Pencarian

Pendekar Kelana 2

Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


skin yang diberinya uang hasil curian itu.
Akan tetapi semua ini dikerjakan oleh Kwa Siucai secara diam-diam. Dia mencuri tanpa meninggalkan bekas dan memberikan uang kepada orang-orang miskin tanpa mereka ketahui siapa pemberinya. Hartawan-hartawan pemeras rakyat itu tahu-tahu kehilangan sebagian hartanya, dan orang-orang miskin itu tahu-tahu menemukan uang didalam rumahnya tanpa mengetahui siapa yang memberi mereka.
Kalau guru dan murid ini mendengar adanya seorang hartawan yang dermawan, mereka sama sekali tidak mengganggu hartawan itu. Akan tetapi hartawan yang pelit dan suka memeras rakyat jelata, tidak pernah diampuni. Dan di antara yang mereka curi itu, hanya sedikit saja yang mereka pergunakan untuk keperluan sendiri. Hanya untuk membeli makan dan minum, juga pengganti pakaian sekadarnya. Semua dihabiskan untuk dibagi-bagikan kepada orang miskin!
Setelah belajar selama setahun dengan tekun sambil merantau bersama Kwa Siucai, Si Kong telah menguasai dua ilmu yang diajarkan oleh Kwa Siucai, yaitu ilmu meringankan tubuh Liok-te Hui-teng dan ilmu silat Yan-cu Hui-kun. Dia kini tinggal mematangkan saja ilmu-ilmu itu dengan latihan yang tekun.
Pada suatu hari Kwa Siucai berkata kepada Si Kong. "Si Kong, engkau sudah menguasai dua ilmu yang kuajarkan kepadamu. Dalam waktu setahun engkau sudah dapat menguasainya, hal itu luar biasa sekali. Bakatmu amat besar dan engkau memiliki ketekunan yang teguh. Sekarang tiba saatnya bagi kita untuk berpisah!"
Si Kong terkejut sekali. "Akan tetapi kenapa, suhu" Kenapa kita harus berpisah" Teecu masih membutuhkan bimbingan suhu dalam segala hal!"
Kwa Siucai tersenyum dan menggerakkan tangannya. "Engkau telah menguasai Ta-kaw Sin-tung. Kalau kau gabungkan ilmu tongkatmu itu dengan Yan-cu Hui-kun, maka engkau sudah menjadi orang yang sukar di tandingi. Aku ingin kembali ke kampungku, jauh di selatan, Si Kong, dan kita pun tidak mungkin berkumpul terus. Aku dapat mengurus diriku sendiri seperti juga engkau dapat mengurus dirimu sendiri. Ada pertemuan tentu ada perpisahan, Si Kong."
Si Kong menjatuhkan dirinya berlutut. "Suhu, perkenankan teecu ikut dengan suhu untuk membalas semua kebaikan suhu."
"Aih, sudahlah, tidak ada budi dan tidak ada pembalasan. Selama ini engkau menjadi murid yang baik, itu sudah cukup menyenangkan hatiku. Selamat tinggal, Si Kong!"
"Suhu?"!"
Akan tetapi Si Kong melihat bayang berkelebat dan suhunya sudah tidak berada di depannya lagi. Dia tetap berlutut lalu berkata lantang. "Terima kasih atas semua kebaikan suhu kepada teecu!" Dia memberi hormat beberapa kali baru bangkit berdiri dan kembali dia merasakan kekosongan di hatinya seperti ketika dulu ditinggalkan Yok-sian Lo-kai. Dia merasa kesepian dan sendiri, bagaikan seekor burung di udara, tidak tahu harus pergi kemana dan harus berbuat apa!
Dia menghela napas. Inilah kelemahannya selama ini. Dia terlalu menggantungkan dirinya kepada orang lain! Maka, begitu ditinggalkan, dia merasa kesepian dan nelangsa.
Tidak! Dia harus berani hidup sendiri! Dia mengepal tinjunya. Dia sama sekali tidak boleh lemah seperti ini. Kedua orang gurunya itu telah memberi banyak pelajaran tentang hidup kepadanya. Sekaranglah saatnya untuk memasuki kehidupan seorang diri dan menghadapi apa saja yang menimpa dirinya seorang diri. Dia bukan anak kecil lagi. Usianya sudah enambelas tahun! Dia harus berani dan harus mampu mandiri.
Si Kong seperti mendapat semangat baru. Dengan cepat dia menuruni bukit itu. Dari atas bukit itu tadi dia melihat samar-samar genteng rumah orang di bukit depan. Tentu disana ada penghuninya, maka diapun kini menuruni bukit lalu mendaki bukit di depan.
Hari telah menjelang sore dan dia ingin mencari tempat bermalam di dusun yang berada di lereng bukit itu. Setelah tiba dilereng itu, dia melihat sebuah perkampungan yang dikelilingi tembok yang cukup tinggi. Akan tetapi agaknya itu bukan merupakan sebuah dusun karena di pintu gerbangnya yang besar terjaga oleh lima orang yang bertubuh tinggi besar dan berwajah keren.
"Hei, orang muda! Siapa engkau dan hendak kemana?" tanya seorang diantara para penjaga itu ketika melihat Si Kong hendak memasuki pintu gerbang. Lima orang itu menghadang di pintu gerbang dan sikap mereka galak.
"Maaf, aku hanya ingin memasuki dusun ini untuk mencari tempat menginap malam ini," kata Si Kong dengan sikap tenang.
Lima orang itu saling pandang lalu tertawa bergelak. Si penanya tadi yang agaknya menjadi pimpinan membentak, "Bocah lancang! Ini bukan dusun, akan tetapi tempat tinggal majikan kami, Tong Lo-ya (Tuan besar Tong). Orang dari luar sama sekali tidak boleh masuk!"
"Ah?"." kata Si Kong kecewa, akan tetapi dia mendapat pikiran baik dan segera berkata, "Kebetulan kalau begitu. Aku ingin menghadap majikan kalian untuk mohon diberi pekerjaan." Memang dalam hatinya Si Kong sudah mengambil keputusan untuk tidak mengemis seperti Yok-sian dan tidak mencuri seperti Kwa Siucai. Kedua kebiasaan ini dianggapnya tidak baik. Dia ingin bekerja untuk mendapatkan uang guna biaya hidupnya.
"Hemm, tidak demikian mudah untuk menghadap majikan kami! Dan bocah macam engkau ini dapat bekerja apakah?"
Menghadapi sikap yang angkuh dan kasar ini, Si Kong masih bersabar hati. "Aku dapat melakukan apa saja yang kalian dapat lakukan."
Pemimpin para penjaga itu mengerutkan alisnya. "Kau dapat melakukan apa saja yang kami dapat lakukan" Huh, kalahkan dulu kami kalau engkau ingin diberi kesempatan menghadap Lo-ya!" dia menantang untuk menakut-nakuti pemuda remaja itu, sedangkan empat orang kawannya tertawa-tawa. Pemuda itu pasti pergi ketakutan, pikir mereka. Akan tetapi Si Kong kini merasa penasaran.
"Kalau itu yang kalian kehendaki, aku siap melawan kalian berlima!"
"Bocah gila! Melawan aku seorang saja jangan harap kau dapat menang, apalagi melawan kami berlima!" teriak seorang di antara mereka yang matanya agak juling.
"Boleh coba-coba!" kata Si Kong yang menganggap sikap mereka ini keterlaluan. Dia sudah menancapkan tongkatnya ke atas tanah karena tidak memerlukan senjata itu untuk melawan lima orang sombong itu.
Si juling makin marah. "Bocah gila, rasakan pukulanku ini!" Dia menyerang dengan jotosan ke arah muka Si Kong. Akan tetapi dengan amat mudahnya Si Kong mengangkat tangan menangkap lengan yang menyambar ke arahnya itu dan sekali menggeser kakinya dia telah menekuk lengan itu ke belakang tubuh si juling, lalu mendorong ke depan. Si juling terdorong ke depan dan jatuh menelungkup! Bukan main marahnya si mata juling. Dia meloncat bangun dan sudah menyambar sebatang tombak yang disandarkan pada gardu penjagaan, lalu menyerang Si Kong dengan tusukan-tusukan tombak. Si Kong sudah melihat bahwa kepandaian lawannya itu biasa saja, maka dia masih tidak menggunakan tongkatnya melainkan mengelak ke kanan kiri. Dan setelah mendapat kesempatan, kakinya menendang tangan lawan. Tombak itu terlepas dan terlempar sampai jauh. Melihat ini, empat orang penjaga yang lain lalu turun tangan mengeroyok Si Kong dengan menggunakan golok dan tombak. Si mata juling juga tidak menjadi jera. Melihat teman-temannya membantu, diapun segera mengambil tombaknya yang terlempar tadi dan ikut pula mengeroyok!
Si Kong masih menghadapi pengeroyokan lima orang itu dengan tangan kosong saja. Gerakannya yang gesit sekali membuat lima orang itu bingung, bahkan kadang senjata mereka saling bertemu sendiri. Pemuda itu seperti berubah menjadi bayangan yang tidak dapat disentuh senjata mereka.
Si Kong sengaja tidak mau mencari permusuhan, maka diapun hanya mengelak saja dan berloncatan ke sana sini tanpa membalas.
Tiba-tiba nampak seorang pemuda meloncat keluar dari sebelah dalam pintu gapura dan dia membentak, "Hentikan perkelahian!"
Lima orang itu segera menghentikan pengeroyokan mereka sehingga Si Kong merasa lega. Dia melihat seorang pemuda yang perawakannya sedang dan berwajah tampan, berusia kurang lebih delapanbelas tahun telah berdiri disitu dengan gagahnya.
"Ada apa ribut-ribut ini?" bentak si pemuda kepada lima orang penjaga. Pemimpin para penjaga segera menghadap pemuda itu dengan sikap hormat.
"Maafkan kami, Kongcu. Bocah ini hendak lancang menghadap Tong Loya. Tentu saja kami melarangnya dan timbul perkelahian."
Pemuda ini mengerutkan alisnya dan matanya memandang ke arah Si Kong. Pandangan matanya menunjukkan kemarahan dan dia memandang rendah kepada Si Kong, seorang pemuda yang pakaiannya sederhana seperti orang dusun.
"Siapa engkau yang begitu lancang hendak menghadap ayahku?" tanyanya dan nadanya menunjukkan bahwa dia tidak senang mendengar laporan para penjaga.
Si Kong segera memberi hormat, karena dia maklum bahwa pemuda yang disebut kongcu ini tentulah putera majikan Tong itu. "Maafkan saya, kongcu. Nama saya Si Kong dan saya hanya mohon menghadap Loya untuk minta pekerjaan."
Pemilik atau majikan tempat itu yang disebut Tong-Loya oleh para penjaga itu bernama Tong Li Koan, seorang kaya berusia lima puluh tahun yang juga terkenal memiliki kepandaian ilmu silat tinggi. Pemuda itu adalah puteranya yang bernama Tong Kim Hok, berusia delapanbelas tahun. Pemuda ini juga mempelajari ilmu silat dari ayahnya dan wataknya agak angkuh dan tinggi hati, sadar sepenuhnya bahwa sebagai kongcu (tuan muda) dia adalah majikan kecil Bukit Bangau itu dan menganggap dirinya sudah memiliki ilmu silat yang dapat dibanggakan. Kini melihat ada seorang pemuda lain berani melawan pengeroyokan lima orang penjaga, dia merasa penasaran sekali.
"Minta pekerjaan" Engkau bisa apakah?" tanyanya dengan nada tinggi.
"Pekerjaan apapun yang diberikan kepada saya, akan saya lakukan, kongcu. Pekerjaan kasarpun tidak saya tolak!"
"Pekerjaan kasar" Engkau merasa kuat?"
"Tentu saja saya merasa kuat melakukannya, kongcu."
"Hemm, hendak kulihat sampai di mana kekuatanmu. Aku yang akan mengujimu apakah engkau pantas bekerja untuk kami. Coba lawanlah aku. Jaga seranganku ini. Hyaaaaaaatt?""..!"
Si Kong terkejut sekali. Tak disangkanya akan mendapat sambutan seperti itu dari tuan muda ini. Akan tetapi diapun melihat bahwa serangan pemuda itu tidak seperti gerakan para penjaga yang hanya mengandalkan tenaga kasar. Serangan pemuda ini mengandung tenaga dalam dan dilakukan cukup cepat. Namun tidak terlalu cepat baginya dan dengan mudah dia sudah mengelak.
Serangannya yang luput membuat Tong Kim Hok menjadi semakin penasaran dan marah. Dia merasa malu kepada para penjaga itu kalau dia tidak mampu merobohkan Si Kong. Maka diapun menyerang lagi lebih cepat dan kuat.
Si Kong menjadi bingung. Tentu saja dia mampu melawan pemuda yang ilmu silatnya masih mentah itu. Akan tetapi dia tidak berani mengalahkan pemuda itu, karena pemuda itu tentu akan marah dan kalau sudah begitu, tidak mungkin dia diterima bekerja di situ. Maka diapun mengalah, setelah mengelak dari enam tujuh serangan dengan mengelak, dia mulai menangkis tanpa mengerahkan tenaganya sehingga setiap kali menangkis dia terhuyung kebelakang.
"Bukk".!" Sebuah tendangan dari Tong Kim Hok mengenai lambungnya, membuat Si Kong terhuyung-huyung. Tentu saja dia sudah menjaga lambungnya yang dibiarkannya terkena tendangan itu dengan sinkang sehingga dia tidak sampai terluka.
Akan tetapi ternyata Tong Kim Hok masih belum puas dengan sebuah tendangan yang mengenai lambung Si Kong. Dia bahkan merasa penasaran sekali karena Si Kong tidak sampai roboh dan dia menyerang lagi kalang-kabut. Beberapa kali Si Kong membiarkan tubuhnya kena hantaman yang membuatnya terhuyung.
"Sudah cukup, kongcu. Saya mengaku kalah!" katanya berulang-ulang, akan tetapi Tong Kim Hok tetap saja menyerangnya terus. Para penjaga menjadi girang melihat Si Kong dihajar. Mereka tertawa-tawa dan ada yang berkata memberi semangat kepada Tong Kim Hok.
"Hajar terus, kongcu! Pukul terus!"
Biarpun dia tidak sampai terluka, akan tetapi karena membiarkan tubuhnya mendapat pukulan-pukulan, bibir kiri Si Kong berdarah dan pipi kanannya menjadi membiru bekas pukulan.
Pada saat itu, seekor kuda datang berlari dan sesosok bayangan orang meloncat dari atas punggung kuda itu.
