Pendekar Pemetik Harpa 28
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 28
a kau maklum bahwa petugas seperti
diriku ini bukan tiruan."
Hu Kian-seng melengak, bentaknya: "Omong kosong, hari
ini kau harus diringkus." Di mulut dia bersikap garang, namun
dalam hati ragu-ragu dan jeri, apakah betul dia hendak
membekuk Tan Ciok-sing dan kawan-kawannya"
Kali ini Hu Kian-seng dan Bok Su-kiat memang menerima
perintah raja untuk menangkap Liong Bun-kong, menyita
harta dan menyegel rumahnya, jadi merekalah petugas tulen
yang harus menjalankan firman raja.
Dalam keadaan kebat kcbit Cu Kian-sin semula masih
bimbang, tapi urusan sudah terlanjur sejauh ini, menyesal
juga tidak berguna, apalagi utusan Watsu yaitu Tiangsun Co
dan Milo Hotasu sudah lari meninggalkan istana. Setelah
Tiangsun Co dihajar empat puluh pukulan di pantatnya,
umpama Cu Kian-sin sendiri sekarang menyusulnya keluar
kota minta maaf kepadanya juga tidak akan merobah situasi,
hubungan buruk sudah terjalin, apalagi sebagai raja sudah
tentu Cu Kian-sin tidak sudi merendahkan diri.
1646 Tan dan In juga sudah tidak kelihatan, Kim-to Cecu
menjadi tulang punggung mereka, laskar rakyat Kim-to Cecu
baru saja mencapai kemenangan perang diluar perbatasan.
Bila Kim-to Cecu sampai menyebar luaskan konsep perjanjian
damai itu, lalu angkat senjata menghasut rakyat dengan
semboyan melenyapkan raja lalim, melawan musuh luar,
betapapun Cu Kian-sin tidak akan mampu melayaninya.
Ditimbang-timbang dan dipilih berat dan ringannya, apa
boleh buat, terpaksa Cu Kian-sin berani menyerempet bahaya
meski terpaksa harus bersalah terhadap pihak Watsu, maka
siap dia menerima syarat-syarat yang diajukan Kim-to Cecu.
Pertama yang harus dia korbankan sudah tentu adalah Liong
Bun-kong. Hu dan Bok punya hubungan baik dengan Liong Bun-kong,
bukan saja mereka mengerek panji menabuh tambur
memimpin tiga ratusan pasukan Gi-lim-kun berbondongbondong
menuju ke rumah Liong-Bun-kong, sebelum
berangkat mereka telah mengutus orang untuk memberi kabar
kepada Liong Bun-kong, itulah sebabnya kenapa Liong Bunkong
secara mudah mau memberi kelonggaran kepada Tan
Ciok-sing serta menarik mundur Tang-hay-liong-ong. Sa
Thong-hay dan lain-lain lebih penting ditarik balik untuk
melindungi dirinya melarikan diri mana sempat menempur Tan
Ciok-sing pula. Tapi Hu Kian-seng juga tidak menyangka,
sebelum tiba di tempat tujuan, di tengah jalan mereka sudah
kepergok dengan Tan Ciok-sing.
Melihat Cin Tay-hun semirip itu menyaru wakil komandan
mereka, mereka sama heran dan melenggong, setelah
mendengar perintah atasannya, serempak mereka berkaokkaok
" terus menyerbu. Maksud Tan Ciok-sing tercapai karena
orang-orang Kaypang bebas dari pengejaran.
Cin Tay-hun malah bikin barisan kuda Gi-lim-kun kocarkacir,
dengan Ginkangnya yang tinggi dia terobosan di antara
kaki-kaki kuda yang simpang siur menyerbu dirinya. Sudah
1647 tentu anggota Gi-lim-kun yang berkuda itu tidak segesit dan
setangkas gerak-geriknya, ada beberapa orang yang tidak
sempat menarik kendali malah saling tumbuk dan injak.
Bok Su-kiat gusar, bentaknya: "Kalian minggir, biar aku
ringkus dia."
Cin Tay-hun tahu keliehayannya, lekas dia merebut seekor
kuda, terus dicemplaknya dibawa kabur. Dari seorang anak
buahnya Bok Su-kiat merebut sebatang tombak sekali ayun
tombak itu dia lemparkan ke arah Cin Tay-hun.
Tombak besar, panjang dan berat, tenaga lemparan besar
lagi, maka tombak itu mendesing kencang. Cin Tay-hun
sempat memutar kepala sambil melelet lidah dan membelalak
mata dan menyengir hidung, teriaknya: "Haya celaka, kau
tidak hiraukan sesama kolega, terpaksa aku akan sembunyi ke
istana raja akhirat melaporkan kejahatanmu," tiba-tiba
tubuhnya menyelinap turun sembunyi di bawah perut kuda,
tombak panjang itu melesat lewat di atas punggung kuda.
Celaka adalah seorang anggota Gi-lim-kun yang kebetulan
berada di sebelah depan, dia keprak kuda pikirnya mau
mencegat, tak nyana tombak lemparan Bok Su-kiat tahu-tahu
meluncur ke arah dadanya, tanpa mengeluarkan suara tombak
amblas menembus dadanya, dia terguling mati diinjak-injak
kuda lagi. Bok Su-kiat tambah murka, hardiknya: "Bangsat cilik, lari
kemana kau," mengeprak kuda segera dia mengudak.
Sementara itu Toan Kiam-ping juga sudah merebut seekor
kuda, segera dia keprak kudanya maju membantu Cin Tayhun.
Bok Su-kiat angkat tombak besinya, dengan jurus Kiongliong-
jut-hay. Sekuat tenaga dia menusuk. Lwekang Toan
Kiam-ping tidak setangguh lawan, begitu dia menangkis
dengan pedang, "Trang" lelatu api berpijar. Ceng-kong-kiam di
tangan Toan Kiam-ping sampai melengkung. Melihat gelagat
tidak menguntungkan, lekas Han Cin maju membantu.
1648 Pertempuran berjalan seru alias setanding. Siang-kiam-happik
Tan dan In sebaliknya berhasil memukul mundur Hu Kianseng
lekas sekali mereka sudah bergabung dengan Toan dan
Han terus menerjang keluar dari kepungan.
Bok Su-kiat masih ingin mengudak, lekas Hu Kian-seng
membisikinya: "Biarkan mereka pergi."
Bok -Su-kiat melengak, katanya: "Kukira bocah itu sudah
kehabisan tenaga, kenapa tidak mumpung ada kesempatan
meringkusnya?"
Hu Kian Seng tertawa, katanya tersenyum: "Keluar rumah
harus pandai melihat cuaca, cuaca hari ini tidak
menguntungkan kita, biarlah mereka pergi saja."
Bok Su-kiat juga seorang licik, cepat sekali dia sudah
paham maksud Hu Kian-seng, katanya: "Betul juga, kita
mendapat perintah Baginda untuk menangkap Liong Bunkong,
biarlah bocah-bocah itu pergi saja." Segera dia memberi
aba-aba menarik pasukannya.
Setiba Tan dan In di atas gunung, sementara murid-murid
Kaypang yang lari berpencar itupun sudah berdatangan. Murid
Kaypang dipimpin Hu-thocu mereka, yaitu Lian Toa-ki untuk
memberi bantuan dimana perlu, tak nyana di tengah jalan
mereka kepergok pasukan Gi-lim-kun, tapi hanya beberapa
orang yang luka-luka ringan.
Cin Tay-hun tiba-tiba berkata: "Aku ingin pulang ke rumah
keluarga Liong menyerapi berita. Kali ini aku tidak menyamar
Ing Siu-goan, biarlah menjadi anggota Gi-lim-kun biasa."
"Seorang diri terlalu bahaya bagi dirimu," ujar Tan Cioksing.
Cin Tay-hun tertawa, katanya: "Berkelahi dengan orang,
aku tak bisa menandingi kau, tapi untuk berlari aku berani
bertaruh dengan kau. Aku bukan mencari Bok Su-kiat untuk
diajak berkelahi, maksudku setelah pasukan Gi-lim-kun ditarik
1649 mundur, baru aku akan menyelundup ke rumah Liong Bunkong.
Bila jejakku kenangan, aku akan segera lari."
Tan Ciok-sing tahu kepandaiannya, katanya: "Baiklah, kau
harus bertindak melihat gelagat, nanti malam kita jumpa di
markas lagi."
Setiba di markas Kaypang sudah menjelang kentong kedua.
Mereka langsung memberi laporan kepada Kaypang pangcu
Liok Kun-lun, baru saja mereka selesai membicarakan Cin Tayhun,
tiba-tiba Liok Kun-lun membentak: "Kalau kawan boleh
silakan masuk," belum lenyap suaranya terasa angin
berkesiur, api lilin bergoyang-goyang.
Waktu In San membelalakan mata, di depannya telah
berdiri seseorang, siapa lagi kalau bukan Cin Tay-hun"
"Cin-lote, hebat Ginkangmu," puji Liok Kun-lun tertawa.
"Banyak terima kasih, Wanpwe Cin Tay-hun menyampaikan
hormat kepada Cianpwe."
Liok Kun-lun tertawa, katanya: "Gurumu Siangkoan Linghong
setingkat lebih tinggi dari aku, waktu aku keluar
kandang, gurumu sudah menggetar Kangouw belasan tahun.
Kau menyebut aku Cianpwe, akulah yang tidak berani terima."
Wi-cui-hi-kiau juga hadir, setelah saling sapa dan basa-basi
ala kadarnya, baru diketahui perguruan mereka satu sama lain
memang ada ikatan, karuan suasana tambah gembira.
Cin Tay-hun mulai berceritera: "Pasukan Gi-lim-kun itu
ternyata hendak menangkap Liong Bun-kong."
"Apa benar?" Liok Kun-lun kaget, "jadi Liong Bun-kong
telah ditangkap mereka?"
"Tidak. Sebelumnya Hu Kian-seng sudah suruh orang
memberitahu, apalagi pasukan Gi-lim-kun mengerek panji
menabuh tambur, jangan kata Liong Bun-kong, anak buahnya
yang sedikit punya kedudukan dan simpananpun telah
1650 hengkang tak karuan parannya. Jadi yang ditangkapi pasukan
Gi-limkun hanyalah tukang kembang, koki, dayang kacung
atau tukang kuda, orang-orang yang tidak berdosa. Setelah
membekuk orangnya, harta disita, rumah disegel."
Lim Ih-su berkata: "Kalau demikian mana boleh dikata
mereka pergi menangkap Liong Bun-kong."
Liok Kun-lun berpikir sejenak, katanya tertawa: "Agaknya
mereka bukan pura-pura, memang kerja mereka kepalang
tanggung."
"Kepalang tanggung bagaimana?" tanya Lim Ih-su.
Liok Kun-lun menjelaskan: "Karena terdesak oleh situasi,
terpaksa raja harus mengorbankan Liong Bun-kong untuk
menentramkan hati rakyat, sekaligus untuk mempertanggung
jawabkan janjinya kepada Kim-to Cecu. Dia mengeluarkan
firman dan rakyat banyak mengetahui, ini tidak boleh dibilang
pura-pura, tapi dia membiarkan Hu Kian-seng dan kampratkampratnya
bersekongkol dengan Liong Bun-kong, jadi dalam
prakteknya ada permainan pura-pura pula. Meski kejadian
kepalang tanggung, kurasa masih lebih baik dari pada tidak
terjadi apa-apa."
Rasa dongkol Lim Ih-su masih belum terlampias, katanya:
"Mereka mementingkan hubungan pribadi, secara diam-diam
membebaskan Liong Bun-kong, betapapun bangsat tua itu
harus kita bekuk."
In San berkata: "Bangsat tua itu adalah musuh besarku,
hukuman untuk bangsat tua ini boleh serahkan saja kepada
aku dan Ciok-sing."
"Kalian jangan rebutan tugas, yang terpenting sekarang
adalah mencari tahu ke arah mana bangsat tua itu melarikan
diri?" In San berkata: "Kukira dia tidak akan berani lari ke
kampung halamannya."
1651 Cin Tay-hun berkata: "Aku sembunyi di hutan di belakang
gedung keluarga Liong orang-orang yang tidak sempat lari
semua ditangkap Gi-lim-kun. Tapi ada dua orang yang lari
paling akhir, meski melihat mereka orang-orang Gi-lim-kun
ternyata diam saja berpeluk tangan. Coba kalian terka siapa
kedua orang ini?"
"Kurasa dia bukan orang sembarangan." ujar Tan Ciok-sing.
"Mereka adalah Liong Seng-bu dan Poyang Gun-ngo."
"O, jadi Poyang Gun-ngo selama ini sembunyi di rumah
keluarga Liong, pada hal utusan rahasia Watsu berada di kota
raja, dia tetap menyembunyikan diri."
In San seperti memikirkan sesuatu, katanya kemudian: "Dia
sembunyi di rumah bangsat she Liong, kukira untuk berjagajaga
menghadapi bencana hari ini."
"Pendapatmu betul," ujar Cin Tay-hun, "Hu Kian-seng dan
Bok Su-kiat jelas kenal baik dengan Liong Seng-bu, tapi begitu
melihat Poyang Gun-ngo memapahnya keluar, mereka lantas
pura-pura tidak melihat, waktu itu ada beberapa orang Gi-limkun
yang berjaga di pintu belakang, ternyata mereka telah
dipindah ke lain tempat oleh Bok Su-kiat."
Lok In-hu berkata: "Sebulan yang lalu keparat Liong Sengbu
kena kupukul luka parah, ternyata masih kuat bertahan
hidup, boleh juga dia."
"Aku justru tidak habis mengerti, setelah dia terluka parah,
kenapa pamannya tidak segera memindahkannya ke tempat
lain lebih dulu, kok malah ditinggal paling akhir baru lari."
"Kurasa tidak sukar kutebak," ujar Lok In-hu, "justru karena
dia terluka, kuatir menambah beban, maka pamannya
meninggalkannya kepada Poyang Gun-ngo. Bukankah Hu
Kian-seng, Bok Su-kiat tidak berani bertindak kepada Poyang
Gun-ngo?" 1652 "Bahwa Poyang Gun-ngo selama ini tinggal di rumah
bangsat she Liong kurasa bukan hanya bertugas melindungi
Liong Seng-bu. Bahwa Liong Seng-bu harus lari paling akhir
kurasa bukan lantaran sang paman lebih mementingkan diri
sendiri, maka dia yang sudah luka-luka tidak dihiraukan lagi."
Lok In-hu bertanya: "Lalu bagaimana pendapatmu?"
"Menurut yang kutahu," ujar In San, "biasanya Liong Sengbu
menyimpan dan mengurus surat penting pamannya."
Liok Kun-lun menimbrung: "Maksudmu Liong Seng-bu
punya tugas untuk membakar surat-surat penting yang tidak
sempat dibawa kabur itu. Padahal betapa banyak dokumentasi
yang tersimpan, di antara sekian banyak dokumentasi itu. Dia
harus memilih mana yang harus dibawa dan mana yang harus
dibakar, sehingga mereka terlambat melarikan diri."
"Betul, begitulah dugaanku," sahut In San.
"Aku bisa membuktikan bahwa dugaanmu tepat," ujar Cin
Tay-hun, "dari tubuh keparat itu aku berhasil mencuri
selembar dokumen, yaitu peta militer di daerah Liang-ciu,
kukira peta gambar ini boleh termasuk dokumen rahasia," lalu
dia keluarkan peta gambar itu serta dibeber di hadapan orang
banyak, gambar peta ini amat bagus dan teliti, lengkap
dengan tanda-tanda dan penjelasannya, dimana ada berapa
pasukan, bagaimana persenjataannya, semua dijelaskan
dengan terperinci.
Liok Kun-lun keki setelah melihat peta itu, katanya: "Kecuali
sekongkol dengan bangsa asing, Liong Bun-kong ternyata
sudah ada niat menjual nusa dan bangsa. Sebagai sekretaris
negara dia memanfaatkari fasilitas maka kekuatan tentara
pada setiap kota-kota besar diketahuinya dengan jelas. Peta
militer seperti ini kukira bukan hanya selembar ini. Mungkin
dia hendak menjualnya kepada pihak Watsu."
"Memang dalam kantong bajunya menyimpan setumpukan
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
surat-surat, sayang ada Poyang Gun-ngo di sampingnya, aku
1653 hanya berhasil mencuri selembar saja," demikian tutur Cin
Tay-hun. "Poyang Gun-ngo memapahnya jalan," demikian ujar Lok
In-hu, "bagaimana kau bisa turun tangan?"
Setelah Cin Tay-hun menceritakan pengalamannya, orang
banyak tertawa terpingkel-pingkel.
Wajah Cin Tay-hun sudah tidak menyamar Ing Siu-goan,
tapi dia masih mengenakan seragam perwira Gi-lim-kun,
secara diam-diam dia menguntit dibelakang Poyang Gun-ngo
dan Liong Seng-bu, setiba di tempat sepi baru dia unjukkan
diri, dengan sikap angkuh dia maju memeriksa.
Sebetulnya Poyang Gun-ngo dan Bok Su-kiat sudah ada
intrik, tak nyana sekarang mengejar datang seorang perwira,
sudah tentu dia menjadi blingsatan,
"Apakah Bok Su-kiat hendak melaporkan sesuatu kepadaku,
maka mengutus kemari menemui aku?" Demikian bentak
Poyang Gun-ngo.
Cin Tay-hun pura-pura bingung seperti orang linglung,
katanya: "Siapa kau, berani menyebut langsung nama besar
pemimpin kita" Aku ditugaskan membekuk keluarga buronan."
Poyang Gun-ngo berpikir: "Kiranya orang linglung, tak
heran tidak menghiraukan perintah atasannya, diam-diam
mau mencari keuntungan sendiri di tempat sepi." Sekali pukul
dia menghancurkan sebuah batu, bentaknya: "Aku ini Busu
kelas satu Poyang Gun-ngo dari Watsu, teman baik Bokjongling
kalian." Cin Tay-hun pura-pura kaget, katanya: "Oh.
ya,ya, aku salah mengenal orang. Maaf, Liong-siauwya, aku
salah mengenalmu," sengaja dia pura-pura mau menjilat
kepada Liong Seng-bu, tapi diluar tahu orang diam-diam dia
telah kembangkan kepandaian copetnya.
Setelah reda gelak tawa orang banyak, Liok Kun-lun
berkata: "Tadi kita telah melukiskan keadaan kemana kira-kira
1654 Liong Bun-kong bakal lari, sayang unsur penting yang satu ini
tidak kita pikirkan sebelumnya."
Lim Ih-su berkata: "Betul, melihat gelagatnya,
kemungkinan bangsat tua itu sudah lari ke Watsu."
Hasil dari perundingan, hadirin setuju mengutus Tan dan In
pergi ke Watsu untuk menyelidik sekaligus membunuh Liong
Bun-kong. Sebelum berpisah sudah tentu perasaan amat tertekan,
terutama Kek Lam-wi, Toh So-so Toan Kiam-ping dan Han Cin
berat untuk berpisah. Toan dan Han akan kembali ke Tayli,
sementara Kek Lam-wi dan Toh So-so akan kembali ke
Thayouw memberi kabar kepada Ong Goan-tin.
Tiba-tiba Cin Tay-hun berkata: "Kek-jithiap, Toh Lihiap,
apakah kalian bermusuhan dengan Thian-liong-kiam-kek Liu
Jiu-ceng?"
"Betul," Toh So-so menjawab, "putranya Kangouw Longcu
Liu Yau-hong pernah kurusak mukanya, kenapa?"
"Kabarnya mereka akan menuntut balas kepadamu, ibu Liu
Yau-hong bergelar Yan-Lo-sai bernama Bing Lan-kun, adalah
gembong iblis perempuan di masa lalu, dia terlalu
memanjakan putranya, mungkin dia yang paksa suaminya
turun gunung untuk membuat perhitungan dengan kalian,
kalian harus hati-hati."
"Terima kasih atas perhatianmu, kami akan berlaku hatihati,"
kata Kek-lam-wi, seperti ingat sesuatu tiba-tiba dia
tertawa, katanya pula: "Tan-toako, semoga kita lekas bertemu
lagi." Tan Ciok-sing kira orang hanya mengucap hiburan sebelum
berpisah, maka dia tidak ambil di hati, tidak lama kemudian
haripun telah terang tanah.
Setelah pamitan pada orang banyak Tan dan In berangkat
naik kuda ke utara.
1655 Diluar dugaan, sepanjang jalan mereka tidak pernah
mengalami apa-apa, tapi juga tidak berhasil mengejar Liong
Bun-kong atau menemukan jejak mereka.
Hari itu mereka tiba di kampung kelahiran In San, yaitu
kota Tay-tong. Setelah ditimpa perang, kota Tay-tong jauh lebih parah
lagi, beberapa hotel dan restoran besar banyak yang telah
menghentikan usahanya. Setelah malam tiba tentara negeri
yang mondar mandir di jalan raya lebih banyak dari penduduk
yang melancong di jalanan.
Rumah In San ada di Tay-tong, setiba di Tay-tong sudah
tentu In San amat rindu dan haru. Rumahnya sudah disegel,
harta peninggalan ayahnya juga disita habis.
Waktu memasuki kota hari mulai petang. Tan Ciok-sing
mengajak cari penginapan, tiba-tiba In San berkata: "Tak usah
cari penginapan."
Tan Ciok-sing maklum, katanya:
"Betul, nginap di hotel mungkin menarik perhatian orang.
Tapi kemana kita harus berteduh?"
In San tertawa, katanya: "Kau lupa rumahku ada disini?"
"Sudah dua tahun rumahmu disegel, mungkin sekarang
sudah dilelang."
"Apa salahnya kita kesana. Kalau sudah menjadi milik orang
lain, nanti kita cari tempat lain."
Diluar dugaan, meski segel di atas pintu sudah luntur, tapi
kertas segel itu masih menempel kencang, berarti rumah itu
masih dalam kekuasaan yang berwenang, diluar juga tidak
dijaga. Mereka masuk melewati tembok, ternyata pekarangan juga
terawat baik, tidak seperti yang diduga In San, tumbuh
rumput dan alang-alang liar. Waktu In San masuk ke kamar
1656 tidurnya, pajangan dan keadaan sesuatunya ternyata tidak
ada perobahan, demikian pula kamar buku, dan kamar-kamar
lainnya, semua dalam keadaan teramat bersih.
Kaget dan riang hati In San, katanya: "Agaknya ada orang
sering membersihkan rumah ini."
Tan Ciok-sing berkata: "Rumah yang telah disegel masakah
mereka mau merawatnya begini baik, kejadian cukup
mencurigakan."
In San tertawa, katanya: "Kita toh hanya menginap
semalam, peduli apa sebabnya, bermalam disini kan lebih
mending dari pada menginap di hotel."
Tengah malam, tiba-tiba terdengar kuda dan kereta
mendatangi, ternyata berhenti di depan rumah In San. "Eeh,
mereka mendorong pintu dan masuk kemari, siapa yang
bernyali sebesar ini?"
Tengah mereka bertanya-tanya, terdengar sebuah suara
yang sudah dikenal berkata: "Rumah keluarga In ini kusuruh
walikota Tay-tong untuk merawatnya baik-baik, pesanku
ternyata dipatuhi dengan baik. Ai. tapi sekarang aku..." yang
bicara ini bukan lain adalah keponakan Liong Bun-kong, yaitu
Liong Seng-bu. Maklum sejak bertemu pertama kali Liong Seng-bu sudah
kasmaran kepada In San, kala itu pernah dia merangkai
muslihat hendak ngapusi In San menjadi isterinya, karena itu,
meski rumah keluarga In disegel dan hartanya disita, namun
secara diam-diam dia masih suruh orang merawat rumah ini
baik-baik. Masih terbetik harapan dalam benaknya bila kelak
dia benar-benar berhasil mempersunting In San, sang isteri
akan diajak pulang ke rumahnya supaya dia kaget dan
senang. Sekarang In San memang kaget dan senang, rasa
senangnya jauh lebih besar dari rasa kaget, tapi rasa senang
1657 yang diluar dugaan ini jauh berlawanan dengan rasa senang
yang diharapkan oleh Liong Seng-bu.
Senang karena dicari susah-susah tidak ketemu, tahu-tahu
ketemu tanpa membuang tenaga. Bangsat kecil yang dicari
jejaknya tidak ketemu tahu-tahu malah mengantar jiwanya
sendiri. Maka seseorang berkata: "Buat apa Kongcu susah, musibah
yang menimpa pamanmu ini hanya sementara saja, setiba di
Holin, Khan Agung pasti memanfaatkan tenaga dan
pikirannya. Memangnya Kongcu kuatir tidak akan bisa hidup
senang dan foya-foya" Kelak bila Pak-khia berhasil kita rebut,
pamanmu tidak akan hanya menjadi sekretaris belaka," logat
bahasa Han orang ini agak kaku, dia bukan lain adalah Poyang
Gun-ngo yang menyelundup di rumah Liong Bun-kong.
Suara lain yang sudah dikenal bersuara: "Ting-congping
yang berkuasa di Tay-tong dulu adalah pamanmu yang
mengangkat, kukira umpama sekarang Kongcu pergi ke
markas militernya sana. diapun akan menyambutmu dengan
tangan terbuka," orang ini adalah Huwan Liong, tertua dari
Huwan bersaudara.
Liong Seng-bu tertawa getir, katanya: "Situasi sekarang
beda dengan masa lalu, sebagai jendral yang berkuasa di
perbatasan, berita yang dia terima tentu cukup luas dan cepat,
kau kira setelah dia mendengar kabar jelek tentang musibah
yang menimpa keluargaku masih mau mengingat hubungan
baik masa lalu?"
Huwan Liong berkata: "Justru karena berita yang dia
peroleh cepat dan luas kukira Bok-jongling sudah mengirim
orang memberitahu kepada dia. Umpama dia tidak peduli
hubungan masa lalu, paling tidak dia harus memikirkan
nasibnya kelak bila Lo-tayjin suatu ketika memperoleh
kekuasaannya kembali. Bahwa sejauh ini Lo-tayjin masih segar
bugar di daerah Tay-tong ini, kuyakin pasti juga karena jasa
baiknya. Kalau Lo Tayjin sudah diberi fasilitas sehingga keluar
1658 dengan selamat, memangnya dia bakal mencelakai kau
Kongcu?" "Bukan kuatir diketahui orang, tapi takut dilihat orang,
kalau secara terang-terangan kita mampir ke markas besarnya
sikapnya tentu serba runyam. Maka lebih baik kita menyingkir
saja. Karena itu aku lebih senang menyobek segel ini, meski
melanggar hukum, biarlah aku menginap di rumah keluarga In
semalam saja."
Huwan Liong tertawa, katanya: "Kongcu memang
berpandangan jauh, teliti lagi, bermalam disini tiada yang
mengganggu, yah memang lebih menyenangkan dari pada
menginap di hotel," sembari bicara mereka sudah memasuki
ruang tamu. Huwan Kiau menyulut lentera terus memimpin
jalan di sebelah depan.
Tiba-tiba terdengar jengek tawa dingin sinar pedang
menyilau mata, In San sudah menerjang keluar lebih dulu,
bentaknya: "Di sorga ada jalan kau tidak mau kesana, akJiirat
tiada pintu kau justru menerjangnya masuk. Liong Seng-bu
pentang mata anjingmu, lihat siapa aku?" tampak In San
berdiri jajar dengan Tan Ciok-sing sambil menyoreng pedang.
Karuan kaget Liong Sengbu bukan kepalang.
"Kongcu lekas lari," teriak Huwan Liong gugup.
Huwan Kiau melempar lentera yang dipegangnya, "ting,
ting, ting" secepat kilat empat bersaudara ini melolos pedang
membentuk barisan.
Poyang Gun-ngo berteriak: "Kongcu, kalau kau tidak bisa
lolos, lekas kau hancurkan dokumen itu. Biar aku pergi
mengundang bantuan," dia kuatir Tan dan In tidak akan
membiarkan dirinya pergi maka sengaja dia bilang bahwa
dokumen-dokumen penting berada di badan Liong Seng-bu,
pada hal surat-surat yang paling penting sudah berada di
sakunya. 1659 Sudah tentu Liong Seng-bu gugup dan gusar pula, tapi
sebelum dia sempat bertindak sekonyong-konyong sinar
pedang berkelebat, disusul dering suara ramai, pedang
panjang Huwan bersaudara telah terpapas kutung oleh
sepasang pedang mustika Tan Ciok-sing dan In San.
Liong Seng-bu terluka delapan goresan dan tusukan, lima
luka di badannya lantaran tergores dan tertusuk kutungan
pedang Huwan bersaudara yang terpental balik. Dengan
jeritan menyayat hati dia terjungkal roboh berkelejetan, darah
membanjir dari luka-lukanya, jiwanya jelas takkan tertolong
lagi. Setelah menyeka noda darah di pucuk pedangnya, In San
sarungkan kembali pedangnya, katanya: "Inilah ganjaran
setimpal seorang jahat. Nasib Liong Seng-bu bangsat durjana
ini patut kalian jadikan contoh."
Tan Ciok-sing menambahkan: "Mengingat kalian hanya
diperalat, belum pemah melakukan kejahatan besar, maka
hari ini kami ampuni jiwa kalian, semoga selanjutnya kalian
tahu diri, membina diri kembali ke jalan yang benar, nah
silakan kalian pergi."
Huwan bersaudara tidak sangka bahwa Tan Ciok-sing
mengampuni jiwa mereka, lekas Huwan Liong menjura,
katanya: "Terima kasih akan budi kebaikan Tan-siauhiap
mengampuni jiwa kami, kami akan patuh petuah dan nasehat
siauhiap, selanjutnya tidak akan berkecimpung di kalangan
Kangouw lagi."
Hari hampir terang tanah, In San menghela napas,
katanya: "Marilah kita melanjutkan perjalanan saja," dengan
perasaan berat terpaksa dia meninggalkan rumah dan
kampung halaman tempat kelahirannya.
"Dari pembicaraan mereka dapat kita simpulkan, bahwa
bangsat tua she Liong diam-diam telah dibebaskan keluar
1660 perbatasan, Kim-to Cecu berada di Gan-bun-koan, mari kita
mampir ke markasnya memberi laporan."
Sekeluar dari Tay-tong, sepanjang jalan tiada kejadian apaapa,
bagi In San merupakan kembali ke tempat yang pernah
dikunjungi, maka dia yang menuntun jalan. Mendapat laporan,
bergegas Kim-to Cecu keluar menyambut sendiri, katanya:
"Tan-siauhiap, bikin kalian capai saja. Sudah dua tahun aku
menunggumu, hari ini baru bisa bertemu dengan kau. Kau
membuat pahala besar di kota raja, aku sudah tahu,
tindakanmu patut dipuji, setulus hati aku haturkan banyak
terima kasih kepadamu."
"Semua itu juga berkat rencana Cecu yang baik, aku hanya
melaksanakan tugas saja, mana berani menerima jasa segala"
Namun meski Baginda sudah menerima beberapa syarat yang
kita ajukan, aku kuatir dia tidak akan melaksanakan janjinya
dengan sepenuh hati. Ada beberapa persoalan ingin
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kulaporkan kepada Cecu."
Kim-to Cecu tertawa, katanya: "Sudah logis kalau urusan
tidak akan berjalan lancar, pihak kerajaan tidak akan sepenuh
hati melawan penjajah, itupun sudah dalam dugaanku. Marilah
kita bicara didalam saja."
Dalam perjamuan yang diadakan khusus untuk menyambut
kedatangan Tan Ciok-sing, Tan Ciok-sing ceritakan
pengalamannya bertemu dan berunding dengan Baginda,
serta ceritakan pula pengalaman dan apa yang dilihatnya
sepanjang jalan setelah dia keluar dari kota raja.
