Pendekar Kembar 1
Pendekar Kembar Karya Gan K L Bagian 1
" Pendekar Kembar
Diceritakan Oleh: GAN K.L
Jilid ke 1 Sinar bulan purnama raya terang benderang bagaikan siang.
Di jalan pegunungan yang sepi dan gersang itu sama sekali tiada
nampak jejak manusia.
Semuanya serba sunyi, seolah-olah jagat raya ini hanya terdapat
bulan purnama dan pegunungan gersang ini dan tiada benda lain
lagi. Angin pegunungan meniup pelahan dan silir semilir
Benarkah di pegunungan gersang ini tiada terdapat jejak
manusia" Tidak benar! Itu dia, di puncak gunung yang datar sana berduduk tegak tujuh
orang. Tiada seorang pun yang bersuara, semuanya bungkam dan
tiada yang bergerak, mirip tujuh buah patung.
Ke tujuh orang ini, duduk terpisah di kedua sisi. Yang satu sisi
berduduk enam orang dan sisi lain, kira-kira berjarak satu tumbak, hanya berduduk satu orang.
Lama dan lama sekali baru kelihatan orang yang duduk sendirian itu mendahului bergerak
sedikit Rupanya ke tujuh orang sama-sama kehabisan tenaga, Orang yang duduk sendirian itu meski
dapat bergerak, tapi juga belum kuat untuk berbangkit. Pelahan dia membuka matanya dan
menghela napas.
Wajah orang ini sangat putih, di bawah sinar bulan tampaknya bertambah pucat pasi, usianya
antara 70-an, dari kerut mukanya yang penuh keriput itu dapat diketahui pasti sudah kenyang
makan asam-garam dan gemblengan kehidupan Anehnya, usia selanjutnya ini, mukanya ternyata.
kelimis, tiada jenggot sedikit pun.
Padahal umumnya orang jaman dahulu, bilamana sudah cukup umur lazimnya mesti piara
jenggot (yang dimaksudkan cukup umur adalah 50 tahun ke atas, di bawah 50 dianggap Yau-siu
atau cekak umur-Gan KL).
Ke enam orang lalunya justeru kebalikannya daripada kakek bermuka bersih ini, air muka
mereka berwarna sawo matang seperti kulit muka orang tua umumnya, di bawah janggut juga
tumbuh jenggot berwarna putih kelabu.
Selang sejenak pula, kakek bermuka kelimis itu berkata, "Bagaimana perasaan kalian
sekarang?"
Sampai sekian lama lagi barulah lima di antara ke enam kakek yang lain itu membuka mata,
seorang kakek yang tidak membuka mata itu berkata, "Aku Bu-bok-soh (kakek tanpa mata) hari ini
mengaku menyerah padamu."
Seorang kakek lagi yang kelihatan bungkuk, tapi dengan berduduk pun masih lebih tinggi
daripada rekan-rekannya menukas, "Mengapa mesti menyerah" Akhirnya kan sama terluka
parah?" "Sama terluka parah, memang betul kedua pihak sama-sama terluka," ucap si kakek muka
kelimis sambil tersenyum getir, "Sebenarnya apa gunanya kita bertempur mati-matian begini?"
Mendadak angin pegunungan meniup santer sehingga lengan baju kanan seorang kakek
tampak bergoyang tertiup angin, sekali pandang segera diketahui kakek ini buntung lengan
kanannya, makanya lengan bajunya yang kosong itu berkibar tertiup angin, Dia tertawa dan
berseru, "Haha, kalau sekarang merasa menyesal, mengapa dahulu mesti berbuat" Bilamana sejak
20 tahun yang lalu jurus pedangmu itu kau katakan secara terbuka, kan segala nya sudah menjadi
beres?" Kulit daging muka si kakek kelimis itu, sampai berkerut-kerut, ucapnya kemudian. ?"Apa yang
telah kukatakan 20 tahun yang lalu itu masih tetap berlaku untuk sekarang, Apabila kalian dapat
mengalahkan diriku, tentu jurus pedangku ini akan kukatakan secara terbuka. Cuma sayang,
selama 20 tahun ini kalian sendiri yang tidak becus dan tetap tidak mampu mengalahkan diriku.
Hm, kukira biarpun lewat 20 tahun lagi kalian juga tetap bukan tandinganku."
Seorang kakek lain mendadak berdiri, terlihat dia berdiri dengan kaki kanan melulu, kaki kiri
sudah buntung. Ketika berdiri dia tergeliat dua-tiga kali dulu baru kemudian dapat berdiri tegak Si
kakek muka kelimis menghela napas, katanya, "Tak tersangka "Thi-kah sian" (dewa kaki besar)
Koat-tui-soh (kakek buntung) yang termasyhur di dunia sekarang tidak dapat berdiri dengan
mantap." Koat-tui-soh kelihatan gusar, serunya, "Tidak perlu kau menyindir, kau sendiri juga tidak
mendapatkan keuntungan apa-apa, jangankan 20 tahun lagi, cukup sebulan saja kami pasti dapat
mengalahkan kau bilamana di antara kami berenam mau saling mengajarkan sejurus ilmu pedang
masing-masing."
Si kakek kelimis tertawa lantang beberapa kali, lalu ia berdiri dengan gagah, sedikit pun tidak
ada tanda kehabisan tenaga, keruan ke enam kakek yang lain sama pucat, sebab dilihat dari
gerak-gerik dan suaranya, jelas tenaga dalam kakek kelimis itu sudah pulih sama sekali, sampai
Thi-kah-sian yang terkenal tangkas itu pun kalah kuat.
Setelah tertawa, lalu si kakek kelimis berseru "Sudah sejak 20 tahun yang lalu kalian berharap
akan saling mengajarkan jurus pedangnya masing-masing, tapi akhirnya bagaimana" Kukira
biarpun 20 tahun lagi kalian, juga tetap hanya mahir satu jurus saja."
Bu-bak-soh menghela napas menyesal, katanya, "Memang betul, siapa pun di antara kita ini
jelas tidak mau mengajarkan sejurus ilmu pedang yang dikuasainya kepada orang lain, tampaknya
biarpun 20 tahun lagi kami tetap juga bukan tandinganmu."
"Nah. pikir sendiri saja," kata si kakek kelimis, "Jika kalian tidak mau saling mengajarkan jurus
ilmu pedangnya sendiri, sebaliknya kalian memaksa diriku agar mengajarkan jurus ilmu pedangku
secara terbuka, Bilamana kalian mau menimbang pikiran sendiri dengan orang lain, tentu kalian
akan tahu dapatkah kupenuhi permintaan kalian ini" Lagipula, di dunia ini mana ada kejadian
seenaknya seperti kehendak kalian ini?"
Si kakek bungkuk berbangkit pelahan, lalu berucap, "Habis siapa suruh kau menguasai lebih
banyak satu jurus daripada kami" Hay-yan-kiam-hoat seluruhnya terdiri dari delapan jurus, kami
berenam masing-masing menguasai satu jurus, hanya kau sendiri yang menguasai dua jurus. Bila
satu jurus kelebihanmu itu kau ajarkan secara terbuka sehingga kita sama-sama mahir dua jurus.
bukankah dunia akan segera menjadi aman?"
Mendadak si kakek kelimis tertawa panjang suaranya seram mengandung perasaan pedih,
sampai lama suara tertawanya berkumandang seakan hendak menguras segenap rasa kesal yang
terpendam di dalam hatinya.
Sekian lamanya ia tertawa, ketika air muka nya tampak rada berubah, pelahan barulah ia
berhenti tertawa, sedikit perubahan air mukanya itu dapatlah dilihat dengan jelas oleh kedua
kakek lain yang sejak tadi tidak bersuara itu.
Selang sejenak, setelah si kakek kelima dapat meratakan pernapasannya, lalu ia berkata pula
dengan gemas, "Bahwa aku lebih banyak mahir satu jurus ilmu pedang daripada kalian, tapi
apakah kalian tahu kudapatkan sejurus ini dengan imbalan yang betapa besar" Bilamana tengah
malam aku terjaga dari tidurku dan terkenang kepada kejadian dahulu, sering aku bertanya
kepada diriku sendiri, apakah cukup berharga kudapatkan satu jurus ilmu pedang ini dengan
imbalan siksa derita selama hidup" Nah, bila satu jurus ini sudah mencelakai selama hidupku,
apakah mungkin kuajarkan kepada kalian dengan begitu saja?"
Air muka ke enam kakek yang lain tampak suram, mereka sama tahu betapa artinya kata
"siksa derita" yang disebut si kakek kelimis itik sebab mereka sendiripun mengalami gangguan
daripada kata-kata itu.
Maka tertunduklah ke enam kakek itu, dalam hati sama diliputi oleh ucapan si kakek kelimis
tadi: "Apakah berharga mendapatkan satu jurus ilmu pedang itu dengan imbalan siksa derita
selama hidup?"
Segumpal awan tebal mengalingi cahaya bulan yang terang, seketika bumi raya ini menjadi
kelam. Ke tujuh kakek itu hanya samar-samar dapat membedakan wajah masing-masing.
Koat-tui-soh atau si kakek buntung kaki berdehem perlahan, katanya, "Jadi tahun ini
pertarungan kita ini pun sia-sia lagi, Ai, 20 tahun sudah lalu, sudah 20 tahun. Namun biarpun
lewat beberapa puluh tahun lagi juga kami tidak rela membiarkan ada seorang mampu menguasai
dua jurus Hay-yan-kiam-hoat, kecuali mati, tidak nanti hasrat bertanding ini dapat terhapus!"
Dengan dingin si kakek kelimis menjawab. "Jika kalian tidak dapat mengalahkan diriku, pada
waktu mati pun tidak nanti kuperlihatkan secara terbuka satu jurus kelebihanku ini, aku rela mati
bersamanya daripada mengajarkan jurus pedang ini tanpa imbalan apa pun."
"Mengapa begitu?" ujar Bu-bak-soh, si kakek buta, dengan menyesal, "Ilmu silat serupa juga
racun, makin diserap makin mencandu. Apabila satu jurus pedangmu itu kau ajarkan kepada kami
sehingga hasrat kami terpenuhi, supaya kita sama-sama menguasai dua jurus, maka selanjutnya
kita pun tidak perlu saling labrak lagi dan dapat menikmati sisa hidup ini dengan tenteram."
"Huh, omong kosong!" kata si kakek kelimis dengan menghina, ?"Masakah satu di antara Jit-lo
(tujuh kakek) yang termasyhur di dunia Kangouw ini, si Bu-bak-soh, dapat mengucapkan katakata
kekanak-kanakan begini" Sungguh lucu dan men-tertawakan."
Karena sindiran itu, si kakek buta menjadi tergagap dan tidak sanggup mendebatnya lagi.
"Tampaknya kita akan bertemu lagi pada hari yang sama tahun depan." seru Koat-tui-soh, si
kakek buntung kaki.
"Baik, pada hari yang sama tahun depan pasti kuiringi kehendak kalian!" seru si kakek kelimis
dengan lantang.
Salah seorang kakek di antara kedua kakek yang sejak tadi diam saja, tiba-tiba memberi
isyarat tangan, Lalu kakek di sebelahnya juga mendadak berkata, "Menurut pendapat Ah-lo (kakek
bisu) katanya bila kalian ingin hidup lebih tua beberapa tahun, sebaiknya janji pertemuan tahun
depan dihapuskan saja!"
Agaknya Lwekang kakek yang bicara ini paling lemah dan belum lagi pulih kembali maka
suaranya kedengaran sangat lirih.
"Apa yang dikatakan Liong-soh (kakek tuli), suruh dia bicara yang keras!" seru si kakek
buntung kaki. Can pi-soh, si kakek buntung tangan, berduduk di samping kakek tuli, dia paling jelas
mendengar ucapan si kakek tuli, maka ia mengulangi satu kali apa yang diminta rekannya itu.
Semua orang itu tahu Ah-lo atau kakek bisu itu mahir ilmu pertabiban, bilamana dia
berpendapat demikian tentu ada alasannya.
Toh-pwe-soh atau si kakek bungkuk lantas bertanya, "Apa maksud ucapannya itu?"
Ah-lo memberi isyarat tangan pula beberapa kali kepada Liong-soh, lalu kakek tuli itu
mengerahkan tenaga dan berteriak sekerasnya, "Setelah pertarungan kita tadi, jelas kita sudah
sama terluka dalam yang parah, apabila kita berlatih lagi lebih giat demi pertandingan tahun
depan, tentu luka kita akan tambah parah, maka tidak perlu sampai setahun kita pun tidak dapat
berjumpa lagi."
Si kakek kelimis tampak manggut-manggut katanya, "Memang benar pendapatnya, harus ku
akui, luka orang she Ji juga tidak enteng, rasanya sukar pulih kembali kalau tidak dirawat untuk
beberapa tahun lamanya."
Si kakek bisu kembali memberi isyarat tangan beberapa kali, lalu si kakek tuli yang bertindak
sebagai juru-bicaranya berkata, "Tampaknya tenagamu pulih paling cepat, padahal lukamu paling
parah, sedikitnya perlu dirawat 10 tahun baru dapat pulih seluruhnya, Maka menurut pendapat
Ah-lo, demi kebaikan kita bersama, khusus bagi kebaikanmu, bolehlah janji pertemuan yang akan
datang di undur sampai sepuluh tahun kemudian,"
?"Bagus, bagus!" seru si kakek kelimis dengan tertawa, "Agaknya kalian juga kuatir aku akan
mati sehingga kepandaian yang tiada bandingannya ini akan ikut lenyap, Padahal biarpun sepuluh
tahun kemudian bila orang she Ji ini mati tentu juga akan diwakili oleh seorang yang mahir kedua
jurus Hay-yan-kiam-hoat ini untuk hadir pada pertemuan kita nanti. Cuma sepuluh tahun lagi
kuyakin kalian tetap tak dapat mengalahkan diriku."
"Bagaimana kalau kami menang?" tanya si kakek buntung tangan dengan penasaran.
?"Jika kalian menang, orang she Ji tidak saja akan mengajarkan sejurus kelebihanku, bahkan
kuajarkan dua jurus sekaligus kepada kalian." ucap si kakek kelimis dengan tegas.
"Hah, jika demikian, sepuluh tahun kemudian apa yang dikuasai kami berenam akan lebih
banyak satu jurus daripadamu," tukas si kakek buntung kaki dengan angkuh.
"Hm, memangnya kalian pasti akan menang?" jengek si kakek kelimis.
"Bukan mustahil," ujar si kakek bungkuk dengan tertawa, "Menurut keadaanmu sekarang, Ahlo
bilang lukamu paling parah, jika demikian, siapa berani menjamin sepuluh tahun kemudian kau
takkan kalah?"
"Tapi kalau sepuluh tahun kemudian orang she Ji tetap memang, lalu bagaimana?" tanya si
kakek kelimis. "Supaya adil, bila sepuluh tahun kemudian kami tetap kalah, kami pun akan mengajarkan satu
jurus kemahiran kami masing-masing kepadamu," ucap si kakek buta dengan serius.
"Baik, janji seorang lelaki sejati" seru si kakek kelimis.
Serentak ke enam kakek lawannya menukas "Tidak nanti dijilat kembali?"
Hendaklah diketahui bahwa Jit lo atau tujuh kakek itu adalah orang kosen yang dipuja di dunia
persilatan, apa yang mereka ucapkan dengan sendirinya harus ditepati, maka perjanjian mereka
ini pun tidak dapat berubah lagi.
"Bilamana terjadi sesuatu atas diri kami, pasti juga ada orang yang menguasai satu jurus
kemahiran kami masing-masing akan hadir pada pertemuan nanti," demikian si kakek buntung
tangan menambahkan.
"Baik, demikianlah perjanjian kita, sekarang juga kumohon diri!" seru si kakek kelimis sambil
memberi hormat, lalu hendak melangkah pergi.
"Sampai bertemu lagi!" seru si kakek buntung kaki.
Ketika gumpalan awan hitam bergeser dan cahaya bulan terang benderang menyinari lagi
bumi raya ini, di puncak gunung itu sudah tiada seorang pun, suasana kembali sunyi senyap
- oo-foo- -oo+oo-
Di ladang belukar yang luas itu hanya pepohonan belaka dengan semak rumput yang lebat.
Di ujung langit sana semula berwarna biru cerah, sekonyong-konyong awan mendung
berkumpul menyusul halilintar berkilatan disertai gurun gemuruh. Cepat amat perubahan cuaca.
Waktu gumpalan awan hitam berkumpul semakin banyak, bumi raya ini pun tambah kelam
sehingga kelihatannya hari hampir malam, padahal waktu itu baru menjelang lohor.
Mendadak bunyi geledek menggelegar memecah angkasa, ketika suara gemuruh itu masih
terus memanjang dan menjauh, titik air hujan pun mulai berjatuhan di atas tanah yang kering itu.
Guntur menggelegar lebih keras lagi, air hujan pun seperti dituang dari langit, suara gemuruh
laksana membedalnya berlaksa kuda itu sungguh seram dan menakutkan.
Ketika sinar kilat berkelebat lagi menerangi hutan itu, tertampaklah di dalam hutan sedang
terjadi kejar mengejar tiga sosok bayangan orang.
Seorang yang dikejar itu tangan kiri menghunus pedang dengan darah mengalir dari pundak
dan sudah membasahi celananya, setengah badannya sudah berwujud manusia berdarah, tapi dia
masih terus berlari kesetanan tanpa menghiraukan lukanya yang parah itu.
Dua orang yang mengejar memegang pedang aneh terbuat dari tulang, perawakan mereka
sama tinggi dan sama kurusnya, bentuk mereka lebih mirip dua sosok jerangkong hidup yang
sangat menakutkan.
Terdengar jerangkong hidup yang sebelah kiri sedang berteriak, "Orang she Yu, jika hari ini
kau dapat lolos, biarlah "Jin-mo" Kwa Kin-long boleh dianggap piaraanmu..."
Menyusul jerangkong hidup sebelah kanan juga berseru, "Ayolah, lebih baik ikut saja menemui
Pocu (kepala kampung), bila lari lagi, kalau sampai tertangkap oleh Te-mo" Na In-wan, nanti boleh
kau rasakan betapa enaknya 18 macam siksaan akhirat "
Biarpun kedua orang itu terus membentak dan menakut-nakuti dengan macam-macam
ancaman, namun bagi orang yang dikejar itu hanya ada suatu pikiran, yaitu: lari dan lari terus!
Kini dia tidak dapat lagi membedakan jurusan, ia pun tidak tahu dirinya berada di mana
sekarang, yang memenuhi benaknya hanyalah hasratnya mencari selamat.
Ia tahu bila sampai tertangkap, maka baginya tidak ada lain kecuali mati. Maka meskipun
sekarang tenaganya sudah habis, namun kedua kakinya masih terus berlari tanpa berhenti, dia
seolah-olah sudah lupa bahwa ketahanan fisiknya terbatas, bahkan melupakan lukanya yang
parah, seumpama di depan ada lautan atau jurang, tanpa pikir pun akan diterjuninya,
Setelah sinar kilat lenyap, suasana di dalam hutan kembali gelap gulita, memandang jari
sendiri saja tidak kelihatan Kedua pengejar itu hanya berdasarkan ketajaman indera pendengaran
mereka saja untuk mengudak sasarannya, dengan demikian tentu saja gerak-gerik mereka sangat
terpengaruh. Coba kalau tiada perubahan cuaca yang mendadak dan luar biasa ini, tentu
buronannya sudah sejak tadi tertangkap oleh mereka.
Ketika sampai di luar hutan, mendadak mereka kehilangan suara lari buronannya, cepat kedua
orang itu berhenti dan berusaha menyidik jejaknya.
Hujan masih turun dengan lebatnya, yang mereka dengar hanya suara air hujan yang mirip di
tuang dari atas itu dan tidak terdengar suara langkah orang sedikitpun.
"Jin-mo" atau si iblis manusia, Kwa Kin-long berkata dengan agak gelisah, "Jiko, jangan sampai
bocah itu benar-benar kabur!"
Dengan penuh keyakinan "Te-mo" atau iblis bumi, Na In-wan berkata, "Dia sudah terluka oleh
pedangku, bisa lari sampai di sini saja sudah luar biasa, dia pasti sembunyi di balik pohon sana,
sebentar bila sinar kilat berkelebat lagi tentu dia takkan dapat kabur lagi."
Curah hujan tidak berkurang sedikit pun, baju mereka sudah basah kuyup sejak tadi, tapi
lagak mereka serupa dua ekor kucing besar yang sedang merunduk seekor tikus kecil, sang waktu
lalu sedetik demi sedetik, namun sinar kilat sejauh itu belum berkelebat lagi.
Jin-mo Kwa Kin-long menjadi kurang sabar, pedang aneh yang dipegangnya tampak bergerak
tiada hentinya, diam-diam ia membatin, "Jika bocah itu tidak sembunyi di sekitar sini, kan terlalu
bodoh kalau terus menunggu saja di sini."
Tampaknya Te-mo Na In-wan lebih sabar, tapi di dalam hati sebenarnya juga gelisah, ia pun
berpikir, "Jika benar bocah itu sampai kabur, lalu cara bagaimana harus bertanggung-jawab
kepada Pocu nanti?"
Sekonyong-konyong sinar kilat gemilap lagi sehingga udara terang bagaikan siang, Mendadak
Jin mo Kwa Kin-long berteriak, "ltu dia, di sana! Rebah di sana!"
Kiranya orang yang dikejar mereka tadi rebah terlentang kira-kira dua-tiga tombak di sebelah
sana, mungkin pingsan sehingga tubuhnya tidak bergerak sama sekali, bahkan napasnya
sedemikian lemah sehingga tak terdengar oleh mereka.
Te-mo Na In-wan bergelak tertawa, serunya. "Aha, sekarang ingin kutahu apakah kau masih
sanggup lari" Biar kupotong dulu kedua kakimu yang suka lari ini!"
Dan begitu memburu maju, kontan pedangnya menabas.
Tapi pada saat itu juga, berbareng dengan lenyapnya sinar kilat mendadak terdengar jeritan
ngeri. Dari suaranya Jin-mo tahu gelagat tidak enak cepat ia berseru, "He, Jiko, kenapakah kau"!"
Dalam pada itu keadaan kembali gelap gulita jari sendiri saja tidak kelihatan Selagi Jin-mo
merasa heran, tiba-tiba bagian iga terasa "nyes" dingin, darah segar lantas mengucur keluar.
Keruan ia terkejut, sama sekali ia tidak tahu akan serangan ini, apabila serangan ini diarahkan
ke ulu hatinya, mustahil kalau dia tidak tamat riwayatnya.
Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terdengar seorang membentak dengan suara dingin, "Tidak lekas enyah!?"
Maka terdengar pula suara Te-mo Na In-wan yang gemetar, "Samte, marilah kita pergi, hari ini
kita mengakui terjungkal habis-habisan."
Hujan mulai reda, sesudah lenyap suara orang berlari pergi, sampai sekian lama keadaan
menjadi sunyi. Tiba-tiba sinar api menyala, seorang Kongcu (putra keluarga terhormat) berbaju panjang
warna merah tampak memegang geretan api yang menyala dan berdiri di situ dengan dingin,
bajunya yang berwarna merah itu memancarkan cahaya aneka warna yang aneh ketika tersorot
oleh api geretan, Bahan bajunya itu bukan sutera dan bukan satin, tapi sekali pandang saja orang
akan segera tahu bahan baju itu bernilai sangat tinggi, lihat saja, biarpun tersiram hujan lebat,
tapi tubuhnya tidak basah sedikit pun.
Dengan obor geretannya itu dia menyinari orang yang terbujur di tanah itu. Ketika
diketahuinya seluruh tubuh orang berlumuran darah, besar kemungkinan sudah mati, tanpa terasa
ia berkerut kening dan membatin, "Untuk apa menolong orang yang sudah mati?"
Segera ia membalik tubuh dan hendak tinggal pergi, tapi mendadak dilihatnya orang yang
terlentang itu bergerak sedikit, begitu pelahan sehingga hampir saja tidak diketahui, Cepat Kongcu
itu berjongkok dan memeriksa denyut nadi orang, ternyata denyut nadinya sangat lemah, bahkan
tidak teratur jelas orang ini keracunan hebat, meski masih bernapas, namun pasti tidak jauh lagi
dari ajalnya. Kongcu itu menggeleng, pelahan ia berbangkit tapi air mukanya mendadak berubah hebat,
jelas dia kejut dan heran luar biasa, cepat dia berjongkok kembali dan menerangi wajah orang
yang terbaring itu serta diamat-amati dengan teliti. Makin dipandang makin dirasakan oleh si
Kongcu bahwa wajah orang yang menggeletak tak bergerak itu sangat mirip dengan dirinya,
hanya orang lebih kurus sedikit, tapi perawakannya, tinggi pendek dan kurus-gemuknya juga
serupa, kecuali dandanannya yang lain, orang ini benar-benar duplikat dirinya, hampir seluruhnya
sama. Semula Kongcu ini terkejut dan heran, menyusul lantas terlintas sesuatu pikiran dalam
benaknya, dari rasa kejut dan heran, diam-diam ia bergirang pula, Pikirnya" "Jika orang ini disuruh
menyaru sebagai diriku, pasti tiada seorang pun yang tahu."
Setelah mantap pikirannya, ia tidak pelit lagi, segera dikeluarkan sebuah kotak kecil, kotak itu
terbagi dua sisi, yang sebelah berisi pil warna merah, sisi lain berisi pil warna putih. Dia
mengeluarkan sebiji pil putih dan dilolohkan ke dalam mulut orang itu.
Tidak lama, kelopak mata orang kelihatan berkedut, lalu membuka mata dengan pelahan,
Mendadak ia berbangkit, waktu berpaling, dilihatnya tidak jauh di sebelahnya berdiri sesosok
bayangan orang yang tak jelas siapa, tapi dapat dipastikan bukanlah musuh, maka cepat ia
memberi hormat dan menyapa, "Cayhe Yu Wi, berkat pertolongan Anda sehingga jiwaku dapat
diselamatkan Kalau tidak keberatan, mohon tanya siapakah nama Anda yang mulia?"
Kongcu baju merah itu mendengus, ucapnya dengan angkuh, "lkut padaku!"
Pemuda yang bernama Yu Wi itu menurut dan ikut di belakang Kongcu baju merah serta
meninggalkan hutan sunyi ini.
Hujan sudah berhenti sama sekali, awan pun buyar, sang surya mulai memancarkan sinarnya
yang gemilang, perubahan cuaca ini sungguh sangat aneh cepat datangnya, perginya juga cepat
Luka di pundak Yu Wi sangat parah, setelah berjalan sekian lama, darah mengucur keluar lagi
dari lukanya, Tapi Kongcu baju merah itu pura-pura tidak tahu, bahkan dia mempercepat
langkahnya dan akhirnya malah berlari.
Dengan mengertak gigi dan menahan rasa sakit Yu Wi terus mengintil dari belakang.
Watak anak muda ini ternyata cukup keras kepala, kata-kata yang memohon belas kasihan
tidak nanti diucapkannya, Maka setelah berlari sekian lama, darah yang mengucur dari pundaknya
hampir melumuri seluruh bajunya.
Setelah tiba di suatu gardu di tepi jalan barulah Kongcu baju merah itu berhenti berlari, Dia
berdiri di dalam gardu untuk menunggu Yu Wi yang ketinggalan balasan tombak jauhnya dan
terpaksa harus menyusulnya dengan pontang-panting.
Sekuatnya Yu Wi menyusul sampai di depan undak-undakan gardu itu, dengan menggehmenggeh
ia bertanya, "Adakah lnkong (tuan penolong) hendak memberi perintah apa-apa?"
Baru habis ucapannya, kontan dia jatuh pingsan pula.
Dengan tak acuh Kongcu baju merah itu mengangkatnya ke atas bangku batu di dalam gardu
sekaligus ia tutuk tujuh Hiat-to penting di tubuh orang. Lalu Yu Wi siuman kembali.
Tanpa menunggu orang buka suara, segera Kongu baju merah itu menyodorkan satu biji pil
merah tan memerintahkan. "Lekas diminum!"
Tanpa pikir Yu Wi menerima pil itu terus ditelan. Begitu pil itu masuk perut, seketika ia merasa
perut panas seperti dibakar, cepat ia berduduk dan mengerahkan tenaga dalam untuk
menyalurkan hawa panas dalam perut ke seluruh bagian tubuhnya.
Beberapa lama kemudian, sekujur badannya mulai menguap, air keringat pun merembes
keluar melalui dahinya, Selang tak lama pula, ia merasa sekujur badan telah penuh tenaga dan
tiada ubahnya seperti keadaan sebelum terluka.
Sungguh tidak kepalang rasa terima kasihnya, ia membuka mata dan segera memberi hormat,
katanya. "Anda sungguh pencipta hidup baru bagi Yu Wi, bukan saja memunahkan racun jahat
pedang tulang yang mengenai pundakku, bahkan tenagaku juga sudah pulih, sungguh budi
pertolongan ini takkan kulupakan untuk selama hidup."
"O, kedua orang yang mengejar dirimu itu apakah Hek-po-siang-mo (dua iblis dari benteng
hitam)?" tanya si Kongcu baju merah secara tak acuh.
Dengan hormat Yu Wi menjawab, "Betul, mereka ialah Te-mo Na In-wau dan Jin-mo Kwa Kinlong."
"Kau pun tidak perlu terlalu berterima kasih padaku," kata si Kongcu baju merah. "Bahwa
kutolong kau dengan dua biji obat mujarab, sudah tentu bukannya tidak ada maksud tujuan
tertentu, Aku ada satu syarat, apabila syarat ini sudah kau-laksanakan, maka soal utang budi
segala tidak perlu kau pikirkan lagi."
"lnkong akan memberi perintah apa, silahkan saja memberi petunjuk," kata Yu Wi dengan
penuh hormat. "Aku menghendaki kau menyamar sebagai diriku dan menjadi duplikatku," jawab si Kongcu
baju merah. Yu Wi melengak, baru sekarang ia coba mengamati sang penolong.
Kongcu baju merah ini ternyata serupa benar dengan dirinya, seketika Yu Wi melongo
terheran-heran. ia pun tidak tahu sebab apakah orang minta dirinya menyaru jadi duplikatnya.
"Takkan kusuruh kau berbuat apa-apa yang sulit," kata Kongcu baju merah, "Cukup kau pergi
ke rumahku dan tinggal di sana untuk setahun atau setengah tahun."
