Pendekar Kembar 3
Pendekar Kembar Karya Gan K L Bagian 3
an murid itu sehingga secara tepat mereka tergetar mundur, tiada seorangpun yang terluka semua kekuatan
yang terkumpul pada tangan kedua orang itu seakan-akan telah terhapus oleh kebasan lengan
bajunya tadi. Ji Pek-liong tidak bicara apa pun, ia pegang tangan Yu Wi terus diajak berlari ke belakang
makam, setiba di sana, mereka masih dapat mengintai apa yang terjadi di depan makam.
"Siapakah dia?" tanya Yu Wi dengan heran.
"Ssst, jangan bersuara, lihat saja!" desis si kakek.
Perempuan tadi sama sekali tidak menghiraukan ada orang mengintip di samping sana, cukup
baginya asalkan orang lain tidak merintangi jalannya di depan makam. Dengan termangu-mangu
dia pandang batu nisan makam keluarga Kan itu, bibirnya kelihatan bergerak-gerak, entah apa
yang diucapkannya.
Hampir sebagian besar muka perempuan itu teraling oleh rambutnya yang panjang sehingga
wajahnya tidak terlihat jelas, cukup lama dia berkomat-kamit. habis itu mendadak ia tertawa
terkikik-kikik, "Coba kau lihat, akhir-akhir ini aku bertambah cantik bukan?"
Kedua tangannya yang kelihatan kurus kering itu lantas menyibak rambutnya yang panjang itu
sehingga kelihatan jelas wajahnya yang sudah tua dan kurus itu.
Yu Wi tidak menyangka bahwa suara tadi diucapkan oleh perempuan setengah baya ini,
padahal siapa pun yang mendengar suaranya pasti akan mengira pengucapnya adalah seorang
perempuan yang masih muda, lincah dan mempesona,
Luar biasa heran Yu Wi, ia tidak tahu dengan siapakah perempuan itu berbicara jelas di
depannya adalah makam orang niat memangnya dia lagi bicara dengan orang niat Mengapa pula
dia berbicara seaneh itu"
Semua ini menimbulkan perasaan yang misterius, hati Yu Wi serasa tertindih oleh sepotong
batu. hampir-hampir saja tidak dapat bernapas.
Dilihatnya perempuan itu masih menyisir rambutnya ke samping dan mengapa dia berdiri tidak
bergerak, senyum dan sikapnya itu sangat tidak cocok dengan usiaaya, dan mengapa dia masih
terus berdiri di situ" Apakah supaya dipandang sepuasnya oleh orang yang dimaksudkannya tadi"
. Dengan simpatik Yu Wi memandangi perempuan itu seakan-akan sudah dikenalnya, rasanya
seperti sudah sering dilihatnya, cuma dia tidak ingat lagi.
Tiba-tiba didengarnya Ji Pek-liong mendesir "Ssst, anak Wi, wajahnya mirip benar dengan
kau!"Hati Yu Wi serasa menjerit benaknya seolah-olah diketuk dengan keras, telinga mendenging,
diam-diam ia berteriak, "Mirip benar! Mengapa wajahku mirip benar dengan dia?"
Sekonyong-konyong lenyap senyuman yang menghiasi wajah perempuan itu, ia lepaskan
rambutnya, lalu mengeluh seperti rintihan hantu dan menghela napas panjang, suaranya kembali
sehat dan kering, katanya, "Akan kumainkan sejurus kungfu lagi bagimu, lalu aku akan pergi!"
Dalam sekejap saja kelihatan lengan bajunya bertaburan dengan suara angin yang berdesir,
makin lama makin cepat, sampai akhirnya bayangan tubuhnya pun lenyap tenggelam di tengah
bayangan lengan bajunya, suara angin menderu-deru memekak telinga dan sangat mengejutkan.
Mendadak bayangan lengan bajunya dan orangnya lenyap sekaligus, hanya terdengar suara
teriakannya yang memilukan berkumandang dari luar hutan sana, sejenak kemudian suasana
kembali sunyi senyap pula, mungkin perempuan tadi sudah pergi jauh.
Yu Wi ikut Ji Pek-liong menuju ke depan makam, tertampak rumput bertebaran memenuhi
lantai, ketika diperhatikan setiap tangkai rumput itu putus sebatas akar, rajin seperti bekas dibabat
oleh pisau yang tajam.
"Kungfu yang hebat, kungfu yang bagus!" seru Ji Pek-liong gegetun sambil meraup secomot
rumput itu. Yu Wi tidak tahan akan rasa herannya, ia bertanya, "Suhu, apakah engkau tahu siapa dia?"
Ji Pek-liong menggeleng, katanya, "Entah, aku pun tidak tahu, Aku cuma tahu setiap tahun
pada siang hari Tiongciu (hari raya bulan purnama bulan delapan) dia pasti datang ke sini satu
kali." "Untuk apa setiap tahun dia datang kemari?" tanya Yu Wi dengan heran.
"Aku pun tidak tahu untuk apa dia datang ke sini," tutur Ji Pek-liong. "Seperti juga tadi, setiap
kali aku pun mengintip gerak-geriknya, tapi tidak pernah kutegur dia atau mengajaknya bicara."
"Mengapa Suhu tidak menanyai dia?" ujar Yu Wi dengan tidak habis mengerti.
Dengan jujur Ji Pek-liong bertutur pula, "Setiap kuli kulihat kungfu yang dimainkannya di sini
selalu lebih lihay daripadaku, maka aku tidak berani mengganggu dia. Siapa tahu kedatangannya
ke sini ternyata tiada bermaksud jahat terhadap siapa pun, Malahan tadi berkat dia . . . . ,?"
mendadak ia berhenti dan berubah nadanya, "Sudahlah, jangan kita membicarakan dia. Hari ini
ternyata hari Tiongciu lagi, sang waktu sungguh berlalu dengan amat cepat!".
Di balik ucapnya itu, nyata dia sangat menyesalkan berlalunya waktu yang cepat
-O + O- - ()- -0 + 0-
Sang waktu memang berlalu dengan cepat tanpa terasa, dalam sekejap setengah tahun sudah
lenyap pula, Selama setengah tahun ini tidak sedikit Yu Wi belajar dari Ji Pek-liong.
Pagi hari ini, berkatalah Ji Pek-liong kepada Yu Wi, "Anak Wi, sudah tiba saatnya kutinggalkan
kau!" Yu Wi terkejut, serunya, "He, Suhu, apakah lantaran murid terlalu bodoh dan tidak memenuhi
harapanmu, maka Suhu tidak menghendaki pelayanan murid lagi?"
Ji Pek-liong menggeleng, katanya, "Tidak, bukan begitu, jangan sembarangan kau terka,
Selama setengah tahun terakhir ini sudah kuajarkan hampir seluruh ilmu yang kumiliki yang masih
diperlukan bagimu sekarang hanya latihan saja, untuk ini kau harus berjuang sendiri, aku tidak
dapat membantu lagi, dengan sendirinya kita terpaksa berpisah."
"Tapi murid ingin mendampingi Suhu selama hidup dan tidak mau berpisah," seru Yu Wi
dengan emosi. "Anak bodoh," kata Ji Pek-liong dengan tertawa, "kalau bicara jangan terlalu emosi, kau minta
selalu berada di sampingku, apakah kepandaian yang sudah kau pelajari tidak kau gunakan untuk
mengabdi kepada masyarakat" Tidak lagi memikirkan dendam kesumat kematian ayahmu?"
pertanyaan si kakek membuat Yu Wi tertegun dan bungkam.
Ji Pek-liong menghela napas, lalu berkata pula, "Boleh kau belajar lagi dua jurus ilmu pedang
dariku, setengah bulan kemudian kita benar-benar akan berpisah."
Dengan rawan Yu Wi mengangguk dan berkata, "Setelah berpisah, setiap saat murid akan giat
berlatih kungfu ajaran Suhu."
"Perasaanmu harus bergembira, bila tidak, kedua jurus ilmu pedangku ini mungkin sukar kau
pahami dalam waktu 15 hari," ujar si kakek dengan tertawa.
"llmu pedang apakah, masa dua jurus perlu belajar selama setengah bulan?" tanya Yu Wi
dengan heran. "Kedua jurus ilmu pedang ini sangat ajaib, orang biasa tidak nanti dapat memahaminya dalam
waktu setengah bulan," kata Jj Pek-liong dengan sungguh-sungguh. "Tapi daya tangkapmu sangat
tinggi, batas waktu setengah bulan bagimu mungkin tidak menjadi soal."
Kemudian Ji Pek-liong mengeluarkan dua batang pedang kayu yang sudah disiapkannya,
sebatang pedang kayu disodorkannya kepada Yu Wi dan berkata, "Kedua jurus pedang ini sangat
sukar dilatih, waktu permulaan seringkali akan melukai dirinya sendiri, maka sudah lama sengaja
kubuatkan kedua pedang kayu ini, hati-hati sedikit pada waktu berlatih, meski bukan pedang asli,
berat juga kalau sampai tertabas."
Yu Wi menerima pedang kayu itu, rasanya lebih berat daripada pedang sungguhan, entah
terbuat dari jenis kayu apa.
Dengan pedang kayu satunya Ji Pek-liong melangkah ke lapangan di depan makam, ia pasang
kuda-kuda dan mencurahkan segenap pikiran dan perhatian, katanya, "Kedua jurus ini sebenarnya
tidak bernama, tapi biarlah ku sebut saja jurus pertama sebagai Put-boh-kiam (jurus tak
terpatahkan)!"
Sembari bicara segera pedang bergerak, dalam sekejap bayangan pedang bertebaran dan
mengabulkan pandangan Yu Wi, sukar untuk mengetahui cara bagaimana Ji Pek-liong memainkan
pedang kayu itu.
Sampai sekian lama barulah kakek itu berhenti., ucapnya dengan tertawa, "Di mana letak
kelihayan jurus pedang ini sukar juga untuk dijelaskan, biarlah kau selami sendiri bilamana sudah
kau latih dengan baik. sekarang akan kuberi tahu cara berlatihnya..."
Yu Wi mengingat baik-baik satu persatu petunjuk Ji Pek-liong itu, habis itu ia lantas menyingkir
ke samping untuk berlatih sendiri.
Dari pagi hingga malam, sehari suntuk Yu Wi terus berlatih, namun tiada kemajuan sama
sekali. Hari kedua ia berlatih pula, hasilnya tiga kali ia menghantam dirinya sendiri.
Hari ketiga kembali ia berlatih lebih giat, hasilnya malahan belasan kali ia serang diri sendiri,
Malamnya sekujur badan terasa kesakitan dan sukar terpulas.
Sampai hari kelima barulah dia menemukan kuncinya, semakin berkurang pedang kayu itu
mengenai tubuhnya sendiri.
Hari ke tujuh ia mengulangi latihannya dari awal sekarang pedang kayu itu sama sekali dapat
dikuasainya dan tidak mengenai tubuh sendiri lagi.
Sampai hari kesepuluh barulah ia apal benar jurus ilmu pedang itu, Pada pagi hari ke sebelas
ia lapor kepada Ji Pek liong, "Suhu, jurus pertama sudah dapat kupahami."
Ji Pek- liong merasa gembira dan mengangguk sebagai tanda memuji, ia pegang pedang
kayunya dan menuju ke lapangan pula, katanya dengan tertawa, "Sekarang akan kuajarkan jurus
kedua, kuberi nama jurus ini sebagai Bu-tek-kiam (jurus tiada tandingan)!"
Jurus kedua ini tampaknya lebih sulit dilatih daripada jurus pertama, Ji Pek-liong menjelaskan
cara berlatihnya dan membiarkan Yu Wi menyelaminya sendiri.
Menurut pikiran Yu Wi, kalau jurus pertama memerlukan waktu sepuluh hari, tampaknya jurus
kedua ini harus makan waktu belasan hari, Kalau dia cuma diberi batas waktu setengah bulan
untuk meyakinkan kedua jurus itu, boleh dikatakan sang guru terlalu menghargai dirinya.
Akan tetapi, aneh juga, meski jurus kedua ini lebih sulit daripada jurus pertama namun pada
hari kelima sudah dapat dikuasainya dengan baik, Kalau ditambah dengan sepuluh hari
sebelumnya, total jenderal memang persis 15 hari.
Pada pagi hari ke-26, berkatalah Ji Pek-long kepada Yu Wi, "Hari ini juga Suhu akan berpisah
dengan kau."
Yu Wi tampak berduka, katanya, "Dan entah kapan baru dapat berkumpul pula dengan Suhu?"
"Bilamana ada jodoh, kelak pasti akan bertemu lagi," ujar Ji Pek-liong dengan tertawa, "Biarlah
hari ini kita jangan bicara hal-hal yang menyedihkan marilah kita pelajari kedua jurus pedang itu
dengan lebih baik."
Mereka lantas membawa pedang kayu masing-masing dan menuju ke lapangan.
"Coba, akan ku serang kau dengan Bu- tek kiam." kata si kakek.
"Dan aku bertahan dengan Put-boh-kiam." Tukas Yu Wi.
"Ya, jagalah baik-baik," seru Ji Pek-liong menyerang.
Hasilnya Yu Wi tidak mampu bertahan, "plak", pinggulnya kena disabet oleh pedang kayu sang
guru. Ji Pek-liong lantas memberi petunjuk di mana letak kelemahannya "Maka pada gebrakan
kelima, kakek itu tidak dapat memukul tubuh Yu Wi lagi dengan jurus Bu-tek kiam.
Sambil tertawa puas Ji Pek-liong berkata, "Put-boh-kiam sudah kau kuasai dengan baik,
sekarang boleh kau coba jurus Bu-tek-kiam."
Maka mulailah Yu Wi menggunakan jurus Bu-tek kiam untuk menyerang Ji Pek-liong,
sedangkan sang guru bertahan dengan ilmu pedang pilihan lain.
Tiga kali serangan pertama Yu Wi tidak dapat berbuat apa pun terhadap orang tua itu, Ji Pekliong
lantas memberi petunjuk pula di mana kesalahannya. Maka pada serangan ke enam kalinya,
dapatlah perut sang guru ditusuk dengan pedang kayunya. Yu Wi lantas berhenti dan tidak berani
menyerang lagi.
Ji Pek-liong memuji tak habis-habis akan bakat Yu Wi yang bagus itu, katanya, "Bu-tek-kiam
juga sudah kau kuasai dengan baik, selanjutnya jarang lagi ada ilmu pedang di dunia ini yang
mampu menahan jurus seranganmu ini. Dengan Put-boh-kiam kau bertahan dan dengan Bu-tekkiam
kau menyerang, orang yang tak dapat kau kalahkan kuyakin tidak banyak lagi."
"Apa yang dicapai murid seperti sekarang... semuanya adalah berkat dorongan dan bimbingan
Suhu, entah Suhu ada petuah apa pula terhadap murid?"
Dengan serius Ji Pek-liong lantas berkata, "Kedua jurus pedang ini terlampau lihay, kalau tidak
terpaksa janganlah sekali-kali kau gunakan!"
"Murid akan selalu ingat pada pesan Suhu ini," jawab Yu Wi dengan hormat.
"Taruhlah pedang kayumu, marilah kita mengobrol urusan lain." kata si kakek.
Yu Wi ikut sang guru duduk di depan makam dan bersandar pada batu nisan, Ji Pek-liong
berkata, "Tempo hari waktu ku mulai mengajar jurus pertama padamu, pernah kukatakan bahwa
kedua jurus pedang ini tidak bernama, apakah kau tahu sebabnya?"
Murid pikir mungkin kedua jurus ini sulit diberi nama yang tepat, maka si penciptanya lantas
sama sekali tidak memberikan nama padanya," jawab Yu Wi.
"Ya. kukira memang begitulah jalan pikiran si penciptanya," kata Ji Pek-liong dengan gegetun.
"Sudah berpuluh tahun akupun tidak dapat memberinya nama yang tepat, Put-boh dan Bu-tek
hanya melukiskan betapa dahsyat dan kuatnya kedua jurus ini, bila bicara tentang nama, ke
empat huruf itu tidak dapat mewakilinya dengan tepat."
"Sebenarnya nama Put-boh-kiam dan Bu-tek-kiam juga cukup bagus," ujar Yu Wi.
"Dan entah mereka memberinya nama apa kepada ke enam jurus lainnya," tukas si kakek
tiba2. "Ke enam jurus lain apa" Masa masih ada enam jurus lagi?" tanya Yu Wi.
"Ya, masih ada enam jurus lagi, bersama kedua jurus pedangku ini, seluruhnya ada delapan
jurus." "Apakah ke delapan jurus ini merupakan suatu rangkaian Kiam-hoat (ilmu pedang)"
"Betul," Ji Pek-liong mengangguk. "Meski ke delapan jurus ini masing-masing tiada diberi
nama, tapi seluruhnya disebut Hay-yan-kiam-hoat."
"Hay-yan-kiam-hoat.... Hay yan-kiam-hoat...." Yu Wi bergumam mengulangi nama itu.
"Ya, artinya rangkaian ilmu pedang ini seluas Hay (laut) dan sedalam Yan (jurang)!" kata Ji
Pek-liong pula.
"Latah benar nama ini, besar amat suaranya!" ujar Yu Wi.
"Bila ke delapan jurus ini lengkap kau kuasai, tentu kau takkan menganggap latah lagi
namanya. Cuma sayang, ke delapan jurus ini tidak ada orang lagi yang mampu menguasainya
secara lengkap, kecuali...."
"Kecuali apa?" tukas Yu Wi cepat.
"Kecuali kau!"! jawab Ji Pek-liong.
"Aku?" Yu Wi menegas dengan terkejut. "Suhu akan mengajarkan padaku?"
"Tidak, Suhu sendiri juga tidak bisa," jawab Ji Pek-liong sambil menggeleng. "Kecuali kedua
jurus yang kau pelajari ini, ke enam jurus lain aku cuma pernah melihatnya, tapi cara melatihnya
hakikatnya aku pun tidak tahu."
"Habis, kalau Suhu sendiri tidak bisa, cara bagaimana murid dapat mempelajarinya?"
"Apakah kau masih ingat ketika hendak ku ajarkan Thian-ih-sin-kang padamu, waktu itu
pernah kukatakan kau harus melakukan sesuatu pekerjaan bagiku?"
"Ya, murid masih ingat, apa pun perintah Suhu pasti akan kulaksanakan sepenuh tenaga."
"Pekerjaan ini adalah supaya kau menggunakan segenap kemampuanmu untuk belajar
lengkap Hay-yan-kiam-hoat itu!"
Yu Wi terkejut, ia pikir sekalipun mampu, kalau tidak ada yang mengajarnya, cara bagaimana
ia dapat menguasai Hay-yan-kiam-hoat itu secara lengkap"
Ia ragu dan bingung, selagi ia hendak bertanya, sang guru telah menyambung, "Sembilan
tahun yang lalu, di puncak gunung Ma-siau-hong, berkumpul tujuh orang kakek, di situ mereka
berunding dan membicarakan ilmu pedang masing2.
Ke tujuh kakek itu terkenal sebagai Bu-lim-jit-can-so (tujuh kakek cacat dunia persilatan),
sebab setiap orangnya sama cacat badan. Tapi meski lahiriah mereka cacat, namun ilmu silat
mereka sangat tinggi, di dunia Kangouw, baik golongan hitam maupun kalangan putih, nama
mereka cukup disegani.
"Kungfu ke tujuh kakek cacat itu sama tingginya dan sukar dibedakan siapa yang lebih unggul
dan siapa yang lebih asor, Hanya seorang saja di antaranya menguasai lebih banyak satu jurus
ilmu pedang ketimbang ke enam rekannya itu. Dalam pertandingan di puncak gunung itu, akhirnya
tiada seorang pun di antara ke enam rekannya sanggup melawannya."
"Jurus ilmu pedang apakah itu" Masa begitu lihay?" tanya Yu Wi.
"Jurus itu adalah Put-boh-kiam yang kuajarkan padamu itu!" tutur Ji Pek-liong.
"O, jadi orang yang dimaksudkan itu ialah Suhu?"
"Ya," Ji Pek-liong mengangguk, "kakek cacat yang menguasai satu jurus lebih banyak daripada
rekannya itu ialah diriku, Hay-yan-kiam-hoat seluruhnya meliputi delapan jurus. Tujuh jurus di
antaranya adalah jurus menyerang, hanya satu jurus saja yang merupakan jurus bertahan, jurus
kelebihanku adalah jurus bertahan itu, mereka berenam masing-masing menguasai satu jurus
menyerang, jadi mereka hanya dapat menyerang dan tidak mampu bertahan, sebaliknya aku
dapat bertahan dan juga menyerang, Karena itulah mereka masing-masing bukan tandinganku
maka mereka berenam lantas bergabung dan mengeroyok diriku,"
"Enam mengeroyok satu, sungguh tidak tahu malu!" seru Yu Wi, "Lalu Suhu bagaimana"..."
"Jangan gelisah," tutur Ji Pek-liong pelahan, "Walaupun mereka berenam, mereka tetap bukan
tandinganku Tapi ketimbang satu persatu bertempur denganku, jelas kekuatan mereka bertambah
banyak, jadinya aku tidak mampu mengalahkan mereka, sebaliknya mereka pun tidak dapat
mengapa-apakan diriku"
"Pada pertarungan sembilan tahun yang lalu itu adalah pertandingan terakhir, padahal
seluruhnya kami sudah pernah bertarung 19 kali, setiap tahun pada malam hari Tiongciu kami
pasti berkumpul di Mi-siau-hong dan bertanding, jadi sudah 19 tahun kami bertanding tanpa
hasil..." "Ada permusuhan apakah antara mereka dengan Suhu, mengapa harus bertarung setiap
tahun?" tanya Yu Wi dengan penasaran,
"Tujuan mereka hanya ingin memaksa kubeberkan satu jurus kelebihanku itu," tutur Ji Pekliong
dengan menghela napas. "Lantaran aku menolak untuk membeberkan mereka pun tidak mau
mundur dan tetap mendesak, Pada pertarungan terakhir sembilan tahun yang lalu itu, pertarungan
berlangsung tengah malam hari Tiongciu (tanggal 15 bulan delapan) hingga tanggal 19, akhirnya
kedua pihak sama-sama kehabisan tenaga dan semuanya terluka dalam yang parah...."
"Karena itulah tahun berikutnya pertarungan tidak dapat diselenggarakan, kedua pihak setuju
akan bertemu lagi sepuluh tahun kemudian di tempat yang sama, dan tahun ini adalah tahun ke
sembilan, sekarang bulan ketiga, masih ada setahun lima bulan lagi, tiba saatnya nanti Jit-can-so
(tujuh kakek cacat badan) akan bertarung lagi dengan lebih dahsyat, cuma sayang..." mendadak
ia menghela napas panjang-panjang, lalu berdiri, menuju ke ujung lapangan sana dan
menengadah, lalu berkata pula, "Aku tidak sanggup menepati lagi janji pertemuan itu!"
Yu Wi mendekati sang guru dan bertanya dengan cemas, "Sebab apa, Suhu" Apakah....."
Ji Pek-liong menghela napas, jawabnya, "Anak Wi, masakah kau tidak tahu keadaan Suhu
sekarang, meski memiliki kungfu yang tinggi, tapi tidak mempunyai tenaga lagi?"
"Entah Suhu mengalami luka apa sehingga kehilangan tenaga?" tanya Yu Wi dengan
mengucurkan air mata.
Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Luka itu adalah akibat pertarungan terakhir sembilan tahun yang lalu itu," tutur Ji Pek-liong,
"Pertarungan itu sungguh terlampau seru, habis itu ku datang ke sini untuk merawat lukaku,
lahirnya kelihatan sudah sembuh, tapi tenaga dalam justeru tambah lama tambah berkurang, Kini
kekuatanku sudah tidak ada sepertiga dari masa dahulu, dibandingkan kau saja selisih banyak."
"Tidak, mana bisa!" seru Yu Wi sambil menggeleng. "Mana mungkin tenaga Suhu kalah kuat
daripada murid..."
"Masa Suhu berdusta padamu?" kata Ji Pek-liong dengan tersenyum pedih. Yu Wi jadi
melenggong dan tak dapat bersuara lagi.
Lalu Ji Pek liong melanjutkan, "Setelah kau berhasil meyakinkan Thian-ih-sin-kang, seumpama
aku tidak terluka juga tenagaku tak seberapa lebih kuat daripadamu. Harus diketahui bahwa
Thian-ih-sin-kang adalah Lwekang-sirn-hoat paling hebat di dunia ini, sayang yang kulatih dahulu
adalah Lwekang dari aliran hitam, kalau tidak, dengan menguasai Thian-ih-sin-kang tentu aku
takkan terluka pada pertarungan sembilan tahun yang lalu."
"Kalau sekarang Suhu melatih Thian-ih-sin-kang kan juga boleh?" kata Yu Wi.
"Anak bodoh," ucap Ji Pek-liong dengan tertawa, "antara hitam dan putih, antara baik dan
jahat, mana bisa dicampur-baurkan" Bilamana aku ingin melatih Thian-ih-sin-kang, tiada jalan lain
kecuali ku buyarkan dulu seluruhnya kekuatanku..."
Mestinya Yu Wi hendak bertanya apa halangannya umpama buyarkan dulu tenaga dalam
sendiri yang tidak baik itu untuk kemudian berlatih lagi Thian-ih-sin-kang, tapi segera teringat
olehnya Lwekang yang dilatih sang guru dengan susah payah mana boleh disirnakan begitu saja,
maka urunglah ia bersuara.
Ji Pek-liong berputar di tanah lapang itu dengan kepala tertunduk, seperti lagi mengenangkan
kejadian di masa lampau, sekonyong-konyong ia berhenti berjalan, dengan tegas ia berucap,
"Betapapun orang she Ji tidak boleh dikalahkan mereka dan membeberkan kedua jurus pedangku
secara sia-sia."
Melihat sikap sang guru yang rada luar biasa itu, dengan gugup Yu Wi bertanya, "Suhu, ken...
kenapakah kau?"
Mendadak Ji Pek-liong berpaling, dengan lembut ia pandang Yu Wi, lalu berkata, "Pada hari
Tiongciu tahun depan, kau harus mewakili Suhu pergi ke Ma-siau-hong, hanya boleh menang dan
tidak boleh kalah..."
Yu Wi terkejut, tapi dengan tegas ia lantas menjawab, "Murid akan berbuat sekuatnya, hanya
mungkin tenagaku tidak cukup dan dikalahkan mereka!"
"Jika aku yang pergi ke sana, besar kemungkinan akan kalah daripada menangnya, tapi kalau
kau yang pergi, Suhu yakin kau takkan kalah, sebab kau sudah menguasai dengan baik kedua
jurus Hay-yan-kiam-hoat secara lengkap dengan segala kemampuanmu, mungkin kau tidak tahu
segala kemampuanmu yang kumaksudkan itu?"
Yu Wi mengangguk, jawabnya, "Ya, murid pikir kalau tidak ada orang yang mengajarkan keenam
jurus itu, betapa besar kemampuanku juga tidak ada gunanya."
Ji Pek-liong tertawa, katanya, "Yang kumaksudkan dengan segenap kemampuanmu adalah
supaya kau berusaha mengalahkan mereka, Kalah atau menang dari suatu pertempuran dalam
keadaan kekuatan kedua pihak seimbang, maka kemampuan atau ketahanan adalah kunci
daripada menuju kemenangan itu. Hal ini harus kau perhatikan benar."
"Murid akan mengingatnya dengan baik," jawab Yu Wi dengan kurang paham, Tiba-tiba suara
Ji Pek-liong agak meninggi, katanya, "Bilamana kau menang, maka mereka akan mengajarkan ke
enam jurus ilmu pedang itu padamu tatkala mana kau pun akan berhasil menguasai Hay-yankiam-
hoat dengan lengkap, Nah, sekarang tentunya kau tahu apa maksudku agar dengan segala
kemampuan atau ketahananmu berusaha belajar lengkap Hay-yan-kiam-hoat itu?"
Baru sekarang Yu Wi paham maksudnya, hanya sang guru menghendaki dia mengalahkan ke
enam kakek cacat itu dengan segenap ketahanan dengan begitu barulah dia akan berhasil
mendapatkan pelajaran lengkap Hay-yan-kiam-hoat.
Dasar jiwa muda dan tidak kenal apa artinya takut dengan tegas ia lantas menjawab, "Ya,
murid tahu, pasti akan kukalahkan mereka dengan segenap ketahananku demi kehormatan
"Suhu!"
Ji Pek-liong merasa terhibur, katanya dengan tertawa, "Anak baik, anak baik . ..." mendadak
air mukanya berubah suram, katanya pula, "Tapi bilamana kau kalah, sedikitnya kau harus kalah
secara gemilang, tidak boleh mati secara sia-sia, sebab kau masih mempunyai suatu tugas suci
lagi yang harus kau laksanakan, yaitu setelah kau kalah, kau pun harus mengajarkan kedua jurus
ilmu pedang Hay-yan-kiam-hoat yang kau kuasai ini kepada mereka, ini adalah perjanjian yang
telah disepakati antara kami bertujuh, betapapun kau tidak boleh ingkar janji."
Dengan tegas dan bersemangat Yu Wi menjawab, "Kalau kalah harus mengaku kalah, tidak
nanti murid mengingkari janji dan merusak nama baik Suhu, tapi sebelum tiba detik terakhir,
murid pun takkan tunduk dan mengaku kalah!"
"Bagus, bagus!" puji Ji Pek-liong dengan suara lantang, "Mempunyai murid semacam kau, bisa
mati hati Suhu dapatlah tenteram."
"Orang bijaksana tentu panjang umur, Suhu masih sehat dan segar, kenapa bicara tentang
mati segala...." ucap Yu Wi dengan perasaan tidak enak.
Ji Pek-liong tertawa, katanya, "Orang hidup akhirnya pasti juga akan mati, mati sekarang atau
mati kelak kan sama saja. Bijaksana dan panjang umur apa, aku bukan orang bijaksana, juga tidak
ingin panjang umur."
Yu Wi tidak menyangka ucapannya itu akan menimbulkan emosi sang guru, ia menjadi gugup.
ia tidak tahu halnva, pada waktu mudanya tindak-tanduk Ji Pek-liong berkisar antara baik dan
jahat, dengan sendirinya ia tidak berani terima predikat sebagai orang bijak.
Ji Pek-liong menghela napas panjang pula, pelahan ia mengeluarkan sejilid kitab dan diberikan
kepada Yu Wi, katanya, "Setelah berpisah, dalam waktu setahun lebih ini, kecuali harus latih ulang
kungfu ajaranku, hendaknya kau berlatih juga kungfu yang tercatat di dalam kitab ini. inilah
kungfu Kan-jiko, lebih delapan tahun ku tinggal di sini, semua kitab pusaka simpanan Jiko di dalam
malam ini telah kubaca seluruhnya, intisari ilmu silat yang kubaca telah ku kumpulkan dan ku
ikhtisarkan dalam buku ini, hendaklah kau simpan dengan baik," Yu Wi terima kitab itu dan
disimpannya dengan hati-hati.
