Pendekar Panji Sakti 25
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Bagian 25
mpuan cantik, katanya lagi sambil tertawa terkekeh:
"Betul-betul harum, kalau tidak percaya coba enduslah, ehmmm... harum... sungguh harum
Lagaknya sekarang sudah tidak mirip badut lagi, tapi sudah seperti seorang gila.
"Ehmm, ternyata memang harum... lebih bagus lagi kalau harum baunya," ujar perempuan cantik itu perlahan.
Bergetar keras sekujur badan Hong Lo-su, secara beruntun dia mundur tiga langkah, jeritnya:
"Kau... kau...."
"Apakah kalian ingin memaksa aku turun tangan sendiri?"
Tiba-tiba Hong Lo-su melompat bangun, umpatnya:
"Dasar perempuan siluman, perempuan berhati busuk, kau memang edan, sinting... tidak waras otaknya, memang kau sangka aku Hong Lo-su betul-betul takut kepadamu" Boleh saja orang lain takut, tapi aku Hong Lo-su justru tahu, kau tidak lebih hanya orang sinting... kau... biarpun penampilanmu kelihatan waras, padahal sejak putrimu kabur meninggalkan dirimu, kau sudah sinting, sudah edan!"
Sambil melompat bangun dan memukul dada sendiri, dia mencaci-maki kalang-kabut, begitu asyiknya dia mengumpat sampai air liur pun ikut beterbangan kemana-mana, bahkan semakin memaki, perkataan yang digunakan semakin jahat, kotor dan sadis.
Waktu itu Suto Siau sudah ketakutan setengah mati hingga kaki dan tangannya dingin bagaikan es, wajahnya pucat-pias bagai mayat, menurut perkiraannya, kali ini perempuan cantik itu pasti tidak akan melepaskan mereka begitu saja.
Siapa tahu begitu mendengar umpatan itu, bukan saja perempuan cantik itu tidak menjadi marah, sebaliknya secara tiba-tiba dia malah mulai menangis terisak, butiran air matanya jatuh berlinang bagaikan seuntai kalung mutiara yang putus tali.
Hong Lo-su yang mencaci-maki kalang-kabut akhirnya merasa kelelahan, dia berhenti memaki sambil mengatur napasnya yang tersengal, tapi begitu melihat perempuan cantik itu malah menangis, dia jadi tertegun hingga berdiri melongo dengan mata terbelalak.
Makin menangis, perempuan cantik itu cmakin sedih, akhirnya dia menutupi wajah sendiri dengan kedua belah tangan
dan menangis tersedu-sedu, bukan cuma cangkulnya saja yang sudah terlepas dari genggaman, bahkan keranjang bunga berikut bunga segar yang ada dalam keranjang pun ikut berserakan di tanah.
"Ling-ling! Oooh... anakku, putri sayangku," jeritnya sambil menangis, "ucapan pria busuk itu benar juga, sejak kepergianmu, ibu sudah jadi gila...."
Saat ini kecantikannya yang anggun bagai bidadari dan penampilannya yang menawan hati seolah hilang tidak berbekas, dia tidak jauh berbeda dengan perempuan mana pun di dunia ini yang sedang dicekam perasaan sedih.
Mendadak dari balik tumpukan bunga segar terdengar suara rintihan.
Suara rintihan itu terdengar begitu lirih, lemah, membuat iba hati siapa pun yang mendengar.
Suto Siau maupun Sim Sin-pek yang masih tercekam perasaan ngeri, semakin tertegun dibuatnya.
Perempuan cantik itu segera menerjang maju, ujung bajunya dikebaskan berulang kali, di antara bebungaan yang beterbangan di udara, terlihat dari balik tumpukan bunga merah muncul selembar wajah cantik.
Mula-mula perempuan cantik itu kelihatan terkejut, kemudian sesudah tertegun, isak tangisnya kontan berhenti, dia mundur tiga langkah sambil mendongakkan kepala, lalu tertawa keras, cepat dia menubruk maju dan membopong tubuh orang yang berada di balik tumpukan bunga.
Walaupun orang yang berada di balik tumpukan bunga itu merintih lirih, namun dia masih berada dalam keadaan tidak sadar.
Dengan penuh kegembiraan wanita cantik itu menciumi tangannya, mencium pipinya, sambil menangis bercampur tertawa, jeritnya seperti orang gila:
"Ling-ling... Ling-ling... ooh, putriku, putriku sayang, anakku sayang... ternyata selama ini kau bersembunyi di balik tumpukan bunga, tidak heran ibu tidak menemukan dirimu...."
Saat ini Suto Siau maupun Sim Sin-pek sudah melihat dengan jelas orang yang baru dikeluarkan dari tumpukan bunga itu tidak lain adalah Sui Leng-kong, mereka berdua saling pandang dan berdiri terperangah.
Akhirnya Suto Siau tidak mampu menahan diri lagi, tegurnya:
"Jadi... jadi Sui Leng-kong adalah putrinya?"
"Bukan," Hong Lo-su menggeleng sambil tertawa licik, "dia jadi edan karena memikirkan anaknya."
Waktu itu sebenarnya dia sudah siap mengeluyur pergi, tapi perubahan yang terjadi di luar dugaan ini membuatnya menghentikan langkahnya, kini dia malah berdiri menonton sambil tertawa dingin.
Kembali perempuan cantik itu menangis bercampur tertawa, sebentar dia membelai sebentar dia mencium, setelah beberapa saat lamanya tubuh Sui Leng-kong baru dibaringkan kembali ke atas tumpukan bunga yang digunakan sebagai pembaringan.
Paras muka Sui Leng-kong pucat-pias bagaikan mayat, giginya terkatup kencang, nona ini masih dalam kondisi tidak sadarkan diri.
Perempuan cantik itu menundukkan kepala dan
menempelkan wajahnya di atas pipi Sui Lengkong, lalu ujarnya dengan lembut:
"Anakku sayang, setelah bertemu ibu, kenapa kau masih tidak mau bicara?"
Berputar biji mata Hong Lo-su, mendadak serunya:
"Putrimu sudah terkena serangan racun jahat, untung aku segera menolongnya dan membawa dia kemari, aku memang sengaja menguburnya di bawah Coat cing hoa, agar racun yang ada di dalam tubuhnya saling berlawanan dtngan racun bunga itu, coba kalau bukan begitu, dia sudah mati sejak tadi, tapi kelihatannya dia sudah keracunan hebat, sekalipun nyawanya bisa diselamatkan, namun sulit rasanya untuk bisa bicara lagi."
Perempuan cantik itu segera melompat bangun, bentaknya:
"Keracunan" Siapa yang berani meracuni putriku?"
"Soal ini... aaaai! Lebih baik tidak usah dibicarakan lagi!"
Dengan satu gerakan kilat perempuan cantik itu
mencengkeram tubuhnya, lalu teriaknya nyaring:
"Mau bicara tidak?"
Hong Lo-su menghela napas panjang.
"Bukannya Siaute enggan bicara, tapi... aaai! orang orang yang melepaskan racun jahat itu kelewat lihai, aku rasa Jici sendiri pun belum tentu mampu menandingi mereka."
"Kentut!" umpat perempuan cantik itu gusar, "cepat katakan!"
"Tapi setelah Siaute katakan, lebih baik Jici jangan mencari mereka untuk menuntut balas, kalau tidak, bila sampai Jici pun ikut dicelakai, bukankah Siaute akan merasa sangat tidak tenang?"
Makin mendengar, perempuan cantik itu semakin gusar, jeritnya:
"Kentut busuk, kentut busuk! Cepat katakan, katakan!"
Akhirnya Hong Lo-su menghela napas panjang.
"Dia adalah Siang-tok Thaysu...."
Mula-mula perempuan cantik itu agak tertegun, kemudian sambil menghentakkan kaki, dia berseru gemas:
"Bagus sekali, ternyata ulah si makhluk tua beracun itu, padahal aku tidak punya dendam tidak punya sakit hati dengannya, kenapa dia... dia... mencelakai putriku dengan racun?"
"Yang meracuni memang Siang-tok Thaysu, tapi otak yang memberi perintah adalah orang lain."
"Siapa?"
"Coh Sam-nio, Lui-pian Lojin, lalu Jit ho Nio nio...."
"Bagus, bagus sekali," perempuan cantik itu semakin menjerit lengking, "ternyata kawanan makhluk tua itu yang bersekongkol menganiaya putriku, anakku manis, kau benar-benar sangat menderita."
Kembali dia membopong tubuh Sui Leng kong, katanya lagi:
"Putriku sayang, kau tidak perlu takut, sekalipun sudah terkena racun si makhluk tua beracun itu, asal bertemu ibu, segala sesuatunya akan beres, di kolong langit hanya ibu seorang yang sanggup memunahkan racun makhluk jahat itu."
Dari dalam sakunya dia mengeluarkan ebuah kotak pualam kecil, dari dalam kotak pualam itu dikeluarkan empat lima butir pil berwarna merah darah, dia masukkan semua pil itu kedalam mulutnya, kemudian setelah dikunyah hingga hancur, obat itu baru dilolohkan ke mulut Sui Leng-kong.
Kemudian ujarnya lagi dengan lembut:
"Ling-ling, anakku sayang, setelah minum obat mujarab buatan ibu dan tidur sebentar, kau akan segera segar kembali...
kemudian ibu akan membalaskan dendam."
"Bagus, bagus sekali," gumam Hong Lo-su, tak kusangka karena menghadapi bencana, budak kecil itu malah dapat rezeki, bukan saja berhasil mtndapatkan kembali nyawanya, bahkan mendapat pula seorang ibu sehebat ini."
"Apa kau bilang?" mendadak perempuan cantik itu menoleh.
Buru-buru Hong Lo-su tertawa paksa sambil menyahut:
"Ooh, Siaute sedang berpikir, kalau Jici saja tidak tahu kawanan makhluk tua itu berada dimana, bagaimana mungkin
bisa membalaskan dendam bagi keponakan sayangku?"
"Aku bisa menemukan mereka... aku pasti dapat menemukan mereka!"
Kemudian sambil mengulapkan tangannya, dia berkata lebih lanjut:
"Berhubung hari ini aku berhasil menemukan putriku, aku pun tidak ingin menyusahkan kalian, cepat pergi, biar dia bisa beristirahat sejenak dengan tenang."
Hong Lo-su sama sekali tidak bergeser, begitu pula Sim Sin-pek dan Suto Siau, mereka hanya saling pandang tanpa bicara.
Kalau tadi mereka kuatir tidak sanggup meloloskan diri, maka sekarang mereka justru tidak ingin pergi
"Kenapa kalian belum juga pergi?" tegur perempuan cantik itu dengan kening berkerut.
"Siaute yang telah menyelamatkan nyawa Ling-ling, apa Jici sudah lupa?"
"Jasamu bisa dipakai untuk menutup kesalahan, sekarang kita sudah impas, kalau masih cerewet lagi hingga membangunkan putriku, hmmm, jangan salahkan aku tidak akan berlaku sungkan lagi!"
Hong Lo-su menjulurkan lidah sambil tertawa licik.
"Kalau memang begitu, Siaute...."
Belum selesai dia bicara, mendadak Sim Sin-pek menerjang maju ke muka dan segera menjatuhkan diri berlutut di hadapan perempuan cantik itu, sesudah menyembah tiga kali, katanya:
"Tecu memberi hormat kepada Suhu."
Perempuan cantik itu tertegun, teriaknya kemudian dengan gusar:
"Siapa yang menjadi gurumu" Kau anggap dirimu itu siapa"
Memangnya pantas jadi muridku?"
"Biarpun Tecu bukan siapa-siapa, paling tidak masih ada gunanya."
"Apa kegunaanmu?" tidak tahan perempuan itu bertanya.
Sekulum senyuman licik segera tersunging di ujung bibir Sim Sin-pek, katanya:
"Bila bukan Tecu yang membuka jalan, entah sampai kapan Suhu baru bisa menemukan musuh besar putrimu, tapi bila Tecu yang menjadi petunjuk jalan...."
"Jadi kau tahu jejak mereka?" tiba-tiba perempuan cantik itu bangkit berdiri sambil menukas.
"Bila Tecu tidak tahu, mana berani bicara sembarangan di
sini?" "Kalau begitu cepat bawa aku ke sana!"
"Jadi kau orang tua pun sudah bersedia menerima Tecu yang tidak becus ini menjadi muridmu?" tanya Sim Sin-pek sambil mengedipkan matanya.
"Kau berani mengancam aku?" bentak perempuan itu gusar.
Sambil membenturkan kepalanya di atas tanah, jawab Sim Sin-pek:
"Biar Tecu punya nyali macan pun tidak berani melakukan ancaman, hanya saja bila Tecu mengajak kau orang tua pergi ke sana, pasti banyak orang akan membenci Tecu hingga merasuk tulang sumsum, padahal kepandaian silat yang kumiliki sangat cetek, bukankah kepergianku hanya akan mengantar kematian saja" Beda kalau Tecu menjadi murid kau orang tua, biar bernyali pun belum tentu mereka berani bertindak sembarangan."
Perkataan itu disampaikan disertai alasan yang sangat masuk akal, lagi pula kepandaian jilat pantatnya telah digunakan tepat pada sasaran.
Benar saja, perempuan cantik itu segera manggut-manggut.
"Benar juga!" katanya, "perkataanmu memang sangat masuk akal, baik! Bangunlah, aku akan melindungi keselamatanmu, selamanya tidak mungkin ada orang yang berani menganiaya dirimu lagi"
"Terima kasih banyak Insu," dengan kegirangan kembali Sim Sin-pek menyembah beberapa kali.
Suto Siau yang menyaksikan kejadian itu hanya bisa menggelengkan kepala sambil tertawa getir, gumamnya:
"Luar biasa, luar biasa, bocah ini meski masih muda ternyata pandai sekali memanfaatkan kesempatan, di kemudian hari...
aaai! Di kemudian hari dia bisa sangat menakutkan!"
"Betul," kata Hong Lo-su pula, "aku lihat bukan saja bocah itu lebih licik ketimbang kau, bahkan tiga bagian lebih busuk daripada aku sendiri, sekarang dia sudah punya tulang punggung yang sangat tangguh, nampaknya termasuk kita berdua pun tidak berani mengusik-nya lagi."
Kemudian sambil menepuk bahu Sim Sin-pek, katanya:
"Bocah muda, kini kau sudah menjadi muridnya, tapi sudah tahu belum nama gurumu?"
"Biarpun Tecu belum tahu, tapi sudah dapat kutebak," sahut Sim Sin-pek sambil tertawa.
"Coba katakan."
"Tecu tidak berani menyebut langsung nama guru."
"Tidak masalah," ujar perempuan cantik itu pula, "katakan saja, aku tidak akan menegurmu."
Sim Sin-pek menarik napas, ujarnya:
"Kecantikannya tiada duanya, kehebatan senjata rahasianya tiada tandingan, ketajaman mata dan pendengarannya tiada lawan, manusia paling aneh di daratan Tionggoan... dialah guruku, Yan-yu (si Hujan gerimis) Hoa Bu-soat."
"Baik laki maupun perempuan, biar tua maupun muda, bunuh semuanya tanpa kecuali!"
Ketika ucapan terakhir Siang-tok Thaysu meluncur dari mulutnya, sepasang tangan Dewa racun sudah diayunkan ke depan berulang kali.
Di bawah cahaya api, terlihat sepasang telapak tangannya yang kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang memancarkan cahaya merah di balik warna kehitaman, cahaya ungu di balik sinar merah, bahkan di balik cahaya ungu terkandung warna siluman yang sukar dilukiskan dengan perkataan.
Sepasang telapak tangannya kelihatan jauh lebih menakutkan daripada cakar setan.
Tanpa terasa Un Tay-tay, Im Ting-ting serta Thiat Cing-su saling berdempetan satu dengan lainnya, tubuh mereka gemetar keras karena ketakutan.
Tubuh Seng Toa-nio, Hek Seng-thian serta Pek Seng-bu gemetar jauh lebih keras ketimbang mang lain.
Liu Ji-uh memeluk kencang tubuh suaminya, sementara sepasang matanya melotot besar mengawasi telapak tangan yang menakutkan itu, rsa sedih yang mencapai puncaknya membuat perempuan ini seolah lupa dengan rasa takut.
Lui-pian Lojin mengepal sepasang tinjunya kuat-kuat, sepasang matanya memancarkan sinar kemerahan yang menakutkan.
Dia mengawasi terus sepasang cakar setan Dewa racun, sementara mulutnya berteriak berulang kali:
"Kalian yang bisa kabur, cepatlah melarikan diri, bisa selamatkan satu nyawa cepat selamatkan itu nyawa!"
Siang-tok Thaysu tertawa dingin.
"Bantai semua sampai ludes, jangan biarkan seorang pun
tetap hidup, aku akan berjaga di mulut gua, jangan harap seorang pun di antara kalian bisa melarikan diri dari sini, serahkan nyawamu!"
Dalam pada itu Dewa racun telah merentangkan sepasang cakar mautnya ke atas batok kepala Che Toa-ho, "Craaat!", diiringi suara tertahan, kelima jari tangannya yang lebih tajam dari baja itu sudah menembus tulang kepala korbannya.
Tidak ampun isi otak Che Toa-ho berhamburan kemana-mana disertai percikan darah segar, belum sempat menjerit kesakitan dia sudah roboh terjungkal ke tanah.
Im Ting-ting menjerit kaget, peristiwa mengerikan yang terbentang di hadapannya membuat dia ketakutan setengah mati.
Dewa racun menarik kembali cakar setannya, sekali lagi dia melancarkan serangan maut.
Waktu itu Pek Seng-bu sekalian ingin sekali melarikan diri, namun keempat anggota badan mereka menjadi lemas saking takutnya, jangankan kabur, mau bergeser satu langkah pun tidak mampu.
Tiba-tiba Lui-pian Lojin meraung keras, teriaknya:
"Lohu akan mengadu jiwa denganmu!"
Ulat berkaki seribu memang tidak kuatir mati kaku! Biarpun kakek yang luar biasa ini sudah keracunan hebat, namun dia telah mempersiapkan sisa kekuatan yang dimilikinya untuk menerjang ke arah Dewa racun.
Belum sampai tubuhnya menerkam ke muka, segulung desingan angin tajam telah menyambar.
Pukulan itu benar-benar luar biasa dahsyatnya, bahkan disertai kekuatan untuk membelah batu cadas.
Tampaknya Siang-tok Thaysu tidak menyangka dalam detik terakhir lawannya masih memiliki tenaga pukulan sedahsyat itu, tanpa sadar leriaknyakaget:
"Dewa racun, hati-hati!"
"Blaaaam!", di tengah benturan dahsyat, pukulan terakhir yang dilontarkan Lui-pian Lojin lelah bersarang telak di tubuh Dewa racun.
Walaupun tubuh Dewa racun keras bagai lempengan baja, ternyata dia tidak mampu menahan gempuran yang maha dahsyat itu, tubuhnya mencelat ke belakang hingga membentur dinding batu, dinding yang kena ditumbuk pun retak dan hancur berantakan, batu dan debu beterbangan memenuhi angkasa.
Sementara itu tubuh Lui-pian Lojin sendiri pun ikut terpental
hingga mundur beberapa langkah dengan sempoyongan, meskipun sekuat tenaga dia berusaha berdiri tegar, namun akhirnya tidak tahan dan roboh terjungkal ke tanah.
Un Tay-tay sekalian merasakan tekanan yang luar biasa menyelimuti seluruh ruangan, sedemikian sesaknya hingga napas seakan ikut berhenti, kini mereka hanya berharap Lui-pian Lojin masih memiliki sisa tenaga, mereka pun berharap Dewa racun yang roboh terjungkal tidak pernah bangkit lagi untuk selamanya.
Siapa tahu dengan sekali lompatan si Dewa Racun telah melompat bangun kembali, bukan saja tubuhnya tidak menderita luka, bahkan cahaya siluman yang terpancar keluar dari matanya pun sama sekali tidak berkurang.
Siang-tok Thaysu tertawa terbahak-bahak, ejeknya:
"Wahai, orang she Lui, hari ini kau sudah tahu kelihaian si Dewa racun bukan" Sekalipun kau pertaruhkan nyawa tuamu pun sulit mencederai Dewa racun."
"Hmm, ayo, maju lagi...." seru Lui-pian Lojin dengan napas terengah.
Kembali Siang-tok Thaysu tertawa dingin.
"Begitu tanganmu menyentuh tubuh Dewa racun, racun jahat segera akan menyerang jantung mu, buat apa mesti mengadu jiwa" Baiklah, biar aku kabulkan permintaanmu, memberi kematian yang lebih memuaskan untukmu!"
Kembali dia tepuk punggung Dewa racun sambil bentaknya:
"Maju!"
Angin berhawa dingin kembali menderu, di tengah kilatan cahaya api, sekali lagi Dewa racun menerjang ke depan Lui-pian Lojin.
Biarpun Seng Toa-nio sekalian amat membenci Lui-pian Lojin, bahkan rasa benci mereka sudah merasuk ke tulang sumsum, namun saat ini mau tidak mau mereka harus ikut berdoa, mereka berharap Lui-pian Lojin bisa sekali lagi bangkit berdiri dan secara mukjizat melancarkan pukulan maut lagi.
Bagaimanapun kini Lui-pian Lojin sudah menjadi harapan terakhir mereka, asal Lui-pian Lojin tewas, maka jangan harap siapa pun yang hadir dalam gua saat ini bisa pergi dalam keadaan selamat.
Suasana amat hening, sedemikian heningnya sampai napas setiap orang pun serasa ikut berhenti
Dada Lui-pian Lojin masih berombak naik turun, napasnya
masih tersengal, mengawasi Dewa racun yang selangkah demi selangkah berjalan makin dekat, tangan dan kakinya terasa mulai mendingin, sementara butiran keringat sebesar kedelai jatuh bercucuran.
Sejak ternama dan menghadapi pertempuran selama puluhan tahun, sudah beratus kali pertarungan besar maupun kecil yang dia alami, tapi tidak sekali pun pernah merasakan penghinaan dan kehilangan muka seperti yang dialaminya hari ini, mimpi pun dia tidak menyangka dengan posisi serta statusnya saat ini, dia masih bisa dijagai orang tanpa mampu membalas.
Baginya kematian bukan masalah, tapi penghinaan dan kehilangan muka sulit diterima begitu saja.
Tiba-tiba Siang-tok Thaysu tertawa terbahak-bahak, ejeknya:
"Asal Dewa racun maju satu langkah lagi, niscaya kau akan kehilangan nyawa!"
Lui-pian Lojin seketika merasa hawa amarah yang mendidih menerjang naik ke atas kepalanya, sambil meraung keras tubuhnya yang tinggi kekar tiba-tiba bangkit berdiri... berdiri tegak bagaikan sebatang tombak.
Un Tay-tay sekalian merasa terkejut bercampur girang, saking terperananya mereka seperti lupa untuk bersorak-sorai.
Siang-tok Thaysu seperti terkena pukulan dahsyat, tanpa sadar dia mundur selangkah dari posisi semula.
Dalam waktu yang amat singkat itu, sesungguhnya Lui-pian Lojin sendiri pun dibuat tertegun, bahkan dia sendiri pun tidak tahu darimana datangnya kekuatan itu, tapi saat dan situasi yang dihadapinya sekarang tidak memberi kesempatan baginya untuk berpikir lebih jauh.
Cakar setan Dewa racun telah menyerang kembali.
Lui-pian Lojin membentak keras, sepasang kepalannya dilontarkan bersama, "Blaaaam!", kembali sebuah pukulan dahsyat bersarang telak di dada si Dewa racun.
Kembali sekujur tubuh Dewa racun bergetar keras, tubuhnya mencelat ke udara dan menumbuk lagi di atas dinding batu.
Kelihatannya tenaga pukulan yang dia lontarkan kali ini jauh lebih dahsyat ketimbang serangan yang pertama tadi, namun kali inipun tubuh Lui-pian Lojin terpental mundur ke belakang dengan sempoyongan sebelum akhirnya roboh terduduk di tanah.
Berubah hebat paras muka Siang-tok Thaysu, tapi sambil tertawa paksa serunya lagi:
"Manusia she Lui, apakah kau masih memiliki tenaga untuk
bangkit kembali?"
Sambil mengertak gigi, diam-diam Lui-pian Lojin mencoba mengatur pernapasan, mendadak dia menjumpai aliran tenaga dalamnya makin lama semakin bertambah lancar, bahkan jauh lebih lancar ketimbang waktu sebelum bertarung melawan Dewa racun.
Waktu itu Dewa racun telah berdiri kembali, berhadapan dengan musuh tangguh membuat Lui-pian Lojin tidak sanggup berpikir lebih jauh apa gerangan yang sebenarnya telah terjadi.
Un Tay-tay ikut termenung sambil memutar otak, sesaat kemudian dia pun menjadi sadar kembali apa yang sebenarnya telah terjadi.
Tak tahan serunya dengan gembira:
"Rupanya racun Coat cing hoa telah bertemu dengan racun dari si Dewa racun, pertarungan antara dua jenis racun membuat kekuatan racun yang ada di tubuhmu jadi punah. Semakin banyak kau menerima racun dari Dewa racun, semakin cepat pula tenaga murnimu pulih kembali."
Kontan Lui-pian Lojin merasakan semangat nya berkobar kembali, dia mendongakkan kepala dan berpekik panjang, serunya:
"Benar! Wahai makhluk tua beracun, ayo, suruh saja Dewa racunmu menyerangku, coba buktikan Lohu menjadi takut atau tidak!"
Sambil bicara dia kembali melompat bangun.
Sebenarnya Siang-tok Thaysu sudah siap menepuk punggung Dewa racun, namun setelan mendengar perkataan itu, dia jadi ragu untuk melanjutkan tepukannya, tanpa terasa peluh dingin mulai bercucuran membasahi jidatnya.
Sementara itu Lui-pian Lojin sudah mulai menerjang lagi ke depan.
Sambil menggigit bibir, terpaksa Siang-tok Thaysu menepuk kembali punggung Dewa racun ambil berteriak:
"Maju!"
Semua orang hanya merasakan pandangannya kabur, tahu-tahu... "Blaaaam!", benturan dahsyat bergema memenuhi seluruh ruangan, terlihat dua sosok bayangan manusia kembali terpental ke belakang.
Untuk kesekian kalinya tubuh Dewa racun mencelat ke udara dan kembali menumbuk dinding batu.
Walaupun Lui-pian Lojin ikut terhuyung mundur beberapa
langkah, namun kali ini tubuhnya cuma sekali tidak roboh, sementara si Dewa racun meski mampu bangkit berdiri lagi, namun gerakan tubuhnya sudah jauh lebih lamban.
Perubahan situasi yang di luar dugaan ini membuat Seng Toanio, Thiat Cing-su, Pek Seng-bu, Im Ting-ting... menjadi kebingungan sendiri, mereka tidak tahu harus gembira atau sedih, mereka pun tidak tahu pihaknya sebagai teman atau lawan.
Dengan wajah gembira, gumam Un Tay-tay:
"Karena bencana malah dapat rezeki... karena bencana malah dapat rezeki, kalau dia tidak terkena racun Coat cing hoa terlebih dulu, mungkin tidak seorang pun di antara kita sekarang masih bisa hidup bugar."
Di tengah kilatan cahaya api, tampak Lui-pian Lojin berdiri tegar dengan wajah angker dan penuh wibawa, kegagahannya di masa lampau kini sudah tumbuh kembali di tubuhnya.
Di bawah cahaya obor, dia gagah bagaikan malaikat langit.
Siang-tok Thaysu berdiri dengan wajah pucat, keringat dingin bercucuran membasahi seluruh wajahnya.
Padahal kepandaian silat yang dimilikinya sekarang boleh dibilang sangat tangguh, bila ditambah kekuatan Dewa racun, belum tentu Lui-pian Lojin sanggup menandingi kerubutannya, apalagi tenaga dalamnya belum seratus persen pulih kembali.
Namun semua perubahan yang terjadi kelewat cepat dan di luar dugaan, kekuatan Lui-pian Lojin terlalu cepat pulih kembali, hal ini membuat Siang-tok Thaysu menjadi keder terlebih dulu sebelum sempat melakukan pertarungan.
"Ayo, maju!" terdengar Lui-pian Lojin membentak lagi dengan suara menggelegar, "ayo, maju lagi!"
Tiba-tiba Siang-tok Thaysu membalikkan tubuh Dewa racun dan berteriak nyaring:
"Kabur!"
Belum habis dia menghardik, tubuh Dewa racun sudah melesat keluar meninggalkan gua.
Sambil mementangkan sepasang cakarnya, Lui-pian Lojin merangsek keluar gua, tubuhnya melambung bagaikan seekor rajawali raksasa, cakar tajamnya langsung mencekik tenggorokan Siang-tok Thaysu.
Tampaknya Siang-tok Thaysu tidak berani menangkis datangnya ancaman itu, cepat dia membalikkan tubuh sambil kabur keluar, biarpun sudah cukup cepat dia menghindar,
ternyata masih belum cukup cepat untuk menghindari datangnya ancaman.
"Breeett... !", jubah berwarna merah yang dikenakan Siang-tok Thaysu segera tersambar oleh cakar maut yang dilancarkan Lui-pian Lojin dan sobek sebagian.
Traaaang!", sebuah benda terjatuh dari balik saku bajunya yang robek dan menggelinding beberapa jengkal ke samping, di bawah timpaan cahaya api, tampak benda itu memantulkan cahaya terang.
Sebenarnya Lui-pian Lojin hendak mengejar lebih jauh, namun baru saja kakinya bergerak, akhirnya dia urungkan kembali niatnya itu.
Lama sekali dia memandang keluar gua dengan tubuh mematung, akhirnya sesudah menghela napas panjang dia berjalan balik lagi ke dalam gua, dadanya nampak naik turun dengan cepat, dengus napas yang memburu sampai lama kemudian baru reda.
