Pencarian

Pendekar Panji Sakti 19

Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Bagian 19


disini, bukan saja Im Ceng merasa gusar bercampur sedih, bahkan kawanan gadis penghuni Pulau Siang-cun-to pun merasa bahwa sikap yang diperlihatkan Jit ho Nio nio hari ini sedikit kelewatan dan tidak berperasaan, tanpa terasa timbul perasaan simpatik mereka terhadap Un Tay-tay, malah tidak sedikit di antara mereka yang meneteskan air mata.
Sambil meninju permukaan tanah dan menangis tersedu, kembali Un Tay-tay merengek:
"Nio Nio, mana mungkin kau bisa memaksa orang untuk melakukan perbuatan yang tidak mungkin dilakukan, kau....
lebih baik biarkan aku mati saja!"
"Hmm... tampaknya memang lebih baik kau mati saja!" sela Jit ho Nio nio dingin.
Habis sudah kesabaran Im Ceng, dengan suara menggeledek teriaknya:
"Dendam sakit hati apa yang terjalin antara kau dengan Perguruan Tay ki bun kami...."
Ditengah bentakan keras tubuhnya melambung ke udara dan langsung melepaskan satu pukulan ke punggung Jit ho Nio nio.
Kawanan gadis yang berada diseputar sana sama-sama menjerit kaget, paras muka mereka berubah hebat.
"Hmm! Kau berani kurangajar kepadaku!" jengek Jit ho Nio nio dingin.
Telapak tangannya langsung berbalik melakukan satu gerakan, seolah tumbuh mata di punggungnya, tanpa berpaling ujung bajunya langsung menyapu ke atas dada Im Ceng.
Belum sempat telapak tangannya menyentuh tubuh lawan, Im Ceng sudah merasakan datangnya segulung kekuatan dahsyat yang menghantam tubuhnya, dia tidak mampu membendung apalagi menghindar, diiringi jeritan tertahan tubuhnya mencelat ke udara dan terpental sejauh tiga kaki dari posisi semula.
Baru saja Un Tay-tay siap menggerakkan tubuhnya sambil menjerit kaget, kembali Jit ho Nio nio mengebaskan ujung bajunya, kali ini dia menyambar jalan darah Cian cing hiat dibahunya, kontak gadis itu tergeletak kaku dan tidak sanggup
bergerak lagi. Biarpun ilmu silat Im Ceng masih jauh ketinggalan dibandingkan kepandaian orang, bukan berarti dia menyerah dengan begitu saja, keberanian serta kenekadannya memang patut diacungi jempol.
Begitu roboh ke tanah cepat dia melompat bangun dan untuk kedua kalinya menerjang maju lagi ke depan.
Ketika Jit ho Nio nio kembali mengebaskan ujung bajunya, untuk kesekian kali pula Im Ceng jatuh bangun, tapi tiga lima kali sudah berlalu, bukan saja dia tidak mampu melepaskan satu jurus serangan balasan bahkan makin mencelat, tubuhnya terpental makin jauh dan berat.
Sekarang dia baru tahu, Jit ho Nio nio yang disebut tokoh paling sakti dalam dunia persilatan memang benar-benar memiliki kepandaian silat yang tidak terkirakan, sekalipun dia berlatih sepuluh tahun lagi pun belum tentu kemampuannya sanggup menandingi lawan.
Menyadari akan kenyataan itu, Im Ceng merasa putus asa dan patah arang, dia mendongakkan kepalanya dan menghela napas panjang, dua titik air mata jatuh berlinang membasahi pipinya.
"Hmm, baru memiliki ilmu silat secetek itu sudah ingin pamer kekuatan" jengek Jit ho Nio nio dingin, "boleh saja bila kau ingin selamatkan nyawanya, asal kau sudah mampus, dia pasti akan hidup tenang. Hanya saja.... aku rasa belum tentu kau memiliki keberanian untuk melakukan-nya"
Mendadak Im Ceng mendongakkan kepalanya dan tertawa seram, teriaknya:
"Ternyata kau hanya menginginkan kematian-ku" Itu mah gampang, aku orang she-Im memang sudah bosan untuk hidup terus!"
Sejak kematian Thiat Tiong-tong, dia memang sudah putus asa, kepedihan dan kemarahan yang dialaminya sekarang telah berubah menjadi kekecewaan, dia semakin merasa kalau hidup itu tidak berarti lagi.
Perlu diketahui Im Ceng adalah seorang pemuda yang berjiwa berangasan cepat naik darah dan temperamen, ketika pikirannya sedang diliputi emosi, sering dia tidak perdulikan mati hidup, apalagi dalam keadaan seperti saat ini dia semakin nekad dan tidak ambil perduli soal mati hidupnya lagi.
Ditengah gelak tertawa yang menyeramkan, tubuhnya melejit ke udara dan segera menceburkan diri ke dalam jurang yang
sangat dalam itu.
Siapa tahu Jit ho Nio nio segera mengebaskan ujung bajunya lagi dan segera mencegah tindakan nekadnyaitu.
"Sampai ingin matipun kau masih menghalangiku?" teriak Im Ceng gusar.
"Dibawah jurang ini merupakan samudra luas, belum tentu kau akan mampus bisa tercebut ke situ, bila betul-betul ingin mati, lebih baik melompat saja dari sebelah sana" kata Jit ho Nio nio dingin.
Dia bicara tanpa berpaling, apalagi memandang ke arahnya.
Sambil tertawa keras kembali Im Ceng berkata: "Un Tay-tay, biarpun selama hidup aku tidak dapat mendampingimu, tapi setelah mati nanti tidak akan ada orang yang bisa menghalangiku untuk bertemu lagi denganmu. Jiko, tunggu kedatanganku...."
Belum selesai dia tertawa, tubuhnya sudah meluncur ke dalam jurang, dari kejauhan sana hanya terdengar suara gelak tertawanya yang penuh diliputi rasa gusar bercampur kepedihan.
Setengah hari berselang Im Ceng telah menghajar Thiat Tiong-tong hingga tercebur ke dalam jurang, setengah hari kemudian dia sendiri yang terjun ke dalam jurang, dia tahu dengan kematiannya ini bukan saja telah selamatkan jiwa Un Tay-tay, diapun bisa mencuci bersih dosa serta rasa penyesalannya, perasaan hatinya sesaat sebelum mati pasti sangat tenteram.
Tapi mana mungkin dia menyangka kalau dengan
kematiannya itu justru mereka yang hidup akan merasakan penderitaaan dan siksaan yang lebih parah"
Apalagi ke dua orang murid Thiat-hiat Tay ki bun ini merupakan dua jago tangguh yang paling berbakat dan paling cemerlang masa depannya.
Sekalipun perangai kedua orang itu berbeda, namun yang satu adalah jago yang tidak panik meski menghadapi bahaya, selalu banyak akal untuk menghadapi situasi, sementara yang lain adalah seorang jago yang penuh dengan semangat kependekaran.
Tapi kini, secara beruntun dalam seharian mereka harus mati susul-menyusul, berbicara bagi perkembangan dunia persilatan, jelas kejadian ini merupakan satu kehilangan besar, karena masih ada begitu banyak beban serta tanggung jawab yang harus mereka selesaikan.
Waktu itu, walaupun Un Tay-tay sama sekati tidak mampu bergerak namun perasaan hatinya sudah hancur lebur, dengan
sorot mata basah oleh air mata dia tatap wajah Jit ho Nio nio, menatap dengan pandangan sedih, gusar bercampur dendam, perasaan yang tidak dapat diurai oleh siapa pun.
Tiba-tiba Jit ho Nio nio berpaling, ternyata wajahnya yang pucat telah dibasahi air mata, perlahan-lahan ujarnya:
"Hantar Un Tay-tay ke ruang Liu im koan, rawat dia secara baik-baik"
Dari balik nada ucapannya, kedengaran rasa perhatian serta sayang yang sangat mendalam.
Saat itu, andaikata memungkinkan, Un Tay-tay ingin sekali mengumpat:
"Kalau kau sudah memaksanya hingga bunuh diri, buat apa mesti mengucurkan air mata?"
Sayang tubuhnya tidak mampu bergerak, mulutnya tidak mampu berbicara hingga tidak sepatah kata pun sempat meluncur keluar.
Dua orang gadis berjalan mendekat dan membopongnya, tanpa mampu melawan tubuhnya dibopong orang dan dibawa turun bukit.
Menanti bayangan tubuh mereka telah lenyap dari
pandangan, tiba-tiba Jit ho Nio nio mendongakkan kepalanya sambil menghela napas panjang, gumamnya dengan getir:
"Tidak kusangka ternyata dalam Perguruan Tay ki bun masih terdapat lelaki yang rela mati demi cinta...."
Bekas air mata belum mengering dari wajahnya namun sekulum senyuman tersungging diujung bibirnya, tidak jelas dia sedang bersedih hati" Atau merasa girang" Mungkin tidak seorang manusia pun di dunia ini yang bisa menebak suara hatinya.
Kaki bukit, gedung Liu im koan, sebuah bangunan mungil yang bersih lagi tenang.
Saat itulah terlihat empat sosok bayangan manusia meluncur keluar tanpa menimbulkan suara, bergerak cepat langsung menuju ke tepi laut.
Ditepi pesisir, diatas perahu nelayan. Suasana hening tidak kedengaran setitik suara pun.
Nenek yang rambutnya telah beruban itu duduk bersila diujung sampan, duduk sambil menengadah memandang angkasa.
Dia seakan sedang menantikan sesuatu, seperti juga sedang
duduk kesepian, langit nan biru, air laut nan hijau, rambut nan putih.... suatu perpaduan warna yang unik.
Empat sosok bayangan manusia yang muncul dari gedung Liu im koan itu menghentikan gerakan tubuhnya ditempat kejauhan, serentak mereka memperhatikan nenek diatas sampan itu tanpa berkedip, gerakan tubuh mereka berempat cepat, ringan dan lincah, siapa pun tidak ada yang menimbulkan suara.
Meski tidak berpaling, tampaknya nenek itu sudah merasakan kehadiran mereka, mendadak serunya dengan suara dalam:
"Kemari!"
Ke empat sosok bayangan manusia itu saling bertukar pandangan sekejap, akhirnya mereka bergerak mendekat.
Ternyata mereka tidak lain adaah Kiu cu Kui bo Yin Gi, Yin Ping, Gi Peng-bwee serta Leng Cing-peng.
Saat itu diatas wajah Yin Gi yang biasanya dingin menyeramkan telah muncul gejolak emosi yang besar, senyum nakal yang selalu tersungging diujung bibir Yin Ping pun sudah hilang lenyap tidak berbekas.
Perlahan-lahan nenek itu membalikkan tubuhnya menghadap ke arah mereka, ke tiga orang itu saling berpandangan tanpa berkedip, tidak seorang pun yang buka suara maupun menyapa.
Entah berapa saat sudah lewat....
Akhirnya dengan suara gemetar Yin Ping berbisik:
"Toaci...."
"Sam-moay!" balas nenek itu. Sekujur tubuh Yin Ping gemetar keras, tiba tiba ia berlarian ke ujung sampan bagai orang kalap, berdiri dihadapan nenek itu, memandang-nya dengan mata terbelalak dan serunya:
"Toaci, be.... benarkah kau?"
"Kalau bukan aku lalu siapa?" jawab nenek itu sambil tersenyum.
Yin Ping berseru lirih, sepasang lututnya terasa lemas, tidak tahan diapun berlutut diatas geladak.
Yin Gi sendiripun seolah berdiri terperana, dengan wajah bimbang selangkah demi selangkah dia berjalan menuju ke ujung sampan, gumamnya berulang kali:
"Toaci, benarkah kau... toaci, benarkah kau...."
Kelihatannya nenek itupun sedikit tertegun, gumamnya lirih:
"Ji-moay.... ji-moay...."
"Tiga puluh tahun kita tidak pernah bersua, akhirnya harapanku bisa berjumpa lagi dengan toaci terkabulkan juga"
kata Yin Gi. Siksaan dan penderitaan selama banyak tahun, tampaknya telah membentuk perasaan hatinya lebih keras dari baja, sekalipun berada dalam keadaan penuh emosi, dia masih tetap berdiri tegak bagaikan sebuah patung.
Terdengar nenek itu bergumam pula:
"Tiga puluh tahun.... yaaa, tiga puluh tahun, aaaai! Walaupun hari berlalu sangat lambat bagai rangkak dari siput, terkadang pun terasa betapa cepatnya tiga puluh tahun telah berlalu"
"Benar"
"Apakah kau masih ingat" Sesaat sebelum pergi meninggalkan kalian, aku masih sempat mencuci rambut kalian berdua, aaaai!
Tidak nyana.... sekarang.... rambutmu telah beruban"
"Rambut toaci pun telah beruban!" sambung Yin Gi sambil tundukkan kepalanya.
"Yaaa, telah beruban, telah beruban" nenek itu tertawa pedih,
"sejak dua puluh tahun berselang telah mulai beruban, aaaai....
sungguh tidak disangka dalam waktu sekejap, aku sudah tiga puluh tahun lamanya tidak pernah menyisirkan rambutmu!"
Perlahan dari sakunya dia mengeluarkan sebuah sisir yang kuno, diujung sisir terdapat sebutir mutiara, dapat dibayangkan betapa indah dan menariknya benda tersebut dimasa lalu.
Tapi sekarang, sisir itu sama persis seperti tiga bersaudara itu, walaupun masih tersisa secercah jejak yang menawan, namun cahaya cemerlang dimasa lampau telah memudar, bahkan cahaya mutiara itupun terasa telah berubah warna menjadi kuning kusam.
Dengan pandangan sayu nenek itu mengawasi sisirnya, lama, lama kemudian dia baru bertanya sambil tertawa pedih:
"Masih ingat dengan benda ini" Sisir inilah yang pernah kugunakan untuk menyisir rambut-mu di masa lalu"
"Yaa, aku masih ingat!" jawab Yin Gi dengan nada gemetar, tanpa terasa dia turut menatap sisir itu dengan termangu.
"Coba lihat rambutmu sekarang, kacau dan menggumpal, kemarilah.... biar kusisirkan lagi rambutmu"
Dia seakan masih menganggap ji-moay nya sebagai gadis kecil dimasa lampau, dia seolah lupa kalau ji-moay nya sekarang adalah seorang gembong iblis wanita yang nama besarnya telah menggetarkan sungai telaga semenjak dua puluh tahun berselang.
Butir air mata tiba-tiba mengembang dalam kelopak mata Yin
Gi lalu jatuh berlinang membasahi pipinya, perlahan dia berpaling kemudian benar-benar duduk di depan nenek itu, membiarkan toaci nya sekali lagi menyisiri rambutnya yang telah beruban.
