Pendekar Cacad 11
Pendekar Cacad Karya Gu Long Bagian 11
perkasa harus mengorbankan jiwanya secara demikian
mengenaskan."
Dalam pada itu dalam benak Bong Thian-gak seakan-akan
terlintas semua gerak-gerik serta ucapan Thia Leng-juan
menjelang ajalnya tadi.
684 Tiba-tiba sepasang matanya menjadi merah, dengan
terbata-bata dia berbisik, "Aku sangat menyesal, aku telah
bertindak gegabah."
Sambil bergumam, selangkah demi selangkah dia berjalan
menghampiri jenazah Thia Leng-juan, kemudian menjatuhkan
diri berlutut dan berkomat-kamit entah apa yang didoakan.
Dia amat menyesal atas kecerobohan sendiri.
Dia merasa amat sedih, kesal dan murung.
Tiba-tiba dari samping tubuhnya berkumandang suara
pujian syukur kepada sang Buddha, kemudian Hong-kong
Hwesio berkata pelan, "Omitohud! Ai, Sicu tak perlu menyesal,
kematian Thia-tayhiap bukan seluruhnya dikarena
kecerobohan Sicu ... aku masih ingat perkataannya kepadaku
tempo hari, 'Bila Ko Hong masih hidup, maka di saat dia
muncul lagi dalam Bu-lim, Thia Leng-juan merasa tiada
kepentingan lagi untuk tetap hidup di dunia ini'. Dari katakatanya
itu bisa disimpulkan bahwa Thia-tayhiap memang
sudah mempunyai rencana untuk mengakhiri hidupnya setelah
mengetahui bahwa Sicu adalah Ko Hong."
"Mengapa dia berencana mengakhiri hidupnya setelah
berjumpa dengan diriku?" tanya Bong Thian-gak pedih.
"Kesulitan Thia-tayhiap tidak mungkin bisa Lolap terangkan
dengan sepatah dua patah kata saja, lebih baik kita bicarakan
lagi di kemudian hari. Sekarang yang penting Sicu harus
bersiap menghadapi kawanan musuh tangguh!"
Sementara mereka sedang berbincang, di sekeliling
halaman itu telah bermunculan bayangan orang dengan cepat,
rombongan orang berbaju hitam itu mengepung dengan
menggenggam tombak.
Dari kemampuan mereka berjalan tanpa menimbulkan
suara serta gerak-geriknya yang aneh dan misterius,
685 bahwasanya rombongan itu betul-betul merupakan
sekelompok musuh tangguh yang lihai.
Dengan sorot mata tajam Bong Thian-gak memperhatikan
sekejap orang-orang yang berada di sekeliling tempat itu,
kemudian dengan cepat dia melompat bangun sambil bisiknya,
"Ah, mereka adalah orang-orang Put-gwa-cin-kau."
"Betul," Hong-kong Hwesio menghela napas panjang,
"mereka adalah orang-orang Put-gwa-cin-kau, sungguh tak
kusangka dia pun sudah muncul di wilayah Hopak."
"Dia" Siapa yang kau maksud?" tanya Bong Thian-gak
keheranan. Hong-kong Hwesio memandang sekejap ke arah Bong
Thian-gak, kemudian katanya, "Sicu, tahukah kau, manusia
manakah yang merupakan musuh terlihai di dalam Put-gwacin-
kau?" "Cong-kaucu serta Ji-kaucu?"
Dengan cepat Hong-kong Hwesio menggeleng kepala
berulang kali, katanya cepat, "Biarpun Ji-kaucu serta Congkaucu
sangat lihai, kedua orang itu tidak menakutkan."
Mendengar perkataan itu sekali lagi Bong Thian-gak
mengawasi orang-orang berbaju hitam yang berada di
sekeliling tempat itu, mendadak ia berseru tertahan sambil
serunya, "Ah, tampaknya rombongan orang ini berasal dari
pasukan pengawal tanpa tanding?"
"Ya, betul," Hong-kong Hwesio mengangguk, "mereka
adalah pasukan pengawal tanpa tanding dari Put-gwa-cinkau."
Bong Thian-gak mengerut dahi, kemudian tanyanya,
"Apakah orang paling lihai dari Put-gwa-cin-kau yang kau
maksudkan adalah komandan nomor satu pasukan pengawal
tanpa tanding ini?"
686 "Betul, dialah yang kumaksudkan."
"Apakah dia pun berada di sini?"
"Belum, tapi dia pasti akan muncul di tempat ini, sebab
ketiga belas pengawalnya sudah muncul."
Sementara itu Han Siau-liong yang menyaksikan
kemunculan ketiga belas orang berbaju hitam itu makin
percaya bahwa kawanan jago Kay-pang yang ditugaskan
menjaga di luar kuil Hong-kong-si telah mengalami musibah.
Han Siau-liong berpaling ke arah Liu Khi, lalu katanya,
"Susiok, aku rasa kita harus turun tangan lebih dulu untuk
menguasai keadaan."
Sejak muncul hingga sekarang, Liu Khi jarang berbicara,
pada saat itulah dia menjawab dengan suara dingin, "Siauliong,
kau harus dapat mengendalikan diri, pertarungan yang
bakal berkobar dalam kuil Hong-kong-si hari ini, bisa jadi akan
merupakan pertarungan mati-matian yang jarang terjadi Bulim,
barang siapa bisa mempertahankan hidup dalam
pertarungan nanti, dialah yang mungkin akan mendapat harta
karun peninggalan raja muda Mo-lay-cing-ong."
Beberapa patah kata Liu Khi menggerakkan hati kawanan
jago yang berada di dalam arena, semua orang seolah-olah
dapat merasakan juga bahwa di dalam kuil Hong-kong-si yang
kecil itu bisa jadi akan berkobar pertempuran berdarah yang
belum pernah terjadi sebelumnya.
Bersambung j ilid 2
687 Jilid 2 Tiba-tiba Mo Hui-thian tertawa kering, kemudian berkata,
"Apabila pihak Kay-pang ingin mengangkangi sendiri harta
karun Mo-lay-cing-ong, hanya dengan mengandalkan
kemampuan Liu Khi serta Han Siau-liong saja hal itu jauh tidak
cukup." "Bagaimana pun juga kemampuan Kay-pang rasanya masih
jauh lebih mengungguli kemampuan perkumpulan Kiam-liongkiam-
san-ceng." Liu Khi balas mengejek.
"Hehehe, perkataan Liu-heng memang tepat," Mo Hui-thian
tertawa kering, "cuma pedang Lohu ini bukanlah pedang yang
bisa dihadapi seenaknya."
"Aku tahu, pedang Mo-loji paling tidak masih mampu
membacok batok kepala beberapa anggota Put-gwa-cin-kau,
kami Kay-pang ingin meminjam pedangmu itu."
"Mana ... mana, mengapa Liu-heng tidak mulai terlebih
dahulu?" "Atas dasar kemampuan kita bertiga, rasanya masih belum
cukup untuk menghadapi orang-orang Put-gwa-cin-kau,"
jawab Liu Khi dingin.
"Omitohud!" tiba-tiba Hong-kong Hwesio memuji
keagungan Buddha, "perkataan Liu-sicu memang benar,
perubahan situasi yang kita hadapi sekarang membutuhkan
kerja sama untuk menghadapi musuh tangguh Put-gwa-cinkau,
kita wajib menghancurkan dan mematahkan mereka
terlebih dahulu."
Mo Hui-thian tertawa, selanya, "Seandainya beberapa
orang di antara kita bersedia bekerja sama, aku yakin
kekuatan yang kita himpun ini sanggup untuk menghadapi
688 serbuan pihak Put-gwa-cin-kau, sayang, kita semua masih
belum seia-sekata."
Selesai berkata, dia berpaling dan memandang sekejap
Bong Thian-gak.
Tentu saja Bong Thian-gak memahami maksud Mo Huithian
itu, maka ujarnya kemudian dengan suara hambar,
"Biarpun pihak Kay-pang serta perkumpulan Kim-liong-kiamsan-
ceng mempunyai dendam kesumat dengan Hiat-kiam-bun,
tapi permusuhan itu tidak sedalam permusuhan kami dengan
pihak Put-gwa-cin-kau."
"Kalau begitu kita bisa bersatu-padu sekarang," ujar Mo
Hui-thian sambil tertawa. "Nah, kita turun tangan lebih dulu
menggasak habis manusia-manusia cecunguk itu."
"Yang perlu kita musnahkan pertama-tama adalah Si-hunmo-
li," kata Liu Khi tiba-tiba.
Selesai berkata, lengan tunggalnya segera diayunkan ke
depan, dua batang pisau terbang yang telah disiapkan sejak
tadi disambitkan ke muka.
Berubah hebat paras muka Bong Thian-gak mendengar
perkataan itu, serunya dengan cepat, "Tunggu sebentar!"
Mo Hui-thian tertawa dingin, jengeknya, "Beberapa
kelompok di antara kita ini memang selamanya tak mungkin
bisa bersatu."
"Barang siapa di antara kalian berani memukul Si-hun-moli,
Pek-hiat-kiam di tanganku ini tak akan memberi ampun
kepadanya," ancam Bong Thian-gak dengan suara dalam.
Sembari berkata, Pek-hiat-kiam di tangannya segera
disilangkan di depan dada, kemudian dengan wajah serius dan
bersungguh-sungguh dia mengawasi semua orang dengan
seksama. 689 Suasana di halaman gedung itu seketika tercekam dalam
keheningan, rasa tegang dan napsu membunuh yang
menggidikkan menyelimuti benak setiap orang.
Han Siau-liong segera menimbrung, "Bong-buncu, kau
sudah merasakan sendiri betapa lihainya Si-hun-mo-li,
seandainya perempuan itu tidak kita lenyapkan lebih dulu,
kemungkinan besar kita semua akan terluka oleh pukulan Sohli-
jian-yang-sin-kangnya."
"Perkataanku tadi sudah cukup jelas," kata Bong Thian-gak
dengan wajah serius, "aku tak mengizinkan orang melukainya,
bila Liu Khi berani melepas pisau terbangnya, maka Pek-hiatkiam
ini akan segera memenggal pula batok kepalanya."
Liu Khi yang mendengar perkataan itu tertawa dingin,
"Sekali pun pisau terbang Liu Khi sudah dicekal dalam
genggaman, tak pernah berlaku dalam kamusku untuk
menyimpannya kembali."
"Aku tahu kepandaian silat yang kau miliki sangat hebat,
tapi pada saat kau melepaskan pisau terbangmu itu, mustahil
bisa menghindar dari babatan Pek-hiat-kiam, maka kunasehati
kepadamu, lebih baik jangan menyerempet bahaya."
Mendadak Mo Hui-thian mengangkat pedangnya dan dari
kejauhan diarahkan pada Bong Thian-gak, setelah itu katanya
sambil tertawa kering, "Sebetulnya aku merupakan penengah,
tapi setelah diperhitungkan untung ruginya, aku lebih condong
berpihak ke Liu-heng, dengan posisi demikian apakah Bong
Thian-gak masih tetap bersikeras melindungi Si-hun-mo-li?"
"Omitohud!" tiba-tiba Hong-kong Hwesio berkata memuji
keagungan Buddha, "kuminta Sicu sekalian jangan bertindak
kelewat gegabah, lebih baik kita bersama-sama merundingkan
cara pemecahan yang bijaksana."
Tiba-tiba Bong Thian-gak menghela napas panjang, lalu
berkata, "Kuharap kalian bersedia mendengarkan
perkataanku, sesungguhnya Si-hun-mo-li adalah seorang
690 perempuan yang patut dikasihani, aku Bong Thian-gak pernah
berhutang budi kepadanya, oleh sebab itu bila kalian berharap
bantuanku malam ini untuk menghadapi orang-orang Putgwa-
cin-kau, maka kalian harus memenuhi syaratku lebih
dulu, yakni tidak boleh mencelakai jiwa Si-hun-mo-li."
Baru selesai perkataan itu, mendadak terdengar suara
dingin yang menggidikkan berkumandang dari sudut halaman
gedung, menyusul kemudian seseorang berkata dengan suara
sedingin salju, "Dengan mengandalkan kemampuan kalian,
aku rasa masih belum mampu membunuh Si-hun-mo-li."
Mendengar perkataan itu, para jago segera berpaling, dari
sudut halaman sebelah utara pelan-pelan muncul dua orang.
Orang pertama adalah sastrawan berbaju hijau yang sangat
dikenal Bong Thian-gak, yakni Ji-kaucu.
Sedangkan orang kedua adalah seorang kakek berbaju
panjang berwarna hitam yang pada bagian dadanya tersulam
seekor naga emas yang sedang melingkar.
Orang itu seperti tidak membawa senjata, dia hanya
bertangan kosong, namun Bong Thian-gak yang melihat sorot
mata dan gerak-geriknya yang mantap, kontan keningnya
berkerut kencang.
la merasa kelihaian ilmu silat orang ini mungkin sudah
mencapai tingkat yang tak terhingga, bahkan di antara
kawanan jago persilatan yang pernah dijumpai olehnya, boleh
dibilang kakek baju hitam inilah yang memiliki kepandaian silat
paling hebat. Perasaan ini hanya Bong Thian-gak yang dapat merasakan.
Mungkinkah dia adalah komandan nomor satu pasukan
pengawal tanpa tanding Put-gwa-cin-kau"
Kakek berbaju hitam itu berjalan bersanding dengan Jikaucu,
sambil melangkah ke arena, dia menyapu pandang
sekejap para jago yang hadir, katanya dengan suara dingin,
691 "Liu Khi, bila kau tidak percaya, silakan kau timpukkan pisau
terbangmu itu, coba kita buktikan apakah Si-hun-mo-li benarbenar
akan mampus di ujung pisau terbangmu itu?"
Dalam keadaan demikian, secara tiba-tiba Liu Khi menarik
kembali kedua pisau terbang yang semula dicekal dalam
genggamannya, kemudian setelah tertawa, katanya, "Kau
ingin menyaksikan aku melepaskan pisau terbang" Boleh saja,
tapi tunggu sampai kita berhadapan nanti, bisa kau buktikan
dengan mata kepalamu sendiri!"
Kakek berbaju hitam tertawa dingin, "Selama ini dalam Bulim
tersiar berita yang mengatakan Liu Khi adalah seorang ahli
senjata rahasia nomor wahid di kolong langit, sayang aku
justru tak mau percaya dengan ucapan itu!"
"Bagaimanakah kemampuan Liu Khi dalam melepaskan
pisau terbang, mengapa tidak kau tanya sendiri kepada Jikaucu?"
Liu Khi berkata sambil berkata.
Ji-kaucu yang berada di sisi kiri lantas tersenyum, "Biarpun
pisau terbangmu lebih cepat setingkat pada tiga tahun
berselang ketika kita beradu di wilayah Sucwan, namun
pertandingan itu sesungguhnya belum dapat menentukan
secara tepat siapa yang unggul."
"Kalau begitu dengan cara apa kita baru dapat mengetahui
secara tepat siapa sesungguhnya yang lebih unggul di antara
kita?" "Aku pikir, kita harus mengulangi pertarungan penentuan
untuk membuktikan siapa sesungguhnya yang lebih unggul,"
jawab Ji-kaucu dengan wajah membesi dan suara hambar.
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, tentu saja dengan senang hati akan kulayani
pertarungan ulangan itu."
Mendadak terdengar Hong-kong Hwesio berseru dengan
suara keras, "Sim Tiong-kiu, masih ingat dengan aku si Hwesio
tua?" 692 "Biar kau si keledai gundul sudah berubah menjadi abu pun
aku masih mengenali dirimu," jawab kakek baju hitam itu
dengan keras. "Omitohud, Sim-sicu! Kuanjurkan padamu, lebih baik
lepaskan saja golok pembunuhmu! Biarpun pelajaran Buddha
tak bertepian, namun Hud-co pasti akan mengampuni semua
dosa-dosa Sicu di masa lampau bila kau bersedia bertobat."
Kakek berbaju hitam itu tertawa dingin, "Keledai gundul,
apakah kau sudah menyadari bakal mati pada malam ini,
maka sekarang memohon Lohu untuk memberikan jalan hidup
bagimu?" "Omitohud," kata Hong-kong Hwesio, "bila Sim-sicu masih
juga tak mau bertobat dan menyesali semua kejahatan yang
pernah kau lakukan, jangan menyesal nanti."
"Hong-kong Hwesio," tukas kakek berbaju hitam ketus,
"sekali pun kau menghadap dinding dan berlatih tekun selama
lima puluh tahun lagi masih bukan tandinganku, siapa
orangnya yang mampu mencabut nyawaku?"
Perkataan kakek berbaju hitam ini sangat takabur dan
sombong bukan alang-kepalang, ia benar-benar tidak
memandang sebelah mata terhadap orang lain, seakan-akan
dialah manusia paling hebat di kolong langit dan tiada orang
kedua yang mampu mengungguli dirinya.
Sudah barang tentu semua jago yang hadir dalam arena
merasa mendongkol.
Mendadak Han Siau-liong tertawa tergelak, kemudian
serunya, "Kesombongan dan kejumawaanmu benar-benar
membuat perasaan orang tidak enak, biarpun aku hanya
seorang yang berkepandaian cetek, namun ingin sekali kucoba
sampai dimanakah kemampuan orang yang menganggap
dirinya paling wahid di kolong langit ini."
693 "Bila kau tidak percaya, silakan saja mencoba," jengek
kakek baju hitam itu hambar.
"Oh, tentu saja aku akan mencoba," Han Siau-liong tertawa
lebar. Selesai berkata, dengan pedang terhunus selangkah demi
selangkah Han Siau-liong maju ke muka.
Melihat Han Siau-liong tampil, buru-buru Hong-kong
Hwesio berkata, "Han-sicu, harap berhenti dulu."
"Hahaha," Han Siau-liong tertawa terbahak-bahak, "Hwesio
tua, biarpun aku bisa menahan diri dan membiarkan cecunguk
itu pamer kesombongannya, sayang, orang lain tidak memiliki
kesabaran sebesar itu."
Liu Khi sendiri pun dapat merasakan kepandaian silat kakek
berjubah hitam itu lihai sekali dan Han Siau-liong bukan
tandingannya, tapi batinnya, "Tenaga dalam Han Siau-liong
amat sempurna, sekali pun kakek baju hitam itu ingin
mengunggulinya, hal ini tak akan terjadi dalam satu-dua
gebrakan saja ... biar saja dia turun tangan menguji
kemampuannya."
Karena pikiran ini, maka dia pun membiarkan Han Siauliong
meneruskan langkahnya.
Baik Bong Thian-gak maupun Mo Hui-thian sama-sama
ingin mengetahui sampai dimanakah kemampuan kakek
berjubah hitam itu, dengan mata tak berkedip mereka
mengawasi langkah Han Siau-liong menuju ke depan.
Tentu saja Han Siau-liong memiliki kepandaian amat lihai,
sepintas dia nampak seperti pemuda yang tinggi hati dan
jumawa, padahal dia tak berani menganggap enteng setiap
lawannya. Dengan langkah tegap dan mantap, selangkah demi
selangkah dia maju ke depan, semua jago yang berada di
arena rata-rata mengetahui, secara diam-diam Han Siau-liong
694 telah menghimpun tenaga dalam dan dihimpun ke lengannya,
dari lengan disalurkan ke pedang bajanya.
Selain itu semua orang juga tahu bahwa serangan
pedangnya yang pertama nanti, Han Siau-liong pasti akan
melepaskan sebuah serangan maha dahsyat.
Menghadapi serangan Han Siau-liong itu, si kakek baju
hitam tetap acuh tak acuh, dengan sikap amat tenang dia
menantikan Han Siau-liong menghampirinya selangkah demi
selangkah. Mendadak suara bentakan keras memecah keheningan,
pedang baja Han Siau-liong disertai deru angin yang amat
hebat langsung menyambar dan membacok tubuh si kakek
berbaju hitam. Serangan pedang yang dilancarkan olehnya ini boleh
dibilang disertai kecepatan luar biasa dan kekuatan yang
sanggup membelah bukit karang.
Ketika kawanan jago itu melihat datangnya serangan tadi,
semuanya beranggapan sama, kecuali menghindarkan diri,
rasanya sulit bagi Sim Tiong-kiu untuk menyambut datangnya
ancaman itu dengan kekerasan.
Tak disangka, tindakan yang dilakukan Sim Tiong-kiu sama
sekali di luar dugaan semua orang.
Bukannya menghindar atau melompat mundur, tahu-tahu
Sim Tiong-kiu malah melompat ke muka dan melepaskan
sebuah tendangan dengan kaki kirinya mengarah datangnya
ancaman pedang itu.
Sambil mendesak ke muka, kakek baju hitam itu berseru
lantang, "Enyah kau dari sini!"
Tahu-tahu tendangan itu bersarang di dada lawan, Han
Siau-liong mendengus tertahan, tubuhnya terpental ke tengah
udara. 695 Berbareng dengan mencelatnya Han Siau-liong, mendadak
tampak titik-titik cahaya tajam yang menyilaukan mata
menyambar ke tubuh kakek berbaju hitam itu.
Rupanya titik-titik cahaya itu tidak lain adalah pisau terbang
yang disambitkan secara tiba-tiba oleh Liu Khi.
"Hm, kau anggap pisau terbangmu itu mampu melukai
diriku?" jengekan dingin bergema di udara.
Bayangan orang berkelebat, tahu-tahu Sim Tiong-kiu telah
berdiri kembali di tempat semula, hanya pada jari tangan
kirinya kini telah bertambah dengan dua pisau terbang yang
memancarkan cahaya tajam.
Pisau terbang milik Liu Khi sebenarnya terhitung sangat
hebat, jarang ada orang yang mampu menghindarkan diri dari
sergapannya, tapi kenyataan sekarang pisau terbang itu sama
sekali tidak berpengaruh apa-apa terhadap orang berbaju
hitam itu. Dalam pada itu Han Siau-liong yang mencelat ke belakang
berikut pedangnya, kini sudah menggeletak di tanah dan tidak
berkutik lagi. Bong Thian-gak dan Mo Hui-thian serentak maju
mendekatinya. Tampak oleh mereka, Han Siau-liong sudah tergeletak di
tanah dengan wajah pucat-pias seperti mayat, rupanya dia
sudah dalam keadaan tak sadarkan diri.
Han Siau-liong adalah jagoan lihai nomor tiga dalam Kaypang,
sampai dimana kepandaiannya Bong Thian-gak pernah
menyaksikan sendiri, bahkan pemuda itu terhitung jago lihai
dalam Bu-lim. Tapi kenyataan sekarang jagoan itu dibikin keok dan tak
sadarkan diri dalam satu gebrakan saja, boleh dibilang
peristiwa semacam ini sungguh menggidikkan.
696 Itu berarti juga Sim Tiong-kiu benar-benar merupakan
seorang jagoan hebat.
Untuk beberapa saat lamanya para jago bergidik dengan
perasaan bergetar keras, mereka hanya bisa saling pandang
dan mulut membisu.
Suara dingin, ketus dan sombong Sim Tiong-kiu kembali
berkumandang di sisi telinga para jago, terdengar ia berkata,
"Apakah masih ada orang lain yang ingin mencoba kepandaian
silatku?" Tantangan yang begitu sombong dan takabur semacam ini
pada hakikatnya cukup membuat orang tidak tahan.
Toa-cengcu Kim-liong-kiam-san-ceng Mo Hui-thian tertawa
seram, katanya, "Mo Hui-thian ingin sekali mencoba
kepandaian silatmu."
"Mo-cengcu dikenal sebagai pendekar pedang nomor wahid
di kolong langit, aku memang sudah lama ingin mencoba
kepandaian ilmu pedangmu itu," jawab Sim Tiong-kiu hambar.
"Mo-cengcu, harap kau suka menahan diri, jangan kau
lakukan tindakan gegabah," Hong-kong Hwesio berseru
dengan suara dalam.
Mo Hui-thian berpaling dan memandang sekejap ke arah
Hong-kong Hwesio, katanya, "Hwesio tua, apakah dengan
kemampuan yang kumiliki masih belum mampu menyambut
sejurus serangannya?"
"Apakah Mo-cengcu dapat "melihat pukulan yang
menyebabkan Han Siau-liong terluka parah?" tanya Hongkong
Hwesio dengan wajah serius.
Mendengar pertanyaan itu, semua jago serentak
mengangkat kepala dan menengok ke arah Hong-kong
Hwesio. 697 Memang sampai sekarang tak seorang pun di antara yang
hadir mengetahui luka apakah yang diderita Han Siau-liong.
Mo Hui-thian tertawa rikuh, lalu dia balik bertanya, "Apakah
kau tahu, pukulan apa yang menyebabkan Han Siau-liong
terluka?" Hong-kong Hwesio menggeleng kepala, "Hingga kini Lolap
masih belum tahu ilmu sakti apakah yang telah dilatih Simsicu,
tapi Lolap tahu, dewasa ini sedikit sekali ada yang bisa
menghindarkan diri dari serangannya itu."
Mo Hui-thian tertawa dingin, serunya, "Hei, Hwesio tua, kau
tahu berapa orang di kolong langit ini yang mampu
menghindarkan diri dari serangan pedangku?"
"Sekali pun serangan pedangmu sangat lihai dan luar biasa,
jarang ada orang yang sanggup menghadapinya, akan tetapi
pernahkah Mo-cengcu bayangkan bahwa musuh pada
hakikatnya tak akan memberi kesempatan kepadamu untuk
melancarkan serangan."
Hati Mo Hui-thian bergetar keras, dia segera bertanya,
"Hwesio tua, apakah maksudmu berkata demikian?"
Hong-kong Hwesio menghela napas panjang, "Ai, musuh
yang akan menyerang lebih dahulu, bukan kau yang
melancarkan serangan menyergap lawan."
Mo Hui-thian tercekat, dengan cepat ia bertanya, "Barusan
bukankah Han Siau-liong yang telah melancarkan serangan
lebih dahulu terhadap lawan?"
"Tentu saja tidak," seru Hong-kong Hwesio sambil
menggeleng. Jawaban ini dengan cepat menimbulkan tanda tanya besar
bagi kawanan jago itu.
698 Sudah jelas terlihat tadi bahwa Han Siau-liong melancarkan
serangan lebih dahulu, bagaimana mungkin bisa dikatakan
Sim Tiong-kiu yang menyerang lebih dulu"
Setelah tertawa dingin Mo Hui-thian bertanya, "Hwesio tua,
bisakah kau terangkan bagaimana cara musuh melancarkan
serangan lebih dulu?"
Hong-kong Hwesio menghela napas panjang, "Ai, Lolap
bisa menerangkan, tentu saja bisa pula mematahkan jurus
serangan yang mematikan dari Sim Tiong-kiu itu."
"Huh, pada hakikatnya kau hanya ngaco-belo belaka, aku
justru tidak percaya dengan segala takhayul!" jengek Mo Huithian
sambil tertawa kering.
Sembari berkata, pedangnya segera diangkat, kemudian
pelan-pelan diturunkan ke depan dada, setelah itu ia
menggenggam pedangnya dengan kedua tangan dan "Crit",
tubuh berikut pedangnya tahu-tahu meluncur ke depan Sim
Tiong-kiu dan menusuk tubuhnya.
Kawanan jago di arena saat ini boleh dibilang rata-rata
adalah jagoan persilatan yang berilmu tinggi, setelah
menyaksikan jurus pedang yang dipergunakan Mo Hui-thian,
tanpa terasa masing-masing pihak berpekik lirih, "Ah, ilmu
pedang terkendali!"
Yang disebut ilmu pedang terkendali adalah semacam ilmu
pedang tingkat atas yang paling sukar dipelajari, bila
kepandaian itu sudah mencapai puncaknya, maka serangan
pedang bisa dikendalikan dari jarak jauh, bila demikian
keadaannya maka memenggal batok kepala orang dari
kejauhan bukan suatu pekerjaan yang amat sukar.
Tiba-tiba saja Mo Hui-thian memepergunakan kepandaian
maha sakti ini untuk menyerang musush, pada hakikatnya
kejadian itu benar-benar merupakan suatu peristiwa yang luar
biasa. 699 Hawa pedang yang tajam bagaikan sembilu diiringi deru
angin tajam segera melintas dan menusuk ke tubuh Sim
Tiong-kiu. Tapi bersamaan dilancarkannya serangan itu, jeritan kaget
serta suara bentrokan nyaring bergema memecah keheningan.
Tubuh Mo Hui-thian seperti layang-layang putus benang
terpental di udara dan berjumpalitan sebanyak tiga kali,
kemudian jatuh terbanting ke tanah.
Bong Thian-gak menghampiri orang itu.
Tampak paras muka Mo Hui-thian pucat-pias seperti mayat,
napasnya tersengal-sengal, ia mengangkat kepala
memandang ke arah Bong Thian-gak sambil menggerakkan
bibirnya yang gemetar seperti hendak memberitahukan
sesuatu kepada Bong Thian-gak, namun tak sepatah kata pun
yang terdengar.
Dengan cepat Bong Thian-gak menempelkan telapak
tangan kanannya ke jalan darah Mi-bun-hiat di tubuh Mo Huithian.
Secara beruntun Mo Hui-thian muntah darah sebanyak tiga
kali, tiba-tibanya kulit mukanya mengejang keras, kemudian
roboh dan tidak sadarkan diri.
Hanya dalam sekali gebrakan saja secara beruntun Sim
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiong-kiu telah berhasil merobohkan dua jago persilatan yang
berilmu tinggi, kehebatannya itu dengan cepat menghebohkan
dan menggidikkan hati setiap orang.
Kembali Bong Thian-gak mengangkat kepala, ia lihat Sim
Tiong-kiu masih tetap tegak berdiri di tempat, wajahnya dingin
bagaikan es, selapis hawa dingin yang menggidikkan seakanakan
menyelimuti tubuhnya.
Waktu itu ujung baju lengan kirinya telah robek separo,
tampaknya terpapas robek oleh sambaran hawa pedang yang
dipancarkan oleh Mo Hui-thian tadi.
700 "Masih ada siapa lagi yang ingin mencoba kepandaianku?"
suara yang dingin dan sombong Sim Tiong-kiu sekali lagi
berkumandang. Sudah jelas Sim Tiong-kiu hendak mempergunakan
kepandaian rahasianya yang maha sakti, hendak melukai
kawanan jago yang hadir di arena satu demi satu.
Itulah sebabnya ia menantang lagi para jago lain untuk
mencoba kepandaian silatnya.
Sementara itu Bong Thian-gak telah menggeser badan,
kemudian ujarnya, "Kepandaian silat yang kau miliki memang
sangat hebat, aku percaya tak bisa menandingi kehebatanmu
itu, meski demikian aku ingin juga menjajal kepandaianmu
itu." "Bong-sicu, kau tidak boleh bertindak secara gegabah."
Bong Thian-gak berpaling dan memandang sekejap ke arah
Hong-kong Hwesio, kemudian katanya dengan suara nyaring,
"Hari ini kita sudah berhadapan dengan lawan, cepat atau
lambat pertarungan tak bisa dihindari lagi, kau suruh aku
jangan bertindak sembarangan, apakah kau hendak menyuruh
aku menerima kematian begitu saja?"
Hong-kong Hwesio menghela napas sedih, kemudian
katanya, "Kedua orang murid Lolap mungkin sanggup
menahan serangannya, Bong-sicu, harap kau jangan turun
tangan lebih dulu!"
Dalam pada itu kedua murid Hong-kong Hwesio telah maju
bersama ke depan.
