Pendekar Cacad 6
Pendekar Cacad Karya Gu Long Bagian 6
Put-gwa-cin-kau bakal menderita
kerugian amat besar?"
340 Ji-kaucu menarik napas dalam-dalam, lalu membentak
dengan keras, "Mo-ing-pat-hiong, dengar baik-baik, tangkap
perempuan ini hidup-hidup."
Begitu perintah diturunkan, kedelapan orang berjubah hijau
itu mulai bergerak maju.
Mendadak terdengar Ji-kaucu membentak lagi, "Irama iblis
mulai!" Perintah menggeledek disambut oleh kedelapan orang itu
dengan memainkan delapan alat musik, dalam waktu singkat
berkumandanglah permainan alat musik yang amat
memekakkan telinga.
Kedelapan alat musik itu adalah tambur, gembrengan,
harpa, seruling dan lain sebagainya.
Permainan irama musik mereka terdengar sangat aneh,
entah irama lagu apakah yang sedang mereka bawakan.
Pada mulanya semua orang masih belum merasakan apaapa,
Thay-kun serta kedua orang dayang berbaju biru masih
berdiri di tempat semula dengan gagah, semerttara mata
mereka mengawasi kedelapan orang itu memainkan irama
musik yang aneh dan tak sedap didengar itu.
Mendadak suara gembreng dibunyikan bertalu-talu,
menyusul kemudian tambur dipukul tiga kali....
Mengikuti suara tambur tadi, jerit kesakitan yang
memilukan bergema memecah keheningan.
Kedua dayang berbaju biru yang berdiri di sisi Thay-kun
segera memegang hulu hati masing-masing sembari
berjongkok di tanah, wajah mereka pucat-pias seperti kertas,
tampaknya mereka sedang merasakan suatu penderitaan yang
luar biasa. 341 "Aduh celaka!" pekik Jit-kaucu Thay-kun setelah
menyaksikan kejadian itu, ia segera membentak, "Cepat tutup
lubang telinga kalian!"
Baru habis berbicara, suara tambur kembali berkumandang.
Bagaikan orang kerasukann setan, kedua dayang berbaju
biru itu bergulingan di tanah sambil menjerit-jerit, tangan
mereka mendekap hulu hati kencang-kencang, sementara
badannya bergulingan ke sana-kemari, jelas kedua orang itu
mengalami penderitaan hebat.
Berada dalam keadaan seperti ini, Thay-kun tidak
berkemampuan lagi untuk mengurusi kedua orang dayangnya,
sebab di saat suara tambur itu berkumandang, dia sendiri pun
merasakan semacam getaran keras yang melanda tubuhnya,
serentetan pukulan keras tambur itu membuat jantungnya
berdebar keras.
Dalam posisi yang amat tidak menguntungkan ini, dia
hanya bisa memusatkan segenap pikiran dan perhatiannya
melawan suara itu, dia harus menenangkan pikiran dari
pengaruh suara itu.
Dengan tenaga dalamnya yang sudah sempurna, tidak sulit
bagi Thay-kun untuk menghindarkan pengaruh suara iblis itu.
Suasana menjadi tenang kembali, keadaan kini ibarat sebuah
bukit batu karang, seakan-akan lupa segala-galanya.
Tapi berbeda keadaannya dengan kedua dayang berbaju
biru itu. Jeritan ngeri masih terdengar, sepasang tangan
mereka mulai mencakar dada sendiri, sementara tubuhnya
bergulingan ke sana kemari. Dalam waktu singkat pakaian
bagian atas sudah terlepas. Tak selang beberapa saat
kemudian kulit tubuhnya yang putih bersih itu sudah hancur
oleh cakar-cakar mautnya, luka memanjang disertai cucuran
darah memenuhi sekujur tubuh, sungguh mengerikan sekali
keadaan mereka.
342 Mendidih rasanya darah panas yang menggelora dalam
dada Bone, Thian-gak menyaksikan kejadian itu, dia hendak
mendobrak jendela menerobos keluar, namun setelah
menyaksikan keadaan Thay-kun yang tenang dan berdiri
kokoh bagaikan batu karang di tengah arena, tergetar hatinya,
cepat dia berpikir, "Jelas kedua dayang itu sudah tak bisa
tertolong lagi, satu-satunya tindakan yang harus kulakukan
sekarang adalah mencari akal membongkar dan
menghancurkan barisan ini, kemudian berusaha menolong
Thay-kun dari ancaman bahaya."
Sementara kedelapan orang itu menggeser barisan sembari
tetap memainkan aneka alat musik itu.
Akhirnya kedua dayang berbaju biru itu tak mampu
menahan diri, mereka tewas dalam keadaan mengerikan,
tubuh mereka yang telanjang bulat bermandikan darah
terkapar tak berkutik di tengah arena.
Pada saat inilah Bong Thian-gak sudah dapat melihat
pergeseran barisan yang dilakukan kedelapan orang itu,
menggunakan langkah Pat-kwa-tin.
Penemuan yang di luar dugaan ini kontan menggirangkan
hati Bong Thian-gak, diam-diam dia menggeser tubuhnya
melompat keluar melalui jendela belakang, kemudian setelah
melewati kebun ia menyusup ke balik kawanan orang yang
sedang menonton jalannya pertempuran itu.
Sementara itu para anggota Put-gwa-cin-kau yang berada
di sisi arena terpukau oleh kehebatan ilmu barisan yang
sedang berlangsung di tengah arena pertempuran, sudah
barang tentu mereka tidak mengetahui Bong Thian-gak telah
menyelundup di antara mereka.
Bong Thian-gak lihat Thay-kun sedang bersiap melancarkan
serangan. Berarti dia pun harus memanfaatkan kesempatan
itu untuk melancarkan sergapan pula, kerja sama dalam waktu
serta ketepatan tak boleh meleset sedikit pun.
343 Sesungguhnya cara berpikir Bong Thian-gak ini memang
benar, akan tetapi dia telah melupakan sekawanan pembunuh
dari luar barisan, pembunuh yang sebenarnya bukan
kedelapan orang berjubah hijau yang berdiri pada posisi
barisan Pat-kwa, pembunuh yang sesungguhnya bukan lain
daripada Ji-kaucu sendiri yang berada di luar barisan.
Barisan ini bernama Pat-kwa-an-kiu-kiong-tin.
Saat Jit-kaucu Thay-kun membuka mata itulah mendadak
dia saksikan Ji-kaucu yang berada di luar arena sedang
memandang ke arahnya dengan sorot mata setajam sembilu
dan hawa membunuh yang menyala-nyala.
Tergerak hatinya setelah menyaksikan kejadian itu, ia
berseru tertahan dalam hati, "Ah, rupanya Pat-kwa-an-kiukiong-
tin, habis sudah riwayatku kali ini!"
Pat-kwa-an-kiu-kiong-tin merupakan barisan yang luar
biasa, semacam siasat perang yang aneh, luar biasa, di luar
dugaan dan teramat keji.
Belum habis ingatan itu melintas dalam benak Thay-kun,
tiba-tiba terdengar Ji-kaucu berpekik nyaring, kemudian
tubuhnya melejit tinggi dan menerjang ke arah Jit-kaucu.
Tak terlukiskan rasa terkejut Bong Thian-gak setelah
menyaksikan kejadian ini, dengan cepat dia melejit pula ke
udara dan menerjang ke tengah arena dari posisi lain.
Dia telah mengambil keputusan untuk melakukan duel
mati-hidup yang menentukan posisi kedua belah pihak.
Arah sasaran Bong Thian-gak kali ini adalah kedelapan
orang yang berada di luar arena, yang diterkam lebih dahulu
adalah seorang berjubah hijau yang membawa seruling.
Jeritan ngeri yang memekakkan segera berkumandang.
344 Termakan oleh pukulan Bong Thian-gak yang maha
dahsyat itu, orang berjubah hijau itu tergetar keras tubuhnya
dan mencelat ke udara.
Dengan berkurangnya salah satu kekuatan pada barisan
Pat-kwa itu, kontan barisan menjadi kacau, namun pembunuh
yang menempati barisan Kiu-kiong sama sekali tidak
merasakan pengaruhnya.
Tampak Ji-kaucu menerobos masuk ke dalam dengan
kecepatan luar biasa.
Diam-diam Thay-kun mengertak gigi, tangan kiri segera
diangkat, cahaya merah memancar keluar dari balik telapak
tangannya, ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang yang merajai kolong
langit telah disiapkan.
Ketiga orang itu masing-masing merupakan jagoan sakti
dunia persilatan, pada saat bersamaan masing-masing
mengeluarkan ilmu andalannya, untuk merobohkan musuh
sebanyak mungkin.
Untuk beberapa saat suasana menjadi kacau.
Jerit kesakitan dan dengusan tertahan bergema, menyusul
tubuh Bong Thian-gak berkelebat, satu demi satu musuh
bergelimpangan.
Munculnya Bong Thian-gak di arena pertarungan sama
sekali di luar dugaan siapa pun, tak heran sergapannya segera
menimbulkan kepanikan yang luar biasa.
Sementara itu Ji-kaucu sudah menerobos masuk ke dalam
arena, tampak ujung bajunya berhembus kian kemari, seperti
segulung asap putih saja.
Dalam waktu singkat tubuh Thay-kun dan Ji-kaucu sudah
terkurung oleh asap tebal itu.
345 Cahaya merah memancar keluar memenuhi angkasa,
serangan Jian-yang-ciang dari Jit-kaucu Thay-kun tidak
mengenai sasaran.
Di tengah lapisan kabut yang sangat tebal, terdengar suara
deru angin pukulan yang memekakkan telinga, jelas Jit-kaucu
Thay-kun sudah terlibat dalam pertarungan yang amat seru.
Mimpi pun Bong Thian-gak tidak mengira Ji-kaucu bakal
mengeluarkan asap semacam itu, tatkala dia menyadari akan
hal itu dan siap menerobos kabut itu, tubuh Thay-kun sudah
mundur dari lapisan kabut dengan sempoyongan.
Cepat Bong Thian-gak melompat maju, kemudian serunya
dengan cemas, "Kau terluka?"
"Aku terkena sergapan mereka, cepat kabur dari sini!" seru
Thay-kun gelisah.
Dalam pada itu kawanan jago Put-gwa-cin-kau yang
menonton jalannya pertarungan dari sisi arena telah melihat
bayangan tubuh Bong Thian-gak, serentak mereka
membentak nyaring, di tengah jeritan keras, dua puluh orang
menerjang datang melakukan pengepungan.
"Kalau harus mati biarlah kita mati bersama, kalau harus
pergi kita pergi bersama,"seru Bong Thian-gak lantang.
Di tengah seruan itu, Bong Thian-gak menyambar
pinggangnya dengan tangan kiri, kemudian membopong
tubuhnya sambil berpekik nyaring, tubuhnya melejit ke tengah
udara. Serentetan suara tawa aneh bergema, Liok-kaucu
melompat ke muka melakukan penghadangan.
Dalam keadaan gawat dan berbahaya ini, Bong Thian-gak
segera mengerahkan tenaga dalamnya, melihat datangnya
terjangan itu, sebuah pukulan segera dilontarkan ke depan.
346 Serangan pukulan ini sungguh hebat dan mengerikan.
Seketika itu juga tubuh Liok-kaucu terlempar ke belakang
dan jatuh terkapar di tanah.
Begitu berhasil merobohkan Liok-kaucu, cepat Bong Thiangak
membopong tubuh Thay-kun melejit ke atas pohon,
kemudian dengan meminjam tenaga jejakan itu dia melompat
naik ke atas atap rumah.
Gerakan tubuhnya cepat bagaikan sambaran kilat, lincah
melebihi monyet.
Diiringi bentakan nyaring para anggota Put-gwa-cin-kau,
mereka melakukan pengejaran serentak.
Tiba-tiba Ji-kaucu muncul dari balik kabut yang tebal, lalu
membentak keras, "Tak usah dikejar lagi, gerakan tubuhnya
kelewat cepat, tak nanti kalian bisa menyusulnya."
Ternyata keadaan waktu itu sungguh mengenaskan, bukan
saja kawanan jago kelas satu Put-gwa-cin-kau telah menderita
luka, Liok-kaucu serta pemimpin pasukan pengawal tanpa
tanding barisan kedua pun terluka pula.
Yang tersisa kini tinggal jago-jago kelas tiga saja,
bagaimana bisa menyusul Bong Thian-gak"
Padahal serangan maha dahsyat Bong Thian-gak sudah
cukup membuat kawanan jago Put-gwa-cin-kau ketakutan
setengah mati. Memandang bayangan punggung Bong Thian-gak yang
berlalu sambil membopong Thay-kun itu, Ji-kaucu
memperlihatkan sekulum senyuman dingin yang licik dan
penuh kebanggaan, gumamnya, "Jit-kaucu sudah tersingkir,
hehehe, kau si bocah keparat pun sudah terkena seranganku,
paling lambat tiga hari kemudian kau pun akan mampus,
meski kepandaian silat yang kau miliki sangat lihai."
347 Mendengar gumaman itu, orang berkerudung berjubah
hitam yang berdiri di sisinya segera bertanya, "Apakah orang
itu terkena sergapan Ji-kaucu?"
Dengan bangga Ji-kaucu tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, komandan Siau, tahukah kau nama asapku itu?"
"Asap itu amat aneh, tebalnya luar biasa dan tidak
menyebar atau membuyar meski terkena hembusan angin,
sudah pasti merupakan asap yang luar biasa."
Ji-kaucu tertawa.
"Asap ini bernama In-ing-tok-wu-im-ciang (Kabut beracun
himpunan hawa langit dan bumi), barang siapa terkena kabut
itu, baik manusia maupun binatang tak nanti lolos dari
ancaman maut."
"Tapi orang itu tak pernah memasuki lingkaran kabut itu?"
"Tapi sekujur tubuh Jit-kaucu telah terkena kabut itu,
sedangkan dia berlari sembari membopong tubuhnya, tanpa
dia sadari sebenarnya ia pun terkena serangan racun itu."
"Kepandaian silat orang itu amat lihai, Liok-kaucu pun
terluka di tangannya, entah siapakah orang ini?"
"Dari raut wajahnya, jelas sudah dipoles obat penyaru,
besar kemungkinan orang ini adalah pemuda yang bernama
Ko Hong itu."
Orang berkerudung berbaju hitam menggeleng kepala
berulangkah. "Pemuda Ko Hong telah terkena sebuah tusukanku, lukanya
amat dalam dan terluka parah, mana mungkin kesehatan
tubuhnya bisa pulih secepat itu?"
Dalam pada itu Ji-kaucu telah berjalan mendekati Liokkaucu,
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemudian menegur, "Parahkah lukamu, Liok-kaucu?"
348 Liok-kaucu sedang duduk bersila di atas tanah dengan
wajah merah membara, tiba-tiba dia memuntah darah
sebanyak tiga kali.
Darah yang keluar berwarna hitam pekat seperti warna
tinta bak. Menyaksikan kejadian ini, berubah hebat paras muka Jikaucu,
secepat kilat telapak tangan kirinya menepuk tiga buah
jalan darah penting di punggung Liok-kaucu.
Sebenarnya Liok-kaucu sudah tak mampu berkutik lagi, tapi
setelah ditepuk keras punggungnya, dia baru menghembuskan
napas panjang, katanya dengan suara gemetar, "Ji-kaucu,
lukaku parah sekali, entah ilmu silat apa yang dipergunakan
olehnya." Ji-kaucu membungkam, dia hanya mendongakkan kepala
sambil berdiri termangu-mangu.
Kemudian dia berpaling dan ujarnya kepada orang
berkerudung itu, "Komandan Siau, harap kau mewakili diriku
mengawasi sebentar keadaan di sini, aku hendak mengejar
mereka." Belum selesai berkata, Ji-kaucu telah menggerakkan bahu
dan meluncur ke depan, dalam waktu singkat bayangan
tubuhnya sudah lenyap di balik kegelapan.
Tentu saja yang dimaksud "mereka" oleh Ji-kaucu adalah
Bong Thian-gak berdua.
Suasana amat hening, malam mencekam seluruh jagad,
angin berhembus kencang membuat suasana terasa dingin
menggigilkan. Dengan merangkul pinggang Jit-kaucu Thay-kun dengan
tangan kirinya, Bong Thian-gak melakukan perjalanan tiada
hentinya sejauh dua puluh li lebih.
349 Tiba-tiba terdengar suara rintihan lirih, cepat Bong Thiangak
menghentikan larinya dan menundukkan kepala.
Tampak Thay-kun telah membuka matanya yang indah
menawan sambil memandang wajah Bong Thian-gak dengan
termangu. Memeluk gadis cantik dalam rangkulan, timbul suatu
perasaan aneh, bau harum semerbak menembus lubang
hidung. "Kau lelah?" pemuda itu menegur.
Thay-kun manggut-manggut.
"Kau bisa berjalan sendiri?" kembali Bong Thian-gak
bertanya lirih. Thay-kun tertawa, "Mengapa kau tidak
menurunkan aku?" Bong Thian-gak mengiakan dan cepat
menurunkan tubuhnya ke atas tanah.
Sambil menggeliat Thay-kun berkata dengan sedih, "Ai, aku
tak mungkin bisa lolos dari kematian."
"Mengapa?" Bong Thian-gak tertegun. Kembali Thay-kun
menghela napas panjang.
"Ai, karena aku telah terkena sebatang jarum beracun Hukut-
tok-ciam dari Ji-kaucu."
"Jarum beracun pelumat tulang" Terkena di bagian mana?"
Bong Thian-gak semakin terperanjat.
"Pada lengan kananku."
"Tapi bukankah kau masih berada dalam keadaan baik-baik
saja sekarang?"
Sambil tertawa getir Thay-kun menggeleng kepala
berulang-kali. "Kini lengan kananku menjadi kaku."
Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak segera berpaling
sambil memperhatikan lengan kanannya, betul juga, lengan
350 kanannya itu sudah terkulai lemas ke bawah dan sama sekali
tak bisa digerakkan.
"Memangnya tiada cara untuk mengobati luka itu?"
Thay-kun menggeleng.
"Ji-kaucu adalah tokoh yang amat lihai dalam
menggunakan racun, apalagi dia berniat membinasakan diriku,
sudah dapat dipastikan jarum beracun yang dilepaskan
olehnya menggunakan racun yang nanti tak dapat diobati!"
Bong Thian-gak melihat gadis itu tetap tenang, tidak
gugup, tidak panik, seakan-akan bukan dia yang terkena
jarum beracun dan bakal menemui ajalnya.
Maka dengan nada tak percaya dia bertanya lagi,
"Sungguhkah perkataanmu itu?"
"Apa gunanya kubohongi dirimu?" Thay-kun berkata sedih.
"Semut pun ingin hidup apalagi manusia."
"Tidak mungkin ... tidak mungkin," gumam Bong Thiangak,
"tak mungkin di dunia ini terdapat racun yang mematikan
tanpa bisa terobati lagi."
Sembari berkata Bong Thian-gak mengeluarkan tangan siap
merangkul kembali pinggang Thay-kun.
Mendadak Thay-kun menghindar sambil menyelinap
mundur, tegurnya, "Mau apa kau?"
Bong Thian-gak sendiri pun tertegun.
"Aku hendak mencari orang untuk mengobati racun di
lenganmu itu."
Thay-kun menghela napas panjang.
"Ai, bukankah sudah kukatakan kepadamu, tiada orang di
dunia ini yang bisa menyelamatkan jiwaku! Sekarang aku
harus memanfaatkan kesempatan yang ada untuk
351 mengemukakan suatu rahasia dunia persilatan yang mungkin
tidak diketahui oleh siapa pun."
"Menjelang ajalnya, Ku-lo Hwesio telah berpesan kepadaku
bahwa di Bu-lim hanya kau seorang yang dapat menghadapi
Cong-kaucu, kau tak boleh mati, tak boleh mati begini saja."
Thay-kun tertawa sedih.
"Perhitungan Ku-lo Sinceng sesungguhnya memang tepat,
di Bu-lim memang cuma aku seorang yang bisa
menghadapinya, tapi perhitungan manusia tak mampu
melawan perhitungan takdir, rupanya nasibku memang harus
berakhir sampai di sini."
Mencorong sinar aneh dari balik mata Bong Thian-gak, dia
berkata, "Sumoay, aku telah mempelajari hampir seluruh ilmu
silat yang berhasil Suhu curi sepanjang hidupnya, apakah di
antara sekian banyak kepandaian itu, tak satu pun yang bisa
digunakan untuk mengobati luka beracun itu?"
Thay-kun menghela napas panjang.
"Memang sepanjang hidup Suhu, beliau berhasil mencuri
kitab pusaka berbagai perguruan dan partai mana pun, sayang
di antara sekian banyak kepandaian itu tak sebuah pun yang
merupakan kitab ilmu pertabiban dan ilmu beracun. Itulah
sebabnya dia orang tua pun tewas akibat racun yang
dideritanya."
"Apa" Suhu pun mati akibat keracunan?" Bong Thian-gak
terperanjat. Thay-kun manggut-manggut.
"Benar, dia orang tua tewas karena keracunan hebat, ai!
Sekarang aku sudah tiada waktu lagi untuk memberitahukan
semua ini padamu, pokoknya pembunuhnya adalah Congkaucu."
352 Bong Thian-gak memang telah menduga Jian-bin-hu-li Ban
Li-biau tewas secara mengenaskan dalam gua akibat
perbuatan Cong-kaucu, ternyata dugaannya memang tepat.
Sebenarnya dia ingin tahu keracunan apakah Ban Li-biau
sampai menemui ajal, namun Thay-kun telah mengalihkan
pokok pembicaraan ke soal lain, katanya, "Ku-lo Hwesio dari
Siau-lim-pay bisa menduga aku bermaksud mengkhianati Putgwa-
cin-kau, hal ini menunjukkan semasa hidupnya dulu, ia
telah berjumpa dengan Nyo Li-beng. Nyo Li-beng telah
memberitahukan rencana busuk Cong-kaucu serta asalusulnya.
Kalau begitu Ku-lo Sinceng pun sudah pasti telah
mempunyai rencana yang matang mengatasi situasi dunia
persilatan di masa mendatang, bila demikian adanya, meski
aku telah memejamkan mata untuk selamanya, aku pun bisa
mati dengan perasaan lega."
Agak bingung juga Bong Thian-gak mendengar perkataan
yang tiada ujung pangkalnya itu, dia tak tahu apa maksud
Thay-kun berkala demikian.
Maka sembari berkerut kening ujarnya kemudian, "Sumoay,
bagaimana kalau kau kuajak menuju ke kuil Keng-tim-an?"
Tergetar perasaan Thay-kun mendengar perkataan itu,
ucapnya cepat, "Kuil Keng-tim-an merupakan pasukan
tersembunyi kita, pasukan tersembunyi itu belum boleh
muncul dalam Bu-lim pada saat ini, sebab kalau tidak, bisa jadi
kekuatan tersembunyi itu bisa ditumpas ludes."
"Mengapa" Bukankah Keng-tim Suthay telah berkata,
'Sembilan hari lagi di Bu-lim akan muncul perkumpulan baru',
berarti sembilan hari lagi mereka sudah bersiap melakukan
gerakan?" Thay-kun tersenyum.
"Benar, hal ini akan terjadi sembilan hari lagi, bukan
sekarang!"
353 "Mengapa harus menunggu sembilan hari lagi?"
"Sebab sampai waktunya baru akan muncul tokoh yang
mampu menandingi kemampuan Cong-kaucu."
"Aku tidak memahami maksud perkataanmu itu."
"Sewaktu masih berada dalam gedung Bu-lim Bengcu
tempo hari, bukankah pernah kau dengar dalam tiga hari
setelah meninggalnya Oh Ciong-hu Bengcu, lima orang mati
secara misterius, tapi beberapa hari setelah kematiannya,
jenazah mereka lenyap?"
"Ya, aku dengar kelima orang itu adalah si Pukulan nomor
wahid dari kolong langit Ma Kong Loenghiong dari perguruan
Sin-kun-bun, Liong-thau Pangcu dari perkumpulan Hek-huopang
Kwan Bu-peng, Congpiauthau dari tujuh perusahaan
ekspedisi gabungan wilayah Kanglam Lui-hong-khek (Jago
angin guntur) Gi Peng-san, Loapcu dari benteng Jit-seng-po
Tui-hun-pit (Pena pengejar sukma) Cia Liang dan Thi-koan-im
(Koan-im baja) Han Nio-cu, tapi bukankah mereka semua lelah
mati?" Thay-kun manggut-manggut.
"Benar, mereka telah mati satu kali, tapi kini telah hidup
kembali." "Masa orang yang sudah mati dapat hidup kembali?" seru
Bong Thian-gak terkejut bercampur keheranan.
"Sembilan hari lagi mereka akan muncul dan hidup kembali
dari kuil Keng-tim-an."
Dengan terperanjat Bong Thian-gak mengawasi wajah
Thay-kun sambil termangu-mangu, sedang di hati kecilnya
berpikir, "Kejernihan otaknya masih tetap meyakinkan, tapi
mengapa perkataannya masih sukar dipercaya."
354 Sambil tersenyum manis kembali Thay-kun berkata,
"Semua teka-leki ini akan terungkap sembilan hari lagi, bila ku
tarakan sekarang kau pun belum tentu mau percaya."
"Baik, baik ...." gumam Bong Thian-gak. "Terpaksa aku
harus menunggu sembilan hari lagi."
Thay-kun menghela napas sedih, kembali dia berkata, "Apa
yang hendak kusampaikan kepadamu, kini telah habis
kuucapkan, nah kau boleh pergi meninggalkan tempat ini!"
"Pergi" Aku harus pergi kemana?"
"Makin jauh semakin baik, pokoknya kau baru boleh
kembali ke kota Kay-hong sembilan hari lagi!"
Bong Thian-gak tertawa bodoh. "Kau pun hendak pergi
bersamaku?"
"Ai, mengapa kau tak pernah menuruti perkataanku?"
keluhnya. "Aku mendapat perintah melindungi keselamatanmu, tak
nanti aku meninggalkan dirimu begini saja."
Tiba-tiba Thay-kun menarik muka, katanya, "Tahukah kau,
Ji-kaucu akan segera menyusul kemari untuk membinasakan
kita berdua?"
Bong Thian-gak tertawa nyaring.
"Mengapa kau begitu takut kepada Ji-kaucu?" serunya.
"Ai, siapa angkuh dia pasti akan kalah, kau terlalu
memandang remeh kemampuan Ji-kaucu," ucap Thay-kun
menghela napas.
"Padahal Ji-kaucu telah datang kemari!" kata Bong Thiangak
dengan suara pelan.
Berubah hebat paras Thay-kun mendengar perkataan itu, ia
mendongakkan kepala dan memandang sekejap sekeliling
tempat itu, angin malam berhembus, kabut menyelimuti
355 permukaan tanah, kecuali suara hembusan angin dan suara
binatang kecil, tak sesosok bayangan orang pun yang nampak.
Bong Thian-gak membalikkan tubuh sembari mengayun
tangan kanan ke depan, serentetan cahaya segera menyebar
di tengah udara seperti deru angin.
Semua cahaya tajam itu meluncur ke arah sebatang pohon
yang terletak tak jauh dari situ.
Pohon itu berada delapan depa jauhnya, siapa pun tak
mengira senjata rahasia yang disambitkan Bong Thian-gak
bisa mencapainya.
Mendengar suara desingan senjata rahasia itu, Thay-kun
berseru tertahan, "Ah! Jarum Lui-hong-sin-hong!"
Setelah menyambitkan senjata rahasia, Bong Thian-gak
pun memperhatikan sinar hitam yang menyusup ke dalam
kegelapan itu, namun yang didapat hanya suasana hening
sepi dan tiada terdengar sedikit suara pun.
Dengan paras muka berubah hebat Bong Thian-gak segera
berbisik lirih, "Sumoay, apakah Lui-hong-sin-hong dari Suhu
dapat disambut dengan tangan kosong?"
"Lui-hong-sin-hong mampu menembus bebatuan
menghancurkan karang, keras dan tajamnya luar biasa, tiada
manusia di dunia ini yang mampu menyambut ancaman, cuma
jarak timpukanmu terlampau jauh.," kata Thay-kun dengan
wajah berubah hebat.
Bong Thian-gak tidak bicara lagi, mendadak dia beranjak
dari tempatnya dan menerjang ke muka.
"Berhenti!" Thay-kun berseru.
Mendengar bentakan itu, Bong Thian-gak segera berhenti,
tanyanya dengan cepat, "Ada apa?"
"Seandainya Ji-kaucu bersembunyi di tempat gelap,
mengapa dia tidak segera muncul" Jelas dia bermaksud
356 memancing kedatanganmu ke situ, kemudian menyergap dan
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melukaimu."
Bong Thian-gak tersenyum.
"Ia telah terluka."
"Siapa?"
"Ji-kaucu."
Baru selesai ia berkata, tampak sesosok bayangan orang
seperti setan saja pelan-pelan berjalan keluar dari tempat
kegelapan. Dia memakai baju model sastrawan berwarna hijau,
berjenggot panjang sedada, menyoreng pedang dan bermata
setajam sembilu, kalau bukan Ji-kaucu siapa lagi dia"
Baik Thay-kun maupun Bong Thian-gak dapat melihat jelas,
lengan kiri Ji-kaucu seakan-akan menggenggam sebuah
benda, namun darah kental bercucuran dari balik sela-sela
telapak tangannya dan membasahi permukaan tanah.
Sepasang mata Bong Thian-gak seolah-olah terkena sihir,
tanpa berkedip dia mengawasi Ji-kaucu maju selangkah demi
selangkah. Walaupun suasana di sekeliling tempat itu sangat hening
dan tiada suara apa pun, namun suasana penuh diliputi
ketegangan dan keseraman yang menggidikkan.
Walaupun semua orang tahu bahwa serangan yang
dilancarkan Ji-kaucu pasti mengerikan dan dahsyat bukan
kepalang, namun mereka tidak gentar menghadapinya,
apalagi setelah menyaksikan Ji-kaucu terluka.
Sementara itu Thay-kun telah menggeser tubuh ke
samping kiri Bong Thian-gak dan bersiap menghadapi segala
kemungkinan yang tak diinginkan.
357 Dalam suasana hening seperti ini, Bong Thian-gak serta
Thay-kun seperti mendengar suara nyamuk yang amat ramai,
suara itu seperti ada seperti tiada, sedemikian lembutnya
hingga tak tertangkap oleh telinga.
Seandainya mereka tidak sedang memusatkan perhatian,
sulit rasanya menangkap suara itu.
Mendadak terdengar Thay-kun menjerit kaget, "Hati-hati
dengan nyamuk!"
Thay-kun segera melontarkan telapak tangan kirinya yang
merah membara itu ke depan, kembali dia telah melancarkan
sebuah pukulan dengan ilmu Soh-li-jian-sin-kang.
