Pencarian

Pendekar Pemetik Harpa 10

Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 10


bur hati Tan Cioksing,
tanpa merasa mulutnya menyeletuk: "Setelah berhasil
menuntut balas, apakah kau juga takkan berpisah denganku?"
Jengah muka In San, sahutnya: "Ilmu pedangku masih
kuharap petujukmu, kalau kau tidak mengusirku, aku akan
tetap ikut padamu."
Kuda tunggangan mereka adalah kuda yang dapat
menempuh ratusan li sehari, kira-kira 10 hari kemudian,
mereka sudah mulai memasuki perbatasan Ouw-lan dan
Khong-say, setelah berada di karisidenan Hing-an, berarti
mereka sudah berada di propinsi Khong-say.
Tampak aliran sungai besar disini mulai bercabang dua,
pemandangan nan permai dengan hawa nan sejuk.
541 Setelah menempuh perjalanan sekian hari, maka mereka
turun di pinggir sungai, membiarkan kuda minum air dan
makan rumput sepuasnya. Tan Ciok-sing dan In San juga
duduk di tanah berumput melepas lelah. Dua hari lagi Tan
Ciok-sing akan tiba di tempat kelahiran entah bagaimana
perasaannya sekarang, senang, duka tapi juga lega, kalau
dulu dia seorang diri meninggalkan kampung halaman,
sekarang kembali berduaan, maka untuk melepas rasa rindu
akan kampung halaman dan melimpahkan perasaan hati nan
suka dan duka ini, dia memetik harpanya.
In San asyik mendengarkan sambil menunduk kepala,
wajahnya tampak merah dan malu.
"Petikan harpa yang bagus," tiba-tiba terdengar seorang
memuji. Waktu Tan Ciok-sing angkat kepala, dilihatnya dua
ekor kuda dicongklang pesat di jalan raya ke arah sini.
Kedua penunggang kuda ini adalah Hwesio dan Tosu.
Hwesio itu yang berseru memuji. In San bersuara heran,
katanya lirih: "Hwesio ini dapat menikmati keindahan petikan
harpamu, kiranya dia juga seorang seniman."
Jarak masih cukup jauh, begitu mendengar irama harpa
Tan Ciok-sing, kedua orang ini segera mengeprak kuda lebih
pesat untuk mendengar lebih jelas dari jarak dekat. Terdengar
Hwesio itu berseru pula: "Anak muda, petikan harpamu amat
bagus, coba petiklah sebuah lagu lagi."
Tapi si Tosu malah mengerutkan kening, katanya: "Kita
harus menempuh perjalanan. Kukira cukup kau menikmati
sebuah lagu ini untuk dijadikan kenangan. Bukankah lebih
baik?" Hwesio itu tertawa, katanya: "Kata-katamu ini mirip filsafat
saja, Betul, anak muda ini belum tentu sudi memetikkan
sebuah lagu lagi, hayolah lanjutkan perjalanan."
Sambil mencongklang kudanya si Hwesio agaknya masih
menikmati irama harpa dengan asyiknya, malah di punggung
542 kuda kaki tangannya menari berjingkrak-jingkrak. Pada hal
kuda itu sedang lari pesat di jalan pegunungan yang naik
turun. Mendadak tubuhnya itu mencelat mumbul seperti
dilempar ke atas.
Karuan In San menjerit kaget, teriaknya: "Aduh, celaka."
Dengan gaya burung dara jumpalitan si Hwesio dengan
enteng meluncur turun dan duduk pula di punggung kuda.
Katanya tertawa: "Terima kasih akan perhatianmu nona, Toa
Hwesio takkan bisa jatuh." Tan Ciok-sing berdua berada di
pinggir sungai, sementara mereka mencongklang kuda di jalan
raya jarak di antara mereka ada satu li, tapi gelak tawa dan
perkataan si Hwesio dapat didengar In San sejelas orang
bicara berhadapan, malah terasa pekak telinganya, karuan In
San kaget, pikirnya: "Latihan lwekang Hwesio ini, mungkin
tidak lebih asor dari Kim-to Cecu."
Tan Ciok-sing juga tertawa, katanya: "Pandangan si Hwesio
juga tajam, dia hanya lewat sambil lalu di jalan raya, ternyata
selintas pandang lantas tahu kalau kau perempuan menyamar
laki-laki."
Sayup-sayup mereka masih sempat mendengar si Tosu
berkata dengan tertawa: "Memangnya kau ini orang beribadat
macam apa, orang beribadat macammu ini seharusnya lepas
dari segala urusan duniawi, tapi kau justru terbius oleh irama
harpa, bermulut besar menganggulkan diri takkan bisa jatuh
lagi?" Hwesio itu tertawa tergelak-gelak, katanya: "Memangnya
aku ini Hwesio sontoloyo, doyan arak suka daging, siapa
bilang aku ini Hwesio agung yang tulen?"
Lekas sekali bayangan merekapun sudah tidak kelihatan
lagi. Tan Ciok-sing berkata: "Hwesio dan Tosu ini agaknya
tokoh-tokoh yang punya bobot, kalau Hwesio itu mau
menunggu beberapa lama, aku sih sudi memetikkan sebuah
lagu untuk dia."
543 In San berkata: "Bukankah kau dengar mereka harus
memburu waktu untuk menyelesaikan urusan penting" Sudah
cukup kita beristirahat, sudah saatnya kita berangkat."
Setelah berada di punggung kuda lambat-lambat mereka
congklang kudanya ke arah depan, belum jauh mereka
menempuh perjalanan, tiba-tiba dilihatnya dua ekor kuda
dicongklang cepat mendatangi dari depan. Kedua
penunggangnya gendut kurus, yang gendut tinggi lima kaki,
perawakannya tambun seperti semangka. Yang kurus,
tingginya ada tujuh kaki lebih, kepala kecil leher panjang,
tubuhnya mirip genter. Melihat pasangan manusia yang lucu
dan menggelikan ini tanpa terasa mereka tertawa geli.
Si gendut segera berkata: "Apa yang kau tawakan, geli
karena aku segendut ini?"
"Karena geli aku tertawa, tiada sangkut pautnya dengan
kau," sahut In San.
"Hm. kau bohong."
"Kak gendut, hayolah tak usah cari perkara," tukas si kurus.
Si gendut tiba-tiba berkata: "Kuda mereka jauh lebih baik
dari tunggangan kita, waduh, kuda yang begitu jempol, belum
pernah aku melihat kuda sebagus ini."
Cepat sekali kedua kuda itu mendatangi dan kedua pihak
sudah saling berhadapan, diam-diam Tan Ciok-sing bersiaga,
betul juga begitu jarak kedua pihak semakin dekat, di kala
kedua penunggang kuda itu hampir melewati mereka, si
gendut mendadak mengulur tangan hendak merintangi lari
kuda Tan Ciok-sing. Begitu kepala kuda tunggangan Tan Cioksing
tertekan, seketika dia meringkik dan berdiri dengan kaki
belakangnya, Namun dengan sigap Tan Ciok-sing sudah
memukul dengan daya dorongan yang kuat, serunya: "Apa
kehendakmu?"
544 "Tidak apa-apa," seru si gendut tertawa tergelak-gelak,
"ingin aku mencoba kekuatan daya terjangan kudamu," di
tengah gelak tawanya, kudanya itu sudah mencongklang
pergi. Si kurus tetap berada di sampingnya, omelnya: "Kak
gendut, kenapa selalu kau mengumbar tabiatmu yang jelek
ini, suka mencari gara-gara. Memangnya kau lupa kita sedang
menunaikan tugas penting."
Si gendut tertawa, katanya: "Tenaga pukulan bocah itu
memang hebat, sayang kita sedang bertugas, kalau tidak ingin
aku berkenalan dan bersahabat dengan mereka," lekas sekali
merekapun telah pergi jauh.
Diam-diam In San melelet lidah, katanya: "Besar sekali
tenaga orang itu, dengan sekali tekanan di punggung kuda,
dia mampu menahan daya lari seekor kuda. Tan-toako, kau
tidak apa-apa bukan?"
Telapak tangan Tan Ciok-sing masih kesemutan dan linu,
katanya: "Tidak apa. Tapi kalau mengadu tenaga pukulan,
jelas aku bukan tandingannya. Tapi permainan tenaga dalam
orang ini ternyata sudah terkendali baik sekali, bisa bekerja
sesuai keinginan hati."
"Darimana kau bisa tahu, kulihat tubuhnya juga tergeliat di
punggung kuda."
"Telapak tangannya menekan kuda, sehingga kuda yang
lagi lari berhasil ditekannya berhenti, tapi kudaku ini
sedikitpun tidak terluka, kepandaian semacam ini jelas tidak
mampu kulakukan."
In San sekarang juga cukup berpengalaman, diam-diam
diapun kaget, katanya: "Sungguh aneh dan janggal, dalam
jangka waktu belum ada sejam, beruntun kita bersua empat
jagoan silat kosen."
Dengan rasa ragu dan curiga mereka terus melanjutkan
perjalanan ke depan. Beberapa kejap lagi, terdengar ringkik
kuda di kejauhan sana, tampak dua ekor kuda lari mendatangi
545 pula penunggang kudanya juga orang-orang aneh yang
menimbulkan rasa heran dan kaget.
Dikatakan "aneh" bukan lantaran tampang kedua orang ini
terlalu istimewa, tapi adalah dandanan mereka. Kedua orang
ini mengenakan pakaian rombeng, seorang memanggul
kampak, seorang lagi membawa kepis yang terikat di
pinggang, tangannya memegang joran, joran di tangannya
sering digunakan sebagai pecut. Kalau kedua orang ini tidak
menunggang kuda umumnya orang akan mengira mereka
adalah tukang kayu dan pencari ikan yang pulang dari gunung
dan sungai. Selintas pandang orang juga akan tahu bahwa
kuda tunggangan mereka pilihan, malah pelananya tampak
mewah dan tersulam indah sekali, jelas penebang kayu dan
pengail ikan biasa takkan mungkin memilikinya. Bahwa tukang
penebang kayu dan seorang pengail menaiki kuda jempolan
lagi, bukankah ini agak janggal dan aneh.
Setelah agak dekat dan melihat jelas mereka, pengail ikan
itu bersuara heran dan kaget, katanya: "kuda yang bagus dan
gagah, penunggangnyapun lebih tampan lagi," serta merta
matanya melirik ke arah In San, kembali mulutnya bersuara
aneh, katanya seperti untuk didengar sendiri: "Kulihat bocah
ini agak janggal," agaknya dia juga melihat penyamaran In
San, tahu bahwa dia adalah anak perempuan.
Diam-diam In San menggerutu dan mengumpat dalam hati:
"Memangnya kau sendiri yang janggal," baru saja dia pernah
merasakan pelajaran dari pengalaman yang terdahulu, maka
kali ini dia tidak berani banyak usil.
Tapi jawaban penebang kayu justru merupakan jawaban
dalam hati In San juga: "Dalam pandangan orang lain, kau
dan aku justru dipandangnya sebagai mahluk aneh. Kenapa
kau peduli mereka itu gagah, tampan atau buruk rupa,
hayolah." 546 "Kau tidak usah kuatir," ucap pengail, "aku tidak akan
seperti Bui samko (kak gendut ketiga) yang suka mencari
perkara itu."
Diam-diam Tan Ciok-sing membatin: "Kiranya mereka
serombongan dengan kedua orang gendut dan kurus yang
jalan duluan tadi," walau pengail ini sudah berkata tidak akan
mencari gara-gara tapi Tan Ciok-sing berlaku waspada.
Cepat sekali kedua pihak sudah mendatangi semakin dekat,
celakanya Tan dan In berdua kebetulan tiba di jalan
pegunungan yang sempit, hanya cukup tiba untuk jalan seekor
kuda. Baru saja Tan Ciok-sing hendak menyingkir ke
gundukan tanah yang lebih tinggi, kedua penunggang kuda ini
sudah mencongklang datang lebih dulu. Agaknya mereka juga
punya maksud yang sama, kuatir saling bertumbukan dengan
Tan Ciok-sing berdua. Tan Ciok-sing menghela napas lega,
tapi waktu dia memandang ke depan, diam-diam dia merasa
kuatir bagi kedua orang itu.
Di lereng bukit di sepanjang jalan sempit itu tumbuh
deretan pohon pendek yang rimbun dan dahannya bercabang
simpang siur, seakan-akan banyak lengan orang sengaja
diulur keluar untuk merintangi jalan orang, jelas peluang
untuk lewat amat sempit. Dalam keadaan seperti ini, jalan kaki
masih leluasa lewat, tapi menunggang kuda salah-salah bisa
terjungkel jatuh karena kesabet dahan, paling ringan muka
cecel dowel, celaka kalau leher putus atau kepala bocor, maka
cara yang paling baik adalah turun dari punggung kuda,
menyibak dahan-dahan pohon serta menuntun kuda, Tapi
kedua penunggang kuda ini bukan saja mencongklang
kudanya, merekapun tidak mau turun.
Di kala Tan Ciok-sing merasa kuatir, tiba-tiba dilihatnya
penebang kayu mengayun kampak yang dipanggulnya, angin
menderu kampak bekerja laksana baling-baling, sementara
sang kuda masih terus membedal kencang. Dahan-dahan
pohon yang melintang jalan tampak protol beterbangan,
547 setelah kudanya mencongklang lewat baru dahan-dahan yang
terbabat beterbangan itu berhamburan jatuh, karuan Tan
Ciok-sing melongo menyaksikan pertunjukan yang
menakjubkan ini.
Kalau penebang kayu membuka jalan dengan caranya yang
lucu secara kekerasan ini, adalah pengail ikan juga
menggunakan caranya pula yang aneh. Terdengar mulutnya
mengeluh terus berteriak: "Aku berada di belakangmu,
kutungan dahan yang berhamburan ini, memangnya sengaja
kau ingin kepalaku bocor?" mendadak tubuhnya melejit
jumpalitan di atas punggung kuda, joran di tangannya yang
panjang itu mendempel sebatang pohon setinggi beberapa
tombak, tubuhnya segera terayun seperti pemain akrobatik
bermain ayunan, secara beruntun dia berjumpalitan turun naik
ke depan, lekas sekali tubuhnya sudah melesat ke depan
melampaui daerah yang berbahaya ini, sementara kudanya
tetap mencongklang ke depan. Begitu dia menarik jorannya, di
tengah udara dia jumpalitan sekali lagi lalu melayang turun
dan duduk tegak pula di punggung kudanya.
In San berkata lirih: "Joran itu adalah senjatanya yang
ternama, benang pancingnya itu entah terbuat dari apa, punya
daya tahan sekuat itu."
"Kau tahu siapa mereka?" tanya Ciok-sing.
"Entah," sahut In San, "tapi waktu kecil pernah aku
mendengar cerita ayah. Di pinggir sungai Wi-cui terdapat
seorang pengail dan penebang kayu, mereka adalah tokoh
pengasingan dari bulim, ayah juga tidak tahu siapa nama
mereka, mungkin kedua orang inilah."
"Wi-cui berada di Kam-siok yang mengalir masuk ke Siamsay.
Kalau mereka tinggal di pinggir Wi-cui, kalau penduduk
Kam-siok pasti kelahiran Siam-say. Untuk apa mereka berada
di tempat nan jauh ini?"
548 In San tertawa, katanya: "Mana aku bisa tahu Tapi satu hal


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat kuduga."
"Hal apa?"
"Kira kira sebelum dua jam lagi, di tengah jalan nanti kita
bakal ketemu dua orang kosen pula?"
"Lho, dari mana kau bisa tahu?"
"Kena tidak tebakanku, biarlah sebentar lagi kita buktikan,
tunggu saja."
