Pencarian

Pendekar Kembar 9

Pendekar Kembar Karya Gan K L Bagian 9


bah banyak, meski cuma sedikit yang yakin akan menang bertanding, yang lebih
banyak adalah sebagai peninjau saja.
Sebab itulah bila hari Toan-yang tiba, Pek-po yang biasanya sepi itu seketika menjadi ramai.
Pertemuan besar para pahlawan seperti ini seluruhnya sudah sembilan kali diselenggarakan
oleh Oh Ih-hoan, kini adalah kesepuluh kalinya, jadi boleh dikatakan perayaan dasa-warsa, karuan
dirayakan secara besar2an dan suasana pun jauh lebih meriah daripada tahun-tahun sebelumnya.
Menjelang lohor, para ksatria yang hadir sudah lebih dari lima ratus orang. Sehabis perjamuan
siang, dilapangan didepan Pek-po upacara lantas dimulai. Sebagai pembukaan, murid sang Pocu
tampil kemuka untuk bertanding dengan para peminat.
Tapi meski jago yang hadir sangat banyak, namun yang berani turun kalangan ternyata sangat
sedikit, sekalipun ada yang coba-coba maju hanya dalam waktu singkat juga lantas keok.
Maklumlah, tujuan Pocu kita adalah ingin tahu ksatria didunia ia sanggup tidak mengalahkan
Toan-bun-to, maka begitu mulai bergebrak, kontan ilmu golok andalan tuan rumah lantas
dikeluarkan. Toan-bun-to seluruhnya meliputi 64 jurus, bila 64 jurus itu selesai dimainkan dan penantang
tak dapat mengalahkannya, maka pertandingan itupun dianggap berakhir.
Sampai senja tiba, matahari sudah terbenam, dari ke delapan belas murid Pocu yang turun
kalangan itu sudah seluruhnya bertanding ratusan kali, tapi belum ada seorangpun penantang
yang mampu mengalahkan ke-64 jurus Toan-bun-to, tampaknya tahun inipun akan serupa dengan
kesembilan tahun yang lalu, tiada seorang pun berhasil mendapatkan hadiah selaksa tahil emas.
Diam-diam Pocu Oh-Ih-hoan merasa senang, ia pikir meski Toan-bun-to bukan ilmu golok
nomor satu didunia, namun lumayanlah jika sejauh ini tetap tidak terkalahkan.
Dilihatnya ke delapan belas muridnya semuanya tangkas dan cekatan dengan ilmu golok
ajarannya, walaupun diantara hadirin itu ada juga jago silat kawakan, namun juga tidak mampu
mengalahkan ilmu golok andalannya itu dalam 64 jurus, diam-diam ia membatin bila dirinya yang
tampil sendiri, jangankan hendak mengalahkan dia, untuk bertahan dan tidak kalah saja mungkin
tidak ada seorang pun diantara para penantang itu.
Selagi Oh Ih-hoan merasa senang, mendadak didengarnya muridnya yang tertua Ting Hu-san,
menjerit kesakitan, para hadirin yang berkerumun itu segera ada yang berteriak, "Aha, kalahkan
dia! Kalahkan dia sekarang!. . . . ."
Air muka Oh Ih-hoan berubah hebat, cepat ia turun kalangan dan bertanya, "Ksatria mana
yang menang"!"
Para penonton juga ikut berkerumun lebih dekat, ada yang berseru, "Sungguh hebat, masih
muda belia sudah dapat mengalahkan Toan-bun-to!"
Ada lagi yang berkata, "Yang lebih hebat lagi adalah kemenangannya hanya dilakukannya
dalam waktu sepuluh jurus saja, sungguh lihai!"
"Huh, tampaknya Toan-bun-to tidak lebih juga cuma begini saja," demikian ada pula yang
mengejek, "Hah, mungkin hanya mimpi belaka jika Toan-bun-to ingin disebut sebagai ilmu golok
yang tak terkalahkan."
"Dahulu tidak pernah ada orang kosen ikut bertanding, kalau tidak, kukira Pocu tidak perlu
menyelenggarakan pertandingan ini hingga sepuluh kali." demikian ada yang menambahkan lagi.
Sudah tentu hai Oh Ih-hoan sangat tidak enak mendengar sindiran-sindiran itu, ia
menyingkirkan orang-orang yang berkerumun itu dan masuk ketengah kalangan, dilihatnya
muridnya yang tertua, yaitu Ting Hu-san berdiri lesu disitu sambil memegangi pergelangan tangan
kanan, melihat kemunculan sang guru, dengan malu ia berkata, "Ampun Suhu, murid tidak becus!"
"Menyingkir kau!" bentak Oh Ih-hoan sambil memberi tanda.
Dengan menunduk kepala Ting Hu-san menyusup pergi ditengah kerumunan orang banyak,
masih ada empat partai disamping sana yang dilakukan oleh murid Oh Ih-huan yang lain, tapi
sekarang pun sudah berakhir.
Segera Oh Ih-huan berkata kepada mereka, "Kalianpun tidak perlu bertempur lagi, para hadirin
dipersilakan kembali dulu ketempat duduknya masing-masing!"
Sejenak kemudian suasana dilapangan itu baru bisa tenang kembali, para hadirin sama ingin
tahu cara bagaimana sang Pocu akan menyelesaikan pertandingan ini, apakah jadi membayar
hadiah selaksa tahil emas kepada pemuda yang menang itu"
Terlihat Oh Ih-hoan sedang berhadapan dengan seorang berumur 21 atau 22 tahun dan
berbaju merah, tanyanya, "Mohon tanya siapa nama Kongcu yang mulia?"
"Yu Wi," jawab pemuda itu.
Kiranya Yu Wi telah membeli seekor kuda bagus, tidak sampai dua bulan dia sudah sampai di
Hokkian. Karena Toan-yang sampai bulan delapan masih ada waktu luang tiga bulan, ia lantas
pesiar ke-tempat2 indah di sepanjang perjalanan. Ketika mendengar ada pertemuan besar di Pekpo
ia pun ikut berkunjung kesini.
Mendengar pemuda baju merah ini mengaku she Yu, diam-diam hati Oh Ih-hoan merasa tidak
enak, Apalagi melihat air muka anak muda itu jelas maksud kedatangannya tidaklah baik.
"Apakah kau yang mengalahkan muridku?" tanya Oh Ih-hoan dengan ketus.
"Jika tidak percaya, boleh kau suruh orang she Ting itu mengulang bertanding lagi." jawab Yu
Wi tanpa sungkan.
"Ke-delapan belas muridku paling-paling baru menguasai empat bagian Toan-bun-to ajaranku,
bukan sesuatu yang luar biasa jika dapat mengalahkan mereka." kata Oh Ih-hoan.
Seketika terdengar suara ejekan disana-sini, para hadirin sama mencemoohkan ucapan sang
Pocu yang bernada tidak mengakui kemenangan Yu Wi itu, apakah karena dia merasa berat untuk
membayar hadiah selaksa tahil emas"
Oh Ih-hoan memberi hormat pada hadirin dan berkata, "Atas kesudian para hadirin yang
berkunjung kesini, sungguh orang she Oh merasa sangat berterima kasih. Bahwa saudara cilik she
Yu ini telah mengalahkan muridku, sepantasnya kunyatakan dia sebagai pemenang, tapi lantaran
Toan-bun-to yang kuajarkan ini belum lengkap dipelajari oleh beberapa muridku, apabila saudara
Yu Ini mampu mengalahkan puteraku barulah benar-benar dia telah mengalahkan Toan-bun-to."
Seorang jago tua yang ikut hadir lantas berbangkit dan berseru, "Jika demikian, jadi putera
anda telah berhasil menguasai Toan-bun-to dengan sempurna?"
Oh Ih-hoan mengangguk, jawabnya, "Betul, jika saudara cilik ini dapat mengalahkan puteraku
barulah kuakui Toan-bun-to dikalahkan benar-benar oleh dia."
Tanpa pikir Yu Wi lantas berkata, "Jika begitu, lekas suruh anakmu maju untuk bertanding."
Mendadak seorang pemuda cakap berbaju putih maju ketengah kalangan sambil memanggil
ayah kepada Oh Ih-hoan.
"Anak Sing, boleh kau minta petunjuk kepada Yu-toako," kata Oh Ih-hoan.
Pemuda berbaju putih itu memang putera tunggal Oh Ih-hoan, namanya Oh Thian-sing. Dia
menanggalkan jubah putihnya sehingga kelihatan pakaian dalam yang ringkas yang juga berwarna
serba putih. Dalam pada itu ada centeng buru-buru mengantarkan golok tipis mengkilat. Setelah menerima
golok itu, Oh Thian-sing lantas pasang kuda-kuda dan berseru, "Silakan memberi petunjuk!"
Yu Wi melolos pedang kayu dan menjawab dengan prihatin, "Silakan menyerang dulu!"
Oh Thian-sing tidak sungkan, kontan goloknya membacok. Namun Yu Wi tidak bergerak.
Baru setengah jalan Oh Thian-sing membacok, mendadak tangannya berputar dan golok
ditarik kembali. Ia merasa heran pihak lawan dapat mengenali jurus serangannya yang pertama
itu hanya serangan kosong, diam-diam ia membatin, "Apakah orang ini paham Toan-bun-to-hoat?"
Belum lagi dia mengeluarkan jurus kedua, didengarnya Yu Wi berkata dengan tertawa, "Dan
jurus berikutnya tentunya 'Siau-li-cong-to'(di balik tertawa bersembunyi golok)!"
Keruan Oh Thian-sing terperanjat, walaupun tahu pihak lawan telah kenal jurus serangannya
yang kedua, tapi ia tetap menabas dari samping. Segera pedang Yu Wi menusuk golok lawan.
Jurus "Siau-li-cong-to" itu sebenarnya adalah serangan maut, tebasan dari samping itu hanya
pancingan belaka, bila lawan tidak tahu dan meremehkan serangan tersebut, ketika
menangkisnya, mendadak tebasan golok akan meluncur kebawah dan menabas tangannya.
Tapi sekarang Yu Wi tidak menangkis melainkan menggunakan pedang kayu untuk menusuk
golok lawan. Jelas dia sengaja memojokkan Oh Thian-sing agar tidak mampu mengganti serangan
lain, jelas pula ia sudah tahu bagaimana jurus berikutnya setelah jurus Siau-li-cong-to.
Memang benar, segera Yu Wi berseru pula, "Dan selanjutnya adalah jurus Ki-hwe-jian-bi, Tingnio-
cap-so dan Put-ci-put-li!"
Bahwa lawan ber-turut2 menyebut lagi tiga jurus serangan berikutnya, hal ini selain membuat
kejut Oh Thian-sing, diam-diam ia pun merasa ngeri.
Air muka Oh Ih-hoan yang menyaksikan disamping juga berubah kelam, sungguh ia tak habis
mengerti cara bagaimana Yu Wi paham ilmu golok andalannya itu"
Begitulah dengan enteng saja Yu Wi dapat mematahkan ketiga jurus serangan lawan,
menyusul ia menyebutkan pula jurus seranan Oh Thian-sing berikutnya.
Keadaan demikian jadinya tidak mirip orang yang sedang bertanding, melainkan lebih
mendekati orang yang sedang berlatih, seperti Yu Wi sedang mengajar permainan golok kepada
Oh Thian-sing, setiap kali ia menyebut nama jurusnya dan segera Oh Thian-sing memainkannya.
Ketika dia menyebut nama jurus ke-50, Thian-sing benar-benar mati kutu, saking cemasnya
hingga dahinya penuh butiran keringat. Ia heran mengapa Yu Wi sedemikian paham terhadap
Toan-bun-to-hoat bkan saja tahu urutan-urutan jurus serangannya, bahkan tahu jelas dimana
letak kelemahan, setiap kali pedangnya menusuk, kontan serangan golok lantas dipatahkan.
Dalam keadaan demikian biarpun ayah sendiri yang turun tangan juga tak dapat berkutik.
Kini Oh Thian-sing tidak lagi berani berpikir akan menang, mendingan kalau berlangsung 14
jurus lagi dan dapat bertahan tanpa terkalahkan, lalu mundur teratur, maka selaksa tahil emas
pun dapat diselamatkan.
Diluar dugaan, ketika jurus ke-51 mulai berjalan, Yu Wi tidak lagi menyebut nama jurusnya,
tapi berseru, "Awas, aku akan melancarkan serangan balasan!"
Thian-sing menyadari bilamana lawan melancarkan serangan balasan, maka serangannya pasti
sangat lihai. Cepat ia ganti permainan goloknya.
Legalah hati Oh Ih-hoan melihat anaknya telah ganti permainan goloknya, ia pikir bocah she
Yu itu mungkin cuma mimpi belaka jika ingin mengalahkan Thian-sing.
Yu Wi tahu jurus ke-51 dari Toan-bun-to-hoat adalah "Peng-ti-lian-hoa"(bunga teratai tumbuh
kembar), diam-diam ia sudah menyiapkan cara mematahkan serangan lawan, hendak
dikalahkannya Oh Thian-sing pada jurus ini.
Tak terduga, jurus ke-51 yang dimainkan Oh Thian-sing ini ternyata bukan "Peng-ti-lian-hoa",
pedang yang ditusukkan untuk mematahkan serangan lawan tidak berhasil. Tergerak hati Yu Wi,
cepat ia mengeluarkan Thian-sun-kiam-hoat ajaran Ji Pek-liong dan balas menyerang.
Thian-sun-kiam-hoat adalah ilmu pedang kelas tinggi, orang yang mampu menangkis serangan
ilmu pedang itu dapat digolongkan tokoh kelas satu.
Tak tersangka, sampai empat jurus Yu Wi menyerang dan dapat ditangkis seluruhnya oleh Oh
Thian-sing, ketika tiba jurus kelima, Thian-sing kembali memainkan jurus ke-51 dari Toan-bun-tohoat
untuk menangkisnya.
Maka tahulah Yu Wi sekarang bahwa Oh Thian-sing mempunyai lima jurus pertahanan yang
sangat lihai, setelah dua kali diulangi serang menyerang, dapatlah Yu Wi menyelami kelima jurus
ilmu golok lawan, ia pikir untuk mematahkan kelima jurus ilmu golok Oh Thian-sing itu harus
digunakan Bu-tek-kiam.
Maka ketika tiba pada jurus ke-64, belum lagi jurus itu dimainkan Oh Thian-sing, Oh Ih-hoan
yakin puteranya tidak bakalan kalah karena sudah sampai jurus terakhir, maka dengan tertawa ia
berseru, "Nah, siapa lagi yang mampu mematahkan dan mengalahkan Toan-bun-to?"
Lantaran kegirangan karena ilmu goloknya tak terkalahkan oleh ilmu pedang Yu Wi yang lihai
itu, maka tanpa terasa ia berteriak bangga, ia mengira sebutan ilmu golok tak terkalahkan dapat
dipertahankan. Tak terduga, mendadak Yu Wi membentak, "Orang she Yu inilah akan mematahkannya!"
Sembari bersuara, pedangnya lantas menabas kedepan. Seketika Oh Thian-sing merasa
cahaya pedang mengurung dari atas, meski ia putar goloknya untuk melindungi kepalanya, namun
tetap ada setitik peluang yang dapat diterobos oleh pedang, hanya sekejap saja pedang kayu Yu
Wi telah menusuk tiba.
Tusukan itu tepat mengenai pundak kirinya, ia merasa kesakitan, golok yang dipegangnya
lantas terlepas.
Melihat itu, terdengarlah sorak sorai para penonton, "Ilmu pedang hebat!"
Mendingan Yu Wi bermurah hati, tulang pundak Oh Yhian-sing tidak diketuknya hancur.