Bong Thian-gak memandang sekejap ke arah kedua anak
buah Hong-kong Hwesio yang berjenggot hitam itu, lalu dia
bertanya, "Apakah Siancu berdua punya keyakinan dapat
menahan serangannya?"
701 Mendengar pertanyaan itu, kedua Hwesio berjenggot hitam
itu menggeleng kepala, namun tidak mengucapkan sepatah
kata pun. Kembali Bong Thian-gak berkata, "Bila Siancu berdua
memang tidak punya keyakinan, lebih baik mundurlah untuk
sementara waktu."
"Bong-sicu," terdengar Hong-kong Hwesio berkata, "kedua
orang muridku ini selain bisu juga tuli, semua perkataanmu itu
tak mungkin didengarnya."
Mendengar ucapan itu, Bong Thian-gak menghela napas
panjang, segera pikirnya, "Oh, rupanya kedua orang ini bisu
tuli, tak heran selama ini tak kudengar ucapan mereka barang
sepatah kata pun."
Berpikir sampai di situ, Bong Thian-gak memandang
sekejap ke arah Hong-kong Hwesio, lalu berkata, "Kalau kedua
murid Hwesio tua bisu tuli, mereka lebih-lebih tidak
seharusnya dikirim ke arena untuk melangsungkan
pertarungan itu!"
Hong-kong Hwesio menghela napas panjang, "Ai, biarpun
kedua muridku ini bisu tuli, namun ketajaman mata serta
kecerdasan otak mereka jauh melebihi orang biasa, bahkan
boleh dikatakan kelewat tajam dan cerdik. Bong-sicu tak perlu
kuatir, siapa tahu kedua muridku itu mampu mematahkan ilmu
rahasia andalan Sim Tiong-kiu."
Pada saat itulah terdengar Sim Tiong-kiu berkata sambil
tertawa dingin, "Keledai gundul, bila kau menginginkan kedua
murid cacatmu bisa mematahkan ilmu maha saktiku, tunggu
saja bila matahari terbit dari langit barat."
"Walaupun kedua orang itu tidak mempunyai keyakinan
untuk membendung kesaktian silat Sicu, tapi pada puluhan
tahun berselang kedua orang itu sudah mulai melatih diri
secara tekun dan berhasil menciptakan sejenis ilmu silat yang
dapat mematahkan jurus sakti Sim-sicu."
702 "Kalau memang begitu, suruh saja mereka berdua kemari
mengantar kematian!"
Tiba-tiba Bong Thian-gak berseru, "Tunggu sebentar!"
Tubuhnya berkelebat cepat dan menghadang di hadapan
kedua Hwesio berjenggot hitam itu.
"Bong-sicu, masih ada urusan apa lagi?" tanya Hong-kong
Hwesio. "Ada sebuah persoalan yang ingin kutanyakan kepada kau."
"Bila Sicu ada persoalan, harap diutarakan saja."
"Kau pernah bertarung melawan orang itu?"
"Ya, kami pernah bertarung," Hong-kong Hwesio mengaku.
"Sudah bentrok berapa kali?" kembali Bong Thian-gak
bertanya. "Tiga kali."
"Taysu, apakah setiap kali kalian bertarung Ji-kaucu selalu
hadir di arena?"
Pertanyaan ini membingungkan Hong-kong Hwesio, dia
menggeleng sambil berkata, "Ji-kaucu tak pernah hadir di
arena. Bong-sicu, apa maksudmu menanyakan hal ini?"
Sebelum Bong Thian-gak menjawab, terdengar Ji-kaucu
tertawa dingin sambil katanya, "Dia curiga kalau aku telah
melepaskan racun dan meracuni orang secara diam-diam."
Rupanya Bong Thian-gak menaruh curiga atas kejadian itu,
hingga kini dia masih belum dapat melihat dengan jelas
bagaimana Sim Tiong-kiu melukai lawannya.
Maka dia pun mulai berpikir, "Mungkinkah Ji-kaucu yang
telah melepaskan racunnya secara diam-diam dari tepi arena
untuk membantu Sim Tiong-kiu sehingga akibatnya orang
703 yang diserang Sim Tiong-kiu selalu menderita luka secara
membingungkan?"
Tapi jalan pikiran itu dengan cepat tersapu lenyap dalam
tanya-jawab dengan Hong-kong Hwesio, sekarang dia yakin
Sim Tiong-kiu benar-benar memiliki sejenis ilmu silat maha
sakti. Bong Thian-gak termenung sejenak, tiba-tiba ia berkata
lagi, "Hwesio tua, mungkin aku dapat menyambut sebuah
pukulannya tanpa harus mati. Harap Hwesio tua
memerintahkan kepada kedua muridmu agar segera
mengundurkan diri!"
"Bong-sicu, kau tak usah keras kepala," tampik Hong-kong
Hwesio sambil menggeleng.
Bong Thian-gak kembali tersenyum, "Biarpun aku belum
punya keyakinan untuk bisa mematahkan jurus serangan
lawan, tapi aku percaya tak bakal tewas di bawah telapak
tangannya," kata Bong Thian-gak sambil tersenyum. "Bila
kulangsungkan pertarungan jarak dekat, mungkin bisa
kupatahkan jurus serangannya yang tangguh itu."
Sim Tiong-kiu tertawa seram, "Ji-kaucu, orang inikah yang
bernama Jian-ciat-suseng?" "Ya, dialah orangnya."
"Bukankah Cong-kaucu telah menurunkan perintah agar
kita membekuknya hidup-hidup?"
"Benar, tapi kepandaian silat yang dimiliki orang ini sangat
lihai, tampaknya komandan Sim membutuhkan tenaga yang
cukup besar untuk dapat membekuknya."
Mendadak Bong Thian-gak berkata sambil tertawa dingin,
"Saudara, bersiap-siaplah menerima seranganku!"
"Kalau berniat melancarkan serangan, lancarkan saja
seranganmu itu," kata Sim Tiong-kiu hambar.
704 Bong Thian-gak menggenggam Pek-hiat-kiam dengan
tangan tunggalnya, kemudian maju selangkah demi selangkah
mendekati lawan.
Gerak langkah kakinya lamban sekali, ternyata Bong Thiangak
telah mengerahkan tenaga dalam Tat-mo-khi-kang untuk
melindungi badannya.
Paras muka Bong Thian-gak yang semula pucat penyakitan,
kini telah berubah merah bercahaya.
Sim Tiong-kiu tetap berdiri tegak, matanya bersinar tajam
bagai bintang timur mengawasi wajah Bong Thian-gak tanpa
berkedip. Tiba-tiba bergema suara gelak tertawa yang menyeramkan,
Sim Tiong-kiu bagaikan sambaran kilat cepatnya langsung
menerjang ke arah Bong Thian-gak.
Sejak tadi Bong Thian-gak sudah mengetahui Sim Tiong-kiu
memiliki ilmu silat yang amat hebat, tapi demi menjaga teknik
'dengan tenang mengatasi gerak', Bong Thian-gak sama sekali
tidak melepaskan serangan pedangnya.
Oleh sebab itu Sim Tiong-kiu segera mendesak lebih ke
depan dan sebuah pukulan yang maha dahsyat dilontarkan ke
dada Bong Thian-gak.
Bong Thian-gak memang telah bersiap menerima serangan
itu, ia tidak menghindar maupun berkelit, dadanya malah
dibusungkan untuk menyambut datangnya ancaman itu.
"Blam", diiringi benturan yang keras sekali, serangan itu
bersarang di dada anak muda itu.
Ilmu Tat-mo-khi-kang yang memancarkan daya
kemampuan dahsyat itu segera menciptakan selapis tenaga
pantulan tanpa wujud yang segera menggetarkan tubuh Sim
Tiong-kiu sehingga tergetar mundur sejauh tiga langkah.
705 Pada detik yang bersamaan itulah Pek-hiat-kiam yang
berada dalam genggaman Bong Thian-gak segera dibabatkan
dan menusuk ke dada Sim Tiong-kiu.
Padahal taktik yang diambil Bong Thian-gak ini telah
berhasil ditebak musuh secara tepat.
Tentu saja serangan yang dilancarkan olehnya itu amat
cepat bagaikan sambaran kilat, hawa sakti Tat-mo-khi-kang
yang melindungi badannya pun tak mampu lagi melindungi
seluruh tubuhnya.
Serangan dahsyat musuh pun dilontarkan lagi.
Bong Thian-gak hanya merasakan jari telunjuk tangan kiri
musuh menyambar pelan ke atas dadanya, serangan jari
tangan tanpa wujud bersarang telak di atas bahu kanannya.
Dengusan tertahan bergema, Bong Thian-gak tidak mampu
lagi melawan serangan jari itu, tubuhnya segera terbanting ke
tanah. Gelak tawa seram penuh kebanggaan bergema memecah
keheningan malam, tubuh Sim Tiong-kiu bagaikan sukma
gentayangan mendesak maju ke muka, bersamaan itu pula
cakar tangan kanannya mencengkeram urat nadi pada lengan
tunggal Bong Thian-gak.
"Crit, crit", dua kali desingan tajam bergema.
Tahu-tahu Liu Khi telah melepaskan dua bilah pisau
terbangnya ke depan.
Golok terbang Liu Khi memang sangat termasyhur di kolong
langit, khususnya mengancam tenggorokan orang, barang
siapa terserang tak mungkin tertolong lagi.
Itulah sebabnya Sim Tiong-kiu tidak berkesempatan lagi
untuk melanjutkan ancamannya atas urat nadi Bong Thiangak.
706 Tangan kirinya cepat diputar, ternyata kedua pisau terbang
itu sudah terjepit di antara jari telunjuk dan jari tengah.
Pada saat itulah terdengar Liu Khi berseru lagi dengan
suara lantang, "Sekarang silakan kau rasakan bacokan golokku
yang sesungguhnya."
Selesai bicara Liu Khi segera melolos golok panjangnya, Topit-
coat-to yang membuat Liu Khi termasyhur di kolong langit.
Begitu serangan golok dilancarkan, ancaman itu benarbenar
menggetarkan perasaan setiap orang.
Jerit kesakitan segera berkumandang memecah
keheningan. Darah segar menyembur, telapak tangan kanan Sim Tiongkiu
sebatas pergelangan tangan tahu-tahu sudah terpapas
kutung oleh bacokan golok itu.
Tapi bersamaan dengan terpapas kutungnya pergelangan
tangan kanan Sim Tiong-kiu, tangan kirinya telah melancarkan
serangan pula ke depan.
Liu Khi menjerit kaget, tubuhnya terlempar dan jatuh
terduduk di atas tanah.
Ia sama sekali tidak pingsan, akan tetapi luka yang
dideritanya cukup parah, dia terduduk di atas tanah dengan
sekujur badan gemetar keras, untuk beberapa saat tak
mampu bangkit kembali.
Sorot mata Liu Khi penuh dengan pancaran sinar kaget dan
keheranan, hingga detik ini dia masih belum mengetahui
dengan jelas bagaimana hal ini bisa terjadi hingga ia terluka
oleh jurus serangan lawan.
Beberapa kejadian beruntun itu berlangsung hampir
bersamaan, berhubung gerak tubuh mereka kelewat cepat.
707 Sejak pergelangan tangannya terpapas kutung, Sim Tiongkiu
menaruh perasaan dendam yang amat besar, ia menerkam
lagi ke arah Liu Khi yang masih tergeletak di depan sana.
Dalam pada itu Liu Khi sudah lemas dan tidak berkekuatan
lagi untuk memberikan perlawanan setelah tubuhnya terhajar
oleh serangan jari lawan, kulit mukanya segera mengejang
keras, pikirnya, "Habis sudah riwayatku kali ini, sungguh tak
nyana Liu Khi harus mampus di tangannya."
Belum habis ingatan itu melintas, sekilas cahaya pedang
berwarna merah telah berkelebat di depan mata.
Liu Khi segera memusatkan perhatian dan menengok.
Ternyata Pek-hiat-kiam di tangan kanan Bong Thian-gak
sedang diarahkan ke tubuh Sim Tiong-kiu, dia melancarkan
tiga buah serangan berantai, memaksa Sim Tiong-kiu terdesak
mundur. Baik Liu Khi maupun Sim Tiong-kiu sama sekali tidak
menyangka Bong Thian-gak masih memiliki kekuatan untuk
melancarkan serangan walaupun sudah terkena pukulan
dahsyat Sim Tiong-kiu secara telak.
Pertarungan cepat akhirnya terhenti dan hening kembali.
Pek-hiat-kiam di tangan Bong Thian-gak terkulai
menghadap tanah, dengan senjata itu dia mempertahankan
keseimbangan tubuhnya.
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara itu Ji-kaucu telah menghampiri Sim Tiong-kiu
dan secara beruntun menotok urat nadi pada lengan kanan
Sim Tiong-kiu yang kutung untuk mencegah agar tidak banyak
darah yang mengalir dari mulut lukanya.
Hong-kong Hwesio menghampiri Bong Thian-gak serta Liu
Khi, ia segera bertanya, "Parahkah luka yang kalian derita?"
708 "Hwesio tua, aku sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk
menangkis ataupun mematahkan jurus serangan musuh," kata
Liu Khi sambil tertawa pedih.
Bong Thian-gak berkata pula sambil menghela napas sedih,
"Hwesio tua, jurus serangan lawan yang hebat itu terletak
pada jari telunjuk tangan kirinya, berhubung serangan itu
tidak memperlihatkan gejala apa-apa, maka hampir tiada
orang yang berhasil mengetahui rahasia itu dengan jelas."
Mendengar penjelasan itu, Hong-kong Hwesio menghela
napas panjang, katanya kemudian, "Lolap memang pernah
menduga, bahwa jurus serangan dahsyat lawan bisa jadi
berasal dari satu di antara sepuluh jari tangannya, namun aku
tak pernah bisa menebak dengan cara bagaimana dia
merobohkan lawan-lawannya, sebab pada saat serangan
dilancarkan, hal ini merupakan suatu masalah yang tak bisa
dipecahkan."
Liu Khi menyesal setengah mati setelah mendapat
penjelasan ini, dia menghela napas dan mengeluh,
"Seandainya serangan golokku tadi membacok pergelangan
tangan kirinya, urusan pasti akan beres dengan sendirinya."
"Seandainya tanpa serangan golokmu tadi, mungkin aku
sudah tewas terhajar serangannya," kata Bong Thian-gak
dengan perasaan amat berterima kasih.
Liu Khi lebih berterima kasih lagi, katanya, "Serangan
pedang Bong-laute yang benar-benar telah menyelamatkan
jiwaku, aku merasa berterima kasih sekali."
Bong Thian-gak menengok sekejap ke arah Hong-kong
Hwesio, kemudian katanya, "Hwesio tua, sekarang tergantung
pada dirimu."
"Sekarang pergelangan tangan Sim Tiong-kiu telah
terpapas kutung, semangat tempurnya sudah luluh, agaknya
Lolap mampu menandinginya."
709 Liu Khi menghela napas sambil berkata, "Keadaan saat ini,
kekuatan pihak Put-gwa-cin-kau sama sekali belum menderita
kerugian apa-apa, agaknya nasib kita malam ini lebih banyak
buruknya daripada untungnya."
Betul, dari pertarungan yang berlangsung barusan, pihak
Put-gwa-cin-kau hanya menderita kerugian Sim Tiong-kiu
seorang yang telah kehilangan pergelangan tangannya,
sedangkan Ji-kaucu beserta Si-hun-mo-li dan ketiga belas
orang berjubah hitam itu pada hakikatnya belum turun
tangan. Sebaliknya di pihak lain, Han Siau-liong dan Mo Hui-thian
secara beruntun telah terluka oleh serangan jari tangan Sim
Tiong-kiu dan hingga kini belum sadarkan diri, sedangkan Liu
Khi dan Bong Thian-gak telah menderita luka pula.
Pada saat ini mereka yang sanggup melangsungkan
pertarungan dengan musuh tinggal kedelapan pelindung
hukum Hiat-kiam-bun, Hong-kong Hwesio beserta murid serta
Long Jit-seng. Bila diperbandingkan kemampuan yang dimiliki kedua belah
pihak, tampaknya Hong-kong Hwesio bertiga sulit untuk
menandingi kemampuan Sim Tiong-kiu, Ji-kaucu serta Si-hunmo-
li. Mendadak Liu Khi memandang sekejap ke arah Bong
Thian-gak, kemudian bertanya, "Bong-buncu, masih
mampukah kau melanjutkan pertarungan?"
"Bahu kananku makin lama semakin kaku, agaknya sudah
tak bisa bertahan lebih lama lagi, mungkin sampai waktunya
aku sudah tak mampu lagi menggenggam pedang," ucap Bong
Thian-gak sambil tersenyum.
Paras muka Liu Khi berubah hebat, katanya kemudian,
"Kalau begitu kita benar-benar akan tewas di tempat ini."
710 Bong Thian-gak kembali tertawa, "Sebelum ajal tiba, aku
rasa masih ada sisa kekuatan untuk membunuh beberapa
orang musuh lagi, apakah Liu-locianpwe sudah tidak
mempunyai kemampuan lagi?"
Hati Liu Khi bergetar keras, ia tertawa terbahak-bahak,
"Apakah Bong-buncu tidak percaya aku sudah tidak memiliki
kekuatan lagi untuk melanjutkan pertarungan?"
"Kalau tadi, mungkin benar-benar sudah tak punya lagi,
tapi sekarang aku lihat Liu-locianpwe seperti telah
menemukan cara untuk mengobati luka yang kau derita."
"Bila Bong-buncu tidak mempercayai diriku lagi, aku pun
tak bisa berkata apa-apa lagi," ucap Liu Khi sambil tertawa.
Sambil menarik muka Bong Thian-gak berkata lagi,
"Sebentar lagi Sim Tiong-kiu dan Ji-kaucu akan melancarkan
serangan terhadap kita, bila Liu-locianpwe tidak segera
mengobati luka yang diderita Han Siau-liong serta Mo Huithian,
bisa jadi kita benar-benar akan tewas hari ini di sini."
Liu Khi kembali menggeleng kepala berulang kali.
"Saat ini aku benar-benar sudah tidak mempunyai kekuatan
lagi sekalipun untuk menyembelih ayam, bila beruntung bisa
memulihkan kembali kekuatanku, mungkin hal ini baru
kualami beberapa jam kemudian. Sekarang terpaksa aku
harus menggantungkan perlindungan terhadap Hong-kong
Hwesio sekalian serta Bong-buncu."
Mendengar perkataan ini, Bong Thian-gak mengerutkan
dahi, kemudian pikirnya, "Barusan tampaknya aku seperti
melihat Han Siau-liong telah membuka mata satu kali setelah
memperoleh pertolongan Liu Khi."
Mendadak terdengar suara dingin yang menggidikkan hati
dari Ji-kaucu bergema memotong jalan pikiran Bong Thiangak,
"Ko Hong, hari ini jangan harap kau bisa meloloskan diri
dari jaringan langit yang diatur oleh Put-gwa-cin-kau." i
711 Pedang di tangan Bong Thian-gak masih tetap tergeletak di
tanah, ketika mendengar perkataan itu dia tertawa dingin, "Ko
Hong adalah nama samaranku pada tiga tahun berselang,
pada saat ini aku adalah ketua Hiat-kiam-bun, Jian-ciat-suseng
Bong Thian-gak."
Dia tertawa dingin tiada henti, kemudian melanjutkan, "Jikaucu,
bila kalian ingin membunuhku pada hari ini, mungkin
pengorbanan yang sangat besar harus kalian bayar untuk itu,
jika kau tidak percaya, silakan saja bertindak!"
Bong Thian-gak dengan memancarkan sinar mata tajam
yang menggidikkan mengawasi wajah Ji-kaucu dengan penuh
gusar dan perasaan dendam yang membara.
Tak terkira rasa terkesiap Ji-kaucu menyaksikan sorot mata
Bong Thian-gak itu, pikirnya, "Sekarang dia sudah terkena
pukulan Ji-gwat-soh-hun-ci dari Sim Tiong-kiu, namun luka
yang diderita nampaknya tidak begitu parah, oh ... sungguh
mengejutkan tenaga dalam orang ini... bukan hanya Ji-gwatsoh-
hun-ci yang tidak berhasil melukainya, ilmu pukulan Sohli-
jian-yang-sin-kang dari Si-hun-mo-li pun tampaknya tak
dapat melukainya, entah kepandaian silat apakah yang
berhasil dilatih olehnya."
Bukan hanya Ji-kaucu seorang yang berpendapat demikian,
bahkan Hong-kong Hwesio serta sekalian jago pun merasa
curiga di samping kagum atas kelihaian ilmu silat Bong Thiangak.
Tiba-tiba Sim Tiong-kiu melompat bangun dari atas tanah,
kemudian berseru, "Lohu tidak percaya kalau kau masih
mempunyai kemampuan untuk melukai musuh dengan
pedangmu itu."
"Kalau tidak percaya, mengapa tidak datang kemari
mencobanya sendiri?" jengek Bong Thian-gak sambil tertawa
dingin. 712 Waktu itu Sim Tiong-kiu telah kehilangan telapak tangan
kanannya, sehingga dengan demikian dia menjadi manusia
cacat. Dengan begitu Bong Thian-gak, Sim Tiong-kiu dan Liu Khi
tiga orang berlengan tunggal saling berdiri berhadapan
dengan sikap bermusuhan.
Sorot mata Sim Tiong-kiu memancarkan sinar kebencian
dan perasaan dendam ditujukan ke arah Liu Khi yang duduk
bersila di atas tanah, sebaliknya Bong Thian-gak mengawasi
gerak-gerik Sim Tiong-kiu tanpa berkedip.
Dia tahu tujuan serangan yang mematikan Sim Tiong-kiu
saat ini tak lain adalah Liu Khi.
Di pihak lain, Hong-kong Hwesio telah berseru
memuji keagungan sang Buddha, lalu berkata, "Sim-sicu, di
antara kita berdua masih terjalin dendam dan hutang lama,
apakah Sim-sicu tidak akan menagih hutang itu kepada aku si
Hwesio tua?"
Sim Tiong-kiu memandang sekejap ke arah Hong-kong
Hwesio, kemudian bertanya, "Kau tak usah berharap bisa
meninggalkan kuil Hong-kong-si lagi dalam keadaan hidup,
biar kau punya sayap pun jangan mimpi bisa meninggalkan
tempat ini. Buat apa aku memusingkan diri dengan hutang
lama kita?"
"Sim-sicu, tentunya kau tidak akan memberikan
keuntungan yang amat besar kepada aku si Hwesio tua
bertiga bukan?"
"Biarpun lenganku kutung semua, aku masih mampu
melayani kalian bertiga," jengek Sim Tiong-kiu dengan suara
sedingin es. "Sim-sicu, tidakkah kau merasa bahwa perkataanmu itu
kelewat takabur?"
713 "Kau si Hwesio tua termasuk juga seekor rase tua yang licik
dan banyak tipu muslihat, siapakah yang tidak tahu kau
memang lebih suka membiarkan orang lain turun ke
gelanggang lebih dulu, sedangkan kalian guru dan murid akan
duduk sebagai si nelayan mujur yang tinggal memungut
hasilnya?"
Ketika mendengar perkataan kedua orang itu, hati Bong
Thian-gak bergetar keras, segera pikirnya, "Ya, sejak awal
hingga sekarang Hong-kong Hwesio bertiga tak pernah
menggerakkan tangan biar satu gebrakan saja, mungkinkah si
Hwesio tua ini seperti apa yang dikatakan Sim Tiong-kiu
barusan. Berakal busuk, banyak tipu muslihat dan mempunyai
tujuan pribadi tertentu" Siapa tahu dia memang sengaja
membiarkan aku serta pihak Kay-pang turun gelanggang
terlebih dulu sebagai panglima pembuka jalan untuk
menghadapi Put-gwa-cin-kau?"
"Omitohud!" Hong-kong Hwesio berkata, "setelah Sim-sicu
berkata demikian, rasanya aku si Hwesio tua bertiga tidak
boleh cuma berpeluk tangan belaka."
"Soal dendam dan permusuhan yang terjalin di antara kita,
sesungguhnya kau harus sudah mulai melancarkan serangan
sejak tadi," jengek Sim Tiong-kiu dingin.
Sembari berkata, Sim Tiong-kiu mengulap tangan kirinya ke
tengah udara. Tiga belas orang yang selama ini berdiri mengepung arena
itu serentak menyiapkan tombak dan bergerak mempersempit
kepungan mereka.
Biarpun langkah ketiga belas orang berbaju hitam itu
dilakukan sangat lambat, akan tetapi Bong Thian-gak yang
menyaksikan kejadian itu paras mukanya berubah hebat.
Ternyata dia telah mengetahui ketiga belas orang berbaju
hitam yang bersenjata tombak itu rata-rata memiliki
714 kepandaian yang sangat tinggi, bahkan kemampuan mereka
rasanya tidak di bawah kemampuan seorang tokoh Bu-lim.
Satu ingatan dengan cepat melintas dalam benak Bong
Thian-gak ... dia tahu dalam pertarungan malam ini, sukar
bagi pihaknya untuk mengungguli lawan, berarti satu-satunya
jalan yang tersedia bagi pihaknya adalah berusaha meloloskan
diri dari kepungan.
Berpikir sampai di sini tiba-tiba Bong Thian-gak berbisik
kepada Ang Teng-siu, "Ang-huhoat, dengarkan, tatkala aku
menyerang Si-hun-mo-li nanti, kalian harus menghimpun
segenap kekuatan untuk melindungi aku agar lolos dari
kepungan."
Baru saja perkataan itu selesai, mendadak tampak Sim
Tiong-kiu dan Ji-kaucu telah mengundurkan diri ke arah timur,
sebagai gantinya ketiga belas orang berbaju hitam bertombak
itu membentuk sebuah barisan yang sangat aneh dan
mengepung para jagoan di tengah gelanggang.
Mendadak Ji-kaucu yang telah berada di luar arena
berteriak aneh, "Mo-li, mengapa kau tak mengundurkan diri?"
Teriakan itu diutarakan dengan suara tinggi melengking
dan menusuk pendengaran, diutarakan dengan sangat
lamban. Tatkala mendengar suara itu, bagi Si-hun-mo-li seruan itu
seakan-akan mengandung daya iblis yang luar biasa, sekujur
badannya gemetar keras, dengan cepat dia membalikkan
badan dan berjalan menuju ke arah Ji-kaucu.
Pada saat itulah tubuh Bong Thian-gak secepat sambaran
kilat telah berkelebat ke depan dan mendorong tubuh Si-hunmo-
li ke belakang.
Kini Pek-hiat-kiam telah disarungkan kembali. Bong Thiangak
dengan lengan tunggalnya yang lebih cepat daripada kilat
dan lebih tajam daripada pedang telah menyambar ke muka.
715 Sementara itu telapak tangan kanannya sudah menyentuh
tiga buah jalan darah penting di punggung Si-hun-mo-li.
Seruan tertahan bergema, jalan darah Mi-bun-hiat di
punggung Si-hun-mo-li sudah kena terhajar.
Tapi pukulan itu tidak membuatnya tak sadarkan diri,
setelah bergemanya jeritan kaget, Si-hun-mo-li membalikkan
badan sambil melepaskan sebuah pukulan pula ke jalan darah
Ciang-hiat di dada Bong Thian-gak.
Mimpi pun Bong Thian-gak tidak menyangka Si-hun-mo-li
sama sekali tidak terpengaruh oleh serangan Hut-hiat-sengmeh-
jiu-hoat yang dilepaskan olehnya, dalam tertegunnya
lekas dia mengegos ke samping untuk menghindarkan diri.
Tentu saja serangan balasan Si-hun-mo-li mengenai tempat
kosong, tapi dia pun segera melompat ke depan dan melayang
pergi.
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam pada itu empat tombak panjang telah menusuk ke
tubuh Bong Thian-gak. Hong-kong Hwesio beserta kedua
muridnya yang gagu dan tuli turut menerima serangan pula,
sudah jelas para jago dikepung dalam pusat barisan tiga belas
orang berbaju hitam.
Bong Thian-gak memang sudah mengetahui kelihaian
ketiga belas orang baju hitam itu, bila mereka sampai
terkurung dalam barisan itu, biarpun dia dan Hong-kong
Hwesio belum tentu terkena musibah, namun para pelindung
hukum perguruannya bakal menemui celaka atau tertumpas
sama sekali. Itulah sebabnya Bong Thian-gak segera membentak keras,
secepat kilat tangan kanannya melolos Pek-hiat-kiam, lalu
"Trang", percikan bunga api beterbangan ke empat penjuru.
Biarpun keempat tombak itu berhasil ditangkis ke samping,
namun sebatang tombak yang lain meluncur ke punggung
716 Bong Thian-gak dengan kecepatan seperti anak panah
terlepas dari busurnya.
Sedemikian cepatnya tombak itu hingga pada hakikatnya
hampir tiada orang yang bisa menghindarkan diri.
Ang Teng-siu yang berada di sisinya segera berteriak kaget,
"Hati-hati Buncu!"
Padahal teriakan Ang Teng-siu itu tidak ada gunanya,
biarpun Bong Thian-gak bermaksud menghindar, namun
sudah dapat dipastikan ia akan tewas di ujung tombak itu
sejak tadi. Kepandaian silat Bong Thian-gak benar-benar telah
mencapai puncak kesempurnaan, tanpa berpaling lagi kaki
kirinya maju setengah langkah ke samping, tombak tadi
segera menyambar lewat dari bawah ketiaknya.
Jeritan ngerl yang memilukan hati segera berkumandang
memecah keheningan, sebutir batok kepala orang berbaju
hitam segera terbang ke udara.
Tapi dengan bergemanya suara jeritan itu, secara beruntun
bergema pula empat kali jeritan ngeri dan dengusan tertahan
lainnya. Bong Thktn-gak memandang ke arena, ternyata empat
orang pelindung hukumnya tertembus oleh empat tombak
tajam pada bagian dadanya, darah segar segera berhamburan
kemana-mana, jiwa mereka pun lenyap seketika.
Tak terlukiskan rasa kaget Bong Thian-gak, ia segera
membentak, "Ang Teng-siu, kalian tak usah bertarung lagi!"
Di tengah bentakan, Bong Thian-gak melompat mundur,
pedang segera diayunkan membabat empat orang berbaju
hitam. Gerakan keempat orang berbaju hitam itu cepat tak
terlukiskan, baru saja serangan Bong Thian-gak dilancarkan,
717 tombak mereka sudah dicabut dari tubuh mayat, kemudian
serentak diayunkan ke muka untuk menangkis datangnya
ancaman pedang Bong Thian-gak itu.
Di satu pihak Bong Thian-gak terancam mara bahaya, di
pihak lain Hong-kong Hwesio dan murid-muridnya juga
mengalami nasib yang sama, mereka menghadapi serangan
demi serangan dari orang-orang baju hitam dan tombaknya
yang menyerang secara gencar.
Sedemikian bertubi-tubinya ancaman yang datang,
membuat ketiga orang itu hanya bisa menangkis belaka, pada
hakikatnya sudah tidak memiliki kemampuan lagi untuk
melancarkan serangan belasan.
Sesungguhnya kepandaian silat Hong-kong Hwesio dan
murid-muridnya sangat hebat, tenaga dalam yang mereka
miliki pun mengejutkan orang, tapi serangan tombak musuh
amat gencar, ini membuat suasana segera dikuasai lawan.
