampai terhu-yung dan hampir jatuh.
"Perempuan gila! Perempuan malas! Engkau sudah segan membuka pintu untuk suamimu, hah" Engkau sudah bosan mela-yani aku, atau engkau sudah mempunyai seorang pacar simpanan" Awas, kubunuh kau!" bentak Yauw Sun Kok sambil berjalan terhuyung
menghampiri isterinya. Jelas bahwa dia mabok.
Karena diperlakukan kasar dan di-maki-maki di depan adiknya, Sie Lan Hong yang biasanya hanya menghadapi suaminya dengan cucuran air mata, kini tak dapat menahan kemarahannya.
"Sungguh bagus sekali sikapmu ini ya" Sejak pagi engkau pergi meninggal-kan rumah, pulang sudah malam dalam keadaan mabok, begitu mengetuk pintu se-gera kubuka, engkau malah memaki-maki aku!"
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 132
Sie Liong hampir tidak mengenal cihu-nya. Bukan hanya wataknya yang berubah, akan tetapi juga keadaan ba-dan orang itu berubah! Dulu cihu-nya tampan pesolek dan pakaiannya selalu rapi. Akan tetapi sekarang, rambutnya awut-awutan, pakaiannya kusut, matanya seperti orang mengantuk dan mulutnya cemberut. Cihu-nya itu seperti orang yang tidak percaya mendengar ucapan isterinya.
"Apa" Engkau hendak melawan, ya" Siapa yang mengajarmu melawan suami" Perempuan
sial! Perempuan terkutuk! Engkau minta dihajar, ya?"
Yauw Sun Kok mengangkat tangan ke atas, siap memukul isterinya. Melihat betapa lengan itu terayun kuat, Sie Liong maklum bahwa kalau encinya terkena pukulan itu, bisa celaka. Sekali berkelebat tubuhnya sudah melompat de-kat dan dia menangkap pergelanggn tangan cihu-nya sambil berkata, "Harap jangan memukul!"
Yauw Sun Kok menoleh ke kanan. Ketika melihat bahwa ada seorang pemuda menangkap lengannya, kemarahannya me-muncak. Dia menarik tangannya dan memaki isterinya.
"Bagus! Sungguh perempu-an tak bermalu, perempuan lacur! Jadi engkau benar-benar menyimpan seorang laki-laki di rumah, ya" Pantas, engkau berani melawan aku, suamimu!"
Dia maju dan hendak menyerang is-terinya. Akan tetapi Sie Liong sudah berdiri menghalang di depannya. "Cihu, lihatlah baik-baik siapa aku! Harap cihu jangan memukul enci dan mendakwa yang bukan-bukan!"
"Engkau pemuda kurang ajar berani main-main dengan isteriku" Ahh, engkau bongkok!
Bongkok....?" Yauw Sun Kok membelalakkan kedua matanya seolah-o-lah tidak dapat
melihat dengan jelas, lalu mendekatkan mukanya. "Engkau bongkok...." Benarkah engkau Sie Liong?"
"Benar, cihu. Aku Sie Liong."
"Sie Liong...." Ha-ha-ha....!" Yauw Sun Kok tertawa bergelak sambil mengamati pemuda bongkok itu.
"Engkau sudah dewasa, akan tetapi masih cacat. Ha-ha-ha!" Dia tertawa-tawa seperti o-rang gila.
"Jangan bicara sembarangan. Dia bukan Sie Liong yang dulu lagi. Dia telah menjadi murid orang-orang sakti dan dia datang untuk mencari pembunuh ayah dan ibu kami," kata Sie Lan Hong.
Seketika Yauw Sun Kok berhenti tertawa dan dia memandang kepada Sie Liong dengan mata terbelalak. "Apa" Engkau...." Engkau handak mencari pembunuh ayah ibumu" Hemm, mau apa engkau mencarinya, Sie Liong" Apa kaukira setelah beberapa tahun ini engkau bela-jar sedikit ilmu silat lalu kaukira a-kan mampu melawan pembunuh itu" Huh, jangan sombong engkau! Aku sendiri yang memiliki kepandaian tinggi dan banyak pengalaman, masih tidak mampu me-nandingi pembunuh itu. Apalagi engkau?"
"Hemm, jadi cihu tahu siapa pembunuh ayah dan ibuku" Siapa dia itu, ci-hu?"
"Dia adalah Tibet Sin-mo (Iblis Sakti Tibet), tokoh Tibet yang amat sakti. Aku sendiri tidak mampu mencarinya. Apa lagi bocah cacat seperti eng-kau!"
Sie Liong mengerutkan alisnya. Cihu-nya ini memang telah berubah. Walau-pun dahulu juga cihu-nya tidak suka ke-padanyaa, akan tetapi sikapnya baik dan ramah. Sekarang sikapnya demikian ka-sar dan menghina. Teringat dia akan cerita encinya dan tadipun dia melihat betapa encinya akan dipukuli.
"Cihu! Tidak sepatutnya cihu ber-kata demikian. Cihu memuji-muji musuh, dan cihu tentu tidak bersungguh hati mencari pembunuh ayah ibu kami karena cihu tidak perduli! Dan sekarangpun cihu memperlihatkan sikap yang amat bu-ruk terhadap enci!"
"Apa" Kau anak kurang ajar.... Hemm, encimu sudah mengadu, ya....?"
"Cihu, tanpa pengaduan dari siapa pun juga, aku sudah melihat sikapmu tadi. Engkau mabok-mabokan, pulang malam marah-marah, bahkan mau memukul enci! Keadaan rumah
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 133
tanggamu menjadi rusak, habis-habisan, karena kauhabiskan un-tuk berjudi! Cihu, engkau harus sadar bahwa engkau telah terseret ke dalam lumpur...."
"Tutup mulutmu, keparat!" Tiba-tiba Yauw Sun Kok menerjang dengan marah sekali,
mengirim serangan kilat ke a-rah dada dan leher adik isterinya. Bi-arpun dia sedang mabok, akan tetapi karena memang dia seorang ahli silat yang pandai, serangannya ini masih amat berbahaya dan kalau hanya ahli silat bia-sa saja, masih akan sukar untuk dapat
menghindarkan diri dari serangan Yauw Sun Kok itu. Akan tetapi, yang diserangnya adalah Sie Liong, biarpun seo-rang pemuda cacat, punggungnya bongkok namun dia murid tersayang dari Himala-ya Sam Lojin dan Pek-sim Sian-su manu-sia sakti dari He-lan-san itu.
Dengan mudah saja Sie Liong memi-ringkan tubuhnya dan menggunakan lengan kirinya untuk mendorong dari sam-ping dan tubuh Yauw Sun Kok terpelan-ting!
"Cihu, aku tidak mau dihina dan dipukul lagi!"
Melihat betapa akibat serangannya membuat dirinya terpelanting, Sun Kok marah sekali. Dia menyambar ke arah dinding di mana tergantung sebatang pedang hiasan. Biar dia mabok, gerakan-nya masih cepat sekali dan tahu-tahu pedang itu telah berada di tangan ka-nannya, terlolos dari sarungnya.
"Jangan....! Jangan berkelahi! Jangan pergunakan pedang....!" Sie Lan Hong berteriak ketakutan. Akan tetapi suaminya tidak memperdulikan jeritan-nya dan sudah menyerang Sie Liong de-ngan pedangnya. Pedang menyambar ganas ke arah leher pemuda itu. Sie Liong menekuk lutut sehingga pedang itu menyambar lewat berdesing di atas kepalanya. Akan tetapi dengan cepat, pedang yang menyambar itu telah membalik dan kini menusuk ke arah
dadanya. "Cihu, engkau sedang mabok!" bentak Sie Liong dan dia menggunakan ta-ngannya dari samping memukul pedang sambil mengerahkan tenaganya.
"Plakkk!" Pedang itu terpukul lepas dari tangan Yauw Sun Kok yang men-jadi terkejut bukan main. Namun dia masih sempat menendang dengan kakinya ke arah perut Sie Liong. Pemuda ini mak-lum betapa cihunya yang mabok itu ha-rus diberi hajaran agar sadar bahwa yang dihadapinya bukanlah anak bongkok dan lemah yang dahulu. Maka, dia sengaja menyambut tendangan kaki itu dengan pengerahan tenaga di perutnya.
"Dukkk!" keras sekali tendangan itu, namun akibatnya, bukan tubuh Sie Liong yang terjengkang. Pemuda itu ma-sih berdiri tegak, akan tetapi tubuh Yauw Sun Kok yang terjengkang dan terbanting cukup keras.
Dia bangkit duduk dengan mata terbelalak, dan pada saat itu, isterinya yang mengkhawatirkan kejadian atau perkelahlan yang lebih hebat, sudah berlutut di dekatnya. "Hemm, sudahlah.
Engkau sedang mabok maka engkau menyerang adik kita sendiri. Hayo, mengasolah....
tidurlah...." Ia membantu suaminya bangkit berdiri dan memapahnya menuju ke kamar mereka. Sekali ini Yauw Sun Kok tidak membantah. Biarpun mabok, sebenarnya orang ini masih cukup sadar untuk melihat kenyataan yang membuatnya terkejut bukan main. Si Bongkok itu kini telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi! Sungguh berbahaya sekali. Dia merasa penasaran dan juga malu, maka dia meraza lebih aman menyembunyikan diri dan berlindung di balik kemabokannya, maka diapun pura-pura tidak ingat apa-apa lagi dan menurut saja ketika dipapah isterinya ke kamar. Setibanya di dalam kamarnya, langsung dia melempar tubuh ke atas pembaringan dan tak lama kemudian dia sudah tidur mendengkur.
*** Kakek jembel itu duduk di bawah pohon besar, nampak melenggut. Memang nyaman sekali pada siang hari yang amat panas itu duduk berteduh di bawah pohon yang rindang dan teduh.
Angin semilir sejuk dan kakek itu mengantuk. Dia duduk bersandar batang pohon, tongkat bututnya menggeletak di dekat kakinya yang dijulurkan. Kakek jembel ini sudah tua sekali, Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 134
hampir delapan puluh tahun usianya. Pakaiannya butut penuh tambalan. Tiba-tiba kedua matanya yang tadi tertutup seperti orang tidur, ki-ni terbuka dan dia tertawa-tawa seo-rang diri, lalu memejamkan kembali matanya. Orang-orang yang melihat keada-annya ini tentu akan menduga bahwa dia seorang jembel tua yang hidup sengsara dan berotak miring. Akan tetapi kalau ada tokoh kang-ouw lewat di situ dan melihat jembel tua ini, dia tentu akan terkejut setengah mati. Kakek tua ren-ta ini sesungguhnya bukanlah orang sembarangan. Dia adalah Koay Tojin, seo-rang yang terkenal memiliki kesaktian yang menggiriskan. Sepak terjangnya a-neh dan biarpun dia jarang bahkan ham-pir tidak pernah mencampuri urusan du-nia ramai, akan tetapi orang-orang kang-ouw ketakutan kalau bertemu de-ngannya. Hal ini adalah karena watak-nya yang aneh dan kadang-kadang ugal-ugalan dan celakalah orang yang sampai berhadapan dengan dia sebagai lawan!
Selagi kakek itu duduk melenggut, tiba-tiba nampak bayangan dua orang berkelebat dan di depan kakek itu kini nampak dua orang muda. Seorang gadis berusia delapan belas tahun dan seorang pemuda berusia hampir dua puluh tahun. Gadis itu cantik dan manis sekali, dengan sepasang mata yang jeli dan tajam mencorong, sikap yang jenaka dengan wajah selalu cerah ceria. Gadis manis i-nipun mengenakan pakaian tambal-tambalan, akan tetapi bukan sembarang tambalan! Biarpun pakaiannya tambal-tambalan, namun bersih dan semua
tambalan i-tu terbuat dari kain yang baru! Sepatu kulitnya juga mengkilat baru, rambut-nya bersih licin, sama sekali tidak nampak kesan seorang pengemis! Pemuda itupun berwajah tampan, matanya mengandung kecerdikan dan mulutnya selalu terhias senyum yang manis sehingga mendatangkan kesan bahwa dia adalah seorang pemuda yang merendahkan orang la-in dan memandang diri sendiri terlam-pau tinggi.