Sekalipun pertarungan yang barusan berlangsung tidak nampak seru, namun bukan saja pertarungan itu merupakan pertarungan habis-habisan, bahkan mempertaruhkan keselamatan jiwa semua orang yang ada di dalam gua saat itu.
Kini bukan hanya Lui-pian Lojin saja yang berdiri dengan napas tersengal, semua orang yang menonton pun sudah basah kuyup tubuhnya karena keringat dingin, begitu tegang dan paniknya mereka seolah terlibat langsung dalam pertempuran tadi
Akhirnya sambil membesut keringat yang membasahi jidatnya, Lui-pian Lojin bergumam:
"Berbahaya! Sungguh berbahaya!"
"Mungkinkah dia... dia akan balik lagi?" gumam Un Tay-tay gemetar.
"Selama ini makhluk tua bangkotan itu selalu mundur teratur bila gempurannya tidak mendatangkan hasil, aku rasa kali inipun tidak terkecuali, bisa jadi dia tidak akan balik kemari lagi."
Walaupun ucapan itu disampaikan dengan tegas, padahal dalam hati tidak terlalu yakin dugaannya benar.
Dia memang sengaja bicara begitu, tujuannya tidak lain adalah untuk menghibur serta menenteramkan hati orang lain, di samping tentu saja untuk menenteramkan hati sendiri, dia sadar, bila Siang-tok Thaysu sampai balik kembali, belum tentu dia memiliki keberanian yang cukup untuk menghadapinya.
Un Tay-tay menghela napas panjang.
"Semoga saja dia memang tidak balik lagi..." gumamnya.
Mendadak sorot matanya terbentur benda berkilat di sudut ruang gua, benda yang memancarkan cahaya silau ketika tertimpa sinar obor.
"Benda apa itu?" serunya tak tahan.
Mengikuti arah yang ditunjuk, semua orang berpaling.
Ternyata benda itu mirip sekali dengan sebuah buli-buli arak, hanya besarnya sekepalan dan terbuat dari batu kemala hijau.
"Dari mana datangnya benda itu?" tegur Lui-pian Lojin dengan mata berkilat.
"Kelihatannya terjatuh dari saku Siang-tok Thaysu."
Mendadak wajah Lui-pian Lojin berubah jadi sangat tegang, dia seperti terkejut dan juga kegirangan, kembali tanyanya dengan suara dalam:
"Kau sempat melihatnya dengan jelas?"
"Benar, aku melihatnya dengan jelas," Un Tay-tay mengangguk.
Mendadak satu ingatan melintas, kemudian serunya pula dengan girang:
"Jangan-jangan buli-buli itu berisi obat penawar racun?"
Tidak menunggu perempuan itu selesai bicara, Lui-pian Lojin telah menerjang maju ke depan dan memungut benda kemala itu, setelah diperiksa sejenak di bawah cahaya api, mimik girang segera tersungging di wajahnya.
"Apakah ada... ada tulisan di sana?" tanya Un Tay-tay.
Lui-pian Lojin mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, Thian memang maha adil, akhirnya kita
mendapatkan kesempatan untuk hidup terus, hahaha... mimpi pun Lohu tidak menyangka kalau secara tanpa sengaja bisa menemukan benda penolong nyawa"
Sambil tertawa terus, dia pun menggapai;
"Kemarilah, coba kau ikut memeriksa."
Sebetulnya Un Tay-tay sudah tidak sabar untuk ikut memeriksa benda itu, cepat dia maju mendekat, berita gembira yang muncul di sela-sela putus harapan ini seketika mendatangkan tenaga kehidupan yang lebih segar di tubuhnya.
Betul saja, di atas buli-buli batu kemala itu tertera beberapa huruf kecil, huruf itu berbunyi: "obat mestika, penawar segala racun".
Ternyata dugaanku tidak salah...." dengan penuh
kegembiraan Un Tay-tay segera bersorak, "tak nyana dugaanku tepat sekali, isi buli-buli itu memang obat mustika penawar segala racun ramuan makhluk tua beracun itu, sekarang semua orang bakal tertolong."
Im Ting-ting, Thiat Cing-su maupun Liu Ji-uh seketika merasakan semangatnya berkobar kembali, mereka sangat gembira, sementara Pek Seng-bu, Hek Seng-thian serta Seng Toanio hanya bisa saling pandang dengan wajah lesu, sedih bercampur kecewa.
"Semoga saja obat penawar racun ini bisa memunahkan pengaruh jahat racun Coat cing hoa," gumam Liu Ji-uh dengan suara gemetar. Lui-pian Lojin tertawa.
"Walaupun Siang-tok Thaysu si makhluk tua beracun itu edan dan tidak tahu malu, namun kemampuannya menggunakan racun harus diakui sebagai jago nomor wahid di kolong langit, kemampuannya memang tanpa tandingan...." katanya.
"Setiap orang yang pandai menggunakan racun, pasti pandai pula memunahkan pengaruh racun," sela Un Tay-tay tidak tahan,
"kalau memang kepandaian makhluk tua beracun itu dalam menggunakan racun merupakan jago nomor wahid di kolong langit, semestinya kemampuan nya untuk menawarkan segala racun pun bisa diandalkan."
"Betul, kalau dia sampai berani mengatakan obat mujarabnya bisa menawarkan segala racun, aku rasa ucapan itu sudah pasti bukan omongan sembarangan."
Tidak menunggu sampai perkataan itu selesai, Liu Ji-uh sudah menubruk ke depan, berlutut di lantai dan memeluk sepasang kaki Lui pian Lojin dengan air mata bercucuran, jangan dilihat di hari biasa dia tampil angkuh dan dingin, saat ini wajahnya penuh diliputi rasa terharu dan gembira yang luar biasa.
Buru-buru Lui-pian Lojin berseru:
"Kalau ada yang ingin dibicarakan, bicaralah baik-baik, buat apa kau mesti bersikap begitu?"
"Aku mohon kepada kau orang tua, berilah sebutir pil mujarab itu untuk menolong Kian-sik, boanpwe... selama hidup Boanpwe tidak akan melupakan budi kebaikanmu," kata Liu Ji-uh dengan nada parau.
Lui-pian Lojin kembali tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, sekalipun kau tidak memohon kepadaku, aku tetap
akan memberinya... setiap orang yang hadir di sini dan keracunan, berhak memperoleh sebutir. Tidak ada pengecualian."
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tapi bagaimana kalau jumlah obatnya tidak cukup?"
Tiba-tiba saja Lui-pian Lojin tertegun.
"Soal ini... soal ini...."
Saking gembiranya, dia seolah sudah melupakan akan hal ini.
Paras muka Un Tay-tay berubah makin hebat sesudah mendengar perkataan itu, sebab ucapan itu telah menyentuh kembali luka dalam hatinya, dia teringat pengalaman getir yang pernah dialaminya, dia pun teringat akan Sui Leng-kong.
Dengan wajah mengejang karena menahan rasa sedih dan penderitaan yang mendalam, dia berbisik dengan suara gemetar:
"Benar, kalau obatnya tidak cukup, apa yang harus kita lakukan" Siapa yang akan ditolong" Siapa pula yang tidak akan ditolong" Siapa yang harus ditolong" Siapa pula yang tidak pantas ditolong?"
Perlahan sinar matanya menyapu sekejap orang-orang yang berada di sana, Im Gi, Im Kiu-siau, Lui Siau-tiau, Liong Kian-sik... hampir semuanya dalam kondisi kritis, napasnya sangat lemah dan setiap orang perlu obat penawar untuk secepatnya menyelamatkan nyawa mereka.
Bukan cuma beberapa orang itu, Lui-pian Lojin sendiri pun masih perlu obat penawar, lalu Seng Cun-hau... bukankah kondisi orang inipun sama seperti Lui-pian Lojin"
Tiba-tiba Un Tay-tay menjerit keras:
"Siapa yang harus ditolong" Siapa pula yang tidak harus ditolong?"
Benaknya seolah sudah dipenuhi oleh berbagai masalah, yang membuatnya pening, membuatnya berkunang-kunang, hampir saja dia tidak sadarkan diri.
Terdengar Liu Ji-uh berkata lagi dengan gemetar:
"Itulah sebabnya Boanpwe mohon kepada kau orang tua, bagaimanapun hadiahkan sebutir pil penawar racun untuk Kian-sik, dia... dia tidak boleh mati."
"Dia tidak boleh mati, siapa pun tidak boleh mati, memangnya hanya Cun-hau yang pantas mati?" mendadak terdengar Seng Toa-nio ikut berteriak keras.
"Bila Kian-sik mati, aku pun tidak ingin hidup sendiri," ujar Liu Ji-uh lagi dengan air mata bercucuran, "nyawa orang lain hanya selembar, tapi nyawa kami adalah dua lembar yang tergabung jadi satu."
"Kentut! Kentut! Kau...." teriakan Seng Toa-nio makin keras.
"Bila ayah mati, aku pun tidak ingin hidup," teriak Im Ting-ting pula.
Liu Ji-uh menangis semakin keras, rengeknya:
"Aku mohon kepadamu... aku mohon...."
Suara teriakan histeris ditambah suara isak tangis yang memedihkan hati seketika menyelimuti seluruh ruang gua, membuat suasana di situ jadi sangat kalut.
Lui-pian Lojin menghentakkan kaki berulang kali, hardiknya:
"Tutup mulut! Semuanya tutup mulut!"
Setelah menyapu pandang sekejap sekeliling tempat itu dan menunggu hingga suasana reda, dia berkata lebih jauh:
"Kita masih belum tahu berapa biji obat yang tersimpan di situ, buat apa kalian ribut lebih dahulu?"
Kemudian setelah sedikit sangsi, dia sodorkan buli-buli kemala itu ke tangan Un Tay-tay, katanya lagi:
"Coba kau periksa, ada berapa butir obat di situ?"
Bukannya menerima, Un Tay-tay malah menutupi wajah sendiri dengan kedua belah tangan sambil menjerit sedih:
"Aku tidak mau lihat... aku tidak mau lihat"
"Di sini hanya posisimu yang paling istimewa," tegur Lui-pian Lojin gusar, "hampir semua orang yang keracunan tidak punya hubungan khusus denganmu, kalau bukan kau yang memeriksa, memangnya siapa yang pantas memeriksa?"
"Aku... aku air mata makin deras berlinang membasahi wajah Un Tay-tay.
Dia benar-benar merasa sangat terpukul, dia merasa pendiriannya telah hancur berantakan, dia tidak ingin memikul kembali beban yang sangat berat itu.
Tapi waktu itu Lui-pian Lojin telah menyodorkan buli-buli kemala itu ke tangannya.
Bersentuhan dengan batu kemala yang halus dan lembut, bagi Un Tay-tay seolah bersentuhan dengan ular atau kalajengking berbisa, tubuhnya gemetar keras, bahkan perasaannya pun ikut tergetar.
"Semoga saja jumlah obat penawarnya cukup... semoga cukup dibagi..." doanya dalam hati.
Padahal di hari biasa sia tidak percaya dengan segala dewa dan Buddha, tapi kini dalam kondisi kritis dan terdesak, tiba-tiba saja dia seperti teringat untuk berdoa, mohon bantuan para dewa untuk memenuhi keinginannya, asal jumlah obat penawar itu
cukup dibagi, dia rela untuk menanggung segala penderitaan orang-orang itu.
Setelah dituang, ternyata ada tujuh butir pil penawar racun.
Tujuh butir pil berwarna merah darah bergulingan di atas telapak tangan Un Tay-tay yang dingin bagaikan es dan gemetar keras karena tekanan batin, bergulingan dengan memancarkan selapis cahaya aneh.
Un Tay-tay menggenggam kencang semua pil penawar racun itu, ketika semua syarafnya mulai mengendor, setelah ketegangannya men-capai puncak, dia merasa seluruh kekuatan tubuhnya seolah lenyap, hampir saja dia roboh terjungkal.
Tapi air mata masih bercucuran tiada hentinya, dia tidak tahu itu air mata kegirangan atau kesedihan, sambil merangkap tangannya di depan dada, dia menengadah dan mulai menjerit:
"Thian... oooh, Thian...." Menyaksikan perubahan wajahnya itu, semua orang merasa deg-degan, semua orang merasa tegang, paras muka mereka ikut berubah hebat.
"Ada... ada berapa butir?" dengan suara gemetar Lui-pian Lojin bertanya.
"Tujuh butir... tujuh butir.... "jawab Un Tay-tay dengan air mata berlinang.
Lui-pian Lojin mundur tiga langkah, dia beolah tertegun secara tiba-tiba.
Sampai lama kemudian orang tua itu baru menghela napas panjang, serunya:
"Cukup! Cukup!"
"Cukup... cukup...." Liu Ji-uh, Im Ting-ting, semuanya ikut bersorak-sorai kegirangan.
"Benar, bukan cuma cukup, malah kelebihan satu butir," Un Tay-tay menambahkan
Seluruh ketegangan, semua kepedihan, dalam waktu singkat berubah jadi kegembiraan yang meluap.
Hek Seng-thian memutar biji matanya, tiba-tiba dia berkata sambil tertawa dingin:
"Tujuh butir" Hehehe... rasanya begitu kebetulan."
"Hahaha, inilah yang dinamakan Thian mengabulkan permintaan umatnya, kejadian yang patut digembirakan."
"Aku hanya merasa kejadian ini sangat kebetulan."
"Apa maksud perkataanmu itu?" berubah paras muka Lui-pian Lojin.
"Kenapa Cianpwe tidak berpikir, siapa tahu obat penawar itu
memang sengaja ditinggalkan Siang-tok Thaysu dengan maksud agar kalian masuk perangkapnya."
"Betul," sambung Pek Seng-bu pula, "di luar botolnya memang tertulis obat mustika penawar racun, tapi siapa yang berani menjamin kalau isinya justru obat racun penghancur usus"
Tanpa harus bersusah payah, dia mampu merobohkan kalian, hehehe... satu siasat yang hebat! Siasat yang amat jitu!"
"Kentut!" bentak Lui-pian Lojin gusar, "kau... kau... kalian berdua telah meracuni arakku, belum lagi Lohu membikin perhitungan, sekarang kau malah berani bicara sembarangan."
Sekalipun di luar dia menuduh ucapan itu sembarangan, padahal dalam hati dia tahu dengan pasti bahwa kemungkinan semacam itu tetap ada, kembali paras muka Un Tay-tay dan Liu Ji-uh sekalian berubah hebat.
Sambil tertawa dingin, kembali Hek Seng-thian berkata:
"Aku sengaja mengingatkan kalian karena tumbuh dari niat baik saja, soal mau percaya atau tidak terserah kalian sendiri, kenapa aku malah dituduh bicara sembarangan?"
Lui-pian Lojin tidak bicara apapun, mendadak dia melompat maju dan mencengkeram bajunya.
"Mau... mau apa kau?" teriak Hek Seng-thian terperanjat.
"Lohu akan membunuh dirimu!"
"Tapi aku... aku kan berniat baik."
"Kentut!" hardik Lui-pian Lojin gusar, "kau memang sengaja bicara begitu agar kami semua tidak berani menelan obat penawar itu, agar kami menunggu mati di sini. Kau memang berhati busuk, berhati keji, memangnya Lohu tidak tahu niatmu?"
"Kalau Cianpwe memang tidak percaya, kenapa tidak dicoba saja?"
"Kentut!" kembali Lui-pian Lojin mengumpat marah,
"persoalan yang menyangkut mati hidup memangnya boleh dicoba semaunya?"
Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benak Un Tay-tay, segera teriaknya:
"Ada akal!"
"Apa akalmu?" Lui-pian Lojin segera berpaling.
"Bukankah kita punya kelebihan sebutir obat penawar?"
"Kalau ingin mengatakan sesuatu, cepat katakan, tidak usah berputar-putar lagi."
"Kalau memang kita memiliki kelebihan sebutir obat penawar,
kenapa tidak kita cekokkan saja kepadanya" Kalau obat itu betul-betul penawar racun, sudah pasti dia tetap sehat, kalau memang racun... aaaai! Manusia macam dia tidak perlu disayangkan kalau mampus, kalau memang keracunan, biarkan saja diamati."
"Hahaha, bagus! Bagus sekali! Akal bagus! Akal bagus!"
Tidak terlukiskan rasa gusar Hek Seng-thian sesudah mendengar perkataan itu, kontan saja dia mencaci-maki kalang-kabut:
"Dasar wanita bejat, perempuan jadah berhati busuk, pelacur tidak laku kawin, semenjak jadi gundik Suto Siau, aku sudah tahu manusia macam kau memang bukan manusia baik-baik."
Bukan saja dia mencaci-maki dengan suara keras, bahkan bahasa yang digunakan pun amat kasar dan busuk, untuk sesaat Im Ting-ting, Thiat ling-su maupun Lui-pian Lojin hanya bisa mendengarkan dengan mata terbelalak dan mulut melongo, beberapa saat lamanya mereka hanya berdiri mematung.
Hingga saat itu mereka baru tahu asal-usul Un Tay-tay yang sebenarnya, mimpi pun mereka tak mengira perempuan itu dulunya adalah gundik kesayangan Suto Siau.
Menyaksikan reaksi itu, Hek Seng-thian semakin senang dan makiannya pun semakin kotor dan tidak sedap didengar.
Terdengar dia mengumpat kembali:
"Sejak waktu itu aku sudah tahu kau sering main serong dengan lelaki lain, apalagi ketika masih muda dan berpipi putih, kau lahap semua dengan rakus, karena itulah orang she Im itu...."
"Tutup mulut!" tiba-tiba Lui-pian Lojin membentak keras.
Di tengah suara bentakan, dia langsung mengayunkan tangannya dan menampar wajah Hek Seng-thian dengan keras.
"Ploook!", kontan separoh wajah Hek Seng-thian merah bengkak, beberapa biji giginya ikut rontok.
Tapi dia masih belum mau berhenti mengoceh, kembali teriaknya:
"Tapi... tapi aku bicara sejujurnya."
"Tidak peduli ucapanmu benar atau tidak, tidak peduli dulunya Un Tay-tay manusia macam apa, setelah hari ini Lohu menginginkan dia menjadi menantuku, siapa pun tidak dapat merubahnya lagi."
Berlinang air mata Un Tay-tay setelah mendengar perkataan itu, selain terharu, dia pun sangat berterima kasih.
Namun Im Ting-ting dan Thiat Cing-su yang mendengar
ucapan itu kembali tertegun dibuatnya.
Diam-diam mereka berdua saling pandang, sedang dalam hati berpikir, "Bukankah dia sudah berjanji akan tetap menjanda"
Kenapa sekarang malah jadi menantu Lui-pian Lojin?"
Terdengar Lui-pian Lojin kembali berkata dengan suara keras:
"Mulai hari ini, barang siapa berani mengungkit kembali masa lalu Un Tay-tay, Lohu bersumpah akan mencincangnya hingga hancur berkeping-keping!"
Dia, segera mengambil sebutir pil dan dijejalkan ke mulut Hek seng-thian, kemudian dengan sekali tepukan ditenggorokannya, mau tak mau Hek seng-thian segera menelan pil itu kedalam perutnya.
Dalam keadaan begini, hilang sudah nyali Hek seng-thian, dia terperosok lemas dan roboh terkapar diatas tanah.
BAB 39 Langit Ambruk Bumi Merekah
Angin masih berhembus sepoi, jilatan api obor masih memancarkan cahayanya.
Semua orang menahan napas, mengawasi perubahan mimik muka Hek Seng-thian setelah dicekoki obat, sementara air muka Hek Seng-thian pucat-pias bagai mayat, peluh sebesar kedelai jatuh bercucuran membasahijidatnya.
Entah berapa saat sudah lewat, mendadak terdengar Hek Seng-thian menjerit kesakitan, dia mulai memegangi perutnya dengan kedua belah tangan dan meringis menahan rasa sakit.
"Kenapa kau?" tegur Lui-pian Lojin dengan wajah berubah.
"Aduh, sakit... sakit.. racun!" keluh Hek Seng-thian dengan suara gemetar.
Begitu mendengar kata "racun", paras muka Liu Ji-uh serta Im Ting-ting segera berubah hebat, bagai disambar petir di siang hari bolong tubuh mereka gemetar keras.
Tiba-tiba Lui-pian Lojin mendongakkan kepala dan tertawa keras, suaranya menggaung sampai lama sekali.
Pada mulanya Un Tay-tay merasa kecewa, menyusul
kemudian tercengang dan akhirnya ikut tersenyum.
"Jadi obat itu beracun?" tandasnya sambil tertawa.
"Beracun... racun jahat... aaah, sudah menembus ususku, aku... aduuuh, perutku sakit sekali seperti dililit,... aaah, mungkin aku... aku tidak bisa hidup lebih lama lagi."
Mendadak Lui-pian Lojin menghentikan gelak tawanya dan berteriak keras:
"Ambilkan pisau!"
"Ambil pisau buat apa?" tanya Un Tay-tay sambil
mengedipkan matanya.
"Kalau memang dia sudah keracunan, sudah pasti sebentar lagi nyawanya akan hilang, daripada dia menderita lebih lama, lebih baik Lohu bantu dia, agar matinya tidak usah tersiksa."
Belum selesai perkataan itu diucapkan, Hek Seng-thian sudah melompat bangun sambil berteriak:
"Tidak ada racunnya... aku tidak keracunan...."
Semua orang merasa terkejut bercampur gembira, mereka
masih belum paham apa yang sebenarnya telah terjadi.
Sambil tertawa, ujar Un Tay-tay:
"Agar kami semua tidak berani menelan pil pemunah itu, kau sengaja berlagak keracunan hebat, dasar berhati busuk, kau memang kejam setengah mati. Padahal kau lupa bahwa racun yang dimiliki Siang-tok Thaysu bukan sembarang racun, tidak mungkin racunnya bisa dibandingkan racun biasa. Boleh saja kau berlagak sakit perut, padahal sejak awal sandiwaramu sudah ketahuan, kalau aku saja sulit dibohongi, mana mungkin kau bisa menipu dia orang tua?"
Paras muka Hek Seng-thian pucat-pias, dengan kepala tertunduk dia bungkam dalam seribu bahasa.
Sambil tertawa, kembali Un Tay-tay berkata:
"Sekarang sisa obat penawar ini persis enam butir, ayo, kita telan dulu bersama-sama!"
Sambil berkata, diambilnya sebutir pil pemunah racun itu dan disodorkan ke hadapan Liu Ji-uh.
Tidak lama setelah menelan pil penawar racun itu, semua sudah mulai menunjukkan reaksinya.
Liong Kian-sik keracunan paling ringan, mula-mula dia memuntahkan segumpal air berwarna hijau, setelah kejang beberapa saat, lambat-laun tubuhnya mulai dapat bergerak, kesadaran yang semula hilang pun perlahan pulih kembali.
Dengan air mata berlinang Liu Ji-uh menanti dengan tenang, akhirnya dia tidak mampu menahan diri lagi dan segera memeluk tubuh suaminya erat-erat, serunya dengan nada gemetar:
"Kian-sik... Kian-sik... kau telah kembali, kau telah kembali...."
Jangan dilihat di hari biasa perempuan ini berpenampilan dingin dan angkuh, sekali perasaan hatinya terbuka, maka tampaklah kobaran api cintanya yang membara....
Bukankah bara lahar panas gunung berapi selalu tersembunyi di balik bebatuan yang dingin dan kaku"
Menyusul Lui Siau-tiau, Im Gi, Im Kiu-siau menunjukkan reaksinya, sekalipun kekuatan mereka belum pulih seperti sedia kala, namun masalah itu hanya soal waktu saja.
Liu Ji-uh, Im Ting-ting, Thiat Cing-su serta Un Tay-tay semuanya diliputi perasaan gembira yang meluap, sedemikian girangnya hingga untuk sesaat melupakan rasa benci dan dendamnya terhadap Hek Seng-thian serta Pek Seng-bu.
"Ternyata kepandaian Siang-tok Thaysu dalam memunahkan
racun memang nomor satu di kolong langit," gumam Un Tay-tay lirih, "kecuali dia, mungkin tidak ada orang lain yang sanggup memunahkan pengaruh racun Coat cing hoa"
"Mimpi pun aku tidak menyangka racun Coat cing hoa ternyata bisa dipunahkan, kusangka kusangka Kian-sik, dia...
dia...." Tidak menyelesaikan perkataannya, Liu Ji-uh telah sesenggukan dan memeluk tubuh suaminya semakin kencang.
Mendadak terdengar Im Ting-ting berteriak keras:
"Coba kalian lihat, Lui... Lui-locianpwe...." Dari nada teriakannya, dapat ditangkap betapa kaget dan ngerinya nona itu.
Dengan perasaan terperanjat semua orang berpaling, ternyata Lui-pian Lojin yang semula berdiri tegar bagaikan malaikat langit itu, entah sejak kapan sudah roboh terkapar di tanah.
Paras mukanya yang mula-mula merah bercahaya, sekarang telah berubah jadi pucat pasi bagaikan mayat.
Ketika berpaling ke arah Seng Cun-hau, maka tampak sekujur badannya sedang mengejang keras, keringat sebesar kacang kedelai bercucuran membasahi jidatnya.
"Apa... apa yang sebenarnya terjadi?" jerit Un Tay-tay kaget.
Baru dia berteriak, dari luar gua celah berkumandang suara gelak tertawa latah membetot sukma.
Menyusul terdengar Siang-tok Thaysu berkata dengan suara menyeramkan:
"Apa yang telah terjadi" Hanya aku yang bisa menjelaskan kepadamu."
Melihat bayangan tubuhnya, semua merasa colah melihat bayangan setan saja, tubuh Im Ting-ting segera gemetar keras, Thiat Cing-su mesti merangkul gadis itu kencang-kencang, tidak urung dia sendiri pun gemetar juga.
Liu Ji-uh mendekap pula tubuh Liong Kian-sik dengan kencang, jeritnya ngeri:
"Pergi... pergi kau!"
"Pergi?" Siang-tok Thaysu tertawa latah, "kali ini aku tidak bakal pergi lagi, bila aku tidak mau pergi, siapa manusia di kolong langit ini yang bisa memerintahkan aku bergeser setengah langkah pun dari sini?"
Un Tay-tay memaksakan diri mengendalikan perasaannya yang bergejolak, dengan memberanikan diri dia balas tertawa dingin, jengeknya:
"Huuh, tadi saja sudah kabur terbirit-birit mirip tikus terjepit,
tidak disangka sekarang berani tebalkan muka muncul lagi di sini, memangnya kau tidak kuatir kehilangan pamormu sebagai seorang pemimpin perguruan?"
"Budak cilik, tahu apa kau?" sahut Siang-tok Thaysu sambil tertawa, "tadi aku memang mengundurkan diri sementara waktu, tindakanku tidak lebih hanya merupakan taktik 'mundur untuk maju', aku memang ingin menyaksikan kalian satu per satu kehilangan nyawa tanpa aku mesti membuang banyak tenaga."
Selesai bicara, kembali dia tertawa latah, lagaknya nampak begitu puas, begitu gembira.
"Jadi... jadi pil tadi benar-benar obat beracun?" bisik Liu Ji-uh dengan suara parau
Gelak tertawa Siang-tok Thaysu semakin bangga.
"Hahaha, kalau obat itu racun, masa kalian bersedia menelannya" Lagi pula jika aku harus mencabut nyawa kalian dengan mengandalkan racun, hal ini tidak mencerminkan kemampuanku yang sesungguhnya, tapi sekarang, aku justru dapat mencabut nyawa kalian dengan mengandalkan obat penawar racun, nah, dari sini kalian bisa membuktikan betapa hebatnya tindakanku, bukankah begitu" He, orang she Lui, sekarang kau sudah benar-benar takluk bukan?"
"Obat penawar racun?" tidak tahan Liu Ji-uh berseru, "kenapa jika obat penawar racun bereaksi begini?"
"Tentu saja teori di balik semua ini sangat rumit dan rahasia, kau tidak bakal mengerti, kecuali tokoh macam aku, manusia mana di kolong langit saat ini yang bisa memahami rahasia di balik semua itu?"
Setelah tertawa latah berulang kali, lanjutnya:
"Sewaktu menemukan buli-buli berisi obat tadi, perasaan kalian pasti sangat gembira bukan" Tahukah kalian bahwa buli-buli itu memang sengaja kujatuhkan?"
"Kenapa... kenapa kau sengaja berbuat begitu?"
"Walau obat mujarab itu bisa memunahkan racun, namun setelah memunahkan satu jenis racun, maka sifat obatnya akan ikut lenyap bersama dengan lenyapnya racun yang bersarang di tubuh, dan akan berubah jadi segumpal air hijau yang dimuntahkan keluar."
Tanpa terasa Liu Ji-uh melirik sekejap gumpalan air hijau di tanah, tanyanya lagi:
"Kemudian?"
"Tapi sayang racun yang bersarang di tubuh orang she Lui itu
terdiri dari dua jenis racun jahat yang berbeda, walaupun obat pemunah itu berhasil memunahkan salah satu sifat racun yang ada, namun tetap meninggalkan jenis racun yang lain di dalam tubuhnya, semestinya dia harus mengandalkan pertentangan kedua racun di dalam tubuhnya untuk mempertahankan diri, sayangnya begitu salah satu jenis racun lenyap, maka jenis racun yang lain pun mulai bekerja, apalagi sifat racun itu sudah kelewat lama dikendalikan dalam tubuhnya, tidak heran begitu kambuh maka keadaan sulit dibendung lagi."
"Aaah, ternyata begitu," seru Liu Ji-uh ketakutan.
"Hahaha, kalau aku tidak menghitung secara tepat akan hal ini, untuk apa obat penawar racun itu sengaja kutinggal di sini"
Bagaimana mungkin tua bangka she Lui ini mampu merobek saku bajuku?"
