Pendekar Pemetik Harpa 20
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 20
kian halnya, kami sebagai rakyat yang menjunjungmu siap
bertempur sampai titik darah terakhir demi membela kerajaan.
Tapi kami akan bekerja diluar lingkungan kerajaan, yakin jauh
lebih bermanfaat dari pada bertugas di kalangan
1153 pemerintahan, maksud baik Baginda tak berani kami
menerima."
"Baiklah, kalau kau tidak mau menjabat pangkat, seorang
laki-laki memang punya cita-citanya sendiri, Tim tidak akan
memaksamu."
"Entah kapan kiranya tekad paduka itu bisa terlaksana"
Untuk ini kami memberanikan diri mohon jawaban paduka
untuk menentukan batas waktunya, supaya Kim-to Cecu dan
para patriot yang lain bisa tentram serta bersiap siaga,"
maklum Tan Ciok-sing kuatir raja muda usia ini hanya
mulutnya saja bicara tapi tidak bisa dipercaya, jawabannya itu
hanya mengada-ada untuk mengulur waktu belaka. Maka dia
menuntut jawaban positip dari Cu Kian-sin.
Mengkerut alis Cu Kian-sin, katanya: "Memaklumkan
perang dengan Watsu merupakan urusan besar negara, ini
menyangkut kejayaan dan keruntuhan bangsa dan negara
betapapun urusan tidak boleh tergesa-gesa. Sampaipun
persiapan melengkapi angkatan perang dari kerajaan kitapun
harus dilaksanakan secara rahasia supaya musuh tidak
mengetahui," secara tidak langsung dia menjawab pernyataan
Tan Ciok-sing tadi, umpama Tan Ciok-sing memaklumkan soal
ini ke seluruh negeri, bahwa Baginda Raja bertekad angkat
senjata melawan penjajah, hal itupun takkan bisa
dilaksanakan lagi.
Tan Ciok-sing berkata: "Tapi paduka harus melakukan
suatu tindakan drastis yang cukup menggemparkan dan
membangkitkan semangat juang rakyat umumnya, lebih cepat
lebih baik, hal ini amat perlu untuk memantapkan situasi dan
menentrarnkan hati rakyat."
"Menurut pendapatmu, tindakan apa yang harus Tim
dahulukan?"
In San berkata: "Kalau paduka masih ada kesulitan untuk
angkat senjata melawan serbuan musuh penjajah, lebih baik
1154 kau memberantas kaum dorna yang merongrong kepentingan
negara, hal ini yakin akan mendapat dukungan sepenuhnya
dari segala lapisan."
Cu Kian-sin berkata: "Konon Liong Bun-kong ada
permusuhan dengan keluargamu, apa betul?"
"Betul," sahut In San naik darah. "Bangsat she Liong itu
pembunuh ayahku, tapi kehadiranku disini bukan lantaran
dendam pribadi."
"Aku tahu. Peduli untuk pribadi atau demi urusan dinas,
adalah pantas kalau aku memberi keadilan kepadamu. Baiklah,
tiga bulan lagi, aku pasti meminjam entah alasan apa,
mencopot kedudukan dan mencabut hak kekuasaannya.
Bagaimana kalian puas tidak" Janjinya ini memang bukan
bualan belaka, dia memang sudah berkeputusan bila perlu
biarlah Liong Bun-kong dikorbankan demi memperkokoh
kedudukan sendiri.
"Baik, tiga bulan kemudian, bila paduka menghadapi suatu
kesulitan dan sukar menjatuhkan hukuman kepada Liong Bunkong,
aku akan datang pula kemari mohon petunjuk paduka.
Setelah tahu duduk persoalannya, akan kami bantu paduka
menjatuhkan vonnisnya. Tapi lebih baik paduka sendiri sudah
bisa berkeputusan sendiri, sehingga kami tidak perlu datang
pula supaya tidak membuat kaget paduka." Kuatir Cu Kian-sin
tiba saatnya merobah haluan dan sukar berkeputusan, maka
dia mendesaknya dengan kata-kata yang halus, padahal
pernyataannya ini cukup serius dan merupakan ancaman pula.
Cu Kian-sin sudah tahu Kungfunya tinggi, karena nyalinya
sudah ciut sudah tentu dia mengiakan berulang kali, dia
berjanji dalam jangka tiga bulan segalanya pasti sudah beres.
Akhirnya Tan Ciok-sing merasa mendapat jawaban yang
cukup memuaskan, baru saja dia hendak pamitan, saat itulah
mendadak dirasakannya ada angin kesiur, tahu-tahu senjata
rahasia sudah menyerang dekat di belakangnya. Tampak sinar
putih berkelebat, "tring, tring" dua kali. Ternyata yang
1155 menyerang tiba adalah dua bentuk uang tembaga, sekali
pedang bekerja, kedua bentuk mata uang itu dipapasnya
menjadi empat potong.
Sebentuk mata uang lagi menerjang ke Hiat-to besar di
punggung In San, gerakan mencabut pedang In San tidak
secepat Tan Ciok-sing, terpaksa dia berkelit. Untung gerakan
tubuh Menyusup Kembang Mengitari Pohon yang
diyakinkannya sudah sempurna, merupakan Ginkang tingkat
tinggi lagi, dalam keadaan kritis itu dia sudah menyelinap ke
samping Cu Kian-sin, sekali raih dia membekuknya serta
membentak: "Siapa berani bertindak?" Mata uang itu langsung
terbang ke depan Cu Kian-sin, Tan Ciok-sing kaget, dia kuatir
raja muda ini terluka oleh mata uang tembaga ini. Tapi
kejadian memang aneh, setiba di depan muka raja mata uang
itu tiba-tiba berputar arah terus membelok kembali dan jatuh
ke lantai dengan suara yang keras. Ternyata penyambit mata
uang ini, jauh lebih takut bila timpukan mata uangnya
mengenai junjungannya, maka tenaga sambilannya
diperhitungkan dengan tepat, tiga kaki di depan muka sang
raja tiba-tiba bisa berputar arah sendiri dan mundur kembali.
Kedua mata uang tembaga itu bentuknya kecil, dengan
tabasan pedangnya Tan Ciok-sing merontokkannya semua,
namun dia rasakan telapak tangannya kesemutan, karuan
kagetnya bukan main, kini menyaksikan gaya timpukannya
yang aneh dan menakjubkan lagi, hatinya lebih kaget lagi,
pikirnya: "Siapa dia" Lwekangnya ternyata tidak lebih asor
dibanding komandan Gi-lim-kun Bok Su-kiat, mungkinkah..."
Tengah dia membatin tampak seorang menerobos masuk
dari jendela. Cu Kian-sin kontan menghardik padanya: "Kedua
orang ini adalah teman Tim, nyalimu sungguh besar, sebelum
diundang dan mendapat persetujuanku, berani kau bertingkah
disini." Lekas orang itu menjatuhkan diri berlutut, serunya: "Mohon
ampun akan kelancangan hamba yang tidak tahu ini. Hamba
1156 kira Baginda diancam dan dijadikan sandera oleh kawanan
pembunuh gelap, karena gugup tidak periksa lagi sehingga
mengejutkan Baginda, mohon Baginda memberi ampun."
"Nona In, bagaimana menurut pendapatmu?" tanya Cu
Kian-sin. "Memang tidak bisa menyalahkan dia, dia ini..."
"Dia adalah kepala pasukan Bayangkari Hu Kian-seng."
Sebetulnya Tan Ciok-sing sudah mengira orang ini adalah
Hu Kian-seng, pikirnya: "Tak heran Kim-to Cecu memuji ilmu
silatnya yang hebat, ternyata memang tidak bernama kosong."
Maka Cu Kian-sin berkata bermuka-muka: "Baiklah,
kuterima permohonan ampun nona In, kelancanganmu tidak
kuperpanjang urusannya. Ada urusan apa. kau kemari?"
Hu Kian-seng berdiri, dia memberi salam kepada rajanya,
katanya: "Ada sedikit urusan, paduka sedang ada tamu,
biarlah kulaporkan nanti juga tidak jadi soal."
"Paduka sedang ada urusan, biarlah kami mohon diri," kata
Tan Ciok-sing. "Nanti dulu, kenapa tergesa-gesa, kalau kalian begini saja,
pasti membuat geger kawanan Wisu yang jaga, supaya tidak
salah paham, Hu Kian-seng, wakilkan Tim mengantar kedua
tamuku ini."
"Hamba terima tugas," sahut Hu Kian-seng, "baginda masih
ada pesan yang lain?"
"Ya, kau pasti belum tahu siapa kedua tamu agung ini?"
"Mohon paduka suka menjelaskan," ucap Hu Kian-seng.
"Nona In ini adalah cucu In Jong yang pernah menjabat
Komandan Gi-lim-kun di kala ayah Baginda almarhum dulu
masih bertahta, ayahnya In Hou juga pernah mendirikan
pahala besar buat negara, kau harus menaruh hormat
1157 padanya. Tentang Tan-siauhiap ini..." mulutnya tersendat tak
kuasa meneruskan kata-katanya, ternyata dia sudah lupa
siapa nama Tan Ciok-sing.
Tan Ciok-sing segera memperkenalkan diri: "Aku bernama
Tan Ciok-sing, delapan belas generasi kakek moyangku tiada
satupun yang pernah menjabat pangkat, kau tidak perlu
sungkan kepadaku."
Kalau Cu Kian-sin melupakan nama Tan Ciok-sing, adalah
Hu Kian-seng amat kaget mendengar namanya. Kejadian Bok
Su-kiat bertempur melawan Tan Ciok-sing di rumah keluarga
Liong tempo hari sudah dia ketahui. Maka dalam hati dia
berpikir: "Tak heran kabarnya Bok Su-kiat sedikit dirugikan
oleh bocah ini, gerakan pedang yang dipamerkan tadi
memang hebat luar biasa."
Hu Kian-seng berjalan di belakang mengantar mereka
keluar. Sementara itu jago kosen she Hoan tampak masih
rebah di tanah tanpa bisa bergerak. Seperti diketahui dia
tertutuk Hiat-tonya oleh Jong-jiu-hoat Tan Ciok-sing.
Waktu Hu Kian-seng lewat di sampingnya mulutnya
menggerundel, sekali depak kontan dia bebaskan tutukan
Hiat-tonya. Jago kosen she Hoan itu segera melompat
bangun, dengan membelalak mata dia awasi Tan Ciok-sing
dan Hu Kian-seng bergantian. Hu Kian-seng segera berkata:
"Tidak lekas kau menjaga dan melayani keperluan Baginda."
Saking keheranan jago she Hoan itu berkata: "Ke... kedua
orang ini..."
"Mereka adalah tamu Baginda, aku disuruh mengantar
kedua tamu Baginda, kau tidak perlu ikut urusan..."
Jago kosen she Hoan itu segera mengiakan sambil
munduk-munduk tanpa berani bicara lagi.
1158 Yang benar dia sudah merasakan keliehayan Tan Ciok-sing,
umpama disuruh urus juga, dia sudah kapok dan pecah
nyalinya. Kepandaian Hu Kian-seng dengan caranya mendepak
membebaskan tutukan, mau tidak mau menimbulkan
kewaspadaan Tan Ciok-sing. Ilmu tutuk yang dilancarkan Tan
Ciok-sing adalah hasil ciptaan Thio Tan-hong yang liehay dan
rumit. Jangan kata jago silat kaum persilatan, seorang ahli
tutukpun belum tentu dapat membebaskan tutukan Hiat-to itu
dalam waktu singkat.
Sebagai kepala barisan Bayangkan boleh dikata Hu Kianseng
adalah orang yang paling dekat dengan raja, sudah tentu
dia tahu isyarat apa yang telah disampaikan junjungannya
kepada dia bila dia mengantar kedua tamunya ini. Maka dia
berpikir: "Dari nada Baginda tadi agaknya dia menaksir kepada
cewek ayu ini, aku harus berusaha untuk tidak melukai dia.
Baiklah, biar kuhadapi dulu bocah she Tan ini. Tapi ilmu
pedang bocah ini bukan olah-olah liehaynya, sekali bertindak
aku harus membawa hasil."
Tanpa merasa mereka sudah tiba di Ling-bik-ti, Hu Kianseng
yakin Baginda sekarang sudah meninggalkan Long-gakkck,
umpama dirinya tidak berhasil membekuk Tan Ciok-sing,
dia tidak perlu kuatir Tan Cok-sing putar balik kesana serta
menyandera junjungannya. Maka tanpa kuatir apa, dia turun
tangan. Saat mana dia berjalan di belakang Tan Ciok-sing,
mendadak dia angkat telapak tangan terus mengenjot ke Toacui-
hiat di punggung Tan Ciok-sing. Jarak mereka begitu
dekat, pukulan ini dilontarkan dengan sepenuh tenaga lagi,
jikalau pukulan telak mengenai sasaran, umpama tidak
mampus juga pasti terluka parah.
Diluar tahunya sejak tadi Tan Ciok-sing sudah siaga, dia
siap menghadapi segala sergapan. Begitu Hu Kian-seng
menyerang dengan Jong-jiu-hoat, baru saja tangan bergerak
1159 lantas menimbulkan deru angin kencang. Pada saat kritis
itulah, begitu merasakan angin menerjang, secara reflek Tan
Ciok-sing tudingkan jarinya ke belakang. Dengan jari
mengganti pedang dia melancarkan sejurus Hian-niau-hoat-sa,
padahal malam amat gelap, tapi tudingan jarinya dengan
tepat menjojoh ke urat nadi di pergelangan tangan lawan.
Inilah perlawanan untuk gugur bersama, jikalau kedua
pihak sama tidak mau mengalah bentrok secara kekerasan,
meski Tan Ciok-sing terluka parah, Hu Kian-seng sendiri juga
akan terluka seluruh Siau-yang-king-meh dalam tubuhnya.
Untuk meyakinkan ilmu pukulan besinya, sedikitnya Hu
Kian-seng perlu latihan sepuluh tahun lamanya baru pulih
seperti sedia kala.
Jarak dekat kedua pihak menyerang dengan kencang lagi,
siapapun tak sempat menggunakan otaknya. Tan Ciok-sing
sudah pertaruhkan jiwa raganya, tapi Hu Kian-seng mana mau
mengadu jiwa. Sebat sekali dia tarik tangan serta menepis ke
samping, sementara kakinya bergerak dengan Ban-liong-yaupou,
menghindar sambil balas menyerang. Mulutnya ternyata
tidak mau menganggur, teriaknya: "Ada pembunuh, hayo
kemari tangkap dia."
Karena terdorong oleh angin pukulan lawan, tanpa kuasa
Tan Ciok-sing tersuruk ke depan beberapa langkah baru
berdiri tegak pula. Dalam hati diam-diam Tan Ciok-sing amat
kaget: "Lwekangku kenapa menjadi begini tak berguna?"
maklum meski dia tahu Lwekang Hu Kian-seng lebih unggul
dari dirinya, tapi taraf Lwekangnya paling hanya setingkat
tebih tinggi dari Bok Su-kiat, dia pernah bentrok langsung
dengan Bok Su-kiat, maka dia yakin bila dia melawan secara
kekerasan, sedikitnya dia masih kuat melawan tiga puluhan
jurus, tak nyana menghadapi Bik-khongciang lawan kali ini,
dirinya tidak kuasa mempertahankan diri.
Cepat sekali In San sudah mencabut pedang, bentaknya
sambil tertawa dingin: "Namanya sebagai jago kosen nomor
1160 satu dari istana raja, ternyata berbuat licik dan picik main
bokong segala, tidak tahu malu."
Merah muka Hu Kian-seng, katanya: "Nona In, urusan tidak
menyangkut dirimu, silakan kau minggir."
Sudah tentu In San tidak mau minggir, belum habis Hu
Kian-seng bicara, tampak sinar kemilau dingin menyilaukan
mata telah membabat tiba, ternyata Tan Ciok-sing dan In San
sudah melancarkan jurus gabungan ilmu pedang mereka
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merabunya gencar. Sebagai ahli silat, sudah tentu H u Kianseng
tahu betapa hebat rangsakan sepasang pedang ini,
dilihatnya gerak gabungan sepasang pedang lawan hakikatnya
tiada lobang kelemahan, jelas dirinya takkan mampu
menghalau dan memisah kedua orang ini, karuan hatinya
mencelos, pikirnya: "Celaka, kalau aku gunakan Jong-jiu-hoat
balas menyerang, bagaimana bisa tidak sampai melukai budak
ayu ini?" Tapi dalam posisinya yang menyangkut mati hidupnya,
bagaimana mungkin dia tidak balas menyerang dengan Jongjiu-
hoat" Maka dia gunakan Siang-jongciang, ke kiri
menggenjot Tan Ciok-sing, ke kanan menghantam In San.
Tapi tenaga pukulan yang dia lancarkan antara kiri dan kanan
jauh berbeda. Pukulan yang dilontarkan kepada Tan Ciok-sing
menggunakan delapan puluh persen tenaganya, sementara
untuk menyerang In San dia hanya menggunakan dua puluh
persen saja. Demi keselamatan sendiri hal itu harus dia
lakukan tanpa banyak pikir, meski terpaksa ln San mungkin
terluka dan dia dimarahi atau dihukum oleh Baginda Raja juga
tidak sempat dihiraukan lagi.
In San tergetar mundur oleh pukulan ini sehingga
terhuyung hampir jatuh, sementara Tan Ciok-sing tersuruk
maju hampir saja jatuh terjerembab. Baru saja Hu Kian-seng
akan menyusuli dengan serangan jurus Ya-be-hun-cong
menyelinap ke tengah untuk memisah kedua orang ini. Tak
kira baru saja niat ini terlintas dalam benaknya, laksana kilat
1161 menyambar, mendadak dilihatnya dua jalur cahaya pedang
laksana lembayung tahu-tahu sudah membabati dari samping
hendak membelah pinggangnya. Perbawa gabungan sepasang
pedang ini sungguh berbeda di luar dugaannya. Kalau dia
tidak tahu diri tetap melontarkan jurus serangan Ya-bc-huncong
itu, mungkin bukan saja dia tidak mampu memisah
kedudukan Tan dan ln kemudian tubuh sendiri yang bakal
terbelah terpisah jadi dua.
Memang tidak malu Hu Kian-seng diangkat sebagai jago
nomor satu dari barisan Bayangkari, betapa cepat reaksi dan
tindakannya didalam menghadapi bahaya, di saat jiwanya
tergantung pada sekali tarikan napas itu, sigap sekali dia
gunakan Kan-te-pa-jong mendadak tubuhnya melambung
tinggi ke atas dengan tubuh terbaring lurus, berbareng kedua
kakinya menendang secara berantai ke arah Tan Ciok-sing.
Mendadak Tan Ciok-sing gunakan Hong-tiam-thau, sehingga
Hu Kian-seng sempat melompat keluar dari lingkaran sinar
pedang. Namun demikian tak urung pantatnya tertusuk juga
oleh ujung pedang ln San, kulit dagingnya terpapas sebagian
besar. Karena bokongnya terluka sudah tentu dia tak berani
bertempur lebih lama lagi, cepat dia angkat langkah seribu.
Baru saja Tan Ciok-sing sempat menarik napas lega, waktu
dia menoleh, dilihatnya In San bernapas sengal-sengal dan
tubuhnya limbung. Tan Ciok-sing kaget, lekas dia memburu
maju memapahnya, katanya: "Adik San, kenapa kau'.'"
Dengan napas sengal ln San berkata: "Tidak, tidak apa-apa.
Tapi urusan agak ganjil. Toako, menurut pendapatmu
bagaimana Kungfu Hu Kian-seng bila dibanding Milo Hoatsu?"
Melihat kekasihnya tidak terluka lega hati Ciok-sing. Tapi
dia tidak habis mengerti kenapa dalam waktu , mendesak
menanyakan hal ini" "Kungfu Hu Kian-seng agaknya setingkat
lebih tinggi dari Bok Su-kiat, namun jelas dia bukan tandingan
Milo Hoatsu."
1162 "Memangnya, tapi kenapa gabungan pedang kita tadi
kenapa tidak mampu membunuhnya" Kelihatannya seperti jadi
lemah" Bukankah urusan agak ganjil?"
Tan Ciok-sing baru sadar dan ikut merasa heran pula
setelah In San menyinggung hal ini. Pikirnya: "Betul, malam
itu dengan gabungan sepasang pedang kita, malam itu Milo
Hoatsu yang tangguh itupun terkalahkan oleh kita. Kini Hu
Kian-seng meski juga terluka oleh pedang kita, tapi hanya
dalam tiga gebrak saja kenapa aku sendiri sudah hampir tidak
tahan lagi, pada hal malam itu kita masih mampu bertahan
belasan jurus melawan Milo Hoatsu tanpa terdesak sedikitpun.
Sepantasnya tidak seperti hari ini, apa sih sebabnya" Kenapa
bisa begini?"
Tapi awak masih berada di tempat berbahaya, sudah tentu
tak sempat dia banyak pikir, katanya: "Adik San, tak usah kau
pusingkan hal ini" Mumpung sekarang kita masih bisa lari
marilah lekas menyingkir dari sini."
Tapi In San malah berkata: "Ya, sekarang teringat olehku,
tadi kita minum teh suguhan Baginda, mungkin kita telah
dikerjai olehnya. Toako, Lwekangku jauh bukan ukuranmu,
jelas aku takkan bisa lari. Mana boleh aku membantumu ikut
celaka. Lekas jangan hiraukan aku, larilah seorang diri."
Tan Ciok-sing seperti diguyur air, seketika pikirannya jernih,
pikirnya: "Betul, pasti air teh itulah yang menjadi
penyebabnya."
Terdengar "tangkap pembunuh" yang bersahutan dan ribut
dan berbagai tempat tampak bayangan para Wisu berlarian
dari berbagai penjuru memburu kesini. Hu Kian-seng yang
terluka cukup parah dan belum lari jauh segera ikut berteriak:
"Pembunuh di arah Ling-bik-ti, lekas kalian grebek mereka."
In San jadi gugup, katanya membanting kaki: "Seharusnya
aku tidak suruh kau ikut minum teh itu, betapapun kau jangan
1163 ikut celaka bersamaku, dengarlah nasehatku, lekas kau lari,
lekas lari."
Sudah tentu Ciok-sing tidak mau meninggalkan dia begini
saja, katanya setelah mengertak gigi: "Kita sehidup semati."
pada hal Wisu yang memburu paling dekat jelas sudah
kelihatan, tapi malam cukup gelap, sehingga kawanan
Wisu itu juga belum melihat mereka.
Karena kepepet tiba-tiba timbul akal Tan Ciok-sing, segera
dia jemput sebutir batu terus ditimpukkan kedalam empang.
Lalu dia susuli pula lemparan beberapa buah batu ke arah
Long-gak-kek. Tenaga timpukannya sudah diperhitungkan
sehingga batu kedua lebih jauh dari batu pertama, batu ketiga
lebih jauh pula dari batu kedua dan seterusnya, sehingga
suara jatuhnya seperti langkah seorang yang lari
mengembangkan Ginkang. Habis menimpukkan batu segera
dia menyelinap dan lari ke arah yang berlawanan.
Para Wisu yang berada didekat Ling-bik-ti segera berteriak
ke arah belakang: "Seorang pembunuh mencebur ke air,
seorang lagi lari ke arah Long-gak-kek. Lekas pencar tenaga
kalian untuk mengejar kesana. Lindungilah Baginda."
Lekas Tan Ciok-sing menggigit lidah sendiri sampai
berdarah, ternyata dia menyadari kesadarannya mulai
terpengaruh, rasa kantuk menyerang dirinya, tapi setelah
kesakitan semangatnya mendadak terbangkit pula, maka
dengan menyeret In San, dia kembangkan Ginkang Siang-ih-jihwi
sambil sembunyi di antara bayang-bayang bangunan di
sekitarnya dia terus menyelinap kedalam taman kembang.
Langkah In San mendadak menjadi berat dan lamban,
meski Tan Ciok-sing bantu menyeretnya, namun dia sudah
tidak mampu berjalan lagi. Lekas Tan Ciok-sing memeluknya,
dengan suara lirih seperti bunyi nyamuk In San berbisik di
pinggir telinganya: "Toako, aku, aku tak kuat lagi. Aku mau
1164 tidur." Waktu Ciok-sing menunduk, benar juga terlihat
matanya sudah terpejam.
Sudah tentu kejut Ciok-sing bukan main, dia kira racun
telah kumat dalam tubuhnya, tapi didengarnya In San masih
bernapas baik, lekas dia pegang urat nadinya, denyut nadinya
juga berjalan normal. Sesaat lagi bukan saja napasnya teratur
malah dia menggeros. Keadaannya tak ubahnya seperti
seorang yang tidur lelap.
Karuan Cok-sing keheranan: "Melihat keadaannya tidak
mirip keracunan, tapi dalam keadaan genting ini kenapa dia
tertidur pulas?" Kejadian selanjutnya ternyata memang amat
aneh, tanpa sadar tiba-tiba Ciok-sing sendiri juga menguap,
rasa kantuk membuatnya ingin mencari ranjang empuk untuk
tidur lelap di damping kekasih yang dicintai ini
Untung betapapun Lwekangnya jauh lebih tangguh dari ln
San, dia sadar dalam keadaan seperti ini betapapun dia tidak
boleh tertidur, kembali dia menggigit lidah, supaya rasa sakit
membangkitkan semangatnya dan menghilangkan rasa
kantuk. Setelah menghembus napas sekali, lekas dia gunakan
ajaran Lwekang ciptaan Thio Tan-hong menyalurkan hawa
murni ke pusar, sehingga tenaganya pulih beberapa bagian,
dengan memeluk In San, dia maju lebih lanjut seperti bermain
petak dengan para Wisu itu.
Sayup-sayup didengarnya suara Hu Kian-seng berkaokkaok
di dekat empang sana: "Agaknya bocah she Tan itu
pandai berenang, hayo panggil orang yang pandai berenang
untuk mengejarnya."
Dalam hati Ciok-sing membatin: "Ternyata empang itu ada
saluran yang menuju keluar istana, sayang tadi aku tidak
tahu," tapi meski dia tahu juga takkan bisa meloloskan diri
bersama In San. Untuk lari dengan menyelam dalam air harus
menggunakan ilmu penutup pernapasan, orang lain jelas
takkan bisa membantunya, kini In San sedang pulas dalam
pelukannya mana mungkin dibawa lari menyelam didalam air.
1165 Meski sekuatnya dia membangkitkan semangat, tapi rasa
kantuk itu seperti gelombang pasang yang melanda terus
menerus. "Apa boleh buat, biarlah kemana aku bisa
melangkah kesitulah aku pergi," demikian pikir Ciok-sing
pasrah pada kuasa Thian.
Tapi untung karena Hu Kian-seng tahu Ciok-sing pandai
berenang dan kuatir dia lari dari saluran di dasar empang yang
menembus keluar istana, di samping suruh panggil orang yang
pandai berenang, diapun suruh beberapa Wisu memburu
keluar istana untuk menjaga di mulut saluran serta
menangkapnya. Keributan disini ternyata menguntungkan
Ciok-sing berdua untuk sembunyi kian kemari.
Dengan memeluk In San terasa bobotnya semakin berat,
Ciok-sing sadar bahwa dirinya juga takkan kuat bertahan lama
lagi, karena tenaga sendiri juga semakin lemah. Mau tidak
mau dia menghela napas: "Mungkin kami takkan bisa lolos.
Untung mereka tidak berani melukai adik San, asal adik San
bisa hidup, biar aku mati juga tidak menjadi soal."
Terpaksa dia memilih ke arah tempat-tempat yang
bersemak belukar dan jarang didatangi orang, tanpa tujuan
asal terjang dan maju saja, tak lama kemudian, bukan saja In
San yang dipeluknya sudah tak kuasa diseretnya, otaknya juga
menjadi kosong dan berat, lambat laun kelopak mata sendiri
juga tak kuasa dibuka lagi.
Setelah dia mengitari dua gunungan, Japat-lapat dilihatnya
di depan ada gubuk yang dibangun dari tanah liat, bagaimana
mungkin didalam taman raja seperti ini terdapat sebuah gubuk
tanah liat" Hati merasa heran, namun dia tidak sempat
pikirkan keanehan ini. Hanya ingin tidur, tidur... Sebelum
mencapai gubuk tanah liat itu dia sudah tidak kuat lagi
mendadak dia tersungkur jatuh. In San masih berada dalam
pelukannya, seperti juga In San, tanpa dirasakan tahu-tahu
dia sudah tidur nyenyak.
1166 Ternyata mereka memang telah dikerjai oleh Cu Kian-sin
raja muda itu, tapi bukan terkena racun. Ternyata air teh yang
mereka minum itu memang sengaja diramu oleh tabib raja
yang khusus diperuntukkan Baginda Raja sendiri, kasiat teh itu
dapat menenangkan pikiran memulihkan semangat,
merupakan air teh yang membantu orang tidur pulas dalam
jangka tertentu menurut kadar yang diminumnya. Tapi tidak
membawa efek sampingan dan berbahaya, malah membantu
kesehatan badan.
Tahu bahwa dirinya malam ini akan tidur telat malam,
maka sambil kerja menyelesaikan urusan dinas di kamar
bukunya, kuatir dirinya terlalu lelah bekerja, Cu Kian-sin
suruhkan Thaykam menyeduh sepoci teh untuk membantu
tidurnya supaya lelap. Teh itu hendak diminumnya menjelang
tidur nanti malam, menghadapi kehadiran Ciok-sing berdua,
karena dia menaksir In San, maka tergerak pikirannya, maka
dia suguh air tehnya itu kepada In San.
Cukup lama juga mereka pulas, setelah tengah hari kedua
baru mereka siurnan dari tidurnya. Begitu membuka mata
mereka jadi kebingungan dan heran, ternyata mereka tidur
berdampingan di tumpukan jerami yang berserakan dalam
rumah kotor dan bobrok serta berbau najis kuda.
Sambil menepuk jidat Tan Ciok-sing berkata: "Aneh,
bukankah kita berada di Sia-hoa-wan. Kenapa bisa berada di
rumah petani" Tempat apakah ini?"
"Kelihatannya seperti didalam istal, jerami ini jelas adalah
makanan kuda," ujar In San.
"Keluarga petani mana mungkin menyimpan umpan kuda
sebanyak ini, mungkin kita masih berada di istal raja,"
demikian kata Ciok-sing.
"Toako, bagaimana perasaanmu" Kurasa semangatku baik
sekali. Bukankah semalam kita minum secangkir teh beracun
kenapa bisa begini?"
1167 "Akupun amat segar, sedikitpun tidak keracunan. Tapi aku
masih ingat tadi aku jatuh diluar, memangnya siapa yang
memindahkan kita didalam rumah?" dia coba kerahkan tenaga
memukul dan menendang, gerak kaki tangannya ternyata
menimbulkan deru angin sehingga tumpukan jerami tergetar
runtuh. Baru saja dia hendak keluar serta memeriksa keadaan
sekitarnya, dari luar telah masuk satu orang, dari
dandanannya menunjukkan bahwa dia seorang Thaykam tua.
Tan Ciok-sing berjingkrak, teriaknya: "Kau, kau siapa?"
"Jangan tegang," ucap Thaykam tua, "aku membantu
kalian. Aku she Ong, seorang Thaykam yang tugas sehariharinya
mengurus kuda dalam istana."
"O, jadi kaulah yang memindahkan kami kedalam rumah?"
tanya Ciok-sing.
