Pencarian

Pendekar Kelana 4

Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Bagian 4


bambu-bambu itu menjadi sebuah usungan besar dan dia merebahkan dua jenazah itu berjajar di atas usungan.
"Kita terpaksa mengusung dua jenazah ini, nona, dan membawanya pulang."
"Terima kasih, in-kong. Tidak tahu harus bagaimana aku membalas budimu."
"Sudahlah, jangan bicarakan tentang budi. Mari kita gotong bersama usungan ini."
Mereka berdua lalu menggotong usungan itu. Mei Cin berjalan di depan sebagai penunjuk jalan sambil memegang ujung kedua bambu usungan sedangkan Si Kong mengangkat di bagian belakang. Akan tetapi diam-diam pemuda ini mengerahkan tenaganya agar usungan itu tidak terasa terlalu berat bagi Mei Cin. Demikianlah, bersama dengan turunnya matahari ke barat, Mei Cin yang berjalan sambil menangis perlahan, bersama Si Kong, mengusung dua jenazah itu ke kota Sin-keng.
Mereka memasuki kota setelah hari menjadi gelap dan banyak orang terkejut melihat pemuda dan gadis itu mengusung mayat Gu Kauwsu dan Thi Bun Can. Segera berdatangan para murid Gu Kauwsu dan mereka membantu mengusung jenazah itu ke rumah keluarga mereka.
Nyonya Gu menyambut dengan jerit tangis memilukan. Para tetangga segera berdatangan melayat dan sebentar saja sudah tersiar berita di seluruh kota bahwa Gu Kauwsu telah tewas terbunuh oleh penjahat.
Setelah ratap tangis yang memenuhi rumah mendiang Gu Kauwsu itu agak reda, Mei Cin lalu menceritakan kepada ibunya tentang kematian ayah dan suhengnya.
"Kalau saja tidak muncul dewa penolong".. ehh, dimana in-kong?" tanyanya sambil mencari-cari dengan pandang matanya di antara para tamu yang datang melayat. Akan tetapi, gadis itu tidak melihat bayangan Si Kong yang diam-diam sudah pergi karena merasa bahwa tugasnya menolong gadis itu telah selesai.
"In-kong siapa?" tanya ibunya.
"Pemuda yang tadi bersama aku menggotong jenazah ayah dan suheng. Dia tadi masih berdiri di sini!"
Tidak ada seorangpun melihat pemuda itu dan Mei Cin lalu menceritakan semua pengalamannya.
"sayang dia telah pergi sehingga tidak sempat aku menghaturkan terima kasih." kata ibu Mei Cin. Semua orang yang berada disitu juga menyayangkan hal itu karena mendengar cerita Mei Cin, para murid guru silat Gu itu juga menjadi kagum sekali. Sedikitpun mereka tidak pernah menyangka bahwa pemuda yang berpakaian sederhana itu ternyata adalah seorang pendekar sakti seperti diceritakan Mei Cin.
Mei Cin sendiri juga merasa kehilangan. Dara ini merasa kagum sekali kepada Si Kong. Ia tertarik bahwa pendekar sakti itu sedemikian rendah hati sehingga mau bekerja sebagai pelayan rumah penginapan dan rumah makan. Ia merasa sayang sekali belum berkenalan dengan pemuda itu, bahkan namanyapun tidak diketahuinya.
*** Kota Ci-bun merupakan sebuah kota yang ramai. Kota ini tidak begitu jauh dari kota raja. Namun di kota itu terdapat banyak pengemis. Hal ini tidak mengherankan karena pada waktu negara sedang di landa musim kering yang berkepanjangan sehingga semua barang sukar di dapatkan dan mahal harganya, termasuk bahan pangan yang amat dibutuhkan manusia. Banyak rakyat kecil menderita kelaparan sehingga banyak diantara mereka menjadi pengemis. Juga keadaan kekurangan bahan makanan ini banya mendorong orang yang tidak kuat batinnya untuk melakukan kejahatan, seperti mencuri, merampok dan lain-lain.
Si Kong melihat benar kesengsaraan rakyat kecil, terutama yang hidup dipedusunan karena dia melakukan perantauan, melalui dusun-dusun dan kota-kota. Dia melihat betapa kehidupan manusia lebih banyak menderita daripada bahagia. Dan dia melihat pula kepalsuan manusia. Mereka yang berada di atas yang memiliki kedudukan dan wewenang, seolah tidak perduli akan kesengsaraan rakyat itu. Juga para hartawan rapat-rapat menutup pintu gapura rumah mereka, seolah takut kalau-kalau harta benda mereka akan diambil orang, secara sembunyi atau terang-terangan. Mereka mempergunakan anjing-anjing besar untuk menjaga rumah, dan mengumpulkan banyak tukang pukul untuk melindungi harta mereka.
Si Kong melihat semua ini dan batinnya bergolak. Mengapa begitu banyak ketidak-adilan terjadi di dunia ini" Mengapa para pejabat tidak berusaha untuk menolong rakyatnya yang menderita" Kenapa para hartawan segan mengulurkan tangan, mengurangi sedikit harta mereka untuk menolong mereka yang kelaparan"
Diapun melihat betapa banyaknya jembel-jembel baru berkeliaran di jalan-jalan besar di kota Ci-bun ketika dia memasuki kota itu sambil memanggul buntalan pakaiannya di ujung tongkat bambu. Melihat keadaan mereka, Si Kong merasa terharu, akan tetapi dia juga merasa bersyukur atas kemurahan Tuhan kepadanya. Dibandingkan mereka yang berkeliaran di jalan-jalan itu, nasibnya sendiri terhitung baik! Benarlah kata orang bijaksana jaman dahulu bahwa kalau kita sedang ditimpa kesengsaraan dalam kehidupan ini, sebaiknya kita menundukkan kepala dan memandang ke bawah. Di sana masih terdapat banyak sekali orang yang keadaannya lebih payah dari pada keadaan kita!
Si Kong merasa heran ketika melihat orang berbondong-bondong menuju satu jurusan. Mereka itu adalah para pengemis dan orang-orang miskin yang dapat dia ketahui dari pakaian mereka yang lusuh dan muka mereka yang kurus. Mereka membawa tempat untuk membawa sesuatu, ada yang membawa kertas, kain-kain yang lusuh, panci dan tempat-tempat lain. Melihat ini, Si Kong menjadi tertarik. Tentu ada terjadi sesuatu disana yang menarik semua orang itu berkunjung kesana.
Ketika tiba di ujung timur kota itu, tahulah dia apa yang menarik semua orang itu pergi ke situ. Ternyata di depan gedung seorang hartawan terdapat beberapa orang pelayan sedang membagi-bagi beras dari karung. Beberapa karung yang masih penuh sudah ditumpuk disitu dan orang-orang yang ingin mendapatkan pembagian beras itu berdiri antri berderet-deret. Mereka terdiri dari bermacam-macam orang. Ada yang pria atau wanita, kakek dan nenek, juga ada anak-anak kecil ikut antri.
Si Kong berdiri bengong dan kagum. Kenyataan yang di lihatnya itu membantah bahwa semua hartawan terlalu pelit dan tidak mau menolong mereka yang kelaparan. Buktinya hartawan pemilik gedung itu sedang membagi-bagi beras kepada mereka yang membutuhkannya! Karena terharu dan tertarik tanpa disadarinya dia terdesak banyak orang itu sehingga dia melangkah maju dan masuk ke dalam antrian. Dia baru menyadari setelah melihat bahwa di belakangnya telah banyak orang antri. Diapun berdiri dalam antrian untuk mendapatkan beras! Biarlah, katanya kepada diri sendiri. Dia memang ingin melihat orang membagi-bagikan beras itu dan hatinya ikut gembira. Ingin dia melihat siapa hartawan itu dan menyampaikan terima kasihnya. Seorang hartawan yang juga dermawan dan budiman!
Mendadak terjadi keributan dan antrian itu menjadi kacau ketika muncul seorang laki-laki tinggi besar berpakaian serba hitam yang melangkah maju paling depan. Tentu saja mereka yang berdiri di depan merasa penasaran dan tidak mengijinkan si tinggi besar menyerobot antrian.
"Harus antri dibelakang!" kata orang terdepan. "Kami juga antri sejak pagi."
Akan tetapi orang tinggi besar berpakaian serba hitam itu menjadi marah dan dua kali tangannya bergerak memukul. Dua orang terdepan terpelanting roboh oleh pukulan itu. Semua orang menjadi gentar dan si tinggi besar itu tanpa memperdulikan siapapun sudah berdiri paling depan. Akan tetapi dia tidak membawa tempat untuk menerima pemberian beras.
"Mana tempat menerima beras?" tanya petugas yang membagi-bagi beras, dengan alis berkerut dan pandang mata marah karena diapun melihat betapa si tinggi besar itu memukul dua orang untuk menyerobot antrian.
"Tempat beras apa" Aku minta sekarung dan akan kupanggul sendiri. Berikan sekarung beras!" kata si tinggi besar dengan suara galak.
Tentu saja para petugas yang terdiri dari empat orang itu tidak dapat menyetujui permintaan ini. Sekarung beras! Beras sebanyak itu kalau dibagi-bagi cukup untuk duapuluh orang!
"Tidak bisa kami memberikan sekarung beras kepada seorang saja. Kami hanya membagi-bagi rata, lima kati untuk setiap orang, tidak kurang dan tidak lebih!"
"Akan tetapi aku menghendaki sekarung!" kata pula si tinggi besar kukuh. "Majikan kalian The Wan-gwe (Hartawan The) mempunyai beras bergudang-gudang. Apa artinya kalau aku hanya minta sekarung?" Si tinggi besar itu lalu melangkah maju menghampiri tempat beras dalam karung ditumpuk. Dengan tangan kirinya dia mengangkat sekarung beras yang beratnya seratus kati itu!
"Heii".! Kembalikan beras itu!" teriak empat orang petugas sambil menghampiri ketika melihat si tinggi besar hendak melangkah pergi. Akan tetapi, empat kali tangan kanan orang itu menampar dan empat orang petugas itu berpelantingan!
Setelah merobohkan empat orang petugas itu, sibaju hitam dengan lagak sombong memperlihatkan tenaganya. Dia melempar-lemparkan sekarung beras itu ke atas dan memainkan benda yang cukup berat itu bagaikan sebuah bola saja. Dia lalu menyambut kembali sekarung beras itu dengan tangan kirinya, lalu memandang ke arah semua orang yang sedang antri dan kini menjadi ketakutan itu.
"Hayo, siapa lagi yang hendak melarang aku mengambil beras itu" Majulah untuk menerima hajaranku!"
Para pekerja itu sudah melapor ke dalam dan kini mucul Hartawa The dari pintu depan. Dia seorang laki-laki berusia enampuluh tahun dan dari sikapnya yang lemah lembut, wajahnya yang penuh senyum ramah dan pandang matanya yang lembut, dapat diketahui bahwa dia seorang yang baik hati. Melihat lagak si baju hitam itu, dengan lembut dia berkata kepada para pembantunya, "Biarkan dia pergi membawa sekarung beras itu."
Si baju hitam mendengar ucapan itu dan diapun menoleh. "Ha-ha kalian dengar sendiri itu" Hartawan The tidak keberatan aku membawa sekarung beras ini, bahkan kalau aku setiap saat membutuhkan tentu akan boleh datang mengambil lagi beberapa karung!" Setelah berkata demikian, sambil tertawa-tawa si baju hitam itu melangkah pergi dari situ.
Si Kong tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Orang itu telah bertindak dan bersikap keterlaluan, dan orang seperti itu yang suka memaksakan kehendak sendiri merupakan bahaya bagi umum. Dia melangkah keluar dari antrian dan menghadang si baju hitam.
"Perlahan dulu, sobat. Engkau lupa bahwa sekarung beras itu disediakan untuk orang banyak, bukan untuk memenuhi keserakahanmu. Hayo cepat kembalikan sekarung beras itu pada tempatnya dan kalau membutuhkan beras, harus berdiri di belakang antrian untuk mendapatkan lima kati beras!"
Si baju hitam itu membelalakkan matanya, seolah tidak percaya bahwa ada seorang, masih amat muda lagi, berani mengeluarkan ucapan seperti itu kepadanya. Agaknya pemuda itu sudah bosan hidup!
Dengan mata melotot dia membentak, "Apa" Kau ingin aku mengembalikan beras ini" Nah, sambutlah!" Dia lalu melontarkan sekarung beras yang berat itu kepada Si Kong dengan pengerahan tenaga. Sekarung beras itu meluncur ke arah Si Kong, dan seandainya bukan Si Kong yang menerimanya, tentu akan roboh terjengkang tertimpa beras sekarung! Akan tetapi, dengan mudah Si Kong menerima beras itu dan sekali tangannya bergerak, sekarung beras itu telah melayang danjatuh di atas tumpukan beras, kembali di tempatnya semula.
"Jahanam keparat kau! Mampuslah!" si baju hitam berteriak sambil menerjang ke arah Si Kong, menubruknya seperti seekor harimau menerkam kambing. Si Kong dengan tenang menggeser kakinya kesamping dan begitu tubuh tinggi besar itu lewat, dia menggerakkan kakinya kedepan dan tanpa dapat dihindarkan lagi, si baju hitam itu terperosok ke depan dan jatuh menelungkup! Terdengar suara "Ngekk!" ketika dia terbanting. Semua orang yang sedang antri beras tersenyum gembira melihat betapa si baju hitam itu dirobohkan pemuda yang berpakaian sederhana ini.
Akan tetapi si baju hitam cepat merangkak bangun dan meloncat berdiri. Hidungnya berdarah dan dia kelihatan marah bukan main.
"Setan! Berani kau melawanku?" Kembali dia menyerang dan sekali ini dia tidak menyerang secara sembarangan saja, melainkan menggunakan ilmu silat. Tangan kanannya melayang ke arah kepala Si Kong, tangan kirinya menyusul menusuk ke arah perut pemuda itu dengan jari-jari tangan terbuka.
"Duk-duk!" kedua tangan itu tertangkis oleh Si Kong. Akan tetapi si baju hitam itu memang tidak tahu diri. Biarpun tangkisan tangan pemuda itu membuat kedua lengannya terasa panas dan nyeri sekali, dia tidak menjadi jera dan kini kaki kanannya menendang dengan pengerahan tenaga sekuatnya. Kaki itu menyambar ke arah perut Si Kong dan merupakan serangan yang amat berbahaya. Namun dengan tenang Si Kong menanti sampai kaki itu dekat dengan perutnya, kemudian tiba-tiba saja dia menarik dirinya ke belakang sambil melangkahkan kaki. Ketika kaki kanan si baju hitam itu menyambar lewat, secepat kilat Si Kong menggunakan tangan kiri menangkap tumit kaki itu dan mendorongnya ke atas lalu kedepan. Tubuh si baju hitam itu terlempar dan kembali terbanting, akan tetapi sekali ini dia terbanting telentang.