Kim-to Cecu berkata: "Bukankah kalian hendak meluruk ke
Watsu membalas dendam kepada Liong Bun-kong disana" Aku
tidak menentang kalian menuntut balas, tapi aku berpendapat
kalian harus menunggu saat yang tepat, sekarang kukira
belum tiba saatnya."
In San berkata: "Kami akan pergi ke Thian-san, sekalian
lewat Watsu. Jikalau kesempatan ada, kami akan turun
1661 tangan. Kalau tidak paling ya hanya lewat Holin saja langsung
menuju ke Thian-san. Paman tidak usah kuatir, aku sudah
belajar rias dari Han-cici, di Watsu belum tentu kami bisa
bertemu orang yang kenal kami."
Tan Ciok-sing bertanya: "Situasi terakhir bagaimana"
Mungkin terjadi peperangan pula."
Kim-to Cecu berkata: "Watsu baru saja mefngalami
kekalahan total di medan laga, rencana permohonan damai
raja dynasti Bing gagal lagi, menurut pengalaman dan
menganalisa keadaan, mereka perlu membangun pula
pasukannya dan mempersenjatainya lebih lengkap, itu
memerlukan waktu hampir setahun, yakin dalam jangka
selama itu, mereka tidak akan berani mengadakan invansi
lagi." "Kalau begitu, jangka setahun ini sudah cukup untuk kami
pulang pergi ke Thian-san. Siau-tit adalah murid penutup Thio
Tan-hong Thio Tayhiap, tentunya paman sudah tahu."
"Apakah sebelum gurumu meninggal ada meninggalkan
pesan supaya kau pergi ke Thian-san, menemui saudara
seperguruanmu?" tanya Kim-to Cecu.
"Menemui sesama seperguruan adalah tugas sampingan. Di
masa tuanya guruku berhasil menciptakan ilmu pedang baru,
kupikir akan kuserahkan kepada Toa-suheng."
Kim-to Cecu manggut-manggut, katanya: "Ya, memang
sepantasnya." Lalu menambahkan, "Toa-suhengmu Toh
Thian-tok adalah cikal bakal Thian-san-pay dan sekarang
menjabat Ciangbunjin, sekarang dia diakui umum sebagai jago
pedang nomor satu di seluruh jagat ini. Aku tahu gurumu'
meninggal di kala kau masuk perguruan, bila ada kesempatan
kau menemui Toa-suheng dan mohon petunjuknya memang
baik." Setelah urusan dinas dibicarakan, tiba-tiba Kim-to Cecu
teringat seseorang, katanya: "Kebanyakan rakyat Watsu dan
1662 bala tentaranya tidak ingin berperang, menurut apa yang
kuketahui, di Watsu ada delapan jendral yang masing-masing
menguasai satu divisi tentaranya, salah satu jendral besarnya
bernama Abu. Jendral Abu paling getol menentang politik
perang junjungannya, dia lebih cenderung hidup
berdampingan dengan damai dengan berbagai bangsa
tetangga. Bila dipandang perlu, setiba disana boleh kalian
berusaha menemuinya."
Hari kedua Tan Ciok-sing ikut In San sembahyang di depan
makam ibu In San, lalu berpamitan dan berangkat naik kuda.
Setelah tiba di gurun sahara, alam semesta beda pula
bentuknya, setelah kepanasan di gurun pasir kini mereka
berada di dunia salju.
Hari itu mereka lewat di bawah sebuah gunung bersalju,
bentuk gunung salju ini mirip sebuah menara, tingginya
menembus mega, sehingga pucuk gunung yang lurus tegak ke
langit itu mirip sebuah tonggak bumi yang menyanggah langit,
di lereng gunung tampak sejalur garis kemilau yang
memancarkan cahaya cemerlang warna kebiruan, kelihatannya
mirip sebuah aliran sungai, tapi dari kejauhan tidak nampak
airnya mengalir. Tapi mereka tahu itulah Ping-joan atau
sungai es. Mereka terpesona menyaksikan keindahan panorama yang
belum pernah mereka lihat. Di saat mereka menjublek itulah,
tiba-tiba dari arah hutan lari keluar seekor kuda yang
ketakutan, di belakangnya mengudak seekor badak bercula
tunggal berkulit putih. Perawakan badak putih ini jauh lebih
besar dari lembu air yang paling besar yang pernah Tan Cioksing
lihat. Lari badak secepat terbang, dalam sekejap lagi kuda itu
jelas bakal tercandak, penunggang kuda adalah pemuda
berusia enam belasan tahun, saking ketakutan sambil keprak
kudanya, mulutnya berkaok-kaok minta tolong.
1663 Tan Ciok-sing tidak banyak pikir lagi, "Tar, tar". Dua kali
cambuknya melecut kuda, serta dibedalnya mengejar kesana.
Tapi cepat sekali badak bercula itu sudah berhasil menyusul
kuda tunggangan si pemuda, mungkin saking ketakutan, kuda
itu menjadi binal dan liar, mendadak dia melonjak-lonjak
sehingga si pemuda dilempar, jatuh dari punggungnya.
Lekas Tan Ciok-sing juga menyendal kaki, tubuhnya
melesat terbang ke depan, dengan Ginkangnya yang luar
biasa, tubuhnya meluncur melebihi kecepatan anak panah, di
tengah udara tubuhnya bersalto berulang kali pedang
mustikanya telah terlolos di tangan, dari atas dia menukik
dengan terjangan dahsyat, pedangnya menusuk ke arah si
badak. Keadaan sedemikian gawat, jiwa si pemuda sudah di ujung
tanduk, syukur Ciok-sing berhasil menubruk, tusukan pedang
Tan Ciok-sing dengan telak menusuk mata si badak,
berbareng tangan kiri bekerja mendorong si pemuda. Tenaga
yang dipergunakan sudah diperhitungkan sehingga pemuda
itu hanya terguling-guling di atas salju, namun kebetulan lolos
dari serudukan badak, hampir saja tubuhnya terinjak remuk.
Karena matanya buta badak itu jadi meraung gusar dan
main terjang membabi buta. "Blang" akhirnya menumbuk batu
besar sehingga cula putus kepala pecah, namun tidak seketika
mati, dengan suaranya yang mengerikan berguling-guling
akhirnya jatuh kedalam selokan gunung dan terbanting
hancur. Rasa kejut si pemuda belum lenyap, meski tidak terluka
sedikitpun, saking kaget dan ketakutan, kakinya terasa lemas
dan tidak mampu merangkak bangun. Lekas Tan Ciok-sing
memapahnya berdiri, katanya dengan bahasa Mongol yang
baru saja dipelajari: "Badak liar itu sudah mati, sudah aman,
kau..." tiba-tiba dia merasa wajah pemuda ini seperti sudah
amat dikenalnya, sesaat lamanya mereka saling pandang
dengan melongo, lalu berteriak senang bersama.
1664 Bertemu dengan kawan lama, senang si pemuda bukan
main, dengan kencang dia pegang lengan Tan Ciok-sing,
katanya dengan bahasa Han yang fasih: "Tan-toako kau masih
ingat padaku" Soat-li-ang pemberianmu itu masih kupelihara,
sekarang ocehannya lebih baik lebih merdu lagi."
Pemuda ini bukan lain adalah Siau-ongya dari Watsu yang
dulu ikut ayahnya pergi ke Pakhia waktu ayahnya bertugas
sebagai duta rahasia. Hari itu bersama anak buahnya dia
bertamasya di tembok besar, di Pat-tat-nia bertemu dengan
Tan Ciok-sing kebetulan Tan Cioksing menangkap seekor
burung yang jarang bisa ditangkap manusiaj burung Soat-liang
(merah dalam salju), Siau-ongya amat menyenangi
burung itu, maka Tan Ciok-sing berikan burung itu.
"Siau-ongya, kau baik." Sapa In San dengan tertawa.
Sesaat lamanya Siau-ongya pandang In San, akhirnya
berkata dengan tertawa: "Tan-toako, temanmu ini ternyata
seorang nona secantik ini, hampir aku tidak mengenalnya
lagi," seperti diketahui, waktu bertemu di tembok besar dulu
In San menyamar laki-laki.
In San keluarkan kipas lenipit gagang emas itu, katanya
sambil diacungkan: "Kado yang kau berikan kepada Tantoako,
dia minta aku menyimpannya. Kipas ini tidak sedikit
membantu kami, aku harus berterima kasih kepadamu."
"Ah, terhitung apa," ujar Siau-ongya, "kipas itu pemberian
raja kalian, lalu kuberikan lagi kepada Tan-toako." Sejak kecil
dia sudah diajar membaca bahasa Han, maka bicaranya juga
amat lancar. "Siau-ongya,-kenapa seorang diri kau berada di atas
pegunungan liar ini, tidak membawa pengikut?" tanya In San.
Siau-ongya bertanya: "Apakah kalian perriah dengar suatu
dongeng bahwa di puncak gunung salju ini ada istana es?"
1665 "Dari kaum gembala aku pernah mendengarnya, tapi itu
hanya dongeng saja," ujar Tan Ciok-sing.
"Tidak, aku justru percaya bahwa istana es kenyataan
memang ada."
Melihat orang bicara tegas dan penuh keyakinan, Ciok-sing
jadi heran, tanyanya: "Dari mana kau tahu?"
"Ayahku yang bilang. Tapi aku mencuri dengar
pembicaraan ayah, hanya sedikit yang kutahu. Kali ini diluar
tahu ayah diam-diam aku pergi kesini."
Maka dia menceritakan kejadiannya: "Sudah lama aku
mendengar dongeng itu maka ingin aku membuktikan sendiri,
tapi tiada orang berani mengantar aku, suatu ketika pernah
aku nyatakan isi hatiku, ayah menghajarku malah. Katanya
jangan kata berita tentang istana es itu hanya obrolan orang
belaka, umpama benar ada istana es seperti yang disebar
luaskan itu, akupun dilarang menempuh bahaya. Maka sejak
itu aku tak berani menyinggung soal itu. Tapi semakin dilarang
semakin benar tekadku. Semalam, tak sengaja aku mencuri
dengar pembicaraan ayah dengan seorang Wisu yang baru
datang, agaknya ayah menyuruh dia pergi mencari seseorang,
orang ini sedang pergi ke istana es di puncak salju ini, diamdiam
aku menguntit Wisu itu, tak nyana di pegunungan sepi
ini aku kesasar, badak liar itupun hampir saja menyerudukku
mampus. Tan-toako, syukur kau menolongku."
Tan Ciok-sing berkata: "Sekarang kau telah melihat puncak
salju yang menembus mega itu, apa yang dikatakan ayahmu
memang tidak salah, umpama benar di atas gunung ada
istana es, jelas kau takkan mampu naik kesana, lebih baik kau
pulang saja."
Setelah mengalami berbagai penderitaan pangeran kecil ini
memang sudah kapok dan agak menyesal, katanya menghela
napas: "Jangan kata aku tidak mampu naik ke puncak gunung
salju itu, jalanan gunung yang lika-liku dan tidak rata inipun
1666 sudah cukup membuatku kepayahan, bila kepergok lagi
binatang liar macam badak tadi, kemana aku harus mencari
penolong" Jejak Wisu itu tak karuan parannya, terpaksa aku
harus pulang. Apakah kalian akan mampir ke Holin, aku harap
suatu ketika aku bisa menyambut kedatangan kalian."
Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Umpama kami pergi ke
Holin, kami juga tidak bisa mencarimu di istana ayahmu."
Siau-ongya menepuk kepalanya sendiri, katanya: "Iya,
kenapa aku jadi pikun, aku hanya anggap kalian adalah teman
baikku, kenapa lupa bahwa kalian pernah bentrok dengan Milo
Hoatsu dan Wisu-Khan kita yang bernama Poyang Gun-ngo,
ayahku adalah teman mereka, sudah tentu kalian tidak bisa
tinggal di rumahku. Tapi kalau kalian tiba di Holin. aku bisa
mengatur suatu tempat lain untuk tempat tinggal kalian."
"Terima kasih akan maksud baik Siauongya, ada satu hal
ingin mohon bantuanmu."
"Tan-toako, tadi kau menolong jiwaku, mumpung aku
sedang bingung bagaimana harus membalas budi
pertolonganmu. Coba katakan, bila aku mampu lakukan,
apapun yang kau suruh pasti kulaksanakan sekuat
kemampuanku."
"Jangan kau ceritakan kepada siapapun akan pertemuan
dengan aku disini."
"Jangan kuatir Tan-toako, aku tahu maksudmu."
Kuda yang ditunggangi siauongya adalah kuda perang yang
sudah dilatih baik, setelah bebas dari pengejaran badak,
tampak dia sudah lari keluar dari hutan. Siauongya segera
cemplak ke punggung kudanya, setelah menghatur terima
kasih pula atas pertolongan Tan Ciok-sing baru dia pergi.
Tan dan In melanjutkan perjalanan, tiba-tiba tampak dua
orang sedang lari dikejar empat orang berkedok muka.
Seorang pemuda yang lari di sebelah kiri kecandak oleh
1667 seorang berkedok, lekas sekali, teman pemuda itu sudah
dikepung tiga orang berkedok yang lain.
Orang yang dikoroyok tiga itu agaknya memiliki kepandaian
tinggi, meski dikeroyok dia masih mampu balas menyerang.
Sementara pemuda yang kecandak itu berteriak: "Aku tidak
salah dan tidak pernah bermusuhan dengan kalian, kenapa
kalian mengudak dan hendak membunuhku?"
Orang berkedok yang mengudak itu tertawa tergelak-gelak,
katanya: "Memang kau tidak punya permusuhan pribadi
dengan aku, tapi siapa suruh kau menjadi anak Jendral Abu?"
Mendengar 'Jendral Abu', lekas Tan Ciok-sing keprak
kudanya memburu kesana.
Orang berkedok sudah menyusul si pemuda, tiba-tiba dia
menjejak kaki tubuhnya melejit tinggi ke atas, seperti elang
menyambar kelinci, tangannya mencengkram ke kuduk si
pemuda. Kuda Tan Ciok-sing berlari kencang, kedatangannya
tepat waktunya. Tan Ciok-sing sudah melompat ke depan
mengadang di depan orang berkedok. Melihat Ginkang orang
ini cukup tinggi tanpa ayal dia menusuk dengan pedang
seraya membentak: "Biar kutabas cakar anjingmu."
Orang itu menukik dengan tubrukan kencang, sebenarnya
sukar menghindar. Tak nyana lengannya tahu-tahu bisa
melengkung selemas ular, tusukan pedang Ciok-sing
mengincar pergelangan tangannya, dia yakin sasarannya pasti
kena telak, diluar dugaan tusukannya meleset.
Gerakan kedua pihak secepat kilat, sebelum kaki
menyentuh bumi, cakar orang itu sudah beralih mencengkram
tulang pundak Tan Ciok-sing, serangannya menggunakan
Hun-kin-joh-kut-hoat tapi gaya dan permainannya agak aneh
dan lucu, gaya dan gerakannya itu jelas amat berbeda dengan
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ilmu sejenis yang dipelajari oleh cabang persilatan df
Tionggoan, belum pernah Tan Ciok-sing melihat ilmu seaneh
itu. Sudah tentu Tan Ciok-sing juga tidak mudah dicengkram,
1668 sedikit berputar, selicin belut dengan jurus Jit-sing-poan-gwe,
sambil berkelit sekaligus dia menusuk tujuh Hiat-to di tubuh
lawan. Orang itu kena sekali tusukan pedangnya, tahu keliehayan
Tan Ciok-sing, segera dia kabur. Sayang tusukan Tan-ciok-sing
tidak mengenai Hiat-to, namun dia merasa takjub juga melihat
keliehayan Kungfunya.
Tujuan Tan Ciok-sing hanya menolong orang, tak sempat
dia mengudak, teriaknya: "Adik San..." dia ingin supaya In San
mencegat orang itu, tak nyana sebelum In San turun tangan
orang itu sudah mati. Mati dibunuh oleh teman si pemuda.
Orang itu terdesak kewalahan dikeroyok tiga lawannya,
entah bagaimana, mendadak dia meraung serta
memperlihatkan kemahirannya, sekaligus tiga pengoroyoknya
kena dibunuh, kejadian hanya sekejap mata belaka. Orang ke
empat yang lari setelah tertusuk pedang Tan Ciok-sing juga
dikejarnya, saking kaget orang berkedok itu berteriak:
"Buyung Ka, kau..." "Bles" tahu-tahu pedang sudah menusuk
jantung, jiwanya melayang seketika di bawah pedang orang
itu. Tan Ciok-sing membimbing si pemuda, pemuda itu
memperkenalkan diri: "Aku bernama A Kian, terima kasih akan
pertolongan Congsu..." belum habis dia bicara, tiba-tiba
dilihatnya orang berkedok yang tadi memburu dirinya jatuh
terguling dari atas lereng, kedok mukanya kecantol duri
sehingga tertanggal dan kelihatanlah wajah aslinya, tak
sempat bicara dengan Tan Ciok-sing, dia berteriak kaget:
"Hah, kiranya kau..."
"Siau-ya," sentak temannya itu, agaknya dia berusaha
mencegah si pemuda mengatakan nama orang itu.
A Kian tertawa, katanya: "Dia tuan penolong jiwaku,
kenapa tidak boleh kukatakan, orang ini adalah Busu kelas
satu dari Yu-hian-ong, bernama Jik Thian-tek."
1669 "Tak heran dia memiliki Kungfu seliehay itu," ujar Tan Cioksing.
"Kau orang Han bukan?" tanya A Kian, "kau juga tahu Yuhian-
ong?" "Nama besar Yu-hian-ong siapa tidak kenal, dalam
negerimu dia hanya di bawah Khan Agung, sebelum aku
berkunjung ke negerimu, aku sudah tahu." Dalam hati diamdiam
dia tertawa, "bukan hanya kenal saja, aku malah musuh
besarnya."
A Kian segera memperkenalkan orang itu: "Dia ini Wisu
ayahku, bernama Buyung Ka."
Buyung Ka berkata: "Terima kasih akan pertolonganmu
kepada Siauya," sembari bicara dia ulur tangan berjabatan
tangan. Tan Ciok-sing tahu orang sengaja hendak menjajal
Kungfunya, diam-diam dia jabat uluran tangan orang. Buyung
Ka kerahkan tenaganya sampai sembilan puluh persen,
tenaganya seperti kecemplung laut tidak berbekas, lawan juga
tidak kerahkan tenaga balas menyerang. Sebagai ahli silat, dia
insyap bahwa kepandaian Tan Ciok-sing masih lebih tinggi,
lekas dia lepas tangan dan berkata: "Kagum, kagum."
A Kian kegirangan, katanya: "Apa kalian mau ke Holin?"
Tan Ciok-sing mengiakan.
"Ada urusan apa?"
"Kami mengungsi, ingin mencari pekerjaan."
A Kian kegirangan, katanya: "Ayah memang sedang
mencari pelindung, jikalau kau sudi boleh..."
Lekas Tan Ciok-sing berkata: "Kebetulan malah bagi aku
yang sedang nganggur ini," dalam hati dia membatin: "Tanpa
membuang waktu, aku bakal bertemu dengan Jendral Abu."
1670 "Kau sudah tahu siapa ayahku bukan?" tanya A Kian.
"Tadi kudengar dari mulut kawanan jahat tadi, ayahmu
ternyata Jendral Abu."
"Betul," ujar A Kian.
"Setelah memasuki wilayah negerimu, sepanjang jalan aku
mendengar orang menyanjung puji Jendral Abu, tak nyana
disini aku bertemu dengan Kongcu."
"Kau adalah penolongku, jangan sungkan. Nona ini..."
"Dia adikku," Tan Ciok-sing memperkenalkan.
"Baiklah, kuundang kalian kakak beradik mampir ke
rumahku. Ayahku berbeda dengan para Jendral yang lain,
terhadap orang Han atau orang Mongol dipandang sama rata."
Melihat A Kian bersikap sebaik itu, terpaksa Buyung Ka ikut
bersikap baik pula.
"Siauya," ujar Buyung Ka, "kejadian hari ini, sepulangmu
nanti hanya boleh kau beritahu kepada ayahmu saja. Kepada
orang lain, sekali-kali kau jangan bercerita."
"Aku tahu," sahut A Kian, "Tan-heng, tolong kalianpun ikut
merahasiakan kejadian ini."
Tan Ciok-sing pura-pura tidak paham, tanyanya: "Entah
boleh tidak aku bertanya?"
"Aku tahu apa yang ingin kau tanyakan," kata A Kian
"Bahwa Wisu Yu-hian-ong hendak membunuhku, maka kau
merasa heran bukan?"
Tan Ciok-sing manggut-manggut.
"Yu-hian-ong amat iri terhadap ayahku, bahwa hari ini dia
berani suruh anak buahnya hendak membunuhku, akupun
merasa diluar dugaan."
1671 Kuda Tan Ciok-sing dan ln San adalah pemberian Kim-to
Cecu, demikian pula kuda tunggangan A Kian dan Buyung Ka
adalah kuda jempolan dari Tay-hoan, hari kedua mereka
sudah tiba di Holin.
Setiba di rumah A Kian, melihat dia mengajak dua orang
Han pembantu tuanya keheranan, katanya: "Lo-ciangkun
sedang iatihan di belakang, kalian boleh tunggu disini. Siauya,
mari kau kutemani mengundang beliau."
"Kenapa susah-susah." Ujar A Kian, "kedua orang Han ini
adalah temanku, mereka bukan orang luar, Kungfunya liehay
pula, biar aku ajak mereka ke belakang melihat ayah latihan,
ayah tidak akan menyalahkan aku." Lalu A Kian menoleh
kepada Tan Ciok-sing, "sepuluh tahun bagai satu hari, bila
ayah tidak sakit, setiap hari dia harus latihan dua kali," lalu dia
bawa Tan dan In diam-diam menuju ke taman belakang.
Tampak seorang Jenderal usia lima puluhan lebih sedang
memutar sebatang golok baja berpunggung tebal sekencang
kitiran, angin menderu menimbulkan angin lesus, daun-daun
pohon dan kembang di sekitarnya rontok beterbangan seperti
disambar lesus.
Dengan seksama Tan Ciok-sing memperhatikan, permainan
golok Jenderal Abu gesit dan tangkas, perobahannyapun
banyak ragamnya, diam-diam dia berpikir: "Jikalau dia bukan
seorang Jendral dalam kalangan Bulim, taraf kungfunya boleh
terhitung seorang jago kosen tapi diapun heran, "walau belum
pernah menyaksikan ilmu goloknya itu, tapi dalam permainan
sepuluh jurus, ada tiga sampai lima jurus seperti sudah amat
kukenal, kelihatannya tidak mirip Kungfu dari aliran Se-ek,
lebih mirip ajaran silat dari tiong-toh, banyak jurus meski
perobahannya berbeda, namun sumber utamanya jelas dapat
dijajaki. Saking bernafsu permainan ilmu golok Jendral Abu, "Cras"
tiba-tiba sebatang pohon sebesar paha bayi kena ditabas oleh
1672 Abu, karena gerak goloknya terlampau cepat, tahu-tahu
batang pohon yang tertabas itu kutung menjadi tiga potong.
Tanpa kuasa Tan Ciok-sing berseru memuji: "Ilmu golok
bagus." Jendral Abu memeluk golok berdiri tegak, katanya: "A Kian,
kau sudah kembali. Saudara ini..."
"Sahabat orang Han ini adalah tuan penolong jiwa anak."
Kata A Kian. Setelah mendengar putranya, dengan sinar tajam Abu
pandang Tan Ciok-sing, katanya tiba-tiba: "Anak Kian,
keluarlah dan beri pesan kepada Timanor, siapapun dilarang
masuk. Waktu kembali, tutup sekalian pintu taman."
"Tan-heng, apa betul lantaran mau cari kerja kau bersama
adikmu ini datang ke Holin?" tanya Abu.
"Bicara terus terang," kata Tan Ciok-sing, "kami adalah
teman baik Kim-to Cecu."
Terbelalak kaget dan girang Abu, katanya: "Sudah lama
aku ada kontak dengan Kim-to Cecu, sayang tiada
kesempatan bertemu."
"Kim-to Cecu juga amat mengagumi Ciangkun, sering dia
membicarakan Ciangkun dengan kami."
"Apa yang dia katakan?"
"Beliau bilang Ciangkun adalah teman bangsa Han kita
sejati, pembesar tinggi dalam negrimu yang punya pandangan
dan pengetahuan paling luas."
Abu geleng-geleng, katanya ramah: "Kim-to Cecu terlalu
memuji aku."
"Bukan pujian kosong belaka, dengan kedudukan Ciangkun,
apa lagi menyerukan kerja sama dan menjalin persahabatan
1673 antara Mongol dengan bangsa Han, doktrinmu memang harus
dipuji." "Harus bersahabat dengan bangsa Han adalah petuah para
leluhur kita." Demikian kata Abu, "walau kami belum pernah
datang ke tempat kediaman orang-orang Han, tapi keluarga
kami boleh dikata ada punya hubungan erat dengan bangsa
Han kalian."
Sementara itu A Kian sudah kembali berdiri di samping
ayahnya, katanya: "Apa betul, kenapa ayah tidak pernah
ceritakan hal ini kepadaku."
Tiba-tiba Abu menoleh ke arah Tan Ciok-sing, tanyanya:
"Golok kilat dari keluarga Hong di negrimu apakah sekarang
masih ada keturunannya?"
Tan Ciok-sing melengong, katanya: "Pengetahuan wan-pwe
masih cetek, banyak aliran golok cepat di Tiong-toh yang
ternama, yang kutahu hanya golok kilat keluarga Beng dan
golok kilat keluarga Ciok. Golok kilat keluarga Hong belum
pernah kudengar."
Jendral Abu menghela napas, katanya: "Kalau begitu tentu
sudah putus turunan." Lalu bertanya pula: "Dalam kalangan
Bulim di negrimu adakah kau pernah dengar tentang kisah
Hong-in-lui-tian?"
Tan Ciok-sing adalah murid penutup Thio Tan-hong, Thio
Tan-hong adalah maha guru silat terbesar pada jaman ini,
pengetahuannya tak terukur dalam dan luasnya, sayang Cioksing
tidak lama masuk perguruan, gurunya lantas wafat, maka
tentang sejarah perkembangan kaum persilatan jarang yang
diketahui, demikian pula tentang kisah Hong-in-lui-tian, sudah
tentu belum pernah dengar.
Malah In San yang teringat, katanya: "Kisah Hong-in-luitian
aku pernah dengar dari ayah. Mereka adalah empat jago
kosen yang ternama di Bulim tiga ratus tahun yang lalu, betul
tidak?" 1674 "Betul," sahut Abu.
"O, jadi Hong-in-lui-tian terdiri empat orang."
"Hong adalah Hong Thianyang, pernah menciptakan Cuihong-
to To-hoat, In adalah ln Tiong-yan, seorang perempuan,
terkenal karena ilmu pedang dan ginkangnya. Lui adalah
seorang laki laki bernama Ling Tiat-wi bergelar Hong Thian-lui,
Lwekangnya paling ampuh. Tian sudah tentu juga nama
julukan, yaitu San-tian-kiam Geng Tian, empat orang ini
adalah pendekar besar di jaman Lam-song bertahta, konon
Hong dan In adalah sepasang suami istri, sayang setelah
beberapa ratus tahun berselang, ilmu ciptaan mereka mungkin
sudah putus turunan." (tentang Hong In Lui Tian ini baca Si
Angin Puyuh atau Hong In Lui Tian)
"Masih jelas nona In mengenang sejarah masa lalu, tapi
tahukah kau orang suku apa In Tiong-yan itu?"
"Apa dia bukan orang Han" Ayah tidak menjelaskan,
mungkin karena terlalu lama, ayah sendiripun tidak tahu."
"In Tiong-yan adalah tuan putri bangsa Mongol kita,"
demikian tutur Abu.
"In Tiong-yan adalah nama yang dia pakai dari bahasa Han,
dengan Hong Tayhiap dia saling jatuh cinta, tantangan
keluarga, tradisi dan pantangan kerajaan tidak dihiraukan, dia
minggat dan hidup sampai tua dengan kekasih yang
dicintainya."
Tergerak hati In San dia mengerti, katanya: "Ciangkun,
ilmu golok yang kau mainkan tadi, apakah hasil dari warisan
Hong Tayhiap?"
"Betul. Tiga ratus tahun lalu, kakek moyangku adalah
sahabat baik Hong Tayhiap, istrinya adalah dayang pribadi
tuan putri Mongol yang menggunakan nama In Tiong-yan.
Suami isteri leluhurku itu pernah ikut In Tiong-yan pergi ke
Tiongkok, demikian pula Hong Tayhiap pernah berkunjung ke
1675 rumah kami, keluargaku ada janji dengan keluarga Hong,
selanjutnya turun temurun kedua keluarga harus terus ada
kontak dan saling berhubungan. Sayang kira-kira seratus
tahun lebih yang lampau, karena peperangan kedua keluarga
kita tidak bisa lagi menepati janji, sehingga hubungan putus
demikian saja."
In San berkata: "Pesan leluhur Ciangkun ternyata punya
kisah yang begitu menarik, bila kami pulang ke Tionggoan
akan kami bantu menyirapi apakah keluarga Hong sampai
sekarang masih ada keturunannya."
Abu tertawa, katanya: "Persahabatan antar bangsa yang
kekal abadi dalam kisah itu memang mengharukan, tapi
sekarang lebih penting kita membicarakan situasi yang kita
hadapi. Oh, ya, aku belum tanya kalian, apakah kalian diutus
Kim-to Cecu?"
"Bukan," ujar In San, "tapi tujuan kami kali ini pernah kami
utarakan kepada Kim-to Cecu, beliaupun menyetujui rencana
kami." "Maaf aku lancang tanya, bolehkah aku tahu rencana
kedatangan kalian?"
"Hal ini memang ingin kami laporkan kepada Ciangkun,"
sahut Tan Ciok-Sing, lalu dia ceritakan pengejarannya kepada
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Liong Bun-kong sehingga tiba di Holin.
Abu berkata: "mereka memang sudah sampai di Holin, kini
tinggal di rumah Yu-hian-ong, yang kuketahui, bangsat tua
she Liong yang kalian katakan itu sekarang sedang menunggu
undangan Khan Agung untuk menghadapinya."
"Dia pasti akan menghasut khan kalian untuk mengerahkan
pasukan menyerbu ke Tiongkok."
"Itu sudah jelas. Tentunya kalian juga sudah tahu, Yu-hianong
adalah orang yang paling getol menyuarakan perang,
kedatangan Liong Bun-kong memang kebetulan bagi dia."
1676 Kata A Kian menggertak gigi: "Manusia rendah yang
menjual negara dan bangsa, tidak heran kalian begitu
membencinya. Bukan saja dia menjual bangsa Han, setiba di
Holin bangsa Mongol kitapun bakal ketimpa malang dan
bencana oleh peperangan itu."
In San bertanya: "Ikut dengan bangsat tua she Liong itu
ada seorang bergelar Tang-hay-liong-ong Sugong Go, apa
Ciangkun sudah tahu?"
"Tahu, konon ilmu silatnya tidak kalah dibanding Koksu
Watsu yang bergelar Milo Hoatsu. Ketenarannya di Holin
sekarang tidak di bawah Liong Bun-kong lagi."
"O, lantaran apa namanya begitu tenar?" tanya In San.
"Belum lagi majikannya Liong Bun-kong diundang oleh
Khan kita, dia malah sudah pamer kepandaian di hadapan
Khan Agung."