Sisir punya sisir, sekulum senyuman mulai tersungging menghiasi ujung bibir nenek itu, namun butir air mata justru membasahi matanya, mengalir ke bawah, tetes demi tetes membasahi rambut Yin Gi yang memutih.
Gi Peng-bwee serta Leng Cing-peng hanya berdiri menonton dari samping, menyaksikan adegan yang begitu mengharukan, begitu menggetarkan sukma, memandang dengan terperana.
Keadaan Yin Ping tidak jauh berbeda, wajahnya telah basah oleh air mata, mendadak dia menubruk ke depan sambil berteriak keras, merangkul tengkuk ke dua orang cicinya dan memeluknya kuat-kuat.
Yin Gi pun tidak sanggup menahan diri lagi, dia membalikkan tubuh, menjatuhkan diri dalam pelukan toacinya.
Sang nenek merentangkan ke dua belah tangannya, dengan perasaan bergetar balas memeluk ke dua orang adiknya kuat kuat....
Untuk sesaat mereka bertiga seolah sudah melupakan usia sendiri, melupakan semua penderitaan dan siksaan yang dialaminya selama banyak tahun, melupakan ketidak beruntungan yang menimpa hidup mereka selama ini....
Mereka seakan sudah melupakan segalanya, seakan sudah kembali ke masa lampau, masa dimana mereka bisa menangis setiap saat, bisa tertawa tergelak setiap waktu.
Entah berapa lama sudah lewat....
Akhirnya nenek itu mendongakkan kepalanya dan bergumam: Thian maha adil, Thian maha kasih, akhirnya kami tiga bersaudara Yin dapat berkumpul kembali"
Yin Gi pun perlahan-lahan mengambil duduk, sehabis menyeka air matanya, dia berkata sambil tertawa hambar:
"Sungguh menggelikan, ketika pertama kali menaiki perahu milik toaci, ternyata aku tidak bisa mengenali toaci sendiri"
"Benar" sambung Yin Ping cepat, "kalau bukan aku secara sengaja balik lagi kemari untuk melakukan pemeriksaan, mungkin toaci sudah marah besar dan tidak mau memperduli kami lagi"
Nenek itu tertawa getir.
"Mana mungkin toaci akan marah kepada kalian" katanya,
"kalau aku tidak mengakui, mana mungkin kalian bisa menduga kalau si nenek mengenaskan yang berada di perahu ini adalah manusia aneh dimasa lampau Yin Siok?"
Biarpun perkataan itu diutarakan tanpa maksud lain, namun ucapan tersebut justru bagaikan godam besar yang menghantam perasaan ke tiga orang itu kuat kuat.... manusia perkasa dimasa lampau kini telah berubah jadi nenek penyeberang yang hidup sendirian diatas lautan, kecantikan wajah yang rupawan dimasa lalu, kini telah berubah jadi nenek jelek berwajah menyeramkan.
Tiga puluh tahun, masa selama tiga puluh tahun ternyata memang tidak kenal belas kasihan.
Darah yang dulu panas kini telah membeku, semua gejolak perasaan kini telah berubah menjadi penderitaan.
Ke tiga orang itu saling berpandangan, kendatipun tidak dapat menyaksikan raut muka sendiri, namun dari kerutan wajah di pihak lain mereka seakan dapat menyaksikan jejak ketuaan di wajah sendiri.
Kini mereka bertiga mulai sadar, waktu yang telah lewat selamanya tidak akan bisa balik kembali, semua kegembiraan yang sudah lenyap, hanya bisa dikenang kembali didalam hati.
Semua makhluk, semua kehidupan di dunia ini akan mengalami pasang surut, hanya waktu yang menjadi saksi hidup, siapa pun tidak bisa menipu diri sendiri, tidak dapat memperoleh kembali masa remajanya walau dengan cara apapun.
Setiap makhluk pasti mengalami pasang surutnya perasaaan, hanya waktu yang tidak berperasaan, mau merengek atau memohon dengan cara apapun, dia tidak akan mengijinkan dirimu untuk peroleh kembali kebahagiaan yang telah berlalu.
Hanya jejak yang ditinggalkan sang waktu, yang tidak mungkin bisa kau hapus dengan cara apa pun, tidak mungkin kau lupakan dengan cara apapun.
Mereka bertiga duduk saling berhadapan, siapa pun tidak ada yang berbicara lagi, sebab secara tiba-tiba mereka menyadari akan sesuatu, walaupun tiga bersaudara keluarga Yin telah berkumpul kembali, namun mereka tidak berhasil
mengembalikan kenangan dan suasana seperti masa lalu.
Akhirnya Yin Siok tertawa paksa, memecahkan keheningan yang mencekam, sambil bangkit berdiri katanya:
"Kalian duduklah dulu, biar toaci menyediakan air gula untuk kalian"
Sambil menyeka air matanya Yin Ping turut tertawa paksa,
serunya: "Toaci, masa kau masih menganggap kami sebagai anak kecil"
Yang kita minum sekarang adalah arak, bukan air gula"
"Mungkin saja kalian tidak doyan, tapi ke dua orang bocah itu mah masih doyan"
Gi Peng-bwee serta Leng Cing-peng saling bertukar pandangan sekejap kemudian tertawa, mereka seakan sedang berkata:
"Kami pun telah dewasa, kami minum arak, tidak minum air gula"
Bagaimana pun mereka masih terlalu muda, belum pernah merasakan betapa tidak berperasaannya sang waktu, kalau tidak, pada saat dan keadaan seperti ini mereka pasti tidak mampu lagi untuk tertawa.
Akhirnya Yin Siok muncul dengan membawa dua mangkuk air gua, Leng Cing-peng pun pada akhirnya meneguk habis isi mangkut itu, sementara Gi Peng-bwee secara diam-diam membuang isi mangkuk itu ke dalam laut.
"Aaaai, bicara sesungguhnya" kata Yin Ping kemudian sambil menghela napas, "selama tiga puluh tahun ini, sebetulnya toaci telah pergi ke mana, orang she-Im dari Perguruan Tay ki bun...."
Mendadak Yin Gi mendehem perlahan, tampaknya dia ingin mencegah adiknya berbicara lebih jauh.
Tapi Yin Siok segera menukas sambil tertawa getir:
"Tidak masalah, biarkan dia berkata lanjut, belakangan perasaan hatiku sudah kaku, sudah mati rasa, kejadian di masa lampau sudah tidak mungkin bisa menyiksa hatiku lagi"
"Apakah manusia she-Im itu sudah mampus?" tanya Yin Ping kemudian.
"Tidak, dia masih hidup segar bugar" jawab Yin Siok sambil menghela napas.
"Dasar lelaki yang tidak berperasaan" umpat Yin Ping gemas,
"begitu tega dia meninggalkan cici seorang diri disini, coba kalau bukan cici yang selamatkan jiwanya, mana mungkin dia bisa hidup hingga kini!"
Gi Peng-bwee maupun Leng Cing-peng hanya membelalakkan matanya lebar-lebar, terbelalak dengan penuh rasa heran, kaget bercampur tercengang, sesungguhnya mereka pun ingin turut mendengarkan kisah rahasia para bulim cianpwee itu, namun tidak seorangpun di antara mereka yang berani buka suara.
Begitu menyaksikan perubahan mimik muka ke dua orang gadis itu, Yin Ping segera mengerti jalan pemikiran mereka,
umpatnya sambil tertawa:
"Dasar dua dayang busuk, apakah kalian pun ingin mengetahui kisah cerita ini?"
Gi Peng-bwee serta Leng Cing-peng saling bertukar pandangan sekejap, kemudian tersenyum dan tundukkan kepalanya.
Setelah menghela napas panjang ujar Yin Ping lagi:
"Baiklah, tidak ada salahnya kukisahkan kembali cerita ini, agar dikemudian hari kalian bisa lebih berhati-hati dan tidak sampai tertipu oleh akal busuk kaum lelaki laknat"
Perlahan-lahan dia pejamkan matanya, kemudian berkata:
"Waktu itu usiaku masih sangat kecil, kami tiga bersaudara berdiam di sebuah bangunan gedung yang dikelilingi kebun bunga besar, kebun itu sangat luas dan ditanami aneka bunga yang indah semerbak dan tumbuh diempat musim..."
Setelah menghela napas ringan dan mengulumkan senyuman manis, terusnya:
"Penghidupan kami waktu itu sangat bahagia, setiap kali selesai berlatih silat, kami tiga bersaudara selalu menyibukkan diri dengan merawat bunga di kebun, atau memotong rumput, menangkap capung, mengejar kupu kupu, tapi....
"Suatu hari, didalam kebun bunga kami kedatangan seorang lelaki yang penuh berpelepotan darah, lelaki itu terluka sangat parah, begitu tiba dikebun, orang itu jatuh tidak sadarkan diri.
"Kami tiga bersaudara berlarian mendekat, ternyata walaupun sekujur tubuh lelaki itu penuh berpelepotan darah dan sedikit menakutkan, dia memiliki wajah yang sangat tampan.
"Apalagi di saat paras mukanya pucat pias tanpa membawa secerca warna darah pun, dia seakan memiliki semacam daya pikat yang tidak terlukiskan dengan kata, membuat siapa pun yang memandangnya gampang tergoda, gampang terperana dibuatnya.
"Bagiku waktu itu, aku hanya sebatas menganggap dia tampan dan menarik, bereda dengan toaci ku, walau hanya memandangnya sekejap, ternyata dia.... secara diam-diam dia telah jatuh cinta kepadanya"
Ketika berbicara sampai disini, lamat-lamat secerca cahaya merah terlintas di wajah Yin Siok yang penuh keriput, tapi sekejap kemudian sudah lenyap tidak berbekas, sambil mendongakkan kepalanya dia melamun tanpa bicara.
Yin Ping pun berkata lebih jauh: "Dari keadaan yang dideritanya kami segera tahu kalau lelaki itu sedang dikejar
musuhnya yang sangat tangguh, karena panik dan gugup maka tanpa sengaja memasuki kebun kami.
"Kelihatannya waktu itu Ji-ci pun sudah menduga jalan pikiran toaci, maka sengaja dia berkata: "Kita tidak tahu asal-usul orang ini, kenapa mesti mencampuri urusannya" Lebih baik kita hantar dia keluar dari sini!"
"Biarpun dalam hati kecilnya toaci enggan berbuat begitu, bagaimana pun dia merasa jengah untuk berterus terang, maka untuk sesaat hanya berdiri kebingungan.
"Pada saat itulah dari luar tembok pekarangan telah terdengar suara bentakan nyaring, tampaknya pasukan pengejar telah tiba disitu, bahkan jumlah mereka tidak sedikit.
"Walaupun tidak terbicara apa-apa, secara tiba-tiba toaci membopong lelaki itu dan menyembunyikannya, kemudian seakan tidak pernah terjadi apa pun dia kembali merawat bunga dan memotong rumput, sama sekali tidak melirik sekejap pun ke arahku maupun ji-ci.
"Akhirnya para pengejar menyerbu masuk ke dalam kebun, waktu itu bukan saja toaci sama sekali tidak menyinggung masalah lelaki tersebut, sebaliknya malah menuduh orang orang itu secara sengaja memasuki rumah orang dan memaki mereka habis-habisan.
"Ketika itu kami tiga bersaudara sudah punya sedikit nama dalam dunia persilatan, biarpun para pengejar terdiri dari kawanan jago lihay yang berilmu tinggi, nampaknya mereka enggan bermusuhan dengan kami.
"Apalagi kami tiga bersaudara sudah tersohor di dalam dunia persilatan sebagai orang yang paling tidak suka mencampuri urusan orang lain, di waktu biasa, biar ada orang yang mati dihadapan kami pun, tidak nanti kami akan menggerakkan tangan untuk menolong.
"Setelah berpikir berapa saat, para pengejar itu segera ber kesimpulan kalau kami tiga bersaudara mustahil telah sembunyikan lelaki itu, setelah minta maaf, mereka pun mengundurkan diri dari tempat itu.
"Semenjak hari itu, toaci tidak pernah lagi merawat bunga, tidak pernah lagi memotong rumput, setiap saat setiap waktu dia hanya sibuk merawat lelaki itu, mengobati lukanya dan menyiapkan aneka hidangan lezat baginya.
"Tidak selang satu bulan kemudian, luka yang diderita lelaki itupun sembuh kembali, saban hari toaci hanya menemaninya
ditepi ranjang, hubungan yang berlangsung tiap hari menimbulkan benih cinta dihati kecilnya, toaci semakin kesemsem dengan lelaki itu.... siapa tahu...."
Berbicara sampai disini, tidak tahan lagi dia menghela napas getir, senyuman yang semula tersungging diujung bibirnya lenyap tidak berbekas, ketika berpaling, dia jumpai Yin Siok sedang menyeka air mata yang berlinang secara diam-diam.
Gi Peng-bwee benar-benar dibuat terpesona, tidak tahan tanyanya:
"Bagaimana selanjutnya?"
Yin Ping menghela napas panjang. "Siapa tahu setelah sembuh dari lukanya, secara diam-diam lelaki itu pergi tanpa pamit, dia hanya meninggalkan sepucuk surat yang isinya menganjurkan kepada toaci agar melupakan dirinya. Tapi....
mana mungkin toaci bisa melupakan dirinya" Toaci sadar kami pasti akan keberatan bila dia pergi meninggalkan kami, maka tanpa mengucapkan sepatah kata pun, diam-diam diapun pergi dari rumah"
Sekali lagi dia menghentikan kisahnya dan menghela napas berulang kali.
"Bagaimana selanjutnya?" kembali Gi Peng-bwee bertanya.
"Bagaimana selanjutnya akupun kurang jelas, hal ini mesti ditanyakan kepada toaci" sahut Yin Ping sambil tertawa getir.
Tanpa terasa Gi Peng-bwee serta Leng Cing-peng mengalihkan pandangan mata mereka ke wajah Yin Siok.
Dengan wajah penuh air mata kata Yin Siok: "Akhirnya aku berhasil menyusulnya"
Gi Peng-bwee serta Leng Cing-peng segera menghembuskan napas lega, seakan akan mereka turut bergembira akan kejadian tersebut.
Yin Siok mendongakkan kepalanya mengawasi angkasa dengan termangu, lama kemudian sekulum senyuman baru tersungging diujung bibirnya, senyuman itu nampak begitu manis, membuat raut mukanya yang penuh keriput seolah bercahaya kembali.
Dengan suara lembut katanya lagi: "Penghidupan kami waktu itu sungguh indah dan penuh kebahagiaan, sejak pagi hingga malam kami berdua selalu bersama, begitu kesemsemnya kami menjalani penghidupan yang bahagia hingga dia nyaris melupakan semua persoalan yang sedang dihadapinya"
Setelah berhenti sejenak, tambahnya: "Tapi.... tapi ada
sementara persoalan ternyata dia tidak dapat melupakannya"
Ketika mengucapkan perkataan tersebut, senyuman diujung bibirnya seolah berubah jadi kedukaan yang mendalam.