Jurus-jurus serangan tombak kawanan jago berbaju hitam
memang hebat dan tangguh, serangan-serangan mereka atas
lawan bukan serangan tunggal yang terpotong-potong,
melainkan serangan berantai yang betul-betul hebat.
Setelah tusukan itu lewat, tusukan lain kembali meluncur
datang dengan kecepatan tinggi, gerakan mereka yang
berantai seakan-akan ada seribu batang tombak yang
menyerang tiada hentinya.
Kepandaian silat yang dimiliki Bong Thian-gak termasuk
amat lihai, seandainya dia berniat meloloskan diri dari
kepungan musuh, hal itu dapat dilakukan secara mudah, tapi
dia tak bisa berbuat begitu, dia wajib melindungi keselamatan
jiwa keenam anak buahnya yang saat itu sudah terkepung di
tengah barisan lawan.
Dalam sengitnya pertarungan yang sedang berlangsung,
tiba-tiba Bong Thian-gak mengendus segulung bau harum
yang aneh sekali.
718 Dengan terkejut dia pun segera berteriak, "Hati-hati
dengan racun jahat!"
Baru saja bentakan itu dikumandangkan, Ang Teng-siu
berenam sudah bertumbangan ke tanah.
Hong-kong Hwesio dan muridnya turut sempoyongan pula
seakan-akan setiap saat bakal roboh.
Dari luar lingkaran pengepungan, dengan cepat bergema
gelak tawa menyeramkan dari Ji-kaucu, kemudian ia berseru
penuh kebanggaan, "Untuk membekuk kalian, merupakan
pekerjaan yang amat mudah. Hahaha, sekarang seluruh
halaman gedung ini telah dipenuhi oleh asap dupa beracun
Khi-hiang-gi-tok, akan kulihat siapa lagi yang mampu
meninggalkan halaman ini barang selangkah pun."
Sementara itu Bong Thian-gak telah menutup
pernapasannya, tapi berhubung dia sudah mengendus
segulung bau racun, benaknya mulai terasa kalut dan rasa
pusing tiba secara bertubi-tubi.
Diiringi pekik nyaring yang menusuk pendengaran, Bong
Thian-gak menghimpun tenaga dalamnya terus melejit ke
udara, lalu dengan cepat dia menerjang keluar lingkaran
pekarangan. Bayangan orang segera berkelebat di udara, tiga orang
berbaju hitam dengan menyilangkan tiga batang tombak
menghadang jalan pergi anak muda itu.
Hawa napsu membunuh telah menyelimuti benak Bong
Thian-gak sekarang, pedangnya kontan dibacokkan kian
kemari. Pek-hiat-kiam memancarkan cahaya tajam yang
menyilaukan mata, hujan darah pun berhamburan.
Tiga sosok mayat orang berbaju hitam segera rontok dari
tengah udara, sedangkan Bong Thian-gak sendiri juga ikut
terjatuh. 719 Ternyata serangan pedang yang dilancarkan Bong Thiangak
tadi merupakan serangan hawa pedang tujuh langkah
melukai musuh, merupakan ilmu tingkat paling tinggi dalam
ilmu pedang. Begitu serangan pedang dilancarkan, biarpun
ada seratus orang terkumpul dalam lingkungan tujuh langkah
dari posisinya, semua akan tewas dengan kepala terpenggal
dan darah bercucuran, kelihaiannya luar biasa.
Tapi ilmu pedang semacam ini juga boros dalam
penggunaan tenaga dalam, itulah sebabnya Bong Thian-gak
turut terjatuh.
Dengan mengendorkan hawa murni secara tiba-tiba, Bong
Thian-gak kembali menghirup segulung udara.
Pada saat itulah Liu Khi yang berada di sisi arena berseru
sambil tertawa, "Kebenaran satu depa lebih tinggi, satu
tombak lebih tebal, biarpun racun dupa harum Ji-kaucu sangat
lihai, sayang sekali tidak manjur bagi orang she Liu."
Bong Thian-gak menyaksikan beberapa titik cahaya putih
memancar dari tangan Liu Khi dengan kecepatan tinggi.
Dimana cahaya putih berkelebat, jeritan ngeri bergema
susul-menyusul.
Dalam pada itu tubuh Bong Thian-gak sudah mulai gontai,
namun dia masih dapat menyaksikan sisa kesembilan orang
berbaju hitam itu satu demi satu terhajar golok terbang dan
tergeletak di atas tanah.
Tenaga dalam Liu Khi yang begitu mengejutkan membuat
Bong Thian-gak merasa terperanjat sekali.
"Hahaha, Liu Khi, sekarang tinggal kau seorang. Rasanya
kau tak akan mampu menandingi kami, bukan?"
Liu Khi tertawa dingin, balasnya, "Ji-kaucu, perhitunganmu
salah besar, Toa-cengcu Kim-liong-seng-kiam-ceng Mo Huithian
serta Han Siau-liong dari partai kami telah sehat walafiat
720 kembali, kekuatan kami cukup untuk bertarung melawan
kalian." Ketika mendengar itu, Bong Thian-gak mendongakkan
kepalanya, benar juga Han Siau-liong serta Mo Hui-thian telah
bangkit semua. Sambil tertawa dingin Mo Hui-thian berkata, "Sim Tiongkiu,
Ji-gwat-soh-hun-ci (ilmu jari pengunci sukma) tak bisa
membunuh orang. Hehehe, padahal kau terlalu percaya pada
kemampuanmu sendiri, kau anggap Mo Hui-thian itu siapa"
Memangnya bisa dibunuh oleh serangan jarimu itu?"
Sekarang Bong Thian-gak baru sadar bahwa Liu Khi dan Mo
Hui-thian memang benar-benar mempunyai tujuan pribadi,
rupanya dia dan Hong-kong Hwesio sekalian memang sengaja
diatur agar bisa menahan kekuatan Put-gwa-cin-kau paling
dulu, kemudian merekalah yang akan menjadi si nelayan
mujur yang tinggal memungut hasilnya.
Kelicikan dan kemunafikan orang-orang di dunia persilatan
memang sungguh menakutkan.
Secara lamat-lamat Bong Thian-gak menyaksikan pula
bagaimana Liu Khi, Mo Hui-thian serta Han Siau-liong sekalian
melangsungkan pertarungan sengit melawan Ji-kaucu dan Sim
Tiong-kiu sekalian.
Sayang racun dupa sudah semakin menyerang
kesadarannya, lambat-laun Bong Thian-gak mulai pudar
kesadarannya sebelum akhirnya tak sadarkan diri.
Bagaimana hasil pertarungan berdarah antara Liu Khi
sekalian dengan Put-gwa-cin-kau" Tentu saja dia tak dapat
melihat dengan mata kepala sendiri.
0oo0 Angin berhembus kencang, putaran roda kereta bergema
memecah keheningan.
721 Ketika Bong Thian-gak sadar dari pingsannya, dia lihat
keempat anggota badannya sudah dirantai orang, rantai yang
amat besar dan berat. Kini dia sedang berbaring dalam kereta
kuda yang gelap-gulita hingga tak nampak kelima jari
tangannya. Tatkala baru mendusin dari pingsannya tadi, Bong Thiangak
merasakan sekujur badannya linu dan sakit. Badannya
terasa kaku dan kesemutan, maka itu dia berbaring saja tanpa
bergerak untuk sementara waktu, telinganya menangkap
suara derap kaki dan roda kereta, segera menyadarkan dia
bahwa dirinya sedang berada dalam perjalanan.
Selang beberapa saat, Bong Thian-gak coba untuk
menyalurkan hawa murninya mengelilingi badan, ternyata
semuanya berjalan normal. Semua ini membuat hatinya lega.
Dia mencoba untuk duduk, ternyata rantai yang
membelenggu anggota tubuhnya diikat pada lantai kereta,
karena itu biarpun dia bisa duduk tegap, namun sama sekali
tak sanggup menggeser tubuh barang setengah langkah pun.
Dengan mengerahkan ketajaman matanya, Bong Thian-gak
mencoba memperhatikan rantai yang besarnya seibu jari itu.
Dia tahu, dengan tenaga dalam yang dimilikinya sulit rasanya
untuk mematahkan rantai itu.
Maka setelah menghela napas panjang, terpaksa dia hanya
duduk tenang dalam kereta, pikirnya, "Orang-orang Put-gwacin-
kau berhasil membekukku, hendak dibawa kemanakah
diriku?" Membayangkan hal itu, tanpa terasa Bong Thian-gak
memicing mata dan mengintip lewat sela-sela lantai kereta.
Yang terlihat olehnya hanya padang rumput yang sangat
luas, tiada sesuatu yang aneh atau luar biasa sehingga timbul
perasaan jemu bagi siapa pun yang melihatnya.
722 Bong Thian-gak segera mengalihkan sorot matanya,
mengintip dari sudut lain.
Kali ini dia berhasil melihat kereta yang ditumpanginya
dihela oleh enam kuda yang tinggi besar dan gagah, tampak
di bagian kusir duduk tiga orang sais.
"Hei, mengapa aku tidak mencoba bertanya kepada
mereka?" satu ingatan tiba-tiba melintas dalam benaknya.
Belum lenyap ingatan itu, suara bentakan bergema,
menyusul terdengar pula suara ringkik kuda.
Kereta kuda yang sedang dipacu kencang itu seketika
terhenti. Dengan cepat Bong Thian-gak mengalihkan pandangan
matanya keluar celah-celah dinding kereta.
Mendadak dia saksikan dua titik cahaya putih menyambar
datang dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.
Menyaksikan kedua titik cahaya itu, Bong Thian-gak
menjadi amat terkejut, diam-diam dia berpekik dalam hati,
"Golok sakti berlengan tunggal!"
Ternyata dia mengenali kedua titik cahaya putih itu sebagai
sambaran pisau terbang milik Liu Khi yang menggetarkan
seluruh jagat. "Bila pisau terbang Liu Khi sudah disambit keluar, sudah
pasti kedua kusir di atas kereta akan tewas dalam keadaan
mengerikan!" pikir Bong Thian-gak dalam hati.
Kenyataan suasana di sekeliling tempat itu memang amat
sepi dan hening.
Tapi selang beberapa saat kemudian tiba-tiba terdengar
suara Liu Khi, "Kalian berdua bisa menghindarkan diri dari
sambaran pisau terbangku, ini membuktikan ilmu silatmu pasti
luar biasa, ayo cepat sebutkan siapa namamu?"
723 Bong Thian-gak terkejut bercampur keheranan setelah
mendengar ucapan itu, pikirnya, "Aku sudah pernah
menyaksikan kehebatan pisau terbang Liu Khi, kenyataan
sekarang kedua kusir itu mampu menghindar dari sambaran
pisau terbangnya, terbukti ilmu silat mereka memang hebat."
Dalam pada itu satu di antara kedua kusir kereta itu telah
berkata diiringi suara tawanya yang menyeramkan,
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tampaknya kau adalah Liu Khi."
Bong Thian-gak yang mengintip dari balik celah-celah
kereta dapat melihat dengan jelas bahwa di antara jalan raya,
berdiri tegak seorang jangkung bertubuh ceking dan berjubah
hitam, orang itu jelas Liu Khi adanya.
Cahaya mata yang tajam dan menggidikkan mencorong
dari balik mata Liu Khi, diawasinya kedua orang yang berada
di atas kereta itu, kemudian setelah tertawa seram, katanya,
"Betul, akulah Liu Khi, kau anggap ada orang yang berani
menyaru sebagai diriku?"
Baru selesai perkataan itu, dari atas kereta bergema lagi
gelak tawa panjang, "Sudah lama kudengar pisau terbang Liu
Khi konon akan membawa bencana bila dilepaskan, selamanya
tidak pernah meleset, tapi kenyataannya pada malam ini ...
hahaha ...."
Suara gelak tertawa panjang yang sinis dan mengandung
nada penghinaan segera bergema.
Sementara itu Liu Khi menanti dengan tenang, sampai
gelak tawa mereka reda, dia berkata dengan hambar, "Biarpun
kalian berdua bisa menghindarkan diri dari pisau terbangku,
apakah dapat juga menghindarkan diri dari bacokan golok
yang terselip di pinggangku sekarang?"
"Silakan saja dibuktikan," ucap orang yang berada di atas
kereta itu seram.
"Bagus sekali."
724 Begitu kata terakhir diutarakan, Liu Khi sudah berkelebat ke
depan dengan kecepatan tinggi.
Mendadak dari atas kereta berkumandang suara seruan
kaget serta jerit kesakitan.
"Blam", diiringi suara benturan keras, papan kereta bagian
depan telah jebol sebuah lubang besar, percikan darah segar
segera berhamburan dari dalam kereta, menyusul hancuran
kayu berserakan kemana-mana.
Sekarang Bong Thian-gak bisa menyaksikan wajah Liu Khi
yang berdiri di depan kereta dengan lebih jelas, dua sosok
mayat yang berlumuran darah kelihatan tergeletak di sisi
sebelah kiri. Tampaknya satu di antara mereka belum menemui ajal,
dengan suara mengerikan ia berseru, "Golok saktimu ...
sungguh cepat, aku ...."
Sebelum selesai perkataan itu, orangnya sudah
menghembuskan napas penghabisan.
Bong Thian-gak duduk dalam ruangan kereta tanpa
bergerak, rupanya dia pun dibuat terperanjat oleh kecepatan
golok Liu Khi. "Sebenarnya dengan cara bagaimanakah dia menghabisi
nyawa kedua orang itu?" berbagai ingatan menyelimuti benak
Bong Thian-gak.
Pada saat itu Liu Khi masih berdiri tanpa menggenggam
goloknya, ini membuktikan setelah ia mencabut senjatanya
membunuh kedua lawannya tadi, golok itu disarungkan
kembali ke sisi pinggangnya.
Dalam pada itu Liu Khi dengan sorot mata yang
menggidikkan juga sedang mengawasi Bong Thian-gak yang
berada dalam kereta, ujarnya hambar, "Bong-buncu, kalau
kau sudah sadar, mengapa tidak berusaha melepas dirimu
sendiri?" 725 Bong Thian-gak tertawa dingin. "Memangnya kau datang
kemari untuk menolongku?" dia balik bertanya.
"Aku datang untuk membunuhmu."
"Kalau demikian, mengapa belum juga turun tangan?"
"Aku sedang mencari kesempatan."
"Kini anggota tubuhku dirantai, bukankah kesempatan baik
ini sukar dijumpai?"
Ketika mendengar ucapan itu, Liu Khi segera mengawasi
badan Bong Thian-gak dengan lebih seksama, kemudian dia
baru manggut-manggut seraya ujarnya, "Aku tidak melihat
kaki tanganmu dirantai orang, andaikata kulancarkan
serangan dengan membabi-buta tadi, sudah pasti akan
kusesali sepanjang zaman."
"Mengapa menyesal?"
"Kau anggap membunuh orang yang sama sekali tak bisa
berkutik adalah suatu perbuatan yang membanggakan?" Bong
Thian-gak tersenyum.
"Kalau dibicarakan soal untung-ruginya, aku rasa hal itu tak
perlu diperhatikan lagi."
Mendadak Liu Khi menarik wajah dan berkata dengan suara
sedingin es, "Bong Thian-gak dengarkan baik-baik. Selagi
berada dalam kuil Hong-kong-si, kau pernah menyelamatkan
jiwaku satu kali, malam ini aku telah membantumu pula lolos
dari kesulitan dengan menghabisi nyawa mereka, berarti di
antara kita berdua sudah impas, siapa pun tidak berhutang
kepada siapa."
"Tapi kau belum membantuku membuang semua belenggu
yang membebani tubuhku?"
"Betul!" Liu Khi tertawa dingin. "Sekarang juga aku akan
memapas kutung rantai itu."
726 Selesai berkata, cahaya golok kembali berkelebat tiga kali.
Bong Thian-gak merasa kulit badannya tersambar angin
dingin, disusul suara gemerincing nyaring, tahu-tahu rantai
yang membelenggu kaki tangannya sudah rontok ke atas
tanah. Ketika ia mendongakkan kepala, tampak golok panjang itu
sudah tersoreng kembali di pinggang Liu Khi.
Dengan perasaan kaget dan heran Bong Thian-gak
menghela napas panjang, katanya, "Ilmu golokmu benarbenar
tidak ada tandingannya, lagi pula golok yang tersoreng
di pinggangmu itu sudah pasti senjata mustika yang dulu
diandalkan panglima kenamaan."
Sembari berkata, pelan-pelan Bong Thian-gak berdiri dari
lantai kereta. Mendadak Liu Khi berkata dengan suara dalam, "Perhatikan
baik-baik, setiap saat aku akan melolos lagi golokku untuk
mencabut nyawamu."
"Sungguhkah itu?" tanya Bong Thian-gak dengan wajah
tertegun. "Buat apa aku berbohong?" Liu Khi tertawa dingin.
Untuk kesekian kalinya Bong Thian-gak menghela napas
panjang, "Ai, sikapmu yang sebentar bersahabat sebentar
bermusuhan, benar-benar membuat aku tidak habis
mengerti."
"Asalkan Bong-buncu bersedia mempersembahkan hartakarun
itu, aku bersedia bekerja sama dengan pihak kalian,"
kembali Liu Khi berkata dengan suara hambar.
"Peta harta-karun?" Bong Thian-gak mengerutkan dahi.
"Kau maksudkan peta harta-karun peninggalan Mo-lay-cinong?"
727 "Betul, peta harta-karun inilah yang kumaksudkan," Liu Khi
berkata sambil tertawa dingin, "Hong-kong Hwesio bilang,
benda itu sudah berada di tangan Bong-buncu."
Sambil tertawa Bong Thian-gak menggeleng kepala.
"Liu-sianseng telah dibohongi Hong-kong Hwesio rupanya,
aku berani bersumpah tak pernah mendapatkan peta hartakarun
itu." "Bong-buncu adalah orang yang pertama kali datang di kuil
Hong-kong-si, kenyataan sekarang peta harta-karun itu tidak
berada di tangan Hong-kong Hwesio dan muridnya lagi.
Lantas berada di tangan siapa kalau bukan berada di
tanganmu?" kata Liu Khi.
Bong Thian-gak menggeleng kepala lagi.
"Sewaktu berada di kuil Hong-kong-si, bukankah Liusianseng
telah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana
aku terkena racun dupa Ji-kaucu Put-gwa-cin-kau dan roboh
tak sadarkan diri, hingga setengah jam berselang aku baru
mendusin dari pingsanku. Ai, apakah Liu-sianseng bersedia
menerangkan bagaimana akhir pertarungan di kuil Hong-kongsi?"
"Hong-kong Hwesio, Mo Hui-thian, Han Siau-liong, dan aku
berempat berhasil menerjang keluar kepungan," ucap Liu Khi
dingin. "Bagaimana dengan para pelindung hukum perkumpulan
kami?" "Enam orang pelindung hukum bersama kedua murid
Hong-kong Hwesio telah menemui ajal dalam pertarungan."
Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak menghela napas
panjang dengan sedih, "Ai, kerugian yang diderita partai kami
semalam betul-betul besar sekali!"
Liu Khi tertawa dingin.
728 "Kecuali kau dan aku berdua yang tidak menderita luka
dalam yang parah, Hong-kong Hwesio beserta Han Siau-liong
dan Mo Hui-thian terluka parah."
"Kalau begitu pertolongan yang Liu-sianseng berikan
sekarang adalah demi peta harta-karun itu?"
"Boleh dibilang begitu."
"Kalau begitu aku Bersedia mengajakmu pergi mencari peta
harta-karun itu."
"Kau hendak membawa aku kemana?"
"Soal ini tak perlu kau tanyakan, kini Hong-kong Hwesio
berada dimana?"
"Bong-buncu, bila kau tidak bersedia untuk bekerja sama
denganku, jangan salahkan bila aku orang she Liu turun
tangan keji kepadamu!" ancam Liu Khi sambil tertawa dingin.
Bong Thian-gak kembali menghela napas panjang.
"Seandainya peta harta-karun itu benar-benar berada di
sakuku, dan aku sudah dibekuk orang sekian lama, kau
anggap peta itu masih utuh di sakuku?"
"Betul!" Liu Khi manggut-manggut, "Orang-orang Put-gwacin-
kau mustahil tidak melakukan penggeledahan atas dirimu,
tapi kau pun tak bakal sebodoh ini dengan menyembunyikan
peta harta-karun itu dalam sakumu!"
Bong Thian-gak segera menggeleng kepala.sambil tertawa
getir, "Liu-sianseng benar-benar sudah ditipu habis-habisan
oleh Hong-kong Hwesio. Bila kau tidak percaya, mari kita
bersama-sama berangkat ke tempat tinggalnya untuk
menanyakan persoalan ini kepadanya."
"Tidak usah," tampik Liu Khi sambil tertawa dingin.
Untuk kesekian kalinya Bong Thian-gak menghela napas
panjang. 729 "Ai, benda mustika di kolong langit hanya dimiliki oleh
mereka yang berjodoh, aku sama sekali tidak berniat
mendapatkan harta karun itu."
"Hehehe, siapa yang mau percaya ucapanmu itu?"
"Bila Liu-sianseng tidak percaya, aku pun tak bisa berbuat
apa-apa." Mendadak Liu Khi menarik wajah, lalu berkata,
"Sebenarnya aku ingin membunuhmu, tapi aku selalu kuatir
tak mampu menghabisi nyawamu dalam sekali ayunan golok."
"Di antara kita berdua boleh dibilang tiada dendam sakit
hati apa pun, aku rasa kita tak perlu menyelesaikan persoalan
ini dengan mempergunakan kekerasan."
"Tapi bagi umat persilatan pun tidak selalu harus
membunuh orang dikarenakan ada hubungan permusuhan
ataupun dendam."
"Betul," Bong Thian-gak mengangguk, "tapi aku rasa tiada
kepentingan bagi kita berdua melangsungkan duel
menentukan mati-hidup."
"Memang begitulah kenyataannya, maka dari itu aku harus
mohon diri dulu.".
Selesai berkata, Liu Khi segera melejit ke tengah udara dan
berlalu dari sana.
Mimpi pun Bong Thian-gak tak pernah menyangka kalau
Liu Khi bakal angkat kaki begitu selesai mengatakan hendak
pergi, sementara dia masih tertegun, bayangan tubuh Liu Khi
sudah lenyap dari pandangan mata.
Menanti Bong Thian-gak berjalan keluar dari ruang kereta,
mendadak muncul seseorang di hadapannya.
Di bawah cahaya bintang, tampak orang itu mengenakan
pakaian berwarna putih bersih, rambutnya juga berwarna
730 putih, rambut yang panjang itu hampir menyentuh permukaan
tanah. Melihat kemunculan orang tak diundang ini, Bong Thiangak
merasa amat terperanjat, dia segera menghardik,
"Siapakah kau?"
Bong Thian-gak kuatir lawan itu setan atau sukma
gentayangan. Padahal kemunculan orang itu amat misterius dan sama
sekali tidak menimbulkan suara, apalagi rambut putihnya yang
terurai hampir menyentuh tanah, membuat bentuk orang itu
mirip bayangan setan yang muncul di tengah kegelapan.
Tanpa mengeluarkan sedikit suara pun, orang berambut
putih itu berdiri di hadapannya, kendati begitu sepasang
matanya memancarkan cahaya tajam yang menggidikkan,
sinar tajam itu mencorong dari matanya yang tertutup rambut
putih dan mengawasi wajah Bong Thian-gak tanpa berkedip.
Sambil tertawa dingin Bong Thian-gak segera menegur,
"Hei, mengapa kau tidak bersuara?"
Orang berbaju putih itu masih saja membungkam, namun
Bong Thian-gak dapat melihat tubuhnya bergerak seperti
sukma gentayangan, tubuhnya tidak bergoyang, lututnya tidak
menekuk, namun dia bergerak mendekatinya.
Melihat cara lawan menggerakkan tubuh, Bong Thian-gak
terkesiap, dia sadar lawan memiliki ilmu silat yang sangat
dahsyat. Dalam terkesiapnya, cepat Bong Thian-gak mengerahkan
hawa sakti Tat-mo-khi-kang untuk melindungi seluruh
badannya. Pada saat itulah tiba-tiba orang itu bergerak maju lagi.
731 Ketika segulung angin berkelebat, rambut putih yang
panjang dan terurai ke bawah itu tiba-tiba bergerak dan
langsung menggulung ke tubuh anak muda itu.
"Blam", bunyi ledakan yang keras bergema.
Rambut panjang yang menggulung datang mengikuti
hembusan dingin tadi segera terhajar oleh segulung hawa
sakti tanpa wujud yang membuatnya terpental balik.
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang berbaju putih itu segera memutar tubuhnya
sebanyak tiga kali seperti gangsingan, lalu jeritnya. "Siapakah
kau?" "Ban-lau-loan-sin-kang (tenaga lembut selaksa serat)
milikmu betul-betul pantas disebut ilmu manunggal di kolong
langit," ucap Bong Thian-gak sambil tersenyum. "Seandainya
aku tidak mempersiapkan diri sebelumnya, saat ini tubuhku
pasti sudah penuh lubang berdarah dan tewas sejak tadi."
Ternyata sapuan rambut putih yang menggulung cepat tadi
merupakan sejenis ilmu silat yang sangat hebat dalam
persilatan, ketika lawan melontarkan rambutnya yang lembut
tadi, sesungguhnya ibarat beribu-ribu batang jarum lembut
dan pedang tajam yang menyapu tiba.
Dengan pandangan terkejut bercampur keheranan, orang
itu segera bertanya, "Hawa Sin-kang apakah yang telah kau
pergunakan untuk mematahkan Ban-si-ciam (selaksa jarum
lembut) tadi?"
Sekarang Bong Thian-gak dapat melihat jelas raut wajah
lawan, ternyata orang itu berwajah pucat seperti salju, bentuk
mukanya mirip monyet dan usianya antara enam puluh tahun.
Sambil berkerut kening Bong Thian-gak bertanya,
"Siapakah nama besarmu?"
"Mengapa kau tidak menjawab dulu pertanyaanku?" kata
orang berambut putih.
732 Bong Thian-gak tertawa dingin, "Hm, dilihat dari caramu
melancarkan serangan keji tadi, mungkin kau telah
mengetahui asal-usulku. Mengapa aku mesti memberitahukan
lagi kepadamu?"
Orang berambut putih itu tertawa terkekeh-kekeh,
"Hehehe, betul, kau pasti Jian-ciat-suseng atau si Golok sakti
berlengan tunggal, bukan"'
"Aku adalah Jian-ciat-suseng," jawab Bong Thian-gak.
"Ehm, aku sendiri adalah Pek Kau-kim (siluman monyet
putih) dari gunung Thian-san," orang berambut putih itu
memperkenalkan diri.
"Kau bernama Pek Kau-kim?" tanya Bong Thian-gak sambil
berkerut kening.
"Aku she Pek bernama Kau-kim, kalau tidak bernama Pek
Kau-kim, lantas mesti bernama apa?"
"Rasanya di antara kita tak pernah terikat dendam kusumat
atau sakit hati apa pun, bukan?" tanya Bong Thian-gak.
Sekali lagi Pek Kau-kim tertawa terkekeh, "Kau bukan yang
membunuh kedua orang itu?"
"Bukan, bukan aku pembunuhnya," Bong Thian-gak
menggeleng. "Kalau bukan kau, lantas siapa yang telah membunuh
mereka?" tiba-tiba Pek Kau-kim membentak.
Bong Thian-gak termenung sebentar, kemudian dia balik
bertanya, "Boleh aku tahu, apa hubungan antara kedua
korban itu dengan dirimu?"
"Mereka adalah muridku."
"Aduh celaka!" keluh Bong Thian-gak dalam hati. "Kalau
kedua orang itu adalah muridnya, bisa celaka!"
733 Berpikir sampai di situ, katanya kemudian sambil menghela
napas panjang, "Locianpwe, murid-muridmu bukan tewas di
tanganku, bila kau tidak percaya, silakan meneliti kembali
bekas-bekas luka mereka."
Pek Kau-kim tertawa seram.
"Kedua orang muridku ini diam-diam kabur turun gunung
ketika aku sedang menutup diri, mereka memang pantas
mampus. Cuma dengan kematian mereka, aku harus mencari
seorang murid yang lain untuk menggantikan mereka berdua.
Hm, Lohu ingin menerima kau sebagai muridku, ayo cepat ikut
aku pulang ke gunung!"
Mendongkol bercampur geli Bong Thian-gak setelah
mendengar perkataan itu, kemudian ujarnya, "Walaupun aku
merasa sangat gembira dapat menjadi muridmu, tapi hatiku
bergidik sendiri melihat sikapmu yang acuh tak acuh dan sama
sekali tidak menaruh perasaan iba mengetahui murid-muridmu
mati terbunuh."
Mendadak Pek Kau-kim melotot, ia mengawasi Bong Thiangak
tanpa berkedip, lalu tanyanya, "Apakah kau menyuruh aku
membalas dendam kematian mereka?"
Bong Thian-gak manggut-manggut.
"Bila murid terbunuh, sebagai guru kau wajib membalas
dendam bagi kematian muridmu."
"Kalau begitu, kau memang benar-benar harus mati."
Di tengah pembicaraan itu, Pek Kau-kim segera
menggetarkan tubuh, rambutnya yang panjang dengan
dahsyat dan kecepatan tinggi langsung menusuk Bong Thiangak
dari atas ke bawah. Mimpi pun Bong Thian-gak tidak
menyangka lawan bakal melancarkan serangan sekali lagi, kali
ini dia belum sempat menghimpun hawa murni Tat-mo-khikang
untuk melindungi seluruh badan, maka ia terpaksa
menghindar. 734 Tiba-tiba Bong Thian-gak merasakan dadanya amat sakit,
dia menjerit kesakitan.
Bong Thian-gak terguling jatuh dari atas kereta dan
tergeletak di atas tanah.
Gelak tertawa yang aneh memanjang dan penuh nada
kebanggaan bergema, Pek Kau-kim mendesak maju dengan
cepat, tangan kanannya secepat kilat menyambar tubuh Bong
Thian-gak sambil bentaknya, "Aku tidak percaya kau masih
bisa meloloskan diri dari serangan jarum serat Pek Kau-kim!"
Baru selesai perkataan itu, Bong Thian-gak yang sudah
tergeletak di atas tanah itu, mendadak melompat sambil
melepaskan sebuah tendangan dengan kaki kanannya.
Jeritan aneh seperti pekikan monyet segera berkumandang,
tubuh Pek Kau-kim mencelat, lalu "blam", roboh terjungkal di
tanah. Pek Kau-kim tak pernah bisa merangkak bangun kembali
dari tanah. Sebaliknya Bong Thian-gak sendiri pun tak mampu
merangkak bangun untuk sementara waktu, lengan
tunggalnya digunakan untuk memegangi dada, sedangkan
wajahnya pucat memperlihatkan rasa kesakitan, dia harus
bergerak beberapa kali ke kiri dan kanan sebelum dapat
merintih. Setelah suara rintihan itu, rasa sakit yang menusuk dada
Bong Thian-gak pun mereda dengan sendirinya. Ia sadar
bahwa dirinya selamat.