Sementara dia tertawa tergelak dengan latahnya, paras muka semua jago justru berubah jadi pucat keabu-abuan.
"Tapi... tapi orang lain toh tidak terkena dua jenis racun...."
seru Liu Ji-uh.
"Asal tua bangka she Lui itu tidak mampu melawan racun yang bersarang di tubuhnya, kenapa aku musti merisaukan yang lain" Memangnya orang-orang itu sanggup menghadapi gempuran Dewa racun, kendatipun kekuatan tenaga dalam mereka telah pulih kembali?"
Setelah menyapu sekejap sekeliling tempat itu, kembali dia menambahkan sambil tertawa tergelak:
"Lagi pula mereka baru terbebas dari pengaruh racun, tenaga dalam yang dimiliki pun belum pulih seperti sedia kala, bila aku ingin mencabut nyawa mereka, semuanya bisa kulakukan segampang merogoh saku sendiri."
"Makhluk tua beracun, wahai, makhluk tua beracun, ternyata hatimu lebih beracun ketimbang racunmu, padahal kami tidak punya dendam denganmu, kenapa kau turun tangan sekeji ini?"
"Hahaha, kalau soal itu lebih baik kau tanyakan sendiri kepada raja akhirat setelah mampus nanti, paling tidak aku sudah memberi-kan sedikit pertanggung jawaban kepadamu dengan menjelaskan rahasia ini, kalau tidak, mampus pun kau akan menjadi setan kebingungan."
Tiba-tiba dia membalikkan tubuh sambil membentak:
"Mana Dewa racun?"
Semua orang merasakan napasnya jadi sesak, mereka sadar bila Dewa racun muncul di situ, maka semua orang yang berada
dalam gua akan kehilangan nyawa.
Dan kali ini mustahil akan muncul kemukjizatan lagi seperti tadi.
Siapa tahu walaupun Siang-tok Thaysu sudah berteriak berulang kali, namun dari luar gua sama sekali tidak nampak sesuatu gerakan pun.
Berubah paras muka Siang-tok Thaysu, sekali lagi hardiknya:
"Dewa racun, ada dimana kau?" Suara bentakan yang menggelegar bagai guntur membelah bumi, membuat seluruh dinding gua bergetar dan mendengung tiada hentinya.
Namun di luar gua sama sekali tidak terdengar suara, Dewa racun pun tidak menampakkan diri.
Semua orang kembali dibuat tercengang, girang serta tidak habis mengerti.
Paras muka Siang-tok Thaysu berubah semakin hebat, dia terlebih tidak habis mengerti dengan kejadian ini, kalau dibilang Dewa racun membangkang perintahnya, jelas hal ini merupakan satu peristiwa yang mustahil.
Tapi kenyataan, kendatipun dia sudah berteriak berulang kali, namun Dewa racun tetap tidak muncul.
"Siapa tahu Dewa racun sama seperti kau tadi, kabur terbirit-birit" ejek Un Tay-tay sambil tertawa dingin.
"Budak sialan, kau jangan bicara sembarangan,"teriak Siang-tok Thaysu gusar, "bila Dewa racun muncul nanti, pertama-tama nyawamu yang akan kucabut."
Sambil mementang mulutnya, untuk ketiga kalinya dia berteriak:
"Dewa racun, dimanakau?"
Suaranya keras dan menggaung sampai ke tempat jauh, sampai lama kemudian suara itu baru sirap dan lenyap dari pendengaran.
Baru saja Siang-tok Thaysu menggerakkan tubuhnya dan siap menerjang keluar dari gua untuk melihat keadaan, mendadak terdengar suara tertawa yang merdu bagaikan suara keleningan berkumandang dari luar gua.
"Dewa racun berada di sini," terdengar suara merdu seorang wanita bergema.
Begitu suara merdu itu berkumandang, semua jago yang berada dalam gua kembali dibuat terkesiap.
"Siapa kau?" bentak Siang-tok Thaysu dengan wajah berubah hebat.
"Coba perhatikan siapakah aku," jawab orang di luar gua sambil tertawa ringan.
Bersamaan dengan selesainya perkataan itu, seorang wanita cantik berdandan istana sudah melayang masuk ke dalam gua.
Semua orang merasakan pandangan matanya jadi silau, penampilan perempuan cantik bak putri istana yang memancarkan cahaya berkilauan itu membuat suasana dalam gua yang gelap gulita seakan berubah jadi gemerlapan, gemerlapan seperti dalam istana.
"Hoa Bu-soat!" jerit Siang-tok Thaysu dengan perasaan kaget.
Sambil membelalakkan mata, Lui-pian Lojin ikut menjerit kaget:
"Aaah kau! Ternyata kau ikut datang?"
"Betul, aku telah datang," si Hujan gerimis Hoa Bu-soat tersenyum lebar.
Kemudian sambil menatap wajah Siang-tok Thaysu, lanjutnya:
"Kau tidak menyangka bukan kalau aku bakal kemari, sedang Dewa racunmu...."
"Kemana perginya Dewa racun?" tanya Siang-tok Thaysu dengan wajah berubah.
"Sudah digiring pergi seseorang, sekarang entah sudah kabur kemana."
"Kurangajar," teriak Siang-tok Thaysu gusar, "Dewa racun hanya menuruti perintahku seorang, mana mungkin bisa digiring pergi orang lain?"
"Mungkin saja orang lain tidak mampu menggiringnya pergi, sayang orang yang menggiringnya pergi barusan secara kebetulan memiliki ilmu pembetot sukma yang sangat hebat, ilmu pembetot sukma yang jauh berbeda dengan kemampuan orang lain."
"Hong Lo-su" Kau maksudkan Hong Lo-su?" seru Siang-tok Thaysu terperanjat.
"Tepat sekali."
"Bukankah dia sudah terkena racun ganasku, masakah tidak mampus?"
"Coat cing hoa, masa kau lupa Coat cing hoa?" Hoa Bu-soat tersenyum.
Siang-tok Thaysu tertegun sesaat, kemudian sambil menghentak kan kaki dia berseru:
"Takdir... takdir...."
"Benar, memang kehendak takdir, takdir menghendaki Coat cing hoa tumbuh di tempat ini, takdir pula yang menghendaki
Hong Lo-su tidak tewas di tempat ini, karena dia dibutuhkan untuk memancing kepergian si Dewa racun"
Senyuman yang semula menghiasi ujung bibirnya mendadak hilang tidak berbekas, selapis hawa pembunuhan yang mendekati gila mulai menyelimuti wajahnya, sambil berbicara, selangkah demi selangkah perempuan itu menghampiri Siang-tok Thaysu.
Tanpa sadar Siang-tok Thaysu mundur dua langkah.
"Kau...."
Hoa Bu-soat sama sekali tidak memberi kesempatan kepadanya untuk bicara, kembali bentaknya:
"Takdir menghendak Dewa racun tersingkir, agar aku dapat mencabut nyawamu."
"Memangnya kau sudah gila?" teriak Siang-tok Thaysu gusar,
"antara kau dan aku tidak pernah terikat dendam sakit hati, kenapa kau sengaja memusuhi aku?"
"Sengaja memusuhimu?" Hoa Bu-soat tertawa dingin, "tidak punya dendam sakit hati" Hmmm, hmmm! Putriku tidak punya dendam sakit hati denganmu, kenapa tanpa sebab kau meracuninya hingga mati?"
"Putrimu" Ketemu saja belum pernah, mana mungkin aku meracuninya sampai mati?" sanggah Siang-tok Thaysu keheranan, "kau jangan percaya fitnahan jahat orang lain, kalau belum ada bukti jangan tanpa sebab mencari aku!"
Bagaikan orang gila Hoa Bu-soat tertawa tergelak, jeritnya:
"Kentut! Dalam tubuh putriku jelas ditemukan racunmu, memangnya ada orang lain yang bisa melepaskan racunmu" Jadi kau masih menyangkal" Kalau bukan Coat cing hoa yang menutupi tubuh nya, putri mestikaku itu... Ling-ling, anakku mungkin sudah mati keracunan sekarang."
Sepasang matanya merah, wajahnya penuh diselimuti hawa napsu membunuh, kecantikan serta keanggunannya seolah sudah lenyap, keayu-annya bagai bidadari kini telah berubah menjadi iblis pembetot sukma yang ganas.
Siang-tok Thaysu semakin tercengang dan heran ditambah ketakutan setelah melihat betapa mendalamnya rasa benci perempuan itu terhadap dirinya, dia mundur satu langkah dan berseru:
"Kapan aku bertemu putrimu" Atas dasar apa kau
mengatakan begitu?"
"Kau masih belum mau mengakui" Baik! Akan kusuruh kau lihat sendiri."
Sambil membalikkan badan, dia berteriak keras:
"Muridku, bopong masuk Sucimu."
Seseorang menyahut dari luar gua, kemudian terlihat Sim Sin-pek dengan membopong Sui Leng-kong berjalan masuk dengan langkah lebar, kelihatannya jalan darah tidur Sui Leng-kong sudah tertotok hingga saat itu dia berada dalam kondisi tertidur nyenyak.
Mengetahui Hoa Bu-soat berniat mencabut nyawa Siang-tok Thaysu, atau dengan perkataan lain, nyawa semua orang yang ada di situ bakal terselamatkan, diam-diam Un Tay-tay merasa sangat kegirangan.
Tapi begitu tahu murid Hoa Bu-soat ternyata adalah Sim Sin-pek, sedang gadis yang dibopong Sim Sin-pek adalah Sui Lengkong. Tidak terlukiskan rasa terperanjat perempuan ini.
Kebalikannya, Pek Seng-bu sekalian justru merasa kegirangan setengah mati.
Sebenarnya mereka berada dalam posisi yang terjelek, bukan saja Siang-tok Thaysu akan mencabut nyawanya, Lui-pian Lojin pun ingin merenggut jiwa mereka, apalagi orang-orang perguruan Tay ki bun, rasa benci mereka ibarat ingin makan dagingnya dan menguliti tubuh mereka.
Bagi mereka, biar dihitung dengan cara bagaimanapun, terlepas siapa menang siapa kalah, diri sendiri tetap sulit lolos dari bahaya maut.
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi kini situasi berubah secara tiba-tiba, kemunculan si Hujan gerimis Hoa Bu-soat yang di luar dugaan segera berhasil menguasai keadaan, sementara Sim Sin-pek telah menjadi murid barunya.
Dengan terjadinya perubahan ini, maka posisi pun kembali berubah secara drastis, sekalipun Pek Seng-bu sekalian diliputi perasaan gembira yang luar biasa, namun mereka tetap tidak bisa menebak kenapa bisa terjadi perubahan seperti ini.
Terdengar Hoa Bu-soat menjerit lagi sambil menuding ke arah Sui Leng-kong:
"Cepat katakan! Cepat katakan! Apakah dia keracunan di tanganmu?"
"Benar, tapi... bagaimana mungkin dia adalah putrimu?"
Hoa Bu-soat mulai mencak-mencak macam orang kesurupan, jeritnya:
"Siapa bilang dia bukan putriku" Orang she Lui, aku mau tanya, benarkah dia adalah putriku" Ayo, katakan, kenapa" Kau
pun tidak berani mengatakannya?"
Lui-pian Lojin hanya memejamkan mata tanpa menjawab.
Sejujurnya, Lui-pian Lojin ingin sekali Hoa Bu-soat membantai Siang-tok Thaysu secepatnya, tentu saja dia enggan membongkar rahasia itu, namun dengan nama serta statusnya, mustahil baginya untuk berbohong, itulah sebabnya untuk sesaat dia gelagapan dan tidak tahu bagaimana harus menjawab.
Tiba-tiba Hoa Bu-soat menarik Lui Siau-tiau dari atas tanah, kembali jeritnya:
"Ling-ling... putri mustikaku, kau kenal dengannya bukan"
Betul, kau lebih kenal daripada siapa pun, ayo, cepat jawab, benarkah dia adalah Ling-ling putri kesayanganku?"
Lui Siau-tiau melirik ayahnya sekejap, kemudian sahutnya:
"Rasanya... rasanya memang dia."
Siang-tok Thaysu menyapu pandang sekejap sekeliling tempat itu, dia sadar masalah yang dihadapinya hari ini tidak mungkin bisa diselesaikan secara baik-baik, bagaimanapun juga pertarungan tidak bisa dihindari lagi, timbul pikiran untuk turun tangan terlebih dahulu, siapa yang menyerang lebih dulu, dia yang akan kuat.
Dalam pada itu Hoa Bu-soat telah tertawa terkekeh-kekeh, teriaknya:
"Itulah dia.... itulah dia, makhluk tua beracun, apa lagi yang ingin kau katakan" Ling-ling.... oooh, Ling-lingku sayang, ibu akan membalaskan dendam sakit hatimu."
Siang-tok Thaysu sama sekali tidak berbicara, diam-diam tangannya dimasukkan ke dalam saku....
Tiba-tiba Sim Sin-pek berteriak dengan mata berkilat:
"Suhu, kau orang tua jangan lupa, biarpun Siang-tok Thaysu yang meracuni, namun dalangnya orang lain, kenapa kau orang tua tidak membasmi dulu dalangnya?"
Sebetulnya Siang-tok Thaysu sudah bersiap sedia
melancarkan serangan, begitu mendengar perkataan itu, sepasang matanya ikut berkilat, cepat dia menarik kembali tangannya dari dalam saku.
Hoa Bu-soat sendiri yang sudah siap menerjang Siang-tok Thaysu ikut menghentikan gerakan tubuhnya, serunya sambil mengertak gigi:
"Betul, yang paling memuakkan adalah dalangnya, dia harus dibantai lebih dulu."
Sinar matanya yang kalap dan penuh kebencian segera
dialihkan ke wajah Lui-pian Lojin.
"Dalangnya?" gumam Lui-pian Lojin melengak, "siapa dalangnya?"
"Kau!"
"Kau sudah edan?" teriak Lui-pian Lojin terkejut bercampur gusar, "aku... mana mungkin aku
"Lui-loheng," sela Siang-tok Thaysu tiba-tiba sambil tertawa dingin, "urusan telah berkembang jadi begini, buat apa kau masih menyangkal" Lagi pula buat apa aku mesti mencelakai putrinya dengan racun" Toh putrinya tidak ada urusan denganku."
Berubah hebat paras muka Lui-pian Lojin.
"Hoa Ji-nio!" teriaknya penuh amarah, "kau jangan mempercayai fitnahan busuk bajingan tua itu, dia sengaja menggigit aku agar kau bermusuhan denganku, coba bayangkan sendiri, apa alasanku untuk mencelakai putrimu?"
Kembali Siang-tok Thaysu tertawa dingin, sindirnya:
"Sudah, jangan mungkir lagi, bukankah karena putramu sudah punya gadis idaman lain dan segera akan menikah, maka kalian ayah beranak kuatir nona Hoa akan menjadi batu sandungan dan ingin cepat-cepat menghilangkan duri dalam daging?"
Kehebatan ilmu racunnya memang tiada duanya di kolong langit, ternyata bukan itu saja, kebusukan hatinya terbukti jauh lebih beracun dari segala jenis kalajengking paling beracun sekalipun.
Diam-diam Sim Sin-pek bertepuk tangan kegirangan setelah menyaksikan adegan ini.
Begitu meyakinkan cara bicara Siang-tok Thaysu, sampai Im Ting-ting serta Thiat Cing-su sekalian nyaris ikut percaya dengan perkataannya, kini tinggal Lui-pian Lojin ayah beranak serta Un Tay-tay tiga orang yang kebingungan kalang-kabut, paras muka mereka berubah hebat.
"Bagus sekali," terdengar Hoa Bu-soat berteriak gusar, "hei, orang she Lui, ternyata putramu sudah mempunyai simpanan lain! Makhluk tua beracun, coba katakan, siapa perempuan yang disukai putranya" Dimana dia sekarang?"
"Itu dia orangnya!" ujar Siang-tok Thaysu sambil menuding ke arah Un Tay-tay.
Tidak terlukiskan rasa kaget Un Tay-tay, cepat dia kabur dari dalam gua.
Baru saja kakinya bergeser, tahu-tahu Hoa Bu-soat sudah tiba di hadapannya, jari tangannya yang lentik bersih secepat kilat melancarkan sebuah cengkeraman menyongsong kedatangan-nya.
Untuk sesaat Un Tay-tay kebingungan dan tidak tahu bagaimana harus berkelit dari cengkeraman itu, tahu-tahu Hoa Bu-soat telah menjambak rambutnya dan membanting wanita itu hingga jatuh terpelanting.
Im Ting-ting serta Lui Siau-tiau kontan saja menjerit kaget.
"Pelacur busuk," umpat Hoa Bu-soat penuh kebencian, "kau memang rase kecil, berani benar merebut pacar Ling-ling"
Memangnya kau sudah makan nyali macan?"
"Ploook!", sebuah tempelengan keras langsung dilontarkan ke wajah Un Tay-tay.
"Tahan!" hardik Lui-pian Lojin tidak tahan, "urusan ini tidak ada sangkut paut dengannya, lepaskan dia"
"Oooh, melihat aku menamparnya, kalian ayah beranak sakit hati" Tidak tega" Baik, aku sengaja akan menggaploknya lagi, bahkan akan kutempeleng lebih keras, lebih buas, agar kalian ayah beranak bisa menikmati lebih seksama."
Tangannya bekerja cepat, dalam waktu singkat dia sudah menghadiahkan tujuh delapan tempelengan ke wajah Un Tay-tay.
Sekalipun tamparan itu tidak menggunakan tenaga penuh, namun kekuatannya cukup menggidikkan hati, begitu ketujuh delapan tamparan itu selesai dilontarkan, wajah Un Tay-tay yang semula putih halus telah berubah menjadi merah kehitam-hitaman.
Sebesar apapun daya tahan Un Tay-tay, kini dia tidak kuasa lagi menahan diri hingga menjerit keras.
Seng Toa-nio sekalian benar-benar merasa puas menyaksikan kejadian ini, diam-diam mereka bersorak sambil berteriak dalam hati:
"Bagus, tamparan yang bagus, ayo, hajar lagi!"
Sebaliknya Im Ting-ting sekalian tidak tega menyaksikan lebih lanjut, diam-diam mereka berpaling ke arah lain.
Tidak terlukiskan rasa gusar Lui-pian Lojin, dalam hati dia ingin sekali bangkit berdiri dan balas menghajar perempuan itu, sayang tubuhnya tidak memiliki kekuatan untuk bangkit.
Air mata telah berlinang membasahi wajah Un Tay-tay, ujarnya dengan suara gemetar:
"Kalau ingin memukul, ayo, pukullah terus! Toh aku
perempuan bernasib buruk, tidak masalah kau hajar aku sampai mati, tapi... tapi... kami benar-benar tidak pernah mencelakai putrimu, lagi pula dia bukan putrimu."
Sebetulnya Hoa Bu-soat telah menghentikan tamparannya, tapi begitu mendengar ucapan itu, dengan kalap dia menampar lagi sekuatnya.
Sambil tangannya diayunkan berulang kali, tiada hentinya dia mencaci-maki:
"Kalau putriku bukan dia lantas siapa" Dasar siluman rase cilik, kau masih berani membohongi aku... hari ini... hari ini aku harus menghajarmu sampai mampus."
"Dia tidak berbohong, putrimu memang tidak ada di sini,"
teriak Lui-pian Lojin nyaring.
"Kentut!" Hoa Bu-soat menyeringai seram, "sudah jelas tadi kau telah mengakuinya, percuma mungkir sekarang...."
Tamparannya makin lama semakin keras, makin cepat dan makin berat, katanya lagi sambil tertawa seram:
"Lui Siau-tiau, aku mau tanya, bagian mana dari pelacur busuk ini yang paling menarik bagimu" Bagian mana dari tubuh pelacur ini yang lebih bagus dari putriku, kau... apakah kau tertarik dengan sepasang mata siluman rase ini?"
"Kau salah paham," sahut Lui Siau-tiau cepat, "keponakan...."
"Hmm! Aku tahu, kau pasti sudah tertarik dengan sepasang mata jeli siluman rase ini, baik, hari ini aku akan mencongkelnya, akan kulihat dia akan menggunakan apa lagi untuk memikat hatimu?"
Sambil berkata dia menggunakan kedua jari tangannya yang panjang dan tajam untuk bersiap mencongkel sepasang mata Un Tay-tay yang basah oleh linangan air mata.
Lui Siau-tiau tidak tega melihat lebih jauh, cepat dia memejamkan mata, sedang Un Tay-tay hanya bisa menjerit ngeri sambil memejamkan sepasang matanya, dia dapat merasakan ujung jari tangan Hoa Bu-soat yang dingin bagaikan es telah menyentuh kelopak matanya.
Di luar gua, di tanah padang rumput yang luas, hanya ada Suto Siau seorang yang berjaga-jaga sambil tersenyum, dia sedang mengawasi Sun Siau-kiau serta Gi Beng dan Gi Teng yang sudah tertotok.
Sementara mereka yang berada dalam gua, kalau bukan kehilangan tenaga karena keracunan, tentulah musuh bebuyutan Un Tay-tay, atau mungkin akan muncul lagi manusia dari langit
atau bawah tanah"
Dalam keadaan dan suasana seperti ini, pada hakikatnya mustahil ada orang bisa menyelamatkan dirinya lagi, kelihatannya sepasang mata yangjeli itu segera akan tercongkel keluar
Dalam situasi yang amat drastis ini, hanya ada satu nama yang terlintas dalam benak wanita itu.
"Im Ceng... Im Ceng... tunggulah aku di alam baka, aku segera akan menyusulmu!"
Ujung jari Hoa Bu-soat telah menyentuh mata Un Tay-tay....
Telapak tangan Suto Siau yang kasar sudah mulai meraba dan membelai wajah Sun Siau-kiau yang halus..
Gi Beng serta Gi Teng hanya bisa menyaksikan adegan itu dengan mata terbelalak.
"Orang mampus," terdengar Sun Siau-kiau mengumpat sambil tertawa, "apa lagi yang ingin kau raba" Tidak kuatir Che Toa-ho akan mengulitimu?"
"Situasi telah terubah, kondisi pun telah berubah," sahut Suto Siau sambil tersenyum, "mulai hari ini, seluruh kolong langit sudah menjadi milik kita, apa lagi yang musti ditakuti" Hahaha...
aku tidak bakal takut terhadap siapa pun."
"Huuh, tidak tamu malu, pandai amat membual, kalau memang kau hebat, punya pengaruh, kenapa lagakmu masih mirip babi mampus yang bergulingan di tanah, melihat perempuan miliknya masih tertotok jalan darahnya, kenapa kau tidak berani membebaskan aku?"
"Hahaha, belum saatnya, lagi pula...." Sinar matanya segera dialihkan ke tubuh Gi Beng, terusnya sambil tertawa:
"Orang tua itu sudah menyodorkan si cantik kecil yang tidak mampu bergerak itu ke hadapanku, kenapa tidak kumanfaatkan kesem-patan yang baik ini untuk menikmati kehangatan tubuhnya" Bagaimana" Betul bukan?"
"Apa... apa kau bilang?" jerit Gi Beng kaget.
Suto Siau tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, masa kau tidak paham maksudku?" katanya.
Sambil membalikkan tubuh, dia segera menghampiri gadis itu.
"Dasar lelaki bau, lelaki busuk," umpat Sun Siau-kiau mendongkol, "sudah punya mangkuk nasi sendiri pun masih melirik periuk nasi milik orang. Aaaaii! Baiklah, toh aku pun tidak bisa kawin resmi denganmu, biar aku jadi mak
comblangmu dengan adik dari keluarga Gi."
"Hahaha, sudah seharusnya begitu... sudah seharusnya begitu..."
Dia membungkukkan tubuh dan tangannya mulai
menggerayangi payudara Gi Beng.
"Bajingan laknat!" teriak Gi Teng penuh amarah, "kau berani...
cepat hentikan perbuatan busukmu!"
"Kau... kau tidak boleh menyentuh aku!" jerit Gi Beng pula.
"Tidak boleh menyentuhmu?" ejek Suto Siau sambil menyeringai, "boleh... boleh disentuh... siapa bilang tidak boleh...."
Bukan hanya menggerayangi saja, kini jari tangannya mulai bekerja cepat mengendorkan kancing baju di depan dada Gi Beng.
Pakaian Gi Beng pun sudah terlepas, payudaranya yang putih bersih telah menongol keluar dari balik pakaian....
Sekonyong-konyong terdengar suara ledakan yang luar biasa, diikuti getaran gempa yang dahsyat menggoncang seluruh permukaan bumi.
Begitu keras goncangan itu, membuat tubuh Suto Siau mencelat jauh ke belakang.
Pada saat yang sama jari tangan milik Hoa Bu-soat yang sudah siap ditusukkan ke bawah, siap mencongkel mata Un Tay-tay pun tergeser dari wajah korbannya, tergeser karena goncangan maha dahsyat itu.
Jeritan kaget bergema dari empat penjuru, suara getaran bagai guntur dan menggelegar tiada hentinya. Dinding batu di sekeliling gua mulai retak dan berhamburan jatuh, debu pasir beterbangan bagai hujan deras.
Paras muka semua orang yang berada di dalam gua berubah jadi pucat-pias bagai mayat, bahkan Hoa Bu-soat sendiri pun berdiri melongo saking kagetnya, otomatis tusukan kedua jarinya pun ikut berhenti.
"Apa... apa yang telah terjadi?" tanya Siang-tok Thaysu agak tertegun.
Dengan mengerahkan segenap kekuatan yang tersisa, Lui-pian Lojin berteriak keras:
"Bukit ini segera akan runtuh, cepat melarikan diri, tinggalkan gua ini!"
Cepat Lui Siau-tiau meronta bangun, dia menggelinding ke sisi ayahnya dan segera membopong tubuh orang tua itu.
Sambil menjerit kaget, Liu Ji-uh menggendong Liong Kian-sik.
Im Ting-ting dan Thiat Cing-su membopong Im Gi serta Im Kiu-siau.
Sim Sin-pek memeluk kencang tubuh Sui Leng-kong, sementara Pek Seng-bu menarik tangan saudaranya, HekSeng-thian.
Seng Toa-nio sendiri menghentakkan kaki berulang kali menahan kecewa, akhirnya dia pun membopong Seng Cun-hau.
Hoa Bu-soat segera mengempit tubuh Un Tay-tay yang jatuh pingsan dan membawanya kabur.
Kawanan jago persilatan yang di hari biasa selalu tampil tenang dan percaya diri, kini dalam sedetik semuanya berubah seperti burung yang dipanah, kabur terbirit-birit meninggalkan gua, lari menyelamatkan diri.
Pada saat itulah kembali terjadi getaran yang sangat kuat.
Getaran kali ini jauh lebih kencang ketimbang yang pertama, bahkan suara ledakan yang terjadi pun lebih memekakkan telinga.
"Muridku, cepat bopong Ling-ling, kita jangan berpencar,"
teriak Hoa Bu-soat cepat.
"Paman Hek, cepat ikuti aku," jerit Sim Sin-pek pula.
"Suko... Suko... ada dimana kau?" teriak Im Ting-ting pula.
"Ngomoay, hati-hati teriak Thiat Cing-su memperingatkan.
Tapi sayang waktu itu telinga semua orang sudah dibuat tuli dan kaku lantaran suara ledakan yang memekakkan telinga, karena itu siapa pun tidak dapat mendengar teriakan kawannya secara jelas.
Batu cadas sebesar gajah jatuh berbongkah bongkah, debu dan pasir beterbangan membuat kabur pandangan, siapa pun yang kejatuhan batu sebesar itu, bisa dipastikan kepalanya bakal hancur berantakan.
Mendadak terdengar Liu Ji-uh menjerit kesakitan sambil berteriak:
"Tolongaku... tolong! Tolong...."
Rupanya dia kejatuhan batu besar hingga jatuh terjerembab ke tanah, sekalipun telah berusaha meronta, namun gagal bangun kembali.
Tapi sayang suasana ketika itu sedang panik, semua orang hanya memikirkan keselamatan sendiri, jangankan suara jeritannya memang tenggelam oleh hiruk-pikuk jatuhnya bebatuan, seandainya terdengar pun belum tentu ada orang yang
mau menolongnya.
Semua orang hanya memikirkan diri sendiri, berusaha mencari jalan keluar untuk meloloskan diri, tidak satu pun yang mau mengurusi orang lain, jangankan pikiran untuk menolong orang, niatan untuk mencelakai lawan pun sudah terlupakan untuk sementara.
Sim Sin-pek yang sebenarnya berdiri di mulut gua sambil membopong Sui Leng-kong kini melarikan diri terlebih dulu.
Bagaikan hembusan angin Hoa Bu-soat menyusul di
belakangnya, sambil lari dia mendorong Pek Seng-bu dan Hek Seng-thian yang sedang berusaha menyerobot jalan untuk melarikan diri, akhirnya kedua orang itu berhasil juga menerjang keluar.
Waktu itu sebetulnya Siang-tok Thaysu sudah berada di luar gua, tiba-tiba sambil menyeringai seram dia balik masuk ke dalam lagi.
Lui Siau-tiau yang kabur sekuat tenaga sudah hampir mencapai sisi luar gua, betapa terperanjatnya dia sewaktu mendongakkan kepala, tahu-tahu Siang-tok Thaysu sambil menyeringai seram sudah menghadang jalan perginya.
Suto Siau yang berada di luar gua, meski tidak berada dalam kondisi bahaya, tidak urung hatinya kebat-kebit juga saking takut dan kagetnya, dia langsung kabur dari situ, tapi baru beberapa langkah sudah balik kembali.
"Orang baik, cepat bopong aku!" Sun Siau-kiau segera berteriak manja.
Jangankan membopong, melirik sekejap pun tidak, Suto Siau langsung menghampiri Gi Beng dan menggendongnya.
