Pencarian

Kuda Putih 1

Kuda Putih Karya Okt Bagian 1


"KUDAPUTIH
~ Pek Ma Siauw Sie Hong~
Karya : OKT *** ( )*** I Dengan bersuara berketoprakan dalam maka dua ekor
kuda telah dikaburkan di antara tanah yang berpasir kuning di
gurun dari wilayah Hweekiang, hingga di belakangnya menaik
mengutaklah debu tinggi sekira dua tombak. Dua ekor kuda
itu kabur bagaikan berkejar-kejaran, karena yang seekor di
depan, yang lainnya disebelah belakang.
Kuda yang di sebelah depan itu, yang tinggi, berbulu putih
dan tinggi besar badannya. Penunggangnya adalah seorang
nyonya muda di dalam tangan siapa ada terangkul seorang
nona umur tujuh atau delapan tahun. Kuda yang di belakang,
yang berbulu merah marong, penunggangnya adalah seorang
pria yang tubuhnya jangkung kurus. Hanya di punggung kiri
dia ini ada menancap sebatang anak panah, terus
mengeluarkan darah, hingga darahnya itu mengalir ke
kudanya, terus menetes jatuh ke pasir, terus meresap ke
dalam tanah... Tidak berani pria itu mencabut anak panah yang
mencelakainya itu. Ia jeri. Ia menginsafinya, asal ia
mencabutnya, pasti ia bakal roboh dari kudanya itu. Ia tidak
takut mati apabila itu perlu, hanya... Siapa nanti mengurus
isterinya yang cantik itu, serta anaknya yang manis, yang
tengah kabur di sebelah depannya itu" Sedang di belakang
mereka ada lagi mengejar musuh-musuh mereka yang
telengas... Kuda merah itu sudah lari beberapa puluh li, hampir habis
tenaganya, bekas dicambuki dan didupaki, atau dijepit
perutnya, dia sampai susah bernapas, badannya bermandikan
keringat, mulutnya mengeluarkan busa putih. Toh dia masih
dipaksa lari keras. Maka akhir-akhirnya, kaki depannya lemas
dan tertekuk, menyebabkan badannya roboh ngusruk!
Si pria mempertahankan diri, ia tidak kurang suatu apa,
akan tetapi kudanya itu, setelah meringkik menyayatkan satu
kali, rebah tanpa berkutik lagi...
"Engko!..." ia memanggil. "Engko, kau... kau...
bagaimana?"
Pria yang dipanggil engko itu mengerutkan kening dan
menggelengkan kepala.
Di belakang mereka, jauhnya masih beberapa lie, terlihat
debu mengepul tinggi. Itulah tanda dari rombongan si
pengejar... Nyonya muda itu memutar balik kudanya, untuk
menghampirkan suaminya. Ia sekarang melihat anak panah di
punggung suami itu, melihat darah hidupnya bercucuran.
Sang suami hampir pingsan. Ia menjadi sangat kaget.
"Ayah!... ayah!" si anak berkata kaget. "Punggungmu ada
anak panahnya..."
"Tidak apa!" berkata si pria, menyeringai, lantas tubuhnya
mencelat, berlompat naik ke punggung kuda di belakang
isterinya. Dia telah terluka tetapi gerakannya masih gesit dan
lincah. Sang isteri menoleh, mengawasi dengan mata menyayang.
"Engko, kau..." katanya halus. Sang engko tidak menyahuti,
hanya kedua kakinya menjepit perut kuda mereka, atas mana
si kuda putih berjingkrak dan lari kabur pula.
Kuda ini kuda jempolan, dia telah lari pesat berpuluh-puluh
lie, dia masih terus dapat lari keras, hanya kali ini, larinya
menjadi berkurang kecepatannya. Semenjak tadi dia belum
dapat mengaso sedikit juga, sekarang penunggangnya
bertambah, tidak heran apabila sangat sulit untuknya dapat
mempertahankan kekuatannya terus menerus, tetapi dia tetap
kabur, dia seperti mengerti yang majikannya itu tengah
menghadapi ancaman mara bahaya...
Di sebelah belakang, rombongan pengejar mendatangi
semakin dekat, setindak demi setindak. Sama sekali mereka
itu berjumlah enam puluh tiga orang, mereka pun membekal
seratus sembilan puluh ekor kuda, dengan begitu setiap ada
kuda yang letih, kuda itu lantas ditukar. Benar semua kuda itu
sama-sama lari tetapi tanpa penunggangnya, letihnya kurang
banyak. Dari caranya mereka itu mengejar, terang sudah,
mereka bertekad bulat untuk mendapatkan orang-orang yang
dikejar itu, ialah si suami isteri serta anak daranya yang masih
kecil itu. Selagi mengaburkan kudanya, si pria jangkung kurus itu
berpaling ke belakang. Ia mengawasi. Dengan datangnya
orang semakin dekat, ia bisa melihat kepada mereka itu,
makin lama makin tegas.
"Adik Hong, aku hendak mohon sesuatu dari kau!" katanya
kemudian. Sebelumnya membuka mulut, ia menggigit dulu
kedua giginya erat-erat. "Sudikah kau meluluskannya"..."
Si nyonya muda, sang isteri, menoleh. Ia tertawa manis.
"Selama hidup kita bersama, pernahkah sekali jua aku
menampik keinginanmu?" ia balas menanya, suaranya halus.
"Bagus!" berkata suami itu. "Hong, sekarang kau bawa
kabur si Siu, anak kita ini. Biarlah dia dapat melindungi darah
daging kita berdua! Biarlah dia pun dapat menyelamatkan
peta Istana Rahasia Kobu!..."
Isteri itu menyahuti, suaranya bergemetar.
"Engko," katanya, "apa tidak baik peta ini kita serahkan
pada mereka dan kita menyerah kalah" Dirimu... dirimu lebih
penting..."
Mendadak sang suami mencium pipi kiri isterinya itu.
"Hong...," katanya, suaranya lembut, "kita berdua sudah
mengalami banyak sekali bahaya, selamanya kita dapat lolos,
maka mungkin kali ini kita bakal lolos juga... Kau harus
ketahui, Luliang Samkiat bukan melainkan mengarah peta ini,
mereka... mereka juga menghendaki parasmu yang cantik!"
"Justeru karena itu, mungkin aku dapat minta mereka..."
"Tapi!" memotong suami itu, "apakah kita menunduki
kepala untuk memohon sesuatu dari lain orang" Kuda ini tidak
kuat membawa kita bertiga, maka itu lekaslah kau pergi!..."
Sekonyong-konyong ia mencelat, kedua tangannya
dilepaskan, tubuhnya terangkat dari punggung kuda, maka
jatuhlah ia ke tanah, terdengar jeritannya: "Aduh!..."
Nyonya itu terkejut. Segera ia menahan kudanya, untuk
dikasih balik, guna menghampirkan suaminya. Ia mengulurkan
sebelah tangannya, dengan niatan menarik suami itu untuk
naik pula atas kudanya. Tapi sang suami menolak, matanya
bersorot gusar, dia mengawasi bengis! Adalah biasanya, ia
senantiasa menurut kepada suaminya itu, maka juga kali ini,
dengan merasa sangat tertindih hatinya, ia memutar pula
kudanya, untuk dikasih lari pergi, meninggalkan suami itu
bercokol seorang diri di tanah pasir dengan lukanya yang
parah itu... Rombongan pengejar yang terdiri dan enam puluh tiga
orang itu melihat orang jatuh dari kudanya dan ditinggal
pergi isterinya, mereka itu bersorak-sorai, di antaranya ada
yang berteriak-teriak: "Pekma Lie Sam roboh! Pekma Lie Sam
roboh!" Mereka lantas terpecah menjadi dua rombongan, yang
belasan menghampirkan langsung Pekma Lie Sam itu, yang
empat puluh lebih mengejar terus si nyonya dan puteri
ciliknya. Laki-laki itu rebah meringkuk di atas pasir, tubuhnya tidak
bergerak, seperti dia telah putus jiwanya.
Salah satu pengejar, yang memegang tombak, sudah lantas
menombak pundak orang yang kanan. Mangsa itu tidak
bersuara, juga tidak bergerak, dan tempo tombak dicabut, dia
tetap berdiam saja.
"Dia sudah mampus!" berkata seorang, yang berewokan.
Rupanya dialah si pemimpin. "Jangan takut! Geledah
tubuhnya! Lekas!"
Dua orang lompat turun dari masing-masing kudanya, guna
menghampiri tubuhnya Pekma Lie Sam, si Kuda Putih itu.
Dengan lantas mereka membalik tubuh orang, untuk
digeledah seperti dititahkan pemimpin mereka.
Sekonyong-konyong saja sebatang golok putih mengkilap
berkelebat, terus dua orang itu menjerit tertahan dan roboh
terguling. Itulah goloknya Pekma Lie Sam, yang meminta
kurban! Semua orang kaget sekali. Tidak satu di antaranya
menyangka, Lie Sam dapat berpura-pura mati demikian
sempurna, sampai dia tidak menghiraukan tombakan kepada
pundaknya. Dengan sendirinya semua orang mengasih
mundur kuda mereka.
Si pemimpin yang berewokan itu memutar goloknya, golok
Ganleng to. "Lie Sam, kau benar-benar tangguh!" serunya. Lantas
goloknya menyambar, ke arah kepala orang.
Lie Sam menangkis. Tapi ia telah terluka, tenaganya
berkurang banyak, ketika ia mundur hingga tiga tindak, ia
lantas muntah darah. Justeru itu, semua musuhnya
merangsak, semua menurunkan senjatanya masing-masing.
Benar-benar Lie Sam tangguh, dia gagah sekali, dia
melakukan perlawanan. Masih dua orang kena dirobohkan,
setelah mana, arwahnya berangkat pulang ke alam baka,
tubuhnya terlukakan tidak keruan...
Si nyonya muda belum lari jauh, maka itu ia telah
mendengar seman nyaring dari suaminya itu, hatinya bagaikan
diiris-iris. "Dia telah mati, buat apa aku hidup terus?" pikirnya. Ia
menjadi nekat. Dari sakunya, ia menarik keluar sehelai peta
yang terbuat dari kulit kambing, ia belesaki itu ke dalam saku
puterinya yang masih kecil itu. Ia kata: "Anak Siu, kau uruslah
dirimu!" Habis berkata, ia menepuk kudanya, untuk membikin
binatang itu lompat berjingkrak, ia sendiri membarengi
mencelat dari punggung kuda. Maka juga, selagi ia jatuh
turun, kudanya itu terus kabur bagaikan melesatnya anak
panah. Agaknya ia puas, karena ia melegakan hatinya: "Kuda
itu kuat lari tak tandingan, anak Siu pun bertubuh enteng
sekali, pastilah mereka ini tidak bakal dapat menyandak!"
Lantas ia memuji: "Thian, oh Thian, tolonglah lindungi anak
Siu, semoga dia menjadi besar dan dapat menikah suami
seperti suamiku yang baik ini, biarnya hidup merantau
tetapi kita berbahagia!"
Segera setelah memuji itu, nyonya ini merapikan
rambutnya dan pakaiannya juga, terus ia memutar tubuhnya,
untuk menghadap rombongan pengejarnya yang dengan
cepat telah tiba di hadapannya.
Tentu sekali yang sampai terdepan ialah Luliang Samkiat,
tiga jago dari Luliang.
Merekalah tiga saudara angkat. Yang tertua yaitu Sinto Cin
Kwansee Hok Goan Liong, jago Kwansee Golok Sakti. Dialah si
berewokan yang bertubuh besar, yang telah membinasakan
Pekma Lie Sam barusan. Yang kedua, Bweehoa Chio Su Tiong
Cun, si Tombak Bunga Bwee. Dia bertubuh kurus kering.
Yang ketiga, yang termuda, Cheebong Kiam Tan Tat Hian si
Pedang Ular Naga Hijau, tubuhnya kate dan kecil. Dia asal
begal kuda di Shoatang, belakangan dia tinggal menetap di
Shoasay, bersahabat erat dengan llok Goan Liong dan Su
Tiong Cun, bersama-sama mereka mengusahakan
perusahaan piauwkiok di kecamatan Thaykok, Shoasay,
dengan memakai merek chin Wie Piauwkiok.
Ada hubungannya di antara Su liong Cun dan isterinya
Pekma Lie Sam itu. Nyonya Lie asalnya ialah Nona Siangkoan
Hong dan dengan Tiong Cun pernah su-heng dengan sumoay,
kakak dan adik seperguruan. Semenjak masih kecil mereka
belajar silat bersama tidak heran kalau Tiong Cun kemudian
mencintai sumoay-nya yang cantik dan lemah-lembut itu.
Mereka memang setimpal. Sampai dengan kebetulan
Siangkoan Hong bertemu sama Pekma Lie Sam, keduanya
lantas saling mencinta, hanya sayang, pihak orang tua tidak
menyetujui perjodohan mereka itu, lantaran mana terpaksa
mereka minggat. Tiong Cun jadi sangat berduka, ia mendapat
sakit, setelah sembuh, tabiatnya menjadi berubah.
Sepuluh tahun sudah berlalu semenjak lelakon asmara
mereka itu atau dengan cara kebetulan, Luliang Samkiat
bertemu sama Pekma Lie Sam suami isteri serta anak daranya
yang masih kecil itu di jalan Kamliang, rombongan sembilan
kecamatan di propinsi Kamsiok, bahkan karena perebutan
sehelai peta, kedua pihak menjadi benterok dan bertempur.
Su Tiong Cun tetap tidak bisa melupai adik seperguruannya
itu, karena cintanya itu yang gagal, dia terus tidak menikah,
maka sekarang, justeru ada benterokan ini, dia jadi sangat
membenci Lie Sam, hingga dialah jadi lawan yang paling
bengis. Dikepung enam puluh orang lebih, Lie Sam dan isterinya
tidak berdaya, dari itu, mereka melawan sambil melarikan diri.
Dari jalan Kamliang itu mereka dikejar terus-terusan sampai di
wilayah Hweekiang ini. Anak panah di punggung Lie Sam ialah
anak panah yang dilepaskan Su Tiong Cun secara
membokong. Akhirnya Lie Sam menemui ajalnya secara
menyedihkan itu. Kapan Tiong Cun memandang Siangkoan
Hong, hatinya tergerak, maka ia pikir: "Aku telah
membinasakan suaminya, maka selanjutnya aku harus
merawati dia baik-baik..."
Nyonya Lie Sam berdiri di atas pasir, pakaiannya berkibar di
antara desiran angin gurun. Dia masih sama cantiknya seperti
masa mudanya sepuluh tahun yang lampau, semasa mereka
masih sama-sama belajar silat. Dia bersenjatakan sepasang
pedang yang luar biasa, sebab yang satu bergagang emas,
yang lain bergagang perak, maka juga ia dijuluki Kimgin
Siauwkiam Sam Niocu," si Nona Pedang Emas Perak. Nyonya
muda ini mengasih lihat senyuman tawar.
Mendadak Su Tiong Cun mendapat harapan, dadanya
dirasakan panas, mukanya merah sendirinya. Ia menancap
tombaknya di samping pelananya, lantas ia lompat turun dari
kudanya, guna menghampirkan si nyonya.
"Sumoay!" ia memanggil, seperti biasanya.
"Lie Sam telah mati," berkata si nyonya, tenang.
Tiong Cun mengangguk.
"Sumoay," katanya, "sepuluh tahun kita telah berpisah,
aku... setiap hari aku memikirkan kau..."
"Benarkah itu?" si nyonya muda tertawa. "Kau tentu lagi
memperdayakan orang..."
Hatinya Tiong Cun goncang. Siangkoan Hong tetap manis
seperti pada sepuluh tahun yang telah berlalu itu, dia mirip


Kuda Putih Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebagai masa gadisnya.
"Sumoay," katanya, perlahan, "kalau selanjutnya kau turut
aku, aku tanggung kau tidak bakal ngalami penderitaan, tidak
sedikit juga..."
Matanya Siangkoan Hong mendadak bercahaya.
"Suko, kau baik sekali!" ujarnya. Mendadak ia mementang
kedua tangannya, untuk menjatuhkan diri di dada si bekas
kekasih. Bukan main girangnya Tiong Cun, ia lantas membalas
merangkul. Hok Goan Liong, yang telah menyusul, tertawa saling
mengawasi dengan Tan Tat Hian. Di dalam hatinya, mereka
kata: "Dua puluh tahun mereka saling mencintai, baru
sekarang harapan mereka terkabul, cita-cita mereka
tercapai..."