Ternyata setelah terkena babatan rambut panjang Pek Kaukim
tadi, ada tujuh-delapan buah jalan darah di dada Bong
Thian-gak yang nyaris tersumbat, ini menyebabkan hawa
darah yang berada dalam dada berhenti untuk sesaat, napas
pun ikut berhenti, membuat anak muda itu nyaris roboh tak
sadarkan diri. 735 Ketika Bong Thian-gak berhasil menghirup udara,
mendadak dari kejauhan sana muncul sesosok bayangan
manusia. Belum lagi bayangan tubuhnya berjalan mendekat, bau
harum aneh yang amat menusuk penciuman telah berhembus
mengikuti angin gunung.
Tatkala Bong Thian-gak menghirup udara lagi, ia sudah
merasakan bau harum seperti bau bunga anggrek, air
mukanya berubah hebat, dengan cepat ia melompat bangun.
Sorot matanya segera dialihkan ke arah datangnya bau
harum bunga anggrek tadi.
Beberapa tombak di hadapannya kini berdiri seorang
perempuan cantik bertubuh montok.
Ia mengenakan pakaian puth yang halus, rambutnya
disanggul dan di atasnya dilingkari tiga butir mutiara yang
memancarkan sinar gemerlapan.
Wajah perempuan itu tampak begitu angker dan serius,
angkuh dan berwibawa seperti seorang ratu, terutama sorot
matanya yang jeli dan tajam.
Gemetar keras sekujur tubuh Bong Thian-gak menyaksikan
kehadiran perempuan itu, serunya dengan suara gemetar,
"Kau ... kau adalah Cong-kaucu."
Bong Thian-gak sudah pernah bersua dengannya, malah
bagian lubuhnya yang paling rahasia pun pernah dilihatnya
dengan jelas dan nyata, sudah barang tentu dia kenal Congkaucu
Put-gwa-cin-kau yang amat termasyhur.
Perempuan cantik itu tertawa, tertawa amat manis.
Setelah itu ia mulai tertawa cekikikan, suaranya kian lama
kian jalang, seperti suara pelacur yang sedang memperoleh
puncak kenikmatan.
736 "Jian-ciat-suseng, kau masih mengenali aku, mengapa
wajahmu pucat-pias" Hihihi, jangan harap kau dapat
meloloskan diri dari cengkeramanku hari ini."
Dengan lemah-gemulai dan pinggul bergoyang, selangkah
demi langkah ia berjalan mendekati Bong Thian-gak.
Sekarang Bong Thian-gak sadar, biar dia punya sayap pun,
jangan harap bisa lolos dari cengkeramannya.
Dengan sorot mata tajam tanpa berkedip, ia mengawasi
perempuan itu berjalan hingga tiba di hadapannya, mendadak
perempuan itu mengayun tangan kanannya.
Tiga jalan darah penting di tubuhnya seketika tertotok,
kemudian upa yang terjadi tak teringat lagi olehnya.
Dalam lamat-lamatnya suasana, Bong Thian-gak
menangkap suara seorang perempuan yang sedang berkata
dengan lembut, merdu dan manis, "Jian-ciat-suseng, kau telah
menelan sebutir pil Siau-hun-wan. Siau-hun-wan merupakan
pil dewa bagi manusia, khasiatnya boleh dibilang tak
terlukiskan dengan kata-kata."
Dalam keadaan tubuh yang lemah-lunglai dan kesadaran
yang masih samar-samar, Bong Thian-gak membuka mata
lebar-lebar. Ternyata dia sedang berbaring di atas ranjang yang terletak
dalam sebuah kamar dengan cahaya lentera berwarna merah.
Selembar wajah cantik, tapi memancar senyuman genit dan
jalang terpapar tepat di depan mata.
Bong Thian-gak masih mempunyai kesadaran yang jernih,
dia dapat mengenali raut wajah itu, Cong-kaucu Put-gwa-cinkau.
Tatkala sinar matanya dialihkan ke bawah, hatinya kembali
berdebar, ternyata perempuan itu hanya menutupi tubuhnya
yang telanjang dengan selembar kain sutera berwarna putih
yang amat tipis.
737 Dengan cepat Bong Thian-gak mengalihkan kembali sorot
matanya ke arah lain, tanyanya cepat, "Obat apa yang telah
kau cekokkan kepadaku?"
Cong-kaucu tertawa terkekeh-kekeh dengan suaranya yang
amat jalang, "Hihihi, pil Siau-hun-wan. Satu jam kemudian kau
akan mengetahui dengan sendirinya manfaat obat itu."
Pucat-pias wajah Bong Thian-gak mendengar perkataan itu,
dia menghela napas sedih, lalu katanya, "Kumohon kepadamu,
bunuhlah aku!"
Rupanya Bong Thian-gak tahu Siau-hun-wan merupakan
sejenis obat perangsang yang bisa mengalutkan orang.
Sebagai orang pandai, sudah tentu dia tahu akibat obat itu
bila mulai bekerja, dia bakal menjadi seorang berhati binatang
yang kehilangan akal budi, saat itu dia hanya tahu bagaimana
melampiaskan napsu birahi.
Sambil tertawa merdu Cong-kaucu kembali berkata,
"Membunuh kau" Oh, tak semudah itu. Aku harus
mempermainkan dirimu sampai puas sebelum menghabisi
nyawamu, sebab aku kelewat membenci dirimu, boleh dibilang
kau adalah lelaki yang paling kubenci di kolong langit dewasa
ini." Dalam keadaan demikian, Bong Thian-gak terbayang
kembali bagaimana dia menghina dan mencemooh perempuan
itu. Tiba-tiba Bong Thian-gak meronta bangun, tapi entah
mengapa sekujur badannya terasa lemas seolah-olah tak
bertenaga, keempat anggota badannya lemas, tak setitik
tenaga pun yang tersisa dalam tubuhnya.
Merasakan hal itu, Bong Thian-gak baru tahu segala
sesuatunya bakal berakhir.
Diiringi gelak tertawa merdu, Cong-kaucu melanjutkan
kata-katanya, "Tempo hari kau telah membiarkan aku
738 merasakan bagaimana tersiksanya oleh kobaran api birahi,
maka hari ini aku pun menyuruh kau merasakan juga
bagaimana enaknya penderitaan itu."
"Siau-hun-wan adalah pil perangsang yang akan
membuktikan hawa napsu kaum lelaki. Satu jam kemudian
obat itu akan mulai bekerja, saat itu kau akan berubah seperti
binatang yang sedang birahi, kau hanya tahu bagaimana
melampiaskannya, tapi kau tak akan pernah bisa
memadamkan kobaran api birahimu itu, sebab Siau-hun-wan
adalah sejenis obat perangsang yang mengandung racun
jahat, barang siapa berani mengadakan hubungan kelamin
denganmu, maka perempuan itu akan mengisap sari racun
tubuhmu yang akan berakibat kematian baginya. Oleh karena
itu kau harus merasakan penderitaan kobaran api birahi untuk
waktu lama tanpa memperoleh kesempatan melampiaskan.
"Penderitaan akan datang berulang-ulang. Saat kau
menelan Siau-hun-wan ketiga, api birahi akan merusak semua
syarafmu, saat itu kau pun akan berubah menjadi manusia
tanpa sukma, tanpa pikiran, kau hanya akan menuruti
perintahku, selama hidup akan tunduk dan menuruti
perkataanku."
Peluh dingin jatuh bercucuran membasahi badan Bong
Thian-gak srtelah mendengar perkataan itu, dia menghela
napas sedih, lalu kitanya, "Apakah Thay-kun juga menderita
akibat perbuatanmu ini?"
"Benar," Cong-kaucu tertawa cekikikan. "Dia pun pernah
merasakan siksaan itu hingga menyebabkan kejernihan
otaknya punah."
"Aku kuatir obat beracunmu itu bakal ketemu batunya dan
tidak manjur seperti yang kau harapkan," jengek Bong Thiangak
sambil tertawa dingin.
Sekali lagi Cong-kaucu cekikikan.
739
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siau-hun-wan adalah obat mujarab yang diciptakan Gi
Jian-cau, khasiatnya luar biasa dan selama hidup tidak akan
meleset." Mendengar ucapan itu, Bong Thian-gak menghela napas
panjang, biarpun ia belum pernah bersua Gi Jian-cau, tapi dia
pun termasuk anggota Hiat-kiam-bun. Mengapa orang itu
bersedia menciptakan obat beracun dan membantu Congkaucu
mencelakai umat persilatan"
Tiba-tiba Cong-kaucu bangkit, lalu dengan lemah-gemulai
beranjak keluar dari dalam kamar.
Bong Thian-gak berbaring di atas pembaringan dengan
tenang, sedang benaknya mencari akal bagaimana caranya
melepaskan diri dari cengkeraman iblis itu.
Dia meronta dan berusaha merangkak kabur, akan tetapi
sayang sekali tubuhnya lemas dan sama sekali tidak
bertenaga. Mendadak terdengar suara derap kaki manusia mendatangi,
Bong Thian-gak segera menoleh.
Dari balik ruangan tiba-tiba muncul tiga orang perempuan,
dua gadis berdandan genit dan seorang lagi perempuan
berusia empat puluh, tubuhnya montok dan bahenol.
Sorot mata Bong Thian-gak seolah-olah tertarik atas
kehadiran perempuan berbaju hijau itu, dia menatap tubuh
perempuan itu tanpa berkedip.
Ketika perempuan setengah umur berbaju hijau itu melihat
jelas wajah Bong Thian-gak yang berbaring di atas ranjang,
dia pun nampak terkejut dan serentak menghentikan
langkahnya. Dalam pada itu kedua gadis berbaju hijau yang genit tadi
telah tiba di depan pembaringan Bong Thian-gak, keempat
mata mereka melirik sekejap ke wajah anak muda itu dengan
pandangan memikat, kemudian tertawa cekikikan.
740 Setelah itu kedua gadis tadi mulai menari dengan lemahgemulai.
Sambil menari mereka melepas pakaian satu per satu.
Walaupun kedua gadis itu tidak termasuk berwajah cantik,
namun potongan badan mereka betul-betul memukau siapa
saja. Apalagi kedua wanita itu membawakan tarian erotik yang
sangat menggiurkan, bisa dibayangkan bagaimana menariknya
keadaan itu. Dihidangi pemandangan yang begitu erotik dan
merangsang napsu birahi, lambat-laun Bong Thian-gak mulai
terpengaruh, suatu perasaan aneh mendadak meliputi dirinya,
dia seperti membutuhkan sesuatu yang amat mendesak.
Mendadak Bong Thian-gak memejamkan mata, lalu
membentak, "Kalian cepat mengenakan pakaian dan
mengundurkan diri dari sini, aku telah menelan Siau-hun-wan,
tak bisa mengadakan hubungan dengan kalian."
"Mereka memang sudah tahu kau telah menelan Siau-hunwan,
tak seorang pun di antara mereka berani mengadakan
hubungan dengan dirimu," ucap perempuan berbaju hijau itu
hambar. Ketika mendengar perkataan itu, untuk kedua kalinya Bong
Thian-gak membuka mata, kali ini dia dapat melihat raut
wajah perempuan itu dengan jelas, tanpa terasa jeritnya
kaget. "Kau ... kau adalah Subo."
Satu ingatan dengan cepat melintas dalam benak Bong
Thian-gak, perasaan sedih, duka, marah dan benci dengan
cepat menyelimuti perasaannya.
Peristiwa lampau, ketika sepuluh tahun berselang dia
dikeluarkan gurunya dari perguruan ... ketika kaki kirinya
741 berubah menjadi pincang, semua musibah yang menimpa
dirinya itu tak lain berkat hasil karya perempuan berbaju hijau
itu. Dia tidak lain adalah istri muda gurunya, almarhum Bu-lim
Hengcu, si telapak tangan baja yang menggetarkan jagat Oh
Ciong-hu yang bernama Pek Yan-ling.
Dengan emosi Bong Thian-gak berseru, "Subo, kau masih
kenal diriku?"
"Aku masih ingat kau adalah Bong Thian-gak. Sungguh tak
kusangka Jian-ciat-suseng adalah kau."
"Dendam sakit hati apakah yang terjalin antara kita
berdua" Mengapa kau mencelakai diriku hingga begini rupa?"
teriak Bong Thian-giik sedih.
Sambil berkata, pelan-pelan perempuan itu melepas
pakaian yang dikenakannya satu demi satu.
Tak terlukiskan rasa terkejut Bong Thian-gak setelah
menyaksikan pel Istiwa ini, segera hardiknya, "Apa yang
hendak kau lakukan?"
"Bugil, untuk membawakan tarian erotik agar api birahimu
bangkit." "Bunuhlah aku, kalian bunuh aku saja!" teriak Bong Thiangak.
Sambil berteriak, Bong Thian-gak segera memejamkan
mata. Pada saat itulah berkumandang dua kali dengusan, untuk
kedua kalinya Bong Thian-gak membuka matanya kembali.
Ternyata kedua gadis yang bugil tadi sudah tergeletak
lemas di tanah, cairan darah masih nampak meleleh keluar
dari ujung bibir mereka.
742 Sementara Pek Yan-ling sudah menggerakkan tubuhnya
dengan cepat mencengkeram dua sosok mayat itu dan
diletakkan di sudut ruangan, setelah itu dia mendekati Bong
Thian-gak. Sementara itu Bong Thian-gak merasakan timbulnya
gulungan hawa panas di bawah perutnya, hal itu membuat
peredaran darah dalam tubuhnya mengalir semakin cepat.
Kendatipun demikian, kesadaran otaknya masih tetap
jernih, tiba-tiba ia bertanya, "Kau yang telah menghabisi
nyawa mereka berdua?"
"Betul!" Pek Yan-ling mengangguk pelan. "Akulah yang
telah membunuh mereka berdua."
"Apa yang hendak kau lakukan atas diriku?" tanya Bong
Thian-gak lagi dengan kening berkerut.
Pek Yan-ling menghela napas sedih.
"Ai, aku ingin menyelamatkan jiwamu. Tindakanku sudah
tentu di luar dugaanmu, bukan?"
"Kau hendak menyelamatkan jiwaku?"
Bong Thian-gak membelalakkan mata lebar-lebar
mendengar perkataan itu.
Dengan sedih Pek Yan-ling berkata, "Di masa lalu, aku
sudah banyak melakukan kesalahan dan kejahatan, dosaku
telah berlapis-lapis, biarlah aku mati untuk menolongmu, saat
ini kendati kematianku belum tentu dapat menebus semua
dosa yang pernah kulakukan, namun setidak-tidaknya dengan
menolong jiwamu hari ini, aku bisa mengurangi atau
memperingan dosa yang pernah kuperbuat."
Saat itu kejernihan otak Bong Thian-gak sudah makin
memudar, perasaannya makin kalut, matanya melotot dan
kian memerah, tanyanya, "Dengan cara apa kau akan
menyelamatkan jiwaku?"
743 Tiba-tiba Pek Yan-ling melepas semua pakaian yang
dikenakan hingga telanjang bulat, kemudian katanya pelan,
"Siau-hun-wan adalah sejenis obat perangsang yang aneh dan
luar biasa, kecuali mengorbankan diriku, tiada cara lain untuk
menyelamatkan jiwamu dari bahaya anaman maut."
Gemetar keras sekujur badan Bong Thian-gak menyaksikan
semua Itu, kembali dia berteriak, "Kau tidak boleh berbuat
begitu untuk menolong aku."
Tapi sayang sekali, pil Siau-hun-wan sudah mulai bekerja
dalam tubuh pemuda itu.
Dalam waktu singkat kejernihan otak Bong Thian-gak
sudah terbakar oleh nafsu birahi sehingga tak ampun lagi anak
muda itu jadi kaap dan kehilangan akal budinya lagi.
Biarpun demikian ia tidak seperti lelaki lain, biarpun nafsu
birahi sudah mengusainya, ia belum melakukan sesuatu
gerakan apa pun, hanya matanya melotot memandang tubuh
Pek Yan-ling yang bugil tanpa berkedip.
Sedangkan Pek Yan-ling sendiri hanya ingin
menyelamatkan jiwa Hong Thian-gak, tapi dia melupakan
sesuatu, bagaimana pun juga dia adalah Subo Bong Thiangak,
istri gurunya. Bagaimana mungkin Bong Thian-gak bisa melakukan
hubungan dengan Subonya sendiri"
Bila takdir telah mengatur nasib manusia, siapa pula yang
bisa menghindar.
Pek Yan-ling adalah seorang yang tidak bersih
perbuatannya dan hari ini kembali dia lakukan kesalahan
besar. Dosa dan kesalahan yang dilakukan hari ini boleh dibilang
tak terampuni lagi.
744 tapi kobaran api birahi membuat orang melupakan
segalanya. Bong Thian-gak telah melupakan siapa dirinya, dia
hanya tahu bagaimana melampiaskan nafsu birahinya secepat
mungkin. Ketika hujan badai telah berlalu.
Racun jahat Siau-hun-wan telah terhisap oleh tubuh Pek
Yan-ling. Sekujur tubuh Pek Yan-ling gemetar keras, paras mukanya
segera berubah pucat-pias, ternyata bagian bawah perutnya
mulai terasa sakit seperti diiris pisau, sedemikian sakitnya
membuat dia mulai merintih.
Setelah hujan badai lewat, semua sari racun yang
mengeram dalam tubuh Bong Thian-gak telah tersapu lenyap,
kobaran api birahi yang padam membuat akal budinya jernih
kembali. Dengan jernihnya pikiran, anggota badannya yang semula
lemas tak bertenaga kini telah pulih seperti sedia kala.
Mendadak dia menperdengarkan jeritan kaget yang keras
dan penuh nada seram.
Sebuah pukulan dahsyat langsung dilontarkan ke tubuh Pek
Yan-ling. Akibat serangan itu, tubuh Pek Yan-ling yang telanjang
segera menjelat ke udara dan terbanting ke tanah.
Pek Yan-ling yang dihantam pemuda itu menjadi terheranheran,
ia segera meronta bangun, dengan noda darah
membasahi ujung bibirnya dan suara yang gemetar keras,
bisiknya, "Aku ... aku telah menyelamatkan jiwamu, racun keji
Siau-hun-wan telah tersalur ke dalam tubuhku, kau ...
mengapa kau malah menghajar aku?"
Bong Thian-gak menutupi wajah dengan tangan
tunggalnya, mendadak ia menangis tersedu-sedu, katanya,
"Kau ... mengapa kau berbuat demikian" Tahukah kau,
siapakah dirimu, kau ini apaku?"
745 Sekarang Pek Yan-ling baru teringat bahwa Bong Thian-gak
adalah seorang lelaki jujur yang mengutamakan budi-pekerti
dan tata-krama, dia pun mulai berpikir, "Ya benar, aku adalah
Subonya. Biarpun aku berbuat demikian demi menyelamatkan
jiwanya, tapi baginya justru merupakan suatu perbuatan
terkutuk, baginya peristiwa ini sama saja berbuat berzina
dengan Subonya sendiri ... aduh celaka, andaikata dia
memandang serius peristiwa ini, sudah dapat dipastikan dia
akan menghabisi nyawanya sendiri."
Berpikir demikian, sambil tertawa pedih Pek Yan-ling segera
berkata, "Pada waktu itu, kejernihan akal budimu telah hilang.
Apa pun yang telah kau lakukan tidak perlu kau pertanggungjawabkan."
"Kati telah mencelakai aku. Aku ... aku tak punya muka
untuk hidup terus," pekik Bong Thian-gak sedih.
Sambil berteriak, dia segera menyambar pakaiannya dan
dikenakan dengan cepat.
Dalam pada itu paras muka Pek Yan-ling telah berubah
pucat-pias neperti mayat, tubuhnya gemetar keras, sementara
peluh bercucuran ?lengan deras. Seakan-akan menahan
penderitaan yang luar biasa, akhirnya dia berkata, "Bong
Thian-gak, kau harus hidup terus, kau harus melanjutkan
hidupmu di dunia ini, racun jahat Siau-hun-wan telah tersalur
ke dalam tubuhku, sekarang aku tak lebih hanya seorang yang
sudah mendekati ajal, perbuatanku ini sama sekali tidak keliru,
sebab hanya kau seorang di dunia ini yang bisa membunuh
iblis perempuan itu, kau harus mempertahankan hidupmu,
kalau tidak, pengorbanan nyawaku ini benar-benar
pengorbanan yang tak ada artinya."
Bong Thian-gak mengawasi wajah Pek Yan-ling dengan
kesedihan yang luar biasa, gumamnya tanpa terasa, "Betul,
kau berbuat demikian karena menolong jiwaku ... bila kau
tidak berbuat demikian, aku pasti akan menjadi boneka Congkaucu,
aku pasti akan melenyapkan gembong iblis perempuan
746 itu dari muka bumi, kau bukan saja telah menolong aku
dengan perbuatanmu tadi, kau pun telah menyelamatkan
beribu-ribu jiwa umat persilatan ... tapi dapatkah aku hidup
lebih lanjut dalam keadaan seperti ini?"
"Kau dapat melupakan kejadian itu," Pek Yan-ling berkata
dengan sedih. "Anggap saja peristiwa ini tidak pernah kau
alami." "Dapatkah aku melupakannya?" kata Bong Thian-gak amat
pedih. "Sepuluh tahun lalu kau pernah melakukan hubungan
gelap dengan Sam suheng Siau Cu-beng, itu sebabnya
kubunuh Sam-suheng, tapi hari ini siapa pula yang akan
membunuhku demi membalas aib bagi Suhu."
"Bong Thian-gak, kau sudah tahu aku bukan perempuan
baik-baik. Sejak dulu Oh Ciong-hu sudah tidak memiliki istri
macam diriku ini," ucap Pek Yan-ling sedih. "Oleh karena itu
aku bukan istri Oh Ciong-hu, juga bukan Subomu ... selain itu
kau sudah sejak lama dikeluarkan dari perguruan, kau pun
sudah bukan muridnya lagi. Ini berarti di antara kita berdua
sama sekali tiada hubungan sebagai ibu guru dan murid lagi,
kita adalah sahabat biasa ... aku sama sekali bukan ibu guru
seperti apa yang kau sebut, karenanya kau tidak pernah
melanggar susila, aku pun tidak pernah melakukan perbuatan
yang menyalahi peraturan perguruan."
Memang benar, sepuluh tahun lalu Bong Thian-gak diusir
Oh tong hu dari perguruan, jadi Pek Yan-ling sudah bukan
Subonya lagi. Apalagi selama sepuluh tahun ini dia sendiri pun tak pernah
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menganggap perempuan itu sebagai Subonya, karena itu dia
sudah kehilangan haknya untuk dihormati sebagai seorang
Subo. Kendati demikian, dalam hati Bong Thian-gak tersiksa pula
oleh penderitaan yang luar biasa.
747 Dalam pada itu kulit badan Pek Yan-ling yang semula
berwarna putih halus, lambat-laun telah berubah menjadi
hitam kemerah-merahan, beberapa kali dia bahkan kejangkejang
dengan penuh penderitaan.
"Bong Thian-gak" kembali dia berkata sambil menahan
derita. "Sekarang isi perutku terasa seperti disayat-sayat,
seperti juga ada beribu ekor binatang yang menggerogoti
badanku ... ooh sangat menderita ... tolong ... tolong
hadiahkan sebuah pukulan kepadaku agar aku cepat mati!"
Rintihan demi rintihan bergema tiada hentinya dari bibir
Pek Yan-ling, sambil memegang dada dengan sepasang
tangannya, dia mulai bergulingan kian-kemari, keadaannya
amat tersiksa dan mengenaskan, membuat siapa pun yang
melihat jadi amat terharu.
Bong Thian-gak tak dapat membendung air matanya lagi,
dengan penuh duka katanya, "Thian telah mengatur segala
sesuatunya" Mengapa Thian selalu memaksa aku melakukan
perbuatan-perbuatan yang tidak kukehendaki?"
"Bong Thian-gak, ayolah cepat turun tangan," pinta Pek
Yan-ling sambil mengangkat wajahnya yang menyeringai
seram. "Dahulu aku telah banyak berbuat dosa kepadamu,
sekarang biar kau cincang tubuhku hingga hancur berkepingkeping
pun belum tentu bisa membalas luka yang pernah
kuberikan kepadamu di masa lalu. Inilah hukum karma bagiku,
aku memang pantas mati di bawah telapak tanganmu."
Bong Thian-gak memejamkan mata, lalu katanya, "Yang
sudah lewat biarlah lewat, aku sama sekali tidak
membencimu, bahkan aku amat berterima kasih kepadamu ...
karena aku telah berhutang budi kepadamu."
Tatkala kata "kepadamu" diucapkan, telapak tangan kanan
Bong Thian-gak diayunkan ke depan melancarkan bacokan.
Dimana angin pukulan berkelebat, tubuh Pek Yan-ling
mencelat ke belakang untuk kemudian tidak berkutik lagi.
748 Air mata sekali lagi jatuh bercucuran membasahi wajah
Bong Thian-gak, diambilnya kain seprei dari atas
pembaringan, lalu dibungkuskan ke atas tubuh Pek Yan-ling
yang telanjang dan pemuda itu pun berdiri termangu-mangu
untuk beberapa saat lamanya.
Mendadak berkumandang suara langkah kaki manusia,
Bong Thian-gak bagaikan baru sadar dari mimpi, dia segera
menyelinap ke belakang pintu dengan cepat.
Dalam pada itu dari luar ruangan sudah terdengar
seseorang berkata, "Cap-go-kaucu, Cong-kaucu
memerintahkan kepadaku untuk mengantar dua pil Siau-hunwan,
dengan pesan dalam dua belas jam mendatang harus
mencekokkan pil ketiga kepada Jian-ciat-suseng."
Bong Thian-gak yang mendengar perkataan itu segera
membuka pintu secara tiba-tiba, tampak seorang berbaju
kuning berjalan masuk ke dalam ruangan dengan langkah
cepat. Tatkala orang berbaju kuning itu menyaksikan Bong Thiangak
berdiri di hadapannya dalam keadaan segar-bugar, ia
nampak amat terperanjat, mulutnya ternganga dan tak
sempat berteriak, tahu-tahu cakar maut yang kuat seperti
jepitan telah mencekik tenggorokannya.
"Krak", tulang leher orang berbaju kuning itu tahu-tahu
patah, tidak sempat mengeluarkan suara rintihan lagi, orang
itu tewas seketika.
Selesai membunuh orang itu, Bong Thian-gak segera
menyelinap keluar, dengan cepat sorot matanya dialihkan ke
sekeliling tempat itu.
Apa yang kemudian terlihat membuat Bong Thian-gak
merasa sangat terkejut, ternyata dia berada di sebuah
ruangan besar dan kosong, dua puluh empat buah tiang
penyangga berukir naga emas berjajar tiap sudut, atap
ruangan indah dan megah, bangunan itu sangat mentereng.
749 Tempat dimana Bong Thian-gak berdiri sekarang
merupakan panggung di ruangan tengah, permadani berwarna
merah menghiasi lantai, boleh dibilang dimana-mana dihiasi
barang antik yang tak ternilai harganya.
Pot bunga berlapiskan emas di sekeliling panggung,
delapan belas hu.ih hiolo perak bertebaran di bawah
panggung, empat gentong emas, empat pasang kura-kura
tembaga dan bangau tembaga turut menghiasi setiap sudut
ruangan. Selain itu di tengah ruangan terdapat pula sebuah meja
panjang, di atas meja berjajar berbagai peralatan yang terbuat
dari tembaga, kemala, dan bahan keramik, di samping intan
permata dan mutu manikam yang tak ternilai harganya.
Pada hakikatnya bangunan itu ibarat sebuah gudang hartakarun.
Pada ujung tumpukan harta-karun yang tak ternilai itu
terdapat sebuah kursi yang terbuat dari emas, cahaya
kekuning-kuningan memercik ke empat penjuru membuat
kursi tadi menyerupai singgasana seorang kaisar.
Mata Bong Thian-gak menjadi kabur menyaksikan semua
itu, sesaat lamanya dia hanya bisa berdiri termangu-mangu
seperti orang kehilangan ingatan.
Dia tidak mengetahui tempat apakah itu" Darimana
datangnya harta-karun itu"
Tiada lentera di dalam ruangan itu, tapi bisa terlihat
dengan jelas bahwasanya ruangan itu kosong melompong, tak
nampak sesosok bayangan manusia pun, namun Bong Thiangak
cukup mengerti, di luar istana itu pasti terdapat pasukan
penjaga yang amat ketat dan kuat.
Maka sambil menghimpun tenaga dalam untuk berjagajaga
atas segala kemungkinan, dia berjalan menuju ke pintu
gerbang. 750 Pintu dalam keadaan tertutup rapat, hal ini membuat Bong
Thian-gak tertegun, segera pikirnya, "Kalau dilihat dari pintu
gerbang yang tertutup rapat, berarti tiada penjaga yang
meronda di luar gedung, tempat ini sungguh merupakan
tempat rahasia yang menyeramkan."
Mendadak dari luar terdengar seorang menegur,
"Komandan regukah di situ?"
"Benar!" dengan cepat Bong Thian-gak menyahut.
Suara gemuruh yang amat keras segera berkumandang,
pintu gerbang terbuka lebar dan dua kepala menongol dari
balik pintu. Secepat sambaran kilat telapak tangan Bong Thian-gak
membacok ke bawah.
Tiada jerit kesakitan, tiada suara lain, tahu-tahu kedua
orang tadi menghembuskan napas penghabisan.
Dengan gerakan tubuh yang gesit, lincah dan ringan, Bong
Thian-gak segera menerobos keluar lewat celah-celah pintu
itu. Di bawah cahaya rembulan, di bawah undak-undakan batu
depan pintu gerbang nampak berjajar dua puluh pengawal
berbaju kuning, mereka berdiri dengan memegang tombak
panjang. Kemunculan Bong Thian-gak yang secara tiba-tiba
membuat mereka tidak sempat melihat dengan jelas siapa
pendatang itu. Dalam sekejap Bong Thian-gak telah sampai di hadapan
pengawal pertama. Tanpa jeritan kaget, tanpa teriakan
kesakitan, tahu-tahu orang Mu sudah roboh binasa.
Di saat pengawal baju kuning yang pertama roboh terkapar
tadi, tubuh Bong Thian-gak sudah berkelebat di hadapan
751 delapan orang pengawal dan muncul di hadapan pengawal
kesembilan. Di saat para pengawal menyadari datangnya musuh yang
menakutkan itu, Bong Thian-gak telah berhasil menghabisi
nyawa delapan orang pengawal baju kuning dengan
kecepatan dan serangan yang mengerikan.
Serangan yang begitu dahsyat dan cepat ini pada
hakikatnya (arang dijumpai di kolong langit.
Tiga orang pengawal baju kuning lainnya yang masih
tersisa dengan cepat menyadari datangnya ancaman bahaya,
salah seorang di antara mereka segera menghardik, "Siapa di
situ?" Bong Thian-gak merampas tiga batang tombak dari
korbannya yang tewas dan satu-per satu dilontarkan ke
depan. Tombak-tombak itupun menembus jantung tiga orang
pengawal yang berada di kejauhan, tanpa penderitaan, tanpa
teriak kesakitan, dua puluh empat orang pengawal berbaju
kuning tahu-tahu sudah tertumpas habis di tangan Bong
Thian-gak. Kendati Bong Thian-gak telah melakukan pembunuhan
dengan gerakan cepat, tindakan yang kejam dan tak membuat
pengawal-pengawal itu mengeluarkan suara, namun
penjagaan di seputar gedung itu sungguh kelewat ketat.
Dua puluh empat pengawal berbaju kuning yang berada di
pintu gerbang sekarang tak lebih hanya sekelompok kekuatan
lain yang berada di sekeliling gedung itu.