"Gara-gara ingin menuntut balas, perguruan mereka harus hidup mengasingkan diri di luar perbatasan, sesuai dengan peraturan perguruan yang berlaku, mereka dilarang mengajak serta kaum wanita dalam perjalanannya"
"Bahkan bini pun tidak boleh dibawa serta?" sela Gi Peng-bwee.
"Yaa, termasuk bini pun tidak boleh ikut" jawab Yin Siok sambil tertawa pedih.
"Ooh sungguh keji! Sungguh keji!" dengan mata terbelalak gumam Gi Peng-bwee berulang kali.
"Mereka tinggalkan istri karena kuatir perhatiannya terpecah ketika berlatih silat, mereka pun tidak ingin hatinya jadi lemah karena terpengaruh kasih sayang seorang ibu. Mereka melatih diri diatas bukit bersalju yang dingin, melatih anak-anak mereka dengan penuh disiplin dan peraturan yang ketat, sedemikian ketat dan kejinya hingga membuat siapa pun tidak tega untuk menyaksikannya.
"Mereka melatih putra-putrinya hingga memiliki tubuh yang keras bagai baja, merekapun menginginkan putra putrinya memiliki hati yang lebih keras dari baja, bila sang ibu turut hadir disitu maka sulit bagi mereka untuk membentuk perasaan macam begitu.
"Justru karena tanpa memikirkan resikonya aku menyusul ke luar perbatasan, maka semua kejadian tersebut dapat kusaksikan dengan mata kepala sendiri, kendatipun aku pun berhati tega, tidak urung air mataku bercucuran juga setelah menyaksikan kejadian ini"
"Jadi toaci telah menyusul ke luar perbatasan?" tanya Yin Ping tercengang.
Yin Siok menundukkan kepalanya, kembali air mata jatuh berlinang membasahi pipinya.
"Aku sudah tujuh kali berkunjung ke situ, tapi setiap kali selalu diusir oleh ciang bunjinnya, sekalipun begitu aku tidak putus asa, sebesar apapun penderitaan dan siksaan yang harus kualami, seberapa besar dosa yang harus kupikul, aku tetap berkunjung dan berkunjung terus.
"Terkadang aku bahkan dihajar hingga babak belur, dihajar hingga menderita luka disekujur tubuhku, namun begitu luka-
luka itu sembuh, aku pun berkunjung lagi ke situ.
"Ransum yang mereka miliki sangat minim, bila ada yang terbaik maka ransum tersebut diberikan kepada anak-anak, mereka berharap anak-anak bisa tumbuh lebih cepat.
"Karena harus mengejar mereka di wilayah bersalju, akupun terkadang gagal menemukan makanan, ada kalanya aku harus menahan lapar sampai dua hari lamanya, saking laparnya sampai berusaha menangkap tikus dan ular berbisa dari liang mereka, menangkapnya, memanggangnya dan memakannya untuk menangsal perut.
"Aku pernah merengek kepada mereka, asal mengijinkan aku bergabung dengan rombongan itu maka penderitaan dan siksaan macam apapun aku bersedia menerimanya, aku telah menggunakan pelbagai cara, menggunakan berbagai pembicaraan, bahkan.... bahkan berlutut dihadapan mereka.
"Tapi.... tapi mereka tidak pernah tergerak hatinya, tetap mengusirku dari rombongan...."
Mimpipun Gi Peng-bwee serta Leng Cing-peng tidak menyangka kalau nenek yang berada dihadapannya pernah merasakan penderitaan sebesar itu, mereka tidak menyangka kalau cintanya yang begitu mendalam membuatnya bersedia mengorbankan segala sesuatu, saking terharunya, air mata bercucuran membasahi wajah mereka berdua.
Terlebih Yin Ping, dengan nada terisak dan gemetar, bisiknya:
"Tak.... tak heran kalau toaci.... berubah setua ini...."
"Aku mengerti" ujar Yin Gi pula dengan air mata berlinang,
"dengan watak toaci yang tinggi hati, berlutut dihadapan orang merupakan satu siksaan yang luar biasa, waktu itu kau.... kau pasti sangat menderita"
"Toaci" tiba tiba Yin Ping berteriak keras, "kalau toh kau bersedia merasakan penderitaan dan siksaan sebesar ini, sepantasnya kalau kau mengejarnya terus, kecuali.... kecuali mereka benar-benar membunuhmu!"
"Walaupun mereka tidak membunuhku" kata Yin Siok dengan air mata berlinang, "tapi pada pertemuan yang terakhir mereka sempat mengancamku, katanya, bila aku merecoki mereka terus maka mereka akan.... akan membunuhku!"
"Maka kau tidak melakukan pengejaran lagi?" tanya Yin Ping.
Dengan mulut membungkam Yin Siok manggut-manggut, dia tidak mampu berkata lagi.
Sambil menghentakkan kakinya berulang kali seru Yin Ping:
"Toaci, kau ini.... kalau memang orang she-Im itu begitu tega menyaksikan kau menderita tanpa menggubris, buat apa pula kau mesti memikirkan mati hidupnya?"
"Aaaai.... dia.... dia sendiipun tidak berdaya, kecuali dia berani menghianati perguruan" ucap Yin Siok dengan air mata berlinang.
Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benak Leng Cing-peng, selanya dengan suara gemetar:
"Locianpwee dari.... dari marga Im itu apakah anggota Perguruan Tay ki bun?"
"Darimana kau.... kau bisa tahu?"
"Pengalaman yang dialami cici ku tidak jauh berbeda dengan pengalaman yang locianpwee alami, bahkan.... bahkan lebih mengenaskan lagi"
"Sung.... sungguh?"
"Toaci ku juga selamatkan seorang murid bermarga Im dari Perguruan Tay ki bun didalam benteng kami, gara-gara kejadian itu dia jatuh cinta bahkan sempat melahirkan seorang anak dari nya...."
"Bagaimana kemudian?"
"Kemudian.... kejadian ini ketahuan ciang bunjin dari Perguruan Tay ki bun, kakak iparku dijatuhi hukuman mati....
tubuhnya hancur setelah dipisahkan dengan lima ekor kuda!"
cerita Leng Cing-peng sambil menangis.
Sesudah menarik napas panjang, lanjutnya:
"Padahal ciang bunjin dari Perguruan Tay ki bun tidak lain adalah ayah kandung kakak iparku!"
Sekujur tubuh Yin Siok gemetar keras, sampai lama kemudian dia tidak mampu berkata-kata.
Sementara Yin Ping dengan gemas berseru:
"Ciang bunjin dari Perguruan Tay ki bun itu benar-benar manusia tidak berperasaan, bila bertemu dengannya, aku pasti akan membelah dadanya, mengorek keluar hatinya dan memeriksa sesungguhnya hatinya terbuat dari apa!"
"Pengalaman tragis yang dialaminya dimasa lampau sama persis seperti kejadian itu, dulu diapun pernah mencintai seorang gadis, tapi gadis itu ada hubungan dengan keluarga musuhnya...."
Ketika secara tiba-tiba dia mengungkap rahasia besar dunia persilatan yang belum pernah terdengar sebelumnya ini, semua orang merasa terperanjat hingga tanpa terasa berseru berbareng:
"Sungguh?" Yin Siok tertawa pedih.
"Tampaknya kejadian ini ketahuan juga oleh ayahnya. Tapi dia benar-benar tega, perempuan itu dia dorong masuk ke dalam jurang dalam keadaan hidup-hidup!"
"Lalu siapa.... siapa lelaki yang...." tidak tahan Leng Cing-peng bertanya,
"Suamiku bernama Im Kiu-siau, dia adalah adik kandungnya"
Untuk kesekian kalinya Leng Cing-peng terperanjat, ujarnya gemetar:
"Kalau dia.... dia sendiri pernah mengalami penderitaan semacam ini, kenapa sikapnya terhadap adik kandung dan putra kandung sendiripun begitu keji dan tega?"
Yin Siok mendongakkan kepalanya menghela napas panjang.
"Aaaai.... inilah tradisi turun temurun dari Perguruan Tay ki bun, generasi demi generasi mereka selalu terapkan peraturan semacam ini, bahkan...."
Tiba-tiba dia tertawa pedih, terusnya:
Bahkan aku dengar setiap generasi murid Perguruan Tay ki bun selalu mengalami nasib tragis semacam ini!"
Kejadian ini benar-benar merupakan satu kejadian yang mengejutkan, sebuah rahasia besar yang menggidikkan hati, semua orang tertegun, semua orang terperangah, mereka seolah setengah percaya dengan apa yang didengar.
Lewat berapa saat kemudian kembali Yin Ping bertanya:
"Heran, kenapa aku tidak pernah mendengar orang
membicarakan masalah ini" Toaci, darimana kau.... kau tahu akan hal ini?"
Paras muka Yin Siok bertambah misterius, sahutnya perlahan:
"Tentu saja aku tahu.... aku yakin di kemudian hari kalian pun bakal tahu dengan sendirinya bahkan tahu lebih banyak ketimbang sekarang"
"Kenapa?" Yin Ping semakin tercengang.
"Karena Pulau Siang cun-to adalah...."
Mendadak dari puncak tebing berkumandang suara lonceng yang dibunyikan nyaring, suara itu menggaung ke angkasa dan mendengung hingga menembusi awan.
Dua orang gadis berbaju hitam dengan membawa keranjang bambu muncul dari balik suara lonceng dan berjalan mendekat, dari tempat kejauhan mereka telah berteriak keras:


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nenek, lagi-lagi akan merepotkanmu untuk menghantar nasi"
"Menghantar nasi untuk siapa?" tanya Yin Gi.
Belum sempat Yin Siok menjawab, nona berbaju hitam itu sudah melompat naik ke atas perahu dan berkata sambil tertawa:
"Kalian baru tiba disini, kenapa bisa begitu akrab dengan nenek?"
Rupanya mereka berdua tidak tahu kalau beberapa orang itu masih bersaudara, Yin Siok sendiripun tidak memberi penjelasan apapun, paras mukanya telah pulih kembali jadi dingin dan hambar, hanya ujarnya hambar:
"Aku akan pergi menghantar nasi, kalian boleh pergi dari sini"
"Betul" ujar si nona pula sambil tertawa, "biarkan nenek pergi menghantar nasi duluan, sekembalinya nanti kita bisa berbincang-bincang lagi, kalau sampai membiarkan orang lain kelaparan, bisa berabe jadinya"
Si nona yang satunya berkata sambil tertawa: "Kalian baru datang kemari, sementara kami pun sedang menganggur, selesai bersantap biarlah kami hantar kalian semua untuk melihat-lihat keadaan diseputar sini"
Yin Gi maupun Yin Ping hanya tersenyum sambil
mengucapkan terima kasih.
Kini, mereka berempat semakin curiga, semakin tidak habis mengerti, sebenarnya Pulau Siang cun-to adalah tempat apa" Apa pula hubungannya dengan sejarah Perguruan Tay ki bun" Yin Siok terburu-buru pergi menghantar nasi, dia pergi menghantar nasi untuk siapa"
Dalam keadaan dan saat seperti ini, sekalipun mereka berempat penuh diliputi tanda tanya, yang bisa dilakukan hanya menunggu kedatangan Yin Siok untuk menjawab semua pertanyaan ini, maka setelah saling memberi hormat ke empat orang itupun beranjak pergi.
Cahaya sang surya telah memancarkan sinar keemasannya ke seluruh penjuru tempat, permukaan laut tenang bagaikan cermin, selapis cahaya kuning seakan menyelimuti seluruh permukaan.
Tiba tiba Leng Cing-peng berlarian balik ke tepi pantai sambil berseru keras:
"Nenek, nenek.... *
"Ada apa?" tanya Yin Siok seraya berpaling.
"Bila dari seberang sana ada seseorang yang bernama Thiat Tiong-tong ingin datang kemari, tolong nenek, baik buruk bawalah dia kemari, jangan lupa"
Sewaktu berada diatas perahunya ratu tawon, dia sebenarnya mengira Thiat Tiong-tong sudah mati tercebur ke dalam air, tapi kemudian ketika bersama Kiu cu Kui bo mereka menyatroni istana kaisar langit, meski selama berjaga diluar istana tidak sempat menjumpai Thiat Tiong-tong, namun dia sempat mendapat kabar tentang pemuda itu, bahkan dia pun sempat mendengar kalau anak muda itu sedang melakukan perjalanan menuju Pulau Siang cun-to.
"Siapakah orang itu?" tanya Yin Siok kemudian dengan kening berkerut.
"Dia.... dia adalah anak murid Perguruan Tay ki bun"
"Maksudmu orang itu adalah jiko dari bocah muda dari marga Im itu?" tanya Yin Siok dengan kening makin berkerut.
"Betul" seru Leng Cing-peng kegirangan, "dari mana nenek bisa kenal dengannya?"
Yin Siok mendengus dingin.
"Dia tidak bakal datang lagi!"
"Kenapa dia tidak bakal datang?"
"Karena dia sudah tercebur ke dalam laut, bahkan jenasahnya pun tidak berhasil ditemukan!"
"Apa.... apa kau bilang?" seru Leng Cing-peng terperanjat.
"Dia sudah mati!"
Leng Cing-peng merasakan tubuhnya bergetar keras, tiba-tiba kakinya jadi lemas dan seketika itu juga nona itu roboh tidak sadarkan diri ditepi pantai.
Menyaksikan tubuh Leng Cing-peng yang roboh terjungkal, kembali Yin Siok menghela napas panjang, gumamnya:
"Untung Thiat Tiong-tong sudah mati, kalau tidak, penderitaan yang bakal dialami bocah ini bakal bertambah panjang!"
Lewat berapa saat kemudian kembali dia bergumam:
"Bocah ini sudah tahu kalau anggota Perguruan Tay ki bun adalah manusia yang tidak berperasaan dan tidak kenal budi, bahkan tadipun dia sempat memaki anak murid Perguruan Tay ki bun sebagai manusia tidak berperasaan, kenapa secara tiba-tiba menaruh perhatian yang luar biasa terhadap anggota Hiat-hiat Tay ki bun" Jangan-jangan orang she-Thiat itu sama seperti Im Kiu-siau dimasa mudanya dulu, memiliki bagian yang memikat hati kaum wanita,.... aaai! untung Thiat Tiong-tong sudah mati....
untung dia sudah mati...."
BAB 28 Kaisar Malam Tapi Thiat Tiong-tong belum mati, untung dia belum mati!
Saat ini dia sedang duduk diatas batu karang, batu karang ditepi laut dengan arus dan gulungan ombak yang sangat deras.