"Ngekkk"..!" Si baju hitam meringis kesakitan. Tulang belakangnya seperti patah-patah rasanya ketika pinggulnya terbanting ke atas tanah. Sekali ini para penonton tertawa dengan hati senang.
Si Kong menghampiri si baju hitam yang sudah bangkit duduk dengan muka meringis. "Masih belum jera dan hendak melanjutkan perkelahian" Silakan bangkit berdiri, aku sudah siap!"
Si baju hitam yang masih merasa nyeri bagian belakang tubuhnya itu bengkit berdiri, memandang dengan mata melotot kepada Si Kong lalu berkata, "Kau tunggu saja pembalasanku!" Setelah berkata demikian diapun pergi dengan terhuyung-huyung sambil kedua tangannya menekan pinggulnya.
Hartawan The yang menyaksikan semua itu, menghampiri Si Kong dan berkata, "Orang muda, terima kasih atas bantuanmu mengusir orang jahat itu. Akan tetapi, bagaimana kalau dia kembali dengan kawan-kawannya?"
"Harap lo-ya (tuan besar) tidak khawatir. Kalau diperbolehkan, saya ingin membantu lo-ya dalam pembagian beras kepada rakyat kecil yang miskin ini."
"Engkau hendak bekerja membantu kami" Tentu saja boleh dan kebetulan sekali. Kami angkat engkau menjadi pengawas dan pengatur pembagian beras yang kami lakukan setiap hari, dari pagi sampai sore."
"Terima kasih banyak, lo-ya."
"Siapakah namamu, anak muda?"
"Nama saya Si Kong, lo-ya."
Hartawan itu berkata kepada empat orang pembantunya yang tadi dirobohkan si baju hitam, "Mulai sekarang, Si Kong ini menjadi pengawas dan pengatur pekerjaan kalian."
Empat orang petugas itu menyambut dengan gembira karena mereka merasa ada yang melindungi kalau-kalau si perusuh tadi kembali membawa teman-temannya. Hartawan The lalu masuk ke dalam rumah kembali dan Si Kong segera mengatur antrian itu agar jangan menjadi kacau. Empat orang petugas itu senang karena biarpun di angkat menjadi pengawas dan pengatur, ternyata Si Kong juga membantu mereka membagi beras, bahkan mengangkat beras dalam karung yang belum dibuka.
Sementara itu, Hartawan The memasuki rumahnya dan merasa bersukur bahwa peristiwa kerusuhan telah berlalu, akan tetapi diapun merasa khawatir kalau-kalau para perusuh datang lagi. Dia kembali keruangan tamu di mana tadi dia bercakap-cakap dengan seorang gadis cantik berusia delapan belas tahun. Bersama isterinya, dia tadi bercakap-cakap disitu ketika dia dilapori oleh pembantunya akan keributan yang terjadi diluar.
Gadis itu bernama Tan Kiok Nio, datang dari kota Sia-lin. Ibu gadis itu adalah adik Hartawan The Kun. Begitu datang di sambut Hartawan The dan isterinya, Kiok Nio menangis sedih dalam rangkulan isteri The-wan-gwe. Dengan heran dan khawatir, Hartawan The Kun dan isterinya bertanya mengapa gadis itu menangis. Setelah tangisnya reda, Kiok Nio lalu menceritakan malapetaka yang menimpa keluarganya.
Ayah Kiok Nio bernama Tan Tiong Bu, seorang pendekar besar yang namanya terkenal di dunia kang-ouw. Keluarga Tan ini tinggal di kota Sia-lin, sebelah selatan kota raja. Tan-taihiap, sebutan Tan tiong Bu memiliki sebuah rumah besar dan diapun memiliki sawah ladang yang luas sehingga kehidupan keluarganya cukup mampu biarpun tak dapat dibilang kaya raya. Di waktu mudanya, Tan Tiong Bu pernah menjadi murid di biara Siauw-lim-pai, kemudian pernah pula menjadi murid Bu-tong-pai. Dia terus memperdalam ilmu-ilmunya sehingga akhirnya dia dapat menggabungkan semua ilmu itu dan merangkai ilmu pedang yang hebat. Ilmu pedang ini hanya dinamakan ilmu pedang keluarga Tan. Diwaktu mudanya dia malang melintang di dunia kang-ouw, mengalahkan banyak tokoh sesat dan sebagai pendekar dia selalu menegakkan kebenaran dan keadilan. Setelah dia menikah dengan seorang gadis yang menjadi adik Hartawan The, dan mempunyai seorang anak perempuan, Tiong Bu mengurangi petualangannya. Akan tetapi namanya tersohor dan dia disegani orang-orang kang-ouw.
Kemudia muncul berita angin bahwa pedang Pek-lui-kiam berada di tangan Tan-taihiap ini. Pedang itu semenjak lama telah menjadi perebutan di antara orang-orang kang-ouw dan sudah terjadi banyak perkelahian dan pembunuhan untuk memperebutkannya. Akhir-akhir ini tersiar berita yang mengejutkan, yaitu matinya beberapa tokoh kang-ouw yang diketahui mencoba untuk mendapatkan Pek-lui-kiam. Mereka itu mati dalam keadaan mengerikan, dengan kepala putus terlepas dari lehernya. Padahal yang tewas itu adalah orang-orang terkenal di dunia persilatan, baik dari golongan bersih maupun dari golongan sesat. Maka peristiwa itu amat menggemparkan dunia persilatan. Banyak orang menduga bahwa Tan Tiong Bu yang menjadi pelaku pembunuhan itu karena ada berita bahwa pedang Pek-lui-kiam berada di tangannya.
Tan Tiong Bu sendiri tidak mengacuhkan berita itu. Dia tidak merasa membunuh. Adapun tentang pedang Pek-lui-kiam memang berada padanya, sebagai pemilik yang sah.
Pada suatu hari, hawa udara amat panasnya. Musim kering yang berkepanjangan mendatangkan hawa yang panas. Terlalu lama bumi di panggang sinar matahari, tidak pernah mendapat siraman air hujan. Karena merasa panas, Tan Tiong Bu dan isterinya duduk di beranda depan yang terbuka agar mendapatkan angin. Puteri mereka sedang tidak berada di rumah. Gadis itu memang sudah biasa pergi keluar rumah dan orang tuanya tidak merasa khawatir. Sebagai anak tunggal, biarpun ia seorang wanita, akan tetapi ia telah mewarisi ilmu-ilmu silat dari ayahnya, bahkan telah mahir memainkan ilmu pedang keluarga Tan. Karena itu kepergian Kiok Nio dari rumah tidak pernah di khawatirkan orang tuanya.
Tiba-tiba dari pintu pagar diluar masuklah seorang kakek berusia sekitar enampuluh tahun. Tan Tiong Bu mengerutkan alisnya dan memandang penuh perhatian kepada orang yang kini melangkah tenang memasuki halaman depan itu. Dia seorang yang menggelung rambutnya ke atas dan mengikat rambut itu dengan pita merah! Dan pakaiannya seperti pakaian pertapa atau pendeta, dengan jubah longgar berlengan lebar. Akan tetapi yang terasa aneh, jubah itu berwarna merah! Dipunggungnya tergantung sebatang pedang dan tangan kirinya memegang sebuah kipas yang gagangnya terbuat daripada baja.
Melihat pakaian serba merah itu Tan Tiong Bu terkejut. Biarpun belum pernah bertemu, akan tetapi dia sudah mendengar akan adanya seorang datuk di barat yang berjuluk Ang I Sianjin (Manusia Dewa Berbaju Merah). Menurut keterangan yang diperolehnya, Ang I Sianjin adalah seorang datuk yang berilmu tinggi, akan tetapi menggunakan ilmunya di jalan yang sesat dan suka memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Tentu saja mengingat keadaan kakek itu, Tan Tiong Bu merasa tidak senang kedatangan datuk sesat itu.
Akan tetapi sebagai tuan rumah, mau tidak mau dia harus menyambut kedatangan tamu. Maka Tan Tiong Bu bangkit berdiri dan menyambut ke depan sambil mengangkat kedua tangan di depan dada sambil berkata, "Selamat datang sobat. Engkau siapakah dan ada keperluan apa datang berkunjung?"
Kakek tinggi kurus itu tersenyum, senyumnya mengandung ejekan. Dia tertawa terkekeh
sebelum menjawab, "Heh-heh-heh! Apakah aku berhadapan dengan pendekar besar Tan Tiong Bu?"
"Benar sekali. Dan kalau tidak salah, yang datang berkunjung ini adalah Ang I Sianjin, benarkah?"
"Heh-he-he-heh! Ternyata matamu tajam sekali. Sudah lama aku mendengar akan kehebatan ilmu silat keluarga Tan."
"Lalu apa maksud kunjungan ini, Sianjin?"
"Aku ingin bertanding denganmu!"
"Aih, Sianjin. Mengapa kita harus bertanding kalau diantara kita tidak ada urusan apapun?"
"Hemm, jadi engkau tidak berani menerima tantanganku?"
"Tidak ada alasan bagiku untuk bertanding denganmu, Sianjin. Mari silakan duduk dan kita membicarakan hal lain saja sebagai sahabat. Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga."
"Heh-he-he-heh! Bagus sekali kalau begitu. Engkau mau menerimaku sebagai sahabat, tentu tidak keberatan kalau memberi pinjam Pek-lui"kiam kepadaku!"
Tan Tiong Bu terkejut sekali. Memang ada berita angin bahwa para tokoh dunia persilatan menginginkan pedang pusakanya, yaitu Pek-lui-kiam. Karena ada beritu itu, dia menyembunyikan pedang pusaka itu di dalam kamarnya dan tidak pernah membawanya keluar rumah. Sekarang, sudah terjadi hal yang dikhawatirkan, yaitu para tokoh kang-ouw tentu akan mendatanginya dan berusaha merebut Pek-lui-kiam.
"Tidak ada pedang Pek-lui-kiam padaku." kata Tan Tiong Bu tegas.
"Hemm, kalau begitu engkau tidak ingin menjadi sahabtku" Cabutlah pedangmu, hari ini aku ingin sekali mencoba kepandaian keluarga Tan. Pilih salah satu. Serahkan Pek-lui-kiam padaku dan aku pergi, atau engkau harus melawan pedangku!"
Tan Tiong Bu adalah seorang pendekar besar. Tentu saja ditantang dan didesak seperti itu, dia menjadi marah. Kalau dia berbohong mengatakan bahwa Pek-lui-kiam tidak ada padanya, hal itu dilakukan untuk menghindarkan perkelahian dan permusuhan, bukan karena takut. Dia menoleh kepada isterinya, "Ambilkan pedangku yang tergantung di dinding kamar itu." Isterinya pergi ke dalam tanpa mengucapkan sesuatu karena wanita ini sudah maklum bahwa suaminya adalah seorang pendekar besar dan sewaktu-waktu seorang pendekar tentu akan ditantang orang untuk bertanding. Akan tetapi, wanita itu merasa jantungnya berdebar karena tegang dan gelisah.
Setelah isterinya kembali membawa pedangnya, dia lalu menghadapi Ang I Sianjin dan berkata dengan lantang, "Ang I Sianjin, diantara kita tidak ada permusuhan. Karena engkau memaksa dan menantang, terpaksa aku melayanimu!" Dia mencabut pedangnya yang berkilauan saking tajamnya, dan menyerahkan sarung kepada isterinya.
Ang I Sianjin tadinya memandang dengan wajah berseri ketika isteri Tan Tiong Bu menyerahkan pedang kepada suaminya. Dia mengira bahwa pendekar itu akan mempergunakan Pek-lui-kiam. Akan tetapi ketika pedang itu di cabut, dia merasa kecewa. Pedang di tangan lawannya itu memang pedang baik, akan tetapi sama sekali bukan Pek-lui-kiam.
"Engkau tidak mau menyerahkan Pek-lui-kiam, jangan katakan aku kejam kalau aku akan membunuhmu dan merampas Pek-lui-kiam!" kata Ang I Sianjin sambil mencabut pula peangnya dengan tangan kanan. Setelah berseru lantang diapun mulai dengan serangannya yang dhasyat.
"Tranggg".!" Tan Tiong Bu menangkis dan dia merasakan getaran hebat dan hawa panas menyerang seluruh lengannya. Tahulah dia bahwa lawannya itu lihai bukan main. Karena itu dia segera mainkan ilmu pedang keluarga Tan yang telah terkenal di dunia persilatan itu. Ang I Sianjin terkejut dan kagum ketika hampir saja perutnya terkena tusukan lawan. Dia meloncat kebelakang dan karena diapun tahu bahwa lawannya merupakan lawan yang lihai, dia lalu memutar pedangnya dan juga mainkan kipasnya dengan tangan kiri. Ternyata permainan pedang dan kipas itu serasi sekali, dapat saling bantu dan saling menutupi lowongan kalau sedang menyerang. Kini Tan Tiong Bu yang terkejut. Biasanya, kalau lawan menyerang tentu akan membuka pertahanan untuk balas diserang. Akan tetapi setelah lawanya mainkan kipas dan pedang, ketika lawan menyerang sama sekali tidak ada bagia tubuh yang terbuka pertahanannya. Kalau pedang yang menyerang, kipas yang bertahan, sebaliknya kalau kipas baja itu dipakai menyerang, pedang yang bertahan. Dengan demikian, Tan Tiong Bu tidak diberi kesempatan sedikitpun untuk membalas serangan lawan.
Setelah pertandingan yang seru berlangsung limapuluh jurus, pundak kiri Tan Tiong Bu terkena tusukan gagang kipas baja sehingga dia terhuyung dan pundaknya berdarah. Melihat lawannya terhuyung, Ang I Sianjin tertawa dan menubruk ke depan dengan pedangnya.
"Tranggg"!" Pedangnya tertangkis dari samping dan ternyata yang menangkis pedang itu adalah isteri Tan Tiong Bu. Untuk menyelamatkan suaminya, nyonya itu dengan nekat menggunakan pedang yang tadinya di bawa pula dari dalam untuk menangkis. Padahal, dalam ilmu silat pengetahuannya masih rendah.