Mendadak serente
Jodoh Rajawali 4 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 13
perkasa harus mengorbankan jiwanya secara demikian
mengenaskan."
Dalam pada itu dalam benak Bong Thian-gak seakan-akan
terlintas semua gerak-gerik serta ucapan Thia Leng-juan
menjelang ajalnya tadi.
684 Tiba-tiba sepasang matanya menjadi merah, dengan
terbata-bata dia berbisik, "Aku sangat menyesal, aku telah
bertindak gegabah."
Sambil bergumam, selangkah demi selangkah dia berjalan
menghampiri jenazah Thia Leng-juan, kemudian menjatuhkan
diri berlutut dan berkomat-kamit entah apa yang didoakan.
Dia amat menyesal atas kecerobohan sendiri.
Dia merasa amat sedih, kesal dan murung.
Tiba-tiba dari samping tubuhnya berkumandang suara
pujian syukur kepada sang Buddha, kemudian Hong-kong
Hwesio berkata pelan, "Omitohud! Ai, Sicu tak perlu menyesal,
kematian Thia-tayhiap bukan seluruhnya dikarena
kecerobohan Sicu ... aku masih ingat perkataannya kepadaku
tempo hari, 'Bila Ko Hong masih hidup, maka di saat dia
muncul lagi dalam Bu-lim, Thia Leng-juan merasa tiada
kepentingan lagi untuk tetap hidup di dunia ini'. Dari katakatanya
itu bisa disimpulkan bahwa Thia-tayhiap memang
sudah mempunyai rencana untuk mengakhiri hidupnya setelah
mengetahui bahwa Sicu adalah Ko Hong."
"Mengapa dia berencana mengakhiri hidupnya setelah
berjumpa dengan diriku?" tanya Bong Thian-gak pedih.
"Kesulitan Thia-tayhiap tidak mungkin bisa Lolap terangkan
dengan sepatah dua patah kata saja, lebih baik kita bicarakan
lagi di kemudian hari. Sekarang yang penting Sicu harus
bersiap menghadapi kawanan musuh tangguh!"
Sementara mereka sedang berbincang, di sekeliling
halaman itu telah bermunculan bayangan orang dengan cepat,
rombongan orang berbaju hitam itu mengepung dengan
menggenggam tombak.
Dari kemampuan mereka berjalan tanpa menimbulkan
suara serta gerak-geriknya yang aneh dan misterius,
685 bahwasanya rombongan itu betul-betul merupakan
sekelompok musuh tangguh yang lihai.
Dengan sorot mata tajam Bong Thian-gak memperhatikan
sekejap orang-orang yang berada di sekeliling tempat itu,
kemudian dengan cepat dia melompat bangun sambil bisiknya,
"Ah, mereka adalah orang-orang Put-gwa-cin-kau."
"Betul," Hong-kong Hwesio menghela napas panjang,
"mereka adalah orang-orang Put-gwa-cin-kau, sungguh tak
kusangka dia pun sudah muncul di wilayah Hopak."
"Dia" Siapa yang kau maksud?" tanya Bong Thian-gak
keheranan. Hong-kong Hwesio memandang sekejap ke arah Bong
Thian-gak, kemudian katanya, "Sicu, tahukah kau, manusia
manakah yang merupakan musuh terlihai di dalam Put-gwacin-
kau?" "Cong-kaucu serta Ji-kaucu?"
Dengan cepat Hong-kong Hwesio menggeleng kepala
berulang kali, katanya cepat, "Biarpun Ji-kaucu serta Congkaucu
sangat lihai, kedua orang itu tidak menakutkan."
Mendengar perkataan itu sekali lagi Bong Thian-gak
mengawasi orang-orang berbaju hitam yang berada di
sekeliling tempat itu, mendadak ia berseru tertahan sambil
serunya, "Ah, tampaknya rombongan orang ini berasal dari
pasukan pengawal tanpa tanding?"
"Ya, betul," Hong-kong Hwesio mengangguk, "mereka
adalah pasukan pengawal tanpa tanding dari Put-gwa-cinkau."
Bong Thian-gak mengerut dahi, kemudian tanyanya,
"Apakah orang paling lihai dari Put-gwa-cin-kau yang kau
maksudkan adalah komandan nomor satu pasukan pengawal
tanpa tanding ini?"
686 "Betul, dialah yang kumaksudkan."
"Apakah dia pun berada di sini?"
"Belum, tapi dia pasti akan muncul di tempat ini, sebab
ketiga belas pengawalnya sudah muncul."
Sementara itu Han Siau-liong yang menyaksikan
kemunculan ketiga belas orang berbaju hitam itu makin
percaya bahwa kawanan jago Kay-pang yang ditugaskan
menjaga di luar kuil Hong-kong-si telah mengalami musibah.
Han Siau-liong berpaling ke arah Liu Khi, lalu katanya,
"Susiok, aku rasa kita harus turun tangan lebih dulu untuk
menguasai keadaan."
Sejak muncul hingga sekarang, Liu Khi jarang berbicara,
pada saat itulah dia menjawab dengan suara dingin, "Siauliong,
kau harus dapat mengendalikan diri, pertarungan yang
bakal berkobar dalam kuil Hong-kong-si hari ini, bisa jadi akan
merupakan pertarungan mati-matian yang jarang terjadi Bulim,
barang siapa bisa mempertahankan hidup dalam
pertarungan nanti, dialah yang mungkin akan mendapat harta
karun peninggalan raja muda Mo-lay-cing-ong."
Beberapa patah kata Liu Khi menggerakkan hati kawanan
jago yang berada di dalam arena, semua orang seolah-olah
dapat merasakan juga bahwa di dalam kuil Hong-kong-si yang
kecil itu bisa jadi akan berkobar pertempuran berdarah yang
belum pernah terjadi sebelumnya.
Bersambung j ilid 2
687 Jilid 2 Tiba-tiba Mo Hui-thian tertawa kering, kemudian berkata,
"Apabila pihak Kay-pang ingin mengangkangi sendiri harta
karun Mo-lay-cing-ong, hanya dengan mengandalkan
kemampuan Liu Khi serta Han Siau-liong saja hal itu jauh tidak
cukup." "Bagaimana pun juga kemampuan Kay-pang rasanya masih
jauh lebih mengungguli kemampuan perkumpulan Kiam-liongkiam-
san-ceng." Liu Khi balas mengejek.
"Hehehe, perkataan Liu-heng memang tepat," Mo Hui-thian
tertawa kering, "cuma pedang Lohu ini bukanlah pedang yang
bisa dihadapi seenaknya."
"Aku tahu, pedang Mo-loji paling tidak masih mampu
membacok batok kepala beberapa anggota Put-gwa-cin-kau,
kami Kay-pang ingin meminjam pedangmu itu."
"Mana ... mana, mengapa Liu-heng tidak mulai terlebih
dahulu?" "Atas dasar kemampuan kita bertiga, rasanya masih belum
cukup untuk menghadapi orang-orang Put-gwa-cin-kau,"
jawab Liu Khi dingin.
"Omitohud!" tiba-tiba Hong-kong Hwesio memuji
keagungan Buddha, "perkataan Liu-sicu memang benar,
perubahan situasi yang kita hadapi sekarang membutuhkan
kerja sama untuk menghadapi musuh tangguh Put-gwa-cinkau,
kita wajib menghancurkan dan mematahkan mereka
terlebih dahulu."
Mo Hui-thian tertawa, selanya, "Seandainya beberapa
orang di antara kita bersedia bekerja sama, aku yakin
kekuatan yang kita himpun ini sanggup untuk menghadapi
688 serbuan pihak Put-gwa-cin-kau, sayang, kita semua masih
belum seia-sekata."
Selesai berkata, dia berpaling dan memandang sekejap
Bong Thian-gak.
Tentu saja Bong Thian-gak memahami maksud Mo Huithian
itu, maka ujarnya kemudian dengan suara hambar,
"Biarpun pihak Kay-pang serta perkumpulan Kim-liong-kiamsan-
ceng mempunyai dendam kesumat dengan Hiat-kiam-bun,
tapi permusuhan itu tidak sedalam permusuhan kami dengan
pihak Put-gwa-cin-kau."
"Kalau begitu kita bisa bersatu-padu sekarang," ujar Mo
Hui-thian sambil tertawa. "Nah, kita turun tangan lebih dulu
menggasak habis manusia-manusia cecunguk itu."
"Yang perlu kita musnahkan pertama-tama adalah Si-hunmo-
li," kata Liu Khi tiba-tiba.
Selesai berkata, lengan tunggalnya segera diayunkan ke
depan, dua batang pisau terbang yang telah disiapkan sejak
tadi disambitkan ke muka.
Berubah hebat paras muka Bong Thian-gak mendengar
perkataan itu, serunya dengan cepat, "Tunggu sebentar!"
Mo Hui-thian tertawa dingin, jengeknya, "Beberapa
kelompok di antara kita ini memang selamanya tak mungkin
bisa bersatu."
"Barang siapa di antara kalian berani memukul Si-hun-moli,
Pek-hiat-kiam di tanganku ini tak akan memberi ampun
kepadanya," ancam Bong Thian-gak dengan suara dalam.
Sembari berkata, Pek-hiat-kiam di tangannya segera
disilangkan di depan dada, kemudian dengan wajah serius dan
bersungguh-sungguh dia mengawasi semua orang dengan
seksama. 689 Suasana di halaman gedung itu seketika tercekam dalam
keheningan, rasa tegang dan napsu membunuh yang
menggidikkan menyelimuti benak setiap orang.
Han Siau-liong segera menimbrung, "Bong-buncu, kau
sudah merasakan sendiri betapa lihainya Si-hun-mo-li,
seandainya perempuan itu tidak kita lenyapkan lebih dulu,
kemungkinan besar kita semua akan terluka oleh pukulan Sohli-
jian-yang-sin-kangnya."
"Perkataanku tadi sudah cukup jelas," kata Bong Thian-gak
dengan wajah serius, "aku tak mengizinkan orang melukainya,
bila Liu Khi berani melepas pisau terbangnya, maka Pek-hiatkiam
ini akan segera memenggal pula batok kepalanya."
Liu Khi yang mendengar perkataan itu tertawa dingin,
"Sekali pun pisau terbang Liu Khi sudah dicekal dalam
genggaman, tak pernah berlaku dalam kamusku untuk
menyimpannya kembali."
"Aku tahu kepandaian silat yang kau miliki sangat hebat,
tapi pada saat kau melepaskan pisau terbangmu itu, mustahil
bisa menghindar dari babatan Pek-hiat-kiam, maka kunasehati
kepadamu, lebih baik jangan menyerempet bahaya."
Mendadak Mo Hui-thian mengangkat pedangnya dan dari
kejauhan diarahkan pada Bong Thian-gak, setelah itu katanya
sambil tertawa kering, "Sebetulnya aku merupakan penengah,
tapi setelah diperhitungkan untung ruginya, aku lebih condong
berpihak ke Liu-heng, dengan posisi demikian apakah Bong
Thian-gak masih tetap bersikeras melindungi Si-hun-mo-li?"
"Omitohud!" tiba-tiba Hong-kong Hwesio berkata memuji
keagungan Buddha, "kuminta Sicu sekalian jangan bertindak
kelewat gegabah, lebih baik kita bersama-sama merundingkan
cara pemecahan yang bijaksana."
Tiba-tiba Bong Thian-gak menghela napas panjang, lalu
berkata, "Kuharap kalian bersedia mendengarkan
perkataanku, sesungguhnya Si-hun-mo-li adalah seorang
690 perempuan yang patut dikasihani, aku Bong Thian-gak pernah
berhutang budi kepadanya, oleh sebab itu bila kalian berharap
bantuanku malam ini untuk menghadapi orang-orang Putgwa-
cin-kau, maka kalian harus memenuhi syaratku lebih
dulu, yakni tidak boleh mencelakai jiwa Si-hun-mo-li."
Baru selesai perkataan itu, mendadak terdengar suara
dingin yang menggidikkan berkumandang dari sudut halaman
gedung, menyusul kemudian seseorang berkata dengan suara
sedingin salju, "Dengan mengandalkan kemampuan kalian,
aku rasa masih belum mampu membunuh Si-hun-mo-li."
Mendengar perkataan itu, para jago segera berpaling, dari
sudut halaman sebelah utara pelan-pelan muncul dua orang.
Orang pertama adalah sastrawan berbaju hijau yang sangat
dikenal Bong Thian-gak, yakni Ji-kaucu.
Sedangkan orang kedua adalah seorang kakek berbaju
panjang berwarna hitam yang pada bagian dadanya tersulam
seekor naga emas yang sedang melingkar.
Orang itu seperti tidak membawa senjata, dia hanya
bertangan kosong, namun Bong Thian-gak yang melihat sorot
mata dan gerak-geriknya yang mantap, kontan keningnya
berkerut kencang.
la merasa kelihaian ilmu silat orang ini mungkin sudah
mencapai tingkat yang tak terhingga, bahkan di antara
kawanan jago persilatan yang pernah dijumpai olehnya, boleh
dibilang kakek baju hitam inilah yang memiliki kepandaian silat
paling hebat. Perasaan ini hanya Bong Thian-gak yang dapat merasakan.
Mungkinkah dia adalah komandan nomor satu pasukan
pengawal tanpa tanding Put-gwa-cin-kau"
Kakek berbaju hitam itu berjalan bersanding dengan Jikaucu,
sambil melangkah ke arena, dia menyapu pandang
sekejap para jago yang hadir, katanya dengan suara dingin,
691 "Liu Khi, bila kau tidak percaya, silakan kau timpukkan pisau
terbangmu itu, coba kita buktikan apakah Si-hun-mo-li benarbenar
akan mampus di ujung pisau terbangmu itu?"
Dalam keadaan demikian, secara tiba-tiba Liu Khi menarik
kembali kedua pisau terbang yang semula dicekal dalam
genggamannya, kemudian setelah tertawa, katanya, "Kau
ingin menyaksikan aku melepaskan pisau terbang" Boleh saja,
tapi tunggu sampai kita berhadapan nanti, bisa kau buktikan
dengan mata kepalamu sendiri!"
Kakek berbaju hitam tertawa dingin, "Selama ini dalam Bulim
tersiar berita yang mengatakan Liu Khi adalah seorang ahli
senjata rahasia nomor wahid di kolong langit, sayang aku
justru tak mau percaya dengan ucapan itu!"
"Bagaimanakah kemampuan Liu Khi dalam melepaskan
pisau terbang, mengapa tidak kau tanya sendiri kepada Jikaucu?"
Liu Khi berkata sambil berkata.
Ji-kaucu yang berada di sisi kiri lantas tersenyum, "Biarpun
pisau terbangmu lebih cepat setingkat pada tiga tahun
berselang ketika kita beradu di wilayah Sucwan, namun
pertandingan itu sesungguhnya belum dapat menentukan
secara tepat siapa yang unggul."
"Kalau begitu dengan cara apa kita baru dapat mengetahui
secara tepat siapa sesungguhnya yang lebih unggul di antara
kita?" "Aku pikir, kita harus mengulangi pertarungan penentuan
untuk membuktikan siapa sesungguhnya yang lebih unggul,"
jawab Ji-kaucu dengan wajah membesi dan suara hambar.
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, tentu saja dengan senang hati akan kulayani
pertarungan ulangan itu."
Mendadak terdengar Hong-kong Hwesio berseru dengan
suara keras, "Sim Tiong-kiu, masih ingat dengan aku si Hwesio
tua?" 692 "Biar kau si keledai gundul sudah berubah menjadi abu pun
aku masih mengenali dirimu," jawab kakek baju hitam itu
dengan keras. "Omitohud, Sim-sicu! Kuanjurkan padamu, lebih baik
lepaskan saja golok pembunuhmu! Biarpun pelajaran Buddha
tak bertepian, namun Hud-co pasti akan mengampuni semua
dosa-dosa Sicu di masa lampau bila kau bersedia bertobat."
Kakek berbaju hitam itu tertawa dingin, "Keledai gundul,
apakah kau sudah menyadari bakal mati pada malam ini,
maka sekarang memohon Lohu untuk memberikan jalan hidup
bagimu?" "Omitohud," kata Hong-kong Hwesio, "bila Sim-sicu masih
juga tak mau bertobat dan menyesali semua kejahatan yang
pernah kau lakukan, jangan menyesal nanti."
"Hong-kong Hwesio," tukas kakek berbaju hitam ketus,
"sekali pun kau menghadap dinding dan berlatih tekun selama
lima puluh tahun lagi masih bukan tandinganku, siapa
orangnya yang mampu mencabut nyawaku?"
Perkataan kakek berbaju hitam ini sangat takabur dan
sombong bukan alang-kepalang, ia benar-benar tidak
memandang sebelah mata terhadap orang lain, seakan-akan
dialah manusia paling hebat di kolong langit dan tiada orang
kedua yang mampu mengungguli dirinya.
Sudah barang tentu semua jago yang hadir dalam arena
merasa mendongkol.
Mendadak Han Siau-liong tertawa tergelak, kemudian
serunya, "Kesombongan dan kejumawaanmu benar-benar
membuat perasaan orang tidak enak, biarpun aku hanya
seorang yang berkepandaian cetek, namun ingin sekali kucoba
sampai dimanakah kemampuan orang yang menganggap
dirinya paling wahid di kolong langit ini."
693 "Bila kau tidak percaya, silakan saja mencoba," jengek
kakek baju hitam itu hambar.
"Oh, tentu saja aku akan mencoba," Han Siau-liong tertawa
lebar. Selesai berkata, dengan pedang terhunus selangkah demi
selangkah Han Siau-liong maju ke muka.
Melihat Han Siau-liong tampil, buru-buru Hong-kong
Hwesio berkata, "Han-sicu, harap berhenti dulu."
"Hahaha," Han Siau-liong tertawa terbahak-bahak, "Hwesio
tua, biarpun aku bisa menahan diri dan membiarkan cecunguk
itu pamer kesombongannya, sayang, orang lain tidak memiliki
kesabaran sebesar itu."
Liu Khi sendiri pun dapat merasakan kepandaian silat kakek
berjubah hitam itu lihai sekali dan Han Siau-liong bukan
tandingannya, tapi batinnya, "Tenaga dalam Han Siau-liong
amat sempurna, sekali pun kakek baju hitam itu ingin
mengunggulinya, hal ini tak akan terjadi dalam satu-dua
gebrakan saja ... biar saja dia turun tangan menguji
kemampuannya."
Karena pikiran ini, maka dia pun membiarkan Han Siauliong
meneruskan langkahnya.
Baik Bong Thian-gak maupun Mo Hui-thian sama-sama
ingin mengetahui sampai dimanakah kemampuan kakek
berjubah hitam itu, dengan mata tak berkedip mereka
mengawasi langkah Han Siau-liong menuju ke depan.
Tentu saja Han Siau-liong memiliki kepandaian amat lihai,
sepintas dia nampak seperti pemuda yang tinggi hati dan
jumawa, padahal dia tak berani menganggap enteng setiap
lawannya. Dengan langkah tegap dan mantap, selangkah demi
selangkah dia maju ke depan, semua jago yang berada di
arena rata-rata mengetahui, secara diam-diam Han Siau-liong
694 telah menghimpun tenaga dalam dan dihimpun ke lengannya,
dari lengan disalurkan ke pedang bajanya.
Selain itu semua orang juga tahu bahwa serangan
pedangnya yang pertama nanti, Han Siau-liong pasti akan
melepaskan sebuah serangan maha dahsyat.
Menghadapi serangan Han Siau-liong itu, si kakek baju
hitam tetap acuh tak acuh, dengan sikap amat tenang dia
menantikan Han Siau-liong menghampirinya selangkah demi
selangkah. Mendadak suara bentakan keras memecah keheningan,
pedang baja Han Siau-liong disertai deru angin yang amat
hebat langsung menyambar dan membacok tubuh si kakek
berbaju hitam. Serangan pedang yang dilancarkan olehnya ini boleh
dibilang disertai kecepatan luar biasa dan kekuatan yang
sanggup membelah bukit karang.
Ketika kawanan jago itu melihat datangnya serangan tadi,
semuanya beranggapan sama, kecuali menghindarkan diri,
rasanya sulit bagi Sim Tiong-kiu untuk menyambut datangnya
ancaman itu dengan kekerasan.
Tak disangka, tindakan yang dilakukan Sim Tiong-kiu sama
sekali di luar dugaan semua orang.
Bukannya menghindar atau melompat mundur, tahu-tahu
Sim Tiong-kiu malah melompat ke muka dan melepaskan
sebuah tendangan dengan kaki kirinya mengarah datangnya
ancaman pedang itu.
Sambil mendesak ke muka, kakek baju hitam itu berseru
lantang, "Enyah kau dari sini!"
Tahu-tahu tendangan itu bersarang di dada lawan, Han
Siau-liong mendengus tertahan, tubuhnya terpental ke tengah
udara. 695 Berbareng dengan mencelatnya Han Siau-liong, mendadak
tampak titik-titik cahaya tajam yang menyilaukan mata
menyambar ke tubuh kakek berbaju hitam itu.
Rupanya titik-titik cahaya itu tidak lain adalah pisau terbang
yang disambitkan secara tiba-tiba oleh Liu Khi.
"Hm, kau anggap pisau terbangmu itu mampu melukai
diriku?" jengekan dingin bergema di udara.
Bayangan orang berkelebat, tahu-tahu Sim Tiong-kiu telah
berdiri kembali di tempat semula, hanya pada jari tangan
kirinya kini telah bertambah dengan dua pisau terbang yang
memancarkan cahaya tajam.
Pisau terbang milik Liu Khi sebenarnya terhitung sangat
hebat, jarang ada orang yang mampu menghindarkan diri dari
sergapannya, tapi kenyataan sekarang pisau terbang itu sama
sekali tidak berpengaruh apa-apa terhadap orang berbaju
hitam itu. Dalam pada itu Han Siau-liong yang mencelat ke belakang
berikut pedangnya, kini sudah menggeletak di tanah dan tidak
berkutik lagi. Bong Thian-gak dan Mo Hui-thian serentak maju
mendekatinya. Tampak oleh mereka, Han Siau-liong sudah tergeletak di
tanah dengan wajah pucat-pias seperti mayat, rupanya dia
sudah dalam keadaan tak sadarkan diri.
Han Siau-liong adalah jagoan lihai nomor tiga dalam Kaypang,
sampai dimana kepandaiannya Bong Thian-gak pernah
menyaksikan sendiri, bahkan pemuda itu terhitung jago lihai
dalam Bu-lim. Tapi kenyataan sekarang jagoan itu dibikin keok dan tak
sadarkan diri dalam satu gebrakan saja, boleh dibilang
peristiwa semacam ini sungguh menggidikkan.
696 Itu berarti juga Sim Tiong-kiu benar-benar merupakan
seorang jagoan hebat.
Untuk beberapa saat lamanya para jago bergidik dengan
perasaan bergetar keras, mereka hanya bisa saling pandang
dan mulut membisu.
Suara dingin, ketus dan sombong Sim Tiong-kiu kembali
berkumandang di sisi telinga para jago, terdengar ia berkata,
"Apakah masih ada orang lain yang ingin mencoba kepandaian
silatku?" Tantangan yang begitu sombong dan takabur semacam ini
pada hakikatnya cukup membuat orang tidak tahan.
Toa-cengcu Kim-liong-kiam-san-ceng Mo Hui-thian tertawa
seram, katanya, "Mo Hui-thian ingin sekali mencoba
kepandaian silatmu."
"Mo-cengcu dikenal sebagai pendekar pedang nomor wahid
di kolong langit, aku memang sudah lama ingin mencoba
kepandaian ilmu pedangmu itu," jawab Sim Tiong-kiu hambar.
"Mo-cengcu, harap kau suka menahan diri, jangan kau
lakukan tindakan gegabah," Hong-kong Hwesio berseru
dengan suara dalam.
Mo Hui-thian berpaling dan memandang sekejap ke arah
Hong-kong Hwesio, katanya, "Hwesio tua, apakah dengan
kemampuan yang kumiliki masih belum mampu menyambut
sejurus serangannya?"
"Apakah Mo-cengcu dapat "melihat pukulan yang
menyebabkan Han Siau-liong terluka parah?" tanya Hongkong
Hwesio dengan wajah serius.
Mendengar pertanyaan itu, semua jago serentak
mengangkat kepala dan menengok ke arah Hong-kong
Hwesio. 697 Memang sampai sekarang tak seorang pun di antara yang
hadir mengetahui luka apakah yang diderita Han Siau-liong.
Mo Hui-thian tertawa rikuh, lalu dia balik bertanya, "Apakah
kau tahu, pukulan apa yang menyebabkan Han Siau-liong
terluka?" Hong-kong Hwesio menggeleng kepala, "Hingga kini Lolap
masih belum tahu ilmu sakti apakah yang telah dilatih Simsicu,
tapi Lolap tahu, dewasa ini sedikit sekali ada yang bisa
menghindarkan diri dari serangannya itu."
Mo Hui-thian tertawa dingin, serunya, "Hei, Hwesio tua, kau
tahu berapa orang di kolong langit ini yang mampu
menghindarkan diri dari serangan pedangku?"
"Sekali pun serangan pedangmu sangat lihai dan luar biasa,
jarang ada orang yang sanggup menghadapinya, akan tetapi
pernahkah Mo-cengcu bayangkan bahwa musuh pada
hakikatnya tak akan memberi kesempatan kepadamu untuk
melancarkan serangan."
Hati Mo Hui-thian bergetar keras, dia segera bertanya,
"Hwesio tua, apakah maksudmu berkata demikian?"
Hong-kong Hwesio menghela napas panjang, "Ai, musuh
yang akan menyerang lebih dahulu, bukan kau yang
melancarkan serangan menyergap lawan."
Mo Hui-thian tercekat, dengan cepat ia bertanya, "Barusan
bukankah Han Siau-liong yang telah melancarkan serangan
lebih dahulu terhadap lawan?"
"Tentu saja tidak," seru Hong-kong Hwesio sambil
menggeleng. Jawaban ini dengan cepat menimbulkan tanda tanya besar
bagi kawanan jago itu.
698 Sudah jelas terlihat tadi bahwa Han Siau-liong melancarkan
serangan lebih dahulu, bagaimana mungkin bisa dikatakan
Sim Tiong-kiu yang menyerang lebih dulu"
Setelah tertawa dingin Mo Hui-thian bertanya, "Hwesio tua,
bisakah kau terangkan bagaimana cara musuh melancarkan
serangan lebih dulu?"
Hong-kong Hwesio menghela napas panjang, "Ai, Lolap
bisa menerangkan, tentu saja bisa pula mematahkan jurus
serangan yang mematikan dari Sim Tiong-kiu itu."
"Huh, pada hakikatnya kau hanya ngaco-belo belaka, aku
justru tidak percaya dengan segala takhayul!" jengek Mo Huithian
sambil tertawa kering.
Sembari berkata, pedangnya segera diangkat, kemudian
pelan-pelan diturunkan ke depan dada, setelah itu ia
menggenggam pedangnya dengan kedua tangan dan "Crit",
tubuh berikut pedangnya tahu-tahu meluncur ke depan Sim
Tiong-kiu dan menusuk tubuhnya.
Kawanan jago di arena saat ini boleh dibilang rata-rata
adalah jagoan persilatan yang berilmu tinggi, setelah
menyaksikan jurus pedang yang dipergunakan Mo Hui-thian,
tanpa terasa masing-masing pihak berpekik lirih, "Ah, ilmu
pedang terkendali!"
Yang disebut ilmu pedang terkendali adalah semacam ilmu
pedang tingkat atas yang paling sukar dipelajari, bila
kepandaian itu sudah mencapai puncaknya, maka serangan
pedang bisa dikendalikan dari jarak jauh, bila demikian
keadaannya maka memenggal batok kepala orang dari
kejauhan bukan suatu pekerjaan yang amat sukar.
Tiba-tiba saja Mo Hui-thian memepergunakan kepandaian
maha sakti ini untuk menyerang musush, pada hakikatnya
kejadian itu benar-benar merupakan suatu peristiwa yang luar
biasa. 699 Hawa pedang yang tajam bagaikan sembilu diiringi deru
angin tajam segera melintas dan menusuk ke tubuh Sim
Tiong-kiu. Tapi bersamaan dilancarkannya serangan itu, jeritan kaget
serta suara bentrokan nyaring bergema memecah keheningan.
Tubuh Mo Hui-thian seperti layang-layang putus benang
terpental di udara dan berjumpalitan sebanyak tiga kali,
kemudian jatuh terbanting ke tanah.
Bong Thian-gak menghampiri orang itu.
Tampak paras muka Mo Hui-thian pucat-pias seperti mayat,
napasnya tersengal-sengal, ia mengangkat kepala
memandang ke arah Bong Thian-gak sambil menggerakkan
bibirnya yang gemetar seperti hendak memberitahukan
sesuatu kepada Bong Thian-gak, namun tak sepatah kata pun
yang terdengar.
Dengan cepat Bong Thian-gak menempelkan telapak
tangan kanannya ke jalan darah Mi-bun-hiat di tubuh Mo Huithian.
Secara beruntun Mo Hui-thian muntah darah sebanyak tiga
kali, tiba-tibanya kulit mukanya mengejang keras, kemudian
roboh dan tidak sadarkan diri.
Hanya dalam sekali gebrakan saja secara beruntun Sim
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiong-kiu telah berhasil merobohkan dua jago persilatan yang
berilmu tinggi, kehebatannya itu dengan cepat menghebohkan
dan menggidikkan hati setiap orang.
Kembali Bong Thian-gak mengangkat kepala, ia lihat Sim
Tiong-kiu masih tetap tegak berdiri di tempat, wajahnya dingin
bagaikan es, selapis hawa dingin yang menggidikkan seakanakan
menyelimuti tubuhnya.
Waktu itu ujung baju lengan kirinya telah robek separo,
tampaknya terpapas robek oleh sambaran hawa pedang yang
dipancarkan oleh Mo Hui-thian tadi.
700 "Masih ada siapa lagi yang ingin mencoba kepandaianku?"
suara yang dingin dan sombong Sim Tiong-kiu sekali lagi
berkumandang. Sudah jelas Sim Tiong-kiu hendak mempergunakan
kepandaian rahasianya yang maha sakti, hendak melukai
kawanan jago yang hadir di arena satu demi satu.
Itulah sebabnya ia menantang lagi para jago lain untuk
mencoba kepandaian silatnya.
Sementara itu Bong Thian-gak telah menggeser badan,
kemudian ujarnya, "Kepandaian silat yang kau miliki memang
sangat hebat, aku percaya tak bisa menandingi kehebatanmu
itu, meski demikian aku ingin juga menjajal kepandaianmu
itu." "Bong-sicu, kau tidak boleh bertindak secara gegabah."
Bong Thian-gak berpaling dan memandang sekejap ke arah
Hong-kong Hwesio, kemudian katanya dengan suara nyaring,
"Hari ini kita sudah berhadapan dengan lawan, cepat atau
lambat pertarungan tak bisa dihindari lagi, kau suruh aku
jangan bertindak sembarangan, apakah kau hendak menyuruh
aku menerima kematian begitu saja?"
Hong-kong Hwesio menghela napas sedih, kemudian
katanya, "Kedua orang murid Lolap mungkin sanggup
menahan serangannya, Bong-sicu, harap kau jangan turun
tangan lebih dulu!"
Dalam pada itu kedua murid Hong-kong Hwesio telah maju
bersama ke depan.