"Betul, kulihat kalian jatuh diluar, aku kuatir kalian
kepergok kawanan Wisu maka kugotong masuk ke gudang
jerami ini. Bau najis kuda disini mungkin membuat mereka tak
sudi menggeledah kemari, tapi juga untung karena bau busuk
itulah sehingga jejak kalian tidak ketemu mereka."
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Barulah Tan Ciok-sing sadar bahwa Thaykam tua ini adalah
penolong jiwa mereka, lekas dia menjura menyatakan terima
kasih. In San bertanya: "Ong-kongkong, banyak terima kasih
akan budi pertolonganmu. Tapi kenapa kau sudi menyerempet
bahaya untuk menolong kami?"
"Karena aku adalah teman Siau-tat-cu," sahut Thaykam
tua. In San bingung, tanyanya: "Siapakah Siau-tat-cu?"
"Yaitu Thaykam kecil yang semalam bertemu dengan kalian
di Sim-hiang-ting itu."
Kejut dan girang Tan Ciok-sing dan In San, tanpa janji
mereka bertanya: "Jadi urusan kami, Siau-tat-cu sudah
1168 ceritakan kepadamu?" dalam hati mereka amat menyesali
akan kematian Thaykam kecil itu, berkorban setelah
menunaikan tugas mulia, tapi siapa namanya hakikatnya
mereka belum sempat tanya kepada dia.
Thaykam tua berkata: "Dia sih tidak cerita apa-apa
kepadaku. Tapi secara tidak langsung bolehlah dianggap dia
telah memberitahu kepadaku."
In San melongo, tanyanya: "Bagaimana maksudnya" Boleh
kau menjelaskan kepada kami?"
"Aku memang akan bercerita lebih jelas kepada kalian. Ai,
teringat pada Siau-tat-cu, aku jadi perih hatiku, kalau kalian
anggap aku tidak cerewet, biarlah aku bercerita sejak
permulaan."
"Ong-kongkong," ujar ln San, "aku memang ingin tahu
lebih banyak perihal Siau-tat-cu."
"Waktu Siau-tat-cu masuk ke istana, dia baru berusia dua
belas tahun," demikian Thaykam tua mulai bercerita,
"mungkin kami berjodoh, Thaykam urusan pekerja suruh aku
pimpin dia melakukan kerja serabutan, akupun disuruh
memberi petunjuk tentang adat istiadat serta aturan-aturan di
istana kepadanya."
"Kami sama-sama dari keluarga miskin, tidak lama
hubungan kami sudah seperti sanak kadang sendiri. Dia
menganggap aku kakek akupun memandangnya sebagai
cucu." "Belakangan karena dia giat bekerja dan rajin belajar, suatu
hari Baginda Raja ketarik padanya serta mengangkatnya
sebagai Thaykam yang melayaninya dari dekat. Akupun
memperoleh manfaat karena dia telah naik pangkat. Sehingga
aku ditugaskan sebagai pemelihara kuda di istal kerajaan ini.
Bagi orang lain tugas ini mungkin dianggap kotor dan rendah,
tapi bagi aku justru tugas disini lebih bebas dan
menyenangkan dari pada di istana dalam, setiap hari dihina
1169 dan diperlakukan semena-mena seperti binatang layaknya
oleh Thaykam urusan kerja yang kereng dan jahat itu."
"Bagi orang lain Siau-tat-cu dianggap naik ke pucuk tangga,
tapi dia tidak pernah melupakan asalnya, sering juga dia
datang ke istal menengok aku dan sering mengajak ngobrol.
"Semalam diapun datang pula, dia malah ajak aku
menghabiskan beberapa cangkir luak. Pada hal selama ini tak
pernah dia minum minuman keras, baru semalam pertama kali
aku saksikan, dia minum sebanyak itu. Kulihat sikap dan
mimiknya agak aneh dan janggal, aku tanya kau ada urusan
atau ada persoalan apa yang mengganjel hatinya. Tapi dia
tidak mau menjelaskan. Dia hanya bilang, bila dia mengalami
sesuatu, dia minta aku jangan sedih."
"Sudah tentu timbul rasa curigaku, begitu dia meninggalkan
istal aku lantas menguntitnya diam-diam. Terus terang akupun
pernah belajar silat. Belasan tahun berada di istana, meski
memejam mata juga aku bisa mondar mandir di Sia-hoa-wan.
Dari kejauhan aku menguntitnya tanpa diketahui oleh
siapapun, termasuk kawanan Wisu yang jaga dan ronda.
"Kulihat dia menyelinap masuk ke sebuah gua gunungan,
aku tahu gua itu menembus ke Sim-hiang-ting, baru saja aku
hendak mengikuti jejaknya, tiba-tiba kulihat seorang Wisu
telah mendahului aku menyusup kedalam gua itu pula, saking
kaget aku sampai kebingungan dan menyembunyikan diri,
niatku semula kubatalkan.
"Tapi lapat-Iapat masih sempat juga kusaksikan keadaan
didalam Sim-hiang-ting dari kejauhan."
"Kulihat dua bayangan besar laksana burung terbang
melesat masuk kedalam Sim-hiang- ting, tentunya bayangan
itu adalah kalian bukan?"
"Betul, kedua bayangan itu adalah kami," ucap Tan Cioksing,
"akulah yang membunuh Wisu itu. Ai, tapi Siau-tat-cu,
1170 dia, dia..." teringat betapa Siau-tat-cu gugur demi tugas, tak
urung berkaca-kaca air mata di kelopak matanya.
Thaykam tua berkata lebih lanjut: "Semua itu kusaksikan
dengan mata kepalaku sendiri. Setelah kalian pergi, dengan
membesarkan hati aku juga menyusup kedalam gua,
kutemukan mayat Wisu itu tapi juga kutemukan Siau-tat-cu
rebah di atas tanah, sebuah belati menancap di dadanya.
Kuraba dia seperti masih hangat dan pernapasannya amat
lemah, entah dia sudah mati atau sudah sekarat."
Diam-diam Tan Ciok-sing amat menyesal, pikirnya: "Kukira
dia sudah mati, namun aku tidak seteliti orang tua ini
memeriksanya," yang benar, meski dia tahu Siau-tat-cu belum
mati, juga dia takkan berhasil menolongnya. Apalagi waktu
amat mendesak, mereka lebih perlu menemui raja lebih cepat.
Thaykam tua bercerita pula: "Pelan-pelan kucabut belati itu
serta membubuhi obat di tempat lukanya, meski aku takkan
bisa menolong jiwanya, betapapun aku harus berusaha.
Sebelum aku berhasil mencabut belati itu, ternyata Siau-tat-cu
telah siuman, pelan-pelan dia membuka mata..."
"Oh, jadi, dia tidak mati," seru In San.
"Dia siuman karena rasa kesakitan yang luar biasa, namun
keadaannya memang sudah teramat lemah," demikian tutur
Thaykam tua. Rasa girang In San seketika sirna pula.
"Setelah membuka mata dan melihat jelas diriku, dia
berkata: 'Jiwaku telah tak tertolong lagi, jangan kau menyianyiakan
tenagamu, lekaslah dengarkan beberapa patah
pesanku.' Waktu itu aku maklum keadaannya yang sudah
teramat kritis, di saat dia bisa bicara segera aku tanya
kepadanya: 'Siapakah yang mencelakai kau" Lekas beritahu
padaku.'" 1171 "Siau-tat-cu berkata: 'Muda mudi itu bukan pembunuh,
mereka adalah orang baik, bila mereka mengalami kesulitan,
bila kau mampu dan bisa, kuharap kau sudi menolong...'
suaranya semakin lirih dan lemah, pada akhir katanya kelopak
matanyapun terpejam, kali ini dia betul-betul meninggal."
"Dia bunuh diri karena membantu kami," kata In San. Lalu
dia ceritakan kejadian semalam.
"Tanpa kau jelaskan aku juga tahu bukan kalian yang
membunuh Siau-tat-cu, kalau tidak sebelum ajalnya, masakah
dia mau mohon pertolonganku untuk membantu kalian"
Apalagi aku sudah tahu bahwa kalian orang baik, bukan
lantaran cerita Siau-tat-cu baru mau percaya pada kalian."
"Darimana kau tahu?" tanya In San heran.
Thaykam tua itu berkata: "Nona In, kakekmu adalah Buconggoan
ln Jong dari dynasti yang dahulu dan ayahmu ln
Tayhiap In Hou bukan?"
In San paham seketika, katanya: "Agaknya kau dengar
pembicaraan kawanan Wisu yang membicarakan diriku?" pada
hal dia belum menjelaskan asal-usul dirinya kepada Thaykam
kecil yang bunuh diri itu.
Thaykam tua lantas berkata: "Betul, di waktu aku
menyusup kcdalam gua itu kudengar ribut-ribut kawanan Wisu
yang hendak menangkap pembunuh, tak lama kemudian
jenazah Siau-tat-cu dan Wisu itupun kutemukan. Untung
mereka mengira pembunuh itu yang membunuh mereka, bila
sampai diusut, biasanya Siau-tat-cu berhubungan dengan aku,
mungkin aku bisa kena perkara. Kudengar mereka kasak
kusuk, seorang Wisu yang mendengar kabar memberitahu
kepada temannya, katanya Hu-congkoan sudah berpesan, bila
kalian menemukan pembunuh perempuan itu, dilarang
mengusik seujung rambutnya. Dari pembicaraan mereka itulah
aku tahu asal-usul nona ln."
1172 "Semasa kakekmu hidup aku pernah melihatnya, mungkin
mereka tidak tahu adanya Thaykam tua macam diriku ini, tapi
aku justru tahu kesetiaan mereka terhadap negara. Bicara
terus terang, pembesar-pembesar jaman sekarang siapa yang
patut kupuji dan kusanjung, aku hanya pengagum mereka
ayah beranak."
"Nona ln, setelah tahu asal-usulmu, meski Siau-tat-cu tidak
berpesan kepadaku, aku pasti akan membantu kesulitan
kalian. Memangnya putri In Tayhiap bukan orang baik" Begitu
aku berpikir. Kau orang baik, maka orang yang datang
bersamamu memang harus kuragukan pula?"
"Waktu itu hatiku gugup setengah mati, dengan cara apa
baru aku bisa menolong kalian" siapa tahu kejadian justru
amat kebetulan, begitu aku kembali kutemukan kalian pulas
diluar kandang kuda. Untung kawanan Wisu belum memeriksa
sampai disini, maka bergegas aku sembunyikan kalian ke
gudang jerami."
Habis Thaykam tua bercerita. Tan Ciok-sing lantas berkata:
"Ong-kongkong, sungguh tak tahu cara bagaimana aku harus
berterima kasih kepada kau, aku kuatir urusan bisa membuat
celaka." "Kalau Siau-tat-cu berani gugur demi membantu kalian,
memangnya aku harus takut mati" Apalagi kini aku sudah tahu
kedatangan kalian kemari adalah menyelesaikan urusan besar
menyangkut kepentingan negara dan bangsa, bila aku bisa
gugur demi kesuksesan kalian, terhitung tidak sia-sia hidupku
selama ini."
"Jangan berkata demikian, Siau-tat-cu sudah berkorban,
betapapun kau tidak boleh ikut berkorban. Tolong carikan apa
saja yang dapat kami makan, setelah tenaga pulih kami akan
segera keluar."
"Coba lihat, betapa cerobohku ini, bicara melulu sampai
lupa menyiapkan makanan, pada hal semalam suntuk kalian
1173 belum mengisi perut."--Tak lama kemudian dia sudah kembali
membawa sepiring bakpau, katanya pula: "Harap dimaafkan
tiada makanan lain yang bisa kusuguhkan untuk kalian."
Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Ah, ini justru hidangan
lezat yang belum pernah kunikmati selama ini."
Setelah menghabiskan tiga bakpau, In San coba-coba
menggerakkan kaki tangan, katanya kepada Tan Ciok-sing
dengan tertawa: "Toako, teh yang semalam kita minum itu
agaknya memang tidak beracun, tenagaku sekarang tiada
bedanya dengan keadaan semula. Mari kita cari akal untuk
lolos keluar."
Lekas Thaykam tua menyela: "Jangan kalian coba
menyerempet bahaya."
"Bagaimana keadaan diluar?" tanya In San.
Thaykam tua tertawa getir, ujarnya: "Setelah kejadian
semalam, penjagaan jelas diperketat. Kawanan Wisu dibagi
dalam tiga regu untuk meronda setiap waktu, jumlahnyapun
diperbesar. Terutama di Sia-hoa-wan, setiap pelosok ada
orang sembunyi mengintip keadaan sekelilingnya. Seekor lalat
terbangpun pasti konangan."
ln San jadi gelisah, katanya: "Wah, bagaimana" Liokpangcu,
Lim Tayhiap, Toan-toako dan lain-lain sedang
menunggu kabar kami, bila kami tidak kembali dalam waktu
yang ditentukan betapa kuatir hati mereka."
"Apa boleh buat, terpaksa kalian harus sabar menunggu
beberapa hari. Bila keadaan sudah kendor aku akan bantu
kalian keluar dari sini," demikian kata Thaykam tua.
In San menghela napas, katanya: "bila Han Cin disini, pasti
kita punya akal untuk keluar."
Tan Ciok-sing tersentak sadar, katanya: "Aku punya akal,
mari kita coba."
1174 "Akal apa?" tanya In San.
"Untuk ini, kami mohon Ong-kongkong suka membantu."
"Katakan saja, bila aku bisa melakukan, tugas apapun akan
ku laksanakan."
"Tolong usahakan seperangkat seragam Wisu dan pakaian
Thaykam kecil."
"Itu mudah, tapi besok baru aku bisa menyiapkan
permintaan kalian ini."
"Toako," seru In San girang, "jadi Han-cici juga
mengajarkan tata rias itu kepadamu."
"Belum sempurna apa yang pernah kupelajari, mumpung
sekarang diperlukan, biarlah kupratekkan pada dirimu, apalagi
malam gelap yakin kebolehanku masih bisa mengelabuhi
mereka." Thaykam tua berkata: "Tapi cara bagaimana kalian bisa
keluar dari pintu istana" Menurut apa yang kutahu Hucoangkoan
sudah mengeluarkan perintah keras, siapa saja
dilarang keluar istana, kecuali membawa dua benda
pengenal."
"Kedua benda pengenal apa?" tanya Ciok-sing.
"Pertama adalah perintah langsung dari Baginda Raja
dengan cap kerajaan, atau membawa lencana perintah yang
dikeluarkan oleh Hu-congkoan. Itu berarti hanya Baginda Raja
dan Hu-congkoan saja yang boleh memberi izin orang keluar
masuk istana."
Kedua benda yang diperlukan ini jelas tidak mungkin
mereka peroleh, Tan Ciok-sing berkata: "Tak usah pedulikan
soal ini, carikan dulu seragam yang kuperlukan itu."
Hari kedua Thaykam tua membawa dua perangkat pakaian
yang cocok dengan perawakan mereka, maka Tan Ciok-sing
segera merias In San dan diri sendiri menjadi bentuk yang
1175 berbeda, hari itu juga In San mulai belajar tingkah laku dan
tata krama para Thaykam kepada Thaykam tua. Malamnya
mereka berunding cara bagaimana mereka harus
menyelundup keluar dengan aman, Thaykam tua tetap
menganjurkan supaya mereka tidak menyerempet bahaya.
Tiba-tiba Tan Ciok-sing berkata: "Kau tahu dimana tempat
tinggal Hu-congkoan?"
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tahu," sahut Thaykam tua, "dia sih tidak seperti baginda
harus setiap malam berpindah tempat menginap."
"Kalau demikian, lebih mudah untuk mencarinya, Ongkongkong,
tolong jelaskan dimana tempat tinggalnya, cara
bagaimana kami bisa kesana?"
Mereka menyamar Wisu dan Thaykam kecil, malam itu
kebetulan gelap gulita, di Sia-hoa-wan mereka bisa
menggeremet maju terus dengan sembunyi di antara rumput
kembang dan semak-semak pepohonan, untunglah sejauh
mana mereka tidak dipergoki orang. Setiba di tempat sepi dan
tidak kelihatan ada bayangan orang, In San tanya dengan
suara lirih: "Kau hendak minta lencana itu dari Hu Kian-seng
secara kekerasan?"
"Ya, kemarin malam dia terluka, yakin bukan tandingan
kita. Nanti kita bertindak melihat gelagat, syukur bisa kita curi
lencana itu, kalau gagal kita bekuk dia sebagai sandera."
"Betul," ucap In San, "tanpa masuk sarang harimau mana
dapat membekuk anak macan. Toako langkah caturmu ini
sungguh tepat sekali."
Setelah maju pula beberapa kejap sesuai petunjuk
Thaykam tua, mereka sudah tak jauh dari tempat kediaman
Hu Kian-seng. Di belakang rumah terdapat sebuah pohon tua
tingginya melebihi tembok Tan Ciok-sing pusatkan
perhatiannya mengawasi sekelilingnya, di sekitar rumah jelas
tidak ada penjaga. Mungkin karena takabur akan kepandaian
sendiri yang dianggap tiada bandingan, demi membuktikan
1176 kesetiaannya kepada Baginda pula, maka seluruh anak
buahnya dia kerahkan untuk membekuk pembunuh semalam.
Setelah memutar ke belakang rumah, Ciok-sing
kembangkan Ginkangnya melompat tinggi ke pucuk pohon,
hawa seperti membeku, dahan tidak bergoyang, sekali
melambung lagi kakinya sudah menggantol payon terus
ditekuk pula melingkar ke atas sehingga tubuhnya teralingaling,
dengan gaya kerai menjuntai tubuhnya bergelantung
mengintai kedalam.
Didalam rumah tampak Hu Kian-seng tengah duduk
setengah tidur di ranjang bicara dengan seseorang. Orang itu
adalah Tiangsun Co, perlu diketahui Tiangsun Cau masuk ke
istana kemarin malam, kira-kira hampir bersamaan waktunya
dengan Tan Ciok-sing berdua di kala mereka menyelundup
masuk. "Ternyata keparat ini belum pergi, biar kucuri dengar
pembicaraan mereka," demikian batin Tan Ciok-sing.
Didengarnya Tiangsun Co sedang berkata: "Bagaimana
keadaan Hu Tayjin" Lantaran persoalanku sampai Hu Tayjin
terluka, sungguh aku jadi tidak enak hati."
H u Kian-seng tertawa tergelak-gelak, katanya: "Kan hanya
luka luar saja, kenapa dibuat kapiran" Paling lama dua hari
juga pasti sudah sembuh. Aku tak mampu membantu
menyelesaikan urusan Pwecu, justru akulah yang kurang
enak.'" Dari nada tawanya dapatlah Tan Ciok-sing mengukur
kekuatan Lwekangnya, ternyata memang berisi, mau tidak
mau bercekat hatinya, pikirnya: "Lwekang keparat ini memang
luar biasa, secepat itu dia sudah pulih kembali. Untung aku
tidak bertindak gegabah."
Tiangsun Co berkata: "Hu Tayjin, jangan kau berkata
demikian, aku tahu kau sudah bekerja giat dan mati-matian
untuk kepentinganku, aku hanya heran..."
1177 "Heran soal apa?"
"Heran, kenapa rajamu kelihatan ragu-ragu" Bukankah kau
pernah bilang, kau paham dan mengerti kemana hati rajamu
berkiblat, katanya dia mau berdamai dengan pihak kita."
Hu Kian-seng tidak segera menjawab, katanya kemudian:
"Apa saja yang dijanjikan Baginda kepada kau, bolehkah kau
jelaskan kepadaku?" seperti diketahui pada malam kejadian itu
Tiangsun Co gagal menemui Cu Kian-sin, karena gugup dan
kaget serta ketakutan sang raja minum obat penenang dan
sehari semalam tidur pulas tidak bangun-bangun, baru hari ini
dia dipanggil menghadap.
"Sejak mula rajamu bilang mau berdamai, tapi soal konsep
perdamaian itu dia bilang ingin mempelajarinya lagi lebih
seksama. maka tidak bisa segera memberi jawaban positip.
Kelihatannya ada apa-apa yang menjadi ganjelan pikirannya
tapi aku sungkan mendesaknya."
"Memangnya, dua hari yang lalu tindak-tanduknya masih
gamblang, malah dia memuji Liong Bun-kong kali ini bekerja
dengan baik dan sesuai mencocoki seleranya. Entah kenapa
mendadak berubah haluan dan bimbang" Em, mungkin
lantaran dia ketakutan oleh pembunuh gelap itu?"
"Sebetulnya urusan gara-gara kalian bertindak kurang hatihati,"
demikian ucap Tiangsun Co, "kenapa pembunuh gelap
dibiarkan menyelundup kedalam istana."
Hu Kian-seng tertawa nyengir, katanya: "Selanjutnya
kujamin takkan terjadi lagi peristiwa seperti itu."
"Bicara soal itu pula. Aku tidak percaya gara-gara
kedatangan pembunuh gelap itu, rajamu lantas merubah
haluan. Mungkin tidak ada sebab lainnya" Coba kau pikirkan."
"Sukar aku menerkanya," ucap Hu Kian-seng gelenggeleng.
1178 Mereka tidak tahu latar belakang persoalannya, tapi Tan
Ciok-sing tahu seluk beluknya. Diam-diam dia merasa senang
setelah mendengar pembicaraan ini, pikirnya: "Sesuai dugaan
Kim-to Cecu, asal kami teguh melawan musuh baginda lalim
itu, mau tidak mau harus berpikir dua belas kali, apa lagi
setelah kubentangkan untung dan ruginya liku-liku persoalan
ini, sedikit banyak bujukanku membawa hasil juga."
Sesaat kemudian didengarnya Hu Kian-seng berkata pula:
"Tiangsun Pwecu, kapan kau bisa bertandang ke tempatku ini,
mumpung ada kesempatan menginaplah sehari lagi, setelah
pembunuh berhasil kuringkus, kami tunggu kesempatan, akan
kuusahakan mengorek keterangan dari Sribaginda."
Dingin nada perkataan Tiangsun Co: "Aku justru tidak
punya banyak tempo menunggu jawabanmu. Terus terang
selama dua hari ini aku sudah sebal dan bosan disekap dalam
istana ini, gerak-gerikku seperti terbelenggu saja. Kalau siang
aku maklum tak leluasa keluyuran diluar, tapi malam ini aku
akan keluar. Sekarang aku ingin pamitan kepada kau." Perlu
diketahui meski Tiangsun Co adalah tamu agung undangan Hu
Kian-seng, namun kejadian ini dia hanya berani beritahu
kepada beberapa orang kepercayaannya saja.
Lekas Hu Kian-seng minta maaf, katanya: "Dua hari ini aku
terpaksa harus istirahat menyembuhkan luka-lukaku, sehingga
tidak bisa menemani Pwecu, mohon suka dimaafkan. Bila
Pwecu ingin jalan dan pelesir, aku sih bisa mencari akal dan
memberi fasilitas padamu."
Sikap Tiangsun Pwecu tidak sabar lagi, tukasnya:
"Kedatanganku ini bukan ingin jalan di Sia-hoa-wan, ketentuan
yang sudah kami ikrarkan bersama sudah melampaui batas
waktunya. Maka malam ini betapapun aku harus pulang."
Pada hal Hu Kian-seng sendiri juga kuatir bila tamunya
terlalu lama disini, bukan mustahil intriknya dengan pihak
musuh bisa terbongkar, maka dia berkata: "Kalau Pwecu
memaksa ingin pulang, akupun tidak memaksa lagi. Lencana
1179 dinas ini boleh Pwecu simpan untuk digunakan bila kau mau
keluar istana, cukup kau perlihatkan lencana ini kepada para
penjaga, mereka tidak berani menahanmu. Lebih baik kau
keluar dari pintu barat, Wisu yang dinas jaga disana malam ini
adalah orang kepercayaanku."
"Bagaimana aku harus keluar?" tanya Tiangsun Pwecu
sambil menerima lencana dinas.
"Tak usah kuatir, sebentar kusuruh orang mengantarmu ke
pintu barat," kepalanya tertunduk memikirkan siapa yang
cocok untuk menunaikan tugas ini.
Sementara Tan Ciok-sing juga mencari akal, cara
bagaimana dia harus merebut lencana dinas yang dipegang
Tiangsun Co. Pada saat itulah mendadak didengarnya Hu Kian-seng
membentak: "Siapa diluar."
Tan Ciok-sing kaget, dia kira jejaknya konangan. Baru saja
dia hendak menerjang keluar, syukur seseorang telah
menjawab dibalik luar: "Baginda ada perintah, Li Tiong-si
kemari menyampaikan firman."--Legalah hati Tan Ciok-sing,
pikirnya: "Untung aku tidak gegabah."
Ternyata dalam mengadakan pembicaraan rahasia di kamar
ini sebelumnya Hu Kian-seng sudah berpesan kepada anak
buahnya. Kecuali mendengar suaranya, siapapun tidak
diperbolehkan naik ke loteng. Maka begitu mendengar langkah
orang segera dia membentak tanya. Kini mendengar ada
firman baginda, sudah tentu ketentuannya itu menjadi
tumbang. Diam-diam Hu Kian-seng bimbang: "Kenapa Baginda
mengirim firmannya dalam saat begini entah ada urusan
penting apa?" Lekas dia mengenakan seragam kebesarannya
serta merambat turun dari pembaringan, berdiri tegak,
menyambut perintah raja.
1180 Tiangsun Co berbisik: "Apa aku perlu menyingkir?"
Hu Kian-seng berpikir: "Baginda sudah tahu akan
kedatangan Tiangsun Co disini."
Maka dia berkata: "Merendahkan Pvvecu saja, boleh kau
pura-pura jadi pengawalku, entah bagaimana bunyi firman itu,
mungkin..." sampai disini dilihatnya Wisu yang jaga diluar
sudah membuka pintu serta menyilahkan seorang Thaykam
kecil yang membawa firman raja masuk ke kamarnya.
Hu Kian-seng berlutut menerima firman raja, Thaykam kecil
berkata: "Congkoan Tayjin tak usah banyak adat Sri Baginda
suruh aku kemari mengundang seseorang, segera juga aku
harus kembali memberi laporan."
Mendengar Thaykam kecil "mengundang", legalah hati Hu
Congkoan, tanyanya: "Entah siapa yang diundang Baginda?"
Tidak segera membaca firman Baginda. Thaykam kecil itu
malah menuding Tiangsun Co dan berkata: "Bukankah dia ini
Tiangsun Pwecu dari negeri Watsu yang tempo hari juga
datang kemari?"--Tiangsun Co memang mengenakan mantel
bulu musang, dandanannya memang jauh berbeda dengan
kawanan Wisu. Mengira dugaannya tidak meleset, lekas Hu Kian-seng
berkata: "Pandangan Li-kongkong memang tajam, betul, dia
memang Tiangsun Pvvecu."
Thaykam kecil itu tertawa, ujarnya: "Kiranya Pwecu
memang masih disini, tumben aku membuang banyak waktu.
Baginda suruh aku kemari mengundang Tiangsun Pwecu."
Tiangsun Pwecu lantas membusung dada sambil bertolak
pinggang, katanya sambil angkat kepala: "Untung kau datang
lebih dini, aku sudah siap pulang. Untuk apa pula Bagindamu
mengundangku?"
"Hamba tidak tahu. Mohon Pwecu suka memerlukan diri
memenuhi undangan Baginda."
1181 Tan Ciok-sing yang mencuri dengar diluar, tiba-tiba
memperoleh sebuah akal. Di kala Hu Kian-seng membungkuk
mengantar Thaykam kecil dan Tiangsun Pwecu keluar, diapun
menjejak kaki di atas dahan, tubuhnya melambung tinggi
jumpalitan dua kali di tengah udara melampaui pucuk pohon
terus melayang turun secara diam-diam.
Thaykam kecil itu membawa Tiangsun Pwecu menyusuri
jalanan kecil didalam taman kembang yang berliku-liku ke
arah timur, maklum tamu asing ini diundang secara diamdiam,
meski dia tidak takut kepergok oleh kawanan Wisu,
namun dia merasa perlu hati-hati dan menghindari kesulitan.
Di tempat yang sepi sana, tampak bayangan Tan Ciok-sing
dan In San keluar dari semaksemak. Tan Ciok-sing menyamar
sebagai Wisu, Thaykam kecil itu kira dia hendak mencegat
jalan dan menanyai, segera dia membentak lebih dulu:
"Kurang ajar, memangnya kau tidak tahu siapa aku" Lekas
enyah." Belum lenyap suaranya, Tan Ciok-sing dan In San sudah
turun tangan lebih dulu. In San tertawa mengejek: "Aku tahu
siapa kau, sayang justru kau tidak tahu siapa aku," di tengah
tawa dinginnya itu, secepat kilat dia menutuk Hiat-to Thaykam
kecil. Tiangsun Co adalah jago silat kosen meski kejadian teramat
mendadak, betapapun dia tidak semudah Thaykam kecil itu,
sekali gerak lantas tertawan, maka terdengar suara "Pak"
secara reflek dia menyerang dengan Im-ciang secara terbalik
untuk melawan tutukan jari Tan Ciok-sing, terasa telapak
tangannya sakit kesemutan, baru saja mulutnya terpentang
hendak menggembor, tiba-tiba selarik sinar kilat menyamber
di depan mata, tahu-tahu ujung pedang Tan Ciok-sing telah
mengancam tenggorokannya, dengan ilmu mengirim suara
gelombang panjang dia melintir suaranya ke telinga lawannya:
"Masa kau tidak mengenalku lagi, akukan Tan Ciok-sing.
Berani kau bersuara, segera kutamatkan riwayatmu disini."
1182 Bukan kepalang kaget Tiangsun Co, memang dia tidak
berani bersuara, dan berkutik lagi ujung pedang Tan Ciok-sing
telah mengancam tenggorokan, dan sekali tutul dengan ujung
pedangnya itu Hiat-tonya telah ditutuk.
In San membantunya menyeret tubuh mereka kedalam gua
buatan, Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Terpaksa kita harus
ganti pakaian lagi."
In San tahu maksudnya, katanya: "Betul, biar aku
menyamar jadi Thaykam kecil dan kau menyaru jadi Tiangsun
Co," segera dia memutar tubuh membelakangi diri supaya Tan
Ciok-sing membelejeti pakaian Tiangsun Co dan Thaykam
kecil. Tiba-tiba didengarnya Tan Ciok-sing berkata dengan
tertawa riang: "Ha, sungguh kebetulan. Aku menemukan
sebuah mustika."
Tanpa merasa In San menoleh, dilihatnya Tan Ciok-sing
sedang membuka baju luar Thaykam kecil serta mengambil
sebuah benda dari dalam kantong bajunya, lekas In San maju
dua tindak sambil tanya: "Mustika apa?"
"Mustika lebih berharga dari lencana dinas milik Hu Kianseng,"
ucap Tan Ciok-sing.
In San segera sadar, serunya: "Apakah cap kerajaan
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Baginda?" "Ya, boleh juga dianggap sebagai firman raja, karena inilah
surat perintah baginda untuk mengantar orang keluar istana
yang distempel cap keTajaan."
Kiranya kali ini Tiangsun Co dipanggil oleh Cu Kian-sin
untuk menyilakannya keluar istana. Cu Kian-sin tidak berani
menanda tangani perjanjian damai itu, tapi dia ingin
menyampaikan beberapa patah kata kepada Tiangsun Co,
serta memberi hadiah beberapa macam barang berharga, lalu
akan menyuruh Thaykam kecil itu mengantarnya keluar istana.