"Bajingan tengik," teriak Gi Teng penuh amarah, "lepaskan dia... lepaskan dia...."
"Setan berhati hitam," umpat Sun Siau-kiau pula sedih,
"bajingan berhati busuk... kau... kau... aku sumpahi kau biar mampus secara mengenaskan!"
Suto Siau sama sekali tidak berpaling, ketika berlari beberapa langkah dari tempat itu, dia mendengar suara gemuruh yang amat memekakkan telinga, hal ini membuatnya tidak kuasa berpaling ke belakang....
Ternyata seluruh tebing batu telah ambruk, berguguran dan berserakan kemana-mana
Pasir dan debu yang bertebaran di udara nyaris menyelimuti separoh jagad, di tengah remang-remangnya suasana, terlihat
ada beberapa sosok bayangan manusia melesat keluar dari timbunan bebatuan dengan kecepatan tinggi.
Pasir dan debu yang menyelimuti udara begitu rapat bagai kabut tebal, Suto Siau tidak dapat melihat jelas siapa saja bayangan manusia yang sedang kabur dari onggokan bebatuan...
padahal dia memang tidak berminat untuk memperhatikan dengan seksama, tanpa banyak membuang waktu dia langsung kabur menuju ke tengah rerumputan.
Di saat dia berpaling sambil melirik itulah ujung matanya seolah melihat di antara bayangan manusia yang sedang melarikan diri, ada dua orang di antaranya roboh tertimpa bebatuan, tapi dia tidak berniat memperhatikan lebih jauh.
Umpatan dan makian Gi Teng serta Sun Siau-kiau seolah tertelan suara gemuruh yang memekakkan telinga, sementara Gi Beng yang panik, ketakutan, malu dan jengkel sudah tidak sadarkan diri sejak tadi.
Sambil memeluk kencang Gi Beng, Suto Siau herlari sekuat tenaga masuk ke balik rerumputan, sementara suara gemuruh yang bergema di belakang sana masih berkumandang tiada hentinya, gempa bumi masih menggoyang seluruh permukaan, bebatuan seakan setiap saat dapat menindih tubuhnya.
Dalam keadaan begini, mana mungkin dia berani
menghentikan langkahnya.
Berlarian di tengah rerumputan yang lebat bukanlah satu pekerjaan yang mudah, tapi dia berlari terus dengan sempoyongan, tanpa mengetahui arah mata angin, tidak tahu kemana dia berlari, dia berusaha menyingkir sejauh mungkin dari tempat bencana, dia baru memperlambat langkahnya ketika napas sudah mulai tersengal-sengal.
Dia mencoba memasang telinga dan mendengarkan situasi di seputar sana, walaupun suara gemuruh masih bergema di seluruh tebing, kelihatannya ledakan dan gempa dahsyat sudah mulai reda, gaung suara yang memantul pun lambat laun bertambah lirih.
Saat itulah Suto Siau baru menghembuskan napas lega, duduk bersila sambil mengatur pernapasan.
Setelah terjadinya bencana dahsyat, masih ada berapa orang yang hidup" Siapa pula yang menemui ajal" Dia tidak bisa membayangkan, dia pun tidak berani berbalik untuk melihat keadaan.
"Kalau sampai Hoa Bu-soat, Sim Sin-pek, Seng Toa-nio, Hek
Seng-thian sekalian menemui ajalnya dalam bencana ini, sementara orang-orang perguruan Tay ki bun justru hidup, apa yang harus kulakukan?" gumamnya.
Berpikir sampai di situ, perasaan ngeri bercampur bergidik seketika menyelimuti hatinya.
Tapi ingatan lain segera melintas, kembali gumamnya:
"Sebaliknya kalau orang-orang perguruan Tay ki bun sudah mampus, yang hidup tinggal Sim Sin-pek, Un Tay-tay dan Sui Leng-kong, bukankah dalam perjalanan berikut tinggal aku seorang yang menjadi lakon" Bukankah harta kekayaan persekutuan Ngo hok beng akan menjadi milikku?"
Membayangkan berlimpahnya harta karun yang bakal menjadi miliknya, dia merasa sangat gembira, jantungnya berdebar keras.
Namun bagaimanapun juga, dia tetap tidak berani balik ke tempat semula dan memeriksa keadaan, seorang diri dia hanya duduk termenung di situ, sebentar keningnya berkerut, sebentar menebar senyum karena gembira.
Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya suara rintihan Gi Beng menyadarkan dia dari lamunan.
Suto Siau berpaling sambil memandangnya sekejap, menyaksikan separah tubuhnya yang telanjang, memandang sepasang payudaranya yang putih dan montok, sekulum senyum kebanggaan segera tersungging di ujung bibirnya.
Sambil tertawa menyeringai, dia bergumam:
"Bagaimanapun juga aku masih tetap hidup, apalagi ditemani seorang nona muda yang cantik dan bahenol, oooh... kapan pun aku ingin menidurinya, saat ini juga aku bisa menikmatinya"
Membayangkan kembali bagaimana nona itu sudah menjadi barang dalam genggamannya, daging di atas meja yang setiap saat dapat dicicipi, tidak tahan lagi dia tertawa tergelak.
Kini semua rasa ngeri dan takut telah lenyap, yang tersisa hanya segumpal api panas yang membara dari Tan-tiam menyebar ke seluruh tubuh, api panas yang membuat tubuhnya terasa hangat, membuat dia kegerahan, membuatnya hampir saja melepas seluruh pakaian yang dikenakannya.
Sekali lagi dia melirik sekeliling tempat itu, membasahi bibirnya yang mulai mengering dan bergumam:
"Bagaimanapun juga, aku harus menikmati dulu gadis ini sebelum bicara lain."
Semenjak jagoan perguruan Tay ki bun muncul kembali dalam dunia persilatan, dia selalu menekan dan mengendalikan napsu
paling purba yang dimilikinya dalam hati, dia merasa tidak punya waktu untuk memikirkannya, dia pun tidak berani
memikirkannya. Tapi sekarang dalam situasi serba bahaya ini, api napsunya yang sudah lama terkekang, entah kenapa tiba-tiba saja tidak terkendalikan lagi, mendadak meledak dengan hebatnya.
Begitu napsunya meledak, dia tidak kuasa lagi mengendalikan diri.
Kini hawa panas yang muncul karena perasaan panik tadi mempercepat aliran darah dalam tubuhnya... tiba-tiba tangannya bekerja keras, merobek dan mencabik hancur seluruh pakaian yang dikenakan Gi Beng.
"Breeet, breeet... !", tidak selang beberapa saat kemudian tubuh Gi Beng yang halus, putih dengan membawa warna semu merah seorang gadis perawan telah tampil bugil di hadapan Suto Siau.
Kini mukanya bertambah merah, sinar matanya
memancarkan cahaya kebuasan seekor binatang liar.
Biji tenggorokannya naik turun seperti bola yang berlarian, akhirnya dia tidak kuasa lagi menahan diri, tanpa membuang waktu, tubuhnya langsung menubruk ke arah Gi Beng.
Tiba-tiba "Braaaak!", di antara rerumputan yang bergoyang, tampak dua sosok bayangan manusia menerjang datang dengan langkah sempoyongan.
"Siapa?" dengan perasaan terkesiap Suto Siau menghardik.
Padahal tidak usah menghardik pun dia sudah melihat dengan jelas siapa yang telah datang.
Lambat-laun racun yang mengeram dalam tubuh Im Gi mulai punah, kekuatannya baru saja pulih.
Tapi Thiat Cing-su masih memayangnya sambil bergerak cepat, kedua orang itu berlari di antara rerumputan yang tinggi.
Di tengah jalan, dengan wajah berubah, tiba-tiba Im Gi berseru:
"Mana adikmu" Mana adikmu" Kenapa kau tidak berada bersamanya" Sekarang kita berdua harus kemana mencarinya?"
Thiat Cing-su menundukkan kepala tidak berani menjawab...
padahal sewaktu terjadi tanah runtuh tadi, hampir semua orang berusaha menyelamatkan diri, dalam keadaan begini, mana mungkin memikirkan orang lain" Bagaimana mungkin hal ini bisa menyalahkan dia"
Im Gi mencoba mengawasi sekejap sekeliling tempat itu, kemudian dengan men-dongkol mendengus dingin.
Belum sampai mengucapkan sesuatu, tiba-tiba dia seperti mendengar sesuatu, buru-buru tangannya dibekapkan ke mulut sendiri sambil memberi tanda agar tidak berisik.
Rupanya setelah berada di balik rerumputan, dia teringat tempat semacam itu merupakan tempat yang sangat berbahaya karena setiap saat bisa muncul musuh yang menyerang, bila dia berisik atau bersuara keras, bisa jadi suara itu akan memancing datangnya musuh tangguh.
Orang perguruan Tay ki bun sudah tersohor karena pandai menahan diri, persoalan apapun bisa menahan diri karena mereka beranggapan nyawa adalah sesuatu yang sangat berharga, mana boleh nyawa yang berharga dikorbankan begitu saja"
Di saat itulah dari balik rerumputan terdengar suara rintihan seorang gadis muda.
Dengan cepat Im Gi dan Thiat Cing-su saling berpandangan sekejap, kemudian tidak tahan mereka menerobos ke arah sumber suara tadi.
"Siapa?" tiba-tiba seseorang melompat bangun dari balik semak.
Tentu saja orang itu tidak lain adalah Suto Siau.
Musuh bebuyutan ternyata saling berhadapan muka, baik Im Gi dan Thiat Cing-su maupun Suto Siau, semuanya merasa terperanjat hingga termangu beberapa saat.
"Ternyata kau!" bentak Im Gi dengan mata merah darah.
"Kau... kau..." tiba-tiba Suto Siau membalik-kan badan, kemudian melarikan diri terbirit-birit.
"Dasar binatang tidak berguna," kembali Im Gi mengumpat,
"ayo, kabur... ayo, kabur...."
Sambil berteriak dia mencoba melakukan pengejaran, sayang tenaga dalamnya belum pulih seratus persen, tubuhnya sempoyongan dan langsung roboh terjungkal ke tanah.
Buru-buru Thiat Cing-su menerjang mendekati sambil berseru kaget:
"Kenapa kau orang tua?"
"Bagus... bagus...."
Napasnya yang tersengal-sengal membuat dia tidak sangup melanjutkan kata-katanya.
Cepat Thiat Cing-su menepuk punggungnya berulang kali,
beberapa saat kemudian mendadak dia merasa di sisi tubuhnya seperti tergeletak sebuah benda yang halus, lembut dan kenyal.
Dengan perasaan terkesiap buru-buru dia berpaling, apa yang kemudian terlihat seketika membuat anak muda itu terbelalak dengan terperana, ternyata dia menemukan tubuh bugil Gi Beng yang tergeletak di tanah, bugil tanpa selembar benang pun.
Pemuda ini boleh dibilang baru meningkat dewasa, selama hidup jangankan menyaksikan dengan mata kepala sendiri, membayangkan adegan itupun belum pernah, tapi sekarang...
tubuh bugil seorang gadis muda yang begitu montok, begitu menawan hati, begitu halus dan merangsang hawa napsu telah terbentang jelas di depan mata....
Thiat Cing-su merasa jantungnya nyaris melompat keluar dari rongga dadanya, dengan mata terbelalak lebar dan mulut melongo dia mengawasi tubuh gadis itu tanpa berkedip, untuk sesaat dia hanya termangu dan sama sekali tidak mampu bergerak.
Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya sambil merintih lirih Gi Beng tersadar dari pingsannya.
Begitu membuka mata, si nona pun segera menyaksikan wajah seorang pemuda yang sedang terkejut menatapnya, dia saksikan pemuda itu sedang memandangnya dengan sorot mata bingung, ingin tahu serta rasa gembira.
Ternyata bukan Suto Siau! Gadis itu agak melengak.
Menyusul kemudian rasa malu seketika menyelimuti perasaannya, rasa malu yang membuat sepasang pipinya berubah semu merah.
"Bajingan cilik," umpatnya gusar, "apa... apa yang sedang kau lihat?"
"Aku... aku...."
"Kenapa masih memandangi aku?" kembali Gi Beng menegur.
Kontan Thiat Cing-su merasa kepalanya seperti dipukul martil, darah panas langsung memenuhi kepalanya, bukan cuma wajahnya terasa panas, pipinya pun ikut berubah merah padam, buru-buru dia memejamkan mata.
Melihat pemuda itu meski berwajah keras namun membawa sifat kekanak-kanakan, di balik kematangan masih terselip kejujuran, khususnya setelah melihat dia memejamkan mata rapat-rapat, sekilas senyuman segera tersungging di ujung bibir nona itu.
"Sebenarnya siapakah kau?" sapanya kemudian dengan
lembut. "Harap nona... nona mengenakan dulu pakaianmu kemudian baru berbicara."
"Kalau aku bisa mengenakan sendiri, buat apa mesti berbicara denganmu?"
Thiat Cing-su tertegun, serunya kemudian tergagap:
"Lalu... apa... apa yang bisa kulakukan?"
"Jalan darahku tertotok."
"Kau minta aku membebaskan dulu totokan jalan darahmu?"
Belum sempat Gi Beng menjawab, dengan suara keras Im Gi telah menghardik:
"Tanyai dulu siapakah dia, jangan sembarangan turun tangan."
Biarpun selama ini orang tua itu tidak pernah berpaling, namun pembicaraan yang dilakukan kedua orang itu dapat didengar olehnya dengan jelas.
Buru-buru Thiat Cing-su berdehem, kemudian tanyanya:
"Boleh tahu siapa nama nona?"
Berputar sepasang biji mata Gi Beng, tiba-tiba serunya tertahan:
"Jangan-jangan kalian... kalian berasal dari perguruan Tay ki bun?"
"Benar!" sahut Im Gi dengan suara berat, "siapa kau?"
Diam-diam Gi Beng menghembuskan napas lega, sahutnya:
"Boanpwe bernama Gi Beng, salah satu dari tujuh pedang pelangi
"Tujuh pedang pelangi?"
"Benar."
Setelah berhenti sejenak untuk menarik napas, lanjutnya,
"Walaupun di antara tujuh pedang pelangi ada yang bermusuhan dengan perguruan Tay ki bun, tapi kami dua bersaudara tidak termasuk di antaranya, malahan kami punya seorang sahabat karib yang berasal dari perguruan Tay ki bun."
Tiba-tiba nona itu merasa salah bicara, tapi sayang keadaan sudah terlambat, perkataan pun sudah telanjur meluncur keluar.
Terdengar Im Gi bertanya dengan keheranan:
"Kau punya sahabat yang berasal dari perguruan Tay ki bun"
Siapa dia?"
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Soal ini... soal ini...."
Sekarang dia baru teringat rahasia yang menyangkut Im Kian tidak boleh diucapkan sembarangan.
"Siapa" Cepat katakan!" hardik Im Gi tak sabar.
"Aku... tiba-tiba aku tidak teringat namanya..."
"Omong kosong!"
Cepat dia melepas jubah luarnya dan dilembar ke depan, pakaian itu jatuh persis di atas tubuh Gi Beng.
Dengan sekali lompatan Im Gi bangkit berdiri, ditatapnya wajah gadis itu dengan sorot mata tajam, kembali hardiknya:
"Kenapa kau tidak berani menyebutkan nama orang itu"
Jangan-jangan ada tipu muslihat di balik pengakuanmu itu?"
"Jangan-jangan orang itu adalah Jiko... atau Im-samko...."
bisik Thiat Cing-su tergagap.
"Kentut!" tukas Im Gi gusar, "kalau memang kedua orang itu, kenapa dia ragu menyebutnya?"
"Wah, sungguh lihai orang tua ini!" pikir Gi Beng sambil menghembuskan napas dingin.
Terdengar Im Gi berkata lagi:
"Nona Gi, di antara kita berdua tidak punya ikatan dendam sakit hati, sebenarnya aku pun tidak akan menyulitkan dirimu, tapi bila kau masih enggan menjelaskan persoalan ini, jangan salahkan kalau Lohu akan bersikap kurang sopan."
Dari mimik mukanya terpancar sinar kewibawaan yang menggidikkan hati, membuat siapa pun merasa seram memandangnya.
Tidak tahan Gi Beng bersin berulang kali, hampir saja dia tidak kuasa menahan diri untuk bicara sejujurnya.
Tapi akhirnya sambil mengertak gigi, pikirnya, "Aku tidak boleh bicara, aku tidak boleh bicara... kalau aku mengatakan sesungguhnya, bukankah sama artinya telah mencelakai Thiat Tiong-tong" Dia adalah kekasih Enci Sui, mana boleh aku mencelakainya?"
Tapi ingatan lain kembali melintas, pikirnya lagi, Aaah, benar!
Bagaimanapun toh Thiat Tiong-tong sudah mati, kalau kuceritakan hal yang sesungguhnya, mungkin saja hal ini justru akan memunculkan rasa menyesal di hati mereka."
Berpikir demikian, dia pun berseru keras:
"Dia adalah Im Kian!"
"Im Kian?" Im Gi tertegun sejenak lalu berteriak.
Thiat Cing-su sendiri pun melengak.
"Toako?" jeritnya.
"Benar."
"Perempuan tidak tahu diri, besar amat nyalimu, berani kau
membohongi Lohu?" ujar Im Gi gusar, "Im Kian si binatang kecil yang tidak berbakti itu sudah mati lama, mana mungkin kau bisa kenal dengannya?"
"Walaupun kalian mengira dia sudah mati, padahal dia belum mati."
"Omong kosong! Omong kosong! Dengan mata kepala sendiri Lohu saksikan, kematiannya, mana mungkin salah?"
"Benarkah kau menyaksikan dengan mata kepala sendiri atas kematiannya?"
"Soal ini kembali Im Gi tertegun.
Perlahan Gi Beng menghela napas panjang, ujarnya:
"Terus terang kuberitahu, hari itu kau memang memberi perintah kepada Thiat Tiong-tong untuk melaksanakan eksekusi, tapi kenyataan Thiat Tiong-tong sama sekali tidak menghukum mati dirinya, dia mengirimnya ke tempat lain untuk merawat luka, sementara jenazah orang lain yang mewakilinya melaksanakan hukuman dipisah lima ekor kuda."
Begitu tahu kejadian yang sebenarnya, Im Gi maupun Thiat Cing-su semakin tertegun dibuatnya.
Thiat Cing-su merasa terkejut bercampur girang, gumamnya:
"Ternyata Thian maha kasih... ternyata Thian sangat bijaksana, rupanya Toako belum meninggal
Hawa amarah mulai menyelimuti wajah Im Gi, tiba-tiba bentaknya:
"Sekarang binatang kecil itu berada... berada dimana?"
"Aku tidak tahu."
"Mana mungkin kau tidak tahu" Cepat katakan!" hardik Im Gi semakin gusar.
"Jejak anggota perguruan Tay ki bun selalu rahasia dan sukar dilacak, kehebatan kalian menghilangkan diri tiada tandingannya di kolong langit, bahkan manusia macam Hek Seng-thian dan Suto Siau kawanan rase tua pun susah menemukan mereka, apalagi aku?"
Im Gi termenung beberapa saat lamanya, kemudian manggut-manggut.
"Masuk akal juga perkataanmu itu...."
Tapi sejenak kemudian kembali bentaknya marah:
"Tapi bagaimanapun aku harus menemukan kembali jejak binatang cilik itu, boleh saja nasibnya beruntung bisa lolos dari eksekusi yang dilakukan tempo hari, tapi kali ini Lohu akan melaksanakan sendiri eksekusi itu, akan kuperintahkan
mayatnya dipisahkan lima ekor kuda!"
Gi Beng yang mendengar perkataan itu merasakan hatinya bergidik, pikirnya, 'Ternyata nama besar Ciangbunjin Thiat hiat tay ki bun memang bukan nama kosong belaka, dia benar-benar galak sekali. '
Dengan wajah hijau kemerah-merahan, Thiat Cing-su seperti ingin mengucapkan sesuatu, namun tidak berani
mengungkapkan, sampai lama kemudian dia baru membesarkan nyali dan berkata:
"Suhu, bukankah selama ini kau selalu teringat Toako"
Bukankah kau orang tua sering pula menyinggung tentang segala kebaikan yang dimiliki Toako?"
Dada Im Gi naik turun tidak beraturan, tampaknya sedang menahan gejolak emosi yang menggelora, sepasang kepalannya tergenggam kencang, bentaknya:
"Tutup mulut!"
Gemetar keras sekujur badan Thiat Cing-su saking takutnya, tapi dia tetap memberanikan diri berkata lagi:
"Ananda tidak pernah membangkang perkataan kau orang tua, tapi kali ini ananda harus menyampaikan semua uneg-uneg yang sudah lama tersimpan dalam hati sanubariku, sekalipun kau orang tua akan menghajarku sampai mampus, ananda tetap akan mengatakan-nya juga."
Hawa amarah masih menyelimuti wajah Im Gi, namun kali ini dia tidak bersuara atau menghalangi niat muridnya untuk bicara.
"Jiko dan Samko telah tertimpa musibah, kekuatan perguruan Tay ki bun kita boleh dibilang semakin lemah dan sedikit, beruntung sekarang kita mendapat tahu Toako masih hidup, sesungguhnya inilah berita baik untuk perguruan kita, dengan kepandaian silat serta kecerdasan yang dimiliki Toako, tidak sulit baginya untuk membangkitkan kembali kejayaan perguruan Tay ki bun, tapi... aaaai! Kenapa kau orang tua justru menginginkan pula kematiannya?"
Im Gi berdiri sambil mengelus jenggot, tubuhnya gemetar keras karena menahan tekanan batin yang berat, jelas perang batin sedang terjadi dalam hatinya, di samping gembira dan penuh luapan emosi, dia pun merasa sedih, pedih dan serba salah.
Ternyata orang tua ini memiliki hati sekeras baja! Dia seperti tidak bergeming dari keputusan-nya.
"Bagaimanapun juga," katanya kemudian, "hukum perguruan
Thiat hiat tay ki bun harus tetap ditegakkan, orang yang sudah dijatuhi hukuman mati, tidak mungkin dibiarkan tetap hidup di dunia ini."
Dengan sedih Thiat Cing-su tertunduk lemas, air mata jatuh berlinang membasahi wajahnya.
Gi Beng sendiri pun amat menyesal, dia membenci diri sendiri, menyesal dan benci kepada diri sendiri karena banyak mulut.
Tiba-tiba dari kejauhan berkumandang suara pekikan yang amat keras, suara pekikan itu bagai lolongan serigala malam, seperti juga tangisan setan gentayangan, membuat siapa pun yang mendengarnya merasa bergidik dan ngeri.
Berubah paras muka Im Gi, Thiat Cing-su serta Gi Beng, mereka dapat menangkap suara pekikan ngeri itu sedang bergerak semakin mendekat, bahkan bergeser menghampiri tempat mereka.
Tidak terlukiskan rasa kaget Suto Siau ketika melihat kemunculan Im Gi dan Thiat Cing-su secara tiba-tiba.
Biarpun dia tahu Im Gi belum seratus persen sembuh dari lukanya, namun nama besar Ciangbunjin perguruan Tay ki bun sudah cukup membuat hatinya keder.
Sejujurnya dia merasa tidak bernyali untuk menghadapinya seorang diri, tidak berani bertarung satu lawan satu.
Karena itu tanpa banyak bicara dia langsung putar badan dan melarikan diri.
Padang rumput yang luas dan lebat memang tempat yang paling cocok untuk melarikan diri Bambil menyembunyikan diri.
Setelah kabur sejauh puluhan langkah, dia sudah kehilangan jejak Im Gi, ketika mencoba pasang telinga, dia pun tidak mendengar ada suara langkah kaki yang sedang melakukan pengejaran.
Saat itulah dia baru bisa menghembuskan napas lega sambil mengumpat lirih:
"Dasar iblis tua macam sukma gentayangan saja, ternyata ambruknya bukit karang tidak sampai membikin mampus dirinya, kenapa kalau mau muncul justru di saat aku hendak menikmati tubuh molek" Sialan!"
Paling tidak sekarang dia sudah tahu jika di pihak perguruan Tay ki bun ada dua orang tidak mampus dalam bencana tadi, kenyataan ini membuatnya semakin tidak berani bertindak gegabah, sambil berusaha tahan napas dia bergerak terus ke depan.
Kini dia benar-benar kebingungan, tidak tahu ke arah mana harus pergi, keadaannya tidak jauh berbeda dengan orang buta yang mencari jalan, dalam hati dia hanya bisa berdoa, semoga jangan sampai bertemu lagi dengan para jago perguruan Tay ki bun.
Sepeminuman teh lamanya dia berjalan, seluruh tubuh sudah bermandikan keringat, tapi dia masih bingung, tidak tahu apa yang bakal dihadapi di depan sana, bisa dibayangkan betapa panik dan takutnya saat itu.
Tiba-tiba dari balik rerumputan di depan sana terdengar suara baju yang tersampuk angin.
Dengan perasaan terkesiap Suto Siau siap kabur
meninggalkan tempat itu, tapi setelah berpikir sebentar, akhirnya dengan memberanikan diri dan menahan napas perlahan-lahan dia bergerak maju ke depan.
Sebetulnya dia sudah berjalan sambil setengah berjongkok, ketika hampir tiba di tempat itu, tubuhnya bertiarap di tanah, bagaikan seekor ular berbisa dia bergerak maju dengan melata.
Angin masih berhembus sepoi, rerumputan bergoyang meninggalkan suara berisik.
Dari balik rerumputan yang bergoyang dia mencoba mengintip, benar saja, di sana terlihat bayangan manusia.
Tapi sayang Suto Siau masih belum dapat melihat wajah kedua orang itu dengan jelas, sambil mengertak gigi dia merangkak maju lagi dua langkah, tiba-tiba dari balik rerumputan muncul lagi wajah seseorang.
Ternyata secara kebetulan orang itupun sedang merangkak ke arahnya.
Begitu saling bertatap muka, kedua orang itu sama-sama terperanjat hingga nyaris menjerit tertahan, tapi dalam waktu singkat mereka sudah dapat melihat jelas wajah lawan, maka masing-masing pun saling mendekap mulut sendiri.
Sambil menghembuskan napas lega, bisik Suto Siau:
"Saudara Hek, rupanya kau."
Ternyata dua orang yang sedang merangkak itu tidak lain adalah Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu.
Tidak terlukiskan rasa girang ketiga orang itu, mereka tidak menyangka setelah merasakan ketegangan sekian lama, akhirnya mereka dapat berkumpul kembali.
"Wah, Thian memang maha pengasih, ternyata kalian berdua tidak mati," kata Suto Siau.
Hek Seng-thian tertawa getir.
"Biarpun tidak mampus, tapi sudah hampir," katanya.
"Suto-heng," kata Pek Seng-bu pula, "selama ini kau selalu berjaga di luar gua, tahu tidak siapa saja yang berhasil melarikan diri dari dalam gua?"
Ternyata apa yang menjadi kekuatiran kedua orang ini sama persis seperti apa yang dipikirkan Suto Siau.
"Situasi waktu itu sangat kalut, susah menyaksikan dengan jelas," sambil menghela napas Suto Siau menggeleng.
"Semoga saja Im Gi si tua bangkotan itu mampus tertindih batu," seru Hek Seng-thian penuh kebencian.
"Sayangnya justru tua bangka itu masih segar bugar," kata Suto Siau sambil tertawa getir.
"Jadi kau telah bertemu dengannya?" tanya Hek Seng-thian berdua hampir berbareng.
"Benar!" secara ringkas dia pun menceritakan pengalaman yang barusan dialaminya, tentu saja soal yang menyangkut Gi Beng sama sekali tidak disinggung.
Hek Seng-thian saling pandang sekejap dengan Pek Seng-bu, kelihatannya mereka gegetun sekali dengan kenyataan itu.
Lewat sesaat kemudian Hek Seng-thian baru berkata:
"Biarpun tua bangka Im panjang umur, tapi aku rasa Lui-pian Lojin dan anaknya pasti sudah mampus."
"Kau melihatnya?"
"Ketika Pek-jite mengajakku keluar tadi, sebelum meninggalkan gua kami lihat Siang-tok Thaysu bukan saja telah menghadang jalan pergi Lui-pian Lojin, bahkan dia sempat mengayunkan telapak tangannya mendorong masuk kedua orang itu, padahal waktu itu bukit karang sedang runtuh, dengan luka yang belum sembuh, mana mungkin Lui-pian Lojin berdua sanggup meloloskan diri?"
"Haah" Tidak disangka Lui-pian Lojin, seorang jagoan yang tangguh harus mati secara mengenaskan di tempat ini!"
"Seharusnya kita gembira dengan kematian-nya, kenapa Suto-heng justru menghela napas?"
"Biarpun Lui-pian Lojin menjengkelkan, paling tidak dia masih terhitung sejalan dengan kita, kematiannya hanya mendatangkan kerugian, bukan keberuntungan, kenapa aku tidak boleh menghela napas?"
Pek Seng-bu tersenyum.
"Lantaran Suto-heng tidak menyaksikan sendiri semua
peristiwa yang telah terjadi dalam gua tadi, tidak heran kau masih menaruh simpati kepadanya dan mengucapkan kata-kata seperti itu."
"Apa yang telah terjadi dalam gua?"
Hek Seng-thian menghela napas panjang.
"Aaai, Suto-heng belum tahu, tadi Lui-pian Lojin sudah bersekongkol dengan orang perguruan Tay ki bun, kalau dia tidak mampus, berarti kita bakal mendapat tambahan seorang musuh tangguh lagi."
"Ooh, begitu kejadiannya" Aaai, ternyata perubahan yang terjadi bagaikan perubahan cuaca, sukar diramalkan, siapa yang mengira dalam setengah hari saja dapat terjadi perubahan sedrastis ini."