Pukulan yang maha dahsyat itu dilontarkan tiga kaki di
depan tubuh Bong Thian-gak, dimana angin pukulan itu
berhembus, beberapa ratus ekor nyamuk segera rontok ke
atas tanah. Tapi gara-gara harus memperhatikan keselamatan Bong
Thian gak, akibatnya Thay-kun sendiri pun kena digigit tiga
ekor nyamuk pada pergelangan tangan kirinya, rasa sakit yang
kemudian timbul boleh dibilang merasuk sampai ke tulang
sumsum. Thay-kun berseru tertahan, tubuhnya berguncang lebih
keras lagi. Pada saat inilah mendadak Ji-kaucu mengayunkan tangan
kiri, segulung cahaya berwarna hitam dengan membawa suara
dengungan suara lebah laksana sambaran petir menyambar ke
tubuh Thay-kun.
Mimpi pun Bong Thian-gak tak mengira Ji-kaucu bisa
menyerang Thay-kun, bahkan menggunakan Lui-hong-sinhong.
Dalam gelisahnya, sambil membentak Bong Thian-gak
mengayun telapak tangan kanannya ke depan.
358 Angin serangan yang dahsyat dan kuat secara tepat
menghajar rontok Lui-hong-sin-hong itu.
Namun Lui-hong-sin-hong merupakan senjata andalan Jianbin-
hu-li Ban Li-biau di masa lalu, kedahsyatannya luar biasa
walaupun angin serangan Bong Thian-gak berhasil menghajar
senjata rahasia itu, bukan berarti senjata itu dapat
dirontokkan seluruhnya.
Dengusan tertahan berkumandang memecah keheningan,
tahu-tahu punggung kanan Thay-kun terkena serangan dan
roboh tidak sadarkan diri.
Rupanya serangan yang digunakan Ji-kaucu untuk
melancarkan serangan itu telah menggunakan teknik yang
tinggi, bersamaan dengan babatan telapak tangan kanan Bong
Thian-gak, Ji-kaucu telah melayang maju.
"Cring", berkumandang suara gemerincing, tahu-tahu Jikaucu
telah melolos pedangnya, digunakan untuk melancarkan
serangan. Kendatipun Bong Thian-gak tahu musuh akan
menggunakan pedang, namun dia tak menyangka terjangan
lawan dilakukan dengan kecepatan luar biasa, bahkan jurus
serangan yang digunakan pun begitu sempurna dan ganas.
Terdengar desingan angin tajam, tahu-tahu lengan kanan
Bong Thian-gak telah mengucurkan darah, sementara
tubuhnya melayang mundur, sedangkan tangan kiri melolos
sebilah pedang emas.
Tapi pedang antik Ji-kaucu seakan sudah puas menjilat
darah dan menyusup kembali ke sarungnya, pedang telah
disarungkan kembali.
Benarkah serangan pedangnya begitu cepat dan dahsyat
sehingga sukar diikuti pandangan mata"
Benar, serangan yang dilancarkan Ji-kaucu memang hanya
sejurus, jarang ada jago lihai dunia persilatan yang berhasil
359 lolos dari ujung pedangnya dalam keadaan selamat, oleh
sebab itulah ia belum pernah melancarkan serangan kedua.
Suara tertawa dingin menyeramkan berkumandang dari
bibir Ji-kaucu Terdengar dia berkata, "Sudah sepuluh tahun lamanya aku
tak pernah melolos pedang, tak nyana kau telah memaksaku
melanggar kebiasaanku, bahkan tidak menemui ajal dalam
satu gebrakan."
"Selama empat puluh tahun ini, kau merupakan jago lihai
pertama yang kujumpai, kau pun pantas menjadi musuhku,
meski akhirnya kau akan mati juga, kau boleh bangga dan
gembira karena kehormatan ini."
Kata-kata ini diucapkan tidak cepat tidak pula lambat,
seperti lagi menghibur seperti juga lagi memuji, bahkan
membawa keangkuhan.
Darah segar telah membasahi lengan kanan Bong Thiangak,
dalam waktu singkat separoh tubuhnya telah basah
kuyup, walaupun mulut lukanya terasa sangat panas dan
sakit, namun dia tak berani bersikap gegabah teledor, segenap
perhatiannya dipusatkan menantikan datangnya serangan
kedua Ji-kaucu.
Saat inilah Bong Thian-gak baru merasakan betapa
menakutkan Ji-kaucu, hingga kini pemuda itu belum juga
mengerti bagaimana cara ia melancarkan serangannya, dia
pun tak tahu bagaimana dirinya bisa terbabat oleh mata
pedang lawan. Ketika menghindar tadi, sudah jelas dia lolos dari mata
pedang itu sejauh setengah kaki, tapi mengapa pula mata
pedang musuh bisa memancar setengah kaki dari arah
serangan" Dengan suara tenang dan lembut kembali Ji-kaucu berkata,
"Ia telah terkena jarum beracun pelumat tulangku, sekarang
360 pun sudah digigit nyamuk bangkai dari wilayah Biau, ditambah
pula terhajar jarum rahasia Sin-hong pada bagian mematikan,
aku rasa meski ada dewa yang turun dari kahyangan pun tidak
bisa menyelamatkan jiwanya. Sedang kau" Tentu saja kau pun
tak bisa hidup lebih lanjut, karena tanpa kau sadari kau pun
telah terkena racun jahat, paling lambat tiga hari kemudian,
racun itu akan bekerja yang mengakibatkan kematian."
"Mengapa kau tak berani melancarkan seranganmu yang
kedua?" jengek Bong Thian-gak sambil tertawa dingin.
Sudah jelas Ji-kaucu hendak melancarkan serangan kedua,
tapi berhubung pertahanan yang dilakukan Bong Thian-gak
sangat ketat, hal itu membuatnya tidak berkesempatan
melakukan penyerangan.
"Kini kau ibarat seorang yang hampir mati," kata Ji-kaucu
dengan lembut. "Mati sekarang atau mati beberapa hari lagi,
apa pula bedanya!"
"Baik, jika kau enggan menyerang, biarlah aku yang
melancarkan serangan lebih dulu."
Begitu selesai berkata, Bong Thian-gak membabatkan
pedangnya bagaikan bianglala, secara beruntun dia
melepaskan tiga buah serangan dahsyat.
Tentu saja ketiga buah serangan itu dilancarkan Bong
Thian-gak dengan jurus serangan yang paling tangguh, begitu
serangan dilepaskan, cahaya tajam segera menyambar.
Di bawah cecaran ketiga jurus serangan itu, dengan enteng
dan cekatan Ji-kaucu menghindarkan diri ke sana kemari.
Sementara itu Bong Thian-gak telah melompat ke sisi Thaykun
setelah melancarkan ketiga buah serangannya itu,
kemudian tangan kanannya menyambar dan memeluk
pinggang Thay-kun, bersamaan itu juga pedang di tangan
kirinya diayunkan ke muka.
361 Sebilah pedang yang lemas tahu-tahu sudah berubah
menjadi tujuh dalam sekali ayunan tangan, seakan-akan tujuh
pisau terbang yang meluncur bersama menyerang Ji-kaucu.
Sedangkan anak muda itu sendiri segera melompat ke
udara dan kabur dari situ.
Dia tak sempat melihat lagi apakah Ji-kaucu berhasil
meloloskan diri dari sergapan mautnya atau tidak, sekarang
dia hanya tahu bagaimana mengerahkan ilmu meringankan
tubuh untuk melarikan diri secepatnya dari situ.
Sudah barang tentu Ji-kaucu dapat melolos diri dari
ancaman ketujuh pisau terbang itu, hanya saja dia tak
melakukan pengejaran.
Sekulum senyuman dingin penuh perasaan bangga
menghiasi wajahnya, kemudian terdengar ia bergumam,
"Tiada seorang pun di dunia ini yang dapat lolos dari ujung
pedangku dalam keadaan selamat, tidak terkecuali dirimu."
Kabut fajar telah menyelimuti angkasa, begitu tebal dan
padat sehingga sulit untuk melihat keadaan di sekitar tempat
itu. Sambil membopong Thay-kun, Bong Thian-gak melakukan
perjalanan dengan amat cepat.
Tiba-tiba ia merasa kepala pening sekali, tenggorokan
kering seperti mau retak, keempat anggota badannya lemas
tak bertenaga. Keadaan ini mengejutkan Bong Thian-gak, diam-diam
pikirnya, "Kalau aku benar sudah terkena serangannya, wah
celaka! Apakah kami berdua harus tewas begini saja."
Ia berhenti untuk memperhatikan sekeliling tempat itu,
mendadak ia mendengar suara ombak memecah pantai,
sayang empat penjuru diselimuti kabut tebal sehingga dia
sendiri pun tak tahu sedang berada dimana.
362 "Mungkin kita berada di tepi sungai," pikir Bong Thian-gak.
Berpikir sampai di situ, mendadak perutnya terasa mual
ingin muntah, sayang tak setitik benda pun yang bisa
dimuntahkan. Mendadak kakinya terasa lemas, Bong Thian-gak bersama
Thay-kun yang berada dalam bopongannya roboh terjengkang
ke atas tanah. Waktu itu Thay-kun telah pingsan, mata terpejam rapat,
wajahnya pucat-pias seperti mayat, sedangkan di bahu
kanannya masih tertancap jarum Hui-hong yang masuk ke
dalam daging, keadaannya mengerikan sekali.
Waktu itu lengan kanannya sudah terkulai lemas,
sementara tangan kirinya merah bengkak.
Menyaksikan semua ini, Bong Thian-gak menghela napas
panjang, kemudian gumamnya, "Tidak enteng luka yang
diderita olehnya, ai ... sedangkan aku sendiri pun tak jauh dari
kematian."
Terbayang akan kematian, hati pemuda ini merasa pilu.
Dia menundukkan kepala memandang sekejap wajah cantik
dalam pelukannya, tanpa terasa dia merasa terhibur juga,
gumamnya sambil tertawa bodoh, "Thian benar-benar suka
mempermainkan umatnya, siapakah yang akan menduga aku
akan mati sambil memeluk gadis tercantik di dunia saat ini,
ah!" "Perubahan yang terjadi dalam alam semesta memang
sukar diduga, sebenarnya dia terhitung musuhku yang boleh
diampuni, tapi kini telah berubah menjadi sahabat karibku
dalam perjalanan pulang ke alam baka, hal ini tak pernah
kubayangkan sebelumnya."
"Perhitungan Ku-lo Sinceng pun amat tepat, entah dia telah
memperhitungkan keadaanku dan Thay-kun belum" Sesudah
kami berdua tiada, Put-gwa-cin-kau pasti akan meraja-rela
363 tanpa seorang pun yang bisa membendung mereka.
Mungkinkah dunia persilatan akan dikuasai orang-orang Putgwa-
cin-kau?" "Mungkinkah berbagai perguruan besar akan musnah di
tangan mereka?"
Menghadapi ajal di depan mata, tak urung berbagai macam
pikiran muncul dalam benaknya, apalagi kesadaran Bong
Thian-gak mulai surut, tak aneh pikirannya tambah kalut.
Tiba-tiba terdengar suara rintihan lirih yang menghentikan
jalan pikiran Bong Thian-gak, cepat dia berpaling.
Tampak Thay-kun sedang mengerahkan tenaga lalu
mengedipkan mata dan membukanya pelan-pelan.
Ketika menyaksikan wajah Bong Thian-gak berada di
hadapannya, sambil tersenyum lantas dia berkata, "Dalam
impian aku seperti dipeluk olehmu, ternyata kau benar-benar
sedang memelukku."
Bong Thian-gak tersenyum.
"Aku yakin kau pasti akan sadar, nyatanya kau benar-benar
sadar!" "Tapi dengan sadarku ini, kemungkinan besar saat
kematianku akan semakin dekat!" ucap Thay-kun sedih. "Aku
sendiri pun tak akan hidup lama."
Thay-kun terkejut oleh perkataan itu, serunya pula, "Kau
pun tak dapat hidup lama?"
"Ya, aku telah terkena serangan Ji-kaucu."
"Kau pun keracunan?"
Sampai di situ si nona telah melihat lengan kanan Bong
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Thian-gak lerluka, buru-buru katanya lagi, "Luka pada
lenganmu amat parah, apakah terluka oleh babatan pedang Jikaucu?"
364 Bong Thian-gak tak menjawab, dia hanya manggutmanggut.
Dengan sedih Thay-kun menghela napas panjang, "Pedang
Ji-kaucu amat lihai, konon sudah direndam racun yang amat
jahat, kalau begitu kau benar-benar telah terkena racun."
Bong Thian-gak tertawa getir.
"Memang sepantasnya kita mati bersama!"
"Kau tak boleh mati, kau pasti tak akan mati."
"Jika Thian menyuruh kita berpulang, siapa mampu
menolak?" "Mari kita pergi mencari seseorang."
"Tapi aku sudah tidak mampu bergerak lagi." Thay-kun
menghela napas sedih.
"Ai, kalau begitu, terpaksa kita berdua harus menunggu
kematian di sini."
"Coba tunggu sebentar, bila aku telah bertenaga lagi
barulah kita lanjutkan perjalanan."
Mendadak Thay-kun memejamkan mata, lalu berkata
lembut, "Hingga sekarang aku belum mengetahui namamu
yang sesungguhnya serta raut wajah aslimu."
"Buat apa kau menanyakan hal ini?"
Thay-kun tertunduk malu, bisiknya manja, "Sejak
dilahirkan, belum pernah aku dipeluk orang seperti ini."
"Ah!" Bong Thian-gak berseru tertahan. "Tapi aku tak
bermaksud mencari keuntungan dengan cara ini."
"Masih ingat malam itu ...." bisik Thay-kun lirih, ia tak
melanjutkan kata-katanya.
365 Walau begitu Bong Thian-gak telah mengetahui apa
gerangan yang dimaksud, buru-buru dia berkata, "Tapi aku
tidak bermaksud mengintipmu."
"Sudahlah! Sekarang aku sudah hampir mati, bersediakah
kau memberitahukan nama aslimu kepadaku?"
Bong Thian-gak menghela napas panjang.
"Tentu saja bersedia, aku she Bong bernama Thian-gak."
"Ah! Kalau begitu kau adalah murid keempat Thi-ciang-kankun-
hoan Oh Ciong-hu!"
"Aku telah dikeluarkan dari perguruan," bisik pemuda itu
sedih. "Aku bisa memahami nasib tragis yang menimpa dirimu,
kau ingin mempertahankan nama baik Oh Ciong-hu dengan
cara begini, aku yakin arwah Oh-bengcu di alam baka tentu
sudah tahu akan hal ini dan bersedia menerimamu kembali
sebagai anggota perguruannya."
"Darimana kau bisa tahu tentang pengalaman tragis yang
menimpa diriku?" tanya Bong Thian-gak terkejut dan
keheranan. Thay-kun tertawa, "Tahukah kau siapakah Go-kaucu Putgwa-
cin-kau yang menyelinap dalam gedung Bu-lim Bengcu"
Dia tak lain adalah istri Oh Ciong-hu, Pek Yan-ling adanya!"
Bong Thian-gak tidak mengira Go-kaucu adalah ibu
gurunya sendiri, darah yang menggelora dalam dada Bong
Thian-gak serasa mendidih, sambil menggigit bibir, katanya,
"Sampai sekarang wanita cabul itu belum juga menyesal, bila
aku masih dapat hidup, akan kucincang tubuhnya hingga
hancur berkeping-keping."
"Masih ada satu hal perlu aku beritahukan kepadamu, kau
anggap Siau Cu-beng sudah mati?"
366 Mencorong sinar tajam dari balik mata Bong Thian-gak,
serunya dengan cepat, "Siau Cu-beng! Sam-suhengku Siau
Cu-beng?" "Kalau bukan dia, siapa lagi?"
Mendengar ucapan itu, hati Bong Thian-gak bergetar keras,
dari nada bicara Thay-kun, agaknya ia benar-benar
mengetahui amat jelas kejadian lama yang pernah
menimpanya bersama semua aib yang telah menimpa
perguruannya. Mungkinkah Sam-suhengnya Siau Cu-beng yang terjatuh ke
dalam jurang benar-benar belum mati" Tapi dimanakah dia
sekarang" Berpikir sampai di situ, sorot matanya segera dialihkan ke
arah Thay-kun. "Walaupun Siau Cu-beng telah terhajar hingga tercebur ke
jurang oleh pukulanmu, sesungguhnya dia tak mati," kata
Thay-kun pula. "Ia benar-benar belum mati?"
"Buat apa aku membohongi dirimu!"
"Lantas dimanakah Siau Cu-beng sekarang?"
"Sewaktu jatuh ke dalam jurang tempo hari, sesungguhnya
Siau Cu-beng sudah sekarat dan tinggal menunggu ajal saja,
pada saat itulah muncul seorang bintang penolong yang telah
menyelamatkan jiwanya."
"Siapakah bintang penolongnya?"
"Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau! Bukan saja ia telah
menyelamatkan jiwanya, bahkan dalam tujuh tahun yang
singkat, ia telah mewariskan ilmu silat yang maha dahsyat
kepadanya."
367 "Ah!" Bong Thian-gak menjerit kaget, "kalau begitu Siau
Cu-beng adalah...."
"Komandan nomor dua pasukan pengawal tanpa tanding
Put-gwa-cin-kau atau tepatnya orang berkerudung jubah
hitam itu."
Mendadak Bong Thian-gak berteriak, "Aku tak boleh mati,
aku harus hidup lebih lanjut, aku tak dapat membiarkan Siau
Cu-beng segar-bugar di dunia ini."
Entah darimana datangnya kekuatan, dengan cepat dia
merangkul kembali tubuh Thay-kun dengan lengan kirinya,
kemudian bertanya, "Kita harus berjalan menuju ke arah
mana?" "Ke kota Lok-yang!"
"Itu berarti dua perjalanan," seru Bong Thian-gak dengan
tertegun. Thay-kun segera mengangguk.
"Ya, tempat ini adalah Tio-ko, bila menempuh perjalanan
sejauh satu li lagi kita akan sampai di kota, kemudian dari situ
kita dapat menumpang kereta menuju ke kota Lok-yang."
0oo0 Fajar baru saja menyingsing, sang surya memancarkan
cahaya keemas-emasannya dari ufuk timur, di hadapan
mereka terbentang sebuah sungai.
Sambil merangkul Thay-kun, selangkah demi selangkah
pelan-pelan Bong Thian-gak bergerak menuju ke depan sana,
tanyanya, "Ke Lok-yang kita harus mencari siapa?"
"Seorang tabib kenamaan yang mengasingkan diri di bawah
bukit Cui-im-hong, asalkan dia bersedia mengobati luka kita,
betapa pun parahnya luka yang kita derita, sudah pasti dia
bisa menyelamatkan jiwa kita dari ancaman bahaya."
"Seandainya dia menampik?" tanya Bong Thian-gak dengan
rasa kuatir. 368 Thay-kun tersenyum.
"Dia tak akan menampik permintaan kita!"
Dari nadanya, tampaknya gadis itu telah lama mengenal
tabib sakti itu, maka perasaannya menjadi tenang kembali.
Yang dikuatirkan olehnya sekarang adalah seandainya dia
serta Thay-kun tak bisa bertahan sampai kota Lok-yang.
Mendadak Thay-kun berseru tertahan, lalu melanjutkan,
"Bong-suko, di pinggangku terdapat sebuah botol kecil, tolong
ambilkan!"
"Botol" Buat apa botol itu?" Bong Thian-gak tertegun.
"Di dalam botol terdapat lima butir Tok-liong-wan, pil itu
berkhasiat melenyapkan berbagai macam pengaruh racun, bila
orang menelan sebutir, dalam tiga tahun dia tak usah takut
terrhadap serangan hawa racun, bahkan bisa menguatkan isi
perut." Mendengar ucapannya itu, Bong Thian-gak menurut dan
segera merogoh pinggangnya
Benar juga di sana terdapat sebuah botol kecil berwarna
putih, sambil mengambil keluar benda itu, tanyanya, "Botol
kecil inikah yang kau butuhkan?"
"Benar, bukalah tutup botol itu dan ambillah sebutir,
langsung telan ke dalam mulut."
Pelan-pelan Bong Thian-gak membuka tutup botol itu dan
mengeluarkan sebutir pil sebesar kacang kedelai, terendus
bau harum semerbak.
Tanpa terasa dia membuka mulut dan menelan sebutir,
rasanya memang agak getir namun seketika itu juga
semangatnya terasa segar kembali.
"Ehm, obat bagus, obat bagus, ai, mengapa kau tidak
menelan sebutir?"
369 Thay-kun menghela napas sedih, "Seandainya aku tidak
menelan sebutir Tok-liong-wan lebih dulu, mungkin sejak tadi
nyawaku sudah melayang meninggalkan raga kasarku!"
"Benar, konon ilmu beracun Ji-kaucu tiada taranya di dunia
ini, sedangkan Thay-kun telah terkena beberapa racun jahat
sekaligus, nyatanya dia masih dapat hidup hingga sekarang,
nampaknya kita masih ada kesempatan untuk hidup."
Berpikir sampai di sini, tanpa terasa ia telah menunjukkan
wajah berseri. Terdengar Thay-kun berkata lagi, "Tok-liong-wan ini
merupakan hadiah tabib sakti yang hidup mengasingkan diri di
bawah puncak Cui-ini-hong di luar kota Lok-yang, tiga tahun
berselang ia menghadiahkan enam butir pil itu untukku."
"Menurut dia sendiri, pil ini dibuat dengan susah-payah,
bukan saja harus dimasak selama tiga tahun, juga cuma
dibuat delapan belas bulir saja, itulah sebabnya Tok-liong-wan
ini tak ternilai harganya."
"Ai, ternyata ucapan itu memang benar, Tok-liong-wan
telah menyelamatkan jiwa kita."
"Walaupun Tok-liong-wan memiliki khasiat luar biasa,
namun ilmu beracun Ji-kaucu bukan sembarang orang bisa
menandinginya, oleh karena itu lebih baik kita secepatnya
berangkat menuju ke kota Lok-yang."
Sejak menelan Tok-liong-wan, lambat-laun Bong Thian-gak
merasa betapa segar dan nyamannya sekujur tubuhnya, tidak
seperti tadi perutnya selalu mual dan ingin muntah saja,
penderitaannya bukan alang-kepalang.
"Ai! Sesampainya di kota Lok-yang nanti, aku harus
berterima kasih kepada tabib sakti itu!"
"Tabib itu berwatak aneh dan suka menyendiri," Thay-kun
menerangkan. "Sesampainya di sana nanti kau mesti menuruti
370 semua perkataanku, aku kuatir bila dia menampik mengobati
lukamu." Mendengar ucapan itu, Bong Thian-gak tertawa.
"Asal kau dapat sampai di situ dengan selamat, soal matihidupku
bukan masalah yang terlalu penting."
"Kalau harus mati, kita mati bersama," bisik Thay-kun
pelan. Sekali pun ucapan itu sangat sederhana dan tiada sesuatu
yang luar biasa, namun jauh melebihi beribu-ribu kata lain,
karena dari ucapan itu dia telah mengemukakan seluruh
perasaan hatinya yang sebenarnya.
Rupanya ucapan itu diutarakan ketika Bong Thian-gak
masih berada di dusun petani, ketika mendengar perkataan itu
diutarakan, hatinya tergetar, dia tak tahu haruskah merasa
girang atau sedih ataukah murung"
Sekali pun sedang bermimpi, Bong Thian-gak juga tak
berani menyangka gadis cantik jelita ini menaruh perasaan
kepadanya. Tapi sekarang sudah jelas kalau dia telah mengutarakan
perasaan hatinya itu.
Dia nampak begitu cantik, siapakah lelaki di dunia ini yang
tak jatuh hati kepadanya, tidak ingin mempersunting dan
menjadikannya istri tercinta"
Justru karena dia kelewat cantik maka Bong Thian-gak
berani mengutarakan perasaannya itu, dia tak tahu haruskah
murung, sedih atau takut.
Akhirnya Bong Thian-gak dan Thay-kun menyewa sebuah
kereta di kota Tio-ko untuk melanjutkan perjalanannya
menuju ke kota Lok-yang.
Sebenarnya Bong Thian-gak ingin duduk bersama kusir di
depan, tapi berhubung Thay-kun takut jejak mereka ketahuan
371 lawan, terpaksa kedua orang itu harus menumpang kereta
bersama-sama. Dengan demikian benih cinta yang baru ditanam di hati
mereka berdua pun dengan cepat bersemi dan tumbuh
menjadi besar. Mungkin inilah suratan takdir yang telah menentukan jodoh
mereka. Sejak Bong Thian-gak menelan Tok-liong-wan, keadaannya
boleh dibilang mirip orang biasa, sama sekali tidak
menunjukkan gejala keracunan, bahkan luka di lengan
kanannya juga tidak menunjukkan gejala merah atau
bengkak. Thay-kun sendiri pun kelihatan amat jernih pikirannya,
namun sepasang lengannya sudah tidak mau menurut
perintahnya lagi, tak ubahnya seperti orang cacat.
Kereta berlari kencang di atas jalan berbatu, guncangan di
dalam kereta terasa amat kencang dan keras, membuat Thaykun
yang duduk di sebelah kanan hampir saja jatuh
terjengkang. Untung Bong Thian-gak bergerak cepat dengan menyambar
pinggang kirinya, lalu membiarkan dia bersandar di pinggang
sendiri. Tiba-tiba Thay-kun berkata sambil tertawa manja, "Suheng,
seandainya sepasang tanganku benar-benar cacat, apakah
kau masih letap mencintai diriku?"
"Sekali pun kau telah berubah menjadi abu pun, aku akan
tetap mencintai dirimu," sahut Bong Thian-gak tanpa pikir
panjang. "Benarkah itu?"
"Selamanya aku tak pernah berbohong, terutama di
hadapan gadis, aku lebih-lebih tak ingin membohonginya."
372
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba Thay-kun menghela napas panjang seraya
berkata lembut, "Suheng, aku pernah membunuh banyak
orang, dalam agama Buddha dikatakan, 'siapa menanam
kejahatan, dia akan mendapat balasan yang setimpal'.
Sekarang aku benar-benar kuatir, bila suatu ketika aku tewas
dalam keadaan yang mengenaskan."
Bong Thian-gak turut menghela napas pula.
"Tiada manusia di dunia ini yang lolos dari kesalahan, orang
yang tahu salah dan mau bertobat itulah tindakan kebajikan
yang sejati! Bila sejak dulu kau telah memutuskan untuk
meninggalkan Put-gwa-cin-kau, mungkin akan banyak dosa
dan siksaan yang bisa dihindari."
Mata Thay-kun berkaca-kaca menahan linangan air mata.
"Mengapa aku tak dapat melupakan Put-gwa-cin-kau"
Karena perkumpulan ini ada sangkut-pautnya dengan asalusulku."
"Asal-usulmu?"
"Hingga sekarang aku belum dapat membuktikan Congkaucu
Put-gwa-cin-kau adalah ibu kandungku atau bukan."
'Seandainya dia benar-benar adalah ibumu?" tanya Bong
Thian-gak dengan perasaan tergetar.
"Semoga saja dia bukan ibuku, seandainya dia adalah
ibuku, tak nanti dia menurunkan perintah kepada Ji-kaucu
untuk membunuhku."
"Sumoay, karena ingin membuktikan hal itu maka kau
ragu." "Sejak kecil aku sudah dibesarkan dalam lingkungan
demikian, lagi pula dalam benakku sudah tertanam bahwa
Cong-kaucu adalah ibu kandungku, bayangkan saja,
bagaimana mungkin aku dapat lolos dari samudra penderitaan
begitu saja?"
373 Mendengar perkataan itu, diam-diam Bong Thian-gak
menghela napas panjang, pikirnya, "Aku tak boleh
menyalahkan dia, setiap orang bila sedang dalam keadaan
begini, dia pun akan terperosok lebih jauh, hari ini dia bisa
meloloskan diri dari pengaruh Put-gwa-cin-kau pun sudah
merupakan sesuatu yang luar biasa."
Seseorang bila sedang dalam tekanan dan ancaman, walau
ingin melawan dan meloloskan diri dari keadaan itu, maka
dibutuhkan keberanian yang sangat besar.
Biasanya keberanian semacam ini tak dimiliki setiap orang.
0oo0 Cui-im-hong merupakan nama sebuah bukit yang terletak
di luar kota Lok-yang sebelah utara, di depan bukit itu
terdapat sebuah sungai yang berhubungan dengan sungai
Lok-sui, di balik bukit merupakan rangkaian gunung berlapislapis
dan sambung-menyambung tiada ujungnya.
Menyusuri tepi sungai terbentang sebuah jalan raya yang
amat lebar, semakin ke arah bukit semakin sedikit pula
manusia berlalu lalang di sana.
Di tengah keheningan malam yang mencekam jagad, tibatiba
terdengar suara roda kereta yang bergema di jalan raya,
lalu muncul sebuah kereta mendekati tempat itu. Akhirnya
kereta ini berhenti di sebuah rumah.
Bangunan itu meliputi suatu daerah yang sangat luas,
empat penjuru sekeliling tempat itu penuh ditumbuhi aneka
macam bunga yang beraneka warna, dari kejauhan pun
sudah. dapat terendus bau harum bunga yang semerbak.
Setelah berhenti sejenak, dari balik kereta kemudian
berjalan keluar seorang sastrawan pincang, dalam
bopongannya menggelendot seorang gadis cantik yang
lumpuh sepasang lengannya.
374 Dari sakunya Bong Thian-gak mengeluarkan sekeping uang
perak untuk membayar ongkos kereta, kemudian dia
mengangkat kepala dan memandang sekejap bangunan itu,
katanya pelan, "Tampaknya orang sudah tidur."
Thay-kun ikut mengangkat kepala memandang keadaan
cuaca, kemudian menyahut, "Sekarang tak lebih kentongan
pertama." Bicara sampai di situ, tiba-tiba firasat jelek melintas di
benaknya. Ternyata suasana di dalam bangunan besar di kaki bukit ini
gelap gulita, tiada cahaya lentera, tiada suara manusia,
keadaan tak jauh berbeda dengan kota mati.
Sementara itu kereta sudah pergi jauh, di bawah kaki bukit
tinggal mereka berdua saja.
Mendadak paras muka Bong Thian-gak berubah hebat,
bisiknya, "Ada orang datang."
Tampak tiga bayangan orang muncul di situ, mereka bukan
keluar dari balik pintu gerbang, melainkan melompat turun
dari atas atap iimiah, dalam dua kali lompatan saja mereka
sudah melayang turun di hadapan Bong Thian-gak.
Ketiga orang itu terdiri dari dua orang lelaki berperawakan
tinggi besar dan seorang berkerudung berbaju hitam.
Berhadapan dengan orang berkerudung berbaju hitam itu,
kontan mencorong sinar berapi-api dari balik mata Bong
Thian-gak. Sedangkan paras Thay-kun juga berubah hebat, tanyanya
dengan suara gemetar, "Berapa orang di antara kalian yang
telah datang?"
Orang berkerudung berbaju hitam itu tertawa dingin.
375 "Racun yang dilepaskan Ji-kaucu mungkin saja kehilangan
kehebatannya di tubuh kalian berdua, namun perhitunganku
tak akan pernah meleset."
"Jit-kaucu, apabila kau tahu diri, ikutlah aku pulang, siapa
tahu Cong-kaucu akan meninggalkan sebuah jalan kehidupan
bagimu!" Sementara itu berbagai pikiran telah berkecamuk dalam
benak Bong Thian-gak, dia lantas berpikir, "Sanggupkah aku
seorang melawan mereka bertiga?"