Ternyata Khan besar Watsu sedang membangun angkatan
perang dan memilih jago-jagonya dengan berbagai
pertandingan, hobbynya suka mengadu kekerasan yang
berdarah, jiwa manusia dianggap permainan, dalam istananya
tidak sedikit memelihara binatang-binatang buas, seperti
singa, harimau, macan tutul dan lain-lain, bila senggang dan
timbul seleranya, dia suruh para Busunya bertanding dengan
binatang-binatang buas itu, delapan belas Kim-tiang Busunya
itu juga hasil pilihannya setelah diadu dengan binatang buas.
"Tang-hay-liong-ong telah pamer kepandaiannya yang
hebat, belum ada setengah jam, dia sudah membunuh tiga
ekor singa, lima ekor macan tutul dan dua ekor harimau, hasil
yang gemilang itu sudah tentu memecahkan rekor selama
pertandingan manusia dan binatang itu diadakan." Demikian
tutur Abu. "Membunuh binatang buas bagi Tang-hay-liong-ong
memang tidak perlu membuang banyak tenaga."
1677 "Itu belum hebat. Belakangan Khan besar suruh dia
bertanding satu persatu dengan delapan belas jago
pengawalnya, tiada satupun dari pengawalnya itu yang
menang. "Dia terlalu egois untuk menuntut kemenangan, umpama
mendapat pujian dan kepercayaan Khan besar, yang terang
para Busu yang dikalahkan itu pasti iri dan dendam
kepadanya."
"Memang, hari kedua kawanan Busu itu mengundang Milo
Hoatsu, menghasutnya untuk menantang dan mengalahkan
Tang-hay-liong-ong."
"Bagaimana akhir dari pertandingan itu?" tanya In San
ketarik. "Konon Lwekang mereka sama kuat alias seri, susah
dibedakan mana kuat siapa kalah. Tapi di luaran terdengar
dua macam berita simpang siur, ada yang bilang sebagai tamu
Tang-hay-liong-ong tidak berani mengalahkan Milo Hoatsu
sebagai Koksu, maka dia sengaja mengalah, sebaliknya ada
pula yang mengatakan Milo Hoatsu ingin menariknya sebagai
pembantu, maka dia tidak turun tangan sepenuh tenaga.
"Tapi tak peduli siapa mengalah, yang terang tanpa
bertanding mereka tidak akan kenal, sejak pertandingan itu,
Milo Hoatsu mengundang Tang-hay-liong-ong mampir ke
Putala sebagai tamu, disana mereka saling tukar pikiran uutuk
memperdalam ilmu silat."
In San bertanya: "Kalau demikian, sekarang dia tidak
serumah dengan Liong Bun-kong di tempat kediaman Yu-hianong?"
"Kabarnya Milo Hoatsu hendak mengajaknya mempelajari
sejenis ilmu Lwekang tingkat tinggi, dalam waktu singkat jelas
dia tidak akan kembali."
"Itu lebih baik," ujar In San tersenyum.
1678 Abu melengak, tanyanya: "Maksudmu akan, akan..."
"Betul, mumpung ada kesempatan aku akan meluruk
kesana membunuh Liong Bun-kong. Bukan saja bangsat tua
ini mencelakai ayah bundaku, dia pun jual bangsa dan negara,
bangsa kita siapa saja patut membunuhnya, meski aku harus
berkorban, aku bertekad akan membunuhnya. Kini Tang-hayliong-
ong yang berkepandaian tinggi tidak berada di
sampingnya, aku lebih leluasa turun tangan."
Abu diam menepekur, A Kian berkata: "Ayah, tadi kau
bilang, kedatangan bangsat she Liong itu juga membawa
bencana bagi rakyat kita, maka kita harus bantu mereka,
sekalian kita boleh bunuh Yu-hian-ong juga, bukankah
menguntungkan kita semua."
"Kedua persoalan ini harus dipencar penyelesaiannya,
kularang kau punya pikiran hendak membunuh Yu-hian-ong."
"Kenapa," teriak A Kian, "Ayah, berulang kali dia memfitnah
hendak mecelakai kau, apa kau lupa" Tadi diapun suruh anak
buahnya membunuh aku."
"Kalau orang lain berbuat jahat, jangan kita meniru
perbuatannya. Betapapun Yu-hian-ong seangkatan dan
sekolega dengan aku, kalau dia merancang berbagai muslihat
hendak menjatuhkan aku, aku justru hendak menghadapinya
secara terang-terangan. Dan lagi niat Khan Agung untuk
membangun militernya lagi jelas tidak boleh dibantah lagi,
mati seorang Yu-hian-ong, masih ada Yu-hian-ong kedua yang
akan melakukan kejahatan pula. Sudah menjadi rahasia umum
bahwa aku bermusuhan dengan Yu-hian-ong, kalau Yu-hianong
mati, bukankah Khan besar akan curiga terhadapku" Aku
tidak takut dijatuhi hukuman oleh Khan besar, tapi patutkah
kita bertindak demikian?"
"Analisa Ciangkun memang benar," ujar In San, "kami tidak
akan merembet Ciangkun."
1679 "Jangan kalian berprasangka," ujar Abu, "bukan aku mau
mengatakan kalian salah. Walau aku tidak setuju cara
pembunuhan begitu, tapi setiap persoalan ada terkecuali,
dalam keadaan dan situasi yang kalian hadapi sekarang, kalau
Liong Bun-kong tidak mungkin digusur balik supaya dijatuhi
hukuman oleh Sribaginda, demikian pula dendam tak terbalas,
maka bila kalian mau membunuhnya, jelas aku tidak akan bisa
menghalangi. Tapi harap maklum bahwa aku tidak bisa
memberi bantuan apa-apa."
"Ciangkun, kami juga maklum akan posisimu, maka tidak
akan bertindak keliwat batas sehingga kau terjepit. Untuk
membunuh Liong Bun-kong, terlalu banyak orang malah
berabe, maka hanya kami berdua saja yang akan bertindak."
"Tang-hay-Liong-ong sekarang memang tidak berada di
kediaman Yu-hian-ong, tapi Busu berkepandaian tinggi di
rumahnya tidak sedikit jumlahnya."
"Mati hidup kita sudah tidak terpikir lagi," kata Tan dan ln
bersama. "Aku harap sekali gebrak kalian bisa berhasil, tapi ini bukan
tugas kecil, apapun segalanya harus dipersiapkan lebih dulu,
umpamanya dimana Yu-hian-ong berdiam, kalian belum tahu.
Apalagi kalian baru tiba di Holin, situasi dan kondisi disini tidak
tahu, maka kuusulkan kalian harus tinggal beberapa hari
disini, pelajarilah dengan seksama situasinya, baru boleh
bertindak. Yang jelas dalam waktu singkat ini Tang-hay-liongong
belum akan kembali ke tempat kediaman Yu-hian-ong."
Hari kedua Abu panggil seorang pembantunya yang dulu
pernah bekerja di rumah Yu-hian-ong, bukan saja gambar
peta dibuatkan maka diapun memberi keterangan secara
terperinci menurut apa yang dia masih ingat tentang selukbeluk
gedung Yu-hian-ong kepada Tan Ciok-sing dan In San.
Hari ketiga, Tan dan In menyamar jadi orang Mongol dan
ikut pesuruh itu berkeliling di sekitar rumah gedung Yu-hianTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
1680 ong. Sedapat mungkin mereka menghindari pembicaraan,
syukur In San semakin matang di bidang tata rias sehingga
penyamaran mereka tidak konangan orang.
Segala persiapan yang harus disiapkan sudah lengkap,
malam ke empat, mereka sudah harus bertindak sesuai
rencana, meluruk ke gedung kediaman Yu-hian-ong.
Malam itu cuaca buruk, tiada bulan tiada bintang, mega
mendung angin santer, cocok untuk pejalan kaki malam untuk
melaksanakan keinginannya.
Di belakang kebun bunga di bilangan akhir dari gedung Yuhian-
ong dipagari oleh dinding gunung yang curam setinggi
dua tiga puluh tombak, yakin kawanan Wisu didalam gedung
tidak akan pernah berpikir bahwa ada orang bisa turun dari
dinding curam setinggi itu, tapi Tan dan In berdua justru
masuk dari titik kelemahan mereka itu.
Dengan Ginkang mereka yang tinggi, menggunakan
tambang lagi, menempel dinding seperti cicak mereka
meluncur turun ke bawah tanpa konangan terus menyusup
kedalam kebon. Sunyi dan sepi keadaan kebon bunga ini, keheningan
sungguh diluar dugaan Tan dan In. Menurut penjelasan
pesuruh yang pernah kerja disini, biasanya Yu-hian-ong
bermalam di tiga tempat, tempat pertama adalah kamar
tidurnya bersama isterinya, satu lagi di tempat salah satu selir
kesayangannya, ada satu lagi adalah kamar buku, dimana dia
menyimpan surat-surat penting.
Bangunan gedung istana boleh dikata ada ratusan
banyaknya, dalam suasana sepi dan gelap, arah angmpun
susah dibedakan, kemana mereka harus mencari. Apalagi
tujuan utama mereka bukan mau membunuh Yu-hian-ong,
juga tidak perlu mencarinya.
Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Terpaksa kita mengadu
nasib, marilah maju sambil memeriksa ala kadarnya." Dengan
1681 munduk-munduk sembunyi di belakang pohon, lompat ke
belakang gunung-gunungan, akhirnya mereka tiba di suatu
tempat, tiba-tiba di ujung loteng sebelah sana tampak sinar
api menyorot keluar.
Tempat dimana sekarang mereka berada didalam sebuah
lingkung pekarangan besar, karena lingkungan disini dibatasi
dengan tembok tinggi, sekelilingnya juga tidak tampak dijaga.
Tiba-tiba bayangan seorang tampak berpeta di jendela,
dengan seksama mereka mengawasi bayangan itu, akhirnya
mereka bersorak girang dalam hati, karena bayangan orang
itu adalah Siau-ongya.
Didengarnya Siau-ongya sedang menggumam seorang diri:
"Benarkah mereka, aku tidak percaya. Kalau benar mereka
dan adanya kejadian ini, apakah pantas aku beritahu hal ini
kepada ayah?" Seorang diri dia menggumam di atas loteng,
suaranya lirih tapi Tan Ciok-sing memiliki Lwekang tinggi,
pendengarannya tajam, maka dia mendengar jelas.
Timbul rasa curiga Ciok-sing, katanya berbisik di telinga In
San: "Mari kita menyerempet bahaya." Dengan gerakan
burung kutilang melejit ke atas, tubuhnya melenting tinggi dan
hinggap di atas loteng tanpa mengeluarkan suara.
Tanpa ada angin tiba-tiba dilihatnya jendela terbuka,
seorang melompat bangun, karuan Siau-ongya kaget dan
menjublek. "Kau, kau adalah..." sebelum dia sempat
mengucap 'siapa', Tan Ciok-sing keburu mendekap mulutnya,
bisiknya: "Jangan teriak, inilah aku."
Siau-ongya kenal suara Tan Ciok-sing, jangan kata dia
punya persahabatan kental dengan Ciok-sing, umpama tiada
hubungan apa-apa, dia sudah tahu keliehayan Tan Ciok-sing,
mana dia berani berteriak. Cepat sekali In San sudah
menyusul naik ke atas loteng.
"Terima kasih bahwa Siau-ongya sudi pandang kami
sebagai sahabat," demikian ucap Tan Ciok-sing, "bicara terus
1682 terang, bahwa kami datang sesuai janji, tapi ada juga
keperluan lain, untuk itu kami mohon Siau-ongya sudi
membantu kami."
Siau-ongya kaget, katanya: "Ada urusan apa" Apakah,
apakah..."
"Apakah, kenapa?"
Mata Siau-ongya menatap Tan Ciok-sing seperti ingin
ngomong tapi tidak berani bicara, mimiknya agak aneh.
"'Siau-ongya, seorang diri kau ngomong sendiri, aku
mendengar seluruhnya. Terima kasih bahwa kau tidak
melaporkan kepada ayahmu bahwa kau bertemu dengan
kami. Kalau tidak salah, agaknya ada seseorang yang pernah
membicarakan kami di hadapan ayahmu, benar?"
"Benar, Tan-toako. Maaf bila pertanyaanku blak-blakan,
apakah kalian kemari hendak membunuh ayahku?"
"Sudah tentu bukan. Coba pikir, jikalau kami hendak
membunuh ayahmu, mana mungkin aku minta bantuanmu
malah?" Legalah hati Siau-ongya, katanya: "Tan-toako, kau adalah
tuan penolongku, asal kau tidak berniat membunuh ayahku,
urusan apapun aku akan senang membantumu"
"Aku ingin tahu, bagaimana ayahmu tahu bila kami sudah
berada di Holin, kenapa pula dia berprasangka bahwa kami
akan membunuhnya?"
"Ada orang yang memberi laporan dan ngadu biru di
hadapan ayah."
"Siapa orang yang mengadu biru itu?"
"Aku tidak tahu, aku hanya mendengar tanpa sengaja, aku
sembunyi di belakang pintu angin, aku hanya mendengar
suaranya."
1683 "Apa yang dikatakan orang itu?"
"Orang itu bilang, Abu Ciangkun telah mengundang dua
pembunuh bayaran bangsa Han yang berkepandaian tinggi,
katanya disuruh membunuh ayah. Dijelaskan bahwa
pembunuhnya adalah laki-laki dan perempuan, usianya masih
muda. Dia tidak menyebut nama, tapi ayah sudah menduga
pada kalian. Gerak-gerik kalian setiba di Holin orang ini tahu
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jelas seperti tahu bentuk jari jemarinya sendiri, Tan-toako,
mungkin kau bisa menduga siapa orang ini?"
Dalam hati Tan Ciok-sing memang sudah menduga,
katanya: "Buat apa ditebak. Kini ada tugas penting yang harus
segera kita laksanakan."
"Apakah tugasmu itu akan dilaksanakan di gedung
kediaman kami?"
"Betul."
"Perlu aku beritahu kepada kalian, untuk berjaga
pembunuhan kalian, di tiga tempat dimana biasa ayah
menginap sudah dijaga ketat dengan berbagai persiapan,
bukan saja ada tangga yang dipasang perangkap. Bila kalian
sembarang bertindak akan menghadapi bahaya, ketiga tempat
itu adalah..."
"Ketiga tempat itu kami sudah tahu." Tukas Tan Ciok-sing,
"kami bukan ingin membunuh ayahmu. sudah tentu kami juga
harus menghindari bahaya."
Siau-ongya betul-betul lega, katanya "Baiklah, lekas
katakan, bagaimana aku harus membantu kalian?"
"Gampang saja, cukup asal kau memberi tahu dimana
tempat tinggal Liong Bun-kong?"
"Ayah meluangkan sebuah gedung untuk tempat tinggal
rombongan itu, letaknya di barat daya tempat ini, di depannya
terdapat sebuah empang, orang she Liong tinggal di Hi-hi-lou,
1684 nama Hi-hi-lou itu diukir dengan huruf Han bercat emas, bila
ada sinar bulan lapat-lapat kelihatan dari kejauhan,"
"Baiklah, kami akan mencarinya kesana." Tiba-tiba Siauongya
teringat sesuatu, katanya: "Bila lewat kentongan ketiga,
kalian belum tiba di Hi-hi-lou, kuanjurkan kalian lekas kembali
saja." "Kenapa?"
"Setelah orang itu pergi, ayah berunding pula dengan
Kampula. Kampula adalah pengurus rumah tangga
keluargaku."
"Apa yang mereka rundingkan?"
"Ayah akan masuk istana menghadap Khan Agung,
Kampula disuruh menyiapkan kereta. Waktu itu sudah
mendekati magrib..."
In San bertanya: "Ayahmu menghadap Khan Agung,
apakah ada sangkut pautnya dengan kedatangan kami?"
"Walau ayah boleh menemani Khan makan minum mencari
kesenangan, tapi menurut kebiasaan, paling lambat sebelum
kentongan ketiga pasti pulang."
"Lalu kenapa?"
"Dua hari yang lalu sudah pernah aku dengar ayah bilang,
kuatir tenaga dalam gedung ini tidak mencukupi kebutuhan,
terutama setelah Koksu mengajak Tang-hay-liong-ong
bertamu ke Putala, dia kuatir penjagaan untuk tamu agung
kurang kuat dan ketat, takut bila terjadi sesuatu, Khan besar
pasti akan menjatuhkan hukuman berat kepadanya. Maka dia
suruh Kampula berusaha mencari jago-jago silat sebagai Wisu,
tapi dalam waktu sesingkat ini kemana dapat mencari jagojago
silat tinggi" Maka menurut dugaanku, masuknya ayah ke
istana kali ini pasti akan melaporkan bahwa Abu Ciangkun
telah mengundang dua pembunuh bayaran bangsa Han, di
samping mohon pinjam tenaga Kim-tiang Busu. Kalian mau
1685 membunuh Liong Bun-kong, bila sebelum kentongan ketiga
belum berhasil, maka bahayanya akan lebih besar."
"Terima kasih akan pemberitahuanmu ini." Kata In San
tertawa, "kalau kami takut menghadapi bahaya, kami tidak
akan datang kemari."
Setelah meninggalkan Siau-ongya. Tan .Ciok-sing melihat
cuaca, mega masih mendung, tapi bintang utara tampak kelap
kelip di angkasa raya, cuaca tidak segelap waktu mereka
datang tadi. Setelah menentukan arah, Tan Ciok-sing langsung menuju
ke Hi-hi lou. Di tengah jalan In San berbisik: "Menurut
dugaanmu, siapa orang yang memberi laporan rahasia itu?"
"Baiklah, kita sama-sama sebut nama orang yang kita
curigai itu."
"Mulai, satu, dua, tiga..." berbareng dengan suara lirih
mereka menyebut 'Buyung Ka'.
"Lalu bagaimana baiknya" Di samping Jendral Abu ada
sembunyi seorang musuh yang berbahaya."
"Yang penting sekarang kita harus dapat membunuh
bangsat she Liong itu sebelum kentongan ketiga, urusan lain
boleh dikesampingkan dulu."
In San menarik lengan bajunya, bisiknya: "Sssst lihat sana."
"Di tempat yang dituding tampak kemilau sinar emas, Tan
Ciok-sing senang, katanya: "Betul, Hi-hi-lou ada disana." Katakatanya
dia kirim menggunakan ilmu mengirim suara
gelombang panjang, umpama ada orang berdiri di samping
mereka juga tidak akan mendengar.
In San berkata: "Kalau Yu-hianong sudah mengatur
perangkap untuk menjebak kita, yakin dia tidak akan pasang
perangkapnya itu di tiga tempatnya sendiri, Hi-hi-lou bukan
mustahil juga ada perangkap."
1686 "Biar aku coba tanya jalan dengan melempar batu. Tanghay-
liong-ong tidak berada di samping bangsat tua itu,
umpama jejak kita konangan, mereka tiada yang kuat
menandingi kita, takut apa." Sekenanya Tan Ciok-sing
menjemput sebutir batu, dengan kekuatan jarinya dia
menjentik, batunya meluncur ke arah loteng.
"Daaar!" mendadak terjadi ledakan keras, begitu batu itu
menyentuh lankan, loteng ambrol api menyembur, ujung
loteng sebelah sana ternyata runtuh. Mungkinkah sebutir batu
kecil dapat mengakibatkan kerusakan separah itu" Ternyata di
atas loteng telah dipasangi alat rahasia, kecuali naik dari
tangga yang membujur dari pekarangan dalam, baru orang
akan selamat tiba di atas loteng. Belum lenyap gema ledakan
keras itu, panahpun melesat selebat hujan. Bila seseorang
betul-betul lompat naik ke atas loteng, umpama Ginkangnya
tinggi dan selekasnya dapat menyingkir dari tempat ledakan,
juga takkan luput dari samberan hujan panah lebat itu.
Belum reda suara ledakan dan hujan panah, dari berbagai
penjuru berdatangan kawanan Wisu seraya berteriak-teriak:
"Tangkap pembunuh. Tangkap pembunuh, tiba-tiba dari
berbagai tempat gelap di atas loteng menyorot beberapa jalur
cahaya dari Khong-bing-ting, jumlahnya ada puluhan.
Cuaca memang sukar diramalkan, mega mendung yang
semula hampir hilang ditiup angin lalu mendadak bertambah
tebal, bukan saja kembali gelap dan lembab, hujan rintik-rintik
pun mulai turun. Tapi sorot lampu suar yang benderang itu
masih terus berkeliaran ke segala penjuru, sehingga taman
kembang sekitar Hi-hi-lou boleh dikata terang seperti di kala
senja. Tiba-tiba timbul akal Tan Ciok-sing, kembali dia meraih
sebuah batu agak besar, lalu diremasnya menjadi krikil,
dengan kepandaian Tan-ci-sin-thong, beruntun dia menjentik,
dalam sekejap lampu-lampu suar di atas loteng itu banyak
1687 yang telah padam, bila kawanan Wisu datang lebih banyak
lagi lampu-lampu itupun sudah padam seluruhnya.
Cuaca gelap pekat, ini menguntungkan mereka. Sebelum
lampu suar padam mereka sudah menentukan arah, dengan
mengembangkan Ginkang mereka mengitari sebuah gununggunungan
menyusup kembang menghindari bentrokan dengan
kawanan Wisu terus melarikan diri.
Kawanan Wisu masih terus berdatangan dari berbagai arah
ke Hi-hi-lou, lekas sekali mereka sudah tiba di daerah yang
tiada penjagaan.
Legalah hati In San, tanyanya: "Sing-ko menurut
pendapatmu apakah omongan Siau-ongya dapat dipercaya?"
"Kukira dia tidak akan ngapusi kita. Dalam hal apa kau
curiga?" "Yu-hian-ong sudah masuk istana menghadap Khan
Agung?" "Kuatir malam ini ada pembunuh meluruk datang, dia
sudah mempersiapkan diri, kuatir tenaga yang dipersiapkan
tidak mencukupi, untuk menjaga segala kemungkinan, maka
dia merasa perlu mengungsi ke lain tempat."
"Apa dia tidak takut Liong Bun-kong mengalami sesuatu?"
"Iya, maksudmu Liong Bun-kong mungkin ikut dia masuk
ke istana menghadap Khan Besar?"
"Hanya dugaan saja. Bila ucapan Siau-ongya dapat
dipercaya."
Tiba-tiba mereka mendengar ringkik kuda ternyata
sekarang mereka tak jauh dari samping istal istana, kuda
dalam istal banyak yang kaget sehingga menjadi ribut, ada
beberapa ekor kuda malah terlepas dari kandangnya.
Sudah tentu para petugas istal kuda menjadi sibuk
menentramkan 1688 15 "Aku jadi ingin mengadu kepandaian dengan perempuan
siluman itu," ujar Lau Thi-cu, kalian tidak usah kuatir, soal
perahu mudah nanti kucarikan."
Setiba di tempat tujuan, tiada bayangan manusia,
perahupun tidak kelihatan. Tan Ciok-sing tanya: "Siau-cu-cu,
kau bilang punya akal."
"Jangan kuatir," ucap Lau Thi-cu, "didalam gua tak jauh
dari sini belakangan ini ada dibuat perahu yang belum sempat
digunakan."
Dalam gua yang dituju memang terdapat beberapa perahu,
masih baru dan belum dicat. Tan Ciok-sing berkata: "Siau-cucu,
ada sebuah permintaanku, sudikah kau membantu aku?"
"Siau-ciok-cu, kenapa kau bilang begitu, memangnya aku
ini bukan temanmu sejak kecil" Kitakan pernah sehidup
semati, berapa kali kau pernah menyerempet bahaya
menolong aku, bukan untuk kali ini pula aku pernah
membantu kau."
Kek Lam-wi dan Toh So-so kelahiran dan dibesarkan di
Kanglam, sudah tentu mereka juga pandai berenang tapi
dibanding Siau-cu-cu jelas mereka jauh ketinggalan. Setelah
menurunkan perahu kecil yang dinaiki Lau Thi-cu berada di
depan menunjukkan jalan, galah diangkat terus menutul
ringan di dinding batu, perahu kecil itu lantas meluncur
mengikuti arus. Perahu yang dinaiki Tan Ciok-sing dan In San
berada di belakang, dalam kegelapan, tiba-tiba terasa
segulung arus kencang menggulung tiba, perahu kecil Tan
Ciok-sing berputar terombang-ambing terbawa arus berpusar.
Mendengar suara gelombang Lau Thi-cu lantas tahu bahwa
mereka menghadapi bahaya lekas dia berteriak: "Mundur ke
samping kiri terus digayuh maju ke depan pula."
1689 Tan Ciok-sing kerahkan Jian-kin-tui sehingga perahunya
tidak terbalik, setelah perahunya terkendali segera dia
praktekkan menurut petunjuk Lau Thi-cu, dengan mudah
perahunya segera laju ke depan pula terbawa arus, kejap lain
perahunya sudah meluncur keluar dari dalam gua dan melihat
langit terang. Diluar gua air seperti dituang menggerojok turun dengan
deras masuk ke danau, disini air mengalir lebih kencang dan
berbahaya. Angin menderu ribut seperti terjadi hujan bayu
layaknya. In San biasanya cukup tabah tak urung kali ini
hatinya kebat-kebit, katanya: "Sungguh berbahaya,
mengecilkan nyali saja."
Belum habis dia bicara, tiba-tiba gelombang besar
mendampar. Lau Thi-cu berteriak: "Awas menubruk karang,"
batu-batu karang runcing bersusun berbentuk menara banyak
tersembunyi di bawah air, yang kelihatan hanya pucuknya
sedikit saja apalagi arus air teramat deras dengan gelombang
besar pula, dalam gugupnya Tan Ciok-sing tak kuasa dia
mengendalikan perahunya, untung Lau Thi-cu memberi
peringatan, sehingga perahunya berhasil dibelokan ke
samping. Pada detik-detik gawat di kala perahunya hampir
membentur karang, Tan Ciok-sing kerahkan Lwekang ajaran
Thio Tan-hong, galahnya diulur ke depan dengan sepenuh
tenaga ujung galahnya tepat menyodok pucuk karang serta
mendorongnya sehingga perahu yang terdorong ombak itu
berhasil ditahannya sekejap terus dibelokan ke samping
melawan arus, kejap lain perahunya seperti dilempar naik ke
atas, seketika In San merasa dirinya seperti naik mega seolaholah
dirinya terbawa arus dilempar ke tengah angkasa namun
cepat sekali tiba-tiba tubuhnya anjlok pula ke bawah. Waktu
dia buka matanya perahu itu sudah melampaui kumpulan
batu-batu karang dan terus laju ke depan.
Lau Thi-cu berpaling ke belakang, legalah hatinya, serunya
memuji: "Hebat kau Siau-ciok-cu."
1690 Tan Ciok-sing seka keringatnya, katanya tertawa: "Terima
kasih akan petunjukmu, kepandaianmu jauh lebih mahir lagi."
Maklum naik perahu didalam air yang arusnya sederas itu,
bukan saja diperlukan kemahiran berenang, juga harus
memiliki tenaga raksasa. Bahwa Lau Thi-cu dapat kendalikan
perahunya seperti laju di perairan yang arusnya tenang, jelas
Kungfunya sekarang sudah mencapai taraf tertentu, dasarnya
cukup kuat. Cepat sekali mereka sudah mencapai setengah dari selat
sempit berarus kencang itu. Setelah lega hatinya, In San
berkata: "Arus air sederas ini kurasa tidak kalah derasnya dari
Sam-kiap di Tiangkang yang terkenal itu."
Lau Thi-cu berseru di depan: "Syukurlah di depan tiada
daerah berbahaya lagi, lekas sekali sudah akan berada di
perairan Thay-ouw."
Baru saja mereka merasa lega, tiba-tiba Toh So-so
berteriak kaget, pandangannya tertuju ke depan arah samping
dengan melongo. Lekas Kek lam-wi menoleh ke arah
pandangannya, tak usah tanya segera dia tahu kenapa
kekasihnya kaget dan melongo.
Tampak di antara dua batu besar yang menonjol di
permukaan air di samping sana, tersangkut sebuah perahu
yang pecah, perahunya terbalik karena benturan keras perahu
itu sudab pecah berantakan, jauh di depan sana masih
kelihatan pecahan perahu yang terapung.
Jantung Kek Lam-wi berdetak keras, katanya: "Lau-toako,
perahu itu apakah milik kalian..." Lam-wi tidak tega
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meneruskan perkataannya, dia pikir jarang ada perahu lewat
disini, ada perahu pecah itu, kecuali perahu yang dinaiki Busam
Niocu dengan Bu Siu-hoa rasanya tiada perahu lain lagi?"
"Betul," sahut Lau Thi-cu, "itulah perahu khusus yang kami
sediakan di pinggir sungai."
1691 Kek Lam-wi menghela napas, katanya: ."Kalau begitu tak
usah kita mencarinya ke Thay-ouw lagi."
Pada hal perahu mereka kini sudah berada di perairan
Thay-ouw. Hujan rintik-rintik kabut mulai datang, Thay-ouw
seluas ini, perasaan mereka menjadi tertekan seperti dibalut
kabut, kemana mereka harus mencari"
Makin ke tengah kabut makin tebal, tak lama kemudian di
tengah kabut tebal tampak setitik sinar lampu yang bergerak
terombang-ambing maju ke depan.
Dengan suara lirih Lau Thi-cu berkata: "Di depan ada
sebuah kapal, titik api itu adalah lampu angin yang digantung
di ujung buritan jaraknya kira-kira ada dua li."
Pada hal saat mana sudah menjelang tengah malam, dalam
kabut setebal ini pula, kapal ini masih berada di tengah
perairan, jejaknya ini jelas cukup mencurigakan.
Tergerak hati Kek Lam-wi katanya: "Lau-toako, perlahan
saja mendekatinya kapal di depan itu."
"Aku tahu," ujar Lau Thi-cu tertawa, "jangan kuatir, mereka
tidak akan tahu jejak kita. Dengan kemahirannya
mengendalikan perahu, perahunya itu tetap laju ke depan
tanpa banyak mengeluarkan suara.
Setelah agak dekat sayup-sayup terdengar suara
percakapan dan cekikikan tawa orang. Itulah suara tawa genit
seorang perempuan, suaranya jelas adalah tawa Bu-sam Niocu
yang jalang itu.
Karuan Tan Ciok-sing berlima amat girang. Segera mereka
pasang kuping, terdengar tawa jalang Bu-sam Niocu makin
jelas. "Idiiiiih jangan begitu, berlakulah yang genah, putriku
ada di sebelah, kalau sampai didengar dia kan tidak enak,"
agaknya Bu-sam Niocu sedang main cinta dengan seorang
lelaki. 1692 Berkerut alis Kek Lam-wi dan Toh So-so namun lega pula
hati mereka. Ternyata Bu Siu-hoa tidak mengalami kesulitan,
agaknya dia disekap di atas perahu itu. Yang menjadi tanda
tanya dalam benak mereka adalah siapa lelaki itu"
"He, he, putri mustikamu, merdu sekali kedengarannya,
mesra dan sayang sekali. Bagi mereka yang tidak tahu seluk
beluknya tentu menyangka genduk ayu itu adalah anak
kandungmu sendiri," terdengar laki-laki itu mencemooh
dengan nada menggoda.
Tan Ciok-sing melengak, semula dia sangka lelaki yang
sedang pat-gulipat dengan Bu-sam Niocu ini adalah suaminya
kedua, yaitu Tok-liong-pang Pangcu Thi Khong. Tapi setelah
didengarnya dengan cermat suaranya tidak mirip Thi Khong.
"Lalu siapa laki-laki ini?" demikian Ciok-sing bertanya-tanya.