"Cukup, koko (kakak)! Mengapa engkau memukul orang?" terdengar seruan dan di antara Si Kong dan Tong Kim Hok sudah berdiri menghadang seorang gadis remaja berusia kurang dari enambelas tahun. Gadis ini cantik manis, dengan rambut dikuncir dua dan diikat pita merah, dibiarkan tergantung di kedua pundaknya.
"Moi-moi (adik), engkau minggirlah, biar aku menghajar bocah lancang ini!" kata Tong Kim Hok yang lehernya sudah bersimbah peluh dan napasnya agak memburu karena tadi dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk menghajar Si Kong.
"Nanti dulu, koko. Kenapa engkau hendak menghajar orang" Apa kesalahannya?"
"Bocah itu minta bertemu dengan ayah, katanya mencari pekerjaan. Maka aku mengujinya karena dia tadi melawan lima orang penjaga kita. Nah, minggirlah, aku ingin menghajarnya sampai dia tahu rasa!"
Gadis itu bernama Tong Kim Lan berusia hampir enambelas tahun dan adik dari Tong Kim Hok. Ia memang seorang gadis lincah dan berbakat sekali dalam ilmu silat sehingga dibandingkan dengan Tong Kim Hok, ia lebih maju, terutama sekali lebih cepat sekali gerakannya dan dalam hal ilmu pedang, iapun melebih kakaknya. Ia menoleh dan memandang kepada Si Kong yang berdiri dengan muka ditundukkan. Melihat bibir Si Kong berdarah dan pipinya lebam, ia merasa kasihan. Seorang bocah dusun minta pekerjaan malah dihajar!
"Apa salahnya minta pekerjaan" Kalau tidak ada pekerjaan, tolak saja, tidak perlu dipukuli. Dan pula, aku mendengar sendiri dari ayah bahwa dia membutuhkan tenaga seorang pembantu untuk menggembala kerbau kita. Eh, sobat siapa namamu dan apakah engkau mau diberi pekerjaan menggembala segerombolan kerbau?"
"Nama saya Si Kong, nona. Saya akan senang sekali kalau diberi pekerjaan dan rasanya saya sanggup untuk menggembala kerbau." jawab Si Kong dan dalam hatinya dia memuji gadis ini yang sikapnya berbeda jauh sekali dibandingkan kakaknya yang angkuh. Gadis ini ramah dan lincah.
"Kalau ada seekor saja kerbaunya yang hilang, engkau harus menggantinya!" bentak Tong Kim Hok, suaranya masih marah.
"Aih, koko. Siapa sih yang berani mencuri kerbau kita" Mari kau ikut aku, Si Kong, kita menghadap ayah."
"Terima kasih, nona."
Si Kong mengikuti gadis itu yang memasuki pintu gerbang dan menghampiri sebuah gedung yang berdiri dengan megahnya di tengah perkampungan itu. Di kanan-kiri dan belakang gedung besar itu berdiri banyak pondok, agaknya menjadi tempat tinggal para pekerja di situ.
Tong Li Koan memang seorang kaya raya yang menjadi majikan Bukit Bangau. Dia menggunakan banyak pekerja dan mengerjakan sawah ladangnya di bukit itu juga memperkerjakan sejumlah belasan tukang pukul untuk menjaga perkampungan.
"Ayah?".!" Kim Lan berteriak ketika memasuki rumah dan menyuruh Si Kong menanti di serambi depan. Tak lama kemudian gadis itu sudah muncul kembali bersama seorang laki-laki berusia limapuluhan tahun, berpakaian mewah dan tangan kirinya memegang sebatang huncwe (pipa tembakau) yang panjangnya setengah meter dan ketika dihisap mengeluarkan bau tembakau yang harum.
"Inikah orangnya?" tanya Tong Li Koan kepada puterinya. Dia amat menyayangi puterinya yang jauh lebih pandai dan cerdik dibandingkan puteranya.
"Ya, ayah. Namanya Si Kong dan dia mau menjadi penggembala kerbau kita."
Si Kong sudah mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan kepada Tong-Loya. "Saya bersedia untuk bekerja apa saja, Loya," katanya hormat.
Tong Li Koan memandang ke arah mulut dan pipi Si Kong lalu mengerutkan alisnya dan menuding dengan huncwenya ke arah muka Si Kong.
"Kenapa mukamu itu" Seperti orang habis berkelahi!" katanya.
Si Kong merasa tidak enak sekali untuk memberitahu bahwa dia dipukuli putera majikan itu, maka dia hanya menggumam, "Tidak apa-apa, Loya."
"Dia dipukuli koko, Ayah. Koko hendak mengujinya sebelum dia bekerja."
"Ah, Kim Hok terlalu ringan tangan?" kata hartawan itu.
"Saya yang bersalah, Loya," kata Si Kong cepat-cepat. "Saya telah berani lancang hendak menghadap loya untuk minta pekerjaan."
"Sudahlah, engkau kuterima sebagai penggembala kerbau. Setiap hari, pagi-pagi sekali engkau engkau harus menggembalakan kerbau-kerbau kami yang berjumlah tigapuluh ekor itu ke padang rumput, memelihara dan menjaga mereka baik-baik." Tong Li Koan bertepuk tangan dan seorang pembantu datang berlari kepadanya. Hartawan itu memerintahkan kepada pembantu itu untuk memberi sebuah kamar bagi Si Kong dan memberi petunjuk akan pekerjaannya menggembala kerbau.
"Beri dia kamar di pondok dekat kandang kerbau di belakang. Dan engkau, Si Kong, bekerjalah baik-baik dan engkau akan memperoleh upah yang lumayan serta makan dan pakaian yang secukupnya."
Si Kong merasa girang sekali. "Terima kasih, lo-ya dan siocia (nona)." Lalu dia pergi mengikuti pembantu itu yang membawanya menuju ke kandang kerbau untuk memperlihatkan kerbau-kerbau yang harus dirawatnya, juga menunjukkan sebuah kamar di pondok dekat kandang kerbau di mana dia boleh memakai sebagai tempat tinggalnya.
Demikinalah, dengan hati gembira Si Kong menerima pekerjaan baru itu. Kekosongan hidupnya sudah terisi. Dia mempunyai pekerjaan! Dia merasa beruntung sekali bahwa pada hari kepergian gurunya yang kedua, yaitu Kwa Siucai, langsung dia mendapatkan pekerjaan sebagai penggembala kerbau.
*** Sebulan lewat tanpa terasa sejak Si Kong bekerja di Bukit Bangau. Benar saja seperti telah dijanjikan Tong Li Koan, dia menerima upah yang lumayan, setiap hari makan sekenyangnya dan diberi pakaian sehingga dia dapat berganti pakaian setiap hari. Pekerjaan menggembala kerbau itu cukup menyenangkan. Kerbau-kerbau itu adalah hewan ternak yang sudah diatur, penurut dan mudah dijaga, tidak liar lari ke sana-sini. Setelah matahari naik tinggi, dia menggembala kerbaunya kembali ke kandang. Kelebihan waktunya dia pergunakan untuk menyabit rumput sebagai penambah makanan hewan itu. Sore hari dan malamnya dia boleh beristirahat di dalam pondok dekat kandang kerbau itu.
Dia sama sekali tidak tahu bahwa diam-dian Tong Kim Hok mendendam kepadanya. Pemuda ini telah dimarahi ayahnya karena memukuli Si Kong. Dia tahu bahwa tentu adiknya yang mengadu, akan tetapi kemarahannya dia timpakan kepada Si Kong.
Selain menggembala tigapuluh ekor kerbau, Si Kong juga diberi tugas mengurus lima ekor kuda yang menjadi kuda tunggangan keluarga Tong. Memberi makan dan menggosok badan kuda sampi bersih.
Pada suatu siang, setelah dia pulang menggembala kerbau, makan dan hendak berangkat menyabit rumput untuk kerbau-kerbaunya dan lima ekor kuda, mendadak muncul Kim Lan di depan pondoknya. Si Kong menyambutnya dengan hormat.
"Apakah nona membutuhkan kuda untuk ditunggangi hari ini?" tanyanya. Sudah seringkali dia bertemu dengan gadis manis ini karena Kim Lan memang suka sekali menunggang kuda dan seringkali datang sendiri ke kandang untuk mengambil kudanya.
"Tidak, Si Kong. Aku hanya ingin bertanya bagaimana dengan pekerjaanmu di sini" Apakah engkau sudah cocok dan suka tinggal di sini bekerja untuk kami?"
"Cocok dan senang sekali, nona. Nona dan Tong-loya amat baik kepada saya."
Gadis itu tersenyum dan menatap tajam wajah Si Kong yang gagah. Ia mengerutkan alisnya dan bertanya. "Si Kong, engkau berasal dari manakah dan mengapa bisa sampai ke sini, minta pekerjaan kepada ayahku" Di mana orang tua dan keluargamu?"
Si Kong tersenyum sedih dan menjawab. "Saya berasal dari jauh, nona, dari sebuah dusun yang disebut Ki-ceng. Akan tetapi saya sudah yatim piatu dan tidak mempunyai sanak keluarga, tidak mempunyai siapa-siapa di dunia ini, sebatang kara. Saya seorang kelana dan ketika lewat di sini, saya tertarik dan ingin mencari pekerjaan tetap. Untung nona menolong saya dan menghadapkan kepada Loya sehingga saya mendapatkan pekerjaan di sini. Terima kasih, nona."
Tiba-tiba dari arah kandang kerbau muncul Tong Kim Hok. Pemuda itu kelihatan marah sekali dan berkata kepada Si Kong, "Hei, Si Kong! Bagaimana engkau bekerja ini" Kalau engkau lalai seperti ini, lama-kelamaan kerbau-kerbau kami akan mati semua!"
Si Kong terkejut dan memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak heran. "Apa yang kongcu maksudkan" Saya tidak pernah lalai menjaga kerbau-kerbau itu!"
"Enak saja kau bicara! Seekor di antara mereka mengalami luka parah pada kakinya dan kau bilang kau menjaga dengan baik?"
"Koko, apa artinya ini?" tanya Tong Kim Lan.
"Moi-moi, engkau tidak perlu bersikap manis kepadanya! Kau lihat sendiri, ada kerbau yang terluka dan dia pura-pura tidak tahu! Mari lihat sendiri!"
Kim Hok berjalan ke arah kandang, diikuti oleh Kim Lan dan Si Kong yang merasa heran akan tetapi juga khawatir. Setelah tiba di kandang, Kim Hok menuding ke arah seekor kerbau yang mendekam di sudut. "Lihat itu! Kakinya luka berdarah. Dia bahkan tidak kuat berdiri!"
Si Kong terkejut sekali dan cepat memasuki kandang, membantu kerbau yang mendekam itu agar berdiri. Dan nampak olehnya betapa sebuah kaki depan kerbau itu terluka parah!
"Tapi ini?".. ini aneh sekali! Tadi ketika saya menggiring mereka masuk kandang, tidak ada yang terluka kakinya!"
"Apa yang aneh" Kerbau-kerbau ini setiap hari engkau yang mengurusnya. Kini ada yang terluka kakinya, karena engkau takut dimarahi ayah, engkau pura-pura bodoh dan tidak tahu! Bagus sekali, ya?"
"Si Kong, apakah yang terjadi dengan kerbau ini" Nampaknya seperti terluka oleh bacokan senjata tajam!" kata Kim Lan, mendekati Si Kong dan kerbaunya.
"Saya tidak tahu, nona. Ketika tadi saya menggiring semua kerbau memasuki kandang, belum ada yang terluka. Agaknya ada orang sengaja melukai kerbau ini sewaktu saya sedang makan."
"Apa" Kau berani menuduh aku melukai kerbau ini" Jangan kurang ajar, Si Kong!" bentak Kim Hok marah dan dia sudah menghampiri Si Kong dengan sikap hendak menyerang.
Akan tetapi Kim Lan menghadangnya. "Tahan, koko. Si Kong tidak menuduh siapa-siapa, hanya mengatakan bahwa agaknya ada orang melukai kerbau ini sewaktu dia sedang makan, tidak menuduhmu!"
Pada saat itu terdengan suara orang tertawa, tawa seorang wanita terkekeh-kekeh. Kim Hok dan Kim Lan terkejut dan menengok, demikian pula Si Kong memandang ke kanan, ke arah datangnya suara tawa. Kiranya di situ telah berdiri seorang wanita yang usianya sekitar empatpuluh tahun, akan tetapi ia masih kelihatan cantik dengan pakaiannya yang mewah. Di punggungnya tergantung sebatang pedang dan tangan kirinya memegang sebatang kebutan berbulu merah.
"Hi-hi-hik-heh-heh! Kalau tidak ada yang membacok dengan pedang, mana mungkin kaki kerbau bisa terluka" Si Huncwe Maut serakah dan curang, agaknya menurun kepada puteranya! Heh-heh!"
Mendengar ini Kim Hok menjadi merah mukanya dan dia meloncat ke depan wanita itu. Huncwe Maut adalah nama julukan ayahnya di dunia kang-ouw, maka jelas bahwa wanita itu tadi maksudkan dia sebagai putera Huncwe Maut.
"Siapakah engkau" Berani sekali berlancang mulut!" bentak Kim Hok marah.
"Hi-hik, orang muda, engkau masih remaja akan tetapi sudah banyak akal dan licik. Coba cabut pedangmu, di situ pasti masih ada bekas darah kaki kerbau itu!"
"Perempuan lancang! Engkau datang melanggar wilayah kami, hayo cepat pergi sebelum aku terpaksa menggunakan kekerasan!"
"Heh-heh-heh-hi-hik! Persis seperti ayahnya, berani angkuh dan cerdik! Akan tetapi engkau tidak tahu siapa yang engkau hadapi, anak muda. Lebih baik lekas panggil ayahmu ke sini untuk bertemu denganku!"
Watak Kim Hok memang angkuh dan dia merasa kuat sendiri. Tentu saja dia memandang rendah kepada wanita setengah tua itu. Orang perempuan itu berani tidak memandang kepada ayahnya!
"Engkau layak dipukul!" katanya dan cepat dia sudah menerjang ke depan dan memukul ke arah muka wanita itu.
Wanita itu hanya mengelak sedikit dan begitu tangannya bergerak, tubuh Kim Hok telah terlempar ke belakang dan terbanting jatuh!
Kim Hok marah sekali. Dia tidak menjadi jera, bahkan dia kini mencabut pedangnya dan menyerang wanita itu dengan tusukan pedangnya ke arah dada. Akan tetapi wanita itu menggerakkan tangan kirinya, bulu kebutannya membelit pedang dan sekali bergerak, ia sudah menendang Kim Hok hingga kedua kalinya tubuh pemuda itu terpental dan pedangnya telah terampas. Sambil mendengus penuh ejekan wanita itu menggerakkan kebutannya dan pedang itu meluncur dan menancap di atas tanah dekat kaki Kim Hok!