Pikirannya Tiong Cun melayang-layang. Hidungnya telah
mencium bau yang harum, yang menggiurkan hatinya. Ia
sampai beragu-ragu yang Siangkoan Hong pun merangkul ia
demikian erat. Hanya tengah ia kelelap itu, atau tak sadarkan
diri, tiba-tiba ia merasakan sakit pada perutnya, sakit sekali,
seperti tertubles sesuatu. Ia kaget hingga ia menjerit, kedua
tangannya menolak tubuh si kekasih. Akan tetapi Siangkoan
Hong memeluk sangat keras, tubuhnya itu tidak dapat ditolak
terlepas. Karena jago Luliang mencoba berontak, keduanya
terguling bersama.
Hok Goan Liong dan Tan Tat Hian kaget bukan main.
Keduanya lompat turun dari kuda mereka, guna
menghampirkan saudara angkatnya itu.
Yang lainnya semua tidak kurang kagetnya, mereka heran
sekali. Ketika tubuhnya Siangkoan liong diangkat untuk dipisahkan
dari tubuh Su Tiong Cun, kelihatan dadanya mengalirkan
darah, yang disebabkan nancapnya sebuah pisau belati kecil
bergagang emas, sedang pada perutnya Tiong Cun nancap
sebuah pisau belati lain, yang bergagang perak. Maka
teranglah sekarang, karena Sam Niocu hendak bersetia
kepada suaminya, ia mengurbankan dirinya sambil membalas
sakit hati. Ia mencari mati karena pun sudah putus asa. Hebat
tikaman pisau belati itu, keduanya nancap dalam sekali. Si
nyonya mati seketika, si pria terlukakan hebat.
"Shatee, lekas bantui aku, supaya aku tidak menderita lebih
lama," Tiong Cun minta pada Tat Hian.
Adik itu mengawasi Goan Liong, kakaknya, untuk mohon
keputusan. Kakak itu mengawasi adiknya yang terluka parah itu, ia
mengangguk. Atas itu, dengan mengertak gigi, Tat Hian
menikam uluhati kakaknya yang kedua itu, maka Tiong Ijun
meram matanya, napasnya berhenti berjalan, la mati dalam
kesedihan, karena menjadi kurban sumoay-nya.
"Aku tidak sangka Kimgin Siauwkiam Sam Niocu begini
keras hatinya," kata Goan Liong berduka.
Ketika itu salah satu tauvvbak datang melaporkan pada
Goan Liong bahwa tubuhnya Lie Sam sudah diperiksa terliti
tetapi peta tak kedapatan.
"Kalau begitu, tentu ada di tubuhnya," kata Goan Liong
menunjuk tubuh Sam Niocu.
Pengggeledahan dilakukan atas tubuh si nyonya, hasilnya
sia-sia belaka, peta tidak ada, yang kedapatan hanya perak
hancur serta beberapa potong pakaian.
Goan Liong dan Tat Hian saling mengawasi, mereka putus
asa, mereka heran. Heran sebab tidak nanti peta itu
disingkirkan Lie Sam, baik dengan dipendam maupun dengan
diserahkan kepada lain orang. Mereka menguntit terus hingga
pasti tidak ada kesempatan suami isteri itu menyingkirkannya.
Tan Tat Hian penasaran, ia periksa pula bungkusan si
nyonya. Ketika ia mendapatkan beberapa potong pakaian
anak kecil, ia ingat anak orang.
"Toako, mari kita lekas kejar si bocah!" katanya berseru. Ia
baru ingat anaknya Lie Sam.
Hok Goan Liong pun mendusin. "Jangan bingung," katanya.
"Di gurun ini ke mana bocah itu bisa pergi" Dua orang
berdiam di sini, untuk mengurus jenazah Su jieya, yang
lainnya semua turut aku."
Ia lantas melarikan kudanya, diikuti orang-orangnya kecuali
yang dua itu. Si nona telah dibawa lari kabur si kuda putih, jauhnya
sudah dua puluh lie lebih.
Di gurun pasir tidak ada pepohonan, orang bisa
memandang jauh sekali, maka itu, sembari mengejar, Goan
Liong semua memandang jauh ke depan. Mereka
mengaburkan kuda mereka. Mendekati magrib, mendadak Tan
Tat Hian berseru: "Lihat! Itulah dia di depan!"
Jauh di empat seperti bertemunya langit dan bumi, di sana
ada sebuah titik. Itulah si kuda putih, yang dari jauh-jauh toh
nampaknya hitam. Kuda itu letih sekali meskipun dia dapat lari
keras dan sekarang penunggangnya seorang bocah yang
tubuhnya enteng. Di lain pihak, Goan Liong semua terus main
tukar kuda. Bocah itu-ialah Lie Bun Siu-duduk mendekam di atas
kudanya, la pun sangat lelah, hingga tanpa merasa, ia
kepulasan di atas kudanya itu. Pula itu antero hari ia tidak
dahar dan minum, sedang matahari panas terik, dari itu mulut
dan lidahnya kering semua.
Kuda putih itu seperti dapat perasaan, dia kabur ke arah
timur di mana matahari yang bersinar merah marong
menggenclang. Tiba di suatu tempat, mendadak dia
mengangkat kedua kaki depannya, mulutnya meringkik keras,
hidungnya pun mengendus-endus. Dia membaui sesuatu.
Suara meringkiknya itu seperti menunjuk dia mengetahui apaapa.
Hok Goan Liong dan Tan Tat Hian yang tenaga dalamnya
lihai pun merasakan sesuatu, yaitu napas mereka rasanya
sesak. "Shatee, rasanya tak beres ini!" kata kakak itu.
Sebelum menyahuti, Tat Hian melihat ke sekitarnya. Di
barat daya, di antara sinar layung Batara Surya, nampak mega
kuning bergelempang bagaikan kabut, di antara itu ada sinar
ungu yang berkilauan. Pemandangan itu luar biasa sekali.
"Mari, toako, kita melihat ke sana!" katanya seraya ia
melarikan kudanya.
Tidak antara lama, mega kuning itu telah meluas seperti
sudah menutupi separuh langit.
Ketika itu pun orang telah bermandikan keringat dan napas
mereka mendesak.
"Toako, mungkin badai bakal datang...," akhirnya kata Tat
Hian. "Benar!" Goan Liong insaf. "Mari lekas, kita bekuk dulu
bocah itu, baru kita mencari perlindungan!..."
Belum berhenti suara si berewokan ini, angin telah meniup
keras, pasir, terbang berhamburan, menyampok muka
mereka, sampai mereka tidak dapat membuka mulut. Lebih
celaka ketika tujuh atau delapan orang roboh dari atas
kudanya tertiup angin itu.
"Semua turun dari kuda, berkumpul menjadi satu!" Goan
Liong paksakan berbicara.
Dengan serentak orang bekerja. Kuda mereka ditarik,
dikumpulkan menjadi satu dipaksa rebah, mereka sendiri turut
rebah juga, mcnyelindung di perut kuda. Sebisa-bisa mereka
saling berpegangan tangan. Mereka merasakan sakit pada
muka mereka, yang tersampok pasir, muka itu baret juga
lengan mereka. Semua ketakutan. Sebab angin makin besar,
tubuh mereka teruruk pasir...
Goan Liong dan Tat Hian pun berkuatir, hingga mereka
pikir: "Tidak keruan-keruan kita mencari Istana Rahasia Kobu,
dari Shoasay kita sampai di gurun ini... Mungkin di sini kita
terpendam di dalam pasir..."
Hebat suara badai itu, seperti itu suaranya kawanan
hantu... II Dari magrib itu, badai bekerja terus Seantero malam,
besoknya pagi baru reda. Kembali sang gurun menjadi tenang.
Goan Liong beramai merangkak bangun. Syukur mereka
tidak menampak kerugian besar. Dua orangnya mati
disebabkan napas sesak dan lima ekor kuda menjadi bangkai.
Tinggal semua letih dan lemas. Dengan mengimbangi
penderitaan mereka, mereka menduga si bocah dan kuda
putihnya tentulah, dalam sepuluh, sembilan bagian telah mati
menjadi kurban badai itu. Bukankah mereka semua bertubuh
tangguh tetapi mereka hampir tak kuat bertahan"
Mereka lantas menyalakan api untuk memasak nasi, guna
menangsel perut.
Mereka tidak putus asa. Hok Goan Liong telah menyerukan:
"Siapa yang mendapatkan bekas-bekasnya si bocah dan kuda
putihnya, dia bakal dapat upah uang emas lima puluh tail!"
Inilah hadiah besar, janji itu disambut dengan tempik
sorak. Bagaikan payung yang dibuka lebar, lima puluh lebih
orang itu lantas pergi berpencaran, untuk mencari di sekitar
gurun itu. Di setiap otak mereka terbentang: "Kuda putih...
bocah wanita... lima puluh tail emas..."
Lebih dulu daripada itu mereka telah berjanji, di waktu
magrib mereka harus berkumpul di barat enam puluh lie dari
tempat bermalam ini.
Liangtauw Coa Tang Yong, si Ular Kepala Dua, dengan
seekor kuda pilihan, menuju ke barat daya Ialah piauwsu yang
telah berpengalaman belasan tahun, meski dalam ilmu silat ia
bukan tergolong kelas satu, ia cerdik sekali, untuk Luliang
Samkiat, ialah pembantu yang berharga. Sebentar saja ia
telah pergi dua puluh lie lebih, hingga ia mencil sendirian.
Setelah itu baru ia merasa jeri juga. Sunyi di sekitarnya. Ia
mendaki sebuah bukit pasir, untuk melihat kelilingan. Maka ia
girang sekali kapan matanya melihat ke ujung barat daya itu,
di sana nampak cahaya hijau dari tujuh atau delapan buah
pohon kayu. Heran ia di gurun pasir ada tumbuh-tumbuhan.
"Mungkin di situ tidak ada rumah orang, dengan ada
pepohonan, di situ tentu ada air," ia berpikir. "Itulah tempat
bagus untuk rombonganku beristirahat."
Maka ia naik pula kudanya, ia kabur ke ujung barat daya
itu. Itulah seperjalanan sepuluh lie lebih. Dari jauh-jauh telah
terlihat banyak kerbau dan kambing di daerah pegunungan
yang tumbuh pepohonan dan rumput itu. Bahkan di baratnya
terdapat banyak sekali tenda gurun, mungkin dua sampai tiga
ribu buah. Ia menjadi heran, ia terkejut. Yang ia pernah lihat,
paling banyak gundukan tenda dari tiga atau empat puluh
buah. Dan ini ribuan. Inilah gundukan suku bangsa gurun
pasir paling besar yang ia pernah ketemukan. Dilihat dari
macamnya tenda, itu pasti kepunyaan suku Kazakh.
Untuk wilayah Hweekiang, suku Kazakh adalah suku paling
gagah. Anak-anaknya, lelaki atau perempuan, semenjak umur
enam atau tujuh tahun, sudah belajar menunggang kuda,
sesuatunya membawa golok, pandai main panah, alat-alat
untuk membela diri dan menyerang. Di antara mereka ada
tersebar peribahasa: "Satu orang Kazakh dapat melawan
seratus orang. Seratus orang Kazakh dapat malang melintang
di Hweekiang."
Tang Yong ketahui peribahasa itu, maka ia kata di dalam
hatinya: "Aku berada di wilayah orang Kazakh ini, aku harus
berlaku hati-hati."
Di timur laut, di kakinya sebuah bukit, ada sebuah rumah
mencil sendirian, yang terbuat tembok tanah dan mirip sama
rumah-rumah di Tionggoan. Itulah beda sekali dari tendatenda
orang Kazakh. "Baiklah aku pergi ke sana, untuk melihat," pikir Liangtauw
Coa. Ia menduga-duga apa mungkin itu rumahnya orang Hai.
Ia mengeprak kudanya, untuk dikasih lari ke arah rumah itu.
Tapi kudanya melihat rumput di sepanjang jalan, dia repot
gegares, jalannya menjadi perlahan. Ia menjadi sengit, ia
mendupak. Dengan begitu barulah kuda itu lari ke arah rumah
kecil itu. Dengan matanya yang tajam, Tang Yong dapat melihat
seekor kuda putih tertambat di belakang rumah, kuda mana
tinggi dan besar dan surinya panjang. Ia segera mengenali
kudanya Pekma Lie Sam. Tanpa dapat mengendalikan diri, ia
berseru sendirinya: "Kuda putih! Kuda putih di sini!" Lantas ia
mendapat akal. Maka ia lompat turun dari kudanya. Dari kaos
kakinya, ia mencabut goloknya yang pendek dan tajam, ia
sembunyikan itu di tangan kirinya, tergubat ujung bajunya.
Setelah itu dengan berindap-indap, ia pergi ke belakang
rumah itu. la tengah mengintai di jendela ketika mendadak
kuda putih itu meringkik, sebagai juga tanda peringatan
kepada tuan rumah bahwa ada orang datang...
"Binatang!" Tang Yong mencaci di dalam hatinya. Ia
menciutkan diri sebentar ia mengintai pula. Justeru itu ada
kepala orang nongol di jendela, hingga hidung mereka hampir
beradu. Ia terkejut. Ia menampak sebuah muka yang
keriputan, yang matanya bercahaya tajam. Ia lantas lompat
bangun. "Siapa?" ia menegur. "Kau siapa?" balik tanya orang
itu, suaranya dingin. "Apa perlunya kau datang kemari?"
Orang itu bicara dalam bahasa Tionghoa.
Untuk sejenak, Tang Yong terdiam. Selekasnya ia dapat
menenangkan diri, ia lantas bersenyum.
"Aku Tang Yong," sahutnya. "Dengan kebetulan saja aku
tiba di sini dan mengganggu lootiang. Bolehkah aku mendapat
ketahui lootiang she dan nama apa?" "Aku she Kee,"
menyahut orang itu.
"Oh, Kee Lootiang," kata Tang Yong pula. la tertawa. "Aku
girang sekali dapat bertemu orang bangsa sendiri di sini. Kalau
sudi, aku mohon seceglukan teh."
"Kau ada bersama siapa-siapa lagi?" si orang tua tanya.
"Aku bersendirian saja."
"Apakah tuan dari perusahaan piauwkiok?" si orang tua
menanya pula. Tang Yong terkejut. "Tajam matanya orang tua ini,"
pikirnya. "Di jidatku toh tidak ada mereknya piauwkiokku..." Ia
memikir untuk mendusta tetapi sebab si orang tua telah
mengatakannya, ia membatalkan itu. Ia menjawab: "Benar.
Bagaimana lootiang mengetahuinya?"
"Kebanyakan piauwsu bermacam bangsat," kata si orang
tua tawar, sedang matanya yang bersinar dingin menyapu
beberapa kali ke muka orang.
Mukanya Tang Yong menjadi merah, tetapi ia berpikir:


Kuda Putih Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Biarlah, akan aku cari tahu dulu tentang dia..." Karena itu, ia
hanya menyeringai.
"Kalau mau minum, ambillah jalan pintu depan, jangan
merayap di jendela!" berkata pula si empee.
"Ya, ya," sahut si piauwsu, yang terpaksa merendahkan
diri. Ia jalan mutar ke depan, untuk terus masuk ke dalam,
hingga ia melihat perlengkapan miskin dari rumah itu, hanya
semua ada bersih. Setelah duduk, ia mengawasi ke sekitarnya.
Tidak lama muncul seorang nona kecil, yang membawa
secangkir teh. Ketika sinar mata mereka bentrok, nona itu
kaget, cawannya terlepas, jatuh ke tanah hingga pecah
hancur! Bocah itu pun berdiri melongo. Tang Yong lantas mengasih
lihat senyumannya. Ia girang bukan main. Inilah bocah yang
dicari mereka, untuk siapa Hok Goan Liong menjanjikan upah
lima puluh tail uang emas. Dengan melihat kuda putih tadi. ia
sudah menduga-duga, sekarang dugaannya itu merupakan
kenyataan. Lie Bun Siu telah dibawa kabur kudanya, hingga dia tak
ingat suatu apa. Kuda putih dapat membaui bau rumput dan
air, dia kabur menerjang badai, sampai di tempat yang banyak
pepohonannya ini. Segera dia bertemu sama orang tua she
Kee itu, yang menolonginya.
Tengah malam Bun Siu sadar, ia tidak melihat ayah dan
ibunya, lantas ia menangis, hingga Kee Loojin membujukinya.
Orang tua itu lantas merasa suka, ia mengasihaninya.
Di dalam usianya itu, Bun Siu belum mengerti banyak.
Ditanya ayahnya, ia menyebut Pekma Lie Sam. Ditanya
tentang ibunya, ia cuma dapat menyebut "ibu", atau "Sam
Niocu", seperti disebut berulang-ulang oleh "orang jahat" yang
mengejar mereka. Tentu sekali, ia pun tidak tahu apa perlunya
mereka bertiga datang ke wilayah Hweckiang ini.
"Pekma Lie Sam, Pekma Lie Sam..." Kee Loojin menyebut
berulang-ulang. "Ya, aku ingat dia... Pada sepuluh tahun yang
lampau, dialah bandit haguna yang malang melintang di
Kanglam. Kenapa dia datang kemari?"