Terdengar Bu-sam Niocu berkata: "Haya kenapa kau bilang
demikian, walau Bu Siu-hoa bukan anak yang kulahirkan dari
rahimku sendiri tapi sejak kecil aku menyayangi seperti
mustikaku sendiri. Kalau tidak, kali ini aku tidak akan
menyerempet bahaya untuk menculiknya dari markas Ong
Goan-tin. Kau kira soal gampang untuk lari dari selat geledek
yang berbahaya itu?"
"Sam-nio," ujar laki-laki itu bergelak tawa, "urusan sudah
sejauh ini, kau masih belum mau bicara sejujurnya kepadaku,
apa tidak terlalu?"
"Bicara jujur soal apa?" tanya Bu-sam Niocu.
"Kau kan hanya memperalat dia untuk membeli hati orang
Bu-san-pang, kaupun kuatir ada orang membongkar
perbuatan kejimu di masa lalu, maka terpaksa kau membelit
budak ayu itu di bawah gaun panjangmu. Kalau tidak menurut
pendapatku sudah sejak lama kau telah membunuhnya."
"Perbuatan keji masa lalu apa" Sebetulnya berapa banyak
kau pernah dengar berita angin yang menjelekkan nama
1693 baikku?" suara Bu-sam Niocu kedengarannya agak hambar
dan panik. Laki-laki itu tertawa, katanya: "Alah aksinya, dulu kau
sekongkol dengan Thi Khong membunuh suamimu yang
pertama, yaitu Bu San-hun Pangcu pertama Bu-san-pang.
Kalian memang bertindak amat rahasia, tapi kalau ingin orang
lain tidak tahu, hendaklah awak sendiri tidak berbuat. Memang
orang-orang Bu-san-pang belum memperoleh bukti, tapi tidak
sedikit yang curiga terhadap kau. Bicara sejujurnya kau tidak
berani membunuh genduk ayu karena kalau kau membunuh
dia kecurigaan orang-orang Bu-san-pang akan bertambah
besar dan yakin akan perbuatanmu yang keji masa lalu. Maka
terpaksa kau besikap baik dan sayang terhadapnya supaya
orang-orang Bu-san-pang tidak curiga lagi bahwa kaulah yang
membunuh ayahnya."
"Kau memang setan cerdik, apapun kau ketahui maka
kaupun harus memberi kelonggaran kepada budak jelita itu."
Laki-laki itu tertawa pula, katanya: "Aku tahu kau telah
membiusnya pingsan, umpama tidak kau bius juga tidak jadi
soal, apapun dia tidak akan bisa mendengar percakapan kita."
"O, jadi kaupun telah melakukan sesuatu pada dirinya?"
"Ya, aku telah menutuk Hiat-to penidurnya, paling sedikit
dua belas jam kemudian baru dia akan bangun."
"Kau memang setan kelaparan, kiranya kau memang
bermaksud jelek terhadapku."
"Salah, bukan bermaksud jelek, aku justru ingin berbuat
baik terhadapmu."
"Apa kehendakmu?"
"Kuingin kau menjadi biniku."
"Tidak, tidak mungkin, aku tidak bisa kawin dengan kau."
1694 "Kenapa tidak bisa, Bu San-hun telah mati. Kau boleh
menikah dengan Thi Khong. Thi Khong telah mampus, kenapa
sekarang tidak boleh menikah dengan aku" Memangnya kau
ingin menjadi janda sampai tua?"
"Justru karena Thi Khong mati belum ada satu bulan,
pakaian duka citaku belum lagi kutanggalkan. Kalau kau tidak
takut ditertawakan orang, aku sebaliknya malu bila dicemooh
orang banyak."
"O, jadi kau hanya kuatir dicemooh orang, jadi bukan tidak
sudi kawin dengan aku. Biarlah kutegaskan kepada kau, aku
tidak peduli segala ocehan orang lain. Bila aku yang menjadi
suamimu, siapa berani mentertawakan kau."
Terdengar Bu-sam Niocu cekikikan geli dan genit, katanya:
"Memangnya kaukan Hwe-giam-lo yang terkenal dan disegani
kaum persilatan siapa berani bertingkah di hadapanmu?"
Perahu yang ditumpangi Tan Ciok-sing berlaju ke depan
makin dekat, semakin didengarkan dia seperti sudah kenal
suara lelaki itu, setelah mendengar percakapan mereka
sampai disini, kini dia sudah yakin siapa gerangan lelaki itu.
Orang itu bukan lain adalah Toa-thauling Giam-ong-pang Giam
Cong-po yang pernah bergebrak melawan dirinya.
Tawa genit dan percakapan kedua orang di atas perahu
tiba-tiba terhenti. Ternyata sebagai orang yang banyak
pengalaman di perairan, Bu-sam Niocu sudah tahu bahwa
sebuah perahu kecil tengah menguntit kapal mereka di
sebelah belakang.
Pelan-pelan dia mendorong Giam Cong-po yang menindih
tubuhnya ke samping. Giam Cong-po keheranan sebelum dia
sempat bertanya, Bu-sam Niocu sudah berbisik di pinggir
telinganya: "Ada dua perahu menguntit di belakang, biar aku
memeriksanya."
"Umpama Ong Goan-tin sendiri yang mengudak kemari aku
juga tidak gentar, biarkan saja peduli amat?" jengek Giam
1695 Cong-po penasaran, maklum nafsunya sedang berkobar, mana
dia mau diganggu.
Bu-sam Niocu mencubit lengannya, katanya perlahan
dengan tertawa: "Waktu masih panjang untuk kita, sekarang
kita belum bebas dari daerah terlarang, jelas ada orang
menguntit betapapun harus hati-hati."
Giam Cong-po berkata uring-uringan: "Kurcaci mana yang
berani menguntit kita, biar nanti kupukul perahunya sampai
pecah berantakan."
Bu-sam Niocu lari keluar pegang kemudi sehingga kapalnya
membelok arah melintang, sementara Giam Cong-po beranjak
ke buritan, maka dilihatnya dua perahu kecil yang dinaiki Tan
Ciok-sing dan Kek Lam-wi. Jarak kedua pihak tinggal enam
tujuh tombak, tapi di tengah kabut Giam Cong-po tidak
melihat jelas siapa penumpang kedua perahu kecil itu.
Dengan kalem dia angkat sebuah jangkar besi di pojok
kapal, sekali ayun kontan dia lempar jangkar gede itu ke
perahu Tan Ciok-sing. Jangkar besi itu besar dan berat, dia
lempar dengan tenaga raksasa lagi, maka daya luncuran
ditambah beratnya kira-kira ada ribuan kati. Jangan kata
perahu kecil itu hanya mampu dinaiki tiga orang, umpama
perahu besar juga tidak akan kuat ditindih oleh jangkar
segede itu, jelas perahu kecil yang dinaiki Tan Ciok-sing bisa
pecah berantakan.
Untung dia melempar jangkar itu ke perahu Tan Ciok-sing.
Ciok-sing segera kembangkan ajaran Lwekang Thio Tan-hong,
galah panjang dia angkat terus menyampuk dan menepis
mengikuti arah luncur jangkar gede itu. "Byuuurrr" jangkar
gede itu berhasil disampuknya miring dan jatuh kedalam
danau, air muncrat menimbulkan ombak besar.
Karuan Giam Cong-po kaget bukan main, baru sekarang dia
insyaf, yang dihadapi adalah lawan tangguh. Sembari
meraung gusar dia meraih sebuah dayung besi terus
1696 menubruk kearah perahu kecil yang dinaiki Tan Ciok-sing.
Kejadian cepat sekali, di tengah udara tubuhnya jumpalitan
dengan gaya burung dara membalik tubuh, tubuhnya menukik
turun meluncur ke arah perahu kecil itu.
"Pletak", galah panjang di tangan Tan Ciok-sing berhasil
dipukulnya patah menjadi dua. Tapi sebelum kaki Giam Congpo
menginjak papan perahu, pada hal serangan susulan
dengan jurus Hing-sau-liok-hap telah dipersiapkan, mendadak
dilihatnya selarik sinar hijau dan selarik sinar putih laksana
kilat menyambar, sinarnya terang menyilaukan mata. Maka
terdengarlah dering keras beradunya senjata, kali ini gayung
besi di tangan Giam Cong-po malah yang terpapas kutung.
Kiranya Tan Ciok-sing dan In San melancarkan gabungan
sepasang pedang. Pedang mereka gaman mustika yang dapat
mengiris besi, ilmu pedang mereka tiada bandingan pula di
kolong langit ini, kejadian diluar dugaan lagi, sudah tentu
Giam Cong-po tak kuasa melawan mereka"
Belum lagi ujung kakinya menyentuh perahu, ujung pedang
Tan Ciok-sing sudah mengancam lambungnya. Lekas Giam
Cong-po menangkis dengan sisa dayung yang masih
dipegang, gagang dayung itu kembali terpapas kutung pula,
sehingga sisanya sudah tak mungkin digunakan lagi sebagai
senjata. Sementara itu Bu-sam Niocu baru selesai berpakaian,
didengarnya langkah memasuki kabin, maka dengan bersuara
heran dia menegur: "Lho, kok cepat benar kau sudah
kembali?" Kek Lam-wi tendang pintu kabin sambil membentak: "Coba
kau lihat siapa aku."
Kaget Bu-sam Niocu bukan main, kontan dia ayun tangan
menaburkan segenggam Bwe-hoa-ciam. Toh So-so putar
kencang pedangnya dengan jurus Jiu-hong-sau-yap, maka
terdengar suara gemerisik. Bwe-hoa-ciam lembut itu tersapu
rontok dan hancur berhamburan.
1697 Karena sedikit hambatan ini, Bu-sam Niocu sudah
membobol dinding papan terus lari ke geladak.
Kek Lam-wi membentak: "Lari kemana," secepat angin dia
mengudak keluar. Kembali Bu-sam Niocu mengayun balik
tangannya menghamburkan senjata rahasia. Serangan senjata
rahasia kali ini jauh lebih liehay, yaitu Tok-bu-kim-ciam-liatyam-
tam, begitu ditimpukkan senjata rahasia itu lantas
meledak, segumpal asap berapi menimbulkan kabut tebal
diselingi bintik-bintik sinar gemerdap yang tak terhitung
banyaknya, itulah jarum-jarum selembut bulu kerbau yang
beracun. Untung sebelumnya Kek Lam-wi sudah siaga, di waktu dia
melompat ke atas kapal ini, jubah luarnya sudah dibikin basah,
sekarang jubahnya dia buka serta dikebutnya sekali, gumpalan
asap berapi dari ledakan senjata rahasia itu seketika
dikebutnya padam. Jarum-jarum lembut beracun itupun
tergulung dalam jubahnya. Sebat sekali Toh So-so sudah ikut
menerjang keluar dengan getaran pedangnya dia ikut
menyapu habis hamburan jarum-jarum lembut itu.
Kek Larn-wi tidak berhenti, seruling pualamnya segera
dikerjakan menutuk tiga Hiat-to di tubuh Bu-sam Niocu, jurus
Hun-mo-sam-hu ini merupakan variasi yang berhasil dicangkok
dari King-sin-pit-hoat merupakan ilmu Tiam-hiat tingkat tinggi
yang liehay. Walau kesehatan Kek Lam-wi belum pulih
seluruhnya, mungkin karena terlalu panik, Bu-sam Niocu kena
ditutuk dua Hiat-tonya dan tertawan hidup-hidup.
Lekas Kek Lam-wi berdua putar masuk ke kabin serta
mencari, akhirnya ditemukan sebuah pintu kecil terus
membobolnya, Bu Siu-hoa, ternyata disekap di kamar sebelah.
Kek Lam-wi sudah berjongkok memeriksa Hiat-to mana di
tubuhnya yang tertutuk dan hendak membebaskan tutukan
Hiat-tonya, tiba-tiba dilihatnya Bu Siu-hoa sudah membuka
mata, lapat-lapat dia melihat bayangan Kek Lam-wi dan Toh
1698 So-so, dia sangka dirinya sekarang bermimpi, teriaknya tak
tertahan: "Kek-toako, Toh-cici, betul, betulkah kalian?"
Toh So-so girang, serunya: "Bu-cici, ternyata kau sudah
siuman." Segera dia turun tangan membebaskan Hiat-tonya
yang tertutuk. Saking girang Bu Siu-hoa berlinang air matanya, katanya
terisak: "Sungguh tak nyana aku masih bisa hidup bertemu
dengan kalian."
"Ibu tirimu yang jahat itu sudah kami bekuk hidup-hidup,
sepantasnya kau bersenang hati apa pula yang kau tangisi?"
Toh So-so menghibur.
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ayah kandungmu dicelakai sampai mati oleh ibu tirimu ini,
apa kau sudah tahu," ujar Kek Lam-wi sengit.
"Percakapannya dengan pentolan Gam-ong-pang di kamar
sebelah sudah kudengar seluruhnya," sahut Bu Siu-hoa
"Bu-cici, sepantasnya aku memberi selamat kepadamu,"
kata Toh So-so.
Bu Siu-hoa melenggong, katanya: "Kenapa memberi
selamat kepadaku."
"Selamat atas kemajuan Kungfumu," ujar Toh So-so
tertawa, "kau terkena obat bius perempuan laknat itu, ditutuk
pula Hiat-tomu dengan Jong-jiu-hoat oleh Giam Cohg-po tapi
sebelum saatnya kau sudah siuman lebih dulu, sungguh patut
dipuji." Bu Siu-hoa berkata: "Waktu aku digusur perempuan jahat
itu, diam-diam aku sudah menelan obat penawarnya. Tentang
ilmu Tiam-hiat aku harus berterima kasih kepada Kek-toako,
dialah yang mengajar kepadaku. Sayang belum sempurna."
Ternyata dua hari dia berkumpul dengan Kek Lam-wi dalam
gua batu, mengingat orang telah menolong jiwanya, untuk
membalas kebaikannya Kek Lam-wi secara iseng mengajarkan
1699 cara mengerahkan hawa murni menjebol tutukan Hiat-to
kepada Bu Siu-hoa sebagai bekal untuk menyelamatkan diri.
"Mana keparat she Giam itu?" tanya Bu Siu-hoa.
"Masih ada di geladak sedang bertarung dengan Tantoako,"
sahut Kek Lam-wi.
Waktu mereka tiba di atas geladak, tampak air bergolak
dan berputar, siapapun tahu bahwa ada orang sedang
bertarung didalam air. Lau Thi-cu yang berada di perahu kecil
ternyata juga tidak kelihatan.
Perahu kecil yang ditumpangi Tan Ciok-sing berputar-putar
di atas air, kapalnya sudah miring ke sebelah, turun naik
terombang-ambing oleh ombak, sebentar lagi kalau tidak
dikendalikan mungkin bisa tenggelam.
"Celaka," seru Toh So-so, "In-cici masih di atas perahu itu,
dia tidak pandai berenang, lekas kita menolongnya."
Beramai-ramai mereka kayuh kapal besar ini mendekati
perahu yang sudah miring itu. In San sudah lompat ke atas
atap kabin, setelah jarak kedua kapal dan perahu tinggal dua
tombak In San segera melompat naik ke atas kapal besar.
Ternyata menghadapi Siang-kiam-hap-pik Tan Ciok-sing
dan In San, Giam Cong-po tepaksa didesak jatuh kedalam air,
dia tahu di atas kapal dirinya mungkin tidak kuat menghadapi
mereka, maka dia selulup kedalam air hendak menyabot
perahu orang. Kuatir Tan Ciok-sing bukan tandingan Giam Cong-po, Kek
Lam-wi berkata: "Biar aku turun ke air membantunya."
Lekas In San mencegah, katanya: "Kesehatanmu sendiri
belum sembuh, jangan kau mencari susah sendiri."
"Biar aku saja turun membantunya," kata Toh So-so.
1700 "Siau-cu-cu sudah terjun ke air membantu Tan-toako,"
demikian tutur In San, "bila mereka berdua juga tidak kuat
menghadapi musuh didalam air..."
Belum habis dia bicara, "Byuur" tahu-tahu Bu Siu-hoa
sudah terjun kedalam air. Hanya sekejap saja tiba-tiba dua
kepala orang menongol ke permukaan air. Tan Ciok-sing
mendahului lompat naik ke atas kapal, disusul Lau Thi-cu.
Waktu itu fajar telah menyingsing tampak pakaian mereka
berlumuran darah.
In San kaget, serunya: "Lau-toako kau terluka. Mana adik
Siu-hoa?" "Jangan gugup," ujar Lau Thi-cu tertawa lebar, "ini darah
orang lain. Nona Bu berhasil membunuh brandal she Giam
itu." Di tengah tawanya itu tampak Bu Siu-hoa sudah muncul ke
permukaan air, katanya: "Lau-toako terima kasih akan
bantuanmu hingga aku berhasil menuntut balas."
Perlu diketahui kepandaian renang Giam Cong-po ternyata
amat liehay, kalau tidak dibantu oleh Lau Thi-cu, Tan Cioksing
meski dibantu Bu Siu-hoa, meski tidak terkalahkan lawan
pasti berhasil melarikan diri. Setelah terbukti Giam Cong-po
sudah mati, baru Bu Siu-hoa naik ke atas, maka dia agak
terlambat muncul di permukaan air.
Bu Siu-hoa sedang berpikir cara bagaimana dia harus
menghukum ibu tirinya, bila diapun sudah berada di atas kapal
dilihatnya darah hitam keluar dari panca indra Bu-sam Niocu,
ternyata insyaf akan kesalahannya yang tidak terampunkan,
dari pada mati di tangan orang lain dia rela bunuh diri
menelan racun. 000OOO000 Memperoleh laporan yang menggembirakan ini, lekas Ong
Goan-tin keluar menyambut kedatangan mereka. Yang ikut
1701 menyambut ada It-cu-king-thian Lui Tin-gak dan Kim-to-thiciang
Tam Pa-kun. Lekas Lau Thi-cu memburu maju memberi
sembah hormat kepada gurunya.
Melihat Bu Siu-hoa pulang dengan selamat legalah hati Ong
Goan-tin. Mendengar muridnya berjasa besar Lui Tin-gak juga
amat senang. Di samping menghibur dan melegakan hati Bu
Siu-hoa orang banyakpun memuji Lau Thi-cu, pemuda yang
jujur dan polos ini sampai canggung dan malu mukanya
jengah. Dalam perjamuan, hati hadirin sama riang gembira, setelah
tiga cawan masuk kedalam perut, Ong Goan-tin angkat bicara:
"Ulang tahunku kali ini telah menimbulkan banyak keributan
syukurlah Tan-siauhiap, In Lihiap dan nona Bu giat membantu
sehingga keributan ini berhasil diatasi. Betapa senang hatiku
karena Lui-toako dan Tam-toako sudi datang bersama kaum
pendekar muda dan Cianpwe gagah ini kuharap suka tinggal
beberapa hari di markasku ini."
Tan Ciok-sing mendahului buka suara: "Terima kasih akan
maksud baik Cecu, sayang aku dan nona In tak bisa tinggal
lama disini."
"Kalian ada keperluan penting apa, kenapa buru-buru,"
tanya Ong Goan-tin.
Sebelum Tan Ciok-sing menjawab, Tam Pa-kun sudah
tertawa, katanya: "Ong-toako kenapa kau menjadi pelupa?"
Ong Goan-tin melengak, tanyanya: "Aku lupa apa?"
"Tentang mereka membuat geger istana raja, waktu
menyelundup ke istana raja. Ciok-sing pernah meninggalkan
empat bait syair sebagai peringatan kepada raja, bukanlah hal
itu pernah kuceritakan kepada kau?"
Ong Goan-tin sadar, katanya: "Betul kenapa aku jadi lupa.
Ciok-sing Lote, apakah kau mau kembali ke kota raja, menagih
1702 janji kepada raja keparat itu, bila perlu kau paksa dia untuk
menepati janji."
"Benar Baginda pernah berjanji, dalam jangka tiga bulan
dia akan bertindak mencopot kedudukan menteri dorna Liong
Bun-kong. Kini batas tiga bulan sudah hampir habis, bersama
nona In kami ingin tiba di kota raja lebih dini."
"Kalian bagaimana?" tanya Ong Goan-tin kepada Kek Lamwi
dan Toh So-so. "Janji Tan-toako dengan Baginda Raja adalah janji
pertemuan Pat-sian pula, Lim-toako dan Lok-toako pasti sudah
menunggu kami di kota raja. Maka kami juga akan berangkat
bersama Tan-toako."
"Apakah luka-lukamu tidak mengganggu?" tanya Ong
Goan-tin. "Sudah lama sembuh," sahut Kek Lam-wi
"Bahwa kalian sedang mengemban tugas, sudah tentu aku
tidak enak menahan kalian disini. Nona Bu kuharap sementara
kau tinggal disini saja."
Memangnya Bu Siu-hoa sekarang sudah sebatang kara,
mendapat tempat berteduh sudah tentu dia senang, maka
permintaan Ong Goan-tin dia terima dengan rasa senang dan
lega. 000OOO000 Pendek kata. Sepanjang jalan mereka tidak menghadapi
rintangan apa-apa. Hari itu mereka tiba di Pakkhia. Untuk
menjaga orang tidak mengenali mereka, sebelum masuk kota
In San gunakan kepandaian tata riasnya yang dia pelajari dari
Han Cin merobah wajah Tan Ciok-sing dan Kek Lam-wi
menjadi dua pemuda sekolahan yang mau ujian ke kota raja,
sementara dia sendiri bersama Toh So-so ganti berpakaian
laki-laki, menyamar jadi kacung mereka.
1703 Jalan raya lalu lintas padat, kereta gerobak berlalu lalang,
kota raja masih seramai dulu, segala sesuatunya tiada
perbedaan dengan tiga bulan yang lalu. Tapi perasaan hati
mereka yang jauh berbeda dibanding tiga bulan yang lalu.
Tiga bulan yang lalu mereka bertekad meski gugur di
medan lagajuga rela asal berhasil menemui raja, sudah tentu
yang diharapkan usaha mereka sukses yaitu membunuh
Liong Bun-kong sekalian. Meski tujuan mulia, namun mereka
harus bertindak secara menggelap, harapan cerah tidak
pernah nampak di depan mata.
Kini mereka sudah sadar, umpama Baginda Raja tidak mau
tunduk akan kehendak rakyat banyak namun keyakinan
mereka untuk memberantas kaum dorna lebih besar, selaput
gelap yang selama ini menyelubungi harapan masa depan
sudah sirna tak berbekas lagi. Waktu mereka tiba di kota raja
kebetulan adalah hari terakhir dari batas waktu tiga bulan.
Malam itu mereka menginap di hotel, besok pagi mereka
langsung menuju ke Say-san berkunjung ke markas cabang
Kaypang. Baru saja mereka keluar kota, terasa dua orang telah
menguntit mereka. Kedua orang ini berkepala kecil dengan
muka panjang, mata kecil hidung pesek, dari tampang dan
tingkah laku mereka, siapapun akan tahu bahwa kedua orang
ini jahat dan menjijikan. Lekas sekali kedua orang ini sudah
memburu dekat. Sekejap Tan Ciok-sing celingukan, dilihatnya kanan-kiri
tiada orang, segera dia menyongsong kedatangan mereka.
"Saudara ini tentu sudah lelah."
Kedua orang itu berhenti, sekejap saling pandang lalu satu
persatu mengawasi mereka, mimik mukanya kelihatan aneh.
Akhirnya yang perawakan agak pendek berkata: "Lelah sih
tidak. Kalian jalan-jalan, kami juga jalan-jalan, kalau bilang
lelah, tentunya kalian juga lelah." Sengaja dia meninggikan
1704 suara, jelas berusaha menutupi suara aslinya supaya orang
tidak kenal logat suaranya.
Tan Ciok-sing berkata sinis: "Jangan pura-pura, kalian ini
kawan dari garis mana, lekas terus terang."
Yang perawakan besar berkata: "Apa maksudnya kawan
dari garis mana" Coba kau katakan dulu kau dari garis mana,
supaya kami maklum apa yang kau maksud."
"Baik terus terang kuberitahu kepadamu. Aku adalah kawan
dari garis yang sedang dicari oleh majikanmu," di kala
mengucap 'mu' dua jari tangannya yang terangkap tiba-tiba
menutuk ke Hiat-to penggagu orang, dia tidak akan
mengancam jiwa orang, maka gerakannya cukup gesit, orang
biasa terang tak mungkin bisa meloloskan diri. Tak nyana
dengan mudah laki-laki ini berhasil menghindar, mulutnya
malah berkaok: "Lho, mulut bilang kawan tapi perbuatanmu
tidak layak sebagai kawan."
Di kala Tan Ciok-sing turun tangan itu, laki-laki pendek di
sebelahnya tiba-tiba tertawa cekikikan sambil menutup mulut.
Katanya: "Adik In masa kau tidak mengenalku lagi," ujarnya.
"Toako jangan gegabah," seru In San, "diakan Han-cici..."
Hampir bersamaan In San berteriak dengan laki-laki pendek
itu. Sekilas Tan Ciok-sing melenggong, hampir bersamaan pula
diapun berteriak dengan lawannya. "Toan-toako kiranya kau."
"Tan-hengte ternyata kau."
Ternyata dua orang yang menguntit mereka ini bukan lain
adalah kawan baik mereka yaitu Toan Kiam-ping dan Han Cin.
In San tertawa, katanya: "Ooo, ternyata guruku telah
datang, tak heran samaranku konangan," maklum kepandaian
riasnya dia pelajari dari Han Cin.
1705 "Toan-toako," kata Tan Ciok-sing bukankah kau sudah
pulang ke Tayli" Kenapa secepat ini sudah berada di kota raja
pula?" "Janjimu tiga bulan dengan baginda, tidak pernah
kulupakan," ujar Toan Kiam-ping.
"Bukankah waktu itu orang banyak mengharap supaya kau
melakukan usaha besar di kampung kelahiranmu, kurasa tidak
perlu kau buru-buru meninggalkan kampung halaman..."
"Aku maklum maksudmu tapi jangan kau lupa, ayahku mati
karena perbuatan Liong Seng-bu, mana bisa aku membiarkan
kalian saja yang menuntut balas?"
Han Cin tertawa katanya: "Untung kalian bertemu aku,
markas Kaypang sudah pindah."
"Pindah kemana?" tanya Ciok-sing.
"Pindah ke Jui-hwi-hong. Mari kuajak kalian kesana," ujar
Toan Kiam-ping.
Setiba di markas Kaypang baru mereka tahu apa sebabnya
mereka pindah yaitu karena di kalangan mereka terbongkar
adanya musuh dalam selimut, ini bukan lain adalah Kwe Su-to
yang pernah ditolong itu.
Waktu Kwe Su-to membawa pasukan besar pemerintah
menggerebek Pit-mo-gay, untung orang-orang Kaypang sudah
mendapat kabar, sebelum pasukan pemerintah tiba mereka
sudah pindah ke lain tempat, sehingga tidak jatuh korban.
Kaypang Pangcu Liok Kun-lun memberi tahu dua hal
tentang keluarga Liong, pertama, Liong Bun-kong mohon cuti
dengan alasan badan kurang sehat, sampai hari ini belum
pernah masuk istana menghadap raja. Kedua, keponakannya
yaitu Liong Seng-bu secara diam-diam mengawal separtai
harta benda pulang ke Kwi-ciu ke kampung kelahirannya,
seratus li setelah meninggalkan kota raja, di tengah jalan telah
dibega! orang. 1706 "Yang berani membegal harta mereka tentu bukan kaum
begal biasa," kata Ciok-sing.
"Memang bukan begal biasa, menurut laporan mereka
adalah Wi-cui-hi-kiau," ujar Liok Kun-lun.
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kek Lam-wi senang, katanya: "O, jadi Toako juga sudah
tiba, dimana mereka?"
"Dua hari lagi baru akan tiba. Mereka sudah mengirim
kabar kepadaku," sahut Liok Kun-lun pula.
"Pertemuanku dengan Baginda tidak bisa ditunda lagi, aku
tidak akan menunggu mereka," kata Tan Ciok-sing.
Toan Kiam-ping berkata: "Kali ini aku bersama adik Cin
minta persetujuan kalian untuk ikut masuk ke istana."
Kek Lam-wi dan Toh So-so sebetulnya juga ingin ikut, tapi
Liok Kun-lun bilang terlalu banyak orang tentu kurang leluasa,
apa lagi mereka harus menunggu kedatangan anggota Patsian
yang lain, terpaksa mereka terima nasihat Liok Kun-lun,
urung ikut ke istana.
Malam kedua kira-kira kentongan ketiga Tan Ciok-sing
berempat lantas berangkat menemui Baginda Raja sesuai janji
tiga bulan yang lalu.
Tan dan In sebelumnya pernah kemari maka kali ini dengan
mudah mereka dapat mengelabui para penjaga dan barisan
ronda. Di bawah petunjuk Tan Ciok-sing yang jalan di depan,
sementara In San dan Han Cin menyamar Thaykam berjalan
di belakang, sementara Toan Kiam-ping menguntit dalam
jarak tertentu langsung menuju ke istana belakang. Ginkang
Toan dan Han memang agak asor tapi tarafnya juga sudah
termasuk kelas tinggi, berjalan di atas genteng kaca yang licin
mereka mengembangkan Ginkang laksana kecapung yang
menclok dari satu wuwungan ke wuwungan istana yang lain
tanpa mengeluarkan suara. Tan dan In sudah punya
pengalaman maka mereka berhasil mengelabui jago-jago silat
1707 pelindung istana, lekas sekali mereka sudah menyelundup ke
Sia-hoa-wan disini mereka menghadapi kesulitan, tidak seperti
dulu dapat maju dengan leluasa. Kini kemana mereka harus
menemui Baginda" Istana raja sebesar dan seluas ini, gedung
bangunannya entah- ada ratusan jumlahnya, hanya tempat
tinggal permaisuri dan para selir raja saja kira-kira ada
puluhan gedung, dari mana mereka tahu malam ini sang raja
menginap di istana mana" Kalau tempo hari mereka dibantu
seorang thaykam yang selalu dekat di samping raja sehingga
tanpa membuang banyak tenaga menemui raja, tapi Thaykam
kecil itu sudah gugur dalam menunaikan tugas, kini tiada
Thaykam yang akan menunjukkan jalan lagi.
Sebelum mereka mendapat akal dan perundingan diantara
mereka belum selesai tiba-tiba didengarnya suara desiran
aneh pelahan seperti selembar daun yang melayang ditiup
angin, tapi jelas bukan daun yang jatuh karena ditiup angin.
Mereka adalah ahli silat, mendengar suaranya seketika
melenggong. Tan Ciok-sing berkata: "Itulah suara senjata
rahasia meluncur, tapi bukan Bwe-hoa-ciam."
In San berkata: "Kalau suara krikil rasanya jauh lebih keras
dan kasar.'"
Ciok-sing berkata: "Kalau tidak salah dugaanku itulah
sebutir lempung kecil." Sampai disini tiba-tiba tergerak pikiran
Tan Ciok-sing, diam-diam dia berpikir: "Jikalau Wisu istana
memergoki jejak kita tak perlu dia menyerang kita dengan
senjata rahasia apalagi senjata rahasia itu ditimpuk miring ke
samping kita bukankah membuat kita terkejut dan sadar"
Tidaklah lebih baik dia berteriak mengundang kawankawannya?"
Karena itu segera dia hendak menyerempet
bahaya, coba-coba dia berlari ke arah dimana senjata rahasia
tadi meluncur. Di depan sebuah gunung-gunungan mengadang jalan di
waktu mereka kebingungan ke arah mana mereka harus
melanjutkan arahnya, tiba-tib
Bentrok Rimba Persilatan 11 Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Bukit Pemakan Manusia 19
a kau maklum bahwa petugas seperti
diriku ini bukan tiruan."