Ang I Sianjin marah dan kipasnya bergerak ke arah nyonya itu. Ujung kipas itu dengan tepat menusuk leher dan sambil mengeluh isteri Tan Tiong Bu roboh terpelanting. Melihat ini, Tan Tiong Bu terkejut dan marah sekali. Dia meloncat ke depan dan menyerang lawan sekuat tenaga tanpa memperdulikan pundak kirinya yang terasa nyeri. Akan tetapi karena hatinya gelisah mengingat keadaan isterinya, permainan pedangnya pun kurang tetap dan kesempatan ini dipergunakan oleh Ang I Sianjin untuk menghunjamkan serangan pedang dan kipasnya. Tan Tiong Bu beruaha membela diri, akan tetapi dia kalah cepat, ketika pedangnya terpental karena bertemu kipas, tahu-tahu pedang Ang I Sianjin telah menembus dadanya.
Darah muncrat dan tubuh Tan Tiong Bu bergling. Akan tetapi pendekar ini masih dapat mengarahkan kejatuhan tubuhnya dekat isterinya. Dia masih dapat memeriksa keadaan isterinya dan ketika melihat bahwa isterinya telah tewas, dia menudingkan telunjuknya yang berlepotan darah isterinya kepada Ang I Sianjin dan berkata, "Kau" iblis".. terkutuk".!" Tubuh Tan Tiong Bu terkulai dan diapun menghembuskan napas terakhir.
Ang I Sianjin tidak memperdulikan lagi suami isteri yang sudah mati itu. Dia meloncat ke dalam rumah dan mulai melakukan penggeledahan untuk mencari Pek-lui-kiam. Ketika bertemu dua orang pembantu rumah tangga itu, seorang pria dan seorang wanita, tanpa berkata apapun tangannya bergerak dan kedua orang pembantu itu tewas dengan kepala retak!
Ang I Sianjin menggeledah kamar Tan Tiong Bu dan akhirnya dia dapat menemukan pedang pusaka itu yang tersimpan di dalam almari pakaian pendekar itu. Dia mencabut pedang itu. sinar kilat menyilaukan mata ketika pedang dicabut. Kakek itu tertawa-tawa gembira.
"Heh-he-he-heh! Inilah Pek-lui-kiam! Kini terjatuh ketanganku! Aku akan menjadi jagoan tanpa tanding dengan pedang ini, heh-heh-heh!" Dia menyarungkan kembali pedang itu, menyelipkannya diikat pinggangnya kemudian dia berlari keluar dengan cepat sekali.
Ketika seorang tetangga datang untuk suatu keperluan ke rumah keluarga Tan, dia terkejut sekali melihat Tan Tiong Bu dan isterinya menggeletak di halaman dekat beranda dalam keadaan tak bernyawa lagi dan tubuhnya mandi darah. Tetangga ini keluar sambil berteriak-teriak minta tolong. Para tetangga lain datang berlarian dan mereka semua merasa terkejut dan ngeri. Apalagi ketika mereka menemukan mayat dua orang pembantu rumah tangga keluarga Tan. Para tetangga lalu merawat empat jenazah itu.
Menjelang sore, Tan Kiok Nio pulang ke rumahnya. Gadis itu terkejut dan heran melihat banyaknya orang dirumahnya. Ia berlari cepat memasuki halaman rumahnya dan tertegun melihat empat buah peti mati berjajar di beranda. Wajahnya menjadi pucat, jantungnya berdebar-debar dan iapun meloncat menghampiri peti mati. Ketika melihat peti mati yang masih belum di tutup itu dan menjenguk ke dalamnya, gadis itu menjerit-jerit. Ia lari dari satu peti ke peti yang lain.
"Ayah".! Ibu"..! Kalian kenapa". kenapa"..?" Gadis itu lunglai dan roboh pingsan. Para wanita tetangga yang berada di situ ikut menangis dan beramai-ramai mereka mengangkat gadis yang pingsan itu ke kamarnya.
Setelah sadar dari pingsannya, Kiok Nio bangkit dan cepat berlari keluar. Bukan, bukan mimpi! Di beranda itu terdapat empat buah peti mati berisi mayat-mayat ayahnya, ibunya, dan dua orang pembantunya. Iapun menubruk peti ibunya dan menangis tersedu-sedu sambil memanggili ibunya, kemudian menubruk peti ayahnya dan sambil menangis, memanggili nama ayahnya. Para tetangga membiarkan gadis itu melampiaskan dukanya melalui air mata. Setelah tangisnya mereda, barulah para wanita tetangga menghiburnya.
"Mereka sudah meninggal dunia, walau ditangisi juga tidak ada gunanya, nona. Sekarang sebaiknya kita mengurus jenaza-jenazah itu."
Kiok Nio dapat menekan perasaan dukanya, lalu bertanya, "Apa yang telah terjadi" Mengapa ayah ibu mati" Siapa yang membunuhnya?"
"Tidak ada yang tahu, nona. Hanya kebetulan saja seorang tetangga ketika lewat melihat seorang kakek berjubah merah, tinggi kurus dan mukanya pucat keluar dari halaman rumah ini. Tetangga itu mempunyai urusan dengan ayahmu maka dia masuk ke halaman dan melihat ayah ibumu sudah menggeletak di halaman dalam keadaan tidak bernyawa. Kami semua memasuki rumahmu dan melihat dua orang pembantumu juga sudah tewas pula."
"Kakek tinggi kurus berjubah merah" Siapa dia?" Kiok Nio bangkit berdiri dan mengepal kedua tinjunya. "Siapa dia?"
"Nona, sayalah yang melihat kakek itu, akan tetapi saya tidak mengenalnya. Akan tetapi dia mudah di kenal. Jubahnya itu yang aneh, mirip jubah pendeta akan tetapi berwarna merah dan rambutnya yang di gelung ke atas juga diikat pita merah." Kata tetangga yang melihat kakek itu dan yang pertama kali menemukan mayat Tan Tiong Bu dan isterinya.
"Siapapun adanya orang itu, pasti akan kucari dan kubalas dendam ini!" Kiok Nio lalu berlari keluar dengan gerakan cepat dan ia mencari-cari kakek itu diseluruh pelosok kota. Para tetangga tidak berani melarangnya dan hanya menunggu peti-peti mati itu. Akhirnya Kiok Nio pulang dengan wajah lesu. Ia tidak berhasil menemukan musuh besarnya.
Setelah jenazah ayah ibunya dimakamkan, Kiok Nio tidak betah tinggal seorang diri di dalam rumah itu dan sebulan kemudian, ia pergi meninggalkan rumahnya dan pergi ke kota Ci-bun untuk mengunjungi pamannya, yaitu Hartawan The Kun. Di depan paman dan bibinya ia menangis menceritakan tentang kematian ayah ibunya. Tentu saja The Kun menjadi terkejut bukan main.
"Kau tinggallah bersama kami disini, Kiok Nio. Engkau sudah yatim-piatu, anggaplah kami sebagai orang tua sendiri. Kebetulan kami juga tidak mempunyai anak."
Karena paman dan bibinya amat ramah dan Kiok Nio tahu bahwa pamannya itu adalah seorang hartawan yang budiman dan dermawan, maka ia suka tinggal disitu.
*** Demikianlah riwayat gadis cantik manis yang tinggal di rumah Hartawan The Kun dan mari kita kembali keluar gedung untuk melihat apa yang terjadi di tempat pembagian beras itu. si Kong bekerja dengan rajin sehingga menyenangkan empat orang lainnya.
Akan tetapi, seperti yang dikhawatirkan semua orang, mendadak datang lima orang yang kesemuanya berpakaian hitam dan kelihatan sikap mereka yang kasar dan tubuh mereka yang kokoh kuat. Di antara lima orang itu terdapat si baju hitam yang tadi hendak merampas beras sekarung dan dapat di usir oleh Si Kong.
"Di mana pemuda jahanam yang tadi berani memukul aku?" teriak si baju hitam itu. Sebelum Si Kong melangkah maju, terdengar bentakan halus.
"Bangsat pengacau, kalian datang untuk mencari penyakit!" Semua orang terkejut dan menengok. Ternyata Kiok Nio sudah berdiri disitu. Gadis ini tadi mendengar cerita pamannya tentang si baju hitam yang memaksa hendak mengambil sekarung beras akan tetapi pengacau itu dapat diusir seorang pemuda yang kini diterimanya sebagai pembantu bekerja membagi-bagi beras. Gadis itu merasa menyesal mengapa ia tadi tidak ikut keluar sehingga dapat menghajar sendiri pengacau itu. Kini, mendengar ribut-ribut di luar ia cepat meloncat keluar dan melihat lima orang itu, ia lalu membentak mereka.
Si baju hitam dan empat orang kawannya mendengar bentakan itu lalu menoleh. Kiranya yang membentak mereka adalah seorang gadis cantik. Meliha Kiok Nio, si baju hitam lau maju menghampiri, diikuti emoat orang temannya.
"Nona manis," kata si baju hitam sambil menudingkan telunjuknya. "Jangan engkau mencampuri urusan kami, atau aku akan menangkapmu untuk kujadikan isteriku!" Empat orang kawannya juga menyeringai menjemukan.
"Jahanam busuk, kalau engkau dan teman-temanmu ini datang untuk mengacau, aku sendiri yang akan memberi hajaran kepada kalian!"
Pada saat itu, dari dalam rumah muncul Hartawan The Kun. Melihat keponakannya berhadapan dengan lima orang laki-laki yang menyeramkan, diapun cepat berkata, "Kiok Nio, jangan berkelahi!" lalu kepada si baju hitam dia berkata, "Kalau kalian menginginkan beras ambillah akan tetapi harap jangan bikin kacau disini."
Si Kong sejak tadi terheran-heran melihat seorang gadis cantik berani menantang lima orang berandal itu. Melihat pedang di punggung gadis itu, dia tahu bahwa gadis itu tentu seorang yang pandai ilmu silat. Ketika Hartawan The Kun muncul dan menegur gadis yang di panggil Kiok Nio itu, Si Kong mengira bahwa gadis itu puteri Hartawan The. Dia lalu menghampiri dan berkata kepada si baju hitam.
"Sobat, engkau berani datang lagi membawa teman-temanmu. Majulah, aku tidak takut kepada kalian."
"Tidak!" Gadis itu berkata cepat. "Aku yang akan menghajar lima orang ini kalau mereka tidak cepat pergi dari sini. Paman The, jangan khawatir, aku dapat menandingi mereka. Hayo, anjing baju hitam, aku tantang kalian. Kalau kalian tidak berani, cepat kalian pergi dari sini dan jangan menganggu ketenteraman."
Si baju hitam tentu saja menjadi marah mendengar dirinya disebut anjing hitam oleh seorang gadis. Itu merupakan penghinaan besar, apalagi diucapkan di depan banyak orang yang sedang antri beras.
"Gadis kurang ajar, berani engkau menghina kami!" Dan setelah bekata demikian, dia menerjang maju dengan gerakan cepat sambil mengembangkan kedua lengannya seolah hendak menerkam Kiok Nio. Akan tetapi dengan gesitnya Kiok Nio mengelak kesamping sehingga terkaman itu luput. Empat orang kawan si baju hitam melihat kawannya sudah mulai bergerak, tidak tinggal diam. Mereka semua ingin sekali dapat membekuk dan memeluk gadis cantik itu, maka tanpa diperintah lagi mereka sudah mengepung Kiok Nio dengan sikap yang kasar menakutkan.
Melihat dia dikepung lima orang laki-laki tinggi besar itu, Kiok Nio sama sekali tidak gentar. Akan tetapi ia tidak mau beradu tangan dan lengan dengan mereka, maka sekali tangan kanannya bergerak ke punggung, ia telah mencabut sebatang pedang dan melintangkan pedang itu di depan dada!
Melihat ini si baju hitam dan kawan-kawannya juga mencabut senjata mereka berupa golok yang besar dan tajam. "Kawan-kawan, hati-hati jangan lukai nona manis ini. Sayang kalau kulitnya yang halus itu ada yang lecet, ha-ha-ha!" Kawan-kawannya juga tertawa mendengar ucapan ini.
Ucapan si baju hitam itu membuat Kiok Nio menjadi marah sekali. "Lihat serangan!" bentaknya dan pedangnya udah berkelebat ke depan menyerang si baju hitam. Orang ini terkejut bukan main. Serangan sedemikian cepatnya sehingga hampir saja dia terkena tusukan pada dadanya. Dia menggerakkan goloknya menangkis sambil melompat mundur dan kini empat orang kawannya maju dengan golok mereka, menyerang Kiok Nio dari empat jurusan. Akan tetapi Kiok Nio memutar pedangnya dan terdengar suara nyaring berdenting empat kali. Selanjutnya gadis itu memainkan ilmu pedang keluarga Tan dan lima orang lawannya menjadi terkejut dan mata mereka silau. Pedang di tangan Kiok Nio berubah menjadi segulungan sinar yang terang dan menyambar-nyambar ke arah tubuh mereka! Lima orang itu kini hanya mampu membela diri dengan tangkisa-tangkisan dan berlompatan ke sana sini untuk menghindarkan sinar pedang yang makin lama semakin cepat itu.
Si Kong yang tadinya merasa khawatir dan siap-siap membantu atau menolong kalau gadis itu terancam bahaya,kini sebaliknya menjadi kagum bukan main. Gadis itu memiliki ilmu pedang yang dahsyat dan tahulah dia bahwa gadis itu tidak akan kalah dikeroyok lima orang itu.
Dugaan Si Kong memang tepat. Setelah lewat belasan jurus, pedang di tangan Kiok Nio telah mengurung lima orang itu dan orang yang pertama roboh terpelanting adalah si baju hitam. Pedang Kiok Nio melukai pangkal lengan kanannya sehingga dia terpaksa melepaskan goloknya da roboh, memegangi lengan kanan yang terluka itu sambil mengaduh-aduh. Pedang itu berkelebatan terus dan berturut-turut empat orang pengeroyok yang lain juga roboh. Ada yang terluka pundaknya, ada yang robek pahanya dan orang ke lima roboh oleh tendangan kaki Kiok Nio yang tepat mengenai perut, membuat orang itu perutnya mulas!
Tepuk sorak terdengar ketika mereka yang antri beras itu melihat lima orang itu dapat dirobohkan oleh gadis itu. si Kong juga ikut bertepuk tangan memuji dengan hati lega karena selain gadis itu dapat menang, akan tetapi terutama sekali gadis itu tidak membunuh orang. Dengan ilmu pedang seperti itu, kalau gadis itu hendak membunuh para pengeroyoknya, hal itu dapat dilakukan dengan mudah. Akan tetapi gadis itu hanya membuat mereka luka ringan saja. hal inilah yangmengagumkan hati Si Kong.
Setelah hari menjadi sore dan pekerjaan membagi-bagi beras itu selesai The-wan-gwe memanggil Si Kong. Si Kong segera memasuki ruangan depan dan disitu telah duduk The Kun, isterinya dan Tan Kiok Nio. Si Kong memberi hormat kepada mereka.