Orang tua ini mengasih si nona minum susu, ia
membujukinya hingga nona itu tidur pulas di pembaringannya.
Ia sendiri, sebaliknya, menjadi tidak dapat tidur, la memikiri
segala kejadian pada sepuluh tahun yang lampau itu.
Besoknya pagi, Bun Siu mendusin dari tidurnya. Segera ia
minta si orang tua mengajak ia pergi mencari ayah dan
ibunya. Tepat selagi Kee Loojin membujuki, dia mempergoki
lagak bangsat dari Liangtauw Coa Tang Yong si Ular Kepala
Dua itu. Dengan jatuh pecahnya cangkir, Kee Loojin muncul dengan
segera. Melihat orang tua itu, Bun Siu lari untuk menubruk
sambil berkata: "Yaya, yaya, dialah si orang jahat yang
mengejar-ngejar aku!..."
Orang tua itu mengusap-usap rambut si anak, sikapnya
lembut. "Jangan takut, jangan takut," membujuknya. "Dia bukan
orang jahat..."
"Benar, dia si jahat!" kata nona itu. "Dia bersama puluhan
orang lain mengejar ayah dan ibu, mereka menyerangnya..."
Kee Loojin sementara itu berpikir: "Yang satu bandit
haguna, yang lainnya piauwsu, tentulah karena urusan piauw,
mereka benterok, mereka menyusul sampai di sini... Tidak
dapat aku mencampuri urusan mereka itu."
Tang Yong mengawasi si orang tua, yang rambutnya
ubanan, tubuhnya bongkok melengkung, tubuh itu besar
melebihkan ia. Ia pikir: "Orang tua ini, kalau dia belum
berumur seratus tahun, sembilan puluh tentunya ada. Di sini
tidak ada lain orang, kalau aku hajar dia pingsan, dapat aku
bawah kabur bocah ini serta kuda putihnya. Aku mesti
bekerja cepat, supaya tak menanti terjadinya perubahan..."
"Apakah kamu kehilangan piauw?" si orang tua tanya.
"Berapa harganya itu?"
"Harganya tidak seberapa, hanya namanya Chin Wie
Piauwkiok menjadi runtuh. Syukur jumlah itu telah didapat
pulang seluruhnya," sahut orang yang ditanya.
Orang tua itu mengangguk. "Chin Wie Piauwkiok?" katanya.
"Jadi Luliang Samkiat pun datang semuanya?"
Tang Yong heran. Kenapa orang tua ini ketahui piauwkioknya
dan ketiga majikannya itu" Bukankah orang ini tua dan
wilayah Hweekiang ini jauh dari Tionggoan" Apa benar nama
Luliang Samkiat demikian tersohor, sampai di tanah
perbatasan" Mungkinkah ini orang tua asal piauwsu juga"
"Ya," ia menyahuti. Terus ia memasang kuping, kakinya
pun bertindak ke jendela. "Nah, lihatlah! Bukankah mereka di
sana tengah mendatangi?"
Kee Loojin tidak mendengar tindakan kaki kuda, akan tetapi
mendengar perkataan Tang Yong itu, ia bertindak ke jendela,
untuk melihat. Ia tidak menampak siapa juga di sekitarnya,
hanya kerbau dan kambing lagi memakani rumput di tegalan.
"Mana ada orang?" kata ia pada tetamunya seraya ia
menoleh. Justeru itu Tang Yong mengasih dengar tertawanya yang
seram, yang disusuli angin serangannya. Sebab tengah si aki
melongok keluar, dia membokong.
Orang tua itu bongkok, agaknya dia bercacad, akan tetapi
dia berkuping terang, matanya celi, gerakannya sebat. Ketika
tinju hampir tiba di kepalanya, ia berkelit, sebelah tangannya
diangkat, untuk dipakai menangkis sambil membangkol. Ia
nyata menggunai jurus Kimnahoat, "Tangkapan", maka
tangan kanan si piauwsu lantas kena dicekal.
Tang Yong terkejut, tetapi kepalang tanggung, ia beraksi
terus. Ia mengelit tangan kanannya itu, untuk dilepaskan dari
cekalan orang, ia gagal, atas mana, tangan kirinya meluncur.
Di tangan kiri ini tersembunyi golok pendeknya, maka golok
itu mengasih lihat sinar berkelebat, menyambar ke punggung
yang naik tinggi seperti punggung unta dari si empee, tepat
kenanya. Lie Bun Siu kaget hingga dia menjerit, lantas dia lompat,
untuk dengan kedua tangannya menghajar punggung si
piauwsu di betulan pinggang. Selama dua tahun, dia telah
mulai belajar silat dari ayah dan ibunya. Hanyalah, dua
kepalannya masih kecil, seperti tenaganya pun belum besar.
Kee Loojin juga tidak berdiam saja. Ia menyikut dengan
tangan kirinya, mengenai uluhati dari Tang Yong, hingga
piauwsu ini menjerit tertahan, tubuhnya membungkuk, terus
roboh terkulai di lantai.
"Yaya..." kata si nona, yang kaget dan ngeri melihat golok
nancap di punggung si orang tua, "golok di punggungmu
itu..." Kee Loojin berpaling, ia melihat roman si nona.
"Anak ini berhati baik," pikirnya.
"Yaya, lukamu..." kata pula Bun Siu. "Nanti aku cabut golok
itu..." Ia mengulur tangannya, niat mencabut senjata tajam
itu. "Jangan pedulikan aku!" kata si orang tua. Mendadak dia
beroman gusar, suaranya pun keras. Dia memegangi meja,
tubuhnya terhuyung. Dengan limbung ia berjalan masuk ke
dalam, di sana terdengar suara berisik dari pintu yang ditutup
menggabruk. Bun Siu heran dan takut melihat air mukanya orang tua itu.
la pun ngeri melihat Tang Yong rebah melingkar, ia takut
orang nanti bangun pula. Bagaimana kalau piauwsu ini
bangun dan menerjang padanya" Saking takutnya ia memikir
untuk lari ke luar. Tapi, ketika ia ingat si orang tua, yang
terluka dan bersendirian saja, ia batalkan niatnya itu. Setelah
ragu-ragu sebentar, ia menghampirkan pintu dalam. Ia
mengetuk perlahan, beberapa kali, kupingnya dipasang. Tidak
ada jawaban. "Yaya," ia memanggil. "Yaya, apakah kau sakit?"
Baru sekarang terdengar suara kasar dari dalam: "Pergi!
Pergi! Jangan gerecoki aku!"
Bun Siu heran dan kaget. Suara itu beda sekali daripada
semula. Ia lantas berduduk diam di lanah, saking bingung, ia
menangis. Tiba-tiba pintu berbunyi, lalu terbuka. Lantas si nona
merasai rambutnya dielus-elus perlahan, kupingnya pun
mendengar bujukan halus: "Jangan nangis, jangan nangis.
Luka yaya-mu tidak berbahaya..."
Si nona mengangkat kepalanya. Ia melihat si empee
bersenyum. Dasar anak kecil, mendadak ia menjadi girang
sekali, hingga dari menangis, ia menjadi tertawa.
"Kau menangis, lalu tertawa, apa kau tidak malu?" kata Kee
Loojin tertawa juga.
Bun Siu menusupkan kepalanya di dada aki-aki itu untuk
sekejap itu, ia merasai kehangatannya orang tuanya
Kee Loojin sendiri mengerutkan kening. Matanya
mengawasi ke mayatnya Tang Yong. Hebat sikutnya, yang
telah mengenai uluhati orang, hingga piauwsu itu mati
seketika. Ia memikir: "Dia dan aku tidak bermusuh hebat,
kenapa aku menurunkan tangan jahat terhadapnya?" Ia
seperti lupa bahwa justeru ia yang disateroni dan ditikam
terlebih dulu. "Yaya, apa lukamu sudah baik?" kemudian si nona cilik
menanya pula. Ia ingat lukanya si aki.
Ketika itu Kee Loojin telah menukar bajunya, entah
bagaimana lukanya, tapi ketika ditanya, mendadak ia menjadi
gusar kembali. Mungkin ia merasai tikamannya Tang Yong
suatu penghinaan untuknya.
"Mau apa kau rewel?" dia membentak.
Bun Siu kaget, ia menjadi ketakutan pula.
Justeru itu, di luar terdengar suara meringkiknya si kuda
putih. Si aki sadar secara tiba-tiba. Maka ia pikir: "OrangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
orang Chin Wie Piauwkiok mencari bocah ini, maka itu Tang
Yong menurunkan tangan jahat atas diriku." Lalu ia berpikir
pula, habis mana dia lantas pergi ke dapur. Di sana ada
tahang dengan air berwarna kuning, ialah air sepuhan peranti
penggembala kambing memberi warna tanda kepada
ternaknya, la bawa itu keluar, ia menuntun si kuda putih,
lantas bulu kuda yang bagus itu ia poles kuning, dari kepala
sampai di ekornya, hingga menjadi kuning seluruhnya.
Kemudian lekas-lekas ia pergi ke tendanya seorang Kazakh,
untuk minta seperangkat pakaian bocah laki-laki, dengan itu ia
menyuruh Lie Bun Siu menyalin pakaian, hingga si nona
menjadi bersalin rupa.. Bun Siu cerdas. "Yaya," katanya, "kau
hendak membikin si orang jahat tidak mengenali aku?"
Empee itu mengangguk, terus ia menghela napas.
"Aku sudah tua, kalau tidak, biarnya si jahat besar
jumlahnya, aku tidak takut," ujarnya. "Lihat saja barusan, dia
toh berhasil membacok aku..."
Bun Siu berdiam. Walaupun si empee yang mulai bicara, ia
tidak berani menyambuti.
Habis itu, Kee Loojin bekerja pula, secara kesusu. Ialah ia
menggali tanah untuk memendam mayatnya Tang Yong,
sedang kuda orang, ia sembelih. Ia menyingkirkan segala apa,
yang dapat menjadi tanda. Akhirnya ia duduk bercokol di
depan pintu, duduk seraya menggosok sebilah golok
panjang... Tidaklah sia-sia siasat orang tua ini. Sore itu Hok Goan
Liong bersama Tan Tat Hian serta rombongannya tiba di tanah
datar berumput itu. Mereka melakukan perampasan atas
beberapa ratus ekor kerbau dan kambing yang gemuk-gemuk.
Orang-orang Kazakh seperti kena dibokong. Wilayah mereka
aman, tidak biasanya datang penyamun. Mereka melakukan
perlawanan secara sia-sia, kecuali rugi ternak, tujuh orang pria
terbinasakan dan lima orang wanita kena diculik.
Rombongan itu juga menyateroni Kee Loojin, hanya
mereka tidak menyangka jelek kepada orang tua itu, yang
rumahnya buruk. Mereka juga tidak bercuriga terhadap Bun
Siu, yang mirip anak Kazakh, yang sembunyi di pojokan
rumah, mukanya dekil. Pula tidak ada seorang juga, yang
melihat matanya yang tajam. Ia sebaliknya melihat tegas,
golok ayahnya tergantung di pinggangnya Tan Tat Hian dan
pedang ibunya berada di pinggangnya Hok Goan Liong. Ia
mengenali baik senjata orang tuanya itu, yang tak pernah
terpisah dari tubuh mereka, maka tahulah ia, pasti ayah dan
ibunya telah bercelaka...
Besoknya, orang-orang Kazakh itu dapat menggabung diri,
mereka lantas mencari kawanan penyamun, untuk menuntut
balas, tetapi rombongan Chin Wie Piauwkiok telah pergi ke
mana tahu di gurun yang luas itu. Yang dapat diketemukan
ialah mayatnya ke lima wanita bangsanya, yang menggeletak
di tempat terbuka dengan tubuh telanjang bulat, keadaannya
sangat menyedihkan.
Kemudian mereka menemukan juga mayatnya Lie Sam dan
isterinya. Lie Bun Siu ada bersama, ia menubruk dan memeluki
mayat ayah ibunya itu, ia menangis sedih sekali, sekalipun
begitu, ia toh dirangket seorang Kazakh, yang terus mendupak
padanya sambil mulutnya mengutuk: "Tuhan tidak
memberkahi kamu penyamun llan!"
Kee Loojin memondong tubuh bocah itu, ia tidak mau
melayani orang Kazakh yang lagi seperti kalap itu. Bun Siu
sendiri bersedih dan bingung, hingga ia kata di dalam hatinya:
"Kenapa ada begini banyak orang jahat" Kenapa siapa pun
menghina aku"..."
III Lie Bun Siu mendusin pada waktu tengah malam, ia
mendusin untuk lantas menangis. Rupanya ia bermimpi hebat.
Ketika ia membuka matanya, ia kaget hingga ia berteriak. Di
atas pembaringannya itu ada berduduk seorang lain. la pun
bangun untuk berduduk. Hanya sebentai ia terkejut.
Kee Loojin mengawasi dengan romannya sabar, tangannya
pun mengelus-ngelus rambut perlahan sekali.
"Jangan takut, jangan lakui inilah yaya-mu..." kata ia. Ia
menyebut dirinya yaya, ia pun dipanggil yaya. Yaya itu kakek.
Memang tepat ia menjadi kakek mengingat perbedaan usia
mereka berdua. Bun Siu menangis, air matanya bercucuran deras, ia
nelusup di dada aki itu, hinga tangan baju si orang tua basah
"Anak," kata si aki perlahan, "kau sudah tidak punya ayah
dan ibu, kau anggaplah aku sebagai kakekmu tulen. Mari kita
tinggal bersama, kakekmu sanggup merawati kau..."
Bun Siu mengangguk. "Kenapa semua orang menghina
aku" Aku toh tidak berbuat jahat?" ia bertanya, la ingat


Kuda Putih Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagaimana ia dan orang tuanya dimusuhkan orang, ia sendiri
pun dibenci dan dianiaya si orang Kazakh yang kasar itu. Ia
tahu ia tidak bersalah.
Orang tua itu menghela napas. "Di dalam dunia ini, mereka
yang suka menderita justerulah mereka yang belum
pernah melakukan kejahatan..." katanya. Ia menuang susu
hangatnya, untuk diminum. Ia pun membagi si bocah.
Sembari merapikan tempat tidur bocah itu, ia menambahkan
pula "Anak Siu, orang Kazakh yang menendangmu itu
bernama Suruke, sebenarnya dia seorang baik..."
Bun Siu heran, ia mementang kedua matanya.
"Dia... dia orang baik?" ia menegaskan.
"Benar, dia orang baik," si kakek menyahuti, "dia sama
baiknya seperti kau. Di dalam satu hari, dia kematian dua
orang yang ia paling mencintakannya... Yang satu isterinya,
yang lain putera sulungnya... dan mereka semua terbinasa di
tangannya rombongan penyamun jahat dan kejam itu. Dia
menyangka orang Han orang jahat semua, maka juga didalam
bahasanya, dia mengutuk kau sebagai orang Han jahat yang
tidak diberkahi Tuhan. Kau jangan membenci dia, dia lagi sakit
hatinya, seperti sekarang hatimu pun sakit. Dia sudah berusia
lanjut, bisalah dimengerti kalau dia jadi terlebih sakit
hatinya..."
Bun Siu mendelong mendengar si orang tua. Sebenarnya
dia pun tidak membenci orang Kazakh berewokan itu, hanya
dia jeri melihat roman orang yang bengis. Sekarang dia ingat,
di matanya orang Kazakh itu pun ada mengembeng air mata.
Tentu sekali dia tidak mengerti perkataan yaya-nya, kenapa
orang tua itu lebih menderita daripadanya. Sekarang dia
berkesan baik terhadap orang tua itu...
Tidak antara lama, dari luar jendela terdengar suara
burung, halus dan menggiurkan hati. Suara itu agak jauh
tetapi tedas. Ia memasang kupingnya. Ia merasakan suara itu
manis. Itulah mirip nyanyiannya seorang nona...
Ia memasang kuping terus. Nyanyian burung itu terdengar
jauh, lalu lenyap. Ia menjadi masgul, hingga ia terus berdiam
saja Lama ia tidak bersuara, lalu: "Yaya, suara burung itu
enak didengarnya," katanya.
"Memang, merdu nyanyiannya burung itu," menyahuti si
empee. "Itulah burung nilam malam di padang rumput ini.
Orang Kazakh membilang burung itu penitisan seorang nona
paling cantik dan yang paling pandai bernyanyi. Katanya dia
tidak disukai kekasihnya, dia mati mereras..." Bun Siu heran.
"Dia paling cantik, dia juga paling pandai bernyanyi, kenapa
dia tidak dicintai?" ia tanya.
Ditanya begitu, orang tua itu agak kaget, bahkan air
mukanya segera berubah.
"Ya, dia demikian cantik, kenapa dia tidak dicintai?"
katanya keras. Bun Siu kaget, dia mengawasi, matanya mendelong.