Yu Wi menghela napas lega, sesungguhnya semula ia memang kuatir kalau-kalau orang akan
menyuruhnya berbuat sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani, tak tersangka yang
dikehendaki adalah urusan semudah ini. Meski heran, tapi ia pun tidak enak untuk bertanya.
Kongcu baju merah itu tahu Yu Wi takkan membantah, maka dari bajunya dikeluarkannya
sejilid buku kecil dan disodorkan kepada Yu Wi, katanya, "Di dalam buku ini tercatat segala
sesuatu mengenai keluargaku, boleh kau baca dan menghapalkannya, tentu takkan terjadi sesuatu
kesalahan, Sekarang boleh kau mengamati dan menirukan setiap gerak-gerikku."
Yu Wi memang pemuda yang cerdas dan pintar, tidak sampai satu jam ia sudah mahir
menirukan setiap gerak-gerik si Kongcu baju merah dengan baik dan benar, Hanya suaranya saja
tidak sama sehingga sukar ditirunya.
Suara si Kongcu baju merah tajam melengking, tapi hal ini bukan soal, sebab suara Yu Wi
agak serak, seorang yang habis sakit biasanya suaranya akan berubah sedikit, kalau pura-pura
habis sakit tentu tidak akan ketahuan cirinya itu.
Selesai mengatur segala sesuatu, kemudian Kongcu baju merah itu berkata dengan pongahnya
"Kulihat Kungfumu terlalu rendah."
Muka Yu Wi menjadi merah, Jawabnya, "Kepandaian Inkong tiada bandingannya, justeru
Cayhe kuatir penyamaranku akan diketahui orang karena kelemahanku ini."
Dengan tak acuh Kongcu itu berkata, "Akan kuajarkan tiga jurus padamu, setelah apal ketiga
jurus ini, tentu anggota keluargaku takkan mencurigai kepalsuanmu."
Selagi Yu Wi hendak mengucapkan terima kasih, mendadak Kongcu itu memutar tubuh dan
berseru melengking, "Jurus pertama "Keng-to-pok an" (dengan murka menggebrak meja)!"
Terlihat kedua tangannya menghantam sekaligus, angin pukulan menderu, daya pukul airnya
sangat kuat bagaikan ombak mendampar karang.
Habis jurus pertama, menyusul Kongcu itu berseru pula, "Jurus kedua To-thian-ki-long"
(ombak raksasa menggulung ke langit) !"
Jurus kedua ini lebih dahsyat daripada jurus pertama, bayangan telapak tangannya bertebaran
mengurung dari segenap penjuru.
Diam-diam Yu Wi terkejut, pikirnya, "llmu pukulan begini sungguh jarang terlihat di dunia ini."
Mendadak Kongcu itu berseru, "Awas! jurus ketiga "Kay-long-pay-khong" (ombak mendarnpat
memecah angkasa)!"
Angin pukulannya yang dahsyat terus mendampar ke atas, gerak perubahan pukulannya
sangat aneh. Setelah memberi contoh tiga jurus itu, Kongcu baju merah itu berhenti tanpa memperlihatkan
keletihan sedikit pun. Sambil mendongak, dengan sikap sombong ia berkata, "Tidak perlu urusan
tenaga, asalkan gerak tiga jurus ini dapat kau latih dengan baik, maka beres semuanya."
Melihat kesombongan orang, jelas dirinya sangat diremehkan, namun Yu Wi tidak
menghiraukannya, betapapun orang adalah tuan penolongnya.
Maka dengan cermat ia mendengarkan uraian sang Kongcu mengenai ketiga jurus pukulan
dahsyat tadi, Selain uraian, Kongcu itu pun memberi contoh lagi gerak tangannya, sampai sekian
lamanya barulah selesai dia menjelaskan ketiga jurus itu.
"Bila tidak keberatan, mohon Inkong sudi memainkannya sekali lagi," pinta Yu Wi dengan
rendah hati. Terpaksa Kongcu baju merah itu memenuhi permintaan Yu Wi dan mengulangi ketiga jurus
tadi, Diam-diam ia membatin: "Asalkan kau mahir itu jurus saja sudah bolehlah."
Tak terduga, setelah Kongcu itu berhenti, segera Yu Wi memberi hormat dan berkata,
"Sekarang mohon Inkong suka memberi petunjuk lebih jauh!"
Sekali berputar, berturut-turut ketiga jurus "Keng-to-pok-an", "To-thian-ki-long" dan "Kay longpay
kong" terus dimainkan sekaligus dengan lancar, sedikit pun tidak ada tanda kaku dan bingung.
Keruan si Kongcu baju merah terkejut, melihat betapa cepat Yu Wi menguasai ketiga jurus
yang baru diajarkannya itu, dapat dipastikan dalam waktu singkat tentu takkan selisih jauh
daripadanya. "Mohon petunjuk Inkong bilamana ada yang kurang benar!" pinta Yu Wi dengan rendah hati.
"Baik sekali, tidak ada yang salah," jawab Kongcu baju merah sambil menengadah melihat
cuaca, Lalu berkata pula, "Aku masih ada urusan penting yang perlu diselesaikan sekarang kita
bertukar pakaian masing-masing."
Setelah Yu Wi memakai baju merah si Kongcu, ditambah lagi berbagai hiasan ini itu, seketika
ia pun berubah menjadi seorang Kongcu yang anggun dan terhormat.
Usia Yu Wi baru 17, mestinya lebih muda tiga tahun daripada si Kongcu baju merah, tapi
lantaran sejak kecil sudah kenyang gemblengan kehidupan, maka tampaknya menjadi sebaya
dengan Kongcu baju merah yang biasa hidup manja dan senang.
Selesai tukar pakaian, sebelum pergi, Kongcu itu memberi pesan lagi, "Hendaklah hati-hati bila
bertindak sesuatu, dalam keadaan genting dan perlu tentu aku akan muncul."
Sesudah Kongcu itu pergi barulah Yu Wi ingat belum lagi mengetahui siapa nama orang, Ia
coba mengeluarkan buku kecil pemberian si Kongcu tadi dan dibacanya dengan teliti.
Catatan di dalam buku kecil itu ternyata sangat jelas, Lebih dulu diperkenalkan dirinya sendiri.
Kiranya Kongcu baju merah itu adalah putera sulung keluarga Kan, namanya Ciau-bu. Keluarga
bangsawan utama di kota Kim-leng, yaitu kota Nan-king sekarang.
Selesai membaca, tanpa terasa Yu Wi menghela napas, Apa yang dialaminya sekali ini sungguh
seperti mimpi belaka, kehidupan selanjutnya jelas akan berubah sama sekali daripada waktu
sebelum ini. Cuma entah akan untung atau akan buntung.
Tapi baginya sekarang, bila dia dapat bernaung di keluarga utama di kota Kim-leng, jelas hal
ini akan sangat menguntungkannya, Kalau tidak, mata-mata Hek-po tersebar di seluruh dunia,
setiap saat jiwanya terancam.
Begitulah malam itu dia mendapatkan sebuah hotel yang berdekatan, esok paginya dia merasa
tenaga pulih dan penuh bersemangat Diam-diam ia rnengapalkan sekali lagi semua petunjuk yang
tercatat di dalam buku kecil itu. Setelah yakin takkan lupa, sehabis sarapan, berangkatlah dia ke
tempat yang telah ditentukan, yaitu di luar pintu gerbang Tek-seng-bun, kota Kimleng,
Menjelang lohor, benar juga dari dalam kota tampak muncul sebuah kereta kuda yang mewah.
Dia berdiri di bawah pohon, tanpa terasa hati rada tegang, Dilihatnya kereta itu sudah semakin
dekat, pengemudi kereta itu sudah kelihatan dengan jelas.
Menurut catatan di dalam buku kecil itu, diketahuinya pengemudi ini bernama Ciang Cin-beng
berjuluk "Hiat-jiu-hek-sat", si tangan berdarah maut namanya pernah mengguncangkan dunia
Kangouw pada belasan tahun yang lalu, wataknya culas dan banyak curiga, Menurut keterangan
Kan Ciau-bu bila orang ini dapat dikelabui, maka penyamarannya tidak perlu dikuatirkan lagi, pasti
takkan dikenali orang lain.
Kereta kuda itu berhenti di depan Yu Wi, pengemudi yang bernama Ciang Cin-beng itu
berperawakan kurus kecil dan hitam, sinar matanya buram, terdengar dia menvapa, "Kong-cu
sudah pulang"!"
Yu Wi berlagak angkuh dan mendengus dengan dingin.
Lalu Hiat-jiu-hek-sat Ciang Cin-beng turun dari tempat kusir dan membukakan pintu kereta,
dengan senyuman yang dibuat-buat ia bertanya pula, "Baik-baikkah kesehatan Kongcu akhir-akhir
ini?" Diam-diam Yu Wi terkesiap, ia menjadi ragu apakah orang menaruh curiga terhadap badannya
yang kurus"
Ia tidak berani sembarangan menjawab, ia sengaja berucap dengan lagak seperti enggan
banyak bicara, "Banyak omong apa" Lekas jalankan kereta!"
Ciang Cin-beng mengiakan dengan hormat dan tidak curiga sedikit pun.
Sudah belasan tahun dia melayani Kan Ciau-bu, ia kenal watak sang Kongcu yang congkak dan
kasar, maka sikap ketus. sang majikan tidak dipikirkannya, Apabila cara Yu Wi menjawab dengan
ramah tamah, hal ini malah akan menimbulkan curiganya.
Setelah berduduk di dalam kereta, kereta lantas dilarikan secepat terbang,
Yu Wi melihat pajangan di dalam kereta sangat mewah, diam-diam ia membatin, "Melulu dari
kereta ini saja sudah cukup diketahui betapa kaya-rayanya keluarga Kan."
Teringat olehnya keterangan Kan Ciau-bu bahwa setiap hari menjelang lohor pasti ada sebuah
kereta kuda yang siap menyambut pulangnya, padahal Kan Ciau-bu sudah setengah tahun tidak
pulang. tentunya setiap hari juga kereta ini menunggu di luar pintu gerbang kota, setelah
menunggu setengah tahun dan baru sekarang sang Kongcu pulang.
Membayangkan hal ini, tanpa terasa Yu Wi menggeleng kepala, ia merasa cara menyuruh
orang menunggu tanpa batas waktu tertentu ini terasa agak keterlaluan.
Sekian lamanya kereta itu dilarikan, ketika kereta mulai dilambatkan, Ciang Cin-beng lantas
bertanya, "Kongcu ingin masuk melalui pintu mana?"
"Pintu samping," jawab Yu Wi sekenanya.
Tidak lama kemudian, kereta itu berhenti dan Ciang Cin-beng membukakan pintu.
Setelah turun dari kereta itu, Yu Wi coba memandang sekelilingnya, di depan sana adalah
pagar tembok yang tinggi dan membentang berpuluh tombak jauhnya ke sana, kelihatan juga
bangunan gedung yang megah di balik pagar tembok.
Sekitar pagar tembok yang panjang itu, setiap berjarak dua tembok tumbuh sebatang pohon
Liu raksasa. Yu Wi sengaja berhenti di antara dua pohon Liu dan tidak berani sembarangan
bertindak, sebab yang terlihat hanya pagar tembok yang tinggi tanpa tertampak pintu yang
dimaksud. ia pikir daripada berjalan secara ngawur dan mungkin akan menimbulkan curiga Ciang
Cin-beng, akan lebih baik tunggu dan melihat dulu.
Untunglah, sejenak kemudian, selesai Ciang Cin-beng memparkir keretanya dengan baik, cepat
ia menyusul tiba, lalu meraba sesuatu di tengah batang pohon Liu yang berada di sebelahnya.
Selagi Yu Wi merasa heran, terdengar suara mencicit pelahan, tiba-tiba di kaki pagar tembok
depan terbuka sebuah pintu yang cukup dilalui doa orang berbareng.
Dengan hormat Hiat-jiu-hek-sat Ciang Cin beng bcrkata, "Silahkan Kongcu?"
Diam-diam Yu Wi bersyukur dirinya tidak sembarangan bergerak, kalau tidak rahasia
penyamarannya pasti akan menimbulkan curiga orang sebelum masuk di tempat tujuan, susahnya
di dalam buku kecil itu tidak ada keterangan apa-apa, hanya dikatakan pintu masuk terdiri dari
pintu gerbang dan pintu samping. Sama sekali tak tersangka bahwa pintu samping justeru
sedemikian dirahasiakan.
Dengan lagak seperti berada di rumah sendiri, segera Yu Wi masuk ke sana.
Dua genduk atau pelayan muda tampak menyongsongnya, belum dekat mereka sudah
memberi hormat dan menyapa, "Toakongcu sudah pulang!"
Dalam pada itu Ciang Cin-beng sudah mengundurkan diri. Tanpa didampingi orang itu, Yu Wi
merasa lebih mantap. Tanpa terasa ia tersenyum dan menjawab, "Ya, aku baru pulang!"
Kedua genduk itu jadi melengak, diam-diam mereka bertanya di dalam hati: "Tumben Toakongcu
tersenyum."
Melihat kedua genduk, cilik itu kebingungan dengan tertawa Yu Wi berkata pula, "Kalian boleh
mengiringi aku ke kamar tulisku,"
Dari keterangan yang dibacanya didalam buku kecil itu ia tahu sekadarnya tempat-tempat di
gedung yang luas ini, tapi ia pun kuatir kalau ke sasar, maka ingin menggunakan dulu kedua
genduk itu sebagai penunjuk jalan.
Tak tersangka kedua genduk itu sama berteriak kaget "He, bagaimana Kongcu ini?"
Yu Wi tidak tahu bahwa kaum hamba di keluarga besar bangsawan begini semuanya
mempunyai tugasnya sendiri-sendiri, Yang bertugas jaga pintu ya jaga pintu, yang melayani sang
Kongcu masih ada babu lainnya, tugas masing-masing tidak boleh dikacaukan sedikit pun.
sekarang YuWi menyuruh mereka mengantarnya ke kamar, tentu saja mereka terkesiap.
Karcna tidak tahu di mana letak kesalahannya, Yu Wi menjadi bingung sendiri untunglah pada
saat itu juga terdengar suara seruan merdu di sebelah sana, "He, Kongcu sudah pulang!"
Maka muncul empat pelayan dengan langkah gemulai. Dandanan ke empat pelayan ini sama
sekali berbeda daripada kedua genduk penjaga pintu tadi, Sesudah dekat, ke empat pelayan ini
berkata kepada kedua rekannya, "Sekarang tiada urusanmu lagi!"
Kedua genduk pertama tadi mengiakan terus mengundurkan diri.
Salah seorang yang baru datang ini bertubuh montok, dengan sikap yang agak genit dia
berkata kepada Yu Wi dengan tertawa, "Apakah Kongcu hendak mengunjungi Cubo (majikan
perempuan lawan Cukong, majikan laki-laki) dulu?"
Yu Wi menggeleng, jawabnya, "Ke kamar dulu!"
Segera ke empat pelayan itu mendahului jalan di depan, sepanjang jalan tertampak
tetumbuhan terawat dengan baik, semua bangunan sangat megah, nyata benar kehidupan
bangsawan yang mewah:
Diam-diam Yu Wi mengingat setiap tempat yang dilaluinya dan dicocokkan dengan apa yang di
bacanya di dalam buku itu. Setiba di kamarnya, maka gambaran seluruh istana itupun dapat
dipahaminya. Kamar tulis itu pun terpajang sangat indah, ribuan kitab tersimpan di situ, sebuah tempat tidur
Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gading dengan kelambu sutera, bantal dan guling bersulam dan selimut merah kelihatan sangat
serasi. Di sekeliling dinding berhias lukisan indah, pedang dan alat musik sebangsa seruling dan
sebagainya penuh bergantungan setiap benda itu semuanya antik dan bernilai tinggi.
Cepat ke empat pelayan tadi meladeni majikan mudanya, ada yang mengambil air, ada yang
mencucikan muka, ada yang menyisirkan rambutnya serta menggantikan pakaiannya.
Keruan Yu Wi menjadi bingung dan risi karena selama hidup tidak pernah diladeni anak
perempuan secara begini, Tapi ia pun tidak dapat menolak, sebab kuatir rahasia penyamarannya
terbongkar. Sesudah segala sesuatu beres, terdengarlah seorang datang memberitahu, "Cubo ingin
bertemu dengan Toakongcu."
Sudah setengah tahun tidak pulang, dengan sendirinya harus menemui sang ibu.
Yu Wi menjadi kebat-kebit, ia kuatir pada waktu berhadapan dengan ibu Kan Ciau-bu, bisa jadi
kepalsuannya akan tersingkap.
Tapi pertemuan ini jelas tak dapat dihindari, terpaksa ia harus menghadapinya dengan hati tak
tenang. Keluar dari kamarnya ada dua serambi kanan kiri, yang kiri langsung menuju ke ruangan
pendopo, serambi kanan menuju ke tempat tinggal anggota keluarga, Rumah induk tempat tinggal
itu di bangun membelakangi bukit, Kan-lohujin (nyonya besar Kan) tinggal di tingkat paling atas.
Ke empat pelayan tetap berjalan di depan sebagai petunjuk jalan, serambi itu menanjak ke
atas dengan berkelak-kelok, setiap belasan tombak jauhnya tentu berdiri sebuah bangunan, Ketika
sampai pada bangunan kedua, serambi panjang itu terputus oleh sebuah gapura yang sangat
besar, gapura itu terbuat dari balok batu marmer dan di atas gapura melintang tertulis empat
huruf "Thian-ti-lay-hu" atau istana dalam Thian-ti.
Setelah menaiki undak-undakan batu gapura, di kedua sisi terdapat pula bangunan, sementara
itu sudah magrib, cuaca sudah remang, suasana terasa sangat sunyi. Tiba-tiba terdengar sayupsayup
suara seruling yang merdu memilukan dari bangunan sebelah kanan.
Sejak kecil Yu Wi hidup sengsara, perasaannya mudah terharu oleh suara yang memilukan.
Didengarnya suara seruling itu makin lama makin hampa dan makin merawan hati. Tanpa terasa
ia berhentikan langkahnya dan mendengarkan dengan cermat Sampai akhirnya saking terharunya
ia menghela napas panjang.
Melihat itu, salah seorang pelayan yang bernama Jun-khim mendekati Yu Wi dan bertanya,
"Apakah Kongcu ingin menemui Lau-siocia (puteri atau nona Lau)?"
Yu Wi lagi kesima mendengar suara seruling itu, ia terkejut oleh teguran Jun-khim, tanpa
terasa ia menegas, "Lau-siocia?"
Pelayan lain yang bernama He-si ikut menimbrung, "Sejak kepergian Kongcu, selama setengah
tahun ini senantiasa Lau-siocia meniup seruling pada saat demikian, sebaiknya Kongcu
menemuinya lebih dulu!"
Baru sekarang Yu Wi ingat catatan dalam buku itu bahwa Kan Ciau-bu mempunyai seorang
bakal isteri yang juga tinggal di Thian-ti-hu" (istana Thian-ti), namanya Lau Yok-ci.
Mengingat Lau Yok-ci adalah bakal isteri Kan Ciau-bu, tentunya hubungan mereka paling
rapat, bila dirinya bertemu dengan dia, sedikit salah langkah saja mungkin akan ketahuan
kepalsuan sendiri. Maka cepat ia menjawab, "O, tidak, tidak usah!"
Tanpa berjanji ke empat pelayan itu menghela napas berbareng, mereka pun tidak
membujuknya lagi, tapi terus melanjutkan perjalanan ke depan.
Yu Wi tidak tahu sebab apa para pelayan itu menghela napas, apakah karena mereka sangat
berharap agar dirinya mau menemui Lau-siocia" Sebab apa begitu?"
Ia lantas ikut menuju ke depan, tapi dalam benaknya tetap diliputi oleh suara seruling yang
mengharukan itu:
Belasan tombak jauhnya kembali terdapat sebuah gapura yang lebih kecil, di atas gapura
tertulis "Ban-siu-ki" (kediaman panjang umur).
Yu Wi pikir mungkin di sinilah tempat tinggal Kan-lohujin.
Setelah menaiki undak-undakan batu gapura tadi, terlihatlah sebuah gedung yang sangat
megah, dibangun dengan batu putih seluruhnya dengan ukiran model istana.
Setiba di depan istana ini, ke empat pelayan itu lantas berhenti.
Selagi Yu Wi hendak bertanya mengapa mereka tidak meneruskan perjalanan, tiba-tiba dari
sana muncul enam pelayan yang berdandan tidak sama, masing-masing membawa sebuah
tenglong (lampu berkerudung) berwarna hijau pupus.
"Kongcu, hamba akan menunggu saja di sini!" demikian ucap si Jun-khim.
"Tunggu apa" ikut saja naik ke atas!" kata Yu Wi.
"Kongcu?"" seru He-si dengan melenggong.
Jun-khim menjadi sangsi, katanya, "Masa Kong-cu tidak tahu Lohujin tidak pernah mengijinkan
para hamba naik ke Ban-siu-ki?"
"Mengapa tidak boleh naik ke atas?" hampir saja Yu Wi bertanya, Tapi tiba-tiba teringat bila
mana pertanyaan demikian diajukan, tentu kepalsuan dirinya sebagai Kongcu keluarga Kan ini
akan ketahuan, Maka cepat ia ganti ucapan, "Ah, aku memang sudah pikun, Sudahlah, kalian pun
tidak perlu menunggu di sini, sebentar aku dapat pulang sendiri ke kamar, kalian boleh pergi
saja." Dalam pada itu ke enam pelayan tadi sudah dekat, mereka memberi hormat dan berkata,
"Cubo sedang menantikan kedatangan Toakongcu."
Yu Wi mengangguk, ia ikut di belakang mereka dan naik ke atas Ban-siu-ki.
Sesudah pergi jauh, salah seorang pelayan yang berusia paling kecil bernama Tongwa berkata,
"Aneh, baru setengah tahun, Kongcu seperti sudah berubah sama sekali?"
Pelayah yang bertubuh montok dan genit tadi bernama Pi-su, ia pun bergumam heran, "Tidak,
dia seperti bukan Toa-kongcu kita!"
"Apa katamu?" omel He-si, "Kongcu cuma berubah sedikit perangainya, mana boleh
sembarangan kau terka!".
Jun-khim menunduk dan berpikir, katanya kemudian, "Perangai seorang kan tidak mungkin
berubah secepat itu" Watak Kongcu sebelum ini sama sekali tidak seramah sekarang?"
"Kukira watak Kongcu juga tidak banyak berubah," ujar He-si, "bukankah dia menolak untuk
bertemu dengan Lau-siocia?"
"Ai, Kongcu kita sesungguhnya terlalu Boceng (tak berperasaan)," ujar Tong-wa dengan
gegetun. "Sudahlah, jangan banyak omong lagi, marilah kita pulang ke sana," ajak Jun-khim.
Dalam pada itu Yu Wi sudah berada di dalam istana Ban-siu-ki.
Bangunan Ban-siu-ki, sungguh luar biasa, di pandang dari luar masih belum seberapa, kalau
sudah berada di dalam, ternyata bangunan ini tanpa tiang penyangga satu pun, dari sini baru
diketahui betapa hebatnya.
Setelah melintasi ruangan dalam, di depan adalah tangga yang terbuat dari ubin batu, Di
kedua sisi tangga adalah kamar tidur kaum hamba, dan di atas loteng adalah tempat tinggal Kanlohujin.
"Turun temurun keluarga Kan ada tiga angkatan menjabat Perdana Menteri, dengan sendirinya
pengaruh dan kekayaannya tidak kalah daripada keluarga raja," demikian Yu Wi membatin.
Baru saja dia menaiki dua pertiga tangga batu itu, sekonyong-konyong suara merdu seorang
berseru memanggilnya, "Toako! Toako!"
Begitu merdu suara itu hingga mirip burung kenari berkicau, belum tampak orangnya sudah
terendus bau harumnya.
Dalam hati ia bertanya, "Siapakah gerangannya?"
Maka di ujung tangga atas muncul seraut wajah bulat telur, alisnya, matanya, hidungnya dan
mulutnya, semuanya serasi benar Bila diamat-amati lebih jauh, rasanya mirip-mirip Kan Ciau-bu
dan dengan sendirinya juga mirip Yu Wi.
Dengan cepat Yu Wi lantas ingat, "Ah, dia ini tentu adik perempuan Kan Cian-bu yang
bernama Kan Hoay-soan!"
Sedapatnya ia menahan debar jantungnya dan menjawab dengan tertawa, "Moay-moay!"
Wajah Kan Hoay soan sungguh cantik tiada taranya, perawakannya terlebih indah, setiap ruas
tulangnya sedemikian berimbang, rambutnya yang panjang terkepang menjadi sebuah kuncir
panjang, pakaiannya sederhana, baju dan celana ketat dari satin putih, Dandanannya ini sama
sekali tidak berbau puteri keluarga bangsawan, tapi lebih mirip nona dusun yang lincah.
Yu Wi sudah sampai di atas loteng, di lingkungan yang mewah dan megah begini dapat
melihat seorang nona demikian, seketika timbul rasa akrabnya, rasa tak tenteramnya banyak
berkurang. pikirnya, "Alangkah senangnya bilamana aku benar-benar mempunyai adik perempuan
begini!" Melihat sang Toako yang biasanya sangat baik padanya itu, Kan Hoay-soan rada terkejut,
serunya, ?"He, ken... kenapa Toako banyak lebih kurus" Juga suaramu juga rada berubah?"
Yu Wi benar-benar telah anggap si nona sebagai adik perempuannya, maka sikapnya menjadi
kelihatan sangat wajar, ia menjawab, "O, apakah betul" Selama setengah tahun ini Toako jatuh
sakit berat sehingga suara pun berubah agak serak."
"He, sakit apa?" tanya Koan Hoay-soan dengan kuatir.
Yu Wi tersenyum, jawabnya, "Ah, tidak apa2, cuma masuk angin barangkali Apakah ibu
baik2?" Kan Hoay-soan mengangguk, katanya, ?"Ibu sehat-sehat saja." - Dalam hati ia menjadi sangsi:
"Setelah jatuh sakit, mengapa Toako berubah sebanyak ini" Dahulu dia tidak pernah tertawa
begini" Apalagi bertanya mengenai keadaan ibu?"
Sampai Yu Wi, masuk ke kamar Kan-lohujin belum juga Hoay-san ingat bilakah pernah melihat
senyuman yang menghiasi wajah sang Toako, Sudah tentu ia tidak tahu bahwa Yu Wi adalah
Toakonya yang gadungan, Toako samaran, dengan sendirinya wataknya sama sekali tidak sama
dengan Toakonya yang asli.
Di dalam kamar Kan-lohujin lantainya penuh dilapisi permadani kulit harimau, seluruh kamar
penuh hiasan benda-benda antik, di tengah kamar tertaruh sebuah Anglo antik yang sedang
mengepulkan asap cendana wangi yang baunya menyebarkan dan menambah khidmatnya
suasana. Di dalam kamar terdapat pula sebuah kursi besar, seorang nyonya bermuka lonjong dan
berusia 50 an dengan dandanan yang anggun berduduk di situ, Di sebelahnya berdiri seorang
pemuda berkopiah, wajahnya juga lonjong, serupa dengan si nyonya, raut wajahnya rada mirip
Kan Hoay-soan, sama sekali tidak memper Kan Ciau-bu.
Yu Wi tidak tahu siapakah anak muda ini, tapi ia pikir nyonya di hadapannya ini pasti Kan-Iohujin
adanya, maka cepat ia memberi sembah dan berucap, "Anak menyampaikan sembah hormat
kepada ibu!"
Kan-lohujin sama sekali tidak melihat sesuatu kelainan pada diri Yu Wi, dengan dingin ia
berkata, "Bangunlah!"
Dengan hormat Yu Wi merangkak bangun.
Pemuda yang berdiri di samping lantas menyapa dengan tergegap-gegap, "Baik, . . baikkah
Toa.. . . .Toako. . . ."
Baru sekarang Yu Wi dapat memastikan pemuda ini ialah adik Kan Ciau-bu yang bernama Kan
Ciau-ge, dengan tertawa ia lantas menjawab. "Baik, adik tentunya juga baik."
"Ba. . . .baik. . . . baik. . . ." jawab Kan Ciati ge, tampaknya dia rada takut kepada sang Toako.
Mendadak Kan-lohujin marah, omelnya, "Kalau bicara mengapa selalu gelagapan begitu?"
Kan Ciau-ge menunduk ucapnya, "lbu... ak. . . .aku.. . ."
"Sudahlah, kau keluar saja, ibu akan bicara dengan Toakomu," kata Kan-lohujin sambil
memberi tanda. Seperti orang hukuman yang mendapat pengampunan, cepat Kan Ciau-ge berlari keluar,
Ketika lalu di samping Yu Wi, sama sekali ia tidak berani memandangnya.
Yu Wi tidak habis mengerti mengapa anak muda ini sedemikian takut kepada Toakonya.
Tetap dengan suara dingin Kan-lohujin bertanya pula kepada Yu Wi. "Apa saja yang kau
lakukan selama setengah tahun ini di luar sana?""
Sesuai ajaran Kan Ciau-bu, Yu Wi menjawab dengan hormat, "Selama setengah tahun anak
terluntang-lantung di dunia Kangouw, akhirnya jatuh sakit sehingga tidak mengerjakan sesuatu."
"Kalau sakit mengapa tidak pulang saja dan dirawat di rumah?" kata Kan-lohujin,
Pembawaan Yu Wi memang berbakti kepada orang tua, ia pandang Kan-lohujin seperti ibunya
sendiri, dengan hormat ia lantas menjawab, "Sakit anak cukup berat sehingga tidak dapat pulang."
"Sejak ayahmu wafat," demikian Kan-lohujin berkata, "hilang pula kekuasaan dan pengaruh
keluarga Kan, maka orang Kangouw umumnya lantas mengira keluarga Kan akan terus lemah dan
runtuh, lalu benda mestika keluarga Kan pun mulai diincar."
Yu Wi sudah tahu keluarga Kan sampai dengan ayah Kan Ciau-bu, berturut-turut tiga turunan
telah menjabat Perdana Menteri. Tapi ia tidak tahu di Thian-ti-hu ini terdapat benda mestika apa
yang menjadi incaran orang Kangouw, maka ia lantas bertanya, "Siapakah kiranya berani berbuat
demikian?"