Seperti telah kita ketahui, Koay Tojin mempunyai dua orang murid dan dua orang muda itulah muridnya. Gadis itu bukan lain adalah Yauw Bi Sian dan pemuda itu adalah Coa Bong Gan.
Biar-pun Bi Sian lebih dahulu menjadi murid Koay Tojin, akan tetapi karena ia lebih muda, ia memaksa Bong Gan untuk menyebut sumoi (adik seperguruan wanita) kepadanya, dan ia sendiri menyebut Bong Gan suheng (kakak seperguruan pria).
"Suhu, nih teecu (murid) bawakan oleh-oleh untuk suhu! Bebek tim yang lunak dan bubur!"
kata gadis itu sam-bil duduk di atas batu dekat suhunya sambil menyerahkan bungkunan makanan.
"Dan teecu bawakan arak Hang-ciu kesukaan suhu!" kata pula Bong Gan gembira
menyerahkan seguci arak.
Kakek itu membuka matanya dan terkekeh, lalu menyeringai memandang kepada dua orang muridnya. "Heh-heh, kali-an adalah murid-murid yang baik. Kali-an tahu saja kesukaan orang tua. Heh-heh, tidak ada yang lebih enak untuk dimakan kecuali bubur dan bebek tim. Lunak dan gurih, tidak perlu mengguna-kan gigi untuk mengunyah, memudahkan mulutku yang sudah tak bergigi lagi, heh-heh. Dan arak Hang-ciu memang ha-rum dan keras! Ha-ha-ha!"
Dua orang murid itu tersenyum. Mereka tahu bahwa guru mereka berkelakar karena mereka baru kemarin dulu menyaksikan betapa guru mereka itu, dengan mulutnya tanpa gigi sebuahpun, masih kuat untuk menggigit daging kering yang amat keras dan mengunyahnya dengan ma-ta meram-melek! Dengan kekuatan sin-kang yang amat hebat, gusi dari guru mereka yang sudah tidak bergigi lagi itu dapat menjadi lebih kuat daripada gigi orang-orang muda!
Kakek itu makan minum tanpa memperdulikan dua orang muridnya yang duduk tak jauh di depannya. Akan tetapi, diam-diam Koay Tojin kadang-kadang melirik. Dia merasa senang sekali melihat Bi Sian. Dia amat sayang kepada muridnya ini yang ternyata selain memiliki bakat baik, juga gadis ini memiliki watak yang gagah perkasa dan baik. Sebaliknya, kakek ini merasa khawatir dan sangsi kepada muridnya yang pria. Watak Bong Gan sukar diselami walaupun pada lahirnya, dia juga seorang murid yang berbakat dan amat rajin, pandai mengambil hati. Akan tetapi ada sesuatu dalam pandang mata pemuda itu yang membuat Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 135
kakek itu kadang-kadang curiga dan ragu-ragu. Pernah dia melihat betapa pandang mata pemuda itu ditujukan kepada sumoinya secara tidak wajar. Bukan memandang biasa, akan tetapi sinar mata pemuda itu penuh nafsu berahi, memandangi ke seluruh bagian tubuh Bi Sian seperti hendak melahapnya! Sungguh seorang murid yang ka-dang-kadang menimbulkan rasa khawatir di hatinya. Jangan-jangan dia telah keliru memilih murid, pikirnya. Akan te-tapi, dia sengaja sudah memberi pelajaran lebih pada Bi Sian sehingga ka-lau sampai terjadi apa-apa, gadis itu tidak akan kalah menghadapi dan mela-wan Bong Gan. Pernah dia ketika berdua saja dengan Bi Sian mengatakan bahwa ia harus berhati-hati terhadap suheng-nya. "Wataknya sukar diselami," demikian dia berkata, akan tetapi gadis itu hanya tersenyum saja. "Aih, suhu ini ada-ada saja. Bukankah suheng seorang pemuda dan murid yang amat baik?"
Setelah makan, Koay Tojin mengu-sap mulutnya dengan ujung lengan baju yang sudah butut.
"Kebetulan kalian datang, memang aku bermaksud untuk memanggil kalian."
"Suhu, ada keperluan apakah?" Bi Sian bertanya sambil mendekati gurunya, sikapnya manja.
Kakek itu tersenyum untuk menutupi rasa nyeri di dalam hati-nya. Dia merasa heran.
Mengapa menda-dak saja hatinya begini aneh" Mengapa bayangan perpisahan dengan
muridnya i-ni mendatangkan rasa sakit" Padahal selamanya belum pernah dia merasakan hal seperti ini! Akan tetapi kakek yang lihai ini segera dapat menemukan jawabannya. Sikap Bi Sian terlalu ba-ik, terlalu menyenangkan hatinya, sehingga gadis itu selama tujuh tahun menjadi muridnya, hidup di sampingnya, seolah-olah menjadi matahari yang me-nyinari hidupnya! Kesenangan dan kee-nakan memang selalu menimbulkan ikatan! Kalau sudah terikat, maka akan datang-lah duka karena kehilangan! Kalau ga-dis itu pergi, dibiarkan terpisah darinya, dia seolah-olah kehilangan matahari yang menerangi hidupnya yang sudah tua, membuat dia seperti dalam kegelapan! Kesenangan mendatangkan ikatan, dan ikatan menciptakan duka!
Itulah hidup. Ada suka pasti ada duka! Sudah menjadi imbangannya. Ada nikmat tentu ada derita. Dan melihat kenyataan ini, menghadapi kenyataan i-ni, menerima kenyataan ini secara wa-jar merupakan seni hidup itu sendiri.
"Bi Sian, dan kau juga Bong Gan, sekarang sudah tiba saatnya bagi kita untuk memenuhi janji. Janji antara aku dan kau, Bi Sian. Janji bahwa kita a-kan berkumpul sebagai guru dan murid selama tujuh tahun saja."
Gadis itu nampak terkejut! Selama ikut dengan gurunya, iapun merasakan lebih banyak senangnya dari pada susahnya. Hidup bebas seperti burung di u-dara. Tanpa dirasakannya, tahu-tahu kini sudah tujuh tahun ia mengikuti gurunya.
"Tapi, suhu....! Rasanya belum lama aku ikut suhu, dan aku masih i-ngin mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi!" bantahnya, terkejut karena tiba-tiba saja ia mendapat kenyataan bahwa ia harus berpisah dengan suhunya dan melihat pula kenyataan betapa be-ratnya hal itu kalau terjadi karena ia merasa sayang kepada suhunya yang su-dah tua itu!
Koay Tojin tertawa dan nampak mu-lutnya yang tanpa gigi itu. "Ha-ha-ha, Bi Sian, janji tetap janji yang harus dipegang teguh. Engkau bukan hanya berjanji kepadaku, akan tetapi juga kepa-da ayah ibumu yang tentu telah menanti-nanti penuh kerinduan. Tentang kepandaian, sampai berapa tiagginya" Berapa ukurannya" Apa yang kaupelajari selama ini sudah lebih dari pada cukup, Bi Sian. Tinggal terserah kepadamu untuk melatih diri. Dan engkau, Bong Gan, engkaupun sudah dewasa dan kepandaian-mu sudah cukup. Hanya berhati-hatilah, karena kepandaian silat seperti juga pedang, dapat dipergunakan untuk berbuat kebaikan akan tetapi juga dapat di-pergunakan untuk melaktikan kejahatan. Semua tergantung kepadamu."
Diingatkan kepada ayah ibunya, kedukaan bayangan berpisah dari gurunya agak menipis dari hati Bi Sian, tertu-tup oleh kegembiraan bayangan akan bertemu dengan ayah dan ibunya. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan ka-kek itu. Bong Gang juga berlutut di dekat sumoinya.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 136
"Suhu, selama tujuh tahun ini, suhu telah melimpahkan banyak kebaikan dan kasih sayang kepada teecu. Teecu menghaturkan terima kasih, suhu dan entah bagaimana teecu akan dapat membalas budi kebaikan suhu. Sebaliknya, teecu sudah banyak menjengkelkan hati suhu, maka mohon suhu memaafkan teecu," kata Bi Sian dengan hati terharu, akan tetapi tidak setetespun air matanya tumpah. Ia memang pantang menangis, a-palagi setelah menjadi murid Koay Tojin.
Koay Tojin tersenyum. "Engkau a-nak baik. Kalau hendak membalas budi kepadaku,
pergunakanlah semua kepandaian yang kauperoleh dariku itu dengan baik, tidak melakukan penyelewengan. Dengan demikian berarti engkau menjun-jung tinggi nama gurumu,
sedangkan ka-lau engkau melakukan kejahatan dan me-nyeleweng, engkau akan menyeret nama gurumu ke dalam lumpur."
"Teecu juga menghaturkan banyak terima kasih, suhu. Teecu berjanji akan menjunjung tinggi nama suhu," kata Bong Gan.
Koay Tojin tersenyum saja dan me-mandang wajah murid pria ini dengan penuh keraguan.
Dia tahu bahwa muridnya ini cerdik sekali, demikian cerdiknya sehingga dia tidak dapat menduga apa isi hatinya.
"Engkau berhati-hatilah, Bong Gan. Ingat bahwa musuh yang paling berbaha-ya, paling lihai dan paling sukar di-tundukkan adalah dirimu sendiri. Kare-na itu, sebelum menundukkan musuh, se-baiknya kalau menundukkan dulu diri sendiri."
Bong Gan tidak menjawab, hanya mengangguk-angguk.
"Sekarang, pergilah kalian sebe-lum timbul kedukaan dalam hatiku!" ka-ta Koay Tojin, lalu tangan kanannya menyambar tongkat di depannya dan dengan gerakan secepat kilat,
tongkatnya itu sudah melakukan serangan totokan bertubi-tubi kepada dua orang muridnya yang berlutut di depannya. Dua orang muda itu terkejut sekali. Sambaran tongkat di tangan suhu mereka itu bukan main cepat dan dahsyatnya, maka keduanya segera melempar tubuh ke belakang sambil berjungkir balik beberapa kali. Mereka terhindar dari serangan kilat itu, dan melihat betapa kakek itu masih duduk bersandar batang pohon, memegangi tongkat sambil tertawa. Tahulah Bi Sian bahwa suhunya memang ingin segera melihat mereka pergi tanpa membiarkan kedukaan karena perpisahan itu memasuki hati. Maka iapun menjura dan berkata de-ngan suara dibuat nyaring gembira.
"Suhu, selamat tinggal! Mudah-mu-dahan suatu waktu kita akan dapat ber-jumpa kembali!"
"Ha-ha-ha, selamat jalan. Kita pasti akan bertemu kembali, kalau ti-dak di alam sini tentu di alam sana, heh-heh-heh!"
Bong Gan juga menjura dan kedua orang itu lalu melompat pergi dan dalam waktu singkat mereka sudah lenyap dari pandang mata. Kakek yang ditinggal se-orang diri itu nampak tertegun, mata-nya yang tua memandang ke arah lenyapnya dua bayangan itu, lalu dia menghe-la napas panjang berulang kali, lalu bangkit berdiri, dan melangkah perlahan pergi meninggalkan tempat itu, mengam-bil jurusan yang berlawanan dengan dua orang muridnya.
Dua orang itu berlari cepat, keluar dari dalam hutan itu dan ketika me-reka sudah berlari kurang lebih satu jam dan tiba di kaki bukit, Bi Sian menghentikan larinya. Biarpun tubuhnya terlatih baik, namun karena selama sa-tu jam itu ia berlari cepat sambil me-nahan getaran hatinya yang penuh haru, kini wajah dan lehernya basah oleh ke-ringat. Diambilnya saputangannya dan diusapnya keringat dari leher dan wajahnya. Bong Gan juga mongusap keri-ngatnya. Tidak seperti Bi Sian, pemuda ini mengenakan pakaian yang tidak ada tambalannya, walaupun dari kain murah dan bentuknya sederhana saja, tidak seperti pakaian Bi Sian yang penuh tam-balan namun semua tambalannya kain yang baru.
"Suheng, sekarang engkau hendak pergi ke manakah?" tanya Bi Sian.
Bong Gan menghela napas panjang, lalu duduk di atas sebuah batu besar di tepi jalan.