Hanya sejenak, si empee menghela napas. Ia jadi sabar
pula. "Di dalam dunia ini, ada banyak sekali hal yang kau tidak
mengerti, anak," katanya kemudian.
Kembali Bun Siu mendengar burung tadi bernyanyi,
suaranya semakin menggiurkan hatinya, manis tetapi sedih. Ia
sampai melupakan sikap aneh dari si orang tua...
*** ( )*** Demikian Lie Bun Siu tinggal ili rumah Kee Loojin, si orang
tua vang hidup menyendiri di wilayah orang Kazakh itu. Ia
membantu menanak nasi dan menggembala kambing. Mereka
hidup sebagai kakek dan cucu. Hanya kalau malam, sukasuka
si nona mendusin dengan kaget, akan mendengar
suara si burung malam dari padang rumput itu, yang
nyanyiannya mengagumkan dia, yang membuatnya merasa
tergiur dan berduka. Kalau dia bermimpi, maka dia
memimpikan keindahan wilayah Kanglam di mana dia berada
dalam rangkulan ayah atau ibunya...
Musim rontok lewat, musim dingin pun lewat, selama itu,
tenteram hidupnya puteri dari Pekma Lie Sam atau Siangkoan
Hong, selama itu, ia telah dapat bicara dalam bahasa Kazakh,
ia mulai mengerti banyak perihal segala apa di dataran rumput
itu. Pada suatu malam, kembali Nona Lie mendengar nyanyian
si burung malam. Jauh suara burung itu, terbawa sang angin,
sebentar terdengar, sebentar lenyap Ia bangun untuk
mengenakan bajunya, diam-diam ia pergi keluar di mana ia
tuntun kudanya, si kuda putih, ia berlaku hati-hati untuk tidak
membikin Kee Loojin kaget dan mendusin. Setelah berada
jauh dari rumah, baru ia naik atas kudanya, untuk sambil
menunggang kuda mengikuti suara burung itu.
Sang malam di dataran rumput, langit rasanya tinggi sekali,
warnanya biru, bintang-bintang terang berkilau. Rumput segar
dan bunga-bunga menyiarkan bau yang harum.
Suara nyanyian terdengar tegas sekarang, benar-benar
menggiurkan. Di dalam hatinya, Bun Siu mengikuti
bernyanyi. Ia menjadi girang sekali. Ia lompat turun dari
kudanya, membiarkan kuda itu mencari makan, ia sendiri
rebah telentang di atas rumput, matanya memandangi langit.
Ia terbenam dalam nyanyian sang burung...
Selang sekian lama, burung itu berpindah tempat, suaranya
terdengar jauh. Maka si nona merayap bangun, ia bertindak
menyusul, mengikuti, hingga sekarang ia menampak
romannya burung itu, yang bulunya kuning muda. Burung itu
beterbangan di tanah, mematuk sesuatu, lalu terbang, lalu
mematuk pula, saban-saban dia bernyanyi...
Mendadak terdengar satu suara keras, serupa barang hitam
menyambar kepada burung malam itu. Si nona kaget hingga
ia berseru, bercampur seruannya seorang lain. Kalau Bun Siu
kaget maka orang itu kegirangan. Dia muncul dari
gegombolan pohon. Nyata dialah seorang anak laki-laki
Kazakh, yang berseru: "Kena! Kena!"
Dengan baju luarnya, dia menungkrap burung itu, yang
kena ditangkap. Burung itu lantas berbunyi berisik sekali,
kaget dan ketakutan.
"He, kau bikin apa?" Bun Siu menegur, gusar.
"Aku menangkap burung ini," menjawab orang yang
ditegur. "Apakah kau juga menangkap burung?"
"Kenapa kau menangkap dia?" Bun Siu menegur pula.
"Bukankah lebih baik membiarkan dia merdeka dan
bernyanyi?"
"Dengan ditangkap, dia dapat dibuat main," menyahut anak
Kazakh itu. Dengan tangan kanannya merogoh ke dalam
bajunya, ia memegang burung kuning dan kecil itu, yang siasia
saja berontak untuk mencoba terbang pergi.
"Kau lepaslah!" kata Bun Siu kemudian. "Lihat, dia harus
dikasihani..."
"Di sepanjang jalan aku menyebar gandum, memancing dia
makan hingga di sini," kata anak Kazakh itu. "Siapa suruh dia
makani gandumku" Haha!"
Bun Siu terbengong. Inilah yang pertama kali ia mengenal
perangkap. Burung itu diberi umpan, dia memakannya, dia
mengantarkan diri, lalu tertangkap artinya, dia mencari
matinya sendiri. Ia masih terlalu muda dan mendapat tahu
bunyinya pepatah: "Jin wie cay su, niauw wie sit bong", ialah
"Orang mati karena harta, burung mampus karena makanan."
Bocah Kazakh itu membuat main burungnya, hingga
burung ini berbunyi tak hentinya.
"Maukah kau kasihkan burung ini padaku?" akhirnya Bun
Siu minta. Ia merasa kasihan.
"Habis kau memberikan apa padaku?" tanya si anak
Kazakh. Dia minta penggantian atau penukaran.
Bun Siu meraba sakunya, ia tidak mempunyai apa-apa. Ia
menjadi berdiam untuk berpikir. Kemudian ia menyahuti:
"Besok aku nanti menjahit, membikin kantung, untuk kau
pakai..." "Aku tidak mau diakali. Besok kau menyangkal..."
Mukanya si nona menjadi merah.
"Aku telah berjanji, tentu aku akan memberikan," ia
mengasih kepastian. "Kenapa aku mesti menyangkal?"
"Ah, aku tidak percaya!" bocah ini menggeleng kepala. Tapi
di terangnya rembulan, ia melihat gelang kumala, yang
bersinar di lengan kiri orang, maka ia menambahkan: "Kecuali
kau berikan gelangmu itu!"
Itulah gelang yang Bun Siu il.ipat dari ibunya, kecuali itu, ia
udak punya tanda mata apa jua dari ibunya. Berat ia
menyerahkan itu, akan tetapi, kalau ia melihat burung itu, ia
berkasihan. "Baiklah, ini aku kasihkan kau," katanya akhirnya. Ia
meloloskan gelangnya dan menyerahkannya.
Bocah itu agaknya heran, ia menyambuti.
"Apakah kau tidak bakal memintanya pulang?" ia
menegasi. "Tidak!"
"Baik!" Dan ia menyerahkan burungnya.
Dengan kedua tangannya, Bun Siu menyambuti burung itu.
Ketika tangan mereka beradu, si bocah Kazakh merasakan
sebuah tangan yang halus dan hangat, hingga ia seperti
merasakan guncangnya hati si nona.
Nona itu mengusap-usap sayap burung dengan tiga buah
jari tangannya, perlahan-lahan, kemudian ia melepaskan
tangannya seraya ia berkata: "Kau pergilah! Lain kali kau
mesti berhati-hati supaya orang tidak kena tangkap pula!"
Burung itu terbang, menghilang di gombolan rumput.
Si bocah Kazakh heran.
"Kenapa kau lepas burung itu?" ia tanya. "Bukankah kau
telah tukar itu dengan gelang kumala?" Dia memegang eraterat
gelangnya, kuatir si nona meminta pulang.
"Dia dapat terbang pula," menyahut Bun Siu, "dia bakal
bernyanyi kembali! Tidakkah itu senang untuknya?"
Bocah itu heran dan kagum. Ia mengimplang.
"Kau siapa?" ia tanya kemudian. "Aku Lie Bun Siu. Kau
sendiri?" "Aku Supu." Habis menyahuti, dia berjingkrak dan berseru
nyaring. Supu lebih tua dua tahun, tubuhnya jangkung, kalau dia
berdiri, nampaknya dia gagah.
"Tenagamu besar, bukankah?" Bun Siu tanya.
Supu tengah kegirangan, pertanyaan si nona
membangkitkan keangkuhannya. Dari
pinggangnya, ia menarik keluar sebuah golok pendek. Ia
berkata: "Baru bulan yang sudah aku membunuh seekor
serigala!"
"Kau begitu kosen?" tanya Bun Siu heran.
Supu jadi bangga sekali. Ia kata pula: "Sebenarnya dua
ekor serigala yang datang menyerbu kambing kami. Ayahku
kebetulan tidak ada di rumah, jadi aku yang keluar membawa
golok mengejarnya. Serigala yang besaran melihat api, dia
kabur, aku bunuh yang satunya."
"Jadi kau membunuh yang kecilan"'"
Supu likat, ia mengangguk, tetapi ia menambahkan:
"Jikalau serigala yang besar itu tidak kabur, tentu aku bunuh
juga padanya!"
Dari suaranya, ia agak ragu-ragu.
Bun Siu percaya keterangan itu. Ia kata: "Serigala yang
jahat makan kambing, dia memang harus dibunuh. Kalau nanti
kau membunuh serigala pula, maukah kau memanggil aku
untuk aku melihatnya?" Supu girang.
"Baik! Lain kali aku akan mengeset kulitnya, untuk
dihaturkan padamu!"
"Terima kasih!" Bun Siu pun girang. "Nanti aku membikin
alas kulit serigala peranti yaya duduk, kepunyaannya telah
diberikan padaku."
"Dengan begitu. Aku berikan itu pada kau, itu artinya
untukmu sendiri. Kepunyaan yaya-mu kau kembalikan saja."
"Begitu pun baik," si nona mengangguk.
Kedua bocah ini lantas menjadi sahabat satu dengan lain.
Erat pergaulan mereka, meski yang satu ada anak Kazakh
yang sikap dedaknya kasar, dan yang lain seorang nona Han
yang halus. Lewat beberapa hari, Lie Bun Siu menganggap bocah itu
sahabat, buat sebuah kantung kecil, yang ia isikan kembang
gula dan menghadiahkannya kepada Supu. Bocah ini heran.
Untuknya sudah cukup burungnya ditukar dengan gelang
kumala. Karena dia jujur, dia hendak membalas budi. Maka
malamnya, satu malam suntuk dia tidak tidur, dia menunggui
burung, hasilnya, dia dapat menjebak dua ekor burung nilam.
Besoknya pagi, dia serahkan burungnya itu pada sahabatnya.
Melihat perbuatan Supu, Bun Siu menganggap bocah itu
salah mengerti, maka dengan banyak kata-kata ia
menjelaskan, ia menyukai burung bukan untuk dipiara, ia
hanya menyukai kemerdekaannya burung itu, sedang kalau
dipiara, burung itu jadi tersiksa. Supu dapat dikasih mengerti
tetapi toh ia tetap heran untuk sikap nona, yang ia kata
aneh... Dengan lewatnya banyak hari, mimpinya Bun Siu, mimpi
ayah dan ibunya, menjadi berkurang. Itu berarti, basahnya
bantalnya karena air matanya pun jadi berkurang |uga. Di lain
pihak, pada parasnya lebih sering tertampak senyuman, ia jadi
lebih gemar bernyanyi. Demikian, kalau dia dan Supu
menggembala kambing, sering lei dengar nyanyian mereka,
nyanyian yang mengandung asmara. Sering mereka
bernyanyi saling sahutan. Tapi Bun Siu bernyanyi karena
kegemarannya, artinya nyanyian belum masuk di olaknya. Ia
bahkan heran kenapa muda-mudi gemar bernyanyi berduaduaan,
mereka tertarik satu kepada lain. Ia tidak mengerti
kenapa hatinya memukul kalau ia mendengar tindakannya si
bocah Kazakh. Tapi yang benar, suara nyanyiannya memang
merdu, siapa yang mendengarnya memuji: "Merdu suaranya
bocah itu, mirip dengan suaranya si burung nilam dataran
rumput..."
Kapan telah datang musim dingin, burung nilam terbang
pindah ke Selatan, yang hawanya hangat, akan tetapi di
padang rumput itu, ada pengganti suaranya, sebab ada
nyanyiannya Bun Siu yang merdu itu:
"Gembala muda yang manis, Aku tanya kau, tahun ini
usiamu berapa"
Kalau di tengah malam kau bersendirian di gurun, Maukah
kau ditemani olehku" "
Biasanya nyanyian berhenti sampai di situ, sesaat kemudian


Kuda Putih Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

barulah disambungi:
"Ah, kekasihku, jangan gusar. Siapa baik siapa buruk, sukar
dibilang, Kalau gurun hendak dijadikan teman.
Maka mestilah sepasang orang baik kumpul bersama..."
Supu adalah orang yang paling sering mendengar nyanyian
itu. Dia juga tidak memahami artinya nyanyian asmara itu,
sampai pada suatu hari di atas salju mereka bersomplokan
sama seekor ajag.
Sangat mendadak munculnya binatang alas yang jahat itu.
Supu dan Bun Siu tengah duduk berendeng di atas sebuah
tanjakan, mata mereka memandang rombongan
kambing mereka yang lagi mencari makan di padang rumput.
Seperti biasanya, si nona mendongeng, tiga bagian menurut
cerita ibunya, tiga bagian menurut cerita Kee Loojin, yang
lainnya karangannya sendiri. Supu paling suka mendengar
ceritanya Kee Loojin, sebab itu ada mengenai peristiwaperistiwa
hebat. Yang ia paling tidak sukai ialah cerita
karangannya si nona sendiri, karena itulah semua cerita
kekanak-kanakan. Mendadak Bun Siu menjerit, tubuhnya
roboh ke belakang, sebab seekor serigala menerkam dengan
tiba-tiba. Binatang jahat itu datang dengan perlahan-lahan
dari arah belakang, kedua bocah masing-masing sedang
asyik bercerita dan mendengari, mereka tidak mendengar
apa-apa sampai terkaman datang. Si nona berkelit, karenanya
dia roboh. Supu kaget. Serigala itu besar sekali. Tapi melihat si nona
didalam bahaya, ia menghunus golok pendeknya, terus ia
membacok. Binatang itu berkelit, punggungnya tergores
kulitnya. Karena itu dia menjadi gusar, sambil mementang
mulutnya yang lebar, memperlihatkan giginya yang tajam, dia
menubruk bocah itu, dia hendak menggigit muka orang!
Saking kaget, Supu roboh. Ia tentu telah kena digigit kalau
tidak Bun Siu lompat maju, untuk menangkap ekor binatang
itu, untuk ditarik, hingga si serigala mundur setindak. Tapi
binatang ini kuat, dia berontak, dia menerkam pula. Kali ini
giginya nempel pada pundak kiri si bocah pria. Dalam kaget
dan takut, si nona menarik sekuatnya. Tidak urung, pundak
Supu telah mengucurkan darah.
Dalam keadaan seperti itu, Supu melupakan segala apa, ia
menikam. Tepat ia menikam perut, di bagian yang berbahaya.
Serigala itu berlompat, terus roboh. Supu masih hendak
menikam, ketika tubuh binatang itu terus berdiam.
Bun Siu pun jatuh terguling. Ia bertahan, si serigala
menarik keras. Meskipun begitu, ia tidak melepaskan
cekalannya sampai binatang itu rebah tak berkutik lagi.
"Aku membunuh serigala!" seru Supu kemudian. "Aku
membunuh serigala!" Ia lantas mengasih bangun pada si
nona, seraya ia berkata: "Lihat, Siu, aku telah bunuh mati
seekor serigala!". Ia gembira hingga ia melupakan pundaknya
yang borboran darah.
"Aku tidak takut sakit!" kata Supu sambil menggeleng
kepala, sikapnya gagah.
Sekonyong-konyong terdengar teguran di belakang
mereka: "Eh, Pu kau lagi bikin apa?"
Keduanya terkejut, sama-sama mereka berpaling.
Bun Siu melihat seorang yang mukanya berewokan, yang
tubuhnya besar bercokol di atas kuda. Supu sendiri segera
berkata: "Ayah, lihat! Aku telah bunuh seekor serigala!"
Nampaknya orang itu girang. Ia lompat turun dari kudanya.
Ia memandangi anaknya, Bun Siu dan bangkai serigala.
"Kau kena digigit serigala?" ia menanya.
"Ya," si anak mengangguk. "Kita lagi duduk di sini, aku
mendengari dia mendongeng mendadak serigala itu muncul
dan menerkam dia..."
Si berewokan itu mengawasi pula Bun Siu, mendadak di
menegur: "Kau toh si anak perempuan Han yang tidak
diberkahi Tuhan?" tegurnya.
Bun Siu terkejut. Ia sekarang mengenali si berewokan ini
adalah mang yang telah menendang ia it-lagi ia memeluki
mayat ayah dan ibunya. Dialah Suruke yang menurut Kee
Loojin, isteri dan anaknya telah dibinasakan penyamun
didalam satu malaman. Ia mengangguk, ingin ia
mengatakan: "Ayah dan ibuku juga telah dibunuh oleh
kawanan penyamun itu..." atau mendadak ia menjadi kaget.