Seandainya dalam keadaan biasa, Bong Thian-gak percaya
masih sanggup bertarung melawan ketiga orang itu,
seandainya kalah, ia masih sanggup melarikan diri.
Tapi sekarang dia menyadari tak mempunyai kekuatan
seperti itu. "Gi Jian-cau berada di dalam," sahut orang berkerudung
berbaju hitam hambar.
"Kau telah melukainya?"
"Dia pernah menyelamatkan jiwaku, dia masih terhitung
tuan penolongku sendiri, karenanya aku tak mungkin berbuat
demikian, kau pun tak usah berbuat demikian."
Mendengar ucapan itu, Thay-kun menghela napas panjang,
"Ai, kenapa aku tak pernah berpikir kau pun pernah menjadi
tamu di rumah kediaman tabib sakti Gi Jian-cau."
Orang berkerudung tertawa dingin, "Betul, ilmu pertabiban
G i Jian-cau memang luar biasa, terutama kemampuannya
membuat obat, boleh dibilang tiada duanya di dunia ini dan
hal ini rasanya hanya diketahui oleh Cong-kaucu, kau dan aku
bertiga saja."
"Tapi sekarang telah bertambah banyak orang yang
mengetahui rahasia ini."
376 Mencorong sinar tajam dari bilik mata orang berbaju hitam
itu, ujarnya kemudian sambil tertawa, "Apakah malam ini
kalian masih ingin meninggalkan tempat ini dalam keadaan
hidup?" Mendadak Bong Thian-gak berseru, "Siau Cu-beng, aku
hendak membunuhmu!"
Tergetar keras perasaan orang berbaju hitam itu setelah
namanya disebut Bong Thian-gak, kemudian setelah tertawa
dingin, serunya, "Sungguh tak kusangka Jit-kaucu telah
mengingkari sumpah sendiri dengan membocorkan rahasia
terbesar partai kita, kalau begitu dosa dan kesalahan Jit-kaucu
sudah tak bisa dimaafkan lagi!"
Ternyata rahasia terbesar Put-gwa-cin-kau adalah
menghilangkan nama asli tokoh-tokohnya dengan mengganti
namanya memakai urutan nomor, itulah sebabnya hingga kini
orang-orang yang berkumpul dalam Put-gwa-cin-kau sebagai
pemimpin jarang diketahui asal-usulnya oleh orang lain,
bahkan dianggap misterius sekali.
Perbuatan pertama yang harus dilakukan setiap orang yang
bergabung dengan Put-gwa-cin-kau adalah bersumpah untuk
tidak membocorkan rahasia tokoh-tokoh dalam perkumpulan
itu, barang siapa berani melanggar sumpah itu, maka dosanya
tidak terampuni lagi, malah bisa dijatuhi siksaan yang paling
keji. Thay-kun sendiri pun terperanjat sekali mendengar Bong
Thian-gak menyebutkan nama Siau Cu-beng, serunya pula,
"Suheng, kau ... kau tidak boleh ...."
Mendengar seruan itu Bong Thian-gak amat terperanjat, ia
tahu gadis itu melarang dirinya mengungkap asal-usulnya
yang sebenarnya.
Akan tetapi gerak-gerik mereka ini semakin mencurigakan
Siau Cu-beng, dia segera berpikir, "Siapakah dia" Bukankah
dia adalah Ko Hong?"
377 Berpikir demikian, orang berkerudung kemudian berkata,
"Pandai amat saudara menyaru, sebenarnya siapakah dirimu?"
"Ko Hong!" jawab Bong Thian-gak hambar.
"Kau bukan Ko Hong!" bentak orang berkerudung. "Hm!
Aku mempunyai cara untuk mengetahui asal-usulmu yang
sebenarnya!"
Begitu selesai berkata, dia lantas mengulap tangan kirinya,
kedua orang yang berdiri di sisinya serentak maju dengan
langkah lebar. Kepandaian silat pasukan berbaju perlente pengawal tanpa
tanding telah dilihat dan dicoba oleh Bong Thian-gak beberapa
hari lalu, di saat mereka menyerbu ke dalam gedung Bu-lim
Bengcu tempo hari.
Waktu itu Goan-ko Taysu dari Siau-lim-si serta Wan-pitkim-
to (Golok emas berlengan monyet) Ang Thong-lam dari
Tiam-jong-pay melakukan pertarungan sengit melawan
mereka, hal ini menunjukkan betapa hebatnya ilmu mereka.
Pada hari biasa tentu Bong Thian-gak tak takut terhadap
mereka, namun berbeda sekarang ini.
Dia sendiri telah keracunan hebat, walaupun telah menelan
Tok-liong-wan yang bisa mencegah beredarnya racun
menyerang isi perut, hingga pikirannya tetap jernih dan tak
ubahnya seperti keadaan sehat.
Padahal Bong Thian-gak sendiri tahu lengan kanannya yang
terluka bacokan masih terasa linu dan kaku, tenaganya sama
sekali tak mampu dikerahkan ke situ.
Tapi menghadapi musuh yang semakin mendesak, dia pun
sadar, bila musuh tak segera dibinasakan, akibatnya tak bisa
dibayangkan. Ingatan itu melintas di benaknya, Bong Thian-gak segera
meraung gusar, telapak tangan kiri diayun ke depan dan
378 langkah kakinya bergeser berulang kali, kemudian melepaskan
sebuah bacokan maut ke depan.
Dimana serangannya dilancarkan seakan-akan sama sekali
tak bertenaga, karena tak terdengar sedikit suara pun.
Padahal siapa menduga dalam serangan ini Bong Thian-gak
telah mengerahkan segenap kekuatannya.
Tiba-tiba saja terdengar dua kali jeritan ngeri yang
memilukan hati berkumandang memecah keheningan.
Dua orang pengawal tanpa tanding yang maju ke muka
berhenti di tengah jalan, tiba-tiba badannya berubah seperti
tak bertulang, dengan lemas dan tak bertenaga mereka roboh
terduduk ke tanah.
Namun setelah terduduk, mereka pun tak pernah
merangkak bangun kembali.
Seluruh tulang mereka telah terhajar hancur oleh tenaga
maha dahsyat itu, bagaimana mungkin mereka bisa
merangkak bangun" Mereka tewas seketika, tewas tanpa
penderitaan sedikit pun. Bong Thian-gak sendiri sempoyongan
setelah melancarkan dua buah serangan itu, matanya
berkunang-kunang dan kepala amat pening, hampir saja ia
roboh tak sadarkan diri, dadanya menjadi sesak dan tak
mampu bernapas.
Sungguh suatu penderitaan yang hebat, dia sampai
terbungkuk-bungkuk dibuatnya.
Jit-kaucu Thay-kun menjerit keras, "Ke ... kenapa kau?"
Dengan susah payah dia menggeser tubuh mendekati Bong
Thian-gak, sementara air mata bercucuran membasahi
wajahnya yang cantik.
Kulit Bong Thian-gak mengencang keras, lalu serunya
dengan suara gemetar, "Kau ... kau mundurlah ke sisiku, aku
... aku ... aku sudah tak sanggup mempertahankan diri lagi...."
379 Dalam pada itu orang berkerudung sudah dibuat terpukau
dan terkesiap oleh kedahsyatan serangan Bong Thian-gak
yang berhasil membunuh kedua anak buahnya dalam sekali
pukulan. Dia berdiri tak berkutik, sementara sepasang matanya
mengawasi kedua sosok mayat yang tergeletak lemas di tanah
tanpa berkedip.
Dia pernah terhajar oleh serangan Bong Thian-gak, dia
pernah menyaksikan pula Liok-kaucu terkena pukulannya
hingga jatuh dari lengah udara dan sekarang dia menyaksikan
pula bagaimana musuh membinasakan kedua pengawal tanpa
tanding yang berilmu tinggi dalam sekali gebrakan saja.
Tenaga pukulan yang begitu dahsyat dan mengerikan
ini membuat hatinya terkesiap.
Mendadak ia menyaksikan penderitaan yang dialami Bong
Thian-gak, segera pikirnya dalam hati, "Mungkin dia pura-pura
kesakitan untuk memancing keteledoranku, lalu secara tibatiba
melancarkan serangan mematikan?"
Oleh karena bersangsi, maka untuk beberapa saat orang itu
tak berani berkutik, dia hanya berdiri diam.
Thay-kun yang berada di sisinya dapat membaca suara hati
orang berkerudung itu, ia memang kuatir orang itu benarbenar
melancarkan serangan pada saat demikian.
Maka sambil tertawa dingin jengeknya, "Siau Cu-beng,
mengapa kau tidak melancarkan seranganmu?"
Orang berkerudung tertawa dingin, "Jit-kaucu, berani amat
kau menyebut namaku secara langsung?"
"Mengapa tidak" Sekarang aku sudah mengundurkan diri
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari Put-gwa-cin-kau, sejak kini semua perbuatan terkutuk dan
memalukan yang dilakukan orang-orang Put-gwa-cin-kau akan
segera terbeber di Bu-lim
380 Belum selesai dia berkata, segulung angin berhembus
membawa segulung bau harum yang aneh, bau harum mirip
bau harum bunga anggrek, tapi seperti juga aroma tertentu.
Bau harum itu datangnya sedikit aneh, seolah-olah
disebarkan dari angkasa hingga permukaan bumi dipenuhi bau
harum itu. Bong Thian-gak yang sedang duduk bersila di atas tanah
pun ikut menghirup bau itu, hanya saja ia tak menaruh
perhatian. Berbeda dengan Thay-kun, paras mukanya segera berubah
pucat-pias seperti mayat, sekujur tubuhnya gemetar keras,
sementara dari balik matanya memancar rasa kaget, seluruh
wajahnya diliputi perasaan ngeri.
Siau Cu-beng segera menunjukkan reaksi yang berlawanan,
dari balik sorot matanya segera memancar perasaan girang,
bangga dan lega.
Pada saat itulah dari tengah kebun bunga tabib sakti Gi
Jian-cau telah bertambah dengan sebuah tandu. Tandu yang
luar biasa besarnya.
Di kedua sisi tandu berdiri dua baris orang, ada lelaki ada
pula perempuan, mereka berjumlah dua puluh empat orang,
tapi berhubung jaraknya kelewat jauh, apalagi suasana di
sekitar tempat itu gelap-gulita, sulit baginya untuk melihat
dengan jelas. Padahal Thay-kun dan Siau Cu-beng tak perlu memeriksa
lagi juga sudah tahu siapa gerangan yang akan muncul.
Bong Thian-gak mendongakkan kepala, dia pun melihat
bayangan tandu besar serta bayangan orang itu.
Dengan perasaan bergetar, keluhnya dalam hati,
"Mungkinkah dia?"
"Siapakah dia?"
381 Tentu saja yang dimaksud adalah Cong-kaucu Put-gwa-cinkau.
Suasana sekeliling tempat itu sunyi-senyap, sedemikian
heningnya sampai-sampai suara Thay-kun yang gemetar keras
dapat terdengar dengan jelas.
Pada saat inilah Thay-kun menyadari nasibnya, betapa
gawai situasi yang sedang dihadapinya sekarang.
Kematian bukan sesuatu yang menakutkan, yang patut
disedihkan adalah Bong Thian-gak bakal mati pula bersama
dia. Mendadak terdengar suara lembut dan halus
berkumandang memecah keheningan.
"Kun-ji, setelah bertemu diriku, mengapa kau malah
ketakutan setengah mati?"
Suara lembut itu berasal dari balik tandu, besar di hadapan
mereka, bukan saja suaranya lembut bahkan sangat jelas,
seakan-akan sedang berbicara berhadapan.
Thay-kun yang dipanggil menggigit bibir, dengan suara
penuh kebimbangan dia berkata, "Apa yang hendak kau
lakukan, silakan saja dilaksanakan atas diriku, bagiku
kematian bukan sesuatu yang terlalu menakutkan, dua puluh
tahun lagi aku akan muncul kembali sebagai manusia...."
"Murid murtad!" tiba-tiba Siau Cu-beng membentak.
"Berani kau bicara seperti itu terhadap Cong-kaucu."
Sementara itu suara lembut dan merdu kembali
berkumandang, "Kun-ji, kau benar-benar seorang yang lupa
budi, sia-sia aku mendidik dan merawatmu selama dua puluh
tahun, ai ... perbuatanmu membuat hatiku pedih."
Mendadak Thay-kun mendongakkan kepala sambil tertawa
terkekeh-kekeh, suaranya penuh dengan kepedihan dan
penderitaan. 382 Selesai tertawa, dengan suara dingin ucapnya, "Dua puluh
tahun belakangan ini, sudah amat besar pengorbanan yang
Thay-kun perbuat untuk membayar budi kebaikanmu itu.
Thay-kun merasa sudah tidak berhutang budi lagi kepadamu,
sekarang satu-satunya persoalan yang membuatku tak dapat
melupakan adalah asal-usulku ... mungkinkah aku adalah
putrimu?" Hingga sekarang Thay-kun masih belum tahu nama
marganya, seingatnya dia sudah di sisi Cong-kaucu sejak kecil,
tapi dia tahu bahwa dirinya pasti bukan putri perempuan itu.
Kendati dia tahu, Thay-kun masih tetap bingung dan kuatir.
Tampaknya Cong-kaucu enggan menjelaskan pertanyaan
itu, sampai lama sekali belum terdengar juga jawabannya.
Dalam pada itu Bong Thian-gak telah bangkit, sambil
menepuk bahunya dengan tangan kiri, dia berbisik lirih,
"Sumoay, segala sesuatunya Thian yang menentukan,
kematian bukan sesuatu yang mengerikan, aku gembira sekali
dapat mati bersamamu."
Sekujur badan Thay-kun gemetar keras, bisiknya kemudian,
"Suheng, kau tak boleh mati begitu saja, kau harus membalas
dendam, balas dendam bagiku, kau pun harus membalas
dendam bagi mereka yang telah dibunuh oleh orang-orang
Put-gwa-cin-kau."
Bong Thian-gak tertawa pedih.
"Nasib kita terlalu tragis, terlalu mengenaskan ...."
"Kau kan bisa melarikan diri."
"Dengan kondisi sekarang, mustahil! Aku dapat melarikan
diri cuma sejauh tujuh langkah!"
Tiba-tiba Thay-kun berbisik lirih, "Di dalam sakuku masih
terdapat empat buah butir Tok-liong-wan, pil itu memang
sengaja aku sediakan untukmu. Cepat ambil dari dalam
383 sakuku dan telanlah keempat butir itu sekaligus, siapa tahu
setelah menelan keempat butir pil itu, kau akan mati seketika,
tapi kemungkinan juga akan membangkitkan kekuatan dan
hawa murni dalam tubuhmu."
"Aku tahu, meskipun demikian sungguh berbahaya sekali,
namun kita harus mencobanya."
"Andaikan nasib kita kurang beruntung sehingga setelah
menelan Tok-liong-wan ini kau mati, aku pun akan segera
menggigit lidahku untuk bunuh diri, aku dapat mati di sisimu.
Bila kau beruntung tidak mati, maka kau dapat berusaha
menerjang keluar dari kepungan ini, sedangkan aku akan
berusaha keras melanjutkan hidup, apabila masih ada
harapan, tak nanti kau membiarkan aku begitu saja."
Mendengar ucapan itu, ibarat orang di tengah gurun yang
tiba-tiba menemukan air, walaupun harapan itu sedikit sekali,
namun Bong Thian-gak dapat merasakan betapa besarnya
harapan itu. Perkataan Thay-kun sudah cukup jelas, seandainya dia
tidak berbuat demikian, berarti dia mempunyai satu jalan
untuk mati. Atau dengan perkataan lain, persoalan sudah
gawat, tiada pilihan lain lagi.
Maka Bong Thian-gak segera menggeser tangan kirinya ke
arah pinggang Thay-kun, kemudian merogoh ke dalam
sakunya dan mengambil keluar botol obat itu.
Dia tidak ragu-ragu lagi, dengan cepat tutup botol dibuka,
lalu hendak menuang seluruh isi botol ke dalam mulutnya.
Belum selesai dia mengerjakan hal itu, tiba-tiba terdengar
Cong-kaucu berseru, "Wakil komandan Siau, bunuh dulu yang
pria, sedangkan Jit-kaucu akan kuhukum sendiri."
Siau Cu-beng bermata jeli, dapat melihat perbuatan Bong
Thian-gak, secepat kilat dia melolos pedang pendeknya,
kemudian secepat sambaran kilat membacok ke depan.
384 Ilmu silat Siau Cu-beng sudah pernah disaksikan Bong
Thian-gak beberapa hari berselang, dia pun tahu jurus
pedangnya sangat aneh, ganas dan cepat.
Bahkan beberapa hari yang lalu, karena bersikap kurang
waspada, Bong Thian-gak telah merasakan tusukan pedang
Siau Cu-beng, apalagi sekarang tangan kirinya sedang meraih
obat untuk ditelan, sedang serangan musuh sudah meluncur
tiba. Siau Cu-beng memang tak malu disebut seorang berakal
busuk, dalam melancarkan sergapannya ini, pedang yang satu
menyerang Thay-kun, pedang yang lain menyapu tubuh
bagian tengah Bong Thian-gak, sekaligus menutup jalan
mundurnya. Sebenarnya Bong Thian-gak masih dapat melompat
mundur menghindar, tetapi dengan demikian Thay-kun pasti
akan termakan tusukan pedang itu.
Dalam keadaan gelisah dan cemas, Bong Thian-gak sama
sekali tidak menyadari tusukan musuh terhadap Thay-kun
hanya serangan tipuan saja.
Maka dalam kaget dan cemasnya, Bong Thian-gak
menumbuk tubuh Thay-kun dengan sikut kirinya, bersamaan
itu pula tangan kanannya melayang ke atas menyampuk
pedang musuh yang membabat ke arah urat nadi pergelangan
tangan kirinya.
Waktu itu sepasang tangan Thay-kun telah cacat,
bagaimana mungkin dia dapat menghindarkan diri dari sikutan
anak muda itu. "Aduh!"
Di tengah teriakan kerasnya, tubuh Thay-kun roboh
terjengkang. Namun dengan mata terbelalak Thay-kun dapat
melihat tusukan pedang Siau Cu-beng yang semula ditujukan
385 ke arahnya itu kini sudah miring ke samping, bahkan secepat
kilat membacok ke arah lengan kanan Bong Thian-gak.
Waktu itu lengan kanan Bong Thian-gak telah menjadi
kaku, untuk bergerak pun tak dapat, apalagi untuk
menghadapi perubahan jurus serangan Siau Cu-beng yang
dilancarkan dengan begitu cepat, ganas dan berbahaya.
Thay-kun menjerit kaget.
Di tengah jeritan itulah, lengan kanan Bong Thian-gak telah
terpapas kutung sebatas bahu.
Darah segera mengucur dengan derasnya, sedang Bong
Thian-gak sendiri pun mundur sejauh tiga langkah dengan
sempoyongan. Mimpi pun dia tak menyangka setelah dua buah otot kaki
kirinya dikutungi Siau Cu-beng pada tujuh tahun berselang
hingga membuatnya pincang, tujuh tahun kemudian dia harus
kehilangan lengan kanannya di tangan orang yang sama.
Pada hakikatnya keadaannya sekarang tak ubahnya orang
cacat. Dalam gusar dan sedihnya, cepat dia menelan empat butir
Tok-liong-wan itu ke dalam mulut, kemudian telapak tangan
kiri melepaskan sebuah pukulan dahsyat dari jarak jauh.
Selama ini Siau Cu-beng cukup tahu kelihaian ilmu pukulan
lawan, dia paling jeri menghadapi serangan maut Bong Thiangak.
Begitu angin pukulan lawan dilancarkan ke depan, cepat dia
menenteng pedangnya melompat ke samping untuk
menghindar. Segulung angin pukulan yang amat dahsyat dengan
membawa debu dan pasir yang beterbangan di angkasa
langsung menyapu ke depan dan menyambar sejauh puluhan
kaki. 386 Angin pukulan yang sangat dahsyat itu benar-benar
mengerikan, membuat setiap orang bergidik.
Gagal dengan serangannya yang maha dahsyat itu, cahaya
sinar pedang Siau Cu-beng segera menyusul tiba, bagaikan
dua ekor naga sakti yang terbang di angkasa hebatnya.
Pertarungan antara jago lihai, yang diutamakan adalah
kelihaian memanfaatkan kesempatan, kali ini terpaksa Bong
Thian-gak mundur dari balik kepungan cahaya pedang itu.
Darah segar masih bercucuran deras dari lengannya yang
kutung itu, kini Bong Thian-gak telah berubah menjadi
manusia darah. Thay-kun merasa sakit hati menyaksikan kejadian itu,
segera teriaknya keras, "Suheng, kenapa kau tidak melarikan
diri saja?"
Meski lengan kanan Bong Thian-gak baru kutung, darah
masih bercucuran dengan amat derasnya, namun dia sama
sekali tak merasa sakit karena lengannya itu sesungguhnya
sudah kaku dan hilang rasa.
Sambil mengertak gigi, untuk kesekian kalinya dia
melancarkan pukulan menggunakan telapak tangan kiri.
Tentu saja Siau Cu-beng tak berani menyambut serangan
itu dengan kekerasan.
Kali ini Bong Thian-gak bertindak lebih cerdik, baru saja dia
melancarkan pukulan, tubuhnya sudah melompat ke samping
Thay-kun, cepat tangan kirinya menyambar tubuh Thay-kun
dan memeluknya kencang.
Thay-kun tahu pemuda ini hendak mengajaknya kabur, dia
tidak membiarkan anak muda itu mewujudkan keinginannya.
Setelah melepaskan diri dari pelukan Bong Thian-gak,
mendadak gadis itu bergulingan di tanah, teriaknya, "Suheng,
387 bila kau tidak pergi, terpaksa aku menggigit lidah dan bunuh
diri lebih dulu."
Suaranya mengenaskan seperti jeritan monyet di selat Wasia
atau lolongan serigala di tengah malam, keadaannya
sungguh menyeramkan.
Sementara itu Siau Cu-beng telah menerjang maju, kali ini
dia mengubah taktik permainan pedangnya, sepasang
pedangnya bagaikan dua buah pisau belati melepaskan
serangan dengan teknik menggaet, membabat dan menjojoh.
Dalam waktu singkat dia telah melancarkan delapan
serangan dahsyat.
Menghadapi serangan gencar musuh, Bong Thian-gak
terdesak hebat hingga tiada kesempatan untuk melancarkan
serangan balasan.
Berada dalam keadaan seperti ini, terpaksa dia harus
berkelit sambil mundur berulang-kali.
Tampaknya Cong-kaucu telah mengetahui pemuda ini
memiliki kepandaian silat melebihi orang lain, mustahil bagi
Siau Cu-beng untuk menaklukkan dirinya. Maka dengan cepat
perintahnya, "Dua belas pengawal, cepat bantu wakil
komandan Siau membunuh jahanam itu!"
Thay-kun cukup mengetahui ketangguhan kedua belas
pengawal lelaki-perempuan di samping tandu Cong-kaucu,
kepandaian silat mereka aneh, lihainya bukan kepalang.
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan perasan cemas dan gelisah, kembali gadis itu
berteriak, "Suheng, bila kau tidak pergi, kita akan mati
bersama di sini!"
Sementara itu dua belas sosok bayangan orang telah
melompati dinding pendek secara beruntun dan menerjang
tiba dengan kecepatan luar biasa.
388 "Baik!" seru Bong Thian-gak emosi. "Aku akan pergi! Kau
tak boleh mati!"
Tampaknya Bong Thian-gak telah berkeputusan, tubuhnya
segera meloloskan diri dari kepungan cahaya pedang,
kemudian melompat jauh.
Tapi dua belas sosok bayangan orang yang menerjang tiba
itu seperti sudah menduga Bong Thian-gak akan meloloskan
diri dari kepungan, maka enam di antara mereka menghadang
ke arah selatan, sedang enam sisanya mengepung dari arah
utara. Mereka adalah dua orang perempuan dan seorang laki-laki,
yang perempuan bersenjata pedang pendek, sedang yang
laki-laki bersenjata tombak panjang.
Pengawal bersenjata tombak melancarkan tusukan lebih
dahulu. Tusukan itu dilancarkan dengan dahsyat.
Waktu itu Bong Thian-gak sudah bertekad menerjang
keluar dari kepungan untuk melarikan diri, tiada ingatan untuk
mundur, diiringi bentakan gusar, telapak tangan kirinya segera
diayunkan ke depan.
Meskipun jurus serangan baru saja dilancarkan, namun
hawa pukulan tak berwujud sudah meluncur ke depan dengan
cepat. Pengawal bertombak itu sama sekali tak menyangka musuh
bakal melancarkan serangan di saat tombak itu sudah berada
di hadapannya, pertarungan ini untuk mengadu jiwa.
Asalkan gerak serangan Bong Thian-gak selangkah lebih
lambat, sudah pasti dia tak akan lolos dari tusukan tombak itu,
tentu saja serangan pukulan pun ada kemungkinan
membunuh lawannya.
389 Hanya saja pengawal bertombak itu sudah melalaikan
kecepatan angin pukulan yang dilancarkan Bong Thian-gak.
Dengusan tertahan berkumandang, tahu-tahu pengawal itu
sudah terkena pukulan tak berwujud hingga tubuh berikut
tombak mencelat, tak dapat disangsikan lagi isi perutnya
hancur tak keruan.
Baru saja serangan itu dilepaskan, sepasang pedang
pendek kedua pengawal perempuan sudah menyerang tiba
dari kiri dan kanan.
Keadaan Bong Thian-gak kini ibarat binatang buas yang
terluka, di antara putaran telapak tangan kirinya, segulung
angin pukulan telah meluncur ke depan dan menghajar orang
di sebelah kanan, sedangkan kaki kanan menendang orang
yang berada di sebelah kiri.
Jurus serangan yang digunakan merupakan jurus-jurus
tangguh yang jarang ditemui dalam Bu-lim.
Benar juga, kedua orang pengawal itu segera menjerit
tertahan, kemudian roboh terjengkang di atas tanah.
Ilmu silat yang mengerikan itu menggetarkan hati, dalam
waktu singkat beruntun tiga pengawal lelaki perempuan sudah
roboh binasa. Saat pembantaian agak terhenti inilah sebilah pedang telah
menyusup datang dari arah belakang punggung Bong Thiangak
tanpa menimbulkan sedikit suara pun.
Penyergapnya adalah Siau Cu-beng, hanya dia yang bisa
mencapai sasaran dalam waktu singkat.
Walau Bong Thian-gak merasakan datangnya serangan
pedang itu, sayang tiada kesempatan lagi baginya untuk
menghindar, terpaksa dia harus menerjang ke depan dengan
sepenuh tenaga.
390 Tahu-tahu pinggang kirinya sudah terasa dingin dan panas.
Di atas tubuh Bong Thian-gak telah bertambah dengan sebuah
luka memanjang, untung hanya luka ringan, namun darah
segera bercucuran dengan derasnya.
Karena terhenti, dua orang pengawal bertombak segera
menyerbu, "..itu dari kiri dan yang lain dari kanan.
Bong Thian-gak benar-benar terdesak hebat, sambil
mengertak gigi, pukulan tanpa tandingannya sekali lagi
dilontarkan ke depan.
Dimana angin pukulannya menyambar, selalu ada yang
roboh lei kapar, namun setiap kali Bong Thian-gak berhasil
membunuh orang, tubuhnya bertambah pula dengan sebuah
tusukan pedang Siau Cu-beng.
Secara beruntun Bong Thian-gak telah membinasakan
delapan orang pengawal lelaki perempuan, namun tubuhnya
pun sudah tidak ada bagian yang utuh.
Keadaannya sekarang sudah tidak berwujud manusia lagi,
dia lebih mirip sesosok manusia darah, iblis berwajah
menyeramkan. Namun semangatnya untuk mempertahankan hidup
membuat dia tak sampai roboh.
Pertempuran yang mendebarkan hati masih berlangsung
terus, berlangsung dan berkembang dengan hebatnya.
Bayangan mereka pun makin lama semakin tertarik jauh di
bawah sinar rembulan.
Thay-kun yang menyaksikan keberanian serta kenekatan
Bong Thian-gak dalam melakukan perlawanan, segera
bergumam, "Dia pasti dapat menerjang keluar kepungan, dia
pasti dapat hidup lebih jauh ...."
Ucapan itu diulang-ulang, sementara air matanya
bercucuran membuat pandangan matanya menjadi kabur, ia
391 tak dapat menyaksikan jalannya pertarungan lagi, tidak
mendengar pula suara apa pun.
0oo0 Cahaya rembulan menyinari tanah perbukitan. Air mengalir
deras menyusuri sungai yang meliuk-liuk di antara celah bukit.
Di bawah sinar rembulan, tampak sesosok bayangan
sedang merangkak di atas jalanan batu di tepi sungai.
Dia adalah sesosok manusia darah, hampir sekujur
tubuhnya tubuhnya berlepotan darah.
Darah sudah hampir mengering dari sekujur tubuhnya,
mulut luka yang memenuhi sekujur tubuhnya seperti sarang
lebah, sedang mulut luka pada lengan kanannya yang kutung
kini sudah tidak nampak darah meleleh.
Setiap orang yang memandang luka-luka itu pasti tak akan
percaya kalau dia masih bisa hidup.
Benar, dia masih hidup, bahkan sedang merayap di sisi
sungai berusaha mencari air.
Namun keadaan tubuhnya yang begitu lemah, membuatnya
sukar untuk menggerakkan badannya barang sejengkal.
Dia hanya bisa mencengkeram sebuah batu kecil dengan
kelima jari tangan kirinya yang dijulurkan ke depan, bibirnya
ternganga lebar penuh noda darah, sementara sepasang
matanya mengawasi air sungai tanpa berkedip.
Dia sangat haus, luka yang memenuhi seluruh badannya
membuat suhu badannya meningkat, dia membutuhkan air
untuk menghilangkan dahaganya, namun dia telah kehabisan
tenaga untuk maju.
392 Akhirnya dia putus-asa, dia tahu ajalnya sudah berada di
depan mata, segala macam penderitaan tak akan menyiksa
dirinya lagi. Berada dalam keadaan dan situasi seperti ini, dia tidak
terpengaruh oleh perasaan benci dan dendam, dia pun tak
terpengaruh oleh napsu atau angkara murka.
Dia hanya tahu kelima jari tangan kirinya makin melemas,
matanya semakin kabur dan berat.
Di saat yang kritis inilah mendadak telinganya seperti
menangkap serangkaian irama nyanyian yang merdu lincah
dan penuh gairah.
Bong Thian-gak tahu dirinya sudah hampir mencapai suatu
dunia yang lain, entah neraka, entah surga.
"Ah, mungkin inilah nirwana, kalau tidak, mengapa
terdengar suara nyanyian yang merdu merayu."
Suara nyanyian itu kian lama kian bertambah dekat, namun
suara itu makin lama semakin lemah dan samar-samar.
Kejernihan otaknya makin lama semakin membuyar.
Tak selang lama kemudian, dari ujung sungai sana benarbenar
muncul seorang gadis berjalan mendekat.