Sebelum menjawab, dia menatap wajah sumoinya dengan tajam, juga dengan wajah yang membayangkan kedukaan. Betapa cantik manisnya sumoi-nya ini, pikirnya penuh kagum.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 137
Apakah dia harus berpisah dari gadis manis i-ni" Membayangkan perpisahannya dengan gadis yang telah menjadi sahabatnya dan saudara seperguruannya selama tu-juh tahun, hampir tak pernah mereka saling berpinah dan mengalami suka-duka bersama-sama, wajah yang tampan itu nampak diliputi kesedihan. Demikian jelas kedukaan itu sehingga nampak jelas oleh Bi Sian.
"Suheng, engkau pernah menceritakan riwayatmu kepadaku. Engkau sudah yatim piatu, tidak mempunyai keluarga sama sekali, tidak mempunyai handai taulan dan tidak mempunyai tempat tinggal. Oleh karena itulah maka aku sengaja bertanya kepadamu karena aku ingin tahu, ke mana engkau hendak pergi?"
"Justeru pertanyaanmu itulah yang membuat aku membungkam karena sukar bagiku untuk menjawabnya. Aku sendiri sejak tadi bertanya-tanya di dalam hati-ku kepada diriku sendiri, sumoi. Ke mana aku harus pergi" Aku tidak mempunyai tujuan sama sekali! Aku menjadi bingung setelah mendengar pertanyaanmu, sumoi."
Bi Sian memandang wajah suhenguya itu dengan hati kasihan. Selama ini, suhengnya telah membuktikan bahwa dia seorang pemuda yang amat baik, amat rajin dan juga bersikap sopan kepada gu-runya dan juga kepada dirinya. Tidak pernah memperlihatkan kekurang-ajaran sama sekali. Memang kadang-kadang suhengnya suka pergi meninggalkan ia dan suhunya, akan tetapi kepergiannya itu tentu hanya untuk mencari bahan makan-an untuk mereka. Kalau pulang, suheng-nya tentu membawa seekor rusa, atau beberapa ekor kelinci, ayam hutan, atau juga buah-buahan segar. Beberapa kali suhengnya pernah berpamit kepada suhu mereka untuk berjalan-jalan ke dusun atau kota, dan tidak pernah lancang me-ngajaknya. Diam-diam Bi Sian merasa suka sekali kepada pemuda ini, rasa suka yang bercampur rasa iba. Inikah cinta, beberapa kali ia suka bertanya kepada diri sendiri tanpa mendapat jawaban!
"Suheng, engkau ini bagaimanakah" Andaikata aku tidak mengajak engkau berhenti dan bertanya, lalu ongkau hendak ke mana?"
"Aku.... aku hanya akan mengikutimu, sumoi. Ke manapun engkau pergi.... tentu saja kalau....
kalau aku tidak terlalu mengganggumu."
Bi Sian tersenyum dan menggeleng kepalanya, mendadak mendapat sebuah pikiran yang dianggap amat bagus. "Tentu saja engkau tidak mengganggu, suheng. Bahkan kalau engkau suka, marilah eng-kau ikut bersamaku ke Sung-jan. Tempat tinggal orang tuaku itu merupakan kota yang cukup ramai, dan siapa tahu eng-kau dapat tinggal dan bekerja di sana.
Ayahku seorang pedagang, mungkin dapat membantumu mencari pekerjaan."
Wajah yang diliputi kedukaan itu kini menjadi cerah dan berseri. Sepa-sang mata itu bersinar-sinar dan Bong Gan segera menjura ke arah sumoinya.
"Ah, sumoi, sungguh engkau berbu-di mulia sekali! Terima kasih atas ke-baikanmu, sumoi.
Tentu saja aku suka sekali pergi bersamamu!"
Bi Sian membalas penghormatan su-hengnya dan tertawa. "Ihh, suheng ini! Engkau adalah suhengku dan lebih tua, mengapa memberi hormat kepadaku" Dan di antara kita saudara seperguruan, perlukah bersungkan-sungkan" Sudah se-pantasnya kalau kita saling bantu, bukan?"
Demikianlah, suheng dan sumoi ini melakukan perjalanan cepat menuju ke barat. Berkat adanya Bong Gan di sam-pingnya, di sepanjang perjalanan Bi Sian tidak menemui banyak gangguan. An-daikata ia melakukan perjalanan seo-rang diri, tentu akan banyak timbul gangguan, mengingat bahwa ia seorang gadis yang cantik manis dan melakukan perjalanan jauh seorang diri. Akan tetapi sikap Song Gan yang gagah membuat banyak orang menjadi jerih untuk meng-ganggu mereka. Padahal, tentu saja andaikata ada gangguan, Bi Sian sama se-kali tidak akan merasa gentar bahkan hal itu merupakan kesialan bagi si pengganggu yang tentu akan dihajar habis-habisan!
Ketika mereka pada suatu siang memasuki kota Sung-jan, keduanya langsung saja menuju ke Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 138
rumah Bi Sian. Gadis ini nampak gembira sekali, wajahnya cerah berseri dan matanya berkilat-kilat ketika mereka tiba di depan rumah dan toko milik ayahnya. Akan tetapi ia merasa heran melihat betapa toko itu tertutup dan segera ia mengajak suhengnya memasuki pekarangan dan langsung menuju ke pintu depan.
Dua orang yang tadinya duduk di ruangan depan, bangkit berdiri den melihat Bi Sian, wanita itu menjerit.
"Bi Sian....!"
"Ibuuu....!" Dua orang wanita itu berlari saling tubruk dan di lain saat mereka telah berangkulan sambil memanggil berulang kali. Sie Lan Hong menangis dalam rangkulan puterinya, akan tetapi Bi Sian yang juga merasa terharu dan gembira, tidak menangis, akan tetapi menciumi kedua pipi ibunya dengan penuh kerinduan dan kasih sayang. Ia diam-diam merasa kasihan melihat wajah ibunya yang kurus dan agak pucat. Tak disangkanya bahwa dalam waktu tujuh tahun ibunya kini nampak tua sekali!
Sementara itu, ketika dua orang wanita itu berangkulan, Bong Gan hanya berdiri menonton dengan canggung. Juga Sie Liong, pemuda yang tadi sedang duduk bersama encinya, berdiri dan memandang dengan wajah berseri, akan tetapi juga berdiri canggung. Tentu saja hatinya girang bukan main melihat keponakannya yang dulu menjadi teman bermain yang akrab itu pulang dan kini telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan manis sekali. Diapun heran melihat keponakannya itu pulang bersama seorang pemuda yang tampan, yang kini juga berdiri dengan canggung. Mereka saling pandang sebentar saja, tidak tahu harus berbuat apa karena mereka belum diperkenalkan.
"Ibu.... ah, ibu.... kenapa ibu begini kurus" Mana ayah?"
Sie Lan Hong dapat menguasai keharuan hatinya dan teringat akan dua orang pemuda itu.
"Ayahmu tidak berada di rumah, sedang keluar. Akan tetapi, mari kautemui dulu pamanmu...."
Bi Sian yang melepaskan pelukan ibunya, tiba-tiba memandang dan matanya terbelalak, mulutnya tersenyum dan hampir ia berteriak, "Paman Liong....!"
Sie Liong juga tersenyum. "Bi Sian, engkau sudah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik dan gagah!"
Bi Sian melangkah maju dan memegang tangan Sie Liong. Ia lupa bahwa ia kini telah menjadi seorang gadis dewasa dan pamannya itupun sudah menjadi seorang pemuda dewasa.
Digenggamnya tangan pemuda itu.
"Paman Liong! Ah, tidak kusangka akan bertemu denganmu di sini! Dan engkau.... ah, engkau juga sudah menjadi seorang pemuda, paman! Engkau kelihatan gagah dan....
hemm...." Gadis itu melepaskan tangannya, mundur dan mengamati Sie Liong yang menjadi merah sekali mukanya.
"Dan.... bongkok!" sambungnya mendahului, daripada didahului gadis itu.
"Ah, itu aku sudah tahu. Akan tetapi engkau gagah dan tampan, paman!"
Sungguh! Bi Sian masih nakal seperti dulu, pikirnya gembira. Masih lincah jenaka dan suka menggoda orang akan tetapi dengan cara yang menyenangkan.
"Bi Sian, engkau masih seperti dulu! Suka menggoda pamanmu!" Sie Lan Hong juga tertawa dan ia sendiri terkejut. Agaknya sudah bertahun-tahun ia lupa untuk tertawa dan baru sekarang ia dapat tertawa kembali. Anaknya telah pulang!
"Oya, ibu, paman. Aku sampai lupa memperkenalkan. Dia ini adalah suhengku, namanya Bong Gan. Suheng, inilah ibuku dan ini pamanku Sie Liong."
Sejak tadi Bong Gan hanya menonton saja dan hatinya terasa panas dan tidak enak melihat keakraban antara sumoinya dan pemuda bongkok itu. Biarpun disebut paman, akan tetapi mereka itu sebaya dan juga hubungan mereka demikian akrab, tidak seperti paman dan keponakan. Seketika, timbul perasaan tidak suka kepada kedua orang itu. Akan tetapi karena Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 139
dia diperkenalkan maka dia cepat memberi hormat dan bersoja dan sikapnya amat sopan santun.
"Ibu, mana ayah?"
"Sudah kukatakan, ayahmu sedang keluar rumah. Mari, mari kita bicara di dalam...." Ibu itu merangkul anaknya dan diajak masuk ke dalam rumah. Sie Liong mengkuti, akan tetapi Bong Gan merasa ragu-ragu, dan dia menjadi salah tingkah. Dia bukan anggauta keluarga, bagaimana berani ikut masuk" Akan tetapi agaknya Bi Sian dapat memaklumi keadaannya, maka iapun menoleh dan berkata kepadanya.
"Suheng, mari silakan masuk saja. Paman Liong, ajaklah suheng. Dia memang pemalu."
Sie Liong sejak tadi memperhatikan suheng dari keponakannya itu. Seorang pemuda yang tampan dan gagah, dan mengingat bahwa mereka berdua itu murid Koay Tojin, tidak dapat diragukan lagi bahwa kepandaian mereka tentu tinggi sekali. Akan tetapi, ada sesuatu pada wajah pemuda itu yang membuatnya ragu-ragu. Entah apanya, mungkin pandang matanya.
"Saudara Bong, silakan masuk," katanya dan Bong Gan menganguk.
"Terima kasih, terima kasih....!" Mereka berempatpun memasuki rumah itu. Seperti juga ketika untuk pertama kalinya Sie Liong masuk ke dalam rumah itu Bi Sian juga melihat perubahan besar di dalam rumahnya. Prabot-prabot rumahnya sudah berubah, sekarang jelek dan butut, tidak seperti dulu. Ibunya juga tidak mengenakan perhiasan sedikitpun, dan toko mereka sudah ditutup! Apa yang terjadi" Ia tidak berani langsung bertanya kepada ibunya karena di situ terdapat Bong Gan yang bagaimana juga adalah orang luar. Ia akan bertanya kepada ibunya kalau mereka hanya berdua, atau bertiga saja dengan pamannya.
Mereka berempat duduk menghadap meja besar di ruangan dalam. Bi Sian segera
menceritakan pengalamannya ketika ia diambil murid Koay Tojin dan ia segera menceritakan tentang perbuatan Lu Ki Cong, putera Lu-ciangkun komandan pasukan keamanan di Sung-jan itu. "Coba ibu bayangkan, bukankah orang itu jahat sekali" Dia mempergunakan anak buahnya yang menyamar sebagai perampok dan menggangguku, kemudian dia muncul
sebagai penolongku. Setelah para perampok palsu itu pergi, dia menggangguku! Untung muncul suhu! Dan dia datang lagi membawa perampok-perampok palsu itu dan mengeroyok suhu. Akan tetapi mereka dihajar oleh suhu! Aih, betapa senangku pada waktu itu! Apakah manusia jahat itu sekarang masih hidup, ibu?"
Sie Lan Hong menahan senyumnya.
"Hussssh, jangan berkata demikian, anakku. Memang dia jahat, akan tetapi tidak perlu hal itu diperpanjang. Dia masih hidup dan ayahmu masih mengharapkan perjodohan itu....."
Bi Sian bangkit berdiri dan mengepal tinjunya. "Apa" Dia masih berani melanjutkan ikatan jodoh itu" Biarlah, aku akan ke sana dan menghajarnya sendiri sampai dia minta ampun!"