"Inilah pemuda yang bernama Si Kong itu yang telah mengusir pengacau." The Kun memperkenalkan kepada isteri dan keponakannya. Kemudia berkata kepada Si Kong, "Si Kong, ini adalah isteriku dan itu adalah keponakanku bernama Tan Kiok Nio."
Kembali Si Kong memberi hormat. "Duduklah, Si Kong. Kami memanggilmu untuk diajak berunding."
Si Kong mengambil tempat duduk. "Urusan apakah yang hendak dirundingkan, lo-ya?"
"Sebelumnya kami ingin mengtehui engkau berasal dari mana, dan siapa gurumu?"
"Saya dulu ketika masih kecil tinggal di Ki-ceng, akan tetapi sejak saya berusia sepuluh tahun saya berkelana seorang diri karena orang tua saya sudah meninggal dunia. Saya selalu merantau dan dalam perantauan itu saya belajar silat dari beberapa orang guru. Ketika tadi saya melihat di kota ini ada seorang dermawan membagi-bagi beras, hati saya tertarik dan beruntung saya dapat membantu lo-ya."
"Dan kami berterima kasih sekali kepadamu, Si Kong. Keponakanku ini kebetulan datang sehingga ia dapat mengusir lima orang pengacau tadi."
"Siocia memiliki ilmu yang sangat tinggi, sungguh mengagumkan sekali." kata Si kong dengan sejujurnya karena dia memang melihat betapa hebatnya ilmu pedang gadis itu.
"Keponakanku ini adalah puteri seorang pendekar besar yang namanya terkenal di dunia persilatan, bernama Tan Tiong Bu, tentu saja ia memiliki ilmu yang tinggi warisan dari ayahnya."
"Ah, paman harap jangan memuji terlalu tinggi. Di dunia ini terdapat banyak sekali orang sakti, bahkan mendiang ayah juga dikalahkan dan di bunuh orang yang tentu lebih pandai." kata Kiok Nio merendah.
Hartawan The menghela napas panjang. "Betapa banyaknya orang jahat di dunia ini. Seperti para pengacau tadi, mereka adalah orang-orang yang amat jahat. Entah mengapa mereka memusuhi aku. Si Kong, engkau sudah banyak merantau di dunia kang-ouw, mungkin engkau mengenal mereka itu siapa dan dari perkumpulan apa?"
Si Kong menggeleng kepalanya. "Maaf, lo-ya. Saya baru saja hari ini memasuki kota Ci-bun. Saya sama sekalitidak mengenal mereka."
Kiok Nio yang ikut mencurahkan perhatian kepada percakapan itu berkata, "Mereka berpakaian serba hitam semua, tentu mereka itu anggauta sebuah perkumpulan. Dan melihat pakaian dan penam[ilan mereka, mereka itu tentu anggauta-anggauta perkumpulan perampok atau perkumpulan pengemis yang sesat."
Hartawan The menepuk pahanya. "Perkumpulan pengemis" Ah, sekarang aku teringat! Di Ci-bun ini memang terdapat sebuah perkumpulan pengemis berbaju hitam, yaitu Hek I Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Hitam). Apakah mereka itu dari perkumpulan itu" Akan tetapi biasanya para anggauta perkumpulan itu tidak pernah ada yang membikin kacau, apalagi berbuat jahat. Kalau melihat pakaian mereka, memang besar sekali kemungkinan mereka itu orang-orang Hek I Kaipang."
"Hemm, dimanakah sarang perkumpulan itu, lo-ya?"
"Bagaimana kami bisa mengetahui tempat tinggal mereka" Akan tetapi biasanya ada saja pengemis baju hitam yang berkeliaran di kota ini. Kalau engkau bertanya kepada mereka, tentu mereka akan dapat memberi keterangan."
"Kalau begitu, besok pagi saya mohon pamit, lo-ya."
Kiok Nio memandang penuh perhatian. Pemuda itu menurut cerita pamannya telah mengalahkan si baju hitam. Akan tetapi hal itu belum menjadi jaminan bahwa dia memiliki ilmu silat tinggi yang akan mampu menghadapi pengeroyokan anggauta Hek I Kaipang!
"Apa maksudmu hendak mencari sarang Hek I kaipang!" tanyanya dengan hati tertarik.
"Saya hendak bicara dengan ketuanya, melaporkan perbuatan anak buahnya yang jahat dan minta kepadanya agar selanjutnya jangan mengganggu usaha kemanusiaan lo-ya yang membagi-bagi beras."
"Engkau berani?"
"Kenapa tidak, siocia. Saya kesana dengan maksud baik. Saya tidak ingin bermusuhan dengan siapa juga."
"Kalau ketuanya tidak mendengar omongamu dan engkau dikeroyok, bagaimana?"
"Saya kira tidak demikian, siocia. Akan tetapi kalau terjadi seperti yang nona katakan itu, yah, bagaimana nanti sajalah!"
Kiok Nio mendapatkan ingatan mengenai urusannya sendiri. "Si Kong, engkau adalah seorang yang suka berkelana tentu pengetahuanmu tentang dunia kang-ouw kebih luas daripada aku. Oleh karena itu, aku minta pertolongan kepadamu, entah engkau mau menyanggupi atau tidak."
"Katakanlah, siocia. Kalau memang aku dapat melakukannya, tentu akan kusanggupi."
"Begini, aku mempunyai musuh besar, yaitu orang yang telah membunuh ayah ibuku. Akan tetapi aku belum pernah melihat orangnya, tidak tahu namanya. Hanya ada keterangan bahwa pembunuh itu mengenakan pakaian serba merah usianga enampuluh tahun kurang lebih, tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat. Nah, kalau engkau dapat mengetahui siapa orang itu, siapa namanya dan dimana tempat tinggalnya, aku minta agar engkau suka memberi kabar padaku disini. Maukah engkau membantuku, Si Kong?"
Si Kong mengangguk dan menjawab dengan sungguh-sungguh. "Akan saya buka lebar-lebar mata dan telinga saya untuk mencari tahu tentang kakek itu, nona. Mudah-mudahan saja ada yang tahu siapa kakek dengan gambaran seperti yang nona ceritakan tadi."
"Ada satu keterangan tambahan, Si Kong. Orang itu telah merampas sebatang pedang milik ayah. Pedang itu disebut Pek-lui-kiam, pedang yang mengeluarkan sinar kilat."
"Keterangan itu penting sekali, nona. Kalau tidak dapat dikenal orangnya, mungkin dapat dikenal pedangnya. Saya akan berusaha mencarinya, nona."
"Terima kasih, engkau baik sekali, Si Kong. Dan untuk bekal perjalananmu, terimalah benda-benda ini dan juallah." Gadis itu menyerahkan sapasang gelang emasnya. Si Kong menolak dengan halus.
"Nona, apa yang saya lakukan adalah suatu kewajiban bagi saya, dan saya tidak membutuhkan imbalan."
"Tidak, Si Kong. Simpanlah ini. Kalau engkau sampai kehabisan bekal di perjalanan, dapat kaupergunakan gelang-gelang ini. Kalau engkau tidak mau menerimanya, aku akan selalu merasa gelisah dan menyesal, dan tidak mempunyai harapan akan dapat menemukan musuh besarku. Terimalah! Ini bukan imbalan jasa, melainkan untuk biaya perjalanan."
"Kiok Nio benar, Si Kong. Terimalah sepasang gelang itu agar hatinya tenteram." Kata
Hartawan The Kun.
Karena di desak oleh mereka, akhirnya Si Kong mau juga menerima sepasang gelang emas bertabur permata itu. Malam itu dia bermalam di dalam sebuah kamar tamu dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah berpamit lalu pergi meninggalkan rumah The Kun dan berjalan keliling kota.
Tak lama kemudian, bertemulah dia dengan yang dicari-carinya. Dua orang pengemis yang mengenakan pakaian berwarna hitam sedang mengemis di depan sebuah pasar. Dua orang pengemis ini sama sekali tidak kelihatan menyeramkan seperti lima orang perusuh yang kemarin mengacau di depan rumah Hartawan The. Si Kong memperhatikan mereka berdua. Pakaian mereka memang serba hitam seperti pakaian para pengacau kemarin akan tetapi mereka mengemis seperti pengemis biasa, bukan menggunakan kekerasan dan menerima apa dan berapa saja pemberian orang.
Si Kong sengaja lewat di depan mereka, akan tetapi mereka itu sama sekali tidak mengenalnya dan hanya menodongkan tangan minta sumbangan. Si Kong mengambil empat keping uang dan memberi mereka masing-masing dua keping.
Melihat ada orang memberi mereka masing-masing dua keping, dua orang pengemis itu membungkuk-bungkuk mengucapkan terima kasih.
"Sekarang aku minta tolong kepada kalian." kata Si Kong. "Dimanakah tempat tinggal ketua Hek I Kaipang?"
Mendengar ini, mata dua orang pengemis itu menatap wajah Si Kong penuh perhatian dan setelah bertemu pandang, baru Si Kong menduga bahwa dua orang pengemis yang kelihatan lemah ini tentu memiliki ilmu silat yang lumayan.
"Kongcu, ada keperluan apakah kongcu menanyakan Hek I Kaipang?"
"Aku hanya ingin bertemu dengan pangcu kalian. Kalau pembicaraan kami cocok, aku ingin menyumbang." kata Si Kong.
Mata yang tadinya mencorong penuh selidik itu menjadi lembut kembali dan seorang di antara dua orang pengemis itu tersenyum.
"Kalau kongcu keluar dari pintu gerbang kota sebelah timur, dalam jarak kurang lebih lima mil, kongcu akan melihat sebuah bangunan kuil yang sudah tidak dipergunakan lagi. Disanalah tempat tinggal kami."
"Terima kasih," kata Si Kong dengan gembira. "Sekarang juga aku akan pergi kesana."
Dia lalu melangkah cepat ke pintu gerbang timur dan keluar dari pintu gerbang itu. Ternyata sebelah timur kota itu merupakan persawahan yang tidak ada bangunan rumahnya, tidak ada orang kecuali mereka yang bekerja di sawah ladang. Dia berjalan menuju ke timur, melalui jalan yang tanahnya pecah-pecah karena musim kering panjang. Dari jauh kelihatan sebuah hutan di depan, dan sungguh menyenangkan melihat kehijauan hutan itu setelah hati merasa sedih melihat tanah yang kekeringan. Karena jalan itu sepi orang, Si Kong lalu mempergunakan ilmu Liok-te Hui-teng sehingga tubuhnya seolah melayang atau terbang saja saking cepatnya dia berlari.
Tak lama kemudian dia memasuki hutan itu dan di dalam hutan terdapat sebuah kuil kuno yang besar namun sudah tidak berfungsi menjadi kuil tempat bersembahyang lagi. Ketika Si Kong tiba di depan kuil, di pekarangan kuil itu dia melihat beberapa orang berpakaian hitam sedang bekerja. Ada yang menyapu halaman, ada yang memelihara tanaman bunga, adapula yang membersihkan pintu dan jendela-jendela. Kiranya kuil yang tua dan sudah tidak digunakan lagi itu kini terpelihara oleh anak buah Hek I Kaipang. Kuil itu nampak tua akan tetapi bersih.
Si Kong memasuki halaman itu dan segera ada tiga orang pengemis berpakaian hitam menghadangnya.
"Kongcu, disini bukan tempat umum, melainkan tempat tinggal kami. Ada keperluan apa kongcu masuk ke sini?" tanya seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus. Pengemis ini masih memegang sapu bergagang panjang. Adapun dua orang temannya yang tadi bekerja memelihara pohon bunga, berdiri dengan sikap waspada sambil membawa golok yang tadi mereka pergunakan untuk membabat tumbuh-tumbuhan yang liar.
Si Kong segera menjawab dengan tulus, "Kedatanganku ini untuk bertemu dengan ketua Hek I Koipang."
Tiga orang itu kelihatan terkejut lalu memandang dengan sinar mata penuh kecurigaan. "Orang muda, ada keperluan apa engkau hendak bertemu dengan pangcu (ketua) kami?"
"Kalian tidak perlu tahu. Bawa saja aku menghadap pangcu kalian dan aku akan bicara dengannya."
"Hemm, tidak mudah untuk bertemu dengan pangcu kami, orang muda. Ada syaratnya untuk di anggap patut bertemu dengan beliau." kata pula pengemis jangkung kurus itu.
"Ada syaratnya" Dan apakah syarat itu?" tanya Si Kong penasaran. Masa hendak bertemu dengan ketua pengemis saja ada syaratnya" Betapa angkuhnya para pengemis ini.
"Syaratnya ada dua. Pertama, harus diberitahukan dulu kepada kami apa keperluanmu dan mencari kami akan melapor kepada pangcu apakah beliau mau bertemu dengan engkau atau tidak."
"Dan syarat ke dua?"
"Syarat kedua berlaku untuk mereka yang tidak memenuhi syarat pertama, yaitu kalau hendak masuk kuil, harus melangkahi tubuh kami bertiga!" Ini sebuah tantangan! Biarpun sikap mereka tidak sekasar dan sesombong si baju hitam dan empat orang kawannya yang mengacau di depan rumah Hartawan The, tiga orang ini jelas memandang rendah orang lain dan menantangnya. Hatinya makin merasa tidak suka kepada Hek I Kaipang.
"Bagus, aku menghendaki syarat ke dua!" kata Si Kong.
Si tinggi kurus melintangkan sapunya yang bergagang panjang sedangkan dua orang temannya memegang golok. Mereka kelihatan tegang dan sudah bersiap-siap untuk mengeroyok.
"Majulah kalau engkau berani melawan kami bertiga, kami sudah siap!" kata si tinggi kurus.
Si Kong lalu menerjang maju, menampar ke arah pengemis kurus itu. Si pengemis kurus menggerakkan gagang sapunya, memainkan sapu itu seperti orang bersilat pakai tongkat, menangkis tamparan Si kong sambil mengerahkan tenaga.
"Krakk!" tongkat sapu itu patah menjadi dua potong! Dua orang pengemis lain sudah membantu dengan menyerang Si Kong, menggunakan golok mereka, dari kanan kiri. Namun dengan amat mudahnya Si Kong mengelak ke belakang dan ketika kedua batang golok itu menyambar luput, Si Kong sudah menggerakkan jari tangannya menotok dan kedua orang itu roboh tanpa dapat bangkit kembali karena tubuh mereka sudah tertotok lemas. Si tinggi kurus marah sekali dan dia menggunakan tongkatnya yang sudah patah menjadi dua potong itu untuk menyerang Si Kong. Akan tetapi, Si Kong menangkis dua potong tongkat itu dengan kedua tangannya dan kembali tongkat itu patah! Sebelum pengemis itu mampu menyerang lagi, Si Kong sudah menotoknya pula dan si tinggi kurus itu juga roboh tak dapat bangkit kembali.