Sambil membawakan nyanyian yang merdu dan penuh
gembira, dia berjalan menyusuri sungai dan menuju ke arah
pemuda itu. Meendadak ia menjerit kaget.
Ternyata dia telah menyaksikan Bong Thian-gak dengan
sekujur tubuhnya yang penuh berlepotan darah, sepanjang
hidupnya belum pernah ia jumpai darah sebanyak ini, maka
saking kaget dan cemasnya, sekujur tubuhnya gemetar keras.
Bila suatu ketika menemukan sesosok tubuh manusia yang
bermandikan darah di tengah hutan belantara yang jauh dari
393 keramaian, siapakah yang tak terperanjat" Jangankan seorang
yang bernyali kecil, betapa pun besarnya nyali seorang, akan
dibikin ketakutan setengah mati, apalagi seorang gadis muda.
Tanpa banyak bicara, gadis itu membalikkan badan dan
segera melarikan diri.
Namun baru berlari empat-lima langkah, dia menghentikan
langkahnya, kemudian pelan-pelan berpaling memandang
tubuh Bong Thian-gak yang tak berkutik.
"Dia kan manusia ...." gumamnya, "mengapa aku harus
takut...."
Setelah merasa yakin yang dihadapinya adalah manusia,
perasaan takutnya sedikit berkurang, bahkan pelan-pelan dia
menghampiri Bong Thian-gak.
Kejernihan pikiran Bong Thian-gak waktu itu sudah mulai
pudar, sekali pun dia tahu ada orang sedang menghampirinya,
namun dia sama sekali tidak punya kekuatan untuk membuka
mata, apalagi kekuatan untuk bicara.
Gadis itu membelalakkan matanya yang jeli, setelah
mengawasi tubuh Bong Thian-gak, ia lihat pemuda itu masih
bernapas. Maka sambil menghela napas, gumamnya, "Begini parah
luka yang diderita orang ini, apakah dia masih bisa hidup."
Dia lantas berjongkok sambil memegang jidat Bong Thiangak,
namun dengan terperanjat serunya, "Ah, panas sekali
tubuhnya."
Bila panas, air dingin bisa menghilangkan panas itu, inilah
cara kuno untuk menurunkan suhu panas tubuh manusia.
Dengan cepat gadis itu mengambil sapu-tangannya, setelah
direndam air sungai segera ditempelkan ke atas jidat Bong
Thian-gak. 394 Sebenarnya kesadaran Bong Thian-gak sudah mulai
memudar, namun memperoleh rangsangan air dingin itu,
sekujur tubuhnya segera bergetar dan pikirannya pun jernih
kembali. "Air ... air ...." serunya lirih.
Walaupun dia mencoba berteriak, sesungguhnya tiada
sedikit suara pun yang terdengar.
Gadis itu pun dapat menyaksikan bibir orang bergetar,
namun dia tak tahu apa yang diucapkan olehnya, dia hanya
menunggu hingga sapu-tangan itu menjadi panas dan segera
direndam kembali ke dalam air, lalu setelah sapu-tangan itu
menjadi dingin, dia pun menempelkan pada jidatnya kembali.
Akhirnya Bong Thian-gak dapat berbisik lirih, "Air ... air ...."
Gadis itu berseru tertahan, dengan cepat dia berjalan menuju
ke sungai, digayungnya segenggam air, kemudian dengan
hati-hati sekali mengalirkan air ke mulut si pemuda melalui
celah-celah jari tangannya. "Aku haus ... aku haus sekali... air
... air ...."
Suara teriakan Bong Thian-gak makin lama semakin keras.
Dengan cepat gadis itu menggayung air lagi dengan
telapak tangannya dan mengalirkan ke mulut pemuda itu.
Demikian seterusnya hingga tujuh kali sebelum akhirnya
pelan-pelan Bong Thian-gak membuka matanya.
Waktu itu kentongan kelima sudah lewat, dari ufuk timur
muncul cahaya keemas-emasan, namun suasana dalam
lembah itu masih agak redup dan samar-samar, namun secara
lamat-lamat masih dapat melihat keadaan di sekitarnya.
Pemuda itu tahu gadis muda itulah yang telah
menyelamatkan jiwanya, dia memakai baju tipis berwarna
biru. 395 "Nona ... kau ... kaukah yang telah menyelamatkan
jiwaku." "Ssst! Jangan bicara dulu, parah sekali lukamu," cepat si
nona menukas dengan suaranya yang merdu.
Sembari berkata, gadis itu kembali mencelupkan saputangannya
ke sungai, kemudian mengompres kembali jidat
anak muda itu. Lambat-laun hari semakin terang, kini si nona dapat
melihat jelas keadaan luka di sekujur tubuh Bong Thian-gak.
Menyaksikan semua itu, si gadis terbungkam saking
terperanjat, t.mpa terasa dia membatin, "Ah, mana mungkin
dia dapat hidup dalam keadaan semacam ini" Benar-benar
suatu kejadian yang luar biasa?"
Kini kesadaran Bong Thian-gak benar-benar telah jernih,
dengan penuh rasa terima kasih katanya, "Nona, banyak
terima kasih atas pertolonganmu, andai aku dapat hidup lebih
lanjut, budi kebaikanmu ini pasti akan kubalas."
"Kau telah berkelahi dengan orang?" tanya si nona lembut.
"Ai, orang-orang Put-gwa-cin-kau hendak membunuhku,"
sahut Bong Thian-gak dengan menghela napas panjang.
"Apa itu Put-gwa-cin-kau?" si nona membelalakkan mata.
Segera Bong Thian-gak sadar dia sedang berhadapan
dengan seorang gadis biasa, yang sama sekali tidak mengenal
dunia persilatan.
Maka sembari menghela napas, katanya kemudian, "Bila
lukaku telah sembuh nanti, pasti akan kuceritakan semua
kejadian yang sebenarnya kepadamu."
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku berdiam dalam lembah sana dekat air terjun,
bagaimana kalau kau merawat lukanmu di gubukku saja?"
396 "Mungkin hidupku tak akan lama lagi," suara Bong Thiangak
agak pilu. "Kau pasti dapat hidup terus," hibur si nona dengan suara
lembut. "Aku tahu kau amat kuat dan gagah, kalau tidak,
dengan luka yang begini parah, kau pasti sudah tewas sejak
tadi." Dengan cepat Bong Thian-gak menggeleng.
"Aku bukan hanya menderita luka bacokan di sekujur
tubuhku, namun juga keracunan."
Begitu mendengar tentang keracunan, gadis itu berseru
pelan, "Ah, orang tuaku pun ajal karena keracunan."
Sampai di situ, mata gadis itu pun memerah, hampir saja
air matanya jatuh bercucuran.
Agak tertegun Bong Thian-gak oleh ucapan itu, cepat dia
bertanya, "Orang tuamu telah meninggal" Lantas kau tinggal
bersama siapa?"
"Sejak tiga tahun lalu, ketika kedua orang tuaku meninggal,
aku tinggal seorang diri di tempat ini."
Bong Thian-gak makin terharu mendengar ucapan itu,
seorang gadis yang lemah ternyata berdiam seorang diri di
tengah lembah yang jauh dari keramaian, sungguh kejadian
ini merupakan suatu peristiwa yang aneh.
Tiga tahun bukan jangka waktu yang pendek, namun dia
dapal hidup menyendiri di sana.
Bong Thian-gak tidak ingin memikirkan hal itu, segera
sahutnya, "Bila nona bersedia menerimaku, untuk sementara
waktu aku akan berteduh di rumahmu."
Gadis itu gembira sekali, dengan cepat dia berseru, "Aku
merasa kesepian hidup seorang diri di sini, bila kau bersedia
menemaniku, hal ini memang jauh lebih baik."
397 Tanpa mengindahkan darah yang mengotori sekujur tubuh
Bong Thian-gak, ia segera memapah tubuh pemuda itu,
kemudian mereka pelan-pelan berjalan menuju ke arah utara.
0oo0 Sebuah air terjun yang mengalir dari sembilan puncak,
pelan-pelan memuntahkan airnya ke dasar lembah yang
dalam. Air mengalir mengikuti sebuah sungai yang berliku-liku dan
membentang jauh ke depan.
Di tepi sungai di sebelah kiri air terjun, berdiri tiga buah
gubuk. Dalam gubuk itu, berdiamlah seorang lelaki dan seorang
perempuan. Yang lelaki adalah pemuda berlengan buntung, berkaki
pincang dan berwajah tampan, hanya sayang wajahnya agak
pucat. Sedang yang perempuan adalah seorang nona berkulit
putih dan berwajah cantik.
Setiap hari selain menebang kayu mencari kayu bakar,
pemuda berlengan tunggal berkaki pincang itu menghabiskan
sebagian besar waktunya duduk melamun di atas batu karang
di tepi air terjun.
Selama tiga tahun ini siang-malam dia selalu duduk
menyendiri, entah apa saja yang sedang dipikirkan olehnya"
Senja ini pemuda berlengan tunggal itu kembali duduk
bersila di atas batu karang sambil memejamkan mata
memikirkan sesuatu.
Mendadak pemuda cacat itu menggerakkan lengan kirinya
bagaikan kerasukan setan, gerakan itu dilakukan ke arah air
terjun itu. 398 Seandainya di situ hadir jago persilatan, niscaya akan
terperanjat menyaksikan tingkah-laku si anak muda itu.
Ternyata setiap pukulan, setiap bacokan, totokan jari
maupun cengkeraman yang dilancarkan pemuda cacat itu
hampir semuanya mengandung jurus yang tiada-taranya.
Selain jurus serangan maha dahsyat yang dilancarkan
pemuda itu sangat banyak, tenaga dalamnya pun sangat
mengerikan, setiap terkena pukulannya, air terjun yang
sedang muntah ke bawah, selalu arah arusnya berubah dari
posisi semula. Ada kalanya air yang mengalir terpotong menjadi dua, ada
kalanya muncul ruang di balik air terjun itu. Pukulan tak
berwujud yang dilancarkan olehnya bisa mengendalikan curah
air terjun di hadapannya.
Tenaga dalam semacam ini pada hakikatnya mengerikan.
Tiba-tiba suara pekikan nyaring menggema memecah
keheningan, pemuda itu melompat bangun dari atas batu
karang, tahu-tahu pada genggaman tangan kirinya telah
bertambah dengan sebilah pedang kayu.
Tubuhnya melejit ke udara, kemudian menerjang ke arah
air terjun itu.
Dalam waktu singkat pemuda itu telah melancarkan tujuh
buah bacokan berantai dengan menggunakan pedang
kayunya, memainkan tujuh jurus serangan yang berbeda.
Kemudian dalam waktu singkat dia telah melayang kembali
ke atas batu karang.
Ia dengan cepat mengangkat pedangnya dan memandang
sekejap pedang kayunya itu.
Memang sukar untuk dipercaya, ternyata pedang kayunya
itu sama sekali tidak terkena percikan air.
399 Tadi jelas pemuda cacat itu telah melancarkan tujuh buah
bacokan kilat ke arah air terjun itu, namun kenyataan pedang
kayu itu sama sekali tidak basah oleh butiran air yang
memercik, dari sini dapat diketahui betapa cepatnya serangan
pedang yang dilancarkan pemuda itu.
Sedemikian cepatnya hingga pada hakikatnya
kecepatannya tak bisa dibandingkan dengan apa pun.
Tatkala pemuda cacat itu tidak menemukan bekas air di
atas kayunya, sekulum senyuman segera menghiasi wajahnya
yang tampak pucat-pias.
Itulah senyuman penuh kegembiraan dan kepuasan.
Selama tiga tahun memeras otak, akhirnya dia berhasil
memahami ilmu pukulan yang maha dahsyat.
Kedua macam kepandaian sakti itu berhasil dipahami
olehnya sesudah lengannya kutung dan hidup terpencil di
lembah itu, dengan dasar tenaga Tat-mo-khi-kang dari Siaulim-
pay tingkat sepuluh sebagai dasar kekuatan yang
dikombinasikan dengan ilmu sakti berbagai perguruan, ia
berhasil menciptakan kepandaian sakti itu.
Selama tiga tahun berjuang berlatih dengan rajin dan
tekun, akhirnya dia berhasil, perjuangannya selama ini tidak
sia-sia, ia merasa amat puas.
Tapi saat itulah si gadis berdiri di belakangnya dengan
wajah termangu, dari balik matanya yang jeli nampak dua
baris air mata jatuh berlinang membasahi wajahnya.
Pemuda cacat itu menarik kembali pedang kayunya, lalu
membalikkan badan, tiba-tiba saja dia lihat gadis itu berdiri di
situ. "Siau-hui, kau menangis?" kata pemuda cacat itu dengan
suara pilu dan menghela napas sedih.
400 Dengan cepat nona baju biru itu menyeka air mata yang
membasahi pipinya, kemudian berkata dengan lembut, "Bongtoako,
aku tidak menangis."
Selama tiga tahun, beratus-ratus kali Bong Thian-gak
menyaksikan gadis itu diam-diam melelehkan air mata, namun
setiap kali dia selalu mengatakan dirinya tidak menangis.
Mengapa dia menangis"
Tentu saja Bong Thian-gak mengetahui perasaan gadis itu,
namun dia hanya bisa menghela napas secara diam-diam, lalu
menghibur dan membujuknya dengan nada seorang kakak
yang mencintai adik perempuannya.
Bong Thian-gak turun dari batu cadas itu, lalu merangkul
bahunya dengan mesra, bisiknya lembut, "Leng-hui, nasinya
sudah matang?"
"Sudah! Aku memang hendak memanggilmu untuk
bersantap," sahut si nona tersenyum manis.
Sambil berpelukan mesra, pelan-pelan mereka berdua
berjalan menuju ke gubuk.
Malam telah menyelimuti seluruh jagad, terutama di dalam
lembah yang terpencil itu.
Di ruang tengah gubuk itu nampak lentera telah disulut, di
atas sebuah meja nampak dihidangkan empat macam sayur,
dua macam ayam dan bakpao.
Kecuali hidangan itu, di atas meja tersedia tiga botol arak
wangi. Menyaksikan botol arak di meja, Bong Thian-gak nampak
tertegun, lalu sambil berpaling dan memandang sekejap ke
arah si nona, tanyanya, "Leng-hui, darimana datangnya arak?"
Selama tiga tahun ia berdiam di situ, belum pernah
dijumpai ada arak di situ, tentu saja dia pun tak pernah
mengendus bau arak.
401 "Arak itu peninggalan orang tuaku enam tahun lalu," kata
Song Leng-hui. "Ayahku selalu menyimpan arak di gudang
bawah tanah, besok kau hendak pergi meninggalkan aku,
maka malam ini aku hendak mengantar kepergianmu."
Walaupun ucapan itu diutarakan dengan menahan gejolak
perasaan dan emosi, namun ketika sampai pada ucapan yang
terakhir, suaranya terdengar agak gemetar.
Bong Thian-gak menghela napas sedih.
"Aku pasti akan balik kemari, aku tak akan membiarkan kau
hidup sebatang-kara di tengah bukit yang terpencil ini." Song
Leng-hui tersenyum.
"Di saat Toako datang kemari, kau telah menentukan pula
akan pergi meninggalkan tempat ini, tiada perjamuan di dunia
ini yang tak bubar, apalagi hanya perpisahan sementara
waktu?" Walau hatinya merasa kacau, namun Song Leng-hui
berusaha mengendalikan diri.
Dia tahu, bagaimana pun juga dia tak mungkin bisa
menahan . Bong Thian-gak di sana, lantas buat apa dia mesti
banyak bicara"
Tapi sikapnya yang berbeda itu membuat Bong Thian-gak
merasa lebih sedih dan menderita.
Selama tiga tahun, siang-malam mereka hidup bersama,
dalam hati Bong Thian-gak, Song Leng-hui sudah menempati
posisi yang kuat dan tak bisa diganggu gugat lagi,
sesungguhnya dia bukannya tak mencintainya, tetapi tak
berani untuk mencintai dirinya.
Dalam hatinya, Song Leng-hui adalah bidadari, gadis suci
bersih. Ia belum dijangkiti kebiasan jelek dari masyarakat, dia
nampak begitu suci, bersih dan menawan hati.
402 Oleh sebab itu Bong Thian-gak selalu menganggapnya
seperti adik kandung sendiri, ia tidak berani mempunyai
pikiran sesat terhadap dirinya.
Sebab dia tahu dirinya tak lebih hanya seorang tukang silat
kasar, dia hanya manusia yang sepanjang hidupnya luntanglantung
dalam Bu-lim, berduel dengan malaikat elmaut, dia
tak pantas untuk mencintai gadis suci itu.
Karena bila dia sampai mencintainya, maka hal ini sama
artinya dengan menyia-nyiakan dirinya, mencelakai dirinya,
maka dia hanya berusaha keras mengendalikan perasaannya
itu dan tidak membiarkan berkembang.
Seandainya Bong Thian-gak boleh memilih di antara tiga
gadis yang pernah dijumpainya selama hidup, yakni Oh Ciangiok,
Thay-kun dan Song Leng-hui, maka orang yang tak
dapat dilupakan olehnya adalah Song Leng-hui.
Dia tak pernah belajar ilmu silat, dia tidak mempunyai
kebiasaan jelek, dia nampak begitu lembut, begitu halus,
tenang, luwes dan cantik.
Bong Thian-gak merasakan darah yang menggelora dalam
dadanya bergolak keras, katanya, "Siau-hui, aku ... aku akan
mengajakmu keluar dari tempat ini!"
Sudah berulang kali dia mengucapkan kata-kata itu, akan
tetapi setiap kali Song Leng-hui selalu menggeleng kepala
sambil berkata, "Aku telah bersumpah tak akan meninggalkan
pusara orang tuaku untuk selamanya, lagi pula kehadiranku di
sisimu hanya akan menyusahkan dirimu saja, aku tahu
sepeninggalmu dari sini, kau akan membunuh banyak orang
jahat. Memang bagi seorang lelaki yang berlatih silat tempat
bergeraknya adalah dunia persilatan, sudah sewajarnya bila
melakukan suatu pekerjaan besar."
"Pergilah, aku akan tetap menantimu hingga kau kembali,"
kata Song Leng-hui sambil memenuhi cawan Bong Thian-gak
403 dengan arak, sedangkan dia sendiri pun memenuhi cawan
sendiri dengan arak.
Setelah itu, sambil mengangkat cawan araknya dia berkata,
"Semoga Toako sehat walafiat selalu."
Selesai berkata, gadis itu segera meneguk habis cawannya.
Bong Thian-gak pun segera meneguk cawannya sendiri.
Arak itu harum baunya, tak salah kalau dikatakan arak
bagus. Di luar ruangan hanya suara pohon cemara yang
terhembus angin dan suara air terjun.
Cahaya lentera yang redup menyoroti wajah sepasang
muda-mudi yang merah membara itu.
Besar sekali takaran minum Song Leng-hui, cawan demi
cawan dia menemani Bong Thian-gak meneguk habis arak di
hadapannya, hawa arak telah membuat wajahnya menjadi
merah membara, namun justru karena itu dia jauh nampak
lebih cantik dan menarik.
Waktu itu Bong Thian-gak sedang diliputi perasaan murung
dan duka, arak memang merupakan kebutuhan yang penting
dalam suasana seperti ini, dia hendak menggunakan arak
untuk menghilangkan kemurungannya, namun kemurungan
serasa makin bertambah, dia ingin menggunakan arak untuk
membuatnya mabuk, apa mau dikata dia justru tak pernah
menjadi mabuk. Sementara itu Song Leng-hui telah bergeser duduk di
sampingnya, lalu dengan suara manja bisiknya, "Toako, kau
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
harus kembali dengan cepat, karena aku ... aku telah menjadi
milikmu untuk selamanya."
Sudah tiga tahun lamanya dia menyimpan ucapan ini dalam
hati, baru hari ini dapat diutarakan.
404 Arak memang racun yang mudah mengacaukan jalan
pikiran orang, apalagi tiga botol arak sekaligus, dengan cepat
arak itu berubah menjadi obat perangsang cinta yang amat
kuat. Ketika Song Leng-hui bergeser dan duduk di sampingnya,
pemuda itu segera mengendus bau harum khas seorang
gadis. Akhirnya Bong Thian-gak tak mampu mengendalikan
gejolak hawa panas dalam tubuhnya lagi, tak tahan dia segera
merangkul gadis itu dan memeluknya kencang.
"Ehm!" Song Leng-hui mengerang lirih, seluruh tubuhnya
segera dijatuhkan ke dalam pelukannya.
Ketika rambutnya yang halus menempel di leher Bong
Thian-gak, segera timbul perasaan gatal yang aneh.
Bong Thian-gak semakin tak sanggup mengendalikan
gejolak perasaannya lagi, dengan cepat dia menundukkan
kepala, mencium pipinya yang putih dan halus dengan hangat
penuh kemesraan.
Tampaknya malam ini Song Leng-hui telah mengambil
keputusan untuk....
Dia membalikkan tubuh, kemudian balas memeluk tubuh
Bong Thian-gak dengan hangat, bibirnya yang merah
membalas ciuman pemuda itu dan menghisap lidah Bong
Thian-gak dengan lembutnya.
Perasaan mereka seakan hendak melompat keluar dari
rongga dadanya, sukma mereka seakan-akan membumbung
tinggi ke udara.
Selama tiga tahun terakhir ini, baru pertama kali ini mereka
berdua berpelukan sambil berciuman dengan mesra, dan
ciuman itupun merupakan ciuman pertama, mereka belum
tahu apakah itu mesra, manis, hangat ataukah gembira.
405 Udara serasa berputar, bumi bagaikan berguncang, mereka
lupa apa akibatnya, lebih-lebih tak mengerti apa yang
dinamakan menjaga batas kesopanan.
Napas Bong Thian-gak mulai memburu, dia memeluk tubuh
si gadis dengan semakin bernapsu.
Akhirnya Song Leng-hui berbisik lirih, "Toako, apa yang
ingin kau lakukan, lakukanlah sekehendak hatimu, aku sudah
menjadi milikmu, seluruh tubuhku adalah milikmu."
Arak telah membuat Bong Thian-gak melupakan segalagalanya,
dia mulai melangkah menuju ke tempat tidur.
Di sanalah terletak kamar tidur Song Leng-hui, tampaknya
gadis itu sudah mempersiapkan segalanya, seprei, kasur,
bantal, dan kelambu telah diatur dengan bersih dan
menyenangkan. Bong Thian-gak membaringkan tubuhnya di atas
pembaringan, sedang Song Leng-hui seakan-akan sudah kaku
pikirannya, dia memeluk lubuh Bong Thian-gak erat-erat dan
menarik pemuda itu sehingga bergulingan di atas
pembaringan. Kini pakaian yang dikenakan Song Leng-hui sudah terlepas,
kulit badannya yang putih halus bagaikan salju, setengah
terlihat setengah tersembunyi di balik pakaian dalamnya.
Gemetar keras seluruh tubuh Song Leng-hui, mendadak dia
mulai merintih, "Oh, Toako ... kau ... kau cepatlah."
Berada dalam keadaan seperti itu, sekalipun Bong Thiangak
berada dalam keadaan sadar pun, tak nanti bisa
mengendalikan diri.
Apalagi sekarang pengaruh alkohol sudah menguasai
kesadaran "laknya dan lambat-laun mengobarkan api napsu
birahinya yang makin memuncak.
406 Dengan penuh kegarangan dan kebuasan, Bong Thian-gak
menerkam ke depan dan menindih tubuh gadis itu.
Rintihan lirih dan dengusan napas berdesis dari bibir Song
Leng-hui yang mungil.
Tentu saja kegembiraan dan kenikmatan telah
menghilangkan seluruh rasa sakit dan perih yang dirasakan
olehnya. Hujan badai pun segera datang menderu-deru dan
menyapu seluruh jagat.
Cahaya lentera berkedip dimainkan angin dan memercikkan
setitik cahaya menerangi sebuah pembaringan.
Titik-titik noda merah memercik di atas seprei berwarna
putih dan menciptakan aneka bunga yang sangat indah.
Bong Thian-gak membelalakkan mata mengawasi tubuh
Song Leng-hui yang bugil dan indah itu dengan termangu.
Pengaruh alkohol yang mempengaruhi benaknya telah
hilang sebagian besar, sekarang dia sedang menyesal,
mengapa dia secara keji harus merenggut kesucian tubuh
gadis itu, yang sudah dipertahankan selama dua puluh tahun.
Song Leng-hui tidak menyesal, juga tidak malu, sesudah
menghela napas sedih, ujarnya, "Toako, kau jangan bersedih,
asalkan mencintaiku sesungguh hati, cepat atau lambat kita
akan mengalami juga malam pertama seperti ini, aku takut
kau tak akan kembali lagi untuk selamanya, maka aku telah
bertekad mempersembahkan kesucian tubuhku padamu
malam ini juga. Kau tak usah memikirkan persoalan ini, cukup
kau ingat saja kalau di tengah sebuah lembah yang terpencil
masih ada seorang gadis bernama Song Leng-hui yang setiap
saat mengharapkan kembalinya dirimu, asal kau ingat hal itu,
sudah lebih dari cukup!"
Bong Thian-gak ingin menangis, namun tak bisa
mengeluarkan suara, tiba-tiba dia menubruk ke badan Song
407 Leng-hui dan berkata lirih, "Siau-hui, mengapa kau berbuat
begini" Mengapa kau harus berbuat begini" Aku ... aku
merasa telah berbuat salah kepadamu, cinta kasih yang kau
berikan untukku tak nanti bisa kubalas untuk selamanya."
Song Leng-hui memeluk tubuh Bong Thian-gak dengan
mesra dan membelai lengannya yang kutung dengan penuh
kasih sayang, lalu katanya lembut, "Setelah kepergianmu
besok, kau harus baik-baik menjaga dirimu, kau sudah
menjadi orang cacat, aku tahu kepandaian silatmu tinggi,
namun di Bu-lim masih terdapat banyak persoalan yang tak
dapat diselesaikan dengan mengandalkan kepandaian silat."
Keadaan Song Leng-hui sekarang bagaikan ibu yang penuh
kasih sayang menasehati anaknya yang hendak pergi jauh.
Tiga tahun bukan jangka waktu yang pendek, dunia
persilatan yang luas bagaikan awan di angkasa, berbagai
perubahan sudah terjadi selama tiga tahun ini, bahkan boleh
dibilang perubahan yang amat besar.
Sejak Bong Thian-gak lenyap dari dunia persilatan, Putgwa-
cin-kau, perkumpulan rahasia yang amat besar itu turut
lenyap dari keramaian dunia persilatan.
Menyusul hilangnya perkumpulan itu, nama besar Kay-pang
dan Hiat-kiam-bun pun semakin menanjak dalam Bu-lim.
Kay-pang adalah perkumpulan yang mempunyai sejarah
paling lama di Bu-lim, cara kerja mereka antara jalan lurus
dan sesat, konon ketuanya adalah seorang yang sangat lihai
dan luar biasa.
Siapakah ketua Kay-pang" Tak seorang pun tahu.
Namun pedang milik ketua pengemis pernah menggidikkan
hati setiap jago dunia persilatan.
Menurut kabar, sebab-musabab menghilangnya Put-gwacin-
kau dari dunia persilatan akibat kelihaian pedang ketua
Kay-pang. 408 Hiat-kiam-bun (Perkumpulan pedang darah) adalah
perguruan yang amat rahasia, keji dan buas. Gerak-gerik
mereka di Bu-lim selalu dibarengi dengan pembunuhan
berdarah. Siapakah ketua Hiat-kiam-bun" Tentu saja lebih-lebih tiada
orang yang tahu dengan jelas.
Para jago dari sembilan partai besar yang berkumpul dalam
gedung Bu-lim Bengcu di kota Kay-hong pun sejak tiga tahun
lalu sudah membubarkan diri.
Bubarnya persekutuan dunia persilatan ini aneh sekali,
konon dalam satu malam saja segenap anggota yang berada
dalam gedung itu lenyap, mati hidupnya sampai kini masih
teka-teki. Peristiwa itu berlangsung tiga tahun berselang. Tiga
bulan terakhir ini di Bu-lim lagi-lagi muncul dua peristiwa yang
menggetarkan sukma.
Kedua peristiwa itu menyangkut seorang laki dan seorang
wanita. Yang perempuan adalah iblis yang berwajah cantik jelita
bak bidadari dari kahyangan.
Wajahnya yang begitu cantik dan menawan, pada
hakikatnya banyak sudah lelaki yang dipikatnya, bahkan
perempuan itu bersedia digauli semalam suntuk, cuma esok
harinya lelaki itu ditemukan tewas.
Dalam tiga bulan belakangan ini sering tersiar berita
tentang ditemukannya jenazah lelaki yang terkapar dengan
telanjang bulat.
Sebaliknya yang lelaki berilmu sangat tinggi, selama tiga
bulan terakhir ini sudah ada seratus orang lebih yang kalah di
tangannya. Kelihaian lelaki itu konon melebihi kedahsyatan Mo-kiamsin-
kun To Tian-seng yang pernah menggetarkan dunia
persilatan puluhan tahun lalu.
409 Asalkan pedangnya sudah dilolos dari sarungnya, tak
pernah ada korban yang dibiarkan hidup.
Namun jago pedang yang muncul ini punya sedikit
perbedaan dengan Mo-kiam-sin-kun To Tian-seng, karena
pedang yang tersoreng di pinggangnya bukanlah pedang
mustika, melainkan pedang kayu tumpul, bahkan jago pedang
itu seorang cacat, berlengan tunggal dan pincang.
0oo0 Musim gugur sudah tiba, daun kering berguguran
terhembus angin kencang.
Seekor kuda ras Mongolia yang tinggi besar pelan-pelan
berjalan menelusuri jalan raya ibukota, penunggangnya adalah
seorang pemuda berwajah pucat dan berlengan kanan
kosong, agaknya seorang yang belum lama kehilangan
lengannya. Lelaki itu menjalankan kudanya ke bawah pohon di tepi
jalan. Rupanya waktu itu dari depan sana telah muncul empat
ekor kuda yang dilarikan kencang, lelaki cacat itu kuatir
kudanya tertumbuk, dia menyingkir ke samping.
Tatkala empat ekor kuda itu sampai di hadapan lelaki cacat
ilu, mendadak mereka menarik tali kudanya secara serentak.
Penunggangnya adalah tiga orang lelaki dan seorang gadis.
Yang pria adalah Kongcu-kongcu tampan yang menyoreng
pedang di punggungnya.
Sedang yang perempuan berparas cantik genit dan
mengenakan baju merah menyala, dia pun menyoreng
sepasang pedang di punggung.
Dilihat dari cara mereka menunggang kuda, ketiga pria dan
seorang gadis ini memiliki kepandaian silat yang lumayan.
410 Mereka berdiri berjajar di tengah jalan, persis menghadang
jalan lelaki cacat itu.
Salah seorang Kongcu yang berparas kurus dan mempunyai
tahi lalat di wajahnya tertawa terbahak-bahak, kemudian
sembari menjura tegurnya, "Bolehkah aku tahu, apakah kau
Jian-ciat-suseng (Sastrawan cacat)?"
Pria cacat itu tersenyum, "Tidak berani, tidak berani,
tampaknya kalian berempat adalah Hui-eng-su-kiam (Empat
pe Jodoh Rajawali 20 Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Harpa Iblis Jari Sakti 35
Put-gwa-cin-kau bakal menderita
kerugian amat besar?"