Lalu Ji Pek-liong berkata pula, "Hari Tiongciu tahun depan, bilamana kau hadir ke M -siau-hong
dan bertemu dengan Lak-can-so (enam kakek cacat) jika mereka bertanya tentang diriku, katakan
saja bahwa aku sudah meninggal dunia!"
"Suhu masih.... masih segar bugar, mengapa.... mengapa bilang sudah meninggal?" tanya Yu
Wi dengan tergagap.
Ji Pek-liong menghela napas, tuturnya, "Ketika kami mengadakan perjanjian dahulu, pernah
kukatakan apabila aku mati sebelum tiba saatnya bertemu lagi di puncak gunung sana, maka tetap
ada orang yang akan mewakilkan diriku untuk hadir ke sana, jika kau bilang aku belum mati, hal
ini sama dengan memberitahukan kepada mereka bahwa aku sendiri tidak mampu hadir."
"Apa... apa halangannya biarpun begitu?" ujar Yu Wi. "Suhu tidak hadir, murid yang
mewakilinya, masa tidak boleh?"
"Tidak, tidak boleh," ucap Ji, Pek-liong sambil menggeleng, "Bilamana aku masih hidup, akulah
yang harus hadir sendiri untuk menepati janji, jadi kuwakilkan kau untuk hadir ke sana adalah
karena terpaksa, hendaklah kau katakan aku sudah mati bila bertemu dengan mereka."
Terpaksa Yu Wi mengiakan dengan ragu.
Tiiba-tiba tersembul senyuman pedih pada wajah Ji Pek-liong, katanya kemudian, "Anak Wi,
aku akan pergi dulu!"
Teringat kepada watak sang guru setelah menyerahkan segalanya kepadanya untuk
dilaksanakan lalu akan tinggal pergi, jangan-jangan maksudnya. hendak menamatkan sisa
hidupnya di suatu tempat, dengan demikian kehadirannya ke Mi-siau-hong mewakili sang guru
menjadi cocok dengan fakta dan sesuai dengan haknya.
Berpikir demikian, berubahlah air mukanya, cepat ia bertanya, "Suhu akan... akan pergi ke
mana?" Dia mendekati sang guru dan menarik lengan bajunya, ucapnya pula dengan menangis,
"Suhu, jangan... janganlah engkau..."
Sebagai orang tua yang berpengalaman, Ji pek-liong segera tahu apa maksud ucapan anak
muda itu, dengan tertawa menjawab, "Anak bodoh! Kau kira gurumu akan pergi untuk membunuh
diri" Mana bisa, tidak mungkin terjadi! Suhu hanya mencari suatu tempat sepi untuk tetirah."
"Tetirah di mana?" tanya Yu Wi cepat
"Jangan kau tanya tempat kepergianku," jawab Ji Pek-liong sambil menghela napas.
"Sudahlah, aku akan pergi sekarang, Di dalam makam masih cukup banyak rangsum. jika kau
ingin tinggal lagi beberapa hari di sini bolehlah sesukamu, selami lebih mendalam ilmu yang kau
dapat, Ada lagi, kedua pedang kayu ini terbuat dari kayu besi, kerasnya seperti baja, tidak putus
ditabas senjata tajam, boleh kau simpan untuk dipakai."
Habis berkata ia terus melangkah ke tepi hutan sana.
Yu Wi mengintil di belakang sang guru, setiba di ujung hutan, Ji Pek-liong berpaling dan
berkata, "Tidak perlu antar lagi!"
Terpaksa Yu Wi berdiri di situ dengan kesima penuh rasa berat.
Dilihatnya baru belasan langkah sang guru masuk ke hutan, mendadak orang tua itu berpaling
pula dan berpesan padanya, "Anak Wi, kau harus waspada terhadap Kan Ciau-bu, Toa-kongcu di
Thian-ti-hu itu. Orang berkedok yang melukai kau dahulu itu tak-lain-tak-bukan adalah dia!"
Yu Wi terkejut, tanyanya dengan heran, "Dia..." Masa Inkong yang menyerangku" Kenapa dia
hendak membinasakan diriku?"
Ji Pek-liong tidak menghiraukan pertanyaannya, katanya pula dengan menyesal, "Dia telah
melukai kau separah itu, dosanya itu pantas dihukum mati, Kalau bukan Kan-jiko sudah
meninggal, tentu akan kuhajar adat kepada bocah itu. Tapi sekarang dia satu-satunya keturunan
sedarah keluarga Kan, Kelak bila kau pergoki dia, hendaknya kau hadapi dia dengan hati-hati, tapi
jangan mencelakai dia, Tahu tidak?"
Yu Wi berbeda pendapat dengan sang guru mengenai Kan Ciau-bu. Dia pikir ilmu silat Inkong
itu sangat tinggi, yang diharapkan adalah dia tidak mencelakai dirinya, mana bisa dirinya yang
mencelakai dia" jangankan ilmu silatnya tak dapat menandingi Inkong, umpama dirinya dapat
mengalahkan dia, mengingat orang pernah menyelamatkan jiwanya, tentu juga dirinya tidak
sampai hati untuk membunuhnya.
Tak disadarinya bahwa lantaran pesan Ji Pek-liong inilah, kelak mestinya beberapa kali dia
harus membunuh Kan Giau-bu, tapi urung, disebabkan teringat kepada pesan sang guru tersebut.
Akhirnya pergilah Ji Pek-liong. Dengan sedih Yu Wi putar balik ke depan makam dan duduk
kesepian di lantai makam.
Dia merenungkan sang guru sungguh seorang tokoh yang sakti dan aneh, kalau di dunia
persilatan beliau dikenal sebagai satu di antara Bu Hm jit can so, mengapa tidak terlihat bagian
badannya yang dikatakan cacat itu"
Selain itu, mengapa ke enam kakek cacat lain masing-masing hanya menguasai satu jurus Hay
yan-kiam-hoat, sedangkan cuma sang guru saja yang menguasai dua jurus"
Yang aneh adalah mereka semuanya orang cacat, apakah untuk belajar Hay-yan kiam hoat
harus berbadan cacat" Ada sangkut-paut apa antara cacat badan dan ilmu pedang sakti itu"
Dan sekarang dirinya juga belajar Hay yan kiam-hoat, apakah nanti juga akan cacat badan..!
Begitulah makin dipikir makin banyak dan makin ruwet, sedikit pun tidak ditemukan jawaban
yang masuk di akal. Sampai akhirnya, saking kesalnya ia terus melompat bangun, dengan pedang
kayu besi dia berlatih ilmu pedangnya, hal ini barulah pikirannya tenang kembali.
Sang tempo berlalu dengan cepat, hanya sekejap saja setengah bulan sudah lewat.
Setiap hari Yu Wi membawa kitab pusaka peninggalan Ji Pek liong itu, di dalam kitab itu
adalah ikhtisar segenap kungfu tinggalan Kan Yok-koan.
Setelah kitab itu terbaca seluruhnya, Yu Wj merasa kungfu Kan Yok-koan itu kebanyakan sama
dengan cara berlatih ajaran Ji Pek-liong, kalau dibandingkan, kungfu Kan Yok-koan jauh lebih keji
daripada ajaran Ji Pek-liong, lebih-lebih dalam hal menggunakan Am-gi atau senjata rahasia,
banyak sekali yang diuraikan di dalam kitab itu.
Dalam pada itu perbekalan di dalam makam itu pun tersisa tidak seberapa lagi, dengan
membawa kedua bilah pedang kayu besi Yu Wi meninggalkan makam itu,. ia keluar dari hutan
buatan itu menurut petunjuk yang tercatat di dalam peta, akhirnya ia berada lagi di depan Bansiu-
ki. Baju yang dipakainya sekarang masih tetap baju panjang warna merah yang ditukar pakai
dengan Kan Ciau-bu dahulu, Bahan baju panjang itu sangat bagus, meski sudah terpakai setahun
lebih masih belum robek dan juga belum luntur.
Dia sudah apal keadaan Thian-ti-hu, maka dengan tenang ia menyusuri jalan yang sudah
dikenal waktu lalu di Ban-siu-ki dan kepergok genduk yang bertugas di situ, gendak-gendut itu
sama memberi puji hormat padanya.
Diam-diam Yu Wi merasa geli, nyata kaum hamba itu tidak mengenali dirinya adalah Kongcu
gadungan Kebetulan juga baginya, dengan lagak kereng ia menuju ke Thian-ti-hu.
Ia menduga Kan Ciau-bu pasti tidak di rumah, kalau ada, tentu para pelayan akan terheranheran
melihat dirinya, entah bagaimana hubungan antara Kan Ciau-bu dan ibu tirinya selama
setahun ini. Sembari berpikir ia terus melangkah ke depan. Sejenak kemudian sampailah dia di tempat
tinggal Lau Yok ci, tiba-tiba sayup-sayup terdengar suara seruling yang merdu, itulah suara
seruling yang sudah dikenalnya, seketika ia merandek.
Sementara itu sang surya sudah terbenam, serupa dahulu waktu pertama kalinya Yu Wi
datang ke Thian-ti-hu, teringat olehnya He-si pernah berkata padanya, "Setiap hari Lau-siocia pasti
meniup seruling sendirian pada saat demikian...."
Dia berdiri di situ dan mendengarkan dengan terkesima, makin di dengar makin memilukan,
Teringat kebaikan Lau Yok-ci padanya, tanpa terasa air matanya bercucuran. Pikirnya, "Kantoakongcu
berada di rumah, mengapa dia masih juga membawakan lagu sedih begini" Apakah
Kan Ciau-bu tetap tidak sudi menemuinya" Nona sebaik dia ini, mengapa Kan Ciau-bu tidak sudi
melihatnya" Mengapa membiarkan nona itu kesepian dan berduka di kamarnya"...."
Makin dipikir makin gemas Yu Wi, dia bergumam sendiri, "Harus kutanyai dia apa alasannya?"
Segera ia percepat langkahnya menuju ke kamar Kan Ciau-bu. Ketika dia masuk ke situ
dengan tergesa-gesa, di dalam kamar kosong tiada seorang pun,, Yu Wi memandang sekeliling
kamar itu, keadaan masih tetap seperti dahulu, tiada perubahan apa pun.
Dengan perasaan gundah ia mendekati rak buku, dilolosnya sejilid buku, pada sampul buku itu
tertulis: "Ngo-hou-toan-bun-to dari Ban-pak". Buku ini sudah pernah dilihatnya, sekenanya ia
membalik halamannya, lalu ditaruh kembali di tempatnya semula, selagi dia hendak melolos buku
yang lain, tiba-tiba suara seorang perempuan menegurnya dari belakang, "Kongcu sudah pulang
dari jalan2?"
Tanpa berpaling juga Yu Wi mengenali suara itu, ialah He-si, Diam-diam ia bergirang bahwa
genduk itu tidak mendapatkan hukuman Kan-lohujin akibat ikut keluar menghadapi musuh tempo
dulu Dengan gembira dia berpaling, dilihatnya wajah He-si masih tetap seperti dulu, dan sedang
memandangnya dengan tersenyum manis.
"Ya, aku sudah pulang," kata Yu Wi dengan tersenyum.
Seketika air muka He-si berubah, senyuman dan suara yang serak-serak basa ini, sudah lebih
setahun tidak pernah dilihat dan didengarnya.
Yu Wi tidak heran melihat pelayan itu melenggong. Tegurnya dengan tertawa, "Baik-baikkah
kau?" Pertanyaan, ini timbul dari lubuk hatinya yang murni, sama sekali tak terpikir keadaannya yang
dihadapinya sekarang, lebih-lebih tak terpikir olehnya bahwa hanya satu kalirnat pertanyaannya
saja sudah terbongkarlah kepalsuan identitasnya.
Belum pernah He-si mendengar tegur-sapa yang sedemikian memperhatikan dia, karena
tegangnya ia menjadi gugup dan berkata, "Hamba akan... akan mengambilkan air . . . .air cuci
muka bagi Kongcu
Cepat ia membalik tubuh dan melangkah pergi dengan terincang-incut, mungkin saking
tegangnya, kakinya lantas timpang, tubuhnya lantas roboh ke sebelah kanan,"
Yu Wi terkejut, cepat ia melompat maju dan memegangi bahunya, serunya dengan emosi,
"He,... kenapakah kakimu?"
Karena bahunya tersentuh tangan Yu Wi, seketika He-si seperti kena aliran listrik, mukanya
menjadi merah jengah. ia menunduk dan menjawab dengan suara lirih, "Sesudah ikut Kongcu
keluar menghadapi musuh dahulu, akibatnya Lohujin telah memukul patah kaki kananku, maka
kalau berjalan sekarang menjadi pincang...."
Tidak kepalang gusar Yu Wi, teriaknya, "Hanya karena kau bantu aku sehingga kaki.... kakimu
dipukul patah...."
Saking emosinya, pegangan Yu Wi pada bahu He-si bertambah kencang.
He-si masih perawan suci, dengan sendirinya perasa kikuk dipegang seorang lelaki, ia meronta
perlahan melepaskan tangan Yu Wi, katanya dengan tersenyum malu, "Akan hamba ambilkan air."
Tapi Yu Wi memegang lagi tangannya dan berkata dengan lembut, "Tidak perlu lagi kau ambil
air. Masih ingatkah kau perkataanku setahun yang lalu bahwa asalkan aku tidak mati, maka kau
pun tidak perlu lagi bekerja begini, selanjutnya kau ikut pergi bersamaku, meninggalkan Thian-tihu
ini." He-si kegirangan sehingga sekujur badan terasa gemetar, tanyanya dengan terputus-putus,
"Kongcu akan... akan membawaku ke mana?"
Jika Yu Wi sudah bertekad akan membawa pergi He-si, tentunya harus memberitahukan
identitasnya yang asli, dengan jujur dan terus terang ia lantas berkata, "Jangan kau panggil
Kongcu lagi padaku, apakah kau tahu siapa aku?"
He-si mengangkat kepalanya dan menjawab, "Sudah lama ku tahu engkau bukan Toa
kongcu!" "Siapa bilang aku bukan Toa kongcu?" Yu Wi sengaja balas bertanya.
"Perangaimu sama sekali berbeda daripada Toa-kongcu," kata He-si. "Waktu itu kusaksikan
kau dipukul roboh oleh orang berkedok hitam itu," lalu ditolong pergi oleh seorang kakek yang
gesit" "Kemudian bagaimana?" tanya Yu Wi.
"Hari itu sesudah penyerbu dari Hek-po itu mundur dengan mengalami kekalahan, tidak lama
kemudian Kongcu lantas pulang, Dia sangat mirip denganmu, tapi beberapa hari kemudian tidak
pernah kulihat senyumannya, suaranya juga tidak ramah lagi, maka tahulah aku bahwa dia Toakongcu
yang sesungguhnya dan kau cuma Kongcu palsu, Tidak diketahui engkau telah dibawa ke
mana oleh si kakek itu."
"Apakah kau tahu orang berkedok hitam yang merobohkan diriku itu ialah Toa-kongcu
sendiri?" tanya Yu Wi dengan menyesal.
"He, sebab apa Kongcu menyerang kau?" He-si terkejut.
"Aku pun tidak tahu apa sebabnya, sama halnya entah apa sebabnya Kan-lohujin telah
memukul patah kakimu?" ujar Yu Wi. "Pendek kata, tempat ini bukan tempat kediaman yang baik,
pergilah kau bebenah seperlunya dan segera kita berangkat."
He-si mengangguk, jawabnya, "Tunggu saja di sinj, segera ku kembali..."
Melihat cara berjalan He-si yang pincang itu, Yu Wi jadi teringat kepada kekejaman Kanlohujin,
seketika ia naik darah dan ingin mengobrak-abrik Thian-ti-hu. Tapi bila teringat lagi Kan
Ciau-bu pernah menolong jiwanya, meski orang pun pernah bermaksud membunuhnya, namun
sedapatnya ia menahan rasa gusarnya dan tetap berdiri tenang di dalam kamar. .
Dia berdiri dengan membelakangi pintu, tidak hanya kemudian, tiba-tiba suara seorang lelaki
yang nyaring tajam menegurnya, "Siapa kau?"
Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pelahan Yu Wi membalik tubuh, dengan dingin dan tenang ia menjawab, "Apakah Inkong
masih kenal kepada orang she Yu?"
Penegur itu memang betul Kan Ciau-bu adanya, ia rada terkesiap, tapi dengan lagak tak acuh
ia lantas masuk ke kamar, cambuk yang dibawanya ditaruh di meja, lalu mendengus, "Kukira kau
sudah mati"!"
"Hampir mati, belum sampai mati," jawab Yu Wi dengan ketus. "Untung orang she Yu diberkati
panjang umur, maka dapat lolos dari maut."
"Sudah dua kali jiwamu dapat direnggut kembali, untuk apa pula kau datang ke sini?" jengek
Kan Ciau-bu. "lnkong memberi pesan agar orang she Yu tinggal di sini, dengan sendirinya ku datang
kemari?" jawab Yu Wi.
Kan Ciau-bu mendelik, damperatnya, "Ku selamatkan jiwamu, imbalannya memang menyuruh
kau tinggal di sini, tapi mengapa kau kabur setengah jalan, coba apa alasanmu?"
"lnkong yang memaksa diriku kabur, masa masih berani ku tinggal di sini untuk menunggu
kematian?" jawab Yu Wi, mau tak mau ia pun naik pitam.
"Kalau bicara hendaknya tahu sopan santun sedikit," jengek Kan Ciau-bu, "Harus kau sadari,
betapapun mujur, jika untuk ketiga kalinya kau harus mati, tentu sukar lagi lolos dari maut."
"Jjuga belum tentu," jawab Yu Wi ketus.
"Kau tidak percaya, apakah mau coba?" Kan Ciau-bu menjadi gusar.
"Kedatanganku ini bukan untuk mencari perkara kepada Inkong, hanya ingin memberi nasehat
sesuatu!" kata Yu Wi.
"Hm, memberi nasehat sesuatu?" Kan Ciau-bu mendengus, "Memangnya dalam hal apa orang
she Kan perlu nasehat orang?"
Pada saat itulah dua pelayan masuk membacakan minuman, mereka adalah Jun-khim dan
Tong-wa. Ketika mendadak melihat di dalam kamar berdiri dua orang Kongcu kembar, seketika
mereka menjerit kaget, cangkir jatuh dan pecah berantakan.
Kan Ciau-bu menarik muka dan cepat membentak "Berteriak apa" Apakah minta kurobek
mulut kalian?"
Karena takut, Jun-khin dan Tong-wa tidak berani menjerit lagi, cepat mereka berjongkok dan
membersihkan beling cangkir yang pecah itu.
"Lekas enyah!" segera Kan Ciau-bu meraung pula.
Belum selesai membersihkan lantai, terpaksa kedua pelayan itu berlari keluar.
"Kenapa kau begitu bengis terhadap mereka?" kata Yu Wi dengan gegetun.
Kan Ciau-bu menjadi gusar, teriaknya, "Tidak perlu ikut campur urusanku!"
Dengan tenang Yu Wi memberi nasihat, "Apabila perangai Inkong dapat berubah lebih ramah
sedikit, kan jadi lebih baik" Mengapa mesti bersikap keras sehingga kaum hamba takut padamu,
sampai-sampai adikmu sendiri juga takut padamu."
"Hm, kau tahu apa?" jengek Kan Ciau-bu, "Jika aku bersikap ramah, mungkin sudah lama aku
tidak hidup di dunia lagi."
"Ya, kutahu Kan-lohujin bermaksud membunuh kau...." kata Yu Wi dengan menghela napas.
"Hm, tampaknya banyak juga yang kau ketahui," sela Kan Ciau-bu.
"Kau selalu bersikap dingin dan ketus terhadap orang lain, mendingan kalau melulu untuk
menjaga diri agar tidak dicelakai orang, tapi sekali-kali tidaklah layak kau bersikap dingin terhadap
nona Lau, betapapun dia kan bakal isterimu."
"Hehe, rupanya banyak juga ingin kau campuri urusanku," Kan Ciau-bu tertawa dingin. "Harus
kukatakan padamu, seorang sebaiknya jangan banyak ikut campur urusan orang lain, sedangkan
keselamatan sendiri tak terjamin masih ingin mengurus orang lain, kan lucu dan menggelikan?"
Dengan tegas Yu Wi menjawab "Biarpun orang she Yu tidak becus, urusan ini tidak boleh tidak
aku harus ikut campur, Kau harus baik terhadap nona Lau, jangan memperlakukan dingin
padanya, sebab.... sebab dia adalah nona yang sangat baik..."
Berulang Kan Ciau bu tertawa dingin, katanya, "Hehe, tampaknya Anda berkesan cukup baik
terhadap bakal isteriku, jangan-jangan..."
Muka Yu Wi menjadi merah, cepat ia memotong, "Hendaklah jangan kau pikir yang bukanbukan,
nona Lau suci bersih, dia bukan nona yang sembarangan kau harus harus perlakukan dia
dengan baik."
"Perlakukan dia baik apa susahnya, Anda tidak perlu kuatir, justeru mengenai pertolonganku
padamu itu entah cara bagaimana akan kau balas?"
"Orang yang berbudi tidak suka mengharapkan ba!as, tapi kalau kau menghendaki kubalas
budimu, tentu akan kubalas," kata Yu Wi dengan aseran, "Tapi tempo hari kuwakili dirimu
menghadapi musuh sekuat tenagaku, kenapa kau tidak bantu menghalau musuh, sebaliknya kau
malah pakai kedok dan menyerangku dengan keji?"
Kan Ciau-bu melengak, tapi lantas menjawab dengan menyeringai, "Siapa bilang orang
berkedok itu ialah diriku?"
"Bilamana ingin orang tidak tahu. Paling baik kalau diri sendiri tidak berbuat!" ucap Yu Wi
tegas. Kan Ciau-bu tertawa dingin pula, katanya "Kongcu memakai kedok dan menyerang kau,
tujuannya supaya kau dapat membalas budi!"
"Kaubantu pihak yang jahat melakukan hal yang lebih jahat, cara bagaimana harus kubalas
budimu?" teriak Yu Wi dengan gemas.
"Takkala kau kubunuh, waktu itulah kau telah membalas budi," kata Ciau-bu.
Yu Wi terkejut, serunya, "Jadi kau . . .kau . .."
"Aku kenapa?" jawab Kan Giau-bu dengan penuh nafsu membunuh. "Dari dulu kuselamatkan
jiwamu, sekarang boleh kau balas budi dengan kematianmu..."
Sambil bicara, serentak sebelah kakinya menendang ke selangkangan Yu Wi, berbareng
telapak tangan kanan terus memotong samping kepalanya.
Tendangan dan tabasan ini cepat lagi ganas, sungguh tidak kepalang lihaynya. Tapi diam-diam
Yu Wi sudah siap siaga, kedua tangannya bergerak ke atas dan ke bawah, dengan tepat ia
mengancam Hiat-to penting di kaki dan tangan Kan Ciau-bu.
Dalam keadaan demikian, terpaksa Ciau-bu harus menarik kembali kaki dan tangannya, ia
terkejut melihat tipu serangan Yu Wi yang hebat itu, mana dia berani meneruskan serangannya,
Cepat ia ganti posisi, mendadak tangan kiri menghantam dari bawah lengan baju kanan,
menggenjot perut Yu Wi.
Tak terduga, entah sejak kapan jari telunjuk tangan kiri Yu Wi sudah siap melindungi perut,
begitu tangan Kan Ciau-bu menyentuh ujung jarinya, seketika telapak tangan merasa kesemutan,
Untung ia pun cukup cekatan, secepatnya ia menarik kembali tangannya, coba kalau terlambat
sedetik saja, tentu "Pek-yong-hiat" pada telapak tangan akan tertutuk.
Sungguh kejut Ciau-bu tak terkatakan, serangannya tadi seolah-olah sudah diketahui lebih
dulu oleh Yu Wi, maka jarinya sudah menunggu lebih dulu di bagian yang akan diserangnya. Kalau
saja tangannya tertutuk dengan tepat, maka sama halnya dia sengaja menyodorkan tangannya
agar di tutuk lawan. Di dunia ini mana ada cara berkelahi demikian"
Namun Kan Ciau-bu memang bukan jago kelas rendahan, meski terkejut ia masih dapat
menganalisa kekuatan sendiri dan musuh. ia pikir jangan2 lawan sudah paham kungfu Thian-ti-hu.
Maka serangan selanjutnya lantas berubah, ia memainkan sejurus ilmu pukulan ciptaan sendiri,
ilmu pukulan Kan Ciau-bu ini diciptakan sendiri berdasarkan pengalaman tempur selama ini, titik
kelemahannya sangat sedikit, tidak kurang bagusnya daripada kungfu ciptaan Kan Yok-koan,
Hanya dua-tiga kali menangkis saja Yu Wi lantas tahu kelihayan lawan. Cepat ia mainkan ke 30
juruS ilmu pukulan ajaib ajaran Ji Pek-liong untuk melayani musuh.
Keajaiban ilmu pukulan ciptaan jt Pek-liong ini lebih lihay setingkat daripada ilmu pukulan
ciptaan Kan Ciau-bu, namun pengalaman tempur Ciau-bu lebih banyak, maka Yu Wi hanya mampu
melayaninya dengan sama kuat
Meski tak dapat mengalahkan lawan, tapi Yu Wi dapat bergerak dengan leluasa, sambil
menangkis serangan Ciau-bu ia berkata, "Apa gunanya sekalipun kau bunuh diriku sekarang?"
Melihat lawan dapat menangkis serangannya sambil bicara dengan leluasa, tidak kepalang rasa
mendongkol Kan Ciau-bu, katanya dengan gemas, "Jika kau ingin balas budi, maka kau harus
membunuh diri dan tidak perlu kuturun tangan lagi."
"Kematianku akan mendatangkan faedah apa bagimu?" tanya Yu Wi dengan tidak mengerti.
Pada waktu orang berbicara, dengan cepat Kan Ciau-bu menyerang lima-enam kali.
Namun Yu Wi dapat menghindar dengan leluasa, sedikitpun tidak kelihatan payah.
Maka tahulah Ciau-bu apabila ingin mengalahkan lawan secara lugu jelas bukan pekerjaan
mudah, terpaksa harus menggunakan akal, segera ia perlambat serangannya dan berkata, "Bila
kau mati di kamarku, tentu ibu-tiruku akan mengira aku telah dibunuh musuh dan takkan
menyangka lagi dirimu adalah Kan kongcu. palsu, Dengan demikian pula ibu tiriku pun takkan
berusaha membinasakan diriku lagi, nah, jelas. tidak?"
Yu Wi juga pelahan mematahkan setiap serangan lawan sambil menjawab, "Jika kau sudah
mati, tentu saja Kan-lohujin takkan berusaha mencelakai kau lagi, mana mungkin orang mati akan
dicelakai pula?"
Diam-diam Kan Ciau-bu mengomeli kebebalan lawan, dengan dingin ia berkata pula, "Jika aku
dianggap sudah mati, ibu tiri tentu takkan berjaga-jaga lagi, Dengan demikian aku akan berada di
sisi gelap dan dia berada di bagian yang terang meski kungfuku tidak setinggi dia, bilamana dia
lengah tentu dapat kubinasakan dia" Nah, tahu tidak?"
Tidak kepalang kejut Yu Wi mendengar keterangan tersebut, tanpa terasa gerak-geriknya
menjadi lamban, kesempatan itu segera digunakan Kan Ciau-bu untuk melancarkan suatu
serangan maut. Tak tahunya Yu Wi memang ditakdirkan mujur, mendadak kaki terasa gatal, mendadak ia
berjongkok dan kebetulan dapat mengelakkan serangan maut Kan Ciau-bu itu.
Diam-diam Ciau-bu merasa sayang, segera ia lebih melambatkan serangannya, seolah olah
tidak bernapsu bertempur lagi.
Yu Wi juga melambatkan gerakannya dan berkata, "Jalan pikiranmu itu sungguh agak kelewat
keji, Betapapun Kan-lohujin kan ibu-tirimu, mengapa harus kau bunuh dia?"
Kan Ciau-bu sengaja menghela napas seperti minta dikasihani katanya, "Kalau tidak kubunuh
dia, tentu dia yang akan membunuhku. Demi mencari hidup, terpaksa harus bertindak kejam."
Yu Wi menggeleng dan berkata, "Pantas ketika pihak Hek-po menyerbu kemari, kau berbalik
membantu mereka membunuh diriku dan jika aku sudah mati, tentunya terkabul harapanmu,
bahkan juga terkabul keinginan Lohujin."
Kan Ciau-bu tidak menanggapi tapi di dalam hati ia berkata, "Memang! Jika kau mati, tentu
sekarang aku tidak perlu bersusah payah lagi. Gara-gara kakek sialan itu menyelamatkan dirimu,
maka semua rencanaku jadi berantakan."
Mereka terus bergebrak Kembali Yu Wi mematahkan tiga serangan maut lawan, tiba-tiba
teringat sesuatu olehnya, ia berkata pula, "Tempo hari sekalipun kumati kau bunuh juga tidak
mudah untuk menipu Kan-lohujin agar percaya."
"Sebab apa?" tanya Ciau-bu dengan melengak.
"Waktu itu siapa pun tidak tahu bahwa aku ini Kan-toakongcu gadungan," tutur Yu Wi dengan
perlahan. "Bila kumati tentu akan disangka Kan-toakongcu asli mati di medan tempur menghadapi
penyerbu dari Hek-po, sedikit pun takkan menimbulkan curiga orang lain. Tapi sekarang Jun-khim
dan Tong-wa telah melihat ada dua Toakongcu kembar, bilamana mereka laporkan kepada Kanlohujin,
lalu apakah Lohujin akan percaya bahwa Kan-toakongcu yang berkepandaian tinggi bisa
mati tanpa sebab di dalam kamarnya" jelas secara mudah Lohujin dapat menerka bahwa yang
mati pasti lah Kongcu palsu."
Hati Ciau-bu tergetar, pikirnya "Ya, tidak kupikirkan hal ini, untung si tolol ini mengingatkan
padaku." Dengan senang ia lantas menjawab, "Hal ini tidak menjadi soal, setelah kau mati nanti, segera
pula kubunuh Jun-khim dan Tong-wa untuk menghapus saksi hidup."
Diam-diam Yu Wi merasa ngeri melihat cara bicara Kan Ciau-bu itu sedemikian tenang dan
tiada belas kasihan sedikit pun. ia jadi teringat kepada kematian Pi-su. yaitu si genduk genit itu,
dengan gusar ia lantas bertanya, "Jika demikian, jadi Pi-su juga kau yang membunuhnya?"
Kan Ciau-bu tertawa bangga, jawabnya, "Sejak kau datang ke sini, diam-diam kuawasi setiap
gerak-gerikmu, kebetulan kuketahui Pi-su telah mengenali kepalsuanmu, maka ketika dia kembali
ke kamarnya, aku lantas menggantung mati dia, kalau tidak, bila dia lapor kepada ibu-tiri, jiwa kita
tentu akan amblas semuanya."