Walaupun begitu untuk waktu tertentu lengan kanan Thian-sing juga sukar untuk bergerak.
Keringat dingin membasahi tubuh Oh Thian-sing, saking malunya hampir saja ia menangis,
ucapnya dengan pedih, "Ayah, anak kalah. . . ."
"Kalah. . . .kalah! Toan-bun-to bisa kalah!. . . ." Oh Ih-hoan bergumam dengan bingung,
pandangannya serasa kabur, ia berdiri termangu-mangu seperti patung.
Jago tua yang bicara tadi segera berdiri dan berseru pula, "Ya, jelas sudah kalah, sekarang
Oh-heng mengakui atau tidak?"
Oh Ih-hoan dapat menenangkan diri, dengan muka kelam ia menjawab, "Orang She Oh
bukanlah badak yang berkulit tebal! Mana orangnya, bawa kemari selaksa tahil emas itu!"
"Nanti dulu!" tukas Yu Wi mendadak dengan suara lantang.
Jago tua tadi merasa heran, tanyanya, "Eh, anak muda, apakah kau tidak menghendaki
emas?" "Betul, Cayhe tidak menginginkan emas." Yu Wi mengangguk.
"Tidak menginginkan emas, habis apa keinginanmu?" teriak Oh Ih-hoan dengan gusar.
"Aku hanya ingin minta sesuatu keterangan, bila keterangan itu bisa kudapatkan, maka selaksa
tahil emas kukembalikan seluruhnya."
"Keterangan apa yang ingin kau tanyakan?" seru Oh Ih-hoan dengan heran.
Sekata demi sekata Yu Wi menjawab, "Cara bagaimana Ciang-kiam-hui Yu Bun-hu meninggal
dahulu?" "Tidak tahu!" teriak Oh Ih-hoan mendadak dengan suara bengis.
"Kalau tidak tahu, silakan bawa kemari selaksa tahil emas." kata Yu Wi.
Di depan para ksatria, Oh Ih-hoan tidak berani menjilat kembali ludahnya sendiri, terpaksa ia
memberi perintah, dalam sekejap selaksa tahil emas yang terbagi menjadi sepuluh nampan besar
telah digotong keluar.
Yu Wi meraup segenggam pacahan emas itu dan berseru, "Barang siapa dapat memberi
keterangan cara bagaimana kematian Ciang-kiam-hui Yu Bun-hu dahulu, maka emas yang berada
disini akan menjadi miliknya."
Sampai sekian lama tidak ada orang menjawab. Tampaknya para ksatria yang hadir ini
memang tidak pernah kenal nama Ciang-kiam-hui. Meski emas sangat menarik, tapi sukar
tentunya menipu orang dengan sengaja mengarang sesuatu kejadian yang tidak benar.
"Sayang, tampaknya tidak ada orang yang bisa memberi keterangan!" ucap Yu Wi sambil
menghela napas panjang. Segera pecahan emas yang dipegangnya itu dihamburkan kesana
sambil berseru, "Ini emasnya, jika ingin memilikinya boleh memungutnya sendiri!"
Menyusul segenggam demi segenggam ia menghamburkan emas itu kesana-sini, seketika
terjadilah hujan emas.
Mula-mula para ksatria itu merasa kikuk untuk memungut pecahan emas yang berjatuhan itu,
entah siapa yang mendahului memungut sepotong, maka yang lain lantas ikut-ikut memungut.
Akhirnya terjadi saling rebut. Hanya sebentar saja, emas satu nampan yang berjumlah seribu
tahil telah habis dibuang oleh Yu Wi dan disikat habis oleh para hadirin. Bahkan ada dua orang
setengah umur, berhubung ber-sama2 memungut sepotong emas dan tidak mau saling mengalah,
akibatnya terjadi jotos menjotos.
Selaksa tahil emas itu terbagi menjadi sepuluh nampan, habis emas satu nampan
dihamburkan, selagi Yu Wi hendak membuang lagi emas nampan kedua, mendadak Oh Ih-hoan
membentak, "Tunggu dulu!"
Yu Wi tertawa, tanyanya, "Apakah Pocu ingin bicara?"
Air muka Oh Ih-hoan tampak kelam, ucapnya, "Apa artinya caramu caramu mem-buang2
emasku ini?"
"Apakah emas ini milikmu?" tanya Yu Wi.
"Dengan sendirinya mi. . .milikku. . . ." jawab Oh Ih-hoan dengan gelagapan.
Maka bergemuruhlah gelak tertawa orang banyak, terdengar seorang berteriak, "Emas itu
milikmu atau miliknya?"
"Huh, tidak tahu malu, kalau takut bangkrut, kenapa mesti berlagak kaya dan menyediakan
hadiah emas selaksa tahil segala?" demikian yang lain ikut mengejek.
"Ya, kalau perlu emas yang kita temukan ini dikembalikan saja padanya agar dia tidak jatuh
rudin, jangan-jangan untuk makan besok saja dia tidak mampu!"
Sungguh hampir mati mendongkol Oh Ih-hoan oleh ejekan dan sindiran itu, teriaknya, "Kenapa
tidak kalian tanyakan kepada orang she Yu ini apakah emas ini miliknya atau milikku?"
Tergerak hati Yu Wi oleh ucapan orang, cepat ia bertanya, "Jadi akan kau beritahukan padaku
sebab musabab kematian Ciang-kiam-hui?"
Oh Ih-hoan menjadi ragu dan tak dapat menjawab.
Dalam pada itu para ksatria beramai-ramai telah berteriak pula, "Yu-kongcu, apakah emas itu
kau kembalikan kepadanya" Yu-kongcu, masa emas ini tidak kau gunakan lagi?". . . .
Karena melihat cara Yu Wi membuang emas beribu tahil seperti orang membuang puntung
rokok, semua orang yakin Yu Wi pasti kaya raya, maka sebutan mereka padanya lantas berubah
menjadi "Kongcu", sungguh mereka berharap agar kesembilan ribu ribu tahil emas itu lekas-lekas
dihamburkan lagi dan semoga anak muda itu tidak mengakui emas itu adalah milik Oh Ih-hoan.
Dengan suara tertahan Yu Wi lantas berkata kepada Oh Ih-hoan, "Jika tidak lekas Pocu
katakan, kesembilan nampan emas ini akan kulemparkan lagi!"
Sudah tentu Oh Ih-hoan merasa sayang kepada emasnya, ia menghela napas dan berkata,
"Tempat ini tidak leluasa untuk bicara, biarlah kita bicarakan bila semua orang sudah pergi."
Yu Wi menyatakan setuju, segera ia berteriak kepada para hadirin, "Dengarkan saudara2, sisa
emas ini sudah kukembalikan kepada Pocu, memang betul emas ini telah menjadi miliknya."
Tentu saja semua orang sangat kecewa.
Oh Ih-hoan lantas menyambung, "Toan-bun-to sudah kalah, selanjutnya Pek-po tidak lagi
mengadakan sayembara segala. Atas kedatangan kalian dari jauh, pada kesempatan ini kuucapkan
terima kasih, bilamana ada kekurangan pelayanan mohon sudilah dimaafkan."
Ucapan tuan rumah ini sama artinya menyuruh pergi para tetamunya, maka beramai-ramai
para ksatria pun mohon diri. Hanya sebentar saja sudah pergi semua, suasana yang semula riuh
ramai seketika menjadi sunyi senyap.
Centeng Pek-po lantas bebenah dan membersihkan lapangan yang semerawut itu. Oh Ih-hoan
menyilakan Yu Wi masuk keruangan tamu, pelayan lantas menyuguhkan teh.
"Nah, sekarang tentunya dapat Pocu katakan bukan?" Yu Wi mendahului buka suara.
"Darimana Kongcu mengetahui bahwa orang she Oh pasti tahu sebab musabab kematian
Ciang-kiam-hui?" tanya Oh Ih-hoan.
Yu Wi lantas mengeluarkan buku daftar nama pembunuh prmberian Ko Siu itu, ia membalik
buku itu pada suatu halaman tertentu, lalu membaca, "Tanggal 13 bulan tujuh tahun Kengcu, Pekpo-
pocu bersama rombongan sebelas orang datang hendak membunuh, berkat Yu Bun-hu,
akhirnya ke-sebelas penyatron dapat ditewaskan tujuh orang dan tertangkap empat orang.
Diantara yang tertangkap termasuk pemimpinnya bernama Oh Ih-hoan yang terkenal ahli Toanbun-
to-hoat."

Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selesai membaca cacatan itu, Yu Wi menyimpan kembali buku daftar itu, lalu berkata, "Ciangkiam-
hui telah membinasakan tujuh orang anak buahmu dan menawan pula dirimu, tentu
dendammu sukar untuk dihapus. Tiga belas tahun yang lalu Ciang-kiam-hui dikerubut orang
banyak dan tewas, tentunya diantara para pengerubut itu termasuk juga Pocu sendiri, bukan?"
Oh Ih-hoan menjengek, jawabnya, "Jika sebab kematian Ciang-kiam-hui sudah diketahui,
untuk apa pula kau tanya padaku?"
"Aku hanya ingin tanya satu kalimat saja, kau sendiri ikut mengerubut Ciang-kiam-hui atau
tidak?" Air muka Oh Ih-hoan berubah hebat, dengan menggreget akhirnya ia menjawab dengan
nekat, "Kalau ikut kantas mau apa?"
Yu Wi tersenyum pedih, ucapnya, "Bagus! Kini Yu Wi mendapat tahu pula nama seorang
musuh pembunuh ayahnya, sakit hati ini harus kubalas!"
Kata-kata terakhir itu diucapkan dengan tegas dan penuh rasa dendam.
Serentak Oh Ih-hoan melompat bangun dan membentak, "Ambilkan golok!"
Centeng lantas membawakan golok yang diminta, sekali angkat goloknya, Oh Ih-hoan
berteriak dengan bengis, "Baiklah, biar orang she Oh belajar kenal dengan keturunan Ciang-kiamhui,
ingin kutahu betapa kemampuannya?"
Yu Wi mencabut pedang kayu dan berkata dengan kereng, "Pertarungan ini adalah duel maut,
sebelum salah seorang mati takkan berhenti. Harus kau keluarkan kelima jurus pertahanan Toanbun-
to-hoat, jurus ilmu golok lain jelas bukan tandinganku."
Dari mana kau tahu sejelas itu mengenai Toan-bun-to-hoat?" tanya Ih-hoan.
Dengan sendirinya Yu Wi tak dapat memberitahukan kitab pusaka Toan-bun-to-hoat yang
pernah dibacanya di Thian-ti-hu itu, seumpama diceritakan juga akan membikin bingung Oh Ihhoan
dan takkan dipercaya, siapa yang mau percaya bahwa di Thian-ti-hu juga terdapat kitab
pusaka mengenai Toan-bun-to-hoat"
"Huh, memangnya bisa kau jawab?" jengek Oh Ih-hoan kemudian. "Awas serangan!"
Segera goloknya menabas dan segera ditangkis oleh pedang kayu Yu Wi. "Plak", kedua orang
sama tergetar mundur dua-tiga tindak. Kekuatan kedua pihak ternyata seimbang.
Tak terduga oleh Oh Ih-hoan bahwa pemuda yan berumur likuran (antara 21 - 25) sudah
memiliki tenaga dalam sama kuatnya dengan dirinya yang telah berlatih dua-tiga puluh tahun ini.
Ia tidak tahu bahwa Yu Wi belum lagi mengeluarkan segenap tenaganya, kalau tidak, saat ini
mungkin goloknya sudah terpental dan harus menyerah kalah.
"Sret-sret-sret", kembali ia menabas tiga kali, semuanya jurus serangan Toan-bun-to-hoat.
Sudah tentu Yu Wi kenal ilmu golok ini dan tidak sulit untuk dipatahkan, maka pada jurus ketiga,
diincarnya pada titik kelemahannya, sekali pedang kayu menusuk, kontan golok Oh Ih-hoan
mencelat terlepas dari pegangan.
Meski kalah Oh Ih-hoan tidak menjadi panik, ia merebut sebatang golok dari salah seorang
centengnya, lalu bertempur pula.
Melihat golok sang Pocu terpental, cepat seorang centeng berlari pergi melaporkan kejadian itu
kepada Oh Thian-sing dan ke-delapan belas murid yang berjaga diluar. Meski para anak muridnya
kenal watak sang gur yang keras, siapapun dilarang ikut campur urusan pribadinya, tapi
menghadapi detik gawat ini, pesan sang guru itu tidak dihiraukan lagi, serentak mereka menerjang
kedalam. Di tengah pertempuran sengit Oh Ih-hoan melihat anak muridnya datang semua, segera ia
membentak, "Menggelinding keluar semua! Apa gunanya kalian masuk kemari?"
Cepat-cepat muridnya mundur keluar, Oh Thian-sing kenal kekerasan hati sang ayah, ia pikir
hanya anak menantu saja yang disayang oleh ayahnya, boleh juga dipanggil isterinya itu agar
membantu ayah. Maka cepat ia berlari keatas loteng dan memanggil isterinya yang baru
dinikahinya itu.
Setelah menyadari Toan-bun-to-hoat tidak berguna, Oh Ih-hoan lantas mengeluarkan lima
jurus pertahanan ilmu golok rahasianya, kelima jurus ini hanya diajarkan kepada anak dan tidak
diajarkan kepada murid. Kelima jurus pertahanan ini dengan sendirinya lain bobotnya dalam
permainan Oh Ih-hoan daripada permainan Oh Thian-sing.
Kelima jurus pertahanan ini tidak terdapat dalam kitab yang tersimpan di Thian-ti-hu itu, Yu Wi
menjadi agak repot untuk membobolnya.
Dalam permainan Oh Thian-sing tadi, beberapa kali kelihatan titik kelemahannya sehingga
tidak sulit untuk dipatahkan, tapi permainan Oh Ih-hoan sekarang jauh lebih ketat, meski ada juga
satu-dua titik kelemahan, tapi dapat ditutup dengan Lwekangnya yang jauh lebih kuat. Biarpun Yu
Wi sudah memainkan Hai-yan-kiam-hoat tetap sulit membobolnya.
Setelah tiga kali Bu-tek-kiam tak dapat mematahkan pertahanannya, tertawalah Oh Ih-hoan,
katanya, "Haha, memangnya kau kira Hai-yan-ngo-sik mudah dibobil olehmu?"
Mendengar istilah "Hai-yan-ngo-sik" atau lima jurus sedalam laut, hati Yu Wi tergerak, ia pikir
"Hai-yan" dalam ilmu golok lawan mungkin sama dengan "Hai-yan" ilmu pedangnya.
Dengan tertawa ia lantas berkata, "Meski ilmu golokmu Hai-yan-ngo-sik tak terpatahkan, tapi
permainanmu belum sempurna, tetap ada beberapa titik kelemahan yang dapat diterobos. . . ."
"Kentut! Kentut makmu!" maki Oh Ih-hoan dengan gusar.
"Coba pikir, kalau tidak ada titik kelemahannya, mengapa dapat kukalahkan anakmu?" ujar Yu
Wi. Sambil menangkis Oh Ih-hoan berkata, "Hal itu disebabkan latihannya belum cukup masak.
Kalau mampu, boleh kau coba mengalahkan diriku"!"
"Apa susahnya mengalahkan dirimu?" jawab Yu Wi dengan tertawa, "Seperti jurus yang
pertama ini, meski istilahnya disebut 'Hong-su-to'(cepat seperti angin), tapi karena permainanmu
kurang cepat sehingga apakah secepat angin atau tidak masih perlu diuji!"