Seorang pembantu melihat perkelahian itu dan dia cepat lari masuk ke gedung untuk memberitahu kepada majikannya. Sementara itu, Kim Hok sudah mencabut lagi pedangnya dari tanah dan seperti kerbau gila mengamuk dan menyerang wanita itu, lupa bahwa sudah dua kali dia dirobohkan.
Melihat kakaknya dua kali dirobohkan wanita itu, Kim Lan mencabut pedangnya dan hendak membantu, akan tetapi Si Kong berkata kepadanya, "Nona, wanita itu bukan lawanmu! Ia terlalu lihai bagimu!"
Kim Lan tidak jadi menyerang dan hanya memandang ketika kakaknya itu kembali sudah menyerang secara bertubi-tubi. Akan tetapi wanita itu dengan mudahnya mengelak ke sana-sini, sambil mengeluarkan suara tawanya yang mengejek seperti mempermainkan seorang anak.
"Anak nakal, engkau masih juga belum mau mengaku kalah?" wanita itu tiba-tiba menggerakkan hudtimnya ke depan dan seketika tubuh Kim Hok menjadi kaku dan tidak mampu bergerak lagi karena jalan darahnya sudah tertotok.
"Hi-hi-hik, kau anak nakal yang bandel!" Wanita itu menggunakan tangannya untuk mengelus dan mencubit dagu Kim Hok dengan gaya yang genit sekali kemudian tangannya itu mendorong dada Kim Hok dan untuk ketiga kalinya Kim Hok terjengkang roboh! Sekali ini dia roboh dekat kaki Si Kong yang segera membungkuk dan menolongnya.
"Kongcu, engkau tidak apa-apa?" katanya diam-diam menotok punggung pemuda itu sehingga tubuh Kim Hok yang tadinya kaku dapat bergerak kembali.
"Huh! Jangan pegang-pegang aku!" bentak Kim Hok sambil meronta, dan dia sudah memegang pedangnya kuat-kuat untuk menyerang lahi.
Akan tetapi sebelum Kim Hok menyerang lagi, terdengar bentakan ayahnya, "Kim Hok, jangan lancang!"
Mendengar bentakan ayahnya, Kim Hok berhenti meyerang dan mundur. Tong Li Koan kini berdiri berhadapan dengan wanita itu. Setelah memandang dengan mata tajam penuh selidik sambil mengisap huncwenya, Tong Li Koan melepaskan huncwe cari mulut dan berkata sambil tersenyum. "Hemm, kalau tidak salah sangka, agaknya aku berhadapan dengan Ang-bi Mo-li (Iblis Perempuan Cantik Merah)" Tentu julukannya ini dihubungkan dengan bulu kebutannya yang berwarna merah.
Wanita itu tertawa dan nampak giginya yang rapi berderet rapi. "Kiranya yang berjuluk Huncwe Maut, selain kaya raya juga berpemandangan tajam! Tong Wan-gwe (Hartawan Tong), aku memang Ang-bi Mo-li! Puteramu ini curang angkuh dan pemberani. Tidak kecewa menjadi putera Huncwe Maut, hanya sayang ilmu silatnya rendah saja sehingga aku menjadi ragu apakah ilmu kepandaianmu juga sebesar namamu!"
Tong Li Koan maklum bahwa Iblis Betina ini sengaja hendak mencari perkara, maka diapun mengangkat tangan ke depan dada memberi hormat lalu berkata, "Anakku masih muda dan lancang, harap engkau suka memaafkannya. Setelah engkau lewat disini, mari silakan singgah di rumah kami agar lebih leluasa kami menyambutmu sebagai tamu." Tong Li Koan sengaja bersikap lunak karena dia tidak ingin bermusuhan dengan wanita yang namanya terkenal di dunia persilatan sebagai tokoh yang lihai sekali.
Mendengar ini, Ang-bi Mo-li tertawa terkekeh-kekeh. "Heh-heh-heh-hi-hik! Tong wan-gwe aku berada di daerah ini bukan sebagai tamu dan juga engkau bukan sebagai tuan rumah di sini. Dahulu, lama sebelum engkau datang, tanah ini sudah menjadi wilayahku dan aku tinggal di sebelah timur bukit. Sekarang, aku mendengar bahwa engkau menguasai seluruh bukit. Ini tidak adil! Karena aku berminat untuk tinggal di sini lagi, kita bagi rata saja. Bagian timur bukit menjadi milikku, dan engkau menguasai bagian barat ini."
Tong Li Koan mengerutkan alisnya, mengisap huncwenya dan mengepulkan asapnya dari hidung. Kemudian dia berkata, suaranya lantang. "Usulmu itu tidak mungkin dilaksanakan, Mo-li! Sebelum aku datang, seluruh daerah bukit ini masih merupakan hutan dan rawa liar. Aku yang membangunnya sehingga kini menjadi tanah sawah ladang yang subur dan digarap oleh orang-orangku. Mana bisa aku yang mencangkul dan menanam, sekarang engkau ingin memetik hasilnya begitu saja?"
"Aku yang datang lebih dulu, orang she Tong! Kalau engkau berkukuh hendak menguasai bukit ini seluruhnya, engkau harus dapat mengalahkan dan mengusir aku dari sini. Sebaliknya kalau engkau kalah olehku, engkaulah dan seluruh keluargamu harus pergi meninggalkan tempat ini!"
Mendengar ini, Tong Li Koan menjadi marah. Bahkan kedua orang anaknya juga menjadi marah. "Ayah, kita hajar saja orang kurang ajar ini!" kata Kim Lan sambil mencabut pedangnya.
"Kim Lan, dan engkau Kim Hok, jangan ikut campur. Dia bukan lawan kalian!" kata Tong Li Koan dan dia maju menghampiri Ang-bi Mo-li lalu berkata, "Mo-li, kalau kedatanganmu ini hendak menantang aku, aku tidak dapat menolaknya. Jangan dikira bahwa aku takut menghadapimu! Silakan!" Dia lalu memasang kuda-kuda dan memegang huncwenya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya mencabut pedangnya.
Melihat ini, Ang-bi Mo-li tertawa terkekeh-kekeh, lalu tiba-tiba tangan kanannya bergerak dan tahu-tahu ia telah mencabut pedangnya dari punggung dengan amat cepatnya.
"Orang she Tong! Engkau memilih mati dari pada menyerahkan bagian timur bukit ini?" ejeknya.
"Akan kupertaruhkan nyawaku untuk bukit ini!" jawab Tong Li Koan dengan tegas.
"Bagus, lihat seranganku!" Ang-bi Mo-li tanpa rikuh lagi sudah mulai menyerang. Pedangnya berkelebat di susul berkelebatnya hud-tim (kebutan) di tangan kirinya. Entah mana yang lebih berbahaya, pedangnya atau kebutannya karena keduanya menyambar dengan dahsyat dan mengirim serangan maut.
"Trang-traang?".!" Si Huncwe Maut menangkis dengan pedang dan huncwenya, lalu balas menyerang dengan hebatnya pula. Ang-bi Mo-li juga dapat menghindarkan diri dari serangan Huncwe Maut. Terjadilah perkelahian yang amat menegangkan antara kedua orang yang namanya sudah terkenal di dunia persilatan itu.
Kalau kebutan itu berbahaya sekali karena dapat menjadi kaku untuk menusuk atau menotok lalu menjadi lemas untuk melilit senjata lawan, huncwe itu tidak kalah berbahayanya. Dengan gerakan tertentu Tong Li Koan dapat membuat huncwe itu memercikan api ke arah wajah lawan, lalu menotok jalan darah dengan ujungnya.
Berkali-kali kedua pedang bertemu dan berpijarlah bunga-bunga api yang menyilaukan mata. Kim Hok dan Kim Lan yang menonton pertandingan itu merasa tegang sekali. Mereka tidak tahu apakah ayah mereka akan menang atau kalah dalam pertandingan itu dan untuk membantu mereka tidak berani. Ilmu kepandaian mereka masih jauh untuk dapat membantu.
Akan tetapi Si Kong yang juga menonton pertandingan itu mengerutkan alisnya. Dengan tingkat kepandaiannya dia dapat mengikuti pertandingan itu dengan baik dan dia melihat betapa tingkat kepandaian wanita itu masih lebih tinggi dari pada kepandaian majikannya. Majikannya akan kalah, hal ini sudah dapat diduganya melihat jalannya pertandingan.
Dugaan Si Kong memang benar. Biarpun dalam hal tenaga dalam kedua orang yang bertanding itu memiliki kekuatan seimbang, namun dalam hal kecepatan gerakan, Tong Li Koan atau si Huncwe Maut masih kalah sehingga kini perlahan-lahan wanita itu mendesaknya dengan sambaran kebutan dan pedangnya. Baru setelah Tong Li Koan terdesak dan mundur terus, kedua orang anaknya mengetahui bahwa ayah mereka terdesak dan hampir kalah. Rasa takut terhadap wanita itu hilang karena melihat ayah mereka terancam bahaya maut, maka dua orang anak itu meloncat ke depan dan menggunakan pedang mereka untuk menyerang Ang-bi Mo-li!
Akan tetapi kebutan Ang-bi Mo-li menyambar. Kim Hok dan Kim Lan terlempar ke belakang dan bergulingan. Pada saat itu, pedang Tong Li Koan menusuk ke arah dada Ang-bi Mo-li. Wanita itu dengan cepatnya mengelak, kebutannya menyambar dan membelit pergelangan tangan Tong Li Koan yang memegang pedang. Ketika Tong Li Koan mengayun huncwenya, dia kalah dulu karena pedang wanita itu telah mengenai ujung pundaknya. Dia berteriak dan meloncat ke belakang, pedangnya terampas dan pundaknya berdarah. Kim Hok dan Kim Lan melompat dekat ayah mereka.
"Ayah, engkau tidak apa-apa?" tanya Kim Hok.
"Ayah, pundakmu berdarah." Kata Kim Lan.
Tong Li Koan menghela napas panjang. "Aku telah kalah".." katanya dengan nada sedih.
"Heh-heh-heh-hi-hik, engkau cukup jantan untuk mengaku kalah. Aku memberi waktu dua hari kepada kalian semua untuk meninggalkan bukit ini!" kata Ang-bi Mo-li.
"Nanti dulu?"!" terdengar bentakan dan semua orang menengok memandang kepada Si Kong yang datang menghampiri karena pemuda inilah yang membentak tadi.
"Ang-bi Mo-li, enak saja kau bicara! Majikanku telah mengalah, hal itu sudah sepatutnya karena engkau seorang wanita. Akan tetapi engkau tidak tahu diri, hendak merampas hak milik orang lain begitu saja. Masih ada aku di sini yang mempertahankannya dan kuharap engkaulah yang segera pergi dan jangan mengganggu majikanku!"
"Si Kong".!" Kim Lan berlari mendekati. "Apa kau sudah gila" Ia". Ia akan membunuhmu!"
Si Kong tersenyum. Hatinya senang karena anak perempuan majikannya ini mengkhawatirkan dirinya. Kim Lan selama ini bersikap ramah dan baik sekali kepadanya.
"Terima kasih, nona. Sebaiknya nona kembali kepada loya, biar aku hadapi iblis betina itu!"
Kim Lan berlari kembali kepada ayahnya. "Ayah?".!" ia hendak minta ayahnya mencegah wanita itu membunuh Si Kong yang berani mati membela keluarganya. Akan tetapi ayahnya menggeleng kepala dan memandang kepada Si Kong dengan sinar mata heran dan kagum.
Dengan langkah lebar dan tenang Si Kong kini menghampiri Ang-bi Mo-li. Sejenak iblis betina inipun tertegun dan heran melihat seorang pemuda remaja berani berkata dan bersikap seperti itu kepadanya. Apa lagi pemuda remaja itu menyebut Tong Li Koan sebagai majikannya. Pemuda ini tentu hanya seorang pembantu!
"Kau".. kau siapa?" tanyanya, alisnya berkerut dan pedangnya menuding ke arah muka Si Kong.
"Namaku Si Kong dan aku menjadi penggembala kerbau di sini."
Ang-bi Mo-li sudah menguasai keheranannya dan kini ia tertawa terkekeh-kekeh. "Penggembala kerbau" Hah-hah-heh-heh-heh-heh, Tong Li Koan, tidak malukah engkau dibela oleh penggembala kerbaumu" Suruh dia mundur, karena dia berani menentangku berarti dia akan mati di tanganku!"
Tong Li Koan menghela napas panjang. Tentu saja dia merasa malu kalau penggembala itu sampai mengorbankan nyawa untuknya.
"Si Kong, mundurlah. Aku tidak ingin melihat engkau mati untukku."
"Lo-ya, harap jangan khawatir. Aku tidak akan mati oleh wanita ini. Ang-bi Mo-li, kalau engkau tidak berani melawan aku, bilang saja terus terang, tidak perlu bicara dengan majikanku!"
"Bocah setan! Engkau tadi telah dikhianati kongcumu dan sekarang engkau bahkan hendak membela ayahnya" Kongcumu yang melukai kerbaumu, aku melihatnya sendiri."
"Cukup! Urusan kami tidak ada sangkut pautnya denganmu, Ang-bi Mo-li!"
Kini Ang-bi Mo-li benar-benar marah. Tentu saja ia tidak takut kepada Si Kong, hanya merasa malu kalau harus bertanding melawan seorang pemuda remaja penggembala kerbau!
"Bocah gila! Kalau engkau sudah bosan hidup, majulah. Akan tetapi sekali kau maju, engkau pasti akan mampus!"
"Dan aku tidak akan membunuhmu, Ang-bi Mo-li! Aku tidak akan sekejam itu."
Ang-bi Mo-li menyarungkan pedangnya di punggung dan memegang kebutannya dengan tangan kanan. Tanpa pedang, bahkan tanpa kebutan sekalipun ia akan mampu membunuh pemuda remaja itu.
"Ang-bi Mo-li, kalau engkau menurunkan tangan keji membunuh seoang pemuda remaja, engkau akan menjadi bahan ejekan orang sedunia kangouw!" kata Tong Li Koan dalam usahanya untuk menghindarkan Si Kong dari kematian.
"Heh-heh-heh, aku tidak sebodoh itu, Tong Li Koan. Aku tidak akan membunuhnya, hanya akan membuat kedua kakinya lumpuh selama hidupnya, heh-heh!"
Sementara itu, melihat betapa lihainya wanita itu mempergunakan kebutannya sebagai senjata, Si Kong tidak berani main-main dan dia sudah menyambar sebuah tongkat bambu yang biasa dia pergunakan untuk memikul keranjang rumput.
"Ang-bi Mo-li, aku sudak siap, tidak perlu terlalu banyak bicara lagi!" katanya sambil menghadapi wanita itu dengan tongkat di tangan.