Dengan murka Yu Wi balas menyerang tiga kali, karena menyerang dengan gusar, tentu
sasarannya kurang telak, dengan mudah saja Kan Ciau-bu dapat menghindar.
"Kau telah berzina dengan dia, orang suka bilang "menjadi suami-isteri satu malam, cinta kasih
seratus hari", Tapi kau tega membunuhnya, di mana hati nuranimu" Aku . . . . ." saking gemasnya
Yu Wi sampai sukar untuk bicara lagi.
Kan Ciau-bu sengaja tertawa latah, ucapnya, "Lantas kau mau apa" Biar kuberitahu sekalian,
beberapa bulan yang lalu Jun-khim dan Tong-wa juga sudah kutiduri, sekarang mereka pun
mengetahui tipu muslihatku, maka nasib mereka pun tak terhindar dari kematian."
Mata Yu Wi merah berapi saking gusarnya, teriaknya, "Jika begitu ... .. jika begitu, jadi jadi Hesi
juga sudah kau..."
"Huh, babu pincang begitu, biarpun dia telentang di depanku juga aku tidak mau," Kan Ciaubu
berolok-olok dengan tertawa.
Saking murkanya sehingga serangan Yu Wi tidak teratur, kata-katanya juga gelagapan, "Kau...
kau sungguh . .. . . sungguh terlalu kejam?"
"Kejam apa?" Kan Ciau-bu tertawa keras, "Biarpun nona Lau, bakal isteriku itu, jika dia
mengetahui tipu muslihatku, aku pun takkan mengampuni dia, akan kugantung, mati serupa Pisu!"
Dia sengaja berucap demikian untuk membikin marah lawan. Yu Wi kurang pengalaman, mana
dia tahu akal bulus musuh" Saking murkanya dia terus menyerang beberapa kali tanpa
menghiraukan keselamatan sendiri...
Dapalkah Yu Wi mengalahkan Kan Ciau-bu dan meninggalkan Thian-ti-hu"
Cara bagaimana Yu Wi akan menuntut ilmu menurut pesan sang guru dan bagaimana dengan
kisah hidup Yu Wi sendiri"
- Bacalah jilid ke- 4 -
Jilid ke-4 Menyerang dalam keadaan marah, tentu saja ketiga serangan Yu Wi itu banyak lubang
kelemahannya, Maka dengan mudah saja Kan Ciau-bu dapat menangkis, menyusul ia balas
dengan suatu pukulan maut yang menuju ke hulu hati Yu Wi.
Bilamana pukulan ini telak kena di tempatnya seketika urat jantung Yu Wi akan tergetar putus
dan binasa. Tapi pada saat itu juga, mendadak Yu Wi merasa kaki kanan gatal pula dan tanpa terasa
tubuhnya mendoyong ke kanan, karena gerakan tak sengaja ini, serangan maut Kan Ciau-bu
hanya mengenai bahu kiri Yu Wi.
Pukulan maut ini sangat dahsyat, sedikitnya beberapa ratus kati beratnya, Yu Wi terhuyungjbuyung
mundur dan menumbuk dinding, untung ia melatih Thian ih-sin-kang, dia hanya terluka
lecet luar saja, otot tulangnya tidak cedera, Kontan tubuhnya meletik maju pula, seperti peluru
yang terpental balik membentur tembok, dia balas menghantam sekuatnya.
Sama sekali Kan Ciau-bu tidak menyangka pukulannya akan meleset, tapi biarpun kena bagian
bahu, sedikitnya juga akan membikin lawan patah tulang dan tidak mampu bertempur lagi,
Siapa tahu Yu Wi tidak beralangan apa pun, keruan Kan Ciau-bu terkejut, diam-diam ia heran
apakah tubuh lawan itu terbuat dari baja"
Rasa gusar Yu Wi tidak hilang, sebaliknya makin berkobar, dengan gemas ia membatin, "Kau
berani membunuh nona Lau, sekarang juga kulabrak kau mati-matian!"
Lantaran pikiran itu, tanpa terasa mulutnya lantas berseru, "Asalkan kau tidak membunuh
nona Lau, tentu kau akan kuampuni!"
Diam-diam Kan Ciau-bu merasa geli, ia pikir kalau kau bertempur secara kalap begini, jiwamu
sendiri saja tak terjainin, masa berani membela orang lain, sungguh lucu.
Dengan mudah ia menghindarkan serangan Yu Wi yang membabi-buta itu, pelahan ia himpun
tenaga pada kedua telapak tangannya, ia bertekad sekali hantam akan merobohkan Yu Wi,
sekalipun lawan memiliki ilmu sakti pelindung badan juga akan dibinasakannya.
Waktu itu Yu Wi sedang menyerang dengan kalap, tiba-tiba ujung telinganya terasa kesakitan
seperti ditusuk jarum, pikirannya yang kalap itu seketika jernih kembali. Sayup-sayup ia
mendengar suara seperti bunyi nyamuk berkata kepadanya, "Yu heng, kau harus sayang pada
jiwanya sendiri, jangan terjebak oleh pancingan Kan Ciau-bu yang sengaja hendak membikin
marah padamu, harus melayani dia dengan tenang."
Jelas suara itu suara orang perempuan dan malah cukup dikenal oleh Yu Wi, seketika
terbangku semangat dan timbul rasa senang yang sukar dilukiskan, tanpa terasa ia berseru, "Siapa
kau" Di mana kau?"
Melihat lawan sudah kalap hingga bergumam berdiri seperti orang gila, diam-diam Kan Ciau-bu
bergirang, ia tidak menyangka ada orang menggunakan "Thoan-im jip-bit" atau ilmu gelombang
suara yang hebat untuk memberi petunjuk kepada Yu Wi, Tanpa ayal ia pergencar serangan
dengan lebih dahsyat laksana damparan ombak samudra.
Yu Wi kenal jurus serangan lawan ini adalah jiatu di antara ketiga jurus serangan maha sakti
andalan Kan Yok-koan, yaitu "To-thian-ki-long", pukulan ini luar biasa lihaynya.
Akan tetapi kini pikiran Yu Wi sudah sadar dan tenang kembali, segera ia gunakan jurus
terakhir dari ke-30 jurus ajaib ajaran Ji Pek-liong itu untuk menangkis, pelahan tangannya
menyampuk angin pukulan lawan yang dahsyat, dengan tenaga benturan itu dia terus melompat
ke atas, dengan berjumpalitan ia turun ke belakang Kan Ciau-bu dengan gaya yang indah.
Jurus terakhir dari ke-30 jurus ajaib itu ada jurus penyelamat, boleh dikatakan tiada taranya,
Kan Ciau-bu mengira serangannya pasti dapat membinasakan lawan, tak tersangka Yu Wi dapat
menghindar dengan gaya yang indah, keruan ia terkesiap, ia melongo hingga lupa menyerang
pula. Sesudah berdiri tegak lagi, Yu Wi memandang sekitarnya, ia ingin mencari perempuan yang
mem-bisiki telinganya tadi, ia pandang ke arah pintu, dilihatnya He-si sedang melangkah masuk
dengan membawa sebuah bungkusan.
Dari depan He-si hanya melihat Yu Wi dan tidak tahu di pojok sana masih ada Kan Ciau-bu,
begitu masuk kamar ia terus berseru, "Ayolah lekas kita lari! Bila Toakongcu pulang tentu kita tali
dapat kabur!"
"Kongcumu berada di sini! Hm, memangnya kau dapat kabur"!" jengek Kan Ciau-bu
mendadak. Keruan He-si sangat kaget dan menggigil ketakutan Ketika Kan Ciau-bu melompat maju, He-si
menjerit dengan muka pucat.
Kan Ciau-bu menyadari bilamana dia ingin mencelakai Yu Wi jelas tidak dapat, akan lebih baik
kalau lawan dihina dan diolok-olok sepuasnya untuk melampiaskan rasa dongkol, Maka dengan
tertawa ia lantas, mengejek, "Wah, betapa hebat seorang pemuda yang gagah dan berbudi,
selama berada di rumahku, bukan saja berhasil mencuri ilmu silat keluargaku, bahkan juga
tambah mahir memikat babu. Hehehe, sungguh pintar, sungguh cakap!"
Tapi sekarang Yu Wi tidak mudah terpancing marah lagi, bila teringat bahaya yang dihadapi
tadi, kalau perempuan itu tidak menyadarkan dengan tiga kali menusuknya dengan jarum,
mungkin saat ini jiwanya sudah melayang.
Maka ejekan Kan Ciau-bu itu tidak digubrisnya, ia berkata dengan tenang, "He-si. marilah kita
pergi!" Melihat lawan tidak dapat dipancing marah lagi, Kan Ciau-bu tidak tinggal diam, mana dia mau
Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membiarkan Yu Wi membawa pergi He-si dengan begitu saja, segera ia menyelinap lewat di
samping Yu Wi, menyusul sebelah kakinya terus menendang selangkangan He-si.
Keruan He-si menjerit kaget.
Yu Wi tidak sempat menyelamatkan He-si, tapi ia menjadi murka melihat betapa keji cara Kan
Ciau-bu menyerang itu, sesudah tidak mampu mengalahkan dia, sekarang anak perempuan yang
bukan tandingannya itu akan dibinasakan dengan cara sekotor itu. Tanpa pikir ia angkat jarinya
dan menutuk Hiat-to maut di punggung Kan Ciau-bu.
Kan Ciau-bu bukan jago lemah, dari suara angin tutukan itu ia tahu betapa berbahayanya
bilamana tertutuk telak jiwa pasti amblas. Terpak saja harus batalkan serangannya kepada He-si,
cepat ia tarik kembali kakinya dan berputar untuk menangkis tutukan Yu Wi.
Tarnpaknya mereka berdua akan mulai bertempur lagi dengan lebih sengit, sekonyongkonyong
ada suara nyaring memanggil di luar, "Toako, Toako! Marilah kita pergi berburu singa!"
Di Thian-ti-hu hanya adik perempuan lain ibu ini saja yang akrab dengan Kan Ciau-hu. Segera
Yu Wi dapat mengenali suara Kan Hoay-soa san.
Dengan kejadian tempo hari waktu nona itu mengajaknya pergi berburu singa, tanpa terasa
hatinya tergerak.
Karena kedua orang sama memikirkan Kan Hoay-soan, kuatir nona itu mendadak menerjang
ke dalam kamar dan terluka oleh mereka, maka tanpa terasa kedua orang lantas berhenti
bertempur dan terpencar ke samping.
Memung betul, dengan gesit Kan Hoay-soan terus menerobos ke dalam kamar, nona ini
memakai baju satin putih yang singsat, rambut digelung di atas sehingga lehernya yang jenjang
halus kelihatan jauh lebih menggiurkan daripada setahun yang lalu.
Ketika mendadak melihat di dalam kamar berdiri dua orang Toako yang serupa, ia menjerit
kaget, "Hah!" Siapa di antara kalian adalah Toakoku?"
Melihat sikap kekanak-kanakan si nona yang lucu itu, Yu Wi tertawa.
Tertawa ini membikin Kan Hoay-soan terkesima, ia menggeleng kepala dan berkata, "Kau
bukan Toakoku! Kau bukan Toakoku!...."
Sembari bicara ia terus mendekati Kan Ciau-bu, wajah Kan Ciau-bu yang beringas tadi seketika
berubah tenang, katanya, "Moaymoay, sudah malam begini masa ingin berburu singa apa segala".
"Toako, mengapa kau tidak tertawa?" ucap Kan Hoay-soan dengan gegetun. "Alangkah baik
nya jika kau mau tertawa seperti dia."
Kan Ciau-bu marah, jawabnya, "Dia itu siapa, kenapa aku mesti meniru dia" jangan
sembarangan omong, ayolah lekas pulang ke Ban-siu-ki!"
Meski cuknp akrab dengan sang Toako, akan Hoay-soan juga rada takut padanya. Dengan
rasa penasaran ia membalik tubuh dan melangkah pergi, ketika lewat di sisi Yu Wi, mendadak ia
berhenti dan bertanya, "Kau . . . . kau tidak . . . tidak mati?"
"Sudah tentu tidak," jawab Yu Wi dengan tertawa, "Kalau mati masakah dapat berdiri di sini
dan bicara dengan kau?"
Seperti anak kecil Kan Hoay-soan tertawa, katanya, "Jika demikian, legalah hatiku, Ketika
dipukul roboh oleh Toakoku, sungguh kukuatir kau akan mati, syukur Thian maha pengasih, kalau
tidak..." Kan Ciau-bu menjadi gusar dan mendamperatt, "Bicara apa lagi" Ayo, lekas pulang!"
Yu Wi tidak pedulikan raungan Kan Ciau-bu, ia mengadang di depan Kan Hoay-soan dan
bertanya: "Jadi sejak dulu kau sudah tahu aku ini Toakomu palsu?"
Kan Hoay soan menunduk dan menjawab, "Dengan sendirinya kutahu, Lekas menyingkir, aku
mau lewat..."
Yu Wi berdiri diam saja, katanya, "Kan-heng, pernah kaukatakan bila nona Lau mengetahui
tipu muslihatnya, dia juga takkan kau ampuni. Sekarang. adik perempuanmu sudah lama
mengetahui seluk-belukmu, mengapa tidak kauapa-apakan dia?"
Kan Ciau-bu menjadi gusar dan meraung, "Urusan rumah tanggaku, untuk apa kauikut
campur?" Dengan suara perlahan Hoay-soan lantas berkata, "Sebab aku takkan memberitahukan kepada
ibu tentang Toako palsu segala, maka Toako tidak akan bertindak apa-apa padaku."
Diam-diam Yu Wi membatin, mungkin si nona tidak tahu maksud tujuan Kan Ciau-bu mencari
seorang duplikatnya, disangkanya sang kakak hanya ingin main-main saja, maka hal ini tidak
dilaporkan kepada ibunya, Dari sini dapat dibayangkan hubungan antara kakak beradik ini tentu
cukup baik. Dalam pada itu Kan Hoay-soan telah mendesak pula, "Lekas menyingkir, aku akan lewat!"
Tapi Yu Wi tetap tidak menggubrisnya. Dia masih sengaja mengadang di depannya dan
berkata, "Kan-heng, jika kau percaya kepada adik perempuanmu, mengapa kau tidak berani
percaya kepada nona Lau?"
Dengan gemas Kan Ciau-bu berteriak, "Bolak-balik kau sebut dia, sesungguhnya apa
sebabnya?"
Seketika Yu Wi tak dapat menjawab, dengan wajah merah ia berkata, "Jun-khim dan Tong-wa
adalah pelayan pribadimu, seharusnya kau percaya kepada mereka, tidak pantas kaubunuh...."
"Mana bisa Toako membunuh Jun-khim di Tong-wa tanpa sebab?" ujar Hoay-soan.
"Tentu saja ada sebabnya," kata Yu Wi. "Yaitu mereka mengetahui aku adalah duplikat
Toakomu." "Apakah betul begitu, Toako?" tanya Hoay-soan sambil berpaling ke arah Ciau-bu.
"Kedua budak itu tidak tahu diri dan mungkin akan sembarangan mengoceh, bilamana ibu
tahu bahwa aku menyuruh orang asing menyaru sebagai diriku ke sini, bukankah beliau akan
marah padaku, Agar ibu tidak marah maka kedua budak itu akan kubunuh agar tidak membikin
kacau." "Bila kau bunuh mereka berdua, selama hidupku takkan kuampuni kau!" teriak Yu Wi dengki
gusar. "Hahahaha!" Kan Ciau-bu bergelak tertawa, memangnya Kongcumu inii takut akan
gertakanmu" Boleh kaulihat, segera akan kubunuh mereka!"
Tiba-tiba Hoay-soan menoucurkan air rnata, dengan memelas ia memohon, "Toako, kumohon
janganlah kau bunuh mereka."
Hati Ciau-bu menjadi lunak melihat air mata adik perempuannya, ucapnya sambil memberi
tanda, "Sudahlah, lekas kau pulang sana, aku takkan membunuh mereka."
Dengan gembira Hoay-soan mengusap air matanya dan berkata dengan manja, "Terima kasth
Toako, adik minta diri!"
Yu Wi tidak menyangka bujukan Kan Hoay-san akan dapat mencegah niat Kan Ciau-bu
membunuh Jun-khim dan Tong-wa. Melihat maksud hatinya sudah tercapai, segera ia menyingkir
ke samping. Sesudah Hoay-soan melangkah lewat ia lantas menggapai He-si dan berseru. "Marilah
kita berangkat!"
Melihat He-si membawa rangsel, Hoay-soan bertanya, "Hendak ke mana kau?"
He-si menunduk, jawabnya, "Hamba ikut pergi bersama Yu-siangkong..."
"Kau dapat meladeni dia, sungguh sangat beruntung..." ucap Hoay-soan dengan kagum.
Sebelah tangan Yu Wi terus merangkul pinggang He-si dan diangkat, ucapnya dengan terburuburu,
"Cayhe tidak bermaksad menyuruh dia meladeni diriku..." sambil bicara ia terus melayang
keluar. Karena He-si sudah berada di bawah perlindungan Yu Wi, sukar lagi untuk menyerangnya,
terpaksa Kan Ciau-bu hanya berteriak beringas, "Pada suatu hari budak hina itu pasti akan
kubinasakan..."
Dengan gerak cepat Yu Wi membawa He-si menyusur taman dan melintas pagar sehingga
tidal dilihat oleh kaum hamba Thian-ti-hu, dengan cepat ia telah meninggalkan istana yang megah
itu setiba di jalan raya kota Kimleng barulah ia lepaskan He-si.
Dia meninggalkan He-si di hotel, sehabis makan malam, hari sudah gelap, ia tukar pakaian
peranti jalan malam, lalu berlari kembali ke arah Thian-ti-hu.
Sejak Kan Jun-ki wafat, kekuasaan keluarga Kan dalam pemerintahan lantas lenyap, kejayaan
Thian ti-hu juga mulai surut, istana perdana menteri yang megah itu pun sepi, penjaganya sanga
sedikit, maka dengan sangat mudah dapatlah Yu Wi menyusup ke dalam istana itu.
Dengan hati-hati ia terus menuju ke bagian dalam, setiba di depan kamar Lau Yok-ci, ia berdiri
termangu, seketika ia menjadi bingung apakah harus masuk ke situ atau tidak"
"Siapa itu di luar?" sekonyong-konyong suara orang menegur di dalam kamar,
Yu Wi terkejut, ia heran orang dapat mendengar kedatangannya, padahal dia melangkah
dengan sangat ringan.
"Apakah Yu-siangkong?" tanya pula suara tang di dalam kamar.
Sekali ini Yu Wi hampir melonjak saking kaget, ia membatin. "Apakah dia ini dewi kayangan
yang dapat mengetahui apa yang belum terjadi?"
Tapi cepat juga dia menjawab, "Ya, Cayhe Yu Wi ingin bertemu dengan nona!"
"Silakan masuk!" seru nona Lau.
Pelahan Yu Wi masuk ke sana, ia pikir untuk kedua kalinya dia masuk ke kamar perawan
orang. Pajangan di dalam kamar masih tetap seperti dahulu, di mana-mana tercium bau harum
semerbak, si cantik berbaju hitam, Lau Yok-ci, berdiri dengan gaya yang tenang menanti
kedatangannya. Wajah si nona tidak ada perubahan, bahkan lebih putih, lebih cantik, sekujur badan seolaholah
memancarkan hawa yang tidak boleh dilanggar orang, sungguh seperti dewi kayangan benarbenar.
Yu Wi memberi hormat dan berkata, "Terima kasih banyak-banyak atas pertolongan nona
tadi!" "Tidak perlulah berterima kasih, aku tak dapat memperlihatkan diri, terpaksa menusuk Siang
kong dengan Gu-mo-thian-ong-ciam (jarum raja bulu kerbau), harap suka memaafkan tindakanku
itu," kata Yok-ci.
"Ai, akupun terlalu, masa sampai terpancing marah oleh Kan-kongcu," ujar Yu Wi. "Untung
nona menolong dengan jarum, kalau tidak jiwaku tentu sudah melayang di tangan Kan-kongcu,
sungguh Cayhe amat berterima kasih, mana bisa menyalahkan nona."
Tanpa sebab wajah Lau Yok-ci yang cantik molek itu pun bersemu merah, katanya, "Padahal
lantaran diriku sehingga Yu-siangkong terpancing marah, kan pan... pantas kalau kubantu kau?"
Melihat wajah si nona yang malu-malu dan menggiurkan itu, jantung Yu Wi berdetak keras,
sungguh ia ingin mendekat dan menciumnya, Tapi bila teringat si nona adalah bakal isteri orang,
mana dirinya boleh berbuat sembrono, padahal kedatangannya ke kamar orang saja sudah tidak
pantas. Makin dipikir makin tidak enak, katanya kemudian dengan perasaan berat, "Aku... aku ingin ..."
"Apakah Yu-siangkong hendak pergi?" tanya Lau Yok-ci sambil mengangkat kepala.
Yu Wi mengangguk dengan pandangan yang berat.
Si nona menghela napas pelahan, katanya, Siang tadi setelah kubicara dengan Siangkong
dengan Thoan-im-jip-bit, kuduga malam ini Siangkong tentu akan kemari untuk mengucapkan
terima kasih. Sekarang hal itu sudah kau lakukan, tentunya kau akan pergi."
Dari nada ucapan si nona, Yu Wi merasa orang mencela kedatangannya ini hanya untuk
mengucapkan terima kasih saja, seketika ia tidak berani bicara tentang mohon diri lagi agar tidak
terlalu menyolok.
Melihat anak muda itu tidak jadi pergi, dengan tertawa Lau Yok-ci berkata, "Silahkan duduk,
Siang-kong, akan kutuangkan teh!"
Sesungguhnya Yu Wi memang merasa berat untuk tinggal pergi. Sesudah minum seceguk teh
wangi yang disuguhkan, ia lantas mengobrol iseng dengan si nona, diceritakannya pengalamannya
belakang gunung sana.
Dengan tenang Lau Yok-ci mendengarkan kisah Yu Wi itu, selesai anak muda itu bercerita
barulah ia berkata, "Penemuan aneh Yu-siangkonj itu sungguh sangat menggembirakan, kini Kankongcu
sudah bukan tandinganmu lagi, Tapi mengingat janji pertemuan hari Tiongcu tahun depan,
hendaklah dimaklumi bahwa Lak-can-so sudah lama termashur di dunia Kangouw, ilmu silat
mereka jauh di atas Kan kongcu, bilamana Siangkong hadir pada pertemuan itu hendaknya
berhati-hati."
"Terima kasih atas perhatian nona," kata Yu Wi. "Entah baik tidak nona bertempat tinggal di
sini?" Air muka Lau Yok-ci menjadi muram, ucapnya dengan sayu, "Baik atau tidak apa bedanya,
sudah suratan nasib, ingin mengubahnya juga sukar."
Terharu juga Yu Wi mendengar ucapan si nona, ia pikir menghadapi sifat Kan Ciau-bu yang
kaku dan dingin itu, tinggal di sini nona Lau tentu seperti tinggal di dalam penjara saja.
Sungguh ia ingin sekali menyatakan, "Marilah kau ikut aku meninggalkan tempat setan ini!"
Tapi mana dia berani sembarangan omong di depan si cantik.
Di dengarnya nona itu seperti bergumam mengumandangkan sebait syair kuno yang bermakna
menyesal karena terlambat berkenalan.
Terkesiap juga Yu Wi mendengar syair yang disuarakan Lau Yok-ci itu, cepat ia berbangkit dan
berkata, "No... nona Lau, aku mohon diri..."
Yok-ci lantas berdiri, jawabnya dengan menyesal "Akan ku antar engkau ke depan pintu,"
Setiba di luar piutu, nona itu bertanya pula, "Sekarang Siangkong akan menuju ke mana?"
"Sejak kecil kutinggal di Hek po, di Soasay, maka sekarang akan pulang kesana," jawab Yu Wi
Yok-ci terkejut, ia menegas, ?"Pulang ke Hek-po, untuk apa pulang ke sana"
"Hek-po ada permusuhan sedalam lautan denganku, aku harus ke sana untuk
membereskannya?" kata Yu Wi.
"Selamat jalan, Siangkong, semoga selekasnya engkau dapat menuntut balas sakit hati
ayahmu," demikian Yok-ci berdoa.
"Terinia kasih, nona, sampai berjumpa pula," seru Yu Wi sambil mengangkat tangan dan
melangkah pergi dengan ikhlas, Mestinya ia tidak ingin menoleh, tapi belasan langkah saja ia tidak
tahan, ii berpaling, dilihatnya si nona masih berdiri termangu di depan pintu dengan pandangan
yang berat. Yu Wi memberi lambaian tangan pula, lalu berlari pergi secepatnya.
-o+o- -X- - oio--
Esoknya ia membawa He-si meninggalkan Kim-leng dengan menyewa sebuah kereta kuda,
setiba di Tinkang, mereka ganti menumpang kapal dan berlayar ke hulu, Setiba di Yan-cu-ki,
terlihat sebuah kapal layar terbalik di tengah sungai, penduduk di tepi sungai sibuk memberi
pertolongan dengan perahu nelayan. Banyak di antara penumpang kapal layar itu tidak mahir
berenang sehingga di mana-mana terdengar jerit tangis dan teriakan minta tolong.
He-si sudah lama bertempat tinggal di Kim-leng dan tidak pernah menempuh perjalanan jauh,
menumpang kapal saja tidak biasa, kini melihat kapal terbalik, ia menjadi ketakutan.
Yu Wi tahu perasaan He-si, setiba di Yan-cu-ki, mendaratlah mereka, baru satu hari naik kapal
ternyata He-si sudah kelihatan pucat dan kurus.
Padahal Yu Wi ingin cepat-cepat pulang Hek-po, tapi He-si kelihatan kurang sehat, ia menjadi
serba susah. -X1 - Rupanya He-si juga merasakan kesukaran Yu Wi, dengan lemah ia berkata, "Kepergian
Siangkong ke Hek-po adalah untuk menuntut balas, tentunya kurang leluasa dengan membawa
serta diriku, akan lebih baik kalau kau tinggalkan diriku di sini saja,"
Yu Wi pikir usul ini cukup beralasan, kepergiannya ke Hek-po ini memang sangat berbahaya,
sedangkan kungfu He-si tidak tinggi, kalau ikut ke sana, bukannya membantu sebaliknya malah
menambah bebannya, Apalagi badannya juga cacat dan kurang sehat, maka ia lantas mencari
sebuah rumah yang terletak di lereng bukit yang berdekatan dengan Yan-cu-ki.
Harta benda yang ditinggalkan Ji Pek-liong di dalam makam sana cukup banyak, Yu Wi
membawa sebagian harta tinggalkan sang guru itu sehingga tidak perlu kuatir kehabisan sangu,
dengan harta bawaannya ia membeli rumah itu, lalu rnempekerjakan dua genduk dan tiga pesuruh
lelaki untuk melayanani He-si."
Rumah yang dibelinya itu terletak di lereng bukit Ci-he-nia yang indah panoramanya, banyak
tempat tamasya terkenal di atas bukit, sekeliling rumah penuh tertanam teratai putih, bunga
teratai sedang mekar semarak memancarkan bau harum semerbak. Suasana yang nyaman ini
sangat menvenangkan hati He-si.
Sesudah mengatur tempat tinggal bagi He-si, sebelum berpisah Yu Wi meninggalkan pula
sebilah pedang kayu pemberian Ji Pek-liong dahulu serta kitab pusaka yang berisi ikhtisar ilmu
silat yang dikumpulkan sang guru itu.
He-si merasa berat ditinggal pergi, ia mengantar hingga jauh barulah berpisah dengan air
mata berderai. Yu Wi terus menuju ke arah barat menyusuri sungai, terkadang menumpang kapal, sering pula
dia menempuh perjalanan darat. Tanpa kenal lelah akhirnya sampai juga di propinsi Soasay,
tatkala itu sudah masuk bulan kelima, musim panas dengan hawa yang menyengat.
Hek-po atau benteng hitam itu terletak di kota Thay-goan, dengan Pek-po atau kastil putih
yang terletak di utara propinsi Hokkian, Hek-po dan Pek po disebut orang sebagai Lam-pak-ji-po
atau dua kastil di utara dan selatan.
Pocu atau kepala kastil hitam bernama Lim Sam-han, usianya sekitar 50 lebih, pada waktu 30
tahun yang lalu namanya sudah termasyhur di dunia kangouw bersama Pocu kastil putih yang
bernama Bu Ih-hoan.
Pada usia setengah baya Lim Sam han kematian isteri, dia hanya mempunyai seorang anak
perempuan yang dipandangnya laksana permata kayangan.
Ketika Yu Wi masuk ke kota Thay-goan, saat itu waktunya orang makan siang, dilihatnya di
depan ada sebuah Ciulau atau restoran berloteng.
Ia naik ke loteng restoran itu dan memilih tempat duduk yang berdekatan dengan jendela.
Sesudah pelayan mengantarkan arak dan santapan, sembari makan ia memandangi suasana
jalan raya yang sudah dua tahun berpisah itu.
Belum habis ia makan minum, dilihatnya ada serombongan orang persilatan yang membawa
kado berbungkus merah lalu di depan restoran menuju ke barat kota. Diam-diam Yu Wi membatin,
"Di barat kota hanya Hek-po saja yang terkenal di Bu-lim, jangan-jangan di sana sedang
mengadakan perayaan apa-apa?"
Sehabis makan, dilihatnya pula ada beberapa rombongan lagi yang lalu dengan membawa
kado. Cepat-cepat ia membayar harga santapannya, selagi hendak meninggalkan restoran itu,
tiba-tiba di pinggir jalan ada orang memanggilnya, "Kan-kongcu! Kan-kongcu!"
Baju yang dipakai Yu Wi sekarang masih tetap baju warna merah itu, Rupanya warna merah
adalah kegemaran Kan Ciau-bu, setiap orang Bulim yang kenal dia sama tahu Kan-toakongcu tidak
suka pakai baju warna lain kecuali warna merah.
Sekarang Yu Wi masih tetap memakai baju panjang warna merah yang terbuat dari kain aneh
itu, tentu saja orang yang melihatnya akan salah sangka dia sebagai Kan-toakongcu dari Thian-tihu.
SemuIa Yu Wi mengira bukan dirinya yang di panggil, tapi setelah orang itu mendekat ke
sampingnya dan menyapa pula dengan hormat "masihkah Kan-kongcu kenanl Cayhe?" - Baru ia
yakin orang yang dipanggil memang benar dirinya.
Dilihatnya usia orang ini antara 40 tahun, alis tebal, mata besar, muka lebar, berbaju satin
sulam sekali pandang dapat diketahui orang pasti tokoh Bu-lim.