Bong Thian-gak memandang sekejap ke arah kedua anak
buah Hong-kong Hwesio yang berjenggot hitam itu, lalu dia
bertanya, "Apakah Siancu berdua punya keyakinan dapat
menahan serangannya?"
701 Mendengar pertanyaan itu, kedua Hwesio berjenggot hitam
itu menggeleng kepala, namun tidak mengucapkan sepatah
kata pun. Kembali Bong Thian-gak berkata, "Bila Siancu berdua
memang tidak punya keyakinan, lebih baik mundurlah untuk
sementara waktu."
"Bong-sicu," terdengar Hong-kong Hwesio berkata, "kedua
orang muridku ini selain bisu juga tuli, semua perkataanmu itu
tak mungkin didengarnya."
Mendengar ucapan itu, Bong Thian-gak menghela napas
panjang, segera pikirnya, "Oh, rupanya kedua orang ini bisu
tuli, tak heran selama ini tak kudengar ucapan mereka barang
sepatah kata pun."
Berpikir sampai di situ, Bong Thian-gak memandang
sekejap ke arah Hong-kong Hwesio, lalu berkata, "Kalau kedua
murid Hwesio tua bisu tuli, mereka lebih-lebih tidak
seharusnya dikirim ke arena untuk melangsungkan
pertarungan itu!"
Hong-kong Hwesio menghela napas panjang, "Ai, biarpun
kedua muridku ini bisu tuli, namun ketajaman mata serta
kecerdasan otak mereka jauh melebihi orang biasa, bahkan
boleh dikatakan kelewat tajam dan cerdik. Bong-sicu tak perlu
kuatir, siapa tahu kedua muridku itu mampu mematahkan ilmu
rahasia andalan Sim Tiong-kiu."
Pada saat itulah terdengar Sim Tiong-kiu berkata sambil
tertawa dingin, "Keledai gundul, bila kau menginginkan kedua
murid cacatmu bisa mematahkan ilmu maha saktiku, tunggu
saja bila matahari terbit dari langit barat."
"Walaupun kedua orang itu tidak mempunyai keyakinan
untuk membendung kesaktian silat Sicu, tapi pada puluhan
tahun berselang kedua orang itu sudah mulai melatih diri
secara tekun dan berhasil menciptakan sejenis ilmu silat yang
dapat mematahkan jurus sakti Sim-sicu."
702 "Kalau memang begitu, suruh saja mereka berdua kemari
mengantar kematian!"
Tiba-tiba Bong Thian-gak berseru, "Tunggu sebentar!"
Tubuhnya berkelebat cepat dan menghadang di hadapan
kedua Hwesio berjenggot hitam itu.
"Bong-sicu, masih ada urusan apa lagi?" tanya Hong-kong
Hwesio. "Ada sebuah persoalan yang ingin kutanyakan kepada kau."
"Bila Sicu ada persoalan, harap diutarakan saja."
"Kau pernah bertarung melawan orang itu?"
"Ya, kami pernah bertarung," Hong-kong Hwesio mengaku.
"Sudah bentrok berapa kali?" kembali Bong Thian-gak
bertanya. "Tiga kali."
"Taysu, apakah setiap kali kalian bertarung Ji-kaucu selalu
hadir di arena?"
Pertanyaan ini membingungkan Hong-kong Hwesio, dia
menggeleng sambil berkata, "Ji-kaucu tak pernah hadir di
arena. Bong-sicu, apa maksudmu menanyakan hal ini?"
Sebelum Bong Thian-gak menjawab, terdengar Ji-kaucu
tertawa dingin sambil katanya, "Dia curiga kalau aku telah
melepaskan racun dan meracuni orang secara diam-diam."
Rupanya Bong Thian-gak menaruh curiga atas kejadian itu,
hingga kini dia masih belum dapat melihat dengan jelas
bagaimana Sim Tiong-kiu melukai lawannya.
Maka dia pun mulai berpikir, "Mungkinkah Ji-kaucu yang
telah melepaskan racunnya secara diam-diam dari tepi arena
untuk membantu Sim Tiong-kiu sehingga akibatnya orang
703 yang diserang Sim Tiong-kiu selalu menderita luka secara
membingungkan?"
Tapi jalan pikiran itu dengan cepat tersapu lenyap dalam
tanya-jawab dengan Hong-kong Hwesio, sekarang dia yakin
Sim Tiong-kiu benar-benar memiliki sejenis ilmu silat maha
sakti. Bong Thian-gak termenung sejenak, tiba-tiba ia berkata
lagi, "Hwesio tua, mungkin aku dapat menyambut sebuah
pukulannya tanpa harus mati. Harap Hwesio tua
memerintahkan kepada kedua muridmu agar segera
mengundurkan diri!"
"Bong-sicu, kau tak usah keras kepala," tampik Hong-kong
Hwesio sambil menggeleng.
Bong Thian-gak kembali tersenyum, "Biarpun aku belum
punya keyakinan untuk bisa mematahkan jurus serangan
lawan, tapi aku percaya tak bakal tewas di bawah telapak
tangannya," kata Bong Thian-gak sambil tersenyum. "Bila
kulangsungkan pertarungan jarak dekat, mungkin bisa
kupatahkan jurus serangannya yang tangguh itu."
Sim Tiong-kiu tertawa seram, "Ji-kaucu, orang inikah yang
bernama Jian-ciat-suseng?" "Ya, dialah orangnya."
"Bukankah Cong-kaucu telah menurunkan perintah agar
kita membekuknya hidup-hidup?"
"Benar, tapi kepandaian silat yang dimiliki orang ini sangat
lihai, tampaknya komandan Sim membutuhkan tenaga yang
cukup besar untuk dapat membekuknya."
Mendadak Bong Thian-gak berkata sambil tertawa dingin,
"Saudara, bersiap-siaplah menerima seranganku!"
"Kalau berniat melancarkan serangan, lancarkan saja
seranganmu itu," kata Sim Tiong-kiu hambar.
704 Bong Thian-gak menggenggam Pek-hiat-kiam dengan
tangan tunggalnya, kemudian maju selangkah demi selangkah
mendekati lawan.
Gerak langkah kakinya lamban sekali, ternyata Bong Thiangak
telah mengerahkan tenaga dalam Tat-mo-khi-kang untuk
melindungi badannya.
Paras muka Bong Thian-gak yang semula pucat penyakitan,
kini telah berubah merah bercahaya.
Sim Tiong-kiu tetap berdiri tegak, matanya bersinar tajam
bagai bintang timur mengawasi wajah Bong Thian-gak tanpa
berkedip. Tiba-tiba bergema suara gelak tertawa yang menyeramkan,
Sim Tiong-kiu bagaikan sambaran kilat cepatnya langsung
menerjang ke arah Bong Thian-gak.
Sejak tadi Bong Thian-gak sudah mengetahui Sim Tiong-kiu
memiliki ilmu silat yang amat hebat, tapi demi menjaga teknik
'dengan tenang mengatasi gerak', Bong Thian-gak sama sekali
tidak melepaskan serangan pedangnya.
Oleh sebab itu Sim Tiong-kiu segera mendesak lebih ke
depan dan sebuah pukulan yang maha dahsyat dilontarkan ke
dada Bong Thian-gak.
Bong Thian-gak memang telah bersiap menerima serangan
itu, ia tidak menghindar maupun berkelit, dadanya malah
dibusungkan untuk menyambut datangnya ancaman itu.
"Blam", diiringi benturan yang keras sekali, serangan itu
bersarang di dada anak muda itu.
Ilmu Tat-mo-khi-kang yang memancarkan daya
kemampuan dahsyat itu segera menciptakan selapis tenaga
pantulan tanpa wujud yang segera menggetarkan tubuh Sim
Tiong-kiu sehingga tergetar mundur sejauh tiga langkah.
705 Pada detik yang bersamaan itulah Pek-hiat-kiam yang
berada dalam genggaman Bong Thian-gak segera dibabatkan
dan menusuk ke dada Sim Tiong-kiu.
Padahal taktik yang diambil Bong Thian-gak ini telah
berhasil ditebak musuh secara tepat.
Tentu saja serangan yang dilancarkan olehnya itu amat
cepat bagaikan sambaran kilat, hawa sakti Tat-mo-khi-kang
yang melindungi badannya pun tak mampu lagi melindungi
seluruh tubuhnya.
Serangan dahsyat musuh pun dilontarkan lagi.
Bong Thian-gak hanya merasakan jari telunjuk tangan kiri
musuh menyambar pelan ke atas dadanya, serangan jari
tangan tanpa wujud bersarang telak di atas bahu kanannya.
Dengusan tertahan bergema, Bong Thian-gak tidak mampu
lagi melawan serangan jari itu, tubuhnya segera terbanting ke
tanah. Gelak tawa seram penuh kebanggaan bergema memecah
keheningan malam, tubuh Sim Tiong-kiu bagaikan sukma
gentayangan mendesak maju ke muka, bersamaan itu pula
cakar tangan kanannya mencengkeram urat nadi pada lengan
tunggal Bong Thian-gak.
"Crit, crit", dua kali desingan tajam bergema.
Tahu-tahu Liu Khi telah melepaskan dua bilah pisau
terbangnya ke depan.
Golok terbang Liu Khi memang sangat termasyhur di kolong
langit, khususnya mengancam tenggorokan orang, barang
siapa terserang tak mungkin tertolong lagi.
Itulah sebabnya Sim Tiong-kiu tidak berkesempatan lagi
untuk melanjutkan ancamannya atas urat nadi Bong Thiangak.
706 Tangan kirinya cepat diputar, ternyata kedua pisau terbang
itu sudah terjepit di antara jari telunjuk dan jari tengah.
Pada saat itulah terdengar Liu Khi berseru lagi dengan
suara lantang, "Sekarang silakan kau rasakan bacokan golokku
yang sesungguhnya."
Selesai bicara Liu Khi segera melolos golok panjangnya, Topit-
coat-to yang membuat Liu Khi termasyhur di kolong langit.
Begitu serangan golok dilancarkan, ancaman itu benarbenar
menggetarkan perasaan setiap orang.
Jerit kesakitan segera berkumandang memecah
keheningan. Darah segar menyembur, telapak tangan kanan Sim Tiongkiu
sebatas pergelangan tangan tahu-tahu sudah terpapas
kutung oleh bacokan golok itu.
Tapi bersamaan dengan terpapas kutungnya pergelangan
tangan kanan Sim Tiong-kiu, tangan kirinya telah melancarkan
serangan pula ke depan.
Liu Khi menjerit kaget, tubuhnya terlempar dan jatuh
terduduk di atas tanah.
Ia sama sekali tidak pingsan, akan tetapi luka yang
dideritanya cukup parah, dia terduduk di atas tanah dengan
sekujur badan gemetar keras, untuk beberapa saat tak
mampu bangkit kembali.
Sorot mata Liu Khi penuh dengan pancaran sinar kaget dan
keheranan, hingga detik ini dia masih belum mengetahui
dengan jelas bagaimana hal ini bisa terjadi hingga ia terluka
oleh jurus serangan lawan.
Beberapa kejadian beruntun itu berlangsung hampir
bersamaan, berhubung gerak tubuh mereka kelewat cepat.
707 Sejak pergelangan tangannya terpapas kutung, Sim Tiongkiu
menaruh perasaan dendam yang amat besar, ia menerkam
lagi ke arah Liu Khi yang masih tergeletak di depan sana.
Dalam pada itu Liu Khi sudah lemas dan tidak berkekuatan
lagi untuk memberikan perlawanan setelah tubuhnya terhajar
oleh serangan jari lawan, kulit mukanya segera mengejang
keras, pikirnya, "Habis sudah riwayatku kali ini, sungguh tak
nyana Liu Khi harus mampus di tangannya."
Belum habis ingatan itu melintas, sekilas cahaya pedang
berwarna merah telah berkelebat di depan mata.
Liu Khi segera memusatkan perhatian dan menengok.
Ternyata Pek-hiat-kiam di tangan kanan Bong Thian-gak
sedang diarahkan ke tubuh Sim Tiong-kiu, dia melancarkan
tiga buah serangan berantai, memaksa Sim Tiong-kiu terdesak
mundur. Baik Liu Khi maupun Sim Tiong-kiu sama sekali tidak
menyangka Bong Thian-gak masih memiliki kekuatan untuk
melancarkan serangan walaupun sudah terkena pukulan
dahsyat Sim Tiong-kiu secara telak.
Pertarungan cepat akhirnya terhenti dan hening kembali.
Pek-hiat-kiam di tangan Bong Thian-gak terkulai
menghadap tanah, dengan senjata itu dia mempertahankan
keseimbangan tubuhnya.
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara itu Ji-kaucu telah menghampiri Sim Tiong-kiu
dan secara beruntun menotok urat nadi pada lengan kanan
Sim Tiong-kiu yang kutung untuk mencegah agar tidak banyak
darah yang mengalir dari mulut lukanya.
Hong-kong Hwesio menghampiri Bong Thian-gak serta Liu
Khi, ia segera bertanya, "Parahkah luka yang kalian derita?"
708 "Hwesio tua, aku sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk
menangkis ataupun mematahkan jurus serangan musuh," kata
Liu Khi sambil tertawa pedih.
Bong Thian-gak berkata pula sambil menghela napas sedih,
"Hwesio tua, jurus serangan lawan yang hebat itu terletak
pada jari telunjuk tangan kirinya, berhubung serangan itu
tidak memperlihatkan gejala apa-apa, maka hampir tiada
orang yang berhasil mengetahui rahasia itu dengan jelas."
Mendengar penjelasan itu, Hong-kong Hwesio menghela
napas panjang, katanya kemudian, "Lolap memang pernah
menduga, bahwa jurus serangan dahsyat lawan bisa jadi
berasal dari satu di antara sepuluh jari tangannya, namun aku
tak pernah bisa menebak dengan cara bagaimana dia
merobohkan lawan-lawannya, sebab pada saat serangan
dilancarkan, hal ini merupakan suatu masalah yang tak bisa
dipecahkan."
Liu Khi menyesal setengah mati setelah mendapat
penjelasan ini, dia menghela napas dan mengeluh,
"Seandainya serangan golokku tadi membacok pergelangan
tangan kirinya, urusan pasti akan beres dengan sendirinya."
"Seandainya tanpa serangan golokmu tadi, mungkin aku
sudah tewas terhajar serangannya," kata Bong Thian-gak
dengan perasaan amat berterima kasih.
Liu Khi lebih berterima kasih lagi, katanya, "Serangan
pedang Bong-laute yang benar-benar telah menyelamatkan
jiwaku, aku merasa berterima kasih sekali."
Bong Thian-gak menengok sekejap ke arah Hong-kong
Hwesio, kemudian katanya, "Hwesio tua, sekarang tergantung
pada dirimu."
"Sekarang pergelangan tangan Sim Tiong-kiu telah
terpapas kutung, semangat tempurnya sudah luluh, agaknya
Lolap mampu menandinginya."
709 Liu Khi menghela napas sambil berkata, "Keadaan saat ini,
kekuatan pihak Put-gwa-cin-kau sama sekali belum menderita
kerugian apa-apa, agaknya nasib kita malam ini lebih banyak
buruknya daripada untungnya."
Betul, dari pertarungan yang berlangsung barusan, pihak
Put-gwa-cin-kau hanya menderita kerugian Sim Tiong-kiu
seorang yang telah kehilangan pergelangan tangannya,
sedangkan Ji-kaucu beserta Si-hun-mo-li dan ketiga belas
orang berjubah hitam itu pada hakikatnya belum turun
tangan. Sebaliknya di pihak lain, Han Siau-liong dan Mo Hui-thian
secara beruntun telah terluka oleh serangan jari tangan Sim
Tiong-kiu dan hingga kini belum sadarkan diri, sedangkan Liu
Khi dan Bong Thian-gak telah menderita luka pula.
Pada saat ini mereka yang sanggup melangsungkan
pertarungan dengan musuh tinggal kedelapan pelindung
hukum Hiat-kiam-bun, Hong-kong Hwesio beserta murid serta
Long Jit-seng. Bila diperbandingkan kemampuan yang dimiliki kedua belah
pihak, tampaknya Hong-kong Hwesio bertiga sulit untuk
menandingi kemampuan Sim Tiong-kiu, Ji-kaucu serta Si-hunmo-
li. Mendadak Liu Khi memandang sekejap ke arah Bong
Thian-gak, kemudian bertanya, "Bong-buncu, masih
mampukah kau melanjutkan pertarungan?"
"Bahu kananku makin lama semakin kaku, agaknya sudah
tak bisa bertahan lebih lama lagi, mungkin sampai waktunya
aku sudah tak mampu lagi menggenggam pedang," ucap Bong
Thian-gak sambil tersenyum.
Paras muka Liu Khi berubah hebat, katanya kemudian,
"Kalau begitu kita benar-benar akan tewas di tempat ini."
710 Bong Thian-gak kembali tertawa, "Sebelum ajal tiba, aku
rasa masih ada sisa kekuatan untuk membunuh beberapa
orang musuh lagi, apakah Liu-locianpwe sudah tidak
mempunyai kemampuan lagi?"
Hati Liu Khi bergetar keras, ia tertawa terbahak-bahak,
"Apakah Bong-buncu tidak percaya aku sudah tidak memiliki
kekuatan lagi untuk melanjutkan pertarungan?"
"Kalau tadi, mungkin benar-benar sudah tak punya lagi,
tapi sekarang aku lihat Liu-locianpwe seperti telah
menemukan cara untuk mengobati luka yang kau derita."
"Bila Bong-buncu tidak mempercayai diriku lagi, aku pun
tak bisa berkata apa-apa lagi," ucap Liu Khi sambil tertawa.
Sambil menarik muka Bong Thian-gak berkata lagi,
"Sebentar lagi Sim Tiong-kiu dan Ji-kaucu akan melancarkan
serangan terhadap kita, bila Liu-locianpwe tidak segera
mengobati luka yang diderita Han Siau-liong serta Mo Huithian,
bisa jadi kita benar-benar akan tewas hari ini di sini."
Liu Khi kembali menggeleng kepala berulang kali.
"Saat ini aku benar-benar sudah tidak mempunyai kekuatan
lagi sekalipun untuk menyembelih ayam, bila beruntung bisa
memulihkan kembali kekuatanku, mungkin hal ini baru
kualami beberapa jam kemudian. Sekarang terpaksa aku
harus menggantungkan perlindungan terhadap Hong-kong
Hwesio sekalian serta Bong-buncu."
Mendengar perkataan ini, Bong Thian-gak mengerutkan
dahi, kemudian pikirnya, "Barusan tampaknya aku seperti
melihat Han Siau-liong telah membuka mata satu kali setelah
memperoleh pertolongan Liu Khi."
Mendadak terdengar suara dingin yang menggidikkan hati
dari Ji-kaucu bergema memotong jalan pikiran Bong Thiangak,
"Ko Hong, hari ini jangan harap kau bisa meloloskan diri
dari jaringan langit yang diatur oleh Put-gwa-cin-kau." i
711 Pedang di tangan Bong Thian-gak masih tetap tergeletak di
tanah, ketika mendengar perkataan itu dia tertawa dingin, "Ko
Hong adalah nama samaranku pada tiga tahun berselang,
pada saat ini aku adalah ketua Hiat-kiam-bun, Jian-ciat-suseng
Bong Thian-gak."
Dia tertawa dingin tiada henti, kemudian melanjutkan, "Jikaucu,
bila kalian ingin membunuhku pada hari ini, mungkin
pengorbanan yang sangat besar harus kalian bayar untuk itu,
jika kau tidak percaya, silakan saja bertindak!"
Bong Thian-gak dengan memancarkan sinar mata tajam
yang menggidikkan mengawasi wajah Ji-kaucu dengan penuh
gusar dan perasaan dendam yang membara.
Tak terkira rasa terkesiap Ji-kaucu menyaksikan sorot mata
Bong Thian-gak itu, pikirnya, "Sekarang dia sudah terkena
pukulan Ji-gwat-soh-hun-ci dari Sim Tiong-kiu, namun luka
yang diderita nampaknya tidak begitu parah, oh ... sungguh
mengejutkan tenaga dalam orang ini... bukan hanya Ji-gwatsoh-
hun-ci yang tidak berhasil melukainya, ilmu pukulan Sohli-
jian-yang-sin-kang dari Si-hun-mo-li pun tampaknya tak
dapat melukainya, entah kepandaian silat apakah yang
berhasil dilatih olehnya."
Bukan hanya Ji-kaucu seorang yang berpendapat demikian,
bahkan Hong-kong Hwesio serta sekalian jago pun merasa
curiga di samping kagum atas kelihaian ilmu silat Bong Thiangak.
Tiba-tiba Sim Tiong-kiu melompat bangun dari atas tanah,
kemudian berseru, "Lohu tidak percaya kalau kau masih
mempunyai kemampuan untuk melukai musuh dengan
pedangmu itu."
"Kalau tidak percaya, mengapa tidak datang kemari
mencobanya sendiri?" jengek Bong Thian-gak sambil tertawa
dingin. 712 Waktu itu Sim Tiong-kiu telah kehilangan telapak tangan
kanannya, sehingga dengan demikian dia menjadi manusia
cacat. Dengan begitu Bong Thian-gak, Sim Tiong-kiu dan Liu Khi
tiga orang berlengan tunggal saling berdiri berhadapan
dengan sikap bermusuhan.
Sorot mata Sim Tiong-kiu memancarkan sinar kebencian
dan perasaan dendam ditujukan ke arah Liu Khi yang duduk
bersila di atas tanah, sebaliknya Bong Thian-gak mengawasi
gerak-gerik Sim Tiong-kiu tanpa berkedip.
Dia tahu tujuan serangan yang mematikan Sim Tiong-kiu
saat ini tak lain adalah Liu Khi.
Di pihak lain, Hong-kong Hwesio telah berseru
memuji keagungan sang Buddha, lalu berkata, "Sim-sicu, di
antara kita berdua masih terjalin dendam dan hutang lama,
apakah Sim-sicu tidak akan menagih hutang itu kepada aku si
Hwesio tua?"
Sim Tiong-kiu memandang sekejap ke arah Hong-kong
Hwesio, kemudian bertanya, "Kau tak usah berharap bisa
meninggalkan kuil Hong-kong-si lagi dalam keadaan hidup,
biar kau punya sayap pun jangan mimpi bisa meninggalkan
tempat ini. Buat apa aku memusingkan diri dengan hutang
lama kita?"
"Sim-sicu, tentunya kau tidak akan memberikan
keuntungan yang amat besar kepada aku si Hwesio tua
bertiga bukan?"
"Biarpun lenganku kutung semua, aku masih mampu
melayani kalian bertiga," jengek Sim Tiong-kiu dengan suara
sedingin es. "Sim-sicu, tidakkah kau merasa bahwa perkataanmu itu
kelewat takabur?"
713 "Kau si Hwesio tua termasuk juga seekor rase tua yang licik
dan banyak tipu muslihat, siapakah yang tidak tahu kau
memang lebih suka membiarkan orang lain turun ke
gelanggang lebih dulu, sedangkan kalian guru dan murid akan
duduk sebagai si nelayan mujur yang tinggal memungut
hasilnya?"
Ketika mendengar perkataan kedua orang itu, hati Bong
Thian-gak bergetar keras, segera pikirnya, "Ya, sejak awal
hingga sekarang Hong-kong Hwesio bertiga tak pernah
menggerakkan tangan biar satu gebrakan saja, mungkinkah si
Hwesio tua ini seperti apa yang dikatakan Sim Tiong-kiu
barusan. Berakal busuk, banyak tipu muslihat dan mempunyai
tujuan pribadi tertentu" Siapa tahu dia memang sengaja
membiarkan aku serta pihak Kay-pang turun gelanggang
terlebih dulu sebagai panglima pembuka jalan untuk
menghadapi Put-gwa-cin-kau?"
"Omitohud!" Hong-kong Hwesio berkata, "setelah Sim-sicu
berkata demikian, rasanya aku si Hwesio tua bertiga tidak
boleh cuma berpeluk tangan belaka."
"Soal dendam dan permusuhan yang terjalin di antara kita,
sesungguhnya kau harus sudah mulai melancarkan serangan
sejak tadi," jengek Sim Tiong-kiu dingin.
Sembari berkata, Sim Tiong-kiu mengulap tangan kirinya ke
tengah udara. Tiga belas orang yang selama ini berdiri mengepung arena
itu serentak menyiapkan tombak dan bergerak mempersempit
kepungan mereka.
Biarpun langkah ketiga belas orang berbaju hitam itu
dilakukan sangat lambat, akan tetapi Bong Thian-gak yang
menyaksikan kejadian itu paras mukanya berubah hebat.
Ternyata dia telah mengetahui ketiga belas orang berbaju
hitam yang bersenjata tombak itu rata-rata memiliki
714 kepandaian yang sangat tinggi, bahkan kemampuan mereka
rasanya tidak di bawah kemampuan seorang tokoh Bu-lim.
Satu ingatan dengan cepat melintas dalam benak Bong
Thian-gak ... dia tahu dalam pertarungan malam ini, sukar
bagi pihaknya untuk mengungguli lawan, berarti satu-satunya
jalan yang tersedia bagi pihaknya adalah berusaha meloloskan
diri dari kepungan.
Berpikir sampai di sini tiba-tiba Bong Thian-gak berbisik
kepada Ang Teng-siu, "Ang-huhoat, dengarkan, tatkala aku
menyerang Si-hun-mo-li nanti, kalian harus menghimpun
segenap kekuatan untuk melindungi aku agar lolos dari
kepungan."
Baru saja perkataan itu selesai, mendadak tampak Sim
Tiong-kiu dan Ji-kaucu telah mengundurkan diri ke arah timur,
sebagai gantinya ketiga belas orang berbaju hitam bertombak
itu membentuk sebuah barisan yang sangat aneh dan
mengepung para jagoan di tengah gelanggang.
Mendadak Ji-kaucu yang telah berada di luar arena
berteriak aneh, "Mo-li, mengapa kau tak mengundurkan diri?"
Teriakan itu diutarakan dengan suara tinggi melengking
dan menusuk pendengaran, diutarakan dengan sangat
lamban. Tatkala mendengar suara itu, bagi Si-hun-mo-li seruan itu
seakan-akan mengandung daya iblis yang luar biasa, sekujur
badannya gemetar keras, dengan cepat dia membalikkan
badan dan berjalan menuju ke arah Ji-kaucu.
Pada saat itulah tubuh Bong Thian-gak secepat sambaran
kilat telah berkelebat ke depan dan mendorong tubuh Si-hunmo-
li ke belakang.
Kini Pek-hiat-kiam telah disarungkan kembali. Bong Thiangak
dengan lengan tunggalnya yang lebih cepat daripada kilat
dan lebih tajam daripada pedang telah menyambar ke muka.
715 Sementara itu telapak tangan kanannya sudah menyentuh
tiga buah jalan darah penting di punggung Si-hun-mo-li.
Seruan tertahan bergema, jalan darah Mi-bun-hiat di
punggung Si-hun-mo-li sudah kena terhajar.
Tapi pukulan itu tidak membuatnya tak sadarkan diri,
setelah bergemanya jeritan kaget, Si-hun-mo-li membalikkan
badan sambil melepaskan sebuah pukulan pula ke jalan darah
Ciang-hiat di dada Bong Thian-gak.
Mimpi pun Bong Thian-gak tidak menyangka Si-hun-mo-li
sama sekali tidak terpengaruh oleh serangan Hut-hiat-sengmeh-
jiu-hoat yang dilepaskan olehnya, dalam tertegunnya
lekas dia mengegos ke samping untuk menghindarkan diri.
Tentu saja serangan balasan Si-hun-mo-li mengenai tempat
kosong, tapi dia pun segera melompat ke depan dan melayang
pergi.
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam pada itu empat tombak panjang telah menusuk ke
tubuh Bong Thian-gak. Hong-kong Hwesio beserta kedua
muridnya yang gagu dan tuli turut menerima serangan pula,
sudah jelas para jago dikepung dalam pusat barisan tiga belas
orang berbaju hitam.
Bong Thian-gak memang sudah mengetahui kelihaian
ketiga belas orang baju hitam itu, bila mereka sampai
terkurung dalam barisan itu, biarpun dia dan Hong-kong
Hwesio belum tentu terkena musibah, namun para pelindung
hukum perguruannya bakal menemui celaka atau tertumpas
sama sekali. Itulah sebabnya Bong Thian-gak segera membentak keras,
secepat kilat tangan kanannya melolos Pek-hiat-kiam, lalu
"Trang", percikan bunga api beterbangan ke empat penjuru.
Biarpun keempat tombak itu berhasil ditangkis ke samping,
namun sebatang tombak yang lain meluncur ke punggung
716 Bong Thian-gak dengan kecepatan seperti anak panah
terlepas dari busurnya.
Sedemikian cepatnya tombak itu hingga pada hakikatnya
hampir tiada orang yang bisa menghindarkan diri.
Ang Teng-siu yang berada di sisinya segera berteriak kaget,
"Hati-hati Buncu!"
Padahal teriakan Ang Teng-siu itu tidak ada gunanya,
biarpun Bong Thian-gak bermaksud menghindar, namun
sudah dapat dipastikan ia akan tewas di ujung tombak itu
sejak tadi. Kepandaian silat Bong Thian-gak benar-benar telah
mencapai puncak kesempurnaan, tanpa berpaling lagi kaki
kirinya maju setengah langkah ke samping, tombak tadi
segera menyambar lewat dari bawah ketiaknya.
Jeritan ngerl yang memilukan hati segera berkumandang
memecah keheningan, sebutir batok kepala orang berbaju
hitam segera terbang ke udara.
Tapi dengan bergemanya suara jeritan itu, secara beruntun
bergema pula empat kali jeritan ngeri dan dengusan tertahan
lainnya. Bong Thktn-gak memandang ke arena, ternyata empat
orang pelindung hukumnya tertembus oleh empat tombak
tajam pada bagian dadanya, darah segar segera berhamburan
kemana-mana, jiwa mereka pun lenyap seketika.
Tak terlukiskan rasa kaget Bong Thian-gak, ia segera
membentak, "Ang Teng-siu, kalian tak usah bertarung lagi!"
Di tengah bentakan, Bong Thian-gak melompat mundur,
pedang segera diayunkan membabat empat orang berbaju
hitam. Gerakan keempat orang berbaju hitam itu cepat tak
terlukiskan, baru saja serangan Bong Thian-gak dilancarkan,
717 tombak mereka sudah dicabut dari tubuh mayat, kemudian
serentak diayunkan ke muka untuk menangkis datangnya
ancaman pedang Bong Thian-gak itu.
Di satu pihak Bong Thian-gak terancam mara bahaya, di
pihak lain Hong-kong Hwesio dan murid-muridnya juga
mengalami nasib yang sama, mereka menghadapi serangan
demi serangan dari orang-orang baju hitam dan tombaknya
yang menyerang secara gencar.
Sedemikian bertubi-tubinya ancaman yang datang,
membuat ketiga orang itu hanya bisa menangkis belaka, pada
hakikatnya sudah tidak memiliki kemampuan lagi untuk
melancarkan serangan belasan.
Sesungguhnya kepandaian silat Hong-kong Hwesio dan
murid-muridnya sangat hebat, tenaga dalam yang mereka
miliki pun mengejutkan orang, tapi serangan tombak musuh
amat gencar, ini membuat suasana segera dikuasai lawan.