Tahu-tahu Supu telah dicambuk ayahnya, hingga mukanya
balan, sedang ayah itu berseru: "Aku telah menyuruh kau
turun-temurun membenci orang Han, mengapa kau melupai
pesanku" Kenapa kau justeru bermain-main sama anak Han
ini dan mengadu jiwa untuknya hingga kau mengucurkan
darah?" Lalu cambuknya menyambar pula secara membabi
buta! Supu berdiam saja, bahkan dia memandang Bun Siu dan
bertanya: "Apakah dia si wanita Han yang tidak diberkahi
Tuhan?" "Mustahil bukan?" bentak si ayah, yang tangannya diayun
ke samping, maka menjeritlah si nona yang kaget dan
kesakitan, sebab cambuk menyambar mukanya!
Justeru itu, Supu roboh, sebab tak tahan ia akan sabatan
ayahnya itu. Ia telah terluka diterkam serigala, ia pun
dirangket berulang-ulang, selagi ia telah mengeluarkan banyak
darah dan lelah, ia pun melihat si nona dicambuk, maka ia
sakit, lelah dan menceios hatinya berbareng.
Suruke kaget. Ia lompat kepada anaknya, ia pondong
tubuhnya, buat diajak naik ke atas kudanya, kemudian ia
kabur dengan mengalak bangkai serigala, maka ketika ia
melarikan kudanya itu, bangkai binatang itu terseret-seret
pergi. Ia masih menoleh kepada Bun Siu, yang berdiri
tercengang, di dalam hatinya ia kata: "Kalau lain kali kau
bertemu pula dengan aku, lihat apabila aku tidak menghajar
pula padamu!"
Bun Siu tidak takut lagi si berewokan itu, hanya hatinya
kosong. Ia merasa bahwa selanjutnya ia bakal tidak bertemu
pula sama Supu, kawan satu-satunya dengan siapa ia dapat
bermain-main dengan gembira, kawan yang suka mendengari
nyanyiannya. Setelah itu, ia merasai mukanya sakit. Tidak
lama ia berdiam di situ, dengan tidak keruan rasa ia
menggiring kambingnya pulang.
Kee Loojin heran melihat tubuh si nona kecipratan darah
dan mukanya balan, bertanda bekas sabatan cambuk.
"Apakah sudah terjadi?" tanyanya lekas.
"Aku terjatuh..." Bun Siu mendusta, suaranya tawar.
Orang tua itu tidak mau percaya tetapi setelah ditegasi, si
nona tetap sama jawabannya itu, bahkan dia lantas menangis,
hingga ia menjadi kewalahan dan bingung.
Malam itu tubuh Bun Siu panas sekali, mukanya menjadi
merah, berulangkah dia mengaco: "Serigala! Serigala! Supu!
Supu! Tolong! ....Orang Han yang tidak diberkahi Tuhan!"
Bukan main bingungnya orang tua ini. Maka syukur,
mendekati pagi, hawa panasnya si nona berkurang banyak,
lantas dia dapat tidur pulas.
Dengan sakitnya ini, satu bulan terus Bun Siu mesti rebah
di pembaringan, ketika kemudian ia sembuh, musim dingin
sudah lewat, di tanah datar rumput telah mengeluarkan semi
baru yang halus...
Lewat beberapa hari, nona Lie merasa tubuhnya sehat
betul, maka itu ingin ia pergi menggembala seperti biasa.
Ketika ia heran akan mendapatkan ada sehelai kulit serigala
terletak di depan pintunya, kulit itu sudah dijadikan alas
duduk, lebih heran pula apabila ia periksa, di betulan perut
kulit itu ada pecahan bekas tusukan senjata tajam. Ia lantas
mengenali itulah serigala yang menerkam ia, yang dibinasakan
Supu. Hatinya berdebaran kalau ia ingat Supu tidak menyalahi
janji, hanya bocah itu datangnya secara diam-diam. Ia angkat
kulit itu, untuk disimpan di dalam kamarnya. Ia tidak mau
memberitahukan pada Kee Loojin. Habis itu pergilah ia
menggembala kambingnya, di tempat yang biasa.
Sampai magrib, Supu tidak muncul, ada juga kambingnya,
yang sekarang diangon oleh seorang muda lain umur tujuh
atau delapan belas tahun, la menjadi berpikir.
Mungkinkah lukanya Supu belum sembuh" Kalau begitu,
bagaimana dia dapat mengantarkan kulit serigalanya itu"
Ingin ia pergi melongok ke tenda kawan itu tetapi ia batal
sendirinya kapan ia ingat si berewokan yang bengis. Maka ia
sudi bersangsi.
Malam itu sampai tengah malam Bun Siu tidak dapat pulas.
Akhirnya ia mengambil keputusannya juga. Diam-diam ia pergi
ke tendanya Supu, ke sebelah belakangnya. Ia tidak tahu pasti
apa perlunya ia menjenguk sahabatnya itu. Untuk hanya
menghaturkan terima kasih untuk kulit serigala itu" Untuk
menanyakan lukanya bekas digigit serigala" Ia berdiam di
belakang tenda, seperti Menyembunyikan diri. Tidak berani ia
memanggil-manggil kawannya ini Sampai ia disamperi
anjingnya Supu, yang mencium-cium Hibahnya. Anjing itu
tidak mengasih dengar suara apa-apa.
Di dalam tenda, lilin dipasang terang-terang. Di situ
terdengar suara keras dari Suruke. Kaget Bun Siu, setiap kali
mendengar suara orang, hatinya berdenyutan.
Sebab orang Kazakh itu lagi murka.
"Kulit serigalamu kau kasihkan pada perempuan itu?"
demikian suara si ayah. "Binatang, kecil-kecil kau sudah
mengerti menyerahkan hasil pemburuanmu yang pertama
kepada nona kecintaanmu!"
Bun Siu ingat ceritanya Supu hal kebiasaannya bangsa
Kazakh, bahwa pemuda bangsa itu paling menghargai hasil
pemburuannya yang pertama kali, bahwa itu selalu diberikan
kepada kekasihnya, untuk mengutarakan cintanya. Maka
mukanya menjadi merah sendirinya. Maka terbangunlah
keangkuhannya. Ia, seperti Supu juga, masih terlalu
muda, melainkan samar-samar mereka mengenal asmara.
"Bukankah kau memberikannya kepada itu nona Han yang
tidak diberkahi Tuhan, itu anak hina-dina?" terdengar pula
suaranya Suruke. "Kau tidak mau bicara" Baik! Kau lihat, kau
yang tangguh atau cambuk ayahmu!"
Lantas Bun Siu mendengar rangketan beberapa kali, suara
cambuk mengenai tubuh.
Seperti kebanyakan orang Kazakh, demikian Suruke. Ia
percaya cambuk akan menciptakan orang bangsanya yang
gagah. Jadi untuk mendidik anak, tidak dapat kelunakan
dipakai. Dulu kakeknya telah menghajar dia, maka sekarang
dia menghajar anaknya. Itulah pengajaran, itu tidak
melenyapkan kasih sayang orang tua pada anaknya. Terhadap
sahabat, kepalan dan cambuk yang dipakai. Menghadapi
lawan, ialah golok pendek dan pedang panjang.
Hanyalah, mendengar rangketan itu, Bun Siu merasai ialah
yang tersiksa itu...
"Kau masih tidak mau menjawab" Kau masih tidak mau
menjawab" Baik! Aku merasa pasti kau menyerahkan kulit
serigala itu kepada perempuan Han itu! Kau rasai!"
Lalu hujan cambuk, terdengar nyata.
Akhir-akhirnya Supu menangis.
Tak dapat ia menahan sakit hanya dengan mengertak gigi
saja. "Sudah, ayah, jangan pukul, jangan pukul," katanya.
"Aduh... aduh..."
"Nah, bilanglah, bukankah kau menyerahkan kulit itu pada
perempuan Han itu" Ibumu mati di tangan penyamun Han!
Kakakmu terbinasa di tangan penyamun Han! Apakah kau
tidak ketahui itu" Orang menyebutnya aku orang kosen nomor
satu dari bangsa Kazakh tetapi isteri dan anakku dibunuh
penyamun bangsa Han! Apakah itu bukannya suatu
kehinaan" Sayang hari itu aku justeru tidak ada di rumah! Aku
menyesal tidak dapat aku cari penyamun itu untuk
membalaskan sakit hatinya ibu dan kakakmu itu!"
IV Cambuknya Suruke bukan lagi dipakai untuk mengajar anak
hanya guna melampiaskan kebenciannya, dia mencambuk
bukan lagi anaknya sendiri hanya musuh, la kata sengit:
"Kenapa kawanan anjing itu bukan menempur aku terangterangan"
Kau bilang, bilanglah! Apakah aku tidak sanggup
melawan beberapa bangsat anjing Han itu?"
Anak yang dibinasakan rombongan Hok Goan Liong ada
anaknya Suruke yang paling disayang, dan isterinya yang
terbinasa itu adalah isteri yang mencintainya semenjak
mereka masih kecil dan biasa bermain-main bersama, sedang
ialah orang Kazakh tergagah, maka itu, bisa dimengerti
kemurkaannya itu.
Bun Siu berduka, la merasa sangat kasihan terhadap Supu.
Tidak dapat ia mendengar tangisan kawannya itu. Dengan
merasa berat, dengan tindakan perlahan, ia berjalan pulang.
Ia menarik keluar kulit serigala dari bawah kasurnya, ia
memandangi itu sekian lama. Dalam kesunyian itu, ia seperti
mendengar samar-samar
tangisannya Supu, meski terpisahnya tenda Supu dan
rumah Kee Loojin ada sekira dua lie. Ia seperti mendengar
juga cambukannya Suruke, si orang tua berewokan yang
romannya bengis itu. la sangat menyukai kulit itu tetapi ia
telah mengambil keputusan untuk mengurbankannya.
*** ( )*** Besoknya pagi Suruke keluar dari tendanya, kedua matanya
merah. Segera telinganya mendengar nyanyiannya Cherku,
yang sembari bernyanyi mengawasi kepadanya dengan kepala
dimiringkan, mukanya tersungging senyuman persahabatan.
Cherku pun seorang Kazakh termasuk jago. Orang tahu dia
pandai sekali membikin jinak kuda dan larinya sangat keras,
hingga orang mengatakannya, di dalam satu lie, tidak ada
kuda pilihan yang dapat menyandak padanya, atau sedikitnya,
dia cuma kalah sejarak Indung, sebab hidungnya yang
mancung... Sebenarnya di antara Suruke dan Cherku tidak ada
persahabatan erat, bahkan kesan mereka satu dengan lain
tidak baik. Inilah sebab kegagahannya Suruke membuatnya
Cherku iri. Cherku lebih muda sepuluh tahun, akan tetapi
ketika satu kali mereka mengadu golok, pundaknya kena
dihampiri goloknya Suruke. Atas itu ia kata: "Sekarang aku
kalah, tapi lain kali, lagi lima tahun, atau lagi sepuluh tahun,
kita nanti bertanding pula!" Dan Suruke menyahuti: "Lagi dua
puluh tahun, kalau kita bertanding pula, tanganku tak ada
seenteng kali ini!"
Akan tetapi hari ini, sikapnya Cherku tidak bermusuhan.
Hanya kesan buruk dari Suruke belum lenyap, dia balik


Kuda Putih Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengawasi dengan mata mendelik.
Cherku tertawa dan berkata: "Sahabatku Su, anakmu lihai
matanya!" "Kau maksudkan Supu?" Suruke tanya. Dia meraba gagang
goloknya, matanya bersinar bengis. Di dalam hatinya ia kata:
"Kau hendak menyindir aku karena anakku telah memberikan
kulit serigala kepada itu perempuan Han?"
Cherku mau menyahuti: "Kalau bukan Supu, mungkinkah
kau mempunyai anak yang lain?" tapi batal, sembari
bersenyum ia menjawab: "Memang Supu! Anak itu baik
romannya, dia pandai bekerja, aku senang dengannya."
Seorang tua pastilah senang anaknya dipuji orang tetapi ia
tak akur dengan Cherku maka Suruke kata: "Apakah kau
mengiri" Sayang kau tidak mendapatkan anak laki-laki."
Cherku tidak gusar, dia bahkan tertawa.
"Anak perempuanku, si Aman juga tidak ada kecelaannya,
kalau tidak, mustahil anakmu penuju kepadanya?" sahutnya.
"Fui, jangan ngaco!" kata Suruke. "Siapa bilang anakku
penuju si Aman?"
Cherku mendekati, untuk menarik tangan orang.
"Mari turut aku, aku memberi kau melihat sesuatu!"
katanya. Suruke heran, ia mengikuti. Sembari jalan, Cherku
kata: "Beberapa hari yang lalu anakmu membunuh seekor
serigala itulah hebat! Bukankah dia masih kecil" Maka kalau
dia sudah besar, tidakkah dia akan mirip seperti ayahnya"
Ayahnya jago, anaknya gagah!"
Suruke berdiam. Ia menduga orang lagi memasang
perangkap. Maka ia mau berhati-hati.
Kira-kira satu lie dua orang ini jalan di padang rumput,
tibalah mereka di tenda Cherku. Segera Suruke melihat
digantungnya sehelai kulit serigala di luar tenda. Segera ia
mengenali kulit serigala yang dibunuh anaknya itu. Ia menjadi
bingung. "Aku, aku salah..." pikirnya. "Aku menyalahkan si Pu, aku
pun telah menghajarnya, kiranya kulit ini ia menyerahkannya
kepada si Aman, bukan kepada itu wanita Han... Anak celaka,
kenapa dia tidak mau bicara sebenarnya"
Mungkin kulitnya tipis, dia malu bicara" Ah, kalau ibunya
masih ada, ibunya tentu bisa membujuki aku, menasihati aku
jangan memukul dia. Memang anak-anak lebih bisa bicara
dengan ibunya..."
"Mari minum satu cangkir arak!" berkata Cherku sambil ia
menepuk pundak orang, selagi orang ngelamun. "Kau belum
pernah datang ke rumahku."
Tenda Cherku terawat baik dan bersih, di sekitarnya
digantungi permadani tenunan bulu kambing merah. Seorang
nona yang bertubuh langsing menyuguhkan arak.
"Aman, inilah ayahnya Supu," kata Cherku tertawa pada si
nona. "Kau takut atau tidak" Lihat berewokannya yang
menakuti!"
Muka si nona menjadi bertambah dadu, tetapi matanya
bersinar. Ia seperti menjawab: "Aku tidak takut..."
Suruke tertawa, ia kata: "Sahabat Cher, orang membilang
kau mempunyai seorang anak yang bagaikan bunga yang bisa
berjalan di padang rumput kita ini, benar-benar, inilah bunga
yang dapat berjalan!"
Setelah seperti saling mendendam belasan tahun, maka
dua orang ini sekarang menjadi sebagai sahabat-sahabat
kekal, keduanya bicara dan minum dengan gembira sekali.
Akhirnya Suruke mabuk keras dan pulang dengan mendekam
di atas kudanya.
Selang dua hari, Cherku mengantarkan dua helai
permadani kulit kambing yang indah, katanya yang besaran
untuk si tua, yang kecilan untuk si muda-artinya, untuk Suruke
dan Supu. Ketika Supu memeriksa sehelai, ia mendapatkan sulaman
yang merupakan seorang laki-laki yang tubuhnya besar,
dengan sebilah golok panjang, lagi membacok seekor
harimau, sedang seekor harimau lain lari sambil
menggoyang ekor. Di permadani yang lain, sulamannya ialah
halnya seorang bocah menikam mati seekor serigala. Dua-dua
orang itu, lua dan muda, sama-sama beroman gagah.
"Bagus!" Suruke memuji kegirangan. "Sulaman yang
indah!" Di wilayah Hweekiang ada sangat sedikit harimau, tapi
tahun i lu, entah dari mana datangnya, lelah muncul dua ekor
yang menjadi ancaman bencana untuk manusia dan ternak.
Ketika itu Suruke sedang gagahnya. Dengan membawa golok
panjang, ia memasuki gunung, ia cari binatang alas itu, ia
membunuh yang seekor, ia melukai seekor yang lain, yang
kabur ke gunung bersalju. Dan menyulamkan perbuatan
gagah itu di atas permadaninya
Karena Cherku mengantar permadani itu, ketika ia pulang,
ia mabuk arak, ia menggantikan mendekam di atas kudanya,
hingga Suruke menyuruh Supu mengantarkannya pulang.
Di dalam tenda Cherku, Supu melihat kulit serigalanya. Ia
menjadi heran sekali. Sedang begitu Aman, dengan muka
dadu, menghaturkan terima kasih kepadanya. Ia heran tetapi
ia tidak berani menanyakan. Ia bicara sama Aman tanpa
junterungan. Karena ini besoknya, ia lantas pergi ke tempat di
mana ia membunuh serigala. Ia mau cari Lie Bun Siu, untuk
minta keterangan, tetapi hari itu si nona tidak muncul.