Hu Kian-seng melengak, bentaknya: "Omong kosong, hari
ini kau harus diringkus." Di mulut dia bersikap garang, namun
dalam hati ragu-ragu dan jeri, apakah betul dia hendak
membekuk Tan Ciok-sing dan kawan-kawannya"
Kali ini Hu Kian-seng dan Bok Su-kiat memang menerima
perintah raja untuk menangkap Liong Bun-kong, menyita
harta dan menyegel rumahnya, jadi merekalah petugas tulen
yang harus menjalankan firman raja.
Dalam keadaan kebat kcbit Cu Kian-sin semula masih
bimbang, tapi urusan sudah terlanjur sejauh ini, menyesal
juga tidak berguna, apalagi utusan Watsu yaitu Tiangsun Co
dan Milo Hotasu sudah lari meninggalkan istana. Setelah
Tiangsun Co dihajar empat puluh pukulan di pantatnya,
umpama Cu Kian-sin sendiri sekarang menyusulnya keluar
kota minta maaf kepadanya juga tidak akan merobah situasi,
hubungan buruk sudah terjalin, apalagi sebagai raja sudah
tentu Cu Kian-sin tidak sudi merendahkan diri.
1646 Tan dan In juga sudah tidak kelihatan, Kim-to Cecu
menjadi tulang punggung mereka, laskar rakyat Kim-to Cecu
baru saja mencapai kemenangan perang diluar perbatasan.
Bila Kim-to Cecu sampai menyebar luaskan konsep perjanjian
damai itu, lalu angkat senjata menghasut rakyat dengan
semboyan melenyapkan raja lalim, melawan musuh luar,
betapapun Cu Kian-sin tidak akan mampu melayaninya.
Ditimbang-timbang dan dipilih berat dan ringannya, apa
boleh buat, terpaksa Cu Kian-sin berani menyerempet bahaya
meski terpaksa harus bersalah terhadap pihak Watsu, maka
siap dia menerima syarat-syarat yang diajukan Kim-to Cecu.
Pertama yang harus dia korbankan sudah tentu adalah Liong
Bun-kong. Hu dan Bok punya hubungan baik dengan Liong Bun-kong,
bukan saja mereka mengerek panji menabuh tambur
memimpin tiga ratusan pasukan Gi-lim-kun berbondongbondong
menuju ke rumah Liong-Bun-kong, sebelum
berangkat mereka telah mengutus orang untuk memberi kabar
kepada Liong Bun-kong, itulah sebabnya kenapa Liong Bunkong
secara mudah mau memberi kelonggaran kepada Tan
Ciok-sing serta menarik mundur Tang-hay-liong-ong. Sa
Thong-hay dan lain-lain lebih penting ditarik balik untuk
melindungi dirinya melarikan diri mana sempat menempur Tan
Ciok-sing pula. Tapi Hu Kian-seng juga tidak menyangka,
sebelum tiba di tempat tujuan, di tengah jalan mereka sudah
kepergok dengan Tan Ciok-sing.
Melihat Cin Tay-hun semirip itu menyaru wakil komandan
mereka, mereka sama heran dan melenggong, setelah
mendengar perintah atasannya, serempak mereka berkaokkaok
" terus menyerbu. Maksud Tan Ciok-sing tercapai karena
orang-orang Kaypang bebas dari pengejaran.
Cin Tay-hun malah bikin barisan kuda Gi-lim-kun kocarkacir,
dengan Ginkangnya yang tinggi dia terobosan di antara
kaki-kaki kuda yang simpang siur menyerbu dirinya. Sudah
1647 tentu anggota Gi-lim-kun yang berkuda itu tidak segesit dan
setangkas gerak-geriknya, ada beberapa orang yang tidak
sempat menarik kendali malah saling tumbuk dan injak.
Bok Su-kiat gusar, bentaknya: "Kalian minggir, biar aku
ringkus dia."
Cin Tay-hun tahu keliehayannya, lekas dia merebut seekor
kuda, terus dicemplaknya dibawa kabur. Dari seorang anak
buahnya Bok Su-kiat merebut sebatang tombak sekali ayun
tombak itu dia lemparkan ke arah Cin Tay-hun.
Tombak besar, panjang dan berat, tenaga lemparan besar
lagi, maka tombak itu mendesing kencang. Cin Tay-hun
sempat memutar kepala sambil melelet lidah dan membelalak
mata dan menyengir hidung, teriaknya: "Haya celaka, kau
tidak hiraukan sesama kolega, terpaksa aku akan sembunyi ke
istana raja akhirat melaporkan kejahatanmu," tiba-tiba
tubuhnya menyelinap turun sembunyi di bawah perut kuda,
tombak panjang itu melesat lewat di atas punggung kuda.
Celaka adalah seorang anggota Gi-lim-kun yang kebetulan
berada di sebelah depan, dia keprak kuda pikirnya mau
mencegat, tak nyana tombak lemparan Bok Su-kiat tahu-tahu
meluncur ke arah dadanya, tanpa mengeluarkan suara tombak
amblas menembus dadanya, dia terguling mati diinjak-injak
kuda lagi. Bok Su-kiat tambah murka, hardiknya: "Bangsat cilik, lari
kemana kau," mengeprak kuda segera dia mengudak.
Sementara itu Toan Kiam-ping juga sudah merebut seekor
kuda, segera dia keprak kudanya maju membantu Cin Tayhun.
Bok Su-kiat angkat tombak besinya, dengan jurus Kiongliong-
jut-hay. Sekuat tenaga dia menusuk. Lwekang Toan
Kiam-ping tidak setangguh lawan, begitu dia menangkis
dengan pedang, "Trang" lelatu api berpijar. Ceng-kong-kiam di
tangan Toan Kiam-ping sampai melengkung. Melihat gelagat
tidak menguntungkan, lekas Han Cin maju membantu.
1648 Pertempuran berjalan seru alias setanding. Siang-kiam-happik
Tan dan In sebaliknya berhasil memukul mundur Hu Kianseng
lekas sekali mereka sudah bergabung dengan Toan dan
Han terus menerjang keluar dari kepungan.
Bok Su-kiat masih ingin mengudak, lekas Hu Kian-seng
membisikinya: "Biarkan mereka pergi."
Bok -Su-kiat melengak, katanya: "Kukira bocah itu sudah
kehabisan tenaga, kenapa tidak mumpung ada kesempatan
meringkusnya?"
Hu Kian Seng tertawa, katanya tersenyum: "Keluar rumah
harus pandai melihat cuaca, cuaca hari ini tidak
menguntungkan kita, biarlah mereka pergi saja."
Bok Su-kiat juga seorang licik, cepat sekali dia sudah
paham maksud Hu Kian-seng, katanya: "Betul juga, kita
mendapat perintah Baginda untuk menangkap Liong Bunkong,
biarlah bocah-bocah itu pergi saja." Segera dia memberi
aba-aba menarik pasukannya.
Setiba Tan dan In di atas gunung, sementara murid-murid
Kaypang yang lari berpencar itupun sudah berdatangan. Murid
Kaypang dipimpin Hu-thocu mereka, yaitu Lian Toa-ki untuk
memberi bantuan dimana perlu, tak nyana di tengah jalan
mereka kepergok pasukan Gi-lim-kun, tapi hanya beberapa
orang yang luka-luka ringan.
Cin Tay-hun tiba-tiba berkata: "Aku ingin pulang ke rumah
keluarga Liong menyerapi berita. Kali ini aku tidak menyamar
Ing Siu-goan, biarlah menjadi anggota Gi-lim-kun biasa."
"Seorang diri terlalu bahaya bagi dirimu," ujar Tan Cioksing.
Cin Tay-hun tertawa, katanya: "Berkelahi dengan orang,
aku tak bisa menandingi kau, tapi untuk berlari aku berani
bertaruh dengan kau. Aku bukan mencari Bok Su-kiat untuk
diajak berkelahi, maksudku setelah pasukan Gi-lim-kun ditarik
1649 mundur, baru aku akan menyelundup ke rumah Liong Bunkong.
Bila jejakku kenangan, aku akan segera lari."
Tan Ciok-sing tahu kepandaiannya, katanya: "Baiklah, kau
harus bertindak melihat gelagat, nanti malam kita jumpa di
markas lagi."
Setiba di markas Kaypang sudah menjelang kentong kedua.
Mereka langsung memberi laporan kepada Kaypang pangcu
Liok Kun-lun, baru saja mereka selesai membicarakan Cin Tayhun,
tiba-tiba Liok Kun-lun membentak: "Kalau kawan boleh
silakan masuk," belum lenyap suaranya terasa angin
berkesiur, api lilin bergoyang-goyang.
Waktu In San membelalakan mata, di depannya telah
berdiri seseorang, siapa lagi kalau bukan Cin Tay-hun"
"Cin-lote, hebat Ginkangmu," puji Liok Kun-lun tertawa.
"Banyak terima kasih, Wanpwe Cin Tay-hun menyampaikan
hormat kepada Cianpwe."
Liok Kun-lun tertawa, katanya: "Gurumu Siangkoan Linghong
setingkat lebih tinggi dari aku, waktu aku keluar
kandang, gurumu sudah menggetar Kangouw belasan tahun.
Kau menyebut aku Cianpwe, akulah yang tidak berani terima."
Wi-cui-hi-kiau juga hadir, setelah saling sapa dan basa-basi
ala kadarnya, baru diketahui perguruan mereka satu sama lain
memang ada ikatan, karuan suasana tambah gembira.
Cin Tay-hun mulai berceritera: "Pasukan Gi-lim-kun itu
ternyata hendak menangkap Liong Bun-kong."
"Apa benar?" Liok Kun-lun kaget, "jadi Liong Bun-kong
telah ditangkap mereka?"
"Tidak. Sebelumnya Hu Kian-seng sudah suruh orang
memberitahu, apalagi pasukan Gi-lim-kun mengerek panji
menabuh tambur, jangan kata Liong Bun-kong, anak buahnya
yang sedikit punya kedudukan dan simpananpun telah
1650 hengkang tak karuan parannya. Jadi yang ditangkapi pasukan
Gi-limkun hanyalah tukang kembang, koki, dayang kacung
atau tukang kuda, orang-orang yang tidak berdosa. Setelah
membekuk orangnya, harta disita, rumah disegel."
Lim Ih-su berkata: "Kalau demikian mana boleh dikata
mereka pergi menangkap Liong Bun-kong."
Liok Kun-lun berpikir sejenak, katanya tertawa: "Agaknya
mereka bukan pura-pura, memang kerja mereka kepalang
tanggung."
"Kepalang tanggung bagaimana?" tanya Lim Ih-su.
Liok Kun-lun menjelaskan: "Karena terdesak oleh situasi,
terpaksa raja harus mengorbankan Liong Bun-kong untuk
menentramkan hati rakyat, sekaligus untuk mempertanggung
jawabkan janjinya kepada Kim-to Cecu. Dia mengeluarkan
firman dan rakyat banyak mengetahui, ini tidak boleh dibilang
pura-pura, tapi dia membiarkan Hu Kian-seng dan kampratkampratnya
bersekongkol dengan Liong Bun-kong, jadi dalam
prakteknya ada permainan pura-pura pula. Meski kejadian
kepalang tanggung, kurasa masih lebih baik dari pada tidak
terjadi apa-apa."
Rasa dongkol Lim Ih-su masih belum terlampias, katanya:
"Mereka mementingkan hubungan pribadi, secara diam-diam
membebaskan Liong Bun-kong, betapapun bangsat tua itu
harus kita bekuk."
In San berkata: "Bangsat tua itu adalah musuh besarku,
hukuman untuk bangsat tua ini boleh serahkan saja kepada
aku dan Ciok-sing."
"Kalian jangan rebutan tugas, yang terpenting sekarang
adalah mencari tahu ke arah mana bangsat tua itu melarikan
diri?" In San berkata: "Kukira dia tidak akan berani lari ke
kampung halamannya."
1651 Cin Tay-hun berkata: "Aku sembunyi di hutan di belakang
gedung keluarga Liong orang-orang yang tidak sempat lari
semua ditangkap Gi-lim-kun. Tapi ada dua orang yang lari
paling akhir, meski melihat mereka orang-orang Gi-lim-kun
ternyata diam saja berpeluk tangan. Coba kalian terka siapa
kedua orang ini?"
"Kurasa dia bukan orang sembarangan." ujar Tan Ciok-sing.
"Mereka adalah Liong Seng-bu dan Poyang Gun-ngo."
"O, jadi Poyang Gun-ngo selama ini sembunyi di rumah
keluarga Liong, pada hal utusan rahasia Watsu berada di kota
raja, dia tetap menyembunyikan diri."
In San seperti memikirkan sesuatu, katanya kemudian: "Dia
sembunyi di rumah bangsat she Liong, kukira untuk berjagajaga
menghadapi bencana hari ini."
"Pendapatmu betul," ujar Cin Tay-hun, "Hu Kian-seng dan
Bok Su-kiat jelas kenal baik dengan Liong Seng-bu, tapi begitu
melihat Poyang Gun-ngo memapahnya keluar, mereka lantas
pura-pura tidak melihat, waktu itu ada beberapa orang Gi-limkun
yang berjaga di pintu belakang, ternyata mereka telah
dipindah ke lain tempat oleh Bok Su-kiat."
Lok In-hu berkata: "Sebulan yang lalu keparat Liong Sengbu
kena kupukul luka parah, ternyata masih kuat bertahan
hidup, boleh juga dia."
"Aku justru tidak habis mengerti, setelah dia terluka parah,
kenapa pamannya tidak segera memindahkannya ke tempat
lain lebih dulu, kok malah ditinggal paling akhir baru lari."
"Kurasa tidak sukar kutebak," ujar Lok In-hu, "justru karena
dia terluka, kuatir menambah beban, maka pamannya
meninggalkannya kepada Poyang Gun-ngo. Bukankah Hu
Kian-seng, Bok Su-kiat tidak berani bertindak kepada Poyang
Gun-ngo?" 1652 "Bahwa Poyang Gun-ngo selama ini tinggal di rumah
bangsat she Liong kurasa bukan hanya bertugas melindungi
Liong Seng-bu. Bahwa Liong Seng-bu harus lari paling akhir
kurasa bukan lantaran sang paman lebih mementingkan diri
sendiri, maka dia yang sudah luka-luka tidak dihiraukan lagi."
Lok In-hu bertanya: "Lalu bagaimana pendapatmu?"
"Menurut yang kutahu," ujar In San, "biasanya Liong Sengbu
menyimpan dan mengurus surat penting pamannya."
Liok Kun-lun menimbrung: "Maksudmu Liong Seng-bu
punya tugas untuk membakar surat-surat penting yang tidak
sempat dibawa kabur itu. Padahal betapa banyak dokumentasi
yang tersimpan, di antara sekian banyak dokumentasi itu. Dia
harus memilih mana yang harus dibawa dan mana yang harus
dibakar, sehingga mereka terlambat melarikan diri."
"Betul, begitulah dugaanku," sahut In San.
"Aku bisa membuktikan bahwa dugaanmu tepat," ujar Cin
Tay-hun, "dari tubuh keparat itu aku berhasil mencuri
selembar dokumen, yaitu peta militer di daerah Liang-ciu,
kukira peta gambar ini boleh termasuk dokumen rahasia," lalu
dia keluarkan peta gambar itu serta dibeber di hadapan orang
banyak, gambar peta ini amat bagus dan teliti, lengkap
dengan tanda-tanda dan penjelasannya, dimana ada berapa
pasukan, bagaimana persenjataannya, semua dijelaskan
dengan terperinci.
Liok Kun-lun keki setelah melihat peta itu, katanya: "Kecuali
sekongkol dengan bangsa asing, Liong Bun-kong ternyata
sudah ada niat menjual nusa dan bangsa. Sebagai sekretaris
negara dia memanfaatkari fasilitas maka kekuatan tentara
pada setiap kota-kota besar diketahuinya dengan jelas. Peta
militer seperti ini kukira bukan hanya selembar ini. Mungkin
dia hendak menjualnya kepada pihak Watsu."
"Memang dalam kantong bajunya menyimpan setumpukan
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
surat-surat, sayang ada Poyang Gun-ngo di sampingnya, aku
1653 hanya berhasil mencuri selembar saja," demikian tutur Cin
Tay-hun. "Poyang Gun-ngo memapahnya jalan," demikian ujar Lok
In-hu, "bagaimana kau bisa turun tangan?"
Setelah Cin Tay-hun menceritakan pengalamannya, orang
banyak tertawa terpingkel-pingkel.
Wajah Cin Tay-hun sudah tidak menyamar Ing Siu-goan,
tapi dia masih mengenakan seragam perwira Gi-lim-kun,
secara diam-diam dia menguntit dibelakang Poyang Gun-ngo
dan Liong Seng-bu, setiba di tempat sepi baru dia unjukkan
diri, dengan sikap angkuh dia maju memeriksa.
Sebetulnya Poyang Gun-ngo dan Bok Su-kiat sudah ada
intrik, tak nyana sekarang mengejar datang seorang perwira,
sudah tentu dia menjadi blingsatan,
"Apakah Bok Su-kiat hendak melaporkan sesuatu kepadaku,
maka mengutus kemari menemui aku?" Demikian bentak
Poyang Gun-ngo.
Cin Tay-hun pura-pura bingung seperti orang linglung,
katanya: "Siapa kau, berani menyebut langsung nama besar
pemimpin kita" Aku ditugaskan membekuk keluarga buronan."
Poyang Gun-ngo berpikir: "Kiranya orang linglung, tak
heran tidak menghiraukan perintah atasannya, diam-diam
mau mencari keuntungan sendiri di tempat sepi." Sekali pukul
dia menghancurkan sebuah batu, bentaknya: "Aku ini Busu
kelas satu Poyang Gun-ngo dari Watsu, teman baik Bokjongling
kalian." Cin Tay-hun pura-pura kaget, katanya: "Oh.
ya,ya, aku salah mengenal orang. Maaf, Liong-siauwya, aku
salah mengenalmu," sengaja dia pura-pura mau menjilat
kepada Liong Seng-bu, tapi diluar tahu orang diam-diam dia
telah kembangkan kepandaian copetnya.
Setelah reda gelak tawa orang banyak, Liok Kun-lun
berkata: "Tadi kita telah melukiskan keadaan kemana kira-kira
1654 Liong Bun-kong bakal lari, sayang unsur penting yang satu ini
tidak kita pikirkan sebelumnya."
Lim Ih-su berkata: "Betul, melihat gelagatnya,
kemungkinan bangsat tua itu sudah lari ke Watsu."
Hasil dari perundingan, hadirin setuju mengutus Tan dan In
pergi ke Watsu untuk menyelidik sekaligus membunuh Liong
Bun-kong. Sebelum berpisah sudah tentu perasaan amat tertekan,
terutama Kek Lam-wi, Toh So-so Toan Kiam-ping dan Han Cin
berat untuk berpisah. Toan dan Han akan kembali ke Tayli,
sementara Kek Lam-wi dan Toh So-so akan kembali ke
Thayouw memberi kabar kepada Ong Goan-tin.
Tiba-tiba Cin Tay-hun berkata: "Kek-jithiap, Toh Lihiap,
apakah kalian bermusuhan dengan Thian-liong-kiam-kek Liu
Jiu-ceng?"
"Betul," Toh So-so menjawab, "putranya Kangouw Longcu
Liu Yau-hong pernah kurusak mukanya, kenapa?"
"Kabarnya mereka akan menuntut balas kepadamu, ibu Liu
Yau-hong bergelar Yan-Lo-sai bernama Bing Lan-kun, adalah
gembong iblis perempuan di masa lalu, dia terlalu
memanjakan putranya, mungkin dia yang paksa suaminya
turun gunung untuk membuat perhitungan dengan kalian,
kalian harus hati-hati."
"Terima kasih atas perhatianmu, kami akan berlaku hatihati,"
kata Kek-lam-wi, seperti ingat sesuatu tiba-tiba dia
tertawa, katanya pula: "Tan-toako, semoga kita lekas bertemu
lagi." Tan Ciok-sing kira orang hanya mengucap hiburan sebelum
berpisah, maka dia tidak ambil di hati, tidak lama kemudian
haripun telah terang tanah.
Setelah pamitan pada orang banyak Tan dan In berangkat
naik kuda ke utara.
1655 Diluar dugaan, sepanjang jalan mereka tidak pernah
mengalami apa-apa, tapi juga tidak berhasil mengejar Liong
Bun-kong atau menemukan jejak mereka.
Hari itu mereka tiba di kampung kelahiran In San, yaitu
kota Tay-tong. Setelah ditimpa perang, kota Tay-tong jauh lebih parah
lagi, beberapa hotel dan restoran besar banyak yang telah
menghentikan usahanya. Setelah malam tiba tentara negeri
yang mondar mandir di jalan raya lebih banyak dari penduduk
yang melancong di jalanan.
Rumah In San ada di Tay-tong, setiba di Tay-tong sudah
tentu In San amat rindu dan haru. Rumahnya sudah disegel,
harta peninggalan ayahnya juga disita habis.
Waktu memasuki kota hari mulai petang. Tan Ciok-sing
mengajak cari penginapan, tiba-tiba In San berkata: "Tak usah
cari penginapan."
Tan Ciok-sing maklum, katanya:
"Betul, nginap di hotel mungkin menarik perhatian orang.
Tapi kemana kita harus berteduh?"
In San tertawa, katanya: "Kau lupa rumahku ada disini?"
"Sudah dua tahun rumahmu disegel, mungkin sekarang
sudah dilelang."
"Apa salahnya kita kesana. Kalau sudah menjadi milik orang
lain, nanti kita cari tempat lain."
Diluar dugaan, meski segel di atas pintu sudah luntur, tapi
kertas segel itu masih menempel kencang, berarti rumah itu
masih dalam kekuasaan yang berwenang, diluar juga tidak
dijaga. Mereka masuk melewati tembok, ternyata pekarangan juga
terawat baik, tidak seperti yang diduga In San, tumbuh
rumput dan alang-alang liar. Waktu In San masuk ke kamar
1656 tidurnya, pajangan dan keadaan sesuatunya ternyata tidak
ada perobahan, demikian pula kamar buku, dan kamar-kamar
lainnya, semua dalam keadaan teramat bersih.
Kaget dan riang hati In San, katanya: "Agaknya ada orang
sering membersihkan rumah ini."
Tan Ciok-sing berkata: "Rumah yang telah disegel masakah
mereka mau merawatnya begini baik, kejadian cukup
mencurigakan."
In San tertawa, katanya: "Kita toh hanya menginap
semalam, peduli apa sebabnya, bermalam disini kan lebih
mending dari pada menginap di hotel."
Tengah malam, tiba-tiba terdengar kuda dan kereta
mendatangi, ternyata berhenti di depan rumah In San. "Eeh,
mereka mendorong pintu dan masuk kemari, siapa yang
bernyali sebesar ini?"
Tengah mereka bertanya-tanya, terdengar sebuah suara
yang sudah dikenal berkata: "Rumah keluarga In ini kusuruh
walikota Tay-tong untuk merawatnya baik-baik, pesanku
ternyata dipatuhi dengan baik. Ai. tapi sekarang aku..." yang
bicara ini bukan lain adalah keponakan Liong Bun-kong, yaitu
Liong Seng-bu. Maklum sejak bertemu pertama kali Liong Seng-bu sudah
kasmaran kepada In San, kala itu pernah dia merangkai
muslihat hendak ngapusi In San menjadi isterinya, karena itu,
meski rumah keluarga In disegel dan hartanya disita, namun
secara diam-diam dia masih suruh orang merawat rumah ini
baik-baik. Masih terbetik harapan dalam benaknya bila kelak
dia benar-benar berhasil mempersunting In San, sang isteri
akan diajak pulang ke rumahnya supaya dia kaget dan
senang. Sekarang In San memang kaget dan senang, rasa
senangnya jauh lebih besar dari rasa kaget, tapi rasa senang
1657 yang diluar dugaan ini jauh berlawanan dengan rasa senang
yang diharapkan oleh Liong Seng-bu.
Senang karena dicari susah-susah tidak ketemu, tahu-tahu
ketemu tanpa membuang tenaga. Bangsat kecil yang dicari
jejaknya tidak ketemu tahu-tahu malah mengantar jiwanya
sendiri. Maka seseorang berkata: "Buat apa Kongcu susah, musibah
yang menimpa pamanmu ini hanya sementara saja, setiba di
Holin, Khan Agung pasti memanfaatkan tenaga dan
pikirannya. Memangnya Kongcu kuatir tidak akan bisa hidup
senang dan foya-foya" Kelak bila Pak-khia berhasil kita rebut,
pamanmu tidak akan hanya menjadi sekretaris belaka," logat
bahasa Han orang ini agak kaku, dia bukan lain adalah Poyang
Gun-ngo yang menyelundup di rumah Liong Bun-kong.
Suara lain yang sudah dikenal bersuara: "Ting-congping
yang berkuasa di Tay-tong dulu adalah pamanmu yang
mengangkat, kukira umpama sekarang Kongcu pergi ke
markas militernya sana. diapun akan menyambutmu dengan
tangan terbuka," orang ini adalah Huwan Liong, tertua dari
Huwan bersaudara.
Liong Seng-bu tertawa getir, katanya: "Situasi sekarang
beda dengan masa lalu, sebagai jendral yang berkuasa di
perbatasan, berita yang dia terima tentu cukup luas dan cepat,
kau kira setelah dia mendengar kabar jelek tentang musibah
yang menimpa keluargaku masih mau mengingat hubungan
baik masa lalu?"
Huwan Liong berkata: "Justru karena berita yang dia
peroleh cepat dan luas kukira Bok-jongling sudah mengirim
orang memberitahu kepada dia. Umpama dia tidak peduli
hubungan masa lalu, paling tidak dia harus memikirkan
nasibnya kelak bila Lo-tayjin suatu ketika memperoleh
kekuasaannya kembali. Bahwa sejauh ini Lo-tayjin masih segar
bugar di daerah Tay-tong ini, kuyakin pasti juga karena jasa
baiknya. Kalau Lo Tayjin sudah diberi fasilitas sehingga keluar
1658 dengan selamat, memangnya dia bakal mencelakai kau
Kongcu?" "Bukan kuatir diketahui orang, tapi takut dilihat orang,
kalau secara terang-terangan kita mampir ke markas besarnya
sikapnya tentu serba runyam. Maka lebih baik kita menyingkir
saja. Karena itu aku lebih senang menyobek segel ini, meski
melanggar hukum, biarlah aku menginap di rumah keluarga In
semalam saja."
Huwan Liong tertawa, katanya: "Kongcu memang
berpandangan jauh, teliti lagi, bermalam disini tiada yang
mengganggu, yah memang lebih menyenangkan dari pada
menginap di hotel," sembari bicara mereka sudah memasuki
ruang tamu. Huwan Kiau menyulut lentera terus memimpin
jalan di sebelah depan.
Tiba-tiba terdengar jengek tawa dingin sinar pedang
menyilau mata, In San sudah menerjang keluar lebih dulu,
bentaknya: "Di sorga ada jalan kau tidak mau kesana, akJiirat
tiada pintu kau justru menerjangnya masuk. Liong Seng-bu
pentang mata anjingmu, lihat siapa aku?" tampak In San
berdiri jajar dengan Tan Ciok-sing sambil menyoreng pedang.
Karuan kaget Liong Sengbu bukan kepalang.
"Kongcu lekas lari," teriak Huwan Liong gugup.
Huwan Kiau melempar lentera yang dipegangnya, "ting,
ting, ting" secepat kilat empat bersaudara ini melolos pedang
membentuk barisan.
Poyang Gun-ngo berteriak: "Kongcu, kalau kau tidak bisa
lolos, lekas kau hancurkan dokumen itu. Biar aku pergi
mengundang bantuan," dia kuatir Tan dan In tidak akan
membiarkan dirinya pergi maka sengaja dia bilang bahwa
dokumen-dokumen penting berada di badan Liong Seng-bu,
pada hal surat-surat yang paling penting sudah berada di
sakunya. 1659 Sudah tentu Liong Seng-bu gugup dan gusar pula, tapi
sebelum dia sempat bertindak sekonyong-konyong sinar
pedang berkelebat, disusul dering suara ramai, pedang
panjang Huwan bersaudara telah terpapas kutung oleh
sepasang pedang mustika Tan Ciok-sing dan In San.
Liong Seng-bu terluka delapan goresan dan tusukan, lima
luka di badannya lantaran tergores dan tertusuk kutungan
pedang Huwan bersaudara yang terpental balik. Dengan
jeritan menyayat hati dia terjungkal roboh berkelejetan, darah
membanjir dari luka-lukanya, jiwanya jelas takkan tertolong
lagi. Setelah menyeka noda darah di pucuk pedangnya, In San
sarungkan kembali pedangnya, katanya: "Inilah ganjaran
setimpal seorang jahat. Nasib Liong Seng-bu bangsat durjana
ini patut kalian jadikan contoh."
Tan Ciok-sing menambahkan: "Mengingat kalian hanya
diperalat, belum pemah melakukan kejahatan besar, maka
hari ini kami ampuni jiwa kalian, semoga selanjutnya kalian
tahu diri, membina diri kembali ke jalan yang benar, nah
silakan kalian pergi."
Huwan bersaudara tidak sangka bahwa Tan Ciok-sing
mengampuni jiwa mereka, lekas Huwan Liong menjura,
katanya: "Terima kasih akan budi kebaikan Tan-siauhiap
mengampuni jiwa kami, kami akan patuh petuah dan nasehat
siauhiap, selanjutnya tidak akan berkecimpung di kalangan
Kangouw lagi."
Hari hampir terang tanah, In San menghela napas,
katanya: "Marilah kita melanjutkan perjalanan saja," dengan
perasaan berat terpaksa dia meninggalkan rumah dan
kampung halaman tempat kelahirannya.
"Dari pembicaraan mereka dapat kita simpulkan, bahwa
bangsat tua she Liong diam-diam telah dibebaskan keluar
1660 perbatasan, Kim-to Cecu berada di Gan-bun-koan, mari kita
mampir ke markasnya memberi laporan."
Sekeluar dari Tay-tong, sepanjang jalan tiada kejadian apaapa,
bagi In San merupakan kembali ke tempat yang pernah
dikunjungi, maka dia yang menuntun jalan. Mendapat laporan,
bergegas Kim-to Cecu keluar menyambut sendiri, katanya:
"Tan-siauhiap, bikin kalian capai saja. Sudah dua tahun aku
menunggumu, hari ini baru bisa bertemu dengan kau. Kau
membuat pahala besar di kota raja, aku sudah tahu,
tindakanmu patut dipuji, setulus hati aku haturkan banyak
terima kasih kepadamu."
"Semua itu juga berkat rencana Cecu yang baik, aku hanya
melaksanakan tugas saja, mana berani menerima jasa segala"
Namun meski Baginda sudah menerima beberapa syarat yang
kita ajukan, aku kuatir dia tidak akan melaksanakan janjinya
dengan sepenuh hati. Ada beberapa persoalan ingin
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kulaporkan kepada Cecu."
Kim-to Cecu tertawa, katanya: "Sudah logis kalau urusan
tidak akan berjalan lancar, pihak kerajaan tidak akan sepenuh
hati melawan penjajah, itupun sudah dalam dugaanku. Marilah
kita bicara didalam saja."
Dalam perjamuan yang diadakan khusus untuk menyambut
kedatangan Tan Ciok-sing, Tan Ciok-sing ceritakan
pengalamannya bertemu dan berunding dengan Baginda,
serta ceritakan pula pengalaman dan apa yang dilihatnya
sepanjang jalan setelah dia keluar dari kota raja.