340 Ji-kaucu menarik napas dalam-dalam, lalu membentak
dengan keras, "Mo-ing-pat-hiong, dengar baik-baik, tangkap
perempuan ini hidup-hidup."
Begitu perintah diturunkan, kedelapan orang berjubah hijau
itu mulai bergerak maju.
Mendadak terdengar Ji-kaucu membentak lagi, "Irama iblis
mulai!" Perintah menggeledek disambut oleh kedelapan orang itu
dengan memainkan delapan alat musik, dalam waktu singkat
berkumandanglah permainan alat musik yang amat
memekakkan telinga.
Kedelapan alat musik itu adalah tambur, gembrengan,
harpa, seruling dan lain sebagainya.
Permainan irama musik mereka terdengar sangat aneh,
entah irama lagu apakah yang sedang mereka bawakan.
Pada mulanya semua orang masih belum merasakan apaapa,
Thay-kun serta kedua orang dayang berbaju biru masih
berdiri di tempat semula dengan gagah, semerttara mata
mereka mengawasi kedelapan orang itu memainkan irama
musik yang aneh dan tak sedap didengar itu.
Mendadak suara gembreng dibunyikan bertalu-talu,
menyusul kemudian tambur dipukul tiga kali....
Mengikuti suara tambur tadi, jerit kesakitan yang
memilukan bergema memecah keheningan.
Kedua dayang berbaju biru yang berdiri di sisi Thay-kun
segera memegang hulu hati masing-masing sembari
berjongkok di tanah, wajah mereka pucat-pias seperti kertas,
tampaknya mereka sedang merasakan suatu penderitaan yang
luar biasa. 341 "Aduh celaka!" pekik Jit-kaucu Thay-kun setelah
menyaksikan kejadian itu, ia segera membentak, "Cepat tutup
lubang telinga kalian!"
Baru habis berbicara, suara tambur kembali berkumandang.
Bagaikan orang kerasukann setan, kedua dayang berbaju
biru itu bergulingan di tanah sambil menjerit-jerit, tangan
mereka mendekap hulu hati kencang-kencang, sementara
badannya bergulingan ke sana-kemari, jelas kedua orang itu
mengalami penderitaan hebat.
Berada dalam keadaan seperti ini, Thay-kun tidak
berkemampuan lagi untuk mengurusi kedua orang dayangnya,
sebab di saat suara tambur itu berkumandang, dia sendiri pun
merasakan semacam getaran keras yang melanda tubuhnya,
serentetan pukulan keras tambur itu membuat jantungnya
berdebar keras.
Dalam posisi yang amat tidak menguntungkan ini, dia
hanya bisa memusatkan segenap pikiran dan perhatiannya
melawan suara itu, dia harus menenangkan pikiran dari
pengaruh suara itu.
Dengan tenaga dalamnya yang sudah sempurna, tidak sulit
bagi Thay-kun untuk menghindarkan pengaruh suara iblis itu.
Suasana menjadi tenang kembali, keadaan kini ibarat sebuah
bukit batu karang, seakan-akan lupa segala-galanya.
Tapi berbeda keadaannya dengan kedua dayang berbaju
biru itu. Jeritan ngeri masih terdengar, sepasang tangan
mereka mulai mencakar dada sendiri, sementara tubuhnya
bergulingan ke sana kemari. Dalam waktu singkat pakaian
bagian atas sudah terlepas. Tak selang beberapa saat
kemudian kulit tubuhnya yang putih bersih itu sudah hancur
oleh cakar-cakar mautnya, luka memanjang disertai cucuran
darah memenuhi sekujur tubuh, sungguh mengerikan sekali
keadaan mereka.
342 Mendidih rasanya darah panas yang menggelora dalam
dada Bone, Thian-gak menyaksikan kejadian itu, dia hendak
mendobrak jendela menerobos keluar, namun setelah
menyaksikan keadaan Thay-kun yang tenang dan berdiri
kokoh bagaikan batu karang di tengah arena, tergetar hatinya,
cepat dia berpikir, "Jelas kedua dayang itu sudah tak bisa
tertolong lagi, satu-satunya tindakan yang harus kulakukan
sekarang adalah mencari akal membongkar dan
menghancurkan barisan ini, kemudian berusaha menolong
Thay-kun dari ancaman bahaya."
Sementara kedelapan orang itu menggeser barisan sembari
tetap memainkan aneka alat musik itu.
Akhirnya kedua dayang berbaju biru itu tak mampu
menahan diri, mereka tewas dalam keadaan mengerikan,
tubuh mereka yang telanjang bulat bermandikan darah
terkapar tak berkutik di tengah arena.
Pada saat inilah Bong Thian-gak sudah dapat melihat
pergeseran barisan yang dilakukan kedelapan orang itu,
menggunakan langkah Pat-kwa-tin.
Penemuan yang di luar dugaan ini kontan menggirangkan
hati Bong Thian-gak, diam-diam dia menggeser tubuhnya
melompat keluar melalui jendela belakang, kemudian setelah
melewati kebun ia menyusup ke balik kawanan orang yang
sedang menonton jalannya pertempuran itu.
Sementara itu para anggota Put-gwa-cin-kau yang berada
di sisi arena terpukau oleh kehebatan ilmu barisan yang
sedang berlangsung di tengah arena pertempuran, sudah
barang tentu mereka tidak mengetahui Bong Thian-gak telah
menyelundup di antara mereka.
Bong Thian-gak lihat Thay-kun sedang bersiap melancarkan
serangan. Berarti dia pun harus memanfaatkan kesempatan
itu untuk melancarkan sergapan pula, kerja sama dalam waktu
serta ketepatan tak boleh meleset sedikit pun.
343 Sesungguhnya cara berpikir Bong Thian-gak ini memang
benar, akan tetapi dia telah melupakan sekawanan pembunuh
dari luar barisan, pembunuh yang sebenarnya bukan
kedelapan orang berjubah hijau yang berdiri pada posisi
barisan Pat-kwa, pembunuh yang sesungguhnya bukan lain
daripada Ji-kaucu sendiri yang berada di luar barisan.
Barisan ini bernama Pat-kwa-an-kiu-kiong-tin.
Saat Jit-kaucu Thay-kun membuka mata itulah mendadak
dia saksikan Ji-kaucu yang berada di luar arena sedang
memandang ke arahnya dengan sorot mata setajam sembilu
dan hawa membunuh yang menyala-nyala.
Tergerak hatinya setelah menyaksikan kejadian itu, ia
berseru tertahan dalam hati, "Ah, rupanya Pat-kwa-an-kiukiong-
tin, habis sudah riwayatku kali ini!"
Pat-kwa-an-kiu-kiong-tin merupakan barisan yang luar
biasa, semacam siasat perang yang aneh, luar biasa, di luar
dugaan dan teramat keji.
Belum habis ingatan itu melintas dalam benak Thay-kun,
tiba-tiba terdengar Ji-kaucu berpekik nyaring, kemudian
tubuhnya melejit tinggi dan menerjang ke arah Jit-kaucu.
Tak terlukiskan rasa terkejut Bong Thian-gak setelah
menyaksikan kejadian ini, dengan cepat dia melejit pula ke
udara dan menerjang ke tengah arena dari posisi lain.
Dia telah mengambil keputusan untuk melakukan duel
mati-hidup yang menentukan posisi kedua belah pihak.
Arah sasaran Bong Thian-gak kali ini adalah kedelapan
orang yang berada di luar arena, yang diterkam lebih dahulu
adalah seorang berjubah hijau yang membawa seruling.
Jeritan ngeri yang memekakkan segera berkumandang.
344 Termakan oleh pukulan Bong Thian-gak yang maha
dahsyat itu, orang berjubah hijau itu tergetar keras tubuhnya
dan mencelat ke udara.
Dengan berkurangnya salah satu kekuatan pada barisan
Pat-kwa itu, kontan barisan menjadi kacau, namun pembunuh
yang menempati barisan Kiu-kiong sama sekali tidak
merasakan pengaruhnya.
Tampak Ji-kaucu menerobos masuk ke dalam dengan
kecepatan luar biasa.
Diam-diam Thay-kun mengertak gigi, tangan kiri segera
diangkat, cahaya merah memancar keluar dari balik telapak
tangannya, ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang yang merajai kolong
langit telah disiapkan.
Ketiga orang itu masing-masing merupakan jagoan sakti
dunia persilatan, pada saat bersamaan masing-masing
mengeluarkan ilmu andalannya, untuk merobohkan musuh
sebanyak mungkin.
Untuk beberapa saat suasana menjadi kacau.
Jerit kesakitan dan dengusan tertahan bergema, menyusul
tubuh Bong Thian-gak berkelebat, satu demi satu musuh
bergelimpangan.
Munculnya Bong Thian-gak di arena pertarungan sama
sekali di luar dugaan siapa pun, tak heran sergapannya segera
menimbulkan kepanikan yang luar biasa.
Sementara itu Ji-kaucu sudah menerobos masuk ke dalam
arena, tampak ujung bajunya berhembus kian kemari, seperti
segulung asap putih saja.
Dalam waktu singkat tubuh Thay-kun dan Ji-kaucu sudah
terkurung oleh asap tebal itu.
345 Cahaya merah memancar keluar memenuhi angkasa,
serangan Jian-yang-ciang dari Jit-kaucu Thay-kun tidak
mengenai sasaran.
Di tengah lapisan kabut yang sangat tebal, terdengar suara
deru angin pukulan yang memekakkan telinga, jelas Jit-kaucu
Thay-kun sudah terlibat dalam pertarungan yang amat seru.
Mimpi pun Bong Thian-gak tidak mengira Ji-kaucu bakal
mengeluarkan asap semacam itu, tatkala dia menyadari akan
hal itu dan siap menerobos kabut itu, tubuh Thay-kun sudah
mundur dari lapisan kabut dengan sempoyongan.
Cepat Bong Thian-gak melompat maju, kemudian serunya
dengan cemas, "Kau terluka?"
"Aku terkena sergapan mereka, cepat kabur dari sini!" seru
Thay-kun gelisah.
Dalam pada itu kawanan jago Put-gwa-cin-kau yang
menonton jalannya pertarungan dari sisi arena telah melihat
bayangan tubuh Bong Thian-gak, serentak mereka
membentak nyaring, di tengah jeritan keras, dua puluh orang
menerjang datang melakukan pengepungan.
"Kalau harus mati biarlah kita mati bersama, kalau harus
pergi kita pergi bersama,"seru Bong Thian-gak lantang.
Di tengah seruan itu, Bong Thian-gak menyambar
pinggangnya dengan tangan kiri, kemudian membopong
tubuhnya sambil berpekik nyaring, tubuhnya melejit ke tengah
udara. Serentetan suara tawa aneh bergema, Liok-kaucu
melompat ke muka melakukan penghadangan.
Dalam keadaan gawat dan berbahaya ini, Bong Thian-gak
segera mengerahkan tenaga dalamnya, melihat datangnya
terjangan itu, sebuah pukulan segera dilontarkan ke depan.
346 Serangan pukulan ini sungguh hebat dan mengerikan.
Seketika itu juga tubuh Liok-kaucu terlempar ke belakang
dan jatuh terkapar di tanah.
Begitu berhasil merobohkan Liok-kaucu, cepat Bong Thiangak
membopong tubuh Thay-kun melejit ke atas pohon,
kemudian dengan meminjam tenaga jejakan itu dia melompat
naik ke atas atap rumah.
Gerakan tubuhnya cepat bagaikan sambaran kilat, lincah
melebihi monyet.
Diiringi bentakan nyaring para anggota Put-gwa-cin-kau,
mereka melakukan pengejaran serentak.
Tiba-tiba Ji-kaucu muncul dari balik kabut yang tebal, lalu
membentak keras, "Tak usah dikejar lagi, gerakan tubuhnya
kelewat cepat, tak nanti kalian bisa menyusulnya."
Ternyata keadaan waktu itu sungguh mengenaskan, bukan
saja kawanan jago kelas satu Put-gwa-cin-kau telah menderita
luka, Liok-kaucu serta pemimpin pasukan pengawal tanpa
tanding barisan kedua pun terluka pula.
Yang tersisa kini tinggal jago-jago kelas tiga saja,
bagaimana bisa menyusul Bong Thian-gak"
Padahal serangan maha dahsyat Bong Thian-gak sudah
cukup membuat kawanan jago Put-gwa-cin-kau ketakutan
setengah mati. Memandang bayangan punggung Bong Thian-gak yang
berlalu sambil membopong Thay-kun itu, Ji-kaucu
memperlihatkan sekulum senyuman dingin yang licik dan
penuh kebanggaan, gumamnya, "Jit-kaucu sudah tersingkir,
hehehe, kau si bocah keparat pun sudah terkena seranganku,
paling lambat tiga hari kemudian kau pun akan mampus,
meski kepandaian silat yang kau miliki sangat lihai."
347 Mendengar gumaman itu, orang berkerudung berjubah
hitam yang berdiri di sisinya segera bertanya, "Apakah orang
itu terkena sergapan Ji-kaucu?"
Dengan bangga Ji-kaucu tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, komandan Siau, tahukah kau nama asapku itu?"
"Asap itu amat aneh, tebalnya luar biasa dan tidak
menyebar atau membuyar meski terkena hembusan angin,
sudah pasti merupakan asap yang luar biasa."
Ji-kaucu tertawa.
"Asap ini bernama In-ing-tok-wu-im-ciang (Kabut beracun
himpunan hawa langit dan bumi), barang siapa terkena kabut
itu, baik manusia maupun binatang tak nanti lolos dari
ancaman maut."
"Tapi orang itu tak pernah memasuki lingkaran kabut itu?"
"Tapi sekujur tubuh Jit-kaucu telah terkena kabut itu,
sedangkan dia berlari sembari membopong tubuhnya, tanpa
dia sadari sebenarnya ia pun terkena serangan racun itu."
"Kepandaian silat orang itu amat lihai, Liok-kaucu pun
terluka di tangannya, entah siapakah orang ini?"
"Dari raut wajahnya, jelas sudah dipoles obat penyaru,
besar kemungkinan orang ini adalah pemuda yang bernama
Ko Hong itu."
Orang berkerudung berbaju hitam menggeleng kepala
berulangkah. "Pemuda Ko Hong telah terkena sebuah tusukanku, lukanya
amat dalam dan terluka parah, mana mungkin kesehatan
tubuhnya bisa pulih secepat itu?"
Dalam pada itu Ji-kaucu telah berjalan mendekati Liokkaucu,
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemudian menegur, "Parahkah lukamu, Liok-kaucu?"
348 Liok-kaucu sedang duduk bersila di atas tanah dengan
wajah merah membara, tiba-tiba dia memuntah darah
sebanyak tiga kali.
Darah yang keluar berwarna hitam pekat seperti warna
tinta bak. Menyaksikan kejadian ini, berubah hebat paras muka Jikaucu,
secepat kilat telapak tangan kirinya menepuk tiga buah
jalan darah penting di punggung Liok-kaucu.
Sebenarnya Liok-kaucu sudah tak mampu berkutik lagi, tapi
setelah ditepuk keras punggungnya, dia baru menghembuskan
napas panjang, katanya dengan suara gemetar, "Ji-kaucu,
lukaku parah sekali, entah ilmu silat apa yang dipergunakan
olehnya." Ji-kaucu membungkam, dia hanya mendongakkan kepala
sambil berdiri termangu-mangu.
Kemudian dia berpaling dan ujarnya kepada orang
berkerudung itu, "Komandan Siau, harap kau mewakili diriku
mengawasi sebentar keadaan di sini, aku hendak mengejar
mereka." Belum selesai berkata, Ji-kaucu telah menggerakkan bahu
dan meluncur ke depan, dalam waktu singkat bayangan
tubuhnya sudah lenyap di balik kegelapan.
Tentu saja yang dimaksud "mereka" oleh Ji-kaucu adalah
Bong Thian-gak berdua.
Suasana amat hening, malam mencekam seluruh jagad,
angin berhembus kencang membuat suasana terasa dingin
menggigilkan. Dengan merangkul pinggang Jit-kaucu Thay-kun dengan
tangan kirinya, Bong Thian-gak melakukan perjalanan tiada
hentinya sejauh dua puluh li lebih.
349 Tiba-tiba terdengar suara rintihan lirih, cepat Bong Thiangak
menghentikan larinya dan menundukkan kepala.
Tampak Thay-kun telah membuka matanya yang indah
menawan sambil memandang wajah Bong Thian-gak dengan
termangu. Memeluk gadis cantik dalam rangkulan, timbul suatu
perasaan aneh, bau harum semerbak menembus lubang
hidung. "Kau lelah?" pemuda itu menegur.
Thay-kun manggut-manggut.
"Kau bisa berjalan sendiri?" kembali Bong Thian-gak
bertanya lirih. Thay-kun tertawa, "Mengapa kau tidak
menurunkan aku?" Bong Thian-gak mengiakan dan cepat
menurunkan tubuhnya ke atas tanah.
Sambil menggeliat Thay-kun berkata dengan sedih, "Ai, aku
tak mungkin bisa lolos dari kematian."
"Mengapa?" Bong Thian-gak tertegun. Kembali Thay-kun
menghela napas panjang.
"Ai, karena aku telah terkena sebatang jarum beracun Hukut-
tok-ciam dari Ji-kaucu."
"Jarum beracun pelumat tulang" Terkena di bagian mana?"
Bong Thian-gak semakin terperanjat.
"Pada lengan kananku."
"Tapi bukankah kau masih berada dalam keadaan baik-baik
saja sekarang?"
Sambil tertawa getir Thay-kun menggeleng kepala
berulang-kali. "Kini lengan kananku menjadi kaku."
Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak segera berpaling
sambil memperhatikan lengan kanannya, betul juga, lengan
350 kanannya itu sudah terkulai lemas ke bawah dan sama sekali
tak bisa digerakkan.
"Memangnya tiada cara untuk mengobati luka itu?"
Thay-kun menggeleng.
"Ji-kaucu adalah tokoh yang amat lihai dalam
menggunakan racun, apalagi dia berniat membinasakan diriku,
sudah dapat dipastikan jarum beracun yang dilepaskan
olehnya menggunakan racun yang nanti tak dapat diobati!"
Bong Thian-gak melihat gadis itu tetap tenang, tidak
gugup, tidak panik, seakan-akan bukan dia yang terkena
jarum beracun dan bakal menemui ajalnya.
Maka dengan nada tak percaya dia bertanya lagi,
"Sungguhkah perkataanmu itu?"
"Apa gunanya kubohongi dirimu?" Thay-kun berkata sedih.
"Semut pun ingin hidup apalagi manusia."
"Tidak mungkin ... tidak mungkin," gumam Bong Thiangak,
"tak mungkin di dunia ini terdapat racun yang mematikan
tanpa bisa terobati lagi."
Sembari berkata Bong Thian-gak mengeluarkan tangan siap
merangkul kembali pinggang Thay-kun.
Mendadak Thay-kun menghindar sambil menyelinap
mundur, tegurnya, "Mau apa kau?"
Bong Thian-gak sendiri pun tertegun.
"Aku hendak mencari orang untuk mengobati racun di
lenganmu itu."
Thay-kun menghela napas panjang.
"Ai, bukankah sudah kukatakan kepadamu, tiada orang di
dunia ini yang bisa menyelamatkan jiwaku! Sekarang aku
harus memanfaatkan kesempatan yang ada untuk
351 mengemukakan suatu rahasia dunia persilatan yang mungkin
tidak diketahui oleh siapa pun."
"Menjelang ajalnya, Ku-lo Hwesio telah berpesan kepadaku
bahwa di Bu-lim hanya kau seorang yang dapat menghadapi
Cong-kaucu, kau tak boleh mati, tak boleh mati begini saja."
Thay-kun tertawa sedih.
"Perhitungan Ku-lo Sinceng sesungguhnya memang tepat,
di Bu-lim memang cuma aku seorang yang bisa
menghadapinya, tapi perhitungan manusia tak mampu
melawan perhitungan takdir, rupanya nasibku memang harus
berakhir sampai di sini."
Mencorong sinar aneh dari balik mata Bong Thian-gak, dia
berkata, "Sumoay, aku telah mempelajari hampir seluruh ilmu
silat yang berhasil Suhu curi sepanjang hidupnya, apakah di
antara sekian banyak kepandaian itu, tak satu pun yang bisa
digunakan untuk mengobati luka beracun itu?"
Thay-kun menghela napas panjang.
"Memang sepanjang hidup Suhu, beliau berhasil mencuri
kitab pusaka berbagai perguruan dan partai mana pun, sayang
di antara sekian banyak kepandaian itu tak sebuah pun yang
merupakan kitab ilmu pertabiban dan ilmu beracun. Itulah
sebabnya dia orang tua pun tewas akibat racun yang
dideritanya."
"Apa" Suhu pun mati akibat keracunan?" Bong Thian-gak
terperanjat. Thay-kun manggut-manggut.
"Benar, dia orang tua tewas karena keracunan hebat, ai!
Sekarang aku sudah tiada waktu lagi untuk memberitahukan
semua ini padamu, pokoknya pembunuhnya adalah Congkaucu."
352 Bong Thian-gak memang telah menduga Jian-bin-hu-li Ban
Li-biau tewas secara mengenaskan dalam gua akibat
perbuatan Cong-kaucu, ternyata dugaannya memang tepat.
Sebenarnya dia ingin tahu keracunan apakah Ban Li-biau
sampai menemui ajal, namun Thay-kun telah mengalihkan
pokok pembicaraan ke soal lain, katanya, "Ku-lo Hwesio dari
Siau-lim-pay bisa menduga aku bermaksud mengkhianati Putgwa-
cin-kau, hal ini menunjukkan semasa hidupnya dulu, ia
telah berjumpa dengan Nyo Li-beng. Nyo Li-beng telah
memberitahukan rencana busuk Cong-kaucu serta asalusulnya.
Kalau begitu Ku-lo Sinceng pun sudah pasti telah
mempunyai rencana yang matang mengatasi situasi dunia
persilatan di masa mendatang, bila demikian adanya, meski
aku telah memejamkan mata untuk selamanya, aku pun bisa
mati dengan perasaan lega."
Agak bingung juga Bong Thian-gak mendengar perkataan
yang tiada ujung pangkalnya itu, dia tak tahu apa maksud
Thay-kun berkala demikian.
Maka sembari berkerut kening ujarnya kemudian, "Sumoay,
bagaimana kalau kau kuajak menuju ke kuil Keng-tim-an?"
Tergetar perasaan Thay-kun mendengar perkataan itu,
ucapnya cepat, "Kuil Keng-tim-an merupakan pasukan
tersembunyi kita, pasukan tersembunyi itu belum boleh
muncul dalam Bu-lim pada saat ini, sebab kalau tidak, bisa jadi
kekuatan tersembunyi itu bisa ditumpas ludes."
"Mengapa" Bukankah Keng-tim Suthay telah berkata,
'Sembilan hari lagi di Bu-lim akan muncul perkumpulan baru',
berarti sembilan hari lagi mereka sudah bersiap melakukan
gerakan?" Thay-kun tersenyum.
"Benar, hal ini akan terjadi sembilan hari lagi, bukan
sekarang!"
353 "Mengapa harus menunggu sembilan hari lagi?"
"Sebab sampai waktunya baru akan muncul tokoh yang
mampu menandingi kemampuan Cong-kaucu."
"Aku tidak memahami maksud perkataanmu itu."
"Sewaktu masih berada dalam gedung Bu-lim Bengcu
tempo hari, bukankah pernah kau dengar dalam tiga hari
setelah meninggalnya Oh Ciong-hu Bengcu, lima orang mati
secara misterius, tapi beberapa hari setelah kematiannya,
jenazah mereka lenyap?"
"Ya, aku dengar kelima orang itu adalah si Pukulan nomor
wahid dari kolong langit Ma Kong Loenghiong dari perguruan
Sin-kun-bun, Liong-thau Pangcu dari perkumpulan Hek-huopang
Kwan Bu-peng, Congpiauthau dari tujuh perusahaan
ekspedisi gabungan wilayah Kanglam Lui-hong-khek (Jago
angin guntur) Gi Peng-san, Loapcu dari benteng Jit-seng-po
Tui-hun-pit (Pena pengejar sukma) Cia Liang dan Thi-koan-im
(Koan-im baja) Han Nio-cu, tapi bukankah mereka semua lelah
mati?" Thay-kun manggut-manggut.
"Benar, mereka telah mati satu kali, tapi kini telah hidup
kembali." "Masa orang yang sudah mati dapat hidup kembali?" seru
Bong Thian-gak terkejut bercampur keheranan.
"Sembilan hari lagi mereka akan muncul dan hidup kembali
dari kuil Keng-tim-an."
Dengan terperanjat Bong Thian-gak mengawasi wajah
Thay-kun sambil termangu-mangu, sedang di hati kecilnya
berpikir, "Kejernihan otaknya masih tetap meyakinkan, tapi
mengapa perkataannya masih sukar dipercaya."
354 Sambil tersenyum manis kembali Thay-kun berkata,
"Semua teka-leki ini akan terungkap sembilan hari lagi, bila ku
tarakan sekarang kau pun belum tentu mau percaya."
"Baik, baik ...." gumam Bong Thian-gak. "Terpaksa aku
harus menunggu sembilan hari lagi."
Thay-kun menghela napas sedih, kembali dia berkata, "Apa
yang hendak kusampaikan kepadamu, kini telah habis
kuucapkan, nah kau boleh pergi meninggalkan tempat ini!"
"Pergi" Aku harus pergi kemana?"
"Makin jauh semakin baik, pokoknya kau baru boleh
kembali ke kota Kay-hong sembilan hari lagi!"
Bong Thian-gak tertawa bodoh. "Kau pun hendak pergi
bersamaku?"
"Ai, mengapa kau tak pernah menuruti perkataanku?"
keluhnya. "Aku mendapat perintah melindungi keselamatanmu, tak
nanti aku meninggalkan dirimu begini saja."
Tiba-tiba Thay-kun menarik muka, katanya, "Tahukah kau,
Ji-kaucu akan segera menyusul kemari untuk membinasakan
kita berdua?"
Bong Thian-gak tertawa nyaring.
"Mengapa kau begitu takut kepada Ji-kaucu?" serunya.
"Ai, siapa angkuh dia pasti akan kalah, kau terlalu
memandang remeh kemampuan Ji-kaucu," ucap Thay-kun
menghela napas.
"Padahal Ji-kaucu telah datang kemari!" kata Bong Thiangak
dengan suara pelan.
Berubah hebat paras Thay-kun mendengar perkataan itu, ia
mendongakkan kepala dan memandang sekejap sekeliling
tempat itu, angin malam berhembus, kabut menyelimuti
355 permukaan tanah, kecuali suara hembusan angin dan suara
binatang kecil, tak sesosok bayangan orang pun yang nampak.
Bong Thian-gak membalikkan tubuh sembari mengayun
tangan kanan ke depan, serentetan cahaya segera menyebar
di tengah udara seperti deru angin.
Semua cahaya tajam itu meluncur ke arah sebatang pohon
yang terletak tak jauh dari situ.
Pohon itu berada delapan depa jauhnya, siapa pun tak
mengira senjata rahasia yang disambitkan Bong Thian-gak
bisa mencapainya.
Mendengar suara desingan senjata rahasia itu, Thay-kun
berseru tertahan, "Ah! Jarum Lui-hong-sin-hong!"
Setelah menyambitkan senjata rahasia, Bong Thian-gak
pun memperhatikan sinar hitam yang menyusup ke dalam
kegelapan itu, namun yang didapat hanya suasana hening
sepi dan tiada terdengar sedikit suara pun.
Dengan paras muka berubah hebat Bong Thian-gak segera
berbisik lirih, "Sumoay, apakah Lui-hong-sin-hong dari Suhu
dapat disambut dengan tangan kosong?"
"Lui-hong-sin-hong mampu menembus bebatuan
menghancurkan karang, keras dan tajamnya luar biasa, tiada
manusia di dunia ini yang mampu menyambut ancaman, cuma
jarak timpukanmu terlampau jauh.," kata Thay-kun dengan
wajah berubah hebat.
Bong Thian-gak tidak bicara lagi, mendadak dia beranjak
dari tempatnya dan menerjang ke muka.
"Berhenti!" Thay-kun berseru.
Mendengar bentakan itu, Bong Thian-gak segera berhenti,
tanyanya dengan cepat, "Ada apa?"
"Seandainya Ji-kaucu bersembunyi di tempat gelap,
mengapa dia tidak segera muncul" Jelas dia bermaksud
356 memancing kedatanganmu ke situ, kemudian menyergap dan
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melukaimu."
Bong Thian-gak tersenyum.
"Ia telah terluka."
"Siapa?"
"Ji-kaucu."
Baru selesai ia berkata, tampak sesosok bayangan orang
seperti setan saja pelan-pelan berjalan keluar dari tempat
kegelapan. Dia memakai baju model sastrawan berwarna hijau,
berjenggot panjang sedada, menyoreng pedang dan bermata
setajam sembilu, kalau bukan Ji-kaucu siapa lagi dia"
Baik Thay-kun maupun Bong Thian-gak dapat melihat jelas,
lengan kiri Ji-kaucu seakan-akan menggenggam sebuah
benda, namun darah kental bercucuran dari balik sela-sela
telapak tangannya dan membasahi permukaan tanah.
Sepasang mata Bong Thian-gak seolah-olah terkena sihir,
tanpa berkedip dia mengawasi Ji-kaucu maju selangkah demi
selangkah. Walaupun suasana di sekeliling tempat itu sangat hening
dan tiada suara apa pun, namun suasana penuh diliputi
ketegangan dan keseraman yang menggidikkan.
Walaupun semua orang tahu bahwa serangan yang
dilancarkan Ji-kaucu pasti mengerikan dan dahsyat bukan
kepalang, namun mereka tidak gentar menghadapinya,
apalagi setelah menyaksikan Ji-kaucu terluka.
Sementara itu Thay-kun telah menggeser tubuh ke
samping kiri Bong Thian-gak dan bersiap menghadapi segala
kemungkinan yang tak diinginkan.
357 Dalam suasana hening seperti ini, Bong Thian-gak serta
Thay-kun seperti mendengar suara nyamuk yang amat ramai,
suara itu seperti ada seperti tiada, sedemikian lembutnya
hingga tak tertangkap oleh telinga.
Seandainya mereka tidak sedang memusatkan perhatian,
sulit rasanya menangkap suara itu.
Mendadak terdengar Thay-kun menjerit kaget, "Hati-hati
dengan nyamuk!"
Thay-kun segera melontarkan telapak tangan kirinya yang
merah membara itu ke depan, kembali dia telah melancarkan
sebuah pukulan dengan ilmu Soh-li-jian-sin-kang.