Tan Ciok-sing setengah percaya, tapi hatinya masih raguragu,
mereka terus melanjutkan perjalanan ke depan. Betul
juga belum ada setengah jam, dari depan tampak mendatangi
pula dua penunggang kuda. Penunggangnya adalah laki
perempuan, usianya masih muda baru dua puluhan. Pakaian
perlente kudapun jempolan, yang laki-laki gagah dan tampan,
yang perempuan ayu jelita. Diam-diam Tan Ciok-sing memuji
dalam hati. Kalau Tan Ciok-sing memperhatikan mereka, merekapun
memperha-tikan Tan Ciok-sing. Waktu itu mereka sama
berjalan di jalan raya, kuda kedua pihak juga dilarikan sesuka
hati. Setelah jarak semakin dekat, kedua muda mudi tampak
memperlambat lari kudanya, setelah lewat di samping mereka
ternyata tidak menunjukkan aksi apa-apa.
Kira-kira dalam jarak sepanahan kemudian, terdengar lakilaki
itu berkata lirih: "Harpa yang dipanggul pemuda itu
kemungkinan adalah barang antik."
Tergerak hati Tan Ciok-sing, lekas dia tarik kendali
memperlambat jalan kudanya, diam-diam dia pasang kuping
mendengarkan percakapan mereka. Setelah meyakinkan
lwekang ajaran Thio tan hong pendengaran kupingnya tajam
luar biasa, dalam jarak seratus tangkah, meski orang bicara
bisik-bisik juga sayup-sayup dapat didengarnya. Pada hal jarak
kedua pihak sekarang belum ada seratus langkah.
549 "Darimana kau tahu?" tanya yang perempuan.
Yang lelaki berkata: "Kotak itu terbuat dari kayu cendana
yang sudah berusia ribuan tahun, warnanya memang sudah
butut dan luntur, bagi yang tidak tahu mungkin disangka kayu
busuk, bagi pecinta seni baru akan tahu bahwa kotak itu
betul-betul antik dan tak ternilai harganya. Coba kau pikir,
kalau kotaknya saja sebagus itu maka harpa di dalamnya pasti
lebih antik lagi. Jikalau rekaanku tidak meleset, kemungkinan
yang berada didalam kotak itu adalah Kiau-bwe-khim
peninggalan Coa Pah di jaman dynasti Tang-han dulu."
Harpa warisan keluarga Tan Ciok-sing ini memang Kiaubwe-
khim, demikian pula kotak itu memang terbuat dari kayu
cendana yang sudah ribuan tahun. "Pemuda ini ternyata
pandai menilai barang, seorang ahli barang-barang antik,"
diam-diam Tan Ciok-sing membatin.
Perempuan itu tertawa, katanya: "Aku tahu maksudmu,
bukankah kau ingin mendengar suara petikan harpa antik ini"
Sayang kita harus menempuh perjalanan."
"Memang," ujar si pemuda, "orang yang bisa memiliki
harpa sebagus itu, pasti dia bukan orang sembarangan,
sayang kita sedang bertugas, tiada kesempatan berkenalan
dengan dia." Sampai disini jarak mereka sudah lebih dari
seratus langkah, pembicaraan selanjutnya sudah tidak
terdengar lagi.
Maka terdengarlah alunan tiupan suara seruling dari
kejauhan, suaranya yang melengking tajam laksana pekik
bangau di angkasa raya, lembut dan jernih laksana bergema
di udara. Bayangan kedua orang itu sudah tidak kelihatan, tapi
mereka masih mendengar alunan seruling nan merdu.
Dapatlah diduga, karena mereka bicara soal harpa antik, maka
timbul hasrat si pemuda meniup serulingnya, mungkin juga
karena atas permintaan gadis seperjalanan itu.
"Tiupan seruling pemuda itu bagus bukan?" ucap In San.
550 "Bagus sekali. Pengetahuannya mengenai harpa, kurasa
belum pernah kutemui seorang ahli seperti dia."
"Belajar harpa lebih sukar dari seruling, mungkin dia tidak
berhasil belajar harpa lalu belajar meniup seruling. Sayang
masing-masing pihak punya urusan sendiri, kalau tidak harpa
dan seruling kalian dapat berpadu."
"Pengetahuan pemuda itu mengenai harpa cukup
mengejutkanku, tapi kaupun mengejutkan aku pula. Adik San
dari mana kau pernah belajar meramal?"
"Kedua orang itu terhitung jago kosen tidak?" tanya ln San.
"Jago kosen itu luas artinya, beragam pula macamnya,
walau aku tidak tahu berapa tinggi rendah Kungfu kedua
orang ini, tapi aku yakin mereka memiliki kepandaian yang
cukup baik. Tapi lepas dari soal Kungfu, bahwa pemuda itu
selayang pandang saja lantas mengenali Kiau-bwe-khim
milikku ini dia sudah termasuk kosen dalam bidang ini. Adik
San, kenapa setengah jam sebelumnya tadi kau sudah lantas
dapat menduga bahwa kita bakal bertemu lagi dengan kedua
orang kosen ini?"
"Apakah kau tahu adanya peradatan yang dinamakan Patsian-
ing-khek?"
"Maaf pengetahuanku tentang peradatan terlalu cetek, apa
itu Pat-sian-ing-khek?"
"Itulah suatu upacara besar yang agung dan terhormat
bagi penyambutan seorang tamu yang sering terjadi di
kalangan Kangouw. Tuan rumahnya kalau bukan Ketua dari
suatu Pay, Pang atau Hwe, pasti seorang angkatan tua yang
tersohor dan mulia. Tapi pamor sang tamu yang diundang
adalah lebih terhormat dan kedudukannya lebih tinggi dari
tuan rumah sendiri. Peradatan seperti ini kadang kala
dinamakan Pat-sian-sau-ing sam-pek-li (delapan dewa
menyambut tamu tiga ratus li)."
551 Tan Ciok-sing manggut, katanya: "O, jadi delapan jago
kosen yang pernah kita pergoki tadi kiranya adalah delapan
dewa yang diartikan dalam peradatan Pat-sian-ing-khek ini"
Entah mereka mewakili tokoh besar mana untuk menyambut
tamu agung ini?"
"Betul, delapan orang ini adalah petugas yang. menyambut
tamu agung itu. Menurut peraturan mereka terbagi empat
pasang dari tempat jauh untuk menyambut tamu. Kita sudah
bertemu enam orang, kuduga masih ada dua lagi di
belakang."
Diam-diam Tan Ciok-sing kaget, katanya: "Delapan orang
ini semua adalah jago-jago kosen, lalu siapakah tuan
rumahnya, begini banyak jago kosen yang rela menjadi
pembantunya?"
"Kau salah. Delapan orang ini belum tentu pasti anak buah
sang tuan rumah itu, apalagi kau artikan ditugaskan, itu tidak
benar." "Memangnya apa hubungan mereka dengan si tuan
rumah?" "Kemungkinan merekapun para tamu yang datang, demi
menunjukkan rasa hormat dan mau memberi muka kepada si
tuan rumah dan tamu yang harus disambut itu, maka mereka
suka rela menampilkan diri sebagai penyambut tamu."
"Adik San, banyak juga urusan yang kau ketahui," puji Tan
Ciok-sing. "Bukan aku yang tahu banyak, semua ini kudengar dari
cerita ayah. Dulu waktu aku berusia tiga tahun, di rumahku
pernah juga terjadi keramaian adanya peradatan Pat-sian-ingkhek
(delapan dewa menyambut tamu) ini. Tahun itu kakek
merayakan ulang tahunnya yang ke 61, murid tertua Thio
Tayhiap Thio Tan-hong yaitu cikal bakal Thian-san-pay Toh
Thian-tok juga datang, Kim-to Cecu juga pernah mewakili
ayah menjadi salah satu dari delapan dewa itu menyambut
552 kedatangannya. Sayang, waktu itu aku masih kecil, tahunya
hanya suka melihat keramaian. Lika liku sebenarnya dari tata
cara itu baru kuketahui dari cerita ayah setelah aku menanjak
dewasa," sampai disini mendadak dia cekikikan.
Tan Ciok-sing melongo, tanyanya: "Adik San, apa yang kau
tertawakan?"
"Thio Tayhiap adalah famili yang lebih tua dua angkatan
dari aku, kau adalah muridnya, jadi kau lebih tinggi
seangkatan dari aku. Ciangbunjin Thian-san-pay Toh Thian-tok
adalah Suhengmu. Kalau dahulu untuk menyambut
kedatangan Toh Thian-tok, keluargaku menggunakan upacara
Pat-sian-ing-khek, pada hal kau adalah Sutenya, kedudukan
setingkat, sayang sekali waktu kau datang ke rumahku,
waktunya tidak tepat, bukan saja tiada yang menyambutmu,
malah hampir saja kau dihajar habis-habisan."
Tan Ciok-sing tertawa geli, katanya: "Masa aku dibanding
Toh-suheng" Aku adalah murid penutup Suhu, jauh sebelum
aku berguru Toh-suheng sudah menjadi cikal bakal dari suatu
perguruan besar."
"Untung peraturan Kangouw memang cukup bebas dan
menurut kondisi masing-masing, kalau tidak..."
"Kalau tidak kenapa?"
Merah muka.In San, tapi dia tidak mau bicara lagi.
Ternyata dia berpikir begini: "Kalau harus menurut adat dan
perbedaan angkatan, selanjutnya aku takkan boleh bergaul
lagi dengan kau."
Tan Ciok-sing juga tidak mendesak lebih lanjut, dia diam
saja sambil menunduk, seolah ada sesuatu yang sedang
dipikirkan. "Eh, apa yang sedang kau pikirkan?" tanya In San.
"Tadi kau bilang delapan dewa menyambut tamu tiga ratus
li" Dari Kwi-lin sampai Ling-kik kira-kira dua ratus li, bila
553 diteruskan memasuki daerah Ouw-lam, kira-kira memang
mencapai tiga ratusan li."
"O, jadi maksudmu mau bilang bahwa si tuan rumah itu
kemungkinan bertempat tinggal di Kwi-lin?"
"Aku hanya menduga saja. Tapi tokoh besar di Kwi-lin yang
setimpal menggunakan peradatan Pat-sian-ing-khek hanya Itcu-
king-thian Lui Ting-gak saja."
"Aku tahu maksudmu. Dahulu Lui Tin-gak membakar rumah
lalu tinggal pergi, pasti ada sebabnya. Kini berita tersebar luas
bahwa dia akan kembali, tapi kuduga kedatangannya kembali
ke rumah ini pasti tidak ingin disiarkan. Kalau tidak buat apa
dahulu dia harus menghilang secara misterius?"
"Maka itu, mau tidak mau aku jadi curiga siapakah si tuan
rumah ini, sungguh aku tidak habis mengerti."
"Besok juga kita tiba di Kwi-lin, teka teki ini pasti terjawab
disana." Dirundung berbagai pertanyaan itu kedua orang ini
melanjutkan perjalanan, memang setelah kejadian Pat-sian ini,
selanjutnya mereka tidak pernah bertemu dengan "jago
kosen" lagi. Kuda mereka lari kencang, kira-kira menjelang
lohor hari kedua, kota Kwi-lin yang megah dan paling tersohor
di bilangan selatan ini sudah kelihatan di kejauhan.
Sebelum matahari terbenam mereka sudah tiba di Kwi-lin.
Kata Tan Ciok-sing: "Kita cari penginapan diluar pintu timur
bagaimana" Rumahku dulu terletak di bawah Cit-sing-giam
diluar pintu timur itu."
"Kau tidak usah tanya aku, kembali ke kota kelahiranmu,
kau adalah tuan rumah, segalanya terserah kau yang
mengatur."
554 Tan Ciok-sing menemukan sebuah hotel kecil yang terletak
di samping Hoa-kio diluar pintu timur, empat tahun yang lalu,
setiap hari Tan Ciok-sing pasti lewat di depan hotel ini
memanggul kepis, dia masih kenal baik pemilik hotel ini, tapi
dia sudah tidak mengenalnya lagi, maklum dulu dia hanyalah
bocah kampung yang kecil dan berpakaian rombeng, sudah
tentu pemilik hotel ini tak pernah memperhatikan dirinya.
Dengan berseri tawa pemilik hotel ini menyambut kedatangan
mereka, In San minta dua kamar yang berdampingan.
Setelah makan malam, haripun sudah petang. Tan Cioksing
ajak In San jalan-jalan ke Hoa-kio (jembatan kembang)
terus menuju ke Po-tho-san. Cit-sing-giam terletak di kaki Potho-
san. Sementara rumah tinggalnya dulu berada di bawah
Cit-sing-giam. Setiba di letak rumahnya dulu, tampak puing-puing
rumahnya sudah tak karuan, rumput liar menjadikan halaman
rumahnya semak-semak belukar. Menghadapi puing-puing
rumahnya, terbayang dahulu kakeknya mengajarkan memetik
harpa, tanpa terasa hati duka nestapa, tanpa kuasa air mata
bercucuran. Dengan pilu In San berkata lirih: "Rumahmu hancur,
rumahkupun berantakan. Tapi kita masih bisa membangun
lagi sebuah rumah, aku amat suka tempat ini, kelak kita bisa
mendirikan pula sebuah rumah di tempat yang lama ini."
Berdebur jantung Tan Ciok-sing, katanya: "Apa betul kau
punya keinginan itu?"
In San manggut-manggut. "Baiklah kalau begitu," teriak
Tan Ciok-sing tertawa, "Adik San, banyak terima kasih
padamu?" "Terima kasih apa?"
"Terima kasih bahwa kau sudi membangun sebuah rumah
pula bersamaku."
555 Merah muka In San selanjutnya dia bungkam.
"Patah tumbuh hilang berganti, yang lama rusak baru akan
diganti yang baru, tak perlu kita terlalu berkeluh kesah di
tempat ini."
Baru saja dia hendak ajak pergi, tiba-tiba In San berkata:
"Eh, tempat aku berdiri ini, kenapa tanahnya terasa lunak."
Waktu Tan Ciok-sing menyingkirkan pecahan genteng dan
sisa kayu terbakar, tampak disitu, ada bekas-bekas galian.
Setelah diperiksa dengan teliti, bekas-bekas galian itu
ternyata ada beberapa tempat. Sejenak Tan Ciok-sing
menepekur, katanya: "Agaknya dalam dua tiga hari yang lalu,
ada orang pernah datang kemari."
Waktu In San membongkar tanah bekas galian, di
dalamnya ternyata memang berlobang, agaknya setelah
menggali tanah orang itu hanya menguruknya dengan
pecahan genteng dan sisa-sisa tanah di sekitarnya, supaya
kelihatan tertutup saja, hatinya heran, katanya: "Orang itu
menggali tanah di bekas puing-puing ini apa sih kerjanya?"
Sesaat pula Tan Ciok-sing berpikir, katanya kemudian:
"Jelas dia sedang mencari kotak milik ayahmu itu, didalam


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kotak itu tersimpan ajaran ilmu goloknya dan Kiam-boh karya
Suhuku." "Buku pelajaran ilmu golok itukan sudah kau kembalikan
kepadaku."
"Tapi orang itu tidak tahu."
"Kalau begitu dia bukan utusan bangsat she Liong itu"
keponakan keparat she Liong itu pernah merebut kotak itu,
dia kan tahu akan hal ini."
"Betul, kemungkinan
556 rombongan orang lain. Kemungkinan mereka tidak tahu
bahwa rumah ini aku sendiri yang membakarnya. Mereka kira
aku ikut mati terbakar didalam rumah."
"Kalau demikian, aku yakin mereka pasti akan datang pula.
Karena mereka hanya menggali beberapa tempat ini, belum
lagi membongkar puing-puing didalam rumah itu."
"Marilah kita pergi ke pusara ayahmu dan kakekku, setelah
kita memindahkan tulang belulang beliau, nanti kentongan
ketiga kita kemari lagi." Tan Ciok-sing sudah siapkan dua guci
ukuran sedang untuk tempat abu.