"Setengah bulan yang lalu, Cong-piauthau (kepala perusahaan pengawalan) Piaukiok utama di
Kimleng mengantar sepucuk surat ke sini, katanya kiriman dari Soa-say, coba kau baca sendiri,"
kata Kan-lohujin dengan dingin.
Dengan hormat Yu Wi menerima surat yang disodorkan nyonya tua itu lalu dibukanya dan di
bacanya. "Kepada Kan-lohujin di Thian-ti-hu, pada masa hidupnya Kan-kong (tuan Kan) telah
menguras milik rakyat di seluruh negeri, perkampungan kami sendiri pernah menjadi korban
perbuatannya Kini Kan-lo sudah wafat, untuk kepentingan kami sendiri, sebulan lagi kami akan
berkunjung kemari untuk meminta kembali hak milik kami, semoga jangan ditolak agar tidak
timbul tindakan kekerasan Dari Hek-po di Soa-say."
Ketika membaca alamat si pengirim surat itu suara Yu Wi rada gemetar dan wajah pucat, akan
tetapi Kan-lohujin tidak memperhatikan perubahan air muka anak muda itu, ia bertanya, "Coba,
cara bagaimana akan kau atasi urusan ini?"
Cepat Yu Wi menenangkan diri, jawabnya, "Thian-ti-hu tidak boleh menerima penghinaan
demikian harus kita cegah tindakan kekerasan mereka."
"Sudah tentu akan kita cegah," jengek Kan lohujin, "urusan ini tidak boleh dilaporkan kepada
pihak yang berwajib, harus mengandalkan tenaga sendiri, Anggota keluarga Kan hanya Kungfumu
yang paling tinggi, kebetulan kau sudah pulang, maka segala urusan hendaklah kau selesaikan
sebagaimana mestinya."
"Baik, ibu," jawab Yu Wi dengan hormat.
"Tiada urusan lain lagi, boleh kau keluar sana!" ucap Kan-lohujin sambil memberi tanda.
Yu Wi memberi hormat dan mengundurkan diri keluar kamar, Diam-diam ia mengeluh:
"Dengan kepandaianku mana mampu mengatasi serbuan pihak Hek-po nanti?"
Waktu menuruni tangga, kelihatan Kan Ciau-ge sedang menuju ke sini dengan kepala
tertunduk. Waktu menengadah dan melihat Yu Wi, anak muda itu menjadi ketakutan seperti tikus
ketemu kucing, buru-buru ia membelok ke dalam kamar kaum hamba.
Diam-diam Yu Wi menggeleng kepala, pikirnya, "Bila di rumah, tentu Kan Ciau-bu suka
menindas adiknya ini, makanya dia sangat takut padanya"
Di sebelah kiri Ban-siu-ki adalah sebuah hutan buatan, pepohonan teratur dan dirawat dengan
baik di atas tanah pegunungan berwarna kekuning-kuningan.
Keluar dari Ban-siu ki, terlihatlah oleh Yu Wi tanah hutan itu. Teringat olehnya peringatan Kan
Ciau-bu bahwa selain jalan yang biasa dilalui tidak boleh lagi sembarangan berkeluyuran, lebihlebih
tempat di sekitar Ban-siu-ki jangan coba-coba mendekatinya, kalau tidak menurut, pasti akan
mengalami malapetaka.
Ia tidak mengerti di sekitar sini ada malapetaka apa yang akan menimpanya" Namun biasanya
ia sangat hati-hati dan tidak suka menyerempet bahaya, maka ia hanya memandang saja sejenak
keadaan sekitar Ban-siu-ki itu, lalu melangkah pulang ke arah datangnya tadi.
Tapi baru beberapa langkah, di sisi kanan Ban-siu-ki tiba-tiba seorang memanggilnya, "Toako!"
Sebelah kanan Ban-siu-ki itu adalah sebuah bukit tandus, dari lereng bukit sedang melangkah
turun satu orang, ternyata Kan Hoay-soan adanya.
"Ada apa, Moaymoay?" tanya Yu Wi dengan tertawa.
Dengan suatu lompatan cepat, Kan Hoay-soan melayang ke depan Yu Wi, ucapnya dengan
suara manja, "Toako, marilah besok kita pergi berburu singa"!"
Yu Wi tahu setiap anggota keluarga Kan sama mahir ilmu silat, tapi tidak menyangka seorang
nona muda belia seperti Kan Hoay-soan ini sekali lompat dapat mencapai beberapa tombak
jauhnya, Rasanya Ginkang dirinya yang kakak palsu ini pun tak dapat menandingi si nona.
Rupanya karena melenggong oleh Ginkang Kan Hoay-soan yang hebat, seketika Yu Wi tidak
jelas apa yang dikatakan nona itu, maka ia bertanya. "Kau omong apa tadi?"
"Marilah kita berburu singa!" Kan Hoay-soan mengulangi ucapannya dengan mengomel manja.
"Apa" Berburu singa?" Yu Wi menegas dengan terkejut.
Dengan suara sangsi Kan Hoay-soan berkata. "Bukankah Toako biasanya paling suka bermain
memburu singa?"
"Oo!" cepat Yu Wi mengiakan. Tapi di dalam hati dia mengeluh "Melawan seekor singa saja
belum tentu bisa menang, mana kuberani menangkapnya segala, singa bukan kucing, masa boleh
dibuat main-main?"
Dalam pada itu Kan Hoay-soan lantas berseru dengan girang, "Baiklah, besok pagi kita pergi
ke gunung di belakang sana, sudah lama nian tidak bermain dengan kawanan singa."
Mendengar ucapan si nona seakan-akan main berburu singa seperti anak kecil dengan barang
mainannva, diam-diam Yu Wi terperanjat Namun perasaannya itu tidak diperlihatkannya, cepat ia
berkata dengan tertawa, "Sudah malam begini, lekas kau masuk!"
Dengan manja Kan Hoay-soan mengulangi lagi perrnintaannya, "Esok harus berburu singa ya?"
"Wah, tidak bisa!" jawab Yu Wi dengan gugup.
Tapi Kan Hoay-soan tetap ngotot, katanya, "Harus pergi, besok pagi-pagi akan kupersiapkan
segala sesuatu yang perlu dan akan kuseret Toako pergi,"
Habis berucap ia terus lari kembali ke Ban siu-ki, tampaknya dia yakin benar sang Toako besok
pasti akan mengiringi bermain memburu singa.
Tanpa terasa Yu Wi menghela napas, ia pikir mau-tak-mau besok harus pergi, kalau berkeras
tidak mau tentu penyamarannya ini akan ketahuan jika demikian halnya, kan malu terhadap tuan
penolong yang telah menyelamatkan jiwanya itu, Biarlah pergi saja besok, untung-untungan,
barangkali dapat menangkap seekor singa.
Setelah mantap pikirannya, ia menuju kembali ke kamarnya, Ketika lewat gapura besar itu,
didengarnya pula suara seruling yang merawan hati itu, Pikirnya: "Mengapa dia masih juga meniup
seruling?"
Sementara itu hari sudah gelap, suara seruling menjadi tambah mengharukan. Yu Wi berdiri
mendengarkan sekian lamanya, tanpa terasa ia terhanyut oleh suara seruling itu, ia terus
melangkah ke arah suara seruling dan berjalan beberapa tombak jauhnya, mendadak suara
seruling berhenti.
Seketika Yu Wi tersadar dari lamunannya, pikirnva, "Jika ku pergi ke sana, kontan akan
kuhadapi dua persoalan yang akan menguji diriku, Daripada cari penyakit, lebih baik cepat
meninggalkan tempat ini saja."
Maka ia lantas mempercepat langkahnya dan kembali ke kamar sendiri.
oOo OWO oOo Esoknya pagi-pagi Kan Hoay-soan sudah mendatangi kamar Yu Wi, nona ini memakai baju
berburu yang ringkas, menuntun dua ekor kuda putih, begitu sampai di depan kamar segera ia
berteriak, "Toako! Toako! Ayo, berangkat".
Cepat Yu Wi cuci muka dan berdandan seperlunya.
Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar suara si nona, Jun-khim lantas bertanya, "Apakah Kongcu hendak bermain ke bukit
belakang?"
Terpaksa Yu Wi mengiakan dengan samar-samar Buru-buru Pi-su mengeluarkan seperangkat
pakaian berburu yang terbuat dari kulit, He-si juga mengeluarkan sebuah sabuk yang lebar dari
almari, pada sabuk itu terselip sebilah belati dan sebuah cambuk.
Dengan tertawa Tong-wa berkata, "Siocia kita benar-benar gemar berburu singa, Kongcu baru
saja pulang dan dia sudah mengajaknya bermain ke sana . . . ."
"Tanpa dikawani Kongcu, mana Siocia berani pergi sendirian," ujar He-si. "Sejak Kongcu keluar
selama setengah tahun, satu kali saja Siocia tidak pernah main-main ke bukit belakang, Hendaklah
Kongcu berhati-hati sedikit, bukan mustahil selama setengah tahun ini kawanan singa di belakang
bukit sudah tambah buas."
Yu Wi sendiri lagi gelisah, mana dia ada minat mengurusi ocehan kawanan batur itu. Dengan
ogah-ogahan dia berganti pakaian berburu itu, Jun-khim terus mengikatkan sabuk lebar itu di
pinggangnya, Yu Wi memandang belati dan cambuk ini katanya di dalam hati, "Hanya dengan dua benda ini
apakah cukup untuk menangkap singa?"
Karena menunggu cukup lama, Kan Hoay-soan tidak sabar lagi, ia berteriak di luar, "Lekas
Toako! Lekas..."
Terpaksa Yu Wi melangkah keluar kamar.
Dengan tertawa Kan Hoay-soan lantas berkata pula, "Lekas kita berangkat jika tertunda, bukan
mustahil ibu akan memanggil diriku dan gagal kepergian kita!"
Melihat betapa riangnya si nona, Yu Wi sendiri jadi lesu malah, Diam-diam ia cuma mengeluh,
pikirnya, "Bisa" jadi nanti tidak berhasil menangkap singa, tapi berbalik akan dicaplok singa
malah." Kedua orang lantas naik kuda putih, Kan Hoay-soan menunjuk bukit tandus sana dan berkata,
"Kita menuju ke sana dengan melintasi bukit itu, akan lebih dekat."
Yu Wi hanya mengangguk saja tanpa bicara, mereka terus melarikan kuda ke arah bukit.
Pada saat itu juga, mendadak dari atas Ban siu-ki berlari turun seorang genduk yang biasa
bertugas di kamar Lohujin, genduk itu berteriak-teriak:
"Siocia! Siocia!"
Hoay-soan menghela napas. ucapnya, "Ai, Toako, tampaknya kita gagal pergi!"
Diam-diam Yu Wi bergirang, kebetulan pikirnya.
Hanya beberapa lompatan saja genduk itu sudah melayang ke depan kuda Kan Hoay-soan.
Yu Wi terkejut tampaknya kaum batur di Thian-ti-hu juga memiliki Ginkang yang tinggi dan
tidak di bawah dirinya.
Dalam pada itu Kan Hoay-soan jadi bersungut-sungut, tanyanya, "Ada urusan apa?"
Genduk tadi menjawab, "Cubo mendengar Siocia akan pergi berburu singa, beliau bilang Siocia
harus menyelesaikan dulu pelajaran hari ini, kalau tidak dilarang pergi!"
Hoay-soan menoleh ke arah Yu Wi, katanya "Entah mengapa, akhir-akhir ini ibu selalu
memaksa aku dan Ji-ko berlatih Kungfu segiatnya, Baiklah, selesai belajar segera kususul kemari,
hendaknya kau tunggu aku di sana."
Yu Wi tahu sebab apa Kan-lohujin menghendaki mereka giat berlatih Kungfu, tentunya supaya
kelak dapat ikut melawan serbuan pihak Kek-po. Selagi ia hendak membatalkan kepergiannya,
tahu-tahu Kan Hoay-soan sudah melompat turun dari kudanya dan menuju ke Ban-siu-ki dengan
langkah cepat. Tinggal Yu Wi sendirian di situ, ia merasa iseng, ia pikir apa salahnya bila kupergi ke belakang
gunung sana untuk melihat keadaan, bilamana Kan Hoay-soan mendesak lagi mengajak berburu
singa, kalau sudah jelas medannya kan tidak perlu lagi kelabakan.
Begitulah dia lantas melarikan kudanya ke atas bukit yang tandus itu, ia pikir bukit yang
tandus tanpa sesuatu tumbuhan itu tentu tak berbahaya, asalkan hati-hati, biarpun ada perangkap
juga takkan terjebak.
Setelah melintasi lereng bukit, yang dilihatnya sekarang bukan lagi bangunan megah
melainkan tanah datar yang sangat luas. Segera ia melarikan kudanya secepat terbang.
Selewatnya tanah datar itu, jalanan mulai landai lagi. Kini Thian-ti-hu sudah tidak kelihatan
lagi, dia sudah berada di belakang gunung, Selesai melintasi landaian lereng, tertampaklah sebuah
lembah gunung dengan batu padas yang berserakan.
Yu Wi pikir mungkin di sinilah kawanan singa itu berkeliaran.
Ia melompat turun dari kudanya dan manjat ke atas batu karang terus menyusun lembah
gunung itu dengan was-was.
Tak tahunya, lembah gunung itu hanya batu aneh melulu, seekor singa pun tidak kelihatan.
Dia mengira belum mencapai sarang singa, rasa waspadanya menjadi rada berkurang, ia
memutar balik ke arah datangnya tadi.
Ketika lalu di samping sepotong batu yang tinggi, sekonyong-konyong terasakan angin
kencang menyambar tiba, ia berkeluh, "Celaka!" - sekuat nya ia meloncat ke depan,
Waktu ia berpaling, terlihat seekor singa jantan yang gagah perkasa menubruk tempat kosong
dan sedang mengeluarkan suara raungan ke arahnya dengan posisi akan menubruk lagi.
Cepat Yu Wi mencabut belati dan cambuknya. Tapi belum pernah dia menggunakan cambuk,
apalagi cambuk yang khusus untuk menjinakkan singa ini juga jarang dipakai orang biasa, Belati
itu pun hanya dapat dipakai dalam keadaan kepepet dan tidak besar gunanya.
Karena gugupnya, Yu Wi ayun cambuknya dan menyabat serabutan dua-tiga kali, Mungkin
singa itu dahulu pernah merasakan sabetan cambuk, maka sifat buasnya rada berkurang, binatang
itu menunduk dan mengaum pelahan, tampaknya jauh lebih jinak daripada tadi.
Yu Wi bergirang, disangkanya kawanan singa ini sudah terlatih oleh orang Thian-ti-hu dan
sudah hilang sifat buasnya, Tak teringat olehnya bilamana singa ini pernah terlatih, tentu tadi
takkan menyerangnya secara mendadak, Untung dia dapat mengelak dengan cepat, kalau tidak
pasti dia sudah menjadi isi perut singa itu.
Lantaran pikiran itu, nyalinya menjadi tabah, ia malah mendekati singa itu. Dilihatnya singa
jantan itu menyurut mundur dengan takut-takut, Maka ia bertambah berani, ia membentak
pelahan, "Ayo, sini!"
Lagaknya seperti penjinak singa di sirkus saja, ia lupa bahwa dirinya pada hakikatnya tidak
menguasai teknik menjinakkan singa, semula singa itu menyurut mundur karena gentar kepada
cambuknya, tapi karena terdesak terus, akhirnya singa itu menjadi beringas, dengan suara
raungan keras. singa itu mendadak menubruk maju lagi.
Yu Wi tidak kenal sifat singa, tentu saja ia tidak menduga binatang buas itu akan mengganti
secara mendadak, keruan ia menjadi kelabakan, cepat ia menyabat dengan cambuknya, Karena ia
tidak mahir menggunakan cambuk, sabetannya itu tidak tepat sasarannya, apalagi singa itu sudah
tidak takut lagi padanya, cakarnya mencengkeram cambuk Yu Wi terus dibetotnya hingga terlepas.
Anak muda itu tambah gugup dan tegang karena kehilangan cambuk, melihat lawan tidak
memegang cambuk lagi, singa itu terus menerjang maju.
Betapapun Yu Wi sudah belajar Lwekang asli selama beberapa tahun, gerakannya cukup cepat
dan matanya tajam, segera ia angkat belatinya dan menikam. Tikamannya ini lumayan dan dapat
melukai bahu kiri singa itu serta menghindarkan cakarannya.
Walaupun terlepas dari bahaya, tidak urung keringat dingin membasahi tubuh anak muda itu,
Singa itu tambah buas dan meraung-raung, dengan semangat Yu Wi memperhatikan setiap gerakgerik
binatang itu untuk berjaga-jaga kalau diserang lagi.
Pada saat itu juga, tiba-tiba di belakangnya juga bergema suara raungan singa, Keruan tidak
kepalang kaget Yu Wi, cepat ia berpaling Wah. Celaka! Entah sejak kapan tiga ekor singa jantan
yang lebih besar sudah bertengger di atas batu karang.
Singa yang terluka tadi tidak menyia-nyiakan kesempatan pada waktu Yu Wi berpaling, sambil
mengaum keras ia terus menubruk.
Biarpun gugup, pikiran Yu Wi cukup jernih, cepat ia menunduk dan menerobos ke samping
sehingga singa itu menubruk tempat kosong.
Karena mendapat ajakan teman, ketiga singa baru memang juga sudah siap tempur, maka
begitu Yu Wi bergerak, serentak ketiga ekor singa itu pun menerjang maju dari arah yang
berlainan. Dalam keadaan gugup, Yu Wi jadi bingung menggunakan tangan dan kaki untuk melawan.
Tampaknya dia pasti akan menjadi mangsa kawanan singa itu, tanpa terasa ia berseru: "Mati
aku!" Apa yang terjadi saat itu lebih cepat daripada untuk diceritakan, baru saja Yu Wi berkeluh
begitu, tahu-tahu sesosok bayangan hitam melayang turun dari atas batu karang, hanya dengan
beberapa kali hantam dan tendang saja, ke empat ekor singa itu sudah dihajar hingga pontangpanting
dan meraung kesakitan, lalu ngacir dengan mencawat ekor.
Selama hidup Yu Wi hanya mendengar orang bilang singa sangat buas, tapi belum pernah
melihat sendiri binatang buas itu, makanya dia menjadi kelabakan dan hampir saja jiwa melayang,
Namun pikirannya masih tetap terang, dilihatnya bayangan hitam yang menyelamatkan
jiwanya itu adalah seorang perempuan berpakaian hitam ringkas dengan ikat kepala warna hitam
pula. Setelah menghalau kawanan singa tadi, perempuan baju hitam itu lantas berdiri memandangi
Yu Wi dengan termangu-mangu tanpa berucap sepatah kata pun.
Mata alis perempuan ini sangat indah, hidung mancung, kulit badannya putih bersih, agak
kurus, meski tidak secantik Kan Hoay-soan, tapi lebih pendiam dan lebih menarik.
Tak tersangka oleh Yu Wi bahwa seorang anak perempuan semuda ini ternyata menguasai
ilmu silat sehebat ini, hanya beberapa kali hantaman dan tendangan saja telah dapat menghalau
beberapa ekor singa. Kalau saja hantaman dan tendangannya tidak lihay, mana mungkin kawanan
singa yang buas itu mau ngacir begitu saja"
Karena berterima kasih atas pertolongan si nona, dengan serius Yu Wi berucap, "Terima kasih
banyak-banyak atas pertolongan nona, budi kebaikan ini takkan kulupakan."
Air muka perempuan baju hitam agak berubah, ia bertanya, "Siapa kau?"
Yu Wi ragu sejenak, mestinya dia hendak mengatakan nama aslinya, tapi lantas teringat pesan
tuan penolongnya, terpaksa ia berdusta dengan perasaan tidak enak, "Cayhe Kan Ciau-bu dari
Thian ti-hu."
Perempuan baju hitam menggeleng, katanya, "Kau bukan Toakongcu keluarga Kan!"
Kuatir kepalsuannya dibongkar orang, cepat Yu Wi berkata, "Kenapa bukan?"
Dengan tenang perempuan baju hitam itu berkata pu!a, "Toakongcu keluarga Kan termashur
sebagai ahli penakluk singa, jika kau adalah dia, mana bisa terjadi kesulitan seperti tadi?"
Yu Wi bermaksud menceritakan segalanya, tapi sukar untuk menjelaskan ia hanya berucap
dengan menghela napas: "Aku memang betul Toakongcu keluarga Kan!"
Perangai perempuan berbaju hitam itu pendiam dan ramah, ia tidak lagi bilang Yu Wi bukan
Kan-toakongcu, tapi lantas memberi nasihat, "Kawanan singa di sini sangat buas, kau sendiri tidak
menguasai tehnik menjinakkan singa, lain kali jangan datang lagi ke sini."
Bahwa orang yang sama sekali belum dikenal ternyata mau memperhatikannya, tentu saja Yu
Wi sangat terharu, segera ia mengucapkan banyak terima kasih.
Habis berkata, lalu perempuan baju hitam itu melangkah pergi.
Yu Wi memburu maju, tanyanya dengan terangsang, "Tolong tanya siapa nama nona yang
lerhormat?"
Nona baju hitam itu berhenti, jawabnya dengan menunduk, "Namaku tidak dapat kukatakan
padamu." Cepat Yu Wi menambahkan "Cayhe bukanlah orang yang tidak senonoh, bahwa nona telah
menyelamatkan jiwaku, Cayhe ingin tahu nama nona agar budi kebaikanmu dapat selalu kuingat
di dalam hati."
Nona baju hitam menggeleng, ucapnya pelahan:
"Tapi tetap tak dapat kukatakan namaku, cukup asalkan kau ingat si gadis penjinak singa,
begitu saja."
Habis berkata ia melangkah pergi pula.
Mendadak Yu Wi berteriak, "Nona, bolehkah kutemui lagi engkau?"
Namun nona itu tidak menjawab, Yu Wi menyaksikan bayangannya menghilang di balik batu
karang sana dengan termangu-mangu, dalam hatinya terukir suatu bayangan cantik yang sukar
terlupakan. Selang sekian lamanya barulah ia jemput cambuknya, tangkai cambuk itu sudah dicakar pecah
oleh singa, kalau saja kurang cepat berkelitnya tadi, bila tubuhnya yang tercakar, mustahil kalau
tidak terkoyak-koyak.
Membayangkan kejadian berbahaya tadi, tanpa terasa Yu Wi jadi teringat lagi kepada si nona
baju hitam yang telah menyelamatkan jiwanya, ia merasa meski nona ini memiliki Kungfu sangat
tinggi, namun perangainya halus, sungguh jarang ada nona baik hati begini di dunia ini.
Selagi melamun, tiba-tiba ia terkejut oleh suara teriakan nyaring, Kan Hoay-soan berlari tiba
dengan ringan dan cepat, dari jauh ia sudah bertanya dengan tertawa, "Sudah tertangkap belum
singanya?"
Yu Wi menggeleng dengan perasaan hampa, sesudah dekat, dapatlah Kan Hoay-soan melihat
tangkai cambuk Yu Wi yang pecah itu, tanyanya dengan terkejut, "He, Toako sudah pergoki
singa?" "Ya, sudah!" jawab Yu Wi.
?"Lantas bagaimana, tertangkap tidak?" tanya Hoay-soan dengan heran.
Agaknya dia yakin bila sang Toako memergoki singa, dengan kepandaiannya yang hebat
binatang buas itu pasti akan tertangkap dengan mudah. Tapi sekarang ternyata tiada binatang apa
pun yang tertangkap, inilah yang membuatnya heran.
Dengan lesu Yu Wi menjawab, "Aku habis sakit, badanku masih lemah sehingga tidak ada
hasrat buat menangkap singa, Marilah kita pulang saja!" "
Tanpa menunggu persetujuan si nona, segera ia mendahului berangkat.
Tentu saja Hoay-soan kurang senang, tapi sang Toako bilang habis sakit dan badan masih
lemah, terpaksa ia pun tidak berani memaksanya.
Sepanjang jalan pulang ke Thian-ti-hu, Yu Wi tampak murung tanpa bersuara seperti
menanggung macam-macam perasaan.
Meski Kan Hoay-soan paling cocok dengan sang Toako, tapi ia pun rada takut padanya,
melihat Toakonya murung, ia pun tidak berani mengajaknya bicara, Dalam hati ia tidak habis
mengerti mengapa sifat sang Toako mendadak berubah seperti dahulu lagi, kaku dan dingin,
Padahal kan lebih baik jika banyak bicara dan suka tertawa"
Yu Wi berjalan kembali ke kamarnya sendiri dan istirahat sejenak, kemudian dia mengambil
sekenanya satu jilid buku, dilihatnya pada sampul buku itu tertulis: "Cong-lam-kun-kiam-lok" atau
kitab ajaran ilmu pukulan dan pedang Cong-lam-pay.
Ia coba membalik-balik buku itu, yang tercatat di dalam buku itu memang betul ilmu silat
Cong-lam-pay yang hebat. Bilamana buku ini jatuh di tangan orang Kangouw, maka akan
dianggap mestika yang sukar dinilai harganya, Tapi sekarang kitab pusaka ini hanya di simpan
secara biasa saja di kamar ini. Melihat tempat penyimpanannya jelas cuma dianggap buku yang
umum saja, Apakah semua buku yang berada di kamar ini sama nilainya dengan kitab ini?"
Segera ia lolos lagi sejilid buku lain dari rak sana, judul buku adalah "Tiang-pek-kun-kiam-lok",
ilmu pukulan dan pedang Tiang-pek-pay.
Berturut-turut ia melolos tiga jilid lagi dari rak buku dan masing-masing adalah ilmu silat Butong-
pay, ilmu pukulan keluarga Hoan dari Siam-say serta ilmu pukulan gaya Soa-tang.
Nilai kitab-kitab ini pun tidak kalah daripada ilmu pukulan Cong-lam-pay. Maka dapatlah Yu Wi
memastikan bahwa di antara sekian ratus kitab yang tersimpan di kamar ini, semuanya adalah
benda berharga, sungguh ia tidak mengerti mengapa macam-macam intisari ilmu silat dari
berbagai golongan dan aliran itu bisa tersimpan di sini"
Dasar watak Yu Wi memang gemar belajar ilmu siiat, sejak kecil ia pun sudah terpupuk daya
tangkapnya dalam hal membaca. Setelah menemukan gudang pusaka ilmu silat ini, segera ia
membuang jauh-jauh segala urusan dan mulai membaca dengan cermat.
Sampai malam sudah tiba, seluruhnya ia sudah membaca 17 buku, babu yang melayani dia
sudah disuruhnya pergi tidur, hanya tertinggal dia sendiri yang berada di kamar.
Sementara itu sudah jauh malam, suasana sunyi senyap, sekenanya ia coba melolos buku
yang ke 18, dilihatnya judulnya adalah "Tam-keh-wau yang-tui", ilmu tendangan berantai keluarga
Tam. Ia terus membaca kitab itu, baru setengah buku, dilihatnya di halaman tengah terselip secarik
kertas yang sudah terlalu lama sehingga warna putih kertas itu telah bersemu kuning, Waktu ia
membentang kertas itu, kiranya sebuah peta.
Peta ini tidak menarik perhatiannya, tapi dia tertarik oleh beberapa huruf yang tertulis di
belakang peta, beberapa huruf itu berbunyi "Ingin mendapatkan ilmu sakti, hendaklah pergi. .
pergi... pergi . . . . "
Beberapa huruf itu jelas ditulis secara iseng, gaya tulisannya serupa dengan catatan pada buku
kecil itu, terang tulisan tangan Kan Ciau-bu.
Untuk apa dia menulis huruf-huruf ini?" demikian Yu Wi bertanya-tanya di dalam hati.
Melihat nada tulisan itu, kata "pergi" itu tertulis belasan huruf banyaknya, seolah-olah hal ini
meragukan pikiran Kan Ciau-bu, setelah dipikir lagi dan ditimbang, demi mendapatkan ilmu sakti
"Akhirnya diputuskannya harus "pergi".
Lantas "pergi" ke mana"
Yu Wi coba memeriksa peta itu dengan cermat, sampai sekian lamanya, akhirnya dia tahu apa
artinya, Yang terlukis pada peta itu kiranya tempat di sekitar Ban-siu-ki.
Hampir sebagian besar yang terlukis pada peta itu adalah daerah hutan buatan yang terletak
di sisi kiri Ban-siu-ki itu, yaitu tempat yang khusus diperingatkan oleh Kan Ciau-bu agar tidak boleh
sembarangan didekati, kalau tidak pasti akan tertimpa malapetaka.
Di atas peta terdapat banyak garis merah dan disana sini diberi keterangan huruf kecil. Yu Wi
menelusuri garis merah itu, maka tahulah dia Ciau-bu khusus memperingatkan dirinya mengenai
malapetaka yang mungkin akan menimpanya itu.
Kiranya pada tanah bukit berwarna kekuning-kuningan itu terdapat macam-macam perangkap
yang berbahaya.
Selesai mengikuti garis-garis merah itu, tempatnya ternyata sudah melampaui hutan buatan
itu. Diam-diam Yu wi berpikir, "Kiranya tempat yang hendak dituju Kan Ciau-bu itu terletak di balik
hutan buatan ini."
Ia lantas teringat kepada kesukaran yang dihadapinya nanti, yaitu batas waktu yang
ditentukan pihak Hek-po. Betapa lihay jago yang dikirim Hek-po cukup diketahuinya, kalau melulu
berdasarkan kepandaian sendiri jelas tidak mungkn sanggup menahan serbuan pihak Hek-po. Lalu
apakah harus membiarkan mereka menyerbu ke sini begitu saja.
Mengingat Kan Ciau-bu tidak berada di sini. sedangkan dirinya telah menyamar sebagai Kan
toakongcu itu, maka kewajiban melindungi Thian ti-hu adalah menjadi tugasnya. Untuk
menyebutkan Thian-ti-hu, jalan satu-satunya adalah berusaha dalam waktu yang singkat
menguasai Kungfu yang cukup kuat untuk menghadapi serbuan pihak Hek-po nanti.
Meski di dalam kamar ini penuh kitab pelajaran silat, tapi semuanya sukar untuk dipahami
dalam waktu singkat sekalipun berhasil mempelajarinya dan akan menambah kepandaiannya
sendiri tapi kalau dibandingkan jago Hek-po jelas masih belum sembabat, jangankan hendak
menggempur mundur penyerbu dari Hek-po, asalkan dapat bertahan dengan sama kuat saja
sudah luar biasa.