Jurus-jurus serangan tombak kawanan jago berbaju hitam
memang hebat dan tangguh, serangan-serangan mereka atas
lawan bukan serangan tunggal yang terpotong-potong,
melainkan serangan berantai yang betul-betul hebat.
Setelah tusukan itu lewat, tusukan lain kembali meluncur
datang dengan kecepatan tinggi, gerakan mereka yang
berantai seakan-akan ada seribu batang tombak yang
menyerang tiada hentinya.
Kepandaian silat yang dimiliki Bong Thian-gak termasuk
amat lihai, seandainya dia berniat meloloskan diri dari
kepungan musuh, hal itu dapat dilakukan secara mudah, tapi
dia tak bisa berbuat begitu, dia wajib melindungi keselamatan
jiwa keenam anak buahnya yang saat itu sudah terkepung di
tengah barisan lawan.
Dalam sengitnya pertarungan yang sedang berlangsung,
tiba-tiba Bong Thian-gak mengendus segulung bau harum
yang aneh sekali.
718 Dengan terkejut dia pun segera berteriak, "Hati-hati
dengan racun jahat!"
Baru saja bentakan itu dikumandangkan, Ang Teng-siu
berenam sudah bertumbangan ke tanah.
Hong-kong Hwesio dan muridnya turut sempoyongan pula
seakan-akan setiap saat bakal roboh.
Dari luar lingkaran pengepungan, dengan cepat bergema
gelak tawa menyeramkan dari Ji-kaucu, kemudian ia berseru
penuh kebanggaan, "Untuk membekuk kalian, merupakan
pekerjaan yang amat mudah. Hahaha, sekarang seluruh
halaman gedung ini telah dipenuhi oleh asap dupa beracun
Khi-hiang-gi-tok, akan kulihat siapa lagi yang mampu
meninggalkan halaman ini barang selangkah pun."
Sementara itu Bong Thian-gak telah menutup
pernapasannya, tapi berhubung dia sudah mengendus
segulung bau racun, benaknya mulai terasa kalut dan rasa
pusing tiba secara bertubi-tubi.
Diiringi pekik nyaring yang menusuk pendengaran, Bong
Thian-gak menghimpun tenaga dalamnya terus melejit ke
udara, lalu dengan cepat dia menerjang keluar lingkaran
pekarangan. Bayangan orang segera berkelebat di udara, tiga orang
berbaju hitam dengan menyilangkan tiga batang tombak
menghadang jalan pergi anak muda itu.
Hawa napsu membunuh telah menyelimuti benak Bong
Thian-gak sekarang, pedangnya kontan dibacokkan kian
kemari. Pek-hiat-kiam memancarkan cahaya tajam yang
menyilaukan mata, hujan darah pun berhamburan.
Tiga sosok mayat orang berbaju hitam segera rontok dari
tengah udara, sedangkan Bong Thian-gak sendiri juga ikut
terjatuh. 719 Ternyata serangan pedang yang dilancarkan Bong Thiangak
tadi merupakan serangan hawa pedang tujuh langkah
melukai musuh, merupakan ilmu tingkat paling tinggi dalam
ilmu pedang. Begitu serangan pedang dilancarkan, biarpun
ada seratus orang terkumpul dalam lingkungan tujuh langkah
dari posisinya, semua akan tewas dengan kepala terpenggal
dan darah bercucuran, kelihaiannya luar biasa.
Tapi ilmu pedang semacam ini juga boros dalam
penggunaan tenaga dalam, itulah sebabnya Bong Thian-gak
turut terjatuh.
Dengan mengendorkan hawa murni secara tiba-tiba, Bong
Thian-gak kembali menghirup segulung udara.
Pada saat itulah Liu Khi yang berada di sisi arena berseru
sambil tertawa, "Kebenaran satu depa lebih tinggi, satu
tombak lebih tebal, biarpun racun dupa harum Ji-kaucu sangat
lihai, sayang sekali tidak manjur bagi orang she Liu."
Bong Thian-gak menyaksikan beberapa titik cahaya putih
memancar dari tangan Liu Khi dengan kecepatan tinggi.
Dimana cahaya putih berkelebat, jeritan ngeri bergema
susul-menyusul.
Dalam pada itu tubuh Bong Thian-gak sudah mulai gontai,
namun dia masih dapat menyaksikan sisa kesembilan orang
berbaju hitam itu satu demi satu terhajar golok terbang dan
tergeletak di atas tanah.
Tenaga dalam Liu Khi yang begitu mengejutkan membuat
Bong Thian-gak merasa terperanjat sekali.
"Hahaha, Liu Khi, sekarang tinggal kau seorang. Rasanya
kau tak akan mampu menandingi kami, bukan?"
Liu Khi tertawa dingin, balasnya, "Ji-kaucu, perhitunganmu
salah besar, Toa-cengcu Kim-liong-seng-kiam-ceng Mo Huithian
serta Han Siau-liong dari partai kami telah sehat walafiat
720 kembali, kekuatan kami cukup untuk bertarung melawan
kalian." Ketika mendengar itu, Bong Thian-gak mendongakkan
kepalanya, benar juga Han Siau-liong serta Mo Hui-thian telah
bangkit semua. Sambil tertawa dingin Mo Hui-thian berkata, "Sim Tiongkiu,
Ji-gwat-soh-hun-ci (ilmu jari pengunci sukma) tak bisa
membunuh orang. Hehehe, padahal kau terlalu percaya pada
kemampuanmu sendiri, kau anggap Mo Hui-thian itu siapa"
Memangnya bisa dibunuh oleh serangan jarimu itu?"
Sekarang Bong Thian-gak baru sadar bahwa Liu Khi dan Mo
Hui-thian memang benar-benar mempunyai tujuan pribadi,
rupanya dia dan Hong-kong Hwesio sekalian memang sengaja
diatur agar bisa menahan kekuatan Put-gwa-cin-kau paling
dulu, kemudian merekalah yang akan menjadi si nelayan
mujur yang tinggal memungut hasilnya.
Kelicikan dan kemunafikan orang-orang di dunia persilatan
memang sungguh menakutkan.
Secara lamat-lamat Bong Thian-gak menyaksikan pula
bagaimana Liu Khi, Mo Hui-thian serta Han Siau-liong sekalian
melangsungkan pertarungan sengit melawan Ji-kaucu dan Sim
Tiong-kiu sekalian.
Sayang racun dupa sudah semakin menyerang
kesadarannya, lambat-laun Bong Thian-gak mulai pudar
kesadarannya sebelum akhirnya tak sadarkan diri.
Bagaimana hasil pertarungan berdarah antara Liu Khi
sekalian dengan Put-gwa-cin-kau" Tentu saja dia tak dapat
melihat dengan mata kepala sendiri.
0oo0 Angin berhembus kencang, putaran roda kereta bergema
memecah keheningan.
721 Ketika Bong Thian-gak sadar dari pingsannya, dia lihat
keempat anggota badannya sudah dirantai orang, rantai yang
amat besar dan berat. Kini dia sedang berbaring dalam kereta
kuda yang gelap-gulita hingga tak nampak kelima jari
tangannya. Tatkala baru mendusin dari pingsannya tadi, Bong Thiangak
merasakan sekujur badannya linu dan sakit. Badannya
terasa kaku dan kesemutan, maka itu dia berbaring saja tanpa
bergerak untuk sementara waktu, telinganya menangkap
suara derap kaki dan roda kereta, segera menyadarkan dia
bahwa dirinya sedang berada dalam perjalanan.
Selang beberapa saat, Bong Thian-gak coba untuk
menyalurkan hawa murninya mengelilingi badan, ternyata
semuanya berjalan normal. Semua ini membuat hatinya lega.
Dia mencoba untuk duduk, ternyata rantai yang
membelenggu anggota tubuhnya diikat pada lantai kereta,
karena itu biarpun dia bisa duduk tegap, namun sama sekali
tak sanggup menggeser tubuh barang setengah langkah pun.
Dengan mengerahkan ketajaman matanya, Bong Thian-gak
mencoba memperhatikan rantai yang besarnya seibu jari itu.
Dia tahu, dengan tenaga dalam yang dimilikinya sulit rasanya
untuk mematahkan rantai itu.
Maka setelah menghela napas panjang, terpaksa dia hanya
duduk tenang dalam kereta, pikirnya, "Orang-orang Put-gwacin-
kau berhasil membekukku, hendak dibawa kemanakah
diriku?" Membayangkan hal itu, tanpa terasa Bong Thian-gak
memicing mata dan mengintip lewat sela-sela lantai kereta.
Yang terlihat olehnya hanya padang rumput yang sangat
luas, tiada sesuatu yang aneh atau luar biasa sehingga timbul
perasaan jemu bagi siapa pun yang melihatnya.
722 Bong Thian-gak segera mengalihkan sorot matanya,
mengintip dari sudut lain.
Kali ini dia berhasil melihat kereta yang ditumpanginya
dihela oleh enam kuda yang tinggi besar dan gagah, tampak
di bagian kusir duduk tiga orang sais.
"Hei, mengapa aku tidak mencoba bertanya kepada
mereka?" satu ingatan tiba-tiba melintas dalam benaknya.
Belum lenyap ingatan itu, suara bentakan bergema,
menyusul terdengar pula suara ringkik kuda.
Kereta kuda yang sedang dipacu kencang itu seketika
terhenti. Dengan cepat Bong Thian-gak mengalihkan pandangan
matanya keluar celah-celah dinding kereta.
Mendadak dia saksikan dua titik cahaya putih menyambar
datang dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.
Menyaksikan kedua titik cahaya itu, Bong Thian-gak
menjadi amat terkejut, diam-diam dia berpekik dalam hati,
"Golok sakti berlengan tunggal!"
Ternyata dia mengenali kedua titik cahaya putih itu sebagai
sambaran pisau terbang milik Liu Khi yang menggetarkan
seluruh jagat. "Bila pisau terbang Liu Khi sudah disambit keluar, sudah
pasti kedua kusir di atas kereta akan tewas dalam keadaan
mengerikan!" pikir Bong Thian-gak dalam hati.
Kenyataan suasana di sekeliling tempat itu memang amat
sepi dan hening.
Tapi selang beberapa saat kemudian tiba-tiba terdengar
suara Liu Khi, "Kalian berdua bisa menghindarkan diri dari
sambaran pisau terbangku, ini membuktikan ilmu silatmu pasti
luar biasa, ayo cepat sebutkan siapa namamu?"
723 Bong Thian-gak terkejut bercampur keheranan setelah
mendengar ucapan itu, pikirnya, "Aku sudah pernah
menyaksikan kehebatan pisau terbang Liu Khi, kenyataan
sekarang kedua kusir itu mampu menghindar dari sambaran
pisau terbangnya, terbukti ilmu silat mereka memang hebat."
Dalam pada itu satu di antara kedua kusir kereta itu telah
berkata diiringi suara tawanya yang menyeramkan,
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tampaknya kau adalah Liu Khi."
Bong Thian-gak yang mengintip dari balik celah-celah
kereta dapat melihat dengan jelas bahwa di antara jalan raya,
berdiri tegak seorang jangkung bertubuh ceking dan berjubah
hitam, orang itu jelas Liu Khi adanya.
Cahaya mata yang tajam dan menggidikkan mencorong
dari balik mata Liu Khi, diawasinya kedua orang yang berada
di atas kereta itu, kemudian setelah tertawa seram, katanya,
"Betul, akulah Liu Khi, kau anggap ada orang yang berani
menyaru sebagai diriku?"
Baru selesai perkataan itu, dari atas kereta bergema lagi
gelak tawa panjang, "Sudah lama kudengar pisau terbang Liu
Khi konon akan membawa bencana bila dilepaskan, selamanya
tidak pernah meleset, tapi kenyataannya pada malam ini ...
hahaha ...."
Suara gelak tertawa panjang yang sinis dan mengandung
nada penghinaan segera bergema.
Sementara itu Liu Khi menanti dengan tenang, sampai
gelak tawa mereka reda, dia berkata dengan hambar, "Biarpun
kalian berdua bisa menghindarkan diri dari pisau terbangku,
apakah dapat juga menghindarkan diri dari bacokan golok
yang terselip di pinggangku sekarang?"
"Silakan saja dibuktikan," ucap orang yang berada di atas
kereta itu seram.
"Bagus sekali."
724 Begitu kata terakhir diutarakan, Liu Khi sudah berkelebat ke
depan dengan kecepatan tinggi.
Mendadak dari atas kereta berkumandang suara seruan
kaget serta jerit kesakitan.
"Blam", diiringi suara benturan keras, papan kereta bagian
depan telah jebol sebuah lubang besar, percikan darah segar
segera berhamburan dari dalam kereta, menyusul hancuran
kayu berserakan kemana-mana.
Sekarang Bong Thian-gak bisa menyaksikan wajah Liu Khi
yang berdiri di depan kereta dengan lebih jelas, dua sosok
mayat yang berlumuran darah kelihatan tergeletak di sisi
sebelah kiri. Tampaknya satu di antara mereka belum menemui ajal,
dengan suara mengerikan ia berseru, "Golok saktimu ...
sungguh cepat, aku ...."
Sebelum selesai perkataan itu, orangnya sudah
menghembuskan napas penghabisan.
Bong Thian-gak duduk dalam ruangan kereta tanpa
bergerak, rupanya dia pun dibuat terperanjat oleh kecepatan
golok Liu Khi. "Sebenarnya dengan cara bagaimanakah dia menghabisi
nyawa kedua orang itu?" berbagai ingatan menyelimuti benak
Bong Thian-gak.
Pada saat itu Liu Khi masih berdiri tanpa menggenggam
goloknya, ini membuktikan setelah ia mencabut senjatanya
membunuh kedua lawannya tadi, golok itu disarungkan
kembali ke sisi pinggangnya.
Dalam pada itu Liu Khi dengan sorot mata yang
menggidikkan juga sedang mengawasi Bong Thian-gak yang
berada dalam kereta, ujarnya hambar, "Bong-buncu, kalau
kau sudah sadar, mengapa tidak berusaha melepas dirimu
sendiri?" 725 Bong Thian-gak tertawa dingin. "Memangnya kau datang
kemari untuk menolongku?" dia balik bertanya.
"Aku datang untuk membunuhmu."
"Kalau demikian, mengapa belum juga turun tangan?"
"Aku sedang mencari kesempatan."
"Kini anggota tubuhku dirantai, bukankah kesempatan baik
ini sukar dijumpai?"
Ketika mendengar ucapan itu, Liu Khi segera mengawasi
badan Bong Thian-gak dengan lebih seksama, kemudian dia
baru manggut-manggut seraya ujarnya, "Aku tidak melihat
kaki tanganmu dirantai orang, andaikata kulancarkan
serangan dengan membabi-buta tadi, sudah pasti akan
kusesali sepanjang zaman."
"Mengapa menyesal?"
"Kau anggap membunuh orang yang sama sekali tak bisa
berkutik adalah suatu perbuatan yang membanggakan?" Bong
Thian-gak tersenyum.
"Kalau dibicarakan soal untung-ruginya, aku rasa hal itu tak
perlu diperhatikan lagi."
Mendadak Liu Khi menarik wajah dan berkata dengan suara
sedingin es, "Bong Thian-gak dengarkan baik-baik. Selagi
berada dalam kuil Hong-kong-si, kau pernah menyelamatkan
jiwaku satu kali, malam ini aku telah membantumu pula lolos
dari kesulitan dengan menghabisi nyawa mereka, berarti di
antara kita berdua sudah impas, siapa pun tidak berhutang
kepada siapa."
"Tapi kau belum membantuku membuang semua belenggu
yang membebani tubuhku?"
"Betul!" Liu Khi tertawa dingin. "Sekarang juga aku akan
memapas kutung rantai itu."
726 Selesai berkata, cahaya golok kembali berkelebat tiga kali.
Bong Thian-gak merasa kulit badannya tersambar angin
dingin, disusul suara gemerincing nyaring, tahu-tahu rantai
yang membelenggu kaki tangannya sudah rontok ke atas
tanah. Ketika ia mendongakkan kepala, tampak golok panjang itu
sudah tersoreng kembali di pinggang Liu Khi.
Dengan perasaan kaget dan heran Bong Thian-gak
menghela napas panjang, katanya, "Ilmu golokmu benarbenar
tidak ada tandingannya, lagi pula golok yang tersoreng
di pinggangmu itu sudah pasti senjata mustika yang dulu
diandalkan panglima kenamaan."
Sembari berkata, pelan-pelan Bong Thian-gak berdiri dari
lantai kereta. Mendadak Liu Khi berkata dengan suara dalam, "Perhatikan
baik-baik, setiap saat aku akan melolos lagi golokku untuk
mencabut nyawamu."
"Sungguhkah itu?" tanya Bong Thian-gak dengan wajah
tertegun. "Buat apa aku berbohong?" Liu Khi tertawa dingin.
Untuk kesekian kalinya Bong Thian-gak menghela napas
panjang, "Ai, sikapmu yang sebentar bersahabat sebentar
bermusuhan, benar-benar membuat aku tidak habis
mengerti."
"Asalkan Bong-buncu bersedia mempersembahkan hartakarun
itu, aku bersedia bekerja sama dengan pihak kalian,"
kembali Liu Khi berkata dengan suara hambar.
"Peta harta-karun?" Bong Thian-gak mengerutkan dahi.
"Kau maksudkan peta harta-karun peninggalan Mo-lay-cinong?"
727 "Betul, peta harta-karun inilah yang kumaksudkan," Liu Khi
berkata sambil tertawa dingin, "Hong-kong Hwesio bilang,
benda itu sudah berada di tangan Bong-buncu."
Sambil tertawa Bong Thian-gak menggeleng kepala.
"Liu-sianseng telah dibohongi Hong-kong Hwesio rupanya,
aku berani bersumpah tak pernah mendapatkan peta hartakarun
itu." "Bong-buncu adalah orang yang pertama kali datang di kuil
Hong-kong-si, kenyataan sekarang peta harta-karun itu tidak
berada di tangan Hong-kong Hwesio dan muridnya lagi.
Lantas berada di tangan siapa kalau bukan berada di
tanganmu?" kata Liu Khi.
Bong Thian-gak menggeleng kepala lagi.
"Sewaktu berada di kuil Hong-kong-si, bukankah Liusianseng
telah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana
aku terkena racun dupa Ji-kaucu Put-gwa-cin-kau dan roboh
tak sadarkan diri, hingga setengah jam berselang aku baru
mendusin dari pingsanku. Ai, apakah Liu-sianseng bersedia
menerangkan bagaimana akhir pertarungan di kuil Hong-kongsi?"
"Hong-kong Hwesio, Mo Hui-thian, Han Siau-liong, dan aku
berempat berhasil menerjang keluar kepungan," ucap Liu Khi
dingin. "Bagaimana dengan para pelindung hukum perkumpulan
kami?" "Enam orang pelindung hukum bersama kedua murid
Hong-kong Hwesio telah menemui ajal dalam pertarungan."
Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak menghela napas
panjang dengan sedih, "Ai, kerugian yang diderita partai kami
semalam betul-betul besar sekali!"
Liu Khi tertawa dingin.
728 "Kecuali kau dan aku berdua yang tidak menderita luka
dalam yang parah, Hong-kong Hwesio beserta Han Siau-liong
dan Mo Hui-thian terluka parah."
"Kalau begitu pertolongan yang Liu-sianseng berikan
sekarang adalah demi peta harta-karun itu?"
"Boleh dibilang begitu."
"Kalau begitu aku Bersedia mengajakmu pergi mencari peta
harta-karun itu."
"Kau hendak membawa aku kemana?"
"Soal ini tak perlu kau tanyakan, kini Hong-kong Hwesio
berada dimana?"
"Bong-buncu, bila kau tidak bersedia untuk bekerja sama
denganku, jangan salahkan bila aku orang she Liu turun
tangan keji kepadamu!" ancam Liu Khi sambil tertawa dingin.
Bong Thian-gak kembali menghela napas panjang.
"Seandainya peta harta-karun itu benar-benar berada di
sakuku, dan aku sudah dibekuk orang sekian lama, kau
anggap peta itu masih utuh di sakuku?"
"Betul!" Liu Khi manggut-manggut, "Orang-orang Put-gwacin-
kau mustahil tidak melakukan penggeledahan atas dirimu,
tapi kau pun tak bakal sebodoh ini dengan menyembunyikan
peta harta-karun itu dalam sakumu!"
Bong Thian-gak segera menggeleng kepala.sambil tertawa
getir, "Liu-sianseng benar-benar sudah ditipu habis-habisan
oleh Hong-kong Hwesio. Bila kau tidak percaya, mari kita
bersama-sama berangkat ke tempat tinggalnya untuk
menanyakan persoalan ini kepadanya."
"Tidak usah," tampik Liu Khi sambil tertawa dingin.
Untuk kesekian kalinya Bong Thian-gak menghela napas
panjang. 729 "Ai, benda mustika di kolong langit hanya dimiliki oleh
mereka yang berjodoh, aku sama sekali tidak berniat
mendapatkan harta karun itu."
"Hehehe, siapa yang mau percaya ucapanmu itu?"
"Bila Liu-sianseng tidak percaya, aku pun tak bisa berbuat
apa-apa." Mendadak Liu Khi menarik wajah, lalu berkata,
"Sebenarnya aku ingin membunuhmu, tapi aku selalu kuatir
tak mampu menghabisi nyawamu dalam sekali ayunan golok."
"Di antara kita berdua boleh dibilang tiada dendam sakit
hati apa pun, aku rasa kita tak perlu menyelesaikan persoalan
ini dengan mempergunakan kekerasan."
"Tapi bagi umat persilatan pun tidak selalu harus
membunuh orang dikarenakan ada hubungan permusuhan
ataupun dendam."
"Betul," Bong Thian-gak mengangguk, "tapi aku rasa tiada
kepentingan bagi kita berdua melangsungkan duel
menentukan mati-hidup."
"Memang begitulah kenyataannya, maka dari itu aku harus
mohon diri dulu.".
Selesai berkata, Liu Khi segera melejit ke tengah udara dan
berlalu dari sana.
Mimpi pun Bong Thian-gak tak pernah menyangka kalau
Liu Khi bakal angkat kaki begitu selesai mengatakan hendak
pergi, sementara dia masih tertegun, bayangan tubuh Liu Khi
sudah lenyap dari pandangan mata.
Menanti Bong Thian-gak berjalan keluar dari ruang kereta,
mendadak muncul seseorang di hadapannya.
Di bawah cahaya bintang, tampak orang itu mengenakan
pakaian berwarna putih bersih, rambutnya juga berwarna
730 putih, rambut yang panjang itu hampir menyentuh permukaan
tanah. Melihat kemunculan orang tak diundang ini, Bong Thiangak
merasa amat terperanjat, dia segera menghardik,
"Siapakah kau?"
Bong Thian-gak kuatir lawan itu setan atau sukma
gentayangan. Padahal kemunculan orang itu amat misterius dan sama
sekali tidak menimbulkan suara, apalagi rambut putihnya yang
terurai hampir menyentuh tanah, membuat bentuk orang itu
mirip bayangan setan yang muncul di tengah kegelapan.
Tanpa mengeluarkan sedikit suara pun, orang berambut
putih itu berdiri di hadapannya, kendati begitu sepasang
matanya memancarkan cahaya tajam yang menggidikkan,
sinar tajam itu mencorong dari matanya yang tertutup rambut
putih dan mengawasi wajah Bong Thian-gak tanpa berkedip.
Sambil tertawa dingin Bong Thian-gak segera menegur,
"Hei, mengapa kau tidak bersuara?"
Orang berbaju putih itu masih saja membungkam, namun
Bong Thian-gak dapat melihat tubuhnya bergerak seperti
sukma gentayangan, tubuhnya tidak bergoyang, lututnya tidak
menekuk, namun dia bergerak mendekatinya.
Melihat cara lawan menggerakkan tubuh, Bong Thian-gak
terkesiap, dia sadar lawan memiliki ilmu silat yang sangat
dahsyat. Dalam terkesiapnya, cepat Bong Thian-gak mengerahkan
hawa sakti Tat-mo-khi-kang untuk melindungi seluruh
badannya. Pada saat itulah tiba-tiba orang itu bergerak maju lagi.
731 Ketika segulung angin berkelebat, rambut putih yang
panjang dan terurai ke bawah itu tiba-tiba bergerak dan
langsung menggulung ke tubuh anak muda itu.
"Blam", bunyi ledakan yang keras bergema.
Rambut panjang yang menggulung datang mengikuti
hembusan dingin tadi segera terhajar oleh segulung hawa
sakti tanpa wujud yang membuatnya terpental balik.
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang berbaju putih itu segera memutar tubuhnya
sebanyak tiga kali seperti gangsingan, lalu jeritnya. "Siapakah
kau?" "Ban-lau-loan-sin-kang (tenaga lembut selaksa serat)
milikmu betul-betul pantas disebut ilmu manunggal di kolong
langit," ucap Bong Thian-gak sambil tersenyum. "Seandainya
aku tidak mempersiapkan diri sebelumnya, saat ini tubuhku
pasti sudah penuh lubang berdarah dan tewas sejak tadi."
Ternyata sapuan rambut putih yang menggulung cepat tadi
merupakan sejenis ilmu silat yang sangat hebat dalam
persilatan, ketika lawan melontarkan rambutnya yang lembut
tadi, sesungguhnya ibarat beribu-ribu batang jarum lembut
dan pedang tajam yang menyapu tiba.
Dengan pandangan terkejut bercampur keheranan, orang
itu segera bertanya, "Hawa Sin-kang apakah yang telah kau
pergunakan untuk mematahkan Ban-si-ciam (selaksa jarum
lembut) tadi?"
Sekarang Bong Thian-gak dapat melihat jelas raut wajah
lawan, ternyata orang itu berwajah pucat seperti salju, bentuk
mukanya mirip monyet dan usianya antara enam puluh tahun.
Sambil berkerut kening Bong Thian-gak bertanya,
"Siapakah nama besarmu?"
"Mengapa kau tidak menjawab dulu pertanyaanku?" kata
orang berambut putih.
732 Bong Thian-gak tertawa dingin, "Hm, dilihat dari caramu
melancarkan serangan keji tadi, mungkin kau telah
mengetahui asal-usulku. Mengapa aku mesti memberitahukan
lagi kepadamu?"
Orang berambut putih itu tertawa terkekeh-kekeh,
"Hehehe, betul, kau pasti Jian-ciat-suseng atau si Golok sakti
berlengan tunggal, bukan"'
"Aku adalah Jian-ciat-suseng," jawab Bong Thian-gak.
"Ehm, aku sendiri adalah Pek Kau-kim (siluman monyet
putih) dari gunung Thian-san," orang berambut putih itu
memperkenalkan diri.
"Kau bernama Pek Kau-kim?" tanya Bong Thian-gak sambil
berkerut kening.
"Aku she Pek bernama Kau-kim, kalau tidak bernama Pek
Kau-kim, lantas mesti bernama apa?"
"Rasanya di antara kita tak pernah terikat dendam kusumat
atau sakit hati apa pun, bukan?" tanya Bong Thian-gak.
Sekali lagi Pek Kau-kim tertawa terkekeh, "Kau bukan yang
membunuh kedua orang itu?"
"Bukan, bukan aku pembunuhnya," Bong Thian-gak
menggeleng. "Kalau bukan kau, lantas siapa yang telah membunuh
mereka?" tiba-tiba Pek Kau-kim membentak.
Bong Thian-gak termenung sebentar, kemudian dia balik
bertanya, "Boleh aku tahu, apa hubungan antara kedua
korban itu dengan dirimu?"
"Mereka adalah muridku."
"Aduh celaka!" keluh Bong Thian-gak dalam hati. "Kalau
kedua orang itu adalah muridnya, bisa celaka!"
733 Berpikir sampai di situ, katanya kemudian sambil menghela
napas panjang, "Locianpwe, murid-muridmu bukan tewas di
tanganku, bila kau tidak percaya, silakan meneliti kembali
bekas-bekas luka mereka."
Pek Kau-kim tertawa seram.
"Kedua orang muridku ini diam-diam kabur turun gunung
ketika aku sedang menutup diri, mereka memang pantas
mampus. Cuma dengan kematian mereka, aku harus mencari
seorang murid yang lain untuk menggantikan mereka berdua.
Hm, Lohu ingin menerima kau sebagai muridku, ayo cepat ikut
aku pulang ke gunung!"
Mendongkol bercampur geli Bong Thian-gak setelah
mendengar perkataan itu, kemudian ujarnya, "Walaupun aku
merasa sangat gembira dapat menjadi muridmu, tapi hatiku
bergidik sendiri melihat sikapmu yang acuh tak acuh dan sama
sekali tidak menaruh perasaan iba mengetahui murid-muridmu
mati terbunuh."
Mendadak Pek Kau-kim melotot, ia mengawasi Bong Thiangak
tanpa berkedip, lalu tanyanya, "Apakah kau menyuruh aku
membalas dendam kematian mereka?"
Bong Thian-gak manggut-manggut.
"Bila murid terbunuh, sebagai guru kau wajib membalas
dendam bagi kematian muridmu."
"Kalau begitu, kau memang benar-benar harus mati."
Di tengah pembicaraan itu, Pek Kau-kim segera
menggetarkan tubuh, rambutnya yang panjang dengan
dahsyat dan kecepatan tinggi langsung menusuk Bong Thiangak
dari atas ke bawah. Mimpi pun Bong Thian-gak tidak
menyangka lawan bakal melancarkan serangan sekali lagi, kali
ini dia belum sempat menghimpun hawa murni Tat-mo-khikang
untuk melindungi seluruh badan, maka ia terpaksa
menghindar. 734 Tiba-tiba Bong Thian-gak merasakan dadanya amat sakit,
dia menjerit kesakitan.
Bong Thian-gak terguling jatuh dari atas kereta dan
tergeletak di atas tanah.
Gelak tertawa yang aneh memanjang dan penuh nada
kebanggaan bergema, Pek Kau-kim mendesak maju dengan
cepat, tangan kanannya secepat kilat menyambar tubuh Bong
Thian-gak sambil bentaknya, "Aku tidak percaya kau masih
bisa meloloskan diri dari serangan jarum serat Pek Kau-kim!"
Baru selesai perkataan itu, Bong Thian-gak yang sudah
tergeletak di atas tanah itu, mendadak melompat sambil
melepaskan sebuah tendangan dengan kaki kanannya.
Jeritan aneh seperti pekikan monyet segera berkumandang,
tubuh Pek Kau-kim mencelat, lalu "blam", roboh terjungkal di
tanah. Pek Kau-kim tak pernah bisa merangkak bangun kembali
dari tanah. Sebaliknya Bong Thian-gak sendiri pun tak mampu
merangkak bangun untuk sementara waktu, lengan
tunggalnya digunakan untuk memegangi dada, sedangkan
wajahnya pucat memperlihatkan rasa kesakitan, dia harus
bergerak beberapa kali ke kiri dan kanan sebelum dapat
merintih. Setelah suara rintihan itu, rasa sakit yang menusuk dada
Bong Thian-gak pun mereda dengan sendirinya. Ia sadar
bahwa dirinya selamat.
Ternyata setelah terkena babatan rambut panjang Pek Kaukim
tadi, ada tujuh-delapan buah jalan darah di dada Bong
Thian-gak yang nyaris tersumbat, ini menyebabkan hawa
darah yang berada dalam dada berhenti untuk sesaat, napas
pun ikut berhenti, membuat anak muda itu nyaris roboh tak
sadarkan diri. 735 Ketika Bong Thian-gak berhasil menghirup udara,
mendadak dari kejauhan sana muncul sesosok bayangan
manusia. Belum lagi bayangan tubuhnya berjalan mendekat, bau
harum aneh yang amat menusuk penciuman telah berhembus
mengikuti angin gunung.
