Pencarian

Kuda Putih 3

Kuda Putih Karya Okt Bagian 3


sembari jalan dia mengoceh: "Memeriksa saja
tak hentinya! Di sini di mana ada si bungkuk unta?"
Supu di lain bagian telah menyembunyikan diri, ia mepet di
tembok di belakang pintu, membiarkan rombongan si Sin itu
lewat. Ia tiba di dalam istana rahasia itu di saat yang tepat
Beruntung untuknya, si Sin tidak bercuriga bahwa di belakang
pintu ada yang bersembunyi, mereka itu lewat terus sambil
membawa obor sebagai alat penerangan.
Supu lantas mendengar pula suaranya Tat Hian: "Si tua
bangka bungkuk tetaplah seorang tua bangka, orang yang aku
kualirkan ialah si orang Kazakh.-"
Supu jadi sangat ketarik, hingga ia memasang kuping
dengan perhatian sepenuhnya.
"Mereka itu terdiri dari lima orang, mereka telah mengikuti
jejak tapak kakiku," si orang she Tan melanjuti. "Entah
kenapa, dua di antaranya, dua orang,.pria yang telah berusia
lanjut, telah kedapatan mati di dalam istana ini..."
Sebenarnya Supu mau menduga Cherku dibinasakan Tat
Hian, tetapi mendengar perkataan ini, penyamun itu tidak
dapat diterka. Maka itu, siapakah pembunuhnya Cherku"
Hok Goan Liong tertawa, "Mereka itu telah melihat harta
karun ini, tidaklah aneh jikalau mereka jadi mata gelap dan
saling bunuh," katanya. "Itu pun masuk akal."
"Yang aku paling kuatirkan," kata pula Tat Hian, "ialah itu
tiga muda-mudi anjing Kazakh... Kalau mereka pulang kepada
bangsanya, bisa jadi mereka bakal datang pula dalam satu
pasukan besar untuk mengangkut semua harta karun ini..."
Mendadak Goan Liong berjingkrak bangun.
"Shatee, kau benari" serunya. "Sebetulnya mereka itu
bertiga harus bekerja diam-diam mengangkut harta ini, tetapi
mereka muda dan tolol, memang mungkin mereka
memberitahukannya kepada bangsanya. Taruh kata mereka
berdiam-diam saja, di belakang hari, rahasia mereka itu bakal
bocor sendirinya. Sekarang, shatee, bagaimana pikiranmu?"
"Telah lama aku pikirkan itu, aku masih belum berhasil
memperoleh jalannya yang sempurna," menyahut Tat Hian.
"Mereka berjumlah banyakan, jumlah kita kecil sekali, jikalau
kita melawan bertempur, sulit untuk kita memperoleh
kemenangan. Aku pikir, paling benar ialah kita yang turun
tangan terlebih dahulu..."
"Bagaimana itu?"
"Secara diam-diam kita menyateroni ke tempat mereka.
Kita menyerang sambil membakar..."
Perkataannya Tat Hian berhenti secara mendadak.
Kebetulan sekali, mereka mendengar jeritan nyaring, yang
nadanya menyayatkan. Keduanya kaget dan heran, keduanya
lantas menyiapkan senjatanya masing-masing. Segera setelah
itu, mereka mendengar tindakan kaki berlari-lari, disusul
munculnya seorang sebawahannya, yang terus melaporkan:
"Toa... toapiauwtauw dan sampiauwtauw, Lao Sin jatuh
kecemplung!..."
"Jatuh kecemplung?" tanya Goan Liong heran.
"Benar. Lao Sin kena injak perangkap, dia terjeblos jatuh
dalam..." Tat Hian mengangguk. "Di dalam istana rahasia ini ada
perangkapnya, inilah tidak aneh," katanya. "Mari kita pergi
melihat!" Goan Liong setuju, maka berdua mereka pergi. Si pelapor
jalan di muka sebagai penunjuk, yang lainnya mengikuti
Mereka melintasi delapan kamar, sampai di sebuah yang
lain di mana berkumpul semua kawan, yang ribut bicara satu
dengan lain, mata mereka melongok ke lantai, roman mereka
tegang. Di lantai ada sebuah liang besar luas setombak,
tempo disuluhkan, di dalam liang itu tidak nampak apa-apa
saking gelap dan dalam. Jadi itulah liang seperti tanpa dasar.
"Tadi Lao Sin jalan di muka," seorang memberi keterangan,
"mendadak dia terjeblos dan kecemplung..."
Tat Hian melongok ke liang perangkap.
"Lao Sin! Lao Sin!" ia memanggil-manggil.
Tidak ada jawaban kecuali jawaban sang kumandang dari
dalam liang itu.
Tat Hian memandang Goan Liong, Goan Liong mengawasi
padanya, hati mereka sama-sama bekerja. Dengan sendirinya
mereka merasa jeri.
"Di dalam istana ini disimpan harta besar, pantas kalau
perangkap dipasang untuk menjaga gangguan pencuri," kata
Tat Hian kemudian. "Mungkin masih ada perangkap lainnya
lagi, maka itu selanjurnya kita harus berhati-hati."
Goan Liong tidak bilang suatu apa hanya ia memandang
satu tauwbak she Pit
"Lao Pit," katanya, "coba kau ikat tubuhmu dengan dadung,
lalu kau turun, untuk lihat Lao Sin, untuk mencoba menolongi
dia." Tauwbak itu berdiam, wajahnya menunjuk kesangsiannya.
Ia rupanya jeri memasuki liang itu, yang tak ketahuan
dasarnya. "Apa" Apakah kau tidak dengar?" tanya Goan Liong,
wajannya suram.
"Toapiauwtauw," sahut si tauwbak. "Si Sin terjeblos lama
juga, suaranya tidak ada sama sekali, tentu dia sudah mati..."
"Tapi aku menyuruh kau turun untuk melihat, untuk
menolongi kalau perlu!" kata pemimpin itu, gusar. "Kalau
benar dia sudah mati, mayatnya harus diangkat."
"Apakah artinya kalau dia mati?" tauwbak ita tanya sambil
tertawa. "Untuk kita, matinya satu orang berarti kurangnya
satu orang, dan itu berarti juga kurangnya bagiannya satu
orang atau berarti kita mendapat bagian lebih banyak..."
Hok Goan Liong tertawa, ia mengangguk.
"Kau benar!" bilangnya. "Mati satu orang berarti kurang
satu orang!..."
Mendadak tangannya pemimpin ini melayang, dengan satu
suara nyaring, tubuh si Pit terpelanting, jatuh ke dalam liang
perangkap! Bukan main si Pit merasakan sakit dan kaget, dia menjerit
keras, tangannya menjambret, guna menolong dirinya. Ia
tidak herhasil memegang dadung, yang melongsor turun di
pinggiran liang itu, dengan tangannya merosot, tubuhnya
turun terus. Karena tertarik, dadung itu membikin tembokan
tergerak dan gempur.
Tat Hian kaget sekali, tetapi ia masih ingat untuk
membabat ke arah dadung, hingga tembokan tidak tertarik
terus, tidak turut gempur semuanya. Cuma tubuhnya si Pit,
yang tak tertahan lagi jatuhnya.
Semua orang kaget hingga mereka melongo.
"Sungguh berbahaya! Sungguh berbahaya!" kata beberapa
orang. "Syukur sampiauwtauw sebat, kalau tidak, kita bisa roboh
semua dan keunikan pasir!"
Tat Hian tidak membilang apa-apa hanya lantas ia
memeriksa liang perangkap itu. la mendapatkan sebuah
gelang, ketika ia menarik itu, papan batu jebakannya
bergerak, naik sendirinya, hingga liang jadi tertutup pula
seperti biasa, lenyap tanda-tandanya perangkap itu.
"Sungguh pandai orang yang memasang perangkap ini!"
Goan Liong memuji. Dia seperti ingat lagi bahwa baru saja dia
menghukum satu tauwbak-nya. "Kalau begini, pasti sudah si
tua bungkuk itu telah mati di dalam istana ini, jadi tidak usah
kita mencari dia terlebih jauh!"
Ia lantas mengajak semua orang kembali ke ruang kamar
tadi "Toako, di luar dugaan kita menemui istana ini, itu artinya
untung kita," kata Tat Hian. "Sekarang kita pun mendapatkan
liang perangkap itu, maka aku pikir, kalau benar orang-orang
Kazakh datang kemari, baik kita jebak mereka di liang
perangkap itu. Aku percaya, seratus atau dua ratus musuh
tidak ada artinya untuk kita..."
Goan Liong bertepuk tangan.
"Bagus!" serunya. "Ya, kita jebak mereka! Datang satu mati
satu, datang dua mati sepasang!"
Supu bergidik. Ia telah mendengar dan melibat semua. Ia
menjadi ingat kepada Aman. Nona itu tentu bakal mengajak
orang-orang bangsanya datang ke istana ini untuk mengambil
harta karun. Kalau mereka datang, mereka pasti akan
terancam bahaya besar. Dapatkah ia berdiam saja" Tidak,
ia mesti cegah mereka itu-ia mesti menolongi mereka!
Maka tanpa ragu-ragu lagi, diam-diam ia berjalan keluar
dari istana itu.
Ia mau melakukan perjalanan pulang, guna memegat
rombongannya Aman, untuk memperingati mereka itu dari
bahaya yang mengancam mereka. Tengah ia berjalan itu,
mendadak ia mendengar bentakan: "Siapa kau?" Bentakan itu
disusul sama satu bacokan ke arah kepala.
Dalam kagetnya, Supu lompat berkelit- Ia tidak menjawab
hanya lari terus.
Masih ada seorang lain yang merintangi pemuda ini Dia
melihat si pemuda, si pemuda sebaliknya tidak. Dia muncul
dengan mendadak, tanpa bersuara, dia menyerang dengan
kakinya dia menyapu. Supu tidak berdaya lagi, ia roboh. Tapi,
ketika dia ditubruk, untuk dibekuk, ia ingat membela diri,
maka ia lantas menyambut! dengan tikaman. Orang itu tidak
menyangka, dia tidak bisa menangkis atau berkelit.
Cuma sekali dia menjerit keras, lantas tubuhnya roboh,
jiwanya melayang. Hanyalah Supu, tidak dapat ia meloloskan
diri. Belum lagi ia sempat berlompat bangun, sebatang golok
sudah ditempelkan ke batang lehernya.
"Jangan bergerak!" demikian ia mendengar ancaman.
Selagi tengkurap, Supu tidak bisa melihat siapa orang itu.
Ia terpaksa berdiam saja sambil mendekam. Orang itu
sebaliknya mengawasi kepada kawannya, waktu dia mendapat
kenyataan si kawan telah terbinasa, dia menjadi gusar, dia
lantas mengayun goloknya kepada lehernya si pemuda
Selagi Supu tidak berdaya dan tangan orang itu terayun, di
situ terlihat menyambarnya barang putih berkilauan, barang
mana ?" serupa pedang kecil menancap di dada si
pengancam itu, hingga dia menjerit dan roboh terjengkang,
goloknya terlepas, jatuh di tanah.
Baru sekarang Supu, yang merasa heran, dapat berlompat
bangun. Ia mendapat kenyataan pedang pendek itu nancap di
dada dan merampas jiwa kurbannya. Ia menjadi heran. Ia
menduga-duga, siapa penolongnya itu. Selagi ia berdiam,
seorang nona muncul dari belakang pepohonan, nona itu
lantas mengambil pedang pendek itu dari dada si penjahat,
terus darahnya disusuri.
Melihat nona itu, Supu terkejut berbareng girang.
"Nona Kang" serunya. "Terima kasih untuk
pertolonganmu."
Nona itu Bun Siu adanya. Dia bersenyum. Lantas dia
menggusur mayatnya kedua penjahat itu, di lelaki saling
berhadapan, tangan mereka dibikin masing-masing mencekal
pisau belati, pisau mana saling nancap di dada mereka.
Dengan begitu nampak mereka seperti saling menikam.
"Bagusi" berseru Supu memuji. Ia dapat membade maksud
si nona. "Kalau kawan mereka ini mendapati mereka, mereka
itu bisa menyangka mereka saling bunuh. Nona Kang,
setindak saja kau datang lambat, tentulah aku sudah
bercelaka..."
Di dalam hatinya, Bun Siu tertawa
"Kau mana tahu yang aku senantiasa mengintil di
belakangmu" Mana bisa menjadi aku datang terlambat?"
Memang benar Nona Lie senantiasa menguntit Supu
semenjak mereka ke luar dari istana rahasia. Kalau Supu
mengikuti Aman, untuk menghadap tertua mereka, ia diamdiam
menghilang, untuk di lain saat menjadi seperti bayangan
si anak muda. Begitulah ia mendapat tahu Supu diusir, lalu
Supu pergi tanpa tujuan, sampai orang menuju ke istana
rahasia itu. Supu mendengar dan melihat aksinya Tan Tat
Hian semua, Bun Siu sebaliknya melihat gerak-geriknya itu. la
lihai ilmunya enteng tubuh, sedang Supu melainkan seorang
kuat di antara pemuda-pemuda Kazakh.
"Sekarang mari kita lekas pergi," kata Bun Siu kemudian.
"Kalau musuh keluar semua, tidak dapat kita melawan
mereka." Supu pun insaf akan bahaya, maka ia menurut. Lebih dulu
mereka masuk ke pepohonan lebat, dari situ mereka berjalan
pulang. Di sepanjang jalan, Supu memberi keterangan dari
halnya dia telah diusir dari kaumnya.
"Nona Kang, benar-benar Cherku bukan dibunuh olehku,"
kemudian ia memberi kepastian, "kecuali saking gusar dan
bersusah hati, aku membunuhnya di luar tahuku..."
Bun Siu kenal pemuda ini semenjak masih kecil, ia percaya
kejujurannya, hanya pembunuhan terhadap Cherku memang
aneh sekali. Di dalam istana itu tidak ada lain orang. Ialah
yang mengunci pintu. Kalau si pembunuh bukan Supu, habis
siapa" Tidak mungkin Aman membunuh ayahnya.
"Benarkah Aman membunuh ayahnya sendiri?" ia tanya
dirinya. Ia menggigil kalau ia membayangi benar-benar Aman
berbuat demikian. "Tapi tidak, itulah tak dapat! Hanya, benar
juga di dalam dunia suka terjadi hal yang luar biasa sekali...
Sekarang satu dalam dunia, Supu jujur atau Aman si
pembunuh..."
Perjalanan mereka berdua di lanjuti. Sekarang mereka
berada di jalan berpasir yang penuh salju. Mereka berjalan
dengan merendengi kuda mereka. Inilah saat yang Bun Siu
mengharap-harapnya. Ia merasa senang berbareng berduka.
Supu sebaliknya senantiasa mengingat Aman, kalau ia
membuka mulut, nama Aman adalah yang dibuat sebutan.
Demikian katanya: "Kalau Aman membawa orang-orang
bangsanya datang mengambil harta, mereka pasti bakal
bercelaka di tangan kawanan penyamun yang licin itu, maka
itu, nona Kang, mesti aku bicara dengan mereka, untuk
memberi keterangan. Aman harus dikisiki."
"Benar. Dia mesti dipesan untuk waspada," Bun Siu bilang-
Supu mengangguk. "Nona Kang," katanya pula selang sesaat,
"benar-benar bukan aku yang membunuh Cherku, maka itu
tolong kau pikirkan jalan untukku dapat akur pula dengan
Aman..." Ia menjambak rambutnya saking masgul. Ia
menambahkan: "Kalau aku menemukan Aman, mungkin dia membunuh
aku, kalau tidak, mungkin aku tidak bakal hidup lebih lama
pula..."

Kuda Putih Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sabar saja," kata Nona Lie. "Mungkin kau dapat
melupakan dia. Kau tahu, duluhari, semasa aku masih kecil,
aku sangat menyukai satu anak laki-laki. Sayang kemudian dia
tidak mernperdulikan aku, hingga aku jadi bersusah hari,
hingga aku menyesal tidak dapat aku mati saja. Selewatnya
beberapa tahun, aku lantas tidak memikir pula untuk mati..."
"Kalau begitu, anak laki-laki itu satu telur busuk!" kata
Supu. "Kaulah satu nona yang baik sekali, mengapa dia tidak
mempedulikanmu?" . Bun Siu menggeleng kepala. "Bukan,
anak itu bukan telur busuk," katanya. "Adalah ayahnya yang
melarang aku menemuinya."
"Ah, kalau begitu, ayahnya itulah si manusia tolol dungu!"
kata Supu pula. Ia mengawasi si nona, ia menambahkan:
"Ayahku adalah seorang ayah yang baik, dia senang dengan
Aman, dia mengharap-harap aku menikah Aman, maka" "
ah ?" sayang sekali, Cherku telah membunuh ayahku..." Bun
Siu pun mengawasi. "Kalau semenjak sekarang kau tidak
melihat lagi Aman, mungkin kau dapat melupai dia," katanya,
suaranya rada bergemetar. "Dan mungkin kau akan bertemu
seorang nona lain yang cantik..."