Masih ada dua orang pengemis yang bekerja di halaman itu. Melihat tiga orangnya di robohkan pemuda itu, mereka menjadi marah. Seorang dari mereka berlari masuk ke dalam kuil, sedangkan orang kedua berlari menghampiri Si Kong dan menyerang, menggunakan tongkatnya. Si Kong tidak mau membuang banyak waktu lagi. Dia menangkap tongkat itu dan menotok roboh pengemis keempat.
"Nah, aku telah memenuhi syarat ke dua, dapat melangkahi tubuh kalian. Tentu sekarang aku diperkenankan masuk." Setelah berkata demikian dia melangkahi tubuh mereka.
Pada saat itu, dari dalam kuil muncul dua orang. Yang seorang adalah adalah seorang
kakek berpakaian serba hitam yang usianya sudah ada enampuluh tahun, namun tubuhnya masuh nampak sehat dan kokoh. Muka pengemis ini bundar, dengan sepasang mata yang mencorong menandakan bahwa dia memliki tenaga sinkang yang kuat.
"Siapa berani membikin ribut disini?" bentaknya dan dia memandang kepada Si Kong, lalu kepada tubuh empat orang pengemis yang menggeletak diatas tanah tanpa dapat bergerak. Adapun orang kedua adalah seorang gadis yang cantik dan gagah sekali, dengan sebatang pedang terselip di punggung. Pengemis tua itu lalu meloncat kedepan tubuh empat orang pengemis tertotok itu. Tongkatnya bergerak cepat menotok mereka berempat dan seketika empat orang itu mampu bergerak kembali. Mereka bangkit dan berdiri, muka mereka merah karena telah di kalahkan oleh pemuda itu.
"Orang muda, siapakah engkau" Engkau berani datang dan menyerang empat orang anggauta kami, merobohkan mereka dengan totokan. Apa maksud perbuatanmu ini dan apa kehendakmu?"
Si Kong mengamati orang tua itu. Tubuhnya masih tegap dan nampak kuat. Sebatang tongkat hitam setinggi pundak berada di tangannya. Tentu orang ini memiliki ilmu tongkat yang lihai, pikirnya.
"Engkau ketua Hek I Kaipang?" tanya Si Kong, suaranya tegas.
"Benar, akulah Hek I Kaipangcu (Ketua Perkumpulan Pengemis Baju Hitam)."
"Aku bernama Si Kong dan aku datang untuk menegurmu. Sebagai ketua Kaipang, engkau harus mendirik anggautamu dengan baik-baik. Mengemis makanan dan uang memang perbuatan tak tahu malu dan menjadi tanda kemalasan. Akan tetapi mengemis dengan cara merampok merupakan kejahatan yang tak dapat diampuni lagi!"
"Pemuda sombong! Engkau datang mengacau di sini, sebaliknya engkau menuduh orang lain yang bukan-bukan. Engkaulah yang sombong dan jahat!"
"Hemm, dengarkan dulu omonganku"."
"Tidak perlu banyak bicara. Engkau kalahkan dulu tongkatku ini, baru kita bicara. Engkau telah merobohkan empat orang anggauta kami, itu sudah lebih dari cukup. Merobohkan anggauta kami di tempat kami sendiri merupakan penghinaan bagi ketuanya. Nah, bersiaplah engkau!" Kakek itu memutar-mutar tongkatnya dan terasa ada angin yang kuat menyambar. Diam-diam Si Kong kagum akan tetapi juga membangkitkan nafsunya untuk mencoba dan menandingi kakek ahli ilmu tongkat itu.
Melihat tempat itu dikepung banyak pengemis baju hitam dan banyak di antara mereka yang memegang tongkat, Si Kong lalu meloncat ke samping dan sebelum pemilik tongkat itu tahu apa yang terjadi, tongkat bambunya sudah berpindah ke tangan Si Kong.
"Pangcu, aku datang untuk bicara, akan tetapi aku disambut dengan tongkat. Jangan dikira bahwa aku takut menghadapi tongkatmu. Mari kita bermain tongkat sebentar. Hendak kulihat sampai dimana kelihaian tongkatmu!" Si Kong melintangkan tongkat bambunya di depan dada.
Sebaliknya, ketua Hek I Kaipang itu menjadi semakin penasaran. Pemuda itu berani menyambut tantangannya dengan bersenjatakan sebatang tongkat bambu! Padahal, tongkat di tangannya adalah sebatang tongkat yang terbuat dari pada baja pilihan sehingga tongkatnya itu berani menyambut senjata pusaka yang bagaimanapun ampuhnya.
Sementara itu, gadis cantik gagah yang keluar bersama ketua Hek I Kaipang itu hanya menontong dengan sikap tenang sekali. Gadis ini bukan gadis biasa, melainkan seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali. Ia adalah puteri dan anak tunggal dari pendekar besar Pek Han Siong yang diwaktu kecilnya dijuluki Sin-tong (Anak Sakti) karena bertulang dan berbakat baik sekali. Pek Han Siong ini menguasai banyak macam ilmu silat, diantaranya ilmu silat Pek-sim-pang (Tongkat Hati Murni), Kwan Im Kiamsut (Ilmu Pedang Dewi Kwan Im) yang dapat dimainkan dengan tangan kosong pula, disebut Kwan Im Sin-kun dan masih banyak lagi. Dan lebih dari pada itu, diapun menguasai ilmu sihir! Adapun isterinya juga bukan orang sembarangan. Ibu gadis itu bernama Siangkoan Bi Lian yang pernah mendapat julukan Tiat-sim Sian-li (Dewa Berhati Besi). Diantara ilmu-ilmu silat yang dikuasainya, terdapat ilmu Kim-ke Sin-kun (Ilmu Silat Ayam Emas) dan juga Kwan Im Sin-kun.
Gadis itu adalah puteri mereka, anak tunggal yang bernama Pek Bwe Hwa, berusia delapan belas tahun. Wajahnya berbentuk bulat telur seperti wajah ibunya, hidungnya kecil mancung, bibirnya merah membasah, dagunya yang runcing itu membayangkan kekerasan hati, tubuhnya ramping padat dan rambutnya digelung sederhana di atas kepala, diikat dengan pita merah. Pedang yang berada di punggungnya itu adalah pedang pusaka Kwan Im-kiam (Pedang Dewi Kwan Im) yang diterimanya dari ayahnya. Sebagai puteri tunggal sepasang pendekar sakti itu, tidak mengherankan kalau Bwe Hwa mewarisi ilmu-ilmu dari ayah ibunya. Bahkan ia pernah di beri petunjuk dan dilatih oleh ayahnya dalam ilmu sihir!
Bwe Hwa sedang berkunjung kepada Ketua Hek I Kaipang dalam usahanya ikut mencari dan memperebutkan Pek-lui-kiamyang menghebokan dunia kang-ouw itu. Pek Han Siong dan isterinya yang mendengar tentang pedang pusaka yang kabarnya dipakai berebutan oleh para tokoh dan datuk persilatan, sengaja menyuruh puteri mereka untuk ikut pula berlumba menemukan dan merampas pedang itu. Mereka yakin bahwa puteri mereka pasti mampu melindungi diri sendiri dengan semua ilmunya. Mereka menghendaki agar puteri mereka memperoleh pengalaman di dunia kang-ouw, seperti mereka dulu ketika masih muda. Kini Pek Han Siong sudah berusia limapuluh satu tahun dan isterinya empatpuluh sembilan tahun. Mereka juga memberitahu nama dari para tokoh sesat dan juga tokoh-tokoh yang bersih.
Demikianlah sedikit keterangan mengenai Pek Bwe Hwa dan kedua orang tuanya yang kini bertempat tinggal di kota Tung-ciu, disebalh timur kota raja. Ketika itu Pek Bwe Hwa sedang menjadi tamu ketua Hek I Kaipang karena dari orang tuanya dara ini mendapat tahu bahwa ketua Hek I Kaipang merupakan kenalan ayahnya dan boleh dipercaya. Bwe Hwa berkunjung untuk mencari keterangan perihal Pek-lui-kiam kepada ketua itu. Dan selagi mereka bercakap-cakap di dalam, datang anggauta Hek I Kaipang yang melaporkan tentang kedatangan Si Kong yang bertanding dengan para anggauta perkumpulan itu di halaman depan. Hek I Kaipangcu menjadi marah mendengar laporan itu dan diapun bergegas keluar sambil membawa tongkatnya. Bwe Hwa tertarik dan ikut keluar.
Akan tetapi gadis ini tidak mau mencampuri urusan Souw Kian atau Souw-pangcu (Ketua Souw) ketua Hek I Kaipang itu. Ia mendengar dari ayahnya bahwa Souw Pangcu adalah seorang yang memiliki ilmu tongkat yang lihai, maka iapun tidak perlu membantu. Akan tetapi melihat Si Kong, hatinya menjadi tertarik. Pemuda itu tidak kelihatan seperti seorang penjahat dan begitu pemberani sehingga berani menyambut tantangan Souw Pangcu yang bersenjatakan tongkat baja itu hanya dengan senjata tongkat bambu. Hati gadis ini menjadi kagum dan tertarik sekali. Akan tetapi ia melangkah maju mendekat agar dapat mencegah kalau sekirana Souw Pangcu terancam bahaya maut.
Souw Pangcu adalah seorang gagah. Melihat pemuda itu hanya bersenjatakan sebatang tongkat bambu, diapun enggan menggunakan tongkat bajanya. Yang dilawannya adalah seorang yang masih muda belia, kalaupun dia menang dalam pertandingan itu, kemenangannya tidak adil dan dia merasa malu. Maka, diapun menggapai seorang anggauta perkumpulannya yang memegang tongkat bambu. Anggauta itu mendekat dan Souw Pangcu menukar tongkat bajanya dengan tongkat bambu.
"Nah, sekarang senjata kita berimbang. Bersiaplah dan seranglah aku, orang muda."
"Aku hanya tamu dan engkau tuan rumah, pangcu. Silakan maju lebih dulu, aku sudah siap!"
"Bagus, lihat seranganku!" bentak ketua itu dan mulailah dia memutar tongkat dan segera tongkatnya itu berubah seperti payung putih yang menerjang ke arah Si Kong. Di dalam hatinya sudah timbul keraguan apakah ketua perkumpulan ini seorang jahat karena sikapnya yang demikian gagah. Jelas bahwa ketua ini tidak ingin menang sendiri. Maka diapun menyambut dan dalam hatinya dia mengambil keputusan untuk tidak membunuh atau melukai berat lawannya. Asal dapat mengalahkan saja sudah cukup. Apalagi maksud kunjungannya bukan untuk berkelahi, melainkan untuk membujuk ketua ini agar suka melarang para anggautanya melakukan kejahatan.
"Trak-tuk-tuk"!" Tiga kali tongkat berbenturan dan Souw Pangcu menjadi kaget setengah mati. Pertemuan tongkat yang terakhir itu membuatnya terhuyung ke belakang! Ini tidak mungkin, pikirnya. Dia tadi merasa betapa kedua tangannya tergetar ketika menangkis pukulan pertama dan kedua, akan tetapi pada pertemuan tongkat yang ketiga kalinya dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya untuk membikin hancur tongkat lawan. Akan tetapi akibatnya, bukan tongkat lawan yang hancur, melainkan tubuhnya yang terdorong kebelakang sampai dia terhuyung-huyung. Akan tetapi hal ini membuat Souw Kian menjadi penasaran sekali. Kembali dia menerjang dengan teriakan nyaring, memainkan ilmu silat Hek-liong-tung-hwat (Ilmu Tongkat Naga Hitam). Tongkatnya berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung seperti seekor naga mengamuk. Akan tetapi, semua serangannya dapat dihindarkan oleh Si Kong dengan elakan maupun tangkisan dan setiap kali pemuda itu membalas, sang ketua menjadi repot menyelamatkan diri.
Bwe Hwa melihat ini semua dan ia semakin kagum saja. Ilmu tongkat pemuda itu aneh sekali dan perubahannya tak dapat disangka lawan. Setelah lewat tiga puluhjurus, Si Kong lalu menyerang dengan hebatnya, mengurung tubuh lawan dari segala jurusan dengan tongkatnya yang bergerak amat cepatnya. Souw Kian terkejut dan main mundur terus, akan tetapi tongkat lawan yang tadi menyerang tubuh bagian atas, tiba-tiba meluncur ke bawah dan sekali congkel, tongkat itu masuk di antara kedua kaki Souw Kian dan begitu tongkat di tarik kesamping, tak dapat dihindarkan lagi tubuh Souw Kian terjatuh menelungkup karena kedua kakinya terangkat ke atas! Dia jatuh menelungkup seolah-olah orang minta ampun.
"Bangkitlah, pangcu, tidak perlu memberi penghormatan secara berlebihan!" kata Si Kong yang hendak melucu. Akan tetapi ucapannya ini membuat Bwe Hwa memandang kepadanya dengan mata mencorong. Iapun meloncat kedepan dan sekali tarik pundak Souw Kian, ketua itu tertarik ke atas dan dapat berdiri.
"Mengasolah, Souw Pangcu. Biar aku yang menghadapi pengacau ini!"
Souw Kian terpaksa harus mengakui kekalahannya. Dia mengundurkan diri dengan muka merah dan berulang-ulang menghela napas panjang. Akan tetapi dia kini mengharapkan gadis tamunya itu akan mampu menghajar pemuda itu. Dia dapat menduga bahwa gadis itu tentu memiliki ilmu silat yang amat tinggi, mempelajarinya dari kedua orang tuanya yang menjadi pendekar sakti. Diapun kini menonton dari pinggiran.
Bwe Hwa menghadapi Si Kong dengan senyum dingin dan matanya mencorong. Gadis ini menganggap Si Kong sebagai seorang pengacau. Ia menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Si Kong dan berkata dengan suaranya yang lembut akan tetapi penuh wibawa. Karena menganggap pemuda itu sudah membuat malu kepada Souw Pangcu, iapun hendak membalas membikin malu pemuda pengacau itu. "Si Kong engkau merangkaklah!" Di dalam suara itu terkandung kekuatan sihir yang seolah hendak memaksa Si Kong berlutut dan merangkak. Si Kong terkejut bukan main ketika merasa jantungnya tergetar dan ada dorongan dari hatinya sendiri untuk menjatuhkan diri dan berlutut. Akan tetapi dia teringat akan peringatan Ceng Lojin bahwa di dunia kang-ouw, terdapat orang-orang yang memiliki keahlian sihir. Kalau menghadapi lawan seperti ini dan ada dorongan hebat dari batinnya untuk menurut apa yang di katakan oleh lawan seperti itu, dia harus cepat mengerahkan sinkangnya yang akan dapat menolak pengaruh sihir. Maka, begitu batinnya mendorongnya untuk berlutut dan merangkak, dia mengerahkan sinkangnya untuk melawan dorongan ini.