Sementara itu Oh Ih-hoan sedang memainkan jurus kedua, maka Yu Wi berkata pula dengan
tertawa, "Dan jurus ini istilahnya 'menanjak tiga li keatas', seharusnya golokmu diayun seperti
menghadapi musuh diatas, tapi kau justeru menabas keatas dari samping, maka arti daripada
'menanjak tiga li keatas' menjadi tidak tepat lagi."
Begitulah terus menerus ia menganalisa kelemahan ilmu golok lawan, makin didengar makin
gelisah Oh Ih-hoan, sampai akhirnya tenaganya menjadi banyak berkurang. Pada kesempatan
itulah Yu Wi lantas menyerang melalui titik kelemahan musuh, sekali ketuk pedang kayunya
meremukkan tulang pundak Oh Ih-hoan, goloknya terpental keluar ruangan.
Dengan ujung pedang mengancam dileher Oh Ih-hoan, dengan tertawa Yu Wi membentak,
"Hari ini harus kau ganti jiwa ayahku!"
"Bunuhlah!" kata Oh Ih-hoan sambil menghela napas, "Tapi sebelum mati, ada beberapa soal
ingin kutanya padamu, dapatkah kau beritahukan padaku untuk menghilangkan rasa heranku?"
"Hal apa, coba katakan." jawab Yu Wi.
Dimanakah letak kelemahan Hai-yan-ngo-sek ilmu golokku?"
"Tidak ada. Kalau ada, masakah sampai sekian lamanya kuserang dan belum lagi bobol?"
"O, jadi ucapanmu tadi hanya untuk menipu diriku?" tanya Oh Ih-hoan dengan tersenyum
getir. Dengan jujur Yu Wi menjawab, "Ya, bagi orang lain kelima jurusmu itu tiada kelihatan setitik
kelemahan apapun, tapi kulihat pada bagian tertentu pertahananmu belum cukup kuat, hanya saja
kelemahan itu tertutup oleh Lwekangmu yang tinggi sehingga sukar bagiku untuk membobolnya.
Maka sengaja sembarangan kukatakan kelemahanmu agar perhatianmu terpencar, dengan begitu
dapatlah kupatahkan pertahananmu."
Oh Ih-hoan tersenyum getir, ucapnya, "Itu salahku sendiri, tapi entah darimana kau tahu
istilah rahasia kelima jurus ini?"
"Sebab aku sendiri pernah belajar kunci itu," kata Yu Wi.
"Kau. . . kau pernah belajar". . . ." tidak kepalang kejut Oh Ih-hoan.
"Kunci yang kuapalkan serupa dengan kunci kalian, tapi gerak jurusnya tidak sama." kata Yu
Wi. "Yang kugunakan juga bukan golok melainkan pedang, namanya Put-boh-kiam, hanya terdiri
satu jurus saja, sedangkan ilmu golokmu terbagi menjadi lima jurus."
"Satu jurus, hanya satu jurus?" Oh Ih-hoan menegas, "Ya, memang, aslinya memang cuma
satu jurus. Apakah kau. . . .kau murid It-teng Sin-ni?"
"Kutahu siapa It-teng Sin-ni, tapi aku bukan muridnya." jawab Yu Wi.
"Tidak, kau dusta, dusta. . . ." Oh Ih-hoan meng-geleng2kan kepala tidak percaya.
Yu Wi menjadi gusar, teriaknya, "Kau sudah hampir mampus, untuk apa kudusta padamu" Ada
urusan apalagi yang ingin kau katakan" Kalau tidak ada akan segera kubinasakan kau"!"
Oh Ih-hoan menghela napas panjang, ucapnya, "Baiklah, tusuklah!"
Selagi Yu Wi hendak menusukkan pedangnya, se-konyong2 suara seorang perempuan berseru
dari belakang. "Nanti dulu, Toako!"
Yu Wi terkejut dan berpaling, teriaknya, "He, kau! Kiok. . . . ."
"Ya, memang betul aku Kiok-moai (adik Kiok) yang sudah kau lupakan itu." ucap perempuan
itu dengan tersenyum getir. Kiranya dia adalah Lim Khing-kiok adanya.
Sejak Yu Wi meninggalkan Hek-po, Lim Sam-han memaksa anak perempuannya menikah
dengan putera tunggal Oh Ih-hoan dari Pek-po.
Karena dipaksa oleh ayahnya, mengingat Yu Wi juga sudah berubah pikirannya, dalam
dukanya Lim Khing-kiok lantas menerima baik kehendak sang ayah.
Ilmu silat Lim Khing-kiok telah mewarisi seluruh kepandaian Lim Sam-han, kungfunya bahkan
diatas Oh Thian-sing, sesudah diboyong ke keluarga Oh di propinsi Hokkian, ia sangat disayang
oleh Oh Ih-hoan, jauh lebih disayang daripada putera satu-satunya itu.
Yang dipikir Oh Thian-sing tadi adalah keadaan ayahnya yang terancam bahaya, maka
isterinya diminta agar turun kebawah untuk membantu.
Mengingat se-hari2 dirinya sangat disayang oleh Oh Ih-hoan, sekarang sang mertua terancam
bahaya, cepat Khing-kiok turun kebawah untuk membantu. Siapa tahu orang yang hendak
membunuh sang mertua tak lain-tak-bukan adalah bekas kekasihnya dahulu.
Melihat teman mainnya sejak kecil, dengan hati pedih Yu Wi bertanya, "Oh Ih-hoan ini pernah
hubungan apamu?"
"Dia ayah mertuaku," jawab Khing-kiok dengan menunduk sambil menghela napas.
"Oo"!" tercengang juga Yu Wi sambil menatap Khing-kiok. "Jadi akhirnya kau telah menikah
dengan orang."
Jilid 12 Ucapan Yu Wi ini sebenarnya cuma merasa bersyukur karena teman main sejak kecil sudah
menikah, tapi Lim Khing-kiok telah salah wesel, salah sangka, salah terima. Dia menyangka anak
muda itu menyesalkan dia menikah dengan orang lain. Hatinya jadi tergetar, dengan menangis dia
berkata, "Aku dipaksa kawin oleh ayah, pula kau. . . .kau. . . ."
"Kau sudah berubah" kalimat ini tidak sempat diucapkannya, sebab mendadak seorang lantas
membentak, rupanya pada waktu Yu Wi agak meleng, mendadak Oh Ih-hoan melompat bangun
terus menerjang keluar untuk mengambil senjata.
Dengan golok ditangan kiri Oh Ih-huan masuk lagi kedalam dengan menahan sara sakit pada
bahunya, ia tuding Yu Wi dengan golok dan tanya Lim Khing-kiok dengan suara bengis, "Dia ini
apamu?" Cepat Yu Wi berkata, "Waktu kecil pernah kutinggal di Hek-po selama sepuluh tahun, dia
puteri Lim Sam-han, dengan sendirinya kukenal dia."
"Kenal" Masa cuma kenal saja"!" jengek Oh Ih-hoan, "Pantas sejak masuk pintu anak menantu
jarang bicara dan tidak pernah tertawa, kiranya dirumah sudah mempunyai kekasih teman sejak
kecil. Masuk sini, anak Sing, persoalan ini perlu kita bikin terang!"
Oh Thian-sing berlari masuk dan bertanya, "Ada urusan apa ayah memanggil anak?"
Dengan muka merah padam Oh Ih-hoan berseru, "Pegang golokmu, biarlah kita ayah dan
anak coba-coba belajar kenal dengan keturunan Ciang-kiam-hui?"
Memang perintah inilah yang sedang ditunggu-tunggu oleh Oh Thian-sing, iapun tahu betapa
lihainya Yu Wi, maka cepat ia berseru, "Semua Suheng dan Sute hendaklah masuk kemari."
Serentak ke-delapan belas murid Oh Ih-hoan berlari masuk dan berdiri disekeliling Yu Wi.
Melihat itu, Khing-kiok menjadi kuatir, cepat ia berseru. "He, ka. . .kalian mau apa?"
Dengan wajah kelam Oh Ih-hoan berkata, "Tulang pundak Kongkongmu (bapak mertuamu)
diketuk hancur oleh bocah ini, kita minta ganti nyawa padanya."
Saking cemasnya Lim Khing-kiok menangis, ucapnya, "Tidak, jangan!. . . kalian tidak boleh
membunuhnya. . . ."
"Mengapa tidak boleh?" tanya Oh Thian-sing dengan heran, "Bukankah kuminta kau turun
kemari untuk membantu ayah?"
"Tentu saja tidak boleh," jengek Oh Ih-hoan. "Jika kita hendak membunuh kekasihnya, dengan
sendirinya dia tidak boleh."
Padahal biasanya Oh Ih-hoan sangat sayang kepada Lim Khing-kiok, selain orangnya cantik,
peringainya halus, hanya saja jarang bicara, tapi inipun sesuai pribadi orang perempuan. Siapa
tahu, sifat pendiam Khing-kiok itu ternyata ada sebabnya, jadi menikahnya dengan Thian-sing
hanya karena dipaksa oleh Lim Sam-han.
Umumnya cinta yang mendalam juga akan menimbulkan benci yang sangat. Lebih-lebih Oh Ihhoan
yang berwatak keras, kini setelah mengetahui keburukan anak menantunya itu, tentu saja ia
sangat murka, kalau bisa saat itu juga ia hendak menjatuhkan hukuman setimpal padanya.
Sebaliknya Oh Thian-sing masih tidak tahu persoalan apa yang terjadi, ia bertanya dengan
bingung, "Ke. . .kekasihnya siapa". . . ."
"Goblok!" damperat Oh Ih-hoan, "Sudah lama pakai topi hijau (maksudnya orang yang
isterinya bergendak dengan orang lain) masih belum tahu. Lekas bunuh anak busuk itu!"
Setelah diberitahu hal ikhwalnya, serentak Oh Thian-sing menjadi kalap, kontan ia membacok
Yu Wi sambil membentak, "Keparat, kiranya kau!. . . ."
Segera Oh Ih-hoan ayun goloknya dan ikut mengerubut, berbareng ia berseru, "Ayo maju
semua muridku! Terhadap orang begini tidak perlu sungkan lagi!"
Semula ke-delapan belas muridnya tidak berani ikut turun tangan, mendengar perintah
gurunya itu, mereka menjadi heran malah, 'Bukankah biasanya Suhu sering memperingatkan agar
orang lain jangan membantunya bilamana dia sedang bertempur dengan musuh.'
Mereka tidak tahu bahwa pesan Oh Ih-hoan disebabkan sebelum itu dia menganggap tiada
orang sanggup melawan ilmu goloknya, tapi keadaan sekarang sudah lain.
Dasar sifat ke-delapan belas muridnya juga suka berhantam, apalagi yang dihadapinya cuma
seorang pemuda berumur likuran, sembilan daripada sepuluh bagian pasti akan menang, maka
begitu Oh Ih-hoan memberi perintah, serentak mereka menerjang maju.
Meski dikerubut dua puluh orang, sedikitpun Yu Wi tidak gentar, ia mainkan Thian-sun-kiamhoat,
pedangnya menusuk kekanan dan menyabet kekiri, bahkan ia terus mendahului menyerang.
Lantaran dituduh tidak suci oleh sang mertua, tidak kepalang gusar Lim Khing-kiok, telinganya
serasa mendengung, sampai sekian lama tidak sanggup bicara. Kini melihat kedua pihak mulai
bergebrak, cepat ia berteriak, "Berhenti, jangan bertempur, jangan!. . . ."
Tapi mana dia mampu mencegahnya, semakin sengit pertarungan yang berlangsung, seluruh
ruangan cahaya golok dan sinar pedang belaka, tampaknya sukar dihentikan sebelum ada yang
mati atau terluka parah.
Lantaran menanggung dendam kematian orang tua, gerak pedang Yu Wi tidak kenal ampun
sedikitpun, sudah tujuh delapan bagian mendekati sempurna Thian-sun-kiam-hoat yang dilatihnya,
kini didunia Kangouw sudah jarang lagi ada tandingannya, meski dikerubut dua puluh orang,
sedikitpun dia tidak terdesak atau kewalahan.
Sampai akhirnya, daya serang Yu Wi benar-benar telah dipancarkan, sekali ia membentak,
"Kena!" kontan pergelangan tangan seorang murid Oh Ih-hoan tertabas patah dan tidak mampu
bertempur lagi.
Menyusul ia membentak lagi tujuh belas kali "kena" secara ber-turut2, sisa ke-tujuh belas
murid Oh Ih-hoan juga dipatahkan pergelangan tangannya senasib kawannya tadi, semuanya
berjongkok sambil merintih kesakitan.
Melihat ketidak becusan muridnya Oh Ih-hoan ber-kaok2 saking gusarnya. Serangan goloknya
juga mulai ngawur, sebaliknya Oh Thian-sing masih tetap bertempur dengan tenang.
Karena serangan kalap dan ngawur dari Oh Ih-hoan itu, Yu Wi terdesak mundur dua langkah,
pikirnya, "Jika cara demikian kau bertempur, dapatkah kau bertahan lama?"
Karena serangan kalap yang dilancarkannya mengakibatkan luka bahu kanannya kambuh
kembali, saking kesakitan permainan golok Oh Ih-hoan lantas mengendur, tapi Yu Wi tidak kenal
ampun lagi, bentaknya, "Roboh!"
Mendadak pedangnya mengetuk kepundak kiri lawan, apabila tepat diketuk, kedua lengan Oh
Ih-hoan akan menjadi cacat untuk selamanya. Oh Thian-sing ingin menolong, tapi tidak keburu
lagi, dengan nekat ia terus menyeruduk Yu Wi.
Dari samping Lim Khing-kiok juga menyaksikan sang mertua terancam bahaya, ia tidak sampai
hati tinggal diam, segera ia menubruk maju dan pedangnya lantas menyabat, maksudnya hendak
memaksa Yu Wi membatalkan serangannya sehingga sang mertua dapat diselamatkan.
Melihat serangan Lim Khing-kiok itu, Yu Wi terkejut, ia tahu bilamana serangannya terhadap
Oh Ih-hoan diteruskan, pergelangan sendiri pasti juga akan tertusuk oleh pedang Khing-kiok,
terpaksa ia memutar balik pedangnya dan menangkis serangan orang dengan jurus Put-boh-kiam.
Karena tangkisan ini, daya serangan Lim Khing-kiok yang cukup hebat jadi tidak keburu ditarik
kembali, tusukannya menceng menusuk dada Oh Thian-sing. Konan Oh Thian-sing menjerit dan
jatuh terjungkal.
Mata Oh Ih-hoan mendelik, dengan suara gemetar ia berteriak, "Kau. . .kau berani membantu
gendakmu membunuh suami sendiri". . . ."
Yu Wi juga terkejut oleh tipu serangan Lim Khing-kiok itu, serunya dengan ragu, "Kau. . .
kaupun mahir Hai-yan-kiam-hoat?"
Tapi Lim Khing-kiok melenggong oleh apa yang terjadi barusan, ia melemparkan pedang
sendiri dan memayang Oh Thian-sing, jeritnya sambil menangis, "Aku. . . aku tidak sengaja
melukai kau. . ."
Dilihatnya dada Oh Thian-sing berlumuran darah, matanya mendelik, tampaknya jiwanya sukar
diselamatkan lagi.
Dengan kalap golok Oh Ih-hoan membacok kepala Lim Khing-kiok sambil memaki, "Perempuan
busuk, jangan kau pura-pura didepanku, ganti jiwa anakku!"
Saking berdukanya Khing-kiok tidak mengelak. Tapi Yu Wi lantas menangkis dan berseru,
"Anakmu bukan dibunuh olehnya, jangan kau fitnah orang tak berdosa. . . ."
Oh Ih-hoan memutar goloknya dan membacok lagi kepada Yu Wi sambil berteriak murka,
"Bangsat, kau harus mampus sekalian!"