"Heh-heh, kau sudah siap untuk menjadi lumpuh seumur hidupmu" Nah, sambutlah serangan ini!" Ang-bi Mo-li seudah menggerakkan kebutannya dengan cepat sekali.
"Wuuuttt?"!" Ang-bi Mo-li terkejut melihat betapa pemuda itu dengan mudah dan lincahnya mengelak dengan loncatan ke kiri, dan tiba-tiba saja tongkatnya di tangan sudah terayun dan mengancam pinggul kirinya. Tentu saja wanita ini tidak mau pinggul kirinya digebuk tongkat. Ia mengayun kebutannya untuk menangkis dengan membuat kebutan itu menjadi kaku dengan maksud untuk membentur tongkat itu agar terlepas dari pegangan si penggembala kerbau.
"Takkk".!" Kembali Ang-bi Mo-li terkejut bukan main karena ketika kebutannya menangkis tongkat, tangannya tergetar hebat karena tongkat itu ternyata mengandung tenaga yang sangat kuat! Dan ia hampir terpekik kaget karena begitu tertangkis tongkat itu sudah membalik dan kini menghantam ke arah pundaknya! Ia menggunakan kelincahannya untuk mengelak, namun nyaris pundaknya terkena hantaman tongkat.
Dari rasa kaget, wanita itu menjadi marah bukan main. Hampir ia tidak dapat percaya bahwa pemuda tanggung itu dapat memiliki tenaga demikian kuat dan kecepatan gerakan tongkat yang luar biasa.
"Bocah setan, mampuslah!" Ia berseru dengan marah dan menggerakkan kebutannya untuk menyerang lebih cepat dan kuat lagi. Kini ia tidak perduli lagi apakah serangannya akan membunuh lawan ini. Kebutan itu menengang dan menusuk ke arah leher Si Kong. Akan tetapi kembali Si Kong menggerakkan tongkatnya yang menggetar ujungnya untuk menangkis.
"Plakk!" Ketika kebutan bertemu tongkat, Ang-bi Mo-li mengubah tenaganya dan dan kebutan itu menjadi lemas dan membelit tongkat itu. Ia ingin merampas tongkat itu sebelum menghajar pemiliknya.
Akan tetapi untuk yang kesekian kalinya ia terkejut. Kebutannya sama sekali tidak mampu merampas tongkat. Biarpun ia menarik dengan tenaga dalam yang kuat, tongkat itu tidak bergeming bahkan kini tongkat itu membalik dan ujungnya yang lain menyodok perutnya!
"Ihh"..!" Ang-bi Mo-li berseru dan melepaskan libatan kebutannya sambil meloncat ke belakang. Si Kong kini mendesak maju dan mainkan ilmu silat tongkat Ta-kaw Sin-tung. Tongkatnya seolah berubah menjadi banyak dan ujung-ujung tongkat dengan gencarnya menghujankan gebukan kepada lawannya, Ang-bi Mo-li terkejut bukan main melihat gerakan tongkat itu, gerakan ilmu tongkat yang mengingatkan ia akan seorang tokoh besar dunia persilatan. Kembali ia memutar kebutannya untuk melindungi dirinya sambil berloncatan ke belakang.
"Tahan dulu!" serunya setelah ia mendapatkan kesempatan.
Mendengar seruan itu, Si kong menahan tongkatnya, memegang tongkat itu melintang di depan dadanya. "Apa hubunganmu dengan Yok-sian Lo-kai?" tanya Ang-bi Mo-li.
"Beliau adalah guruku!" kata Si Kong yang kembali mulai menyerang sambil berseru, "Lihat seranganku!"
Ang-bi Mo-li cepat mencabut pedangnya karena hanya menggunakan kebutan saja ia merasa kewalahan. Sementara itu, Tong Li Koan, Kim Hok dan Kim Lan memandang dengan bengong. Sedikitpun tidak pernah mereka sangka bahwa Si Kong selihai itu! Terutama sekali Kim Hok. Wajahnya menjadi pucat dan matanya terbelalak memandang kepada Si Kong, seolah-oelah tidak percaya kepada penglihatannya sendiri. Si Kong yang pernah dihajarnya! Tanpa dapat melawannya! Kini dapat menandingi Ang-bi Mo-li yang demikian lihainya! Sedangkan Kim Lan ternganga, terkagum-kagum.
Ang-bi Mo-li kini menyerang dengan pedang dan kebutannya. Serangannya cepat dan dahsyat sekali. Wanita itu kini tidak berani memandang rendah setelah mendengar bahwa pemuda remaja ini murid Yok-sian Lo-kai. Dengan sepasang senjatanya yang lihai, ia merasa sanggup menghadapi ilmu tongkat Ta-kaw Sin-tung.
Akan tetapi tiba-tiba ia terkejut sekali. Ia telah kehilangan lawannya yang tahu-tahu telah berada di belakangnya. Demikian cepatnya gerakan Si Kong sehingga ia sendiri menjadi bingung. Pemuda itu seolah dapat menghilang. Ternyata pemuda itu telah menggabung ilmu tongkat Ta-kaw Sin-tung dengan ilmu meringankan tubuh Liok-te Hui-teng sehingga tubuhnya seperti pandai menghilang dan gerakan tongkatnya semakin cepat sehingga seolah tongkat itu mempunyai berpuluh ujung yang menyerang dari segala penjuru.
"Takk".. tranggg?""!" Kebutan dan pedang itu terpental ketika bertemu dengan tongkat. Kecepatan gerakan pemuda itu membuat Ang-bi Mo-li teringat kepada Penyair Gila yang terkenal memiliki ginkang yang sukar ditandingi. Ia menggunakan kesempatan ketika ia melompat mundur untuk bertanya.
"Apa hubunganmu dengan Kwa Siucai?"
"Beliau adalah guruku!" jawab Si Kong pula dengan terus terang tanpa menghentikan desakannya. Ang-bi Mo-li terkejut bukan main mendengar pengakuan itu. Pantas pemuda ini lihai bukan main, kiranya murid Yok-sian Lo-kai dan Kwa Siucai! Dengan repot ia menggerakkan kebutan dan pedangnya untuk melindungi tubuhnya dari hujan serangan ujung tongkat yang gerakannya amat cepat dan sukar diikuti pandang mata itu. Namun, betapapun cepat ia memutar kedua senjatanya untuk melindungi tubuhnya, tetap saja ujung tongkat itu menotok pundaknya, membuat lengannya seperti lumpuh dan ia terhuyung ke belakang, memegang pundak kanannya dengan tangan kiri yang masih memegang kebutan. Wajahnya berubah pucat, lalu kemerahan. Ia merasa malu bukan main karena jelas ia telah kalah. Ia harus mengakui ini dan menerimanya, karena kalau dilanjutkan, mungkin ia akan menderita luka yang lebih hebat. Pemuda itu terlalu cepat baginya, ilmu tongkatnya terlalu aneh dan sulit ditandingi.
"Si Kong, sekali ini aku mengaku kalah. Akan tetapi lain kali aku akan menebus kekalahan ini!" katanya untuk menutupi rasa malunya dan tanpa berkata apa-apa lagi tubuhnya melompat jauh dan ia sudah melarikan diri secepatnya dari tempat yang membuatnya malu itu.
Sejenak suasana menjadi sunyi karena keluarga Tong masih tertegun saking heran dan kagumnya. Kemudian meledaklah kegembiraan Kim Lan yang lari menghampiri Si Kong.
"Si Kong, engkau hebat sekali!" kata gadis itu dengan penuh kekaguman.
Juga Tong Li Koan menghampiri pemuda itu dengan wajah gembira dan kagum. Pemuda yang menjadi penggembala kerbaunya ini telah menyelamatkannya! Kalau tidak ada Si Kong, dia tentu terpaksa harus meninggalkan tempat itu bersama seluruh keluarganya dan menyerahkan bukit itu kepada Ang-bi Mo-li!
"Si Kong, kenapa engkau tidak pernah memberitahukan kepadaku bahwa engkau memiliki kepandaian yang tinggi?" kata Tong Li Koan dengan nada menegur.
Kalau Tong Li Koan dan Tong Kim Lan menghampiri Si Kong dengan wajah berseri gembira dan penuh kagum, Tong Kim Hok masih berdiri di tempatnya yang tadi tanpa menggerakkan kakinya dan mukanya menjadi pucat. Dia merasa malu bukan main!
Si kong sudah mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan Bukit Bangau. Tong Kim Hok sudah jelas tidak suka kepadanya. Untuk apa dia bekerja terus di situ kalau putera majikannya tidak suka kepadanya"
"Maaf, Lo-ya. Saya pamit karena hendak pergi dari sini."
Tong Li Koan terbelalak. "Pergi dari sini" Hendak ke mana dan mengapa pergi?"
Si Kong tersenyum. "Hendak melanjutkan pergi berkelana. Sudah terlalu lama saya tinggal di sini. Terima kasih kepada Lo-ya dan Siocia, selama ini telah bersikap baik sekali kepadaku."
"Si Kong, jangan pergi dan jangan sebut aku nona. Panggil saja namaku. Aku ingin bersahabat denganmu, ingin belajar silat darimu." Kata Kim Lan.
"Benar, Si Kong. Mulai sekarang engkau tidak usah menggembala kerbau, bantu saja mengawasi para pekerja di ladang." kata Tong Li Koan. "Engkau tidak usah pergi dari sini."
"Maaf, Loya dan Siocia. Saya harus pergi berkelana untuk meluaskan pengalamanku."
Pada saat itu Kim Hok berlari menghampirinya. Dengan muka kemerahan dia berkata. "Ayah, akulah yang bersalah mengganggunya. Si Kong, kau maafkanlah aku dan jangan pergi dari sini."
Si Kong tersenyum dan menepuk-nepuk pundak pemuda yang lebih tua darinya itu. "Sudahlah, kongcu. Kesalahan apapun yang dilakukan seseorang, kalau dia sudah insaf dan menyesali kesalahannya, hal itu baik sekali. Saya senang melihat kongcu menyadari kesalahannya."
Biarpun tiga orang itu membujuknya agar jangan pergi, tetap saja Si Kong mengambil buntalan pakaiannya, lalu mengangkat kedua tangan depan dada, berkata, "Loya, harap jangan khawatir. Ang-bi Mo-li tentu tidak berani datang lagi. Kini kemarahannya tertumpah kepadaku, kalau ia hendak membalas tentu mencari saya bukan mencari Loya. Selamat tinggal Loya, Siocia dan Kongcu."
Tiga orang itu tidak sempat lagi menahan karena setelah berkata demikian, sekali berkelebat Si Kong yang menggunakan ginkangnya itu telah lenyap dari depan mereka.
Tong Li Koan menghela napas panjang. "Luar biasa sekali anak itu. Semuda itu telah memiliki ilmu kepandaian hebat, bahkan menjadi murid Yok-sian Lo-kai dan Kwa Siucai! Dan dia tidak malu untuk bekerja menjadi penggembala kerbau! Luar biasa! Kim Hok, engkau patut mencontoh dia sudah pandai masih rendah hati sedemikian rupa."
"Ini semua kesalahan koko!" Kim Lan merengek. "Karena perbuatan koko, Si Kong menjadi tersinggung dan meninggalkan kita! Koko telah menuduhnya menggembala kerbau tidak benar sehingga kaki seekor kerbaunya terluka, padahal, menurut Moli tadi, yang melukai kaki kerbau itu adalah koko sendiri!"
Tong Li Koan mengerutkan alisnya dan memandang tajam penuh selidik kepada puteranya. "Benarkah itu, Kim Hok?"
"Ampun, ayah. Saya memang bersalah, dan tadipun saya sudah minta maaf kepada Si Kong," kata Kim Hok.
"Akan tetapi kenapa engkau melakukan fitnah begitu kepada Si Kong?"
"Tadinya hati saya masih jengkel kepadanya, ayah, karena dia pernah melawan para penjaga."
"Jangan ulangi lagi perbuatan semacam itu, Kim Hok. Engkau sama sekali tidak boleh tinggi hati dan angkuh dan sama sekali tidak boleh memandang rendah orang lain. Ah, kalau saja sikapmu seperti Si Kong, alangkah akan bahagianya hatiku."
"Ampun, Ayah. Saya sudah sadar sekarang dan saya akan mencontoh Si Kong, saya akan belajar dengan tekun dan tidak akan memandang rendah orang lain."
"Begitu baru kakakku!" kata Kim Lan girang.
Tong Li Koan mengajak dua orang anaknya masuk kedalam, diam-diam berterima kasih sekali kepada Si Kong karena berkat anak pengelana itu keluarganya terbebas dari ancaman Ang-bi Mo-li dan lebih dari itu, puteranya telah menyadari kesalahannya dan akan berusaha mencontoh sikap Si Kong yang rendah hati.
*** Dalam perantauannya, pada suatu pagi yang cerah Si Kong mendaki sebuah bukit yang penuh dengan hutan pohon-pohon besar yang oleh penduduk di bukit-bukit lain di sebut Bukit Iblis. Justeru mendengar sebutan Bukit Iblis inilah yang membuat hati Si Kong tertarik sehingga pagi itu dia mendaki Bukit Iblis, sebuah di antara bukit-bukit di pegunungan Thian-san yang amat luas dan penuh perbukitan itu.
"Kenapa bukit itu disebut Bukit Iblis?" tanya kepada pemilik rumah di dusun pegunungan di mana dia numpang menginap.
"Entahlah, akan tetapi tidak ada seorangpun berani naik ke bukit yang kabarnya dihuni oleh iblis-iblis yang mengerikan. Kabarnya, dahulu setiap kali ada orang berani mendaki bukit itu, tidak kembali lagi ke bawah dan lenyap begitu saja."
Si Kong sudah mendapat pendidikan cukup dari Yok-sian Lo-kai dan Kwa Siucai. Dia seorang pemberani dan tidak percaya akan tahyul, maka mendengar keterangan itu, timbul keinginan hatinya untuk menyelidik keadaan Bukit Iblis itu.
Setelah tiba di lereng teratas, Si Kong tersenyum sendiri. Penduduk dusun yang tahyul itu, pikirnya. Di situ tidak apa-apa kecuali pemandangan yang indah sekali di pagi hari yang cerah itu! Apalagi iblis! Tidak nampak bayangannya sekalipun.
Akan tetapi tiba-tiba Si Kong menahan langkahnya. Dia mendengar bunyi langkah orang di belakangnya! Dia cepat menengok dan tidak melihat siapa-siapa. Dia melangkah maju lagi dan kembali terdengar langkah dua orang, langkah yang terdengar lembut sekali. Kalau dia tidak mengetahui kekuatan pendengarannya dan menahan napas, dia tidak akan dapat mendengar langkah itu. Tepat di belakangnya! Cepat sekali dia menoleh ke belakang akan tetapi kembali dia kecelik. Tidak nampak seorangpun di belakangnya! Dia mulai bergidik ngeri. Benarkah ada iblis di tempat ini" Siang hari ada iblis berkeliaran" Ataukah manusia- manusia yang mengeluarkan bunyi langkah itu" Kalau manusia tentu ilmunya meringankan tubuh sudah mencapai tingkat tinggi sekali.