Tentu saja Yu Wi tidak kenal, tapi diketahuinya orang pasti sahabat Kan Ciau-bu, maka sambil
berkerut kening ia berkata, "Saudara ini..."
"Kongcu mungkin sudah lupa pada Hoan Cong-leng dari Wisay?" kata orang itu sambil
Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memberi hormat.
Tiba-tiba Yu Wi ingat salah satu kitab pelajaran kungfu yang pernah dilihatnya di kamar Kan
Ciau-bu di Thian-ti-hu dahulu, sampul kitab itu tertulis "Tay-ho-ciang keluarga Hoan dari Wisay", ia
pikir orang ini tentunya keturunan keluarga Hoan.
Yu Wi merasa tidak enak untuk menjawab tidak kenal, maka hanya menjawab dengan tertawa
"Oya, kiranya Hoan-heng adanya!"
Dengan tertawa gembira Hoan Cong-leng berkata pula, "Cayhe hanya bertemu satu kali
dengan Kongcu di Wisay, tak tersangka Kongcu masih ingat"
Nyata ia merasa bangga bahwa Kan Ciau-bu masih ingat padanya, Dari sini dapat dibayangkan
pula betapa besar pengaruh Kan Ciau bu di dunia persilatan, sedikitnya lantaran dia adalah orang
Thian-ti-hu, maka disegani dan dihormati orang.
"Jauh-jauh Hoan-heng dari Wisay datang ke sini, entah ada keperluan apa?" Yu Wi coba
mencari keterangan.
"Apalagi kalau bukan lantaran perjodohan anak" jawab Hoan Cong-leng dengan gembira, lalu
ia menoleh dan memanggil seorang pemuda gagah "Anak Khong, lekas memberi hormat kepada
Kan-kongcu!"
Pemuda itu sedang asyik bicara dengan kawannya, karena panggilan sang ayah, cepat ia
mendekat kemari.
"lnilah anakku Hoan Tay-khong! Dahulu pernah mendapat petunjuk Kongcu, sampai sekarang
juga dia masih ingat faedah yang diperoleh dari petunjuk Kongcu itu, cuma sayang dia tidak dapat
berkumpul lebih lama dengan Kongcu"
Selagi Hoan Cong-leng mengoceh, Hoan Tay-khong sudah mendekat, ia memberi hormat
kepada Yu Wi sambil menyapa, "Kan-kongcu!"
Yu Wi membalas hormat, katanya dengan tertawa, "Wajah saudara Tay-khong berseri-seri
jelas ada peristiwa bahagia."
"Peristiwa bahagia apa?" jawab Hoan Tay khong. "Dapat bertemu dengan Kan-kongcu
memang peristiwa bahagia."
"Tadi ayahmu bilang kedatangannya ini adalah untuk urusan perjodohanmu, kenapa kau
bilang tidak ada peristiwa bahagia," ujar Yu Wi.
"Ah, itu pun belum pasti jadi, agak terlalu dini bilamana disebut peristiwa bahagia bagiku"
jawab Hoan Tay-khong dengan tertawa.
"Kepandaian anak ini sangat terbatas, kedatangan kami ini sesungguhnya cuma coba-coba dan
untung-untungan saja," tukas Hoan Cong-leng.
"Lho, apakah perjodohan ini mengalami kesulitan dapatkah kubantu barangkali?" tanya Yu Wi
dengan heran. "Terima kasih atas perhatian Kongcu," jawab Hoan Cong-leng dengan tertawa, "Tapi urusan ini
selain dia sendiri tak dapat dibantu oleh siapa pun."
"Urusan apa?" tanya Yu Wi pula,
"Tidakkah Kongcu melihat kota Thaygoan ini mendadak bertambah tidak sedikit tokoh Bu-lim
yang membawa kado?"
"Ya, kulihat beberapa rombongan menuju ke barat kota," jawab Yu Wi.
"Mereka itu sama menuju ke Hek-po untuk melamar," tutur Hoan Cong-leng.
"Melamar" Melamar apa?" Yu Wi jadi melengak.
"Rupanya Kongcu belum mengetahui bahwa akhir-akhir ini di dunia persilatan telah tersiar
sesuatu berita yang menggemparkan."
"Berita apa?" "tanya Yu Wi cepat
"Tempat ini bukan tempat yang baik untuk bicara, marilah kita berduduk saja di rumah minum
sana," ajak Hoan Cong-leng,
Di kota Thaygoan banyak terdapat restoran dan tempat minum, lebih-lebih pada musim panas
begini, di mana-mana tamu memenuhi rumah minum. Mereka bertiga lantas menuju ke sebuah
rumah minum yang berdekatan.
Setelah pelayan membawakan teh dan habis minum secangkir, mulailah Hoan Cong-leng
bertutur, "Hekpo-pocu Lim Sam-ham mempunyai seorang putri kesayangan yang berkepandaian
silat tinggi dan berwajah cantik, apakah Kongcu sudah tahu?"
Berdebar jantung Yu Wi, dengan tidak tenteram ia mengangguk, "Ya, tahu!"
Lalu Hoan Cong-leng menyambung, "Bulan yang lalu mendadak Lim Sam-han mengumumkan
kepada dunia persilatan bahwa dia ingin mencari menantu, maka pendekar muda di dunia
persilatan diharapkan datang melamar..."
Rawan hati Yu Wi katanya di dalam hati "Akhirnya ayahnya hendak menikahkan dia"
Hoan Cong leng menghabiskan dua cangkir teh pula, lalu menyambung ceritanya, "Lim Sam
han kuatir ksatria muda yang cakap tidak niat datang melamar, maka dia menambahkan
perangsang dalam sayembara yang diadakannya, yaitu barang siapa yang terpilih sebagai
menantunya maka Lim Sam-han sendiri akan mengajarkannya semacam ilmu sakti, ditambah
hadiah satu biji Pi-tok-cu (mutiara penawar racun) dan emas seratus longsong."
"Oo, makanya Hoan heng juga membawa putramu kemari untuk melamar" ucap Yu Wi sambil
tetsenyum getir.
Muka Hoan Cong-!eng menjadi merah, katanya dengan kikuk, "Bukanlah kami mengincar Pi--
tok-cu dan emasnya, sesungguhnya lantaran kami dengar puteri Lim Sam-han itu memang cantik
dan bijak, usia anakku juga sudah cukup untuk dicarikan jodoh."
Dalam hati Yu Wi membatin bilamana orang she Hoan ini tidak mengincar ilmu sakti yang
dimaksudkan Lim Sam-han, tidak nanti dia membawa anaknya ke sini dari Wisay yang jauh itu.
Karena itu, diam-diam ia memandang rendah kepribadian orang she Hoan ini, timbul rasa
jemunya kepada mereka, tanpa terasa sikap kurang senang ini pun terunjuk pada air mukanya.
Tapi Hoan Cong leng belum lagi tahu, katanya, "Ksatria muda dunia Kangouw yang datang ke
sini entah berapa banyak, hari inilah hari yang ditetapkan, Lim Sam-han akan memilih calon
menantu yang berkepandaian tinggi dan berwajah cakap."
"Kepandaian Tay-khong teramat rendah, tidaklah mudah bagiku untuk terpilih," demikian Hoan
Tay-khong menukas dengan rendah hati.
"Beruntung sekarang bertemu dengan Kan-kongcu, apabila Kongcu sudi memberi petunjuk
barang satu-dua jurus, harapan anak ini untuk terpilih tentu akan bertambah besar," kata Hoan
Cong-leng dengan tertawa.
Yu Wi menggeleng, ucapnya dengan kurang senang, "Aku kurang enak badan, biarlah lain hari
kita bicara lagi."
Baru sekarang Hoan Cong-leng melihat perubahan air muka Yu Wi itu, ia tahu tabiat Kantoakongcu
terkenal sombong dan sukar diraba, ia menjadi kuatir kalau terjadi apa-apa, cepat ia
berbangkit dan mohon diri.
Yu Wi tidak ingin berkumpul dengan mereka, ia hanya mengangguk saja.
Seperginya Hoan Cong-leng berdua, Yu Wi duduk pula sejenak, ia menghela napas, lalu suruh
pelayan menghitung uang minuman, tapi rekeningnya ternyata sudah dibayar oleh Hoan Congleng.
Sekeluarnya dari rumah minum itu, tanpa terasa Yu Wi berjalan menuju ke barat kota,
keadaan sepanjang jalan masih seperti dahulu, tanpa terasa ia terkenang pada masa kanak-kanak
dulu.Hanya beberapa li, dari jauh sudah kelihatan Hek-po atau benteng hitam yang membentang di
tempat ketinggian, benteng itu dibangun membelakangi gunung, keadaannya sangat strategis.
Pada jalan yang menuju ke benteng hitam itu, kedua sisi jalan tertanam barisan pohon Gui
atau tanjung yang besar-besar, berada di tengah pohon tanjung itu, pikiran Yu Wi semakin
bergolak, terbayang olehnya pada waktu keciinya, hampir tiap hari bermain di sini bersama si dia.
Di depan salah satu pohon tanjung yang besar itu, tanpa terasa Yu Wi meraba pohon itu,
seketika telinganya seolah-olah mendengar pula suara seorang anak perempuan lagi berseru
padanya. "Siau Wi, panjatlah ke atas, coba lihat lubang di atas pohon itu, adakah siluman yang
sembunyi di sana?"
Mungkin pohon tanjung itu pernah disamber petir sehingga terbakar hangus, pada bagian
cabang dahan di atas menjadi keropos dan berlubang yang cukup dalam, Setiap kali setelah Yu Wi
disuruh memanjat ke atas, tentu si dia bertanya apa isi lubang di atas pohon. Bila Yu Wi bilang
tidak terdapat apa-apa, si dia tidak percaya dan berseru "Ah, masa, di situ pasti ada silumannya!"
Kalau sudah didesak lagi hingga kewalahan, sering Yu Wi menjawab, "Jika tidak percaya, boleh
kau memanjat ke atas dan periksa sendiri."
Tapi si dia tidak berani, selalu Yu Wi didesak memanjat lagi dan begitu seterusnya.
Tengah melamun, mendadak seorang membentaknya dari belakang, "Hai, apakah kau ini
orang Hek-po?"
Yu Wi berpaling, dilihatnya orang yang bersuara ini bertubuh tinggi besar. Padahal Yu Wi
sendiri cukup tegap, tapi masih kalah tinggi satu kepala dibandingkan orang ini.
Tubuh orang ini sungguh tegap kuat, kulit badannya yang kehitam-hitaman berpadu dengan
wajahnya yang tampak lugas sehingga sama sekali tidak menimbuKan rasa takut orang lain,
sebaliknya malah menimbulkan rasa menyenangkan.
Yu Wi lantas menggeleng dan menjawab, "Aku bukan orang Hek-po, kau ingin mencari siapa?"
Lelaki gede ini tetap bicara dengan suara keras, "Kami datang untuk mengikuti sayembara!"
Yu Wi memandang ke sana, betul juga dilihatnya ada lima orang pengiringnya, semuanya
membawa kado yang berharga, tampaknya lelaki gede ini bukan orang Lok-lim (kaum bandit), tapi
lebih mirip keturunan keluarga ternama.
"Apakah kau juga hendak ikut sayembara?" tanya lelaki gede itu.
Yu Wi tertawa dan tidak menjawab.
"Kami she Be, turun temurun tinggal di Loh-tang (Soa-tang), namaku Tay-sing," demikian
lelaki gede itu memperkenalkan diri, "Jika saudara juga datang untuk ikut sayembara, bagaimana
kalau kita sama-sama masuk benteng sana?"
Dari suara orang yang keras pada waktu bicara barulah Yu Wi tahu bahwa lelaki ini memang
mempunyai kerongkongan besar pembawaan. Segera teringat olehnya di Lohtang ada suatu
keluarga ternama di dunia persilatan, dengan tertawa ia lantas tanya, "Apakah saudara ini
keturunan keluarga Be di Lohtang yang terkenal nomor satu dengan Imu pukulan Pi-san-ciang?"
Be Tay-sing tertawa senang dan mengangguk, katnnya, "Ah, Pi-san-ciang mana dapat disebut
nomor satu, hanya bernama kosong belaka!"
Melihat watak orang yang polos dan suka terus terang ini, timbul rasa simpati Yu Wi, ia pun
memperkenalkan diri, "Cayhe Yu Wi dari Soasay sini, aku memang hendak pergi ke Hek-po untuk
menyelesaikan sesuatu urusan, kebetulan kita dapat pergi bersama."
Begitulah keduanya lantas berjalan menuju Hek-po sambil bersendau-gurau. Hanya sebentar
saja mereka sudah berada di depan kastil hitam, Terlihatlah dinding yang tinggi itu dibangun
dengan batu hitam mulus, di sekitar pintu gerbang yang juga dicat hitam berdiri belasan penjaga
berseragam hitam, semuanya serba hitam, cocok benar dengan namanya Hek-po atau kastil
hitam. Belum lagi dekat, dari dalam pintu gerbang muncur seorang lelaki kurus setengah umur dan
juga berseragam hitam, wajahnya kelihatan licin dan banyak akal.
Segera Yu Wi mengenalnya sebagai "otak" Pocu, namanya Ho To-seng, karena tipu akalnya
yang tidak pernah habis, orang memberi julukan "Say Cukat" atau si Khong Beng padanya. Khong
Beng adalah seorang ahli pikir dan ahli siasat di jaman Sam Kok.
Ketika tiba-tiba melihat seorang pendatang yang menyerupai Yu Wi yang dahulu tinggal di
Hek-po sini, diam-diam Ho To-seng curiga juga.
Tapi ia tak berani menegurnya melainkan bertanya dengan mengiring tawa, "Ksatria dari
manakah tuan-tuan ini?"
"Cayhe she Be dari Lohtang," sahut Be Tay-sing.
Keluarga Be dari Lohtang memang cukup terkenal di dunia Kangouw, Ho To-seng terkesiap
dan cepat menyapa, "O, kiranya Be heng, silakan masuk, silakan masuk!"
Be Tay-sing memandang Yu Wi sekejap, melihat kawan itu berdiri diam saja, maka ia pun
tetap berdiri di situ, maksudnya akan menunggu Yu Wi untuk masuk bersama.
Melihat Yu Wi berdiri angkuh di situ tanpa bicara, diam-diam Ho To-seng mendongkol dengan
kurang senang ia lantas menegur, "Dan apakah Anda?"
"Hm, orang macam kau juga sesuai tanya namaku?" jengek Yu Wi.
Air muka Ho To-seng berubah, selagi ia hendak balas mendamperat, sekonyong-konyong
berlari keluar satu orang dan berkata dengan suara tertahan, "Hu heng tidak perlu tanya lagi, dia
ini Kan-toa kongcu dari Thian-ti hu!"
Ho To-seng terkejut, ia menjadi heran di dunia ini ternyata ada orang semirip ini, pantas
setelah pulang tempo hari Thian-mo Wi Un-gai memberi laporan bahwa Kan-toakongcu hakikatnya
sukar dibedakan daripada Yu Wi, keduanya seperti pinang dibelah dua, seperti saudara kembar.
Orang yang baru keluar ini pendek gemuk, segera Yu Wi mengenalnya sebagai Thian-mo Wi
Un-cai, namun dia tenang-tenang saja.
Wi Un-gai lantas mendekatinya dan menyilahkan dengan tertawa, "Kan-kongcu berkunjung ke
benteng kami, entah ada keperluan apa?"
Padahal dia tahu setelah serbuannya ke Thian-ti-hu dahulu mengalami kegagalan, permusuhun
antara Thian-ti-hu dan Hek-po sudah sukar didamaikan lagi, Maka kedatangan "Kan Ciau-bu"
sekarang jelas tidak bermaksud baik, Namun dia sengaja berlagak tenang, seakan-akan sudah
melupakan peristiwa dahulu itu.
Dalam pada itu mendadak Be Tay-sing menye!a, "Aneh! sudah jelas Hek-po mengumumkan
secara terbuka agar para ksatria di dunia ini ikut sayembara perjodohan anak puterinya, lalu untuk
apa kedatangan kami ini kalau bukan untuk urusan ini?"
Tergerak hati Wi Un-gai, tanyanya dengan dingin, "Kedatangan Kan-heng ini apakah juga
hendak mengikuti sayembara?"
Sebenarnya Yu Wi hendak langsung menyatakan dirinya bukan Kan Ciau-bu, tapi demi
kelancaran membalas dendam, ia sengaja membungkam, tidak mengiakan juga tidak menyangkal.
Be Tay-sing menjadi aseran melihat sikap Wi Un-gai itu, ia berkata pula, "Dengan sendirinya
kami hendak ikut sayembara, apakah begini cara pihak Hek-po menyambut tamunya?"
Sudah lama Wi Un-gai mendengar tabiat Kan toakongcu yang sombong, dingin dan tidak kenal
belas kasihan, juga tidak suka banyak bicara, maka diam-diam ia membatin jangan-jangan Kan
Ciau-bu juga tertarik oleh kecantikan puteri Pocu dan datang untuk mengikuti sayembara
pemilihan calon menantu"
Mengingat kemungkinan ini memang bisa terjadi, ia tidak berani bersikap kasar lagi, cepat ia
memberi hormat dan berkata, "Silakan masuk, silakan!"
Dengan kereng Be Tay-sing lantas masuk ke dalam benteng bersama Yu Wi. Mendadak
seorang penjaga berteriak, "Lekas laporkan Kan Ciau-bu dari Kim-leng dan Be Tay-sing dari
Lohtang tiba!"
Dua orang berseragam hitam segera meloncat ke atas kuda dan dilarikan secepat terbang ke
engah benteng sana.
"Saudaraku," tanya Be Tay-sing dengan ragu, tadi kau mengaku sebagai Yu Wi dari Soasay,
mengapa mereka selalu menyebut engkau Kan Ciau-bu dari Kimleng?"
Yu Wi tertawa jawabnya, "Asalkan Be-heng hanya anggap aku ini Yu Wi dari Soasay, biarkan
mereka akan menyebut apa padaku."
Watak Be Tay-sing memang lugu dan tidak suka mencari tahu urusan orang lain, ia pikir
sekalipun dia ini Kan Ciau-bu dari Kimleng lantas mau apa" Maka ia pun tidak banyak omong lagi.
Hek-po ini sangat luas, serupa sebuah kota kecil, penduduknya kurang lebih tiga ribu jiwa,
kebanyakan adalah pendatang yang minta belajar silat kepada Lim Sam-han, pemilik kastil hitam
ini. Maklumlah, nama Lim Sam-han cukup menonjol di dunia persilatan, juga ilmu silatnya sangat
disegani, maka tidak sedikit anak muridnya.
Begitulah si Khong Beng Ho To-seng sendiri lantas mengantar Be Tay-sing dan Yu Wi ke
sebuah bangunan yang sangat megah, di ruang pendopo yang luas itu sudah hiruk-pikuk, jelas
sudah berkumpul tidak sedikit tokoh persilatan dari berbagai penjuru.
Sebuah gapura besar melintang di depan bangunan megah itu dan tertulis empat huruf besar
"Su-hay-hun-cip", artinya dari empat pejuru takuti berkumpul di sini.
Selagi Be Tay-sing membaca tulisan di gapura itu, tiba-tiba menyongsong keluar serombongan
orang, yang paling depan adalah seorang pendek setengah umur, berwarjah kereng, berjubah
warna hitam bersulam, jenggotnya panjang sebatas dada.
Melihat orang ini, seketika darah Yu Wi mendidih tapi di tengah rasa murkanya terkandung
pula rasa jeri.
"Inilah pocu kai, Lim Sam-han!" demikian Hong To-seng memperkenalkan tuannya.
Melihat Yu Wi, Lim Sam-han juga sangsi, tapi lahirnya dia tetap tenang saja, dengan gaya
simpatik ia menyapa dengan tersenyum, "Atas kunjungan Kan kongcu dan Be-siauya ke benteng
kami ini, sungguh suatu kehormatan bagi kami."
Di antara para hadirin yang kebanyakan terdiri dari anak muda yang ingin ikut sayembara itu,
ketika mendengar Kan-toakongcu dari Thian ti-hu juga tiba, hampir semua orang ingin melihat
macam apakah tokoh Thian-ti-hu yang sudah berpuluh tahun menonjol di dunia persilatan ini.
Dengan suara lantang Be Tay-sing menjawab dengan tertawa, "Terima kasih atas sambutan
Pocu." Tanpa bicara Yu Wi ikut Be Tay-sing masuk ke ruang besar sana.
Nama Kan Ciau-bu memang sangat terkenal, maka orang tidak heran melihat sikapnya yang
angkuh itu. sebaliknya diam-diam Lim Sam-han merasa waswas, ia pikir, "Kedatangan Toakongcu
dari Thian ti hu ini jangan-jangan untuk urusan serangan kami dahulu itu. Jika benar untuk urusan
ini, tidakkah terlalu latah jika ia datang sendirian"
Diam-diam ia lantas memerintahkan Ho To-seng agar ber-jaga2 segala kemungkinan, bukan
mustahil pihak Thian-ti-hu sudah mengerahkan jago-jago pilihan dan akan menyerang dari luar
dan dalam. Setelah semua orang berduduk, sejenak kemudian perjamuan pun dimulai, Meja perjamuan
terbagi menjadi dua baris, hanya sebuah meja di tengah ruangan, di situlah Lim Sam-han
berduduk didampingi dua orang kakek yang rata-rata berusia lebih 70 tahun, Kakek yang sebelah
kiri bermuka lancip seperti kepala burung, pakaiannya sangat mentereng, tangan memegang pipa
tembakau yang panjang mengkilap, terus menerus ia sedang udut.
Sedangkan kakek sebelah kanan berpotongan "cukong", perut buncit, muka tembam dan
selalu tertawa, jenggotnya yang bercabang tiga itu dielus-elus tanpa berhenti, tampaknya seorang
yang tidak mahir kungfu.
Yu Wi duduk bersanding Be Tay-sing di sisi sana. ia tidak kenal siapa kedua kakek yang duduk
bersama Lim Sam-han itu, ia lihat tamu yang berkumpul ini ada 50 orang lebih, ia pikir para
ksatria muda seluruh dunia (negeri) mungkin sudah berkumpul di sini.
Sejenak kemudian, Lim Sam-han berdiri sambil memegang cawan arak, serunya, "Lebih dulu
Lim Sam-han mengucapkan terima kasih afas kunjungan para ksatria, marilah kita minum bersama
batu cawan sebagai tanda hormatku!"
Para tamu berbangkit dan menenggak arak bersama.
Lalu Lim Sam-han berucap pula, "Kunjungan para ksatria ini jelas untuk mengikuti sayembara
yang sudah kusiarkan itu, untuk mana tentunya akan terjadi pertandingan maka sengaja ku
undang dua orang Susiok untuk menjadi wasit, diharap para peserta sayembara hanya bertanding
asalkan menyentuh lawan saja dan jangan sampai saling melukai"
Mendengar bahwa kedua kakek di samping Lim Sam-han itu adalah Susiok atau paman
gurunya, Yu Wi merasa heran, sebab selama dia tinggal di Hek-po dahulu kenapa belum pernah
dilihatnya, Kalau betul mereka itu paman guru Lim Sam-han, mungkin maksudnya menuntut balas
akan sukar tercapai.
Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendadak di antara para hadirin seorang pemuda berwajah pucat berseru dengan tertawa
latah, "Kedatangan kami untuk ikut sayembara ini adalah karena mendengar kabar puteri Pocu
cantik molek, namun betulkah molek belum lagi diketahui, bilamana boleh, diharap Lim-siocia sudi
tampil ke muka agar kita dapat melihat kecantikannya."
Lim Sam-han terbahak, ucapnya, "Jika 0ng-siauhiap yang minta, dengan sendirinya akan
kuperlihatkan anak perempuanku."
Segera ia memberi pesan kepada Ho To-seng yang berdiri di belakangnya.
Tidak lama setelah Ho To-seng pergi terciumlah bau harum semerbak, serentak semua orang
sama menegakkan leher ingin tahu bagaimana nona cantik yang termashur di dunia Kangouw ini.
Terdengar suara denting gelang kaum wanita lebih dulu muncul empat pelayan berbaju hijau,
di belakangnya menyusul seorang gadis berbaju merah dengan potongan tubuh yang ramping dan
kepala tertunduk.
Melihat si gadis baju merab, seketika jantung Yu Wi berdetak keras. Sudah dua tahun tidak
bertemu, entah bagaimana keadaan si dia"
Sampai di depan sang ayah, gadis baju merah masih menunduk sehingga para tamu tidak
dapat melihat bagaimana wajahnya, semua orang rada kecewa.
"Anak Kiok, coba angkat kepalamu!" kata Lim Sam-han.
Semua orang mengira si nona tentu akan menengadah, siapa tahu ucapan Lim Sam-han
seakan-akan tidak didengarnya, dia masih tetap menunduk.
Lim Sam-han tampak kurang senang, ucapnya pula, "Anak Kiok, kenapa tidak angkat
kepalamu?"
Baru sekarang si nona mengangkat kepalanya perlahan dengan ogah-ogahan. Maka
tertampaklah raut wajah yang cantik mempesona.
Terdengar suara kagum dan memuji bergema di seluruh ruangan, bahkan Be Tay-sing yang
polos juga memuji dengan suara tertahan, "Sungguh anak dara yang cantik...."
Yu Wi juga sudah melihatnya, tapi yang dilihatnya bukan wajah yang cantik mempesona itu
melainkan dua titik air mata yang masih membasahi pipi si nona.
Hati Yu Wi terasa sakit, ia tahu apa artinya kedua titik air mata itu, ia pun melihat, selama dua
tahun ini si dia memang bertambah cantik, tapi juga bertambah kurus.
Yu Wi tidak tega memandangnya lagi, ia berpaling ke arah lain. Didengarnya Lim Sam-han lagi
berkata, "Anak Kiok, duduklah di samping ayah"
Seperti orang linglung, nona baju merah itu mendekati Lim Sam-han, Melihat tingkah-lakunya
yang memelas itu, semua orang merasa si nona bertambah menggiurkan dan sama menghela
napas gegetun. Nona baju merah lantas duduk di samping ayahnya, keempat pelayan menunggu di sekitarnya,
Paru tamu juga duduk dengan membusungkan dada, semuanya ingin mendapat perhatian si
cantik. Dengan tertawa Lim Sam-han lantas berseri "Nah, sekarang siapa yang akan turun kalangan
lebih dulu!"
Serentak satu orang melompat maju ke tengah ruangan, ternyata seorang pemuda berumur
tiga puluhan, bertubuh tinggi kurus.
"Cayhe Hoa Put-li, silakan siapa lagi yang akan memberi petunjuk lebih dulu?" seru pemuda
jangkung ini. Melihat orang ini masih asing, di dunia persilatan tidak pernah terdengar ada seorang tokoh
bernama Hoa Put-li, maka kebanyakan orang ingin menarik keuntungan lebih dulu, segera seorang
pendekar muda dari Hoa-san-pay melompat keluar, serunya dengan gagah perkasa, "Cayhe Pang
Put-pay dari Hoan-san, ingin kubelajar kenal dengan kungfu Anda!"
"Pang Put-pay (tanggung tidak kalah)" Huh, lucu benar namamu!" jengek Hoa Put-li, padahal
dia sendiri bernama Put-li, artinya tidak beruntung.
Karena ejekan orang, Pang Put-pay menjadi gusar, sekaligus kedua kepalannya menghantam
dada Hoa Put-li, hantaman yang keras dan mematikan.
Tampaknya kungfu Hoa Put-li tidak luar biasa, dia bergerak dengan teratur, setiap serangan
lawan selalu dipatahkannya dengan jitu.
Kalau melihat gayanya, tampaknya Hoa Put-li bukan tandingan ilmu pukulan Hoa-san-pay yang
dilontarkan Pang Put-pay, tapi gerak tubuh Hoa Put-li sangat gesit, bahkan tenaga dalamnya kuat,
setiap serangan maut lawan selalu dapat dihindarkannya.
Tidak lama kemudian 64 jurus pukulan Pang Put pay sudah habis dilontarkan seketika gerakgeriknya
mulai lamban, Kesempatan itu tidak disia-siakan Hoa Put-li, mendadak ia melancarkan
suatu pukulan aneh, "plak", pundak belakang Pang Put-pay tertonjok olehnya.
Pang Put-pay tidak malu sebagai anak murid golongan terhormat, begitu kalah segera ia
melompat mundur sambil berseru, "Cayhe sudah kalah!"
"Eh bagaimana" Bukankah kau bernama Pang Put-pay?" demikian Hoa Put-li mengejek pula.
Tentu saja muka Pang Put-pay merah padam, ia merasa malu untuk tinggal lebih lama di situ,
segera ia berlari pergi meninggalkan Hek-po.
Diam-diam para hadirin merasa ejekan Hoa Put-li itu terlalu menusuk perasaan Pang Put-pay,
tapi seketika tidak ada yang maju lagi, rupanya semua orang berpikiran sama, yakni ingin
memiara tenaga untuk maju pada babak terakhir.
"Ayo, siapa lagi yang maju"!" teriak Hoa Put-li dengan temberang.
Melihat semua orang sama bersikap tunggu dan lihat, mendadak Lim Sam-han berkata,
"Setelah Ong-siauhiap minta lihat anak perempuanku, kenapa sekarang tidak turun kalangan,
apakah anak perempuanku kurang berharga bagimu?"
Ong-siauhiap yang dimaksudkan itu bernama Ong Jun-say, keturunan keluarga guru silat she
Ong di 0hpak. ilmu pedang keluarganya, Bwe hoa-kiam, sudah terlatih cukup sempurna. Tapi
dasar anak muda bangor, dia terlalu banyak minum arak dan main perempuan, meski masih
muda, namun badannya sudah keropos.
Karena didesak oleh ucapan Lim Sam-han ini, mau-tak-mau Ong Jun-say tampil ke muka dan
melolos pedangnya.
Hoa Put-li menggeleng, katanya, "Selamanya Cayhe tidak memakai senjata, tapi kaluu kau
biasa bersenjata, bolehlah kau serang saja dengan pedangmu, kalau tidak tentu takkan kentara
bagusnya kungfu keluargamu."
Meski ucapan lawan lebih bersifat olok-olok, namun Ong Jun-say tidak berani membuang
pedangnya, sebab segenap kepandaiannya hanya terletak pada ilmu pedangnya saja, sekarang
demi memperebutkan isteri cantik, ia tidak menghiraukan nama dan kehormatan lagi, segera ia
pasang kuda-kuda, pedang bergerak, ia menusuk menurut gaya serangan Bwe-hoa-kiam.