"Tidak, untuk selamanya tidak dapat aku melupakan
Aman!" kata Supu, tegas. "Lain nona cantik tidak ada di
mataku!" Ia berhenti sebentar, lalu ia tertawa. Ia menyesal
ketika ia berkata: "Kaulah penolongku, terhadapmu aku
sangat bersyukur. Pula aku sangat menghormati kau!"
Bun Siu berdiam, hatinya bekerja.
Magrib itu mereka singgah, untuk masing-masing menggali
salju dan pasir, untuk menempatkan diri melewati sang malam
Di antara kedua liang, mereka menyalakan unggun. Di atas
mereka terlihat langit yang biru dengan bintang-bintangnya
berkelak-kelik. Angin mendesir-desir, membuat salju
beterbangan. Kebetulan ada dua lempengan salju yang terbang
berbareng, sambil menunjuk itu Bun Siu kata: "Kau lihat,
bukankah itu mirip sepasang kupu-kupu?"
"Ya, mirip sekali," menyahut Supu. "Sudah lama, lama
sekali, ada seorang nona Han yang mendongeng kepadaku
tentang seorang pemuda Han nama Nio San Pek serta seorang
nona Han nama Ciok Eng Tay, bahwa mereka itu berdua
bersahabat kekal satu pada lain, hanya kemudian ternyata,
ayahnya Eng Tay melarang anaknya menikah sama San Pek.
Atas itu, San Pek menjadi sangat berduka, dia jatuh sakit dan
mati karenanya. Pada suatu hari Ciok Eng Tay lewat di tempat
pekuburannya Nio San Pek, dia mampir, dia menangis di
kuburan itu..."
Mendengar itu, Bun Siu membayangi kejadian pada kirakira
sembilan tahun yang lalu: Itu waktu di sebuah bukit kecil
ada berduduk berendeng sepasang muda-mudi cilik, sambil
menilik kambing mereka, mereka memasang omong. Si
pemudi bercerita, si pemuda, mendengari. Bercerita sampai di
bagian yang menarik hati, mata si pemudi mengembang air,
wajah si pemuda berduka. Sekarang Bun Siu tahu, si pemuda
adalah Supu di depannya ini, Supu sebaliknya menganggap si
pemudi telah meninggal dunia...
"Ciok Eng Tay mendekam di kuburan itu, dia menangis
sedih sekali," Supu melanjuti ceritanya. "Mendadak kuburan
itu melekah, lantas Eng Tay lompat masuk ke dalamnya.
Setelah itu, Nio San Pek dan Ciok Eng Tay tercipta menjadi
sepasang kupu-kupu, dan untuk selanjutnya mereka tidak
pernah berpisah lagi."
"Ceritamu ini menarik hati," kata Bun Siu "Sekarang mana
si nona yang bercerita padamu itu" Ke mana dia perginya?"
"Dia telah meninggal dunia. Itu sapu tangan dengan peta
istana rahasia adalah sapu tangan yang dipakai membalut
lukaku." "Apakah kau masih ingat dia?"
"Tentu saja. Aku sering memikirkannya!*'
"Kenapa kau tidak pergi menjenguk kuburannya?"
"Aku akan pergi melihatnya nanti setelah aku dapat
mencari si orang tua bungkuk itu. Aku hendak mengajak dia
bersama." "Umpama kata kuburannya itu melekah, dapatkah kau
lompat masuk ke dalamnya?"
Supu tertawa. "Cerita itu ialah dongeng, itu bukan kejadian yang benar."
"Umpama kata nona itu sangat memikirkan kau dan dia
mengharapi siang dan malam untuk kau senantiasa menemui
dia, karena mana benar-benar terjadi kuburannya melekah,
maukah kau melompatnya untuk dapat menemani dia?"
Supu menghela napas.
"Tidak," sahurnya, jujur.
"Nona itu melainkan sahabat eratku semasa masih kecil,
sedang aku sendiri, selama hidupku ini, aku cuma mengharapi
Aman yang senantiasa menemani aku."
Bun Siu menanya terlebih jauh. la telah menemui jawaban
yang ia harap-harap. Kalau ia menanya terus, mungkin ia akan
jadi sangat bersusah hati.
Dalam kesunyian itu, tiba-tiba seekor burung malam nilam
mengasih dengar suaranyasuara
yang menggiurkan tetapi juga menyedihkan.
"Duluhari itu aku suka menangkap burung nilam untuk
dibuat main hingga dia mati," berkata Supu, "akan tetapi
setelah aku bertemu sama nona itu, aku dapat menyingkirkan
kebiasaanku itu. Si nona sangat menyukai burung nilam,
waktu aku menangkapnya seekor, ia mengasihkan aku gelang
kumala asal aku melepaskan burung itu. Sejak itu aku talak
menangkap lagi burung, hanya aku terus mendengari
suaranya setiap malam Kau dengar, tidakkah lagunya sangat
menarik hati?" Bun Siu agak terkejut "Bagaimana dengan
gelang kumala itu?" ia tanya. "Apakah itu masih ada padamu?"
"Itulah kejadian sudah lama. Gelang itu telah pecah, sudah
hilang." "Ya, itu kejadian sudah lama, gelang itu telah pecah, sudah
hilang..." katanya, mengulangi Sang burung bernyanyi terus.
Supu tidur bermimpi, memimpikan Aman membujuk! ia agar ia
jangan masgul. Ketika ia sadar, ia kata pada kawannya: "Nona
Kang, aku mimpi bertemu Aman..."
Tapi ia tidak memperoleh jawaban. Si "Nona Kang" telah
tidak ada di dekatnya. Entah kapan perginya dia. Entah ke
mana perginya...
IX Supu mengawasi ke tempat tidurnya Bun Siu. Ia merasa si
nona aneh kelakuannya. Ia cuma heran, ia tidak memikirkan
lama. Lantas ia meraup salju, untuk mencuci mukanya, untuk
dimakan juga. Setelah itu ia naik kudanya dan pergi.
Kira-kira tengah hari, pemuda ini mendengar ramainya
tindakan kaki kuda. Ia menuntun kudanya mendekati bukit,
untuk melihat Ia mengawasi sampai ia melihat nyata. Itulah
rombongan orang-orang Tiehyen yang menjadi suku
bangsanya. Ia mengenali dari dandanan mereka. Mereka pada
membeka! senjata, jumlahnya lebih daripada tiga ratus jiwa.
Yang jalan di depan ada Aman serta tiga ketua mereka. Di
damping Aman masih ada seorang lain, satu pemuda, ialah
Sangszer. Setiap orang itu membawa kantung. Terang mereka
itu mau pergi ke istana rahasia untuk mengeduk harta karun.
"Syukur," pikir Supu, "coba aku tidak mendengar
pembicaraan kawanan penyamun itu, yang hendak menggurui
akal licin, pasti mereka ini akan terjebak semuanya ke dalam
liang perangkap..." Maka ia lantas lompat naik atas kudanya,
ia melarikannya untuk memapak! rombongan bangsanya itu.
Ia berteriak-teriak: "Aku Supu! Aku hendak bicara! Ada urusan
sangat penting!**
Si ketua yang kumisnya ubanan mengenali si anak muda, ia
menjadi gusar. "Supu" tegurnya, "apa maumu datang kemari" Tahukah
kau aturan kaum kita terhadap orang yang sudah diusir?"
Bangsa Kazakh ini bangsa penggembala yang tidak
ketentuan tempat kediamannya, mereka pergi ke mana
mereka suka, meski begitu, ke mana juga mereka pergi,
seorang bangsanya yang telah diusir tidak dapat menemui
mereka pula, dan orang itu juga tidak dapat bicara sama
mereka. Maka itu, perbuatan Supu ini melanggar aturan
mereka itu. "Aku hendak membicarakan urusan sangat penting," kata
Supu, membelai.
"Kau masih tidak mau lekas pergi?" si ketua menegur. "Asal
kau berani bicara lagi satu patah, aku akan menitahkan
melepaskan anak panah!" Ia lantas meneruskan kepada
Sangszer: "Siapkan panahmu!"
Sangszer menurut, ia laatas bersiap.
Tapi Supu tidak mau pergi, bahkan dia kaburkan kudanya
datang mendekati
"Aman!" katanya pada kekasihnya, "jangan kau pergi ke
istana rahasia! Berbahaya!"
Matanya si nona berlinang.
"Lekas kau pergi!" bilangnya. "Jangan kau bicara sama
aku!" Sementara itu Supu melihat ancaman anak-anak panah.
Tapi ia ingat baik-baik ancaman bahaya dari Hok Goan Liong.
Maka ia kata: "Aku mesti bicara denganmu!"
"Panah!".berseru si ketua, murka.
Sangszer lantas melepaskan cekatannya kepada tali
panahnya, yang telah ditarik sedari tadi.
Supu kaget. Tapi anak panah mengenai leher kuda tanpa
melukakan. Anak panah itu telah dibuang tajamnya.
"Supu, dengar!" kata pemuda itu. "Mengingat persahabatan
kita duluhari, panahku itu tidak ada kepalanya, tetapi jikalau
kau tetap tidak mau mendengar titahnya ketua kita, panahku
yang kedua tidak mengenal kasihan lagi!"
Dan ia menyiapkan anak panahnya yang kedua itu. Benar,
anak. panah ini berkepala tajam, kepala itu bersinar di cahaya
matahari. "Bapak ketua, istana rahasia berbahaya..." kata Supu. Dia
belum menutup mulurnya, atau si ketua telah memerintahkan:
"Panah!"
Menyusul itu beberapa batang anak panah menyambar ke
arah Supu, suaranya mengaung. Hanya semua itu lewat di
samping si anak muda. Inilah tanda, orang masih mengingat
sesama suku. Si ketua lantas menyiapkan panahnya, ketika ia hendak
memanah. Aman maju dengan kudanya, menghalang di
hadapannya. Nona ini berkata kepada Supu: "Supu, pergi
lekas! Kau telah membunuh ayahku, untuk selamanya tidak
dapat aku baik kembali denganmu!..."
Justru itu sebatang anak panah menyamber pundaknya
anak muda itu! Supu melihat bahwa ia telah tidak mempunyai harapan
pula, dengan terpaksa, ia kaburkan kudanya. Ia menahan
sakit, setelah mencabut anak panah di pundaknya itu, ia
membalut lukanya. Ia masih melihat tiga ratus lebih orangorang
bangsanya menuju ke arah istana rahasia. Ia pun
melihat Aman beberapa kali menoleh kepadanya, sinar
matanya menunjuk entah dia mencinta atau membenci,
berduka atau menyesal...
Sambil menungkuli rasa sakitnya, Supu berpikir. Dapatkah
ia membiarkan orang-orang bangsanya itu menempuh
bahaya" Di antara mereka itu banyak kawan-kawan akrabnya. Tidak
I Ia mengambil putusan. Maka setelah rasa nyerinya
berkurang, ia naik atas kudanya, untuk mengaburkannya,
guna menyusul rombongan bangsanya itu.
Hari ini Supu mesti mundar-mandir tetapi ia melupakan
letihnya. Sampai sore baru ia dapat singgah, sedikit jauh diluar
tendanya rombongan bangsanya itu. Ia tidak berani menemui
Aman atau lainnya orang. Demikian pula pada besoknya.
Hanya ia melombai mereka, hingga ia sampai terlebih dulu di
muka istana rahasia. Ia bersembunyi di antara pepohonan.
Dari magrib ia menunggu sampai tengah malam, baru ia
melihat rombongan bangsanya tiba. Terus saja, dengan
banyak berisik, rombongan itu masuk ke dalam gua. Ia
menguntit mereka Karena ia sudah kenal baik istana itu, ia
mengambil lain jalan.
Aman yang memimpin rombongannya Ia mengambil jalan
yang ia telah kenal. Setibanya di dalam, ia berduka, lenyap
kegembiraannya selama di tengah jalan. Di sini ia ingat
ayahnya, kebinasaan ayah itu serta ayah Supu, bagaimana
karenanya ia menjadi berpisah dari Supu.
"Supu cuma menakut-nakuti kita!" berkata si ketua selagi
mereka berjalan terus. "Katanya istana rahasia ini berbahaya,
buktinya di sini aman! Makin besar dia jadi makin tidak
keruan, sampai dia berani mendustai"
Mereka maju terus. Sesudah melewati beberapa kamar,
lantas mata semua orang menjadi silau. Di depan mereka
berserakan banyak emas, perak dan mutiara: Semua orang
menjadi heran dan kagum. Mereka girang luar biasa. Sesudah
tercengang sejenak, lantas semua bekerja, mengisikan
kantung bekalan mereka dengan semua barang berharga itu.
Tengah mereka itu bekerja, tiba-tiba pintu di samping
mereka terpentang, di situ muncul seorang Han dengan
tangan memegang golok panjang. Dia lantas membentak:
"Kawanan budak tidak tahu mampus! Kenapa kamu berani
memasuki istana ini dan mencuri hartaku" Lekas antari
jiwamu!" Orang-orang Kazakh itu menjadi kaget
"Berandal Han! Berandal Han!" mereka berteriak-teriak.
Lalu dua anak muda mendahului maju menyerang.
Berandal itu gagah, setelah beberapa jurus, ia berhasil
melukakan pundaknya satu pemuda. Atas itu, lagi dua
pemuda maju, untuk membantui kawannya. Si berandal
mundur, ia dirangsak. Tiba-tiba ada lagi pintu terbuka, lagi
satu orang muncul. Dia memegang tombak, ujung tombaknya
tahu-tahu telah nancap di dadanya seorang muda, hingga dia
ini lantas roboh, jiwanya melayang!
Semua orang Kazakh terkejut Si ketua menghela napas, ia
berkata perlahan: "Semua mengepung dulu berandal! Harta ini
kita urus belakangan!" Di dalam hatinya, ia pun pikir: "Kalau
begini, Supu tidak mendusta..."
Kedua penjahat Han itu dikejar melintasi beberapa kamar,
lantas mereka memisah ke kiri dan kanan.
"Rombongan kesatu dan kedua pergi ke kiri, mengejar


Kuda Putih Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berandal itu!" si ketua berseru. "Rombongan ketiga dan
keempat turut aku ke kanan!"
Perintah itu diturut. Rombongan Kazakh itu memang telah
dipecah empat, masing-masing ada pemimpinnya sendiri.
Ketua ini dan rombongannya maju cepat. Di sebuah pintu
pinggiran, yang daun pintunya terpentang secara tiba-tiba,
mereka dipegat seorang Han, yang menyerang mereka.
Mereka melawan. Hanya sebentar, berandal itu lari balik.
"Kejar!" si ketua menitahkan. Berandal itu bertemu sama
kawannya, terus mereka lari berpisahan.
"Rombongan ketiga mengejar ke kiri!" si ketua
memerintahkan. "Rombongan keempat turut aku" Dan ia mengubar ke
kanan. "Bapak ketua!" mendadak Aman berkata. "Jangan-jangan
berandal menggunai tipu, mereka menghendaki kita berccraiberai!"
Si ketua mengangguk. "Jangan takut! Orang kita besar
jumlahnya!*' katanya kemudian.
Benar saja, di sebelah depan muncul pula lain berandal, dia
bergabung sama berandal yang lagi dikejar itu. Hanya
sebentar, mereka pun lari berpisahan.
Kali ini si ketua tidak memisah rombongannya, ia hanya
menitah mengejar terus berandai yang lari ke kiri.
Penjahat itu berlari bergantian ke kiri dan kanan, lantas dia
menolak pintu, untuk masuk ke dalam sebuah kamar besar.
Dia baru masuk atau dari belakang pintu berkelebat sebuah
sinar mengkilap, terus dia berteriak dan roboh terluka, sebab
kakinya kena terbacok dan goloknya terlepas mental.
Segera rombongannya si ketua mengenali, penyerang itu
ialah Supu. Ketua itu melengak. Tidak dapat ia mengusir orang yang
membantuinya. "Bapak ketua, inilah tempat perangkap!** Supu berkata.
"Benarkah?" tanya ketua itu singkat, ragu-ragu.
Melihat ketuanya menyangsikan ia, Supu mengangkat
tubuh si penjahat dan melemparkannya ke tengah ruang.
Tubuh itu terbanting dan menerbitkan suara, lantai lantas
menjeblak, memperlihatkan sebuah liang besar. Ke dalam situ
tubuh si penjahat kecemplung seraya penjahatnya berteriak
menyayatkan hati, lalu suaranya sirap.
Semua orang Kazakh itu berdiri menjublak.