"Betul, setelah selesai mengerjakan urusan ini, kembali
dulu ke hotel. Kentongan ketiga nanti diam-diam kita kemari
dan menunggu disini. Aku ingin tahu siapa mereka."
Hari sudah semakin gelap. Tan Ciok-sing mempercepat
langkah membawa In San ke belakang gunung, di suatu
tempat yang sepi dan sembunyi, sekelilingnya adalah batu
karang yang berserakan, kebetulan di tengah-tengah lingkaran
batu-batu karang ini terdapat sebidang tanah datar dan
kosong, hanya Ciok-sing saja yang tahu akan tempat ini.
Kata Tan Ciok-sing: "Malam itu secara tergesa-gesa aku
mengebumikan kakek dan ayahmu di tempat ini, tak lama
kemudian lantas kudengar Tam Tayhiap dikejar oleh kawanan
berandal."
Hati sedih air matapun bercucuran, In San berkata:
"Kematian ayah terlalu mengenaskan, tapi aku tidak tahu.
Baru sekarang aku dapat kemari bersembahyang. Tan-toako,
banyak terima kasih padamu. Lebih menyedihkan lagi
kakekmu ikut ajal karenanya."
"Jenazah mereka kukebumikan di satu tempat, tapi aku ada
memberi tanda, takkan bisa keliru, lalu dia memasuki sela-sela
batu, lompat sana putar sini turun naik sekian lamanya,
sembari jalan dia memberi petunjuk kepada In San, tak lama
kemudian merekapun tiba di tempat tujuan. Begitu tiba di
557 tanah lapang, pandangan kedua orang seketika sama
terkesima. Hari memang sudah petang, tapi mentari yang terbenam
masih memancarkan sisa cahayanya, maka jelas sekali
kelihatan di tanah lapang ini terdapat dua gundukan tanah
sebagai kuburan.
Tan Ciok-sing hampir tidak percaya pada apa yang
disaksikan ini, lekas dia memburu maju serta melihat lebih
jelas, ternyata betul kedua kuburan ini memang adalah pusara
kakeknya dan ayah In San.
Kedua pusara ini dibangun dan dipelihara baik sekali, di
depannya malah dipasang batu nisan lagi, batu nisan di
sebelah kiri bertuliskan "Pusara pendekar besar In Hou"
sementara batu nisan sebelah kanan berukir huruf-huruf
"Pusara ahli harpa Tan Hou-lu."
Malam itu Tan Ciok-sing mengebumikan jenazah kedua
orang secara sederhana tanpa layon pula, karena tergesagesa
dia hanya memberi tanda tertentu saja terus melarikan
diri. Tanda yang dibuat dulu sudah tiada, tapi kuburan disini
telah dibangun sebaik ini. "Siapakah yang berhati sebaik ini,
sudi membangun pusara ini" Memangnya aku sedang mimpi?"
waktu dia gigit jari rasanya sakit, jelas ini bukan mimpi.
In San bertanya dengan suara lirih: "Nama Tan Hou-lu
yang terukir di atas nisan itu, apakah kakekmu?"
"Ya, kakek menamakan dirinya Khim-ang (Ki Harpa), tapi
orang lain memanggilnya Sian-khim (Dewa Harpa) tapi nama
aslinya adalah Hou-lu. Nama ini dipakai di waktu masih muda,
jarang yang tahu akan nama ini. Akupun tidak diberi tahu.
Suatu hari aku membalik buku pelajaran memetik harpa karya
kakek, kulihat di atas buku ada tertera cap namanya, setelah
kutanyakan baru aku tahu itulah nama aslinya yang sudah
lama tak terpakai."
558 "Kalau demikian, orang yang membangun pusara ini pasti
adalah kawan dekat kakekmu."
"Betul, kalau tidak bisa tahu nama asli kakekku."
"Lalu siapa gerangan orang itu menurut rekaanmu?"
"Aku tidak tahu. Aku hanya tahu kakek punya seorang
kenalan lama bernama Khu Ti. Khu Thi ini dulu pernah
sekolega bersama kakekmu didalam pasukan Gi-Iim-kun."
"Aku juga tahu akan orang ini, ayah pernah bicara tentang
dia kepadaku. Tapi dia sudah lama menghilang dari kalangan
Kangouw." Tan Ciok-sing lantas ceritakan pertemuannya dengan Khu
Ti di kedai minum serta pertolongan orang akan dirinya waktu
dikeroyok Huwan bersaudara. Sebetulnya dalam benaknya
sudah membayangkan seseorang, tapi orang ini sejauh ini
masih merupakan tanda tanya bagi sanubarinya, entah dia
kawan atau lawan, karena itu hal ini tidak ingin dia bicarakan
dengan In San. In San berkata: "Semula aku sudah ingin memindah tulang
belulang ayah kembali ke kampung halaman, tapi rumahku di
Tay-tong terbakar habis, syukur ada orang yang baik hati
membangunkan pusara ini, biarlah beliau selanjutnya
beristirahat selamanya disini saja. Tan-toako, bagaimana
menurut pendapatmu?"
"Semasa -hidup kakek senang tinggal di tempat ini, aku
kembali hanya ingin memperbaiki pusaranya ini dan
sembahyang saja. Lebih baik kalau kita tidak usah bcrsusah
payah lagi."
"Sayang kita tidak tahu siapa orang itu, sukar kita
menyampaikan terima kasih padanya, hal ini biar kita tunda
dulu untuk membalas kebaikannya," teringat ayah bunda
sudah tiada, tanpa kuasa In San berlutut dan menyembah di
depan pusara ayahnya serta menangis gerung-gerung. "Ayah,
559 ada satu hal perlu kuberitahu kepadamu, ibu sudah insaf dan
mengakui kesalahannya dan kembali ke rumah keluarga In
kita. Dia meninggal dalam pelukan putrimu, sayang jaraknya
jauh, maka penguburan bersama kemari biar kutunda untuk
beberapa lama lagi. Tapi ayah, inilah kejadian yang
menimbulkan penyesalan paling besar di masa hidupmu, kini
segalanya sudah kujelaskan, semoga di alam baka hatimu
terhibur dan tentram," begitulah sambil terisak-isak In San
memanjatkan doa kepada ayahnya.
Tan Ciok-sing tidak menangis, tapi rasa duka takkan
terlampias meski dia menangis gerung-gerung. Dia berlutut di
depan pusara kakeknya lalu harpa warisan dia keluarkan
katanya: "Kek, sebelum mangkat, engkau mengajarkan
Khong-ling-san kepadaku, sekarang biarlah kupetik lagu itu
untuk kau dengar."
Waktu itu hari sudah betul-betul petang, kaum
pelancongan jelas sudah sama-sama pulang tak mungkin ada
orang masih berada di sekitar situ. Maka Tan Ciok-sing tidak
perlu kuatir bila petikan harpanya didengar orang, setelah
menyetem senarnya, mulailah dia memetik lagu Khong-lingsan.
Lagu bagian depan dari Khong-ling-san adalah irama yang
riang gembira, perasaan Tan Ciok-sing diliputi rasa kenangan
di masa kecilnya yang hidup senang, maka pantulan irama
harpanya seperti menggambarkan makna kebahagiaan
keluarga, seolah-olah sekeluarga berkumpul menari menyanyi
dengan suka ria sambil bertepuk dan bersorak. In San yang
masih sesenggukan tanpa terasa menyeka air mata serta
mendengarkan dengan seksama.
Di kala dia mendengarkan dengan penuh perhatian, di kala
irama Khong-ling-san hampir berganti nada, mendadak
terdengar suara "Crang creng" dari petikan senar gitar yang
menusuk pendengaran, sehingga ritme-ritme Khong-ling-san
yang dibawakan oleh petikan harpa Tan Ciok-sing menjadi
560 kacau. Keruan Tan Ciok-sing kaget, segera dia menghentikan
mainannya. Terdengar suara seorang yang seperti dikenalnya berkata:
"Eh mungkin Tan Khim-ang belum mati. Kecuali Ki Harpa itu
siapa pula yang bisa memetik harpa sebagus ini?"
Seorang lagi berkata: "Para saudara Tok-liong-pang ada
yang menyaksikan sendiri kematian Khim-ang, hal ini jelas
takkan salah," suara orang ini juga seperti pernah didengarnya
entah dimana. Orang ketiga malah membentak: "Siapa memetik harpa
disini, hayo lekas keluar," suaranya juga seperti sudah dikenal.
Ternyata dihadapan mereka hanya tampak batu-batu
gunung yang berserakan serta berlapis-lapis, hakikatnya
mereka tidak tahu bila di antara sela-sela batu yang
berserakan itu ada jalanan yang bisa tembus kedalam, sudah
tentu tak terbayang juga oleh mereka kalau di tengah batu
berserakan itu berbeda pula keadaannya.
Orang keempat terdengar berkata: "Kau bilang kuburan
Tan Khim-ang dan In Hou ada disini, kenapa tidak kelihatan?"
Orang kelima menjawab: "Aku dengar dari mulut seorang
sanak keluarga Lui, tapi dia juga tidak tahu letaknya yang
tepat, dia hanya tahu berada di sekitar daerah ini."
Suara kedua orang masih asing bagi pendengaran Tan
Ciok-sing. Orang yang bicara pertama tadi berkata pula: "Suara harpa
kumandang dari arah sini maka pemetik harpa itu pasti ada di
sekitar sini, hayo kita geledah."
Seketika Tan Ciok-sing teringat akan suara orang ini, serta
merta matanya mencorong membayangkan nafsu membunuh.
"Siapakah mereka?" tanya In San lirih.
561 Tan Ciok-sing berbisik di pinggir telinganya: "Musuh-musuh
kita. Dua orang terakhir aku tidak tahu siapa dia. Yang bicara
pertama tadi adalah Thi-bi-pa Siang Po-san, bersama Le
Khong-thian, hari itu mereka menjebak dan membokong
ayahmu di Cit-sing-giam. Tiga tahun lalu Le Khong-thian
sudah mati di tangan Suhu. Orang kedua adalah Thi-ciang
Siansu, murid murtad dari Siau-lim, gelarnya yang semula
adalah Ciau-khong. Orang ketiga adalah kepala brandal yang
pernah kulabrak di Ang-wa-poh, bernama Phoa Lat-hong,
Kuda putih milik Kanglam Lihiap Ciong Bin-siu dulu pernah
dibegal olehnya, belakangan berhasil kurebut kembali."
Terdengar orang keempat tadi membentak: "Kusuruh kau
menunjuk jalan, kenapa masih berdiri saja?"
Dengan suara gemetar dan tergagap orang kelima
menjawab: "Thi pangcu, kau, ada yang tidak kau ketahui..."
Yang dipanggil Thi-pangcu berkata: "Apa yang tidak
kuketahui?"
"Menurut cerita orang tua dari keluarga Lui itu, It-cu-kingthian
pernah mengeluarkan perintah larangan, siapa berani
merusak atau membongkar kuburan In Hou dan Tan Khimang,
dia bersumpah akan membunuhnya. Siapa saja sebelum
memperoleh izinnya dilarang berada di sekitar sini, kalau
sampai diketahui kedua kaki orang itu akan dipatahkan.
Jangan kata aku memang tidak tahu dimana letak kuburan itu,
umpama tahu, aku, aku..."
Thi-pangcu itu menjengek: "Kau tidak berani menunjukan
tempatnya kepada kami, begitu?"
Orang kelima itu menjawab takut-takut: "Kau orang tua
tahu, kepandaianku macam cakar ayam ini betapa berani
mencari perkara kepada It-cu-king-thian. Aku hanya bisa
membawa kalian sampai disini, kalau mau menggeledah dan
mencari silakan cari sendiri. Aku belum menginjak lingkaran
562 kuburan itu, berarti aku belum melanggar larangan It-cu-kingthian."
"Gentong nasi," damprat Thi-pangcu itu. "Baiklah, kau tidak
berani cari perkara pada It- cu-king-thian, lekas kau kembali
saja, tak perlu kau bantu kami. Aku justru ingin cari gara-gara
pada It-cu-king-thian. Hm, It-cu-king-thian dan Tam Pa-kun
telah membunuh Engkohku, dendam sakit hati ini aku
bersumpah akan membalasnya."
Mendengar sampai disini Tan Ciok-sing lantas paham,
katanya lirih: "Orang keempat ini adalah pejabat Pangcu baru
dari Tok-liong-pang. Pangcu yang lama bernama Thi Ou.
Waktu Tam Tayhiap datang terlambat dalam perjanjiannya
dengan ayahmu, dia terjebak dan dibokong oleh kawanan
Tok-liong-pang di Cit-sing-giam, waktu itu It-cu-king-thian
bersama mereka. Kejadian lebih lanjut waktu itu tidak
kusaksikan, tapi dari nada Thi-pangcu yang satu ini, agaknya
Thi Ou malah dibunuh oleh It-cu-king-thian dan menolong
Tam Tayhiap."
"It-cu-king-thian adalah pendekar besar yang dipercaya
oleh ayah bundaku, kini kau dengar sendiri pembicaraan
mereka, tentunya rasa curigaku terhadapnya tidak beralasan
lagi?" lalu dia menambahkan pula. "Jadi orang kelimapun
sudah dapat diterka, dia penduduk setempat yang kebetulan
kenal dengan seorang tua dulu membantu kerja di rumah
keluarga Lui."
"Agaknya mereka mulai bergerak ke arah sini," demikian
bisik In San. "Batu-batu gunung berserakan disini berlapis dan bersusun,
tak ubahnya Pat-tin-toh ciptaan Cukat Liang yang tersohor di
jaman Sam Kok dulu tanpa seorang petunjuk jalan yang tahu
seluk beluk daerah ini, untuk menemukan tempat ini kukira
memakan waktu cukup lama, tapi kita tetap harus berjagajaga."
563 Terdengar Thi-pangcu itu berkata pula: "Tan Khim-ang
jelas takkan hidup kembali dari liang kuburnya, tapi pemetik
harpa pasti punya sangkut paut yang erat dengan Tan Khimang
itu, kalau tidak salah terkaanku, tadi dia sedang memetik
harpa di depan pusara Tan Khim-ang."
"Konon It-cu-king-thian sudah pulang ke Kwi-lin secara
diam-diam, aku terima kabar dari rumah keluarga Liong, yakin
kabar ini tidak akan salah," demikian timbrung Thi-ciang
Siansu. Phoa Lat-hong ikut menyeletuk: "Kalau orang itu memetik


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harpa di depan kuburan Tan Khim-ang, dia bisa menemukan
letak kuburan itu, maka dia pasti tahu dimana sekarang It-cuking-
thian menyembunyikan diri?"
"Betul," ucap Thi-pangcu, "maka itu kita harus bekuk dulu
bocah itu."
"Sayang tadi kita keburu nafsu, sekarang bocah itu tak
berani memetik harpanya lagi," Demikian kata Thi-ciang
Siansu. "Aku punya akal untuk memancingnya keluar," demikian
timbrung Siang Po-san. Kembali dia petik senar gitarnya.
Suara gitar ini menusuk telinga dan tidak enak didengar,
kontan In San merasa hati tidak karuan rasanya seakan-akan
sukmanya hendak tersedot keluar dari raganya. Karuan dia
kaget, lekas mengerahkan lwekang serta menghimpun
semangat, katanya: "Kenapa petikan gitar orang ini begini
jelek." Karena Tan Ciok-sing meyakinkan lwekang ajaran Thio
Tan-hong maka dia tidak merasa apa-apa, katanya: "Inilah
ilmu tunggal dari Gitar Besi, waktu berhadapan dengan
musuh, dengan petikan gitarnya itu dia berusaha
menggoyahkan pikiran dan meruntuhkan semangat lawan.
Tapi kepandaian dari aliran sesat ini, asal kau sendiri
564 menenangkan hati dan pikiran, anggap saja tidak
mendengarnya, dia tidak akan mempengaruhi dirimu."