Tatkala Bong Thian-gak menghirup udara lagi, ia sudah
merasakan bau harum seperti bau bunga anggrek, air
mukanya berubah hebat, dengan cepat ia melompat bangun.
Sorot matanya segera dialihkan ke arah datangnya bau
harum bunga anggrek tadi.
Beberapa tombak di hadapannya kini berdiri seorang
perempuan cantik bertubuh montok.
Ia mengenakan pakaian puth yang halus, rambutnya
disanggul dan di atasnya dilingkari tiga butir mutiara yang
memancarkan sinar gemerlapan.
Wajah perempuan itu tampak begitu angker dan serius,
angkuh dan berwibawa seperti seorang ratu, terutama sorot
matanya yang jeli dan tajam.
Gemetar keras sekujur tubuh Bong Thian-gak menyaksikan
kehadiran perempuan itu, serunya dengan suara gemetar,
"Kau ... kau adalah Cong-kaucu."
Bong Thian-gak sudah pernah bersua dengannya, malah
bagian lubuhnya yang paling rahasia pun pernah dilihatnya
dengan jelas dan nyata, sudah barang tentu dia kenal Congkaucu
Put-gwa-cin-kau yang amat termasyhur.
Perempuan cantik itu tertawa, tertawa amat manis.
Setelah itu ia mulai tertawa cekikikan, suaranya kian lama
kian jalang, seperti suara pelacur yang sedang memperoleh
puncak kenikmatan.
736 "Jian-ciat-suseng, kau masih mengenali aku, mengapa
wajahmu pucat-pias" Hihihi, jangan harap kau dapat
meloloskan diri dari cengkeramanku hari ini."
Dengan lemah-gemulai dan pinggul bergoyang, selangkah
demi langkah ia berjalan mendekati Bong Thian-gak.
Sekarang Bong Thian-gak sadar, biar dia punya sayap pun,
jangan harap bisa lolos dari cengkeramannya.
Dengan sorot mata tajam tanpa berkedip, ia mengawasi
perempuan itu berjalan hingga tiba di hadapannya, mendadak
perempuan itu mengayun tangan kanannya.
Tiga jalan darah penting di tubuhnya seketika tertotok,
kemudian upa yang terjadi tak teringat lagi olehnya.
Dalam lamat-lamatnya suasana, Bong Thian-gak
menangkap suara seorang perempuan yang sedang berkata
dengan lembut, merdu dan manis, "Jian-ciat-suseng, kau telah
menelan sebutir pil Siau-hun-wan. Siau-hun-wan merupakan
pil dewa bagi manusia, khasiatnya boleh dibilang tak
terlukiskan dengan kata-kata."
Dalam keadaan tubuh yang lemah-lunglai dan kesadaran
yang masih samar-samar, Bong Thian-gak membuka mata
lebar-lebar. Ternyata dia sedang berbaring di atas ranjang yang terletak
dalam sebuah kamar dengan cahaya lentera berwarna merah.
Selembar wajah cantik, tapi memancar senyuman genit dan
jalang terpapar tepat di depan mata.
Bong Thian-gak masih mempunyai kesadaran yang jernih,
dia dapat mengenali raut wajah itu, Cong-kaucu Put-gwa-cinkau.
Tatkala sinar matanya dialihkan ke bawah, hatinya kembali
berdebar, ternyata perempuan itu hanya menutupi tubuhnya
yang telanjang dengan selembar kain sutera berwarna putih
yang amat tipis.
737 Dengan cepat Bong Thian-gak mengalihkan kembali sorot
matanya ke arah lain, tanyanya cepat, "Obat apa yang telah
kau cekokkan kepadaku?"
Cong-kaucu tertawa terkekeh-kekeh dengan suaranya yang
amat jalang, "Hihihi, pil Siau-hun-wan. Satu jam kemudian kau
akan mengetahui dengan sendirinya manfaat obat itu."
Pucat-pias wajah Bong Thian-gak mendengar perkataan itu,
dia menghela napas sedih, lalu katanya, "Kumohon kepadamu,
bunuhlah aku!"
Rupanya Bong Thian-gak tahu Siau-hun-wan merupakan
sejenis obat perangsang yang bisa mengalutkan orang.
Sebagai orang pandai, sudah tentu dia tahu akibat obat itu
bila mulai bekerja, dia bakal menjadi seorang berhati binatang
yang kehilangan akal budi, saat itu dia hanya tahu bagaimana
melampiaskan napsu birahi.
Sambil tertawa merdu Cong-kaucu kembali berkata,
"Membunuh kau" Oh, tak semudah itu. Aku harus
mempermainkan dirimu sampai puas sebelum menghabisi
nyawamu, sebab aku kelewat membenci dirimu, boleh dibilang
kau adalah lelaki yang paling kubenci di kolong langit dewasa
ini." Dalam keadaan demikian, Bong Thian-gak terbayang
kembali bagaimana dia menghina dan mencemooh perempuan
itu. Tiba-tiba Bong Thian-gak meronta bangun, tapi entah
mengapa sekujur badannya terasa lemas seolah-olah tak
bertenaga, keempat anggota badannya lemas, tak setitik
tenaga pun yang tersisa dalam tubuhnya.
Merasakan hal itu, Bong Thian-gak baru tahu segala
sesuatunya bakal berakhir.
Diiringi gelak tertawa merdu, Cong-kaucu melanjutkan
kata-katanya, "Tempo hari kau telah membiarkan aku
738 merasakan bagaimana tersiksanya oleh kobaran api birahi,
maka hari ini aku pun menyuruh kau merasakan juga
bagaimana enaknya penderitaan itu."
"Siau-hun-wan adalah pil perangsang yang akan
membuktikan hawa napsu kaum lelaki. Satu jam kemudian
obat itu akan mulai bekerja, saat itu kau akan berubah seperti
binatang yang sedang birahi, kau hanya tahu bagaimana
melampiaskannya, tapi kau tak akan pernah bisa
memadamkan kobaran api birahimu itu, sebab Siau-hun-wan
adalah sejenis obat perangsang yang mengandung racun
jahat, barang siapa berani mengadakan hubungan kelamin
denganmu, maka perempuan itu akan mengisap sari racun
tubuhmu yang akan berakibat kematian baginya. Oleh karena
itu kau harus merasakan penderitaan kobaran api birahi untuk
waktu lama tanpa memperoleh kesempatan melampiaskan.
"Penderitaan akan datang berulang-ulang. Saat kau
menelan Siau-hun-wan ketiga, api birahi akan merusak semua
syarafmu, saat itu kau pun akan berubah menjadi manusia
tanpa sukma, tanpa pikiran, kau hanya akan menuruti
perintahku, selama hidup akan tunduk dan menuruti
perkataanku."
Peluh dingin jatuh bercucuran membasahi badan Bong
Thian-gak srtelah mendengar perkataan itu, dia menghela
napas sedih, lalu kitanya, "Apakah Thay-kun juga menderita
akibat perbuatanmu ini?"
"Benar," Cong-kaucu tertawa cekikikan. "Dia pun pernah
merasakan siksaan itu hingga menyebabkan kejernihan
otaknya punah."
"Aku kuatir obat beracunmu itu bakal ketemu batunya dan
tidak manjur seperti yang kau harapkan," jengek Bong Thiangak
sambil tertawa dingin.
Sekali lagi Cong-kaucu cekikikan.
739
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siau-hun-wan adalah obat mujarab yang diciptakan Gi
Jian-cau, khasiatnya luar biasa dan selama hidup tidak akan
meleset." Mendengar ucapan itu, Bong Thian-gak menghela napas
panjang, biarpun ia belum pernah bersua Gi Jian-cau, tapi dia
pun termasuk anggota Hiat-kiam-bun. Mengapa orang itu
bersedia menciptakan obat beracun dan membantu Congkaucu
mencelakai umat persilatan"
Tiba-tiba Cong-kaucu bangkit, lalu dengan lemah-gemulai
beranjak keluar dari dalam kamar.
Bong Thian-gak berbaring di atas pembaringan dengan
tenang, sedang benaknya mencari akal bagaimana caranya
melepaskan diri dari cengkeraman iblis itu.
Dia meronta dan berusaha merangkak kabur, akan tetapi
sayang sekali tubuhnya lemas dan sama sekali tidak
bertenaga. Mendadak terdengar suara derap kaki manusia mendatangi,
Bong Thian-gak segera menoleh.
Dari balik ruangan tiba-tiba muncul tiga orang perempuan,
dua gadis berdandan genit dan seorang lagi perempuan
berusia empat puluh, tubuhnya montok dan bahenol.
Sorot mata Bong Thian-gak seolah-olah tertarik atas
kehadiran perempuan berbaju hijau itu, dia menatap tubuh
perempuan itu tanpa berkedip.
Ketika perempuan setengah umur berbaju hijau itu melihat
jelas wajah Bong Thian-gak yang berbaring di atas ranjang,
dia pun nampak terkejut dan serentak menghentikan
langkahnya. Dalam pada itu kedua gadis berbaju hijau yang genit tadi
telah tiba di depan pembaringan Bong Thian-gak, keempat
mata mereka melirik sekejap ke wajah anak muda itu dengan
pandangan memikat, kemudian tertawa cekikikan.
740 Setelah itu kedua gadis tadi mulai menari dengan lemahgemulai.
Sambil menari mereka melepas pakaian satu per satu.
Walaupun kedua gadis itu tidak termasuk berwajah cantik,
namun potongan badan mereka betul-betul memukau siapa
saja. Apalagi kedua wanita itu membawakan tarian erotik yang
sangat menggiurkan, bisa dibayangkan bagaimana menariknya
keadaan itu. Dihidangi pemandangan yang begitu erotik dan
merangsang napsu birahi, lambat-laun Bong Thian-gak mulai
terpengaruh, suatu perasaan aneh mendadak meliputi dirinya,
dia seperti membutuhkan sesuatu yang amat mendesak.
Mendadak Bong Thian-gak memejamkan mata, lalu
membentak, "Kalian cepat mengenakan pakaian dan
mengundurkan diri dari sini, aku telah menelan Siau-hun-wan,
tak bisa mengadakan hubungan dengan kalian."
"Mereka memang sudah tahu kau telah menelan Siau-hunwan,
tak seorang pun di antara mereka berani mengadakan
hubungan dengan dirimu," ucap perempuan berbaju hijau itu
hambar. Ketika mendengar perkataan itu, untuk kedua kalinya Bong
Thian-gak membuka mata, kali ini dia dapat melihat raut
wajah perempuan itu dengan jelas, tanpa terasa jeritnya
kaget. "Kau ... kau adalah Subo."
Satu ingatan dengan cepat melintas dalam benak Bong
Thian-gak, perasaan sedih, duka, marah dan benci dengan
cepat menyelimuti perasaannya.
Peristiwa lampau, ketika sepuluh tahun berselang dia
dikeluarkan gurunya dari perguruan ... ketika kaki kirinya
741 berubah menjadi pincang, semua musibah yang menimpa
dirinya itu tak lain berkat hasil karya perempuan berbaju hijau
itu. Dia tidak lain adalah istri muda gurunya, almarhum Bu-lim
Hengcu, si telapak tangan baja yang menggetarkan jagat Oh
Ciong-hu yang bernama Pek Yan-ling.
Dengan emosi Bong Thian-gak berseru, "Subo, kau masih
kenal diriku?"
"Aku masih ingat kau adalah Bong Thian-gak. Sungguh tak
kusangka Jian-ciat-suseng adalah kau."
"Dendam sakit hati apakah yang terjalin antara kita
berdua" Mengapa kau mencelakai diriku hingga begini rupa?"
teriak Bong Thian-giik sedih.
Sambil berkata, pelan-pelan perempuan itu melepas
pakaian yang dikenakannya satu demi satu.
Tak terlukiskan rasa terkejut Bong Thian-gak setelah
menyaksikan pel Istiwa ini, segera hardiknya, "Apa yang
hendak kau lakukan?"
"Bugil, untuk membawakan tarian erotik agar api birahimu
bangkit." "Bunuhlah aku, kalian bunuh aku saja!" teriak Bong Thiangak.
Sambil berteriak, Bong Thian-gak segera memejamkan
mata. Pada saat itulah berkumandang dua kali dengusan, untuk
kedua kalinya Bong Thian-gak membuka matanya kembali.
Ternyata kedua gadis yang bugil tadi sudah tergeletak
lemas di tanah, cairan darah masih nampak meleleh keluar
dari ujung bibir mereka.
742 Sementara Pek Yan-ling sudah menggerakkan tubuhnya
dengan cepat mencengkeram dua sosok mayat itu dan
diletakkan di sudut ruangan, setelah itu dia mendekati Bong
Thian-gak. Sementara itu Bong Thian-gak merasakan timbulnya
gulungan hawa panas di bawah perutnya, hal itu membuat
peredaran darah dalam tubuhnya mengalir semakin cepat.
Kendatipun demikian, kesadaran otaknya masih tetap
jernih, tiba-tiba ia bertanya, "Kau yang telah menghabisi
nyawa mereka berdua?"
"Betul!" Pek Yan-ling mengangguk pelan. "Akulah yang
telah membunuh mereka berdua."
"Apa yang hendak kau lakukan atas diriku?" tanya Bong
Thian-gak lagi dengan kening berkerut.
Pek Yan-ling menghela napas sedih.
"Ai, aku ingin menyelamatkan jiwamu. Tindakanku sudah
tentu di luar dugaanmu, bukan?"
"Kau hendak menyelamatkan jiwaku?"
Bong Thian-gak membelalakkan mata lebar-lebar
mendengar perkataan itu.
Dengan sedih Pek Yan-ling berkata, "Di masa lalu, aku
sudah banyak melakukan kesalahan dan kejahatan, dosaku
telah berlapis-lapis, biarlah aku mati untuk menolongmu, saat
ini kendati kematianku belum tentu dapat menebus semua
dosa yang pernah kulakukan, namun setidak-tidaknya dengan
menolong jiwamu hari ini, aku bisa mengurangi atau
memperingan dosa yang pernah kuperbuat."
Saat itu kejernihan otak Bong Thian-gak sudah makin
memudar, perasaannya makin kalut, matanya melotot dan
kian memerah, tanyanya, "Dengan cara apa kau akan
menyelamatkan jiwaku?"
743 Tiba-tiba Pek Yan-ling melepas semua pakaian yang
dikenakan hingga telanjang bulat, kemudian katanya pelan,
"Siau-hun-wan adalah sejenis obat perangsang yang aneh dan
luar biasa, kecuali mengorbankan diriku, tiada cara lain untuk
menyelamatkan jiwamu dari bahaya anaman maut."
Gemetar keras sekujur badan Bong Thian-gak menyaksikan
semua Itu, kembali dia berteriak, "Kau tidak boleh berbuat
begitu untuk menolong aku."
Tapi sayang sekali, pil Siau-hun-wan sudah mulai bekerja
dalam tubuh pemuda itu.
Dalam waktu singkat kejernihan otak Bong Thian-gak
sudah terbakar oleh nafsu birahi sehingga tak ampun lagi anak
muda itu jadi kaap dan kehilangan akal budinya lagi.
Biarpun demikian ia tidak seperti lelaki lain, biarpun nafsu
birahi sudah mengusainya, ia belum melakukan sesuatu
gerakan apa pun, hanya matanya melotot memandang tubuh
Pek Yan-ling yang bugil tanpa berkedip.
Sedangkan Pek Yan-ling sendiri hanya ingin
menyelamatkan jiwa Hong Thian-gak, tapi dia melupakan
sesuatu, bagaimana pun juga dia adalah Subo Bong Thiangak,
istri gurunya. Bagaimana mungkin Bong Thian-gak bisa melakukan
hubungan dengan Subonya sendiri"
Bila takdir telah mengatur nasib manusia, siapa pula yang
bisa menghindar.
Pek Yan-ling adalah seorang yang tidak bersih
perbuatannya dan hari ini kembali dia lakukan kesalahan
besar. Dosa dan kesalahan yang dilakukan hari ini boleh dibilang
tak terampuni lagi.
744 tapi kobaran api birahi membuat orang melupakan
segalanya. Bong Thian-gak telah melupakan siapa dirinya, dia
hanya tahu bagaimana melampiaskan nafsu birahinya secepat
mungkin. Ketika hujan badai telah berlalu.
Racun jahat Siau-hun-wan telah terhisap oleh tubuh Pek
Yan-ling. Sekujur tubuh Pek Yan-ling gemetar keras, paras mukanya
segera berubah pucat-pias, ternyata bagian bawah perutnya
mulai terasa sakit seperti diiris pisau, sedemikian sakitnya
membuat dia mulai merintih.
Setelah hujan badai lewat, semua sari racun yang
mengeram dalam tubuh Bong Thian-gak telah tersapu lenyap,
kobaran api birahi yang padam membuat akal budinya jernih
kembali. Dengan jernihnya pikiran, anggota badannya yang semula
lemas tak bertenaga kini telah pulih seperti sedia kala.
Mendadak dia menperdengarkan jeritan kaget yang keras
dan penuh nada seram.
Sebuah pukulan dahsyat langsung dilontarkan ke tubuh Pek
Yan-ling. Akibat serangan itu, tubuh Pek Yan-ling yang telanjang
segera menjelat ke udara dan terbanting ke tanah.
Pek Yan-ling yang dihantam pemuda itu menjadi terheranheran,
ia segera meronta bangun, dengan noda darah
membasahi ujung bibirnya dan suara yang gemetar keras,
bisiknya, "Aku ... aku telah menyelamatkan jiwamu, racun keji
Siau-hun-wan telah tersalur ke dalam tubuhku, kau ...
mengapa kau malah menghajar aku?"
Bong Thian-gak menutupi wajah dengan tangan
tunggalnya, mendadak ia menangis tersedu-sedu, katanya,
"Kau ... mengapa kau berbuat demikian" Tahukah kau,
siapakah dirimu, kau ini apaku?"
745 Sekarang Pek Yan-ling baru teringat bahwa Bong Thian-gak
adalah seorang lelaki jujur yang mengutamakan budi-pekerti
dan tata-krama, dia pun mulai berpikir, "Ya benar, aku adalah
Subonya. Biarpun aku berbuat demikian demi menyelamatkan
jiwanya, tapi baginya justru merupakan suatu perbuatan
terkutuk, baginya peristiwa ini sama saja berbuat berzina
dengan Subonya sendiri ... aduh celaka, andaikata dia
memandang serius peristiwa ini, sudah dapat dipastikan dia
akan menghabisi nyawanya sendiri."
Berpikir demikian, sambil tertawa pedih Pek Yan-ling segera
berkata, "Pada waktu itu, kejernihan akal budimu telah hilang.
Apa pun yang telah kau lakukan tidak perlu kau pertanggungjawabkan."
"Kati telah mencelakai aku. Aku ... aku tak punya muka
untuk hidup terus," pekik Bong Thian-gak sedih.
Sambil berteriak, dia segera menyambar pakaiannya dan
dikenakan dengan cepat.
Dalam pada itu paras muka Pek Yan-ling telah berubah
pucat-pias neperti mayat, tubuhnya gemetar keras, sementara
peluh bercucuran ?lengan deras. Seakan-akan menahan
penderitaan yang luar biasa, akhirnya dia berkata, "Bong
Thian-gak, kau harus hidup terus, kau harus melanjutkan
hidupmu di dunia ini, racun jahat Siau-hun-wan telah tersalur
ke dalam tubuhku, sekarang aku tak lebih hanya seorang yang
sudah mendekati ajal, perbuatanku ini sama sekali tidak keliru,
sebab hanya kau seorang di dunia ini yang bisa membunuh
iblis perempuan itu, kau harus mempertahankan hidupmu,
kalau tidak, pengorbanan nyawaku ini benar-benar
pengorbanan yang tak ada artinya."
Bong Thian-gak mengawasi wajah Pek Yan-ling dengan
kesedihan yang luar biasa, gumamnya tanpa terasa, "Betul,
kau berbuat demikian karena menolong jiwaku ... bila kau
tidak berbuat demikian, aku pasti akan menjadi boneka Congkaucu,
aku pasti akan melenyapkan gembong iblis perempuan
746 itu dari muka bumi, kau bukan saja telah menolong aku
dengan perbuatanmu tadi, kau pun telah menyelamatkan
beribu-ribu jiwa umat persilatan ... tapi dapatkah aku hidup
lebih lanjut dalam keadaan seperti ini?"
"Kau dapat melupakan kejadian itu," Pek Yan-ling berkata
dengan sedih. "Anggap saja peristiwa ini tidak pernah kau
alami." "Dapatkah aku melupakannya?" kata Bong Thian-gak amat
pedih. "Sepuluh tahun lalu kau pernah melakukan hubungan
gelap dengan Sam suheng Siau Cu-beng, itu sebabnya
kubunuh Sam-suheng, tapi hari ini siapa pula yang akan
membunuhku demi membalas aib bagi Suhu."
"Bong Thian-gak, kau sudah tahu aku bukan perempuan
baik-baik. Sejak dulu Oh Ciong-hu sudah tidak memiliki istri
macam diriku ini," ucap Pek Yan-ling sedih. "Oleh karena itu
aku bukan istri Oh Ciong-hu, juga bukan Subomu ... selain itu
kau sudah sejak lama dikeluarkan dari perguruan, kau pun
sudah bukan muridnya lagi. Ini berarti di antara kita berdua
sama sekali tiada hubungan sebagai ibu guru dan murid lagi,
kita adalah sahabat biasa ... aku sama sekali bukan ibu guru
seperti apa yang kau sebut, karenanya kau tidak pernah
melanggar susila, aku pun tidak pernah melakukan perbuatan
yang menyalahi peraturan perguruan."
Memang benar, sepuluh tahun lalu Bong Thian-gak diusir
Oh tong hu dari perguruan, jadi Pek Yan-ling sudah bukan
Subonya lagi. Apalagi selama sepuluh tahun ini dia sendiri pun tak pernah
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menganggap perempuan itu sebagai Subonya, karena itu dia
sudah kehilangan haknya untuk dihormati sebagai seorang
Subo. Kendati demikian, dalam hati Bong Thian-gak tersiksa pula
oleh penderitaan yang luar biasa.
747 Dalam pada itu kulit badan Pek Yan-ling yang semula
berwarna putih halus, lambat-laun telah berubah menjadi
hitam kemerah-merahan, beberapa kali dia bahkan kejangkejang
dengan penuh penderitaan.
"Bong Thian-gak" kembali dia berkata sambil menahan
derita. "Sekarang isi perutku terasa seperti disayat-sayat,
seperti juga ada beribu ekor binatang yang menggerogoti
badanku ... ooh sangat menderita ... tolong ... tolong
hadiahkan sebuah pukulan kepadaku agar aku cepat mati!"
Rintihan demi rintihan bergema tiada hentinya dari bibir
Pek Yan-ling, sambil memegang dada dengan sepasang
tangannya, dia mulai bergulingan kian-kemari, keadaannya
amat tersiksa dan mengenaskan, membuat siapa pun yang
melihat jadi amat terharu.
Bong Thian-gak tak dapat membendung air matanya lagi,
dengan penuh duka katanya, "Thian telah mengatur segala
sesuatunya" Mengapa Thian selalu memaksa aku melakukan
perbuatan-perbuatan yang tidak kukehendaki?"
"Bong Thian-gak, ayolah cepat turun tangan," pinta Pek
Yan-ling sambil mengangkat wajahnya yang menyeringai
seram. "Dahulu aku telah banyak berbuat dosa kepadamu,
sekarang biar kau cincang tubuhku hingga hancur berkepingkeping
pun belum tentu bisa membalas luka yang pernah
kuberikan kepadamu di masa lalu. Inilah hukum karma bagiku,
aku memang pantas mati di bawah telapak tanganmu."
Bong Thian-gak memejamkan mata, lalu katanya, "Yang
sudah lewat biarlah lewat, aku sama sekali tidak
membencimu, bahkan aku amat berterima kasih kepadamu ...
karena aku telah berhutang budi kepadamu."
Tatkala kata "kepadamu" diucapkan, telapak tangan kanan
Bong Thian-gak diayunkan ke depan melancarkan bacokan.
Dimana angin pukulan berkelebat, tubuh Pek Yan-ling
mencelat ke belakang untuk kemudian tidak berkutik lagi.
748 Air mata sekali lagi jatuh bercucuran membasahi wajah
Bong Thian-gak, diambilnya kain seprei dari atas
pembaringan, lalu dibungkuskan ke atas tubuh Pek Yan-ling
yang telanjang dan pemuda itu pun berdiri termangu-mangu
untuk beberapa saat lamanya.
Mendadak berkumandang suara langkah kaki manusia,
Bong Thian-gak bagaikan baru sadar dari mimpi, dia segera
menyelinap ke belakang pintu dengan cepat.
Dalam pada itu dari luar ruangan sudah terdengar
seseorang berkata, "Cap-go-kaucu, Cong-kaucu
memerintahkan kepadaku untuk mengantar dua pil Siau-hunwan,
dengan pesan dalam dua belas jam mendatang harus
mencekokkan pil ketiga kepada Jian-ciat-suseng."
Bong Thian-gak yang mendengar perkataan itu segera
membuka pintu secara tiba-tiba, tampak seorang berbaju
kuning berjalan masuk ke dalam ruangan dengan langkah
cepat. Tatkala orang berbaju kuning itu menyaksikan Bong Thiangak
berdiri di hadapannya dalam keadaan segar-bugar, ia
nampak amat terperanjat, mulutnya ternganga dan tak
sempat berteriak, tahu-tahu cakar maut yang kuat seperti
jepitan telah mencekik tenggorokannya.
"Krak", tulang leher orang berbaju kuning itu tahu-tahu
patah, tidak sempat mengeluarkan suara rintihan lagi, orang
itu tewas seketika.
Selesai membunuh orang itu, Bong Thian-gak segera
menyelinap keluar, dengan cepat sorot matanya dialihkan ke
sekeliling tempat itu.
Apa yang kemudian terlihat membuat Bong Thian-gak
merasa sangat terkejut, ternyata dia berada di sebuah
ruangan besar dan kosong, dua puluh empat buah tiang
penyangga berukir naga emas berjajar tiap sudut, atap
ruangan indah dan megah, bangunan itu sangat mentereng.
749 Tempat dimana Bong Thian-gak berdiri sekarang
merupakan panggung di ruangan tengah, permadani berwarna
merah menghiasi lantai, boleh dibilang dimana-mana dihiasi
barang antik yang tak ternilai harganya.
Pot bunga berlapiskan emas di sekeliling panggung,
delapan belas hu.ih hiolo perak bertebaran di bawah
panggung, empat gentong emas, empat pasang kura-kura
tembaga dan bangau tembaga turut menghiasi setiap sudut
ruangan. Selain itu di tengah ruangan terdapat pula sebuah meja
panjang, di atas meja berjajar berbagai peralatan yang terbuat
dari tembaga, kemala, dan bahan keramik, di samping intan
permata dan mutu manikam yang tak ternilai harganya.
Pada hakikatnya bangunan itu ibarat sebuah gudang hartakarun.
Pada ujung tumpukan harta-karun yang tak ternilai itu
terdapat sebuah kursi yang terbuat dari emas, cahaya
kekuning-kuningan memercik ke empat penjuru membuat
kursi tadi menyerupai singgasana seorang kaisar.
Mata Bong Thian-gak menjadi kabur menyaksikan semua
itu, sesaat lamanya dia hanya bisa berdiri termangu-mangu
seperti orang kehilangan ingatan.
Dia tidak mengetahui tempat apakah itu" Darimana
datangnya harta-karun itu"
Tiada lentera di dalam ruangan itu, tapi bisa terlihat
dengan jelas bahwasanya ruangan itu kosong melompong, tak
nampak sesosok bayangan manusia pun, namun Bong Thiangak
cukup mengerti, di luar istana itu pasti terdapat pasukan
penjaga yang amat ketat dan kuat.
Maka sambil menghimpun tenaga dalam untuk berjagajaga
atas segala kemungkinan, dia berjalan menuju ke pintu
gerbang. 750 Pintu dalam keadaan tertutup rapat, hal ini membuat Bong
Thian-gak tertegun, segera pikirnya, "Kalau dilihat dari pintu
gerbang yang tertutup rapat, berarti tiada penjaga yang
meronda di luar gedung, tempat ini sungguh merupakan
tempat rahasia yang menyeramkan."
Mendadak dari luar terdengar seorang menegur,
"Komandan regukah di situ?"
"Benar!" dengan cepat Bong Thian-gak menyahut.
Suara gemuruh yang amat keras segera berkumandang,
pintu gerbang terbuka lebar dan dua kepala menongol dari
balik pintu. Secepat sambaran kilat telapak tangan Bong Thian-gak
membacok ke bawah.
Tiada jerit kesakitan, tiada suara lain, tahu-tahu kedua
orang tadi menghembuskan napas penghabisan.
Dengan gerakan tubuh yang gesit, lincah dan ringan, Bong
Thian-gak segera menerobos keluar lewat celah-celah pintu
itu. Di bawah cahaya rembulan, di bawah undak-undakan batu
depan pintu gerbang nampak berjajar dua puluh pengawal
berbaju kuning, mereka berdiri dengan memegang tombak
panjang. Kemunculan Bong Thian-gak yang secara tiba-tiba
membuat mereka tidak sempat melihat dengan jelas siapa
pendatang itu. Dalam sekejap Bong Thian-gak telah sampai di hadapan
pengawal pertama. Tanpa jeritan kaget, tanpa teriakan
kesakitan, tahu-tahu orang Mu sudah roboh binasa.
Di saat pengawal baju kuning yang pertama roboh terkapar
tadi, tubuh Bong Thian-gak sudah berkelebat di hadapan
751 delapan orang pengawal dan muncul di hadapan pengawal
kesembilan. Di saat para pengawal menyadari datangnya musuh yang
menakutkan itu, Bong Thian-gak telah berhasil menghabisi
nyawa delapan orang pengawal baju kuning dengan
kecepatan dan serangan yang mengerikan.
Serangan yang begitu dahsyat dan cepat ini pada
hakikatnya (arang dijumpai di kolong langit.
Tiga orang pengawal baju kuning lainnya yang masih
tersisa dengan cepat menyadari datangnya ancaman bahaya,
salah seorang di antara mereka segera menghardik, "Siapa di
situ?" Bong Thian-gak merampas tiga batang tombak dari
korbannya yang tewas dan satu-per satu dilontarkan ke
depan. Tombak-tombak itupun menembus jantung tiga orang
pengawal yang berada di kejauhan, tanpa penderitaan, tanpa
teriak kesakitan, dua puluh empat orang pengawal berbaju
kuning tahu-tahu sudah tertumpas habis di tangan Bong
Thian-gak. Kendati Bong Thian-gak telah melakukan pembunuhan
dengan gerakan cepat, tindakan yang kejam dan tak membuat
pengawal-pengawal itu mengeluarkan suara, namun
penjagaan di seputar gedung itu sungguh kelewat ketat.
Dua puluh empat pengawal berbaju kuning yang berada di
pintu gerbang sekarang tak lebih hanya sekelompok kekuatan
lain yang berada di sekeliling gedung itu.
Mendadak serente
Jodoh Rajawali 4 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 13