Besoknya ia pergi pula, tetapi ia tetap menantikan dengan
sia-sia. Maka di hari ketiga, dengan memberanikan diri, ia
pergi ke rumah Kee Loojin.
Bun Siu membuka pintu, ketika ia melihat anak Kazakh itu,
ia kata: "Sejak sekarang ini tidak dapat aku menemui kau
pula!" Lalu ia menutup pintunya
Supu melongo, ia pulang dengan pikiran ruwet, ia sangat
bingung. Pemuda ini pulang tanpa ia mengetahui, Bun Siu menangis
di belakang pintunya itu. Si nona senang bergaul dengannya
tetapi dia takut kepada ayahnya yang galak itu. Dia tahu,
kalau mereka bergaul pula, Supu bakal dihajar lagi ayahnya.
Demikian, hari lewat hari, maka kedua bocah itu pun,
dengan lewatnya hari-hari itu, menjadi besar, menjadi
dewasa. Yang satu cantik manis, yang lain tampan dan gagah.
Dan sang burung nilam pun bernyanyi makin merdu, Hanya
sekarang, nyanyiannya jarang sekali, nyanyinya pun di tengah
malam setelah tidak ada orang lainnya, bernyanyi seorang diri
di bukit di mana Supu telah membunuh serigala...
Kalau dulu Bun Siu tidak mengerti apa yang ia biasa
nyanyikan bersama Supu, sekarang ia mengerti berlebihan.
Coba ia masih tidak mengerti, kedukaannya mungkin
berkurang. Sekarang lain, sekarang sering ia tidak tidur
semalaman... Pada suatu malam di musim semi, seorang diri Bun Siu naik
kuda putihnya pergi ke bukit yang ia kenal itu. Berdiri di atas
bukit, ia memandangi tenda-tenda orang-orang Kazakh itu di
mana orang tengah menyalakan unggun, di mana mereka
itu bergirang bersorak-sorai. Sebab hari itu kebetulan hari
besar mereka, yang mereka rayakan bersama di tepi unggun,
menari-nari dan bernyanyi-nyanyi.
"Pasti dia dan ia hari ini bergirang luar biasa," Bun Siu kata
di dalam hatinya. Dengan "dia" taklah lain orang kecuali Supu,
dan dengan "ia" ialah si nona yang menjadi "bunga yang
dapat berjalan..."
Tapi terkaannya Bun Siu salah. Ketika itu Supu dan Aman
tidak lagi bergirang hanya hati Supu sedang tegangnya. Dia
tengah bergulat bersama seorang muda lain, yang tubuhnya
jangkung dan kurus. Itulah adu gulat yang terpenting di
harian pesta itu. Siapa yang menang, dia memperoleh tiga
buah hadiah, ialah: seekor kuda pilihan, seekor kerbau gemuk,
serta sehelai permadani indah.
Supu telah menjatuhkan empat lawannya, sekarang ia
lagi menghadapi si jangkung ini, Sangszer. Mereka ada
sahabat-sahabat kekal, tapi sekarang mereka mesti mencari
keputusan. Sangszer juga telah mengalahkan empat lawan
lainnya. Pula Sangszer pun mengharap "si bunga yang dapat
berjalan", yang demikian cantik manis, yang pandai
menenun dan menyulam. Sangszer tahu Supu dan Aman
hidup rukun semenjak masih kecil tetapi ia ingin
mendapatkannya juga di tempat umum ini. Ia percaya, kalau
ia menang, Aman akan menyukainya. Maka selama tiga tahun,
ia rajin berlajar ilmu gulat itu, sedang gurunya ialah Cherku,
ayah si Aman...
Supu sendiri ada murid ayahnya sendiri.
Gulat Kazakh bukan gulat belaka, kepalan pun dapat
dimainkan, juga kaki, untuk menggaet atau merengkas, guna
menyengkelit. Maka satu kali, ketika kepala Sangszer kena
dihajar, dia roboh terguling. Di lain pihak, tempo Supu digaet,
dia roboh juga. Sama-sama mereka bangun pula.
Suruke menyayangi kegagalan anaknya itu, sampai ia
merasakan tangannya dingin.
Cherku menyaksikan adu gulat itu dengan pikiran kacau. Ia
tahu Aman, anaknya, menyukai Supu, Di lain pihak, Sangszer
adalah muridnya yang disayang, ingin ia muridnya itu menang,
supaya ia mendapat muka terang. Kesudahan gulat ini pun
akan membuatnya si pemenang menjadi "orang kosen nomor
satu". Ia menyukai Supu tetapi ia ingin Sangszer yang
menang... Para penonton bersorak untuk para jago muda itu. Supu
bertubuh besar dan kuat, tapi Sangszer selain kuat pun lincah.
Jadi sukar untuk menerka, siapa bakal keluar sebagai juara
Ramai suara penonton di kedua pihak: "Supu, lekas,
lekas!..., ..Saszer, bangun, serang pula!" Masing-masing
menganjurkan jagonya. Samar-samar Bun Siu mendengar:
"Supu! Supu!" Ia heran mengapa ia hanya mendengar suara
untuk Supu itu. Maka akhirnya, ia mengajukan kudanya,
mendekati. Ia bersembunyi di belakang sebuah pohon besar.
Sekarang ia melihat Supu dan Sangszer lagi berkutat dan para
penonton ribut dengan sorak-sorai mereka.
Di antara penonton, Bun Siu melihat Aman. Nona itu
tegang hatinya, dia pun sebentar bergirang dan sebentar
berkuatir. Terang dia menyukai Supu.
Mendadak orang bersorak ramai, lalu sirap. Supu dan
Sangszer bergumul di tanah, hingga tubuh mereka tak
tertampak si Nona Lie. Sekian lama orang bersikap tegang. Di
akhirnya riuhlah seruan orang banyak: "Supu! Supu!" Lantas
terlihat Aman menuntun tangannya si juara.
Bun Siu girang berbareng berduka. Ia putar kudanya, untuk
dikasih jalan pulang dengan perlahan-lahan. Tidak ada orang
yang melihatnya, atau memperhatikannya. Ia tidak
menarik tali les, ia membiarkan si kuda putih jalan sendiri. Ia
baru terkejut ketika ia mendapatkan ia berada di ujung
padang rumput, atau di permulaan Gobi, gurun pasir.
"Eh, perlu apa kau bawa aku kemari?" katanya kepada
kudanya. Tentu sekali ia tidak memperoleh jawaban, hanya di
lain pihak ia melihat munculnya dua penunggang kuda, disusul
oleh dua yang lain, yang semuanya membawa golok panjang.
Mereka itu dandan sebagai orang Han. Ia kaget sekali. Ia
lantas ingat pada si penyamun Han.
"Kuda putih! Kuda putih!" begitu ia mendengar beberapa
orang itu berteriak-teriak selekasnya mereka itu melihat
kudanya, lantas mereka kabur mendatangi. Antaranya ada
yang menyerukan: "Berhenti! Berhenti!"
Dalam takutnya, Bun Siu menyerukan kudanya: "Lari!" la
mengeprak kuda itu lari ke jalanan kembali. Tapi ia kaget akan
melihat, sekarang di depannya pun ada beberapa penunggang
kuda lain, begitu pun di lain arah. Ia terpegat di timur, selatan
dan utara. Maka ia kabur ke barat, di mana gurun pasir tak
berujung pangkal...
Mengenai gurun itu, di antara orang Kazakh ada ceritera
atau dongeng, padang pasir ada memedinya, bahwa siapa
memasuki gurun, dia bakal tak kembali dengan masih hidup,
bahwa sekalipun telah menjadi memedi, si memedi tak akan
dapat keluar lagi dari wilayah tandus itu...
V Bun Siu pun pernah dengar ceritanya Supu bahwa siapa
memasuki Gobi, dia bakal jalan terputar-putar saja di daerah
pasir itu, sesudah berlari-lari sekian lama, dia bakal menjadi
girang berbareng duka. Girang sebab dia mendapatkan tapak
kaki. Tapi segera dia akan menjadi berduka. Sebab itulah
tapak kakinya sendiri. Katanya, akhirnya orang bakal mati, dan
setelah menjadi setan, dia tidak akan dapat beristirahat. Supu
pernah menambahkan: "Manusia masih beruntung. Dia mati,
dia menjadi setan. Tapi setan, kalau dia mati, dia tetap jadi
setan juga..."
Juga pernah Bun Siu menanya Kee Loojin, apa benar Gobi
demikian menakuti, bahwa orang dapat memasukinya tetapi
tidak bakal keluar pula dari situ. Ditanya begitu, orang tua itu
menunjuk roman kaget dan suram yang menakuti, matanya
mendelong keluar jendela, seperti dia menampak memedi.
Belum pernah Bun Siu melihat orang bersikap demikian,
maka ia tidak mengulangi pertanyaannya itu. Ia mau
percaya, orang tua itu pernah melihat setan...
Sekarang dia kabur di Gobi itu, hatinya takut bukan main.
Toh dia lari terus. Dia lebih takut menghadapi beberapa
pengejarnya itu. Dia ingat kepada kematian ayah dan ibunya,
kebinasaan ibu dan kakaknya Supu. Kalau dia kecandak,
pastilah dia bakal terbinasa di tangan orang-orang jahat itu.
Hampir dia menahan kudanya kapan dia ingat memedi di
gurun pasir itu...
Satu kali dia menoleh ke belakang, dia tidak melihat lagi
tenda-tendanya si orang-orang Kazakh, tak nampak pula
padang rumput yang hijau. Dia sekarang melihat, dua orang
jauh ketinggalan di belakang, lima lagi tetap menyusul,
mereka itu berseru-seru tidak berhentinya. Dia mendengar
jelas: "Benarlah itu kuda putih! Bekuk dia! Bekuk dia!"
Di saat berbahaya itu, Bun Siu sempat berpikir: "Teranglah
aku tidak akan sanggup membalaskan sakit hati ayah dan
ibuku, maka biarlah aku pancing mereka ke i'iirun, untuk kita
mati bersama! Biarlah, satu jiwaku ditukar dengan lima jiwa
mereka! Laginya, apakah .ulinya hidup di dalam dunia kalau
aku tetap sebatang kara begini?"
Air matanya nona ini mengembeng, lalu mengucur turun,
tapi tekadnya telah bulat. Maka ia melarikan terus kudanya,
terus menuju ke arah barat, untuk tiba di tempat ada
memedi... Kelima orang itu benar-benar penyamun-penyamun yang


Kuda Putih Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyerbu rombongannya Suruke. Merekalah lima orangnya
Hok man Liong dan Tan Tat Hian. Mereka pulang habis
membereskan Lie Sam dan isteri dan sia-sia belaka mencari
Bun Siu. Peta dari istana rahasia Kobu membuatnya mereka
penasaran, maka mereka ingin sekali mendapatkan peta itu.
Katanya di dalam istana itu ada tersimpan banyak sekali
mustika atau barang permata. Demikian mereka mencari tak
hentinya. Untuk hidupnya, di sana ada kerbau, kambing dan
untanya penduduk gurun, yang mereka dapat menjadikan
kurban mereka. Untuk itu cukup asal mereka menghunus
senjata mereka, membunuh, membakar, merampas, bahkan
memperkosa... Kuda putih sudah tua, tenaganya telah berkurang, tetapi
dia seperti mengerti majikannya terancam bahaya, dia lari
keras, maka itu mendekati fajar, dia membikin lima
pengejarnya jauh ketinggalan di belakang, mereka itu tidak
nampak lagi, suara mereka pun tak terdengar pula. Hanya Bun
Siu tahu, mereka bisa mengikuti tapak kaki, mereka nanti
menyusul pula, dari itu, ia lari terus. Sampai lagi kira-kira
sepuluh lie, sekonyong-konyong kuda itu meringkik, lantas
dia lari luar biasa keras, tetap menuju ke barat. Dia seperti
dapat mencium bau rumput dan air...
Tidak lama, benarlah ilham bawaan kuda itu. Di arah barat
laut lantas terlihat gunung dengan pepohonannya yang lebat.
Tapi Bun Siu terkejut. Ia ingat: "Apa inikah gunung memedi"
Kenapa di gurun ada tempat seperti ini" Belum pernah aku
mendengarnya... Tapi biarlah, gunung memedi lebih baik, ke
sini aku pancing kawanan penyamun kejam itu!"
Keras larinya kuda putih itu, segera dia tiba di depan
gunung, terus dia masuk ke dalam selat. Dia hendak mencari
air, untuk melenyapkan dahaganya. Di situ ada mengalir
sebuah kali kecil. Bun Siu turut lompat turun, menghampirkan
air, untuk menyaup air dengan kedua tangannya, guna
mencuci muka menghilangkan debu, setelah mana ia minum
beberapa ceglukan. Ia merasa puas sekali. Air itu rasanya
manis dan menyegarkan mulutnya.
Sekonyong-konyong ia menjadi terkejut. Mendadak saja ia
merasakan sesuatu yang berat menekan punggungnya.
Segera kupingnya pun mendengar pertanyaan dengan suara
parau: "Kau siapa" Mau apa kau datang ke sini?"
Itulah pertanyaan dalam bahasa Tionghoa.
Bun Siu hendak memutar tubuhnya ketika ia mendengar
pula suara parau itu: "Inilah ujung tongkat di arah jalan
darahmu sinto hiat! Asal sedikit saja kau mengerahkan
tenagamu, jalan darahmu bakal terluka hingga kau bisa
terbinasa!"
Bun Siu benar-benar merasai ujung tongkat terasa lebih
berat, hingga ia menjadi sesemutan. Ia pernah belajar silat
sama ayah ibunya tetapi tentang tiamhiat hoat, ilmu menotok
jalan darah atau otot-otot yang penting, ia belum tahu sama
sekali, meski begitu, ia tidak berani bergerak. Ia hanya pikir:
"Orang ini dapat berbicara, dia pasti bukannya memedi. Dia
juga menanya aku apa perlunya aku datang kemari,
pertanyaannya itu membuktikan dia mestinya penduduk sini,
dia bukannya penyamun. Hanya, kenapa dia mendekati aku
tanpa aku mengetahui?"
Lagi pertanyaan: "Aku tanya kau! Mengapa kau tidak
menjawab?"
"Ada orang jahat mengejar aku, aku lari sampai di sini,"
akhirnya si nona menyahut.
"Orang jahat bagaimana?" tanya pula suara itu.
"Sejumlah penyamun." "Penyamun apa itu" Apakah nama
mereka?" "Aku tidak tahu nama mereka. Mulanya mereka piauwsu,
sampai di wilayah Hwcekiang, mereka lantas menjadi
penyamun."
"Kau sendiri, apakah namamu" Siapa ayahmu" Siapakah
gurumu?" "Aku Lie Bun Siu. Ayahku Pekma Lie Sam dan ibuku
Kimgin Siauwkiam Sam Niocu. Aku tidak mempunyai guru."
"Oh!" kata orang itu. "Kiranya Kimgin Siauwkiam Sam Niocu
telah menikah sama Pekma Lie Sam! Mana dia ayah dan
ibumu itu?"
"Ayah dan ibu telah dibunuh kawanan penyamun itu dan
sekarang mereka hendak membunuh aku juga..." "Ah! Kau
bangunlah!" Bun Siu menurut, ia berdiri. "Kau putar
tubuhmu!" Bun Siu menurut, ia memutar tubuh dengan
perlahan. Orang itu mengangkat tongkatnya, hanya sekarang ia
mengancam jalan darah khiesiahiat di kerongkongan.
Bun Siu heran sekali. Ia menyangka orang beroman bengis
dan menakuti. Ketika ia sudah berpaling, maka ia menampak
seorang usia lima puluh tahun kira-kira, dandanannya sebagai
pelajar, tubuhnya sangat kurus, sepasang alisnya mengkerut.
Ia mendapatkan seorang yang romannya sangat berduka.
"Empee, apakah she-mu?" ia balik menanya. "Tempat ini
tempat apakah?"
Orang itu berdiri tercengang. Ia rupanya tidak menyangka
sekali akan berhadapan sama seorang anak dara demikian
cantik. "Aku tidak mempunyai nama. Aku juga tidak tahu tempat
ini apa namanya," sahutnya sejenak kemudian.
Justeru terdengar suara samar-samar dari tindakan kaki
kuda. Bun Siu kaget sekali.
"Penyamun datang!" serunya, takut. "Empee, lekas
sembunyi!"
"Kenapa kau menyuruh aku bersembunyi?" si empee tanya.
"Kawanan penyamun itu sangat telengas, melihat kau, dia
akan membunuhmu!"
Orang kurus kering itu mengawasi tajam.
"Kita tidak mengenal satu dengan lain, mengapa kau
memperhatikan keselamatanku?"
Ketika itu, suara tindakan kuda terdengar semakin nyata.