"Jangan, Bi Sian! Baru saja engkau pulang, jangan membikin ribut di Sung-jan.
Bagaimanapun juga, dia putera kepala pasukan keamanan di sini, dan kekuasaan ayahnya besar sekali. Kalau engkau memusuhi mereka secara terang-terangan begitu, bukankah akibatnya ayah dan ibumu yang akan menanggung?"
"Sumoi, apa yang ibumu katakan itu benar sekali. Engkau adalah penduduk kota ini, tidak baik memusuhi penguasa setempat. Kalau memang engkau ingin memberi hajaran padanya, serahkan saja kepadaku. Di sini aku tidak dikenal orang, maka tiada halangannya kalau aku yang pergi menemui dan menghajar orang yang berani menghinamu," kata Bong Gan dengan sikap gagah.
"Sudahlah Bi Sian. Aku tidak menghendaki ribut-ribut," kata Sie Lan Hong yang teringat akan keadaan suaminya. Baru menghadapi suaminya saja yang kini berubah demikian jahat, ia sudah berduka sekali. Apalagi ditambah urusan yang ditimbulkan karena pengamukan Bi Sian terhadap keluarga Lu-ciangkun. "Engkau baru pulang, Bi Sian. Tidak boleh terjadi hal-hal yang hanya akan mendatangkan keributan dan kekacauan."
Bi Sian masih merasa penasaran, lalu ia menoleh kepada Sie Liong. "Coba pertimbangkan, Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 140
paman Liong. Bukankah sudah sepatutnya kalau manusia macam Lu Ki Cong itu kuberi hajaran keras" Dahulupun dia yang menghinamu. Hal itu masih boleh dilupakan karena engkau laki-laki. Akan tetapi penghinaannya terhadap diriku, sungguh membuat hati ini panas dan mendongkol saja."
Sie Liong tersenyum, akan tetapi dia lalu bersikap sungguh-sungguh dan memandang tajam kepada keponakannya itu. "Bi Sian, kurasa ibumu berkata benar. Tidak perlu mencari gara-gara dan permusuhan. Mengenai kejahatan Lu Ki Cong kepadamu, bukankah katamu tadi dia dan anak buahnya sudah mendapat hajaran keras dari suhumu" Nah, dengan demikian berarti sudah lunas, bukan" Kalau sekarang dia melakukan perbuatan jahat lagi, barulah pantas kau turun tangan menghajarnya. Kukira engkau cukup mengerti bahwa kepandaian yang dipelajari bukan untuk menimbulkan kekacauan, bahkan sebaliknya untuk memadamkan kekacauan.
Bukankah begitu?"
Gadis itu memandang dengan mata terbelalak. "Ehhh" Kepandaian bukan untuk menimbulkan kekacauan melainkan untuk memadamkan kekacauan" Paman, aku pernah mendengar kalimat itu diucapkan suhu! Bukankah begitu, suheng?"
Song Gan mengangguk, akan tetapi dia memandang kepada Sie Liong dengan alis berkerut.
"Kalau begitu, suhumu adalah seorang yang bijaksana sekali, Bi Sian. Memang aku pernah menyaksikan kehebatannya dan mendengar bahwa beliau, yang berjuluk Koay Tojin, adalah seorang yang sakti dan bijaksana!"
"Paman Liong! Engkau.... engkau mengenal suhu?"
Sie Liong tersenyum lagi. "Mengenal sih tidak, akan tetapi aku pernah bertemu dengan beliau dan berhutang budi karena beliau pernah mengobati aku yang terluka oleh pukulan beracun."
"Kalau begitu, engkau tentu murid orang sakti pula, Paman Liong! Hayo ceritakan pengalamanmu. Siapa itu gurumu yang sakti?" tanya Bi Sian gembira sekali membayangkan bahwa pamannya yang disayangnya dan dikasihaninya itu kini telah menjadi seorang yang lihai!
"Aihh, Bi Sian. Aku yang cacat ini mana bisa mempelajari ilmu silat yang tinggi" Hanya kebetulan sekali bahwa aku mendengar dari ibumu tentang kepergianmu dibawa oleh seorang sakti bernama Koay Tojin, dan aku mengenal nama itu, karena dia.... dia itu masih terhitung paman guruku juga."
Baik Bi Sian maupun Bong Gan terkejut mendengar ini. "Apa?" gadis itu berseru. "Suhuku masih paman gurumu" Kalau begitu, siapakah gurumu" Ah, sekarang aku ingat....! Pernah suhu menyebut nama seorang yang katanya paling dia segani dan sayangi di dunia ini. Nama orang itu adalah.... Pek-sim Sian-su! Benarkah engkau muridnya?"
Sie Liong mengangguk. "Engkau memang cerdik dari dulu, Bi Sian. Akan tetapi, orang cacat seperti aku ini tidak dapat mempelajari banyak ilmu silat. Aku hanya banyak belajar tentang hidup."
"Ah, aku tidak percaya! Engkau tentu lihai sekali, paman! Sekali waktu engkau harus mengajarku ilmu silat!"


Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Wah, mana aku berani" Melawanmu, dalam beberapa jurus saja aku tentu akan roboh!" kata Sie Liong dan suasana menjadi semakin gembira karena paman dan keponakan ini seolah-olah merasakan suasana di waktu mereka masih kanak-kanak dahulu.
Hanya Bong Gan yang diam saja. Dia sendiri memandang rendah dan tidak suka kepada pemuda bongkok itu. Pemuda bongkok itu kelihatan amat disuka dan dipuji oleh Bi Sian!
Katakanlah pemuda itu sudah mempelajari ilmu dari seorang sakti, akan tetapi dengan punggungnya yang bongkok itu, bagaimana mungkin dia memperoleh ilmu yang tinggi"
Bagaimana mampu menghimpun tenaga sakti kalau tulang punggungnya saja bengkok" Dia merasa tidak suka sekali, apalagi melihat betapa kadang-kadang sepasang mata pemuda bongkok itu mencorong dan memandang tajam kepadanya, seolah hendak menjenguk isi Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 141
hatinya sehingga dia merasa ngeri sendiri! Masih baik bahwa pemuda bongkok itu paman dari Bi Sian, adik ibunya sehingga bukan merupakan seorang saingan dalam memperebutkan hati Bi Sian!
"Aih, kalian jangan main-main!" kata Sie Lan Hong. "Bi Sian, engkau ini baru saja pulang setelah pergi selama tujuh tahun, dan begitu datang engkau hendak menantang pamanmu"
Ketahuilah, pamanmu inipun baru dua hari tiba di sini! Kedatangan kalian sungguh kebetulan sekali. Sekarang, kalian harus beristirahat dan kita saling melepas rindu dengan membicarakan pengalaman-pengalamanmu, bukan untuk saling hantam dan gebuk! Aih, aku ini mempunyai keluarga macam apa! Adik jagoan dan anak tukang pukul?"
Mereka tertawa, bahkan Bong Gan juga tersenyum mendengar ucapan itu. Pada saat itu, terdengar teriakan dari luar rumah. "Haii, mana dia isteriku yang baik dan adiknya yang gagah" Aku sudah pulang siang-siang dan tidak mabok, ha-ha-ha-ha!"
Laki-laki itu muncul di pintu. Mulutnya mengatakan tidak mabok, akan tetapi keadaannya yang terhuyung-huyung itu jelas membuktikan keadaan yang sebaliknya.
"Ayahhhhh....!" Bi Sian berseru, bukan seruan girang melainkan seruan kaget melihat keadaan ayahnya. Dahulu, ayahnya seorang pria yang tampan dan rapi, akan tetapi sekarang, nampak awut-awutan dan kotor!
Orang itu adalah Yauw Sun Kok. Mendengar panggilan itu, lenyaplah senyum menyeringai dan mengejek tadi dari bibirnya. Matanya terbuka lebar dan dia memandang kepada gadis yang sudah bangkit berdiri dan melangkah maju menghampirinya itu.
"Bi Sian.... kau.... kau Bi Sian....?"
"Ayah....!" Bi Sian lari menghampiri. "Kau kenapakah, ayah?"
Ayahnya merangkul puteri itu dan menangis! Bi Sian terkejut bukan main. Ayahnya
menangis" Sungguh luar biasa sekali ini! Ayahnya yang demikian gagah perkasa, ayahnya yang jantan. Kini menangis"
"Ayah, tenanglah, ayah. Mari duduk...." Ia membimbing ayahnya dan membawa ayahnya duduk di kursi menghadapi meja. Hanya sebentar saja Sun Kok menangis. Dia sudah
memandang kepada puterinya dengan mata merah. Lalu dia tertawa.
"Ha-ha-ha, engkau sudah pulang, Bi Sian" Engkau sudah mewarisi ilmu silat tinggi dari Koay Tojin" Bagus! Engkau harus mewakili ayahmu ini, engkau harus dapat mengalahkan Si Bongkok ini. Dia telah mengalahkan aku, Bi Sian...."
"Hemm, engkau telah mabok lagi. Mari, engkau perlu tidur....!" Sie Lan Hong membantu suaminya bangkit dan memapahnya ke dalam kamar. Yauw Sun Kok tidak membantah, hanya mengomel, "Kau harus pukul dia, Bi Sian, demi ayahmu, kaupukul bongkoknya, biar mampus....!"
Saking heran dan bingungnya, Bi Sian menjatuhkan diri duduk di atas kursi dan tidak dapat bicara apa-apa. Ia memandang kepada pamannya yang juga duduk sambil menundukkan
mukanya. Pintu kamar itu tertutup setelah ayahnya dipapah ibunya masuk ke dalamnya dan suasana menjadi sunyi sekali, sunyi dan menegangkan.
"Paman Liong," akhirnya Bi Sian bicara dan biarpun suaranya perlahan, namun terdengar mengejutkan dan memecahkan kesunyian itu. "Engkau.... engkau benar telah mengalahkan ayah....?"
Sie Liong mengangkat mukanya, memandang kepada keponakannya itu, kemudian melirik ke arah Bong Gan. Bi Sian mengerti maksud lirikan itu, dan ia berkata, "Suheng adalah seperti keluarga sendiri, paman. Tidak ada salahnya bicara di depan dia!" Suaranya sudah terdengar kaku, tanda bahwa dia penasaran mendengar ayahnya dikalahkan Sie Liong, dan tentu ayahnya telah dipukul oleh pamannya itu.
Sie Liong mengangguk-angguk. "Aku tidak pernah mengalahkah dia, Bi Sian."
"Akan tetapi, ayah tadi mengatakan...."
"Kemarin dulu, ketika aku datang, aku melihat ayahmu hendak memukuli ibumu, dalam Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 142
keadaan mabok. Terpaksa aku melindungi ibumu, bukan berarti melawan dan mengalahkan ayahmu. Aku hanya mengelak dan menangkis.... dan ayahmu mabok, dan pukulan-pukulan itu.... kalau mengenai ibumu, tentu akan berakibat parah! Kau tidak melihat keadaan mereka"
Keadaan rumah ini! Aih, Bi Sian.... kesemuanya berubah....!"
Kembali dia melirik ke arah Bong Gan. Jelas bahwa dia merasa tidak enak sekali harus bicara lebih banyak di depan orang lain. Melihat ini, Bong Gan yang sejak tadi sudah merasa tidak enak dengan munculnya ayah Bi Sian yang seperti itu, lalu bangkit berdiri.
"Maafkan aku, sumoi. Sebaiknya kalau aku mencari rumah penginapan di kota. Besok aku akan datang berkunjung, sampaikan maafku kepada ayah den ibumu!"
Bi Sian hanya mengangguk. Hatinya dipenuhi hal lain, yaitu kenyataan tentang ayah dan ibunya. Dan dalam keadaan seperti itu, memang sebaiknya kalau suhengnya bermalam di rumah penginapan. "Baiklah, suheng. Maafkan kami."
Bong Gan pergi meninggalkan rumah itu. Setelah pemuda itu pergi, barulah Bi Sian duduk di dekat Sie Liong. Tadi ia memang marah sekali membayangkan bahwa pamannya telah
memukul ayahnya, akan tetapi kini sudah hilang kemarahannya. Ia terlalu percaya kepada Sie Liong, tidak mungkin pamannya ini mau memukul ayahnya.