Melihat anaknya sudah hampir mati, Yu Wi tidak tega untuk mencelakainya lagi, ia hanya
menangkis saja tanpa balas menyerang.
Tapi Oh Ih-hoan masih terus menyerang dengan nekat, sampai akhirnya tampak dia sudah
kalap dan kurang waras.
Lim Khing-kiok berteriak dengan menangis, "Kongkong, jangan bertempur lagi, Thian-sing
hampir meninggal!"
Ucapan ini mengguncangkan pikiran Oh Ih-hoan, mendadak ia melemparkan goloknya, dia
pondong Oh Thian-sing dengan air mata bercucuran, serunya dengan parau, "Kau tak boleh mati,
anak Sing. . . ." Sembari ber-teriak2, "Kau tidak boleh mati, anak Sing!. . . ." dia terus berlari cepat
keluar, mungkin hendak berusaha mencari tabib untuk menolong anaknya.
Ke-delapan belas muridnya juga tidak berani lagi tinggal disitu, sambil memegangi
pergelangan masing-masing merekapun berlari pergi.
Didalam ruangan tamu kini tertinggal Yu Wi dan Lim Khing-kiok saja berdua, Khing-kiok berdiri


Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

termangu. Yu Wi menghela napas, lalu berkata padanya, "Lekas kau pergi memeriksa keadaan lukanya."
Mendadak Khing-kiok menangis dan mengeluh, "Siapa suruh kau kesini" Siapa minta kau
kemari". . "
Ia tidak tahu bahwa kedatangan Yu Wi ini adalah untuk menuntut balas kematian ayahnya,
tapi disangkanya Yu Wi mendapat kabar dirinya sudah menikah dan diboyong kesini, maka anak
muda itupun menyusul kemari.
Dengan sendirinya Yu Wi merasa bingung oleh ucapan si nona, seketika ia menjadi tak dapat
menjawab. Setelah menangis sejenak, mendadak Lim Khing-kiok berlari keluar sambil mendekap
mukanya. Tapi baru saja melangkah keluar pintu mendadak pula ia menjerit.
Yu Wi terkejut, cepat ia melayang keluar, tapi baru saja muncul, kontan disambut oleh
hamburan panah. Untung sebelumnya dia sudah bersiap, cepat pedangnya berputar, semua anak
panah tertangkis dan tersampuk jatuh.
Dilihatnya Lim Khing-kiok terbaring ditanah, cepat ia mengangkatnya, segera panah
menyambar tiba pula. Sembari putar pedangnya untuk menangkis, Yu Wi mundur kembali
kedalam ruangan.
Ia baringkan Khing-kiok di dipan, dilihatnya dada si nona terkena tiga panah, darah
membasahi bajunya. Tanpa pikirkan adat lagi, cepat Yu Wi merobek baju si nona dan mencabut
ujung panah yang masih menancap didadanya itu. Lalu ia merobek bajunya sendiri untuk
membalut lukanya.
Pekerjaan Yu Wi itu mau-tak-mau mesti bersentuhan dengan bagian tubuh Khing-kiok yang
paling peka, keruan si nona menjadi malu, mukanya yang pucat bersemu merah.
Selesai membalut lukanya, mendadak Khing-kiok memegang tangan Yu Wi dan berseru,
"Toako, bawalah aku pergi, aku tidak mau mati disini."
Yu Wi menghiburnya, "jangan kuatir, luka panah ini tidak parah, kau takkan mati."
Khing-kiok menangis, ucapnya, "Tidak mati pun aku tidak ingin berdiam lagi disini. Mereka
hendak membunuhku, untuk apa pula kutinggal disini."
"Waktu kau lari keluar, mereka menyangka diriku sehingga salah melukai kau, mereka tidak
sengaja hendak memanah kau." Yu Wi menghiburnya pula.
"Tidak, mereka sengaja, pasti sengaja." kata Khing-kiok sambil menggeleng. "Tidakkah kau
lihat sendiri, sekali bacok Kongkong hendak membunuh aku?"
"Dalam marahnya dia menyerang kau, jangan kau anggap sungguh-sungguh." ujar Yu Wi.
"Aku telah membunuh anaknya, jelas dia tak mengampuni aku." kata si nona. "Hendaklah
mengingat hubungan kita sejak kecil, tolonglah kau antar aku pulang ketempat ayah."
"Urusan ini harus kuberi penjelasan kepada Kongkongmu, kau tidak boleh disalahkan. Setelah
dia mengetahui ketidak-sengajaanmu, tentu dia akan memaafkan kau."
"Kau tidak mau mengantar kupergi dari sini, kau ingin menyaksikan aku mati terbunuh?" seru
Khing-kiok dengan menangis.
Berulang-ulang Yu Wi menghiburnya lagi, katanya, "Tidak, tidak akan terjadi begitu! Janganlah
kau sangsi. . . ."
Sementara itu malam sudah tiba, perut mereka mulai lapar, Khing-kiok banyak kehilangan
darah, mukanya semakin pucat.
Kuatir nona itu tidak tahan, Yu Wi berkata. "Biar kukeluar untuk mencari sedikit makanan
bagimu." Khing-kiok bermaksud mencegah, tapi ingin berduduk saja tidak kuat.
Baru saja Yu Wi melangkah keluar ruangan, kontan dia dihujani anak panah lagi. Meski dia
sendiri mampu menerjang keluar, tapi ia kuatirkan keselamatan Lim Khing-kiok apabila ditinggal
pergi. Terpaksa ia mundur lagi kedalam.
"Apakah barisan pemanah diluar belum dibubarkan?" tanya Khing-kiok dengan suara tertahan.
Yu Wi mengangguk, katanya dengan gemas, "Mereka tidak memperbolehkan kita keluar, entah
apa maksudnya?"
"Kongkong menyangka aku tidak suci sebelum menikah, maka aku hendak dibikin mati
kelaparan." ucap Khing-kiok dengan sedih.
Dengan gusar Yu Wi berkata, "Dia sembarangan menduga, besok kalau barisan pemanah tidak
lagi ditarik mundur, akan kubawa kau terjang keluar dan bicara dengan dia."
Malamnya, saking lelah dan lemahnya Lim Khing-kiok tertidur, Yu Wi sendiri tidak berani tidur.
Lewat tengah malam, mendadak asap tebal tertiup masuk kedalam rumah. Yu Wi terkejut dan
berseru, "Wah, mereka menyalakan api!"
Cepat ia membangunkan Khing-kiok, dan hanya sejenak itu saja api sudah berkobar disekitar
rumah, jalan keluar sudah buntu.
Khing-kiok menjerit, "He, mereka hendak membakar kita hidup-hidup!"
Terdengar suara Oh Ih-hoan diluar sedang bergelak tertawa dan berteriak, "Hahaha, sepasang
laki-perempuan anjing itu akan terbakar hidup-hidup dan ikut mampus bersama anakku!"
"Ah, anaknya benar-benar mati!" seru Yu Wi terkejut.
"Dalam keadaan demikian, peduli anaknya mati atau tidak, yang penting lekaslah kita mencari
akal untuk meloloskan diri" seru Khing-kiok cemas.
Diam-diam Yu Wi kurang senang, suaminya mati, sedikitpun dia tidak berduka dan berbalik
memikirkan keselamatan diri sendiri.
"Siau Wi, apakah hendak kau tunggu kematian disini?" kata Khing-kiok pula.
Mendengar nama kecilnya disebut, Yu Wi jadi teringat kepada hubungan baik dimasa lampau,
ia menghela napas, dipondongnya nona itu. Segera Khing-kiok merangkaul lehernya erat-erat.
Setelah memondong Khing-kiok dengan kuat, mendadak Yu Wi melompat keatas, ia terjang
keluar melalui atap rumah.
Sekeliling rumah itu sebenarnya sudah disiram minyak bakar oleh Oh Ih-hoan dan api
dinyalakan serentak, ia mengira Yu Wi pasti tidak dapat kabur. Ia lupa dengan kungfunya yang
hebat itu Yu Wi masih mampu membobol atap rumah dan menerjang keluar.
Tapi begitu Yu Wi turun ditempat yang tidak terbakar, segera dapat dilihat oleh Oh Ih-hoan,
cepat ia berteriak, "Panah, lekas panah! Laki-perempuan anjing itu lari keluar!"
Namun sudah kasip, barisan pemanah tidak keburu memanah, baru saja mereka pasang
panah dan tarik busur, saat itu Yu Wi sudah kabur cukup jauh.
Oh Ih-hoan tidak rela, ia terus mengejar sambil berteriak, "Jangan lari! Bayar dulu jiwa
anakku. . . ."
Ditengah malam buta, hanya beberapa kali membelok dan menikung saja Yu Wi sudah
meninggalkan kejaran Oh Ih-hoan.
Tidak lama, dari berbagai tempat di Pek-po itu bergema suara teriakan orang banyak,
"tangkap laki-perempuan gendakan itu! Tangkap. . . ."
Semboyan itu membikin Yu Wi sangat gusar, kalau bisa dia ingin membekuk batang leher
orang yang ber-teriak2 itu dan satu-persatu digampar mulutnya.
Dalam pada itu di-tempat2 yang ramai suara orang berteriak itu kelihatan cahaya lampu
terang benderang. Ia kuatir bilamana seluruh penduduk benteng itu terjaga bangun dan dimanamana
lampu dinyalakan, untuk lari pasti akan sangat sukar.
Maka ia tidak berani ayal lagi, dengan Ginkangnya yang tinggi segera ia berlari pula
secepatnya, setiba diluar benteng barulah ia berhenti dan menghela napas lega.
Kira-kira satu-dua li jauhnya disebelah kiri perbentengan, dimintanya kembal kuda yang dia
titipkan pada rumah seoran petani, engan membawa Khing-kiok mereka terus kabur kearah kota.
Menjelang fajar, sampailah mereka dikota Lianyang dan mendapatkan sebuah hotel.
Karena guncangan ditengah perjalanan, luka Khing-kiok telah mengeluarkan darah pula,
saking lemasnya dia jatuh pingsan.
Yu Wi membawanya kedalam kamar, ia minta pelayan menyediakan satu baskom air hangat,
terpaksa ia menelanjangi tubuh bagian atas si nona untuk mencuci lukanya, lalu dibalut dengan
kain baru. Kemudian ia pergi ketoko obat, membeli obat luka dan obat godok. Selagi Yu Wi
membubuhkan obat pada lukanya, Khing-kiok siuman, melihat dirinya dirawat sedemikian baik
oleh anak muda itu, ia tersenyum puas dan memejamkan mata serta tertidur lagi.
Selesai Yu Wi memasak obat, ia membeli pula sedikit makanan lunak sebangsa bubur,
dibangunkan Khing-kiok dan menyuapinya makan, habis itu diberi lagi minum obat.
Keadaan Khing-kiok sangat lemah, habis makan tanpa berucap sekatapun dia lantas tertidur
lagi. Sampai hari ketiga si nona tetap tidak bicara, malamnya timbul demam, sepanjang malam
terus mengingau dan selalu memanggil "Siau Wi", semalam suntuk Yu Wi terganggu hingga tak
bisa tidur. Biarpun nama kecilnya selalu dipanggil, Yu Wi berbalik kurang senang, pikirnya, "Suamimu
baru saja mati, dalam mimpi saja kau tidak berduka, sungguh tidak lumrah."
Hari keempat, ia mengundang seorang tabib untuk memeriksa sakit Khing-kiok, katanya cuma
infeksi saja karena terluka panah, diberinya resep obat dan memberi pesan agar istirahat dengan
baik, kalau tidak, bilamana paradangannya memburuk bisa membahayakan jiwanya.
Setiap hari Yu Wi merawat Khing-kiok, mencuci lukanya dan mengganti obatnya. Sampai
setengah bulan lamanya, keadaan Khing-kiok barulah mulai sembuh.
Berdampingan setengah bulan, Khing-kiok memandang Yu Wi sebagai suaminya. Sebaliknya
Yu Wi sama sekali tidak bersikap mesra, selalu bermuka masam, walaupun dalam hati cukup akrab
padanya, namun akhirnya dia berlagak dingin.
Sebulan kemudian, dapatlah Khing-kiok berjalan dengan leluasa, cuma belum sanggup
bergerak terlalu keras, hari itu dia berkata, "Toako, maukah kau antarkan kupulang ke Hek-po?"
Yu Wi berkerut ening, jawabnya, "Aku takkan pergi lagi kesana."
"Sebab apa?" tanya Khing-kiok, "Waktu kecilmu kan tinggal disana, tidak maukah kau antar
aku pulang?"
"Bila kudatang lagi ke Hek-po, ayahmu tidak mungkin kuampuni!" kata Yu Wi dengan suara
bengis. "Kau. . . kau hendak mem. . .membunuh ayahku?" tanya Khing-kiok dengan suara gemetar.
Tambah rapat kening Yu Wi terkerut, sekata pun dia tidak menjawab.
"Apa pun kesalahan ayahku terhadapmu, sedikitnya beliau telah memberi makan padamu
selama sepuluh tahun." kata Khing-kiok. "Tidak. . . tidaklah pantas jika kau tetap dendam
padanya. . ."
Dengan gemas Yu Wi berteriak, "Selama sepuluh tahun aku menahan perasaanku, maksudku
mencari kesempatan untuk membunuhnya, aku tidak merasa hutang budi padanya."
"Tapi pada tahun itu pernah kutolong kau satu kali, masa kau lupa?" kata Khing-kiok.
Teringat oleh Yu Wi kejadian yang lalu, pernah satu kali ia mendapat kesempatan baik untuk
membunuh Lim Sam-han. Tak terduga Lim Sam-han sangat cerdik, usaha membunuhnya tidak
berhasil, sebaliknya Yu Wi ketahuan sebagai anak Yu Bun-hu, maka Lim Sam-han telah
mengurungnya dipenjara. Tapi dengan menyerempet bahaya Khing-kiok telah melepaskannya,
sebelum berpisah nona itu berkata kepadanya, "Ayah tahu kita sangat akrab, maka aku hendak
dinikahkan, selanjutnya kita entah dapat berjumpa lagi atau tidak. . . ."
Akan tetapi segera terbayang pula kematian ayahnya yang menyedihkan itu, sebelum ajalnya
sang ayah berlari pulang sekuatnya dengan luka parah, setelah mengajarkan beberapa kalimat
kunci rahasia Lwekang dan menyebutkan nama seorang musuh, lalu menghembuskan napas
penghabisan. Musuh yang disebut ayahnya itu ialah Lim Sam-han dari Hek-po. Bahwa ayahnya
tidak menyebut nama orang lain, cuma nama Lim Sam-han saja yang disebut, hal ini menandakan
Lim Sam-han pasti biang keladinya, betapapun tidak boleh diampuni. . . .
Berpikir sampai disini, dengan suara gemas ia lantas berkata, "Ya, aku masih ingat
pertolonganmu itu, kau menyelamatkan diriku, sekarang akupun balas menyelamatkan kau. Tapi
semua ini tidak ada sangkut-pautnya dengan sakit hati orang tua kita. Kecuali mati, betapapun
harus kubunuh Lim Sam-han!"
"Jadi pertolonganmu padaku sekarang ini kau anggap sebagai balas budi atas pertolonganku
padamu dahulu?" tanya Khing-kiok dengan sedih.
Yu Wi keraskan hati dan menjawab, "Ya, boleh dianggap demikian!"
Jawaban yang ketus ini membikin hati Khing-kiok remuk-rendam, ia menangis dan berkata,
"Mestinya tidak perlu kau tolong diriku, akan lebih baik biarkan kumati di Pek-po saja. . . ." Ia
terus menangis tanpa berhenti.