Tebing karang itu tingginya mencapai ratusan kaki, sekalipun Thiat Tiong-tong memiliki kekuatan tubuh yang luar biasa pun mustahil baginya untuk bisa merangkak naik dalam waktu singkat, oleh sebab itulah dia duduk diatas batu sambil beristirahat.
Ketika terhantam pukulan hingga tercebur ke dalam laut tadi, meski pukulan yang dilepaskan Im Ceng terhitung kuat, namun dengan kemampuan yang dimiliki Thiat Tiong-tong, apalagi dia bergerak melambung mengikuti angin pukulan yang diarahkan ke tubuhnya maka luka yang dideritanya kendatipun tidak terlalu parah, tapi tubuhnya yang tercebur ke bawah nyaris menumbuk diatas batu karang yang menonjol dari bawah air laut.
Untung saja reaksinya cukup cepat, sebuah pukulan yang dihantamkan ke atas batu karang itu membuat tubuhnya terpelanting ke sisi kanan batu karang itu meski ujung bajunya terkait disudut karangyang tajam hingga tergelantung.
Pukulan yang saling beradu dengan batu karang membuat tubuhnya mengalami getaran keras, getaran yang cukup membuatnya jatuh tidak sadarkan diri diatas permukaan laut, masih untung ujung bajunya terkait diujung karang sehingga tubuhnya tertahan dan tetap berada dalam keadaan terapung.
Itulah sebabnya Im Ceng dan Un Tay-tay yang melongok dari atas hanya sempat melihat ujung bajunya yang terkait di ujung karang namun tidak melihat tubuhnya yang terapung.
Mereka sangka pemuda itu sudah terkubur didasar laut hingga tidak dilakukan pencarian lagi
Thiat Tiong-tong yang terendam dalam air laut tersadar kembali dari pingsannya karena air dingin yang membasahi tubuhnya, waktu itu dia kehilangan hampir seluruh kekuatan tubuhnya, dalam keadaan begini terpaksa anak muda itu hanya bisa merangkak naik ke atas batu karang untuk beristirahat.
Saat itulah lm Ceng dan Un Tay-tay dengan menumpang di
perahu Yin Siok melakukan pelacakan, Thiat Tiong-tong yang tidak ingin segera berjumpa dengan mereka berdua segera menyembunyikan diri di belakang batu karang.
Menanti Im Ceng dan Un Tay-tay berlalu dengan kecewa karena gagal menemukan dirinya, Thiat Tiong-tong baru munculkan diri lagi dari balik bebatuan karang.
Waktu itu napas Thiat Tiong-tong tersengkal, dadanya naik turun tidak beraturan, dalam keadaan begitulah tiba-tiba dia menyaksikan ada sebuah perahu bergerak menuju ke tempatnya berada.
Perahu itu meluncur datang dengan mengikuti arus ombak, tidak heran kalau gerakannya cepat sekali.
Thiat Tiong-tong tidak dapat menebak asal usul perahu itu, namun sebagai pemuda yang selalu bertindak cermat dan hati-hati, apalagi dalam kondisi tidak bertenaga seperti saat ini, dia tidak ingin bertindak gegabah.
Melihat perahu itu meluncur datang semakin dekat, cepat dia menyelinap ke balik batu karang dan menyembunyikan diri.
Perahu makin lama makin mendekat, sekarang dia dapat mengenali orang yang berada di perahu tersebut, ternyata dia tidak lain adalah nenek berambut putih yang mendayung sampan bersama Im Ceng dan Un Tay-tay tadi.
Biar sudah tua ternyata nenek itu masih memiliki tenaga yang luar biasa untuk melawan arus, kemunculannya bersama sampan itu sudah merupakan satu kejadian yang aneh, tapi yang membuat Thiat Tiong-tong lebih tercengang adalah kemunculannya kembali di situ, apa maksud dan tujuan kedatangannya kali ini"
Sementara itu si nenek sudah memungut segulung tali dari atas geladak, selesai membuat tali simpul, dia lempar gulungan tali itu ke arah kumpulan batu karang, ternyata tali tersebut dengan tepat sekali tergaet diatas sebuah batu.
Dengan cepat nenek itu mengikat ujung tali yang lain ke atas sampannya, kemudian dengan satu lompatan dia meluncur ke udara dan melayang turun diatas kumpulan batu karang itu.
Di kiri kanan tangannya masing-masing membawa sebuah keranjang bambu, sekalipun sedang bergerak di antara batu karang yang licin, tajam lagi tidak rata, dia dapat bergerak cepat dan mantap.
Dalam berapa kali lompatan saja nenek itu sudah meluncur ke arah batu karang dimana Thiat Tiong-tong sedang
menyembunyikan diri saat itu.
Dengan perasaan terkesiap Thiat Tiong-tong segera berpikir:
"Jangan-jangan dia sudah mengetahui tempat
persembunyianku?"
Dalam waktu singkat nenek itu sudah melayang naik ke atas batu karang itu, namun dia tidak menuju ke arah tempat persembunyian Thiat Tiong-tong, melainkan dengan menelusuri tepi karang dia bergerak ke sisi lain, lalu setelah meletakkan keranjang bambu itu, dengan kedua belah tangannya dia cengkeram sebuah batu karang yang berbentuk runcing dan mendorongnya ke samping.
Diluar dugaan, batu karang berbentuk runcing yang sama sekali tidak mencolok itu segera bergerak ke samping dan muncullah sebuah liang gua yang dalam.
Karena bersembunyi di posisi atas, dengan sangat jelas Thiat Tiong-tong dapat melihat keadaan dibagian bawahnya, ternyata mulut gua itu luasnya sekitar tiga meter, tapi dia tidak dapat melihat keadaan didalamnya karena suasana disana gelap gulita.
Tampak nenek itu berjongkok di pintu gua dan berteriak keras:
"Kiriman nasi sudah datang!"
Menyusul teriakan itu, dari dasar gua terdengar suara gemerincing besi yang saling beradu, suara itu muncul dari balik kegelapan hingga mendatangkan perasaan menyeramkan.
Thiat Tiong-tong semakin tercengang, dia tidak berniat mencuri tahu rahasia orang lain, maka sambil menahan napas tubuhnya semakin tidak berani berkutik.
Begitu mendengar suara gemerincing besi yang beradu, dari dalam keranjang bambunya nenek itu mengeluarkan dua buah bungkusan kertas, kembali serunya:
"Terima ini!"
Dia pun melemparkan bungkusan tadi ke dalam liang gua.
Kelihatannya nenek ini merasa takut sekali terhadap orang yang berada dalam gua, begitu selesai melemparkan bungkusan kertas itu, cepat dia menutup kembali mulut gua itu dengan batu karang.
Dari balik liang gua terdengar seseorang berseru dengan suaranya yang parau:
"Balik dan beritahu kepada Jit ho, dia...."
Tapi batu karang itu sudah merapat kembali, kata berikut pun seketika terputus ditengah jalan.
Tampak nenek itu menghembuskan napas lega, kembali gumamnya:
"Kasihan! Sungguh kasihan! Seorang enghiong gagah ternyata.... aaai, inilah akibat dari ulahnya sendiri, kini harapannya pudar sudah!"
Kalau didengar dari nada pembicaraan itu, bisa diduga kalau si nenek sedang merasa sayang untuk masa depan orang didalam gua itu, namun walaupun dia merasa sayang, diapun menyalahkan orang itu karena hukuman yang diterimanya sekarang merupakan akibat dari ulahnya sendiri.
Memandang hingga bayangan sampan itu lenyap dari pandangan, Thiat Tiong-tong baru berpikir:
"Kelihatannya nenek itu penghuni Pulau Siang cun-to, itulah sebabnya penghuni gua itu menyinggung soal Jit ho!"
Apalagi sewaktu teringat kalau Im Ceng dan Un Tay-tay pun pernah menumpang perahu itu untuk mencari jejaknya, dapat dipastikan si nenek berasal dari Pulau Siang cun-to.
Ketika perempuan berkerudung hitam berpesan kepada Un Tay-tay agar menggunakan peluit untuk memanggil perahu penyeberang, Thiat Tiong-tong sempat mendengarnya pula, karena itu dia berkesimpulan kalau Un Tay-tay dan Im Ceng pada saat itu pasti telah tiba di Pulau Siang cun-to dan tidak kuatir dicelakai orang lagi.
Karena kedua orang itu sudah lolos dari bahaya, Thiat Tiong-tong pun merasakan hatinya sangat lega.
Tapi siapa pula orang yang disekap dalam gua misterius itu"
Orang itu berani menyebut langsung nama Jit ho, lagi pula meski si nenek itu nampak menaruh sikap waspada namun tetap menganggapnya sebagai orang kosen, ini menunjukkan kalau dia memiliki asal-usul yang luar biasa.
Jit ho telah mengurungnya didalam gua lembab, hal ini membuktikan kalau dia amat membenci orang ini, tapi mengapa bukannya dibunuh langsung"
Thiat Tiong-tong mencoba untuk berpikir sambil menganalisa, semakin dipikir dia merasa kejadian ini semakin misterius, asal-usul penghuni gua itu pun terasa makin menarik perhatian.
Diliputi rasa ingin tahu yang tidak terbendung, Thiat Tiong-tong segera mendekati tempat itu dan membuka penutup liang gua.
Namun diapun tidak berani membuka terlalu lebar, pemuda itu kuatir bila penghuni gua itu akan menggunakan kesempatan
itu untuk melarikan diri, andainya dia bukan penjahat keji, keadaan masih mendingan, andaikata dia adalah manusia laknat sementara kemampuannya tidak sanggup mengendalikan orang itu, bukankah kejadian ini akan menimbulkan bencana besar"
Maka diapun membuka sedikit pintu liang dan mencoba mengintip ke dalam, andaikata situasi tidak menguntungkan, dia berencana untuk segera merapatkan kembali gua itu.
Dengan meminjam cahaya matahari yang menyorot masuk ke dalam liang gua, Thiat Tiong-long mulai melongok ke bawah, ternyata dibalik mulut gua terbentang sebuah lorong bawah tanah yang bentuknya terliku-liku.
Suara gemerincingnya besi kembali berkumandang dari balik lorong, menyusul kemudian tampak sesosok bayangan manusia muncul dari balik kegelapan sambil menegur:
"Siapa diluar" Mau apa datang mengusik tidur orang?"
Thiat Tiong-tong tidak sempat melihat jelas raut muka orang itu, dia hanya merasa biarpun tubuh orang itu dibelenggu rantai besi, namun cara bicara maupun gayanya amat berwibawa, lamat-lamat membawa sikap dan wibawa seorang kaisar.
Sebagai seorang kaisar, sekalipun berada dalam penjara pun seringkali tidak akan kehilangan kewibawaannya.
Tentu saja mustahil kalau orang itu adalah seorang kaisar benaran, tapi sikap dan wibawa yang ditampilkan orang tersebut dalam keadaan seperti ini segera membuat perasaan hati Thiat Tiong-tong tergerak, cepat dia membentang lebar liang gua itu.
Tampak orang itu mendongakkan kepalanya dan memandang sekejap, kemudian tegurnya penuh amarah:
"Manusia latah dari mana yang telah datang" Kenapa tidak segera menjawab pertanyaanku?"
Orang itu berperawakan tinggi besar, rambutnya kusut lagi awut-awutan tidak karuan, namun sikap serta penampilannya tetap gagah dan penuh wibawa.
Thiat Tiong-tong tidak menjawab teguran orang, sebaliknya malah berkata tenang:
"Kini pintu gua sudah terbuka lebar, mengapa kau tidak manfaatkan kesempatan ini untuk melarikan diri?"
Kelihatannya orang itupun tidak menyangka kalau akan di hadapkan dengan pertanyaan semacam ini, sesaat dia pun berdiri tertegun.
Tapi kemudian sambil tertawa keras sahutnya:
"Selama hidup kapan aku pernah melarikan diri" Anak busuk
yang tidak tahu diri. kau anggap aku adalah manusia macam apa?"
Gelak tertawanya keras dan nyaring, sedemikian kerasnya hingga menggetarkan gendang telinga.
Kembali satu ingatan melintas dalam benak Thiat Tiong-tong, teriaknya lantang: "Kau kenal dengan Cu Cau?"
"Cu.... Cu Cau?" tubuh orang itu kelihatan bergetar keras.
"Benar, Cu Cau, putra kaisar malam"
"Cu Cau.... Cu cau...." gumam orang itu, dia kelihatan agak tertegun dan berdiri bodoh, selang berapa saat kemudian tiba-tiba bentaknya, "kau kenal dengan dia?"
"Tentu saja kenal"
"Berada.... berada di mana dia sekarang"
Apakah.... apakah dia pun ikut kemari?"
Nada suaranya mulai gemetar, jelas sedang terjadi gejolak yang luar biasa didalam hatinya.
Diam-diam Thiat Tiong-tong menghela napas panjang, dia sudah dapat menduga siapa gerangan orang ini.
Tanpa sengaja dia telah bertemu dengan orang ini, walaupun pertemuan tersebut membuatnya terkejut bercampur girang, namun tidak urung timbul juga perasaan terharu dan pedihnya setelah menyaksikan penampilannya sekarang.
Kelihatan sekali orang itu sangat gelisah, kembali dia membentak:
"Cepat katakan, apakah diapun ikut datang?"
Kembali Thiat Tiong-tong menghela napas panjang, sahutnya:
"Sekalipun dia tidak ikut datang, namun setiap saat setiap detik dia selalu merindukan kau orang tua, hanya.... hanya saja dia tidak tahu berada dimanakah kau orang tua sekarang"
"Darimana.... darimana kau tahu kalau dia selalu merindukan aku?" kembali orang itu bertanya dengan tubuh bergetar keras.
Thiat Tiong-tong tertawa sedih, tiba-tiba dia membuka lebar pintu gua kemudian melompat masuk ke dalam.
"Mau apa kau?" bentak orang itu.
Belum selesai dia membentak, Thiat Tiong-tong telah berlutut dihadapannya sambil memberi hormat, kemudian dengan kepala tertunduk katanya:
"Keponakan Thiat Tiong-tong memberi hormat untuk kau orang tua"
Orang itu membelalakkan matanya semakin lebar, dengan perasaan tercengang bercampur ragu tegurnya:
"Sebenarnya siapa kau" Dari mana bisa tahu tentang aku"
Kenapa harus memberi hormat kepadaku?"
"Siautit adalah saudara angkat Cu Cau, tentu saja aku harus memberi hormat setelah berjumpa kau orang tua"
Tiba-tiba bahunya terasa sakit sekali, ternyata dia sudah dicengkeram orang itu.
Thiat Tiong-tong segera merasakan betapa kuat dan kerasnya telapak tangan orang itu, tenaga cengkeramannya begitu kuat dan dahsyat, boleh dibilang belum pernah dijumpai sebelumnya.