1183 Surat perintah itu sudah ditulisnya lebih dulu, untuk menjaga
bila terjadi sesuatu dan dia tidak sempat menemui Tiangsun
Co masih tetap bisa pulang. Yang benar, Cu Kian-sin sendiri
memang tidak senang kalau Tiangsun Co terlalu lama berada
di istana. Habis ganti pakaian, kembali Tan Ciok-sing perlihatkan
kebolehannya merias diri sendiri menjadi Tiangsun Co, walau
dalam saat mendesak, persiapan terlalu tergesa-gesa,
sehingga penyamarannya tidak begitu mirip, tapi dia yakin
orang-orang di istana ini yang pernah melihat Tiangsun Co
tidak banyak, para Wisu dalam istana ini paling hanya
beberapa gelintir saja yang pernah melihatnya, malam ini
mereka belum tentu dinas jaga lagi. Dengan membekal surat
perintah Baginda lagi, untuk keluar istana pasti tidak akan
mengalami banyak kesulitan. Tapi dalam benaknya masih ada
sesuatu ganjalan yang belum terlampias, langkah yang sudah
digerakan tiba-tiba berhenti lagi.
In San melengak, tanyanya: "Toako, kenapa tidak lekas
berangkat?"
Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Jelek-jelek kita pernah
diterima dan dilayani Baginda Raja, kalau pergi tanpa pamitan
kurang hormat. Maka kupikir akan kuminta tolong kepada
Thaykam kecil ini untuk mengirim kabar padanya," lalu dia
sobek pakaian dalam Thaykam kecil yang kebetulan terbuat
dari sutra putih, di atas cuilan kain inilah dia meninggalkan
pesannya dengan darah.
Dengan ujung pedangnya dia tusuk jari tengah Tiangsun
Co sehingga keluar darah, dengan darah Tiangsun Co inilah
dia menulis pesannya di atas kain sutra itu. Karena Hiat-to
tertutuk Tiangsun Co tidak mampu bergerak atau bersuara,
namun saking kesakitan tubuhnya bergetar.
Di atas sutra putih itu Tan Ciok-sing menulis demikian:
"Harap Baginda tidak lupa akan perjanjian tiga bulan.
1184 Mengkhianat dan ingkar janji tidak akan memperoleh
pengampunan Thian Yang Maha Kuasa."
"Bagus," In San tepuk tangan,
"Sejak dulu kala, kapan seorang baginda pernah menerima
tulisan darah yang menuntut peri kemanusiaannya. Yakin Cu
Kian-sin bocah itu akan ketakutan setengah mati."
Tan Ciok-sing menggulung kain sutra itu serta diikat dan
dijirat di leher Thaykam kecil, setelah itu dia gandeng ln San
keluar dari gua gunungan.
"Jangan kita menuju ke pintu barat," In San memberi ingat.
"Betul, Hu Kian-seng suruh Tiangsun Co keluar dari pintu
barat, biarlah kita keluar dari arah yang berlawanan saja."
Tujuh di antara sepuluh penjaga di pintu timur adalah
anggota Gi-lim-kun, tiga yang lain adalah anak buah Hu Kianseng
dari kesatuan Bhayangkari. Mereka atau ketiga Wisu itu
bukan kepercayaan Hu Kian-seng, mereka belum punya hak
dan tidak setimpal menyambut atau melayani para tamu Hu
Kian-seng. Tapi mereka tahu bahwa komandan mereka Hu
Kian-seng pernah menerima seorang tamu agung dari negeri
Watsu secara diam-diam.
In San acungkan surat perintah Baginda itu kepada
pemimpin barisan jaga pintu serta membentak: "Atas perintah
Baginda aku disuruh mengantar tamu. lekas siapkan kereta."
Umumnya para Thaykam itu sudah dikebiri, maka nada
suaranya mirip perempuan, In San ternyata cukup mahir
memerankan sandiwara ini. Ternyata pemimpin barisan jaga
pintu kota itu percaya begitu saja, maklum diapun tidak kenal
Thaykam kecil yang biasa melayani Sri Baginda, setelah
memeriksa surat perintah, tanda tangan dan cap kerajaan,
segera dia perintahkan anak buahnya menyiapkan kereta.
Satu di antara Wisu yang jaga pada saat itu pernah melihat
Tiangsun Co. Dari samping dia pandang perawakan tubuh Tan
1185 Ciok-sing tidak mirip Tiangsun Co, mau tidak mau timbul
rasa curiganya. Tapi dia tidak pernah disuruh melayani
Tiangsun Co dan dekat, tapi sebagai Wisu pesuruh yang sering
disuruh mondar mandir menyampaikan perintah, dari
kejauhan dia pernah melihat Tiangsun Co sekali. Meski hati
agak curiga, namun dia tidak berani yakin bahwa Tan Cioksing
ini adalah samaran. Akhirnya dia membesarkan nyali
bertanya: "Apakah tuan besar ini adalah tamu agung
undangan Hu-congkoan beberapa hari yang lalu, entah
apakah Congkoan Tayjin juga sudah tahu..."
Sebelum orang bicara habis, In San sudah membentak:
"Kurang ajar, kau ini barang apa, berani tanya asal-usul tamu
Baginda." Wisu itu munduk-munduk sambil menyengir, katanya:
"Hamba tidak berani. Maksud hamba hanya ingin
menyampaikan sembah sujud dan salam hormat Congkoan
kami kepada tamu kita."
"Hmm," In San menjengek, "memangnya perlu kau menjilat
pantat." Diam-diam Tan Ciok-sing sudah keluarkan lencana dinas itu
dan dibanting di hadapan Wisu itu tanpa bersuara.
In San tertawa dingin pula, katanya: "Agaknya kalian masih
tidak percaya akan perintah raja yang distempel cap kerajaan"
Nah, buka mata anjing kalian, coba periksa apakah itu lencana
dinas komandanmu yang tulen?"
Tersipu-sipu Wisu itu pungut lencana dinas itu serta
mengembalikan kepada Tan Ciok-sing dengan kedua
tangannya, katanya dengan tawa menyengir kikuk: "Bukan
begitu maksud hamba. Memang hamba tidak pantas cerewet,
harap Pwecu tidak berkecil hati."
Pemimpin barisan jaga itu sudah memeriksa perintah raja
dan terbukti lencana dinas itupun bukan palsu, mana berani
dia bercuit lagi, segera dia siapkan dua ekor kuda, Tan CiokTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
1186 sing dan In San juga tidak banyak ribut, segera cemplak ke
punggung kuda terus dibedal keluar istana.
Setelah mereka pergi kawanan Wisu itu saling pandang dan
merasa heran dan bingung, yang cerewet tadi segera
menghampiri pemimpin barisan jaga serta berkata: "Ma-tokwi,
kurasa urusan agak janggal."
"Apanya yang janggal" Surat perintah itu aku yakin bukan
palsu, memangnya lencana dinas itu bukan tulen?"
"Perintah raja dan lencana dinas itu memang tulen, tapi
orangnya yang palsu."
Ma-tokwi atau pemimpin barisan jaga itu kaget, tanyanya:
"Dari mana kau berani bilang begitu?"
"Pangeran Watsu itu pernah aku melihatnya sekali, wajah
dan perawakannya tidak mirip dengan orang tadi. Apalagi
hanya Thaykam kecil saja yang bicara dengan kita, hakikatnya
tamu itu tidak pernah buka suara."
Ma-tokwi bukan pemimpin goblok, soalnya dia kebingungan
setelah melihat firman raja sehingga pikirannya tidak tenang,
kini setelah diingatkan baru sadar, katanya: "Kecurigaan
memang masuk akal, mungkin dia kuatir kita dengar logatnya
bukan orang Watsu, maka dia tidak berani buka suara."
Wisu itu berkata: "Tulen atau palsu sukar ditebak, lebih
baik lekas laporkan kepada Komandan untuk mengejarnya?"
Ternyata komandan pasukan Bhayangkari Bok Su-kiat
sedang meronda tidak jauh dari tempat itu.
Sementara itu Tan Ciok-sing dan In San mencongklang
kudanya melewati dua jalan raya, tiba-tiba didengarnya di
belakang ada kuda dilarikan kencang mengejar datang,
seorang yang terdepan berteriak: "Tiangsun Pwecu, harap
tunggu sebentar, aku adalah Bok Su-kiat."
1187 Bok Su-kiat kenal baik dengan Tiangsun Co, sudah tentu
Tan Ciok-sing tidak berani menoleh. In San yang wakili dia
menjawab: "Bok-jongling, biarlah aku yang mengantar tamu
kita, tak usah kau ikut susah payah, silakan kembali saja,"
jawaban In San ini justru menimbulkan rasa curiga Bok Sukiat.
Dengan mengerutkan kening Bok Su-kiat berpikir: "Kalau
betul orang itu Tiangsun Co, sikapnya kenapa begitu kaku
seperti tidak mengenalku lagi?" maklum di rumah Liong Bunkong
tempo hari dia pernah bertemu beberapa kali dengan
Pangeran Watsu ini, dia tahu Tiangsun Co adalah Pangeran
dan Tiangsun Co juga tahu bahwa dia menjabat komandan
Bhayangkari, bahwa dia ingin bermuka-muka terhadap
Tiangsun Co, Tiangsun Co juga tidak berani berlaku kurang
hormat kepadanya. "Apalagi Thaykam kecil ini selama ini
belum pernah aku melihatnya. biasanya Baginda tidak pernah
menyuruh seorang Thaykam kecil untuk mengantar tamunya?"
Semakin dipikir makin curiga, segera dia berkeputusan dan
membentak: "Kalian berhenti, kalau tidak jangan menyesal
bila aku bertindak," bila orang di depan itu betul Tiangsun Co
mendengar bentakannya ini, sepantasnya kalau dia naik pitam
dan marah-marah. Bila sudah marah betapapun Tiangsun Co
pasti akan bersuara.
Tan Ciok-sing yang menyamar Tiangsun Co sudah tentu
tidak buka suara, kudanya malah dikeprak semakin kencang.
Sementara In San masih berlagak, katanya dengan tertawa
dingin: "Bok Su-kiat besar benar nyalimu, aku mendapat
firman raja untuk mengantar tamu, berani kau mencegat
jalan." Sementara itu Bok Su-kiat sudah pecut kudanya dibedal
lebih kencang, jarak telah diperpendek, semakin dipandang
orang di depan itu jelas tidak mirip Tiangsun Co, segera dia
membentak pula: "Kalian justru yang bernyali besar, berani
menyamar Thaykam dan tamu agung kita. Hayo berhenti dan
1188 menggelinding turun dari kuda kalau membangkang kematian
hukumannya," sembari bicara dia sudah angkat busur
memasang panah terus beruntun tiga kali dia membidik ke
punggung In San.
Tan Ciok-sing tahu kekuatan Bok Su-kiat yang tangguh,
mendengar serangan panah berantai ini dia kuatir In San tidak
kuat menahannya, di punggung kuda mendadak dia gunakan
gerakan burung dara membalik tubuh, tangannya bergerak ke
belakang membabat dengan pedang. Begitu sepasang pedang
bergerak, hawa pedangnya menyambar bagai lembayung,
ketiga batang panah itu seketika kutung jadi enam potong.
Sudah tentu secara langsung penyamaran merekapun
terbongkar. Bok Su-kiat memang belum tahu siapa mereka,
tapi dia sudah yakin bahwa Tan Ciok-sing jelas bukan
Tiangsun Co, sementara In San juga bukan Thaykam tulen.
Untuk menangkis serangan panah itu, terpaksa Tan Cioksing
berdua harus mengendorkan lari kuda mereka. Pada saat
itulah, dari gang kecil di sebelah depan sana tiba-tiba
menerjang keluar dua ekor kuda mencegat jalan lari mereka.
Sambil keprak kudanya Bok Su-kiat membentak: "Dua
orang ini menyamar, lekas bekuk dia."
Dua orang penunggang kuda yang mencegat itu adalah
jago kosen dari pasukan Bhayangkari, seorang bernama Ku
Hong ahli Tay-lik-eng-jiau-kang seorang lagi bernama Pui Ou
mahir menggunakan sepasang ganco. Ku Hong menggunakan
jurus Mencabut Lobak di Tanah Kering, di punggung kuda
segera dia menubruk ke depan, gerakannya mirip benar
dengan seekor burung rajawali yang menyambar kelinci, dia
incar tulang pundak Tan Ciok-sing terus mencengkeramnya.
Jurus ini merupakan tipu mematikan yang liehay dari ilmu
pukulan yang merupakan pukulan kemahirannya, bila tulang
pundak tercengkram jari-jarinya, meski orang memiliki
kepandaian setinggi langit juga pasti tak akan bisa berkutik
lagi dengan tubuh cacat, dia kira cengkeraman liehay ini pasti
1189 berhasil membekuk lawan, diluar tahunya bahwa lawan yang
dihadapinya sekarang teramat tangguh.
"Serangan bagus," Tan Ciok-sing membentak, dengan jurus
Ki-hwe-liau-thian (angkat obor menerangi langit) Pek-hongkiam
dia tuding ke atas mengincar telapak tangan Ku Hong.
Bila cengkraman lawan diteruskan, yakin telapak tangannya
pasti akan berlobang tertusuk pedangnya.
Bila dia mau gerakan pedang diteruskan dengan jurus Hianniau-
hoat-sa, lengan Ku Hong pasti sudah dibabatnya protol
dari tubuhnya Tapi dia tidak tega turun tangan keji, gerakan
pedangnya dia robah jadi tepukan mendatar, sekaligus
mengerahkan Lwekang tingkat tinggi menggunakan Can-ihcap-
pwe-tiat. Ku Hong sudah menarik kedua tangan seraya menyikut,
terasa dirinya seperti menumbuk sekarung kapas yang empuk,
mendadak terasa pula perutnya silir dingin, ujung pedang
lawan yang kemilau dingin ternyata telah menusuk luka kulit
perutnya. Karuan kagetnya bukan main, tenaga mantul yang
digunakan Tan Ciok-sing segera melemparkan tubuhnya jauh
kesana dan jatuh terbanting dengan tubuh celentang.
Agaknya Ku Hong berkulit tebal, cepat sekali dia sudah
melompat berdiri lagi tapi dia insaf Tan Ciok-sing telah
mengampuni jiwanya, maka dia tidak berani bertindak lebih
jauh. Di sebelah sana Pui Ou menghadapi In San, nasibnya tidak
sebaik temannya. Pui Ou membanggakan sepasang ganconya
yang bergagang panjang peranti mengatasi golok dan pedang,
maka dia keprak kudanya mencegat di depan In San, kontan
sepasang ganconya menusuk dan menggantol seraya
membentak: "Lepaskan pedang."
"Belum tentu," jengek In San, gerak pedangnya secepat
kilat terdengar suara "Krak, tram:" sebelum ganconya bcih.i il
menggantol pedang In San, gigi gantolan di ujung ganconya
1190 sudah terbabat protol oleh pedang mustika In San. Ternyata
In San juga tidak tega membunuhnya, bentaknya: "Minggir,"
dimana pedangnya berputar, bukan menusuk orang tapi
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menusuk kuda. Saking kesakitan kuda tunggangan Pui Ou berjingkrak terus
lari sambil meringkik, Pui Ou terlempar dari punggung kuda
dan terbanting di jalan raya yang berlandas batu hijau, kepala
bocor tulang keseleo, keadaannya lebih parah dari Ku Hong.
Melihat kepandaian kedua orang itu sedemikian liehay,
diam-diam Bok Su-kiat kaget, pikirnya: "Mungkinkah yang
menyaru jadi Tiangsun Pwecu, bocah she Tan itu?" baru saja
dia menduga, dilihatnya Tan Ciok-sing dan In San sudah
melambung tinggi lompat ke atas genteng penduduk.
Bok Su-kiat menghardik: "Keparat, mau lari kemana?"
secepat kilat diapun mengudak lompat ke atas genteng.
Rumah penduduk di sekitar sini kebanyakan milik para
hartawan yang membangun rumah secara megah, tingginya
ada tiga tombak. Bu Su-kiat tidak mampu lompat setinggi itu,
tapi dengan Eng-jiau-kang dia menangkap payon rumah serta
menyendat tubuh sehingga badannya terbalik mumbul
jumpalitan ke atas wuwungan, paling terlambat beberapa
detik saja dari Tan dan In berdua, maka lekas sekali dia sudah
menyandak. Tan Ciok-sing menoleh seraya membentak: "Bagus, Bok
Su-kiat, mari hari ini kita tentukan siapa jantan siapa betina."
"Bagus, Tan Ciok-sing," jengek Bok Su-kiat, "kukira siapa
bernyali besar, kiranya kau. Kau bocah keparat bernyali besar
kurang ajar ini, hari ini biar merasakan keliehayanku," di
tengah jengek tawanya itu dia menggunakan Tay-kim-na-jiuhoat.
Kalau dia memaki Tan Ciok-sing, tapi yang jadi sasaran
serangannya justru In San.
Waktu Tan Ciok-sing dan In San mewakili para ksatria
mengadakan perundingan di rumah Liong Bun-kong dulu.
1191 Secara diam-diam Tan Ciok-sing pernah saling jajal dan
mengukur kepandaian masing-masing telah demonstrasikan
kemahiran sendiri-sendiri.
Kalau Tan Ciok-sing gunakan pedang kilatnya mengecutkan
hati lawannya, sementara Bok Su-kiat pamer Lwekangnya
yang hebat, masing-masing pihak sama mengagumi
keliehayan lawan. Sayang di rumah Liong Bun-kong tempo
hari mereka tidak berkesempatan untuk bergebrak secara
sesungguhan. Tahu ilmu pedang Tan Ciok-sing liehay, maka Bok Su-kiat
bertindak lebih dulu menyerang titik kelemahan pihak lawan.
Dia tahu bahwa In San adalah gadis yang ditaksir oleh raja
junjungannya, tapi Lwekangnya sudah diyakinkan mencapai
tarap yang sempurna, dia yakin cengkramannya yang liehay
serta sudah diperhitungkan itu tetap takkan merugikan atau
melukai In San sedikitpun.
Serangannya ini menggunakan Cong-yan-jiu dari Kim-najiu-
hoat, ilmu tunggal perguruannya yang liehay, jauh berbeda
dengan Kim-na-jiu yang diajarkan berbagai perguruan lain.
Kedua lengannya satu di atas yang lain di bawah, jari tangan
kiri terangkap seperti ujung tombak mencolok sepasang mata
In San. Gerakan ini hanya gertakan belaka, untuk memancing
lawan memperkuat pertahanan di sebelah atas. Pada hal
telapak tangan kanan justru membabat miring laksana golok
menyerang sepasang kaki In San. Serangan menggempur
timur bersuara di barat ini dilancarkan secepat kilat dan liehay
luar biasa. Diluar perhitungannya, bahwa gerakan Tan Ciok-sing
ternyata melebihi kecepatannya sendiri. Di saat kritis itu,
sebelum ujung jarinya menyentuh In San, ujung pedang Tan
Ciok-sing telah menanti telapak tangan kirinya yang mencolok
mata In San, ujung pedang mengincar telak Lau-kiong-hiat di
tengah telapak tangannya.
1192 Sudah tentu Bok Su-kiat tidak berani meneruskan
cengkramannya, di tengah jalan dia robah gerakan, jarinya
menjentik dan "Creng" pedang Tan Ciok-sing diselentiknya
membal ke pinggir, begitu tubuh merendah turun telapak
tangan kanan tetap membabat kedua kaki In San.
Tapi rintangan sekejap ini sudah memberi kesempatan
kepada In San untuk balas menyerang. Sebat sekali tampak
tubuhnya mendak terus melompat maju dia gunakan gerakan
Burung Seriti Menyusup ke Awan, Ginkang yang liehay
melambung satu tombak lebih tingginya dengan jurus Giok-lito-
so dari tengah udara dia menusuk ke bawah. Sementara
meminjam tenaga selehtikan jari orang, pedang Tan Ciok-sing
dipelintlir membalik dengan gerakan Sabuk Kemala Melilit
Pinggang, secara telak dan serasi dia imbangi gerakan pedang
ln San yang menyerang dari atas.
"Bret" ujung lengan baju Bok Su-kiat terpapas sebagian
dan terbang berhamburan seperti kupu-kupu terbang di pucuk
kembang. Masih untung dia sempat menarik diri melompat
mundur sejauh mungkin, kalau tidak lengan kanannya pasti
sudah terbabat kutung. Tenaga Lwekangnya yang hebat
sempat pula menggetar pergi pedang Tan Ciok-sing terus
menyurut mundur pula tiga langkah. Namun cepat sekali
sepasang pedang Tan dan In sudah memburunya dengan
serangan jurus kedua. Perbawanya bagai damparan ombak
yang bergulung-gulung tak kenal putus.
Jurus gabungan pedang kali ini kekuatannya lebih hebat
dari jurus pertama, daya rangsakannyapun lebih menyeluruh.
Soalnya tadi In San serambut lebih lambat mengeluarkan
pedang, sehingga lawan masih sempat menjentik pedang Tan
Ciok-sing, tapi gabungan dua pedang kali ini boleh dikata
sudah merupakan dwi tunggal yang sukar dilawan. Apa boleh
buat Bok Su-kiat terdesak mundur pula tiga langkah, tanpa
disadarinya kini dia sudah berdiri di pinggir payon.
1193 Tan Ciok-sing membentak: "Menggelinding turun," dengan
jurus Hian-niau-hoat-sa dia ikut menubruk maju, tulang
pundak lawan menjadi sasaran tutukan pedangnya.
Sementara dalam waktu yang sama In San dengan jutus Payhun-
tian (menyibak mega merenggut kilat), ujung pedang
memancarkan cahaya dingin, menusuk ke tulang pundak
kanan pula. Bok Su-kiat menjadi sengit, sembari menghardik tangannya
menjotos, Tan Ciok-sing kira lawan nekad hendak adu jiwa,
melihat jotosan lawan bertenaga hebat, kuatir In San tidak
kuat melawannya, lekas Ciok-sing berkisar terus pasang kudakuda,
pedangnya membalik terayun memapas pergelangan
tangan. Gerakan pedangnya ini sedikit terlambat sehingga Bok
Su-kiat sempat melompat sambil jumpalitan terus ke bawah
genteng. Ternyata jotosan itu kelihatannya seperti hendak
mengadu jiwa, pada hal hanyalah gertakan belaka untuk cari
kesempatan mengundurkan diri. Melihat Kungfu lawan
semahir itu, mau tidak mau kejut juga hatinya.
Sebaliknya bagi Bok Su-kiat yang Komandan pasukan
Bhayangkari ini dalam tiga gebrak saja dirinya harus menelan
kekalahan di tangan lawan mudanya, sudah tentu bukan
kepalang malu dan penasaran hatinya. Dengan gerakan
burung dara jumpalitan, secara enteng dia hinggap di bumi,
mulutpun terus menghardik gusar: "Lepas panah,"-umpama In
San terpanah mati juga tidak peduli lagi.
Sementara itu pasukan Gi-lim-kun sudah memburu datang
dari berbagai arah, anak panah segera berhamburan selebat
hujan. Dengan tangan bergandeng tangan Tan Ciok-sing dan
In San berlompatan dari wuwungan yang lain terus menuju ke
arah barat, di jalan raya sebelah barat ternyata sudah
dikepung pula, terpaksa Tan dan In harus putar kencang
pedangnya untuk meruntuhkan anak panah yang dibidikkan ke
arah mereka. Pasukan Gi-lim-kun itu kapan pernah
1194 menyaksikan Ginkang sehebat itu, sesaat mereka jadi
melongo. Setelah bebas dari bidikan panah pasukan Gi-lim-kun, Tan
Ciok-sing berdua terus tancap gas berlari ke arah pintu barat,
para Wisu yang berjaga di pintu bawah, lapat-lapat melihat
dua bayangan orang melambung terbang melampaui tembok
tinggi, waktu ditegasi bayangan itu sudah lenyap. Pada hal
mereka tahu ada orang yang melarikan diri keluar kota,
namun mana mereka berani ribut. Lalai menunaikan tugas
sehingga pembunuh lolos merupakan kesalahan yang bisa
mengakibatkan jiwa mereka jadi korban.
Sekaligus Tan dan In berlari sejauh tiga puluhan li, bila
mereka tiba di rumah keluarga Coh di kaki bukit itu, haripun
sudah terang tanah.
Tan Ciok-sing berkata tertawa: "Liok Pangcu dan Lim
Tayhiap menunggu tiga hari, bila melihat kita tidak kunjung
tiba, entah betapa gelisah hati mereka," begitu dia angkat
kepala, senyum tawanya seketika kuncup, tampak rumah
gedung keluarga Coh sudah terbakar habis tinggal puingpuingnya
saja. In San mengelus dada, katanya: "Pasti pasukan kerajaan
yang membakar rumah Coh Ceng-hun. Entah bagaimana
keadaan Liok-pangcu, Lim Tayhiap dan lain-lain?"
"Di sekitar sini ada perumahan penduduk, mari kita cari
kabar dari mereka," demikian ajak Tan Ciok-sing.
Beberapa rumah penduduk telah mereka datangi, semua
pintu besarnya terbuka lebar, tapi tiada seorangpun penghuni
di dalamnya, sampaipun perabot telah kosong melompong,
penduduknya entah mengungsi kemana.
Tan Ciok-sing geleng-geleng, katanya: "Agaknya tiada
harapan kita dapat mencari kabar dari penduduk. Keluarga
Coh ketimpa petaka, mungkin mereka takut kerembet maka
siang-siang sudah angkat kaki dari tempat kediamannya.
1195 Tiba-tiba In San bersuara heran, katanya dengan tertawa:
"Toako, pendapatmu memang beralasan, tapi yakin rekaanmu
meleset, coba lihat, disana itu bukankah ada dua orang?"
Waktu itu mereka sedang turun gunung Tan Ciok-sing
menoleh ke arah yang dituding In San, dilihatnya dua orang
tua yang jalan tertatih-tatih, lelaki dan perempuan agaknya
sepasang suami isteri. yang lelaki memikul kayu kering yang
perempuan menggendong rumput hijau, mereka sedang
menuju ke atas gunung.
Tan Ciok-sing berkata: "Sepasang kakek dan nenek ini
ternyata bernyali besar, tapi di rumah mereka sudah tiada
harta benda lagi, untuk apa cari kayu dan rumput?"
"Umpama mereka betul adalah mata-mata musuh, kita juga
tidak perlu kuatir, mari coba kita cari tahu kepada mereka,"
demikian In San ajukan pendapatnya.
Mereka percepat langkah turun ke bawah, setelah dekat
dengan seksama dia awasi kakek dan nenek, kedua kakek
nenek itu juga berhenti dan balas mengawasi mereka, sorot
matanya memancar rasa heran dan bingung.
"Lo-kongkong dan Lo-popoh," demikian sapa Tan Ciok-sing,
"harap kalian suka istirahat sebentar. Ingin kami mencari tahu
satu hal kepada kalian."
Nenek itu berkata: "Kami hanya tahu menebang pohon dan
cari rumput, urusan lain kami tidak tahu. Maaf, kami harus
lekas pulang, banyak kerjaan yang menunggu dibereskan."
In San menyodorkan sekeping uang perak kepada si nenek
seraya berkata: "Soal yang ingin kami tanya kau pasti tahu,
sekedar imbalan ini harap kau suka menerimanya."
Setelah menerima uang, si nenek berkata: "Baiklah,
memandang uang perak ini, biar kudengar soal apa yang ingin
kau tanyakan. Bila aku tahu pasti kuterangkan."
1196 In San berkata: "Di atas gunung ada sebuah keluarga Coh,
tentunya kalian sudah tahu."
"Kalian teman keluarga Coh itu?" tanya si nenek.
"Betul," Tan Ciok-sing menyela, "kami adalah kenalan baik
majikan muda keluarga itu, yang bernama Coh Ceng-hun."
"Tentunya kalian adalah pembesar dari kota bukan,
agaknya keluarga Coh tidak pernah ada hubungan dengan
pihak kerajaan."
Tan Ciok-sing tahu si nenek merasa curiga, dia jadi
bimbang apakah perlu menerangkan asal-usul sendiri kepada
si nenek. Mendadak si nenek membentak: "Bagus ya, kiranya kalian
pura-pura menyaru pembesar."
Tan Ciok-sing kaget, baru saja dia akan turun tangan, tibatiba
didengarnya In San juga balas membentak: "Bagus ya,
ternyata kalian juga menyamar kaum penebang."
Sampai disini, tiba-tiba In San dan si nenek sama tertawa
geli, katanya: "Han-cici, jangan kau
menggoda kami lagi,"
"In-cici memang pandanganmu lebih tajam," suara si nenek
yang ketua-tuaan tiba-tiba berubah merdu.
Tan Ciok-sing seketika sadar dan berseru sambil keplok
tangan: "Kiranya nona Han, jadi kakek ini tentunya Toantoako
adanya." Kakek itu segera mengusap muka sendiri dan kelihatanlah
wajah aslinya, memang bukan lain adalah Toan Kiam-ping.
Toan Kiam-ping tertawa, katanya: "Aku tidak semahir adik
Cin dapat merubah suara, maka terpaksa aku pura-pura bisu."
1197 "Justru kau tetap tidak buka suara sehingga aku curiga,"
ujar In San, "segera aku menduga kalian. Toan-toako, lukalukamu
sudah sembuh?"
"Aku dirawat dan memperoleh pengobatan dari Giam-ongte
Lau Su-tho, sudah lama sembuh, tadi aku sudah siap
hendak melabrak Tan-toako malah."
Tan Ciok-sing melcngak, katanya: "Kenapa kau hendak
melabrakku?"
"Siapa suruh kau menyamar Tiangsun Co" Pandanganku
toh tidak setajam adik Cin, dalam waktu sesingkat ini aku
belum bisa membedakan penyamaranmu."
"Sudah tidak perlu banyak ngobrol, lekas jelaskan,
bagaimana keadaan Liok-pangcu dan Lim Tayhiap dan lainlain."
"Jangan kuatir," ucap Toan Kiam-ping, "malam itu kita
disergap pasukan kerajaan, rumah kediaman keluarga Coh
juga dibakar mereka, untung Liok-pangcu dan Lim Tayhiap
mahir memimpin dan menghadapi kejadian secara tenang
sehingga korban yang jatuh tidak terlampau parah. Kawankawan
yang menetap di rumah keluarga Coh semua dapat
meloloskan diri dengan selamat. Kejadian sebenarnya malam
itu nanti kujelaskan. Tolong kau ceritakan dulu bagaimana
tugas kalian masuk ke istana, kau tahu hatiku seperti dibakar
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saking gelisah menunggu kalian pulang."
Mendengar orang banyak selamat, legalah hati Tan Cioksing
katanya: "Sang raja sudah berhasil kami temui, cuma
bagaimana hasil anjuran kita terhadapnya, sejauh ini masih
belum bisa diketahui."
Lalu pengalaman tiga hari di istana dia ceritakan, Toan
Kiam-ping dan Han Cin sering tegang, dan akhirnya menghela
napas lega setelah mendengar kisahnya itu.
1198 Toan Kiam-ping berkata dengan tertawa: "Mengkhianat dan
mengingkari janji akan memperoleh hukuman dari Thian Yang
Maha Kuasa. Peringatan yang kau tinggalkan untuk raja itu
memang tepat sekali. Sudah tentu kita takkan percaya begitu
saja omongannya tapi sebaliknya dia harus memperhatikan
peringatan kita itu. Paling tidak, dia tidak akan berani
menanda tangani perjanjian damai itu, terhitung tugasmu
sudah berhasil separo. Tan-toako, In-moaycu, tidak kecil jasa
kalian." "Ah, soal jasa segala, aku toh hanya melaksanakan rencana
orang banyak yang ditugaskan kepada kami."