"Supu, syukur kau menolongi kami!" kata si ketua
kemudian. "Istana rahasia ini banyak perangkapnya," berkata Supu.
"Mungkin tiga rombongan yang lainnya telah terjebak
kawanan penjahat, yang pada menyembunyikan diri di sini."
Ketua itu sadar, dia kaget
"Benar!" serunya. "Mari kita lihat!"
Tanpa banyak bicara, Supu lantas membuka'jalan.
"Aduh!" mereka mendengar sesudah melewati beberapa
pengkolan. Mereka kaget, semua lantas memburu. Lantas terlihat di
depan mereka tubuhnya seorang Kazakh yang mandi darah,
waktu diperiksa, dia telah putus jiwa. Hal ini membangkitkan
hawa amarah mereka itu.
Tengah mereka itu bergusar, di atasan kepala mereka
terdengar suara berkeresek, lalu tertampak turunnya
perangkap terali besi
"Lekas lari!" Supu berteriak. Dialah yang paling dulu
melihatnya, dia pun terus lompat ke luar kamar.
Empat pemuda turut berlompat yang lainnya kena
terkurung. Terali itu turun sangat cepat
Di dalam kaget dan takutnya, orang-orang Kazakh itu
menyerang terali itu. Sia-sia saja usaha mereka. Terali besi
tidak mempan senjata, bahkan senjata yang menjadi gompal.
Selagi orang tidak berdaya, dari luar pintu muncul lima
orang, yang jalan di muka ialah Tan Tat Hian. Dia ini lantas
menghampirkan pesawat rahasia, untuk dikerjakan, maka dari
lelangit kamar lantas meluruk turun pasir dalam jumlah besar.
Kembali orang kaget, semua menjerit.
Supu dan empat pemuda, yang berada di luar, maju
menerjang Tat Hian serta rombongannya itu. Mereka lantas
bertarung seru. Selama itu, pasir masih meluruk turun, hingga
sebentar saja sudah naik tinggi sebatas dengkul..
Supu bingung bukan main. Kalau kawanan penjahat ini
tidak dapat dipukul mundur, pasir itu bakal meluruk terus dan
akan memendam mati semua orang bangsanya itu, sedang di
antaranya ada Aman. Tat Hian dan keempat kawannya itu
Iihay, terutama Tat Hian sendiri. Sebentar saja, dua pemuda
telah roboh binasa dan yang ketiga roboh terluka. Tinggallah
Supu serta satu pemuda lainnya. Di dalam terali, parir sudah
lantas sampai di dada, hingga orang sukar menggeraki
tubuhnya. Supu menjadi lebih bingung lagi ketika kawannya yang
terakhir pun roboh di tangannya Tat Hian, hingga lantas ia
dikepung berlima. Tat Hian juga lantas dapat memukul
terlepas goloknya Supu, hingga di lain saat dia ini mesti berdiri
diam saja di bawah ancaman pedangnya penjahat itu.
Mendadak saja di situ muncul seorang lain, yang
bersenjatakan bandring. Belum sempat Tat Hian berdaya,
pedangnya sudah terhajar bandring itu dan jatuh ke lantai.
Empat penjahat kaget tapi mereka maju menyerang. Atas itu
Tat Hian bisa menjumput pula pedangnya, guna membantu
mengepung. Supu sadar, ia lantas lari ke pesawat rahasia, maka di lain
saat, berhentilah meluruknya pasir.
Semua orang Kazakh itu bernapas lega. Ketika mereka
memandang ke arah penjahat serta orang yang baru datang
itu, mereka heran. Orang itu satu pemuda yang tampan,
dengan dandanan Tionghoa mirip si kawanan penjahat. Entah
kenapa, mereka itu telah bertempur satu dengan lain.
Pemuda itu pandai menggunai bandringnya, setelah
belasan jurus, dia berhasil merobohkan saling susul pada
empat konconya Tat Hian, melihat mana, dia ini lantas kabur
mengangkat kaki.
Supu lantas mencari pesawat rahasia lainnya, guna
mengangkat naik terali besi itu. Maka sekarang semua orang
baru benar-benar bernapas lega. Dengan susah payah mereka
membebaskan diri dari urukan pasir itu.
Orang hendak membilang terima kasih pada si pemuda
penolong, tapi orang sudah tidak ada, entah ke mana
perginya. Semua orang bersyukur berbareng heran. "Tanpa dia,
celakalah kita," kata yang satu. "Ke mana perginya dia " Ah,
kiranya di antara orang-orang Han ada juga yang baik..."
"Bapak ketua," kata Supu tanpa mempedulikan suara
Orang banyak itu, "istana ini berbahaya, baiklah lekas
rhengumpuli semua orang bangsa kita, supaya mereka tidak
terjebak penjahat"
Ketua itu setuju. "Mari kita bekerja!" katanya. Ia
menitahkan semua orang mengambil jalan mundur menuruti
jalan dari mana tadi mereka masuk. Mereka pun bunyikan
terompet, tanda memanggil berkumpul tiga rombongan
lainnya, untuk berkumpul di luar istana.
Rombongan ini tiba di luar, lantas mereka menantikan.
Mulanya muncul rombongan ketiga, kemudian rombongan
kesatu. Rombongan kedua dinantikan dengan sia-sia.
Kembali terompet ditiup nyaring dan riuh. Istana tetap
sunyi "Jangan-jangan mereka terjebak," kata si ketua kemudian.
"Mari kita masuk bersama untuk melihat mereka."
Usul ini disetujui Lantas mereka berbaris rapi. Belum lagi
mereka bergerak, dari dalam terlihat munculnya orang-orang
dari rombongan yang kedua itu. Mereka ini muncul saling
susul, dalam rombongan dari dua tiga orang, dengan roman
mereka tidak keruan. Dua orang pun menggotong satu orang,
yang tubuhnya terpanah, yang mandi darah. Yang muncul
paling belakang ialah Sangszer, goloknya di tangan, mukanya
berlepotan darah.
"Bagaimana?" tanya si ketua, kaget dan berkuatir.
"Hampir kita tidak dapat bertemu lagi," menjawab pemuda
itu. "Kami telah masuk dalam perangkap penjahat. Di dalam
sebuah kamar, mendadak kami diserang banyak anak panah,
yang datangnya dari empat penjuru. Syukur ada satu anak
muda kosen, yang membantu kami Dia telah menggagalkan
bekerjanya pesawat rahasia."
Baru mereka bicara sampai di situ, di situ muncul si anak
muda yang disebutkan Sangszer ini. Anak muda itu
menggusur satu penjahat, ialah Hok Goan Liong, yang dia
lantas lempar roboh ke tanah.
Semua orang Kazakh bergarang "Terima kasih! Terima
kasih!" mereka mengucap: Si ketua menghampirkan anak
muda itu, guna menghaturkan terima kasihnya yang hangat
seraya menanyakan she dan nama orang.
"Aku she Lie," menyahut si anak muda. "Namaku tidak ada,
panggil saja aku Lie Pek Ma."
Di antara mereka itu. Aman dan Supu segera mengenali si
anak muda. "Dia toh nona Kang," pikirnya. "Kenapa sekarang dia
menjadi seorang muda bangsa Han" Bagaimana sebenarnya,
apa dulu itu dia menyamar jadi wanita atau sekarang dia
menyaru menjadi pria" Atau mungkin si nona Kang hanya lain
orang dan orang itu melainkan mirip romannya?"
Supu tidak dapat menahan hati. "Kau... kau toh nona
Kang?" ia menanya.
Lie Bun Siu tertawa lebar. "Tadinya aku menyamar menjadi
nona Kazakh, kamu tidak mengenali aku" katanya. "Aku tahu
kamu membenci orang Han, aku tidak berani berdandan
seperti orang bangsaku."
Si ketua nampak likat.
"Baru hari ini kami ketahui, orang Han juga ada yang baik
hatinya," kata ia, mengaku. "Tanpa pertolongan kau, tuan Lie,
hari ini kami semua pasti bakal mati terpendam di dalam
istana rahasia ini."
Bun Siu tidak menyahuti, ia hanya menoleh kepada Supu.
"Sayang ayahmu telah menutup mata," pikirnya, "maka ia
menjadi tidak ketahui, di antara orang Han pun ada yang
baik..." Kemudian ia kata, tawar "Di antara bangsa Han ada
orang-orang jahat dan orang baik pula, si jahat biasa
mencelakai si baik. Tapi si jahat pun tidak bisa hidup selamat!"
Semua orang Kazakh itu berdiam. Mereka pikir pemuda ini
benar. "Tuan Lie, tolong kau menunjuki kami jalan," berkata si
ketua kemudian. "Kami mau masuk untuk menyerang
kawanan penjahat itu!"
"Ya, kita menyerbu, kita membalaskan sakit hatinya
saudara-saudara kita yang terbinasa!" berseru orang-orang
Kazakh itu. "Istana rahasia ini banyak perangkapnya, tanpa peta, tidak
dapat kita lancang memasukinya," berkata Lie Bun Siu. "Kalau
kita memaksa masuk, kita bisa menjadi kurban. Kalau
disetujui, aku mempunyai suatu pikiran. Ini hanya meminta
tempo." "Silahkan berikan petunjukmu, tuan Lie!" kata si ketua. Bun
Siu bersenyum. "Aku ingin mengajukan satu permintaan,
maukah bapak ketua meluluskannya?" katanya.
"Tuan adalah penolong kami, titahkan saja, pasti kami akan
kerjakan," menyahut ketua itu.
Bun Siu lantas menunjuk kepada Supu.
"Kakak Supu ini telah diusir dari kaumnya," ia berkata,
"barusan dia telah bertempur dengan orang jahat, dia
menolongi semua saudara dari perangkap musuh, dari itu aku
pikir baiklah jasanya ini dipakai menebus dosanya, supaya
bapak ketua menarik pulang hukuman kepadanya, agar dia
dapat berkumpul pula dengan sesama bangsanya. Inilah
permintaan yang kecil sekail Dapatkah bapak ketua
menerimanya?"
Ketua itu berdiam untuk berpikir, terus ia berdamai sama
dua pembantunya. Tidak lama, ia menghampirkan Bun Siu,
untuk memberikan jawabannya.
"Mengingat budi tuan serta dia benar telah membelai kami,
kami suka meluluskan permintaanmu, tuan," berkata dia
"Sekarang Supu dapat kembali kepada bangsanya."
Supu menjudi girang sekali. Ia pun mengucap terima kasih
kepada Bun Siu.
Ketua itu lantas bicara kepada orang-orang bangsanya,
untuk mengumumkan bahwa hukuman buang Supu telah
dihapus, karena mana pemuda itu dapat kembali di antara
mereka. Sebagai alasan dikemukakan permintaan Lie Bun Siu,
penolong mereka, dan bahwa Supu telah berjasa sudah
memperingati adanya ancaman bahaya dan tadi Supu juga
telah mengadu jiwa menolongi mereka.
Pengumuman itu disambut sorak-sorai yang ramai.
Setelah sirap suara orang banyak itu, sang ketua lantas
tanya Bun Siu bagaimana akalnya untuk membekuk semua
penjahat Bun Siu menuding kepada Goan Liong.
"Dialah si kepala penjahat!" sahutnya. "Coba geledah
padanya, mungkin dia menyimpan peta bumi atau petanya
istana ini."
Tanpa diperintah lagi, Supu maju.
Hok Goan Liong sudah tidak berdaya akan tetapi dia murka
sekali, dia mementang matanya dan membuka mulutnya
mencaci. Bangsa Kazakh menghormati orang bernyali besar, mereka
kewalahan. "Peta itu telah kita bakar!" kata Goan Liong nyaring.
"Kamu, kawanan anjing Kazakh, jikalau nyalimu besar, kamu
terjanglah istana ini! Mari kita bertempur! Untuk mendapatkan
peta, jangan harap!"
Perkataan berandal ini benar. Supu menggeledah tanpa
hasil. "Sekarang begini," berkata Bun Siu. "Semua orang berdiam
di sini, kita mendirikan tenda. Sejumlah orang harus pulang
guna mengambil rangsum dan lainnya keperluan. Di depan
istana kita menggali liang perangkap serta tambang-tambang
kalakan. Kita menanti sampai kawanan penjahat kelaparan,
mesti mereka keluar. Paling lama mereka dapat bertahan
delapan atau sepuluh, hari. Jikalau mereka keluar, kita bekuk
satu demi satu. Dengan begitu tidak usah kita menempuh


Kuda Putih Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahaya dengan menyerbu ke dalam istana."
Pikiran ini baik, sang ketua menerimanya dengan girang.
Bahkan ia lantas bekerja. Rombongan ketiga diperintah
pulang, buat mengambil rangsum, dan yang lainnya terus
bekerja, memasang tenda dan menggali liang jebakan yang
lebar dan dalamnya rata-rata lima tombak, atasnya ditutup
dengan rumput yang ditutup pula dengan salju. Mata-mata
pun dipasang. Selang lima hari, rombongan ketiga kembali dengan
rangsum berikut kerbau dan kambing hidup.
Dugaannya Bun Siu tepat. Lagi dua hari, kawanan penjahat
muncul saling susul. Benar-benar mereka tak tahan lapar.
Mereka kelaparan hingga kepala mereka pusing, maka mereka
kabur, tenaga mereka habis. Mereka terjeblos ke dalam liang
perangkap di mana mereka dibekuk tanpa perlawanan.
Hanyalah, ketika penjahat yang terakhir muncul, dia tidak
diikuti Tan Tat Hian.
"Ke mana dia pergi?" tanya Bun Siu kepada setiap penjahat
"Entahlah," dia mendapat jawaban. "Kita tak melihat dia
selama beberapa hari yang paling belakang. Mungkin dia
terbinasa di perangkap dalam istana."
Keterangan itu tidak lantas di percaya. Sang ketua masih
bersabar menanti lagi dua hari. Habis itu barulah ia berlega
hati "Sekarang mari kita masuk ke istana," katanya, la
mengajak orang untuk mengambil harta besar itu.
Bun Siu sendiri memikirkan Kee Loojin. Sudah beberapa kali
ia memasuki istana, tidak juga ia dapat menemui orang tua
itu. Ia jadi sangat berkuatir si orang tua telah roboh di tangan
jahat dari Tat Hian. Tentu sekali sukar ia melupai budi orang
tua itu, yang ia telah pandang sebagai kakeknya sendiri. Ia
telah menanyakan beberapa penjahat, semua menerangkan
tidak pernah melihat orang tua yang bertubuh bongkok
bagaikan unta itu..
Yang aneh untuk nona Lie ini yang juga ia buat pikiran,
ialah lenyapnya Hoa Hui, gurunya. Guru itu bilang tidak
keruan paran. Pernah Bun Siu pergi ke tempat kediamannya,
di sana dia tidak kedapatan. Pula tidak ada tanda-tanda
bahwa guru itu pernah pulang.
Orang-orang Kazakh itu lebih dulu mengurus mayatnya
orang-orang bangsanya serta mayat-mayat si penjabat,
selesainya itu baru mereka mengangkut harta karun itu.
Ketiga ketua mereka telah memutuskan, semua orang
memperoleh hak sama rata. Artinya, mereka tidak boleh
berebutan. Keluarga kurban jiwa mendapatkan bagian dua
lipat Selagi orang mengambil harta, Supu melihat Lie Bun Siu
diam saja di pinggiran, la lantas membawa sekantung harta
dan meletakinya di depan orang.
"Saudara Lie," katanya, "ketua kami membilang, tanpa
pertolongan kau, kami semua pasti membuang jiwa di sini,
maka itu ia mengatakan, kau boleh mengambil harta ini
sesukamu, umpama kata kau tidak dapat mengangkutnya,
nanti kami menolong kau membawanya."
Bun Siu menggelengkan kepala.
"Aku tidak menghendaki emas dan perak serta mutiara,"
sahutnya. "Kau menginginkan apa, nanti aku pergi mengambilkan,"
berkata Supu. "Yang aku kehendaki, itu tak terdapatkan. Yang aku
dapatkan, aku tidak menghendakinya," berkata Bun Siu. Dan
ia menuntun kudanya. "Sekarang aku mau pergi..."
"Jangan, jangan, saudara Lie!" berkata Supu. "Kau mesti
mengambil sesuatu! Barang apa itu yang kau tidak
mendapatkannya?"
"Itulah kejadian yang telah lama. Yang aku kehendaki itu
ialah sehelai kulit serigala."
Tadinya Supu masgul, tetapi mendengar kata-kata orang,
air mukanya menjadi terang.
"Kulit serigala?" katanya, gembira. "Itulah gampang sekali.
Nanti aku mengambilkan sepuluh helai untukmu!"
"Hanya sekarang ini aku tidak menghendaki itu..."