Padahal kepandaian silat yang dimiliki Thiat Tiong-tong saat ini telah mencapai taraf yang luar biasa, menghadapi serangan dari siapa pun, secara otomatis dari dalam tubuhnya akan timbul tenaga perlawanan, tidak gampang bagi orang lain untuk mencengkeram tubuhnya.
Tapi orang ini bukan saja dapat melancarkan serangan tanpa menimbulkan suara, Thiat Tiong-tong baru menyadari akan hal itu setelah lawan berhasil mencengkeraman tubuhnya, hal ini membuktikan betapa cepat dan luar biasanya kungfu yang dimiliki orang itu.
Dengan kekuatan tubuh yang dimiliki Thiat Tiong-tong sekarang, ibarat tubuh baja otot kawat, ternyata tidak tahan juga dia menghadapi cengkeraman itu, dasar kepala batu, biarpun sakitnya setengah mati, pemuda itu tetap menggertak gigi menahan diri, jangankan menjerit, keningpun sama sekali tidak berkenyit.
Orang itu masih mencengkeram bahu lawan dengan kuatnya, sementara sorot matanya yang tajam mengawasi wajah Thiat Tiong-tong tanpa berkedip.
Thiat Tiong-tong balas mendongakkan kepalanya, balas memandang tenang ke arahnya.
Ternyata orang itu mengenakan sebuah jubah yang lebar, jubah yang semula indah kini sudah penuh dengan tambal sulam, rambutnya yang panjang nampak kacau dan terurai sebahu, sinar matanya meski tajam berkilat namun memancarkan keadaan yang mengenaskan.
Khususnya lagi borgol serta rantai besar yang membelenggu tubuhnya, kehadiran benda itu segera menimbulkan perasaan sedih, terharu di hati kecil anak muda itu.
"Jadi kau sudah tahu, siapakah aku?" perlahan orang itu menegur lagi.
"Benar, siautit sudah tahu siapa kau orang tua"
"Bagus, bagus, kau memang pantas menjadi saudara angkatnya Cu Cau" gumam orang itu lirih.
Tiba-tiba dia mengendorkan cengkeramannya, kemudian setelah tertawa tergelak ujarnya:
"Kalau sudah tahu siapa diriku, sepantasnya kau panggil aku dengan sebutan empek!"
Sekarang Thiat Tiong-tong baru benar-benar yakin bila dugaannya tidak salah, ternyata orang tua yang dipenuhi borgol dan rantai besar ini tidak lain adalah Ya te Kaisar malam yang nama besarnya telah menggetarkan seluruh kolong langit.
Kejut bercampur girang, sekali lagi Thiat Tiong-tong menyembah memberi hormat, sapanya:
"Empek...."
"Hahahaha.... Cau-ji tinggi hati dan selamanya tidak pernah pandang sebelah mata terhadap orang lain, orang macam begitu bisa angkat saudara denganmu, hal ini sudah lohu duga, dia tidak bakal salah pilih"
"Terima kasih atas pujian empek"
"Kau bisa mengenaliku dalam sekali pandang, hal ini bukan termasuk hal yang aneh dan luar biasa, justru yang luar biasa adalah kemampuanmu menahan cengkeramanku tanpa berubah wajah atau menjerit, ini baru hebat, membuktikan kalau kau memang lelaki jantan!"
Thiat Tiong-tong semakin kagum terhadap orang ini, dia tidak mengira meski sudah terperosok dalam situasi macam begini, ternyata sikap kakek itu masih sangat terbuka, kalau bukan jago sungguhan, mustahil dia dapat bersikap ksatria macam begini.
"Tidak kusangka ternyata Cau-ji masih teringat akan diriku!
Baik-baikkah dia?" tanya Kaisar malam, "tempat kediamanku pasti sudah dia bangun makin luas, lebar dan megah...."
Rasa sedih seketika menyelimuti perasaan Thiat liong-tong, tapi sesaat kemudian dia paksakan diri untuk mengendalikan rasa pedih itu, dengan kepala tertunduk balik tanyanya:
"Sudah berapa lama empek tidak pernah pulang ke rumah?"
"Siapa perduli sudah berapa lama waktu berlalu, tapi rasanya sudah puluhan tahun lama-nya!"
Diam-diam Thiat Tiong-tong menghela napas, pikirnya:
"Kalau orang lain yang merasakan penghidupan semacam ini, sehari pasti dirasakan bagai setahun, mereka pasti akan mencatat setiap harinya dengan sangat jelas. Tapi orang ini....
berapa lama pun sudah terlupakan bahkan mengakunya tidak
ingat lagi, kebesaran jiwanya sungguh mengagumkan" Berpikir begitu ujarnya kemudian dengan sedih:
"Waktu memang selalu berjalan, dalam belasan tahun betapa besarnya perubahan yang terjadi di dunia ini...."
"Tapi tempat tinggalku jauh dari keramaian"
kata Kaisar malam tertawa, "aku rasa...."
"Tempat itu.... tempat itu...." Thiat Tiong-tong menghela napas panjang.
Dia benar-benar tidak tega untuk menceritakan keadaan yang sebenarnya, bahwa tempat tersebut sudah ludas dimakan api.
"Tempat itu kenapa?" tanya Kaisar Malam dengan wajah berubah.
Thiat Tiong-tong sadar, tidak mungkin dia bisa membohongi kejadian itu lagi, maka dengan kepala tertunduk sedih sahutnya:
"Tempat itu sudah.... sudah ludas dilalap api"
Dia sangat kuatir orang tua itu tidak sanggup menerima pukulan batin yang berat, diapun tidak tega menyaksikan kepedihan yang bakal diderita kakek itu, maka selesai bicara diapun tundukkan kepalanya rendah-rendah, tidak sekejap pun berani menengok ke arahnya.
Siapa tahu Kaisar Malam malah mendongak-kan kepalanya dan tertawa keras, sahutnya:
"Sudah terbakar habis.... " hahahah... ada baiknya juga terbakar habis, sejak belasan tahun berselangpun lohu sudah punya pikiran untuk membakar ludas tempat itu"
"Ke.... kenapa?"
"Sejak kecil Cau-ji sudah terbiasa hidup mewah dan suka foya-foya, ada baiknya kalau tempat itu sudah dibakar orang, paling tidak bisa merangsang dia untuk membangun lagi sebuah istana mewah yang lain, ketimbang tahunya hidup mewah dan bersenang senang melulu, cara ini bisa melatihnya menerima kenyataan.... padahal dalam segala bidang bocah ini sudah cukup lumayan, satu-satunya kelemahan padanya adalah kelewat malas!"
"Analisa dari empek benar-benar luar biasa" puji Thiat Tiong-tong sambil menghela napas.
Kembali Kaisar Malam tertawa.
"Kau sebagai saudara angkatnya Cau-ji tentu tahu juga bukan bahwa keluarga Cu memang senang hidup mewah, senang menikmati keduniawian dalam kondisi dan keadaan seperti apapun, anggota keluarga Cu paling tidak tahan hidup
menderita"
"Benar...."
"Kalau ingin menikmati hidup, dia mesti mendapatkannya dengan berjuang, berusaha, jika kau ingin hidup lebih nikmat, hidup lebih mewah ketimbang orang lain maka perjuanganmu musti lebih hebat daripada orang"
"Nasehat ini akan siautit ukir dalam sanubariku!"
"Aku mempercayai kemampuan Cau-ji, dalam kondisi sejelek apa pun, dia masih mampu untuk melakukan perubahan, oleh sebab itu aku selalu percaya dengan kemampuannya, hanya saja...."
Mendadak senyuman yang semula tersungging diujung bibirnya lenyap tidak berbekas, setelah menghela napas katanya:
"Hanya saja.... entah bagaimana keadaan ibunya sekarang?"
Perasaan Thiat Tiong-tong bergetar keras, dia tertunduk semakin rendah.
"Dia sudah kelewat menderita, kelewat tersiksa batinnya" ujar Kaisar Malam lebih lanjut sambil menghela napas, "selama ini dia selalu ingin mengungguli kemampuanku, tapi berlatih silat dengan cara seperti yang dia lakukan kelewat menyiksa, apakah dia telah menyelesaikan pula semua siksaan dan
penderitaannya?"
"Yaa, beliau telah menyelesaikan semua penderitaannya...."
jawab Thiat Tiong-tong lirih, dia tidak berani mendongakkan kepalanya.
"Bagus, bagus, memang sudah saatnya dia menikmati hidupnya"
Thiat Tiong-tong semakin sedih, hatnya semakin pedih, diapun semakin tak berani mengangkat wajahnya.
"Di dalam sana tersedia arak dan hidangan lezat" kata Kaisar Malam lagi, "kini kau sudah tiba disini, seharusnya pula temani aku berbincang sambil minum arak, tidak usah buru-buru pergi, mengerti" Ayoh ikut aku masuk!"
Thiat Tiong-tong merasa terkejut bercampur keheranan, saking herannya nyaris sampai tidak mampu bersuara, setelah tertegun berapa saat kemudian dia baru berkata agak tergagap:
"Jadi empek.... masih ingin masuk ke dalam lagi?"
"Tentu saja harus masuk ke dalam"
"Sekarang siautit sudah membuka lebar pintu rahasia, kenapa empek belum juga pergi" Lebih baik siautit bersihkan dulu semua beban yang ada ditubuh empek kemudian baru...."
"Ooh, rupanya kau hendak menyelamatkan aku"
"Siautit.... siautit hanya...."
Kaisar Malam segera mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.
"Hahahahaha.... kalau ingin kabur, sudah sejak dulu aku kabur dari sini, memangnya menunggu sampai kedatanganmu"
Bocah, kau kelewat pandang rendah kemampuanku"
"Lantas kenapa.... kenapa empek belum pergi?"
"Tentu saja ada alasannya, nanti kau juga akan tahu sendiri"
sahut Kaisar Malam sambil tertawa.
Dia segera menarik tangan Thiat Tiong-tong dan diajaknya menelusuri jalan lorongyang berliku.
Untuk kesekian kalinya Thiat Tiong-tong menghela napas, pikirnya:
"Tabiat orang tua ini memang mirip jahe semakin tua semakin pedas, sudah seusia dia sifat keras kepalanya belum juga berubah, padahal keadaan sudah begini rupa, masa dia masih enggan menerima bantuan orang. Kelihatannya aku mesti membujuknya secara perlahan-lahan, siapa tahu suatu saat nanti dia bersedia untuk pergi"
Tentu saja ucapan semacam ini tidak berani dia kemukakan, terpaksa pemuda itu mengintil di belakangnya.
Ternyata gua batu karang itu sangat dalam, bukan saja jalannya berliku-liku bahkan penuh bercabang seperti barisan Pat-kwa-tin milik Cukat liong.
Thiat Tiong-tong sadar, seandainya tidak dibimbing orang tua itu, mustahil baginya untuk lusa balik lagi ke tempat semula.
Semakin ke dalam, lorong bawah tanah itu makin gelap dan lembab hingga akhirnya mereka memasuki suatu daerah yang gelap gulita, sedemikian gelapnya sampai melihat ke lima jari tangan sendiripun susah.
Thiat Tiong-tong tidak menyangka kalau ayah saudara angkatnya hidup selama puluhan tahun dilempat macam neraka seperti ini, dia semakin bertekad akan membujuk orang tua itu agar mau meninggalkan tempat ini.
Entah sudah berapa lama mereka berjalan, akhirnya Kaisar Malam menghentikan langkahnya.
"Triiiing.... !" tiba-tiba Thiat Tiong-tong mendengar suara dentingan lirih diikuti berkilatnya cahaya api, pemandangan dihadapannya mendadak jadi terang benderang, ternyata orang tua itu telah menyulut sebuah lentera.
Dinding karang dihadapannya telah dipahat orang hingga berbentuk sebuah lentera batu, belasan sumbu api berkumpul jadi satu disana, ketika Kaisar Malam mengetukkan batu apinya, dalam waktu singkat semua sumbu itu terbakar dan memancarkan cahaya terang.
Thiat Tiong-tong agak melongo menyaksikan kesemuanya itu, dia bukan heran bagaimana cara memahat batu karang itu, yang membuatnya tidak habis mengerti adalah darimana kakek itu peroleh minyak bakar"
Kalau sepanjang lorong rahasia tadi kondisinya becek, lembab dan gelap, maka tempat ini selain lebar, kondisinya sangat kering. Disisi kiri terdapat sebuah ranjang batu, disisi kanan terdapat sebuah meja batu dengan berapa bangku yang terbuat dari batu juga.
Disisi meja batu terdapat pula sebuah kolam yang terbuat dari batu dengan ukiran sepasang naga berebut mutiara, pancuran air bersih mengalir tiada hentinya dari mulut sang naga, memenuhi kolam batu itu lalu dari kolam mengalir keluar ke arah lain, namun kolam itu selalu dalam kondisi penuh air bersih.
Disisinya lagi tersedia peralatan lengkap mandi dan sisir, semuanya terpelihara dalam kondisi bersih dan kering.
"Bagus bukan tempat tinggalku?" tanya Kaisar Malam sambil tertawa.
"Biarpun bagus, tidak pantas untuk ditinggali kelewat lama"
"Hahahaha.... ucapan yang bagus.... perkataan yang bagus...."
Sambil tertawa dia mulai merobek kantung kertas yang dibawanya.
Hidangan yang tersedia dalam kantung kertas itu terhitung lezat, semula Thiat Tiong-tong mengira dia akan dibujuk untuk ikut makan, siapa tahu Kaisar Malam membawa kedua kantung kertas itu ke sisi selokan kemudian membuang seluruh isinya.
"Empek.... apa yang kau lakukan?" tanya Thiat Tiong-tong terperanjat.
"Ada apa" Kau sangka aku akan berpuasa atau boikot tidak mau makan?"
"Tapi.... tapi...."
"Hahahaha.... jangan kuatir, sekalipun ingin mati, lohu akan mencari tempat yang nyaman untuk mati, tidak bakalan aku pilih mati kelaparan"
"Lalu, kenapa empek membuang semua makanan itu?" Thiat Tiong-tong semakin keheranan.
"Hidangan semacam itu mah cocoknya untuk rangsum kuda, lohu toh bukan keledai, apalagi kuda, kalau tidak dibuang lantas untuk apa?"
Thiat Tiong-tong tertegun berapa saat lamanya.... sampai lama kemudian, akhirnya tidak tahan tanyanya lagi:
"Lalu dihari biasa.... apa yang empek makan?"
Kaisar Malam tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya malah bertanya:
"Tadi, lohu pernah bilang, seandainya mau pergi dari sini, sejak banyak tahun berselang aku sudah meninggalkan tempat ini, apakah kau kurang percaya?"