Dia mendaki terus ke puncak. Ternyata puncak bukit itu datar dan merupakan padang rumput yang cukup luas. Ketika dia tiba di atas, dia melihat belasan orang laki-laki yang bertubuh kekar sedang berkumpul, duduk mengelilingi batu besar di mana duduk seorang laki-laki tinggi besar seperti raksasa yang berusia kurang lebih empatpuluh tahun. Dari sikap dan lagaknya, mudah diketahui bahwa laki-laki raksasa itu tentulah menjadi pemimpin belasan orang itu. Dia menyelinap di balik semak-semak dan mengintai. Kiranya mereka itu orang-orang biasa yang bertubuh kekar kuat dan bersikap kasar. Dan bukan iblis-iblis!
Raksasa yang duduk di atas batu besar itu mengembangkan kedua lengannya dan berkata dengan suara lantang. "Saudara-saudaraku, bagaimana kalian berpendapat tentang bukit ini kalau menjadi sarang kita yang baru" Ha-ha-ha, tempat ini sunyi tak pernah didatangi orang yang takut karena nama bukit ini Bukit Iblis. Ha-ha-ha, sekarang benar-benar menjadi Bukit Iblis dan iblisnya adalah kita."
Belasan orang ikut tertawa sehingga suara tawa mereka riuh rendah memenuhi permukaan bukit itu. Kalau ada orang mendengarnya, tentu akan mengira bahwa iblislah yang tertawa itu.
"Tempat ini baik sekali, twako! Kami merasa cocok untuk tinggal di sini. Di hutan-hutan bawah itu terdapat banyak kayu besar dan bambu, mudah bagi kita untuk membuat bangunan-bangunan untuk kita tinggal."
Pada saat itu terdengar suara orang terkekeh-kekeh saling sahutan. Dari suara tawa yang berbeda-beda itu dapat diketahui bahwa yang tertawa itu lebih dari satu orang. Kemudian nampak tiga sosok bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri tiga orang yang menyeramkan. Yang seorang tinggi kurus seperti tiang bambu, kepalanya juga panjang kecil sehingga nampak aneh sekali. Orang kedua pendek gendut dan segalanya yang ada pada orang ini bundar belaka, jauh sekali bedanya dengan orang pertama yang serba kecil panjang. Orang ketiga bertubuh katai seperti kanak-kanak, akan tetapi mukanya menunjukkan bahwa dia sudah tua, sedikitnya lima puluh tahun usianya dan lebih muda sedikit saja dari dua orang terdahulu. Tiga orang ini muncul sambil tertawa-tawa.
"Ha-ha-he-heh-heh!" Orang pertama yang tinggi kurus berkata sambil tertawa-tawa. "Segerombolan setan kecil berani mengganggu daerah kami, sungguh sudah bosan hidup!"
"Jangan, Sam-kwi (Setan ke Tiga), jangan bunuh. Mereka perlu untuk menjadi pelayan-pelayan kita. Kita bikin tempat kita ini menjadi istana dengan belasan orang pelayannya, heh-heh!"
"Benar apa yang dikatakan Thai-kwi (Setan Tertua), Sam-kwi. Akupun sudah bosan setiap hari mencari makanan sendiri!"
Mendengar ucapan tiga orang itu, si raksasa yang memimpin limabelas orang anak buahnya itu terbelalak. "Apakah kalian yang berjuluk Liok-te Sam-kwi (Tiga Iblis Bumi)?"
Kakek yang gendut bundar tertawa. "Ha-ha-ha, setan cilik ini cerdik juga, sudah dapat menduga siapa adanya kita. Setan-setan cilik, setelah kalian ketahui siapa kami, hayo lekas berlutut dan berjanji untuk menjadi pelayan-pelayan kami yang patuh!"
Raksasa yang berdiri di atas batu besar itu bangkit berdiri, tubuhnya yang tinggi besar penuh otot mengembang itu menyeramkan dan dia berkata dengan lantang. "Liok-te Sam-kwi, orang lain boleh merasa takut kepada kalian bertiga. Akan tetapi kami tidak takut kepada kalian. Kalau kalian tidak cepat pergi dari sini, kami enambelas orang pasti akan menyingkirkan kalian dengan paksa."
Thai-kwi yang bertubuh pendek gendut itu tertawa mendengar ucapan ini. "Ji-kwi dan Sam-kwi, kalian mendengar bualan itu" Mari kita hajar mereka agar mengenal siapa kita, akan tetapi jangan dibunuh, kita membutuhkan tenaga mereka untuk melayani kita!"
Kepala gerombolan itu meloncat turun dari atas batu besar, mencabut sebatang golok besar dari punggungnya dan memberi aba-aba kepada para anak buahnya, "Serbu?"! Bunuh mereka?""!"
Lima belas orang anak buahnya juga sudah mencabut golok masing-masing dan dengan ganas mereka menyerang tiga orang aneh itu. Si Kong dalam persembunyainnya melihat betapa tiga orang itu kelihatan tenang saja, akan tetapi setelah serangan keroyokan itu dilakukan, mereka bergerak cepat mengelak dan membalas dengan tamparan dan tendangan mereka itu. Hebat sekali memang gerakan mereka itu. Mereka tidak memegang senjata akan tetapi gerakan mereka demikian cepat sehingga sukar diikuti dengan mata, tahu-tahu para pengeroyok itu berpelantingan terkena sambaran tangan atau kaki mereka. Golok-golok beterbangan terlepas dari tangan mereka dan dalam waktu pendek saja enambelas orang itu sudah roboh semua! Diam-diam Si Kong memandang dengan kagum. Di antara tiga orang itu dia melihat si pendek gendut yang paling lihai. Akan tetapi yang di herankan di antara tiga orang ini walaupun memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi, masih belum mampu melangkah seperti yang didengarnya ketika mendaki bukit ini tadi. Langkah-langkah orang di belakangnya akan tetapi begitu dia menengok, tidak nampak orangnya! Agaknya ginkang tiga orang ini belum setinggi yang dia dengar langkahnya tadi. Betapapun juga, harus diakui bahwa tiga orang itu lihai sekali. Dikeroyok enambelas orang yang rata-rata memiliki tenaga besar, begitu mudahnya bagi tiga orang itu untuk merobohkan mereka semua.
Raksasa itu agaknya terkena tendangan yang paling parah karena dia tidak dapat segera bangun, hanya mengaduh-aduh sambil memegang dadanya yang tertendang oleh kaki si pendek gendut.
"Ha-ha-ha-ha!" Tiga orang itu kini tertawa-tawa. "Apakah kalian sudah mengenal kami?" Si pendek gendut yang menjadi ornag pertama dari Tiga Iblis itu menghampiri pimpinan belasan orang itu.
Raksasa itu maklum bahwa dia dan teman-temannya tidak akan menang melawan tiga Datuk Iblis itu, maka diapun terpaksa mengakui kekalahannya daripada dibunuh. "Kami telah kalah dan meyerah atas pimpinan sam-wi."
"Bagus! Mulai sekarang kalian enambelas orang menjadi anak buah kami, siapa berani membangkang akan kami bunuh!" kata pula si pendek gendut dengan girang.
Si Kong menyaksikan semua ini dan dia tidak ingin mencampuri. Itu adalah urusan orang-orang kang-ouw yang sesat saling berebut kekuasaan di Bukit Iblis itu. Tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya dan dia tidak ingin mencampuri. Biarlah kalau tiga orang Iblis ini menguasai bukit ini dan mengambil belasan orang itu sebagai anak buah mereka.
Akan tetapi selagi dia hendak pergi menyingkir dari tempat itu agar jangan terlibat, tiba-tiba terdengar lengkingan panjang yang membuat dia terkejut dan terpaksa Si Kong tidak jadi pergi, tetap mendekam di balik semak-semak untuk melihat apa yang akan terjadi.
Suara melengking tinggi itu bukan saja nyaring, akan tetapi juga mengandung getaran yang membuat semua orang yang mendengarnya merasa jantung mereka terguncang hebat. Belasan orang yang tadi kena hajar dan belum pulih benar, mendengar lengkingan ini menjadi panik dan mereka roboh kembali karena tidak dapat menahan guncangan jantung mereka. Adapun tiga orang Datuk Iblis itu juga nampak terkejut dan mereka memejamkan mata, mengerahkan sinkang untuk melindungi jantung mereka dan menolak pengaruh yang hebat dari lengkingan panjang itu. Si Kong sendiri menahan napas dan mengerahkan sinkang untuk melindungi jantungnya. Belum habis suara melengking itu, disusul suara gerengan yang juga amat hebat. Gerengan ini seperti gerengan harimau yang mengguncangkan jantung. Dua suara yang sama kuat getarannya ini seperti saling sahutan, dan akhirnya dua suara ini berhenti dan entah dari mana datangnya, di atas batu besar yang tadi diduduki raksasa pemimpin gerombolan itu telah berdiri dua orang kakek. Yang seorang berusia sedikitnya enampuluh tahun, kepalanya besar sekali, sungguh menyolok karena berbeda dengan tubuhnya yang kecil. Kedua telinganya juga lebar bukan seperti telinga manusia biasa, kepalanya botak dan dia mengenakan baju serba putih, tangan kanannya memegang sebuah tongkat kayu berbentuk ular dan panjangnya sampai kepundaknya. Orang kedua juga aneh. Kepalanya penuh rambut yang tebal dan panjang sampai ke punggung, mukanya juga penuh rambut seperti muka monyet, kedua lengannya panjang sekali sampai melebihi lututnya ketika bergantung di kanan kirinya. Tangan kanannya memegang sebatang pecut seperti yang biasa dipegang oleh para penggembala ternak. Pakaiannya serba hitam.
Si Kong terkejut sekali melihat mereka. Dia sendiri tidak tahu kapan mereka itu datang, tahu-tahu telah berada di atas batu itu. Sekarang tahulah dia siapa yang tadi terdengar langkahnya akan tetapi tidak nampak orangnya. Tentu kedua orang kakek aneh ini. Mereka memiliki ginkang yang sukar di ukur tingginya. Dia sendiri yang sudah mahir ilmu Liok-te Hui-teng yang membuat dia dapat bergerak seperti terbang cepatnya, sama sekali tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan dua orang kakek ini.
Liok-te Sam-kwi (Tiga Setan Bumi) itu juga terkejut melihat munculnya dua orang aneh ini. Mereka bertiga adalah tokoh-tokoh dunia sesat yang terkenal namun belum pernah mereka bertemu dengan dua orang ini. Dan melihat kemunculan mereka, tiga orang itu teringat akan dua nama yang amat ditakuti para tokoh persilatan. Dua nama yang hanya dikenal nama akan tetapi jarang ada orang bertemu dengan dua orang ini.
Thai-kwi, orang pertama dari Liok-te Sam-kwi yang pendek gendut, segera memberi hormat dari tempat di mana dia berdiri. Dia mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan dan dengan suaranya yang besar dia berkata, "Kalau kami tidak salah duga, ji-wi tentu yang dijuluki Ji Ok (Dua Yang Jahat). Kalau benar demikian, kami bertiga Liok-te Sam-kwi menghaturkan hormat kami kepada ji-wi lo-cian-pwe!"
Dengan menyebut ji-wi lo-cian-pwe, Thai-kwi telah merendahkan diri dan ini menandakan bahwa dia jerih menghadapi kedua orang aneh itu.
Melihat sikap Thai-kwi yang merendahkan diri, kakek yang kepalanya besar tertawa, suara tawanya menggelegar dan membuat seluruh puncak bukit itu tergetar. "Hoa-ha-ha-ha, bagaimana pendapatmu, Ji Ok (Jahat Ke Dua)" Kita berdua berjuluk Thao-mo-ong (Raja Iblis Tertua) dan Ji-mo-ong (Raja Iblis ke Dua) dan sekarang muncul mereka yang mengaku Liok-te sam-kwi dan hendak menguasai Bukit Iblis ini" Apa yang harus kita lakukan terhadap Siauw-kwi (Iblis Cilik) ini?"
"Toa-ok, kenapa pusing-pusing memikirkan hal itu" Bunuh saja mereka agar tidak menjadi saingan dan penghalang bagi kita!" kata kakek seperti monyet yang berpakaian serba hitam itu.
"Ha-ha-ha-ha! Engkau benar sekali, Ji Ok. Nah, kalian bertiga sudah mendengar sendiri. Liok-te Sam-kwi, kami tidak ingin mengotorkan tangan untuk membunuh kalian. Nah, sekarang cepat kalian bertiga membunuh diri di depan kami!"
Liok-te Sam-kwi terkejut bukan main. Ini sudah keterlaluan sekali. Mereka diminta membunuh diri agar tidak menjadi saingan dan tidak menghalangi mereka berdua. Ini namanya terlalu memandang rendah kepada mereka!
Orang ketiga dari Liok-te Sam-kwi yang bertubuh katai seperti kanak-kanak ternyata seorang cerdik. Dia hendak menggunakan tenaga enambelas orang gerombolan yang baru saja menyerah kepada mereka. Dia meloncat ke depan pimpinan gerombolan itu dan berkata, "Kami perintahkan kalian semua untuk mengeroyok dua orang kakek itu!"
Enambelas orang itu tidak berani membangkang. Mereka sudah mencabut golok mereka dan mengepung dua orang kakek itu, sedangkan Liok-te Sam-kwi sendiri juga sudah bersiap-siap. Si Kong menonton dari tempat persembunyiannya dengan panuh perhatian. Jantungnya berdebar tegang karena dia tahu bahwa sekarang akan terjadi pertandingan yang hebat. Tiga orang Liok-te Sam-kwi itu memiliki ilmu kepandaian yang hebat, akan tetapi kedua orang kakek Toa Ok dan Ji Ok ini agaknya memiliki ilmu yang lebih hebat lagi.
Karena dapat menduga bahwa mereka menghadapi lawan yang berat, Liok-te Sam-kwi mengeluarkan senjata masing-masing. Orang pertama yang gendut bundar itu mengeluarkan sebuah rantai baja yang ujungnya dipasangi kaitan dari pinggangnya di mana rantai itu tadinya dilibatkan. Orang kedua yang tinggi kurus itu mencabut sebatang pedang dari punggungnya dan orang ketiga yang katai mencabut sepasang golok kecil dari punggungnya pula. Bersama enambelas orang gerombolan yang sudah menjadi anak buah mereka itu, mereka kini mengepung batu besar di mana Toa Ok dan Ji Ok berdiri. Dua orang Raja Iblis ini tersenyum-senyum saja dengan tenangnya, seolah dua orang dewasa menghadapi pengeroyokan anak-anak kecil saja.