Melihat si nona mengeluarkan senjata khas orang perempuan, yaitu menangis, dulu, waktu
sama-sama kecil, sering Khing-kiok menggunakan senjata menangis untuk memaksanya berbuat
sesuatu, sekarang dia menangis lagi dengan manja untuk memperoleh belas kasihannya. Mau-takmau
Yu Wi berkerut kening, ia tidak menghiraukannya lagi dan keluar kamar.
Pada waktu makan siang, Yu Wi masuk kamar untuk memanggilnya.
Dengan muka dingin Khing-kiok lantas berkata, "Kau tidak mau mengantar kupulang ke Hekpo,
tentunya tidak keberatan jika mengantar sampai di Soasay saja."
Yu Wi pikir, dari Hokkian ke Soasay sedikitnya diperlukan waktu selama beberapa bulan, kuatir
melampaui janji pertemuan di Ma-siau-hong, maka ia menjadi ragu-ragu untuk menjawabnya.
Mulut Khing-kiok lantas menjengkit, dengan mendongkol ia berkata, "Apabila badanku sehat,
segera kupulang ke Soasay sendirian dan tidak perlu minta kau antar."
"Justeru lantaran kesehatanmu belum pulih seluruhnya, makanya tak dapat kuantar kesana."
kata Yu Wi. "Memangnya kenapa?" tanya Khing-kiok.
"Sebab tiga bulan lagi aku harus memenuhi suatu janji pertemuan di timur Hokkian." tutur Yu
Wi. "Dari sini ke Soasay, dengan menggunakan kuda cepat, pulang pergi mungkin dapat dicapai
dalam waktu tiga bulan, tapi lantaran kesehatanmu belum pulih, tentunya kita tidak dapat
berkuda." Khing-kiok ingin tanya janji pertemuan apa, tapi demi teringat dirinya lagi marah padanya, dia
urung tanya, jengeknya, "Jika begitu, bolehlah menunggu selesai pertemuan itu barulah pulang ke
Soasay." Begitulah mereka lantas menetap di hotel itu, Yu Wi tinggal dibagian depan, Khing-kiok tidur
diruangan dalam. Bila malam tiba, tabir dipasang sehingga keduanya tidak dapat saling lihat.
Siang hari tabir digulung, apa yang diperbuat keduanya dapat terlihat dengan jelas.
Selama beberapa hari ini Yu Wi giat berlatih, lebih-lebih keempat jurus Hai-yan-kiam-hoat yang
belum lama dipelajarinya itu.
Sudah beberapa hari Khing-kiok tidak bicara dengan Yu Wi, hari ini dia benar-benar tidak
tahan, ia keluar kebagian depan dan bertanya kepada Yu Wi, "Ilmu pedang apakah yang Toako
latih?" Saat itu Yu Wi sedang berlatih jurus Put-boh-kiam, ia berhenti dan menjawab, "Jurus ilmu
pedangku ini bernama Put-boh-kiam."
"Tampaknya aku sudah hapal ilmu pedangmu ini." ujar Khing-kiok. "Apakah jurus ini yang kau
gunakan untuk menangkis seranganku tempo hari itu?"
Yu Wi jadi teringat kepada kejadian tempo hari, ia tidak menjawab, sebaliknya lantas bertanya,
"Apakah ilmu pedangmu itu Hai-yan-kiam-hoat?"
Khing-kiok menggeleng, jawabnya, "Hai-yan-kiam-hoat apa" Entah, aku tidak tahu, yang jelas
jurus yang kumainkan itu bernama Siang-sim-kiam (jurus hati berduka)."
"Siang-sim-kiam" Siang-sim-kiam". . . ." Yu Wi mengulangi nama itu beberapa kali, ia heran
pada jurus yang aneh ini. Mendadak ia teringat kepada jurus ilmu pedang si kakek tuli yang
bernama Sat-jin-kiam, bukankah nama inipun sangat aneh"
Berpikir sampai disini, cepat ia tanya pula, "Orang macam apakah yang mengajarkan jurus
Siang-Sim-kiam ini padamu?"
"Seorang kakek yang bertubuh tinggi besar," tutur Khing-kiok.
"Adakah sesuatu ciri khas pada tubuhnya?" tanya Yu Wi pula.
Khing-kiok berpikir sejenak, mendadak ia berseru, "Ah, memang ada! Perawakannya meski
tinggi besar, tapi karena bungkuk sehingga tampaknya menjadi tidak terlal tinggi."
"Ah, dia itulah Toh-so (si kakek bungkuk)." seru Yu Wi kaget, "Cara bagaimana dia
mengajarkan jurus Siang-sim-kiam itu padamu?"
Mendadak air muka Khing-kiok berubah sedih, omelnya, "Orang tidaklah seperti kau, hutang
budi tidak tahu balas. Suatu hari, diluar benteng kulihat dia meringkuk ditepi jalan, dia kelaparan
dan hampir mati. Maka kubawa dia kedalam benteng, kuberi makan sekenyangnya. Sebelum pergi
dia memuji hatiku baik, katanya tidak dapat memberi balas apa-apa, maka aku diajari sejurus ilmu
pedang kebanggaannya."
"O, setelah dia mengajarkan ilmu pedangnya padamu, apakah dia tidak menyuruh kau
memenuhi sesuatu janji?" tanya Yu Wi.
"Tidak." jawab Khing-kiok. "Tapi waktu mau pergi, dia seperti bergumam mengenai sesuatu
janji selama sepuluh tahun apa, belum selesai bicaranya dia lantas melangkah pergi dengan terhuyung2,
melihat jalannya saja tidak kuat, kukira hidupnya takkan lama."
Yu Wi garuk-garuk kepala dan bergumam, "Jika demikian, tampaknya dia juga tak dapat
melaksanakan janji pertemuan, lantas siapa yang akan mewakili dia?"
"memenuhi janji apakah" Dapatkah kau ceritakan padaku?" tanya Khing-kiok.
"Kalau tidak tahu ya tidak perlu tanya." jawab Yu Wi ketus. Dia sengaja bersikap kasar agar
dibenci oleh si nona.
Tentu saja Khing-kiok mendongkol, teriaknya gemas, "Baik, sedemikian garang sikapmu
padaku, selanjutnya takkan kugubris lagi padamu."
Habis berkata ia terus berlari kebagian dalam, tabir dilepaskan dengan keras.
Tapi Yu Wi belum lagi mengetahui sikap si nona, ia sedang berpikir, "Jika kakek bungkuk juga
tak dapat hadir, lalu siapa lagi yang akan hadir?"
Teringat kepada kakek bisu dan tuli sudah mati secara sia-sia sehingga ilmu pedangnya ikut
lenyap, bisa jadi si kakek bungkuk sekarang juga sudah mati dan ilmu pedangnya pun tidak
diajarkan kepada orang lain.
Maka orang yang mahir Siang-sim-kiam didunia sekarang hanya Lim Khing-kiok saja seorang.
Jika demikian, untuk belajar jurus Siang-sim-kiam harus minta belajar kepada Lim Khing-kiok.
Karena pikiran itu, Yu Wi lantas masuk kebagian dalam, dilihatnya si nona lagi duduk ditepi
ranjang, ia mendekatinya dan berkata, "Kiok-moay, jurus Siang-sim-kiammu itu bolehkah
diajarkan kepadaku?"
"Jangan bicara padaku, takkan kugubris kau." jawab Khing-kiok kesal.
Yu Wi jadi kikuk karena sikap orang yang dingin itu. Dia tidak biasa memohon kepada orang
lain, melihat Khing-kiok tidak senang, terpaksa ia melangkah kedepan dengan perasaan berat. Ia
pikir bila si nona tidak mau mengajarkan padanya, tampaknya tidak mungkin lagi untuk belajar
lengkap keenam jurus pedang yang lain.
Dan kalau keenam jurus pedang itu tidak dapat lengkap dipelajari, apakah It-teng Sin-ni akan
mengizinkan dirinya bertemu dengan Ya-ji"
Teringat kepada kemungkinan-kemungkinan buruk, tanpa terasa ia menghela napas berulang2.
Didalam Khing-kiok dapat mendengar suara hela napas Yu Wi itu, betapapun hatinya merasa
tidak tenteram, ia menjadi lupa telah menyatakan tidak akan menggubrisnya lagi, buru-buru ia
keluar dan bertanya, Toako. . . . ."
"Apakah kau mau mengajar padaku?" cepat Yu Wi menukas dengan girang.
Khing-kiok menghela napas, katanya, "Bukannya aku tidak mau mengajarkan padamu, soalnya
pada waktu si kakek bungkuk mengajarkan ilmu pedang ini kepadaku, aku diharuskan bersumpah
bahwa ilmu pedang ini tidak boleh diajarkan lagi kepada orang lain, bila. . . bila kulanggar sumpah


Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini, maka selama. . . selama hidupku takkan mendapat keturunan. . . ."
Hendaklah maklum, menurut ajaran Khong Cu, "Ada tiga pasal tidak berbakti, pasal utama
adalah tidak mempunyai keturunan"
Seorang perempuan kalau tidak dapat mengandung dan memberi keturunan kepada keluarga
sang suami, dijaman dahulu akan dianggap melanggar hukum rumah tangga dan akan ditingalkan
sang suami, bahkan dapat diceraikan secara resmi.
Sebab itulah kaum wanita dijaman dahulu sangat takut bila tidak mengandung. Sekarang si
kakek bungkuk mengharuskan Khing-kiok bersumpah demikian, sebab ia tahu hanya sumpah
inilah yang takkan berani dilanggar oleh orang perempuan.
Begitulah Khing-kiok menjadi merah mukanya setelah menjelaskan sumpahnya, dengan
sendirinya Yu Wi tak dapat memaksa orang melanggar sumpah, terpaksa ia berkata dengan
tertawa, "Ya, sudahlah kalau begitu. Cuma harus kau ingat, ilmu pedang ini tidak boleh diajarkan
kepada orang lain, sebab jurus ini sangat lihai, bilamana dikuasai oleh orang jahat, tentu akan
banyak mendatangkan malapetaka."
Pada saat itulah, tiba-tiba didengarnya diluar ada suara serak orang tua sedang bertanya, "He,
pelayan, akhir-akhir ini adakah tempatmu ini kedatangan tamu kakek cacat berusia antara tujuh
atau delapan puluh?"
Hati Yu Wi tergerak, cepat ia keluar. Dilihatnya didepan hotel berdir seorang Tosu, meski
usianya sudah lanjut, tapi masih gagah dan bersemangat.
Yu Wi coba memandang kedua kaki orang, dilihatnya si Tosu berdiri dengan tagak dan kuat,
jelas tidak cacat, Diam-diam ia heran, pikirnya, "Siapakah orang ini" Mungkinkah salah seorang
diantara Jit-can-so" Kalau bukan untuk apa dia tanya jejak ketujuh kakek cacat itu?"
Dalam pada itu terdengar pelayan hotel lagi menjawab, "Tidak, tidak ada tamu begitu!"
Maka si Tosu bergumam. "Aneh! Padahal Pek-gwe-capgo (tanggal 15 bulan 8) sudah hampir
tiba, mengapa mereka belum kelihatan" Jangan-jangan mereka sudah meninggal semua?"
Sembari bicara ia terus melangkah masuk kehotel itu. Hotel ini juga merangkap sebagai
restoran, ruangan depan cukup luas, sekaligus dapat menjamu berpuluh orang.
Tosu tua itu memilih sebuah tempat dan berduduk, ia pesan makanan dan arak.
Perut Yu Wi sendiri juga sudah lapar, iapun duduk disebelah sana dan pesan santapan. Selain
itu ia pesan pula makanan enak dan menyuruh pelayan antar kekamar, ia maklum Lim Khing-kiok
tidak leluasa keluar kamar.
Kekuatan minum arak si Tosu tua ternyata sangat kuat, sudah dua-tiga kati arak
dihabiskannya dan belum kelihatan mabuk, bahkan minta tambah lagi satu kati.
Pada saat itulah dari luar tampak masuk pula tiga orang.
Orang yang didepan adalah seorang Hwesio tua berwajah bengis menakutkan, berjubah warna
kelabu, membawa sebatang tongkat paderi berujung bentuk sabit, besar tongkat ini sebesar
lengan anak kecil. Begitu masuk segera dia bertanya dengan suara kasar, "Hai, pelayan, adakah
kau lihat kakek-kakek cacat datang kesini?"
Saat itu si pelayan lagi membawakan arak yang dipesan si Tosu, ia berpaling dan melihat yang
bertanya adalah seorang Hwesio, dengan tidak sabar ia menjawab, "Tamu yang datang kesini
sukar untuk dihitung jumlahnya, darimana kutahu tamu mana yang kau maksudkan?"
Hwesio tua itu menjadi gusar, segera ia melompat maju, ia cengkeram si pelayan dan
membentak, "apa katamu?"
Padahal badan pelayan itu gemuk lagi besar, lebih tinggi daripada si Hwesio tua, tapi dia kena
dicengkeram seperti elang mencengkeram anak ayam, keruan pelayan itu ketakutan hingga muka
pucat seperti mayat, ber-ulang2 ia minta ampun, "Lepaskan hamba, Hud-ya (tuan Buddha),
lepaskan supaya dapat. . . dapat bicara. . . ."
Karena ketakutan, poci arak yang dipegangnya ikut berguncang dan arak muncrat keluar.
Tampak si Tosu berkerut kening, pelahan ia tepuk tangan si pelayan dan menegur, "He,
pelayan, hati-hati sedikit, jangan sampai arakku habis tercecer!"
Mendadak si Hwesio tua merasakan suatu arus tenaga maha kuat mengalir dari tubuh si
pelayan, karena tidak berjaga-jaga, tangannya tergetar kesakitan, cepat ia lepaskan pelayan itu.
"Bluk", pelayan itu terbanting kelantai, namun poci arak yang dipegangnya sempat disambar
oleh si Tosu tua dan ditaruh diatas meja.
Buru-buru si pelayan merangkak bangun, dipandangnya si Tosu sekejap, ia tahu baik si Hwesio
mau pun Tosu bukanlah sembarangan orang melainkan dua orang yang tinggi kungfunya, bisa jadi
keduanya akan segera berkelahi, ia tidak berani banyak cingcong lagi, cepat ia berlari kebelakang.
Hwesio bengis itu tidak merintanginya, tapi mendelik terhadap si Tosu. "Siapa kau?" tanyanya,
ia tahu kekuatan si Tosu tidak boleh diremehkan, tapi mampu menyalurkan tenaga melalui benda
lain. Ia tidak berani gegebah, maka ingin tanya dulu asal-usul si Tosu baru kemudian akan
bertindak. Si Tosu memegang poci arak dan menuang cawannya hingga penuh, tanpa melirik ia
mendengus, "Hm, macam kau juga sesuai untuk bicara denganku?"
Sikapnya sungguh sangat menghina.
Keruan si Hwesio menjadi gusar, telapak tangannya terus menampar cawan arak si Tosu, ia
pikir kalau cawan arak sudah berantakan, coba apa yang akan kau minum.
Sampukan tangan si Hwesio tidaklah ringan, namun si Tosu tetap tidak menghiraukannya,
tangan kirinya yang memegang cawan itu mendadak menggeser cawannya hingga berputar,
kontan arak dalam cawan mancur kearah si Hwesio, seperti anak panah yang mengincar matanya.
Hwesio itu tahu kelihaian panah arak itu, kalau mata tersemprot pasti akan buta. Cepat ia tarik
tangan dan melompat kesamping, walaupun begitu, tidak urung bajunya tersemprot juga oleh
arak dan basah kuyup.
Kelam wajah si Hwesio saking gusarnya, teriaknya, "Kau ingin mampus, hidung kerbau (kata
olok-olok terhadap kaum Tosu)?"