"Nah, sekarang ceritakanlah keadaan yang seaungguhnya, paman!" Bi Sian menuntut.
Sie Liong menarik napas panjang. "Sebenarnya, ibumu yang harus menceritakan kepadamu.
Akan tetapi biarlah, akupun berkewajiban untuk memberitahukan semua kepadanu.
Ketahuilah bahwa setelah kita berdua pergi, ayahmu telah berubah sama sekali. Setiap hari dia bergaul dengan orang-orang sesat, dia berjudi, mabok-mabokan, pelesir, menghamburkan uang sampai usaha dagangnya jatuh dan dia bangkrut. Bukan hanya itu, malah semua barang di rumah, prabot dan perhiasan ibumu, semua dijual untuk dihamburkan di medan perjudian dan pelesiran. Lebih lagi, dia mulai membenci ibumu dan suka memukuli ibumu."
"Ah, mana mungkin itu?"
"Aku sendiripun tidak akan percaya kalau tidak melihat sendiri. Kemarin dulu, dia tidak tahu bahwa aku telah datang, dia datang malam-malam dalam keadaan mabok dan hendak
memukuli ibumu. Aku yang melihatnya lalu melindungi ibumu. Aku diserang, bukan main-main, diserang mati-matian dengan pedang. Aku hanya membela diri, sama sekali tidak memukulnya, melainkan merampas pedangnya. Engkau tentu tahu bahwa aku tidak akan berani melakukan hal seperti itu, Bi Sian."
"Aih, ayah....! Kenapa begitu. Ibuu.... ah, kasihan sekali, ibuku...." Bi Sian lalu meninggalkan Sie Liong dan iapun lari memasuki kamar ayah dan ibunya.
Melihat ini, Sie Liong juga meninggalkan ruangan itu dan pergi mencari hawa sejuk di belakang rumah. Hatinya lega karena Bi Sian tidak sampai salah paham dengan dia. Diam-diam dia merasa bangga dan kagum kepada keponakannya itu. Bi Sian telah menjadi seorang gadis seperti yang selalu dia bayangkan. Seorang gadis yang lincah jenaka, gagah perkasa, berkepandaian tinggi, juga bijaksana seperti sikapnya tadi ketika melihat ayahnya dan bertanya kepadanya. Tidak mudah dipengaruhi emosi.
Dan teringatlah dia kepada Bong Gan. Pemuda itu suheng Bi Sian" Sebagai suhengnya, tentu memiliki ilmu silat yang lebih tinggi! Memang, baru melihat sinar matanya saja mudah diduga bahwa pemuda itu tentu lihai sekali. Akan tetapi ada sesuatu pada pandang mata pemuda itu yang membuat hatinya merasa tidak enak.
Dia duduk di atas bangku di bawah pohon. Mengapa dia merasa tidak enak" Karena pemuda itu suheng Bi Sian dan kelihatan amat akrab dengan gadis itu sehingga Bi Sian mengajak pemuda itu pulang" Hendak diperkenalkan kepada ayah ibunya" Kalau benar begitu, mengapa dia harus merasa tidak enak" Sudah sepantasnya kalau Bi Sian saling mencinta dengan pemuda itu!
"Ah, tidak....!" Tiba-tiba dia bangkit dan mengepal tinju. Akan tetapi dia teringat dan sadar lagi, duduk kembali. Ih, engkau ini kenapa" Demikian dia memaki diri sendiri. Bi Sian Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 143
seorang gadis yang cantik manis, dan suhengnya itupun seorang pemuda tampan. Keduanya sudah dewasa, sudah sepatutnya kalau saling jatuh cinta. Kenapa di hatinya, harus ikut ribut-ribut" Dia kan hanya pamannya, dan dia kan hanya seorang bongkok" "Yang tahu dirilah kau!" demikian dia memaki diri sendiri dan Sie Liong duduk termenung di kebun belakang itu sampai lama sekali.
*** Seorang pemuda memasuki rumah pelesir yang mewah itu. Pemuda itu tampan dan segera
menarik perhatian para pelacur yang hendak memperebutkan perhatian pemuda itu. Maka, ketika pemuda itu duduk di dalam ruangan makan di depan, segera ada lima orang gadis pelacur menghampirinya, menyapanya dengan ramah dan tanpa diminta mereka segera duduk mengelilingi meja itu. Pakaian mereka yang tipis, muka mereka yang berbedak tebal, tubuh mereka yang menantang dan disiram minyak wangi, membuat pemuda itu tersenyum-senyum gembira. Pemuda itu bukan lain adalah Bong Gan! Sebetulnya, tidak aneh kalau kini dia kelihatan berada di dalam sebuah rumah pelacuran, walaupun selama ini dia amat pandai menyimpan rahasia. Semenjak dla melakukan perjinahan dengan Pek Lan, selir ayah
angkatnya itu, dia sudah menjadi hamba nafsu berahi yang tidak ketulungan lagi! Akan tetapi, sebagai murid Koay Tojin dan yang selalu dekat dengan Bi Sian, dia pandai sekali menjaga diri sehingga di luarnya dia nampak alim bukan main, sopan dan tidak pernah kurang ajar.
Akan tetapi, apabila dia memperoleh kesempatan, yaitu ketika melakukan perjalanan seorang diri untuk berbelanja bumbu atau memburu binatang, dia selalu mempergunakan
kepandaiannya untuk memuaskan berahinya yang berkobar-kobar. Di luar dugaan Bi Sian dan Koay Tojin, setelah dewasa, Bong Gan sering sekali mengganggu wanita. Baik melalui ketampanannya, kepandaiannya, maupun dengan paksa! Banyak sudah isteri atau anak gadis orang menjadi korbannya, namun selalu dapat menjaga diri, menyembunyikan mukanya sehingga tidak ada yang mengenalnya. Wanita yang dirobohkannya dengan modal
ketampannya, selalu adalah isteri orang yang tentu saja tidak akan membongkar rahasia busuknya sendiri. Juga, tempat pelacuran bukan tempat asing bagi Bong Gan karena kalau dia tidak mendapat korban, maka tempat pelacuranlah yang menjadi tempat dia melepaskan semua dorongan nafsu birahinya.
Kini dia berada di rumah pelacuran karena hatinya agak kesal. Dia terpaksa berpisah dari Bi Sian, bermalam di sebuah rumah penginapan dan malam itu, karena iseng, diapun keluar berjalan-jalan dan akhirhya masuk ke dalam sebuah rumah pelesir yang besar di kota Sung-jan. Bong Gan tidak kekurangan uang. Sebelum memasuki rumah penginapan tadi, dia sudah mempergunakan kepandaiannya untuk memasuki sebuah rumah gedung dan dari dalam
rumah itu, tanpa diketahui siapapun, dia telah berhasil mencuri uang emas yang cukup banyak. Dengan kepandaian yang dia miliki, kejahatan seperti itu mudah saja dia lakukan.
Tak lama kemudian, dia sudah masuk ke dalam kamar ditemani oleh tiga orang gadis pelacur!
Menjelang tengah malam, baru dia keluar dari dalam kamar itu dan bermaksud untuk kembali ke rumah penginapan. Besok pagi-pagi dia akan berkunjung ke rumah Bi Sian dan dia tidak ingin kurang tidur. Akan tetapi, baru saja dia keluar digandeng tiga orang gadis pelacur yang kelihatan amat mencintanya. Siapa orangnya takkan mencinta seorang pemuda yang tampan, jantan dan royal dengan uangnya" Apa lagi kalau perempuan itu seorang pelacur!
"Heiii, bukankah engkau suheng dari Bi Sian?" Tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki menegurnya, Song Gan menoleh dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia mengenal pria yang menegurnya itu. Yauw Sun Kok, ayah Bi Sian! Kalau ada kilat menyambar
kepalanya, belum tentu Bong Gan sekaget ketika dia bertemu dengan ayah Bi Sian di rumah pelacuran! Celaka, pikirnya, habislah namanya. Rusaklah dia di mata ayah Bi Sian dan tentu sumoinya itu juga akan mendengar dari ayahnya! Tentu sumoinya itu tidak akan sudi lagi berdekatan dengan dia kalau mendengar bahwa dia dilihat ayahnya di rumah pelacuran, dirangkul tiga orang pelacur. Dia cepat dapat memulihkan sikapnya, berpura-pura tidak Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 144
mengenal Yauw Sun Kok dan melepaskan diri dari gandengan tiga orang pelacur, dia lalu keluar sambil berkata dengan suara dirobah.
"Anda salah lihat!"
Yaw Sun Kok belum mabok pada saat itu. Dia memang langganan rumah pelacuran ini dan kalau dia tidak berjudi, tentu dia berada di sini, main-main dengan gadis pelacur, atau sekedar mabok-mabokan. Ketika melihat pemuda yang digandeng tiga orang pelacur itu, dia segera mengenalnya dan menegurnya. Sebetulnya kekhawatiran Song Gan tidak beralasan. Orang yang sudah menjadi langganan rumah pelacuran seperti Yauw Sun Kok, tentu tidak akan memandang rendah kepada pria lain yang juga datang menghibur diri di tempat itu.
Yauw Sun Kok adalah seorang manusia yang jiwanya lemah, tertutup oleh nafsu-nafsunya sehingga jiwanya menjadi hamba dari nafsunya. Karena sejak kecil hidup sebagai orang sesat, di tengah-tengah orang yang bekerja sebagai perampok, penjudi dan penjahat-penjahat, akhirnya isterinya terbunuh oleh Sie Kian, dia menjadi sakit hati dan setelah memperdalam ilmu-ilmunya, dia berhasil membalas dendam, membasmi keluarga musuh besarnya itu. Akan tetapi dia tergila-gila kepada Sie Lan Hong dan membawa gadis remaja itu sebagai isterinya, juga membiarkan Sie Liong hidup atas permintaan Sie Lan Hong yang pada waktu itu amat dicintanya. Karena cintanya terhadap isteri yang baru inilah Yauw Sun Kok dapat merobah jalan hidupnya. Dia dapat mengekang nafsu-nafsunya, karena semua nafsunya telah
dipuaskan oleh isteri yang dicintanya itu. Apalagi ketika Bi Sian terlahir. Sun Kok bahkan pernah menjadi suami dan ayah yang baik.
Akan tetapi, rasa takutnya akan menerima pembalasan dari Sie Liong membuat sifat jahatnya timbul dan dia bahkan telah membikin cacat adik isterinya itu. Setelah Sie Liong melarikan diri, dan juga puterinya dibawa orang sakti sebagai murid, dalam keadaan kesepian ini, nafsu-nafsu rendah yang tadinya mulai dapat dikekang, bermunculan kembali dan menguasai jiwa raga Sun Kok! Maka diapun kembali ke jalan lama membiarkan nafsunya meraja lela dan setiap hari hanya mengejar kesenangan belaka. Bahkan muncul pula watak kejamnya
sehingga dia tidak segan memukuli isterinya yang dulu pernah amat disayangnya itu kalau isterinya dianggap menghalangi kesenangannya!
Segala macam nafsu tidak terpisahkan dari manusia. Sejak lahir memang kita sudah disertai nafsu-nafsu, karena sesungguhnya nafsu-nafsu merupakan pendorong bagi kita untuk dapat hidup di dunia ini. Nafsu adalah kemelekatan kita kepada kebutuhan hidup di dunia, kebutuhan badan. Kemelekatan pada benda, pada makanan, dan sebagainya. Akan tetapi, nafsu-nafsu ini setelah merasakan segala macam kesenangan melalui badan manusia, lalu ingin menguasai manusia, mencengkeram dan memperhamba manusia sehingga jiwa manusia yang murni terselubung oleh hawa nafsu, menjadi lemah dan tidak berdaya. Kalau jiwa yang menjadi penghubung antara manusia dengan Tuhannya itu terselubung, maka Kekuasaan Tuhan yang berada di dalam diri tidak dapat bekerja dengan sempurna. Maka nafsulah yang berkuasa, dan di dalam setiap gerak gerik kita, selalu nafsu yang menjadi pengemudinya!