Kembali orang Kazakh itu menjadi heran, hingga ia
menggaruk-garuk kepala. Ia menganggap orang aneh sekali.
Mau, tidak mau-tidak mau, mau. Habis bagaimana" Maka ia
membuka kantungnya,
memperlihatkan isinya, semua mutiara bergemerlapan.
"Nah, ambillah apa saja!" bilangnya
Lie Bun Siu mengawasi harta besar itu, ia menjumput
sepotong gelang kumala yang kecil.
"Biarlah aku ambil ini saja," bilangnya. Ia berhenti
sebentar, untuk menambahkan: "Dulu juga aku mempunyai
sepotong gelang semacam ini, gelang itu aku telah berikan
kepada seorang, yang telah membikinnya pecah hancur,
hingga sekarang ini lenyaplah!"
Ia masuki gelang itu ke lengannya, terus ia melarikan
kudanya. Supu heran. Ia menggaruk kepalanya pula. Ia bengong
mengawasi punggung orang sampai orang tak nampak lagi.
Lewat beberapa hari, selesai sudah orang-orang Kazakh
mengangkut harta karun, lantas mereka berangkat pulang.
Mereka menyembelih kerbau dan kambing, untuk membikin
pesta besar. Itu waktu salju sudah lumer, maka di padang
rumput mereka menyalakan unggun. Terutama rombongan
muda-mudi, gembiranya luar biasa. Cuma Aman yang berada
bersendirian. "Aman," kata si ketua, yang menghampirkannya, "kau
sebatang kara, baiklah kau menikah sama Supu."
"Apa, Supu?" Aman kata. "Dia telah membunuh ayahku!
Mana dapat aku menikah padanya?"
"Memang benar dia telah membunuh ayahmu akan tetapi
kemudian dia telah menolong kau dan kita semua," berkata si
ketua, membujuk. "Kejadian itu ialah kehendak Allah
junjungan kita dan sekarang permusuhan hendaknya dibikin
habis." "Jadi bapak membilang itulah kehendak Junjungan kita?"
Aman tanya. "Benar."
"Bapak... Sebenarnya aku menyukai Supu, tetapi, tetapi,
dia telah membunuh ayahku, hatiku jadi... aku selalu
penasaran terhadapnya... Kalau peristiwa benar ada kehendak
Junjungan kita, kalau aku mesti menikah pada Supu, itu baru
bisa terjadi setelah satu pertandingan besar dan tak ada orang
lain yang dapat mengalahkannya. .."
Ketua itu tertawa bergelak. "Jadi kau menghendaki
diadakan satu pertandingan besar, untuk melihat siapa yang
paling kosen?"
"Untuk itu aku hendak bersembahyang dahulu kepada Allah
Yang Maha Kuasa," berkata Aman. "Jikalau Junjungan kita
dapat mengampuni dia, dia bakat menjadi si pemenang,
jikalau tidak, dia bakal kena dikalahkan, dengan begitu, tidak
dapat aku menikah dengannya."
"Bagusi" memuji si ketua. "Kau percaya kepada Junjungan
kita, itulah bagus sekail Pasti Junjungan kita akan
memilihkanmu seorang suami jempolan."
Justeru orang-orang bangsanya itu lagi berkumpul, ketua
ini berbangkit menghadap mereka, untuk menepuk tangan
tiga kali. Dengan serempak, semua orang berdiam, mengawasi dan
mendengari. Ketua itu mengawasi semua orang, ia berkata: "Kita telah
mendapatkan istana rahasia, kita berhasil mendapatkan harta
besar serta membekuk juga musuh-musuh kita, dalam pada
itu, orang yang paling berjasa ialah lima orang. Pertama-tama
saudara Lie si orang Han. Sayang dia tidak ada di sini. Yang
kedua ialah Suruke dan Cherku. Sayang sekali, mereka berdua
telah menutup mata di dalam istana Yang dua lagi ialah Supu
dan Aman. Jasa Supu sangat besar, sayang ia telah
membunuh Cherku, hingga jasanya itu mesti dipakai menebus
dosanya. Karena itu sekarang tinggal Aman satu orang.
Bagaimana kita harus menghargai jasanya Aman ini?"
"Baiklah dia mendapatkan mutiara dua lipat!" seorang
usulkan. "Tambahkan dia dua puluh ekor kerbau serta seratus ekor
kambing!" kata yang lain.
"Boleh kita memberikannya pula lima puluh pikul bulu
kambing!" yang lainnya lagi memberi pikiran.
Si ketua menggoyangi tangan, ia tertawa riang,
"Tidak, tidak tepat!" katanya. "Aman tidak menghendaki
kerbau dan kambing atau bulu kambing! Mutiara pun ia telah
mempunyai banyak! Habis, dia membutuhkan apa" Dia masih
belum menikah, maka perlulah kita mencarikan dia seorang
suami!" Semua orang girang sekali, semuanya bersorak.
"Akur! Akur!" seru mereka. "Mari kita mencarikan suami
jempol untuk Aman!"
Hati Supu berdebaran. Semenjak mereka pulang, tidak
pernah Aman bicara padanya. Ia telah menanya dia, dia tidak
mau menyahut Kalau ia mendekati, dia menyingkir. Sekarang
ada usul si ketua ini! Bagaimana akhirnya" Siapa yang si ketua
pilih" Atau, siapa yang Aman telah pilih sendiri" Mungkinkah
Sangszer" "Siapakah bakal jadi suami paling baik bagi Aman?" berkata
si ketua. "Kami bangsa Kazakh, pria kami semuanya baik-baik
sebagai penggembala, sebagai pemburu, sebagai penunggang
kuda, sebagai orang kosen juga! Hanyalah, siapalah yang
paling diberkahi Junjungan kita" Seharusnya saja, orang muda
yang paling kosen dialah yang mesti mendapatkan isteri paling
cantik!" "Benar, benar!" orang banyak berseru-seru. "Pemuda kita
yang paling gagah mesti menikah dengan pemudi kita paling
cantik!" Semua mata lantas dialihkan kepada Supu dan Sangszer,
ada juga kepada beberapa pemuda lainnya.
Aman, dengan wajah merah, juga memandang kepada
setiap anak muda. Setiap pemuda, yang sinar matanya
bentrok, hatinya berdenyutan, otaknya bekerja, dia kata
dalam hatinya: "Siapa dapat menjadi suami nona begini
cantik, ia sungguh beruntung!"
Sementara itu, Aman tidak memandang Supu, ia
menyingkir dari sinar matanya si pemuda.
"Maka itu sekarang aku ingin diadakan pertandingan guna
memilih pasangannya Aman," berkata pula si ketua kemudian.
"Untuk itu orang harus dapat turut ambil bagian di dalam
empat macam pertandingan. Tiga yang pertama ialah pacuan
kuda, mengadu panah dan rebutan kambing. Untuk merebut
kambing lima ekor, orang mesti tinggal lima Inilah calon
terakhir, yang akan mengadu tenaga dan kepandaian satu
dengan lain. Siapa yang menang dialah orang yang paling
kosen." "Dan dialah yang mendapatkan nona kita paling cantik!"
orang banyak menyambungi.
Si ketua mengangguk. Ia berkata pula: "Sekarang sudah
jauh malam! Siapa sudah mempunyai isteri, siapa sudah
mempunyai kekasih, kamu boleh terus pelesiran! Siapa mau
turut pertandingan, pergilah masuk tidur, untuk beristirahat
untuk bersiap sedia! Kita akan mulai besok pagi! Nanti kita
lihat, siapakah yang dipilih Junjungan kita!"
Bangsa Kazakh beragama Islam, maka itu mereka percaya,
mati dan hidup mereka ada di tangan Tuhan Yang Maha
Kuasa, Junjungannya.
Besoknya pagi di padang rumput telah berkumpul seratus
lebih pemuda, semua dengan kudanya masing-masing, kuda
pilihan. Cuma Supu yang berduduk dengan masgul. Ia kata di
dalam hatinya: "Aman membenci aku, percuma aku
mengalahkan orang, dia tidak bakal menikah padaku..." Tidak
lama terdengarlah suara terompet. Semua anak muda, dengan
menuntun kuda mereka, lantas berdiri berbaris. Supu tetap
berduduk saja, ia ragu-ragu. Mendadak kupingnya mendengar
teguran: "Kenapa kau tidak turut bertanding?" Ia terperanjat.
Itulah suaranya Aman. Ia menoleh. Ia masih mau menduga
nona itu bicara dengan lain orang. Tapi di situ cuma ada ia
sendiri. Ia lantas melihat mata Aman ditujukan tajam
kepadanya. Mendadak ia menjadi girang sekali.
"Oh, Aman, kiranya kau dapat memaafkan aku"..." katanya.
Nona itu menggelengkan kepala.
"Aku tidak tahu..." sahutnya. Ia berhenti sejenak, lalu ia
menanya: "Kau... kenapa kau tidak turut bertanding?"
Supu tidak menyahut, hanya dia berjingkrak bangun, terus
dia menuntun kudanya dan pergi berbaris.
Segera juga terdengar pula suara terompet, setelah tiga
kali, maka seratus lebih penunggang kuda itu sudah mulai
membalap, dari barat mereka kabur ke timur.
Matanya Aman tidak pernah berpisah dari kuda bulu dawuk
dari Supu. Setindak derra setindak, kuda itu melewati yang
lain-lainnya. Tiba di timur, batas ujung, orang lari kembali
dengan memutar. Ketika orang akhirnya tiba di barat, di batas
penghabisan, kuda Supu ialah yang kedelapan. Kuda nomor
satu, yang bulunya putih, penunggangnya mengenakan
topeng dari sapu tangan, hingga nampak sepasang matanya
saja yang bercahaya.
Si ketua segera mengumumkan, yang dapat bertanding
terus ialah yang kudanya terhitung sampai nomor lima puluh.
Sekarang orang mulai dengan adu panah. Untuk itu di tengah
padang rumput itu ditancap papan sebagai tameng atau
sasaran. Sambil menunggang kuda, pemuda-pemuda itu.
memanah bergantian. Setiap kali sasaran terkena tepat, orang
semua bertepuk tangan bertampik sorak.
Setelah penghitungan ternyata, di dalam sepuluh kali
panah, Supu dapat mengenai delapan kali. Yang sepuluh kati
memanah tanpa lolos ialah si penunggang kuda bertopeng.
"Eh, siapakah dia?" demikian orang saling bertanya.
"Kudanya lari paling keras, ilmu panahnya pun paling mahir!"
Si ketua sudah lantas mengumumkan siapa dalam sepuluh
kali dapat memanah enam, dia berhak turut dalam
pertandingan yang ketiga. Acaranya ialah merebut kambing.
Lalu ternyata, dari lima puluh calon, tiga puluh berhak
bertanding lebih jauh.
Rebutan kambing adalah olah raga kepelesiran paling
digemari bangsa Kazakh. Cara merebutnya ialah seekor


Kuda Putih Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kambing dilepas di tengah kalangan, lantas sambil
menunggang kuda orang merebutnya, siapa yang akhirnya
mendapatkan itu, dialah yang menang,, dia berhak memiliki
kambing itu serta diakui juga sebagai orang kosen. Untuk ini
orang mesti pandai menunggang kuda, bermata celi,
bertenaga besar dan sebal Itulah perebutan di antara puluhan
lawan. Kali ini digunakan lima ekor kambing. Nampaknya
perlombaan menjadi terlebih riang. Tentu sekali, yang
diperebuti bukan kambing lagi hanya Aman. Maka juga
perasaan setiap peserta menjadi tegang luar biasa. Pula setiap
sanak atau keluarga atau sahabatnya si pemuda bersorak
menganjurkan anak atau sanaknya itu. Maka ramailah
gemuruh sorak-sorai. Siapa telah mendapatkannya, kambing
itu masih dapat dirampas lain orang. Maka siapa berhasil, dia
mesti bisa kabur naik ke atas bukit ialah tempat terakhir di
mana orang tidak dapat merampasnya lebih jauh.
Kemudian ternyata, di antara lima calon yang berhasil itu,
ada Supu, ada Sangszer, ada si penunggang kuda bertopeng
itu. Sampai di sini orang mulai dengan acara terakhir: Mengadu
kepandaian berkelahi. Menurut undian, Sangszer dapat lawan
seorang pemuda yang dijuluki si "banteng gede". Lawannya
Supu ialah seorang pemuda tinggi sekali dan kurus, hingga dia
biasanya jalan dengan punggung melengkung agar tidak
terlalu menyolok kalau dia jalan beramai-ramai. Dia dipanggil
si "unta". Meski lawannya Sangszer ada satu banteng tetapi ia
sangat gesit dan cerdik, belum lama, dengan satu gaetan kaki,
ia dapat membikin lawan itu roboh, lalu ditindih hingga tidak
berdaya. Si unta sebaliknya sulit untuk dijatuhkan Supu. Beberapa
kali dia kena dirobohkan, saban-saban dia dapat meronta dan
bangun pula, hingga dia mendatangkan ramai tempik sorak.
Tadinya orang menyangka Supu bakal menang, kemudian lalu
menduga si unta yang ulat ini.
Supu bermandikan peluh, kaki dan tangannya berkurang
kecekatannya, napasnya pun memburu. Lawannya sebaliknya
nampak lebih segar hanya dia pun tidak bisa merebut
kemenangan. Maka mereka jadi bertarung seru sekali.
Saking letih, kemudian Supu kena dibanting jatuh,
tubuhnya terus ditindih. Ia berontak, sia-sia saja. Banyak
orang lantas berkaok-kaok: "Si unta menang! Si unta
menang!*' Supu bergelisah bukan main. Tiba-tiba sinar matanya
bentrok sama sinar matanya seorang lain. Itulah sinar mata
yang bergelisah, yang seperti sangat memperhatikan padanya.
Mendadak ia mendapat tenaga baru, ketika ia berontak, ia
dapat menggulingkan si unta, hingga sekarang ialah yang
berbalik menindih lawannya.
Dengan tangan kirinya ia menekuk tangan kanan si unta,
lehernya dia itu ia tekan. Maka habislah tenaga si jangkung
kurus itu! Di antara sorakan riuh sekali, Supu dinyatakan menang, la
bangun berdiri dengan napas menggotong. Justeru itu
Sangszer berkata padanya: "Supu, kau beristirahatlah! Aku
akan melayani dulu ini saudara!" Dia berbicara tanpa memberi
ketika lawannya beristirahat dulu. Habis berkata, dia
menghampirkan si calon yang nomor lima, yang belum ada
tandingannya. Dia berkata dengan tangannya: "Saudara, mari
aku melayani kau bertanding. Sekarang kau tentu dapat
meloloskan topengmu..."
"Tak dapatkah tanpa diloloskan?" menjawab si lawan.
Supu mendengar suara orang, hatinya bertekat Semenjak
tadi ia menduga kepada si pemuda yang menyebut dirinya Lie
Pekma, sekarang ia mendapat kepastian. Hanya, karenanya, ia
menjadi berpikir: "Sudah terang Sangszer dan aku bukan
tandingannya. Dia selalu berada di antara kita, kiranya dia pun
mengarah Aman..."
Pemuda itu memang Lie Bun Siu.
Sangszer tertawa dan berkata: "Untukku sendiri, tidak ada
halangannya aku tidak melihat wajahmu, tapi kita tinggal
bertiga. kalau aku dan Supu kalah, mungkinkah Aman
menikah suami yang tidak ada mukanya?"
"Baiklah " menjawab Bun Siu. yang lantas menarik sapu
tangannya. "Lie Pekma!" Sangszer berseru kaget
Orang banyak pun heran.
"Lie Pekma! Lie Pelana!" mereka berseru-seru. "Dialah
orang Han!"
"Tidak! Gadis cantik kita tidak dapat menikah sama orang
Han!" ada lagi yang berteriak-teriak.
Yang hebat adalah yang berteriak: "Orang Han menjadi
penjahat! Orang Han telah merampok dan membunuh orang
bangsa kita!" Mereka kurban-kurban keganasannya
rombongan Hok Goan Liong.
"Orang gagah she Lie mi bukan orang jahat!" ada juga
yang mengasih dengar suara lain.
"Dialah yang menolong kita di istana rahasia!"
"Dialah penolong bangsa kita! Dia lain dari orang-orang
Han yang jahat!"
Maka ramailah suara-suara yang bertentangan itu.
"Baiklah kita mendengar ketua kita!" akhirnya ada yang
berteriak. St ketua berbangkit, tiga kali ia menepuk tangan.