Kim-to Cecu berkata: "Bukankah kalian hendak meluruk ke
Watsu membalas dendam kepada Liong Bun-kong disana" Aku
tidak menentang kalian menuntut balas, tapi aku berpendapat
kalian harus menunggu saat yang tepat, sekarang kukira
belum tiba saatnya."
In San berkata: "Kami akan pergi ke Thian-san, sekalian
lewat Watsu. Jikalau kesempatan ada, kami akan turun
1661 tangan. Kalau tidak paling ya hanya lewat Holin saja langsung
menuju ke Thian-san. Paman tidak usah kuatir, aku sudah
belajar rias dari Han-cici, di Watsu belum tentu kami bisa
bertemu orang yang kenal kami."
Tan Ciok-sing bertanya: "Situasi terakhir bagaimana"
Mungkin terjadi peperangan pula."
Kim-to Cecu berkata: "Watsu baru saja mefngalami
kekalahan total di medan laga, rencana permohonan damai
raja dynasti Bing gagal lagi, menurut pengalaman dan
menganalisa keadaan, mereka perlu membangun pula
pasukannya dan mempersenjatainya lebih lengkap, itu
memerlukan waktu hampir setahun, yakin dalam jangka
selama itu, mereka tidak akan berani mengadakan invansi
lagi." "Kalau begitu, jangka setahun ini sudah cukup untuk kami
pulang pergi ke Thian-san. Siau-tit adalah murid penutup Thio
Tan-hong Thio Tayhiap, tentunya paman sudah tahu."
"Apakah sebelum gurumu meninggal ada meninggalkan
pesan supaya kau pergi ke Thian-san, menemui saudara
seperguruanmu?" tanya Kim-to Cecu.
"Menemui sesama seperguruan adalah tugas sampingan. Di
masa tuanya guruku berhasil menciptakan ilmu pedang baru,
kupikir akan kuserahkan kepada Toa-suheng."
Kim-to Cecu manggut-manggut, katanya: "Ya, memang
sepantasnya." Lalu menambahkan, "Toa-suhengmu Toh
Thian-tok adalah cikal bakal Thian-san-pay dan sekarang
menjabat Ciangbunjin, sekarang dia diakui umum sebagai jago
pedang nomor satu di seluruh jagat ini. Aku tahu gurumu'
meninggal di kala kau masuk perguruan, bila ada kesempatan
kau menemui Toa-suheng dan mohon petunjuknya memang
baik." Setelah urusan dinas dibicarakan, tiba-tiba Kim-to Cecu
teringat seseorang, katanya: "Kebanyakan rakyat Watsu dan
1662 bala tentaranya tidak ingin berperang, menurut apa yang
kuketahui, di Watsu ada delapan jendral yang masing-masing
menguasai satu divisi tentaranya, salah satu jendral besarnya
bernama Abu. Jendral Abu paling getol menentang politik
perang junjungannya, dia lebih cenderung hidup
berdampingan dengan damai dengan berbagai bangsa
tetangga. Bila dipandang perlu, setiba disana boleh kalian
berusaha menemuinya."
Hari kedua Tan Ciok-sing ikut In San sembahyang di depan
makam ibu In San, lalu berpamitan dan berangkat naik kuda.
Setelah tiba di gurun sahara, alam semesta beda pula
bentuknya, setelah kepanasan di gurun pasir kini mereka
berada di dunia salju.
Hari itu mereka lewat di bawah sebuah gunung bersalju,
bentuk gunung salju ini mirip sebuah menara, tingginya
menembus mega, sehingga pucuk gunung yang lurus tegak ke
langit itu mirip sebuah tonggak bumi yang menyanggah langit,
di lereng gunung tampak sejalur garis kemilau yang
memancarkan cahaya cemerlang warna kebiruan, kelihatannya
mirip sebuah aliran sungai, tapi dari kejauhan tidak nampak
airnya mengalir. Tapi mereka tahu itulah Ping-joan atau
sungai es. Mereka terpesona menyaksikan keindahan panorama yang
belum pernah mereka lihat. Di saat mereka menjublek itulah,
tiba-tiba dari arah hutan lari keluar seekor kuda yang
ketakutan, di belakangnya mengudak seekor badak bercula
tunggal berkulit putih. Perawakan badak putih ini jauh lebih
besar dari lembu air yang paling besar yang pernah Tan Cioksing
lihat. Lari badak secepat terbang, dalam sekejap lagi kuda itu
jelas bakal tercandak, penunggang kuda adalah pemuda
berusia enam belasan tahun, saking ketakutan sambil keprak
kudanya, mulutnya berkaok-kaok minta tolong.
1663 Tan Ciok-sing tidak banyak pikir lagi, "Tar, tar". Dua kali
cambuknya melecut kuda, serta dibedalnya mengejar kesana.
Tapi cepat sekali badak bercula itu sudah berhasil menyusul
kuda tunggangan si pemuda, mungkin saking ketakutan, kuda
itu menjadi binal dan liar, mendadak dia melonjak-lonjak
sehingga si pemuda dilempar, jatuh dari punggungnya.
Lekas Tan Ciok-sing juga menyendal kaki, tubuhnya
melesat terbang ke depan, dengan Ginkangnya yang luar
biasa, tubuhnya meluncur melebihi kecepatan anak panah, di
tengah udara tubuhnya bersalto berulang kali pedang
mustikanya telah terlolos di tangan, dari atas dia menukik
dengan terjangan dahsyat, pedangnya menusuk ke arah si
badak. Keadaan sedemikian gawat, jiwa si pemuda sudah di ujung
tanduk, syukur Ciok-sing berhasil menubruk, tusukan pedang
Tan Ciok-sing dengan telak menusuk mata si badak,
berbareng tangan kiri bekerja mendorong si pemuda. Tenaga
yang dipergunakan sudah diperhitungkan sehingga pemuda
itu hanya terguling-guling di atas salju, namun kebetulan lolos
dari serudukan badak, hampir saja tubuhnya terinjak remuk.
Karena matanya buta badak itu jadi meraung gusar dan
main terjang membabi buta. "Blang" akhirnya menumbuk batu
besar sehingga cula putus kepala pecah, namun tidak seketika
mati, dengan suaranya yang mengerikan berguling-guling
akhirnya jatuh kedalam selokan gunung dan terbanting
hancur. Rasa kejut si pemuda belum lenyap, meski tidak terluka
sedikitpun, saking kaget dan ketakutan, kakinya terasa lemas
dan tidak mampu merangkak bangun. Lekas Tan Ciok-sing
memapahnya berdiri, katanya dengan bahasa Mongol yang
baru saja dipelajari: "Badak liar itu sudah mati, sudah aman,
kau..." tiba-tiba dia merasa wajah pemuda ini seperti sudah
amat dikenalnya, sesaat lamanya mereka saling pandang
dengan melongo, lalu berteriak senang bersama.
1664 Bertemu dengan kawan lama, senang si pemuda bukan
main, dengan kencang dia pegang lengan Tan Ciok-sing,
katanya dengan bahasa Han yang fasih: "Tan-toako kau masih
ingat padaku" Soat-li-ang pemberianmu itu masih kupelihara,
sekarang ocehannya lebih baik lebih merdu lagi."
Pemuda ini bukan lain adalah Siau-ongya dari Watsu yang
dulu ikut ayahnya pergi ke Pakhia waktu ayahnya bertugas
sebagai duta rahasia. Hari itu bersama anak buahnya dia
bertamasya di tembok besar, di Pat-tat-nia bertemu dengan
Tan Ciok-sing kebetulan Tan Cioksing menangkap seekor
burung yang jarang bisa ditangkap manusiaj burung Soat-liang
(merah dalam salju), Siau-ongya amat menyenangi
burung itu, maka Tan Ciok-sing berikan burung itu.
"Siau-ongya, kau baik." Sapa In San dengan tertawa.
Sesaat lamanya Siau-ongya pandang In San, akhirnya
berkata dengan tertawa: "Tan-toako, temanmu ini ternyata
seorang nona secantik ini, hampir aku tidak mengenalnya
lagi," seperti diketahui, waktu bertemu di tembok besar dulu
In San menyamar laki-laki.
In San keluarkan kipas lenipit gagang emas itu, katanya
sambil diacungkan: "Kado yang kau berikan kepada Tantoako,
dia minta aku menyimpannya. Kipas ini tidak sedikit
membantu kami, aku harus berterima kasih kepadamu."
"Ah, terhitung apa," ujar Siau-ongya, "kipas itu pemberian
raja kalian, lalu kuberikan lagi kepada Tan-toako." Sejak kecil
dia sudah diajar membaca bahasa Han, maka bicaranya juga
amat lancar. "Siau-ongya,-kenapa seorang diri kau berada di atas
pegunungan liar ini, tidak membawa pengikut?" tanya In San.
Siau-ongya bertanya: "Apakah kalian perriah dengar suatu
dongeng bahwa di puncak gunung salju ini ada istana es?"
1665 "Dari kaum gembala aku pernah mendengarnya, tapi itu
hanya dongeng saja," ujar Tan Ciok-sing.
"Tidak, aku justru percaya bahwa istana es kenyataan
memang ada."
Melihat orang bicara tegas dan penuh keyakinan, Ciok-sing
jadi heran, tanyanya: "Dari mana kau tahu?"
"Ayahku yang bilang. Tapi aku mencuri dengar
pembicaraan ayah, hanya sedikit yang kutahu. Kali ini diluar
tahu ayah diam-diam aku pergi kesini."
Maka dia menceritakan kejadiannya: "Sudah lama aku
mendengar dongeng itu maka ingin aku membuktikan sendiri,
tapi tiada orang berani mengantar aku, suatu ketika pernah
aku nyatakan isi hatiku, ayah menghajarku malah. Katanya
jangan kata berita tentang istana es itu hanya obrolan orang
belaka, umpama benar ada istana es seperti yang disebar
luaskan itu, akupun dilarang menempuh bahaya. Maka sejak
itu aku tak berani menyinggung soal itu. Tapi semakin dilarang
semakin benar tekadku. Semalam, tak sengaja aku mencuri
dengar pembicaraan ayah dengan seorang Wisu yang baru
datang, agaknya ayah menyuruh dia pergi mencari seseorang,
orang ini sedang pergi ke istana es di puncak salju ini, diamdiam
aku menguntit Wisu itu, tak nyana di pegunungan sepi
ini aku kesasar, badak liar itupun hampir saja menyerudukku
mampus. Tan-toako, syukur kau menolongku."
Tan Ciok-sing berkata: "Sekarang kau telah melihat puncak
salju yang menembus mega itu, apa yang dikatakan ayahmu
memang tidak salah, umpama benar di atas gunung ada
istana es, jelas kau takkan mampu naik kesana, lebih baik kau
pulang saja."
Setelah mengalami berbagai penderitaan pangeran kecil ini
memang sudah kapok dan agak menyesal, katanya menghela
napas: "Jangan kata aku tidak mampu naik ke puncak gunung
salju itu, jalanan gunung yang lika-liku dan tidak rata inipun
1666 sudah cukup membuatku kepayahan, bila kepergok lagi
binatang liar macam badak tadi, kemana aku harus mencari
penolong" Jejak Wisu itu tak karuan parannya, terpaksa aku
harus pulang. Apakah kalian akan mampir ke Holin, aku harap
suatu ketika aku bisa menyambut kedatangan kalian."
Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Umpama kami pergi ke
Holin, kami juga tidak bisa mencarimu di istana ayahmu."
Siau-ongya menepuk kepalanya sendiri, katanya: "Iya,
kenapa aku jadi pikun, aku hanya anggap kalian adalah teman
baikku, kenapa lupa bahwa kalian pernah bentrok dengan Milo
Hoatsu dan Wisu-Khan kita yang bernama Poyang Gun-ngo,
ayahku adalah teman mereka, sudah tentu kalian tidak bisa
tinggal di rumahku. Tapi kalau kalian tiba di Holin. aku bisa
mengatur suatu tempat lain untuk tempat tinggal kalian."
"Terima kasih akan maksud baik Siauongya, ada satu hal
ingin mohon bantuanmu."
"Tan-toako, tadi kau menolong jiwaku, mumpung aku
sedang bingung bagaimana harus membalas budi
pertolonganmu. Coba katakan, bila aku mampu lakukan,
apapun yang kau suruh pasti kulaksanakan sekuat
kemampuanku."
"Jangan kau ceritakan kepada siapapun akan pertemuan
dengan aku disini."
"Jangan kuatir Tan-toako, aku tahu maksudmu."
Kuda yang ditunggangi siauongya adalah kuda perang yang
sudah dilatih baik, setelah bebas dari pengejaran badak,
tampak dia sudah lari keluar dari hutan. Siauongya segera
cemplak ke punggung kudanya, setelah menghatur terima
kasih pula atas pertolongan Tan Ciok-sing baru dia pergi.
Tan dan In melanjutkan perjalanan, tiba-tiba tampak dua
orang sedang lari dikejar empat orang berkedok muka.
Seorang pemuda yang lari di sebelah kiri kecandak oleh
1667 seorang berkedok, lekas sekali, teman pemuda itu sudah
dikepung tiga orang berkedok yang lain.
Orang yang dikoroyok tiga itu agaknya memiliki kepandaian
tinggi, meski dikeroyok dia masih mampu balas menyerang.
Sementara pemuda yang kecandak itu berteriak: "Aku tidak
salah dan tidak pernah bermusuhan dengan kalian, kenapa
kalian mengudak dan hendak membunuhku?"
Orang berkedok yang mengudak itu tertawa tergelak-gelak,
katanya: "Memang kau tidak punya permusuhan pribadi
dengan aku, tapi siapa suruh kau menjadi anak Jendral Abu?"
Mendengar 'Jendral Abu', lekas Tan Ciok-sing keprak
kudanya memburu kesana.
Orang berkedok sudah menyusul si pemuda, tiba-tiba dia
menjejak kaki tubuhnya melejit tinggi ke atas, seperti elang
menyambar kelinci, tangannya mencengkram ke kuduk si
pemuda. Kuda Tan Ciok-sing berlari kencang, kedatangannya
tepat waktunya. Tan Ciok-sing sudah melompat ke depan
mengadang di depan orang berkedok. Melihat Ginkang orang
ini cukup tinggi tanpa ayal dia menusuk dengan pedang
seraya membentak: "Biar kutabas cakar anjingmu."
Orang itu menukik dengan tubrukan kencang, sebenarnya
sukar menghindar. Tak nyana lengannya tahu-tahu bisa
melengkung selemas ular, tusukan pedang Ciok-sing
mengincar pergelangan tangannya, dia yakin sasarannya pasti
kena telak, diluar dugaan tusukannya meleset.
Gerakan kedua pihak secepat kilat, sebelum kaki
menyentuh bumi, cakar orang itu sudah beralih mencengkram
tulang pundak Tan Ciok-sing, serangannya menggunakan
Hun-kin-joh-kut-hoat tapi gaya dan permainannya agak aneh
dan lucu, gaya dan gerakannya itu jelas amat berbeda dengan
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ilmu sejenis yang dipelajari oleh cabang persilatan df
Tionggoan, belum pernah Tan Ciok-sing melihat ilmu seaneh
itu. Sudah tentu Tan Ciok-sing juga tidak mudah dicengkram,
1668 sedikit berputar, selicin belut dengan jurus Jit-sing-poan-gwe,
sambil berkelit sekaligus dia menusuk tujuh Hiat-to di tubuh
lawan. Orang itu kena sekali tusukan pedangnya, tahu keliehayan
Tan Ciok-sing, segera dia kabur. Sayang tusukan Tan-ciok-sing
tidak mengenai Hiat-to, namun dia merasa takjub juga melihat
keliehayan Kungfunya.
Tujuan Tan Ciok-sing hanya menolong orang, tak sempat
dia mengudak, teriaknya: "Adik San..." dia ingin supaya In San
mencegat orang itu, tak nyana sebelum In San turun tangan
orang itu sudah mati. Mati dibunuh oleh teman si pemuda.
Orang itu terdesak kewalahan dikeroyok tiga lawannya,
entah bagaimana, mendadak dia meraung serta
memperlihatkan kemahirannya, sekaligus tiga pengoroyoknya
kena dibunuh, kejadian hanya sekejap mata belaka. Orang ke
empat yang lari setelah tertusuk pedang Tan Ciok-sing juga
dikejarnya, saking kaget orang berkedok itu berteriak:
"Buyung Ka, kau..." "Bles" tahu-tahu pedang sudah menusuk
jantung, jiwanya melayang seketika di bawah pedang orang
itu. Tan Ciok-sing membimbing si pemuda, pemuda itu
memperkenalkan diri: "Aku bernama A Kian, terima kasih akan
pertolongan Congsu..." belum habis dia bicara, tiba-tiba
dilihatnya orang berkedok yang tadi memburu dirinya jatuh
terguling dari atas lereng, kedok mukanya kecantol duri
sehingga tertanggal dan kelihatanlah wajah aslinya, tak
sempat bicara dengan Tan Ciok-sing, dia berteriak kaget:
"Hah, kiranya kau..."
"Siau-ya," sentak temannya itu, agaknya dia berusaha
mencegah si pemuda mengatakan nama orang itu.
A Kian tertawa, katanya: "Dia tuan penolong jiwaku,
kenapa tidak boleh kukatakan, orang ini adalah Busu kelas
satu dari Yu-hian-ong, bernama Jik Thian-tek."
1669 "Tak heran dia memiliki Kungfu seliehay itu," ujar Tan Cioksing.
"Kau orang Han bukan?" tanya A Kian, "kau juga tahu Yuhian-
ong?" "Nama besar Yu-hian-ong siapa tidak kenal, dalam
negerimu dia hanya di bawah Khan Agung, sebelum aku
berkunjung ke negerimu, aku sudah tahu." Dalam hati diamdiam
dia tertawa, "bukan hanya kenal saja, aku malah musuh
besarnya."
A Kian segera memperkenalkan orang itu: "Dia ini Wisu
ayahku, bernama Buyung Ka."
Buyung Ka berkata: "Terima kasih akan pertolonganmu
kepada Siauya," sembari bicara dia ulur tangan berjabatan
tangan. Tan Ciok-sing tahu orang sengaja hendak menjajal
Kungfunya, diam-diam dia jabat uluran tangan orang. Buyung
Ka kerahkan tenaganya sampai sembilan puluh persen,
tenaganya seperti kecemplung laut tidak berbekas, lawan juga
tidak kerahkan tenaga balas menyerang. Sebagai ahli silat, dia
insyap bahwa kepandaian Tan Ciok-sing masih lebih tinggi,
lekas dia lepas tangan dan berkata: "Kagum, kagum."
A Kian kegirangan, katanya: "Apa kalian mau ke Holin?"
Tan Ciok-sing mengiakan.
"Ada urusan apa?"
"Kami mengungsi, ingin mencari pekerjaan."
A Kian kegirangan, katanya: "Ayah memang sedang
mencari pelindung, jikalau kau sudi boleh..."
Lekas Tan Ciok-sing berkata: "Kebetulan malah bagi aku
yang sedang nganggur ini," dalam hati dia membatin: "Tanpa
membuang waktu, aku bakal bertemu dengan Jendral Abu."
1670 "Kau sudah tahu siapa ayahku bukan?" tanya A Kian.
"Tadi kudengar dari mulut kawanan jahat tadi, ayahmu
ternyata Jendral Abu."
"Betul," ujar A Kian.
"Setelah memasuki wilayah negerimu, sepanjang jalan aku
mendengar orang menyanjung puji Jendral Abu, tak nyana
disini aku bertemu dengan Kongcu."
"Kau adalah penolongku, jangan sungkan. Nona ini..."
"Dia adikku," Tan Ciok-sing memperkenalkan.
"Baiklah, kuundang kalian kakak beradik mampir ke
rumahku. Ayahku berbeda dengan para Jendral yang lain,
terhadap orang Han atau orang Mongol dipandang sama rata."
Melihat A Kian bersikap sebaik itu, terpaksa Buyung Ka ikut
bersikap baik pula.
"Siauya," ujar Buyung Ka, "kejadian hari ini, sepulangmu
nanti hanya boleh kau beritahu kepada ayahmu saja. Kepada
orang lain, sekali-kali kau jangan bercerita."
"Aku tahu," sahut A Kian, "Tan-heng, tolong kalianpun ikut
merahasiakan kejadian ini."
Tan Ciok-sing pura-pura tidak paham, tanyanya: "Entah
boleh tidak aku bertanya?"
"Aku tahu apa yang ingin kau tanyakan," kata A Kian
"Bahwa Wisu Yu-hian-ong hendak membunuhku, maka kau
merasa heran bukan?"
Tan Ciok-sing manggut-manggut.
"Yu-hian-ong amat iri terhadap ayahku, bahwa hari ini dia
berani suruh anak buahnya hendak membunuhku, akupun
merasa diluar dugaan."
1671 Kuda Tan Ciok-sing dan ln San adalah pemberian Kim-to
Cecu, demikian pula kuda tunggangan A Kian dan Buyung Ka
adalah kuda jempolan dari Tay-hoan, hari kedua mereka
sudah tiba di Holin.
Setiba di rumah A Kian, melihat dia mengajak dua orang
Han pembantu tuanya keheranan, katanya: "Lo-ciangkun
sedang iatihan di belakang, kalian boleh tunggu disini. Siauya,
mari kau kutemani mengundang beliau."
"Kenapa susah-susah." Ujar A Kian, "kedua orang Han ini
adalah temanku, mereka bukan orang luar, Kungfunya liehay
pula, biar aku ajak mereka ke belakang melihat ayah latihan,
ayah tidak akan menyalahkan aku." Lalu A Kian menoleh
kepada Tan Ciok-sing, "sepuluh tahun bagai satu hari, bila
ayah tidak sakit, setiap hari dia harus latihan dua kali," lalu dia
bawa Tan dan In diam-diam menuju ke taman belakang.
Tampak seorang Jenderal usia lima puluhan lebih sedang
memutar sebatang golok baja berpunggung tebal sekencang
kitiran, angin menderu menimbulkan angin lesus, daun-daun
pohon dan kembang di sekitarnya rontok beterbangan seperti
disambar lesus.
Dengan seksama Tan Ciok-sing memperhatikan, permainan
golok Jenderal Abu gesit dan tangkas, perobahannyapun
banyak ragamnya, diam-diam dia berpikir: "Jikalau dia bukan
seorang Jendral dalam kalangan Bulim, taraf kungfunya boleh
terhitung seorang jago kosen tapi diapun heran, "walau belum
pernah menyaksikan ilmu goloknya itu, tapi dalam permainan
sepuluh jurus, ada tiga sampai lima jurus seperti sudah amat
kukenal, kelihatannya tidak mirip Kungfu dari aliran Se-ek,
lebih mirip ajaran silat dari tiong-toh, banyak jurus meski
perobahannya berbeda, namun sumber utamanya jelas dapat
dijajaki. Saking bernafsu permainan ilmu golok Jendral Abu, "Cras"
tiba-tiba sebatang pohon sebesar paha bayi kena ditabas oleh
1672 Abu, karena gerak goloknya terlampau cepat, tahu-tahu
batang pohon yang tertabas itu kutung menjadi tiga potong.
Tanpa kuasa Tan Ciok-sing berseru memuji: "Ilmu golok
bagus." Jendral Abu memeluk golok berdiri tegak, katanya: "A Kian,
kau sudah kembali. Saudara ini..."
"Sahabat orang Han ini adalah tuan penolong jiwa anak."
Kata A Kian. Setelah mendengar putranya, dengan sinar tajam Abu
pandang Tan Ciok-sing, katanya tiba-tiba: "Anak Kian,
keluarlah dan beri pesan kepada Timanor, siapapun dilarang
masuk. Waktu kembali, tutup sekalian pintu taman."
"Tan-heng, apa betul lantaran mau cari kerja kau bersama
adikmu ini datang ke Holin?" tanya Abu.
"Bicara terus terang," kata Tan Ciok-sing, "kami adalah
teman baik Kim-to Cecu."
Terbelalak kaget dan girang Abu, katanya: "Sudah lama
aku ada kontak dengan Kim-to Cecu, sayang tiada
kesempatan bertemu."
"Kim-to Cecu juga amat mengagumi Ciangkun, sering dia
membicarakan Ciangkun dengan kami."
"Apa yang dia katakan?"
"Beliau bilang Ciangkun adalah teman bangsa Han kita
sejati, pembesar tinggi dalam negrimu yang punya pandangan
dan pengetahuan paling luas."
Abu geleng-geleng, katanya ramah: "Kim-to Cecu terlalu
memuji aku."
"Bukan pujian kosong belaka, dengan kedudukan Ciangkun,
apa lagi menyerukan kerja sama dan menjalin persahabatan
1673 antara Mongol dengan bangsa Han, doktrinmu memang harus
dipuji." "Harus bersahabat dengan bangsa Han adalah petuah para
leluhur kita." Demikian kata Abu, "walau kami belum pernah
datang ke tempat kediaman orang-orang Han, tapi keluarga
kami boleh dikata ada punya hubungan erat dengan bangsa
Han kalian."
Sementara itu A Kian sudah kembali berdiri di samping
ayahnya, katanya: "Apa betul, kenapa ayah tidak pernah
ceritakan hal ini kepadaku."
Tiba-tiba Abu menoleh ke arah Tan Ciok-sing, tanyanya:
"Golok kilat dari keluarga Hong di negrimu apakah sekarang
masih ada keturunannya?"
Tan Ciok-sing melengong, katanya: "Pengetahuan wan-pwe
masih cetek, banyak aliran golok cepat di Tiong-toh yang
ternama, yang kutahu hanya golok kilat keluarga Beng dan
golok kilat keluarga Ciok. Golok kilat keluarga Hong belum
pernah kudengar."
Jendral Abu menghela napas, katanya: "Kalau begitu tentu
sudah putus turunan." Lalu bertanya pula: "Dalam kalangan
Bulim di negrimu adakah kau pernah dengar tentang kisah
Hong-in-lui-tian?"
Tan Ciok-sing adalah murid penutup Thio Tan-hong, Thio
Tan-hong adalah maha guru silat terbesar pada jaman ini,
pengetahuannya tak terukur dalam dan luasnya, sayang Cioksing
tidak lama masuk perguruan, gurunya lantas wafat, maka
tentang sejarah perkembangan kaum persilatan jarang yang
diketahui, demikian pula tentang kisah Hong-in-lui-tian, sudah
tentu belum pernah dengar.
Malah In San yang teringat, katanya: "Kisah Hong-in-luitian
aku pernah dengar dari ayah. Mereka adalah empat jago
kosen yang ternama di Bulim tiga ratus tahun yang lalu, betul
tidak?" 1674 "Betul," sahut Abu.
"O, jadi Hong-in-lui-tian terdiri empat orang."
"Hong adalah Hong Thianyang, pernah menciptakan Cuihong-
to To-hoat, In adalah ln Tiong-yan, seorang perempuan,
terkenal karena ilmu pedang dan ginkangnya. Lui adalah
seorang laki laki bernama Ling Tiat-wi bergelar Hong Thian-lui,
Lwekangnya paling ampuh. Tian sudah tentu juga nama
julukan, yaitu San-tian-kiam Geng Tian, empat orang ini
adalah pendekar besar di jaman Lam-song bertahta, konon
Hong dan In adalah sepasang suami istri, sayang setelah
beberapa ratus tahun berselang, ilmu ciptaan mereka mungkin
sudah putus turunan." (tentang Hong In Lui Tian ini baca Si
Angin Puyuh atau Hong In Lui Tian)
"Masih jelas nona In mengenang sejarah masa lalu, tapi
tahukah kau orang suku apa In Tiong-yan itu?"
"Apa dia bukan orang Han" Ayah tidak menjelaskan,
mungkin karena terlalu lama, ayah sendiripun tidak tahu."
"In Tiong-yan adalah tuan putri bangsa Mongol kita,"
demikian tutur Abu.
"In Tiong-yan adalah nama yang dia pakai dari bahasa Han,
dengan Hong Tayhiap dia saling jatuh cinta, tantangan
keluarga, tradisi dan pantangan kerajaan tidak dihiraukan, dia
minggat dan hidup sampai tua dengan kekasih yang
dicintainya."
Tergerak hati In San dia mengerti, katanya: "Ciangkun,
ilmu golok yang kau mainkan tadi, apakah hasil dari warisan
Hong Tayhiap?"
"Betul. Tiga ratus tahun lalu, kakek moyangku adalah
sahabat baik Hong Tayhiap, istrinya adalah dayang pribadi
tuan putri Mongol yang menggunakan nama In Tiong-yan.
Suami isteri leluhurku itu pernah ikut In Tiong-yan pergi ke
Tiongkok, demikian pula Hong Tayhiap pernah berkunjung ke
1675 rumah kami, keluargaku ada janji dengan keluarga Hong,
selanjutnya turun temurun kedua keluarga harus terus ada
kontak dan saling berhubungan. Sayang kira-kira seratus
tahun lebih yang lampau, karena peperangan kedua keluarga
kita tidak bisa lagi menepati janji, sehingga hubungan putus
demikian saja."
In San berkata: "Pesan leluhur Ciangkun ternyata punya
kisah yang begitu menarik, bila kami pulang ke Tionggoan
akan kami bantu menyirapi apakah keluarga Hong sampai
sekarang masih ada keturunannya."
Abu tertawa, katanya: "Persahabatan antar bangsa yang
kekal abadi dalam kisah itu memang mengharukan, tapi
sekarang lebih penting kita membicarakan situasi yang kita
hadapi. Oh, ya, aku belum tanya kalian, apakah kalian diutus
Kim-to Cecu?"
"Bukan," ujar In San, "tapi tujuan kami kali ini pernah kami
utarakan kepada Kim-to Cecu, beliaupun menyetujui rencana
kami." "Maaf aku lancang tanya, bolehkah aku tahu rencana
kedatangan kalian?"
"Hal ini memang ingin kami laporkan kepada Ciangkun,"
sahut Tan Ciok-Sing, lalu dia ceritakan pengejarannya kepada
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Liong Bun-kong sehingga tiba di Holin.
Abu berkata: "mereka memang sudah sampai di Holin, kini
tinggal di rumah Yu-hian-ong, yang kuketahui, bangsat tua
she Liong yang kalian katakan itu sekarang sedang menunggu
undangan Khan Agung untuk menghadapinya."
"Dia pasti akan menghasut khan kalian untuk mengerahkan
pasukan menyerbu ke Tiongkok."
"Itu sudah jelas. Tentunya kalian juga sudah tahu, Yu-hianong
adalah orang yang paling getol menyuarakan perang,
kedatangan Liong Bun-kong memang kebetulan bagi dia."
1676 Kata A Kian menggertak gigi: "Manusia rendah yang
menjual negara dan bangsa, tidak heran kalian begitu
membencinya. Bukan saja dia menjual bangsa Han, setiba di
Holin bangsa Mongol kitapun bakal ketimpa malang dan
bencana oleh peperangan itu."
In San bertanya: "Ikut dengan bangsat tua she Liong itu
ada seorang bergelar Tang-hay-liong-ong Sugong Go, apa
Ciangkun sudah tahu?"
"Tahu, konon ilmu silatnya tidak kalah dibanding Koksu
Watsu yang bergelar Milo Hoatsu. Ketenarannya di Holin
sekarang tidak di bawah Liong Bun-kong lagi."
"O, lantaran apa namanya begitu tenar?" tanya In San.
"Belum lagi majikannya Liong Bun-kong diundang oleh
Khan kita, dia malah sudah pamer kepandaian di hadapan
Khan Agung."