"hah, hanya dengan sedikit kepandaianmu ini juga berani jual lagak?" ejek si Tosu sambil
terbahak-bahak.
Si Hwesio mendelik, jengeknya, "Huh, Jit-can-so yang termashur saja sekali hantam dapat
kumampuskan, kau sendiri berharga berapa" Apakah dapat dibandingkan Jit-can-so?" Sembari
berkata, tongkat berujung sabit terus mengemplang kepala si Tosu.
Tapi secepat kilat ujung tongkat si Hwesio kena ditangkap oleh Tosu tua itu, dengan air muka
guram bertanya, "Apakah benar perkataanmu?"
Sampai beberapa kali si Hwesio membetot tongkatnya, tapi tidak bergeming sedikitpun.
"Hm, jangan membual," jengek si Tosu. "Hanya sedikit kepandaianmu ini masa dapat
menandingi Jit-can-so?"
Habis berucap, mendadak ia lepas tangan. Karena si Hwesio sedang membetot, seketika ia
terhuyung kebelakang dan hampir jatuh terjengkang.
Dua orang kawannya tadi serentak melompat maju dan membentak si Tosu, "apakah kau pun
anggota Jit-can-so?"
Si Tosu mengangkat cawan arak dan menenggak isinya hingga habis, ia tidak gubris
pertanyaan orang.
Kedua orang teman si Hwesio itu berdandan orang biasa, usianya juga tidak muda lagi,
wajahnya sama bengisnya seperti si Hwesio, orang yang sebelah kiri lantas berkata, "Seluruh
dunia tiada tandingan!. . . " dan kawannya yang sebelah kanan lantas menyambung, "Disinilah
kami tida buas!"
Yu Wi terkesiap mendengar uraian mereka itu.
Kiranya ketiga orang ini cukup ternama didunia Kangouw, mereka berjuluk "Bu-tek-sam-hong"
atau tiga buas tanpa tandingan. Yang tertua adalah bekas paderi Siau-lim-si dengan nama agama
Boh-cin, dua orang lagi adalah bekas Tosu dari Bu-tong-pay yang tergolong angkatan tua, yang
satu bernama Thio Hiong-wi, yang lain bernama Khong Put-pau.
Ketiga orang ini sudah lama terkenal buas, sebab itulah mereka telah dipecat oleh
perguruannya masing-masing. Boh-cin tidak kembali kedunia ramai dan masih tetap gundul, tetap
menjadi Hwesio. Sebaliknya Thio Hiong-wi dan Khong Put-pau oleh ketua Bu-tong-pay diharuskan
kembali menjadi orang preman dan dilarang menggunakan nama Bu-tong-pay didunia Kangouw.
Karena sama busuk dan sama jahatnya, ketiga orang itu cocok satu sama lain, sejak dua puluh
tahun yang lalu mereka lantas terkenal sebagai "tiga orang buas yang tiada tandingannya", baik
tokoh dari kalangan putih maupun jago dari golongan hitam sama kepala pusing bila berhadapan
dengan mereka. Setelah menenggak lagi secawan araknya barulah si Tosu tua tadi berucap, "Huh, Bu-tek-samhiong
saja dapat menggertak orang" Biarpun sepuluh kali Bu-tek-sam-hiong juga tidak nanti dapat
meluaki Jit-can-so."
Melihat si Tosu berulang kali membela nama Jit-can-so, diam-diam Yu Wi menjadi curiga, ia
coba meng-amat2i orang, tapi tetap tidak kelihatan apakah si Tosu ini "thi-kah-sian" atau si dewa
kaki besi dari Jit-can-so atau bukan"
Meski Boh-cin seorang Hwesio, tapi sedikitpun dia tidak berpribadi seorang beragama, sedikit2
lantas naik darah, sambil mengangkat tongkatnya segera ia berteriak, "Coba jawab, diantara Jitcan-
so itu ada seorang kakek bungkuk yang bertubuh tinggi besar, betul tidak?"
"Ehm, betul, dia itulah Toh-so." ucap si Tosu, air mukanya mendadak berubah pula.
Dengan bangga Boh-cin tertawa dan berkata, "Nah, Toh-so itulah yang kubinasakan hanya
dengan sekali pukul saja."
"O, jadi memang betul Toh-so telah kau pukul mati?" jengak si Tosu, mendadak ia berbangkit
dan meninggalkan mejanya.
Hendaklah dimaklumi bahwa nama Jit-can-so sudah top didunia persilatan, barang siapa dapat
mengalahkan salah seorang Jit-can-so, tentu namanya akan mengguncangkan Kangouw.
Rupanya Boh-cin memang gila hormat dan ingin mencari nama, dia belum lagi menyadari
bahayanya, dengan tertawa ia masih berseru, "Ya, apa artinya hanya memukul mati seorang
kakek bungkuk" Konon pada tanggal 15 bulan delapan nanti antara Jit-can-so itu ada janji
pertemuan, maka kedatangan Bu-tek-sam-hiong ini adalah untuk bertemu dengan keenam kakek
yang lain. Bisa jadi kami akan mengantar mereka berenam untuk bertemu dengan kakek bungkuk
dirumah neneknya."
Bualannya ini sungguh latah.
Tosu tua itu bergelak tertawa, ucapnya, "Ehm, bagus, sungguh hebat! Barangkali kau si
bangsat gundul ini ingin membunuh seluruh Jit-can-so agar namamu bisa mengguncangkan dunia,
begitu?" Dengan ber-seri2 Boh-cin menjawab. "Betul, betul, aku si bang. . . ." mestinya dia ingin
mengikuti nada ucapan Tosu itu yang menyatakan "aku si bangsat gundul", tapi segera teringat
olehnya kata-kata demikian tidak tepat, mana boleh dia memaki dirinya sendiri sebagai bangsat
gundul, maka cepat ia berganti ucapan, "Keparat, rasakan tongkatku ini!"
Kemplangan tongkatnya sekali ini sungguh sangat keras, memang tidak malu sebagai seorang
jagoan. Akan tetapi dengan sangat mudah kembali tongkatnya ditangkap oleh tangan kanan si Tosu
tua, seketika serangan Boh-cin terpatahkan.
Ketika untuk pertama kali tadi tongkatnya ditangkap orang, betapapun Boh-cin tidak terima
dan penasaran, sekali ini dia mengemplang dengan lebih cepat dan lebih keras, kenapa
tongkatnya kena tertangkap pula, sungguh dia hampir tidak percaya kepada matanya sendiri.
Baru sekarang ia tahu kelihaian si Tosu, sekali betot tidak lepas, segera ia berkaok minta
tolong, "Lekas maju, saudaraku!"
Tanpa ayal Thio Hiong-wi dan Khong Put-pau mencabut pedang dan menubruk maju,
keduanya menusuk berbareng dari kiri dan kanan.
Si Tosu tidak berani gegabah, ia lepaskan tongkat si Hwesio sambil menghindarkan serangan
kedua pedang lawan, jengeknya, "Hm, satu tidak berguna, terpaksa maju bersama ya"!"
Pada saat itulah si pelayan lagi ber-teriak2 disamping, "Mau berkelahi, silakan keluar saja,
keluar saja!. . . ."
Baru satu-dua kalimat, mendadak sorot mata Thio Hiong-wi dan Khong Put-pau yang buas
seperti srigala itu melotot kearahnya, seketika pelayan itu tutup mulut dan tidak berani bicara lagi.
Tapi si Tosu lantas melangkah keluar hotel, sambil melolos pedangnya ia berkata, "Betul, lebih
baik bertempur diluar saja agar tidak mengganggu perdagangan orang!"
Setiba ditanah lapang didepan hotel, tempat ini agak jauh dari bagian kota yang ramai, maka
sedikit orang yang berlalu-lalang, satu tempat yang bagus untuk dijadikan medan perang, sebab
tidak perlu lagi kuatir akan membikin susah orang lain.
Bu-tek-sam-hiong menyusul keluar, mereka berdiri menghadapi si Tosu dari tiga jurusan.
Khong Put-pau membuka suara lebih dulu, "Tosu keparat, jika kau kalah, harus kau ajarkan Haiyan-
kiam-hoatmu kepada kami."
Dengan garang Boh-cin menambahkan, "Justeru lantaran mempertahankan ilmu pedangnya,
makanya kakek bungkuk itu kumampuskan dengan sekali hamtam."
Habis berkata, ia memberi contoh satu pukulan keudara, tenaga pukulannya memang dahsyat
dan mengejutkan.
Ketiga tokoh buas itu se-olah2 sudah yakin si Tosu tua pasti salah seorang Jit-can-so, mereka
pikir dengan tenaga tiga orang menempur seorang Tosu, jelas akan menang dan tidak mungkin
kalah. Dan bila nanti si Tosu terbukti benar salah seorang anggota Jit-can-so, betapapun harus
dipaksa mengajarkan kepada mereka satu jurus ilmu pedangnya yang mengguncangkan dunia
persilatan itu.
Sebaliknya si Tosu juga yakin si kakek bungkuk telah mati ditangan Boh-cin, ia cuma heran
darimanakah Boh-cin dan begundalnya itu mengetahui akan janji pertemuan Jit-can-so pada Pekgwe-
capgo nanti" Sebab apapula si kakek bungkuk bisa mati ditangan Boh-cin" Jangan-jangan
mereka memaksa kakek bungkuk mengajarkan Hai-yan-kiam-hoatnya, karena ditolak, maka kakek
itu dikerubut dan dibunuh mereka"
Teringat betapa gagah perkasa dan termashurnya sikakek bungkuk dan ternyata harus mati
ditangan Boh-cin, seketika timbul rasa murka si Tosu, tanpa bicara lagi pedangnya terus menabas.
"Trang", pedang beradu dengan tongkat berujung sabit milik Boh-cin, tangan Boh-cin tergetar
sakit, ia tahu kekuatan si Tosu jauh diatasnya, kalau bobot tongkatnya tidak berat, benturan tadi
tentu membuat tongkatnya mencelat. Cepat Boh-cin putar tongkatnya dengan kencang, ia
mainkan Hang-mo-tiang-hoat, ilmu permainan tongkat penakluk iblis dari Siau-lim-pay.
Thio Hiong-wi dan Khong Put-pau juga lantas memainkan Liang-gi-kiam-hoat dari Bu-tong-pay,
Liang-gi-kiam-hoat ini meliputi 64 jurus, seorang saja cukup lihay, apalagi dimainkan dua orang
sekaligus. Baru saja terjadi beberapa gebrak, Yu Wi lantas tampil kemuka sambil berseru, "Huh, tiga
mengerubut satu, tidak tahu malu!" Berbareng ia lolos Hian-tiat-bok-kiam atau pedang kayu besi,
segera Boh-cin ditusuknya.
Bukan Boh-cin yang menangkis serangan Yu Wi itu, sebaliknya si Tosu tua yang menyampuk
pedang kayunya sambil membentak, "Siapa kau" Memangnya siapa yang minta bantuanmu?"
Pedang Yu Wi menusuk pula kearah Thio Hiong-wi, berbareng ia menjawab, "Tosu tua, kau
bertempur urusanmu, aku berkelahi urusanku, memangnya kau kira siapa yang mau
membantumu?"
Tapi si Tosu tua lantas melompat keluar kalangan dan berhenti bertempur. Tongkat Boh-cin
terus mengemplangnya sambil membentak, "Huh, mau lari?"
Cepat Yu Wi menangkiskan dengan pedangnya, teriaknya dengan gusar, "Siapa yang mau lari"
Jangan-jangan kau sendiri yang ingin kabur"!"
Kemplangan tongkat Boh-cin itu dilakukan dengan sepenuh tenaga, tapi kena ditangkis oleh
pedang kayu Yu Wi dan pedang anak muda itu ternyata tidak tergetar lepas, keruan ia terkejut
dan membatin, "Siapakah bocah ini" Mengapa juga memiliki tenaga dalam sekuat ini?"
Setelah berlangsung beberapa gebrakan, dengan Thian-sun-kiam-hoat Yu Wi dapat mendesak
Boh-cin bertiga sehingga cuma sanggup menangkis dan tidak mampu balas menyerang.
"Anak jadah, matamu sudah buta barangkali, ingin cari perkara kan salah sasaran kau"!" maki
Boh-cin. Yu Wi menjengek, "Huh, kalian tidak kenal kakek moyangmu yang kecil ini, tapi moyang kecil
justeru kenal kalian. Dua belas tahun yang lalu kalian barang rongsokan, sekarang kalian tetap
barang rongsokan yang tidak tahu malu."
Sambil menangkis satu serangan, Khong Put-pau bertanya dengan heran, "Siapa yang tidak
tahu malu?"
"Dua belas tahun yang lalu kalian pernah ikut mengerubut seorang pendekar pedang, masa
kalian sudah lupa?" tanya Yu Wi.
"Hah, maksudmu Yu Bun-hu" Kau ini apanya Ciang-kiam-Hui?" seru Boh-cin dengan terkejut.
Yu Wi tertawa panjang saking gusarnya, ia pergencar serangannya, setiap serangannya
mematikan. Asalkan kena jiwa Boh-cin bertiga pasti tamat.
Kiranya Yu Wi mengetahui nama Bu-tek-sam-hiong dari buku daftar pembunuh pemberian Ko
Siu itu. Cuma dia tidak tahu persis apakah ketiga orang ini ikut mengerubut ayahnya atau tidak.
Tapi setelah tanya jawab tadi, tahulah Yu Wi bahwa ketiga oran inipun termasuk pembunuh
ayahnya, maka serangannya tidak kenal ampun lagi.
Thian-sun-kiam-hoat jauh lebih lihay daripada ilmu pedang golongan manapun juga, biarpun
Liang-gi-kiam-hoat juga terkenal lihay, tapi tidak sebagus Thian-sun-kiam-hoat, apalagi sekarang
Lwekang Yu Wi sudah maju pesat, biarpun Boh-cin bertiga juga sukar menandinginya, jelas
kelihatan segera mereka akan dikalahkan.
Boh-cin menjadi kelabakan da memaki, "Anak jadah, sesungguhnya siapa kau?"
"Aku inilah putera Ciang-kiam-hui!" seru Yu Wi denga suara lantang.
Ketika mengucapkan kata terakhir, "plok", dengan tepat tulang pergelangan tangan Boh-cin
terketuk pedangnya, tongkat sabit terlepas dari pegangan, sambil memegangi pergelangan tangan
yang remuk Boh-cin terus hendak angkat langkah seribu.
"Lari kemana!" bentak Yu Wi, pedangnya menyambar pula, "plak", kembali tulang punggung
Boh-cin terketuk, sekali ini Yu Wi menggunakan tenaga penuh, tanpa ampun Boh-cin jatuh
terguling dan menjerit kesakitan. Yu Wi terus melompat maju dan menginjak dadanya.
Karena Yu Wi mengejar Boh-cin, hal ini jadi untung bagi Thio Hiong-wi dan Khong Put-pau,
pada kesempatan itu, tanpa menghiraukan mati-hidup Boh-cin, segera mereka kabur secepatnya.
Yu Wi tahu sukar untuk mengundak musuh disana-sini sekaligus, ia pikir pada suatu hari kelak
kalian pasti juga akan dapat kubekuk.
Boh-cin kuatir injakan Yu Wi itu akan membinasakan dia, cepat ia berteriak, "Tolong! Lekas
kalian tolong diriku!. . . ."
Yu Wi hanya menginjaknya pelahan saja dan Boh-cin lantas menjerit.
"Huh, katanya anak murid Siau-lim-pay, ternyata begini tak becus." maki Yu Wi.