Kalau keadaan kita manusia ini dapat diumpamakan sebuah kereta, lengkap dengan roda, kerangka, lampu, dan segala perlengkapan sebuah kereta, maka nafsu-nafsu adalah ibarat kuda-kuda yang menarik kereta ini! Jiwa kita seharusnya menjadi Sang Kusir, yang mengendalikan nafsu-nafsu atau kuda-kuda itu agar kereta dapat berjalan dengan baik. Tanpa adanya kuda-kuda itu, kereta tidak akan dapat berjalan atau bergerak maju. Akan tetapi kalau Sang Kusir tidak mampu menguasai kuda-kuda itu, dan sebaliknya kuda-kuda itu yang menguasai kereta, maka tentu kuda-kuda itu menjadi liar dan akan kabur, mungkin saja membawa seluruh kereta berikut Sang Kusir terjun ke dalam jurang! Demikian pula dengan nafsu. Kalau jiwa tidak tertutup kotoran, kalau jiwa tetap dekat dengan Tuhan, penuh penyerahan diri, penuh ketawakalan dan penuh keikhlasan membiarkan diri dibimbing kekuasaan Tuhan, maka jiwa akan selalu dapat menguasai nafsu-nafsu. Bukan berarti nafsu harus dimatikan, seperti kuda yang dibutuhkan untuk menarik kereta. Nafsu juga perlu untuk Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 145
membuat kita hidup. Kita makan karena ada nafsu, kita berpakaian karena ada nafsu, kita melihat, mendengar dan mempergunakan panca indera dan dapat menikmati hidup karena ada nafsu. Nafsu bagaikan api. Kalau dikuasai, dapat amat bermanfaat bagi hidup, akan tetapi sebaliknya kalau menguasai kita, dapat membakar segala-galanya! Nafsu adalah seorang hamba yang amat baik, akan tetapi seorang majikan yang amat jahat!
Melihat Bong Gan bersikap tidak mengenalnya, hanya sebentar Yauw Sun Kok merasa heran.
Akan tetapi tak lama kemudian dia sudah tenggelam ke dalam buaian arak dan lewat tengah malam, diapun berjalan pulang terhuyung-huyung dalam keadaan mabok.
Ketika Sun Kok melewati daerah yang sunyi, di mana tidak ada rumah di kanan kiri jalan, tiba-tiba berkelebat bayangan hitam yang langsung menyerangnya dengan kepalan tangan.
Serangan itu dahsyat sekali, mendatangkan angin pukulan yang keras. Bagaimanapun juga, Sun Kok adalah seorang yang sudah lama mempelajari ilmu silat dan tingkat kepandaiannya cukup tinggi. Dia mendengar suara angin serangan ini dan cepat dia mengelak sambil menggerakkan tangan kiri menangkis dan tangan kanannya membalas dengan cengkeraman ke arah pundak penyerangnya! Namun, penyerang itu lihai bukan main karena dengan amat mudahnya dia menghindarkan diri dari cengkeraman itu.
Saat itu dipergunakan Sun Kok yang cepat melompat ke belakang itu untuk mengamati penyerangnya. Cuaca gelap, akan tetapi dia melihat bayangan penyerangnya yang
berpunggung bongkok!
"Sie Liong....!" teriaknya dengan suara penuh rasa ngeri. Memang sejak dahulu dia takut kepada adik isterinya, takut kalau sampai anak itu mengetahui bahwa dialah pembunuh orang tuanya. Kalau saja tidak melihat isterinya, sudah sejak dulu dia membunuh Sie Liong. Dan kini, apa yang ditakutinya terjadi. Sie Liong yang sudah dia bikin bongkok itu, masih berhasil mempelajari ilmu silat tinggi dan malam ini agaknya hendak membalas dendam dan
menyerangnya! Maklum bahwa dia terancam maut, tangan Yauw Sun Kok bergerak dan tiga batang piauw beruntun menyambar ke arah tubuh orang bongkok itu. Namun, dengan
sigapnya, lawannya itu berhasil mengelak dengan amat mudah. Sun Kok sudah mencabut pedangnya, pedang pusaka Pek-lian-kiam dan biarpun dia mabok, akan tetapi perasaan takut melenyapkan maboknya dan dia sudan mainkan pedangnya, menyerang dengan gesit.
Namun, sekali ini dia harus mengakui bahwa dia telah berhadapan dengan seorang lawan yang amat tangguh. Biarpun lawannya bertangan kosong, namun serangan-serangan
pedangnya tidak pernah mampu menyentuh lawannya yang dapat bergerak secepat burung walet terbang. Kemudian, ketika dengan gugup dia membalik untuk mencari lawan yang tadi berkelebat lenyap ke arah belakangnya, tiba-tiba tangan kanannya menjadi lumpuh tertotok dan pedangnya berpindah tangan! Sebelum Sun Kok mampu menghindar, sinar pedang
berkelebat dan pedang itu telah menembus dada dan jantungnya! Sun Kok roboh terjengkang, seketika tewas dengan dada ditembusi pedangnya sendiri!
Bayangan berpunggung bongkok itu lalu menyambar tubuh yang tak bernyawa lagi itu, menyeretnya menuju ke rumah Yauw Sun Kok. Dengan amat cekatan, dia melompat ke atas genteng dan selanjutnya berlompatan sehingga tidak ada orang melihatnya. Setelah berlompatan dari rumah ke rumah, dia lalu turun ke pekarangan belakang rumah Yauw Sun Kok. Ketika tiba di dekat sebuah jendela kamar di rumah itu, kakinya tersaruk sebuah benda yang mengeluarkan suara keras.
"Siapa itu?" terdengar bentakan suara wanira dari balik jendela. Bayangan itu tidak menjawab, menyeret mayat itu menjauhi jendela. Akan tetapi dia kurang cepat karena tiba-tiba daun jendela itu terbuka dari dalam dan Bi Sian masih sempat melihat seorang laki-laki berkedok dan berpunggung bongkok menyeret sesosok mayat ke dalam kebun.
"Paman Liong....?" Dia memanggil akan tetapi bayangan itu sudah lenyap ke dalam kegelapan malam. Bi Sian cepat meloncat keluar dari kamarnya dan melakukan pengejaran ke dalam Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 146
kebun. Akan tetapi bayangan orang berpunggung bongkok itu lenyap dan ia menemukan sesosok tubuh menggeletak di atas tanah. Pada waktu itu, kebetulan sekali bulan sepotong yang sejak tadi tertutup awan hitam, terlepas dari cengkeraman awan dan menyinarkan cahayanya yang redup namun cukup terang bagi Bi Sian untuk mengenal wajah orang itu.
"A.... ayahhhhh....!" Ia menjerit dan cepat berlutut, memeriksa tubuh itu. Ayahnya, benar ayahnya, telah tewas dengan dada ditembusi sebatang pedang yang dikenalnya sebagai pedang pusaka milik ayahnya sendiri, Pek-lian-kiam!
Jeritan Bi Sian ini mengejutkan para pengnuni rumah itu. Ibunya terkejut dan berlari keluar.
"Bi Sian, apa yang terjadi....?" tanyanya sambil berlari tersaruk-saruk ke dalam kebun.
"Ibu....! Ayah tewas terbunuh orang....!" Bi Sian berseru dan iapun melompat lalu berlari mencari-cari ke dalam kebun. Akan tetapi, ia tidak menemukan jejak orang yang tadi menyeret tubuh ayahnya, lalu ia mendexati rumah. Tiba-tiba ia melihat sesuatu. Cepat ia berjongkok den diambilnya benda itu. Sebuah topeng! Topeng yang tadi ia lihat dikenakan pembunuh ayahnya. Topeng hitam!
"Bi Sian, ada apakah ribut-ribut itu?" Mendengar suara Sie Liong, Bi Sian cepat menyimpan topeng itu ke dalam saku dalam bajunya. Ia memandang tajam kepada wajah Sie Liong.
Biarpun remang-remang, ia melihat bahwa selarut itu pamannya ini belum tidur!
"Paman Liong, apakah engkau tidak mendengar sesuatu?" tanyanya sambil memandang tajam penuh selidik.
"Mendengar apa" Aku hanya mendengar teriakanmu memanggil ayahmu, lalu suara enci Lan Hong di belakang sini. Apakah yang telah terjadi?"
"Paman Liong, mari kaulihat sendiri!" katanya sambil menarik lengan pamannya itu. Lengan itu tidak memperlihatkan sesuatu, tidak gemetar, juga sikap pamannya tenang-tenang saja. Bi Sian ingin melihat bagaimana sikap pamannya kalau melihat cihu-nya menggeletak tewas.
Setelah tiba di tempat itu, dari jauh Sie Liong sudah mendengar ratap tangis encinya dan melihat cihu-nya menggeletak dengan pedang masih menancap di dada, dia terkejut bukan main.
"Enci Hong, apa.... apa yang telah terjadi" Siapa membunuh cihu?" Dia berlutut dan memeriksa. Tak salah lagi. Cihunya telah tewas, tewas seketika melihat pedang itu menembus dada. Melihat adiknya, Sie Lan Hong menangis semakin mengguguk sambil memeluk mayat suaminya.
"Liong-te.... bagaimanapun juga.... bagaimanapun jahatnya.... aku.... aku mencintanya....!"
Wanita itu meratap dan menangis sejadinya.
Sejak tadi Bi Sian sudah memperhatikan sikap pamannya. Terlalu tenang, pikirnya. Terlalu tenang sehingga tidak wajar. Akan tetapi, mengapa ia masih meragukan kenyataan itu" Ia melihat dengan matanya sendiri. Orang yang menyeret mayat ayahnya itu berpunggung bongkok! Siapa lagi kalau bukan pamannya" Dan orang itu bertopeng hitam, topeng hitam yang ia temukan di luar kamar Sie Liong pula!
"Engkau pembunuh ayahku!" Tiba-tiba Bi Sian berteriak sambil melompat dekat Sie Liong, tangannya sudah menyambar sebatang ranting kayu dan kini digenggam di tangannya, telunjuk kirinya menuding ke arah muka Sie Liong.
Pemuda itu terkejut dan heran. "Apa...." Apa maksudmu, Bi Sian?" Dia bangkit berdiri.
"Maksudku, Sie Liong, engkaulah yang membunuh ayahku!"
"Ehh" Apa kau sudah gila" Enci, bagaimana ini" Bagaimana anakmu menuduh aku membunuh suamimu?"
Akan tetapi anehnya, Sie Lan Hong hanya menangis, tidak membantah sedikitpun juga.
Memang, di dalam hatinya, Lan Hong juga menduga bahwa tentu adiknya itu yang telah membunuh suaminya, untuk membalaskan sakit hati orang tua mereka.
"Liong-te, kenapa engkau begitu kejam membunuhnya" Bagaimanapun juga, dia ayah Bi Sian, dia suamiku dan aku.... aku cinta padanya...."
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 147
Mendengar ratap tangis encinya ini, Sie Liong terbelalak dan merasa bagaikan disambar geledek di hari terang! Akan tetapi, Bi Sian yang juga mendengar ucapan ibunya, sudah mengeluarkan suara melengking panjang dan ia mengeluarkan topeng hitam itu,
melemparkannya ke arah muka Sie Liong yang cepat menangkapnya. Melihat bahwa yang dilemparkan itu sebuah topeng hitam tipis, Sie Liong tidak tahu maksudnya. Akan tetapi pada saat itu, tongkat di tangan Bi Sian sudah menyambar dengan totokan-totokan maut ke arah muka, tenggorokan dan ulu hatinya. Tiga kali totokan bertubi yang kesemuanya amat berbahaya!
Tanpa disadarinya, Sie Liong menyimpan topeng itu ke dalam saku bajunya dan tubuhnya lalu dilempar ke belakang, berjungkir balik setiap kali ada ujung tongkat menyambar dan setelah tiga kali berjungkir balik, dia lalu memalangkan kedua lengannya seperti hendak menggunting kalau tongkat yang amat berbahaya itu menyambar lagi. Akan tetapi kini tongkat itu tidak menusuknya dari depan, melainkan menghantam dari kanan ke arah lambungnya!
Bukan main cepat dan kuatnya serangan Bi Sian. Kembali Sie Liong menghindar diri dengan loncatan ke atas. Celaka, pikirnya. Bi Sian, dan bahkan encinya sendiri, agaknya sudah yakin bahwa dia pembunuh cihu-nya! Agaknya membela diri dan menyangkal tidak ada gunanya pada saat keduanya sedang emosi itu, dan melawan serangan Bi Sian amat berbahaya. Gadis ini memiliki ilmu tongkat yang amat ganas dan lihai, dan teringat dia akan ilmu tongkat yang pernah dipertontonkan Koay Tojin.