"Saudara-saudara, tenang!" ia berkata, nyaring. "Saudara
Lie ini bukannya orang jahat! Tanpa dia, kita semua tentu
telah habis terbinasa di dalam istana rahasia! Maka itu benar,
dialah penolong kita! Pula harus diketahui, di antara orang
Han juga ada banyak yang baik, dan saudara Lie ini orang
baik itu!" Ia berhenti sejenak, lalu ia meneruskan: "Sekarang
mari kita bicara dari hal pertandingan ini. Inilah pertandingan
yang mengenakan jodohnya Aman. Di dalam ini hal, kita
mengharap petunjuk Allah Junjungan kita, ingin kita mendapat
tahu Tuhan berkenan memberi ampun atau tidak kepada
Supu. Jikalau Supu diberkahi, dia tentulah yang menang dan
dia bakal menikah sama Aman. Kita ada penganut-penganut
dari agama Islam, kita tidak dapat menikah sama orang dari
lain agama."
Mendengar itu, Lie Bun Siu campur bicara.
"Di antara orang Han juga ada yang memeluk agama
Islam," katanya. "Aku mempunyai minat untuk memuja Tuhan
Junjungan kamu!"
Ketua itu menjadi serba salah. Tidak ada alasan untuk
menolak Bun Siu. Pula, sebagai seorang budiman, ia tetap
bersyukur dan berterima kasih pada pemuda ini. Bun Siu
bukan hanya menolong dia tetapi semua bangsanya. Di
sebelah itu, ia hanya terpengaruh sama hari kecilnya. Ia juga
tidak puas yang gadis bangsanya yang paling cantik
dinikahkan kepada orang Han. Ia terpengaruh keras rasa
kebangsaannya. "Soal ini sangat sulit, tidak dapat aku memutuskan sendiri,"
akhirnya ia kata. "Di dalam ini hal kita harus menanyakan
pendapatnya Hapulam, tertua kita yang paling terpelajar*'
Hapulam itu adalah orang tua suku bangsa Tiehyen yang
paling paham tentang kitab suci. Si ketua lantas
menghampirkan ahli kitab itu, yang berada di antara mereka
"Hapulam," tanyanya, lantas, "pernahkah bangsa kita
mengalami peristiwa seperti ini" Aku minta sukalah kau
memberikan keterangan yang jelas."
Ditanya begitu, Hapulam tunduk. Ia berpikir.
"Pelajaranku sangat rendah, apa pun aku tidak mengerti,"
sahutnya selang sesaat.
"Jikalau Hapulam yang terpelajar masih menyebutkan tidak
tahu apa-apa maka lain orang pastilah terlebih tidak tahu apaapa
lagi!" kata si ketua.
Didesak demikian, Hapulam berkata juga: "Kuran Surah 49
ayat 13 mengajarkan:-'Manusia, seorang pria dan seorang
wanita, membuatmu menjadi sekian bangsa dan agama,
untuk menggampangkan kamu saling mengenal, maka dalam
pandangan Tuhan, yang paling mulia di antara kamu ialah
yang paling baik. Di dalam dunia ini, pelbagai bangsa dan
agama, semua ada ciptaan Allah, maka juga Allah bilang, yang
paling baik ialah paling mulia. Pula ada ajaran yang
menganjurkan untuk kita mencintai tetangga kita dekat dan
jauh, kawan, dan melayani baik-baik tetamu kita. Orang Han
ialah tetangga kita yang jauh, asal mereka tidak mengganggu
kita, kita harus mencintai serta melayaninya."
"Kau benar," berkata si ketua. "Tetapi anak perempuan
kita, dapatkah dia dinikah orang Han?"
"Surah 2 ayat 221 membilang," berkata Hapulam: "'Jangan
kamu nikah wanita yang memuja boneka sampai mereka telah
mempercayai agama kita-jangan kamu
menikahkan anak perempuan kepada pria yang memuja
boneka sampai pria itu mempercayai agama kita. Surah 4 ayat
23 pun melarang menikah dengan wanita yang ada suaminya
atau sanak langsung, selainnya itu, semua diperbolehkan
sampai pun pada bujang dan budak. Maka kenapa dia tidak
dapat menikah sama orang Han?"
Selama Hapulam berkhotbah itu, orang banyak berdiri
mendengari dengan tenang dan perhatian, maka itu mereka
menjadi mengerti baik sekali. Dari itu, lantas
mereka pada membilang: "Petunjuk Alto tidak bisa salah
lagi!" Pula ada yang memuji Hapunun dengan berkat* "Apa
pun yang kita tidak mengerti, kita boleh pergi menanyakan
kepada Hapolam, dia pasti dapat rnenjehtskannya dengan
baik." "Baiklah!" berkata si ketua. "Kuran menyatakan demikian
maka orang Han yang baik ialah saudara yang baik dari kita
bangsa Kazakh! Saudara Lie hendak menikah sama Aman,
Junjungan kita telah mengizinkannya, maka itu sekarang kamu
boleh mulai!"
Semenjak kecil Lie Bun Siu tidak dapat melupai Supu,
rintangannya ayah Supu membuat mereka renggang, sebab
ayah Supu membenci orang Han, sekarang ia maju untuk
memperebuti Aman, sengaja ia dandan sebagai pemuda, ingin
ia membikin bangsa ini mempercayai bahwa orang Han juga
ada yang baik. Dengan begitu juga dengan sendirinya dapat ia
memberi penjelasan kepada Supu hal kekeliruan pandangan
ayah pemuda itu. Mengenai pertandingan ini, ia mempunyai
maksudnya sendiri, meski di muka umum terang nampak ia
menyalak di antara Supu dan Sangszer untuk merebut Aman.
X Sangszer ketahui lihainya Lie Bun Siu di dalam hal
mengguaai senjata tajam, la telah melihat bagaimana nona itu
menempur kawanan berandal. Maka ia bersangsi.
Sebaliknya, ia mempercayai benar ilmu gulat atau peluk
banting bangsanya, dari itu ia memilih ilmu kepandaiannya ini.
Lantas ia memasang kuda-kudanya.
"Saudara Lie, silahkan maju!" ia menantang.
"Baik!" menyahut Bun Siu, yang lantas menyingkap ujung
bajunya yang panjang, untuk diselipkan ke pinggangnya,
setelah itu ia bertindak ke gelanggang, berdiri di depan
penantangnya itu Di mana kedua pihak sudah siap sedia,
Sangszer lantas membuka kedua tangannya, sambil
mementang, ia maju untuk menubruk. Atau mendadak Bun
Siu berseru kaget, terus dia lari ke arah kiri dimana adapepohonan
lebat Dia seperti melihat sesuatu, yang dia lantas
kejar. Semua orang menjadi heran, terutama Sangszer. Semua
orang tidak mengerti, kenapa di saat seperti itu, si pemuda
Han lari kabur. Hingga ada yang menduga-duga mungkin dia
jeri terhadap si pemuda Kazakh...
Sangszer berdiri sekian lama, kemudian ia kata kepada
Supu: "Supu, saudara Lie telah pergi, maka itu marilah kita
berdua saja yang bertempur.''
Supu menerima baik tantangan itu, meski sebenarnya ia
masih mengherani Bun Siu.
"Ya, marilah!" ia menjawab, bahkan ia terus maju. Maka
tidak tempo lagi, keduanya lantas bergulat.
Dua orang muda ini ada tandingan yang setimpal.
Semenjak masih kecil mereka suka berkelahi, mereka menang
dan kalah bergantian, hanya kali ini, dalam usia dewasa,
mereka harus mencari keputusan,. Maka bisa dimengerti yang
mereka berkelahi dengan sungguh-sungguh.
Sedari berumur lima belas tahun, Sangszer sudah menaruh
hati kepada Aman, disebabkan rapatnya pergaulan Aman
dengan Supu, ia menjadi tidak dapat menyelak di antara
mereka, ia cuma bisa menindas hatinya sendiri. Sampai
sekarang ia masih tidak berani mendekati Aman walaupun
Supu telah menjadi musuh Aman, disebabkan Supu dibuang
karena tuduhan telah membunuh Cherku. Barulah menit ini
harapannya timbul. Bukankah Aman sendiri yang
menghendaki ini pertarungan umum" Dengan ini nanti terlihat
kesudahannya Allah mengampuni Supu atau tidak...
Umumnya Supu menang unggul sedikit daripada Sangszer,
tetapi setelah tadi ia mesti membanting tulang melayani si
untai ia masih terpengaruh keletihannya, dari itu, segera
ternyata, lawannya itu menang di atas angin. Pula ia keras
memikirkan Lie Bun Siu, yang pergi tanpa sebab.
Sebenarnya Bun Siu kabur karena sejenak itu matanya
melihat satu orang yang berkelebat di dalam rimba, berkelebat
cepat bagaikan bayangan tetapi toh ia mengenali baik
potongan tubuh Tan Tat Hian, tanpa pikir panjang lagi, ia lari
mengubar. Laginya untuk ia, pertandingan itu tidak ada
artinya. Taruh kata ia menang, ia toh tidak- bisa menikah
dengan Aman- Di samping itu, Tat Hian ialah musuh besarnya.
Akan tetapi, sesampainya ia di dalam rimba, Tat Hian telah
lenyap tidak keruan peran, sia-sia belaka ia mencarinya.
Kemudian ia mendengar suara kuda kabur ke arah barat daya,
ia lantas menduga kepada musuh itu. Saking tergesa-gesa, ia
tidak dapat kembali kepada kuda putihnya, ia kabur menyusul
dengan menjembat seekor kuda yang lagi makan rumput di
dekatnya. Sesudah berlari-lari beberapa lie, Bun Siu tiba di gurun
pasir. Ia mendaki tanjakan pasir bagaikan bukit, untuk melihat
kehlingan. Di sini ia bisa memandang ke sekitarnya dengan
leluasa, tidak seperti tadi semasa di padang rumput Ia lantas
melihat di arah barat daya itu "- jauh letaknya seekor kuda
lagi berdiri diam dan di samping binatang itu ada satu tubuh
manusia rebah tak berkutik. Ia menduga kepada Tan Tat Hian,


Kuda Putih Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia lantas mengeprak kudanya untuk lari keras ke arah itu.
Tidak lama maka tibalah ia di tempat kuda dan orang itu
rebah menggeletak. Ia berkuatir orang hanya berpura-pura
mati, dari itu sebelum mendatangi dekat, ia menggunai
bandringnya, guna menotok jalan darah tiongteng dari orang
itu. Setelah mendapat kenyataan orang terus berdiam sajasuatu
bukti benar dia telah mati - barulah ia datang
menghampirkan. Benar-benar orang itu Tan Tat Hian adanya!
"Heran!" pikirnya. Tat Hian mati dengan mulut
mengeluarkan darah, suatu tanda bahwa ia telah teriuka di
dalam. Ia sudah putus jiwa akan tetapi tubuhnya masih
hangat. Jadi dia mati belum lama. Bun Siu menggeledah
tubuhnya, maka terlihat kulit dadanya bertanda mataag biru
sebesar telapakan tangan dan tujuh atau delapan tulang
iganya patah. "Entah siapa yang menghajar dia?" pikir nona ini. "Lihai
penyerang itu!"
Karena ini, ia lantas melihat ke sekitarnya. Ia masih sempat
melihat satu titik hitam di tempat jauh. Inilah satu
penunggang kuda, yang kudanya dilarikan. Ia menjadi
mencurigai penunggang kuda itu, sebab kantung gendolan
dan sakunya Tat Hian bekas dirobek dengan pisau, dan peta
tidak ada di tubuhnya itu.
"Istana rahasia sudah didapatkan, apa perlunya orang itu
dengan peta tersebut?" ia berpikir. Ia berdiri berdiam sekian
lama di samping tubuh musuhnya itu. Lega juga hatinya
walaupun musuh ini terbinasakan lain orang. Kemudian ia
lantas menaiki kudanya, untuk kembali kepada orang-orang
Kazakh. Tepat ia mendengar gemuruh ramai: "Sangszer
menang! Sangszer menang!" Ia terperanjat. Pikirnya: "Kalau
Sangszer menikah dengan Aman dan aku memberitahukan
Supu bahwa akulah kawannya semenjak masih kecil,
bagaimana pilarnya"'' Memikir begitu, ia likat sendirinya. Tapi
ia berjalan terus mendekati rombongan.
Supu masih rebah di tanah, ia mencoba terbangkit bangun
tetapi sukar. Ia merayap, ia berdiri, lalu terhuyung dan roboh
pula. Sangszer mengasih bangun "Supu," katanya, "jikalau kau
penasaran, kau beristirahatlah, nanti kita mengulangi
pertandingan kita ini."
Supu menggeleng kepala, matanya mengawasi Aman, sinar
matanya itu menandakan remuknya hatinya.
Aman bisa melihat sinar mata itu, tanpa merasa, air
matanya mengalir.
"Benar-benar mereka sangat mencinta satu pada lain," pikir
Lie Bun Siu, yang bisa melihat roman muda-mudi Itu. "Dalam
hidupnya, pastilah Supu tidak dapat mencintai lain orang lagi
Pula Aman, kalau dia menikah sama Sangszer, tidak nanti dia
dapat melupai Supu, tidak nanti dia menyenangi Sangszer,
maka untuk kedua belah pihak tidak ada kebaikannya..."
Kembali Bun Siu mengawasi Supu. Pemuda itu pergi ke
pinggiran, jalannya masih rada limbung, tangannya
memegangi kepalanya, rupanya dia merasa pusing. Di
pinggiran itu, dia duduk dengan napasnya masih belum
tenang. Ia menjadi merasa kasihan pada kawannya itu. Maka
ia masuk ke dalam gelanggang.
"Sangszer," katanya, "tadi aku pergi mengejar satu orang,
pertandingan kita gagal. Maka itu mari sekarang kita
mengulanginya." Ia berhenti sejenak, baru ia menambahkan:
"Kau tentunya masih lelah, aku sebaliknya masih segar, kalau
kita bertanding sekarang, tidak adil. Maka ini baiklah kita atur
begini, hari ini pertandingan ditunda sampai besok!"
Sangszer rada jeri pada lawannya itu.
"Baik," sahutnya. "Kita bertanding besok."
Bangsa Kazakh mengira, setelah Sangszer mengalahkan
Supu, Aman bakal menikah sama si pemenang ini, tidak
tahunya si pemuda gagah she Lie telah muncul pula dan
menantang Sangszer, dengan begitu, urusan menjadi
tertunda. Karena itu, sampai malamnya, mereka masih
menduga-duga entah siapa yang bakal menjadi pemenang
terakhir. Umumnya mereka menduga Bun Siu yang bakal
menang, hanya mereka heran, pemuda itu bertubuh halus dan
romannya tampan sekali, siapa tahu, dia bertenaga kuat dan
ilmu berkelahinya mahir, lapi dia bakal berkelahi dengan
tangan kosong. Dapatkah dia mengalahkan Sangszer" Kenapa
tadi dia kabur tidak keruan"
Besoknya lohor, orang berkumpul pula di tegalan.
Setelah beristirahat dan dapat tidur satu malaman,
Sangsfeer menjadi segar sekali. Ia telah memikirkan siasat
berkelahinya: "Dia pandai silat, dari itu tidak dapat aku
berkelahi renggang, sebaliknya, aku mesti merapatkan dia.
Begitu bergerak aku mesti ringkus, untuk kita mengadu
tenaga..."
Siasat ini benar-benar digunakan.
Lie Bun Siu berkelit ketika ia ditubruk, tangan kanannya
dipakai menangkis berbareng menarik, sedang kaki kanannya
membentur kaki orang. Dengan begitu, tidak ampun lagi,
robohlah lawan itu
"Kau kurang berhati-hati!" ia kata tertawa. "Mari maju lagi!"
Sangszer berlompat bangun. Ia tetap sama siasatnya, yang
ia telah pikir matang. Begitu berhadapan, ia menubruk dengan
gesit Bun Siu kembali menggunai Kimnaciu, ialah ilmu silat
menangkap. Ia menangkap dan memutar, tangan kirinya
menolak. Lagi sekali Sangszer roboh terguling, bahkan kali ini,
tangannya keseleo sebab dia mencoba meronta. Karena
merasa sakit, terpaksa ia mendekam terus.
"Kau bangun!" berkata Bun Siu tertawa. "Mari mencoba
lagi!" Nona ini mempelajari Kimnaciu yang terdiri dari tiga puluh
enam jurus berikut pecahannya tiga puluh enam jurus lainnya,
maka itu, mana bisa Sangszer melawannya" Maka juga, lagilagi
pemuda Kazakh itu kena dirobohkan. Delapan kali dia
diberikan ketika, akhirnya dia menggeleng kepala dan berkata:
"Aku tidak sanggup melawan kau, pergi kau nikah Amani..." -
la mengundurkan dai sambit tunduk.
Bun Siu tidak lantas rnenunta hadiahnya.
"Supu, mari!" ia kata pada si anak muda. "Mari kini
bertanding!" Supu menggeleng kepada. "Aku tidak sanggup
melawan kau," katanya. Ia tahu kekuatannya berimbang sama
Sangszer, percuma ia melawan.