"Kau tidak usah sungkan," sela Han Cin, "satu hal ingin aku
memberitahu kepada kalian, dari soal ini dapat dinilai bahwa
tugas telah kalian laksanakan telah membawa hasil baik."
"Soal apa?" tanya Tan Ciok-sing.
"Liong Bun-kong keparat tua itu pura-pura jatuh sakit dan
tidak pernah lagi menghadap raja. Menurut berita yang
diperoleh Liok-pangcu, katanya Baginda " Raja sendiri yang
menganjurkan dia demikian. Para begundal keluarga Liong
konon juga sama saling terka dan kebingungan, kasak-kusuk
bahwa majikan mereka bakal jatuh pamor dan runtuh
kedudukannya. Mereka sedang berpikir-pikir untuk mencari
jalannya sendiri seumpama pohon roboh kera pun bubar."
"Batas waktu yang diberikan raja adalah tiga bulan, bila dia
runtuh kukira juga tidak akan selekas ini," ujar Tan Ciok-sing.
Han Cin tertawa katanya: "Manusia licik yang pandai
menjilat biasanya pintar melihat arah angin memegang
kemudi, mungkin mereka takkan menunggu bila puncak
gunung es itu runtuh baru akan mencari daya menyelamatkan
diri." "Sekarang kalian pindah kemana?" tanya In San.
1199 "Pindah ke Loh-su-san salah satu dari Say-san. Markas
cabang Kaypang di Pakkhia memang didirikan di Pit-mo-giam
di Loh-su-san itu?" demikian Toan Kiam-ping menjelaskan.
Waktu itu sudah lewat lohor, diam-diam In San
memperhitungkan jarak perjalanan, lalu berkata: "Siang hari
tidak leluasa kita mengembangkan Ginkang, dari sini pergi ke
Loh-su-san kira-kira memakan waktu setengah hari, sekarang
sudah sepantasnya kita berangkat."
Tiba-tiba Han Cin berkata: "Malam ini kami tidak akan
kembali ke Loh-su-san."
"Lho, kenapa?" tanya In San.
"Malam ini kami ingin pergi ke Lo-gau-kio. Letak Lo-gau-kio
lebih jauh dari Loh-su-san, sebelum tengah malam nanti
sudah harus tiba di Lo-gau-kio, maka tiada tempo mampir ke
tempat lain lagi."
Lo-gau-kio terletak tiga puluhan li dari pintu barat Khon-anbun
di Pakkhia, jembatan itu melintang di atas Ing-ting-ho
menghubungi jalan raya King-si sebelah barat dan timur,
merupakan satu di antara delapan tempat tamasya bagi
pelancongan. Waktu masih di Pakkhia dulu, usia In San masih
kecil maka dia belum pernah kesana, tapi dia tahu akan
tempat tamasya itu.
In San jadi heran, katanya: "Lo-gau-kio adalah satu obyek
tamasya di Pakkhia, yakin kalian tidak ingin tamasya malam
hari di jembatan bersejarah itu bukan?"
"Terus terang kami kesana hanya ingin menyaksikan orang
berkelahi. Bila kalian tidak perlu beristirahat marilah malam ini
ikut kami kesana?"
Tergerak hati Tan Ciok-sing, tanyanya: "Siapa dengan siapa
yang berkelahi?"
"Malam ini Kek Lam-vvi akan menuntut balas kepada
Lenghou Yong," tutur Toan Kiam-ping.
1200 Tan Ciok-sing kaget, serunya: "Lho, apa yang telah
terjadi?" "Mungkin kau belum tahu seluk beluk keluarga Kek. Dua
puluh tahun yang lalu ayahnya terbunuh oleh Lenghou Yong.
Tapi setelah malam kita membuat keributan di rumah keluarga
Liong itu, baru ayahku memberi keyakinan berdasarkan
penyelidikan yang cermat bahwa musuh pembunuh ayahnya
adalah Lenghou Yong."
"Apa Lenghou Yong mau menerima tantangannya berkelahi
di Lo-gau-kio?" tanya Tan Ciok-sing.
"Ayah yang mengatur. Ayah mohon bantuan seorang yang
dipercaya oleh Lenghou Yong untuk datang di Lo-gau-kio.
Bagaimana duduk persoalan yang sesungguhnya, karena pagipagi
tadi kami sudah berangkat dari Loh-su-san, jadi kami
kurang jelas karena ayah tidak sempat menjelaskan. Tapi
Lenghou Yong tidak tahu bahwa Kek Lam-wi akan menuntut
balas kepadanya."
Han Cin melanjutkan ceritanya: "Kemarin secara berutun
dua hari, ayahku yang bertugas kemari menunggu kalian, hari
ini dia harus mengatur pertemuan Kek-suko dengan Lenghou
Yong, maka kami yang ditugaskan kemari. Terus terang, kami
hanya ingin coba-coba saja mengadu untung sungguh sangat
kebetulan, kalian justru pulang pada saat ini pula. Tan-toako,
kalian akan pulang dulu menemui Liok pangcu, atau ikut kami
ke Lo-gau-kio melihat keramaian."
Tan Ciok-sing berkata lantang: "Kawan-kawan begitu baik
terhadapku, mana boleh aku berpeluk tangan, adalah
sepatutnya aku ikut membantu kesulitan teman. Maka aku
akan ikut kalian pergi ke Lo-gau-kio saja."
In San tanya: "Lenghou Yong membekal Kungfu tinggi,
meski Kek Lam-wi tidak lemah, bila satu lawan satu, mungkin
dia bukan tandingannya. Apa kalian sudah menjanjikan aturan
perkelahian?"
1201 "Lenghou Yong tidak tahu bahwa Kek Lam-wi yang
mengundangnya," ujar Han Cin.
"Maksudku bagaimana Kek Lam-wi membicarakan soal itu
dengan ayahmu" Menurut aturan Kangouw, umumnya
menuntut balas hanya boleh berkelahi satu lawan satu."
"Aku tidak tahu," ucap Han Cin. "Tiga hari terakhir ini, ayah
selalu mengawasi latihan Kek-suheng dan mengajarkan tiga
jurus ilmu kepadanya."
"Tiga jurus ilmu belum tentu dapat mengalahkan Lenghou
Yong," kata In San.
"Malam ini ayah pasti pergi bersamanya, aku yakin ayah
tidak akan membiarkan dia menderita rugi."
Tan Ciok-sing menimbrung: "Di samping membantu Keksukomu
berhasil menuntut balas, ayahmupun tidak boleh
kehilangan pamor, itulah yang sulit."
Toan Kiam-ping menyela: "Ti-locianpwe sudah
memperhitungkan soal ini dengan cermat, kukira dia sudah
mempersiapkan hal ini dengan matang.'
Tapi Tan Ciok-sing masih kuatir, katanya: "Meski Tilocianpwe
sudah mempersiapkan secara sempurna, Lenghou
Yong juga bukan kaum kroco yang mudah ditipu. Sekarang
tidak perlu menduga-duga, hayo lekas berangkat saja."
"Betul," In San tertawa, "kita ini kan kaum kroco dalam
Bulim, bila perlu tak usah bicara aturan Kangouw segala untuk
menumpasnya."
000OOO000 Malam itu bulan purnama, suasana tenang di bawah
penerangan sang putri malam di Lo-gau-kio terasa semakin
indah dan mempesona.
1202 Menjelang tengah malam, sang putri malam bercokol tepat
di tengah langit, di atas jembatan tampak muncul bayangan
satu orang, orang ini adalah Kek Lam-wi.
Ing-ting-ho di bawah jembatan dahulu dinamakan Bu-tingho,
damparan ombak air sungguh menerpa-nerpa dan
melanda beton kaki jembatan yang kokoh, sehingga
memercikan buih-buih putih yang bergulung-gulung pergi dan
sirna satu persatu.
Malam purnama, arus yang deras gemuruh, ketenangan
malam terasa permai dan membangkitkan jiwa kesatria.
Demikian perasaan Kek Lam-wi pada saat itu.
Panjang Lo-gau-kio empat puluh tujuh tombak, seluruhnya
terbuat dari batu Inlam, kedua sisi jembatan dipagari batubatu
putih berukir, semuanya merupakan tonggak batu yang
masing-masing berjumlah seratus empat puluh batang, di atas
setiap batang tonggak batu itu terdapat patung singa yang
mendekam garang, bentuknya mirip satu dengan yang lain.
Perasaan Kek Lam-wi sekarang tak ubahnya damparan
ombak air di bawah jembatan. Malam ini dia akan menentukan
mati hidup dengan musuh pembunuh ayahnya. "Mungkinkah
Lenghou Yong datang?" rembulan sudah merambat doyong ke
barat, suasana tetap sunyi tiada gerakan apa-apa. Melamun
seorang diri akhirnya Kek Lam-wi terkenang kepada Toh Soso.
"Malam seperti- ini, entah dimana dia sekarang" Apakah
dia sekarang juga sedang merindukan daku?"
Dia ingin cepat-cepat menyelesaikan urusan disini untuk
lekas-lekas meninggalkan Pakkhia menyusul Toh So-so ke
Kanglam. Hari sudah larut malam Lenghou Yong belum juga
kunjung tiba. "Di kala menghadapi pertempuran mati hidup, mana boleh
pikiran kacau, hati tidak tenang," tiba-tiba Kek Lam-wi
menyadari kesalahan, segera dia keluarkan serulingnya,
1203 dengan irama seruling dia ingin menenangkan hati dan
memantapkan semangat juangnya.
Belum habis dia meniup seruling, dari seberang sana
muncul dua bayangan orang. Kek Lam-wi memicing mata
melihat dengan seksama, dikenalnya satu di antara kedua
orang itu memang Lenghou Yong adanya.
Setelah mendengar irama serulingnya, tiba-tiba Lenghou
Yong mempercepat langkahnya. Teman Lenghou Yong adalah
laki-laki setengah umur, berperawakan buntak berpakaian
sebagai hartawan. Meski tubuhnya gembrot tapi langkah
larinya ternyata cukup cepat, dengan kencang diapun
mengintil di belakang Lenghou Yong.
Waktu di rumah Liong Bun-kong malam itu, meski Kek
Lam-wi pernah melihat Lenghou Yong tapi suasana pada saat
itu terlalu kacau dan ribut di tengah kancah pertempuran,
sehingga Lenghou Yong tidak sempat memperhatikan dirinya.
Itu berarti Kek Lam-wi kenal dia, sebaliknya Lenghou Yong
tidak mengenalnya. Tapi setelah mendengar irama seruling
Kek Lam-wi, tanpa merasa tergerak hatinya.
Segera dia berpaling tanya kepada temannya itu: "Yang
ingin mengadakan kontak dengan kita apakah pemuda peniup
seruling di atas jembatan itu" Setiba disini boleh kau beritahu
kepadaku siapa dia sebenarnya?"
"Lenghou Tayjin," kata laki-laki gendut itu, "sukalah kau
percaya kepadaku, aku benar-benar tidak tahu siapakah orang
ini. Aku hanya tahu dia memiliki sebuah benda antik yang
ingin dijual kepada kita."
"Benda mustika macam apakah," tanya Lenghou Yong.
Laki-laki gendut itu gelagapan, katanya: "Mustika apa aku
juga tidak tahu. Tapi aku percaya temanku itu tidak akan
menipuku. Bila Tayjin kuatir soal dagang ini boleh kita
batalkan saja..."
1204 Belum habis dia bicara Lenghou Yong sudah tertawa,
katanya: "Kau tidak tahu, aku justru sudah tahu. Betul yang
dipegangnya itu memang sebuah mustika. Temanmu tidak
menipu kau, dan kaupun tidak menipuku."
Legalah hati si gendut, katanya: "Lenghou Tayjin,
memangnya aku ingin mohon bantuanmu demi mencapai
kedudukan yang lumayan mana berani aku ngapusi kau?"
Untuk hubungan dagang ini meski dia sebagai perantara
mempertemukan jual beli itu di atas jembatan ini, pada hal
seluk beluk persoalan sesungguhnya hakikatnya dia sendiri
juga tidak tahu apa-apa, karena dia hanya dimintai bantuan
orang lain. Orang yang menjadi perencana pertemuan jual beli ini
adalah Ti Nio, namun Ti Nio tidak pernah mengunjukan diri.
Laki-laki gembrot seperti hartawan ini bernama Kwik Su-to, di
Pakkhia dia memang terkenal sebagai salah satu hartawan
yang suka membeli barang-barang antik, didalam kota dia
membuka belasan rumah gadai dan beberapa bank
Sekarang adalah hartawan, pada hal dahulu dia adalah
seorang begal tunggal. Namanya yang asli sudah tentu bukan
Kwik Su-to, nama itu dia gunakan setelah menyulap diri
sebagai seorang hartawan yang suka menderma, nama itupun
diperolehnya dari seorang guru sekolah kampungan setelah
dibayarnya lima ketip. Memang selanjutnya dia bisa hidup
teratur dan disiplin, secara munafik dia pura-pura jadi
dermawan. Kali ini Ti Nio minta bantuan Tio Kan-loh, ketua Kaypang
cabang Pakkhia, suatu malam dia mendatangi rumah
hartawan she Kwik yang terkenal dermawan ini, dengan
bujukan dan ancaman serta membentangkan untung ruginya,
Kwik Su-to dianjurkan menghubungi Lenghou Yong untuk
menyelesaikan jual beli sebuah benda mustika
1205 Kwik Su-to tahu jual beli ini takkan menguntungkan dirinya,
pertemuan itu pasti tidak akan membawa penyelesaian yang
baik pula, tapi dia tahu diri, kekuatan Kaypang teramat besar
di kota raja, jangan kata mungkin orang-orang Kaypang bakal
mencabut nyawanya, cukup bila asal-usulnya dibongkar di
hadapan umum, kedok sendiri akan terbongkar, mana dia
masih bisa bercokol di Pakkhia. Apa boleh buat terpaksa dia
rela menjadikan diri sebagai perantara ini. Lenghou Yong juga
tahu jelas riwayat hidupnya, tahu meski dia sudah menyulap
diri sebagai hartawan yang dermawan, secara diam-diam dia
masih sebagai tukang tadah pula, tidak sedikit keuntungan
yang diperolehnya dari jual beli secara gelap ini. Apalagi dia
memang sedang mengharapkan bantuan Lenghou Yong,
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meski harus keluar sejumlah uang, syukur bila Lenghou Yong
sudi bicara tentang kebaikan dirinya di hadapan Liong Bunkong,
kepadanya dia ingin memperoleh jabatan di kalangan
pemerintahan. Kepada Lenghou Yong dia bilang, ada seorang teman
Kangouw punya sebuah mustika yang hendak dijual, walau dia
belum pernah bertemu teman itu, tapi seorang teman lain
yang dapat dipercaya sebagai perantara, mereka menjanjikan
untuk mengadakan pertemuan di Lo-gau-kio untuk
menyelesaikan jual beli itu. Mustika itu ingin dia beli dan akan
dihadiahkan kepada Lenghou Yong, tapi dia minta Lenghou
Yong sendiri melihat mustika itu, bila senang dan mencocoki
selei.inv.i berapapun harganya ak;m di:i bayar. Secara tidak
langsung diapun menyatakan untuk menjaga segala
kemungkinan yang tidak diinginkan dia mohon Lenghou Yong
yang berkepandaian tinggi supaya bertindak bila mana perlu
Lenghou Yong memang tamak dan loba, rakus lagi, bisa
memperoleh keuntungan semudah ini sudah tentu dia amat
senang dan secara suka rela dia mau mengiringi laki-laki
gendut yang berusaha menjilat pantatnya ini. Didalam
persoalan jual beli ini, sekaligus menimbulkan akal bulusnya
untuk suatu kepentingan sendiri.
1206 Tersiar luas di luaran bahwa kedudukan Liong Bun-kong
mulai goyah, hal ini sudah tentu sudah didengarnya pula. Kini
dia sedang giat mencari majikan baru yang patut dijadikan
tulang punggung pula, dan orang yang dimaksud bukan lain
adalah Hu Kian-seng, bila meleset boleh dia mengekor kepada
Yu-hian-ong dari Watsu yang kini menginap di rumah
kediaman keluarga Liong sebagai utusan negeri Watsu, tak
lama lagi duta besar ini akan pulang ke negerinya.
Untuk ini diapun sedang memperhitungkan untung ruginya
serta membandingkan satu dengan yang lain demi
keuntungan pribadinya kelak, majikan mana yang dirasakan
lebih menguntungkan kepada dia dirinya akan rela
diperbudak. Bila betul-betul memperoleh sebuah mustika,
umpama diri sendiri tidak menyenangi juga tidak jadi soal,
mustika ini boleh dia persembahkan kepada majikan baru
yang akan dijunjungnya sebagai kado.
Di samping itu diapun jelas mengetahui seluk beluk
kehidupan Kwik Su-to, kepada hartawan munafik asal begal
tunggal yang memiliki kekayaan besar ini, dia boleh percaya
dan melegakan hatinya, oleh karena itu dia ambil putusan
untuk bertaruh menghadapi bahaya bila perlu.
Setiba di Lo-gau-kio, sembari berlari mendatangi Lenghou
Yong segera berseru tanya: "Apakah tuan ini yang hendak
menjual barang mustikanya?"
Pelan-pelan Kek Lam-wi angkat serulingnya, "betul,"
sahutnya. Senang hati Lenghou Yong, tanyanya pula: "apakah
mustikamu adalah seruling ini?"
"Betul," Kek Lam-wi menjawab tawar.
"Tolong tanya cara bagaimana kau memperoleh seruling
ini?" tanya Lenghou Yong.
1207 "Mau beli boleh bayar, tidak mau boleh batal. Kenapa kau
tanya sejelas ini?" tanya Kek Lam-wi.
"Baiklah, katakan berapa harga yang kau inginkan?"
"Aku tidak mau dibayar uang."
"O, kau ingin barter?"
"Apa betul kau ingin barter setulus hati dengan aku?"
"Sudah tentu. Boleh kau sebutkan saja apa keinginanmu,"
diam-diam Lenghou Yong sudah merasa curiga kepada Kek
Lam-wi. "Baik, biar aku bicara secara blak-blakan, apapun aku tidak
mau kecuali batok kepalamu."
Kwik Su-to berjingkrak kaget dan ketakutan. Tapi setelah
mclengak sekilas Lenghou Yong malah tertawa tergelak-gelak,
katanya: "Mengandal apa kau ingin batok kepalaku?"
jengeknya sambil melirik hina sikapnya seolah-olah tidak
pandang sebelah mata kepada Kek Lam-wi.
"Dengan serulingku ini," jengek Kek Lam-wi dingin.
"Kau kira aku sudi memenggal kepala menyerahkan kepada
kau?" "Inilah barter secara adil, kalau tidak sudi memenggal
kepala sendiri, memangnya seruling mustikaku sudi
kuserahkan kepadamu dengan cuma-cuma?"
Lenghou Yong terbahak-bahak, serunya: "Barter cara begini
memang menyenangkan, tapi batok kepala ditukar seruling,
meski serulingmu itu senilai satu kota, kukira barter ini tetap
tidak adil."
"Betul," timbrung Kwik Su-to,
"Kukira agak keterlaluan."
1208 "Keterlaluan" Aku malah belum memperhitungkan
bunganya."
Mendelik mata Lenghou Yong, bentaknya: "Siapa kau?"
"Kau tidak kenal aku, tapi aku tahu siapa kau," kata Kek
Lam-wi sinis. "O, jadi kau ingin membuat perhitungan dengan aku
Lenghou Yong?" sorot matanya tiba-tiba beralih ke muka Kwik
Su-to. Kwik Su-to merinding dan gemetar, tersipu-sipu dia
berkata: "Lenghou Tayjin urusan tidak menyangkut diriku, aku
hanya jadi perantara saja. Aku toh tidak tahu liku-liku
permusuhan kalian."
Tiba-tiba Lenghou Yong teringat, bentaknya: "Bukankah
kau ini Kek Lam-wi salah satu dari Pat-sian?" Maklum Kek
Lam-wi terkenal sebagai pendekar yang pandai meniup
seruling di kalangan Kangouw. Meski Lenghou Yong tidak
mengenalnya, tapi dia pernah mendengar namanya.
"Betul," ucap Kek Lam-wi, "laki-laki sejati duduk tidak
menukar nama berdiri tidak merubah she, aku inilah Kek Lamwi
adalah aku."
Diam-diam Lenghou Yong berpikir: "Pimpinan Pat-sian Lim
Ih-su malam itu hanya kuat menandingi aku, Kek Lam-wi ini
orang termuda dari Pat-sian, kenapa aku takut padanya?"
Segera dia tertawa, katanya: "Pat-sian kalian berani
menentang diriku, memang tidak perlu dibuat heran, tapi aku
jadi ingin tahu, kenapa kau seorang diri ingin mencariku?"
"Dua puluh tahun yang lalu, di Kwi-cu kau pernah
membunuh satu orang, apakah masih ingat akan peristiwa
itu?" Lenghou Yong tersentak sadar, bentaknya: "Jadi Kek Bingyang
dari Kwi-cu itu adalah bapakmu?"
1209 Berlinang air mata Kek Lam-wi, katanya berat: "Betul,
sekarang tentu kau sudah mengerti bukan?"
Lenghou Yong menyeringai sadis, katanya: "Ya, aku paham
sekarang, jadi kau mau menuntut balas atas kematian
bapakmu. Baiklah, sekalian kujelaskan kepada kau, syukur kau
menampilkan diri malah, serulingmu itu demikian pula batok
kepalamu biar kurenggut bersama."
Pada saat itulah sebuah suara serak tua berkata dingin:
"Mana ada jual beli secara liar dan tidak adil seperti itu di
dunia ini."
Dari belakang sebuah patung singa mendadak melompat
keluar satu orang, dia bukan lain adalah Ti Nio.
Lenghou Yong mencelos hatinya, "Tua bangka ini sukar
dilayani," tapi lahirnya dia tenang malah bergelak tertawa.
"Apa yang kau tertawakan," bentak Ti Nio.
"Ti-losiansing," ujar Lenghou Yong, "hitung-hitung kau ini
kan seorang ternama, kenapa tidak tahu cara menepati aturan
Kangouw?" "Siapa bilang aku tidak tahu aturan?" bentak Ti Nio.
"Permusuhan dengan dia, menurut aturan hanya boleh
diselesaikan kami berdua. Tapi bila kau tidak menghiraukan
peraturan, anggap dirimu lebih hebat dan mau membantu dia
mengeroyok aku, akupun tidak gentar, hehehe, hayolah kalian
maju bersama."
Ti Nio mendengus hidung, jengeknya: "Tidak perlu aku
mewakili Kek Lam-wi menuntut balas, memang pantas bagi
dirimu kalau menilai orang lain dengan karaktermu sendiri,"
"Lalu untuk apa kau datang kemari mencampuri urusan
orang lain?"
"Aku datang untuk menegakkan keadilan, aku akan
menyaksikan jual beli ini secara adil."
1210 "Apa maksud perkataanmu?"
"Barter harus adil, kalau kau menginginkan serulingnya,
menginginkan pula batok kepalanya, itu berarti kau bertindak
secara liar dan tidak tahu malu."
Lenghou Yong tertawa dingin, katanya: "Seruling mustika
ditukar batok kepala, memangnya itu terhitung adil?"
"Sudah tentu bukan tanpa syarat kau harus menyerahkan
batok kepalamu. Dengarkan dulu penjelasanku, boleh nanti
kau menilai apakah putusanku adil atau tidak?"
"Baik, coba jelaskan. Bagaimana caranya baru terhitung
adil menurut pendapatmu?"
"Coba katakan kau yakin berapa jurus kau dapat merampas
serulingnya?" tanya Ti Nio.
Lenghou Yong berpikir sejenak, katanya: "Sepuluh jurus,"
maklum Pat-sian bukan jago kroco, walau dia tidak kenal Kek
Lam-wi, tapi dari urutan para Pat-sian dan bagaimana taraf
kepandaian masing-masing sudah lama diketahuinya jelas.
Apalagi setelah dia pernah gebrak sebanding melawan tertua
dari Pat-sian Lim Ih-su. Usia Kek Lam-wi baru likuran tahun,
jago termuda diantara Pat-sian, dinilai tingkatan dia masih
terhitung angkatan muda, demi menjaga gengsi dan
mempertahankan pamor, adalah logis kalau dia tidak sudi
memandang Kek Lam-wi sebagai musuh seangkatan.
Sekarang diingatnya pula, di kala pertempuran sengit
terjadi di rumah Liong Bun-kong dulu, pernah dia bergebrak
sebentar melawan Kek Lam-wi, waktu itu cukup sekali
pukulannya dia bikin lawannya ini terjungkal roboh. Kini dia
membatasi sepuluh jurus, menurut anggapannya sudah terlalu
banyak. "Baik," seru Ti Nio, "kami turuti saja keinginanmu, sepuluh
jurus terbatas. Bila dalam sepuluh jurus kau mampu
1211 merampas serulingnya, seruling itu boleh kau ambil, kalau kau
gagal maka kau harus serahkan batok kepalamu."
"Bagus, akupun turuti caramu ini. Tapi perlu kuperingatkan,
bila aku di pihak yang menang, jangan kau nanti pungkir janji
serta mencampuri urusanku ini."
"Kwik Su-to," ujar Ti Nio, "mari kaupun ikut menjadi saksi
bersamaku. Saksi atau wasit adalah orang yang menegakan
keadilan, dilarang membelok ke pihak manapun, nah kau
boleh legakan sadja hatimu."
"Kepalanku ini tidak bermata, kalau dalam sepuluh jurus
aku memukulnya mampus bagaimana?"
"Seruling tetap akan menjadi milikmu."
"Bagus, baiklah kita putuskan demikian. Kau ini wasit, boleh
kau mulai menghitung, nah jurus pertama kumulai," di tengah
seringai tawanya dia bergerak dengan jurus Yu-liong-tam-jiau,
kelima jarinya tertekuk mencengkram ke tulang pundak Kek
Lam-wi. Itulah salah satu jurus Kim-na-jiu-hoat Lenghou Yong yang
sudah dilatihnya sempurna, gerakannya teramat aneh dan
cepat, telak dan keji. Entah berapa banyak jago-jago silat
Kangouw yang menjadi korban keganasan jurus tunggal ini.
Tak nyana hari ini cengkramannya ternyata mengenai tempat
kosong, segesit kera tahu-tahu Kek Lam-wi telah berkelit ke
samping. Seperti diketahui sejak dua kali bergebrak melawan
Lenghou Yong, diam-diam Ti Nio perhatikan keliehayan dan
permainannya, kecuali dia mengajar tiga jurus ilmu tunggal
yang mungkin bisa merobohkan lawan meski dirinya terdesak
di bawah angin, diapun mengajarkan gerakan langkah yang
enteng seperti melayang, gerakan langkah itu kebetulan
sekarang tepat digunakan untuk menghindari serangan
Lenghou Yong. 1212 "Diberi tidak membalas kurang hormat, nah lihat
serulingku," demikian Kek Lam-wi membentak, mendadak
serangannya terbuka mari kanan kiri, satu jurus dua gerakan,
ke kiri dia menutuk Giok-kwan, ke kanan menutuk Yang-pek,
kedua Hiat-to ini terletak di kanan kiri dada, merupakan
tempat mematikan bila kena serangan.
Tapi meski jurus ini merupakan serangan liehay dari Kingsin-
pit-hoat, namun bukan termasuk salah satu jurus dari tiga
jurus liehay ajaran Ti Nio itu.
"King-sin-pit-hoat memang hebat, tapi untuk mengalahkan
aku, haha, masih terlalu jauh," demikian Lenghou Yong
mencemooh. Sebelum dia habis bicara "Tring, tring" dua kali
dia menjentik pergi seruling Kek Lam-wi, hampir saja Kek
Lam-wi tak kuat memegang serulingnya karena jari-jarinya
terasa kaku kesemutan. Tapi jurus serangan Kek Lam-wi ini
sudah cukup setimpal sehingga lawan terpaksa harus
menangkis. Tanpa berjanji Ti Nio dan Kwi Su-to berseru
bersama: "Jurus kedua."
Serangan Kim-na-jiu Lenghou Yong selanjutnya, kembali
berhasil diluputkan oleh Kek Lam-wi. Tiba-tiba timbul niat
jahat Lenghou Yong, pikirnya: "Entah dari mana keparat ini
mempelajari langkah yang aneh, biar aku gunakan Tay-cui-pijiu
untuk menghadapinya, umpama tidak mampus biar dia
terluka parah," tiba-tiba gerakan telapak tangannya
mengundang deru angin kencang, secara beruntun dia
lancarkan dua jurus serangan yang mematikan.
Tay-cui-pi-jiu yang diyakinkan Lenghou Yong merupakan
ilmu tunggal di Bulim. Kehebatannya memang mampu
membelah pilar batu dimana angin pukulannya mendampar,
pakaian Kek Lam-wi tampak berkibar-kibar, koyak
beterbangan, seperti tiba-tiba puluhan kupu-kupu
beterbangan di udara. Itulah adu kekuatan Lwekang, bagi
yang bertenaga kuat pasti menang, yang lemah pasti kalah,
1213 untuk adu kekuatan siapapun tidak boleh main untunguntungan
lagi. Meski Kek Lam-wi mahir menggunakan langkahnya yang
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aneh secara tangkas, dia tetap di pihak yang dirugikan, dan
kerugian yang dideritanyapun tidak kecil. Untung meski
pakaiannya tergetar pecah dan berhamburan, dia sendiri sih
belum terluka parah, hal ini ternyata berada diluar
perhitungan Lenghou Yong.
"Anak kurcaci, coba saja berapa jurus lagi kau kuat
bertahan?" memperoleh angin Lenghou Yong tidak menyianyiakan
kesempatan, di kala Kek Lam-wi belum berdiri tegak,
mendadak dia mengenjot pula. Genjotannya ini seperti
mengarah ke bawah, Kek Lam-wi dipaksa lompat ke atas, tak
tahunya segulung tenaga pukulan tiba-tiba sudah menerjang
tiba di depan dada.
Ternyata Lenghou Yong menggunakan cara mendekat
memukul ke tempat jauh, merupakan gerakan tunggal pula
dari salah satu jurus Tay-cui-pi-jiu yang liehay itu. Bila ilmu ini
diyakinkan mencapai taraf yang tinggi, memukul batu seperti
menekan tahu. Kini jotosannya mengincar bagian bawah,
namun tenaganya justru menjurus ke atas, tingkatan ilmu
pukulannya ini masih terhitung kelas dua. Tapi taraf
kepandaiannya memang lebih tinggi dari Kek Lam-wi, meski
ilmu yang dilontarkan ini belum mencapai tingkat yang
sempurna, Kek Lam-wi toh sudah mengeluh kepayahan.
Lompatan Kek Lam-wi ke atas ini justru seperti memapak
dan memberikan dadanya untuk dimakan pukulan lawan,
kontan tubuhnya terjungkal jumpalitan. Agaknya sebelumnya
tak pernah terpikir oleh Ti Nio bahwa pertempuran bakal
berlangsung seperti ini, karuan dia melongo kaget di
tempatnya. Beruntun Lenghou Yong sudah melontarkan tiga
kali serangan, diapun lupa menghitungnya lagi.
1214 Melihat Kek Lam-wi terjungkal jatuh, kaget dan girang Kwik
Su-to bukan main, lekas dia tenangkan hati
Dendam Iblis Seribu Wajah 20 Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Bara Naga 15
kian halnya, kami sebagai rakyat yang menjunjungmu siap
bertempur sampai titik darah terakhir demi membela kerajaan.