Kini berbalik Pwk Bwe Hwa yang terbelalak heran. Pemuda itu sama sekali tidak terpengaruh oleh kekuatan sihirnya! Maklumlah ia bahwa pemuda itu telah memiliki sinkang yang amat kuat sehingga mampu menahan kekuatan sihirnya. Melihat kenyataan ini, ia menghentikan kekuatan sihirnya dan mencabut pedang dari punggungnya.
"Singg"!" ketika pedang itu dicabut nampak sinar berkilauan dan gadis itu sudah melintangkan pedang di depan dadanya.
"Pengacau sombong, lihat pedangku!" bentaknya dan Pek Bwe Hwa segera menyerang dengan dahsyatnya. Pedangnya lenyap bentuknya dan berubah menjadi gulungan sinar terang yang panjang dan tiba-tiba sinar itu mencuat ke arah Si Kong.
"Tranggg".!" Pedang di tangan Bwe Hwa tergetar hebat di gadis itu bertambah heran dan juga terkejut. Pemuda yang memegang tongkat bambu ini memiliki tenaga sinkang yang bukan main kuatnya. Akan tetapi ia tidak menjadi gentar dan melanjutkan serangannya secara bertubi-tubi. Ia menggunakan pedang Kwan-im-kian untuk memainkan Kwan im Kiam-sut yang amat lihai. Si Kong terkejut bukan main. Ilmu pedang gadis itu memang hebat sekali dan sama sekali tidak boleh dipandang rendah. Timbul kekaguman dalam hatinya. Gadis itu masih muda, paling banyak delapanbelas tahun usianya, akan tetapi sudah memiliki ilmu pedang yang demikian dahsyatnya.
Karena maklum bahwa ilmu pedang gadis itu berbahaya bukan main, Si Kong lalu mainkan Ta-kaw Sin-tung dan mengerahkan khikangnya sehingga gerakannya cepat bukan main, lebih cepat daripada gerakan Bwe Hwa! Kedua orang muda itu bertanding dengan seru, saling serang dan saling desak. Akan tetapi tentu saja Si Kong tidak mempunyai niat untuk melukai atau membunuh lawannya. Dia ingin mengalahkan tanpa melukai, kalau dapat merampas pedang yang hebat itu. Akan tetapi justeru ini membuat dia sukar sekali untuk mendapatkan kemenangan. Merampas pedang itu amatklah sulit dan pertandingan antara mereka sudah berlangsung lebih dari limapuluh jurus, masih belum ada yang kalah.
Mulailiah Si Kong merasa khawatir. Agaknya tidak mungkin baginya untuk dapat merampas pedang gadis itu. Kalau dia mau, tentu saja dia dapat merobohkan lawan dengan melukainya, akan tetapi karena dia tidak menghendaki hal ini terjadi, dia mengalami kesulitan sendiri. Tiba-tiba teringatlah dia akan ilmu Thi-ki-i-beng. Hanya ilmu ini saja yang memungkinkan dia mengalahkan lawan tanpa melukainya. Ketika pedang itu menyambar lagi ke arah lehernya Si Kong menangkis dan menggunakan tenaga sinkangnya untuk membuat pedang itu menempel pada tongkatnya dan tidak dapat ditarik kembali. Bwe Hwa terkejut dan mengerahkan sinkangnya untuk menarik kembali pedangnya yang sudah melekat pada tongkat. Akan tetapi pada saat itu sesuai dengan rencananya, Si kong sudah mengerahkan Thi-ki-i-beng sehingga ketika gadis itu mengerahkan sinkang, tenaga gadis itu tersedot melalui pedang dan tongkat. Bwe Hwa terkejut bukan main! Dari ayah ibunya dia mendengar bahwa di dunia kang-ouw terdapat sebuah ilmu yang luar biasa, yang dinamakan Thi-ki-i-beng. Akan tetapi yang menguasai ilmu itu di dunia persilatan mungkin hanya seorang, yaitu Ceng Thian Sin atau Pendekar Sadis yang tinggal di Pulau Teratai Merah di lautan selatan. Karena tidak ingin tenaga sinkangnya disedot sehingga ia kehabisan tenaga, terpaksa Bwe Hwa melepaskan pedangnya dan meloncat jauh ke belakang! Biarpun andaikata ia tidak melepaskan pedang, tetap saja ia tidak akan terancam bahaya karena Si Kong segera menyimpan kembali tenaga Thi-ki-i-beng. Diapun tidak ingin menyedot habis tenaga sinkang gadis itu dan hanya ingin membuatnya terkejut sehingga dia dapat merampas pedang itu.
Si Kong mengambil pedang uang menempel pada tongkatnya, lalu menghampiri Bwe Hwa danmenyodorkan pedang itu kepada pemiliknya. Wajah Bwe Hwa menjadi merah, akan tetapi ia merasa penasaran sekali da bertanya, "Engkau menggunakan Thi-ki-i-beng! Dari mana engkau dapat menguasai ilmu itu" Apa hubunganmu dengan kakek Ceng Thian Sin di Pulau Teratai Merah?" Ia menerima pedangnya.
Si Kong makin kagum. Gadis ini masih muda, akan tetapi memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan agaknya memiliki pengetahuan luas sehingga dapat mengenal Thi-ki-i-beng dan gurunya, Ceng Thian Sin.
"Penglihatanmu tajam sekali, nona. Kakek Ceng Thian Sin adalah guruku."
"Tidak mungkin!" Gadis itu membentak. "Kakek Ceng Thian Sin adalah seorang pendekar sakti yang namanya terkenal. Sejak muda ia menentang kejahatan dan menghukum para penjahat. Bagaimana sekarang muridnya menjadi penjahat?"
"Nona!" kata Si Kong penasaran. "Aku bukan penjahat!"
"Hemm, kau datang ke sini dan mengacaukan kehidupan para pengemis yang tenteram, engkau mengandalkan ilmumu untuk membikin rusuh, apakah itu tidak jahat namanya?"
Diam-daim Si Kong terkejut. Jelas bahwa gadis itu bukan orang jahat, akan tetapi mengapa ia berada di sarang Hek I Kaipang yang jahat" "Nona, aku datang kesini bahkan untuk menentang kejahatan. Aku ingin menegur ketua Hek I Kaipang yang membiarkan anak buahnya melakukan kejahatan!"
"Souw-pangcu biarpun menjadi ketua para pengemis adalah seorang gagah perkasa yang selalu membela kedailan dan kebenaran. Bagaimana engkau dapat menuduhnya memiliki anak buah yang jahat" Itu hanya fitnah belaka!"
Souw Kian kini maju menghadapi Si Kong. "Agaknya terjadi kesalah-pahaman di antara kita, Si-taihiap. Kalau Si-taihiap hendak menegakkan kebenaran dengan menentang kejahatan, maka jelaslah bahwa disini terjadi kesalah-pahaman. Aku berani menanggung jawab bahwa di antara anggauta kamu tidak ada yang menjadi penjahat."
Si Kong menjadi ragu-ragu mendengar ucapan ketua Hek I Kaipang itu. "Akupun bukan bertindak secara ngawur, pangcu. Aku sendiri yang menghadapi para penjahat itu. mereka berpakaian hitam-hitam seperti anggautamu."
"Hemm, mungkin ada yang sengaja berusaha merusak nama baik Hek I Kaipang. Tolong taihiap ceriatakan apa yang terjadi. Akan tetapi rasanya tidak enak bicara sambil berdiri di halaman ini. Marilah, taihiap, kita bicara di dalam. Mari, lihiap."
Si Kong yang kini menyadari bahwa memang ada kesalah-pahaman, mengikuti ke dalam, Bwe Hwa juga masuk ke dalam dan ternyata di dalam kuil yang tua dan tidak dipergunakan lagi itu amat bersih terawat. Dindingnya di kapur putih dan lantainya juga bersih sekali. Diruangan tengah terdapat meja dan beberapa buah bangku kayu.
"Silakan duduk, taihiap dan lihiap (pendekar wanita)."
Setelah mereka bertiga duduk menghadapi meja, Souw Kian berkata, "Nah, silakan menceritakan semua yang telah terjadi sehingga taihiap menuduh kami."
Si Kong menjadi semakin ragu. Lima orang pengacau berpakaian hitam itu baru lagaknya saja sudah dapat diketahui bahwa mereka bukan orang baik-baik. Akan tetapi sikap ketua Hek I Kaipang ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia orang jahat. Dia menghela napas beberapa kali lalu bercerita.
"Mula-mula terjadi di depan rumah Hartawan The pada hari kemarin. Ketika The-wan-gwe sedang membagi-bagi beras kepada mereka yang membutuhkan sehingga orang-orang itu berdiri dengan antri, tiba-tiba muncul seorang berbaju hitam yang pakaiannya serba hitam pula. Dia tidak mau antriseperti yang lain, menyerobot ke depan, bahkan dia minta sekarung beras. Ketika para petugas menolaknya, dia memukul empat orang petugas itu."
"Hemm, jahat sekali orang itu. The-wan-gwe terkenal sebagai seorang dermawan yang budiman. Kalau aku berada di sana, tentu orang itu sudah kuhajar!" kata Souw Kian marah.
"Pendapatku sama dengan pendapat Souw-pangcu. Aku melihat kejadian itu lalu turun tangan dan menghajarnya. Dia melarikan diri akan tetapi tidak lama kemudian dia muncul lagi dengan empat orang kawannya yang semua juga berpakaian serba hitam. Untung di sana ada keponakan The-wan-gwe, seorang gadis yang pandai ilmu pedang dan gadis itu berhasil mengusir lima orang itu. Nah, karena lima orang itu berpakaian hitam-hitam, maka aku menduga bahwa mereka tentu anak buah Hek I Kaipang dan aku segera datang kesini untuk menegur Souw-pangcu. Akan tetapi malah aku yang dituduh membikin kacau!"
"Mengerti aku sekarang. Tentu ada orang-orang yang sengaja hendak memburukkan nama kami. Akan tetapi percayalah, taihiap, bahwa lima orang itu bukan anak buah kami, dan kami akan mengerahkan seluruh anggauta kami untuk melakukan penyelidikan dan menangkap lima orang itu."
Si Kong mengangguk. "Setelah melihat keadaan Hek I Kaipang disini, dan sikap pangcu, akupun mulai percaya bahwa lima orang itu bukan anggauta Hek I Kaipang, melainkan orang-orang lain yang sengaja menyamar. Maafkanlah kesalahanku, pangcu." Si Kong bangkit berdiri dan memberi hormat kepada ketua itu.
Souw Kian cepat berdiri dan membalas penghormatan itu. "Tidak perlu minta maaf, taihiap. Kalau aku yang melihat peristiwa itu tentu akupun bertindak seperti yang taihiap lakukan. Silakan duduk lagi, taihiap. Kami merasa beruntung sekali dapat berkenalan dengan Si-taihiap."
Akan tetapi Si Kong tidak ingin duduk kembali. Urusannya telah selesai dengan Hek I Kaipang, maka dia tidak mau terlalu lama di situ.
"Aku masih mempunyai banyak urusan yang harus kuselesaikan, pangcu. Karena itu aku tidak dapat terlalu lama berada di sini."
"Tunggu dulu, sobat." kata Bwe Hwa. "Ayah ibuku mempunyai hubungan yang dekat
dan akrab sekali dengan keluarga Cin-ling-pai. Karena engkau murid Ceng-locianpwe dan memiliki ilmu Cin-ling-pai, maka berarti engkau adalah orang sendiri. Bagaimana keadaan Ceng-locianpwe di Pulau Teratai Merah" Tentu beliau kini sudah tua sekali."
Di tanya tentang keadaan gurunya, wajah Si Kong menjadi muram seperti diselimuti awan. Setelah menghela napas panjang Si Kong menjawab, "Suhu telah wafat beberapa bulan yang lalu."
"Ahhh! Kalau begitu, tentu ayah dan ibuku pergi ke sana untuk melayat. Sudah lama aku meninggalkan rumah."
Melihat sikap gadis itu kini ramah padanya, Si Kong merasa senang. "Kurasa ayah ibumu tidak datang melayat karena kematian suhu terjadi secara mendadak dan kami tinggal di pulau terpencil. Akan tetapi pada saat suhu wafat, bibi Cia Kui Hong yang menjadi ketua Cin-ling-pai bersama suami dan puterinya datang sehingga mreka dapat bicara dengan suhu sebelum meninggal dan ikut pula mengurus jenazah suhu."
Mendengar ini, wajah Bwe Hwa menjadi berseri. "Ah, engkau bahkan telah bertemu dengan mereka" Baru sekali, dua tahun yang lalu, aku bertemu dengan keluarga itu. Bagaiamana sekarang keadaan adik Hui Lan" Tentu ilmu kepandaiannya sudah tinggi sekali. Ayahnya, paman Tang Hay adalah sahabat ayahku."


Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Adik Hui Lan baik-baik saja. Mengenai kepandaiannya, aku tidak tahu, akan tetapi aku percaya bahwa ia tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Sudahlah, nona, aku harus melanjutkan perantauanku."
"Nona" Engkau menyebut nona" Kong-ko (kakak Kong), kita adalah orang-orang sendiri, tidak perlu bersikap seperti orang asing. Bolehkah aku mengetahui nama orang tuamu dan dimana mereka tinggal?"
Menghadapi gadis yang lincah dan pandai bicara ini, Si Kong merasa terdesak dan terpaksa diapun menjawab. "Ayah ibuku telah meninggal dunia. Aku yatim piatu dan sebatang kara, tempat tinggalkupun di mana saja, tidak tetap. Nah, sudah cukup, Hwa-moi, aku harus pergi sekarang." Dia mengangkat kedua tangan depan dada lalu melangkah keluar.
Bwe Hwa merasa kecewa. Sebetulnya ia ingin bicar lebih banyak dengan pemuda itu, menceritakan riwayat perjalanan mereka masing-masing. Hatinya tertarik sekali kepada Si Kong yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu. Akan tetapi sebagai seorang gadis, tentu saja ia merasa tidak enak kalau harus mencegah pemuda itu agar jangan begitu cepat pergi meninggalkannya.