Ternyata Khan besar Watsu sedang membangun angkatan
perang dan memilih jago-jagonya dengan berbagai
pertandingan, hobbynya suka mengadu kekerasan yang
berdarah, jiwa manusia dianggap permainan, dalam istananya
tidak sedikit memelihara binatang-binatang buas, seperti
singa, harimau, macan tutul dan lain-lain, bila senggang dan
timbul seleranya, dia suruh para Busunya bertanding dengan
binatang-binatang buas itu, delapan belas Kim-tiang Busunya
itu juga hasil pilihannya setelah diadu dengan binatang buas.
"Tang-hay-liong-ong telah pamer kepandaiannya yang
hebat, belum ada setengah jam, dia sudah membunuh tiga
ekor singa, lima ekor macan tutul dan dua ekor harimau, hasil
yang gemilang itu sudah tentu memecahkan rekor selama
pertandingan manusia dan binatang itu diadakan." Demikian
tutur Abu. "Membunuh binatang buas bagi Tang-hay-liong-ong
memang tidak perlu membuang banyak tenaga."
1677 "Itu belum hebat. Belakangan Khan besar suruh dia
bertanding satu persatu dengan delapan belas jago
pengawalnya, tiada satupun dari pengawalnya itu yang
menang. "Dia terlalu egois untuk menuntut kemenangan, umpama
mendapat pujian dan kepercayaan Khan besar, yang terang
para Busu yang dikalahkan itu pasti iri dan dendam
kepadanya."
"Memang, hari kedua kawanan Busu itu mengundang Milo
Hoatsu, menghasutnya untuk menantang dan mengalahkan
Tang-hay-liong-ong."
"Bagaimana akhir dari pertandingan itu?" tanya In San
ketarik. "Konon Lwekang mereka sama kuat alias seri, susah
dibedakan mana kuat siapa kalah. Tapi di luaran terdengar
dua macam berita simpang siur, ada yang bilang sebagai tamu
Tang-hay-liong-ong tidak berani mengalahkan Milo Hoatsu
sebagai Koksu, maka dia sengaja mengalah, sebaliknya ada
pula yang mengatakan Milo Hoatsu ingin menariknya sebagai
pembantu, maka dia tidak turun tangan sepenuh tenaga.
"Tapi tak peduli siapa mengalah, yang terang tanpa
bertanding mereka tidak akan kenal, sejak pertandingan itu,
Milo Hoatsu mengundang Tang-hay-liong-ong mampir ke
Putala sebagai tamu, disana mereka saling tukar pikiran uutuk
memperdalam ilmu silat."
In San bertanya: "Kalau demikian, sekarang dia tidak
serumah dengan Liong Bun-kong di tempat kediaman Yu-hianong?"
"Kabarnya Milo Hoatsu hendak mengajaknya mempelajari
sejenis ilmu Lwekang tingkat tinggi, dalam waktu singkat jelas
dia tidak akan kembali."
"Itu lebih baik," ujar In San tersenyum.
1678 Abu melengak, tanyanya: "Maksudmu akan, akan..."
"Betul, mumpung ada kesempatan aku akan meluruk
kesana membunuh Liong Bun-kong. Bukan saja bangsat tua
ini mencelakai ayah bundaku, dia pun jual bangsa dan negara,
bangsa kita siapa saja patut membunuhnya, meski aku harus
berkorban, aku bertekad akan membunuhnya. Kini Tang-hayliong-
ong yang berkepandaian tinggi tidak berada di
sampingnya, aku lebih leluasa turun tangan."
Abu diam menepekur, A Kian berkata: "Ayah, tadi kau
bilang, kedatangan bangsat she Liong itu juga membawa
bencana bagi rakyat kita, maka kita harus bantu mereka,
sekalian kita boleh bunuh Yu-hian-ong juga, bukankah
menguntungkan kita semua."
"Kedua persoalan ini harus dipencar penyelesaiannya,
kularang kau punya pikiran hendak membunuh Yu-hian-ong."
"Kenapa," teriak A Kian, "Ayah, berulang kali dia memfitnah
hendak mecelakai kau, apa kau lupa" Tadi diapun suruh anak
buahnya membunuh aku."
"Kalau orang lain berbuat jahat, jangan kita meniru
perbuatannya. Betapapun Yu-hian-ong seangkatan dan
sekolega dengan aku, kalau dia merancang berbagai muslihat
hendak menjatuhkan aku, aku justru hendak menghadapinya
secara terang-terangan. Dan lagi niat Khan Agung untuk
membangun militernya lagi jelas tidak boleh dibantah lagi,
mati seorang Yu-hian-ong, masih ada Yu-hian-ong kedua yang
akan melakukan kejahatan pula. Sudah menjadi rahasia umum
bahwa aku bermusuhan dengan Yu-hian-ong, kalau Yu-hianong
mati, bukankah Khan besar akan curiga terhadapku" Aku
tidak takut dijatuhi hukuman oleh Khan besar, tapi patutkah
kita bertindak demikian?"
"Analisa Ciangkun memang benar," ujar In San, "kami tidak
akan merembet Ciangkun."
1679 "Jangan kalian berprasangka," ujar Abu, "bukan aku mau
mengatakan kalian salah. Walau aku tidak setuju cara
pembunuhan begitu, tapi setiap persoalan ada terkecuali,
dalam keadaan dan situasi yang kalian hadapi sekarang, kalau
Liong Bun-kong tidak mungkin digusur balik supaya dijatuhi
hukuman oleh Sribaginda, demikian pula dendam tak terbalas,
maka bila kalian mau membunuhnya, jelas aku tidak akan bisa
menghalangi. Tapi harap maklum bahwa aku tidak bisa
memberi bantuan apa-apa."
"Ciangkun, kami juga maklum akan posisimu, maka tidak
akan bertindak keliwat batas sehingga kau terjepit. Untuk
membunuh Liong Bun-kong, terlalu banyak orang malah
berabe, maka hanya kami berdua saja yang akan bertindak."
"Tang-hay-Liong-ong sekarang memang tidak berada di
kediaman Yu-hian-ong, tapi Busu berkepandaian tinggi di
rumahnya tidak sedikit jumlahnya."
"Mati hidup kita sudah tidak terpikir lagi," kata Tan dan ln
bersama. "Aku harap sekali gebrak kalian bisa berhasil, tapi ini bukan
tugas kecil, apapun segalanya harus dipersiapkan lebih dulu,
umpamanya dimana Yu-hian-ong berdiam, kalian belum tahu.
Apalagi kalian baru tiba di Holin, situasi dan kondisi disini tidak
tahu, maka kuusulkan kalian harus tinggal beberapa hari
disini, pelajarilah dengan seksama situasinya, baru boleh
bertindak. Yang jelas dalam waktu singkat ini Tang-hay-liongong
belum akan kembali ke tempat kediaman Yu-hian-ong."
Hari kedua Abu panggil seorang pembantunya yang dulu
pernah bekerja di rumah Yu-hian-ong, bukan saja gambar
peta dibuatkan maka diapun memberi keterangan secara
terperinci menurut apa yang dia masih ingat tentang selukbeluk
gedung Yu-hian-ong kepada Tan Ciok-sing dan In San.
Hari ketiga, Tan dan In menyamar jadi orang Mongol dan
ikut pesuruh itu berkeliling di sekitar rumah gedung Yu-hianTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
1680 ong. Sedapat mungkin mereka menghindari pembicaraan,
syukur In San semakin matang di bidang tata rias sehingga
penyamaran mereka tidak konangan orang.
Segala persiapan yang harus disiapkan sudah lengkap,
malam ke empat, mereka sudah harus bertindak sesuai
rencana, meluruk ke gedung kediaman Yu-hian-ong.
Malam itu cuaca buruk, tiada bulan tiada bintang, mega
mendung angin santer, cocok untuk pejalan kaki malam untuk
melaksanakan keinginannya.
Di belakang kebun bunga di bilangan akhir dari gedung Yuhian-
ong dipagari oleh dinding gunung yang curam setinggi
dua tiga puluh tombak, yakin kawanan Wisu didalam gedung
tidak akan pernah berpikir bahwa ada orang bisa turun dari
dinding curam setinggi itu, tapi Tan dan In berdua justru
masuk dari titik kelemahan mereka itu.
Dengan Ginkang mereka yang tinggi, menggunakan
tambang lagi, menempel dinding seperti cicak mereka
meluncur turun ke bawah tanpa konangan terus menyusup
kedalam kebon. Sunyi dan sepi keadaan kebon bunga ini, keheningan
sungguh diluar dugaan Tan dan In. Menurut penjelasan
pesuruh yang pernah kerja disini, biasanya Yu-hian-ong
bermalam di tiga tempat, tempat pertama adalah kamar
tidurnya bersama isterinya, satu lagi di tempat salah satu selir
kesayangannya, ada satu lagi adalah kamar buku, dimana dia
menyimpan surat-surat penting.
Bangunan gedung istana boleh dikata ada ratusan
banyaknya, dalam suasana sepi dan gelap, arah angmpun
susah dibedakan, kemana mereka harus mencari. Apalagi
tujuan utama mereka bukan mau membunuh Yu-hian-ong,
juga tidak perlu mencarinya.
Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Terpaksa kita mengadu
nasib, marilah maju sambil memeriksa ala kadarnya." Dengan
1681 munduk-munduk sembunyi di belakang pohon, lompat ke
belakang gunung-gunungan, akhirnya mereka tiba di suatu
tempat, tiba-tiba di ujung loteng sebelah sana tampak sinar
api menyorot keluar.
Tempat dimana sekarang mereka berada didalam sebuah
lingkung pekarangan besar, karena lingkungan disini dibatasi
dengan tembok tinggi, sekelilingnya juga tidak tampak dijaga.
Tiba-tiba bayangan seorang tampak berpeta di jendela,
dengan seksama mereka mengawasi bayangan itu, akhirnya
mereka bersorak girang dalam hati, karena bayangan orang
itu adalah Siau-ongya.
Didengarnya Siau-ongya sedang menggumam seorang diri:
"Benarkah mereka, aku tidak percaya. Kalau benar mereka
dan adanya kejadian ini, apakah pantas aku beritahu hal ini
kepada ayah?" Seorang diri dia menggumam di atas loteng,
suaranya lirih tapi Tan Ciok-sing memiliki Lwekang tinggi,
pendengarannya tajam, maka dia mendengar jelas.
Timbul rasa curiga Ciok-sing, katanya berbisik di telinga In
San: "Mari kita menyerempet bahaya." Dengan gerakan
burung kutilang melejit ke atas, tubuhnya melenting tinggi dan
hinggap di atas loteng tanpa mengeluarkan suara.
Tanpa ada angin tiba-tiba dilihatnya jendela terbuka,
seorang melompat bangun, karuan Siau-ongya kaget dan
menjublek. "Kau, kau adalah..." sebelum dia sempat
mengucap 'siapa', Tan Ciok-sing keburu mendekap mulutnya,
bisiknya: "Jangan teriak, inilah aku."
Siau-ongya kenal suara Tan Ciok-sing, jangan kata dia
punya persahabatan kental dengan Ciok-sing, umpama tiada
hubungan apa-apa, dia sudah tahu keliehayan Tan Ciok-sing,
mana dia berani berteriak. Cepat sekali In San sudah
menyusul naik ke atas loteng.
"Terima kasih bahwa Siau-ongya sudi pandang kami
sebagai sahabat," demikian ucap Tan Ciok-sing, "bicara terus
1682 terang, bahwa kami datang sesuai janji, tapi ada juga
keperluan lain, untuk itu kami mohon Siau-ongya sudi
membantu kami."
Siau-ongya kaget, katanya: "Ada urusan apa" Apakah,
apakah..."
"Apakah, kenapa?"
Mata Siau-ongya menatap Tan Ciok-sing seperti ingin
ngomong tapi tidak berani bicara, mimiknya agak aneh.
"'Siau-ongya, seorang diri kau ngomong sendiri, aku
mendengar seluruhnya. Terima kasih bahwa kau tidak
melaporkan kepada ayahmu bahwa kau bertemu dengan
kami. Kalau tidak salah, agaknya ada seseorang yang pernah
membicarakan kami di hadapan ayahmu, benar?"
"Benar, Tan-toako. Maaf bila pertanyaanku blak-blakan,
apakah kalian kemari hendak membunuh ayahku?"
"Sudah tentu bukan. Coba pikir, jikalau kami hendak
membunuh ayahmu, mana mungkin aku minta bantuanmu
malah?" Legalah hati Siau-ongya, katanya: "Tan-toako, kau adalah
tuan penolongku, asal kau tidak berniat membunuh ayahku,
urusan apapun aku akan senang membantumu"
"Aku ingin tahu, bagaimana ayahmu tahu bila kami sudah
berada di Holin, kenapa pula dia berprasangka bahwa kami
akan membunuhnya?"
"Ada orang yang memberi laporan dan ngadu biru di
hadapan ayah."
"Siapa orang yang mengadu biru itu?"
"Aku tidak tahu, aku hanya mendengar tanpa sengaja, aku
sembunyi di belakang pintu angin, aku hanya mendengar
suaranya."
1683 "Apa yang dikatakan orang itu?"
"Orang itu bilang, Abu Ciangkun telah mengundang dua
pembunuh bayaran bangsa Han yang berkepandaian tinggi,
katanya disuruh membunuh ayah. Dijelaskan bahwa
pembunuhnya adalah laki-laki dan perempuan, usianya masih
muda. Dia tidak menyebut nama, tapi ayah sudah menduga
pada kalian. Gerak-gerik kalian setiba di Holin orang ini tahu
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jelas seperti tahu bentuk jari jemarinya sendiri, Tan-toako,
mungkin kau bisa menduga siapa orang ini?"
Dalam hati Tan Ciok-sing memang sudah menduga,
katanya: "Buat apa ditebak. Kini ada tugas penting yang harus
segera kita laksanakan."
"Apakah tugasmu itu akan dilaksanakan di gedung
kediaman kami?"
"Betul."
"Perlu aku beritahu kepada kalian, untuk berjaga
pembunuhan kalian, di tiga tempat dimana biasa ayah
menginap sudah dijaga ketat dengan berbagai persiapan,
bukan saja ada tangga yang dipasang perangkap. Bila kalian
sembarang bertindak akan menghadapi bahaya, ketiga tempat
itu adalah..."
"Ketiga tempat itu kami sudah tahu." Tukas Tan Ciok-sing,
"kami bukan ingin membunuh ayahmu. sudah tentu kami juga
harus menghindari bahaya."
Siau-ongya betul-betul lega, katanya "Baiklah, lekas
katakan, bagaimana aku harus membantu kalian?"
"Gampang saja, cukup asal kau memberi tahu dimana
tempat tinggal Liong Bun-kong?"
"Ayah meluangkan sebuah gedung untuk tempat tinggal
rombongan itu, letaknya di barat daya tempat ini, di depannya
terdapat sebuah empang, orang she Liong tinggal di Hi-hi-lou,
1684 nama Hi-hi-lou itu diukir dengan huruf Han bercat emas, bila
ada sinar bulan lapat-lapat kelihatan dari kejauhan,"
"Baiklah, kami akan mencarinya kesana." Tiba-tiba Siauongya
teringat sesuatu, katanya: "Bila lewat kentongan ketiga,
kalian belum tiba di Hi-hi-lou, kuanjurkan kalian lekas kembali
saja." "Kenapa?"
"Setelah orang itu pergi, ayah berunding pula dengan
Kampula. Kampula adalah pengurus rumah tangga
keluargaku."
"Apa yang mereka rundingkan?"
"Ayah akan masuk istana menghadap Khan Agung,
Kampula disuruh menyiapkan kereta. Waktu itu sudah
mendekati magrib..."
In San bertanya: "Ayahmu menghadap Khan Agung,
apakah ada sangkut pautnya dengan kedatangan kami?"
"Walau ayah boleh menemani Khan makan minum mencari
kesenangan, tapi menurut kebiasaan, paling lambat sebelum
kentongan ketiga pasti pulang."
"Lalu kenapa?"
"Dua hari yang lalu sudah pernah aku dengar ayah bilang,
kuatir tenaga dalam gedung ini tidak mencukupi kebutuhan,
terutama setelah Koksu mengajak Tang-hay-liong-ong
bertamu ke Putala, dia kuatir penjagaan untuk tamu agung
kurang kuat dan ketat, takut bila terjadi sesuatu, Khan besar
pasti akan menjatuhkan hukuman berat kepadanya. Maka dia
suruh Kampula berusaha mencari jago-jago silat sebagai Wisu,
tapi dalam waktu sesingkat ini kemana dapat mencari jagojago
silat tinggi" Maka menurut dugaanku, masuknya ayah ke
istana kali ini pasti akan melaporkan bahwa Abu Ciangkun
telah mengundang dua pembunuh bayaran bangsa Han, di
samping mohon pinjam tenaga Kim-tiang Busu. Kalian mau
1685 membunuh Liong Bun-kong, bila sebelum kentongan ketiga
belum berhasil, maka bahayanya akan lebih besar."
"Terima kasih akan pemberitahuanmu ini." Kata In San
tertawa, "kalau kami takut menghadapi bahaya, kami tidak
akan datang kemari."
Setelah meninggalkan Siau-ongya. Tan .Ciok-sing melihat
cuaca, mega masih mendung, tapi bintang utara tampak kelap
kelip di angkasa raya, cuaca tidak segelap waktu mereka
datang tadi. Setelah menentukan arah, Tan Ciok-sing langsung menuju
ke Hi-hi lou. Di tengah jalan In San berbisik: "Menurut
dugaanmu, siapa orang yang memberi laporan rahasia itu?"
"Baiklah, kita sama-sama sebut nama orang yang kita
curigai itu."
"Mulai, satu, dua, tiga..." berbareng dengan suara lirih
mereka menyebut 'Buyung Ka'.
"Lalu bagaimana baiknya" Di samping Jendral Abu ada
sembunyi seorang musuh yang berbahaya."
"Yang penting sekarang kita harus dapat membunuh
bangsat she Liong itu sebelum kentongan ketiga, urusan lain
boleh dikesampingkan dulu."
In San menarik lengan bajunya, bisiknya: "Sssst lihat sana."
"Di tempat yang dituding tampak kemilau sinar emas, Tan
Ciok-sing senang, katanya: "Betul, Hi-hi-lou ada disana." Katakatanya
dia kirim menggunakan ilmu mengirim suara
gelombang panjang, umpama ada orang berdiri di samping
mereka juga tidak akan mendengar.
In San berkata: "Kalau Yu-hianong sudah mengatur
perangkap untuk menjebak kita, yakin dia tidak akan pasang
perangkapnya itu di tiga tempatnya sendiri, Hi-hi-lou bukan
mustahil juga ada perangkap."
1686 "Biar aku coba tanya jalan dengan melempar batu. Tanghay-
liong-ong tidak berada di samping bangsat tua itu,
umpama jejak kita konangan, mereka tiada yang kuat
menandingi kita, takut apa." Sekenanya Tan Ciok-sing
menjemput sebutir batu, dengan kekuatan jarinya dia
menjentik, batunya meluncur ke arah loteng.
"Daaar!" mendadak terjadi ledakan keras, begitu batu itu
menyentuh lankan, loteng ambrol api menyembur, ujung
loteng sebelah sana ternyata runtuh. Mungkinkah sebutir batu
kecil dapat mengakibatkan kerusakan separah itu" Ternyata di
atas loteng telah dipasangi alat rahasia, kecuali naik dari
tangga yang membujur dari pekarangan dalam, baru orang
akan selamat tiba di atas loteng. Belum lenyap gema ledakan
keras itu, panahpun melesat selebat hujan. Bila seseorang
betul-betul lompat naik ke atas loteng, umpama Ginkangnya
tinggi dan selekasnya dapat menyingkir dari tempat ledakan,
juga takkan luput dari samberan hujan panah lebat itu.
Belum reda suara ledakan dan hujan panah, dari berbagai
penjuru berdatangan kawanan Wisu seraya berteriak-teriak:
"Tangkap pembunuh. Tangkap pembunuh, tiba-tiba dari
berbagai tempat gelap di atas loteng menyorot beberapa jalur
cahaya dari Khong-bing-ting, jumlahnya ada puluhan.
Cuaca memang sukar diramalkan, mega mendung yang
semula hampir hilang ditiup angin lalu mendadak bertambah
tebal, bukan saja kembali gelap dan lembab, hujan rintik-rintik
pun mulai turun. Tapi sorot lampu suar yang benderang itu
masih terus berkeliaran ke segala penjuru, sehingga taman
kembang sekitar Hi-hi-lou boleh dikata terang seperti di kala
senja. Tiba-tiba timbul akal Tan Ciok-sing, kembali dia meraih
sebuah batu agak besar, lalu diremasnya menjadi krikil,
dengan kepandaian Tan-ci-sin-thong, beruntun dia menjentik,
dalam sekejap lampu-lampu suar di atas loteng itu banyak
1687 yang telah padam, bila kawanan Wisu datang lebih banyak
lagi lampu-lampu itupun sudah padam seluruhnya.
Cuaca gelap pekat, ini menguntungkan mereka. Sebelum
lampu suar padam mereka sudah menentukan arah, dengan
mengembangkan Ginkang mereka mengitari sebuah gununggunungan
menyusup kembang menghindari bentrokan dengan
kawanan Wisu terus melarikan diri.
Kawanan Wisu masih terus berdatangan dari berbagai arah
ke Hi-hi-lou, lekas sekali mereka sudah tiba di daerah yang
tiada penjagaan.
Legalah hati In San, tanyanya: "Sing-ko menurut
pendapatmu apakah omongan Siau-ongya dapat dipercaya?"
"Kukira dia tidak akan ngapusi kita. Dalam hal apa kau
curiga?" "Yu-hian-ong sudah masuk istana menghadap Khan
Agung?" "Kuatir malam ini ada pembunuh meluruk datang, dia
sudah mempersiapkan diri, kuatir tenaga yang dipersiapkan
tidak mencukupi, untuk menjaga segala kemungkinan, maka
dia merasa perlu mengungsi ke lain tempat."
"Apa dia tidak takut Liong Bun-kong mengalami sesuatu?"
"Iya, maksudmu Liong Bun-kong mungkin ikut dia masuk
ke istana menghadap Khan Besar?"
"Hanya dugaan saja. Bila ucapan Siau-ongya dapat
dipercaya."
Tiba-tiba mereka mendengar ringkik kuda ternyata
sekarang mereka tak jauh dari samping istal istana, kuda
dalam istal banyak yang kaget sehingga menjadi ribut, ada
beberapa ekor kuda malah terlepas dari kandangnya.
Sudah tentu para petugas istal kuda menjadi sibuk
menentramkan 1688 15 "Aku jadi ingin mengadu kepandaian dengan perempuan
siluman itu," ujar Lau Thi-cu, kalian tidak usah kuatir, soal
perahu mudah nanti kucarikan."
Setiba di tempat tujuan, tiada bayangan manusia,
perahupun tidak kelihatan. Tan Ciok-sing tanya: "Siau-cu-cu,
kau bilang punya akal."
"Jangan kuatir," ucap Lau Thi-cu, "didalam gua tak jauh
dari sini belakangan ini ada dibuat perahu yang belum sempat
digunakan."
Dalam gua yang dituju memang terdapat beberapa perahu,
masih baru dan belum dicat. Tan Ciok-sing berkata: "Siau-cucu,
ada sebuah permintaanku, sudikah kau membantu aku?"
"Siau-ciok-cu, kenapa kau bilang begitu, memangnya aku
ini bukan temanmu sejak kecil" Kitakan pernah sehidup
semati, berapa kali kau pernah menyerempet bahaya
menolong aku, bukan untuk kali ini pula aku pernah
membantu kau."
Kek Lam-wi dan Toh So-so kelahiran dan dibesarkan di
Kanglam, sudah tentu mereka juga pandai berenang tapi
dibanding Siau-cu-cu jelas mereka jauh ketinggalan. Setelah
menurunkan perahu kecil yang dinaiki Lau Thi-cu berada di
depan menunjukkan jalan, galah diangkat terus menutul
ringan di dinding batu, perahu kecil itu lantas meluncur
mengikuti arus. Perahu yang dinaiki Tan Ciok-sing dan In San
berada di belakang, dalam kegelapan, tiba-tiba terasa
segulung arus kencang menggulung tiba, perahu kecil Tan
Ciok-sing berputar terombang-ambing terbawa arus berpusar.
Mendengar suara gelombang Lau Thi-cu lantas tahu bahwa
mereka menghadapi bahaya lekas dia berteriak: "Mundur ke
samping kiri terus digayuh maju ke depan pula."
1689 Tan Ciok-sing kerahkan Jian-kin-tui sehingga perahunya
tidak terbalik, setelah perahunya terkendali segera dia
praktekkan menurut petunjuk Lau Thi-cu, dengan mudah
perahunya segera laju ke depan pula terbawa arus, kejap lain
perahunya sudah meluncur keluar dari dalam gua dan melihat
langit terang. Diluar gua air seperti dituang menggerojok turun dengan
deras masuk ke danau, disini air mengalir lebih kencang dan
berbahaya. Angin menderu ribut seperti terjadi hujan bayu
layaknya. In San biasanya cukup tabah tak urung kali ini
hatinya kebat-kebit, katanya: "Sungguh berbahaya,
mengecilkan nyali saja."
Belum habis dia bicara, tiba-tiba gelombang besar
mendampar. Lau Thi-cu berteriak: "Awas menubruk karang,"
batu-batu karang runcing bersusun berbentuk menara banyak
tersembunyi di bawah air, yang kelihatan hanya pucuknya
sedikit saja apalagi arus air teramat deras dengan gelombang
besar pula, dalam gugupnya Tan Ciok-sing tak kuasa dia
mengendalikan perahunya, untung Lau Thi-cu memberi
peringatan, sehingga perahunya berhasil dibelokan ke
samping. Pada detik-detik gawat di kala perahunya hampir
membentur karang, Tan Ciok-sing kerahkan Lwekang ajaran
Thio Tan-hong, galahnya diulur ke depan dengan sepenuh
tenaga ujung galahnya tepat menyodok pucuk karang serta
mendorongnya sehingga perahu yang terdorong ombak itu
berhasil ditahannya sekejap terus dibelokan ke samping
melawan arus, kejap lain perahunya seperti dilempar naik ke
atas, seketika In San merasa dirinya seperti naik mega seolaholah
dirinya terbawa arus dilempar ke tengah angkasa namun
cepat sekali tiba-tiba tubuhnya anjlok pula ke bawah. Waktu
dia buka matanya perahu itu sudah melampaui kumpulan
batu-batu karang dan terus laju ke depan.
Lau Thi-cu berpaling ke belakang, legalah hatinya, serunya
memuji: "Hebat kau Siau-ciok-cu."
1690 Tan Ciok-sing seka keringatnya, katanya tertawa: "Terima
kasih akan petunjukmu, kepandaianmu jauh lebih mahir lagi."
Maklum naik perahu didalam air yang arusnya sederas itu,
bukan saja diperlukan kemahiran berenang, juga harus
memiliki tenaga raksasa. Bahwa Lau Thi-cu dapat kendalikan
perahunya seperti laju di perairan yang arusnya tenang, jelas
Kungfunya sekarang sudah mencapai taraf tertentu, dasarnya
cukup kuat. Cepat sekali mereka sudah mencapai setengah dari selat
sempit berarus kencang itu. Setelah lega hatinya, In San
berkata: "Arus air sederas ini kurasa tidak kalah derasnya dari
Sam-kiap di Tiangkang yang terkenal itu."
Lau Thi-cu berseru di depan: "Syukurlah di depan tiada
daerah berbahaya lagi, lekas sekali sudah akan berada di
perairan Thay-ouw."
Baru saja mereka merasa lega, tiba-tiba Toh So-so
berteriak kaget, pandangannya tertuju ke depan arah samping
dengan melongo. Lekas Kek lam-wi menoleh ke arah
pandangannya, tak usah tanya segera dia tahu kenapa
kekasihnya kaget dan melongo.
Tampak di antara dua batu besar yang menonjol di
permukaan air di samping sana, tersangkut sebuah perahu
yang pecah, perahunya terbalik karena benturan keras perahu
itu sudab pecah berantakan, jauh di depan sana masih
kelihatan pecahan perahu yang terapung.
Jantung Kek Lam-wi berdetak keras, katanya: "Lau-toako,
perahu itu apakah milik kalian..." Lam-wi tidak tega
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meneruskan perkataannya, dia pikir jarang ada perahu lewat
disini, ada perahu pecah itu, kecuali perahu yang dinaiki Busam
Niocu dengan Bu Siu-hoa rasanya tiada perahu lain lagi?"
"Betul," sahut Lau Thi-cu, "itulah perahu khusus yang kami
sediakan di pinggir sungai."
1691 Kek Lam-wi menghela napas, katanya: ."Kalau begitu tak
usah kita mencarinya ke Thay-ouw lagi."
Pada hal perahu mereka kini sudah berada di perairan
Thay-ouw. Hujan rintik-rintik kabut mulai datang, Thay-ouw
seluas ini, perasaan mereka menjadi tertekan seperti dibalut
kabut, kemana mereka harus mencari"
Makin ke tengah kabut makin tebal, tak lama kemudian di
tengah kabut tebal tampak setitik sinar lampu yang bergerak
terombang-ambing maju ke depan.
Dengan suara lirih Lau Thi-cu berkata: "Di depan ada
sebuah kapal, titik api itu adalah lampu angin yang digantung
di ujung buritan jaraknya kira-kira ada dua li."
Pada hal saat mana sudah menjelang tengah malam, dalam
kabut setebal ini pula, kapal ini masih berada di tengah
perairan, jejaknya ini jelas cukup mencurigakan.
Tergerak hati Kek Lam-wi katanya: "Lau-toako, perlahan
saja mendekatinya kapal di depan itu."
"Aku tahu," ujar Lau Thi-cu tertawa, "jangan kuatir, mereka
tidak akan tahu jejak kita. Dengan kemahirannya
mengendalikan perahu, perahunya itu tetap laju ke depan
tanpa banyak mengeluarkan suara.
Setelah agak dekat sayup-sayup terdengar suara
percakapan dan cekikikan tawa orang. Itulah suara tawa genit
seorang perempuan, suaranya jelas adalah tawa Bu-sam Niocu
yang jalang itu.
Karuan Tan Ciok-sing berlima amat girang. Segera mereka
pasang kuping, terdengar tawa jalang Bu-sam Niocu makin
jelas. "Idiiiiih jangan begitu, berlakulah yang genah, putriku
ada di sebelah, kalau sampai didengar dia kan tidak enak,"
agaknya Bu-sam Niocu sedang main cinta dengan seorang
lelaki. 1692 Berkerut alis Kek Lam-wi dan Toh So-so namun lega pula
hati mereka. Ternyata Bu Siu-hoa tidak mengalami kesulitan,
agaknya dia disekap di atas perahu itu. Yang menjadi tanda
tanya dalam benak mereka adalah siapa lelaki itu"
"He, he, putri mustikamu, merdu sekali kedengarannya,
mesra dan sayang sekali. Bagi mereka yang tidak tahu seluk
beluknya tentu menyangka genduk ayu itu adalah anak
kandungmu sendiri," terdengar laki-laki itu mencemooh
dengan nada menggoda.
Tan Ciok-sing melengak, semula dia sangka lelaki yang
sedang pat-gulipat dengan Bu-sam Niocu ini adalah suaminya
kedua, yaitu Tok-liong-pang Pangcu Thi Khong. Tapi setelah
didengarnya dengan cermat suaranya tidak mirip Thi Khong.
"Lalu siapa laki-laki ini?" demikian Ciok-sing bertanya-tanya.