Jilid 13 Waktu Boh-cin berpaling dan bayangan Thio Hiong-wi dan Khong Put-pau sudah tidak
kelihatan lagi, ia menjadi lupa rasa sakit dan memaki, "Keparat, meninggalkan kawan dalam
keadaan bahaya, sungguh bukan manusia. . . ."
Diam-diam Yu Wi menggeleng kepala, seorang paderi Siau-lim-si, tapi mengeluarkan kata-kata
kotor demikian, sungguh tidak pantas.
Ia tidak tahu bahwa Boh-cin sudah lebih tiga puluh tahun dipecat dari Siau-lim-si, dia minum
arak dan makan daging, benar-benar seorang Hwesio sontoloyo meski lahirnya dia masih memakai
jubah paderi. "Lekas singkirkan kakimu, tulang punggungku sudah remuk, mana sanggup menahan
injakanmu sekeras ini, kalau tidak lekas kau singkirkan kakimu, bisa mati aku." kata Boh-cin


Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan dogolnya.
"Memangnya kau masih ingin hidup?" damperat Yu Wi, segera ia bermaksud menginjak
mampus Hwesio sontoloyo itu.
cepat Boh-cin berteriak, "nanti dulu, tunggu. Mendiang ayahmu bukan mati ditanganku,
jangan kau salah membunuh orang. . . ."
Yu Wi melonggarkan injakannya dan bertanya, "Habis siapa pembunuhnya?"
"orang yang ikut mengerubut ayahmu dahulu ada ratusan banyaknya," tutur Boh-cin dengan
meringis, "Meski aku termasuk diantara pengeroyok itu, tapi sekali saja aku tidak sempat
menyerang ayahmu, bahkan ingin mendekat saja tidak dapat, mana bisa aku menjadi
pembunuhnya . "
"Hm, hanya dengan sedikit kepandaianmu ini memangnya dapat kau lawan ayahku
almarhum?" jengek Yu Wi, "Nah, kutanya padamu siapa pembunuhnya" Lekas mengaku"
Boh-cin menggeleng, sahutnya, " orang sebanyak itu, aku tidak melhat jelas siapa yang
mencelakai ayahmu."
Yu Wi pikir ucapan orang memang juga benar, orang sudah terluka parah, rasa dendam
sudah terlampias, tindakan Yu Wi biasanya tahu batas, maka dia lantas menyingkirkan kakinya,
ucapnya sambil menghela napas, "Lekas enyah kau Melihat tampangmu, mustahil ayahku dapat
dicelakai olehmu"
sampai sekian lama barulah Boh-cin sanggup merangkak bangun, meski sudah keok dan
dalam keadaan setengah mati, mulutnya tetap tidak mau kalah, ucapnya, "Ah, juga belum tentu.
Biarpun lihay ayahmu juga tidak melebihi Toh-so, tapi kakek bungkuk itu dapat kubinasakan
dengan sekali pukul. . . ."
saking gusarnya Yu Wi mendepaknya pula sehingga terjungkal, makinya, " Bedebah Masih
berani omong besar"
Tapi kulit muka Boh-cin memang tebal, dia masih bergumam, "Buktinya memang begitu Tua
bangka bungkuk itu sedikitpun tidak berguna, mana dia sanggup melawan diriku. . . ."
Yu Wi terus mencengkeramnya bangun sambil membentak, "Cara bagaimana Toh-so mati
ditanganmu" Lekas ceritakan sejujurnya"
Cengkeraman Yu Wi itu persis dibagian tulang pungungnya yang patah, karuan Boh-cin
kesakitan hingga dahi penuh buturan keringat, sambil meringis ia berteriak, "Akan kuceritakan
Lepaskan cengkeramanmu. . . ." Maka dilepaskanlah tangan Yu Wi dan terpaksa Boh-cin
menceritakan kejadian yang sebenarnya.
Kiranya sehabis pertarungan sengit di Ma-siau-hong dulu, kesehatan Toh-so selalu terganggu
dan tidak pernah sembuh. Tahun itu, setelah dia mengajarkan jurus siang-sim-kiam kepada Lim
Khing-kiok dan meninggalkan Hek-po dalam keadaan masih sakit, ia bermaksud mencari seorang
ahli waris agar dapat mewakili dia menghadiri pertemuan di Ma-siau-hong.
Ia menyesal Lim Khing-kiok adalah anak perempuan, kalau tidak tentu Khing-kiok dapat
disuruh mewakilinya.
Toh-so merasakan kesehatannya tidak mungkin pulih kembali, sakitnya semakin parah dan
setiap saat bisa menghembuskan napas terakhir, dalam keadaan cemas dan sukar mendapatkan
ahli-waris, yang diketemukan justeru Bu-tek sam- hiong .
Ketiga gembong penjahat itu dapat mengenali Toh-so adalah seorang anggota Jit-can-so,
timbul pikiran jahat mereka untuk mendapatkan manfaat atas diri kakek cacat itu. Mereka purapura
merawat kakek bungkuk itu.
Toh-so menyangka mereka adalah orang baik, mengingat gerak gerik sendiri tidak leluasa lagi,
maka ia minta ketiga orang itu ikut bantu mencarikan seorang murid baginya.
Bu-tek sam-hiong berhasil memancing dan mengetahui maksud tujuan kakek bungkuk itu,
mereka tidak membantunya mencari ahli waris, sebaliknya malah memaksa si kakek mengajarkan
jurus siang-sim-kiam kepada mereka.
Baru sekarang Toh-so mengetahui Bu-tek sam-hiong bukan manusia baik-baik, tapi sudah
kasip. tenaga dalamnya sudah hilang sama sekali. mana dia mampu melawan ketiga pengganas itu.
Dengan sendirinya Toh so tidak rela mengajarkan ilmu pedangnya kepada orang jahat dengan
segala daya upaya Bu-tek sam-hiong tetap sukar memaksa si kakek bungkuk menuruti kehendak
mereka, dasar watak Boh-cin memang pemarah, dalam gusarnya ia telah menghantam si kakek
bungkuk hingga mengakibatkan kematiannya.
Demikianlah, setelah mengerti duduknya perkara, diam-diam Yu Wi, merasa menyesal bagi
Toh-so. setelah bercerita, Boh-cin merangkak bangun, baru berjalan dua-tiga langkah, ia menoleh dan
menambahkan. "Meski Toh-so lagi sakit, tapi sekali hantam dapat kumatikan dia, kejadian ini sama
sekali bukan karangan tapi kejadian benar-benar, sungguh peristiwa yang dapat kubanggakan
didunia Kangouw."
sungguh Yu Wi tidak menyangka manusia ini sedemikian rendah dan tidak tahu malu, dengan
murka ia memburu maju dan menghantam tepat di dada Boh-cin sambil membentak, "Tidak punya
muka" Padahal hantaman Yu Wi ini hanya menggunakan tiga bagian tenaganya, tapi kontan Boh-cin
tumpah darah dan tidak berani banyak omong lagi, cepat ia berlari pergi dengan sempoyongan.
Yu Wi memandang sekelilingnya, entah sejak kapan si Tosu tua juga sudah menghilang,
Dengan lesu ia kembali ke hotel, ia pikir Tohso sudah mati, di dunia ini orang yang mahir siangsim-
kiam kini tinggal Lim Khing-kiok saja, tapi nona itu tidak mau mengajarkannya, apa dayanya"
Lalu terpikir pula olehnya, Pek gwe-cap go, tinggal tiga hari lagi, sudah waktunya harus
kuberangkat ke Masiau-hong, bila terlambat, pesan guru mungkin tak dapat kulaksanakan.
Ia menuju ke kamar, dilihatnya Lim Khing kiok telah menyongsongnya dan bertanya, "Dengan
siapa kau berkelahi tadi?"
Yu WI tahu si nona diberitahu oleh pelayan hotel, maka ia menjawab dengan ketus, "Kau tidak
kenal dia, untuk apa tanya?"
Maksud baik Khing-kiok telab diterima dengan kasar begitu, tentu saja si nona sangat
mendongkol, ucapnya dengan gemas, "selanjutnya biar kau mati dipukul orang juga takkan
kupeduli lagi."
Yu Wi tidak menghiraukan omelannya, segera ia membereskan rekening hotel dan menyewa
sebuah kereta, Khing-kiok dibiarkan menumpang kereta, ia sendiri menunggang kuda mengikut
dibelakang kereta dan menujulah mereka keBin-tang Hokkian timur.
Pagi pagi sekali hari Pek-gwe-capgo mereka sampai di atas puncak gunung, tinggo Ma-siau-
Hong beribu kaki di atas permukaan laut, berdiri diatas puncak, sejauh mata memandang hanya
lereng gunung belaka berlerot lerot entah berapa panjangnya.
Dahulu di jaman kaisar Bu-te dinasti Han, seorang pembesar bernama Tonghong siok telah
diutus menjelajahi semua pegunungan ternama di dunia ini untuk diberi nama. setiba disini,
Tonghong siok sangat tertarik oleh pemandangan alam yang indah di sini dan disebutnya gunung
ini sebagai gunung ternama nomor satu di dunia.
Kini Yu Wi sendiri berada di puncak gunung ini, diam-diam iapun memuji dan mengakui
kebenaran gelar gunung nomor satu ini.
Khing-kiok juga sangat tertarik oleh keindahan alam di puncak gunung ini, terutama batubatuan
yang serba aneh ini, dia menjadi melupakan segalanya, katanya dengan suara merdu,
"Toako, konon Thay-lo-san ini ada 36 puncak, 72 gua dan berpuluh tempat pesiar lain yang indah,
maukah kita mengunjunginya satu persatU?"
Yu Wi hanya bersuara singkat dan tidak menanggapinya.
Melihat sikap Yu Wi yang tidak mengacuhkan dirinya itu, Khing-kiok menjadi dongkol pula,
katanya, "Kau tidak mau menemani aku, biar kupesiar sendirian." Habis berkata segera ia hendak
melangkah pergi.
Yu Wi menghela napas, ucapnya, "Kesehatanmu belum pulih, mana boleh kutemani kau
berpesiar?"
Hati Khing-kiok tergerah terpaksa ia berdiam disitu dan tidak menyinggung lagi tentang pesiar
segala. Melibat sekitar situ tidak ada bayangan seorang pun, Yu Wi bergumam, "Berapa lama lagi baru
dia akan datang?"
Khing-kiok pilih sepotong batu besar halus serupa kursi dan duduk di situ, Ia pandang Yu Wi
dengan termangu-mangu, sorot matanya yang lembut pasti akan menngiurkan hati siapapun
juga. Akan tetapi Yu Wi tidak merasakan apa-apa, Ia mondar-mandir sendirian kian kemari,
Mendadak terdengar suara langkah kaki orang, semangat anak muda itu berbangkit, waktu la
memandang ke sana, dilihatnya yang muncul adalah seorang Tosu tua. Tosu tua ini bukan lain
daripada Tosu yang pernah dilibat Yu Wi direstoran itu.
setiba di atas puncak, Tosu itu terus duduk bersila di situ, sampai sekian lama tetap tidak
bergerak. Yu Wi mendekatinya dan bertanya, "Locianpwe, engkau menunggu siapa?"
"Menunggu kau," jawab si Tocu mendadak.
Yu Wi terkejut, "Menunggu aku" . . . siapa... siapa kau?"
Tosu itu tertawa, katanya, "Kutahu kau ini muridJi Pek liong, masakah kau belum lagi tahu
siapa diriku?"
"-cianpwe kenal guruku?"
Tosu tua itu menghela napas, laku berucap. "sepuluh tahun tidak bertemu, tak tersangka
gurumu sudah wafat."
"Ah, rupanya engkau memang Thi-kah-sian (dewa kaki besi)" seru Yu Wi, tapi dalam hati pun
sangsi, kedua kaki Tosu itu kelihatan baik-baik saja, masakah dia ini Koat-tui-so (kakek buntung
kaki)?" Tosu itupun tidak menyebut siapa dirinya yang sesungguhnya, dia tetap duduk tanpa
bergerak. "Locianpwe menunggu siapa lagi?" tanya Yu Wi, Tosu tua tidak menjawab, tapi bergumam
sendiri, "seharusnya sudah datang"
Yu Wi tahu apa yang dimaksudkan orang, ucapnya dengan tersenyum getir, "Mereka takkan
datang lagi"
Tosu tua menengadah dan memandangnya sekejap tanpa tanya apa arti ucapannya itu, tak
terpikir olehnya bahwa di antara jit-can-so, kecuali dirinya sendiri tiada satupun kakek lain yang
bakal hadir lagi di sini.
Ia terus berduduk hingga dua-tiga jam lagi, sang surya sudah berada di tengah cakrawala,
rupanya si Tosu tua tidak sabar menunggu lagi, mendadak ia berbangkit dan berseru, "Baiklah,
boleh bertanding lebih dulu."
Yu Wi tahu pertandingan ini adalah pertarungan penentuan, tidak perlu banyak adat dan
sungkan segala, segera ia meloloskan pedang kayu dan berdiri tegak dengan prihatin.
Tosu tua berkata dengan tak acuh, "Kemarin dulu kusaksikan kau menghajar Bu-tek samhiong
kepandaian Ji-heng tampaknya sudah seluruhnya diajarkan kepadamu.Janji pertemuan
dahulu menetapkan semuanya harus hadir, kini Ji-heng sudah wafat dan tak dapat hadir dan
diwakilkan kepadamu, betapapun kau adalah angkatan muda. Begini saja, asalkan dapat
kaukalahkan diriku, segera akan kuajarkan jurus Hai-yan-kiam-hoatku dan tidak perlu lagi
menunggu mereka."
Diam-diam Yu Wi mendongkol, ia pikir bilakah guruku meninggal" Kenapa selalu dikatakan
sudah wafat, kan sama seperti mengutuki beliau"
Ia tidak tahu bahwa menurut perjanjian Jit-can-so dahulu, kecuali orangnya mati, maka janji
pertemuan ini harus dihadiri sendini.
Terpikir pula oleh Yu Wi, "Kelima kakek yang lain sudah meninggal, ditunggu sampai dunia
kiamat juga takkan muncul, mau-tak-mau kau harus bertempur sendirian denganku."
Tapi dia tidak mau memberitahukan tentang meninggalnYa kelima kakek yang lain, ia kuatir
hal ini akan mempengaruhi pikiran si Tosu tua, andaikan dirinya menang juga tidak gemilang.
Dalam pada itu Tosu tua telah melolos sebatang pedang panjang, bentuknYa antik, ia pandang
pedang kayu Yu Wi dan berkata, "Pedangku ini bernama Jing-tiok (bambu hijau), tajamnya luar
biasa. kau barus hati hati."
"Pedang kayu Wanpwe ini tidak takut kepada senjata tajam macam apapun," jawab Yu Wi.
"ooh" si Tosu tua bersuara singkat, dengan prihatin ia berkata, "Nah, boleh mulai serang dulu"
Yu Wi tidak bersuara lagi, pedang menusuk miring ke samping terus diputar balik, seketika
tercipta tiga kuntum bunga cahaya, gerakan ini dalam Thian sun kiam-hoat disebut sam hoa hianhud
atau tiga bunga dipersembahkan kepada Budha, suatu jurus. pembukaan penghormatan-
"Terima kasih" kata si Tosu tua dengan tersenyum. Pedang hambu hijau juga bergerak
kekanan dan ke kiri, dia memutar dengan enteng, tapi lantas membentuk tujuh kuntum bunga
cahaya. Terkesiap hati Yu Wi, pikirnya, "Paling banyak aku cuma mampu menciptakan lima kuntum
cahaya, dia sekaligus dapat menciptakan tujuh kuntum, nyata ilmunya jauh di atas diriku."