Tapi kami akan bekerja diluar lingkungan kerajaan, yakin jauh
lebih bermanfaat dari pada bertugas di kalangan
1153 pemerintahan, maksud baik Baginda tak berani kami
menerima."
"Baiklah, kalau kau tidak mau menjabat pangkat, seorang
laki-laki memang punya cita-citanya sendiri, Tim tidak akan
memaksamu."
"Entah kapan kiranya tekad paduka itu bisa terlaksana"
Untuk ini kami memberanikan diri mohon jawaban paduka
untuk menentukan batas waktunya, supaya Kim-to Cecu dan
para patriot yang lain bisa tentram serta bersiap siaga,"
maklum Tan Ciok-sing kuatir raja muda usia ini hanya
mulutnya saja bicara tapi tidak bisa dipercaya, jawabannya itu
hanya mengada-ada untuk mengulur waktu belaka. Maka dia
menuntut jawaban positip dari Cu Kian-sin.
Mengkerut alis Cu Kian-sin, katanya: "Memaklumkan
perang dengan Watsu merupakan urusan besar negara, ini
menyangkut kejayaan dan keruntuhan bangsa dan negara
betapapun urusan tidak boleh tergesa-gesa. Sampaipun
persiapan melengkapi angkatan perang dari kerajaan kitapun
harus dilaksanakan secara rahasia supaya musuh tidak
mengetahui," secara tidak langsung dia menjawab pernyataan
Tan Ciok-sing tadi, umpama Tan Ciok-sing memaklumkan soal
ini ke seluruh negeri, bahwa Baginda Raja bertekad angkat
senjata melawan penjajah, hal itupun takkan bisa
dilaksanakan lagi.
Tan Ciok-sing berkata: "Tapi paduka harus melakukan
suatu tindakan drastis yang cukup menggemparkan dan
membangkitkan semangat juang rakyat umumnya, lebih cepat
lebih baik, hal ini amat perlu untuk memantapkan situasi dan
menentrarnkan hati rakyat."
"Menurut pendapatmu, tindakan apa yang harus Tim
dahulukan?"
In San berkata: "Kalau paduka masih ada kesulitan untuk
angkat senjata melawan serbuan musuh penjajah, lebih baik
1154 kau memberantas kaum dorna yang merongrong kepentingan
negara, hal ini yakin akan mendapat dukungan sepenuhnya
dari segala lapisan."
Cu Kian-sin berkata: "Konon Liong Bun-kong ada
permusuhan dengan keluargamu, apa betul?"
"Betul," sahut In San naik darah. "Bangsat she Liong itu
pembunuh ayahku, tapi kehadiranku disini bukan lantaran
dendam pribadi."
"Aku tahu. Peduli untuk pribadi atau demi urusan dinas,
adalah pantas kalau aku memberi keadilan kepadamu. Baiklah,
tiga bulan lagi, aku pasti meminjam entah alasan apa,
mencopot kedudukan dan mencabut hak kekuasaannya.
Bagaimana kalian puas tidak" Janjinya ini memang bukan
bualan belaka, dia memang sudah berkeputusan bila perlu
biarlah Liong Bun-kong dikorbankan demi memperkokoh
kedudukan sendiri.
"Baik, tiga bulan kemudian, bila paduka menghadapi suatu
kesulitan dan sukar menjatuhkan hukuman kepada Liong Bunkong,
aku akan datang pula kemari mohon petunjuk paduka.
Setelah tahu duduk persoalannya, akan kami bantu paduka
menjatuhkan vonnisnya. Tapi lebih baik paduka sendiri sudah
bisa berkeputusan sendiri, sehingga kami tidak perlu datang
pula supaya tidak membuat kaget paduka." Kuatir Cu Kian-sin
tiba saatnya merobah haluan dan sukar berkeputusan, maka
dia mendesaknya dengan kata-kata yang halus, padahal
pernyataannya ini cukup serius dan merupakan ancaman pula.
Cu Kian-sin sudah tahu Kungfunya tinggi, karena nyalinya
sudah ciut sudah tentu dia mengiakan berulang kali, dia
berjanji dalam jangka tiga bulan segalanya pasti sudah beres.
Akhirnya Tan Ciok-sing merasa mendapat jawaban yang
cukup memuaskan, baru saja dia hendak pamitan, saat itulah
mendadak dirasakannya ada angin kesiur, tahu-tahu senjata
rahasia sudah menyerang dekat di belakangnya. Tampak sinar
putih berkelebat, "tring, tring" dua kali. Ternyata yang
1155 menyerang tiba adalah dua bentuk uang tembaga, sekali
pedang bekerja, kedua bentuk mata uang itu dipapasnya
menjadi empat potong.
Sebentuk mata uang lagi menerjang ke Hiat-to besar di
punggung In San, gerakan mencabut pedang In San tidak
secepat Tan Ciok-sing, terpaksa dia berkelit. Untung gerakan
tubuh Menyusup Kembang Mengitari Pohon yang
diyakinkannya sudah sempurna, merupakan Ginkang tingkat
tinggi lagi, dalam keadaan kritis itu dia sudah menyelinap ke
samping Cu Kian-sin, sekali raih dia membekuknya serta
membentak: "Siapa berani bertindak?" Mata uang itu langsung
terbang ke depan Cu Kian-sin, Tan Ciok-sing kaget, dia kuatir
raja muda ini terluka oleh mata uang tembaga ini. Tapi
kejadian memang aneh, setiba di depan muka raja mata uang
itu tiba-tiba berputar arah terus membelok kembali dan jatuh
ke lantai dengan suara yang keras. Ternyata penyambit mata
uang ini, jauh lebih takut bila timpukan mata uangnya
mengenai junjungannya, maka tenaga sambilannya
diperhitungkan dengan tepat, tiga kaki di depan muka sang
raja tiba-tiba bisa berputar arah sendiri dan mundur kembali.
Kedua mata uang tembaga itu bentuknya kecil, dengan
tabasan pedangnya Tan Ciok-sing merontokkannya semua,
namun dia rasakan telapak tangannya kesemutan, karuan
kagetnya bukan main, kini menyaksikan gaya timpukannya
yang aneh dan menakjubkan lagi, hatinya lebih kaget lagi,
pikirnya: "Siapa dia" Lwekangnya ternyata tidak lebih asor
dibanding komandan Gi-lim-kun Bok Su-kiat, mungkinkah..."
Tengah dia membatin tampak seorang menerobos masuk
dari jendela. Cu Kian-sin kontan menghardik padanya: "Kedua
orang ini adalah teman Tim, nyalimu sungguh besar, sebelum
diundang dan mendapat persetujuanku, berani kau bertingkah
disini." Lekas orang itu menjatuhkan diri berlutut, serunya: "Mohon
ampun akan kelancangan hamba yang tidak tahu ini. Hamba
1156 kira Baginda diancam dan dijadikan sandera oleh kawanan
pembunuh gelap, karena gugup tidak periksa lagi sehingga
mengejutkan Baginda, mohon Baginda memberi ampun."
"Nona In, bagaimana menurut pendapatmu?" tanya Cu
Kian-sin. "Memang tidak bisa menyalahkan dia, dia ini..."
"Dia adalah kepala pasukan Bayangkari Hu Kian-seng."
Sebetulnya Tan Ciok-sing sudah mengira orang ini adalah
Hu Kian-seng, pikirnya: "Tak heran Kim-to Cecu memuji ilmu
silatnya yang hebat, ternyata memang tidak bernama kosong."
Maka Cu Kian-sin berkata bermuka-muka: "Baiklah,
kuterima permohonan ampun nona In, kelancanganmu tidak
kuperpanjang urusannya. Ada urusan apa. kau kemari?"
Hu Kian-seng berdiri, dia memberi salam kepada rajanya,
katanya: "Ada sedikit urusan, paduka sedang ada tamu,
biarlah kulaporkan nanti juga tidak jadi soal."
"Paduka sedang ada urusan, biarlah kami mohon diri," kata
Tan Ciok-sing. "Nanti dulu, kenapa tergesa-gesa, kalau kalian begini saja,
pasti membuat geger kawanan Wisu yang jaga, supaya tidak
salah paham, Hu Kian-seng, wakilkan Tim mengantar kedua
tamuku ini."
"Hamba terima tugas," sahut Hu Kian-seng, "baginda masih
ada pesan yang lain?"
"Ya, kau pasti belum tahu siapa kedua tamu agung ini?"
"Mohon paduka suka menjelaskan," ucap Hu Kian-seng.
"Nona In ini adalah cucu In Jong yang pernah menjabat
Komandan Gi-lim-kun di kala ayah Baginda almarhum dulu
masih bertahta, ayahnya In Hou juga pernah mendirikan
pahala besar buat negara, kau harus menaruh hormat
1157 padanya. Tentang Tan-siauhiap ini..." mulutnya tersendat tak
kuasa meneruskan kata-katanya, ternyata dia sudah lupa
siapa nama Tan Ciok-sing.
Tan Ciok-sing segera memperkenalkan diri: "Aku bernama
Tan Ciok-sing, delapan belas generasi kakek moyangku tiada
satupun yang pernah menjabat pangkat, kau tidak perlu
sungkan kepadaku."
Kalau Cu Kian-sin melupakan nama Tan Ciok-sing, adalah
Hu Kian-seng amat kaget mendengar namanya. Kejadian Bok
Su-kiat bertempur melawan Tan Ciok-sing di rumah keluarga
Liong tempo hari sudah dia ketahui. Maka dalam hati dia
berpikir: "Tak heran kabarnya Bok Su-kiat sedikit dirugikan
oleh bocah ini, gerakan pedang yang dipamerkan tadi
memang hebat luar biasa."
Hu Kian-seng berjalan di belakang mengantar mereka
keluar. Sementara itu jago kosen she Hoan tampak masih
rebah di tanah tanpa bisa bergerak. Seperti diketahui dia
tertutuk Hiat-tonya oleh Jong-jiu-hoat Tan Ciok-sing.
Waktu Hu Kian-seng lewat di sampingnya mulutnya
menggerundel, sekali depak kontan dia bebaskan tutukan
Hiat-tonya. Jago kosen she Hoan itu segera melompat
bangun, dengan membelalak mata dia awasi Tan Ciok-sing
dan Hu Kian-seng bergantian. Hu Kian-seng segera berkata:
"Tidak lekas kau menjaga dan melayani keperluan Baginda."
Saking keheranan jago she Hoan itu berkata: "Ke... kedua
orang ini..."
"Mereka adalah tamu Baginda, aku disuruh mengantar
kedua tamu Baginda, kau tidak perlu ikut urusan..."
Jago kosen she Hoan itu segera mengiakan sambil
munduk-munduk tanpa berani bicara lagi.
1158 Yang benar dia sudah merasakan keliehayan Tan Ciok-sing,
umpama disuruh urus juga, dia sudah kapok dan pecah
nyalinya. Kepandaian Hu Kian-seng dengan caranya mendepak
membebaskan tutukan, mau tidak mau menimbulkan
kewaspadaan Tan Ciok-sing. Ilmu tutuk yang dilancarkan Tan
Ciok-sing adalah hasil ciptaan Thio Tan-hong yang liehay dan
rumit. Jangan kata jago silat kaum persilatan, seorang ahli
tutukpun belum tentu dapat membebaskan tutukan Hiat-to itu
dalam waktu singkat.
Sebagai kepala barisan Bayangkan boleh dikata Hu Kianseng
adalah orang yang paling dekat dengan raja, sudah tentu
dia tahu isyarat apa yang telah disampaikan junjungannya
kepada dia bila dia mengantar kedua tamunya ini. Maka dia
berpikir: "Dari nada Baginda tadi agaknya dia menaksir kepada
cewek ayu ini, aku harus berusaha untuk tidak melukai dia.
Baiklah, biar kuhadapi dulu bocah she Tan ini. Tapi ilmu
pedang bocah ini bukan olah-olah liehaynya, sekali bertindak
aku harus membawa hasil."
Tanpa merasa mereka sudah tiba di Ling-bik-ti, Hu Kianseng
yakin Baginda sekarang sudah meninggalkan Long-gakkck,
umpama dirinya tidak berhasil membekuk Tan Ciok-sing,
dia tidak perlu kuatir Tan Cok-sing putar balik kesana serta
menyandera junjungannya. Maka tanpa kuatir apa, dia turun
tangan. Saat mana dia berjalan di belakang Tan Ciok-sing,
mendadak dia angkat telapak tangan terus mengenjot ke Toacui-
hiat di punggung Tan Ciok-sing. Jarak mereka begitu
dekat, pukulan ini dilontarkan dengan sepenuh tenaga lagi,
jikalau pukulan telak mengenai sasaran, umpama tidak
mampus juga pasti terluka parah.
Diluar tahunya sejak tadi Tan Ciok-sing sudah siaga, dia
siap menghadapi segala sergapan. Begitu Hu Kian-seng
menyerang dengan Jong-jiu-hoat, baru saja tangan bergerak
1159 lantas menimbulkan deru angin kencang. Pada saat kritis
itulah, begitu merasakan angin menerjang, secara reflek Tan
Ciok-sing tudingkan jarinya ke belakang. Dengan jari
mengganti pedang dia melancarkan sejurus Hian-niau-hoat-sa,
padahal malam amat gelap, tapi tudingan jarinya dengan
tepat menjojoh ke urat nadi di pergelangan tangan lawan.
Inilah perlawanan untuk gugur bersama, jikalau kedua
pihak sama tidak mau mengalah bentrok secara kekerasan,
meski Tan Ciok-sing terluka parah, Hu Kian-seng sendiri juga
akan terluka seluruh Siau-yang-king-meh dalam tubuhnya.
Untuk meyakinkan ilmu pukulan besinya, sedikitnya Hu
Kian-seng perlu latihan sepuluh tahun lamanya baru pulih
seperti sedia kala.
Jarak dekat kedua pihak menyerang dengan kencang lagi,
siapapun tak sempat menggunakan otaknya. Tan Ciok-sing
sudah pertaruhkan jiwa raganya, tapi Hu Kian-seng mana mau
mengadu jiwa. Sebat sekali dia tarik tangan serta menepis ke
samping, sementara kakinya bergerak dengan Ban-liong-yaupou,
menghindar sambil balas menyerang. Mulutnya ternyata
tidak mau menganggur, teriaknya: "Ada pembunuh, hayo
kemari tangkap dia."
Karena terdorong oleh angin pukulan lawan, tanpa kuasa
Tan Ciok-sing tersuruk ke depan beberapa langkah baru
berdiri tegak pula. Dalam hati diam-diam Tan Ciok-sing amat
kaget: "Lwekangku kenapa menjadi begini tak berguna?"
maklum meski dia tahu Lwekang Hu Kian-seng lebih unggul
dari dirinya, tapi taraf Lwekangnya paling hanya setingkat
tebih tinggi dari Bok Su-kiat, dia pernah bentrok langsung
dengan Bok Su-kiat, maka dia yakin bila dia melawan secara
kekerasan, sedikitnya dia masih kuat melawan tiga puluhan
jurus, tak nyana menghadapi Bik-khongciang lawan kali ini,
dirinya tidak kuasa mempertahankan diri.
Cepat sekali In San sudah mencabut pedang, bentaknya
sambil tertawa dingin: "Namanya sebagai jago kosen nomor
1160 satu dari istana raja, ternyata berbuat licik dan picik main
bokong segala, tidak tahu malu."
Merah muka Hu Kian-seng, katanya: "Nona In, urusan tidak
menyangkut dirimu, silakan kau minggir."
Sudah tentu In San tidak mau minggir, belum habis Hu
Kian-seng bicara, tampak sinar kemilau dingin menyilaukan
mata telah membabat tiba, ternyata Tan Ciok-sing dan In San
sudah melancarkan jurus gabungan ilmu pedang mereka
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merabunya gencar. Sebagai ahli silat, sudah tentu H u Kianseng
tahu betapa hebat rangsakan sepasang pedang ini,
dilihatnya gerak gabungan sepasang pedang lawan hakikatnya
tiada lobang kelemahan, jelas dirinya takkan mampu
menghalau dan memisah kedua orang ini, karuan hatinya
mencelos, pikirnya: "Celaka, kalau aku gunakan Jong-jiu-hoat
balas menyerang, bagaimana bisa tidak sampai melukai budak
ayu ini?" Tapi dalam posisinya yang menyangkut mati hidupnya,
bagaimana mungkin dia tidak balas menyerang dengan Jongjiu-
hoat" Maka dia gunakan Siang-jongciang, ke kiri
menggenjot Tan Ciok-sing, ke kanan menghantam In San.
Tapi tenaga pukulan yang dia lancarkan antara kiri dan kanan
jauh berbeda. Pukulan yang dilontarkan kepada Tan Ciok-sing
menggunakan delapan puluh persen tenaganya, sementara
untuk menyerang In San dia hanya menggunakan dua puluh
persen saja. Demi keselamatan sendiri hal itu harus dia
lakukan tanpa banyak pikir, meski terpaksa ln San mungkin
terluka dan dia dimarahi atau dihukum oleh Baginda Raja juga
tidak sempat dihiraukan lagi.
In San tergetar mundur oleh pukulan ini sehingga
terhuyung hampir jatuh, sementara Tan Ciok-sing tersuruk
maju hampir saja jatuh terjerembab. Baru saja Hu Kian-seng
akan menyusuli dengan serangan jurus Ya-be-hun-cong
menyelinap ke tengah untuk memisah kedua orang ini. Tak
kira baru saja niat ini terlintas dalam benaknya, laksana kilat
1161 menyambar, mendadak dilihatnya dua jalur cahaya pedang
laksana lembayung tahu-tahu sudah membabati dari samping
hendak membelah pinggangnya. Perbawa gabungan sepasang
pedang ini sungguh berbeda di luar dugaannya. Kalau dia
tidak tahu diri tetap melontarkan jurus serangan Ya-bc-huncong
itu, mungkin bukan saja dia tidak mampu memisah
kedudukan Tan dan ln kemudian tubuh sendiri yang bakal
terbelah terpisah jadi dua.
Memang tidak malu Hu Kian-seng diangkat sebagai jago
nomor satu dari barisan Bayangkari, betapa cepat reaksi dan
tindakannya didalam menghadapi bahaya, di saat jiwanya
tergantung pada sekali tarikan napas itu, sigap sekali dia
gunakan Kan-te-pa-jong mendadak tubuhnya melambung
tinggi ke atas dengan tubuh terbaring lurus, berbareng kedua
kakinya menendang secara berantai ke arah Tan Ciok-sing.
Mendadak Tan Ciok-sing gunakan Hong-tiam-thau, sehingga
Hu Kian-seng sempat melompat keluar dari lingkaran sinar
pedang. Namun demikian tak urung pantatnya tertusuk juga
oleh ujung pedang ln San, kulit dagingnya terpapas sebagian
besar. Karena bokongnya terluka sudah tentu dia tak berani
bertempur lebih lama lagi, cepat dia angkat langkah seribu.
Baru saja Tan Ciok-sing sempat menarik napas lega, waktu
dia menoleh, dilihatnya In San bernapas sengal-sengal dan
tubuhnya limbung. Tan Ciok-sing kaget, lekas dia memburu
maju memapahnya, katanya: "Adik San, kenapa kau'.'"
Dengan napas sengal ln San berkata: "Tidak, tidak apa-apa.
Tapi urusan agak ganjil. Toako, menurut pendapatmu
bagaimana Kungfu Hu Kian-seng bila dibanding Milo Hoatsu?"
Melihat kekasihnya tidak terluka lega hati Ciok-sing. Tapi
dia tidak habis mengerti kenapa dalam waktu , mendesak
menanyakan hal ini" "Kungfu Hu Kian-seng agaknya setingkat
lebih tinggi dari Bok Su-kiat, namun jelas dia bukan tandingan
Milo Hoatsu."
1162 "Memangnya, tapi kenapa gabungan pedang kita tadi
kenapa tidak mampu membunuhnya" Kelihatannya seperti jadi
lemah" Bukankah urusan agak ganjil?"
Tan Ciok-sing baru sadar dan ikut merasa heran pula
setelah In San menyinggung hal ini. Pikirnya: "Betul, malam
itu dengan gabungan sepasang pedang kita, malam itu Milo
Hoatsu yang tangguh itupun terkalahkan oleh kita. Kini Hu
Kian-seng meski juga terluka oleh pedang kita, tapi hanya
dalam tiga gebrak saja kenapa aku sendiri sudah hampir tidak
tahan lagi, pada hal malam itu kita masih mampu bertahan
belasan jurus melawan Milo Hoatsu tanpa terdesak sedikitpun.
Sepantasnya tidak seperti hari ini, apa sih sebabnya" Kenapa
bisa begini?"
Tapi awak masih berada di tempat berbahaya, sudah tentu
tak sempat dia banyak pikir, katanya: "Adik San, tak usah kau
pusingkan hal ini" Mumpung sekarang kita masih bisa lari
marilah lekas menyingkir dari sini."
Tapi In San malah berkata: "Ya, sekarang teringat olehku,
tadi kita minum teh suguhan Baginda, mungkin kita telah
dikerjai olehnya. Toako, Lwekangku jauh bukan ukuranmu,
jelas aku takkan bisa lari. Mana boleh aku membantumu ikut
celaka. Lekas jangan hiraukan aku, larilah seorang diri."
Tan Ciok-sing seperti diguyur air, seketika pikirannya jernih,
pikirnya: "Betul, pasti air teh itulah yang menjadi
penyebabnya."
Terdengar "tangkap pembunuh" yang bersahutan dan ribut
dan berbagai tempat tampak bayangan para Wisu berlarian
dari berbagai penjuru memburu kesini. Hu Kian-seng yang
terluka cukup parah dan belum lari jauh segera ikut berteriak:
"Pembunuh di arah Ling-bik-ti, lekas kalian grebek mereka."
In San jadi gugup, katanya membanting kaki: "Seharusnya
aku tidak suruh kau ikut minum teh itu, betapapun kau jangan
1163 ikut celaka bersamaku, dengarlah nasehatku, lekas kau lari,
lekas lari."
Sudah tentu Ciok-sing tidak mau meninggalkan dia begini
saja, katanya setelah mengertak gigi: "Kita sehidup semati."
pada hal Wisu yang memburu paling dekat jelas sudah
kelihatan, tapi malam cukup gelap, sehingga kawanan
Wisu itu juga belum melihat mereka.
Karena kepepet tiba-tiba timbul akal Tan Ciok-sing, segera
dia jemput sebutir batu terus ditimpukkan kedalam empang.
Lalu dia susuli pula lemparan beberapa buah batu ke arah
Long-gak-kek. Tenaga timpukannya sudah diperhitungkan
sehingga batu kedua lebih jauh dari batu pertama, batu ketiga
lebih jauh pula dari batu kedua dan seterusnya, sehingga
suara jatuhnya seperti langkah seorang yang lari
mengembangkan Ginkang. Habis menimpukkan batu segera
dia menyelinap dan lari ke arah yang berlawanan.
Para Wisu yang berada didekat Ling-bik-ti segera berteriak
ke arah belakang: "Seorang pembunuh mencebur ke air,
seorang lagi lari ke arah Long-gak-kek. Lekas pencar tenaga
kalian untuk mengejar kesana. Lindungilah Baginda."
Lekas Tan Ciok-sing menggigit lidah sendiri sampai
berdarah, ternyata dia menyadari kesadarannya mulai
terpengaruh, rasa kantuk menyerang dirinya, tapi setelah
kesakitan semangatnya mendadak terbangkit pula, maka
dengan menyeret In San, dia kembangkan Ginkang Siang-ih-jihwi
sambil sembunyi di antara bayang-bayang bangunan di
sekitarnya dia terus menyelinap kedalam taman kembang.
Langkah In San mendadak menjadi berat dan lamban,
meski Tan Ciok-sing bantu menyeretnya, namun dia sudah
tidak mampu berjalan lagi. Lekas Tan Ciok-sing memeluknya,
dengan suara lirih seperti bunyi nyamuk In San berbisik di
pinggir telinganya: "Toako, aku, aku tak kuat lagi. Aku mau
1164 tidur." Waktu Ciok-sing menunduk, benar juga terlihat
matanya sudah terpejam.
Sudah tentu kejut Ciok-sing bukan main, dia kira racun
telah kumat dalam tubuhnya, tapi didengarnya In San masih
bernapas baik, lekas dia pegang urat nadinya, denyut nadinya
juga berjalan normal. Sesaat lagi bukan saja napasnya teratur
malah dia menggeros. Keadaannya tak ubahnya seperti
seorang yang tidur lelap.
Karuan Cok-sing keheranan: "Melihat keadaannya tidak
mirip keracunan, tapi dalam keadaan genting ini kenapa dia
tertidur pulas?" Kejadian selanjutnya ternyata memang amat
aneh, tanpa sadar tiba-tiba Ciok-sing sendiri juga menguap,
rasa kantuk membuatnya ingin mencari ranjang empuk untuk
tidur lelap di damping kekasih yang dicintai ini
Untung betapapun Lwekangnya jauh lebih tangguh dari ln
San, dia sadar dalam keadaan seperti ini betapapun dia tidak
boleh tertidur, kembali dia menggigit lidah, supaya rasa sakit
membangkitkan semangatnya dan menghilangkan rasa
kantuk. Setelah menghembus napas sekali, lekas dia gunakan
ajaran Lwekang ciptaan Thio Tan-hong menyalurkan hawa
murni ke pusar, sehingga tenaganya pulih beberapa bagian,
dengan memeluk In San, dia maju lebih lanjut seperti bermain
petak dengan para Wisu itu.
Sayup-sayup didengarnya suara Hu Kian-seng berkaokkaok
di dekat empang sana: "Agaknya bocah she Tan itu
pandai berenang, hayo panggil orang yang pandai berenang
untuk mengejarnya."
Dalam hati Ciok-sing membatin: "Ternyata empang itu ada
saluran yang menuju keluar istana, sayang tadi aku tidak
tahu," tapi meski dia tahu juga takkan bisa meloloskan diri
bersama In San. Untuk lari dengan menyelam dalam air harus
menggunakan ilmu penutup pernapasan, orang lain jelas
takkan bisa membantunya, kini In San sedang pulas dalam
pelukannya mana mungkin dibawa lari menyelam didalam air.
1165 Meski sekuatnya dia membangkitkan semangat, tapi rasa
kantuk itu seperti gelombang pasang yang melanda terus
menerus. "Apa boleh buat, biarlah kemana aku bisa
melangkah kesitulah aku pergi," demikian pikir Ciok-sing
pasrah pada kuasa Thian.
Tapi untung karena Hu Kian-seng tahu Ciok-sing pandai
berenang dan kuatir dia lari dari saluran di dasar empang yang
menembus keluar istana, di samping suruh panggil orang yang
pandai berenang, diapun suruh beberapa Wisu memburu
keluar istana untuk menjaga di mulut saluran serta
menangkapnya. Keributan disini ternyata menguntungkan
Ciok-sing berdua untuk sembunyi kian kemari.
Dengan memeluk In San terasa bobotnya semakin berat,
Ciok-sing sadar bahwa dirinya juga takkan kuat bertahan lama
lagi, karena tenaga sendiri juga semakin lemah. Mau tidak
mau dia menghela napas: "Mungkin kami takkan bisa lolos.
Untung mereka tidak berani melukai adik San, asal adik San
bisa hidup, biar aku mati juga tidak menjadi soal."
Terpaksa dia memilih ke arah tempat-tempat yang
bersemak belukar dan jarang didatangi orang, tanpa tujuan
asal terjang dan maju saja, tak lama kemudian, bukan saja In
San yang dipeluknya sudah tak kuasa diseretnya, otaknya juga
menjadi kosong dan berat, lambat laun kelopak mata sendiri
juga tak kuasa dibuka lagi.
Setelah dia mengitari dua gunungan, Japat-lapat dilihatnya
di depan ada gubuk yang dibangun dari tanah liat, bagaimana
mungkin didalam taman raja seperti ini terdapat sebuah gubuk
tanah liat" Hati merasa heran, namun dia tidak sempat
pikirkan keanehan ini. Hanya ingin tidur, tidur... Sebelum
mencapai gubuk tanah liat itu dia sudah tidak kuat lagi
mendadak dia tersungkur jatuh. In San masih berada dalam
pelukannya, seperti juga In San, tanpa dirasakan tahu-tahu
dia sudah tidur nyenyak.
1166 Ternyata mereka memang telah dikerjai oleh Cu Kian-sin
raja muda itu, tapi bukan terkena racun. Ternyata air teh yang
mereka minum itu memang sengaja diramu oleh tabib raja
yang khusus diperuntukkan Baginda Raja sendiri, kasiat teh itu
dapat menenangkan pikiran memulihkan semangat,
merupakan air teh yang membantu orang tidur pulas dalam
jangka tertentu menurut kadar yang diminumnya. Tapi tidak
membawa efek sampingan dan berbahaya, malah membantu
kesehatan badan.
Tahu bahwa dirinya malam ini akan tidur telat malam,
maka sambil kerja menyelesaikan urusan dinas di kamar
bukunya, kuatir dirinya terlalu lelah bekerja, Cu Kian-sin
suruhkan Thaykam menyeduh sepoci teh untuk membantu
tidurnya supaya lelap. Teh itu hendak diminumnya menjelang
tidur nanti malam, menghadapi kehadiran Ciok-sing berdua,
karena dia menaksir In San, maka tergerak pikirannya, maka
dia suguh air tehnya itu kepada In San.
Cukup lama juga mereka pulas, setelah tengah hari kedua
baru mereka siurnan dari tidurnya. Begitu membuka mata
mereka jadi kebingungan dan heran, ternyata mereka tidur
berdampingan di tumpukan jerami yang berserakan dalam
rumah kotor dan bobrok serta berbau najis kuda.
Sambil menepuk jidat Tan Ciok-sing berkata: "Aneh,
bukankah kita berada di Sia-hoa-wan. Kenapa bisa berada di
rumah petani" Tempat apakah ini?"
"Kelihatannya seperti didalam istal, jerami ini jelas adalah
makanan kuda," ujar In San.
"Keluarga petani mana mungkin menyimpan umpan kuda
sebanyak ini, mungkin kita masih berada di istal raja,"
demikian kata Ciok-sing.
"Toako, bagaimana perasaanmu" Kurasa semangatku baik
sekali. Bukankah semalam kita minum secangkir teh beracun
kenapa bisa begini?"
1167 "Akupun amat segar, sedikitpun tidak keracunan. Tapi aku
masih ingat tadi aku jatuh diluar, memangnya siapa yang
memindahkan kita didalam rumah?" dia coba kerahkan tenaga
memukul dan menendang, gerak kaki tangannya ternyata
menimbulkan deru angin sehingga tumpukan jerami tergetar
runtuh. Baru saja dia hendak keluar serta memeriksa keadaan
sekitarnya, dari luar telah masuk satu orang, dari
dandanannya menunjukkan bahwa dia seorang Thaykam tua.
Tan Ciok-sing berjingkrak, teriaknya: "Kau, kau siapa?"
"Jangan tegang," ucap Thaykam tua, "aku membantu
kalian. Aku she Ong, seorang Thaykam yang tugas sehariharinya
mengurus kuda dalam istana."
"O, jadi kaulah yang memindahkan kami kedalam rumah?"
tanya Ciok-sing.