"Belum tentu," kata Bun Siu. "Mari kita coba dulu;"
Supu melirik kepada Aman, ia melihat sinar mata si nona
seperti menganjuri.
"Baik!" sahurnya seraya terus menyingsat pakaiannyn. Ia
menggunai cara seperti Sangszer, begitu berhadapan, ia
menubruk. Bun Siu berkelahi seperti melawan Sangszer tadi, empat
kali beruntun ia membuat lawannya mencium tanah, hanya
ketika ke lima kalinya ia membikin orang roboh dan ia
menekan punggung orang, ia berbisik: "Kau meronta, kau
sambar punggungku, nanti kau menangi"
Supu heran, tetapi ia tidak sempat berpikir lama. Mendadak
ia mengerahkan tenaganya, ia bangun, tangannya menyambar
punggungnya lawan itu, maka di lain saat Bun Siu telah kena
dirobohkan, ditekan pada tanah! Bun Siu tidak dapat berontak.
Tapi Supu berpikir:
"Kemenangan ini bukannya kemenangan." la mengasih
orang bangun seraya berkata: "Mari kita mencoba pula!"
Bun Siu menerima baik. Mereka kembali bergulat. "Ingat
tipu-tipu tadi," kata Bun Siu, perlahan. "Jangan lupa!"
Di saat genting, kembali Bun Siu membiarkan ia
dirobohkan. Saban-saban ia mengisiki akan lawan ingat
tipunya itu. Semua itu terjadi hingga enam kali. Selama itu,
tidak ada seorang jua yang mendengar kisikan itu, hingga
orang cuma. heran, tidak ada yang bercuriga. Kelihatannya
wajar Supu menjatuhkan lawannya itu. Hanya Supu sendiri
yang heran bukan main. Terang ia kalah tetapi ia diajari tipu
dan dibiarkan menang. Ia tidak dapat membade hati orang. Ia
heran kenapa pemuda ini tidak mengharapi Aman yang
demikian cantik manis.
Di akhirnya, habis dirobohkan, Bun Siu bangun berdiri dan
berkata nyaring: "Sudah, tidak sanggup aku melawan kau, aku
tidak mau memperebuti Aman!"
Supu jujur, ia merasa tidak enak. "Kau mengalah," katanya.
"Jangan sungkan," kata Bun Siu. "Aku sudah kalah! Aku
menyerah! Kalah dari kau, aku tidak malu!"
Si ketua pun heran, ia menjadi bingung juga. Siapa si
pemenang terakhir" Supu kalah dari Sangszer, Sangszer
terkalahkan Lie. Bun Siu, tetapi Supu menang dari pemuda
Han ini" Bagaimana"
Beberapa orang menyatakan pikirannya: "Kalau begitu,
biarlah Supu dan Sangzer mengulangi pertandingannya.
Mereka itu sama-sama kalah dan sama-sama menang."
Pikiran ini dapat kesetujuan umum .dan lantas diterima
baik. Bahkan pertandingan lantas diadakan seketika juga. Kali
ini mereka itu sama-sama habis bertempur, jadi mereka sama
letihnya. Supu dan Sangszer menerima baik pertimbangan itu.
Pertandingan dimulai setelah kedua pihak sudah siap sedia
dan pertandaan diberikan.
Selama itu Supu mencoba mengingat-ingat tujuh jurus
ajarannya Lie Bun Siu, ia mengingat baik hanya tiga tipu,
tetapi ini pun sudah cukup. Demikian, di saat ia terancam
bahaya, ia menggunai tipu ajaran orang Han itu, karenanya,
saban? saban ia menang di saat terakhir. Sangszer
kewalahan, akhirnya dia menyerah kalah.
"Sesudah bergulat dua hari, Supu memperoleh
kemenangan terakhir!" berkata si ketua dengan keputusannya.
"Itulah bukti yang Allah telah mengampuni Supu, maka
dapatlah dia menikah- sama Aman"
Muka Aman merah tetapi hatinya girang tidak terkirakirakan.
Orang banyak pun bergirang. Itulah perjodohan yang hebat
Supu hendak memberi hormat kepada Bun Siu, untuk
menghaturkan terima kasih, tidak tahunya, ketika ia mencari
pemuda itu, si pemuda sudah naik atas kuda putihnya dan
pergi dengan diam-diam hingga dia tidak dapat disusul lagi!
Malam itu, dengan mengitari unggun, bangsa Kazakh
membuat pesta. Sangszer kalah tetapi dia terbukti gagah, ada empat nona
manis lainnya yang mengerumuni, yang menghibur dan
menyanyi untuknya. Mulanya ia berduka. Lama-lama ia
terhibur juga. Akhirnya ia bingung, siapa yang ia mesti pilih di
antara empat nona-nona itu. Mereka itu, kecuali cantik,
masing-masing mempunyai kelebihannya sendiri, umpama
yang satu halus budi pekertinya, yang lain' merdu
nyanyiannya, yang lain lagi lemah gemulai tariannya...
"Apakah baik aku memilih yang lainnya saja?" demikian ia
pikir. Lalu, dia pun mengingat, yang kitab sucinya mengizinkan
ia menikah empat isteri...
Tengah pesta berlangsung itu. sekonyong-konyong ada
terdengar tiga kail suara jeritan mengerikan seperti suara
burung malam, datangnya dari arah barat. Semua orang
terkejut, semua mata memandang ke barat itu.
Suara yang membangunkan bulu roma itu keluarnya dari
satu orang yang luar biasa. Dia datang menyusuli suara
anehnya itu, datangnya sambil berlari-lari keras, tubuhnya
nampaknya putih. Lantas dia berhenti di jarak empat tombak
dari orang banyak. Sekarang terlihat tegas dia mengenakan
jubah putih yang berlepotan darah, seperti mukanya berdarah
juga. Dia lebih tinggi dua kaki dari orang yang kebanyakan.
Ketika dia mengangkat dan mengulur kedua tangannya,
terlihat sepuluh jarinya panjang sekali dan sepuluh jari itu pun
berdarah. Semua orang mejengak, hati mereka berdebaran.
Hanya sebentar, manusia luar biasa itu lantas mengasih
dengar suaranya yang tajam "Siapa sudah curi mustika dari
istanaku" Lekas bayar pulang! Kalau tidak, satu demi satu,
aku akan membuatnya mati tak wajar! Sudah seribu tahun
aku tinggal di dalam istanaku itu, siapa juga tidak berani
memasukinya, tetapi kamu, kamu besar sekali nyali kamal"
Habis berkata, dengan perlahan dia memutar tubuhnya,
dia menunjuk -kepada seekor kuda terpisah tiga tombak
jauhnya, dia berkata: "Mampuslah kau!" Setelah itu mendadak
dia memutar tubuhnya dan lari, sekejap saja, tubuhnya
lenyap. Semua -orang kaget dan tercengang. Manusia aneh itu
muncul dan leayap secara mendadak dan kelakuannya juga
aneh. Lantas menyusul lain keanehan. Ialah kuda yang dia
tunjuk itu mendadak roboh dan mati, ketika orang
merumuninya, binatang itu tidak terluka, tidak keluar darah
dari mulut dan hidungnya, agaknya mati wajar.
"Hantu.. Hantu!" kate banyak orang.
"Telah aku kata di Gobi ada setannya!"
"Sudah seribu tahun istana tua itu tidak didatangi manusia,
pasti ada memedi yang menjaganya!"
"Katanya hantu tidak ada kakinya, mari kita lihat, dia ini
ada tapaknya atau tidak..."
Beberapa orang membesarkan hati, dengan membawa obor
mereka maju. Tidak tampak tapak kaki, ada juga liang kecil
setiap jarak lima kaki. Tapak kaki manusia tidak sekecil itu.
Juga jarak tepak kaki tidak dapat serenggang itu.
Sampai di situ, orang menduga iblis penunggu istana main
gila, maka ada yang berkata: "Semua yang memasuki istana,
dia akan celaka... Lihatlah Suruke dan Cherku! Bukankah
mereka terbinasa di. sana" Tentu si hantu membikin Cherku
kalap, Cherku disuruh, membinasakan Suruke, kemudian Supu
dibikin tak sadar dan diperintahkan membunuh Cherku..."
"Ya, lihat itu kawanan penjahat Han, sudah sepuluh tabun
mereka mengganas di gurun pasir, Orang kewalahan
karenanya, tetapi sekali mereka memasuki istana rahasia itu,
beginilah kesudahannya..."
"Dan orang bangsa kita, bukankah telah banyak yang mati
di dalam istana itu?" kata lagi suara lainnya.
Di akhirnya ada yang memperingatkan suatu dongeng
tua, begini: Seorang secara mendadak mendapati harta karun
di padaag pasir, harta itu diangkut pulang, hanya aneh, unta
yang menjadi binatang tunggangannya tidak dapat pulang,
cuma mondar-mandir di situ-situ juga. Katenya, si penunggu
tidak membiarkan orang mencuri harta itu, kaki unta


Kuda Putih Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"dipegangi". Setelah harta itu dikembalikan, baru orang itu
dapat pulang. Inilah dongeng yang setiap orang Kazakh
mengetahuinya. Maka akhirnya seorang mengusulkan kepada ketuanya:
"Baiklah semua harta itu dikembalikan, supaya mereka
terhindar dari mara bahaya. Tapi orang berat ' .untuk
mengembalikannya, mereka bersangsi.
Malam itu tidak ada kepatutannya.
Segera datang malam yang kedua. Kembali orang
berkumpul di tegalan itu. Semua berkuatir "hantu" tadi malam
nanti datang pula. Maka itu mereka lebih suka berkumpul
bersama, hati mereka menjadi terlebih tenang. Karena tidak
ada orang suka berdiam sendirian di tenda mereka, jumlah
mereka menjadi jauh terlebih besar.
Mulai tengah malam, dari arah barat daya terdengar suara
jeritan seperti malam pertama. Datangnya juga dari jurusan
yang sama. Semua orang menjadi kaget, bulu roma mereka
lantas pada bangun. Mereka tidak usah menanti lama akan
melihat munculnya si "hantu" yang kemarin itu, yang bajunya
putih dan berdarah. Dia datang bagaikan terbang, lantas dia
terdiri di muka orang banyak. Dia pun segera mengasih
dengar suaranya seperti kemarinnya: "Siapa sudah mencuri
mustika dari istanaku" Lekas bayar pulang! Kalau tidak, satu
demi satu, akan aku membuatnya mati tak wajar! Sudah
seribu tahun aku tinggal di dalam istanaku itu, siapa juga tidak
dapat memasukinya, tetapi kamu, kamu besar sekali nyali
kamu!" Sehabis berkata, si hantu memutar tubuhnya. Dengan
perlahan ia mengangkat tangannya, untuk menunjuk satu
pemuda, yang terpisah jauh juga darinya. Lantas ia kata
nyaring: "Kau matilah!" Kata-kata itu disusul sama gerakan
tubuhnya, yang diputar balik, terus dia berjalan pergi, maka di
lain derik lenyaplah dia dari pandangan mata semua orang!
Menyusul itu terjadi hal aneh dan hebat atas diri si anak
muda yang ditunjuk tadi. Dengan sendirinya pemuda itu
menjadi lesu, sepatah kata juga dia tidak mengeluarkannya,
lantas dia berubah kulit mukanya menjadi hitam, dan dia mati!
Kecuali itu, tidak ada tanda lainnya lagi. Dia tidak terluka.
Tidak cukup kemarin malam membunuh seekor kuda, kali
ini hantu itu membinasakan seorang muda segar bugar. Ialah
salah satu anak muda yang pernah turut memasuki istana
rahasia. Orang semua menjadi takut dan bingung, semua terbenam
dalam kekuatiran. Benar selewatnya tidak ada bahaya lagi,
akan tetapi di lain malamnya-malam ketiga tidak
ada seorang jua yang berani muncul di tegalan, semua
menyekap diri-di dalam tenda, yang ditutup rapat-rapat Malam
itu jadi sangat sunyi senyap.
Malam tenang-tenang saja sampai tiba jam haysie, seperti
kemarin-kemarinnya. Dengan tiba-tiba terdengar pula jeritan
yang menakuti itu, disusul sama kata-kata yang serupa,
disusul sama seman terakhir: "Kau matilah!"
Habis ancaman itu kembali malam rnembuat.sunyi, hanya
tidak lama, ketenangan terganggu tangisan sedih yang keluar
.dari sebuah tenda. Itulah bukti bahwa si hantu telah datangi
tenda itu, menyingkap tendanya dan membunuh mati seorang
mudai Orang menjadi takut, tetapi mereka tidak berdaya. Juga di
waktu siang, ketakutan mereka tetap tidak berubah. Mereka
lantas berdoa, memuji kepada nabi mereka memohon
perlindungan. Lain jalan tidak ada.
Sia-sia belaka doa mereka, di malam keempat, kembali
seorang muda binasa secara serupa. Maka itu, ketika tiba
kurban yang ke empat, si ketua menjadi putus asa, terpaksa ia
mengajak semua orang bangsanya mengangkut pulang harta
karun ke istana rahasia, tidak ada orang yang berani
menyembunyikan sekalipun sepotong kecil emas atau perak.
Sepulangnya barulah hati mereka lega sedikit. Mereka mau
percaya si hantu tidak bakal datang pula untuk mengganggu.
Akan tetapi, peristiwa tidak gampang-gampang habis...
Untuk pulang dari istana rahasia, di malam pertama,
mereka mesti bermalam di tengah gurun pasir. Malam itu si
hantu muncul di antara mereka, bantu itu berkata: "Kamu baik
sekali, semua harta telah kamu kembalikan padaku. - Aku
memajikan Semak kamu makmur, kamu sendiri selamat tidak
kurang suatu apa! Hanya itu anak perempuan, yang
mengantarkan kamu ke istaa rahasia, dia hendak aku
menghukumnya!" Habis berkata begitu, dia lantas lenyap.
Aman adalah si anak perempuan yang dimaksudkan itu,
maka bukan main takutnya ia. Dengan ia, turut berkuatir juga
Supu, maka besoknya malam- bersama empat kawannya
pemuda lain, dengan menyiapkan golok, Supu menjagai
kekasihnya Itu.
Kapan sang tengah malam tiba, si hantu putih yang
berlepotan darah itu muncul pula. Supu berlima mengitari
Aman, akan tetapi belum sempat mereka berbuat apa-apa,
lantas mereka merasakan punggung mereka sesemutan dan
kaku, lantas mereka roboh tak sadarkan diri. Ketika mereka
mendusin sesudah langit menjadi terang, Aman lenyap tidak
keruan paran. Mereka menjadi kaget Si empat anak muda
lantas naik kuda mereka, untuk kabur pulang. Supu pun
menunggang kuda dan kabur, hanya dia mengambil arah
kembali ke istana rahasia
*Wah, Supu, kau mau bikin apa?" orang bertenak-teriak
menanya. Sambil kabur terus, Supu menyahuti: "Aku hendak mati
bersama Aman!..."
Orang; hendak mencegah tapi pemuda itu sudah kabur
jauh. Supu hancur hatinya. Ia pergi ke istana bukan untuk
menolong kekasihnya, hanya benar-benar buat mati bersama
Magribnya di hari keempat, tibalah Supu di depan pintu
emas dari istana rahasia. Dia benar-benar telah menjadi
nekat. Tepat di depan pintu, dia berteriak-teriak: "Hai, hantu
jahat dari istana rahasia! Kau telah membikin mati kepada
Aman, maka kau bunuhlah aku sekaitan! Akulah yang bersama
Aman mengantarkan orang-orang bangsaku datang, kemari
untuk mengangkut harta karun! Aku Supu, aku tidak-takut
mati!" Supu telah menunjuk keberaniannya itu, akan tetapi sia-sia
belaka ia berkaok-kaok di muka pintu emas dari istana itu,
tidak ada orang yang menyahuti padanya, tidak ada orang
yang melayani bicara. Ia penasaran, maka ia berseru pula:
"He, hantu jahat, apakah kau takut padaku" Haha! Aku justeru
tidak takuti kau, tidak takut meski kau hantu jahat!" Ia lantas
membulang-balingkan goloknya bagaikan orang kalap.
Selagi pemuda ini masih kalap, mendadak ia mendengar
suara halus di sebelah belakangnya: "Supu, kau lagi bikin
apa?" Ia terperanjat; dengan segera ia memutar tabuhnya.
Maka ia melihat seorang wanita Han. Malam remang-remang,
sinarnya si pulen malam tidak cukup kuat untuk membikin
wajah orang nampak jelas.
"Kau mencaci kalang kabutan, siapakah yang kau maki?"
tanya pula wanita itu.