Setelah dipikir dan direnungkan lagi lalu di pandangnya pula tulisan di belakang peta, akhirnya
ia mengambil keputusan, jalan keluar yang paling baik adalah "pergi" ke sana dengan
Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyerempet bahaya.
Ia pikir mungkin di sana akan ditemukan semacam ilmu silat yang dapat dikuasainya secara
sistem kilat. Dengan demikian penyerbu dari Hek po akan dapat digempur mundur dan sekadarnya
membalas budi pertolongan Kan Ciau-bu.
Begitulah ia duduk termenung sendirian, lama-lama jadi mengantuk. Maklum, siang harinya
banyak mengalami ketegangan, di tengah malam dingin sekarang badan menjadi terasa penat.
Selagi ia bebenah hendak tidur, mendadak pintu kamar di buka orang, Pi-su, pelayan yang
montok itu tampak masuk dengan membawa nampan.
"Sudah jauh malam begini, kenapa belum tidur?" tanya Yu Wi.
Pi-su tertawa genit, ucapnya dengan suara yang dibuat-buat, "Melihat Kongcu belum tidur,
hamba juga tidak dapat pulas. Maka hamba sengaja membuatkan semangkuk wedang kacang
untuk Kongcu."
Karena suara orang yang tidak enak didengar itu, diam-diam Yu Wi merasa kurang senang,
dengan dingin ia menjawab, "Kan sudah kukatakan aku tidak perlu diladeni kalian lagi?"
Pi-su menaruh sampannya di atas meja, ia pandang Yu Wi dengan senyuman merangsang,
ucapnya dengan suara memikat, "Tengah malam kubuatkan wedang kacang ini, harap Kongcu
sudi memakannya."
Yu Wi tidak sampai hati untuk menolak lagi, ia pikir orang bermaksud baik, biarlah kumakan,
lalu kusuruh dia lekas pergi.
Maka ia lantas menyendok wedang kacang itu dan dimakan dengan pelahan.
Setelah habis semangkuk wedang kacang itu, waktu ia berpaling dan hendak menyuruh Pi-su
membawa pergi mangkuk kosong itu, sekonyong-konyong dilihatnya babu montok itu telah
menanggalkan bajunya sehingga tersisa baju dalamnya yang tipis.
Seketika Yu Wi melenggong oleh pemandangan yang menggiurkan itu, Dilihatnya Pi-su telah
mengurai rambutnya yang panjang hingga semampir di pundak, lalu berucap dengan genit,
"Kongcu sudah lama sekali hamba tidak melayanimu sambil bicara dan tertawa mengikik, seperti
ular air saja ia terus memberosot ke pangkuan Yu Wi.
Tersentuh oleh tubuh yang kenyal itu, seketika Yu Wi seperti dipagut ular, ia membentak
tertahan "Enyah!"
Ia kuatir didengar orang, maka tidak berani membentak dengan suara keras.
Siapa tahu Pi-su tidak menghiraukan bentakannya, bahkan terus pentang tangan dan
merangkulnya. Keruan Yu Wi seperti ketemu makhluk berbisa, kagetnya tidak kepalang, Maklumlah,
betapapun ia masih bertubuh jejaka, masih suci bersih. Cepat ia melompat mundur dan melolos
pedang yang tergantung di dinding, dengan ujung pedang mengancam di dada Pi-su, ia
mendamperat dengan suara perlahan, "Jika tidak lekas enyah, segera kubinasakan kau!"
Napsu berahi Pi-su seketika buyar oleh gemilapnya sinar pedang, ia menyurut mundur sambil
menatap sang Kongcu lekat-lekat, katanya, "Kong . . . . Kongcu, ke . .. kenapakah kau?"
Yu Wi menjawab dengan memandang ke arah lain, "Manusia harus tahu malu, lekas pergi dari
sini dan sadarilah kekeliruanmu, selanjutnya aku pun akan melupakan kejadian malam ini!"
Dia mengira mungkin Pi-su mendadak terangsang nafsu berahinya, maka melakukan tindakan
yang tidak tahu malu ini, dengan welas-asih ia menyuruhnya jangan tersesat, iapun takkan
mengusut perbuatannya ini,
Tak terduga, sama sekali Pi-su tidak menerima maksud baiknya itu, sebaliknya ia malah
tertawa. Melihat pelayan itu sama sekali tidak kenal malu, Yu Wi menjadi marah, tapi ia tetap tidak
berani memandangnya, hanya berkata padanya.
"Lekas pergi kau, lekas, jangan kau bikin marah padaku!"
Namun Pi-su tertawa lebih keras, ucapnya, "0. Kongcuku yang palsu, berpalinglah ke sini kalau
bicara!" Mendengar sebutan "Kongcu palsu" itu, Yu Wi terkejut, waktu ia berpaling, dilihatnya Pi-su
telah mengenakan bajunya, meski masih tertawa, namun jelas tidak bermaksud baik.
Karena penyamarannya diketahui orang, tentu saja Yu Wi rada tegang, ucapnya dengan
gelagapan, "Apa... apa katamu?"
Pi-su berhenti tertawa, lalu menyindir, "Kami berempat memang lagi heran mengapa perangai
Toakongcu telah berubah, tak tersangka bisa berubah menjadi seorang pendeta yang alim!"
"Apa... apa maksudmu?" tanya Yu Wi dengan tidak tenteram.
"Maksudku?" jawab Pi-su. "Maksudku supaya selanjutnya kau harus tunduk kepada segala
perintahku."
Dengan marah Yu Wi mendamperat, "Sebagai tuan muda Thian-ti hu, masakah aku harus
tunduk kepada perintah seorang batur seperti kau ini?""
"Hm, masakah kau masih berani mengaku sebagai Kongcu kami?" jengek Pi-su dengan benci,
"Kongcu sudah terbiasa gila seks, kebersihan tubuhku justeru dirusak olehnya, jelas dia bukan kau
si pendeta ini."
Yu Wi tak menyangka bahwa antara Kan Ciau-bu dan babunya ini sudah ada perzinaan, pantas
kepalsuannya dapat diketahui olehnya.
Terpaksa ia menjawab dengan menahan perasaannya, "Apa kehendakmu sebenarnya?"
Pi-su melangkah ke pintu, lalu menoleh dan berucap pula dengan tertawa, "Asalkan kau
tunduk kepada perintahku, maka kepalsuanmu takkan ku bongkar,"
Habis berkata, pergilah dia dengan langkah menggoyangkan pinggul.
Dengan sedih Yu Wi merapatkan pintu kamar, sekilas dilihatnya sesosok bayangan orang
mengintil di belakang Pi-su dengan cepat dan gesit tanpa menimbulkan suara.
Lantaran godaan Pi-su itu, hilanglah rasa kantuk Yu Wi, penyamarannya telah diketahui
pelayan itu, keadaannya tentu akan tambah gawat, ia pikir bila selesai menghadapi serbuan pihak
Hek-po nanti harus selekasnya meninggalkan Thian-ti-hu agar tidak berada di bawah ancaman Pisu
dan melakukan sesuatu yang tidak menguntungkan Thian-ti-hu.
Terdengar kentongan ketiga sudah berbunyi di luar, itulah waktu yang paling baik bagi Yaheng-
jin atau orang pejalan malam.
Hati Yu Wi tergerak, ia pikir kenapa tidak malam ini juga pergi ke daerah misterius di sisi kiri
Ban-siu-ki itu untuk mencari ilmu sakti, lalu mempelajarinya dengan cepat guna menghadapi pihak
Hek-po. Segera ia berganti pakaian ringkas dan membawa serta peta itu, dengan cepat ia menuju ke
arah Ban-siu-ki.
Seluruh kompleks Thian-ti-hu terasa sunyi senyap dan kelam, hanya ada cahaya bulan
remang-remang di ujung langit dan cukup sebagai penerangan jalan.
Setiba di depan Ban-siu-ki, tiada terlihat sinar lampu setitik pun. Diam-diam Yu Wi merasa lega
tapi tidak kurang kewaspadaannya, ia memperingatkan dirinya sendiri agar tindak-tanduknya
jangan sampai dipergoki orang lain, kalau tidak, tentu akan mengecewakan sang Inkong atau tuan
penolongnya, yaitu Kan Ciau-bu.
Ia sangat heran, mengapa Kan-toakongcu pun tidak boleh mendekati hutan di depan sana"
Lalu siapakah yang diperbolehkan ke situ"
Ia mengeluarkan peta dan membacanya di bawah sinar bulan, dengan hati-hati sekali ia
melintasi tanah kekuning-kuningan itu terus mendekati hutan itu. Dilihatnya pepohonan diatur
dengan rajin dan ditanam dalam jarak sangat dekat Menurut keterangan pada peta itu,
diketahuinya pepohonan itu sama sekali tidak boleh disentuh.
Menurut catatan dalam peta, seluruhnya ada 13 jalan masuk ke hutan itu, tapi hanya satu
jalan hidupnya, 12 jalan lainnya adalah jalan kematian, Dari jalan ke sembilan Yu Wi masuk ke
dalam hutan. Baru berjalan sembilan langkah, di depan muncul jalan simpang tiga, Yu Wi langsung menuju
ke jalan yang tengah, Sampai di sini, diam-diam Yu Wi mulai ngeri, sebab menurut keterangan
dalam peta itu, selanjutnya dia akan mengalami 18 jebakan bila salah langkah jiwa bisa melayang.
Karena rindangnya pepohonan, cahaya bulan tidak dapat menembus ke dalam hutan. ia
menyalakan geretan api untuk mengobori hutan yang seram itu, Akan tetapi semua pohon
kelihatan sama, tiada sesuatu tanda perbedaan.
Penerangan obor hanya mencapai jarak sepuluh langkah, padahal menurut keterangan peta,
pada langkah ke sebelas terdapat perangkap, Diam2 ia menghitung, satu dua, tiga....
Tapi dia tidak tahu bahwa cara menghitung langkahnya itu harus dimulai sejak dia masuk ke
dalam hutan, karena kesalahan ini, ketika dia baru menghitung sampai sepuluh, tersentuhlah
pesawat rahasia yang tertanam di permukaan tanah, seketika pepohonan di kanan-kirinya
menerbitkan suara pelahan.
Jilid ke-2 Begitu mendengar sesuatu yang tidak beres, sekuat-nya dia terus meloncat setingginya, lebih
dua tombak tingginya dia meloncat, dilihatnya di bawah kaki beratus anak panah saling
menyambar dari sisi kanan dan kiri, semua anak panah itu menancap di batang pohon kedua sisi
jalan tadi. Begitu selesai terjadi hujan panah, Waktu Yu Wi turun lagi kebawah sudah tidak berbahaya
lagi. ia lihat anak panah itu sama menancap cukup dalam di batang pohon, diam diam ia
bersyukur di dalam hati berhasil menghindari ancaman elmaut itu.
Coba kalau dia terlambat sedetik saja, tentu beratus anak panah itu sudah bersarang di tubuh
nya, nnni dia dapat hidup sampai sekarang"
Saat itu juga, tibx tiba di luar hutan sana terdengar suara berisik orang banyak, waktu ia
berpaling, tertampak cahaya lampu gemerapan. ia terkejut entah darimana mereka mendapat
tahu ada orang melanggar daerah terlarang ini"
Dia tidak berani lagi meneruskan perjalanan, ia mengeluarkan peta, menurut keterangan, 30
langkah lagi akan terdapat dua jalan simpang, jalan yang sebelah kiri akan menembus ke luar
hutan melalui jalan lain.
Meski sudah makan waktu sekian lamanya, tapi orang di luar hutan tidak kelihatan mengejar
ke dalam, jelas orang Thian-ti-hu sendiri tidak ta hu cara bagaimana masuk ke dalam hntan meski
diketahui dengan jelas di dalam hutan ada musuh, maka cepat Yu Wi melangkah ke depan
menurut petunjuk peta itu, dengan aman dia lari keluar melalui jalan simpang itu.
Jalan simpang itu menembus ke belakang gunung, dari situ ia berlari kembali ke kamarnya dan
tidak kepergok siapa pun. Diam-diam ia merasa mujur, buru-buru ia berganti pakaian lagi,
Baru saja selesai ganti pakaian, masuklah seorang ke dalam kamar, dengan suara seram orang
itu bertanya, "Ke manakah Kongcu tadi?"
Orang ini bertubuh tinggi besar, mukanya lebar, tampangnya kelihatan setia, Yu Wi tidak
melihatnya sejak datang, tapi secara cerdik dapatlah ia memastikan bahwa orang ini pastilah
congkoan atau kepala rumah tangga Thian-ti-hu yang bernama Phoa Tiong-hi.
Ia tidak menjawab pertanyaan orang, tapi sengaja berkata dengan ketus, "Bagaimana keadaan
di luar sekarang?"
Ucapan ini cukup lihay, selain menunjukkan dia sudah tahu ada orang melanggar daerah
terlarang di Ban-siu-ki dan dirinya baru saja kembali dari sana, meski tidak langsung menjawab
pertanyaan Phoa Tiong-hi itu, tapi seakan-akan telah memberitahukan jejaknya tadi, bahkan juga
tetap menjaga wibawa seorang majikan.
Phoa Tiong-hi tidak tahu dengan pasti jejak sang "Toakongcu" tadi, ketika dia mendapat tahu
ada orang melanggar daerah terlarang di Thian-ti hu, cepat ia berlari ke tempat kediaman Toa
kongcu untuk melapor, tapi Toakongcu tidak diketemukan waktu itu ia sudah curiga ke mana
perginya Toakongcu"
Ketika ia mengatur anak buahnya agar mengepung jalan masuk hutan di dekat Ban-siu-ki,
supaya musuh tak dapat kabur, sejenak kemudian dia berlari kembali lagi ke tempat Toakongcu,
tapi sekarang sang Toakongcu ternyata sudah pulang.
Setahunya, asalkan ada orang menyentuh pesawat rahasia di daerah terlarang itu, maka genta
yang terpasang di dalam kamarnya akan segera berbunyi sebah itulah dia adalah orang pertama
yang mengetahui kejadian itu, Masa Toakongcu bisa mengetahui lebih dulu daripada dirinya"
Sudah dua keturunan majikan Phoa Tiong-hi menjadi congkoan di Thian-ti-hu, namun belum
juga mengetahui seluk-beluk urusan keluarga sang majikan, maka ia pun tidak berani memastikan
apakah Toakongcu memang sudah tahu lebih dulu pelanggaran daerah terlarang itu, Jika demikian
halnya, rasa curiganya tadi menjadi berlebihan.
Karena itulah terpaksa ia menjawab, "Hamba belum mendapat laporan, biarlah hamba pergi
menyelesaikannya."
Habis berkata, tanpa memberi hormat ia terus melangkah pergi seolah-olah tidak memandang
sebelah mata terhadap sang Toakongcu.
Menurut catatan Kan Ciau-bu di dalam buku kecil itu, Yu Wi mengetahui bahwa Phoa Tiong hi
ini sangat licin dan culas, sekarang terbukti dia memang tidak mengacuhkan Toakongcunya,
bahkan dirinya sudah pulang seharian, tapi Phoa Tiong-hi tidak datang memberi hormat.
Pantasnya, sesudah sang majikan muda pulang dari bepergian sekiar lama, sebagai congkoan
seharusnya dia menyampaikan salam hormatnya lebih dulu. Mungkin disebabkan dia sudah
menjabat congkoan jauh sebelum Kan Ciau-bu lahir, maka dia tidak begitu mengacuhkan majikan
muda itu, Pantaslah Kan Ciau-bn bilang dia licin dan dengki.
Setelah tiada terdengar apa apa lagi di luar, Yo Wi menanggalkan pakaian dan hendak tidur,
tiba-tiba pintu kamar diketuk orang pelahan, terdengar suara Phoa Tiong-hi sedang memanggil,
"Buka pintu, Kongcu! Buka pintu!"
Setelah pintu dibuka, Yu Wi berlagak kurang senang dan menegur, "Ada urusan apa lagi?"
"Hamba ingin memberi lapor bahwa di luar sudah tiada terjadi sesuatu apa." kata Phoa Tionghi
dengan lagak misterius.
Melihat orang bicara dengan menyimpan sesuatu rahasia, Yu Wi menjadi tidak sabar, katanya,
"Sesungguhnya ada urusan apa, lekas katakan!"
"Menurut laporan. katanya pelayan Kongcu si Pi-su menggantung diri di kamarnya," tutur Pho
Tiong-hi. "Hah, apa betul" Dan mati tidak?" seru Yu Wi.
Diam-diam Phoa Tiong-hi mengangguk-angguk sendiri, pikirnya, "Kau si gila seks ini, besar
kemungkinan kau yang mendesak dia mati gantung diri!"
Namun begitu di mulut dia menjawab dengan sedih, "Sudah cukup lama dia mati, keadaannya
sangat mengenaskan!"
Yu Wi tercengang ia tidak mengerti sebab apakah Pi-su membunuh diri" Tidak ada alasan
baginya untuk gantung diri, tentu ada yang membunuhnya. tapi siapakah yang membunuhnya"
Melihat sang Kongcu diam saja, Phoa Tiong hi makin yakin kematian Pi-su itu pasti akibat
dipaksa oleh majikan muda ini, Tadi dia memang sudah curiga ketika diketahui sang Kongcu tidak
berada di kamarnya, sekarang rasa curiga itu menjadi hapus, ia yakin waktu itu tentunya majikan
mudanya ini kebetulan pergi ke kamar Pi-su dan memaksa pelayan itu membunuh diri. Menurut
perkiraannya, Pi-su juga tidak ada alasan untuk bunuh diri, semua ini tentu gara-gara perbuatan
Toa-kongcu. Ketika Yu Wi tenang kembali, Phoa Tiong- hi ternyata sudah pergi secara diam-diam, dengan
limbung Yu Wi menutup pintu kamar lagi dan tidur dengan penuh tanda tanya.
Esok paginya peristiwa gantung dirinya Pi-su telah tersiar ke seluruh Thian-ti-hu, waktu Junkhim,
He-si dan Tong-wa datang meladeni Yu Wi, air muka mereka tampak sedih, lebih-lebih
Tong-wa yang berperasaan halus itu, matanya tampak merah habis menangis.
Siangnya tanpa sengaja Yu Wi mendengar percakapan antara Tong-wa dengan He-si, dengan
suara lirih Tong-wa berkata, "Enci He, sebab apakah Kongcu membunuh Enci Pi?"
"Jangan tanya melulu, aku pun tidak tahu." jawab He Si dengan kurang senang.
"Sesungguhnya enci Pi dibunuh oleh Kongcu atau bukan?" tanya Tong-wa pula.
"Aku tidak tahu," jawab He-si, "jangan sembarang omong, awas, kau bisa celaka."
Tentu saja diam-diam Yu Wi merasa penasaran karena dirinya yang dituduh membunuh Pi su,
ia bertekad akan menemukan si pembunuhnya kalau tidak tentu sukar membersihkan nama baik
Inkong, Tapi dengan cara bagaimana supaya bisa menemukan si pembunuhnya" padahal tiada
petunjuk setitik pun, ke mana dia akan menyelidiki,
Karena kesal, ia terus melangkah ke depan tanpa arah tujuan, Tanpa terasa ia telah berada di
belakang gunung, teringatlah dia kepada Hun-say li atau si gadis penjinak singa, seketika timbul
hasratnya untuk bertemu lagi, scakan-akan kalau dapat bertemu dengan si gadis penjinak singa
maka kelembutan si nona akan dapat menghapuskan semua rasa kesalnya.
Tanpa menghiraukan kebuasan kawanan singa, ia terus turun lagi ke lembah sana, setiba di
tempat kemarin, keadaan sunyi senyap, hanya angin meniup semilir dan menerbitkan suara
gemersik. Memandangi batu besar dari mana si gadis penjinak singa itu melayang turun untuk
menyelamatkan jiwanya, adegan kemarin itu seolah-olah terbayang lagi dengan jelas, rasanya si
nona seperti berdiri pula di depannya dan sedang bicara padanya dengan suara ramah-tamah.
Tanpa terasa ia berteriak, "Hun-say-lil . . .Hun-say-li!"
Akan tetapi yang terdengar hanya kumandang suaranya yang bergema di lembah sunyi itu.
Rupanya ia menjadi lupa bahwa suara teriakannya itu mungkin akan mengagetkan kawanan singa
dan kalau binatang buas itu muncu!, tentu dirinya tidak mampu melawannya.
Baginya hanya ada suatu pikiran yang mendesak, yaitu ingin bertemu pula dengan Hun-say-li
atau si gadis penjinak singa.
Meski dia mengulangi lagi teriakannya sampai sekian lama, namun Hun-say-li tetap tidak
muncul Anehnya kawanan singa itu pun tidak kelihatan
Dengan masgul dan hampa terpaksa ia tne tiinggalkan lembah gunung itu.
Seharian itu Kan Hoay-soan juga tidak datang mengajaknya bermain, Yu Wi pikir mungkin Kan
lohujin mendesak si nona supaya belajar Kungfu lebih giat, Maklumlah, tidak lama lagi musuh dari
Hek-po akan tiba, Diam-diam mereka sama bersiap-siap untuk perang tanding, lalu dengan
kepandaian apa dirinya akan menghadapi musuh dari Hek-po nanti"
Dia tidak berani lagi sembarangan mendatangi daerah terlarang di dekat Ban-siu-ki itu. waktu
iseng digunakannya untuk membaca macam-macam kitab pelajaran Kungfu dari berbagai aliran
itu, ia pikir barangkali dari kitab itu akan ditemukan semacam Kungfu yang dapat dipelajari
dengan sistem kilat.
Sehari suntuk itu lebih 20 jilid kitab telah dibacanya, semuanya adalah pelajaran ilmu silat dan
golongan terkenal, akan tetapi tidak ada Kungfu yang dapat dipahami dengan cepat, tanpa terasa
lima hari sudah lewat Setiap pagi dia pasti pergi ke belakang gunung untuk mencari Hun-say-li,
tapi biarpun kerongkongannya sampai pecah, teriakannya tetap percuma, Hun-say-ii tetap tidak
muncul, singa juga tidak kelihatan seekor pun.
Pagi hari ke enam, ketika dia pulang dari belakang gunung, dilihatnya Kan Hoay-soan sudah
menunggunya di dalam kamar.
"Hari ini kau tidak berlatih Kungfu, Moay moay?" demikian Yu Wi mendahului menegur.
"Belum selesai berlatih," jawab Hoay-soan dengan tertawa, "beberapa hari ini ibu mengajarkan
kami dua macam Kungfu baru, untuk mengendurkan saraf, sengaja kulari ke luar untuk cari
angin." "Kungfu baru apakah?" tanya Yu Wi. "Kata ibu sudah lama Toako menguasai Kungfu ini,
namanya Thian-lo-ciang," tutur Hoay-soan.
"Oo!" Yu Wi bersuara singkat sebagai tanda dirinya memang sudah mahir ilmu pukulan Thian
lo-ciang. padahal nama Thian-lo-ciang saja baru sekarang untuk pertama kalinya didengarnya.
"Menurut ibu," Hoay-soan menyambung pula "beberapa hari lagi musuh dari Hek-po akan
datang untuk merampas barang mestika kita, hanyi itulah pukulan baru ini yang rasanya dapat
digunakan untuk mengalahkan musuh. Eh, Toako, apakah benar ilmu pukulan ini dapat
Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diandalkan?"
Mana Yu Wi tahu hal tersebut terpaksa mengiakan dengan samar-samar
"Eh, Toako, kenapa kau tambah kurus?" tanya Kan Hoay-soan tiba-tiba.
"Masa tambah kurus"!" jawab Yu Wi.
Hoay-soan menghela napas, katanya, "Tadi aku pun baru menyambangi bakal isteri Toako, ku
bilang dia tambah kurus dan dia juga tidak percaya."
Diam-diam Yu Wi merasa heran tentang bakal isteri Kan Ciau-bu itu, dirinya tidak
menjenguknya, dia juga tidak ambil pusing, apakah antara dia dan Kan Ciau-bu sama sekali tidak
ada ikutan batin"
Selagi Yu Wi termenung, tiba-tiba Hoay-soan berkata pula kepadanya, "Toako, maukah
kaupergi menjenguk dia?"
Yu Wi diam saja.
Melihat sang Toako tidak lagi bersungut seperti dahulu bilamana menyinggung urusan bakal
isterinya itu, ia tambah berani, segera tangan Yu Wi ditariknya, ucapnya dengan manja, "Marilah
pergi menjenguk dia."
Karena Hoay-soan telah menyeretnya, Yu Wi tidak enak untuk menolak, Lagipu!a jika dirinya
mewakili Inkong menjenguk bakal isterinya, bisa jadi akan menambah hubungan baik mereka.
Karena itulah ia lantas ikut melangkah ke sana.
Kuatir sang Toako akan kabur di tengah jalan, Hoay-soan terus menarik tangan Yu Wi hingga
sampai di kamar Lau Yok-ci.
Belum lagi masuk ke kamar si nona Yu Wi lantas mengendus bau harum kamar perawan yang
harum semerbak, Diam-diam ia rada kebat-kebit, ia pikir pertemuanku yang Kan Ciau-bu
gadungan ini dengan bakal isterinya janganlah sampai merenggangkan hubungan baik mereka,
bahkan kalau sampai penyamaranku ini diketahui tentu segala urusan bisa runyam.
Setiba di depan kamar segera Hoay-soan berteriak, "Lau-cici! Lau-cici!"
"Siapa itu?" terdengar suara anak perempuan menjawab di dalam kamar
Yu Wi terkejut karena merasa suara itu sudah dikenalnya.
"Keluarlah, Lau-cici!" seru Hoay-soan dengan mengikik-tawa, "lni, ada orang ingin bertemu
dengan kau."
Dan ketika didengarnya langkah orang di dalam kamar sudah sampai di ambang pintu,
mendadak ia mendorong Yu Wi sekuatnya ke dalam kamar sambil tertawa ia terus lari pergi
secepat terbang.
Karena didorong ke dalam kamar, hampir saja Yu Wi bertubrukan dengan orang yang berada
di dalam, waktu ia menengadah, di depannya telah berdiri seorang nona cantik berbaju hitam,
wajahnya terasa sudah dikenalnya.
"He, Hun-say-li!" seru Yu Wi tanpa terasa.
Sama sekali ia tidak menduga bahwa bakal isteri Kan Ciau bu yang bernama Lau Yok ci itu tak
lain tak bukan adalah Hun-say-li atau si gadis penjinak singa yang sangat ingin ditemuinya itu.
perubahan mendadak dan tak tersangka ini seketika membuatnya melenggong kesima.
Nona baju hitam yang cantik alias si gadis penjinak singa itu memang betul Lau Yok-ci adanya.
Selama beberapa hari ini wajahnya memang kelihatan agak kurus sedikit namun jadi semakin
menambah keluwesan dan kecantikannya
"Baik-baikkah Kongcu?" demikian Lau Yok-a menyapa dengan tenang.
Yu Wi menyadi kikuk karena si nona menyebutnya "Kongcu". Padahal waktu bertemu pertama
kalinya si nona pun sudah tahu dirinya adalah Kan Ciau bu gadungan, mungkin waktu itu Lau Yokci
tidak mau membikin rikuh padanya, maka tidak langsung membongkar kepalsuannya.
Dalam hati Yu Wi sangat berterima kasih atas kehalusan budi si nona, dengan gelagapan ia
menjawab, "O, terima. . . . terima kasih!"
Agaknya Lau Yok~ci dapat menangkap arti yang terkandung dalam ucapan terima kasih itu
dengan tersenyum ia berkata, "Ah, terima kasih apa?"
Yu Wi merasa tidak tenteram, katanya pula, "Urusan ini sungguh aku pun merasa tidak
pantas!" Mestinya ia ingin menjelaskan dirinya tidak pantas menyamar sebagai Kan Ciau-bu untut
menemuinya. Tak terduga, mendadak Lau Yok-ci menghela napas hampa sambil memotong ucapannya,
"Apa kah Kan kongcu baik-baik saja?"
"Ya, Inkong sehat-sehat saja tanpa kurang sesuatu apa pun," jawab Yu Wi.
Liu Yok-ci memandang Yu Wi dengan terbelalak, katanya, ?"Apakah dia pernah berbuat
sesuatu bagimu?"
"Ya, Inkong pernah menyelamatkan jiwa orang she Yu," jawab Yu Wi dengan menunduk. ia
tidak berani memandang si nona.
"Sebab itulah dia minta kau ke sini?" tanya Lau Yok-ci.
"lnkong hanya menyuruh orang she Yu ini melakukan sesuatu pekerjaan baginya," tutur Yu wi,
"yakni datang ke sini dengan menyamar sebagai beliau, makanya aku pun berani datang kemari."
"Apakah kautahu untuk apa dia menyuruh kau menyaru sebagai dia?" tanya Lau Yok-ci pula
dengan hampa. "Ya, aku memang tidak paham sebenarnya apa maksud tujuan Inkong?"
"Kutahu maksud tujuannya memang panjang dan mendalam," kata Lau Yok-ci dengan
gegetun. "Apa tujuannya?" tanpa terasa Yu Wi bertanya.
Setelah ucapannya tercetus dari mulut barulah ia merasa pertanyaannya itu kurang pantas,
tidak seharusnya ia mencari tahu maksud tujuan sang tuan penolong. Tapi urusan ini sekarang
telah menggoda pikirannya, kalau tidak bertanya dengan jelas rasanya hati tak bisa tenteram.
"Apakah kau tidak diberitahu olehnya?"
Yu Wi menggeleng.
"Tidak seharusnya dia tidak memberitahukan padamu!" kata Lau Yuk-ci pula.
"Inkong tak dapat disalahkan," " ujar Yu wi, " sebab aku sendiri tidak bertanya, umpama
kutanya dia, mungkin akan dijelaskan oleh Inkong, adaikan tidak dijelaskan juga aku tidak
memusingkannya"
"Tapi kalau tindakannya ini tidak menguntungkan dirimu?"
"Jiwaku ini adalah pemberian Inkong, apapun maksud tujuannya akan kulaksanakan tanpa
pikir," jawab Yu Wi tegas dan ikhlas.
"Hatimu yang baik ini biarlah kuucapkan terima kasih baginya," kata Lau Yok-ci.