"Betul, kulihat kalian jatuh diluar, aku kuatir kalian
kepergok kawanan Wisu maka kugotong masuk ke gudang
jerami ini. Bau najis kuda disini mungkin membuat mereka tak
sudi menggeledah kemari, tapi juga untung karena bau busuk
itulah sehingga jejak kalian tidak ketemu mereka."
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Barulah Tan Ciok-sing sadar bahwa Thaykam tua ini adalah
penolong jiwa mereka, lekas dia menjura menyatakan terima
kasih. In San bertanya: "Ong-kongkong, banyak terima kasih
akan budi pertolonganmu. Tapi kenapa kau sudi menyerempet
bahaya untuk menolong kami?"
"Karena aku adalah teman Siau-tat-cu," sahut Thaykam
tua. In San bingung, tanyanya: "Siapakah Siau-tat-cu?"
"Yaitu Thaykam kecil yang semalam bertemu dengan kalian
di Sim-hiang-ting itu."
Kejut dan girang Tan Ciok-sing dan In San, tanpa janji
mereka bertanya: "Jadi urusan kami, Siau-tat-cu sudah
1168 ceritakan kepadamu?" dalam hati mereka amat menyesali
akan kematian Thaykam kecil itu, berkorban setelah
menunaikan tugas mulia, tapi siapa namanya hakikatnya
mereka belum sempat tanya kepada dia.
Thaykam tua berkata: "Dia sih tidak cerita apa-apa
kepadaku. Tapi secara tidak langsung bolehlah dianggap dia
telah memberitahu kepadaku."
In San melongo, tanyanya: "Bagaimana maksudnya" Boleh
kau menjelaskan kepada kami?"
"Aku memang akan bercerita lebih jelas kepada kalian. Ai,
teringat pada Siau-tat-cu, aku jadi perih hatiku, kalau kalian
anggap aku tidak cerewet, biarlah aku bercerita sejak
permulaan."
"Ong-kongkong," ujar ln San, "aku memang ingin tahu
lebih banyak perihal Siau-tat-cu."
"Waktu Siau-tat-cu masuk ke istana, dia baru berusia dua
belas tahun," demikian Thaykam tua mulai bercerita,
"mungkin kami berjodoh, Thaykam urusan pekerja suruh aku
pimpin dia melakukan kerja serabutan, akupun disuruh
memberi petunjuk tentang adat istiadat serta aturan-aturan di
istana kepadanya."
"Kami sama-sama dari keluarga miskin, tidak lama
hubungan kami sudah seperti sanak kadang sendiri. Dia
menganggap aku kakek akupun memandangnya sebagai
cucu." "Belakangan karena dia giat bekerja dan rajin belajar, suatu
hari Baginda Raja ketarik padanya serta mengangkatnya
sebagai Thaykam yang melayaninya dari dekat. Akupun
memperoleh manfaat karena dia telah naik pangkat. Sehingga
aku ditugaskan sebagai pemelihara kuda di istal kerajaan ini.
Bagi orang lain tugas ini mungkin dianggap kotor dan rendah,
tapi bagi aku justru tugas disini lebih bebas dan
menyenangkan dari pada di istana dalam, setiap hari dihina
1169 dan diperlakukan semena-mena seperti binatang layaknya
oleh Thaykam urusan kerja yang kereng dan jahat itu."
"Bagi orang lain Siau-tat-cu dianggap naik ke pucuk tangga,
tapi dia tidak pernah melupakan asalnya, sering juga dia
datang ke istal menengok aku dan sering mengajak ngobrol.
"Semalam diapun datang pula, dia malah ajak aku
menghabiskan beberapa cangkir luak. Pada hal selama ini tak
pernah dia minum minuman keras, baru semalam pertama kali
aku saksikan, dia minum sebanyak itu. Kulihat sikap dan
mimiknya agak aneh dan janggal, aku tanya kau ada urusan
atau ada persoalan apa yang mengganjel hatinya. Tapi dia
tidak mau menjelaskan. Dia hanya bilang, bila dia mengalami
sesuatu, dia minta aku jangan sedih."
"Sudah tentu timbul rasa curigaku, begitu dia meninggalkan
istal aku lantas menguntitnya diam-diam. Terus terang akupun
pernah belajar silat. Belasan tahun berada di istana, meski
memejam mata juga aku bisa mondar mandir di Sia-hoa-wan.
Dari kejauhan aku menguntitnya tanpa diketahui oleh
siapapun, termasuk kawanan Wisu yang jaga dan ronda.
"Kulihat dia menyelinap masuk ke sebuah gua gunungan,
aku tahu gua itu menembus ke Sim-hiang-ting, baru saja aku
hendak mengikuti jejaknya, tiba-tiba kulihat seorang Wisu
telah mendahului aku menyusup kedalam gua itu pula, saking
kaget aku sampai kebingungan dan menyembunyikan diri,
niatku semula kubatalkan.
"Tapi lapat-Iapat masih sempat juga kusaksikan keadaan
didalam Sim-hiang-ting dari kejauhan."
"Kulihat dua bayangan besar laksana burung terbang
melesat masuk kedalam Sim-hiang- ting, tentunya bayangan
itu adalah kalian bukan?"
"Betul, kedua bayangan itu adalah kami," ucap Tan Cioksing,
"akulah yang membunuh Wisu itu. Ai, tapi Siau-tat-cu,
1170 dia, dia..." teringat betapa Siau-tat-cu gugur demi tugas, tak
urung berkaca-kaca air mata di kelopak matanya.
Thaykam tua berkata lebih lanjut: "Semua itu kusaksikan
dengan mata kepalaku sendiri. Setelah kalian pergi, dengan
membesarkan hati aku juga menyusup kedalam gua,
kutemukan mayat Wisu itu tapi juga kutemukan Siau-tat-cu
rebah di atas tanah, sebuah belati menancap di dadanya.
Kuraba dia seperti masih hangat dan pernapasannya amat
lemah, entah dia sudah mati atau sudah sekarat."
Diam-diam Tan Ciok-sing amat menyesal, pikirnya: "Kukira
dia sudah mati, namun aku tidak seteliti orang tua ini
memeriksanya," yang benar, meski dia tahu Siau-tat-cu belum
mati, juga dia takkan berhasil menolongnya. Apalagi waktu
amat mendesak, mereka lebih perlu menemui raja lebih cepat.
Thaykam tua bercerita pula: "Pelan-pelan kucabut belati itu
serta membubuhi obat di tempat lukanya, meski aku takkan
bisa menolong jiwanya, betapapun aku harus berusaha.
Sebelum aku berhasil mencabut belati itu, ternyata Siau-tat-cu
telah siuman, pelan-pelan dia membuka mata..."
"Oh, jadi, dia tidak mati," seru In San.
"Dia siuman karena rasa kesakitan yang luar biasa, namun
keadaannya memang sudah teramat lemah," demikian tutur
Thaykam tua. Rasa girang In San seketika sirna pula.
"Setelah membuka mata dan melihat jelas diriku, dia
berkata: 'Jiwaku telah tak tertolong lagi, jangan kau menyianyiakan
tenagamu, lekaslah dengarkan beberapa patah
pesanku.' Waktu itu aku maklum keadaannya yang sudah
teramat kritis, di saat dia bisa bicara segera aku tanya
kepadanya: 'Siapakah yang mencelakai kau" Lekas beritahu
padaku.'" 1171 "Siau-tat-cu berkata: 'Muda mudi itu bukan pembunuh,
mereka adalah orang baik, bila mereka mengalami kesulitan,
bila kau mampu dan bisa, kuharap kau sudi menolong...'
suaranya semakin lirih dan lemah, pada akhir katanya kelopak
matanyapun terpejam, kali ini dia betul-betul meninggal."
"Dia bunuh diri karena membantu kami," kata In San. Lalu
dia ceritakan kejadian semalam.
"Tanpa kau jelaskan aku juga tahu bukan kalian yang
membunuh Siau-tat-cu, kalau tidak sebelum ajalnya, masakah
dia mau mohon pertolonganku untuk membantu kalian"
Apalagi aku sudah tahu bahwa kalian orang baik, bukan
lantaran cerita Siau-tat-cu baru mau percaya pada kalian."
"Darimana kau tahu?" tanya In San heran.
Thaykam tua itu berkata: "Nona In, kakekmu adalah Buconggoan
ln Jong dari dynasti yang dahulu dan ayahmu ln
Tayhiap In Hou bukan?"
In San paham seketika, katanya: "Agaknya kau dengar
pembicaraan kawanan Wisu yang membicarakan diriku?" pada
hal dia belum menjelaskan asal-usul dirinya kepada Thaykam
kecil yang bunuh diri itu.
Thaykam tua lantas berkata: "Betul, di waktu aku
menyusup kcdalam gua itu kudengar ribut-ribut kawanan Wisu
yang hendak menangkap pembunuh, tak lama kemudian
jenazah Siau-tat-cu dan Wisu itupun kutemukan. Untung
mereka mengira pembunuh itu yang membunuh mereka, bila
sampai diusut, biasanya Siau-tat-cu berhubungan dengan aku,
mungkin aku bisa kena perkara. Kudengar mereka kasak
kusuk, seorang Wisu yang mendengar kabar memberitahu
kepada temannya, katanya Hu-congkoan sudah berpesan, bila
kalian menemukan pembunuh perempuan itu, dilarang
mengusik seujung rambutnya. Dari pembicaraan mereka itulah
aku tahu asal-usul nona ln."
1172 "Semasa kakekmu hidup aku pernah melihatnya, mungkin
mereka tidak tahu adanya Thaykam tua macam diriku ini, tapi
aku justru tahu kesetiaan mereka terhadap negara. Bicara
terus terang, pembesar-pembesar jaman sekarang siapa yang
patut kupuji dan kusanjung, aku hanya pengagum mereka
ayah beranak."
"Nona ln, setelah tahu asal-usulmu, meski Siau-tat-cu tidak
berpesan kepadaku, aku pasti akan membantu kesulitan
kalian. Memangnya putri In Tayhiap bukan orang baik" Begitu
aku berpikir. Kau orang baik, maka orang yang datang
bersamamu memang harus kuragukan pula?"
"Waktu itu hatiku gugup setengah mati, dengan cara apa
baru aku bisa menolong kalian" siapa tahu kejadian justru
amat kebetulan, begitu aku kembali kutemukan kalian pulas
diluar kandang kuda. Untung kawanan Wisu belum memeriksa
sampai disini, maka bergegas aku sembunyikan kalian ke
gudang jerami."
Habis Thaykam tua bercerita. Tan Ciok-sing lantas berkata:
"Ong-kongkong, sungguh tak tahu cara bagaimana aku harus
berterima kasih kepada kau, aku kuatir urusan bisa membuat
celaka." "Kalau Siau-tat-cu berani gugur demi membantu kalian,
memangnya aku harus takut mati" Apalagi kini aku sudah tahu
kedatangan kalian kemari adalah menyelesaikan urusan besar
menyangkut kepentingan negara dan bangsa, bila aku bisa
gugur demi kesuksesan kalian, terhitung tidak sia-sia hidupku
selama ini."
"Jangan berkata demikian, Siau-tat-cu sudah berkorban,
betapapun kau tidak boleh ikut berkorban. Tolong carikan apa
saja yang dapat kami makan, setelah tenaga pulih kami akan
segera keluar."
"Coba lihat, betapa cerobohku ini, bicara melulu sampai
lupa menyiapkan makanan, pada hal semalam suntuk kalian
1173 belum mengisi perut."--Tak lama kemudian dia sudah kembali
membawa sepiring bakpau, katanya pula: "Harap dimaafkan
tiada makanan lain yang bisa kusuguhkan untuk kalian."
Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Ah, ini justru hidangan
lezat yang belum pernah kunikmati selama ini."
Setelah menghabiskan tiga bakpau, In San coba-coba
menggerakkan kaki tangan, katanya kepada Tan Ciok-sing
dengan tertawa: "Toako, teh yang semalam kita minum itu
agaknya memang tidak beracun, tenagaku sekarang tiada
bedanya dengan keadaan semula. Mari kita cari akal untuk
lolos keluar."
Lekas Thaykam tua menyela: "Jangan kalian coba
menyerempet bahaya."
"Bagaimana keadaan diluar?" tanya In San.
Thaykam tua tertawa getir, ujarnya: "Setelah kejadian
semalam, penjagaan jelas diperketat. Kawanan Wisu dibagi
dalam tiga regu untuk meronda setiap waktu, jumlahnyapun
diperbesar. Terutama di Sia-hoa-wan, setiap pelosok ada
orang sembunyi mengintip keadaan sekelilingnya. Seekor lalat
terbangpun pasti konangan."
ln San jadi gelisah, katanya: "Wah, bagaimana" Liokpangcu,
Lim Tayhiap, Toan-toako dan lain-lain sedang
menunggu kabar kami, bila kami tidak kembali dalam waktu
yang ditentukan betapa kuatir hati mereka."
"Apa boleh buat, terpaksa kalian harus sabar menunggu
beberapa hari. Bila keadaan sudah kendor aku akan bantu
kalian keluar dari sini," demikian kata Thaykam tua.
In San menghela napas, katanya: "bila Han Cin disini, pasti
kita punya akal untuk keluar."
Tan Ciok-sing tersentak sadar, katanya: "Aku punya akal,
mari kita coba."
1174 "Akal apa?" tanya In San.
"Untuk ini, kami mohon Ong-kongkong suka membantu."
"Katakan saja, bila aku bisa melakukan, tugas apapun akan
ku laksanakan."
"Tolong usahakan seperangkat seragam Wisu dan pakaian
Thaykam kecil."
"Itu mudah, tapi besok baru aku bisa menyiapkan
permintaan kalian ini."
"Toako," seru In San girang, "jadi Han-cici juga
mengajarkan tata rias itu kepadamu."
"Belum sempurna apa yang pernah kupelajari, mumpung
sekarang diperlukan, biarlah kupratekkan pada dirimu, apalagi
malam gelap yakin kebolehanku masih bisa mengelabuhi
mereka." Thaykam tua berkata: "Tapi cara bagaimana kalian bisa
keluar dari pintu istana" Menurut apa yang kutahu Hucoangkoan
sudah mengeluarkan perintah keras, siapa saja
dilarang keluar istana, kecuali membawa dua benda
pengenal."
"Kedua benda pengenal apa?" tanya Ciok-sing.
"Pertama adalah perintah langsung dari Baginda Raja
dengan cap kerajaan, atau membawa lencana perintah yang
dikeluarkan oleh Hu-congkoan. Itu berarti hanya Baginda Raja
dan Hu-congkoan saja yang boleh memberi izin orang keluar
masuk istana."
Kedua benda yang diperlukan ini jelas tidak mungkin
mereka peroleh, Tan Ciok-sing berkata: "Tak usah pedulikan
soal ini, carikan dulu seragam yang kuperlukan itu."
Hari kedua Thaykam tua membawa dua perangkat pakaian
yang cocok dengan perawakan mereka, maka Tan Ciok-sing
segera merias In San dan diri sendiri menjadi bentuk yang
1175 berbeda, hari itu juga In San mulai belajar tingkah laku dan
tata krama para Thaykam kepada Thaykam tua. Malamnya
mereka berunding cara bagaimana mereka harus
menyelundup keluar dengan aman, Thaykam tua tetap
menganjurkan supaya mereka tidak menyerempet bahaya.
Tiba-tiba Tan Ciok-sing berkata: "Kau tahu dimana tempat
tinggal Hu-congkoan?"
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tahu," sahut Thaykam tua, "dia sih tidak seperti baginda
harus setiap malam berpindah tempat menginap."
"Kalau demikian, lebih mudah untuk mencarinya, Ongkongkong,
tolong jelaskan dimana tempat tinggalnya, cara
bagaimana kami bisa kesana?"
Mereka menyamar Wisu dan Thaykam kecil, malam itu
kebetulan gelap gulita, di Sia-hoa-wan mereka bisa
menggeremet maju terus dengan sembunyi di antara rumput
kembang dan semak-semak pepohonan, untunglah sejauh
mana mereka tidak dipergoki orang. Setiba di tempat sepi dan
tidak kelihatan ada bayangan orang, In San tanya dengan
suara lirih: "Kau hendak minta lencana itu dari Hu Kian-seng
secara kekerasan?"
"Ya, kemarin malam dia terluka, yakin bukan tandingan
kita. Nanti kita bertindak melihat gelagat, syukur bisa kita curi
lencana itu, kalau gagal kita bekuk dia sebagai sandera."
"Betul," ucap In San, "tanpa masuk sarang harimau mana
dapat membekuk anak macan. Toako langkah caturmu ini
sungguh tepat sekali."
Setelah maju pula beberapa kejap sesuai petunjuk
Thaykam tua, mereka sudah tak jauh dari tempat kediaman
Hu Kian-seng. Di belakang rumah terdapat sebuah pohon tua
tingginya melebihi tembok Tan Ciok-sing pusatkan
perhatiannya mengawasi sekelilingnya, di sekitar rumah jelas
tidak ada penjaga. Mungkin karena takabur akan kepandaian
sendiri yang dianggap tiada bandingan, demi membuktikan
1176 kesetiaannya kepada Baginda pula, maka seluruh anak
buahnya dia kerahkan untuk membekuk pembunuh semalam.
Setelah memutar ke belakang rumah, Ciok-sing
kembangkan Ginkangnya melompat tinggi ke pucuk pohon,
hawa seperti membeku, dahan tidak bergoyang, sekali
melambung lagi kakinya sudah menggantol payon terus
ditekuk pula melingkar ke atas sehingga tubuhnya teralingaling,
dengan gaya kerai menjuntai tubuhnya bergelantung
mengintai kedalam.
Didalam rumah tampak Hu Kian-seng tengah duduk
setengah tidur di ranjang bicara dengan seseorang. Orang itu
adalah Tiangsun Co, perlu diketahui Tiangsun Cau masuk ke
istana kemarin malam, kira-kira hampir bersamaan waktunya
dengan Tan Ciok-sing berdua di kala mereka menyelundup
masuk. "Ternyata keparat ini belum pergi, biar kucuri dengar
pembicaraan mereka," demikian batin Tan Ciok-sing.
Didengarnya Tiangsun Co sedang berkata: "Bagaimana
keadaan Hu Tayjin" Lantaran persoalanku sampai Hu Tayjin
terluka, sungguh aku jadi tidak enak hati."
H u Kian-seng tertawa tergelak-gelak, katanya: "Kan hanya
luka luar saja, kenapa dibuat kapiran" Paling lama dua hari
juga pasti sudah sembuh. Aku tak mampu membantu
menyelesaikan urusan Pwecu, justru akulah yang kurang
enak.'" Dari nada tawanya dapatlah Tan Ciok-sing mengukur
kekuatan Lwekangnya, ternyata memang berisi, mau tidak
mau bercekat hatinya, pikirnya: "Lwekang keparat ini memang
luar biasa, secepat itu dia sudah pulih kembali. Untung aku
tidak bertindak gegabah."
Tiangsun Co berkata: "Hu Tayjin, jangan kau berkata
demikian, aku tahu kau sudah bekerja giat dan mati-matian
untuk kepentinganku, aku hanya heran..."
1177 "Heran soal apa?"
"Heran, kenapa rajamu kelihatan ragu-ragu" Bukankah kau
pernah bilang, kau paham dan mengerti kemana hati rajamu
berkiblat, katanya dia mau berdamai dengan pihak kita."
Hu Kian-seng tidak segera menjawab, katanya kemudian:
"Apa saja yang dijanjikan Baginda kepada kau, bolehkah kau
jelaskan kepadaku?" seperti diketahui pada malam kejadian itu
Tiangsun Co gagal menemui Cu Kian-sin, karena gugup dan
kaget serta ketakutan sang raja minum obat penenang dan
sehari semalam tidur pulas tidak bangun-bangun, baru hari ini
dia dipanggil menghadap.
"Sejak mula rajamu bilang mau berdamai, tapi soal konsep
perdamaian itu dia bilang ingin mempelajarinya lagi lebih
seksama. maka tidak bisa segera memberi jawaban positip.
Kelihatannya ada apa-apa yang menjadi ganjelan pikirannya
tapi aku sungkan mendesaknya."
"Memangnya, dua hari yang lalu tindak-tanduknya masih
gamblang, malah dia memuji Liong Bun-kong kali ini bekerja
dengan baik dan sesuai mencocoki seleranya. Entah kenapa
mendadak berubah haluan dan bimbang" Em, mungkin
lantaran dia ketakutan oleh pembunuh gelap itu?"
"Sebetulnya urusan gara-gara kalian bertindak kurang hatihati,"
demikian ucap Tiangsun Co, "kenapa pembunuh gelap
dibiarkan menyelundup kedalam istana."
Hu Kian-seng tertawa nyengir, katanya: "Selanjutnya
kujamin takkan terjadi lagi peristiwa seperti itu."
"Bicara soal itu pula. Aku tidak percaya gara-gara
kedatangan pembunuh gelap itu, rajamu lantas merubah
haluan. Mungkin tidak ada sebab lainnya" Coba kau pikirkan."
"Sukar aku menerkanya," ucap Hu Kian-seng gelenggeleng.
1178 Mereka tidak tahu latar belakang persoalannya, tapi Tan
Ciok-sing tahu seluk beluknya. Diam-diam dia merasa senang
setelah mendengar pembicaraan ini, pikirnya: "Sesuai dugaan
Kim-to Cecu, asal kami teguh melawan musuh baginda lalim
itu, mau tidak mau harus berpikir dua belas kali, apa lagi
setelah kubentangkan untung dan ruginya liku-liku persoalan
ini, sedikit banyak bujukanku membawa hasil juga."
Sesaat kemudian didengarnya Hu Kian-seng berkata pula:
"Tiangsun Pwecu, kapan kau bisa bertandang ke tempatku ini,
mumpung ada kesempatan menginaplah sehari lagi, setelah
pembunuh berhasil kuringkus, kami tunggu kesempatan, akan
kuusahakan mengorek keterangan dari Sribaginda."
Dingin nada perkataan Tiangsun Co: "Aku justru tidak
punya banyak tempo menunggu jawabanmu. Terus terang
selama dua hari ini aku sudah sebal dan bosan disekap dalam
istana ini, gerak-gerikku seperti terbelenggu saja. Kalau siang
aku maklum tak leluasa keluyuran diluar, tapi malam ini aku
akan keluar. Sekarang aku ingin pamitan kepada kau." Perlu
diketahui meski Tiangsun Co adalah tamu agung undangan Hu
Kian-seng, namun kejadian ini dia hanya berani beritahu
kepada beberapa orang kepercayaannya saja.
Lekas Hu Kian-seng minta maaf, katanya: "Dua hari ini aku
terpaksa harus istirahat menyembuhkan luka-lukaku, sehingga
tidak bisa menemani Pwecu, mohon suka dimaafkan. Bila
Pwecu ingin jalan dan pelesir, aku sih bisa mencari akal dan
memberi fasilitas padamu."
Sikap Tiangsun Pwecu tidak sabar lagi, tukasnya:
"Kedatanganku ini bukan ingin jalan di Sia-hoa-wan, ketentuan
yang sudah kami ikrarkan bersama sudah melampaui batas
waktunya. Maka malam ini betapapun aku harus pulang."
Pada hal Hu Kian-seng sendiri juga kuatir bila tamunya
terlalu lama disini, bukan mustahil intriknya dengan pihak
musuh bisa terbongkar, maka dia berkata: "Kalau Pwecu
memaksa ingin pulang, akupun tidak memaksa lagi. Lencana
1179 dinas ini boleh Pwecu simpan untuk digunakan bila kau mau
keluar istana, cukup kau perlihatkan lencana ini kepada para
penjaga, mereka tidak berani menahanmu. Lebih baik kau
keluar dari pintu barat, Wisu yang dinas jaga disana malam ini
adalah orang kepercayaanku."
"Bagaimana aku harus keluar?" tanya Tiangsun Pwecu
sambil menerima lencana dinas.
"Tak usah kuatir, sebentar kusuruh orang mengantarmu ke
pintu barat," kepalanya tertunduk memikirkan siapa yang
cocok untuk menunaikan tugas ini.
Sementara Tan Ciok-sing juga mencari akal, cara
bagaimana dia harus merebut lencana dinas yang dipegang
Tiangsun Co. Pada saat itulah mendadak didengarnya Hu Kian-seng
membentak: "Siapa diluar."
Tan Ciok-sing kaget, dia kira jejaknya konangan. Baru saja
dia hendak menerjang keluar, syukur seseorang telah
menjawab dibalik luar: "Baginda ada perintah, Li Tiong-si
kemari menyampaikan firman."--Legalah hati Tan Ciok-sing,
pikirnya: "Untung aku tidak gegabah."
Ternyata dalam mengadakan pembicaraan rahasia di kamar
ini sebelumnya Hu Kian-seng sudah berpesan kepada anak
buahnya. Kecuali mendengar suaranya, siapapun tidak
diperbolehkan naik ke loteng. Maka begitu mendengar langkah
orang segera dia membentak tanya. Kini mendengar ada
firman baginda, sudah tentu ketentuannya itu menjadi
tumbang. Diam-diam Hu Kian-seng bimbang: "Kenapa Baginda
mengirim firmannya dalam saat begini entah ada urusan
penting apa?" Lekas dia mengenakan seragam kebesarannya
serta merambat turun dari pembaringan, berdiri tegak,
menyambut perintah raja.
1180 Tiangsun Co berbisik: "Apa aku perlu menyingkir?"
Hu Kian-seng berpikir: "Baginda sudah tahu akan
kedatangan Tiangsun Co disini."
Maka dia berkata: "Merendahkan Pvvecu saja, boleh kau
pura-pura jadi pengawalku, entah bagaimana bunyi firman itu,
mungkin..." sampai disini dilihatnya Wisu yang jaga diluar
sudah membuka pintu serta menyilahkan seorang Thaykam
kecil yang membawa firman raja masuk ke kamarnya.
Hu Kian-seng berlutut menerima firman raja, Thaykam kecil
berkata: "Congkoan Tayjin tak usah banyak adat Sri Baginda
suruh aku kemari mengundang seseorang, segera juga aku
harus kembali memberi laporan."
Mendengar Thaykam kecil "mengundang", legalah hati Hu
Congkoan, tanyanya: "Entah siapa yang diundang Baginda?"
Tidak segera membaca firman Baginda. Thaykam kecil itu
malah menuding Tiangsun Co dan berkata: "Bukankah dia ini
Tiangsun Pwecu dari negeri Watsu yang tempo hari juga
datang kemari?"--Tiangsun Co memang mengenakan mantel
bulu musang, dandanannya memang jauh berbeda dengan
kawanan Wisu. Mengira dugaannya tidak meleset, lekas Hu Kian-seng
berkata: "Pandangan Li-kongkong memang tajam, betul, dia
memang Tiangsun Pvvecu."
Thaykam kecil itu tertawa, ujarnya: "Kiranya Pwecu
memang masih disini, tumben aku membuang banyak waktu.
Baginda suruh aku kemari mengundang Tiangsun Pwecu."
Tiangsun Pwecu lantas membusung dada sambil bertolak
pinggang, katanya sambil angkat kepala: "Untung kau datang
lebih dini, aku sudah siap pulang. Untuk apa pula Bagindamu
mengundangku?"
"Hamba tidak tahu. Mohon Pwecu suka memerlukan diri
memenuhi undangan Baginda."
1181 Tan Ciok-sing yang mencuri dengar diluar, tiba-tiba
memperoleh sebuah akal. Di kala Hu Kian-seng membungkuk
mengantar Thaykam kecil dan Tiangsun Pwecu keluar, diapun
menjejak kaki di atas dahan, tubuhnya melambung tinggi
jumpalitan dua kali di tengah udara melampaui pucuk pohon
terus melayang turun secara diam-diam.
Thaykam kecil itu membawa Tiangsun Pwecu menyusuri
jalanan kecil didalam taman kembang yang berliku-liku ke
arah timur, maklum tamu asing ini diundang secara diamdiam,
meski dia tidak takut kepergok oleh kawanan Wisu,
namun dia merasa perlu hati-hati dan menghindari kesulitan.
Di tempat yang sepi sana, tampak bayangan Tan Ciok-sing
dan In San keluar dari semaksemak. Tan Ciok-sing menyamar
sebagai Wisu, Thaykam kecil itu kira dia hendak mencegat
jalan dan menanyai, segera dia membentak lebih dulu:
"Kurang ajar, memangnya kau tidak tahu siapa aku" Lekas
enyah." Belum lenyap suaranya, Tan Ciok-sing dan In San sudah
turun tangan lebih dulu. In San tertawa mengejek: "Aku tahu
siapa kau, sayang justru kau tidak tahu siapa aku," di tengah
tawa dinginnya itu, secepat kilat dia menutuk Hiat-to Thaykam
kecil. Tiangsun Co adalah jago silat kosen meski kejadian teramat
mendadak, betapapun dia tidak semudah Thaykam kecil itu,
sekali gerak lantas tertawan, maka terdengar suara "Pak"
secara reflek dia menyerang dengan Im-ciang secara terbalik
untuk melawan tutukan jari Tan Ciok-sing, terasa telapak
tangannya sakit kesemutan, baru saja mulutnya terpentang
hendak menggembor, tiba-tiba selarik sinar kilat menyamber
di depan mata, tahu-tahu ujung pedang Tan Ciok-sing telah
mengancam tenggorokannya, dengan ilmu mengirim suara
gelombang panjang dia melintir suaranya ke telinga lawannya:
"Masa kau tidak mengenalku lagi, akukan Tan Ciok-sing.
Berani kau bersuara, segera kutamatkan riwayatmu disini."
1182 Bukan kepalang kaget Tiangsun Co, memang dia tidak
berani bersuara, dan berkutik lagi ujung pedang Tan Ciok-sing
telah mengancam tenggorokan, dan sekali tutul dengan ujung
pedangnya itu Hiat-tonya telah ditutuk.
In San membantunya menyeret tubuh mereka kedalam gua
buatan, Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Terpaksa kita harus
ganti pakaian lagi."
In San tahu maksudnya, katanya: "Betul, biar aku
menyamar jadi Thaykam kecil dan kau menyaru jadi Tiangsun
Co," segera dia memutar tubuh membelakangi diri supaya Tan
Ciok-sing membelejeti pakaian Tiangsun Co dan Thaykam
kecil. Tiba-tiba didengarnya Tan Ciok-sing berkata dengan
tertawa riang: "Ha, sungguh kebetulan. Aku menemukan
sebuah mustika."
Tanpa merasa In San menoleh, dilihatnya Tan Ciok-sing
sedang membuka baju luar Thaykam kecil serta mengambil
sebuah benda dari dalam kantong bajunya, lekas In San maju
dua tindak sambil tanya: "Mustika apa?"
"Mustika lebih berharga dari lencana dinas milik Hu Kianseng,"
ucap Tan Ciok-sing.
In San segera sadar, serunya: "Apakah cap kerajaan
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Baginda?" "Ya, boleh juga dianggap sebagai firman raja, karena inilah
surat perintah baginda untuk mengantar orang keluar istana
yang distempel cap keTajaan."
Kiranya kali ini Tiangsun Co dipanggil oleh Cu Kian-sin
untuk menyilakannya keluar istana. Cu Kian-sin tidak berani
menanda tangani perjanjian damai itu, tapi dia ingin
menyampaikan beberapa patah kata kepada Tiangsun Co,
serta memberi hadiah beberapa macam barang berharga, lalu
akan menyuruh Thaykam kecil itu mengantarnya keluar istana.