Ia tidak berani gegabah lagi, dengan penuh perhatian ia hadapi si Tosu tua sebagai lawan
tangguh. Tosu tua lantas memutar pelahan pedangnya, serentak ia mainkan ilmu pedangnya yang
hebat. Dahulu Tosu tua inipun menggunakan jurus ini untuk menempur Ji Pek liong, sampai ribuan
gebrakan tetap sukar dibedakan unggul dan asor, Dan sekarang Thian-sun-kiam hoat yang
dimainkan Yu Wi ini juga ilmu pedang yang pernah dimainkan Ji Pek liong dahulu.
jadi terhadap Thian sun-kiam hoat si Tosu sudah apal, setiap kali Yu Wi memainkan satu jurus,
segera ia tahu apa jurus berikutnya. sebaliknya Yu Wi sama sekali tidak kenal ilmu pedang si Tosu.
Dengan demikian jelas Yu Wi ada dipihak yang rugi, hanya belasan gebrakan saja dia sudab
terdesak. Untung dia sangat cerdas, melihat gelagat tidak menguntungkan, cepat ia ganti siasat,
dimainkannya ilmu pedang ciptaan Kan Yok-koan.
Ilmu pedang Kan Yok-koan itu mengutamakan cepat dan ganas, belum pernah si Tosu melihat
ilmu pedang demikian, seketika ia jadi terdesak sehingga keadaan dapat dikembalikan Yu Wi
menjadi sama kuat
Akan tetapi setelah ratusan jurus, mulai kelihatanlah keuletan si Tosu tua, makin lama
permainan pedang Yu Wi tambah lamban, pedang yang dipegangnya terasa makin berat.
Maka Yu Wi kembali terdesak. Yu Wi tidak mampu melancarkan serangan cepat sehingga daya
serang ilmu pedang ciptaan Kan Yokkoan itu cuma enam bagian saja yang dapat dikembangkan.
setelah beberapa puluh jurus berlangsung pla, setiap saat Yu Wi ada kemungkinan akan
dikalahkan- Diam-diam ia mengeluh, "Tidak, tidak boleh kalah, aku tidak boleh kalah..."
Dilihatnya pedang si Tosu tua lagi menyambar dari atas, Yu Wi merasa tidak sanggup
menangkis, cepat ia putar pedang kayu, dimainkan jurus Put boh kiam.
Jurus serangan si Tosu ini adalah satu jurus ciptaannya sendiri yang paling dahsyat daya
serangan, ia yakin Yu Wi pasti tidak mampu bertahan lagi. siapa tahu pada saat terakhir
mendadak anak muda itu memainkan jurus Put boh-kiam yang perrnah membuatnya pusing
kepala karena tak mampu mematahkannya.
Ketika pedangnya bertemu dengan tabir cahaya pedang yang dipasang Yu Wi, seketika jurus
serangan kebanggaannya itu sirna tanpa bekas, daya serangnya sama sekali tak dapat
dikembangkan. si Tocu tua sudah terlalu apal terhadap jurus Put-hoh-kiam ini, entah sudah berapa kali pernah
dimainkan Ji Pek liong dan dirinya tidak pernah mampu membobolnya, kini setelah jurus ini
diajarkan kepada muridnya dan tetap tidak dapat membobolnya, maka betapa pedih perasaannya
sungguh sukar dilukiskan. "Awas" bentaknya segera. kembali la menyerang lagi.
Serangan ini terlehih dahsyat daripada serangan tadi, Yu Wi terkejut, ia tahu inilah jurus Haiyan-
kiam hoat. Cepat ia mainkan jurus Put-hoh-kiam dengan lebih rapat.
Ketika pedang si Tosu hertemu dengan tabir pedang Yu Wi, sekali ini ujung pedangnva dapat
menembus dan tiada tanda-tanda teralang, daya serangnya juga tidak terpatahkan. Diam-diam
hati si Tosu hergirang pikirnya. Betapapun tenaga dalam bocah ini masih cetek, kalau tidak. mana
kumampu menembus pertahanannya"
Dengan jurus ini dahulu si Tosu hanya sanggup menggetar mundur pertahanan Ji Pek liong
dan tidak dapat menembus tabir cabaya pedangnya. Tapi sekarang dia dapat membobolnya, tentu
saja sangat girang. diam-diam ia membatin, sekali ini kau harus menyerah kalah
siapa tahu. ketika ujung pedang sudah mencapai titik terakhir, rasanya lawan tetap tidak
tertusuk. keruan Tosu itu terperanjat, cepat la menarik kembali pedangnya, dan melongo kesima.
Yu Wi juga berhenti dan menarik napas, air mukanya rada pucat dan jantung masih berdebar,
pikirnya, sungguh berbahaya Apabila tabir pedang terakhir dibobol lawan, saat ini aku tentu sudah
kalah. Kiranya jurus Put-boh-kiam itu telah dapat dilatih oleh Yu Wi sehingga mampu menaburkan
sembilan lapis tabir cahaya, jurus serangan si TosU tadi berturut-turut sudah membobol delapan
lapis cahayanya, sampai tabir kesembijan barulah habis daya serangnya. Apabila Yu Wi hanya
mampu memasang delapan lapis tabir, jelas dia pasti sudah kalah oleh si Tosu.
Mendadak terdengar Tosu itu bersiul panjang, teriaknya, "Coba lagi satu kali"
Dia tetap menyerang dengan jurus tadi, tapi serangnya bertambah kuat, melihat kehebatan
lawan, Yu Wi tidak berani lagi bertahan dengan Put-boh-kiam, tapi balas menyerang dengan jurus
andalannya. "Bu-tek kiam yang hebat" teriak si Tosu tua.
Maka terjadilah adu pedang, creng, pedang kayu Yu Wi terlepas dari pegangan. Tosu tua
tertawa panjang, kembali pedangnya menusuk pula.
Pada saat yang paling gawat ini. sekonyong-konyong Yu Wi menggunakan tangan kiri untuk
menyambar pedang kayu yang mencelat itu, berbareng iapun balas menyerang.
Hendaklah maklum, sejak tinggal di Hek-po dahulu Yu Wi sudah terbiasa berlatih pedang
dengan tangan kiri, kini serangan tangan kiri juga tidak kurang dahsyatnya.
Dari pengalaman tadi, Yu Wi menyadari tenaga dalam sendiri selisih sangat jauh dibandingkan
lawan- maka sekarang ia tidak mau lagi beradu senjata dengan si Tosu. Mendadak Tosu itu
berseru kaget, "He. Taygu-kiam?"
sungguh dia tidak menyangka jurus yang dimainkan Yu Wi dengan tangan kiri ini adalah jurus
andalan can-piso atau si kakek buntung tangan- Tapi dia tidak menjadi gugup atau bingung,
bahkan serangannya bertambah lihay
Tapi lantas terdengar lagi suara creng, kembali kedua pedang terbentur, tangan kiri Yu Wi
tidak mampu memegangi pedang kayu dan tergetar mencelat. Ia tidak sempat meraih dengan
tangan kiri, sekali ini mangan kanan yang keburu menyambar kembali pedang yang mencelat itu.
Melihat gerak perubahan Yu Wi sangat cepat dan aneh, padahal usianya masih muda, jelas
bukan hasil latihan melulu, tentu juga bakat pembawaan, mau-tak-mau si Tosu memuji,
"Kepandaian bagus"
Belum lenyap suaranya, lagi-lagi ia menyerang dengan jurus yang sama. cepat Yu Wi
melancarkan serangan balasan untuk mengimbangi serangan lawan- Dalam hati ia
memperingatkan dirinya sendiri, "Jangan sampai beradu senjata dengan dia."
Akan tetapi Hay-yan-kiam-hoat yang dimainkan Yu Wi dengan jurus yang dimainkan si Tosu
tidak banyak berselisih, hanya tenaga dalam si Tosu lebih kuat daripada Yu Wi, jika lawan sengaja
mengadu kekuatan, betapapun sukar bagi Yu Wi untuk mengelak.
Maka terdengarlah cring satu kali, pedang Yu Wi terlepas pula, tapi dengan tangan kiri kembali
sempat disambarnya.
Hati si Tosu jadi tambah heran- serunya "Jurus ini adalah jurus andalan Bu-bok so, anak
hebat, sesungguhnya ada berapa jurus Hai-yan-kiam-hoat yang kaukuasai?" sambil bicara, jurus


Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serangannya tidak pernah berhenti.
Diam-diam Yu Wi berpikir apabila keadaan demikian berlangsung terus, kalau meleng sedikit,
akhirnya dirinya pasti kalah.
Tiba tiba ia mendapat akal, ia mengikuti permainan pedang kilat ciptaan Kan Yo-koan, ketika
jurus Bu tek kiam pada tangan kiri baru di lontarkan, mendadak ia ubah menjadi jurus tay-gukiam,
belum selesai jurus Taygu-kiam, segera ia ganti lagi menjadi jurus Hong sui- kiam.
Dengan demikian tiga jurus itu seperti dimainkanya menjadi satu jurus, hampir pada saat yang
sama ia dia mengincar tiga tempat di tubuh si Tosu.
Dalam keadaan demikian si Tosu menjadi tidak sempat lagi menggunakan pedangnya untuk
membentur pedang kayu lawan, lambat laun ia menjadi repot.
Yu Wi tidak ayal, berturut turut ketiga jurus itu terus dimainkan, semula rasanya tidak begitu
lancar, tapi lama lama bertambah lihay.
Apapun juga jahe memang pedas yang tua. Meski dalam posisi tidak menguntungkan, si Tosu
tua masih juga bisa menilai keadaan, digunakannya keunggulan sendiri untuk menutupi
kekurangannya, ia tahu dalam hal kebagusan jurus serangan memang sukar mengalahkan anak
muda itu, harus menggunakan kekuatan yang lebih ulet untuk menghadapi lawan. segera ia
mainkan jurus Hai-yan-kiam-hoatnya dengan lebih dahsyat.
Dengan demikian, dapatlah si Tosu memantapkan keadaannya yang repot tadi, karena
terdesak oleh kekuatan lawan yang hebat, Yu Wi tidak dapat banyak bergerak lagi.
Akan tetapi Hai-yan-kiam-hoat bukan ilmu pedang biasa, satu jurus lebih banyak dikuasai,
semakin hebat pula daya serangannya. Kini Yu Wi lebih banyak menguasai dua jurus, dengan
sendirinya daya serangannya tidak kepalang hebatnya. Meski kalah ulet, melulu kebagusan Haiyan-
kiam-hoat saja dapatlah Yu Wi mematahkan setiap serangan si Tosu, maka kedudukan kedua
orang kembali dalam keadaan sama kuat.
setelah sekian lama lagi, lambat-laun hati si Tosu mulai tidak tenteram, maklumlah, dia
mainkan jurus serangannya dengan sepenuh tenaga, lama-lama terasa lelah juga.
sebaliknya Yu Wi melayani dengan cepat, bahkan berebut mendahului sehingga tidak perlu
menggunakan segenap tenaganya, pula dia masih muda, bertempur satu hari penuh juga tidak
menjadi soal, biarpun tenaga terkuras juga tidak habis seperti keadaan si Tosu sekarang, jadi
tambah lama tambah menguntungkan Yu Wi.
setelah bertempur lagi setengah jam, serangan si Tosu sekarang sudah mulai lemah, kini
tenaga yang dilontarkan paling-paling hanya tujuh bagian daripada tenaga semula,
Karena tenaga berkurang, kedudukannya jadi buruk. selangkah demi selangkah ia terdesak
mundur, kini dia cuma sanggup menangkis dan tidak mampu lagi balas menyerang. Bila
berlangsung lagi sejenak. keadaannya tentu gawat.
sekonyong-konyong Yu Wi melancarkan suatu serangan kilat, plok, dengan tepat pedang kayu
mengetuk pada kaki kiri si Tosu.
setelah mengenai sasarannya, diam-diam Yu Wi merasa menyesal. sebab ia pikir ketukan pasti
akan membuat kaki lawan cacat.
siapa tahu tubuh si Tosu tetap berdiri tegak tanpa bergeming, ketukan pedang Yu Wi itu
seperti tidak mengenai kakinya.
Keruan Yu WI terkejut, pikirnya, Apakah kakinya terbuat dari baja"
Pada saat Yu Wi sedang melenggong itulah mendadak pedang si Tosu menabas pedang kayu
Yu Wi. Ketika anak muda itu menyadari apa yang terjadi, namun sudah terlambat, terpaksa ia
menyalurkan segenap tenaga dalam pada pedang kayunya.
Terdengarlah " Cring" satu kali, kedua pedang sama-sama mencelat, Yu Wi tergetar sehingga
pergelangan tangan pegal linu dan lupa menyambar pedang yang terlepas itu dengan tangan yang
lain. si Tosu tua juga tidak menyangka pedangnya akan terlepas dari cekalan, tangannya juga
tergetar kesemutan, diam-diam ia menyadari tenaga dalam sendiri yang telah banyak terkuras itu
sehingga sekarang tenaga mereka sama kuatnya, apabila pertarungan berlanjut lagi, tentu dirinya
kalah kuat. Mendadak ia melancarkan suatu pukulan dengan tangan kiri, pada saat Yu Wi sedang
melengak itulah dia bermaksud menarik keuntungan untuk mengalahkan anak muda itu. Diluar
dugaan, meski pedang terlepas, Yu Wi tidak melenggong, berbareng dengan si Tosu ia pun
melancarkan suatu pukulan.
Karena sama-sama ingin menang, serangan kedua orang sama cepatnya, ketika keduanya
sama-sama menyadari apa yang akan terjadi, terdengarlah suara "blang yang keras, kedua tangan
masing2 melengket dan keduanya jatuh terduduk.
Berbareng kedua orang juga sama-sama mengerahkan tenaga, keadaan sekarang berubah
menjadi keduanya sedang mengadu tenaga murni.
Menyaksikan itu, Lim Khing-kiok merasa tidak tenteram, ia tahu dengan pertandingan cara
begini, akhirnya salah satu pasti akan terluka parah biarpun tidak mati. Tidak menjadi soal bila si
Tosu tua yang kalah, jika Yu Wi yang celaka, lantas bagaimana nasibnya sendiri nanti"
Maka cepat la mendekati mereka. serunya dengan cemas, "He, janganlah kalian bertanding
lagi Janganlah bertanding lagi. . . ."
Dilihatnya Yu Wi dan si Tosu tua itu mendadak sama memejamkan mata, jelas keduanya
hendak mengerahkan tenaga sepenuhnya. Cepat ia berseru pula, "sudahlah, kalian tiada
permusuhan apa apa. mengapa mesti mengadu jiwa cara begini?"
Tiba-tiba si Tosu membuka matanya dan berKata, "Ucapan nona memang tepat, kita tiada
permusuhan apapun, janganlah mengulangi sejarah sepuluh tahun yang lalu, akibatnva kedua
pihak sama cedera . . ."
Tosu itu menyadari tenaganya semakin lemah dan akhirnya pasti akan dikalahkan Yu Wi yang
jauh lebih muda, biarpun sekarang pertarungan kelihatan sama kuat, tapi lama kelamaan dirinya
pasti kehabisan tenaga dan kalah. Maka ia berharap pertarungan itu dapat dihentikan, bila salah
seorang kakek cacat lain ada yang datang lagi, dengan tenaga gabungan mereka tentu dapat
mengalahkan Yu Wi.
Kelihatan Yu Wi juga membuka matanya pelahan dan berkata, "Dengan ucapan cianpwe ini,
jadi Cianpwe sudah mengaku kalah dan mau mengajarkan satu jurus Hai- yan- kiam- hoatmu" "
si Tosu menjadi gusar, damperatnya, " omong kosong Mana bisa kukalah" Tidak nanti
kuajarkan Hai-yan-kiam-hoa
Bukit Pemakan Manusia 5 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Golok Halilintar 3
^