Setelah berhenti sej
Jodoh Rajawali 1 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Golok Halilintar 2
mpuan cantik, katanya lagi sambil tertawa terkekeh:
"Betul-betul harum, kalau tidak percaya coba enduslah, ehmmm... harum... sungguh harum
Lagaknya sekarang sudah tidak mirip badut lagi, tapi sudah seperti seorang gila.
"Ehmm, ternyata memang harum... lebih bagus lagi kalau harum baunya," ujar perempuan cantik itu perlahan.
Bergetar keras sekujur badan Hong Lo-su, secara beruntun dia mundur tiga langkah, jeritnya:
"Kau... kau...."
"Apakah kalian ingin memaksa aku turun tangan sendiri?"
Tiba-tiba Hong Lo-su melompat bangun, umpatnya:
"Dasar perempuan siluman, perempuan berhati busuk, kau memang edan, sinting... tidak waras otaknya, memang kau sangka aku Hong Lo-su betul-betul takut kepadamu" Boleh saja orang lain takut, tapi aku Hong Lo-su justru tahu, kau tidak lebih hanya orang sinting... kau... biarpun penampilanmu kelihatan waras, padahal sejak putrimu kabur meninggalkan dirimu, kau sudah sinting, sudah edan!"
Sambil melompat bangun dan memukul dada sendiri, dia mencaci-maki kalang-kabut, begitu asyiknya dia mengumpat sampai air liur pun ikut beterbangan kemana-mana, bahkan semakin memaki, perkataan yang digunakan semakin jahat, kotor dan sadis.
Waktu itu Suto Siau sudah ketakutan setengah mati hingga kaki dan tangannya dingin bagaikan es, wajahnya pucat-pias bagai mayat, menurut perkiraannya, kali ini perempuan cantik itu pasti tidak akan melepaskan mereka begitu saja.
Siapa tahu begitu mendengar umpatan itu, bukan saja perempuan cantik itu tidak menjadi marah, sebaliknya secara tiba-tiba dia malah mulai menangis terisak, butiran air matanya jatuh berlinang bagaikan seuntai kalung mutiara yang putus tali.
Hong Lo-su yang mencaci-maki kalang-kabut akhirnya merasa kelelahan, dia berhenti memaki sambil mengatur napasnya yang tersengal, tapi begitu melihat perempuan cantik itu malah menangis, dia jadi tertegun hingga berdiri melongo dengan mata terbelalak.
Makin menangis, perempuan cantik itu cmakin sedih, akhirnya dia menutupi wajah sendiri dengan kedua belah tangan
dan menangis tersedu-sedu, bukan cuma cangkulnya saja yang sudah terlepas dari genggaman, bahkan keranjang bunga berikut bunga segar yang ada dalam keranjang pun ikut berserakan di tanah.
"Ling-ling! Oooh... anakku, putri sayangku," jeritnya sambil menangis, "ucapan pria busuk itu benar juga, sejak kepergianmu, ibu sudah jadi gila...."
Saat ini kecantikannya yang anggun bagai bidadari dan penampilannya yang menawan hati seolah hilang tidak berbekas, dia tidak jauh berbeda dengan perempuan mana pun di dunia ini yang sedang dicekam perasaan sedih.
Mendadak dari balik tumpukan bunga segar terdengar suara rintihan.
Suara rintihan itu terdengar begitu lirih, lemah, membuat iba hati siapa pun yang mendengar.
Suto Siau maupun Sim Sin-pek yang masih tercekam perasaan ngeri, semakin tertegun dibuatnya.
Perempuan cantik itu segera menerjang maju, ujung bajunya dikebaskan berulang kali, di antara bebungaan yang beterbangan di udara, terlihat dari balik tumpukan bunga merah muncul selembar wajah cantik.
Mula-mula perempuan cantik itu kelihatan terkejut, kemudian sesudah tertegun, isak tangisnya kontan berhenti, dia mundur tiga langkah sambil mendongakkan kepala, lalu tertawa keras, cepat dia menubruk maju dan membopong tubuh orang yang berada di balik tumpukan bunga.
Walaupun orang yang berada di balik tumpukan bunga itu merintih lirih, namun dia masih berada dalam keadaan tidak sadar.
Dengan penuh kegembiraan wanita cantik itu menciumi tangannya, mencium pipinya, sambil menangis bercampur tertawa, jeritnya seperti orang gila:
"Ling-ling... Ling-ling... ooh, putriku, putriku sayang, anakku sayang... ternyata selama ini kau bersembunyi di balik tumpukan bunga, tidak heran ibu tidak menemukan dirimu...."
Saat ini Suto Siau maupun Sim Sin-pek sudah melihat dengan jelas orang yang baru dikeluarkan dari tumpukan bunga itu tidak lain adalah Sui Leng-kong, mereka berdua saling pandang dan berdiri terperangah.
Akhirnya Suto Siau tidak mampu menahan diri lagi, tegurnya:
"Jadi... jadi Sui Leng-kong adalah putrinya?"
"Bukan," Hong Lo-su menggeleng sambil tertawa licik, "dia jadi edan karena memikirkan anaknya."
Waktu itu sebenarnya dia sudah siap mengeluyur pergi, tapi perubahan yang terjadi di luar dugaan ini membuatnya menghentikan langkahnya, kini dia malah berdiri menonton sambil tertawa dingin.
Kembali perempuan cantik itu menangis bercampur tertawa, sebentar dia membelai sebentar dia mencium, setelah beberapa saat lamanya tubuh Sui Leng-kong baru dibaringkan kembali ke atas tumpukan bunga yang digunakan sebagai pembaringan.
Paras muka Sui Leng-kong pucat-pias bagaikan mayat, giginya terkatup kencang, nona ini masih dalam kondisi tidak sadarkan diri.
Perempuan cantik itu menundukkan kepala dan
menempelkan wajahnya di atas pipi Sui Lengkong, lalu ujarnya dengan lembut:
"Anakku sayang, setelah bertemu ibu, kenapa kau masih tidak mau bicara?"
Berputar biji mata Hong Lo-su, mendadak serunya:
"Putrimu sudah terkena serangan racun jahat, untung aku segera menolongnya dan membawa dia kemari, aku memang sengaja menguburnya di bawah Coat cing hoa, agar racun yang ada di dalam tubuhnya saling berlawanan dtngan racun bunga itu, coba kalau bukan begitu, dia sudah mati sejak tadi, tapi kelihatannya dia sudah keracunan hebat, sekalipun nyawanya bisa diselamatkan, namun sulit rasanya untuk bisa bicara lagi."
Perempuan cantik itu segera melompat bangun, bentaknya:
"Keracunan" Siapa yang berani meracuni putriku?"
"Soal ini... aaaai! Lebih baik tidak usah dibicarakan lagi!"
Dengan satu gerakan kilat perempuan cantik itu
mencengkeram tubuhnya, lalu teriaknya nyaring:
"Mau bicara tidak?"
Hong Lo-su menghela napas panjang.
"Bukannya Siaute enggan bicara, tapi... aaai! orang orang yang melepaskan racun jahat itu kelewat lihai, aku rasa Jici sendiri pun belum tentu mampu menandingi mereka."
"Kentut!" umpat perempuan cantik itu gusar, "cepat katakan!"
"Tapi setelah Siaute katakan, lebih baik Jici jangan mencari mereka untuk menuntut balas, kalau tidak, bila sampai Jici pun ikut dicelakai, bukankah Siaute akan merasa sangat tidak tenang?"
Makin mendengar, perempuan cantik itu semakin gusar, jeritnya:
"Kentut busuk, kentut busuk! Cepat katakan, katakan!"
Akhirnya Hong Lo-su menghela napas panjang.
"Dia adalah Siang-tok Thaysu...."
Mula-mula perempuan cantik itu agak tertegun, kemudian sambil menghentakkan kaki, dia berseru gemas:
"Bagus sekali, ternyata ulah si makhluk tua beracun itu, padahal aku tidak punya dendam tidak punya sakit hati dengannya, kenapa dia... dia... mencelakai putriku dengan racun?"
"Yang meracuni memang Siang-tok Thaysu, tapi otak yang memberi perintah adalah orang lain."
"Siapa?"
"Coh Sam-nio, Lui-pian Lojin, lalu Jit ho Nio nio...."
"Bagus, bagus sekali," perempuan cantik itu semakin menjerit lengking, "ternyata kawanan makhluk tua itu yang bersekongkol menganiaya putriku, anakku manis, kau benar-benar sangat menderita."
Kembali dia membopong tubuh Sui Leng kong, katanya lagi:
"Putriku sayang, kau tidak perlu takut, sekalipun sudah terkena racun si makhluk tua beracun itu, asal bertemu ibu, segala sesuatunya akan beres, di kolong langit hanya ibu seorang yang sanggup memunahkan racun makhluk jahat itu."
Dari dalam sakunya dia mengeluarkan ebuah kotak pualam kecil, dari dalam kotak pualam itu dikeluarkan empat lima butir pil berwarna merah darah, dia masukkan semua pil itu kedalam mulutnya, kemudian setelah dikunyah hingga hancur, obat itu baru dilolohkan ke mulut Sui Leng-kong.
Kemudian ujarnya lagi dengan lembut:
"Ling-ling, anakku sayang, setelah minum obat mujarab buatan ibu dan tidur sebentar, kau akan segera segar kembali...
kemudian ibu akan membalaskan dendam."
"Bagus, bagus sekali," gumam Hong Lo-su, tak kusangka karena menghadapi bencana, budak kecil itu malah dapat rezeki, bukan saja berhasil mtndapatkan kembali nyawanya, bahkan mendapat pula seorang ibu sehebat ini."
"Apa kau bilang?" mendadak perempuan cantik itu menoleh.
Buru-buru Hong Lo-su tertawa paksa sambil menyahut:
"Ooh, Siaute sedang berpikir, kalau Jici saja tidak tahu kawanan makhluk tua itu berada dimana, bagaimana mungkin
bisa membalaskan dendam bagi keponakan sayangku?"
"Aku bisa menemukan mereka... aku pasti dapat menemukan mereka!"
Kemudian sambil mengulapkan tangannya, dia berkata lebih lanjut:
"Berhubung hari ini aku berhasil menemukan putriku, aku pun tidak ingin menyusahkan kalian, cepat pergi, biar dia bisa beristirahat sejenak dengan tenang."
Hong Lo-su sama sekali tidak bergeser, begitu pula Sim Sin-pek dan Suto Siau, mereka hanya saling pandang tanpa bicara.
Kalau tadi mereka kuatir tidak sanggup meloloskan diri, maka sekarang mereka justru tidak ingin pergi
"Kenapa kalian belum juga pergi?" tegur perempuan cantik itu dengan kening berkerut.
"Siaute yang telah menyelamatkan nyawa Ling-ling, apa Jici sudah lupa?"
"Jasamu bisa dipakai untuk menutup kesalahan, sekarang kita sudah impas, kalau masih cerewet lagi hingga membangunkan putriku, hmmm, jangan salahkan aku tidak akan berlaku sungkan lagi!"
Hong Lo-su menjulurkan lidah sambil tertawa licik.
"Kalau memang begitu, Siaute...."
Belum selesai dia bicara, mendadak Sim Sin-pek menerjang maju ke muka dan segera menjatuhkan diri berlutut di hadapan perempuan cantik itu, sesudah menyembah tiga kali, katanya:
"Tecu memberi hormat kepada Suhu."
Perempuan cantik itu tertegun, teriaknya kemudian dengan gusar:
"Siapa yang menjadi gurumu" Kau anggap dirimu itu siapa"
Memangnya pantas jadi muridku?"
"Biarpun Tecu bukan siapa-siapa, paling tidak masih ada gunanya."
"Apa kegunaanmu?" tidak tahan perempuan itu bertanya.
Sekulum senyuman licik segera tersunging di ujung bibir Sim Sin-pek, katanya:
"Bila bukan Tecu yang membuka jalan, entah sampai kapan Suhu baru bisa menemukan musuh besar putrimu, tapi bila Tecu yang menjadi petunjuk jalan...."
"Jadi kau tahu jejak mereka?" tiba-tiba perempuan cantik itu bangkit berdiri sambil menukas.
"Bila Tecu tidak tahu, mana berani bicara sembarangan di
sini?" "Kalau begitu cepat bawa aku ke sana!"
"Jadi kau orang tua pun sudah bersedia menerima Tecu yang tidak becus ini menjadi muridmu?" tanya Sim Sin-pek sambil mengedipkan matanya.
"Kau berani mengancam aku?" bentak perempuan itu gusar.
Sambil membenturkan kepalanya di atas tanah, jawab Sim Sin-pek:
"Biar Tecu punya nyali macan pun tidak berani melakukan ancaman, hanya saja bila Tecu mengajak kau orang tua pergi ke sana, pasti banyak orang akan membenci Tecu hingga merasuk tulang sumsum, padahal kepandaian silat yang kumiliki sangat cetek, bukankah kepergianku hanya akan mengantar kematian saja" Beda kalau Tecu menjadi murid kau orang tua, biar bernyali pun belum tentu mereka berani bertindak sembarangan."
Perkataan itu disampaikan disertai alasan yang sangat masuk akal, lagi pula kepandaian jilat pantatnya telah digunakan tepat pada sasaran.
Benar saja, perempuan cantik itu segera manggut-manggut.
"Benar juga!" katanya, "perkataanmu memang sangat masuk akal, baik! Bangunlah, aku akan melindungi keselamatanmu, selamanya tidak mungkin ada orang yang berani menganiaya dirimu lagi"
"Terima kasih banyak Insu," dengan kegirangan kembali Sim Sin-pek menyembah beberapa kali.
Suto Siau yang menyaksikan kejadian itu hanya bisa menggelengkan kepala sambil tertawa getir, gumamnya:
"Luar biasa, luar biasa, bocah ini meski masih muda ternyata pandai sekali memanfaatkan kesempatan, di kemudian hari...
aaai! Di kemudian hari dia bisa sangat menakutkan!"
"Betul," kata Hong Lo-su pula, "aku lihat bukan saja bocah itu lebih licik ketimbang kau, bahkan tiga bagian lebih busuk daripada aku sendiri, sekarang dia sudah punya tulang punggung yang sangat tangguh, nampaknya termasuk kita berdua pun tidak berani mengusik-nya lagi."
Kemudian sambil menepuk bahu Sim Sin-pek, katanya:
"Bocah muda, kini kau sudah menjadi muridnya, tapi sudah tahu belum nama gurumu?"
"Biarpun Tecu belum tahu, tapi sudah dapat kutebak," sahut Sim Sin-pek sambil tertawa.
"Coba katakan."
"Tecu tidak berani menyebut langsung nama guru."
"Tidak masalah," ujar perempuan cantik itu pula, "katakan saja, aku tidak akan menegurmu."
Sim Sin-pek menarik napas, ujarnya:
"Kecantikannya tiada duanya, kehebatan senjata rahasianya tiada tandingan, ketajaman mata dan pendengarannya tiada lawan, manusia paling aneh di daratan Tionggoan... dialah guruku, Yan-yu (si Hujan gerimis) Hoa Bu-soat."
"Baik laki maupun perempuan, biar tua maupun muda, bunuh semuanya tanpa kecuali!"
Ketika ucapan terakhir Siang-tok Thaysu meluncur dari mulutnya, sepasang tangan Dewa racun sudah diayunkan ke depan berulang kali.
Di bawah cahaya api, terlihat sepasang telapak tangannya yang kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang memancarkan cahaya merah di balik warna kehitaman, cahaya ungu di balik sinar merah, bahkan di balik cahaya ungu terkandung warna siluman yang sukar dilukiskan dengan perkataan.
Sepasang telapak tangannya kelihatan jauh lebih menakutkan daripada cakar setan.
Tanpa terasa Un Tay-tay, Im Ting-ting serta Thiat Cing-su saling berdempetan satu dengan lainnya, tubuh mereka gemetar keras karena ketakutan.
Tubuh Seng Toa-nio, Hek Seng-thian serta Pek Seng-bu gemetar jauh lebih keras ketimbang mang lain.
Liu Ji-uh memeluk kencang tubuh suaminya, sementara sepasang matanya melotot besar mengawasi telapak tangan yang menakutkan itu, rsa sedih yang mencapai puncaknya membuat perempuan ini seolah lupa dengan rasa takut.
Lui-pian Lojin mengepal sepasang tinjunya kuat-kuat, sepasang matanya memancarkan sinar kemerahan yang menakutkan.
Dia mengawasi terus sepasang cakar setan Dewa racun, sementara mulutnya berteriak berulang kali:
"Kalian yang bisa kabur, cepatlah melarikan diri, bisa selamatkan satu nyawa cepat selamatkan itu nyawa!"
Siang-tok Thaysu tertawa dingin.
"Bantai semua sampai ludes, jangan biarkan seorang pun
tetap hidup, aku akan berjaga di mulut gua, jangan harap seorang pun di antara kalian bisa melarikan diri dari sini, serahkan nyawamu!"
Dalam pada itu Dewa racun telah merentangkan sepasang cakar mautnya ke atas batok kepala Che Toa-ho, "Craaat!", diiringi suara tertahan, kelima jari tangannya yang lebih tajam dari baja itu sudah menembus tulang kepala korbannya.
Tidak ampun isi otak Che Toa-ho berhamburan kemana-mana disertai percikan darah segar, belum sempat menjerit kesakitan dia sudah roboh terjungkal ke tanah.
Im Ting-ting menjerit kaget, peristiwa mengerikan yang terbentang di hadapannya membuat dia ketakutan setengah mati.
Dewa racun menarik kembali cakar setannya, sekali lagi dia melancarkan serangan maut.
Waktu itu Pek Seng-bu sekalian ingin sekali melarikan diri, namun keempat anggota badan mereka menjadi lemas saking takutnya, jangankan kabur, mau bergeser satu langkah pun tidak mampu.
Tiba-tiba Lui-pian Lojin meraung keras, teriaknya:
"Lohu akan mengadu jiwa denganmu!"
Ulat berkaki seribu memang tidak kuatir mati kaku! Biarpun kakek yang luar biasa ini sudah keracunan hebat, namun dia telah mempersiapkan sisa kekuatan yang dimilikinya untuk menerjang ke arah Dewa racun.
Belum sampai tubuhnya menerkam ke muka, segulung desingan angin tajam telah menyambar.
Pukulan itu benar-benar luar biasa dahsyatnya, bahkan disertai kekuatan untuk membelah batu cadas.
Tampaknya Siang-tok Thaysu tidak menyangka dalam detik terakhir lawannya masih memiliki tenaga pukulan sedahsyat itu, tanpa sadar leriaknyakaget:
"Dewa racun, hati-hati!"
"Blaaaam!", di tengah benturan dahsyat, pukulan terakhir yang dilontarkan Lui-pian Lojin lelah bersarang telak di tubuh Dewa racun.
Walaupun tubuh Dewa racun keras bagai lempengan baja, ternyata dia tidak mampu menahan gempuran yang maha dahsyat itu, tubuhnya mencelat ke belakang hingga membentur dinding batu, dinding yang kena ditumbuk pun retak dan hancur berantakan, batu dan debu beterbangan memenuhi angkasa.
Sementara itu tubuh Lui-pian Lojin sendiri pun ikut terpental
hingga mundur beberapa langkah dengan sempoyongan, meskipun sekuat tenaga dia berusaha berdiri tegar, namun akhirnya tidak tahan dan roboh terjungkal ke tanah.
Un Tay-tay sekalian merasakan tekanan yang luar biasa menyelimuti seluruh ruangan, sedemikian sesaknya hingga napas seakan ikut berhenti, kini mereka hanya berharap Lui-pian Lojin masih memiliki sisa tenaga, mereka pun berharap Dewa racun yang roboh terjungkal tidak pernah bangkit lagi untuk selamanya.
Siapa tahu dengan sekali lompatan si Dewa Racun telah melompat bangun kembali, bukan saja tubuhnya tidak menderita luka, bahkan cahaya siluman yang terpancar keluar dari matanya pun sama sekali tidak berkurang.
Siang-tok Thaysu tertawa terbahak-bahak, ejeknya:
"Wahai, orang she Lui, hari ini kau sudah tahu kelihaian si Dewa racun bukan" Sekalipun kau pertaruhkan nyawa tuamu pun sulit mencederai Dewa racun."
"Hmm, ayo, maju lagi...." seru Lui-pian Lojin dengan napas terengah.
Kembali Siang-tok Thaysu tertawa dingin.
"Begitu tanganmu menyentuh tubuh Dewa racun, racun jahat segera akan menyerang jantung mu, buat apa mesti mengadu jiwa" Baiklah, biar aku kabulkan permintaanmu, memberi kematian yang lebih memuaskan untukmu!"
Kembali dia tepuk punggung Dewa racun sambil bentaknya:
"Maju!"
Angin berhawa dingin kembali menderu, di tengah kilatan cahaya api, sekali lagi Dewa racun menerjang ke depan Lui-pian Lojin.
Biarpun Seng Toa-nio sekalian amat membenci Lui-pian Lojin, bahkan rasa benci mereka sudah merasuk ke tulang sumsum, namun saat ini mau tidak mau mereka harus ikut berdoa, mereka berharap Lui-pian Lojin bisa sekali lagi bangkit berdiri dan secara mukjizat melancarkan pukulan maut lagi.
Bagaimanapun kini Lui-pian Lojin sudah menjadi harapan terakhir mereka, asal Lui-pian Lojin tewas, maka jangan harap siapa pun yang hadir dalam gua saat ini bisa pergi dalam keadaan selamat.
Suasana amat hening, sedemikian heningnya sampai napas setiap orang pun serasa ikut berhenti
Dada Lui-pian Lojin masih berombak naik turun, napasnya
masih tersengal, mengawasi Dewa racun yang selangkah demi selangkah berjalan makin dekat, tangan dan kakinya terasa mulai mendingin, sementara butiran keringat sebesar kedelai jatuh bercucuran.
Sejak ternama dan menghadapi pertempuran selama puluhan tahun, sudah beratus kali pertarungan besar maupun kecil yang dia alami, tapi tidak sekali pun pernah merasakan penghinaan dan kehilangan muka seperti yang dialaminya hari ini, mimpi pun dia tidak menyangka dengan posisi serta statusnya saat ini, dia masih bisa dijagai orang tanpa mampu membalas.
Baginya kematian bukan masalah, tapi penghinaan dan kehilangan muka sulit diterima begitu saja.
Tiba-tiba Siang-tok Thaysu tertawa terbahak-bahak, ejeknya:
"Asal Dewa racun maju satu langkah lagi, niscaya kau akan kehilangan nyawa!"
Lui-pian Lojin seketika merasa hawa amarah yang mendidih menerjang naik ke atas kepalanya, sambil meraung keras tubuhnya yang tinggi kekar tiba-tiba bangkit berdiri... berdiri tegak bagaikan sebatang tombak.
Un Tay-tay sekalian merasa terkejut bercampur girang, saking terperananya mereka seperti lupa untuk bersorak-sorai.
Siang-tok Thaysu seperti terkena pukulan dahsyat, tanpa sadar dia mundur selangkah dari posisi semula.
Dalam waktu yang amat singkat itu, sesungguhnya Lui-pian Lojin sendiri pun dibuat tertegun, bahkan dia sendiri pun tidak tahu darimana datangnya kekuatan itu, tapi saat dan situasi yang dihadapinya sekarang tidak memberi kesempatan baginya untuk berpikir lebih jauh.
Cakar setan Dewa racun telah menyerang kembali.
Lui-pian Lojin membentak keras, sepasang kepalannya dilontarkan bersama, "Blaaaam!", kembali sebuah pukulan dahsyat bersarang telak di dada si Dewa racun.
Kembali sekujur tubuh Dewa racun bergetar keras, tubuhnya mencelat ke udara dan menumbuk lagi di atas dinding batu.
Kelihatannya tenaga pukulan yang dia lontarkan kali ini jauh lebih dahsyat ketimbang serangan yang pertama tadi, namun kali inipun tubuh Lui-pian Lojin terpental mundur ke belakang dengan sempoyongan sebelum akhirnya roboh terduduk di tanah.
Berubah hebat paras muka Siang-tok Thaysu, tapi sambil tertawa paksa serunya lagi:
"Manusia she Lui, apakah kau masih memiliki tenaga untuk
bangkit kembali?"
Sambil mengertak gigi, diam-diam Lui-pian Lojin mencoba mengatur pernapasan, mendadak dia menjumpai aliran tenaga dalamnya makin lama semakin bertambah lancar, bahkan jauh lebih lancar ketimbang waktu sebelum bertarung melawan Dewa racun.
Waktu itu Dewa racun telah berdiri kembali, berhadapan dengan musuh tangguh membuat Lui-pian Lojin tidak sanggup berpikir lebih jauh apa gerangan yang sebenarnya telah terjadi.
Un Tay-tay ikut termenung sambil memutar otak, sesaat kemudian dia pun menjadi sadar kembali apa yang sebenarnya telah terjadi.
Tak tahan serunya dengan gembira:
"Rupanya racun Coat cing hoa telah bertemu dengan racun dari si Dewa racun, pertarungan antara dua jenis racun membuat kekuatan racun yang ada di tubuhmu jadi punah. Semakin banyak kau menerima racun dari Dewa racun, semakin cepat pula tenaga murnimu pulih kembali."
Kontan Lui-pian Lojin merasakan semangat nya berkobar kembali, dia mendongakkan kepala dan berpekik panjang, serunya:
"Benar! Wahai makhluk tua beracun, ayo, suruh saja Dewa racunmu menyerangku, coba buktikan Lohu menjadi takut atau tidak!"
Sambil bicara dia kembali melompat bangun.
Sebenarnya Siang-tok Thaysu sudah siap menepuk punggung Dewa racun, namun setelan mendengar perkataan itu, dia jadi ragu untuk melanjutkan tepukannya, tanpa terasa peluh dingin mulai bercucuran membasahi jidatnya.
Sementara itu Lui-pian Lojin sudah mulai menerjang lagi ke depan.
Sambil menggigit bibir, terpaksa Siang-tok Thaysu menepuk kembali punggung Dewa racun ambil berteriak:
"Maju!"
Semua orang hanya merasakan pandangannya kabur, tahu-tahu... "Blaaaam!", benturan dahsyat bergema memenuhi seluruh ruangan, terlihat dua sosok bayangan manusia kembali terpental ke belakang.
Untuk kesekian kalinya tubuh Dewa racun mencelat ke udara dan kembali menumbuk dinding batu.
Walaupun Lui-pian Lojin ikut terhuyung mundur beberapa
langkah, namun kali ini tubuhnya cuma sekali tidak roboh, sementara si Dewa racun meski mampu bangkit berdiri lagi, namun gerakan tubuhnya sudah jauh lebih lamban.
Perubahan situasi yang di luar dugaan ini membuat Seng Toanio, Thiat Cing-su, Pek Seng-bu, Im Ting-ting... menjadi kebingungan sendiri, mereka tidak tahu harus gembira atau sedih, mereka pun tidak tahu pihaknya sebagai teman atau lawan.
Dengan wajah gembira, gumam Un Tay-tay:
"Karena bencana malah dapat rezeki... karena bencana malah dapat rezeki, kalau dia tidak terkena racun Coat cing hoa terlebih dulu, mungkin tidak seorang pun di antara kita sekarang masih bisa hidup bugar."
Di tengah kilatan cahaya api, tampak Lui-pian Lojin berdiri tegar dengan wajah angker dan penuh wibawa, kegagahannya di masa lampau kini sudah tumbuh kembali di tubuhnya.
Di bawah cahaya obor, dia gagah bagaikan malaikat langit.
Siang-tok Thaysu berdiri dengan wajah pucat, keringat dingin bercucuran membasahi seluruh wajahnya.
Padahal kepandaian silat yang dimilikinya sekarang boleh dibilang sangat tangguh, bila ditambah kekuatan Dewa racun, belum tentu Lui-pian Lojin sanggup menandingi kerubutannya, apalagi tenaga dalamnya belum seratus persen pulih kembali.
Namun semua perubahan yang terjadi kelewat cepat dan di luar dugaan, kekuatan Lui-pian Lojin terlalu cepat pulih kembali, hal ini membuat Siang-tok Thaysu menjadi keder terlebih dulu sebelum sempat melakukan pertarungan.
"Ayo, maju!" terdengar Lui-pian Lojin membentak lagi dengan suara menggelegar, "ayo, maju lagi!"
Tiba-tiba Siang-tok Thaysu membalikkan tubuh Dewa racun dan berteriak nyaring:
"Kabur!"
Belum habis dia menghardik, tubuh Dewa racun sudah melesat keluar meninggalkan gua.
Sambil mementangkan sepasang cakarnya, Lui-pian Lojin merangsek keluar gua, tubuhnya melambung bagaikan seekor rajawali raksasa, cakar tajamnya langsung mencekik tenggorokan Siang-tok Thaysu.
Tampaknya Siang-tok Thaysu tidak berani menangkis datangnya ancaman itu, cepat dia membalikkan tubuh sambil kabur keluar, biarpun sudah cukup cepat dia menghindar,
ternyata masih belum cukup cepat untuk menghindari datangnya ancaman.
"Breeett... !", jubah berwarna merah yang dikenakan Siang-tok Thaysu segera tersambar oleh cakar maut yang dilancarkan Lui-pian Lojin dan sobek sebagian.
Traaaang!", sebuah benda terjatuh dari balik saku bajunya yang robek dan menggelinding beberapa jengkal ke samping, di bawah timpaan cahaya api, tampak benda itu memantulkan cahaya terang.
Sebenarnya Lui-pian Lojin hendak mengejar lebih jauh, namun baru saja kakinya bergerak, akhirnya dia urungkan kembali niatnya itu.
Lama sekali dia memandang keluar gua dengan tubuh mematung, akhirnya sesudah menghela napas panjang dia berjalan balik lagi ke dalam gua, dadanya nampak naik turun dengan cepat, dengus napas yang memburu sampai lama kemudian baru reda.