"Siautit memang sedikit kurang percaya"
"Hahahahaha.... ternyata kau sangat jujur.... baiklah! Harap kau menahan diri selama setengah jam, dalam setengah jam mendatang, apa pun yang kau saksikan, tolong jangan berbicara"
Thiat Tiong-tong semakin dibuat kebingungan, ragu dan ingin tahu, terpaksa jawabnya:
"Siautit akan turut perintah"
"Hahahaha.... baik!"
Ditengah gelak tertawa yang amat nyaring, tiba-tiba dia merentangkan tangannya ke samping sambil menggetarkan tubuh, tahu-tahu semua rantai besi dan borgol yang membelenggu tubuhnya rontok dan bertebaran kemana-mana.
"Kau...." dengan terperanjat Thiat Tiong-tong berseru.
"Jangan lupa, kau berjanji tidak buka suara!" tukas Kaisar Malam sambil tertawa.
Walaupun perasaan hatinya dipenuhi rasa tercengang, kaget bercampur ingin tahu, terpaksa pemuda itu harus menelan kembali semua pertanyaannya.
Dengan amat santai Kaisar Malam berjalan menuju ke depan bak air, kemudian mencuci muka, menyisir rambut dan melepaskan jubah luarnya yang lebar, ternyata dibalik jubah iebar itu dia mengenakan satu stel pakaian sutera yang lembut, halus dan sangat indah.
Menanti dia membalikkan kembali tubuhnya, kakek yang tampil dihadapannya sudah bukan kakek mengenaskan yang dijumpainya tadi, bukan saja tidak dekil dan kusut, bahkan tampang suram pun sama sekali tidak kelihatan.
Kini kakek tersebut tampil begitu rapi, begitu bersih, bukan saja rambutnya tertata rapi, pakaian yang dikenakan pun mewah dan indah, selain tampil perkasa, terpancar pula sinar wibawa
yang luar biasa.
Thiat Tiong-tong nyaris menjerit keras, walaupun dia berhasil menahan diri, tidak urung mulutnya yang terlanjur melongo tidak mampu lagi dirapatkan kembali.
Sambil tersenyum Kaisar Malam berjalan menuju ke depan ranjang batunya kemudian mendorongnya ke samping.
Begitu ranjang batu itu bergeser, segera muncullah sebuah liang gua lain, bedanya gua itu terang benderang, lorong rahasia yang ada dibalik gua pun nampak bersih dan terang.


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ikuti aku!" perintah Kaisar Malam.
Seakan sedang berada dalam alam impian, bagaikan orang bodoh Thiat Tiong-tong mengintil dibekakangnya.
Sebetulnya dia termasuk seorang pemuda berbakat yang cerdas, biasanya sebelum orang melakukan sesuatu, dia sudah bisa meramalkan secara tepat delapan-sembilan bagian di antaranya. Tapi hari ini, jangan lagi menduga, bahkan setiap tindakan dan perbuatan yang dilakukan Kaisar Malam boleh dibilang jauh di luar dugaan-nya.
Sepanjang lorong rahasia, setiap jarak sepuluh langkah terdapat sebuah lentera batu, setelah menelusuri puluhan langkah kemudian mereka baru tiba di depan sebuah pintu batu berbentuk bulan sabit yang tertutup sebuah tirai berwarna hijau pupus.
Tiba-tiba Kaisar Malam berpaling dan berkata sambil tertawa:
"Pejamkan matamu, kau baru boleh membuka matamu bila kusuruh nanti"
Kini, Thiat Tiong-tong sudah takluk seratus persen terhadap orang tua ini, tanpa membantah dia segera pejamkan matanya.
Kaisar Malam mengajaknya memasuki pintu bertirai itu, baru berjalan lagi berapa langkah, secara lamat-lamat dia sudah mengendus bau harum semerbak yang memabukkan.
Bau harum itu menyelimuti seluruh ruangan, lain itu, udara disitupun terasa jauh lebih hangat. Lewat berapa saat kemudian Kaisar Malam baru berseru lagi sambil tertawa:
"Baiklah, sekarang buka matamu!"
Thiat Tiong-tong menarik napas dalam dalam, perlahan dia membuka matanya....
Masih mending kalau dia tetap pejamkan matanya, begitu membuka lebar sepasang matanya.... hampir saja dia jatuh terjerembab saking kagetnya.
Ternyata tempat dimana dia berdiri sekarang adalah sebuah
gua batu berbentuk bulat, biapun hanya sebuah gua batu, namun sekeliling tempat itu terbungkus dalam sebuah tenda yang sangat indah dengan aneka kulit berbulu yang mahal harganya.
Dibandingkan ruang utama rumah orang kaya, tempat ini justru jauh lebih megah dan mewah, bahkan meja dan bangku yang tersedia disitupun terbuat dari pahatan batu hijau dengan ornamen yang indah dan hasil karya tukang pahat kenamaan.
Ada meja yang berbentuk seperti gedung megah, ada kursi tidur yang berbentuk jembatan panjang, ada pula bangku rendah yang mirip rumah pertanian, malah ada sebuah meja bulat dengan pahatan wajah Kaisar Malam dibagian tengahnya.
Setiap cawan, setiap piring yang tersedia diatas meja batu pun rata-rata berbentuk pahatan aneh dan indah, ada yang berbentuk seperti burung merak, ada yang berbentuk kebau, kuda, ada pula yang berbentuk Busu, bahkan ada pula yang berbentuk wanita telanjang.
Setiap benda yang berada disana nyaris merupakan hasil karya tangan seorang ahli, karya tukang pahat kenamaan yang bisa mewujudkan setiap hasil karyanya lebih hidup dari benda aslinya.
Bukan begitu saja....
Dibalik tenda mewah, disisi meja batu, di depan bangku rendah, ternyata berdiri pula belasan orang gadis cantik yang rupawan.
Kawanan gadis cantik itu ada yang mengenakan baju sutera tipis, ada pula yan mengenakan gaun indah, ada yang sedang bergurau, ada yang sedang bermain catur, ada pula yang sedang menyisir rambutnya dan berdandan, malahan ada pula yang sedang melukis.
Saat itu semua orang telah menghentikan kegiatannya, semua orang memandang ke arah ihiat Tiong-tong dengan terperangah, wajah mereka dicekam rasa terkejut bercampur keheranan, tidak ada yang tahu dari mana datangnya pemuda itu
Thiat Tiong-tong sendiripun merasakan pandangan matanya kabur, selama hidup walaupun sudah seringkali dia jumpai kejadian aneh, namun belum pernah dia alami peristiwa yang lebih aneh dari kejadian hari ini.
Untuk sesaat dia berdiri termangu, masih untung Kaisar Malam melarangnya berbicara, andaikata dia bebas berkata pun belum tentu pemuda itu sanggup mengucapkan sepatah kata pun
dalam kondisi seperti ini.
"Bagaimana dengan tempat ini?" terdengar Kaisar Malam bertanya.
Thiat Tiong-tong terbungkam dalam seribu bahasa, dia memang tidak mampu menjawab.
"Kini kau sudah boleh berbicara" kata Kaisar Malam lagi sambil tertawa.
Thiat Tiong-tong menarik napas panjang, kemudian sahutnya:
"Siautit benar-benar tidak sanggup menjawab pertanyaan itu"
"Hahahahaha.... bagus! bagus!" Kaisar Malam tertawa tergelak, kemudian sambil berpaling ke arah kawanan gadis itu, ujarnya lagi, "dia adalah saudara angkat Cau-ji, putraku, ayoh kemari, kalian boleh berkenalan"
Kawanan gadis itu tertawa ringan, malah ada pula yang segera menundukkan kepalanya. Kembali Kaisar Malam tertawa, katanya:
"Sudah terlalu lama aku tidak menerima tamu ditempat ini, tidak heran kalau kawanan budak itu jadi malu-malu kucing, harap keponakan jangan mentertawakan"
Thiat Tiong-tong sendiripun tertunduk rendah, tidak sepatah katapun sanggup dia ucapkan.
"Kenapa kalian masih berdiri melongo" terdengar Kaisar Malam menegur lagi, "cepat sediakan sayur dan arak, aku akan menjamu keponakanku ini"
Diiringi suara tertawa cekikikan yang ramai, serentak kawanan gadis itu bangkit berdiri dan beranjak pergi.
"Duduklah!" ujar Kaisar Malam kemudian.
Thiat Tiong-tong pun mengambil tempat duduk.
"Setibanya disini, bagaimana perasaanmu?"
Thiat Tiong-tong mendongakkan kepalanya memandang sekeliling tempat itu sekejap, lamat-lamat dia mendengar suara cekikikan bergema dari balik tirai.
Maka setelah menghela napas panjang, sahutnya tergagap:
"Hingga kini siautit bahkan belum bisa percaya,
sesungguhnya aku sedang di alam nyata atau berada dalam alam impian?"
"Hahahaha.... bukankah lohu pernah bilang, berada dalam situasi dan kondisi seperti apa pun orang-orang keluarga Cu pasti bisa berusaha untuk menikmati hidupnya"
"Empek memang terbukti memiliki kemampuan yang luar biasa" Thiat Tiong-tong menghela napas panjang, "tapi dalam hati
kecil siautit terdapat banyak pertanyaan yang tidak terjawab, bersediakah empek untuk memberitahu?"
"Pertanyaan apa" Tanyakan saja!"
"Bagaimana ceritanya empek bisa terdampar disini, lalu bagaimana pula kejadiannya sampai bisa.... sampai bisa memiliki segalanya?"
Dia memang gagal menemukan perkataan yang paling cocok untuk mengemukakan rasa tercengang dan kagetnya, karena itu sambil tertawa getir dia menuding ke sekeliling tempat itu.
Sudah jelas pada mulanya tempat itu merupakan sebuah penjara bawah tanah, penjara yang dipersiapkan Ratu matahari untuk mengurung kakek itu, tapi sekarang, sebuah penjara bawah tanah telah berubah menjadi istana megah yang penuh dengan kemewahan, bukankah kenyataan ini patut
dipertanyakan"
Kaisar Malam tersenyum, sahutnya:
"Biarpun pertanyaan yang kau ajukan hanya terdiri dari berapa patah kata, namun panjang sekali untuk dijelaskan, apakah kau punya kesabaran untuk mendengarkan?"
"Siautit siap mendengarkan" Kaisar Malam tersenyum, dicarinya dulu sebuah tempat tidur yang empuk untuk tempat duduk, kemudian ia mulai berkisah:
"Selama hidup aku yakin semua sepak terjangku benar dan tidak pernah merugikan siapa pun, hanya dalam satu hal, seluruh umat manusia mengutuk dan mencaci maki diriku, tahukah kau persoalan apa yang kumaksud"
"Bagus! Kalau dilihat dari wajah senyummu, aku tahu, kau pasti sudah paham apa yang kumaksud hanya kurang leluasa atau sungkan untuk mengutarakannya keluar bukan" Padahal mau dikatakan pun tidak masalah.
"Biarpun pemogoran dianggap orang satu perbuatan yang memalukan, padahal asal niatmu tidak cabul, apa salahnya kalau kita menabur bibit cinta terhadap kaum wanita yang ada di kolong langit"
"Sepanjang hidup, hal yang paling membuatku tergila-gila hanyalah para wanita yang cantik jelita lagi cerdas, sebab hanya merekalah sumber kehidupan bagi langit dan bumi, coba perhatikan, ada sementara perempuan yang bertampang buruk berbodi kasar, ada pula sementara perempuan yang lembut halus dan cantik bak bidadari dari langit, perbedaan mereka sangat besar dan mencolok, bukankah hal ini membuktikan kalau langit
pun sudah membedakan mana buruk mana bagus"
"Jikalau langit telah meletakkan segala sumber kehidupan ditubuh kaum wanita, itu berarti umat manusia harus menikmati dan menyayanginya, seperti juga terhadap pepohonan dan bunga-bungaan, kalau ingin menikmati keindahannya, wajib kita pupuk dan peliharanya secara seksama.
"Bila ada orang tidak mau menikmati, tidak tahu menyayangi atas semua keindahan yang tersedia, itu berarti dia adalah manusia kasar, lelaki goblok yang dungu dan tidak tahu arti hidup"
Setelah mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak, lanjutnya:
"Hahahaha,.... untung aku bukan orang kasar, apalagi lelaki goblok yang dungu dan tidak mengerti arti kehidupan, aku tidak pernah menyia-nyiakan kelebihan yang disediakan langit, akupun tidak pernah menyia-nyiakan perempuan cantik yang kujumpai, aku merasa wajib untuk mencintai mereka, menyayangi mereka seperti aku menyayangi harta mestika.
"Yang lebih beruntung lagi adalah biniku pun bukan manusia sembarangan, dia cukup memahami kegemaranku ini, dia tahu kalau aku hanya berniat melindungi dan merawat kaum wanita cantik dikolong langit agar mereka tidak dianiaya orang, tidak disia-siakan orang.
"Tapi yang paling membuatku beruntung adalah asalkan dia seorang gadis baik maka dia pasti akan mengetahui perasaanku, padahal hanya wanita baik yang bisa mengetahui perasaan-ku, dan harapan terbesarku sepanjang hidup adalah berkenalan dan bersahabat dengan semua wanita cantik yang ada dikolong langit, aku berharap semua wanita cantik dikolong langitpun mau menganggap aku sebagai sahabatnya, dengan begitu tujuan hidup seorang manusia baru mendekati sempurna"
Tampaknya dia sudah menganggap Thiat Tiong-long sebagai keponakan sendiri, karena itu caranya berbicara pun sangat terbuka tanpa tedeng aling-aling, hal ini membuat anak muda itu hanya bisa mendengarkan dengan wajah melongo dan tertawa getir.
Bagaimana tidak" Apa yang dia katakan bukan saja belum pernah didengar Thiat Tiong-tong sebelumnya, bahkan merupakan teori yang belum pernah diketahui sebelumnya, pemuda itu tidak tahu apakah perkataan itu benar atau sebenarnya keliru besar.
Ketika mencoba berpaling ke arah lain, dijumpai kawanan gadis itu sudah menghidangkan sayur dan arak kemudian secara diam-diam duduk disekeliling tempat itu, mereka duduk dengan wajah penuh senyuman dan ikut mendengarkan kisah tersebut dengan seksama.
Padahal kisah cerita semacam itu entah sudah berapa kali mereka dengar, tapi kini mereka masih tetap mendengarkan dengan seksama, hal ini membuktikan kalau cara Kaisar Malam bercerita memang sangat mempersonakan siapapun.