Sapu mendengar nyata suara orang. Itulah suara yang ia
kenal baik. "Kau... kau toh tuan Lie?" tanyanya akhirnya. "Mengapa
kau... kau kembali menjadi wanita?"
Nona itu memang Lie Bun Siu. Dia bersenyum
"Sebenarnya kau bikin apa di sini?" dia menanya tanpa
menjawab. "Lekas kau menyingkir!" kata Supu, yang jnga tidak
menyahuti. "Istana rahasia ini ada hantunya yang jahat! Kalau
sebentar dia keluar, dia dapat membikin celaka padamu..."
"Kenapa kau sendiri tidak takut?" balik tanya si nona. Supu
menjadi sengit. "Setan jahat itu telah mencelakai Aman!"
sahurnya. "Aku tidak ingin hidup pula!"
Bun Sui nampak kaget . "Bagaimana bisa ada bantu jahat
di istana?" katanya-: "Kenapa din mencelakai Aman?" .
Supu lantas memberi penjelasan hal munculnya si hantu
baju putih, yang mengganggu orang Kazakh hingga ada yang
mati dan Aman diculik, karena mana ia datang menyusul,
guna menyerahkan jiwanya juga.
Bun Siu berdiam untuk berpikir. Ia heran dan curiga.
"Ada tanda apa di tubuhnya kurban-kurban jiwa itu?" ia
tanya kemudian. "Benar-benarkah tidak teriuka sama sekali?"
"Benar tidak ada tanda apa-apa," menyahut Supu.
"Hanya".." tiba-tiba ia ingat suatu apa, "hanya kulit muka
mereka menjadi hitam seperti dilabur lumpur..."
Bun Siu berdiam, hatinya bekerja: "Aku tidak percaya ada
hantu di dalam dunia ini... Mungkin seorang lihai tengah main
sandiwara dengan menyamar menjadi iblis. Hanya, mengapa
tidak ada tapak kakinya di atas pasir" Kenapa hanya dengan
satu kali mengulur tangan dia dapat membinasakan orang"..."
"Tuan Lie," berkata Supu selagi orang berpikir, "kau baik
sekali, kau membantu aku mendapatkan Aman, maka sayang
peruntunganku tipis, sekarang Aman dibikin celaka hantu.-Aku
datang kemari untuk mengantarkan jiwa, biar si hantu - jahat
membinasakan aku sekalian. Tuan Lie, mari kita berpisah,
agar kita bertemu pula nanti di lain penitisan..."
Bun Siu terharu dan bingung. Menurut penuturan Supu,
"hantu" itu sangat lihai. Rasanya tidak sanggup ia melawan
bantu itu. Ia bingung mengingat anak muda ini mengurbankan
diri untuk Aman. Itulah cinta sejati. Itu membuatnya terbaru.
Ia kata di dalam hatinya: "Kau bersedia mati untuk Aman,
kenapa aku tidak bersedia mati juga untuk kau"..."
Maka ia lantas kata: "Mari aku temani kaul"
Supu terkejut Ia heran. Ia lantas mementang matanya
lebar-lebar, sedang hadnya berpikir "Kenapa kau begini baik
terhadap aku" Mustahilkah..." Ia tidak berani memikir terus,
hanya segera ia berkata: "Lekas kau menyingkir dari sini!
Lebih jauh lebih baiki" Tapi si nona tidak pergi. "Kau dengar
aku," ia berkata. "Itulah bukannya hantu! Aku percaya dialah
orang yang menyamarnya! Mari kita bekerja sama untuk
menempur dia!" Supu menggeleng, kepala. "Kau belum
pernah melihat hantu itu!" katanya. "Kau tidak tabu dia lihai
sekali! Tuan Lie, aku sangat berterima kasih kepada
kau.tetapi.. kau baiklah lekas pergi, lekas!"
Lie Bun Siu tertawa, walaupun tertawa dengan air naiki
berduka. Ia menghunus pedangnya, sedang dengan tangan
yang lain ia menolak pintu istana rahasia itu.
"Kau pasang obor!" ia pun berkata. "Mari kita menolongi
Aman!" Hati Supu tergetar mendengar suara orang itu. Tiba-tiba ia
mendapat harapan
"Apakah Aman belum mati?" dia bertanya, matanya
mendelong. "Aku percaya belumi" menjawab Bun Siu.
Tiba-tiba pemuda Kazakh itu bergembira.
"Baik" dia berseru. "Mari kita tolong! Aman!"
Dia lantas menyulut obor, bahkan dia mendahului masuk ke
istana. Demikian muda-mudi ini masuk ke dalam istana. Mereka
jalan berliku-liku. Sudah sekian lama, mereka belum juga
memperoleh hasil, Supu tidak takut, saban-saban ia berteriakteriak
memanggil-manggil: "Aman! Aman! Kau di mana?" Tapi
tidak juga ia memperoleh jawaban.
"Kau teriak bahwa pasukan besar kita datang menolongi,"
Bun Siu menganjur. "Mungkin si hantu takut dan nanti
menyingkirkan dirinya..."
Supu menurut, ia berteriak-teriak pula: "Aman! Aman!
Jangan takut! Kami datang dalam jumlah besar untuk
meoolongi kau!"
Masib tidak ada jawaban, maka mereka maju terus.
Sekonyong-konyong terdengar jeritan di sebelah depan.
Itulah jeritan wanita. Mungkin sekali itulah Aman. Maka Supu
lantas lari. Di depan sebuah kamar, ia segera menolak daun
pintu. Untuk kagetnya, ia melihat Aman di satu pojok, tangan
dan kakinya dibelenggu. Dia kaget melihat Supu, dia menjerit,
Supu juga menjerit saking terkejut, dan girangnya.
Supu lompat maju, untuk mendekati. Dengan cepat ia
meloloskan belengguan si nona.
"Mana dia si hantu jahat?" tanya dia selagi menolongi
membebaskan. "Dia bukannya hantu, hanya manusia," Aman menjawab.
"Hanya di dalam gelap, aku tidak bisa melihat tegas wajahnya.
Dia bertangan panas. Barusan dia ada di sini, begitu dia
mendengar suara kau, lantas dia pergi menyingkir!" Supu
bernapas lega. "Orang macam bagaimana dia itu?" ia
menanya. "Kenapa dia menangkap dan menculik kau?"
"Entahlah," Aman menjawab. "Selama di tengah jalan dia
telah menutup mataku. Di dalam istana ini, seluruh ruangan
gelap sekali, dari itu belum pernah aku dapat melihat jelas
mukanya." Supu berpaling kepada Bun Siu, sinar matanya menunjuki
sangat bersyukur. Sebab benar katanya si nona. Aman belum
mati.,. Bun Siu juga memandang si anak muda, ketika ia berkata:
"Supu! Bukankah kau bilang bukannya kau yang membunuh
ayahnya Aman" Sekarang aku percaya kau! Si pembunuh
mungkinlah.ini.manusia jahat yang menyamar menjadi hantu!"
. Supu berjingkrak. Ia seperti telah disadarkan.
"Tidak salah! Tidak salah!" serunya. "Mungkin dia jugalah
yang membunuh ayahku! Mari kita cari dia!"
Begitu lekas mengetahui si hantu jahat hanya manusia
belaka, keberaniannya pemuda Kazakh ini bangkit pula. Tapi,
cuma sejenak, ia lantas ingat suatu hal lainnya.
"Tuan Lie, dapatkah kita melawan dia?" ia menanya. Ia
baru ingat bahwa penjahat itu lihai sekali.
Bun Siu pun berpikir, ia bersangsi, terus ia menggeleng
kepala. "Dalam sepuluh, sembilan kita susah menang," sahutnya
terus terang. "Supu, baiklah kau bersama Aman lekas pulang,
lantas kau mengajak rombongan bangsamu datang kemari,
kau pasti bakal dapat membekuk dia."
"Rasanya sulit," berkata Supu, juga Aman. "Mereka,itu
takut bantu, mana bisa mereka diajak datang kemari?" Bun
Siu berpikir pula.
"Aku ada akal, entahlah kau, kau berani atau tidak."
katanya.

Kuda Putih Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bilanglah, apa aku mesti kerjakan, nanti aku kerjakan!"
kata si anak muda.
Bun Siu berduka. Ia .kata di dalam batinya: "Kalau aku
menyuruh kau jangan mencintai Aman hanya aku, dapatkah
kau mendengar kata-kataku?" Tapi ia tidak mengatakan
demikian. Dengan perlahan ia kata: "Mari kita berdua berpurapura
bertengkar dan bertempur, kita pergi ke itu kamar di
mana ayahmu dan Cherku telah terbinasa. Mungkin si orang
jahat muncul. Kalau benar, kita serang dia secara mendadak"
Supu setuju. "Bagusi" katanya. "Mari kita mulai!"
"Dia lihai sekali, kau mesti waspada," Bun Siu pesan.
Supu mengangkat kepalanya, sikapnya gagah.
Bun Siu lantas tertawa dingin.
"Kau bernyali besar! lihat golok!" dia berseru, lantas dia
menyerang. Supu kaget, dia lompat berkelit "Tuan Lie..." serunya. Atau
ia mendusta. Maka ia membalas membacok sambil menegur.
"Kau berani kurang ajar" Kau berani menyerang aku" Lihat,
aku bunuh mampus padamu" la lantas mengangkat goloknya.
Aman sudah lantas mengerti peranannya. Ia mengangkat
obor tinggi-tinggi ia berteriak-teriak: "Jangan berkelahi!
Jangan berkelahi! Eh, kenapa tidak keruan-keruan kamu
berkelahi?"
Cegahan itu tidak diambil mumat, keduanya lantas saling
bacok. Golok dan golok bentrok, berbunyi nyaring tidak
hentinya. Dari kamar itu mereka berkisar ke arah kamar di
mana Cherku dan Suruke terbinasa. Supu di depan, Bun Siu di
belakang. Supu terdesak, dia lari, Bun Siu merangsak,
mengejar. Meskipun mereka bersandiwara, kedua muda-mudi ini
kurang tenteram hatinya. Bukankah mereka lagi bersandiwara
untuk menghadapi ancaman bencana"
Tengah mereka "bertarung" itu, mendadak terdengar suara
apa-apa yang nyaring di tembok, terus terasa menyambarnya
angin dingin Hebat tiupan angin itu, obor di tangannya Aman
padam seketika.
Supu dapat menjalankan peranannya baik sekait Ia
menjerit "Aduh!" dan tubuhnya terus roboh terguling
Di lain pihak Bun Sie terkejut. Di dalam kamar yang gelap
itu, ia merasa ada tangan yang dingin mengenakan
lengannya, tangan mana mau merampas senjata di tangannya
itu. Ia memang sudah siap sedia, maka sambil mencoba
mengelit tangannya, kaki kirinya terangkat, menendang ke
perut orang. Sebat gerakannya, tepat tendangannya, yang
mengenai sasarannya hingga terdengar Suara keras. Tapi
penyerang gelap itu keras cekalannya, dia tidak mau
melepaskan tangan orang tidak perduli dia telah tertendang.
Bun Siu mengayun tangan kirinya ke muka musuh.
Musuh itu berkelit sambil mendak, dengan tangan larinya,
ia membalas menyerang.
Dengan begitu, mereka lantas bertempur.
Supu tidak lantas bangun, ia hanya berguling
menghampirkan untuk menyambar kaki musuh itu. Tapi ia
salah memekik "Salah" berseru Bun Siu lekas. "Inilah kakiku! Aman,
nyalakan api!"
Justeru ia membuka suara, pundaknya Bun Siu kena ditinju.
Ia merasakan sakit hingga ia menjerit. Atas itu, musuh bekerja
terus. Ia memegang keras lengan kanan si nona untuk
mencoba merampas golok orang.
Di dalam keadaan yang berbahaya kembali terdengar
siuran angin, tanda dari datangnya seorang lain, lantas
terdengar bentakan; "Jangan bergerak!"
Suara bentakan itu belum berhenti, atau menyusul yang
lain: "Jangan bergerak!"
Agaknya dua orang itu kaget, sebab berbareng terdengar
suara mereka: "Siapa kau?"
Inilah suara saling tanya. Tapi mereka tidak menjawab satu
pada lain sebaliknya, sebagai gantinya, terdengar suara
beradunya senjata-
Bun Siu terkejut dan heran. Dengan mendadak ia
menghajar dada orang. Telak tinjunya ini, hanya orang itu
berdiam saja, dia tidak berkelit, dia tidak berteriak kesakitan.
Karena orang berdiam saja dan tangannya yang dicekal
pun bebas, Bun Siu lantas menyalakan api, maka sekarang ia
bisa melihat dengan nyata keadaan di dalam kamar itu. Tentu
sekali, ia menjadi bertambah heran.
Dua orang yang lagi berkelahi itu ialah Kee Loojin serta Hoa
Hui, yang satu penolongnya, yang lain gurunya: dua-duanya
orang yang ia buat pikiran, yang ia hendak cari.
"Suhu!" ia lantas berteriak. "Kakek Kee! Tahan! Tahan!
Semua orang sendiri!"
Teriakan itu membikin dua orang itu heran, keduanya
sama-sama lompat mundur.
Bun Siu sendiri segera mengawasi orang yang mau
merampas goloknya, yang masih berdiri diam saja Sebab dia
kurban totokan pada jalan darahnya. Ia tidak dapat mengenali
orang, yang usianya kurang lebih empat puluh tahun,
mukanya berewokan, rambutnya awut-awutan, dan mukanya
itu juga tersilangkan tapak golok.
"Suhu! Kakek Kee!" kemudian si nona berkata. "Syukur
kamu datang menolongi aku, jikalau tidak, aku bisa mati di
tangannya ini manusia yang menyamar menjadi hantu!"
Orang itu tidak dapat berkutik tetapi ia bisa membuka
mulutnya. Dia tertawa dingin dan berkata: "Yang menyamar
menjadi hantu bukannya aku hanya Ma Kee Cunl" Dan
tangannya menunjuk Mendengar disebutnya nama "Ma Kee
Cun" itu, dua-dua Hoa Hui dan Kee Loojin terperanjat, mereka
seperti merasakan tubuh mereka ditusuk jarum panas,
keduanya sama-sama berlompat mundur. Wajahnya Kee
Loojin nampak bengis tetapi bergelisah, dan wajah Hoa Hui
gusar sekali. Kemudian Kee Loojin nampak menjadi kurangan
bengisnya, tertukar dengan roman jeri.
Hoa Hui mengawasi orang tua she Kee itu, dan atas ke
bawah dan sebaliknya.
Kee Loojin bertindak mundur lebih jauh. sinar matanya
berjelalatan. Ia agaknya berniat mencari jalan untuk lari
kabur. Sekonyong-konyong Hoa Hui berseru; "Kee Cun, diam!"
Kee Loojin berdiam, ia mengangkat goloknya, sikapnya
mengancam. Ia mengawasi Hoa Hui.
"Bagus, bagus!" katanya. "Kau benar belum mati!"
Suaranya perlahan.
Hoa Hui juga mengawasi tajam sekali, tak sekejap jua ia
mengedip. Kee Loojin tidak mundur lagi, ia terus menatap, rubuhnya
lantas bergemetaran.
"Suhu!" tiba-tiba ia berseru, lalu dia menjatuhkan diri,
berlutut di depan si orang she Hoa.
Lie Bun Siu heran bukan kepalang.
"Kenapa Kee Yaya pun memanggil guru kepada guruku?" ia
tanya dalam hatinya. "Dia jauh terlebih tua daripada suhu..."
Hoa Hui tertawa dingin "Hm! kau masih ingat aku sebagai
guru?" katanya tajam. "Ketika dulu kau menggunai jarum
beracun menyerang aku, kau toh tidak ingat gurumu, bukan?"
Kee Loojin mengangguk berulang-ulang.
"Ya, muridmu bersalah, muridmu bersalah" katanya.
"Muridmu harus mati." Lie Bun Siu baru sadar. "Ah, kiranya
tiga batang jarum di punggung suhu dilepaskan oleh Kee
Loojin/' "pikirnya.
Selagi yatim piatu, dan usianya demikian kecil, ia dirawat si
kakek itu hingga sepuluh tahun, tentu sekali ia ingat budi
kebaikan itu, maka sekarang, melihat sikap demikian galak
dari gurunya kepada si kakek penolongnya itu, ia merasa
berkasihan. "Suhu," ia berkata, "Kee Loojin telah membokong kau,
perbuatannya itu sangat tidak selayaknya, akan tetapi aku
minta sukalah kau memberi ampun kepadanya. Selama
sepuluh tahun Kee Yaya telah merawat aku baik-baik."
Hoa Hui tertawa dingin.