Bun Siu takut sekali, maka tanpa mempedulikan bahwa ia
lagi diancam, ia memegang tongkat orang itu, untuk ditarik,
buat diajak pergi. Ia pun berkata mendesak: "Empee, mari
lekas! Kita naik kuda bersama! Ayal sedikit, kita bakal
terlambat..."
Orang itu menarik tongkatnya, untuk melepaskannya dari
cekalan, tetapi ia agaknya bertenaga terlalu kecil, ia tidak
berhasil. "Apakah kau sakit, empee?" tanya Bun Siu heran. "Mari aku
bantu kau naik atas kudaku..."
Nona ini benar-benar bekerja. Dengan kedua tangannya
ia mengangkat tubuh si kurus kering itu. la mendapatkan,
walaupun orang laki-laki, tubuh orang itu kalah berat dengan
tubuhnya. Di atas kuda, orang itu masih terhuyung, duduknya
tak tegak. Dia seperti lagi menderita sakit berat.
Bun Siu naik belakangan, ia duduk di belakang orang, maka
itu, ia memegang kendali sambil membantui menjagai tubuh si
kurus itu untuk mencegah tergulingnya. Ia mengaburkan
kudanya ke sebelah dalam gunung.
Karena mesti berbicara sama si empee, Bun Siu telah
mensia-siakan tempo. Ia lantas mendengar suara nyaring dan
bengis dari ke lima penyamun, yang telah memasuki selat.
Mendadak si empee menoleh.
"Kau datang bersama-sama mereka itu?" ia menegur.
"Benarkah" Kamu telah mengatur tipu daya, buat
memperdayakan aku?"
Bun Siu terkejut, apapula akan menampak roman orang
mendadak menjadi bengis, sinar matanya sangat tajam.
"Bukan, bukan!..." ia menyangkal. "Belum pernah aku kenal
kau, buat apa aku memperdayakanmu?"
"Kau toh hendak memperdayakan aku supaya aku ajak kau
ke Istana Rahasia Kobu?" katanya pula tetap bengis. Hanya ia
menghentikan kata-katanya dengan tiba-tiba, agaknya ia telah
menyesal mengatakan demikian.
Bun Siu heran. Tentang istana rahasia itu, beberapa kali ia
pernah mendengar dari mulut ayah dan ibunya semenjak ia
turut mereka menyingkir sampai di wilayah Hweekiang, hanya
ia tidak mengerti apa-apa. Sampai sekarang sudah belasan
tahun atau ia mendengarnya pula, hingga ia lupa sebenarnya
ia pernah mendengar dari siapa.
"Istana Rahasia Kobu?" tanyanya "Apakah itu?"
Roman si kurus tak tegang lagi seperti tadi, ia melihat si
nona seperti tidak lagi mendusta.
"Benar-benarkah kau tidak tahu tentang istana rahasia itu?"
ia menegasi. "Tidak," menyahut Bun Siu, menggeleng kepala. "Ah, ya..."
"Ya apakah?" membentak si kurus kering cepat.
"Aku ingat sekarang," menyahut si nona, polos. "Tempo
ayah dan ibu mulai memasuki wilayah Hweekiang, aku
mendengar mereka menyebut-nyebut istana rahasia itu.
Apakah itu suatu istana yang indah?"
"Apa lagi ayah dan ibumu bilang?" tanya si pelajar, tetap
bengis. "Aku larang kau mendusta!"
"Sebenarnya ingin aku mengingat lebih banyak kata-kata
ibuku," menyahut Bun Siu berduka. "Menambah satu katakata
saja, alangkah baiknya. Sayang aku tidak mendapat
dengar pembicaraan mereka terlebih jauh. Empee, memang
sering aku pikirkan, bahkan aku mengharap-harap ayah dan
ibu dapat hidup lebih lama satu hari saja, supaya dapat aku
melihat mereka lagi. Asal ayah dan ibu masih hidup, biarnya
aku dirangket setiap hari, aku senang..."
Pelajar itu nampak menjadi sedikit sabar, la mengeluarkan
suara: "Ah ..." perlahan.
"Kau sudah menikah atau belum?" mendadak ia bertanya,
suaranya keras.
Mukanya si nona menjadi merah. Tidak dapat ia menjawab,
maka ia menggeleng kepala.
"Selama beberapa tahun, dengan siapa saja kau ada
bersama?" "Dengan Kee Yaya." "Kee Yaya" Berapa umurnya dia"
Bagaimana macamnya?"
Ketika itu, Bun Siu justeru membentak kudanya: "Lekas
lari! Penyamun datang!" Ia pun pikir, lusa melayani
pembicaraan yang ia anggapnya tak keruan nmterungannya
itu" Meski ia beipikir demikian, akhirnya ia toh menyahuti
juga. "Kee Yaya mungkin telah berusia delapan puluh tahun. Dia
bongkok dan mukanya keriputan. Ia perlakukan aku baik
sekali." "Di Hweekiang ini, kau kenal siapa-siapa lagi?" orang itu
menanya pula. "Di rumah Kee Yaya itu masih ada siapa?"
"Di rumah Kee Yaya tidak ada lain orang lagi, seorang pun
tidak. Jangan kata orang Han, orang Kazakh pun tidak ada
yang aku kenal." Ia tidak mau menyebutkan Supu dan Aman,
ia anggap itu tidak ada perlunya.
Selagi mereka bicara, lima penyamun pun telah mendatangi
semakin dekat. Juga mereka mendengar sar-sernya suara
anak panah, yang menyambar ke samping mereka kiri dan
kanan. Itulah panah gertakan belaka, sebab kawanan
penyamun itu tidak memikir untuk menangkap mayat.
"Kau pegang jarumku ini," berkata si pelajar tiba-tiba.
"Hati-hati jangan kau membikin dirimu tertusuk!"
Bun Siu melihat orang mencekal sebatang jarum, yang
dijepit dengan dua jari tangannya. Ia menyambuti tanpa ia
mengerti maksud orang.
Si pelajar berkata pula: "Ujung jarum itu ada racunnya
yang lihai, begitu menusuk orang dan mengeluarkan darah,
racunnya akan bekerja menutup tenggorokan. Kalau
penyamun itu menangkap kau, kau tusuk dia, biarnya
ketusuknya perlahan, dia bakal segera terbinasa."
Si nona terkejut, sedang barusan selagi menyambuti, ia
kurang perhatian, la pun merasa, kalau si pelajar tidak senang
padanya, ia bisa lantas mati ditusuk dia. Ia lantas berpikir:
"Aku ada bagian mati, baik aku mati bersama kelima
penyamun itu, biar empee ini kabur seorang diri..."
Maka mendadak ia berlompat turun dari belakang kuda,
sembari lompat ia menepuk kempolan kudanya seraya
berseru: "Kuda putih, kuda putih! Lekas kau ajak empee
menyingkirkan diri!"
Si pelajar tercengang. Ia tidak menyangka nona ini
demikian murah hati.
Ketika itu kelima penyamun telah tiba dengan segera dan
Bun Siu lantas dikurung. Mereka telah mendapati seorang
nona yang muda remaja dan cantik, tentu sekali mereka tidak
memperdulikan pula si pelajar tua bangkotan...
Berlima mereka lompat turun dari kuda mereka masingmasing.
Mereka mengurung si nona sambil mengasih lihat
senyum menyeringai.
Hatinya Bun Siu berdenyutan. la berkuatir dan bersangsi. Ia
menyangsikan keterangannya si pelajar perihal
kemustajaban jarumnya itu. Bagaimana dengan sebatang
jarum itu ia dapat memberikan perlawanannya kepada lima
orang jahat itu. Umpama kata satu terbinasa, masih ada
empat lainnya. Ia menjadi menyesal telah tidak membekal
pisau dengan mana ia dapat membunuh diri, untuk menolong
diri dari penghinaan.
"Sungguh cantik!" kata satu berandal. "Sungguh manis!"
Sedang dua ant. ranya berlompat maju.
Satu berandal, yang berada di sebelah kiri, mendadak
meninju orang yang di dekatnya hingga orang itu terguling.
Dia menegur: "Kau berani berebutan denganku?" Tanpa
menanti jawaban, ia menubruk Bun Siu, untuk dirangkul.
Nona Lie kaget bukan main, ia melawan. Dengan jarumnya
la menusuk lengan orang seraya berseru: "Penyamun jahat,
lepaskan aku! Lepaskan aku!"
Orang itu, yang tubuhnya besar, berdiri melengak, terus dia
mundur dua tindak, mulutnya dipentang lebar-lebar, matanya
terbuka mengawasi si nona.
Penyamun yang roboh itu mengulur tangannya, akan
menyambar kaki si nona, untuk ditarik jatuh.
Bun Siu menggunai tangan kirinya, guna melawan, sedang
dengan tangan kanannya, ia menusuk dada penyamun yang
ganas itu. Si penyamun tengah tertawa lebar sebab ia sudah
memegang erat-erat si nona ketika dadanya tertusuk, lantas ia
berhenti tertawa, mulutnya tinggal celangap, dengan
membuka mulut lebar itu dan mata mendelong, ia berdiri diam
saja. Bun Siu lantas merayap bangun, untuk lari ke arah seekor


Kuda Putih Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuda, untuk segera lompat naik ke punggungnya, terus ia
melarikannya, keras, ke arah gunung.
Ketiga berandal lainnya berdiri tercengang. Mereka
menyangka si nona telah menotok kedua kawannya itu. Kalau
si nona demikian lihai, mana mereka berani maju mendekati"
Dari itu mereka membiarkan si nona kabur, mereka sendiri
menghampirkan kedua kawan itu, niatnya untuk dibawa
kepada Hok Goan Liong, pemimpin mereka, untuk ditolongi.
Hanya ketika tubuh dua orang itu diraba, ketiga kawan itu
kaget tidak terkira. Tubuh mereka itu sudah lantas mulai
dingin dan napasnya telah berhenti berjalan...
Salah satu penyamun, seorang she Song, memberanikan
diri. Ia membuka baju seorang kawannya, lalu kawan yang
kedua, untuk diperiksa. Ia mendapatkan titik hitam di masingmasing
lengan dan dada mereka itu, pada itu ada liang kecil
sebesar jarum. Maka sadarlah dia. Terus dia kata nyaring:
"Bocah itu mempunyai jarum beracun!"
"Jangan takut!" kata kawannya, si orang she Coan. "Kita
jangan dekati dia, dari jauh-jauh kita menghajarnya dengan
senjata rahasia. Mari kita kejar dia!"
"Mari kita kejar!" berseru kawan yang ketiga.
Bertiga mereka lompat naik atas kuda mereka, dengan
meninggalkan mayat kedua kawan itu, mereka kabur
mengejar Bun Siu.
Nona Lie kabur dengan hatinya girang, heran dan kagum.
Sekarang ia membuktikan lihainya jarum si pelajar. Tentu
saja, ia menjadi berani. Ia telah memikir untuk melawan
musuh-musuhnya. Ia hanya berkuatir orang nanti tidak
memberikan ketika ia menusuk mereka itu satu demi satu...
"Ke sini!" mendadak ia mendengar selagi kudanya lari.
Suara itu datang dari sebelah kiri. Itulah suara si pelajar
tua. Karena mengenali suara itu, Bun Siu menghampirkan.
Dengan lantas ia lompat turun dari kudanya. Suara itu
datangnya dari sebuah gua kecil di pinggiran sebelah kiri itu.
"Bagaimana?" menanya si pelajar, yang berdiri di mulut
gua. "Aku... aku telah menusuk dua penyamun..." sahut si
nona gugup. "Bagus!" kata si pelajar. "Mari masuk! Kita sembunyi di
sini!" Tanpa bersangsi, Bun Siu mengikut masuk. Gua itu dalam,
makin dalam makin sempit, sampai hanya muat sebuah tubuh
di mana orang mesti jalan merayap.
Sesudah jalan terus sekira beberapa puluh tombak,
mendadak terlihat cahaya terang di hadapan mereka berdua.
Nyata itulah tempat terbuka, yang lebar, yang dapat memuat
kira-kira dua ratus orang.
"Kita berjaga di mulut terowongan, tiga penjahat itu
tentulah tidak berani menyerbu masuk," berkata si pelajar.
"Dengan begitu, kita juga sukar keluar dari sini," kata Bun
Siu, masgul. "Apakah ada lain jalan keluar?"
"Ada jalan tetapi tidak terus," sahut si pelajar.
Bun Siu berdiam, hatinya berdebaran. la membayangi
bahaya yang tadi mengancamnya.
"Empee," katanya. "Dua penjahat itu kena aku tusuk
dengan jarum, lantas mereka tidak dapat bergerak. Apakah
mereka itu mati?"
"Mana ada orang yang dapat hidup karena tusukan
jarumku?" menyahut pelajar itu, romannya jumawa.
Bun Siu mengulur tangannya. Ia mengembalikan jarum
orang. Si empee telah mengulur juga tangannya ketika mendadak
ia menariknya pulang.
"Kau letaki di tanah!" katanya.
Si nona menurut.
"Kau mundur tiga tindak," katanya pula.
Bun Siu heran tetapi ia mundur.
Pelajar itu menjemput jarumnya, untuk dimasuki ke dalam
satu bungbung kecil.
Baru sekarang Bun Siu mengerti. Si empee mencurigai
padanya. Tapi ia diam saja.
"Kita tidak mengenal satu pada lain, kenapa tadi kau
menyerahkan kudamu padaku, supaya aku dapat
menyingkirkan diri?" si pelajar tanya.
"Aku juga tidak tahu," menyahut si nona bersenyum. "Aku
lihat kau lagi sakit, aku tidak tega kau terbinasa di tangan
orang-orang jahat itu..."
Tubuh orang itu limbung.
"Mengapa kau tahu aku... a... aku lagi...?" katanya
tertahan. Tiba-tiba jidatnya memperlihatkan pelbagai ototnya,
mukanya meringis, tanda bahwa ia lagi menahan rasa nyeri
yang hebat. Keringat pun lantas turun berketel-ketel dari
jidatnya itu. Tidak lama ia mempertahankan diri, mendadak ia
berseru, terus ia roboh bergulingan. Sekarang ia merintihrintih.
Bun Siu kaget hingga ia menjadi bingung sekali. Ia lantas
melihat tubuh orang melengkung, tangan dan kakinya datang
dekat satu pada lain.
"Apakah punggungmu sakit?" si nona tanya. Ia lantas
menumbuk perlahan-lahan punggung si pelajar itu, kemudian
ia menepuk-nepuk sambungan lengan dan kakinya.
Selang sedikit lama, si pelajar nampak rada ringanan. Ia
mengangguk kepada si nona, untuk menyatakan syukurnya.
Lagi sekian lama, barulah ia dapat bangun berdiri. Terang
telah lenyap penderitaannya barusan.
"Tahukah kau, aku ini siapa?" kemudian ia tanya.
"Aku tidak tahu," menyahut si nona, menggeleng kepala.
"Aku she Hoa, namaku Hui," si empee memperkenalkan
diri. "Akulah yang orang kangouw menyebutnya Itcie Cin
Thianlam."
"Oh, Empee Hoa," berkata si nona.
"Apakah kau belum pernah mendengar namaku?" Hoa Hui
tanya, agaknya ia kecewa.
Tentu sekali Bun Siu tidak lahu yang Hoa Hui bergelar Itcie
Cin Thianlam, si Jeriji Menggetarkan Langit Selatan, atau
jelasnya, jago Selatan, telah menggoncangkan selatan dan
utara Sungai Besar, dan namanya itu diketahui oleh dunia
Rimba Persilatan.
"Ayah dan ibuku pasti mengetahui nama empee," Bun Siu
menambahkan. "Aku tiba di Hweekiang dalam usia delapan
tahun, apa juga aku tidak mengerti..."
"Itu benar," kata Hoa Hui. Dari romannya, nampak ia tak
kecewa seperti tadi. "Kau..."
Baru ia berkata demikian, dari luar gua terdengar suara:
"Pasti dia sembunyi di dalam gua ini! Hati-hati untuk jarumnya
yang berbisa!..." Lantas terdengar tindakan kaki berlari-lari
dari tiga orang.
Hoa Hui berhenti bicara, ia mengeluarkan jarumnya tadi,
yang ia terus pasang di ujung tongkatnya, kemudian sembari
menyerahkan tongkat itu pada Bun Siu, ia menunjuk ke
samping mulut gua sembari berkata perlahan: "Kalau sebentar
mereka masuk, kau tikam punggungnya. Jangan terburu
napsu hingga kau kena menikam dadanya."
Si nona berdiam, karena hatinya berpikir: "Mulut jalanan
begini sempit, bukankah terlebih baik akan menikam
dadanya?" Hoa Hui rupanya dapat menduga kesangsian orang, ia kata
bengis: "Hidup atau mati kita adalah di sekejap ini, maka
beranikah kau tidak mendengar titahku?"
Hampir berbareng sama suaranya jago Selatan ini, terlihat
berkelebatannya golok, suatu tanda pihak penyamun bersiap
sedia menjaga diri dari serangan gelap. Menyusul itu, sesosok
tubuh nampak merayap masuk. Dialah si penjahat she In.