Ternyata hidangan sayur dan arak yang tersedia sangat bagus kwalitasnya, selesai meneguk habis secawan arak kembali Kaisar Malam menghela napas panjang, katanya lagi:
"Tapi sayang di antara sekian banyak perempuan baik yang ada dikolong langit, ternyata masih ada perempuan lain yang jauh lebih bagus, jauh lebih hebat lagi, bukan saja perempuan itu tidak pernah mau menganggap aku sebagai sahabatnya, menggubris akupun tidak. Peristiwa ini betul-betul merupakan persoalan yang paling kusesali, kejadian yang paling menjengkelkan hatiku, gara-gara persoalan ini, aku pernah puasa makan puasa tidur selama tujuh hari tujuh malam, dalam berapa bulan penghidupanku selanjutnya hatiku sungguh tersiksa, makan tidak enak, tidurpun tidak nyenyak, setiap kali teringat akan dirinya, hatiku terasa sakit bagaikan ditusuk beribu-ribu batang jarum tajam, apakah kau bisa membayang-kan perasaan hatiku waktu itu"
"Bagus, kau masih tersenyum tanpa bicara, itu berarti kaupun sangat memahami perasaan hatiku saat itu.
"Aaaai, berbicara dengan bocah pintar macam kau boleh dibilang merupakan satu kejadian yang menyenangkan juga, coba kalau mesti berbicara dengan orang-orang kasar, mungkin lebih mendingan aku memetik khiem di depan kerbau"
Sejak awal hingga kini dia hanya mengemukakan teori yang seakan berisi falsafah mendalam, padahal kalau ditelaah lebih mendalam, tidak jelas falsafah apa yang ingin dia kemukakan.
Sekarang, lagi-lagi dia mengalihkan pembicaraan bahkan mengundang Thiat Tiong-tong untuk makan minum, itulah sebabnya anak muda itu jadi tidak tahan untuk bertanya satu kali lagi:
"Bagaimana ceritanya hingga cianpwee tiba di sini?"
Kaisar Malam menghela napas panjang, sahutnya:
"Kau jangan terburu napsu, biarpun apa yang aku ceritakan
barusan kedengarannya seperti tidak ada sangkut pautnya dengan persoalanku, padahal itulah yang menjadi alasan utama kenapa aku bisa tiba disini.
"Tahukah kau siapakah perempuan yang tidak pernah mengubris aku" Dia adalah....
"Bagus, lagi-lagi kau berhasil menebaknya, dia memang Jit ho Nio nio, pemilik Pulau Siang cun-to, seandainya dia hanya tidak menggubrisku, itu mah masih mendingan, paling banter aku hidup dengan perasaan masgul.
"Siapa sangka bukan saja dia tidak menggubrisku, bahkan dengan segala upaya dia berusaha membujuk perempuan-perempuan yang berada disekitarku agar pergi menjauhi aku, akibatnya sembilan puluh persen perempuan-perempuanku kabur meninggalkan aku.
"Dia menuduhku tidak setia dalam bercinta, suka pemogoran, suka hidup romantis, aku tidak lebih hanya seorang hidung belang, padahal dia mana tahu betapa mendalamnya perasaan cintaku, dia mana tahu betapa seriusnya niatku.
"Apakah dia anggap orang yang punya kegemaran menanam bunga hanya menanam sebatang bunga didalam kebunnya"
Apakah orang yang hanya menanam sebatang bunga di kebunnya udah pasti orang yang bukan menyukai bunga"
"Teori tersebut persis sama seperti aku, kalau aku tidak menaruh hati terhadap wanita, buat apa mesti berupaya dengan segala macam cara agar mereka mau mendampingiku, bersusah payah melindungi mereka, tidak membiarkan mereka menderita, tersiksa atau diganggu orang" Orang yang gemar bunga pasti akan menyayangi bunganya, membawa bunga-bunganya ke dalam ruang hangat di saat musim dingin tiba, menyirami air dimusim kemarau, agar bunga itu selalu tumbuh indah, dikerumuni serangga, disukai burung liar, aaai.... kalau bukan seseorang yang gemar bunga, mana mungkin dia bisa memahami betapa sulitnya untuk memelihara bunga!"
Satu penjelasan yang sangat aneh dan belum pernah terdengar sebelumnya, tidak heran Thiat Tiong-tong dibuat tertegun sampai melongo dengan mata terbelalak, biarpun kalau ditelaah teori tersebut sangat masuk diakal, akan tetapi dia sendiripun tidak bisa menjelasan dibagian mana yang masuk akal.
Sementara kawanan gadis cantik masih mendengarkan dengan terpesona, bagai orang yang kesemsem atau mabuk berat,
mereka masih termangu tanpa bergerak, malah ada yang secara diam-diam melelehkan air matanya.
Maka dengan cepat Thiat Tiong-tong menyela:
"Itukah sebabnya empek mendatangi Pulau Siang cun-to?"
"Betul, waktu itu usia Cau-ji sudah tidak termasuk kecil, bibimu juga sudah menutup diri untuk berlatih, karena tidak kuasa menahan perasaan akhirnya akupun berangkat ke Pulau Siang cun-to.
"Kelihatannya Jit ho Nio nio sudah memperhitungkan langkahku ini, ternyata dia tidak berani melayani duel melawan aku, sebaliknya malah mengerahkan beratus orang jagoan yang menghuni di pulau ini untuk membentang ilmu barisan Toa ciu thiat coat sintin dan menantiku ditepi pantai, begitu aku menginjakkan kakiku di Pulau Siang cun-to, diapun segera mengambil sumpah, katanya kalau aku berhasil menjebol ilmu barisannya maka dia akan menuruti semua permintaanku, sebaliknya bila dalam tiga jam aku gagal menjebol ilmu barisan itu maka akulah yang harus menuruti perkataannya.
"Hari itu angin dan ombak sangat besar, sewaktu turun dari perahu aku sudah merasa sedikit kelelahan, selain itu akupun merasa waktu selama tiga jam tidak cukup, biarpun aku merasa sumpahnya tidak adil, toh hatiku terpikat juga untuk mencoba, akhirnya pertarunganpun berlangsung.... aaaai, dan akupun terjerumus di tempat ini"
Thiat Tiong-tong turut menghela napas panjang, setelah termenung sejenak katanya lagi:
"Sebelum pergi, apakah empek memberitahukan tujuan kepergianmu kepada Cu toako?"
"Tidak pernah, tapi bibimu sangat memahami perasaan hatiku, biarpun tidak kukatakan, dia pasti tahu kemana aku pergi"
"Dia orang tua memang tahu" kata Thiat Tiong-long sedih,
"hanya saja...."
Sebenarnya dia ingin berkata: "hanya saja belum sempat mengatakan, dia sudah mati", namun akhirnya dia telan kembali perkataan itu.
"Hanya saja kenapa?" tanya Kaisar Malam.
"Hanya saja dia orang tua tidak memberitahukan hal ini kepada siautit" jawab Thiat Tiong-ong sambil tertawa paksa.
Kaisar Malam mengambil cawan araknya sambil duduk termangu, lama kemudian dia baru bergumam sambil menghela
napas: "Walaupun sudah belasan tahun aku tidak kembali, ternyata diapun tidak mengijinkan Cau-ji datang mencariku"
"Kali ini tebakanmu keliru besar" pikir Thiat Tiong-tong didalam hati.
Selang berapa saat kemudian Kaisar Malam baru melanjutkan kata katanya:
"Setibanya ditempat ini, tidak sampai setengah tahun aku telah berhasil menelusuri semua pelosok tempat disini dan menghapalnya diluar kepala, tapi belasan bulan kemudian aku berhasil menemukan kalau tempat ini sebenarnya bukan jalan buntu, kecuali pintu keluar yang satu tadi masih terdapat celah lain yang bisa berhubungan dengan dunia luar, bila aku ingin pergi waktu itu, sebetulnya aku bisa segera kabur"
"Lantas kenapa empek tidak pergi?"
"Sebagai seorang lelaki sejati, walaupun kita tidak perlu menggubris soal tetek bengek, tapi masalah kejujuran, kesetiaan dan tata krama tetap harus kita pegang kuat kuat"
"Betul!" sahut Thiat Tiong-tong serius.
"Asal tidak kutinggalkan tempat ini berarti aku tidak ingkar janji, sementara dengan cara apa kulanjutkan kehidupanku, itu masalah lain, hal itu menyangkut kemampuanku untuk memanjakan diri, selama aku memiliki kemampuan itu, meski tiap hari hidup bersenang-senang pun bukan masalah, toh bukan berarti aku mesti hidup sengsara di tempat ini baru dianggap pegang janji"
"Siautit paham" kembali Thiat Tiong-tong mengangguk, sementara dihati kecilnya diam-diam dia menghela napas, pikirnya:
"Empekku ini walaupun agak mata keranjang, terkadang pandangannya juga agak eksentrik namun jiwa ksatrianya tetap ada, dia memang tidak malu disebut jagoan paling romantis dalam dunia persilatan"
Berpikir sampai disitu, tampa terasa muncul sikap hormat diatas wajahnya.
Kaisar Malam tersenyum, katanya:
"San-san, cerita selanjutnya sudah pernah kalian dengar, lebih baik kau saja yang melanjutkan kisah menarik ini"
Seorang gadis berusia dua puluh tujuh, delapan tahunan, berwajah bulat telur, beralis mata lembut, berperawakan tinggi besar, berkulit hitam tapi sehat dan penuh gairah melemparkan
sekulum senyuman kearah pemuda itu, kemudian sahutnya:
"Peristiwa ini sudah terjadi belasan tahun berselang, tapi bagiku, satu kejadian yang tidak mungkin bisa kulupakan"
Sambil pejamkan matanya seolah sedang membayangkan kembali kejadian itu, dia melanjutkan:
"Waktu itu menjelang musim semi, setiap hari aku bersama Cui-ji selalu pergi mengembala sekelompok kambing, mencari tempat yang ada air, ada rumput, sembari mengembara kami pun bisa membaca sejumlah buku.
"Suatu hari, menjelang senja ketika aku siap pulang ke rumah, tiba-tiba dari bawah bukit berkumandang suara orang sedang berpantun, yang dibawakan adalah Pie pa heng gubahan Pek Kit.
"Tentu saja aku sangat terperanjat ketika mendengar ada suara orang berpantun dibawah bukit sana.
"Tapi suara orang itu sangat indah dan menawan, bait syair yang dibawakan juga merupakan syair yang amat kukenal, maka setelah mendengar beberapa saat, aku pun terperana dibuatnya.
"Waktu itu aku berpikir, andaikata dibawah bukit ada setannya, dia pasti setan yang tahu seni, maka dengan membesarkan nyali kuajak Cui-ji turun ke bawah bukit menuju ke sumber suara itu"
Senyumannya semakin menawan hati, lanjutnya:
"Kau pasti tahu bukan, khayalan seorang gadis selalu lebih banyak ketimbang orang lain, itulah sebabnya kami nekad pergi mencari setan seniman itu, coba kalau berganti sekarang, mustahil berani kami lakukan.
"Setelah mencari setengah harian akhirnya dari balik celah batu yang penuh ditumbuhi rumput ilalang kusaksikan ada sepasang mata sedang mengawasi kami.
"Sorot mata itu kelihatan sangat lembut dan halus, sama sekali tidak mengandung niat jahat, keberanian kamipun bertambah besar, akupun mulai mengajaknya bercakap cakap.
"Semenjak hari itu, saban hari kami pasti ke situ untuk mengajaknya berbicara, karena semua yang dia bicarakan belum pernah kami dengar sebelumnya, tanpa sadar kami dibuat terpesona olehnya.
"Setiap hari kami selalu membawakan susu domba baginya, diapun sering menghadiahkan benda pahatan dari batu untuk kami berdua, sampai pada akhirnya aku dan Cui-ji pun menaruh.... menaruh...."
Ketika berbicara sampai disini, selapis warna merah menghiasi pipinya, warna merah yang justru membuat dia nampak bertambah cantik.
Sesudah menundukkan kepalanya sesaat dan tertawa, kembali lanjutnya:
"Sampai pada akhirnya, ketika kami merasa tidak mampu meninggalkan dirinya lagi maka dengan berbekal alat tulis dan pakaian kamipun ikut masuk ke dalam gua itu dan tinggal bersama-nya.
"Waktu itu, meski keadaan didalam gua tidak semegah sekarang namun termasuk bersih sekali, saban hari kami menemaninya bersenandung pantun, bermain catur dan melukis.
"Suatu hari tiba-tiba dia minta kepada kami untuk membawa lukisan-lukisan tersebut dan menjualnya ke pasar, lalu dengan uang hasil penjualan membeli barang keperluan lainnya, tapi diapun berpesan agar lukisan itu hanya dijual kepada para gadis saja.
"Tapi sangat jarang kaum gadis yang berbelanja di pasar apalagi berjalan jalan diluar rumah, untung kamipun wanita sehingga dapat bergerak bebas di rumah mereka, dengan mudah kamipun berhasil menjual habis ke tujuh, delapan buah lukisan itu, bahkan menjualnya dengan harga tinggi. Dengan uang hasil penjualan itu kami pun dapat membeli kain sutera, batu permata, gading dan lain-lain.
"Kali ini bukan saja dia membuat lukisan, bahkan lukisannya dihiasi dengan batu permata, gading dan lain sebagainya hingga terbentuk satu benda antik, maka kamipun membawa barang barang itu untuk dijual di pasar.
"Sewaktu kami tiba di pasar, ternyata berapa orang wanita yang pernah membeli lukisan dulu telah mengutus para dayangnya untuk setiap hari menunggu kami disana.
"Rupanya mereka dibuat kesemsem oleh lukisan yang dibeli, setiap hari kerja mereka hanya memandang lukisan sambil melamun, konon mereka merasa makan tidak enak tidurpun tidak nyenyak"
Ketika bercerita sampai disini, ke tiga empat orang gadis yang berada disampingnya segera saling bertukar pandangan sekejap sambil tersenyum.
San-san ikut tersenyum, lanjutnya:
"Begitu bertemu aku, mereka nampak kegirangan setengah mati, mereka paksa aku mengajaknya bertemu dengan sang
pelukis, karena didesak terus menerus akhirnya akupun kehabisan daya, kasihan melihat kepanikan mereka...."
"Huuh, siapa yang patut dikasihani?" tiba-tiba seorang gadis berbaju hijau pupus berteriak keras, "justru kau yang pantas dikasihani!"
San-san tertawa geli.
"Jadi kau tidak patut dikasihani?" godanya, "padahal waktu itu mata kalian sudah bengkak saking sedihnya menangis, coba kalau tidak kuajak kemari, mungkin kalian benar-benar mati karena panik"
Nona itu melirik sekejap beberapa orang rekannya, kemudian ikut tertawa cekikikan.
"Sekalipun aku panik, toh jauh lebih mendingan ketimbang yang lain!"