Pukulan yang maha dahsyat itu dilontarkan tiga kaki di
depan tubuh Bong Thian-gak, dimana angin pukulan itu
berhembus, beberapa ratus ekor nyamuk segera rontok ke
atas tanah. Tapi gara-gara harus memperhatikan keselamatan Bong
Thian gak, akibatnya Thay-kun sendiri pun kena digigit tiga
ekor nyamuk pada pergelangan tangan kirinya, rasa sakit yang
kemudian timbul boleh dibilang merasuk sampai ke tulang
sumsum. Thay-kun berseru tertahan, tubuhnya berguncang lebih
keras lagi. Pada saat inilah mendadak Ji-kaucu mengayunkan tangan
kiri, segulung cahaya berwarna hitam dengan membawa suara
dengungan suara lebah laksana sambaran petir menyambar ke
tubuh Thay-kun.
Mimpi pun Bong Thian-gak tak mengira Ji-kaucu bisa
menyerang Thay-kun, bahkan menggunakan Lui-hong-sinhong.
Dalam gelisahnya, sambil membentak Bong Thian-gak
mengayun telapak tangan kanannya ke depan.
358 Angin serangan yang dahsyat dan kuat secara tepat
menghajar rontok Lui-hong-sin-hong itu.
Namun Lui-hong-sin-hong merupakan senjata andalan Jianbin-
hu-li Ban Li-biau di masa lalu, kedahsyatannya luar biasa
walaupun angin serangan Bong Thian-gak berhasil menghajar
senjata rahasia itu, bukan berarti senjata itu dapat
dirontokkan seluruhnya.
Dengusan tertahan berkumandang memecah keheningan,
tahu-tahu punggung kanan Thay-kun terkena serangan dan
roboh tidak sadarkan diri.
Rupanya serangan yang digunakan Ji-kaucu untuk
melancarkan serangan itu telah menggunakan teknik yang
tinggi, bersamaan dengan babatan telapak tangan kanan Bong
Thian-gak, Ji-kaucu telah melayang maju.
"Cring", berkumandang suara gemerincing, tahu-tahu Jikaucu
telah melolos pedangnya, digunakan untuk melancarkan
serangan. Kendatipun Bong Thian-gak tahu musuh akan
menggunakan pedang, namun dia tak menyangka terjangan
lawan dilakukan dengan kecepatan luar biasa, bahkan jurus
serangan yang digunakan pun begitu sempurna dan ganas.
Terdengar desingan angin tajam, tahu-tahu lengan kanan
Bong Thian-gak telah mengucurkan darah, sementara
tubuhnya melayang mundur, sedangkan tangan kiri melolos
sebilah pedang emas.
Tapi pedang antik Ji-kaucu seakan sudah puas menjilat
darah dan menyusup kembali ke sarungnya, pedang telah
disarungkan kembali.
Benarkah serangan pedangnya begitu cepat dan dahsyat
sehingga sukar diikuti pandangan mata"
Benar, serangan yang dilancarkan Ji-kaucu memang hanya
sejurus, jarang ada jago lihai dunia persilatan yang berhasil
359 lolos dari ujung pedangnya dalam keadaan selamat, oleh
sebab itulah ia belum pernah melancarkan serangan kedua.
Suara tertawa dingin menyeramkan berkumandang dari
bibir Ji-kaucu Terdengar dia berkata, "Sudah sepuluh tahun lamanya aku
tak pernah melolos pedang, tak nyana kau telah memaksaku
melanggar kebiasaanku, bahkan tidak menemui ajal dalam
satu gebrakan."
"Selama empat puluh tahun ini, kau merupakan jago lihai
pertama yang kujumpai, kau pun pantas menjadi musuhku,
meski akhirnya kau akan mati juga, kau boleh bangga dan
gembira karena kehormatan ini."
Kata-kata ini diucapkan tidak cepat tidak pula lambat,
seperti lagi menghibur seperti juga lagi memuji, bahkan
membawa keangkuhan.
Darah segar telah membasahi lengan kanan Bong Thiangak,
dalam waktu singkat separoh tubuhnya telah basah
kuyup, walaupun mulut lukanya terasa sangat panas dan
sakit, namun dia tak berani bersikap gegabah teledor, segenap
perhatiannya dipusatkan menantikan datangnya serangan
kedua Ji-kaucu.
Saat inilah Bong Thian-gak baru merasakan betapa
menakutkan Ji-kaucu, hingga kini pemuda itu belum juga
mengerti bagaimana cara ia melancarkan serangannya, dia
pun tak tahu bagaimana dirinya bisa terbabat oleh mata
pedang lawan. Ketika menghindar tadi, sudah jelas dia lolos dari mata
pedang itu sejauh setengah kaki, tapi mengapa pula mata
pedang musuh bisa memancar setengah kaki dari arah
serangan" Dengan suara tenang dan lembut kembali Ji-kaucu berkata,
"Ia telah terkena jarum beracun pelumat tulangku, sekarang
360 pun sudah digigit nyamuk bangkai dari wilayah Biau, ditambah
pula terhajar jarum rahasia Sin-hong pada bagian mematikan,
aku rasa meski ada dewa yang turun dari kahyangan pun tidak
bisa menyelamatkan jiwanya. Sedang kau" Tentu saja kau pun
tak bisa hidup lebih lanjut, karena tanpa kau sadari kau pun
telah terkena racun jahat, paling lambat tiga hari kemudian,
racun itu akan bekerja yang mengakibatkan kematian."
"Mengapa kau tak berani melancarkan seranganmu yang
kedua?" jengek Bong Thian-gak sambil tertawa dingin.
Sudah jelas Ji-kaucu hendak melancarkan serangan kedua,
tapi berhubung pertahanan yang dilakukan Bong Thian-gak
sangat ketat, hal itu membuatnya tidak berkesempatan
melakukan penyerangan.
"Kini kau ibarat seorang yang hampir mati," kata Ji-kaucu
dengan lembut. "Mati sekarang atau mati beberapa hari lagi,
apa pula bedanya!"
"Baik, jika kau enggan menyerang, biarlah aku yang
melancarkan serangan lebih dulu."
Begitu selesai berkata, Bong Thian-gak membabatkan
pedangnya bagaikan bianglala, secara beruntun dia
melepaskan tiga buah serangan dahsyat.
Tentu saja ketiga buah serangan itu dilancarkan Bong
Thian-gak dengan jurus serangan yang paling tangguh, begitu
serangan dilepaskan, cahaya tajam segera menyambar.
Di bawah cecaran ketiga jurus serangan itu, dengan enteng
dan cekatan Ji-kaucu menghindarkan diri ke sana kemari.
Sementara itu Bong Thian-gak telah melompat ke sisi Thaykun
setelah melancarkan ketiga buah serangannya itu,
kemudian tangan kanannya menyambar dan memeluk
pinggang Thay-kun, bersamaan itu juga pedang di tangan
kirinya diayunkan ke muka.
361 Sebilah pedang yang lemas tahu-tahu sudah berubah
menjadi tujuh dalam sekali ayunan tangan, seakan-akan tujuh
pisau terbang yang meluncur bersama menyerang Ji-kaucu.
Sedangkan anak muda itu sendiri segera melompat ke
udara dan kabur dari situ.
Dia tak sempat melihat lagi apakah Ji-kaucu berhasil
meloloskan diri dari sergapan mautnya atau tidak, sekarang
dia hanya tahu bagaimana mengerahkan ilmu meringankan
tubuh untuk melarikan diri secepatnya dari situ.
Sudah barang tentu Ji-kaucu dapat melolos diri dari
ancaman ketujuh pisau terbang itu, hanya saja dia tak
melakukan pengejaran.
Sekulum senyuman dingin penuh perasaan bangga
menghiasi wajahnya, kemudian terdengar ia bergumam,
"Tiada seorang pun di dunia ini yang dapat lolos dari ujung
pedangku dalam keadaan selamat, tidak terkecuali dirimu."
Kabut fajar telah menyelimuti angkasa, begitu tebal dan
padat sehingga sulit untuk melihat keadaan di sekitar tempat
itu. Sambil membopong Thay-kun, Bong Thian-gak melakukan
perjalanan dengan amat cepat.
Tiba-tiba ia merasa kepala pening sekali, tenggorokan
kering seperti mau retak, keempat anggota badannya lemas
tak bertenaga. Keadaan ini mengejutkan Bong Thian-gak, diam-diam
pikirnya, "Kalau aku benar sudah terkena serangannya, wah
celaka! Apakah kami berdua harus tewas begini saja."
Ia berhenti untuk memperhatikan sekeliling tempat itu,
mendadak ia mendengar suara ombak memecah pantai,
sayang empat penjuru diselimuti kabut tebal sehingga dia
sendiri pun tak tahu sedang berada dimana.
362 "Mungkin kita berada di tepi sungai," pikir Bong Thian-gak.
Berpikir sampai di situ, mendadak perutnya terasa mual
ingin muntah, sayang tak setitik benda pun yang bisa
dimuntahkan. Mendadak kakinya terasa lemas, Bong Thian-gak bersama
Thay-kun yang berada dalam bopongannya roboh terjengkang
ke atas tanah. Waktu itu Thay-kun telah pingsan, mata terpejam rapat,
wajahnya pucat-pias seperti mayat, sedangkan di bahu
kanannya masih tertancap jarum Hui-hong yang masuk ke
dalam daging, keadaannya mengerikan sekali.
Waktu itu lengan kanannya sudah terkulai lemas,
sementara tangan kirinya merah bengkak.
Menyaksikan semua ini, Bong Thian-gak menghela napas
panjang, kemudian gumamnya, "Tidak enteng luka yang
diderita olehnya, ai ... sedangkan aku sendiri pun tak jauh dari
kematian."
Terbayang akan kematian, hati pemuda ini merasa pilu.
Dia menundukkan kepala memandang sekejap wajah cantik
dalam pelukannya, tanpa terasa dia merasa terhibur juga,
gumamnya sambil tertawa bodoh, "Thian benar-benar suka
mempermainkan umatnya, siapakah yang akan menduga aku
akan mati sambil memeluk gadis tercantik di dunia saat ini,
ah!" "Perubahan yang terjadi dalam alam semesta memang
sukar diduga, sebenarnya dia terhitung musuhku yang boleh
diampuni, tapi kini telah berubah menjadi sahabat karibku
dalam perjalanan pulang ke alam baka, hal ini tak pernah
kubayangkan sebelumnya."
"Perhitungan Ku-lo Sinceng pun amat tepat, entah dia telah
memperhitungkan keadaanku dan Thay-kun belum" Sesudah
kami berdua tiada, Put-gwa-cin-kau pasti akan meraja-rela
363 tanpa seorang pun yang bisa membendung mereka.
Mungkinkah dunia persilatan akan dikuasai orang-orang Putgwa-
cin-kau?" "Mungkinkah berbagai perguruan besar akan musnah di
tangan mereka?"
Menghadapi ajal di depan mata, tak urung berbagai macam
pikiran muncul dalam benaknya, apalagi kesadaran Bong
Thian-gak mulai surut, tak aneh pikirannya tambah kalut.
Tiba-tiba terdengar suara rintihan lirih yang menghentikan
jalan pikiran Bong Thian-gak, cepat dia berpaling.
Tampak Thay-kun sedang mengerahkan tenaga lalu
mengedipkan mata dan membukanya pelan-pelan.
Ketika menyaksikan wajah Bong Thian-gak berada di
hadapannya, sambil tersenyum lantas dia berkata, "Dalam
impian aku seperti dipeluk olehmu, ternyata kau benar-benar
sedang memelukku."
Bong Thian-gak tersenyum.
"Aku yakin kau pasti akan sadar, nyatanya kau benar-benar
sadar!" "Tapi dengan sadarku ini, kemungkinan besar saat
kematianku akan semakin dekat!" ucap Thay-kun sedih. "Aku
sendiri pun tak akan hidup lama."
Thay-kun terkejut oleh perkataan itu, serunya pula, "Kau
pun tak dapat hidup lama?"
"Ya, aku telah terkena serangan Ji-kaucu."
"Kau pun keracunan?"
Sampai di situ si nona telah melihat lengan kanan Bong
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Thian-gak lerluka, buru-buru katanya lagi, "Luka pada
lenganmu amat parah, apakah terluka oleh babatan pedang Jikaucu?"
364 Bong Thian-gak tak menjawab, dia hanya manggutmanggut.
Dengan sedih Thay-kun menghela napas panjang, "Pedang
Ji-kaucu amat lihai, konon sudah direndam racun yang amat
jahat, kalau begitu kau benar-benar telah terkena racun."
Bong Thian-gak tertawa getir.
"Memang sepantasnya kita mati bersama!"
"Kau tak boleh mati, kau pasti tak akan mati."
"Jika Thian menyuruh kita berpulang, siapa mampu
menolak?" "Mari kita pergi mencari seseorang."
"Tapi aku sudah tidak mampu bergerak lagi." Thay-kun
menghela napas sedih.
"Ai, kalau begitu, terpaksa kita berdua harus menunggu
kematian di sini."
"Coba tunggu sebentar, bila aku telah bertenaga lagi
barulah kita lanjutkan perjalanan."
Mendadak Thay-kun memejamkan mata, lalu berkata
lembut, "Hingga sekarang aku belum mengetahui namamu
yang sesungguhnya serta raut wajah aslimu."
"Buat apa kau menanyakan hal ini?"
Thay-kun tertunduk malu, bisiknya manja, "Sejak
dilahirkan, belum pernah aku dipeluk orang seperti ini."
"Ah!" Bong Thian-gak berseru tertahan. "Tapi aku tak
bermaksud mencari keuntungan dengan cara ini."
"Masih ingat malam itu ...." bisik Thay-kun lirih, ia tak
melanjutkan kata-katanya.
365 Walau begitu Bong Thian-gak telah mengetahui apa
gerangan yang dimaksud, buru-buru dia berkata, "Tapi aku
tidak bermaksud mengintipmu."
"Sudahlah! Sekarang aku sudah hampir mati, bersediakah
kau memberitahukan nama aslimu kepadaku?"
Bong Thian-gak menghela napas panjang.
"Tentu saja bersedia, aku she Bong bernama Thian-gak."
"Ah! Kalau begitu kau adalah murid keempat Thi-ciang-kankun-
hoan Oh Ciong-hu!"
"Aku telah dikeluarkan dari perguruan," bisik pemuda itu
sedih. "Aku bisa memahami nasib tragis yang menimpa dirimu,
kau ingin mempertahankan nama baik Oh Ciong-hu dengan
cara begini, aku yakin arwah Oh-bengcu di alam baka tentu
sudah tahu akan hal ini dan bersedia menerimamu kembali
sebagai anggota perguruannya."
"Darimana kau bisa tahu tentang pengalaman tragis yang
menimpa diriku?" tanya Bong Thian-gak terkejut dan
keheranan. Thay-kun tertawa, "Tahukah kau siapakah Go-kaucu Putgwa-
cin-kau yang menyelinap dalam gedung Bu-lim Bengcu"
Dia tak lain adalah istri Oh Ciong-hu, Pek Yan-ling adanya!"
Bong Thian-gak tidak mengira Go-kaucu adalah ibu
gurunya sendiri, darah yang menggelora dalam dada Bong
Thian-gak serasa mendidih, sambil menggigit bibir, katanya,
"Sampai sekarang wanita cabul itu belum juga menyesal, bila
aku masih dapat hidup, akan kucincang tubuhnya hingga
hancur berkeping-keping."
"Masih ada satu hal perlu aku beritahukan kepadamu, kau
anggap Siau Cu-beng sudah mati?"
366 Mencorong sinar tajam dari balik mata Bong Thian-gak,
serunya dengan cepat, "Siau Cu-beng! Sam-suhengku Siau
Cu-beng?" "Kalau bukan dia, siapa lagi?"
Mendengar ucapan itu, hati Bong Thian-gak bergetar keras,
dari nada bicara Thay-kun, agaknya ia benar-benar
mengetahui amat jelas kejadian lama yang pernah
menimpanya bersama semua aib yang telah menimpa
perguruannya. Mungkinkah Sam-suhengnya Siau Cu-beng yang terjatuh ke
dalam jurang benar-benar belum mati" Tapi dimanakah dia
sekarang" Berpikir sampai di situ, sorot matanya segera dialihkan ke
arah Thay-kun. "Walaupun Siau Cu-beng telah terhajar hingga tercebur ke
jurang oleh pukulanmu, sesungguhnya dia tak mati," kata
Thay-kun pula. "Ia benar-benar belum mati?"
"Buat apa aku membohongi dirimu!"
"Lantas dimanakah Siau Cu-beng sekarang?"
"Sewaktu jatuh ke dalam jurang tempo hari, sesungguhnya
Siau Cu-beng sudah sekarat dan tinggal menunggu ajal saja,
pada saat itulah muncul seorang bintang penolong yang telah
menyelamatkan jiwanya."
"Siapakah bintang penolongnya?"
"Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau! Bukan saja ia telah
menyelamatkan jiwanya, bahkan dalam tujuh tahun yang
singkat, ia telah mewariskan ilmu silat yang maha dahsyat
kepadanya."
367 "Ah!" Bong Thian-gak menjerit kaget, "kalau begitu Siau
Cu-beng adalah...."
"Komandan nomor dua pasukan pengawal tanpa tanding
Put-gwa-cin-kau atau tepatnya orang berkerudung jubah
hitam itu."
Mendadak Bong Thian-gak berteriak, "Aku tak boleh mati,
aku harus hidup lebih lanjut, aku tak dapat membiarkan Siau
Cu-beng segar-bugar di dunia ini."
Entah darimana datangnya kekuatan, dengan cepat dia
merangkul kembali tubuh Thay-kun dengan lengan kirinya,
kemudian bertanya, "Kita harus berjalan menuju ke arah
mana?" "Ke kota Lok-yang!"
"Itu berarti dua perjalanan," seru Bong Thian-gak dengan
tertegun. Thay-kun segera mengangguk.
"Ya, tempat ini adalah Tio-ko, bila menempuh perjalanan
sejauh satu li lagi kita akan sampai di kota, kemudian dari situ
kita dapat menumpang kereta menuju ke kota Lok-yang."
0oo0 Fajar baru saja menyingsing, sang surya memancarkan
cahaya keemas-emasannya dari ufuk timur, di hadapan
mereka terbentang sebuah sungai.
Sambil merangkul Thay-kun, selangkah demi selangkah
pelan-pelan Bong Thian-gak bergerak menuju ke depan sana,
tanyanya, "Ke Lok-yang kita harus mencari siapa?"
"Seorang tabib kenamaan yang mengasingkan diri di bawah
bukit Cui-im-hong, asalkan dia bersedia mengobati luka kita,
betapa pun parahnya luka yang kita derita, sudah pasti dia
bisa menyelamatkan jiwa kita dari ancaman bahaya."
"Seandainya dia menampik?" tanya Bong Thian-gak dengan
rasa kuatir. 368 Thay-kun tersenyum.
"Dia tak akan menampik permintaan kita!"
Dari nadanya, tampaknya gadis itu telah lama mengenal
tabib sakti itu, maka perasaannya menjadi tenang kembali.
Yang dikuatirkan olehnya sekarang adalah seandainya dia
serta Thay-kun tak bisa bertahan sampai kota Lok-yang.
Mendadak Thay-kun berseru tertahan, lalu melanjutkan,
"Bong-suko, di pinggangku terdapat sebuah botol kecil, tolong
ambilkan!"
"Botol" Buat apa botol itu?" Bong Thian-gak tertegun.
"Di dalam botol terdapat lima butir Tok-liong-wan, pil itu
berkhasiat melenyapkan berbagai macam pengaruh racun, bila
orang menelan sebutir, dalam tiga tahun dia tak usah takut
terrhadap serangan hawa racun, bahkan bisa menguatkan isi
perut." Mendengar ucapannya itu, Bong Thian-gak menurut dan
segera merogoh pinggangnya
Benar juga di sana terdapat sebuah botol kecil berwarna
putih, sambil mengambil keluar benda itu, tanyanya, "Botol
kecil inikah yang kau butuhkan?"
"Benar, bukalah tutup botol itu dan ambillah sebutir,
langsung telan ke dalam mulut."
Pelan-pelan Bong Thian-gak membuka tutup botol itu dan
mengeluarkan sebutir pil sebesar kacang kedelai, terendus
bau harum semerbak.
Tanpa terasa dia membuka mulut dan menelan sebutir,
rasanya memang agak getir namun seketika itu juga
semangatnya terasa segar kembali.
"Ehm, obat bagus, obat bagus, ai, mengapa kau tidak
menelan sebutir?"
369 Thay-kun menghela napas sedih, "Seandainya aku tidak
menelan sebutir Tok-liong-wan lebih dulu, mungkin sejak tadi
nyawaku sudah melayang meninggalkan raga kasarku!"
"Benar, konon ilmu beracun Ji-kaucu tiada taranya di dunia
ini, sedangkan Thay-kun telah terkena beberapa racun jahat
sekaligus, nyatanya dia masih dapat hidup hingga sekarang,
nampaknya kita masih ada kesempatan untuk hidup."
Berpikir sampai di sini, tanpa terasa ia telah menunjukkan
wajah berseri. Terdengar Thay-kun berkata lagi, "Tok-liong-wan ini
merupakan hadiah tabib sakti yang hidup mengasingkan diri di
bawah puncak Cui-ini-hong di luar kota Lok-yang, tiga tahun
berselang ia menghadiahkan enam butir pil itu untukku."
"Menurut dia sendiri, pil ini dibuat dengan susah-payah,
bukan saja harus dimasak selama tiga tahun, juga cuma
dibuat delapan belas bulir saja, itulah sebabnya Tok-liong-wan
ini tak ternilai harganya."
"Ai, ternyata ucapan itu memang benar, Tok-liong-wan
telah menyelamatkan jiwa kita."
"Walaupun Tok-liong-wan memiliki khasiat luar biasa,
namun ilmu beracun Ji-kaucu bukan sembarang orang bisa
menandinginya, oleh karena itu lebih baik kita secepatnya
berangkat menuju ke kota Lok-yang."
Sejak menelan Tok-liong-wan, lambat-laun Bong Thian-gak
merasa betapa segar dan nyamannya sekujur tubuhnya, tidak
seperti tadi perutnya selalu mual dan ingin muntah saja,
penderitaannya bukan alang-kepalang.
"Ai! Sesampainya di kota Lok-yang nanti, aku harus
berterima kasih kepada tabib sakti itu!"
"Tabib itu berwatak aneh dan suka menyendiri," Thay-kun
menerangkan. "Sesampainya di sana nanti kau mesti menuruti
370 semua perkataanku, aku kuatir bila dia menampik mengobati
lukamu." Mendengar ucapan itu, Bong Thian-gak tertawa.
"Asal kau dapat sampai di situ dengan selamat, soal matihidupku
bukan masalah yang terlalu penting."
"Kalau harus mati, kita mati bersama," bisik Thay-kun
pelan. Sekali pun ucapan itu sangat sederhana dan tiada sesuatu
yang luar biasa, namun jauh melebihi beribu-ribu kata lain,
karena dari ucapan itu dia telah mengemukakan seluruh
perasaan hatinya yang sebenarnya.
Rupanya ucapan itu diutarakan ketika Bong Thian-gak
masih berada di dusun petani, ketika mendengar perkataan itu
diutarakan, hatinya tergetar, dia tak tahu haruskah merasa
girang atau sedih ataukah murung"
Sekali pun sedang bermimpi, Bong Thian-gak juga tak
berani menyangka gadis cantik jelita ini menaruh perasaan
kepadanya. Tapi sekarang sudah jelas kalau dia telah mengutarakan
perasaan hatinya itu.
Dia nampak begitu cantik, siapakah lelaki di dunia ini yang
tak jatuh hati kepadanya, tidak ingin mempersunting dan
menjadikannya istri tercinta"
Justru karena dia kelewat cantik maka Bong Thian-gak
berani mengutarakan perasaannya itu, dia tak tahu haruskah
murung, sedih atau takut.
Akhirnya Bong Thian-gak dan Thay-kun menyewa sebuah
kereta di kota Tio-ko untuk melanjutkan perjalanannya
menuju ke kota Lok-yang.
Sebenarnya Bong Thian-gak ingin duduk bersama kusir di
depan, tapi berhubung Thay-kun takut jejak mereka ketahuan
371 lawan, terpaksa kedua orang itu harus menumpang kereta
bersama-sama. Dengan demikian benih cinta yang baru ditanam di hati
mereka berdua pun dengan cepat bersemi dan tumbuh
menjadi besar. Mungkin inilah suratan takdir yang telah menentukan jodoh
mereka. Sejak Bong Thian-gak menelan Tok-liong-wan, keadaannya
boleh dibilang mirip orang biasa, sama sekali tidak
menunjukkan gejala keracunan, bahkan luka di lengan
kanannya juga tidak menunjukkan gejala merah atau
bengkak. Thay-kun sendiri pun kelihatan amat jernih pikirannya,
namun sepasang lengannya sudah tidak mau menurut
perintahnya lagi, tak ubahnya seperti orang cacat.
Kereta berlari kencang di atas jalan berbatu, guncangan di
dalam kereta terasa amat kencang dan keras, membuat Thaykun
yang duduk di sebelah kanan hampir saja jatuh
terjengkang. Untung Bong Thian-gak bergerak cepat dengan menyambar
pinggang kirinya, lalu membiarkan dia bersandar di pinggang
sendiri. Tiba-tiba Thay-kun berkata sambil tertawa manja, "Suheng,
seandainya sepasang tanganku benar-benar cacat, apakah
kau masih letap mencintai diriku?"
"Sekali pun kau telah berubah menjadi abu pun, aku akan
tetap mencintai dirimu," sahut Bong Thian-gak tanpa pikir
panjang. "Benarkah itu?"
"Selamanya aku tak pernah berbohong, terutama di
hadapan gadis, aku lebih-lebih tak ingin membohonginya."
372
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba Thay-kun menghela napas panjang seraya
berkata lembut, "Suheng, aku pernah membunuh banyak
orang, dalam agama Buddha dikatakan, 'siapa menanam
kejahatan, dia akan mendapat balasan yang setimpal'.
Sekarang aku benar-benar kuatir, bila suatu ketika aku tewas
dalam keadaan yang mengenaskan."
Bong Thian-gak turut menghela napas pula.
"Tiada manusia di dunia ini yang lolos dari kesalahan, orang
yang tahu salah dan mau bertobat itulah tindakan kebajikan
yang sejati! Bila sejak dulu kau telah memutuskan untuk
meninggalkan Put-gwa-cin-kau, mungkin akan banyak dosa
dan siksaan yang bisa dihindari."
Mata Thay-kun berkaca-kaca menahan linangan air mata.
"Mengapa aku tak dapat melupakan Put-gwa-cin-kau"
Karena perkumpulan ini ada sangkut-pautnya dengan asalusulku."
"Asal-usulmu?"
"Hingga sekarang aku belum dapat membuktikan Congkaucu
Put-gwa-cin-kau adalah ibu kandungku atau bukan."
'Seandainya dia benar-benar adalah ibumu?" tanya Bong
Thian-gak dengan perasaan tergetar.
"Semoga saja dia bukan ibuku, seandainya dia adalah
ibuku, tak nanti dia menurunkan perintah kepada Ji-kaucu
untuk membunuhku."
"Sumoay, karena ingin membuktikan hal itu maka kau
ragu." "Sejak kecil aku sudah dibesarkan dalam lingkungan
demikian, lagi pula dalam benakku sudah tertanam bahwa
Cong-kaucu adalah ibu kandungku, bayangkan saja,
bagaimana mungkin aku dapat lolos dari samudra penderitaan
begitu saja?"
373 Mendengar perkataan itu, diam-diam Bong Thian-gak
menghela napas panjang, pikirnya, "Aku tak boleh
menyalahkan dia, setiap orang bila sedang dalam keadaan
begini, dia pun akan terperosok lebih jauh, hari ini dia bisa
meloloskan diri dari pengaruh Put-gwa-cin-kau pun sudah
merupakan sesuatu yang luar biasa."
Seseorang bila sedang dalam tekanan dan ancaman, walau
ingin melawan dan meloloskan diri dari keadaan itu, maka
dibutuhkan keberanian yang sangat besar.
Biasanya keberanian semacam ini tak dimiliki setiap orang.
0oo0 Cui-im-hong merupakan nama sebuah bukit yang terletak
di luar kota Lok-yang sebelah utara, di depan bukit itu
terdapat sebuah sungai yang berhubungan dengan sungai
Lok-sui, di balik bukit merupakan rangkaian gunung berlapislapis
dan sambung-menyambung tiada ujungnya.
Menyusuri tepi sungai terbentang sebuah jalan raya yang
amat lebar, semakin ke arah bukit semakin sedikit pula
manusia berlalu lalang di sana.
Di tengah keheningan malam yang mencekam jagad, tibatiba
terdengar suara roda kereta yang bergema di jalan raya,
lalu muncul sebuah kereta mendekati tempat itu. Akhirnya
kereta ini berhenti di sebuah rumah.
Bangunan itu meliputi suatu daerah yang sangat luas,
empat penjuru sekeliling tempat itu penuh ditumbuhi aneka
macam bunga yang beraneka warna, dari kejauhan pun
sudah. dapat terendus bau harum bunga yang semerbak.
Setelah berhenti sejenak, dari balik kereta kemudian
berjalan keluar seorang sastrawan pincang, dalam
bopongannya menggelendot seorang gadis cantik yang
lumpuh sepasang lengannya.
374 Dari sakunya Bong Thian-gak mengeluarkan sekeping uang
perak untuk membayar ongkos kereta, kemudian dia
mengangkat kepala dan memandang sekejap bangunan itu,
katanya pelan, "Tampaknya orang sudah tidur."
Thay-kun ikut mengangkat kepala memandang keadaan
cuaca, kemudian menyahut, "Sekarang tak lebih kentongan
pertama." Bicara sampai di situ, tiba-tiba firasat jelek melintas di
benaknya. Ternyata suasana di dalam bangunan besar di kaki bukit ini
gelap gulita, tiada cahaya lentera, tiada suara manusia,
keadaan tak jauh berbeda dengan kota mati.
Sementara itu kereta sudah pergi jauh, di bawah kaki bukit
tinggal mereka berdua saja.
Mendadak paras muka Bong Thian-gak berubah hebat,
bisiknya, "Ada orang datang."
Tampak tiga bayangan orang muncul di situ, mereka bukan
keluar dari balik pintu gerbang, melainkan melompat turun
dari atas atap iimiah, dalam dua kali lompatan saja mereka
sudah melayang turun di hadapan Bong Thian-gak.
Ketiga orang itu terdiri dari dua orang lelaki berperawakan
tinggi besar dan seorang berkerudung berbaju hitam.
Berhadapan dengan orang berkerudung berbaju hitam itu,
kontan mencorong sinar berapi-api dari balik mata Bong
Thian-gak. Sedangkan paras Thay-kun juga berubah hebat, tanyanya
dengan suara gemetar, "Berapa orang di antara kalian yang
telah datang?"
Orang berkerudung berbaju hitam itu tertawa dingin.
375 "Racun yang dilepaskan Ji-kaucu mungkin saja kehilangan
kehebatannya di tubuh kalian berdua, namun perhitunganku
tak akan pernah meleset."
"Jit-kaucu, apabila kau tahu diri, ikutlah aku pulang, siapa
tahu Cong-kaucu akan meninggalkan sebuah jalan kehidupan
bagimu!" Sementara itu berbagai pikiran telah berkecamuk dalam
benak Bong Thian-gak, dia lantas berpikir, "Sanggupkah aku
seorang melawan mereka bertiga?"