Hoa Put-li juga berganti gaya pukulan, dia menyelinap kian kemari di bawah sinar pedang
lawan, meski terkadang kelihatan berbahaya, tapi Ong Jun-say tidak mampu melukainya.
llmu pedang Ong Jun-say cukup lihay, tapi
Harpa Iblis Jari Sakti 15 Asmara Berdarah karya Kho Ping Hoo Bukit Pemakan Manusia 16
an murid itu sehingga secara tepat mereka tergetar mundur, tiada seorangpun yang terluka semua kekuatan
yang terkumpul pada tangan kedua orang itu seakan-akan telah terhapus oleh kebasan lengan
bajunya tadi. Ji Pek-liong tidak bicara apa pun, ia pegang tangan Yu Wi terus diajak berlari ke belakang
makam, setiba di sana, mereka masih dapat mengintai apa yang terjadi di depan makam.
"Siapakah dia?" tanya Yu Wi dengan heran.
"Ssst, jangan bersuara, lihat saja!" desis si kakek.
Perempuan tadi sama sekali tidak menghiraukan ada orang mengintip di samping sana, cukup
baginya asalkan orang lain tidak merintangi jalannya di depan makam. Dengan termangu-mangu
dia pandang batu nisan makam keluarga Kan itu, bibirnya kelihatan bergerak-gerak, entah apa
yang diucapkannya.
Hampir sebagian besar muka perempuan itu teraling oleh rambutnya yang panjang sehingga
wajahnya tidak terlihat jelas, cukup lama dia berkomat-kamit. habis itu mendadak ia tertawa
terkikik-kikik, "Coba kau lihat, akhir-akhir ini aku bertambah cantik bukan?"
Kedua tangannya yang kelihatan kurus kering itu lantas menyibak rambutnya yang panjang itu
sehingga kelihatan jelas wajahnya yang sudah tua dan kurus itu.
Yu Wi tidak menyangka bahwa suara tadi diucapkan oleh perempuan setengah baya ini,
padahal siapa pun yang mendengar suaranya pasti akan mengira pengucapnya adalah seorang
perempuan yang masih muda, lincah dan mempesona,
Luar biasa heran Yu Wi, ia tidak tahu dengan siapakah perempuan itu berbicara jelas di
depannya adalah makam orang niat memangnya dia lagi bicara dengan orang niat Mengapa pula
dia berbicara seaneh itu"
Semua ini menimbulkan perasaan yang misterius, hati Yu Wi serasa tertindih oleh sepotong
batu. hampir-hampir saja tidak dapat bernapas.
Dilihatnya perempuan itu masih menyisir rambutnya ke samping dan mengapa dia berdiri tidak
bergerak, senyum dan sikapnya itu sangat tidak cocok dengan usiaaya, dan mengapa dia masih
terus berdiri di situ" Apakah supaya dipandang sepuasnya oleh orang yang dimaksudkannya tadi"
. Dengan simpatik Yu Wi memandangi perempuan itu seakan-akan sudah dikenalnya, rasanya
seperti sudah sering dilihatnya, cuma dia tidak ingat lagi.
Tiba-tiba didengarnya Ji Pek-liong mendesir "Ssst, anak Wi, wajahnya mirip benar dengan
kau!"Hati Yu Wi serasa menjerit benaknya seolah-olah diketuk dengan keras, telinga mendenging,
diam-diam ia berteriak, "Mirip benar! Mengapa wajahku mirip benar dengan dia?"
Sekonyong-konyong lenyap senyuman yang menghiasi wajah perempuan itu, ia lepaskan
rambutnya, lalu mengeluh seperti rintihan hantu dan menghela napas panjang, suaranya kembali
sehat dan kering, katanya, "Akan kumainkan sejurus kungfu lagi bagimu, lalu aku akan pergi!"
Dalam sekejap saja kelihatan lengan bajunya bertaburan dengan suara angin yang berdesir,
makin lama makin cepat, sampai akhirnya bayangan tubuhnya pun lenyap tenggelam di tengah
bayangan lengan bajunya, suara angin menderu-deru memekak telinga dan sangat mengejutkan.
Mendadak bayangan lengan bajunya dan orangnya lenyap sekaligus, hanya terdengar suara
teriakannya yang memilukan berkumandang dari luar hutan sana, sejenak kemudian suasana
kembali sunyi senyap pula, mungkin perempuan tadi sudah pergi jauh.
Yu Wi ikut Ji Pek-liong menuju ke depan makam, tertampak rumput bertebaran memenuhi
lantai, ketika diperhatikan setiap tangkai rumput itu putus sebatas akar, rajin seperti bekas dibabat
oleh pisau yang tajam.
"Kungfu yang hebat, kungfu yang bagus!" seru Ji Pek-liong gegetun sambil meraup secomot
rumput itu. Yu Wi tidak tahan akan rasa herannya, ia bertanya, "Suhu, apakah engkau tahu siapa dia?"
Ji Pek-liong menggeleng, katanya, "Entah, aku pun tidak tahu, Aku cuma tahu setiap tahun
pada siang hari Tiongciu (hari raya bulan purnama bulan delapan) dia pasti datang ke sini satu
kali." "Untuk apa setiap tahun dia datang kemari?" tanya Yu Wi dengan heran.
"Aku pun tidak tahu untuk apa dia datang ke sini," tutur Ji Pek-liong. "Seperti juga tadi, setiap
kali aku pun mengintip gerak-geriknya, tapi tidak pernah kutegur dia atau mengajaknya bicara."
"Mengapa Suhu tidak menanyai dia?" ujar Yu Wi dengan tidak habis mengerti.
Dengan jujur Ji Pek-liong bertutur pula, "Setiap kuli kulihat kungfu yang dimainkannya di sini
selalu lebih lihay daripadaku, maka aku tidak berani mengganggu dia. Siapa tahu kedatangannya
ke sini ternyata tiada bermaksud jahat terhadap siapa pun, Malahan tadi berkat dia . . . . ,?"
mendadak ia berhenti dan berubah nadanya, "Sudahlah, jangan kita membicarakan dia. Hari ini
ternyata hari Tiongciu lagi, sang waktu sungguh berlalu dengan amat cepat!".
Di balik ucapnya itu, nyata dia sangat menyesalkan berlalunya waktu yang cepat
-O + O- - ()- -0 + 0-
Sang waktu memang berlalu dengan cepat tanpa terasa, dalam sekejap setengah tahun sudah
lenyap pula, Selama setengah tahun ini tidak sedikit Yu Wi belajar dari Ji Pek-liong.
Pagi hari ini, berkatalah Ji Pek-liong kepada Yu Wi, "Anak Wi, sudah tiba saatnya kutinggalkan
kau!" Yu Wi terkejut, serunya, "He, Suhu, apakah lantaran murid terlalu bodoh dan tidak memenuhi
harapanmu, maka Suhu tidak menghendaki pelayanan murid lagi?"
Ji Pek-liong menggeleng, katanya, "Tidak, bukan begitu, jangan sembarangan kau terka,
Selama setengah tahun terakhir ini sudah kuajarkan hampir seluruh ilmu yang kumiliki yang masih
diperlukan bagimu sekarang hanya latihan saja, untuk ini kau harus berjuang sendiri, aku tidak
dapat membantu lagi, dengan sendirinya kita terpaksa berpisah."
"Tapi murid ingin mendampingi Suhu selama hidup dan tidak mau berpisah," seru Yu Wi
dengan emosi. "Anak bodoh," kata Ji Pek-liong dengan tertawa, "kalau bicara jangan terlalu emosi, kau minta
selalu berada di sampingku, apakah kepandaian yang sudah kau pelajari tidak kau gunakan untuk
mengabdi kepada masyarakat" Tidak lagi memikirkan dendam kesumat kematian ayahmu?"
pertanyaan si kakek membuat Yu Wi tertegun dan bungkam.
Ji Pek-liong menghela napas, lalu berkata pula, "Boleh kau belajar lagi dua jurus ilmu pedang
dariku, setengah bulan kemudian kita benar-benar akan berpisah."
Dengan rawan Yu Wi mengangguk dan berkata, "Setelah berpisah, setiap saat murid akan giat
berlatih kungfu ajaran Suhu."
"Perasaanmu harus bergembira, bila tidak, kedua jurus ilmu pedangku ini mungkin sukar kau
pahami dalam waktu 15 hari," ujar si kakek dengan tertawa.
"llmu pedang apakah, masa dua jurus perlu belajar selama setengah bulan?" tanya Yu Wi
dengan heran. "Kedua jurus ilmu pedang ini sangat ajaib, orang biasa tidak nanti dapat memahaminya dalam
waktu setengah bulan," kata Jj Pek-liong dengan sungguh-sungguh. "Tapi daya tangkapmu sangat
tinggi, batas waktu setengah bulan bagimu mungkin tidak menjadi soal."
Kemudian Ji Pek-liong mengeluarkan dua batang pedang kayu yang sudah disiapkannya,
sebatang pedang kayu disodorkannya kepada Yu Wi dan berkata, "Kedua jurus pedang ini sangat
sukar dilatih, waktu permulaan seringkali akan melukai dirinya sendiri, maka sudah lama sengaja
kubuatkan kedua pedang kayu ini, hati-hati sedikit pada waktu berlatih, meski bukan pedang asli,
berat juga kalau sampai tertabas."
Yu Wi menerima pedang kayu itu, rasanya lebih berat daripada pedang sungguhan, entah
terbuat dari jenis kayu apa.
Dengan pedang kayu satunya Ji Pek-liong melangkah ke lapangan di depan makam, ia pasang
kuda-kuda dan mencurahkan segenap pikiran dan perhatian, katanya, "Kedua jurus ini sebenarnya
tidak bernama, tapi biarlah ku sebut saja jurus pertama sebagai Put-boh-kiam (jurus tak
terpatahkan)!"
Sembari bicara segera pedang bergerak, dalam sekejap bayangan pedang bertebaran dan
mengabulkan pandangan Yu Wi, sukar untuk mengetahui cara bagaimana Ji Pek-liong memainkan
pedang kayu itu.
Sampai sekian lama barulah kakek itu berhenti., ucapnya dengan tertawa, "Di mana letak
kelihayan jurus pedang ini sukar juga untuk dijelaskan, biarlah kau selami sendiri bilamana sudah
kau latih dengan baik. sekarang akan kuberi tahu cara berlatihnya..."
Yu Wi mengingat baik-baik satu persatu petunjuk Ji Pek-liong itu, habis itu ia lantas menyingkir
ke samping untuk berlatih sendiri.
Dari pagi hingga malam, sehari suntuk Yu Wi terus berlatih, namun tiada kemajuan sama
sekali. Hari kedua ia berlatih pula, hasilnya tiga kali ia menghantam dirinya sendiri.
Hari ketiga kembali ia berlatih lebih giat, hasilnya malahan belasan kali ia serang diri sendiri,
Malamnya sekujur badan terasa kesakitan dan sukar terpulas.
Sampai hari kelima barulah dia menemukan kuncinya, semakin berkurang pedang kayu itu
mengenai tubuhnya sendiri.
Hari ke tujuh ia mengulangi latihannya dari awal sekarang pedang kayu itu sama sekali dapat
dikuasainya dan tidak mengenai tubuh sendiri lagi.
Sampai hari kesepuluh barulah ia apal benar jurus ilmu pedang itu, Pada pagi hari ke sebelas
ia lapor kepada Ji Pek liong, "Suhu, jurus pertama sudah dapat kupahami."
Ji Pek- liong merasa gembira dan mengangguk sebagai tanda memuji, ia pegang pedang
kayunya dan menuju ke lapangan pula, katanya dengan tertawa, "Sekarang akan kuajarkan jurus
kedua, kuberi nama jurus ini sebagai Bu-tek-kiam (jurus tiada tandingan)!"
Jurus kedua ini tampaknya lebih sulit dilatih daripada jurus pertama, Ji Pek-liong menjelaskan
cara berlatihnya dan membiarkan Yu Wi menyelaminya sendiri.
Menurut pikiran Yu Wi, kalau jurus pertama memerlukan waktu sepuluh hari, tampaknya jurus
kedua ini harus makan waktu belasan hari, Kalau dia cuma diberi batas waktu setengah bulan
untuk meyakinkan kedua jurus itu, boleh dikatakan sang guru terlalu menghargai dirinya.
Akan tetapi, aneh juga, meski jurus kedua ini lebih sulit daripada jurus pertama namun pada
hari kelima sudah dapat dikuasainya dengan baik, Kalau ditambah dengan sepuluh hari
sebelumnya, total jenderal memang persis 15 hari.
Pada pagi hari ke-26, berkatalah Ji Pek-long kepada Yu Wi, "Hari ini juga Suhu akan berpisah
dengan kau."
Yu Wi tampak berduka, katanya, "Dan entah kapan baru dapat berkumpul pula dengan Suhu?"
"Bilamana ada jodoh, kelak pasti akan bertemu lagi," ujar Ji Pek-liong dengan tertawa, "Biarlah
hari ini kita jangan bicara hal-hal yang menyedihkan marilah kita pelajari kedua jurus pedang itu
dengan lebih baik."
Mereka lantas membawa pedang kayu masing-masing dan menuju ke lapangan.
"Coba, akan ku serang kau dengan Bu- tek kiam." kata si kakek.
"Dan aku bertahan dengan Put-boh-kiam." Tukas Yu Wi.
"Ya, jagalah baik-baik," seru Ji Pek-liong menyerang.
Hasilnya Yu Wi tidak mampu bertahan, "plak", pinggulnya kena disabet oleh pedang kayu sang
guru. Ji Pek-liong lantas memberi petunjuk di mana letak kelemahannya "Maka pada gebrakan
kelima, kakek itu tidak dapat memukul tubuh Yu Wi lagi dengan jurus Bu-tek kiam.
Sambil tertawa puas Ji Pek-liong berkata, "Put-boh-kiam sudah kau kuasai dengan baik,
sekarang boleh kau coba jurus Bu-tek-kiam."
Maka mulailah Yu Wi menggunakan jurus Bu-tek kiam untuk menyerang Ji Pek-liong,
sedangkan sang guru bertahan dengan ilmu pedang pilihan lain.
Tiga kali serangan pertama Yu Wi tidak dapat berbuat apa pun terhadap orang tua itu, Ji Pekliong
lantas memberi petunjuk pula di mana kesalahannya. Maka pada serangan ke enam kalinya,
dapatlah perut sang guru ditusuk dengan pedang kayunya. Yu Wi lantas berhenti dan tidak berani
menyerang lagi.
Ji Pek-liong memuji tak habis-habis akan bakat Yu Wi yang bagus itu, katanya, "Bu-tek-kiam
juga sudah kau kuasai dengan baik, selanjutnya jarang lagi ada ilmu pedang di dunia ini yang
mampu menahan jurus seranganmu ini. Dengan Put-boh-kiam kau bertahan dan dengan Bu-tekkiam
kau menyerang, orang yang tak dapat kau kalahkan kuyakin tidak banyak lagi."
"Apa yang dicapai murid seperti sekarang... semuanya adalah berkat dorongan dan bimbingan
Suhu, entah Suhu ada petuah apa pula terhadap murid?"
Dengan serius Ji Pek-liong lantas berkata, "Kedua jurus pedang ini terlampau lihay, kalau tidak
terpaksa janganlah sekali-kali kau gunakan!"
"Murid akan selalu ingat pada pesan Suhu ini," jawab Yu Wi dengan hormat.
"Taruhlah pedang kayumu, marilah kita mengobrol urusan lain." kata si kakek.
Yu Wi ikut sang guru duduk di depan makam dan bersandar pada batu nisan, Ji Pek-liong
berkata, "Tempo hari waktu ku mulai mengajar jurus pertama padamu, pernah kukatakan bahwa
kedua jurus pedang ini tidak bernama, apakah kau tahu sebabnya?"
Murid pikir mungkin kedua jurus ini sulit diberi nama yang tepat, maka si penciptanya lantas
sama sekali tidak memberikan nama padanya," jawab Yu Wi.
"Ya. kukira memang begitulah jalan pikiran si penciptanya," kata Ji Pek-liong dengan gegetun.
"Sudah berpuluh tahun akupun tidak dapat memberinya nama yang tepat, Put-boh dan Bu-tek
hanya melukiskan betapa dahsyat dan kuatnya kedua jurus ini, bila bicara tentang nama, ke
empat huruf itu tidak dapat mewakilinya dengan tepat."
"Sebenarnya nama Put-boh-kiam dan Bu-tek-kiam juga cukup bagus," ujar Yu Wi.
"Dan entah mereka memberinya nama apa kepada ke enam jurus lainnya," tukas si kakek
tiba2. "Ke enam jurus lain apa" Masa masih ada enam jurus lagi?" tanya Yu Wi.
"Ya, masih ada enam jurus lagi, bersama kedua jurus pedangku ini, seluruhnya ada delapan
jurus." "Apakah ke delapan jurus ini merupakan suatu rangkaian Kiam-hoat (ilmu pedang)"
"Betul," Ji Pek-liong mengangguk. "Meski ke delapan jurus ini masing-masing tiada diberi
nama, tapi seluruhnya disebut Hay-yan-kiam-hoat."
"Hay-yan-kiam-hoat.... Hay yan-kiam-hoat...." Yu Wi bergumam mengulangi nama itu.
"Ya, artinya rangkaian ilmu pedang ini seluas Hay (laut) dan sedalam Yan (jurang)!" kata Ji
Pek-liong pula.
"Latah benar nama ini, besar amat suaranya!" ujar Yu Wi.
"Bila ke delapan jurus ini lengkap kau kuasai, tentu kau takkan menganggap latah lagi
namanya. Cuma sayang, ke delapan jurus ini tidak ada orang lagi yang mampu menguasainya
secara lengkap, kecuali...."
"Kecuali apa?" tukas Yu Wi cepat.
"Kecuali kau!"! jawab Ji Pek-liong.
"Aku?" Yu Wi menegas dengan terkejut. "Suhu akan mengajarkan padaku?"
"Tidak, Suhu sendiri juga tidak bisa," jawab Ji Pek-liong sambil menggeleng. "Kecuali kedua
jurus yang kau pelajari ini, ke enam jurus lain aku cuma pernah melihatnya, tapi cara melatihnya
hakikatnya aku pun tidak tahu."
"Habis, kalau Suhu sendiri tidak bisa, cara bagaimana murid dapat mempelajarinya?"
"Apakah kau masih ingat ketika hendak ku ajarkan Thian-ih-sin-kang padamu, waktu itu
pernah kukatakan kau harus melakukan sesuatu pekerjaan bagiku?"
"Ya, murid masih ingat, apa pun perintah Suhu pasti akan kulaksanakan sepenuh tenaga."
"Pekerjaan ini adalah supaya kau menggunakan segenap kemampuanmu untuk belajar
lengkap Hay-yan-kiam-hoat itu!"
Yu Wi terkejut, ia pikir sekalipun mampu, kalau tidak ada yang mengajarnya, cara bagaimana
ia dapat menguasai Hay-yan-kiam-hoat itu secara lengkap"
Ia ragu dan bingung, selagi ia hendak bertanya, sang guru telah menyambung, "Sembilan
tahun yang lalu, di puncak gunung Ma-siau-hong, berkumpul tujuh orang kakek, di situ mereka
berunding dan membicarakan ilmu pedang masing2.
Ke tujuh kakek itu terkenal sebagai Bu-lim-jit-can-so (tujuh kakek cacat dunia persilatan),
sebab setiap orangnya sama cacat badan. Tapi meski lahiriah mereka cacat, namun ilmu silat
mereka sangat tinggi, di dunia Kangouw, baik golongan hitam maupun kalangan putih, nama
mereka cukup disegani.
"Kungfu ke tujuh kakek cacat itu sama tingginya dan sukar dibedakan siapa yang lebih unggul
dan siapa yang lebih asor, Hanya seorang saja di antaranya menguasai lebih banyak satu jurus
ilmu pedang ketimbang ke enam rekannya itu. Dalam pertandingan di puncak gunung itu, akhirnya
tiada seorang pun di antara ke enam rekannya sanggup melawannya."
"Jurus ilmu pedang apakah itu" Masa begitu lihay?" tanya Yu Wi.
"Jurus itu adalah Put-boh-kiam yang kuajarkan padamu itu!" tutur Ji Pek-liong.
"O, jadi orang yang dimaksudkan itu ialah Suhu?"
"Ya," Ji Pek-liong mengangguk, "kakek cacat yang menguasai satu jurus lebih banyak daripada
rekannya itu ialah diriku, Hay-yan-kiam-hoat seluruhnya meliputi delapan jurus. Tujuh jurus di
antaranya adalah jurus menyerang, hanya satu jurus saja yang merupakan jurus bertahan, jurus
kelebihanku adalah jurus bertahan itu, mereka berenam masing-masing menguasai satu jurus
menyerang, jadi mereka hanya dapat menyerang dan tidak mampu bertahan, sebaliknya aku
dapat bertahan dan juga menyerang, Karena itulah mereka masing-masing bukan tandinganku
maka mereka berenam lantas bergabung dan mengeroyok diriku,"
"Enam mengeroyok satu, sungguh tidak tahu malu!" seru Yu Wi, "Lalu Suhu bagaimana"..."
"Jangan gelisah," tutur Ji Pek-liong pelahan, "Walaupun mereka berenam, mereka tetap bukan
tandinganku Tapi ketimbang satu persatu bertempur denganku, jelas kekuatan mereka bertambah
banyak, jadinya aku tidak mampu mengalahkan mereka, sebaliknya mereka pun tidak dapat
mengapa-apakan diriku"
"Pada pertarungan sembilan tahun yang lalu itu adalah pertandingan terakhir, padahal
seluruhnya kami sudah pernah bertarung 19 kali, setiap tahun pada malam hari Tiongciu kami
pasti berkumpul di Mi-siau-hong dan bertanding, jadi sudah 19 tahun kami bertanding tanpa
hasil..." "Ada permusuhan apakah antara mereka dengan Suhu, mengapa harus bertarung setiap
tahun?" tanya Yu Wi dengan penasaran,
"Tujuan mereka hanya ingin memaksa kubeberkan satu jurus kelebihanku itu," tutur Ji Pekliong
dengan menghela napas. "Lantaran aku menolak untuk membeberkan mereka pun tidak mau
mundur dan tetap mendesak, Pada pertarungan terakhir sembilan tahun yang lalu itu, pertarungan
berlangsung tengah malam hari Tiongciu (tanggal 15 bulan delapan) hingga tanggal 19, akhirnya
kedua pihak sama-sama kehabisan tenaga dan semuanya terluka dalam yang parah...."
"Karena itulah tahun berikutnya pertarungan tidak dapat diselenggarakan, kedua pihak setuju
akan bertemu lagi sepuluh tahun kemudian di tempat yang sama, dan tahun ini adalah tahun ke
sembilan, sekarang bulan ketiga, masih ada setahun lima bulan lagi, tiba saatnya nanti Jit-can-so
(tujuh kakek cacat badan) akan bertarung lagi dengan lebih dahsyat, cuma sayang..." mendadak
ia menghela napas panjang-panjang, lalu berdiri, menuju ke ujung lapangan sana dan
menengadah, lalu berkata pula, "Aku tidak sanggup menepati lagi janji pertemuan itu!"
Yu Wi mendekati sang guru dan bertanya dengan cemas, "Sebab apa, Suhu" Apakah....."
Ji Pek-liong menghela napas, jawabnya, "Anak Wi, masakah kau tidak tahu keadaan Suhu
sekarang, meski memiliki kungfu yang tinggi, tapi tidak mempunyai tenaga lagi?"
"Entah Suhu mengalami luka apa sehingga kehilangan tenaga?" tanya Yu Wi dengan
mengucurkan air mata.
Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Luka itu adalah akibat pertarungan terakhir sembilan tahun yang lalu itu," tutur Ji Pek-liong,
"Pertarungan itu sungguh terlampau seru, habis itu ku datang ke sini untuk merawat lukaku,
lahirnya kelihatan sudah sembuh, tapi tenaga dalam justeru tambah lama tambah berkurang, Kini
kekuatanku sudah tidak ada sepertiga dari masa dahulu, dibandingkan kau saja selisih banyak."
"Tidak, mana bisa!" seru Yu Wi sambil menggeleng. "Mana mungkin tenaga Suhu kalah kuat
daripada murid..."
"Masa Suhu berdusta padamu?" kata Ji Pek-liong dengan tersenyum pedih. Yu Wi jadi
melenggong dan tak dapat bersuara lagi.
Lalu Ji Pek liong melanjutkan, "Setelah kau berhasil meyakinkan Thian-ih-sin-kang, seumpama
aku tidak terluka juga tenagaku tak seberapa lebih kuat daripadamu. Harus diketahui bahwa
Thian-ih-sin-kang adalah Lwekang-sirn-hoat paling hebat di dunia ini, sayang yang kulatih dahulu
adalah Lwekang dari aliran hitam, kalau tidak, dengan menguasai Thian-ih-sin-kang tentu aku
takkan terluka pada pertarungan sembilan tahun yang lalu."
"Kalau sekarang Suhu melatih Thian-ih-sin-kang kan juga boleh?" kata Yu Wi.
"Anak bodoh," ucap Ji Pek-liong dengan tertawa, "antara hitam dan putih, antara baik dan
jahat, mana bisa dicampur-baurkan" Bilamana aku ingin melatih Thian-ih-sin-kang, tiada jalan lain
kecuali ku buyarkan dulu seluruhnya kekuatanku..."
Mestinya Yu Wi hendak bertanya apa halangannya umpama buyarkan dulu tenaga dalam
sendiri yang tidak baik itu untuk kemudian berlatih lagi Thian-ih-sin-kang, tapi segera teringat
olehnya Lwekang yang dilatih sang guru dengan susah payah mana boleh disirnakan begitu saja,
maka urunglah ia bersuara.
Ji Pek-liong berputar di tanah lapang itu dengan kepala tertunduk, seperti lagi mengenangkan
kejadian di masa lampau, sekonyong-konyong ia berhenti berjalan, dengan tegas ia berucap,
"Betapapun orang she Ji tidak boleh dikalahkan mereka dan membeberkan kedua jurus pedangku
secara sia-sia."
Melihat sikap sang guru yang rada luar biasa itu, dengan gugup Yu Wi bertanya, "Suhu, ken...
kenapakah kau?"
Mendadak Ji Pek-liong berpaling, dengan lembut ia pandang Yu Wi, lalu berkata, "Pada hari
Tiongciu tahun depan, kau harus mewakili Suhu pergi ke Ma-siau-hong, hanya boleh menang dan
tidak boleh kalah..."
Yu Wi terkejut, tapi dengan tegas ia lantas menjawab, "Murid akan berbuat sekuatnya, hanya
mungkin tenagaku tidak cukup dan dikalahkan mereka!"
"Jika aku yang pergi ke sana, besar kemungkinan akan kalah daripada menangnya, tapi kalau
kau yang pergi, Suhu yakin kau takkan kalah, sebab kau sudah menguasai dengan baik kedua
jurus Hay-yan-kiam-hoat secara lengkap dengan segala kemampuanmu, mungkin kau tidak tahu
segala kemampuanmu yang kumaksudkan itu?"
Yu Wi mengangguk, jawabnya, "Ya, murid pikir kalau tidak ada orang yang mengajarkan keenam
jurus itu, betapa besar kemampuanku juga tidak ada gunanya."
Ji Pek-liong tertawa, katanya, "Yang kumaksudkan dengan segenap kemampuanmu adalah
supaya kau berusaha mengalahkan mereka, Kalah atau menang dari suatu pertempuran dalam
keadaan kekuatan kedua pihak seimbang, maka kemampuan atau ketahanan adalah kunci
daripada menuju kemenangan itu. Hal ini harus kau perhatikan benar."
"Murid akan mengingatnya dengan baik," jawab Yu Wi dengan kurang paham, Tiba-tiba suara
Ji Pek-liong agak meninggi, katanya, "Bilamana kau menang, maka mereka akan mengajarkan ke
enam jurus ilmu pedang itu padamu tatkala mana kau pun akan berhasil menguasai Hay-yankiam-
hoat dengan lengkap, Nah, sekarang tentunya kau tahu apa maksudku agar dengan segala
kemampuan atau ketahananmu berusaha belajar lengkap Hay-yan-kiam-hoat itu?"
Baru sekarang Yu Wi paham maksudnya, hanya sang guru menghendaki dia mengalahkan ke
enam kakek cacat itu dengan segenap ketahanan dengan begitu barulah dia akan berhasil
mendapatkan pelajaran lengkap Hay-yan-kiam-hoat.
Dasar jiwa muda dan tidak kenal apa artinya takut dengan tegas ia lantas menjawab, "Ya,
murid tahu, pasti akan kukalahkan mereka dengan segenap ketahananku demi kehormatan
"Suhu!"
Ji Pek-liong merasa terhibur, katanya dengan tertawa, "Anak baik, anak baik . ..." mendadak
air mukanya berubah suram, katanya pula, "Tapi bilamana kau kalah, sedikitnya kau harus kalah
secara gemilang, tidak boleh mati secara sia-sia, sebab kau masih mempunyai suatu tugas suci
lagi yang harus kau laksanakan, yaitu setelah kau kalah, kau pun harus mengajarkan kedua jurus
ilmu pedang Hay-yan-kiam-hoat yang kau kuasai ini kepada mereka, ini adalah perjanjian yang
telah disepakati antara kami bertujuh, betapapun kau tidak boleh ingkar janji."
Dengan tegas dan bersemangat Yu Wi menjawab, "Kalau kalah harus mengaku kalah, tidak
nanti murid mengingkari janji dan merusak nama baik Suhu, tapi sebelum tiba detik terakhir,
murid pun takkan tunduk dan mengaku kalah!"
"Bagus, bagus!" puji Ji Pek-liong dengan suara lantang, "Mempunyai murid semacam kau, bisa
mati hati Suhu dapatlah tenteram."
"Orang bijaksana tentu panjang umur, Suhu masih sehat dan segar, kenapa bicara tentang
mati segala...." ucap Yu Wi dengan perasaan tidak enak.
Ji Pek-liong tertawa, katanya, "Orang hidup akhirnya pasti juga akan mati, mati sekarang atau
mati kelak kan sama saja. Bijaksana dan panjang umur apa, aku bukan orang bijaksana, juga tidak
ingin panjang umur."
Yu Wi tidak menyangka ucapannya itu akan menimbulkan emosi sang guru, ia menjadi gugup.
ia tidak tahu halnva, pada waktu mudanya tindak-tanduk Ji Pek-liong berkisar antara baik dan
jahat, dengan sendirinya ia tidak berani terima predikat sebagai orang bijak.
Ji Pek-liong menghela napas panjang pula, pelahan ia mengeluarkan sejilid kitab dan diberikan
kepada Yu Wi, katanya, "Setelah berpisah, dalam waktu setahun lebih ini, kecuali harus latih ulang
kungfu ajaranku, hendaknya kau berlatih juga kungfu yang tercatat di dalam kitab ini. inilah
kungfu Kan-jiko, lebih delapan tahun ku tinggal di sini, semua kitab pusaka simpanan Jiko di dalam
malam ini telah kubaca seluruhnya, intisari ilmu silat yang kubaca telah ku kumpulkan dan ku
ikhtisarkan dalam buku ini, hendaklah kau simpan dengan baik," Yu Wi terima kitab itu dan
disimpannya dengan hati-hati.