Sekalipun pertarungan yang barusan berlangsung tidak nampak seru, namun bukan saja pertarungan itu merupakan pertarungan habis-habisan, bahkan mempertaruhkan keselamatan jiwa semua orang yang ada di dalam gua saat itu.
Kini bukan hanya Lui-pian Lojin saja yang berdiri dengan napas tersengal, semua orang yang menonton pun sudah basah kuyup tubuhnya karena keringat dingin, begitu tegang dan paniknya mereka seolah terlibat langsung dalam pertempuran tadi
Akhirnya sambil membesut keringat yang membasahi jidatnya, Lui-pian Lojin bergumam:
"Berbahaya! Sungguh berbahaya!"
"Mungkinkah dia... dia akan balik lagi?" gumam Un Tay-tay gemetar.
"Selama ini makhluk tua bangkotan itu selalu mundur teratur bila gempurannya tidak mendatangkan hasil, aku rasa kali inipun tidak terkecuali, bisa jadi dia tidak akan balik kemari lagi."
Walaupun ucapan itu disampaikan dengan tegas, padahal dalam hati tidak terlalu yakin dugaannya benar.
Dia memang sengaja bicara begitu, tujuannya tidak lain adalah untuk menghibur serta menenteramkan hati orang lain, di samping tentu saja untuk menenteramkan hati sendiri, dia sadar, bila Siang-tok Thaysu sampai balik kembali, belum tentu dia memiliki keberanian yang cukup untuk menghadapinya.
Un Tay-tay menghela napas panjang.
"Semoga saja dia memang tidak balik lagi..." gumamnya.
Mendadak sorot matanya terbentur benda berkilat di sudut ruang gua, benda yang memancarkan cahaya silau ketika tertimpa sinar obor.
"Benda apa itu?" serunya tak tahan.
Mengikuti arah yang ditunjuk, semua orang berpaling.
Ternyata benda itu mirip sekali dengan sebuah buli-buli arak, hanya besarnya sekepalan dan terbuat dari batu kemala hijau.
"Dari mana datangnya benda itu?" tegur Lui-pian Lojin dengan mata berkilat.
"Kelihatannya terjatuh dari saku Siang-tok Thaysu."
Mendadak wajah Lui-pian Lojin berubah jadi sangat tegang, dia seperti terkejut dan juga kegirangan, kembali tanyanya dengan suara dalam:
"Kau sempat melihatnya dengan jelas?"
"Benar, aku melihatnya dengan jelas," Un Tay-tay mengangguk.
Mendadak satu ingatan melintas, kemudian serunya pula dengan girang:
"Jangan-jangan buli-buli itu berisi obat penawar racun?"
Tidak menunggu perempuan itu selesai bicara, Lui-pian Lojin telah menerjang maju ke depan dan memungut benda kemala itu, setelah diperiksa sejenak di bawah cahaya api, mimik girang segera tersungging di wajahnya.
"Apakah ada... ada tulisan di sana?" tanya Un Tay-tay.
Lui-pian Lojin mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, Thian memang maha adil, akhirnya kita
mendapatkan kesempatan untuk hidup terus, hahaha... mimpi pun Lohu tidak menyangka kalau secara tanpa sengaja bisa menemukan benda penolong nyawa"
Sambil tertawa terus, dia pun menggapai;
"Kemarilah, coba kau ikut memeriksa."
Sebetulnya Un Tay-tay sudah tidak sabar untuk ikut memeriksa benda itu, cepat dia maju mendekat, berita gembira yang muncul di sela-sela putus harapan ini seketika mendatangkan tenaga kehidupan yang lebih segar di tubuhnya.
Betul saja, di atas buli-buli batu kemala itu tertera beberapa huruf kecil, huruf itu berbunyi: "obat mestika, penawar segala racun".
Ternyata dugaanku tidak salah...." dengan penuh
kegembiraan Un Tay-tay segera bersorak, "tak nyana dugaanku tepat sekali, isi buli-buli itu memang obat mustika penawar segala racun ramuan makhluk tua beracun itu, sekarang semua orang bakal tertolong."
Im Ting-ting, Thiat Cing-su maupun Liu Ji-uh seketika merasakan semangatnya berkobar kembali, mereka sangat gembira, sementara Pek Seng-bu, Hek Seng-thian serta Seng Toanio hanya bisa saling pandang dengan wajah lesu, sedih bercampur kecewa.
"Semoga saja obat penawar racun ini bisa memunahkan pengaruh jahat racun Coat cing hoa," gumam Liu Ji-uh dengan suara gemetar. Lui-pian Lojin tertawa.
"Walaupun Siang-tok Thaysu si makhluk tua beracun itu edan dan tidak tahu malu, namun kemampuannya menggunakan racun harus diakui sebagai jago nomor wahid di kolong langit, kemampuannya memang tanpa tandingan...." katanya.
"Setiap orang yang pandai menggunakan racun, pasti pandai pula memunahkan pengaruh racun," sela Un Tay-tay tidak tahan,
"kalau memang kepandaian makhluk tua beracun itu dalam menggunakan racun merupakan jago nomor wahid di kolong langit, semestinya kemampuan nya untuk menawarkan segala racun pun bisa diandalkan."
"Betul, kalau dia sampai berani mengatakan obat mujarabnya bisa menawarkan segala racun, aku rasa ucapan itu sudah pasti bukan omongan sembarangan."
Tidak menunggu sampai perkataan itu selesai, Liu Ji-uh sudah menubruk ke depan, berlutut di lantai dan memeluk sepasang kaki Lui pian Lojin dengan air mata bercucuran, jangan dilihat di hari biasa dia tampil angkuh dan dingin, saat ini wajahnya penuh diliputi rasa terharu dan gembira yang luar biasa.
Buru-buru Lui-pian Lojin berseru:
"Kalau ada yang ingin dibicarakan, bicaralah baik-baik, buat apa kau mesti bersikap begitu?"
"Aku mohon kepada kau orang tua, berilah sebutir pil mujarab itu untuk menolong Kian-sik, boanpwe... selama hidup Boanpwe tidak akan melupakan budi kebaikanmu," kata Liu Ji-uh dengan nada parau.
Lui-pian Lojin kembali tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, sekalipun kau tidak memohon kepadaku, aku tetap
akan memberinya... setiap orang yang hadir di sini dan keracunan, berhak memperoleh sebutir. Tidak ada pengecualian."
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tapi bagaimana kalau jumlah obatnya tidak cukup?"
Tiba-tiba saja Lui-pian Lojin tertegun.
"Soal ini... soal ini...."
Saking gembiranya, dia seolah sudah melupakan akan hal ini.
Paras muka Un Tay-tay berubah makin hebat sesudah mendengar perkataan itu, sebab ucapan itu telah menyentuh kembali luka dalam hatinya, dia teringat pengalaman getir yang pernah dialaminya, dia pun teringat akan Sui Leng-kong.
Dengan wajah mengejang karena menahan rasa sedih dan penderitaan yang mendalam, dia berbisik dengan suara gemetar:
"Benar, kalau obatnya tidak cukup, apa yang harus kita lakukan" Siapa yang akan ditolong" Siapa pula yang tidak akan ditolong" Siapa yang harus ditolong" Siapa pula yang tidak pantas ditolong?"
Perlahan sinar matanya menyapu sekejap orang-orang yang berada di sana, Im Gi, Im Kiu-siau, Lui Siau-tiau, Liong Kian-sik... hampir semuanya dalam kondisi kritis, napasnya sangat lemah dan setiap orang perlu obat penawar untuk secepatnya menyelamatkan nyawa mereka.
Bukan cuma beberapa orang itu, Lui-pian Lojin sendiri pun masih perlu obat penawar, lalu Seng Cun-hau... bukankah kondisi orang inipun sama seperti Lui-pian Lojin"
Tiba-tiba Un Tay-tay menjerit keras:
"Siapa yang harus ditolong" Siapa pula yang tidak harus ditolong?"
Benaknya seolah sudah dipenuhi oleh berbagai masalah, yang membuatnya pening, membuatnya berkunang-kunang, hampir saja dia tidak sadarkan diri.
Terdengar Liu Ji-uh berkata lagi dengan gemetar:
"Itulah sebabnya Boanpwe mohon kepada kau orang tua, bagaimanapun hadiahkan sebutir pil penawar racun untuk Kian-sik, dia... dia tidak boleh mati."
"Dia tidak boleh mati, siapa pun tidak boleh mati, memangnya hanya Cun-hau yang pantas mati?" mendadak terdengar Seng Toa-nio ikut berteriak keras.
"Bila Kian-sik mati, aku pun tidak ingin hidup sendiri," ujar Liu Ji-uh lagi dengan air mata bercucuran, "nyawa orang lain hanya selembar, tapi nyawa kami adalah dua lembar yang tergabung jadi satu."
"Kentut! Kentut! Kau...." teriakan Seng Toa-nio makin keras.
"Bila ayah mati, aku pun tidak ingin hidup," teriak Im Ting-ting pula.
Liu Ji-uh menangis semakin keras, rengeknya:
"Aku mohon kepadamu... aku mohon...."
Suara teriakan histeris ditambah suara isak tangis yang memedihkan hati seketika menyelimuti seluruh ruang gua, membuat suasana di situ jadi sangat kalut.
Lui-pian Lojin menghentakkan kaki berulang kali, hardiknya:
"Tutup mulut! Semuanya tutup mulut!"
Setelah menyapu pandang sekejap sekeliling tempat itu dan menunggu hingga suasana reda, dia berkata lebih jauh:
"Kita masih belum tahu berapa biji obat yang tersimpan di situ, buat apa kalian ribut lebih dahulu?"
Kemudian setelah sedikit sangsi, dia sodorkan buli-buli kemala itu ke tangan Un Tay-tay, katanya lagi:
"Coba kau periksa, ada berapa butir obat di situ?"
Bukannya menerima, Un Tay-tay malah menutupi wajah sendiri dengan kedua belah tangan sambil menjerit sedih:
"Aku tidak mau lihat... aku tidak mau lihat"
"Di sini hanya posisimu yang paling istimewa," tegur Lui-pian Lojin gusar, "hampir semua orang yang keracunan tidak punya hubungan khusus denganmu, kalau bukan kau yang memeriksa, memangnya siapa yang pantas memeriksa?"
"Aku... aku air mata makin deras berlinang membasahi wajah Un Tay-tay.
Dia benar-benar merasa sangat terpukul, dia merasa pendiriannya telah hancur berantakan, dia tidak ingin memikul kembali beban yang sangat berat itu.
Tapi waktu itu Lui-pian Lojin telah menyodorkan buli-buli kemala itu ke tangannya.
Bersentuhan dengan batu kemala yang halus dan lembut, bagi Un Tay-tay seolah bersentuhan dengan ular atau kalajengking berbisa, tubuhnya gemetar keras, bahkan perasaannya pun ikut tergetar.
"Semoga saja jumlah obat penawarnya cukup... semoga cukup dibagi..." doanya dalam hati.
Padahal di hari biasa sia tidak percaya dengan segala dewa dan Buddha, tapi kini dalam kondisi kritis dan terdesak, tiba-tiba saja dia seperti teringat untuk berdoa, mohon bantuan para dewa untuk memenuhi keinginannya, asal jumlah obat penawar itu
cukup dibagi, dia rela untuk menanggung segala penderitaan orang-orang itu.
Setelah dituang, ternyata ada tujuh butir pil penawar racun.
Tujuh butir pil berwarna merah darah bergulingan di atas telapak tangan Un Tay-tay yang dingin bagaikan es dan gemetar keras karena tekanan batin, bergulingan dengan memancarkan selapis cahaya aneh.
Un Tay-tay menggenggam kencang semua pil penawar racun itu, ketika semua syarafnya mulai mengendor, setelah ketegangannya men-capai puncak, dia merasa seluruh kekuatan tubuhnya seolah lenyap, hampir saja dia roboh terjungkal.
Tapi air mata masih bercucuran tiada hentinya, dia tidak tahu itu air mata kegirangan atau kesedihan, sambil merangkap tangannya di depan dada, dia menengadah dan mulai menjerit:
"Thian... oooh, Thian...." Menyaksikan perubahan wajahnya itu, semua orang merasa deg-degan, semua orang merasa tegang, paras muka mereka ikut berubah hebat.
"Ada... ada berapa butir?" dengan suara gemetar Lui-pian Lojin bertanya.
"Tujuh butir... tujuh butir.... "jawab Un Tay-tay dengan air mata berlinang.
Lui-pian Lojin mundur tiga langkah, dia beolah tertegun secara tiba-tiba.
Sampai lama kemudian orang tua itu baru menghela napas panjang, serunya:
"Cukup! Cukup!"
"Cukup... cukup...." Liu Ji-uh, Im Ting-ting, semuanya ikut bersorak-sorai kegirangan.
"Benar, bukan cuma cukup, malah kelebihan satu butir," Un Tay-tay menambahkan
Seluruh ketegangan, semua kepedihan, dalam waktu singkat berubah jadi kegembiraan yang meluap.
Hek Seng-thian memutar biji matanya, tiba-tiba dia berkata sambil tertawa dingin:
"Tujuh butir" Hehehe... rasanya begitu kebetulan."
"Hahaha, inilah yang dinamakan Thian mengabulkan permintaan umatnya, kejadian yang patut digembirakan."
"Aku hanya merasa kejadian ini sangat kebetulan."
"Apa maksud perkataanmu itu?" berubah paras muka Lui-pian Lojin.
"Kenapa Cianpwe tidak berpikir, siapa tahu obat penawar itu
memang sengaja ditinggalkan Siang-tok Thaysu dengan maksud agar kalian masuk perangkapnya."
"Betul," sambung Pek Seng-bu pula, "di luar botolnya memang tertulis obat mustika penawar racun, tapi siapa yang berani menjamin kalau isinya justru obat racun penghancur usus"
Tanpa harus bersusah payah, dia mampu merobohkan kalian, hehehe... satu siasat yang hebat! Siasat yang amat jitu!"
"Kentut!" bentak Lui-pian Lojin gusar, "kau... kau... kalian berdua telah meracuni arakku, belum lagi Lohu membikin perhitungan, sekarang kau malah berani bicara sembarangan."
Sekalipun di luar dia menuduh ucapan itu sembarangan, padahal dalam hati dia tahu dengan pasti bahwa kemungkinan semacam itu tetap ada, kembali paras muka Un Tay-tay dan Liu Ji-uh sekalian berubah hebat.
Sambil tertawa dingin, kembali Hek Seng-thian berkata:
"Aku sengaja mengingatkan kalian karena tumbuh dari niat baik saja, soal mau percaya atau tidak terserah kalian sendiri, kenapa aku malah dituduh bicara sembarangan?"
Lui-pian Lojin tidak bicara apapun, mendadak dia melompat maju dan mencengkeram bajunya.
"Mau... mau apa kau?" teriak Hek Seng-thian terperanjat.
"Lohu akan membunuh dirimu!"
"Tapi aku... aku kan berniat baik."
"Kentut!" hardik Lui-pian Lojin gusar, "kau memang sengaja bicara begitu agar kami semua tidak berani menelan obat penawar itu, agar kami menunggu mati di sini. Kau memang berhati busuk, berhati keji, memangnya Lohu tidak tahu niatmu?"
"Kalau Cianpwe memang tidak percaya, kenapa tidak dicoba saja?"
"Kentut!" kembali Lui-pian Lojin mengumpat marah,
"persoalan yang menyangkut mati hidup memangnya boleh dicoba semaunya?"
Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benak Un Tay-tay, segera teriaknya:
"Ada akal!"
"Apa akalmu?" Lui-pian Lojin segera berpaling.
"Bukankah kita punya kelebihan sebutir obat penawar?"
"Kalau ingin mengatakan sesuatu, cepat katakan, tidak usah berputar-putar lagi."
"Kalau memang kita memiliki kelebihan sebutir obat penawar,
kenapa tidak kita cekokkan saja kepadanya" Kalau obat itu betul-betul penawar racun, sudah pasti dia tetap sehat, kalau memang racun... aaaai! Manusia macam dia tidak perlu disayangkan kalau mampus, kalau memang keracunan, biarkan saja diamati."
"Hahaha, bagus! Bagus sekali! Akal bagus! Akal bagus!"
Tidak terlukiskan rasa gusar Hek Seng-thian sesudah mendengar perkataan itu, kontan saja dia mencaci-maki kalang-kabut:
"Dasar wanita bejat, perempuan jadah berhati busuk, pelacur tidak laku kawin, semenjak jadi gundik Suto Siau, aku sudah tahu manusia macam kau memang bukan manusia baik-baik."
Bukan saja dia mencaci-maki dengan suara keras, bahkan bahasa yang digunakan pun amat kasar dan busuk, untuk sesaat Im Ting-ting, Thiat ling-su maupun Lui-pian Lojin hanya bisa mendengarkan dengan mata terbelalak dan mulut melongo, beberapa saat lamanya mereka hanya berdiri mematung.
Hingga saat itu mereka baru tahu asal-usul Un Tay-tay yang sebenarnya, mimpi pun mereka tak mengira perempuan itu dulunya adalah gundik kesayangan Suto Siau.
Menyaksikan reaksi itu, Hek Seng-thian semakin senang dan makiannya pun semakin kotor dan tidak sedap didengar.
Terdengar dia mengumpat kembali:
"Sejak waktu itu aku sudah tahu kau sering main serong dengan lelaki lain, apalagi ketika masih muda dan berpipi putih, kau lahap semua dengan rakus, karena itulah orang she Im itu...."
"Tutup mulut!" tiba-tiba Lui-pian Lojin membentak keras.
Di tengah suara bentakan, dia langsung mengayunkan tangannya dan menampar wajah Hek Seng-thian dengan keras.
"Ploook!", kontan separoh wajah Hek Seng-thian merah bengkak, beberapa biji giginya ikut rontok.
Tapi dia masih belum mau berhenti mengoceh, kembali teriaknya:
"Tapi... tapi aku bicara sejujurnya."
"Tidak peduli ucapanmu benar atau tidak, tidak peduli dulunya Un Tay-tay manusia macam apa, setelah hari ini Lohu menginginkan dia menjadi menantuku, siapa pun tidak dapat merubahnya lagi."
Berlinang air mata Un Tay-tay setelah mendengar perkataan itu, selain terharu, dia pun sangat berterima kasih.
Namun Im Ting-ting dan Thiat Cing-su yang mendengar
ucapan itu kembali tertegun dibuatnya.
Diam-diam mereka berdua saling pandang, sedang dalam hati berpikir, "Bukankah dia sudah berjanji akan tetap menjanda"
Kenapa sekarang malah jadi menantu Lui-pian Lojin?"
Terdengar Lui-pian Lojin kembali berkata dengan suara keras:
"Mulai hari ini, barang siapa berani mengungkit kembali masa lalu Un Tay-tay, Lohu bersumpah akan mencincangnya hingga hancur berkeping-keping!"
Dia, segera mengambil sebutir pil dan dijejalkan ke mulut Hek seng-thian, kemudian dengan sekali tepukan ditenggorokannya, mau tak mau Hek seng-thian segera menelan pil itu kedalam perutnya.
Dalam keadaan begini, hilang sudah nyali Hek seng-thian, dia terperosok lemas dan roboh terkapar diatas tanah.
BAB 39 Langit Ambruk Bumi Merekah
Angin masih berhembus sepoi, jilatan api obor masih memancarkan cahayanya.
Semua orang menahan napas, mengawasi perubahan mimik muka Hek Seng-thian setelah dicekoki obat, sementara air muka Hek Seng-thian pucat-pias bagai mayat, peluh sebesar kedelai jatuh bercucuran membasahijidatnya.
Entah berapa saat sudah lewat, mendadak terdengar Hek Seng-thian menjerit kesakitan, dia mulai memegangi perutnya dengan kedua belah tangan dan meringis menahan rasa sakit.
"Kenapa kau?" tegur Lui-pian Lojin dengan wajah berubah.
"Aduh, sakit... sakit.. racun!" keluh Hek Seng-thian dengan suara gemetar.
Begitu mendengar kata "racun", paras muka Liu Ji-uh serta Im Ting-ting segera berubah hebat, bagai disambar petir di siang hari bolong tubuh mereka gemetar keras.
Tiba-tiba Lui-pian Lojin mendongakkan kepala dan tertawa keras, suaranya menggaung sampai lama sekali.
Pada mulanya Un Tay-tay merasa kecewa, menyusul
kemudian tercengang dan akhirnya ikut tersenyum.
"Jadi obat itu beracun?" tandasnya sambil tertawa.
"Beracun... racun jahat... aaah, sudah menembus ususku, aku... aduuuh, perutku sakit sekali seperti dililit,... aaah, mungkin aku... aku tidak bisa hidup lebih lama lagi."
Mendadak Lui-pian Lojin menghentikan gelak tawanya dan berteriak keras:
"Ambilkan pisau!"
"Ambil pisau buat apa?" tanya Un Tay-tay sambil
mengedipkan matanya.
"Kalau memang dia sudah keracunan, sudah pasti sebentar lagi nyawanya akan hilang, daripada dia menderita lebih lama, lebih baik Lohu bantu dia, agar matinya tidak usah tersiksa."
Belum selesai perkataan itu diucapkan, Hek Seng-thian sudah melompat bangun sambil berteriak:
"Tidak ada racunnya... aku tidak keracunan...."
Semua orang merasa terkejut bercampur gembira, mereka
masih belum paham apa yang sebenarnya telah terjadi.
Sambil tertawa, ujar Un Tay-tay:
"Agar kami semua tidak berani menelan pil pemunah itu, kau sengaja berlagak keracunan hebat, dasar berhati busuk, kau memang kejam setengah mati. Padahal kau lupa bahwa racun yang dimiliki Siang-tok Thaysu bukan sembarang racun, tidak mungkin racunnya bisa dibandingkan racun biasa. Boleh saja kau berlagak sakit perut, padahal sejak awal sandiwaramu sudah ketahuan, kalau aku saja sulit dibohongi, mana mungkin kau bisa menipu dia orang tua?"
Paras muka Hek Seng-thian pucat-pias, dengan kepala tertunduk dia bungkam dalam seribu bahasa.
Sambil tertawa, kembali Un Tay-tay berkata:
"Sekarang sisa obat penawar ini persis enam butir, ayo, kita telan dulu bersama-sama!"
Sambil berkata, diambilnya sebutir pil pemunah racun itu dan disodorkan ke hadapan Liu Ji-uh.
Tidak lama setelah menelan pil penawar racun itu, semua sudah mulai menunjukkan reaksinya.
Liong Kian-sik keracunan paling ringan, mula-mula dia memuntahkan segumpal air berwarna hijau, setelah kejang beberapa saat, lambat-laun tubuhnya mulai dapat bergerak, kesadaran yang semula hilang pun perlahan pulih kembali.
Dengan air mata berlinang Liu Ji-uh menanti dengan tenang, akhirnya dia tidak mampu menahan diri lagi dan segera memeluk tubuh suaminya erat-erat, serunya dengan nada gemetar:
"Kian-sik... Kian-sik... kau telah kembali, kau telah kembali...."
Jangan dilihat di hari biasa perempuan ini berpenampilan dingin dan angkuh, sekali perasaan hatinya terbuka, maka tampaklah kobaran api cintanya yang membara....
Bukankah bara lahar panas gunung berapi selalu tersembunyi di balik bebatuan yang dingin dan kaku"
Menyusul Lui Siau-tiau, Im Gi, Im Kiu-siau menunjukkan reaksinya, sekalipun kekuatan mereka belum pulih seperti sedia kala, namun masalah itu hanya soal waktu saja.
Liu Ji-uh, Im Ting-ting, Thiat Cing-su serta Un Tay-tay semuanya diliputi perasaan gembira yang meluap, sedemikian girangnya hingga untuk sesaat melupakan rasa benci dan dendamnya terhadap Hek Seng-thian serta Pek Seng-bu.
"Ternyata kepandaian Siang-tok Thaysu dalam memunahkan
racun memang nomor satu di kolong langit," gumam Un Tay-tay lirih, "kecuali dia, mungkin tidak ada orang lain yang sanggup memunahkan pengaruh racun Coat cing hoa"
"Mimpi pun aku tidak menyangka racun Coat cing hoa ternyata bisa dipunahkan, kusangka kusangka Kian-sik, dia...
dia...." Tidak menyelesaikan perkataannya, Liu Ji-uh telah sesenggukan dan memeluk tubuh suaminya semakin kencang.
Mendadak terdengar Im Ting-ting berteriak keras:
"Coba kalian lihat, Lui... Lui-locianpwe...." Dari nada teriakannya, dapat ditangkap betapa kaget dan ngerinya nona itu.
Dengan perasaan terperanjat semua orang berpaling, ternyata Lui-pian Lojin yang semula berdiri tegar bagaikan malaikat langit itu, entah sejak kapan sudah roboh terkapar di tanah.
Paras mukanya yang mula-mula merah bercahaya, sekarang telah berubah jadi pucat pasi bagaikan mayat.
Ketika berpaling ke arah Seng Cun-hau, maka tampak sekujur badannya sedang mengejang keras, keringat sebesar kacang kedelai bercucuran membasahi jidatnya.
"Apa... apa yang sebenarnya terjadi?" jerit Un Tay-tay kaget.
Baru dia berteriak, dari luar gua celah berkumandang suara gelak tertawa latah membetot sukma.
Menyusul terdengar Siang-tok Thaysu berkata dengan suara menyeramkan:
"Apa yang telah terjadi" Hanya aku yang bisa menjelaskan kepadamu."
Melihat bayangan tubuhnya, semua merasa colah melihat bayangan setan saja, tubuh Im Ting-ting segera gemetar keras, Thiat Cing-su mesti merangkul gadis itu kencang-kencang, tidak urung dia sendiri pun gemetar juga.
Liu Ji-uh mendekap pula tubuh Liong Kian-sik dengan kencang, jeritnya ngeri:
"Pergi... pergi kau!"
"Pergi?" Siang-tok Thaysu tertawa latah, "kali ini aku tidak bakal pergi lagi, bila aku tidak mau pergi, siapa manusia di kolong langit ini yang bisa memerintahkan aku bergeser setengah langkah pun dari sini?"
Un Tay-tay memaksakan diri mengendalikan perasaannya yang bergejolak, dengan memberanikan diri dia balas tertawa dingin, jengeknya:
"Huuh, tadi saja sudah kabur terbirit-birit mirip tikus terjepit,
tidak disangka sekarang berani tebalkan muka muncul lagi di sini, memangnya kau tidak kuatir kehilangan pamormu sebagai seorang pemimpin perguruan?"
"Budak cilik, tahu apa kau?" sahut Siang-tok Thaysu sambil tertawa, "tadi aku memang mengundurkan diri sementara waktu, tindakanku tidak lebih hanya merupakan taktik 'mundur untuk maju', aku memang ingin menyaksikan kalian satu per satu kehilangan nyawa tanpa aku mesti membuang banyak tenaga."
Selesai bicara, kembali dia tertawa latah, lagaknya nampak begitu puas, begitu gembira.
"Jadi... jadi pil tadi benar-benar obat beracun?" bisik Liu Ji-uh dengan suara parau
Gelak tertawa Siang-tok Thaysu semakin bangga.
"Hahaha, kalau obat itu racun, masa kalian bersedia menelannya" Lagi pula jika aku harus mencabut nyawa kalian dengan mengandalkan racun, hal ini tidak mencerminkan kemampuanku yang sesungguhnya, tapi sekarang, aku justru dapat mencabut nyawa kalian dengan mengandalkan obat penawar racun, nah, dari sini kalian bisa membuktikan betapa hebatnya tindakanku, bukankah begitu" He, orang she Lui, sekarang kau sudah benar-benar takluk bukan?"
"Obat penawar racun?" tidak tahan Liu Ji-uh berseru, "kenapa jika obat penawar racun bereaksi begini?"
"Tentu saja teori di balik semua ini sangat rumit dan rahasia, kau tidak bakal mengerti, kecuali tokoh macam aku, manusia mana di kolong langit saat ini yang bisa memahami rahasia di balik semua itu?"
Setelah tertawa latah berulang kali, lanjutnya:
"Sewaktu menemukan buli-buli berisi obat tadi, perasaan kalian pasti sangat gembira bukan" Tahukah kalian bahwa buli-buli itu memang sengaja kujatuhkan?"
"Kenapa... kenapa kau sengaja berbuat begitu?"
"Walau obat mujarab itu bisa memunahkan racun, namun setelah memunahkan satu jenis racun, maka sifat obatnya akan ikut lenyap bersama dengan lenyapnya racun yang bersarang di tubuh, dan akan berubah jadi segumpal air hijau yang dimuntahkan keluar."
Tanpa terasa Liu Ji-uh melirik sekejap gumpalan air hijau di tanah, tanyanya lagi:
"Kemudian?"
"Tapi sayang racun yang bersarang di tubuh orang she Lui itu
terdiri dari dua jenis racun jahat yang berbeda, walaupun obat pemunah itu berhasil memunahkan salah satu sifat racun yang ada, namun tetap meninggalkan jenis racun yang lain di dalam tubuhnya, semestinya dia harus mengandalkan pertentangan kedua racun di dalam tubuhnya untuk mempertahankan diri, sayangnya begitu salah satu jenis racun lenyap, maka jenis racun yang lain pun mulai bekerja, apalagi sifat racun itu sudah kelewat lama dikendalikan dalam tubuhnya, tidak heran begitu kambuh maka keadaan sulit dibendung lagi."
"Aaah, ternyata begitu," seru Liu Ji-uh ketakutan.
"Hahaha, kalau aku tidak menghitung secara tepat akan hal ini, untuk apa obat penawar racun itu sengaja kutinggal di sini"
Bagaimana mungkin tua bangka she Lui ini mampu merobek saku bajuku?"