"Kalian salah sangka....!" katanya dan ketika tongkat itu kembali menyambar dengan totokan maut ke arah pusarnya, Sie Liong melompat ke pinggir lalu kakinya menyambar untuk menendang pinggang Bi Sian dari samping. Dia mengerahkan tenaga sehingga angin
tendangan itu menyambar keras. Bi Sian terkejut dan cepat melompat ke belakang. Inilah yang dikehendaki Sie Liong. Dia mempergunakan kesempatan selagi gadis itu melompat ke belakang, dia pun melompat jauh dan menghilang di dalam kegelapan malam!
"Pembunuh, hendak lari ke mana kau?" Bi Sian melompat dan melakukan pengejaran. Akan tetapi, Sie Liong dapat bergerak cepat sekali dan dia sudah tidak nampak bayangannya.
Setelah mengejar ke sana-sini tanpa hasil, dengan hati kesal Bi Sian kembali ke dalam kebun.
Ia menemukan ibunya masih menangisi mayat ayahnya.
"Aku tidak berhasil menyusul pembunuh keparat itu! Akan tetapi, ibu, aku akan mencarinya sampai dapat!"
"Sudahlah, Bi Sian. Yang terpenting sekarang mengurus jenazah ayahmu," kata Sie Lan Hong yang akhirnya dapat menguasai hatinya yang terguncang.
"Tapi, ibu, yang terpenting adalah menangkap pembunuh itu!"
"Hem, bagaimanapun juga, dia adalah pamanmu, adik ibumu."
"Apakah kalau adik ibu, lalu dia boleh membunuh ayah sesukanya" Apakah ibu sudah begitu membenci ayah karena ayah telah berubah selama ini?"
"Bi Sian....!" Sie Lan Hong menangis lagi dan Bi Sian segera menyadari kekeliruannya. Ia berlutut dan merangkul ibunya.
"Maafkan, ibu. Maafkan aku.... ah, kedukaan membuat aku bersikap kasar kepada ibu." Gadis itu lalu mengangkat jenazah ayahnya ke dalam rumah.
Para tetangga dan penduduk kota Sung-jan terkejut mendengar berita kematian Yauw Sun Kok yang kabarnya terbunuh orang semalam. Banyak orang menduga-duga siapa
pembunuhnya. Yauw Sun Kok mereka kenal sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa, walaupun akhir-akhir ini menjadi gila judi dan suka bermain perempuan dan mabok-mabokan.
Sie Lan Hong menangis perlahan di dalam kamarnya. Ia tidak mau ditemani puterinya dan terpaksa Bi Sian duduk bersila di ruangan di mana jenazah ayahnya dibaringkan, ditemani Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 148
beberapa orang pria tua tetangga mereka.
Ketika Lan Hong menangis lirih, tiba-tiba daun jendelanya terbuka dari luar. Begitu perlahan jendela itu terbuka dari luar sehingga Lan Hong tidak mendengar sesuatu. Baru ia terkejut ketika ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu adiknya telah berdiri di dalam kamar itu. Lan Hong memandang terbelalak kepada adiknya.
"Mau apa.... kau datang" Engkau sudah membunuhnya, tentu engkau sudah puas, bukan"
Biarlah aku yang menderita.... hu-huh.... sejak dulu, aku yang menderita....!"
"Enci, dengarlah baik-baik. Aku tidak membunuhnya, enci. Aku tidak membunuh cihu....!"
Wanita itu menghentikan tangisnya lalu menarik napas panjang. "Sudahlah, Liong-te. Akupun tidak menyalahkanmu. Dulu akupun hendak membunuhnya dan sudah sepatutnya kalau aku atau engkau membunuhnya...."
"Enci.... apa.... apa maksudmu?" Sie Liong bertanya, hatinya berdebar tegang.
"Engkau tentu telah menduganya, maka engkau membunuhnya, bukan" Nah, baiklah, karena dia sudah mati, kuceritakan segalanya kepadamu. Memang, Yauw Sun Kok yang menjadi pembunuh ayah dan ibu kita, membunuh suheng Kim Cu An, dan dua orang pelayan keluarga kita dan semua binatang peliharaan kita."
Sedikit banyak memang sudah ada dugaan di dalam hati Sie Liong yang selalu dibantahnya sendiri karena bagaimana mungkin encinya menjadi isteri pembunuh ayah ibu mereka"
"Tapi.... tapi mengapa, enci?"
"Mendiang ayah kita pernah bentrok dengan Yauw Sun Kok ketika dia dan isterinya melakukan perampokan. Dia dahulu seorang perampok. Isterinya tewas di tangan mendiang ayah kita dan dia terluka. Dia lalu memperdalan ilmu silat dan pada malam hari itu, dia berhasil membasmi keluarga ayah kita."
"Tapi.... tapi, mengapa enci dan aku sendiri tidak dibunuhnya, dan mengapa pula enci menjadi isterinya....?"
"Itulah selalu aku yang menderita. Dia tertarik kepadaku. Dia hendak memperkosaku dan membunuh kita berdua kalau aku tidak mau menjadi isterinya. Terpaksa, untuk
menyelamatkan engkau yang baru berusia sepuluh bulan, dan menyelamatkan nyawaku
sendiri, aku menerima permintaannya. Aku menjadi isterinya dan engkau tidak dibunuhnya.
Dan ternyata dia amat baik kepadaku dan kepadamu sampai terlahir Bi Sian dan aku.... aku....
anak durhaka dan tidak berbakti ini, aku jatuh cinta kepadanya, kepada suamiku sendiri dan kepada pembunuh ayah ibuku...." Sie Lan Hong tidak dapat menahan tangisnya lagi. Sie Liong mendengarkan dengan bengong. Die merasa kasihan sekali kepada encinya.
"Akan tetapi, aku tidak membunuhnya, enci."
"Sudahlah, siapa mau percaya. Dan aku sekarang tidak lagi menyalahkanmu, Liong-te. Sudah sepatutnya engkau membunuhnya dan...."
Tiba-tiba pintu kamar itu didorong terbuka dari luar dan Bi Sian meloncat masuk dengan mata terbelalak dan tangannya memegang sebatang pedang yaitu pedang Pek-lian-kiam yang telah membunuh ayahnya!
"Pembunuh keparat, berani engkau ke sini?" bentaknya dan secepat kilat Bi Sian menyerang dengan pedang itu. Tusukan kilat mengarah dada Sie Liong dan selain nampak kilatan pedang, juga terdengar bunyi mendesing saking cepat dan kuatnya pedang itu meluncur.
Namun, dengan cepat Sie Liong menyambar kursi dan melempar kursi itu sebagai perisai.
Terdengar suara nyaring dan kursi itu sudah patah-patah berantakan. Akan tetapi tubuh Sie Liong sudah meloncat ke jendela.
"Bi Sian, engkau keliru. Aku tidak membunuh ayahmu!" kata Sie Liong sebelum dia meloncat ke luar dan melenyapkan diri,
"Jahanam, jangan lari!" Bi Sian hendak mengejar, akan tetapi ibunya sudah menubruknya dan memegangi lengannya sambil menangis.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 149
"Jangan, anakku. Jangan kejar dia....! Biarkan dia pergi....!" tangisnya.
Bi Sian mengerutkan alisnya. Menghela napas panjang. "Hemm, ibu melindungi seorang pembunuh, pembunuh suami ibu sendiri, walaupun pembunuh itu adik kandung ibu...." Ia melepaskan diri, akan tetapi tidak mengejar seperti yang diminta ibunya, melainkan dengan bersungut-sungut iapun kembali ke ruangan di mana jenazah ayahnya dibaringkan. Ibunya melempar diri di atas pembaringan dan menangis. Bagaimana ia tega untuk merusak hati anaknya dengan menceritakan semua perbuatan ayahnya" Tidak, ia tidak akan menceritakan semua peristiwa jahanam dahulu itu kepada Bi Sian agar gadis itu tidak tahu bahwa ayahnya seorang yang amat jahat. Tidak perlu ia tahu. Biarlah ia sendiri yang menderita, asalkan Bi Sian tidak menderita! Seperti dulu ia berkorban demi mempertahankan keselamatan Sie Liong, kini ia bersedia berkorban perasaan demi menjaga agar batin puterinya tidak sampai menderita kehancuran.
Pada keesokan harinya, para tetangga datang melayat dan pagi-pagi sekali Bong Gan sudah tiba di situ. Maksudnya untuk berkunjung kepada sumoinya. Tentu saja dia terkejut bukan main melihat peti mati di ruangan depan.
Bi Sian menyambutnya dengan wajah pucat dan mata merah, bekas tangis dan kurang tidur.
"Sumoi! Apa yang terjadi! Siapa yang meninggal dunia....?" tanyanya dengan penuh kekhawatiran.
"Yang meninggal dunia adalah ayahku, suheng...."
"Ahh....!" Pemuda itu terbelalak memandang ke arah peti mati. "Ayahmu" Tapi kemarin beliau masih segar bugar....!"
"Malam tadi.... dia meninggal...." Gadis itu memejamkan matanya, menahan diri agar tidak menangis di depan pemuda itu, apa lagi para tetangga mulai berdatangan melayat. Melihat Ini, Bong Gan lalu menghampiri meja sembahyang, memasang hio untuk memberi hormat kepada jenazah dalam peti. Kemudian dia menghampiri lagi sumoinya.
"Sumoi, kenapa ayahmu meninggal" Sakit apakah?"
"Mari kita masuk, suheng, aku mau bicara denganmu."
Bong Gan mengikuti sumoinya menuju ke ruangan dalam. Setelah berada berdua saja, gadis itu mempersilakan suhengnya duduk. "Suheng, ayahku malam tadi dibunuh orang....."
"Hah....?"" Bong Gan meloncat bangkit berdiri dari kursinya, matanya terbelalak. "Dibunuh orang" Bagaimana.... siapa....?"
"Pembunuhnya adalah.... pamanku, adik ibu sendiri...."
"Ahh! Pemuda berpunggung.... bongkok bernama Sie Liong itu....?"
Bi Sian mengangguk, menarik napas panjang. "Benar, dialah yang membunuh ayahku."
"Kalau begitu, biar aku mencarinya dan menyeretnya ke depanmu, sumoi!" Bong Gan berseru sambil mengepal tinju, matanya terbelalak penuh kemarahan.
"Semalam aku sudah menyerang dan mengejarnya, namun tidak berhasil. Dia tidak boleh dipandang ringan, suheng. Agaknya dia telah memperoleh kepandaian yang hebat. Ingat, dia itu murid supek Pek-sim Sian-su yang menurut suhu memiliki kesaktian yang amat hebat.
Karena itu, aku akan pergi mencarinya, suheng dan harap engkau suka membantuku. Kalau kita maju berdua, tentu dia akan dapat kita kalahkan."
"Aku siap siaga, sumoi! Tanpa kau minta sekalipun, aku memang akan mencarinya untuk membalaskan sakit hatimu ini!"
"Terima kasih, suheng. Hanya engkau seoranglah yang dapat kumintai bantuan, yang dapat kuharapkan. Nah, sekarang juga kita berangkat untuk mengejar dan mencari Sie Liong!"
"Ehh" Sekarang" Tidak menanti sampai selesai pemakaman ayahmu?"
"Tidak, kalau terlambat, dia akan pergi terlalu jauh. Aku sudah siap sedia, lihat, ini buntalan sebagai bekal perjalanan sudah kusiapkan. Mari, kita berangkat sekarang juga!"
Pemuda itu masih bingung karena kepergian itu demikian mendadak, walaupun hatinya Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 150
merasa girang sekali bahwa dia akan berdua lagi dengan sumoinya, berdua melakukan perjalanan!
"Kau.... aku tidak berpamit kepada ibumu?"
Gadis itu menggeleng kepalanya dengan wajah duka. "Tidak, ibu melindungi adiknya, lebih baik aku tidak menemuinya sebelum aku dapat membalas dendam kepada pembunuh
ayahku!" Berkata demikian, gadis itu lalu pergi, diikuti Bong Gan, keluar meninggalkan rumah itu dari pintu samping sehingga tidak kelihatan oleh para tetangga yang datang berlayat.