Lalu Ji Pek-liong berkata pula, "Hari Tiongciu tahun depan, bilamana kau hadir ke M -siau-hong
dan bertemu dengan Lak-can-so (enam kakek cacat) jika mereka bertanya tentang diriku, katakan
saja bahwa aku sudah meninggal dunia!"
"Suhu masih.... masih segar bugar, mengapa.... mengapa bilang sudah meninggal?" tanya Yu
Wi dengan tergagap.
Ji Pek-liong menghela napas, tuturnya, "Ketika kami mengadakan perjanjian dahulu, pernah
kukatakan apabila aku mati sebelum tiba saatnya bertemu lagi di puncak gunung sana, maka tetap
ada orang yang akan mewakilkan diriku untuk hadir ke sana, jika kau bilang aku belum mati, hal
ini sama dengan memberitahukan kepada mereka bahwa aku sendiri tidak mampu hadir."
"Apa... apa halangannya biarpun begitu?" ujar Yu Wi. "Suhu tidak hadir, murid yang
mewakilinya, masa tidak boleh?"
"Tidak, tidak boleh," ucap Ji, Pek-liong sambil menggeleng, "Bilamana aku masih hidup, akulah
yang harus hadir sendiri untuk menepati janji, jadi kuwakilkan kau untuk hadir ke sana adalah
karena terpaksa, hendaklah kau katakan aku sudah mati bila bertemu dengan mereka."
Terpaksa Yu Wi mengiakan dengan ragu.
Tiiba-tiba tersembul senyuman pedih pada wajah Ji Pek-liong, katanya kemudian, "Anak Wi,
aku akan pergi dulu!"
Teringat kepada watak sang guru setelah menyerahkan segalanya kepadanya untuk
dilaksanakan lalu akan tinggal pergi, jangan-jangan maksudnya. hendak menamatkan sisa
hidupnya di suatu tempat, dengan demikian kehadirannya ke Mi-siau-hong mewakili sang guru
menjadi cocok dengan fakta dan sesuai dengan haknya.
Berpikir demikian, berubahlah air mukanya, cepat ia bertanya, "Suhu akan... akan pergi ke
mana?" Dia mendekati sang guru dan menarik lengan bajunya, ucapnya pula dengan menangis,
"Suhu, jangan... janganlah engkau..."
Sebagai orang tua yang berpengalaman, Ji pek-liong segera tahu apa maksud ucapan anak
muda itu, dengan tertawa menjawab, "Anak bodoh! Kau kira gurumu akan pergi untuk membunuh
diri" Mana bisa, tidak mungkin terjadi! Suhu hanya mencari suatu tempat sepi untuk tetirah."
"Tetirah di mana?" tanya Yu Wi cepat
"Jangan kau tanya tempat kepergianku," jawab Ji Pek-liong sambil menghela napas.
"Sudahlah, aku akan pergi sekarang, Di dalam makam masih cukup banyak rangsum. jika kau
ingin tinggal lagi beberapa hari di sini bolehlah sesukamu, selami lebih mendalam ilmu yang kau
dapat, Ada lagi, kedua pedang kayu ini terbuat dari kayu besi, kerasnya seperti baja, tidak putus
ditabas senjata tajam, boleh kau simpan untuk dipakai."
Habis berkata ia terus melangkah ke tepi hutan sana.
Yu Wi mengintil di belakang sang guru, setiba di ujung hutan, Ji Pek-liong berpaling dan
berkata, "Tidak perlu antar lagi!"
Terpaksa Yu Wi berdiri di situ dengan kesima penuh rasa berat.
Dilihatnya baru belasan langkah sang guru masuk ke hutan, mendadak orang tua itu berpaling
pula dan berpesan padanya, "Anak Wi, kau harus waspada terhadap Kan Ciau-bu, Toa-kongcu di
Thian-ti-hu itu. Orang berkedok yang melukai kau dahulu itu tak-lain-tak-bukan adalah dia!"
Yu Wi terkejut, tanyanya dengan heran, "Dia..." Masa Inkong yang menyerangku" Kenapa dia
hendak membinasakan diriku?"
Ji Pek-liong tidak menghiraukan pertanyaannya, katanya pula dengan menyesal, "Dia telah
melukai kau separah itu, dosanya itu pantas dihukum mati, Kalau bukan Kan-jiko sudah
meninggal, tentu akan kuhajar adat kepada bocah itu. Tapi sekarang dia satu-satunya keturunan
sedarah keluarga Kan, Kelak bila kau pergoki dia, hendaknya kau hadapi dia dengan hati-hati, tapi
jangan mencelakai dia, Tahu tidak?"
Yu Wi berbeda pendapat dengan sang guru mengenai Kan Ciau-bu. Dia pikir ilmu silat Inkong
itu sangat tinggi, yang diharapkan adalah dia tidak mencelakai dirinya, mana bisa dirinya yang
mencelakai dia" jangankan ilmu silatnya tak dapat menandingi Inkong, umpama dirinya dapat
mengalahkan dia, mengingat orang pernah menyelamatkan jiwanya, tentu juga dirinya tidak
sampai hati untuk membunuhnya.
Tak disadarinya bahwa lantaran pesan Ji Pek-liong inilah, kelak mestinya beberapa kali dia
harus membunuh Kan Giau-bu, tapi urung, disebabkan teringat kepada pesan sang guru tersebut.
Akhirnya pergilah Ji Pek-liong. Dengan sedih Yu Wi putar balik ke depan makam dan duduk
kesepian di lantai makam.
Dia merenungkan sang guru sungguh seorang tokoh yang sakti dan aneh, kalau di dunia
persilatan beliau dikenal sebagai satu di antara Bu Hm jit can so, mengapa tidak terlihat bagian
badannya yang dikatakan cacat itu"
Selain itu, mengapa ke enam kakek cacat lain masing-masing hanya menguasai satu jurus Hay
yan-kiam-hoat, sedangkan cuma sang guru saja yang menguasai dua jurus"
Yang aneh adalah mereka semuanya orang cacat, apakah untuk belajar Hay-yan kiam hoat
harus berbadan cacat" Ada sangkut-paut apa antara cacat badan dan ilmu pedang sakti itu"
Dan sekarang dirinya juga belajar Hay yan kiam-hoat, apakah nanti juga akan cacat badan..!
Begitulah makin dipikir makin banyak dan makin ruwet, sedikit pun tidak ditemukan jawaban
yang masuk di akal. Sampai akhirnya, saking kesalnya ia terus melompat bangun, dengan pedang
kayu besi dia berlatih ilmu pedangnya, hal ini barulah pikirannya tenang kembali.
Sang tempo berlalu dengan cepat, hanya sekejap saja setengah bulan sudah lewat.
Setiap hari Yu Wi membawa kitab pusaka peninggalan Ji Pek liong itu, di dalam kitab itu
adalah ikhtisar segenap kungfu tinggalan Kan Yok-koan.
Setelah kitab itu terbaca seluruhnya, Yu Wj merasa kungfu Kan Yok-koan itu kebanyakan sama
dengan cara berlatih ajaran Ji Pek-liong, kalau dibandingkan, kungfu Kan Yok-koan jauh lebih keji
daripada ajaran Ji Pek-liong, lebih-lebih dalam hal menggunakan Am-gi atau senjata rahasia,
banyak sekali yang diuraikan di dalam kitab itu.
Dalam pada itu perbekalan di dalam makam itu pun tersisa tidak seberapa lagi, dengan
membawa kedua bilah pedang kayu besi Yu Wi meninggalkan makam itu,. ia keluar dari hutan
buatan itu menurut petunjuk yang tercatat di dalam peta, akhirnya ia berada lagi di depan Bansiu-
ki. Baju yang dipakainya sekarang masih tetap baju panjang warna merah yang ditukar pakai
dengan Kan Ciau-bu dahulu, Bahan baju panjang itu sangat bagus, meski sudah terpakai setahun
lebih masih belum robek dan juga belum luntur.
Dia sudah apal keadaan Thian-ti-hu, maka dengan tenang ia menyusuri jalan yang sudah
dikenal waktu lalu di Ban-siu-ki dan kepergok genduk yang bertugas di situ, gendak-gendut itu
sama memberi puji hormat padanya.
Diam-diam Yu Wi merasa geli, nyata kaum hamba itu tidak mengenali dirinya adalah Kongcu
gadungan Kebetulan juga baginya, dengan lagak kereng ia menuju ke Thian-ti-hu.
Ia menduga Kan Ciau-bu pasti tidak di rumah, kalau ada, tentu para pelayan akan terheranheran
melihat dirinya, entah bagaimana hubungan antara Kan Ciau-bu dan ibu tirinya selama
setahun ini. Sembari berpikir ia terus melangkah ke depan. Sejenak kemudian sampailah dia di tempat
tinggal Lau Yok ci, tiba-tiba sayup-sayup terdengar suara seruling yang merdu, itulah suara
seruling yang sudah dikenalnya, seketika ia merandek.
Sementara itu sang surya sudah terbenam, serupa dahulu waktu pertama kalinya Yu Wi
datang ke Thian-ti-hu, teringat olehnya He-si pernah berkata padanya, "Setiap hari Lau-siocia pasti
meniup seruling sendirian pada saat demikian...."
Dia berdiri di situ dan mendengarkan dengan terkesima, makin di dengar makin memilukan,
Teringat kebaikan Lau Yok-ci padanya, tanpa terasa air matanya bercucuran. Pikirnya, "Kantoakongcu
berada di rumah, mengapa dia masih juga membawakan lagu sedih begini" Apakah
Kan Ciau-bu tetap tidak sudi menemuinya" Nona sebaik dia ini, mengapa Kan Ciau-bu tidak sudi
melihatnya" Mengapa membiarkan nona itu kesepian dan berduka di kamarnya"...."
Makin dipikir makin gemas Yu Wi, dia bergumam sendiri, "Harus kutanyai dia apa alasannya?"
Segera ia percepat langkahnya menuju ke kamar Kan Ciau-bu. Ketika dia masuk ke situ
dengan tergesa-gesa, di dalam kamar kosong tiada seorang pun,, Yu Wi memandang sekeliling
kamar itu, keadaan masih tetap seperti dahulu, tiada perubahan apa pun.
Dengan perasaan gundah ia mendekati rak buku, dilolosnya sejilid buku, pada sampul buku itu
tertulis: "Ngo-hou-toan-bun-to dari Ban-pak". Buku ini sudah pernah dilihatnya, sekenanya ia
membalik halamannya, lalu ditaruh kembali di tempatnya semula, selagi dia hendak melolos buku
yang lain, tiba-tiba suara seorang perempuan menegurnya dari belakang, "Kongcu sudah pulang
dari jalan2?"
Tanpa berpaling juga Yu Wi mengenali suara itu, ialah He-si, Diam-diam ia bergirang bahwa
genduk itu tidak mendapatkan hukuman Kan-lohujin akibat ikut keluar menghadapi musuh tempo
dulu Dengan gembira dia berpaling, dilihatnya wajah He-si masih tetap seperti dulu, dan sedang
memandangnya dengan tersenyum manis.
"Ya, aku sudah pulang," kata Yu Wi dengan tersenyum.
Seketika air muka He-si berubah, senyuman dan suara yang serak-serak basa ini, sudah lebih
setahun tidak pernah dilihat dan didengarnya.
Yu Wi tidak heran melihat pelayan itu melenggong. Tegurnya dengan tertawa, "Baik-baikkah
kau?" Pertanyaan, ini timbul dari lubuk hatinya yang murni, sama sekali tak terpikir keadaannya yang
dihadapinya sekarang, lebih-lebih tak terpikir olehnya bahwa hanya satu kalirnat pertanyaannya
saja sudah terbongkarlah kepalsuan identitasnya.
Belum pernah He-si mendengar tegur-sapa yang sedemikian memperhatikan dia, karena
tegangnya ia menjadi gugup dan berkata, "Hamba akan... akan mengambilkan air . . . .air cuci
muka bagi Kongcu
Cepat ia membalik tubuh dan melangkah pergi dengan terincang-incut, mungkin saking
tegangnya, kakinya lantas timpang, tubuhnya lantas roboh ke sebelah kanan,"
Yu Wi terkejut, cepat ia melompat maju dan memegangi bahunya, serunya dengan emosi,
"He,... kenapakah kakimu?"
Karena bahunya tersentuh tangan Yu Wi, seketika He-si seperti kena aliran listrik, mukanya
menjadi merah jengah. ia menunduk dan menjawab dengan suara lirih, "Sesudah ikut Kongcu
keluar menghadapi musuh dahulu, akibatnya Lohujin telah memukul patah kaki kananku, maka
kalau berjalan sekarang menjadi pincang...."
Tidak kepalang gusar Yu Wi, teriaknya, "Hanya karena kau bantu aku sehingga kaki.... kakimu
dipukul patah...."
Saking emosinya, pegangan Yu Wi pada bahu He-si bertambah kencang.
He-si masih perawan suci, dengan sendirinya perasa kikuk dipegang seorang lelaki, ia meronta
perlahan melepaskan tangan Yu Wi, katanya dengan tersenyum malu, "Akan hamba ambilkan air."
Tapi Yu Wi memegang lagi tangannya dan berkata dengan lembut, "Tidak perlu lagi kau ambil
air. Masih ingatkah kau perkataanku setahun yang lalu bahwa asalkan aku tidak mati, maka kau
pun tidak perlu lagi bekerja begini, selanjutnya kau ikut pergi bersamaku, meninggalkan Thian-tihu
ini." He-si kegirangan sehingga sekujur badan terasa gemetar, tanyanya dengan terputus-putus,
"Kongcu akan... akan membawaku ke mana?"
Jika Yu Wi sudah bertekad akan membawa pergi He-si, tentunya harus memberitahukan
identitasnya yang asli, dengan jujur dan terus terang ia lantas berkata, "Jangan kau panggil
Kongcu lagi padaku, apakah kau tahu siapa aku?"
He-si mengangkat kepalanya dan menjawab, "Sudah lama ku tahu engkau bukan Toa
kongcu!" "Siapa bilang aku bukan Toa kongcu?" Yu Wi sengaja balas bertanya.
"Perangaimu sama sekali berbeda daripada Toa-kongcu," kata He-si. "Waktu itu kusaksikan
kau dipukul roboh oleh orang berkedok hitam itu," lalu ditolong pergi oleh seorang kakek yang
gesit" "Kemudian bagaimana?" tanya Yu Wi.
"Hari itu sesudah penyerbu dari Hek-po itu mundur dengan mengalami kekalahan, tidak lama
kemudian Kongcu lantas pulang, Dia sangat mirip denganmu, tapi beberapa hari kemudian tidak
pernah kulihat senyumannya, suaranya juga tidak ramah lagi, maka tahulah aku bahwa dia Toakongcu
yang sesungguhnya dan kau cuma Kongcu palsu, Tidak diketahui engkau telah dibawa ke
mana oleh si kakek itu."
"Apakah kau tahu orang berkedok hitam yang merobohkan diriku itu ialah Toa-kongcu
sendiri?" tanya Yu Wi dengan menyesal.
"He, sebab apa Kongcu menyerang kau?" He-si terkejut.
"Aku pun tidak tahu apa sebabnya, sama halnya entah apa sebabnya Kan-lohujin telah
memukul patah kakimu?" ujar Yu Wi. "Pendek kata, tempat ini bukan tempat kediaman yang baik,
pergilah kau bebenah seperlunya dan segera kita berangkat."
He-si mengangguk, jawabnya, "Tunggu saja di sinj, segera ku kembali..."
Melihat cara berjalan He-si yang pincang itu, Yu Wi jadi teringat kepada kekejaman Kanlohujin,
seketika ia naik darah dan ingin mengobrak-abrik Thian-ti-hu. Tapi bila teringat lagi Kan
Ciau-bu pernah menolong jiwanya, meski orang pun pernah bermaksud membunuhnya, namun
sedapatnya ia menahan rasa gusarnya dan tetap berdiri tenang di dalam kamar. .
Dia berdiri dengan membelakangi pintu, tidak hanya kemudian, tiba-tiba suara seorang lelaki
yang nyaring tajam menegurnya, "Siapa kau?"
Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pelahan Yu Wi membalik tubuh, dengan dingin dan tenang ia menjawab, "Apakah Inkong
masih kenal kepada orang she Yu?"
Penegur itu memang betul Kan Ciau-bu adanya, ia rada terkesiap, tapi dengan lagak tak acuh
ia lantas masuk ke kamar, cambuk yang dibawanya ditaruh di meja, lalu mendengus, "Kukira kau
sudah mati"!"
"Hampir mati, belum sampai mati," jawab Yu Wi dengan ketus. "Untung orang she Yu diberkati
panjang umur, maka dapat lolos dari maut."
"Sudah dua kali jiwamu dapat direnggut kembali, untuk apa pula kau datang ke sini?" jengek
Kan Ciau-bu. "lnkong memberi pesan agar orang she Yu tinggal di sini, dengan sendirinya ku datang
kemari?" jawab Yu Wi.
Kan Ciau-bu mendelik, damperatnya, "Ku selamatkan jiwamu, imbalannya memang menyuruh
kau tinggal di sini, tapi mengapa kau kabur setengah jalan, coba apa alasanmu?"
"lnkong yang memaksa diriku kabur, masa masih berani ku tinggal di sini untuk menunggu
kematian?" jawab Yu Wi, mau tak mau ia pun naik pitam.
"Kalau bicara hendaknya tahu sopan santun sedikit," jengek Kan Ciau-bu, "Harus kau sadari,
betapapun mujur, jika untuk ketiga kalinya kau harus mati, tentu sukar lagi lolos dari maut."
"Jjuga belum tentu," jawab Yu Wi ketus.
"Kau tidak percaya, apakah mau coba?" Kan Ciau-bu menjadi gusar.
"Kedatanganku ini bukan untuk mencari perkara kepada Inkong, hanya ingin memberi nasehat
sesuatu!" kata Yu Wi.
"Hm, memberi nasehat sesuatu?" Kan Ciau-bu mendengus, "Memangnya dalam hal apa orang
she Kan perlu nasehat orang?"
Pada saat itulah dua pelayan masuk membacakan minuman, mereka adalah Jun-khim dan
Tong-wa. Ketika mendadak melihat di dalam kamar berdiri dua orang Kongcu kembar, seketika
mereka menjerit kaget, cangkir jatuh dan pecah berantakan.
Kan Ciau-bu menarik muka dan cepat membentak "Berteriak apa" Apakah minta kurobek
mulut kalian?"
Karena takut, Jun-khin dan Tong-wa tidak berani menjerit lagi, cepat mereka berjongkok dan
membersihkan beling cangkir yang pecah itu.
"Lekas enyah!" segera Kan Ciau-bu meraung pula.
Belum selesai membersihkan lantai, terpaksa kedua pelayan itu berlari keluar.
"Kenapa kau begitu bengis terhadap mereka?" kata Yu Wi dengan gegetun.
Kan Ciau-bu menjadi gusar, teriaknya, "Tidak perlu ikut campur urusanku!"
Dengan tenang Yu Wi memberi nasihat, "Apabila perangai Inkong dapat berubah lebih ramah
sedikit, kan jadi lebih baik" Mengapa mesti bersikap keras sehingga kaum hamba takut padamu,
sampai-sampai adikmu sendiri juga takut padamu."
"Hm, kau tahu apa?" jengek Kan Ciau-bu, "Jika aku bersikap ramah, mungkin sudah lama aku
tidak hidup di dunia lagi."
"Ya, kutahu Kan-lohujin bermaksud membunuh kau...." kata Yu Wi dengan menghela napas.
"Hm, tampaknya banyak juga yang kau ketahui," sela Kan Ciau-bu.
"Kau selalu bersikap dingin dan ketus terhadap orang lain, mendingan kalau melulu untuk
menjaga diri agar tidak dicelakai orang, tapi sekali-kali tidaklah layak kau bersikap dingin terhadap
nona Lau, betapapun dia kan bakal isterimu."
"Hehe, rupanya banyak juga ingin kau campuri urusanku," Kan Ciau-bu tertawa dingin. "Harus
kukatakan padamu, seorang sebaiknya jangan banyak ikut campur urusan orang lain, sedangkan
keselamatan sendiri tak terjamin masih ingin mengurus orang lain, kan lucu dan menggelikan?"
Dengan tegas Yu Wi menjawab "Biarpun orang she Yu tidak becus, urusan ini tidak boleh tidak
aku harus ikut campur, Kau harus baik terhadap nona Lau, jangan memperlakukan dingin
padanya, sebab.... sebab dia adalah nona yang sangat baik..."
Berulang Kan Ciau bu tertawa dingin, katanya, "Hehe, tampaknya Anda berkesan cukup baik
terhadap bakal isteriku, jangan-jangan..."
Muka Yu Wi menjadi merah, cepat ia memotong, "Hendaklah jangan kau pikir yang bukanbukan,
nona Lau suci bersih, dia bukan nona yang sembarangan kau harus harus perlakukan dia
dengan baik."
"Perlakukan dia baik apa susahnya, Anda tidak perlu kuatir, justeru mengenai pertolonganku
padamu itu entah cara bagaimana akan kau balas?"
"Orang yang berbudi tidak suka mengharapkan ba!as, tapi kalau kau menghendaki kubalas
budimu, tentu akan kubalas," kata Yu Wi dengan aseran, "Tapi tempo hari kuwakili dirimu
menghadapi musuh sekuat tenagaku, kenapa kau tidak bantu menghalau musuh, sebaliknya kau
malah pakai kedok dan menyerangku dengan keji?"
Kan Ciau-bu melengak, tapi lantas menjawab dengan menyeringai, "Siapa bilang orang
berkedok itu ialah diriku?"
"Bilamana ingin orang tidak tahu. Paling baik kalau diri sendiri tidak berbuat!" ucap Yu Wi
tegas. Kan Ciau-bu tertawa dingin pula, katanya "Kongcu memakai kedok dan menyerang kau,
tujuannya supaya kau dapat membalas budi!"
"Kaubantu pihak yang jahat melakukan hal yang lebih jahat, cara bagaimana harus kubalas
budimu?" teriak Yu Wi dengan gemas.
"Takkala kau kubunuh, waktu itulah kau telah membalas budi," kata Ciau-bu.
Yu Wi terkejut, serunya, "Jadi kau . . .kau . .."
"Aku kenapa?" jawab Kan Giau-bu dengan penuh nafsu membunuh. "Dari dulu kuselamatkan
jiwamu, sekarang boleh kau balas budi dengan kematianmu..."
Sambil bicara, serentak sebelah kakinya menendang ke selangkangan Yu Wi, berbareng
telapak tangan kanan terus memotong samping kepalanya.
Tendangan dan tabasan ini cepat lagi ganas, sungguh tidak kepalang lihaynya. Tapi diam-diam
Yu Wi sudah siap siaga, kedua tangannya bergerak ke atas dan ke bawah, dengan tepat ia
mengancam Hiat-to penting di kaki dan tangan Kan Ciau-bu.
Dalam keadaan demikian, terpaksa Ciau-bu harus menarik kembali kaki dan tangannya, ia
terkejut melihat tipu serangan Yu Wi yang hebat itu, mana dia berani meneruskan serangannya,
Cepat ia ganti posisi, mendadak tangan kiri menghantam dari bawah lengan baju kanan,
menggenjot perut Yu Wi.
Tak terduga, entah sejak kapan jari telunjuk tangan kiri Yu Wi sudah siap melindungi perut,
begitu tangan Kan Ciau-bu menyentuh ujung jarinya, seketika telapak tangan merasa kesemutan,
Untung ia pun cukup cekatan, secepatnya ia menarik kembali tangannya, coba kalau terlambat
sedetik saja, tentu "Pek-yong-hiat" pada telapak tangan akan tertutuk.
Sungguh kejut Ciau-bu tak terkatakan, serangannya tadi seolah-olah sudah diketahui lebih
dulu oleh Yu Wi, maka jarinya sudah menunggu lebih dulu di bagian yang akan diserangnya. Kalau
saja tangannya tertutuk dengan tepat, maka sama halnya dia sengaja menyodorkan tangannya
agar di tutuk lawan. Di dunia ini mana ada cara berkelahi demikian"
Namun Kan Ciau-bu memang bukan jago kelas rendahan, meski terkejut ia masih dapat
menganalisa kekuatan sendiri dan musuh. ia pikir jangan2 lawan sudah paham kungfu Thian-ti-hu.
Maka serangan selanjutnya lantas berubah, ia memainkan sejurus ilmu pukulan ciptaan sendiri,
ilmu pukulan Kan Ciau-bu ini diciptakan sendiri berdasarkan pengalaman tempur selama ini, titik
kelemahannya sangat sedikit, tidak kurang bagusnya daripada kungfu ciptaan Kan Yok-koan,
Hanya dua-tiga kali menangkis saja Yu Wi lantas tahu kelihayan lawan. Cepat ia mainkan ke 30
juruS ilmu pukulan ajaib ajaran Ji Pek-liong untuk melayani musuh.
Keajaiban ilmu pukulan ciptaan jt Pek-liong ini lebih lihay setingkat daripada ilmu pukulan
ciptaan Kan Ciau-bu, namun pengalaman tempur Ciau-bu lebih banyak, maka Yu Wi hanya mampu
melayaninya dengan sama kuat
Meski tak dapat mengalahkan lawan, tapi Yu Wi dapat bergerak dengan leluasa, sambil
menangkis serangan Ciau-bu ia berkata, "Apa gunanya sekalipun kau bunuh diriku sekarang?"
Melihat lawan dapat menangkis serangannya sambil bicara dengan leluasa, tidak kepalang rasa
mendongkol Kan Ciau-bu, katanya dengan gemas, "Jika kau ingin balas budi, maka kau harus
membunuh diri dan tidak perlu kuturun tangan lagi."
"Kematianku akan mendatangkan faedah apa bagimu?" tanya Yu Wi dengan tidak mengerti.
Pada waktu orang berbicara, dengan cepat Kan Ciau-bu menyerang lima-enam kali.
Namun Yu Wi dapat menghindar dengan leluasa, sedikitpun tidak kelihatan payah.
Maka tahulah Ciau-bu apabila ingin mengalahkan lawan secara lugu jelas bukan pekerjaan
mudah, terpaksa harus menggunakan akal, segera ia perlambat serangannya dan berkata, "Bila
kau mati di kamarku, tentu ibu-tiruku akan mengira aku telah dibunuh musuh dan takkan
menyangka lagi dirimu adalah Kan kongcu. palsu, Dengan demikian pula ibu tiriku pun takkan
berusaha membinasakan diriku lagi, nah, jelas. tidak?"
Yu Wi juga pelahan mematahkan setiap serangan lawan sambil menjawab, "Jika kau sudah
mati, tentu saja Kan-lohujin takkan berusaha mencelakai kau lagi, mana mungkin orang mati akan
dicelakai pula?"
Diam-diam Kan Ciau-bu mengomeli kebebalan lawan, dengan dingin ia berkata pula, "Jika aku
dianggap sudah mati, ibu tiri tentu takkan berjaga-jaga lagi, Dengan demikian aku akan berada di
sisi gelap dan dia berada di bagian yang terang meski kungfuku tidak setinggi dia, bilamana dia
lengah tentu dapat kubinasakan dia" Nah, tahu tidak?"
Tidak kepalang kejut Yu Wi mendengar keterangan tersebut, tanpa terasa gerak-geriknya
menjadi lamban, kesempatan itu segera digunakan Kan Ciau-bu untuk melancarkan suatu
serangan maut. Tak tahunya Yu Wi memang ditakdirkan mujur, mendadak kaki terasa gatal, mendadak ia
berjongkok dan kebetulan dapat mengelakkan serangan maut Kan Ciau-bu itu.
Diam-diam Ciau-bu merasa sayang, segera ia lebih melambatkan serangannya, seolah olah
tidak bernapsu bertempur lagi.
Yu Wi juga melambatkan gerakannya dan berkata, "Jalan pikiranmu itu sungguh agak kelewat
keji, Betapapun Kan-lohujin kan ibu-tirimu, mengapa harus kau bunuh dia?"
Kan Ciau-bu sengaja menghela napas seperti minta dikasihani katanya, "Kalau tidak kubunuh
dia, tentu dia yang akan membunuhku. Demi mencari hidup, terpaksa harus bertindak kejam."
Yu Wi menggeleng dan berkata, "Pantas ketika pihak Hek-po menyerbu kemari, kau berbalik
membantu mereka membunuh diriku dan jika aku sudah mati, tentunya terkabul harapanmu,
bahkan juga terkabul keinginan Lohujin."
Kan Ciau-bu tidak menanggapi tapi di dalam hati ia berkata, "Memang! Jika kau mati, tentu
sekarang aku tidak perlu bersusah payah lagi. Gara-gara kakek sialan itu menyelamatkan dirimu,
maka semua rencanaku jadi berantakan."
Mereka terus bergebrak Kembali Yu Wi mematahkan tiga serangan maut lawan, tiba-tiba
teringat sesuatu olehnya, ia berkata pula, "Tempo hari sekalipun kumati kau bunuh juga tidak
mudah untuk menipu Kan-lohujin agar percaya."
"Sebab apa?" tanya Ciau-bu dengan melengak.
"Waktu itu siapa pun tidak tahu bahwa aku ini Kan-toakongcu gadungan," tutur Yu Wi dengan
perlahan. "Bila kumati tentu akan disangka Kan-toakongcu asli mati di medan tempur menghadapi
penyerbu dari Hek-po, sedikit pun takkan menimbulkan curiga orang lain. Tapi sekarang Jun-khim
dan Tong-wa telah melihat ada dua Toakongcu kembar, bilamana mereka laporkan kepada Kanlohujin,
lalu apakah Lohujin akan percaya bahwa Kan-toakongcu yang berkepandaian tinggi bisa
mati tanpa sebab di dalam kamarnya" jelas secara mudah Lohujin dapat menerka bahwa yang
mati pasti lah Kongcu palsu."
Hati Ciau-bu tergetar, pikirnya "Ya, tidak kupikirkan hal ini, untung si tolol ini mengingatkan
padaku." Dengan senang ia lantas menjawab, "Hal ini tidak menjadi soal, setelah kau mati nanti, segera
pula kubunuh Jun-khim dan Tong-wa untuk menghapus saksi hidup."
Diam-diam Yu Wi merasa ngeri melihat cara bicara Kan Ciau-bu itu sedemikian tenang dan
tiada belas kasihan sedikit pun. ia jadi teringat kepada kematian Pi-su. yaitu si genduk genit itu,
dengan gusar ia lantas bertanya, "Jika demikian, jadi Pi-su juga kau yang membunuhnya?"
Kan Ciau-bu tertawa bangga, jawabnya, "Sejak kau datang ke sini, diam-diam kuawasi setiap
gerak-gerikmu, kebetulan kuketahui Pi-su telah mengenali kepalsuanmu, maka ketika dia kembali
ke kamarnya, aku lantas menggantung mati dia, kalau tidak, bila dia lapor kepada ibu-tiri, jiwa kita
tentu akan amblas semuanya."