Sementara dia tertawa tergelak dengan latahnya, paras muka semua jago justru berubah jadi pucat keabu-abuan.
"Tapi... tapi orang lain toh tidak terkena dua jenis racun...."
seru Liu Ji-uh.
"Asal tua bangka she Lui itu tidak mampu melawan racun yang bersarang di tubuhnya, kenapa aku musti merisaukan yang lain" Memangnya orang-orang itu sanggup menghadapi gempuran Dewa racun, kendatipun kekuatan tenaga dalam mereka telah pulih kembali?"
Setelah menyapu sekejap sekeliling tempat itu, kembali dia menambahkan sambil tertawa tergelak:
"Lagi pula mereka baru terbebas dari pengaruh racun, tenaga dalam yang dimiliki pun belum pulih seperti sedia kala, bila aku ingin mencabut nyawa mereka, semuanya bisa kulakukan segampang merogoh saku sendiri."
"Makhluk tua beracun, wahai, makhluk tua beracun, ternyata hatimu lebih beracun ketimbang racunmu, padahal kami tidak punya dendam denganmu, kenapa kau turun tangan sekeji ini?"
"Hahaha, kalau soal itu lebih baik kau tanyakan sendiri kepada raja akhirat setelah mampus nanti, paling tidak aku sudah memberi-kan sedikit pertanggung jawaban kepadamu dengan menjelaskan rahasia ini, kalau tidak, mampus pun kau akan menjadi setan kebingungan."
Tiba-tiba dia membalikkan tubuh sambil membentak:
"Mana Dewa racun?"
Semua orang merasakan napasnya jadi sesak, mereka sadar bila Dewa racun muncul di situ, maka semua orang yang berada
dalam gua akan kehilangan nyawa.
Dan kali ini mustahil akan muncul kemukjizatan lagi seperti tadi.
Siapa tahu walaupun Siang-tok Thaysu sudah berteriak berulang kali, namun dari luar gua sama sekali tidak nampak sesuatu gerakan pun.
Berubah paras muka Siang-tok Thaysu, sekali lagi hardiknya:
"Dewa racun, ada dimana kau?" Suara bentakan yang menggelegar bagai guntur membelah bumi, membuat seluruh dinding gua bergetar dan mendengung tiada hentinya.
Namun di luar gua sama sekali tidak terdengar suara, Dewa racun pun tidak menampakkan diri.
Semua orang kembali dibuat tercengang, girang serta tidak habis mengerti.
Paras muka Siang-tok Thaysu berubah semakin hebat, dia terlebih tidak habis mengerti dengan kejadian ini, kalau dibilang Dewa racun membangkang perintahnya, jelas hal ini merupakan satu peristiwa yang mustahil.
Tapi kenyataan, kendatipun dia sudah berteriak berulang kali, namun Dewa racun tetap tidak muncul.
"Siapa tahu Dewa racun sama seperti kau tadi, kabur terbirit-birit" ejek Un Tay-tay sambil tertawa dingin.
"Budak sialan, kau jangan bicara sembarangan,"teriak Siang-tok Thaysu gusar, "bila Dewa racun muncul nanti, pertama-tama nyawamu yang akan kucabut."
Sambil mementang mulutnya, untuk ketiga kalinya dia berteriak:
"Dewa racun, dimanakau?"
Suaranya keras dan menggaung sampai ke tempat jauh, sampai lama kemudian suara itu baru sirap dan lenyap dari pendengaran.
Baru saja Siang-tok Thaysu menggerakkan tubuhnya dan siap menerjang keluar dari gua untuk melihat keadaan, mendadak terdengar suara tertawa yang merdu bagaikan suara keleningan berkumandang dari luar gua.
"Dewa racun berada di sini," terdengar suara merdu seorang wanita bergema.
Begitu suara merdu itu berkumandang, semua jago yang berada dalam gua kembali dibuat terkesiap.
"Siapa kau?" bentak Siang-tok Thaysu dengan wajah berubah hebat.
"Coba perhatikan siapakah aku," jawab orang di luar gua sambil tertawa ringan.
Bersamaan dengan selesainya perkataan itu, seorang wanita cantik berdandan istana sudah melayang masuk ke dalam gua.
Semua orang merasakan pandangan matanya jadi silau, penampilan perempuan cantik bak putri istana yang memancarkan cahaya berkilauan itu membuat suasana dalam gua yang gelap gulita seakan berubah jadi gemerlapan, gemerlapan seperti dalam istana.
"Hoa Bu-soat!" jerit Siang-tok Thaysu dengan perasaan kaget.
Sambil membelalakkan mata, Lui-pian Lojin ikut menjerit kaget:
"Aaah kau! Ternyata kau ikut datang?"
"Betul, aku telah datang," si Hujan gerimis Hoa Bu-soat tersenyum lebar.
Kemudian sambil menatap wajah Siang-tok Thaysu, lanjutnya:
"Kau tidak menyangka bukan kalau aku bakal kemari, sedang Dewa racunmu...."
"Kemana perginya Dewa racun?" tanya Siang-tok Thaysu dengan wajah berubah.
"Sudah digiring pergi seseorang, sekarang entah sudah kabur kemana."
"Kurangajar," teriak Siang-tok Thaysu gusar, "Dewa racun hanya menuruti perintahku seorang, mana mungkin bisa digiring pergi orang lain?"
"Mungkin saja orang lain tidak mampu menggiringnya pergi, sayang orang yang menggiringnya pergi barusan secara kebetulan memiliki ilmu pembetot sukma yang sangat hebat, ilmu pembetot sukma yang jauh berbeda dengan kemampuan orang lain."
"Hong Lo-su" Kau maksudkan Hong Lo-su?" seru Siang-tok Thaysu terperanjat.
"Tepat sekali."
"Bukankah dia sudah terkena racun ganasku, masakah tidak mampus?"
"Coat cing hoa, masa kau lupa Coat cing hoa?" Hoa Bu-soat tersenyum.
Siang-tok Thaysu tertegun sesaat, kemudian sambil menghentak kan kaki dia berseru:
"Takdir... takdir...."
"Benar, memang kehendak takdir, takdir menghendaki Coat cing hoa tumbuh di tempat ini, takdir pula yang menghendaki
Hong Lo-su tidak tewas di tempat ini, karena dia dibutuhkan untuk memancing kepergian si Dewa racun"
Senyuman yang semula menghiasi ujung bibirnya mendadak hilang tidak berbekas, selapis hawa pembunuhan yang mendekati gila mulai menyelimuti wajahnya, sambil berbicara, selangkah demi selangkah perempuan itu menghampiri Siang-tok Thaysu.
Tanpa sadar Siang-tok Thaysu mundur dua langkah.
"Kau...."
Hoa Bu-soat sama sekali tidak memberi kesempatan kepadanya untuk bicara, kembali bentaknya:
"Takdir menghendak Dewa racun tersingkir, agar aku dapat mencabut nyawamu."
"Memangnya kau sudah gila?" teriak Siang-tok Thaysu gusar,
"antara kau dan aku tidak pernah terikat dendam sakit hati, kenapa kau sengaja memusuhi aku?"
"Sengaja memusuhimu?" Hoa Bu-soat tertawa dingin, "tidak punya dendam sakit hati" Hmmm, hmmm! Putriku tidak punya dendam sakit hati denganmu, kenapa tanpa sebab kau meracuninya hingga mati?"
"Putrimu" Ketemu saja belum pernah, mana mungkin aku meracuninya sampai mati?" sanggah Siang-tok Thaysu keheranan, "kau jangan percaya fitnahan jahat orang lain, kalau belum ada bukti jangan tanpa sebab mencari aku!"
Bagaikan orang gila Hoa Bu-soat tertawa tergelak, jeritnya:
"Kentut! Dalam tubuh putriku jelas ditemukan racunmu, memangnya ada orang lain yang bisa melepaskan racunmu" Jadi kau masih menyangkal" Kalau bukan Coat cing hoa yang menutupi tubuh nya, putri mestikaku itu... Ling-ling, anakku mungkin sudah mati keracunan sekarang."
Sepasang matanya merah, wajahnya penuh diselimuti hawa napsu membunuh, kecantikan serta keanggunannya seolah sudah lenyap, keayu-annya bagai bidadari kini telah berubah menjadi iblis pembetot sukma yang ganas.
Siang-tok Thaysu semakin tercengang dan heran ditambah ketakutan setelah melihat betapa mendalamnya rasa benci perempuan itu terhadap dirinya, dia mundur satu langkah dan berseru:
"Kapan aku bertemu putrimu" Atas dasar apa kau
mengatakan begitu?"
"Kau masih belum mau mengakui" Baik! Akan kusuruh kau lihat sendiri."
Sambil membalikkan badan, dia berteriak keras:
"Muridku, bopong masuk Sucimu."
Seseorang menyahut dari luar gua, kemudian terlihat Sim Sin-pek dengan membopong Sui Leng-kong berjalan masuk dengan langkah lebar, kelihatannya jalan darah tidur Sui Leng-kong sudah tertotok hingga saat itu dia berada dalam kondisi tertidur nyenyak.
Mengetahui Hoa Bu-soat berniat mencabut nyawa Siang-tok Thaysu, atau dengan perkataan lain, nyawa semua orang yang ada di situ bakal terselamatkan, diam-diam Un Tay-tay merasa sangat kegirangan.
Tapi begitu tahu murid Hoa Bu-soat ternyata adalah Sim Sin-pek, sedang gadis yang dibopong Sim Sin-pek adalah Sui Lengkong. Tidak terlukiskan rasa terperanjat perempuan ini.
Kebalikannya, Pek Seng-bu sekalian justru merasa kegirangan setengah mati.
Sebenarnya mereka berada dalam posisi yang terjelek, bukan saja Siang-tok Thaysu akan mencabut nyawanya, Lui-pian Lojin pun ingin merenggut jiwa mereka, apalagi orang-orang perguruan Tay ki bun, rasa benci mereka ibarat ingin makan dagingnya dan menguliti tubuh mereka.
Bagi mereka, biar dihitung dengan cara bagaimanapun, terlepas siapa menang siapa kalah, diri sendiri tetap sulit lolos dari bahaya maut.
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi kini situasi berubah secara tiba-tiba, kemunculan si Hujan gerimis Hoa Bu-soat yang di luar dugaan segera berhasil menguasai keadaan, sementara Sim Sin-pek telah menjadi murid barunya.
Dengan terjadinya perubahan ini, maka posisi pun kembali berubah secara drastis, sekalipun Pek Seng-bu sekalian diliputi perasaan gembira yang luar biasa, namun mereka tetap tidak bisa menebak kenapa bisa terjadi perubahan seperti ini.
Terdengar Hoa Bu-soat menjerit lagi sambil menuding ke arah Sui Leng-kong:
"Cepat katakan! Cepat katakan! Apakah dia keracunan di tanganmu?"
"Benar, tapi... bagaimana mungkin dia adalah putrimu?"
Hoa Bu-soat mulai mencak-mencak macam orang kesurupan, jeritnya:
"Siapa bilang dia bukan putriku" Orang she Lui, aku mau tanya, benarkah dia adalah putriku" Ayo, katakan, kenapa" Kau
pun tidak berani mengatakannya?"
Lui-pian Lojin hanya memejamkan mata tanpa menjawab.
Sejujurnya, Lui-pian Lojin ingin sekali Hoa Bu-soat membantai Siang-tok Thaysu secepatnya, tentu saja dia enggan membongkar rahasia itu, namun dengan nama serta statusnya, mustahil baginya untuk berbohong, itulah sebabnya untuk sesaat dia gelagapan dan tidak tahu bagaimana harus menjawab.
Tiba-tiba Hoa Bu-soat menarik Lui Siau-tiau dari atas tanah, kembali jeritnya:
"Ling-ling... putri mustikaku, kau kenal dengannya bukan"
Betul, kau lebih kenal daripada siapa pun, ayo, cepat jawab, benarkah dia adalah Ling-ling putri kesayanganku?"
Lui Siau-tiau melirik ayahnya sekejap, kemudian sahutnya:
"Rasanya... rasanya memang dia."
Siang-tok Thaysu menyapu pandang sekejap sekeliling tempat itu, dia sadar masalah yang dihadapinya hari ini tidak mungkin bisa diselesaikan secara baik-baik, bagaimanapun juga pertarungan tidak bisa dihindari lagi, timbul pikiran untuk turun tangan terlebih dahulu, siapa yang menyerang lebih dulu, dia yang akan kuat.
Dalam pada itu Hoa Bu-soat telah tertawa terkekeh-kekeh, teriaknya:
"Itulah dia.... itulah dia, makhluk tua beracun, apa lagi yang ingin kau katakan" Ling-ling.... oooh, Ling-lingku sayang, ibu akan membalaskan dendam sakit hatimu."
Siang-tok Thaysu sama sekali tidak berbicara, diam-diam tangannya dimasukkan ke dalam saku....
Tiba-tiba Sim Sin-pek berteriak dengan mata berkilat:
"Suhu, kau orang tua jangan lupa, biarpun Siang-tok Thaysu yang meracuni, namun dalangnya orang lain, kenapa kau orang tua tidak membasmi dulu dalangnya?"
Sebetulnya Siang-tok Thaysu sudah bersiap sedia
melancarkan serangan, begitu mendengar perkataan itu, sepasang matanya ikut berkilat, cepat dia menarik kembali tangannya dari dalam saku.
Hoa Bu-soat sendiri yang sudah siap menerjang Siang-tok Thaysu ikut menghentikan gerakan tubuhnya, serunya sambil mengertak gigi:
"Betul, yang paling memuakkan adalah dalangnya, dia harus dibantai lebih dulu."
Sinar matanya yang kalap dan penuh kebencian segera
dialihkan ke wajah Lui-pian Lojin.
"Dalangnya?" gumam Lui-pian Lojin melengak, "siapa dalangnya?"
"Kau!"
"Kau sudah edan?" teriak Lui-pian Lojin terkejut bercampur gusar, "aku... mana mungkin aku
"Lui-loheng," sela Siang-tok Thaysu tiba-tiba sambil tertawa dingin, "urusan telah berkembang jadi begini, buat apa kau masih menyangkal" Lagi pula buat apa aku mesti mencelakai putrinya dengan racun" Toh putrinya tidak ada urusan denganku."
Berubah hebat paras muka Lui-pian Lojin.
"Hoa Ji-nio!" teriaknya penuh amarah, "kau jangan mempercayai fitnahan busuk bajingan tua itu, dia sengaja menggigit aku agar kau bermusuhan denganku, coba bayangkan sendiri, apa alasanku untuk mencelakai putrimu?"
Kembali Siang-tok Thaysu tertawa dingin, sindirnya:
"Sudah, jangan mungkir lagi, bukankah karena putramu sudah punya gadis idaman lain dan segera akan menikah, maka kalian ayah beranak kuatir nona Hoa akan menjadi batu sandungan dan ingin cepat-cepat menghilangkan duri dalam daging?"
Kehebatan ilmu racunnya memang tiada duanya di kolong langit, ternyata bukan itu saja, kebusukan hatinya terbukti jauh lebih beracun dari segala jenis kalajengking paling beracun sekalipun.
Diam-diam Sim Sin-pek bertepuk tangan kegirangan setelah menyaksikan adegan ini.
Begitu meyakinkan cara bicara Siang-tok Thaysu, sampai Im Ting-ting serta Thiat Cing-su sekalian nyaris ikut percaya dengan perkataannya, kini tinggal Lui-pian Lojin ayah beranak serta Un Tay-tay tiga orang yang kebingungan kalang-kabut, paras muka mereka berubah hebat.
"Bagus sekali," terdengar Hoa Bu-soat berteriak gusar, "hei, orang she Lui, ternyata putramu sudah mempunyai simpanan lain! Makhluk tua beracun, coba katakan, siapa perempuan yang disukai putranya" Dimana dia sekarang?"
"Itu dia orangnya!" ujar Siang-tok Thaysu sambil menuding ke arah Un Tay-tay.
Tidak terlukiskan rasa kaget Un Tay-tay, cepat dia kabur dari dalam gua.
Baru saja kakinya bergeser, tahu-tahu Hoa Bu-soat sudah tiba di hadapannya, jari tangannya yang lentik bersih secepat kilat melancarkan sebuah cengkeraman menyongsong kedatangan-nya.
Untuk sesaat Un Tay-tay kebingungan dan tidak tahu bagaimana harus berkelit dari cengkeraman itu, tahu-tahu Hoa Bu-soat telah menjambak rambutnya dan membanting wanita itu hingga jatuh terpelanting.
Im Ting-ting serta Lui Siau-tiau kontan saja menjerit kaget.
"Pelacur busuk," umpat Hoa Bu-soat penuh kebencian, "kau memang rase kecil, berani benar merebut pacar Ling-ling"
Memangnya kau sudah makan nyali macan?"
"Ploook!", sebuah tempelengan keras langsung dilontarkan ke wajah Un Tay-tay.
"Tahan!" hardik Lui-pian Lojin tidak tahan, "urusan ini tidak ada sangkut paut dengannya, lepaskan dia"
"Oooh, melihat aku menamparnya, kalian ayah beranak sakit hati" Tidak tega" Baik, aku sengaja akan menggaploknya lagi, bahkan akan kutempeleng lebih keras, lebih buas, agar kalian ayah beranak bisa menikmati lebih seksama."
Tangannya bekerja cepat, dalam waktu singkat dia sudah menghadiahkan tujuh delapan tempelengan ke wajah Un Tay-tay.
Sekalipun tamparan itu tidak menggunakan tenaga penuh, namun kekuatannya cukup menggidikkan hati, begitu ketujuh delapan tamparan itu selesai dilontarkan, wajah Un Tay-tay yang semula putih halus telah berubah menjadi merah kehitam-hitaman.
Sebesar apapun daya tahan Un Tay-tay, kini dia tidak kuasa lagi menahan diri hingga menjerit keras.
Seng Toa-nio sekalian benar-benar merasa puas menyaksikan kejadian ini, diam-diam mereka bersorak sambil berteriak dalam hati:
"Bagus, tamparan yang bagus, ayo, hajar lagi!"
Sebaliknya Im Ting-ting sekalian tidak tega menyaksikan lebih lanjut, diam-diam mereka berpaling ke arah lain.
Tidak terlukiskan rasa gusar Lui-pian Lojin, dalam hati dia ingin sekali bangkit berdiri dan balas menghajar perempuan itu, sayang tubuhnya tidak memiliki kekuatan untuk bangkit.
Air mata telah berlinang membasahi wajah Un Tay-tay, ujarnya dengan suara gemetar:
"Kalau ingin memukul, ayo, pukullah terus! Toh aku
perempuan bernasib buruk, tidak masalah kau hajar aku sampai mati, tapi... tapi... kami benar-benar tidak pernah mencelakai putrimu, lagi pula dia bukan putrimu."
Sebetulnya Hoa Bu-soat telah menghentikan tamparannya, tapi begitu mendengar ucapan itu, dengan kalap dia menampar lagi sekuatnya.
Sambil tangannya diayunkan berulang kali, tiada hentinya dia mencaci-maki:
"Kalau putriku bukan dia lantas siapa" Dasar siluman rase cilik, kau masih berani membohongi aku... hari ini... hari ini aku harus menghajarmu sampai mampus."
"Dia tidak berbohong, putrimu memang tidak ada di sini,"
teriak Lui-pian Lojin nyaring.
"Kentut!" Hoa Bu-soat menyeringai seram, "sudah jelas tadi kau telah mengakuinya, percuma mungkir sekarang...."
Tamparannya makin lama semakin keras, makin cepat dan makin berat, katanya lagi sambil tertawa seram:
"Lui Siau-tiau, aku mau tanya, bagian mana dari pelacur busuk ini yang paling menarik bagimu" Bagian mana dari tubuh pelacur ini yang lebih bagus dari putriku, kau... apakah kau tertarik dengan sepasang mata siluman rase ini?"
"Kau salah paham," sahut Lui Siau-tiau cepat, "keponakan...."
"Hmm! Aku tahu, kau pasti sudah tertarik dengan sepasang mata jeli siluman rase ini, baik, hari ini aku akan mencongkelnya, akan kulihat dia akan menggunakan apa lagi untuk memikat hatimu?"
Sambil berkata dia menggunakan kedua jari tangannya yang panjang dan tajam untuk bersiap mencongkel sepasang mata Un Tay-tay yang basah oleh linangan air mata.
Lui Siau-tiau tidak tega melihat lebih jauh, cepat dia memejamkan mata, sedang Un Tay-tay hanya bisa menjerit ngeri sambil memejamkan sepasang matanya, dia dapat merasakan ujung jari tangan Hoa Bu-soat yang dingin bagaikan es telah menyentuh kelopak matanya.
Di luar gua, di tanah padang rumput yang luas, hanya ada Suto Siau seorang yang berjaga-jaga sambil tersenyum, dia sedang mengawasi Sun Siau-kiau serta Gi Beng dan Gi Teng yang sudah tertotok.
Sementara mereka yang berada dalam gua, kalau bukan kehilangan tenaga karena keracunan, tentulah musuh bebuyutan Un Tay-tay, atau mungkin akan muncul lagi manusia dari langit
atau bawah tanah"
Dalam keadaan dan suasana seperti ini, pada hakikatnya mustahil ada orang bisa menyelamatkan dirinya lagi, kelihatannya sepasang mata yangjeli itu segera akan tercongkel keluar
Dalam situasi yang amat drastis ini, hanya ada satu nama yang terlintas dalam benak wanita itu.
"Im Ceng... Im Ceng... tunggulah aku di alam baka, aku segera akan menyusulmu!"
Ujung jari Hoa Bu-soat telah menyentuh mata Un Tay-tay....
Telapak tangan Suto Siau yang kasar sudah mulai meraba dan membelai wajah Sun Siau-kiau yang halus..
Gi Beng serta Gi Teng hanya bisa menyaksikan adegan itu dengan mata terbelalak.
"Orang mampus," terdengar Sun Siau-kiau mengumpat sambil tertawa, "apa lagi yang ingin kau raba" Tidak kuatir Che Toa-ho akan mengulitimu?"
"Situasi telah terubah, kondisi pun telah berubah," sahut Suto Siau sambil tersenyum, "mulai hari ini, seluruh kolong langit sudah menjadi milik kita, apa lagi yang musti ditakuti" Hahaha...
aku tidak bakal takut terhadap siapa pun."
"Huuh, tidak tamu malu, pandai amat membual, kalau memang kau hebat, punya pengaruh, kenapa lagakmu masih mirip babi mampus yang bergulingan di tanah, melihat perempuan miliknya masih tertotok jalan darahnya, kenapa kau tidak berani membebaskan aku?"
"Hahaha, belum saatnya, lagi pula...." Sinar matanya segera dialihkan ke tubuh Gi Beng, terusnya sambil tertawa:
"Orang tua itu sudah menyodorkan si cantik kecil yang tidak mampu bergerak itu ke hadapanku, kenapa tidak kumanfaatkan kesem-patan yang baik ini untuk menikmati kehangatan tubuhnya" Bagaimana" Betul bukan?"
"Apa... apa kau bilang?" jerit Gi Beng kaget.
Suto Siau tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, masa kau tidak paham maksudku?" katanya.
Sambil membalikkan tubuh, dia segera menghampiri gadis itu.
"Dasar lelaki bau, lelaki busuk," umpat Sun Siau-kiau mendongkol, "sudah punya mangkuk nasi sendiri pun masih melirik periuk nasi milik orang. Aaaaii! Baiklah, toh aku pun tidak bisa kawin resmi denganmu, biar aku jadi mak
comblangmu dengan adik dari keluarga Gi."
"Hahaha, sudah seharusnya begitu... sudah seharusnya begitu..."
Dia membungkukkan tubuh dan tangannya mulai
menggerayangi payudara Gi Beng.
"Bajingan laknat!" teriak Gi Teng penuh amarah, "kau berani...
cepat hentikan perbuatan busukmu!"
"Kau... kau tidak boleh menyentuh aku!" jerit Gi Beng pula.
"Tidak boleh menyentuhmu?" ejek Suto Siau sambil menyeringai, "boleh... boleh disentuh... siapa bilang tidak boleh...."
Bukan hanya menggerayangi saja, kini jari tangannya mulai bekerja cepat mengendorkan kancing baju di depan dada Gi Beng.
Pakaian Gi Beng pun sudah terlepas, payudaranya yang putih bersih telah menongol keluar dari balik pakaian....
Sekonyong-konyong terdengar suara ledakan yang luar biasa, diikuti getaran gempa yang dahsyat menggoncang seluruh permukaan bumi.
Begitu keras goncangan itu, membuat tubuh Suto Siau mencelat jauh ke belakang.
Pada saat yang sama jari tangan milik Hoa Bu-soat yang sudah siap ditusukkan ke bawah, siap mencongkel mata Un Tay-tay pun tergeser dari wajah korbannya, tergeser karena goncangan maha dahsyat itu.
Jeritan kaget bergema dari empat penjuru, suara getaran bagai guntur dan menggelegar tiada hentinya. Dinding batu di sekeliling gua mulai retak dan berhamburan jatuh, debu pasir beterbangan bagai hujan deras.
Paras muka semua orang yang berada di dalam gua berubah jadi pucat-pias bagai mayat, bahkan Hoa Bu-soat sendiri pun berdiri melongo saking kagetnya, otomatis tusukan kedua jarinya pun ikut berhenti.
"Apa... apa yang telah terjadi?" tanya Siang-tok Thaysu agak tertegun.
Dengan mengerahkan segenap kekuatan yang tersisa, Lui-pian Lojin berteriak keras:
"Bukit ini segera akan runtuh, cepat melarikan diri, tinggalkan gua ini!"
Cepat Lui Siau-tiau meronta bangun, dia menggelinding ke sisi ayahnya dan segera membopong tubuh orang tua itu.
Sambil menjerit kaget, Liu Ji-uh menggendong Liong Kian-sik.
Im Ting-ting dan Thiat Cing-su membopong Im Gi serta Im Kiu-siau.
Sim Sin-pek memeluk kencang tubuh Sui Leng-kong, sementara Pek Seng-bu menarik tangan saudaranya, HekSeng-thian.
Seng Toa-nio sendiri menghentakkan kaki berulang kali menahan kecewa, akhirnya dia pun membopong Seng Cun-hau.
Hoa Bu-soat segera mengempit tubuh Un Tay-tay yang jatuh pingsan dan membawanya kabur.
Kawanan jago persilatan yang di hari biasa selalu tampil tenang dan percaya diri, kini dalam sedetik semuanya berubah seperti burung yang dipanah, kabur terbirit-birit meninggalkan gua, lari menyelamatkan diri.
Pada saat itulah kembali terjadi getaran yang sangat kuat.
Getaran kali ini jauh lebih kencang ketimbang yang pertama, bahkan suara ledakan yang terjadi pun lebih memekakkan telinga.
"Muridku, cepat bopong Ling-ling, kita jangan berpencar,"
teriak Hoa Bu-soat cepat.
"Paman Hek, cepat ikuti aku," jerit Sim Sin-pek pula.
"Suko... Suko... ada dimana kau?" teriak Im Ting-ting pula.
"Ngomoay, hati-hati teriak Thiat Cing-su memperingatkan.
Tapi sayang waktu itu telinga semua orang sudah dibuat tuli dan kaku lantaran suara ledakan yang memekakkan telinga, karena itu siapa pun tidak dapat mendengar teriakan kawannya secara jelas.
Batu cadas sebesar gajah jatuh berbongkah bongkah, debu dan pasir beterbangan membuat kabur pandangan, siapa pun yang kejatuhan batu sebesar itu, bisa dipastikan kepalanya bakal hancur berantakan.
Mendadak terdengar Liu Ji-uh menjerit kesakitan sambil berteriak:
"Tolongaku... tolong! Tolong...."
Rupanya dia kejatuhan batu besar hingga jatuh terjerembab ke tanah, sekalipun telah berusaha meronta, namun gagal bangun kembali.
Tapi sayang suasana ketika itu sedang panik, semua orang hanya memikirkan keselamatan sendiri, jangankan suara jeritannya memang tenggelam oleh hiruk-pikuk jatuhnya bebatuan, seandainya terdengar pun belum tentu ada orang yang
mau menolongnya.
Semua orang hanya memikirkan diri sendiri, berusaha mencari jalan keluar untuk meloloskan diri, tidak satu pun yang mau mengurusi orang lain, jangankan pikiran untuk menolong orang, niatan untuk mencelakai lawan pun sudah terlupakan untuk sementara.
Sim Sin-pek yang sebenarnya berdiri di mulut gua sambil membopong Sui Leng-kong kini melarikan diri terlebih dulu.
Bagaikan hembusan angin Hoa Bu-soat menyusul di
belakangnya, sambil lari dia mendorong Pek Seng-bu dan Hek Seng-thian yang sedang berusaha menyerobot jalan untuk melarikan diri, akhirnya kedua orang itu berhasil juga menerjang keluar.
Waktu itu sebetulnya Siang-tok Thaysu sudah berada di luar gua, tiba-tiba sambil menyeringai seram dia balik masuk ke dalam lagi.
Lui Siau-tiau yang kabur sekuat tenaga sudah hampir mencapai sisi luar gua, betapa terperanjatnya dia sewaktu mendongakkan kepala, tahu-tahu Siang-tok Thaysu sambil menyeringai seram sudah menghadang jalan perginya.
Suto Siau yang berada di luar gua, meski tidak berada dalam kondisi bahaya, tidak urung hatinya kebat-kebit juga saking takut dan kagetnya, dia langsung kabur dari situ, tapi baru beberapa langkah sudah balik kembali.
"Orang baik, cepat bopong aku!" Sun Siau-kiau segera berteriak manja.
Jangankan membopong, melirik sekejap pun tidak, Suto Siau langsung menghampiri Gi Beng dan menggendongnya.