Bun Siu lari bersembunyi di samping mulut gua, ia bersiap
tanpa berani berkutik.
Lantas terdengar suara dingin dari Hoa Hui: "Kau lihat di
tanganku, aku mencekal barang apa?" Tangan itu pun
dikibaskan. Penjahat she In itu mengawasi ke arah Hoa Hui, goloknya
disiapkan terus, la maju dengan berhati-hati.
Bun Siu menggunai saatnya yang baik, ia menusuk
punggung penjahat itu. Ia berlaku hati-hati, dan ia berhasil
menusuknya, perlahan tetapi tepat.
Penjahat itu merasakan punggungnya tertusuk seperti
diantup tawon, dia kaget dan merasa sakit, dia berteriak.
Cuma sekali, lantas dia berdiam, tubuhnya kejang.
Di belakang penjahat she In ini mengikut si penjahat she
Coan. la kaget bukan main. Ia menduga Hoa Hui menyerang
dengan jarum beracun. Tanpa memutar tubuh lagi, ia
merayap mundur.
Menyaksikan itu, Hoa Hui menghela napas.
"Jikalau ilmu silatku tidak ludas, baru lima penjahat
semacam mereka ini tidak ada artinya sama sekali..." katanya
menyesal. "Hari ini aku menang cuma sebab aku mempunyai
kedudukan yang baik."
Bun Siu heran. Bukankah orang jago Selatan, yang
tangannya lihai" Kenapa empee ini menyingkir dari lima
penjahat itu dan sekarang bekerja sembunyi tangan"
"Empee Hoa," katanya, "karena kau lagi sakit, kau tidak
dapat bersilat. Benarkah?"
"Bukan, bukan," menyahut orang yang ditanya. "Yang
benar ialah aku telah mengangkat sumpah berat, kecuali di
saat mati atau hidup, aku tidak dapat sembarang menggunai
ilmu silatku..."
Bun Siu heran sekali. Tadi empee mengatakan ilmu silatnya
ludas, sekarang dia menyebut-nyebut sumpah berat. Karena
orang sungkan bicara, ia tidak mau menanyakan pula.
Hoa Hui rupanya merasa keterangannya bertentangan, ia
menyimpanginya. Katanya: "Kau tahu kenapa aku menyuruh
kau menikam punggungnya si penjahat" Selagi dia masuk, dia
mengutamakan perhatiannya ke depan. Kau tidak mengerti
ilmu silat, dengan menyerang dari depan, kau tidak bakal
memperoleh hasil. Maka aku sengaja menarik perhatiannya
itu, supaya kau bisa menikamnya dengan berhasil."
"Bagus akal empee!" memuji si nona mengangguk.
Hoa Hui tidak membilang apa-apa, hanya dari sakunya ia
mengeluarkan sebungkus manisan semangka kering, yang
mana ia angsurkan kepada si nona.
"Kau daharlah dulu," katanya. "Dua penjahat itu tidak nanti
berani lantas masuk pula, akan tetapi kita juga tidak bisa
lantas keluar dari sini. Biarlah aku memikirkan akal untuk
membinasakan mereka dua-duanya. Kalau mereka terbunuh
cuma satu, yang lainnya dapat pergi memberi kabar pada
kawan-kawannya. Jikalau mereka datang dalam jumlah besar,
itulah berbahaya."
Bun Siu menganggap orang bicara tepat, karena itu, ia
menurut saja. Ia makan semangkanya. Habis itu, ia
beristirahat sambil menyender di batu yang seperti tembok.
Berselang dua jam, Hoa Hui dapat mencium bau barang
hangus, lantas dia batuk-batuk.
"Celaka!" ia berseru, kaget. "Penjahat menggunai api untuk
mempuput kita, agar kita mati karena asap. Lekas tutup mulut
terowongan!"
Bun Siu mengerti, ia menginsafi bahaya, maka ia lantas
bekerja. Ia mengambil batu dan pasir, guna menyumbat mulut
terowongan itu. Karena mulut terowongan kecil, tidak lama
gangguan asap berkurang. Pula, karena lebarnya tempat di
mana mereka berada, begitu masuk, asap lantas buyar. Itulah
menandakan, gua itu mempunyai lain jalan keluar.
Dengan begitu, sang tempo berlalu tanpa kejadian sesuatu.
Bun Siu melihat sinar matahari dari bagian belakang gua, ia
menduga itu waktu sudah tengah hari.
Tiba-tiba Nona Lie menjadi kaget. Tidak keruan-keruan,
Hoa Hui menjerit sendirinya, terus tubuhnya roboh, kaki
tangannya digerak-geraki kalang-kabutan. Dalam kagetnya, ia
ingat untuk menolongi. Maka ia
menghampirkan, untuk mengurut-urut dan menepuk-nepuk
pula seperti yang pertama kali.
Lewat beberapa saat, penderitaan Hoa Hui menjadi
kurangan. "Nona..." katanya, "kali ini mungkin aku tidak dapat
bertahan lagi..."
"Jangan memikir yang tidak-tidak, empee," Bun Siu
menghibur. "Kita bertemu sama orang jahat, empee jadi
menggunai tenaga terlalu besar. Baik empee beristirahat,
sebentar kesehatanmu akan pulih."
"Tidak, tidak bisa..." kata Hoa Hui. "Biar aku omong terusterang.
Sebenarnya jalan darah punggungku telah terkena...
telah terkena jarum berbisa!..." Bun Siu kaget. "Ah, terkena
jarum berbisa?" ia mengulangi. "Kapankah terkenanya"
Apakah tadi?"
"Bukan," menjawab jago Selatan itu. "Aku terkena pada
dua puluh tahun dulu..."
Kembali Bun Siu kaget, sekarang saking heran.
"Adakah itu jarum beracun yang selihai ini?" ia tanya.
"Benar. Hanyalah karena tenaga dalamku mahir,
bekerjanya racun menjadi perlahan sekali. Aku pun telah
makan obat untuk melawannya, hingga aku dapat hidup
sampai hari ini. Hanya kali ini, aku tidak dapat bertahan terus.
Karena di tubuhku telah nancap jarum berbisa itu, maka
selama dua puluh tahun, setiap tengah hari aku mesti
menderita kesakitan hebat seperti ini. Kalau tahu begini, lebih
baik aku tidak makan obat pemunahnya... Apakah gunanya
menahan sakit sampai dua puluh tahun?"
Mendengar itu, Bun Siu pun ingat suatu hal. Coba pada
sepuluh tahun yang lampau ia pun turut ayah dan ibunya
mati, tentulah tak usah ia menderita sekian lama. Ya, apakah
faedahnya hidupnya bersengsara ini"
Hoa Hui menggertak gigi, melawan rasa nyerinya itu.
"Empee," kata Bun Siu, "apa tidak baik kau cabut saja
jarum di tubuhmu itu, mungkin kau tidak usah menderita lebih
lama pula?"
"Ngaco!" mendadak si empee membentak. "Bukankah siapa
pun dapat mengatakannya demikian" Tapi aku berada
sebatang kara di gunung ini, siapakah yang dapat menolongi
aku mencabutnya" Lagi pula, siapa yang datang kemari, dia
tidak mengandung maksud baik! Hm!"
Bun Siu melengak, ia heran bukan main. Tanyanya dalam
hatinya: "Kenapa dia tidak mau pergi mencari pertolongan
tabib" Mengapa ia tinggal bersendirian di gunung belukar dan
sunyi ini sampai sepuluh tahun" Apakah maksudnya" Mengapa


Kuda Putih Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk memakai obat dia mesti main sembunyi-sembunyi?"
Biarnya orang mencurigai dia, nona ini tetap merasa
berkasihan. "Empee," katanya pula, "mari kasih aku mencoba. Kau
jangan takut, aku tidak nanti mencelakai kau."
Hoa Hui mengawasi, keningnya mengkerut. Ia agaknya
berpikir banyak tetapi tetap ia tidak dapat mengambil
keputusan. Bun Siu mencabut jarum beracun dari ujung tongkat, untuk
dipulangi. "Mari kasih aku melihat luka di punggungmu itu," katanya
pula. "Jikalau aku mengandung maksud jahat, kau tusuklah
aku dengan jarummu ini!"
Hoa Hui mengawasi tajam. "Baiklah!" akhirnya ia kata. Dan
ia lantas membuka bajunya, untuk memperlihatkan
punggungnya. Mengawasi punggung orang itu, Bun Siu mengeluarkan
seruan perlahan, la menampak banyak sekali titik hitam, tanda
luka. Entah berapa ratus jumlahnya titik itu.
Hoa Hui rupanya dapat menduga apa yang si nona pikir, ia
kata: "Aku telah menggunai segala macam daya, aku tetap
tidak dapat mencabut semua jarum itu."
Lukanya Itcie Cin Thianlam ini disebabkan kecuali jarum
juga bekas terkena batu tajam, bekas digaruk. Bun Siu tidak
mengenali, yang mana ada jarumnya yang berbisa. Ia ngeri,
terharu dan bingung.
"Sebenarnya di mana jarum itu nancapnya?" akhirnya ia
tanya. "Semuanya tiga batang," Hoa Hui menjawab. "Yang satu
dijalan darah pekhu hiat, satu lagi di jalan darah ciesit hiat,
dan yang ketiga ialah di jalan darah ceyang hiat..."
Sembari berkata begitu, ia mengusap ke punggungnya,
untuk menjelaskan ketiga jalan darah itu. Benar-benar sulit
untuk mengetahui bekas tusukan jarum itu. Bun Siu terkejut.
"Semuanya tiga batang?" katanya. "Empee bilang satu..."
Kembali Hoa Hui gusar, ia membentak: "Mulanya kau tidak
menyebut hendak mencabut jarum itu! Buat apa aku omong
terus terang padamu?"
Bun Siu mengerti kenapa orang mendusta, tiga batang
dikatakan satu. Teranglah ia telah dicurigai keras sekali.
Rupanya dia terkena tiga batang, karenanya kepandaian
silatnya ludas, lalu dia membohong bersumpah tak sudi
sembarangan menggunai ilmu silatnya. Ia tidak suka cara
orang ini tetapi ia berkasihan, ingin ia memberikan
pertolongannya. Maka ia tidak memperdulikan sikap kasar dan
aneh itu. Ia sekarang memikirkan daya untuk mencabut ketiga
batang jarum itu.
"Apakah kau telah dapat melihatnya?" Hoa Hui tanya.
"Aku tidak melihat gagangnya jarum, empee. Bagaimana
itu harus dicabutnya?"
"Seharusnya digunai senjata tajam memotong dagingnya,
baru jarum itu dapat dilihat. Jarum itu telah masuk beberapa
dim, memang sukar untuk melihatnya..."
Kata-kata yang belakangan dikeluarkan dengan sedikit
gemetar. "Sayang aku tidak punya pisau kecil," kata si nona.
"Aku juga tidak punya... Eh, itu golok panjang!" ia
menunjuk ke tanah. "Kau pakai itu saja!"
Golok itu tajam dan mengkilap, terletak melintang di
samping tubuhnya si penjahat she In. Si penyamun sudah
mati, goloknya masih ada, golok itu mendatangkan rasa jeri.
Bun Siu pun bersangsi untuk memakai golok itu.
Hoa Hui mengawasi, ia bisa menerka kesangsian si nona,
lalu ia kata perlahan dan sabar: "Nona Lie, asal kau menolongi
aku mencabut semua jarum itu, akan aku menghadiahkan kau
banyak barang permata. Tidak nanti aku memperdayakan kau.
Benar-benar aku mempunyai banyak sekali permata!"
"Aku tidak menghendaki barang permata, aku pun tidak
ingin ucapan terima kasihmu," menyahut Bun Siu. "Asal kau
tidak merasa sakit, itu sudah cukup untukku."
"Baiklah kalau begitu!" kata Hoa Hui. "Sekarang kau boleh
mulai!" Bun Siu mengambil golok itu.
"Empee," katanya, "aku akan perbuat apa yang aku bisa,
harap kau menahan sakit."
Lantas nona ini memotong-motong bajunya si penyamun
she In, untuk membuat juiran-juiran, guna nanti dipakai
menepas darah dan membalut, setelah itu, lebih dulu ia
memperhatikan jalan darah pekhu hiat, lalu dia mulai bekerja.
Ketika kulit dan daging Hoa Hui dipotong, darahnya lantas
mengalir keluar.
Hoa Hui tidak kesakitan, mengeluh pun tidak.
"Sudah kelihatan?" bahkan dia menanya.
Bun Siu tidak lantas menyahuti, ia mencabut tusuk
kondenya, guna memakai itu untuk mencari jarum. Selang
sejenak, ia berhasil. Jarum itu telah nancap ke tulang. Maka ia
lantas memakai dua jari tangannya, akan menjepit gagang
jarum, buat terus menariknya.
Hoa Hui menjerit, dia pingsan. Bun Siu tidak heran atau
kaget, bahkan itu ada baiknya, untuk mengurangi rasa nyeri
orang, la menggunai ketika baik ini untuk lekas-lekas
membelek lagi dua kali, untuk mencabut dua batang jarum
lainnya. Maka tak lama, selesailah ia. Terus ia membalut lukaluka
itu. Selang sekian lama, Hoa Hui tersadar perlahan-lahan. Ia
membuka matanya. Lantas ia melihat tiga batang jarum, yang
hitam warnanya, la tahu itulah jarum beracun, yang telah
menyiksa padanya. Maka ia kata sengit pada jarum itu: "Dua
belas tahun lamanya kamu mengeram di dalam dagingku,
baru hari ini kamu keluar!" Terus ia menghadapi Bun Siu, akan
berkata: "Nona Lie, kau telah menolongku, aku tidak dapat
membalas budimu, maka ini tiga batang jarum aku haturkan
kepadamu. Jangan kau mencela karena jarum ini telah dua
belas tahun terpendam di dalam tubuhku, sebenarnya
racunnya tidak menjadi berkurang."
Bun Siu menggeleng kepala. "Aku tidak menghendaki itu,"
bilangnya. Hoa Hui heran. "Bukankah kau telah menyaksikannya
sendiri lihainya jarum ini?" katanya. "Dengan kau mempunyai
sebatang saja dari jarum ini, orang sudah jeri bukan main
terhadapmu."
"Aku tidak menginginkan lain orang takut padaku," kata si
nona perlahan. Di dalam hatinya, ia pikir: "Asal orang
menyukai aku, itulah terlebih baik daripada jarum ini..."
Hoa Hui berdiam. Karena ia mengeluarkan banyak darah
bekas dibelek dagingnya ia menjadi lemah, akan tetapi
sebaliknya, ia merasa lega, semangatnya terbangun. Ia lantas
merapatkan matanya, untuk beristirahat, untuk tidur. Kira satu
jam kemudian, ia mendusin dengan kaget. Ia mendengar
suara berisik, dari cacian dan teriakan berulang-ulang di luar
gua. Itulah suaranya si penyamun she Song, yang rupanya
telah datang pula.
Ia mengeluarkan kata-kata kotor, untuk alamatnya Bun Siu
dan Hoa Hui. Ia tidak berani lancang masuk, ia sengaja
memancing agar orang menjadi panas hatinya dan keluar.
Hoa Hui berbangkit dengan hatinya panas.
"Jarum di tubuhku telah dicabut keluar, orang mengira aku
takut!" katanya mendongkol. Akan tetapi ketika ia
mengerahkan tenaganya, ia gagal. Ia masih terlalu lemah. Ia
menghela napas. Ia kata: "Sudah terlalu lama jarum
mengeram di dalam tubuhku, agaknya dengan beristirahat
tiga empat bulan, belum tentukesehatan dan tenagaku pulih
kembali..."
Di luar, si Song masih saja memuntahkan kata-katanya
yang kotor. Berulangkali dia mendamprat: "Bangsat tua!
Bangsat tua bangka!"
Dalam panasnya, Hoa Hui kata: "Apakah aku mesti menanti
kau mencaci aku sampai empat bulan lamanya?" Lantas ia
mendapat satu pikiran. Maka ia kata pada Bun Siu: "Nona Lie,
mari aku ajarkan kau ilmu silat, lantas kau keluar, kau hajar
binatang itu!"
"Berapa lama aku mesti meyakinkannya untuk aku bisa
menggunainya?" Bun Siu tanya. "Toh tidak dapat terlalu lekas,
bukan?" "Jikalau aku mengajarkan kau ilmu jari tanganku, untuk
menotok," menjawab Hoa Hui, "atau lainnya ilmu seperti
tangan kosong atau golok, sedikitnya kau membutuhkan
tempo setengah tahun, tetapi sekarang temponya mendesak,
kau harus belajar dengan cepat. Untuk ini ada jalannya
Hati Budha Tangan Berbisa 3 Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Bara Naga 8
^