Dengan murka Yu Wi balas menyerang tiga kali, karena menyerang dengan gusar, tentu
sasarannya kurang telak, dengan mudah saja Kan Ciau-bu dapat menghindar.
"Kau telah berzina dengan dia, orang suka bilang "menjadi suami-isteri satu malam, cinta kasih
seratus hari", Tapi kau tega membunuhnya, di mana hati nuranimu" Aku . . . . ." saking gemasnya
Yu Wi sampai sukar untuk bicara lagi.
Kan Ciau-bu sengaja tertawa latah, ucapnya, "Lantas kau mau apa" Biar kuberitahu sekalian,
beberapa bulan yang lalu Jun-khim dan Tong-wa juga sudah kutiduri, sekarang mereka pun
mengetahui tipu muslihatku, maka nasib mereka pun tak terhindar dari kematian."
Mata Yu Wi merah berapi saking gusarnya, teriaknya, "Jika begitu ... .. jika begitu, jadi jadi Hesi
juga sudah kau..."
"Huh, babu pincang begitu, biarpun dia telentang di depanku juga aku tidak mau," Kan Ciaubu
berolok-olok dengan tertawa.
Saking murkanya sehingga serangan Yu Wi tidak teratur, kata-katanya juga gelagapan, "Kau...
kau sungguh . .. . . sungguh terlalu kejam?"
"Kejam apa?" Kan Ciau-bu tertawa keras, "Biarpun nona Lau, bakal isteriku itu, jika dia
mengetahui tipu muslihatku, aku pun takkan mengampuni dia, akan kugantung, mati serupa Pisu!"
Dia sengaja berucap demikian untuk membikin marah lawan. Yu Wi kurang pengalaman, mana
dia tahu akal bulus musuh" Saking murkanya dia terus menyerang beberapa kali tanpa
menghiraukan keselamatan sendiri...
Dapalkah Yu Wi mengalahkan Kan Ciau-bu dan meninggalkan Thian-ti-hu"
Cara bagaimana Yu Wi akan menuntut ilmu menurut pesan sang guru dan bagaimana dengan
kisah hidup Yu Wi sendiri"
- Bacalah jilid ke- 4 -
Jilid ke-4 Menyerang dalam keadaan marah, tentu saja ketiga serangan Yu Wi itu banyak lubang
kelemahannya, Maka dengan mudah saja Kan Ciau-bu dapat menangkis, menyusul ia balas
dengan suatu pukulan maut yang menuju ke hulu hati Yu Wi.
Bilamana pukulan ini telak kena di tempatnya seketika urat jantung Yu Wi akan tergetar putus
dan binasa. Tapi pada saat itu juga, mendadak Yu Wi merasa kaki kanan gatal pula dan tanpa terasa
tubuhnya mendoyong ke kanan, karena gerakan tak sengaja ini, serangan maut Kan Ciau-bu
hanya mengenai bahu kiri Yu Wi.
Pukulan maut ini sangat dahsyat, sedikitnya beberapa ratus kati beratnya, Yu Wi terhuyungjbuyung
mundur dan menumbuk dinding, untung ia melatih Thian ih-sin-kang, dia hanya terluka
lecet luar saja, otot tulangnya tidak cedera, Kontan tubuhnya meletik maju pula, seperti peluru
yang terpental balik membentur tembok, dia balas menghantam sekuatnya.
Sama sekali Kan Ciau-bu tidak menyangka pukulannya akan meleset, tapi biarpun kena bagian
bahu, sedikitnya juga akan membikin lawan patah tulang dan tidak mampu bertempur lagi,
Siapa tahu Yu Wi tidak beralangan apa pun, keruan Kan Ciau-bu terkejut, diam-diam ia heran
apakah tubuh lawan itu terbuat dari baja"
Rasa gusar Yu Wi tidak hilang, sebaliknya makin berkobar, dengan gemas ia membatin, "Kau
berani membunuh nona Lau, sekarang juga kulabrak kau mati-matian!"
Lantaran pikiran itu, tanpa terasa mulutnya lantas berseru, "Asalkan kau tidak membunuh
nona Lau, tentu kau akan kuampuni!"
Diam-diam Kan Ciau-bu merasa geli, ia pikir kalau kau bertempur secara kalap begini, jiwamu
sendiri saja tak terjainin, masa berani membela orang lain, sungguh lucu.
Dengan mudah ia menghindarkan serangan Yu Wi yang membabi-buta itu, pelahan ia himpun
tenaga pada kedua telapak tangannya, ia bertekad sekali hantam akan merobohkan Yu Wi,
sekalipun lawan memiliki ilmu sakti pelindung badan juga akan dibinasakannya.
Waktu itu Yu Wi sedang menyerang dengan kalap, tiba-tiba ujung telinganya terasa kesakitan
seperti ditusuk jarum, pikirannya yang kalap itu seketika jernih kembali. Sayup-sayup ia
mendengar suara seperti bunyi nyamuk berkata kepadanya, "Yu heng, kau harus sayang pada
jiwanya sendiri, jangan terjebak oleh pancingan Kan Ciau-bu yang sengaja hendak membikin
marah padamu, harus melayani dia dengan tenang."
Jelas suara itu suara orang perempuan dan malah cukup dikenal oleh Yu Wi, seketika
terbangku semangat dan timbul rasa senang yang sukar dilukiskan, tanpa terasa ia berseru, "Siapa
kau" Di mana kau?"
Melihat lawan sudah kalap hingga bergumam berdiri seperti orang gila, diam-diam Kan Ciau-bu
bergirang, ia tidak menyangka ada orang menggunakan "Thoan-im jip-bit" atau ilmu gelombang
suara yang hebat untuk memberi petunjuk kepada Yu Wi, Tanpa ayal ia pergencar serangan
dengan lebih dahsyat laksana damparan ombak samudra.
Yu Wi kenal jurus serangan lawan ini adalah jiatu di antara ketiga jurus serangan maha sakti
andalan Kan Yok-koan, yaitu "To-thian-ki-long", pukulan ini luar biasa lihaynya.
Akan tetapi kini pikiran Yu Wi sudah sadar dan tenang kembali, segera ia gunakan jurus
terakhir dari ke-30 jurus ajaib ajaran Ji Pek-liong itu untuk menangkis, pelahan tangannya
menyampuk angin pukulan lawan yang dahsyat, dengan tenaga benturan itu dia terus melompat
ke atas, dengan berjumpalitan ia turun ke belakang Kan Ciau-bu dengan gaya yang indah.
Jurus terakhir dari ke-30 jurus ajaib itu ada jurus penyelamat, boleh dikatakan tiada taranya,
Kan Ciau-bu mengira serangannya pasti dapat membinasakan lawan, tak tersangka Yu Wi dapat
menghindar dengan gaya yang indah, keruan ia terkesiap, ia melongo hingga lupa menyerang
pula. Sesudah berdiri tegak lagi, Yu Wi memandang sekitarnya, ia ingin mencari perempuan yang
mem-bisiki telinganya tadi, ia pandang ke arah pintu, dilihatnya He-si sedang melangkah masuk
dengan membawa sebuah bungkusan.
Dari depan He-si hanya melihat Yu Wi dan tidak tahu di pojok sana masih ada Kan Ciau-bu,
begitu masuk kamar ia terus berseru, "Ayolah lekas kita lari! Bila Toakongcu pulang tentu kita tali
dapat kabur!"
"Kongcumu berada di sini! Hm, memangnya kau dapat kabur"!" jengek Kan Ciau-bu
mendadak. Keruan He-si sangat kaget dan menggigil ketakutan Ketika Kan Ciau-bu melompat maju, He-si
menjerit dengan muka pucat.
Kan Ciau-bu menyadari bilamana dia ingin mencelakai Yu Wi jelas tidak dapat, akan lebih baik
kalau lawan dihina dan diolok-olok sepuasnya untuk melampiaskan rasa dongkol, Maka dengan
tertawa ia lantas, mengejek, "Wah, betapa hebat seorang pemuda yang gagah dan berbudi,
selama berada di rumahku, bukan saja berhasil mencuri ilmu silat keluargaku, bahkan juga
tambah mahir memikat babu. Hehehe, sungguh pintar, sungguh cakap!"
Tapi sekarang Yu Wi tidak mudah terpancing marah lagi, bila teringat bahaya yang dihadapi
tadi, kalau perempuan itu tidak menyadarkan dengan tiga kali menusuknya dengan jarum,
mungkin saat ini jiwanya sudah melayang.
Maka ejekan Kan Ciau-bu itu tidak digubrisnya, ia berkata dengan tenang, "He-si. marilah kita
pergi!" Melihat lawan tidak dapat dipancing marah lagi, Kan Ciau-bu tidak tinggal diam, mana dia mau
Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membiarkan Yu Wi membawa pergi He-si dengan begitu saja, segera ia menyelinap lewat di
samping Yu Wi, menyusul sebelah kakinya terus menendang selangkangan He-si.
Keruan He-si menjerit kaget.
Yu Wi tidak sempat menyelamatkan He-si, tapi ia menjadi murka melihat betapa keji cara Kan
Ciau-bu menyerang itu, sesudah tidak mampu mengalahkan dia, sekarang anak perempuan yang
bukan tandingannya itu akan dibinasakan dengan cara sekotor itu. Tanpa pikir ia angkat jarinya
dan menutuk Hiat-to maut di punggung Kan Ciau-bu.
Kan Ciau-bu bukan jago lemah, dari suara angin tutukan itu ia tahu betapa berbahayanya
bilamana tertutuk telak jiwa pasti amblas. Terpak saja harus batalkan serangannya kepada He-si,
cepat ia tarik kembali kakinya dan berputar untuk menangkis tutukan Yu Wi.
Tarnpaknya mereka berdua akan mulai bertempur lagi dengan lebih sengit, sekonyongkonyong
ada suara nyaring memanggil di luar, "Toako, Toako! Marilah kita pergi berburu singa!"
Di Thian-ti-hu hanya adik perempuan lain ibu ini saja yang akrab dengan Kan Ciau-hu. Segera
Yu Wi dapat mengenali suara Kan Hoay-soa san.
Dengan kejadian tempo hari waktu nona itu mengajaknya pergi berburu singa, tanpa terasa
hatinya tergerak.
Karena kedua orang sama memikirkan Kan Hoay-soan, kuatir nona itu mendadak menerjang
ke dalam kamar dan terluka oleh mereka, maka tanpa terasa kedua orang lantas berhenti
bertempur dan terpencar ke samping.
Memung betul, dengan gesit Kan Hoay-soan terus menerobos ke dalam kamar, nona ini
memakai baju satin putih yang singsat, rambut digelung di atas sehingga lehernya yang jenjang
halus kelihatan jauh lebih menggiurkan daripada setahun yang lalu.
Ketika mendadak melihat di dalam kamar berdiri dua orang Toako yang serupa, ia menjerit
kaget, "Hah!" Siapa di antara kalian adalah Toakoku?"
Melihat sikap kekanak-kanakan si nona yang lucu itu, Yu Wi tertawa.
Tertawa ini membikin Kan Hoay-soan terkesima, ia menggeleng kepala dan berkata, "Kau
bukan Toakoku! Kau bukan Toakoku!...."
Sembari bicara ia terus mendekati Kan Ciau-bu, wajah Kan Ciau-bu yang beringas tadi seketika
berubah tenang, katanya, "Moaymoay, sudah malam begini masa ingin berburu singa apa segala".
"Toako, mengapa kau tidak tertawa?" ucap Kan Hoay-soan dengan gegetun. "Alangkah baik
nya jika kau mau tertawa seperti dia."
Kan Ciau-bu marah, jawabnya, "Dia itu siapa, kenapa aku mesti meniru dia" jangan
sembarangan omong, ayolah lekas pulang ke Ban-siu-ki!"
Meski cuknp akrab dengan sang Toako, akan Hoay-soan juga rada takut padanya. Dengan
rasa penasaran ia membalik tubuh dan melangkah pergi, ketika lewat di sisi Yu Wi, mendadak ia
berhenti dan bertanya, "Kau . . . . kau tidak . . . tidak mati?"
"Sudah tentu tidak," jawab Yu Wi dengan tertawa, "Kalau mati masakah dapat berdiri di sini
dan bicara dengan kau?"
Seperti anak kecil Kan Hoay-soan tertawa, katanya, "Jika demikian, legalah hatiku, Ketika
dipukul roboh oleh Toakoku, sungguh kukuatir kau akan mati, syukur Thian maha pengasih, kalau
tidak..." Kan Ciau-bu menjadi gusar dan mendamperatt, "Bicara apa lagi" Ayo, lekas pulang!"
Yu Wi tidak pedulikan raungan Kan Ciau-bu, ia mengadang di depan Kan Hoay-soan dan
bertanya: "Jadi sejak dulu kau sudah tahu aku ini Toakomu palsu?"
Kan Hoay soan menunduk dan menjawab, "Dengan sendirinya kutahu, Lekas menyingkir, aku
mau lewat..."
Yu Wi berdiri diam saja, katanya, "Kan-heng, pernah kaukatakan bila nona Lau mengetahui
tipu muslihatnya, dia juga takkan kau ampuni. Sekarang. adik perempuanmu sudah lama
mengetahui seluk-belukmu, mengapa tidak kauapa-apakan dia?"
Kan Ciau-bu menjadi gusar dan meraung, "Urusan rumah tanggaku, untuk apa kauikut
campur?" Dengan suara perlahan Hoay-soan lantas berkata, "Sebab aku takkan memberitahukan kepada
ibu tentang Toako palsu segala, maka Toako tidak akan bertindak apa-apa padaku."
Diam-diam Yu Wi membatin, mungkin si nona tidak tahu maksud tujuan Kan Ciau-bu mencari
seorang duplikatnya, disangkanya sang kakak hanya ingin main-main saja, maka hal ini tidak
dilaporkan kepada ibunya, Dari sini dapat dibayangkan hubungan antara kakak beradik ini tentu
cukup baik. Dalam pada itu Kan Hoay-soan telah mendesak pula, "Lekas menyingkir, aku akan lewat!"
Tapi Yu Wi tetap tidak menggubrisnya. Dia masih sengaja mengadang di depannya dan
berkata, "Kan-heng, jika kau percaya kepada adik perempuanmu, mengapa kau tidak berani
percaya kepada nona Lau?"
Dengan gemas Kan Ciau-bu berteriak, "Bolak-balik kau sebut dia, sesungguhnya apa
sebabnya?"
Seketika Yu Wi tak dapat menjawab, dengan wajah merah ia berkata, "Jun-khim dan Tong-wa
adalah pelayan pribadimu, seharusnya kau percaya kepada mereka, tidak pantas kaubunuh...."
"Mana bisa Toako membunuh Jun-khim di Tong-wa tanpa sebab?" ujar Hoay-soan.
"Tentu saja ada sebabnya," kata Yu Wi. "Yaitu mereka mengetahui aku adalah duplikat
Toakomu." "Apakah betul begitu, Toako?" tanya Hoay-soan sambil berpaling ke arah Ciau-bu.
"Kedua budak itu tidak tahu diri dan mungkin akan sembarangan mengoceh, bilamana ibu
tahu bahwa aku menyuruh orang asing menyaru sebagai diriku ke sini, bukankah beliau akan
marah padaku, Agar ibu tidak marah maka kedua budak itu akan kubunuh agar tidak membikin
kacau." "Bila kau bunuh mereka berdua, selama hidupku takkan kuampuni kau!" teriak Yu Wi dengki
gusar. "Hahahaha!" Kan Ciau-bu bergelak tertawa, memangnya Kongcumu inii takut akan
gertakanmu" Boleh kaulihat, segera akan kubunuh mereka!"
Tiba-tiba Hoay-soan menoucurkan air rnata, dengan memelas ia memohon, "Toako, kumohon
janganlah kau bunuh mereka."
Hati Ciau-bu menjadi lunak melihat air mata adik perempuannya, ucapnya sambil memberi
tanda, "Sudahlah, lekas kau pulang sana, aku takkan membunuh mereka."
Dengan gembira Hoay-soan mengusap air matanya dan berkata dengan manja, "Terima kasth
Toako, adik minta diri!"
Yu Wi tidak menyangka bujukan Kan Hoay-san akan dapat mencegah niat Kan Ciau-bu
membunuh Jun-khim dan Tong-wa. Melihat maksud hatinya sudah tercapai, segera ia menyingkir
ke samping. Sesudah Hoay-soan melangkah lewat ia lantas menggapai He-si dan berseru. "Marilah
kita berangkat!"
Melihat He-si membawa rangsel, Hoay-soan bertanya, "Hendak ke mana kau?"
He-si menunduk, jawabnya, "Hamba ikut pergi bersama Yu-siangkong..."
"Kau dapat meladeni dia, sungguh sangat beruntung..." ucap Hoay-soan dengan kagum.
Sebelah tangan Yu Wi terus merangkul pinggang He-si dan diangkat, ucapnya dengan terburuburu,
"Cayhe tidak bermaksad menyuruh dia meladeni diriku..." sambil bicara ia terus melayang
keluar. Karena He-si sudah berada di bawah perlindungan Yu Wi, sukar lagi untuk menyerangnya,
terpaksa Kan Ciau-bu hanya berteriak beringas, "Pada suatu hari budak hina itu pasti akan
kubinasakan..."
Dengan gerak cepat Yu Wi membawa He-si menyusur taman dan melintas pagar sehingga
tidal dilihat oleh kaum hamba Thian-ti-hu, dengan cepat ia telah meninggalkan istana yang megah
itu setiba di jalan raya kota Kimleng barulah ia lepaskan He-si.
Dia meninggalkan He-si di hotel, sehabis makan malam, hari sudah gelap, ia tukar pakaian
peranti jalan malam, lalu berlari kembali ke arah Thian-ti-hu.
Sejak Kan Jun-ki wafat, kekuasaan keluarga Kan dalam pemerintahan lantas lenyap, kejayaan
Thian ti-hu juga mulai surut, istana perdana menteri yang megah itu pun sepi, penjaganya sanga
sedikit, maka dengan sangat mudah dapatlah Yu Wi menyusup ke dalam istana itu.
Dengan hati-hati ia terus menuju ke bagian dalam, setiba di depan kamar Lau Yok-ci, ia berdiri
termangu, seketika ia menjadi bingung apakah harus masuk ke situ atau tidak"
"Siapa itu di luar?" sekonyong-konyong suara orang menegur di dalam kamar,
Yu Wi terkejut, ia heran orang dapat mendengar kedatangannya, padahal dia melangkah
dengan sangat ringan.
"Apakah Yu-siangkong?" tanya pula suara tang di dalam kamar.
Sekali ini Yu Wi hampir melonjak saking kaget, ia membatin. "Apakah dia ini dewi kayangan
yang dapat mengetahui apa yang belum terjadi?"
Tapi cepat juga dia menjawab, "Ya, Cayhe Yu Wi ingin bertemu dengan nona!"
"Silakan masuk!" seru nona Lau.
Pelahan Yu Wi masuk ke sana, ia pikir untuk kedua kalinya dia masuk ke kamar perawan
orang. Pajangan di dalam kamar masih tetap seperti dahulu, di mana-mana tercium bau harum
semerbak, si cantik berbaju hitam, Lau Yok-ci, berdiri dengan gaya yang tenang menanti
kedatangannya. Wajah si nona tidak ada perubahan, bahkan lebih putih, lebih cantik, sekujur badan seolaholah
memancarkan hawa yang tidak boleh dilanggar orang, sungguh seperti dewi kayangan benarbenar.
Yu Wi memberi hormat dan berkata, "Terima kasih banyak-banyak atas pertolongan nona
tadi!" "Tidak perlulah berterima kasih, aku tak dapat memperlihatkan diri, terpaksa menusuk Siang
kong dengan Gu-mo-thian-ong-ciam (jarum raja bulu kerbau), harap suka memaafkan tindakanku
itu," kata Yok-ci.
"Ai, akupun terlalu, masa sampai terpancing marah oleh Kan-kongcu," ujar Yu Wi. "Untung
nona menolong dengan jarum, kalau tidak jiwaku tentu sudah melayang di tangan Kan-kongcu,
sungguh Cayhe amat berterima kasih, mana bisa menyalahkan nona."
Tanpa sebab wajah Lau Yok-ci yang cantik molek itu pun bersemu merah, katanya, "Padahal
lantaran diriku sehingga Yu-siangkong terpancing marah, kan pan... pantas kalau kubantu kau?"
Melihat wajah si nona yang malu-malu dan menggiurkan itu, jantung Yu Wi berdetak keras,
sungguh ia ingin mendekat dan menciumnya, Tapi bila teringat si nona adalah bakal isteri orang,
mana dirinya boleh berbuat sembrono, padahal kedatangannya ke kamar orang saja sudah tidak
pantas. Makin dipikir makin tidak enak, katanya kemudian dengan perasaan berat, "Aku... aku ingin ..."
"Apakah Yu-siangkong hendak pergi?" tanya Lau Yok-ci sambil mengangkat kepala.
Yu Wi mengangguk dengan pandangan yang berat.
Si nona menghela napas pelahan, katanya, Siang tadi setelah kubicara dengan Siangkong
dengan Thoan-im-jip-bit, kuduga malam ini Siangkong tentu akan kemari untuk mengucapkan
terima kasih. Sekarang hal itu sudah kau lakukan, tentunya kau akan pergi."
Dari nada ucapan si nona, Yu Wi merasa orang mencela kedatangannya ini hanya untuk
mengucapkan terima kasih saja, seketika ia tidak berani bicara tentang mohon diri lagi agar tidak
terlalu menyolok.
Melihat anak muda itu tidak jadi pergi, dengan tertawa Lau Yok-ci berkata, "Silahkan duduk,
Siang-kong, akan kutuangkan teh!"
Sesungguhnya Yu Wi memang merasa berat untuk tinggal pergi. Sesudah minum seceguk teh
wangi yang disuguhkan, ia lantas mengobrol iseng dengan si nona, diceritakannya pengalamannya
belakang gunung sana.
Dengan tenang Lau Yok-ci mendengarkan kisah Yu Wi itu, selesai anak muda itu bercerita
barulah ia berkata, "Penemuan aneh Yu-siangkonj itu sungguh sangat menggembirakan, kini Kankongcu
sudah bukan tandinganmu lagi, Tapi mengingat janji pertemuan hari Tiongcu tahun depan,
hendaklah dimaklumi bahwa Lak-can-so sudah lama termashur di dunia Kangouw, ilmu silat
mereka jauh di atas Kan kongcu, bilamana Siangkong hadir pada pertemuan itu hendaknya
berhati-hati."
"Terima kasih atas perhatian nona," kata Yu Wi. "Entah baik tidak nona bertempat tinggal di
sini?" Air muka Lau Yok-ci menjadi muram, ucapnya dengan sayu, "Baik atau tidak apa bedanya,
sudah suratan nasib, ingin mengubahnya juga sukar."
Terharu juga Yu Wi mendengar ucapan si nona, ia pikir menghadapi sifat Kan Ciau-bu yang
kaku dan dingin itu, tinggal di sini nona Lau tentu seperti tinggal di dalam penjara saja.
Sungguh ia ingin sekali menyatakan, "Marilah kau ikut aku meninggalkan tempat setan ini!"
Tapi mana dia berani sembarangan omong di depan si cantik.
Di dengarnya nona itu seperti bergumam mengumandangkan sebait syair kuno yang bermakna
menyesal karena terlambat berkenalan.
Terkesiap juga Yu Wi mendengar syair yang disuarakan Lau Yok-ci itu, cepat ia berbangkit dan
berkata, "No... nona Lau, aku mohon diri..."
Yok-ci lantas berdiri, jawabnya dengan menyesal "Akan ku antar engkau ke depan pintu,"
Setiba di luar piutu, nona itu bertanya pula, "Sekarang Siangkong akan menuju ke mana?"
"Sejak kecil kutinggal di Hek po, di Soasay, maka sekarang akan pulang kesana," jawab Yu Wi
Yok-ci terkejut, ia menegas, ?"Pulang ke Hek-po, untuk apa pulang ke sana"
"Hek-po ada permusuhan sedalam lautan denganku, aku harus ke sana untuk
membereskannya?" kata Yu Wi.
"Selamat jalan, Siangkong, semoga selekasnya engkau dapat menuntut balas sakit hati
ayahmu," demikian Yok-ci berdoa.
"Terinia kasih, nona, sampai berjumpa pula," seru Yu Wi sambil mengangkat tangan dan
melangkah pergi dengan ikhlas, Mestinya ia tidak ingin menoleh, tapi belasan langkah saja ia tidak
tahan, ii berpaling, dilihatnya si nona masih berdiri termangu di depan pintu dengan pandangan
yang berat. Yu Wi memberi lambaian tangan pula, lalu berlari pergi secepatnya.
-o+o- -X- - oio--
Esoknya ia membawa He-si meninggalkan Kim-leng dengan menyewa sebuah kereta kuda,
setiba di Tinkang, mereka ganti menumpang kapal dan berlayar ke hulu, Setiba di Yan-cu-ki,
terlihat sebuah kapal layar terbalik di tengah sungai, penduduk di tepi sungai sibuk memberi
pertolongan dengan perahu nelayan. Banyak di antara penumpang kapal layar itu tidak mahir
berenang sehingga di mana-mana terdengar jerit tangis dan teriakan minta tolong.
He-si sudah lama bertempat tinggal di Kim-leng dan tidak pernah menempuh perjalanan jauh,
menumpang kapal saja tidak biasa, kini melihat kapal terbalik, ia menjadi ketakutan.
Yu Wi tahu perasaan He-si, setiba di Yan-cu-ki, mendaratlah mereka, baru satu hari naik kapal
ternyata He-si sudah kelihatan pucat dan kurus.
Padahal Yu Wi ingin cepat-cepat pulang Hek-po, tapi He-si kelihatan kurang sehat, ia menjadi
serba susah. -X1 - Rupanya He-si juga merasakan kesukaran Yu Wi, dengan lemah ia berkata, "Kepergian
Siangkong ke Hek-po adalah untuk menuntut balas, tentunya kurang leluasa dengan membawa
serta diriku, akan lebih baik kalau kau tinggalkan diriku di sini saja,"
Yu Wi pikir usul ini cukup beralasan, kepergiannya ke Hek-po ini memang sangat berbahaya,
sedangkan kungfu He-si tidak tinggi, kalau ikut ke sana, bukannya membantu sebaliknya malah
menambah bebannya, Apalagi badannya juga cacat dan kurang sehat, maka ia lantas mencari
sebuah rumah yang terletak di lereng bukit yang berdekatan dengan Yan-cu-ki.
Harta benda yang ditinggalkan Ji Pek-liong di dalam makam sana cukup banyak, Yu Wi
membawa sebagian harta tinggalkan sang guru itu sehingga tidak perlu kuatir kehabisan sangu,
dengan harta bawaannya ia membeli rumah itu, lalu rnempekerjakan dua genduk dan tiga pesuruh
lelaki untuk melayanani He-si."
Rumah yang dibelinya itu terletak di lereng bukit Ci-he-nia yang indah panoramanya, banyak
tempat tamasya terkenal di atas bukit, sekeliling rumah penuh tertanam teratai putih, bunga
teratai sedang mekar semarak memancarkan bau harum semerbak. Suasana yang nyaman ini
sangat menvenangkan hati He-si.
Sesudah mengatur tempat tinggal bagi He-si, sebelum berpisah Yu Wi meninggalkan pula
sebilah pedang kayu pemberian Ji Pek-liong dahulu serta kitab pusaka yang berisi ikhtisar ilmu
silat yang dikumpulkan sang guru itu.
He-si merasa berat ditinggal pergi, ia mengantar hingga jauh barulah berpisah dengan air
mata berderai. Yu Wi terus menuju ke arah barat menyusuri sungai, terkadang menumpang kapal, sering pula
dia menempuh perjalanan darat. Tanpa kenal lelah akhirnya sampai juga di propinsi Soasay,
tatkala itu sudah masuk bulan kelima, musim panas dengan hawa yang menyengat.
Hek-po atau benteng hitam itu terletak di kota Thay-goan, dengan Pek-po atau kastil putih
yang terletak di utara propinsi Hokkian, Hek-po dan Pek po disebut orang sebagai Lam-pak-ji-po
atau dua kastil di utara dan selatan.
Pocu atau kepala kastil hitam bernama Lim Sam-han, usianya sekitar 50 lebih, pada waktu 30
tahun yang lalu namanya sudah termasyhur di dunia kangouw bersama Pocu kastil putih yang
bernama Bu Ih-hoan.
Pada usia setengah baya Lim Sam han kematian isteri, dia hanya mempunyai seorang anak
perempuan yang dipandangnya laksana permata kayangan.
Ketika Yu Wi masuk ke kota Thay-goan, saat itu waktunya orang makan siang, dilihatnya di
depan ada sebuah Ciulau atau restoran berloteng.
Ia naik ke loteng restoran itu dan memilih tempat duduk yang berdekatan dengan jendela.
Sesudah pelayan mengantarkan arak dan santapan, sembari makan ia memandangi suasana
jalan raya yang sudah dua tahun berpisah itu.
Belum habis ia makan minum, dilihatnya ada serombongan orang persilatan yang membawa
kado berbungkus merah lalu di depan restoran menuju ke barat kota. Diam-diam Yu Wi membatin,
"Di barat kota hanya Hek-po saja yang terkenal di Bu-lim, jangan-jangan di sana sedang
mengadakan perayaan apa-apa?"
Sehabis makan, dilihatnya pula ada beberapa rombongan lagi yang lalu dengan membawa
kado. Cepat-cepat ia membayar harga santapannya, selagi hendak meninggalkan restoran itu,
tiba-tiba di pinggir jalan ada orang memanggilnya, "Kan-kongcu! Kan-kongcu!"
Baju yang dipakai Yu Wi sekarang masih tetap baju warna merah itu, Rupanya warna merah
adalah kegemaran Kan Ciau-bu, setiap orang Bulim yang kenal dia sama tahu Kan-toakongcu tidak
suka pakai baju warna lain kecuali warna merah.
Sekarang Yu Wi masih tetap memakai baju panjang warna merah yang terbuat dari kain aneh
itu, tentu saja orang yang melihatnya akan salah sangka dia sebagai Kan-toakongcu dari Thian-tihu.
SemuIa Yu Wi mengira bukan dirinya yang di panggil, tapi setelah orang itu mendekat ke
sampingnya dan menyapa pula dengan hormat "masihkah Kan-kongcu kenanl Cayhe?" - Baru ia
yakin orang yang dipanggil memang benar dirinya.
Dilihatnya usia orang ini antara 40 tahun, alis tebal, mata besar, muka lebar, berbaju satin
sulam sekali pandang dapat diketahui orang pasti tokoh Bu-lim.