"Walau demikian, amat menyebalkan juga," kata In San.
"Memang tidak boleh dibiarkan," demikian kata Tan Cioksing,
"beruntung musuh datang sendiri, memangnya kita
harus biarkan mereka lari" Marilah kau ikut aku, kita berputar
dari arah lain mencegat jalan mundur mereka, lalu disergap
sebelum mereka siaga," mereka lalu menggeremet keluar dari
arah belakang melalui semak dan sela batu terus berputar
satu lingkaran, kini keempat gembong iblis ini sudah berada di
depan mereka, walau kepala mereka celingukan kian kemari,
tapi masih belum juga menemukan jejak mereka.
Adalah laki-laki penunjuk jalan tadi masih ragu-ragu berdiri
di tempatnya, mundur maju susah dia mengambil keputusan.
Dia tahu Thi-pangcu sudah marah, tapi dia juga tidak berani
melanggar larangan It-cu-king-thian, terpaksa dia tetap berdiri
saja di kejauhan, maka waktu Tan dan In berdua muncul, dia
lantas melihatnya lebih dulu" Karuan laki-laki ini amat kaget,
tanpa sadar mendadak dia menjerit.
In San lebih cermat, segera dia pikir hendak menawan lakilaki
ini untuk dimintai keterangannya, lekas dia menjentikan
jari menimpuk sekeping uang. Kepandaian orang ini jelas amat
rendah, mana dia mampu menghindar dari serangan senjata
gelap In San" Belum lagi mulutnya terkatup, hiat-tonya telah
tersambit telak, kontan dia jatuh terus menggelundung ke
bawah sana. Tapi jeritannya tadi telah mengundang perhatian keempat
gembong iblis itu, serempak mereka menoleh dengan kaget.
Phoa Lat-hong kepala berandal itu segera mengenali Tan Cioksing
bentaknya: "Bagus sekali, kiranya kau bocah ini."
Tan Ciok-sing kenal Siang Po?san tapi sebaliknya dia tidak
kenal Ciok-sing, tanyanya kepada Phoa Lat-hong: "Siapa
bocah ini?"
565 "Bocah yang merebut kuda putihku di Ang wa-poh itu,"
sahut Phoa Lat-hong. Agaknya peristiwa itu sudah diceritakan
kepada teman-temannya ini.
Diam-diam Siang Po-san kaget, tapi mulutnya bergelak
tawa, katanya: "Tapi kebetulan malah dia kemari, sekarang
dia tidak membawa kuda, jangan harap dia bisa lolos dari
tangan kita."
In San tertawa dingin, katanya: "Apa betul kuda putih itu
milikmu" Tidak tahu malu. Hihi, kau takut kami melarikan diri,
sebaliknya kami yang kuatir kau melarikan diri."
Ternyata Thi-ciang Siansu juga sudah mengenali Tan Cioksing,
tiga tahun yang lalu perjalanan Tan Ciok-sing menuju ke
Ciok-lin, pernah dia kebentur Raja Golok Ie Cun-hong yang
membentuk barisan golok mengepung Hek-pek-moko seperti
diketahui Thi-ciang Siansu ini adalah pembantu Ie Cun-hong
yang paling diandalkan, tapi kejadian sudah tiga tahun yang
lampau, kini Tan Ciok-sing sudah dewasa, pakaiannyapun
tidak sebutut dulu, tapi dia memperhatikan harpa antik yang
digendong Tan Ciok-sing, maka segera dia mengenalnya.
Begitu mengenali dia, Thi-ciang Siansu seperti ketiban
rejeki nomplok, serunya tertawa riang: "Tuhan memang Maha
pemurah, agaknya kita bakal diberi hadiah barang pusaka."
Thi-pangcu bertanya: "Masakah bocah ini membawa
pusaka apa?"
"Dia membawa golok In Hou, bukan mustahil buku
pelajaran ilmu goloknya itu juga berada padanya. Dan lagi
harpa kuno yang digendongnya itu, menurut apa yang
kuketahui, dulu Hek-pek-moko juga pernah mengincarnya.
Benda yang dapat menarik perhatian Hek-pek-moko, dapatlah
dibayangkan pasti barang pusaka yang berharga."
Siang Po-san berpikir sejenak, katanya kemudian: "Tan
Khim-ang memang punya seorang cucu, setelah Tan Khim-ang
mati, jejaknya menghilang entah kemana. Kalau kuburan Tan
566 Khim-ang ada disini, bocah ini membawa harpanya pula,
kebetulan tadi memetik lagu pula di depan kuburannya,
mungkin dia inilah cucunya itu."
"Lalu apa pula yang kita tunggu," seru Thi-pangcu, "hayo
bekuk bocah ini," lalu beramai mereka memburu ke bawah,
jarak mereka semakin dekat. Thi-ciang Siansu berlari paling
depan, tongkat besinya sebesar mulut mangkok itu lantas
diayunnya sambil menghardik: "Anak bagus, lekas serahkan
golok pusaka milik In Hou, nanti jiwamu kuampuni,"
tongkatnya itu segera menjojoh ke dada Tan Ciok-sing.
"Jangan kau salah mencari orang," tukas In San tertawa,
"golok In Tayhiap berada padaku. Tapi, aku tak boleh
serahkan padamu."
In San masih berpakaian laki-laki, dasar goblok dan kasar
Thi-ciang Siansu masih belum dapat membedakan dirinya,
bentaknya: "Siapa kau" Hm, hm, peduli siapa kau, golok
berada di tanganmu, lekas serahkan, kalau tidak kusikat
nyawamu." "Bicara memang gampang, coba saja kalau mampu,"
tantang In San tertawa.
Thi-ciang Siansu memang Hwesio buas yang suka
membunuh korbannya, karuan dia berjingkrak gusar, segera
dia menubruk maju seraya mengayun tongkat terus
mengemplang ke batok kepala In San.
Siang Po-san lebih hati-hati, lekas dia berteriak: "Thi-ciang
Suheng, jangan kau membunuhnya, kulihat anak perempuan
ini punya asal-usul," kiranya dia sudah tahu akan samaran In
San. Belum habis dia bicara mendadak dilihatnya dua larik
cahaya pelangi melambung bersama. Ternyata kuatir In San
kecundang tanpa berjanji Tan Ciok-sing berebut maju hendak
bantu menangkis lawan. Bentaknya: "Kalian maju bersama
saja, berapa jumlah kalian, kita tetap akan bersatu padu,"
567 karena dia harus bergabung dengan In San, maka dia
memberi suara dulu supaya tidak melanggar aturan Kangouw.
Thi-pangcu tertawa besar, katanya: "Dua bocah yang masih
berbau bawang juga berani ugal-ugalan di hadapanku," dia
kira tongkat baja Thi-ciang Siansu seberat enam puluhan kati
itu sudah lebih dari cukup untuk menghancur leburkan kedua
bocah ingusan ini" Tak nyana akibatnya justru jauh berada
diluar perhitungannya.
Dalam sekejap itu sebelum perkataan Thi-pangcu lenyap
suaranya, terdengar dering nyaring benturan senjata keras,
kembang apipun berpijar. Terdengar In San berkata dengan
tertawa: "Golok pusaka tidak akan kuberikan, biarlah kau
rasakan dulu keliehayan pedang pusaka ini, asal kau mampu
boleh kau mengambilnya dari tanganku."
Walau Thi-ciang Siansu jago kosen yang memperoleh
ajaran mumi dari Siau-lim, betapapun dia takkan kuat
menghadapi perbawa gabungan permainan sepasang pedang.
Di tengah pijaran kembang api, tampak dia tergetar mundur
beberapa langkah, waktu menunduk dilihatnya tongkatnya
tergores dan gumpil sedikit.
Kalau Thi-ciang Siansu gusar, kaget dan malu, Tan dan In
juga sama-sama terkejut. Maklum pedang pusaka mereka
mampu mengiris besi seperti merajang sayur, kalau tenaga
dalam Thi-ciang Siansu tidak lebih unggul dari mereka,
tongkatnya itu pasti sudah kutung.
Telapak tangan In San kesemutan dan linu, pikirnya:
"Masih ada tiga gembong iblis belum lagi terjun ke arena,
mungkin aku takkan kuat melawan secara kekerasan."
Thi-pangcu berada di belakang Thi-ciang Siansu, melihat
kesudahan gebrak pertama ini diapun terkejut, sekali timpuk
dia lepaskan tiga batang Tok-liong-cui. Sebagai adik kandung
Thi Ou, Pangcu terdahulu dan pendiri Tok-liong-pang, dia
bernama Thi Khong, tapi kepandaiannya ternyata jauh lebih
568 tinggi dari sang Engkoh. Tiga batang Tok-liong-cui yang
meluncur datang ini ternyata membawa kesiur angin yang
berbau amis memualkan.
Tan Ciok-sing gusar, serunya: "Senjata rahasia yang ganas,
kami tidak mau, nih kukembalikan," begitu Siang-kiam-happik,
jalan pikiran dan maksud hati mereka cocok satu sama
yang lain, serempak mereka sama mengembangkan jurus
Hing-hun-toan-hong, di bawah libatan dua larik pelangi yang
menggulung dan menolak, ketiga batang Tok-liong-cui itu
seketika patah jadi enam potong, celaka adalah ke enam
potongan senjata rahasia ini diritul kembali ke arah
pemiliknya. Karuan kejut Thi Khong bukan main, lekas dia menjatuhkan
diri sambil menggelundung kesana beberapa tombak. Meski
keadaannya amat lucu dan mengenaskan, tapi masih untung
karena tidak terluka oleh senjata rahasia sendiri.
Permainan pedang Tan Ciok-sing memang amat
menakjubkan, tenaga yang dikerahkan juga diperhitungkan,
begitu tiga senjata yang diritul balik itu jatuh di tanah, sisa lagi
kutungan yang lain tiba-tiba terbang membelok di tengah
udara, mendadak melesat ke muka Thi-ciang Siansu. Lekas
Thi-ciang Siansu menyembunyikan kepala sambil mengkeret
leher seperti bulus, berbareng tongkat dia angkat tegak
berdiri, "Tring, tring, iring" ketiga kutungan senjata rahasia itu
beruntun dapat ditangkisnya jatuh. Tak urung hidungnya
mengendus bau amis, hampir saja dia tumpah-tumpah,
keringat dingin membasahi jubahnya. Sesuai dengan namanya
Tok-liong-pang ternyata pandai menggunakan racun, sebagai
Pangcu maka senjata rahasia yang dipergunakan Thi Khong
ternyata dilumur racun jahat, Tok-liong-cuinya ini malah
dilumuri tujuh jenis racun yang jahat.
Baru saja pertempuran di mulai, Siang Po-san yang cukup
cerdik tak mau terjun langsung ke arena, diluar kalangan
segera dia memetik gitarnya, suaranya yang jelek dan
569 menusuk perasaan ini memang maksudnya hendak
mengaburkan pertahanan lawan. Lwekang Ciok-sing tinggi, dia
mahir teori musik menguasai permainan, keadaannya masih
baik, tapi lain dengan In San, dia sudah hampir tidak kuat lagi,
hatinya menjadi kalut. Sehingga permainan Siang-kiam-happik
terganggu dan kurang serasi, menunjukkan beberapa titik
kelemahan, kembali senjata rahasia Thi Khong menyusul
masuk kedalam lingkaran, kali ini dia menimpuk dengan tiga
batang paku penembus tulang.
Dengan jurus Khong-ciok-kay-ping Pek-hong-kiam
menggaris ke tengah udara, ketiga paku beracun itu seketika
hancur berhamburan di tengah pelintiran cahaya pedang. Tapi
permainannya ini hanya membantu In San menangkis senjata
rahasia, sehingga gerakan pedang In San tak bisa kerja sama
dengan baik. Kesempatan baik ini dimanfaatkan oleh Siang
Po-san, lekas gitarnya diayun membelah ke tengah sehingga
kedua orang ini dipisahkan. Serempak Thi-ciang Siansu dan
Phoa Lat-hong menyergap maju dari kiri kanan, yang dicecar
adalah In San. "Sret" pedang Tan Ciok-sing menusuk kesana,
tapi pedangnya tertangkis oleh gitar Siang Po-san.
Karena terganggu oleh suara gitar sehingga pikiran kacau
permainan In San pun ikut terganggu. Untung Tan Ciok-sing
cukup siaga dan bertindak tepat, mendadak dia melancarkan
dua jurus permainan pedang dari ajaran Bu-bing-kiam-hoat
untuk menambal lobang kelemahan yang diperlihatkan In San.
"Adik San, jangan hiraukan suara gitarnya," Tan Ciok-sing
memperingatkan. Tapi In San sendiri memang belum punya
ketenangan itu, tak mungkin tak mendengarnya, meski dia
sudah berusaha, tapi suara senar gitar yang jelek itu justru
menyusup ke telinganya.
Melihat gelagat yang tidak menguntungkan ini, Ciok-sing
membatin: "Sayang aku tidak bisa memetik harpa di waktu
melayani musuh, kalau tidak tentu bisa kupecahkan irama
petikan gitar gembong iblis ini."
570 Bu-bing-kiam-hoat memang hebat, tapi perbawanya jelas
tidak sehebat Siang-kiam-hap-pik. Karena pikiran In San tak
terpusatkan, dalam gebrak sepuluh jurus, ada dua tiga jurus
permainan mereka pasti tidak serasi, itu berarti seperti mereka
bertempur secara individu. Untuk sementara mungkin tidak
jadi soal bagi Tan Ciok-sing, malah sering membantu In San,
tapi kalau pertempuran ini berkepanjangan, jelas pihaknya
pasti akan kecundang.
Manusia umumnya timbul akalnya di kala kepepet atau di
saat gugup, mendadak tergerak pikiran Tan Ciok-sing: "Aku
tidak bisa memetik harpa, tapi kan bisa juga mengganggu
nada dan not permainan gitar orang," segera dia mulai bersiul,
siulan yang dilandasi tenaga dalam ini ternyata bisa berbunyi
panjang dan naik turun sesuai lagu yang dia bawakan.
Usahanya memang berhasil, petikan gitar Siang Po-san
menjadi kacau, karuan dia kaget. Tapi In San justru terbangkit
semangatnya, perbawa Siang-kiam-hap-pik seketika berlipat
ganda pula, bukan saja pulih seperti semula malah jauh
melebihi sebelumnya.
Seperti diketahui permainan Siang-kiam-hap-pik ini
hakikatnya tidak menggunakan gerak permainan yang ada


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tata laksananya, tapi disesuaikan gaya pedang, bergerak
secara wajar dan serasi sehingga kedua pedang cocok dan
ketat tanpa lobang sedikitpun. Dasar otaknya encer Tan Cioksing
lebih berbakat lagi, permainannya lebih berkembang dan
penuh variasi, bergerak sesuai kebutuhan dan dapat berubah
mengikuti situasi, sehingga intisari Bu-bing-kiam-hoat dapat
dia kembangkan dengan sempurna. Sementara (n San tetap
menggunakan ilmu pedang yang pernah dia pelajari, menurut
teori ilmu pedang maju mundur secara teratur. Tidak lama
kemudian cahaya pedang seperti meledak semakin besar dan
luas arena lingkungannya, dari pihak yang diserang kini
berbalik dan musuh dicecarnya di bawah angin.
571 Tiga lawan tangguh ini lama-kelamaan didesak mundur.
Tongkat besar di tangan Thi-ciang Siansu berdiri tegak terus
jempalitan badan, dengan jurus Naga hitam melilit pohon,
ujung tongkatnya mendadak menggulung balik, tujuannya
menyapu kedua kaki In San. Mendadak In San melejit mumbul
setinggi satu tombak lebih, dimana sinar pedang berkelebat,
tahu-tahu pundak kiri Thi-ciang Siansu sudah terluka, jubah
Hwesionya yang memang merah semakin merah dan basah
oleh darah yang merembes keluar. Tapi tusukan pedang yang
melukai pundaknya ini bukan serangan In San.