Karena ia merasa kecewa dan hatinya merasa sepi setelah pemuda itu pergi, Bwe Hwa mengalihkan perhatiannya dengan bercakap-cakap dan minta bantuan Souw-pangcu dalam usahanya mencari pedang pusaka Pek-lui-kiam.
"Seperti yang ku katakan tadi sebelum Kong-ko itu datang, pangcu. Apakah engkau mengetahui dimana adanya epdang pusaka Pek-lui-kiam?"
Souw Kian menghela napas panjang. "Dunia kang-ouw menjadi ramai dengan munculnya berita bahwa pedang pusaka Pek-lui-kiam menjadi rebutan dan semua orang mencarinya. Pedang itu kabarnya menjadi milik Tan-taihiap atau Tan Tiong Bu yang tinggal di kota Sia-lin. Akan tetapi, beberapa pekan yang lalu, kabarnya Tang Tiong Bu dan isterinya terbunuh. Tidak ada orang tahu siapa pembunuhnya, akan tetapi di duga keras bahwa orang itu membunuh untuk merampas pedang pusaka Pek-lui-kiam itu."
"Dapatkah engkau menduga siapa kiranya yang melakukan pembunuhan dan merampas Pek-lui-kiam?" Bwe Hwa mendesak.
Ketua Hek I Kaipang itu menggeleng kepalanya. "Aku sudah menyuruh anak buahku menyelidik ke Sia-lin. Akan tetapi di sana pun tidak ada yang tahu. Hanya menurut kabar, pada saat kematian Tan Tiong Bu, ada orang melihat seorang kakek berpakaian serba merah keluar dari pekarangan rumah itu. Nah, kalau engkau hendak ikut mencari Pek-lui-kiam, engkau harus mencari kakek yang berpakaian serba merah dan mukanya pucat tiu."
Bwe Hwa mengerutkan alisnya. Betapa akan sukarnya mencari seorang kakek berpakaian merah dan pucat mukanya diantara rakyat yang tak terhitung jumlahnya itu.
"Pangcu, engkau jauh lebih berpengalaman dari pada aku di dunia kang-ouw. Tentu engkau dapat menduga siapa adanya kakek berpakaian merah bermuka pucat itu. Barangkali ada tokoh atau datuk sesat yang seperti itu."
"Banyak sekali datuk sesat empat penjuru, nona. Akan tetapi belum pernah aku mendengar tentang seorang datuk yang berpakaian serba merah. Akan tetatpi".. nanti dulu! Aku pernah mendengar akan munculnya seorang tokoh baru yang datang dari barat. Tidak ada yang tahu siapa namanya dan orang hanya menyebutnya Ang I Sianjin (Manusia Dewa Jubah Merah), dan tempat tinggalnyapun tidak ada yang mengetahui. Mungkin dia yang melakukannya, akan tetapi sepanjang pendengaranku, tokoh itu tidak pernah melakukan kejahatan."
"Terima kasih, pangcu. Setidaknya itu merupkan landasan bagiku untuk mencarinya. Mencari pedang yang tidak di ketahui dimana adanya amatlah sukar, bahkan tidak mungkin. Akan tetapi mencari orang yang sudah diketaui namanya, agaknya lebih mudah. Nah, selamat tinggal, pangcu. Engkau telah menyambut kedatanganku dengan baik sekali. Akan kuceritakan kebaikanmu ini kepada ayah dan ibuku kalau aku pulang nanti."
"Ah, nona, kedatanganmu ke sini saja sudah merupakan penghormatan besar bagi kami, dan kamilah yang berterima kasih bahwa seorang pendekar wanita sudi berkunjung ke rumah jelek dan kotor ini. Sampaikan salam hormatku kepada orang tuamu."
Bwe Hwa lalu meninggalkan kuil itu, memasuki lagi kota Ci-bun dengan hati mengharapkan pertemuan dengan Si Kong di dalam kota itu. Akan tetapi setelah tiga hari ia tinggal di Ci-bun dan tidak pernah melihat bayangan pemuda itu, hatinya terasa hampa dan kehilangan. Ia lalu meninggalkan Ci-bun untuk melanjutkan perantauannya.
*** Dengan jantung berdebar karena tegang dan terharu, Si Kong memasuki dusun Ki-ceng. Begitu memasuki dusun itu, semua kenangan masa kecilnya terbayang kembali. Sungai kecil yang kalau musim kering tiba menjadi kering itu kini di penuhi air yang mengalir jernih. Dahulu, sering kali dia mandi di sungai ini atau mengail ikan. Hatinya menjadi sedih ketika melihat betapa dusun itu masih dipenuhi gubuk-gubuk reyot yang menjadi tempat tinggal petani miskin. Dia tahu benar bagaimana penderitaan mereka karena ketika dia masih kecil, ayahnya juga menjadi buruh tani, demikian pula ibunya. Namun penghasilan mereka berdua masih belum cukup untuk dapat memberi makan anak-anak mereka sampai kenyang. Jembatan kayu itu masih berdiri, dan terdapat tambahan kayu di sana sini untuk mengganti yang lapuk. Dan beberapa rumah gedung milik para hartawan masih berdiri megah, dikelilingi pagar tembok yang tinggi. Di pintu gerbang rumah-rumah gedung ini Si Kong melihat beberapa orang laki-laki yang bertubuh kekar. Dia masih ingat. Mereka itu adalah tukang-tukang pukul para hartawan itu, ditugaskan untuk mengancam, memukul atau membunuh buruh tani yang tidak dapat mengembalikan hutang mereka kepada sang hartawan.
Si Kong lewat di depan rumah gubuk yang dahulu menjadi tempat tinggal orang tuanya dan dalam hatinya timbul keharuan dan kesedihan yang mengiris hati. Terbayanglah semua peristiwa dahulu, kematian ayah ibunya. Akan tetapi dia merasa kehilangan karena rumah yang lama sudah tidak ada lagi. Hanya pohon di depan rumah itu masih berdiri seperti dahulu. Rumahnya telah berganti dengan rumah yang bagus. Dia dapat menduga. Tentu rumah dan tanahnya telah di sita tuan tanah untuk pengganti hutang ayahnya dan tuan tanah itu mendirikan rumah di situ, entah untuk siapa. Mungkin untuk pegawai yang di percaya. Dia melanjutkan perjalanannya, melupakan semua itu dan kini dia pergi menuju ke rumah Hartawan Lui. Setelah tiba di depan rumah itu, teringatlah dia akan segalanya. Kakaknya perempuan Si Kiok Hwa, sejak berusia enambelas tahun, telah dijual oleh ayahnya kepada Hartawan Lui untuk dijadikan selir. Kakaknya Si Leng, dalam usia empat belas tahun telah memasuki rumah itu lewat pagar tembok di belakang, dengan maksud mencari encinya dan minta bantuan encinya karena keluarga ayahnya kehabisan beras dan diancam kelapan. Akan tetapi kakaknya itu ketahuan oleh tukang pukul dan dipukuli, disiksa sampai mati! Tentu saja dengan tuduhan mencuri.
Tiba-tiba kerinduannya terhadap kakak perempuanitu demikian mendesak hatinya. Ingin sekali dia melihat keadaan encinya. Kalau encinya dalam sehat dan hidup berbahagia, diapun akan merasa senang.
Si Kong lalu menghampiri pintu pekarangan gedung besar itu. disitu terdapat lima orang penjaga yang tubuhnya tinggi besar dan kekar, bahkan mereka semua membawa golok di pinggang. Menyeramkan sekali. Belum juga Si Kong datang dekat dia sudah menegur.
"Heii! Mau apa engkau mendekati pintu ini" Mau mengemis, atau mau mencuri?"
Hati Si Kong menjadi panas, akan tetapi dia menahan dirinya, bersabar karena demi kebaikan encinya, dia tidak boleh membikin ribut di tempat itu.
Si Kong melangkah maju menghampiri lima orang yang berdiri bertolak pinggang dengan sombongnya itu dan berkata, "Maaf, aku tidak ingin mengemis atau mencuri. Aku hanya ingin bertemu dengan kakakku perempuan yang tinggal di dalam gedung ini."
Para tukang pukul itu mengerutkan alis dan saling pandang, lalu dia yang berkumis lebat itu melangkah maju mendekati Si Kong sambil bertanya. "Encimu tinggal disini?" katanya tidak percaya. "siapakah encimu itu" Jangan main-main kau!"
"Aku berkata benar. Enciku bernama Si Kiok Hwa, sudah sepuluh tahun tinggal disini menjadi selir Lui-wan-gwe."
"Si Kiok Hwa" Ha-ha-ha, engkau mimpi! Sudah bertahun-tahun aku menjadi pekerja disini dan tidak pernah mendengar nama Si Kiok Hwa. Pergilah dan jangan membikin aku marah. Tidak ada Si Kiok Hwa di tempat ini."
"Kalau begitu, biarkan aku bicara dengan Lui-wan-gwe. Dia tentu tahu tentang enciku Si Kiok Hwa itu."
"Mau bertemu Lui-wan-gwe" Aha, enak saja kau bicara! Orang macam engkau ini mana
ada harganya untuk bertemu dengan Lui-wan-gwe" Tidak boleh, dan pergilah, atau aku akan menghajarmu!"
Kini Si Kong tidak dapat menahan kemarahannya lagi. "Jahanam-jahanam busuk. Kalian ini seperti anjing-anjing yang menggonggong keras akan tetapi sebetulnya kepalamu kosong!"
"Keparat!" Si kumis tebal sudah maju menghantam ke dada Si Kong. Si Kong miringkan tubuhnya dan ketika lengan yang besar itu lewat, dia menangkap lengan itu, diputar ke belakang tubuh si kumis tebal dan sekali tarik ke atas, lengan itu menjadi lumpuh karena sambungan lengan terlepas dari pundaknya. Nyerinya bukan kepalang dan si kumis itu melolong-lolong kesakitan. Empat orang kawannya segera mencabut golok masing-masing dan mengeroyok Si Kong dari empat penjuru. Akan tetapi Si Kong tidak memberi kesempatan lagi kepada mereka. Dengan gerakan yang demikian cepatnya sehingga tidak dapat diikuti pandang mata mereka berempat, tahu-tahu golok di tangan mereka terlepas dan berjatuhan di atas tanah, disusul tubuh mereka yang terpental oleh tendangan kaki maupun tamparan tangan Si Kong. Masih untung bagi mereka bahwa Si Kong tidak mau membunuh orang, maka mereka itu hanya mengalami tulang patah dan muka membengkak saja. Si Kong tidak mempedulikan mereka lagi dan dengan langkah lebar dia memasuki pekarangan itu, terus menuju ke pintu depan.
Lima orang penjaga lain sudah menghadangnya dengan golok di tangan. "Heii, berhenti kau! Tidak boleh memasuki rumah ini!" bentak seorang diantara mereka.
"Kalian yang minggir dan memberi jalan kepadaku kalau tidak ingin kuhajar!" Lima orang penjaga itu melihat betapa lima orang rekan mereka yang berjaga diluar masih merangkak-rangkak dengan susah payah. Akan tetapi mereka tidak percaya kalau pemuda ini telah merobohkan rekan-rekan mereka itu, dan dengan teriakan marah mereka berlima sudah menerjang dan mengeroyok Si Kong. Kembali Si Kong berkelebatan dan sebentar saja lima orang itupun roboh malang melintang dan golok mereka beterbangan terlepas dari tangan mereka.
Mereka hanya mengaduh-aduh dan tidak dapat berbuat sesuatu ketika Si Kong memasuki rumah besar itu. Sesampainya diruangan depan, beberapa orang pelayan wanita menyambutnya dengan heran dan seorang diantara mereka bertanya, "Engkau siapakah dan ada keperluan apa memasuki rumah ini?"
"Aku hendak bertemu dan bicara dengan Hartawan Lui. Cepat beritahu mana dia. Aku akan menemuinya!"
Para pelayan itu sudah melihat dari dalam betapa para penjaga dibuat roboh berpelantingan oleh pemuda ini. Mereka tidak berani menolak, akan tetapi juga tidak berani membawa pemuda itu menhadap majikan mereka yang sudah tua.
"Silakan tunggu diruangan depan, kami akan segera memberitahu majikan kami."
Si Kong mengangguk dan berkata, "Cepat laporkan dan minta dia keluar menemuiku, sekarang juga."
Tiga orang wanita pelayan itu bergegas pergi ke sebalah dalam dan Si Jong tetap berdiri di tempat itu, memandangi perabot rumah yang serba indah. Di dinding terdapat banyak lukisan indah dengan sajak pasangan yang muluk-muluk, mengajarkan manusia melakukan segala macam kebaikan. Akan tetapi, ujar-ujar yang suci itu digantung disitu hanya sebagai hiasan saja, tidak ada sebuahpun yang dilaksanakan oleh si hartawan!
Terdengar langkah-langkah kaki dari dalam. Si Kong melihat kedalam dan muncullah seorang kakek tua renta yang usianya tentu sedikitnya sudah delapanpuluh tahun. Jalannya saja dipapah oleh dua orang gadis cantik dan disampingnya berjalan seorang laki-laki tinggi kurus dan laki-laki ini memandang kepada Si Kong dengan mata mencorong. Sebatang pedang tergantung dipunggung orang itu. Tentu dia seorang ahli silat, mungkin merupakan pengawal pribadi Lui Wan-gwe!
Melihat kakek itu yang dipapah duduk di atas sebuah kursi, Si Kong lalu menghadapinya dan memberi hormat. Bagaimanapun juga kakek ini adalah kakak iparnya.
"Apakah engkau yang bernama Hartawan Lui?"
Kakek itu tidak menjawab. Yang menjawab adalah orang tinggi kurus yang sudah melangkah menghadapi Si Kong. "Kalau benar beliau ini Lui Wan-gwe, engkau mau apakah?"
"Aku hendak bertanya tentang enciku yang bernama Si Kiok Hwa. Sepuluh tahun yang lalu enciku diambil selir oleh Lui Wan-gwe. Aku ingin bertemu dengan enciku itu."
"Si Kiok Hwa tidak berada di sini lagi. Nah, pergilah, orang muda dan jangan mengganggu majikan kami."
"Aku tidak mau pergi sebelum mendengar tentang enciku!"
"Hemm, nampaknya engkau patut dihajar, berani engkau kurang ajar terhadap Lui wan-gwe?" Orang tinggi kurus yang usianya sekitar empat puluh tahun itu mencabut pedangnya dengan sikap mengancam.
"Aku tetap tidak mau pergi sebelum mendengar keterangan yang jelas tentang diri enci Si Kiok Hwa!" kata Si Kong dengan suara tegas.