Tiba-tiba, seperti sudah bersepakat lebih dulu, Toa Ok si kepala besar meloncat turun dari atas batu, ke arah kiri sedangkan Ji Ok Si Muka Monyet itu meloncat turun ke arah kanan sehingga mereka terpisah menjadi dua. Para pengeroyoknya juga terbagi menjadi dua. Si gendut dan si katai bersama delapan orang anak buah sudah mengepung Toa Ok. Sedangkan si tinggi kurus bersama delapan orang anak buah yang lain mengepung Ji Ok.
"Hyaaatt?"!" Si gendut sudah memulai dengan serangannya. Cambuk rantainya menyambar dan menjadi sinar putih menghantam ke arah leher Toa Ok. Gerakan ini disusul pula oleh si katai yang menggerakkan sepasang goloknya. Demikian pula delapan orang anak buah mereka sudah menggerakkan golok masing-masing untuk mengeroyok. Toa Ok tertawa bergelak dan tahu-tahu tubuhnya melonat ke atas dengan kecepatan kilat. Sambil meloncat dia menggerakkan tongkat ularnya ke bawah dan sekali tongkat itu menyambar, robohlah empat orang anak buah gerombolan itu dengan kepala pecah!
Ji Ok juga dikepung rapat oleh si tinggi kurus dan delapan orang anak buahnya. Si tingi kurus itu menggerakkan pedangnya dan menyerang dengan cepat sekali, diikuti oleh delapan orang anak buah yang menggerakkan golok mereka. Akan tetapi Ji Ok memandang rendah mereka. Pecutnya meledak-ledak dan nampak seperti kepulan asap ketika pecut itu meledak-ledak. Tubuhnya sendiri berkelebat lenyap dari kepungan sembilan orang itu dan ketika pecutnya berhenti meledak, sudah ada empat orang pengeroyok terkapar dengan leher hampir putus! Gerakan pecutnya sedemikian lihainya sehingga pecut itu menjadi tajam seperti pedang.
Liok-te Sam-kwi mengeroyok dan berusaha mati-matian untuk merobohkan Toa Ok dan Ji Ok, akan tetapi mereka itu kalah cepat dan kalah kuat tenaganya. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, begitu tongkat ular berhenti menyambar dan pecut berhenti meledak, semua pengeroyok itu, Liok-te Sam-kwi bersama enambelas orang anak buah mereka, telah roboh dan tewas semua!


Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dua orang kakek itu meloncat lagi ke atas batu besar dan keduanya tertawa terkekeh saking gembiranya telah dapat membunuh sekian banyaknya orang dalam waktu singkat. Si Kong bergidik. Sungguh tepat mereka disebut Toa Ok dan Ji Ok, Si Jahat Pertama dan Si Jahat Kedua dengan julukan Thai-mo-ong dan Ji-mo-ong! Tanpa sebab yang jelas mereka membunuhi belasan orang begitu saja. Karena tidak dapat menahan lagi menonton pertunjukan yang kejam itu, Si Kong membuat gerakan hendak pergi dari tempat persembunyiannya. Dia lupa betapa lihainya dua orang Raja Iblis itu.
Baru saja beberapa langkah dia maju, tiba-tiba Ji Ok sudah berseru dengan suaranya yang tinggi kecil. "Siapa itu" Berhenti atau kamu mati!"
Si Kong terkejut dan baru teringat bahwa sedikit gerakan saja tentu akan diketahui oleh mereka yang amat lihai. Dia berhenti melangkah dan membalikan tubuh. Kini dia sudah berdiri di balik semak dan dapat nampak oleh dua Raja Iblis itu dari pinggang ke atas.
Melihat betapa orang itu hanya seorang pemuda remaja yang membawa buntalan pakaian di ujung pikulan bambunya, dua orang kakek itu mendengus marah.
"Engkau melihat apa?" bentak Ji Ok pula.
Karena masih muak menyaksikan pembunuhan atau pembantaian keji itu, seperti dengan sendirinya Si Kong menjawab, "Saya melihat pembantaian di luar perikemanusiaan!"
Dua orang kakek itu tertegun, lalu tertawa bergelak. Ji Ok menggerakkan pecutnya ke bawah. Pecut itu meledak dan menyambar ke bawah, ujungnya sudah melibat sebatang golok milik anak buah gerombolan dan sekali menggerakkan pecutnya, golok itu sudah terbang dan menancap di depan kaki Si Kong.
"Pungut pedang itu dan gorok lehermu sendiri!" Ji Ok membentak pula. Panas hati Si Kong. Dia tahu bahwa dua orang kakek itu lihai sekali, akan tetapi dia tidak takut. Apalagi disuruh membunuh diri sendiri. Mana mungkin dia dapat menaati perintah yang keji itu" Dia membungkuk perlahan memungut golok itu. Akan tetapi dia tidak menggorok batang leher sendiri melainkan menggunakan jari tangan menekuk golok itu.
"Pletakkk!" Golok itu patah menjadi dua dan dilempar ke atas tanah oleh Si Kong.
Melihat ini, Ji Ok menjadi marah sekali. Gerakan Si Kong mematahkan golok itu dianggapnya sebagai tantangan kepadanya! Dia ditantang oleh anak kemarin sore, seorang pemuda remaja! Akan tetapi Ji Ok masih merasa segan untuk bermusuhan dengan seorang bocah remaja. Hal itu dianggapnya memalukan sekali. Merendahkan kedudukannya sebagai datuk besar.
Dengan kemarahan yang ditahan-tahan dia menendang ujung batu besar itu. Ujungnya pecah dan pecahan batu sebesar kepala itu meluncur dan menyambar ke arah kepala Si Kong! Akan tetapi dengan tenang saja Si Kong menarik kepalanya ke belakang segingga sambaran batu itu luput. Melihat ini, Ji Ok merasa semakin penasaran! Pecutnya kini menyambar-nyambar ke bawah, membelit golok-golok yang berada di bawah dan menyambitkan golok-golok itu ke arah Si Kong. Golok-golok itu beterbangan menyambar, akan tetapi dengan sigap dan mudahnya Si Kong mengelak dan semua golok yang disambitkan dengan pecut itu tidak ada sebuahpun yang mengenai dirinya. Tidak kurang dari sembilan buah golok yang menyambar ke arah tubuhnya dan semua dapat di elakkan. Sekarang Ji Ok merasa heran juga. Sambitannya tadi cepat dan kuat sekali. Akan tetapi bocah itu dapat mengelak dengan amat mudahnya.
"Ha-ha, Ji Ok. Engkau sekali ini dipermainkan seorang bocah cilik!"
"Jangan mentertawakan aku, Toa Ok! Kulihat anak ini bukan anak sembarangan, kalau tidak mana mungkin dia dapat mengelak dari semua golok itu?"
"Hemm, kalau dia sampai lolos dan menceritakan di dunia kangouw betapa dia sudah mampu menghindarkan diri dari seranganmu, bukankah kita akan menjadi buah tertawaan orang sedunia" Sekarang, selagi tidak ada orang lain melihatnya, mari kita berlumba, siapa antara kita yang lebih dulu dapat membunuhnya!"
"Baik!" Kata Ji Ok dan mereka berdua sudah melayang dari atas batu itu ke arah Si Kong. Anak ini sudah tahu akan niat mereka. Biarpun dia tahu bahwa kedua orang kakek itu bukanlah lawannya, namun dia tidak putus asa. Selagi masih hidup, dia harus mempertahankan hidupnya. Dia sudah menurunkan buntalan pakaiannya dan memegang pikulan bambunya sebagai tongkat.
Begitu menyambar, kedua orang kakek itu sudah menggerakan senjata sebelum kaki mereka turun ke tanah. Tongkat ular di tangan Toa Ok berlumba cepat dengan pecut di tangan Ji Ok.
"Wuuuuutttt?".!"
Si Kong maklum betapa besar bahayanya penyerangan itu. Dia lalu mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya Liok-te Hui-teng dan berkelebat dengan cepatnya mengelak dari sambaran kedua senjata itu.
"Wuuuutt".. tarrr?".!"
Tongkat dan pecut itu menyambar ganas akan tetapi tidak mengenai sasarannya. Kedua orang datuk itu terkejut dan heran bukan main. Mereka berdua menyerang dengan berbareng dan anak itu dapat menghindarkan diri! Ini saja sudah merupakan hal yang luar biasa sekali. Tokoh-tokoh kang-ouw jarang ada yang mampu menghindarkan diri kalau mereka menyerang seperti tadi dan bocah itu mempergunakan gin-kang yang amat hebat sehingga dapat bergerak lebih cepat dari pada sambaran senjata mereka!
Toa Ok mengeluarkan suara gerengan aneh saking penasaran dan marahnya dan dia sudah menyerang dengan tongkatnya yang ditusukkan ke arah dada Si Kong dengan penuh keyakinan bahwa Si Kong pasti akan tewas sekali ini. Si Kong melihat gerakan tongkat dan dia pun mengerakkan tongkat bambunya untuk menangkis sambil menggetarkan ujung tongkat bambunya.
"Tukkk?".!" Dua batang tongkat bertemu dengan kuatnya dan Si Kong membuat tongkatnya terpental dan diapun ikut meloncat sehingga serangan Toa Ok gagal lagi.
Melihat ini, Ji Ok juga menyerang dengan pecutnya yang dibuat menjadui lemas. Pecut itu menyambar ke arah leher Si Kong, kalau mengenai sasaran akan membelit leher dan sekali sentak dengan tenaga sin-kang, leher bocah itu tentu akan putus! Akan tetapi kembali tongkat ditangan Si Kong menangkis dan ketika ujung cambuk hendak membelit tongkat bambu, Si Kong telah lebih dahulu mengirim tendangan kakinya ke arah pergelangan tangan lawan yang memegang cambuk. Ji Ok melihat betapa tendangan itu kuat sekali. Dia tidak ingin pergelangan tangannya tertendang, maka terpaksa dia menarik kembali cambuknya, tidak jadi melibat tongkat. Kini kedua orang datuk itu marah sekali, akan tetapi mereka juga merasa malu kalau harus mengeroyok seorang pemuda remaja dengan menggunakan senjata mereka!
"Ji Ok, kita bunuh anak ini dengan tangan kosong saja!" kata Toa Ok dengan muka berubah merah karena merasa malu.
"Baik!" kata Ji Ok yang segera menyimpan sabuknya, diikatkan dipinggangnya sedangkan Toa Ok menancapkan tongkatnya di tanah. Kini mereka menghampiri Si Kong dengan tangan kosong. Akan tetapi jangan dikira dengan tangan kosong itu mereka menjadi kurang berbahaya. Kedua orang datuk ini telah memiliki tenaga dalam yang luar biasa kuatnya. Toa Ok yang berkepala besar itu memiliki sinkang yang berhawa panas dan yang dapat menghanguskan tubuh lawan dengan pukulannya. Sebaliknya Ji Ok memiliki sinkang berhawa dingin. Dengan pukulan tangannya, dia mampu membuat lawan roboh dan tewas dengan darah membeku!
Si Kong bukan tidak maklum akan kesaktian dua orang kakek itu. Juga dia mengerti bahwa dua orang datuk besar ini merasa marah dan malu sehingga berniat untuk membunuhnya.
"Ji-wi lo-cianpwe mengapa berkeras hendak membunuhku" Apa kesalahanku terhadap ji-wi (anda berdua)?" Si Kong bertanya, suaranya nyaring, sama sekali tidak ada tanda-tanda takut padanya.
"Bocah setan, engkau harus mampus di tanganku!" Ji Ok membentak.
"Kalau tidak ingin mati di tangan kami, bunuhlah dirimu sendiri dengan tongkatmu!" kata Toa Ok yang masih merasa malu kalau harus membunuh lawan yang melihat usianya pantas menjadi cucunya itu.
"Aku tidak bersalah, aku tidak ingin mati di tangan siapapun!" kata Si Kong, siap dengan tongkatnya.
"Heeeiiiitt"..!" Ji Ok sudah menyerang dengan tangan kirinya yang membentuk cakar harimau. Akan tetapi Si Kong mengelak dengan cepat dan ujung tongkatnya sudah menyerang ke arah siku tangan yang menyerangnya itu. Ji Ok terkejut dan menarik tangan kirinya, kini tangan kanan menyambar dengan sebuah tamparan ke arah muka Si Kong. Si Kong mengelak ke belakang akan tetapi secara tidak terduga, sambil mengelak itu tongkatnya menyambar ke bawah.
"Takk!!" Tongkatnya mengenai kaki Ji Ok. Kalau bukan Ji Ok yang terkena hantaman tongkat itu, tentu sudah terpelanting jatuh. Akan tetapi Ji Ok tidak bergeming, hanya matanya terbelalak, "Tung-hwat (ilmu tongkat) yang hebat!"
Sementara itu, Toa Ok juga sudah menyerang dengan tamparan tangan kanan di susul tamparan tangan kiri. Tamparan kedua tangannya ini menggunakan sinkang sehingga dapat menyerang orang dari jarak jauh. Akan tetapi Si Kong sudah melayang ke atas dan melewati kepala Toa Ok. Ketika turun tongkatnya sudah menghantam ke belakang tubuh lawannya.
"Bukk!" Pinggul Toa Ok kena dihantam tongkat. Tongkat itu terpental, akan tetapi Toa Ok sudah menjadi merah sekali mukanya karena dalam segebrakan saja dia sudah terkena pukulan tongkat walaupun pukulan pada pinggulnya itu tidak ada artinya baginya. Dia hanya merasa heran dan terkejut, dan teringatlah dia akan akan ilmu tongkat yang terkenal paling ampuh di dunia persilatan.
"Ta-kaw Sin-tung?".!" Teriaknya dan kembali mereka menghadapi Si Kong. Kini mereka menyerang dengan berbareng. Si Kong menjadi terdesak hebat dan terpaksa dia harus menggunakan Yan-cu Hui-kun yang membuat tubuhnya menjadi seperti seekor burung walet gesitnya, mengelak ke sana sini sambil berloncatan dan kadang menangkis dengan tongkatnya.
Setelah lewat belasan jurus, sebuah pukulan jarak jauh dari Toa Ok menyerempet pundaknya dan diapun terpelanting dan merasa tubuhnya panas sekali, Ji Ok dan Toa Ok maju menyerang lagi dari kanan kiri, menggunakan pukulan jarak jauh dengan tenaga sakti keluar dari telapak tangan mereka.
Si Kong sudah tidak dapat menghindar lagi. Akan tetapi, biarpun maut mengancam dirinya, anak ini sama sekali tidak takut dan dia hanya menanti datangnya pukulan dengan mata terbelalak keberanian.