Di kala tubuh In San melambung ke udara, gerak pedang
Ciok-sing yang belakangan tapi tibanya lebih dulu, mendadak
dari posisi yang tak terduga menusuk tiba. Perhatian Thi-ciang
ditujukan kepada In San yang menukik dari atas, sungguh tak
pernah diduganya bahwa Tan Ciok-sing mendadak menyerang
tiba pula, untung gitar Siang Po-san segera mengepruk tiba
sehingga gerakan pedang itu sedikit terhalang, kalau tidak
tulang pundaknya pasti sudah tertusuk patah, betapapun
tinggi ilmu silatnya akan punah seketika.
Di tengah udara In San menggunakan gerakan Burung
Dara Jumpalitan. Phoa Lat-hong yang berada di samping Thiciang
Siansu belum lagi sempat menyingkir, tusukan pedang
In San dengan jurus naga kik-ting-hong tahu-tahu sudah
menuding tenggorokannya. Ternyata secara reflek mereka
telah berganti posisi dan merobah kedudukan untuk
menyerang musuh yang berbeda, inilah salah satu jurus liehay
dan manunggal dari Siang-kiam-hap-pik itu.
Pada detik-detik antara hidup dan mati, di kala elmaut
sudah mengancam ini, jelas Phoa Lat-hong takkan mampu
berkelit lagi, terpaksa dia nekat dan tidak hiraukan
keselamatan lagi melancarkan ilmu Tay-cui-pit, dengan tangan
kosong dia menangkis pedang secara keras, "Cras" dua jari
Phoa Lat-hong tertabas buntung. Tapi In San sendiri juga
tergentak mundur dua langkah. Untung perlawanan Phoa LatTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
572 hong yang nekat secara keras ini sehingga kedua tangannya
tidak putus tertabas pedang.
Lwekang Phoa Lat-hong cukup tangguh, tapi dia tak kuat
juga menahan rasa kesakitan karena dua jari kutung, kontan
dia menjerit sekeras-kerasnya terus putar tubuh melarikan
diri. Bahwa tulang pundaknya nyaris tertusuk patah, karuan
keringat dingin gemerobyos, sudah tentu Thi-ciang Siansu
menjadi keder dan tak berani bertempur lebih lama.
"Mau lari kemana," bentak Tan Ciok-sing, sinar pedangnya
bagai selarik lembayung terus menusuk kesana. Lekas Siang
Po-san angkat gitarnya menangkis, tapi Ceng-bing-kiam In
San juga menusuk tiba, begitu Siangkiam berpadu,
perbawanya berlipat ganda. Gitar Siang Po-san dibuat dari
besi baja yang mengandung sembrani, tapi terserang
sepasang pedang pusaka ini mana kuat menahannya, di
tengah suara gaduh yang memekak telinga, perut gitar yang
gelembung kosong itu tahu-tahu sudah tergores lobang
panjang. Baru saja Tan Ciok-sing hendak menambahi dengan
serangan mematikan, tak nyana di tengah dering beradunya
benda keras terdengar pula selingan suara mencepret,
mendadak bintik sinar bintang gemerdep, seperti diketahui
dalam perut gitar Siang Po-san yang kosong ini di dalamnya
ada dipasang alat-alat rahasia untuk menyimpan senjata
rahasia, bila menghadapi bahaya sekali dia tekan tombol,
senjata rahasia didalam perut gitar akan segera menyambar
keluar. Demikian pula sekarang ini, Siang Po-san
menggunakan serumpun Bwe-hoa-ciam selembut bulu kerbau,
disusul tujuh batang To-kut-ting yang dilumuri racun.
Karuan Tan Ciok-sing kaget, teriaknya: "Celaka," lekas dia
menolak ke depan menggunakan tenaga lunak mendorong
pergi In San. Untung Tan Ciok-sing memperoleh ajaran
lwekang Thio Tan-hong, ilmu pedang juga memperoleh ajaran
murni, meski latihannya baru tiga tahun tapi taraf latihannya
573 sudah cukup hebat, reaksinya cekatan lagi, dalam sedetik itu.
sebelah tangan mendorong In San, lengan bajunya sekaligus
mengebut pula menggulung jarum-jarum lembut yang
menyerang datang. Pek-hong-kiam di tangan kanan dengan
jurus Hing-hun-toan-hong merontokan lima paku penebus
tulang, lalu jari tangan kiri menjentik, "Creng" paku ke empat
ditutulnya kembali. Pada hal Tan Ciok-sing sudah kerahkan
segala kemampuannya, tak urung paku ke tujuh masih lolos
juga.dari penjagaannya, untung dia lekas menunduk sehingga
paku beracun itu meluncur lewat hampir menyerempet
jidatnya. Dengan gusar Ciok-sing kebutkan pula lengan bajunya,
jarum-jarum yang dijaringnya ini dia persembahkan kembali
kepada pemiliknya. Pada hal Siang Po-san melesat beberapa
tombak jauhnya, jarum-jarum lembut itu terang tak mampu
melukainya lagi, celaka adalah Tok-liong-pang Pangcu yang
sejak tadi membantu dari luar kalangan dengan serangan
senjata rahasia beracun tiba-tiba menjerit kesakitan.
Ternyata paku ke enam yang dijentik balik oleh Tan Cioksing
sasarannya adalah Tok-liong pangcu yang main licik
membokong dengan senjata rahasia beracun. Paku beracun
itu sebenarnya melesat balik mengincar Thay-yang-hiat di
pelipisnya. Perubahan yang tak pernah diduga ini, karuan
membikin Thi Khong berjingkrak kaget seperti disengat kala,
pada hal dia cukup tangguh dalam permainan senjata rahasia,
tapi toh tak kuasa berkelit lagi, untung karena berjingkrak
kaget ini sasaran Thay-yang-hiat tidak terkena telak, tapi paku
beracun itu tak urung amblas kedalam pundaknya.
Thi Khong adalah ahli pengguna racun, karena terluka oleh
paku beracun ini, bukan saja sakit tapi arwah serasa terbang
ke awan-awan, lekas dia berkaok minta obat pemunah kepada
Siang Po-san, Siang Po-san membentak: "Lekas lari. Nanti
kuberi obat di bawah gunung."
574 Tan Ciok-sing tidak mengejar, lekas dia memburu ke
samping In San, dilihatnya In San pucat pasi wajahnya,
tanyanya gugup dan kuatir: "Apa kau tidak terluka?"
"Sungguh kebetulan, paku itu meruntuhkan tusuk
kondaiku, untung tidak sampai luka. Sayang aku kurang
cekatan, hingga musuh lari semuanya."
"Untung sebelumnya kau sudah membekuk seorang
tawanan. Sekarang kita bisa mengompres tawanan itu,"
demikian kata Tan Ciok-sing.
Tak nyana, tawanan yang tertutuk hiat-tonya oleh
timpukan mata uang In San sudah lenyap Setelah tertimpuk
mata uang tadi orang itu jatuh menggelundung ke bawah
lereng sana, semak rumput tampak tertindih dan awutawutan,
ceceran darah juga tampak di antara daun-daun
pohon kecil yang tumbuh di sekitar situ, mungkin waktu
tubuhnya menggelundung ke bawah badannya terluka oleh
benturan batu-batu gunung yang runcing sehingga
mengeluarkan darah. Ciok-sing berdua mengikuti jejak
ceceran darah menginjak semak belukar, tapi bayangan orang
itu tetap tidak kelihatan, tapi mereka belum putus asa, daerah
sekitarnya mereka obrak-abrik hingga ke bawah gunung,
bayangan tawanan itu tetap tidak kelihatan.
"Aneh, jelas hiat-to pelemasnya tadi tertutuk oleh timpukan
mata uangku. Ilmu tutuk jalan darah tunggalku ini, baru akan
bebas setelah dua belas jam berselang. Dalam waktu
sesingkat ini, jelas dia takkan bisa bergerak."
"Orang itu hanya menunjuk jalan ke empat gembong iblis
itu, kepandaiannya rendah, jelas tak mungkin mampu
membebaskan sendiri tutukan hiat-tonya itu."
"Umpama ada yang menolongnya, orang itu pasti mahir
menggunakan ilmu tutuk dari keluargaku. Kalau tidak kecuali
dia jago silat kosen dari bulim, lwekangnya sudah mencapai
575 taraf tinggi, dengan tenaga murni dia bisa bantu menjebol
tutukan hiat-to itu. Em, aneh sekali."
Sembari bicara mereka berjalan balik ke kota, tanpa terasa
mereka sudah tiba di Hoa-kio, tampak sinar pelita sudah
terpasang di empat penjuru kota, bulan sabit tampak
bergantung di cakrawala.
Setiba mereka di hotel, pemilik hotel segera memburu maju
menyambut mereka dengan seri tawa lebar, katanya: "Aku
memang sedang mengharap Siangkong berdua lekas pulang."
"Temanku ingin melihat pemandangan Po-tho-san nan
permai, maka aku menemaninya, sayang hari sudah petang,
kita tak sempat melancong ke Cit-sing-giam, terpaksa besok
saja* Maaf bikin kau lama menunggu kami."
Pemilik hotel tidak hiraukan keterangan ini, katanya:
"Sayang kalian terlambat pulang, baru saja ada dua orang
teman kalian kemari."
Ciok-sing kaget, pikirnya: "Baru saja aku tiba di Kwi-lin, dari
mana datangnya orang bisa mencariku" Siapa yang punya
berita secepat ini?"
"Siapakah kedua orang itu" Begitu masuk kota aku lantas
menginap disini, tiada teman yang kuberitahu, dari mana
mereka bisa tahu aku menginap disini" Apa tidak keliru
mereka mencari orang?" tanya Tan Ciok-sing.
"Tidak mungkin salah," sahut pemilik hotel, "mereka
menggambarkan wajah, usia dan kuda tunggangan kalian,
demikian kotak panjang yang dibawa Tan Kongcu, setiap hal
dapat dilukiskan dengan jelas, yakin dia pasti teman kalian.
Tentang dari mana mereka bisa tahu kalian tinggal disini, wah
aku tidak bisa menjelaskan."
"Sudah panjang lebar kau bicara, kenapa tidak kau sebut
siapa nama mereka?"
576 "Sudah kutanya mereka, mereka bilang bila Siangkong
berdua kembali, asal kau katakan kedatangan kami, dia akan
tahu siapa kami," berarti kedua orang itu tidak mau menyebut
atau meninggalkan namanya.
"Baiklah, coba kau terangkan, berapa usia mereka,
bagaimana pula tampangnya?" tanya In San.
"Yang datang pemuda dan pemudi, usianya kira-kira
sebaya dengan kalian. Pakaiannya cukup perlente, agaknya
keturunan dari orang berada," ternyata pemuda yang
berpakaian perlente ini ringan tangan untuk mencari tahu diri
Tan Ciok-sing berdua dia sudah menyogok 10 tahil perak
kepada pemilik hotel ini.
Tiba-tiba Tan Ciok-sing ingat sesuatu tanyanya: "Apakah
pemuda itu ada membawa sebatang seruling?"
"Betul," sahut pemilik hotel, "selama ini belum pernah
kulihat seruling sebagus itu. Waktu bicara dia memang
memegang dan mengelus serulingnya itu. Jadi sudah jelas,
bahwa kedua orang itu adalah teman kalian bukan?"
"Belum lama berselang kami memang pernah melihatnya,
tapi belum menjadi kawan karib.
Mereka tidak menyebut nama, apakah meninggalkan
alamat" Supaya kami pergi menyambangi mereka?"
"Tadi bicaraku belum selesai, karena kalian belum kembali,
mereka tampak agak kecewa. Pemuda itu pinjam pinsil dan
minta kertas kepadaku, dia ada meninggalkan sepucuk surat.
Aku tidak berani membukanya, mungkin dalam suratnya ada
meninggalkan pesan."
Setelah menerima sampul surat Tan Ciok-sing berkata:
"Baiklah, terima kasih akan bantuanmu melayani temanku.
Kupikir besok saja aku balas menyambangi mereka, malam ini
kami ingin tidur sepuasnya, jikalau ada orang mencari kami,
577 jangan katakan bahwa aku ada disini," lalu dia persen
sekeping uang perak nilainya kurang lebih 10 tahil.
Sekembali dalam kamar Tan Ciok-sing berkata: "Kedua
orang itu, kemungkinan adalah dua orang terakhir dari
delapan Pat-sian yang bertemu kita di tengah jalan kemarin."
In San mengangguk, katanya: "Betul, kedua orang itu
pemuda pemudi, sang pemuda membawa seruling. Mungkin
karena ingin menikmati petikan harpamu maka dia ingin
berkenalan dengan kau, apa kau ingin menyambangi
mereka?" "Coba periksa dulu apa yang dia tulis dalam surat ini,"
demikian kata Tan Ciok-sing.
Waktu dia buka surat itu, di dalamnya menyatakan
kekagumannya terhadap Tan Ciok-sing berdua serta mohon
berkenalan, dan dijanjikan supaya tiga hari yang akan datang
bertemu di Lian-hoa-hong bersama-sama menikmati matahari
terbit. Surat ini tertanda nama Kek Lam-wi. Di bagian
bawahnya ditambahkan pula pesan yang berbunyi: "Orang
yang ingin saudara temui, di puncak Lian-hoa-hong akan anda
temukan pula. Harap dimaklumi," setelah membaca tulisan
tambahan ini, seketika Tan Ciok-sing melenggong.
"Lho, kenapa kau melongo malah?" tanya In San.
Segera Tan Ciok-sing menyerahkan surat itu padanya,
katanya: "Lihatlah sendiri, bukankah amat aneh?"
"Em, gaya tulisannya memang bagus. Betul tidak, dia ingin
bersahabat dengan kau."
"Aku sih tidak perhatikan tulisannya, yang kuherankan
adalah dari mana dia bisa tahu siapa yang- akan kucari" Apa
kau pernah mendengar nama Kek Lam-wi itu?"
In San geleng-geleng, katanya: "Waktu ayah masih hidup,
banyak juga tokoh-tokoh silat yang pernah dia sebutkan
padaku, tapi orang she Kek ini usianya kira-kira sebaya
578 dengan kita, ayah pasti tak pernah memberi tahu, bagaimana
aku tahu asal-usulnya. Tapi dari nada surat ini dapat


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disimpulkan bahwa dia sudah tahu siapa kau adanya, diapun
tahu siapa orang yang hendak kau temui. Tapi aku duga yang
dimaksud kalau bukan It-cu-king-thian Lui Tin-gak, pasti Tam
Pa-kun. Apakah Lian-hoa-hong jauh dari sini?"
Lian-hoa-hong adalah gunung yang kenamaan di daerah
Yang-siok, tak ubahnya Tok-siu-tong yang kenamaan di
daerah Kwi-lin. Yang-siok tiada seratus li dari Kwi-lin, kuda lari
cepat dapat ditempuh satu hari pulang pergi."
"Dari surat ini dapat kusimpulkan bahwa Lui Tayhiap dan
Tam-siok-siok mungkin berada dan bertemu di Lian-hoa-hong,
jadi bukan mengadakan pertemuan di Kwi-lin."
"Menurut pendapatmu, apakah suratnya ini dapat
dipercaya?"
"'Kek Lam-wi adalah salah satu dari Pat-sian yang kemarin
kita temukan di tengah jalan itu, hal ini sudah dapat
dipastikan. Bahwa dia mengundangmu ke Lian-hoa-hong,
mungkin akan ada pertemuan besar di Lian-hoa-hong. Jadi
bolehlah diduga kalau It-cu-king-thian Lui Tayhiap dan Kim-tothi-
ciang Tam Pa-kun pasti hadir dalam pertemuan besar ini."