"Hm, apa itu Kee Yaya?" katanya, bengis. "Dia she Ma,
namanya Kee Cunl Apakah kau kira dia benar-benar bungkuk
unta?" Tanpa hening lagi, ia membentak pada Kee Loojin:
"Lekas singkirkan semua penyamaranmu"
Kee Loojin berbangkit dengan perlahan-lahan, terus ia
membuka bajunya, hingga di punggungnya tertampak
tergemblok sebuah buntalan besar. Ia turunkan buntalan itu.
Kemudian ia menyusut mukanya dengan tangan bajunya,
maka di lain detik, tampak mukanya yang putih dan tampan,
la sekarang terlihat tegas sebagai seorang umur tiga puluh
lebih, romannya gagah.
Lie Bu Siu sangat heran. "Kee Yaya, kiranya.." katanya
tertahan, "kiranya kau masih begini muda".,."
Kee Loojin menyeringai. "Aku bernama Ma Kee Cun,"
bilangnya. "Bukankah selama sepuluh tahun aku telah
merawati kau tanpa kecelaan?" Bun Siu mengangguk. "Kau
memperlakukan aku baik sekali," sahutnya. "Selanjutnya
baiklah aku memanggil kau paman Ma."
Hoa Hui mengambil buntalan orang, yang dijadikan alat
membikin punggung bungkuk, ia membuka ikatannya dan
membelarakkan, maka disitu terlihat sepotong jubah putih
yang berlepotan darah, yang dilihatnya mendatangkan rasa
ngeri "Ohl" Supu berseru sedang sedari tadi dia berdiam saja.
"Kiranya kaulah yang menyamar menjadi si hantu jahat"
Terhadap Hoa Hui, Ma Kee Cun bersikap sangat
menghormat, akan tetapi mengawasi Supu, ia beroman sangat
garang. "Benar aku!" jawabnya, jumawa. "Dengan menyamar
sebagai si bungkuk, aku berdiam di gurun pasir selama
belasan tahun, selama itu aku sangat menderita; maka itu apa
kau kira aku suka membiarkan harta karun di dalam istana
rahasia diangkut kamu?"
Supu pun gusar.
"Dengan menggunai ilmu siluman kau telah membinasakan
tidak sedikit orang bangsaku!" katanya bengis. "Kenapa kau
juga menculik Aman?"
Kee Cun tetap berlaku jumawa.
"Aku mempunyai harta besar begini, bagaimana aku bisa
tidak mendapatkan isteri yang cantik sebagai kawan?" dia
balik tanya. Dia lantas berpaling kepada Hoa Hui, gurunya,
untuk berkata terus: "Suhu, harta di istana rahasia ini, semua
ada kepunyaanmu, aku melainkan ingin minta dibagi satu
bagian saja dalam sepuluh, jumlah itu sudah dapat
memuaskan batiku. Nanti aku membinasakan dulu ini bocah
Kazakh, lantas kita berempat mengangkut harta ini pulang ke
Tionggoan..."
"Tidak.. tidak dapat kau membunuh dia!" Bun Siu
menyelak. Ma Kee Cun menghela napas. "Baiklah," katanya. "Aku tahu
kau memang menyayangi bocah Kazakh ini. Bersama dia kau
menggembala kambing dan bernyanyi, semua aku telah
melihatnya! Jikalau bukannya kau sangat menyayangi dia, aku
juga, tidak nanti menculik Aman. Baiklah, aku tidak akan
membunuh dia. Kau dapat Supu, aku mendapat Aman, dan
suhu mendapatkan harta besar! Jadi kita bertiga telah
mendapatkan masing-masing bagiannya..."
"Kee Yaya..." berkata Bun Siu menghela napas: "Eh, salah,
aku harus memanggil paman padamu! Paman, suatu benda
bukan kepunyaanmu, kau ingin memiliki itu untuk selamalamanya,
itulah tak dapat.."
Selagi orang berbicara, Supu mengawasi si nona..la pun
lantas mengingat banyak hal... Tapi Hoa Hui gusar. "Anak
Siul" katanya keras, "orang ini berdosa besar, apakah kau
masih mau meminta keampunan baginya" Kau tahu, semua
kepandaiannya akulah yang mengajari, aku mengajak dia
datang ke gurun pasir ini mencari istana rahasia, justeru kita
mulai mendapat endusan, dia lantas timbul keserakahannya
terhadap harta karun, dia menurunkan tangan jahat
membokong aku dengan tiga batang jarum beracun, maka
selama beberapa tahun, entah berapa hebat penderitaanku,
coba aku tidak ditolong kau, tidak nanti aku hidup sampai
sekarang ini." Bun Siu memandang Ma Kee Cun.
"Paman, inilah salahmu!" katanya.
"Nona Lie," kata Supu tiba-tiba, "dia pandai menggunai
ilmu siluman, awasi"
"Dia bukan menggunai ilmu siluman," si nona bilang. "Dia
hanya menggunai senjata rahasia yang berupa jarum berbisa
yang halus, yang mengenai tenggorokan, maka kurbankurbannya
tidak memperlihatkan tanda luka apa-apa. Bahwa
dia menjadi bertubuh tinggi, itu juga disebabkan kakinya
ditambah sama jejangkungan dan jubahnya panjang dan
gerombongan hingga kaki palsunya itu tak nampak"
Supu mengangguk. "Kau benar juga," bilangnya.
"Kau telah membokong aku dengan jarum," berkata Hoa
Hui, dingin, kepada muridnya itu, "meski kau tahu bahwa aku
tidak bakal hidup lama, kau tetap jeri kepadaku, kau takut
aku mencarimu, dari itu kau menyamar menjadi si bungkuk.
Hm! Coba habis berbuat jahat itu kau menyesal, lantas kau
pulang ke Tionggoan, pasti aku tidak bakal dapat mencarimu,
tetapi kau berat meninggalkan harta karun di sini! Coba kau
tidak datang kemari, habis perkara, tetapi kau loba, tamak
hatimu, maka itu, mana bisa kau lolos dari pengawasanku"
Haha! Kau dapat menakut-nakuti bangsa Kazakh kau
membuatnya mereka itu mengantar pulang harta karun ini,
akalmu itu .bagus sekali! Kau telah membinasakan Tan Tat
Hian, juga tindakanmu itu baik! Hanya sayang kau tidak
mengetahui, selama itu, gurumu senantiasa mengutil di
belakangmu tanpa kau mengetahui!"
Ma Kee Cun tunduk, ia masgul sekali, ia menutup mulut
Ketika itu Supu mendadak berlompat maju, goloknya ia
cekal keras. "Kenapa kau membunuh ayahku?" ia tanya, bengis.
"Kenapa kau membinasakan Cherku?"
Belum lagi Ma Kee Cun menjawab, maka orang yang
ditotok hingga tidak berdaya itu tertawa berkakak dan
berseru: "Akulah yang membunuh! Akulah yang membunuh!
Haha! Haha!"
"Kau siapa?" tanya Supu. "Kau siapa?" Bun Siu pun


Kuda Putih Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menanya, berbareng.
"Akulah si edan!" menjawab orang itu. "Orang membunuh
guruku, maka aku membunuh orang! Eh, Hoa Hui, bukankah
guruku terbinasakan kau?"
"Benar!" menjawab Hoa Hui, dingin. "Kau jadinya bukan
edan!" Mendadak tangan kanannya terayun, tiga batang jarumnya
menyamber. Orang yang mengaku edan itu lagi tertawa, sekejap juga,
terhentilah tertawanya itu, jiwanya terbang melayang. Karena
ia tertawa, wajahnya terus masih tertawa... ' "
Bun Siu kaget dan heran. Ia tidak menyangka gurunya
bertindak demikian bengis.
"Dia... dia siapakah?" ia tanya. Hoa Hui agaknya berpikir, ia
tidak lantas dapat menjawab.
Tapi Ma Kee Cun mendadak campur bicara.
"Si edan ini muridnya The Kiu In!" katanya.
Hoa Hui mengangguk "Benar, dialah murid The Kiu In," ia
bilang. Ia mengawasi kurbannya itu, yang wajahnya tetap
tertawa, lantas ia membayangkan wajahnya The Kiu In yang
disebutkan muridnya itu. "Ketika itu jago tua she The
merayakan hari ulang tahunnya, banyak tetamunya yang
hadir, aku ialah satu di antaranya. Tengah pesta
berlangsung, si edan ini muncul secara tiba-tiba dan dia
membawa banyak sekali batu permata dengan apa dia
menghadiahkan gurunya itu. Dia mengatakan tidak jelas, dia
cuma menyebut-nyebut Istana Rahasia Kobu... Malam itu juga
aku menyatroni kamar tidur The Kiu In. Aku ingin mencari
tahu tentang istana rahasia itu. The Kiu In mendusin, dia
mempergoki aku, sambil tertawa dingin, dia kata padaku: "Tok
cie Cin Thianlam, kau juga mengarah harta karun" Aku
menganggap turun tangan terlebih dulu paling baik, maka
tanpa membilang suatu apa, aku serang ia dengan jarum
rahasiaku. Lantas aku mengatur akal, ialah goloknya si edan
ini aku tancap di dada The Kiu In, sedang si edan aku culik
Aku mau membikin orang percaya si edan membunuh
gurunya. Aku menculik si edan, aku membawanya ke tempat
yang sunyi. Di sana aku mengorek keterangan dari mulutnya.
Aku mesti menggunai segala macam akal. Sampai tiga bulan
barulah aku berhasil. Si edan membilang! aku bahwa ia
mendapat peta istana. rahasia secara kebetulan saja, karena
ketarik hatinya, dia berangkat ke wilayah Hweekiang ini. Dia
berhasil mendapatkan istana rahasia berikut harta karunnya
yang berjumlah besar luar biasa. Lantas dia mengingat
gurunya, maka dia berniat pulang dengan membawa oleholehnya
itu. Meski begitu, dia terganggu rahasianya istana ini,
dia tidak bisa keluar, dia terputar-putar, kelaparan dan
berdahaga. Selanjurnya dia tidak bisa menjelaskan bagaimana
caranya dia dapat keluar dan pulang ke Tionggoan. Setelah
memperoleh keterangannya itu, aku bawa dia datang kemari.
Aku pun mengajak Ma Kee Cun bersama. Di luar sangkaan ku,
pada suatu malam, Ma Kee Cun membokong aku hingga aku
terluka parah. Hanya ketika itu, sambil mengerahkan tenaga
dalamku, untuk mempertahankan diri, aku dapat bersikap
seperti tak terluka. Kee Cun ketakutan, dia kabur. Justeru itu
si edan juga kabur dengan membawa peta istana itu. Ah, aku
tidak sangka murid yang aku paling percaya, yang aku
pandang sebagai anak sendiri, telah mendurhaka
terhadapku... Tidak lama kemudian maka di dalam kalangan
kangouw tersiarlah berita halnya aku membokong The Kiu In.
Mungkin si edan yang telah membuka rahasia itu. Kemudian
lagi, setahu bagaimana duduknya, peta itu telah terjatuh ke
dalam tangannya Pekma Lie Sam... Karena aku terluka parah
dan aku takut keluarga dan murid-muridnya The Kiu In nanti
mencari aku untuk menuntut balas, aku tidak berani pulang ke
Tionggoan. Pula, aku pun tidak berhasil mencari pula jalanan
ke istana rahasia ini... Selanjutnya aku mesti tersiksa karena
luka di punggungku, sampai itu hari aku bertemu kau, Bun
Siu, dan kau menolong aku mengeluarkan jarum itu... Aku
tidak menduga, selang banyak bulan, aku mendapatkan
orang-orang Kazakh mengangkut harta karun dari istana ini
Lalu, aku pun menyaksikan sepak terjang si orang tua
bungkuk unta... Haha! Aku telah melihat dia mencelakai orang
dengan jarum rahasianya, maka aku lantas ingat dia siapa.
Jikalau tidak, tidak nanti aku mendapat tahu bahwa dialah Ma
Kee Cun, murid yang aku sayang."
Sembari mengatakan yang paling belakang ini, Hoa Hui
memandang tajam-tajam muridnya itu, kemudian ia
memandang si edan, mayat yang tertawa. Katanya di dalam
haunya: "Kau sudah mati, perlu apa kau tertawa terus?" Habis
itu, ia melanjuti pula keterangannya: "Aku tidak tahu kapan
kumatnya si edan ini dan bahwa dia telah bersembunyi di
dalam ini istana. Mungkin dia hendak mencari balas untuk
gurunya sebab dia membenci aku, yang memfitnah padanya.
Begitu, dengan meneladi caraku, dia membunuh si orang
Kazakh yang bernama Suruke, begitu juga yang bernama
Cherku itu. Dengan perbuatannya itu, meniru aku, si edan ini
berlaku Jenaka... Karena harta karun ini, telah banyak jiwa
yang melayang, dan sekarang- haha!-semua adalah milikku!-
Aku Tok cie Cin Thianlam Hoa Hui si Jeriji Satu Menggetarkan
Langit Selatan! Tapi ini si Kee Cun yang berhati serigala
berjantung anjing, dia mengharap satu bagian dari harta ini,
dia benar-benar lagi bermimpi! Ha-hai Haha! Mesti aku
mengasih rasa padanya, supaya dia mati perlahan-lahan...
Haha! Haha!"
Tepat tengah tertawa itu, tiba-tiba mata Hoa Hui seperti
kabur, di depannya itu ia seperti melihat The Kiu In yang ia
binasakan, mata Kiu In mengancam padanya. Mendadak ia
berseru-seru: "Setan! Setan! Kau toh The Kiu In?"
Hoa Hui bukan melihat Kiu Su, ia hanya melihat mukanya
Kee Cun. Muka Kee Cun masih belum bersih betul bekas
penyamarannya. Matanya seperti kabur, ia menjadi salah
melihat. Ia pun sedang jeri sebab mengingat Kiu In. Maka
menjeritlah ia tanpa merasa...
"Aku bukannya The Kiu In!" Kee Cun pun berkata, dingin
suaranya. "The Kiu In berdiri di belakangmu!"
Hoa Hui kaget, segera ia memutar tubuhnya.
"Mana" Mana?" tanyanya. Justeru orang berbalik, Kee Cun
membacok ke punggung gurunya itu.
Hoa Hui menjerit keras, sambil memutar pula, kedua
tangannya melayang!
"Buk!" demikian satu suara nyaring. Serangan itu mengenai
dada si murid. Bun Siu kaget sekaji, hendak ia menolong, tetapi sudah
kasep. Guru dan murid itu pun rubuh berbareng. Ia lantas
memeriksa gurunya, Guru itu sudah lantas berhenti bernapas.
Ketika ia melihat Kee Loojin, orang tua palsu ini masih dapat
membuka matanya dan berkata dengan sukar. "Bun Siu,
sebenarnya aku hendak menyerang dengan jarum rahasia,
sayang ada kau berdiri di dekatnya, aku kualir jarumku nyasar
melukai kau-" Bun Siu lantas menangis. "Paman Ma, keliru
segala perbuatanmu..." katanya, "tetapi kau baik sekali
terhadap aku..."
Kee Cun menyeringai, lantas kepalanya teklok. Maka
pergilah arwahnya.
Bun Siu berduka bukan main.
"Harta ini bukan kepunyaanmu, buat apa kau
memperebutinya"..." katanya perlahan.
*** ( )*** Lewat beberapa hari, Supu dan Aman telah pulang kepada
bangsanya. Ia menuturkan segala apa, tetapi ketika ia
membilang di dalam Istana Rahasia Kobu tidak ada setannya,
tidak ada seorang juga yang mau percaya. Karena ini
selanjutnya harta karun itu tetap terpendam di dalam istana
yang hilang itu.
*** ( )*** Sementara itu di padang pasir yang menuju ke kota
Giokhunkwan, di sana nampak seorang penunggang kuda
yang dari barat berjalan ke timur. Ialah seorang nona cantik,
yang di pinggangnya tergantung pedang. Kudanya kuda
berbulu pulih, kuda itu besar dan bagus.
"Jalanan istana rahasia berliku-liku tetapi hati manusia
melebihkan itu," demikian si nona ngelamun. "Siapa sangka
Kee Yaya yang bungkuk itu baru berusia tiga puluh lebih"
Siapa menduga, guru dan murid yang dulu bagaikan ayah dan
anak, akhirnya menjadi seperti musuh, hingga setelah
menderita, mereka sama-sama terbinasa di dalam istana
rahasia" Toh Paman Ma memperlakukan aku baik sekali...
Suhu seorang buruk, dia juga baik sekari terhadap aku... Dan
Supu demikian baik hati, sayang dia cuma mengingat Aman
satu orang-"
Si kuda putih tidak tahu apa yang nonanya pikirkan, dia
bertindak terus menuju ke wilayah Tionggoan, untuk berjalan
pulang, ia tidak gentar untuk perjalanan yang jauh dan
sukar... TAMAT Harpa Iblis Jari Sakti 35 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Hikmah Pedang Hijau 7
^