Men Pendekar Cacad 17 Golok Halilintar Karya Khu Lung Bentrok Rimba Persilatan 6
" Pendekar Kembar
Diceritakan Oleh: GAN K.L
Jilid ke 1 Sinar bulan purnama raya terang benderang bagaikan siang.
Di jalan pegunungan yang sepi dan gersang itu sama sekali tiada
nampak jejak manusia.
Semuanya serba sunyi, seolah-olah jagat raya ini hanya terdapat
bulan purnama dan pegunungan gersang ini dan tiada benda lain
lagi. Angin pegunungan meniup pelahan dan silir semilir
Benarkah di pegunungan gersang ini tiada terdapat jejak
manusia" Tidak benar! Itu dia, di puncak gunung yang datar sana berduduk tegak tujuh
orang. Tiada seorang pun yang bersuara, semuanya bungkam dan
tiada yang bergerak, mirip tujuh buah patung.
Ke tujuh orang ini, duduk terpisah di kedua sisi. Yang satu sisi
berduduk enam orang dan sisi lain, kira-kira berjarak satu tumbak, hanya berduduk satu orang.
Lama dan lama sekali baru kelihatan orang yang duduk sendirian itu mendahului bergerak
sedikit Rupanya ke tujuh orang sama-sama kehabisan tenaga, Orang yang duduk sendirian itu meski
dapat bergerak, tapi juga belum kuat untuk berbangkit. Pelahan dia membuka matanya dan
menghela napas.
Wajah orang ini sangat putih, di bawah sinar bulan tampaknya bertambah pucat pasi, usianya
antara 70-an, dari kerut mukanya yang penuh keriput itu dapat diketahui pasti sudah kenyang
makan asam-garam dan gemblengan kehidupan Anehnya, usia selanjutnya ini, mukanya ternyata.
kelimis, tiada jenggot sedikit pun.
Padahal umumnya orang jaman dahulu, bilamana sudah cukup umur lazimnya mesti piara
jenggot (yang dimaksudkan cukup umur adalah 50 tahun ke atas, di bawah 50 dianggap Yau-siu
atau cekak umur-Gan KL).
Ke enam orang lalunya justeru kebalikannya daripada kakek bermuka bersih ini, air muka
mereka berwarna sawo matang seperti kulit muka orang tua umumnya, di bawah janggut juga
tumbuh jenggot berwarna putih kelabu.
Selang sejenak pula, kakek bermuka kelimis itu berkata, "Bagaimana perasaan kalian
sekarang?"
Sampai sekian lama lagi barulah lima di antara ke enam kakek yang lain itu membuka mata,
seorang kakek yang tidak membuka mata itu berkata, "Aku Bu-bok-soh (kakek tanpa mata) hari ini
mengaku menyerah padamu."
Seorang kakek lagi yang kelihatan bungkuk, tapi dengan berduduk pun masih lebih tinggi
daripada rekan-rekannya menukas, "Mengapa mesti menyerah" Akhirnya kan sama terluka
parah?" "Sama terluka parah, memang betul kedua pihak sama-sama terluka," ucap si kakek muka
kelimis sambil tersenyum getir, "Sebenarnya apa gunanya kita bertempur mati-matian begini?"
Mendadak angin pegunungan meniup santer sehingga lengan baju kanan seorang kakek
tampak bergoyang tertiup angin, sekali pandang segera diketahui kakek ini buntung lengan
kanannya, makanya lengan bajunya yang kosong itu berkibar tertiup angin, Dia tertawa dan
berseru, "Haha, kalau sekarang merasa menyesal, mengapa dahulu mesti berbuat" Bilamana sejak
20 tahun yang lalu jurus pedangmu itu kau katakan secara terbuka, kan segala nya sudah menjadi
beres?" Kulit daging muka si kakek kelimis itu, sampai berkerut-kerut, ucapnya kemudian. ?"Apa yang
telah kukatakan 20 tahun yang lalu itu masih tetap berlaku untuk sekarang, Apabila kalian dapat
mengalahkan diriku, tentu jurus pedangku ini akan kukatakan secara terbuka. Cuma sayang,
selama 20 tahun ini kalian sendiri yang tidak becus dan tetap tidak mampu mengalahkan diriku.
Hm, kukira biarpun lewat 20 tahun lagi kalian juga tetap bukan tandinganku."
Seorang kakek lain mendadak berdiri, terlihat dia berdiri dengan kaki kanan melulu, kaki kiri
sudah buntung. Ketika berdiri dia tergeliat dua-tiga kali dulu baru kemudian dapat berdiri tegak Si
kakek muka kelimis menghela napas, katanya, "Tak tersangka "Thi-kah sian" (dewa kaki besar)
Koat-tui-soh (kakek buntung) yang termasyhur di dunia sekarang tidak dapat berdiri dengan
mantap." Koat-tui-soh kelihatan gusar, serunya, "Tidak perlu kau menyindir, kau sendiri juga tidak
mendapatkan keuntungan apa-apa, jangankan 20 tahun lagi, cukup sebulan saja kami pasti dapat
mengalahkan kau bilamana di antara kami berenam mau saling mengajarkan sejurus ilmu pedang
masing-masing."
Si kakek kelimis tertawa lantang beberapa kali, lalu ia berdiri dengan gagah, sedikit pun tidak
ada tanda kehabisan tenaga, keruan ke enam kakek yang lain sama pucat, sebab dilihat dari
gerak-gerik dan suaranya, jelas tenaga dalam kakek kelimis itu sudah pulih sama sekali, sampai
Thi-kah-sian yang terkenal tangkas itu pun kalah kuat.
Setelah tertawa, lalu si kakek kelimis berseru "Sudah sejak 20 tahun yang lalu kalian berharap
akan saling mengajarkan jurus pedangnya masing-masing, tapi akhirnya bagaimana" Kukira
biarpun 20 tahun lagi kalian, juga tetap hanya mahir satu jurus saja."
Bu-bak-soh menghela napas menyesal, katanya, "Memang betul, siapa pun di antara kita ini
jelas tidak mau mengajarkan sejurus ilmu pedang yang dikuasainya kepada orang lain, tampaknya
biarpun 20 tahun lagi kami tetap juga bukan tandinganmu."
"Nah. pikir sendiri saja," kata si kakek kelimis, "Jika kalian tidak mau saling mengajarkan jurus
ilmu pedangnya sendiri, sebaliknya kalian memaksa diriku agar mengajarkan jurus ilmu pedangku
secara terbuka, Bilamana kalian mau menimbang pikiran sendiri dengan orang lain, tentu kalian
akan tahu dapatkah kupenuhi permintaan kalian ini" Lagipula, di dunia ini mana ada kejadian
seenaknya seperti kehendak kalian ini?"
Si kakek bungkuk berbangkit pelahan, lalu berucap, "Habis siapa suruh kau menguasai lebih
banyak satu jurus daripada kami" Hay-yan-kiam-hoat seluruhnya terdiri dari delapan jurus, kami
berenam masing-masing menguasai satu jurus, hanya kau sendiri yang menguasai dua jurus. Bila
satu jurus kelebihanmu itu kau ajarkan secara terbuka sehingga kita sama-sama mahir dua jurus.
bukankah dunia akan segera menjadi aman?"
Mendadak si kakek kelimis tertawa panjang suaranya seram mengandung perasaan pedih,
sampai lama suara tertawanya berkumandang seakan hendak menguras segenap rasa kesal yang
terpendam di dalam hatinya.
Sekian lamanya ia tertawa, ketika air muka nya tampak rada berubah, pelahan barulah ia
berhenti tertawa, sedikit perubahan air mukanya itu dapatlah dilihat dengan jelas oleh kedua
kakek lain yang sejak tadi tidak bersuara itu.
Selang sejenak, setelah si kakek kelima dapat meratakan pernapasannya, lalu ia berkata pula
dengan gemas, "Bahwa aku lebih banyak mahir satu jurus ilmu pedang daripada kalian, tapi
apakah kalian tahu kudapatkan sejurus ini dengan imbalan yang betapa besar" Bilamana tengah
malam aku terjaga dari tidurku dan terkenang kepada kejadian dahulu, sering aku bertanya
kepada diriku sendiri, apakah cukup berharga kudapatkan satu jurus ilmu pedang ini dengan
imbalan siksa derita selama hidup" Nah, bila satu jurus ini sudah mencelakai selama hidupku,
apakah mungkin kuajarkan kepada kalian dengan begitu saja?"
Air muka ke enam kakek yang lain tampak suram, mereka sama tahu betapa artinya kata
"siksa derita" yang disebut si kakek kelimis itik sebab mereka sendiripun mengalami gangguan
daripada kata-kata itu.
Maka tertunduklah ke enam kakek itu, dalam hati sama diliputi oleh ucapan si kakek kelimis
tadi: "Apakah berharga mendapatkan satu jurus ilmu pedang itu dengan imbalan siksa derita
selama hidup?"
Segumpal awan tebal mengalingi cahaya bulan yang terang, seketika bumi raya ini menjadi
kelam. Ke tujuh kakek itu hanya samar-samar dapat membedakan wajah masing-masing.
Koat-tui-soh atau si kakek buntung kaki berdehem perlahan, katanya, "Jadi tahun ini
pertarungan kita ini pun sia-sia lagi, Ai, 20 tahun sudah lalu, sudah 20 tahun. Namun biarpun
lewat beberapa puluh tahun lagi juga kami tidak rela membiarkan ada seorang mampu menguasai
dua jurus Hay-yan-kiam-hoat, kecuali mati, tidak nanti hasrat bertanding ini dapat terhapus!"
Dengan dingin si kakek kelimis menjawab. "Jika kalian tidak dapat mengalahkan diriku, pada
waktu mati pun tidak nanti kuperlihatkan secara terbuka satu jurus kelebihanku ini, aku rela mati
bersamanya daripada mengajarkan jurus pedang ini tanpa imbalan apa pun."
"Mengapa begitu?" ujar Bu-bak-soh, si kakek buta, dengan menyesal, "Ilmu silat serupa juga
racun, makin diserap makin mencandu. Apabila satu jurus pedangmu itu kau ajarkan kepada kami
sehingga hasrat kami terpenuhi, supaya kita sama-sama menguasai dua jurus, maka selanjutnya
kita pun tidak perlu saling labrak lagi dan dapat menikmati sisa hidup ini dengan tenteram."
"Huh, omong kosong!" kata si kakek kelimis dengan menghina, ?"Masakah satu di antara Jit-lo
(tujuh kakek) yang termasyhur di dunia Kangouw ini, si Bu-bak-soh, dapat mengucapkan katakata
kekanak-kanakan begini" Sungguh lucu dan men-tertawakan."
Karena sindiran itu, si kakek buta menjadi tergagap dan tidak sanggup mendebatnya lagi.
"Tampaknya kita akan bertemu lagi pada hari yang sama tahun depan." seru Koat-tui-soh, si
kakek buntung kaki.
"Baik, pada hari yang sama tahun depan pasti kuiringi kehendak kalian!" seru si kakek kelimis
dengan lantang.
Salah seorang kakek di antara kedua kakek yang sejak tadi diam saja, tiba-tiba memberi
isyarat tangan, Lalu kakek di sebelahnya juga mendadak berkata, "Menurut pendapat Ah-lo (kakek
bisu) katanya bila kalian ingin hidup lebih tua beberapa tahun, sebaiknya janji pertemuan tahun
depan dihapuskan saja!"
Agaknya Lwekang kakek yang bicara ini paling lemah dan belum lagi pulih kembali maka
suaranya kedengaran sangat lirih.
"Apa yang dikatakan Liong-soh (kakek tuli), suruh dia bicara yang keras!" seru si kakek
buntung kaki. Can pi-soh, si kakek buntung tangan, berduduk di samping kakek tuli, dia paling jelas
mendengar ucapan si kakek tuli, maka ia mengulangi satu kali apa yang diminta rekannya itu.
Semua orang itu tahu Ah-lo atau kakek bisu itu mahir ilmu pertabiban, bilamana dia
berpendapat demikian tentu ada alasannya.
Toh-pwe-soh atau si kakek bungkuk lantas bertanya, "Apa maksud ucapannya itu?"
Ah-lo memberi isyarat tangan pula beberapa kali kepada Liong-soh, lalu kakek tuli itu
mengerahkan tenaga dan berteriak sekerasnya, "Setelah pertarungan kita tadi, jelas kita sudah
sama terluka dalam yang parah, apabila kita berlatih lagi lebih giat demi pertandingan tahun
depan, tentu luka kita akan tambah parah, maka tidak perlu sampai setahun kita pun tidak dapat
berjumpa lagi."
Si kakek kelimis tampak manggut-manggut katanya, "Memang benar pendapatnya, harus ku
akui, luka orang she Ji juga tidak enteng, rasanya sukar pulih kembali kalau tidak dirawat untuk
beberapa tahun lamanya."
Si kakek bisu kembali memberi isyarat tangan beberapa kali, lalu si kakek tuli yang bertindak
sebagai juru-bicaranya berkata, "Tampaknya tenagamu pulih paling cepat, padahal lukamu paling
parah, sedikitnya perlu dirawat 10 tahun baru dapat pulih seluruhnya, Maka menurut pendapat
Ah-lo, demi kebaikan kita bersama, khusus bagi kebaikanmu, bolehlah janji pertemuan yang akan
datang di undur sampai sepuluh tahun kemudian,"
?"Bagus, bagus!" seru si kakek kelimis dengan tertawa, "Agaknya kalian juga kuatir aku akan
mati sehingga kepandaian yang tiada bandingannya ini akan ikut lenyap, Padahal biarpun sepuluh
tahun kemudian bila orang she Ji ini mati tentu juga akan diwakili oleh seorang yang mahir kedua
jurus Hay-yan-kiam-hoat ini untuk hadir pada pertemuan kita nanti. Cuma sepuluh tahun lagi
kuyakin kalian tetap tak dapat mengalahkan diriku."
"Bagaimana kalau kami menang?" tanya si kakek buntung tangan dengan penasaran.
?"Jika kalian menang, orang she Ji tidak saja akan mengajarkan sejurus kelebihanku, bahkan
kuajarkan dua jurus sekaligus kepada kalian." ucap si kakek kelimis dengan tegas.
"Hah, jika demikian, sepuluh tahun kemudian apa yang dikuasai kami berenam akan lebih
banyak satu jurus daripadamu," tukas si kakek buntung kaki dengan angkuh.
"Hm, memangnya kalian pasti akan menang?" jengek si kakek kelimis.
"Bukan mustahil," ujar si kakek bungkuk dengan tertawa, "Menurut keadaanmu sekarang, Ahlo
bilang lukamu paling parah, jika demikian, siapa berani menjamin sepuluh tahun kemudian kau
takkan kalah?"
"Tapi kalau sepuluh tahun kemudian orang she Ji tetap memang, lalu bagaimana?" tanya si
kakek kelimis. "Supaya adil, bila sepuluh tahun kemudian kami tetap kalah, kami pun akan mengajarkan satu
jurus kemahiran kami masing-masing kepadamu," ucap si kakek buta dengan serius.
"Baik, janji seorang lelaki sejati" seru si kakek kelimis.
Serentak ke enam kakek lawannya menukas "Tidak nanti dijilat kembali?"
Hendaklah diketahui bahwa Jit lo atau tujuh kakek itu adalah orang kosen yang dipuja di dunia
persilatan, apa yang mereka ucapkan dengan sendirinya harus ditepati, maka perjanjian mereka
ini pun tidak dapat berubah lagi.
"Bilamana terjadi sesuatu atas diri kami, pasti juga ada orang yang menguasai satu jurus
kemahiran kami masing-masing akan hadir pada pertemuan nanti," demikian si kakek buntung
tangan menambahkan.
"Baik, demikianlah perjanjian kita, sekarang juga kumohon diri!" seru si kakek kelimis sambil
memberi hormat, lalu hendak melangkah pergi.
"Sampai bertemu lagi!" seru si kakek buntung kaki.
Ketika gumpalan awan hitam bergeser dan cahaya bulan terang benderang menyinari lagi
bumi raya ini, di puncak gunung itu sudah tiada seorang pun, suasana kembali sunyi senyap
- oo-foo- -oo+oo-
Di ladang belukar yang luas itu hanya pepohonan belaka dengan semak rumput yang lebat.
Di ujung langit sana semula berwarna biru cerah, sekonyong-konyong awan mendung
berkumpul menyusul halilintar berkilatan disertai gurun gemuruh. Cepat amat perubahan cuaca.
Waktu gumpalan awan hitam berkumpul semakin banyak, bumi raya ini pun tambah kelam
sehingga kelihatannya hari hampir malam, padahal waktu itu baru menjelang lohor.
Mendadak bunyi geledek menggelegar memecah angkasa, ketika suara gemuruh itu masih
terus memanjang dan menjauh, titik air hujan pun mulai berjatuhan di atas tanah yang kering itu.
Guntur menggelegar lebih keras lagi, air hujan pun seperti dituang dari langit, suara gemuruh
laksana membedalnya berlaksa kuda itu sungguh seram dan menakutkan.
Ketika sinar kilat berkelebat lagi menerangi hutan itu, tertampaklah di dalam hutan sedang
terjadi kejar mengejar tiga sosok bayangan orang.
Seorang yang dikejar itu tangan kiri menghunus pedang dengan darah mengalir dari pundak
dan sudah membasahi celananya, setengah badannya sudah berwujud manusia berdarah, tapi dia
masih terus berlari kesetanan tanpa menghiraukan lukanya yang parah itu.
Dua orang yang mengejar memegang pedang aneh terbuat dari tulang, perawakan mereka
sama tinggi dan sama kurusnya, bentuk mereka lebih mirip dua sosok jerangkong hidup yang
sangat menakutkan.
Terdengar jerangkong hidup yang sebelah kiri sedang berteriak, "Orang she Yu, jika hari ini
kau dapat lolos, biarlah "Jin-mo" Kwa Kin-long boleh dianggap piaraanmu..."
Menyusul jerangkong hidup sebelah kanan juga berseru, "Ayolah, lebih baik ikut saja menemui
Pocu (kepala kampung), bila lari lagi, kalau sampai tertangkap oleh Te-mo" Na In-wan, nanti boleh
kau rasakan betapa enaknya 18 macam siksaan akhirat "
Biarpun kedua orang itu terus membentak dan menakut-nakuti dengan macam-macam
ancaman, namun bagi orang yang dikejar itu hanya ada suatu pikiran, yaitu: lari dan lari terus!
Kini dia tidak dapat lagi membedakan jurusan, ia pun tidak tahu dirinya berada di mana
sekarang, yang memenuhi benaknya hanyalah hasratnya mencari selamat.
Ia tahu bila sampai tertangkap, maka baginya tidak ada lain kecuali mati. Maka meskipun
sekarang tenaganya sudah habis, namun kedua kakinya masih terus berlari tanpa berhenti, dia
seolah-olah sudah lupa bahwa ketahanan fisiknya terbatas, bahkan melupakan lukanya yang
parah, seumpama di depan ada lautan atau jurang, tanpa pikir pun akan diterjuninya,
Setelah sinar kilat lenyap, suasana di dalam hutan kembali gelap gulita, memandang jari
sendiri saja tidak kelihatan Kedua pengejar itu hanya berdasarkan ketajaman indera pendengaran
mereka saja untuk mengudak sasarannya, dengan demikian tentu saja gerak-gerik mereka sangat
terpengaruh. Coba kalau tiada perubahan cuaca yang mendadak dan luar biasa ini, tentu
buronannya sudah sejak tadi tertangkap oleh mereka.
Ketika sampai di luar hutan, mendadak mereka kehilangan suara lari buronannya, cepat kedua
orang itu berhenti dan berusaha menyidik jejaknya.
Hujan masih turun dengan lebatnya, yang mereka dengar hanya suara air hujan yang mirip di
tuang dari atas itu dan tidak terdengar suara langkah orang sedikitpun.
"Jin-mo" atau si iblis manusia, Kwa Kin-long berkata dengan agak gelisah, "Jiko, jangan sampai
bocah itu benar-benar kabur!"
Dengan penuh keyakinan "Te-mo" atau iblis bumi, Na In-wan berkata, "Dia sudah terluka oleh
pedangku, bisa lari sampai di sini saja sudah luar biasa, dia pasti sembunyi di balik pohon sana,
sebentar bila sinar kilat berkelebat lagi tentu dia takkan dapat kabur lagi."
Curah hujan tidak berkurang sedikit pun, baju mereka sudah basah kuyup sejak tadi, tapi
lagak mereka serupa dua ekor kucing besar yang sedang merunduk seekor tikus kecil, sang waktu
lalu sedetik demi sedetik, namun sinar kilat sejauh itu belum berkelebat lagi.
Jin-mo Kwa Kin-long menjadi kurang sabar, pedang aneh yang dipegangnya tampak bergerak
tiada hentinya, diam-diam ia membatin, "Jika bocah itu tidak sembunyi di sekitar sini, kan terlalu
bodoh kalau terus menunggu saja di sini."
Tampaknya Te-mo Na In-wan lebih sabar, tapi di dalam hati sebenarnya juga gelisah, ia pun
berpikir, "Jika benar bocah itu sampai kabur, lalu cara bagaimana harus bertanggung-jawab
kepada Pocu nanti?"
Sekonyong-konyong sinar kilat gemilap lagi sehingga udara terang bagaikan siang, Mendadak
Jin mo Kwa Kin-long berteriak, "ltu dia, di sana! Rebah di sana!"
Kiranya orang yang dikejar mereka tadi rebah terlentang kira-kira dua-tiga tombak di sebelah
sana, mungkin pingsan sehingga tubuhnya tidak bergerak sama sekali, bahkan napasnya
sedemikian lemah sehingga tak terdengar oleh mereka.
Te-mo Na In-wan bergelak tertawa, serunya. "Aha, sekarang ingin kutahu apakah kau masih
sanggup lari" Biar kupotong dulu kedua kakimu yang suka lari ini!"
Dan begitu memburu maju, kontan pedangnya menabas.
Tapi pada saat itu juga, berbareng dengan lenyapnya sinar kilat mendadak terdengar jeritan
ngeri. Dari suaranya Jin-mo tahu gelagat tidak enak cepat ia berseru, "He, Jiko, kenapakah kau"!"
Dalam pada itu keadaan kembali gelap gulita jari sendiri saja tidak kelihatan Selagi Jin-mo
merasa heran, tiba-tiba bagian iga terasa "nyes" dingin, darah segar lantas mengucur keluar.
Keruan ia terkejut, sama sekali ia tidak tahu akan serangan ini, apabila serangan ini diarahkan
ke ulu hatinya, mustahil kalau dia tidak tamat riwayatnya.
Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terdengar seorang membentak dengan suara dingin, "Tidak lekas enyah!?"
Maka terdengar pula suara Te-mo Na In-wan yang gemetar, "Samte, marilah kita pergi, hari ini
kita mengakui terjungkal habis-habisan."
Hujan mulai reda, sesudah lenyap suara orang berlari pergi, sampai sekian lama keadaan
menjadi sunyi. Tiba-tiba sinar api menyala, seorang Kongcu (putra keluarga terhormat) berbaju panjang
warna merah tampak memegang geretan api yang menyala dan berdiri di situ dengan dingin,
bajunya yang berwarna merah itu memancarkan cahaya aneka warna yang aneh ketika tersorot
oleh api geretan, Bahan bajunya itu bukan sutera dan bukan satin, tapi sekali pandang saja orang
akan segera tahu bahan baju itu bernilai sangat tinggi, lihat saja, biarpun tersiram hujan lebat,
tapi tubuhnya tidak basah sedikit pun.
Dengan obor geretannya itu dia menyinari orang yang terbujur di tanah itu. Ketika
diketahuinya seluruh tubuh orang berlumuran darah, besar kemungkinan sudah mati, tanpa terasa
ia berkerut kening dan membatin, "Untuk apa menolong orang yang sudah mati?"
Segera ia membalik tubuh dan hendak tinggal pergi, tapi mendadak dilihatnya orang yang
terlentang itu bergerak sedikit, begitu pelahan sehingga hampir saja tidak diketahui, Cepat Kongcu
itu berjongkok dan memeriksa denyut nadi orang, ternyata denyut nadinya sangat lemah, bahkan
tidak teratur jelas orang ini keracunan hebat, meski masih bernapas, namun pasti tidak jauh lagi
dari ajalnya. Kongcu itu menggeleng, pelahan ia berbangkit tapi air mukanya mendadak berubah hebat,
jelas dia kejut dan heran luar biasa, cepat dia berjongkok kembali dan menerangi wajah orang
yang terbaring itu serta diamat-amati dengan teliti. Makin dipandang makin dirasakan oleh si
Kongcu bahwa wajah orang yang menggeletak tak bergerak itu sangat mirip dengan dirinya,
hanya orang lebih kurus sedikit, tapi perawakannya, tinggi pendek dan kurus-gemuknya juga
serupa, kecuali dandanannya yang lain, orang ini benar-benar duplikat dirinya, hampir seluruhnya
sama. Semula Kongcu ini terkejut dan heran, menyusul lantas terlintas sesuatu pikiran dalam
benaknya, dari rasa kejut dan heran, diam-diam ia bergirang pula, Pikirnya" "Jika orang ini disuruh
menyaru sebagai diriku, pasti tiada seorang pun yang tahu."
Setelah mantap pikirannya, ia tidak pelit lagi, segera dikeluarkan sebuah kotak kecil, kotak itu
terbagi dua sisi, yang sebelah berisi pil warna merah, sisi lain berisi pil warna putih. Dia
mengeluarkan sebiji pil putih dan dilolohkan ke dalam mulut orang itu.
Tidak lama, kelopak mata orang kelihatan berkedut, lalu membuka mata dengan pelahan,
Mendadak ia berbangkit, waktu berpaling, dilihatnya tidak jauh di sebelahnya berdiri sesosok
bayangan orang yang tak jelas siapa, tapi dapat dipastikan bukanlah musuh, maka cepat ia
memberi hormat dan menyapa, "Cayhe Yu Wi, berkat pertolongan Anda sehingga jiwaku dapat
diselamatkan Kalau tidak keberatan, mohon tanya siapakah nama Anda yang mulia?"
Kongcu baju merah itu mendengus, ucapnya dengan angkuh, "lkut padaku!"
Pemuda yang bernama Yu Wi itu menurut dan ikut di belakang Kongcu baju merah serta
meninggalkan hutan sunyi ini.
Hujan sudah berhenti sama sekali, awan pun buyar, sang surya mulai memancarkan sinarnya
yang gemilang, perubahan cuaca ini sungguh sangat aneh cepat datangnya, perginya juga cepat
Luka di pundak Yu Wi sangat parah, setelah berjalan sekian lama, darah mengucur keluar lagi
dari lukanya, Tapi Kongcu baju merah itu pura-pura tidak tahu, bahkan dia mempercepat
langkahnya dan akhirnya malah berlari.
Dengan mengertak gigi dan menahan rasa sakit Yu Wi terus mengintil dari belakang.
Watak anak muda ini ternyata cukup keras kepala, kata-kata yang memohon belas kasihan
tidak nanti diucapkannya, Maka setelah berlari sekian lama, darah yang mengucur dari pundaknya
hampir melumuri seluruh bajunya.
Setelah tiba di suatu gardu di tepi jalan barulah Kongcu baju merah itu berhenti berlari, Dia
berdiri di dalam gardu untuk menunggu Yu Wi yang ketinggalan balasan tombak jauhnya dan
terpaksa harus menyusulnya dengan pontang-panting.
Sekuatnya Yu Wi menyusul sampai di depan undak-undakan gardu itu, dengan menggehmenggeh
ia bertanya, "Adakah lnkong (tuan penolong) hendak memberi perintah apa-apa?"
Baru habis ucapannya, kontan dia jatuh pingsan pula.
Dengan tak acuh Kongcu baju merah itu mengangkatnya ke atas bangku batu di dalam gardu
sekaligus ia tutuk tujuh Hiat-to penting di tubuh orang. Lalu Yu Wi siuman kembali.
Tanpa menunggu orang buka suara, segera Kongu baju merah itu menyodorkan satu biji pil
merah tan memerintahkan. "Lekas diminum!"
Tanpa pikir Yu Wi menerima pil itu terus ditelan. Begitu pil itu masuk perut, seketika ia merasa
perut panas seperti dibakar, cepat ia berduduk dan mengerahkan tenaga dalam untuk
menyalurkan hawa panas dalam perut ke seluruh bagian tubuhnya.
Beberapa lama kemudian, sekujur badannya mulai menguap, air keringat pun merembes
keluar melalui dahinya, Selang tak lama pula, ia merasa sekujur badan telah penuh tenaga dan
tiada ubahnya seperti keadaan sebelum terluka.
Sungguh tidak kepalang rasa terima kasihnya, ia membuka mata dan segera memberi hormat,
katanya. "Anda sungguh pencipta hidup baru bagi Yu Wi, bukan saja memunahkan racun jahat
pedang tulang yang mengenai pundakku, bahkan tenagaku juga sudah pulih, sungguh budi
pertolongan ini takkan kulupakan untuk selama hidup."
"O, kedua orang yang mengejar dirimu itu apakah Hek-po-siang-mo (dua iblis dari benteng
hitam)?" tanya si Kongcu baju merah secara tak acuh.
Dengan hormat Yu Wi menjawab, "Betul, mereka ialah Te-mo Na In-wau dan Jin-mo Kwa Kinlong."
"Kau pun tidak perlu terlalu berterima kasih padaku," kata si Kongcu baju merah. "Bahwa
kutolong kau dengan dua biji obat mujarab, sudah tentu bukannya tidak ada maksud tujuan
tertentu, Aku ada satu syarat, apabila syarat ini sudah kau-laksanakan, maka soal utang budi
segala tidak perlu kau pikirkan lagi."
"lnkong akan memberi perintah apa, silahkan saja memberi petunjuk," kata Yu Wi dengan
penuh hormat. "Aku menghendaki kau menyamar sebagai diriku dan menjadi duplikatku," jawab si Kongcu
baju merah. Yu Wi melengak, baru sekarang ia coba mengamati sang penolong.
Kongcu baju merah ini ternyata serupa benar dengan dirinya, seketika Yu Wi melongo
terheran-heran. ia pun tidak tahu sebab apakah orang minta dirinya menyaru jadi duplikatnya.
"Takkan kusuruh kau berbuat apa-apa yang sulit," kata Kongcu baju merah, "Cukup kau pergi
ke rumahku dan tinggal di sana untuk setahun atau setengah tahun."