"Betul, Pat-sian yang kita temui di tengah jalan itu
semuanya adalah jago-jago silat yang jarang kita temui di
Kangouw, maka dapatlah dibayangkan bahwa tuan rumahnya
pasti adalah tokoh besar yang tersohor pula. Hanya tokoh
besar yang mampu mengerahkan peradatan Pat-sian-ing-khek
baru setimpal mengundang kehadiran Tam Tayhiap dan Lui
Tayhiap dalam pertemuan besar yang akan datang itu."
"Bukan mustahil Lui Tayhiap adalah tuan rumahnya."
"Baiklah, undangan ini akan kuterima dan aku pasti hadir
dalam pertemuan itu. Untung Yang-siok tidak jauh dari sini,
hari terakhir baru kita berangkat juga belum terlambat. Malam
ini kita tetap bekerja sesuai rencana semula, menyelidiki
579 siapakah yang membongkar puing-puing rumahku dulu.
Mumpung masih ada sisa waktu dua jam, marilah kita
menghimpun semangat dan tenaga,"
In San segera kembali ke kamarnya. Tan Ciok-sing duduk
bersimpuh, memejam mata memusatkan pikiran menghimpun
hawa murni, mulailah dia bersamadi, kira-kira menjelang
kentongan ketiga dengan lirih dia menjentik ke arah dinding,
kamar mereka berdampingan, segera In San mempersiapkan
diri lalu membuka jendela melompat keluar. Mereka memiliki
ginkang tinggi tanpa diketahui siapapun cepat sekali mereka
sudah meninggalkan hotel.
Kira-kira setengah jam kemudian mereka sudah tiba di
puing-puing rumah Tan Ciok-sing dulu, cuaca masih gelap
suasana sunyi senyap yang terdengar hanya suara jangkrik.
"Agaknya tiada orang pernah kemari," bisik In San.
"Memangnya kita umpama menjaga lobang menunggu
kelinci, belum tentu kelinci liar itu bakal datang malam ini,
walau harapan nihil umpamanya kita tetap menunggu dengan
sabar." "Ya, marilah kita cari tempat untuk sembunyi."
Untung banyak batu besar dimana-mana, kebetulan tidak
jauh dari puing-puing rumah Tan Ciok-sing terdapat dua batu
besar seperti pasangan orang yang lagi berpelukan, di tengah
kedua batu ini ada celah-celah yang kebetulan cukup untuk
sembunyi. Menunggu sesaat lamanya, In San berbisik di pinggir
telinga: "Aih, agaknya ada orang datang."
"Jangan berisik, saksikan saja siapa yang kemari."
Tak lama kemudian muncul sesosok bayangan orang di
tengah puing-puing sana. Cahaya bulan sabit remang-remang
sehingga dari kejauhan sukar dibedakan bentuk dan
tampangnya, tapi orang ini sudah cukup dikenal oleh Tan
580 Ciok-sing, waktu dia menegas segera dia kenal siapa orang
itu. Setelah tahu siapa orang yang datang ini, tanpa merasa
dia melengak heran dan kaget.
"Siapa?" tanya In San berbisik. Agaknya dia merasakan
sikap dan mimik Tan Ciok-sing yang agak aneh, seperti sudah
tahu siapa orang datang ini.
Tan Ciok-sing menjawab dengan bisikan pula: "It-cu-kingthian
Lui Tin-gak."
Bahwa yang datang adalah It-cu-king-thian Lui Tin-gak,
bukan saja Tan Ciok-sing tak habis mengerti, In San sendiri
juga tidak pernah menduganya. Tanyanya lirih: "Apakah perlu
menemuinya?"
"Jangan terburu nafsu. Lihat dulu apa kerjanya disini?"
Sebetulnya rasa curiga Tan Ciok-sing terhadap It-cu-kingthian
sudah tawar, tapi dia tidak menduga yang datang kali ini
adalah dia, sesaat dia jadi ragu-ragu curiganya timbul lagi dan
malah lebih tebal.
"Khu Ti pernah bilang, bahwa It-cu-king-thian gemar
belajar silat, saking getolnya umpama orang gila saja
layaknya. Semasa mudanya dia punya keinginan mengangkat
guru kepada Thio Tayhiap. Jelas dia tidak tahu kalau buku
pelajaran ilmu golok milik In Tayhiap dan
Kiam-boh Thio Tayhiap itu sudah diserahkan kepadaku..."
tengah dia menduga-duga, dilihatnya Lui Tin-gak sudah
memegang sebuah sekop dan sedang menggali tanah di
tengah puing-puing rumahnya.
Diam-diam Tan Ciok-sing membatin: "Nah, konangan
sekarang. It-cu-king-thian memang laki-laki munafik, pendekar
palsu, manusia rendah. Apakah benar dia sekongkol dengan
Siang Po-san mencelakai kakek belum dapat kubuktikan tapi
bahwa dia mengincar ilmu golok dan Kiam-boh itu kini sudah
menjadi kenyataan, bukankah perbuatannya ini terlalu hina
581 dan rendah. Kalau dia betul manusia yang bermartabat
rendah, bukan mustahil bahwa dia pula yang mencelakai
kakek," tapi sebelum dia berkeputusan tindakan apa yang
harus dia lakukan, tiba-tiba dilihatnya It-cu-king-thian sudah
menghentikan kerjanya.
Di keremangan cahaya rembulan, tampak It-cu-king-thian
sedang berjongkok seperti mengeduk tanah atau mengorekngorek
dengan tangannya.
In San berbisik di pinggir telinga Ciok-sing: "Tempat itu tadi
pernah kita gali, mungkin dia sudah tahu bila kita sudah
pernah kemari. Aneh kelakuannya malam ini..."
"Apa sulitnya menduga perbuatan ini. Jelas hendak mencari
buku pelajaran ilmu golok dan Kiam-boh itu."
"Umpama benar, kukira di belakang persoalan pasti ada
sebab musababnya. Aku yakin It-cu-king-thian Lui Tin-gak
pasti takkan sudi mengincar barang orang lain."
"Apa, kau masih percaya kalau dia orang baik?"
"Tak usah kita main teka teki sendiri. Saksikan saja apa
yang akan dia lakukan lebih lanjut?"
Tampak It-cu-king-thian sudah berdiri lagi, mulutnya
seperti menggumam: "Memangnya aku kuatir kalian tidak
akan datang," lalu dia menengadah seperti pasang kuping
mendengarkan sesuatu suara.
Tan Ciok-sing kaget, batinnya: "Siapa yang dia maksud
dengan 'kalian'" Apakah dia sudah tahu kalau aku bersama
adik San berada di Kwi-lin. Atau dia sudah menemukan jejak
dan percakapan kami?"
Mendadak It-cu-king-thian Lui Tin-gak berlari keluar dari
lingkungan puing-puing Tan Ciok-sing kaget, dia kira jejaknya
sudah diketahui orang cepat dia bersiaga memegang gagang
pedang. Tapi In San berbisik: "Jangan sembrono."
582 Ternyata sekali berkelebat It-cu-king-thian menyelinap
kesana sembunyi di belakang sebuah batu besar, letak batu
besar ini tidak jauh dari puing-puing rumah, jaraknya hanya
beberapa tombak dari tempat persembunyian Tan dan In.
Sesaat lagi baru Tan Ciok-sing mendengar suara langkah
orang, yang datang adalah dua orang berpakaian hitam,
tangan masing-masing menjinjing sebuah pacul dan sekop.
Baru sekaraug Tan Ciok-sing mengerti, ternyata It-cu-kingthian
mendengar kedatangan kedua orang ini, jadi "kalian"
yang dikatakan tadi yang dimaksud adalah kedua orang ini.
Tak urung Ciok-sing merasa heran dan menyesal pula:
"Setelah kedua orang ini dekat baru aku tahu kedatangan
mereka, jelas kepandaian dalam hal ini aku masih kalah jauh
dibanding It-cu-king-thian. Entah siapa gerangan kedua orang
ini" Dari gelagatnya, dia bukan komplotan It-cu-king-thian."
Di saat dia membatin, dilihatnya kedua orang baju hitam itu
sudah melangkah ke arah puing-puing tanpa berjanji
keduanya sama bersuara kaget dan heran. "Dilihat keadaan ini
agaknya barusan ada orang sudah datang," kata seorang.
"Kita harus hati-hati, entah kenapa, beberapa hari ini jagojago
silat kosen dari berbagai tempat berbondong-bondong
datang ke Kwi-lin. Di antaranya ada Wi-cui-hi-kiau, Siangkang-
siang-hiap, Sek-in-jin-tok dan Ui-yap Tojin, malah ada
juga yang bilang It-cu-king-thian juga datang," demikian kata
orang yang lain.
"Wah, jadi jago-jago kosen dari aliran sesat dan golongan
lurus sama tumplek kemari."
"Maka itu, kita harus hati-hati. Peduli yang mana diantara
mereka, semua lebih hebat dari pada kita."
"Justru karena itu pula kita harus bekerja cepat
menemukan pusaka itu. Kalau sampai orang lain tahu akan
tempat ini, celakalah kita."
583 Kedua orang ini segera mengerjakan pacul dan sekop mulai
menggali tanah di dua tempat, sembari kerja mulut mereka
masih terus mengoceh seperti berunding entah apa.
Mendadak It-cu-king-thian melompat keluar dan anjlok di
depan mereka. Karuan kedua orang itu berjingkrak kaget
sambil menyusut mundur. "Siapa, siapa kau?" pacul dan sekop
sudah diangkat tapi tidak berani turun tangan.
"Aku Lui Tin-gak, Tan Khim-ang adalah teman baikku,
untuk apa kalian gali tanah dan membongkar puing-puing
disini" Lekas katakan," demikian bentak Lui Tin-gak.
"Hah, kiranya kau orang tua adalah It-cu-king-thian Lui
Tayhiap, sungguh kami kurang hormat. Kami dari Hek-houpang
(serikat macan hitam), dengan pihak Tok-liong-pang
kami ada sedikit hubungan."
"Aku tidak peduli kalian dari
Hek-hou-pang atau Tok-liong-pang, tiada tempo aku
ngobrol dengan kalian, Lekas jawab pertanyaanku."
"Lui Tayhiap, bolehkah kami tanya untuk apa kau kemari"
Bukan mustahil tujuan kita..."
It-cu-king-thian mendengus, "kalian barang macam apa,
berani mengurus aku" Sekarang aku yang tanya kalian, lekas
kalian jawab, barang apa yang kalian gali" Siapa pula yang
menjadi tulang punggung kalian?"
"Baik, baik, biar kujelaskan seluruhnya Lui Tayhiap, harap
kau bersabar mendengar laporan kami," kedua orang ini
bersikap munduk-munduk supaya It cu-king-thian tidak
bersiaga. Mendadak keduanya angkat pacul dan sekop
masing-masing terus mengepruk ke batok kepala lt-cu-kingthian.
Bukan lantaran mereka tidak takut terhadap It-cu-kingthian,
tapi sebaliknya bila mereka bicara sejujurnya, jiwa
mereka malah celaka di tangan It-cu-king-thian, maka mereka
nekat bertindak secara membokong, syukur berhasil
membunuh It-cu-king-thian, nama mereka akan lekas tersiar
584 dan diagulkan di dunia persilatan. Maka terdengarlah suara
"Trang" yang keras sekali It-cu-king-thian menggentak kedua
tangan, pacul dan sekop itu seketika tertangkis terbang ke
udara. Gentakan keras kedua lengan It-cu-king-thian ternyata
bukan hanya menyebabkan pacul dan sekop itu terbang ke
udara, tapi kedua laki-laki itupun seperti digenjot dengan
martil dada masing-masing, darah kontan menyembur dari
mulutnya dengan menjerit mereka bergulingan di tanah.
Berdebar jantung Tan Ciok-sing menyaksikan dari tempat
sembunyinya, pikirnya: "It-cu-king-thian tidak bernama
kosong. Entah dia kawan atau lawan?" dia tahu meski dirinya
sudah berhasil meyakinkan Bu-bing-kiam-hoat, dirinya
mungkin masih belum mampu mengalahkan dia.
Pada saat itulah, mendadak tampak pula sesosok bayangan
orang laksana seekor burung besar melejit turun ke tengah
puing-puing, gerakan tubuhnya gesit dan tangkas, dibanding
It-cu-king-thian tadi mungkin lebih dari pada kurang.
Kedua laki-laki dari Hek-hou-pang seperti mendapat
bintang penolong, lekas mereka merangkak bangun terus
memburu kearah orang itu seraya berteriak bersama: "Ciangsuhu,
tolong." Pendatang ini bukan lain adalah jago nomor dua dalam
kalangan Gi-lim-kun, sekarang terima menjadi Cong-kiau-thau
di rumah keluarga Liong yaitu Ciang Thi-hu adanya.
Agaknya It-cu-king-thian tidak mengenalnya, tanpa
berhenti dia melangkah maju sambil ulur tangan hendak
mencengkram kedua laki-laki itu, bentaknya: "Orang lain
minggir saja, kalau tidak jangan salahkan kalau aku bertindak
kasar." Ciang Thi-hu terloroh-loroh, katanya: "Kau hendak
membunuh menutup mulut mereka?" di tengah loroh tawanya
kedua telapak tangan terbalik terus menghantam, empat
585 telapak tangan beradu menimbulkan benturan keras laksana
guntur menggelegar, Tan Ciok-sing berdua yang sembunyi
puluhan langkah di sanapun merasa pekak telinganya.
Agaknya kekuatan kedua pihak setanding, badan It-cuking-
thian tampak limbung dua kali. Sementara Ciang Thi-hu
terdorong mundur tiga langkah baru bisa berdiri tegak.
"Toako," kata In San. "apa pula yang masih kau ragukan"
Kita harus keluar membantu It-cu-king-thian."
Tan Ciok-sing masih bimbang, katanya lirih: "It-cu-kingthian
tidak akan kalah, kita saksikan saja nanti bertindak
menurut gelagat," tak nyana dalam sekejap itu situasi di
depan mata ternyata mendadak berubah.
Kedua orang tadi sembunyi di belakang Ciang Thi-hu,
pikirnya ada tameng untuk sembunyi, tak kira Ciang Thi-hu
mendadak mengayun tangan ke belakang, kedua laki-laki itu
dikepruknya mati dengan kepala pecah. Jeritan yang
menyayat hati menjelang ajal kedua orang ini membuat In
San merinding dan mengkirik.
"Bagus," bentak It-cu-king-thian, "kiranya kau hendak


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menutup mulut mereka. Siapa kau?"
"Lui Tayhiap, aku bukan turun tangan membantu kau,"
ucap Siang Thi-hu, "yang terang kedua orang ini sudah terluka
dalam oleh getaran tenaga dalammu, jiwanya takkan tertolong
lagi. Kenapa kau biarkan mereka tersiksa lebih lama?"
"Keji juga caramu ini," jengek It-cu-king-thian, "orang she
Lui masih ingin menjajalmu," di tengah deru angin
pukulannya, debu dan pasir beterbangan. Dalam sekejap
kedua pihak telah mengadu tiga kali pukulan, tapi akhir
pukulan tidak bentrok secara keras karena Ciang Thi-hu
menghindar sambil miringkan tubuh, sehingga dua gelombang
pukulan berbareng menyapu ke satu arah. "Biang" batu besar
di sebelah kanan sana terpukul remuk.
586 Baru saja In San buka mulut mau mendesak Tan Ciok-sing
keluar membantu, ternyata pertempuran tiba-tiba berhenti.
Ciang Thi-hu tampak melompat jauh kesana sambil tertawa
tergelak-gelak.
"Apa yang kau tawakan-'' hardik It-cu-king-thian.