"Engkau sudah bosan hidup!" bentak kepala pengawal itu dan dia sudah menyerang dengan pedangnya. Akan tetapi dengan mudahnya Si Kong mengelak. Ilmu pedang orang ini boleh juga. Setelah pedangnya dapat dielakkan Si Kong, dia menyusulkan serangan bertubi-tubi ke arah tubuh Si Kong.
Namun, betapapun cepat gerakan pedangnya, gerakan Si Kong jauh lebih cepat lagi. Setelah mengelak sampai sepuluh kali, tiba-tiba Si Kong menyambar pedang yang ditusukkan ke dadanya itu dan menjepit pedang itu dengan jari-jari tangannya. Si tinggi kurus terkejut dan berusaha menarik kembali pedangnya. Akan tetapi Si Kong sudah menggerakkan kaki menendang.
"Bukk"!" Orang tinggi kurus itu terpental kebelakang dan memegangi dadanya yang rasanya remuk sehingga dia terengah-engah, tidak mampu berdiri hanya bangkit duduk sambil menekan-nekan dadanya yang tertendang. Si Kong menggerakkan tangan yang merampas pedang dan senjata itu meluncur seperti anak panah dan menancap di dinding sampai setengahnya lebih. Gaganya bergoyang-goyang saking besarnya tenaga yang melemparkannya tadi.
Si Kong menghampiri kakek tua itu yang kelihatan gemetaran.
"Tidak perlu takut, Lui Wan-gwe. Aku datang kesini hanya ingin bertemu dengan enci Kiok Hwa! Akan tetapi para tukang pukulmu yang menghalangi, terpaksa aku merobohkan mereka. Nah, sekarang katakan dimana adanya enci Kiok Hwa?"
Kakek itu menggeleng kepalanya. "Entah dimana. Sudah lima tahun yang lalu ia meninggalkan rumah ini, dan menikah dengan seorang yang bernama Lo Sam, aku tidak tahu lagi?"
Melihat kakek itu suaranya sudah gemetaran, Si Kong tidak mau mendesaknya. "Kalau engkau tidak tahu, siapa yang tahu dimana adanya Lo Sam itu sekarang?" Dia berhenti sebentar lalu melanjutkan dengan suara mengandung ancaman. "Karena tadinya enciku berada disini, maka yang bertanggung jawab adalah engkau, Lui Wan-gwe. Kalau aku tidak mendapat keterangan yang jelas, akan kugeledah seluruh isi rumah ini!"
"Tunggu?"!" Lui Wan-gwe mengangkat tangan. "Terus terang saja, aku sendiri tidak tahu. Akan tetapi ada seorang bujang tua yang mengetahui kemana Lo Sam membawa Kiok Hwa." Dia lalu memberi isyarat kepada seorang gadis cantik yang tadi memapahnya. "Panggilkan Ji Kwi kesini."
Tak lama kemudian gadis itu sudah muncul kembali bersama seorang wanita tua yang usianya sudah enampuluh tahun. Wanita ini menghadap dengan takut-takut.
"Lo-ya memangggil saya?" katanya sambil berlutut di depan Hartawan Lui.
"Benar. Aku ingin engkau menceritakan tentang diri Kiok Hwa kepada adiknya ini!" Hartawan Lui menunjuk ke arah Si Kong dan Si Kong menghampiri bujang tua itu dan berkata dengan suara halus.
"Bibi, ceritakanlah tentang enci Kiok Hwa, ceritakan semuanya jangan menyembunyikan sesuatu."
"Lima tahun yang lalu encimu keluar dari rumah ini untuk menikah dengan Lo Sam." kata bujang tua itu.
"Dimana adanya Lo Sam itu?"
"Dahulu rumahnya di gang keempat dari jalan raya selatan, kalau mereka belum pindah tentu engkau akan dapat menemukan mereka disana."
Si Kong mengangguk-angguk. "Akan kucari di sana. Kalau aku tidak dapat menemukan enciku, engkau harus bertanggung jawab, Lui Wan-gwe!" Setelah berkata demikian, Si Kong melompat dan keluar dari rumah itu.
Setelah pemuda itu pergi, Lui Wan-gwe yang sudah tua renta itu lalu marah-marah dan memaki-maki para pengawalnya yang dikatakannya tidak becus menjaga keselamatannya.
Cepat undang Gin-to-kwi (Iblis Golok Perak) Bouw Kam kesini!" perintahnya. Gin-to-kwi Bouw Kam adalah seorang tokoh besar di antara jagoan-jagoan yang menjadi tukang-tukang pukul para hartawan di dusun itu. Dia bersedia melakukan segala macam perintah para hartawan itu dengan imbalan uang. Kalau perlu dia bersedia membunuh demi mendapatkan upah.
Sementara itu Si Kong tidak membuang waktu lagi segera pergi kejalan raya selatan dan memasuki gang empat. Ketika dia mencari keterangan dari orang-orang yang tinggal di gang itu di mana rumah Lo Sam, dengan mudah dia mendapatkan keterangan itu. Dia lalu menuju kerumah Lo Sam, menyelinap dan memasuki rumah itu dari pintu belakang. Tiba-tiba dia mendengar suara wanita batuk-batuk dan di susul suara seorang pria yang terdengar marah-marah.
"Engkau perempuan tiada guna! Kenapa tidak cepat mampus saja agar aku terlepas dari beban!"
Suara wanita itu menjawab, "Huk-huk-ugh?" Lo Sam, dimana perasaanmu"." Ketika aku masih sehat".. kau memaksaku untuk melacurkan diri".. dan uangnya semua engkau pergunakan untuk berjudi dan bersenang-senang?" tapi, sekarang setelah aku jatuh sakit, engkau tidak mau merawatku bahkan setiap hari memaki-maki?""
Berdebar rasa jantung Si Kong. Dia tidak lagi mengenal suara wanita itu, akan tetapi timbul dugaannya bahwa itu adalah suara Si Kiok Hwa, encinya! Maka cepat dia mendorong pintu kamar itu terbuka dan dia melihat seorang wanita kurus kering sedang rebah telentang di atas pembaringan dan seorang laki-laki tinggi besar sedang berdiri dekat pembaringan asmbil bertolak pingggang.
"Engkau yang bernama Lo Sam?" tanya Si Kong sambil memandang laki-laki itu. Laki-laki itu terkejut melihat tiba-tiba ada seorang pemuda membuka pintu dan memasuki kamarnya. Dia menjadi marah sekali dan tanpa berkata-kata lagi, dia sudah menerjang dan memukul Si Kong dengan cepat dan mengerahkan seluruh tenaganya.
Akan tetapi Si Kong menangkap tangan itu dan mencengkeramnya. Pria itu mengaduh-aduh karena merasakan kepalan tangannya seperti dijepit cengkeraman besi.
"Aduh, aduh". sakit".. ampunkan saya"."
"Katakan dulu, benarkah engkau yang bernama Lo Sam?" kata Si Kong tanpa melepaskan cengkeramannya.
"Benar, aku Lo Sam?"
Si Kong menggerakkan jari tangan kanannya dan menotok pundak Lo Sam sehingga orang itu tidak mampu bergerak lagi, berdiri dengan posisi menyerang dan memukul, seolah dia telah menjadi sebuah patung.
Si Kong menghampiri pembaringan itu. Dia tidak mengenal wanita yang kurus kering itu. Dahulu, sepuluh tahun yang lalu, encinya adalah seorang gadis remaja berusia enambelas tahun yang cantik manis, sedangkan yang menggeletak di situ adalah seorang wanita yang kelihatan tua dan kurus kering rambutnya awut-awutan dan tubuhnya kurus sekali.
"Apakah engkau Si Kiok Hwa?" tanyanya ragu.
Wanita itu memandang Si Kong dan berkata lemah. "Benar, aku Si Kiok Hwa". dan engkau siapa, orang muda?"
"Enci Kiok Hwa! Aku Si Kong, adikmu!"
"Si Kong"." Ya Tuhan, terima kasih atas pertemuan ini"."
Si Kong duduk ditepi pembaringan dan memegang tangan encinya. Terkejutlah dia ketika memeriksa nadi tangan encinya. Detik jantugnya begitu lemah dan tidak tetap, napasnya terengah-engah dan tahulah dia bahwa encinya menderita tekanan batin yang luar biasa sehingga kini tubuhnya tidak kuat bertahan dan jatuh sakit yang berat sekali. Baru memeriksa nadi, mulut dan pernapasan encinya saja tahulah Si Kong bahwa encinya sukar diselamatkan. Encinya itu seolah telah berada diambang kematian.
"Enci kenapa engkau sampai menderita seperti ini" Bukankah dahulu engkau menjadi selir Lui Wan-gwe?"
Dengan suara terputus-putus dan terengah-engah, wanita itu lalu menceritakan pengalamannya yang pahit. Ternyata ia hanya menjadi permainan Lui Wan-gwe saja. Setelah Lima tahun, kakek yang kaya raya itu bosan dengannya, lalu menyerahkan kepada Lo Sam untuk menjadi istrinya. Mula-mula ia memang merasa bahagia karena Lo Sam menjadi suaminya. Akan tetapi Lo Sam ini seorang penjudi dan suka hidup royal. Ketika dia masih menerima sumbangan dari Lui Wan-gwe, memang hidup mereka tidak kekurangan. Akan tetapi tiga tahun kemudian Liu Wan-gwe menghentikan bantuannya dan mulailah penderitaan menimpa diri Kiok Hwa. Mula-mula semua perhiasannya dijual oleh Lo Sam untuk berjudi, lalu perabot rumah tannga. Akhirnya, ketika tidak ada lagi yang harus di jual untuk mendapatkan uang, Lo Sam lalu menjual isterinya!
"Dia memaksa untuk menjadi pelacur ".. betapa hancur hatiku ". akan tetapi dia memaksa dan kalau tidak mau dia menyiksaku. Aku terpaksa ".. menjadi pelacur ?"" dan uang penghasilanku semua di ambil oleh Lo Sam. Selama hampir tiga tahun aku menjadi pelacur dan akhirnya, sebulan yang lalu aku jatuh sakit dan tidak dapat bekerja?"" sebagai pelacur ".. akan tetapi dia ?" dia ?" Wanita itu menuding kepada Lo Sam yang masih berdiri seperti patung. "Dia tidak mau merawatku".. bahkan memujikan agar aku lekas mati".." Kiok Hwa menangis, akan tetapi tidak ada air mata yang keluar. Agaknya air matanya sudah habis terkuras selama ini.
Si Kong menjadi marah bukan main. Dia meninggalkan encinya dan menghampiri Lo Sam, sekali totok Lo Sam da[at bergerak lagi. Tadi dalam keadaan tertotok, Lo Sam mendengar semua cerita isterinya dan dia menjadi takut setengah mati ketika mengetahui bahwa pemuda yang lihai itu adalah adik isterinya! Maka begitu bebas dari totokan, dia segera lari untuk meninggalkan pemuda itu. Akan tetapi sekali menggerakkan kaki, Si Kong telah dapat mengejarnya dan menjambak rambutnya, menyeretnya kembali ke dalam kamar. Ketika jambakan rambut dilepaskan, Lo Sam segera menjatuhkan diri berlutut di depan Si Kong.
"Ampunkan saya".. ah, ampunkan saya"."
"Keparat busuk!" Si Kong memakinya dan dua kali tangannya bergerak, terdengar suara "karak-krak" dua kali dan kedua tangan Lo Sam sudah dipatahkan tulangnya di atas siku. Lo Sam mengaduh-aduh dan kedua lengannya tergantung tak berdaya karena tulangnya sudah patah.
"Si Kong".!" terdengar Kiok Hwa berkat lirih. "Jangan Si Kong". dia mempunyai banyak teman, engkau akan dikeroyoknya?""
"Jangan khawatir, enci. Kalau dia memanggil teman-temannya, aku akan menghajar mereka semua! Lo Sam, berdirilah saja disitu, awas, kalau engkau melarikan diri, aku tidak akan mengampunimu lagi!"
"BA".. baik?" taihiap"..!" kata Lo Sam tergagap saking takutnya.
"Si Kong?"" wanita itu mengeluh panjang dan Si Kong segera menghampirinya dan duduk di tepi pembaringan.
"Ada apa enci?"
"Aku". aku".." Si Kong segera menotok beberapa jalan darah untuk memulihkan kekuatan encinya yang sudah terengah-engah itu.
"Si Kong".. kalau aku mati".. kuburkanlah aku". di dekat makam". ayah dan ibu?""
"Enci".!" Si Kong merangkulnya sambil menangis. Tidak dapat dia menahan kesedihannya melihat keadaan encinya, satu-satunya keluarganya yang masih hidup, kini berada di ambang kematian tanpa dia dapat menolongnya. Dia hanya dapat menolong agar encinya tidak terlalu menderita kenyerian, akan tetapi tidak dapat mengobatinya sampai sembuh. Keadaan encinya sudah parah sekali. Paru-parunya juga sudah terluka digerogoti penyakit.
"Enci tenangkanlah hatimu dan mengasolah. Aku akan membalaskan sakit hatimu kepada semua orang yang telah membuatmu sengsara seperti ini. Aku pergi sebentar, enci." Dia lalu membantu encinya menelan sebutir pil yang dibuatnya sendiri dari akar-akaran dan khasiat pil ini adalah untuk menguatkan badan dan melancarakan jalan darah. Setelah itu, dia merebahkan lagi encinya, menyelimutinya dan encinya dapat tidur dengan tenang.
"Hayo ikut aku!" katanya kepada Lo Sam sambil menyeret tangan orang yang usianya sudah empatpuluh tahun itu.
"Ke".. ke mana"., taihiap?"
"Tidak perlu bertanya, ikut saja!" kata Si Kong dan menyeretnya keluar dari rumah itu. Orang-orang yang tinggal di gang itu terheran-heran melihat Lo Sam didorong-dorong oleh seorang pemuda untuk melangkah maju dan kedua lengan Lo Sam tergantung lemas. Akan tetapi tidak ada orang mau bertanya. Mereka sudah mengenal Lo Sam itu orang macam apa. Penjudi,pemabok dan pembuat kerusuhan, apalagi kalau bersama teman-temannya.
Setelah tiba di jalan besar, Si Kong mendorong pundaknya. "Kita pergi ke rumah Lui-wangwe!"
Si Kong menjadi pucat, akan tetapi tidak berani membantah. Sebelum tiba di rumah hartawan Lui, tiba-tiba ada empat orang pemuda yang berpapasan dengan mereka.
"He, Lo Sam. Engkau mengapa?" tanya mereka.
Timbul kembali semangat Lo Sam ketika melihat bahwa mereka itu adalah kawan-
Istana Pulau Es 16 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Bukit Pemakan Manusia 7
^