Yu Wi menghela napas lega, sesungguhnya semula ia memang kuatir kalau-kalau orang akan
menyuruhnya berbuat sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani, tak tersangka yang
dikehendaki adalah urusan semudah ini. Meski heran, tapi ia pun tidak enak untuk bertanya.
Kongcu baju merah itu tahu Yu Wi takkan membantah, maka dari bajunya dikeluarkannya
sejilid buku kecil dan disodorkan kepada Yu Wi, katanya, "Di dalam buku ini tercatat segala
sesuatu mengenai keluargaku, boleh kau baca dan menghapalkannya, tentu takkan terjadi sesuatu
kesalahan, Sekarang boleh kau mengamati dan menirukan setiap gerak-gerikku."
Yu Wi memang pemuda yang cerdas dan pintar, tidak sampai satu jam ia sudah mahir
menirukan setiap gerak-gerik si Kongcu baju merah dengan baik dan benar, Hanya suaranya saja
tidak sama sehingga sukar ditirunya.
Suara si Kongcu baju merah tajam melengking, tapi hal ini bukan soal, sebab suara Yu Wi
agak serak, seorang yang habis sakit biasanya suaranya akan berubah sedikit, kalau pura-pura
habis sakit tentu tidak akan ketahuan cirinya itu.
Selesai mengatur segala sesuatu, kemudian Kongcu baju merah itu berkata dengan pongahnya
"Kulihat Kungfumu terlalu rendah."
Muka Yu Wi menjadi merah, Jawabnya, "Kepandaian Inkong tiada bandingannya, justeru
Cayhe kuatir penyamaranku akan diketahui orang karena kelemahanku ini."
Dengan tak acuh Kongcu itu berkata, "Akan kuajarkan tiga jurus padamu, setelah apal ketiga
jurus ini, tentu anggota keluargaku takkan mencurigai kepalsuanmu."
Selagi Yu Wi hendak mengucapkan terima kasih, mendadak Kongcu itu memutar tubuh dan
berseru melengking, "Jurus pertama "Keng-to-pok an" (dengan murka menggebrak meja)!"
Terlihat kedua tangannya menghantam sekaligus, angin pukulan menderu, daya pukul airnya
sangat kuat bagaikan ombak mendampar karang.
Habis jurus pertama, menyusul Kongcu itu berseru pula, "Jurus kedua To-thian-ki-long"
(ombak raksasa menggulung ke langit) !"
Jurus kedua ini lebih dahsyat daripada jurus pertama, bayangan telapak tangannya bertebaran
mengurung dari segenap penjuru.
Diam-diam Yu Wi terkejut, pikirnya, "llmu pukulan begini sungguh jarang terlihat di dunia ini."
Mendadak Kongcu itu berseru, "Awas! jurus ketiga "Kay-long-pay-khong" (ombak mendarnpat
memecah angkasa)!"
Angin pukulannya yang dahsyat terus mendampar ke atas, gerak perubahan pukulannya
sangat aneh. Setelah memberi contoh tiga jurus itu, Kongcu baju merah itu berhenti tanpa memperlihatkan
keletihan sedikit pun. Sambil mendongak, dengan sikap sombong ia berkata, "Tidak perlu urusan
tenaga, asalkan gerak tiga jurus ini dapat kau latih dengan baik, maka beres semuanya."
Melihat kesombongan orang, jelas dirinya sangat diremehkan, namun Yu Wi tidak
menghiraukannya, betapapun orang adalah tuan penolongnya.
Maka dengan cermat ia mendengarkan uraian sang Kongcu mengenai ketiga jurus pukulan
dahsyat tadi, Selain uraian, Kongcu itu pun memberi contoh lagi gerak tangannya, sampai sekian
lamanya barulah selesai dia menjelaskan ketiga jurus itu.
"Bila tidak keberatan, mohon Inkong sudi memainkannya sekali lagi," pinta Yu Wi dengan
rendah hati. Terpaksa Kongcu baju merah itu memenuhi permintaan Yu Wi dan mengulangi ketiga jurus
tadi, Diam-diam ia membatin: "Asalkan kau mahir itu jurus saja sudah bolehlah."
Tak terduga, setelah Kongcu itu berhenti, segera Yu Wi memberi hormat dan berkata,
"Sekarang mohon Inkong suka memberi petunjuk lebih jauh!"
Sekali berputar, berturut-turut ketiga jurus "Keng-to-pok-an", "To-thian-ki-long" dan "Kay longpay
kong" terus dimainkan sekaligus dengan lancar, sedikit pun tidak ada tanda kaku dan bingung.
Keruan si Kongcu baju merah terkejut, melihat betapa cepat Yu Wi menguasai ketiga jurus
yang baru diajarkannya itu, dapat dipastikan dalam waktu singkat tentu takkan selisih jauh
daripadanya. "Mohon petunjuk Inkong bilamana ada yang kurang benar!" pinta Yu Wi dengan rendah hati.
"Baik sekali, tidak ada yang salah," jawab Kongcu baju merah sambil menengadah melihat
cuaca, Lalu berkata pula, "Aku masih ada urusan penting yang perlu diselesaikan sekarang kita
bertukar pakaian masing-masing."
Setelah Yu Wi memakai baju merah si Kongcu, ditambah lagi berbagai hiasan ini itu, seketika
ia pun berubah menjadi seorang Kongcu yang anggun dan terhormat.
Usia Yu Wi baru 17, mestinya lebih muda tiga tahun daripada si Kongcu baju merah, tapi
lantaran sejak kecil sudah kenyang gemblengan kehidupan, maka tampaknya menjadi sebaya
dengan Kongcu baju merah yang biasa hidup manja dan senang.
Selesai tukar pakaian, sebelum pergi, Kongcu itu memberi pesan lagi, "Hendaklah hati-hati bila
bertindak sesuatu, dalam keadaan genting dan perlu tentu aku akan muncul."
Sesudah Kongcu itu pergi barulah Yu Wi ingat belum lagi mengetahui siapa nama orang, Ia
coba mengeluarkan buku kecil pemberian si Kongcu tadi dan dibacanya dengan teliti.
Catatan di dalam buku kecil itu ternyata sangat jelas, Lebih dulu diperkenalkan dirinya sendiri.
Kiranya Kongcu baju merah itu adalah putera sulung keluarga Kan, namanya Ciau-bu. Keluarga
bangsawan utama di kota Kim-leng, yaitu kota Nan-king sekarang.
Selesai membaca, tanpa terasa Yu Wi menghela napas, Apa yang dialaminya sekali ini sungguh
seperti mimpi belaka, kehidupan selanjutnya jelas akan berubah sama sekali daripada waktu
sebelum ini. Cuma entah akan untung atau akan buntung.
Tapi baginya sekarang, bila dia dapat bernaung di keluarga utama di kota Kim-leng, jelas hal
ini akan sangat menguntungkannya, Kalau tidak, mata-mata Hek-po tersebar di seluruh dunia,
setiap saat jiwanya terancam.
Begitulah malam itu dia mendapatkan sebuah hotel yang berdekatan, esok paginya dia merasa
tenaga pulih dan penuh bersemangat Diam-diam ia rnengapalkan sekali lagi semua petunjuk yang
tercatat di dalam buku kecil itu. Setelah yakin takkan lupa, sehabis sarapan, berangkatlah dia ke
tempat yang telah ditentukan, yaitu di luar pintu gerbang Tek-seng-bun, kota Kimleng,
Menjelang lohor, benar juga dari dalam kota tampak muncul sebuah kereta kuda yang mewah.
Dia berdiri di bawah pohon, tanpa terasa hati rada tegang, Dilihatnya kereta itu sudah semakin
dekat, pengemudi kereta itu sudah kelihatan dengan jelas.
Menurut catatan di dalam buku kecil itu, diketahuinya pengemudi ini bernama Ciang Cin-beng
berjuluk "Hiat-jiu-hek-sat", si tangan berdarah maut namanya pernah mengguncangkan dunia
Kangouw pada belasan tahun yang lalu, wataknya culas dan banyak curiga, Menurut keterangan
Kan Ciau-bu bila orang ini dapat dikelabui, maka penyamarannya tidak perlu dikuatirkan lagi, pasti
takkan dikenali orang lain.
Kereta kuda itu berhenti di depan Yu Wi, pengemudi yang bernama Ciang Cin-beng itu
berperawakan kurus kecil dan hitam, sinar matanya buram, terdengar dia menvapa, "Kong-cu
sudah pulang"!"
Yu Wi berlagak angkuh dan mendengus dengan dingin.
Lalu Hiat-jiu-hek-sat Ciang Cin-beng turun dari tempat kusir dan membukakan pintu kereta,
dengan senyuman yang dibuat-buat ia bertanya pula, "Baik-baikkah kesehatan Kongcu akhir-akhir
ini?" Diam-diam Yu Wi terkesiap, ia menjadi ragu apakah orang menaruh curiga terhadap badannya
yang kurus"
Ia tidak berani sembarangan menjawab, ia sengaja berucap dengan lagak seperti enggan
banyak bicara, "Banyak omong apa" Lekas jalankan kereta!"
Ciang Cin-beng mengiakan dengan hormat dan tidak curiga sedikit pun.
Sudah belasan tahun dia melayani Kan Ciau-bu, ia kenal watak sang Kongcu yang congkak dan
kasar, maka sikap ketus. sang majikan tidak dipikirkannya, Apabila cara Yu Wi menjawab dengan
ramah tamah, hal ini malah akan menimbulkan curiganya.
Setelah berduduk di dalam kereta, kereta lantas dilarikan secepat terbang,
Yu Wi melihat pajangan di dalam kereta sangat mewah, diam-diam ia membatin, "Melulu dari
kereta ini saja sudah cukup diketahui betapa kaya-rayanya keluarga Kan."
Teringat olehnya keterangan Kan Ciau-bu bahwa setiap hari menjelang lohor pasti ada sebuah
kereta kuda yang siap menyambut pulangnya, padahal Kan Ciau-bu sudah setengah tahun tidak
pulang. tentunya setiap hari juga kereta ini menunggu di luar pintu gerbang kota, setelah
menunggu setengah tahun dan baru sekarang sang Kongcu pulang.
Membayangkan hal ini, tanpa terasa Yu Wi menggeleng kepala, ia merasa cara menyuruh
orang menunggu tanpa batas waktu tertentu ini terasa agak keterlaluan.
Sekian lamanya kereta itu dilarikan, ketika kereta mulai dilambatkan, Ciang Cin-beng lantas
bertanya, "Kongcu ingin masuk melalui pintu mana?"
"Pintu samping," jawab Yu Wi sekenanya.
Tidak lama kemudian, kereta itu berhenti dan Ciang Cin-beng membukakan pintu.
Setelah turun dari kereta itu, Yu Wi coba memandang sekelilingnya, di depan sana adalah
pagar tembok yang tinggi dan membentang berpuluh tombak jauhnya ke sana, kelihatan juga
bangunan gedung yang megah di balik pagar tembok.
Sekitar pagar tembok yang panjang itu, setiap berjarak dua tembok tumbuh sebatang pohon
Liu raksasa. Yu Wi sengaja berhenti di antara dua pohon Liu dan tidak berani sembarangan
bertindak, sebab yang terlihat hanya pagar tembok yang tinggi tanpa tertampak pintu yang
dimaksud. ia pikir daripada berjalan secara ngawur dan mungkin akan menimbulkan curiga Ciang
Cin-beng, akan lebih baik tunggu dan melihat dulu.
Untunglah, sejenak kemudian, selesai Ciang Cin-beng memparkir keretanya dengan baik, cepat
ia menyusul tiba, lalu meraba sesuatu di tengah batang pohon Liu yang berada di sebelahnya.
Selagi Yu Wi merasa heran, terdengar suara mencicit pelahan, tiba-tiba di kaki pagar tembok
depan terbuka sebuah pintu yang cukup dilalui doa orang berbareng.
Dengan hormat Hiat-jiu-hek-sat Ciang Cin beng bcrkata, "Silahkan Kongcu?"
Diam-diam Yu Wi bersyukur dirinya tidak sembarangan bergerak, kalau tidak rahasia
penyamarannya pasti akan menimbulkan curiga orang sebelum masuk di tempat tujuan, susahnya
di dalam buku kecil itu tidak ada keterangan apa-apa, hanya dikatakan pintu masuk terdiri dari
pintu gerbang dan pintu samping. Sama sekali tak tersangka bahwa pintu samping justeru
sedemikian dirahasiakan.
Dengan lagak seperti berada di rumah sendiri, segera Yu Wi masuk ke sana.
Dua genduk atau pelayan muda tampak menyongsongnya, belum dekat mereka sudah
memberi hormat dan menyapa, "Toakongcu sudah pulang!"
Dalam pada itu Ciang Cin-beng sudah mengundurkan diri. Tanpa didampingi orang itu, Yu Wi
merasa lebih mantap. Tanpa terasa ia tersenyum dan menjawab, "Ya, aku baru pulang!"
Kedua genduk itu jadi melengak, diam-diam mereka bertanya di dalam hati: "Tumben Toakongcu
tersenyum."
Melihat kedua genduk, cilik itu kebingungan dengan tertawa Yu Wi berkata pula, "Kalian boleh
mengiringi aku ke kamar tulisku,"
Dari keterangan yang dibacanya didalam buku kecil itu ia tahu sekadarnya tempat-tempat di
gedung yang luas ini, tapi ia pun kuatir kalau ke sasar, maka ingin menggunakan dulu kedua
genduk itu sebagai penunjuk jalan.
Tak tersangka kedua genduk itu sama berteriak kaget "He, bagaimana Kongcu ini?"
Yu Wi tidak tahu bahwa kaum hamba di keluarga besar bangsawan begini semuanya
mempunyai tugasnya sendiri-sendiri, Yang bertugas jaga pintu ya jaga pintu, yang melayani sang
Kongcu masih ada babu lainnya, tugas masing-masing tidak boleh dikacaukan sedikit pun.
sekarang YuWi menyuruh mereka mengantarnya ke kamar, tentu saja mereka terkesiap.
Karcna tidak tahu di mana letak kesalahannya, Yu Wi menjadi bingung sendiri untunglah pada
saat itu juga terdengar suara seruan merdu di sebelah sana, "He, Kongcu sudah pulang!"
Maka muncul empat pelayan dengan langkah gemulai. Dandanan ke empat pelayan ini sama
sekali berbeda daripada kedua genduk penjaga pintu tadi, Sesudah dekat, ke empat pelayan ini
berkata kepada kedua rekannya, "Sekarang tiada urusanmu lagi!"
Kedua genduk pertama tadi mengiakan terus mengundurkan diri.
Salah seorang yang baru datang ini bertubuh montok, dengan sikap yang agak genit dia
berkata kepada Yu Wi dengan tertawa, "Apakah Kongcu hendak mengunjungi Cubo (majikan
perempuan lawan Cukong, majikan laki-laki) dulu?"
Yu Wi menggeleng, jawabnya, "Ke kamar dulu!"
Segera ke empat pelayan itu mendahului jalan di depan, sepanjang jalan tertampak
tetumbuhan terawat dengan baik, semua bangunan sangat megah, nyata benar kehidupan
bangsawan yang mewah:
Diam-diam Yu Wi mengingat setiap tempat yang dilaluinya dan dicocokkan dengan apa yang di
bacanya di dalam buku itu. Setiba di kamarnya, maka gambaran seluruh istana itupun dapat
dipahaminya. Kamar tulis itu pun terpajang sangat indah, ribuan kitab tersimpan di situ, sebuah tempat tidur
Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gading dengan kelambu sutera, bantal dan guling bersulam dan selimut merah kelihatan sangat
serasi. Di sekeliling dinding berhias lukisan indah, pedang dan alat musik sebangsa seruling dan
sebagainya penuh bergantungan setiap benda itu semuanya antik dan bernilai tinggi.
Cepat ke empat pelayan tadi meladeni majikan mudanya, ada yang mengambil air, ada yang
mencucikan muka, ada yang menyisirkan rambutnya serta menggantikan pakaiannya.
Keruan Yu Wi menjadi bingung dan risi karena selama hidup tidak pernah diladeni anak
perempuan secara begini, Tapi ia pun tidak dapat menolak, sebab kuatir rahasia penyamarannya
terbongkar. Sesudah segala sesuatu beres, terdengarlah seorang datang memberitahu, "Cubo ingin
bertemu dengan Toakongcu."
Sudah setengah tahun tidak pulang, dengan sendirinya harus menemui sang ibu.
Yu Wi menjadi kebat-kebit, ia kuatir pada waktu berhadapan dengan ibu Kan Ciau-bu, bisa jadi
kepalsuannya akan tersingkap.
Tapi pertemuan ini jelas tak dapat dihindari, terpaksa ia harus menghadapinya dengan hati tak
tenang. Keluar dari kamarnya ada dua serambi kanan kiri, yang kiri langsung menuju ke ruangan
pendopo, serambi kanan menuju ke tempat tinggal anggota keluarga, Rumah induk tempat tinggal
itu di bangun membelakangi bukit, Kan-lohujin (nyonya besar Kan) tinggal di tingkat paling atas.
Ke empat pelayan tetap berjalan di depan sebagai petunjuk jalan, serambi itu menanjak ke
atas dengan berkelak-kelok, setiap belasan tombak jauhnya tentu berdiri sebuah bangunan, Ketika
sampai pada bangunan kedua, serambi panjang itu terputus oleh sebuah gapura yang sangat
besar, gapura itu terbuat dari balok batu marmer dan di atas gapura melintang tertulis empat
huruf "Thian-ti-lay-hu" atau istana dalam Thian-ti.
Setelah menaiki undak-undakan batu gapura, di kedua sisi terdapat pula bangunan, sementara
itu sudah magrib, cuaca sudah remang, suasana terasa sangat sunyi. Tiba-tiba terdengar sayupsayup
suara seruling yang merdu memilukan dari bangunan sebelah kanan.
Sejak kecil Yu Wi hidup sengsara, perasaannya mudah terharu oleh suara yang memilukan.
Didengarnya suara seruling itu makin lama makin hampa dan makin merawan hati. Tanpa terasa
ia berhentikan langkahnya dan mendengarkan dengan cermat Sampai akhirnya saking terharunya
ia menghela napas panjang.
Melihat itu, salah seorang pelayan yang bernama Jun-khim mendekati Yu Wi dan bertanya,
"Apakah Kongcu ingin menemui Lau-siocia (puteri atau nona Lau)?"
Yu Wi lagi kesima mendengar suara seruling itu, ia terkejut oleh teguran Jun-khim, tanpa
terasa ia menegas, "Lau-siocia?"
Pelayan lain yang bernama He-si ikut menimbrung, "Sejak kepergian Kongcu, selama setengah
tahun ini senantiasa Lau-siocia meniup seruling pada saat demikian, sebaiknya Kongcu
menemuinya lebih dulu!"
Baru sekarang Yu Wi ingat catatan dalam buku itu bahwa Kan Ciau-bu mempunyai seorang
bakal isteri yang juga tinggal di Thian-ti-hu" (istana Thian-ti), namanya Lau Yok-ci.
Mengingat Lau Yok-ci adalah bakal isteri Kan Ciau-bu, tentunya hubungan mereka paling
rapat, bila dirinya bertemu dengan dia, sedikit salah langkah saja mungkin akan ketahuan
kepalsuan sendiri. Maka cepat ia menjawab, "O, tidak, tidak usah!"
Tanpa berjanji ke empat pelayan itu menghela napas berbareng, mereka pun tidak
membujuknya lagi, tapi terus melanjutkan perjalanan ke depan.
Yu Wi tidak tahu sebab apa para pelayan itu menghela napas, apakah karena mereka sangat
berharap agar dirinya mau menemui Lau-siocia" Sebab apa begitu?"
Ia lantas ikut menuju ke depan, tapi dalam benaknya tetap diliputi oleh suara seruling yang
mengharukan itu:
Belasan tombak jauhnya kembali terdapat sebuah gapura yang lebih kecil, di atas gapura
tertulis "Ban-siu-ki" (kediaman panjang umur).
Yu Wi pikir mungkin di sinilah tempat tinggal Kan-lohujin.
Setelah menaiki undak-undakan batu gapura tadi, terlihatlah sebuah gedung yang sangat
megah, dibangun dengan batu putih seluruhnya dengan ukiran model istana.
Setiba di depan istana ini, ke empat pelayan itu lantas berhenti.
Selagi Yu Wi hendak bertanya mengapa mereka tidak meneruskan perjalanan, tiba-tiba dari
sana muncul enam pelayan yang berdandan tidak sama, masing-masing membawa sebuah
tenglong (lampu berkerudung) berwarna hijau pupus.
"Kongcu, hamba akan menunggu saja di sini!" demikian ucap si Jun-khim.
"Tunggu apa" ikut saja naik ke atas!" kata Yu Wi.
"Kongcu?"" seru He-si dengan melenggong.
Jun-khim menjadi sangsi, katanya, "Masa Kong-cu tidak tahu Lohujin tidak pernah mengijinkan
para hamba naik ke Ban-siu-ki?"
"Mengapa tidak boleh naik ke atas?" hampir saja Yu Wi bertanya, Tapi tiba-tiba teringat bila
mana pertanyaan demikian diajukan, tentu kepalsuan dirinya sebagai Kongcu keluarga Kan ini
akan ketahuan, Maka cepat ia ganti ucapan, "Ah, aku memang sudah pikun, Sudahlah, kalian pun
tidak perlu menunggu di sini, sebentar aku dapat pulang sendiri ke kamar, kalian boleh pergi
saja." Dalam pada itu ke enam pelayan tadi sudah dekat, mereka memberi hormat dan berkata,
"Cubo sedang menantikan kedatangan Toakongcu."
Yu Wi mengangguk, ia ikut di belakang mereka dan naik ke atas Ban-siu-ki.
Sesudah pergi jauh, salah seorang pelayan yang berusia paling kecil bernama Tongwa berkata,
"Aneh, baru setengah tahun, Kongcu seperti sudah berubah sama sekali?"
Pelayah yang bertubuh montok dan genit tadi bernama Pi-su, ia pun bergumam heran, "Tidak,
dia seperti bukan Toa-kongcu kita!"
"Apa katamu?" omel He-si, "Kongcu cuma berubah sedikit perangainya, mana boleh
sembarangan kau terka!".
Jun-khim menunduk dan berpikir, katanya kemudian, "Perangai seorang kan tidak mungkin
berubah secepat itu" Watak Kongcu sebelum ini sama sekali tidak seramah sekarang?"
"Kukira watak Kongcu juga tidak banyak berubah," ujar He-si, "bukankah dia menolak untuk
bertemu dengan Lau-siocia?"
"Ai, Kongcu kita sesungguhnya terlalu Boceng (tak berperasaan)," ujar Tong-wa dengan
gegetun. "Sudahlah, jangan banyak omong lagi, marilah kita pulang ke sana," ajak Jun-khim.
Dalam pada itu Yu Wi sudah berada di dalam istana Ban-siu-ki.
Bangunan Ban-siu-ki, sungguh luar biasa, di pandang dari luar masih belum seberapa, kalau
sudah berada di dalam, ternyata bangunan ini tanpa tiang penyangga satu pun, dari sini baru
diketahui betapa hebatnya.
Setelah melintasi ruangan dalam, di depan adalah tangga yang terbuat dari ubin batu, Di
kedua sisi tangga adalah kamar tidur kaum hamba, dan di atas loteng adalah tempat tinggal Kanlohujin.
"Turun temurun keluarga Kan ada tiga angkatan menjabat Perdana Menteri, dengan sendirinya
pengaruh dan kekayaannya tidak kalah daripada keluarga raja," demikian Yu Wi membatin.
Baru saja dia menaiki dua pertiga tangga batu itu, sekonyong-konyong suara merdu seorang
berseru memanggilnya, "Toako! Toako!"
Begitu merdu suara itu hingga mirip burung kenari berkicau, belum tampak orangnya sudah
terendus bau harumnya.
Dalam hati ia bertanya, "Siapakah gerangannya?"
Maka di ujung tangga atas muncul seraut wajah bulat telur, alisnya, matanya, hidungnya dan
mulutnya, semuanya serasi benar Bila diamat-amati lebih jauh, rasanya mirip-mirip Kan Ciau-bu
dan dengan sendirinya juga mirip Yu Wi.
Dengan cepat Yu Wi lantas ingat, "Ah, dia ini tentu adik perempuan Kan Cian-bu yang
bernama Kan Hoay-soan!"
Sedapatnya ia menahan debar jantungnya dan menjawab dengan tertawa, "Moay-moay!"
Wajah Kan Hoay soan sungguh cantik tiada taranya, perawakannya terlebih indah, setiap ruas
tulangnya sedemikian berimbang, rambutnya yang panjang terkepang menjadi sebuah kuncir
panjang, pakaiannya sederhana, baju dan celana ketat dari satin putih, Dandanannya ini sama
sekali tidak berbau puteri keluarga bangsawan, tapi lebih mirip nona dusun yang lincah.
Yu Wi sudah sampai di atas loteng, di lingkungan yang mewah dan megah begini dapat
melihat seorang nona demikian, seketika timbul rasa akrabnya, rasa tak tenteramnya banyak
berkurang. pikirnya, "Alangkah senangnya bilamana aku benar-benar mempunyai adik perempuan
begini!" Melihat sang Toako yang biasanya sangat baik padanya itu, Kan Hoay-soan rada terkejut,
serunya, ?"He, ken... kenapa Toako banyak lebih kurus" Juga suaramu juga rada berubah?"
Yu Wi benar-benar telah anggap si nona sebagai adik perempuannya, maka sikapnya menjadi
kelihatan sangat wajar, ia menjawab, "O, apakah betul" Selama setengah tahun ini Toako jatuh
sakit berat sehingga suara pun berubah agak serak."
"He, sakit apa?" tanya Koan Hoay-soan dengan kuatir.
Yu Wi tersenyum, jawabnya, "Ah, tidak apa2, cuma masuk angin barangkali Apakah ibu
baik2?" Kan Hoay-soan mengangguk, katanya, ?"Ibu sehat-sehat saja." - Dalam hati ia menjadi sangsi:
"Setelah jatuh sakit, mengapa Toako berubah sebanyak ini" Dahulu dia tidak pernah tertawa
begini" Apalagi bertanya mengenai keadaan ibu?"
Sampai Yu Wi, masuk ke kamar Kan-lohujin belum juga Hoay-san ingat bilakah pernah melihat
senyuman yang menghiasi wajah sang Toako, Sudah tentu ia tidak tahu bahwa Yu Wi adalah
Toakonya yang gadungan, Toako samaran, dengan sendirinya wataknya sama sekali tidak sama
dengan Toakonya yang asli.
Di dalam kamar Kan-lohujin lantainya penuh dilapisi permadani kulit harimau, seluruh kamar
penuh hiasan benda-benda antik, di tengah kamar tertaruh sebuah Anglo antik yang sedang
mengepulkan asap cendana wangi yang baunya menyebarkan dan menambah khidmatnya
suasana. Di dalam kamar terdapat pula sebuah kursi besar, seorang nyonya bermuka lonjong dan
berusia 50 an dengan dandanan yang anggun berduduk di situ, Di sebelahnya berdiri seorang
pemuda berkopiah, wajahnya juga lonjong, serupa dengan si nyonya, raut wajahnya rada mirip
Kan Hoay-soan, sama sekali tidak memper Kan Ciau-bu.
Yu Wi tidak tahu siapakah anak muda ini, tapi ia pikir nyonya di hadapannya ini pasti Kan-Iohujin
adanya, maka cepat ia memberi sembah dan berucap, "Anak menyampaikan sembah hormat
kepada ibu!"
Kan-lohujin sama sekali tidak melihat sesuatu kelainan pada diri Yu Wi, dengan dingin ia
berkata, "Bangunlah!"
Dengan hormat Yu Wi merangkak bangun.
Pemuda yang berdiri di samping lantas menyapa dengan tergegap-gegap, "Baik, . . baikkah
Toa.. . . .Toako. . . ."
Baru sekarang Yu Wi dapat memastikan pemuda ini ialah adik Kan Ciau-bu yang bernama Kan
Ciau-ge, dengan tertawa ia lantas menjawab. "Baik, adik tentunya juga baik."
"Ba. . . .baik. . . . baik. . . ." jawab Kan Ciati ge, tampaknya dia rada takut kepada sang Toako.
Mendadak Kan-lohujin marah, omelnya, "Kalau bicara mengapa selalu gelagapan begitu?"
Kan Ciau-ge menunduk ucapnya, "lbu... ak. . . .aku.. . ."
"Sudahlah, kau keluar saja, ibu akan bicara dengan Toakomu," kata Kan-lohujin sambil
memberi tanda. Seperti orang hukuman yang mendapat pengampunan, cepat Kan Ciau-ge berlari keluar,
Ketika lalu di samping Yu Wi, sama sekali ia tidak berani memandangnya.
Yu Wi tidak habis mengerti mengapa anak muda ini sedemikian takut kepada Toakonya.
Tetap dengan suara dingin Kan-lohujin bertanya pula kepada Yu Wi. "Apa saja yang kau
lakukan selama setengah tahun ini di luar sana?""
Sesuai ajaran Kan Ciau-bu, Yu Wi menjawab dengan hormat, "Selama setengah tahun anak
terluntang-lantung di dunia Kangouw, akhirnya jatuh sakit sehingga tidak mengerjakan sesuatu."
"Kalau sakit mengapa tidak pulang saja dan dirawat di rumah?" kata Kan-lohujin,
Pembawaan Yu Wi memang berbakti kepada orang tua, ia pandang Kan-lohujin seperti ibunya
sendiri, dengan hormat ia lantas menjawab, "Sakit anak cukup berat sehingga tidak dapat pulang."
"Sejak ayahmu wafat," demikian Kan-lohujin berkata, "hilang pula kekuasaan dan pengaruh
keluarga Kan, maka orang Kangouw umumnya lantas mengira keluarga Kan akan terus lemah dan
runtuh, lalu benda mestika keluarga Kan pun mulai diincar."
Yu Wi sudah tahu keluarga Kan sampai dengan ayah Kan Ciau-bu, berturut-turut tiga turunan
telah menjabat Perdana Menteri. Tapi ia tidak tahu di Thian-ti-hu ini terdapat benda mestika apa
yang menjadi incaran orang Kangouw, maka ia lantas bertanya, "Siapakah kiranya berani berbuat
demikian?"