"Yaa, benar juga perkataanmu"
Berapa orang nona itupun ribut sendiri dengan ramainya, tapi setelah melirik Thiat Tiong-tong sekejap, mereka pun kembali tundukkan kepala dengan wajah memerah.
"Bagus! Bagus!" tukas Kaisar Malam kemudian sambil tertawa tergelak, "kalian semua tidak ada yang panik, aku yang panik...."
Sampai disini, Thiat Tiong-tong merasa tidak perlu mendengar lagi karena dia sudah menduga apa kejadian selanjutnya.
Rupanya beberapa orang gadis itu dibuat mabuk kepayang setelah menyaksikan lukisan Kaisar Malam, mereka tak bisa mengendalikan diri untuk segera dapat menjumpai sang pelukis.
Menanti mereka telah bertemu Kaisar Malam, kembali gadis gadis itu terbuai oleh kegagahan dan keperkasaannya, maka mereka pun memutuskan untuk tetap tinggal disana.
Maka dengan kerja sama beberapa orang itu, Kaisar Malam berhasil mengubah gua karang menjadi sebuah istana nirwana.
Sambil tertawa kembali San-san berkata:
"Sembilan puluh persen gadis yang pernah melihat lukisan itu pasti akan terpikat dan tergila-gila, mereka akan berusaha untuk datang kemari.
"Akhirnya kami kuatir, bila keadaan berlangsung terus maka gua ini akan penuh sesak dengan kehadiran gadis cantik, maka kamipun tidak berani lagi membawa lukisan itu dijual keluar"
"Bukannya tidak berani, tapi tidak rela!" timbrung Kaisar Malam sambil tersenyum.
Merah jengah selembar wajah San-san, serunya manja:
"Sudah, aku tidak mau bercerita lagi...."
"Baiklah, kau boleh beristirahat dulu" kata Kaisar Malam sambil tertawa tergelak, "Cui-ji, kau saja yang melanjutkan"
Seorang gadis muda lain yang berdandan mirip San-san menyahut sambil tertawa:
"Baik, biar aku yang bercerita, kalau enci San cemburu, tidak mungkin dia akan mengajak kemari gadis-gadis lain, dia tahu setiap wanita yang membeli lukisan itu pastilah gadis berbakat yang pintar, kalau tidak pintar mana mungkin mereka akan terpikat oleh lukisan" Tapi, bagaimana pun toh jumlahnya tetap harus dibatasi!"
"Kelihatannya Cui-ji lebih memahami tentang diriku" kata San-san sambil tertawa.
"Bukan Cuma enci San saja" kata Cui-ji lebih lanjut sambil tertawa, "saudara lainnya pun mengatakan agar lukisan itu jangan dijual lagi keluar, mending disimpan untuk dinikmati sendiri.
"Biarpun aku dan enci San berasal dari keluarga miskin, tapi saudara lainnya masih terhitung gadis-gadis keluarga kaya, sewaktu datang kemari, mereka membawa serta barang berharga miliknya, terutama Min-ji, nyaris dia boyong seluruh harta kekayaannya kemari"
Si nona berbaju hijau pupus itu segera mengumpat sambil tertawa:
"Aku tidak pernah mengusikmu, buat apa kau berceloteh terus tentang aku!"
"Tapi aku toh tidak berbohong" seru Cui-ji sambil tertawa.
"Yaa, aku bersaksi ketika Min-ji datang kemari, memboyong harta kekayaannya sampai tiga kereta besar" sambung San-san sambil tertawa pula, "harta karun miliknya seorang sudah lebih dari cukup bagi kami semua hidup sepanjang masa"
"Itulah sebabnya tanpa menjual lukisan pun kami masih bisa hidup bermewah-mewah, selain mengisi perut, setiap hari kami semua disibukkan untuk mengubah tempat ini menjadi sebuah istana" kata Cu-ji melanjutkan.
"Cukup...." potong Kaisar Malam tiba-tiba sambil tertawa,
"Tiong-tong, sekarang kau sudah mengerti bukan"
Thiat Tiong-tong menghela napas panjang: "Andaikata siautit tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, kisah cerita tersebut tentu akan kuanggap sebagai isapan jempol belaka....
aaaai! seandainya bukan manusia aneh macam empek, mana mungkin bisa mengalami kejadian yang aneh pula!"
"Betul" kata Cui-ji sambil tertawa, "kalau dia tidak pandai berpantun dan melukis, mana mungkin bisa terjadi peristiwa semacam ini?"
Kaisar Malam tertawa lebar, katanya:
"Aku tidak ingin Jit ho Nio nio mengetahui kejadian ini, maka setiap hari ketika waktu mengirim nasi tiba, akupun selalu berdandan macam orang mengenaskan untuk menyambut kedatangan mereka"
"Hahahaha.... bahkan siautit pun ikut tertipu" sambung Thiat Tiong-tong sambil tertawa geli.
Didalam gua tidak jelas berjalannya sang waktu, entah sudah berapa lama mereka berbincang sambil bersenda gurau Tiba-tiba San-san berseru sambil tertawa: "Kalian kaum lelaki tentu punya persoalan yang tidak ingin diketahui orang lain, khususnya wanita, buat apa kita tetap tinggal disini, ayo jalan!"
"Betul, setelah lelah seharian, sudah waktunya kita tidur"
sambung Cui-ji sambil beranjak pergi.
Maka berduyun duyung kawanan gadis itu berlalu dari situ.
Memandang bayangan punggung mereka hingga lenyap dari pandangan, Kaisar Malam baru berkata sambil tertawa:
"Coba kau lihat lagak mereka, benar-benar berotak cerdas, belum lagi kau bicara, mereka sudah dapat menebak suara hatimu"
"Betul, mereka memang sangat memahami jalan pikiran manusia...." sahut Thiat Tiong-tong, setelah menghela napas panjang, lanjutnya, "siautit memang ada berapa persoalan yang tidak ingin didengar orang lain, harap empek mau menjawabnya"
"Apa masalahnya" Katakan saja!" Thiat Tiong-tong termenung berapa saat lamanya, dia seakan merasa serba salah dan tidak tahu harus mulai dari mana.
Setelah menengok sekejap sekeliling tempat itu, akhirnya dia mengambil alat tulis, menulis beberapa huruf diatas kertas dan disodorkan kehadapan Kaisar Malam.
Kakek itu membacanya sebentar, tiba-tiba paras mukanya berubah hebat. Setelah lama sekali termenung, akhirnya dia pun mengucapkan sepatah kata.
Begitu mendengar perkataan itu, paras muka Thiat Tiong-tong ikut berubah hebat, tidak jelas dia merasa terkejut atau girang.
Tidak lama kemudian dengan air mata bercucuran
gumamnya: "Ternyata begitu... ternyata begitu... Lengkong.... Cu toako....
kalian.... kalian terlalu baik!"
Apa yang sebenarnya ditulis Thiat Tiong-tong"
Apa pula yang diucapkan Kaisar Malam"
Mengapa secara tiba-tiba Thiat Tiong-tong menyinggung nama Sui Leng-kong dan Cu Cau"
BAB 29 Salah Langkah Waktu itu Cu Cau dan Sui Leng-kong berada di bawah kaki bukit Ong wo san, berjarak ribuan li dari gua istana, yang mereka dengar saat itu hanya hembusan angin gunung yang menggoyang dedaunan pohon siong, tentu saja mereka tidak akan mendengar teriakan Thiat Tiong-tong.
Bukit Ong wo san bukan sebuah gunung yang tinggi, namun sejak dulu bukit ini sudah tersohor sebagai tempat pertapa para dewa.
Ketika Cu Cau dan Sui Leng-kong tiba di kaki bukit, benar saja, mereka segera merasa suasana yang sangat berbeda di tempat itu, hanya saja tidak diketahui terletak dimanakah rumah pondok yang dimaksud.
Cukup lama mereka menelusuri seluruh tanah perbukitan itu, akhirnya dengan kening berkerut, Cu Cau berkata:
"Mana ada rumah pondok di sekitar sini" Jangan-jangan...
jangan-jangan"."
"Jangan-jangan kenapa?" tanya Sui Leng-kong cepat.
Cu Cau menghela napas panjang, katanya:
"Jangan-jangan Thiat-toakomu hanya membohongi kita berdua?"
Sui Leng-kong mendongakkan kepala memandang awan di angkasa, setelah termenung lama sekali, sahutnya:
"Semenjak berkenalan dengan Thiat Tiong-tong, belum pernah sekali pun dia membohongi aku."
Walaupun sudah cukup lama dia meninggalkan lembah berawan, namun perjalan-annya dari bukit Lau-san ke bukit Ong wo san baru benar-benar membawanya ke alam dunia keramaian.
Sepanjang perjalanan dia menyaksikan banyak kejadian yang dulu tidak pernah dilihat olehnya, menjumpai berbagai lapisan manusia yang beraneka ragam, walaupun selama ini dia tidak pernah memandang rendah siapapun, namun siapa pun yang bertemu dengannya pasti akan terbuai dan terpesona dibuatnya.
Pengalamannya selama berhari-hari membuat gadis itu makin tumbuh dewasa, dia semakin percaya diri, penyakit gagap yang
dideritanya pun lambat-laun sembuh dengan sendirinya.
Kini bukan saja cara berbicara, caranya bertindak jauh pun lebih percaya diri, dia pun yakin Thiat Tiong-tong tidak bakal membohongi dirinya, dia percaya di sekitar sana pasti terdapat rumah pondok yang dimaksud.
"Tentu saja Thiat-jite tidak bermaksud jahat membohongi kita berdua," ujar Cu Cau sambil menghela napas:
"Dia hanya...."
"Tidak usah kau lanjutkan, aku sangat memahami maksud hati Tiong-tong," tukas Sui Leng-kong sedih.
Cu Cau tertegun, tegurnya:
"Kau sepantasnya memanggil Toako...."
"Tidak, aku sengaja memanggilnya Tiong-tong... Tiong-tong, Tiong-tong...."
Cu Cau mendongakkan kepala tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, dasar bocah bengal, Jite bisa memiliki adik perempuan macam kau, dapat dipastikan hidupnya akan sengsara...."
Sui Leng-kong tertawa lebar, katanya:
"Aku selalu berpendapat, hanya kau seorang yang mirip Toako ku, Cu-toako, kau jadi Toako ku saja, aku tidak ingin kakak macam liong-tong."
Cu Cau tertawa getir, buru-buru dia mengalihkan
pembicaraan: "Ehmm, ehm, cuaca hari ini bagus juga...."
"Sudah, tidak usah mengalihkan pembicaraan, sekalipun kau tidak mau mengakui aku sebagai adikmu, aku tetap akan menganggap kau sebagai kakak ku."
Sambil menghela napas panjang Cu Cau menggelengkan kepala berulang kali, keluhnya:
"Aaai, belasan hari berselang kau masih seorang gadis yang lemah lembut, tidak disangka hari ini telah berubah jadi nakal dan susah diatur."
"Tahukah Toako apa sebabnya bisa begini?"
"Tidak."
"Karena Toako yang mengajarkan kepada-ku," seru Sui Lengkong tertawa. "Dasar
Mendadak terlihat ada dua sosok bayangan manusia meluncur datang dari balik tebing, ilmu meringankan tubuh mereka sangat tangguh, tapi begitu melihat di situ ada orang lain, seketika kedua orang itu memperlambat langkahnya.
Orang yang berjalan paling depan adalah seorang pemuda tampan dengan baju ringkas berwarna hitam, sebuah angkin merah melilit di pinggangnya, sekalipun dia telah memperlambat langkahnya, namun sikap maupun penampilannya tetap gagah dari perkasa, sebilah pedang panjang bersarung hitam tergantung di punggungnya, sebuah pita merah terikat di ujung gagang pedang itu.
Sementara rekannya adalah seorang gadis muda bertubuh langsing dengan pakaian hijau pupus, sebilah pedang juga tersoreng pula di punggungnya.
Selain cantik, dia pun memiliki sepasang mata yang besar dan bening, kedua orang itu boleh dibilang merupakan sepasang muda-mudi yang serasi.
Menyaksikan kemunculan kedua orang itu, diam-diam Cu Cau serta Sui Leng-kong bersorak memuji, mereka tidak tahu kalau sepasang muda mudi itu jauh lebih terpesona ketika melihat mereka.
Bahkan setelah berjalan lewat di sisi mereka berdua pun, sepasang muda-mudi itu masih menyempatkan diri berpaling beberapa kali.
Satu ingatan segera melintas dalam benak Cu Cau, sambil menjura sapanya:
"Bisa minta tolong?"
Pemuda berpakaian ketat itu segera membalikkan tubuhnya sambil balas menjura.
Ada urusan apa?" dia bertanya.
"Apakah saudara kenal daerah seputar ini?"
"Cayhe sudah lama tinggal di sini, sedikit banyak mengetahui juga seluk-beluk tempat ini"
"Bagus sekali... boleh aku bertanya tentang buah tempat?"


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tempat mana yang kau maksud?"
"Pondok Cay-seng...."
Baru empat kata disebut, paras muka pemuda itu telah berubah hebat, tanpa terasa dia mundur selangkah.
Sebenarnya waktu itu si nona berbaju hijau pupus sedang mengawasi Sui Leng-kong sambil tersenyum, begitu mendengar keempat kata tadi, serentak dia membalikkan tubuh sambil membentak:
"Siapa yang kau cari" Buat apa mencari tahu tempat itu?"
Dengan wajah tidak berubah Cu Cau tersenyum, jawabnya:
"Ooh, aku mendapat titipan sepucuk surat yang harus
diserahkan kepada pemilik pondok Cay-seng, padahal kami tidak kenal siapa pemilik pondok itu, jadi... terpaksa harus mencari tahu."
Sepasang muda-mudi itu saling berpandangan sekejap, paras muka mereka lambat-laun berubah kembali jadi lembut Setelah termenung beberapa saat, kembali pemuda itu bertanya:
"Boleh tahu nama margamu?"
"Aku dari marga Cu."
"Ooh, kalau memang bermarga Cu berarti kau boleh ke situ,"
kata sang pemuda sambil tertawa lebar.
"Apa maksud perkataanmu itu?" tanya Cu Cau tercengang.
"Sekalipun pondok Cay-seng bukan sebuah tempat yang rahasia, tapi bila saudara berasal dari marga Im atau marga Thiat, maka sulit bagi siaute untuk memberi petunjuk."
"Benar," sambung si nona sambil tertawa pula, "tadi kusangka kalian berdua dari marga Im, itulah sebabnya kami merasa sangat kaget, harap kalian berdua jangan marah."
Sui Leng-kong segera saling bertukar pandang sekejap dengan Cu Cau, sementara dalam hatinya timbul kecurigaan dan rasa tercengang yang besar.
Siapakah p Kisah Sepasang Rajawali 16 Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Hati Budha Tangan Berbisa 1
^