"Siancai?"!" pada saat itu terdengar seruan orang dan nampak bayangan orang berkelebat. Tahu-tahu disitu telah berdiri seorang kakek dekat Si Kong dan kakek ini menentang keduan tangannya ke kanan kiri untuk menyambut pukulan Toa Ok dan Ji Ok yang ditujukan kepada Si Kong.
"Plak-plakk!"
Kakek itu menerima kedua tangan dari kanan kiri. Dia dapat merasakan betapa telapak tangan Toa Ok mengandung hawa panas dan telapak tangan Ji Ok mengandung hawa dingin. Akan tetapi kakek itu dengan tenangnya menyambut tangan mereka.
Toa Ok dan Ji Ok terkejut sekali ketika merasa betapa telapak tangan mereka bertemu dengan telapak tangan yang lembut dan hangat.
Akan tetapi Toa Ok dan Ji Ok adalah dua orang datuk sesat yang tidak memperdulikan nasib orang lain. Mereka dapat membunuh orang tanpa berkedip mata. Kini melihat seorang kakek menolong Si Kong dan kakek itu terhimpit di tengah-tengah antara mereka, kedua orang datuk ini tidak menarik kembali tangan mereka, bahkan sebaliknya mereka mengerahkan tenaga sinkang untuk membunuh kakek yang menghalangi niat mereka membunuh Si Kong itu. Mereka menggunakan tangan mereka itu untuk mendorong dengan pengerahan tenaga.
Akan tetapi mereka terkejut bukan main. Ketika mendorong dengan tenaga sakti yang mengandung hawa panas, Toa Ok merasa betapa ada hawa dingin menyambut dorongannya. Sebaliknya Ji Ok yang mendorong dengan hawa sinkang dingin, merasa betapa ada hawa panas menyambut dari telapak tangan kakek itu. Mereka berdua terengah-engah karena sambutan hawa sin-kang dari tangan kakek itu amat kuat. Mereka merasa penasaran sekali dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk mendorong kembali.
"Haiiiiiitt?".!" Ji Ok berseru nyaring.
"Hyaaaaaatttt?".!" Toa Ol juga membentak sambil mengerahkan seluruh tenaganya.
Akan tetapi dua orang kakek itu merasa betapa makin kuat mereka mendorong, semakin kuat pula hawa sakti menyambut dan mereka tidak kuat bertahan, lalu keduanya terjengkang roboh. Toa Ok merasa tubuhnya di serang hawa dingin, sebaliknya Ji Ok merasa tubuhnya di serang hawa panas. Mereka tidak tahu bahwa kakek itu sebetulnya hanya menyalurkan saja hawa pukulan mereka itu melalui kedua tangannya dan membuat dua tenaga yang berlawanan itu bertemu dan saling serang sendiri. Ini merupakan ilmu menyimpan dan menyalurkan hawa sakti dari luar, sebuah ilmu yang teramat tinggi dan jarang ada orang mampu melakukannya. Dengan penyaluran itu, Toa Ok tertangkis oleh tenaga Ji Ok sebaliknya Ji Ok tertangkis oleh tenaga Ji ok yang mengakibatkan keduanya roboh terluka!
Kedua orang datuk itu bukanlah orang-orang bodoh yang nekat. Mereka maklum bahwa mereka telah terluka dalam dan kalah. Mereka maklum bahwa mereka berhadapan dengan seorang yang luar biasa saktinya. Sejenak mereka bangkit dan duduk bersila untuk mengatur pernapasan mengambil hawa murni untuk melindungi jantng mereka. Kemudian keduanya bangkit berdiri. Ada sedikit darah kelihatan di ujung bibir mereka.
"Siapakah engkau yang telah berani mencampuri urusan kami?" tanya Toa Ok dengan suara mengandung penasaran sekali.
"Siancai?".!" Kakek itu berseru sambil tersenyum. "Kiranya yang berjuluk Toa Ok dan Ji Ok bahkan lebih kejam daripada namanya! Aku yang bertapa di Pulau Teratai Merah belum pernah bertemu dengan orang yang sekejam kalian berdua!" Berkata demikian kakek itu memandang ke arah mayat-mayat yang malang melintang di tempat itu, lalu kepada Si Kong yang sudah bangkit berdiri. Dua orang datuk ini terkejut bukan main mendengar bahwa kakek ini adalah pertapa di Pulau Teratai Merah. Mereka sudah pernah mendengar tentang seorang pertapa yang sakti sekali, seorang yang puluhan tahun yang lalu namanya terkenal dan di takuti oleh seluruh tokoh kang-ouw, terutama kaum sesat amat takut mendengar nama itu. Puluhan tahun yang lalu di dunia kang-ouw muncul seorang pendekar yang demikian gigih memberantas kaum sesat tanpa ampun sehingga dia dijuluki orang Pendekas Sadis! Pendekar Sadis inilah yang kemudian setelah tua mengundurkan diri dan bertapa di Pulau Teratai Merah di Laut Selatan. Dan kini, tanpa di sangka sama sekali, pertapa itu agaknya meninggalkan Pulau Teratai Merah dan kebetulan bertemu dengan Toa Ok dan Ji Ok, sepasang Raja Iblis yang merupakan orang-orang paling kejam di antara semua tokoh sesat. "Pendekar Sadis?"..!" Toa Ok dan Ji Ok berseru dengan suara berbareng kemudian tanpa berkata apa-apa lagi kedua orang itu melompat jauh dan pergi dari situ dengan hati jerih!
Kakek itu memang benar Pendekas Sadis yang bernama Ceng Thian Sin. Akan tetapi dia kini telah menjadi seorang kakek tua renta yang usianya sudah mencapai hampir seratus tahun! Belasan tahun yang lalu kakek ini tinggal di Pulau Teratai Merah bersama isterinya yang juga merupakan seorang pendekar wanita yang sukar di cari tandingannya. Ketika isterinya yang bernama Toan Kim Hong dan yang pernah menjadi datuk selatan dengan julukan Lam Sin itu meninggal dunia dalam usia delapanpuluh tahun lebih, kakek Ceng Thian Sin hidup seorang diri di pulau itu sebagai seorang pertapa. Dia sama sekali tidak mencampuri urusan dunia, bahkan lama sebelum itu, dia sudah hidup berdua dengan isterinya hidup dengan tenteram penuh kedamaian di pulau itu.
Si Kong terheran-heran melihat kakek tua renta itu. Dia memandang pernuh perhatian. Seorang kakek yang jangkung kurus, rambut jenggot dan kumisnya sudah putih semua akan tetapi wajahnya masih nampak sehat kemerahan seperti orang muda. Alisnya yang tebal juga sudah putih semua dan pakaiannya amat sederhana namun bersih, dari kain kuning dan putih. Dia tadi melihat betapa kakek itu menahan kedua tangan Toa Ok dan Ji Ok, kemudian melihat kedua orang datuk sesat itu roboh terjengkan seperti ditolak tenaga yang kuat sekali. Melihat itu saja maklumlah Si Kong bahwa yang menyelamatkan nyawanya adalah seorang kakek yang amat sakti. Dia tidak ragu lagi untuk menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek itu dan memberi hormat berulang kali.
"Saya Si Kong yang bodoh merasa bersyukur sekali bahwa lo-cian-pwe telah menyelamatkan nyawa saya dari tangan maut Toa Ok dan Ji Ok. Kalau tidak ada lo-cian-pwe tentulah sekarang saya telah menjadi mayat. Banyak terima kasih saya haturkan kepada lo-cian-pwe."
Kakek itu mengelus jenggot putihnya yang panjang. "Siancai?"! Kau tahu apa tentang tolong menolong, hutang dan balas budi, hutang atau balas dendam?" Kemudian Ceng Thian Sin berdongak kelangit dan mulutnya membaca sajak!
"Begitu semua orang
mengenal keindahan
dengan sendirinya
muncul kejelekan,
Begitu semua orang
tahu apa itu kebaikan
mereka pun tahu
apa itu kejahatan"..
Karena itu ada dan tiada saling melahirkan
sukar dan mudah
saling melengkapi
panjang dan pendek
saling mewujudkan
tinggi atau rendah
saling bersandar
bunyi dan suara
saling mengimbangi
dahulu dan kemudian
saling menyusul?""
Mendengar ini, saking tertariknya karena dia mengenal sajak itu, ketika kakek itu berhenti sebentar untuk menarik napas, Si Kong sudah melanjutkan sajak itu.
"Itulah sebabnya orang sudi
bekerja tanpa bertindak
mengejar tanpa berkata.
Maka segala benda berkembang
tanpa dia mendorongnya
tunbuh tanpa dia mau memilikinya
berbuat tanpa dia menjadi sandarannya.
walaupun berjasa dia tidak menuntut,
justeru karena tidak menuntut,
maka tidak akan musna."
"Siancai?""..! engkau hafal akan ujar-ujar dalam kitab To-tek-keng! Bagus seklai, akan tetapi mengertikah engkau akan inti sari pelajaran dalam ujar-ujar kuno itu?"
"Maafkan saya, locianpwe. Kalau tidak salah, ujar-ujar itu mengajarkan kepada orang untuk melakukan segala sesuatu tanpa pamrih untuk keuntungan atau kesenangan diri pribadi karena perbuatan apapun yang berpamrih untuk diri sendiri, maka perbuatan itu tidaklah timbul dari hati sanubari yang bersih, melainkan dipakai sebagai alat untuk mencapai kesenangan diri sendiri. Benarkah demikian, lo-cianpwe?"
"Ha-ha-ha, engkau seorang bocah yang cerdik dan pemberani. Kulihat bahkan engkau tadi berani melawan Toa Ok dan Ji Ok dengan ilmu tongkat Ta-kaw Sin-tung! Dan gerakanmu demikian gesit. Tentu engkau pernah mempelajari Liok-te Hui-teng dan Yan-cu Hui-kun!"
Si Kong merasa kagum dan tunduk sekali. Dia memberi hormat lagi sambil berlutut. "Apa yang lo-cian-pwe katakan semuanya benar. Saya yang bodoh mohon petunjuk lo-cian-pwe."
"Aku pernah mendengar bahwa ilmu tongkat yang menjadi ilmu tertinggi dari para pengemis, dimiliki oleh Lok-sian Lo-kai, yaitu ilmu tongkat Ta-kaw Sin-tung. Sedangkan Liok-te Hui-teng dan Yan-cu Hui-kun dikuasai oleh si penyair gila Kwa Siucai. Apa hubunganmu dengan kedua orang itu?"
"Mereka beruda adalah guru-guru saya, lo-cian-pwe." Kata Si Kong yang menjadi lebih kagum lagi. Kakek tua renta ini agaknya mengetahui segalanya.
"Pantas engkau mengenal To-tek-keng." Kakek itu kembali melayangkan pandang pandang matanya kepada sembilanbelas buah mayat yang malang melintang di tempat itu. "Siapa yang membunuh mereka?" tanyanya.
"Dua orang kakek tadi, lo-cian-pwe."
"Ceritakan dari semula semua yang terjadi disini."
"Secara kebetulan saya mendaki bukit ini karena mendengar dari orang-orang dusun di lain bukit bahwa bukit ini di beri nama Bukit Iblis. Saya merasa tertarik mengapa bukit ini disebut demikian karena saya sendiri tidak percaya adanya iblis."
"Siancai?"..! Jangan bilang tidak percaya karena sesungguhnya iblis itu ada. Hanya keadaannya tidak terlihat mata, dan pekerjaan iblis itu menggoda manusia. Dua orang tadi melakukan kekejaman seperti itu, kau kira karena apa" Karena iblis yang masuk ke dalam batin mereka. Lanjutkan ceritamu."
"Mula-mula saya melihat enambelas orang itu berkumpul disini dan pimpinan mereka menyatakan bahwa sekarang mereka akan mempergunakan bukit ini sebagai sarang mereka. Lalu muncul tiga orang yang menyebut diri mereka Liok-te Sam-kwi. Tiga orang itu mengalahkan enambelas orang ini dan memaksa mereka menjadi anak buah Liok-te Sam-kwi. Kemudia muncul Toa Ok dan Ji Ok tadi yang membunuh mereka semua, setelah menyuruh mereka semua membunuh diri dan mereka tidak mau lalu terjadi pertempuran. Ketika saya hendak pergi dari sini, dua orang datuk itu melihat saya dan mereka menyerang saya seperti yang locianpwe lihat tadi."
"Siancai?""! Bunuh membunuh, bunuh membunuh sejak dahulu sampai sekarang. Orang-orang sesat di dunia kang-ouw rupanya tidak mempunyai pekerjaan lain kecuali saling bunuh dan saling merebutkan kekuasaan. Dan sekarang hendak pergi ke mana, Si Kong?"
"Saya".. pertama-tama saya harus menguburkan semua jenazah ini baik-baik, lo-cian-pwe. Setelah itu baru saya akan meninggalkan tempat ini, melanjutkan perjalanan saya."
Kakek itu mengangguk-angguk sambil mengelus jenggotnya dan memandang pemuda itu dengan penuh perhatian. Sinar kagum terpancar dari pandang matanya.
"Melanjutkan perjalanan kemana?"
"Entah kemana, lo-cian-pwe. Kemana saja hati dan kaki ini membawa saya. Saya seorang yatim piatu, sebatang kara, dan tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Saya berkelana seperti seekor burung di angkasa, sendirian saja."
Ceng Thian Sin atau Pendekar Sadis yang kini telah menjadi seorang pertapa tua renta itu menjadi semakin kagum. Dia sendirianpun hidup menyendiri. Setelah isterinya meninggal dunia belasan tahun yang lalu, dia hidup seorang diri di Pulau Teratai Merah, bahkan tanpa pembantu. Dia dan isterinya hanya seorang anak perempuan bernama Ceng Sui Cin yang kini sudah berusia enampuluh tahun lebih. Ceng Sui Cin bhidup bersama suaminya yang bernama Cia Hui Song yang sekarang tinggal bersama puteri mereka menjadi ketua dari Cin-ling-pai. Biarpun puterinya dan cucunya mendesaknya untuk tinggal bersama mereka di Cin-ling-pai, dia selalu menolak. Dia ingin hidup menyendiri sebagai seorang pertapa dan hanya kadang-kadang saja, puterinya, mantunya atau cucunya datang menjenguknya di pulau Teratai Merah. Setelah tidak pernah muncul di dunia kang-ouw, kakek ini memperkenalkan diri dan disebut sebagai Ceng Lo-jin (ornag tua Ceng).