Tentu saja Yu Wi tidak kenal, tapi diketahuinya orang pasti sahabat Kan Ciau-bu, maka sambil
berkerut kening ia berkata, "Saudara ini..."
"Kongcu mungkin sudah lupa pada Hoan Cong-leng dari Wisay?" kata orang itu sambil
Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memberi hormat.
Tiba-tiba Yu Wi ingat salah satu kitab pelajaran kungfu yang pernah dilihatnya di kamar Kan
Ciau-bu di Thian-ti-hu dahulu, sampul kitab itu tertulis "Tay-ho-ciang keluarga Hoan dari Wisay", ia
pikir orang ini tentunya keturunan keluarga Hoan.
Yu Wi merasa tidak enak untuk menjawab tidak kenal, maka hanya menjawab dengan tertawa
"Oya, kiranya Hoan-heng adanya!"
Dengan tertawa gembira Hoan Cong-leng berkata pula, "Cayhe hanya bertemu satu kali
dengan Kongcu di Wisay, tak tersangka Kongcu masih ingat"
Nyata ia merasa bangga bahwa Kan Ciau-bu masih ingat padanya, Dari sini dapat dibayangkan
pula betapa besar pengaruh Kan Ciau bu di dunia persilatan, sedikitnya lantaran dia adalah orang
Thian-ti-hu, maka disegani dan dihormati orang.
"Jauh-jauh Hoan-heng dari Wisay datang ke sini, entah ada keperluan apa?" Yu Wi coba
mencari keterangan.
"Apalagi kalau bukan lantaran perjodohan anak" jawab Hoan Cong-leng dengan gembira, lalu
ia menoleh dan memanggil seorang pemuda gagah "Anak Khong, lekas memberi hormat kepada
Kan-kongcu!"
Pemuda itu sedang asyik bicara dengan kawannya, karena panggilan sang ayah, cepat ia
mendekat kemari.
"lnilah anakku Hoan Tay-khong! Dahulu pernah mendapat petunjuk Kongcu, sampai sekarang
juga dia masih ingat faedah yang diperoleh dari petunjuk Kongcu itu, cuma sayang dia tidak dapat
berkumpul lebih lama dengan Kongcu"
Selagi Hoan Cong-leng mengoceh, Hoan Tay-khong sudah mendekat, ia memberi hormat
kepada Yu Wi sambil menyapa, "Kan-kongcu!"
Yu Wi membalas hormat, katanya dengan tertawa, "Wajah saudara Tay-khong berseri-seri
jelas ada peristiwa bahagia."
"Peristiwa bahagia apa?" jawab Hoan Tay khong. "Dapat bertemu dengan Kan-kongcu
memang peristiwa bahagia."
"Tadi ayahmu bilang kedatangannya ini adalah untuk urusan perjodohanmu, kenapa kau
bilang tidak ada peristiwa bahagia," ujar Yu Wi.
"Ah, itu pun belum pasti jadi, agak terlalu dini bilamana disebut peristiwa bahagia bagiku"
jawab Hoan Tay-khong dengan tertawa.
"Kepandaian anak ini sangat terbatas, kedatangan kami ini sesungguhnya cuma coba-coba dan
untung-untungan saja," tukas Hoan Cong-leng.
"Lho, apakah perjodohan ini mengalami kesulitan dapatkah kubantu barangkali?" tanya Yu Wi
dengan heran. "Terima kasih atas perhatian Kongcu," jawab Hoan Cong-leng dengan tertawa, "Tapi urusan ini
selain dia sendiri tak dapat dibantu oleh siapa pun."
"Urusan apa?" tanya Yu Wi pula,
"Tidakkah Kongcu melihat kota Thaygoan ini mendadak bertambah tidak sedikit tokoh Bu-lim
yang membawa kado?"
"Ya, kulihat beberapa rombongan menuju ke barat kota," jawab Yu Wi.
"Mereka itu sama menuju ke Hek-po untuk melamar," tutur Hoan Cong-leng.
"Melamar" Melamar apa?" Yu Wi jadi melengak.
"Rupanya Kongcu belum mengetahui bahwa akhir-akhir ini di dunia persilatan telah tersiar
sesuatu berita yang menggemparkan."
"Berita apa?" "tanya Yu Wi cepat
"Tempat ini bukan tempat yang baik untuk bicara, marilah kita berduduk saja di rumah minum
sana," ajak Hoan Cong-leng,
Di kota Thaygoan banyak terdapat restoran dan tempat minum, lebih-lebih pada musim panas
begini, di mana-mana tamu memenuhi rumah minum. Mereka bertiga lantas menuju ke sebuah
rumah minum yang berdekatan.
Setelah pelayan membawakan teh dan habis minum secangkir, mulailah Hoan Cong-leng
bertutur, "Hekpo-pocu Lim Sam-ham mempunyai seorang putri kesayangan yang berkepandaian
silat tinggi dan berwajah cantik, apakah Kongcu sudah tahu?"
Berdebar jantung Yu Wi, dengan tidak tenteram ia mengangguk, "Ya, tahu!"
Lalu Hoan Cong-leng menyambung, "Bulan yang lalu mendadak Lim Sam-han mengumumkan
kepada dunia persilatan bahwa dia ingin mencari menantu, maka pendekar muda di dunia
persilatan diharapkan datang melamar..."
Rawan hati Yu Wi katanya di dalam hati "Akhirnya ayahnya hendak menikahkan dia"
Hoan Cong leng menghabiskan dua cangkir teh pula, lalu menyambung ceritanya, "Lim Sam
han kuatir ksatria muda yang cakap tidak niat datang melamar, maka dia menambahkan
perangsang dalam sayembara yang diadakannya, yaitu barang siapa yang terpilih sebagai
menantunya maka Lim Sam-han sendiri akan mengajarkannya semacam ilmu sakti, ditambah
hadiah satu biji Pi-tok-cu (mutiara penawar racun) dan emas seratus longsong."
"Oo, makanya Hoan heng juga membawa putramu kemari untuk melamar" ucap Yu Wi sambil
tetsenyum getir.
Muka Hoan Cong-!eng menjadi merah, katanya dengan kikuk, "Bukanlah kami mengincar Pi--
tok-cu dan emasnya, sesungguhnya lantaran kami dengar puteri Lim Sam-han itu memang cantik
dan bijak, usia anakku juga sudah cukup untuk dicarikan jodoh."
Dalam hati Yu Wi membatin bilamana orang she Hoan ini tidak mengincar ilmu sakti yang
dimaksudkan Lim Sam-han, tidak nanti dia membawa anaknya ke sini dari Wisay yang jauh itu.
Karena itu, diam-diam ia memandang rendah kepribadian orang she Hoan ini, timbul rasa
jemunya kepada mereka, tanpa terasa sikap kurang senang ini pun terunjuk pada air mukanya.
Tapi Hoan Cong leng belum lagi tahu, katanya, "Ksatria muda dunia Kangouw yang datang ke
sini entah berapa banyak, hari inilah hari yang ditetapkan, Lim Sam-han akan memilih calon
menantu yang berkepandaian tinggi dan berwajah cakap."
"Kepandaian Tay-khong teramat rendah, tidaklah mudah bagiku untuk terpilih," demikian Hoan
Tay-khong menukas dengan rendah hati.
"Beruntung sekarang bertemu dengan Kan-kongcu, apabila Kongcu sudi memberi petunjuk
barang satu-dua jurus, harapan anak ini untuk terpilih tentu akan bertambah besar," kata Hoan
Cong-leng dengan tertawa.
Yu Wi menggeleng, ucapnya dengan kurang senang, "Aku kurang enak badan, biarlah lain hari
kita bicara lagi."
Baru sekarang Hoan Cong-leng melihat perubahan air muka Yu Wi itu, ia tahu tabiat Kantoakongcu
terkenal sombong dan sukar diraba, ia menjadi kuatir kalau terjadi apa-apa, cepat ia
berbangkit dan mohon diri.
Yu Wi tidak ingin berkumpul dengan mereka, ia hanya mengangguk saja.
Seperginya Hoan Cong-leng berdua, Yu Wi duduk pula sejenak, ia menghela napas, lalu suruh
pelayan menghitung uang minuman, tapi rekeningnya ternyata sudah dibayar oleh Hoan Congleng.
Sekeluarnya dari rumah minum itu, tanpa terasa Yu Wi berjalan menuju ke barat kota,
keadaan sepanjang jalan masih seperti dahulu, tanpa terasa ia terkenang pada masa kanak-kanak
dulu.Hanya beberapa li, dari jauh sudah kelihatan Hek-po atau benteng hitam yang membentang di
tempat ketinggian, benteng itu dibangun membelakangi gunung, keadaannya sangat strategis.
Pada jalan yang menuju ke benteng hitam itu, kedua sisi jalan tertanam barisan pohon Gui
atau tanjung yang besar-besar, berada di tengah pohon tanjung itu, pikiran Yu Wi semakin
bergolak, terbayang olehnya pada waktu keciinya, hampir tiap hari bermain di sini bersama si dia.
Di depan salah satu pohon tanjung yang besar itu, tanpa terasa Yu Wi meraba pohon itu,
seketika telinganya seolah-olah mendengar pula suara seorang anak perempuan lagi berseru
padanya. "Siau Wi, panjatlah ke atas, coba lihat lubang di atas pohon itu, adakah siluman yang
sembunyi di sana?"
Mungkin pohon tanjung itu pernah disamber petir sehingga terbakar hangus, pada bagian
cabang dahan di atas menjadi keropos dan berlubang yang cukup dalam, Setiap kali setelah Yu Wi
disuruh memanjat ke atas, tentu si dia bertanya apa isi lubang di atas pohon. Bila Yu Wi bilang
tidak terdapat apa-apa, si dia tidak percaya dan berseru "Ah, masa, di situ pasti ada silumannya!"
Kalau sudah didesak lagi hingga kewalahan, sering Yu Wi menjawab, "Jika tidak percaya, boleh
kau memanjat ke atas dan periksa sendiri."
Tapi si dia tidak berani, selalu Yu Wi didesak memanjat lagi dan begitu seterusnya.
Tengah melamun, mendadak seorang membentaknya dari belakang, "Hai, apakah kau ini
orang Hek-po?"
Yu Wi berpaling, dilihatnya orang yang bersuara ini bertubuh tinggi besar. Padahal Yu Wi
sendiri cukup tegap, tapi masih kalah tinggi satu kepala dibandingkan orang ini.
Tubuh orang ini sungguh tegap kuat, kulit badannya yang kehitam-hitaman berpadu dengan
wajahnya yang tampak lugas sehingga sama sekali tidak menimbuKan rasa takut orang lain,
sebaliknya malah menimbulkan rasa menyenangkan.
Yu Wi lantas menggeleng dan menjawab, "Aku bukan orang Hek-po, kau ingin mencari siapa?"
Lelaki gede ini tetap bicara dengan suara keras, "Kami datang untuk mengikuti sayembara!"
Yu Wi memandang ke sana, betul juga dilihatnya ada lima orang pengiringnya, semuanya
membawa kado yang berharga, tampaknya lelaki gede ini bukan orang Lok-lim (kaum bandit), tapi
lebih mirip keturunan keluarga ternama.
"Apakah kau juga hendak ikut sayembara?" tanya lelaki gede itu.
Yu Wi tertawa dan tidak menjawab.
"Kami she Be, turun temurun tinggal di Loh-tang (Soa-tang), namaku Tay-sing," demikian
lelaki gede itu memperkenalkan diri, "Jika saudara juga datang untuk ikut sayembara, bagaimana
kalau kita sama-sama masuk benteng sana?"
Dari suara orang yang keras pada waktu bicara barulah Yu Wi tahu bahwa lelaki ini memang
mempunyai kerongkongan besar pembawaan. Segera teringat olehnya di Lohtang ada suatu
keluarga ternama di dunia persilatan, dengan tertawa ia lantas tanya, "Apakah saudara ini
keturunan keluarga Be di Lohtang yang terkenal nomor satu dengan Imu pukulan Pi-san-ciang?"
Be Tay-sing tertawa senang dan mengangguk, katnnya, "Ah, Pi-san-ciang mana dapat disebut
nomor satu, hanya bernama kosong belaka!"
Melihat watak orang yang polos dan suka terus terang ini, timbul rasa simpati Yu Wi, ia pun
memperkenalkan diri, "Cayhe Yu Wi dari Soasay sini, aku memang hendak pergi ke Hek-po untuk
menyelesaikan sesuatu urusan, kebetulan kita dapat pergi bersama."
Begitulah keduanya lantas berjalan menuju Hek-po sambil bersendau-gurau. Hanya sebentar
saja mereka sudah berada di depan kastil hitam, Terlihatlah dinding yang tinggi itu dibangun
dengan batu hitam mulus, di sekitar pintu gerbang yang juga dicat hitam berdiri belasan penjaga
berseragam hitam, semuanya serba hitam, cocok benar dengan namanya Hek-po atau kastil
hitam. Belum lagi dekat, dari dalam pintu gerbang muncur seorang lelaki kurus setengah umur dan
juga berseragam hitam, wajahnya kelihatan licin dan banyak akal.
Segera Yu Wi mengenalnya sebagai "otak" Pocu, namanya Ho To-seng, karena tipu akalnya
yang tidak pernah habis, orang memberi julukan "Say Cukat" atau si Khong Beng padanya. Khong
Beng adalah seorang ahli pikir dan ahli siasat di jaman Sam Kok.
Ketika tiba-tiba melihat seorang pendatang yang menyerupai Yu Wi yang dahulu tinggal di
Hek-po sini, diam-diam Ho To-seng curiga juga.
Tapi ia tak berani menegurnya melainkan bertanya dengan mengiring tawa, "Ksatria dari
manakah tuan-tuan ini?"
"Cayhe she Be dari Lohtang," sahut Be Tay-sing.
Keluarga Be dari Lohtang memang cukup terkenal di dunia Kangouw, Ho To-seng terkesiap
dan cepat menyapa, "O, kiranya Be heng, silakan masuk, silakan masuk!"
Be Tay-sing memandang Yu Wi sekejap, melihat kawan itu berdiri diam saja, maka ia pun
tetap berdiri di situ, maksudnya akan menunggu Yu Wi untuk masuk bersama.
Melihat Yu Wi berdiri angkuh di situ tanpa bicara, diam-diam Ho To-seng mendongkol dengan
kurang senang ia lantas menegur, "Dan apakah Anda?"
"Hm, orang macam kau juga sesuai tanya namaku?" jengek Yu Wi.
Air muka Ho To-seng berubah, selagi ia hendak balas mendamperat, sekonyong-konyong
berlari keluar satu orang dan berkata dengan suara tertahan, "Hu heng tidak perlu tanya lagi, dia
ini Kan-toa kongcu dari Thian-ti hu!"
Ho To-seng terkejut, ia menjadi heran di dunia ini ternyata ada orang semirip ini, pantas
setelah pulang tempo hari Thian-mo Wi Un-gai memberi laporan bahwa Kan-toakongcu hakikatnya
sukar dibedakan daripada Yu Wi, keduanya seperti pinang dibelah dua, seperti saudara kembar.
Orang yang baru keluar ini pendek gemuk, segera Yu Wi mengenalnya sebagai Thian-mo Wi
Un-cai, namun dia tenang-tenang saja.
Wi Un-gai lantas mendekatinya dan menyilahkan dengan tertawa, "Kan-kongcu berkunjung ke
benteng kami, entah ada keperluan apa?"
Padahal dia tahu setelah serbuannya ke Thian-ti-hu dahulu mengalami kegagalan, permusuhun
antara Thian-ti-hu dan Hek-po sudah sukar didamaikan lagi, Maka kedatangan "Kan Ciau-bu"
sekarang jelas tidak bermaksud baik, Namun dia sengaja berlagak tenang, seakan-akan sudah
melupakan peristiwa dahulu itu.
Dalam pada itu mendadak Be Tay-sing menye!a, "Aneh! sudah jelas Hek-po mengumumkan
secara terbuka agar para ksatria di dunia ini ikut sayembara perjodohan anak puterinya, lalu untuk
apa kedatangan kami ini kalau bukan untuk urusan ini?"
Tergerak hati Wi Un-gai, tanyanya dengan dingin, "Kedatangan Kan-heng ini apakah juga
hendak mengikuti sayembara?"
Sebenarnya Yu Wi hendak langsung menyatakan dirinya bukan Kan Ciau-bu, tapi demi
kelancaran membalas dendam, ia sengaja membungkam, tidak mengiakan juga tidak menyangkal.
Be Tay-sing menjadi aseran melihat sikap Wi Un-gai itu, ia berkata pula, "Dengan sendirinya
kami hendak ikut sayembara, apakah begini cara pihak Hek-po menyambut tamunya?"
Sudah lama Wi Un-gai mendengar tabiat Kan toakongcu yang sombong, dingin dan tidak kenal
belas kasihan, juga tidak suka banyak bicara, maka diam-diam ia membatin jangan-jangan Kan
Ciau-bu juga tertarik oleh kecantikan puteri Pocu dan datang untuk mengikuti sayembara
pemilihan calon menantu"
Mengingat kemungkinan ini memang bisa terjadi, ia tidak berani bersikap kasar lagi, cepat ia
memberi hormat dan berkata, "Silakan masuk, silakan!"
Dengan kereng Be Tay-sing lantas masuk ke dalam benteng bersama Yu Wi. Mendadak
seorang penjaga berteriak, "Lekas laporkan Kan Ciau-bu dari Kim-leng dan Be Tay-sing dari
Lohtang tiba!"
Dua orang berseragam hitam segera meloncat ke atas kuda dan dilarikan secepat terbang ke
engah benteng sana.
"Saudaraku," tanya Be Tay-sing dengan ragu, tadi kau mengaku sebagai Yu Wi dari Soasay,
mengapa mereka selalu menyebut engkau Kan Ciau-bu dari Kimleng?"
Yu Wi tertawa jawabnya, "Asalkan Be-heng hanya anggap aku ini Yu Wi dari Soasay, biarkan
mereka akan menyebut apa padaku."
Watak Be Tay-sing memang lugu dan tidak suka mencari tahu urusan orang lain, ia pikir
sekalipun dia ini Kan Ciau-bu dari Kimleng lantas mau apa" Maka ia pun tidak banyak omong lagi.
Hek-po ini sangat luas, serupa sebuah kota kecil, penduduknya kurang lebih tiga ribu jiwa,
kebanyakan adalah pendatang yang minta belajar silat kepada Lim Sam-han, pemilik kastil hitam
ini. Maklumlah, nama Lim Sam-han cukup menonjol di dunia persilatan, juga ilmu silatnya sangat
disegani, maka tidak sedikit anak muridnya.
Begitulah si Khong Beng Ho To-seng sendiri lantas mengantar Be Tay-sing dan Yu Wi ke
sebuah bangunan yang sangat megah, di ruang pendopo yang luas itu sudah hiruk-pikuk, jelas
sudah berkumpul tidak sedikit tokoh persilatan dari berbagai penjuru.
Sebuah gapura besar melintang di depan bangunan megah itu dan tertulis empat huruf besar
"Su-hay-hun-cip", artinya dari empat pejuru takuti berkumpul di sini.
Selagi Be Tay-sing membaca tulisan di gapura itu, tiba-tiba menyongsong keluar serombongan
orang, yang paling depan adalah seorang pendek setengah umur, berwarjah kereng, berjubah
warna hitam bersulam, jenggotnya panjang sebatas dada.
Melihat orang ini, seketika darah Yu Wi mendidih tapi di tengah rasa murkanya terkandung
pula rasa jeri.
"Inilah pocu kai, Lim Sam-han!" demikian Hong To-seng memperkenalkan tuannya.
Melihat Yu Wi, Lim Sam-han juga sangsi, tapi lahirnya dia tetap tenang saja, dengan gaya
simpatik ia menyapa dengan tersenyum, "Atas kunjungan Kan kongcu dan Be-siauya ke benteng
kami ini, sungguh suatu kehormatan bagi kami."
Di antara para hadirin yang kebanyakan terdiri dari anak muda yang ingin ikut sayembara itu,
ketika mendengar Kan-toakongcu dari Thian ti-hu juga tiba, hampir semua orang ingin melihat
macam apakah tokoh Thian-ti-hu yang sudah berpuluh tahun menonjol di dunia persilatan ini.
Dengan suara lantang Be Tay-sing menjawab dengan tertawa, "Terima kasih atas sambutan
Pocu." Tanpa bicara Yu Wi ikut Be Tay-sing masuk ke ruang besar sana.
Nama Kan Ciau-bu memang sangat terkenal, maka orang tidak heran melihat sikapnya yang
angkuh itu. sebaliknya diam-diam Lim Sam-han merasa waswas, ia pikir, "Kedatangan Toakongcu
dari Thian ti hu ini jangan-jangan untuk urusan serangan kami dahulu itu. Jika benar untuk urusan
ini, tidakkah terlalu latah jika ia datang sendirian"
Diam-diam ia lantas memerintahkan Ho To-seng agar ber-jaga2 segala kemungkinan, bukan
mustahil pihak Thian-ti-hu sudah mengerahkan jago-jago pilihan dan akan menyerang dari luar
dan dalam. Setelah semua orang berduduk, sejenak kemudian perjamuan pun dimulai, Meja perjamuan
terbagi menjadi dua baris, hanya sebuah meja di tengah ruangan, di situlah Lim Sam-han
berduduk didampingi dua orang kakek yang rata-rata berusia lebih 70 tahun, Kakek yang sebelah
kiri bermuka lancip seperti kepala burung, pakaiannya sangat mentereng, tangan memegang pipa
tembakau yang panjang mengkilap, terus menerus ia sedang udut.
Sedangkan kakek sebelah kanan berpotongan "cukong", perut buncit, muka tembam dan
selalu tertawa, jenggotnya yang bercabang tiga itu dielus-elus tanpa berhenti, tampaknya seorang
yang tidak mahir kungfu.
Yu Wi duduk bersanding Be Tay-sing di sisi sana. ia tidak kenal siapa kedua kakek yang duduk
bersama Lim Sam-han itu, ia lihat tamu yang berkumpul ini ada 50 orang lebih, ia pikir para
ksatria muda seluruh dunia (negeri) mungkin sudah berkumpul di sini.
Sejenak kemudian, Lim Sam-han berdiri sambil memegang cawan arak, serunya, "Lebih dulu
Lim Sam-han mengucapkan terima kasih afas kunjungan para ksatria, marilah kita minum bersama
batu cawan sebagai tanda hormatku!"
Para tamu berbangkit dan menenggak arak bersama.
Lalu Lim Sam-han berucap pula, "Kunjungan para ksatria ini jelas untuk mengikuti sayembara
yang sudah kusiarkan itu, untuk mana tentunya akan terjadi pertandingan maka sengaja ku
undang dua orang Susiok untuk menjadi wasit, diharap para peserta sayembara hanya bertanding
asalkan menyentuh lawan saja dan jangan sampai saling melukai"
Mendengar bahwa kedua kakek di samping Lim Sam-han itu adalah Susiok atau paman
gurunya, Yu Wi merasa heran, sebab selama dia tinggal di Hek-po dahulu kenapa belum pernah
dilihatnya, Kalau betul mereka itu paman guru Lim Sam-han, mungkin maksudnya menuntut balas
akan sukar tercapai.
Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendadak di antara para hadirin seorang pemuda berwajah pucat berseru dengan tertawa
latah, "Kedatangan kami untuk ikut sayembara ini adalah karena mendengar kabar puteri Pocu
cantik molek, namun betulkah molek belum lagi diketahui, bilamana boleh, diharap Lim-siocia sudi
tampil ke muka agar kita dapat melihat kecantikannya."
Lim Sam-han terbahak, ucapnya, "Jika 0ng-siauhiap yang minta, dengan sendirinya akan
kuperlihatkan anak perempuanku."
Segera ia memberi pesan kepada Ho To-seng yang berdiri di belakangnya.
Tidak lama setelah Ho To-seng pergi terciumlah bau harum semerbak, serentak semua orang
sama menegakkan leher ingin tahu bagaimana nona cantik yang termashur di dunia Kangouw ini.
Terdengar suara denting gelang kaum wanita lebih dulu muncul empat pelayan berbaju hijau,
di belakangnya menyusul seorang gadis berbaju merah dengan potongan tubuh yang ramping dan
kepala tertunduk.
Melihat si gadis baju merab, seketika jantung Yu Wi berdetak keras. Sudah dua tahun tidak
bertemu, entah bagaimana keadaan si dia"
Sampai di depan sang ayah, gadis baju merah masih menunduk sehingga para tamu tidak
dapat melihat bagaimana wajahnya, semua orang rada kecewa.
"Anak Kiok, coba angkat kepalamu!" kata Lim Sam-han.
Semua orang mengira si nona tentu akan menengadah, siapa tahu ucapan Lim Sam-han
seakan-akan tidak didengarnya, dia masih tetap menunduk.
Lim Sam-han tampak kurang senang, ucapnya pula, "Anak Kiok, kenapa tidak angkat
kepalamu?"
Baru sekarang si nona mengangkat kepalanya perlahan dengan ogah-ogahan. Maka
tertampaklah raut wajah yang cantik mempesona.
Terdengar suara kagum dan memuji bergema di seluruh ruangan, bahkan Be Tay-sing yang
polos juga memuji dengan suara tertahan, "Sungguh anak dara yang cantik...."
Yu Wi juga sudah melihatnya, tapi yang dilihatnya bukan wajah yang cantik mempesona itu
melainkan dua titik air mata yang masih membasahi pipi si nona.
Hati Yu Wi terasa sakit, ia tahu apa artinya kedua titik air mata itu, ia pun melihat, selama dua
tahun ini si dia memang bertambah cantik, tapi juga bertambah kurus.
Yu Wi tidak tega memandangnya lagi, ia berpaling ke arah lain. Didengarnya Lim Sam-han lagi
berkata, "Anak Kiok, duduklah di samping ayah"
Seperti orang linglung, nona baju merah itu mendekati Lim Sam-han, Melihat tingkah-lakunya
yang memelas itu, semua orang merasa si nona bertambah menggiurkan dan sama menghela
napas gegetun. Nona baju merah lantas duduk di samping ayahnya, keempat pelayan menunggu di sekitarnya,
Paru tamu juga duduk dengan membusungkan dada, semuanya ingin mendapat perhatian si
cantik. Dengan tertawa Lim Sam-han lantas berseri "Nah, sekarang siapa yang akan turun kalangan
lebih dulu!"
Serentak satu orang melompat maju ke tengah ruangan, ternyata seorang pemuda berumur
tiga puluhan, bertubuh tinggi kurus.
"Cayhe Hoa Put-li, silakan siapa lagi yang akan memberi petunjuk lebih dulu?" seru pemuda
jangkung ini. Melihat orang ini masih asing, di dunia persilatan tidak pernah terdengar ada seorang tokoh
bernama Hoa Put-li, maka kebanyakan orang ingin menarik keuntungan lebih dulu, segera seorang
pendekar muda dari Hoa-san-pay melompat keluar, serunya dengan gagah perkasa, "Cayhe Pang
Put-pay dari Hoan-san, ingin kubelajar kenal dengan kungfu Anda!"
"Pang Put-pay (tanggung tidak kalah)" Huh, lucu benar namamu!" jengek Hoa Put-li, padahal
dia sendiri bernama Put-li, artinya tidak beruntung.
Karena ejekan orang, Pang Put-pay menjadi gusar, sekaligus kedua kepalannya menghantam
dada Hoa Put-li, hantaman yang keras dan mematikan.
Tampaknya kungfu Hoa Put-li tidak luar biasa, dia bergerak dengan teratur, setiap serangan
lawan selalu dipatahkannya dengan jitu.
Kalau melihat gayanya, tampaknya Hoa Put-li bukan tandingan ilmu pukulan Hoa-san-pay yang
dilontarkan Pang Put-pay, tapi gerak tubuh Hoa Put-li sangat gesit, bahkan tenaga dalamnya kuat,
setiap serangan maut lawan selalu dapat dihindarkannya.
Tidak lama kemudian 64 jurus pukulan Pang Put pay sudah habis dilontarkan seketika gerakgeriknya
mulai lamban, Kesempatan itu tidak disia-siakan Hoa Put-li, mendadak ia melancarkan
suatu pukulan aneh, "plak", pundak belakang Pang Put-pay tertonjok olehnya.
Pang Put-pay tidak malu sebagai anak murid golongan terhormat, begitu kalah segera ia
melompat mundur sambil berseru, "Cayhe sudah kalah!"
"Eh bagaimana" Bukankah kau bernama Pang Put-pay?" demikian Hoa Put-li mengejek pula.
Tentu saja muka Pang Put-pay merah padam, ia merasa malu untuk tinggal lebih lama di situ,
segera ia berlari pergi meninggalkan Hek-po.
Diam-diam para hadirin merasa ejekan Hoa Put-li itu terlalu menusuk perasaan Pang Put-pay,
tapi seketika tidak ada yang maju lagi, rupanya semua orang berpikiran sama, yakni ingin
memiara tenaga untuk maju pada babak terakhir.
"Ayo, siapa lagi yang maju"!" teriak Hoa Put-li dengan temberang.
Melihat semua orang sama bersikap tunggu dan lihat, mendadak Lim Sam-han berkata,
"Setelah Ong-siauhiap minta lihat anak perempuanku, kenapa sekarang tidak turun kalangan,
apakah anak perempuanku kurang berharga bagimu?"
Ong-siauhiap yang dimaksudkan itu bernama Ong Jun-say, keturunan keluarga guru silat she
Ong di 0hpak. ilmu pedang keluarganya, Bwe hoa-kiam, sudah terlatih cukup sempurna. Tapi
dasar anak muda bangor, dia terlalu banyak minum arak dan main perempuan, meski masih
muda, namun badannya sudah keropos.
Karena didesak oleh ucapan Lim Sam-han ini, mau-tak-mau Ong Jun-say tampil ke muka dan
melolos pedangnya.
Hoa Put-li menggeleng, katanya, "Selamanya Cayhe tidak memakai senjata, tapi kaluu kau
biasa bersenjata, bolehlah kau serang saja dengan pedangmu, kalau tidak tentu takkan kentara
bagusnya kungfu keluargamu."
Meski ucapan lawan lebih bersifat olok-olok, namun Ong Jun-say tidak berani membuang
pedangnya, sebab segenap kepandaiannya hanya terletak pada ilmu pedangnya saja, sekarang
demi memperebutkan isteri cantik, ia tidak menghiraukan nama dan kehormatan lagi, segera ia
pasang kuda-kuda, pedang bergerak, ia menusuk menurut gaya serangan Bwe-hoa-kiam.
Hoa Put-li juga berganti gaya pukulan, dia menyelinap kian kemari di bawah sinar pedang
lawan, meski terkadang kelihatan berbahaya, tapi Ong Jun-say tidak mampu melukainya.
llmu pedang Ong Jun-say cukup lihay, tapi
Harpa Iblis Jari Sakti 15 Asmara Berdarah karya Kho Ping Hoo Bukit Pemakan Manusia 16