"Sudah lama kudengai kebesaran nama It-cu-king-thian
yang mahir main golok dan ilmu pukulan telapak tangan,
beruntung hari ini bersua disini, kenyataan memang tidak
bernama kosong. Tapi kalau kau ingin mengadu pukulan
dengan aku, kukira kau kurang pandai memilih lawan."
It-cu-king-thian mendengus, "kau kira aku tidak mampu
mengalahkan kau?"
"Bukan begitu maksudku. Kita sudah mengadu empat
pukulan, kukira kau sudah tahu siapa diriku bukan" Kalau
pertandingan dilanjutkan, mungkin aku bukan tandinganmu.
tapi untuk mengalahkan aku, sedikitnya memakan tiga ratusan
jurus. Bukankah dua hari lagi kau hadir dalam pertemuan
besar di Lian-hoa-hong. Dalam pertemuan itu mungkin ada
kejadian yang akan mempersulit dirimu. Tapi terhadapmu aku
tidak bermaksud jahat, kenapa kau harus menguras tenagamu
kepadaku?"
Sekilas It-cu-king-thian melengak, katanya: "Gun-goan-itcu-
kang yang tuan yakinkan memang jarang kusaksikan, kau
terlalu sungkan, bila bertempur tiga ratus jurus mungkin aku
yang kau kalahkan malah. Pada jaman ini orang yang memiliki
Gun-goan-it-cu-kang sehebat ini hanya ada seorang, jadi kau
inilah Ciang Thi-hu salah satu jagoan kosen dari Gi-lim-kun
yang sejajar dengan Khu Ti pada dua puluh tahun yang lalu."
"Terima kasih akan pujian Lui Tayhiap, sebetulnya tak
berani aku menerimanya. Sekarang boleh kita bicara secara
santai bukan" Terus terang saja, dua puluh tahun yang lalu,
aku sudah ingin berkenalan dengan kau, sayang tiada
kesempatan."
587 "Terima kasih akan penghargaanmu, soal apa yang ingin
kau bicarakan dengan aku?"
In San heran katanya: "Kenapa Lui Tayhiap kelihatan
semakin sungkan?"
"Tayhiap apa, kukira mereka memangnya sekomplotan,"
demikian jengek Tan Ciok-sing.
In San geleng-geleng, agaknya dia masih tidak percaya
bahwa It-cu-king-thian sekomplotan dengan Ciang Thi-hu, tapi
kenyataan di depan mata ini sukar pula untuk dijelaskan.
Didengarnya Ciang Thi-hu berkata: "Kau pasti curiga untuk
apa aku datang kemari?"
"Betul," ucap It-cu-king-thian, "aku memang ingin tanya
kepadamu?"
"Lui Tayhiap, kau sendiri apa pula kerja disini?"
"Kau sudah tahu sengaja tanya?"
"Jadi Lui Tayhiap mengaku akan maksud kemari, setujuan
dengan kedua orang Hek-hou-pang ini?"
"Kaupun punya maksud yang sama bukan?"
"Kau keliru Lui Tayhiap," ujar Ciang Thi-hu tertawa
tergelak-gelak. "Agaknya kau belum tahu."
"Tahu apa?" tanya It-cu-king-thian tertegun.
"Ilmu pedang Thio Tan-hong sudah ada pemiliknya, tapi
kau masih main gali disini, umpama setiap jengkal tanah disini
kau keduk juga tiada gunanya."
"Siapa yang memilikinya?" Tanya It-cu-king-thian kaget.
"Seorang pemuda berusia likuran tahun."
"Pemuda berusia likuran tahun. Apakah dia she Tan?"
"Aku yakin kau sudah tahu siapa dia. Tapi akupun baru dua
hari yang lalu tahu bahwa dia adalah cucu dari sahabatmu."
588 "Darimana kau tahu kalau dia yang memilikinya?"
"Kira-kira belasan hari yang lalu, aku pernah bergebrak
dengan dia."
"O, jadi kedatanganmu ke Kwi-lin kali ini, tujuannya hendak
mencari anak itu?"
"Bukan seluruhnya lantaran dia,"
"O ya, kabarnya kau memperoleh banyak keuntungan dari
Liong-tayjin."
Ciang Thi-hu tertawa tergelak-gelak, tawa yang puas dan
bangga, tapi dia tidak menjawab pertanyaan It-cu-king-thian,
katanya sesaat kemudian: "Lui Tayhiap, kau denganku bukan
kawan dari segolongan, tapi ada sebuah urusan, bila kita bisa
kerja sama secara jujur, pasti menguntungkan untuk kedua
pihak. Apa kau sudi membicarakan soal itu denganku?"
"Baik, silakan menjelaskan."
"Sudah lama aku dengar betapa nikmatnya Sam-hoa-cui
buatan Kwi-lin, sudikah kau mentraktirku
"O ya, disini bukan tempat bicara. Kau datang ke Kwi-lin
sebagai tuan rumah adalah pantas aku menjamumu, boleh
silahkan kau ajak teman-temanmu datang ke tempatku."
"Lui Tayhiap, kau memang cerdik, sekali tebak lantas tahu
bahwa persoalan ini memang masih perlu minta bantuan
teman yang lain. Baiklah, mari sekarang kita berangkat."
Setelah bayangan mereka tidak kelihatan baru Tan Cioksing
menghela napas, katanya: "Tahu orangnya tahu mukanya
tidak tahu hatinya, pepatah ini memang betul. Adik San, coba
katakan apa salah aku mencurigai It-cu-king-thian!"
"Ya, aku masih tidak percaya bahwa Lui Tayhiap sebobrok
itu, mustahil ada maksud-maksud tertentu yang tidak kita
ketahui." "Maksud apa?"
589 "Aku tak bisa menjelaskan. Tapi dari nada pembicaraan
Ciang Thi-hu tadi sudah terbukti bahwa Lui Tayhiap
hakikatnya belum pernah janji atau sekongkol dengan
keluarga Liong. Bukankah dia bilang dia dan Lui Tayhiap,
bukan kawan dari segolongan?"
"Tapi mereka hendak berintrik untuk mencelakai aku."
"Lho, merekakan tidak bicara begitu?"
"Urusan dagang apa yang Memangnya masih ada persoalan
lain?" "Walau aku saksikan sendiri dan mendengar percakapan
mereka, kulihat mereka pergi bersama pula, tapi aku tak mau
percaya bahwa It-cu-king-thian sudi berkomplot dengan Ciang
Thi-hu untuk mencelakai kita. Untung masih ada waktu tiga
hari, urusan ini bakal dibereskan."
"Maksudmu pertemuan di Lian-hoa-hong yang akan
diadakan tiga hari lagi itu?"
"Keng Lam-wi bilang, kau akan bertemu dengan orang
yang ingin kau temui di Lian-hoa-hong, aku yakin orang yang
dimaksud adalah It-cu-king-thian, mungkin paman Tam juga
disana. Boleh nanti kau langsung tanya padanya."
Tan Ciok-sing menghela napas, katanya: "Ya, bagaimana
juga baik dan bajik hati kita, apa salahnya kalau kita waspada
dan siaga terhadap siapapun."
Sebetulnya In San mempercayai It-cu-king-thian, soalnya
dia sendiri juga tidak bisa memberi penjelasan dan
memecahkan kejadian yang baru saja disaksikan, apa lagi Tan
Ciok-sing teramat kukuh akan pendapatnya, mau tidak mau
keyakinannya menjadi goyah. Sesaat kemudian baru dia
bersuara: "Lalu apakah kita harus menghadiri pertemuan Lianhoa-
hong itu?"
"Hadir sih harus. Tapi kita harus lebih hati-hati. Bagaimana
Kek Lam-wi sebetulnya, orang macam apa dia sebetulnya,
590 hakikatnya masih terlalu asing bagi kita. Walau sepak
terjangnya kelihatan lebih mendekati kaum pendekar."
In San termenung beberapa saat lamanya, katanya
kemudian: "Kau kuatir bila Kek Lam-wi kemungkinan
sekomplotan dengan It-cu-king-thian?"
"Semoga tidak demikian."
"Bila betul mereka sekomplotan, bukankah kedatangan kita
kesana berarti masuk perangkapnya?"
"Memang aku sedang berpikir dan mencari akal cara
bagaimana kita harus memecahkan persoalan rumit ini."
In San tidak berani mengganggunya lagi, setelah
menempuh perjalanan beberapa lamanya, tanpa terasa
mereka sudah tiba di Hoa-kio, tak lama lagi mereka sudah
akan tiba di hotel, baru In San bertanya: "Sudah kau temukan
caranya." "Besok saja kujelaskan kepadamu," sahut Tan Ciok-sing
tertawa. Kontan In San merengut, dengusnya: "Em, jual mahal
segala?" "Bukan jual mahal, apa akalku dapat terlaksana, harus
kutunggu sampai besok pagi baru bisa kuketahui."
Tanpa diketahui siapapun mereka kembali ke kamar
masing-masing, saat mana sudah menjelang kentongan
kelima. In San langsung tidur, tapi rasanya hanya sekejap
saja, tahu-tahu dia waktu siuman mentari sudah menyorot
masuk lewat jendela.
Setelah membersihkan badan dan berdandan In San lalu
keluar dan mengetok pintu kamar Tan Ciok-sing, tapi tiada
penyahutan. Lekas pemilik hotel sudah lari mendatangi,
katanya dengan tertawa: "Sejak pagi-pagi tadi Tan-siangkong
591 sudah keluar, katanya sebentar dia akan kembali. Dia bilang
suruh kau sarapan pagi lebih dulu."
Setelah makan In San masuk kamar dan menunggu dengan
sabar, kira-kira setengah jam kemudian baru Tan Ciok-sing
kembali. "Heh, kemana kau?" tanya In San.
"Aku pergi menyewa perahu, sebentar kita berangkat ke
Yang-siok, rekening hotel sudah kulunasi seluruhnya. Lekas
kau bereskan buntalanmu."
"Segera berangkat" Kenapa tidak lewat jalan darat?" tanya
In San heran. Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Dari Kwi-lin ke Yang-siok,
perahu berlaju mengikuti arus air, sepanjang perjalanan kau
dapat menikmati pemandangan alam nan permai sepuas
hatimu. Kalau naik kuda lewat jalan darat, bukan saja
kecapaian, tak mungkin kau menikmati kehidupan tentram
sepanjang jalan."
"Jangan kau kira aku ini anak dogol yang ceroboh, aku tahu
maksudmu," demikian ucap In San. "Kek Lam-wi
mengundangmu bertemu di Lian-hoa-hong tiga hari lagi, kalau
kita lewat jalan darat, kemungkinan jejak kita dikuntit kaki
tangannya. Kau kuatir akan hal ini bukan?"
"Otakmu memang encer, sekali tebak kena sasaran. Kalau
kita naik perahu lebih dini, mungkin mereka tidak akan
menduga. Apalagi perahu bisa langsung tiba di bawah Lianhoa-
hong. Waktunya sudah kuperhitungkan, kira-kira hari
ketiga malam kita akan tiba di tempat tujuan. Kita bisa naik ke
gunung tanpa diketahui siapapun."
"Kuda kita bagaimana?" tanya In San.
"Tinggalkan saja di Kwi-lin."
592 "Titipkan kepada pemilik hotel" Berani kau
mempercayainya?"
Lirih suara Tan Ciok-sing: "Pemilik perahu adalah teman
karibku sejak kecil, waktu anak-anak dulu sering kami bermain
di sungai menangkap ikan," lalu dengan tertawa dia
menambahkan, "waktu melihatku tadi semula dia masih raguragu
tapi rasanya seperti sudah kenal, akhirnya setelah aku
memanggil dengan nama kecilnya, baru dia berjingkrak
girang. Temanku ini seratus persen dapat dipercaya."
"Jadi kedua ekor kuda kita hendak kau titipkan ke
rumahnya" Kuda itu kita pinjam dari Kanglam Sianghiap,
jikalau hilang bagaimana?"
"Kita harus berani bertaruh. Bicara terjadi sesuatu,
umpama kita ke Yang-siok naik kuda, bukan mustahil
persoalan yang akan kita hadapi di tengah jalan mungkin lebih
banyak dan ruwet," akhirnya In San setuju saja, maka Tan
Ciok-sing lantas mengajaknya keluar. Setiba di bawah Hoa-kio,
temannya tukang perahu itu memang sudah menunggu
mereka. Melihat In San berpakaian sebagus dan berwajah setampan
ini, tukang perahu kelihatan heran dan kesima, tapi dia cukup
cerdik, apalagi tadi Tan Ciok-sing sudah jelaskan padanya,
maka dia tidak banyak tanya, sikapnya wajar, sewajar dia
melayani tamu-tamu yang lain. Tan Ciok-sing serahkan kedua
ekor kudanya kepada sanak keluarga tukang perahu untuk
dibawa pulang, segera mereka naik ke perahu terus
berangkat. Setelah perahu berlaju di tengah sungai si tukang perahu
baru bersuara dengan tertawa: "Tan-toako, sudah beberapa
tahun kita berpisah, kini kau sudah kaya, selama beberapa
tahun ini kemana dan apa saja usahamu" Baru hari ini kau
pulang ke kampung halaman?"
593 "Usaha apa" Pulang dengan kaya segala" Selama beberapa
tahun ini aku hanya mengandal harpaku untuk mencari sesuap
nasi di Kangouw. Siau-cu-cu, terus terang, aku amat kagum
dan kepingin hidup setenang dan setentram kau. Kau memiliki
perahu sendiri, kerja tak usah diperintah orang dan tidak perlu
jengkel dan malu dimarahi orang, mencari sesuap nasi secara
halal berdasar cucuran keringat sendiri. Berkecimpung di
Kangouw, siksa deritanya luar biasa."
"Betul juga omonganmu, aku sih mengandal gunung dan
air disini untuk mencari sesuap nasi. Ada saja ikan atau udang
yang dapat kutangkap di sungai, meski agak sengsara, namun
kita tetap hidup sederhana dan bersahaja, Siau-ciok-cu, tahun
itu waktu rumahmu habis terbakar, kabarnya kakekmu


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meninggal, kucari kau kemana-mana, aku tidak tahu akan
mati hidupmu, betapa sedih hatiku. Syukurlah hari ini
mendadak kau muncul, legalah hatiku. Siau-ciok-cu, peduli
kau berduit atau kantongmu kempes, sikapku terhadapmu
tetap seperti dahulu. Kembalilah keharibaan kampung
halaman, kita bersaudara tetap bisa hidup berdampingan
menangkap ikan di sungai, mencari kayu bakar di gunung,
bukankah lebih baik" Akupun ingin belajar memetik harpa
padamu," katanya diucapkan dengan tulus, tanpa terasa
berkaca-kaca kelopak mata Tan Ciok-sing haru.
"Bukankah sekarang aku sudah kembali" Kelak aku
memang hendak membangun pula rumahku itu, seperti kakek
untuk selamanya aku akan hidup di bawah Cit-sing-giam.
Bukan aku saja yang akan menetap seumur hidup disini,
temanku ini pun akan menemaniku tinggal disini selamanya."
"Apa betul" Em, siapakah nama besar temanmu ini, kenapa
tidak kau perkenalkan padaku?" ujar tukang perahu.
In San segera menyebut sebuah nama palsu katanya:
"Sudah lama aku kepingin menikmati panorama nan indah dan
molek di desamu ini. Aku memang ingin menetap di Kwi-lin
594 saja. Untuk itu aku harus pulang dulu ke desa baru akan
kemari lagi."
Tukang perahu tertawa, katanya: "Baik juga kau nikmati
dulu pemandangan sepanjang Kwi-lin ke Yang-siok ini, yakin
kau akan lebih mantap tinggal disini. Kau adalah teman Siauciok-
cu, maka aku amat senang menyambut kedatanganmu."
"Siau-ciok-cu (si krikil cilik), em, Tan-toako baru sekarang
aku tahu akan nama kecilmu," demikian kelakar In San.