Seandainya dalam keadaan biasa, Bong Thian-gak percaya
masih sanggup bertarung melawan ketiga orang itu,
seandainya kalah, ia masih sanggup melarikan diri.
Tapi sekarang dia menyadari tak mempunyai kekuatan
seperti itu. "Gi Jian-cau berada di dalam," sahut orang berkerudung
berbaju hitam hambar.
"Kau telah melukainya?"
"Dia pernah menyelamatkan jiwaku, dia masih terhitung
tuan penolongku sendiri, karenanya aku tak mungkin berbuat
demikian, kau pun tak usah berbuat demikian."
Mendengar ucapan itu, Thay-kun menghela napas panjang,
"Ai, kenapa aku tak pernah berpikir kau pun pernah menjadi
tamu di rumah kediaman tabib sakti Gi Jian-cau."
Orang berkerudung tertawa dingin, "Betul, ilmu pertabiban
G i Jian-cau memang luar biasa, terutama kemampuannya
membuat obat, boleh dibilang tiada duanya di dunia ini dan
hal ini rasanya hanya diketahui oleh Cong-kaucu, kau dan aku
bertiga saja."
"Tapi sekarang telah bertambah banyak orang yang
mengetahui rahasia ini."
376 Mencorong sinar tajam dari bilik mata orang berbaju hitam
itu, ujarnya kemudian sambil tertawa, "Apakah malam ini
kalian masih ingin meninggalkan tempat ini dalam keadaan
hidup?" Mendadak Bong Thian-gak berseru, "Siau Cu-beng, aku
hendak membunuhmu!"
Tergetar keras perasaan orang berbaju hitam itu setelah
namanya disebut Bong Thian-gak, kemudian setelah tertawa
dingin, serunya, "Sungguh tak kusangka Jit-kaucu telah
mengingkari sumpah sendiri dengan membocorkan rahasia
terbesar partai kita, kalau begitu dosa dan kesalahan Jit-kaucu
sudah tak bisa dimaafkan lagi!"
Ternyata rahasia terbesar Put-gwa-cin-kau adalah
menghilangkan nama asli tokoh-tokohnya dengan mengganti
namanya memakai urutan nomor, itulah sebabnya hingga kini
orang-orang yang berkumpul dalam Put-gwa-cin-kau sebagai
pemimpin jarang diketahui asal-usulnya oleh orang lain,
bahkan dianggap misterius sekali.
Perbuatan pertama yang harus dilakukan setiap orang yang
bergabung dengan Put-gwa-cin-kau adalah bersumpah untuk
tidak membocorkan rahasia tokoh-tokoh dalam perkumpulan
itu, barang siapa berani melanggar sumpah itu, maka dosanya
tidak terampuni lagi, malah bisa dijatuhi siksaan yang paling
keji. Thay-kun sendiri pun terperanjat sekali mendengar Bong
Thian-gak menyebutkan nama Siau Cu-beng, serunya pula,
"Suheng, kau ... kau tidak boleh ...."
Mendengar seruan itu Bong Thian-gak amat terperanjat, ia
tahu gadis itu melarang dirinya mengungkap asal-usulnya
yang sebenarnya.
Akan tetapi gerak-gerik mereka ini semakin mencurigakan
Siau Cu-beng, dia segera berpikir, "Siapakah dia" Bukankah
dia adalah Ko Hong?"
377 Berpikir demikian, orang berkerudung kemudian berkata,
"Pandai amat saudara menyaru, sebenarnya siapakah dirimu?"
"Ko Hong!" jawab Bong Thian-gak hambar.
"Kau bukan Ko Hong!" bentak orang berkerudung. "Hm!
Aku mempunyai cara untuk mengetahui asal-usulmu yang
sebenarnya!"
Begitu selesai berkata, dia lantas mengulap tangan kirinya,
kedua orang yang berdiri di sisinya serentak maju dengan
langkah lebar. Kepandaian silat pasukan berbaju perlente pengawal tanpa
tanding telah dilihat dan dicoba oleh Bong Thian-gak beberapa
hari lalu, di saat mereka menyerbu ke dalam gedung Bu-lim
Bengcu tempo hari.
Waktu itu Goan-ko Taysu dari Siau-lim-si serta Wan-pitkim-
to (Golok emas berlengan monyet) Ang Thong-lam dari
Tiam-jong-pay melakukan pertarungan sengit melawan
mereka, hal ini menunjukkan betapa hebatnya ilmu mereka.
Pada hari biasa tentu Bong Thian-gak tak takut terhadap
mereka, namun berbeda sekarang ini.
Dia sendiri telah keracunan hebat, walaupun telah menelan
Tok-liong-wan yang bisa mencegah beredarnya racun
menyerang isi perut, hingga pikirannya tetap jernih dan tak
ubahnya seperti keadaan sehat.
Padahal Bong Thian-gak sendiri tahu lengan kanannya yang
terluka bacokan masih terasa linu dan kaku, tenaganya sama
sekali tak mampu dikerahkan ke situ.
Tapi menghadapi musuh yang semakin mendesak, dia pun
sadar, bila musuh tak segera dibinasakan, akibatnya tak bisa
dibayangkan. Ingatan itu melintas di benaknya, Bong Thian-gak segera
meraung gusar, telapak tangan kiri diayun ke depan dan
378 langkah kakinya bergeser berulang kali, kemudian melepaskan
sebuah bacokan maut ke depan.
Dimana serangannya dilancarkan seakan-akan sama sekali
tak bertenaga, karena tak terdengar sedikit suara pun.
Padahal siapa menduga dalam serangan ini Bong Thian-gak
telah mengerahkan segenap kekuatannya.
Tiba-tiba saja terdengar dua kali jeritan ngeri yang
memilukan hati berkumandang memecah keheningan.
Dua orang pengawal tanpa tanding yang maju ke muka
berhenti di tengah jalan, tiba-tiba badannya berubah seperti
tak bertulang, dengan lemas dan tak bertenaga mereka roboh
terduduk ke tanah.
Namun setelah terduduk, mereka pun tak pernah
merangkak bangun kembali.
Seluruh tulang mereka telah terhajar hancur oleh tenaga
maha dahsyat itu, bagaimana mungkin mereka bisa
merangkak bangun" Mereka tewas seketika, tewas tanpa
penderitaan sedikit pun. Bong Thian-gak sendiri sempoyongan
setelah melancarkan dua buah serangan itu, matanya
berkunang-kunang dan kepala amat pening, hampir saja ia
roboh tak sadarkan diri, dadanya menjadi sesak dan tak
mampu bernapas.
Sungguh suatu penderitaan yang hebat, dia sampai
terbungkuk-bungkuk dibuatnya.
Jit-kaucu Thay-kun menjerit keras, "Ke ... kenapa kau?"
Dengan susah payah dia menggeser tubuh mendekati Bong
Thian-gak, sementara air mata bercucuran membasahi
wajahnya yang cantik.
Kulit Bong Thian-gak mengencang keras, lalu serunya
dengan suara gemetar, "Kau ... kau mundurlah ke sisiku, aku
... aku ... aku sudah tak sanggup mempertahankan diri lagi...."
379 Dalam pada itu orang berkerudung sudah dibuat terpukau
dan terkesiap oleh kedahsyatan serangan Bong Thian-gak
yang berhasil membunuh kedua anak buahnya dalam sekali
pukulan. Dia berdiri tak berkutik, sementara sepasang matanya
mengawasi kedua sosok mayat yang tergeletak lemas di tanah
tanpa berkedip.
Dia pernah terhajar oleh serangan Bong Thian-gak, dia
pernah menyaksikan pula Liok-kaucu terkena pukulannya
hingga jatuh dari lengah udara dan sekarang dia menyaksikan
pula bagaimana musuh membinasakan kedua pengawal tanpa
tanding yang berilmu tinggi dalam sekali gebrakan saja.
Tenaga pukulan yang begitu dahsyat dan mengerikan
ini membuat hatinya terkesiap.
Mendadak ia menyaksikan penderitaan yang dialami Bong
Thian-gak, segera pikirnya dalam hati, "Mungkin dia pura-pura
kesakitan untuk memancing keteledoranku, lalu secara tibatiba
melancarkan serangan mematikan?"
Oleh karena bersangsi, maka untuk beberapa saat orang itu
tak berani berkutik, dia hanya berdiri diam.
Thay-kun yang berada di sisinya dapat membaca suara hati
orang berkerudung itu, ia memang kuatir orang itu benarbenar
melancarkan serangan pada saat demikian.
Maka sambil tertawa dingin jengeknya, "Siau Cu-beng,
mengapa kau tidak melancarkan seranganmu?"
Orang berkerudung tertawa dingin, "Jit-kaucu, berani amat
kau menyebut namaku secara langsung?"
"Mengapa tidak" Sekarang aku sudah mengundurkan diri
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari Put-gwa-cin-kau, sejak kini semua perbuatan terkutuk dan
memalukan yang dilakukan orang-orang Put-gwa-cin-kau akan
segera terbeber di Bu-lim
380 Belum selesai dia berkata, segulung angin berhembus
membawa segulung bau harum yang aneh, bau harum mirip
bau harum bunga anggrek, tapi seperti juga aroma tertentu.
Bau harum itu datangnya sedikit aneh, seolah-olah
disebarkan dari angkasa hingga permukaan bumi dipenuhi bau
harum itu. Bong Thian-gak yang sedang duduk bersila di atas tanah
pun ikut menghirup bau itu, hanya saja ia tak menaruh
perhatian. Berbeda dengan Thay-kun, paras mukanya segera berubah
pucat-pias seperti mayat, sekujur tubuhnya gemetar keras,
sementara dari balik matanya memancar rasa kaget, seluruh
wajahnya diliputi perasaan ngeri.
Siau Cu-beng segera menunjukkan reaksi yang berlawanan,
dari balik sorot matanya segera memancar perasaan girang,
bangga dan lega.
Pada saat itulah dari tengah kebun bunga tabib sakti Gi
Jian-cau telah bertambah dengan sebuah tandu. Tandu yang
luar biasa besarnya.
Di kedua sisi tandu berdiri dua baris orang, ada lelaki ada
pula perempuan, mereka berjumlah dua puluh empat orang,
tapi berhubung jaraknya kelewat jauh, apalagi suasana di
sekitar tempat itu gelap-gulita, sulit baginya untuk melihat
dengan jelas. Padahal Thay-kun dan Siau Cu-beng tak perlu memeriksa
lagi juga sudah tahu siapa gerangan yang akan muncul.
Bong Thian-gak mendongakkan kepala, dia pun melihat
bayangan tandu besar serta bayangan orang itu.
Dengan perasaan bergetar, keluhnya dalam hati,
"Mungkinkah dia?"
"Siapakah dia?"
381 Tentu saja yang dimaksud adalah Cong-kaucu Put-gwa-cinkau.
Suasana sekeliling tempat itu sunyi-senyap, sedemikian
heningnya sampai-sampai suara Thay-kun yang gemetar keras
dapat terdengar dengan jelas.
Pada saat inilah Thay-kun menyadari nasibnya, betapa
gawai situasi yang sedang dihadapinya sekarang.
Kematian bukan sesuatu yang menakutkan, yang patut
disedihkan adalah Bong Thian-gak bakal mati pula bersama
dia. Mendadak terdengar suara lembut dan halus
berkumandang memecah keheningan.
"Kun-ji, setelah bertemu diriku, mengapa kau malah
ketakutan setengah mati?"
Suara lembut itu berasal dari balik tandu, besar di hadapan
mereka, bukan saja suaranya lembut bahkan sangat jelas,
seakan-akan sedang berbicara berhadapan.
Thay-kun yang dipanggil menggigit bibir, dengan suara
penuh kebimbangan dia berkata, "Apa yang hendak kau
lakukan, silakan saja dilaksanakan atas diriku, bagiku
kematian bukan sesuatu yang terlalu menakutkan, dua puluh
tahun lagi aku akan muncul kembali sebagai manusia...."
"Murid murtad!" tiba-tiba Siau Cu-beng membentak.
"Berani kau bicara seperti itu terhadap Cong-kaucu."
Sementara itu suara lembut dan merdu kembali
berkumandang, "Kun-ji, kau benar-benar seorang yang lupa
budi, sia-sia aku mendidik dan merawatmu selama dua puluh
tahun, ai ... perbuatanmu membuat hatiku pedih."
Mendadak Thay-kun mendongakkan kepala sambil tertawa
terkekeh-kekeh, suaranya penuh dengan kepedihan dan
penderitaan. 382 Selesai tertawa, dengan suara dingin ucapnya, "Dua puluh
tahun belakangan ini, sudah amat besar pengorbanan yang
Thay-kun perbuat untuk membayar budi kebaikanmu itu.
Thay-kun merasa sudah tidak berhutang budi lagi kepadamu,
sekarang satu-satunya persoalan yang membuatku tak dapat
melupakan adalah asal-usulku ... mungkinkah aku adalah
putrimu?" Hingga sekarang Thay-kun masih belum tahu nama
marganya, seingatnya dia sudah di sisi Cong-kaucu sejak kecil,
tapi dia tahu bahwa dirinya pasti bukan putri perempuan itu.
Kendati dia tahu, Thay-kun masih tetap bingung dan kuatir.
Tampaknya Cong-kaucu enggan menjelaskan pertanyaan
itu, sampai lama sekali belum terdengar juga jawabannya.
Dalam pada itu Bong Thian-gak telah bangkit, sambil
menepuk bahunya dengan tangan kiri, dia berbisik lirih,
"Sumoay, segala sesuatunya Thian yang menentukan,
kematian bukan sesuatu yang mengerikan, aku gembira sekali
dapat mati bersamamu."
Sekujur badan Thay-kun gemetar keras, bisiknya kemudian,
"Suheng, kau tak boleh mati begitu saja, kau harus membalas
dendam, balas dendam bagiku, kau pun harus membalas
dendam bagi mereka yang telah dibunuh oleh orang-orang
Put-gwa-cin-kau."
Bong Thian-gak tertawa pedih.
"Nasib kita terlalu tragis, terlalu mengenaskan ...."
"Kau kan bisa melarikan diri."
"Dengan kondisi sekarang, mustahil! Aku dapat melarikan
diri cuma sejauh tujuh langkah!"
Tiba-tiba Thay-kun berbisik lirih, "Di dalam sakuku masih
terdapat empat buah butir Tok-liong-wan, pil itu memang
sengaja aku sediakan untukmu. Cepat ambil dari dalam
383 sakuku dan telanlah keempat butir itu sekaligus, siapa tahu
setelah menelan keempat butir pil itu, kau akan mati seketika,
tapi kemungkinan juga akan membangkitkan kekuatan dan
hawa murni dalam tubuhmu."
"Aku tahu, meskipun demikian sungguh berbahaya sekali,
namun kita harus mencobanya."
"Andaikan nasib kita kurang beruntung sehingga setelah
menelan Tok-liong-wan ini kau mati, aku pun akan segera
menggigit lidahku untuk bunuh diri, aku dapat mati di sisimu.
Bila kau beruntung tidak mati, maka kau dapat berusaha
menerjang keluar dari kepungan ini, sedangkan aku akan
berusaha keras melanjutkan hidup, apabila masih ada
harapan, tak nanti kau membiarkan aku begitu saja."
Mendengar ucapan itu, ibarat orang di tengah gurun yang
tiba-tiba menemukan air, walaupun harapan itu sedikit sekali,
namun Bong Thian-gak dapat merasakan betapa besarnya
harapan itu. Perkataan Thay-kun sudah cukup jelas, seandainya dia
tidak berbuat demikian, berarti dia mempunyai satu jalan
untuk mati. Atau dengan perkataan lain, persoalan sudah
gawat, tiada pilihan lain lagi.
Maka Bong Thian-gak segera menggeser tangan kirinya ke
arah pinggang Thay-kun, kemudian merogoh ke dalam
sakunya dan mengambil keluar botol obat itu.
Dia tidak ragu-ragu lagi, dengan cepat tutup botol dibuka,
lalu hendak menuang seluruh isi botol ke dalam mulutnya.
Belum selesai dia mengerjakan hal itu, tiba-tiba terdengar
Cong-kaucu berseru, "Wakil komandan Siau, bunuh dulu yang
pria, sedangkan Jit-kaucu akan kuhukum sendiri."
Siau Cu-beng bermata jeli, dapat melihat perbuatan Bong
Thian-gak, secepat kilat dia melolos pedang pendeknya,
kemudian secepat sambaran kilat membacok ke depan.
384 Ilmu silat Siau Cu-beng sudah pernah disaksikan Bong
Thian-gak beberapa hari berselang, dia pun tahu jurus
pedangnya sangat aneh, ganas dan cepat.
Bahkan beberapa hari yang lalu, karena bersikap kurang
waspada, Bong Thian-gak telah merasakan tusukan pedang
Siau Cu-beng, apalagi sekarang tangan kirinya sedang meraih
obat untuk ditelan, sedang serangan musuh sudah meluncur
tiba. Siau Cu-beng memang tak malu disebut seorang berakal
busuk, dalam melancarkan sergapannya ini, pedang yang satu
menyerang Thay-kun, pedang yang lain menyapu tubuh
bagian tengah Bong Thian-gak, sekaligus menutup jalan
mundurnya. Sebenarnya Bong Thian-gak masih dapat melompat
mundur menghindar, tetapi dengan demikian Thay-kun pasti
akan termakan tusukan pedang itu.
Dalam keadaan gelisah dan cemas, Bong Thian-gak sama
sekali tidak menyadari tusukan musuh terhadap Thay-kun
hanya serangan tipuan saja.
Maka dalam kaget dan cemasnya, Bong Thian-gak
menumbuk tubuh Thay-kun dengan sikut kirinya, bersamaan
itu pula tangan kanannya melayang ke atas menyampuk
pedang musuh yang membabat ke arah urat nadi pergelangan
tangan kirinya.
Waktu itu sepasang tangan Thay-kun telah cacat,
bagaimana mungkin dia dapat menghindarkan diri dari sikutan
anak muda itu. "Aduh!"
Di tengah teriakan kerasnya, tubuh Thay-kun roboh
terjengkang. Namun dengan mata terbelalak Thay-kun dapat
melihat tusukan pedang Siau Cu-beng yang semula ditujukan
385 ke arahnya itu kini sudah miring ke samping, bahkan secepat
kilat membacok ke arah lengan kanan Bong Thian-gak.
Waktu itu lengan kanan Bong Thian-gak telah menjadi
kaku, untuk bergerak pun tak dapat, apalagi untuk
menghadapi perubahan jurus serangan Siau Cu-beng yang
dilancarkan dengan begitu cepat, ganas dan berbahaya.
Thay-kun menjerit kaget.
Di tengah jeritan itulah, lengan kanan Bong Thian-gak telah
terpapas kutung sebatas bahu.
Darah segera mengucur dengan derasnya, sedang Bong
Thian-gak sendiri pun mundur sejauh tiga langkah dengan
sempoyongan. Mimpi pun dia tak menyangka setelah dua buah otot kaki
kirinya dikutungi Siau Cu-beng pada tujuh tahun berselang
hingga membuatnya pincang, tujuh tahun kemudian dia harus
kehilangan lengan kanannya di tangan orang yang sama.
Pada hakikatnya keadaannya sekarang tak ubahnya orang
cacat. Dalam gusar dan sedihnya, cepat dia menelan empat butir
Tok-liong-wan itu ke dalam mulut, kemudian telapak tangan
kiri melepaskan sebuah pukulan dahsyat dari jarak jauh.
Selama ini Siau Cu-beng cukup tahu kelihaian ilmu pukulan
lawan, dia paling jeri menghadapi serangan maut Bong Thiangak.
Begitu angin pukulan lawan dilancarkan ke depan, cepat dia
menenteng pedangnya melompat ke samping untuk
menghindar. Segulung angin pukulan yang amat dahsyat dengan
membawa debu dan pasir yang beterbangan di angkasa
langsung menyapu ke depan dan menyambar sejauh puluhan
kaki. 386 Angin pukulan yang sangat dahsyat itu benar-benar
mengerikan, membuat setiap orang bergidik.
Gagal dengan serangannya yang maha dahsyat itu, cahaya
sinar pedang Siau Cu-beng segera menyusul tiba, bagaikan
dua ekor naga sakti yang terbang di angkasa hebatnya.
Pertarungan antara jago lihai, yang diutamakan adalah
kelihaian memanfaatkan kesempatan, kali ini terpaksa Bong
Thian-gak mundur dari balik kepungan cahaya pedang itu.
Darah segar masih bercucuran deras dari lengannya yang
kutung itu, kini Bong Thian-gak telah berubah menjadi
manusia darah. Thay-kun merasa sakit hati menyaksikan kejadian itu,
segera teriaknya keras, "Suheng, kenapa kau tidak melarikan
diri saja?"
Meski lengan kanan Bong Thian-gak baru kutung, darah
masih bercucuran dengan amat derasnya, namun dia sama
sekali tak merasa sakit karena lengannya itu sesungguhnya
sudah kaku dan hilang rasa.
Sambil mengertak gigi, untuk kesekian kalinya dia
melancarkan pukulan menggunakan telapak tangan kiri.
Tentu saja Siau Cu-beng tak berani menyambut serangan
itu dengan kekerasan.
Kali ini Bong Thian-gak bertindak lebih cerdik, baru saja dia
melancarkan pukulan, tubuhnya sudah melompat ke samping
Thay-kun, cepat tangan kirinya menyambar tubuh Thay-kun
dan memeluknya kencang.
Thay-kun tahu pemuda ini hendak mengajaknya kabur, dia
tidak membiarkan anak muda itu mewujudkan keinginannya.
Setelah melepaskan diri dari pelukan Bong Thian-gak,
mendadak gadis itu bergulingan di tanah, teriaknya, "Suheng,
387 bila kau tidak pergi, terpaksa aku menggigit lidah dan bunuh
diri lebih dulu."
Suaranya mengenaskan seperti jeritan monyet di selat Wasia
atau lolongan serigala di tengah malam, keadaannya
sungguh menyeramkan.
Sementara itu Siau Cu-beng telah menerjang maju, kali ini
dia mengubah taktik permainan pedangnya, sepasang
pedangnya bagaikan dua buah pisau belati melepaskan
serangan dengan teknik menggaet, membabat dan menjojoh.
Dalam waktu singkat dia telah melancarkan delapan
serangan dahsyat.
Menghadapi serangan gencar musuh, Bong Thian-gak
terdesak hebat hingga tiada kesempatan untuk melancarkan
serangan balasan.
Berada dalam keadaan seperti ini, terpaksa dia harus
berkelit sambil mundur berulang-kali.
Tampaknya Cong-kaucu telah mengetahui pemuda ini
memiliki kepandaian silat melebihi orang lain, mustahil bagi
Siau Cu-beng untuk menaklukkan dirinya. Maka dengan cepat
perintahnya, "Dua belas pengawal, cepat bantu wakil
komandan Siau membunuh jahanam itu!"
Thay-kun cukup mengetahui ketangguhan kedua belas
pengawal lelaki-perempuan di samping tandu Cong-kaucu,
kepandaian silat mereka aneh, lihainya bukan kepalang.
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan perasan cemas dan gelisah, kembali gadis itu
berteriak, "Suheng, bila kau tidak pergi, kita akan mati
bersama di sini!"
Sementara itu dua belas sosok bayangan orang telah
melompati dinding pendek secara beruntun dan menerjang
tiba dengan kecepatan luar biasa.
388 "Baik!" seru Bong Thian-gak emosi. "Aku akan pergi! Kau
tak boleh mati!"
Tampaknya Bong Thian-gak telah berkeputusan, tubuhnya
segera meloloskan diri dari kepungan cahaya pedang,
kemudian melompat jauh.
Tapi dua belas sosok bayangan orang yang menerjang tiba
itu seperti sudah menduga Bong Thian-gak akan meloloskan
diri dari kepungan, maka enam di antara mereka menghadang
ke arah selatan, sedang enam sisanya mengepung dari arah
utara. Mereka adalah dua orang perempuan dan seorang laki-laki,
yang perempuan bersenjata pedang pendek, sedang yang
laki-laki bersenjata tombak panjang.
Pengawal bersenjata tombak melancarkan tusukan lebih
dahulu. Tusukan itu dilancarkan dengan dahsyat.
Waktu itu Bong Thian-gak sudah bertekad menerjang
keluar dari kepungan untuk melarikan diri, tiada ingatan untuk
mundur, diiringi bentakan gusar, telapak tangan kirinya segera
diayunkan ke depan.
Meskipun jurus serangan baru saja dilancarkan, namun
hawa pukulan tak berwujud sudah meluncur ke depan dengan
cepat. Pengawal bertombak itu sama sekali tak menyangka musuh
bakal melancarkan serangan di saat tombak itu sudah berada
di hadapannya, pertarungan ini untuk mengadu jiwa.
Asalkan gerak serangan Bong Thian-gak selangkah lebih
lambat, sudah pasti dia tak akan lolos dari tusukan tombak itu,
tentu saja serangan pukulan pun ada kemungkinan
membunuh lawannya.
389 Hanya saja pengawal bertombak itu sudah melalaikan
kecepatan angin pukulan yang dilancarkan Bong Thian-gak.
Dengusan tertahan berkumandang, tahu-tahu pengawal itu
sudah terkena pukulan tak berwujud hingga tubuh berikut
tombak mencelat, tak dapat disangsikan lagi isi perutnya
hancur tak keruan.
Baru saja serangan itu dilepaskan, sepasang pedang
pendek kedua pengawal perempuan sudah menyerang tiba
dari kiri dan kanan.
Keadaan Bong Thian-gak kini ibarat binatang buas yang
terluka, di antara putaran telapak tangan kirinya, segulung
angin pukulan telah meluncur ke depan dan menghajar orang
di sebelah kanan, sedangkan kaki kanan menendang orang
yang berada di sebelah kiri.
Jurus serangan yang digunakan merupakan jurus-jurus
tangguh yang jarang ditemui dalam Bu-lim.
Benar juga, kedua orang pengawal itu segera menjerit
tertahan, kemudian roboh terjengkang di atas tanah.
Ilmu silat yang mengerikan itu menggetarkan hati, dalam
waktu singkat beruntun tiga pengawal lelaki perempuan sudah
roboh binasa. Saat pembantaian agak terhenti inilah sebilah pedang telah
menyusup datang dari arah belakang punggung Bong Thiangak
tanpa menimbulkan sedikit suara pun.
Penyergapnya adalah Siau Cu-beng, hanya dia yang bisa
mencapai sasaran dalam waktu singkat.
Walau Bong Thian-gak merasakan datangnya serangan
pedang itu, sayang tiada kesempatan lagi baginya untuk
menghindar, terpaksa dia harus menerjang ke depan dengan
sepenuh tenaga.
390 Tahu-tahu pinggang kirinya sudah terasa dingin dan panas.
Di atas tubuh Bong Thian-gak telah bertambah dengan sebuah
luka memanjang, untung hanya luka ringan, namun darah
segera bercucuran dengan derasnya.
Karena terhenti, dua orang pengawal bertombak segera
menyerbu, "..itu dari kiri dan yang lain dari kanan.
Bong Thian-gak benar-benar terdesak hebat, sambil
mengertak gigi, pukulan tanpa tandingannya sekali lagi
dilontarkan ke depan.
Dimana angin pukulannya menyambar, selalu ada yang
roboh lei kapar, namun setiap kali Bong Thian-gak berhasil
membunuh orang, tubuhnya bertambah pula dengan sebuah
tusukan pedang Siau Cu-beng.
Secara beruntun Bong Thian-gak telah membinasakan
delapan orang pengawal lelaki perempuan, namun tubuhnya
pun sudah tidak ada bagian yang utuh.
Keadaannya sekarang sudah tidak berwujud manusia lagi,
dia lebih mirip sesosok manusia darah, iblis berwajah
menyeramkan. Namun semangatnya untuk mempertahankan hidup
membuat dia tak sampai roboh.
Pertempuran yang mendebarkan hati masih berlangsung
terus, berlangsung dan berkembang dengan hebatnya.
Bayangan mereka pun makin lama semakin tertarik jauh di
bawah sinar rembulan.
Thay-kun yang menyaksikan keberanian serta kenekatan
Bong Thian-gak dalam melakukan perlawanan, segera
bergumam, "Dia pasti dapat menerjang keluar kepungan, dia
pasti dapat hidup lebih jauh ...."
Ucapan itu diulang-ulang, sementara air matanya
bercucuran membuat pandangan matanya menjadi kabur, ia
391 tak dapat menyaksikan jalannya pertarungan lagi, tidak
mendengar pula suara apa pun.
0oo0 Cahaya rembulan menyinari tanah perbukitan. Air mengalir
deras menyusuri sungai yang meliuk-liuk di antara celah bukit.
Di bawah sinar rembulan, tampak sesosok bayangan
sedang merangkak di atas jalanan batu di tepi sungai.
Dia adalah sesosok manusia darah, hampir sekujur
tubuhnya tubuhnya berlepotan darah.
Darah sudah hampir mengering dari sekujur tubuhnya,
mulut luka yang memenuhi sekujur tubuhnya seperti sarang
lebah, sedang mulut luka pada lengan kanannya yang kutung
kini sudah tidak nampak darah meleleh.
Setiap orang yang memandang luka-luka itu pasti tak akan
percaya kalau dia masih bisa hidup.
Benar, dia masih hidup, bahkan sedang merayap di sisi
sungai berusaha mencari air.
Namun keadaan tubuhnya yang begitu lemah, membuatnya
sukar untuk menggerakkan badannya barang sejengkal.
Dia hanya bisa mencengkeram sebuah batu kecil dengan
kelima jari tangan kirinya yang dijulurkan ke depan, bibirnya
ternganga lebar penuh noda darah, sementara sepasang
matanya mengawasi air sungai tanpa berkedip.
Dia sangat haus, luka yang memenuhi seluruh badannya
membuat suhu badannya meningkat, dia membutuhkan air
untuk menghilangkan dahaganya, namun dia telah kehabisan
tenaga untuk maju.
392 Akhirnya dia putus-asa, dia tahu ajalnya sudah berada di
depan mata, segala macam penderitaan tak akan menyiksa
dirinya lagi. Berada dalam keadaan dan situasi seperti ini, dia tidak
terpengaruh oleh perasaan benci dan dendam, dia pun tak
terpengaruh oleh napsu atau angkara murka.
Dia hanya tahu kelima jari tangan kirinya makin melemas,
matanya semakin kabur dan berat.
Di saat yang kritis inilah mendadak telinganya seperti
menangkap serangkaian irama nyanyian yang merdu lincah
dan penuh gairah.
Bong Thian-gak tahu dirinya sudah hampir mencapai suatu
dunia yang lain, entah neraka, entah surga.
"Ah, mungkin inilah nirwana, kalau tidak, mengapa
terdengar suara nyanyian yang merdu merayu."
Suara nyanyian itu kian lama kian bertambah dekat, namun
suara itu makin lama semakin lemah dan samar-samar.
Kejernihan otaknya makin lama semakin membuyar.
Tak selang lama kemudian, dari ujung sungai sana benarbenar
muncul seorang gadis berjalan mendekat.
Sambil membawakan nyanyian yang merdu dan penuh
gembira, dia berjalan menyusuri sungai dan menuju ke arah
pemuda itu. Meendadak ia menjerit kaget.