1183 Surat perintah itu sudah ditulisnya lebih dulu, untuk menjaga
bila terjadi sesuatu dan dia tidak sempat menemui Tiangsun
Co masih tetap bisa pulang. Yang benar, Cu Kian-sin sendiri
memang tidak senang kalau Tiangsun Co terlalu lama berada
di istana. Habis ganti pakaian, kembali Tan Ciok-sing perlihatkan
kebolehannya merias diri sendiri menjadi Tiangsun Co, walau
dalam saat mendesak, persiapan terlalu tergesa-gesa,
sehingga penyamarannya tidak begitu mirip, tapi dia yakin
orang-orang di istana ini yang pernah melihat Tiangsun Co
tidak banyak, para Wisu dalam istana ini paling hanya
beberapa gelintir saja yang pernah melihatnya, malam ini
mereka belum tentu dinas jaga lagi. Dengan membekal surat
perintah Baginda lagi, untuk keluar istana pasti tidak akan
mengalami banyak kesulitan. Tapi dalam benaknya masih ada
sesuatu ganjalan yang belum terlampias, langkah yang sudah
digerakan tiba-tiba berhenti lagi.
In San melengak, tanyanya: "Toako, kenapa tidak lekas
berangkat?"
Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Jelek-jelek kita pernah
diterima dan dilayani Baginda Raja, kalau pergi tanpa pamitan
kurang hormat. Maka kupikir akan kuminta tolong kepada
Thaykam kecil ini untuk mengirim kabar padanya," lalu dia
sobek pakaian dalam Thaykam kecil yang kebetulan terbuat
dari sutra putih, di atas cuilan kain inilah dia meninggalkan
pesannya dengan darah.
Dengan ujung pedangnya dia tusuk jari tengah Tiangsun
Co sehingga keluar darah, dengan darah Tiangsun Co inilah
dia menulis pesannya di atas kain sutra itu. Karena Hiat-to
tertutuk Tiangsun Co tidak mampu bergerak atau bersuara,
namun saking kesakitan tubuhnya bergetar.
Di atas sutra putih itu Tan Ciok-sing menulis demikian:
"Harap Baginda tidak lupa akan perjanjian tiga bulan.
1184 Mengkhianat dan ingkar janji tidak akan memperoleh
pengampunan Thian Yang Maha Kuasa."
"Bagus," In San tepuk tangan,
"Sejak dulu kala, kapan seorang baginda pernah menerima
tulisan darah yang menuntut peri kemanusiaannya. Yakin Cu
Kian-sin bocah itu akan ketakutan setengah mati."
Tan Ciok-sing menggulung kain sutra itu serta diikat dan
dijirat di leher Thaykam kecil, setelah itu dia gandeng ln San
keluar dari gua gunungan.
"Jangan kita menuju ke pintu barat," In San memberi ingat.
"Betul, Hu Kian-seng suruh Tiangsun Co keluar dari pintu
barat, biarlah kita keluar dari arah yang berlawanan saja."
Tujuh di antara sepuluh penjaga di pintu timur adalah
anggota Gi-lim-kun, tiga yang lain adalah anak buah Hu Kianseng
dari kesatuan Bhayangkari. Mereka atau ketiga Wisu itu
bukan kepercayaan Hu Kian-seng, mereka belum punya hak
dan tidak setimpal menyambut atau melayani para tamu Hu
Kian-seng. Tapi mereka tahu bahwa komandan mereka Hu
Kian-seng pernah menerima seorang tamu agung dari negeri
Watsu secara diam-diam.
In San acungkan surat perintah Baginda itu kepada
pemimpin barisan jaga pintu serta membentak: "Atas perintah
Baginda aku disuruh mengantar tamu. lekas siapkan kereta."
Umumnya para Thaykam itu sudah dikebiri, maka nada
suaranya mirip perempuan, In San ternyata cukup mahir
memerankan sandiwara ini. Ternyata pemimpin barisan jaga
pintu kota itu percaya begitu saja, maklum diapun tidak kenal
Thaykam kecil yang biasa melayani Sri Baginda, setelah
memeriksa surat perintah, tanda tangan dan cap kerajaan,
segera dia perintahkan anak buahnya menyiapkan kereta.
Satu di antara Wisu yang jaga pada saat itu pernah melihat
Tiangsun Co. Dari samping dia pandang perawakan tubuh Tan
1185 Ciok-sing tidak mirip Tiangsun Co, mau tidak mau timbul
rasa curiganya. Tapi dia tidak pernah disuruh melayani
Tiangsun Co dan dekat, tapi sebagai Wisu pesuruh yang sering
disuruh mondar mandir menyampaikan perintah, dari
kejauhan dia pernah melihat Tiangsun Co sekali. Meski hati
agak curiga, namun dia tidak berani yakin bahwa Tan Cioksing
ini adalah samaran. Akhirnya dia membesarkan nyali
bertanya: "Apakah tuan besar ini adalah tamu agung
undangan Hu-congkoan beberapa hari yang lalu, entah
apakah Congkoan Tayjin juga sudah tahu..."
Sebelum orang bicara habis, In San sudah membentak:
"Kurang ajar, kau ini barang apa, berani tanya asal-usul tamu
Baginda." Wisu itu munduk-munduk sambil menyengir, katanya:
"Hamba tidak berani. Maksud hamba hanya ingin
menyampaikan sembah sujud dan salam hormat Congkoan
kami kepada tamu kita."
"Hmm," In San menjengek, "memangnya perlu kau menjilat
pantat." Diam-diam Tan Ciok-sing sudah keluarkan lencana dinas itu
dan dibanting di hadapan Wisu itu tanpa bersuara.
In San tertawa dingin pula, katanya: "Agaknya kalian masih
tidak percaya akan perintah raja yang distempel cap kerajaan"
Nah, buka mata anjing kalian, coba periksa apakah itu lencana
dinas komandanmu yang tulen?"
Tersipu-sipu Wisu itu pungut lencana dinas itu serta
mengembalikan kepada Tan Ciok-sing dengan kedua
tangannya, katanya dengan tawa menyengir kikuk: "Bukan
begitu maksud hamba. Memang hamba tidak pantas cerewet,
harap Pwecu tidak berkecil hati."
Pemimpin barisan jaga itu sudah memeriksa perintah raja
dan terbukti lencana dinas itupun bukan palsu, mana berani
dia bercuit lagi, segera dia siapkan dua ekor kuda, Tan CiokTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
1186 sing dan In San juga tidak banyak ribut, segera cemplak ke
punggung kuda terus dibedal keluar istana.
Setelah mereka pergi kawanan Wisu itu saling pandang dan
merasa heran dan bingung, yang cerewet tadi segera
menghampiri pemimpin barisan jaga serta berkata: "Ma-tokwi,
kurasa urusan agak janggal."
"Apanya yang janggal" Surat perintah itu aku yakin bukan
palsu, memangnya lencana dinas itu bukan tulen?"
"Perintah raja dan lencana dinas itu memang tulen, tapi
orangnya yang palsu."
Ma-tokwi atau pemimpin barisan jaga itu kaget, tanyanya:
"Dari mana kau berani bilang begitu?"
"Pangeran Watsu itu pernah aku melihatnya sekali, wajah
dan perawakannya tidak mirip dengan orang tadi. Apalagi
hanya Thaykam kecil saja yang bicara dengan kita, hakikatnya
tamu itu tidak pernah buka suara."
Ma-tokwi bukan pemimpin goblok, soalnya dia kebingungan
setelah melihat firman raja sehingga pikirannya tidak tenang,
kini setelah diingatkan baru sadar, katanya: "Kecurigaan
memang masuk akal, mungkin dia kuatir kita dengar logatnya
bukan orang Watsu, maka dia tidak berani buka suara."
Wisu itu berkata: "Tulen atau palsu sukar ditebak, lebih
baik lekas laporkan kepada Komandan untuk mengejarnya?"
Ternyata komandan pasukan Bhayangkari Bok Su-kiat
sedang meronda tidak jauh dari tempat itu.
Sementara itu Tan Ciok-sing dan In San mencongklang
kudanya melewati dua jalan raya, tiba-tiba didengarnya di
belakang ada kuda dilarikan kencang mengejar datang,
seorang yang terdepan berteriak: "Tiangsun Pwecu, harap
tunggu sebentar, aku adalah Bok Su-kiat."
1187 Bok Su-kiat kenal baik dengan Tiangsun Co, sudah tentu
Tan Ciok-sing tidak berani menoleh. In San yang wakili dia
menjawab: "Bok-jongling, biarlah aku yang mengantar tamu
kita, tak usah kau ikut susah payah, silakan kembali saja,"
jawaban In San ini justru menimbulkan rasa curiga Bok Sukiat.
Dengan mengerutkan kening Bok Su-kiat berpikir: "Kalau
betul orang itu Tiangsun Co, sikapnya kenapa begitu kaku
seperti tidak mengenalku lagi?" maklum di rumah Liong Bunkong
tempo hari dia pernah bertemu beberapa kali dengan
Pangeran Watsu ini, dia tahu Tiangsun Co adalah Pangeran
dan Tiangsun Co juga tahu bahwa dia menjabat komandan
Bhayangkari, bahwa dia ingin bermuka-muka terhadap
Tiangsun Co, Tiangsun Co juga tidak berani berlaku kurang
hormat kepadanya. "Apalagi Thaykam kecil ini selama ini
belum pernah aku melihatnya. biasanya Baginda tidak pernah
menyuruh seorang Thaykam kecil untuk mengantar tamunya?"
Semakin dipikir makin curiga, segera dia berkeputusan dan
membentak: "Kalian berhenti, kalau tidak jangan menyesal
bila aku bertindak," bila orang di depan itu betul Tiangsun Co
mendengar bentakannya ini, sepantasnya kalau dia naik pitam
dan marah-marah. Bila sudah marah betapapun Tiangsun Co
pasti akan bersuara.
Tan Ciok-sing yang menyamar Tiangsun Co sudah tentu
tidak buka suara, kudanya malah dikeprak semakin kencang.
Sementara In San masih berlagak, katanya dengan tertawa
dingin: "Bok Su-kiat besar benar nyalimu, aku mendapat
firman raja untuk mengantar tamu, berani kau mencegat
jalan." Sementara itu Bok Su-kiat sudah pecut kudanya dibedal
lebih kencang, jarak telah diperpendek, semakin dipandang
orang di depan itu jelas tidak mirip Tiangsun Co, segera dia
membentak pula: "Kalian justru yang bernyali besar, berani
menyamar Thaykam dan tamu agung kita. Hayo berhenti dan
1188 menggelinding turun dari kuda kalau membangkang kematian
hukumannya," sembari bicara dia sudah angkat busur
memasang panah terus beruntun tiga kali dia membidik ke
punggung In San.
Tan Ciok-sing tahu kekuatan Bok Su-kiat yang tangguh,
mendengar serangan panah berantai ini dia kuatir In San tidak
kuat menahannya, di punggung kuda mendadak dia gunakan
gerakan burung dara membalik tubuh, tangannya bergerak ke
belakang membabat dengan pedang. Begitu sepasang pedang
bergerak, hawa pedangnya menyambar bagai lembayung,
ketiga batang panah itu seketika kutung jadi enam potong.
Sudah tentu secara langsung penyamaran merekapun
terbongkar. Bok Su-kiat memang belum tahu siapa mereka,
tapi dia sudah yakin bahwa Tan Ciok-sing jelas bukan
Tiangsun Co, sementara In San juga bukan Thaykam tulen.
Untuk menangkis serangan panah itu, terpaksa Tan Cioksing
berdua harus mengendorkan lari kuda mereka. Pada saat
itulah, dari gang kecil di sebelah depan sana tiba-tiba
menerjang keluar dua ekor kuda mencegat jalan lari mereka.
Sambil keprak kudanya Bok Su-kiat membentak: "Dua
orang ini menyamar, lekas bekuk dia."
Dua orang penunggang kuda yang mencegat itu adalah
jago kosen dari pasukan Bhayangkari, seorang bernama Ku
Hong ahli Tay-lik-eng-jiau-kang seorang lagi bernama Pui Ou
mahir menggunakan sepasang ganco. Ku Hong menggunakan
jurus Mencabut Lobak di Tanah Kering, di punggung kuda
segera dia menubruk ke depan, gerakannya mirip benar
dengan seekor burung rajawali yang menyambar kelinci, dia
incar tulang pundak Tan Ciok-sing terus mencengkeramnya.
Jurus ini merupakan tipu mematikan yang liehay dari ilmu
pukulan yang merupakan pukulan kemahirannya, bila tulang
pundak tercengkram jari-jarinya, meski orang memiliki
kepandaian setinggi langit juga pasti tak akan bisa berkutik
lagi dengan tubuh cacat, dia kira cengkeraman liehay ini pasti
1189 berhasil membekuk lawan, diluar tahunya bahwa lawan yang
dihadapinya sekarang teramat tangguh.
"Serangan bagus," Tan Ciok-sing membentak, dengan jurus
Ki-hwe-liau-thian (angkat obor menerangi langit) Pek-hongkiam
dia tuding ke atas mengincar telapak tangan Ku Hong.
Bila cengkraman lawan diteruskan, yakin telapak tangannya
pasti akan berlobang tertusuk pedangnya.
Bila dia mau gerakan pedang diteruskan dengan jurus Hianniau-
hoat-sa, lengan Ku Hong pasti sudah dibabatnya protol
dari tubuhnya Tapi dia tidak tega turun tangan keji, gerakan
pedangnya dia robah jadi tepukan mendatar, sekaligus
mengerahkan Lwekang tingkat tinggi menggunakan Can-ihcap-
pwe-tiat. Ku Hong sudah menarik kedua tangan seraya menyikut,
terasa dirinya seperti menumbuk sekarung kapas yang empuk,
mendadak terasa pula perutnya silir dingin, ujung pedang
lawan yang kemilau dingin ternyata telah menusuk luka kulit
perutnya. Karuan kagetnya bukan main, tenaga mantul yang
digunakan Tan Ciok-sing segera melemparkan tubuhnya jauh
kesana dan jatuh terbanting dengan tubuh celentang.
Agaknya Ku Hong berkulit tebal, cepat sekali dia sudah
melompat berdiri lagi tapi dia insaf Tan Ciok-sing telah
mengampuni jiwanya, maka dia tidak berani bertindak lebih
jauh. Di sebelah sana Pui Ou menghadapi In San, nasibnya tidak
sebaik temannya. Pui Ou membanggakan sepasang ganconya
yang bergagang panjang peranti mengatasi golok dan pedang,
maka dia keprak kudanya mencegat di depan In San, kontan
sepasang ganconya menusuk dan menggantol seraya
membentak: "Lepaskan pedang."
"Belum tentu," jengek In San, gerak pedangnya secepat
kilat terdengar suara "Krak, tram:" sebelum ganconya bcih.i il
menggantol pedang In San, gigi gantolan di ujung ganconya
1190 sudah terbabat protol oleh pedang mustika In San. Ternyata
In San juga tidak tega membunuhnya, bentaknya: "Minggir,"
dimana pedangnya berputar, bukan menusuk orang tapi
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menusuk kuda. Saking kesakitan kuda tunggangan Pui Ou berjingkrak terus
lari sambil meringkik, Pui Ou terlempar dari punggung kuda
dan terbanting di jalan raya yang berlandas batu hijau, kepala
bocor tulang keseleo, keadaannya lebih parah dari Ku Hong.
Melihat kepandaian kedua orang itu sedemikian liehay,
diam-diam Bok Su-kiat kaget, pikirnya: "Mungkinkah yang
menyaru jadi Tiangsun Pwecu, bocah she Tan itu?" baru saja
dia menduga, dilihatnya Tan Ciok-sing dan In San sudah
melambung tinggi lompat ke atas genteng penduduk.
Bok Su-kiat menghardik: "Keparat, mau lari kemana?"
secepat kilat diapun mengudak lompat ke atas genteng.
Rumah penduduk di sekitar sini kebanyakan milik para
hartawan yang membangun rumah secara megah, tingginya
ada tiga tombak. Bu Su-kiat tidak mampu lompat setinggi itu,
tapi dengan Eng-jiau-kang dia menangkap payon rumah serta
menyendat tubuh sehingga badannya terbalik mumbul
jumpalitan ke atas wuwungan, paling terlambat beberapa
detik saja dari Tan dan In berdua, maka lekas sekali dia sudah
menyandak. Tan Ciok-sing menoleh seraya membentak: "Bagus, Bok
Su-kiat, mari hari ini kita tentukan siapa jantan siapa betina."
"Bagus, Tan Ciok-sing," jengek Bok Su-kiat, "kukira siapa
bernyali besar, kiranya kau. Kau bocah keparat bernyali besar
kurang ajar ini, hari ini biar merasakan keliehayanku," di
tengah jengek tawanya itu dia menggunakan Tay-kim-na-jiuhoat.
Kalau dia memaki Tan Ciok-sing, tapi yang jadi sasaran
serangannya justru In San.
Waktu Tan Ciok-sing dan In San mewakili para ksatria
mengadakan perundingan di rumah Liong Bun-kong dulu.
1191 Secara diam-diam Tan Ciok-sing pernah saling jajal dan
mengukur kepandaian masing-masing telah demonstrasikan
kemahiran sendiri-sendiri.
Kalau Tan Ciok-sing gunakan pedang kilatnya mengecutkan
hati lawannya, sementara Bok Su-kiat pamer Lwekangnya
yang hebat, masing-masing pihak sama mengagumi
keliehayan lawan. Sayang di rumah Liong Bun-kong tempo
hari mereka tidak berkesempatan untuk bergebrak secara
sesungguhan. Tahu ilmu pedang Tan Ciok-sing liehay, maka Bok Su-kiat
bertindak lebih dulu menyerang titik kelemahan pihak lawan.
Dia tahu bahwa In San adalah gadis yang ditaksir oleh raja
junjungannya, tapi Lwekangnya sudah diyakinkan mencapai
tarap yang sempurna, dia yakin cengkramannya yang liehay
serta sudah diperhitungkan itu tetap takkan merugikan atau
melukai In San sedikitpun.
Serangannya ini menggunakan Cong-yan-jiu dari Kim-najiu-
hoat, ilmu tunggal perguruannya yang liehay, jauh berbeda
dengan Kim-na-jiu yang diajarkan berbagai perguruan lain.
Kedua lengannya satu di atas yang lain di bawah, jari tangan
kiri terangkap seperti ujung tombak mencolok sepasang mata
In San. Gerakan ini hanya gertakan belaka, untuk memancing
lawan memperkuat pertahanan di sebelah atas. Pada hal
telapak tangan kanan justru membabat miring laksana golok
menyerang sepasang kaki In San. Serangan menggempur
timur bersuara di barat ini dilancarkan secepat kilat dan liehay
luar biasa. Diluar perhitungannya, bahwa gerakan Tan Ciok-sing
ternyata melebihi kecepatannya sendiri. Di saat kritis itu,
sebelum ujung jarinya menyentuh In San, ujung pedang Tan
Ciok-sing telah menanti telapak tangan kirinya yang mencolok
mata In San, ujung pedang mengincar telak Lau-kiong-hiat di
tengah telapak tangannya.
1192 Sudah tentu Bok Su-kiat tidak berani meneruskan
cengkramannya, di tengah jalan dia robah gerakan, jarinya
menjentik dan "Creng" pedang Tan Ciok-sing diselentiknya
membal ke pinggir, begitu tubuh merendah turun telapak
tangan kanan tetap membabat kedua kaki In San.
Tapi rintangan sekejap ini sudah memberi kesempatan
kepada In San untuk balas menyerang. Sebat sekali tampak
tubuhnya mendak terus melompat maju dia gunakan gerakan
Burung Seriti Menyusup ke Awan, Ginkang yang liehay
melambung satu tombak lebih tingginya dengan jurus Giok-lito-
so dari tengah udara dia menusuk ke bawah. Sementara
meminjam tenaga selehtikan jari orang, pedang Tan Ciok-sing
dipelintlir membalik dengan gerakan Sabuk Kemala Melilit
Pinggang, secara telak dan serasi dia imbangi gerakan pedang
ln San yang menyerang dari atas.
"Bret" ujung lengan baju Bok Su-kiat terpapas sebagian
dan terbang berhamburan seperti kupu-kupu terbang di pucuk
kembang. Masih untung dia sempat menarik diri melompat
mundur sejauh mungkin, kalau tidak lengan kanannya pasti
sudah terbabat kutung. Tenaga Lwekangnya yang hebat
sempat pula menggetar pergi pedang Tan Ciok-sing terus
menyurut mundur pula tiga langkah. Namun cepat sekali
sepasang pedang Tan dan In sudah memburunya dengan
serangan jurus kedua. Perbawanya bagai damparan ombak
yang bergulung-gulung tak kenal putus.
Jurus gabungan pedang kali ini kekuatannya lebih hebat
dari jurus pertama, daya rangsakannyapun lebih menyeluruh.
Soalnya tadi In San serambut lebih lambat mengeluarkan
pedang, sehingga lawan masih sempat menjentik pedang Tan
Ciok-sing, tapi gabungan dua pedang kali ini boleh dikata
sudah merupakan dwi tunggal yang sukar dilawan. Apa boleh
buat Bok Su-kiat terdesak mundur pula tiga langkah, tanpa
disadarinya kini dia sudah berdiri di pinggir payon.
1193 Tan Ciok-sing membentak: "Menggelinding turun," dengan
jurus Hian-niau-hoat-sa dia ikut menubruk maju, tulang
pundak lawan menjadi sasaran tutukan pedangnya.
Sementara dalam waktu yang sama In San dengan jutus Payhun-
tian (menyibak mega merenggut kilat), ujung pedang
memancarkan cahaya dingin, menusuk ke tulang pundak
kanan pula. Bok Su-kiat menjadi sengit, sembari menghardik tangannya
menjotos, Tan Ciok-sing kira lawan nekad hendak adu jiwa,
melihat jotosan lawan bertenaga hebat, kuatir In San tidak
kuat melawannya, lekas Ciok-sing berkisar terus pasang kudakuda,
pedangnya membalik terayun memapas pergelangan
tangan. Gerakan pedangnya ini sedikit terlambat sehingga Bok
Su-kiat sempat melompat sambil jumpalitan terus ke bawah
genteng. Ternyata jotosan itu kelihatannya seperti hendak
mengadu jiwa, pada hal hanyalah gertakan belaka untuk cari
kesempatan mengundurkan diri. Melihat Kungfu lawan
semahir itu, mau tidak mau kejut juga hatinya.
Sebaliknya bagi Bok Su-kiat yang Komandan pasukan
Bhayangkari ini dalam tiga gebrak saja dirinya harus menelan
kekalahan di tangan lawan mudanya, sudah tentu bukan
kepalang malu dan penasaran hatinya. Dengan gerakan
burung dara jumpalitan, secara enteng dia hinggap di bumi,
mulutpun terus menghardik gusar: "Lepas panah,"-umpama In
San terpanah mati juga tidak peduli lagi.
Sementara itu pasukan Gi-lim-kun sudah memburu datang
dari berbagai arah, anak panah segera berhamburan selebat
hujan. Dengan tangan bergandeng tangan Tan Ciok-sing dan
In San berlompatan dari wuwungan yang lain terus menuju ke
arah barat, di jalan raya sebelah barat ternyata sudah
dikepung pula, terpaksa Tan dan In harus putar kencang
pedangnya untuk meruntuhkan anak panah yang dibidikkan ke
arah mereka. Pasukan Gi-lim-kun itu kapan pernah
1194 menyaksikan Ginkang sehebat itu, sesaat mereka jadi
melongo. Setelah bebas dari bidikan panah pasukan Gi-lim-kun, Tan
Ciok-sing berdua terus tancap gas berlari ke arah pintu barat,
para Wisu yang berjaga di pintu bawah, lapat-lapat melihat
dua bayangan orang melambung terbang melampaui tembok
tinggi, waktu ditegasi bayangan itu sudah lenyap. Pada hal
mereka tahu ada orang yang melarikan diri keluar kota,
namun mana mereka berani ribut. Lalai menunaikan tugas
sehingga pembunuh lolos merupakan kesalahan yang bisa
mengakibatkan jiwa mereka jadi korban.
Sekaligus Tan dan In berlari sejauh tiga puluhan li, bila
mereka tiba di rumah keluarga Coh di kaki bukit itu, haripun
sudah terang tanah.
Tan Ciok-sing berkata tertawa: "Liok Pangcu dan Lim
Tayhiap menunggu tiga hari, bila melihat kita tidak kunjung
tiba, entah betapa gelisah hati mereka," begitu dia angkat
kepala, senyum tawanya seketika kuncup, tampak rumah
gedung keluarga Coh sudah terbakar habis tinggal puingpuingnya
saja. In San mengelus dada, katanya: "Pasti pasukan kerajaan
yang membakar rumah Coh Ceng-hun. Entah bagaimana
keadaan Liok-pangcu, Lim Tayhiap dan lain-lain?"
"Di sekitar sini ada perumahan penduduk, mari kita cari
kabar dari mereka," demikian ajak Tan Ciok-sing.
Beberapa rumah penduduk telah mereka datangi, semua
pintu besarnya terbuka lebar, tapi tiada seorangpun penghuni
di dalamnya, sampaipun perabot telah kosong melompong,
penduduknya entah mengungsi kemana.
Tan Ciok-sing geleng-geleng, katanya: "Agaknya tiada
harapan kita dapat mencari kabar dari penduduk. Keluarga
Coh ketimpa petaka, mungkin mereka takut kerembet maka
siang-siang sudah angkat kaki dari tempat kediamannya.
1195 Tiba-tiba In San bersuara heran, katanya dengan tertawa:
"Toako, pendapatmu memang beralasan, tapi yakin rekaanmu
meleset, coba lihat, disana itu bukankah ada dua orang?"
Waktu itu mereka sedang turun gunung Tan Ciok-sing
menoleh ke arah yang dituding In San, dilihatnya dua orang
tua yang jalan tertatih-tatih, lelaki dan perempuan agaknya
sepasang suami isteri. yang lelaki memikul kayu kering yang
perempuan menggendong rumput hijau, mereka sedang
menuju ke atas gunung.
Tan Ciok-sing berkata: "Sepasang kakek dan nenek ini
ternyata bernyali besar, tapi di rumah mereka sudah tiada
harta benda lagi, untuk apa cari kayu dan rumput?"
"Umpama mereka betul adalah mata-mata musuh, kita juga
tidak perlu kuatir, mari coba kita cari tahu kepada mereka,"
demikian In San ajukan pendapatnya.
Mereka percepat langkah turun ke bawah, setelah dekat
dengan seksama dia awasi kakek dan nenek, kedua kakek
nenek itu juga berhenti dan balas mengawasi mereka, sorot
matanya memancar rasa heran dan bingung.
"Lo-kongkong dan Lo-popoh," demikian sapa Tan Ciok-sing,
"harap kalian suka istirahat sebentar. Ingin kami mencari tahu
satu hal kepada kalian."
Nenek itu berkata: "Kami hanya tahu menebang pohon dan
cari rumput, urusan lain kami tidak tahu. Maaf, kami harus
lekas pulang, banyak kerjaan yang menunggu dibereskan."
In San menyodorkan sekeping uang perak kepada si nenek
seraya berkata: "Soal yang ingin kami tanya kau pasti tahu,
sekedar imbalan ini harap kau suka menerimanya."
Setelah menerima uang, si nenek berkata: "Baiklah,
memandang uang perak ini, biar kudengar soal apa yang ingin
kau tanyakan. Bila aku tahu pasti kuterangkan."
1196 In San berkata: "Di atas gunung ada sebuah keluarga Coh,
tentunya kalian sudah tahu."
"Kalian teman keluarga Coh itu?" tanya si nenek.
"Betul," Tan Ciok-sing menyela, "kami adalah kenalan baik
majikan muda keluarga itu, yang bernama Coh Ceng-hun."
"Tentunya kalian adalah pembesar dari kota bukan,
agaknya keluarga Coh tidak pernah ada hubungan dengan
pihak kerajaan."
Tan Ciok-sing tahu si nenek merasa curiga, dia jadi
bimbang apakah perlu menerangkan asal-usul sendiri kepada
si nenek. Mendadak si nenek membentak: "Bagus ya, kiranya kalian
pura-pura menyaru pembesar."
Tan Ciok-sing kaget, baru saja dia akan turun tangan, tibatiba
didengarnya In San juga balas membentak: "Bagus ya,
ternyata kalian juga menyamar kaum penebang."
Sampai disini, tiba-tiba In San dan si nenek sama tertawa
geli, katanya: "Han-cici, jangan kau
menggoda kami lagi,"
"In-cici memang pandanganmu lebih tajam," suara si nenek
yang ketua-tuaan tiba-tiba berubah merdu.
Tan Ciok-sing seketika sadar dan berseru sambil keplok
tangan: "Kiranya nona Han, jadi kakek ini tentunya Toantoako
adanya." Kakek itu segera mengusap muka sendiri dan kelihatanlah
wajah aslinya, memang bukan lain adalah Toan Kiam-ping.
Toan Kiam-ping tertawa, katanya: "Aku tidak semahir adik
Cin dapat merubah suara, maka terpaksa aku pura-pura bisu."
1197 "Justru kau tetap tidak buka suara sehingga aku curiga,"
ujar In San, "segera aku menduga kalian. Toan-toako, lukalukamu
sudah sembuh?"
"Aku dirawat dan memperoleh pengobatan dari Giam-ongte
Lau Su-tho, sudah lama sembuh, tadi aku sudah siap
hendak melabrak Tan-toako malah."
Tan Ciok-sing melcngak, katanya: "Kenapa kau hendak
melabrakku?"
"Siapa suruh kau menyamar Tiangsun Co" Pandanganku
toh tidak setajam adik Cin, dalam waktu sesingkat ini aku
belum bisa membedakan penyamaranmu."
"Sudah tidak perlu banyak ngobrol, lekas jelaskan,
bagaimana keadaan Liok-pangcu dan Lim Tayhiap dan lainlain."
"Jangan kuatir," ucap Toan Kiam-ping, "malam itu kita
disergap pasukan kerajaan, rumah kediaman keluarga Coh
juga dibakar mereka, untung Liok-pangcu dan Lim Tayhiap
mahir memimpin dan menghadapi kejadian secara tenang
sehingga korban yang jatuh tidak terlampau parah. Kawankawan
yang menetap di rumah keluarga Coh semua dapat
meloloskan diri dengan selamat. Kejadian sebenarnya malam
itu nanti kujelaskan. Tolong kau ceritakan dulu bagaimana
tugas kalian masuk ke istana, kau tahu hatiku seperti dibakar
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saking gelisah menunggu kalian pulang."
Mendengar orang banyak selamat, legalah hati Tan Cioksing
katanya: "Sang raja sudah berhasil kami temui, cuma
bagaimana hasil anjuran kita terhadapnya, sejauh ini masih
belum bisa diketahui."
Lalu pengalaman tiga hari di istana dia ceritakan, Toan
Kiam-ping dan Han Cin sering tegang, dan akhirnya menghela
napas lega setelah mendengar kisahnya itu.
1198 Toan Kiam-ping berkata dengan tertawa: "Mengkhianat dan
mengingkari janji akan memperoleh hukuman dari Thian Yang
Maha Kuasa. Peringatan yang kau tinggalkan untuk raja itu
memang tepat sekali. Sudah tentu kita takkan percaya begitu
saja omongannya tapi sebaliknya dia harus memperhatikan
peringatan kita itu. Paling tidak, dia tidak akan berani
menanda tangani perjanjian damai itu, terhitung tugasmu
sudah berhasil separo. Tan-toako, In-moaycu, tidak kecil jasa
kalian." "Ah, soal jasa segala, aku toh hanya melaksanakan rencana
orang banyak yang ditugaskan kepada kami."