Ketika Sie Lan Hong mendengar bahwa puterinya lenyap bersama suhengnya, pergi tanpa pamit, iapun jatuh pingsan. Tidak kuat ia menahan pukulan batin yang bertubi-tubi itu. Yang terutama sekali memberatkan hati nyonya ini adalah karena ia dapat menduga ke mana perginya puterinya itu. Tentu ia hendak pergi mencari Sie Liong untuk menuntut balas dendam! Maka iapun merasa menyesal sekali mengapa ia tidak segera menceritakan saja sebab-sebab yang mendorong Sie Liong membunuh Yauw Sun Kok. Kalau ia sudah
menceritakan, tentu Bi Sian akan mengerti dan dapat memaklumi mengapa pamannya itu membunuh ayahnya, karena memang ayahnya amatlah jahatnya!
Setelah suaminya tewas dan dimakamkan, Sie Lan Hong hidup seorang diri dalam keadaan sederhana. Ia berdagang dengan modal seadanya, dan setiap hari ia berprihatin,
bersembahyang dan mohon kepada Tuhan Yang Maha Kasih untuk melindungi puterinya dan untuk mencegah agar puterinya jangan sampai membunuh Sie Liong. Kalau hal ini terjadi habislah hidupnya. Ia tidak akan berani melanjutkan lagi kehidupannya penuh dengan penyesalan kalau sampai puterinya membunuh Sie Liong. Ia tidak khawatir kalau puterinya akan terbunuh oleh Sie Liong. Ia sudah mengenal benar watak adiknya yang bongkok itu.
Sampai bagaimanapun juga, Sie Liong tidak akan membunuh Bi Sian. Hal ini ia yakin sama yakinnya bahwa di dasar hatinya, adiknya itu amat mencinta dan menyayang Bi Sian.
*** Wanita itu berusia kurang lebih dua puluh empat tahun. Ia seorang wanita yang mempunyai daya tarik besar sekali. Wajahnya yang berbentuk lonjong itu berkulit putih mulus kemerahan.
Matanya jeli dan kedua ujungnya meruncing dan kerlingannya dapat menarik hati pria seperti besi semberani menarik besi. Senyumnya manis sekali, dengan bibir yang lembut itu pandai bergerak-gerak penuh tantangan. Tubuhnya bagaikan bunga sedang mekar, dengan lekuk lengkung yang indah menggairahkan, tidak begitu disembunyikan karena pakaiannya yang ketat dengan jelas membayangkan keindahan bentuk tubuh itu. Dadanya padat, pinggangnya kecil, pinggulnya besar, langkahnya seperti seekor singa kelaparan. Pada lengan, kaki dan leher nampak ditumbuhi bulu lembut dan ini menambah daya tarik. Pakaiannya juga indah, dari sutera yang mahal.
Ketika wanita itu memasuki pintu gerbang kota Ho-tan, semua mata pria yang melihatnya, memandang dengan melotot. Bahkan ada yang matanya sampai mau meloncat keluar.
Kalamenjing banyak pria bergerak naik turun, seperti orang kehausan melihat buah yang segar, ada yang lidahnya terjulur ke luar menjilat-jilat bibir sendiri, seperti kucing-kucing kelaparan melihat tikus yang montok. Pendeknya, jarang ada pria yang melewatkan
penglihatan seindah itu begitu saja. Bahkan di antara mereka yang memang berwatak ceriwis dan nakal, tersenyum menyeringai, ada pula yang berdehem, ada yang memuji dengan suara.
Bermacam-macamlah ulah para pria yang salah tingkah itu ketika melihat wanita yang menggiurkan ini, dan kalau saja sinar mata dapat menusuk seperti anak-anak panah, tentu tubuh wanita itu sudah penuh dengan luka!
Wanita itu bukan tidak sadar bahwa dirinya dijadikan tontonan ypng mengasikkan. Ia sadar sepenuhnya akan kecantikannya, dan ia tidak marah, bahkan bangga dan gembira sekali menjadi pusat perhatian dan pujian. Maka ia sengaja membuat lenggangnya semakin
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 151
menggairahkan, pinggulnya yang montok itu seperti menari-nari, pinggangnya meliak-liuk seperti batang pohon yang tertiup angin, matanya mengerling ke kanan kiri dengan lembut namun tajam, dan bibirnya yang merah membasah itu bergerak-gerak mengarah senyum.
Manis sekali! Semua orang bertanya-tanya siapa gerangan wanita muda yang amat cantik itu. Kalau wanita penduduk biasa dari kota Ho-tan, kiranya tidak mungkin karena melihat pakaiannya yang indah dan mewah, tentu ia seorang wanita kaya raya, mungkin seorang puteri bangsawan.
Kalau ia benar wanita bangsawan dari luar kota, mengapa datang hanya berjalan kaki saja"
Tidak naik kereta" Wanita cantik itu penuh teka-teki, dan kalau ia lebih lama berada di kota itu, tentu segera akan ada orang yang berani mendekatinya untuk bertanya dan
memperkenalkan diri. Terlalu cantik ia dibiarkan sendirian saja di tempat ramai itu. Seperti setangkai bunga, yang terlalu cantik dibiarkan tumbuh di hutan tanpa ada yang melindungi, seperti setangkai buah yang segar dan matang, tentu takkan lama bertahan tergantung di dahan pohon tanpa ada yang memetiknya.
Sudah mulai banyak pria tua muda yang diam-diam membayanginya! Senja telah mulai tua dan malam sudah menjelang masuk. Mereka yang membayanginya, merasa heran ketika
melihat wanita cantik itu menuju ke sebuah kuil tua di pinggir kota. Padahal kuil tua itu sudah kosong dan tidak digunakan lagi, merupakan sebuah rumah tua yang ditakuti penduduk karena dikabarkan bahwa kuil itu sekarang menjadi tempat tinggal siluman-siluman! Hampir tidak ada orang berani memasuki, apalagi memasuki kuil, bahkan masuk ke halamannyapun jarang ada yang berani, setelah hari mulai gelap. Banyak orang mengabarkan bahwa kalau malam gelap, seringkali terdengar suara-suara aneh dari tempat yang angker itu!
Ketika mereka yang membayangi wanita itu melihat betapa si cantik itu melenggang lenggok memasuki pekarangan kuil, sudah banyak di antara mereka yang diam-diam menahan kaki mereka, lalu membalikkan tubuh dan pergi dengan bulu tengkuk meremang. Sebagian masih bertahan, diliputi keheranan mau apa seorang cantik seperti itu memasuki pekarangan kuil yang menyeramkan itu" Ketika mereka melihat bahwa wanita itu terus melangkah masuk ke dalam kuil yang gelap, kotor dan tua itu, semua orang membalikkan tubuh dan lari tunggang langgang! Tidak salah lagi, sudah pasti siluman yang mereka bayangi itu! Siluman yang suka menggoda pria, biasanya siluman rubah yang dapat merobah diri menjadi wanita cantik sekali. Kalau ada pria yang tertarik dan terpikat, akan dibawanya ke dalam kuil dan pada keesokan harinya, tentu pria itu ditemukan dalam keadaan mati konyol atau setidaknya tentu gila!
Kalau saja di antara mereka itu ada yang bernyali besar dan terus membayangi wanita itu masuk ke dalam kuil tentu dia akan menjadi semakin heran. Wanita itu setelah tiba di dalam kuil, tiba-tiba saja bergerak cepat sekali, tubuhnya sudah mencelat naik ke atas wuwungan rumah dan ia mengintai dari atas ke arah jalan yang menuju ke kuil. Dari atas, dalam cuaca yang sudah mulai gelap, ia dapat melihat mereka yang tadi membayanginya, satu demi satu meninggalkan jalan itu, bahkan ada yang lari pontang panting, kembali ke tengah kota.
Wanita itu tersenyum geli, bibirnya yang menggairahkan itu berjebi mengejek, lalu tubuhnya melayang turun lagi setelah ia merasa yakin bahwa tidak ada seorangpun yang mengikutinya masuk ke dalam kuil.
"Hi-hik," ia tertawa lirih dan berbisik-bisik, "biarkan mereka mengira aku siluman. Memang aku siluman.... hi-hik, siluman aseli....!" Ia lalu melangkah masuk ke dalam ruangan belakang kuil itu, bagian yang masih agak utuh karena banyak bagian yang sudah rusak dan dindingnya retak-retak.
Ketika ia tiba di ruangan belakang dan membuka pintu sebuah kamar, orang itu tentu akan berseru keheranan dan ketakutan melihat betapa kamar yang diterangi oleh nyala api lilin itu merupakan sebuah kamar yang bersih, berbau harum dan sama sekali tidak pantas berada di dalam kuil tua yang kotor itu! Kamar ini cukup besar, terdapat sebuah pembaringan yang Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 152
lebar sekali, cukup untuk tidur enam tujuh orang! Sebuah pembaringan yang diberi kasur tebal dan ditilami kain kapas yang berwarna merah muda, dengan kelambu besar berwarna ungu! Bantal-bantalnya bersih, dengan sarung yang disulam bunga-bunga dan burung, ada pula selimutnya yang merah dan tebal. Dan di kamar itu terdapat pula lima buah kursi dan sebuah meja dan di atas meja itu terdapat guci arak dan cawan lengkap, juga roti kering, manis-manisan, buah-buahan dan makanan-makanan kering! Sebuah kamar yang
menyenangkan. Dan yang lebih mengherankan lagi dari pada semua itu adalah tiga orang pemuda yang usianya antara dua puluh sampai dua puluh lima tahun, kesemuanya hanya mengenakan pakaian dalam yang minim, tiga orang pemuda yang tampan dan dengan tubuh yang sehat dan mulus, mereka menyambut kedatangan wanita itu dengan uluran tangan penuh gairah berahi, dan dengan pandang mata penuh kasih sayang dan senyum memikat!
Ketika wanita itu mendekati pembaringan, tiga orang pemuda itu menyambutnya dengan rangkulan, ciuman-ciuman mesra dan belaian-belaian penuh gairah. Wanita cantik itu sampai kewalahan menghadapi penyambutan mesra tiga orang pria muda itu, ia tertawa cekikikan lalu melepaskan diri dan duduk di atas kursi, memandang mereka bertiga yang duduk di atas pembaringan. Ketiganya sama-sama tampan, ganteng, jantan dan menarik, pikirnya. Akan tetapi setelah bermain-main dengan mereka, berenang di dalam lautan kemesraan sampai lupa waktu dan lupa batas selama tiga hari tiga malam, ia telah mulai bosan!
Siapakah wanita cantik yang menggairahkan akan tetapi juga mengerikan itu" Ia bukan lain adalah Pek Lan! Tujuh tahun yang lalu, ketika ia berusia tujuh belas tahun, Pek Lan menjadi selir tersayang dari Coa Hun yang terkenal sebagai Coa-wangwe (Hartawan Coa), seorang yang ketika itu berusia sekitar lima puluh tahun dan merupakan orang terkaya di kota Ye-ceng. Akan tetapi, Pek Lan, keturunan Kirgiz dan Han itu, memiliki darah panari dan nafsu berahi yang besar sehingga ia tidak puas hanya melayani seorang suami yang usianya sudah setengah abad. Maka, melihat betapa putera angkat hartawan itu, biarpun baru berusia tiga belas tahun namun sudah cukup besar, ia merayu anak itu yang bukan lain adalah Bong Gan sehingga terjadilah hubungan gelap di antara mereka. Para selir dan pelayan yang merasa iri melihat Pek Lan menjadi selir terkasih, melihat hubungan itu dan mereka melaporkan kepada Coa-wangwe sehingga dua orang itu tertangkap basah, lalu diusir dari rumah keluarga Coa.
Seperti kita ketahui, Pek Lan bertemu dengan Hek-in Kui-bo, nenek iblis yang mengambilnya sebagai murid. Nenek ini bukan hanya mengajarkan ilmu-ilmu silat yang tinggi dan amat kejam, juga mewariskan pula wataknya yang amat jahat, kejam, licik dan tidak pantang segala macam perbuatan buruk atau k
Istana Pulau Es 9 Bara Naga Karya Yin Yong Istana Pulau Es 19
^