Terdengar Bu-sam Niocu berkata: "Haya kenapa kau bilang
demikian, walau Bu Siu-hoa bukan anak yang kulahirkan dari
rahimku sendiri tapi sejak kecil aku menyayangi seperti
mustikaku sendiri. Kalau tidak, kali ini aku tidak akan
menyerempet bahaya untuk menculiknya dari markas Ong
Goan-tin. Kau kira soal gampang untuk lari dari selat geledek
yang berbahaya itu?"
"Sam-nio," ujar laki-laki itu bergelak tawa, "urusan sudah
sejauh ini, kau masih belum mau bicara sejujurnya kepadaku,
apa tidak terlalu?"
"Bicara jujur soal apa?" tanya Bu-sam Niocu.
"Kau kan hanya memperalat dia untuk membeli hati orang
Bu-san-pang, kaupun kuatir ada orang membongkar
perbuatan kejimu di masa lalu, maka terpaksa kau membelit
budak ayu itu di bawah gaun panjangmu. Kalau tidak menurut
pendapatku sudah sejak lama kau telah membunuhnya."
"Perbuatan keji masa lalu apa" Sebetulnya berapa banyak
kau pernah dengar berita angin yang menjelekkan nama
1693 baikku?" suara Bu-sam Niocu kedengarannya agak hambar
dan panik. Laki-laki itu tertawa, katanya: "Alah aksinya, dulu kau
sekongkol dengan Thi Khong membunuh suamimu yang
pertama, yaitu Bu San-hun Pangcu pertama Bu-san-pang.
Kalian memang bertindak amat rahasia, tapi kalau ingin orang
lain tidak tahu, hendaklah awak sendiri tidak berbuat. Memang
orang-orang Bu-san-pang belum memperoleh bukti, tapi tidak
sedikit yang curiga terhadap kau. Bicara sejujurnya kau tidak
berani membunuh genduk ayu karena kalau kau membunuh
dia kecurigaan orang-orang Bu-san-pang akan bertambah
besar dan yakin akan perbuatanmu yang keji masa lalu. Maka
terpaksa kau besikap baik dan sayang terhadapnya supaya
orang-orang Bu-san-pang tidak curiga lagi bahwa kaulah yang
membunuh ayahnya."
"Kau memang setan cerdik, apapun kau ketahui maka
kaupun harus memberi kelonggaran kepada budak jelita itu."
Laki-laki itu tertawa pula, katanya: "Aku tahu kau telah
membiusnya pingsan, umpama tidak kau bius juga tidak jadi
soal, apapun dia tidak akan bisa mendengar percakapan kita."
"O, jadi kaupun telah melakukan sesuatu pada dirinya?"
"Ya, aku telah menutuk Hiat-to penidurnya, paling sedikit
dua belas jam kemudian baru dia akan bangun."
"Kau memang setan kelaparan, kiranya kau memang
bermaksud jelek terhadapku."
"Salah, bukan bermaksud jelek, aku justru ingin berbuat
baik terhadapmu."
"Apa kehendakmu?"
"Kuingin kau menjadi biniku."
"Tidak, tidak mungkin, aku tidak bisa kawin dengan kau."
1694 "Kenapa tidak bisa, Bu San-hun telah mati. Kau boleh
menikah dengan Thi Khong. Thi Khong telah mampus, kenapa
sekarang tidak boleh menikah dengan aku" Memangnya kau
ingin menjadi janda sampai tua?"
"Justru karena Thi Khong mati belum ada satu bulan,
pakaian duka citaku belum lagi kutanggalkan. Kalau kau tidak
takut ditertawakan orang, aku sebaliknya malu bila dicemooh
orang banyak."
"O, jadi kau hanya kuatir dicemooh orang, jadi bukan tidak
sudi kawin dengan aku. Biarlah kutegaskan kepada kau, aku
tidak peduli segala ocehan orang lain. Bila aku yang menjadi
suamimu, siapa berani mentertawakan kau."
Terdengar Bu-sam Niocu cekikikan geli dan genit, katanya:
"Memangnya kaukan Hwe-giam-lo yang terkenal dan disegani
kaum persilatan siapa berani bertingkah di hadapanmu?"
Perahu yang ditumpangi Tan Ciok-sing berlaju ke depan
makin dekat, semakin didengarkan dia seperti sudah kenal
suara lelaki itu, setelah mendengar percakapan mereka
sampai disini, kini dia sudah yakin siapa gerangan lelaki itu.
Orang itu bukan lain adalah Toa-thauling Giam-ong-pang Giam
Cong-po yang pernah bergebrak melawan dirinya.
Tawa genit dan percakapan kedua orang di atas perahu
tiba-tiba terhenti. Ternyata sebagai orang yang banyak
pengalaman di perairan, Bu-sam Niocu sudah tahu bahwa
sebuah perahu kecil tengah menguntit kapal mereka di
sebelah belakang.
Pelan-pelan dia mendorong Giam Cong-po yang menindih
tubuhnya ke samping. Giam Cong-po keheranan sebelum dia
sempat bertanya, Bu-sam Niocu sudah berbisik di pinggir
telinganya: "Ada dua perahu menguntit di belakang, biar aku
memeriksanya."
"Umpama Ong Goan-tin sendiri yang mengudak kemari aku
juga tidak gentar, biarkan saja peduli amat?" jengek Giam
1695 Cong-po penasaran, maklum nafsunya sedang berkobar, mana
dia mau diganggu.
Bu-sam Niocu mencubit lengannya, katanya perlahan
dengan tertawa: "Waktu masih panjang untuk kita, sekarang
kita belum bebas dari daerah terlarang, jelas ada orang
menguntit betapapun harus hati-hati."
Giam Cong-po berkata uring-uringan: "Kurcaci mana yang
berani menguntit kita, biar nanti kupukul perahunya sampai
pecah berantakan."
Bu-sam Niocu lari keluar pegang kemudi sehingga kapalnya
membelok arah melintang, sementara Giam Cong-po beranjak
ke buritan, maka dilihatnya dua perahu kecil yang dinaiki Tan
Ciok-sing dan Kek Lam-wi. Jarak kedua pihak tinggal enam
tujuh tombak, tapi di tengah kabut Giam Cong-po tidak
melihat jelas siapa penumpang kedua perahu kecil itu.
Dengan kalem dia angkat sebuah jangkar besi di pojok
kapal, sekali ayun kontan dia lempar jangkar gede itu ke
perahu Tan Ciok-sing. Jangkar besi itu besar dan berat, dia
lempar dengan tenaga raksasa lagi, maka daya luncuran
ditambah beratnya kira-kira ada ribuan kati. Jangan kata
perahu kecil itu hanya mampu dinaiki tiga orang, umpama
perahu besar juga tidak akan kuat ditindih oleh jangkar
segede itu, jelas perahu kecil yang dinaiki Tan Ciok-sing bisa
pecah berantakan.
Untung dia melempar jangkar itu ke perahu Tan Ciok-sing.
Ciok-sing segera kembangkan ajaran Lwekang Thio Tan-hong,
galah panjang dia angkat terus menyampuk dan menepis
mengikuti arah luncur jangkar gede itu. "Byuuurrr" jangkar
gede itu berhasil disampuknya miring dan jatuh kedalam
danau, air muncrat menimbulkan ombak besar.
Karuan Giam Cong-po kaget bukan main, baru sekarang dia
insyaf, yang dihadapi adalah lawan tangguh. Sembari
meraung gusar dia meraih sebuah dayung besi terus
1696 menubruk kearah perahu kecil yang dinaiki Tan Ciok-sing.
Kejadian cepat sekali, di tengah udara tubuhnya jumpalitan
dengan gaya burung dara membalik tubuh, tubuhnya menukik
turun meluncur ke arah perahu kecil itu.
"Pletak", galah panjang di tangan Tan Ciok-sing berhasil
dipukulnya patah menjadi dua. Tapi sebelum kaki Giam Congpo
menginjak papan perahu, pada hal serangan susulan
dengan jurus Hing-sau-liok-hap telah dipersiapkan, mendadak
dilihatnya selarik sinar hijau dan selarik sinar putih laksana
kilat menyambar, sinarnya terang menyilaukan mata. Maka
terdengarlah dering keras beradunya senjata, kali ini gayung
besi di tangan Giam Cong-po malah yang terpapas kutung.
Kiranya Tan Ciok-sing dan In San melancarkan gabungan
sepasang pedang. Pedang mereka gaman mustika yang dapat
mengiris besi, ilmu pedang mereka tiada bandingan pula di
kolong langit ini, kejadian diluar dugaan lagi, sudah tentu
Giam Cong-po tak kuasa melawan mereka"
Belum lagi ujung kakinya menyentuh perahu, ujung pedang
Tan Ciok-sing sudah mengancam lambungnya. Lekas Giam
Cong-po menangkis dengan sisa dayung yang masih
dipegang, gagang dayung itu kembali terpapas kutung pula,
sehingga sisanya sudah tak mungkin digunakan lagi sebagai
senjata. Sementara itu Bu-sam Niocu baru selesai berpakaian,
didengarnya langkah memasuki kabin, maka dengan bersuara
heran dia menegur: "Lho, kok cepat benar kau sudah
kembali?" Kek Lam-wi tendang pintu kabin sambil membentak: "Coba
kau lihat siapa aku."
Kaget Bu-sam Niocu bukan main, kontan dia ayun tangan
menaburkan segenggam Bwe-hoa-ciam. Toh So-so putar
kencang pedangnya dengan jurus Jiu-hong-sau-yap, maka
terdengar suara gemerisik. Bwe-hoa-ciam lembut itu tersapu
rontok dan hancur berhamburan.
1697 Karena sedikit hambatan ini, Bu-sam Niocu sudah
membobol dinding papan terus lari ke geladak.
Kek Lam-wi membentak: "Lari kemana," secepat angin dia
mengudak keluar. Kembali Bu-sam Niocu mengayun balik
tangannya menghamburkan senjata rahasia. Serangan senjata
rahasia kali ini jauh lebih liehay, yaitu Tok-bu-kim-ciam-liatyam-
tam, begitu ditimpukkan senjata rahasia itu lantas
meledak, segumpal asap berapi menimbulkan kabut tebal
diselingi bintik-bintik sinar gemerdap yang tak terhitung
banyaknya, itulah jarum-jarum selembut bulu kerbau yang
beracun. Untung sebelumnya Kek Lam-wi sudah siaga, di waktu dia
melompat ke atas kapal ini, jubah luarnya sudah dibikin basah,
sekarang jubahnya dia buka serta dikebutnya sekali, gumpalan
asap berapi dari ledakan senjata rahasia itu seketika
dikebutnya padam. Jarum-jarum lembut beracun itupun
tergulung dalam jubahnya. Sebat sekali Toh So-so sudah ikut
menerjang keluar dengan getaran pedangnya dia ikut
menyapu habis hamburan jarum-jarum lembut itu.
Kek Larn-wi tidak berhenti, seruling pualamnya segera
dikerjakan menutuk tiga Hiat-to di tubuh Bu-sam Niocu, jurus
Hun-mo-sam-hu ini merupakan variasi yang berhasil dicangkok
dari King-sin-pit-hoat merupakan ilmu Tiam-hiat tingkat tinggi
yang liehay. Walau kesehatan Kek Lam-wi belum pulih
seluruhnya, mungkin karena terlalu panik, Bu-sam Niocu kena
ditutuk dua Hiat-tonya dan tertawan hidup-hidup.
Lekas Kek Lam-wi berdua putar masuk ke kabin serta
mencari, akhirnya ditemukan sebuah pintu kecil terus
membobolnya, Bu Siu-hoa, ternyata disekap di kamar sebelah.
Kek Lam-wi sudah berjongkok memeriksa Hiat-to mana di
tubuhnya yang tertutuk dan hendak membebaskan tutukan
Hiat-tonya, tiba-tiba dilihatnya Bu Siu-hoa sudah membuka
mata, lapat-lapat dia melihat bayangan Kek Lam-wi dan Toh
1698 So-so, dia sangka dirinya sekarang bermimpi, teriaknya tak
tertahan: "Kek-toako, Toh-cici, betul, betulkah kalian?"
Toh So-so girang, serunya: "Bu-cici, ternyata kau sudah
siuman." Segera dia turun tangan membebaskan Hiat-tonya
yang tertutuk. Saking girang Bu Siu-hoa berlinang air matanya, katanya
terisak: "Sungguh tak nyana aku masih bisa hidup bertemu
dengan kalian."
"Ibu tirimu yang jahat itu sudah kami bekuk hidup-hidup,
sepantasnya kau bersenang hati apa pula yang kau tangisi?"
Toh So-so menghibur.
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ayah kandungmu dicelakai sampai mati oleh ibu tirimu ini,
apa kau sudah tahu," ujar Kek Lam-wi sengit.
"Percakapannya dengan pentolan Gam-ong-pang di kamar
sebelah sudah kudengar seluruhnya," sahut Bu Siu-hoa
"Bu-cici, sepantasnya aku memberi selamat kepadamu,"
kata Toh So-so.
Bu Siu-hoa melenggong, katanya: "Kenapa memberi
selamat kepadaku."
"Selamat atas kemajuan Kungfumu," ujar Toh So-so
tertawa, "kau terkena obat bius perempuan laknat itu, ditutuk
pula Hiat-tomu dengan Jong-jiu-hoat oleh Giam Cohg-po tapi
sebelum saatnya kau sudah siuman lebih dulu, sungguh patut
dipuji." Bu Siu-hoa berkata: "Waktu aku digusur perempuan jahat
itu, diam-diam aku sudah menelan obat penawarnya. Tentang
ilmu Tiam-hiat aku harus berterima kasih kepada Kek-toako,
dialah yang mengajar kepadaku. Sayang belum sempurna."
Ternyata dua hari dia berkumpul dengan Kek Lam-wi dalam
gua batu, mengingat orang telah menolong jiwanya, untuk
membalas kebaikannya Kek Lam-wi secara iseng mengajarkan
1699 cara mengerahkan hawa murni menjebol tutukan Hiat-to
kepada Bu Siu-hoa sebagai bekal untuk menyelamatkan diri.
"Mana keparat she Giam itu?" tanya Bu Siu-hoa.
"Masih ada di geladak sedang bertarung dengan Tantoako,"
sahut Kek Lam-wi.
Waktu mereka tiba di atas geladak, tampak air bergolak
dan berputar, siapapun tahu bahwa ada orang sedang
bertarung didalam air. Lau Thi-cu yang berada di perahu kecil
ternyata juga tidak kelihatan.
Perahu kecil yang ditumpangi Tan Ciok-sing berputar-putar
di atas air, kapalnya sudah miring ke sebelah, turun naik
terombang-ambing oleh ombak, sebentar lagi kalau tidak
dikendalikan mungkin bisa tenggelam.
"Celaka," seru Toh So-so, "In-cici masih di atas perahu itu,
dia tidak pandai berenang, lekas kita menolongnya."
Beramai-ramai mereka kayuh kapal besar ini mendekati
perahu yang sudah miring itu. In San sudah lompat ke atas
atap kabin, setelah jarak kedua kapal dan perahu tinggal dua
tombak In San segera melompat naik ke atas kapal besar.
Ternyata menghadapi Siang-kiam-hap-pik Tan Ciok-sing
dan In San, Giam Cong-po tepaksa didesak jatuh kedalam air,
dia tahu di atas kapal dirinya mungkin tidak kuat menghadapi
mereka, maka dia selulup kedalam air hendak menyabot
perahu orang. Kuatir Tan Ciok-sing bukan tandingan Giam Cong-po, Kek
Lam-wi berkata: "Biar aku turun ke air membantunya."
Lekas In San mencegah, katanya: "Kesehatanmu sendiri
belum sembuh, jangan kau mencari susah sendiri."
"Biar aku saja turun membantunya," kata Toh So-so.
1700 "Siau-cu-cu sudah terjun ke air membantu Tan-toako,"
demikian tutur In San, "bila mereka berdua juga tidak kuat
menghadapi musuh didalam air..."
Belum habis dia bicara, "Byuur" tahu-tahu Bu Siu-hoa
sudah terjun kedalam air. Hanya sekejap saja tiba-tiba dua
kepala orang menongol ke permukaan air. Tan Ciok-sing
mendahului lompat naik ke atas kapal, disusul Lau Thi-cu.
Waktu itu fajar telah menyingsing tampak pakaian mereka
berlumuran darah.
In San kaget, serunya: "Lau-toako kau terluka. Mana adik
Siu-hoa?" "Jangan gugup," ujar Lau Thi-cu tertawa lebar, "ini darah
orang lain. Nona Bu berhasil membunuh brandal she Giam
itu." Di tengah tawanya itu tampak Bu Siu-hoa sudah muncul ke
permukaan air, katanya: "Lau-toako terima kasih akan
bantuanmu hingga aku berhasil menuntut balas."
Perlu diketahui kepandaian renang Giam Cong-po ternyata
amat liehay, kalau tidak dibantu oleh Lau Thi-cu, Tan Cioksing
meski dibantu Bu Siu-hoa, meski tidak terkalahkan lawan
pasti berhasil melarikan diri. Setelah terbukti Giam Cong-po
sudah mati, baru Bu Siu-hoa naik ke atas, maka dia agak
terlambat muncul di permukaan air.
Bu Siu-hoa sedang berpikir cara bagaimana dia harus
menghukum ibu tirinya, bila diapun sudah berada di atas kapal
dilihatnya darah hitam keluar dari panca indra Bu-sam Niocu,
ternyata insyaf akan kesalahannya yang tidak terampunkan,
dari pada mati di tangan orang lain dia rela bunuh diri
menelan racun. 000OOO000 Memperoleh laporan yang menggembirakan ini, lekas Ong
Goan-tin keluar menyambut kedatangan mereka. Yang ikut
1701 menyambut ada It-cu-king-thian Lui Tin-gak dan Kim-to-thiciang
Tam Pa-kun. Lekas Lau Thi-cu memburu maju memberi
sembah hormat kepada gurunya.
Melihat Bu Siu-hoa pulang dengan selamat legalah hati Ong
Goan-tin. Mendengar muridnya berjasa besar Lui Tin-gak juga
amat senang. Di samping menghibur dan melegakan hati Bu
Siu-hoa orang banyakpun memuji Lau Thi-cu, pemuda yang
jujur dan polos ini sampai canggung dan malu mukanya
jengah. Dalam perjamuan, hati hadirin sama riang gembira, setelah
tiga cawan masuk kedalam perut, Ong Goan-tin angkat bicara:
"Ulang tahunku kali ini telah menimbulkan banyak keributan
syukurlah Tan-siauhiap, In Lihiap dan nona Bu giat membantu
sehingga keributan ini berhasil diatasi. Betapa senang hatiku
karena Lui-toako dan Tam-toako sudi datang bersama kaum
pendekar muda dan Cianpwe gagah ini kuharap suka tinggal
beberapa hari di markasku ini."
Tan Ciok-sing mendahului buka suara: "Terima kasih akan
maksud baik Cecu, sayang aku dan nona In tak bisa tinggal
lama disini."
"Kalian ada keperluan penting apa, kenapa buru-buru,"
tanya Ong Goan-tin.
Sebelum Tan Ciok-sing menjawab, Tam Pa-kun sudah
tertawa, katanya: "Ong-toako kenapa kau menjadi pelupa?"
Ong Goan-tin melengak, tanyanya: "Aku lupa apa?"
"Tentang mereka membuat geger istana raja, waktu
menyelundup ke istana raja. Ciok-sing pernah meninggalkan
empat bait syair sebagai peringatan kepada raja, bukanlah hal
itu pernah kuceritakan kepada kau?"
Ong Goan-tin sadar, katanya: "Betul kenapa aku jadi lupa.
Ciok-sing Lote, apakah kau mau kembali ke kota raja, menagih
1702 janji kepada raja keparat itu, bila perlu kau paksa dia untuk
menepati janji."
"Benar Baginda pernah berjanji, dalam jangka tiga bulan
dia akan bertindak mencopot kedudukan menteri dorna Liong
Bun-kong. Kini batas tiga bulan sudah hampir habis, bersama
nona In kami ingin tiba di kota raja lebih dini."
"Kalian bagaimana?" tanya Ong Goan-tin kepada Kek Lamwi
dan Toh So-so. "Janji Tan-toako dengan Baginda Raja adalah janji
pertemuan Pat-sian pula, Lim-toako dan Lok-toako pasti sudah
menunggu kami di kota raja. Maka kami juga akan berangkat
bersama Tan-toako."
"Apakah luka-lukamu tidak mengganggu?" tanya Ong
Goan-tin. "Sudah lama sembuh," sahut Kek Lam-wi
"Bahwa kalian sedang mengemban tugas, sudah tentu aku
tidak enak menahan kalian disini. Nona Bu kuharap sementara
kau tinggal disini saja."
Memangnya Bu Siu-hoa sekarang sudah sebatang kara,
mendapat tempat berteduh sudah tentu dia senang, maka
permintaan Ong Goan-tin dia terima dengan rasa senang dan
lega. 000OOO000 Pendek kata. Sepanjang jalan mereka tidak menghadapi
rintangan apa-apa. Hari itu mereka tiba di Pakkhia. Untuk
menjaga orang tidak mengenali mereka, sebelum masuk kota
In San gunakan kepandaian tata riasnya yang dia pelajari dari
Han Cin merobah wajah Tan Ciok-sing dan Kek Lam-wi
menjadi dua pemuda sekolahan yang mau ujian ke kota raja,
sementara dia sendiri bersama Toh So-so ganti berpakaian
laki-laki, menyamar jadi kacung mereka.
1703 Jalan raya lalu lintas padat, kereta gerobak berlalu lalang,
kota raja masih seramai dulu, segala sesuatunya tiada
perbedaan dengan tiga bulan yang lalu. Tapi perasaan hati
mereka yang jauh berbeda dibanding tiga bulan yang lalu.
Tiga bulan yang lalu mereka bertekad meski gugur di
medan lagajuga rela asal berhasil menemui raja, sudah tentu
yang diharapkan usaha mereka sukses yaitu membunuh
Liong Bun-kong sekalian. Meski tujuan mulia, namun mereka
harus bertindak secara menggelap, harapan cerah tidak
pernah nampak di depan mata.
Kini mereka sudah sadar, umpama Baginda Raja tidak mau
tunduk akan kehendak rakyat banyak namun keyakinan
mereka untuk memberantas kaum dorna lebih besar, selaput
gelap yang selama ini menyelubungi harapan masa depan
sudah sirna tak berbekas lagi. Waktu mereka tiba di kota raja
kebetulan adalah hari terakhir dari batas waktu tiga bulan.
Malam itu mereka menginap di hotel, besok pagi mereka
langsung menuju ke Say-san berkunjung ke markas cabang
Kaypang. Baru saja mereka keluar kota, terasa dua orang telah
menguntit mereka. Kedua orang ini berkepala kecil dengan
muka panjang, mata kecil hidung pesek, dari tampang dan
tingkah laku mereka, siapapun akan tahu bahwa kedua orang
ini jahat dan menjijikan. Lekas sekali kedua orang ini sudah
memburu dekat. Sekejap Tan Ciok-sing celingukan, dilihatnya kanan-kiri
tiada orang, segera dia menyongsong kedatangan mereka.
"Saudara ini tentu sudah lelah."
Kedua orang itu berhenti, sekejap saling pandang lalu satu
persatu mengawasi mereka, mimik mukanya kelihatan aneh.
Akhirnya yang perawakan agak pendek berkata: "Lelah sih
tidak. Kalian jalan-jalan, kami juga jalan-jalan, kalau bilang
lelah, tentunya kalian juga lelah." Sengaja dia meninggikan
1704 suara, jelas berusaha menutupi suara aslinya supaya orang
tidak kenal logat suaranya.
Tan Ciok-sing berkata sinis: "Jangan pura-pura, kalian ini
kawan dari garis mana, lekas terus terang."
Yang perawakan besar berkata: "Apa maksudnya kawan
dari garis mana" Coba kau katakan dulu kau dari garis mana,
supaya kami maklum apa yang kau maksud."
"Baik terus terang kuberitahu kepadamu. Aku adalah kawan
dari garis yang sedang dicari oleh majikanmu," di kala
mengucap 'mu' dua jari tangannya yang terangkap tiba-tiba
menutuk ke Hiat-to penggagu orang, dia tidak akan
mengancam jiwa orang, maka gerakannya cukup gesit, orang
biasa terang tak mungkin bisa meloloskan diri. Tak nyana
dengan mudah laki-laki ini berhasil menghindar, mulutnya
malah berkaok: "Lho, mulut bilang kawan tapi perbuatanmu
tidak layak sebagai kawan."
Di kala Tan Ciok-sing turun tangan itu, laki-laki pendek di
sebelahnya tiba-tiba tertawa cekikikan sambil menutup mulut.
Katanya: "Adik In masa kau tidak mengenalku lagi," ujarnya.
"Toako jangan gegabah," seru In San, "diakan Han-cici..."
Hampir bersamaan In San berteriak dengan laki-laki pendek
itu. Sekilas Tan Ciok-sing melenggong, hampir bersamaan pula
diapun berteriak dengan lawannya. "Toan-toako kiranya kau."
"Tan-hengte ternyata kau."
Ternyata dua orang yang menguntit mereka ini bukan lain
adalah kawan baik mereka yaitu Toan Kiam-ping dan Han Cin.
In San tertawa, katanya: "Ooo, ternyata guruku telah
datang, tak heran samaranku konangan," maklum kepandaian
riasnya dia pelajari dari Han Cin.
1705 "Toan-toako," kata Tan Ciok-sing bukankah kau sudah
pulang ke Tayli" Kenapa secepat ini sudah berada di kota raja
pula?" "Janjimu tiga bulan dengan baginda, tidak pernah
kulupakan," ujar Toan Kiam-ping.
"Bukankah waktu itu orang banyak mengharap supaya kau
melakukan usaha besar di kampung kelahiranmu, kurasa tidak
perlu kau buru-buru meninggalkan kampung halaman..."
"Aku maklum maksudmu tapi jangan kau lupa, ayahku mati
karena perbuatan Liong Seng-bu, mana bisa aku membiarkan
kalian saja yang menuntut balas?"
Han Cin tertawa katanya: "Untung kalian bertemu aku,
markas Kaypang sudah pindah."
"Pindah kemana?" tanya Ciok-sing.
"Pindah ke Jui-hwi-hong. Mari kuajak kalian kesana," ujar
Toan Kiam-ping.
Setiba di markas Kaypang baru mereka tahu apa sebabnya
mereka pindah yaitu karena di kalangan mereka terbongkar
adanya musuh dalam selimut, ini bukan lain adalah Kwe Su-to
yang pernah ditolong itu.
Waktu Kwe Su-to membawa pasukan besar pemerintah
menggerebek Pit-mo-gay, untung orang-orang Kaypang sudah
mendapat kabar, sebelum pasukan pemerintah tiba mereka
sudah pindah ke lain tempat, sehingga tidak jatuh korban.
Kaypang Pangcu Liok Kun-lun memberi tahu dua hal
tentang keluarga Liong, pertama, Liong Bun-kong mohon cuti
dengan alasan badan kurang sehat, sampai hari ini belum
pernah masuk istana menghadap raja. Kedua, keponakannya
yaitu Liong Seng-bu secara diam-diam mengawal separtai
harta benda pulang ke Kwi-ciu ke kampung kelahirannya,
seratus li setelah meninggalkan kota raja, di tengah jalan telah
dibega! orang. 1706 "Yang berani membegal harta mereka tentu bukan kaum
begal biasa," kata Ciok-sing.
"Memang bukan begal biasa, menurut laporan mereka
adalah Wi-cui-hi-kiau," ujar Liok Kun-lun.
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kek Lam-wi senang, katanya: "O, jadi Toako juga sudah
tiba, dimana mereka?"
"Dua hari lagi baru akan tiba. Mereka sudah mengirim
kabar kepadaku," sahut Liok Kun-lun pula.
"Pertemuanku dengan Baginda tidak bisa ditunda lagi, aku
tidak akan menunggu mereka," kata Tan Ciok-sing.
Toan Kiam-ping berkata: "Kali ini aku bersama adik Cin
minta persetujuan kalian untuk ikut masuk ke istana."
Kek Lam-wi dan Toh So-so sebetulnya juga ingin ikut, tapi
Liok Kun-lun bilang terlalu banyak orang tentu kurang leluasa,
apa lagi mereka harus menunggu kedatangan anggota Patsian
yang lain, terpaksa mereka terima nasihat Liok Kun-lun,
urung ikut ke istana.
Malam kedua kira-kira kentongan ketiga Tan Ciok-sing
berempat lantas berangkat menemui Baginda Raja sesuai janji
tiga bulan yang lalu.
Tan dan In sebelumnya pernah kemari maka kali ini dengan
mudah mereka dapat mengelabui para penjaga dan barisan
ronda. Di bawah petunjuk Tan Ciok-sing yang jalan di depan,
sementara In San dan Han Cin menyamar Thaykam berjalan
di belakang, sementara Toan Kiam-ping menguntit dalam
jarak tertentu langsung menuju ke istana belakang. Ginkang
Toan dan Han memang agak asor tapi tarafnya juga sudah
termasuk kelas tinggi, berjalan di atas genteng kaca yang licin
mereka mengembangkan Ginkang laksana kecapung yang
menclok dari satu wuwungan ke wuwungan istana yang lain
tanpa mengeluarkan suara. Tan dan In sudah punya
pengalaman maka mereka berhasil mengelabui jago-jago silat
1707 pelindung istana, lekas sekali mereka sudah menyelundup ke
Sia-hoa-wan disini mereka menghadapi kesulitan, tidak seperti
dulu dapat maju dengan leluasa. Kini kemana mereka harus
menemui Baginda" Istana raja sebesar dan seluas ini, gedung
bangunannya entah- ada ratusan jumlahnya, hanya tempat
tinggal permaisuri dan para selir raja saja kira-kira ada
puluhan gedung, dari mana mereka tahu malam ini sang raja
menginap di istana mana" Kalau tempo hari mereka dibantu
seorang thaykam yang selalu dekat di samping raja sehingga
tanpa membuang banyak tenaga menemui raja, tapi Thaykam
kecil itu sudah gugur dalam menunaikan tugas, kini tiada
Thaykam yang akan menunjukkan jalan lagi.
Sebelum mereka mendapat akal dan perundingan diantara
mereka belum selesai tiba-tiba didengarnya suara desiran
aneh pelahan seperti selembar daun yang melayang ditiup
angin, tapi jelas bukan daun yang jatuh karena ditiup angin.
Mereka adalah ahli silat, mendengar suaranya seketika
melenggong. Tan Ciok-sing berkata: "Itulah suara senjata
rahasia meluncur, tapi bukan Bwe-hoa-ciam."
In San berkata: "Kalau suara krikil rasanya jauh lebih keras
dan kasar.'"
Ciok-sing berkata: "Kalau tidak salah dugaanku itulah
sebutir lempung kecil." Sampai disini tiba-tiba tergerak pikiran
Tan Ciok-sing, diam-diam dia berpikir: "Jikalau Wisu istana
memergoki jejak kita tak perlu dia menyerang kita dengan
senjata rahasia apalagi senjata rahasia itu ditimpuk miring ke
samping kita bukankah membuat kita terkejut dan sadar"
Tidaklah lebih baik dia berteriak mengundang kawankawannya?"
Karena itu segera dia hendak menyerempet
bahaya, coba-coba dia berlari ke arah dimana senjata rahasia
tadi meluncur. Di depan sebuah gunung-gunungan mengadang jalan di
waktu mereka kebingungan ke arah mana mereka harus
melanjutkan arahnya, tiba-tib
Bentrok Rimba Persilatan 11 Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Bukit Pemakan Manusia 19