"Setengah bulan yang lalu, Cong-piauthau (kepala perusahaan pengawalan) Piaukiok utama di
Kimleng mengantar sepucuk surat ke sini, katanya kiriman dari Soa-say, coba kau baca sendiri,"
kata Kan-lohujin dengan dingin.
Dengan hormat Yu Wi menerima surat yang disodorkan nyonya tua itu lalu dibukanya dan di
bacanya. "Kepada Kan-lohujin di Thian-ti-hu, pada masa hidupnya Kan-kong (tuan Kan) telah
menguras milik rakyat di seluruh negeri, perkampungan kami sendiri pernah menjadi korban
perbuatannya Kini Kan-lo sudah wafat, untuk kepentingan kami sendiri, sebulan lagi kami akan
berkunjung kemari untuk meminta kembali hak milik kami, semoga jangan ditolak agar tidak
timbul tindakan kekerasan Dari Hek-po di Soa-say."
Ketika membaca alamat si pengirim surat itu suara Yu Wi rada gemetar dan wajah pucat, akan
tetapi Kan-lohujin tidak memperhatikan perubahan air muka anak muda itu, ia bertanya, "Coba,
cara bagaimana akan kau atasi urusan ini?"
Cepat Yu Wi menenangkan diri, jawabnya, "Thian-ti-hu tidak boleh menerima penghinaan
demikian harus kita cegah tindakan kekerasan mereka."
"Sudah tentu akan kita cegah," jengek Kan lohujin, "urusan ini tidak boleh dilaporkan kepada
pihak yang berwajib, harus mengandalkan tenaga sendiri, Anggota keluarga Kan hanya Kungfumu
yang paling tinggi, kebetulan kau sudah pulang, maka segala urusan hendaklah kau selesaikan
sebagaimana mestinya."
"Baik, ibu," jawab Yu Wi dengan hormat.
"Tiada urusan lain lagi, boleh kau keluar sana!" ucap Kan-lohujin sambil memberi tanda.
Yu Wi memberi hormat dan mengundurkan diri keluar kamar, Diam-diam ia mengeluh:
"Dengan kepandaianku mana mampu mengatasi serbuan pihak Hek-po nanti?"
Waktu menuruni tangga, kelihatan Kan Ciau-ge sedang menuju ke sini dengan kepala
tertunduk. Waktu menengadah dan melihat Yu Wi, anak muda itu menjadi ketakutan seperti tikus
ketemu kucing, buru-buru ia membelok ke dalam kamar kaum hamba.
Diam-diam Yu Wi menggeleng kepala, pikirnya, "Bila di rumah, tentu Kan Ciau-bu suka
menindas adiknya ini, makanya dia sangat takut padanya"
Di sebelah kiri Ban-siu-ki adalah sebuah hutan buatan, pepohonan teratur dan dirawat dengan
baik di atas tanah pegunungan berwarna kekuning-kuningan.
Keluar dari Ban-siu ki, terlihatlah oleh Yu Wi tanah hutan itu. Teringat olehnya peringatan Kan
Ciau-bu bahwa selain jalan yang biasa dilalui tidak boleh lagi sembarangan berkeluyuran, lebihlebih
tempat di sekitar Ban-siu-ki jangan coba-coba mendekatinya, kalau tidak menurut, pasti akan
mengalami malapetaka.
Ia tidak mengerti di sekitar sini ada malapetaka apa yang akan menimpanya" Namun biasanya
ia sangat hati-hati dan tidak suka menyerempet bahaya, maka ia hanya memandang saja sejenak
keadaan sekitar Ban-siu-ki itu, lalu melangkah pulang ke arah datangnya tadi.
Tapi baru beberapa langkah, di sisi kanan Ban-siu-ki tiba-tiba seorang memanggilnya, "Toako!"
Sebelah kanan Ban-siu-ki itu adalah sebuah bukit tandus, dari lereng bukit sedang melangkah
turun satu orang, ternyata Kan Hoay-soan adanya.
"Ada apa, Moaymoay?" tanya Yu Wi dengan tertawa.
Dengan suatu lompatan cepat, Kan Hoay-soan melayang ke depan Yu Wi, ucapnya dengan
suara manja, "Toako, marilah besok kita pergi berburu singa"!"
Yu Wi tahu setiap anggota keluarga Kan sama mahir ilmu silat, tapi tidak menyangka seorang
nona muda belia seperti Kan Hoay-soan ini sekali lompat dapat mencapai beberapa tombak
jauhnya, Rasanya Ginkang dirinya yang kakak palsu ini pun tak dapat menandingi si nona.
Rupanya karena melenggong oleh Ginkang Kan Hoay-soan yang hebat, seketika Yu Wi tidak
jelas apa yang dikatakan nona itu, maka ia bertanya. "Kau omong apa tadi?"
"Marilah kita berburu singa!" Kan Hoay-soan mengulangi ucapannya dengan mengomel manja.
"Apa" Berburu singa?" Yu Wi menegas dengan terkejut.
Dengan suara sangsi Kan Hoay-soan berkata. "Bukankah Toako biasanya paling suka bermain
memburu singa?"
"Oo!" cepat Yu Wi mengiakan. Tapi di dalam hati dia mengeluh "Melawan seekor singa saja
belum tentu bisa menang, mana kuberani menangkapnya segala, singa bukan kucing, masa boleh
dibuat main-main?"
Dalam pada itu Kan Hoay-soan lantas berseru dengan girang, "Baiklah, besok pagi kita pergi
ke gunung di belakang sana, sudah lama nian tidak bermain dengan kawanan singa."
Mendengar ucapan si nona seakan-akan main berburu singa seperti anak kecil dengan barang
mainannva, diam-diam Yu Wi terperanjat Namun perasaannya itu tidak diperlihatkannya, cepat ia
berkata dengan tertawa, "Sudah malam begini, lekas kau masuk!"
Dengan manja Kan Hoay-soan mengulangi lagi perrnintaannya, "Esok harus berburu singa ya?"
"Wah, tidak bisa!" jawab Yu Wi dengan gugup.
Tapi Kan Hoay-soan tetap ngotot, katanya, "Harus pergi, besok pagi-pagi akan kupersiapkan
segala sesuatu yang perlu dan akan kuseret Toako pergi,"
Habis berucap ia terus lari kembali ke Ban siu-ki, tampaknya dia yakin benar sang Toako besok
pasti akan mengiringi bermain memburu singa.
Tanpa terasa Yu Wi menghela napas, ia pikir mau-tak-mau besok harus pergi, kalau berkeras
tidak mau tentu penyamarannya ini akan ketahuan jika demikian halnya, kan malu terhadap tuan
penolong yang telah menyelamatkan jiwanya itu, Biarlah pergi saja besok, untung-untungan,
barangkali dapat menangkap seekor singa.
Setelah mantap pikirannya, ia menuju kembali ke kamarnya, Ketika lewat gapura besar itu,
didengarnya pula suara seruling yang merawan hati itu, Pikirnya: "Mengapa dia masih juga meniup
seruling?"
Sementara itu hari sudah gelap, suara seruling menjadi tambah mengharukan. Yu Wi berdiri
mendengarkan sekian lamanya, tanpa terasa ia terhanyut oleh suara seruling itu, ia terus
melangkah ke arah suara seruling dan berjalan beberapa tombak jauhnya, mendadak suara
seruling berhenti.
Seketika Yu Wi tersadar dari lamunannya, pikirnva, "Jika ku pergi ke sana, kontan akan
kuhadapi dua persoalan yang akan menguji diriku, Daripada cari penyakit, lebih baik cepat
meninggalkan tempat ini saja."
Maka ia lantas mempercepat langkahnya dan kembali ke kamar sendiri.
oOo OWO oOo Esoknya pagi-pagi Kan Hoay-soan sudah mendatangi kamar Yu Wi, nona ini memakai baju
berburu yang ringkas, menuntun dua ekor kuda putih, begitu sampai di depan kamar segera ia
berteriak, "Toako! Toako! Ayo, berangkat".
Cepat Yu Wi cuci muka dan berdandan seperlunya.
Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar suara si nona, Jun-khim lantas bertanya, "Apakah Kongcu hendak bermain ke bukit
belakang?"
Terpaksa Yu Wi mengiakan dengan samar-samar Buru-buru Pi-su mengeluarkan seperangkat
pakaian berburu yang terbuat dari kulit, He-si juga mengeluarkan sebuah sabuk yang lebar dari
almari, pada sabuk itu terselip sebilah belati dan sebuah cambuk.
Dengan tertawa Tong-wa berkata, "Siocia kita benar-benar gemar berburu singa, Kongcu baru
saja pulang dan dia sudah mengajaknya bermain ke sana . . . ."
"Tanpa dikawani Kongcu, mana Siocia berani pergi sendirian," ujar He-si. "Sejak Kongcu keluar
selama setengah tahun, satu kali saja Siocia tidak pernah main-main ke bukit belakang, Hendaklah
Kongcu berhati-hati sedikit, bukan mustahil selama setengah tahun ini kawanan singa di belakang
bukit sudah tambah buas."
Yu Wi sendiri lagi gelisah, mana dia ada minat mengurusi ocehan kawanan batur itu. Dengan
ogah-ogahan dia berganti pakaian berburu itu, Jun-khim terus mengikatkan sabuk lebar itu di
pinggangnya, Yu Wi memandang belati dan cambuk ini katanya di dalam hati, "Hanya dengan dua benda ini
apakah cukup untuk menangkap singa?"
Karena menunggu cukup lama, Kan Hoay-soan tidak sabar lagi, ia berteriak di luar, "Lekas
Toako! Lekas..."
Terpaksa Yu Wi melangkah keluar kamar.
Dengan tertawa Kan Hoay-soan lantas berkata pula, "Lekas kita berangkat jika tertunda, bukan
mustahil ibu akan memanggil diriku dan gagal kepergian kita!"
Melihat betapa riangnya si nona, Yu Wi sendiri jadi lesu malah, Diam-diam ia cuma mengeluh,
pikirnya, "Bisa" jadi nanti tidak berhasil menangkap singa, tapi berbalik akan dicaplok singa
malah." Kedua orang lantas naik kuda putih, Kan Hoay-soan menunjuk bukit tandus sana dan berkata,
"Kita menuju ke sana dengan melintasi bukit itu, akan lebih dekat."
Yu Wi hanya mengangguk saja tanpa bicara, mereka terus melarikan kuda ke arah bukit.
Pada saat itu juga, mendadak dari atas Ban siu-ki berlari turun seorang genduk yang biasa
bertugas di kamar Lohujin, genduk itu berteriak-teriak:
"Siocia! Siocia!"
Hoay-soan menghela napas. ucapnya, "Ai, Toako, tampaknya kita gagal pergi!"
Diam-diam Yu Wi bergirang, kebetulan pikirnya.
Hanya beberapa lompatan saja genduk itu sudah melayang ke depan kuda Kan Hoay-soan.
Yu Wi terkejut tampaknya kaum batur di Thian-ti-hu juga memiliki Ginkang yang tinggi dan
tidak di bawah dirinya.
Dalam pada itu Kan Hoay-soan jadi bersungut-sungut, tanyanya, "Ada urusan apa?"
Genduk tadi menjawab, "Cubo mendengar Siocia akan pergi berburu singa, beliau bilang Siocia
harus menyelesaikan dulu pelajaran hari ini, kalau tidak dilarang pergi!"
Hoay-soan menoleh ke arah Yu Wi, katanya "Entah mengapa, akhir-akhir ini ibu selalu
memaksa aku dan Ji-ko berlatih Kungfu segiatnya, Baiklah, selesai belajar segera kususul kemari,
hendaknya kau tunggu aku di sana."
Yu Wi tahu sebab apa Kan-lohujin menghendaki mereka giat berlatih Kungfu, tentunya supaya
kelak dapat ikut melawan serbuan pihak Kek-po. Selagi ia hendak membatalkan kepergiannya,
tahu-tahu Kan Hoay-soan sudah melompat turun dari kudanya dan menuju ke Ban-siu-ki dengan
langkah cepat. Tinggal Yu Wi sendirian di situ, ia merasa iseng, ia pikir apa salahnya bila kupergi ke belakang
gunung sana untuk melihat keadaan, bilamana Kan Hoay-soan mendesak lagi mengajak berburu
singa, kalau sudah jelas medannya kan tidak perlu lagi kelabakan.
Begitulah dia lantas melarikan kudanya ke atas bukit yang tandus itu, ia pikir bukit yang
tandus tanpa sesuatu tumbuhan itu tentu tak berbahaya, asalkan hati-hati, biarpun ada perangkap
juga takkan terjebak.
Setelah melintasi lereng bukit, yang dilihatnya sekarang bukan lagi bangunan megah
melainkan tanah datar yang sangat luas. Segera ia melarikan kudanya secepat terbang.
Selewatnya tanah datar itu, jalanan mulai landai lagi. Kini Thian-ti-hu sudah tidak kelihatan
lagi, dia sudah berada di belakang gunung, Selesai melintasi landaian lereng, tertampaklah sebuah
lembah gunung dengan batu padas yang berserakan.
Yu Wi pikir mungkin di sinilah kawanan singa itu berkeliaran.
Ia melompat turun dari kudanya dan manjat ke atas batu karang terus menyusun lembah
gunung itu dengan was-was.
Tak tahunya, lembah gunung itu hanya batu aneh melulu, seekor singa pun tidak kelihatan.
Dia mengira belum mencapai sarang singa, rasa waspadanya menjadi rada berkurang, ia
memutar balik ke arah datangnya tadi.
Ketika lalu di samping sepotong batu yang tinggi, sekonyong-konyong terasakan angin
kencang menyambar tiba, ia berkeluh, "Celaka!" - sekuat nya ia meloncat ke depan,
Waktu ia berpaling, terlihat seekor singa jantan yang gagah perkasa menubruk tempat kosong
dan sedang mengeluarkan suara raungan ke arahnya dengan posisi akan menubruk lagi.
Cepat Yu Wi mencabut belati dan cambuknya. Tapi belum pernah dia menggunakan cambuk,
apalagi cambuk yang khusus untuk menjinakkan singa ini juga jarang dipakai orang biasa, Belati
itu pun hanya dapat dipakai dalam keadaan kepepet dan tidak besar gunanya.
Karena gugupnya, Yu Wi ayun cambuknya dan menyabat serabutan dua-tiga kali, Mungkin
singa itu dahulu pernah merasakan sabetan cambuk, maka sifat buasnya rada berkurang, binatang
itu menunduk dan mengaum pelahan, tampaknya jauh lebih jinak daripada tadi.
Yu Wi bergirang, disangkanya kawanan singa ini sudah terlatih oleh orang Thian-ti-hu dan
sudah hilang sifat buasnya, Tak teringat olehnya bilamana singa ini pernah terlatih, tentu tadi
takkan menyerangnya secara mendadak, Untung dia dapat mengelak dengan cepat, kalau tidak
pasti dia sudah menjadi isi perut singa itu.
Lantaran pikiran itu, nyalinya menjadi tabah, ia malah mendekati singa itu. Dilihatnya singa
jantan itu menyurut mundur dengan takut-takut, Maka ia bertambah berani, ia membentak
pelahan, "Ayo, sini!"
Lagaknya seperti penjinak singa di sirkus saja, ia lupa bahwa dirinya pada hakikatnya tidak
menguasai teknik menjinakkan singa, semula singa itu menyurut mundur karena gentar kepada
cambuknya, tapi karena terdesak terus, akhirnya singa itu menjadi beringas, dengan suara
raungan keras. singa itu mendadak menubruk maju lagi.
Yu Wi tidak kenal sifat singa, tentu saja ia tidak menduga binatang buas itu akan mengganti
secara mendadak, keruan ia menjadi kelabakan, cepat ia menyabat dengan cambuknya, Karena ia
tidak mahir menggunakan cambuk, sabetannya itu tidak tepat sasarannya, apalagi singa itu sudah
tidak takut lagi padanya, cakarnya mencengkeram cambuk Yu Wi terus dibetotnya hingga terlepas.
Anak muda itu tambah gugup dan tegang karena kehilangan cambuk, melihat lawan tidak
memegang cambuk lagi, singa itu terus menerjang maju.
Betapapun Yu Wi sudah belajar Lwekang asli selama beberapa tahun, gerakannya cukup cepat
dan matanya tajam, segera ia angkat belatinya dan menikam. Tikamannya ini lumayan dan dapat
melukai bahu kiri singa itu serta menghindarkan cakarannya.
Walaupun terlepas dari bahaya, tidak urung keringat dingin membasahi tubuh anak muda itu,
Singa itu tambah buas dan meraung-raung, dengan semangat Yu Wi memperhatikan setiap gerakgerik
binatang itu untuk berjaga-jaga kalau diserang lagi.
Pada saat itu juga, tiba-tiba di belakangnya juga bergema suara raungan singa, Keruan tidak
kepalang kaget Yu Wi, cepat ia berpaling Wah. Celaka! Entah sejak kapan tiga ekor singa jantan
yang lebih besar sudah bertengger di atas batu karang.
Singa yang terluka tadi tidak menyia-nyiakan kesempatan pada waktu Yu Wi berpaling, sambil
mengaum keras ia terus menubruk.
Biarpun gugup, pikiran Yu Wi cukup jernih, cepat ia menunduk dan menerobos ke samping
sehingga singa itu menubruk tempat kosong.
Karena mendapat ajakan teman, ketiga singa baru memang juga sudah siap tempur, maka
begitu Yu Wi bergerak, serentak ketiga ekor singa itu pun menerjang maju dari arah yang
berlainan. Dalam keadaan gugup, Yu Wi jadi bingung menggunakan tangan dan kaki untuk melawan.
Tampaknya dia pasti akan menjadi mangsa kawanan singa itu, tanpa terasa ia berseru: "Mati
aku!" Apa yang terjadi saat itu lebih cepat daripada untuk diceritakan, baru saja Yu Wi berkeluh
begitu, tahu-tahu sesosok bayangan hitam melayang turun dari atas batu karang, hanya dengan
beberapa kali hantam dan tendang saja, ke empat ekor singa itu sudah dihajar hingga pontangpanting
dan meraung kesakitan, lalu ngacir dengan mencawat ekor.
Selama hidup Yu Wi hanya mendengar orang bilang singa sangat buas, tapi belum pernah
melihat sendiri binatang buas itu, makanya dia menjadi kelabakan dan hampir saja jiwa melayang,
Namun pikirannya masih tetap terang, dilihatnya bayangan hitam yang menyelamatkan
jiwanya itu adalah seorang perempuan berpakaian hitam ringkas dengan ikat kepala warna hitam
pula. Setelah menghalau kawanan singa tadi, perempuan baju hitam itu lantas berdiri memandangi
Yu Wi dengan termangu-mangu tanpa berucap sepatah kata pun.
Mata alis perempuan ini sangat indah, hidung mancung, kulit badannya putih bersih, agak
kurus, meski tidak secantik Kan Hoay-soan, tapi lebih pendiam dan lebih menarik.
Tak tersangka oleh Yu Wi bahwa seorang anak perempuan semuda ini ternyata menguasai
ilmu silat sehebat ini, hanya beberapa kali hantaman dan tendangan saja telah dapat menghalau
beberapa ekor singa. Kalau saja hantaman dan tendangannya tidak lihay, mana mungkin kawanan
singa yang buas itu mau ngacir begitu saja"
Karena berterima kasih atas pertolongan si nona, dengan serius Yu Wi berucap, "Terima kasih
banyak-banyak atas pertolongan nona, budi kebaikan ini takkan kulupakan."
Air muka perempuan baju hitam agak berubah, ia bertanya, "Siapa kau?"
Yu Wi ragu sejenak, mestinya dia hendak mengatakan nama aslinya, tapi lantas teringat pesan
tuan penolongnya, terpaksa ia berdusta dengan perasaan tidak enak, "Cayhe Kan Ciau-bu dari
Thian ti-hu."
Perempuan baju hitam menggeleng, katanya, "Kau bukan Toakongcu keluarga Kan!"
Kuatir kepalsuannya dibongkar orang, cepat Yu Wi berkata, "Kenapa bukan?"
Dengan tenang perempuan baju hitam itu berkata pu!a, "Toakongcu keluarga Kan termashur
sebagai ahli penakluk singa, jika kau adalah dia, mana bisa terjadi kesulitan seperti tadi?"
Yu Wi bermaksud menceritakan segalanya, tapi sukar untuk menjelaskan ia hanya berucap
dengan menghela napas: "Aku memang betul Toakongcu keluarga Kan!"
Perangai perempuan berbaju hitam itu pendiam dan ramah, ia tidak lagi bilang Yu Wi bukan
Kan-toakongcu, tapi lantas memberi nasihat, "Kawanan singa di sini sangat buas, kau sendiri tidak
menguasai tehnik menjinakkan singa, lain kali jangan datang lagi ke sini."
Bahwa orang yang sama sekali belum dikenal ternyata mau memperhatikannya, tentu saja Yu
Wi sangat terharu, segera ia mengucapkan banyak terima kasih.
Habis berkata, lalu perempuan baju hitam itu melangkah pergi.
Yu Wi memburu maju, tanyanya dengan terangsang, "Tolong tanya siapa nama nona yang
lerhormat?"
Nona baju hitam itu berhenti, jawabnya dengan menunduk, "Namaku tidak dapat kukatakan
padamu." Cepat Yu Wi menambahkan "Cayhe bukanlah orang yang tidak senonoh, bahwa nona telah
menyelamatkan jiwaku, Cayhe ingin tahu nama nona agar budi kebaikanmu dapat selalu kuingat
di dalam hati."
Nona baju hitam menggeleng, ucapnya pelahan:
"Tapi tetap tak dapat kukatakan namaku, cukup asalkan kau ingat si gadis penjinak singa,
begitu saja."
Habis berkata ia melangkah pergi pula.
Mendadak Yu Wi berteriak, "Nona, bolehkah kutemui lagi engkau?"
Namun nona itu tidak menjawab, Yu Wi menyaksikan bayangannya menghilang di balik batu
karang sana dengan termangu-mangu, dalam hatinya terukir suatu bayangan cantik yang sukar
terlupakan. Selang sekian lamanya barulah ia jemput cambuknya, tangkai cambuk itu sudah dicakar pecah
oleh singa, kalau saja kurang cepat berkelitnya tadi, bila tubuhnya yang tercakar, mustahil kalau
tidak terkoyak-koyak.
Membayangkan kejadian berbahaya tadi, tanpa terasa Yu Wi jadi teringat lagi kepada si nona
baju hitam yang telah menyelamatkan jiwanya, ia merasa meski nona ini memiliki Kungfu sangat
tinggi, namun perangainya halus, sungguh jarang ada nona baik hati begini di dunia ini.
Selagi melamun, tiba-tiba ia terkejut oleh suara teriakan nyaring, Kan Hoay-soan berlari tiba
dengan ringan dan cepat, dari jauh ia sudah bertanya dengan tertawa, "Sudah tertangkap belum
singanya?"
Yu Wi menggeleng dengan perasaan hampa, sesudah dekat, dapatlah Kan Hoay-soan melihat
tangkai cambuk Yu Wi yang pecah itu, tanyanya dengan terkejut, "He, Toako sudah pergoki
singa?" "Ya, sudah!" jawab Yu Wi.
?"Lantas bagaimana, tertangkap tidak?" tanya Hoay-soan dengan heran.
Agaknya dia yakin bila sang Toako memergoki singa, dengan kepandaiannya yang hebat
binatang buas itu pasti akan tertangkap dengan mudah. Tapi sekarang ternyata tiada binatang apa
pun yang tertangkap, inilah yang membuatnya heran.
Dengan lesu Yu Wi menjawab, "Aku habis sakit, badanku masih lemah sehingga tidak ada
hasrat buat menangkap singa, Marilah kita pulang saja!" "
Tanpa menunggu persetujuan si nona, segera ia mendahului berangkat.
Tentu saja Hoay-soan kurang senang, tapi sang Toako bilang habis sakit dan badan masih
lemah, terpaksa ia pun tidak berani memaksanya.
Sepanjang jalan pulang ke Thian-ti-hu, Yu Wi tampak murung tanpa bersuara seperti
menanggung macam-macam perasaan.
Meski Kan Hoay-soan paling cocok dengan sang Toako, tapi ia pun rada takut padanya,
melihat Toakonya murung, ia pun tidak berani mengajaknya bicara, Dalam hati ia tidak habis
mengerti mengapa sifat sang Toako mendadak berubah seperti dahulu lagi, kaku dan dingin,
Padahal kan lebih baik jika banyak bicara dan suka tertawa"
Yu Wi berjalan kembali ke kamarnya sendiri dan istirahat sejenak, kemudian dia mengambil
sekenanya satu jilid buku, dilihatnya pada sampul buku itu tertulis: "Cong-lam-kun-kiam-lok" atau
kitab ajaran ilmu pukulan dan pedang Cong-lam-pay.
Ia coba membalik-balik buku itu, yang tercatat di dalam buku itu memang betul ilmu silat
Cong-lam-pay yang hebat. Bilamana buku ini jatuh di tangan orang Kangouw, maka akan
dianggap mestika yang sukar dinilai harganya, Tapi sekarang kitab pusaka ini hanya di simpan
secara biasa saja di kamar ini. Melihat tempat penyimpanannya jelas cuma dianggap buku yang
umum saja, Apakah semua buku yang berada di kamar ini sama nilainya dengan kitab ini?"
Segera ia lolos lagi sejilid buku lain dari rak sana, judul buku adalah "Tiang-pek-kun-kiam-lok",
ilmu pukulan dan pedang Tiang-pek-pay.
Berturut-turut ia melolos tiga jilid lagi dari rak buku dan masing-masing adalah ilmu silat Butong-
pay, ilmu pukulan keluarga Hoan dari Siam-say serta ilmu pukulan gaya Soa-tang.
Nilai kitab-kitab ini pun tidak kalah daripada ilmu pukulan Cong-lam-pay. Maka dapatlah Yu Wi
memastikan bahwa di antara sekian ratus kitab yang tersimpan di kamar ini, semuanya adalah
benda berharga, sungguh ia tidak mengerti mengapa macam-macam intisari ilmu silat dari
berbagai golongan dan aliran itu bisa tersimpan di sini"
Dasar watak Yu Wi memang gemar belajar ilmu siiat, sejak kecil ia pun sudah terpupuk daya
tangkapnya dalam hal membaca. Setelah menemukan gudang pusaka ilmu silat ini, segera ia
membuang jauh-jauh segala urusan dan mulai membaca dengan cermat.
Sampai malam sudah tiba, seluruhnya ia sudah membaca 17 buku, babu yang melayani dia
sudah disuruhnya pergi tidur, hanya tertinggal dia sendiri yang berada di kamar.
Sementara itu sudah jauh malam, suasana sunyi senyap, sekenanya ia coba melolos buku
yang ke 18, dilihatnya judulnya adalah "Tam-keh-wau yang-tui", ilmu tendangan berantai keluarga
Tam. Ia terus membaca kitab itu, baru setengah buku, dilihatnya di halaman tengah terselip secarik
kertas yang sudah terlalu lama sehingga warna putih kertas itu telah bersemu kuning, Waktu ia
membentang kertas itu, kiranya sebuah peta.
Peta ini tidak menarik perhatiannya, tapi dia tertarik oleh beberapa huruf yang tertulis di
belakang peta, beberapa huruf itu berbunyi "Ingin mendapatkan ilmu sakti, hendaklah pergi. .
pergi... pergi . . . . "
Beberapa huruf itu jelas ditulis secara iseng, gaya tulisannya serupa dengan catatan pada buku
kecil itu, terang tulisan tangan Kan Ciau-bu.
Untuk apa dia menulis huruf-huruf ini?" demikian Yu Wi bertanya-tanya di dalam hati.
Melihat nada tulisan itu, kata "pergi" itu tertulis belasan huruf banyaknya, seolah-olah hal ini
meragukan pikiran Kan Ciau-bu, setelah dipikir lagi dan ditimbang, demi mendapatkan ilmu sakti
"Akhirnya diputuskannya harus "pergi".
Lantas "pergi" ke mana"
Yu Wi coba memeriksa peta itu dengan cermat, sampai sekian lamanya, akhirnya dia tahu apa
artinya, Yang terlukis pada peta itu kiranya tempat di sekitar Ban-siu-ki.
Hampir sebagian besar yang terlukis pada peta itu adalah daerah hutan buatan yang terletak
di sisi kiri Ban-siu-ki itu, yaitu tempat yang khusus diperingatkan oleh Kan Ciau-bu agar tidak boleh
sembarangan didekati, kalau tidak pasti akan tertimpa malapetaka.
Di atas peta terdapat banyak garis merah dan disana sini diberi keterangan huruf kecil. Yu Wi
menelusuri garis merah itu, maka tahulah dia Ciau-bu khusus memperingatkan dirinya mengenai
malapetaka yang mungkin akan menimpanya itu.
Kiranya pada tanah bukit berwarna kekuning-kuningan itu terdapat macam-macam perangkap
yang berbahaya.
Selesai mengikuti garis-garis merah itu, tempatnya ternyata sudah melampaui hutan buatan
itu. Diam-diam Yu wi berpikir, "Kiranya tempat yang hendak dituju Kan Ciau-bu itu terletak di balik
hutan buatan ini."
Ia lantas teringat kepada kesukaran yang dihadapinya nanti, yaitu batas waktu yang
ditentukan pihak Hek-po. Betapa lihay jago yang dikirim Hek-po cukup diketahuinya, kalau melulu
berdasarkan kepandaian sendiri jelas tidak mungkn sanggup menahan serbuan pihak Hek-po. Lalu
apakah harus membiarkan mereka menyerbu ke sini begitu saja.
Mengingat Kan Ciau-bu tidak berada di sini. sedangkan dirinya telah menyamar sebagai Kan
toakongcu itu, maka kewajiban melindungi Thian ti-hu adalah menjadi tugasnya. Untuk
menyebutkan Thian-ti-hu, jalan satu-satunya adalah berusaha dalam waktu yang singkat
menguasai Kungfu yang cukup kuat untuk menghadapi serbuan pihak Hek-po nanti.
Meski di dalam kamar ini penuh kitab pelajaran silat, tapi semuanya sukar untuk dipahami
dalam waktu singkat sekalipun berhasil mempelajarinya dan akan menambah kepandaiannya
sendiri tapi kalau dibandingkan jago Hek-po jelas masih belum sembabat, jangankan hendak
menggempur mundur penyerbu dari Hek-po, asalkan dapat bertahan dengan sama kuat saja
sudah luar biasa.