"Kau tidak usah sungkan," sela Han Cin, "satu hal ingin aku
memberitahu kepada kalian, dari soal ini dapat dinilai bahwa
tugas telah kalian laksanakan telah membawa hasil baik."
"Soal apa?" tanya Tan Ciok-sing.
"Liong Bun-kong keparat tua itu pura-pura jatuh sakit dan
tidak pernah lagi menghadap raja. Menurut berita yang
diperoleh Liok-pangcu, katanya Baginda " Raja sendiri yang
menganjurkan dia demikian. Para begundal keluarga Liong
konon juga sama saling terka dan kebingungan, kasak-kusuk
bahwa majikan mereka bakal jatuh pamor dan runtuh
kedudukannya. Mereka sedang berpikir-pikir untuk mencari
jalannya sendiri seumpama pohon roboh kera pun bubar."
"Batas waktu yang diberikan raja adalah tiga bulan, bila dia
runtuh kukira juga tidak akan selekas ini," ujar Tan Ciok-sing.
Han Cin tertawa katanya: "Manusia licik yang pandai
menjilat biasanya pintar melihat arah angin memegang
kemudi, mungkin mereka takkan menunggu bila puncak
gunung es itu runtuh baru akan mencari daya menyelamatkan
diri." "Sekarang kalian pindah kemana?" tanya In San.
1199 "Pindah ke Loh-su-san salah satu dari Say-san. Markas
cabang Kaypang di Pakkhia memang didirikan di Pit-mo-giam
di Loh-su-san itu?" demikian Toan Kiam-ping menjelaskan.
Waktu itu sudah lewat lohor, diam-diam In San
memperhitungkan jarak perjalanan, lalu berkata: "Siang hari
tidak leluasa kita mengembangkan Ginkang, dari sini pergi ke
Loh-su-san kira-kira memakan waktu setengah hari, sekarang
sudah sepantasnya kita berangkat."
Tiba-tiba Han Cin berkata: "Malam ini kami tidak akan
kembali ke Loh-su-san."
"Lho, kenapa?" tanya In San.
"Malam ini kami ingin pergi ke Lo-gau-kio. Letak Lo-gau-kio
lebih jauh dari Loh-su-san, sebelum tengah malam nanti
sudah harus tiba di Lo-gau-kio, maka tiada tempo mampir ke
tempat lain lagi."
Lo-gau-kio terletak tiga puluhan li dari pintu barat Khon-anbun
di Pakkhia, jembatan itu melintang di atas Ing-ting-ho
menghubungi jalan raya King-si sebelah barat dan timur,
merupakan satu di antara delapan tempat tamasya bagi
pelancongan. Waktu masih di Pakkhia dulu, usia In San masih
kecil maka dia belum pernah kesana, tapi dia tahu akan
tempat tamasya itu.
In San jadi heran, katanya: "Lo-gau-kio adalah satu obyek
tamasya di Pakkhia, yakin kalian tidak ingin tamasya malam
hari di jembatan bersejarah itu bukan?"
"Terus terang kami kesana hanya ingin menyaksikan orang
berkelahi. Bila kalian tidak perlu beristirahat marilah malam ini
ikut kami kesana?"
Tergerak hati Tan Ciok-sing, tanyanya: "Siapa dengan siapa
yang berkelahi?"
"Malam ini Kek Lam-vvi akan menuntut balas kepada
Lenghou Yong," tutur Toan Kiam-ping.
1200 Tan Ciok-sing kaget, serunya: "Lho, apa yang telah
terjadi?" "Mungkin kau belum tahu seluk beluk keluarga Kek. Dua
puluh tahun yang lalu ayahnya terbunuh oleh Lenghou Yong.
Tapi setelah malam kita membuat keributan di rumah keluarga
Liong itu, baru ayahku memberi keyakinan berdasarkan
penyelidikan yang cermat bahwa musuh pembunuh ayahnya
adalah Lenghou Yong."
"Apa Lenghou Yong mau menerima tantangannya berkelahi
di Lo-gau-kio?" tanya Tan Ciok-sing.
"Ayah yang mengatur. Ayah mohon bantuan seorang yang
dipercaya oleh Lenghou Yong untuk datang di Lo-gau-kio.
Bagaimana duduk persoalan yang sesungguhnya, karena pagipagi
tadi kami sudah berangkat dari Loh-su-san, jadi kami
kurang jelas karena ayah tidak sempat menjelaskan. Tapi
Lenghou Yong tidak tahu bahwa Kek Lam-wi akan menuntut
balas kepadanya."
Han Cin melanjutkan ceritanya: "Kemarin secara berutun
dua hari, ayahku yang bertugas kemari menunggu kalian, hari
ini dia harus mengatur pertemuan Kek-suko dengan Lenghou
Yong, maka kami yang ditugaskan kemari. Terus terang, kami
hanya ingin coba-coba saja mengadu untung sungguh sangat
kebetulan, kalian justru pulang pada saat ini pula. Tan-toako,
kalian akan pulang dulu menemui Liok pangcu, atau ikut kami
ke Lo-gau-kio melihat keramaian."
Tan Ciok-sing berkata lantang: "Kawan-kawan begitu baik
terhadapku, mana boleh aku berpeluk tangan, adalah
sepatutnya aku ikut membantu kesulitan teman. Maka aku
akan ikut kalian pergi ke Lo-gau-kio saja."
In San tanya: "Lenghou Yong membekal Kungfu tinggi,
meski Kek Lam-wi tidak lemah, bila satu lawan satu, mungkin
dia bukan tandingannya. Apa kalian sudah menjanjikan aturan
perkelahian?"
1201 "Lenghou Yong tidak tahu bahwa Kek Lam-wi yang
mengundangnya," ujar Han Cin.
"Maksudku bagaimana Kek Lam-wi membicarakan soal itu
dengan ayahmu" Menurut aturan Kangouw, umumnya
menuntut balas hanya boleh berkelahi satu lawan satu."
"Aku tidak tahu," ucap Han Cin. "Tiga hari terakhir ini, ayah
selalu mengawasi latihan Kek-suheng dan mengajarkan tiga
jurus ilmu kepadanya."
"Tiga jurus ilmu belum tentu dapat mengalahkan Lenghou
Yong," kata In San.
"Malam ini ayah pasti pergi bersamanya, aku yakin ayah
tidak akan membiarkan dia menderita rugi."
Tan Ciok-sing menimbrung: "Di samping membantu Keksukomu
berhasil menuntut balas, ayahmupun tidak boleh
kehilangan pamor, itulah yang sulit."
Toan Kiam-ping menyela: "Ti-locianpwe sudah
memperhitungkan soal ini dengan cermat, kukira dia sudah
mempersiapkan hal ini dengan matang.'
Tapi Tan Ciok-sing masih kuatir, katanya: "Meski Tilocianpwe
sudah mempersiapkan secara sempurna, Lenghou
Yong juga bukan kaum kroco yang mudah ditipu. Sekarang
tidak perlu menduga-duga, hayo lekas berangkat saja."
"Betul," In San tertawa, "kita ini kan kaum kroco dalam
Bulim, bila perlu tak usah bicara aturan Kangouw segala untuk
menumpasnya."
000OOO000 Malam itu bulan purnama, suasana tenang di bawah
penerangan sang putri malam di Lo-gau-kio terasa semakin
indah dan mempesona.
1202 Menjelang tengah malam, sang putri malam bercokol tepat
di tengah langit, di atas jembatan tampak muncul bayangan
satu orang, orang ini adalah Kek Lam-wi.
Ing-ting-ho di bawah jembatan dahulu dinamakan Bu-tingho,
damparan ombak air sungguh menerpa-nerpa dan
melanda beton kaki jembatan yang kokoh, sehingga
memercikan buih-buih putih yang bergulung-gulung pergi dan
sirna satu persatu.
Malam purnama, arus yang deras gemuruh, ketenangan
malam terasa permai dan membangkitkan jiwa kesatria.
Demikian perasaan Kek Lam-wi pada saat itu.
Panjang Lo-gau-kio empat puluh tujuh tombak, seluruhnya
terbuat dari batu Inlam, kedua sisi jembatan dipagari batubatu
putih berukir, semuanya merupakan tonggak batu yang
masing-masing berjumlah seratus empat puluh batang, di atas
setiap batang tonggak batu itu terdapat patung singa yang
mendekam garang, bentuknya mirip satu dengan yang lain.
Perasaan Kek Lam-wi sekarang tak ubahnya damparan
ombak air di bawah jembatan. Malam ini dia akan menentukan
mati hidup dengan musuh pembunuh ayahnya. "Mungkinkah
Lenghou Yong datang?" rembulan sudah merambat doyong ke
barat, suasana tetap sunyi tiada gerakan apa-apa. Melamun
seorang diri akhirnya Kek Lam-wi terkenang kepada Toh Soso.
"Malam seperti- ini, entah dimana dia sekarang" Apakah
dia sekarang juga sedang merindukan daku?"
Dia ingin cepat-cepat menyelesaikan urusan disini untuk
lekas-lekas meninggalkan Pakkhia menyusul Toh So-so ke
Kanglam. Hari sudah larut malam Lenghou Yong belum juga
kunjung tiba. "Di kala menghadapi pertempuran mati hidup, mana boleh
pikiran kacau, hati tidak tenang," tiba-tiba Kek Lam-wi
menyadari kesalahan, segera dia keluarkan serulingnya,
1203 dengan irama seruling dia ingin menenangkan hati dan
memantapkan semangat juangnya.
Belum habis dia meniup seruling, dari seberang sana
muncul dua bayangan orang. Kek Lam-wi memicing mata
melihat dengan seksama, dikenalnya satu di antara kedua
orang itu memang Lenghou Yong adanya.
Setelah mendengar irama serulingnya, tiba-tiba Lenghou
Yong mempercepat langkahnya. Teman Lenghou Yong adalah
laki-laki setengah umur, berperawakan buntak berpakaian
sebagai hartawan. Meski tubuhnya gembrot tapi langkah
larinya ternyata cukup cepat, dengan kencang diapun
mengintil di belakang Lenghou Yong.
Waktu di rumah Liong Bun-kong malam itu, meski Kek
Lam-wi pernah melihat Lenghou Yong tapi suasana pada saat
itu terlalu kacau dan ribut di tengah kancah pertempuran,
sehingga Lenghou Yong tidak sempat memperhatikan dirinya.
Itu berarti Kek Lam-wi kenal dia, sebaliknya Lenghou Yong
tidak mengenalnya. Tapi setelah mendengar irama seruling
Kek Lam-wi, tanpa merasa tergerak hatinya.
Segera dia berpaling tanya kepada temannya itu: "Yang
ingin mengadakan kontak dengan kita apakah pemuda peniup
seruling di atas jembatan itu" Setiba disini boleh kau beritahu
kepadaku siapa dia sebenarnya?"
"Lenghou Tayjin," kata laki-laki gendut itu, "sukalah kau
percaya kepadaku, aku benar-benar tidak tahu siapakah orang
ini. Aku hanya tahu dia memiliki sebuah benda antik yang
ingin dijual kepada kita."
"Benda mustika macam apakah," tanya Lenghou Yong.
Laki-laki gendut itu gelagapan, katanya: "Mustika apa aku
juga tidak tahu. Tapi aku percaya temanku itu tidak akan
menipuku. Bila Tayjin kuatir soal dagang ini boleh kita
batalkan saja..."
1204 Belum habis dia bicara Lenghou Yong sudah tertawa,
katanya: "Kau tidak tahu, aku justru sudah tahu. Betul yang
dipegangnya itu memang sebuah mustika. Temanmu tidak
menipu kau, dan kaupun tidak menipuku."
Legalah hati si gendut, katanya: "Lenghou Tayjin,
memangnya aku ingin mohon bantuanmu demi mencapai
kedudukan yang lumayan mana berani aku ngapusi kau?"
Untuk hubungan dagang ini meski dia sebagai perantara
mempertemukan jual beli itu di atas jembatan ini, pada hal
seluk beluk persoalan sesungguhnya hakikatnya dia sendiri
juga tidak tahu apa-apa, karena dia hanya dimintai bantuan
orang lain. Orang yang menjadi perencana pertemuan jual beli ini
adalah Ti Nio, namun Ti Nio tidak pernah mengunjukan diri.
Laki-laki gembrot seperti hartawan ini bernama Kwik Su-to, di
Pakkhia dia memang terkenal sebagai salah satu hartawan
yang suka membeli barang-barang antik, didalam kota dia
membuka belasan rumah gadai dan beberapa bank
Sekarang adalah hartawan, pada hal dahulu dia adalah
seorang begal tunggal. Namanya yang asli sudah tentu bukan
Kwik Su-to, nama itu dia gunakan setelah menyulap diri
sebagai seorang hartawan yang suka menderma, nama itupun
diperolehnya dari seorang guru sekolah kampungan setelah
dibayarnya lima ketip. Memang selanjutnya dia bisa hidup
teratur dan disiplin, secara munafik dia pura-pura jadi
dermawan. Kali ini Ti Nio minta bantuan Tio Kan-loh, ketua Kaypang
cabang Pakkhia, suatu malam dia mendatangi rumah
hartawan she Kwik yang terkenal dermawan ini, dengan
bujukan dan ancaman serta membentangkan untung ruginya,
Kwik Su-to dianjurkan menghubungi Lenghou Yong untuk
menyelesaikan jual beli sebuah benda mustika
1205 Kwik Su-to tahu jual beli ini takkan menguntungkan dirinya,
pertemuan itu pasti tidak akan membawa penyelesaian yang
baik pula, tapi dia tahu diri, kekuatan Kaypang teramat besar
di kota raja, jangan kata mungkin orang-orang Kaypang bakal
mencabut nyawanya, cukup bila asal-usulnya dibongkar di
hadapan umum, kedok sendiri akan terbongkar, mana dia
masih bisa bercokol di Pakkhia. Apa boleh buat terpaksa dia
rela menjadikan diri sebagai perantara ini. Lenghou Yong juga
tahu jelas riwayat hidupnya, tahu meski dia sudah menyulap
diri sebagai hartawan yang dermawan, secara diam-diam dia
masih sebagai tukang tadah pula, tidak sedikit keuntungan
yang diperolehnya dari jual beli secara gelap ini. Apalagi dia
memang sedang mengharapkan bantuan Lenghou Yong,
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meski harus keluar sejumlah uang, syukur bila Lenghou Yong
sudi bicara tentang kebaikan dirinya di hadapan Liong Bunkong,
kepadanya dia ingin memperoleh jabatan di kalangan
pemerintahan. Kepada Lenghou Yong dia bilang, ada seorang teman
Kangouw punya sebuah mustika yang hendak dijual, walau dia
belum pernah bertemu teman itu, tapi seorang teman lain
yang dapat dipercaya sebagai perantara, mereka menjanjikan
untuk mengadakan pertemuan di Lo-gau-kio untuk
menyelesaikan jual beli itu. Mustika itu ingin dia beli dan akan
dihadiahkan kepada Lenghou Yong, tapi dia minta Lenghou
Yong sendiri melihat mustika itu, bila senang dan mencocoki
selei.inv.i berapapun harganya ak;m di:i bayar. Secara tidak
langsung diapun menyatakan untuk menjaga segala
kemungkinan yang tidak diinginkan dia mohon Lenghou Yong
yang berkepandaian tinggi supaya bertindak bila mana perlu
Lenghou Yong memang tamak dan loba, rakus lagi, bisa
memperoleh keuntungan semudah ini sudah tentu dia amat
senang dan secara suka rela dia mau mengiringi laki-laki
gendut yang berusaha menjilat pantatnya ini. Didalam
persoalan jual beli ini, sekaligus menimbulkan akal bulusnya
untuk suatu kepentingan sendiri.
1206 Tersiar luas di luaran bahwa kedudukan Liong Bun-kong
mulai goyah, hal ini sudah tentu sudah didengarnya pula. Kini
dia sedang giat mencari majikan baru yang patut dijadikan
tulang punggung pula, dan orang yang dimaksud bukan lain
adalah Hu Kian-seng, bila meleset boleh dia mengekor kepada
Yu-hian-ong dari Watsu yang kini menginap di rumah
kediaman keluarga Liong sebagai utusan negeri Watsu, tak
lama lagi duta besar ini akan pulang ke negerinya.
Untuk ini diapun sedang memperhitungkan untung ruginya
serta membandingkan satu dengan yang lain demi
keuntungan pribadinya kelak, majikan mana yang dirasakan
lebih menguntungkan kepada dia dirinya akan rela
diperbudak. Bila betul-betul memperoleh sebuah mustika,
umpama diri sendiri tidak menyenangi juga tidak jadi soal,
mustika ini boleh dia persembahkan kepada majikan baru
yang akan dijunjungnya sebagai kado.
Di samping itu diapun jelas mengetahui seluk beluk
kehidupan Kwik Su-to, kepada hartawan munafik asal begal
tunggal yang memiliki kekayaan besar ini, dia boleh percaya
dan melegakan hatinya, oleh karena itu dia ambil putusan
untuk bertaruh menghadapi bahaya bila perlu.
Setiba di Lo-gau-kio, sembari berlari mendatangi Lenghou
Yong segera berseru tanya: "Apakah tuan ini yang hendak
menjual barang mustikanya?"
Pelan-pelan Kek Lam-wi angkat serulingnya, "betul,"
sahutnya. Senang hati Lenghou Yong, tanyanya pula: "apakah
mustikamu adalah seruling ini?"
"Betul," Kek Lam-wi menjawab tawar.
"Tolong tanya cara bagaimana kau memperoleh seruling
ini?" tanya Lenghou Yong.
1207 "Mau beli boleh bayar, tidak mau boleh batal. Kenapa kau
tanya sejelas ini?" tanya Kek Lam-wi.
"Baiklah, katakan berapa harga yang kau inginkan?"
"Aku tidak mau dibayar uang."
"O, kau ingin barter?"
"Apa betul kau ingin barter setulus hati dengan aku?"
"Sudah tentu. Boleh kau sebutkan saja apa keinginanmu,"
diam-diam Lenghou Yong sudah merasa curiga kepada Kek
Lam-wi. "Baik, biar aku bicara secara blak-blakan, apapun aku tidak
mau kecuali batok kepalamu."
Kwik Su-to berjingkrak kaget dan ketakutan. Tapi setelah
mclengak sekilas Lenghou Yong malah tertawa tergelak-gelak,
katanya: "Mengandal apa kau ingin batok kepalaku?"
jengeknya sambil melirik hina sikapnya seolah-olah tidak
pandang sebelah mata kepada Kek Lam-wi.
"Dengan serulingku ini," jengek Kek Lam-wi dingin.
"Kau kira aku sudi memenggal kepala menyerahkan kepada
kau?" "Inilah barter secara adil, kalau tidak sudi memenggal
kepala sendiri, memangnya seruling mustikaku sudi
kuserahkan kepadamu dengan cuma-cuma?"
Lenghou Yong terbahak-bahak, serunya: "Barter cara begini
memang menyenangkan, tapi batok kepala ditukar seruling,
meski serulingmu itu senilai satu kota, kukira barter ini tetap
tidak adil."
"Betul," timbrung Kwik Su-to,
"Kukira agak keterlaluan."
1208 "Keterlaluan" Aku malah belum memperhitungkan
bunganya."
Mendelik mata Lenghou Yong, bentaknya: "Siapa kau?"
"Kau tidak kenal aku, tapi aku tahu siapa kau," kata Kek
Lam-wi sinis. "O, jadi kau ingin membuat perhitungan dengan aku
Lenghou Yong?" sorot matanya tiba-tiba beralih ke muka Kwik
Su-to. Kwik Su-to merinding dan gemetar, tersipu-sipu dia
berkata: "Lenghou Tayjin urusan tidak menyangkut diriku, aku
hanya jadi perantara saja. Aku toh tidak tahu liku-liku
permusuhan kalian."
Tiba-tiba Lenghou Yong teringat, bentaknya: "Bukankah
kau ini Kek Lam-wi salah satu dari Pat-sian?" Maklum Kek
Lam-wi terkenal sebagai pendekar yang pandai meniup
seruling di kalangan Kangouw. Meski Lenghou Yong tidak
mengenalnya, tapi dia pernah mendengar namanya.
"Betul," ucap Kek Lam-wi, "laki-laki sejati duduk tidak
menukar nama berdiri tidak merubah she, aku inilah Kek Lamwi
adalah aku."
Diam-diam Lenghou Yong berpikir: "Pimpinan Pat-sian Lim
Ih-su malam itu hanya kuat menandingi aku, Kek Lam-wi ini
orang termuda dari Pat-sian, kenapa aku takut padanya?"
Segera dia tertawa, katanya: "Pat-sian kalian berani
menentang diriku, memang tidak perlu dibuat heran, tapi aku
jadi ingin tahu, kenapa kau seorang diri ingin mencariku?"
"Dua puluh tahun yang lalu, di Kwi-cu kau pernah
membunuh satu orang, apakah masih ingat akan peristiwa
itu?" Lenghou Yong tersentak sadar, bentaknya: "Jadi Kek Bingyang
dari Kwi-cu itu adalah bapakmu?"
1209 Berlinang air mata Kek Lam-wi, katanya berat: "Betul,
sekarang tentu kau sudah mengerti bukan?"
Lenghou Yong menyeringai sadis, katanya: "Ya, aku paham
sekarang, jadi kau mau menuntut balas atas kematian
bapakmu. Baiklah, sekalian kujelaskan kepada kau, syukur kau
menampilkan diri malah, serulingmu itu demikian pula batok
kepalamu biar kurenggut bersama."
Pada saat itulah sebuah suara serak tua berkata dingin:
"Mana ada jual beli secara liar dan tidak adil seperti itu di
dunia ini."
Dari belakang sebuah patung singa mendadak melompat
keluar satu orang, dia bukan lain adalah Ti Nio.
Lenghou Yong mencelos hatinya, "Tua bangka ini sukar
dilayani," tapi lahirnya dia tenang malah bergelak tertawa.
"Apa yang kau tertawakan," bentak Ti Nio.
"Ti-losiansing," ujar Lenghou Yong, "hitung-hitung kau ini
kan seorang ternama, kenapa tidak tahu cara menepati aturan
Kangouw?" "Siapa bilang aku tidak tahu aturan?" bentak Ti Nio.
"Permusuhan dengan dia, menurut aturan hanya boleh
diselesaikan kami berdua. Tapi bila kau tidak menghiraukan
peraturan, anggap dirimu lebih hebat dan mau membantu dia
mengeroyok aku, akupun tidak gentar, hehehe, hayolah kalian
maju bersama."
Ti Nio mendengus hidung, jengeknya: "Tidak perlu aku
mewakili Kek Lam-wi menuntut balas, memang pantas bagi
dirimu kalau menilai orang lain dengan karaktermu sendiri,"
"Lalu untuk apa kau datang kemari mencampuri urusan
orang lain?"
"Aku datang untuk menegakkan keadilan, aku akan
menyaksikan jual beli ini secara adil."
1210 "Apa maksud perkataanmu?"
"Barter harus adil, kalau kau menginginkan serulingnya,
menginginkan pula batok kepalanya, itu berarti kau bertindak
secara liar dan tidak tahu malu."
Lenghou Yong tertawa dingin, katanya: "Seruling mustika
ditukar batok kepala, memangnya itu terhitung adil?"
"Sudah tentu bukan tanpa syarat kau harus menyerahkan
batok kepalamu. Dengarkan dulu penjelasanku, boleh nanti
kau menilai apakah putusanku adil atau tidak?"
"Baik, coba jelaskan. Bagaimana caranya baru terhitung
adil menurut pendapatmu?"
"Coba katakan kau yakin berapa jurus kau dapat merampas
serulingnya?" tanya Ti Nio.
Lenghou Yong berpikir sejenak, katanya: "Sepuluh jurus,"
maklum Pat-sian bukan jago kroco, walau dia tidak kenal Kek
Lam-wi, tapi dari urutan para Pat-sian dan bagaimana taraf
kepandaian masing-masing sudah lama diketahuinya jelas.
Apalagi setelah dia pernah gebrak sebanding melawan tertua
dari Pat-sian Lim Ih-su. Usia Kek Lam-wi baru likuran tahun,
jago termuda diantara Pat-sian, dinilai tingkatan dia masih
terhitung angkatan muda, demi menjaga gengsi dan
mempertahankan pamor, adalah logis kalau dia tidak sudi
memandang Kek Lam-wi sebagai musuh seangkatan.
Sekarang diingatnya pula, di kala pertempuran sengit
terjadi di rumah Liong Bun-kong dulu, pernah dia bergebrak
sebentar melawan Kek Lam-wi, waktu itu cukup sekali
pukulannya dia bikin lawannya ini terjungkal roboh. Kini dia
membatasi sepuluh jurus, menurut anggapannya sudah terlalu
banyak. "Baik," seru Ti Nio, "kami turuti saja keinginanmu, sepuluh
jurus terbatas. Bila dalam sepuluh jurus kau mampu
1211 merampas serulingnya, seruling itu boleh kau ambil, kalau kau
gagal maka kau harus serahkan batok kepalamu."
"Bagus, akupun turuti caramu ini. Tapi perlu kuperingatkan,
bila aku di pihak yang menang, jangan kau nanti pungkir janji
serta mencampuri urusanku ini."
"Kwik Su-to," ujar Ti Nio, "mari kaupun ikut menjadi saksi
bersamaku. Saksi atau wasit adalah orang yang menegakan
keadilan, dilarang membelok ke pihak manapun, nah kau
boleh legakan sadja hatimu."
"Kepalanku ini tidak bermata, kalau dalam sepuluh jurus
aku memukulnya mampus bagaimana?"
"Seruling tetap akan menjadi milikmu."
"Bagus, baiklah kita putuskan demikian. Kau ini wasit, boleh
kau mulai menghitung, nah jurus pertama kumulai," di tengah
seringai tawanya dia bergerak dengan jurus Yu-liong-tam-jiau,
kelima jarinya tertekuk mencengkram ke tulang pundak Kek
Lam-wi. Itulah salah satu jurus Kim-na-jiu-hoat Lenghou Yong yang
sudah dilatihnya sempurna, gerakannya teramat aneh dan
cepat, telak dan keji. Entah berapa banyak jago-jago silat
Kangouw yang menjadi korban keganasan jurus tunggal ini.
Tak nyana hari ini cengkramannya ternyata mengenai tempat
kosong, segesit kera tahu-tahu Kek Lam-wi telah berkelit ke
samping. Seperti diketahui sejak dua kali bergebrak melawan
Lenghou Yong, diam-diam Ti Nio perhatikan keliehayan dan
permainannya, kecuali dia mengajar tiga jurus ilmu tunggal
yang mungkin bisa merobohkan lawan meski dirinya terdesak
di bawah angin, diapun mengajarkan gerakan langkah yang
enteng seperti melayang, gerakan langkah itu kebetulan
sekarang tepat digunakan untuk menghindari serangan
Lenghou Yong. 1212 "Diberi tidak membalas kurang hormat, nah lihat
serulingku," demikian Kek Lam-wi membentak, mendadak
serangannya terbuka mari kanan kiri, satu jurus dua gerakan,
ke kiri dia menutuk Giok-kwan, ke kanan menutuk Yang-pek,
kedua Hiat-to ini terletak di kanan kiri dada, merupakan
tempat mematikan bila kena serangan.
Tapi meski jurus ini merupakan serangan liehay dari Kingsin-
pit-hoat, namun bukan termasuk salah satu jurus dari tiga
jurus liehay ajaran Ti Nio itu.
"King-sin-pit-hoat memang hebat, tapi untuk mengalahkan
aku, haha, masih terlalu jauh," demikian Lenghou Yong
mencemooh. Sebelum dia habis bicara "Tring, tring" dua kali
dia menjentik pergi seruling Kek Lam-wi, hampir saja Kek
Lam-wi tak kuat memegang serulingnya karena jari-jarinya
terasa kaku kesemutan. Tapi jurus serangan Kek Lam-wi ini
sudah cukup setimpal sehingga lawan terpaksa harus
menangkis. Tanpa berjanji Ti Nio dan Kwi Su-to berseru
bersama: "Jurus kedua."
Serangan Kim-na-jiu Lenghou Yong selanjutnya, kembali
berhasil diluputkan oleh Kek Lam-wi. Tiba-tiba timbul niat
jahat Lenghou Yong, pikirnya: "Entah dari mana keparat ini
mempelajari langkah yang aneh, biar aku gunakan Tay-cui-pijiu
untuk menghadapinya, umpama tidak mampus biar dia
terluka parah," tiba-tiba gerakan telapak tangannya
mengundang deru angin kencang, secara beruntun dia
lancarkan dua jurus serangan yang mematikan.
Tay-cui-pi-jiu yang diyakinkan Lenghou Yong merupakan
ilmu tunggal di Bulim. Kehebatannya memang mampu
membelah pilar batu dimana angin pukulannya mendampar,
pakaian Kek Lam-wi tampak berkibar-kibar, koyak
beterbangan, seperti tiba-tiba puluhan kupu-kupu
beterbangan di udara. Itulah adu kekuatan Lwekang, bagi
yang bertenaga kuat pasti menang, yang lemah pasti kalah,
1213 untuk adu kekuatan siapapun tidak boleh main untunguntungan
lagi. Meski Kek Lam-wi mahir menggunakan langkahnya yang
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aneh secara tangkas, dia tetap di pihak yang dirugikan, dan
kerugian yang dideritanyapun tidak kecil. Untung meski
pakaiannya tergetar pecah dan berhamburan, dia sendiri sih
belum terluka parah, hal ini ternyata berada diluar
perhitungan Lenghou Yong.
"Anak kurcaci, coba saja berapa jurus lagi kau kuat
bertahan?" memperoleh angin Lenghou Yong tidak menyianyiakan
kesempatan, di kala Kek Lam-wi belum berdiri tegak,
mendadak dia mengenjot pula. Genjotannya ini seperti
mengarah ke bawah, Kek Lam-wi dipaksa lompat ke atas, tak
tahunya segulung tenaga pukulan tiba-tiba sudah menerjang
tiba di depan dada.
Ternyata Lenghou Yong menggunakan cara mendekat
memukul ke tempat jauh, merupakan gerakan tunggal pula
dari salah satu jurus Tay-cui-pi-jiu yang liehay itu. Bila ilmu ini
diyakinkan mencapai taraf yang tinggi, memukul batu seperti
menekan tahu. Kini jotosannya mengincar bagian bawah,
namun tenaganya justru menjurus ke atas, tingkatan ilmu
pukulannya ini masih terhitung kelas dua. Tapi taraf
kepandaiannya memang lebih tinggi dari Kek Lam-wi, meski
ilmu yang dilontarkan ini belum mencapai tingkat yang
sempurna, Kek Lam-wi toh sudah mengeluh kepayahan.
Lompatan Kek Lam-wi ke atas ini justru seperti memapak
dan memberikan dadanya untuk dimakan pukulan lawan,
kontan tubuhnya terjungkal jumpalitan. Agaknya sebelumnya
tak pernah terpikir oleh Ti Nio bahwa pertempuran bakal
berlangsung seperti ini, karuan dia melongo kaget di
tempatnya. Beruntun Lenghou Yong sudah melontarkan tiga
kali serangan, diapun lupa menghitungnya lagi.
1214 Melihat Kek Lam-wi terjungkal jatuh, kaget dan girang Kwik
Su-to bukan main, lekas dia tenangkan hati
Dendam Iblis Seribu Wajah 20 Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Bara Naga 15