Si Kong segera menggunakan golok yang banyak bertebaran di tempat itu untuk menggali sembilan belas lubang kuburan. Pekerjaan berat itu dilakukan tanpa kenal lelah dan setelah matahari tenggelam di langit barat, barulah dia selesai mengubur semua jenazah itu. Sejak Si Kong bekerja, Cenglojin hanya menonton saja, kemudian dia malah bersila di atas batu besar dan memejamkan matanya.
Setelah selesai, dia hendak meninggalkan tempat itu, akan tetapi melihat kakek tua renta itu masih duduk bersila dan memejamkan matanya seperti orang tidur, dia merasa tidak tega meninggalkannya. Kakek itu sudah tua sekali, kasihan kalau ditiggalkan seorang diri saja di Puncak bukit itu, padahal malam hampir tiba. Karena tidak tega pergi meninggalkan kakek itu seornag diri saja, apalagi pergi tanpa pamit, Si Kong menunda kepergiannya. Dia lalu mengumulkan kayu dan daun kering, lalu membuat api unggun di dekat batu besar untuk mengusir nyamuk dan hawa dingin yang mulai datang mengganggu. Dia sendiri lalu merebahkan diri di atas daun-daun kering di dekat batu besar dan mencoba untuk melepaskan lelah.
Pikirannya tidak pernah dapat lepas dari kakek yang duduk bersila di atas batu besar itu. Kakek itupun seperti dia, agaknya hidup sebatang kara. Bagi dia, seorang pemuda, tidaklah terasa berat benar. Untuk mencari makan, dia dapat bekerja dimana saja. akan tetapi kakek tua renta itu" Biarpun dia memiliki kesaktian hebat, mana mungkin kakek itu bekerja untuk mencari nafkah" Dia semakin merasa kasihan kepadanya. Apalagi kakek itu baru saja telah menyelamatkan nyawanya. Diapun harus berbuat sesuatu untuk kakek itu. Setidaknya malam ini dia akan menjaga agar kakek itu tidak terganggu dalam samadhinya.
Di jaganya api unggun itu agar tidak padam. Diapun mengaso dan mencoba tidur, walaupun hanya sebentar-sebentar karena dia harus bangun untuk menambahkan kayu bakar pada api unggunnya. Ketika dia teringat kepada gundukan-gundukan tanah di dekat situ, mau tidak mau bulu tengkuknya meremang. Tadi, dia sama sekali tidak ingat kepada mayat-mayat yang dikubur itu. Kini, setelah teringat, timbullah rasa ngeri dan takut! Jelaslah bahwa rasa takut itu tidak datang tanpa diundang. Yang mengundang adalah ingatan yang mengingat-ingan dan membayangkan yang tidak-tidak, membayangkan hal-hal yang menyeramkan. Ingatan mengada-ada, mengingat-ingat dan membayangkan kalau saja mayat-mayat itu bangun kembali. Kalau saja roh-roh yang mati menjadi penasaran dan mengamuk. Kalau saja, kalau saja?"". demikianlah pikiran mengingat-ingat dan membayang-bayangkan sesuatu sehingga rasa takut datang menyelinap dalam batin.
Si Kong pernah mendengar wejangan Penyair Gila tentang timbulnya rasa takut itu, dan sekarang dia merasakannya sendiri. Setelah dia jelas betul darimana timbulnya rasa takut yang membuat bulu tengkuknya berdiri. Dia "memasuki" rasa takutnya itu dan menjenguk di balik rasa takut itu. Dan diapun merasa geli terhadap ulahnya sendiri dan rasa takut itupun menghilang.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali kakek itu telah sadar dari samadhinya, atau tidurnya sambil duduk bersila. Melihat kakek itu bangkit berdiri, Si Kong segera meloncat bangun pula.
"Siancai"..!" kata kakek itu tersenyum. "Engkau masih berada disini, Si Kong" Bukankah kau katakan bahwa engkau hendak melanjutkan perantauanmu?"
"Maaf, lo-cian-pwe, saya belum dapat pergi karena melihat lo-cian-pwe sedang bersamadhi. Saya tidak mungki pergi meninggalkan lo-cian-pwe begitu saja tanpa pamit."
Ceng Lojin menghela napas panjang. "Dasar jodoh, dasar jodoh! Thian (Tuhan) yang menentukan, manusia hanya dapat berusaha sekuat dan sebaik mungkin." Kata kakek itu perlahan seperti kepada dirinya sendiri. "Si Kong, bagaimana pendapatmu jika aku mengambilmu sebagai murid?"
Pertanyaan seperti ini sama sekali tidak pernah di sangka oleh Si Kong, bahkan dia tidak pernah dapat mengharapkan kakek seperti ini mau menjadi gurunya. Maka, begitu mendengar kata-kata itu, langsung dia menjatuhkan diri berlutut di bawah batu besar itu dan wajahnya berseri gembira ketika dia menjawab.
"Lo-cian-pwe, tidak ada kegembiraan yang melebih apa yang saya dengar dari lo-cian-pwe. Kalau lo-cian-pwe sudi mengambil saya sebagai murid, saya merasa mendapat anugerah besar dari Tuhan dan saya hanya dapat berjanji akan menaati semua perintah dan petunjuk lo-cian-pwe."
"Baiklah, mulai sekarang engkau menjadi muridku dan harus menaati semua perintahku." kata kakek tua renta itu.
Dengan hati girang bukan main Si Kong lalu menjatuhkan dirinya berlutut lagi dan memberi hormat delapan kali kepada kakek itu dan menyebut "Suhu!"
"Teecu akan mempersiapkan sarapan pagi untuk suhu." kata pemuda itu.
Ceng Lojin tersenyum. "Sarapan apa yang hendak kau berikan kepadaku?"
"Teecu dapat berburu burung, ayam alas atau kelinci di hutan lereng itu."
Ceng Lojin menggoyang tangannya, "Tidak usah, aku sudah lama tidak lagi menyentuh makanan dari binatang, akt hanya makan tumbuh-tumbuhan sajah dan aku sudah membawa bekal roti kering. Engkau juga boleh makan bersamaku. Aku hanya membutuhkan air jernih, kau boleh mencarikan itu untukku."
Si Kong membuka buntalannya. Dia memang selalu membawa sebuah panci untuk keperluan mencari air jernih atau memasak makanan. Dengan panci di tangan dia lalu berlari cepat sekali ke sebuah hutan di lereng. Tak lama kemudian dia sudah kembali membawa sepanci air jernih yang ditemukan dari sebuah sumber air. Ceng Lojin mengeluarkan beberapa potong roti kering dari buntalannya dan guru dan murid itu lalu makan makanan sederhana itu dengan nikmat.
"Suhu, maafkan kelancangan teecu (murid). Teecu pernah mempelajari dari kitab-kitab suci bahwa makanan bernyawa itu tidak baik bagi batin kita, bahkan menurut ilmu pelajaran pengobatan juga juga makanan bernyawa itu tidak baik bagi kesehatan tubuh. Teecu dapat mengerti mengapa suhu sebagai seorang pertapa pantang makanan bernyawa, akan tetapi yang ingin teecu tanyakan, suhu, apakah kita dapat terbebas dari makan binatang bernyawa" Menurut suhu Lok-sian Lo-kai, dalam setiap cawan air jernih bisa terdapat ratusan atau bahkan ribuan binatang-binatang kecil yang tidak dapat nampak oleh mata biasa. Demikian pula dalam tumbuh-tumbuhan seperti daun-daun untuk sayur dan juga buah-buahan, besar kemungkinan mengandung binatang-binatang kecil sehingga tak dapat dihindarkan lagi, kita terpaksa makan binatang-binatanag bernyawa, mau atau tidak."
Ceng Lojin mengangguk-angguk. "Benar sekali keterangan Lo-kai Lo-jin itu. Bahkan dalam setiap tarikan napas, ada beberapa banyak binatang-binatang kecil ikut masuk ke dalam tubuh kita. Akan tetapi hal itu kita lakukan tanpa disengaja, dan tidak dapat di hindarkan. Berbeda dengan kalau kita makan daging binatang dan menikmati kelezatannya. Yang namanya membunuh, apapun alasannya, tetap saja merupakan pembunuhan dan pembunuhan di dukung oleh kekejaman."
"Maaf, suhu. Bukan sekali-kali teecu membantah, akan tetapi teecu memajukan pertanyaan-pertanyaan ini karena ingin tahu dan ingin mengerti benar. Apakah dengan pendapat bahwa membunuh untuk makan itu jahat dan kejam, maka binatang pemakan daging seperti harimau, singa, buaya dan lain binatang buas juga jahat?"
"Sama sekali tidak, Si Kong. Binatang buas itu memang membunuh, akan tetapi membunuh untuk makan karena dia tidak dapat makan yang lain. Hariamu dan lain-lain binatang buas itu tidak dapat makan daun, dan kalau tidak ada binatang buruan lain mereka akan mati kelaparan. Mereka memang ditakdirkan untuk itu. Akan tetapi manusia tidak dapat disamakan dengan binatang buas. Manusia dapat hidup tanpa makan daging binatang. Jadi, orang-orang yang pantang makan daging binatang itu hanya berusaha agar mereka tidak terlalu diperngaruhi oleh nafsu binatang yang tentu ikut masuk bersama dengan daging yang di makannya. Akan tetapi ini bukanlah menjadi jaminan bahwa orang yang berpantang makan daging adalah orang-orang baik, dan mereka yang makan daging adalah orang-orang yang jahat. Seperti kukatakan tadi, pantang makan daging hanya suatu cara untuk mengurangi pengaruh nafsu binatang. Karena itu, biarpun engkau sudah menjadi muridku, aku tidak akan melarang engkau makan daging."
"Ah, tidak suhu. Seorang murid haruslah menjadikan gurunya sebagai tauladan. Kalau suhu tidak makan daging, teecu juga tidak ikut makan daging, karena teecu hendak merasakan sendiri bagaimana rasa dan akibatnya kalau berpantang makan daging."
Setelah selesai makan roti kering dan minum air jernih, Si Kong mengikuti gurunya turun bukit. Gurunya nampaknya hanya melangkah biasas saja, akan tetapi tubuh suhunya seolah tidak berjalan, melainkan melayang. Kedua kakinya seolah tidak menyentuh tanah. Dia harus mengerahkan ilmu Liok-te hui-teng untuk dapat mengimbangi kecepatan langkah gurunya.
Ceng Lijin mengajak Si Kong pergi ke selatan dansetelah tiba di pantai Laut Selatan lalu menyeberang ke sebuah pulau kecil yang tanahnya subur. Pulau itu mempunyai beberapa buah danau dan di atas danau itu tumbuh banyak bunga teratai merah. Karena itulah maka pulau itu disebut Pulau Teratai Merah yang menjadi tempat tinggal Ceng Lojin. Di tengah pulau terdapat sebuah pondok kayu yang cukup besar dan kokoh kuat.
Ceng Lojin yang usianya sudah mendekati seratus tahun itu dahulu ketika masih muda, terkenal dengan julukan Pendekar Sadis karena dia amat membenci golongan sesat. Kalau bertemu dengan penjahat, dia tidak akan memberi ampun sehingga semua penjahat di dunia kang-ouw gentar kalau menengar namanya yang menjadi algojonya para penjahat. Ilmu kepandaian kakek ini amat tinggi dan sukar di cari lawan yang dapat mengimbangi tingkat kepandaiannya. Dia menguasai banyak ilmu silat tinggi yang aneh-aneh. Diantaranya semua ilmu silat itu, terdapat ilmu silat Pat-hong-sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin), Pek-in-ciang(Tangan Awan putih), Thian-te Sin-ciang (Tangan Sakti Langit Bumi), Thai-kek Sin-kun (Silat Sakti Pokok Terbesar), San-in Kun-hwat (Ilmu Silat Awan Gunung). Akan tetapi diantara yang paling hebat di antara semua ilmu silat tinggi itu adalah Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Naga Mendekam) yang terdiri hanya dari delapan jurus dan ilmu tenaga sakti yang disebut Thi-khi-i-beng, semacam ilmu sakti yang mengerikan karena dengan ilmu itu, dia dapat menyedot tenaga sakti lawan kedalam dirinya sehingga menambah kekuatannya sendiri dan membuat lawan menjadi lemas karena tubuhnya kosong dari tenaga dalam yang disedot habis! Thi-khi-i-beng ini merupakan ilmu rahasia dari para ketua Cin-ling-pai, akan tetapi pada waktu itu, tidak ada orang lain lagi kecuali Ceng Lojin yang menguasainya. Tidak sembarang orang dapat menguasai Thi-khi-i-beng. Bahkan puterinya sendiri yang bernama Ceng Sui Cin tidak dapat menguasai ilmu itu.
Tentu saja amat besar keberuntungan Si Kong dapat diambil murid oleh Ceng Lojin. Hal ini adalah karena begitu bertemu dengan Si Kong, Ceng Lojin segera mengetahui bahwa pemuda remaja itu memiliki tulang yang baik dan bakat yang besar, pula memiliki kecerdikan dan keberanian. Apalagi setelah dia mengetahui bahwa Si Kong juga pandai membaca sajak dai ujar-ujar kitab suci, hatinya semakin tertarik lagi. Inilah anak yang boleh dia harapkan untuk mempergunakan ilmu-ilmunya sebaik mungkin, untuk kebaikan manusia dan menegakkan kebenaran dan keadilan.
Karena tahu bahwa muridnya telah memiliki ilmu silat dasar yang cukup tinggi, tentu saja Ceng Lojin tidak mengajarkan semua ilmu yang dia kuasai. Dia hanya mengajarkan ilmu silat sakti Hok-liong Sin-ciang yang hanya delapan jurus, akan tetapi yang delapan jurus itu dapat dikembangkan sendiri menjadi puluhan jurus. Setiap jurus merupakan gerakan dasar yang amat sulit sehingga untuk menguasai delapan jurus Hok-liong Sin-ciang itu Si Kong harus menggunakan waktu dua tahun berlatih dengan tekun, barulah dia dapat menguasai ilmu Hok-liong Sin-ciang itu dan dapat mengembangkannya menjadi banyak jurus. Setelah Si Kong menguasai ilmu silat yang amat sukar ini dan usianya sudah delapan belas tahun barulah Ceng Lojin mengajarkan ilmu yang lebih sulit lagi, yaitu ilmu tenaga sakti Thi-khi-i-beng!
Untuk dapat menghimpun tenaga sakti yang langka ini, Si Kong harus bersamadhi dengan bermacam-macam cara. Bahkan selama berbulan-bulan dia harus bersamadhi dengan berjungkir balik agar dia menguasai benar tenaga sakti yang berada ditubuhnya dan dapat menggunakan sesuai dengan kebutuhannya. Dia dapat membuat tenaga sakti dalam tubuh itu menjadi hawa panas, hawa dingin, menjadi tena
Bentrok Rimba Persilatan 17 Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Hikmah Pedang Hijau 6
^