Setelah dipikir dan direnungkan lagi lalu di pandangnya pula tulisan di belakang peta, akhirnya
ia mengambil keputusan, jalan keluar yang paling baik adalah "pergi" ke sana dengan
Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyerempet bahaya.
Ia pikir mungkin di sana akan ditemukan semacam ilmu silat yang dapat dikuasainya secara
sistem kilat. Dengan demikian penyerbu dari Hek po akan dapat digempur mundur dan sekadarnya
membalas budi pertolongan Kan Ciau-bu.
Begitulah ia duduk termenung sendirian, lama-lama jadi mengantuk. Maklum, siang harinya
banyak mengalami ketegangan, di tengah malam dingin sekarang badan menjadi terasa penat.
Selagi ia bebenah hendak tidur, mendadak pintu kamar di buka orang, Pi-su, pelayan yang
montok itu tampak masuk dengan membawa nampan.
"Sudah jauh malam begini, kenapa belum tidur?" tanya Yu Wi.
Pi-su tertawa genit, ucapnya dengan suara yang dibuat-buat, "Melihat Kongcu belum tidur,
hamba juga tidak dapat pulas. Maka hamba sengaja membuatkan semangkuk wedang kacang
untuk Kongcu."
Karena suara orang yang tidak enak didengar itu, diam-diam Yu Wi merasa kurang senang,
dengan dingin ia menjawab, "Kan sudah kukatakan aku tidak perlu diladeni kalian lagi?"
Pi-su menaruh sampannya di atas meja, ia pandang Yu Wi dengan senyuman merangsang,
ucapnya dengan suara memikat, "Tengah malam kubuatkan wedang kacang ini, harap Kongcu
sudi memakannya."
Yu Wi tidak sampai hati untuk menolak lagi, ia pikir orang bermaksud baik, biarlah kumakan,
lalu kusuruh dia lekas pergi.
Maka ia lantas menyendok wedang kacang itu dan dimakan dengan pelahan.
Setelah habis semangkuk wedang kacang itu, waktu ia berpaling dan hendak menyuruh Pi-su
membawa pergi mangkuk kosong itu, sekonyong-konyong dilihatnya babu montok itu telah
menanggalkan bajunya sehingga tersisa baju dalamnya yang tipis.
Seketika Yu Wi melenggong oleh pemandangan yang menggiurkan itu, Dilihatnya Pi-su telah
mengurai rambutnya yang panjang hingga semampir di pundak, lalu berucap dengan genit,
"Kongcu sudah lama sekali hamba tidak melayanimu sambil bicara dan tertawa mengikik, seperti
ular air saja ia terus memberosot ke pangkuan Yu Wi.
Tersentuh oleh tubuh yang kenyal itu, seketika Yu Wi seperti dipagut ular, ia membentak
tertahan "Enyah!"
Ia kuatir didengar orang, maka tidak berani membentak dengan suara keras.
Siapa tahu Pi-su tidak menghiraukan bentakannya, bahkan terus pentang tangan dan
merangkulnya. Keruan Yu Wi seperti ketemu makhluk berbisa, kagetnya tidak kepalang, Maklumlah,
betapapun ia masih bertubuh jejaka, masih suci bersih. Cepat ia melompat mundur dan melolos
pedang yang tergantung di dinding, dengan ujung pedang mengancam di dada Pi-su, ia
mendamperat dengan suara perlahan, "Jika tidak lekas enyah, segera kubinasakan kau!"
Napsu berahi Pi-su seketika buyar oleh gemilapnya sinar pedang, ia menyurut mundur sambil
menatap sang Kongcu lekat-lekat, katanya, "Kong . . . . Kongcu, ke . .. kenapakah kau?"
Yu Wi menjawab dengan memandang ke arah lain, "Manusia harus tahu malu, lekas pergi dari
sini dan sadarilah kekeliruanmu, selanjutnya aku pun akan melupakan kejadian malam ini!"
Dia mengira mungkin Pi-su mendadak terangsang nafsu berahinya, maka melakukan tindakan
yang tidak tahu malu ini, dengan welas-asih ia menyuruhnya jangan tersesat, iapun takkan
mengusut perbuatannya ini,
Tak terduga, sama sekali Pi-su tidak menerima maksud baiknya itu, sebaliknya ia malah
tertawa. Melihat pelayan itu sama sekali tidak kenal malu, Yu Wi menjadi marah, tapi ia tetap tidak
berani memandangnya, hanya berkata padanya.
"Lekas pergi kau, lekas, jangan kau bikin marah padaku!"
Namun Pi-su tertawa lebih keras, ucapnya, "0. Kongcuku yang palsu, berpalinglah ke sini kalau
bicara!" Mendengar sebutan "Kongcu palsu" itu, Yu Wi terkejut, waktu ia berpaling, dilihatnya Pi-su
telah mengenakan bajunya, meski masih tertawa, namun jelas tidak bermaksud baik.
Karena penyamarannya diketahui orang, tentu saja Yu Wi rada tegang, ucapnya dengan
gelagapan, "Apa... apa katamu?"
Pi-su berhenti tertawa, lalu menyindir, "Kami berempat memang lagi heran mengapa perangai
Toakongcu telah berubah, tak tersangka bisa berubah menjadi seorang pendeta yang alim!"
"Apa... apa maksudmu?" tanya Yu Wi dengan tidak tenteram.
"Maksudku?" jawab Pi-su. "Maksudku supaya selanjutnya kau harus tunduk kepada segala
perintahku."
Dengan marah Yu Wi mendamperat, "Sebagai tuan muda Thian-ti hu, masakah aku harus
tunduk kepada perintah seorang batur seperti kau ini?""
"Hm, masakah kau masih berani mengaku sebagai Kongcu kami?" jengek Pi-su dengan benci,
"Kongcu sudah terbiasa gila seks, kebersihan tubuhku justeru dirusak olehnya, jelas dia bukan kau
si pendeta ini."
Yu Wi tak menyangka bahwa antara Kan Ciau-bu dan babunya ini sudah ada perzinaan, pantas
kepalsuannya dapat diketahui olehnya.
Terpaksa ia menjawab dengan menahan perasaannya, "Apa kehendakmu sebenarnya?"
Pi-su melangkah ke pintu, lalu menoleh dan berucap pula dengan tertawa, "Asalkan kau
tunduk kepada perintahku, maka kepalsuanmu takkan ku bongkar,"
Habis berkata, pergilah dia dengan langkah menggoyangkan pinggul.
Dengan sedih Yu Wi merapatkan pintu kamar, sekilas dilihatnya sesosok bayangan orang
mengintil di belakang Pi-su dengan cepat dan gesit tanpa menimbulkan suara.
Lantaran godaan Pi-su itu, hilanglah rasa kantuk Yu Wi, penyamarannya telah diketahui
pelayan itu, keadaannya tentu akan tambah gawat, ia pikir bila selesai menghadapi serbuan pihak
Hek-po nanti harus selekasnya meninggalkan Thian-ti-hu agar tidak berada di bawah ancaman Pisu
dan melakukan sesuatu yang tidak menguntungkan Thian-ti-hu.
Terdengar kentongan ketiga sudah berbunyi di luar, itulah waktu yang paling baik bagi Yaheng-
jin atau orang pejalan malam.
Hati Yu Wi tergerak, ia pikir kenapa tidak malam ini juga pergi ke daerah misterius di sisi kiri
Ban-siu-ki itu untuk mencari ilmu sakti, lalu mempelajarinya dengan cepat guna menghadapi pihak
Hek-po. Segera ia berganti pakaian ringkas dan membawa serta peta itu, dengan cepat ia menuju ke
arah Ban-siu-ki.
Seluruh kompleks Thian-ti-hu terasa sunyi senyap dan kelam, hanya ada cahaya bulan
remang-remang di ujung langit dan cukup sebagai penerangan jalan.
Setiba di depan Ban-siu-ki, tiada terlihat sinar lampu setitik pun. Diam-diam Yu Wi merasa lega
tapi tidak kurang kewaspadaannya, ia memperingatkan dirinya sendiri agar tindak-tanduknya
jangan sampai dipergoki orang lain, kalau tidak, tentu akan mengecewakan sang Inkong atau tuan
penolongnya, yaitu Kan Ciau-bu.
Ia sangat heran, mengapa Kan-toakongcu pun tidak boleh mendekati hutan di depan sana"
Lalu siapakah yang diperbolehkan ke situ"
Ia mengeluarkan peta dan membacanya di bawah sinar bulan, dengan hati-hati sekali ia
melintasi tanah kekuning-kuningan itu terus mendekati hutan itu. Dilihatnya pepohonan diatur
dengan rajin dan ditanam dalam jarak sangat dekat Menurut keterangan pada peta itu,
diketahuinya pepohonan itu sama sekali tidak boleh disentuh.
Menurut catatan dalam peta, seluruhnya ada 13 jalan masuk ke hutan itu, tapi hanya satu
jalan hidupnya, 12 jalan lainnya adalah jalan kematian, Dari jalan ke sembilan Yu Wi masuk ke
dalam hutan. Baru berjalan sembilan langkah, di depan muncul jalan simpang tiga, Yu Wi langsung menuju
ke jalan yang tengah, Sampai di sini, diam-diam Yu Wi mulai ngeri, sebab menurut keterangan
dalam peta itu, selanjutnya dia akan mengalami 18 jebakan bila salah langkah jiwa bisa melayang.
Karena rindangnya pepohonan, cahaya bulan tidak dapat menembus ke dalam hutan. ia
menyalakan geretan api untuk mengobori hutan yang seram itu, Akan tetapi semua pohon
kelihatan sama, tiada sesuatu tanda perbedaan.
Penerangan obor hanya mencapai jarak sepuluh langkah, padahal menurut keterangan peta,
pada langkah ke sebelas terdapat perangkap, Diam2 ia menghitung, satu dua, tiga....
Tapi dia tidak tahu bahwa cara menghitung langkahnya itu harus dimulai sejak dia masuk ke
dalam hutan, karena kesalahan ini, ketika dia baru menghitung sampai sepuluh, tersentuhlah
pesawat rahasia yang tertanam di permukaan tanah, seketika pepohonan di kanan-kirinya
menerbitkan suara pelahan.
Jilid ke-2 Begitu mendengar sesuatu yang tidak beres, sekuat-nya dia terus meloncat setingginya, lebih
dua tombak tingginya dia meloncat, dilihatnya di bawah kaki beratus anak panah saling
menyambar dari sisi kanan dan kiri, semua anak panah itu menancap di batang pohon kedua sisi
jalan tadi. Begitu selesai terjadi hujan panah, Waktu Yu Wi turun lagi kebawah sudah tidak berbahaya
lagi. ia lihat anak panah itu sama menancap cukup dalam di batang pohon, diam diam ia
bersyukur di dalam hati berhasil menghindari ancaman elmaut itu.
Coba kalau dia terlambat sedetik saja, tentu beratus anak panah itu sudah bersarang di tubuh
nya, nnni dia dapat hidup sampai sekarang"
Saat itu juga, tibx tiba di luar hutan sana terdengar suara berisik orang banyak, waktu ia
berpaling, tertampak cahaya lampu gemerapan. ia terkejut entah darimana mereka mendapat
tahu ada orang melanggar daerah terlarang ini"
Dia tidak berani lagi meneruskan perjalanan, ia mengeluarkan peta, menurut keterangan, 30
langkah lagi akan terdapat dua jalan simpang, jalan yang sebelah kiri akan menembus ke luar
hutan melalui jalan lain.
Meski sudah makan waktu sekian lamanya, tapi orang di luar hutan tidak kelihatan mengejar
ke dalam, jelas orang Thian-ti-hu sendiri tidak ta hu cara bagaimana masuk ke dalam hntan meski
diketahui dengan jelas di dalam hutan ada musuh, maka cepat Yu Wi melangkah ke depan
menurut petunjuk peta itu, dengan aman dia lari keluar melalui jalan simpang itu.
Jalan simpang itu menembus ke belakang gunung, dari situ ia berlari kembali ke kamarnya dan
tidak kepergok siapa pun. Diam-diam ia merasa mujur, buru-buru ia berganti pakaian lagi,
Baru saja selesai ganti pakaian, masuklah seorang ke dalam kamar, dengan suara seram orang
itu bertanya, "Ke manakah Kongcu tadi?"
Orang ini bertubuh tinggi besar, mukanya lebar, tampangnya kelihatan setia, Yu Wi tidak
melihatnya sejak datang, tapi secara cerdik dapatlah ia memastikan bahwa orang ini pastilah
congkoan atau kepala rumah tangga Thian-ti-hu yang bernama Phoa Tiong-hi.
Ia tidak menjawab pertanyaan orang, tapi sengaja berkata dengan ketus, "Bagaimana keadaan
di luar sekarang?"
Ucapan ini cukup lihay, selain menunjukkan dia sudah tahu ada orang melanggar daerah
terlarang di Ban-siu-ki dan dirinya baru saja kembali dari sana, meski tidak langsung menjawab
pertanyaan Phoa Tiong-hi itu, tapi seakan-akan telah memberitahukan jejaknya tadi, bahkan juga
tetap menjaga wibawa seorang majikan.
Phoa Tiong-hi tidak tahu dengan pasti jejak sang "Toakongcu" tadi, ketika dia mendapat tahu
ada orang melanggar daerah terlarang di Thian-ti hu, cepat ia berlari ke tempat kediaman Toa
kongcu untuk melapor, tapi Toakongcu tidak diketemukan waktu itu ia sudah curiga ke mana
perginya Toakongcu"
Ketika ia mengatur anak buahnya agar mengepung jalan masuk hutan di dekat Ban-siu-ki,
supaya musuh tak dapat kabur, sejenak kemudian dia berlari kembali lagi ke tempat Toakongcu,
tapi sekarang sang Toakongcu ternyata sudah pulang.
Setahunya, asalkan ada orang menyentuh pesawat rahasia di daerah terlarang itu, maka genta
yang terpasang di dalam kamarnya akan segera berbunyi sebah itulah dia adalah orang pertama
yang mengetahui kejadian itu, Masa Toakongcu bisa mengetahui lebih dulu daripada dirinya"
Sudah dua keturunan majikan Phoa Tiong-hi menjadi congkoan di Thian-ti-hu, namun belum
juga mengetahui seluk-beluk urusan keluarga sang majikan, maka ia pun tidak berani memastikan
apakah Toakongcu memang sudah tahu lebih dulu pelanggaran daerah terlarang itu, Jika demikian
halnya, rasa curiganya tadi menjadi berlebihan.
Karena itulah terpaksa ia menjawab, "Hamba belum mendapat laporan, biarlah hamba pergi
menyelesaikannya."
Habis berkata, tanpa memberi hormat ia terus melangkah pergi seolah-olah tidak memandang
sebelah mata terhadap sang Toakongcu.
Menurut catatan Kan Ciau-bu di dalam buku kecil itu, Yu Wi mengetahui bahwa Phoa Tiong hi
ini sangat licin dan culas, sekarang terbukti dia memang tidak mengacuhkan Toakongcunya,
bahkan dirinya sudah pulang seharian, tapi Phoa Tiong-hi tidak datang memberi hormat.
Pantasnya, sesudah sang majikan muda pulang dari bepergian sekiar lama, sebagai congkoan
seharusnya dia menyampaikan salam hormatnya lebih dulu. Mungkin disebabkan dia sudah
menjabat congkoan jauh sebelum Kan Ciau-bu lahir, maka dia tidak begitu mengacuhkan majikan
muda itu, Pantaslah Kan Ciau-bn bilang dia licin dan dengki.
Setelah tiada terdengar apa apa lagi di luar, Yo Wi menanggalkan pakaian dan hendak tidur,
tiba-tiba pintu kamar diketuk orang pelahan, terdengar suara Phoa Tiong-hi sedang memanggil,
"Buka pintu, Kongcu! Buka pintu!"
Setelah pintu dibuka, Yu Wi berlagak kurang senang dan menegur, "Ada urusan apa lagi?"
"Hamba ingin memberi lapor bahwa di luar sudah tiada terjadi sesuatu apa." kata Phoa Tionghi
dengan lagak misterius.
Melihat orang bicara dengan menyimpan sesuatu rahasia, Yu Wi menjadi tidak sabar, katanya,
"Sesungguhnya ada urusan apa, lekas katakan!"
"Menurut laporan. katanya pelayan Kongcu si Pi-su menggantung diri di kamarnya," tutur Pho
Tiong-hi. "Hah, apa betul" Dan mati tidak?" seru Yu Wi.
Diam-diam Phoa Tiong-hi mengangguk-angguk sendiri, pikirnya, "Kau si gila seks ini, besar
kemungkinan kau yang mendesak dia mati gantung diri!"
Namun begitu di mulut dia menjawab dengan sedih, "Sudah cukup lama dia mati, keadaannya
sangat mengenaskan!"
Yu Wi tercengang ia tidak mengerti sebab apakah Pi-su membunuh diri" Tidak ada alasan
baginya untuk gantung diri, tentu ada yang membunuhnya. tapi siapakah yang membunuhnya"
Melihat sang Kongcu diam saja, Phoa Tiong hi makin yakin kematian Pi-su itu pasti akibat
dipaksa oleh majikan muda ini, Tadi dia memang sudah curiga ketika diketahui sang Kongcu tidak
berada di kamarnya, sekarang rasa curiga itu menjadi hapus, ia yakin waktu itu tentunya majikan
mudanya ini kebetulan pergi ke kamar Pi-su dan memaksa pelayan itu membunuh diri. Menurut
perkiraannya, Pi-su juga tidak ada alasan untuk bunuh diri, semua ini tentu gara-gara perbuatan
Toa-kongcu. Ketika Yu Wi tenang kembali, Phoa Tiong- hi ternyata sudah pergi secara diam-diam, dengan
limbung Yu Wi menutup pintu kamar lagi dan tidur dengan penuh tanda tanya.
Esok paginya peristiwa gantung dirinya Pi-su telah tersiar ke seluruh Thian-ti-hu, waktu Junkhim,
He-si dan Tong-wa datang meladeni Yu Wi, air muka mereka tampak sedih, lebih-lebih
Tong-wa yang berperasaan halus itu, matanya tampak merah habis menangis.
Siangnya tanpa sengaja Yu Wi mendengar percakapan antara Tong-wa dengan He-si, dengan
suara lirih Tong-wa berkata, "Enci He, sebab apakah Kongcu membunuh Enci Pi?"
"Jangan tanya melulu, aku pun tidak tahu." jawab He Si dengan kurang senang.
"Sesungguhnya enci Pi dibunuh oleh Kongcu atau bukan?" tanya Tong-wa pula.
"Aku tidak tahu," jawab He-si, "jangan sembarang omong, awas, kau bisa celaka."
Tentu saja diam-diam Yu Wi merasa penasaran karena dirinya yang dituduh membunuh Pi su,
ia bertekad akan menemukan si pembunuhnya kalau tidak tentu sukar membersihkan nama baik
Inkong, Tapi dengan cara bagaimana supaya bisa menemukan si pembunuhnya" padahal tiada
petunjuk setitik pun, ke mana dia akan menyelidiki,
Karena kesal, ia terus melangkah ke depan tanpa arah tujuan, Tanpa terasa ia telah berada di
belakang gunung, teringatlah dia kepada Hun-say li atau si gadis penjinak singa, seketika timbul
hasratnya untuk bertemu lagi, scakan-akan kalau dapat bertemu dengan si gadis penjinak singa
maka kelembutan si nona akan dapat menghapuskan semua rasa kesalnya.
Tanpa menghiraukan kebuasan kawanan singa, ia terus turun lagi ke lembah sana, setiba di
tempat kemarin, keadaan sunyi senyap, hanya angin meniup semilir dan menerbitkan suara
gemersik. Memandangi batu besar dari mana si gadis penjinak singa itu melayang turun untuk
menyelamatkan jiwanya, adegan kemarin itu seolah-olah terbayang lagi dengan jelas, rasanya si
nona seperti berdiri pula di depannya dan sedang bicara padanya dengan suara ramah-tamah.
Tanpa terasa ia berteriak, "Hun-say-lil . . .Hun-say-li!"
Akan tetapi yang terdengar hanya kumandang suaranya yang bergema di lembah sunyi itu.
Rupanya ia menjadi lupa bahwa suara teriakannya itu mungkin akan mengagetkan kawanan singa
dan kalau binatang buas itu muncu!, tentu dirinya tidak mampu melawannya.
Baginya hanya ada suatu pikiran yang mendesak, yaitu ingin bertemu pula dengan Hun-say-li
atau si gadis penjinak singa.
Meski dia mengulangi lagi teriakannya sampai sekian lama, namun Hun-say-li tetap tidak
muncul Anehnya kawanan singa itu pun tidak kelihatan
Dengan masgul dan hampa terpaksa ia tne tiinggalkan lembah gunung itu.
Seharian itu Kan Hoay-soan juga tidak datang mengajaknya bermain, Yu Wi pikir mungkin Kan
lohujin mendesak si nona supaya belajar Kungfu lebih giat, Maklumlah, tidak lama lagi musuh dari
Hek-po akan tiba, Diam-diam mereka sama bersiap-siap untuk perang tanding, lalu dengan
kepandaian apa dirinya akan menghadapi musuh dari Hek-po nanti"
Dia tidak berani lagi sembarangan mendatangi daerah terlarang di dekat Ban-siu-ki itu. waktu
iseng digunakannya untuk membaca macam-macam kitab pelajaran Kungfu dari berbagai aliran
itu, ia pikir barangkali dari kitab itu akan ditemukan semacam Kungfu yang dapat dipelajari
dengan sistem kilat.
Sehari suntuk itu lebih 20 jilid kitab telah dibacanya, semuanya adalah pelajaran ilmu silat dan
golongan terkenal, akan tetapi tidak ada Kungfu yang dapat dipahami dengan cepat, tanpa terasa
lima hari sudah lewat Setiap pagi dia pasti pergi ke belakang gunung untuk mencari Hun-say-li,
tapi biarpun kerongkongannya sampai pecah, teriakannya tetap percuma, Hun-say-ii tetap tidak
muncul, singa juga tidak kelihatan seekor pun.
Pagi hari ke enam, ketika dia pulang dari belakang gunung, dilihatnya Kan Hoay-soan sudah
menunggunya di dalam kamar.
"Hari ini kau tidak berlatih Kungfu, Moay moay?" demikian Yu Wi mendahului menegur.
"Belum selesai berlatih," jawab Hoay-soan dengan tertawa, "beberapa hari ini ibu mengajarkan
kami dua macam Kungfu baru, untuk mengendurkan saraf, sengaja kulari ke luar untuk cari
angin." "Kungfu baru apakah?" tanya Yu Wi. "Kata ibu sudah lama Toako menguasai Kungfu ini,
namanya Thian-lo-ciang," tutur Hoay-soan.
"Oo!" Yu Wi bersuara singkat sebagai tanda dirinya memang sudah mahir ilmu pukulan Thian
lo-ciang. padahal nama Thian-lo-ciang saja baru sekarang untuk pertama kalinya didengarnya.
"Menurut ibu," Hoay-soan menyambung pula "beberapa hari lagi musuh dari Hek-po akan
datang untuk merampas barang mestika kita, hanyi itulah pukulan baru ini yang rasanya dapat
digunakan untuk mengalahkan musuh. Eh, Toako, apakah benar ilmu pukulan ini dapat
Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diandalkan?"
Mana Yu Wi tahu hal tersebut terpaksa mengiakan dengan samar-samar
"Eh, Toako, kenapa kau tambah kurus?" tanya Kan Hoay-soan tiba-tiba.
"Masa tambah kurus"!" jawab Yu Wi.
Hoay-soan menghela napas, katanya, "Tadi aku pun baru menyambangi bakal isteri Toako, ku
bilang dia tambah kurus dan dia juga tidak percaya."
Diam-diam Yu Wi merasa heran tentang bakal isteri Kan Ciau-bu itu, dirinya tidak
menjenguknya, dia juga tidak ambil pusing, apakah antara dia dan Kan Ciau-bu sama sekali tidak
ada ikutan batin"
Selagi Yu Wi termenung, tiba-tiba Hoay-soan berkata pula kepadanya, "Toako, maukah
kaupergi menjenguk dia?"
Yu Wi diam saja.
Melihat sang Toako tidak lagi bersungut seperti dahulu bilamana menyinggung urusan bakal
isterinya itu, ia tambah berani, segera tangan Yu Wi ditariknya, ucapnya dengan manja, "Marilah
pergi menjenguk dia."
Karena Hoay-soan telah menyeretnya, Yu Wi tidak enak untuk menolak, Lagipu!a jika dirinya
mewakili Inkong menjenguk bakal isterinya, bisa jadi akan menambah hubungan baik mereka.
Karena itulah ia lantas ikut melangkah ke sana.
Kuatir sang Toako akan kabur di tengah jalan, Hoay-soan terus menarik tangan Yu Wi hingga
sampai di kamar Lau Yok-ci.
Belum lagi masuk ke kamar si nona Yu Wi lantas mengendus bau harum kamar perawan yang
harum semerbak, Diam-diam ia rada kebat-kebit, ia pikir pertemuanku yang Kan Ciau-bu
gadungan ini dengan bakal isterinya janganlah sampai merenggangkan hubungan baik mereka,
bahkan kalau sampai penyamaranku ini diketahui tentu segala urusan bisa runyam.
Setiba di depan kamar segera Hoay-soan berteriak, "Lau-cici! Lau-cici!"
"Siapa itu?" terdengar suara anak perempuan menjawab di dalam kamar
Yu Wi terkejut karena merasa suara itu sudah dikenalnya.
"Keluarlah, Lau-cici!" seru Hoay-soan dengan mengikik-tawa, "lni, ada orang ingin bertemu
dengan kau."
Dan ketika didengarnya langkah orang di dalam kamar sudah sampai di ambang pintu,
mendadak ia mendorong Yu Wi sekuatnya ke dalam kamar sambil tertawa ia terus lari pergi
secepat terbang.
Karena didorong ke dalam kamar, hampir saja Yu Wi bertubrukan dengan orang yang berada
di dalam, waktu ia menengadah, di depannya telah berdiri seorang nona cantik berbaju hitam,
wajahnya terasa sudah dikenalnya.
"He, Hun-say-li!" seru Yu Wi tanpa terasa.
Sama sekali ia tidak menduga bahwa bakal isteri Kan Ciau bu yang bernama Lau Yok ci itu tak
lain tak bukan adalah Hun-say-li atau si gadis penjinak singa yang sangat ingin ditemuinya itu.
perubahan mendadak dan tak tersangka ini seketika membuatnya melenggong kesima.
Nona baju hitam yang cantik alias si gadis penjinak singa itu memang betul Lau Yok-ci adanya.
Selama beberapa hari ini wajahnya memang kelihatan agak kurus sedikit namun jadi semakin
menambah keluwesan dan kecantikannya
"Baik-baikkah Kongcu?" demikian Lau Yok-a menyapa dengan tenang.
Yu Wi menyadi kikuk karena si nona menyebutnya "Kongcu". Padahal waktu bertemu pertama
kalinya si nona pun sudah tahu dirinya adalah Kan Ciau bu gadungan, mungkin waktu itu Lau Yokci
tidak mau membikin rikuh padanya, maka tidak langsung membongkar kepalsuannya.
Dalam hati Yu Wi sangat berterima kasih atas kehalusan budi si nona, dengan gelagapan ia
menjawab, "O, terima. . . . terima kasih!"
Agaknya Lau Yok~ci dapat menangkap arti yang terkandung dalam ucapan terima kasih itu
dengan tersenyum ia berkata, "Ah, terima kasih apa?"
Yu Wi merasa tidak tenteram, katanya pula, "Urusan ini sungguh aku pun merasa tidak
pantas!" Mestinya ia ingin menjelaskan dirinya tidak pantas menyamar sebagai Kan Ciau-bu untut
menemuinya. Tak terduga, mendadak Lau Yok-ci menghela napas hampa sambil memotong ucapannya,
"Apa kah Kan kongcu baik-baik saja?"
"Ya, Inkong sehat-sehat saja tanpa kurang sesuatu apa pun," jawab Yu Wi.
Liu Yok-ci memandang Yu Wi dengan terbelalak, katanya, ?"Apakah dia pernah berbuat
sesuatu bagimu?"
"Ya, Inkong pernah menyelamatkan jiwa orang she Yu," jawab Yu Wi dengan menunduk. ia
tidak berani memandang si nona.
"Sebab itulah dia minta kau ke sini?" tanya Lau Yok-ci.
"lnkong hanya menyuruh orang she Yu ini melakukan sesuatu pekerjaan baginya," tutur Yu wi,
"yakni datang ke sini dengan menyamar sebagai beliau, makanya aku pun berani datang kemari."
"Apakah kautahu untuk apa dia menyuruh kau menyaru sebagai dia?" tanya Lau Yok-ci pula
dengan hampa. "Ya, aku memang tidak paham sebenarnya apa maksud tujuan Inkong?"
"Kutahu maksud tujuannya memang panjang dan mendalam," kata Lau Yok-ci dengan
gegetun. "Apa tujuannya?" tanpa terasa Yu Wi bertanya.
Setelah ucapannya tercetus dari mulut barulah ia merasa pertanyaannya itu kurang pantas,
tidak seharusnya ia mencari tahu maksud tujuan sang tuan penolong. Tapi urusan ini sekarang
telah menggoda pikirannya, kalau tidak bertanya dengan jelas rasanya hati tak bisa tenteram.
"Apakah kau tidak diberitahu olehnya?"
Yu Wi menggeleng.
"Tidak seharusnya dia tidak memberitahukan padamu!" kata Lau Yuk-ci pula.
"Inkong tak dapat disalahkan," " ujar Yu wi, " sebab aku sendiri tidak bertanya, umpama
kutanya dia, mungkin akan dijelaskan oleh Inkong, adaikan tidak dijelaskan juga aku tidak
memusingkannya"
"Tapi kalau tindakannya ini tidak menguntungkan dirimu?"
"Jiwaku ini adalah pemberian Inkong, apapun maksud tujuannya akan kulaksanakan tanpa
pikir," jawab Yu Wi tegas dan ikhlas.
"Hatimu yang baik ini biarlah kuucapkan terima kasih baginya," kata Lau Yok-ci.
Men Pendekar Cacad 17 Golok Halilintar Karya Khu Lung Bentrok Rimba Persilatan 6