"Bajingan tengik," teriak Gi Teng penuh amarah, "lepaskan dia... lepaskan dia...."
"Setan berhati hitam," umpat Sun Siau-kiau pula sedih,
"bajingan berhati busuk... kau... kau... aku sumpahi kau biar mampus secara mengenaskan!"
Suto Siau sama sekali tidak berpaling, ketika berlari beberapa langkah dari tempat itu, dia mendengar suara gemuruh yang amat memekakkan telinga, hal ini membuatnya tidak kuasa berpaling ke belakang....
Ternyata seluruh tebing batu telah ambruk, berguguran dan berserakan kemana-mana
Pasir dan debu yang bertebaran di udara nyaris menyelimuti separoh jagad, di tengah remang-remangnya suasana, terlihat
ada beberapa sosok bayangan manusia melesat keluar dari timbunan bebatuan dengan kecepatan tinggi.
Pasir dan debu yang menyelimuti udara begitu rapat bagai kabut tebal, Suto Siau tidak dapat melihat jelas siapa saja bayangan manusia yang sedang kabur dari onggokan bebatuan...
padahal dia memang tidak berminat untuk memperhatikan dengan seksama, tanpa banyak membuang waktu dia langsung kabur menuju ke tengah rerumputan.
Di saat dia berpaling sambil melirik itulah ujung matanya seolah melihat di antara bayangan manusia yang sedang melarikan diri, ada dua orang di antaranya roboh tertimpa bebatuan, tapi dia tidak berniat memperhatikan lebih jauh.
Umpatan dan makian Gi Teng serta Sun Siau-kiau seolah tertelan suara gemuruh yang memekakkan telinga, sementara Gi Beng yang panik, ketakutan, malu dan jengkel sudah tidak sadarkan diri sejak tadi.
Sambil memeluk kencang Gi Beng, Suto Siau herlari sekuat tenaga masuk ke balik rerumputan, sementara suara gemuruh yang bergema di belakang sana masih berkumandang tiada hentinya, gempa bumi masih menggoyang seluruh permukaan, bebatuan seakan setiap saat dapat menindih tubuhnya.
Dalam keadaan begini, mana mungkin dia berani
menghentikan langkahnya.
Berlarian di tengah rerumputan yang lebat bukanlah satu pekerjaan yang mudah, tapi dia berlari terus dengan sempoyongan, tanpa mengetahui arah mata angin, tidak tahu kemana dia berlari, dia berusaha menyingkir sejauh mungkin dari tempat bencana, dia baru memperlambat langkahnya ketika napas sudah mulai tersengal-sengal.
Dia mencoba memasang telinga dan mendengarkan situasi di seputar sana, walaupun suara gemuruh masih bergema di seluruh tebing, kelihatannya ledakan dan gempa dahsyat sudah mulai reda, gaung suara yang memantul pun lambat laun bertambah lirih.
Saat itulah Suto Siau baru menghembuskan napas lega, duduk bersila sambil mengatur pernapasan.
Setelah terjadinya bencana dahsyat, masih ada berapa orang yang hidup" Siapa pula yang menemui ajal" Dia tidak bisa membayangkan, dia pun tidak berani berbalik untuk melihat keadaan.
"Kalau sampai Hoa Bu-soat, Sim Sin-pek, Seng Toa-nio, Hek
Seng-thian sekalian menemui ajalnya dalam bencana ini, sementara orang-orang perguruan Tay ki bun justru hidup, apa yang harus kulakukan?" gumamnya.
Berpikir sampai di situ, perasaan ngeri bercampur bergidik seketika menyelimuti hatinya.
Tapi ingatan lain segera melintas, kembali gumamnya:
"Sebaliknya kalau orang-orang perguruan Tay ki bun sudah mampus, yang hidup tinggal Sim Sin-pek, Un Tay-tay dan Sui Leng-kong, bukankah dalam perjalanan berikut tinggal aku seorang yang menjadi lakon" Bukankah harta kekayaan persekutuan Ngo hok beng akan menjadi milikku?"
Membayangkan berlimpahnya harta karun yang bakal menjadi miliknya, dia merasa sangat gembira, jantungnya berdebar keras.
Namun bagaimanapun juga, dia tetap tidak berani balik ke tempat semula dan memeriksa keadaan, seorang diri dia hanya duduk termenung di situ, sebentar keningnya berkerut, sebentar menebar senyum karena gembira.
Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya suara rintihan Gi Beng menyadarkan dia dari lamunan.
Suto Siau berpaling sambil memandangnya sekejap, menyaksikan separah tubuhnya yang telanjang, memandang sepasang payudaranya yang putih dan montok, sekulum senyum kebanggaan segera tersungging di ujung bibirnya.
Sambil tertawa menyeringai, dia bergumam:
"Bagaimanapun juga aku masih tetap hidup, apalagi ditemani seorang nona muda yang cantik dan bahenol, oooh... kapan pun aku ingin menidurinya, saat ini juga aku bisa menikmatinya"
Membayangkan kembali bagaimana nona itu sudah menjadi barang dalam genggamannya, daging di atas meja yang setiap saat dapat dicicipi, tidak tahan lagi dia tertawa tergelak.
Kini semua rasa ngeri dan takut telah lenyap, yang tersisa hanya segumpal api panas yang membara dari Tan-tiam menyebar ke seluruh tubuh, api panas yang membuat tubuhnya terasa hangat, membuat dia kegerahan, membuatnya hampir saja melepas seluruh pakaian yang dikenakannya.
Sekali lagi dia melirik sekeliling tempat itu, membasahi bibirnya yang mulai mengering dan bergumam:
"Bagaimanapun juga, aku harus menikmati dulu gadis ini sebelum bicara lain."
Semenjak jagoan perguruan Tay ki bun muncul kembali dalam dunia persilatan, dia selalu menekan dan mengendalikan napsu
paling purba yang dimilikinya dalam hati, dia merasa tidak punya waktu untuk memikirkannya, dia pun tidak berani
memikirkannya. Tapi sekarang dalam situasi serba bahaya ini, api napsunya yang sudah lama terkekang, entah kenapa tiba-tiba saja tidak terkendalikan lagi, mendadak meledak dengan hebatnya.
Begitu napsunya meledak, dia tidak kuasa lagi mengendalikan diri.
Kini hawa panas yang muncul karena perasaan panik tadi mempercepat aliran darah dalam tubuhnya... tiba-tiba tangannya bekerja keras, merobek dan mencabik hancur seluruh pakaian yang dikenakan Gi Beng.
"Breeet, breeet... !", tidak selang beberapa saat kemudian tubuh Gi Beng yang halus, putih dengan membawa warna semu merah seorang gadis perawan telah tampil bugil di hadapan Suto Siau.
Kini mukanya bertambah merah, sinar matanya
memancarkan cahaya kebuasan seekor binatang liar.
Biji tenggorokannya naik turun seperti bola yang berlarian, akhirnya dia tidak kuasa lagi menahan diri, tanpa membuang waktu, tubuhnya langsung menubruk ke arah Gi Beng.
Tiba-tiba "Braaaak!", di antara rerumputan yang bergoyang, tampak dua sosok bayangan manusia menerjang datang dengan langkah sempoyongan.
"Siapa?" dengan perasaan terkesiap Suto Siau menghardik.
Padahal tidak usah menghardik pun dia sudah melihat dengan jelas siapa yang telah datang.
Lambat-laun racun yang mengeram dalam tubuh Im Gi mulai punah, kekuatannya baru saja pulih.
Tapi Thiat Cing-su masih memayangnya sambil bergerak cepat, kedua orang itu berlari di antara rerumputan yang tinggi.
Di tengah jalan, dengan wajah berubah, tiba-tiba Im Gi berseru:
"Mana adikmu" Mana adikmu" Kenapa kau tidak berada bersamanya" Sekarang kita berdua harus kemana mencarinya?"
Thiat Cing-su menundukkan kepala tidak berani menjawab...
padahal sewaktu terjadi tanah runtuh tadi, hampir semua orang berusaha menyelamatkan diri, dalam keadaan begini, mana mungkin memikirkan orang lain" Bagaimana mungkin hal ini bisa menyalahkan dia"
Im Gi mencoba mengawasi sekejap sekeliling tempat itu, kemudian dengan men-dongkol mendengus dingin.
Belum sampai mengucapkan sesuatu, tiba-tiba dia seperti mendengar sesuatu, buru-buru tangannya dibekapkan ke mulut sendiri sambil memberi tanda agar tidak berisik.
Rupanya setelah berada di balik rerumputan, dia teringat tempat semacam itu merupakan tempat yang sangat berbahaya karena setiap saat bisa muncul musuh yang menyerang, bila dia berisik atau bersuara keras, bisa jadi suara itu akan memancing datangnya musuh tangguh.
Orang perguruan Tay ki bun sudah tersohor karena pandai menahan diri, persoalan apapun bisa menahan diri karena mereka beranggapan nyawa adalah sesuatu yang sangat berharga, mana boleh nyawa yang berharga dikorbankan begitu saja"
Di saat itulah dari balik rerumputan terdengar suara rintihan seorang gadis muda.
Dengan cepat Im Gi dan Thiat Cing-su saling berpandangan sekejap, kemudian tidak tahan mereka menerobos ke arah sumber suara tadi.
"Siapa?" tiba-tiba seseorang melompat bangun dari balik semak.
Tentu saja orang itu tidak lain adalah Suto Siau.
Musuh bebuyutan ternyata saling berhadapan muka, baik Im Gi dan Thiat Cing-su maupun Suto Siau, semuanya merasa terperanjat hingga termangu beberapa saat.
"Ternyata kau!" bentak Im Gi dengan mata merah darah.
"Kau... kau..." tiba-tiba Suto Siau membalik-kan badan, kemudian melarikan diri terbirit-birit.
"Dasar binatang tidak berguna," kembali Im Gi mengumpat,
"ayo, kabur... ayo, kabur...."
Sambil berteriak dia mencoba melakukan pengejaran, sayang tenaga dalamnya belum pulih seratus persen, tubuhnya sempoyongan dan langsung roboh terjungkal ke tanah.
Buru-buru Thiat Cing-su menerjang mendekati sambil berseru kaget:
"Kenapa kau orang tua?"
"Bagus... bagus...."
Napasnya yang tersengal-sengal membuat dia tidak sangup melanjutkan kata-katanya.
Cepat Thiat Cing-su menepuk punggungnya berulang kali,
beberapa saat kemudian mendadak dia merasa di sisi tubuhnya seperti tergeletak sebuah benda yang halus, lembut dan kenyal.
Dengan perasaan terkesiap buru-buru dia berpaling, apa yang kemudian terlihat seketika membuat anak muda itu terbelalak dengan terperana, ternyata dia menemukan tubuh bugil Gi Beng yang tergeletak di tanah, bugil tanpa selembar benang pun.
Pemuda ini boleh dibilang baru meningkat dewasa, selama hidup jangankan menyaksikan dengan mata kepala sendiri, membayangkan adegan itupun belum pernah, tapi sekarang...
tubuh bugil seorang gadis muda yang begitu montok, begitu menawan hati, begitu halus dan merangsang hawa napsu telah terbentang jelas di depan mata....
Thiat Cing-su merasa jantungnya nyaris melompat keluar dari rongga dadanya, dengan mata terbelalak lebar dan mulut melongo dia mengawasi tubuh gadis itu tanpa berkedip, untuk sesaat dia hanya termangu dan sama sekali tidak mampu bergerak.
Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya sambil merintih lirih Gi Beng tersadar dari pingsannya.
Begitu membuka mata, si nona pun segera menyaksikan wajah seorang pemuda yang sedang terkejut menatapnya, dia saksikan pemuda itu sedang memandangnya dengan sorot mata bingung, ingin tahu serta rasa gembira.
Ternyata bukan Suto Siau! Gadis itu agak melengak.
Menyusul kemudian rasa malu seketika menyelimuti perasaannya, rasa malu yang membuat sepasang pipinya berubah semu merah.
"Bajingan cilik," umpatnya gusar, "apa... apa yang sedang kau lihat?"
"Aku... aku...."
"Kenapa masih memandangi aku?" kembali Gi Beng menegur.
Kontan Thiat Cing-su merasa kepalanya seperti dipukul martil, darah panas langsung memenuhi kepalanya, bukan cuma wajahnya terasa panas, pipinya pun ikut berubah merah padam, buru-buru dia memejamkan mata.
Melihat pemuda itu meski berwajah keras namun membawa sifat kekanak-kanakan, di balik kematangan masih terselip kejujuran, khususnya setelah melihat dia memejamkan mata rapat-rapat, sekilas senyuman segera tersungging di ujung bibir nona itu.
"Sebenarnya siapakah kau?" sapanya kemudian dengan
lembut. "Harap nona... nona mengenakan dulu pakaianmu kemudian baru berbicara."
"Kalau aku bisa mengenakan sendiri, buat apa mesti berbicara denganmu?"
Thiat Cing-su tertegun, serunya kemudian tergagap:
"Lalu... apa... apa yang bisa kulakukan?"
"Jalan darahku tertotok."
"Kau minta aku membebaskan dulu totokan jalan darahmu?"
Belum sempat Gi Beng menjawab, dengan suara keras Im Gi telah menghardik:
"Tanyai dulu siapakah dia, jangan sembarangan turun tangan."
Biarpun selama ini orang tua itu tidak pernah berpaling, namun pembicaraan yang dilakukan kedua orang itu dapat didengar olehnya dengan jelas.
Buru-buru Thiat Cing-su berdehem, kemudian tanyanya:
"Boleh tahu siapa nama nona?"
Berputar sepasang biji mata Gi Beng, tiba-tiba serunya tertahan:
"Jangan-jangan kalian... kalian berasal dari perguruan Tay ki bun?"
"Benar!" sahut Im Gi dengan suara berat, "siapa kau?"
Diam-diam Gi Beng menghembuskan napas lega, sahutnya:
"Boanpwe bernama Gi Beng, salah satu dari tujuh pedang pelangi
"Tujuh pedang pelangi?"
"Benar."
Setelah berhenti sejenak untuk menarik napas, lanjutnya,
"Walaupun di antara tujuh pedang pelangi ada yang bermusuhan dengan perguruan Tay ki bun, tapi kami dua bersaudara tidak termasuk di antaranya, malahan kami punya seorang sahabat karib yang berasal dari perguruan Tay ki bun."
Tiba-tiba nona itu merasa salah bicara, tapi sayang keadaan sudah terlambat, perkataan pun sudah telanjur meluncur keluar.
Terdengar Im Gi bertanya dengan keheranan:
"Kau punya sahabat yang berasal dari perguruan Tay ki bun"
Siapa dia?"
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Soal ini... soal ini...."
Sekarang dia baru teringat rahasia yang menyangkut Im Kian tidak boleh diucapkan sembarangan.
"Siapa" Cepat katakan!" hardik Im Gi tak sabar.
"Aku... tiba-tiba aku tidak teringat namanya..."
"Omong kosong!"
Cepat dia melepas jubah luarnya dan dilembar ke depan, pakaian itu jatuh persis di atas tubuh Gi Beng.
Dengan sekali lompatan Im Gi bangkit berdiri, ditatapnya wajah gadis itu dengan sorot mata tajam, kembali hardiknya:
"Kenapa kau tidak berani menyebutkan nama orang itu"
Jangan-jangan ada tipu muslihat di balik pengakuanmu itu?"
"Jangan-jangan orang itu adalah Jiko... atau Im-samko...."
bisik Thiat Cing-su tergagap.
"Kentut!" tukas Im Gi gusar, "kalau memang kedua orang itu, kenapa dia ragu menyebutnya?"
"Wah, sungguh lihai orang tua ini!" pikir Gi Beng sambil menghembuskan napas dingin.
Terdengar Im Gi berkata lagi:
"Nona Gi, di antara kita berdua tidak punya ikatan dendam sakit hati, sebenarnya aku pun tidak akan menyulitkan dirimu, tapi bila kau masih enggan menjelaskan persoalan ini, jangan salahkan kalau Lohu akan bersikap kurang sopan."
Dari mimik mukanya terpancar sinar kewibawaan yang menggidikkan hati, membuat siapa pun merasa seram memandangnya.
Tidak tahan Gi Beng bersin berulang kali, hampir saja dia tidak kuasa menahan diri untuk bicara sejujurnya.
Tapi akhirnya sambil mengertak gigi, pikirnya, "Aku tidak boleh bicara, aku tidak boleh bicara... kalau aku mengatakan sesungguhnya, bukankah sama artinya telah mencelakai Thiat Tiong-tong" Dia adalah kekasih Enci Sui, mana boleh aku mencelakainya?"
Tapi ingatan lain kembali melintas, pikirnya lagi, Aaah, benar!
Bagaimanapun toh Thiat Tiong-tong sudah mati, kalau kuceritakan hal yang sesungguhnya, mungkin saja hal ini justru akan memunculkan rasa menyesal di hati mereka."
Berpikir demikian, dia pun berseru keras:
"Dia adalah Im Kian!"
"Im Kian?" Im Gi tertegun sejenak lalu berteriak.
Thiat Cing-su sendiri pun melengak.
"Toako?" jeritnya.
"Benar."
"Perempuan tidak tahu diri, besar amat nyalimu, berani kau
membohongi Lohu?" ujar Im Gi gusar, "Im Kian si binatang kecil yang tidak berbakti itu sudah mati lama, mana mungkin kau bisa kenal dengannya?"
"Walaupun kalian mengira dia sudah mati, padahal dia belum mati."
"Omong kosong! Omong kosong! Dengan mata kepala sendiri Lohu saksikan, kematiannya, mana mungkin salah?"
"Benarkah kau menyaksikan dengan mata kepala sendiri atas kematiannya?"
"Soal ini kembali Im Gi tertegun.
Perlahan Gi Beng menghela napas panjang, ujarnya:
"Terus terang kuberitahu, hari itu kau memang memberi perintah kepada Thiat Tiong-tong untuk melaksanakan eksekusi, tapi kenyataan Thiat Tiong-tong sama sekali tidak menghukum mati dirinya, dia mengirimnya ke tempat lain untuk merawat luka, sementara jenazah orang lain yang mewakilinya melaksanakan hukuman dipisah lima ekor kuda."
Begitu tahu kejadian yang sebenarnya, Im Gi maupun Thiat Cing-su semakin tertegun dibuatnya.
Thiat Cing-su merasa terkejut bercampur girang, gumamnya:
"Ternyata Thian maha kasih... ternyata Thian sangat bijaksana, rupanya Toako belum meninggal
Hawa amarah mulai menyelimuti wajah Im Gi, tiba-tiba bentaknya:
"Sekarang binatang kecil itu berada... berada dimana?"
"Aku tidak tahu."
"Mana mungkin kau tidak tahu" Cepat katakan!" hardik Im Gi semakin gusar.
"Jejak anggota perguruan Tay ki bun selalu rahasia dan sukar dilacak, kehebatan kalian menghilangkan diri tiada tandingannya di kolong langit, bahkan manusia macam Hek Seng-thian dan Suto Siau kawanan rase tua pun susah menemukan mereka, apalagi aku?"
Im Gi termenung beberapa saat lamanya, kemudian manggut-manggut.
"Masuk akal juga perkataanmu itu...."
Tapi sejenak kemudian kembali bentaknya marah:
"Tapi bagaimanapun aku harus menemukan kembali jejak binatang cilik itu, boleh saja nasibnya beruntung bisa lolos dari eksekusi yang dilakukan tempo hari, tapi kali ini Lohu akan melaksanakan sendiri eksekusi itu, akan kuperintahkan
mayatnya dipisahkan lima ekor kuda!"
Gi Beng yang mendengar perkataan itu merasakan hatinya bergidik, pikirnya, 'Ternyata nama besar Ciangbunjin Thiat hiat tay ki bun memang bukan nama kosong belaka, dia benar-benar galak sekali. '
Dengan wajah hijau kemerah-merahan, Thiat Cing-su seperti ingin mengucapkan sesuatu, namun tidak berani
mengungkapkan, sampai lama kemudian dia baru membesarkan nyali dan berkata:
"Suhu, bukankah selama ini kau selalu teringat Toako"
Bukankah kau orang tua sering pula menyinggung tentang segala kebaikan yang dimiliki Toako?"
Dada Im Gi naik turun tidak beraturan, tampaknya sedang menahan gejolak emosi yang menggelora, sepasang kepalannya tergenggam kencang, bentaknya:
"Tutup mulut!"
Gemetar keras sekujur badan Thiat Cing-su saking takutnya, tapi dia tetap memberanikan diri berkata lagi:
"Ananda tidak pernah membangkang perkataan kau orang tua, tapi kali ini ananda harus menyampaikan semua uneg-uneg yang sudah lama tersimpan dalam hati sanubariku, sekalipun kau orang tua akan menghajarku sampai mampus, ananda tetap akan mengatakan-nya juga."
Hawa amarah masih menyelimuti wajah Im Gi, namun kali ini dia tidak bersuara atau menghalangi niat muridnya untuk bicara.
"Jiko dan Samko telah tertimpa musibah, kekuatan perguruan Tay ki bun kita boleh dibilang semakin lemah dan sedikit, beruntung sekarang kita mendapat tahu Toako masih hidup, sesungguhnya inilah berita baik untuk perguruan kita, dengan kepandaian silat serta kecerdasan yang dimiliki Toako, tidak sulit baginya untuk membangkitkan kembali kejayaan perguruan Tay ki bun, tapi... aaaai! Kenapa kau orang tua justru menginginkan pula kematiannya?"
Im Gi berdiri sambil mengelus jenggot, tubuhnya gemetar keras karena menahan tekanan batin yang berat, jelas perang batin sedang terjadi dalam hatinya, di samping gembira dan penuh luapan emosi, dia pun merasa sedih, pedih dan serba salah.
Ternyata orang tua ini memiliki hati sekeras baja! Dia seperti tidak bergeming dari keputusan-nya.
"Bagaimanapun juga," katanya kemudian, "hukum perguruan
Thiat hiat tay ki bun harus tetap ditegakkan, orang yang sudah dijatuhi hukuman mati, tidak mungkin dibiarkan tetap hidup di dunia ini."
Dengan sedih Thiat Cing-su tertunduk lemas, air mata jatuh berlinang membasahi wajahnya.
Gi Beng sendiri pun amat menyesal, dia membenci diri sendiri, menyesal dan benci kepada diri sendiri karena banyak mulut.
Tiba-tiba dari kejauhan berkumandang suara pekikan yang amat keras, suara pekikan itu bagai lolongan serigala malam, seperti juga tangisan setan gentayangan, membuat siapa pun yang mendengarnya merasa bergidik dan ngeri.
Berubah paras muka Im Gi, Thiat Cing-su serta Gi Beng, mereka dapat menangkap suara pekikan ngeri itu sedang bergerak semakin mendekat, bahkan bergeser menghampiri tempat mereka.
Tidak terlukiskan rasa kaget Suto Siau ketika melihat kemunculan Im Gi dan Thiat Cing-su secara tiba-tiba.
Biarpun dia tahu Im Gi belum seratus persen sembuh dari lukanya, namun nama besar Ciangbunjin perguruan Tay ki bun sudah cukup membuat hatinya keder.
Sejujurnya dia merasa tidak bernyali untuk menghadapinya seorang diri, tidak berani bertarung satu lawan satu.
Karena itu tanpa banyak bicara dia langsung putar badan dan melarikan diri.
Padang rumput yang luas dan lebat memang tempat yang paling cocok untuk melarikan diri Bambil menyembunyikan diri.
Setelah kabur sejauh puluhan langkah, dia sudah kehilangan jejak Im Gi, ketika mencoba pasang telinga, dia pun tidak mendengar ada suara langkah kaki yang sedang melakukan pengejaran.
Saat itulah dia baru bisa menghembuskan napas lega sambil mengumpat lirih:
"Dasar iblis tua macam sukma gentayangan saja, ternyata ambruknya bukit karang tidak sampai membikin mampus dirinya, kenapa kalau mau muncul justru di saat aku hendak menikmati tubuh molek" Sialan!"
Paling tidak sekarang dia sudah tahu jika di pihak perguruan Tay ki bun ada dua orang tidak mampus dalam bencana tadi, kenyataan ini membuatnya semakin tidak berani bertindak gegabah, sambil berusaha tahan napas dia bergerak terus ke depan.
Kini dia benar-benar kebingungan, tidak tahu ke arah mana harus pergi, keadaannya tidak jauh berbeda dengan orang buta yang mencari jalan, dalam hati dia hanya bisa berdoa, semoga jangan sampai bertemu lagi dengan para jago perguruan Tay ki bun.
Sepeminuman teh lamanya dia berjalan, seluruh tubuh sudah bermandikan keringat, tapi dia masih bingung, tidak tahu apa yang bakal dihadapi di depan sana, bisa dibayangkan betapa panik dan takutnya saat itu.
Tiba-tiba dari balik rerumputan di depan sana terdengar suara baju yang tersampuk angin.
Dengan perasaan terkesiap Suto Siau siap kabur
meninggalkan tempat itu, tapi setelah berpikir sebentar, akhirnya dengan memberanikan diri dan menahan napas perlahan-lahan dia bergerak maju ke depan.
Sebetulnya dia sudah berjalan sambil setengah berjongkok, ketika hampir tiba di tempat itu, tubuhnya bertiarap di tanah, bagaikan seekor ular berbisa dia bergerak maju dengan melata.
Angin masih berhembus sepoi, rerumputan bergoyang meninggalkan suara berisik.
Dari balik rerumputan yang bergoyang dia mencoba mengintip, benar saja, di sana terlihat bayangan manusia.
Tapi sayang Suto Siau masih belum dapat melihat wajah kedua orang itu dengan jelas, sambil mengertak gigi dia merangkak maju lagi dua langkah, tiba-tiba dari balik rerumputan muncul lagi wajah seseorang.
Ternyata secara kebetulan orang itupun sedang merangkak ke arahnya.
Begitu saling bertatap muka, kedua orang itu sama-sama terperanjat hingga nyaris menjerit tertahan, tapi dalam waktu singkat mereka sudah dapat melihat jelas wajah lawan, maka masing-masing pun saling mendekap mulut sendiri.
Sambil menghembuskan napas lega, bisik Suto Siau:
"Saudara Hek, rupanya kau."
Ternyata dua orang yang sedang merangkak itu tidak lain adalah Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu.
Tidak terlukiskan rasa girang ketiga orang itu, mereka tidak menyangka setelah merasakan ketegangan sekian lama, akhirnya mereka dapat berkumpul kembali.
"Wah, Thian memang maha pengasih, ternyata kalian berdua tidak mati," kata Suto Siau.
Hek Seng-thian tertawa getir.
"Biarpun tidak mampus, tapi sudah hampir," katanya.
"Suto-heng," kata Pek Seng-bu pula, "selama ini kau selalu berjaga di luar gua, tahu tidak siapa saja yang berhasil melarikan diri dari dalam gua?"
Ternyata apa yang menjadi kekuatiran kedua orang ini sama persis seperti apa yang dipikirkan Suto Siau.
"Situasi waktu itu sangat kalut, susah menyaksikan dengan jelas," sambil menghela napas Suto Siau menggeleng.
"Semoga saja Im Gi si tua bangkotan itu mampus tertindih batu," seru Hek Seng-thian penuh kebencian.
"Sayangnya justru tua bangka itu masih segar bugar," kata Suto Siau sambil tertawa getir.
"Jadi kau telah bertemu dengannya?" tanya Hek Seng-thian berdua hampir berbareng.
"Benar!" secara ringkas dia pun menceritakan pengalaman yang barusan dialaminya, tentu saja soal yang menyangkut Gi Beng sama sekali tidak disinggung.
Hek Seng-thian saling pandang sekejap dengan Pek Seng-bu, kelihatannya mereka gegetun sekali dengan kenyataan itu.
Lewat sesaat kemudian Hek Seng-thian baru berkata:
"Biarpun tua bangka Im panjang umur, tapi aku rasa Lui-pian Lojin dan anaknya pasti sudah mampus."
"Kau melihatnya?"
"Ketika Pek-jite mengajakku keluar tadi, sebelum meninggalkan gua kami lihat Siang-tok Thaysu bukan saja telah menghadang jalan pergi Lui-pian Lojin, bahkan dia sempat mengayunkan telapak tangannya mendorong masuk kedua orang itu, padahal waktu itu bukit karang sedang runtuh, dengan luka yang belum sembuh, mana mungkin Lui-pian Lojin berdua sanggup meloloskan diri?"
"Haah" Tidak disangka Lui-pian Lojin, seorang jagoan yang tangguh harus mati secara mengenaskan di tempat ini!"
"Seharusnya kita gembira dengan kematian-nya, kenapa Suto-heng justru menghela napas?"
"Biarpun Lui-pian Lojin menjengkelkan, paling tidak dia masih terhitung sejalan dengan kita, kematiannya hanya mendatangkan kerugian, bukan keberuntungan, kenapa aku tidak boleh menghela napas?"
Pek Seng-bu tersenyum.
"Lantaran Suto-heng tidak menyaksikan sendiri semua
peristiwa yang telah terjadi dalam gua tadi, tidak heran kau masih menaruh simpati kepadanya dan mengucapkan kata-kata seperti itu."
"Apa yang telah terjadi dalam gua?"
Hek Seng-thian menghela napas panjang.
"Aaai, Suto-heng belum tahu, tadi Lui-pian Lojin sudah bersekongkol dengan orang perguruan Tay ki bun, kalau dia tidak mampus, berarti kita bakal mendapat tambahan seorang musuh tangguh lagi."
"Ooh, begitu kejadiannya" Aaai, ternyata perubahan yang terjadi bagaikan perubahan cuaca, sukar diramalkan, siapa yang mengira dalam setengah hari saja dapat terjadi perubahan sedrastis ini."
Setelah berhenti sej
Jodoh Rajawali 1 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Golok Halilintar 2