Ternyata dia telah menyaksikan Bong Thian-gak dengan
sekujur tubuhnya yang penuh berlepotan darah, sepanjang
hidupnya belum pernah ia jumpai darah sebanyak ini, maka
saking kaget dan cemasnya, sekujur tubuhnya gemetar keras.
Bila suatu ketika menemukan sesosok tubuh manusia yang
bermandikan darah di tengah hutan belantara yang jauh dari
393 keramaian, siapakah yang tak terperanjat" Jangankan seorang
yang bernyali kecil, betapa pun besarnya nyali seorang, akan
dibikin ketakutan setengah mati, apalagi seorang gadis muda.
Tanpa banyak bicara, gadis itu membalikkan badan dan
segera melarikan diri.
Namun baru berlari empat-lima langkah, dia menghentikan
langkahnya, kemudian pelan-pelan berpaling memandang
tubuh Bong Thian-gak yang tak berkutik.
"Dia kan manusia ...." gumamnya, "mengapa aku harus
takut...."
Setelah merasa yakin yang dihadapinya adalah manusia,
perasaan takutnya sedikit berkurang, bahkan pelan-pelan dia
menghampiri Bong Thian-gak.
Kejernihan pikiran Bong Thian-gak waktu itu sudah mulai
pudar, sekali pun dia tahu ada orang sedang menghampirinya,
namun dia sama sekali tidak punya kekuatan untuk membuka
mata, apalagi kekuatan untuk bicara.
Gadis itu membelalakkan matanya yang jeli, setelah
mengawasi tubuh Bong Thian-gak, ia lihat pemuda itu masih
bernapas. Maka sambil menghela napas, gumamnya, "Begini parah
luka yang diderita orang ini, apakah dia masih bisa hidup."
Dia lantas berjongkok sambil memegang jidat Bong Thiangak,
namun dengan terperanjat serunya, "Ah, panas sekali
tubuhnya."
Bila panas, air dingin bisa menghilangkan panas itu, inilah
cara kuno untuk menurunkan suhu panas tubuh manusia.
Dengan cepat gadis itu mengambil sapu-tangannya, setelah
direndam air sungai segera ditempelkan ke atas jidat Bong
Thian-gak. 394 Sebenarnya kesadaran Bong Thian-gak sudah mulai
memudar, namun memperoleh rangsangan air dingin itu,
sekujur tubuhnya segera bergetar dan pikirannya pun jernih
kembali. "Air ... air ...." serunya lirih.
Walaupun dia mencoba berteriak, sesungguhnya tiada
sedikit suara pun yang terdengar.
Gadis itu pun dapat menyaksikan bibir orang bergetar,
namun dia tak tahu apa yang diucapkan olehnya, dia hanya
menunggu hingga sapu-tangan itu menjadi panas dan segera
direndam kembali ke dalam air, lalu setelah sapu-tangan itu
menjadi dingin, dia pun menempelkan pada jidatnya kembali.
Akhirnya Bong Thian-gak dapat berbisik lirih, "Air ... air ...."
Gadis itu berseru tertahan, dengan cepat dia berjalan menuju
ke sungai, digayungnya segenggam air, kemudian dengan
hati-hati sekali mengalirkan air ke mulut si pemuda melalui
celah-celah jari tangannya. "Aku haus ... aku haus sekali... air
... air ...."
Suara teriakan Bong Thian-gak makin lama semakin keras.
Dengan cepat gadis itu menggayung air lagi dengan
telapak tangannya dan mengalirkan ke mulut pemuda itu.
Demikian seterusnya hingga tujuh kali sebelum akhirnya
pelan-pelan Bong Thian-gak membuka matanya.
Waktu itu kentongan kelima sudah lewat, dari ufuk timur
muncul cahaya keemas-emasan, namun suasana dalam
lembah itu masih agak redup dan samar-samar, namun secara
lamat-lamat masih dapat melihat keadaan di sekitarnya.
Pemuda itu tahu gadis muda itulah yang telah
menyelamatkan jiwanya, dia memakai baju tipis berwarna
biru. 395 "Nona ... kau ... kaukah yang telah menyelamatkan
jiwaku." "Ssst! Jangan bicara dulu, parah sekali lukamu," cepat si
nona menukas dengan suaranya yang merdu.
Sembari berkata, gadis itu kembali mencelupkan saputangannya
ke sungai, kemudian mengompres kembali jidat
anak muda itu. Lambat-laun hari semakin terang, kini si nona dapat
melihat jelas keadaan luka di sekujur tubuh Bong Thian-gak.
Menyaksikan semua itu, si gadis terbungkam saking
terperanjat, t.mpa terasa dia membatin, "Ah, mana mungkin
dia dapat hidup dalam keadaan semacam ini" Benar-benar
suatu kejadian yang luar biasa?"
Kini kesadaran Bong Thian-gak benar-benar telah jernih,
dengan penuh rasa terima kasih katanya, "Nona, banyak
terima kasih atas pertolonganmu, andai aku dapat hidup lebih
lanjut, budi kebaikanmu ini pasti akan kubalas."
"Kau telah berkelahi dengan orang?" tanya si nona lembut.
"Ai, orang-orang Put-gwa-cin-kau hendak membunuhku,"
sahut Bong Thian-gak dengan menghela napas panjang.
"Apa itu Put-gwa-cin-kau?" si nona membelalakkan mata.
Segera Bong Thian-gak sadar dia sedang berhadapan
dengan seorang gadis biasa, yang sama sekali tidak mengenal
dunia persilatan.
Maka sembari menghela napas, katanya kemudian, "Bila
lukaku telah sembuh nanti, pasti akan kuceritakan semua
kejadian yang sebenarnya kepadamu."
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku berdiam dalam lembah sana dekat air terjun,
bagaimana kalau kau merawat lukanmu di gubukku saja?"
396 "Mungkin hidupku tak akan lama lagi," suara Bong Thiangak
agak pilu. "Kau pasti dapat hidup terus," hibur si nona dengan suara
lembut. "Aku tahu kau amat kuat dan gagah, kalau tidak,
dengan luka yang begini parah, kau pasti sudah tewas sejak
tadi." Dengan cepat Bong Thian-gak menggeleng.
"Aku bukan hanya menderita luka bacokan di sekujur
tubuhku, namun juga keracunan."
Begitu mendengar tentang keracunan, gadis itu berseru
pelan, "Ah, orang tuaku pun ajal karena keracunan."
Sampai di situ, mata gadis itu pun memerah, hampir saja
air matanya jatuh bercucuran.
Agak tertegun Bong Thian-gak oleh ucapan itu, cepat dia
bertanya, "Orang tuamu telah meninggal" Lantas kau tinggal
bersama siapa?"
"Sejak tiga tahun lalu, ketika kedua orang tuaku meninggal,
aku tinggal seorang diri di tempat ini."
Bong Thian-gak makin terharu mendengar ucapan itu,
seorang gadis yang lemah ternyata berdiam seorang diri di
tengah lembah yang jauh dari keramaian, sungguh kejadian
ini merupakan suatu peristiwa yang aneh.
Tiga tahun bukan jangka waktu yang pendek, namun dia
dapal hidup menyendiri di sana.
Bong Thian-gak tidak ingin memikirkan hal itu, segera
sahutnya, "Bila nona bersedia menerimaku, untuk sementara
waktu aku akan berteduh di rumahmu."
Gadis itu gembira sekali, dengan cepat dia berseru, "Aku
merasa kesepian hidup seorang diri di sini, bila kau bersedia
menemaniku, hal ini memang jauh lebih baik."
397 Tanpa mengindahkan darah yang mengotori sekujur tubuh
Bong Thian-gak, ia segera memapah tubuh pemuda itu,
kemudian mereka pelan-pelan berjalan menuju ke arah utara.
0oo0 Sebuah air terjun yang mengalir dari sembilan puncak,
pelan-pelan memuntahkan airnya ke dasar lembah yang
dalam. Air mengalir mengikuti sebuah sungai yang berliku-liku dan
membentang jauh ke depan.
Di tepi sungai di sebelah kiri air terjun, berdiri tiga buah
gubuk. Dalam gubuk itu, berdiamlah seorang lelaki dan seorang
perempuan. Yang lelaki adalah pemuda berlengan buntung, berkaki
pincang dan berwajah tampan, hanya sayang wajahnya agak
pucat. Sedang yang perempuan adalah seorang nona berkulit
putih dan berwajah cantik.
Setiap hari selain menebang kayu mencari kayu bakar,
pemuda berlengan tunggal berkaki pincang itu menghabiskan
sebagian besar waktunya duduk melamun di atas batu karang
di tepi air terjun.
Selama tiga tahun ini siang-malam dia selalu duduk
menyendiri, entah apa saja yang sedang dipikirkan olehnya"
Senja ini pemuda berlengan tunggal itu kembali duduk
bersila di atas batu karang sambil memejamkan mata
memikirkan sesuatu.
Mendadak pemuda cacat itu menggerakkan lengan kirinya
bagaikan kerasukan setan, gerakan itu dilakukan ke arah air
terjun itu. 398 Seandainya di situ hadir jago persilatan, niscaya akan
terperanjat menyaksikan tingkah-laku si anak muda itu.
Ternyata setiap pukulan, setiap bacokan, totokan jari
maupun cengkeraman yang dilancarkan pemuda cacat itu
hampir semuanya mengandung jurus yang tiada-taranya.
Selain jurus serangan maha dahsyat yang dilancarkan
pemuda itu sangat banyak, tenaga dalamnya pun sangat
mengerikan, setiap terkena pukulannya, air terjun yang
sedang muntah ke bawah, selalu arah arusnya berubah dari
posisi semula. Ada kalanya air yang mengalir terpotong menjadi dua, ada
kalanya muncul ruang di balik air terjun itu. Pukulan tak
berwujud yang dilancarkan olehnya bisa mengendalikan curah
air terjun di hadapannya.
Tenaga dalam semacam ini pada hakikatnya mengerikan.
Tiba-tiba suara pekikan nyaring menggema memecah
keheningan, pemuda itu melompat bangun dari atas batu
karang, tahu-tahu pada genggaman tangan kirinya telah
bertambah dengan sebilah pedang kayu.
Tubuhnya melejit ke udara, kemudian menerjang ke arah
air terjun itu.
Dalam waktu singkat pemuda itu telah melancarkan tujuh
buah bacokan berantai dengan menggunakan pedang
kayunya, memainkan tujuh jurus serangan yang berbeda.
Kemudian dalam waktu singkat dia telah melayang kembali
ke atas batu karang.
Ia dengan cepat mengangkat pedangnya dan memandang
sekejap pedang kayunya itu.
Memang sukar untuk dipercaya, ternyata pedang kayunya
itu sama sekali tidak terkena percikan air.
399 Tadi jelas pemuda cacat itu telah melancarkan tujuh buah
bacokan kilat ke arah air terjun itu, namun kenyataan pedang
kayu itu sama sekali tidak basah oleh butiran air yang
memercik, dari sini dapat diketahui betapa cepatnya serangan
pedang yang dilancarkan pemuda itu.
Sedemikian cepatnya hingga pada hakikatnya
kecepatannya tak bisa dibandingkan dengan apa pun.
Tatkala pemuda cacat itu tidak menemukan bekas air di
atas kayunya, sekulum senyuman segera menghiasi wajahnya
yang tampak pucat-pias.
Itulah senyuman penuh kegembiraan dan kepuasan.
Selama tiga tahun memeras otak, akhirnya dia berhasil
memahami ilmu pukulan yang maha dahsyat.
Kedua macam kepandaian sakti itu berhasil dipahami
olehnya sesudah lengannya kutung dan hidup terpencil di
lembah itu, dengan dasar tenaga Tat-mo-khi-kang dari Siaulim-
pay tingkat sepuluh sebagai dasar kekuatan yang
dikombinasikan dengan ilmu sakti berbagai perguruan, ia
berhasil menciptakan kepandaian sakti itu.
Selama tiga tahun berjuang berlatih dengan rajin dan
tekun, akhirnya dia berhasil, perjuangannya selama ini tidak
sia-sia, ia merasa amat puas.
Tapi saat itulah si gadis berdiri di belakangnya dengan
wajah termangu, dari balik matanya yang jeli nampak dua
baris air mata jatuh berlinang membasahi wajahnya.
Pemuda cacat itu menarik kembali pedang kayunya, lalu
membalikkan badan, tiba-tiba saja dia lihat gadis itu berdiri di
situ. "Siau-hui, kau menangis?" kata pemuda cacat itu dengan
suara pilu dan menghela napas sedih.
400 Dengan cepat nona baju biru itu menyeka air mata yang
membasahi pipinya, kemudian berkata dengan lembut, "Bongtoako,
aku tidak menangis."
Selama tiga tahun, beratus-ratus kali Bong Thian-gak
menyaksikan gadis itu diam-diam melelehkan air mata, namun
setiap kali dia selalu mengatakan dirinya tidak menangis.
Mengapa dia menangis"
Tentu saja Bong Thian-gak mengetahui perasaan gadis itu,
namun dia hanya bisa menghela napas secara diam-diam, lalu
menghibur dan membujuknya dengan nada seorang kakak
yang mencintai adik perempuannya.
Bong Thian-gak turun dari batu cadas itu, lalu merangkul
bahunya dengan mesra, bisiknya lembut, "Leng-hui, nasinya
sudah matang?"
"Sudah! Aku memang hendak memanggilmu untuk
bersantap," sahut si nona tersenyum manis.
Sambil berpelukan mesra, pelan-pelan mereka berdua
berjalan menuju ke gubuk.
Malam telah menyelimuti seluruh jagad, terutama di dalam
lembah yang terpencil itu.
Di ruang tengah gubuk itu nampak lentera telah disulut, di
atas sebuah meja nampak dihidangkan empat macam sayur,
dua macam ayam dan bakpao.
Kecuali hidangan itu, di atas meja tersedia tiga botol arak
wangi. Menyaksikan botol arak di meja, Bong Thian-gak nampak
tertegun, lalu sambil berpaling dan memandang sekejap ke
arah si nona, tanyanya, "Leng-hui, darimana datangnya arak?"
Selama tiga tahun ia berdiam di situ, belum pernah
dijumpai ada arak di situ, tentu saja dia pun tak pernah
mengendus bau arak.
401 "Arak itu peninggalan orang tuaku enam tahun lalu," kata
Song Leng-hui. "Ayahku selalu menyimpan arak di gudang
bawah tanah, besok kau hendak pergi meninggalkan aku,
maka malam ini aku hendak mengantar kepergianmu."
Walaupun ucapan itu diutarakan dengan menahan gejolak
perasaan dan emosi, namun ketika sampai pada ucapan yang
terakhir, suaranya terdengar agak gemetar.
Bong Thian-gak menghela napas sedih.
"Aku pasti akan balik kemari, aku tak akan membiarkan kau
hidup sebatang-kara di tengah bukit yang terpencil ini." Song
Leng-hui tersenyum.
"Di saat Toako datang kemari, kau telah menentukan pula
akan pergi meninggalkan tempat ini, tiada perjamuan di dunia
ini yang tak bubar, apalagi hanya perpisahan sementara
waktu?" Walau hatinya merasa kacau, namun Song Leng-hui
berusaha mengendalikan diri.
Dia tahu, bagaimana pun juga dia tak mungkin bisa
menahan . Bong Thian-gak di sana, lantas buat apa dia mesti
banyak bicara"
Tapi sikapnya yang berbeda itu membuat Bong Thian-gak
merasa lebih sedih dan menderita.
Selama tiga tahun, siang-malam mereka hidup bersama,
dalam hati Bong Thian-gak, Song Leng-hui sudah menempati
posisi yang kuat dan tak bisa diganggu gugat lagi,
sesungguhnya dia bukannya tak mencintainya, tetapi tak
berani untuk mencintai dirinya.
Dalam hatinya, Song Leng-hui adalah bidadari, gadis suci
bersih. Ia belum dijangkiti kebiasan jelek dari masyarakat, dia
nampak begitu suci, bersih dan menawan hati.
402 Oleh sebab itu Bong Thian-gak selalu menganggapnya
seperti adik kandung sendiri, ia tidak berani mempunyai
pikiran sesat terhadap dirinya.
Sebab dia tahu dirinya tak lebih hanya seorang tukang silat
kasar, dia hanya manusia yang sepanjang hidupnya luntanglantung
dalam Bu-lim, berduel dengan malaikat elmaut, dia
tak pantas untuk mencintai gadis suci itu.
Karena bila dia sampai mencintainya, maka hal ini sama
artinya dengan menyia-nyiakan dirinya, mencelakai dirinya,
maka dia hanya berusaha keras mengendalikan perasaannya
itu dan tidak membiarkan berkembang.
Seandainya Bong Thian-gak boleh memilih di antara tiga
gadis yang pernah dijumpainya selama hidup, yakni Oh Ciangiok,
Thay-kun dan Song Leng-hui, maka orang yang tak
dapat dilupakan olehnya adalah Song Leng-hui.
Dia tak pernah belajar ilmu silat, dia tidak mempunyai
kebiasaan jelek, dia nampak begitu lembut, begitu halus,
tenang, luwes dan cantik.
Bong Thian-gak merasakan darah yang menggelora dalam
dadanya bergolak keras, katanya, "Siau-hui, aku ... aku akan
mengajakmu keluar dari tempat ini!"
Sudah berulang kali dia mengucapkan kata-kata itu, akan
tetapi setiap kali Song Leng-hui selalu menggeleng kepala
sambil berkata, "Aku telah bersumpah tak akan meninggalkan
pusara orang tuaku untuk selamanya, lagi pula kehadiranku di
sisimu hanya akan menyusahkan dirimu saja, aku tahu
sepeninggalmu dari sini, kau akan membunuh banyak orang
jahat. Memang bagi seorang lelaki yang berlatih silat tempat
bergeraknya adalah dunia persilatan, sudah sewajarnya bila
melakukan suatu pekerjaan besar."
"Pergilah, aku akan tetap menantimu hingga kau kembali,"
kata Song Leng-hui sambil memenuhi cawan Bong Thian-gak
403 dengan arak, sedangkan dia sendiri pun memenuhi cawan
sendiri dengan arak.
Setelah itu, sambil mengangkat cawan araknya dia berkata,
"Semoga Toako sehat walafiat selalu."
Selesai berkata, gadis itu segera meneguk habis cawannya.
Bong Thian-gak pun segera meneguk cawannya sendiri.
Arak itu harum baunya, tak salah kalau dikatakan arak
bagus. Di luar ruangan hanya suara pohon cemara yang
terhembus angin dan suara air terjun.
Cahaya lentera yang redup menyoroti wajah sepasang
muda-mudi yang merah membara itu.
Besar sekali takaran minum Song Leng-hui, cawan demi
cawan dia menemani Bong Thian-gak meneguk habis arak di
hadapannya, hawa arak telah membuat wajahnya menjadi
merah membara, namun justru karena itu dia jauh nampak
lebih cantik dan menarik.
Waktu itu Bong Thian-gak sedang diliputi perasaan murung
dan duka, arak memang merupakan kebutuhan yang penting
dalam suasana seperti ini, dia hendak menggunakan arak
untuk menghilangkan kemurungannya, namun kemurungan
serasa makin bertambah, dia ingin menggunakan arak untuk
membuatnya mabuk, apa mau dikata dia justru tak pernah
menjadi mabuk. Sementara itu Song Leng-hui telah bergeser duduk di
sampingnya, lalu dengan suara manja bisiknya, "Toako, kau
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
harus kembali dengan cepat, karena aku ... aku telah menjadi
milikmu untuk selamanya."
Sudah tiga tahun lamanya dia menyimpan ucapan ini dalam
hati, baru hari ini dapat diutarakan.
404 Arak memang racun yang mudah mengacaukan jalan
pikiran orang, apalagi tiga botol arak sekaligus, dengan cepat
arak itu berubah menjadi obat perangsang cinta yang amat
kuat. Ketika Song Leng-hui bergeser dan duduk di sampingnya,
pemuda itu segera mengendus bau harum khas seorang
gadis. Akhirnya Bong Thian-gak tak mampu mengendalikan
gejolak hawa panas dalam tubuhnya lagi, tak tahan dia segera
merangkul gadis itu dan memeluknya kencang.
"Ehm!" Song Leng-hui mengerang lirih, seluruh tubuhnya
segera dijatuhkan ke dalam pelukannya.
Ketika rambutnya yang halus menempel di leher Bong
Thian-gak, segera timbul perasaan gatal yang aneh.
Bong Thian-gak semakin tak sanggup mengendalikan
gejolak perasaannya lagi, dengan cepat dia menundukkan
kepala, mencium pipinya yang putih dan halus dengan hangat
penuh kemesraan.
Tampaknya malam ini Song Leng-hui telah mengambil
keputusan untuk....
Dia membalikkan tubuh, kemudian balas memeluk tubuh
Bong Thian-gak dengan hangat, bibirnya yang merah
membalas ciuman pemuda itu dan menghisap lidah Bong
Thian-gak dengan lembutnya.
Perasaan mereka seakan hendak melompat keluar dari
rongga dadanya, sukma mereka seakan-akan membumbung
tinggi ke udara.
Selama tiga tahun terakhir ini, baru pertama kali ini mereka
berdua berpelukan sambil berciuman dengan mesra, dan
ciuman itupun merupakan ciuman pertama, mereka belum
tahu apakah itu mesra, manis, hangat ataukah gembira.
405 Udara serasa berputar, bumi bagaikan berguncang, mereka
lupa apa akibatnya, lebih-lebih tak mengerti apa yang
dinamakan menjaga batas kesopanan.
Napas Bong Thian-gak mulai memburu, dia memeluk tubuh
si gadis dengan semakin bernapsu.
Akhirnya Song Leng-hui berbisik lirih, "Toako, apa yang
ingin kau lakukan, lakukanlah sekehendak hatimu, aku sudah
menjadi milikmu, seluruh tubuhku adalah milikmu."
Arak telah membuat Bong Thian-gak melupakan segalagalanya,
dia mulai melangkah menuju ke tempat tidur.
Di sanalah terletak kamar tidur Song Leng-hui, tampaknya
gadis itu sudah mempersiapkan segalanya, seprei, kasur,
bantal, dan kelambu telah diatur dengan bersih dan
menyenangkan. Bong Thian-gak membaringkan tubuhnya di atas
pembaringan, sedang Song Leng-hui seakan-akan sudah kaku
pikirannya, dia memeluk lubuh Bong Thian-gak erat-erat dan
menarik pemuda itu sehingga bergulingan di atas
pembaringan. Kini pakaian yang dikenakan Song Leng-hui sudah terlepas,
kulit badannya yang putih halus bagaikan salju, setengah
terlihat setengah tersembunyi di balik pakaian dalamnya.
Gemetar keras seluruh tubuh Song Leng-hui, mendadak dia
mulai merintih, "Oh, Toako ... kau ... kau cepatlah."
Berada dalam keadaan seperti itu, sekalipun Bong Thiangak
berada dalam keadaan sadar pun, tak nanti bisa
mengendalikan diri.
Apalagi sekarang pengaruh alkohol sudah menguasai
kesadaran "laknya dan lambat-laun mengobarkan api napsu
birahinya yang makin memuncak.
406 Dengan penuh kegarangan dan kebuasan, Bong Thian-gak
menerkam ke depan dan menindih tubuh gadis itu.
Rintihan lirih dan dengusan napas berdesis dari bibir Song
Leng-hui yang mungil.
Tentu saja kegembiraan dan kenikmatan telah
menghilangkan seluruh rasa sakit dan perih yang dirasakan
olehnya. Hujan badai pun segera datang menderu-deru dan
menyapu seluruh jagat.
Cahaya lentera berkedip dimainkan angin dan memercikkan
setitik cahaya menerangi sebuah pembaringan.
Titik-titik noda merah memercik di atas seprei berwarna
putih dan menciptakan aneka bunga yang sangat indah.
Bong Thian-gak membelalakkan mata mengawasi tubuh
Song Leng-hui yang bugil dan indah itu dengan termangu.
Pengaruh alkohol yang mempengaruhi benaknya telah
hilang sebagian besar, sekarang dia sedang menyesal,
mengapa dia secara keji harus merenggut kesucian tubuh
gadis itu, yang sudah dipertahankan selama dua puluh tahun.
Song Leng-hui tidak menyesal, juga tidak malu, sesudah
menghela napas sedih, ujarnya, "Toako, kau jangan bersedih,
asalkan mencintaiku sesungguh hati, cepat atau lambat kita
akan mengalami juga malam pertama seperti ini, aku takut
kau tak akan kembali lagi untuk selamanya, maka aku telah
bertekad mempersembahkan kesucian tubuhku padamu
malam ini juga. Kau tak usah memikirkan persoalan ini, cukup
kau ingat saja kalau di tengah sebuah lembah yang terpencil
masih ada seorang gadis bernama Song Leng-hui yang setiap
saat mengharapkan kembalinya dirimu, asal kau ingat hal itu,
sudah lebih dari cukup!"
Bong Thian-gak ingin menangis, namun tak bisa
mengeluarkan suara, tiba-tiba dia menubruk ke badan Song
407 Leng-hui dan berkata lirih, "Siau-hui, mengapa kau berbuat
begini" Mengapa kau harus berbuat begini" Aku ... aku
merasa telah berbuat salah kepadamu, cinta kasih yang kau
berikan untukku tak nanti bisa kubalas untuk selamanya."
Song Leng-hui memeluk tubuh Bong Thian-gak dengan
mesra dan membelai lengannya yang kutung dengan penuh
kasih sayang, lalu katanya lembut, "Setelah kepergianmu
besok, kau harus baik-baik menjaga dirimu, kau sudah
menjadi orang cacat, aku tahu kepandaian silatmu tinggi,
namun di Bu-lim masih terdapat banyak persoalan yang tak
dapat diselesaikan dengan mengandalkan kepandaian silat."
Keadaan Song Leng-hui sekarang bagaikan ibu yang penuh
kasih sayang menasehati anaknya yang hendak pergi jauh.
Tiga tahun bukan jangka waktu yang pendek, dunia
persilatan yang luas bagaikan awan di angkasa, berbagai
perubahan sudah terjadi selama tiga tahun ini, bahkan boleh
dibilang perubahan yang amat besar.
Sejak Bong Thian-gak lenyap dari dunia persilatan, Putgwa-
cin-kau, perkumpulan rahasia yang amat besar itu turut
lenyap dari keramaian dunia persilatan.
Menyusul hilangnya perkumpulan itu, nama besar Kay-pang
dan Hiat-kiam-bun pun semakin menanjak dalam Bu-lim.
Kay-pang adalah perkumpulan yang mempunyai sejarah
paling lama di Bu-lim, cara kerja mereka antara jalan lurus
dan sesat, konon ketuanya adalah seorang yang sangat lihai
dan luar biasa.
Siapakah ketua Kay-pang" Tak seorang pun tahu.
Namun pedang milik ketua pengemis pernah menggidikkan
hati setiap jago dunia persilatan.
Menurut kabar, sebab-musabab menghilangnya Put-gwacin-
kau dari dunia persilatan akibat kelihaian pedang ketua
Kay-pang. 408 Hiat-kiam-bun (Perkumpulan pedang darah) adalah
perguruan yang amat rahasia, keji dan buas. Gerak-gerik
mereka di Bu-lim selalu dibarengi dengan pembunuhan
berdarah. Siapakah ketua Hiat-kiam-bun" Tentu saja lebih-lebih tiada
orang yang tahu dengan jelas.
Para jago dari sembilan partai besar yang berkumpul dalam
gedung Bu-lim Bengcu di kota Kay-hong pun sejak tiga tahun
lalu sudah membubarkan diri.
Bubarnya persekutuan dunia persilatan ini aneh sekali,
konon dalam satu malam saja segenap anggota yang berada
dalam gedung itu lenyap, mati hidupnya sampai kini masih
teka-teki. Peristiwa itu berlangsung tiga tahun berselang. Tiga
bulan terakhir ini di Bu-lim lagi-lagi muncul dua peristiwa yang
menggetarkan sukma.
Kedua peristiwa itu menyangkut seorang laki dan seorang
wanita. Yang perempuan adalah iblis yang berwajah cantik jelita
bak bidadari dari kahyangan.
Wajahnya yang begitu cantik dan menawan, pada
hakikatnya banyak sudah lelaki yang dipikatnya, bahkan
perempuan itu bersedia digauli semalam suntuk, cuma esok
harinya lelaki itu ditemukan tewas.
Dalam tiga bulan belakangan ini sering tersiar berita
tentang ditemukannya jenazah lelaki yang terkapar dengan
telanjang bulat.
Sebaliknya yang lelaki berilmu sangat tinggi, selama tiga
bulan terakhir ini sudah ada seratus orang lebih yang kalah di
tangannya. Kelihaian lelaki itu konon melebihi kedahsyatan Mo-kiamsin-
kun To Tian-seng yang pernah menggetarkan dunia
persilatan puluhan tahun lalu.
409 Asalkan pedangnya sudah dilolos dari sarungnya, tak
pernah ada korban yang dibiarkan hidup.
Namun jago pedang yang muncul ini punya sedikit
perbedaan dengan Mo-kiam-sin-kun To Tian-seng, karena
pedang yang tersoreng di pinggangnya bukanlah pedang
mustika, melainkan pedang kayu tumpul, bahkan jago pedang
itu seorang cacat, berlengan tunggal dan pincang.
0oo0 Musim gugur sudah tiba, daun kering berguguran
terhembus angin kencang.
Seekor kuda ras Mongolia yang tinggi besar pelan-pelan
berjalan menelusuri jalan raya ibukota, penunggangnya adalah
seorang pemuda berwajah pucat dan berlengan kanan
kosong, agaknya seorang yang belum lama kehilangan
lengannya. Lelaki itu menjalankan kudanya ke bawah pohon di tepi
jalan. Rupanya waktu itu dari depan sana telah muncul empat
ekor kuda yang dilarikan kencang, lelaki cacat itu kuatir
kudanya tertumbuk, dia menyingkir ke samping.
Tatkala empat ekor kuda itu sampai di hadapan lelaki cacat
ilu, mendadak mereka menarik tali kudanya secara serentak.
Penunggangnya adalah tiga orang lelaki dan seorang gadis.
Yang pria adalah Kongcu-kongcu tampan yang menyoreng
pedang di punggungnya.
Sedang yang perempuan berparas cantik genit dan
mengenakan baju merah menyala, dia pun menyoreng
sepasang pedang di punggung.
Dilihat dari cara mereka menunggang kuda, ketiga pria dan
seorang gadis ini memiliki kepandaian silat yang lumayan.
410 Mereka berdiri berjajar di tengah jalan, persis menghadang
jalan lelaki cacat itu.
Salah seorang Kongcu yang berparas kurus dan mempunyai
tahi lalat di wajahnya tertawa terbahak-bahak, kemudian
sembari menjura tegurnya, "Bolehkah aku tahu, apakah kau
Jian-ciat-suseng (Sastrawan cacat)?"
Pria cacat itu tersenyum, "Tidak berani, tidak berani,
tampaknya kalian berempat adalah Hui-eng-su-kiam (Empat
pe Jodoh Rajawali 20 Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Harpa Iblis Jari Sakti 35