"Sejak kecil dengan Tan-toako kami saling memanggil
nama kecil. Dia bernama Tan Ciok-sing, maka aku
memanggilnya Siau-ciok-cu. Namaku Lauw Tui-cu, maka dia
memanggilku Siau-cu-cu (si jagak cilik)."
"Siau-cu-cu," tukas Tan Ciok-sing, "beberapa hari ini
adakah pelancongan dari luar daerah yang menyewa
perahumu pergi Yang-siok?"
"Ya, kemarin dulu ada beberapa orang berlogat utara
hendak menyewa perahuku, jumlah mereka terlalu banyak,
perahu kecil, akhirnya mereka menyewa perahu Hou-losam."
"Di Yang-siok adakah tokoh besar yang diagungkan"
Maksudku orang ternama seperti It-cu-king-thian Lui Tin-gak
dan lain-lain."
"Betul, kini kuingat," ujar Siau-cu-cu. "Di Yang-siok
memang ada seorang gagah yang kaya raya, kabarnya dalam
gedungnya memelihara banyak busu, kepandaian kungfunya
sendiri juga tinggi. Memang namanya tidak tersohor
sebanding Lui Tayhiap, tapi daerah sekitarnya dia cukup
terkenal dan disegani. Kabarnya beberapa hari lagi dia akan
merayakan hari ulang tahunnya yang ke 60, bukan mustahil
tamu-tamu luar daerah itu semua hendak memberi selamat
kepadanya."
"Siapakah orang itu" Kok belum pernah kudengar adanya
orang gagah macam itu."
595 "Orang itu she Nyo bernama Hou Hu. Kabarnya rumahnya
berada di atas Bik-lian-hong. Dua tahun terakhir ini aku sering
ke Yang-siok baru kudengar perihal dia."
Dalam hati Tan Ciok-sing berpikir: "Belum pernah kudengar
nama Nyo Hou-hu di kalangan Kangouw, mungkin hanya raja
tanah di sekitar Yang-siok saja" Apakah pantas dia
mengerahkan delapan dewa menyambut tamu segala"
Mungkin aku masih cetek pengalaman, setelah tiba di Yang
siok akan kucari tahu saja," lalu dia bertanya: "Hari ini adakah
tamu yang menuju ke Yang-siok?"
"Sejak kemarin sudah tiada tamu yang menyewa perahu ke
Yang-siok. Kau kan tahu, untuk sampai ke Yang-siok, naik
perahu memerlukan waktu tiga hari dua malam, jauh lebih
lambat dari jalan darat. Bagi yang suka menikmati
pemandangan alam baru naik perahu dan mereka berangkat
lebih dini, kalau sekarang baru berangkat, naik perahu lagi,
dia tidak akan sempat menghadiri perayaan hari ulang tahun
Nyo-toaya."
Seperti ingat sesuatu tiba-tiba tukang perahu
menambahkan: "Tadi kau menyinggung It-cu-king-thian Lui
Tin-gak, kini aku baru ingat. Bukankah kakekmu dulu
sahabatnya" Setelah rumahmu terbakar habis dia pernah
datang mencari tahu duduk persoalannya."
"Lho, kabarnya It-cu-king-thian juga menghilang pada
tahun itu bukan?" tanya Ciok-sing.
"Memangnya, hal itu memang agak aneh, malam kedua
setelah rumahmu terbakar, rumah Lui Tayhiap juga terbakar
habis. Sejak itu tak pernah ada orang melihat Lui Tayhiap
pula." "Kapan dia mencari tahu kepada kalian?"
"Hari ketiga setelah rumah keluargamu terbakar habis. Tapi
bukan Lui Tayhiap sendiri yang datang, tapi seorang tua
pesuruh yang mencari tahu kalian kakek dan cucu."
596 "Dia tidak mencari majikan sendiri malah perhatikan kami,
bukankah aneh."
"Lui Tayhiap dijuluki It-cu-king-thian, apa makna
julukannya itu, memangnya kau tidak tahu?"
"Kakek pernah menjelaskan kepadaku, julukannya itu
mengandung dua arti. Pertama diibaratkan Tok-siu-hong di
Kwi-lin, sebagai sebuah tonggak di langit selatan. Kedua, dia
suka melindungi teman, umpama tonggak yang menyanggah
langit, melindungi umat manusia yang menderita kesukaran."
"Lho, kau sudah tahu, kenapa dibuat heran, Lui Tayhiap
adalah laki-laki sejati, seorang kawan setia, menurut cerita
orang tua pesuruh itu, dua hari setelah rumahmu terbakar,
sebetulnya dia sendiri mau datang memeriksa. Tapi setelah
lewat lohor baru dia memperoleh berita, kebetulan rumahnya
kedatangan seorang teman lama yang sudah sekian tahun tak
pernah ketemu, maka dia tidak sempat meluangkan waktu.
Maka berpesan kepada pesuruh tua itu untuk menyelidiki
persoalan dan mencari tahu jejak kalian kakek dan cucu.
Malam itu juga pesuruh tua itu meninggalkan rumah keluarga
Lui dan tinggal di rumah familinya di pintu timur, besok
paginya baru akan ke Cit-sing-giam memeriksa rumah dan
mencari tahu kalian. Tak nyana malam itu juga rumah
keluarga Lui kebakaran, beruntung pesuruh tua ini terhindar
dari petaka ini tapi dia sendiri juga tidak tahu nasib
majikannya, karena kejadian amat mendadak, maka dia
terlambat bertindak hingga hari ketiga dia sempat mencari
kalian dan menyelidiki kejadian itu."
"Pesuruh tua itu bilang, perduli majikannya masih hidup
atau sudah mati, dia harus tetap melaksanakan pesannya itu.
Pertama harus mendapat tahu nasib sebenarnya kalian kakek
dan cucu, kalau masih hidup harus ditampung, kalau sudah
mati harus kebumikan atau diperabukan sesuai keinginan sang
majikan. Sayang dia mencari tahu kepadaku, aku sendiri tahu
apa. Ai, Lui Tayhiap setia kawan dan berani berkorban demi
597 kawan, walau kejadian itu tidak terlalu mengherankan bagi
aku, tapi aku ikut menyesal dan gegetun sekali."
Tan Ciok-sing tertawa dingin, katanya: "Bahwa dia begitu
memperhatikan kakek dan aku, akupun merasa heran dan
terharu, entah bagaimana aku harus membalas kebaikannya."
Agaknya tukang perahu itu tidak memperhatikan sikap
nada ganjil Tan Ciok-sing, katanya lebih lanjut:
"Akhir-akhir ini kudengar berita angin, katanya Lui Tayhiap
masih hidup, berapa tahun yang lalu setelah rumahnya
kebakaran dia lantas ngungsi ke lain tempat, kini sudah
kembali. Entah betul atau tidak... semoga Thian melindungi
umatnya yang sosial dan dermawan."
Hari kedua perahu sudah keluar dari daerah Ling-yang dan
mulai masuk keresidenan Yang-siok. Setelah melewati dua
selat, tampak puncak gunung menjulang tinggi di kejauhan
sana. Menuding sebuah puncak yang bentuknya seperti
sebuah mahkota tukang perahu berkata: "Itulah puncak
pertama yang paling ternama di Yang-siok bernama Kwanwan
(karang mahkota)."
Keluar dari Kwan-wan mereka memasuki daerah Siau-san
(gunung sulam), sesuai namanya puncak inipun terdiri dari
batu karang yang beraneka ragam bentuk dan warnanya,
coraknya seperti sebuah kain sulaman yang memiliki warnawarni
yang mempesona, tak ubahnya laksana sebuah lukisan
alam nan permai.
Tiba-tiba tukang perahu berkata: "Siau-ciok-cu sudikah kau
memetik harpamu, petiklah sebuah lagu untukku" Sejak kecil
aku suka mendengar petikan harpa, di alam nan permai
dengan hawa nan sejuk ini, betapa nikmatnya mendengarkan
himbauan musik yang santai."
Memang Tan Ciok-sing sendiri juga menjadi gatal jarijarinya,
segera dia turunkan harpanya serta mulai memetikkan
sebuah lagu tamasya. In San dan tukang perahu berdiri
598 pesona mendengar perpaduan irama musik dan gemericiknya
air sungai. Begitu satu lagu selesai dipetik tukang perahu
segera tepuk tangan sambil memuji: "Siau-ciok-cu hebat
sekali, begitu bagus petikan harpamu kukira tidak kalah dari
kakekmu dulu."
Tengah mereka bicara, tiba-tiba dari tempat yang amat
jauh sayup-sayup terdengar sebuah suitan panjang, suitan
yang memuji oleh himbauan irama harpa yang indah ini.
Diam-diam Tan Ciok-sing kaget, hatinyapun amat menyesal.
"Eh, Siau-ciok-cu, kenapa kau" Sikapmu kelihatan agak
janggal?" tanya tukang perahu.
"Tidak apa. Siau-cu-cu, apa kau mendengar suara suitan?"
"Aku tidak perhatikan. Mungkin kau salah dengar."
"Tidak mungkin salah, yang kudengar betul adalah suitan
manusia, bukan suara air." Tan Ciok-sing tidak tahu dari arah
puncak mana datangnya suitan tadi, maka jaraknyapun sukar
diukur, apakah orang yang bersuit memiliki lwekang tinggi
juga sukar diduga.
Maka diapun tidak tanya lebih lanjut.
Hari itu mereka berlayar tanpa mengalami sesuatu
kejadian, hanya perasaan Tan Ciok-sing agak terganggu oleh
suitan tadi, sehingga tiada seleranya lagi menikmati
pemandangan sepanjang perjalanan ini.
Sesuai rencana hari ketiga menjelang magrib mereka sudah
tiba di bawah Bik-Iian-hong. Seperti juga Tok-siu-hong di Kwilin,
Bik-lian-hong inipun menjulang tinggi mencakar langit tak
ubahnya sebuah tonggak yang menyanggah langit, tapi
kelihatannya lebih tinggi dibanding Tok-siu-hong. Cuaca sudah
remang, dari kejauhan tidak kelihatan jelas, tapi lapat-Iapat
masih kelihatan puncak gunung ini seperti mekar laksana
kelopak kembang teratai yang sedang berkembang.
599 Setelah perahu menepi tukang perahu berkata: "Hari sudah
gelap, kalian nginap di perahu saja semalam. Nanti kupancing
dua ekor ikan segar untuk lauk pauk makan malam."
"Siau-cu-cu, ingin aku melihat caramu memancing ikan,
tapi setelah makan malam, kami akan naik ke darat," kata
Ciok-sing. "Kalian mau pergi kemana, kan siang hari lebih baik.
Kenapa malam-malam, apa mau cari hotel?"
"Kita punya tujuan tertentu, bukan mau cari hotel."
"Kalian mau kemana?"
"Terus terang, ada seorang teman yang baru kami kenal
mengundang kami bertemu disini," demikian Tan Ciok-sing
menjelaskan. "Siau-cu-cu, sejak kecil kita adalah teman karib,
tidak pantas aku ngapusin kau, kedatanganku ke Yang-siok
kali ini bukan hanya ingin bertamasya, tapi ada urusan lain
yang akan kami kerjakan. Tapi akan merugikan kau bila kau
tahu tentang urusan ini, oleh karena itu aku mohon maaf dan
harap kau maklum, hal itu tak bisa kujelaskan kepadamu. Tiga
hari kemudian, aku akan pulang ke rumahmu, tapi andaikata
aku tidak bisa pulang, tolong kau rawat kuda kami itu. Kelak
ada orang akan datang mengambilnya, asal orangnya cocok
dan bicaranya benar, boleh kau serahkan padanya," lalu dia
sebutkan nama Kanglam Sianghiap serta melukiskan
perawakan dan muka mereka, Lalu dia merogoh perak seberat
10 tahil diserahkan kepada tukang perahu sebagai ongkos
makan kudanya. Karuan tukang perahu melongo kaget, sekian lama baru dia
bersuara: "Siau-ciok-cu, uang ini kau harus tarik kembali.
Walau aku miskin, kedua ekor kuda itu aku masih mampu
memberinya makan Tapi aku rada kuatir, kenapa kau punya
maksud untuk tidak kembali Terus teranglah kepadaku,
apakah urusan yang hendak kau selesaikan itu mungkin bakal
merenggui jiwamu?"
600 "Nasib manusia sukar diramal, aku hanya berusaha untuk
berhati-hati dan menjaga segala kemungkinan, kukira aku
tidak akan mengalami bahaya seberat itu. Untuk ini kau tidak
perlu terlalu kuatir."
"Kalau begitu, Siau-ciok-cu, kau tidak usah pergi saja."
"Pertemuan kali ini menyangkut masa depanku, betapapun
aku harus menepati janji ini. Sekarang tak bisa kujelaskan,
tapi bila aku bisa pulang ke rumahmu, kelak akan kuceritakan
padamu." "Baiklah, kalau begitu aku juga tidak akan pulang, biar aku
menunggumu di bawah Bik-lian-hong ini."
"Lho, jangan, jangan kau terlibat dalam persoalan ini."
Tukang perahu geleng-geleng, katanya: "Tidak, kau ini
sukalah maafkan aku kalau aku tidak menurut petunjukmu.
Sejak kecil kita sudah seia sekata, berat sama dipikul enteng
sama dijinjing bersama, kau masih ingat bukan?"
Melihat sikap tegas dan kukuh tukang perahu akhirnya
Ciok-sing berkata: "Baiklah begini saja, kau tunggu sampai
besok pagi bila mentari sudah terbit, aku belum kembali, kau
harus segera pulang, jangan kau mencari tahu tentang diriku."
Melihat sikap Ciok-sing yang serius tukang perahu tahu
urusan agak genting, maka dia tidak banyak tanya lagi.
Saat mana sudah mendekati kentongan kedua Tan Cioksing
mohon diri kepada Siau-cu-cu, dia ajak In San
meninggalkan perahu terus mendarat, sengaja dia memilih
letak dan jurusan utara yang curam dan berbahaya dari Biklian-
hong terus manjat ke atas.


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan ginkang mereka yang tinggi, tidak ada kesulitan
yang dapat merintangi mereka, lekas sekali mereka sudah
berada di puncak Bik-lian-hong. Pohon siong tampak
menjulang tinggi ke angkasa, batu-batu gunung bercorak
ragamnya tersebar disana sini, di bawah penerangan cahaya
601 bulan sabit, suasana tampak sunyi dan seram. Dari tempat
nan tinggi ini tampak Le-kang legat legot laksana ular putih
yang merambat di bumi nan luas ini.
Tan Ciok-sing selalu memikirkan pertemuannya dengan Kek
Lam-wi, maka dia tidak punya selera menikmati pemandangan
alam di malam hari yang mempersona ini. Batinnya: "Dia pasti
menduga aku baru akan datang setelah lewat tengah malam,
maka dia tidak akan menungguku di puncak ini, bagaimana
aku harus mencarinya?"
Tengah dia melamun, tiba-tiba dilihatnya di tanah
berumput di depan sama muncul bayangan dua orang, In San
segera berbisik di pinggir telinganya: "Nah itu mereka datang,
bagaimana kita?" Yang muncul ternyata memang Kek Lam-wi
dengan gadis jelita yang seperjalanan menunggang kuda
tempo hari. "Tunggu dulu perkembangan selanjutnya," kata Tan Cioksing
lirih. Terdengar gadis ita berkata: 'Sudah menjelang kentongan
ketiga, kukira sahabat yang kau undang itu takkan datang
kemari." "Rembulan belum bercokol di tengah cakrawala, berarti
masih termasuk hari ini. Kalau aku mengundangnya bertemu
hari ini, maka kita harus menunggunya pula satu jam,"
demikian sahut Kek Lam-wi.
"Untuk menunggu dia disini
Hati Budha Tangan Berbisa 13 Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Istana Pulau Es 15
^